Pendekar Mabuk
Karya SuryadiSATU
PARA penduduk mulai cemas mendengar suara gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabu-abuan.Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap. Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi.
"Celaka! Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki setengah umur.
"Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau meletus! Cepat!" teriak tetangganya.
"Apa?! Gunung meletus? Siapa suruh?" tanya istrinya.
"Mana aku tahu?! Aku tidak pernah menyuruhnya! Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"
"ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang tidak bisa dibawa berusaha dibawanya pula.
"Kumpulkan anak kita!"
"Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung. Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang juga panik. Mereka saling teriak.
"Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi, hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari sini!"
Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke mana, Mak?!"
"Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak kemasi barang!"
"Barangku ada di mana, Mak?!"
"Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga barangnya Emak itu, Tong!"
"Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"
Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah berguncang makin jelas. Gayung di cantelan sempat jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di pojokan rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil. Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan berang melihat kepala anaknya bocor dan berdarah.
"Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin perkara saja!"
Para penduduk menghambur keluar dari rumah. Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu. Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada yang saling tabrak dan saling caci sendiri.
Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar kambing bandot.
Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang kuda. Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping kuda merah kecoklatan.
"Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!" seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak itu.
"Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!"
"Kencangkan talinya!" sambil si paman masih berlari-lari di samping kuda. "Lekas kencangkan talinya!"
"Baik, baik...! Baik, Paman!" Anak itu agak cemas, Ia buru-buru mengencangkan tali celananya.
Paman Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"
"O, baik. Baik...!" Tali kekang kuda ditarik. Kuda meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tanda-tanda gunung akan meletus. "Paman! Bagaimana ini?!"
"Kendorkan talinya!"
"Sudah."
"Tarik lagi jangan disentak."
Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia jatuh. "Aaauuuh...!" teriaknya kesakitan.
Paman Dubang segera menolongnya sambil menggerutu. "Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh. Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo, bangun! Lekas bangun."
"Baik, Paman!"
"Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai kuda yang menunggang kamu!"
"Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."
"Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke punggung kuda."
Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...! Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"
"Bantu aku naik, Paman!"
Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menjadi takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil meringkik. Suto nyaris jatuh lagi.
"Paman, Paman...! Awas...!"
"Pegang tali kekangnya!" sentak Paman Dubang dengan jengkel.
Suto memegang tali kekang dengan kaki belum sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan berlari dalam sentakan awal. "Hati-hati, Paman!" Suto segera berseru.
"Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret-seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang tertindih pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"
"Habis aku duduk di mana?"
"Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas. Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"
"Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda. Hentikanlah, Paman!"
"Susah, Tolol!" sentak lelaki gemuk pendek itu.
Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik-ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin. Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap mengungsi.
"Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik begini!" kata Paman Dubang.
"Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke mana-mana. Memandang tiap orang dengan kesibukannya masing-masing.
Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi. Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu. Sang nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.
"Burung apa itu tadi?!" gumamnya dengan bingung. Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu gumaman sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.
Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang ketakutan dan berteriak keras-keras. "Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda ini...!"
Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada yang datang menolong. Semua panik dengan upaya menyelamatkan diri sendiri-sendiri. Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di sebuah tempat tinggi dan berseru. "Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!"
Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah kedai yang telah kosong penghuninya.
Bruss...! Braaak...!
Semua mata jadi memandang ke arah kedai bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru. "Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda-kudaan!"
Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut di tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan. Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas menolong bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto menolak, kakinya menjejak-jejak.
"Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri." Suto pun melompat turun. "Huuhp...!"
Braak...!
"Aaauh...!" teriak Paman Dubang.
Suto jatuh di meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang kembali menyentak.
"Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah terbahak-bahak!"
"Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit!" bantah Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli.
Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh berkata, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan, kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus. Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Gunung itu tidak akan meletus!"
"Tapi kok mengeluarkan semburan api?"
"Dan juga bergemuruh, Pak Tua!"
"Betul. Sudah tiga kali kami mendengar gemuruhnya."
"Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam," jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.
"Masa begitu?"
"Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang mengguncangkan bumi, tiga kali."
"Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?" tanya seseorang.
"Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada. Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik-baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi sesuatu secara tiba-tiba!"
Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung. Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman Dubang untuk melangkah mencari kudanya. Toh gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak menyemburkan asap dan api lagi. Tidak terasa ada guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati masyarakat desa pun jadi lapang.
Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling pandang dalam keheranan. Suara gemuruh itu disimak baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak gunung. Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!"
"Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."
"Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."
Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...! Kita sedang menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah bergemuruh sendiri!"
"Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.
"Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"
Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh menunda...!"
Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak samar-samar sesuatu yang bergerombol bergerak maju. Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka. Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas, menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka ada tiga belas orang. Semua menunggang kuda. Semua bersenjata. Sepertinya siap tempur.
Salah seorang yang menjadi ketua mereka mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti. Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak jauh dari rombongan anak buahnya. Mata orang itu menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan mendekati rombongan. Sambil begitu, orang tersebut berseru kepada penduduk yang melongok dari pintu rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah dinding papan, atau yang bersembunyi di balik batang pohon, termasuk kepada anak kecil yang bersembunyi di balik sarung bapaknya.
"Mana Ronggo Wiseso...?!" teriak orang berbadan kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung hantu.
"Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru orang yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding dengan ukuran lengannya yang besar pula.
Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut, selain buka baju karena kegerahan, maka orang tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan mata liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang memandangnya. Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya. Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya, ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus, dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.
"Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau kugorok batang lehermu! Lekas...!" bentaknya bagai tak sabar.
"Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat, Paman!"
"Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!"
"Ba... baik.., baik, Tuan!"
"Nah, begitu!" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia kembali bertanya meyakinkan. "Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok sana?!"
"Benar, Tuan Kombang Hitam."
"Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah bersalaman dengan pemuda kurus itu sambil mengucapkan kata terima kasih lagi. "Serang rumah itu!" teriak Kombang Hitam kepada anak buahnya. "Bantai semua penghuninya! Jangan ada yang tersisa!"
Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan jutaan debu menyirat ke mana-mana. Kombang Hitam sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada di depan rombongan.
"Untung kamu selamat, Nang...!" kata seorang perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi. Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.
"Mak... aku... lemas... aku...."
"Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat? Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...? Anakku...?!"
"Mak...!" suaranya pelan sekali. Matanya meredup. Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan.
Brukkkk...!
"Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi. Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya menjadi biru kehitaman.
"Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang mangerumun.
"Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara salaman sama Kombang Hitam itu!"
"Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun dan berbahaya!"
"Edan! Jahat sekali orang itu."
"Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu melawannya!"
"Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat kadipaten?!"
* * *
DUA
RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten. Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu Ronggo Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso.
Tetapi penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah hukum kadipaten, sehingga masih sering minta pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap menerima upah perbulannya.
Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah. Serombongan orang berkuda itu segera mengepung rumah tersebut sampai di bagian belakang.
Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram. Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa heran.
"Siapa kau?"
"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati, bukan?"
"Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris membunuh sang Adipati. Kenapa?"
"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya, keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"
"Tunggu dulu...!"
Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak-anak, bantai habis mereka!"
"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai suasana di alam neraka.
Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun berjalan dengan santainya. Suto yang masih berusia delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar, melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan Paman Dubang.
"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"
"Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik kuda sendiri."
"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang kuda sendiri."
"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"
"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"
"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.
Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga orang itu menegang dan napas mereka tampak tak teratur.
"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-jauh. Jangan pulang ke rumah!" kata salah seorang.
"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"
"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.
"Di sini mana ada penginapan?!" sentak Dubang.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?" tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.
"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal Utara!"
"Apa...?!" Dubang memekik kaget.
Suto segera turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"
"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh. Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga diperkosa dan dibunuh, dan...."
"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu. "Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"
"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak. Sebaiknya...."
"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu itu!"
"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya," sambil Dubang memandang celananya yang basah bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu besar.
"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.
Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka berseru, "Lho, di mana Suto tadi?!"
"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah rumahnya!"
"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat kita kejar dia!"
Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin melihat kebenaran cerita itu.
Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping kudanya.
"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai mati!" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati siapa saja yang melihat pertarungan itu.
Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk menangkis pukulan yang datang secara bersamaan. Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan mengenai dada Ronggo Wiseso.
Buk, buk...!
"Hegh...?!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang, lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.
Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.
Bleg...! Bleg...!
"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo merasakan ada hawa panas yang membakar rongga dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar api. Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.
Plakk...!
Kaki itu ditangkis oleh lawannya menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya, terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja, sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri, tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.
Bleg...! Bleg...!
"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan memenggal itu seperti dua batang balok yang dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun jatuh tersungkur tak tahan lagi.
Brukkk...!
Saat itu, Suto menjerit dari balik persembunyiannya.
"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang sekarat.
"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.
Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu dan melemparkan.
Plak, pletak!
Batu itu mengenai wajah dan kepala penghadangnya. "Wadow...!" seru mereka serempak.
Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.
"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk di jalanan sempit itu.
"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!" Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang diambil Suto.
Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit, Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa menjerit. "Pamaaan...!"
"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman jagung milik tetangga itu. "Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata Dubang yang menggendong Suto di belakangnya.
Suto pun segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua tangannya. Dubang membawanya lari tunggang-langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan tertekan.
"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas Dubang sulit dikendalikan.
"Ke mana mereka?!" teriak Kombang Hitam kepada kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan anak itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"
"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung, Ketua!"
"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya bengong saja?!"
Maka kedua orang tersebut segera menerabas masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.
"Wah... bajuku robek, Paman!"
"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya sudah tidak tentu arah lagi.
"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"
"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan Suto.
Maka mereka lari berdua. Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar, mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan liar menuju kaki bukit.
"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan ngos-ngosan juga.
"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau putus, Suto."
"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman. Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi, Paman...!"
"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus lari tanpa berhenti, mana bisa?!"
Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang mulai cemas. "Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka. Paman selamatkan diri saja."
"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil! Ayo, lari lagi."
Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah-celah batang pohon. Menerabas semak berduri.
Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak dengan kemarahannya.
"Kalian lagi! Huh...!"
"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang, Ketua!"
"Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"
Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia menuding sambil berteriak keras. "Itu dia!"
"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam meringkik dan melonjak kaget karena suara keras tersebut. "Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"
"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"
"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda. Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih cepat bergerak di kerimbunan semak.
Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya. Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal seliter lagi.
Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menjadi tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.
"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita jurang yang sangat dalam, Paman."
"Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan kelelahan begitu.
Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas dibelakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun, sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke depan. Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.
"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus kalian sekarang, hah...?!"
Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan Dubang.
Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang. Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.
"Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"
Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto. Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon. Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati. Dubang berteriak, "Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"
"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu menolong Dubang agar bisa naik.
"Cepat lariii...!" teriak Dubang dengan gemasnya. "Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"
Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas. Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah ingusan...! Ha, ha, ha...!"
Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu, Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang. Susah payah ia menarik dirinya dengan berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka menemukan Dubang dalam keadaan kritis.
"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang satu berkata pula.
"Habisi saja dia!"
Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...! Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"
"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang satu.
Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"
Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya. Orang yang memegang golok itu segera menebas ke depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan jerit yang menggema mengerikan.
"Aaaa...!"
Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya bisa berdiri dengan tubuh gemetar.
Pada saat itu, kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda. Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya. "Penggal kepala bocah itul Penggal!"
* * *
TIGA
JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan. Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.
"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot.
Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan membentak keras. "Penggaaal...!"
Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher bocah telanjang dada itu.
Trangng...!
Orang yang menggenggam golok itu mendelik melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya sambil matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang telah mematahkan golok itu dengan menggunakan sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda.
Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar kesekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak ada tempat yang mencurigakan.
Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin geram dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya yang masih mempunyai golok di pinggang.
"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"
Sreet...! Golok dicabut lagi.
Suto kebingungan. Ia merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba-coba menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.
Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.
Trangng...!
Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu menjadi semakin panas. Matanya semakin buas memandang sekeliling.
"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-abu. Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa lega, bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.
Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?! Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?! Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari persembunyianmu! Keluar...!"
Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini, ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka dan Suto.
"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik kita," ia berkata kepada anak buahnya. "Jangan-jangan anak itu punya kesaktian tersembunyi?"
Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap itu mendengus benci, dan memalingkan kepala. Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip. Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu. "Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun. Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak-gerak yang mencurigakan."
"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami, Ketua?"
"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"
Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto. Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik sambil terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri. Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam menjadi tertegun bengong tak berkedip.
"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali. Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut dan kaki.
"Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!" geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa. Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak yang ada! Cepaaat...!"
Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak. "Hai, mau ke mana kamu, hah?"
"Membakar semak!"
"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau masih ingin selamat!"
Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak tidak takut sedikit pun. Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto berkasak-kusuk.
"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon? Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"
"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari telapak tangan kita, seperti Ketua."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala. "Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya. Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini. Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita menemukan dia, kita mati lebih dulu."
"Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."
"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara diam-diam?"
"Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo, lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita bisa mati konyol!"
"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"
Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat. Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang menghentikan langkah temannya.
"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada kagum. Temannya memandang menurut arah telunjuk.
Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang, sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua anak buah Kombang Hitam itu.
"Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"
"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang meriap. Berdirinya begitu tegar."
Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan, terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas. Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya apa pun juga."
"Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu kerikil?"
"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang jurang lebar itu, kan?"
"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang memperhatikan sang ketua kita?"
"Apa iya begitu, ya...?!" gumam yang satunya bingung sendiri.
"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui kita lari!"
Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu. Orang tersebut berada di arah samping mereka, jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah Kombang Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.
"Siapa orang itu?"
"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."
"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi tidakkah kau sadari pakaiannya?"
"O, iya...?!" orang itu terkejut. "Dia memakai pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik. Apakah dia orang yang ada di atas...."
Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi, belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciri-ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.
"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah orang yang ada di atas batu sana?"
"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang jagung dan...," orang itu menengok ke belakang. Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu sudah tidak kelihatan lagi.
"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang berjalan mendaki?"
"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"
Mereka berlari menerabas pepohonan jagung. Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut dan berhenti seketika, sehingga yang belakang menabraknya dalam satu sentakan yang membuat mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan kulit tebal yang diikat sampai betis.
Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh. Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat, bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah berusia lewat dari sembilan puluh tahun.
"Mengapa kalian ketakutan?"
"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena gugup dan bingungnya.
Kakek itu semakin terkekeh-kekeh melihat raut wajah yang salah tingkah. "Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"
"Ka... kami... kami takut, Kek."
"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"
"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih tebal itu.
Sang kakek semakin terkekeh-kekeh. Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian, baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."
Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak ditimpa tubuh mereka berdua.
"Kenapa kamu mendorongku?!" sentak yang belakang.
"Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang mendorongnya dengan kuat sekali!"
"O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu mendorong tubuhmu."
"Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau rasanya."
"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi sekali!"
"Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu berdiri."
"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak bertindak kurang sopan padanya."
"Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah orangnya yang membuat senjata kita patah."
"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu, pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang ketua. Iya, kan?"
"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena patah, jika memang bukan dia pelakunya?"
"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau pengkhianat, biar sajalah...!"
Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada tegang. "Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?" Mereka memandang ke tanah ladang.
"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!" kata yang satunya dengan kagum sekali.
"Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...! bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga. Ck, ck, ck...!" orang itu geleng-geleng kepala.
"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku jadi kepingin menjadi muridnya."
"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."
Temannya memandang dengan dahi semakin berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.
"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti jagung yang baru saja dibakar!"
"Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?!" Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar-benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya. "Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh, kepalaku jadi menggeliyang begini?" Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak temannya. Temannya menjadi heran bercampur tegang.
"Hai, kenapa kau? Kenapa?"
Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"
Mata temannya semakin bundar melebar. Ia melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang teman. Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas. Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi dingin dan kian dingin.
"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek berjubah kuning itu. Bertahanlah. Bertahan sebentar, nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa menawarkan racun dan sudah mulai menguasai pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"
"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin. Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat. Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak mendengarkan.
"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan sedikit langsung dicaplok saja," gerutu temannya. Ia kembali menatap ke belakang sebentar sambil istirahat.
"Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua. Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka lakukan terhadap bocah itu?!"
* * *
EMPAT
KOMBANG Hitam semakin jengkel setelah memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Cemas juga hatinya. Ia menyangka anak buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang tersembunyi.
"Rupanya aku perlu unjuk diri biar orang itu tahu siapa aku!" gumam Kombang Hitam.
Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat. Ia memusatkan tenaganya di tangan kiri itu. Tangan yang menggenggam itu ditekuk naik sampai di batas dada. Lalu, dengan kaki sedikit merendah tangan itu dihentakkan membuka ke arah depan.
Huup...! Dueerr...!
Sebuah ledakan terjadi. Tangan itu mengeluarkan cahaya biru kehijauan. Cahaya tersebut meluncur cepat dan menghantam sebuah pohon besar. Pohon tersebut meledak, akarnya terangkat naik. Tumbang dalam keadaan hangus. Napas Kombang Hitam pun ditarik panjang. Ditahan dalam dadanya. Kemudian dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang sedikit ternganga.
Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan. Ia sangat ketakutan mendengar suara ledakan begitu kerasnya, ia merasa ngeri melihat pohon sebesar gajah tumbang bersama akar-akarnya. Kakinya gemetaran bagai tak mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya masih mencuri pandang ke arah Kombang Hitam, karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang berwajah sangar itu.
Dueer...! Dueer...!
Dua pohon besar berjarak jauh kembali tumbang oleh sentakan tenaga dalam Kombang Hitam. Matanya tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena hal itu ia lakukan dengan harapan orang yang bersembunyi segera menampakkan diri. Tetapi yang ada hanya sepi tanpa bunyi. Bau hangus tercium. Itulah bau pohon yang terbakar karena sinar biru kehijauan dari telapak tangan Kombang Hitam.
"Keluar kau, pengecut!" bentak Kombang Hitam.
Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekati Kombang Hitam dengan penuh perasaan takut. Memelas wajahnya.
"Hei, kenapa kau mendekat? Kenapa berdiri dari jongkokmu?"
"Bukankah kau menyuruhku keluar?"
"Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari persembunyiannya!" Suto tersenyum sinis bernada mengejek. "Tetaplah di tempatmu! Kau akan kubunuh setelah penyerang gelap itu kubereskan!"
"Coba saja!" jawab Suto dengan makin menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan berjongkok sambil siap-siap memegangi kedua telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya.
"Anak bodoh!" geram Kombang Hitam lagi sambil mendengus kesal. "Belum-belum sudah tutup telinga!"
Rupanya Kombang Hitam sengaja membiarkan suasana hening beberapa jurus. Ia menunggu kemunculan penyerang tersembunyi. Ia memandangi kudanya yang sekarat. Mati tidak, namun tak punya kemampuan untuk berdiri lagi. Semakin jengkel hati Kombang Hitam jika melihat keadaan kudanya yang menderita.
"Tak seberapa tinggi sebenarnya ilmu orang yang bersembunyi itu," pikirnya. "Sayang aku tidak bisa mengetahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun segera memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang geIapnya itu ada di atas pohon. Ternyata tidak ada apa-apa di sana. Penasaran sekali hati Kombang Hitam jadinya.
Setelah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman, maka Kombang Hitam pun segera mendekati Suto. Pandangan matanya penuh selera untuk membunuh sisa keturunan Ronggo Wiseso itu. Suto menjadi sedikit ngeri, memandang dengan penuh perasaan was was. Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit.
Wusss...!
Angin berhembus begitu cepatnya. Kombang Hitam terkesiap sebentar. Pandangan matanya terarah ke kanan bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja melintas di depannya. Ketika pandangan matanya kembali ke arah Suto, mata itu pun terbelalak lebar. Napasnya bagai tersentak berhenti. Bocah telanjang dada itu sudah tidak ada. Lenyap. Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh kemarahan. Matanya menjadi liar memandang sekeliling.
"Babi buntung! Siapa yang berani mengganggu sasaranku itu!" geramnya dengan langkah mundur berkeliling, matanya mencari-cari seseorang yang diduganya telah melenyapkan Suto. Sikapnya telah menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis apa pun. Tangan keduanya selalu mengencang walau tidak mengepak kuat. Urat-uratnya menegang. Setiap langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah dirobohkan sewaktu-waktu.
"Hi, hi, hi...!"
Terdengar suara tawa mengikik bagai suara peri. Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka segeralah kepala Kombang Hitam mendongak ke atas.
"Jabang bayi...!" gumamnya penuh geram. Ia menatap tak berkedip. Ia tak menyangka di atas sana ada seorang perempuan berambut panjang terurai. Wajahnya cantik dengan potongan tubuh yang membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu muda. Ia menggendong Suto yang rupanya dalam keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan darahnya.
Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita selesaikan apa kemauanmu!"
"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"
Kombang Hitam mundur dua langkah ketika perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.
Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik daun yang tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya, tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum, namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut dan bagian tubuh lainnya.
Jlig...!
Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak lari pergi.
"Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari si rakus, Begal Utara itu!"
Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa seperti dirinya sedang terbang sekejap.
Sementara itu, dalam hati perempuan berjubah ungu berkata, "Ada yang telah melepaskan totokanku pada Suto. Hmm... siapa orangnya? Apakah Kombang Hitam itu yang melepaskan totokanku dari jarak jauh? Kurasa tak mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti nanti akan muncul!"
Mata Kombang Hitam tidak bisa berkedip melihat kecantikan terpapar di depannya. Kemarahannya tertunda sejenak. Hatinya berdebar-debar indah. Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum. Tetapi, Kombang Hitam tetap waspada. Ia tahu perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan. Dari gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa merasakan hembusan tenaga dari dalam gerakan tersebut. Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan bukti, dan membuat Kombang Hitam sempat memuji dalam hati.
"Kenapa kau terbengong saja, Kombang Hitam?"
"Kau tahu namaku, rupanya?"
"Aku lebih tahu namamu daripada rupamu. Kau Ketua Begal Utara yang lebih banyak memperkosa daripada mengeruk harta. Benar, bukan?" perempuan itu tersenyum. Cantiknya bukan main.
Kombang Hitam kian berdebar-debar. Biasanya, ia tidak bisa diam jika melihat perempuan mulus sedikit. Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan, Kombang Hitam dan anak buahnya langsung menjadikan perempuan itu sebagai sarana pesta cinta. Tapi agaknya kali ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah, tidak berani bertindak sembarangan. Bahkan tiap langkah nya pun diperhitungkan.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?"
"Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"
"Tepat sekali. Baru sekarang kita bertemu. Jadi, sebutkan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai ubun-ubun lagi."
Perempuan itu tertawa sinis, "Jangan coba-coba mengancamku, Kombang Hitam. Riwayatmu akan segera habis kalau tidak lekas-lekas meminta maaf padaku."
"Mungkin harus kugunakan permintaan maaf dengan ciuman atau pelukan mesra. He he he...!" Kemudian kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit. Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan itu bergerak pelan dengan urat-urat mengencang, bertonjolan dari lengan sampai ke jari-jarinya.
"Aku jadi penasaran mendengar nyalimu sebesar gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya sebesar upil!"
Perempuan itu tetap diam dengan kaki sedikit merenggang tegak. Dagunya sedikit terangkat menampakkan keangkuhannya. Matanya bergerak mengikuti langkah kaki Kombang Hitam yang mencari kesempatan baik untuk menyerang. Makin lama gerakan kakinya semakin dekat dengan perempuan itu. Sampai satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh, dan dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.
"Hiaaat...!"
Tap...! Tuk...!
Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya menyentil mata kaki Kombang Hitam. Seketika itu Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak keras.
"Waddoow...!"
Brukkk!
Tubuh Kombang Hitam berguling-guling di tanah. Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor banteng, juga kakinya seperti dihantam dengan batang kayu yang amat keras. Sakitnya bukan main. Tetapi Kombang Hitam segera menarik napas untuk mengurangi rasa sakitnya. Kalau bukan Kombang Hitam, pasti mata kaki itu sudah pecah. Setidaknya akan memar membiru, atau bengkak.
"Boleh juga mainanmu!" geram Kombang Hitam masih penasaran. Ia bersiap menyerang kembali. Kali ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki terlipat ke depan, mirip seekor rajawali hendak menerjang lawannya. Perempuan itu masih diam tak bergerak. Namun ketika Kombang Hitam melancarkan pukulan jarak jauhnya yang tingkat menengah, tiba-tiba tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang dan membentur batang pohon besar.
Bukkk...!
"Hegghh...!" Matanya mendelik, mulutnya ternganga. Untung saja pedangnya tidak patah akibat benturan kuat itu.
Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak. Itu pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak. Untung saja Kombang Hitam mempunyai kekuatan yang cukup besar, sehingga tubuhnya tidak lecet dan tulangnya tidak ada yang patah.
"Edan! Tenaga dalamku dikembalikan begitu saja tanpa ada gerakan sedikit pun?!" pikir Kombang Hitam dengan terheran-heran.
Rupanya ia masih penasaran. Ia segera bangkit dan menggeram. Kini sekujur tubuhnya mengeras, hingga semua otot tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas lagi. Tangannya mengembang dengan kedua telapak tangan mengeraskan jemari, bagai cakar garuda yang kokoh. Wajah bengisnya pun semakin terlihat jelas. Amat menyeramkan bagi orang lain.
"Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'ku ini, Jahanam! Hiaaat...!" Kedua telapak tangan dengan jari-jari yang mengeras itu mulai mengepulkan asap. Ujung-ujung jarinya membara bagaikan besi terpanggang api. Jelas akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh jemari 'Cakar Kumbang Mesra' itu. Kombang Hitam menggerakkan tangannya dengan cepat dan kuat. Dihantamkan dulu pada batang pohon besar.
Crak, crak, crak...!
Di balik pohon tempatnya bersembunyi, Suto membelalakkan mata melihat pohon yang terkena cakaran Kombang Hitam itu hangus di beberapa tempat. Membekas hitam dan masih mengepulkan asap. Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya berkata, "Hebat sekali ilmunya. Tapi suatu saat aku harus bisa menandingi ilmu seperti itu!"
Kombang Hitam menggeram, matanya tertuju pada perempuan tersebut. Lalu katanya, "Lihat pohon itu! Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika sampai terkena 'Cakar Kumbang Mesra'ku ini, hah?!"
Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu menjawab, "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar Bebek'. Karena pohon itu tidak mengalami perubahan apa-apa."
Fuih...! Perempuan itu meniupkan napasnya dengan pelan. Tapi membuat rambut Kombang Hitam tersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang. Ia segera menatap ke arah pohon yang tadi habis dicakarnya tiga kali itu. Dan matanya menjadi terbelalak kaget, karena bekas hitam yang mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak ada. Lenyap sama sekali. Tanpa bekas sedikit pun. Keadaan pohon menjadi utuh seperti sediakala.
Terperanjat lagi Kombang Hitam begitu mengetahui ujung-ujung jarinya yang tadi merah membara itu sekarang dalam keadaan padam. Bahkan mengandung bintik-bintik putih seperti busa. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata busa-busa salju.
"Gila!" sentak hati Kombang Hitam. "Dia bisa memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin membeku. Setan mana perempuan ini sebenarnya?"
Kombang Hitam masih membelalakkan mata dengan rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan jemarinya ke baju sambil memandang tajam pada perempuan berjubah ungu itu. Hati Kombang Hitam kembali berkata-kata.
"Kalau kulanjutkan, matilah aku! Perempuan ini ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku. Pedangku pun tak akan mampu melawan!"
Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar hatinya. Dan ia pun bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya?!"
"Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan Bidadari Jalang?"
Terperanjat wajah Kombang Hitam seketika itu. Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas. "Bidadari Jalang...?!"
"Itulah aku!" jawab perempuan berjubah ungu. Tegas dalam senyum yang angkuh.
Wajah keras dan bengis itu menjadi lunak. Mulai ada keraguan di wajah itu. Kombang Hitam mundur satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu adalah Bidadari Jalang. Nama itu sangat dikenal di rimba persilatan. Bukan hanya dikenal banyak orang, melainkan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti oleh beberapa kalangan persilatan.
"Pantas tenaga dalamnya begitu hebat, dan sentilan jarinya seberat itu," pikir Kombang Hitam saat itu, lalu pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai Muara Tungkai. Ia hanya mendengar kisah itu, di mana Bidadari Jalang mengalahkan pendekar-pendekar dari dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan tanah Jawa. Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal sakti dan berilmu tinggi-tinggi. Jika tiga pendekar Tibet saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi dirinya sendiri?
Berpikir juga Kombang Hitam ingin menghadapi Bidadari Jalang. Dia tahu, perempuan itu dikenal pula sebagai bidadari yang bisa kejam, bisa romantis. Dan kalau kekejamannya tiba, tak pernah mengenal kata ampun dan hidup. Pasti lawannya dibuat hancur tanpa bisa dimakamkan jenazahnya.
"Kau sudah menjadi patung, Kombang Hitam?" sindir Bidadari Jalang.
Kombang Hitam segera melepaskan diri dari renungannya. "Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku tidak punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik urusan pribadiku?"
"Bukankah kau ingin membunuh anak ini?"
"Ya. Karena dia keturunan Ronggo Wiseso. Aku punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan harus membunuh anak itu!"
"Itu berarti kau punya urusan denganku."
"Mengapa begitu, Bidadari Jalang?"
"Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup," jawabnya dengan kalem. Senyum pun kembali mekar, manis namun angkuh.
Bingung juga Ketua Begal Utara itu. Untuk merebut Suto jelas sesuatu yang tak mungkin. Bisa-bisa nyawanya melayang tanpa arah yang pasti. Untuk membujuk Bidadari Jalang, agak sulit juga menurutnya. Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.
"Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari Jalang?"
"Aku ada di pihakku sendiri."
"Lalu, mengapa kau menghendaki anak itu tetap hidup?"
"Itu urusanku. Apakah kau ingin merebutnya dari tanganku?"
Kombang Hitam menarik napas. Tampak gelisah, ia pun berkata, "Jangan sampai kita saling bermusuhan, Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah satu pengagum kehebatanmu. Tak mungkin aku melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba persilatan ini. Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku meminta kepadamu agar Suto kau serahkan padaku. Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso."
"Aku keberatan," jawabnya bernada ketus.
"Kuharap kau tidak berkata demikian, Bidadari Jalang."
"Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa pun. Lupakanlah tentang anak ini. Anggap saja ia tidak lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"
"Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh anak itu."
"Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?" tantang si cantik bermata indah itu.
Hal itu membuat Kombang Hitam menjadi semakin lesu. Wajah bengisnya benar-benar surut bagaikan pelita kekurangan minyak. Sinar matanya yang semula berapi-api penuh nafsu membunuh, sekarang justru penuh ungkapan mengiba, mohon dibelas kasihani. Tetapi agaknya Bidadari Jalang tetap pada pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada Kombang Hitam.
"Kurasa aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di sini," kata Bidadari Jalang.
"Tunggu sebentar," sergah Kombang Hitam ketika Bidadari Jalang mau pergi membawa Suto.
Ia buru-buru berbalik dan memandang dengan sorot mata yang tajam. "Mau apa lagi kau? Haruskah aku menghancurkan tubuhmu yang seperti badak itu?!"
"Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku, tapi...."
"Aku tidak punya waktu lagi." Bidadari Jalang berkata kepada Suto yang sejak tadi berada di balik pohon, bersembunyi. "Bocah bagus, kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari, kemarilah...."
Tiba-tiba tubuh Suto terangkat naik. Melayang-layang di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah. Bidadari Jalang terperanjat, demikian pula Kombang Hitam. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Suto mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu sempurnanya, sehingga bisa melayang terbang menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang Hitam.
"Edan! Rupanya bocah itu punya ilmu juga?!" gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.
"Hiaaat...!" Bidadari Jalang melompat dan bersalto di udara dua kali, lalu rambutnya berkelebat mengikat ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu tertarik ke tubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu. Kakinya kembali memijak tanah dalam keadaan memeluk Suto. Sementara itu, wajah Suto sendiri tampak terperangah dan terheran-heran dengan apa yang terjadi saat itu.
Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya tiba-tiba tubuh Suto meluncur naik, licin bagaikan belut dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto tiga kali putaran.
"Woaaaw...!" teriak Suto kebingungan karena merasa terbang tak tentu arah.
Tappp...!
Tubuh bocah itu jatuh dalam pelukan lelaki tua. Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat tubuh Suto melayang lepas dari pelukan Bidadari Jalang. Sekarang keheranannya kembali bertambah begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih dengan jubah kuning. Mata Kombang Hitam kian terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat kayu hitam itu.
"Si Gila Tuak...?!" sebut Kombang Hitam tak sadar.
Kakek itu tersenyum tawar. Kombang Hitam melangkah mundur lagi. Buat Kombang Hitam, kemunculan si Gila Tuak memang menggetarkan hati, sebab ia tahu siapa Gila Tuak. Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri di rimba persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri pertarungan Gila Tuak dan Penguasa Tanah Neraka yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa.
Pada waktu itu, Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba persilatan di separo tanah Jawa sebelah timur. Tapi tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di ujung tongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa Nyawa itu adalah Ketua Rampok Wetan, di mana dulu Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.
Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti Kombang Hitam. Bidadari Jalang hanya tersenyum sinis dan berkata, "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan kali ini kau mencampuri urusanku lagi."
"Nyai Nawang Tresni," panggil si Gila Tuak menyebut nama asli Bidadari Jalang, "Jangan sangka hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun membutuhkannya."
"O, begitu?" kata Nyai Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, ia cukup tenang dan kalem.
Kombang Hitam semakin was was. Ketika si Gila Tuak berkata, "Rupanya kau punya murid baru, ya?" sambil melirik Kombang Hitam, lelaki yang dilirik itu menjadi semakin berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.
"Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku. Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku mohon diri dari hadapan kalian!"
Tanpa mengulang kata-katanya lagi, Kombang Hitam segera kabur. Melompat ke semak belukar menghilang dengan kecepatan tinggi. Agaknya Kumbang Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi. Bertemu dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan liang kubur. Kombang Hitam lebih memilih mengalah, membiarkan bocah ingusan itu menjadi bahan rebutan mereka.
Tetapi dalam hati Kombang Hitam sempat bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang banyak ditakuti lawan itu memperebutkan keturunan Ronggo Wiseso? Apa kehebatan Suto sehingga diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu? Dan jika terjadi pertarungan antara Bidadari Jalang dengan si Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi itu, atau sebaliknya?
* * *
LIMA
BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila Tuak.
"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."
"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan orang lain."
Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"
"Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini, Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan. Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan tenang."
"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.
Jluuk...! Wuuss...!
Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk digendongan seorang ibu. Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang diperkuat.
"Setan betina!" umpat Gila Tuak.
Baru saja Gila Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu. Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh yang menggendong Suto itu sudah berada di atas sebuah pohon berdahan kekar.
"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan matanya setelah menyadari berada di sebuah ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu menjadi kecil.
"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak. Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin. Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah tujuannya.
Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari Jalang. Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon lainnya ikut runtuh daunnya.
"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri girang. Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana. Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam membawanya lari membuat Suto bagai melayang dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah berada di pohon ketiga.
Begitulah seterusnya, dan hal itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat bawah. Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar. Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat. JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.
Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus membujuk Suto. Sebab dalam pelariannya tadi, Bidadari Jalang telah berusaha menotok jalan darah Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga tidak berisik suaranya. Namun, anak itu justru menjerit makin keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang.
Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan Bidadari Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah melepaskan totokan pada diri Suto. Kini justru Gila Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal totokan siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang perlu membujuk Suto.
Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu sebelahnya telah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan kanan dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak membuat hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ketimbang dirinya.
"Hebat juga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!"
"Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"
"Kalau kau mampu, lakukanlah!" tantang perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh senyuman birahi Bidadari Jalang.
Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk mengalahkan lawannya. Biasanya, senyuman itu mampu membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran kepadanya. Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya karena merasa dibuat nikmat dengan memandang senyuman iblis itu.
Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia telah menutup jiwanya sehingga tidak pernah punya rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.
"Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu terhadapnya?"
"Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi. Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang pria. Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah inilah satu-satunya jalan untuk membuat kekuatanku pulih kembali dan racun menjadi tawar."
"Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sentak Gila Tuak.
"Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya termasuk guru cinta. Hi hi hi...."
"Guru sesat!" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau racuni masa depan anak itu dengan persoalan cinta birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu-ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, entah di tangan siapa saja!"
"Hi hi hi... kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak sepeot kamu. Hi hi hi..."
"Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan umurku!"
"Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila Tuak?"
"Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu. Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing-masing. Persoalan kita adalah Suto!"
"Rebutlah kalau kau merasa mampu!"
"Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.
Namun, begitu melihat tubuh Gila Tuak melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke kanan. Sodokan tongkat itu membentur batu yang semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu itu pun segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan dihantam palu godam yang sangat besar.
Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak dalam keadaan kurang kekuatan. Siapa tahu si Gila Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba persilatan selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus dan ilmu barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan Bidadari Jalang yang tersisa itu.
Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau melepaskan Bidadari Jalang begitu saja. Ia pun segera mengejarnya. Mereka menuruni bukit dengan kecepatan tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari secepat itu, membuat jejak tersendiri bagi Gila Tuak.
"Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!" teriak Gila Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya. Matanya menyipit memandang kilasan angin merah yang berkelebat di depannya. Serta-merta tongkatnya dilemparkan dengan tangan kiri. Sekalipun memakai tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak panah yang tak dapat dilihat mata telanjang. Dan tiba-tiba terdengar suara orang memekik.
"Aaahg...!"
Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu. Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu menjerit ketakutan.
"Waaaooow...!"
Wusssh...! Taaap...!
Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas lega.
Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah. Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk bertengger burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang mampu berdiri di sana. Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.
"Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang. Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit naik.
"Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng, Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah karena pusing dan mual perutnya.
Gila Tuak berteriak pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala Suto. "Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara kau bawa lari sana-sini!"
"Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'ku ini. Hiaat...!"
Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang. Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah.
Wusss...!
Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger. Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah dibawa terjun begitu cepat.
"Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek. Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali.
Gila Tuak iba melihat anak itu. Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan Suto. Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap garuda. Rambutnya pun meriap terbang dengan membentuk keindahan tersendiri. Maka, mau tak mau Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan saja kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak marah terkena muntahanmu, Suto!"
"Sabawana!" teriak Bidadari Jalang. "Kemana pun kau lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur hidupmu! Jahanam kau!"
Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati puncaknya. Sebab, biasanya jika perempuan itu marah sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila Tuak, yaitu Ki Sabawana.
Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan keras sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan menjadi kalang kabut. Burung beterbangan sambil mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu menjadi panik dan salah tingkah.
Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu akan mengalir darah segar. Gendang telinga akan pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang.
Sementara itu, Gila Tuak tidak perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga, melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan Peri' tersebut.
Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus mengejar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka tiba di pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut itu mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega, karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.
Gila Tuak ingin segera membawa Suto menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus terhenti. Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi sambil merengek.
"Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."
Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan. Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan sentakan suara kemarahannya.
"Mau lari ke mana kau, Sabawana!" Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya sebentar sambil dalam posisi setengah jongkok, karena harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah tanpa cairan lagi itu.
"Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?! Perhatikanlah gambar pada layarnya."
Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga melingkar di tengahnya. "Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah mengenali simbul pada layar perahu tersebut.
"Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau tak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus menyelamatkannya dan menyembunyikannya."
"Tidak bisa!" sentak Bidadari Jalang.
"Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nanti kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni. Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!"
Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa? Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul, apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?!
* * *
ENAM
SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu, ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai, hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya. Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa, yang pada waktu itu belum menjadi tandingan Bidadari Jalang.
Lelaki berhidung mancung dengan mata indah memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.
Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering terbayang dan mengganggu batinnya.
Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya ia bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda juga birahinya. Padahal setiap birahinya muncul, maka kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris habis. Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.
Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah seberang. Mampukah ia menahan serangan luar dalam dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja Bidadari Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa, apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari ketampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan itu?
Agaknya kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran. "Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu, Bidadari Jalang!"
"Hmm..." Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir aku gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban kemarahan Nagadipa."
"Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"
"Dia akan menyangka Suto adalah anakku."
"He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin dia menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."
Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar, tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang, "Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah, selamat bertarung. Tunjukkan kehebatanmu di depanku jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak ini menjadi muridku."
Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari Jalang tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang.
Tetapi sebentar kemudian, wuuss... Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia lupa membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi, Suto buru-buru berkata, "Jangan ajak aku terbang, Kek. Aku sudah sangat puyeng."
"He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak..," karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu, akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu kedatangan lawannya.
Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu. Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap kakinya di buritan perahu.
Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.
Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya, semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat.
Bidadari Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh, tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air, di bawah perahunya itu?
"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang. Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul serangan dari bawah sana. "Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari Jalang. "Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan. Kalem.
Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan semakin mempesona dipandang mata.
"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya. Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu. Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun Birain akan segera bekerja kembali merongrong kekuatannya.
"Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkata begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi, Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di belakang Bidadari Jalang.
Perempuan itu manggut-manggut sambil memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja. Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.
"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?" ketusnya.
"Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari Jalang."
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi. "Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun yang lalu, bukan?"
"Benar."
"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku sudah siap."
Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang. Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati bagian pantai yang basah.
Nagadipa memandang ke arah cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku membunuhmu sebelum puas aku mengagumi kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai. Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi, aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu demi membalas dendam kematian guruku, atau membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"
"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu, Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu semakin mengguncangkan hatinya, semakin menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya sendiri.
Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin mendayu-dayukan rayuannya. "Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja. Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu, menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung karang...."
"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan mata mendelik.
"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"
Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari Jalang dengan penuh kelembutan. Senyumnya mekar tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem, sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.
"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu, Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi wajahmu dengan penuh kelembutan."
"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan, Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.
"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak muncul kapan saja dan di mana saja."
Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap. Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu. "Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku. Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak hatiku menerima tatapan matamu yang begitu menggoda hati..."
Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena napasnya tertahan berat.
"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku... aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk.
Bidadari Jalang kian gusar hatinya. Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke kiri.
Duubb...! Wuuug...! Kraaak...!
Gundukan batu karang yang berjarak lima belas tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang beradu itu.
Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu, Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan sorot pandangan matanya yang lembut. la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"
"Diam!" bentaknya.
Nagadipa bahkan tertawa dalam gumam. "Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya? Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan rayuanku? Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari Jalang?"
"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!" Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya, mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang menyebar, menghantam tubuh Nagadipa.
Wuusss...!
Nagadipa menahan dengan kedua tangan disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam posisi siap menerima serangan lagi.
Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam. Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa, melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah itu. Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki bidadari Jalang segera menendangnya dengan tendangan miring.
"Hiattt...!"
Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan dihentakkan ke samping.
Kaki Bidadari Jalang bagai dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.
"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari kitab peninggalan gurumu itu!"
"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."
"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa. Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.
Prasss...!
Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir-desir mendengar rayuan Nagadipa. Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak sambil bersuara.
"Huugh...!" Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam hatinya.
"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."
Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum. Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental. Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak ada orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.
Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan balasan dari Nagadipa. Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan kedua tangannya ke kanan-kiri.
Perlahan-lahan disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan ke depan, ke arah Bidadari Jalang. Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke dada Bidadari Jalang.
Tetapi dengan cekatan Bidadari Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng kain jubah ungu.
Traap...! Traas...! Traas...!
Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum. Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.
"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"
Wuung...! Blaamm...!
Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh Bidadari Jalang itu, makin lama menjadi semakin besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut. Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada, sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung, dan telinganya mengeluarkan darah.
Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati Bidadari Jalang sambil ia berteriak. "Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru, Hiaaat...!"
* * *
TUJUH
NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.
Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya. Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.
"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram. "Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"
"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari Jalang tak mau kalah sesumbar.
Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut makanan, hanya menuntut pulang.
"Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"
"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah mu?"
Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi. Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian Kombang Hitam. Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada suara memelas.
"Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."
"Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan kepadamu, Suto."
"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"
"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela kebenaran."
"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi berjubah ungu itu, ya?"
"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."
"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama aku bisa sinting lagi!"
Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto di-usap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar bergelar Pendekar Cepat Muntah."
Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata, "Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu Suto Sinting."
Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.
Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa, Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena pukulan."
"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada dan tidak melatih gerakan lincah."
"Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"
"O, iya! Malah kamu bisa menyerang."
Anak itu tersenyum bangga membayangkan kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa kusampaikan karena Bibi itu sibuk."
"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali, Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."
"Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani, ya Kek?"
"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga harus lebih berani daripada Bibi Nawang."
"Nawang itu apa namanya, Kek"
"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari Jalang."
"Jalang itu apa, Kek?"
Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."
"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang bidadari dari kayangan?"
"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip kecantikan bidadari."
"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi mempunyai guru yang sama?"
"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing-masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya sendiri."
"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya ilmu tinggi!"
"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah hilang akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil memandangi pertarungan tersebut.
Suto sendiri juga membisu sambil termenung memandang kesana. Namun tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila Tuak menjadi heran.
"Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.
"Tidak ada apa-apa kok, Kek."
"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"
"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"
"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih kecil sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah besar nanti, ya?"
"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."
"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih dalam tentang perempuan."
Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung yang berupa cairan berbau aneh buat Suto.
Anak itu bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"
"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan kalau tak terlalu banyak."
Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"
"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak tangannya.
"Cuih, cuih...," Suto meludah.
"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya dalam waktu-waktu tertentu."
"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"
"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku, akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak diminum untukmu."
"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi Nawang kok jadi berputar, Kek?"
"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya berputar."
"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"
"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila Tuak menepuk dadanya sendiri.
"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."
"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak dalam tongkatku!"
"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus membawa apa, ya Kek?"
"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah jadi pendekar?"
"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar saja."
"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.
"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat julukan si Singkong Setan!"
"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he he...!"
Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus. Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali terpusat pada pertarungan di sana. Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke sana-sini.
"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar. Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"
Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata, "Birahi itu apa toh, Kek?"
"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.
Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"
"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."
"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"
"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."
"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?" tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-galanya begitu besar.
"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari sudut mana kita memandang."
"Kenapa begitu?"
"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh diri kita baik sadar maupun tak sadar."
Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila Tuak duduk dengan santai.
Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran pukulan tenaga dalam mereka berdua.
Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah dari tempatnya.
Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.
Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan. Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa memuntahkan darah?
Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru, sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa. Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air pada tubuh Nagadipa.
Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya pakaiannya terbakar menjadi padam.
Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya dalam melawan Nagadipa.
"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan kelengahan."
Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih puyeng saja?"
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja. Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."
"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu, Kek?"
"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana dulu."
Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto digandengnya, dan langkah mereka tampak santai sekali.
Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak membantu Bibi?"
"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab, dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita harus sudah siap menanggung akibat buruknya."
Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang. Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak, "Jangan ikut campur urusanku!"
"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang bersamanya ke padepokanku."
Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang Hitam."
Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa. Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi sasaran hawa panas itu.
"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.
Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya di depan Suto, dan hawa panas yang mampu melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi berbalik arah menuju ke pengirimnya. Nagadipa kaget mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis' itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan tersebut menghantam lautan.
Crooos...! Suaranya sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang gempa.
Nagadipa hanya bertanya dalam hati. "Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat, apalagi bisa mengembalikan?"
* * *
DELAPAN
"GILA TUAK, pergilah secepatnya, aku tak butuh penonton!"
Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.
"Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara dengannya...."
Nagadipa baru percaya betul dengan pesan almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan 'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga. Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak, nyalinya jadi ciut. Dan pada waktu Bidadari Jalang berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat menyusuri tepian pantai.
"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil menarik-narik jubahnya Gila Tuak.
Bibir berkumis putih itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya menjadi ketakutan.
"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"
"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai, seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang.
"Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"
Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.
"Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu bantuanmu!"
"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu, kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam tubuhmu!"
Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia menjadi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di tangan Nagadipa.
Menyadari hal itu, Bidadari Jalang bertambah cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila Tuak pun berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."
Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat. Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.
"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut. Ia pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam saja, yang menatap aneh padanya.
Sementara itu, Gila Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam bagaikan patung. Matanya menatap lurus kepada Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.
"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata Bidadari Jalang kepada Suto.
Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan agak ke depan dari Gila Tuak.
"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu, hah?!"
Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila Tuak maupun Bidadari Jalang.
"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"
"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan suara datar.
"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke tempat lain."
"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."
Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit ketus.
"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan main-main denganku, Gila Tuak!"
Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya, "Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."
"Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera bergerak untuk pergi?"
"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.
Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan dari hidung Gila Tuak.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang berkesan tegang di dalam hatinya.
"Seseorang telah menahan inti ragaku."
"Apa...?!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak harus berucap kata dengan keras.
"Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata dengan suara bisik yang amat pelan.
Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun tak bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang memegangi dari dalam tanah.
Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan Gila Tuak. Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser dari tempatnya berpijak.
Gila Tuak akhirnya menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua tangan itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua Gila Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.
"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling, penuh kecurigaan.
"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"
"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat dari tempat ini."
"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan kekuatan ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam yang kupakai tertahan kuat-kuat."
Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak menemukan bayangan sosok siapa pun di sana. Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.
"Haiaai..!"
Buukk...!
"Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena terkena tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan keras.
"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa kau menyerangku, hah?!"
"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."
"Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"
Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat menahan tendangan tadi.
"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata telanjang.
Angin kepergiannya membuat pasir-pasir pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir pasir yang masuk ke mulutnya.
"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan. "Cuih, cuih...!"
Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar semak pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan jubahnya melambai-lambai tertiup angin.
"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.
Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas. Merasa jengkel sekali dengan keadaannya. "Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?" Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas.
Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang bergelayutan di salah satu dahan pohon.
"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat tubuh.
"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang. Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.
"Waoow...!"
Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan ilmu Gila Tuak.
"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku. Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada Bidadari Jalang.
"Baik, baik...! Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel tanahnya."
Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.
"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas. Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil. Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser sedikit pun.
Mereka saling menghempas napas dengan mata beradu pandang. Angin malam masih berhembus mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu. Rembulan di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.
Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang, "Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari Suto ke mana saja."
Belum sempat Bidadari Jalang melangkah mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah menghamburkan kata. "Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian melalui tongkatku ini."
Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena hembusan angin itu berkata-kata sendirian. "Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya. Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya. Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto, tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku untuk menculik si Suto."
"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi. Jangan diam saja!"
"Baiklah...!" Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba di luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat mata si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.
"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan! Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila Tuak.
Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki, "Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau menyerangku, hah?!" Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya. "Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"
Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu hati Bidadari Jalang.
Begg...!
"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh Gila Tuak.
Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.
"Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."
Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak menghantam tangan itu.
Plokk...!
"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan. Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat pukulan tongkat itu. Padahal Gila Tuak menghantamkan tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur jika pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu kali. Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak. Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.
"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"
"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan suara rendah.
"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila Tuak!"
"Itu bukan kekuatannya."
Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah, namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan ia siap menunggu serangan lagi.
Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan, "Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat. Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah mengendalikan bocah itu sebenarnya?"
Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara pelan juga. "Bagaimana kalau kupancing dengan serangan, supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang dipakai oleh Suto."
"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit karena seranganmu."
"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang. Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung dengan Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap siap menyerang atau bertahan.
"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari Jalang.
Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal. Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal begitu. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.
"Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami tahu, kau bukan Suto!"
* * *
SEMBILAN
BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu, Gila Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab ia ingin mengetahui gerakan jurus yang digunakan Suto nanti. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti datang dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila Tuak menggerutu sendiri.
"Sial! Ternyata tidak mudah mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ada-ada saja perintangnya! Bocah sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri. Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan menjadi seorang pendekar tanpa tanding. Karena keberadaannya yang tanpa pusar alias tidak punya udel itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-ototnya pun kuat. Sayang sekali kalau sampai ia jatuh di tangan manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang dari golongan hitam!"
Saat itu, bocah tanpa pusar mengusap-usap dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi sepertinya ia merasa mempunyai jenggot yang sedikit panjang. Gerakan matanya liar dan nakal bersama senyum orang dewasa yang dibawakannya.
Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan pukulan jarak jauhnya yang tidak terlalu berat ukurannya, Suto melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari posisinya yang sedang bergerak turun itu dia menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah Bidadari Jalang.
Wooos...!
Semburan api meluncur dari kedua telapak tangan Suto. Hampir saja semburan itu mengenai rambut Bidadari Jalang. Untung saja perempuan itu segera melompat ke belakang dalam gerakan salto juga.
Gila Tuak terperanjat. Hatinya seketika itu berkata, "Edan! Itu jurus Tapak Bromo?!"
Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari Jalang dari tempatnya berdiri. "Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku, Nawang!"
Mendengar nada suara Gila Tuak yang tegang, firasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang itu, mengatakan bahwa dirinya dalam ancaman yang membahayakan. Agaknya si Gila Tuak benar-benar mempunyai keputusan yang harus dipatuhi. Maka dengan gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus menendang ke samping ke arah kepala Suto, yang saat itu juga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari Jalang berusaha tiba di dekat Gila Tuak. Tendangan samping yang terbang itu meleset pada sasarannya, karena tubuh Suto berhasil merunduk. Pada saat tubuh Bidadari Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri Suto menghentak ke atas, dan tepat mengenai paha Bidadari Jalang.
Plokk...!
"Uuh...!" Bidadari Jalang tidak merasakan sakit, namun merasa kaget dan geli. Ia seperti mendapat godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa. Hatinya jadi berdesir dan deg-degan. "Dia kurang ajar padaku, Gila Tuak!"
"Dia bukan Suto. Aku mengenal jurus 'Tapak Bromo' tadi."
"Dia mau memancing gairahku."
"Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa."
"Hah...?!" Bidadari Jalang terkejut. "Bukankah Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah kau bunuh?"
"Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa itu masih penasaran ingin membalas dendam atas kematian gurunya padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat Tanpa Nyawa adalah Cadaspati. Ia menguasai ilmu 'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa disusupkan ke tubuh seseorang dari jarak jauh, dan orang itu jadi mewakili dirinya. Suto jadi sasaran untuk melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul korban lain."
Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari Jalang membenarkan kata-kata Gila Tuak itu di dalam hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu berkata, "Pantas bocah itu mampu membuatku terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang mengendalikan Suto dari jauh. Tapi di mana ia bersembunyi? Sejak tadi tak kulihat orang bersembunyi di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga bocah tanpa pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan Gila Tuak tidak berani melukai atau membunuh Suto. Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa punya perisai sendiri dalam melakukan penyerangannya kepada Gila Tuak!"
Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada saat ia bertemu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan Cadaspati di lereng Gunung Layon. Pertemuan para tokoh terjadi di lereng gunung itu. Dari partai pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari partai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh Resi Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh Nyai Ganjen Pemikat, dari partai banci keramat diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai perampok diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu didampingi Cadaspati, serta tokoh-tokoh lainnya pun hadir termasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak.
Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan Tiga Pendekar Tibet itulah, Bidadari Jalang bertemu dengan Cadaspati. Bertubuh kurus kering, rambutnya panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya abu-abu, bersenjata cambuk tiga lidah. Gerakannya begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa maklum jika kali ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak segesit belut putih. Tak heran juga jika Suto sebentar-sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang senang mengusap-usap jenggot kelabunya.
Bahkan Bidadari Jalang tidak merasa heran lagi melihat Suto kembali melancarkan pukulan jarak jauhnya ke arah Gila Tuak. Dan pukulan tanpa bentuk, tanpa wujud serta tanpa hawa itu berhasil ditangkis oleh Gila Tuak dengan memutarkan tongkatnya di bagian depan. Pukulan itu terbuang ke samping, menghantam batang pohon kelapa, membuat pohon kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah-buahnya jatuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada yang berguguran ke tanah. Benturan tenaga dalam yang sempurna dengan batang kelapa itu hanya menimbulkan bunyi seperti sarung dikibaskan di udara.
Wuuugh...!
Dengan tanpa menggerakkan kaki, Gila Tuak ganti menghentakkan ujung tongkatnya ke arah gundukan batu karang. Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar merah membara, meluncur menghantam gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam bentuk sinar putih perak dan menghantam tubuh Suto dari belakang.
Wesss...!
"Uhhg...!" Suto tersentak ke depan. Mestinya jatuh tersungkur, namun ia begitu lincah, hingga dapat berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah berhasil berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Jleg...! Kedua kaki bocah itu menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa yang kekar.
"He he he he...," kali ini Suto tertawa. Dan suara tawa yang mengekeh itu semakin membuat Gila Tuak serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu ada lah milik murid terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.
"Pandai juga kau memukulku tanpa harus melukai, Gila Tuak," katanya dengan suara besar sedikit serak. Jelas bukan suara Suto.
"Kalau kau memang masih menyimpan dendam padaku, hadapilah aku tanpa harus menggunakan raga bocah itu."
"Ho ho ho... justru aku menggunakan raga bocah ini supaya aku terlindung dan aku bisa membuatmu hancur berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di tangan bocah tanpa pusar? Ho ho ho ho.... Sekarang saatnya aku membalas dendam atas kematian guruku!"
Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati telah salah duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mati di tangan bocah tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada bocah tanpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senjata apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalahpahaman itulah yang membuat Cadaspati begitu semangatnya membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga Suto.
Tiba-tiba tangan Suto bergerak memutar-mutar keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia seperti bocah kesurupan. Suara geram yang timbul dari mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon.
Pada waktu itu, Gila Tuak menggenggam erat ujung tongkatnya. Ujung tongkat bagian bawah menancap di tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak berpegangan pada kepala tongkat yang merapat di ulu hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata. Hawa dingin mulai terasa meresap sampai ke tulang.
Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang hadir saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan dari gerakan tangan Suto yang memancarkan tenaga dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun segera memusatkan konsentrasinya dengan merapatkan tangan kanannya ke pertengahan dada dalam posisi telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun sedikit memejamkan matanya untuk mengeluarkan hawa panas dari setiap pori-pori tubuhnya.
Angin berhembus kencang pada saat Suto berhenti bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke atas dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan bocah itu bergetar, mulutnya bagai meraungkan lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam udara dingin itu. Angin kencang dan guntur menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan cahaya petirnya menyambar-nyambar.
Anehnya, rembulan tetap ada dan tetap menerangi bumi. Kilatan cahaya petir bagai berjalan mengelilingi bagian atas si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Sepertinya kilatan cahaya petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak, namun ada sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua bangka tersebut.
Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan keduanya ke depan, terdengar seruan dari Suto. "'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"
Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan, dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan, bahkan jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka telapak tangannya di depan dada. Dari telapak tangan Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hijau itu membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum membara.
Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju. Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias cahaya hijau itu begitu kuat menekan gumpalan cahaya membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin membalik ke dirinya. Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai berkeringat. Tangan kanannya yang memancarkan dua bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi merah.
Bidadari Jalang melihat hal itu dengan tegang. Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan memantul balik dengan suaranya yang menggelegar. Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di tengah samudera menuju ke tepian. Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan Suto. Itu pertanda jarum-jarum membara kian terdesak.
"Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam telapak tangan Suto," pikir Bidadari Jalang. "Maka cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga', yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu. Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk menyelamatkan raga Suto itu!"
Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari telapak tangan bocah tanpa baju itu. Semakin mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak. Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan Suto.
Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...!
Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang Suto. Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintik-bintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta. Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera membungkus tubuh Suto tepat pada saat sinar merah dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan sinar hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu hentakan yang cukup kuat.
"Aaakh...!"
Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang, melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak. Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin. Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya menjadi kecil.
Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih menaungi bagian belakang Suto. Anak itu bagai terperangkap jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini. Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya, hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung yang amat transparan.
"Jahanam!" teriak bocah itu. Masih terdengar jelas kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun sepertinya semua kekuatannya teredam oleh kabut aneh tersebut.
"Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku, hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu, Biadab!" Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah, namun tak mampu melangkah keluar dari gumpalan kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto menjadi terang. Suto kelabakan mencari jalan keluar.
Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di tangan kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin jelas mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu menjadi merah sedikit demi sedikit. Merah membara bak serpihan logam panas. Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari panjang. "Hiaaah...!"
Broolll...!
Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah. Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke belakang satu kali, dan segera mendarat di tanah dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak terhempas lega. Ia memandang bekas tempatnya berdiri masih tampak merah membara, sebagian ada yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas tempatnya berdiri.
"Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini, Setan!"
Gila Tuak tersenyum tipis. Memandang jauh ke sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera mendekati Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil kehadiran Cadaspati. Mata Suto memandang tajam pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu untuk membunuh.
"Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian ini," kata Gila Tuak. "Selubung Kematian ini akan membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa tulang lagi. Ini jurus simpanan Bidadari Jalang yang jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terpepet."
"He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh menggunakan mulut Suto. "Kalian tidak mungkin membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat, kalian pasti akan segera membebaskan aku."
Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama. Aku akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu akan menjadi miliknya."
"Gggrrr...!" Cadaspati menggeram antara jengkel dan ketakutan. Matanya membelalak tajam, ingin melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa berbuat itu.
Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan oleng, seperti orang mabuk. Makin lama makin dekat, makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut bibirnya. Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti tubuh orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga mempunyai pukulan jenis 'Pecah Raga', yang bernama 'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Nawang?"
"Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"? Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa menghancur leburkan tubuh Suto?"
"Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan tubuh bocah itu."
"Benar-benar tua rongsok kamu ini!" omel Bidadari Jalang. "Kau memancingku untuk menjadi umpan, ya?"
"Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga Suto. Aku sudah bebas bergerak."
"Biadab!" geram Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"
"He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang harus sedikit dirubah begitu. Karena sebentar lagi kau tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"
"Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang pantas kau berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa pada kedongkolannya.
Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama membuatnya kian terengah-engah.
"Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"
"Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga Suto."
"Tunggu dulu," sergah Suto dengan suara mirip Cadaspati. "Aku mempunyai suatu gagasan yang baik."
"Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.
"Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini. Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah kalian."
"Hmm...," Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu muslihatmu sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa sesajian. Aku dan adik seperguruanku ini tidak punya pilihan lain."
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui keunggulan ilmu kalian," bujuk Cadaspati.
"Terima kasih atas pengakuanmu," kata Gila Tuak. "Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu gugat lagi."
Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu, Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan, Nawang...!"
"Tunggu... jangan dulu... jangan...!" Suto memekik keras-keras. Itu pertanda Cadaspati sangat ketakutan.
Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya, ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat itu. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di dalam mulut, hingga kedua pipinya melembung. Lalu, ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut berbintik-bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah ungunya. Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto.
Brusss...!
"Haaagh...!" kepala Suto terdongak, tubuh pun tegak. Keras seluruh uratnya. Menyeringai wajah bocah itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan agak putih. Cahaya itu melesat terbang, dan dengan hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke atas. Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat yang terbuka tutupnya itu.
Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi, tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu kuat. Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan Gila Tuak segera menutupnya.
Treep...!
Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu terperangkap masuk di dalam tabung tongkat. Kini keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai bocah berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar. Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar. Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama lubang itu menciut. Makin besar makin tertutup kulit dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapan tahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang tali pusar.
"Apakah kau akan mencari tempat persembunyian Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang.
Si Gila Tuak menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus menyelamatkan anak ini dulu ke tempat yang aman."
Suto segera bertanya, "Bibi, apakah aku tadi habis tertidur?" tanyanya kepada Bidadari Jalang.
Perempuan itu hanya mengangguk dengan senyum ceria. "Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."
Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum-senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi rambut hitam yang cukup lebat. "Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding, Suto."
"Pendekar tanpa tanding?" Suto berkerut dahi.
"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau tidak punya tandingannya?"
Gila Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka, Bidadari Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau menjadi pendekar cinta saja?"
"Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil, Nawang!" sentak Gila Tuak.
Tetapi pada saat itu ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi pendekar cinta, Bi. Aku mau...!"
"Hei, kenapa kau mau?!" sentak Gila Tuak lagi.
"Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!" Suto tertawa cekikikan dengan malu.
Bidadari Jalang pun tertawa geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam gerutunya, "Dasar bocah sinting!"
Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto.
Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu? Ikuti kisah selanjutnya serial Pendekar Mabuk dalam judul Pusaka Tuak Setan
SELESAI