PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 113
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 113
Karya Singgih Hadi Mintardja
MAHISA MURTI benar-benar menjadi sangat marah. Apalagi karena orang itu benar-benar berniat membunuh cantrik-cantriknya sebanyak-banyaknya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
“Jika demikian Ki Sanak. Maka kau adalah orang pertama yang akan mati di antara kawan-kawanmu. Karena niatmu yang buruk, serta watakmu yang agaknya tidak akan mungkin dapat diperbaiki lagi, maka aku, pemimpin Padepokan ini harus mengambil langkah yang sebaik-baiknya untuk membantu menghindarkan peristiwa seperti ini terjadi lagi dimana pun juga.”
“Persetan” geram orang itu, “kau tidak usah mengigau”
Mahisa Murti memang tidak berbicara lagi. Ia pun segera mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Ia benar-benar akan bertempur melawan orang bertubuh raksasa itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di antara mereka. Orang bertubuh raksasa itu memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Agaknya orang itu pun sudah menggunakan kemampuan ilmunya yang tertinggi, sehingga sentuhan tangannya-telah mengoyakkan kulit daging para cantrik. Karena itu, maka Mahisa Murti harus sangat berhati-hati. Jari-jari tangan orang itu yang mengembang merapat, jangan sampai menyentuh kulitnya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus mengusahakan agar serangan-serangannya sajalah yang menyentuh orang itu untuk mengetrapkan ilmunya yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan lawannya.
Sejenak kemudian pertempuran telah terjadi dengan sengitnya. Mahisa Murti yang berilmu tinggi itu, mampu bergerak sangat cepat. Ia selalu berusaha untuk mengelak dari serangan-serangan jari-jari lawannya yang dapat menggores tubuh seperti tajamnya sebuah pedang. Namun kecepatan gerak Mahisa Murti ternyata masih memungkinkannya untuk menyentuh tubuh lawannya meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya dan bahkan tidak menyakitinya.
Orang bertubuh raksasa itu mula-mula meyakininya, bahwa ia tidak akan bertempur terlalu lama. Karena itu, maka dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya ia berhasil mendesak Mahisa Murti.
Mahisa Murti memang beberapa kali harus berloncatan surut. Tetapi bukan berarti bahwa Mahisa Murti kehilangan kesempatan untuk melawan lawannya yang bertubuh raksasa itu. Tetapi justru untuk memancing lawannya agar serangan-serangan Mahisa Murti dapat mengenainya.
Bahkan sekali-dua kali Mahisa Murti juga menangkis serangan lawannya meskipun tidak membenturkan kekuatannya. Ia berusaha menebas serangan lawannya menyamping. Namun dengan demikian telah terjadi pula sentuhan-sentuhan di antara mereka.
Dalam pada itu, beberapa orang cantrik yang telah minggir dari arena pertempuran, masih saja ada yang dengan tidak sengaja berdiri termangu-mangu menyaksikan pertempuran itu. Apalagi mereka yang sudah terluka. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi dengan orang yang bertubuh raksasa yang telah membuat beberapa orang kawannya terluka parah.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan bertahan. Sambaran jari-jari orang bertubuh raksasa itu memang sangat berbahaya. Tetapi Mahisa Murti masih mampu mengelakkan diri atau menangkisnya dengan menebas ke samping.
Meskipun demikian, ketika sambaran jari-jari tangan yang merapat itu sempat menyentuh lengannya, maka lengan Mahisa Murti itu pun telah tergores dan terluka. Luka itu bagaikan minyak yang menyiram api kemarahan Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murti pun bergerak lebih cepat lagi untuk berusaha semakin sering menyentuh tubuh lawannya.
Tetapi Mahisa Murti terkejut ketika tiba-tiba saja lawannya itu meloncat surut sambil tertawa. Katanya,
“Ternyata kau memang iblis yang licik. Kau mempergunakan ilmu yang tidak patut dipergunakan dalam pertempuran yang terhormat. Kau bertempur sambil mencuri tenaga dan kemampuan lawanmu. Tetapi jangan menyesal, bahwa aku dapat mengetahui kelicikanmu. Karena itu, maka kau tidak akan lagi dapat mengelabui aku. Sementara meskipun kau berhasil, tetapi tenagaku masih belum seberapa tersusut, sehingga aku masih akan mampu memilin lehermu sampai patah.”
Wajah Mahisa Murti menjadi panas mendengar kata-kata itu. Kemarahannya memang tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika orang bertubuh raksasa itu berteriak, “He Lengkara dan kawan-kawanku. Anak muda pemimpin padepokan ini memiliki ilmu iblis yang mampu menyusut tenaga dan kemampuan lawannya. Berhati-hatilah.”
“Setan” sahut orang yang bertubuh agak gemuk, “ia telah membuat aku menjadi letih.”
Sebenarnyalah orang bertubuh gemuk itu semakin mengalami kesulitan menghadapi para cantrik yang bertempur dalam kelompok kecilnya.
Sementara itu orang bertubuh raksasa itu berteriak lagi, “Tetapi jangan cemas. Sekarang ia berdiri di hadapanku. Ia tidak akan dapat mengganggu kalian lagi, karena orang ini akan segera terbujur menjadi mayat.”
Mahisa Murti menggeretakkan giginya, sementara lawannya itu berkata kepadanya, “Nah, sekarang apa lagi yang akan kau lakukan? Kau sudah tidak memiliki apa-apa lagi, karena kecuranganmu telah aku ketahui.”
Mahisa Murti menggeretakkan giginya. Sementara itu Sambega dan Widigda yang sedang mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi masing-masing dua orang lawan menjadi berdebar-debar pula. Mereka menjadi heran namun bangga bahwa Mahisa Murti memiliki kemampuan yang jarang dimiliki orang lain. Tetapi ternyata lawannya yang bertubuh raksasa itu mampu membacanya.
Meskipun demikian kedua orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sendiri terikat dalam pertempuran yang tidak dapat mereka elakkan. Bahkan mereka justru mulai terdesak karena kemampuan lawan mereka yang sulit untuk dapat diimbangi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti tidak lagi dapat mengekang kemarahannya. Sikap orang bertubuh raksasa itu benar-benar menyakiti hatinya. Apalagi orang itu sudah menciderai beberapa orang cantriknya sehingga terluka parah. Karena itu selagi orang-orang yang sedang bertempur itu dicengkam oleh ketegangan, maka Mahisa Murti telah mengerahkan segenap nalar budinya.
Ia tidak lagi sekedar ingin menghisap tenaga dan kemampuan lawannya Tetapi ia benar-benar ingin membinasakan lawannya yang bertubuh raksasa, yang telah benar-benar bernafsu untuk membunuh para cantriknya sebanyak-banyaknya serta membunuh Mahisa Murti itu sendiri serta telah pula menghina dan menyakiti hatinya.
Karena itu, ketika orang bertubuh raksasa itu berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa berkepanjangan karena ia merasa telah menemukan kelemahan lawannya sehingga akan segera dapat mengakhiri perlawanan anak muda itu, Mahisa Murti telah menghentakkan ilmunya yang lain.
Dengan mengerahkan segenap ilmu yang ada di dalam dirinya, maka Mahisa Murti telah melangkah setengah langkah ke depan. Ketika ia merendah sedikit pada lututnya, maka Mahisa Murti telah menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangannya menghadap ke arah orang bertubuh raksasa itu.
Ternyata sesuatu yang dahsyat telah terjadi. Dari kedua telapak tangan Mahisa Murti seakan-akan telah meluncur cahaya kilat yang menyilaukan. Dengan kecepatan lebih dari sepuluh kali lipat dari kecepatan anak panah yang meluncur dari busurnya, sinar kilat yang menyilaukan itu telah menghantam tubuh lawannya yang sedang tertawa berkepanjangan itu.
Ketika orang itu melihat cahaya yang meletik dari telapak tangan Mahisa Murti, ia memang terkejut. Tetapi segalanya telah terlambat. Ia masih menyadari ketika sinar itu menghantam tubuhnya yang kemudian bagaikan telah meledak. Suara tertawanya yang terputus di sambung oleh teriakan yang mengerikan menggetarkan udara Padepokan Bajra Seta. Tubuh raksasa itu terlempar beberapa langkah. Namun kemudian jatuh terbanting di tanah. Tubuhnya menjadi bagaikan hangus terbakar terkapar tidak bergerak sama sekali.
Mahisa Murti pun kemudian berdiri tegak sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Dipandanginya tubuh yang terkapar di tanah itu. Beberapa orang cantrik pun telah melingkarinya dengan wajah tegang.
Pertempuran di halaman Padepokan Bajra Seta itu pun bagaikan terhenti sesaat. Orang-orang berilmu tinggi yang sedang bertempur itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Tidak seorang pun yang menyangka, bahwa Mahisa Murti yang masih muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Bahkan Sambega dan Widigda pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Di dalam hati mereka merasa bersyukur, bahwa Sambega tidak berselisih dan apalagi bertempur dengan Mahisa Murti saat ia berusaha mengambil Mahisa Amping. Karena mereka menyadari, betapapun tinggi ilmu Sambega, namun ia tidak akan mampu mengimbangi ilmu Mahisa Murti itu.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun berkata, “Sekarang aku tidak akan berusaha mengekang diri lagi. Aku tidak mau direndahkan di Padepokanku sendiri. Padepokan Bajra Seta. Aku tidak mau seseorang bertindak sewenang-wenang terhadap cantrik-cantrik di Padepokan ini, karena akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Karena itu, maka aku peringatkan kepada mereka yang masih hidup untuk menghentikan pertempuran. Jika kalian tidak mau mendengar kata-kataku, maka aku akan mendatangi kalian seorang demi seorang. Kalian akan mengalami nasib yang sama seperti orang itu, Jika saja ia tidak menghina dan merendahkan aku, mungkin ia tidak akan mengalami nasib yang buruk.”
Orang-orang berilmu tinggi yang datang bersama-sama dengan Lengkara itu pun termangu-mangu. Kematian orang bertubuh raksasa itu telah menggoncangkan kesombongan mereka. Jika semula mereka mengira akan dapat menghancurkan penghuni padepokan itu dan kemudian memilikinya, maka kemudian mereka harus berpikir ulang.
Dalam pada itu sekali lagi Mahisa Murti berkata lantang, “Menyerahlah. Kalian tidak akan dapat luput dari tanganku jika kalian masih akan meneruskan perlawanan. Yang akan terjadi kemudian adalah pertempuran yang jujur. Lengkara akan bertempur dengan saudara seperguruannya, Ki Sambega, seorang melawan seorang. Persoalannya adalah persoalan mereka. Siapa yang masih ingin ikut campur akan aku hancurkan sampai hangus seperti orang itu.”
Orang-orang berilmu tinggi itu menjadi gelisah. Mereka tidak akan dapat bersama-sama menghadapi Mahisa Murti karena para cantrik yang jumlahnya cukup banyak itu telah mengepung mereka dan mengikat mereka dalam pertempuran-pertempuran. Meskipun mereka akan mampu bertahan menghadapi para cantrik itu dan bahkan jika mereka mendapat waktu yang cukup, maka mereka akan dapat menghancurkan para cantrik itu, namun jika Mahisa Murti mendatangi mereka seorang demi seorang, maka mereka benar-benar akan dapat ditumpas habis.
Karena orang-orang itu masih ragu-ragu, maka Mahisa Murti pun mengulangi, “Masih aku beri kesempatan terakhir. Minggirlah. Beri kesempatan Lengkara dan Sambega berperang tanding karena persoalannya menyangkut mereka berdua secara pribadi. Yang lain sebaiknya tidak ikut campur, atau akan berhadapan dengan aku.”
Orang-orang yang datang bersama Lengkara itu ternyata tidak mau menghadapi kemungkinan terburuk seperti yang terjadi atas kawan mereka yang bertubuh raksasa itu. Apalagi dua orang yang sempat disusut tenaga dan kemampuannya oleh Mahisa Murti. Mereka memang telah menyadari, bahwa mereka akan jatuh ke tangan para cantrik dan bahkan mungkin mengalami nasib yang sangat buruk.
Karena itu, orang yang agak gemuk itulah yang pertama kali berkata, “ Baiklah. Aku akan menyingkir dari persoalan ini.”
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menyahut, “Aku juga akan menarik diri. Persoalan ini memang bukan persoalanku.”
Lengkara yang menjadi gelisah berteriak, “Pengecut kau. Kita akan menghancurkan Padepokan Bajra Seta.”
Tetapi orang yang berjanggut mulai keputih-putihan menjawab, “Lengkara. Maafkan kami. Kami tidak mau menjadi korban karena kemarahanmu yang tidak terkendali itu."
“Kita sudah bertekad untuk melakukannya” teriak Lengkara.
“Aku tidak mau dibakar oleh ilmu anak muda yang dahsyat itu” berkata yang lain, “barangkali aku masih sanggup menghadapi ilmu yang lain. Tetapi jangan ilmu seperti itu. Atau jangan pula ilmu yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan seseorang.”
Yang berbicara kemudian adalah Widigda, “Aku sangat menghargai pendapat angger Mahisa Murti. Persoalan antara Lengkara dan Sambega, biarlah mereka selesaikan sendiri. Persoalan itu adalah persoalan yang sangat pribadi.”
Wajah Lengkara menjadi sangat tegang. Tetapi kawan-kawannya agaknya benar-benar tidak lagi bersedia turun ke arena pertempuran sehingga dengan demikian ia pun akan berdiri sendiri.
Mahisa Murti lah yang kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata, “Nah, kau dapat memilih, Lengkara. Kau lakukan perang tanding dengan jujur itu, atau kau akan bertempur melawan aku, karena aku tidak mau kau berlaku curang di sini.”
Wajah Lengkara menjadi sangat tegang. Dipandanginya sekilas Sambega yang berdiri tegak. Matanya memancarkan dendam yang tiada taranya yang bergejolak di dalam jantungnya. Untuk beberapa saat Lengkara termangu-mangu. Ketika ia berniat mencari dan membunuh sampai mati Sambega, maka ia tidak pernah merasakan keragu-raguan sedikit pun. Tetapi kemudian ternyata bahwa ia harus menilai kembali sikapnya itu.
Tetapi agaknya sudah terlambat. Sambega lah yang melangkah maju sambil berkata, “Lengkara. Marilah. Kita akan menyelesaikan persoalan kita dengan jujur. Persoalannya adalah persoalan di antara kau dan aku. Persoalan mi tidak menyangkut kakang Widigda. Lebih-lebih lagi angger Mahisa Murti dan seisi padepokannya ini. Karena itu, maka bersiaplah. Kita akan segera mulai dengan perang tanding yang jujur.”
Wajah Lengkara menjadi semakin tegang. Sementara itu Sambega pun berkata, “Lengkara. Bersiaplah. Aku akan segera mulai. Aku tidak akan memperhitungkan apakah kau sudah bersiap atau belum. Namun karena kau sudah berada di sini, maka kau tentu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.”
Wajah Lengkara bukan saja menjadi semakin tegang. Tetapi wajah itu justru mulai menjadi pucat. Apalagi ketika ia melihat Sambega itu melangkah surut sambil mempersiapkan diri untuk bertempur. Bagaimanapun juga Lengkara tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat menandingi Sambega yang ternyata telah mematangkan ilmu yang sama-sama mereka sadap dari guru yang sama. Karena itu, ketika Sambega siap untuk melontarkan serangan, Lengkara itu berkata terbata-bata, “Nanti dulu kakang. Jangan tergesa-gesa.”
Sambega mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Sejak kapan kau mengaku bahwa aku adalah saudara seperguruanmu yang memiliki tataran yang lebih tua?"
“Bukankah kita dapat berbicara dengan baik? Bukankah kakang tidak akan membawa dendam di hati kakang itu berkepanjangan tanpa ada batas akhirnya?” berkata Lengkara dengan gagap.
“Apa yang sebenarnya kau kehendaki, Lengkara? Kau datang dengan niat yang bulat untuk membunuhku, karena usahamu beberapa waktu yang lalu telah gagal. Sekarang kau bertanya, apakah aku mendendammu tanpa batas akhir? Apa sebenarnya maumu? Siapakah yang datang memburu? Aku atau kau?” bertanya Sambega.
“Tetapi bukankah kita mempunyai nalar budi. Mempunyai mulut untuk berbicara dengan baik?” Lengkara menjadi semakin gelisah.
“Sekarang, bersiaplah” berkata Sambega, “sudah aku katakan apakah kau bersiap atau tidak, aku akan segera mulai.”
“Kakang” potong Lengkara.
Sambega tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian benar-benar telah mempersiapkan dirinya untuk bertempur. Namun tiba-tiba saja Lengkara telah berlutut di hadapannya. Orang yang berwajah garang itu dengan memelas minta belas kasihan saudara seperguruannya, “Kakang, aku mohon ampun.”
“Apakah kau masih berhak minta ampun? Jika kau mampu menghidupkan kembali isteri dan anakku yang kau bunuh tanpa melakukan kesalahan itu, maka kau akan aku ampuni.”
Adalah diluar dugaan. Lengkara yang datang untuk membunuh itu tiba-tiba saja menangis. Sambil menyembah di hadapan Sambega ia minta untuk diampuni. “Waktu itu, aku melakukannya tanpa kesadaran kakang. Iblis telah merasuk di dalam jiwaku, sehingga aku telah melakukan apa yang tidak aku kehendaki.”
“Dan bagaimana perasaanmu ketika kau berangkat mencari aku dengan niat untuk membunuhku?” bertanya Sambega.
“Iblis itu memang belum meninggalkan jiwaku. Nalar budiku telah dicengkamnya sehingga aku tidak mampu melawan bisikannya yang jahat itu.” Lengkara pun menangis dihadapan Sambega.
“Lengkara” berkata Sambega dengan nada berat, “sekarang, jantungku juga sedang dikuasai oleh iblis yang sama dengan iblis yang merasuki jiwamu. Karena itu, maka aku pun tidak mampu melawan bisikannya. Aku ingin membunuhmu.”
“Ampun, kakang. Aku mohon ampun” sambil berlutut dan membungkuk sampai dahinya menyentuh tanah, Lengkara menangis seperti kanak-kanak.
“Pengecut kau” Sambega membentak keras-keras, “bangkit. Kita selesaikan persoalan kita sebagaimana seorang laki-laki menyelesaikan persoalannya. Kau sudah terlanjur membunuh isteri dan anakku. Aku tidak peduli apa yang kau lakukan itu.”
“Kakang, aku mohon ampun kakang. Aku mohon ampun” tangis Lengkara sambil berpegangan kaki Sambega.
Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantung Sambega. Dendamnya sampai menggapai langit. Tetapi ia tidak dapat membunuh seseorang yang tidak siap melawannya dalam pertempuran yang jujur. Ia tidak dapat memukul kepala Lengkara selagi orang itu membungkuk sambil menangis, berpegangan kakinya untuk mohon ampun. Meskipun Sambega sudah siap dengan ilmu puncaknya, namun ia masih menahan diri. Gejolak perasaannya itu justru membuat dadanya menjadi sesak.
Sementara itu Lengkara masih menangis sambil mohon ampun. Ia berpegangan kaki Sambega erat-erat, seakan-akan tidak akan dilepaskannya. Dengan demikian maka Sambega menjadi semakin ragu-ragu. Yang terdengar adalah gemeretak giginya menahan dendam yang membakar dadanya. Tangannya sudah siap menaburkan ilmu puncaknya itu menjadi gemetar. Tetapi ia tidak meremas kepala Lengkara yang seakan-akan telah pasrah.
Sambil menghentakkan tangannya Sambega itu berkata lantang, “Bangkit kau pengecut. Kita akan menyelesaikan persoalan kita. Cepat, atau aku akan meremukkan kepalamu tanpa perlawanan sama sekali.”
“Ampun kakang, ampun” tangis Lengkara.
Sambega masih menggeretakkan giginya sambil menahan diri. Namun ia sama sekali tidak menyangka, bahwa sambil berpura-pura menangis, Lengkara telah mempersiapkan serangan ilmu pamungkasnya. Karena itu, ketika Lengkara menduga bahwa Sambega telah menjadi lengah, tiba-tiba saja Lengkara itu bangkit berdiri dengan cepat. Segala kekuatan dan kemampuan ilmunya telah dipusatkannya pada sisi telapak tangannya.
Sambega terkejut. Tetapi semuanya itu terjadi demikian cepatnya sehingga tidak banyak memberi kesempatan kepada Sambega untuk melawan serangan yang tiba-tiba itu dengan segenap kemampuannya. Dengan demikian, ketika tangan Lengkara itu terayun, maka Sambega telah berusaha mengerahkan ilmunya dengan sangat tergesa-gesa. Sambega hanya dapat sekedar menyilangkan kedua tangannya untuk menyalurkan ilmunya itu membentur kekuatan ilmu Lengkara yang dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.
Benturan itu kemudian telah terjadi. Akibatnya memang sangat mengejutkan. Lengkara yang mendapat kesempatan jauh lebih baik dari saudara seperguruannya sempat mengungkapkan segenap kemampuan ilmunya, sementara Sambega tidak mempunyai kesempatan sebagaimana Lengkara. Untunglah bahwa sejak sebelumnya ia sudah mempersiapkan diri pada tataran ilmu tertingginya, sehingga dengan demikian, maka sisi telapak tangan Lengkara itu masih juga tertahan oleh tangan Sambega yang bersilang.
Namun Sambega itu telah terdorong beberapa langkah surut. Benturan itu bagaikan hentakan yang sangat kuat yang terjadi di dalam dirinya. Benturan ilmu yang tidak seimbang itu seolah-olah telah memental dan memukul bagian dalam dada Sambega.
Semua orang yang menyaksikan serangan itu terkejut. Mereka tidak mengira sama sekali, bahwa demikian liciknya Lengkara sehingga dengan sangat curang ia telah berusaha membunuh saudara seperguruannya itu.
Sebenarnyalah Lengkara memang sudah tidak lagi dapat berpikir bening. Meskipun ia sendiri terdorong selangkah surut, namun keadaannya jauh lebih baik dari Sambega. Dalam keadaan putus asa, maka ia tidak mempunyai pilihan kecuali membunuh Sambega dengan cara apapun juga tanpa memikirkan akibat yang dapat terjadi pada dirinya.
Dalam pada itu, ketika ia melihat Sambega terhuyung-huyung beberapa langkah surut, maka Lengkara telah mempersiapkan dirinya kembali. Dalam sekejap ia pun telah meloncat memburu Sambega untuk mengayunkan serangannya yang kedua. Dengan demikian maka ilmunya akan dapat menghancurkan dahi Sambega yang sudah tidak akan mampu melawannya sama sekali.
Namun Lengkara itu pun terkejut pula. Demikian ia meluncur sambil mengayunkan tangannya untuk menghancurkan dahi Sambega dengan sisi telapak tangannya, maka Lengkara itu pun melihat bayangan lain yang sempat meloncat membentur serangannya.
Dua kekuatan ilmu puncak yang bersumber dari perguruan yang sama telah saling berbenturan. Widigda yang sangat marah melihat sikap dan perbuatan Lengkara telah dengan serta merta melibatkan dirinya. Meskipun agak tergesa-gesa, tetapi Widigda masih sempat menyiapkan ilmunya dengan mapan. Demikian Lengkara meloncat memburu Sambega, maka Widigda telah membentur ilmu adik seperguruannya itu dengan ilmu yang sama.
Ternyata Widigda juga terguncang, sehingga ia pun telah terdorong selangkah surut. Namun akibatnya bagi Lengkara ternyata sangat buruk. Karena ia tidak dapat mempersiapkan ilmunya sebagaimana yang diayunkan menghantam Sambega yang pertama, maka benturan itu telah menentukan segala-galanya. Lengkara masih sempat melihat Widigda yang sudah tidak berdaya.
Lengkara pun sempat merasakan benturan yang terjadi. Demikian dahsyatnya, sehingga seisi dadanya seakan-akan telah meledak sehingga seluruh isi dadanya itu telah menjadi rontok karenanya. Lengkara sempat mengumpat kasar. Namun ketika kemudian tubuhnya terbanting jatuh, maka ia pun segera terdiam. Lengkara hanya sekali menggeliat. Selanjutnya, maka Lengkara itu telah terbunuh oleh saudara seperguruannya sendiri.
Widigda pun kemudian berdiri terengah-engah. Benturan itu telah menyakiti dadanya pula. Nafasnya memang terasa sesak. Namun daya tahannya masih mampu mengatasinya.
Halaman itu sekejap menjadi hening. Bahkan angin pun seakan-akan telah berhenti berhembus. Tiga sosok tubuh terbaring diam di halaman itu. Tubuh raksasa yang bagaikan menjadi hangus. Kemudian tubuh Lengkara yang juga sudah tidak bernafas lagi. Sedangkan tubuh Sambega juga nampak terbaring diam. Tetapi ketika kemudian Mahisa Murti menempelkan telinganya di dadanya, ia masih mendengar detak jantungnya betapapun lambatnya.
Ternyata Widigda masih mampu mengatasi perasaan sakitnya. Ia pun tergesa-gesa mendekati Sambega yang terbaring. “Ia pernah mengalami keadaan serupa. Tetapi waktu itu dengan luka-luka di tubuh dan wajahnya, ternyata ia masih dapat ditolong. Yang Maha Agung masih memperkenankan Sambega menyambung umurnya.” desis Widigda.
“Mudah-mudahan kali ini, Ki Sambega masih dapat diselamatkan pula.” desis Mahisa Murti.
“Aku akan mencoba mengobatinya” berkata Widigda, “namun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Wantilan dan Mahisa Semu telah mempersiapkan para cantrik untuk mengamati kawan-kawan Lengkara yang masih ada di halaman itu, sementara Mahisa Amping menunggui para cantrik yang sedang dirawat.
Namun ternyata bahwa kawan-kawan Lengkara yang datang bersamanya tidak berbuat apa-apa. Mereka benar-benar telah menyerah setelah mereka melihat bagaimana Mahisa Murti menghabisi perlawanan orang bertubuh raksasa itu, sedangkan Lengkara telah dihancurkan oleh saudara seperguruannya sendiri.
Ternyata Widigda masih mempunyai harapan atas Sambega yang terluka parah. Beberapa orang cantrik pun kemudian telah membawanya ke pendapa, sementara Widigda dengan obat-obatan yang dibawanya mencoba untuk mengobati luka-luka Sambega. Bukan saja yang dapat dilihat pada kulit dan dagingnya, tetapi juga luka di bagian dalam tubuhnya.
Mahisa Murti lah yang kemudian berbicara kepada kawan-kawan Lengkara, “Nah, siapakah di antara kalian yang ingin membela Lengkara? Katakan. Serta cara apakah yang dikehendaki. Perang tanding atau cara yang lain?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Orang-orang yang sudah dikumpulkan itu hanya menundukkan kepalanya saja. Gambaran mereka tentang Padepokan Bajra Seta benar-benar telah pecah berserakan. Mereka mengira bahwa Padepokan yang dipimpin oleh seorang yang masih sangat muda itu, tidak lebih dari sekedar nafsu ketamakan anak muda itu saja. Tanpa menimbang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, anak yang masih muda itu telah membuat sebuah padepokan.
Tetapi ternyata bahwa dugaan itu salah. Anak muda itu bukan sekedar seorang yang dibakar oleh gejolak kemudaannya serta landasan ketamakannya yang melambung sampai ke langit. Namun anak muda itu benar-benar seorang anak muda yang memiliki bekal yang sangat mencukupi. Karena itu, maka sembilan orang kawan Lengkara itu pun segera diperlakukan sebagai tawanan yang dijaga sangat ketat oleh para cantrik, karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Sembilan orang itu telah disimpan dalam bilik-bilik terpisah agar mereka tidak dapat saling berbincang yang satu dengan yang lain. Apalagi merencanakan sesuatu yang dapat menggoncangkan ketenangan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Widigda yang merawat saudara seperguruannya, semakin berpengharapan, bahwa Sambega itu dapat sembuh kembali Dalam pada itu, Lengkara dan orang yang bertubuh raksasa itu pun telah dikuburkan pula. Beberapa orang cantrik yang terluka telah mendapat perawatan sebaik-baiknya.
Untunglah, meskipun luka mereka cukup parah, tetapi dengan bantuan Ki Widigda, maka agaknya luka-luka mereka akan dapat diobati.
Di hari-hari berikutnya, Widigda dan Mahisa Murti sempat berbincang dengan sembilan orang kawan Lengkara seorang demi seorang. Pada umumnya mereka memang sering menyalah gunakan kemampuan mereka yang tinggi untuk kepentingan diri mereka. Bahkan kadang-kadang dengan kekerasan mereka merampas milik orang lain.
“Kenapa kalian tidak memanfaatkan kemampuan kalian untuk hal-hal yang baik?” bertanya Widigda.
“Aku tidak pernah mendapat kesempatan” jawab orang yang agak gemuk, yang telah kehilangan sebagian kekuatan dan kemampuannya karena terhisap oleh ilmu Mahisa Murti. Namun yang ternyata kemudian telah pulih kembali.
“Ketika aku mulai berguru” berkata orang itu, “sama sekali tidak terlintas di kepalaku, bahwa pada suatu saat aku akan melakukan perbuatan yang melawan nilai-nilai hubungan antar sesama itu.”
“Jadi bagaimana hal itu kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menunduk dalam-dalam. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Aku tidak mempunyai kesempatan yang lain. Aku tidak mempunyai kecakapan dan ketrampilan berbuat apapun selain berkelahi. Karena itu, maka aku telah terjerumus ke dalam dunia kekerasan seperti ini.”
“Apa yang kau maksud dengan kesempatan itu?” desak Mahisa Murti.
“Di padukuhanku, aku tidak mendapat kepercayaan untuk menjadi bebahu padukuhan apalagi bebahu Kabuyutan. Aku dianggap orang yang tidak mempunyai pengalaman apapun sehingga aku tersisih dari kemungkinan mendapat pekerjaan yang wajar. Sementara itu bagaimana mungkin aku tiba-tiba saja mendapatkan pengalaman jika tidak seorang pun pernah memberikan kesempatan.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak. Seharusnya kau tidak tergantung kepada kesempatan yang diberikan orang lain. Apakah kau tidak mempunyai sawah atau pategalan? Maksudku, apakah orang tuamu tidak mempunyai sehingga kau lebih senang bertualang daripada mengerjakan sawah, ladang dan pekarangan?”
Orang itu menundukkan kepalanya. Katanya dengan nada rendah hampir tidak terdengar, “Aku tidak mempunyai gairah untuk mengerjakan sawah dan ladang.”
“Apakah aku boleh menyebut sifat seseorang sebagaimana kau Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan dahinya, sementara tanpa menunggu jawabnya, Mahisa Murti berkata, “Menurut pendapatku, kau terlalu malas. Kau ingin melakukan pekerjaan yang mudah, cepat dan mendapat hasil yang banyak tanpa menghiraukan kesulitan yang kau timbulkan pada orang lain.”
Orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Dengan modal kemampuanmu dalam olah kanuragan, maka kau dapat berbuat sewenang-wenang. Orang lain tidak mampu mencegahmu, karena kau akan membinasakannya. Tetapi dengan tindakanmu itu, maka kau tidak lagi menjadi bagian dari hidup bebrayan.”
Orang itu menarik nafas panjang. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Aku menyadarinya.”
“Selanjutnya tergantung kepadamu, apakah kau akan berubah atau tidak. Jika kau merubah, maka kau harus merubah menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya. Jika kau benar-benar berbuat demikian, maka hidupmu akan memberikan arti, bukan saja bagimu sendiri. Tetapi juga bagi bebrayan agung. Bagi banyak orang.”
Orang itu mengangguk-angguk kecil. Dari sorot dimatanya, Mahisa Murti dan Widigda memang melihat penyesalan yang dalam. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak. Jika kau bersungguh-sungguh akan berubah, maka kau masih mempunyai kesempatan.”
Orang itu mengangguk lemah. Namun tiba-tiba berkata perlahan-lahan dengan penuh keraguan, “Ki Sanak. Jika diperkenankan, aku ingin tinggal di padepokan ini. Meskipun seandainya aku tidak diterima sebagai cantrik, biarlah aku menjadi juru madaran atau budak sekalipun.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti apakah orang itu benar-benar berubah atau hanya berubah untuk sementara. Jika kehadirannya justru membawa pengaruh yang kurang baik bagi murid-muridnya, maka di antara benih yang ditaburnya di padepokan itu telah tumbuh pula benalu yang ganas.
Mahisa Murti sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu curiga. Namun perubahan yang tiba-tiba akan dapat mengelabuinya karena perubahan itu hanya akan terjadi sementara. Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Bukan maksudku untuk menolak kehadiranmu di Padepokan Bajra Seta. Tetapi kau sendirilah yang kemudian akan terkekang di sini. Karena itu, maaf bahwa untuk sementara aku tidak dapat menerima niatmu yang sebenarnya sangat baik itu. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Tetapi sayang, untuk waktu dekat ini, aku belum dapat menerima. Aku tidak tahu, apakah pada waktu yang lain, aku dapat membuka pintu bagimu.”
Orang bertubuh agak pendek itu menunduk. Ia tahu bahwa ia tidak akan dapat membersihkan namanya dalam sekejap. Itu pun seakan-akan ia terpaksa melakukan karena tidak mempunyai pilihan lain. Dengan nada rendah ia berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku mengerti bahwa untuk mengunjungi perjamuan, aku memang harus mandi dahulu, berbenah diri dan memakai pakaian yang patut. Karena itu, biarlah aku melakukannya. Jika kelak pada suatu saat, aku merasa sudah patut untuk mengunjungi perjamuan, maka aku akan datang kembali.”
“Maaf Ki Sanak. Jangan diartikan sebagai satu penolakan. Tetapi aku tinggal bersama banyak orang di Padepokan Bajra Seta ini, sehingga aku harus memperhitungkan banyak kemungkinan pula.”
Orang yang bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk kecil. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia masih berada dibawah bayangan kesalahan yang dilakukannya karena ia ikut bersama Lengkara menyerang Padepokan itu.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Widigda berbicara dengan orang-orang yang lain, ternyata sebagian besar dari mereka berniat tinggal di Padepokan Bajra Seta. Namun Mahisa Murti terpaksa belum dapat menerima mereka. Tetapi kepada mereka Mahisa Murti berkata,
“Tetapi jika setiap saat kalian datang ke Padepokan Bajra Seta, maka kami akan menyambut kalian dengan sebaik-baiknya. Kalian akan kami terima sebagai sahabat kami yang baik selama kalian tidak melakukan perbuatan yang tercela. Tetapi jika kalian masih melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai kehidupan banyak orang, maka kami, orang-orang Padepokan Bajra Seta adalah musuh-musuh kalian yang utama.”
Orang-orang itu menyadari arti ancaman Mahisa Murti. Mereka pun menyadari bahwa ancaman itu bukan ancaman sekedar menakut-nakuti mereka, karena Mahisa Murti memang seorang yang berilmu sangat tinggi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti memang tidak bermaksud untuk tetap menahan orang-orang itu di padepokannya. Ketika mereka sudah berada di Padepokan Bajra Seta selama sepuluh hari sebagai tawanan, maka di hari berikutnya, Mahisa Murti berniat untuk melepaskan mereka.
Namun Mahisa Murti sempat mempertemukan mereka dengan Sambega yang masih terbaring karena luka-luka di bagian dalam tubuhnya meskipun keadaannya sudah berangsur menjadi baik. Mereka juga dibawa oleh Mahisa Murti menemui para cantrik yang terluka parah. Bahkan seorang di antara para cantrik itu masih belum dapat bangkit dan duduk di pembaringannya karena luka-lukanya yang parah, meskipun agaknya jiwanya akan dapat tertolong.
Orang-orang itu memang menundukkan kepalanya. Mereka seakan-akan dihadapkan pada sebuah cermin untuk melihat cacat-cacat jiwanya yang dapat merugikan dan bahkan mengancam keselamatan orang lain yang tidak bersalah sama sekali. Orang-orang yang tiba-tiba saja dihadapkan pada satu bencana yang mengancam jiwanya.
Kepada orang-orang yang akan dilepaskannya itu Mahisa Murti masih memberikan beberapa pesan. Dengan memperhatikan orang-orang yang terluka itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Nah, kalian harus selalu mengingat, bahwa orang-orang yang terluka itu tidak bersalah. Banyak peristiwa dapat terjadi, bahwa orang yang tidak bersalah dapat menjadi korban karena ketamakan seseorang.”
Orang-orang yang akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta itu mengangguk-angguk. Mereka benar-benar tersentuh oleh pesan Mahisa Murti. Bahkan untuk menekankan pesan-pesannya Mahisa Murti berkata,
“Ki Sanak. Aku dapat berkata dengan nada lunak kepada kalian. Tetapi pada dasarnya aku bukan seorang yang sabar. Jika aku mendengar kalian masih melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesediaan kalian sendiri, maka aku tidak akan segan-segan berbuat sebagaimana sudah aku lakukan.”
Orang-orang itu hanya menunduk saja, sementara Widigda menambahkan, “Aku dan Sambega yang sudah mulai sembuh akan berbuat sebagaimana angger Mahisa Murti. Kami pun tidak akan segan-segan berbuat sesuatu yang barangkali keras dan kasar atas seseorang di antara kalian yang masih akan mengulangi perbuatan kalian.”
Orang-orang itu masih saja berdiam diri. Mereka memang tidak dapat mengatakan sesuatu. Namun di wajah mereka terbayang kesediaan mereka untuk melakukan pesan-pesan itu.
Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Seperti yang sudah aku katakan, pintu Padepokan Bajra Seta selalu terbuka buat kalian. Datanglah kapan saja kalian ingin datang. Kalian akan kami terima dengan senang hati.”
Dengan suara yang bergetar seorang di antara mereka pun kemudian menyatakan terima kasih mereka atas perlakuan yang mereka alami. Meskipun mereka datang dengan niat yang jahat, namun mereka mendapat perlakuan yang baik dan bahkan mereka merasa seakan-akan mereka menjadi tamu Padepokan yang telah mereka kacaukannya itu. Bahkan beberapa orang cantrik telah jatuh menjadi korban.”
“Kami tidak dapat mengatakan apapun selain ucapan terima kasih yang tidak terhingga. Mudah-mudahan kami dapat mengungkapkan perasaan terima kasih itu dengan tingkah laku kami setelah kami meninggalkan Padepokan Bajra Seta ini.”
Mahisa Murti pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku percaya bahwa kalian akan dapat melakukannya.”
Demikianlah maka orang-orang itu pun segera minta diri. Mahisa Murti, Widigda dan beberapa orang yang lain mengantar mereka sampai ke pintu gerbang halaman Padepokan Bajra Seta.
Diluar pintu gerbang, seorang di antara mereka yang meninggalkan Padepokan Bajra Seta itu berkata, “Kami akan berpencar. Jika kami masih bergabung, maka masih ada kemungkinan kami mengulangi perbuatan kami. Jika kami berpencar, seandainya ada di antara kami yang terjerumus kembali ke dalam dunia yang hitam itu, maka biarlah yang lain memperingatkan kami. Kami sudah bersepakat untuk setiap kali bertemu dan menilai kembali jalan kehidupan kami masing-masing.”
“Dimana kalian akan bertemu?” bertanya Widigda.
“Tiga bulan lagi kami akan bertemu di rumahku” jawab orang yang bertubuh agak gemuk, “selanjutnya kami akan menemukan kapan dan dimana kami akan bertemu lagi.”
“Bagus” desis Widigda. Seakan-akan diluar sadarnya ia berpaling kepada Mahisa Murti. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Meskipun demikian Mahisa Murti melihat bahwa ada yang akan dikatakan oleh Widigda. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apakah ada pendapat yang dapat membantu mereka?”
Widigda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana jika pertemuan itu dilakukan di Padepokan Bajra Seta jika angger Mahisa Murti mengijinkan?”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Tentu. Aku tidak akan berkeberatan. Bukankah aku mempersilahkan mereka untuk setiap kali singgah di Padepokan Bajra Seta ini.”
“Nah” berkata Widigda, “kau dengar itu?”
“Terima kasih” berkata salah seorang dari mereka, “kami tentu akan sangat bersenang hati atas kesempatan itu. Jika kami sudah mengadakan pertemuan yang pertama itu, maka kami akan datang untuk memberitahukan, kapan kami akan mengunjungi dan bertemu di Padepokan ini.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku menunggu. Seperti yang sudah aku katakan, pintu Padepokan ini terbuka bagi kalian.”
“Terima kasih” jawab beberapa orang hampir berbareng.
Demikianlah, maka sembilan orang itu telah meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Mereka memang berpencar seperti yang mereka katakan. Ada yang berdua, tetapi ada juga yang bertiga. Mereka mencoba untuk tidak saling bergantung dan saling mempengaruhi agar mereka tidak terjerumus lagi ke dalam kelakuan mereka terdahulu. Dengan berpencar mereka akan mendapatkan suasana baru dalam petualangan dan pengembaraan mereka. Namun ternyata dengan demikian, orang-orang itu mulai merindukan rumah mereka, kampung halaman mereka dan bayangan tentang hidup sewajarnya.
Sepeninggal mereka, maka Widigda lah yang nampak banyak merenung. Rasa-rasanya ada sesuatu yang dipikirkannya. Tetapi Mahisa Murti mencoba untuk mengerti. Sambega masih terbaring di pembaringan meskipun keadaannya menjadi berangsur baik.
Namun diluar pengetahuan Mahisa Murti, Widigda dan Sambega telah berbicara di antara mereka. Dengan penuh kesungguhan Sambega berkata, “Kakang, nampaknya di Padepokan Bajra Seta ini aku menemukan ketenangan. Jiwaku yang gelisah oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi atas diriku, membuat aku hampir menjadi putus asa. Aku kira aku tidak akan pernah mengalami satu kesempatan bahwa aku masih merasa hidup di antara orang-orang lain. Tetapi ternyata di sini aku telah menemukannya.”
Widigda mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Sambega. Tetapi ternyata angger Mahisa Murti tidak atau barangkali belum dapat menerima kawan-kawan Lengkara tinggal di sini. Meskipun kita tahu, bahwa Mahisa Murti tentu akan dapat membedakan antara kau dan Lengkara.”
“Apakah kira-kira angger Mahisa Murti masih mencurigai aku?” bertanya Sambega.
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut dugaanku, angger Mahisa Murti tidak akan mencurigaimu lagi. Meskipun demikian, aku tidak tahu apa yang tersimpan di hatinya.” berkata Widigda.
Sambega mengangguk-angguk kecil. Namun katanya kemudian, “Kakang, bagaimanapun juga aku akan mencoba untuk menyampaikan hal ini kepada angger Mahisa Murti. Tetapi untuk memperkuat kemungkinan agar permohonanku kepada angger Mahisa Murti, aku minta kakang Widigda menyampaikan hal ini kepadanya. Kakang tahu, bahwa aku tertarik sekali kepada angger Mahisa Amping yang umurnya kira-kira sama dengan umur anakku saat ia terbunuh. Selain Padepokan Bajra Seta ini terasa tenang, aku pun dapat ikut membantu perkembangan anak itu. Meskipun ilmu angger Mahisa Murti tidak tertandingi, namun aku dapat melengkapinya dengan sedikit kemampuan yang ada padaku.”
Widigda mengangguk-angguk. Katanya, “Sambega. Aku akan mencobanya. Tetapi keputusan terakhir berada di tangan angger Mahisa Murti. Mudah-mudahan ia dapat mengerti perasaanmu dan sekaligus tidak mencurigaimu lagi.”
“Terima kasih kakang.” desis Sambega. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Selanjutnya, apakah rencana kakang Widigda sendiri dalam waktu dekat?”
“Aku akan pulang. Bukankah aku mempunyai keluarga? Selain itu, aku harus menjaga padepokan kecil yang telah ditinggalkan oleh guru yang telah menghadap kembali kepada Yang Maha Agung. Bagaimanapun juga tempat itu pernah menjadi tempat kita menempa diri, meskipun hasilnya tidak lebih dari apa yang kita miliki sekarang serta perselisihan di antara saudara seperguruan.”
Sambega mengangguk kecil. Katanya, “Syukurlah jika kakang Widigda bersedia memelihara padepokan kecil kita. Sekali-sekali kita memang merindukan masa-masa silam meskipun kita sadar, bahwa kita tidak akan dapat kembali ke masa itu.”
Widigda menarik nafas dalam-dalam. Keinginan Sambega itu akan menjadi beban baginya. Meskipun agak ragu, Widigda bertanya, “Sambega, apakah tidak pernah terpikir olehmu, bahwa kau akan tinggal di padepokan kita itu?”
“Sebenarnyalah aku juga ingin melakukannya kakang. Tetapi jika aku berada di padepokan kecil itu, maka aku akan selalu dibayangi oleh kepahitan hidupku sehingga hampir saja membuat aku berputus asa. Jika aku merindukan masa lampau, tentu aku akan berusaha mengenang masa2 yang manis saja.”
Widigda mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencobanya. Aku akan berbicara dengan angger Mahisa Murti.”
Justru karena kesediaan Widigda untuk menyampaikan keinginan Sambega itulah, maka Widigda sendiri justru nampak sering merenung. Kadang-kadang jantungnya benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan. Mungkin sebagaimana kawan-kawan Lengkara, Mahisa Murti masih belum dapat menerima Sambega untuk tinggal dilingkungan keluarga Padepokan Bajra Seta. Tetapi ia memang harus mencoba. Betapapun keragu-raguan mencengkam jantungnya, namun akhirnya Widigda pun menyampaikan keinginan Sambega itu kepada Mahisa Murti.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah menolak permintaan kawan Lengkara untuk tinggal di Padepokan itu. Namun Mahisa Murti memang mencoba untuk menilai perbedaan antara Sambega dan kawan Lengkara itu.
“Tetapi segalanya terserah kepada angger Mahisa Murti” berkata Widigda, “jika aku yang menyampaikan permohonan Sambega itu, karena Sambega sendiri tidak dapat menyampaikannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang menganggap bahwa paman Sambega agak berbeda dari kawan-kawan Lengkara. Kepada mereka aku memang masih belum dapat memberikan kepercayaan sepenuhnya. Sedangkan kepada paman Sambega, aku sudah tidak menaruh kecurigaan sama sekali.”
“Apakah dengan demikian, angger bermaksud menerima kehadiran Sambega di Padepokan Bajra Seta ini?”
“Ya, tentu paman. Aku akan dengan senang hati menerima paman Sambega. Namun dengan keadaan seperti apa yang ada ini. Sibuk dan barangkali tidak ada ketenangan.”
“Tidak ngger. Justru Sambega mendapat ketenangan di Padepokan ini. Ketenangan baginya bukan berarti diam, tidak ada gerak dan tantangan. Justru kesibukan dan tantangan akan memberikan kegairahan pada jiwanya yang telah dikoyak oleh perbuatan jahat saudara seperguruannya sendiri.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kami akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan paman Sambega untuk tinggal di sini. Paman Sambega akan dapat menjadi kawan paman Wantilan. Dengan demikian maka tugasku akan menjadi semakin ringan.”
“Bukan ngger. Tetapi mungkin Sambega justru akan menambah beban angger. Tetapi jika pada suatu saat angger memang tidak dapat lagi membiarkannya berada di padepokan ini, maka angger dapat berterus terang kepadanya.” berkata Widigda.
“Kenapa aku tidak dapat membiarkan paman Sambega di sini? Jika sikap kita masing-masing wajar, maka tentu tidak akan ada alasannya untuk tidak dapat tinggal bersama-sama di satu tempat. Kecuali jika salah seorang di antara kami berbuat sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan.”
“Terima kasih ngger. Sambega tentu akan merasa gembira sekali atas keputusan yang angger ambil itu. Dengan demikian aku pun berharap, bahwa orang itu akan dapat menemukan kembali kewajaran penalaran sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang nampaknya merupakan satu kejahatan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia tahu maksud Widigda. Dalam kegoncangan jiwa, Sambega memang melakukan perbuatan yang dapat dianggap kejahatan, sebagaimana ia berusaha untuk membawa Mahisa Amping. Latar belakang jiwani yang mendorongnya melakukan perbuatan itu sama sekali tidak mampu dikendalikannya, sehingga perbuatan-perbuatannya akan dapat membahayakan dirinya sendiri.
Karena itu, maka dengan penuh pengertian Mahisa Murti menerima permintaan Sambega itu. Bahkan ketika ia berbicara dengan Wantilan dan Mahisa Semu, maka keduanya pun sama sekali tidak berkeberatan.
Tetapi Mahisa Amping dengan ragu-ragu telah bertanya, “Apakah orang itu tidak berbahaya bagiku kakang?”
“Tidak Amping, pada dasarnya ia memang tidak berbahaya. Yang terjadi itu adalah karena goncangan perasaan yang hampir tidak dapat ditanggungkannya.” jawab Mahisa Murti.
“Apakah jiwanya sekarang sudah tenang kakang?” bertanya Mahisa Amping pula.
“Agaknya memang demikian. Apalagi setelah kematian orang yang membunuh anak dan isterinya itu. Seakan-akan himpitan jiwanya telah terangkat” jawab Mahisa Murti.
“Apakah penyakit seperti itu tidak akan dapat kambuh lagi, kakang?” Mahisa Amping masih bertanya.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jika terjadi persoalan yang rumit dan tidak mampu diatasinya, memang mungkin ia mendapat goncangan jiwa lagi. Tetapi, ia merasa mendapat ketenangan di Padepokan ini, sehingga mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi persoalan yang menghimpit jiwanya sehingga paman Sambega itu kehilangan pegangan.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia pun mengangguk-angguk kecil sambil berdesis, “Mudah-mudahan.”
Dengan demikian, maka Sambega merasa bahwa dirinya telah menjadi bagian dari Padepokan Bajra Seta. Ketika Widigda menyampaikan keputusan menerimanya tinggal di Padepokan itu, maka ia pun menjadi sangat gembira. Dari hari ke hari, maka luka-luka Sambega telah berangsur sembuh. Terutama luka bagian dalam tubuhnya. Setiap pagi Sambega telah berjalan-jalan mengelilingi Padepokan itu bersama Widigda yang masih selalu merawatnya. Kadang-kadang Sambega telah mengajak Mahisa Amping untuk berjalan-jalan bersamanya.
Meskipun kadang-kadang masih ragu, namun Mahisa Amping tidak menolaknya. Bersama dengan Sambega dan Widigda, Mahisa Amping kadang-kadang berjalan-jalan tidak saja di dalam lingkungan Padepokannya, namun juga keluar dari Padepokan menyusuri sawah dan ladang. Setelah beberapa hari berada di Padepokan Bajra Seta, maka Sambega pun menjadi semakin baik. Bahkan tenaganya rasa-rasanya telah pulih kembali. Sekali-sekali ia sudah mencoba untuk berlatih di sanggar Padepokan Bajra Seta dengan peralatan yang ada.
Dalam pada itu, ketika keadaan Sambega telah benar-benar pulih kembali, maka Widigda pun merasa bahwa kewajibannya telah selesai. Jika ia harus tinggal terlalu lama di Padepokan Bajra Seta, karena ia tidak ingin membuat penghuni Padepokan itu bertambah beban. Karena itulah, maka ia menunggui Sambega sampai Sambega pulih dan mampu melayani dirinya sendiri. Dengan demikian maka Widigda pun mulai memikirkan kepentingannya sendiri.
Kepada Sambega ia menyatakan bahwa ia ingin meninggalkan Padepokan itu dan pulang ke padepokan kecil yang ditinggalkan gurunya. Ia memang pernah mendapat pesan dari gurunya itu, agar ia merawat padepokan kecil itu sebaik-baiknya.
“Meskipun padepokan kita adalah padepokan kecil yang tidak terhitung, tetapi sebaiknya kau pelihara sebaik-baiknya” berkata gurunya sesaat sebelum ia dipanggil kembali oleh Yang Maha Agung.
Karena itulah, maka meskipun padepokan itu menjadi sepi dan hanya dihuni oleh keluarganya saja, namun Widigda merasa berkewajiban untuk melakukan pesan gurunya sebaik-baiknya.
Sambega tidak dapat menahan saudara seperguruannya lebih lama lagi. Ia pun mengerti, bahwa Widigda memang harus berada di padepokannya.
Demikianlah, ketika tiba saatnya, maka Widigda pun telah minta diri kepada Mahisa Murti, kepada Mahisa Semu, Mahisa Amping, Wantilan dan seisi Padepokan Bajra Seta. Juga kepada Sambega yang telah menjadi pulih kembali serta telah menjadi penghuni Padepokan Bajra Seta.
“Aku selalu berharap, paman singgah di Padepokan ini apabila paman menempuh perjalanan.” berkata Mahisa Murti.
“Tentu” jawab Widigda, “bahkan aku tentu akan memerlukan mengunjungi Padepokan Bajra Seta ini meskipun aku tidak menempuh perjalanan kemana pun juga.”
“Terima kasih” sahut Mahisa Murti, “kami benar-benar berharap.”
“Aku titipkan adik seperguruanku di sini.” berkata Widigda kemudian.
“Paman Sambega akan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan Padepokan ini lahir dan batin. Paman Sambega yang mempunyai pengalaman yang sangat luas akan sangat berarti bagi perkembangan pengenalan kami atas lingkungan yang lebih luas.”
“Jangan memuji begitu” berkata Sambega, “aku harus merasa bahwa aku bukan apa-apa di sini, selain menumpang untuk mendapatkan ketenangan.”
“Jangan merajuk begitu” berkata Widigda sambil tersenyum.
Mahisa Murti pun tersenyum pula. Namun kemudian Widigda itu pun telah minta diri untuk meninggalkan Padepokan Bajra Seta.
Demikianlah, maka Sambega telah berusaha untuk menyesuaikan hidupnya dengan kehidupan di padepokan Bajra Seta. Sebelumnya ia memang tidak terbiasa untuk hidup dalam kelompok yang besar. Ia terbiasa hidup seorang diri. Bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan kadang-kadang tanpa tujuan. Sekali-sekali ia pulang ke padepokan dan tinggal beberapa lama. Apalagi setelah jiwanya terguncang. Ia semakin jauh dari lingkungannya. Ia merasa hidup seorang diri tanpa sentuhan orang lain. Orang lain bagi Sambega adalah benar-benar orang lain yang tidak saling mempedulikan. Apalagi menyangkutkan kepentingan yang satu dengan yang lain.
Tetapi di Padepokan Bajra Seta, seorang tidak dapat lepas dari kaitannya dengan orang lain. Mereka harus dapat hidup dalam hubungan yang serasi. Yang satu selalu mengingat kepentingan yang lain. Jika seseorang mengalami kesulitan, maka yang lain wajib membantunya. Sehingga hidup di Padepokan itu rasa-rasanya seperti sekelompok orang yang bersama-sama memikul beban. Berat atau ringan, semuanya ikut memikulnya.
Mula-mula Sambega memang merasakan kesulitan. Kadang-kadang ia tidak tahu kenapa ia harus melibatkan diri dalam kerja yang dilakukan orang lain. Sambega juga mencoba mengerti, bahwa ia harus ikut duduk-duduk bersama beberapa orang yang sedang beristirahat dan berbincang-bincang yang bagi Sambega tidak pernah dilakukannya sebelumnya.
Di Padepokan Bajra Seta itulah Sambega mulai mengenal kebersamaan. Bahkan juga mengekang diri dan bertenggang rasa. Membagi kesulitan namun juga bersama-sama menikmati kepuasan jika kerja mereka berhasil. Lebih dari itu semuanya, maka Sambega juga mulai menekuni jalan hidup yang sebelumnya kurang dimengerti. Bagaimana ia berhubungan dengan Sumber Hidupnya.
Setelah beberapa lama berada di Padepokan Bajra Seta, Sambega merasa dirinya menjadi orang lain. Ia memang tidak dapat menghapus cacatnya. Cacat ditangannya. Cacat diwajahnya serta cacat badani yang lain. Tetapi lambat laun Sambega dapat menghapus sedikit demi sedikit cacat jiwani, meskipun ia masih tetap menjadi manusia biasa dengan segala kekurangannya.
Mahisa Murti dan Wantilan mengamati perkembangan jiwa Sambega dengan saksama. Wantilan yang juga pernah mengalami gejolak sebagaimana dialami oleh Sambega. Karena itu, maka ia merasa yakin, bahwa Sambega sama sekali tidak berpura-pura. Sebagaimana dialaminya, maka perubahan itu terjadi sampai ke dasar kesadarannya yang paling dalam.
“Pada dasarnya ia bukan seorang yang berhati kelam” berkata Mahisa Murti.
“Ya” Wantilan mengangguk-angguk, “tingkah laku saudara seperguruannya itulah yang telah membuatnya menjadi seorang yang berkelakuan aneh sehingga sulit mengendalikan diri sendiri. Dendamnya kadang-kadang meledak tanpa mempertimbangkan sasarannya.”
Mahisa Murti juga mengangguk-angguk. Katanya, “Kematian saudara seperguruannya itu telah menguras dendamnya sampai kering. Itulah agaknya yang telah membantunya menumbuhkan kesadaran di dalam dirinya.”
“Kita dapat mengharapkan tenaga dan kemampuannya. Bagaimanapun juga ia memiliki ilmu yang tinggi.” desis Wantilan.
Sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti dan Wantilan, maka Sambega benar-benar menjadi orang yang berarti di Padepokan itu. Sejak ia menyadari arti dari hidupnya yang selalu berkaitan dengan lingkungannya serta dibawah bayangan kuasa Sumber Hidupnya, maka Sambega telah menjadi manusia lain yang berarti bagi banyak orang.
Sementara itu, perhatiannya kepada Mahisa Amping tidak berubah. Bahkan seolah-olah Sambega telah menempatkan dirinya menjadi pemomong anak yang tumbuh remaja itu. Meskipun demikian, Sambega tidak mau dengan serta-merta memaksa agar anak itu mempelajari ilmunya. Dengan hati-hati ia memperhatikan apa yang telah dimiliki oleh Mahisa Amping. Baru kemudian, Sambega berbicara dengan Mahisa Murti, apakah ia diperkenankan melengkapi ilmu yang telah ada di dalam diri anak itu, tanpa mengganggu kemapanan ilmu yang telah ada.
“Kau memerlukan waktu paman” berkata Mahisa Murti.
“Ya, aku mengerti ngger. Tetapi aku berjanji bahwa aku tidak akan mengganggunya. Ilmu yang telah dipelajarinya, yang sejalan dengan ilmuku itulah yang akan aku perdalam, sehingga anak itu benar-benar mampu menguasainya. Bukan saja Mahisa Amping, tetapi juga Mahisa Semu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Silahkan paman. Pada saat-saat tertentu jika akan melihat perkembangannya."
“Terima Kasih ngger” jawab Sambega, “tetapi aku benar-benar berjanji, agar yang aku lakukan tidak justru menyulitkan anak itu. Apalagi susunan dan tatanan tubuhnya serta syaraf dan urat-uratnya.”
Dengan ijin Mahisa Murti, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping pada hari-hari tertentu telah berlatih bersama Sambega. Sekali-sekali di sanggar tertutup, namun kadang-kadang di sanggar terbuka. Sambega masih belum membawa anak-anak itu keluar terlalu jauh dari Padepokan. Bagaimanapun juga ia masih memikirkan kawan-kawan Lengkara. Mungkin ada di antara mereka yang tidak dengan tulus menerima kenyataan sehingga masih tersisa dendam di dalam hati. Sambega sendiri tidak mengkhawatirkan dirinya. Tetapi ia tidak ingin anak-anak itu mengalami kesulitan.
Pada hari-hari tertentu, Mahisa Murti sendiri memerlukan melihat apa yang dilakukan oleh Sambega. Sampai seberapa jauh Sambega mengisi dan menambah pengenalan Mahisa Semu dan Mahisa Amping tentang olah kanuragan. Ternyata Mahisa Murti tidak pernah merasa berkeberatan atas usaha Sambega untuk membantu meningkatkan pengenalan Mahisa Amping dan Mahisa Semu tentang ilmu kanuragan. Sambega telah memperkenalkan beberapa unsur yang dekat dan mempunyai watak dan kegunaan yang sama dari ilmu yang telah dipelajarinya.
Mahisa Murti sama sekali tidak berkeberatan, bahwa ada warna lain dalam susunan ilmunya. Sebagaimana Mahisa Murti sendiri tidak hanya menyadap ilmu dari satu perguruan. Ia tidak berguru khusus kepada ayahnya. Tetapi juga kepada beberapa orang lain yang sempat memperkaya ilmunya. Dalam kematangan penguasaannya atas ilmunya, maka unsur-unsur yang ada di dalam dirinya itu akan tersusun menjadi kesatuan ilmu yang tinggi. Luluh dan menyatu.
Meskipun demikian Mahisa Murti tidak melepaskan Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Setiap kali, keduanya dibawa masuk ke dalam sanggar tertutup tanpa orang lain. Juga tidak bersama Sambega. Dengan demikian, maka Mahisa Murti selalu dapat menilik kemajuan keduanya serta kemungkinan adanya unsur-unsur yang tidak menguntungkan di dalam dirinya. Ia bukannya tidak percaya kepada Sambega, tetapi ia memang harus berhati-hati.
Sambega sama sekali tidak merasa tersinggung. Ia mengerti bahwa Mahisa Murti memang harus berbuat demikian sebagai satu tanggung jawab atas anak-anak yang telah diambilnya. Apalagi Mahisa Murti berharap, bahwa Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat menjadi penerus di Padepokan Bajra Seta disamping orang-orang yang masih akan diketemukan kemudian.
“Jika saja kelak lahir anak Mahisa Pukat” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, maka harus ada seseorang yang telah disiapkan, karena kepemimpinan Padepokan Bajra Seta tidak boleh terputus.
Namun dalam pada itu, hubungan antara Kediri dan Singasari, masih saja diwarnai oleh kemelut yang nampaknya tidak akan pernah menjadi jernih. Kediri selalu merasa dirinya berada dibawah kekuasaan Singasari, sementara Kediri memiliki usia yang lebih tua dari sekedar Pakuwon Tumapel yang kemudian berhasil mengalahkan Kediri.
Tetapi bagaimanapun juga para pemimpin di Kediri adalah trah keturunan dari para penguasa. Darah yang mengalir di dalam tubuh mereka adalah tetesan darah raja-raja yang berkuasa turun-temurun. Sedangkan Singasari yang kemudian menjadi besar melampaui Kediri adalah pemerintahan yang lahir dari tangan seorang penyamun di padang Karautan.
Namun bagaimanapun juga Singasari itu telah ada dan berkuasa di muka bumi. Kediri memang pernah dikalahkan. Karena itu, maka betapapun Kediri mengaku sebagai keturunan raja-raja yang sah, namun Singasari telah melahirkan keturunan raja-raja yang sah itu pula karena kuasanya. Jika kekuasaan Kediri lahir dari keturunan darah, maka kekuasaan Singasari lahir dari ujung pedang.
Kemelut yang terjadi antara dua jalur kekuasaan itu, meskipun beberapa saat nampak menjadi jernih, namun setiap saat dapat menjadi keruh kembali. Gejolak-gejolak itu dapat muncul dipermukaan betapapun kedua belah pihak berusaha meredamnya. Beberapa orang pemimpin di Kediri tidak henti-hentinya berusaha untuk dapat bangkit kembali dari reruntuhan yang sangat menyakitkan itu. Dengan demikian, maka gejolak itu getarannya selalu terasa sampai ke jarak yang jauh di jangkauan kekuasaannya.
Sementara itu, di Singasari, Mahisa Pukat masih tetap berada di dalam tugasnya. Bahkan rasa-rasanya Mahisa Pukat akan tetap berada di Kesatrian bukan karena ia seorang Pelayan Dalam yang pantas di tempatkan di Kesatrian. Tetapi justru karena ia telah diangkat menjadi guru bagi para Kesatria. Selain Mahisa Pukat, maka Empu Sidikara pun telah berada di Kesatrian pula. Ternyata keduanya dapat bekerja bersama dengan baik.
Meskipun keduanya bersumber ilmu dari perguruan yang berbeda, namun keduanya dapat saling mengerti. Keduanya dapat saling membantu dan saling mengisi dengan sebaik-baiknya. Apalagi Empu Sidikara yang meskipun lebih tua, namun menempatkan diri karena ia merasa bahwa ilmu Mahisa Pukat lebih baik dan lebih tinggi dari ilmunya. Tetapi Mahisa Pukat sendiri sama sekali tidak merasa lebih penting dan lebih berarti dari Empu Sidikara. Dengan demikian, maka sikap kedua orang guru di Kesatrian itu berpengaruh baik pula terhadap para Kesatria di Singasari.
Menghadapi kemelut yang terjadi antara Singasari dan Kediri, maka Pangeran Kuda Pratama telah memberikan pesan-pesan khusus kepada Mahisa Pukat dan Empu Sidikara. Para Kesatria itu sebaiknya mengetahui dan meyakini kehadiran Singasari sebagai satu keharusan yang tidak dapat diingkari. Pendiri Singasari, Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi, lahir atas kehendak Brahma.
Dengan demikian, maka para Kesatria di Singasari akan merasa yakin akan haknya, karena mereka merasa bahwa meskipun menurut ujud lahiriahnya, Ken Arok yang kemudian menjadi Akuwu di Tumapel dan setelah mengalahkan Kediri menjadi seorang Maharaja adalah keturunan rakyat biasa, karena ia lahir dari seorang perempuan di lingkungan para petani yang bernama Ken Endog, namun ia adalah anak Bathara Brahma, sehingga ia berhak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari siapapun, meskipun ia keturunan raja-raja sekalipun. Dengan keyakinan seperti itu, maka para Kesatria di Singasari memang merasa bahwa kedudukan mereka seharusnya lebih tinggi dari para Kesatria di Kediri.
Tetapi dalam pada itu, beberapa orang pemimpin di Kediri telah meyakinkan anak-anak mereka, bahwa ceritera tentang Ken Arok sebagai anak Brahma adalah sekedar usaha Singasari untuk mengesahkan kedudukan Ken Arok itu, karena sebenarnya Ken Arok tidak lebih dari anak Ken Endog dan seorang petani yang bernama Gajah Para. Yang bahkan kemudian telah menjelajahi kehidupan yang kasar dan kotor di antara para penjahat, pencuri dan penyamun di Padang Karautan.
Namun dalam kemelut seperti itu, hubungan Mahisa Pukat dengan Sasi berjalan dengan baik. Justru karena Mahisa Pukat telah mendapat kedudukan yang baik, maka kedua orang tua Sasi mulai memikirkan hubungan anaknya dengan Mahisa Pukat itu dengan lebih bersungguh-sungguh. Beberapa orang mulai menyebut-nyebut hubungan mereka yang memang menjadi semakin rapat.
Bahkan, para Kesatria muda di Kesatrian Singasari pun mulai pula menyebut-nyebut nama Sasi, seorang gadis yang erat hubungannya dengan gurunya, pemimpin Pelayan Dalam yang agaknya semakin lama justru menjadi semakin renggang dengan jabatannya sebagai pemimpin kelompok Pelayan Dalam dan bahkan menjadi lebih akrab dengan kedudukannya sebagai guru dalam olah kanuragan di Kesatrian.
Hubungan Mahisa Pukat dengan Sasi itu pun menjadi perhatian pula bagi Mahendra. Apalagi umur Mahisa Pukat memang sudah cukup memadai untuk menempuh satu kehidupan keluarga. Namun ada satu hal yang masih terasa menggelitik di hati Mahendra. Mahisa Murti.
Namun Mahendra yakin, bahwa Mahisa Murti tidak akan menjadi sakit hati seandainya Mahisa Pukat harus mendahuluinya, menikah dengan Sasi. Meskipun Mahendra tahu, bahwa bekas-bekas luka di hati Mahisa Murti tentu masih juga terasa pedih, tetapi Mahisa Murti adalah seorang anak muda yang akan mampu mempergunakan penalarannya untuk mengatasi gejolak perasaannya.
Karena itulah, maka Mahendra harus mulai bersiap-siap untuk datang dengan resmi menemui Arya Kuda Cemani untuk minta secara resmi pula bahwa Sasi akan diperisteri oleh Mahisa Pukat. Mahendra memang tidak dapat menunggu terlalu lama. Ia tahu bahwa Arya Kuda Cemani telah menunggu. Tetapi sebagai orang tua dari seorang gadis, maka Arya Kuda Cemani tidak akan dapat membicarakannya lebih dahulu. Sementara itu, beberapa orang tetangga dan bahkan kawan-kawannya justru telah mulai membicarakannya.
Karena itulah, maka Mahendra telah memanggil Mahisa Pukat untuk berbicara tentang hubungannya dengan Sasi. Meskipun Mahisa Pukat mempunyai kedudukan dan wewenang lebih tinggi dari Empu Sidikara di Kesatrian, namun Mahisa Pukat merasa jauh lebih muda daripadanya. Karena itu, maka sebelum ia bertemu dengan ayahnya, maka Mahisa Pukat telah berbicara dengan Empu Sidikara, minta petunjuk apa yang sebaiknya dilakukannya.
“Kau sudah cukup mempunyai bekal untuk menempuh satu kehidupan baru” berkata Empu Sidikara, “umurmu sudah cukup. Kedudukanmu baik. Bukan sekedar pemimpin kelompok Pelayan Dalam. Orang tuamu nampaknya tidak berkeberatan atas hubunganmu dengan gadis yang sesuai dengan hatimu. Demikian pula orang tua gadis itu. Karena itu, agaknya tidak ada lagi persoalan yang dapat menjadi hambatan seandainya ayahmu bertanya tentang persoalanmu dengan gadis itu.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Empu Sidikara. Tetapi yang dipikirkannya adalah saudara laki-lakinya, Mahisa Murti. Sepanjang umurnya, Mahisa Pukat seakan-akan tidak pernah berpisah dengan saudaranya itu. Jika kemudian ia harus menempuh satu kehidupan keluarga, maka rasa-rasanya ia telah meninggalkannya di belakang. Rasa-rasanya ia telah meloncat mendahuluinya beberapa langkah ke depan.
Ketika hal itu dikemukakannya kepada Empu Sidikara, maka Empu Sidikara itu pun berkata, “Tetapi bukankah kalian untuk selanjutnya tidak akan dapat saling tergantung yang satu dengan yang lain. Kalian tidak akan dapat saling menunggu, sementara kau telah menemukan seseorang yang pantas dan bersedia untuk hidup bersama. Seandainya saudaramu itu tidak segera mendapatkan jodohnya, maka persoalanmu akan menggantung. Mungkin kau dapat menerima hal itu karena kau merasa terikat oleh saudaramu itu. Tetapi kau juga harus memikirkan perasaan gadis bakal isterimu itu. Apakah ia dapat menerima keadaan yang mengambang itu atau tidak. Mungkin gadis itu tidak pernah menyatakannya kepadamu. Tetapi diam-diam hatinya mulai tersiksa sebelum ia benar-benar menjadi isterimu.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sudah mempunyai bekal untuk berbicara dengan ayah.”
Demikianlah, maka Mahisa Pukat itu pun pada suatu malam telah datang memenuhi panggilan ayahnya. Dengan bekal yang mantap maka Mahisa Pukat akan mengemukakan sikapnya dalam hubungannya dengan Sasi.
Sebenarnyalah Mahendra memang menanyakan beberapa hal kepada Mahisa Pukat dalam hubungannya dengan Sasi. Mahendra bertanya, apakah Mahisa Pukat benar-benar sudah mantap untuk kelak berkeluarga dengan anak perempuan Arya Kuda Cemani itu.
“Aku sudah memikirkan dengan masak, ayah” jawab Mahisa Pukat.
“Selama kau berhubungan dengan gadis itu, apakah kau sudah dapat menjajagi sifat dan wataknya?” bertanya ayahnya.
“Ya, ayah. Selama ini aku telah mencoba untuk mengenali sifat dan wataknya. Menurut pendapatku, Sasi adalah seorang gadis yang baik.” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah Pukat. Jika kau memang sudah mantap serta sudah kau pikirkan masak-masak, maka aku harus berbuat sesuatu. Hubunganmu dengan Sasi sudah cukup lama, sehingga beberapa orang lain mulai membicarakannya.” berkata ayahnya.
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Meskipun demikian ia masih bertanya, “Apakah kita sangat tergantung kepada orang lain itu, ayah?”
Mahendra mengerutkan dahinya. Namun ia ganti bertanya, “Apakah kita dapat melepaskan diri sepenuhnya dari lingkungan kita? Apakah kita dapat sama sekali tidak menghiraukan pendapat orang lain?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menjawab, “Memang tidak ayah.”
“Sudahlah. Yang penting, kau harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah Arya Kuda Cemani.” berkata Mahendra.
“Aku sendiri?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tentu tidak. Maksudku, kau akan ikut bersamaku datang ke rumah Arya Kuda Cemani. Mungkin kita akan mengajak dua atau tiga orang untuk menemani kita datang secara resmi minta Sasi untuk kelak menjadi isterimu.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia menyahut, “Ya ayah.”
“Baiklah” berkata Mahendra, “namun, sebelum aku menemui Arya Kuda Cemani, maka aku ingin bertemu dengan Mahisa Murti lebih dahulu. Bukan apa-apa, hanya sekedar memberitahukan, bahwa aku akan melamar Sasi untukmu. Aku berharap bahwa Mahisa Murti pun akan segera menemukan seorang gadis untuk menjadi isterinya pula.”
“Apakah ayah akan pergi ke Padepokan Bajra Seta?”
“Ya” jawab Mahendra.
“Perjalanan itu terlalu panjang buat ayah sekarang. Ayah menjadi semakin tua. Ayah akan menjadi sangat letih.” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak. Meskipun umurku sudah tua, tetapi kau lihat, bahwa badanku masih utuh. Inderaku masih baik dan bahkan penalaranku pun masih belum menjadi kabur.”
“Sebaiknya aku saja yang pergi ke Padepokan Bajra Seta, ayah” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak baik bahwa kau yang akan berbicara dengan Mahisa Murti. Aku kira lebih pantas akulah yang memberi tahukan kepadanya bahwa aku akan melamar Sasi untukmu. Aku tahu bahwa Mahisa Murti tidak akan tersinggung siapapun yang datang memberitahukan hal ini kepadanya. Tetapi jika aku yang datang, maka rasa-rasanya persoalan yang aku sampaikan kepadanya lebih bersungguh-sungguh.”
“Ayah. Jika aku pergi ke Padepokan Bajra Seta, bukannya aku yang akan berbicara. Tetapi aku hanya sekedar memanggil Mahisa Murti untuk menghadap ayah. Nah, nanti ayah jugalah yang akan menyampaikannya kepadanya.” sahut Mahisa Pukat.
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudah lama aku tidak menempuh satu perjalanan. Ternyata ada kerinduan untuk berderap di atas punggung kuda menyusuri jalan-jalan panjang.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jika ayahnya memang berniat untuk melakukan satu perjalanan, maka Mahisa Pukat tentu tidak dapat mencegahnya. Meskipun Mahisa Pukat masih mengingatkannya bahwa perjalanan ke Padepokan Bajra Seta cukup jauh, tetapi Mahendra memang sudah berniat untuk melakukannya.
Meskipun demikian Mahisa Pukat pun berkata, “Ayah, jika ayah sudah berketetapan hati untuk pergi ke Padepokan Bajra Seta, maka biarlah aku ikut bersama ayah untuk menemani ayah bercakap-cakap di sepanjang jalan. Jika ayah sudah menetapkan waktu, aku mohon ayah memberitahukan kepadaku, agar aku dapat minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama dan memberitahukannya kepada Empu Sidikara.”
“Aku kira, aku perlu segera bertemu dengan Mahisa Murti. Karena itu, bagaimana pertimbanganmu jika dalam tiga hari ini, kita berangkat ke Padepokan Bajra Seta.”
“Bagiku, kapan saja hari yang ayah tentukan, tidak berkeberatan. Jika ayah akan pergi tiga hari lagi, maka aku pun dapat saja pergi bersama ayah. Besok aku akan minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah. Kita akan berangkat tiga hari lagi. Akupun harus minta ijin dahulu kepada Sri Maharaja, karena sewaktu-waktu aku dapat saja dipanggil untuk menghadap.”
“Baiklah ayah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “menjelang keberangkatan kita ke Padepokan Bajra Seta, aku akan tidur di sini, agar kita dapat berangkat pagi-pagi sekali.”
Mahendra mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Aku sependapat” jawab Mahendra.
Demikianlah, maka di hari berikutnya Mahisa Pukat pun telah minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama dan memberitahukan kepada Empu Sidikara bahwa ia akan menyertai ayahnya pergi ke Padepokan Bajra Seta untuk menemui saudaranya, Mahisa Murti.
Sementara itu, Mahendra pun telah menyampaikan permohonannya pula lewat Narpacundaka Sri Maharaja di Singasari. Ternyata Sri Maharaja tidak berkeberatan. Namun Sri Maharaja berpesan, agar Mahendra tidak telalu lama berada di Padepokan Bajra Seta.
“Dalam keadaan yang penting, aku memerlukannya” pesan Sri Maharaja.
Seperti yang direncanakan, maka pada hari yang ketiga, Mahendra dan Mahisa Pukat telah meninggalkan halaman belakang istana Singasari pagi-pagi benar. Meskipun Mahendra sudah semakin tua, ternyata ia masih tegar duduk di punggung kuda.
Menjelang matahari terbit, maka kedua orang ayah dan anak itu sudah keluar dari pintu gerbang Kotaraja. Kuda-kuda mereka berderap menyusuri jalan panjang dalam keremangan dini hari.
Udara terasa segar mengusap wajah-wajah mereka. Mahisa Pukat berkuda di sebelah ayahnya dengan wajah tengadah. Nampak wajahnya yang cerah memandang jalan yang terbentang dihadapan mereka yang mulai menjadi semakin terang.
Mereka mulai berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar. Satu dua masih ada yang membawa obor belarak. Namun yang lain telah membuang obor-obor mereka, karena fajar menjadi semakin merah.
Ketika mereka berpapasan dengan iring-iringan pedati, maka mereka masih mendengar kidung perlahan-lahan dari para pedagang yang duduk di dalam pedati itu. Sambil berselimut kain panjang, mereka mengusir dingin dengan dendang yang riang. Dengan nada dalam Mahendra berdesis, “mereka bekerja dengan tekun. Mereka bekerja keras tanpa mengharapkan hasil yang berlebihan. Ketekunan dan kerja keras yang mereka lakukan pantas untuk diteladani” berkata Mahendra.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Orang-orang yang membawa dagangan mereka ke pasar, mungkin hasil sawah, hasil pategalan atau hasil kerja tangan mereka, memang tidak terlalu banyak berharap.
Tetapi masih ada juga orang yang ingin mendapat hasil yang banyak, cepat tanpa bekerja keras. Mereka mengandalkan kemampuan dan keberanian mereka menggertak orang lain. Mengancam dan sedikit kemampuan olah kanuragan.
Tetapi orang-orang yang pergi ke pasar di dini hari itu pun tidak pergi sendiri-sendiri. Biasanya mereka pergi ke pasar membawa dagangan mereka dalam kelompok-kelompok yang cukup besar sehingga orang-orang yang berniat jahat tidak berani mengganggu mereka lagi.
Sejenak kemudian, maka langit pun menjadi terang. Matahari mulai nampak mengarungi perjalanan panjangnya dari cakrawala ke cakrawala. Mahendra dan Mahisa Pukat masih melarikan kuda mereka di sepanjang jalan yang menjadi semakin ramai, sehingga dengan demikian maka keduanya tidak berpacu terlalu cepat.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka panasnya pun menjadi semakin menyengat kulit. Keringat mengalir semakin banyak pula membasahi punggung. Semakin jauh mereka dari Kotaraja, maka jalan memang menjadi semakin sepi. Bukan saja karena matahari semakin tinggi, tetapi padukuhan memang menjadi semakin jarang.
Namun Mahendra dan Mahisa Pukat pun kemudian merasa perlu untuk beristirahat. Bukan saja mereka juga sudah merasa letih. Tetapi lebih-lebih kuda mereka yang menjadi haus dan lapar. Karena itu, maka keduanya pun telah berhenti di sebuah kedai yang cukup besar di sebelah pasar di padukuhan yang juga termasuk besar.
Ketika mereka masuk ke dalam setelah menyerahkan kuda mereka kepada seorang penjaga dan memesan agar kuda itu diberi makan dan minum, maka di dalam kedai itu sudah terdapat beberapa orang yang sedang makan dan minum. Mahendra dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk di sudut ruangan, di sebuah lincak bambu yang panjang dan memakai sandaran. Di lincak agak di tengah terdapat dua orang yang juga sedang minum dan makan, sedangkan beberapa orang yang lain duduk di sudut yang terdekat dengan pintu masuk kedai itu.
Keadaan di kedai itu nampaknya tenang-tenang saja. Orang-orang yang ada di dalamnya sibuk dengan minuman dan makanan yang dihidangkan kepada mereka masing-masing. Hanya sekali-sekali terdengar orang-orang yang ada di dalam kedai itu memesan makanan lain yang mereka kehendaki. Mahendra dan Mahisa Pukat yang memang merasa haus itu pun telah memesan makanan dan minuman. Seperti yang lain-lain pun maka keduanya pun segera mendapat pelayanan yang baik.
Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang ada di dalam kedai itu pun bagaikan diguncang ketika empat orang memasuki kedai itu. Demikian mereka duduk, maka suara mereka telah memenuhi ruangan itu. Jika ada di antara mereka yang tertawa, maka suaranya bagaikan menggetarkan kedai itu.
Ketenangan di kedai itu memang terganggu. Tetapi agaknya orang-orang yang sudah lebih dahulu duduk di kedai itu tidak ingin menegur mereka, karena jika hal itu mereka lakukan, maka akan dapat terjadi perselisihan. Dua orang yang duduk agak di tengah itu pun sama sekali tidak menghiraukan kehadiran mereka meskipun agaknya mereka pun merasa terganggu.
Namun ketika salah seorang di antara keempat orang yang datang itu memperhatikan kedua orang yang sudah lebih dahulu duduk di kedai itu, maka orang itu pun tiba-tiba mendekatinya. Sambil menepuk bahunya, maka orang itu berkata lantang, “He, ternyata kau kami ketemukan di sini.”
Kedua orang itu berpaling. Keduanya yang semula tidak memperhatikan orang-orang yang memasuki kedai itu terkejut. Keempat orang itu kemudian ternyata berpindah dan duduk di dekat kedua orang itu. Mereka berbicara dengan keras, diselingi oleh suara tertawa yang menggelitik telinga.
Seorang di antara mereka dengan lantang bertanya, “Dimana Lengkara sekarang? Bukankah kau telah mengikuti orang itu?”
Dengan segan salah seorang dari kedua orang itu menjawab, “Lengkara sudah mati.”
“Ia memang harus mati. Lengkara sudah merampas beberapa orang kawan kita dan membawanya bagi kepentingan-nya.” berkata orang itu. Lalu ia pun bertanya, “Dimana ia mati dan siapa yang membunuhnya?”
“Ia dibunuh oleh Widigda di Padepokan Bajra Seta” jawab salah seorang dari kedua orang yang duduk lebih dahulu itu.
Mahendra dan Mahisa Pukat terkejut mendengar jawaban yang menyebut Padepokan Bajra Seta itu, sehingga justru karena itu, maka mereka pun mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama.
Salah seorang dari keempat orang itu bertanya, “Siapakah Widigda itu?”
“Saudara seperguruan Lengkara” jawab orang itu singkat.
“Akhirnya ia memetik buah dari biji yang ditanamnya sendiri,” berkata orang lain di antara keempat orang itu. Lalu katanya, “Nah, jika demikian, kalian harus kembali lagi ke dalam kelompok kami. Bahkan seandainya Lengkara masih hidup pun, aku menghendaki kau kembali dan menyatu lagi dengan kami. Apalagi selama ini kau masih menyembunyikan sesuatu, sehingga kau harus menyelesaikan tanggung jawabmu itu.”
“Jangan mengada-ada” jawab salah seorang dari kedua orang yang datang lebih dahulu, “aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Aku pun tidak akan mau kembali lagi bersama kelompokmu. Aku sudah jemu hidup seperti seekor serigala yang liar dan setiap kali mencuri ternak para petani. Biarkan aku dan kawan-kawanku hidup dengan wajar. Apalagi aku sudah berjanji kepada pemimpin Padepokan Bajra Seta, bahwa aku akan kembali ke dalam kehidupan wajar sebagaimana orang banyak”
Keempat orang itu tertawa berkepanjangan. Seorang di antara mereka justru memukul-mukul lincak dengan kerasnya, sehingga semua orang yang ada di dalam kedai itu merasa terganggu. Tetapi tidak ada seorang pun yang mau menegurnya. Melihat ujud dan sikapnya, maka mereka adalah orang2 yang tentu tidak akan mudah mau mendengarkan pendapat orang lain.
Seorang di antara mereka berkata, “Jangan menjadi cengeng. Kau tentu tidak akan dapat menghindari tanggung jawabmu. Kita sudah lama bekerja bersama. Karena itu, kau jangan lepas dari lingkungan kami.”
Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menjawab, “Tidak.“ Yang seorang meneruskan, “Kami tidak mau.”
“Dimana kawan-kawanmu yang lain yang telah ikut bersama Lengkara?”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian yang seorang pun menjawab, “Kawan-kawan kami telah berpencar. Kami tidak tahu kemana mereka pergi. Tetapi kami semuanya sudah berjanji bahwa kami tidak akan mengulangi cara hidup kami yang gelap itu.”
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Sambil menepuk bahu salah seorang dari kedua orang yang datang lebih dahulu itu, seorang yang bertubuh tinggi berkata, “Kau akan menjadi seorang yang alim? Seorang yang baik budi dan berhati putih seperti kapas?”
Kawan-kawannya tertawa berkepanjangan. Orang-orang yang ada di kedai itu semakin merasa terganggu. Dua orang yang ada di bagian dalam ruang itu telah bangkit berdiri dan mendekati pemilik kedai itu untuk menghitung harga makanan dan minuman mereka. Kemudian setelah membayar, mereka pun cepat berlalu sambil bergeremang.
Mahendra dan Mahisa Pukat pun sebenarnya merasa terganggu juga. Tetapi selain mereka masih menghabiskan makanan yang mereka pesan, lebih-lebih lagi karena orang-orang itu menyebut-nyebut Padepokan Bajra Seta, maka keduanya justru menunggu perkembangan pembicaraan kedua orang itu.
Tetapi ternyata kedua orang yang datang lebih dahulu itu berkeras tidak mau lagi bergabung dengan keempat orang yang datang kemudian itu. Sehingga perselisihan pun tidak dapat dihindarkan.
“Kami dapat berbuat baik sebagaimana sikap seorang sahabat. Tetapi kami dapat juga bersikap kasar jika persahabatan kita kalian khianati.” berkata orang yang bertubuh tinggi.
“Aku tidak pernah merasa mengkhianati persahabatan kita. Aku tidak pernah menganggap kalian bukan lagi sahabat kami. Tetapi kalian pun tidak dapat memaksa kami untuk tetap hidup dalam dunia yang hitam sebagaimana duniamu. Jika saja kalian meninggalkan dunia kalian, maka kami tentu akan bersedia bergabung dengan kalian dan bekerja bersama.”
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya orang yang bertubuh tinggi.
“Banyak sekali” jawab salah seorang dari kedua orang yang datang terdahulu, “kita dapat mencoba untuk berdagang. Atau mencoba minta ijin kepada salah seorang Buyut di sebuah Kabuyutan untuk membuka hutan atau kita kembangkan tanah dan ladang yang sudah kita miliki. Atau apapun yang pantas kita lakukan dalam lingkungan orang-orang beradab.”
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Namun seorang di antara mereka berkata, “Sudahlah. Kami tidak memerlukan sesorahmu itu. Karena sebenarnya kalian tidak dapat memilih. Kalian harus menurut perintah yang kami berikan, karena sebenarnya kami tidak sedang sekedar menawarkan satu keadaan. Tetapi kami sedang memberikan perintah yang harus kalian lakukan.”
“Tidak” teriak salah seorang dari kedua orang yang datang lebih dahulu. Nampaknya kemarahan telah meledak di jantungnya, sehingga tidak tertahankan lagi.
Keempat orang yang datang kemudian itu tidak tertawa lagi. Wajah mereka menjadi tegang. Orang yang bertubuh tinggi, yang nampaknya paling berpengaruh di antara kawan2nya itu berkata, “Kau tidak dapat menolak. Jika kau menolak, maka kami akan memaksamu.”
“Kau kira aku akan tunduk kepada kemauanmu?” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Kalian terlalu banyak mengetahui tentang kami. Jika kalian tidak lagi berada di antara kami, maka kalian akan dapat berkhianat dan mengganggu kehidupan kami.”
“Meskipun aku tidak berniat untuk berkhianat, tetapi kalian agaknya menganggap bahwa hal itu akan aku lakukan. Demikian pula kawanku ini. Karena itu, aku justru tidak peduli lagi. Aku akan berbuat sesuai dengan keinginanku. Kalian tidak dapat memaksa aku dan kawanku untuk mengikuti kehendak kalian.”
“Persetan dengan igauanmu” geram orang bertubuh tinggi itu, “jika kalian berkeras hati menolak ajakan kami, maka kalian akan menyesal. Kepala kalian akan kami penggal dan kami pasang di atas gerbang padukuhan itu dengan pesan, tidak seorang pun boleh memindahkannya. Siapa yang melanggar perintah kami, maka kepala orang itulah yang akan menggantikannya.”
Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak takut. Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah lama bergaul dengan kalian. Kami tahu kemampuan kalian dan kalian pun tahu kemampuan kami. Karena itu, kami tidak akan menjadi ketakutan berhadapan dengan kalian berempat.”
“Kalian melihat sekarang kami berempat. Tetapi sebentar lagi beberapa orang kawan kami akan datang lagi. Mereka mengenal kalian dan kalian tentu juga mengenal mereka. Di antara mereka adalah kakang Kebo Lorog. Nah, apa katamu jika kakang Kebo Lorog itu sampai di sini.”
Ternyata nama Kebo Lorog mampu menggetarkan jantung kedua orang itu. Sementara orang bertubuh tinggi itu berkata, “Kau tidak akan sempat lari. Meskipun kami tahu kemampuan kalian dan kalian tahu kemampuan kami, namun kami tentu dapat menahan kalian sampai kakang Kebo Lorog datang.”
Wajah kedua orang itu memang menjadi tegang. Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri. Keempat orang itu pun tiba-tiba telah tertawa berkepanjangan lagi. Orang yang bertubuh tinggi itu berkata, “Nah, apa katamu jika kau akan berhadapan dengan kakang Kebo Lorog?”
Namun tiba-tiba saja kedua orang itu saling memberi isyarat. Keduanya pun bangkit berdiri. Seorang di antara mereka berkata, “Aku akan pergi sekarang.”
“Tidak. Kau tidak akan dapat pergi.”
“Aku tidak peduli” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
Seorang di antara mereka pun kemudian mengambil uang dari kantong ikat pinggangnya dan meletakkannya di dalam mangkuknya sambil berkata, “Aku tidak sempat menghitung. Jika uangku kurang, lain kali aku akan datang membayar kekurangannya. Jika lebih biarlah aku titipkan di sini.”
Tetapi keempat orang itu tiba-tiba telah bergerak mengepung keduanya. Yang bertubuh tinggi berkata, “Kau tidak akan dapat lari kemana pun.”
Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya. Mereka dengan cepat meloncat menyibak orang-orang yang menghalanginya. Namun keempat orang itu mengejar mereka sehingga mereka turun ke halaman. Ternyata kedua orang itu tidak ingin tertahan terlalu lama. Demikian keempat orang itu turun menyusulnya, maka kedua orang itu sudah menggenggam senjata mereka masing-masing.
Keempat orang itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak ingin membiarkan kedua orang itu lari. Karena itu, sekali lagi keempat orang itu mengepungnya. Mereka pun telah menarik senjata mereka pula. Maka tidak dapat dihindari lagi, pertempuran pun telah terjadi di halaman kedai itu.
Beberapa orang yang tidak ingin terlibat, dengan tergesa-gesa telah meninggalkan kedai itu. Mereka dengan tergesa-gesa membayar harga makanan dan minuman mereka, kemudian dengan tergesa-gesa pula pergi menjauh. Meskipun di kejauhan mereka berhenti juga untuk melihat apa yang terjadi.
Tetapi Mahisa Pukat dan Mahendra tidak pergi meninggalkan kedai itu. Bahkan mereka bergeser mendekati pintu dan melihat apa yang terjadi di halaman. Pemilik kedai itu pun menjadi ketakutan. Ia tidak berani mencegah pertempuran yang terjadi di halaman. Apalagi mereka telah mempergunakan senjata pula.
Namun seperti yang dikatakan, maka keempat orang itu ternyata memang tidak mampu mengimbangi kemampuan kedua orang yang datang lebih dahulu. Namun keempat orang itu memang hanya sekedar menahan mereka sambil menunggu kawan-kawan mereka yang datang kemudian.
Tetapi kedua orang itu memang terlalu garang bagi mereka. Seorang di antara keempat orang itu harus berloncatan mengambil jarak ketika ujung senjata salah seorang lawannya menggores tubuhnya.
“Jangan ganggu kami” berkata salah seorang dari kedua orang itu, “atau aku terpaksa harus membunuh?”
“Kau memang pembunuh” geram salah seorang dari keempat orang itu, “tetapi sebentar lagi kalian berdua akan menjadi mayat.”
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka justru menyerang semakin garang. Keempat orang itu memang mengalami kesulitan. Orang kedua di antara mereka telah terluka pula. Justru di dadanya. Selagi ia berusaha memperbaiki keadaannya, maka orang ketiga justru berteriak tinggi sambil mengumpat.
“Pergilah” geram salah seorang dari kedua orang lawan mereka, “jangan dungu. Kalian akan dapat mati di sini.”
Tetapi betapapun mereka terluka, namun keempat orang itu masih berusaha untuk menahan kedua orang itu. Dalam pada itu, sebenarnyalah dari kejauhan beberapa orang berkuda berpacu dengan kecepatan tinggi. Apalagi ketika mereka melihat pertempuran di halaman kedai itu. Mereka pun segera mempercepat kuda mereka.
Dalam pada itu, salah seorang di antara mereka yang terluka berteriak, “Nah, lihat, siapakah yang datang.”
Kedua orang itu pun menyadari, bahwa yang datang adalah Kebo Lorog dengan beberapa orang mengikutnya yang lain. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan kemampuan mereka, sehingga keempat orang lawan mereka itu pun telah mereka lukai. Karena mereka tidak dapat menghindar lagi dari Kebo Lorog, maka mereka berusaha untuk mengurangi jumlah lawan mereka. Empat orang yang mendahului Kebo Lorog itu sudah tidak berdaya sama sekali.
Meskipun mereka tidak terbunuh, tetapi mereka seakan-akan telah kehilangan kemampuan mereka untuk bertempur. Darah telah mengalir dari luka-luka mereka. Tetapi mereka segera tertolong ketika iring-iringan Kebo Lorog itu memasuki halaman di depan kedai itu. Dengan tangkasnya seorang yang bertubuh gemuk, berkumis lebat dan berwajah keras dengan beberapa bekas luka di kening meloncat dari kudanya. Orang itulah yang bernama Kebo Lorog.
“Apa yang terjadi di sini?” bertanya Kebo Lorog. Orang yang bertubuh tinggi, salah seorang dari keempat orang yang datang lebih dahulu dari Kebo Lorog itu pun segera melaporkan apa yang telah terjadi, meskipun dengan nafas yang terengah-enggah.
Mata Kebo Lorog itu pun menjadi bagaikan menyala. Dipandanginya kedua orang yang telah melukai keempat orang pengikutnya itu. Dengan suara bergetar karena kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, Kebo Lorog itu menggeram, “Jadi kau sudah merasa berilmu tinggi sekarang, he, sehingga kau berani melukai orang-orangku.”
“Mereka memaksa aku,” jawab salah seorang dari kedua orang itu dengan dada tengadah.
“Setan kau” geram Kebo Lorog, “kau kira kau dapat melepaskan diri dari tanggung jawabmu? Selama ini kau selalu minta perlindunganku. Tetapi setelah kau kenal Lengkara, kau mengikuti serigala itu.”
“Lengkara sudah mati” berkata salah seorang dari mereka yang terluka.
Kebo Lorog mengerutkan dahinya. Katanya, “Jika demikian, maka kau tidak mempunyai pilihan lain. Siapa yang akan melindungimu sekarang jika Lengkara sudah mati?”
“Aku tidak akan berlindung kepada siapa pun juga. Tetapi aku tidak akan kembali ke dunia yang gelap itu lagi. Aku sudah berjanji kepada Mahisa Murti, pemimpin Padepokan Bajra Seta.”
“Setan” geram Kebo Lorog, “kau kira Mahisa Murti itu akan dapat melindungimu? Apalagi sekarang. Kalian hanya berdua di sini, sehingga kalian tidak mempunyai pilihan lain. Kalian harus mengikuti kami, melakukan perintah-perintah kami.”
“Aku sudah mengatakan, bahwa aku tidak mau.”
“Jadi kau memang ingin membunuh dirimu he? Lihat, dengan berapa orang aku datang? Katakan bahwa keempat orangku itu sudah tidak mampu lagi bertempur melawanmu. Tetapi aku datang bersama empat orang lagi. Sedangkan aku sendiri akan mampu memilin leher kalian berdua tanpa orang lain.”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang mengakui bahwa Kebo Lorog adalah orang berilmu tinggi. Tetapi keduanya benar-benar tidak berniat untuk kembali dalam kehidupan yang gelap di antara para pengikut Kebo Lorog. Karena itu, apapun yang akan terjadi, keduanya itu tetap pada pendiriannya.
Sementara itu Kebo Lorog memerintahkan kepada orang-orangnya, “Kalian dapat membantai seorang di antara keduanya. Biarlah yang seorang akulah yang akan menyayatnya menjadi kepingan daging dan tulang.” Lalu katanya kepada kedua orang itu, “He, berteriaklah memanggil pemimpin Padepokan Bajra Seta itu untuk melindungi sekarang ini.”
Kedua orang itu diam membeku. Tetapi keduanya sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Namun dalam pada itu semua orang yang ada di halaman itu terkejut. Termasuk Kebo Lorog. Dari pintu kedai itu keluar seorang anak muda yang berkata lantang, “Akulah salah seorang pemimpin Padepokan Bajra Seta.”
Kedua orang yang menolak ajakan Kebo Lorog itu termangu-mangu sejenak. Sepintas anak muda itu memang mirip dengan Mahisa Murti. Apalagi ketika anak muda itu berkata,
“Jika kau pernah berjanji kepada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti memang berkewajiban melindungimu. Karena di sini tidak ada Mahisa Murti, maka akulah yang wajib mengambil alih kewajibannya itu, karena aku adalah saudaranya laki-laki. Satu di antara dua orang pemimpin Padepokan Bajra Seta. Namaku Mahisa Pukat.”
“Mahisa Pukat” kedua orang itu berbareng menyebut namanya.
“Kalian agaknya belum pernah bertemu dengan aku, karena ketika kalian bertemu dan menyatakan janji kalian kepada Mahisa Murti aku berada di Singasari.”
“Apakah kau benar saudara laki-laki Mahisa Murti?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu agak ragu meskipun kehadirannya itu akan menguntungkannya. Tetapi kemudian ia berkata, “Jika benar, maka kami akan sangat berterima kasih.”
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “karena itu, maka aku akan mengambil alih tanggung jawabnya.”
Kedua orang yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat tetap hidup itu jantungnya seakan-akan telah menyala kembali. Apalagi ketika kemudian Mahendra juga keluar dari kedai itu. Meskipun orang itu sudah tua, tetapi nampak dari sorot matanya bahwa ia memiliki kelebihan dari kebanyakan orang itu.
Namun Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Ambillah keempat orang pengikut Kebo Lorog itu. Biarlah aku yang menghadapinya. Mungkin ia merasa lebih senang mendapat lawan yang belum pernah ditemuinya sebelumnya.”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kebo Lorog adalah seorang yang berilmu tinggi.”
Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Sementara itu Kebo Lorog sendiri berkata sambil tertawa, “Ternyata di sini ada juga kecoak yang ingin menjadi seorang pahlawan. He, peringatkan orang itu, agar ia tidak mati sia-sia.”
Tetapi Mahisa Pukat justru bertanya kepada kedua orang itu, “Ki Sanak, apakah kau tahu, melihat atau sedikitnya mendengar tentang kemampuan saudaraku Mahisa Murti?”
“Ya” jawab kedua orang itu bersamaan.
“Katakan dengan jujur menurut pendapatmu, apakah kira-kira Mahisa Murti tidak mampu mengimbangi kemampuan Kebo Lorog?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Mahisa Murti adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”
“Jadi, menurut perhitunganmu, ia akan dapat mengalahkan Kebo Lorog?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Ya” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian aku juga akan berusaha untuk dapat mengalahkan Kebo Lorog.”
“Tetapi…” kedua orang itu masih saja nampak ragu-ragu.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Jangan ragu-ragu. Aku saudara kandung Mahisa Murti. Saudara-saudaraku yang lain adalah Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ada seorang pamanku di sana, Paman Wantilan. Kau kenal mereka?"
“Ya, ya,” kedua orang itu menyahut hampir berbareng. Wajah mereka pun kemudian membayangkan keyakinan mereka, bahwa Mahisa Pukat yang mirip dengan Mahisa Murti itu adalah memang saudara Mahisa Murti. Seandainya ilmunya terpaut, maka terpautnya juga tidak terlalu banyak. Karena itu, ketika kemudian Mahisa Pukat maju mendekati Kebo Lorog, keduanya tidak menahannya lagi.
“Bagus” berkata Kebo Lorog, “jadi kalian benar-benar ingin mati sebagai pahlawan?”
“Hanya aku yang akan terlibat. Ayahku tidak. Tetapi aku pun tidak ingin mati sebagai pahlawan, tetapi aku ingin meredam kesewenang-wenanganmu. Jika kedua orang itu tidak lagi ingin terlibat dalam gerombolan hitammu, kenapa kau memaksanya? Bahkan dengan kekerasan pula.”
“Itu persoalan antara kami dan mereka. Persoalan yang tidak terjadi dengan serta merta sekarang ini. Tetapi persoalannya sudah dimulai dan berkembang sejak lama. Aku tidak perlu berceritera sampai sehari semalam tentang hubungan kami dan mereka. Namun sebaiknya kalian tidak usah turut campur. Betapa tinggi ilmu saudaramu itu, tetapi kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku.”
“Apapun yang terjadi, aku berdiri di pihak kedua orang itu. Biarlah mereka berdua bertempur melawan keempat orang pengikutmu. Bahkan jika keempat orang yang terluka itu masih mampu ikut campur. Sementara itu, kau akan berhadapan dengan aku.”
“Persetan dengan bualanmu” geram Kebo Lorog, “aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Dan namamu akan tetap dikenang sebagai seorang pahlawan yang mati tanpa arti.”
Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Aku tidak berkeberatan dengan segala macam gelar. Tetapi yang penting, aku tidak ingin mati. Tetapi aku juga tidak ingin membunuhmu kecuali dalam keadaan terpaksa sekali. Namun agaknya kau akan memaksaku untuk melakukannya.”
Kebo Lorog menggeram marah. Bahkan matanya telah menjadi merah seperti bara. Dengan suara yang bergetar karena kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, ia pun berkata kepada para pengikutnya, “Bunuh keduanya. Aku akan membunuh kecoak ini. Setelah kecoak ini mati aku injak, maka biarlah kita membunuh kedua kecoak sakit-sakitan itu pula.”
Mahisa Pukat justru tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah ada sebutan yang lebih buruk dari kecoak?”
Kebo Lorog benar-benar telah kehabisan kesabaran. Karena itu, maka ia pun segera bergeser mendekati Mahisa Pukat, sementara keempat pengikutnya berusaha untuk mengepung kedua orang yang telah menolak ajakan mereka itu. Sedangkan dua dari empat orang yang telah terluka itu ternyata masih sanggup untuk mengangkat senjatanya meskipun tenaga mereka telah jauh susut, sedangkan dua orang yang lain sama sekali telah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Keempat orang yang datang bersama dengan Kebo Lorog itu juga sudah mencabut senjatanya pula. Mereka telah bersiap untuk bertempur habis-habisan, karena mereka pun mengetahui tataran kemampuan kedua orang yang akan dibunuhnya itu.
Kebo Lorog yang yakin akan kemampuannya itu sama sekali tidak ingin mempergunakan senjata. Karena orang itu tidak bersenjata, maka Mahisa Pukat pun tidak bersenjata pula, meskipun ia membawa pedangnya yang merupakan bagian dari senjata kembar dengan senjata Mahisa Murti.
Kedua orang yang berhadapan dengan enam orang lawan itu pun telah mulai bergerak. Mereka memang harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bagaimanapun juga melawan enam orang tentu merupakan satu pertempuran yang sangat berat.
Kepada kedua orang yang sudah terluka itu salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya kalian tidak melibatkan diri lagi, karena kemampuan kalian sama sekali tidak memadai untuk pertempuran ini.”
“Persetan dengan igauan kalian itu” geram salah seorang dari kedua orang yang terluka itu.
Lawannya itu pun berdesis, “Aku menyesal bahwa aku tidak membunuhmu tadi.”
“Akulah yang nanti akan membunuhmu” jawab orang yang terluka itu.
Ternyata kedua orang yang dikepung itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan tidak terduga sebelumnya, seorang di antara mereka segera meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ujung pedangnya dengan serta merta telah menggapai pundak dari salah seorang yang memang sudah terluka itu. Orang itu terkejut. Diluar sadarnya, maka ia pun berteriak kesakitan. Tenaganya yang sudah tersusut itu tidak mampu melontarkan tubuh untuk menghindar. Karena itu, maka ujung pedang itu pun benar-benar telah mematuk dan menghunjam di pundaknya.
Beberapa langkah orang itu terdorong surut. Bahkan kemudian ia pun terjatuh di tanah. Senjatanya terlepas dari tangannya. Agaknya ujung pedang lawannya itu telah memotong urat di pundaknya sehingga tangan kanannya itu rasa-rasanya bagaikan menjadi lumpuh.
Kelima orang yang lain pun dengan serta merta telah bergerak pula. Seorang di antara mereka yang telah terluka itu berteriak, “Licik kau. Kau curi kesempatan sebelum kami bersiap?”
“Itulah kebodohan kalian. Jika kalian berhadapan dengan lawan, maka kalian harus sudah bersiap sejak semula.”
Seorang dari para pengikut Kebo Lorog itu pun mencoba untuk melakukan hal yang sama. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi ujung senjatanya tidak menyentuh apapun juga. Bahkan ketika senjata itu terjulur, maka dengan kerasnya lawannya memukul senjata itu sehingga justru terlepas dari tangannya.
Untunglah bahwa kawan-kawannya dengan cepat melindunginya dengan menyerang hampir bersamaan. Kedua orang lawan mereka terpaksa bergeser surut sehingga orang yang kehilangan senjatanya itu sempat memungutnya kembali sambil mengumpat-umpat. Ketika ia kemudian bersiap kembali, maka ia masih harus beberapa kali meniup tangannya yang terasa seperti menyentuh bara api. Demikianlah maka para pengikut Kebo Lorog itu telah bertempur melawan kedua orang yang tidak mau tunduk kepada kemauan mereka.
Ternyata kedua orang itu benar-benar mampu mengimbangi kelima orang lawannya. Kedua orang itu sekali-sekali bertempur pada jarak yang dekat, namun sekali-sekali mereka saling menjauh. Loncatan-loncatan mereka yang panjang dan dengan kecepatan yang tinggi, membuat kelima orang lawan mereka itu kadang-kadang menjadi bingung seakan-akan kehilangan sasaran. Namun kelima orang itu sesekali juga dapat mendesak kedua orang lawan mereka itu dan bahkan mencoba mengurungnya.
Kebo Lorog sempat memperhatikan pertempuran itu sesaat. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata, “Lihat. Kedua orang yang akan kau lindungi itu akan segera mati.”
“Kau akan mati lebih dahulu dari mereka. Kemudian delapan orang pengikutmu itu juga akan mati. Kecuali jika kau menyerah dan membawa orang-orangmu pergi.”
Kebo Lorog menggeram. Kemarahannya tidak tertahan lagi. Darahnya bagaikan telah mendidih di dalam jantungnya. Karena itu, maka ia pun mulai bergeser menyerang Mahisa Pukat yang memang sudah bersiap untuk bertempur.
Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah mulai saling menyerang. Kebo Lorog ternyata benar-benar seorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Tenaganya bagaikan tenaga raksasa yang sedang mengamuk. Ayunan tangannya telah menggetarkan udara menerpa kulit Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat menyadari, betapa besar kekuatan lawannya itu. Karena itu, maka ia pun segera mempergunakan lambaran tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan raksasa Kebo Lorog.
Ketika terjadi benturan-benturan di antara keduanya, Kebo Lorog memang menjadi heran. Anak muda itu ternyata mampu mengimbangi kekuatannya. Tetapi Kebo Lorog pun mengerti, bahwa Mahisa Pukat telah mengalasi kekuatannya dengan tenaga dalam. Karena itu, untuk tetap berada pada tataran yang lebih tinggi, maka Kebo Lorog pun telah mengungkapkan tenaga dalamnya pula.
Namun kemampuan Mahisa Pukat ternyata memang lebih tinggi dari Kebo Lorog. Karena itu, meskipun pada dasarnya kekuatan Kebo Lorog itu lebih besar, tetapi dilambari dengan tenaga dalam masing-masing, maka Kebo Lorog ternyata tidak mampu menekan kekuatan lawannya.
Mahendra yang berdiri di luar pintu kedai itu memperhatikan pertempuran yang terjadi itu dengan seksama. Sekali-sekali nampak keningnya berkerut. Kedua orang yang harus bertempur melawan para pengikut Kebo Lorog itu memang harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Keempat orang pengikut Kebo Lorog yang datang kemudian itu masih mempunyai tenaga yang segar. Sedangkan seorang yang telah terluka itu masih juga terasa mengganggu, karena ia pun dapat merupakan bagian dari kepungan di seputar kedua orang itu.
Namun kedua orang itu memang lebih tangkas dari lawan-lawan mereka. Meskipun jumlah lawan mereka lebih dari dua kali lipat, namun kedua orang itu masih mampu mengimbanginya.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang bertempur melawan Kebo Lorog, tetapi ternyata Mahisa Pukat masih mampu mengimbanginya. Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat. Bahkan Kebo Lorog yang gemuk itu pun mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi, seakan-akan tubuhnya yang besar itu tidak terasa memberatinya.
Karena itulah maka keduanya pun berloncatan dengan tangkasnya saling menyerang dan saling menghindar. Sekali-sekali masih saja terjadi benturan jika seorang di antara mereka menangkis serangan lawannya.
Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka keduanya justru mengetahui bahwa lawan mereka memang memiliki tenaga dan kekuatan yang besar. Sementara itu loncatan-loncatan yang cepat dan ringan membuat pertempuran itu bagaikan angin pusaran yang berputaran tidak berkeputusan.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan mereka pun kemudian sulit membedakan, ketika dua bayangan bagaikan menjadi berbaur tanpa batas. Hanya Mahendra lah yang dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Namun ia pun mengerutkan dahinya melihat kedua orang itu meningkatkan ilmu mereka semakin lama semakin tinggi.
Di putaran pertempuran yang lain, dua orang yang datang terdahulu tengah bertempur melawan para pengikut Kebo Lorog. Ternyata keduanya memang memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka. Senjata kedua orang itu berputaran menggapai-gapai dengan cepat. Sehingga sekali-sekali kelima orang yang mengepungnya harus berloncatan menjauh. Namun sejenak kemudian mereka dengan serentak meloncat menyerang bersama-sama.
Namun kedua orang yang menolak untuk bekerja bersama dengan Kebo Lorog itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka tidak mau menunggu keadaan menjadi semakin buruk. Dengan demikian, maka senjata mereka seakan-akan berputar semakin cepat. Kedua orang itu tidak membiarkan diri mereka terkurung di dalam kepungan. Dengan isyarat maka keduanya serentak menghentakkan kekuatan mereka menyerang sisi yang sedang dalam paling lemah dari kepungan itu.
Tiga di antara kelima orang pengikut Kebo Lorog itu terkejut sekali. Kedua orang itu begitu tiba-tiba meloncat menyerang mereka. Ketiga orang itu memang berusaha untuk menghindar dan menangkis serangan itu. Seorang di antara mereka yang tidak menjadi sasaran langsung sempat meloncat menghindar. Seorang lagi berusaha untuk menangkis ujung pedang yang bergetar dan kemudian terayun mendatar menyambar ke arah lambung. Satu benturan yang keras telah terjadi.
Namun pengikut Kebo Lorog yang terkejut itu ternyata tidak mampu menahan kekuatan benturan yang seakan-akan merayap lewat pedangnya menggigit telapak tangannya. Senjata orang itu pun tidak mampu lagi dipertahankannya, sehingga terloncat dari tangannya. Dengan gugup orang itu berlari meninggalkan lawannya. Sementara lawannya memang tidak sempat mengejarnya. Dua orang pengikut Kebo Lorog yang lain sempat memburu menyelamatkan kawannya yang kehilangan senjatanya itu.
Tetapi mereka tidak sempat menolong kawannya yang lain. Justru kedua orang bersama-sama menyelamatkan kawannya yang kehilangan senjatanya, maka kawannya yang seorang lagi mengalami nasib yang buruk. Meskipun ia mampu menangkis serangan lawannya ketika pedang lawannya itu terjulur, tetapi pedang itu menggeliat dan berputar dengan cepat.
Pengikut Kebo Lorog itu meloncat mundur untuk mempertahankan senjatanya. Tetapi lawannya ternyata meloncat pula memburu. Ayunan pedangnya yang datang lurus dari samping menebas ke arah lehernya membuatnya meloncat surut sambil melindungi lehernya dengan senjatanya. Tetapi ternyata pedang lawannya berputar. Pedangnya mematuk ke arah dadanya yang seakan-akan terbuka.
Pengikut Kebo Lorog itu dengan cepat memiringkan tubuhnya karena tangannya terlambat menangkis serangan itu. Tetapi pengikut Kebo Lorog itu tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya. Uluran pedang lawannya sempat mengoyak lengannya, sehingga sebuah luka telah menganga. Orang itu meloncat surut mengambil jarak. Terasa darah yang hangat telah meleleh sampai ke tangannya dan bahkan jari-jarinya. Orang itu mengumpat kasar. Kemarahannya telah menyala di dadanya. Namun, ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia memang sudah terluka.
Sementara itu kedua orang itu telah berhasil mematahkan kepungan para pengikut Kebo Lorog. Orang yang telah kehilangan senjatanya itu tidak sempat lagi memungutnya. Karena itu, maka ia pun telah mengambil senjata dari salah seorang pengikut Kebo Lorog yang datang lebih dahulu, namun telah terluka dan tidak dapat bertempur terus.
Dengan demikian, maka lima orang pengikut Kebo Lorog bertempur itu, dua di antaranya telah terluka. Bagaimanapun juga luka itu telah mempengaruhi mereka karena semakin banyak darah yang mengalir, maka tenaga mereka pun menjadi semakin susut.
Kedua orang yang menolak untuk bergabung dengan Kebo Lorog itu menjadi semakin berpengharapan untuk dapat segera menyelesaikan pertempuran itu. Ketika sesaat-sesaat mereka sempat melihat pertempuran antara Mahisa Pukat dan Kebo Lorog, dada mereka pun tergetar. Mereka tidak segera mengetahui siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Apalagi keduanya tahu pasti, bahwa Kebo Lorog memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Sebenarnyalah bahwa Kebo Lorog tidak segera dapat di desak. Bahkan kemudian ternyata bahwa Mahisa Pukat mengalami kesulitan ketika Kebo Lorog itu mengerahkan kemampuannya. Bukan saja tenaganya seakan-akan menjadi semakin besar, tetapi daya tahannya pun telah bertambah-tambah. Dengan demikian, maka pertempuran antara Mahisa Pukat dan Kebo Lorog itu memang menjadi semakin sengit.
Bahkan Mahendra yang menyaksikan pertempuran itu mulai menjadi berdebar-debar. Tenaga Kebo Lorog yang serasa menjadi berlipat itu telah mendesak Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat pun kemudian sampai pada tataran tertinggi dari tenaga dalamnya, sehingga kekuatannya pun mengimbangi kekuatan lawannya.
Tetapi meskipun demikian, ada sesuatu yang membuat Mahendra berdebar-debar. Dalam pengerahan tenaga sampai ke puncak, sentuhan tangan Mahisa Pukat sama sekali tidak mengguncangkan lawannya. Sekali-sekali Mahisa Pukat masih juga tergetar, jika serangan lawannya mampu menembus pertahanannya. Bahkan Mahisa Pukat pernah terdorong beberapa langkah surut. Tetapi serangan Mahisa Pukat yang mengenai tubuh Kebo Lorog seakan-akan tidak terasa sama sekali...
“Jika demikian Ki Sanak. Maka kau adalah orang pertama yang akan mati di antara kawan-kawanmu. Karena niatmu yang buruk, serta watakmu yang agaknya tidak akan mungkin dapat diperbaiki lagi, maka aku, pemimpin Padepokan ini harus mengambil langkah yang sebaik-baiknya untuk membantu menghindarkan peristiwa seperti ini terjadi lagi dimana pun juga.”
“Persetan” geram orang itu, “kau tidak usah mengigau”
Mahisa Murti memang tidak berbicara lagi. Ia pun segera mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Ia benar-benar akan bertempur melawan orang bertubuh raksasa itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di antara mereka. Orang bertubuh raksasa itu memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Agaknya orang itu pun sudah menggunakan kemampuan ilmunya yang tertinggi, sehingga sentuhan tangannya-telah mengoyakkan kulit daging para cantrik. Karena itu, maka Mahisa Murti harus sangat berhati-hati. Jari-jari tangan orang itu yang mengembang merapat, jangan sampai menyentuh kulitnya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus mengusahakan agar serangan-serangannya sajalah yang menyentuh orang itu untuk mengetrapkan ilmunya yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan lawannya.
Sejenak kemudian pertempuran telah terjadi dengan sengitnya. Mahisa Murti yang berilmu tinggi itu, mampu bergerak sangat cepat. Ia selalu berusaha untuk mengelak dari serangan-serangan jari-jari lawannya yang dapat menggores tubuh seperti tajamnya sebuah pedang. Namun kecepatan gerak Mahisa Murti ternyata masih memungkinkannya untuk menyentuh tubuh lawannya meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya dan bahkan tidak menyakitinya.
Orang bertubuh raksasa itu mula-mula meyakininya, bahwa ia tidak akan bertempur terlalu lama. Karena itu, maka dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya ia berhasil mendesak Mahisa Murti.
Mahisa Murti memang beberapa kali harus berloncatan surut. Tetapi bukan berarti bahwa Mahisa Murti kehilangan kesempatan untuk melawan lawannya yang bertubuh raksasa itu. Tetapi justru untuk memancing lawannya agar serangan-serangan Mahisa Murti dapat mengenainya.
Bahkan sekali-dua kali Mahisa Murti juga menangkis serangan lawannya meskipun tidak membenturkan kekuatannya. Ia berusaha menebas serangan lawannya menyamping. Namun dengan demikian telah terjadi pula sentuhan-sentuhan di antara mereka.
Dalam pada itu, beberapa orang cantrik yang telah minggir dari arena pertempuran, masih saja ada yang dengan tidak sengaja berdiri termangu-mangu menyaksikan pertempuran itu. Apalagi mereka yang sudah terluka. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi dengan orang yang bertubuh raksasa yang telah membuat beberapa orang kawannya terluka parah.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan bertahan. Sambaran jari-jari orang bertubuh raksasa itu memang sangat berbahaya. Tetapi Mahisa Murti masih mampu mengelakkan diri atau menangkisnya dengan menebas ke samping.
Meskipun demikian, ketika sambaran jari-jari tangan yang merapat itu sempat menyentuh lengannya, maka lengan Mahisa Murti itu pun telah tergores dan terluka. Luka itu bagaikan minyak yang menyiram api kemarahan Mahisa Murti. Karena itu, maka Mahisa Murti pun bergerak lebih cepat lagi untuk berusaha semakin sering menyentuh tubuh lawannya.
Tetapi Mahisa Murti terkejut ketika tiba-tiba saja lawannya itu meloncat surut sambil tertawa. Katanya,
“Ternyata kau memang iblis yang licik. Kau mempergunakan ilmu yang tidak patut dipergunakan dalam pertempuran yang terhormat. Kau bertempur sambil mencuri tenaga dan kemampuan lawanmu. Tetapi jangan menyesal, bahwa aku dapat mengetahui kelicikanmu. Karena itu, maka kau tidak akan lagi dapat mengelabui aku. Sementara meskipun kau berhasil, tetapi tenagaku masih belum seberapa tersusut, sehingga aku masih akan mampu memilin lehermu sampai patah.”
Wajah Mahisa Murti menjadi panas mendengar kata-kata itu. Kemarahannya memang tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika orang bertubuh raksasa itu berteriak, “He Lengkara dan kawan-kawanku. Anak muda pemimpin padepokan ini memiliki ilmu iblis yang mampu menyusut tenaga dan kemampuan lawannya. Berhati-hatilah.”
“Setan” sahut orang yang bertubuh agak gemuk, “ia telah membuat aku menjadi letih.”
Sebenarnyalah orang bertubuh gemuk itu semakin mengalami kesulitan menghadapi para cantrik yang bertempur dalam kelompok kecilnya.
Sementara itu orang bertubuh raksasa itu berteriak lagi, “Tetapi jangan cemas. Sekarang ia berdiri di hadapanku. Ia tidak akan dapat mengganggu kalian lagi, karena orang ini akan segera terbujur menjadi mayat.”
Mahisa Murti menggeretakkan giginya, sementara lawannya itu berkata kepadanya, “Nah, sekarang apa lagi yang akan kau lakukan? Kau sudah tidak memiliki apa-apa lagi, karena kecuranganmu telah aku ketahui.”
Mahisa Murti menggeretakkan giginya. Sementara itu Sambega dan Widigda yang sedang mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi masing-masing dua orang lawan menjadi berdebar-debar pula. Mereka menjadi heran namun bangga bahwa Mahisa Murti memiliki kemampuan yang jarang dimiliki orang lain. Tetapi ternyata lawannya yang bertubuh raksasa itu mampu membacanya.
Meskipun demikian kedua orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sendiri terikat dalam pertempuran yang tidak dapat mereka elakkan. Bahkan mereka justru mulai terdesak karena kemampuan lawan mereka yang sulit untuk dapat diimbangi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti tidak lagi dapat mengekang kemarahannya. Sikap orang bertubuh raksasa itu benar-benar menyakiti hatinya. Apalagi orang itu sudah menciderai beberapa orang cantriknya sehingga terluka parah. Karena itu selagi orang-orang yang sedang bertempur itu dicengkam oleh ketegangan, maka Mahisa Murti telah mengerahkan segenap nalar budinya.
Ia tidak lagi sekedar ingin menghisap tenaga dan kemampuan lawannya Tetapi ia benar-benar ingin membinasakan lawannya yang bertubuh raksasa, yang telah benar-benar bernafsu untuk membunuh para cantriknya sebanyak-banyaknya serta membunuh Mahisa Murti itu sendiri serta telah pula menghina dan menyakiti hatinya.
Karena itu, ketika orang bertubuh raksasa itu berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa berkepanjangan karena ia merasa telah menemukan kelemahan lawannya sehingga akan segera dapat mengakhiri perlawanan anak muda itu, Mahisa Murti telah menghentakkan ilmunya yang lain.
Dengan mengerahkan segenap ilmu yang ada di dalam dirinya, maka Mahisa Murti telah melangkah setengah langkah ke depan. Ketika ia merendah sedikit pada lututnya, maka Mahisa Murti telah menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangannya menghadap ke arah orang bertubuh raksasa itu.
Ternyata sesuatu yang dahsyat telah terjadi. Dari kedua telapak tangan Mahisa Murti seakan-akan telah meluncur cahaya kilat yang menyilaukan. Dengan kecepatan lebih dari sepuluh kali lipat dari kecepatan anak panah yang meluncur dari busurnya, sinar kilat yang menyilaukan itu telah menghantam tubuh lawannya yang sedang tertawa berkepanjangan itu.
Ketika orang itu melihat cahaya yang meletik dari telapak tangan Mahisa Murti, ia memang terkejut. Tetapi segalanya telah terlambat. Ia masih menyadari ketika sinar itu menghantam tubuhnya yang kemudian bagaikan telah meledak. Suara tertawanya yang terputus di sambung oleh teriakan yang mengerikan menggetarkan udara Padepokan Bajra Seta. Tubuh raksasa itu terlempar beberapa langkah. Namun kemudian jatuh terbanting di tanah. Tubuhnya menjadi bagaikan hangus terbakar terkapar tidak bergerak sama sekali.
Mahisa Murti pun kemudian berdiri tegak sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Dipandanginya tubuh yang terkapar di tanah itu. Beberapa orang cantrik pun telah melingkarinya dengan wajah tegang.
Pertempuran di halaman Padepokan Bajra Seta itu pun bagaikan terhenti sesaat. Orang-orang berilmu tinggi yang sedang bertempur itu pun menjadi termangu-mangu sejenak. Tidak seorang pun yang menyangka, bahwa Mahisa Murti yang masih muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Bahkan Sambega dan Widigda pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Di dalam hati mereka merasa bersyukur, bahwa Sambega tidak berselisih dan apalagi bertempur dengan Mahisa Murti saat ia berusaha mengambil Mahisa Amping. Karena mereka menyadari, betapapun tinggi ilmu Sambega, namun ia tidak akan mampu mengimbangi ilmu Mahisa Murti itu.
Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun berkata, “Sekarang aku tidak akan berusaha mengekang diri lagi. Aku tidak mau direndahkan di Padepokanku sendiri. Padepokan Bajra Seta. Aku tidak mau seseorang bertindak sewenang-wenang terhadap cantrik-cantrik di Padepokan ini, karena akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Karena itu, maka aku peringatkan kepada mereka yang masih hidup untuk menghentikan pertempuran. Jika kalian tidak mau mendengar kata-kataku, maka aku akan mendatangi kalian seorang demi seorang. Kalian akan mengalami nasib yang sama seperti orang itu, Jika saja ia tidak menghina dan merendahkan aku, mungkin ia tidak akan mengalami nasib yang buruk.”
Orang-orang berilmu tinggi yang datang bersama-sama dengan Lengkara itu pun termangu-mangu. Kematian orang bertubuh raksasa itu telah menggoncangkan kesombongan mereka. Jika semula mereka mengira akan dapat menghancurkan penghuni padepokan itu dan kemudian memilikinya, maka kemudian mereka harus berpikir ulang.
Dalam pada itu sekali lagi Mahisa Murti berkata lantang, “Menyerahlah. Kalian tidak akan dapat luput dari tanganku jika kalian masih akan meneruskan perlawanan. Yang akan terjadi kemudian adalah pertempuran yang jujur. Lengkara akan bertempur dengan saudara seperguruannya, Ki Sambega, seorang melawan seorang. Persoalannya adalah persoalan mereka. Siapa yang masih ingin ikut campur akan aku hancurkan sampai hangus seperti orang itu.”
Orang-orang berilmu tinggi itu menjadi gelisah. Mereka tidak akan dapat bersama-sama menghadapi Mahisa Murti karena para cantrik yang jumlahnya cukup banyak itu telah mengepung mereka dan mengikat mereka dalam pertempuran-pertempuran. Meskipun mereka akan mampu bertahan menghadapi para cantrik itu dan bahkan jika mereka mendapat waktu yang cukup, maka mereka akan dapat menghancurkan para cantrik itu, namun jika Mahisa Murti mendatangi mereka seorang demi seorang, maka mereka benar-benar akan dapat ditumpas habis.
Karena orang-orang itu masih ragu-ragu, maka Mahisa Murti pun mengulangi, “Masih aku beri kesempatan terakhir. Minggirlah. Beri kesempatan Lengkara dan Sambega berperang tanding karena persoalannya menyangkut mereka berdua secara pribadi. Yang lain sebaiknya tidak ikut campur, atau akan berhadapan dengan aku.”
Orang-orang yang datang bersama Lengkara itu ternyata tidak mau menghadapi kemungkinan terburuk seperti yang terjadi atas kawan mereka yang bertubuh raksasa itu. Apalagi dua orang yang sempat disusut tenaga dan kemampuannya oleh Mahisa Murti. Mereka memang telah menyadari, bahwa mereka akan jatuh ke tangan para cantrik dan bahkan mungkin mengalami nasib yang sangat buruk.
Karena itu, orang yang agak gemuk itulah yang pertama kali berkata, “ Baiklah. Aku akan menyingkir dari persoalan ini.”
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menyahut, “Aku juga akan menarik diri. Persoalan ini memang bukan persoalanku.”
Lengkara yang menjadi gelisah berteriak, “Pengecut kau. Kita akan menghancurkan Padepokan Bajra Seta.”
Tetapi orang yang berjanggut mulai keputih-putihan menjawab, “Lengkara. Maafkan kami. Kami tidak mau menjadi korban karena kemarahanmu yang tidak terkendali itu."
“Kita sudah bertekad untuk melakukannya” teriak Lengkara.
“Aku tidak mau dibakar oleh ilmu anak muda yang dahsyat itu” berkata yang lain, “barangkali aku masih sanggup menghadapi ilmu yang lain. Tetapi jangan ilmu seperti itu. Atau jangan pula ilmu yang mampu menghisap tenaga dan kemampuan seseorang.”
Yang berbicara kemudian adalah Widigda, “Aku sangat menghargai pendapat angger Mahisa Murti. Persoalan antara Lengkara dan Sambega, biarlah mereka selesaikan sendiri. Persoalan itu adalah persoalan yang sangat pribadi.”
Wajah Lengkara menjadi sangat tegang. Tetapi kawan-kawannya agaknya benar-benar tidak lagi bersedia turun ke arena pertempuran sehingga dengan demikian ia pun akan berdiri sendiri.
Mahisa Murti lah yang kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata, “Nah, kau dapat memilih, Lengkara. Kau lakukan perang tanding dengan jujur itu, atau kau akan bertempur melawan aku, karena aku tidak mau kau berlaku curang di sini.”
Wajah Lengkara menjadi sangat tegang. Dipandanginya sekilas Sambega yang berdiri tegak. Matanya memancarkan dendam yang tiada taranya yang bergejolak di dalam jantungnya. Untuk beberapa saat Lengkara termangu-mangu. Ketika ia berniat mencari dan membunuh sampai mati Sambega, maka ia tidak pernah merasakan keragu-raguan sedikit pun. Tetapi kemudian ternyata bahwa ia harus menilai kembali sikapnya itu.
Tetapi agaknya sudah terlambat. Sambega lah yang melangkah maju sambil berkata, “Lengkara. Marilah. Kita akan menyelesaikan persoalan kita dengan jujur. Persoalannya adalah persoalan di antara kau dan aku. Persoalan mi tidak menyangkut kakang Widigda. Lebih-lebih lagi angger Mahisa Murti dan seisi padepokannya ini. Karena itu, maka bersiaplah. Kita akan segera mulai dengan perang tanding yang jujur.”
Wajah Lengkara menjadi semakin tegang. Sementara itu Sambega pun berkata, “Lengkara. Bersiaplah. Aku akan segera mulai. Aku tidak akan memperhitungkan apakah kau sudah bersiap atau belum. Namun karena kau sudah berada di sini, maka kau tentu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.”
Wajah Lengkara bukan saja menjadi semakin tegang. Tetapi wajah itu justru mulai menjadi pucat. Apalagi ketika ia melihat Sambega itu melangkah surut sambil mempersiapkan diri untuk bertempur. Bagaimanapun juga Lengkara tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat menandingi Sambega yang ternyata telah mematangkan ilmu yang sama-sama mereka sadap dari guru yang sama. Karena itu, ketika Sambega siap untuk melontarkan serangan, Lengkara itu berkata terbata-bata, “Nanti dulu kakang. Jangan tergesa-gesa.”
Sambega mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Sejak kapan kau mengaku bahwa aku adalah saudara seperguruanmu yang memiliki tataran yang lebih tua?"
“Bukankah kita dapat berbicara dengan baik? Bukankah kakang tidak akan membawa dendam di hati kakang itu berkepanjangan tanpa ada batas akhirnya?” berkata Lengkara dengan gagap.
“Apa yang sebenarnya kau kehendaki, Lengkara? Kau datang dengan niat yang bulat untuk membunuhku, karena usahamu beberapa waktu yang lalu telah gagal. Sekarang kau bertanya, apakah aku mendendammu tanpa batas akhir? Apa sebenarnya maumu? Siapakah yang datang memburu? Aku atau kau?” bertanya Sambega.
“Tetapi bukankah kita mempunyai nalar budi. Mempunyai mulut untuk berbicara dengan baik?” Lengkara menjadi semakin gelisah.
“Sekarang, bersiaplah” berkata Sambega, “sudah aku katakan apakah kau bersiap atau tidak, aku akan segera mulai.”
“Kakang” potong Lengkara.
Sambega tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian benar-benar telah mempersiapkan dirinya untuk bertempur. Namun tiba-tiba saja Lengkara telah berlutut di hadapannya. Orang yang berwajah garang itu dengan memelas minta belas kasihan saudara seperguruannya, “Kakang, aku mohon ampun.”
“Apakah kau masih berhak minta ampun? Jika kau mampu menghidupkan kembali isteri dan anakku yang kau bunuh tanpa melakukan kesalahan itu, maka kau akan aku ampuni.”
Adalah diluar dugaan. Lengkara yang datang untuk membunuh itu tiba-tiba saja menangis. Sambil menyembah di hadapan Sambega ia minta untuk diampuni. “Waktu itu, aku melakukannya tanpa kesadaran kakang. Iblis telah merasuk di dalam jiwaku, sehingga aku telah melakukan apa yang tidak aku kehendaki.”
“Dan bagaimana perasaanmu ketika kau berangkat mencari aku dengan niat untuk membunuhku?” bertanya Sambega.
“Iblis itu memang belum meninggalkan jiwaku. Nalar budiku telah dicengkamnya sehingga aku tidak mampu melawan bisikannya yang jahat itu.” Lengkara pun menangis dihadapan Sambega.
“Lengkara” berkata Sambega dengan nada berat, “sekarang, jantungku juga sedang dikuasai oleh iblis yang sama dengan iblis yang merasuki jiwamu. Karena itu, maka aku pun tidak mampu melawan bisikannya. Aku ingin membunuhmu.”
“Ampun, kakang. Aku mohon ampun” sambil berlutut dan membungkuk sampai dahinya menyentuh tanah, Lengkara menangis seperti kanak-kanak.
“Pengecut kau” Sambega membentak keras-keras, “bangkit. Kita selesaikan persoalan kita sebagaimana seorang laki-laki menyelesaikan persoalannya. Kau sudah terlanjur membunuh isteri dan anakku. Aku tidak peduli apa yang kau lakukan itu.”
“Kakang, aku mohon ampun kakang. Aku mohon ampun” tangis Lengkara sambil berpegangan kaki Sambega.
Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantung Sambega. Dendamnya sampai menggapai langit. Tetapi ia tidak dapat membunuh seseorang yang tidak siap melawannya dalam pertempuran yang jujur. Ia tidak dapat memukul kepala Lengkara selagi orang itu membungkuk sambil menangis, berpegangan kakinya untuk mohon ampun. Meskipun Sambega sudah siap dengan ilmu puncaknya, namun ia masih menahan diri. Gejolak perasaannya itu justru membuat dadanya menjadi sesak.
Sementara itu Lengkara masih menangis sambil mohon ampun. Ia berpegangan kaki Sambega erat-erat, seakan-akan tidak akan dilepaskannya. Dengan demikian maka Sambega menjadi semakin ragu-ragu. Yang terdengar adalah gemeretak giginya menahan dendam yang membakar dadanya. Tangannya sudah siap menaburkan ilmu puncaknya itu menjadi gemetar. Tetapi ia tidak meremas kepala Lengkara yang seakan-akan telah pasrah.
Sambil menghentakkan tangannya Sambega itu berkata lantang, “Bangkit kau pengecut. Kita akan menyelesaikan persoalan kita. Cepat, atau aku akan meremukkan kepalamu tanpa perlawanan sama sekali.”
“Ampun kakang, ampun” tangis Lengkara.
Sambega masih menggeretakkan giginya sambil menahan diri. Namun ia sama sekali tidak menyangka, bahwa sambil berpura-pura menangis, Lengkara telah mempersiapkan serangan ilmu pamungkasnya. Karena itu, ketika Lengkara menduga bahwa Sambega telah menjadi lengah, tiba-tiba saja Lengkara itu bangkit berdiri dengan cepat. Segala kekuatan dan kemampuan ilmunya telah dipusatkannya pada sisi telapak tangannya.
Sambega terkejut. Tetapi semuanya itu terjadi demikian cepatnya sehingga tidak banyak memberi kesempatan kepada Sambega untuk melawan serangan yang tiba-tiba itu dengan segenap kemampuannya. Dengan demikian, ketika tangan Lengkara itu terayun, maka Sambega telah berusaha mengerahkan ilmunya dengan sangat tergesa-gesa. Sambega hanya dapat sekedar menyilangkan kedua tangannya untuk menyalurkan ilmunya itu membentur kekuatan ilmu Lengkara yang dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.
Benturan itu kemudian telah terjadi. Akibatnya memang sangat mengejutkan. Lengkara yang mendapat kesempatan jauh lebih baik dari saudara seperguruannya sempat mengungkapkan segenap kemampuan ilmunya, sementara Sambega tidak mempunyai kesempatan sebagaimana Lengkara. Untunglah bahwa sejak sebelumnya ia sudah mempersiapkan diri pada tataran ilmu tertingginya, sehingga dengan demikian, maka sisi telapak tangan Lengkara itu masih juga tertahan oleh tangan Sambega yang bersilang.
Namun Sambega itu telah terdorong beberapa langkah surut. Benturan itu bagaikan hentakan yang sangat kuat yang terjadi di dalam dirinya. Benturan ilmu yang tidak seimbang itu seolah-olah telah memental dan memukul bagian dalam dada Sambega.
Semua orang yang menyaksikan serangan itu terkejut. Mereka tidak mengira sama sekali, bahwa demikian liciknya Lengkara sehingga dengan sangat curang ia telah berusaha membunuh saudara seperguruannya itu.
Sebenarnyalah Lengkara memang sudah tidak lagi dapat berpikir bening. Meskipun ia sendiri terdorong selangkah surut, namun keadaannya jauh lebih baik dari Sambega. Dalam keadaan putus asa, maka ia tidak mempunyai pilihan kecuali membunuh Sambega dengan cara apapun juga tanpa memikirkan akibat yang dapat terjadi pada dirinya.
Dalam pada itu, ketika ia melihat Sambega terhuyung-huyung beberapa langkah surut, maka Lengkara telah mempersiapkan dirinya kembali. Dalam sekejap ia pun telah meloncat memburu Sambega untuk mengayunkan serangannya yang kedua. Dengan demikian maka ilmunya akan dapat menghancurkan dahi Sambega yang sudah tidak akan mampu melawannya sama sekali.
Namun Lengkara itu pun terkejut pula. Demikian ia meluncur sambil mengayunkan tangannya untuk menghancurkan dahi Sambega dengan sisi telapak tangannya, maka Lengkara itu pun melihat bayangan lain yang sempat meloncat membentur serangannya.
Dua kekuatan ilmu puncak yang bersumber dari perguruan yang sama telah saling berbenturan. Widigda yang sangat marah melihat sikap dan perbuatan Lengkara telah dengan serta merta melibatkan dirinya. Meskipun agak tergesa-gesa, tetapi Widigda masih sempat menyiapkan ilmunya dengan mapan. Demikian Lengkara meloncat memburu Sambega, maka Widigda telah membentur ilmu adik seperguruannya itu dengan ilmu yang sama.
Ternyata Widigda juga terguncang, sehingga ia pun telah terdorong selangkah surut. Namun akibatnya bagi Lengkara ternyata sangat buruk. Karena ia tidak dapat mempersiapkan ilmunya sebagaimana yang diayunkan menghantam Sambega yang pertama, maka benturan itu telah menentukan segala-galanya. Lengkara masih sempat melihat Widigda yang sudah tidak berdaya.
Lengkara pun sempat merasakan benturan yang terjadi. Demikian dahsyatnya, sehingga seisi dadanya seakan-akan telah meledak sehingga seluruh isi dadanya itu telah menjadi rontok karenanya. Lengkara sempat mengumpat kasar. Namun ketika kemudian tubuhnya terbanting jatuh, maka ia pun segera terdiam. Lengkara hanya sekali menggeliat. Selanjutnya, maka Lengkara itu telah terbunuh oleh saudara seperguruannya sendiri.
Widigda pun kemudian berdiri terengah-engah. Benturan itu telah menyakiti dadanya pula. Nafasnya memang terasa sesak. Namun daya tahannya masih mampu mengatasinya.
Halaman itu sekejap menjadi hening. Bahkan angin pun seakan-akan telah berhenti berhembus. Tiga sosok tubuh terbaring diam di halaman itu. Tubuh raksasa yang bagaikan menjadi hangus. Kemudian tubuh Lengkara yang juga sudah tidak bernafas lagi. Sedangkan tubuh Sambega juga nampak terbaring diam. Tetapi ketika kemudian Mahisa Murti menempelkan telinganya di dadanya, ia masih mendengar detak jantungnya betapapun lambatnya.
Ternyata Widigda masih mampu mengatasi perasaan sakitnya. Ia pun tergesa-gesa mendekati Sambega yang terbaring. “Ia pernah mengalami keadaan serupa. Tetapi waktu itu dengan luka-luka di tubuh dan wajahnya, ternyata ia masih dapat ditolong. Yang Maha Agung masih memperkenankan Sambega menyambung umurnya.” desis Widigda.
“Mudah-mudahan kali ini, Ki Sambega masih dapat diselamatkan pula.” desis Mahisa Murti.
“Aku akan mencoba mengobatinya” berkata Widigda, “namun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Agung.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Wantilan dan Mahisa Semu telah mempersiapkan para cantrik untuk mengamati kawan-kawan Lengkara yang masih ada di halaman itu, sementara Mahisa Amping menunggui para cantrik yang sedang dirawat.
Namun ternyata bahwa kawan-kawan Lengkara yang datang bersamanya tidak berbuat apa-apa. Mereka benar-benar telah menyerah setelah mereka melihat bagaimana Mahisa Murti menghabisi perlawanan orang bertubuh raksasa itu, sedangkan Lengkara telah dihancurkan oleh saudara seperguruannya sendiri.
Ternyata Widigda masih mempunyai harapan atas Sambega yang terluka parah. Beberapa orang cantrik pun kemudian telah membawanya ke pendapa, sementara Widigda dengan obat-obatan yang dibawanya mencoba untuk mengobati luka-luka Sambega. Bukan saja yang dapat dilihat pada kulit dan dagingnya, tetapi juga luka di bagian dalam tubuhnya.
Mahisa Murti lah yang kemudian berbicara kepada kawan-kawan Lengkara, “Nah, siapakah di antara kalian yang ingin membela Lengkara? Katakan. Serta cara apakah yang dikehendaki. Perang tanding atau cara yang lain?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Orang-orang yang sudah dikumpulkan itu hanya menundukkan kepalanya saja. Gambaran mereka tentang Padepokan Bajra Seta benar-benar telah pecah berserakan. Mereka mengira bahwa Padepokan yang dipimpin oleh seorang yang masih sangat muda itu, tidak lebih dari sekedar nafsu ketamakan anak muda itu saja. Tanpa menimbang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, anak yang masih muda itu telah membuat sebuah padepokan.
Tetapi ternyata bahwa dugaan itu salah. Anak muda itu bukan sekedar seorang yang dibakar oleh gejolak kemudaannya serta landasan ketamakannya yang melambung sampai ke langit. Namun anak muda itu benar-benar seorang anak muda yang memiliki bekal yang sangat mencukupi. Karena itu, maka sembilan orang kawan Lengkara itu pun segera diperlakukan sebagai tawanan yang dijaga sangat ketat oleh para cantrik, karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Sembilan orang itu telah disimpan dalam bilik-bilik terpisah agar mereka tidak dapat saling berbincang yang satu dengan yang lain. Apalagi merencanakan sesuatu yang dapat menggoncangkan ketenangan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Widigda yang merawat saudara seperguruannya, semakin berpengharapan, bahwa Sambega itu dapat sembuh kembali Dalam pada itu, Lengkara dan orang yang bertubuh raksasa itu pun telah dikuburkan pula. Beberapa orang cantrik yang terluka telah mendapat perawatan sebaik-baiknya.
Untunglah, meskipun luka mereka cukup parah, tetapi dengan bantuan Ki Widigda, maka agaknya luka-luka mereka akan dapat diobati.
Di hari-hari berikutnya, Widigda dan Mahisa Murti sempat berbincang dengan sembilan orang kawan Lengkara seorang demi seorang. Pada umumnya mereka memang sering menyalah gunakan kemampuan mereka yang tinggi untuk kepentingan diri mereka. Bahkan kadang-kadang dengan kekerasan mereka merampas milik orang lain.
“Kenapa kalian tidak memanfaatkan kemampuan kalian untuk hal-hal yang baik?” bertanya Widigda.
“Aku tidak pernah mendapat kesempatan” jawab orang yang agak gemuk, yang telah kehilangan sebagian kekuatan dan kemampuannya karena terhisap oleh ilmu Mahisa Murti. Namun yang ternyata kemudian telah pulih kembali.
“Ketika aku mulai berguru” berkata orang itu, “sama sekali tidak terlintas di kepalaku, bahwa pada suatu saat aku akan melakukan perbuatan yang melawan nilai-nilai hubungan antar sesama itu.”
“Jadi bagaimana hal itu kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menunduk dalam-dalam. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Aku tidak mempunyai kesempatan yang lain. Aku tidak mempunyai kecakapan dan ketrampilan berbuat apapun selain berkelahi. Karena itu, maka aku telah terjerumus ke dalam dunia kekerasan seperti ini.”
“Apa yang kau maksud dengan kesempatan itu?” desak Mahisa Murti.
“Di padukuhanku, aku tidak mendapat kepercayaan untuk menjadi bebahu padukuhan apalagi bebahu Kabuyutan. Aku dianggap orang yang tidak mempunyai pengalaman apapun sehingga aku tersisih dari kemungkinan mendapat pekerjaan yang wajar. Sementara itu bagaimana mungkin aku tiba-tiba saja mendapatkan pengalaman jika tidak seorang pun pernah memberikan kesempatan.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak. Seharusnya kau tidak tergantung kepada kesempatan yang diberikan orang lain. Apakah kau tidak mempunyai sawah atau pategalan? Maksudku, apakah orang tuamu tidak mempunyai sehingga kau lebih senang bertualang daripada mengerjakan sawah, ladang dan pekarangan?”
Orang itu menundukkan kepalanya. Katanya dengan nada rendah hampir tidak terdengar, “Aku tidak mempunyai gairah untuk mengerjakan sawah dan ladang.”
“Apakah aku boleh menyebut sifat seseorang sebagaimana kau Ki Sanak?” bertanya Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan dahinya, sementara tanpa menunggu jawabnya, Mahisa Murti berkata, “Menurut pendapatku, kau terlalu malas. Kau ingin melakukan pekerjaan yang mudah, cepat dan mendapat hasil yang banyak tanpa menghiraukan kesulitan yang kau timbulkan pada orang lain.”
Orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya, “Dengan modal kemampuanmu dalam olah kanuragan, maka kau dapat berbuat sewenang-wenang. Orang lain tidak mampu mencegahmu, karena kau akan membinasakannya. Tetapi dengan tindakanmu itu, maka kau tidak lagi menjadi bagian dari hidup bebrayan.”
Orang itu menarik nafas panjang. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Aku menyadarinya.”
“Selanjutnya tergantung kepadamu, apakah kau akan berubah atau tidak. Jika kau merubah, maka kau harus merubah menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya. Jika kau benar-benar berbuat demikian, maka hidupmu akan memberikan arti, bukan saja bagimu sendiri. Tetapi juga bagi bebrayan agung. Bagi banyak orang.”
Orang itu mengangguk-angguk kecil. Dari sorot dimatanya, Mahisa Murti dan Widigda memang melihat penyesalan yang dalam. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Ki Sanak. Jika kau bersungguh-sungguh akan berubah, maka kau masih mempunyai kesempatan.”
Orang itu mengangguk lemah. Namun tiba-tiba berkata perlahan-lahan dengan penuh keraguan, “Ki Sanak. Jika diperkenankan, aku ingin tinggal di padepokan ini. Meskipun seandainya aku tidak diterima sebagai cantrik, biarlah aku menjadi juru madaran atau budak sekalipun.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pun menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti apakah orang itu benar-benar berubah atau hanya berubah untuk sementara. Jika kehadirannya justru membawa pengaruh yang kurang baik bagi murid-muridnya, maka di antara benih yang ditaburnya di padepokan itu telah tumbuh pula benalu yang ganas.
Mahisa Murti sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu curiga. Namun perubahan yang tiba-tiba akan dapat mengelabuinya karena perubahan itu hanya akan terjadi sementara. Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Bukan maksudku untuk menolak kehadiranmu di Padepokan Bajra Seta. Tetapi kau sendirilah yang kemudian akan terkekang di sini. Karena itu, maaf bahwa untuk sementara aku tidak dapat menerima niatmu yang sebenarnya sangat baik itu. Seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Tetapi sayang, untuk waktu dekat ini, aku belum dapat menerima. Aku tidak tahu, apakah pada waktu yang lain, aku dapat membuka pintu bagimu.”
Orang bertubuh agak pendek itu menunduk. Ia tahu bahwa ia tidak akan dapat membersihkan namanya dalam sekejap. Itu pun seakan-akan ia terpaksa melakukan karena tidak mempunyai pilihan lain. Dengan nada rendah ia berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku mengerti bahwa untuk mengunjungi perjamuan, aku memang harus mandi dahulu, berbenah diri dan memakai pakaian yang patut. Karena itu, biarlah aku melakukannya. Jika kelak pada suatu saat, aku merasa sudah patut untuk mengunjungi perjamuan, maka aku akan datang kembali.”
“Maaf Ki Sanak. Jangan diartikan sebagai satu penolakan. Tetapi aku tinggal bersama banyak orang di Padepokan Bajra Seta ini, sehingga aku harus memperhitungkan banyak kemungkinan pula.”
Orang yang bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk kecil. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia masih berada dibawah bayangan kesalahan yang dilakukannya karena ia ikut bersama Lengkara menyerang Padepokan itu.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Widigda berbicara dengan orang-orang yang lain, ternyata sebagian besar dari mereka berniat tinggal di Padepokan Bajra Seta. Namun Mahisa Murti terpaksa belum dapat menerima mereka. Tetapi kepada mereka Mahisa Murti berkata,
“Tetapi jika setiap saat kalian datang ke Padepokan Bajra Seta, maka kami akan menyambut kalian dengan sebaik-baiknya. Kalian akan kami terima sebagai sahabat kami yang baik selama kalian tidak melakukan perbuatan yang tercela. Tetapi jika kalian masih melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai kehidupan banyak orang, maka kami, orang-orang Padepokan Bajra Seta adalah musuh-musuh kalian yang utama.”
Orang-orang itu menyadari arti ancaman Mahisa Murti. Mereka pun menyadari bahwa ancaman itu bukan ancaman sekedar menakut-nakuti mereka, karena Mahisa Murti memang seorang yang berilmu sangat tinggi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti memang tidak bermaksud untuk tetap menahan orang-orang itu di padepokannya. Ketika mereka sudah berada di Padepokan Bajra Seta selama sepuluh hari sebagai tawanan, maka di hari berikutnya, Mahisa Murti berniat untuk melepaskan mereka.
Namun Mahisa Murti sempat mempertemukan mereka dengan Sambega yang masih terbaring karena luka-luka di bagian dalam tubuhnya meskipun keadaannya sudah berangsur menjadi baik. Mereka juga dibawa oleh Mahisa Murti menemui para cantrik yang terluka parah. Bahkan seorang di antara para cantrik itu masih belum dapat bangkit dan duduk di pembaringannya karena luka-lukanya yang parah, meskipun agaknya jiwanya akan dapat tertolong.
Orang-orang itu memang menundukkan kepalanya. Mereka seakan-akan dihadapkan pada sebuah cermin untuk melihat cacat-cacat jiwanya yang dapat merugikan dan bahkan mengancam keselamatan orang lain yang tidak bersalah sama sekali. Orang-orang yang tiba-tiba saja dihadapkan pada satu bencana yang mengancam jiwanya.
Kepada orang-orang yang akan dilepaskannya itu Mahisa Murti masih memberikan beberapa pesan. Dengan memperhatikan orang-orang yang terluka itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Nah, kalian harus selalu mengingat, bahwa orang-orang yang terluka itu tidak bersalah. Banyak peristiwa dapat terjadi, bahwa orang yang tidak bersalah dapat menjadi korban karena ketamakan seseorang.”
Orang-orang yang akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta itu mengangguk-angguk. Mereka benar-benar tersentuh oleh pesan Mahisa Murti. Bahkan untuk menekankan pesan-pesannya Mahisa Murti berkata,
“Ki Sanak. Aku dapat berkata dengan nada lunak kepada kalian. Tetapi pada dasarnya aku bukan seorang yang sabar. Jika aku mendengar kalian masih melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesediaan kalian sendiri, maka aku tidak akan segan-segan berbuat sebagaimana sudah aku lakukan.”
Orang-orang itu hanya menunduk saja, sementara Widigda menambahkan, “Aku dan Sambega yang sudah mulai sembuh akan berbuat sebagaimana angger Mahisa Murti. Kami pun tidak akan segan-segan berbuat sesuatu yang barangkali keras dan kasar atas seseorang di antara kalian yang masih akan mengulangi perbuatan kalian.”
Orang-orang itu masih saja berdiam diri. Mereka memang tidak dapat mengatakan sesuatu. Namun di wajah mereka terbayang kesediaan mereka untuk melakukan pesan-pesan itu.
Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Seperti yang sudah aku katakan, pintu Padepokan Bajra Seta selalu terbuka buat kalian. Datanglah kapan saja kalian ingin datang. Kalian akan kami terima dengan senang hati.”
Dengan suara yang bergetar seorang di antara mereka pun kemudian menyatakan terima kasih mereka atas perlakuan yang mereka alami. Meskipun mereka datang dengan niat yang jahat, namun mereka mendapat perlakuan yang baik dan bahkan mereka merasa seakan-akan mereka menjadi tamu Padepokan yang telah mereka kacaukannya itu. Bahkan beberapa orang cantrik telah jatuh menjadi korban.”
“Kami tidak dapat mengatakan apapun selain ucapan terima kasih yang tidak terhingga. Mudah-mudahan kami dapat mengungkapkan perasaan terima kasih itu dengan tingkah laku kami setelah kami meninggalkan Padepokan Bajra Seta ini.”
Mahisa Murti pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku percaya bahwa kalian akan dapat melakukannya.”
Demikianlah maka orang-orang itu pun segera minta diri. Mahisa Murti, Widigda dan beberapa orang yang lain mengantar mereka sampai ke pintu gerbang halaman Padepokan Bajra Seta.
Diluar pintu gerbang, seorang di antara mereka yang meninggalkan Padepokan Bajra Seta itu berkata, “Kami akan berpencar. Jika kami masih bergabung, maka masih ada kemungkinan kami mengulangi perbuatan kami. Jika kami berpencar, seandainya ada di antara kami yang terjerumus kembali ke dalam dunia yang hitam itu, maka biarlah yang lain memperingatkan kami. Kami sudah bersepakat untuk setiap kali bertemu dan menilai kembali jalan kehidupan kami masing-masing.”
“Dimana kalian akan bertemu?” bertanya Widigda.
“Tiga bulan lagi kami akan bertemu di rumahku” jawab orang yang bertubuh agak gemuk, “selanjutnya kami akan menemukan kapan dan dimana kami akan bertemu lagi.”
“Bagus” desis Widigda. Seakan-akan diluar sadarnya ia berpaling kepada Mahisa Murti. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Meskipun demikian Mahisa Murti melihat bahwa ada yang akan dikatakan oleh Widigda. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apakah ada pendapat yang dapat membantu mereka?”
Widigda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana jika pertemuan itu dilakukan di Padepokan Bajra Seta jika angger Mahisa Murti mengijinkan?”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Tentu. Aku tidak akan berkeberatan. Bukankah aku mempersilahkan mereka untuk setiap kali singgah di Padepokan Bajra Seta ini.”
“Nah” berkata Widigda, “kau dengar itu?”
“Terima kasih” berkata salah seorang dari mereka, “kami tentu akan sangat bersenang hati atas kesempatan itu. Jika kami sudah mengadakan pertemuan yang pertama itu, maka kami akan datang untuk memberitahukan, kapan kami akan mengunjungi dan bertemu di Padepokan ini.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku menunggu. Seperti yang sudah aku katakan, pintu Padepokan ini terbuka bagi kalian.”
“Terima kasih” jawab beberapa orang hampir berbareng.
Demikianlah, maka sembilan orang itu telah meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Mereka memang berpencar seperti yang mereka katakan. Ada yang berdua, tetapi ada juga yang bertiga. Mereka mencoba untuk tidak saling bergantung dan saling mempengaruhi agar mereka tidak terjerumus lagi ke dalam kelakuan mereka terdahulu. Dengan berpencar mereka akan mendapatkan suasana baru dalam petualangan dan pengembaraan mereka. Namun ternyata dengan demikian, orang-orang itu mulai merindukan rumah mereka, kampung halaman mereka dan bayangan tentang hidup sewajarnya.
Sepeninggal mereka, maka Widigda lah yang nampak banyak merenung. Rasa-rasanya ada sesuatu yang dipikirkannya. Tetapi Mahisa Murti mencoba untuk mengerti. Sambega masih terbaring di pembaringan meskipun keadaannya menjadi berangsur baik.
Namun diluar pengetahuan Mahisa Murti, Widigda dan Sambega telah berbicara di antara mereka. Dengan penuh kesungguhan Sambega berkata, “Kakang, nampaknya di Padepokan Bajra Seta ini aku menemukan ketenangan. Jiwaku yang gelisah oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi atas diriku, membuat aku hampir menjadi putus asa. Aku kira aku tidak akan pernah mengalami satu kesempatan bahwa aku masih merasa hidup di antara orang-orang lain. Tetapi ternyata di sini aku telah menemukannya.”
Widigda mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Sambega. Tetapi ternyata angger Mahisa Murti tidak atau barangkali belum dapat menerima kawan-kawan Lengkara tinggal di sini. Meskipun kita tahu, bahwa Mahisa Murti tentu akan dapat membedakan antara kau dan Lengkara.”
“Apakah kira-kira angger Mahisa Murti masih mencurigai aku?” bertanya Sambega.
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut dugaanku, angger Mahisa Murti tidak akan mencurigaimu lagi. Meskipun demikian, aku tidak tahu apa yang tersimpan di hatinya.” berkata Widigda.
Sambega mengangguk-angguk kecil. Namun katanya kemudian, “Kakang, bagaimanapun juga aku akan mencoba untuk menyampaikan hal ini kepada angger Mahisa Murti. Tetapi untuk memperkuat kemungkinan agar permohonanku kepada angger Mahisa Murti, aku minta kakang Widigda menyampaikan hal ini kepadanya. Kakang tahu, bahwa aku tertarik sekali kepada angger Mahisa Amping yang umurnya kira-kira sama dengan umur anakku saat ia terbunuh. Selain Padepokan Bajra Seta ini terasa tenang, aku pun dapat ikut membantu perkembangan anak itu. Meskipun ilmu angger Mahisa Murti tidak tertandingi, namun aku dapat melengkapinya dengan sedikit kemampuan yang ada padaku.”
Widigda mengangguk-angguk. Katanya, “Sambega. Aku akan mencobanya. Tetapi keputusan terakhir berada di tangan angger Mahisa Murti. Mudah-mudahan ia dapat mengerti perasaanmu dan sekaligus tidak mencurigaimu lagi.”
“Terima kasih kakang.” desis Sambega. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Selanjutnya, apakah rencana kakang Widigda sendiri dalam waktu dekat?”
“Aku akan pulang. Bukankah aku mempunyai keluarga? Selain itu, aku harus menjaga padepokan kecil yang telah ditinggalkan oleh guru yang telah menghadap kembali kepada Yang Maha Agung. Bagaimanapun juga tempat itu pernah menjadi tempat kita menempa diri, meskipun hasilnya tidak lebih dari apa yang kita miliki sekarang serta perselisihan di antara saudara seperguruan.”
Sambega mengangguk kecil. Katanya, “Syukurlah jika kakang Widigda bersedia memelihara padepokan kecil kita. Sekali-sekali kita memang merindukan masa-masa silam meskipun kita sadar, bahwa kita tidak akan dapat kembali ke masa itu.”
Widigda menarik nafas dalam-dalam. Keinginan Sambega itu akan menjadi beban baginya. Meskipun agak ragu, Widigda bertanya, “Sambega, apakah tidak pernah terpikir olehmu, bahwa kau akan tinggal di padepokan kita itu?”
“Sebenarnyalah aku juga ingin melakukannya kakang. Tetapi jika aku berada di padepokan kecil itu, maka aku akan selalu dibayangi oleh kepahitan hidupku sehingga hampir saja membuat aku berputus asa. Jika aku merindukan masa lampau, tentu aku akan berusaha mengenang masa2 yang manis saja.”
Widigda mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencobanya. Aku akan berbicara dengan angger Mahisa Murti.”
Justru karena kesediaan Widigda untuk menyampaikan keinginan Sambega itulah, maka Widigda sendiri justru nampak sering merenung. Kadang-kadang jantungnya benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan. Mungkin sebagaimana kawan-kawan Lengkara, Mahisa Murti masih belum dapat menerima Sambega untuk tinggal dilingkungan keluarga Padepokan Bajra Seta. Tetapi ia memang harus mencoba. Betapapun keragu-raguan mencengkam jantungnya, namun akhirnya Widigda pun menyampaikan keinginan Sambega itu kepada Mahisa Murti.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah menolak permintaan kawan Lengkara untuk tinggal di Padepokan itu. Namun Mahisa Murti memang mencoba untuk menilai perbedaan antara Sambega dan kawan Lengkara itu.
“Tetapi segalanya terserah kepada angger Mahisa Murti” berkata Widigda, “jika aku yang menyampaikan permohonan Sambega itu, karena Sambega sendiri tidak dapat menyampaikannya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang menganggap bahwa paman Sambega agak berbeda dari kawan-kawan Lengkara. Kepada mereka aku memang masih belum dapat memberikan kepercayaan sepenuhnya. Sedangkan kepada paman Sambega, aku sudah tidak menaruh kecurigaan sama sekali.”
“Apakah dengan demikian, angger bermaksud menerima kehadiran Sambega di Padepokan Bajra Seta ini?”
“Ya, tentu paman. Aku akan dengan senang hati menerima paman Sambega. Namun dengan keadaan seperti apa yang ada ini. Sibuk dan barangkali tidak ada ketenangan.”
“Tidak ngger. Justru Sambega mendapat ketenangan di Padepokan ini. Ketenangan baginya bukan berarti diam, tidak ada gerak dan tantangan. Justru kesibukan dan tantangan akan memberikan kegairahan pada jiwanya yang telah dikoyak oleh perbuatan jahat saudara seperguruannya sendiri.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kami akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan paman Sambega untuk tinggal di sini. Paman Sambega akan dapat menjadi kawan paman Wantilan. Dengan demikian maka tugasku akan menjadi semakin ringan.”
“Bukan ngger. Tetapi mungkin Sambega justru akan menambah beban angger. Tetapi jika pada suatu saat angger memang tidak dapat lagi membiarkannya berada di padepokan ini, maka angger dapat berterus terang kepadanya.” berkata Widigda.
“Kenapa aku tidak dapat membiarkan paman Sambega di sini? Jika sikap kita masing-masing wajar, maka tentu tidak akan ada alasannya untuk tidak dapat tinggal bersama-sama di satu tempat. Kecuali jika salah seorang di antara kami berbuat sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan.”
“Terima kasih ngger. Sambega tentu akan merasa gembira sekali atas keputusan yang angger ambil itu. Dengan demikian aku pun berharap, bahwa orang itu akan dapat menemukan kembali kewajaran penalaran sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang nampaknya merupakan satu kejahatan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia tahu maksud Widigda. Dalam kegoncangan jiwa, Sambega memang melakukan perbuatan yang dapat dianggap kejahatan, sebagaimana ia berusaha untuk membawa Mahisa Amping. Latar belakang jiwani yang mendorongnya melakukan perbuatan itu sama sekali tidak mampu dikendalikannya, sehingga perbuatan-perbuatannya akan dapat membahayakan dirinya sendiri.
Karena itu, maka dengan penuh pengertian Mahisa Murti menerima permintaan Sambega itu. Bahkan ketika ia berbicara dengan Wantilan dan Mahisa Semu, maka keduanya pun sama sekali tidak berkeberatan.
Tetapi Mahisa Amping dengan ragu-ragu telah bertanya, “Apakah orang itu tidak berbahaya bagiku kakang?”
“Tidak Amping, pada dasarnya ia memang tidak berbahaya. Yang terjadi itu adalah karena goncangan perasaan yang hampir tidak dapat ditanggungkannya.” jawab Mahisa Murti.
“Apakah jiwanya sekarang sudah tenang kakang?” bertanya Mahisa Amping pula.
“Agaknya memang demikian. Apalagi setelah kematian orang yang membunuh anak dan isterinya itu. Seakan-akan himpitan jiwanya telah terangkat” jawab Mahisa Murti.
“Apakah penyakit seperti itu tidak akan dapat kambuh lagi, kakang?” Mahisa Amping masih bertanya.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jika terjadi persoalan yang rumit dan tidak mampu diatasinya, memang mungkin ia mendapat goncangan jiwa lagi. Tetapi, ia merasa mendapat ketenangan di Padepokan ini, sehingga mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi persoalan yang menghimpit jiwanya sehingga paman Sambega itu kehilangan pegangan.”
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, ia pun mengangguk-angguk kecil sambil berdesis, “Mudah-mudahan.”
Dengan demikian, maka Sambega merasa bahwa dirinya telah menjadi bagian dari Padepokan Bajra Seta. Ketika Widigda menyampaikan keputusan menerimanya tinggal di Padepokan itu, maka ia pun menjadi sangat gembira. Dari hari ke hari, maka luka-luka Sambega telah berangsur sembuh. Terutama luka bagian dalam tubuhnya. Setiap pagi Sambega telah berjalan-jalan mengelilingi Padepokan itu bersama Widigda yang masih selalu merawatnya. Kadang-kadang Sambega telah mengajak Mahisa Amping untuk berjalan-jalan bersamanya.
Meskipun kadang-kadang masih ragu, namun Mahisa Amping tidak menolaknya. Bersama dengan Sambega dan Widigda, Mahisa Amping kadang-kadang berjalan-jalan tidak saja di dalam lingkungan Padepokannya, namun juga keluar dari Padepokan menyusuri sawah dan ladang. Setelah beberapa hari berada di Padepokan Bajra Seta, maka Sambega pun menjadi semakin baik. Bahkan tenaganya rasa-rasanya telah pulih kembali. Sekali-sekali ia sudah mencoba untuk berlatih di sanggar Padepokan Bajra Seta dengan peralatan yang ada.
Dalam pada itu, ketika keadaan Sambega telah benar-benar pulih kembali, maka Widigda pun merasa bahwa kewajibannya telah selesai. Jika ia harus tinggal terlalu lama di Padepokan Bajra Seta, karena ia tidak ingin membuat penghuni Padepokan itu bertambah beban. Karena itulah, maka ia menunggui Sambega sampai Sambega pulih dan mampu melayani dirinya sendiri. Dengan demikian maka Widigda pun mulai memikirkan kepentingannya sendiri.
Kepada Sambega ia menyatakan bahwa ia ingin meninggalkan Padepokan itu dan pulang ke padepokan kecil yang ditinggalkan gurunya. Ia memang pernah mendapat pesan dari gurunya itu, agar ia merawat padepokan kecil itu sebaik-baiknya.
“Meskipun padepokan kita adalah padepokan kecil yang tidak terhitung, tetapi sebaiknya kau pelihara sebaik-baiknya” berkata gurunya sesaat sebelum ia dipanggil kembali oleh Yang Maha Agung.
Karena itulah, maka meskipun padepokan itu menjadi sepi dan hanya dihuni oleh keluarganya saja, namun Widigda merasa berkewajiban untuk melakukan pesan gurunya sebaik-baiknya.
Sambega tidak dapat menahan saudara seperguruannya lebih lama lagi. Ia pun mengerti, bahwa Widigda memang harus berada di padepokannya.
Demikianlah, ketika tiba saatnya, maka Widigda pun telah minta diri kepada Mahisa Murti, kepada Mahisa Semu, Mahisa Amping, Wantilan dan seisi Padepokan Bajra Seta. Juga kepada Sambega yang telah menjadi pulih kembali serta telah menjadi penghuni Padepokan Bajra Seta.
“Aku selalu berharap, paman singgah di Padepokan ini apabila paman menempuh perjalanan.” berkata Mahisa Murti.
“Tentu” jawab Widigda, “bahkan aku tentu akan memerlukan mengunjungi Padepokan Bajra Seta ini meskipun aku tidak menempuh perjalanan kemana pun juga.”
“Terima kasih” sahut Mahisa Murti, “kami benar-benar berharap.”
“Aku titipkan adik seperguruanku di sini.” berkata Widigda kemudian.
“Paman Sambega akan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan Padepokan ini lahir dan batin. Paman Sambega yang mempunyai pengalaman yang sangat luas akan sangat berarti bagi perkembangan pengenalan kami atas lingkungan yang lebih luas.”
“Jangan memuji begitu” berkata Sambega, “aku harus merasa bahwa aku bukan apa-apa di sini, selain menumpang untuk mendapatkan ketenangan.”
“Jangan merajuk begitu” berkata Widigda sambil tersenyum.
Mahisa Murti pun tersenyum pula. Namun kemudian Widigda itu pun telah minta diri untuk meninggalkan Padepokan Bajra Seta.
Demikianlah, maka Sambega telah berusaha untuk menyesuaikan hidupnya dengan kehidupan di padepokan Bajra Seta. Sebelumnya ia memang tidak terbiasa untuk hidup dalam kelompok yang besar. Ia terbiasa hidup seorang diri. Bertualang dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan kadang-kadang tanpa tujuan. Sekali-sekali ia pulang ke padepokan dan tinggal beberapa lama. Apalagi setelah jiwanya terguncang. Ia semakin jauh dari lingkungannya. Ia merasa hidup seorang diri tanpa sentuhan orang lain. Orang lain bagi Sambega adalah benar-benar orang lain yang tidak saling mempedulikan. Apalagi menyangkutkan kepentingan yang satu dengan yang lain.
Tetapi di Padepokan Bajra Seta, seorang tidak dapat lepas dari kaitannya dengan orang lain. Mereka harus dapat hidup dalam hubungan yang serasi. Yang satu selalu mengingat kepentingan yang lain. Jika seseorang mengalami kesulitan, maka yang lain wajib membantunya. Sehingga hidup di Padepokan itu rasa-rasanya seperti sekelompok orang yang bersama-sama memikul beban. Berat atau ringan, semuanya ikut memikulnya.
Mula-mula Sambega memang merasakan kesulitan. Kadang-kadang ia tidak tahu kenapa ia harus melibatkan diri dalam kerja yang dilakukan orang lain. Sambega juga mencoba mengerti, bahwa ia harus ikut duduk-duduk bersama beberapa orang yang sedang beristirahat dan berbincang-bincang yang bagi Sambega tidak pernah dilakukannya sebelumnya.
Di Padepokan Bajra Seta itulah Sambega mulai mengenal kebersamaan. Bahkan juga mengekang diri dan bertenggang rasa. Membagi kesulitan namun juga bersama-sama menikmati kepuasan jika kerja mereka berhasil. Lebih dari itu semuanya, maka Sambega juga mulai menekuni jalan hidup yang sebelumnya kurang dimengerti. Bagaimana ia berhubungan dengan Sumber Hidupnya.
Setelah beberapa lama berada di Padepokan Bajra Seta, Sambega merasa dirinya menjadi orang lain. Ia memang tidak dapat menghapus cacatnya. Cacat ditangannya. Cacat diwajahnya serta cacat badani yang lain. Tetapi lambat laun Sambega dapat menghapus sedikit demi sedikit cacat jiwani, meskipun ia masih tetap menjadi manusia biasa dengan segala kekurangannya.
Mahisa Murti dan Wantilan mengamati perkembangan jiwa Sambega dengan saksama. Wantilan yang juga pernah mengalami gejolak sebagaimana dialami oleh Sambega. Karena itu, maka ia merasa yakin, bahwa Sambega sama sekali tidak berpura-pura. Sebagaimana dialaminya, maka perubahan itu terjadi sampai ke dasar kesadarannya yang paling dalam.
“Pada dasarnya ia bukan seorang yang berhati kelam” berkata Mahisa Murti.
“Ya” Wantilan mengangguk-angguk, “tingkah laku saudara seperguruannya itulah yang telah membuatnya menjadi seorang yang berkelakuan aneh sehingga sulit mengendalikan diri sendiri. Dendamnya kadang-kadang meledak tanpa mempertimbangkan sasarannya.”
Mahisa Murti juga mengangguk-angguk. Katanya, “Kematian saudara seperguruannya itu telah menguras dendamnya sampai kering. Itulah agaknya yang telah membantunya menumbuhkan kesadaran di dalam dirinya.”
“Kita dapat mengharapkan tenaga dan kemampuannya. Bagaimanapun juga ia memiliki ilmu yang tinggi.” desis Wantilan.
Sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti dan Wantilan, maka Sambega benar-benar menjadi orang yang berarti di Padepokan itu. Sejak ia menyadari arti dari hidupnya yang selalu berkaitan dengan lingkungannya serta dibawah bayangan kuasa Sumber Hidupnya, maka Sambega telah menjadi manusia lain yang berarti bagi banyak orang.
Sementara itu, perhatiannya kepada Mahisa Amping tidak berubah. Bahkan seolah-olah Sambega telah menempatkan dirinya menjadi pemomong anak yang tumbuh remaja itu. Meskipun demikian, Sambega tidak mau dengan serta-merta memaksa agar anak itu mempelajari ilmunya. Dengan hati-hati ia memperhatikan apa yang telah dimiliki oleh Mahisa Amping. Baru kemudian, Sambega berbicara dengan Mahisa Murti, apakah ia diperkenankan melengkapi ilmu yang telah ada di dalam diri anak itu, tanpa mengganggu kemapanan ilmu yang telah ada.
“Kau memerlukan waktu paman” berkata Mahisa Murti.
“Ya, aku mengerti ngger. Tetapi aku berjanji bahwa aku tidak akan mengganggunya. Ilmu yang telah dipelajarinya, yang sejalan dengan ilmuku itulah yang akan aku perdalam, sehingga anak itu benar-benar mampu menguasainya. Bukan saja Mahisa Amping, tetapi juga Mahisa Semu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Silahkan paman. Pada saat-saat tertentu jika akan melihat perkembangannya."
“Terima Kasih ngger” jawab Sambega, “tetapi aku benar-benar berjanji, agar yang aku lakukan tidak justru menyulitkan anak itu. Apalagi susunan dan tatanan tubuhnya serta syaraf dan urat-uratnya.”
Dengan ijin Mahisa Murti, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping pada hari-hari tertentu telah berlatih bersama Sambega. Sekali-sekali di sanggar tertutup, namun kadang-kadang di sanggar terbuka. Sambega masih belum membawa anak-anak itu keluar terlalu jauh dari Padepokan. Bagaimanapun juga ia masih memikirkan kawan-kawan Lengkara. Mungkin ada di antara mereka yang tidak dengan tulus menerima kenyataan sehingga masih tersisa dendam di dalam hati. Sambega sendiri tidak mengkhawatirkan dirinya. Tetapi ia tidak ingin anak-anak itu mengalami kesulitan.
Pada hari-hari tertentu, Mahisa Murti sendiri memerlukan melihat apa yang dilakukan oleh Sambega. Sampai seberapa jauh Sambega mengisi dan menambah pengenalan Mahisa Semu dan Mahisa Amping tentang olah kanuragan. Ternyata Mahisa Murti tidak pernah merasa berkeberatan atas usaha Sambega untuk membantu meningkatkan pengenalan Mahisa Amping dan Mahisa Semu tentang ilmu kanuragan. Sambega telah memperkenalkan beberapa unsur yang dekat dan mempunyai watak dan kegunaan yang sama dari ilmu yang telah dipelajarinya.
Mahisa Murti sama sekali tidak berkeberatan, bahwa ada warna lain dalam susunan ilmunya. Sebagaimana Mahisa Murti sendiri tidak hanya menyadap ilmu dari satu perguruan. Ia tidak berguru khusus kepada ayahnya. Tetapi juga kepada beberapa orang lain yang sempat memperkaya ilmunya. Dalam kematangan penguasaannya atas ilmunya, maka unsur-unsur yang ada di dalam dirinya itu akan tersusun menjadi kesatuan ilmu yang tinggi. Luluh dan menyatu.
Meskipun demikian Mahisa Murti tidak melepaskan Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Setiap kali, keduanya dibawa masuk ke dalam sanggar tertutup tanpa orang lain. Juga tidak bersama Sambega. Dengan demikian, maka Mahisa Murti selalu dapat menilik kemajuan keduanya serta kemungkinan adanya unsur-unsur yang tidak menguntungkan di dalam dirinya. Ia bukannya tidak percaya kepada Sambega, tetapi ia memang harus berhati-hati.
Sambega sama sekali tidak merasa tersinggung. Ia mengerti bahwa Mahisa Murti memang harus berbuat demikian sebagai satu tanggung jawab atas anak-anak yang telah diambilnya. Apalagi Mahisa Murti berharap, bahwa Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat menjadi penerus di Padepokan Bajra Seta disamping orang-orang yang masih akan diketemukan kemudian.
“Jika saja kelak lahir anak Mahisa Pukat” berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, maka harus ada seseorang yang telah disiapkan, karena kepemimpinan Padepokan Bajra Seta tidak boleh terputus.
Namun dalam pada itu, hubungan antara Kediri dan Singasari, masih saja diwarnai oleh kemelut yang nampaknya tidak akan pernah menjadi jernih. Kediri selalu merasa dirinya berada dibawah kekuasaan Singasari, sementara Kediri memiliki usia yang lebih tua dari sekedar Pakuwon Tumapel yang kemudian berhasil mengalahkan Kediri.
Tetapi bagaimanapun juga para pemimpin di Kediri adalah trah keturunan dari para penguasa. Darah yang mengalir di dalam tubuh mereka adalah tetesan darah raja-raja yang berkuasa turun-temurun. Sedangkan Singasari yang kemudian menjadi besar melampaui Kediri adalah pemerintahan yang lahir dari tangan seorang penyamun di padang Karautan.
Namun bagaimanapun juga Singasari itu telah ada dan berkuasa di muka bumi. Kediri memang pernah dikalahkan. Karena itu, maka betapapun Kediri mengaku sebagai keturunan raja-raja yang sah, namun Singasari telah melahirkan keturunan raja-raja yang sah itu pula karena kuasanya. Jika kekuasaan Kediri lahir dari keturunan darah, maka kekuasaan Singasari lahir dari ujung pedang.
Kemelut yang terjadi antara dua jalur kekuasaan itu, meskipun beberapa saat nampak menjadi jernih, namun setiap saat dapat menjadi keruh kembali. Gejolak-gejolak itu dapat muncul dipermukaan betapapun kedua belah pihak berusaha meredamnya. Beberapa orang pemimpin di Kediri tidak henti-hentinya berusaha untuk dapat bangkit kembali dari reruntuhan yang sangat menyakitkan itu. Dengan demikian, maka gejolak itu getarannya selalu terasa sampai ke jarak yang jauh di jangkauan kekuasaannya.
Sementara itu, di Singasari, Mahisa Pukat masih tetap berada di dalam tugasnya. Bahkan rasa-rasanya Mahisa Pukat akan tetap berada di Kesatrian bukan karena ia seorang Pelayan Dalam yang pantas di tempatkan di Kesatrian. Tetapi justru karena ia telah diangkat menjadi guru bagi para Kesatria. Selain Mahisa Pukat, maka Empu Sidikara pun telah berada di Kesatrian pula. Ternyata keduanya dapat bekerja bersama dengan baik.
Meskipun keduanya bersumber ilmu dari perguruan yang berbeda, namun keduanya dapat saling mengerti. Keduanya dapat saling membantu dan saling mengisi dengan sebaik-baiknya. Apalagi Empu Sidikara yang meskipun lebih tua, namun menempatkan diri karena ia merasa bahwa ilmu Mahisa Pukat lebih baik dan lebih tinggi dari ilmunya. Tetapi Mahisa Pukat sendiri sama sekali tidak merasa lebih penting dan lebih berarti dari Empu Sidikara. Dengan demikian, maka sikap kedua orang guru di Kesatrian itu berpengaruh baik pula terhadap para Kesatria di Singasari.
Menghadapi kemelut yang terjadi antara Singasari dan Kediri, maka Pangeran Kuda Pratama telah memberikan pesan-pesan khusus kepada Mahisa Pukat dan Empu Sidikara. Para Kesatria itu sebaiknya mengetahui dan meyakini kehadiran Singasari sebagai satu keharusan yang tidak dapat diingkari. Pendiri Singasari, Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi, lahir atas kehendak Brahma.
Dengan demikian, maka para Kesatria di Singasari akan merasa yakin akan haknya, karena mereka merasa bahwa meskipun menurut ujud lahiriahnya, Ken Arok yang kemudian menjadi Akuwu di Tumapel dan setelah mengalahkan Kediri menjadi seorang Maharaja adalah keturunan rakyat biasa, karena ia lahir dari seorang perempuan di lingkungan para petani yang bernama Ken Endog, namun ia adalah anak Bathara Brahma, sehingga ia berhak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari siapapun, meskipun ia keturunan raja-raja sekalipun. Dengan keyakinan seperti itu, maka para Kesatria di Singasari memang merasa bahwa kedudukan mereka seharusnya lebih tinggi dari para Kesatria di Kediri.
Tetapi dalam pada itu, beberapa orang pemimpin di Kediri telah meyakinkan anak-anak mereka, bahwa ceritera tentang Ken Arok sebagai anak Brahma adalah sekedar usaha Singasari untuk mengesahkan kedudukan Ken Arok itu, karena sebenarnya Ken Arok tidak lebih dari anak Ken Endog dan seorang petani yang bernama Gajah Para. Yang bahkan kemudian telah menjelajahi kehidupan yang kasar dan kotor di antara para penjahat, pencuri dan penyamun di Padang Karautan.
Namun dalam kemelut seperti itu, hubungan Mahisa Pukat dengan Sasi berjalan dengan baik. Justru karena Mahisa Pukat telah mendapat kedudukan yang baik, maka kedua orang tua Sasi mulai memikirkan hubungan anaknya dengan Mahisa Pukat itu dengan lebih bersungguh-sungguh. Beberapa orang mulai menyebut-nyebut hubungan mereka yang memang menjadi semakin rapat.
Bahkan, para Kesatria muda di Kesatrian Singasari pun mulai pula menyebut-nyebut nama Sasi, seorang gadis yang erat hubungannya dengan gurunya, pemimpin Pelayan Dalam yang agaknya semakin lama justru menjadi semakin renggang dengan jabatannya sebagai pemimpin kelompok Pelayan Dalam dan bahkan menjadi lebih akrab dengan kedudukannya sebagai guru dalam olah kanuragan di Kesatrian.
Hubungan Mahisa Pukat dengan Sasi itu pun menjadi perhatian pula bagi Mahendra. Apalagi umur Mahisa Pukat memang sudah cukup memadai untuk menempuh satu kehidupan keluarga. Namun ada satu hal yang masih terasa menggelitik di hati Mahendra. Mahisa Murti.
Namun Mahendra yakin, bahwa Mahisa Murti tidak akan menjadi sakit hati seandainya Mahisa Pukat harus mendahuluinya, menikah dengan Sasi. Meskipun Mahendra tahu, bahwa bekas-bekas luka di hati Mahisa Murti tentu masih juga terasa pedih, tetapi Mahisa Murti adalah seorang anak muda yang akan mampu mempergunakan penalarannya untuk mengatasi gejolak perasaannya.
Karena itulah, maka Mahendra harus mulai bersiap-siap untuk datang dengan resmi menemui Arya Kuda Cemani untuk minta secara resmi pula bahwa Sasi akan diperisteri oleh Mahisa Pukat. Mahendra memang tidak dapat menunggu terlalu lama. Ia tahu bahwa Arya Kuda Cemani telah menunggu. Tetapi sebagai orang tua dari seorang gadis, maka Arya Kuda Cemani tidak akan dapat membicarakannya lebih dahulu. Sementara itu, beberapa orang tetangga dan bahkan kawan-kawannya justru telah mulai membicarakannya.
Karena itulah, maka Mahendra telah memanggil Mahisa Pukat untuk berbicara tentang hubungannya dengan Sasi. Meskipun Mahisa Pukat mempunyai kedudukan dan wewenang lebih tinggi dari Empu Sidikara di Kesatrian, namun Mahisa Pukat merasa jauh lebih muda daripadanya. Karena itu, maka sebelum ia bertemu dengan ayahnya, maka Mahisa Pukat telah berbicara dengan Empu Sidikara, minta petunjuk apa yang sebaiknya dilakukannya.
“Kau sudah cukup mempunyai bekal untuk menempuh satu kehidupan baru” berkata Empu Sidikara, “umurmu sudah cukup. Kedudukanmu baik. Bukan sekedar pemimpin kelompok Pelayan Dalam. Orang tuamu nampaknya tidak berkeberatan atas hubunganmu dengan gadis yang sesuai dengan hatimu. Demikian pula orang tua gadis itu. Karena itu, agaknya tidak ada lagi persoalan yang dapat menjadi hambatan seandainya ayahmu bertanya tentang persoalanmu dengan gadis itu.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Empu Sidikara. Tetapi yang dipikirkannya adalah saudara laki-lakinya, Mahisa Murti. Sepanjang umurnya, Mahisa Pukat seakan-akan tidak pernah berpisah dengan saudaranya itu. Jika kemudian ia harus menempuh satu kehidupan keluarga, maka rasa-rasanya ia telah meninggalkannya di belakang. Rasa-rasanya ia telah meloncat mendahuluinya beberapa langkah ke depan.
Ketika hal itu dikemukakannya kepada Empu Sidikara, maka Empu Sidikara itu pun berkata, “Tetapi bukankah kalian untuk selanjutnya tidak akan dapat saling tergantung yang satu dengan yang lain. Kalian tidak akan dapat saling menunggu, sementara kau telah menemukan seseorang yang pantas dan bersedia untuk hidup bersama. Seandainya saudaramu itu tidak segera mendapatkan jodohnya, maka persoalanmu akan menggantung. Mungkin kau dapat menerima hal itu karena kau merasa terikat oleh saudaramu itu. Tetapi kau juga harus memikirkan perasaan gadis bakal isterimu itu. Apakah ia dapat menerima keadaan yang mengambang itu atau tidak. Mungkin gadis itu tidak pernah menyatakannya kepadamu. Tetapi diam-diam hatinya mulai tersiksa sebelum ia benar-benar menjadi isterimu.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sudah mempunyai bekal untuk berbicara dengan ayah.”
Demikianlah, maka Mahisa Pukat itu pun pada suatu malam telah datang memenuhi panggilan ayahnya. Dengan bekal yang mantap maka Mahisa Pukat akan mengemukakan sikapnya dalam hubungannya dengan Sasi.
Sebenarnyalah Mahendra memang menanyakan beberapa hal kepada Mahisa Pukat dalam hubungannya dengan Sasi. Mahendra bertanya, apakah Mahisa Pukat benar-benar sudah mantap untuk kelak berkeluarga dengan anak perempuan Arya Kuda Cemani itu.
“Aku sudah memikirkan dengan masak, ayah” jawab Mahisa Pukat.
“Selama kau berhubungan dengan gadis itu, apakah kau sudah dapat menjajagi sifat dan wataknya?” bertanya ayahnya.
“Ya, ayah. Selama ini aku telah mencoba untuk mengenali sifat dan wataknya. Menurut pendapatku, Sasi adalah seorang gadis yang baik.” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah Pukat. Jika kau memang sudah mantap serta sudah kau pikirkan masak-masak, maka aku harus berbuat sesuatu. Hubunganmu dengan Sasi sudah cukup lama, sehingga beberapa orang lain mulai membicarakannya.” berkata ayahnya.
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Meskipun demikian ia masih bertanya, “Apakah kita sangat tergantung kepada orang lain itu, ayah?”
Mahendra mengerutkan dahinya. Namun ia ganti bertanya, “Apakah kita dapat melepaskan diri sepenuhnya dari lingkungan kita? Apakah kita dapat sama sekali tidak menghiraukan pendapat orang lain?”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menjawab, “Memang tidak ayah.”
“Sudahlah. Yang penting, kau harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah Arya Kuda Cemani.” berkata Mahendra.
“Aku sendiri?” bertanya Mahisa Pukat.
“Tentu tidak. Maksudku, kau akan ikut bersamaku datang ke rumah Arya Kuda Cemani. Mungkin kita akan mengajak dua atau tiga orang untuk menemani kita datang secara resmi minta Sasi untuk kelak menjadi isterimu.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia menyahut, “Ya ayah.”
“Baiklah” berkata Mahendra, “namun, sebelum aku menemui Arya Kuda Cemani, maka aku ingin bertemu dengan Mahisa Murti lebih dahulu. Bukan apa-apa, hanya sekedar memberitahukan, bahwa aku akan melamar Sasi untukmu. Aku berharap bahwa Mahisa Murti pun akan segera menemukan seorang gadis untuk menjadi isterinya pula.”
“Apakah ayah akan pergi ke Padepokan Bajra Seta?”
“Ya” jawab Mahendra.
“Perjalanan itu terlalu panjang buat ayah sekarang. Ayah menjadi semakin tua. Ayah akan menjadi sangat letih.” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak. Meskipun umurku sudah tua, tetapi kau lihat, bahwa badanku masih utuh. Inderaku masih baik dan bahkan penalaranku pun masih belum menjadi kabur.”
“Sebaiknya aku saja yang pergi ke Padepokan Bajra Seta, ayah” berkata Mahisa Pukat.
“Tidak baik bahwa kau yang akan berbicara dengan Mahisa Murti. Aku kira lebih pantas akulah yang memberi tahukan kepadanya bahwa aku akan melamar Sasi untukmu. Aku tahu bahwa Mahisa Murti tidak akan tersinggung siapapun yang datang memberitahukan hal ini kepadanya. Tetapi jika aku yang datang, maka rasa-rasanya persoalan yang aku sampaikan kepadanya lebih bersungguh-sungguh.”
“Ayah. Jika aku pergi ke Padepokan Bajra Seta, bukannya aku yang akan berbicara. Tetapi aku hanya sekedar memanggil Mahisa Murti untuk menghadap ayah. Nah, nanti ayah jugalah yang akan menyampaikannya kepadanya.” sahut Mahisa Pukat.
Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudah lama aku tidak menempuh satu perjalanan. Ternyata ada kerinduan untuk berderap di atas punggung kuda menyusuri jalan-jalan panjang.”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jika ayahnya memang berniat untuk melakukan satu perjalanan, maka Mahisa Pukat tentu tidak dapat mencegahnya. Meskipun Mahisa Pukat masih mengingatkannya bahwa perjalanan ke Padepokan Bajra Seta cukup jauh, tetapi Mahendra memang sudah berniat untuk melakukannya.
Meskipun demikian Mahisa Pukat pun berkata, “Ayah, jika ayah sudah berketetapan hati untuk pergi ke Padepokan Bajra Seta, maka biarlah aku ikut bersama ayah untuk menemani ayah bercakap-cakap di sepanjang jalan. Jika ayah sudah menetapkan waktu, aku mohon ayah memberitahukan kepadaku, agar aku dapat minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama dan memberitahukannya kepada Empu Sidikara.”
“Aku kira, aku perlu segera bertemu dengan Mahisa Murti. Karena itu, bagaimana pertimbanganmu jika dalam tiga hari ini, kita berangkat ke Padepokan Bajra Seta.”
“Bagiku, kapan saja hari yang ayah tentukan, tidak berkeberatan. Jika ayah akan pergi tiga hari lagi, maka aku pun dapat saja pergi bersama ayah. Besok aku akan minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama” jawab Mahisa Pukat.
“Baiklah. Kita akan berangkat tiga hari lagi. Akupun harus minta ijin dahulu kepada Sri Maharaja, karena sewaktu-waktu aku dapat saja dipanggil untuk menghadap.”
“Baiklah ayah” berkata Mahisa Pukat kemudian, “menjelang keberangkatan kita ke Padepokan Bajra Seta, aku akan tidur di sini, agar kita dapat berangkat pagi-pagi sekali.”
Mahendra mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Aku sependapat” jawab Mahendra.
Demikianlah, maka di hari berikutnya Mahisa Pukat pun telah minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama dan memberitahukan kepada Empu Sidikara bahwa ia akan menyertai ayahnya pergi ke Padepokan Bajra Seta untuk menemui saudaranya, Mahisa Murti.
Sementara itu, Mahendra pun telah menyampaikan permohonannya pula lewat Narpacundaka Sri Maharaja di Singasari. Ternyata Sri Maharaja tidak berkeberatan. Namun Sri Maharaja berpesan, agar Mahendra tidak telalu lama berada di Padepokan Bajra Seta.
“Dalam keadaan yang penting, aku memerlukannya” pesan Sri Maharaja.
Seperti yang direncanakan, maka pada hari yang ketiga, Mahendra dan Mahisa Pukat telah meninggalkan halaman belakang istana Singasari pagi-pagi benar. Meskipun Mahendra sudah semakin tua, ternyata ia masih tegar duduk di punggung kuda.
Menjelang matahari terbit, maka kedua orang ayah dan anak itu sudah keluar dari pintu gerbang Kotaraja. Kuda-kuda mereka berderap menyusuri jalan panjang dalam keremangan dini hari.
Udara terasa segar mengusap wajah-wajah mereka. Mahisa Pukat berkuda di sebelah ayahnya dengan wajah tengadah. Nampak wajahnya yang cerah memandang jalan yang terbentang dihadapan mereka yang mulai menjadi semakin terang.
Mereka mulai berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar. Satu dua masih ada yang membawa obor belarak. Namun yang lain telah membuang obor-obor mereka, karena fajar menjadi semakin merah.
Ketika mereka berpapasan dengan iring-iringan pedati, maka mereka masih mendengar kidung perlahan-lahan dari para pedagang yang duduk di dalam pedati itu. Sambil berselimut kain panjang, mereka mengusir dingin dengan dendang yang riang. Dengan nada dalam Mahendra berdesis, “mereka bekerja dengan tekun. Mereka bekerja keras tanpa mengharapkan hasil yang berlebihan. Ketekunan dan kerja keras yang mereka lakukan pantas untuk diteladani” berkata Mahendra.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Orang-orang yang membawa dagangan mereka ke pasar, mungkin hasil sawah, hasil pategalan atau hasil kerja tangan mereka, memang tidak terlalu banyak berharap.
Tetapi masih ada juga orang yang ingin mendapat hasil yang banyak, cepat tanpa bekerja keras. Mereka mengandalkan kemampuan dan keberanian mereka menggertak orang lain. Mengancam dan sedikit kemampuan olah kanuragan.
Tetapi orang-orang yang pergi ke pasar di dini hari itu pun tidak pergi sendiri-sendiri. Biasanya mereka pergi ke pasar membawa dagangan mereka dalam kelompok-kelompok yang cukup besar sehingga orang-orang yang berniat jahat tidak berani mengganggu mereka lagi.
Sejenak kemudian, maka langit pun menjadi terang. Matahari mulai nampak mengarungi perjalanan panjangnya dari cakrawala ke cakrawala. Mahendra dan Mahisa Pukat masih melarikan kuda mereka di sepanjang jalan yang menjadi semakin ramai, sehingga dengan demikian maka keduanya tidak berpacu terlalu cepat.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka panasnya pun menjadi semakin menyengat kulit. Keringat mengalir semakin banyak pula membasahi punggung. Semakin jauh mereka dari Kotaraja, maka jalan memang menjadi semakin sepi. Bukan saja karena matahari semakin tinggi, tetapi padukuhan memang menjadi semakin jarang.
Namun Mahendra dan Mahisa Pukat pun kemudian merasa perlu untuk beristirahat. Bukan saja mereka juga sudah merasa letih. Tetapi lebih-lebih kuda mereka yang menjadi haus dan lapar. Karena itu, maka keduanya pun telah berhenti di sebuah kedai yang cukup besar di sebelah pasar di padukuhan yang juga termasuk besar.
Ketika mereka masuk ke dalam setelah menyerahkan kuda mereka kepada seorang penjaga dan memesan agar kuda itu diberi makan dan minum, maka di dalam kedai itu sudah terdapat beberapa orang yang sedang makan dan minum. Mahendra dan Mahisa Pukat pun kemudian duduk di sudut ruangan, di sebuah lincak bambu yang panjang dan memakai sandaran. Di lincak agak di tengah terdapat dua orang yang juga sedang minum dan makan, sedangkan beberapa orang yang lain duduk di sudut yang terdekat dengan pintu masuk kedai itu.
Keadaan di kedai itu nampaknya tenang-tenang saja. Orang-orang yang ada di dalamnya sibuk dengan minuman dan makanan yang dihidangkan kepada mereka masing-masing. Hanya sekali-sekali terdengar orang-orang yang ada di dalam kedai itu memesan makanan lain yang mereka kehendaki. Mahendra dan Mahisa Pukat yang memang merasa haus itu pun telah memesan makanan dan minuman. Seperti yang lain-lain pun maka keduanya pun segera mendapat pelayanan yang baik.
Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang ada di dalam kedai itu pun bagaikan diguncang ketika empat orang memasuki kedai itu. Demikian mereka duduk, maka suara mereka telah memenuhi ruangan itu. Jika ada di antara mereka yang tertawa, maka suaranya bagaikan menggetarkan kedai itu.
Ketenangan di kedai itu memang terganggu. Tetapi agaknya orang-orang yang sudah lebih dahulu duduk di kedai itu tidak ingin menegur mereka, karena jika hal itu mereka lakukan, maka akan dapat terjadi perselisihan. Dua orang yang duduk agak di tengah itu pun sama sekali tidak menghiraukan kehadiran mereka meskipun agaknya mereka pun merasa terganggu.
Namun ketika salah seorang di antara keempat orang yang datang itu memperhatikan kedua orang yang sudah lebih dahulu duduk di kedai itu, maka orang itu pun tiba-tiba mendekatinya. Sambil menepuk bahunya, maka orang itu berkata lantang, “He, ternyata kau kami ketemukan di sini.”
Kedua orang itu berpaling. Keduanya yang semula tidak memperhatikan orang-orang yang memasuki kedai itu terkejut. Keempat orang itu kemudian ternyata berpindah dan duduk di dekat kedua orang itu. Mereka berbicara dengan keras, diselingi oleh suara tertawa yang menggelitik telinga.
Seorang di antara mereka dengan lantang bertanya, “Dimana Lengkara sekarang? Bukankah kau telah mengikuti orang itu?”
Dengan segan salah seorang dari kedua orang itu menjawab, “Lengkara sudah mati.”
“Ia memang harus mati. Lengkara sudah merampas beberapa orang kawan kita dan membawanya bagi kepentingan-nya.” berkata orang itu. Lalu ia pun bertanya, “Dimana ia mati dan siapa yang membunuhnya?”
“Ia dibunuh oleh Widigda di Padepokan Bajra Seta” jawab salah seorang dari kedua orang yang duduk lebih dahulu itu.
Mahendra dan Mahisa Pukat terkejut mendengar jawaban yang menyebut Padepokan Bajra Seta itu, sehingga justru karena itu, maka mereka pun mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama.
Salah seorang dari keempat orang itu bertanya, “Siapakah Widigda itu?”
“Saudara seperguruan Lengkara” jawab orang itu singkat.
“Akhirnya ia memetik buah dari biji yang ditanamnya sendiri,” berkata orang lain di antara keempat orang itu. Lalu katanya, “Nah, jika demikian, kalian harus kembali lagi ke dalam kelompok kami. Bahkan seandainya Lengkara masih hidup pun, aku menghendaki kau kembali dan menyatu lagi dengan kami. Apalagi selama ini kau masih menyembunyikan sesuatu, sehingga kau harus menyelesaikan tanggung jawabmu itu.”
“Jangan mengada-ada” jawab salah seorang dari kedua orang yang datang lebih dahulu, “aku tidak pernah menyembunyikan sesuatu. Aku pun tidak akan mau kembali lagi bersama kelompokmu. Aku sudah jemu hidup seperti seekor serigala yang liar dan setiap kali mencuri ternak para petani. Biarkan aku dan kawan-kawanku hidup dengan wajar. Apalagi aku sudah berjanji kepada pemimpin Padepokan Bajra Seta, bahwa aku akan kembali ke dalam kehidupan wajar sebagaimana orang banyak”
Keempat orang itu tertawa berkepanjangan. Seorang di antara mereka justru memukul-mukul lincak dengan kerasnya, sehingga semua orang yang ada di dalam kedai itu merasa terganggu. Tetapi tidak ada seorang pun yang mau menegurnya. Melihat ujud dan sikapnya, maka mereka adalah orang2 yang tentu tidak akan mudah mau mendengarkan pendapat orang lain.
Seorang di antara mereka berkata, “Jangan menjadi cengeng. Kau tentu tidak akan dapat menghindari tanggung jawabmu. Kita sudah lama bekerja bersama. Karena itu, kau jangan lepas dari lingkungan kami.”
Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menjawab, “Tidak.“ Yang seorang meneruskan, “Kami tidak mau.”
“Dimana kawan-kawanmu yang lain yang telah ikut bersama Lengkara?”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian yang seorang pun menjawab, “Kawan-kawan kami telah berpencar. Kami tidak tahu kemana mereka pergi. Tetapi kami semuanya sudah berjanji bahwa kami tidak akan mengulangi cara hidup kami yang gelap itu.”
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Sambil menepuk bahu salah seorang dari kedua orang yang datang lebih dahulu itu, seorang yang bertubuh tinggi berkata, “Kau akan menjadi seorang yang alim? Seorang yang baik budi dan berhati putih seperti kapas?”
Kawan-kawannya tertawa berkepanjangan. Orang-orang yang ada di kedai itu semakin merasa terganggu. Dua orang yang ada di bagian dalam ruang itu telah bangkit berdiri dan mendekati pemilik kedai itu untuk menghitung harga makanan dan minuman mereka. Kemudian setelah membayar, mereka pun cepat berlalu sambil bergeremang.
Mahendra dan Mahisa Pukat pun sebenarnya merasa terganggu juga. Tetapi selain mereka masih menghabiskan makanan yang mereka pesan, lebih-lebih lagi karena orang-orang itu menyebut-nyebut Padepokan Bajra Seta, maka keduanya justru menunggu perkembangan pembicaraan kedua orang itu.
Tetapi ternyata kedua orang yang datang lebih dahulu itu berkeras tidak mau lagi bergabung dengan keempat orang yang datang kemudian itu. Sehingga perselisihan pun tidak dapat dihindarkan.
“Kami dapat berbuat baik sebagaimana sikap seorang sahabat. Tetapi kami dapat juga bersikap kasar jika persahabatan kita kalian khianati.” berkata orang yang bertubuh tinggi.
“Aku tidak pernah merasa mengkhianati persahabatan kita. Aku tidak pernah menganggap kalian bukan lagi sahabat kami. Tetapi kalian pun tidak dapat memaksa kami untuk tetap hidup dalam dunia yang hitam sebagaimana duniamu. Jika saja kalian meninggalkan dunia kalian, maka kami tentu akan bersedia bergabung dengan kalian dan bekerja bersama.”
“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya orang yang bertubuh tinggi.
“Banyak sekali” jawab salah seorang dari kedua orang yang datang terdahulu, “kita dapat mencoba untuk berdagang. Atau mencoba minta ijin kepada salah seorang Buyut di sebuah Kabuyutan untuk membuka hutan atau kita kembangkan tanah dan ladang yang sudah kita miliki. Atau apapun yang pantas kita lakukan dalam lingkungan orang-orang beradab.”
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Namun seorang di antara mereka berkata, “Sudahlah. Kami tidak memerlukan sesorahmu itu. Karena sebenarnya kalian tidak dapat memilih. Kalian harus menurut perintah yang kami berikan, karena sebenarnya kami tidak sedang sekedar menawarkan satu keadaan. Tetapi kami sedang memberikan perintah yang harus kalian lakukan.”
“Tidak” teriak salah seorang dari kedua orang yang datang lebih dahulu. Nampaknya kemarahan telah meledak di jantungnya, sehingga tidak tertahankan lagi.
Keempat orang yang datang kemudian itu tidak tertawa lagi. Wajah mereka menjadi tegang. Orang yang bertubuh tinggi, yang nampaknya paling berpengaruh di antara kawan2nya itu berkata, “Kau tidak dapat menolak. Jika kau menolak, maka kami akan memaksamu.”
“Kau kira aku akan tunduk kepada kemauanmu?” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
“Kalian terlalu banyak mengetahui tentang kami. Jika kalian tidak lagi berada di antara kami, maka kalian akan dapat berkhianat dan mengganggu kehidupan kami.”
“Meskipun aku tidak berniat untuk berkhianat, tetapi kalian agaknya menganggap bahwa hal itu akan aku lakukan. Demikian pula kawanku ini. Karena itu, aku justru tidak peduli lagi. Aku akan berbuat sesuai dengan keinginanku. Kalian tidak dapat memaksa aku dan kawanku untuk mengikuti kehendak kalian.”
“Persetan dengan igauanmu” geram orang bertubuh tinggi itu, “jika kalian berkeras hati menolak ajakan kami, maka kalian akan menyesal. Kepala kalian akan kami penggal dan kami pasang di atas gerbang padukuhan itu dengan pesan, tidak seorang pun boleh memindahkannya. Siapa yang melanggar perintah kami, maka kepala orang itulah yang akan menggantikannya.”
Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak takut. Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah lama bergaul dengan kalian. Kami tahu kemampuan kalian dan kalian pun tahu kemampuan kami. Karena itu, kami tidak akan menjadi ketakutan berhadapan dengan kalian berempat.”
“Kalian melihat sekarang kami berempat. Tetapi sebentar lagi beberapa orang kawan kami akan datang lagi. Mereka mengenal kalian dan kalian tentu juga mengenal mereka. Di antara mereka adalah kakang Kebo Lorog. Nah, apa katamu jika kakang Kebo Lorog itu sampai di sini.”
Ternyata nama Kebo Lorog mampu menggetarkan jantung kedua orang itu. Sementara orang bertubuh tinggi itu berkata, “Kau tidak akan sempat lari. Meskipun kami tahu kemampuan kalian dan kalian tahu kemampuan kami, namun kami tentu dapat menahan kalian sampai kakang Kebo Lorog datang.”
Wajah kedua orang itu memang menjadi tegang. Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri. Keempat orang itu pun tiba-tiba telah tertawa berkepanjangan lagi. Orang yang bertubuh tinggi itu berkata, “Nah, apa katamu jika kau akan berhadapan dengan kakang Kebo Lorog?”
Namun tiba-tiba saja kedua orang itu saling memberi isyarat. Keduanya pun bangkit berdiri. Seorang di antara mereka berkata, “Aku akan pergi sekarang.”
“Tidak. Kau tidak akan dapat pergi.”
“Aku tidak peduli” jawab salah seorang dari kedua orang itu.
Seorang di antara mereka pun kemudian mengambil uang dari kantong ikat pinggangnya dan meletakkannya di dalam mangkuknya sambil berkata, “Aku tidak sempat menghitung. Jika uangku kurang, lain kali aku akan datang membayar kekurangannya. Jika lebih biarlah aku titipkan di sini.”
Tetapi keempat orang itu tiba-tiba telah bergerak mengepung keduanya. Yang bertubuh tinggi berkata, “Kau tidak akan dapat lari kemana pun.”
Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya. Mereka dengan cepat meloncat menyibak orang-orang yang menghalanginya. Namun keempat orang itu mengejar mereka sehingga mereka turun ke halaman. Ternyata kedua orang itu tidak ingin tertahan terlalu lama. Demikian keempat orang itu turun menyusulnya, maka kedua orang itu sudah menggenggam senjata mereka masing-masing.
Keempat orang itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak ingin membiarkan kedua orang itu lari. Karena itu, sekali lagi keempat orang itu mengepungnya. Mereka pun telah menarik senjata mereka pula. Maka tidak dapat dihindari lagi, pertempuran pun telah terjadi di halaman kedai itu.
Beberapa orang yang tidak ingin terlibat, dengan tergesa-gesa telah meninggalkan kedai itu. Mereka dengan tergesa-gesa membayar harga makanan dan minuman mereka, kemudian dengan tergesa-gesa pula pergi menjauh. Meskipun di kejauhan mereka berhenti juga untuk melihat apa yang terjadi.
Tetapi Mahisa Pukat dan Mahendra tidak pergi meninggalkan kedai itu. Bahkan mereka bergeser mendekati pintu dan melihat apa yang terjadi di halaman. Pemilik kedai itu pun menjadi ketakutan. Ia tidak berani mencegah pertempuran yang terjadi di halaman. Apalagi mereka telah mempergunakan senjata pula.
Namun seperti yang dikatakan, maka keempat orang itu ternyata memang tidak mampu mengimbangi kemampuan kedua orang yang datang lebih dahulu. Namun keempat orang itu memang hanya sekedar menahan mereka sambil menunggu kawan-kawan mereka yang datang kemudian.
Tetapi kedua orang itu memang terlalu garang bagi mereka. Seorang di antara keempat orang itu harus berloncatan mengambil jarak ketika ujung senjata salah seorang lawannya menggores tubuhnya.
“Jangan ganggu kami” berkata salah seorang dari kedua orang itu, “atau aku terpaksa harus membunuh?”
“Kau memang pembunuh” geram salah seorang dari keempat orang itu, “tetapi sebentar lagi kalian berdua akan menjadi mayat.”
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka justru menyerang semakin garang. Keempat orang itu memang mengalami kesulitan. Orang kedua di antara mereka telah terluka pula. Justru di dadanya. Selagi ia berusaha memperbaiki keadaannya, maka orang ketiga justru berteriak tinggi sambil mengumpat.
“Pergilah” geram salah seorang dari kedua orang lawan mereka, “jangan dungu. Kalian akan dapat mati di sini.”
Tetapi betapapun mereka terluka, namun keempat orang itu masih berusaha untuk menahan kedua orang itu. Dalam pada itu, sebenarnyalah dari kejauhan beberapa orang berkuda berpacu dengan kecepatan tinggi. Apalagi ketika mereka melihat pertempuran di halaman kedai itu. Mereka pun segera mempercepat kuda mereka.
Dalam pada itu, salah seorang di antara mereka yang terluka berteriak, “Nah, lihat, siapakah yang datang.”
Kedua orang itu pun menyadari, bahwa yang datang adalah Kebo Lorog dengan beberapa orang mengikutnya yang lain. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan kemampuan mereka, sehingga keempat orang lawan mereka itu pun telah mereka lukai. Karena mereka tidak dapat menghindar lagi dari Kebo Lorog, maka mereka berusaha untuk mengurangi jumlah lawan mereka. Empat orang yang mendahului Kebo Lorog itu sudah tidak berdaya sama sekali.
Meskipun mereka tidak terbunuh, tetapi mereka seakan-akan telah kehilangan kemampuan mereka untuk bertempur. Darah telah mengalir dari luka-luka mereka. Tetapi mereka segera tertolong ketika iring-iringan Kebo Lorog itu memasuki halaman di depan kedai itu. Dengan tangkasnya seorang yang bertubuh gemuk, berkumis lebat dan berwajah keras dengan beberapa bekas luka di kening meloncat dari kudanya. Orang itulah yang bernama Kebo Lorog.
“Apa yang terjadi di sini?” bertanya Kebo Lorog. Orang yang bertubuh tinggi, salah seorang dari keempat orang yang datang lebih dahulu dari Kebo Lorog itu pun segera melaporkan apa yang telah terjadi, meskipun dengan nafas yang terengah-enggah.
Mata Kebo Lorog itu pun menjadi bagaikan menyala. Dipandanginya kedua orang yang telah melukai keempat orang pengikutnya itu. Dengan suara bergetar karena kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, Kebo Lorog itu menggeram, “Jadi kau sudah merasa berilmu tinggi sekarang, he, sehingga kau berani melukai orang-orangku.”
“Mereka memaksa aku,” jawab salah seorang dari kedua orang itu dengan dada tengadah.
“Setan kau” geram Kebo Lorog, “kau kira kau dapat melepaskan diri dari tanggung jawabmu? Selama ini kau selalu minta perlindunganku. Tetapi setelah kau kenal Lengkara, kau mengikuti serigala itu.”
“Lengkara sudah mati” berkata salah seorang dari mereka yang terluka.
Kebo Lorog mengerutkan dahinya. Katanya, “Jika demikian, maka kau tidak mempunyai pilihan lain. Siapa yang akan melindungimu sekarang jika Lengkara sudah mati?”
“Aku tidak akan berlindung kepada siapa pun juga. Tetapi aku tidak akan kembali ke dunia yang gelap itu lagi. Aku sudah berjanji kepada Mahisa Murti, pemimpin Padepokan Bajra Seta.”
“Setan” geram Kebo Lorog, “kau kira Mahisa Murti itu akan dapat melindungimu? Apalagi sekarang. Kalian hanya berdua di sini, sehingga kalian tidak mempunyai pilihan lain. Kalian harus mengikuti kami, melakukan perintah-perintah kami.”
“Aku sudah mengatakan, bahwa aku tidak mau.”
“Jadi kau memang ingin membunuh dirimu he? Lihat, dengan berapa orang aku datang? Katakan bahwa keempat orangku itu sudah tidak mampu lagi bertempur melawanmu. Tetapi aku datang bersama empat orang lagi. Sedangkan aku sendiri akan mampu memilin leher kalian berdua tanpa orang lain.”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang mengakui bahwa Kebo Lorog adalah orang berilmu tinggi. Tetapi keduanya benar-benar tidak berniat untuk kembali dalam kehidupan yang gelap di antara para pengikut Kebo Lorog. Karena itu, apapun yang akan terjadi, keduanya itu tetap pada pendiriannya.
Sementara itu Kebo Lorog memerintahkan kepada orang-orangnya, “Kalian dapat membantai seorang di antara keduanya. Biarlah yang seorang akulah yang akan menyayatnya menjadi kepingan daging dan tulang.” Lalu katanya kepada kedua orang itu, “He, berteriaklah memanggil pemimpin Padepokan Bajra Seta itu untuk melindungi sekarang ini.”
Kedua orang itu diam membeku. Tetapi keduanya sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Namun dalam pada itu semua orang yang ada di halaman itu terkejut. Termasuk Kebo Lorog. Dari pintu kedai itu keluar seorang anak muda yang berkata lantang, “Akulah salah seorang pemimpin Padepokan Bajra Seta.”
Kedua orang yang menolak ajakan Kebo Lorog itu termangu-mangu sejenak. Sepintas anak muda itu memang mirip dengan Mahisa Murti. Apalagi ketika anak muda itu berkata,
“Jika kau pernah berjanji kepada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti memang berkewajiban melindungimu. Karena di sini tidak ada Mahisa Murti, maka akulah yang wajib mengambil alih kewajibannya itu, karena aku adalah saudaranya laki-laki. Satu di antara dua orang pemimpin Padepokan Bajra Seta. Namaku Mahisa Pukat.”
“Mahisa Pukat” kedua orang itu berbareng menyebut namanya.
“Kalian agaknya belum pernah bertemu dengan aku, karena ketika kalian bertemu dan menyatakan janji kalian kepada Mahisa Murti aku berada di Singasari.”
“Apakah kau benar saudara laki-laki Mahisa Murti?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu agak ragu meskipun kehadirannya itu akan menguntungkannya. Tetapi kemudian ia berkata, “Jika benar, maka kami akan sangat berterima kasih.”
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “karena itu, maka aku akan mengambil alih tanggung jawabnya.”
Kedua orang yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat tetap hidup itu jantungnya seakan-akan telah menyala kembali. Apalagi ketika kemudian Mahendra juga keluar dari kedai itu. Meskipun orang itu sudah tua, tetapi nampak dari sorot matanya bahwa ia memiliki kelebihan dari kebanyakan orang itu.
Namun Mahisa Pukat lah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Ambillah keempat orang pengikut Kebo Lorog itu. Biarlah aku yang menghadapinya. Mungkin ia merasa lebih senang mendapat lawan yang belum pernah ditemuinya sebelumnya.”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kebo Lorog adalah seorang yang berilmu tinggi.”
Mahisa Pukat mengerutkan dahinya. Sementara itu Kebo Lorog sendiri berkata sambil tertawa, “Ternyata di sini ada juga kecoak yang ingin menjadi seorang pahlawan. He, peringatkan orang itu, agar ia tidak mati sia-sia.”
Tetapi Mahisa Pukat justru bertanya kepada kedua orang itu, “Ki Sanak, apakah kau tahu, melihat atau sedikitnya mendengar tentang kemampuan saudaraku Mahisa Murti?”
“Ya” jawab kedua orang itu bersamaan.
“Katakan dengan jujur menurut pendapatmu, apakah kira-kira Mahisa Murti tidak mampu mengimbangi kemampuan Kebo Lorog?” bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Mahisa Murti adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”
“Jadi, menurut perhitunganmu, ia akan dapat mengalahkan Kebo Lorog?” bertanya Mahisa Pukat kemudian.
“Ya” jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian aku juga akan berusaha untuk dapat mengalahkan Kebo Lorog.”
“Tetapi…” kedua orang itu masih saja nampak ragu-ragu.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Jangan ragu-ragu. Aku saudara kandung Mahisa Murti. Saudara-saudaraku yang lain adalah Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ada seorang pamanku di sana, Paman Wantilan. Kau kenal mereka?"
“Ya, ya,” kedua orang itu menyahut hampir berbareng. Wajah mereka pun kemudian membayangkan keyakinan mereka, bahwa Mahisa Pukat yang mirip dengan Mahisa Murti itu adalah memang saudara Mahisa Murti. Seandainya ilmunya terpaut, maka terpautnya juga tidak terlalu banyak. Karena itu, ketika kemudian Mahisa Pukat maju mendekati Kebo Lorog, keduanya tidak menahannya lagi.
“Bagus” berkata Kebo Lorog, “jadi kalian benar-benar ingin mati sebagai pahlawan?”
“Hanya aku yang akan terlibat. Ayahku tidak. Tetapi aku pun tidak ingin mati sebagai pahlawan, tetapi aku ingin meredam kesewenang-wenanganmu. Jika kedua orang itu tidak lagi ingin terlibat dalam gerombolan hitammu, kenapa kau memaksanya? Bahkan dengan kekerasan pula.”
“Itu persoalan antara kami dan mereka. Persoalan yang tidak terjadi dengan serta merta sekarang ini. Tetapi persoalannya sudah dimulai dan berkembang sejak lama. Aku tidak perlu berceritera sampai sehari semalam tentang hubungan kami dan mereka. Namun sebaiknya kalian tidak usah turut campur. Betapa tinggi ilmu saudaramu itu, tetapi kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku.”
“Apapun yang terjadi, aku berdiri di pihak kedua orang itu. Biarlah mereka berdua bertempur melawan keempat orang pengikutmu. Bahkan jika keempat orang yang terluka itu masih mampu ikut campur. Sementara itu, kau akan berhadapan dengan aku.”
“Persetan dengan bualanmu” geram Kebo Lorog, “aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Dan namamu akan tetap dikenang sebagai seorang pahlawan yang mati tanpa arti.”
Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, “Aku tidak berkeberatan dengan segala macam gelar. Tetapi yang penting, aku tidak ingin mati. Tetapi aku juga tidak ingin membunuhmu kecuali dalam keadaan terpaksa sekali. Namun agaknya kau akan memaksaku untuk melakukannya.”
Kebo Lorog menggeram marah. Bahkan matanya telah menjadi merah seperti bara. Dengan suara yang bergetar karena kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, ia pun berkata kepada para pengikutnya, “Bunuh keduanya. Aku akan membunuh kecoak ini. Setelah kecoak ini mati aku injak, maka biarlah kita membunuh kedua kecoak sakit-sakitan itu pula.”
Mahisa Pukat justru tertawa semakin keras. Katanya, “Apakah ada sebutan yang lebih buruk dari kecoak?”
Kebo Lorog benar-benar telah kehabisan kesabaran. Karena itu, maka ia pun segera bergeser mendekati Mahisa Pukat, sementara keempat pengikutnya berusaha untuk mengepung kedua orang yang telah menolak ajakan mereka itu. Sedangkan dua dari empat orang yang telah terluka itu ternyata masih sanggup untuk mengangkat senjatanya meskipun tenaga mereka telah jauh susut, sedangkan dua orang yang lain sama sekali telah tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Keempat orang yang datang bersama dengan Kebo Lorog itu juga sudah mencabut senjatanya pula. Mereka telah bersiap untuk bertempur habis-habisan, karena mereka pun mengetahui tataran kemampuan kedua orang yang akan dibunuhnya itu.
Kebo Lorog yang yakin akan kemampuannya itu sama sekali tidak ingin mempergunakan senjata. Karena orang itu tidak bersenjata, maka Mahisa Pukat pun tidak bersenjata pula, meskipun ia membawa pedangnya yang merupakan bagian dari senjata kembar dengan senjata Mahisa Murti.
Kedua orang yang berhadapan dengan enam orang lawan itu pun telah mulai bergerak. Mereka memang harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bagaimanapun juga melawan enam orang tentu merupakan satu pertempuran yang sangat berat.
Kepada kedua orang yang sudah terluka itu salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya kalian tidak melibatkan diri lagi, karena kemampuan kalian sama sekali tidak memadai untuk pertempuran ini.”
“Persetan dengan igauan kalian itu” geram salah seorang dari kedua orang yang terluka itu.
Lawannya itu pun berdesis, “Aku menyesal bahwa aku tidak membunuhmu tadi.”
“Akulah yang nanti akan membunuhmu” jawab orang yang terluka itu.
Ternyata kedua orang yang dikepung itu tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan tidak terduga sebelumnya, seorang di antara mereka segera meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ujung pedangnya dengan serta merta telah menggapai pundak dari salah seorang yang memang sudah terluka itu. Orang itu terkejut. Diluar sadarnya, maka ia pun berteriak kesakitan. Tenaganya yang sudah tersusut itu tidak mampu melontarkan tubuh untuk menghindar. Karena itu, maka ujung pedang itu pun benar-benar telah mematuk dan menghunjam di pundaknya.
Beberapa langkah orang itu terdorong surut. Bahkan kemudian ia pun terjatuh di tanah. Senjatanya terlepas dari tangannya. Agaknya ujung pedang lawannya itu telah memotong urat di pundaknya sehingga tangan kanannya itu rasa-rasanya bagaikan menjadi lumpuh.
Kelima orang yang lain pun dengan serta merta telah bergerak pula. Seorang di antara mereka yang telah terluka itu berteriak, “Licik kau. Kau curi kesempatan sebelum kami bersiap?”
“Itulah kebodohan kalian. Jika kalian berhadapan dengan lawan, maka kalian harus sudah bersiap sejak semula.”
Seorang dari para pengikut Kebo Lorog itu pun mencoba untuk melakukan hal yang sama. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi ujung senjatanya tidak menyentuh apapun juga. Bahkan ketika senjata itu terjulur, maka dengan kerasnya lawannya memukul senjata itu sehingga justru terlepas dari tangannya.
Untunglah bahwa kawan-kawannya dengan cepat melindunginya dengan menyerang hampir bersamaan. Kedua orang lawan mereka terpaksa bergeser surut sehingga orang yang kehilangan senjatanya itu sempat memungutnya kembali sambil mengumpat-umpat. Ketika ia kemudian bersiap kembali, maka ia masih harus beberapa kali meniup tangannya yang terasa seperti menyentuh bara api. Demikianlah maka para pengikut Kebo Lorog itu telah bertempur melawan kedua orang yang tidak mau tunduk kepada kemauan mereka.
Ternyata kedua orang itu benar-benar mampu mengimbangi kelima orang lawannya. Kedua orang itu sekali-sekali bertempur pada jarak yang dekat, namun sekali-sekali mereka saling menjauh. Loncatan-loncatan mereka yang panjang dan dengan kecepatan yang tinggi, membuat kelima orang lawan mereka itu kadang-kadang menjadi bingung seakan-akan kehilangan sasaran. Namun kelima orang itu sesekali juga dapat mendesak kedua orang lawan mereka itu dan bahkan mencoba mengurungnya.
Kebo Lorog sempat memperhatikan pertempuran itu sesaat. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata, “Lihat. Kedua orang yang akan kau lindungi itu akan segera mati.”
“Kau akan mati lebih dahulu dari mereka. Kemudian delapan orang pengikutmu itu juga akan mati. Kecuali jika kau menyerah dan membawa orang-orangmu pergi.”
Kebo Lorog menggeram. Kemarahannya tidak tertahan lagi. Darahnya bagaikan telah mendidih di dalam jantungnya. Karena itu, maka ia pun mulai bergeser menyerang Mahisa Pukat yang memang sudah bersiap untuk bertempur.
Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah mulai saling menyerang. Kebo Lorog ternyata benar-benar seorang yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Tenaganya bagaikan tenaga raksasa yang sedang mengamuk. Ayunan tangannya telah menggetarkan udara menerpa kulit Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat menyadari, betapa besar kekuatan lawannya itu. Karena itu, maka ia pun segera mempergunakan lambaran tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan raksasa Kebo Lorog.
Ketika terjadi benturan-benturan di antara keduanya, Kebo Lorog memang menjadi heran. Anak muda itu ternyata mampu mengimbangi kekuatannya. Tetapi Kebo Lorog pun mengerti, bahwa Mahisa Pukat telah mengalasi kekuatannya dengan tenaga dalam. Karena itu, untuk tetap berada pada tataran yang lebih tinggi, maka Kebo Lorog pun telah mengungkapkan tenaga dalamnya pula.
Namun kemampuan Mahisa Pukat ternyata memang lebih tinggi dari Kebo Lorog. Karena itu, meskipun pada dasarnya kekuatan Kebo Lorog itu lebih besar, tetapi dilambari dengan tenaga dalam masing-masing, maka Kebo Lorog ternyata tidak mampu menekan kekuatan lawannya.
Mahendra yang berdiri di luar pintu kedai itu memperhatikan pertempuran yang terjadi itu dengan seksama. Sekali-sekali nampak keningnya berkerut. Kedua orang yang harus bertempur melawan para pengikut Kebo Lorog itu memang harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Keempat orang pengikut Kebo Lorog yang datang kemudian itu masih mempunyai tenaga yang segar. Sedangkan seorang yang telah terluka itu masih juga terasa mengganggu, karena ia pun dapat merupakan bagian dari kepungan di seputar kedua orang itu.
Namun kedua orang itu memang lebih tangkas dari lawan-lawan mereka. Meskipun jumlah lawan mereka lebih dari dua kali lipat, namun kedua orang itu masih mampu mengimbanginya.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang bertempur melawan Kebo Lorog, tetapi ternyata Mahisa Pukat masih mampu mengimbanginya. Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat. Bahkan Kebo Lorog yang gemuk itu pun mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi, seakan-akan tubuhnya yang besar itu tidak terasa memberatinya.
Karena itulah maka keduanya pun berloncatan dengan tangkasnya saling menyerang dan saling menghindar. Sekali-sekali masih saja terjadi benturan jika seorang di antara mereka menangkis serangan lawannya.
Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka keduanya justru mengetahui bahwa lawan mereka memang memiliki tenaga dan kekuatan yang besar. Sementara itu loncatan-loncatan yang cepat dan ringan membuat pertempuran itu bagaikan angin pusaran yang berputaran tidak berkeputusan.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan mereka pun kemudian sulit membedakan, ketika dua bayangan bagaikan menjadi berbaur tanpa batas. Hanya Mahendra lah yang dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi. Namun ia pun mengerutkan dahinya melihat kedua orang itu meningkatkan ilmu mereka semakin lama semakin tinggi.
Di putaran pertempuran yang lain, dua orang yang datang terdahulu tengah bertempur melawan para pengikut Kebo Lorog. Ternyata keduanya memang memiliki kelebihan dari lawan-lawan mereka. Senjata kedua orang itu berputaran menggapai-gapai dengan cepat. Sehingga sekali-sekali kelima orang yang mengepungnya harus berloncatan menjauh. Namun sejenak kemudian mereka dengan serentak meloncat menyerang bersama-sama.
Namun kedua orang yang menolak untuk bekerja bersama dengan Kebo Lorog itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka tidak mau menunggu keadaan menjadi semakin buruk. Dengan demikian, maka senjata mereka seakan-akan berputar semakin cepat. Kedua orang itu tidak membiarkan diri mereka terkurung di dalam kepungan. Dengan isyarat maka keduanya serentak menghentakkan kekuatan mereka menyerang sisi yang sedang dalam paling lemah dari kepungan itu.
Tiga di antara kelima orang pengikut Kebo Lorog itu terkejut sekali. Kedua orang itu begitu tiba-tiba meloncat menyerang mereka. Ketiga orang itu memang berusaha untuk menghindar dan menangkis serangan itu. Seorang di antara mereka yang tidak menjadi sasaran langsung sempat meloncat menghindar. Seorang lagi berusaha untuk menangkis ujung pedang yang bergetar dan kemudian terayun mendatar menyambar ke arah lambung. Satu benturan yang keras telah terjadi.
Namun pengikut Kebo Lorog yang terkejut itu ternyata tidak mampu menahan kekuatan benturan yang seakan-akan merayap lewat pedangnya menggigit telapak tangannya. Senjata orang itu pun tidak mampu lagi dipertahankannya, sehingga terloncat dari tangannya. Dengan gugup orang itu berlari meninggalkan lawannya. Sementara lawannya memang tidak sempat mengejarnya. Dua orang pengikut Kebo Lorog yang lain sempat memburu menyelamatkan kawannya yang kehilangan senjatanya itu.
Tetapi mereka tidak sempat menolong kawannya yang lain. Justru kedua orang bersama-sama menyelamatkan kawannya yang kehilangan senjatanya, maka kawannya yang seorang lagi mengalami nasib yang buruk. Meskipun ia mampu menangkis serangan lawannya ketika pedang lawannya itu terjulur, tetapi pedang itu menggeliat dan berputar dengan cepat.
Pengikut Kebo Lorog itu meloncat mundur untuk mempertahankan senjatanya. Tetapi lawannya ternyata meloncat pula memburu. Ayunan pedangnya yang datang lurus dari samping menebas ke arah lehernya membuatnya meloncat surut sambil melindungi lehernya dengan senjatanya. Tetapi ternyata pedang lawannya berputar. Pedangnya mematuk ke arah dadanya yang seakan-akan terbuka.
Pengikut Kebo Lorog itu dengan cepat memiringkan tubuhnya karena tangannya terlambat menangkis serangan itu. Tetapi pengikut Kebo Lorog itu tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya. Uluran pedang lawannya sempat mengoyak lengannya, sehingga sebuah luka telah menganga. Orang itu meloncat surut mengambil jarak. Terasa darah yang hangat telah meleleh sampai ke tangannya dan bahkan jari-jarinya. Orang itu mengumpat kasar. Kemarahannya telah menyala di dadanya. Namun, ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia memang sudah terluka.
Sementara itu kedua orang itu telah berhasil mematahkan kepungan para pengikut Kebo Lorog. Orang yang telah kehilangan senjatanya itu tidak sempat lagi memungutnya. Karena itu, maka ia pun telah mengambil senjata dari salah seorang pengikut Kebo Lorog yang datang lebih dahulu, namun telah terluka dan tidak dapat bertempur terus.
Dengan demikian, maka lima orang pengikut Kebo Lorog bertempur itu, dua di antaranya telah terluka. Bagaimanapun juga luka itu telah mempengaruhi mereka karena semakin banyak darah yang mengalir, maka tenaga mereka pun menjadi semakin susut.
Kedua orang yang menolak untuk bergabung dengan Kebo Lorog itu menjadi semakin berpengharapan untuk dapat segera menyelesaikan pertempuran itu. Ketika sesaat-sesaat mereka sempat melihat pertempuran antara Mahisa Pukat dan Kebo Lorog, dada mereka pun tergetar. Mereka tidak segera mengetahui siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Apalagi keduanya tahu pasti, bahwa Kebo Lorog memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Sebenarnyalah bahwa Kebo Lorog tidak segera dapat di desak. Bahkan kemudian ternyata bahwa Mahisa Pukat mengalami kesulitan ketika Kebo Lorog itu mengerahkan kemampuannya. Bukan saja tenaganya seakan-akan menjadi semakin besar, tetapi daya tahannya pun telah bertambah-tambah. Dengan demikian, maka pertempuran antara Mahisa Pukat dan Kebo Lorog itu memang menjadi semakin sengit.
Bahkan Mahendra yang menyaksikan pertempuran itu mulai menjadi berdebar-debar. Tenaga Kebo Lorog yang serasa menjadi berlipat itu telah mendesak Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat pun kemudian sampai pada tataran tertinggi dari tenaga dalamnya, sehingga kekuatannya pun mengimbangi kekuatan lawannya.
Tetapi meskipun demikian, ada sesuatu yang membuat Mahendra berdebar-debar. Dalam pengerahan tenaga sampai ke puncak, sentuhan tangan Mahisa Pukat sama sekali tidak mengguncangkan lawannya. Sekali-sekali Mahisa Pukat masih juga tergetar, jika serangan lawannya mampu menembus pertahanannya. Bahkan Mahisa Pukat pernah terdorong beberapa langkah surut. Tetapi serangan Mahisa Pukat yang mengenai tubuh Kebo Lorog seakan-akan tidak terasa sama sekali...