PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 118
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 118
Karya Singgih Hadi Mintardja
Mahisa Murti dengan sengaja memang memberikan kesempatan kepada Kiai Puput untuk menentukan sikap. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak menjadi lengah, karena dapat saja setiap saat Kiai Puput itu dengan serta merta menyerangnya.
Namun ternyata Kiai Puput itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku harus mengakui kelebihanmu anak muda. Aku memang tidak akan dapat mengalahkanmu.”
“Jadi, apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kaulah yang akan menentukan.” jawab Kiai Puput.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana jika aku mengajukan syarat yang sama sebagaimana kau ajukan?”
Wajah Kiai Puput menegang. Namun kemudian katanya, “Jika kau berkeras untuk melakukannya, baiklah anak muda.”
“Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya, “Jadi kau berkeberatan jika aku membuatmu cacat dan kemudian merusakkan simpul-simpul sarafmu agar hubungan antara kehendak dan syaraf-syaraf penggerakmu tidak bekerja dengan wajar?”
Kiai Puput memandang anak muda itu dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Tentu saja”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Puput. Jika demikian, baiklah aku tidak akan melakukannya. Aku sendiri berkeberatan diperlakukan seperti itu. Karena itu, sebaiknya aku tidak memperlakukan orang lain demikian pula.”
Hati Kiai Puput benar-benar tersentuh mendengar kata-kata Mahisa Murti itu. Orang tua itu justru seakan-akan telah dihadapkan pada sebuah cermin. Dengan jelas ia telah melihat, cacat diwajahnya sendiri.
Mahisa Murti itu masih jauh lebih muda dari umurnya sendiri. Dalam umurnya yang masih jauh lebih muda itu, ia memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya. Namun anak muda itu sudah mampu mengendapkan perasaannya. Bahkan betapa tinggi tenggang rasa dari anak muda itu, sehingga dalam kemudaannya apalagi dalam suasana yang diliputi oleh kemarahan dan dendam, ia masih dapat mempertimbangkan untuk tidak memperlakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin diperlakukan atas dirinya.
Dengan demikian, maka kebanggaan Kiai Puput akan dirinya sendiri telah menjadi hancur berkeping-keping. Ia menjadi sangat kecil dihadapan anak muda yang telah mengurungkan niatnya untuk menghukumnya itu. Seandainya ia dalam kedudukan sebagaimana anak muda itu, maka ia tentu akan berbuat lain. Sejak ia berangkat dari rumahnya ia sudah berniat untuk menghukum anak muda itu karena dendam yang membakar jantungnya. Namun dendam, kebencian, harga diri dan kesombongannya benar-benar telah dihancurkan oleh Mahisa Murti.
Karena itu, maka dengan nada rendah ia berkata, “Anak muda. Kenapa kau tidak membunuh aku saja?”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau runtuhkan martabatku jauh lebih rendah dari yang pernah kau lakukan. Ketika kau mengalahkan muridku, aku sudah merasa terhina. Ketika kemudian ternyata bahwa ilmumu akan mampu mengalahkan aku, maka aku merasa semakin tidak berharga. Tetapi bahwa kau tidak membunuhku, telah membuat martabatku benar-benar lebih rendah daripada debu. Aku datang dengan dendam yang membara. Kemudian kau anak yang baru kemarin sore, telah mampu meredam kemarahanmu. Kenapa kau tidak memperlakukan terhadapku apa yang tidak ingin diperlakukan orang terhadapmu?”
“Bukankah orang lain juga mempunyai perasaan sebagaimana aku sendiri,” jawab Mahisa Murti, “tetapi baiklah. Kita tidak usah membicarakannya lagi. Kita lupakan apa yang telah terjadi. Tetapi bukan berarti bahwa apa yang terjadi sama sekali tidak berkesan di hati kita masing-masing. Yang kita lupakan adalah dendam di antara kita. Namun untuk selanjutnya kita tidak akan terjerat lagi oleh dendam itu.”
“Mahisa Murti” berkata Kiai Puput, “nampaknya dunia memang sudah terbalik. Aku yang sudah kenyang makan garam harus mendengarkan nasehatmu, seorang anak muda yang masih belum kering pupuk lempuyang di ubun-ubunnya.”
“Kau berkeberatan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak. Aku sama sekali tidak berkeberatan” jawab Kiai Puput dengan serta merta.
“Nah, sekarang ajak ketiga orang kawanmu itu singgah di padepokanku” ajak Mahisa Murti.
“Tidak anak muda” jawab Kiai Puput, “aku minta diri. Aku tidak pantas singgah di padepokanmu.”
“Kau tidak percaya bahwa aku mempersilahkan dengan jujur tanpa niat apapun juga?”
“Aku percaya anak muda. Tetapi aku tidak pantas untuk menerima undanganmu. Biarlah kami mohon diri.” berkata Kiai Puput.
Mahisa Murti tidak memaksanya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Jika demikian, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan.”
“Anak muda. Aku mohon maaf atas segala tingkah lakuku. Yang terjadi merupakan satu pengalaman yang sangat berharga bagiku.” Demikianlah, maka Kiai Puput telah menguak ketiga orang kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan berkata, “Aku atas nama kawan-kawanku juga minta maaf anak muda. Kami menyadari sekarang, betapa bodohnya kami waktu itu. Kami merasa mampu memenangkan pertempuran di antara kita. Ternyata bahwa kami bagimu tidak lebih dari debu.”
“Sudahlah” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan pengalaman seperti ini tidak terulang lagi.”
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu pun telah meninggalkan Mahisa Murti sendirian. Keempatnya itu pun segera telah hilang di dalam kegelapan serta bayangan gerumbul-gerumbul perdu.
Sambil melangkah menjauh, Kiai Puput berkata, “Kalian tidak memberitahukan kepadaku, betapa tinggi ilmu anak itu.”
“Kami mohon maaf, Kiai. Kami benar-benar tidak mampu menilai kemampuannya,” jawab orang bertubuh tinggi itu.
Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Sikap Kiai Puput memang tidak dapat diduga-duga. Jika ia menganggap mereka bertiga sudah melakukan kesalahan, maka Kiai Puput itu akan dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah mereka duga.
Untuk beberapa saat Kiai Puput hanya berdiam diri. Sambil melangkah, maka Kiai Puput menundukkan kepalanya seakan-akan memandangi kedua ujung ibu jarinya yang saling mendahului berganti-ganti. “Apakah anak muda itu sengaja memancing aku untuk datang” tiba-tiba Kiai Puput itu berdesis.
“Aku tidak berpikir sejauh itu, Kiai” jawab orang yang bertubuh tinggi itu, “tetapi darimana anak itu tahu bahwa Kiai akan datang kepadanya?”
“Panggraitanya tentu tajam sekali” jawab Kiai Puput.
“Tetapi kami benar-benar tidak mengira bahwa ia memiliki kemampuan setinggi itu. Ketika ia melarikan diri, kami menyangka bahwa kami sudah dapat mengatasinya.”
“Sudahlah” berkata Kiai Puput, “satu pengalaman yang sangat berharga bagiku. Anak itu seolah-olah telah membuka mata hatiku untuk melihat jauh lebih dari sekedar kebanggaan atas kemampuanku yang tinggi. Aku telah salah menempatkan diriku sendiri pada jajaran orang-orang berilmu. Ketika muridku itu dikalahkan oleh anak muda itu, jantungku benar-benar terbakar. Aku tidak yakin dan tidak rela bahwa ada anak muda yang sebaya yang mampu mengalahkan muridku. Namun ternyata bukan hanya muridku yang dikalahkannya. Tetapi juga aku sendiri.”
Ketiga orang pengikutnya tidak menyahut. Mereka khawatir bahwa mereka akan salah ucap dan membuat Kiai Puput itu marah. Namun nampaknya Kiai Puput itu justru telah mengendapkan hatinya. Katanya, “Aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini.”
Ketiga orang pengikutnya itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka masih saja tetap berdiam diri karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak mereka kehendaki masih dapat terjadi. Namun mereka berharap bahwa Kiai Puput benar-benar menyadari bahwa yang telah terjadi itu bukannya sekedar mimpi buruk. Beberapa saat kemudian, keempat orang itu berjalan menempuh kegelapan sambil berdiam diri. Masing-masing menerawang ke dalam angan-angannya sendiri.
Sementara itu, Mahisa Murti yang sudah bersiap-siap untuk kembali ke Padepokan, terkejut mendengar langkah lembut dari arah belakang. Dengan cepat ia berbalik menghadap ke arah suara itu. Ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
“Aku ngger” terdengar suara lembut dari kegelapan.
Namun Mahisa Murti segera mengenalinya. Ternyata yang datang itu adalah Kiai Wijang. Karena itu, maka Mahisa Murti itu pun segera menyapanya, “Kiai Wijang.”
“Ya ngger” jawab Kiai Wijang, “aku telah melihat segalanya. Karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu, bahwa kau telah mampu mengekang dirimu. Sebenarnyalah aku kagum melihat kebesaran hatimu serta ke lapangan dadamu.”
“Kiai memuji” desis Mahisa Murti.
“Aku berkata sebenarnya ngger” jawab Kiai Wijang, “aku sudah tidak mempunyai harapan bahwa Kiai Puput akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Menurut perhitunganku, maka tubuhnya tentu akan kau lumatkan. Seandainya hal itu terjadi, maka aku tidak dapat menyalahkan kau ngger, karena apa yang dilakukan oleh saudara seperguruanku itu sudah terlalu jauh. Tetapi kau tidak membunuhnya. Kau masih sempat menundukkannya tanpa melukainya.”
“Aku mencoba untuk selalu mengingat pesan Kiai”
“Apapun yang aku pesankan, tetapi perbuatan Kiai Puput sudah tidak dapat dimaafkan lagi. Tetapi ternyata kau telah memaafkannya.”
“Bukankah yang aku lakukan itu tidak lebih dari memenuhi pesan Kiai? Aku tidak berbuat kebaikan apa-apa, Kiai.”
“Perasaan tidak melakukan kebaikan itulah yang mengagumkan." Kiai Wijang berhenti sejenak, lalu katanya, “Yang aku ketahui betapa luas hatimu melampaui luasnya lautan, bukannya hanya karena kau tidak membunuh Kiai Puput. Tetapi bahwa kau telah meninggalkan Singasari dan meninggalkan Mahisa Pukat untuk tetap berada di sana.”
“Ah” desah Mahisa Murti, “aku sudah melupakannya.”
“Aku mengerti ngger. Tetapi aku hanya ingin mengatakan, bahwa yang kau lakukan sekarang ini bukannya karena pesanku semata-mata. Meskipun aku berpesan seribu kali, tetapi perbuatan Kiai Puput sudah melampaui batas, maka kesempatannya untuk hidup kecil sekali. Beruntunglah Kiai Puput bahwa kali ini ia berhadapan dengan kau.”
“Sudahlah Kiai” berkata Mahisa Murti, “aku telah menganggap bahwa tidak pernah terjadi sesuatu antara aku dan Kiai Puput serta muridnya.”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Namun mudah-mudahan Kiai Puput menjadikan pengalamannya hari ini pelajaran yang berharga bagi sisa hidupnya.”
“Nampaknya ia juga tidak dapat melupakan pengalaman ini, Kiai” berkata Mahisa Murti.
“Kita berdoa baginya.” desis Kiai Wijang.
Demikianlah maka Mahisa Murti pun telah mempersilahkan Kiai Wijang untuk singgah di padepokan. Sementara Kiai Wijang sempat berkata, “Aku sudah cemas, bahwa Kiai Puput akan singgah. Jika demikian, mungkin sekali ia akan mendengar dari satu dua orang cantrik, bahwa aku pernah berada di Padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Untunglah bahwa Kiai Puput menolak.”
“Ya. Jika ia tahu bahwa aku pernah berada di sini, maka ia akan dapat menjadi curiga, bahwa aku memang telah ikut mencampuri persoalannya. Tetapi ia tentu juga mengetahui, bahwa siapapun tidak akan mungkin mampu menyiapkan seseorang untuk menguasai ilmu pada tataranmu dalam waktu yang sangat pendek, jika kau sendiri tidak memiliki bekal untuk dapat melakukannya. Aku kira Kiai Puput tidak sampai pada jangkauan penalaran bahwa aku telah melakukan sesuatu bagimu dan ternyata berhasil.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Meskipun demikian sebaiknya Kiai Puput untuk waktu yang pendek tidak singgah di padepokanku.”
“Memang itulah yang terbaik” berkata Kiai Wijang. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi bagaimanapun juga ia tidak dapat melihat bekas tanganku. Segala unsur gerak yang nampak padamu, sama sekali berbeda dengan unsur-unsur gerak pokok dari perguruanku. Jika terdapat persamaan itu adalah landasan dasar yang mempunyai persamaan pada segala macam perguruan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Meskipun tidak nampak bekasnya, tetapi bagiku, Kiai telah menjadi penentu atas kemampuanku.”
“Tidak. Bukan begitu. Apakah aku dapat berbuat sebagaimana aku lakukan atas orang lain? Katakan, atas murid Kiai Puput itu atau siapapun? Tentu tidak. Karena itu, aku sama sekali bukan penentu.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apapun yang terjadi, tetapi aku tidak akan dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai telah ikut menentukan kehadiranku di dunia olah kanuragan.”
Kiai Wijang tersenyum. Katanya sambil menunjuk oncor yang nampak di kejauhan, “Bukankah itu regol padepokanmu.”
“Ya. Kiai” jawab Mahisa Murti.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Mahisa Murti itu pun telah membenahi pakaiannya yang kusut. Namun kemudian mereka berdua telah melangkah menuju ke regol halaman yang sudah ditutup meskipun masih tersisa sedikit.
Mahisa Murti lah yang mengetuk pintu regol itu. Dari celah-celah pintu yang masih terbuka sedikit itu, cantrik yang bertugas melihat Mahisa Murti dan Kiai Wijang berdiri diluar pintu. Maka para cantrik yang bertugas itu pun segera membukanya.
“Pintu belum diselarak” desis Mahisa Murti.
“Kami memang menunggu” jawab cantrik itu.
Demikianlah, maka keduanya pun telah memasuki Padepokan Bajra Seta yang sudah nampak sepi, sementara malam telah menjadi semakin malam.
Wantilan dan Sambega yang kemudian mengetahui kehadiran Mahisa Murti bersama Kiai Wijang, telah naik ke pendapa bangunan induk padepokan untuk ikut menemuinya. Namun justru Mahisa Murti lah yang kemudian meninggalkan tamunya untuk pergi ke pakiwan.
“Aku juga belum mandi” berkata Kiai Wijang sambil tertawa.
“Apakah Kiai akan mandi dahulu?” bertanya Mahisa Murti.
Tetapi Kiai Wijang tersenyum sambil menjawab, “Nanti saja. Silahkan kau mandi. Nampaknya kau baru berlatih, sehingga keringatmu masih mengembun di tubuhmu.”
“Ya Kiai. Aku memang baru saja berlatih di padang perdu.”
Ketika kemudian Mahisa Murti meninggalkan mereka yang duduk di pendapa, maka Wantilan pun bertanya, “Apakah Mahisa Murti berlatih dibawah pengawasan Kiai?”
“Tidak” jawab Kiai Wijang, “aku hanya sekedar akan berkunjung ketika aku melihat angger Mahisa Murti berlatih.”
Pembicaraan mereka pun kemudian tidak lagi menyinggung Mahisa Murti yang sedang berlatih. Tetapi mereka telah berbicara tentang keadaan Singasari dari hari ke hari. Sekali-sekali Kiai Wijang telah menyinggung keluarga Sri Maharaja di Singasari. Putera Sri Maharaja yang diharapkan kelak menjadi Putera Mahkota sudah tumbuh semakin besar. Beberapa saat kemudian maka Mahisa Murti pun telah selesai berbenah diri. Ia pun kemudian duduk pula di pendapa serta berbincang tentang banyak hal.
Malam itu Kiai Wijang bermalam lagi di Padepokan Bajra Seta. Bahkan tidak hanya satu malam. Kepada Mahisa Murti, Kiai Wijang berkata, “Bukankah aku boleh tinggal di sini beberapa lama?”
“Tentu Kiai.” jawab Mahisa Murti, “kehadiran Kiai di sini akan memberikan kesegaran bagi kami di sini.”
Dengan demikian, maka selama Kiai Wijang berada di Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti sempat menekuni ilmunya. Ia harus semakin meyakinkan diri, bahwa ia memang sudah berada di dalam kemapanan pada tataran yang lebih tinggi.
Kiai Wijang sama sekali tidak berkeberatan untuk bersama-sama dengan Mahisa Murti berada di sanggarnya. Karena Kiai Wijang menganggap bahwa Mahisa Murti sudah sepantasnya untuk memiliki ilmu yang sangat tinggi, bahkan paling tinggi sekalipun. Ia telah membuktikan bahwa banyak kerja yang telah dilakukan untuk kepentingan sesamanya.
Bahkan Mahisa Murti pernah menjalani laku tapa ngrame. Laku yang dijalaninya dengan menolong sesama yang memang memerlukan pertolongan. Membimbing orang yang buta, memberi air bagi orang yang kehausan dan memberi makan kepada orang yang lapar. Melindungi orang yang lemah dan menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat.
Kesempatan itu memang dipergunakan sebaik-baiknya oleh Mahisa Murti. Selama Kiai Wijang ada di padepokan. Sehingga dalam tatarannya yang lebih tinggi, Mahisa Murti masih mampu mengembangkan dan mematangkannya. Justru karena Kiai Wijang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi maka latihan-latihan itu memungkinkan Mahisa Murti untuk mengembangkan apa yang telah dimilikinya.
Bahkan Mahisa Murti sempat untuk melihat kembali bekal yang ada di dalam dirinya. Kemudian mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih baik. Dengan beberapa unsur yang dimilikinya,-maka Mahisa Murti dapat menyusun unsur-unsur baru yang paling sesuai bagi dirinya sendiri, sehingga kemudian ilmu yang nampak bukan lagi ilmu yang bersumber dari beberapa jalur perguruan, tetapi sudah menyatu utuh dan bulat.
Dalam kebulatannya, sebagaimana dikatakan oleh Kiai Wijang, ternyata bekal yang ada di dalam diri Mahisa Murti lebih lengkap dari bahan yang ada di dalam diri Kiai Wijang sendiri. Sehingga karena itu, maka Kiai Wijang yakin, bahwa pada saat yang pendek, kemampuan ilmu Mahisa Murti sudah akan menjadi lebih baik dari ilmunya.
Tetapi Kiai Wijang sama sekali tidak merasa dengki dan iri. Ia memang sudah berniat untuk membantu Mahisa Murti mencapai tataran yang paling tinggi sekalipun, karena Kiai Wijang mengetahui pribadi Mahisa Murti. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki oleh Mahisa Murti, maka akan semakin banyaklah pengabdian yang dapat diberikan oleh anak muda itu kepada sesamanya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Wijang juga sudah mengetahui bahwa Mahisa Pukat telah melakukan hal yang sama sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahisa Murti. Namun Mahisa Pukat yang telah membangun sebuah keluarga serta terikat pada tugas-tugasnya di istana, tentu tidak akan dapat berbuat sebanyak yang dapat dilakukan oleh Mahisa Murti bagi orang banyak. Mahisa Pukat tentu akan selalu berada dalam tugasnya di Kasatrian. Diluar tugasnya di Kasatrian maka waktunya akan diberikannya kepada keluarganya.
Dalam pada itu, Kiai Wijang masih saja berada di Padepokan Bajra Seta. Ia merasakan padepokan itu sebagai satu tempat yang menyenangkan. Ia dapat merasakan ketenangan dalam kesibukan kerja para cantrik di Padepokan itu. Dari pagi sampai menjelang tengah hari, terdengar kesibukan kerja hampir di semua bagian dari padepokan itu. Sedangkan di sanggar beberapa orang cantrik tengah ditempa dalam olah kanuragan sesuai dengan giliran masing-masing.
Dengan demikian, maka meningkatnya ilmu kanuragan, pengetahuan-pengetahuan yang lain serta ketrampilan kerja berjalan dalam keseimbangan. Para cantrik di Padepokan Bajra Seta tidak semata-mata menimba ilmu kanuragan, tetapi juga beberapa macam ilmu yang lain yang berhubungan dengan tata kehidupan yang akan mereka jalani kemudian.
Dalam pada itu, pada waktu senggang, Kiai Wijang masih juga sering mengadakan perbincangan khusus dengan Mahisa Murti tentang masa depan Padepokan Bajra Seta. Kepada Mahisa Murti, Kiai Wijang menyatakan pendapatnya, bahwa Mahisa Murti harus dengan segera mempersiapkan orang-orang yang akan dapat membantunya jika ia berada dalam kesulitan.
“Angger tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah sendiri” berkata Kiai Wijang.
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, “Ya. Aku mengerti Kiai. Saat ini memang belum ada orang yang dapat aku percaya sepenuhnya untuk melakukan tugas-tugas yang paling rumit di Padepokan ini. Semuanya masih harus aku tangani sendiri.
“Jika datang bahaya yang melanda Padepokan ini, dengan beberapa orang pelaku yang berilmu tinggi, maka angger harus menyusun kelompok-kelompok yang akan menghadapi mereka itu. Mungkin dengan demikian Padepokan ini dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Tetapi tentu dengan banyak korban.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kiai.”
“Nah. Jika demikian maka kau dapat menyusun kekuatan dari orang-orang yang pada dasarnya sudah mempunyai landasan sendiri. Kemudian beberapa orang cantrik pilihan dan agaknya yang memang sudah kau persiapkan adalah Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun Mahisa Amping masih terlalu kecil untuk di tempa menjadi seorang yang berilmu tinggi dalam waktu yang pendek. Bagi anak itu masih diperlukan waktu beberapa tahun lagi. Namun agaknya yang segera dapat dimulai adalah Mahisa Semu, meskipun pada dasarnya, Mahisa Amping mempunyai beberapa kelebihan. Terutama ketajaman panggraitanya. Apabila hal itu dapat dipertajam, maka Mahisa Amping kelak akan menjadi seorang yang memiliki ilmu yang khusus. Kurnia yang dilimpahkan oleh Yang Maha Agung itu tentu akan dapat dimanfaatkan untuk mengabdikan diri kepada sesama.”
Dengan nada dalam Mahisa Murti bertanya, “Bagaimana pendapat Kiai tentang paman Wantilan dan Sambega.”
“Seperti kau ngger, aku percaya kepada mereka. Apalagi menurut ceriteramu tentang apa yang pernah mereka lakukan. Karena itu, maka mereka termasuk orang-orang yang pada dasarnya memang sudah memiliki landasan kemampuan sendiri. Tetapi aku yakin, bahwa kau akan dapat membentuk mereka. Bukan saja untuk meningkatkan kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi juga meningkatkan pengabdian mereka. Karena rasa-rasanya mereka tidak lagi mempunyai banyak kepentingan bagi diri mereka sendiri.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Wantilan dan Sambega nampaknya memang tidak lagi banyak mempunyai kepentingan di dalam sisa hidup mereka. Wantilan sepanjang penglihatan Mahisa Murti telah benar-benar menyerahkan diri dan hidupnya bagi Padepokan Bajra Seta. Sejak ia berada di padepokan itu, maka apa yang dilakukannya hanyalah yang berarti bagi Padepokan Bajra Seta.
Demikian pula Sambega. Ia benar-benar telah berubah sebagaimana Wantilan. Sambega telah meninggalkan kehidupannya yang lama dan seakan-akan memang menjadi manusia baru setelah ia tinggal di padepokan.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Aku sependapat Kiai. Aku akan berusaha untuk berbuat sesuatu, agar paman Wantilan dan Sambega dapat membantu dalam banyak hal. Demikian pula ada empat orang cantrik yang memiliki banyak kelebihan dari kawan-kawannya. Agaknya mereka dapat didorong untuk dapat membantu tugas-tugas di sini.”
“Itu tentu akan lebih baik. Sementara itu, angger Mahisa Murti sendiri akan selalu mengembangkan ilmu yang telah kau miliki agar menjadi lebih masak.” berkata Kiai Wijang.
“Ya, Kiai” jawab Mahisa Murti.
“Dengan demikian padepokan ini akan menjadi sebuah padepokan yang baik. Padepokan yang akan dapat berdiri sejajar dengan padepokan-padepokan terbaik yang ada di Singasari. Kita tahu ada banyak sekali padepokan-padepokan yang tersebar dimana-mana. Namun kita pun tahu, berapa padepokan yang benar-benar merupakan padepokan yang baik dan memberikan arti bagi Singasari.” berkata Kiai Wijang kemudian.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Kiai Wijang berkata, “Angger. Jika kau tidak berkeberatan, aku bersedia membantumu membina Padepokan Bajra Seta. Tetapi sudah tentu bahwa tidak setiap saat aku ada di sini. Tetapi mungkin sebulan sekali atau dua kali aku dapat berada di padepokan ini meskipun hanya untuk sepekan. Mungkin aku tidak perlu membantu meningkatkan kemampuan dalam olah kanuragan, karena dasar ilmu kita berbeda. Tetapi aku mempunyai pengalaman yang luas sebagai seorang petani dan peternak. Aku juga mempunyai pengalaman memelihara berbagai jenis ikan di kolam-kolam. Aku juga mempunyai sedikit pengetahuan tentang perbintangan dan musim. Mungkin pengalamanku ini akan berarti bagi padepokan ini serta orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan di sekitarnya, karena aku tahu bahwa kau tidak menutup hubungan dengan orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan ini. Aku melihat anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar tempat ini sering berkunjung kemari.”
“Terima kasih, Kiai” berkata Mahisa Murti, “kami, seisi padepokan ini akan merasa beruntung sekali, jika Kiai berkenan selalu berkunjung ke padepokan ini. Kami memang sangat memerlukan petunjuk tentang bermacam-macam hal yang akan dapat meningkatkan pengetahuan kami. Apa yang kami dapatkan di sini memang sangat terbatas sehingga kehadiran Kiai akan sangat berarti bagi kami."
“Tetapi jangan terlalu banyak berharap” berkata Kiai Wijang kemudian, “Karena apa yang aku miliki itu juga tidak terlalu banyak.”
“Tetapi semuanya itu akan sangat berarti bagi kami” sahut Mahisa Murti.
Dengan kesediaan itu, maka Mahisa Murti semakin berharap bahwa padepokannya akan menjadi semakin baik. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Wijang, padepokannya akan menjadi salah satu di antara padepokan yang baik di Singasari.
Dalam pada itu, maka setelah beberapa hari berada di padepokan, maka Kiai Wijang pun telah minta diri dengan kesediaannya untuk datang setiap kali ke Padepokan Bajra Seta.
Sepeninggal Kiai Wijang, maka Mahisa Murti pun berusaha untuk memenuhi pesannya, membenahi diri. Untuk waktu yang panjang, Mahisa Murti selalu disibukkan oleh persoalan-persoalan diluar padepokannya Beberapa kali ia harus pergi ke Singasari, serta persoalan-persoalan yang lain yang justru tidak menyangkut kepentingan padepokannya dalam keseluruhan.
Seperti petunjuk dari Kiai Wijang, maka Mahisa Murti telah secara khusus membantu Wantilan dan Sambega untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dengan bersungguh-sungguh Mahisa Murti mendorong agar keduanya tidak terhenti pada tataran yang telah dimilikinya. Dengan ilmu dan kemampuannya yang tinggi, Mahisa Murti dapat menuntun keduanya, meskipun landasan ilmu mereka berbeda, untuk mengisi kekurangan-kekurangan dan kekosongan ilmu mereka.
Dengan bersungguh-sungguh pula Wantilan dan Sambega mengikuti segala petunjuk-petunjuk Mahisa Murti. Apalagi mereka yakin bahwa ilmu Mahisa Murti telah menjadi semakin meningkat pula. Mereka pun telah menyatakan kesediaan mereka untuk semakin banyak berbuat bagi padepokan mereka.
Ternyata Wantilan dan Sambega mampu menyesuaikan diri dengan maksud Mahisa Murti. Mereka berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka dengan unsur-unsur baru. Namun Mahisa Murti tidak dengan tergesa-gesa memaksakan unsur-unsur baru itu tanpa memperhatikan landasan yang telah ada. Namun justru karena kesediaan kedua orang itu serta hati mereka yang terbuka, maka usaha mereka pun menunjukkan hasilnya.
Setapak demi setapak Wantilan dan Sambega mampu meningkatkan ilmu mereka. Pada umur yang sudah separuh baya, maka keduanya sama sekali tidak merasa terlambat untuk menjalani laku yang terhitung berat. Namun dengan demikian, maka ilmu mereka terasa menjadi semakin lengkap. Kekosongan dan kekurangan yang terdapat sebelumnya seakan-akan telah terisi sehingga ilmu mereda menjadi semakin mengental dan padat.
Bahkan mereka pun telah mulai meraba pada inti tenaga dasar dari ilmu mereka masing-masing. Sehingga ungkapannya pun menjadi jauh lebih tajam dari sebelumnya. Meskipun dasar ilmu yang nampak pada Wantilan dan Sambega tetap berbeda, namun terdapat persamaan isi dalam perkembangannya, karena keduanya mendapat tuntutan dari Mahisa Murti.
Disamping kedua orang itu, maka Mahisa Murti juga telah membina tiga orang cantriknya yang tertua. Bukan saja umurnya, tetapi juga masa kedatangan mereka di padepokan itu serta derajat kemampuan mereka. Tiga orang cantrik itu telah dipanggil oleh Mahisa Murti di pendapa bangunan induk padepokannya. Ketika ketiganya menghadap, maka Wantilan dan Sambega pun duduk pula bersama mereka. Kepada ketiga orang cantrik itu, Mahisa Murti menawarkan apakah mereka bersedia menjalani laku yang berat untuk mencapai satu tataran ilmu yang lebih tinggi.
“Tentu” jawab mereka berbareng dengan serta merta.
“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “jika demikian, maka kalian akan mendapat kesempatan khusus untuk menjalani laku. Aku ingin kalian akan dapat menjadi pembantu utama di padepokan ini bersama paman Wantilan dan paman Sambega. Selama ini kalian memang sudah melakukan tugas itu. Namun aku ingin kalian dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih rumit di padepokan ini bahkan hubungannya dengan lingkungan diluar padepokan.”
“Terima kasih” berkata salah seorang dari mereka, “kami memang menunggu kesempatan seperti ini.”
“Tetapi kalian harus bekerja keras. Lebih keras dari yang pernah kalian lakukan selama ini.” berkata Mahisa Murti.
“Kami berjanji” jawab salah seorang dari mereka, “apapun yang harus kami lakukan.”
“Kerja keras itu tidak akan selesai dalam waktu satu dua hari, atau satu dua pekan. Tetapi untuk waktu yang panjang” berkata Mahisa Murti pula
“Sampai kapan pun akan kami jalani” jawab seorang dari ketiga orang cantrik itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia yakin bahwa ketiga orang itu akan dapat memenuhi harapannya. Mereka tentu akan dapat ikut membantu tugas-tugas kepemimpinan di padepokan itu. Meskipun demikian harapan utama Mahisa Murti tetap ada pada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Bersama Mahisa Pukat mereka telah melakukan pengembaraan yang panjang untuk menemukan seseorang yang akan dapat menjadi tumpuan masa depan.
Namun Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih harus dimatangkan, sehingga memerlukan waktu yang jauh lebih panjang. Karena Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan ditempa secara khusus untuk memegang kendali padepokan di masa datang, meskipun Mahisa Murti menyadari bahwa rencana itu bukan rencana yang mutlak, karena untuk menjadi seorang pemimpin yang terpenting bukan hanya sekedar kemampuan olah kanuragan, tetapi juga kemampuan lain yang berhubungan dengan tatanan kehidupan serta lebih dari segalanya adalah pribadinya. Namun, adalah menjadi kewajibannya untuk berusaha membina dan mempersiapkan pemangku jabatan kepemimpinan di masa datang.
Demikianlah, maka kecuali para cantrik yang dipersiapkan untuk membantunya memimpin padepokan itu dalam jangka yang terhitung dekat serta Wantilan dan Sambega, maka Mahisa Murti dengan teratur membina Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mereka harus benar-benar memahami, menguasai dan mematangkan ilmu tahap demi tahap, karena tahapan-tahapan itu akan menjadi landasan bagi tataran berikutnya. Dengan demikian, maka ilmu kedua orang anak muda itu menjadi mantap dan padat.
Ternyata untuk semuanya itu Mahisa Murti harus bekerja keras. Ia seakan-akan bekerja sendiri tanpa mengenal lelah. Hari-harinya seakan-akan habis dipergunakannya untuk membina isi padepokannya dari segala tataran. Wantilan dan Sambega yang umurnya sudah menjelang separuh baya, memperhatikan Mahisa Murti dengan prihatin. Meskipun dalam ilmu kanuragan dan ilmu yang lain Mahisa Murti jauh melampaui kemampuan mereka, tetapi bagaimanapun juga umur mereka tidak akan dapat disusul dan dilampaui oleh Mahisa Murti.
Karena itu, maka kadang-kadang Wantilan dengan tarikan nafas panjang berkata kepada Sambega, “Mahisa Murti telah kehilangan masa remaja dan masa mudanya. Ia tidak dapat menikmati hari-harinya sebagaimana anak-anak muda yang lain. Bahkan para cantrik di padepokan ini yang sempat bercanda, bermain dan kadang-kadang pergi keluar padepokan dan singgah di padukuhan-padukuhan terdekat.”
“Ya” sahut Sambega, “jika Mahisa Murti ke padukuhan, tentu karena ada sesuatu yang harus dilakukan. Ia menjadi seorang yang cara dan laku hidupnya menjadi jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Apalagi karena kedudukannya sebagai seorang pemimpin padepokan.”
Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa. Nampaknya Mahisa Murti memang sudah meletakkan diri ke dalam tugas-tugas pengabdiannya. Bahkan sejak ia masih bersama-sama Mahisa Pukat melakukan pengembaraan, maka mereka telah melakukan Tapa Ngrame. Namun Mahisa Pukat yang kemudian berada di Kasatrian mempunyai kesempatan lebih baik untuk menikmati masa mudanya meskipun terbatas. Bahkan kemudian Mahisa Pukat telah melengkapi hidupnya dengan sebuah kehidupan keluarga.
Ketika seperti yang dijanjikan, Kiai Wijang datang ke Padepokan Bajra Seta, maka pada satu kesempatan hal itu telah di katakan oleh Wantilan dan Sambega kepadanya. Kiai Wijang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia memang kehilangan. Tetapi dengan apa yang dilakukan itu, ia mendapatkan kepuasan jiwa tersendiri. Memang berbeda dengan kesenangan bagi anak-anak muda sebayanya yang lain."
Wantilan dan Sambega mengangguk-angguk. Namun Wantilan itu pun berkata, “Tetapi bukankah dengan demikian ia telah kehilangan satu bagian dari jalan hidupnya?”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Ia telah kehilangan satu bagian dari hidupnya. Tetapi semua itu dilakukannya dengan penuh kesadaran. Jiwa pengabdiannya yang besar telah mengalahkan kesenangan pribadinya.”
“Tetapi apakah Mahisa Murti untuk selanjutnya tidak akan memikirkan dirinya sendiri? Apakah ia tidak akan menginjak satu kehidupan rumah tangga sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat?” bertanya Sambega.
“Mudah-mudahan pada suatu saat hatinya terbuka bagi seorang gadis” jawab Kiai Wijang.
“Namun umurnya sudah menjadi semakin tua” berkata Wantilan.
“Pada satu kesempatan aku akan berbicara dengan anak muda itu” berkata Kiai Wijang.
“Mudah-mudahan Mahisa Murti tidak terbenam dalam pengabdiannya tanpa memikirkan pribadinya. Jika hidupnya dilengkapi dengan sebuah keluarga, maka kami ingin melihat ia mendapat kebahagian yang utuh dalam hidupnya. Selain kepuasan batin atas pengabdiannya, juga keutuhan kehidupan lahiriahnya terpenuhi”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Ternyata para penghuni padepokan itu juga memikirkan Mahisa Murti sebagai satu pribadi, yang perlu melengkapi diri dalam kehidupan kesehariannya sebagai satu kewajaran. Ternyata Kiai Wijang memang memenuhi janjinya. Pada satu kesempatan ia memang berkata kepada Mahisa Murti tentang kehidupan pribadinya.
Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti tersenyum sambil menjawab, “Bukankah masa itu akan datang dengan sendirinya?"
“Tetapi umurmu akan tumbuh terus, ngger. Pamanmu Wantilan dan Sambega ternyata ikut memikirkanmu. Dan jika kau percaya, ayahmu juga pernah mengatakan hal itu kepadaku.”
“Kiai sering mengunjungi ayah?” bertanya Mahisa Murti.
“Baru akhir-akhir ini, ngger. Ternyata orang-orang tua kadang-kadang memerlukan untuk saling bertemu dan berbicara apa saja. Tetapi yang kami bicarakan kebanyakan justru hal-hal yang tidak penting. Rasa-rasanya kami sudah terlalu letih untuk membicarakan persoalan-persoalan yang dapat membebani perasaan."
“Sebagaimana ayah, Kiai juga sebaiknya lebih banyak beristirahat” berkata Mahisa Murti.
“Aku juga sudah terlalu banyak beristirahat. Aku kira, ayahmu memang sedikit lebih tua dari aku ngger. Namun ayahmu masih mempunyai kesibukan di istana. Sekali-kali ayahmu masih menghadap Sri Maharaja dan Ratu Angabaya. Sementara aku tidak mempunyai kesibukan apa-apa. Karena itu, aku merasa senang bahwa aku boleh datang mengunjungi padepokan ini setiap kali dan sedikit membagi pengalaman dengan para cantrik.”
“Kami justru berterima kasih sekali, Kiai” desis Mahisa Murti.
“Tetapi sebaiknya kau tetap memperhatikan harapan ayahmu, pamanmu Wantilan dan Sambega dan tentu juga Mahisa Pukat.”
Mahisa Murti tersenyum. Namun Kiai Wijang ternyata mampu menangkap betapa asamnya perasaan Mahisa Murti. Kiai Wijang tidak berkata lebih jauh. Tetapi ia sudah memperingatkannya. Kepada Wantilan dan Sambega pada kesempatan lain, telah diceritakannya pula pembicaraannya dengan Mahisa Murti itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih saja tenggelam dalam tugasnya. Ditempanya tiga orang cantrik tertua. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga kemampuan memimpin para cantrik yang lebih muda dari padanya. Sementara itu Kiai Wijang benar-benar telah melengkapinya dengan berbagai macam pengalaman yang sangat berarti bagi mereka.
Dengan demikian, maka ketiga orang itu pun telah benar-benar menjadi cantrik yang memiliki kemampuan yang semakin tinggi sebagaimana Wantilan dan Sambega. Sehingga karena itu, maka mereka akan mendapat kepercayaan lebih besar dari Mahisa Murti untuk membantunya, memimpin Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Mahisa Semu dan Mahisa Amping tumbuh sejalan dengan perkembangan ilmu mereka. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain. Karena Kiai Wijang pun sangat menaruh perhatian terhadap mereka. Pada waktu-waktu tertentu Kiai Wijang memang berada di padepokan itu sebagaimana dijanjikannya.
Demikianlah dari hari ke hari, Padepokan Bajra Seta tumbuh semakin subur. Bukan saja kemampuan para cantrik, tetapi juga kesejahteraan hidup mereka sehari-hari. Penghasilan sawah dan ladangnya semakin meningkat berkat cara pengolahan tanah yang semakin baik. Pengalaman Kiai Wijang yang mereka ungkapkan dalam kerja sehari-hari ternyata telah membuahkan hasil. Pategalan yang semula kering telah menjadi basah. Air sungai yang dinaikkan untuk mengairi tanah dan sebuah kolam yang luas.
Beberapa petak tanah yang dipergunakan untuk perternakan serta sebuah padang rumput tempat menggembala. Sementara itu, di dalam dinding padepokan terdapat beberapa kelompok tempat kerja pande besi yang telah mempergunakan peralatan dan cara yang dipelajari dari para pande besi dari Singasari, sehingga hasilnya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Bukan saja pembuatan alat-alat pertanian tetapi juga pembuatan senjata.
Hubungan padepokan itu dengan padukuhan di sekitarnya menjadi semakin baik. Sehingga Padepokan Bajra Seta rasa-rasanya memang menjadi bagian dari lingkungannya. Tanah yang tergelar di sekitar Padepokan Bajra Seta nampak hijau segar sampai di lembah-lembah dan lereng pegunungan.
Mahisa Murti yang memimpin Padepokan Bajra Seta, sebagaimana dikatakan oleh Kiai Wijang memang mendapatkan kepuasan tersendiri dengan hasil yang kasatmata itu. Bukan saja karena hijaunya lembah dan lereng pegunungan, tetapi juga peningkatan kemampuan cantrik-cantriknya yang akan membekali mereka di masa mendatang. Tidak hanya dalam olah kanuragan. Tetapi juga sebagai bekal di berbagai sisi kehidupan.
Dalam pada itu, ketika ketiga orang cantrik yang ditempa secara khusus telah mencapai satu tataran tertentu, maka Mahisa Murti pun berniat untuk mengukuhkan kedudukan mereka. Tiga orang cantrik itu pun telah ditetapkannya menjadi pembantu utamanya dalam memimpin padepokan itu bersama Wantilan dan Sambega.
Di depan para cantrik, maka Mahisa Murti telah menetapkan ketiga orang itu akan ikut memimpin Padepokan Bajra Seta dibawah kepemimpinannya, bersama Wantilan dan Sambega. Namun karena Wantilan dan Sambega umurnya lebih tua dari mereka, serta mempunyai pengalaman yang lebih luas, maka mereka harus selalu mendengarkan pendapat dan petunjuknya.
“Dengan ini” berkata Mahisa Murti dihadapan penghuni Padepokan Bajra Seta, “aku menetapkan bahwa Manyar, Parama dan Lembana untuk mengemban tugas sebagai Putut di Padepokan ini sehingga untuk selanjutnya mereka akan disebut Putut Manyar, Parama dan Lembana di lingkungan Bajra Seta. Mereka akan membantu aku, paman Wantilan dan paman Sambega memimpin padepokan ini.”
Ketetapan itu disambut dengan gembira oleh para cantrik, karena sejak sebelumnya, ketiga orang itu memang sudah melakukan tugas sebagaimana ditetapkan itu. Namun dengan ketetapan itu maka kedudukan mereka menjadi jelas. Sementara itu, Mahisa Murti telah menunjuk tiga orang cantrik yang lain yang akan mengikuti latihan-latihan khusus untuk meningkatkan kemampuan mereka agar mereka juga akan dapat membantu memimpin padepokan itu untuk masa mendatang.
Demikianlah, maka kedudukan Padepokan Bajra Seta rasa-rasanya menjadi semakin mapan. Jalur kepemimpinan yang mulai terbagi itu akan dapat meningkatkan tata kehidupan di padepokan itu di berbagai segi.
Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu pun menjadi semakin banyak yang datang berkunjung sehingga seakan-akan mereka telah menyatu dengan para cantrik.
Namun dalam pada itu, selagi padepokan Bajra Seta dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya merasakan kehidupan yang semakin mapan, maka Kabuyutan mereka mulai terganggu dengan kedatangan beberapa kelompok pengungsi dari Kabuyutan di sebelah hutan yang memanjang membatasi kedua Kabuyutan itu. Orang-orang Kabuyutan seberang hutan yang mempunyai sanak saudara di Kabuyutan Talang Alun itu pun telah berdatangan untuk mencari perlindungan.
Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan sebelah yang termasuk lingkungan Kabuyutan Talang Alun telah menceriterakan hal itu kepada para cantrik, sehingga akhirnya, hal itu didengar oleh Mahisa Murti.
“Apa yang terjadi di Kabuyutan Talang Alun?” bertanya Mahisa Murti.
Putut Manyar yang langsung mendengar dari anak-anak muda padukuhan di sebelah padepokan itu memberitahukan tentang datangnya kelompok-kelompok pengungsi dari Kabuyutan di seberang hutan.
Mereka menyeberangi hutan itu dalam kelompok-kelompok menuju ke Kabuyutan Talang Alun. Di Kabuyutan di seberang hutan itu telah terjadi keributan yang agaknya sangat mencemaskan, sehingga banyak orang yang terpaksa mengungsi.
“Aku belum dapat bertemu langsung dengan para pengungsi itu” berkata Putut Manyar kemudian.
“Pergilah ke padukuhan bersama anak-anak muda itu. Temuilah satu dua orang pengungsi untuk mendapatkan keterangan, kenapa mereka harus mengungsi.”
Putut Manyar bersama seorang cantrik segera melakukan tugas itu. Bersama dua orang anak muda dari padukuhan sebelah, yang kebetulan juga didatangi oleh sekelompok pengungsi, berusaha untuk dapat bertemu dengan mereka. Dari pertemuan itu Putut Manyar segera mengetahui, bahwa para pengungsi itu berada dalam ketakutan. Sebuah keluarga yang mengungsi di rumah pamannya yang tinggal di Kabuyutan Talang Alun tidak sempat membawa barang-barangnya selain seikat benda-benda yang paling berharga.
“Tetangga-tetangga kami juga tidak sempat membawa apa-apa.” berkata seorang laki-laki separuh baya yang mengungsi bersama keluarganya itu.
“Apa yang telah terjadi di padukuhan kalian?” bertanya Putut Manyar.
“Keributan. Setiap kali datang orang-orang yang mula-mula sekedar menakut-nakuti. Namun kemudian mereka telah menangkapi pemimpin-pemimpin padukuhan kami. Ki Bekel dan para bebahu sudah ditangkapi. Satu dua orang di antara mereka yang mencoba melawan, nasibnya tidak kita ketahui lagi. Ki Bekel pun telah terluka pula dan jatuh ke tangan mereka.” jawab orang itu.
“Apa yang mereka kehendaki?” bertanya Putut Manyar.
“Kami tidak tahu pasti. Tetapi menurut pendengaran kami, telah terjadi perebutan warisan di Kabuyutan kami.” jawab orang itu.
“Perebutan warisan? Kenapa sampai terjadi kekerasan atas para pemimpin padukuhan? Seberapa besarnya warisan yang diperebutkan itu?”
“Warisan kedudukan. Sebenarnya terjadinya tidak di Kabuyutan kami. Tetapi terjadi di Kabuyutan Pudaklamatan. Tetapi Ki Buyut di Pudaklamatan memang masih ada hubungan keluarga dengan Ki Buyut di Kabuyutan kami. Kabuyutan Sendang Apit.”
“Bukankah Kabuyutan-Kabuyutan itu terletak di seberang hutan itu?” bertanya Putut Manyar pula.
“Ya. Kami dalam kelompok-kelompok telah menyeberang hutan. Keberanian kami melawan binatang buas timbul didesak oleh ketakutan kami terhadap orang-orang yang mengacaukan padukuhan kami, melukai dan menangkap Ki Bekel serta beberapa orang lainnya.”
Putut Manyar mengangguk-angguk. Agaknya telah terjadi pergolakan di seberang hutan. Pergolakan itu memang tidak begitu terasa di Kabuyutan Talang Alun, jika saja tidak ada arus pengungsi yang berdatangan.
Keterangan itu oleh Putut Manyar telah dibawa ke Padepokan Bajra Seta. Dihadapan para pemimpin Padepokan Bajra Seta, Putut Manyar telah menceriterakan hasil pembicaraannya dengan para pengungsi yang sempat ditemuinya.
Jarak antara kedua Kabuyutan itu dengan Kabuyutan Talang Alun memang tidak sangat jauh. Tetapi karena di antara Kabuyutan itu dengan Kabuyutan Talang Alun dipisahkan oleh hutan yang masih terhitung lebat, maka hubungan antara Kabuyutan-kabuyutan itu dengan Kabuyutan Talang Alun tidak terlalu rapat. Apalagi dengan padepokan Bajra Seta.
Mahisa Murti dan para pemimpin yang lain mendengarkan keterangan Putut Manyar itu dengan sungguh-sungguh. Namun sebagaimana tanggapan mereka, Mahisa Murti pun berkata, “Kita memang tidak dapat langsung mencampuri persoalan ini. Tetapi ada baiknya kita selalu mengikuti perkembangannya. Jika persoalannya merembet menyeberangi hutan sampai ke Kabuyutan Talang Alun, maka mau tidak mau kita harus mencampurinya. Kabuyutan itu adalah Kabuyutan kita pula.”
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat. Padepokan Bajra Seta tidak dapat dengan tergesa-gesa menentukan satu sikap sebelum mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Namun Mahisa Murti telah memerintahkan kepada Putut Manyar untuk terus-menerus mengikuti persoalan yang timbul justru karena arus pengungsi yang mengalir menyeberangi hutan yang terhitung lebat itu.
Dengan perintah itu, maka Putut Manyar memang sering pergi ke padukuhan sebelah. Ia sering duduk berbincang dengan anak-anak muda yang semakin meningkatkan penjagaan. Apalagi di malam hari. Kedatangan para pengungsi itu memang telah menimbulkan persoalan yang harus ditangani dengan hati-hati oleh padukuhan sebelah.
Di malam hari Putut Manyar dengan dua atau tiga cantrik kadang-kadang ikut berada di gardu sampai menjelang fajar. Kehadiran mereka selalu disambut baik oleh anak-anak muda padukuhan. Rasa-rasanya mereka memberikan ketenangan, karena anak-anak muda itu tahu, bahwa para cantrik dari Padepokan Bajra Seta adalah orang-orang yang cukup terlatih.
Ternyata kedatangan para pengungsi memang mendatangkan masalah bagi padukuhan-padukuhan di Kabuyutan Talang Alun. Ternyata ada juga orang-orang yang tidak berjantung, yang memanfaatkan keadaan yang rumit itu untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, bahkan dengan cara yang paling buruk.
Orang-orang yang bermaksud jahat memperhitungkan bahwa para pengungsi itu tentu membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Karena itu, maka orang-orang yang hidupnya berada di bayangan yang hitam, seolah-olah mendapat kesempatan untuk meningkatkan kegiatan mereka.
Tetapi ternyata bahwa anak-anak muda di padukuhan itu tidak tinggal diam. Bahkan ketika percobaan perampokan pernah terjadi, maka para pengungsi itu pun telah ikut pula dalam kegiatan anak-anak muda dan para penghuni padukuhan di tempat pengungsian mereka, karena mereka tahu, bahwa persoalan itu justru timbul karena kehadiran para pengungsi itu. Tetapi kelompok penjahat yang besar, menganggap bahwa anak-anak itu tidak akan mampu mencegah mereka.
Tetapi mereka tidak memperhitungkan, bahwa anak-anak muda padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu sering berada di padepokan dan bermain-main dengan para cantrik. Bahkan mereka mendapat waktu yang khusus untuk serba sedikit mempelajari ilmu kanuragan, serta mempergunakan berbagai jenis senjata.
“Tetapi kita harus berhati-hati terhadap para penghuni padepokan itu” berkata salah seorang pemimpin sekelompok perampok kepada para pengikutnya.
“Mereka tentu tidak akan ikut campur” sahut salah seorang di antara para pengikutnya itu.
“Belum tentu” jawab yang lain, “mereka sering berkeliaran di padukuhan-padukuhan.”
“Mereka tentu sekedar mencari makan” jawab pengikut yang pertama.
“Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati” berkata pemimpinnya, “apapun yang mereka cari di padukuhan, kehadiran mereka akan mempengaruhi semua rencana kita. Bukankah kita sudah mendengar bahwa penghuni padepokan itu memiliki kemampuan olah kanuragan? Aku sendiri tidak akan pernah takut menghadapi siapapun juga, bahkan pemimpin padepokan itu sekalipun. Tetapi jumlah mereka agaknya terlalu banyak bagi kita.”
“Bukankah hanya satu dua orang saja yang sering berkeliaran di padukuhan-padukuhan?” berkata seorang pengikutnya.
“Ya. Tetapi dengan isyarat atau suara kentongan, mereka dapat memanggil kawan-kawannya, karena jarak padepokan itu dari padukuhan tidak terlalu jauh sehingga dapat dijangkau oleh suara kentongan.” jawab pemimpinnya.
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Namun sebagian dari mereka tidak banyak memperhitungkan gangguan yang dapat dilakukan oleh para penghuni padepokan. Meskipun demikian, pemimpinnya masih berusaha untuk memperhatikan kegiatan para cantrik di padepokan. Tetapi rasa-rasanya memang tidak banyak cantrik yang keluar dan pergi ke padukuhan. Jika mereka melihat dua atau tiga orang yang nampak mengunjungi padukuhan terdekat, maka mereka merasa bahwa para cantrik itu dapat diabaikannya.
Namun yang terjadi lebih dahulu, justru pertengkaran kelompok-kelompok penjahat itu sendiri. Ketika sekelompok penjahat yang dipimpin oleh Jaran Abang berpapasan dengan sekelompok yang lain, yang dipimpin oleh Ki Sempon telah terjadi salah paham, sehingga di antara kedua kelompok itu telah terjadi perkelahian. Beberapa orang telah menjadi korban.
Namun ketika kelompok Ki Sempon melarikan diri, maka korban yang terbunuh dalam perkelahian itu telah ditinggalkan begitu saja. Bahkan di antara mereka terdapat dua orang yang terluka namun masih dapat mempertahankan hidupnya, sehingga ketika seorang gembala menemukan mereka, mereka masih hidup.
Gembala itu terkejut melihat beberapa sosok tubuh terbaring diam. Karena itu sambil berteriak-teriak ia berlari pulang. Bahkan empat ekor kambingnya ditinggalkannya begitu saja. Beberapa orang dari padukuhan, termasuk Ki Bekel yang mendapat laporan tentang bekas perkelahian itu pun segera datang. Mereka masih sempat menemukan dua orang yang masih hidup meskipun terluka parah.
w “Rawat mereka” perintah Ki Bekel, “dari mereka kita akan mendapat keterangan.”
Orang-orang padukuhan itu pun kemudian telah membawa kedua orang yang masih hidup itu ke banjar. Dipanggilnya dukun yang paling baik di padukuhan itu untuk mengobati luka-luka yang cukup parah.
“Usahakan agar kedua orang itu tetap hidup” berkata seorang anak muda kepada dukun yang segera datang.
Tetapi dukun itu menjawab, “Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi hidup dan matinya tidak tergantung kepadaku.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah mengangguk mengiakan. Sementara itu, tiga orang yang telah terbunuh pun segera dikuburkan. Namun Ki Bekel dan beberapa orang padukuhan telah menduga, bahwa yang terjadi adalah benturan kekuatan antara para penjahat yang berebut ladang.
Sebenarnyalah ketika kedua orang yang terluka itu mulai dapat berbicara dengan agak jelas, maka mereka mengaku bahwa kedua-duanya adalah para pengikut Ki Sempon.
“Seorang kawanku mati. Tetapi dua orang pengikut Jaran Abang juga mati.” berkata orang itu.
“Apa sebenarnya yang kalian perebutkan?” bertanya Ki Bekel meskipun ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi.
“Kami memperhitungkan bahwa para pengungsi tentu membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Itulah yang kami inginkan disamping harta benda yang sudah ada di padukuhan ini” jawab orang yang terluka itu.
“Jika kalian inginkan harta benda para penghuni padukuhan itu, kenapa baru sekarang hal itu kalian lakukan”
“Sudah aku katakan. Para pengungsi itu seakan-akan telah mempersiapkan harta-bendanya untuk begitu saja kami ambil” jawab orang itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi semakin jelas baginya bahwa persoalan yang timbul karena kedatangan para pengungsi itu akan saling berkait. Padukuhannya harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan, namun mereka juga harus menyediakan pangan bagi mereka yang tinggal dilingkungan sanak kadang mereka di Kabuyutan Talang Alun.
Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kehadiran para pengungsi yang ketakutan di kampung halaman mereka sendiri berdasarkan peri kemanusiaan. Kepada orang-orang yang ingin memanfaatkan kesulitan orang lain itu, membuat Ki Bekel menjadi sangat berprihatin. Justru orang-orang yang memerlukan perlindungan dan pertolongan itu malah menjadi sasaran kejahatan.
Karena itu, Ki Bekel pun telah memerintahkan orang-orang sepadukuhan itu bangkit melawan mereka. Sementara itu, Ki Bekel pun telah mengirimkan laporan kepada Ki Buyut Talang Alun.
Dengan cepat pula Ki Buyut menyampaikan laporan itu ke semua padukuhan di lingkungannya dengan harapan, agar semua padukuhan menjadi waspada dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Terutama padukuhan-padukuhan yang menjadi tempat tujuan para pengungsi yang datang dari seberang hutan.
Namun, Jaran Abang sama sekali tidak terpengaruh oleh kesiagaan anak-anak muda dan bahkan semua laki-laki yang masih mampu memegang senjata. Menurut Jaran Abang yang kemudian seakan-akan menguasai ladang perburuan itu, anak-anak muda itu sama sekali tidak akan mampu berbuat banyak.
Namun, hal itu pun segera didengar oleh para cantrik di padepokan. Putut Manyar pun telah memberikan laporan tentang hal itu kepada Mahisa Murti.
“Kita harus membantu padukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran ancaman para penjahat itu” berkata Mahisa Murti.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun telah memerintahkan ketiga orang Pututnya, masing-masing bersama dua orang cantrik terpilih untuk berada di padukuhan-padukuhan yang paling rawan. Namun mereka pun berpesan jika di padukuhan lain terjadi pula perampokan, maka mereka harus dengan cepat memberikan isyarat dengan kentongan.
Sebenarnyalah, bahwa pada malam yang sudah direncanakan, maka Jaran Abang telah membawa orang-orangnya menuju ke padukuhan Logandeng. Logandeng memang bukan padukuhan terdekat dengan padepokan Bajra Seta. Namun Putut Lembana dengan dua orang cantrik terpilih berada di padukuhan itu. Sebelum mereka memasuki padukuhan itu, Jaran Abang telah memerintahkan melihat-lihat, apakah ada yang menarik perhatian di padukuhan itu.
Di mata pengikut Jaran Abang yang diperintahkan untuk melihat keadaan padukuhan itu memang tidak adanya kelainan dari kemungkinan yang mereka bayangkan. Anak-anak muda di gardu-gardu perondan. Mungkin beberapa orang laki-laki yang lebih tua berkumpul di banjar dan di rumah Ki Bekel yang ketakutan.
Kepada mereka yang mengamati padukuhan itu Jaran Abang bertanya, “Apakah kau tidak melihat orang-orang dari Padepokan sebelah yang berkeliaran di padukuhan itu?”
Orang yang mendapat perintah mengamati padukuhan itu memang tidak melihat sekelompok cantrik yang bergabung dengan anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka memang tidak melihat Putut Lembana dan hanya dua orang cantrik yang memang berada di gardu di mulut lorong.
Dari kegelapan salah seorang di antara mereka yang mengamati padukuhan itu melihat beberapa orang anak muda yang berada di gardu di mulut lorong. Namun nampaknya tidak ada orang lain di antara anak-anak muda itu. Mereka bergurau dan bercanda sebagaimana dengan kawan-kawan akrab mereka.
Sebenarnyalah bahwa Putut Lembana dapat menempatkan diri. Selain ia memang masih muda, ia pun dapat bergurau sebagaimana anak-anak muda yang lain. Sehingga dengan demikian, maka tidak seorang pun yang menyangka bahwa Putut Lembana dan dua orang cantrik yang menyertainya, bukan bagian dari anak muda di padukuhan itu. Berdasarkan atas keterangan itu, maka Jaran Abang tidak menunda lagi niatnya. Diperintahkannya para pengikutnya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan.
“Jika ada cantrik yang bersembunyi di rumah Ki Bekel, kita tidak boleh ragu-ragu menghadapinya. Kita akan menghancurkan mereka sebagaimana kita menghancurkan kelompok Ki Sempon yang dungu itu.” berkata pemimpin mereka.
Demikianlah, maka tanpa melewati regol padukuhan, mereka memasuki dinding padukuhan itu. Mereka berloncatan memanjat dinding dan meloncat memasuki sebuah kebun yang luas dan sepi.
Sejak sehari sebelumnya mereka sudah memilih sasaran. Mereka melihat sebuah rumah yang besar yang memang tidak terlalu jauh dari rumah Ki Bekel. Mereka mengetahui bahwa ada beberapa pengungsi yang tinggal di rumah yang besar itu. Bukan pengungsi kebanyakan. Tetapi nampaknya juga orang-orang berada sebagaimana pemilik rumah itu.
“Kita akan mendapatkan apa yang kita cari” berkata Jaran Abang, “kita tidak boleh ragu-ragu.”
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Telah berpuluh kali mereka melakukan perampokan. Karena itu, apa yang akan mereka lakukan itu seakan-akan tidak berbeda dengan saat-saat mereka akan menuai padi di sawah mereka ketika padi sudah mulai menguning dan menjadi masak. Meskipun demikian, Jaran Abang memang memerintahkan agar mereka berusaha untuk tidak diketahui oleh anak-anak muda. Bagi mereka hal itu tentu akan lebih baik.
Meskipun mereka yakin bahwa anak-anak muda itu tidak akan dapat menghentikannya, namun jika terjadi benturan kekerasan, maka ia tentu akan kehilangan satu dua pengikutnya atau setidak-tidaknya ada di antara mereka yang terluka. Karena itu, dengan hati-hati sekelompok orang yang dipimpin oleh Jaran Abang itu telah menyusup di sela-sela pepohonan di halaman-halaman rumah yang sepi, karena pintu-pintu rumah tertutup rapat.
Untuk beberapa saat Jaran Abang dan para pengikutnya mengendap di halaman rumah yang berseberangan dengan rumah yang akan menjadi sasaran. Jaran Abang sendiri telah meloncat dan menelungkup diatas dinding halaman untuk memperhatikan apakah keadaan cukup aman.
Ternyata jalan terlalu sepi. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun yang lewat di malam yang dingin itu. Bahkan para peronda pun lebih senang tetap berada di gardu-gardu. Berkelakar sambil menghirup minuman hangat. Karena itu, maka Jaran Abang pun telah memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk dengan cepat menyeberangi jalan dan masuk ke halaman rumah yang akan menjadi sasaran.
Semuanya itu dapat dilakukan dengan cepat. Para pengikutnya yang berpengalaman itu tidak memerlukan terlalu banyak petunjuk. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Beberapa saat Jaran Abang dan para pengikutnya menunggu sambil mengamati rumah yang terhitung besar itu. Jaran Abang sudah membayangkan bahwa mereka akan mendapat hasil yang baik di rumah itu.
Kecuali pemilik rumah itu sendiri terhitung orang yang berada, maka para pengungsi yang ada di rumah itu pun tentu orang-orang yang berada pula. Jika mereka membawa barang-barang berharga dari kampung-halamannya, maka barang-barang berharga itu tentu disimpannya dalam satu kotak atau kantung khusus yang tinggal mengambil dan membawanya.
Namun ketika Jaran Abang itu mulai akan bertindak, maka ia pun mengumpat kasar. Ia mendengar suara kotekan para peronda. Empat orang anak muda membawa kentongan-kentongan kecil menyusuri jalan-jalan membangunkan para penghuni rumah yang tidur nyenyak agar mereka tidak terlalu terlena dalam mimpi sehingga kehilangan kewaspadaan.
Jaran Abang terpaksa mengurungkan niatnya. Ia memberi isyarat kepada para pengikutnya agar bersembunyi di halaman rumah itu. Namun mereka pun sadar, bahwa penghuni rumah itu tentu akan terbangun oleh suara kentongan-kentongan kecil di tangan para peronda itu.
“Aku ingin menghentikan bunyi kentongan itu” geram salah seorang pengikut Jaran Abang.
Tetapi Jaran Abang berdesis, “Biarkan saja. Hati-hatilah, jangan menarik perhatian mereka.”
Para pengikut Jaran Abang itu pun kemudian benar-benar berusaha untuk berdiam diri. Anak-anak muda yang meronda itu pun semakin dekat dengan halaman tempat para pengikut Jaran Abang itu bersembunyi sekaligus sebagai sasaran utama usaha perampokan yang akan mereka lakukan.
Namun orang-orang yang sudah berpengalaman itu memang tidak begitu memperhitungkan para peronda itu. Meskipun mereka sedang bersembunyi, tetapi ada saja di antara mereka yang tidak sepenuhnya berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi atau gerak. Sehingga karena itu, maka ketika anak-anak muda itu lewat dan bunyi kentongan mereka berhenti sejenak, seorang di antara anak-anak muda yang meronda itu memang mendengar gemerisik di belakang dinding halaman yang tidak terlalu tinggi.
Telinga anak-anak muda padukuhan itu sendiri memang tidak mendengar bunyi itu. Tetapi seorang di antara mereka yang meronda berkeliling itu adalah Putut Lembana yang mempunyai pendengaran yang sangat tajam telah mendengar gemerisik itu. Putut itu menduga bahwa suara itu adalah suara kaki seseorang yang sedang beringsut atau bergeser dari tempatnya ke tempat yang lain.
Tetapi Putut Lembana tidak segera berbuat sesuatu, la masih saja bersikap sebagaimana semula. Tetapi Putut itu ternyata telah melihat-lihat beberapa batang pepohonan yang ada di halaman rumah yang besar itu.
“He, kau lihat pohon jambu air itu?” desis Putut Lembana. Tetapi cukup kuat untuk didengar oleh orang-orang yang ada di dalam dinding.
Anak-anak muda padukuhan itu mengangguk. Seorang di antara mereka menjawab, “Jambu air itu berbuah sepanjang musim.”
“Buahnya tentu segar sekali” berkata Putut Lembana.
“Ya. Tetapi jarang sekali kami, anak-anak padukuhan ini merasakan segarnya jambu air itu”
“Kenapa?” bertanya Putut Lembana.
“Penghuninya memang agak kikir. Jambu itu biasanya dijual langsung di pohonnya. Namun dalam waktu singkatnya, buahnya telah memenuhi segala cabang dan ranting-rantingnya lagi.” jawab anak muda itu.
“Aku ingin mencicipinya” berkata Putut Lembana.
Anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu. Jika pemilik rumah itu tahu, maka ia tentu akan sangat marah. Tetapi Putut Lembana itu berkata, “Aku tidak akan memetik buah di pohon itu. Aku hanya ingin mencari sisa-sisa kelelawar yang berserakan dibawah pohon itu. Tentu ada yang masih utuh satu atau dua buah.”
Anak-anak muda itu merasa heran. Apakah Putut Lembana benar-benar tidak pernah makan jambu air? Seorang di antara anak-anak muda itu pernah berada untuk beberapa hari di padepokan. Seingatnya di padepokan terdapat juga pohon jambu air. Bahkan tidak hanya sebatang. Rasa-rasanya ada pohon jambu air putih dan ada pohon jambu air yang merah. Bahkan ada sebatang pohon jambu dersana yang segar dan sebatang jambu gowok yang berwarna ungu. Sementara di kebun belakang terdapat beberapa batang pohon jambu mete.
Putut Lembana melihat wajah-wajah yang membayangkan keheranan itu. Cahaya oncor di regol meskipun tidak begitu besar sempat menggapai wajah-wajah yang berkerut itu. Namun Putut Lembana mendekati seorang di antara mereka sambil memberi isyarat untuk menyiapkan kentongan mereka serta senjata mereka. Anak muda itu menegang sejenak. Namun ia pun mengangguk-angguk kecil. Ia pun telah memberi isyarat pula kepada kawan-kawannya untuk bersiap.
Sebenarnyalah Putut Lembana itu telah mendorong pintu regol halaman sambil berkata, “Tunggu. Aku hanya sebentar. Aku hanya ingin sebuah saja.”
Tetapi di halaman Jaran Abang mengumpat tertahan. Namun ia telah memberi isyarat pula kepada orang-orangnya untuk bersiap. Ketika Putut Lembana kemudian memasuki halaman rumah itu, maka ia pun mencoba memandang berkeliling dengan penglihatannya yang tajam. Ketika ia melihat daun pohon bunga soka yang rimbun serta beberapa batang perdu yang lain bergerak, maka Putut Lembana yakin bahwa ada orang di halaman itu.
Tetapi Putut Lembana tidak segera mengambil tindakan. Bahkan ia benar-benar mencari jambu air yang memang terdapat satu dua tergolek di tanah dibawah pohon yang buahnya bergayutan banyak sekali itu. Setelah memungut satu-dua buah, maka Putut itu pun segera bergerak keluar.
Diluar ia berbisik kepada anak muda yang menyertainya, “Panggil kawan-kawanmu. Hati-hati. Kepung halaman rumah ini. Beritahu gardu yang lain tanpa membunyikan kentongan.”
Demikian anak itu melangkah pergi dengan hati-hati, maka Putut Lembana pun berkata, “Jambu ini memang luar biasa. Manis dan segar sekali.”
“Sisa kelelawar memang manis.” jawab salah seorang kawannya yang mengerti isyarat Putut Lembana.
Sementara kawannya menjawab, “Jambu itu manis bukan karena sisa kelelawar. Karena jambu itu sudah masak dan rasanya manis, maka kelelawar telah mencurinya. Tetapi sayang, jambu itu terjatuh di tanah.”
Putut Lembana tertawa. Katanya, “Jambu ini manis meskipun agak kotor. Itu saja.”
Kawan-kawannya pun tertawa pula, sementara Putut Lembana berkata, “Marilah, kita berjalan terus. He, kita belum membangunkan penghuni rumah ini. Sejak kita mendekati halaman rumah ini, kita sudah berhenti kotekan. Namun, sekarang kita harus membunyikan lagi.”
Tetapi jumlah mereka berkurang seorang karena pergi ke gardu memanggil kawan-kawannya. Karena itu, maka mereka memang menjadi ragu-ragu. Suaranya tentu akan berbeda dengan kotekan yang dibunyikan oleh empat orang. Namun Putut Lembana yang memperhitungkan, bahwa anak-anak muda itu akan segera datang, berdesis perlahan, “Marilah, kita bunyikan saja keras-keras.”
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda termasuk Putut Lembana itu telah membunyikan kentongan mereka. Justru lebih keras dari semula. Bahkan dengan irama yang lebih cepat, sehingga suaranya menjadi gaduh. Bahkan ketika mereka sengaja membuat iramanya meleset, suara kotekan itu menjadi tidak keruan.
Putut Lembana pun kemudian berkata keras-keras, “Cukup. Cukup. Iramanya rusak. Kita harus mengulangi.” Kotekan itu pun terhenti.
“Hati, hati. Kita tidak boleh tergesa-gesa.” berkata seorang temannya.
Namun tingkah laku anak-anak muda itu membuat darah Jaran Abang mendidih sampai ke ubun-ubun. Karena itu, ia menjadi tidak sabar lagi. Dengan sekali hentak, Jaran Abang telah berdiri diatas dinding halaman rumah itu.
“Setan kau anak-anak muda. Aku perintahkan kalian masuk ke dalam. Kalian tidak mempunyai pilihan lagi.” geram Jaran Abang.
Ketiga anak muda itu bergeser surut. Putut Lembana lah yang bertanya, “Siapakah kau?”
“Kalian tidak usah berpura-pura lagi. Aku tahu bahwa kalian melihat sesuatu yang memaksa kalian melakukan perbuatan gila itu. Aku tahu bahwa satu atau dua orang di antara kalian, tentu bukan anak muda dari padukuhan ini, karena anak muda itu tidak mengetahui bahwa pemilik jambu ini kikir. Anak muda itu pun baru sekali ini melihat bahwa di sini ada jambu air. Nah, sekarang kalian semuanya harus masuk ke halaman. Jangan menjawab apapun juga. Masuklah sekarang, sebelum aku kehabisan kesabaran.”
“Kau belum menjawab, siapakah kau?”
“Aku tidak akan menjawab semua pertanyaanmu. Aku tidak mau mendengar pertanyaan apapun juga. Sekali lagi. Untuk yang terakhir aku berkata. Masuklah ke dalam halaman rumah ini.”
Putut Lembana termangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua anak muda yang bersamanya menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Putut Lembana. Sementara itu Putut Lembana memang ingin mengulur waktu. Ia yakin bahwa yang ada di halaman itu tentu tidak hanya satu dua orang saja. Tetapi beberapa orang yang memiliki pengalaman melakukan kekerasan. Karena itu, maka Putut Lembana itu berkata,
“Ki Sanak. Kami tidak tahu, apa sebenarnya yang kalian kehendaki atas diri kami. Kami sedang meronda. Karena itu, maka kami akan menyusuri jalan-jalan di padukuhan kami. Tidak masuk ke dalam halaman rumah itu. Jika tadi aku masuk, semata-mata karena aku ingin mendapatkan jambu air.”
“Cukup” bentak orang itu, “masuk. Atau kami harus memaksa kalian dengan kekerasan.”
Agaknya Putut Lembana memang tidak mendapat kesempatan lagi. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Kami tidak akan masuk. Kami tahu bahwa kau bukan pemilik rumah ini. Karena itu, kami justru akan menangkapmu.”
Jaran Abang itu bersuit nyaring. Ia benar-benar telah kehilangan kesabaran, sehingga ia telah memanggil orang-orangnya untuk memaksa Putut Lembana dan kedua kawannya masuk ke halaman.
Namun pada saat itu, beberapa orang anak muda dari gardu terdekat telah datang. Mereka tidak dengan serta merta menyerang kelompok Jaran Abang. Tetapi anak-anak muda itu justru telah merayap dari halaman ke halaman mendekati rumah yang menjadi sasaran perampok itu. Namun ketika mereka mendengar suitan nyaring, maka mereka telah berusaha untuk mengetahui keadaan Putut Lembana dan kedua orang anak muda yang menyertainya.
Anak-anak muda itu kemudian telah melihat beberapa orang berloncatan melewati dinding halaman rumah yang menjadi sasaran perampokan itu. Orang-orang itu pun kemudian telah mengepung Putut Lembana dan kedua orang anak muda yang menyertainya.
“Paksa mereka masuk. Jika mereka melawan, maka apaboleh buat. Mereka akan mati muda.” berkata Jaran Abang.
Namun para penjahat itu tidak mendapat banyak kesempatan. Anak-anak muda yang melihat keadaan Putut Lembana dan kedua orang kawannya dalam kesulitan, maka mereka pun segera bertindak. Dua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang ada di antara anak-anak muda itu bersama Putut Lembana, datang pula bersama-sama anak-anak muda itu.
Melihat kehadiran anak-anak muda itu, maka Jaran Abang pun mengumpat. Dengan lantang ia berkata, “Jika yang terjadi kemudian kalian akan menjadi seperti tebasan batang ilalang, sama sekali bukan tanggung jawab kami.”
Anak-anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka pun segera turun ke jalan serta berdiri di kedua sisi dari para pengikut Jaran Abang itu. Bahkan masih ada di antara mereka yang berada di atas dinding halaman di seberang halaman rumah yang menjadi sasaran. Namun masih ada juga anak-anak muda yang berada di dalam halaman rumah yang menjadi sasaran perampokan itu.
Jaran Abang tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun segera meneriakkan perintah, “Selesaikan anak-anak dungu itu. Mereka tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka.”
Tetapi Putut Lembana memberikan perintah, “Jangan biarkan seorang pun melarikan diri.”
Demikianlah, maka pertempuran pun segera berkobar. Jaran Abang tahu pasti, bahwa pemimpin dari anak-anak muda itu adalah anak muda yang mencari jambu air di bawah pohonnya. Namun Jaran Abang pun tahu bahwa anak muda itu sekedar ingin mengetahui keadaan di dalam halaman rumah itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun segera terjadi. Putut Lembana dengan sengaja telah menghadapi Jaran Abang. Sementara itu, kedua orang cantrik yang bersamanya berada di padukuhan itu bertempur melawan beberapa orang penjahat yang sudah sangat berpengalaman.
Anak-anak muda padukuhan itu memang merasa ngeri melihat sikap dan tatanan gerak mereka yang keras dan kasar. Beberapa orang anak muda memang terdesak surut. Namun kedua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu telah membesarkan hati mereka. Seorang di antara para cantrik yang dengan menghentak menyerang salah seorang di antara para pengikut Jaran Abang itu, langsung dapat melukai lawannya. Terdengar orang itu berteriak kesakitan. Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah jatuh berguling di tanah.
Cantrik itu bukan seorang pembunuh, sehingga karena itu, maka orang yang sudah terluka cukup parah itu dibiarkannya. Tetapi dengan demikian, maka hati anak-anak muda padukuhan itu mulai menjadi hangat. Keberanian mereka pun menjadi semakin memanasi jantungnya.
Dipimpin oleh kedua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu, maka anak-anak muda padukuhan itu pun telah melakukan perlawanan yang sangat sengit. Apalagi ketika beberapa orang anak muda dari gardu yang lain telah datang pula.
Sementara itu, Jaran Abang ternyata telah mendapat lawan yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia pun berteriak, “Setan kau anak muda. Siapakah kau sebenarnya?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, siapakah kau dan untuk apa kau berada di sini.”
Jaran Abang itu menggeram. Katanya, “Aku tidak memerlukan nama dari orang-orang yang akan ku bunuh.”
Putut Lembana yang melihat kedua cantrik Padepokan Bajra Seta sudah ada di antara anak-anak muda yang menjadi semakin lama semakin banyak berada di tempat itu menjadi semakin tenang. Sehingga ia dapat memusatkan perhatiannya kepada pemimpin sekelompok orang yang tidak dikenal dan yang menurut perhitungannya tentu akan berbuat jahat. Apalagi melihat ujud lahiriah dari orang-orang yang datang bersama lawannya itu serta senjata-senjata yang mereka pergunakan.
Demikianlah, maka Putut Lembana pun telah bertempur dengan sengitnya. Putut Lembana yang juga pernah mendengar tentang pertempuran antara orang-orang yang berniat jahat, serta tentang dua orang pengikut seorang pemimpin kelompok yang bernama Jaran Abang yang jatuh ke tangan Ki Bekel rencana terluka dalam pertempuran antara para penjahat itu, telah menduga bahwa yang dihadapinya adalah Jaran Abang itu sendiri.
Karena itu, ketika Jaran Abang menjadi semakin garang, Putut Lembana itu berkata sambil menghindari serangan lawannya, “He, Ki Sanak, Kau kira aku tidak tahu bahwa gerombolan ini adalah gerombolan Jaran Abang dan kau sendiri adalah pemimpinnya?”
“Persetan. Darimana kau tahu?” bertanya Jaran Abang.
“Namamu memang sudah terkenal sampai ke mana-mana. Kau ditakuti oleh setiap orang yang pernah mendengar namamu. Bukan saja oleh para penghuni Kabuyutan dan padukuhan-padukuhan, tetapi para prajurit Singasari pun menjadi gentar mendengar namamu.”
“Namaku memang ditakuti oleh Panglima Prajurit Singasari sekalipun. Karena itu, kenapa kau berani melawan aku? Apakah itu bukan berarti bahwa kau sedang membunuh diri.”
“Aku hanya ingin membuktikan, apakah kabar itu benar atau tidak,” jawab Putut Lembana.
“Betapa sombongnya kau anak muda. Tetapi kau akan menyesal, karena kau akan mati malam ini.” geram Jaran Abang.
“Aku tidak ingin mati. Itulah sebabnya, aku melawanmu sekarang.” sahut Putut Lembana.
“Kau tahu bahwa aku tidak terkalahkan.” berkata Jaran Abang dengan lantang.
“Itulah yang menarik untuk menjajagi kemampuanmu, justru karena kau merasa tidak terkalahkan.” jawab Putut Lembana.
Jaran Abang menggeram. Namun kemudian katanya, “Apapun yang kau katakan, namun umurmu tidak akan sampai fajar.”
Putut Lembana yang masih muda itu tertawa. Katanya, “Apakah kau dapat menentukan, kapan aku harus mati? Umurku tidak tergantung kepadamu, Jaran Abang.”
“Persetan kau” Jaran Abang menjadi semakin marah. Serangannya memang menjadi semakin garang. Namun anak muda yang melawannya itu masih saja nampak tenang.
Sebenarnyalah, semakin marah Jaran Abang, maka kendalinya atas ilmunya justru menjadi semakin longgar. Jaran Abang terlalu bernafsu untuk segera mengalahkan lawannya. Namun justru dengan demikian, maka semakin banyak ia melakukan kesalahan.
Dalam pada itu, maka dua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta bersama anak-anak muda padukuhan itu tengah bertempur melawan para pengikut Jaran Abang. Semakin lama jumlah anak-anak muda itu semakin banyak. Bahkan beberapa orang laki-laki yang lebih tua pun telah terjun pula dalam pertempuran. Apalagi mereka yang telah berpengalaman serta memiliki kemampuan olah kanuragan karena mereka sering berada di Padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka para pengikut Jaran Abang itu mulai mengalami kesulitan. Dua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu pun menjadi semakin garang pula, sehingga anak-anak muda padukuhan itu menjadi semakin berani menghadapi para perampok yang kasar itu.
Jaran Abang memang tidak menduga, bahwa anak-anak muda padukuhan itu menjadi demikian berani menghadapi para pengikutnya. Bahkan para pengikutnya seakan-akan menjadi tidak berdaya. Anak-anak muda itu dibawah pimpinan kedua orang cantrik Padepokan Bajra Seta telah menyerang para pengikut Jaran Abang itu dari segala jurusan.
Sementara itu ujung senjata kedua orang cantrik itu pun telah menggapai kulit daging para pengikut Jaran Abang. Dua orang telah terbaring diam. Sementara yang lain masih berloncatan sambil berteriak-teriak. Namun ruang gerak mereka menjadi semakin sempit.
Sementara itu Putut Lembana masih saja bertempur dengan sengitnya melawan Jaran Abang. Keduanya telah mempergunakan senjata masing-masing. Jaran Abang bersenjata kapak yang besar bermata rangkap. Sedangkan Putut Lembana bersenjata sebilah pedang khusus sebagaimana pedang yang dibuat oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang telah mendapat petunjuk dari pande besi istana Singasari. Sebilah pedang yang ujudnya cukup besar dan panjang.
Jaran Abang yang memiliki pengalaman petualangan yang luas tanpa ragu-ragu berusaha untuk menghancurkan lawannya. Ia sudah terlalu sering melihat darah tertumpah dari tubuh orang-orang yang pernah dibantainya. Tetapi anak muda itu ternyata amat liat. Kapaknya yang berayun-ayun dengan cepatnya, sama sekali tidak menyentuh tubuh lawannya. Namun ketika anak muda itu sengaja menangkis ayunan kapaknya sehingga terjadi benturan, maka Jaran Abang itu pun mengumpat habis-habisan.
Hampir saja ia berteriak kegirangan karena kapaknya disangkanya akan dapat melontarkan senjata anak muda itu, sehingga ayunan berikutnya kapaknya akan dapat membelah kepala lawannya itu, karena lawannya sudah tidak bersenjata lagi. Namun yang terjadi sama sekali tidak sebagaimana dibayangkan. Justru kapaknyalah yang hampir saja terlepas dari tangannya. Sementara itu, pedang anak muda itu sama sekali tidak tergoyahkan.
Jantung Jaran Abang menjadi semakin sakit ketika anak itu justru telah merendahkannya. Pada saat ia mengalami kesulitan dengan kapaknya yang hampir terlepas, di saat ia berusaha mengambil jarak untuk memperbaiki kedudukannya, lawannya itu sengaja tidak memburunya. Bahkan anak muda itu berkata,
“Hati-hatilah Jaran Abang. Jangan biarkan kapakmu terloncat dari tanganmu. Dengan senjata di tangan kau tidak dapat mengalahkan aku, apalagi jika kau lemparkan kapakmu.”
“Setan kau” geram Jaran Abang.
“Nah bersiaplah. Aku beri kau waktu untuk memperbaiki genggamanmu pada kapakmu itu.”
“Aku tidak butuh waktu. Aku tidak dalam kesulitan Kapakku ini akan segera mengoyak mulutmu” berkata Jaran Abang lantang.
“Sekarang, aku beri kesempatan kau memperhatikan pertempuran ini. Orang-orangmu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Anak-anak muda padukuhan ini bukan lagi anak-anak kecil yang ketakutan melihat kalian dengan garang mengayun-ayunkan senjata, tetapi anak-anak muda padukuhan ini adalah anak-anak muda yang terlatih baik."
Jaran Abang tidak menjawab. Namun dengan geram ia meloncat menyerang Putut Lembana. Namun bagaimana juga Putut Lembana tidak dapat dikalahkan. Putut yang telah ditempa di Padepokan Bajra Seta itu mempunyai banyak kelebihan dari Jaran Abang itu sendiri, meskipun Jaran Abang berpengalaman menghancurkan lawan-lawannya. Bahkan para pemimpin penjahat pun merasa ngeri mendengar namanya. Karena itulah, maka Jaran Abang tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menang. Apalagi ketika ia sempat melihat orang-orangnya semakin menyusut.
Karena itu, maka ia pun telah membuat pertimbangan lain. Ia harus melepaskan niatnya untuk merampok rumah yang diperhitungkannya memiliki simpanan harta benda yang cukup banyak. Karena itu, maka ketika keadaan benar-benar tidak memungkinkan, maka Jaran Abang itu telah berusaha untuk bergeser mendekati regol halaman tanpa menimbulkan kesan pada lawannya. Putut Lembana memang hanya mengira bahwa lawannya menjadi semakin terdesak mundur.
Namun ketika Jaran Abang itu sampai ke depan regol halaman yang memang tidak diselarak, dengan serta merta, ia berlari mendorong pintu regol itu. Putut Lembana terkejut. Tetapi ia kehilangan kesempatan yang sekejap itu, namun yang memberikan keuntungan yang menentukan bagi hidup dan mati Jaran Abang.
Putut Lembana yang segera menyadari usaha lawannya untuk melarikan diri, segera mengejarnya. Ia pun telah meloncat berlari. Namun langkah terhenti lagi sekejap, karena Jaran Abang telah mendorong pintu regol dari dalam dengan hentakkan yang sangat keras.
Ketika Putut Lembana mendorong pintu itu, maka Jaran Abang telah berlari menjauh. Putut Lembana masih melihat bayangannya yang melingkar di sudut rumah. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Putut itu mengejarnya. Namun ia kehilangan jejak. Ketika Putut itu melingkari sudut rumah, maka bayangan Jaran Abang telah hilang.
Putut Lembana memang tidak segera berhenti. Ia berusaha menyusul meloncati dinding di sebelah seketheng. Tetapi ketika ia berada di longkangan, ia tidak melihat Jaran Abang lagi. Putut Lembana menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa sangat kecewa karena ia kehilangan lawannya. Karena itu, maka ia pun segera kembali ke halaman depan dan keluar lagi turun ke jalan.
Ternyata beberapa orang pengikut Jaran Abang yang lain pun dapat melarikan diri. Tetapi yang lain dapat di tangkap dan bahkan ada yang terluka parah. Seorang di antara mereka telah menghembuskan nafas terakhir karena lukanya yang sangat parah.
Ki Bekel yang telah mendapat laporan, ternyata sudah berada di tempat itu pula. Bahkan agaknya orang yang sudah melampaui setengah abad itu masih ikut pula membawa sebatang tombak pendek bertempur bersama anak-anak muda padukuhannya.
Namun Ki Bekel itu harus merenungi tiga orang anak muda yang terluka cukup parah. Sementara yang lain terluka ringan. Meskipun demikian goresan-goresan senjata di tubuh anak-anak muda itu seakan-akan tidak terasa menyakitinya. Namun tiga orang di antara mereka harus di bawa ke banjar untuk mendapat pengobatan. Demikian pula para pengikut Jaran Abang yang terluka dan menyerah telah dibawa ke banjar pula dengan pengawalan yang ketat.
Orang-orang yang tertawan itu memang tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyerah. Mereka memang tidak memperhitungkan bahwa hampir semua laki-laki di padukuhan itu telah berani keluar untuk ikut memberikan perlawanan. Betapapun garangnya Jaran Abang dan pengikutnya, namun jumlah yang banyak itu pun berpengaruh pula.
Demikianlah, maka orang-orang padukuhan itu telah menggagalkan usaha perampokan yang dilakukan oleh Jaran Abang dan kelompoknya yang dianggap kelompok perampok yang terkuat. Penghuni rumah yang hampir saja menjadi sasaran perampokan itu berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Ki Bekel bahwa perampokan itu telah digagalkan.
“Berterima kasihlah kepada angger Putut Lembana. Ia telah memimpin anak-anak muda di padukuhan ini untuk melakukan perlawanan terhadap para perampok itu.” jawab Ki Bekel.
“Ki Bekel sendirilah yang memimpin. Aku hanya sekedar ikut bersama anak-anak muda padukuhan ini” sahut Putut Lembana.
Tetapi pemilik rumah itu berkali-kali mengucapkan terima kasihnya. Dua keluarga yang mengungsi di rumahnya juga ikut mengucapkan terima kasih atas kecepatan bertindak anak-anak muda di padukuhan itu.
“Aku memang membawa milikku yang paling berharga yang dapat aku bawa. Jika milikku yang dapat aku bawa itu dirampas oleh para perampok, maka habislah segala-galanya berkata salah seorang di antara para pengungsi itu.”
Dengan kegagalan itu, maka Ki Bekel dan para penghuni padukuhan itu berharap, bahwa para perampok tidak akan mengusik ketenangan padukuhan Logandeng. Jika gerombolan Jaran Abang yang ditakuti itu gagal melakukan perampokan di padukuhan Logandeng, apalagi gerombolan lain yang lebih lemah dari gerombolan Jaran Abang itu.
Meskipun demikian, maka persoalan yang dihadapi oleh padukuhan Logandeng masih tetap rumit. Demikian pula padukuhan-padukuhan yang lain di Kabuyutan Talang Alun. Kehadiran para pengungsi itu telah memberikan berbagai macam persoalan.
Berita tentang perampokan yang gagal di padukuhan Logandeng, membuat padukuhan-padukuhan lain lebih berhati-hati. Mereka semakin meningkatkan kesiagaan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu. Meskipun gerombolan Jaran Abang telah dihancurkan di Logandeng, tetapi mungkin gerombolan-gerombolan lain merasa justru mendapat kesempatan. Atau karena Jaran Abang sendiri belum tertangkap, maka Jaran Abang akan menyusun kekuatan kembali atau bergabung dengan gerombolan lain yang akan dapat menjadi semakin kuat.
Namun dengan demikian, maka kecemasan para penghuni beberapa padukuhan di Kabuyutan Talang Alun itu telah didengar oleh Mahisa Murti. Ia pun telah memerintahkan ketiga Pututnya dan beberapa orang cantrik untuk berusaha membantu menenangkan kegelisahan di padukuhan-padukuhan itu.
Bahkan Mahisa Murti telah menempatkan di setiap padukuhan tiga orang cantrik terpilih. Sementara di padukuhan-padukuhan yang paling rawan, Mahisa Murti telah menempatkan Putut Manyar, Putut Parama dan Putut Lembana, masing-masing bersama dua orang cantrik untuk membantu jika terjadi sesuatu sebagaimana telah terjadi di padukuhan Logandeng.
Disamping usaha untuk mengatasi kemungkinan terjadi perampokan, maka padukuhan-padukuhan itu masih juga dibebani untuk membantu keluarga yang menampung para pengungsi dari seberang hutan. Mereka tidak saja memerlukan tempat untuk bernaung dari teriknya matahari dan dinginnya embun malam, namun mereka juga memerlukan makan dan minum.
Padukuhan-padukuhan yang menampung para pengungsi tidak dapat menyerahkan penyediaan makan dan minum mereka kepada keluarga yang menampung mereka sepenuhnya. Apalagi keluarga yang terhitung keluarga sederhana. Demikianlah, maka Padepokan Bajra Seta mau tidak mau telah ikut terlibat dalam kesibukan mengatasi persoalan para pengungsi di Kabuyutan Talang Alun.
Sementara itu dari hari ke hari, arus pengungsi tidak menyusut. Tetapi justru menjadi semakin banyak. Bahkan di padukuhan Logandeng, seorang bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit telah datang bersama beberapa keluarga pengungsi lainnya.
Kedatangan seorang bebahu di padukuhan Logandeng memang menarik perhatian. Ketika Mahisa Murti mendengar tentang hal itu, maka ia pun berkata kepada Wantilan dan Sambega, “Paman, aku ingin pergi ke Logandeng. Mungkin seorang bebahu yang mengungsi di Logandeng dapat memberikan beberapa penjelasan tentang keadaan Kabuyutan ya.”
Wantilan dan Sambega mengangguk-angguk. Dengan bersungguh-sungguh Wantilan pun berkata, “Agaknya telah terjadi sesuatu yang penting di Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan. Mudah-mudahan bebahu itu dapat mengungkapkannya.”
Demikianlah di hari berikutnya Mahisa Murti telah mengajak Mahisa Semu untuk pergi ke Logandeng. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Amping juga ingin ikut bersama mereka, namun Mahisa Murti pun berkata, “Lain kali saja kau ikut Amping. Kami sedang melakukan tugas yang penting. Kau masih terlalu muda untuk ikut bersama kami. Sedangkan kakakmu Mahisa Semu justru harus mulai terjun ke dalam tugas-tugas yang lebih bersungguh-sungguh. Nanti, jika kau tumbuh semakin besar, maka kau pun akan sampai saatnya untuk memulai dengan tugas-tugas yang lebih berat.”
Mahisa Amping mengangguk kecil. Betapapun inginnya ia ikut melakukan sesuatu, namun ia tidak dapat memaksakan keinginannya kepada kakak angkatnya yang mengasuhnya itu.
Berdua Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun telah pergi ke padukuhan Logandeng untuk mendengar ceritera tentang Kabuyutan di seberang hutan yang sedang dilanda kekalutan. Di Logandeng, Mahisa Murti dan Mahisa Semu langsung menemui Ki Bekel sebelum menemui bebahu Kabuyutan Sendang Apit. Kepada Ki Bekel, Mahisa Murti telah mengutarakan niatnya untuk bertemu dengan bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit itu.
“Marilah ngger” berkata Ki Bekel, “biarlah aku antar angger menemui bebahu itu. Dengan keluarganya ia tinggal di rumah adikku. Bebahu itu tidak bersedia ketika aku persilahkan tinggal di rumahku.”
“Kenapa Ki Bekel?” bertanya Mahisa Murti.
“Menurut pendapatnya, jika ia tinggal di rumahku, akan dapat mempengaruhi tugas-tugasku. Bahkan kedudukanku.” jawab Ki Bekel.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Bekel. Jika Ki Bekel kebetulan mempunyai waktu, aku berterima kasih atas kesediaan Ki Bekel untuk bersamaku menemui bebahu yang tinggal di rumah adik Ki Bekel itu.”
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Semu bersama Ki Bekel telah pergi ke rumah adik Ki Bekel yang letaknya berdampingan dengan banjar padukuhan. Bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit itu masih kelihatan letih sekali. Bahkan masih nampak kegelisahan membayang diwajahnya. Meskipun ia mencoba juga untuk tersenyum, tetapi masih membekas tekanan-tekanan batin yang dialaminya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
Bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Bencana itu telah menikam Kabuyutan kami.”
“kenapa dan bagaimana hal itu terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
“Persoalannya berkisar pada dua Kabuyutan. Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan. Beberapa orang bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit telah ditangkap. Ada dua orang Bekel dari padukuhan yang termasuk lingkungan Kabuyutan Sendang Apit telah ditangkap pula.”
“Siapa yang telah menangkap mereka?” bertanya Mahisa Murti dengan wajah yang berkerut.
“Orang-orang dari Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Kenapa?” desak Mahisa Murti.
Bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ki Buyut Pudaklamatan merasa memiliki hak sepenuhnya untuk menguasai dua Kabuyutan yang bertetangga itu. Dahulu Kabuyutan Pudaklamatan dan Kabuyutan Sendang Apit memang satu. Namun kemudian untuk menghindari persoalan yang dapat timbul kemudian, justru telah dipecah menjadi dua. Namun ternyata bahwa akhirnya pertengkaran itu pecah juga.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak bertanya lebih banyak, tetapi bebahu itulah yang kemudian berceritera,
“Ki Buyut dari Pudaklamatan menganggap bahwa adanya Kabuyutan Sendang Apit sama sekali tidak dapat dibenarkan. Sebelum dua Kabuyutan itu dipisahkan, maka kakek Ki Buyut Pudaklamatan yang juga kakek Ki Buyut Sendang Apit lah yang memegang pimpinan sebagai Buyut di Kabuyutan Mapanjang. Ki Buyut Mapanjang mempunyai dua orang anak laki-laki. Tetapi anak yang sulung meninggal sebelum sempat menggantikan kedudukan ayahnya. Karena itu, yang kemudian mewarisi kedudukan ayahnya adalah anak yang bungsu. Sementara itu, anak yang sulung Ki Buyut Mapanjang mempunyai seorang anak laki-laki. Tetapi anaknya yang bungsu, yang menggantikan kedudukan ayahnya pun mempunyai anak laki-laki. Untuk menghindari perselisihan, maka Ki Buyut Mapanjang yang muda, anak bungsu dari Ki Buyut yang tua yang telah meninggal, menetapkan bahwa Kabuyutan Mapanjang dibagi dua. Anaknya akan menjadi Buyut bagian Selatan sedangkan kemanakannya, anak kakaknya yang lebih dahulu meninggal akan menjadi Buyut di belahan Utara. Masing-masing disebut Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan dibatasi oleh sebatang sungai kecil yang membelah Kabuyutan Mapanjang.”
“Apakah kemudian Ki Buyut Pudaklamatan menuntut kembali Kabuyutan yang separuh, yang menurut pendapatnya menjadi haknya pula?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya” jawab bebahu itu.
“Sejak kapan Mapanjang dibagi menjadi dua?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Sudah lebih dari duapuluh tahun yang lalu” jawab bebahu itu.
“Sudah demikian lama. Kenapa baru sekarang persoalan itu diungkit kembali? Apakah selama ini hubungan antara kedua padukuhan itu buruk?” bertanya Mahisa Murti.
“Memang tidak terduga sebelumnya” jawab bebahu itu. Ki Buyut Pudaklamatan yang masih sepupu dengan Ki Buyut Sendang Apit, nampak rukun. Ki Buyut Pudaklamatan yang sedikit lebih tua, menganggap Ki Buyut Sendang Apit sebagai adik kandungnya.”
“Jadi bagaimana perselisihan itu terjadi.” bertanya Mahisa Murti.
“Itulah yang aneh. Tiba-tiba saja hal itu terjadi.” jawab bebahu itu. Namun katanya kemudian, “Kami menduga, bahwa ada pihak ketiga yang ikut campur. Menurut dugaan kami adalah justru orang yang dituakan oleh kedua Kabuyutan itu.”
“Siapakah orang itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Seorang mPu yang memimpin sebuah Padepokan yang terletak di lereng bukit kecil di pinggir sungai yang memisahkan kedua Kabuyutan itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Siapakah nama mPu itu dan apakah nama padepokannya?”
“Namanya mPu Renapati. Ia memimpin sebuah padepokan yang lebih banyak disebut padepokan Renapati sebagaimana nama pemimpinnya. Tetapi nama yang sebenarnya dari padepokan itu adalah Padepokan Kencana Pura.” jawab bebahu itu.
Mahisa Murti mendengarkan keterangan itu dengan bersungguh-sungguh. Agaknya karena padepokannya dengan padepokan yang disebut oleh bebahu itu dibatasi oleh hutan yang memanjang, maka Mahisa Murti masih belum pernah berhubungan. Meskipun Mahisa Murti pernah melakukan petualangan yang panjang, namun justru ia tidak menyentuh lingkungan di seberang hutan yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh.
Namun apa yang terjadi itu memang sangat menarik perhatiannya. Apalagi karena banyak pengungsi yang mengalir ke padukuhan-padukuhan dilingkungan Kabuyutan Talang Alun, yang terhitung dekat dengan padepokannya.
Tetapi Mahisa Murti masih belum tahu apa yang sebaiknya dilakukan menanggapi gejolak yang terjadi. Tetapi untuk mengatasi kemungkinan berbagai macam kesulitan yang dapat timbul di padukuhan Logandeng yang tidak terhitung padukuhan yang kaya itu, Mahisa Murti telah menawarkan kepada Ki Bekel,
“Jika perlu, Ki Bekel, di padepokan kami ada sedikit tempat untuk membantu memberikan tempat untuk sementara kepada beberapa keluarga yang mengungsi dari Kabuyutan di seberang hutan itu.”
“Terima kasih ngger” berkata Ki Bekel, “sampai saat ini kami masih belum merasa sangat terdesak. Tetapi mungkin pada suatu saat kami memang memerlukan bantuan angger Mahisa Murti.”
“Kami akan menerima dengan senang hati Ki Bekel. Asal mereka bersedia menerima keadaan sebagaimana adanya di padepokan kami yang sederhana itu.”
“Tentu saja” jawab Ki Bekel, “mereka yang datang mengungsi ke daerah ini tentu tidak akan memilih tempat. Bagi mereka dimana pun mereka ditampung, tidak menjadi soal. Yang penting mereka terlindung dibawah atap yang betapapun sederhananya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Bekel. Kami, penghuni Padepokan Bajra Seta akan terus mengikuti perkembangan yang bakal terjadi. Apapun yang sebaiknya dan dapat kami lakukan, akan kami lakukan. Terutama membantu melindungi para pengungsi itu dari tangan-tangan jahat yang justru memanfaatkan kesulitan orang lain untuk kepentingan mereka sendiri. Apalagi dengan laku kejahatan.”
“Terima kasih ngger. Tanpa bantuan angger serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, maka sebagaimana yang pernah terjadi di padukuhan Logandeng, kita tentu akan mengalami malapetaka” berkata Ki Bekel.
“Bukankah itu sudah menjadi kewajiban kami, sebagaimana kami menumpang untuk hidup dilingkungan Kabuyutan Talang Alun.” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun meninggalkan padukuhan yang sedang dibayangi oleh berbagai macam persoalan itu. Dengan demikian maka Mahisa Semu pun telah diperkenalkan dengan persoalan-persoalan kehidupan yang lebih luas dari sekedar dinding padepokan.
“Kita memang tidak dapat hidup dengan mengurung diri di lingkungan yang sempit. Kita harus memperluas tatapan mata kita sampai ke cakrawala.” berkata Mahisa Murti.
Namun katanya kemudian, “tetapi ternyata penglihatanku pun masih terlalu sempit. Aku tidak mengenali nama-nama orang-orang yang memiliki pengaruh yang luas atau orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Sebagaimana aku belum mengenal nama mPu Renapati.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika kakang memberi aku kesempatan, aku akan sangat berterima kasih.”
“Ya. Kau harus mulai mengenal dunia yang luas ini. Tetapi tentu tidak dengan serta-merta. Tetapi sedikit demi sedikit. Pengenalanmu harus lebih luas dari pengenalanku. Ketika aku bertualang, aku telah dibatasi oleh laku dan kepentinganku serta kepentingan padepokan ini sendiri, sehingga seakan-akan aku tidak berkesempatan melihat persoalan-persoalan yang lain.”
Mahisa Semu masih mengangguk-angguk. Ia ingat jelas, bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambilnya dan membawanya. Ia pun ingat jelas, perjalanan yang panjang yang ditempuhnya sampai ke Padepokan Bajra Seta. Namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lebih terikat pada laku Tapa Ngrame yang dijalaninya.
Di padepokan Mahisa Murti pun telah berbicara dengan para pemimpin Padepokannya tentang keadaan yang terjadi di Kabuyutan-kabuyutan seberang hutan. Karena itu, maka Mahisa Murti telah memerintahkan semua cantrik untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Baik di Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan, maupun di Kabuyutan Talang Alun serta padukuhan-padukuhan yang termasuk di dalam lingkungannya.
Di malam hari Mahisa Murti masih tetap mengirimkan beberapa orang cantriknya termasuk ketiga orang Putut di Padepokan Bajra Seta untuk ikut meronda di padukuhan-padukuhan selama keadaan masih menggelisahkan.
Ketika Kiai Wijang datang ke Padepokan Bajra Seta sebagaimana sering dilakukannya, maka Mahisa Murti pun telah menceriterakan apa yang telah terjadi di Kabuyutan Talang Alun serta Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan.
Orang tua itu mendengarkan ceritera Mahisa Murti dengan bersungguh-sungguh. Ketika Mahisa Murti menceriterakan keterlibatan seorang pemimpin padepokan, maka Kiai Wijang itu pun bertanya, “Siapakah nama orang itu?"
“Empu Renapati. Ia memimpin padepokan yang lebih banyak disebut Padepokan Renapati. dari pada nama padepokan itu yang sebenarnya, Padepokan Kencana Pura.”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi mPu Renapati berdiri di belakang kekalutan ini?”
“Menurut seorang bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit.” jawab Mahisa Murti.
“Aku mengenal orang itu” desis Kiai Wijang, “ia memang seorang yang berilmu tinggi. Ia memiliki beberapa kelebihan dari para mPu dan para pemimpin padepokan. Aku kira orang itu tentu mengetahui serba sedikit tentang Padepokan Bajra Seta meskipun kau belum pernah mengenal padepokannya dan orang itu sendiri. Ia memang sering mengirimkan orang-orangnya untuk mengetahui banyak hal di sekitarnya. Bahkan sampai pada jarak yang jauh.”
“Apakah keuntungannya?” bertanya Mahisa Murti.
“Hanya orang itu sendirilah yang tahu. Tetapi aku mempunyai dugaan, bahwa ia termasuk orang yang tidak menginginkan ada orang lain yang lebih baik daripadanya.” jawab Kiai Wijang.
“Tetapi apa hubungannya dengan usahanya untuk menumbuhkan kekacauan di antara kedua Kabuyutan yang dipimpin oleh dua orang saudara sepupu, yang semula hidup rukun dan damai.”
“Juga hanya mPu Renapati itu sendirilah yang mengetahui.” jawab Kiai Wijang. Namun katanya kemudian, “Tetapi aku sependapat bahwa Padepokan Bajra Seta harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Justru karena kita tidak tahu dengan pasti, apa yang dikehendaki oleh mPu yang jalan pikirannya sulit untuk dimengerti orang lain itu.”
“Apakah itu memang sifatnya, Kiai?” bertanya Mahisa Murti.
Kiai Wijang mengangguk sambil menjawab, “Ya. Sifatnya memang demikian. Tetapi kita masih perlu mengetahui, kenapa ia telah mencampuri hubungan antara dua orang saudara sepupu yang sejak semula nampak baik dan rukun sehingga akhirnya justru telah terjadi benturan antara keduanya. Kita pun harus mencurigai, kenapa orang-orang Sendang Apit harus mengungsi dan sama sekali tidak mampu bertahan.”
“Apakah menurut dugaan Kiai Padepokan Renapati itu langsung ikut melibatkan diri dalam benturan itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak mengkesampingkan kemungkinan itu ngger. Mengingat sifat mPu Renapati” jawab Kiai Wijang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Padepokan mPu Renapati itu semakin menarik perhatiannya. Namun Mahisa Murti sadar, bahwa ia harus berhati-hati untuk berbuat sesuatu agar Padepokan Bajra Seta tidak terlibat langsung dalam persoalan yang mungkin akan menjadi semakin berbelit itu.
Sementara itu, Kiai Wijang berkata selanjutnya, “Persoalan yang terjadi itu memang menarik untuk mendapat perhatian khusus. Karena itu, maka jika angger tidak berkeberatan, apakah aku diijinkan untuk tinggal di Padepokan Bajra Seta selama masih belum ada titik-titik terang mengenai persoalan itu? Bukan maksudku untuk melibatkan diri, tetapi aku ingin tahu, apa yang dilakukan oleh mPu Renapati itu. Apa latar belakangnya dan apa pula pamrihnya.”
“Tentu. Kiai. Kapan saja Kiai ingin berada di padepokan ini, kami seisi padepokan tidak akan berkeberatan.” jawab Mahisa Murti.
Sebenarnyalah seperti yang dikatakan, mPu Wijang untuk sementara memang tinggal di Padepokan Bajra Seta. Seperti Mahisa Murti sendiri, maka Kiai Wijang pun dengan sungguh-sungguh mengikuti perkembangan yang terjadi di Kabuyutan Talang Alun dan Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan.
Namun dalam pada itu, masih saja ada orang-orang baru yang datang mengungsi menyeberangi hutan. Terutama yang mempunyai sanak kadang di Kabuyutan Talang Alun. Ketakutan mereka terhadap kekalutan yang timbul di Kabuyutan mereka, benar-benar telah mengatasi ketakutan mereka terhadap kegarangan hutan yang membujur memanjang yang harus mereka seberangi bersama perempuan dan anak-anak.
Namun akhirnya, Mahisa Murti tidak dapat sekedar menunggu keterangan dari para pengungsi. Sesuai dengan pendapat Kiai Wijang, maka sebaiknya mereka langsung melihat, apa yang telah terjadi di Kabuyutan Sendang Apit.
Bahkan Kiai Wijang dan Mahisa Murti telah sependapat, bahwa mereka berdua akan menyeberangi untuk melihat apa yang telah terjadi di belakang lebatnya hutan yang memisahkan lingkungan mereka dengan lingkungan seberang.
Namun sebelum keduanya berangkat, maka mereka telah mendapat laporan, bahwa seorang anak Ki Buyut Sendang Apit telah berada di padukuhan Logandeng. Seorang anak laki-laki yang sudah menginjak remaja.
“Ada baiknya kita menemuinya” berkata Kiai Wijang, “ia tentu tidak sendiri. Mungkin ada satu dua orang yang mengawalnya atau oleh Ki Buyut sengaja disingkirkan agar tidak mengalami kesulitan sebagaimana jika anak itu ikut bertahan di Kabuyutan Sendang Apit.”
Mahisa Murti pun ternyata sependapat. Karena itu, sebelum mereka benar-benar menyeberangi hutan, maka mereka telah pergi ke padukuhan Logandeng untuk menemui anak Ki Buyut Sendang Apit. Seperti yang pernah dilakukan, maka Mahisa Murti lebih dahulu telah menemui Ki Bekel. Baru kemudian Ki Bekel telah mengantarkannya menemui remaja, anak Ki Buyut itu.
“Maaf Ki Bekel. Barangkali kami terlalu merepotkan Ki Bekel” berkata Mahisa Murti.
“Tidak. Tidak ngger. Kami berterima kasih justru karena angger bersedia membantu kami, memperhatikan keadaan para pengungsi yang ada di padukuhan kami.” jawab Ki Bekel.
Demikianlah, bersama Ki Bekel, Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah diantar ke rumah adik Ki Bekel. Ternyata anak Ki Buyut Sendang Apit itu telah ditempatkan dalam satu rumah dengan bebahu yang telah mengungsi sebelumnya. Di rumah itu Mahisa Murti dan Kiai Wijang dapat langsung bertemu dengan anak Ki Buyut Sendang Apit, yang mengungsi bersama dua orang pengawalnya.
Namun kedua pengawalnya bersikap sangat berhati-hati. Bahkan agak keras terhadap orang yang belum dikenalnya. Tanpa Ki Bekel, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang tidak akan dapat berbicara langsung dengan anak Ki Buyut itu. Bahkan bersama Ki Bekel pun kedua pengawalnya itu nampak selalu curiga.
Ki Bekel sudah berusaha menjelaskan, bahwa Mahisa Murti adalah pemimpin Padepokan Bajra Seta yang banyak memberikan bantuan kepada padukuhan Logandeng bukan saja saat sulit seperti saat itu, tetapi sudah sejak waktu-waktu sebelumnya.
Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Namun kecurigaan mereka nampaknya tidak juga menyusut. Karena itu, Mahisa Murti dan Kiai Wijang sulit untuk mendapat penjelasan-penjelasan yang terbuka tentang keadaan Kabuyutan Sendang Apit.
Bebahu yang sudah berada di rumah itu sebelumnya, yang ikut menemui Mahisa Murti dan Kiai Wijang Juga berusaha untuk membuka pengertian kedua orang pengawal anak Ki Buyut itu. Tetapi keduanya masih saja mencurigai setiap orang.
Ketika Mahisa Murti bertanya dimana Ki Buyut Sendang Apit saat itu berada, maka salah seorang pengawal itu justru ganti bertanya, “Untuk apa kalian mengetahuinya?”
“Ki Sanak” berkata Kiai Wijang, “kami hanya ingin mendapat gambaran tentang peristiwa yang terjadi di Kabuyutan Sendang Apit.”
“Jika Ki Sanak mengetahuinya, apakah ada gunanya?” bertanya salah seorang pengawal itu.
“Kami memang tidak menjanjikan bahwa kami akan berguna bagi kalian” jawab Mahisa Murti, “kami hanya tertarik mendengar peristiwa yang telah mengguncangkan ketenangan hidup orang banyak itu.”
“Sekarang kalian sudah mengetahui bahwa anak ini ada di sini. Sebenarnya aku sudah minta kepada Ki Bekel agar tidak setiap orang diberitahu, dimana anak ini tinggal.” berkata salah seorang dari kedua pengawalnya itu.
Tetapi Ki Bekel lah yang menjawab, “Ki Sanak. Bagiku angger Mahisa Murti dan Kiai Wijang tidak terhitung setiap orang. Mereka bagi kami adalah orang-orang yang dekat dan bahkan aku dapat mengatakan bahwa mereka adalah pelindung kami. Bukan saja padukuhan ini, tetapi juga seluruh Kabuyutan ini. Angger Mahisa Murti pulalah yang baru kemarin menyelamatkan padukuhan ini dari tangan sekelompok penjahat yang berniat merampok para pengungsi di sini. Jika anak-anak muda padukuhan ini mampu memberikan sedikit perlawanan, maka itu adalah karena angger Mahisa Murti pula.”
Kedua pengawal itu memang mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara mereka masih juga berkata, “Tetapi Ki Bekel. Sejak semula aku sudah minta agar anak ini diperlakukan khusus.”
“Jika aku mengajak angger Mahisa Murti dan Kiai Wijang datang kemari ini juga dalam rangka perlakuan khusus itu. Aku tidak membawa keduanya kepada setiap pengungsi yang ada di sini. Sebelumnya aku memang mempertemukan angger Mahisa Murti dengan bebahu yang kini juga berada di sini.”
“Baik. Baik” jawab salah seorang pengawalnya, “tetapi kami tidak dapat memberikan banyak keterangan tentang Kabuyutan kami. Satu kenyataan yang telah kalian lihat, bahwa kami harus mengungsi dari Kabuyutan kami yang sedang kalut itu. Tetapi kami sekarang tidak tahu dimana Ki Buyut berada.”
“Baiklah” sahut Mahisa Murti, “kami memang tidak ingin mengetahui dimana Ki Buyut berada. Sebenarnya kami hanya ingin tahu, kenapa kemelut itu terjadi Apa pula peran mPu Renapati dan Padepokannya.”
Kedua pengawal itu menggeleng. Seorang di antara mereka berkata, “Kami tidak tahu, Ki Sanak. Yang kami tahu, kami harus menyelamatkan anak muda ini. Dan itu sudah kami lakukan. Mudah-mudahan kami dapat melakukan tugas kami selanjutnya dengan baik. Tentu saja dengan bantuan Ki Bekel dan para bebahu padukuhan Logandeng.”
Namun bebahu Kabuyutan yang sudah berada di rumah itu lebih dahulu berkata, “Aku sudah mengatakan serba sedikit tentang kemelut yang terjadi. Tetapi aku percaya kepada angger Mahisa Murti. Bahkan seperti kata Ki Bekel, angger Mahisa Murti telah melindungi para pengungsi yang ada di padukuhan ini. Baru saja para pengungsi diselamatkan dari perampokan. Namun mungkin lain kali dari kekuatan yang lebih besar dari sekedar perampokan.”
Kedua pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kerut di dahinya menunjukkan bahwa mereka tidak sependapat dengan bebahu itu.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun tidak memaksa. Sementara Ki Bekel merasa kecewa pula atas sikap kedua pengawal itu. Namun Mahisa Murti kemudian berkata, “Baiklah. Aku mengerti sikap hati-hati para pengawal anak Ki Buyut itu. Mereka belum mengenal kami, sehingga karena itu, maka mereka tidak langsung dapat mempercayai kami.”
Tetapi Ki Bekel menjawab, “Mungkin mereka tidak mengenal angger Mahisa Murti dan Kiai Wijang. Bahkan mungkin mereka belum pernah mendengar nama Padepokan Bajra Seta. Tetapi seharusnya mereka mengenal aku dan percaya kepadaku.”
Wajah kedua pengawal itu menjadi tegang. Tetapi keduanya tidak mengatakan sesuatu. Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun tidak terlalu lama berada di tempat itu. Sejenak kemudian maka keduanya telah minta diri dan kembali ke Padepokan Bajra Seta.
Kepada Ki Bekel, Mahisa Murti berkata, “Sikap kedua pengawal itu membayangkan, bahwa kekalutan di Kabuyutan Sendang Apit telah sampai ke puncaknya. Kedua pengawal itu selalu dibayangi oleh suasana yang dapat membahayakan anak Ki Buyut itu, sehingga mereka pun menjadi sangat berhati-hati.”
“Bukan sekedar sangat berhati-hati. Tetapi sudah berlebihan. Sebenarnya aku merasa tersinggung oleh sikapnya itu.” sahut Ki Bekel.
“Sudahlah Ki Bekel” berkata Mahisa Murti kemudian, “biarlah untuk sementara kita tidak mengganggu mereka.”
“Untunglah mereka berhadapan dengan angger. Jika tidak, maka tentu akan dapat menjadi salah paham. Bahkan tanpa angger, agaknya aku akan bersikap lain pula.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Lain kali mudah-mudahan kita dapat berbicara lebih banyak dengan mereka.”
Kiai Wijang pun kemudian berdesis pula, “Kecemasan telah mencengkam setiap orang di Kabuyutan Sendang Apit. Bukan saja keluarga Ki Buyut, tetapi tentu juga semua penghuninya.”
“Tetapi pengawal-pengawal yang dungu itu tidak mau membantu memberikan gambaran tentang keadaan di Kabuyutannya.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun telah meninggalkan padukuhan Logandeng kembali ke Padepokan Bajra Seta. Sambil melangkah memasuki gerbang padepokan, Mahisa Murti berkata, “Jika kita tidak berhasil mendapat keterangan tentang Kabuyutan itu di sini Kiai, maka kita lanjutkan saja rencana kita untuk melihat langsung keadaan kedua Kabuyutan itu.”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang sebaiknya melihat sendiri keadaan Kabuyutan itu.”
Meskipun demikian, maka keduanya masih akan menunggu satu dua hari. Mungkin ada keterangan-keterangan baru yang dapat memberikan petunjuk arah bagi langkah-langkah yang dapat diambil oleh Padepokan Bajra Seta.
Namun di keesokan harinya, seorang utusan Ki Bekel memberitahukan, bahwa anak Ki Buyut dari Sendang Apit telah meninggalkan padukuhan Logandeng. Anak itu telah dibawa oleh para pengawalnya menemui Ki Buyut Talang Alun dan atas persetujuan Ki Buyut Talang Alun, anak itu kini berada di rumah Ki Buyut.
“Terima kasih atas pemberitahuan ini” berkata Mahisa Murti, “pada suatu saat kami akan menghadap Ki Buyut Talang Alun.”
Namun dengan demikian, Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah mengambil kesimpulan, bahwa anak Ki Buyut itu benar-benar telah terancam. Sehingga kedua pengawalnya menjadi sangat berhati-hati...
Namun ternyata Kiai Puput itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku harus mengakui kelebihanmu anak muda. Aku memang tidak akan dapat mengalahkanmu.”
“Jadi, apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Mahisa Murti.
“Kaulah yang akan menentukan.” jawab Kiai Puput.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana jika aku mengajukan syarat yang sama sebagaimana kau ajukan?”
Wajah Kiai Puput menegang. Namun kemudian katanya, “Jika kau berkeras untuk melakukannya, baiklah anak muda.”
“Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya, “Jadi kau berkeberatan jika aku membuatmu cacat dan kemudian merusakkan simpul-simpul sarafmu agar hubungan antara kehendak dan syaraf-syaraf penggerakmu tidak bekerja dengan wajar?”
Kiai Puput memandang anak muda itu dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Tentu saja”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Puput. Jika demikian, baiklah aku tidak akan melakukannya. Aku sendiri berkeberatan diperlakukan seperti itu. Karena itu, sebaiknya aku tidak memperlakukan orang lain demikian pula.”
Hati Kiai Puput benar-benar tersentuh mendengar kata-kata Mahisa Murti itu. Orang tua itu justru seakan-akan telah dihadapkan pada sebuah cermin. Dengan jelas ia telah melihat, cacat diwajahnya sendiri.
Mahisa Murti itu masih jauh lebih muda dari umurnya sendiri. Dalam umurnya yang masih jauh lebih muda itu, ia memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya. Namun anak muda itu sudah mampu mengendapkan perasaannya. Bahkan betapa tinggi tenggang rasa dari anak muda itu, sehingga dalam kemudaannya apalagi dalam suasana yang diliputi oleh kemarahan dan dendam, ia masih dapat mempertimbangkan untuk tidak memperlakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin diperlakukan atas dirinya.
Dengan demikian, maka kebanggaan Kiai Puput akan dirinya sendiri telah menjadi hancur berkeping-keping. Ia menjadi sangat kecil dihadapan anak muda yang telah mengurungkan niatnya untuk menghukumnya itu. Seandainya ia dalam kedudukan sebagaimana anak muda itu, maka ia tentu akan berbuat lain. Sejak ia berangkat dari rumahnya ia sudah berniat untuk menghukum anak muda itu karena dendam yang membakar jantungnya. Namun dendam, kebencian, harga diri dan kesombongannya benar-benar telah dihancurkan oleh Mahisa Murti.
Karena itu, maka dengan nada rendah ia berkata, “Anak muda. Kenapa kau tidak membunuh aku saja?”
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau runtuhkan martabatku jauh lebih rendah dari yang pernah kau lakukan. Ketika kau mengalahkan muridku, aku sudah merasa terhina. Ketika kemudian ternyata bahwa ilmumu akan mampu mengalahkan aku, maka aku merasa semakin tidak berharga. Tetapi bahwa kau tidak membunuhku, telah membuat martabatku benar-benar lebih rendah daripada debu. Aku datang dengan dendam yang membara. Kemudian kau anak yang baru kemarin sore, telah mampu meredam kemarahanmu. Kenapa kau tidak memperlakukan terhadapku apa yang tidak ingin diperlakukan orang terhadapmu?”
“Bukankah orang lain juga mempunyai perasaan sebagaimana aku sendiri,” jawab Mahisa Murti, “tetapi baiklah. Kita tidak usah membicarakannya lagi. Kita lupakan apa yang telah terjadi. Tetapi bukan berarti bahwa apa yang terjadi sama sekali tidak berkesan di hati kita masing-masing. Yang kita lupakan adalah dendam di antara kita. Namun untuk selanjutnya kita tidak akan terjerat lagi oleh dendam itu.”
“Mahisa Murti” berkata Kiai Puput, “nampaknya dunia memang sudah terbalik. Aku yang sudah kenyang makan garam harus mendengarkan nasehatmu, seorang anak muda yang masih belum kering pupuk lempuyang di ubun-ubunnya.”
“Kau berkeberatan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak. Aku sama sekali tidak berkeberatan” jawab Kiai Puput dengan serta merta.
“Nah, sekarang ajak ketiga orang kawanmu itu singgah di padepokanku” ajak Mahisa Murti.
“Tidak anak muda” jawab Kiai Puput, “aku minta diri. Aku tidak pantas singgah di padepokanmu.”
“Kau tidak percaya bahwa aku mempersilahkan dengan jujur tanpa niat apapun juga?”
“Aku percaya anak muda. Tetapi aku tidak pantas untuk menerima undanganmu. Biarlah kami mohon diri.” berkata Kiai Puput.
Mahisa Murti tidak memaksanya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Jika demikian, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan.”
“Anak muda. Aku mohon maaf atas segala tingkah lakuku. Yang terjadi merupakan satu pengalaman yang sangat berharga bagiku.” Demikianlah, maka Kiai Puput telah menguak ketiga orang kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan berkata, “Aku atas nama kawan-kawanku juga minta maaf anak muda. Kami menyadari sekarang, betapa bodohnya kami waktu itu. Kami merasa mampu memenangkan pertempuran di antara kita. Ternyata bahwa kami bagimu tidak lebih dari debu.”
“Sudahlah” berkata Mahisa Murti, “mudah-mudahan pengalaman seperti ini tidak terulang lagi.”
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu pun telah meninggalkan Mahisa Murti sendirian. Keempatnya itu pun segera telah hilang di dalam kegelapan serta bayangan gerumbul-gerumbul perdu.
Sambil melangkah menjauh, Kiai Puput berkata, “Kalian tidak memberitahukan kepadaku, betapa tinggi ilmu anak itu.”
“Kami mohon maaf, Kiai. Kami benar-benar tidak mampu menilai kemampuannya,” jawab orang bertubuh tinggi itu.
Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Sikap Kiai Puput memang tidak dapat diduga-duga. Jika ia menganggap mereka bertiga sudah melakukan kesalahan, maka Kiai Puput itu akan dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah mereka duga.
Untuk beberapa saat Kiai Puput hanya berdiam diri. Sambil melangkah, maka Kiai Puput menundukkan kepalanya seakan-akan memandangi kedua ujung ibu jarinya yang saling mendahului berganti-ganti. “Apakah anak muda itu sengaja memancing aku untuk datang” tiba-tiba Kiai Puput itu berdesis.
“Aku tidak berpikir sejauh itu, Kiai” jawab orang yang bertubuh tinggi itu, “tetapi darimana anak itu tahu bahwa Kiai akan datang kepadanya?”
“Panggraitanya tentu tajam sekali” jawab Kiai Puput.
“Tetapi kami benar-benar tidak mengira bahwa ia memiliki kemampuan setinggi itu. Ketika ia melarikan diri, kami menyangka bahwa kami sudah dapat mengatasinya.”
“Sudahlah” berkata Kiai Puput, “satu pengalaman yang sangat berharga bagiku. Anak itu seolah-olah telah membuka mata hatiku untuk melihat jauh lebih dari sekedar kebanggaan atas kemampuanku yang tinggi. Aku telah salah menempatkan diriku sendiri pada jajaran orang-orang berilmu. Ketika muridku itu dikalahkan oleh anak muda itu, jantungku benar-benar terbakar. Aku tidak yakin dan tidak rela bahwa ada anak muda yang sebaya yang mampu mengalahkan muridku. Namun ternyata bukan hanya muridku yang dikalahkannya. Tetapi juga aku sendiri.”
Ketiga orang pengikutnya tidak menyahut. Mereka khawatir bahwa mereka akan salah ucap dan membuat Kiai Puput itu marah. Namun nampaknya Kiai Puput itu justru telah mengendapkan hatinya. Katanya, “Aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini.”
Ketiga orang pengikutnya itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka masih saja tetap berdiam diri karena kemungkinan-kemungkinan yang tidak mereka kehendaki masih dapat terjadi. Namun mereka berharap bahwa Kiai Puput benar-benar menyadari bahwa yang telah terjadi itu bukannya sekedar mimpi buruk. Beberapa saat kemudian, keempat orang itu berjalan menempuh kegelapan sambil berdiam diri. Masing-masing menerawang ke dalam angan-angannya sendiri.
Sementara itu, Mahisa Murti yang sudah bersiap-siap untuk kembali ke Padepokan, terkejut mendengar langkah lembut dari arah belakang. Dengan cepat ia berbalik menghadap ke arah suara itu. Ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
“Aku ngger” terdengar suara lembut dari kegelapan.
Namun Mahisa Murti segera mengenalinya. Ternyata yang datang itu adalah Kiai Wijang. Karena itu, maka Mahisa Murti itu pun segera menyapanya, “Kiai Wijang.”
“Ya ngger” jawab Kiai Wijang, “aku telah melihat segalanya. Karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu, bahwa kau telah mampu mengekang dirimu. Sebenarnyalah aku kagum melihat kebesaran hatimu serta ke lapangan dadamu.”
“Kiai memuji” desis Mahisa Murti.
“Aku berkata sebenarnya ngger” jawab Kiai Wijang, “aku sudah tidak mempunyai harapan bahwa Kiai Puput akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Menurut perhitunganku, maka tubuhnya tentu akan kau lumatkan. Seandainya hal itu terjadi, maka aku tidak dapat menyalahkan kau ngger, karena apa yang dilakukan oleh saudara seperguruanku itu sudah terlalu jauh. Tetapi kau tidak membunuhnya. Kau masih sempat menundukkannya tanpa melukainya.”
“Aku mencoba untuk selalu mengingat pesan Kiai”
“Apapun yang aku pesankan, tetapi perbuatan Kiai Puput sudah tidak dapat dimaafkan lagi. Tetapi ternyata kau telah memaafkannya.”
“Bukankah yang aku lakukan itu tidak lebih dari memenuhi pesan Kiai? Aku tidak berbuat kebaikan apa-apa, Kiai.”
“Perasaan tidak melakukan kebaikan itulah yang mengagumkan." Kiai Wijang berhenti sejenak, lalu katanya, “Yang aku ketahui betapa luas hatimu melampaui luasnya lautan, bukannya hanya karena kau tidak membunuh Kiai Puput. Tetapi bahwa kau telah meninggalkan Singasari dan meninggalkan Mahisa Pukat untuk tetap berada di sana.”
“Ah” desah Mahisa Murti, “aku sudah melupakannya.”
“Aku mengerti ngger. Tetapi aku hanya ingin mengatakan, bahwa yang kau lakukan sekarang ini bukannya karena pesanku semata-mata. Meskipun aku berpesan seribu kali, tetapi perbuatan Kiai Puput sudah melampaui batas, maka kesempatannya untuk hidup kecil sekali. Beruntunglah Kiai Puput bahwa kali ini ia berhadapan dengan kau.”
“Sudahlah Kiai” berkata Mahisa Murti, “aku telah menganggap bahwa tidak pernah terjadi sesuatu antara aku dan Kiai Puput serta muridnya.”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Namun mudah-mudahan Kiai Puput menjadikan pengalamannya hari ini pelajaran yang berharga bagi sisa hidupnya.”
“Nampaknya ia juga tidak dapat melupakan pengalaman ini, Kiai” berkata Mahisa Murti.
“Kita berdoa baginya.” desis Kiai Wijang.
Demikianlah maka Mahisa Murti pun telah mempersilahkan Kiai Wijang untuk singgah di padepokan. Sementara Kiai Wijang sempat berkata, “Aku sudah cemas, bahwa Kiai Puput akan singgah. Jika demikian, mungkin sekali ia akan mendengar dari satu dua orang cantrik, bahwa aku pernah berada di Padepokan Bajra Seta.”
Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Untunglah bahwa Kiai Puput menolak.”
“Ya. Jika ia tahu bahwa aku pernah berada di sini, maka ia akan dapat menjadi curiga, bahwa aku memang telah ikut mencampuri persoalannya. Tetapi ia tentu juga mengetahui, bahwa siapapun tidak akan mungkin mampu menyiapkan seseorang untuk menguasai ilmu pada tataranmu dalam waktu yang sangat pendek, jika kau sendiri tidak memiliki bekal untuk dapat melakukannya. Aku kira Kiai Puput tidak sampai pada jangkauan penalaran bahwa aku telah melakukan sesuatu bagimu dan ternyata berhasil.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Meskipun demikian sebaiknya Kiai Puput untuk waktu yang pendek tidak singgah di padepokanku.”
“Memang itulah yang terbaik” berkata Kiai Wijang. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi bagaimanapun juga ia tidak dapat melihat bekas tanganku. Segala unsur gerak yang nampak padamu, sama sekali berbeda dengan unsur-unsur gerak pokok dari perguruanku. Jika terdapat persamaan itu adalah landasan dasar yang mempunyai persamaan pada segala macam perguruan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Meskipun tidak nampak bekasnya, tetapi bagiku, Kiai telah menjadi penentu atas kemampuanku.”
“Tidak. Bukan begitu. Apakah aku dapat berbuat sebagaimana aku lakukan atas orang lain? Katakan, atas murid Kiai Puput itu atau siapapun? Tentu tidak. Karena itu, aku sama sekali bukan penentu.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apapun yang terjadi, tetapi aku tidak akan dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai telah ikut menentukan kehadiranku di dunia olah kanuragan.”
Kiai Wijang tersenyum. Katanya sambil menunjuk oncor yang nampak di kejauhan, “Bukankah itu regol padepokanmu.”
“Ya. Kiai” jawab Mahisa Murti.
Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Mahisa Murti itu pun telah membenahi pakaiannya yang kusut. Namun kemudian mereka berdua telah melangkah menuju ke regol halaman yang sudah ditutup meskipun masih tersisa sedikit.
Mahisa Murti lah yang mengetuk pintu regol itu. Dari celah-celah pintu yang masih terbuka sedikit itu, cantrik yang bertugas melihat Mahisa Murti dan Kiai Wijang berdiri diluar pintu. Maka para cantrik yang bertugas itu pun segera membukanya.
“Pintu belum diselarak” desis Mahisa Murti.
“Kami memang menunggu” jawab cantrik itu.
Demikianlah, maka keduanya pun telah memasuki Padepokan Bajra Seta yang sudah nampak sepi, sementara malam telah menjadi semakin malam.
Wantilan dan Sambega yang kemudian mengetahui kehadiran Mahisa Murti bersama Kiai Wijang, telah naik ke pendapa bangunan induk padepokan untuk ikut menemuinya. Namun justru Mahisa Murti lah yang kemudian meninggalkan tamunya untuk pergi ke pakiwan.
“Aku juga belum mandi” berkata Kiai Wijang sambil tertawa.
“Apakah Kiai akan mandi dahulu?” bertanya Mahisa Murti.
Tetapi Kiai Wijang tersenyum sambil menjawab, “Nanti saja. Silahkan kau mandi. Nampaknya kau baru berlatih, sehingga keringatmu masih mengembun di tubuhmu.”
“Ya Kiai. Aku memang baru saja berlatih di padang perdu.”
Ketika kemudian Mahisa Murti meninggalkan mereka yang duduk di pendapa, maka Wantilan pun bertanya, “Apakah Mahisa Murti berlatih dibawah pengawasan Kiai?”
“Tidak” jawab Kiai Wijang, “aku hanya sekedar akan berkunjung ketika aku melihat angger Mahisa Murti berlatih.”
Pembicaraan mereka pun kemudian tidak lagi menyinggung Mahisa Murti yang sedang berlatih. Tetapi mereka telah berbicara tentang keadaan Singasari dari hari ke hari. Sekali-sekali Kiai Wijang telah menyinggung keluarga Sri Maharaja di Singasari. Putera Sri Maharaja yang diharapkan kelak menjadi Putera Mahkota sudah tumbuh semakin besar. Beberapa saat kemudian maka Mahisa Murti pun telah selesai berbenah diri. Ia pun kemudian duduk pula di pendapa serta berbincang tentang banyak hal.
Malam itu Kiai Wijang bermalam lagi di Padepokan Bajra Seta. Bahkan tidak hanya satu malam. Kepada Mahisa Murti, Kiai Wijang berkata, “Bukankah aku boleh tinggal di sini beberapa lama?”
“Tentu Kiai.” jawab Mahisa Murti, “kehadiran Kiai di sini akan memberikan kesegaran bagi kami di sini.”
Dengan demikian, maka selama Kiai Wijang berada di Padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti sempat menekuni ilmunya. Ia harus semakin meyakinkan diri, bahwa ia memang sudah berada di dalam kemapanan pada tataran yang lebih tinggi.
Kiai Wijang sama sekali tidak berkeberatan untuk bersama-sama dengan Mahisa Murti berada di sanggarnya. Karena Kiai Wijang menganggap bahwa Mahisa Murti sudah sepantasnya untuk memiliki ilmu yang sangat tinggi, bahkan paling tinggi sekalipun. Ia telah membuktikan bahwa banyak kerja yang telah dilakukan untuk kepentingan sesamanya.
Bahkan Mahisa Murti pernah menjalani laku tapa ngrame. Laku yang dijalaninya dengan menolong sesama yang memang memerlukan pertolongan. Membimbing orang yang buta, memberi air bagi orang yang kehausan dan memberi makan kepada orang yang lapar. Melindungi orang yang lemah dan menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat.
Kesempatan itu memang dipergunakan sebaik-baiknya oleh Mahisa Murti. Selama Kiai Wijang ada di padepokan. Sehingga dalam tatarannya yang lebih tinggi, Mahisa Murti masih mampu mengembangkan dan mematangkannya. Justru karena Kiai Wijang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi maka latihan-latihan itu memungkinkan Mahisa Murti untuk mengembangkan apa yang telah dimilikinya.
Bahkan Mahisa Murti sempat untuk melihat kembali bekal yang ada di dalam dirinya. Kemudian mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih baik. Dengan beberapa unsur yang dimilikinya,-maka Mahisa Murti dapat menyusun unsur-unsur baru yang paling sesuai bagi dirinya sendiri, sehingga kemudian ilmu yang nampak bukan lagi ilmu yang bersumber dari beberapa jalur perguruan, tetapi sudah menyatu utuh dan bulat.
Dalam kebulatannya, sebagaimana dikatakan oleh Kiai Wijang, ternyata bekal yang ada di dalam diri Mahisa Murti lebih lengkap dari bahan yang ada di dalam diri Kiai Wijang sendiri. Sehingga karena itu, maka Kiai Wijang yakin, bahwa pada saat yang pendek, kemampuan ilmu Mahisa Murti sudah akan menjadi lebih baik dari ilmunya.
Tetapi Kiai Wijang sama sekali tidak merasa dengki dan iri. Ia memang sudah berniat untuk membantu Mahisa Murti mencapai tataran yang paling tinggi sekalipun, karena Kiai Wijang mengetahui pribadi Mahisa Murti. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki oleh Mahisa Murti, maka akan semakin banyaklah pengabdian yang dapat diberikan oleh anak muda itu kepada sesamanya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Wijang juga sudah mengetahui bahwa Mahisa Pukat telah melakukan hal yang sama sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahisa Murti. Namun Mahisa Pukat yang telah membangun sebuah keluarga serta terikat pada tugas-tugasnya di istana, tentu tidak akan dapat berbuat sebanyak yang dapat dilakukan oleh Mahisa Murti bagi orang banyak. Mahisa Pukat tentu akan selalu berada dalam tugasnya di Kasatrian. Diluar tugasnya di Kasatrian maka waktunya akan diberikannya kepada keluarganya.
Dalam pada itu, Kiai Wijang masih saja berada di Padepokan Bajra Seta. Ia merasakan padepokan itu sebagai satu tempat yang menyenangkan. Ia dapat merasakan ketenangan dalam kesibukan kerja para cantrik di Padepokan itu. Dari pagi sampai menjelang tengah hari, terdengar kesibukan kerja hampir di semua bagian dari padepokan itu. Sedangkan di sanggar beberapa orang cantrik tengah ditempa dalam olah kanuragan sesuai dengan giliran masing-masing.
Dengan demikian, maka meningkatnya ilmu kanuragan, pengetahuan-pengetahuan yang lain serta ketrampilan kerja berjalan dalam keseimbangan. Para cantrik di Padepokan Bajra Seta tidak semata-mata menimba ilmu kanuragan, tetapi juga beberapa macam ilmu yang lain yang berhubungan dengan tata kehidupan yang akan mereka jalani kemudian.
Dalam pada itu, pada waktu senggang, Kiai Wijang masih juga sering mengadakan perbincangan khusus dengan Mahisa Murti tentang masa depan Padepokan Bajra Seta. Kepada Mahisa Murti, Kiai Wijang menyatakan pendapatnya, bahwa Mahisa Murti harus dengan segera mempersiapkan orang-orang yang akan dapat membantunya jika ia berada dalam kesulitan.
“Angger tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah sendiri” berkata Kiai Wijang.
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, “Ya. Aku mengerti Kiai. Saat ini memang belum ada orang yang dapat aku percaya sepenuhnya untuk melakukan tugas-tugas yang paling rumit di Padepokan ini. Semuanya masih harus aku tangani sendiri.
“Jika datang bahaya yang melanda Padepokan ini, dengan beberapa orang pelaku yang berilmu tinggi, maka angger harus menyusun kelompok-kelompok yang akan menghadapi mereka itu. Mungkin dengan demikian Padepokan ini dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Tetapi tentu dengan banyak korban.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kiai.”
“Nah. Jika demikian maka kau dapat menyusun kekuatan dari orang-orang yang pada dasarnya sudah mempunyai landasan sendiri. Kemudian beberapa orang cantrik pilihan dan agaknya yang memang sudah kau persiapkan adalah Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun Mahisa Amping masih terlalu kecil untuk di tempa menjadi seorang yang berilmu tinggi dalam waktu yang pendek. Bagi anak itu masih diperlukan waktu beberapa tahun lagi. Namun agaknya yang segera dapat dimulai adalah Mahisa Semu, meskipun pada dasarnya, Mahisa Amping mempunyai beberapa kelebihan. Terutama ketajaman panggraitanya. Apabila hal itu dapat dipertajam, maka Mahisa Amping kelak akan menjadi seorang yang memiliki ilmu yang khusus. Kurnia yang dilimpahkan oleh Yang Maha Agung itu tentu akan dapat dimanfaatkan untuk mengabdikan diri kepada sesama.”
Dengan nada dalam Mahisa Murti bertanya, “Bagaimana pendapat Kiai tentang paman Wantilan dan Sambega.”
“Seperti kau ngger, aku percaya kepada mereka. Apalagi menurut ceriteramu tentang apa yang pernah mereka lakukan. Karena itu, maka mereka termasuk orang-orang yang pada dasarnya memang sudah memiliki landasan kemampuan sendiri. Tetapi aku yakin, bahwa kau akan dapat membentuk mereka. Bukan saja untuk meningkatkan kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi juga meningkatkan pengabdian mereka. Karena rasa-rasanya mereka tidak lagi mempunyai banyak kepentingan bagi diri mereka sendiri.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Wantilan dan Sambega nampaknya memang tidak lagi banyak mempunyai kepentingan di dalam sisa hidup mereka. Wantilan sepanjang penglihatan Mahisa Murti telah benar-benar menyerahkan diri dan hidupnya bagi Padepokan Bajra Seta. Sejak ia berada di padepokan itu, maka apa yang dilakukannya hanyalah yang berarti bagi Padepokan Bajra Seta.
Demikian pula Sambega. Ia benar-benar telah berubah sebagaimana Wantilan. Sambega telah meninggalkan kehidupannya yang lama dan seakan-akan memang menjadi manusia baru setelah ia tinggal di padepokan.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Aku sependapat Kiai. Aku akan berusaha untuk berbuat sesuatu, agar paman Wantilan dan Sambega dapat membantu dalam banyak hal. Demikian pula ada empat orang cantrik yang memiliki banyak kelebihan dari kawan-kawannya. Agaknya mereka dapat didorong untuk dapat membantu tugas-tugas di sini.”
“Itu tentu akan lebih baik. Sementara itu, angger Mahisa Murti sendiri akan selalu mengembangkan ilmu yang telah kau miliki agar menjadi lebih masak.” berkata Kiai Wijang.
“Ya, Kiai” jawab Mahisa Murti.
“Dengan demikian padepokan ini akan menjadi sebuah padepokan yang baik. Padepokan yang akan dapat berdiri sejajar dengan padepokan-padepokan terbaik yang ada di Singasari. Kita tahu ada banyak sekali padepokan-padepokan yang tersebar dimana-mana. Namun kita pun tahu, berapa padepokan yang benar-benar merupakan padepokan yang baik dan memberikan arti bagi Singasari.” berkata Kiai Wijang kemudian.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Kiai Wijang berkata, “Angger. Jika kau tidak berkeberatan, aku bersedia membantumu membina Padepokan Bajra Seta. Tetapi sudah tentu bahwa tidak setiap saat aku ada di sini. Tetapi mungkin sebulan sekali atau dua kali aku dapat berada di padepokan ini meskipun hanya untuk sepekan. Mungkin aku tidak perlu membantu meningkatkan kemampuan dalam olah kanuragan, karena dasar ilmu kita berbeda. Tetapi aku mempunyai pengalaman yang luas sebagai seorang petani dan peternak. Aku juga mempunyai pengalaman memelihara berbagai jenis ikan di kolam-kolam. Aku juga mempunyai sedikit pengetahuan tentang perbintangan dan musim. Mungkin pengalamanku ini akan berarti bagi padepokan ini serta orang-orang yang tinggal di padukuhan-padukuhan di sekitarnya, karena aku tahu bahwa kau tidak menutup hubungan dengan orang-orang dari padukuhan di sekitar padepokan ini. Aku melihat anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar tempat ini sering berkunjung kemari.”
“Terima kasih, Kiai” berkata Mahisa Murti, “kami, seisi padepokan ini akan merasa beruntung sekali, jika Kiai berkenan selalu berkunjung ke padepokan ini. Kami memang sangat memerlukan petunjuk tentang bermacam-macam hal yang akan dapat meningkatkan pengetahuan kami. Apa yang kami dapatkan di sini memang sangat terbatas sehingga kehadiran Kiai akan sangat berarti bagi kami."
“Tetapi jangan terlalu banyak berharap” berkata Kiai Wijang kemudian, “Karena apa yang aku miliki itu juga tidak terlalu banyak.”
“Tetapi semuanya itu akan sangat berarti bagi kami” sahut Mahisa Murti.
Dengan kesediaan itu, maka Mahisa Murti semakin berharap bahwa padepokannya akan menjadi semakin baik. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Wijang, padepokannya akan menjadi salah satu di antara padepokan yang baik di Singasari.
Dalam pada itu, maka setelah beberapa hari berada di padepokan, maka Kiai Wijang pun telah minta diri dengan kesediaannya untuk datang setiap kali ke Padepokan Bajra Seta.
Sepeninggal Kiai Wijang, maka Mahisa Murti pun berusaha untuk memenuhi pesannya, membenahi diri. Untuk waktu yang panjang, Mahisa Murti selalu disibukkan oleh persoalan-persoalan diluar padepokannya Beberapa kali ia harus pergi ke Singasari, serta persoalan-persoalan yang lain yang justru tidak menyangkut kepentingan padepokannya dalam keseluruhan.
Seperti petunjuk dari Kiai Wijang, maka Mahisa Murti telah secara khusus membantu Wantilan dan Sambega untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dengan bersungguh-sungguh Mahisa Murti mendorong agar keduanya tidak terhenti pada tataran yang telah dimilikinya. Dengan ilmu dan kemampuannya yang tinggi, Mahisa Murti dapat menuntun keduanya, meskipun landasan ilmu mereka berbeda, untuk mengisi kekurangan-kekurangan dan kekosongan ilmu mereka.
Dengan bersungguh-sungguh pula Wantilan dan Sambega mengikuti segala petunjuk-petunjuk Mahisa Murti. Apalagi mereka yakin bahwa ilmu Mahisa Murti telah menjadi semakin meningkat pula. Mereka pun telah menyatakan kesediaan mereka untuk semakin banyak berbuat bagi padepokan mereka.
Ternyata Wantilan dan Sambega mampu menyesuaikan diri dengan maksud Mahisa Murti. Mereka berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka dengan unsur-unsur baru. Namun Mahisa Murti tidak dengan tergesa-gesa memaksakan unsur-unsur baru itu tanpa memperhatikan landasan yang telah ada. Namun justru karena kesediaan kedua orang itu serta hati mereka yang terbuka, maka usaha mereka pun menunjukkan hasilnya.
Setapak demi setapak Wantilan dan Sambega mampu meningkatkan ilmu mereka. Pada umur yang sudah separuh baya, maka keduanya sama sekali tidak merasa terlambat untuk menjalani laku yang terhitung berat. Namun dengan demikian, maka ilmu mereka terasa menjadi semakin lengkap. Kekosongan dan kekurangan yang terdapat sebelumnya seakan-akan telah terisi sehingga ilmu mereda menjadi semakin mengental dan padat.
Bahkan mereka pun telah mulai meraba pada inti tenaga dasar dari ilmu mereka masing-masing. Sehingga ungkapannya pun menjadi jauh lebih tajam dari sebelumnya. Meskipun dasar ilmu yang nampak pada Wantilan dan Sambega tetap berbeda, namun terdapat persamaan isi dalam perkembangannya, karena keduanya mendapat tuntutan dari Mahisa Murti.
Disamping kedua orang itu, maka Mahisa Murti juga telah membina tiga orang cantriknya yang tertua. Bukan saja umurnya, tetapi juga masa kedatangan mereka di padepokan itu serta derajat kemampuan mereka. Tiga orang cantrik itu telah dipanggil oleh Mahisa Murti di pendapa bangunan induk padepokannya. Ketika ketiganya menghadap, maka Wantilan dan Sambega pun duduk pula bersama mereka. Kepada ketiga orang cantrik itu, Mahisa Murti menawarkan apakah mereka bersedia menjalani laku yang berat untuk mencapai satu tataran ilmu yang lebih tinggi.
“Tentu” jawab mereka berbareng dengan serta merta.
“Baiklah” berkata Mahisa Murti, “jika demikian, maka kalian akan mendapat kesempatan khusus untuk menjalani laku. Aku ingin kalian akan dapat menjadi pembantu utama di padepokan ini bersama paman Wantilan dan paman Sambega. Selama ini kalian memang sudah melakukan tugas itu. Namun aku ingin kalian dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih rumit di padepokan ini bahkan hubungannya dengan lingkungan diluar padepokan.”
“Terima kasih” berkata salah seorang dari mereka, “kami memang menunggu kesempatan seperti ini.”
“Tetapi kalian harus bekerja keras. Lebih keras dari yang pernah kalian lakukan selama ini.” berkata Mahisa Murti.
“Kami berjanji” jawab salah seorang dari mereka, “apapun yang harus kami lakukan.”
“Kerja keras itu tidak akan selesai dalam waktu satu dua hari, atau satu dua pekan. Tetapi untuk waktu yang panjang” berkata Mahisa Murti pula
“Sampai kapan pun akan kami jalani” jawab seorang dari ketiga orang cantrik itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia yakin bahwa ketiga orang itu akan dapat memenuhi harapannya. Mereka tentu akan dapat ikut membantu tugas-tugas kepemimpinan di padepokan itu. Meskipun demikian harapan utama Mahisa Murti tetap ada pada Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Bersama Mahisa Pukat mereka telah melakukan pengembaraan yang panjang untuk menemukan seseorang yang akan dapat menjadi tumpuan masa depan.
Namun Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih harus dimatangkan, sehingga memerlukan waktu yang jauh lebih panjang. Karena Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan ditempa secara khusus untuk memegang kendali padepokan di masa datang, meskipun Mahisa Murti menyadari bahwa rencana itu bukan rencana yang mutlak, karena untuk menjadi seorang pemimpin yang terpenting bukan hanya sekedar kemampuan olah kanuragan, tetapi juga kemampuan lain yang berhubungan dengan tatanan kehidupan serta lebih dari segalanya adalah pribadinya. Namun, adalah menjadi kewajibannya untuk berusaha membina dan mempersiapkan pemangku jabatan kepemimpinan di masa datang.
Demikianlah, maka kecuali para cantrik yang dipersiapkan untuk membantunya memimpin padepokan itu dalam jangka yang terhitung dekat serta Wantilan dan Sambega, maka Mahisa Murti dengan teratur membina Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mereka harus benar-benar memahami, menguasai dan mematangkan ilmu tahap demi tahap, karena tahapan-tahapan itu akan menjadi landasan bagi tataran berikutnya. Dengan demikian, maka ilmu kedua orang anak muda itu menjadi mantap dan padat.
Ternyata untuk semuanya itu Mahisa Murti harus bekerja keras. Ia seakan-akan bekerja sendiri tanpa mengenal lelah. Hari-harinya seakan-akan habis dipergunakannya untuk membina isi padepokannya dari segala tataran. Wantilan dan Sambega yang umurnya sudah menjelang separuh baya, memperhatikan Mahisa Murti dengan prihatin. Meskipun dalam ilmu kanuragan dan ilmu yang lain Mahisa Murti jauh melampaui kemampuan mereka, tetapi bagaimanapun juga umur mereka tidak akan dapat disusul dan dilampaui oleh Mahisa Murti.
Karena itu, maka kadang-kadang Wantilan dengan tarikan nafas panjang berkata kepada Sambega, “Mahisa Murti telah kehilangan masa remaja dan masa mudanya. Ia tidak dapat menikmati hari-harinya sebagaimana anak-anak muda yang lain. Bahkan para cantrik di padepokan ini yang sempat bercanda, bermain dan kadang-kadang pergi keluar padepokan dan singgah di padukuhan-padukuhan terdekat.”
“Ya” sahut Sambega, “jika Mahisa Murti ke padukuhan, tentu karena ada sesuatu yang harus dilakukan. Ia menjadi seorang yang cara dan laku hidupnya menjadi jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Apalagi karena kedudukannya sebagai seorang pemimpin padepokan.”
Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa. Nampaknya Mahisa Murti memang sudah meletakkan diri ke dalam tugas-tugas pengabdiannya. Bahkan sejak ia masih bersama-sama Mahisa Pukat melakukan pengembaraan, maka mereka telah melakukan Tapa Ngrame. Namun Mahisa Pukat yang kemudian berada di Kasatrian mempunyai kesempatan lebih baik untuk menikmati masa mudanya meskipun terbatas. Bahkan kemudian Mahisa Pukat telah melengkapi hidupnya dengan sebuah kehidupan keluarga.
Ketika seperti yang dijanjikan, Kiai Wijang datang ke Padepokan Bajra Seta, maka pada satu kesempatan hal itu telah di katakan oleh Wantilan dan Sambega kepadanya. Kiai Wijang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia memang kehilangan. Tetapi dengan apa yang dilakukan itu, ia mendapatkan kepuasan jiwa tersendiri. Memang berbeda dengan kesenangan bagi anak-anak muda sebayanya yang lain."
Wantilan dan Sambega mengangguk-angguk. Namun Wantilan itu pun berkata, “Tetapi bukankah dengan demikian ia telah kehilangan satu bagian dari jalan hidupnya?”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Ia telah kehilangan satu bagian dari hidupnya. Tetapi semua itu dilakukannya dengan penuh kesadaran. Jiwa pengabdiannya yang besar telah mengalahkan kesenangan pribadinya.”
“Tetapi apakah Mahisa Murti untuk selanjutnya tidak akan memikirkan dirinya sendiri? Apakah ia tidak akan menginjak satu kehidupan rumah tangga sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat?” bertanya Sambega.
“Mudah-mudahan pada suatu saat hatinya terbuka bagi seorang gadis” jawab Kiai Wijang.
“Namun umurnya sudah menjadi semakin tua” berkata Wantilan.
“Pada satu kesempatan aku akan berbicara dengan anak muda itu” berkata Kiai Wijang.
“Mudah-mudahan Mahisa Murti tidak terbenam dalam pengabdiannya tanpa memikirkan pribadinya. Jika hidupnya dilengkapi dengan sebuah keluarga, maka kami ingin melihat ia mendapat kebahagian yang utuh dalam hidupnya. Selain kepuasan batin atas pengabdiannya, juga keutuhan kehidupan lahiriahnya terpenuhi”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Ternyata para penghuni padepokan itu juga memikirkan Mahisa Murti sebagai satu pribadi, yang perlu melengkapi diri dalam kehidupan kesehariannya sebagai satu kewajaran. Ternyata Kiai Wijang memang memenuhi janjinya. Pada satu kesempatan ia memang berkata kepada Mahisa Murti tentang kehidupan pribadinya.
Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti, maka Mahisa Murti tersenyum sambil menjawab, “Bukankah masa itu akan datang dengan sendirinya?"
“Tetapi umurmu akan tumbuh terus, ngger. Pamanmu Wantilan dan Sambega ternyata ikut memikirkanmu. Dan jika kau percaya, ayahmu juga pernah mengatakan hal itu kepadaku.”
“Kiai sering mengunjungi ayah?” bertanya Mahisa Murti.
“Baru akhir-akhir ini, ngger. Ternyata orang-orang tua kadang-kadang memerlukan untuk saling bertemu dan berbicara apa saja. Tetapi yang kami bicarakan kebanyakan justru hal-hal yang tidak penting. Rasa-rasanya kami sudah terlalu letih untuk membicarakan persoalan-persoalan yang dapat membebani perasaan."
“Sebagaimana ayah, Kiai juga sebaiknya lebih banyak beristirahat” berkata Mahisa Murti.
“Aku juga sudah terlalu banyak beristirahat. Aku kira, ayahmu memang sedikit lebih tua dari aku ngger. Namun ayahmu masih mempunyai kesibukan di istana. Sekali-kali ayahmu masih menghadap Sri Maharaja dan Ratu Angabaya. Sementara aku tidak mempunyai kesibukan apa-apa. Karena itu, aku merasa senang bahwa aku boleh datang mengunjungi padepokan ini setiap kali dan sedikit membagi pengalaman dengan para cantrik.”
“Kami justru berterima kasih sekali, Kiai” desis Mahisa Murti.
“Tetapi sebaiknya kau tetap memperhatikan harapan ayahmu, pamanmu Wantilan dan Sambega dan tentu juga Mahisa Pukat.”
Mahisa Murti tersenyum. Namun Kiai Wijang ternyata mampu menangkap betapa asamnya perasaan Mahisa Murti. Kiai Wijang tidak berkata lebih jauh. Tetapi ia sudah memperingatkannya. Kepada Wantilan dan Sambega pada kesempatan lain, telah diceritakannya pula pembicaraannya dengan Mahisa Murti itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih saja tenggelam dalam tugasnya. Ditempanya tiga orang cantrik tertua. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga kemampuan memimpin para cantrik yang lebih muda dari padanya. Sementara itu Kiai Wijang benar-benar telah melengkapinya dengan berbagai macam pengalaman yang sangat berarti bagi mereka.
Dengan demikian, maka ketiga orang itu pun telah benar-benar menjadi cantrik yang memiliki kemampuan yang semakin tinggi sebagaimana Wantilan dan Sambega. Sehingga karena itu, maka mereka akan mendapat kepercayaan lebih besar dari Mahisa Murti untuk membantunya, memimpin Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Mahisa Semu dan Mahisa Amping tumbuh sejalan dengan perkembangan ilmu mereka. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain. Karena Kiai Wijang pun sangat menaruh perhatian terhadap mereka. Pada waktu-waktu tertentu Kiai Wijang memang berada di padepokan itu sebagaimana dijanjikannya.
Demikianlah dari hari ke hari, Padepokan Bajra Seta tumbuh semakin subur. Bukan saja kemampuan para cantrik, tetapi juga kesejahteraan hidup mereka sehari-hari. Penghasilan sawah dan ladangnya semakin meningkat berkat cara pengolahan tanah yang semakin baik. Pengalaman Kiai Wijang yang mereka ungkapkan dalam kerja sehari-hari ternyata telah membuahkan hasil. Pategalan yang semula kering telah menjadi basah. Air sungai yang dinaikkan untuk mengairi tanah dan sebuah kolam yang luas.
Beberapa petak tanah yang dipergunakan untuk perternakan serta sebuah padang rumput tempat menggembala. Sementara itu, di dalam dinding padepokan terdapat beberapa kelompok tempat kerja pande besi yang telah mempergunakan peralatan dan cara yang dipelajari dari para pande besi dari Singasari, sehingga hasilnya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Bukan saja pembuatan alat-alat pertanian tetapi juga pembuatan senjata.
Hubungan padepokan itu dengan padukuhan di sekitarnya menjadi semakin baik. Sehingga Padepokan Bajra Seta rasa-rasanya memang menjadi bagian dari lingkungannya. Tanah yang tergelar di sekitar Padepokan Bajra Seta nampak hijau segar sampai di lembah-lembah dan lereng pegunungan.
Mahisa Murti yang memimpin Padepokan Bajra Seta, sebagaimana dikatakan oleh Kiai Wijang memang mendapatkan kepuasan tersendiri dengan hasil yang kasatmata itu. Bukan saja karena hijaunya lembah dan lereng pegunungan, tetapi juga peningkatan kemampuan cantrik-cantriknya yang akan membekali mereka di masa mendatang. Tidak hanya dalam olah kanuragan. Tetapi juga sebagai bekal di berbagai sisi kehidupan.
Dalam pada itu, ketika ketiga orang cantrik yang ditempa secara khusus telah mencapai satu tataran tertentu, maka Mahisa Murti pun berniat untuk mengukuhkan kedudukan mereka. Tiga orang cantrik itu pun telah ditetapkannya menjadi pembantu utamanya dalam memimpin padepokan itu bersama Wantilan dan Sambega.
Di depan para cantrik, maka Mahisa Murti telah menetapkan ketiga orang itu akan ikut memimpin Padepokan Bajra Seta dibawah kepemimpinannya, bersama Wantilan dan Sambega. Namun karena Wantilan dan Sambega umurnya lebih tua dari mereka, serta mempunyai pengalaman yang lebih luas, maka mereka harus selalu mendengarkan pendapat dan petunjuknya.
“Dengan ini” berkata Mahisa Murti dihadapan penghuni Padepokan Bajra Seta, “aku menetapkan bahwa Manyar, Parama dan Lembana untuk mengemban tugas sebagai Putut di Padepokan ini sehingga untuk selanjutnya mereka akan disebut Putut Manyar, Parama dan Lembana di lingkungan Bajra Seta. Mereka akan membantu aku, paman Wantilan dan paman Sambega memimpin padepokan ini.”
Ketetapan itu disambut dengan gembira oleh para cantrik, karena sejak sebelumnya, ketiga orang itu memang sudah melakukan tugas sebagaimana ditetapkan itu. Namun dengan ketetapan itu maka kedudukan mereka menjadi jelas. Sementara itu, Mahisa Murti telah menunjuk tiga orang cantrik yang lain yang akan mengikuti latihan-latihan khusus untuk meningkatkan kemampuan mereka agar mereka juga akan dapat membantu memimpin padepokan itu untuk masa mendatang.
Demikianlah, maka kedudukan Padepokan Bajra Seta rasa-rasanya menjadi semakin mapan. Jalur kepemimpinan yang mulai terbagi itu akan dapat meningkatkan tata kehidupan di padepokan itu di berbagai segi.
Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu pun menjadi semakin banyak yang datang berkunjung sehingga seakan-akan mereka telah menyatu dengan para cantrik.
Namun dalam pada itu, selagi padepokan Bajra Seta dan padukuhan-padukuhan di sekitarnya merasakan kehidupan yang semakin mapan, maka Kabuyutan mereka mulai terganggu dengan kedatangan beberapa kelompok pengungsi dari Kabuyutan di sebelah hutan yang memanjang membatasi kedua Kabuyutan itu. Orang-orang Kabuyutan seberang hutan yang mempunyai sanak saudara di Kabuyutan Talang Alun itu pun telah berdatangan untuk mencari perlindungan.
Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan sebelah yang termasuk lingkungan Kabuyutan Talang Alun telah menceriterakan hal itu kepada para cantrik, sehingga akhirnya, hal itu didengar oleh Mahisa Murti.
“Apa yang terjadi di Kabuyutan Talang Alun?” bertanya Mahisa Murti.
Putut Manyar yang langsung mendengar dari anak-anak muda padukuhan di sebelah padepokan itu memberitahukan tentang datangnya kelompok-kelompok pengungsi dari Kabuyutan di seberang hutan.
Mereka menyeberangi hutan itu dalam kelompok-kelompok menuju ke Kabuyutan Talang Alun. Di Kabuyutan di seberang hutan itu telah terjadi keributan yang agaknya sangat mencemaskan, sehingga banyak orang yang terpaksa mengungsi.
“Aku belum dapat bertemu langsung dengan para pengungsi itu” berkata Putut Manyar kemudian.
“Pergilah ke padukuhan bersama anak-anak muda itu. Temuilah satu dua orang pengungsi untuk mendapatkan keterangan, kenapa mereka harus mengungsi.”
Putut Manyar bersama seorang cantrik segera melakukan tugas itu. Bersama dua orang anak muda dari padukuhan sebelah, yang kebetulan juga didatangi oleh sekelompok pengungsi, berusaha untuk dapat bertemu dengan mereka. Dari pertemuan itu Putut Manyar segera mengetahui, bahwa para pengungsi itu berada dalam ketakutan. Sebuah keluarga yang mengungsi di rumah pamannya yang tinggal di Kabuyutan Talang Alun tidak sempat membawa barang-barangnya selain seikat benda-benda yang paling berharga.
“Tetangga-tetangga kami juga tidak sempat membawa apa-apa.” berkata seorang laki-laki separuh baya yang mengungsi bersama keluarganya itu.
“Apa yang telah terjadi di padukuhan kalian?” bertanya Putut Manyar.
“Keributan. Setiap kali datang orang-orang yang mula-mula sekedar menakut-nakuti. Namun kemudian mereka telah menangkapi pemimpin-pemimpin padukuhan kami. Ki Bekel dan para bebahu sudah ditangkapi. Satu dua orang di antara mereka yang mencoba melawan, nasibnya tidak kita ketahui lagi. Ki Bekel pun telah terluka pula dan jatuh ke tangan mereka.” jawab orang itu.
“Apa yang mereka kehendaki?” bertanya Putut Manyar.
“Kami tidak tahu pasti. Tetapi menurut pendengaran kami, telah terjadi perebutan warisan di Kabuyutan kami.” jawab orang itu.
“Perebutan warisan? Kenapa sampai terjadi kekerasan atas para pemimpin padukuhan? Seberapa besarnya warisan yang diperebutkan itu?”
“Warisan kedudukan. Sebenarnya terjadinya tidak di Kabuyutan kami. Tetapi terjadi di Kabuyutan Pudaklamatan. Tetapi Ki Buyut di Pudaklamatan memang masih ada hubungan keluarga dengan Ki Buyut di Kabuyutan kami. Kabuyutan Sendang Apit.”
“Bukankah Kabuyutan-Kabuyutan itu terletak di seberang hutan itu?” bertanya Putut Manyar pula.
“Ya. Kami dalam kelompok-kelompok telah menyeberang hutan. Keberanian kami melawan binatang buas timbul didesak oleh ketakutan kami terhadap orang-orang yang mengacaukan padukuhan kami, melukai dan menangkap Ki Bekel serta beberapa orang lainnya.”
Putut Manyar mengangguk-angguk. Agaknya telah terjadi pergolakan di seberang hutan. Pergolakan itu memang tidak begitu terasa di Kabuyutan Talang Alun, jika saja tidak ada arus pengungsi yang berdatangan.
Keterangan itu oleh Putut Manyar telah dibawa ke Padepokan Bajra Seta. Dihadapan para pemimpin Padepokan Bajra Seta, Putut Manyar telah menceriterakan hasil pembicaraannya dengan para pengungsi yang sempat ditemuinya.
Jarak antara kedua Kabuyutan itu dengan Kabuyutan Talang Alun memang tidak sangat jauh. Tetapi karena di antara Kabuyutan itu dengan Kabuyutan Talang Alun dipisahkan oleh hutan yang masih terhitung lebat, maka hubungan antara Kabuyutan-kabuyutan itu dengan Kabuyutan Talang Alun tidak terlalu rapat. Apalagi dengan padepokan Bajra Seta.
Mahisa Murti dan para pemimpin yang lain mendengarkan keterangan Putut Manyar itu dengan sungguh-sungguh. Namun sebagaimana tanggapan mereka, Mahisa Murti pun berkata, “Kita memang tidak dapat langsung mencampuri persoalan ini. Tetapi ada baiknya kita selalu mengikuti perkembangannya. Jika persoalannya merembet menyeberangi hutan sampai ke Kabuyutan Talang Alun, maka mau tidak mau kita harus mencampurinya. Kabuyutan itu adalah Kabuyutan kita pula.”
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat. Padepokan Bajra Seta tidak dapat dengan tergesa-gesa menentukan satu sikap sebelum mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Namun Mahisa Murti telah memerintahkan kepada Putut Manyar untuk terus-menerus mengikuti persoalan yang timbul justru karena arus pengungsi yang mengalir menyeberangi hutan yang terhitung lebat itu.
Dengan perintah itu, maka Putut Manyar memang sering pergi ke padukuhan sebelah. Ia sering duduk berbincang dengan anak-anak muda yang semakin meningkatkan penjagaan. Apalagi di malam hari. Kedatangan para pengungsi itu memang telah menimbulkan persoalan yang harus ditangani dengan hati-hati oleh padukuhan sebelah.
Di malam hari Putut Manyar dengan dua atau tiga cantrik kadang-kadang ikut berada di gardu sampai menjelang fajar. Kehadiran mereka selalu disambut baik oleh anak-anak muda padukuhan. Rasa-rasanya mereka memberikan ketenangan, karena anak-anak muda itu tahu, bahwa para cantrik dari Padepokan Bajra Seta adalah orang-orang yang cukup terlatih.
Ternyata kedatangan para pengungsi memang mendatangkan masalah bagi padukuhan-padukuhan di Kabuyutan Talang Alun. Ternyata ada juga orang-orang yang tidak berjantung, yang memanfaatkan keadaan yang rumit itu untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, bahkan dengan cara yang paling buruk.
Orang-orang yang bermaksud jahat memperhitungkan bahwa para pengungsi itu tentu membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Karena itu, maka orang-orang yang hidupnya berada di bayangan yang hitam, seolah-olah mendapat kesempatan untuk meningkatkan kegiatan mereka.
Tetapi ternyata bahwa anak-anak muda di padukuhan itu tidak tinggal diam. Bahkan ketika percobaan perampokan pernah terjadi, maka para pengungsi itu pun telah ikut pula dalam kegiatan anak-anak muda dan para penghuni padukuhan di tempat pengungsian mereka, karena mereka tahu, bahwa persoalan itu justru timbul karena kehadiran para pengungsi itu. Tetapi kelompok penjahat yang besar, menganggap bahwa anak-anak itu tidak akan mampu mencegah mereka.
Tetapi mereka tidak memperhitungkan, bahwa anak-anak muda padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu sering berada di padepokan dan bermain-main dengan para cantrik. Bahkan mereka mendapat waktu yang khusus untuk serba sedikit mempelajari ilmu kanuragan, serta mempergunakan berbagai jenis senjata.
“Tetapi kita harus berhati-hati terhadap para penghuni padepokan itu” berkata salah seorang pemimpin sekelompok perampok kepada para pengikutnya.
“Mereka tentu tidak akan ikut campur” sahut salah seorang di antara para pengikutnya itu.
“Belum tentu” jawab yang lain, “mereka sering berkeliaran di padukuhan-padukuhan.”
“Mereka tentu sekedar mencari makan” jawab pengikut yang pertama.
“Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati” berkata pemimpinnya, “apapun yang mereka cari di padukuhan, kehadiran mereka akan mempengaruhi semua rencana kita. Bukankah kita sudah mendengar bahwa penghuni padepokan itu memiliki kemampuan olah kanuragan? Aku sendiri tidak akan pernah takut menghadapi siapapun juga, bahkan pemimpin padepokan itu sekalipun. Tetapi jumlah mereka agaknya terlalu banyak bagi kita.”
“Bukankah hanya satu dua orang saja yang sering berkeliaran di padukuhan-padukuhan?” berkata seorang pengikutnya.
“Ya. Tetapi dengan isyarat atau suara kentongan, mereka dapat memanggil kawan-kawannya, karena jarak padepokan itu dari padukuhan tidak terlalu jauh sehingga dapat dijangkau oleh suara kentongan.” jawab pemimpinnya.
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Namun sebagian dari mereka tidak banyak memperhitungkan gangguan yang dapat dilakukan oleh para penghuni padepokan. Meskipun demikian, pemimpinnya masih berusaha untuk memperhatikan kegiatan para cantrik di padepokan. Tetapi rasa-rasanya memang tidak banyak cantrik yang keluar dan pergi ke padukuhan. Jika mereka melihat dua atau tiga orang yang nampak mengunjungi padukuhan terdekat, maka mereka merasa bahwa para cantrik itu dapat diabaikannya.
Namun yang terjadi lebih dahulu, justru pertengkaran kelompok-kelompok penjahat itu sendiri. Ketika sekelompok penjahat yang dipimpin oleh Jaran Abang berpapasan dengan sekelompok yang lain, yang dipimpin oleh Ki Sempon telah terjadi salah paham, sehingga di antara kedua kelompok itu telah terjadi perkelahian. Beberapa orang telah menjadi korban.
Namun ketika kelompok Ki Sempon melarikan diri, maka korban yang terbunuh dalam perkelahian itu telah ditinggalkan begitu saja. Bahkan di antara mereka terdapat dua orang yang terluka namun masih dapat mempertahankan hidupnya, sehingga ketika seorang gembala menemukan mereka, mereka masih hidup.
Gembala itu terkejut melihat beberapa sosok tubuh terbaring diam. Karena itu sambil berteriak-teriak ia berlari pulang. Bahkan empat ekor kambingnya ditinggalkannya begitu saja. Beberapa orang dari padukuhan, termasuk Ki Bekel yang mendapat laporan tentang bekas perkelahian itu pun segera datang. Mereka masih sempat menemukan dua orang yang masih hidup meskipun terluka parah.
w “Rawat mereka” perintah Ki Bekel, “dari mereka kita akan mendapat keterangan.”
Orang-orang padukuhan itu pun kemudian telah membawa kedua orang yang masih hidup itu ke banjar. Dipanggilnya dukun yang paling baik di padukuhan itu untuk mengobati luka-luka yang cukup parah.
“Usahakan agar kedua orang itu tetap hidup” berkata seorang anak muda kepada dukun yang segera datang.
Tetapi dukun itu menjawab, “Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi hidup dan matinya tidak tergantung kepadaku.”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah mengangguk mengiakan. Sementara itu, tiga orang yang telah terbunuh pun segera dikuburkan. Namun Ki Bekel dan beberapa orang padukuhan telah menduga, bahwa yang terjadi adalah benturan kekuatan antara para penjahat yang berebut ladang.
Sebenarnyalah ketika kedua orang yang terluka itu mulai dapat berbicara dengan agak jelas, maka mereka mengaku bahwa kedua-duanya adalah para pengikut Ki Sempon.
“Seorang kawanku mati. Tetapi dua orang pengikut Jaran Abang juga mati.” berkata orang itu.
“Apa sebenarnya yang kalian perebutkan?” bertanya Ki Bekel meskipun ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi.
“Kami memperhitungkan bahwa para pengungsi tentu membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Itulah yang kami inginkan disamping harta benda yang sudah ada di padukuhan ini” jawab orang yang terluka itu.
“Jika kalian inginkan harta benda para penghuni padukuhan itu, kenapa baru sekarang hal itu kalian lakukan”
“Sudah aku katakan. Para pengungsi itu seakan-akan telah mempersiapkan harta-bendanya untuk begitu saja kami ambil” jawab orang itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi semakin jelas baginya bahwa persoalan yang timbul karena kedatangan para pengungsi itu akan saling berkait. Padukuhannya harus bersiaga menghadapi segala kemungkinan, namun mereka juga harus menyediakan pangan bagi mereka yang tinggal dilingkungan sanak kadang mereka di Kabuyutan Talang Alun.
Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kehadiran para pengungsi yang ketakutan di kampung halaman mereka sendiri berdasarkan peri kemanusiaan. Kepada orang-orang yang ingin memanfaatkan kesulitan orang lain itu, membuat Ki Bekel menjadi sangat berprihatin. Justru orang-orang yang memerlukan perlindungan dan pertolongan itu malah menjadi sasaran kejahatan.
Karena itu, Ki Bekel pun telah memerintahkan orang-orang sepadukuhan itu bangkit melawan mereka. Sementara itu, Ki Bekel pun telah mengirimkan laporan kepada Ki Buyut Talang Alun.
Dengan cepat pula Ki Buyut menyampaikan laporan itu ke semua padukuhan di lingkungannya dengan harapan, agar semua padukuhan menjadi waspada dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Terutama padukuhan-padukuhan yang menjadi tempat tujuan para pengungsi yang datang dari seberang hutan.
Namun, Jaran Abang sama sekali tidak terpengaruh oleh kesiagaan anak-anak muda dan bahkan semua laki-laki yang masih mampu memegang senjata. Menurut Jaran Abang yang kemudian seakan-akan menguasai ladang perburuan itu, anak-anak muda itu sama sekali tidak akan mampu berbuat banyak.
Namun, hal itu pun segera didengar oleh para cantrik di padepokan. Putut Manyar pun telah memberikan laporan tentang hal itu kepada Mahisa Murti.
“Kita harus membantu padukuhan-padukuhan yang menjadi sasaran ancaman para penjahat itu” berkata Mahisa Murti.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun telah memerintahkan ketiga orang Pututnya, masing-masing bersama dua orang cantrik terpilih untuk berada di padukuhan-padukuhan yang paling rawan. Namun mereka pun berpesan jika di padukuhan lain terjadi pula perampokan, maka mereka harus dengan cepat memberikan isyarat dengan kentongan.
Sebenarnyalah, bahwa pada malam yang sudah direncanakan, maka Jaran Abang telah membawa orang-orangnya menuju ke padukuhan Logandeng. Logandeng memang bukan padukuhan terdekat dengan padepokan Bajra Seta. Namun Putut Lembana dengan dua orang cantrik terpilih berada di padukuhan itu. Sebelum mereka memasuki padukuhan itu, Jaran Abang telah memerintahkan melihat-lihat, apakah ada yang menarik perhatian di padukuhan itu.
Di mata pengikut Jaran Abang yang diperintahkan untuk melihat keadaan padukuhan itu memang tidak adanya kelainan dari kemungkinan yang mereka bayangkan. Anak-anak muda di gardu-gardu perondan. Mungkin beberapa orang laki-laki yang lebih tua berkumpul di banjar dan di rumah Ki Bekel yang ketakutan.
Kepada mereka yang mengamati padukuhan itu Jaran Abang bertanya, “Apakah kau tidak melihat orang-orang dari Padepokan sebelah yang berkeliaran di padukuhan itu?”
Orang yang mendapat perintah mengamati padukuhan itu memang tidak melihat sekelompok cantrik yang bergabung dengan anak-anak muda di padukuhan itu. Mereka memang tidak melihat Putut Lembana dan hanya dua orang cantrik yang memang berada di gardu di mulut lorong.
Dari kegelapan salah seorang di antara mereka yang mengamati padukuhan itu melihat beberapa orang anak muda yang berada di gardu di mulut lorong. Namun nampaknya tidak ada orang lain di antara anak-anak muda itu. Mereka bergurau dan bercanda sebagaimana dengan kawan-kawan akrab mereka.
Sebenarnyalah bahwa Putut Lembana dapat menempatkan diri. Selain ia memang masih muda, ia pun dapat bergurau sebagaimana anak-anak muda yang lain. Sehingga dengan demikian, maka tidak seorang pun yang menyangka bahwa Putut Lembana dan dua orang cantrik yang menyertainya, bukan bagian dari anak muda di padukuhan itu. Berdasarkan atas keterangan itu, maka Jaran Abang tidak menunda lagi niatnya. Diperintahkannya para pengikutnya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan.
“Jika ada cantrik yang bersembunyi di rumah Ki Bekel, kita tidak boleh ragu-ragu menghadapinya. Kita akan menghancurkan mereka sebagaimana kita menghancurkan kelompok Ki Sempon yang dungu itu.” berkata pemimpin mereka.
Demikianlah, maka tanpa melewati regol padukuhan, mereka memasuki dinding padukuhan itu. Mereka berloncatan memanjat dinding dan meloncat memasuki sebuah kebun yang luas dan sepi.
Sejak sehari sebelumnya mereka sudah memilih sasaran. Mereka melihat sebuah rumah yang besar yang memang tidak terlalu jauh dari rumah Ki Bekel. Mereka mengetahui bahwa ada beberapa pengungsi yang tinggal di rumah yang besar itu. Bukan pengungsi kebanyakan. Tetapi nampaknya juga orang-orang berada sebagaimana pemilik rumah itu.
“Kita akan mendapatkan apa yang kita cari” berkata Jaran Abang, “kita tidak boleh ragu-ragu.”
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Telah berpuluh kali mereka melakukan perampokan. Karena itu, apa yang akan mereka lakukan itu seakan-akan tidak berbeda dengan saat-saat mereka akan menuai padi di sawah mereka ketika padi sudah mulai menguning dan menjadi masak. Meskipun demikian, Jaran Abang memang memerintahkan agar mereka berusaha untuk tidak diketahui oleh anak-anak muda. Bagi mereka hal itu tentu akan lebih baik.
Meskipun mereka yakin bahwa anak-anak muda itu tidak akan dapat menghentikannya, namun jika terjadi benturan kekerasan, maka ia tentu akan kehilangan satu dua pengikutnya atau setidak-tidaknya ada di antara mereka yang terluka. Karena itu, dengan hati-hati sekelompok orang yang dipimpin oleh Jaran Abang itu telah menyusup di sela-sela pepohonan di halaman-halaman rumah yang sepi, karena pintu-pintu rumah tertutup rapat.
Untuk beberapa saat Jaran Abang dan para pengikutnya mengendap di halaman rumah yang berseberangan dengan rumah yang akan menjadi sasaran. Jaran Abang sendiri telah meloncat dan menelungkup diatas dinding halaman untuk memperhatikan apakah keadaan cukup aman.
Ternyata jalan terlalu sepi. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun yang lewat di malam yang dingin itu. Bahkan para peronda pun lebih senang tetap berada di gardu-gardu. Berkelakar sambil menghirup minuman hangat. Karena itu, maka Jaran Abang pun telah memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk dengan cepat menyeberangi jalan dan masuk ke halaman rumah yang akan menjadi sasaran.
Semuanya itu dapat dilakukan dengan cepat. Para pengikutnya yang berpengalaman itu tidak memerlukan terlalu banyak petunjuk. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Beberapa saat Jaran Abang dan para pengikutnya menunggu sambil mengamati rumah yang terhitung besar itu. Jaran Abang sudah membayangkan bahwa mereka akan mendapat hasil yang baik di rumah itu.
Kecuali pemilik rumah itu sendiri terhitung orang yang berada, maka para pengungsi yang ada di rumah itu pun tentu orang-orang yang berada pula. Jika mereka membawa barang-barang berharga dari kampung-halamannya, maka barang-barang berharga itu tentu disimpannya dalam satu kotak atau kantung khusus yang tinggal mengambil dan membawanya.
Namun ketika Jaran Abang itu mulai akan bertindak, maka ia pun mengumpat kasar. Ia mendengar suara kotekan para peronda. Empat orang anak muda membawa kentongan-kentongan kecil menyusuri jalan-jalan membangunkan para penghuni rumah yang tidur nyenyak agar mereka tidak terlalu terlena dalam mimpi sehingga kehilangan kewaspadaan.
Jaran Abang terpaksa mengurungkan niatnya. Ia memberi isyarat kepada para pengikutnya agar bersembunyi di halaman rumah itu. Namun mereka pun sadar, bahwa penghuni rumah itu tentu akan terbangun oleh suara kentongan-kentongan kecil di tangan para peronda itu.
“Aku ingin menghentikan bunyi kentongan itu” geram salah seorang pengikut Jaran Abang.
Tetapi Jaran Abang berdesis, “Biarkan saja. Hati-hatilah, jangan menarik perhatian mereka.”
Para pengikut Jaran Abang itu pun kemudian benar-benar berusaha untuk berdiam diri. Anak-anak muda yang meronda itu pun semakin dekat dengan halaman tempat para pengikut Jaran Abang itu bersembunyi sekaligus sebagai sasaran utama usaha perampokan yang akan mereka lakukan.
Namun orang-orang yang sudah berpengalaman itu memang tidak begitu memperhitungkan para peronda itu. Meskipun mereka sedang bersembunyi, tetapi ada saja di antara mereka yang tidak sepenuhnya berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi atau gerak. Sehingga karena itu, maka ketika anak-anak muda itu lewat dan bunyi kentongan mereka berhenti sejenak, seorang di antara anak-anak muda yang meronda itu memang mendengar gemerisik di belakang dinding halaman yang tidak terlalu tinggi.
Telinga anak-anak muda padukuhan itu sendiri memang tidak mendengar bunyi itu. Tetapi seorang di antara mereka yang meronda berkeliling itu adalah Putut Lembana yang mempunyai pendengaran yang sangat tajam telah mendengar gemerisik itu. Putut itu menduga bahwa suara itu adalah suara kaki seseorang yang sedang beringsut atau bergeser dari tempatnya ke tempat yang lain.
Tetapi Putut Lembana tidak segera berbuat sesuatu, la masih saja bersikap sebagaimana semula. Tetapi Putut itu ternyata telah melihat-lihat beberapa batang pepohonan yang ada di halaman rumah yang besar itu.
“He, kau lihat pohon jambu air itu?” desis Putut Lembana. Tetapi cukup kuat untuk didengar oleh orang-orang yang ada di dalam dinding.
Anak-anak muda padukuhan itu mengangguk. Seorang di antara mereka menjawab, “Jambu air itu berbuah sepanjang musim.”
“Buahnya tentu segar sekali” berkata Putut Lembana.
“Ya. Tetapi jarang sekali kami, anak-anak padukuhan ini merasakan segarnya jambu air itu”
“Kenapa?” bertanya Putut Lembana.
“Penghuninya memang agak kikir. Jambu itu biasanya dijual langsung di pohonnya. Namun dalam waktu singkatnya, buahnya telah memenuhi segala cabang dan ranting-rantingnya lagi.” jawab anak muda itu.
“Aku ingin mencicipinya” berkata Putut Lembana.
Anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu. Jika pemilik rumah itu tahu, maka ia tentu akan sangat marah. Tetapi Putut Lembana itu berkata, “Aku tidak akan memetik buah di pohon itu. Aku hanya ingin mencari sisa-sisa kelelawar yang berserakan dibawah pohon itu. Tentu ada yang masih utuh satu atau dua buah.”
Anak-anak muda itu merasa heran. Apakah Putut Lembana benar-benar tidak pernah makan jambu air? Seorang di antara anak-anak muda itu pernah berada untuk beberapa hari di padepokan. Seingatnya di padepokan terdapat juga pohon jambu air. Bahkan tidak hanya sebatang. Rasa-rasanya ada pohon jambu air putih dan ada pohon jambu air yang merah. Bahkan ada sebatang pohon jambu dersana yang segar dan sebatang jambu gowok yang berwarna ungu. Sementara di kebun belakang terdapat beberapa batang pohon jambu mete.
Putut Lembana melihat wajah-wajah yang membayangkan keheranan itu. Cahaya oncor di regol meskipun tidak begitu besar sempat menggapai wajah-wajah yang berkerut itu. Namun Putut Lembana mendekati seorang di antara mereka sambil memberi isyarat untuk menyiapkan kentongan mereka serta senjata mereka. Anak muda itu menegang sejenak. Namun ia pun mengangguk-angguk kecil. Ia pun telah memberi isyarat pula kepada kawan-kawannya untuk bersiap.
Sebenarnyalah Putut Lembana itu telah mendorong pintu regol halaman sambil berkata, “Tunggu. Aku hanya sebentar. Aku hanya ingin sebuah saja.”
Tetapi di halaman Jaran Abang mengumpat tertahan. Namun ia telah memberi isyarat pula kepada orang-orangnya untuk bersiap. Ketika Putut Lembana kemudian memasuki halaman rumah itu, maka ia pun mencoba memandang berkeliling dengan penglihatannya yang tajam. Ketika ia melihat daun pohon bunga soka yang rimbun serta beberapa batang perdu yang lain bergerak, maka Putut Lembana yakin bahwa ada orang di halaman itu.
Tetapi Putut Lembana tidak segera mengambil tindakan. Bahkan ia benar-benar mencari jambu air yang memang terdapat satu dua tergolek di tanah dibawah pohon yang buahnya bergayutan banyak sekali itu. Setelah memungut satu-dua buah, maka Putut itu pun segera bergerak keluar.
Diluar ia berbisik kepada anak muda yang menyertainya, “Panggil kawan-kawanmu. Hati-hati. Kepung halaman rumah ini. Beritahu gardu yang lain tanpa membunyikan kentongan.”
Demikian anak itu melangkah pergi dengan hati-hati, maka Putut Lembana pun berkata, “Jambu ini memang luar biasa. Manis dan segar sekali.”
“Sisa kelelawar memang manis.” jawab salah seorang kawannya yang mengerti isyarat Putut Lembana.
Sementara kawannya menjawab, “Jambu itu manis bukan karena sisa kelelawar. Karena jambu itu sudah masak dan rasanya manis, maka kelelawar telah mencurinya. Tetapi sayang, jambu itu terjatuh di tanah.”
Putut Lembana tertawa. Katanya, “Jambu ini manis meskipun agak kotor. Itu saja.”
Kawan-kawannya pun tertawa pula, sementara Putut Lembana berkata, “Marilah, kita berjalan terus. He, kita belum membangunkan penghuni rumah ini. Sejak kita mendekati halaman rumah ini, kita sudah berhenti kotekan. Namun, sekarang kita harus membunyikan lagi.”
Tetapi jumlah mereka berkurang seorang karena pergi ke gardu memanggil kawan-kawannya. Karena itu, maka mereka memang menjadi ragu-ragu. Suaranya tentu akan berbeda dengan kotekan yang dibunyikan oleh empat orang. Namun Putut Lembana yang memperhitungkan, bahwa anak-anak muda itu akan segera datang, berdesis perlahan, “Marilah, kita bunyikan saja keras-keras.”
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda termasuk Putut Lembana itu telah membunyikan kentongan mereka. Justru lebih keras dari semula. Bahkan dengan irama yang lebih cepat, sehingga suaranya menjadi gaduh. Bahkan ketika mereka sengaja membuat iramanya meleset, suara kotekan itu menjadi tidak keruan.
Putut Lembana pun kemudian berkata keras-keras, “Cukup. Cukup. Iramanya rusak. Kita harus mengulangi.” Kotekan itu pun terhenti.
“Hati, hati. Kita tidak boleh tergesa-gesa.” berkata seorang temannya.
Namun tingkah laku anak-anak muda itu membuat darah Jaran Abang mendidih sampai ke ubun-ubun. Karena itu, ia menjadi tidak sabar lagi. Dengan sekali hentak, Jaran Abang telah berdiri diatas dinding halaman rumah itu.
“Setan kau anak-anak muda. Aku perintahkan kalian masuk ke dalam. Kalian tidak mempunyai pilihan lagi.” geram Jaran Abang.
Ketiga anak muda itu bergeser surut. Putut Lembana lah yang bertanya, “Siapakah kau?”
“Kalian tidak usah berpura-pura lagi. Aku tahu bahwa kalian melihat sesuatu yang memaksa kalian melakukan perbuatan gila itu. Aku tahu bahwa satu atau dua orang di antara kalian, tentu bukan anak muda dari padukuhan ini, karena anak muda itu tidak mengetahui bahwa pemilik jambu ini kikir. Anak muda itu pun baru sekali ini melihat bahwa di sini ada jambu air. Nah, sekarang kalian semuanya harus masuk ke halaman. Jangan menjawab apapun juga. Masuklah sekarang, sebelum aku kehabisan kesabaran.”
“Kau belum menjawab, siapakah kau?”
“Aku tidak akan menjawab semua pertanyaanmu. Aku tidak mau mendengar pertanyaan apapun juga. Sekali lagi. Untuk yang terakhir aku berkata. Masuklah ke dalam halaman rumah ini.”
Putut Lembana termangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua anak muda yang bersamanya menunggu, apa yang akan dilakukan oleh Putut Lembana. Sementara itu Putut Lembana memang ingin mengulur waktu. Ia yakin bahwa yang ada di halaman itu tentu tidak hanya satu dua orang saja. Tetapi beberapa orang yang memiliki pengalaman melakukan kekerasan. Karena itu, maka Putut Lembana itu berkata,
“Ki Sanak. Kami tidak tahu, apa sebenarnya yang kalian kehendaki atas diri kami. Kami sedang meronda. Karena itu, maka kami akan menyusuri jalan-jalan di padukuhan kami. Tidak masuk ke dalam halaman rumah itu. Jika tadi aku masuk, semata-mata karena aku ingin mendapatkan jambu air.”
“Cukup” bentak orang itu, “masuk. Atau kami harus memaksa kalian dengan kekerasan.”
Agaknya Putut Lembana memang tidak mendapat kesempatan lagi. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Kami tidak akan masuk. Kami tahu bahwa kau bukan pemilik rumah ini. Karena itu, kami justru akan menangkapmu.”
Jaran Abang itu bersuit nyaring. Ia benar-benar telah kehilangan kesabaran, sehingga ia telah memanggil orang-orangnya untuk memaksa Putut Lembana dan kedua kawannya masuk ke halaman.
Namun pada saat itu, beberapa orang anak muda dari gardu terdekat telah datang. Mereka tidak dengan serta merta menyerang kelompok Jaran Abang. Tetapi anak-anak muda itu justru telah merayap dari halaman ke halaman mendekati rumah yang menjadi sasaran perampok itu. Namun ketika mereka mendengar suitan nyaring, maka mereka telah berusaha untuk mengetahui keadaan Putut Lembana dan kedua orang anak muda yang menyertainya.
Anak-anak muda itu kemudian telah melihat beberapa orang berloncatan melewati dinding halaman rumah yang menjadi sasaran perampokan itu. Orang-orang itu pun kemudian telah mengepung Putut Lembana dan kedua orang anak muda yang menyertainya.
“Paksa mereka masuk. Jika mereka melawan, maka apaboleh buat. Mereka akan mati muda.” berkata Jaran Abang.
Namun para penjahat itu tidak mendapat banyak kesempatan. Anak-anak muda yang melihat keadaan Putut Lembana dan kedua orang kawannya dalam kesulitan, maka mereka pun segera bertindak. Dua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang ada di antara anak-anak muda itu bersama Putut Lembana, datang pula bersama-sama anak-anak muda itu.
Melihat kehadiran anak-anak muda itu, maka Jaran Abang pun mengumpat. Dengan lantang ia berkata, “Jika yang terjadi kemudian kalian akan menjadi seperti tebasan batang ilalang, sama sekali bukan tanggung jawab kami.”
Anak-anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka pun segera turun ke jalan serta berdiri di kedua sisi dari para pengikut Jaran Abang itu. Bahkan masih ada di antara mereka yang berada di atas dinding halaman di seberang halaman rumah yang menjadi sasaran. Namun masih ada juga anak-anak muda yang berada di dalam halaman rumah yang menjadi sasaran perampokan itu.
Jaran Abang tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun segera meneriakkan perintah, “Selesaikan anak-anak dungu itu. Mereka tidak menyadari akibat dari perbuatan mereka.”
Tetapi Putut Lembana memberikan perintah, “Jangan biarkan seorang pun melarikan diri.”
Demikianlah, maka pertempuran pun segera berkobar. Jaran Abang tahu pasti, bahwa pemimpin dari anak-anak muda itu adalah anak muda yang mencari jambu air di bawah pohonnya. Namun Jaran Abang pun tahu bahwa anak muda itu sekedar ingin mengetahui keadaan di dalam halaman rumah itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuran pun segera terjadi. Putut Lembana dengan sengaja telah menghadapi Jaran Abang. Sementara itu, kedua orang cantrik yang bersamanya berada di padukuhan itu bertempur melawan beberapa orang penjahat yang sudah sangat berpengalaman.
Anak-anak muda padukuhan itu memang merasa ngeri melihat sikap dan tatanan gerak mereka yang keras dan kasar. Beberapa orang anak muda memang terdesak surut. Namun kedua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu telah membesarkan hati mereka. Seorang di antara para cantrik yang dengan menghentak menyerang salah seorang di antara para pengikut Jaran Abang itu, langsung dapat melukai lawannya. Terdengar orang itu berteriak kesakitan. Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah jatuh berguling di tanah.
Cantrik itu bukan seorang pembunuh, sehingga karena itu, maka orang yang sudah terluka cukup parah itu dibiarkannya. Tetapi dengan demikian, maka hati anak-anak muda padukuhan itu mulai menjadi hangat. Keberanian mereka pun menjadi semakin memanasi jantungnya.
Dipimpin oleh kedua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu, maka anak-anak muda padukuhan itu pun telah melakukan perlawanan yang sangat sengit. Apalagi ketika beberapa orang anak muda dari gardu yang lain telah datang pula.
Sementara itu, Jaran Abang ternyata telah mendapat lawan yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia pun berteriak, “Setan kau anak muda. Siapakah kau sebenarnya?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, siapakah kau dan untuk apa kau berada di sini.”
Jaran Abang itu menggeram. Katanya, “Aku tidak memerlukan nama dari orang-orang yang akan ku bunuh.”
Putut Lembana yang melihat kedua cantrik Padepokan Bajra Seta sudah ada di antara anak-anak muda yang menjadi semakin lama semakin banyak berada di tempat itu menjadi semakin tenang. Sehingga ia dapat memusatkan perhatiannya kepada pemimpin sekelompok orang yang tidak dikenal dan yang menurut perhitungannya tentu akan berbuat jahat. Apalagi melihat ujud lahiriah dari orang-orang yang datang bersama lawannya itu serta senjata-senjata yang mereka pergunakan.
Demikianlah, maka Putut Lembana pun telah bertempur dengan sengitnya. Putut Lembana yang juga pernah mendengar tentang pertempuran antara orang-orang yang berniat jahat, serta tentang dua orang pengikut seorang pemimpin kelompok yang bernama Jaran Abang yang jatuh ke tangan Ki Bekel rencana terluka dalam pertempuran antara para penjahat itu, telah menduga bahwa yang dihadapinya adalah Jaran Abang itu sendiri.
Karena itu, ketika Jaran Abang menjadi semakin garang, Putut Lembana itu berkata sambil menghindari serangan lawannya, “He, Ki Sanak, Kau kira aku tidak tahu bahwa gerombolan ini adalah gerombolan Jaran Abang dan kau sendiri adalah pemimpinnya?”
“Persetan. Darimana kau tahu?” bertanya Jaran Abang.
“Namamu memang sudah terkenal sampai ke mana-mana. Kau ditakuti oleh setiap orang yang pernah mendengar namamu. Bukan saja oleh para penghuni Kabuyutan dan padukuhan-padukuhan, tetapi para prajurit Singasari pun menjadi gentar mendengar namamu.”
“Namaku memang ditakuti oleh Panglima Prajurit Singasari sekalipun. Karena itu, kenapa kau berani melawan aku? Apakah itu bukan berarti bahwa kau sedang membunuh diri.”
“Aku hanya ingin membuktikan, apakah kabar itu benar atau tidak,” jawab Putut Lembana.
“Betapa sombongnya kau anak muda. Tetapi kau akan menyesal, karena kau akan mati malam ini.” geram Jaran Abang.
“Aku tidak ingin mati. Itulah sebabnya, aku melawanmu sekarang.” sahut Putut Lembana.
“Kau tahu bahwa aku tidak terkalahkan.” berkata Jaran Abang dengan lantang.
“Itulah yang menarik untuk menjajagi kemampuanmu, justru karena kau merasa tidak terkalahkan.” jawab Putut Lembana.
Jaran Abang menggeram. Namun kemudian katanya, “Apapun yang kau katakan, namun umurmu tidak akan sampai fajar.”
Putut Lembana yang masih muda itu tertawa. Katanya, “Apakah kau dapat menentukan, kapan aku harus mati? Umurku tidak tergantung kepadamu, Jaran Abang.”
“Persetan kau” Jaran Abang menjadi semakin marah. Serangannya memang menjadi semakin garang. Namun anak muda yang melawannya itu masih saja nampak tenang.
Sebenarnyalah, semakin marah Jaran Abang, maka kendalinya atas ilmunya justru menjadi semakin longgar. Jaran Abang terlalu bernafsu untuk segera mengalahkan lawannya. Namun justru dengan demikian, maka semakin banyak ia melakukan kesalahan.
Dalam pada itu, maka dua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta bersama anak-anak muda padukuhan itu tengah bertempur melawan para pengikut Jaran Abang. Semakin lama jumlah anak-anak muda itu semakin banyak. Bahkan beberapa orang laki-laki yang lebih tua pun telah terjun pula dalam pertempuran. Apalagi mereka yang telah berpengalaman serta memiliki kemampuan olah kanuragan karena mereka sering berada di Padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka para pengikut Jaran Abang itu mulai mengalami kesulitan. Dua orang cantrik dari Padepokan Bajra Seta itu pun menjadi semakin garang pula, sehingga anak-anak muda padukuhan itu menjadi semakin berani menghadapi para perampok yang kasar itu.
Jaran Abang memang tidak menduga, bahwa anak-anak muda padukuhan itu menjadi demikian berani menghadapi para pengikutnya. Bahkan para pengikutnya seakan-akan menjadi tidak berdaya. Anak-anak muda itu dibawah pimpinan kedua orang cantrik Padepokan Bajra Seta telah menyerang para pengikut Jaran Abang itu dari segala jurusan.
Sementara itu ujung senjata kedua orang cantrik itu pun telah menggapai kulit daging para pengikut Jaran Abang. Dua orang telah terbaring diam. Sementara yang lain masih berloncatan sambil berteriak-teriak. Namun ruang gerak mereka menjadi semakin sempit.
Sementara itu Putut Lembana masih saja bertempur dengan sengitnya melawan Jaran Abang. Keduanya telah mempergunakan senjata masing-masing. Jaran Abang bersenjata kapak yang besar bermata rangkap. Sedangkan Putut Lembana bersenjata sebilah pedang khusus sebagaimana pedang yang dibuat oleh para cantrik dari Padepokan Bajra Seta yang telah mendapat petunjuk dari pande besi istana Singasari. Sebilah pedang yang ujudnya cukup besar dan panjang.
Jaran Abang yang memiliki pengalaman petualangan yang luas tanpa ragu-ragu berusaha untuk menghancurkan lawannya. Ia sudah terlalu sering melihat darah tertumpah dari tubuh orang-orang yang pernah dibantainya. Tetapi anak muda itu ternyata amat liat. Kapaknya yang berayun-ayun dengan cepatnya, sama sekali tidak menyentuh tubuh lawannya. Namun ketika anak muda itu sengaja menangkis ayunan kapaknya sehingga terjadi benturan, maka Jaran Abang itu pun mengumpat habis-habisan.
Hampir saja ia berteriak kegirangan karena kapaknya disangkanya akan dapat melontarkan senjata anak muda itu, sehingga ayunan berikutnya kapaknya akan dapat membelah kepala lawannya itu, karena lawannya sudah tidak bersenjata lagi. Namun yang terjadi sama sekali tidak sebagaimana dibayangkan. Justru kapaknyalah yang hampir saja terlepas dari tangannya. Sementara itu, pedang anak muda itu sama sekali tidak tergoyahkan.
Jantung Jaran Abang menjadi semakin sakit ketika anak itu justru telah merendahkannya. Pada saat ia mengalami kesulitan dengan kapaknya yang hampir terlepas, di saat ia berusaha mengambil jarak untuk memperbaiki kedudukannya, lawannya itu sengaja tidak memburunya. Bahkan anak muda itu berkata,
“Hati-hatilah Jaran Abang. Jangan biarkan kapakmu terloncat dari tanganmu. Dengan senjata di tangan kau tidak dapat mengalahkan aku, apalagi jika kau lemparkan kapakmu.”
“Setan kau” geram Jaran Abang.
“Nah bersiaplah. Aku beri kau waktu untuk memperbaiki genggamanmu pada kapakmu itu.”
“Aku tidak butuh waktu. Aku tidak dalam kesulitan Kapakku ini akan segera mengoyak mulutmu” berkata Jaran Abang lantang.
“Sekarang, aku beri kesempatan kau memperhatikan pertempuran ini. Orang-orangmu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Anak-anak muda padukuhan ini bukan lagi anak-anak kecil yang ketakutan melihat kalian dengan garang mengayun-ayunkan senjata, tetapi anak-anak muda padukuhan ini adalah anak-anak muda yang terlatih baik."
Jaran Abang tidak menjawab. Namun dengan geram ia meloncat menyerang Putut Lembana. Namun bagaimana juga Putut Lembana tidak dapat dikalahkan. Putut yang telah ditempa di Padepokan Bajra Seta itu mempunyai banyak kelebihan dari Jaran Abang itu sendiri, meskipun Jaran Abang berpengalaman menghancurkan lawan-lawannya. Bahkan para pemimpin penjahat pun merasa ngeri mendengar namanya. Karena itulah, maka Jaran Abang tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menang. Apalagi ketika ia sempat melihat orang-orangnya semakin menyusut.
Karena itu, maka ia pun telah membuat pertimbangan lain. Ia harus melepaskan niatnya untuk merampok rumah yang diperhitungkannya memiliki simpanan harta benda yang cukup banyak. Karena itu, maka ketika keadaan benar-benar tidak memungkinkan, maka Jaran Abang itu telah berusaha untuk bergeser mendekati regol halaman tanpa menimbulkan kesan pada lawannya. Putut Lembana memang hanya mengira bahwa lawannya menjadi semakin terdesak mundur.
Namun ketika Jaran Abang itu sampai ke depan regol halaman yang memang tidak diselarak, dengan serta merta, ia berlari mendorong pintu regol itu. Putut Lembana terkejut. Tetapi ia kehilangan kesempatan yang sekejap itu, namun yang memberikan keuntungan yang menentukan bagi hidup dan mati Jaran Abang.
Putut Lembana yang segera menyadari usaha lawannya untuk melarikan diri, segera mengejarnya. Ia pun telah meloncat berlari. Namun langkah terhenti lagi sekejap, karena Jaran Abang telah mendorong pintu regol dari dalam dengan hentakkan yang sangat keras.
Ketika Putut Lembana mendorong pintu itu, maka Jaran Abang telah berlari menjauh. Putut Lembana masih melihat bayangannya yang melingkar di sudut rumah. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Putut itu mengejarnya. Namun ia kehilangan jejak. Ketika Putut itu melingkari sudut rumah, maka bayangan Jaran Abang telah hilang.
Putut Lembana memang tidak segera berhenti. Ia berusaha menyusul meloncati dinding di sebelah seketheng. Tetapi ketika ia berada di longkangan, ia tidak melihat Jaran Abang lagi. Putut Lembana menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasa sangat kecewa karena ia kehilangan lawannya. Karena itu, maka ia pun segera kembali ke halaman depan dan keluar lagi turun ke jalan.
Ternyata beberapa orang pengikut Jaran Abang yang lain pun dapat melarikan diri. Tetapi yang lain dapat di tangkap dan bahkan ada yang terluka parah. Seorang di antara mereka telah menghembuskan nafas terakhir karena lukanya yang sangat parah.
Ki Bekel yang telah mendapat laporan, ternyata sudah berada di tempat itu pula. Bahkan agaknya orang yang sudah melampaui setengah abad itu masih ikut pula membawa sebatang tombak pendek bertempur bersama anak-anak muda padukuhannya.
Namun Ki Bekel itu harus merenungi tiga orang anak muda yang terluka cukup parah. Sementara yang lain terluka ringan. Meskipun demikian goresan-goresan senjata di tubuh anak-anak muda itu seakan-akan tidak terasa menyakitinya. Namun tiga orang di antara mereka harus di bawa ke banjar untuk mendapat pengobatan. Demikian pula para pengikut Jaran Abang yang terluka dan menyerah telah dibawa ke banjar pula dengan pengawalan yang ketat.
Orang-orang yang tertawan itu memang tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyerah. Mereka memang tidak memperhitungkan bahwa hampir semua laki-laki di padukuhan itu telah berani keluar untuk ikut memberikan perlawanan. Betapapun garangnya Jaran Abang dan pengikutnya, namun jumlah yang banyak itu pun berpengaruh pula.
Demikianlah, maka orang-orang padukuhan itu telah menggagalkan usaha perampokan yang dilakukan oleh Jaran Abang dan kelompoknya yang dianggap kelompok perampok yang terkuat. Penghuni rumah yang hampir saja menjadi sasaran perampokan itu berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Ki Bekel bahwa perampokan itu telah digagalkan.
“Berterima kasihlah kepada angger Putut Lembana. Ia telah memimpin anak-anak muda di padukuhan ini untuk melakukan perlawanan terhadap para perampok itu.” jawab Ki Bekel.
“Ki Bekel sendirilah yang memimpin. Aku hanya sekedar ikut bersama anak-anak muda padukuhan ini” sahut Putut Lembana.
Tetapi pemilik rumah itu berkali-kali mengucapkan terima kasihnya. Dua keluarga yang mengungsi di rumahnya juga ikut mengucapkan terima kasih atas kecepatan bertindak anak-anak muda di padukuhan itu.
“Aku memang membawa milikku yang paling berharga yang dapat aku bawa. Jika milikku yang dapat aku bawa itu dirampas oleh para perampok, maka habislah segala-galanya berkata salah seorang di antara para pengungsi itu.”
Dengan kegagalan itu, maka Ki Bekel dan para penghuni padukuhan itu berharap, bahwa para perampok tidak akan mengusik ketenangan padukuhan Logandeng. Jika gerombolan Jaran Abang yang ditakuti itu gagal melakukan perampokan di padukuhan Logandeng, apalagi gerombolan lain yang lebih lemah dari gerombolan Jaran Abang itu.
Meskipun demikian, maka persoalan yang dihadapi oleh padukuhan Logandeng masih tetap rumit. Demikian pula padukuhan-padukuhan yang lain di Kabuyutan Talang Alun. Kehadiran para pengungsi itu telah memberikan berbagai macam persoalan.
Berita tentang perampokan yang gagal di padukuhan Logandeng, membuat padukuhan-padukuhan lain lebih berhati-hati. Mereka semakin meningkatkan kesiagaan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu. Meskipun gerombolan Jaran Abang telah dihancurkan di Logandeng, tetapi mungkin gerombolan-gerombolan lain merasa justru mendapat kesempatan. Atau karena Jaran Abang sendiri belum tertangkap, maka Jaran Abang akan menyusun kekuatan kembali atau bergabung dengan gerombolan lain yang akan dapat menjadi semakin kuat.
Namun dengan demikian, maka kecemasan para penghuni beberapa padukuhan di Kabuyutan Talang Alun itu telah didengar oleh Mahisa Murti. Ia pun telah memerintahkan ketiga Pututnya dan beberapa orang cantrik untuk berusaha membantu menenangkan kegelisahan di padukuhan-padukuhan itu.
Bahkan Mahisa Murti telah menempatkan di setiap padukuhan tiga orang cantrik terpilih. Sementara di padukuhan-padukuhan yang paling rawan, Mahisa Murti telah menempatkan Putut Manyar, Putut Parama dan Putut Lembana, masing-masing bersama dua orang cantrik untuk membantu jika terjadi sesuatu sebagaimana telah terjadi di padukuhan Logandeng.
Disamping usaha untuk mengatasi kemungkinan terjadi perampokan, maka padukuhan-padukuhan itu masih juga dibebani untuk membantu keluarga yang menampung para pengungsi dari seberang hutan. Mereka tidak saja memerlukan tempat untuk bernaung dari teriknya matahari dan dinginnya embun malam, namun mereka juga memerlukan makan dan minum.
Padukuhan-padukuhan yang menampung para pengungsi tidak dapat menyerahkan penyediaan makan dan minum mereka kepada keluarga yang menampung mereka sepenuhnya. Apalagi keluarga yang terhitung keluarga sederhana. Demikianlah, maka Padepokan Bajra Seta mau tidak mau telah ikut terlibat dalam kesibukan mengatasi persoalan para pengungsi di Kabuyutan Talang Alun.
Sementara itu dari hari ke hari, arus pengungsi tidak menyusut. Tetapi justru menjadi semakin banyak. Bahkan di padukuhan Logandeng, seorang bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit telah datang bersama beberapa keluarga pengungsi lainnya.
Kedatangan seorang bebahu di padukuhan Logandeng memang menarik perhatian. Ketika Mahisa Murti mendengar tentang hal itu, maka ia pun berkata kepada Wantilan dan Sambega, “Paman, aku ingin pergi ke Logandeng. Mungkin seorang bebahu yang mengungsi di Logandeng dapat memberikan beberapa penjelasan tentang keadaan Kabuyutan ya.”
Wantilan dan Sambega mengangguk-angguk. Dengan bersungguh-sungguh Wantilan pun berkata, “Agaknya telah terjadi sesuatu yang penting di Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan. Mudah-mudahan bebahu itu dapat mengungkapkannya.”
Demikianlah di hari berikutnya Mahisa Murti telah mengajak Mahisa Semu untuk pergi ke Logandeng. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Amping juga ingin ikut bersama mereka, namun Mahisa Murti pun berkata, “Lain kali saja kau ikut Amping. Kami sedang melakukan tugas yang penting. Kau masih terlalu muda untuk ikut bersama kami. Sedangkan kakakmu Mahisa Semu justru harus mulai terjun ke dalam tugas-tugas yang lebih bersungguh-sungguh. Nanti, jika kau tumbuh semakin besar, maka kau pun akan sampai saatnya untuk memulai dengan tugas-tugas yang lebih berat.”
Mahisa Amping mengangguk kecil. Betapapun inginnya ia ikut melakukan sesuatu, namun ia tidak dapat memaksakan keinginannya kepada kakak angkatnya yang mengasuhnya itu.
Berdua Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun telah pergi ke padukuhan Logandeng untuk mendengar ceritera tentang Kabuyutan di seberang hutan yang sedang dilanda kekalutan. Di Logandeng, Mahisa Murti dan Mahisa Semu langsung menemui Ki Bekel sebelum menemui bebahu Kabuyutan Sendang Apit. Kepada Ki Bekel, Mahisa Murti telah mengutarakan niatnya untuk bertemu dengan bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit itu.
“Marilah ngger” berkata Ki Bekel, “biarlah aku antar angger menemui bebahu itu. Dengan keluarganya ia tinggal di rumah adikku. Bebahu itu tidak bersedia ketika aku persilahkan tinggal di rumahku.”
“Kenapa Ki Bekel?” bertanya Mahisa Murti.
“Menurut pendapatnya, jika ia tinggal di rumahku, akan dapat mempengaruhi tugas-tugasku. Bahkan kedudukanku.” jawab Ki Bekel.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Bekel. Jika Ki Bekel kebetulan mempunyai waktu, aku berterima kasih atas kesediaan Ki Bekel untuk bersamaku menemui bebahu yang tinggal di rumah adik Ki Bekel itu.”
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Semu bersama Ki Bekel telah pergi ke rumah adik Ki Bekel yang letaknya berdampingan dengan banjar padukuhan. Bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit itu masih kelihatan letih sekali. Bahkan masih nampak kegelisahan membayang diwajahnya. Meskipun ia mencoba juga untuk tersenyum, tetapi masih membekas tekanan-tekanan batin yang dialaminya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
Bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Bencana itu telah menikam Kabuyutan kami.”
“kenapa dan bagaimana hal itu terjadi?” bertanya Mahisa Murti.
“Persoalannya berkisar pada dua Kabuyutan. Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan. Beberapa orang bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit telah ditangkap. Ada dua orang Bekel dari padukuhan yang termasuk lingkungan Kabuyutan Sendang Apit telah ditangkap pula.”
“Siapa yang telah menangkap mereka?” bertanya Mahisa Murti dengan wajah yang berkerut.
“Orang-orang dari Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Kenapa?” desak Mahisa Murti.
Bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ki Buyut Pudaklamatan merasa memiliki hak sepenuhnya untuk menguasai dua Kabuyutan yang bertetangga itu. Dahulu Kabuyutan Pudaklamatan dan Kabuyutan Sendang Apit memang satu. Namun kemudian untuk menghindari persoalan yang dapat timbul kemudian, justru telah dipecah menjadi dua. Namun ternyata bahwa akhirnya pertengkaran itu pecah juga.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak bertanya lebih banyak, tetapi bebahu itulah yang kemudian berceritera,
“Ki Buyut dari Pudaklamatan menganggap bahwa adanya Kabuyutan Sendang Apit sama sekali tidak dapat dibenarkan. Sebelum dua Kabuyutan itu dipisahkan, maka kakek Ki Buyut Pudaklamatan yang juga kakek Ki Buyut Sendang Apit lah yang memegang pimpinan sebagai Buyut di Kabuyutan Mapanjang. Ki Buyut Mapanjang mempunyai dua orang anak laki-laki. Tetapi anak yang sulung meninggal sebelum sempat menggantikan kedudukan ayahnya. Karena itu, yang kemudian mewarisi kedudukan ayahnya adalah anak yang bungsu. Sementara itu, anak yang sulung Ki Buyut Mapanjang mempunyai seorang anak laki-laki. Tetapi anaknya yang bungsu, yang menggantikan kedudukan ayahnya pun mempunyai anak laki-laki. Untuk menghindari perselisihan, maka Ki Buyut Mapanjang yang muda, anak bungsu dari Ki Buyut yang tua yang telah meninggal, menetapkan bahwa Kabuyutan Mapanjang dibagi dua. Anaknya akan menjadi Buyut bagian Selatan sedangkan kemanakannya, anak kakaknya yang lebih dahulu meninggal akan menjadi Buyut di belahan Utara. Masing-masing disebut Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan dibatasi oleh sebatang sungai kecil yang membelah Kabuyutan Mapanjang.”
“Apakah kemudian Ki Buyut Pudaklamatan menuntut kembali Kabuyutan yang separuh, yang menurut pendapatnya menjadi haknya pula?” bertanya Mahisa Murti.
“Ya” jawab bebahu itu.
“Sejak kapan Mapanjang dibagi menjadi dua?” bertanya Mahisa Murti pula.
“Sudah lebih dari duapuluh tahun yang lalu” jawab bebahu itu.
“Sudah demikian lama. Kenapa baru sekarang persoalan itu diungkit kembali? Apakah selama ini hubungan antara kedua padukuhan itu buruk?” bertanya Mahisa Murti.
“Memang tidak terduga sebelumnya” jawab bebahu itu. Ki Buyut Pudaklamatan yang masih sepupu dengan Ki Buyut Sendang Apit, nampak rukun. Ki Buyut Pudaklamatan yang sedikit lebih tua, menganggap Ki Buyut Sendang Apit sebagai adik kandungnya.”
“Jadi bagaimana perselisihan itu terjadi.” bertanya Mahisa Murti.
“Itulah yang aneh. Tiba-tiba saja hal itu terjadi.” jawab bebahu itu. Namun katanya kemudian, “Kami menduga, bahwa ada pihak ketiga yang ikut campur. Menurut dugaan kami adalah justru orang yang dituakan oleh kedua Kabuyutan itu.”
“Siapakah orang itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Seorang mPu yang memimpin sebuah Padepokan yang terletak di lereng bukit kecil di pinggir sungai yang memisahkan kedua Kabuyutan itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Siapakah nama mPu itu dan apakah nama padepokannya?”
“Namanya mPu Renapati. Ia memimpin sebuah padepokan yang lebih banyak disebut padepokan Renapati sebagaimana nama pemimpinnya. Tetapi nama yang sebenarnya dari padepokan itu adalah Padepokan Kencana Pura.” jawab bebahu itu.
Mahisa Murti mendengarkan keterangan itu dengan bersungguh-sungguh. Agaknya karena padepokannya dengan padepokan yang disebut oleh bebahu itu dibatasi oleh hutan yang memanjang, maka Mahisa Murti masih belum pernah berhubungan. Meskipun Mahisa Murti pernah melakukan petualangan yang panjang, namun justru ia tidak menyentuh lingkungan di seberang hutan yang jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh.
Namun apa yang terjadi itu memang sangat menarik perhatiannya. Apalagi karena banyak pengungsi yang mengalir ke padukuhan-padukuhan dilingkungan Kabuyutan Talang Alun, yang terhitung dekat dengan padepokannya.
Tetapi Mahisa Murti masih belum tahu apa yang sebaiknya dilakukan menanggapi gejolak yang terjadi. Tetapi untuk mengatasi kemungkinan berbagai macam kesulitan yang dapat timbul di padukuhan Logandeng yang tidak terhitung padukuhan yang kaya itu, Mahisa Murti telah menawarkan kepada Ki Bekel,
“Jika perlu, Ki Bekel, di padepokan kami ada sedikit tempat untuk membantu memberikan tempat untuk sementara kepada beberapa keluarga yang mengungsi dari Kabuyutan di seberang hutan itu.”
“Terima kasih ngger” berkata Ki Bekel, “sampai saat ini kami masih belum merasa sangat terdesak. Tetapi mungkin pada suatu saat kami memang memerlukan bantuan angger Mahisa Murti.”
“Kami akan menerima dengan senang hati Ki Bekel. Asal mereka bersedia menerima keadaan sebagaimana adanya di padepokan kami yang sederhana itu.”
“Tentu saja” jawab Ki Bekel, “mereka yang datang mengungsi ke daerah ini tentu tidak akan memilih tempat. Bagi mereka dimana pun mereka ditampung, tidak menjadi soal. Yang penting mereka terlindung dibawah atap yang betapapun sederhananya.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Bekel. Kami, penghuni Padepokan Bajra Seta akan terus mengikuti perkembangan yang bakal terjadi. Apapun yang sebaiknya dan dapat kami lakukan, akan kami lakukan. Terutama membantu melindungi para pengungsi itu dari tangan-tangan jahat yang justru memanfaatkan kesulitan orang lain untuk kepentingan mereka sendiri. Apalagi dengan laku kejahatan.”
“Terima kasih ngger. Tanpa bantuan angger serta para cantrik dari Padepokan Bajra Seta, maka sebagaimana yang pernah terjadi di padukuhan Logandeng, kita tentu akan mengalami malapetaka” berkata Ki Bekel.
“Bukankah itu sudah menjadi kewajiban kami, sebagaimana kami menumpang untuk hidup dilingkungan Kabuyutan Talang Alun.” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun meninggalkan padukuhan yang sedang dibayangi oleh berbagai macam persoalan itu. Dengan demikian maka Mahisa Semu pun telah diperkenalkan dengan persoalan-persoalan kehidupan yang lebih luas dari sekedar dinding padepokan.
“Kita memang tidak dapat hidup dengan mengurung diri di lingkungan yang sempit. Kita harus memperluas tatapan mata kita sampai ke cakrawala.” berkata Mahisa Murti.
Namun katanya kemudian, “tetapi ternyata penglihatanku pun masih terlalu sempit. Aku tidak mengenali nama-nama orang-orang yang memiliki pengaruh yang luas atau orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Sebagaimana aku belum mengenal nama mPu Renapati.”
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika kakang memberi aku kesempatan, aku akan sangat berterima kasih.”
“Ya. Kau harus mulai mengenal dunia yang luas ini. Tetapi tentu tidak dengan serta-merta. Tetapi sedikit demi sedikit. Pengenalanmu harus lebih luas dari pengenalanku. Ketika aku bertualang, aku telah dibatasi oleh laku dan kepentinganku serta kepentingan padepokan ini sendiri, sehingga seakan-akan aku tidak berkesempatan melihat persoalan-persoalan yang lain.”
Mahisa Semu masih mengangguk-angguk. Ia ingat jelas, bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengambilnya dan membawanya. Ia pun ingat jelas, perjalanan yang panjang yang ditempuhnya sampai ke Padepokan Bajra Seta. Namun sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lebih terikat pada laku Tapa Ngrame yang dijalaninya.
Di padepokan Mahisa Murti pun telah berbicara dengan para pemimpin Padepokannya tentang keadaan yang terjadi di Kabuyutan-kabuyutan seberang hutan. Karena itu, maka Mahisa Murti telah memerintahkan semua cantrik untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Baik di Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan, maupun di Kabuyutan Talang Alun serta padukuhan-padukuhan yang termasuk di dalam lingkungannya.
Di malam hari Mahisa Murti masih tetap mengirimkan beberapa orang cantriknya termasuk ketiga orang Putut di Padepokan Bajra Seta untuk ikut meronda di padukuhan-padukuhan selama keadaan masih menggelisahkan.
Ketika Kiai Wijang datang ke Padepokan Bajra Seta sebagaimana sering dilakukannya, maka Mahisa Murti pun telah menceriterakan apa yang telah terjadi di Kabuyutan Talang Alun serta Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan.
Orang tua itu mendengarkan ceritera Mahisa Murti dengan bersungguh-sungguh. Ketika Mahisa Murti menceriterakan keterlibatan seorang pemimpin padepokan, maka Kiai Wijang itu pun bertanya, “Siapakah nama orang itu?"
“Empu Renapati. Ia memimpin padepokan yang lebih banyak disebut Padepokan Renapati. dari pada nama padepokan itu yang sebenarnya, Padepokan Kencana Pura.”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi mPu Renapati berdiri di belakang kekalutan ini?”
“Menurut seorang bebahu dari Kabuyutan Sendang Apit.” jawab Mahisa Murti.
“Aku mengenal orang itu” desis Kiai Wijang, “ia memang seorang yang berilmu tinggi. Ia memiliki beberapa kelebihan dari para mPu dan para pemimpin padepokan. Aku kira orang itu tentu mengetahui serba sedikit tentang Padepokan Bajra Seta meskipun kau belum pernah mengenal padepokannya dan orang itu sendiri. Ia memang sering mengirimkan orang-orangnya untuk mengetahui banyak hal di sekitarnya. Bahkan sampai pada jarak yang jauh.”
“Apakah keuntungannya?” bertanya Mahisa Murti.
“Hanya orang itu sendirilah yang tahu. Tetapi aku mempunyai dugaan, bahwa ia termasuk orang yang tidak menginginkan ada orang lain yang lebih baik daripadanya.” jawab Kiai Wijang.
“Tetapi apa hubungannya dengan usahanya untuk menumbuhkan kekacauan di antara kedua Kabuyutan yang dipimpin oleh dua orang saudara sepupu, yang semula hidup rukun dan damai.”
“Juga hanya mPu Renapati itu sendirilah yang mengetahui.” jawab Kiai Wijang. Namun katanya kemudian, “Tetapi aku sependapat bahwa Padepokan Bajra Seta harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Justru karena kita tidak tahu dengan pasti, apa yang dikehendaki oleh mPu yang jalan pikirannya sulit untuk dimengerti orang lain itu.”
“Apakah itu memang sifatnya, Kiai?” bertanya Mahisa Murti.
Kiai Wijang mengangguk sambil menjawab, “Ya. Sifatnya memang demikian. Tetapi kita masih perlu mengetahui, kenapa ia telah mencampuri hubungan antara dua orang saudara sepupu yang sejak semula nampak baik dan rukun sehingga akhirnya justru telah terjadi benturan antara keduanya. Kita pun harus mencurigai, kenapa orang-orang Sendang Apit harus mengungsi dan sama sekali tidak mampu bertahan.”
“Apakah menurut dugaan Kiai Padepokan Renapati itu langsung ikut melibatkan diri dalam benturan itu?” bertanya Mahisa Murti.
“Aku tidak mengkesampingkan kemungkinan itu ngger. Mengingat sifat mPu Renapati” jawab Kiai Wijang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Padepokan mPu Renapati itu semakin menarik perhatiannya. Namun Mahisa Murti sadar, bahwa ia harus berhati-hati untuk berbuat sesuatu agar Padepokan Bajra Seta tidak terlibat langsung dalam persoalan yang mungkin akan menjadi semakin berbelit itu.
Sementara itu, Kiai Wijang berkata selanjutnya, “Persoalan yang terjadi itu memang menarik untuk mendapat perhatian khusus. Karena itu, maka jika angger tidak berkeberatan, apakah aku diijinkan untuk tinggal di Padepokan Bajra Seta selama masih belum ada titik-titik terang mengenai persoalan itu? Bukan maksudku untuk melibatkan diri, tetapi aku ingin tahu, apa yang dilakukan oleh mPu Renapati itu. Apa latar belakangnya dan apa pula pamrihnya.”
“Tentu. Kiai. Kapan saja Kiai ingin berada di padepokan ini, kami seisi padepokan tidak akan berkeberatan.” jawab Mahisa Murti.
Sebenarnyalah seperti yang dikatakan, mPu Wijang untuk sementara memang tinggal di Padepokan Bajra Seta. Seperti Mahisa Murti sendiri, maka Kiai Wijang pun dengan sungguh-sungguh mengikuti perkembangan yang terjadi di Kabuyutan Talang Alun dan Kabuyutan-kabuyutan di seberang hutan.
Namun dalam pada itu, masih saja ada orang-orang baru yang datang mengungsi menyeberangi hutan. Terutama yang mempunyai sanak kadang di Kabuyutan Talang Alun. Ketakutan mereka terhadap kekalutan yang timbul di Kabuyutan mereka, benar-benar telah mengatasi ketakutan mereka terhadap kegarangan hutan yang membujur memanjang yang harus mereka seberangi bersama perempuan dan anak-anak.
Namun akhirnya, Mahisa Murti tidak dapat sekedar menunggu keterangan dari para pengungsi. Sesuai dengan pendapat Kiai Wijang, maka sebaiknya mereka langsung melihat, apa yang telah terjadi di Kabuyutan Sendang Apit.
Bahkan Kiai Wijang dan Mahisa Murti telah sependapat, bahwa mereka berdua akan menyeberangi untuk melihat apa yang telah terjadi di belakang lebatnya hutan yang memisahkan lingkungan mereka dengan lingkungan seberang.
Namun sebelum keduanya berangkat, maka mereka telah mendapat laporan, bahwa seorang anak Ki Buyut Sendang Apit telah berada di padukuhan Logandeng. Seorang anak laki-laki yang sudah menginjak remaja.
“Ada baiknya kita menemuinya” berkata Kiai Wijang, “ia tentu tidak sendiri. Mungkin ada satu dua orang yang mengawalnya atau oleh Ki Buyut sengaja disingkirkan agar tidak mengalami kesulitan sebagaimana jika anak itu ikut bertahan di Kabuyutan Sendang Apit.”
Mahisa Murti pun ternyata sependapat. Karena itu, sebelum mereka benar-benar menyeberangi hutan, maka mereka telah pergi ke padukuhan Logandeng untuk menemui anak Ki Buyut Sendang Apit. Seperti yang pernah dilakukan, maka Mahisa Murti lebih dahulu telah menemui Ki Bekel. Baru kemudian Ki Bekel telah mengantarkannya menemui remaja, anak Ki Buyut itu.
“Maaf Ki Bekel. Barangkali kami terlalu merepotkan Ki Bekel” berkata Mahisa Murti.
“Tidak. Tidak ngger. Kami berterima kasih justru karena angger bersedia membantu kami, memperhatikan keadaan para pengungsi yang ada di padukuhan kami.” jawab Ki Bekel.
Demikianlah, bersama Ki Bekel, Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah diantar ke rumah adik Ki Bekel. Ternyata anak Ki Buyut Sendang Apit itu telah ditempatkan dalam satu rumah dengan bebahu yang telah mengungsi sebelumnya. Di rumah itu Mahisa Murti dan Kiai Wijang dapat langsung bertemu dengan anak Ki Buyut Sendang Apit, yang mengungsi bersama dua orang pengawalnya.
Namun kedua pengawalnya bersikap sangat berhati-hati. Bahkan agak keras terhadap orang yang belum dikenalnya. Tanpa Ki Bekel, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang tidak akan dapat berbicara langsung dengan anak Ki Buyut itu. Bahkan bersama Ki Bekel pun kedua pengawalnya itu nampak selalu curiga.
Ki Bekel sudah berusaha menjelaskan, bahwa Mahisa Murti adalah pemimpin Padepokan Bajra Seta yang banyak memberikan bantuan kepada padukuhan Logandeng bukan saja saat sulit seperti saat itu, tetapi sudah sejak waktu-waktu sebelumnya.
Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Namun kecurigaan mereka nampaknya tidak juga menyusut. Karena itu, Mahisa Murti dan Kiai Wijang sulit untuk mendapat penjelasan-penjelasan yang terbuka tentang keadaan Kabuyutan Sendang Apit.
Bebahu yang sudah berada di rumah itu sebelumnya, yang ikut menemui Mahisa Murti dan Kiai Wijang Juga berusaha untuk membuka pengertian kedua orang pengawal anak Ki Buyut itu. Tetapi keduanya masih saja mencurigai setiap orang.
Ketika Mahisa Murti bertanya dimana Ki Buyut Sendang Apit saat itu berada, maka salah seorang pengawal itu justru ganti bertanya, “Untuk apa kalian mengetahuinya?”
“Ki Sanak” berkata Kiai Wijang, “kami hanya ingin mendapat gambaran tentang peristiwa yang terjadi di Kabuyutan Sendang Apit.”
“Jika Ki Sanak mengetahuinya, apakah ada gunanya?” bertanya salah seorang pengawal itu.
“Kami memang tidak menjanjikan bahwa kami akan berguna bagi kalian” jawab Mahisa Murti, “kami hanya tertarik mendengar peristiwa yang telah mengguncangkan ketenangan hidup orang banyak itu.”
“Sekarang kalian sudah mengetahui bahwa anak ini ada di sini. Sebenarnya aku sudah minta kepada Ki Bekel agar tidak setiap orang diberitahu, dimana anak ini tinggal.” berkata salah seorang dari kedua pengawalnya itu.
Tetapi Ki Bekel lah yang menjawab, “Ki Sanak. Bagiku angger Mahisa Murti dan Kiai Wijang tidak terhitung setiap orang. Mereka bagi kami adalah orang-orang yang dekat dan bahkan aku dapat mengatakan bahwa mereka adalah pelindung kami. Bukan saja padukuhan ini, tetapi juga seluruh Kabuyutan ini. Angger Mahisa Murti pulalah yang baru kemarin menyelamatkan padukuhan ini dari tangan sekelompok penjahat yang berniat merampok para pengungsi di sini. Jika anak-anak muda padukuhan ini mampu memberikan sedikit perlawanan, maka itu adalah karena angger Mahisa Murti pula.”
Kedua pengawal itu memang mengangguk-angguk. Tetapi seorang di antara mereka masih juga berkata, “Tetapi Ki Bekel. Sejak semula aku sudah minta agar anak ini diperlakukan khusus.”
“Jika aku mengajak angger Mahisa Murti dan Kiai Wijang datang kemari ini juga dalam rangka perlakuan khusus itu. Aku tidak membawa keduanya kepada setiap pengungsi yang ada di sini. Sebelumnya aku memang mempertemukan angger Mahisa Murti dengan bebahu yang kini juga berada di sini.”
“Baik. Baik” jawab salah seorang pengawalnya, “tetapi kami tidak dapat memberikan banyak keterangan tentang Kabuyutan kami. Satu kenyataan yang telah kalian lihat, bahwa kami harus mengungsi dari Kabuyutan kami yang sedang kalut itu. Tetapi kami sekarang tidak tahu dimana Ki Buyut berada.”
“Baiklah” sahut Mahisa Murti, “kami memang tidak ingin mengetahui dimana Ki Buyut berada. Sebenarnya kami hanya ingin tahu, kenapa kemelut itu terjadi Apa pula peran mPu Renapati dan Padepokannya.”
Kedua pengawal itu menggeleng. Seorang di antara mereka berkata, “Kami tidak tahu, Ki Sanak. Yang kami tahu, kami harus menyelamatkan anak muda ini. Dan itu sudah kami lakukan. Mudah-mudahan kami dapat melakukan tugas kami selanjutnya dengan baik. Tentu saja dengan bantuan Ki Bekel dan para bebahu padukuhan Logandeng.”
Namun bebahu Kabuyutan yang sudah berada di rumah itu lebih dahulu berkata, “Aku sudah mengatakan serba sedikit tentang kemelut yang terjadi. Tetapi aku percaya kepada angger Mahisa Murti. Bahkan seperti kata Ki Bekel, angger Mahisa Murti telah melindungi para pengungsi yang ada di padukuhan ini. Baru saja para pengungsi diselamatkan dari perampokan. Namun mungkin lain kali dari kekuatan yang lebih besar dari sekedar perampokan.”
Kedua pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kerut di dahinya menunjukkan bahwa mereka tidak sependapat dengan bebahu itu.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun tidak memaksa. Sementara Ki Bekel merasa kecewa pula atas sikap kedua pengawal itu. Namun Mahisa Murti kemudian berkata, “Baiklah. Aku mengerti sikap hati-hati para pengawal anak Ki Buyut itu. Mereka belum mengenal kami, sehingga karena itu, maka mereka tidak langsung dapat mempercayai kami.”
Tetapi Ki Bekel menjawab, “Mungkin mereka tidak mengenal angger Mahisa Murti dan Kiai Wijang. Bahkan mungkin mereka belum pernah mendengar nama Padepokan Bajra Seta. Tetapi seharusnya mereka mengenal aku dan percaya kepadaku.”
Wajah kedua pengawal itu menjadi tegang. Tetapi keduanya tidak mengatakan sesuatu. Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun tidak terlalu lama berada di tempat itu. Sejenak kemudian maka keduanya telah minta diri dan kembali ke Padepokan Bajra Seta.
Kepada Ki Bekel, Mahisa Murti berkata, “Sikap kedua pengawal itu membayangkan, bahwa kekalutan di Kabuyutan Sendang Apit telah sampai ke puncaknya. Kedua pengawal itu selalu dibayangi oleh suasana yang dapat membahayakan anak Ki Buyut itu, sehingga mereka pun menjadi sangat berhati-hati.”
“Bukan sekedar sangat berhati-hati. Tetapi sudah berlebihan. Sebenarnya aku merasa tersinggung oleh sikapnya itu.” sahut Ki Bekel.
“Sudahlah Ki Bekel” berkata Mahisa Murti kemudian, “biarlah untuk sementara kita tidak mengganggu mereka.”
“Untunglah mereka berhadapan dengan angger. Jika tidak, maka tentu akan dapat menjadi salah paham. Bahkan tanpa angger, agaknya aku akan bersikap lain pula.”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Lain kali mudah-mudahan kita dapat berbicara lebih banyak dengan mereka.”
Kiai Wijang pun kemudian berdesis pula, “Kecemasan telah mencengkam setiap orang di Kabuyutan Sendang Apit. Bukan saja keluarga Ki Buyut, tetapi tentu juga semua penghuninya.”
“Tetapi pengawal-pengawal yang dungu itu tidak mau membantu memberikan gambaran tentang keadaan di Kabuyutannya.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun telah meninggalkan padukuhan Logandeng kembali ke Padepokan Bajra Seta. Sambil melangkah memasuki gerbang padepokan, Mahisa Murti berkata, “Jika kita tidak berhasil mendapat keterangan tentang Kabuyutan itu di sini Kiai, maka kita lanjutkan saja rencana kita untuk melihat langsung keadaan kedua Kabuyutan itu.”
Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang sebaiknya melihat sendiri keadaan Kabuyutan itu.”
Meskipun demikian, maka keduanya masih akan menunggu satu dua hari. Mungkin ada keterangan-keterangan baru yang dapat memberikan petunjuk arah bagi langkah-langkah yang dapat diambil oleh Padepokan Bajra Seta.
Namun di keesokan harinya, seorang utusan Ki Bekel memberitahukan, bahwa anak Ki Buyut dari Sendang Apit telah meninggalkan padukuhan Logandeng. Anak itu telah dibawa oleh para pengawalnya menemui Ki Buyut Talang Alun dan atas persetujuan Ki Buyut Talang Alun, anak itu kini berada di rumah Ki Buyut.
“Terima kasih atas pemberitahuan ini” berkata Mahisa Murti, “pada suatu saat kami akan menghadap Ki Buyut Talang Alun.”
Namun dengan demikian, Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah mengambil kesimpulan, bahwa anak Ki Buyut itu benar-benar telah terancam. Sehingga kedua pengawalnya menjadi sangat berhati-hati...