PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 119
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 05: Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 119
Karya Singgih Hadi Mintardja
DI SORE hari Mahisa Murti dan Kiai Wijang dengan mengajak Mahisa Semu yang mulai diperkenalkan dengan persoalan-persoalan yang lebih luas telah langsung menemui Ki Bekel itu sendiri. Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh ukurannya, bahwa anak Ki Buyut Sendang Apit telah berada di rumah Ki Buyut Talang Alun.
“Bahkan kedua pengawal itu berpesan dengan lebih bersungguh-sungguh bahwa hal ini jangan sampai diketahui oleh siapapun.” berkata Ki Bekel selanjutnya.
“Tetapi Ki Bekel memberitahukan kepada kami” desis Mahisa Murti sambil tersenyum.
“Kami hanya memberitahukan kepada orang-orang yang sangat kami percaya. Orang yang aku perintahkan menemui angger itu pun orang yang sangat aku percaya” jawab Ki Bekel.
“Jika demikian, Ki Bekel” berkata Mahisa Murti, “keadaan memang menjadi sangat gawat. Biarlah nanti malam Putut Lembana dan Mahisa Semu berada di banjar. Kami akan menempatkan empat orang cantrik pilihan. Sementara kami akan mengirimkan dua orang Putut yang lain ke rumah Ki Buyut Talang Alun. Tetapi mereka tidak akan bertemu langsung dengan Ki Buyut. Mereka mengenal baik anak-anak muda di Kabuyutan, sehingga biar saja mereka langsung berbaur dengan mereka.”
“Terima kasih, ngger. Aku telah mengerti maksud angger. Agaknya angger mencemaskan kemungkinan ada orang-orang yang langsung memburu anak Ki Buyut Sendang Apit itu sampai kemari.”
“Ya, Ki Bekel.” jawab Mahisa Murti, sementara Kiai Wijang telah menyambungnya “Kami dapat membaca naluri kedua pengawal yang tajam itu, sehingga mereka merasa perlu memindahkan momongannya.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bergumam “Jika demikian, maka kami harus bersiap-siap sepenuhnya.”
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti pun menjawab “Ya. Padukuhan ini harus benar-benar bersiap. Yang akan dihadapi mungkin bukan sekedar perampok betapapun kuatnya. Tetapi mungkin satu kelompok khusus yang dikirim untuk memburu anak ki Buyut Sendang Apit itu.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun mohon diri. Sementara itu, Ki Bekel pun langsung memerintahkan anak-anak muda padukuhan itu bersiap-siap. Bahkan bukan hanya anak-anak muda, tetapi semua laki-laki yang berani dan masih memiliki tenaga dan kemampuan untuk ikut mengamankan padukuhan mereka dari pihak manapun juga.
Ki Bekel sendiri tidak hanya sekedar memberi perintah. Tetapi ia sudah berniat untuk memimpin langsung kekuatan padukuhan itu jika terjadi sesuatu. Dengan demikian, maka setiap bebahu pun telah ikut bersiap-siap pula menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Menjelang senja, maka seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka Putut Lembana dan Mahisa Semu telah berada di padukuhan itu berserta empat orang cantrik pilihan. Pada waktu yang sama, dua orang Putut yang lain serta empat orang cantrik pula telah berada di padukuhan induk Kabuyutan Talang Alun. Kehadiran anak Ki Buyut Sendang Apit agaknya telah membuat padukuhan induk Kabuyutan Talang Alun juga bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan atas permintaan kedua orang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu.
Berbeda dengan kehadiran Putut Lembana dan Mahisa Semu di Logandeng yang langsung berhubungan dengan Ki Bekel, maka Putut Manyar dan Putut Parama serta para cantrik yang datang bersamanya, justru langsung berada di banjar bersama anak-anak muda yang sudah mereka kenal dengan baik.
Namun ternyata tidak seorang pun diantara anak-anak muda yang mengetahui, bahwa anak Ki Buyut Sendang Apit ada di padukuhan induk itu. Tidak seorang pun yang menyebutnya. Bahkan seorang bebahu yang ada diantara mereka pun tidak menyinggung bahwa diantara para pengungsi itu terdapat anak Ki Buyut Sendang Apit. Namun justru karena itu, maka kedua Putut dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta juga tidak menyebut sama sekali tentang pengungsi yang khusus itu.
Ketika malam turun, maka baik di padukuhan induk, maupun di padukuhan Logandeng, gardu-gardu pun telah berisi. Demikian pula banjar padukuhan. Ki Bekel dan para bebahu juga sudah berada di banjar pula. Ki Bekel yang duduk di pendapa banjar bersama Putut Lembana dan Mahisa Semu serta para bebahu telah membicarakan banyak kemungkinan yang dapat terjadi di padukuhan itu.
Dalam pada itu, maka Putut Lembana pun berkata “Ki Bekel. Keadaan ini mungkin akan berlangsung untuk waktu yang agak panjang. Ki Bekel harus berusaha untuk selanjutnya, mengatur tugas-tugas anak-anak muda. Karena tugas-tugas mereka memerlukan waktu, maka sebaiknya semua tenaga jangan dihentakkan habis-habisan. Jika malam ini semua anak muda dan laki-laki keluar dari rumah, dapat dimengerti, justru pada hari yang pertama. Namun mulai besok, sebaiknya Ki Bekel mulai menghemat tenaga. Anak-anak muda dan laki-laki di padukuhan ini dapat diatur bergantian. Dengan demikian maka tenaga mereka tidak terhambur sia-sia.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya “Aku sependapat ngger. Tetapi hari ini aku tidak sempat melakukannya. Tetapi malam nanti, menjelang dini, aku akan memanggil para bebahu untuk mengatur kegiatan di malam-malam berikutnya.”
Tetapi pembicaraan mereka terputus ketika dua orang anak muda naik ke pendapa banjar dengan tergesa-gesa.
“Ada apa?” bertanya Ki Bekel.
“Ki Bekel” jawab salah seorang dari anak muda itu “aku melihat sekelompok orang yang tidak dikenal mendekati padukuhan ini.”
“Mungkin mereka sekelompok pengungsi yang baru datang” desis Ki Bekel.
“Tidak. Mereka semuanya laki-laki bersenjata.”
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, ”aku akan ke pintu gerbang padukuhan.”
“Mereka sudah semakin dekat. Kami yang berada di bulak berlari lewat pematang dan tanggul parit mendahului mereka.” berkata salah seorang dari keduanya.
Ki Bekel pun dengan tergesa-gesa telah bersiap menuju ke regol padukuhan. Putut Lembana, Mahisa Semu dan para bebahu pun ikut pula bersamanya. Sementara anak-anak muda dan laki-laki yang ada di banjar diminta mempersiapkan diri.
“Hubungi gardu-gardu peronda. Kalian datang kepada mereka. Jangan bunyikan isyarat lebih dahulu sebelum semuanya jelas. Mungkin kita memang tidak perlu membunyikannya. Anak-anak muda yang ada di gardu di belakang regol akan dapat menjadi penghubung jika baik sekali.”
Demikianlah, maka Ki Bekel serta beberapa orang pun telah menuju ke regol padukuhan. Beberapa saat mereka menunggu. Sementara itu kepada beberapa orang anak muda yang ada di gardu di belakang regol, Ki Bekel minta mereka mengamati keadaan. Mungkin mereka memang tidak melewati regol padukuhan.
“Buat hubungan dari gardu ke gardu untuk mengamati seluruh jalan masuk ke padukuhan ini.” berkata Ki Bekel kepada anak-anak muda yang sedang meronda.
Anak-anak muda yang sedang meronda itupun sea-era menjalankan tugas sebagaimana diperintahkan oleh Ki Bekel. Mereka segera memencar untuk menghubungi gardu-gardu yang tersebar. Beranting perintah Ki Bekel itupun dalam waktu yang singkat telah sampai kepada para peronda di gardu-gardu terutama yang dekat dengan jalur jalan memasuki padukuhan itu.
Untuk beberapa saat Ki Bekel menunggu. Demikian pula anak-anak muda yang mengawasi setiap pintu regol. Namun mereka tidak melihat seorang pun. Bahkan para peronda itu tidak saja mengawasi jalan-jalan masuk, tetapi juga dinding padukuhan yang seakan-akan setiap jengkal mendapat pengawasan yang sungguh-sungguh.
Putut Lembana yang berada di regol induk bersama Ki Bekel itu dengan kepekaan panggraitanya merasakan satu kejanggalan. Sekelompok orang itu tentu sudah berada di sekitar padukuhan itu. Mungkin mereka sengaja menunggu. Tetapi mungkin tidak.
Karena itu, seakan-akan demikian tiba-tiba ia berkata “Ki Bekel, aku akan pergi ke banjar. Aku ingin melihat rumah tempat anak Ki Buyut Sendang Apit itu kemarin tinggal, sebelum dipindahkan ke rumah Ki Buyut Talang Alun.”
“Untuk apa?” bertanya Ki Bekel.
“Aku akan melihatnya” jawab Putut Lembana. Lalu katanya kepada Mahisa Semu” Marilah. Kita lihat rumah itu.”
Dengan tergesa-gesa Putut Lembana dan Mahisa Semu telah pergi ke banjar. Namun sebelum mereka sampai, ternyata mereka telah melihat keributan yang terjadi. Demikian Putut Lembana sampai ke banjar, maka iapun segera bertanya “Apa yang terjadi?”
“Beberapa orang telah mendatangi rumah sebelah” jawab anak muda itu.
“Dimana para cantrik sekarang?” bertanya Mahisa Semu
“Mereka telah pergi ke rumah sebelah,” jawab anak muda itu. Lalu katanya pula “Kawan-kawan juga sudah pergi ke rumah sebelah.”
Putut Lembana dan Mahisa Semu pun segera berlari Putut Lembana itu sempat berdesis “Aku sudah mengira Mereka tentu bukan orang kebanyakan. Mereka mampu memasuki padukuhan ini tanpa diketahui oleh para peronda dan anak-anak muda yang bertugas.”
“Kenapa mereka mendatangi rumah itu?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka mengira bahwa anak Ki Buyut Sendang Apit masih berada ditempat itu.”
Mahisa Semu tidak sempat bertanya lagi. Mereka telah memasuki halaman rumah saudara Ki Bekel yang sebelumnya menjadi tempat tinggal anak Ki Buyut Sendang Apit yang telah mengungsi dari Kabuyutannya yang sedang kalut.
Pertempuran memang telah terjadi di halaman rumah itu Para cantrik telah terlibat pula didalamnya selain beberapa orang anak muda. Bebahu Sendang Apit yang mengungsi di rumah itupun telah ikut bertempur pula bersama anak-anak muda Logandeng.
Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang yang datang menyerang itu memiliki beberapa kelebihan dari anak-anak muda Logandeng. Untunglah para cantrik sudah ada diantara mereka, sehingga meskipun hanya empat orang, namun para cantrik itu dapat memberikan kekuatan dan lebih dari itu, keempat cantrik yang bertempur dengan garangnya itu menjadi pendorong jiwani bagi keberanian anak-anak muda Logandeng sebagaimana saat mereka bertempur dengan sekelompok perampok yang dipimpin oleh Jaran Abang.
Kedatangan Putut Lembana dan Mahisa Semu ternyata telah membangkitkan keberanian yang semakin tinggi. Beberapa orang anak muda diluar sadarnya tiba-tiba saja sudah bersorak, sehingga sekelompok orang yang menyerang padukuhan Logandeng itu terkejut. Merekapun segera sadar, bahwa yang datang itu tentu orang-orang yang dianggap penting oleh anak-anak muda Logandeng itu.
Sebenarnyalah ketika Putut Lembana dan Mahisa Semu mulai turun ke gelanggang, maka orang-orang yang datang menyerang itu mengetahui dengan pasti, bahwa dua orang anak muda itu memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda yang lain.
Pemimpin sekelompok orang yang menyerang padukuhan itupun telah berusaha untuk dapat langsung menghadapi Putut Lembana. Sementara itu, Putut Lembana pun tidak menghindarinya.
“Kau tentu bukan bagian dari anak-anak muda Logandeng” geram lawannya itu.
“Kenapa? Aku adalah bagian dari mereka. Aku kemanakan Ki Bekel Logandeng” jawab Putut Lembana.
“Omong kosong” geram orang itu sambil menyerang.
Dengan tangkas Putut Lembana menghindari serangan itu. Bahkan iapun telah mulai menyerang pula dengan cepatnya.
Sementara itu, lawannya itu bertanya pula “Dimana kau sembunyikan anak itu he?”
“Anak yang mana?” jawab Putut Lembana.
“Jangan berpura-pura. Jika kami tidak menemukan anak itu, maka padukuhan ini akan kami hancurkan.” geram orang itu.
“Kau salah menilai kemampuan anak-anak muda Logandeng” jawab Putut Lembana” tetapi semuanya sudah terlanjur. Kau sudah terlanjur menginjak bumi Logandeng. Kau telah membasahi bumi kami dengan darah. Karena itu, maka kalian tidak akan dapat keluar lagi dari padukuhan ini. Kemungkinan terbaik bagi kalian hanyalah menyerahkan diri. Karena kami tidak terbiasa membunuh orang yang sudah menyerah.”
Orang itu benar-benar menjadi marah. Ia merasa terhina oleh kata-kata Putut Lembana. Karena itu, maka iapun kemudian menyerang dengan garangnya.
Tetapi Putut Lembana dengan tangkasnya menghindari serangan itu dengan loncatan panjang. Lawannya mengira bahwa Putut Lembana itu terdesak. Tetapi Putut Lembana justru tertawa sambil berkata “Apakah kau benar-benar orang Pudaklamatan? Atau kau datang dari Padepokan Kencana Pura yang lebih dikenal dengan Padepokan Renapati?”
“Setan kau. Darimana kau dapat menyebut semuanya”
Putut Lembana meloncat menghindari serangan lawannya. Namun ia sempat bertanya pula “Siapa namamu he? Kau kira aku tidak dapat melihat bahwa ada beberapa orang diantara kalian yang memiliki unsur gerak yang senafas. Tentu kemampuan itu kajian terima dari sebuah perguruan”
“Tutup mulutmu. Aku akan membunuhmu” geram orang itu.
Putut Lembana tidak bertanya lagi. Pertempuran diantara keduanya menjadi semakin sengit. Tetapi justru Putut Lembana mengenali kesamaan unsur gerak dari beberapa orang kawannya, maka seakan-akan tanpa menyadarinya, iapun mulai memperhatikan beberapa orang yang mengaku anak-anak muda Padukuhan Logandeng. Pada setiap kesempatan ia mencoba mengenali unsur gerak anak-anak muda yang bertempur di halaman. Ternyata orang itupun mampu mengenali kesamaan antara beberapa orang yang ternyata adalah para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Hampir diluar sadarnya pula orang itu berteriak “He, siapa sebenarnya kau dan beberapa orang yang ada disini, he? Jika kau dapat menyebut aku dari sebuah perguruan, bukankah kau dan beberapa orang kawanmu juga datang dari sebuah perguruan?”
“Ya” jawab Putut Lembana “seorang yang berilmu telah datang hampir setiap pekan dua kali untuk melatih kami, anak-anak muda Logandeng dalam olah kanuragan. Memang tidak semua, tetapi sebagian dari kami.”
Orang itu menggeram marah. Dengan serta merta ia meningkatkan kemampuannya menyerang Putut Lembana bagaikan arus banjir bandang. Tetapi Putut Lembana ternyata cukup tangkas. Serangan-serangan lawannya dapat dihindarinya. Bahkan sekali-sekali iapun telah membalas menyerang pula. Bahkan serangan-serangan Putut Lembana cukup mengejutkan lawannya.
Sementara itu, Mahisa Semu pun bertempur dengan sengitnya pula. Ia menghadapi seorang yang bertubuh sedang. Namun wajahnya nampak garang. Seleret bekas luka terdapat dikeningnya, Kepalanya yang botak membuat kesan tersendiri. Namun Mahisa Semu dengan tangkasnya melawan orang berkepala botak itu. Dengan cepat ia berloncatan menghindari serangan-serangan yang keras. Namun tiba-tiba saja Mahisa Semu lah yang meloncat menyerang.
Lawannya memang memiliki pengalaman yang lebih luas. Tetapi bahwa Mahisa Semu yang telah ditempa di Padepokan Bajra Seta, telah membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung. Mahisa Semu yang bagi lawannya masih terlalu muda itu, ternyata sulit untuk dapat dikuasainya.
Mahisa Semu yang telah mendalami latihan-latihan untuk membangunkan tenaga dalamnya itu, benar-benar telah mengejutkan lawannya ketika sekali-sekali terjadi benturan. Anak yang masih sangat muda itu ternyata telah memiliki kekuatan yang sangat besar, serta kemampuan ilmu yang mendebarkan.
Bahkan ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit. Mahisa Semu justru mulai berhasil menyusupkan serangan-serangannya disela-sela pertahanan lawannya. Lawannya yang berkepala botak itu terkejut ketika kaki Mahisa Semu ternyata mampu menggapai lambungnya sehingga orang berkepala botak itu terdorong selangkah surut. Orang itu menyeringai kesakitan. Namun mulutnya telah mengumpat kasar. Mahisa Semu yang melihat lawannya mengambil jarak, justru tidak memburunya. Ia berusaha menahan diri untuk melihat akibat dari serangannya.
“Anak iblis” geram orang berkepala botak itu “kau benar-benar tidak tahu diri. Kau kira bahwa seranganmu itu benar-benar dapat mengenai tubuhku. Jika sekali kau berhasil itu karena aku ingin mencoba, seberapa jauh kekuatan serta ketrampilanmu.”
“Apakah kau sudah dapat menilai hasilnya?” bertanya Mahisa Semu.
“Gila kau. Aku koyakkan mulutmu” geram orang itu. Mahisa Semu memang tidak berbicara lebih banyak lagi.
Namun serangan-serangannya yang kemudian datang seperti badai yang menghantam dan mengguncang pepohonan. Orang berkepala botak itu harus melihat kenyataan. Anak yang masih sangat muda itu ternyata benar-benar telah menggetarkan jantungnya. Beberapa kali orang berkepala botak itu harus berloncatan mundur.
Orang berkepala botak itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sementara itu anak-anak muda menjadi semakin banyak berdatangan. Bahkan kemudian Ki Bekel dan beberapa bebahu yang mendapat laporan segera datang pula. Karena itulah, maka orang-orang yang datang menyerang itu harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang datang itu cukup licik. Dua orang diantara mereka telah menyelinap masuk melalui pintu butulan. Karena pintu itu diselarak dari dalam, maka pintu itu telah dirusak dan dipecahkan dari luar. Dua orang itu sempat menerobos masuk ke dalam dan mencari anak Ki Buyut Sendang Apit yang mereka cari.
Kedua orang itu telah menggemparkan orang-orang yang ada didalam rumah itu. Beberapa orang perempuan telah berteriak. Sementara semua laki-laki telah keluar ikut bertempur di halaman rumah itu. Termasuk bebahu yang mengungsi ke tempat itu serta adik Ki Bekel itu sendiri. Tetapi kedua orang itu tidak menemukan yang mereka cari. Didalam rumah itu tidak ada seorang anak laki-laki remaja. Juga pengawal-pengawalnya tidak kelihatan berada di rumah itu.
Sementara itu jerit perempuan didalam rumah itu telah mengundang perhatian anak-anak muda yang ada didalam halaman. Karena itu, maka beberapa orang diantara mereka telah meloncat berlari ke pintu pringgitan.
Seorang cantrik yang melihat mereka pun telah menyusul pula sambil berkata “Tunggu”
“Aku dengar jerit didalam rumah.” berkata seorang anak muda.
Cantrik itu tidak menjawab. Tetapi dengan pedang di tangan ia berdiri di depan pintu pringgitan yang terbuka sedikit.
“Kenapa kau justru berhenti di situ?” bertanya seorang anak muda.
Cantrik itu masih tidak menjawab. Namun perlahan-lahan ia berkisar. Dengan hati-hati ia memperhatikan keadaan di ruang dalam. Beberapa orang perempuan berdiri ketakutan. Namun cantrik itu sempat membaca arah pandangan mata perempuan-perempuan itu lewat pintu yang sedikit terbuka itu. Karena itu, maka dengan serta merta cantrik itu telah menendang pintu yang sedikit terbuka itu. Sekaligus meloncat dengan pedang terjulur.
Seperti yang diperhitungkan, maka seorang diantara kedua orang yang ada didalam rumah itu telah mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher cantrik itu. Tetapi cantrik itu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, dengan tangkasnya ia merendah dan sekaligus meloncat menjauhi pintu. Sementara itu ujung tombak dari seorang yang satu lagi telah terjulur pula. Tetapi sekali lagi cantrik itu meloncat menjauh.
Pada saat itu, dua orang anak muda telah menerobos masuk pula, sementara cantrik itu berteriak “Hati-hati.”
Tetapi seorang diantara kedua orang yang telah berada didalam, yang siap menyerang anak-anak muda itu justru harus meloncat menghindari serangan cantrik yang sudah lebih dahulu masuk. Sedangkan kedua orang anak muda yang menyusul kemudian itupun segera bersiap menghadapi orang yang satu lagi.
Ketika dua orang anak muda yang lain masuk pula kedalam, maka cantrik itupun berkata “jaga perempuan dan anak-anak itu.”
Namun nampaknya kedua orang yang menyelinap masuk itu tidak ingin bertempur di ruang dalam yang sempit. Tetapi mereka juga tidak mau keluar lewat pintu depan, karena dengan demikian maka mereka akan sampai di pringgitan. Karena itu, maka terdengar isyarat dari salah seorang diantara mereka. Sebuah suitan nyaring telah menggetarkan seisi rumah itu. Bahkan getarannya terdengar sampai ke halaman.
Kedua orang yang sudah ada didalam itupun dengan serta merta telah meloncat meninggalkan ruang dalam menembus pintu samping masuk ke serambi dan berlari keluar pintu butulan. Pintu yang telah mereka pecahkan ketika mereka memasuki bagian dalam rumah itu dengan tidak melalui pintu depan.
Ternyata isyarat itu bukan sekedar isyarat untuk berlari keluar dari ruang dalam. Tetapi juga isyarat, yang memberitahukan bahwa didalam rumah itu tidak terdapat orang yang mereka cari. Didalam rumah itu tidak diketemukan anak Ki Buyut Sendang Apit. Tidak pula para pengawalnya. Isyarat itu terdengar sahut menyahut. Yang seorang memberikan isyarat yang didengar oleh yang lain. Yang lain pun telah memperdengarkan isyarat pula.
Namun dalam pada itu, Putut Lembana yang bertempur dengan pemimpin kelompok dari orang-orang yang menyerang itu mendengar pula isyarat itu. Karena itu, maka serangan-serangan justru menjadi semakin sengit. Ia sama sekali tidak berniat untuk memberi kesempatan orang itu melarikan diri dari arena.
Pertempuran itu memang menjadi semakin sengit. Orang-orang yang datang menyerang itu merasa telah terjebak dalam satu pertempuran yang rapat, sehingga sulit bagi mereka untuk melarikan diri dari arena. Satu dua orang diantara mereka memang telah menjadi korban dalam pertempuran itu.
Sementara itu, cantrik yang bertempur didalam rumah, serta anak-anak muda yang bersamanya, ternyata mengalami kesulitan untuk mengejar kedua orang yang melarikan diri itu. Keduanya dengan cepat berpencar dan masuk kedalam gelap. Cantrik dan anak-anak muda yang mengejarnya ternyata telah kehilangan jejak. Ketika mereka menyusul buruan mereka meloncati dinding halaman, maka orang yang mereka kejar itu telah hilang.
Cantrik itupun bersama dengan anak-anak muda yang ikut mengejar buruan mereka akhirnya harus kembali ke halaman, menyatukan diri dengan kawan-kawan mereka yang telah mengepung halaman itu. Tetapi beberapa orang diantara mereka ternyata tidak menunggu lebih lama lagi, Ketika mereka mendengar isyarat itu, maka mereka pun dengan serta merta telah berusaha untuk mencari jalan keluar dari halaman rumah itu.
Pemimpin kelompok mereka ternyata tidak mampu berbuat sesuatu. Demikian pula orang yang sedang bertempur melawan Mahisa Semu. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk meninggalkan arena. Putut Lembana dan Mahisa Semu tanggap akan isyarat yang terdengar, sehingga justru karena itu, maka mereka menjadi seakan-akan semakin lekat dengan lawan-lawan mereka. Tetapi beberapa orang memang sempat melarikan diri, sedang yang lain lagi harus menyerah karena mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Namun lawan Putut Lembana itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang telah terjadi. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia berusaha untuk menguasai Putut Lembana. Namun ternyata usahanya sia-sia. Putut Lembana yang sudah ditempa di Padepokan Bajra Seta itu ternyata mampu mengimbanginya, bahkan kemudian semakin jelas, bahwa Putut Lembana memiliki kelebihan dari lawannya.
Sedangkan yang bertempur melawan Mahisa Semu menjadi seperti orang yang sedang mabuk. Lawannya yang masih muda itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengambil jarak. Setiap kali lawannya meloncat surut, maka dengan cepat Mahisa Semu telah memburunya. Bahkan kemudian sekali-sekali serangan Mahisa Semu yang masih terlalu muda itu justru mulai menyusup menembus pertahanan lawannya.
Lawannya yang semula menganggap bahwa Mahisa Semu tidak lebih dari seorang anak kecil, menjadi gugup ketika keningnya ternyata mulai tersentuh tangan Mahisa Semu terayun menebas dengan kerasnya, sementara orang itu menghindari dengan menundukkan kepalanya, Mahisa Semu telah memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Demikian orang itu menunduk, maka dengan pukulan yang keras, Mahisa Semu menyerang kepala yang botak itu dengan sisi telapak tangannya pula.
Orang itu mengaduh tertahan. Namun kepalanya yang tunduk itu menjadi semakin menunduk. Hampir bersamaan dengan itu, maka Mahisa Semu telah mengangkat lututnya, sehingga lutut itu telah membentur hidung orang yang berkepala botak itu. Sekali lagi orang itu mengaduh. Wajahnya pun segera terangkat. Namun Mahisa Semu yang belum berpengalaman itu, justru menghentikan serangannya ketika ia melihat darah di hidung lawannya yang telah membentur lututnya.
Kesempatan itu dipergunakan oleh lawannya untuk meloncat mengambil jarak. Ketika Mahisa Semu meloncat memburunya, langkahnya tertegun. Lawannya itu mengacukan parangnya sambil berkata “Semula aku segan mempergunakan senjata, karena aku mengira bahwa lawanku tidak lebih dari anak-anak yang baru lepas menyusu. Ternyata lawanku tidak kurang dari anak serigala yang liar dan buas”
Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah menarik luwuknya yang memiliki nilai tersendiri bagi anak muda itu.
“Bagus” berkata lawannya yang hidungnya berdarah “Apa boleh buat. Kau akan mati karena senjataku. Meskipun aku tidak berhasil memutar lehermu sampai patah dan terpaksa mempergunakan senjata, namun kematianmu akan memberikan kesadaran kepada kawan-kawanmu bahwa anak-anak muda padukuhan Logandeng tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari anak-anak muda yang lain.”
Mahisa Semu sama sekali tidak menjawab. Tetapi dengan loncatan panjang anak itu mulai menyerang. Pertempuran berikutnya merupakan pertempuran yang sengit. Kedua senjata itu berputaran dengan cepat. Sekali-sekali senjata itu beradu. Namun ternyata bahwa tenaga Mahisa Semu semakin lama justru menjadi semakin mapan. Sementara tenaga lawannya menjadi semakin menyusut.
Tetapi lawan Mahisa Semu memang memiliki pengalaman yang lebih banyak. Karena itu, maka dengan pengalamannya yang panjang itu, orang berkepala botak itu sekali dua kali mampu menipu Mahisa Semu dengan gerakan-gerakan yang cepat dan mengejutkan. Mahisa Semu terkejut ketika perasaan pedih menyengat lambungnya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Semu lah yang meloncat mengambil jarak.
Terasa bahwa cairan yang hangat mengalir dari lambungnya itu. Ujung senjata lawannya telah menyentuh kulitnya, sehingga seleret luka telah menganga. Kemarahan anak muda itu telah membakar jantungnya. Karena itu, maka ia tidak lagi mengekang diri. Lawannya ternyata telah melukainya. Dengan garangnya Mahisa Semu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Justru sebelum tenaganya menjadi jauh susut, jika darahnya tidak segera menjadi pampat. Karena itulah, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan bertahan.
Tetapi Mahisa Semu yang telah ditempa dengan sungguh-sungguh itu ternyata mempunyai peluang yang lebih banyak. Meskipun ia telah terluka, namun serangan-serangannya justru menjadi semakin berbahaya. Lukanya merupakan cambuk baginya untuk menyelesaikan lawannya.
Lawannya benar-benar mengalami kesulitan. Serangan-serangan Mahisa Semu benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Meskipun lambungnya telah tergores ujung senjata, tetapi tenaga dan kemampuannya sama sekali tidak menyusut. Itulah sebabnya, maka lawannya benar-benar menjadi cemas. Beberapa kali luwuk Mahisa Semu berdesing ditelinganya. Bahkan semakin lama rasa-rasanya ujung senjata Mahisa Semu itu semakin dekat di wajah kulitnya.
Lawan Mahisa Semu yang berkepala botak itu benar-benar mengalami kesulitan. Rasa-rasanya ia sudah tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk dapat menyentuh kulit anak muda itu dengan senjatanya. Bahkan orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja ujung luwuk Mahisa Semu itu sempat menggapai pundaknya.
Orang itu meloncat jauh kebelakang. Memang ada niatnya untuk melarikan diri. Tetapi rasa-rasanya sulit baginya untuk mendapatkan kesempatan karena Mahisa Semu selalu melekat dengan senjata berputaran. Jika ia mencoba untuk melarikan diri, maka punggungnya akan dapat dilubangi dengan luwuk oleh anak itu. Namun untuk bertempur terus rasa-rasanya memang sia-sia saja.
Sementara itu, lawan Putut Lembana mengalami kesulitan pula. Pemimpin kelompok itu benar-benar tidak akan mampu mengalahkan Putut Lembana. Tetapi justru karena ia diserahi untuk bertanggung jawab atas tugas kelompoknya, maka rasa-rasanya ia tidak akan dapat begitu saja meninggalkan arena itu. Kegagalan itu akan dapat menghancurkan namanya. Ia akan menjadi tidak berharga lagi bagi pemimpinnya dan bahkan perguruannya, justru pada saat ia mulai merayap untuk menggapai satu kedudukan yang terhormat.
Karena itu, maka orang itu harus membuat satu pilihan diantara beberapa kemungkinan. Melarikan diri tanpa menghiraukan kawannya yang masih bertempur. Tetapi kemudian namanya akan dicampakkan di lubang sampah dan bahkan mungkin akan ditimbun dengan sampah pula atau bahkan akan dibakar sama sekali. Atau ia harus memilih untuk mati di pertempuran itu.
Meskipun ia tidak begitu jelas untuk apa sebenarnya ia mati. Sedangkan kemungkinan yang lain adalah menyerah saja. Namanya tentu juga akan terlempar dari deretan nama-nama laki-laki jantan di perguruannya. Tetapi ia tidak akan mengalami siksaan penghinaan diantara saudara-saudara seperguruannya. Karena itu, maka orang itu telah memilih kemungkinan yang terakhir.
Ketika ia semakin terdesak dan mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari putaran serangan Putut Lembana, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Ketika punggungnya sudah melekat dinding halaman, maka orang itu benar-benar telah berputus asa. Ia tidak akan sempat meloncat keatas dinding, karena justru jika ia melakukannya, maka lawannya akan dapat menyerangnya dan bahkan menghancurkan tulang punggungnya.
Karena itu, maka pemimpin kelompok orang-orang yang menyerang padukuhan itupun berteriak sambil mengacukan tangannya ke depan, seakan-akan ingin menahan agar lawannya tidak bergeser lebih dekat lagi “Aku menyerah. Aku menyerah.”
Putut Lembana menahan dirinya. Sebenarnya ia sudah siap meloncat menyerang lawannya yang sudah tidak mempunyai banyak kesempatan itu. Ia berharap dengan demikian, maka pertempuran itu akan segera berakhir. Tetapi ternyata lawannya telah menyatakan untuk menyerahkan diri.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Semu terlambat untuk melemparkan senjatanya dan menyatakan diri menyerah. Sesaat sebelum pemimpin kelompoknya itu menyerah, Mahisa Semu telah meloncat dengan garangnya. Senjata terjulur lurus mengarah ke dada lawannya. Namun dengan sekuat tenaganya berusaha menangkis serangan itu dengan menebas senjata Mahisa Semu ke samping. Tetapi Mahisa Semu mengurungkan serangannya. Senjata itu tiba-tiba menggeliat. Luwuk Mahisa Semu tidak menusuk ke arah jantung, tetapi kemudian terayun mendatar.
Lawannya terkejut. Tetapi ia masih sempat menghindar. Tetapi serangan berikutnya, senjata itu telah mematuk lurus kembali. Lawannya yang berkepala botak itu hanya sempat memiringkan tubuhnya. Karena itu, maka ia tidak mampu melepaskan diri sepenuhnya dari garis serangan lawannya yang masih sangat muda itu. Terdengar orang itu mengaduh ketika luwuk Mahisa Semu itu menembus sela-sela tulang iganya.
Mahisa Semu justru terkejut ketika ia merasa bahwa tusukannya itu mengenai tubuh lawannya. Dengan serta merta ia menarik luwuknya, bahkan seakan-akan diluar kehendaknya sendiri. Namun dengan demikian, maka darah seakan-akan telah memancar dari luka itu. Beberapa saat orang itu terhuyung-huyung. Namun kemudian orang berkepala botak itupun telah jatuh terjerembab.
Dua orang kawannya yang telah menyerah lebih dahulu tiba-tiba bangkit berdiri. Tetapi beberapa ujung senjata dengan cepat telah teracu dan bahkan ada yang melekat di tubuh mereka. Namun seorang cantrik yang ada diantara mereka berkata “Biarlah mereka melihat keadaan kawannya.”
Anak-anak muda yang hampir saja menekan ujung-ujung senjata mereka pada kulit orang itu, telah bergeser surut. Sementara cantrik itu berkata “Lihat keadaan kawanmu itu.”
Kedua orang itupun segera menghampiri kawannya yang terbaring sambil menyeringai menahan sakit. Darah masih saja dengan derasnya mengalir dari lukanya yang parah. Cantrik itupun kemudian mendekati pula. Katanya, “Tahan dengan kain agar darah itu tidak terlalu banyak keluar.” Kemudian katanya kepada seorang anak muda “Tolong, cari air.”
Sementara menunggu, anak muda yang mencari air, Putut Lembana yang telah memaksa lawannya untuk menyerah itupun kemudian memanggil salah seorang cantrik dan menyerahkan lawannya itu dalam pengawasannya, sedang Putut Lembana sendiri telah mendekati orang yang terluka parah itu pula.
Ketika anak muda yang mencari air itu datang dengan membawa air di tempayan maka cantrik itupun berusaha untuk mengurangi arus darah itu dengan menaburkan obat pada luka itu. Namun kemudian juga melarutkan obat yang lain kedalam air dan dituangkannya perlahan-lahan kedalam mulut orang yang berkepala botak itu.
“Nampaknya sebagaimana orang yang bertempur melawanku, orang ini termasuk orang penting diantara mereka yang menyerang padukuhan ini” desis Putut Lembana di telinga cantrik itu “karena itu, usahakan agar ia dapat bertahan. Mungkin ia akan dapat memberikan keterangan atau setidak-tidaknya melengkapi keterangan kawannya yang menyerah itu.”
Demikianlah, maka pertempuran di rumah saudara Ki Bekel itu sudah selesai. Beberapa orang menyerah, yang lain luka-luka. Bahkan mereka terpaksa menyerahkan dua orang korban yang tidak dapat diselamatkan. Sementara ada pula diantara mereka yang sempat melarikan diri.
Namun ada pula diantara anak-anak muda Logandeng yang menjadi korban. Tetapi dengan jumlah yang lebih banyak, serta hadirnya Putut Lembana dan para cantrik, nampaknya telah mampu memperkecil korban. Meskipun demikian ada enam orang anak muda yang terluka. Dua diantaranya cukup berat. Sementara itu lebih dari lima orang yang lain telah tergores senjata pula. Meskipun mereka hanya terluka ringan, tetapi mereka tetap memerlukan pengobatan yang baik.
Atas ijin Ki Bekel, maka pemimpin kelompok yang bertempur melawan Putut Lembana itu akan menjadi sumber keterangan tentang keadaan di seberang hutan. Karena itu, maka orang itupun akan ditempatkan terpisah dari kawan-kawannya. Bahkan Ki Bekel itupun berkata “Biar orang itu berada di rumahku.”
Ternyata Putut Lembana tidak membuang banyak waktu. Segala sesuatunya diserahkannya kepada para cantrik, sementara Putut Lembana telah mengajak Mahisa Semu untuk pergi ke rumah Ki Bekel.
“Kita tidak perlu menunggu sampai esok pagi” berkata Putut Lembana sambil mengobati luka Mahisa Semu “malam ini kita minta untuk dapat langsung berbicara dengan orang itu.”
“Apakah Ki Bekel mengijinkan?” bertanya Mahisa Semu.
“Ki Bekel tidak berkeberatan” jawab Putut Lembana “aku sudah menghubunginya.”
Demikianlah, seperti yang dikatakan, Putut Lembana dan Mahisa Semu pun telah berada di rumah Ki Bekel. Tawanan itupun telah dibawa ke rumah itu pula dengan pengawalan yang kuat. Seorang cantrik dan lima orang anak muda telah menjaga orang yang dianggap sangat berbahaya itu.
Di rumah Ki Bekel, orang itu telah ditempatkan di sebuah bilik di gandok kanan. Di serambi duduk mereka yang mengawal orang itu serta dua orang bebahu yang datang pula ke rumah itu. Sementara beberapa orang anak muda yang lain yang mengawal rumah dan keluarga Ki Bekel masih tetap berada di pendapa.
Putut Lembana, Mahisa Semu dan Ki Bekel kemudian juga berada didalam bilik tempat pemimpin kelompok yang datang menyerang padukuhan Logandeng itu ditahan.
“Ki Sanak” berkata Putut Lembana “sebenarnyalah bahwa kami ingin mengetahui, apa yang telah terjadi di seberang hutan itu, sehingga banyak sekali orang yang harus pergi mengungsi. Di padukuhan ini saja terdapat beberapa keluarga sehingga mau tidak mau akan berpengaruh pada tatanan kehidupan dan kesejahteraan orang-orang Logandeng sendiri. Apalagi jika hal seperti ini akan berlangsung lama.”
“Aku letih sekali” berkata orang itu “aku minta waktu untuk beristirahat. Yang letih bukan saja tubuhku, tetapi juga penalaranku dan bahkan juga ingatanku.”
“Aku juga letih Ki Sanak” jawab Putut Lembana. Lalu ia bertanya “Bukankah kita baru saja bertempur? Apa yang kau lakukan, juga aku lakukan.”
“Tidak” jawab orang itu “aku sudah berjalan melintasi hutan yang lebat itu.”
“Aku yakin kau tidak letih. Kau seorang yang berilmu tinggi, sehingga kau pun tentu pernah ditempa sehingga kau tentu mempunyai daya tahan yang sangat kuat."
“Tidak. Aku tidak mempunyai daya tahan yang kuat. Sekarang aku ingin beristirahat.” jawab orang itu.
“Kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku Ki Sanak” berkata Putut Lembana.
“Aku tidak mau.” jawab orang itu.
Namun tiba-tiba saja Putut Lembana yang muda itu dengan tangkasnya menangkap pergelangan tangan orang itu dan memilihnya. ”Aku ingin menantangmu untuk berperang tanding. Jika kau menolak berbicara dan menolak berperang tanding, maka aku akan membunuhmu dengan caraku. Kau memang sangat pantas untuk diperlakukan seperti itu.”
Orang itu menyeringai menahan sakit. Tetapi Putut Lembana justru semakin menekan tangan itu. “Jangan, sakit” desis orang itu.
“Aku minta kau berbicara malam ini. Jika kau mengaku merasa letih, maka aku akan membuatmu semakin letih dan tidak berdaya.” geram Putut Lembana.
Pemimpin kelompok itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Anak muda itu memiliki kelebihan daripadanya. Sementara anak yang masih lebih muda lagi itu telah mampu mengalahkan kawannya yang berkepala botak itu. Bahkan melukainya cukup parah.
“Perbuatanmu telah menimbulkan korban di padukuhan ini. Karena itu, maka kemarahan orang-orang padukuhan ini telah menjalar sampai ke setiap ubun-ubun. Kau tentu tahu maksudku. Justru karena kau adalah orang yang bertanggung jawab.”
Wajah orang itu menjadi pucat. Ia memang menyadari bahwa kedudukannya menjadi sangat lemah. Apapun yang diperlakukan atas dirinya, tentu dapat dianggap sah oleh orang-orang Logandeng. Bahkan dihadapan Ki Bekel sekalipun. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus berbicara jika ia tidak ingin nasibnya menjadi sangat buruk.
Sementara itu, Putut Lembana pun bertanya “Bagaimana Ki Sanak? Apakah kau tetap pada pendirianmu.”
“Lepaskan. Aku akan berbicara” desis orang itu.
Putut Lembana telah melepaskan tangan orang itu. Sambil beringsut sedikit iapun kemudian berkata “Aku kira kau cukup bijaksana menilai keadaan. Kau berada di rumah Ki Bekel Logandeng, sehingga kau tidak mempunyai kesempatan lain kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan benar.”
Orang itu mengangguk kecil.
“Nah, beritahukan kepada kami, apakah kalian orang-orang padepokan Renapati?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil menjawab. “Ya. Aku orang dari Padepokan Renapati. Beberapa orang yang datang bersamaku memang para cantrik dari Padepokan Renapati.”
“Katakan, apa sebabnya, bahwa Ki Buyut Pudaklamatan berniat mengambil alih kepemimpinan Kabuyutan Sendang Apit, meskipun pemisahan itu sudah berjalan lama sekali. Kenapa pula baru sekarang dan begitu tiba-tiba?”
“Aku tidak tahu, Ki Sanak. Aku hanya menjalankan perintah untuk mengambil anak Ki Buyut Sendang Apit yang diketahui ada di padukuhan ini.”
“Anak Ki Buyut Sendang Apit memang pernah berada di padukuhan ini. Tetapi sekarang sudah tidak berada di sini lagi?”
“Dimana?” bertanya orang itu.
“Apakah aku harus memberitahukan kepadamu? Kemudian melepaskanmu pergi?” bertanya Putut Lembana.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya justru menunduk dalam-dalam. Dalam pada itu, Putut Lembana pun berkata “Nah, sekarang beritahukan kepada kami, kenapa tiba-tiba saja Ki Buyut Pudaklamatan menyerang Kabuyutan Sendang Apit?”
“Aku tidak tahu Ki Sanak. Aku hanya menjalankan perintah.” jawab orang itu.
“Tolong Ki Sanak. Jawab pertanyaan kami. Jika kau tidak mau menjawab, maka kau akan mengalami kesulitan.” berkata Putut Lembana.
Keringat dingin telah mengalir di seluruh tubuh pemimpin sekelompok orang yang menyerang padukuhan Logandeng itu.
Sementara Putut Lembana bertanya pula “Kenapa Ki Buyut Pudaklamatan tiba-tiba saja menyerang Kabuyutan Sendang Apit, justru setelah untuk waktu yang lama kedua Kabuyutan itu sempat hidup tenteram dan saling menghormati. Bahkan kedua orang Buyut yang masih sepupu itu dapat hidup rukun, tidak saja sebagai saudara sepupu, tetapi juga sebagai dua orang Buyut yang bertetangga.”
“Ya, Ki Sanak. Kami tahu bahwa kedua Kabuyutan itu pernah hidup rukun.” jawab orang itu “tetapi tiba-tiba saja terjadi gejolak itu. Kemudian, kami sekelompok orang diperintahkan untuk mengambil anak Ki Buyut Sendang Apit yang menurut keterangan ada di padukuhan ini.”
“Itu sudah kau katakan. Yang belum kau katakan, apakah sebabnya, kekalutan itu tiba-tiba saja terjadi.” potong Putut Lembana.
Ketika orang itu sempat memandang wajah Putut Lembana sekilas, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Wajah anak muda itu bagaikan menjadi bara. Orang itu mengetahui, bahwa batas kesabaran anak muda itu sudah sampai ke puncaknya. Karena itu, maka ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi jika ia tidak ingin tulang-tulangnya dipatahkan, bahkan barangkali juga lehernya. Karena itu, ketika sekali lagi anak muda itu bertanya, bahkan dengan membentaknya, maka orang itu tidak dapat ingkar lagi.
“Aku tidak akan mengulangi lagi pertanyaanku” geram Putut Lembana.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan gejolak jantungnya. Kemudian katanya “Baiklah, anak muda. Tetapi sudah tentu aku tidak akan dapat berbicara lebih banyak dari yang aku ketahui. Bahkan seandainya aku diperas sampai mati pun, aku tidak akan dapat berbicara lebih banyak lagi.”
Putut Lembana menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Dengan suara yang bergetar ia menggeram “Katakan apa yang kau ketahui itu. Apakah aku akan memerasmu sampai mati, itu terserah kepadaku.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun ia tidak menjawab.
“Nah, sekarang katakan, apa sebabnya kekalutan itu terjadi.” Putut Lembana benar-benar kehilangan kesabaran.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab “Memang telah terjadi campur tangan mPu Renapati.”
“Apa yang dilakukan oleh mPu Renapati itu?” bertanya Putut Lembana.
“mPu Renapati memang menghendaki agar kedua Kabuyutan itu disatukan kembali sebagaimana semula. Kedua Kabuyutan itu harus menjadi satu dibawah kekuasaan Ki Buyut Pudaklamatan, karena sebenarnya ayahnyalah yang berhak untuk mewarisi kedudukan itu. Hanya karena ayahnya telah meninggal lebih dahulu, maka pewaris jabatan itu berpindah kepada adiknya, ayah Ki Buyut Sendang Apit. Karena itulah, maka segala-galanya harus dikembalikan seperti semula.”
“Apa pamrih mPu Renapati dengan keinginannya itu? Jika Kabuyutan Pudaklamatan dan Sendang Apit sudah menjadi satu, apa keuntungan mPu Renapati? Jika ia mendorong kepada Ki Buyut Pudaklamatan melakukan hal itu, maka mPu Renapati tentu akan mendapat keuntungan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Putut Lembana yang sudah kehabisan kesabaran itu membentak “Jawab. Aku tahu bahwa yang aku tanyakan tidak lebih dari yang kau ketahui. Karena itu, jika kau mati, maka itu adalah salahmu sendiri, karena seharusnya kau dapat menghindarinya.”
Orang itu memang tidak dapat menghindar lagi. Putut Lembana yang marah itu memang dapat melemparkannya kepada orang-orang padukuhan Logandeng yang marah itu pula. Ternyata orang itu tidak dapat berbuat lain.
Putut Lembana yang sudah kehilangan kesabaran itu membentak “Jawab. Kau tidak dapat mempermainkan kami. Kau ada di tangan kami dan jiwamu tidak berharga bagi kami.”
“Baik. Baik.” orang itu menjadi gagap. Lalu katanya “Alasan yang sebenarnya adalah sederhana sekali. Anak Ki Buyut Pudaklamatan akan menjadi menantu mPu Renapati.”
“He?” Putut Lembana dan mereka yang mendengar jawaban itu terkejut. Dengan nada tinggi Putut Lembana mendesak “Kau jangan asal membuka mulutmu. Kau tahu akibatnya jika kau tidak berkata dengan jujur.”
“Aku berkata sebenarnya. Anak laki-laki Ki Buyut Pudaklamatan diharapkan akan mewarisi dua Kabuyutan sekaligus, sehingga dengan demikian, maka anak mPu Renapati akan menjadi isteri seorang Buyut yang daerahnya sangat luas.”
“Satu mimpi yang gila” geram Ki Bekel Logandeng “hanya karena mimpi itu, maka mPu Renapati telah mengorbankan orang-orangnya. Cantrik-cantriknya, orang-orang Pudaklamatan dan tentu juga orang-orang Sendang Apit yang ingin mempertahankan daerahnya, kampung halamannya.”
“Tetapi bukankah dahulu kedua Kabuyutan itu memang satu?” bertanya tawanan itu.
“Itu dahulu. Tetapi perubahan-perubahan telah terjadi. Bahkan ada dua Kabuyutan Pudaklamatan dan Sendang Apit telah dianggap sah.” jawab Ki Bekel Logandeng. Lalu katanya pula “Dahulu Tumapel adalah sebuah Pakuwon, Sekarang Tumapel telah menjadi Singasari yang besar.”
“Perubahan-perubahan itu masih berlangsung sampai sekarang. Apa yang pernah pecah itu akan bersatu kembali.” berkata tawanan itu.
“Perubahan yang dipaksakan dengan kekerasan, akibatnya akan berkepanjangan. Dendam dan kebencian” berkata Ki Bekel.
“Yang ingin digapai oleh mPu Renapati tentu bukan sekedar mimpi yang sederhana itu. Bukan sekedar bersatunya kembali dua Kabuyutan. Tetapi dengan sebuah Kabuyutan yang besar, maka mPu Renapati akan memiliki landasan kekuatan yang besar.” berkata Putut Lembana.
“Landasan apa?” bertanya Ki Bekel.
“Aku belum pernah melihat kedua Kabuyutan itu. Namun agaknya jika kedua Kabuyutan itu menjadi satu, akan tergalang kekuatan yang besar. Ditambah lagi dengan sejumlah orang-orang terlatih dari padepokan Renapati. Maka mimpi mPu Renapati pun akan berkembang. Mungkin kekuatan itu akan dapat menguasai sebuah Pakuwon atau bahkan lebih luas lagi dari sebuah Pakuwon. Atau bahwa mPu Renapati telah berpaling kepada kekuasaan Kediri.” berkata Putut Lembana.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Ya Mungkin kau benar-benar ngger. Mimpi mPu Renapati bukan mimpi yang sederhana. Yang dilakukannya sekarang adalah sekedar pancadan saja.”
“Dengan demikian, maka persoalan yang timbul karena tingkah mPu Renapati bukan persoalan yang sederhana, yang terbatas dalam lingkungan kedua Kabuyutan itu saja. Tetapi akan menebar sampai ke daerah yang lebih luas.”
“Ya, ngger. Hal ini harus kita bicarakan dengan Ki Buyut Talang Alun. Juga dengan angger Mahisa Murti. Persoalannya memang bukan persoalan yang sederhana sebagaimana angger katakan.”
Putut Lembana pun kemudian berkata “Baiklah Ki Bekel. Aku akan mengatakannya kepada pimpinan padepokan kami. Sementara itu, biarlah orang ini disini. Kita masih memerlukannya.”
Ki Bekel mengangguk sambil menjawab. “Ya. Silahkan angger berbicara dengan angger Mahisa Murti. Aku akan berbicara dengan Ki Buyut. Orang ini akan aku simpan disini.”
“Orang ini harus dijaga sebaik-baiknya. Jika ia tidak kembali pada waktunya, mungkin pimpinannya akan mengirimkan orang lebih banyak lagi untuk mencari mereka kemari. Mungkin orang-orang Pudaklamatan, tetapi juga mungkin orang-orang padepokan Renapati.”
“Baiklah ngger. Anak-anak akan menjaganya sebaik-baiknya." jawab Ki Bekel.
Sementara itu langit pun menjadi semakin terang. Malam berangsur-angsur menjadi larut. Putut Lembana pun telah minta diri untuk melaporkan apa yang telah terjadi di padukuhan Logandeng. Namun Putut Lembana itupun berkata “Biarlah keempat orang cantrik itu tetap berada di sini. Mungkin mereka diperlukan, karena nampaknya perkembangan keadaan tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.”
“Terima kasih ngger. Biarlah mereka berada di banjar. Mereka dapat beristirahat, karena mereka tentu letih.”
Demikianlah, maka Putut Lembana itupun telah meninggalkan Logandeng. Ketika ia sampai di padepokan, maka Putut Manyar dan Putut Parama masih belum kembali. Dengan singkat Putut Lembana telah memberikan laporan tentang kedatangan sekelompok orang dari padepokan Renapati dan orang-orang dari Kabuyutan. Pudaklamatan.
“Kami berhasil menangkap pemimpin mereka” berkata Putut Lembana. Iapun kemudian melaporkan keterangan yang dapat mereka sadap dari pemimpin kelompok orang-orang yang menyerang padukuhan Logandeng untuk mencari anak Ki Buyut Sendang Apit.
Mahisa Murti mendengarkan laporan itu dengan sungguh-sungguh. Kepada Kiai Wijang, Mahisa Murti itupun berkata “Nampaknya persoalannya akan berkembang. Kegagalan itu tentu membuat mereka semakin bernafsu.”
“Ya” Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Nampaknya Padepokan Braja Seta akan terlibat lebih banyak lagi dalam pertikaian yang terjadi di seberang hutan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya “Jika hal itu harus kami lakukan bagi kepentingan sesama, maka kami akan melakukannya Kiai. Tentu saja dalam batas-batas kewajaran.”
“Yang agaknya harus segera dilakukan adalah membantu Kabuyutan Talang Alun. Bagi Ki Renapati menangkap anak Ki Buyut Sendang Apit, tentu termasuk salah satu keharusan jika mereka benar-benar ingin memotong masa depan Kabuyutan Sendang Apit.” berkata Putut Lembana.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu nampaknya terlalu curiga kepada setiap orang, termasuk kepada Mahisa Murti meskipun Ki Bekel sendiri sudah mengatakan tentang dirinya, bahkan mempertanggung-jawabkannya. Sehingga Ki Bekel itu telah merasa tersinggung pula.
Tetapi sikap itu tidak seharusnya menghalangi niat Padepokan Bajra Seta untuk membantu kesulitan yang sedang dialami oleh Kabuyutan Sendang Apit. Meskipun demikian, langkah-langkah yang diambil harus diperhitungkan dengan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka yang dapat segera dilakukan oleh Mahisa Murti adalah membantu Ki Bekel Logandeng mengamankan padukuhannya. Jika hal itu memang dikehendaki oleh Ki Buyut Talang Alun, maka Mahisa Murti pun akan melakukannya pula.
Dalam pada itu, hari itu juga Ki Bekel telah menemui Ki Buyut di Talang Alun untuk memberikan laporan tentang serangan yang telah terjadi di padukuhan Logandeng. “Ternyata mereka mencari anak Ki Buyut Sendang Apit.” berkata Ki Bekel.
“Untunglah, anak itu telah kami pindahkan” berkata salah seorang pengawalnya.
Namun Ki Bekel yang masih belum dapat melupakan sakit hatinya yang pernah tersinggung oleh sikap pengawal itu menjawab “Seandainya anak itu masih berada di Logandeng pun, anak itu akan tetap terlindung. Nyatanya, kami justru dapat menangkap pemimpin kelompok orang-orang yang datang ke padukuhan itu, yang terdiri dari orang-orang padepokan Renapati dan orang-orang Kabuyutan Pudaklamatan.”
Pengawal itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia berkata “Tetapi kami bertanggung jawab atas keselamatannya.”
“Apa yang dapat kalian lakukan berdua?” bertanya Ki Bekel “Kalian datang ke padukuhan Logandeng tanpa kepercayaan. Kami sudah menanggung akibat kedatangan kalian. Tetapi kalian masih saja memperkecil arti pengorbanan kami.”
“Sudahlah” berkata Ki Buyut “kedua pengawal itu tentu berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Jika orang-orang Renapati dan orang-orang Pudaklamatan telah datang ke padukuhan Logandeng dan ternyata mengalami kegagalan, maka kita harus bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang lebih buruk lagi. Jika orang-orang dari Padepokan Renapati dan Kabuyutan Pudaklamatan itu mengetahui bahwa anak Ki Buyut Sendang Apit ada di sini, maka mungkin sekali mereka akan datang kemari.”
“Ya. Itu mungkin sekali” jawab Ki Bekel “bagi mPu Renapati, anak itu merupakan duri bagi masa depan kedua Kabuyutan yang ingin dipersatukan itu.”
“Darimana kau tahu hal itu Ki Bekel?” bertanya salah seorang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu.
“Bukankah sebagian sudah kau katakan?” jawab Ki Bekel.
Kedua pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Seorang diantara mereka berkata “Aku merasa bertanggung jawab atas keselamatan anak Ki Buyut Sendang Apit.”
“Meskipun demikian, kalian seharusnya dapat membedakan, siapa yang pantas kalian curigai dan siapa yang tidak. Jika kalian tidak percaya kepada seseorang yang telah menyelamatkan tempat kalian mengungsi, maka kalian justru akan dapat berada dalam kesulitan. Tegasnya, jika angger Mahisa Murti dari Padepokan Bajra Seta itu menarik diri karena merasa tersinggung, maka kita benar-benar berada dalam kesulitan. Apalagi jika Ki Bekel Pudaklamatan dan mPu Renapati mengirimkan orang-orang terbaiknya ke Kabuyutan ini. Mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Kabuyutan Pudaklamatan. Tetapi orang-orang berilmu tinggi dari Padepokan Renapati akan dapat mengacaukan pertahanan kami.”
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Tetapi di wajah mereka masih nampak sesuatu yang membuat mereka ragu-ragu. Karena itu, maka Ki Buyut pun berkata “Sebaiknya kalian percaya kepadaku sepenuhnya. Karena itu, maka kalian juga harus mempercayai orang-orang yang aku percaya. Jika tidak, maka aku pun akan dapat tersinggung seperti Ki Bekel Logandeng itu.”
Kedua orang itu masih saja mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka pun berkata “Baiklah Ki Buyut. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Buyut.”
“Nah, baiklah. Jika demikian maka aku akan merasa mendapat kepercayaan sepenuhnya, sehingga aku tidak ragu-ragu mengambil keputusan, karena aku tidak merasa bimbang bahwa keputusanku akan kalian tentang.”
Kedua orang itu, maka atas kepercayaan kedua orang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu, maka Ki Buyut menjadi lebih leluasa untuk bertindak. Iapun telah bertemu dan berbicara langsung dengan Mahisa Murti dan Kiai Wijang. Bahkan Ki Buyut itupun telah mengatakan pula kepada Mahisa Murti, bahwa Ki Buyut Sendang Apit masih berada di sekitar Kabuyutannya bersama orang-orang yang setia kepadanya untuk mengadakan perlawanan. Namun kekuatan Kabuyutan Pudaklamatan yang dibantu oleh Padepokan Renapati memang tidak dapat dilawannya.
Meskipun demikian, Ki Buyut Sendang Apit tidak segera berputus asa. Dengan menyelamatkan anaknya, maka Ki Buyut masih mempunyai harapan untuk memiliki masa depan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun telah bersepakat untuk langsung melihat keadaan di Kabuyutan Sendang Apit. Mereka ingin menguak bebahu yang mengungsi di padukuhan Logandeng untuk memastikan keadaan yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan Sendang Apit itu. Ternyata bebahu itu tidak berkeberatan. Bahkan ia merasa bangga jika ia dapat berbuat sesuatu bagi Kabuyutannya.
Ketika Mahisa Murti siap untuk berangkat ke Kabuyutan Sendang Apit, maka Mahisa Murti telah membicarakan penempatan para Putut serta cantriknya di padukuhan induk dan padukuhan Logandeng yang nampaknya tetap menjadi sasaran orang-orang Pudaklamatan dan orang-orang Padepokan Renapati justru karena seorang dari kepercayaan mPu Renapati telah tertangkap dan disimpan di padukuhan Logandeng. Bahkan Mahisa Murti telah berpesan kepada Wantilan dan Sambega bahwa mereka dapat melepaskan Mahisa Semu untuk bersama-sama dengan Putut Lembana berada di padukuhan Logandeng.
“Tetapi Mahisa Amping masih belum waktunya untuk langsung ikut melibatkan diri dalam hal ini” berkata Mahisa Murti.
“Baiklah” jawab Wantilan “aku akan menjaga agar Mahisa Amping tetap berada di padepokan.”
“Kami menyerahkan kebijaksanaan kepada paman berdua. Paman dapat menentukan menambah atau mengurangi kegiatan dan jumlah para cantrik di Kabuyutan Talang Alun termasuk padukuhan Logandeng dan padukuhan-padukuhan yang lain. Namun harus diperhitungkan bahwa Kabuyutan Talang Alun bukan saja menjadi sasaran serangan orang-orang Kabuyutan Pudaklamatan, tetapi juga orang-orang dari Padepokan Renapati“
“Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya, ngger. Mudah-mudahan kami tidak menemui kesulitan untuk mengatasi kehadiran orang-orang Pudaklamatan dan orang-orang Padepokan Renapati. Kami percaya bahwa Kabuyutan Talang Alun sendiri sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya" jawab Wantilan.
“Ya. Namun yang harus banyak mendapat perhatian adalah orang-orang Renapati.” sahut Mahisa Murti.
Wantilan dan Sambega mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Wantilan berkata “Kami akan selalu berhubungan dengan Ki Buyut dan para Bekel di Kabuyutan Talang Alun.”
Demikianlah, maka setelah minta diri kepada Ki Bekel Logandeng dan Ki Buyut Talang Alun maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun telah berangkat ke seberang hutan yang terhitung lebat untuk melihat sendiri keadaan kedua Kabuyutan yang sedang bertikai bersama seorang bebahu Kabuyutan Sendang Apit yang sedang mengungsi di padukuhan Logandeng.
Dengan demikian maka mereka tidak akan kesulitan mencari jalan. Meskipun mereka menembus hutan yang. sangat lebat, tetapi mereka sama sekali tidak mengalami gangguan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Karena itu, maka mereka tidak berlama-lama berada di hutan. Di hari berikutnya, mereka telah berada di seberang.
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Bekel berkata selanjutnya “Sebenarnya kau tidak perlu terlalu mencurigai kami. Yang penting bagi kalian adalah menyelamatkan anak Ki Buyut itu. Bukan menyembunyikan kenyataan yang terjadi di Kabuyutan Sendang Apit dan Pudaklamatan. Jika kami berkesempatan mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka kami akan dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menanggapinya.”
Kedua pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab sama sekali.
“Ki Buyut” berkata Ki Bekel kemudian “agaknya bantuan Padepokan Bajra Seta memang kita perlukan. Jika orang-orang padepokan Renapati itu mencari anak Ki Buyut Sendang Apit sampai ke padukuhan induk ini, maka nampaknya benturan kekerasan tidak dapat dihindarkan lagi. mPu Renapati tentu tidak ingin terjadi kegagalan lagi, sebagaimana sekelompok orang yang dikirimkannya ke padukuhan Logandeng. Bahkan mungkin mPu Renapati tidak hanya sekedar mencari anak Ki Buyut. Tetapi mungkin ia juga mendendam padukuhan Logandeng.”
“Ya” Ki Buyut mengangguk-angguk “kita memang harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Anak-anak muda dan setiap laki-laki yang masih sanggup dan mampu ikut bertempur diwajibkan ikut mempertahankan kampung halamannya.”
“Nah, kau dengar Ki Sanak” berkata Ki Bekel Logandeng kepada kedua orang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit “bukankah kami tidak sekedar main-main. Malam nanti aku akan minta pada pimpinan Padepokan Bajra Seta untuk mengirimkan pasukan ke padukuhan Logandeng dan ke padukuhan induk. Pasukan yang terdiri dari para cantrik yang terlatih. Meskipun jumlahnya terhitung kecil, tetapi kemampuan mereka tinggi. Sementara itu kehadiran mereka juga mendorong keberanian anak-anak muda kami.”
Kedua orang pengawal anak Ki Buyut itu masih berdiam diri. Mereka memang melihat kenyataan itu. Kabuyutan Talang Alun ikut mengalami goncangan karena persoalan yang terjadi di Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun berkata “Ki Bekel. Aku akan sangat berterimakasih jika angger Mahisa Murti bersedia mengirimkan beberapa orang cantrik untuk membantu kesulitan kami jika orang-orang dari padepokan Renapati datang mencari anak Ki Buyut Sendang Apit. Meskipun anak-anak kami siap menghadapi ancaman yang betapapun juga, namun kelebihan dari para cantrik di Padepokan Bajra Seta akan sangat berarti bagi kita.”
Dari rumah Ki Buyut Talang Alun, Ki Bekel langsung menuju ke padepokan Bajra Seta menemui Mahisa Murti. Diceriterakannya hasil pembicaraannya dengan Ki Buyut. Bahkan Ki Buyut justru memerlukan bantuan dari Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti menjawab “Baiklah Ki Bekel. Kami akan mengirimkan beberapa orang cantrik. Sebenarnya sejak semalam beberapa orang cantrik kami juga sudah ada di Kabuyutan. Tetapi mereka tidak melapor langsung kepada Ki Buyut. Tetapi mereka langsung berbaur dengan anak-anak mudanya. Putut Manyar dan Putut Parama juga ada di sana malam tadi. Bahkan mereka pulang hampir tengah hari.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Syukurlah. Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
“Jika Ki Buyut sudah setuju, maka biarlah kedua orang Putut padepokan ini nanti menghadap Ki Buyut untuk menyatakan kehadiran mereka bersama beberapa orang cantrik di Kabuyutan. Sementara itu Putut Lembana dan beberapa orang cantrik pula, akan tetap berada di Logandeng. Mungkin mPu Renapati berusaha menemukan orang-orangnya yang dianggapnya hilang.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih. Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
Demikianlah, seperti yang dijanjikan oleh Mahisa Murti, maka padepokan Bajra Seta telah mengirimkan Putut Manyar dan Putut Parama ke padukuhan induk. Selain mereka berdua, beberapa orang cantrik juga diperintahkan untuk menyertai mereka. Namun untuk beberapa kepentingan, maka mereka memang tidak datang bersama-sama. Sedangkan Putut Lembana dan beberapa orang cantrik tetap diperintahkan untuk berada di Logandeng.
Sementara itu, Mahisa Murti telah memerintahkan pula beberapa orang cantrik untuk mengamati jalur jalan dari hutan yang memanjang menyekat daerah Kabuyutan Talang Alun dan Kabuyutan Sendang Apit. Mereka mendapat tugas untuk mengamati jika ada sekelompok orang yang menembus hutan itu dari seberang serta dianggap mencurigakan. Apalagi jika yang datang itu sekelompok laki-laki bersenjata.
Mereka dibekali dengan dua ekor burung merpati yang sudah terbiasa terbang di malam hari. Jika mereka melihat sekelompok orang yang pantas dicurigai, maka mereka harus melepaskan burung merpati itu. Burung itu akan langsung terbang ke padepokan dan hinggap di gupon mereka. Cantrik yang bertugas di padepokan harus selalu mengawasi jika burung itu datang kembali dan memasuki guponnya. Tetapi di malam yang kemudian turun, tidak terjadi hal-hal yang dapat mengganggu ketenangan Kabuyutan Talang Alun termasuk padukuhan Logandeng.
Ketika malam itu kedua pengawal anak Ki Buyut menyatakan kegelisahannya kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut pun menjawab “Aku kira benar apa yang dikatakan oleh Ki Bekel. Kalian terlalu curiga kepada orang lain.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang berniat untuk dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut Sendang Apit. Tetapi mereka tidak tahu dimana Ki Buyut Sendang Apit itu berada. Namun karena mereka datang bersama bebahu Sendang Apit, maka mereka berharap untuk dapat menemukan tempat persembunyian Ki Buyut Sendang Apit.
Ketika ketiga orang itu kemudian berada di Kabuyutan yang sedang bergolak itu, maka mereka segera melihat, betapa tata kehidupan hampir tidak terkendali lagi. Tetapi ketiga orang itu masih belum memasuki lingkungan yang lebih dalam lagi. Mereka baru melihat keadaan itu dari kejauhan. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas mereka. Ketika mereka bertiga berhasil menyelinap sampai ke sebuah padukuhan di Kabuyutan Sendang Apit, maka orang-orang di padukuhan itu memang terkejut.
“Keadaan sangat berbahaya bagimu.” berkata seorang sahabat bebahu itu “sebaiknya kau meninggalkan padukuhan ini.”
“Apakah kau sendiri tidak berada dalam bahaya?” bertanya bebahu itu.
“Aku orang kebanyakan. Meskipun aku mengalami perlakuan buruk, tetapi keselamatanku masih dapat diharapkan. Tetapi kau lain. Kau bebahu Kabuyutan ini. Dengan demikian maka keselamatanmu terancam” berkata sahabatnya itu.
“Aku memang hanya singgah. Aku akan segera meninggalkan tempat ini.” berkata bebahu itu. Beberapa saat ia terdiam. Baru kemudian ia berkata “Aku mencari hubungan dengan Ki Buyut untuk melaporkan tentang keadaan anaknya.”
Sahabatnya itu termangu-mangu. Katanya kemudian “Hanya orang-orang tertentu yang tahu, dimana Ki Buyut berada. Tetapi menurut pendengaranku, keadaannya memang sangat buruk. Meskipun demikian, Ki Buyut tetap bertahan. Sekali-sekali ia memang datang ke Kabuyutan. Tetapi segera menghilang lagi. Dua malam yang lalu, tiba-tiba saja Ki Buyut dengan beberapa orang telah muncul di banjar. Ki Buyut sempat berada di Banjar hampir semalam suntuk. Namun menjelang dini Ki Buyut segera pergi. Untunglah bahwa sekelompok pengawal dari Kabuyutan Pudaklamatan serta beberapa orang cantrik dari Padepokan Kencana Pura telah datang ke banjar untuk menyergap Ki Buyut. Tetapi banjar itu telah kosong.”
“Ki Buyut harus lebih berhati-hati.” desis bebahu itu.
“Tetapi kehadiran Ki Buyut di banjar telah membangkitkan kesetiaan orang-orang Sendang Apit yang telah hampir berputus asa. Namun dengan demikian maka para cantrik mPu Renapati menjadi semakin garang pula.” berkata sahabat bebahu itu.
Bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian “Baiklah. Kami minta diri. Dua orang kawanku ini adalah orang dari Talang Alun. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di sini.”
“Kalian berkunjung ke Kabuyutan kami pada saat yang kurang baik, Ki Sanak.” berkata orang itu.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang tersenyum saja. Sementara bebahu itu berkata “Justru karena keadaan yang kurang baik itulah yang telah memanggilnya kemari. Ki Talang Alun terdapat banyak pengungsi dari Kabuyutan kita.”
“Tetangga sebelah juga telah mengungsi ke Talang Alun. Tetapi aku masih mencoba bertahan di sini.”
Bebahu itupun kemudian minta diri. Tetapi ia masih bertanya “Apakah aku dapat memasuki padukuhan induk?”
“Jangan lakukan itu. Berbahaya sekali. Apalagi bagi seorang bebahu seperti kau.”
Bebahu itu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian “Aku ingin bertemu dengan Ki Buyut. Aku merasa malu, bahwa aku telah mengungsi lebih dahulu, sementara Ki Buyut dan beberapa orang kawan-kawan masih tetap berada di sini.”
“Tetapi diperlukan cadangan kekuatan diluar Kabuyutan kita yang telah diduduki ini. Diperlukan juga hubungan dengan Kabuyutan-kabuyutan lain yang akan bersedia membantu menegakkan kebenaran di Kabuyutan Sendang Apit ini.”
“Ya” bebahu itu mengangguk “salah satu diantara Kabuyutan yang siap membantu adalah Kabuyutan Talang Alun.”
Demikianlah, maka bebahu itupun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka berusaha untuk menyusup dari padukuhan ke padukuhan. Namun sulit bagi mereka untuk mendapat sedikit petunjuk dimana Ki Buyut bersembunyi.
Dalam pada itu, selagi mereka masih harus mencari Ki Buyut, maka bertiga mereka selalu bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika kemudian malam turun, maka mereka tidur dimana saja yang mereka anggap tidak akan terganggu oleh para peronda darimanapun datangnya.
Namun di hari berikutnya, Mahisa Murti itupun berkata “Bagaimana pendapat kalian jika kita langsung menemui Ki Buyut Pudaklamatan.”
Bebahu itu nampak tegang. Katanya “Sangat berbahaya bagiku, justru karena aku bebahu Kabuyutan Sendang Apit.
“Kami mengerti” sahut Mahisa Murti “karena itu sebaiknya kau bersembunyi saja lebih dahulu. Biarlah kami berdua saja pergi ke Kabuyutan Pudaklamatan.”
Bebahu itu termangu-mangu. Bahkan iapun bertanya “Dimana aku harus bersembunyi? Di pategalan atau di lereng bukit?”
“Kau bersembunyi saja di rumah salah seorang sahabatmu yang dapat kau percaya” sahut Mahisa Murti.
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk bersembunyi saja. Tetapi dimana kita akan bertemu setelah kau pergi ke padukuhan induk Kabuyutan Pudaklamatan?
“Kita bertemu ditempat kita semalam bermalam besok" jawab Mahisa Murti.
“Baiklah” berkata Bebahu itu “mudah-mudahan kau dapat mempengaruhi pendapat Ki Buyut Pudaklamatan agar niatnya diurungkan. Ki Buyut Pudaklamatan jangan terseret oleh niat buruk mPu Renapati dari Padepokan Kencana Pura.”
Demikianlah, maka mereka pun segera berpisah. Mahisa Murti dan Kiai Wijang pergi ke Pudaklamatan, sementara bebahu itu telah pergi ke tempat seorang sahabatnya yang lain, yang akan bersedia menerimanya untuk bersembunyi beberapa saat.
Namun demikian, mereka harus berusaha untuk lepas dari penglihatan para peronda dari Pudaklamatan serta dari Padepokan Renapati yang selalu berkeliling dari padukuhan ke padukuhan. Mahisa Murti dan Kiai Wijang yang tidak ingin mengalami kesulitan diperjalanan, telah menempuh jalan-jalan bulak dan menghindari padukuhan-padukuhan. Mereka berusaha untuk tidak bertemu dengan siapapun juga. Kecuali dengan orang-orang yang bekerja d i sawah mereka.
Ketika keduanya memasuki lingkungan Kabuyutan Pudaklamatan, maka barulah mereka merasa sedikit tenang, karena di Kabuyutan itu tidak terasa langsung ada satu gejolak yang mengaduk tatanan kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Kiai Wijang nampaknya telah menarik perhatian beberapa orang. Ada juga diantara orang-orang Kabuyutan Pudaklamatan yang merasakan sesuatu yang lain pada kedua orang itu.
Tetapi akhirnya, Mahisa Murti dan Kiai Wijang sampai juga di rumah Ki Buyut Pudaklamatan. Namun ternyata bahwa rumah itu telah dijaga dengan rapat oleh sekelompok anak-anak muda. Tetapi keduanya sudah berniat untuk bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut, karena itu maka Mahisa Murti itupun telah menemui anak-anak muda yang sedang berjaga-jaga di regol itu.
“Kami akan menghadap Ki Buyut Pudaklamatan” berkata Mahisa Murti.
“Siapakah kalian?” bertanya salah seorang diantara mereka, yang nampaknya pemimpin sekelompok dari anak-anak muda yang sedang bertugas itu.
“Kami datang dari seberang hutan. Kami adalah orang dari Kabuyutan Talang Alun”. jawab Mahisa Murti.
“Talang Alun?” anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Maksudmu Kabuyutan yang menerima banyak pengungsi dari Sendang Apit?”
“Ya” jawab Mahisa Murti “justru itu aku ingin berbicara dengan Ki Buyut Pudaklamatan.”
Anak muda itu kemudian berbicara dengan beberapa orang kawannya. Baru kemudian ia menjawab “Aku persilahkan kalian menunggu. Aku ingin menanyakannya lebih dahulu, apakah kau dapat diterima atau tidak.”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti kemudian “kami datang dari jauh. Kami hanya sekedar ingin mendapat keterangan langsung dari Ki Buyut Pudaklamatan, apakah yang sebenarnya terjadi.”
“Kenapa kau tidak bertanya kepada Ki Buyut Sendang Apit?”
“Kami tidak berhasil menemui Ki Buyut Sendang Apit.”
Seorang anak muda yang lain pun menyahut “Kabuyutan Sendang Apit sudah tidak ada lagi.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata “Tolong Ki Sanak. Bagaimanapun sikap Ki Buyut, aku ingin mendengarnya.”
“Tunggulah” berkata anak muda yang akan menyampaikannya kepada Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun kemudian telah dipersilahkan duduk di gardu yang agaknya baru dibuat setelah terjadi kekalutan antara Kabuyutan Pudaklamatan dengan Kabuyutan Sendang Apit.
Ketika niat Mahisa Murti untuk bertemu dengan Ki Buyut itu disampaikan oleh anak muda yang sedang bertugas itu, maka Ki Buyut pun menjadi ragu-ragu. Seorang yang sedang duduk bersamanya berkata “Apakah ada gunanya?”
“Aku kira akan ada gunanya” jawab Ki Buyut “Kabuyutan Talang Alun yang tiba-tiba didatangi banyak pengungsi itu tentu ingin mengetahui, apa yang telah terjadi. Ketika mereka datang ke Kabuyutan Sendang Apit, maka Ki Buyut Sendang Apit tidak dapat ditemuinya.”
“Tidak perlu Ki Buyut. Perintahkan saja para pengawal mengusirnya. Bahkan jika di jalan pulang mereka bertemu dengan para peronda dan para cantrik dari Padepokan Renapati, biarlah mereka ditangkap.”
“Apa salahnya jika kita mendengarkan pertanyaan-pertanyaannya, pendapatnya atau barangkali petunjuk-petunjuknya.”
“Kita tidak memerlukan petunjuk dan pendapat dan siapapun. Kita sudah cukup matang untuk menentukan sikap sendiri” berkata orang itu.
“Tetapi aku tidak berkeberatan menerima mereka” berkata Ki Buyut.
“Ki Buyut hanya membuang-buang waktu saja.” berkata orang itu “tetapi terserah kepada Ki Buyut jika Ki Buyut akan menerima mereka.”
“Aku ingin mendapat orang lain sebanyak-banyaknya” jawab Ki Buyut kemudian.
Orang itu tidak berusaha mencegah lagi. Karena itu, maka Ki Buyut pun telah mengisyaratkan agar orang dari Talang Alun itu diijinkan menemuinya.
“Biarlah ia duduk di pendapa” berkata Ki Buyut.
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun telah menerima Mahisa Murti dan Kiai Wijang di pendapa rumahnya. Sementara orang yang bersamanya itupun telah ikut pula menemui kedua orang tamu itu.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun kemudian telah memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa keduanya adalah orang-orang Talang Alun yang diperintahkan oleh Ki Buyut untuk mendapatkan keterangan tentang kemelut yang terjadi di seberang hutan.
“Kabuyutan kami telah dibanjiri oleh para pengungsi” berkata Mahisa Murti kemudian. “Namun kami tidak berhasil menemui Ki Buyut Sendang Apit.”
Ki Buyut Sendang Apit sudah tidak dalam kedudukannya lagi” berkata orang yang menyertai Ki Buyut Pudaklamatan itu.
Ki Buyut Pudaklamatan itu sendiri menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Apa yang ingin Ki Sanak ketahui? Barangkali aku akan dapat memberikan keterangan.”
“Kami ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan Sendang Apit. Menurut para pengungsi, para pengawal dari Kabuyutan Pudaklamatan telah menduduki Kabuyutan Sendang Apit, sehingga orang-orang Sendang Apit telah mengungsi meninggalkan kampung halamannya.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itulah yang menjawab “Sebenarnya tidak terjadi sesuatu. Seperti dua orang bersaudara dalam satu keluarga. Sekali-sekali terjadi perselisihan. Tetapi nanti atau besok, mereka akan menjadi baik kembali. Karena itu, maka sebaiknya Ki Sanak berdua dan bahkan Kabuyutan Talang Alun tidak usah mencampuri persoalan kami disini.”
“Bagaimanapun juga agaknya kami sudah terlibat. Kami mengalami sedikit kesulitan dengan para pengungsi.”
“Apakah mereka berbuat buruk di Kabuyutan Talang Alun?” bertanya Ki Buyut.
“Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi mereka memerlukan makan, tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan lain selama mereka berada di Talang Alun.” jawab Mahisa Murti.
“Seharusnya mereka tidak perlu meninggalkan kampung halaman mereka” berkata orang yang menyertai Ki Buyut itu.
“Aku justru membayangkan bahwa keadaan telah menjadi demikian buruknya sehingga mereka harus mengungsi,” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Gambaran dari orang-orang luar yang tidak langsung menyaksikan sendiri keadaan Kabuyutan kami” berkata orang itu.
“Bukan sekedar gambaran, karena kami sudah melihat keadaan itu. Aku telah menyaksikan sendiri dengan Kabuyutan Sendang Apit. Yang berkeliaran di sana adalah para pengawal dari Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Sudahlah Ki Sanak” berkata orang yang menyertai Ki Buyut Pudaklamatan itu “sebaiknya kalian tidak usah ikut memikirkan keadaan kami disini dan di Kabuyutan Sendang Apit. Itu persoalan kami. Persoalan keluarga kami.”
“Kami memang tidak akan mempersoalkan apa yang terjadi diantara keluarga. Tetapi karena persoalannya menyangkut kehidupan orang banyak, dan bahkan kehidupan di Kabuyutan kami, maka kami memerlukan mendapat keterangan.”
“Inilah yang terjadi di Kabuyutan kami” berkata orang itu “tidak akan terjadi perubahan apa-apa. Sebaiknya kalian tidak usah mencampuri persoalan kami.”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti “kami tidak akan mencampuri persoalan kalian. Tetapi karena di Kabuyutan kami terdapat banyak pengungsi, maka kami ingin sekedar mendapat keterangan. Lebih dari itu, kalian telah melanggar kemandirian kami. Sekelompok orang telah dikirim dari Kabuyutan Pudaklamatan memasuki Kabuyutan kami.”
Ki Buyut Pudaklamatan justru terkejut. Karena itu, maka ia bertanya “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya, Ki Buyut” jawab Mahisa Murti “sekelompok orang yang ternyata memburu anak laki-laki Ki Buyut Sendang Apit yang dikira mengungsi ke Talang Alun. Tetapi mereka tidak menemukan yang mereka cari. Justru karena itu, maka Kabuyutan kami telah disentuh pula oleh pertentangan yang terjadi di sebelah hutan ini.”
“Jika kalian tidak mencampuri persoalan kami, maka kami tentu tidak akan menyentuh Kabuyutan Talang Alun. Tetapi bahwa Talang Alun telah mencampuri persoalan kami, maka kami memang tidak mempunyai pilihan lain.”
“Aku tidak pernah memerintahkan para pengawal dari Pudaklamatan memasuki Kabuyutan Talang Alun” berkata Ki Buyut.
“Siapapun yang memerintahkan, namun hal itu sudah terjadi.” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya “Hal itulah yang mendorong kami untuk datang menemui Ki Buyut Pudaklamatan. Karena jika hal seperti itu terulang kembali, maka Pudaklamatan telah menyeret Talang Alun untuk melibatkan diri.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itulah yang menyahut “Bahwa Talang Alun telah menyembunyikan anak Ki Buyut Sendang Apit itu berarti bahwa Talang Alun telah melibatkan diri kedalam persoalan kami, persoalan antara keluarga sendiri.”
“Kami menerima para pengungsi itu atas dasar perikemanusiaan semata-mata. Namun karena kemudian merupakan beban bagi kami, maka kami ingin mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itulah yang menjawab lagi “Sudah aku katakan. Sekedar perselisihan diantara keluarga. Nanti, pada suatu saat tentu akan menjadi baik lagi.”
“Lalu bagaimana dengan korban perselisihan itu? Jika keadaan menjadi baik, apakah korban perselisihan itu akan pulih kembali?” bertanya Mahisa Murti.
“Sudahlah” berkata orang itu “jangan terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain. Jika kau merasa berkeberatan dengan para pengungsi itu, usir saja mereka dari Talang Alun.”
“Itukah gambaran sikap orang-orang Pudaklamatan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak” tiba-tiba Ki Buyut memotong “aku tidak pernah menginginkan perselisihan ini.”
“Ki Buyut” berkata Kiai Wijang kemudian “kenapa Ki Buyut tidak berusaha untuk menyelesaikan persoalan antara Pudaklamatan dan Sendang Apit dengan baik?”
“Sebenarnya tidak ada perselisihan yang mendasar” jawab Ki Buyut.
“Jadi bagaimana kekalutan itu dapat terjadi? Bukankah sebaiknya Ki Buyut Pudaklamatan bertemu dan berbincang-bincang dengan Ki Buyut Sendang Apit untuk memecahkan persoalan yang timbul. Dengan demikian maka perselisihan ini tidak akan berlanjut terus. Bukankah Ki Buyut Sendang Apit itu adik sepupu Ki Buyut sendiri?”
“Cukup. Cukup. Kalian sudah terlalu banyak berbicara disini” berkata orang yang menyertai Ki Buyut Pudaklamatan.
Namun Kiai Wijang seakan-akan tidak mendengar. Bahkan iapun berkata “Ki Buyut. Jika Ki Buyut menghendaki, maka Ki Buyut Talang Alun akan bersedia menjadi penengah pembicaraan diantara kalian.”
“Sudah cukup. Sekali lagi aku peringatkan, jangan mencampuri persoalan kami.”
Tetapi Ki Buyut Pudaklamatan itu berkata “Jika adi Buyut Sendang Apit bersedia ditemui, aku sama sekali tidak berkeberatan untuk berbicara.”
Namun sebelum pembicaraan berkepanjangan, maka seorang anak muda telah muncul dari ruang dalam. Demikian ia membuka pintu pringgitan maka iapun bertanya dengan lantang “Untuk apa kalian berdua datang kemari? Aku mendengar sebagian dari pembicaraan kalian. Rasa-rasanya kalian adalah orang yang terpandai di bumi ini sehingga kalian mencoba untuk mengajari ayahku?”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang memandang anak muda itu dengan saksama. Dengan segera mereka mengetahui, bahwa anak muda itulah anak Ki Buyut Pudaklamatan yang akan menjadi menantu mPu Renapati dari padepokan Kencana Pura.
Sebelum Mahisa Murti dan Kiai Wijang menjawab, maka anak muda itupun berkata lantang “Sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Semakin lama kalian disini, maka telingaku akan menjadi semakin panas.”
“Duduklah” berkata Ki Buyut “keduanya adalah tamuku. Kau tidak berhak berkata seperti itu.”
“Sudahlah ayah” berkata anak muda itu “ayah jangan membiarkan dua ekor ular tidur dibawah selimut yang sedang ayah pergunakan. Bagaimanapun juga, kedua ekor ular itu akan dapat menggigit. Karena itu, biarlah keduanya pergi.”
“Aku tidak mempersilahkan mereka pergi,” jawab ayahnya.
Wajah anak muda itu menjadi merah. Namun kemudian ia berkata “Aku sudah memberi kalian berdua peringatan. Karena itu, jika terjadi sesuatu atas kalian berdua, itu adalah salah kalian sendiri.”
Ki Buyut lah yang menjadi marah. Tetapi orang yang menyertainya duduk menemui kedua tamunya itu berkata “Sebaiknya Ki Buyut mendengarkan pendapat anak Ki Buyut itu. Ternyata panggraitanya lebih tajam dari Ki Buyut sendiri.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun saling berpandangan. Mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat berbicara dengan sebaik-baiknya. Meskipun demikian mereka menangkap kesan, bahwa sebenarnya Ki Buyut sendiri bukan seorang yang tamak. Ki Buyut sendiri tidak ingin terjadi perselisihan antara kedua Kabuyutan itu. Namun anaknya yang sudah dipengaruhi oleh mPu Renapati menghendaki lain. Anak muda itu membayangkan satu masa depan yang gemilang dalam pemerintahannya, sehingga ia lupa pada sangkan paraning dumadi. Anak muda itu terbius oleh hembusan lidah mPu Renapati tentang mimpi bagi masa depan yang besar.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang menganggap bahwa kehadiran mereka di rumah itu tidak akan berarti apa-apa lagi. Merekapun yakin, bahwa orang yang selalu menyertai Ki Buyut itu tentu salah seorang dari padepokan Renapati yang ditempatkan di Kabuyutan Pudaklamatan.
Karena itu, maka sesaat kemudian, maka Mahisa Murti pun berkata “Baiklah Ki Buyut. Jika demikian, maka kami mohon diri. Kami akan kembali ke Kabuyutan Talang Alun. Namun kami serba sedikit telah melihat satu gambaran, apa yang telah terjadi disini. Maksudku di Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Terima kasih atas kunjungan kalian Ki Sanak. Salam buat Ki Buyut di Talang Alun. Kami hargai niatnya untuk membantu memecahkan kekalutan yang terjadi di Kabuyutan kami.”
“Tidak ada kekalutan disini ayah.” berkata anak muda itu “hanya orang-orang lain yang iri hati sajalah yang menganggap bahwa di Kabuyutan Pudaklamatan ada kekalutan.”
Tetapi jawab ayahnya mengejutkannya. “Bagaimana kau dapat menyembunyikan kenyataan yang digelar di kedua Kabuyutan? Apakah kau kira orang-orang yang pernah lewat Kabuyutan ini buta dan tuli?”
Wajah anak muda itu menjadi marah. Namun orang yang selalu menyertai Ki Buyut itu berkata “Kekalutan memang ada dimana-mana di seluruh muka bumi. Tetapi kekalutan yang terjadi disini terlalu dibesar-besarkan orang. Tetapi apapun yang terjadi, biarlah orang lain tidak ikut mencampurinya.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun kemudian telah minta diri. Ki Buyut yang mengantarnya sampai ke tangga pendapa berpesan “Hati-hatilah Ki Sanak. Semoga kalian selamat sampai di Kabuyutan Talang Alun.”
“Doa Ki Buyut menyertai kami berdua” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya pun segera melangkah meninggalkan Kabuyutan itu, sementara Ki Buyut pun segera naik pula ke pendapa dan selanjutnya masuk ke ruang dalam.
Yang ada di pendapa kemudian adalah orang yang selalu menyertai Ki Buyut itu serta anaknya laki-laki. Dengan geram anak Ki Buyut Pudaklamatan itu menggeram “Bereskan saja orang-orang itu.”
“Jangan ngger. Jika keduanya tidak sampai ke Kabuyutan Talang Alun, maka akan dapat menjadi alasan bagi Kabuyutan itu untuk langsung mencampuri persoalannya. Hilangnya kedua orang itu akan dapat menjadi alasan bagi Kabuyutan Talang Alun untuk menyerang Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Apakah kita takut menghadapi Kabuyutan Talang Alun. Bukankah padepokan Renapati cukup kuat untuk menghadapi tiga atau empat Kabuyutan sekaligus? Apalagi bersama-sama dengan Kabuyutan Pudaklamatan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Tetapi sebaiknya kita untuk sementara membatasi diri. Mungkin pada kesempatan lain kita justru akan memancing pertengkaran dengan Kabuyutan Talang Alun.”
Tetapi anak muda itu berkata “Kita selesaikan mereka justru di Kabuyutan Talang Alun sendiri. Kita kirim beberapa orang pilihan untuk mengikutinya dan membunuhnya di seberang hutan, sehingga akan dapat diketemukan oleh orang-orang Talang Alun. Jika mereka mati di daerah mereka sendiri, maka mereka tidak akan dapat menuduh kita sehingga mereka tidak mempunyai alasan untuk mengirimkan pasukan menyeberangi hutan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Satu kerja yang berat.”
“Kita kirim lima atau enam orang yang berilmu tinggi. Diantara mereka dari padepokan Renapati. Mereka harus berusaha mendahului keduanya dan menunggunya di seberang hutan, justru di bulak-bulak panjang di tlatah Kabuyutan Talang Alun itu sendiri. Usahakan agar mayatnya dapat diketemukan oleh orang-orang Talang Alun, apakah mereka yang akan pergi ke sawah atau mereka yang akan pergi ke pasar.”
“Tidak hanya ada satu jalan menuju ke Talang Alun” jawab orang itu.
“Tetapi jalan keluar dari hutan itu tentu dapat diperhitungkan. Agaknya jalur jalan para pengungsi itulah yang akan mereka lewati.”
“Jika kedua orang itu membaurkan diri dengan para pengungsi yang menuju ke Kabuyutan Talang Alun?”
“Itu lebih baik. Orang-orang kita akan dapat mencari perkara sehingga terjadi perselisihan dan perkelahian. Orang-orang kita pun harus menyatukan diri dengan para pengungsi itu.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Katanya “Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan mPu Renapati setuju.”
“Kita tidak mempunyai banyak waktu. Orang itu tidak boleh lolos. Biarlah orang-orang kita mendahuluinya dengan berkuda. Satu dua orang akan menyertai mereka dan akan membawa kembali kuda-kuda itu, setelah orang-orang kita memasuki hutan.”
Demikianlah, maka orang itupun dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah Ki Buyut menuju ke Padepokan Renapati. Dengan tergesa-gesa pula ia menemui mPu Renapati dan melaporkan rencana calon menantunya itu.
mPu Renapati berpikir sejenak. Lalu katanya “Lakukan perintahnya. Ternyata penalarannya cukup tajam. Kedua orang itu tidak boleh memberikan kesan sikap Ki Buyut kepada orang-orang Talang Alun.”
Orang itupun kemudian telah melakukan perintah itu dengan tergesa-gesa. mPu Renapati telah menunjuk Kebo Wanter dan Lembu Pangambah untuk melakukan tugas itu bersama empat orang kawan mereka.
“Aku percaya bahwa Kebo Wanter dan Lembu Pangambah akan dapat melakukannya. Apalagi disertai oleh empat orang yang lain. Jika mereka bergabung dengan para pengungsi, sebaiknya mereka tidak berkelompok. Tetapi mereka harus saling memisahkan diri.”
Sesaat kemudian, Kebo Wanter dan Lembu Pangambah telah dipanggil. Ketika perintah itu diberikan, maka Kebo Wanter bertanya “Bukankah hanya ada dua orang dari Kabuyutan Talang Alun yang harus kami selesaikan?”
“Ya. Hanya dua orang.”
“Kenapa kami berdua harus membawa empat orang lagi? Seorang saja diantara kami akan dapat menyelesaikan mereka. Apalagi dua orang. Karena itu, empat orang itu tidak perlu sama sekali."
“Kalian tidak usah membantah. Pergilah bersama empat orang. Kalian dengar?”
Kebo Wanter dan Lembu Pangambah mengangguk-angguk. Sementara itu orang yang mendapat perintah dari mPu Renapati itu berkata “Kita tidak ingin rencana ini gagal, sehingga akibatnya akan menjadi semakin buruk. Karena itu, maka kedua orang itu tidak boleh melarikan diri. Meskipun kalian berdua saja yakin akan dapat mengalahkan mereka, bahkan seorang saja diantara kalian, tetapi kemungkinan melarikan diri harus diperhitungkan.”
Kebo Wanter dan Lembu Pangambah masih mengangguk-angguk. Sementara orang itu memberitahukan ciri-ciri dari orang yang harus mereka cari itu.
“Pergunakan jalur para pengungsi. Mungkin kedua orang itu ada diantara mereka.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian enam orang telah berpacu menuju ke hutan yang menyekat Kabuyutan Sendang Apit dengan Kabuyutan Talang Alun. Bersama mereka ikut pula tiga orang yang akan membawa kuda-kuda itu kembali ke padepokan Renapati.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Kiai Wijang yang kemudian telah bertemu kembali dengan bebahu Sendang Apit itu telah memutuskan untuk kembali ke Talang Alun. Nampaknya tidak mungkin dapat berbicara terbuka dengan Ki Buyut Pudaklamatan yang selalu dibayangi oleh seseorang yang agaknya sengaja ditempatkan di rumah Ki Buyut oleh mPu Renapati. Sementara itu, anak Ki Buyut sendiri agaknya telah menjadi mabok oleh mimpi tentang masa depan yang besar.
Tetapi bebahu itu sendiri telah menyatakan diri untuk tinggal. Ia merasa akan mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Buyut Sendang Apit yang masih berada di Kabuyutannya. “Aku tentu dapat bertemu, dengan Ki Buyut meskipun tidak segera. Aku akan mengajak Ki Buyut menemui Ki Buyut Talang Alun dan membawanya ke Padepokan Bajra Seta.”
“Kami menunggu” berkata Mahisa Murti.
“Mudah-mudahan Ki Buyut bersedia meninggalkan Kabuyutan Sendang Apit barang dua tiga hari untuk keperluan itu.” berkata bebahu itu.
“Berhati-hatilah” pesan Kiai Wijang.
“Terima kasih. Kiai berdua pun harus berhati-hati di jalan.” berkata bebahu itu.
“Jika kau gagal menemui Ki Buyut, kau harus segera, menghubungi kami” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Baik. Tetapi nampaknya aku sudah mendapatkan jalur untuk sampai kepadanya. Ternyata aku masih dipercaya meskipun aku sudah pernah lari dari medan.” berkata bebahu itu.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah meninggalkan bebahu itu di Kabuyutannya. Mereka memang telah menempuh perjalanan melalui jalur para pengungsi yang masih saja mengalir dari Kabuyutan Sendang Apit menyeberangi hutan. Mereka berharap bahwa di seberang hutan, mereka akan mendapatkan ketenangan setidak-tidaknya untuk sementara sambil menunggu perkembangan keadaan di Kabuyutan mereka.
Sekelompok pengungsi yang menyeberangi hutan itu memang tertarik melihat kehadiran dua orang yang sebelumnya belum mereka kenal. Orang-orang Kabuyutan Sendang Apit memang melihat kelainan pada Mahisa Murti dan Kiai Wijang dari kebiasaan orang-orang Kabuyutan itu.
Namun sekelompok pengungsi itupun merasa bahwa mereka memang tidak dapat mengenali semua penghuni Kabuyutan Sendang Apit yang termasuk luas itu. Apalagi kemungkinan hadirnya orang-orang baru yang datang dari Kabuyutan lain untuk menetap di Kabuyutan Sendang Apit. Apalagi nampaknya kedua orang itu bukan orang yang jahat yang akan dapat mengganggu mereka diperjalanan.
Meskipun demikian, seorang laki-laki diantara para pengungsi itu telah bertanya kepada Mahisa Murti dan Kiai Wijang “Apakah kalian juga pengungsi seperti kami?”
Ternyata Mahisa Murti menjawab apa adanya “Tidak Ki Sanak. Kami adalah orang-orang dari Kabuyutan Talang Alun di seberang hutan. Di Kabuyutan kami terdapat banyak sekali pengungsi yang mengalir dari Kabuyutan Sendang Apit. Karena itu, kami sengaja pergi ke Sendang Apit untuk melihat keadaan.”
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya “Jadi kalian adalah orang-orang Talang Alun.”
“Ya” jawab Mahisa Murti.
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya “Bagaimana keadaan saudara-saudara kami yang telah berada di Talang Alun?”
“Kami di Talang Alun telah mencoba berbuat sebaik-baiknya. Tetapi sudah tentu sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami.”
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Perjalanan di hutan yang lebat itu memang bukan perjalanan yang mudah. Apalagi diantara mereka terdapat perempuan dan anak-anak. Karena itu, maka perjalanan pun menjadi lambat dan sekali-sekali harus beristirahat.
Beberapa orang laki-laki yang ada diantara mereka telah merambah jalan yang akan dilalui. Namun mereka pun bersiap pula jika tiba-tiba mereka bertemu dengan binatang buas yang akan mengganggu. Tetapi binatang buas di hutan itu justru menyingkir jika mereka melihat sekelompok orang yang lewat. Apalagi jika mereka membawa obor dimalam hari.
Namun di tengah hutan mereka telah bertemu dengan tiga orang yang nampaknya sedang beristirahat. Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak menegur sekelompok orang yang sedang mengungsi itu. Mereka hanya memperhatikan seorang demi seorang. Namun kemudian sekelompok pengungsi itupun kemudian telah lewat.
“Apakah kita akan menggabungkan diri dengan mereka?” bertanya lembu Pangambah.
“Tidak perlu.” jawab Kebo Wanter “hanya akan mengganggu saja. Mungkin satu orang diantara mereka akan bertanya kepada kita. Bahkan mungkin kedua orang yang harus kita selesaikan itu. Kita harus berpikir bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka itu.”
“Dua orang yang dimaksud mPu Renapati tentu dua orang yang ada diantara para pengungsi itu” berkata Lembu Pangambah.
“Ya. Aku sudah pasti.” jawab Kebo Wanter.
“Jika demikian, kenapa tidak kita selesaikan sekarang saja disini?” bertanya seorang yang ikut bersama Kebo Wanter dan Lembu Pangambah.
“Tiga orang kawan kita yang lain ada di ujung hutan” jawab Kebo Wanter “selebihnya, perintah itu mengatakan bahwa kita harus membunuh mereka di daerah Kabuyutan Talang Alun sendiri.”
“Kenapa? Bukankah lebih baik kita bunuh di hutan ini?”
“Jika mereka mati di Talang Alun, maka itu adalah persoalan Talang Alun sendiri. Tetapi jika di hutan ini atau di Sendang Apit, maka persoalannya akan dapat menjadi lain. Orang-orang Talang Alun akan dapat menyangkutkan Kabuyutan Sendang Apit atas kematian orang-orangnya itu.”
Orang itu tidak bertanya lagi, sementara itu kelompok pengungsi itu sudah menjadi semakin jauh. Baru beberapa saat kemudian maka ketiga orang itupun bangkit dan melangkah mengikuti arah para pengungsi itu.
Ketika kemudian para pengungsi itu melihat tiga orang yang lam duduk-duduk diatas sebatang pohon yang rebah di hutan itu, maka mereka mulai merasa curiga. Mungkin enam orang itu berniat buruk terhadap para pengungsi itu. Mungkin mereka perampok yang mengira bahwa para pengungsi itu membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Tetapi ketiga orang yang ditemuinya kemudian itu juga tidak mengganggu mereka. Ketiganya hanya memperhatikan saja iring-iringan sekelompok pengungsi yang lewat.
Namun dalam pada itu, setiap laki-laki diantara para pengungsi itu sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka telah mempersiapkan senjata mereka untuk melindungi keluarga mereka serta milik mereka yang sempat mereka bawa.
Ketika para pengungsi itu kemudian keluar dari hutan yang lebat, yang menyekat Kabuyutan Sendang Apit dengan Kabuyutan Talang Alun, maka rasa-rasanya mereka mulai dapat bernafas lega. Beberapa saat kemudian, mereka akan meninggalkan padang perdu dan turun ke daerah persawahan. Kemudian mereka pun akan segera sampai ke padukuhan-padukuhan terdekat dari Kabuyutan Talang Alun, yang akan menjadi tempat mereka untuk menetap sementara.
“Kami sudah sampai ke Talang Alun, Ki Sanak” berkata laki-laki yang sejak semula berbincang dengan Mahisa Murti dan Kiai Wijang.
“Ya. Kalian telah berada di Talang Alun” jawab Mahisa Murti.
“Dimana kami dapat tinggal?” bertanya laki-laki itu.
“Datang saja ke padukuhan yang mana saja. Di banjar telah ditugaskan orang-orang yang akan mengatur dimana kalian akan ditempatkan,” jawab Mahisa Murti.
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih. Kami tidak akan melupakan jasa orang-orang Talang Alun.”
Demikianlah iring-iringan itu berjalan dengan wajah yang memancarkan harapan untuk mendapatkan tempat yang lebih tenang. Mereka seakan-akan telah melupakan perjalanan yang panjang menelusuri hutan dan padang perdu.
Sementara itu, malam yang turun pun semakin lama menjadi semakin gelap. Perempuan dan anak-anak yang merasa sangat letih, terpaksa harus berhenti lagi untuk beristirahat sebagaimana mereka lakukan beberapa kali sepanjang perjalanan.
Namun rasa-rasanya mereka sudah tidak diburu oleh kecemasan, bahwa mereka akan mengalami perlakuan kasar. Seakan-akan mereka sudah berada diambang pintu regol rumah mereka sendiri. Namun ketenangan mereka ternyata telah terusik. Enam orang yang mereka temui di hutan itupun telah menyusul mereka. Dua orang yang berjalan di paling depan langsung berdiri dekat ditempat para pengungsi itu beristirahat.
“Kami tidak akan mengganggu kalian” berkata salah seorang dari mereka.
Para pengungsi itu termangu-mangu sejenak. Tetapi setiap laki-laki yang ada diantara mereka memang sudah bersiap. Meski pun melihat ujudnya, keenam orang itu tentu orang yang memiliki kelebihan, tetapi para pengungsi itu tidak akan membiarkan mereka dirampok atau mengalami perlakuan buruk. Mereka sudah bersusah payah menempuh perjalanan yang panjang dan sulit. Sehingga karena itu, maka mereka pun rasa-rasanya tidak akan mau berkorban lebih banyak lagi.
Tetapi salah seorang dari keenam orang itu berkata “Aku justru sedang mencari saudaraku sendiri dari Talang Alun.
Diluar sadarnya orang-orang itu berpaling kepada Mahisa Murti dan Kiai Wijang. Ternyata orang-orang itupun telah memandang ke arah keduanya pula. Sebelum Mahisa Murti dan Kiai Wijang berkata sesuatu, maka orang yang mengaku mencari saudaranya itu berkata,
“Ternyata kau benar-benar ada di sana. Ketika kami melihat iring-iringan pengungsi ini lewat, kau berusaha untuk menyembunyikan dirimu diantara mereka. Tetapi ada diantara kami yang berhasil melihat kalian berdua.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang segera tanggap apa yang sedang mereka hadapi. Karena itu, maka Kiai Wijang pun segera menyahut “Ki Sanak. Kalian tidak usah berputar-putar lagi. Katakan saja apa maksud kalian. Kami memang orang-orang Talang Alun. Tetapi kalian bukan.”
“Jangan memutar balikkan persoalan. Beberapa hari kau telah menghilang dari Talang Alun. Sekarang kau kembali ke Talang Alun bersama para pengungsi. Ki Buyut yang menugaskan kami mencarimu, hampir berputus-asa. Untunglah kami melihat kau yang mencoba menyusup diantara para pengungsi itu.”
“Sudahlah, katakan apa yang kau maui?” berkata Mahisa Murti.
Salah seorang diantara mereka yang mencegat Mahisa Murti dan Kiai Wijang itupun berkata kepada para pengungsi “Nah Ki Sanak. Aku persilahkan kalian melanjutkan perjalanan. Di Talang Alun telah disediakan tempat bagi kalian. Biarlah aku menyelesaikan kedua orang yang telah banyak melakukan kejahatan di Kabuyutan kami. Untunglah mereka berdua belum melakukan kejahatan atas kalian, karena agaknya kalian tidak menjadi ketakutan karenanya. Bahkan nampaknya setiap laki-laki dalam iring-iringan pengungsi ini sudah siap untuk melawan.”
Para pengungsi itu memang menjadi bingung. Namun orang itu berkata selanjutnya “Silahkan meninggalkan tempat ini. Kami akan menangkap mereka dan membawanya kepada Ki Buyut. Jika kedua orang ini melawan, maka kami terpaksa mengakhirinya.”
Para pengungsi itu memang menjadi cemas. Karena itu, maka mereka memang merasa lebih baik tidak ikut campur. Apalagi orang itu mengatakan bahwa ia dan kawan-kawannya mendapat tugas dari Ki Buyut Talang Alun.
Ketika para pengungsi itu bersiap untuk melanjutkan perjalanan, maka Mahisa Murti justru berkata “Silahkan Ki Sanak. Jangan ragu-ragu. Tinggalkan tempat ini dan sampaikan kepada Ki Buyut apa yang telah terjadi disini.”
Para pengungsi yang masih baru saja mencoba untuk beristirahat itu telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Sementara Mahisa Murti berkata “Padukuhan yang pertama sudah tidak jauh lagi. Lampu-lampunya telah nampak dari tempat ini. Yang nampak terang itu tentu obor di regol padukuhan."
Para pengungsi itupun segera melanjutkan perjalanan. Mereka memang menjadi berdebar-debar dan bahkan merasa cemas melihat gelagat yang tidak baik antara keenam orang yang mengikuti mereka dari dalam hutan dengan dua orang yang bersama-sama mereka sejak dari seberang hutan.
Tetapi para pengungsi itu memang tidak ingin ikut campur jika persoalannya adalah persoalan orang-orang Talang Alun sendiri. Mereka memang merasa tidak berhak untuk melibatkan diri kedalamnya. Namun yang menggelisahkan mereka, bahwa Talang Alun yang dikiranya tenang dan damai itu masih juga diguncang oleh peristiwa-peristiwa kekerasan yang mencemaskan.
Sementara itu, ketika para pengungsi itu sudah menjadi semakin jauh, maka Kebo Wengker itupun berkata “Ki Sanak. Kami memang mendapat perintah untuk menyelesaikan Ki Sanak berdua, karena kalian akan dapat membuat suasana menjadi semakin Kalut. Kabuyutan Talang Alun tidak ingin terlibat dalam pertikaian yang terjadi di Pudaklamatan dan Sendang Apit. Karena itu, maka bahwa kalian telah mencoba mencampuri persoalan mereka maka kalian harus dilenyapkan dari bumi Talang Alun.”
Tetapi Mahisa Murti itu justru bertanya, “Bukankah tidak ada pertikaian apa-apa di Pudaklamatan? Bukankah yang terjadi itu satu hal yang sangat wajar, bahwa Ki Buyut Pudaklamatan mengambil kembali miliknya dari tangan adik sepupunya? Kelak anak Ki Buyut itu akan menjadi seorang pemimpin yang besar yang memimpin sebuah Kabuyutan besar yang terdiri dari gabungan dua Kabuyutan. He, apakah kau tidak setuju? Jika sikapmu itu diketahui oleh Ki Buyut Pudaklamatan, anak laki-lakinya atau bahkan mPu Renapati, maka kalian akan menyesal. Apalagi karena kalian sudah menganggap bahwa yang terjadi di Kabuyutan Pudaklamatan adalah satu pertikaian.”
Wajah Kebo Wanter menjadi merah. Sementara Lembu Pangambah membentak “Gila kau. Apapun yang kau katakan, kami akan membunuh kalian.”
“Nah, bukankah sudah aku katakan, sebaiknya kalian katakan langsung, apa maksud kalian. Kalian memang tidak usah berbelit-belit dan berputar-putar.”
“Baik” geram Lembu Pangambah “tundukkan kepalamu. Aku akan memanggilnya. Kematian yang demikian adalah kematian yang paling terhormat bagi kalian daripada kalian akan mati seperti seekor tikus didalam genggaman seekor kucing.”
Mahisa Murti sama sekali tidak menjadi ketakutan. Anak muda itu justru tertawa “Satu tantangan yang sudah terlalu sering diucapkan orang. Sudahlah. Kita tidak usah banyak berbicara. Marilah, kita akan bertempur. Tetapi maaf, bahwa kami memang tidak membawa senjata, karena senjata akan menyulitkan perjalanan kami di Kabuyutan Pudaklamatan.”
Kebo Wanter menggeram. Sambil melangkah surut mengambil jarak ia berkata “Kau memang terlalu sombong. Tetapi jangan takut bahwa aku akan membunuhmu dengan senjata. Jari-jariku cukup kuat untuk mematahkan lehermu, sementara itu kawanku itu akan mencekik kakek tua itu dengan jari-jarinya pula."
“Lalu, apa yang akan dilakukan oleh keempat kawanmu itu?” bertanya Kiai Wijang tiba-tiba.”
Telinga Kebo Wanter menjadi panas bagaikan disentuh api. Dengan geram ia menjawab “Mereka akan menjaga kalian, agar kalian tidak sempat melarikan diri.”
“Apakah kalian menduga bahwa kami akan melarikan diri?” bertanya Kiai Wijang pula.
“Ya.” jawab Kebo Wanter “aku melihat kelicikan di sorot mata kalian. Kalian tidak akan merasa malu untuk melarikan diri karena kalian memang tidak mempunyai harga diri sama sekali.”
Kiai Wijang tertawa. Katanya “Satu dugaan yang tepat. Karena ketika aku muda, maka aku adalah pelari tercepat di padukuhanku. Setiap ada lomba memburu itik, maka aku tentu menjadi pemenangnya.”
“Cukup” bentak Kebo Wanter yang tidak dapat menahan marahnya. Kepada keempat kawannya ia berkata “Jaga agar mereka tidak sempat melarikan diri.”
Keempat kawannya itupun segera memencar di seputar keempat orang yang nampaknya sudah siap untuk bertempur itu. Kebo Wanter yang marah itu segera menghadapi Mahisa Murti, sementara Lembu Pangambah melangkah mendekati Kiai Wijang yang telah mengambil jarak dari Mahisa Murti.
“Pandanglah Kabuyutan Talang Alun untuk yang terakhir. Kau akan segera mati, sebelum kawan para pengawal padukuhan terdekat itu datang kemari. Para pengungsi itu tentu menceriterakan apa yang mereka lihat. Para pengawal tentu ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disini.” geram Kebo Wanter.
“Ya. Sebentar lagi mereka tentu akan datang” sahut Mahisa Murti.
“Tetapi kau tidak akan memiliki waktu yang sebentar itu.” geram Kebo Wanter pula.
Mahisa Murti memang tidak menjawab lagi. Kebo Wanter telah mulai bergerak. Bahkan Lembu Pangambah lah yang justru telah meloncat menyerang Kiai Wijang. Lembu Pangambah ingin dalam waktu yang singkat, orang tua itu sudah dapat dibunuhnya.
Tetapi Kiai Wijang cukup berhati-hati. Dengan tangkasnya ia bergeser ke samping. Tidak sebagaimana seorang tua yang bergerak dengan lamban. Tetapi orang tua itu melenting dengan kecepatan yang justru mendahului serangan lawannya.
Lembu Pangambah memang agak terkejut melihat ketangkasan orang itu. Apalagi ketika ia masih mendengar orang tua itu justru tertawa. Bahkan sambil berkata “Jangan tergesa-gesa, karena kau tidak dapat membidik sasaran dengan baik.”
Lembu Pangambah mengumpat kasar. Namun serangannya pun segera meluncur kembali. Tetapi seperti yang terdahulu, serangannya itu tidak menyentuh sasaran. Lembu Pangambah yang geram itupun berteriak “Jangan lari. Kau tidak akan lepas dari tanganku.”
Tetapi jawaban Kiai Wijang memang menyakitkan telinganya. Katanya “Bukankah aku tidak akan dapat melarikan diri karena kawan-kawanmu telah mengepungku?”
“Persetan kau setan tua. Kau akan menyesal tingkah lakumu itu.” geram Lembu Pangambah.
Kiai Wijang tidak menjawab. Ia melihat dalam keremangan malam, mata Lembu Pangambah itu seakan-akan membara. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya Lembu Pangambah itu menyerang lawannya. Ia sama sekali tidak berusaha untuk menjajagi kemampuan orang tua itu.
Lembu Pangambah ingin pekerjaan itu segera selesai sehingga bersama kawan-kawannya ia akan segera meninggalkan daerah Talang Alun yang banyak dihuni oleh para pengungsi dari Sendang Apit. Tetapi ternyata tidak mudah untuk menundukkan orang tua itu. Ketika orang tua itu mulai bertempur, maka ia sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya lagi.
Sementara itu, Kebo Wanter pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Anak muda yang sombong itu harus dihancurkan dalam waktu yang pendek. Sebelum mati anak muda itu harus mengakui, bahwa ia bukan apa-apa bagi Kebo Wanter. Tetapi ternyata bahwa perhitungan Kebo Wanter itu keliru. Anak muda itu tidak segera dapat ditundukkannya. Serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh sasaran. Bahkan sekali-sekali, anak muda itu justru dengan sengaja membentur serangannya.
Kebo Wanter adalah seorang yang memiliki pengalaman yang luas. Sebagai seorang yang ditempa di sebuah padepokan, maka Kebo Wanter pun memiliki landasan ilmu yang cukup tinggi. Namun yang dihadapinya adalah Mahisa Murti, pemimpin sebuah padepokan yang cukup besar dan bahkan telah mendapat perhatian khusus dari Singasari.
Karena itu, maka Kebo Wanter mulai merasa dihadapkan pada sebuah teka-teki, bahwa anak muda dari Talang Alun itu tidak segera dapat ditundukkannya. Dengan, demikian, maka Kebo Wanter, seorang murid dari perguruan mPu Renapati yang terpilih itu, menjadi semakin marah. Tidak seharusnya anak dari Talang Alun itu dapat bertahan terlalu lama menghadapinya.
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Anak muda itu masih mampu bertahan. Bahkan serangan-serangan Kebo Wanter itu masih belum berhasil menyentuh kulitnya. Karena itu, maka Kebo Wanter tidak lagi mengekang dirinya. Ia berniat segera mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka iapun segera meningkat ke tataran ilmunya yang lebih tinggi. Yang sebelumnya sama sekali tidak diduganya, bahkan ia akan sampai ke tataran itu untuk menghadapi anak muda Talang Alun itu.
Dengan demikian, maka serangan-serangan Kebo Wanter pun menjadi semakin keras dan cepat. Kakinya berloncatan di seputar Mahisa Murti yang berusaha tidak terlalu banyak bergerak. Namun setiap geraknya seakan-akan telah menimbulkan getar udara yang menerpa kulit lawannya. Mula-mula Kebo Wanter tidak mau menghiraukan hal itu. Namun kemudian ia menyadari, bahwa hal itu memang terjadi.
“Kau sadap ilmumu itu dari iblis mana, anak muda?” bertanya Kebo Wanter kemudian.
“Aku tidak bersahabat dengan iblis Ki Sanak” jawab Mahisa Murti.
“Persetan dengan kesombonganmu” geram Kebo Wanter. Namun Kebo Wanter itupun kemudian harus mengakui, bahwa lawannya yang masih muda itu memang berilmu tinggi.
Seperti Kebo Wanter masih belum ingin mempergunakan senjata. Ia tahu bahwa lawannya yang masih muda itu tidak bersenjata. Iapun telah berkata bahwa ia akan membunuh anak muda itu tanpa senjata. Karena itu, betapapun ia menghadapi kenyataan bahwa lawannya itu berilmu tinggi, maka Kebo Wanter masih belum mempergunakan senjatanya.
Tetapi benturan-benturan yang kemudian terjadi, memaksa Kebo Wanter berpikir ulang. Ia tidak dapat sekedar menjunjung harga dirinya, tetapi semakin mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri.
Apalagi ketika kemudian, Mahisa Murti mulai menembus pertahanan Kebo Wanter dengan serangan-serangannya. Justru saat Kebo Wanter menggapai tataran ilmu yang dikuasainya, maka Mahisa Murti mulai menguak pertahanannya. Ketika Kebo Wanter meloncat menyerang dengan garangnya, dengan menjulurkan tangannya ke arah pelipis Mahisa Murti, maka Mahisa Murti justru merendah. Sambil memutar tubuhnya, maka Mahisa Murti telah menjulurkan sebelah kakinya mengarah ke dada Kebo Wanter. Tetapi Kebo Wanter sempat menghindar. Dengan cepat Kebo Wanter memiringkan tubuhnya.
Serangan kaki Mahisa Murti itu memang tidak mengenai sasarannya. Namun Mahisa Murti tidak berhenti. Dengan loncatan kecil, tubuhnya berputar. Kakinyalah yang dengan derasnya terayun menggapai kening.
Ternyata Kebo Wanter tidak mampu bergerak secepat Mahisa Murti. Meskipun ia tanggap akan serangan kaki berikutnya, namun Kebo Wanter ternyata telah terlambat menghindar. Kaki Mahisa Murti yang terayun mendatar itu menyambar keningnya. Demikian derasnya, sehingga Kebo Wanter pun telah terdorong beberapa langkah dan bahkan kemudian telah kehilangan keseimbangannya pula.
Kebo Wanter itu jatuh terbanting di tanah. Satu kejadian yang tidak pernah diperkirakan sejak ia berangkat dari padepokan Renapati. Yang diangan-angankan adalah bagaimana membunuh anak Talang Alun itu dengan tangannya, membiarkan mayatnya terbujur di bulak itu.
Jika kemudian mayat itu oleh orang-orang Talang Alun maka mereka akan menjadi bingung. Mungkin mereka dapat menduga bahwa anak muda dan seorang kawannya telah dibunuh oleh orang seberang hutan, tetapi karena kematiannya terjadi di Kabuyutan Talang Alun, maka orang-orang Talang Alun tidak dapat menuduh, bahwa orang-orang seberang hutan itulah yang telah membunuhnya...
“Bahkan kedua pengawal itu berpesan dengan lebih bersungguh-sungguh bahwa hal ini jangan sampai diketahui oleh siapapun.” berkata Ki Bekel selanjutnya.
“Tetapi Ki Bekel memberitahukan kepada kami” desis Mahisa Murti sambil tersenyum.
“Kami hanya memberitahukan kepada orang-orang yang sangat kami percaya. Orang yang aku perintahkan menemui angger itu pun orang yang sangat aku percaya” jawab Ki Bekel.
“Jika demikian, Ki Bekel” berkata Mahisa Murti, “keadaan memang menjadi sangat gawat. Biarlah nanti malam Putut Lembana dan Mahisa Semu berada di banjar. Kami akan menempatkan empat orang cantrik pilihan. Sementara kami akan mengirimkan dua orang Putut yang lain ke rumah Ki Buyut Talang Alun. Tetapi mereka tidak akan bertemu langsung dengan Ki Buyut. Mereka mengenal baik anak-anak muda di Kabuyutan, sehingga biar saja mereka langsung berbaur dengan mereka.”
“Terima kasih, ngger. Aku telah mengerti maksud angger. Agaknya angger mencemaskan kemungkinan ada orang-orang yang langsung memburu anak Ki Buyut Sendang Apit itu sampai kemari.”
“Ya, Ki Bekel.” jawab Mahisa Murti, sementara Kiai Wijang telah menyambungnya “Kami dapat membaca naluri kedua pengawal yang tajam itu, sehingga mereka merasa perlu memindahkan momongannya.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bergumam “Jika demikian, maka kami harus bersiap-siap sepenuhnya.”
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti pun menjawab “Ya. Padukuhan ini harus benar-benar bersiap. Yang akan dihadapi mungkin bukan sekedar perampok betapapun kuatnya. Tetapi mungkin satu kelompok khusus yang dikirim untuk memburu anak ki Buyut Sendang Apit itu.”
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun mohon diri. Sementara itu, Ki Bekel pun langsung memerintahkan anak-anak muda padukuhan itu bersiap-siap. Bahkan bukan hanya anak-anak muda, tetapi semua laki-laki yang berani dan masih memiliki tenaga dan kemampuan untuk ikut mengamankan padukuhan mereka dari pihak manapun juga.
Ki Bekel sendiri tidak hanya sekedar memberi perintah. Tetapi ia sudah berniat untuk memimpin langsung kekuatan padukuhan itu jika terjadi sesuatu. Dengan demikian, maka setiap bebahu pun telah ikut bersiap-siap pula menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Menjelang senja, maka seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka Putut Lembana dan Mahisa Semu telah berada di padukuhan itu berserta empat orang cantrik pilihan. Pada waktu yang sama, dua orang Putut yang lain serta empat orang cantrik pula telah berada di padukuhan induk Kabuyutan Talang Alun. Kehadiran anak Ki Buyut Sendang Apit agaknya telah membuat padukuhan induk Kabuyutan Talang Alun juga bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan atas permintaan kedua orang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu.
Berbeda dengan kehadiran Putut Lembana dan Mahisa Semu di Logandeng yang langsung berhubungan dengan Ki Bekel, maka Putut Manyar dan Putut Parama serta para cantrik yang datang bersamanya, justru langsung berada di banjar bersama anak-anak muda yang sudah mereka kenal dengan baik.
Namun ternyata tidak seorang pun diantara anak-anak muda yang mengetahui, bahwa anak Ki Buyut Sendang Apit ada di padukuhan induk itu. Tidak seorang pun yang menyebutnya. Bahkan seorang bebahu yang ada diantara mereka pun tidak menyinggung bahwa diantara para pengungsi itu terdapat anak Ki Buyut Sendang Apit. Namun justru karena itu, maka kedua Putut dan para cantrik dari Padepokan Bajra Seta juga tidak menyebut sama sekali tentang pengungsi yang khusus itu.
Ketika malam turun, maka baik di padukuhan induk, maupun di padukuhan Logandeng, gardu-gardu pun telah berisi. Demikian pula banjar padukuhan. Ki Bekel dan para bebahu juga sudah berada di banjar pula. Ki Bekel yang duduk di pendapa banjar bersama Putut Lembana dan Mahisa Semu serta para bebahu telah membicarakan banyak kemungkinan yang dapat terjadi di padukuhan itu.
Dalam pada itu, maka Putut Lembana pun berkata “Ki Bekel. Keadaan ini mungkin akan berlangsung untuk waktu yang agak panjang. Ki Bekel harus berusaha untuk selanjutnya, mengatur tugas-tugas anak-anak muda. Karena tugas-tugas mereka memerlukan waktu, maka sebaiknya semua tenaga jangan dihentakkan habis-habisan. Jika malam ini semua anak muda dan laki-laki keluar dari rumah, dapat dimengerti, justru pada hari yang pertama. Namun mulai besok, sebaiknya Ki Bekel mulai menghemat tenaga. Anak-anak muda dan laki-laki di padukuhan ini dapat diatur bergantian. Dengan demikian maka tenaga mereka tidak terhambur sia-sia.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya “Aku sependapat ngger. Tetapi hari ini aku tidak sempat melakukannya. Tetapi malam nanti, menjelang dini, aku akan memanggil para bebahu untuk mengatur kegiatan di malam-malam berikutnya.”
Tetapi pembicaraan mereka terputus ketika dua orang anak muda naik ke pendapa banjar dengan tergesa-gesa.
“Ada apa?” bertanya Ki Bekel.
“Ki Bekel” jawab salah seorang dari anak muda itu “aku melihat sekelompok orang yang tidak dikenal mendekati padukuhan ini.”
“Mungkin mereka sekelompok pengungsi yang baru datang” desis Ki Bekel.
“Tidak. Mereka semuanya laki-laki bersenjata.”
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, ”aku akan ke pintu gerbang padukuhan.”
“Mereka sudah semakin dekat. Kami yang berada di bulak berlari lewat pematang dan tanggul parit mendahului mereka.” berkata salah seorang dari keduanya.
Ki Bekel pun dengan tergesa-gesa telah bersiap menuju ke regol padukuhan. Putut Lembana, Mahisa Semu dan para bebahu pun ikut pula bersamanya. Sementara anak-anak muda dan laki-laki yang ada di banjar diminta mempersiapkan diri.
“Hubungi gardu-gardu peronda. Kalian datang kepada mereka. Jangan bunyikan isyarat lebih dahulu sebelum semuanya jelas. Mungkin kita memang tidak perlu membunyikannya. Anak-anak muda yang ada di gardu di belakang regol akan dapat menjadi penghubung jika baik sekali.”
Demikianlah, maka Ki Bekel serta beberapa orang pun telah menuju ke regol padukuhan. Beberapa saat mereka menunggu. Sementara itu kepada beberapa orang anak muda yang ada di gardu di belakang regol, Ki Bekel minta mereka mengamati keadaan. Mungkin mereka memang tidak melewati regol padukuhan.
“Buat hubungan dari gardu ke gardu untuk mengamati seluruh jalan masuk ke padukuhan ini.” berkata Ki Bekel kepada anak-anak muda yang sedang meronda.
Anak-anak muda yang sedang meronda itupun sea-era menjalankan tugas sebagaimana diperintahkan oleh Ki Bekel. Mereka segera memencar untuk menghubungi gardu-gardu yang tersebar. Beranting perintah Ki Bekel itupun dalam waktu yang singkat telah sampai kepada para peronda di gardu-gardu terutama yang dekat dengan jalur jalan memasuki padukuhan itu.
Untuk beberapa saat Ki Bekel menunggu. Demikian pula anak-anak muda yang mengawasi setiap pintu regol. Namun mereka tidak melihat seorang pun. Bahkan para peronda itu tidak saja mengawasi jalan-jalan masuk, tetapi juga dinding padukuhan yang seakan-akan setiap jengkal mendapat pengawasan yang sungguh-sungguh.
Putut Lembana yang berada di regol induk bersama Ki Bekel itu dengan kepekaan panggraitanya merasakan satu kejanggalan. Sekelompok orang itu tentu sudah berada di sekitar padukuhan itu. Mungkin mereka sengaja menunggu. Tetapi mungkin tidak.
Karena itu, seakan-akan demikian tiba-tiba ia berkata “Ki Bekel, aku akan pergi ke banjar. Aku ingin melihat rumah tempat anak Ki Buyut Sendang Apit itu kemarin tinggal, sebelum dipindahkan ke rumah Ki Buyut Talang Alun.”
“Untuk apa?” bertanya Ki Bekel.
“Aku akan melihatnya” jawab Putut Lembana. Lalu katanya kepada Mahisa Semu” Marilah. Kita lihat rumah itu.”
Dengan tergesa-gesa Putut Lembana dan Mahisa Semu telah pergi ke banjar. Namun sebelum mereka sampai, ternyata mereka telah melihat keributan yang terjadi. Demikian Putut Lembana sampai ke banjar, maka iapun segera bertanya “Apa yang terjadi?”
“Beberapa orang telah mendatangi rumah sebelah” jawab anak muda itu.
“Dimana para cantrik sekarang?” bertanya Mahisa Semu
“Mereka telah pergi ke rumah sebelah,” jawab anak muda itu. Lalu katanya pula “Kawan-kawan juga sudah pergi ke rumah sebelah.”
Putut Lembana dan Mahisa Semu pun segera berlari Putut Lembana itu sempat berdesis “Aku sudah mengira Mereka tentu bukan orang kebanyakan. Mereka mampu memasuki padukuhan ini tanpa diketahui oleh para peronda dan anak-anak muda yang bertugas.”
“Kenapa mereka mendatangi rumah itu?” bertanya Mahisa Semu.
“Mereka mengira bahwa anak Ki Buyut Sendang Apit masih berada ditempat itu.”
Mahisa Semu tidak sempat bertanya lagi. Mereka telah memasuki halaman rumah saudara Ki Bekel yang sebelumnya menjadi tempat tinggal anak Ki Buyut Sendang Apit yang telah mengungsi dari Kabuyutannya yang sedang kalut.
Pertempuran memang telah terjadi di halaman rumah itu Para cantrik telah terlibat pula didalamnya selain beberapa orang anak muda. Bebahu Sendang Apit yang mengungsi di rumah itupun telah ikut bertempur pula bersama anak-anak muda Logandeng.
Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang yang datang menyerang itu memiliki beberapa kelebihan dari anak-anak muda Logandeng. Untunglah para cantrik sudah ada diantara mereka, sehingga meskipun hanya empat orang, namun para cantrik itu dapat memberikan kekuatan dan lebih dari itu, keempat cantrik yang bertempur dengan garangnya itu menjadi pendorong jiwani bagi keberanian anak-anak muda Logandeng sebagaimana saat mereka bertempur dengan sekelompok perampok yang dipimpin oleh Jaran Abang.
Kedatangan Putut Lembana dan Mahisa Semu ternyata telah membangkitkan keberanian yang semakin tinggi. Beberapa orang anak muda diluar sadarnya tiba-tiba saja sudah bersorak, sehingga sekelompok orang yang menyerang padukuhan Logandeng itu terkejut. Merekapun segera sadar, bahwa yang datang itu tentu orang-orang yang dianggap penting oleh anak-anak muda Logandeng itu.
Sebenarnyalah ketika Putut Lembana dan Mahisa Semu mulai turun ke gelanggang, maka orang-orang yang datang menyerang itu mengetahui dengan pasti, bahwa dua orang anak muda itu memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda yang lain.
Pemimpin sekelompok orang yang menyerang padukuhan itupun telah berusaha untuk dapat langsung menghadapi Putut Lembana. Sementara itu, Putut Lembana pun tidak menghindarinya.
“Kau tentu bukan bagian dari anak-anak muda Logandeng” geram lawannya itu.
“Kenapa? Aku adalah bagian dari mereka. Aku kemanakan Ki Bekel Logandeng” jawab Putut Lembana.
“Omong kosong” geram orang itu sambil menyerang.
Dengan tangkas Putut Lembana menghindari serangan itu. Bahkan iapun telah mulai menyerang pula dengan cepatnya.
Sementara itu, lawannya itu bertanya pula “Dimana kau sembunyikan anak itu he?”
“Anak yang mana?” jawab Putut Lembana.
“Jangan berpura-pura. Jika kami tidak menemukan anak itu, maka padukuhan ini akan kami hancurkan.” geram orang itu.
“Kau salah menilai kemampuan anak-anak muda Logandeng” jawab Putut Lembana” tetapi semuanya sudah terlanjur. Kau sudah terlanjur menginjak bumi Logandeng. Kau telah membasahi bumi kami dengan darah. Karena itu, maka kalian tidak akan dapat keluar lagi dari padukuhan ini. Kemungkinan terbaik bagi kalian hanyalah menyerahkan diri. Karena kami tidak terbiasa membunuh orang yang sudah menyerah.”
Orang itu benar-benar menjadi marah. Ia merasa terhina oleh kata-kata Putut Lembana. Karena itu, maka iapun kemudian menyerang dengan garangnya.
Tetapi Putut Lembana dengan tangkasnya menghindari serangan itu dengan loncatan panjang. Lawannya mengira bahwa Putut Lembana itu terdesak. Tetapi Putut Lembana justru tertawa sambil berkata “Apakah kau benar-benar orang Pudaklamatan? Atau kau datang dari Padepokan Kencana Pura yang lebih dikenal dengan Padepokan Renapati?”
“Setan kau. Darimana kau dapat menyebut semuanya”
Putut Lembana meloncat menghindari serangan lawannya. Namun ia sempat bertanya pula “Siapa namamu he? Kau kira aku tidak dapat melihat bahwa ada beberapa orang diantara kalian yang memiliki unsur gerak yang senafas. Tentu kemampuan itu kajian terima dari sebuah perguruan”
“Tutup mulutmu. Aku akan membunuhmu” geram orang itu.
Putut Lembana tidak bertanya lagi. Pertempuran diantara keduanya menjadi semakin sengit. Tetapi justru Putut Lembana mengenali kesamaan unsur gerak dari beberapa orang kawannya, maka seakan-akan tanpa menyadarinya, iapun mulai memperhatikan beberapa orang yang mengaku anak-anak muda Padukuhan Logandeng. Pada setiap kesempatan ia mencoba mengenali unsur gerak anak-anak muda yang bertempur di halaman. Ternyata orang itupun mampu mengenali kesamaan antara beberapa orang yang ternyata adalah para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Hampir diluar sadarnya pula orang itu berteriak “He, siapa sebenarnya kau dan beberapa orang yang ada disini, he? Jika kau dapat menyebut aku dari sebuah perguruan, bukankah kau dan beberapa orang kawanmu juga datang dari sebuah perguruan?”
“Ya” jawab Putut Lembana “seorang yang berilmu telah datang hampir setiap pekan dua kali untuk melatih kami, anak-anak muda Logandeng dalam olah kanuragan. Memang tidak semua, tetapi sebagian dari kami.”
Orang itu menggeram marah. Dengan serta merta ia meningkatkan kemampuannya menyerang Putut Lembana bagaikan arus banjir bandang. Tetapi Putut Lembana ternyata cukup tangkas. Serangan-serangan lawannya dapat dihindarinya. Bahkan sekali-sekali iapun telah membalas menyerang pula. Bahkan serangan-serangan Putut Lembana cukup mengejutkan lawannya.
Sementara itu, Mahisa Semu pun bertempur dengan sengitnya pula. Ia menghadapi seorang yang bertubuh sedang. Namun wajahnya nampak garang. Seleret bekas luka terdapat dikeningnya, Kepalanya yang botak membuat kesan tersendiri. Namun Mahisa Semu dengan tangkasnya melawan orang berkepala botak itu. Dengan cepat ia berloncatan menghindari serangan-serangan yang keras. Namun tiba-tiba saja Mahisa Semu lah yang meloncat menyerang.
Lawannya memang memiliki pengalaman yang lebih luas. Tetapi bahwa Mahisa Semu yang telah ditempa di Padepokan Bajra Seta, telah membuat lawannya kadang-kadang menjadi bingung. Mahisa Semu yang bagi lawannya masih terlalu muda itu, ternyata sulit untuk dapat dikuasainya.
Mahisa Semu yang telah mendalami latihan-latihan untuk membangunkan tenaga dalamnya itu, benar-benar telah mengejutkan lawannya ketika sekali-sekali terjadi benturan. Anak yang masih sangat muda itu ternyata telah memiliki kekuatan yang sangat besar, serta kemampuan ilmu yang mendebarkan.
Bahkan ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit. Mahisa Semu justru mulai berhasil menyusupkan serangan-serangannya disela-sela pertahanan lawannya. Lawannya yang berkepala botak itu terkejut ketika kaki Mahisa Semu ternyata mampu menggapai lambungnya sehingga orang berkepala botak itu terdorong selangkah surut. Orang itu menyeringai kesakitan. Namun mulutnya telah mengumpat kasar. Mahisa Semu yang melihat lawannya mengambil jarak, justru tidak memburunya. Ia berusaha menahan diri untuk melihat akibat dari serangannya.
“Anak iblis” geram orang berkepala botak itu “kau benar-benar tidak tahu diri. Kau kira bahwa seranganmu itu benar-benar dapat mengenai tubuhku. Jika sekali kau berhasil itu karena aku ingin mencoba, seberapa jauh kekuatan serta ketrampilanmu.”
“Apakah kau sudah dapat menilai hasilnya?” bertanya Mahisa Semu.
“Gila kau. Aku koyakkan mulutmu” geram orang itu. Mahisa Semu memang tidak berbicara lebih banyak lagi.
Namun serangan-serangannya yang kemudian datang seperti badai yang menghantam dan mengguncang pepohonan. Orang berkepala botak itu harus melihat kenyataan. Anak yang masih sangat muda itu ternyata benar-benar telah menggetarkan jantungnya. Beberapa kali orang berkepala botak itu harus berloncatan mundur.
Orang berkepala botak itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sementara itu anak-anak muda menjadi semakin banyak berdatangan. Bahkan kemudian Ki Bekel dan beberapa bebahu yang mendapat laporan segera datang pula. Karena itulah, maka orang-orang yang datang menyerang itu harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang datang itu cukup licik. Dua orang diantara mereka telah menyelinap masuk melalui pintu butulan. Karena pintu itu diselarak dari dalam, maka pintu itu telah dirusak dan dipecahkan dari luar. Dua orang itu sempat menerobos masuk ke dalam dan mencari anak Ki Buyut Sendang Apit yang mereka cari.
Kedua orang itu telah menggemparkan orang-orang yang ada didalam rumah itu. Beberapa orang perempuan telah berteriak. Sementara semua laki-laki telah keluar ikut bertempur di halaman rumah itu. Termasuk bebahu yang mengungsi ke tempat itu serta adik Ki Bekel itu sendiri. Tetapi kedua orang itu tidak menemukan yang mereka cari. Didalam rumah itu tidak ada seorang anak laki-laki remaja. Juga pengawal-pengawalnya tidak kelihatan berada di rumah itu.
Sementara itu jerit perempuan didalam rumah itu telah mengundang perhatian anak-anak muda yang ada didalam halaman. Karena itu, maka beberapa orang diantara mereka telah meloncat berlari ke pintu pringgitan.
Seorang cantrik yang melihat mereka pun telah menyusul pula sambil berkata “Tunggu”
“Aku dengar jerit didalam rumah.” berkata seorang anak muda.
Cantrik itu tidak menjawab. Tetapi dengan pedang di tangan ia berdiri di depan pintu pringgitan yang terbuka sedikit.
“Kenapa kau justru berhenti di situ?” bertanya seorang anak muda.
Cantrik itu masih tidak menjawab. Namun perlahan-lahan ia berkisar. Dengan hati-hati ia memperhatikan keadaan di ruang dalam. Beberapa orang perempuan berdiri ketakutan. Namun cantrik itu sempat membaca arah pandangan mata perempuan-perempuan itu lewat pintu yang sedikit terbuka itu. Karena itu, maka dengan serta merta cantrik itu telah menendang pintu yang sedikit terbuka itu. Sekaligus meloncat dengan pedang terjulur.
Seperti yang diperhitungkan, maka seorang diantara kedua orang yang ada didalam rumah itu telah mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher cantrik itu. Tetapi cantrik itu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, dengan tangkasnya ia merendah dan sekaligus meloncat menjauhi pintu. Sementara itu ujung tombak dari seorang yang satu lagi telah terjulur pula. Tetapi sekali lagi cantrik itu meloncat menjauh.
Pada saat itu, dua orang anak muda telah menerobos masuk pula, sementara cantrik itu berteriak “Hati-hati.”
Tetapi seorang diantara kedua orang yang telah berada didalam, yang siap menyerang anak-anak muda itu justru harus meloncat menghindari serangan cantrik yang sudah lebih dahulu masuk. Sedangkan kedua orang anak muda yang menyusul kemudian itupun segera bersiap menghadapi orang yang satu lagi.
Ketika dua orang anak muda yang lain masuk pula kedalam, maka cantrik itupun berkata “jaga perempuan dan anak-anak itu.”
Namun nampaknya kedua orang yang menyelinap masuk itu tidak ingin bertempur di ruang dalam yang sempit. Tetapi mereka juga tidak mau keluar lewat pintu depan, karena dengan demikian maka mereka akan sampai di pringgitan. Karena itu, maka terdengar isyarat dari salah seorang diantara mereka. Sebuah suitan nyaring telah menggetarkan seisi rumah itu. Bahkan getarannya terdengar sampai ke halaman.
Kedua orang yang sudah ada didalam itupun dengan serta merta telah meloncat meninggalkan ruang dalam menembus pintu samping masuk ke serambi dan berlari keluar pintu butulan. Pintu yang telah mereka pecahkan ketika mereka memasuki bagian dalam rumah itu dengan tidak melalui pintu depan.
Ternyata isyarat itu bukan sekedar isyarat untuk berlari keluar dari ruang dalam. Tetapi juga isyarat, yang memberitahukan bahwa didalam rumah itu tidak terdapat orang yang mereka cari. Didalam rumah itu tidak diketemukan anak Ki Buyut Sendang Apit. Tidak pula para pengawalnya. Isyarat itu terdengar sahut menyahut. Yang seorang memberikan isyarat yang didengar oleh yang lain. Yang lain pun telah memperdengarkan isyarat pula.
Namun dalam pada itu, Putut Lembana yang bertempur dengan pemimpin kelompok dari orang-orang yang menyerang itu mendengar pula isyarat itu. Karena itu, maka serangan-serangan justru menjadi semakin sengit. Ia sama sekali tidak berniat untuk memberi kesempatan orang itu melarikan diri dari arena.
Pertempuran itu memang menjadi semakin sengit. Orang-orang yang datang menyerang itu merasa telah terjebak dalam satu pertempuran yang rapat, sehingga sulit bagi mereka untuk melarikan diri dari arena. Satu dua orang diantara mereka memang telah menjadi korban dalam pertempuran itu.
Sementara itu, cantrik yang bertempur didalam rumah, serta anak-anak muda yang bersamanya, ternyata mengalami kesulitan untuk mengejar kedua orang yang melarikan diri itu. Keduanya dengan cepat berpencar dan masuk kedalam gelap. Cantrik dan anak-anak muda yang mengejarnya ternyata telah kehilangan jejak. Ketika mereka menyusul buruan mereka meloncati dinding halaman, maka orang yang mereka kejar itu telah hilang.
Cantrik itupun bersama dengan anak-anak muda yang ikut mengejar buruan mereka akhirnya harus kembali ke halaman, menyatukan diri dengan kawan-kawan mereka yang telah mengepung halaman itu. Tetapi beberapa orang diantara mereka ternyata tidak menunggu lebih lama lagi, Ketika mereka mendengar isyarat itu, maka mereka pun dengan serta merta telah berusaha untuk mencari jalan keluar dari halaman rumah itu.
Pemimpin kelompok mereka ternyata tidak mampu berbuat sesuatu. Demikian pula orang yang sedang bertempur melawan Mahisa Semu. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk meninggalkan arena. Putut Lembana dan Mahisa Semu tanggap akan isyarat yang terdengar, sehingga justru karena itu, maka mereka menjadi seakan-akan semakin lekat dengan lawan-lawan mereka. Tetapi beberapa orang memang sempat melarikan diri, sedang yang lain lagi harus menyerah karena mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Namun lawan Putut Lembana itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang telah terjadi. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia berusaha untuk menguasai Putut Lembana. Namun ternyata usahanya sia-sia. Putut Lembana yang sudah ditempa di Padepokan Bajra Seta itu ternyata mampu mengimbanginya, bahkan kemudian semakin jelas, bahwa Putut Lembana memiliki kelebihan dari lawannya.
Sedangkan yang bertempur melawan Mahisa Semu menjadi seperti orang yang sedang mabuk. Lawannya yang masih muda itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengambil jarak. Setiap kali lawannya meloncat surut, maka dengan cepat Mahisa Semu telah memburunya. Bahkan kemudian sekali-sekali serangan Mahisa Semu yang masih terlalu muda itu justru mulai menyusup menembus pertahanan lawannya.
Lawannya yang semula menganggap bahwa Mahisa Semu tidak lebih dari seorang anak kecil, menjadi gugup ketika keningnya ternyata mulai tersentuh tangan Mahisa Semu terayun menebas dengan kerasnya, sementara orang itu menghindari dengan menundukkan kepalanya, Mahisa Semu telah memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Demikian orang itu menunduk, maka dengan pukulan yang keras, Mahisa Semu menyerang kepala yang botak itu dengan sisi telapak tangannya pula.
Orang itu mengaduh tertahan. Namun kepalanya yang tunduk itu menjadi semakin menunduk. Hampir bersamaan dengan itu, maka Mahisa Semu telah mengangkat lututnya, sehingga lutut itu telah membentur hidung orang yang berkepala botak itu. Sekali lagi orang itu mengaduh. Wajahnya pun segera terangkat. Namun Mahisa Semu yang belum berpengalaman itu, justru menghentikan serangannya ketika ia melihat darah di hidung lawannya yang telah membentur lututnya.
Kesempatan itu dipergunakan oleh lawannya untuk meloncat mengambil jarak. Ketika Mahisa Semu meloncat memburunya, langkahnya tertegun. Lawannya itu mengacukan parangnya sambil berkata “Semula aku segan mempergunakan senjata, karena aku mengira bahwa lawanku tidak lebih dari anak-anak yang baru lepas menyusu. Ternyata lawanku tidak kurang dari anak serigala yang liar dan buas”
Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah menarik luwuknya yang memiliki nilai tersendiri bagi anak muda itu.
“Bagus” berkata lawannya yang hidungnya berdarah “Apa boleh buat. Kau akan mati karena senjataku. Meskipun aku tidak berhasil memutar lehermu sampai patah dan terpaksa mempergunakan senjata, namun kematianmu akan memberikan kesadaran kepada kawan-kawanmu bahwa anak-anak muda padukuhan Logandeng tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari anak-anak muda yang lain.”
Mahisa Semu sama sekali tidak menjawab. Tetapi dengan loncatan panjang anak itu mulai menyerang. Pertempuran berikutnya merupakan pertempuran yang sengit. Kedua senjata itu berputaran dengan cepat. Sekali-sekali senjata itu beradu. Namun ternyata bahwa tenaga Mahisa Semu semakin lama justru menjadi semakin mapan. Sementara tenaga lawannya menjadi semakin menyusut.
Tetapi lawan Mahisa Semu memang memiliki pengalaman yang lebih banyak. Karena itu, maka dengan pengalamannya yang panjang itu, orang berkepala botak itu sekali dua kali mampu menipu Mahisa Semu dengan gerakan-gerakan yang cepat dan mengejutkan. Mahisa Semu terkejut ketika perasaan pedih menyengat lambungnya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Semu lah yang meloncat mengambil jarak.
Terasa bahwa cairan yang hangat mengalir dari lambungnya itu. Ujung senjata lawannya telah menyentuh kulitnya, sehingga seleret luka telah menganga. Kemarahan anak muda itu telah membakar jantungnya. Karena itu, maka ia tidak lagi mengekang diri. Lawannya ternyata telah melukainya. Dengan garangnya Mahisa Semu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Justru sebelum tenaganya menjadi jauh susut, jika darahnya tidak segera menjadi pampat. Karena itulah, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan bertahan.
Tetapi Mahisa Semu yang telah ditempa dengan sungguh-sungguh itu ternyata mempunyai peluang yang lebih banyak. Meskipun ia telah terluka, namun serangan-serangannya justru menjadi semakin berbahaya. Lukanya merupakan cambuk baginya untuk menyelesaikan lawannya.
Lawannya benar-benar mengalami kesulitan. Serangan-serangan Mahisa Semu benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Meskipun lambungnya telah tergores ujung senjata, tetapi tenaga dan kemampuannya sama sekali tidak menyusut. Itulah sebabnya, maka lawannya benar-benar menjadi cemas. Beberapa kali luwuk Mahisa Semu berdesing ditelinganya. Bahkan semakin lama rasa-rasanya ujung senjata Mahisa Semu itu semakin dekat di wajah kulitnya.
Lawan Mahisa Semu yang berkepala botak itu benar-benar mengalami kesulitan. Rasa-rasanya ia sudah tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk dapat menyentuh kulit anak muda itu dengan senjatanya. Bahkan orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja ujung luwuk Mahisa Semu itu sempat menggapai pundaknya.
Orang itu meloncat jauh kebelakang. Memang ada niatnya untuk melarikan diri. Tetapi rasa-rasanya sulit baginya untuk mendapatkan kesempatan karena Mahisa Semu selalu melekat dengan senjata berputaran. Jika ia mencoba untuk melarikan diri, maka punggungnya akan dapat dilubangi dengan luwuk oleh anak itu. Namun untuk bertempur terus rasa-rasanya memang sia-sia saja.
Sementara itu, lawan Putut Lembana mengalami kesulitan pula. Pemimpin kelompok itu benar-benar tidak akan mampu mengalahkan Putut Lembana. Tetapi justru karena ia diserahi untuk bertanggung jawab atas tugas kelompoknya, maka rasa-rasanya ia tidak akan dapat begitu saja meninggalkan arena itu. Kegagalan itu akan dapat menghancurkan namanya. Ia akan menjadi tidak berharga lagi bagi pemimpinnya dan bahkan perguruannya, justru pada saat ia mulai merayap untuk menggapai satu kedudukan yang terhormat.
Karena itu, maka orang itu harus membuat satu pilihan diantara beberapa kemungkinan. Melarikan diri tanpa menghiraukan kawannya yang masih bertempur. Tetapi kemudian namanya akan dicampakkan di lubang sampah dan bahkan mungkin akan ditimbun dengan sampah pula atau bahkan akan dibakar sama sekali. Atau ia harus memilih untuk mati di pertempuran itu.
Meskipun ia tidak begitu jelas untuk apa sebenarnya ia mati. Sedangkan kemungkinan yang lain adalah menyerah saja. Namanya tentu juga akan terlempar dari deretan nama-nama laki-laki jantan di perguruannya. Tetapi ia tidak akan mengalami siksaan penghinaan diantara saudara-saudara seperguruannya. Karena itu, maka orang itu telah memilih kemungkinan yang terakhir.
Ketika ia semakin terdesak dan mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari putaran serangan Putut Lembana, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Ketika punggungnya sudah melekat dinding halaman, maka orang itu benar-benar telah berputus asa. Ia tidak akan sempat meloncat keatas dinding, karena justru jika ia melakukannya, maka lawannya akan dapat menyerangnya dan bahkan menghancurkan tulang punggungnya.
Karena itu, maka pemimpin kelompok orang-orang yang menyerang padukuhan itupun berteriak sambil mengacukan tangannya ke depan, seakan-akan ingin menahan agar lawannya tidak bergeser lebih dekat lagi “Aku menyerah. Aku menyerah.”
Putut Lembana menahan dirinya. Sebenarnya ia sudah siap meloncat menyerang lawannya yang sudah tidak mempunyai banyak kesempatan itu. Ia berharap dengan demikian, maka pertempuran itu akan segera berakhir. Tetapi ternyata lawannya telah menyatakan untuk menyerahkan diri.
Namun dalam pada itu, lawan Mahisa Semu terlambat untuk melemparkan senjatanya dan menyatakan diri menyerah. Sesaat sebelum pemimpin kelompoknya itu menyerah, Mahisa Semu telah meloncat dengan garangnya. Senjata terjulur lurus mengarah ke dada lawannya. Namun dengan sekuat tenaganya berusaha menangkis serangan itu dengan menebas senjata Mahisa Semu ke samping. Tetapi Mahisa Semu mengurungkan serangannya. Senjata itu tiba-tiba menggeliat. Luwuk Mahisa Semu tidak menusuk ke arah jantung, tetapi kemudian terayun mendatar.
Lawannya terkejut. Tetapi ia masih sempat menghindar. Tetapi serangan berikutnya, senjata itu telah mematuk lurus kembali. Lawannya yang berkepala botak itu hanya sempat memiringkan tubuhnya. Karena itu, maka ia tidak mampu melepaskan diri sepenuhnya dari garis serangan lawannya yang masih sangat muda itu. Terdengar orang itu mengaduh ketika luwuk Mahisa Semu itu menembus sela-sela tulang iganya.
Mahisa Semu justru terkejut ketika ia merasa bahwa tusukannya itu mengenai tubuh lawannya. Dengan serta merta ia menarik luwuknya, bahkan seakan-akan diluar kehendaknya sendiri. Namun dengan demikian, maka darah seakan-akan telah memancar dari luka itu. Beberapa saat orang itu terhuyung-huyung. Namun kemudian orang berkepala botak itupun telah jatuh terjerembab.
Dua orang kawannya yang telah menyerah lebih dahulu tiba-tiba bangkit berdiri. Tetapi beberapa ujung senjata dengan cepat telah teracu dan bahkan ada yang melekat di tubuh mereka. Namun seorang cantrik yang ada diantara mereka berkata “Biarlah mereka melihat keadaan kawannya.”
Anak-anak muda yang hampir saja menekan ujung-ujung senjata mereka pada kulit orang itu, telah bergeser surut. Sementara cantrik itu berkata “Lihat keadaan kawanmu itu.”
Kedua orang itupun segera menghampiri kawannya yang terbaring sambil menyeringai menahan sakit. Darah masih saja dengan derasnya mengalir dari lukanya yang parah. Cantrik itupun kemudian mendekati pula. Katanya, “Tahan dengan kain agar darah itu tidak terlalu banyak keluar.” Kemudian katanya kepada seorang anak muda “Tolong, cari air.”
Sementara menunggu, anak muda yang mencari air, Putut Lembana yang telah memaksa lawannya untuk menyerah itupun kemudian memanggil salah seorang cantrik dan menyerahkan lawannya itu dalam pengawasannya, sedang Putut Lembana sendiri telah mendekati orang yang terluka parah itu pula.
Ketika anak muda yang mencari air itu datang dengan membawa air di tempayan maka cantrik itupun berusaha untuk mengurangi arus darah itu dengan menaburkan obat pada luka itu. Namun kemudian juga melarutkan obat yang lain kedalam air dan dituangkannya perlahan-lahan kedalam mulut orang yang berkepala botak itu.
“Nampaknya sebagaimana orang yang bertempur melawanku, orang ini termasuk orang penting diantara mereka yang menyerang padukuhan ini” desis Putut Lembana di telinga cantrik itu “karena itu, usahakan agar ia dapat bertahan. Mungkin ia akan dapat memberikan keterangan atau setidak-tidaknya melengkapi keterangan kawannya yang menyerah itu.”
Demikianlah, maka pertempuran di rumah saudara Ki Bekel itu sudah selesai. Beberapa orang menyerah, yang lain luka-luka. Bahkan mereka terpaksa menyerahkan dua orang korban yang tidak dapat diselamatkan. Sementara ada pula diantara mereka yang sempat melarikan diri.
Namun ada pula diantara anak-anak muda Logandeng yang menjadi korban. Tetapi dengan jumlah yang lebih banyak, serta hadirnya Putut Lembana dan para cantrik, nampaknya telah mampu memperkecil korban. Meskipun demikian ada enam orang anak muda yang terluka. Dua diantaranya cukup berat. Sementara itu lebih dari lima orang yang lain telah tergores senjata pula. Meskipun mereka hanya terluka ringan, tetapi mereka tetap memerlukan pengobatan yang baik.
Atas ijin Ki Bekel, maka pemimpin kelompok yang bertempur melawan Putut Lembana itu akan menjadi sumber keterangan tentang keadaan di seberang hutan. Karena itu, maka orang itupun akan ditempatkan terpisah dari kawan-kawannya. Bahkan Ki Bekel itupun berkata “Biar orang itu berada di rumahku.”
Ternyata Putut Lembana tidak membuang banyak waktu. Segala sesuatunya diserahkannya kepada para cantrik, sementara Putut Lembana telah mengajak Mahisa Semu untuk pergi ke rumah Ki Bekel.
“Kita tidak perlu menunggu sampai esok pagi” berkata Putut Lembana sambil mengobati luka Mahisa Semu “malam ini kita minta untuk dapat langsung berbicara dengan orang itu.”
“Apakah Ki Bekel mengijinkan?” bertanya Mahisa Semu.
“Ki Bekel tidak berkeberatan” jawab Putut Lembana “aku sudah menghubunginya.”
Demikianlah, seperti yang dikatakan, Putut Lembana dan Mahisa Semu pun telah berada di rumah Ki Bekel. Tawanan itupun telah dibawa ke rumah itu pula dengan pengawalan yang kuat. Seorang cantrik dan lima orang anak muda telah menjaga orang yang dianggap sangat berbahaya itu.
Di rumah Ki Bekel, orang itu telah ditempatkan di sebuah bilik di gandok kanan. Di serambi duduk mereka yang mengawal orang itu serta dua orang bebahu yang datang pula ke rumah itu. Sementara beberapa orang anak muda yang lain yang mengawal rumah dan keluarga Ki Bekel masih tetap berada di pendapa.
Putut Lembana, Mahisa Semu dan Ki Bekel kemudian juga berada didalam bilik tempat pemimpin kelompok yang datang menyerang padukuhan Logandeng itu ditahan.
“Ki Sanak” berkata Putut Lembana “sebenarnyalah bahwa kami ingin mengetahui, apa yang telah terjadi di seberang hutan itu, sehingga banyak sekali orang yang harus pergi mengungsi. Di padukuhan ini saja terdapat beberapa keluarga sehingga mau tidak mau akan berpengaruh pada tatanan kehidupan dan kesejahteraan orang-orang Logandeng sendiri. Apalagi jika hal seperti ini akan berlangsung lama.”
“Aku letih sekali” berkata orang itu “aku minta waktu untuk beristirahat. Yang letih bukan saja tubuhku, tetapi juga penalaranku dan bahkan juga ingatanku.”
“Aku juga letih Ki Sanak” jawab Putut Lembana. Lalu ia bertanya “Bukankah kita baru saja bertempur? Apa yang kau lakukan, juga aku lakukan.”
“Tidak” jawab orang itu “aku sudah berjalan melintasi hutan yang lebat itu.”
“Aku yakin kau tidak letih. Kau seorang yang berilmu tinggi, sehingga kau pun tentu pernah ditempa sehingga kau tentu mempunyai daya tahan yang sangat kuat."
“Tidak. Aku tidak mempunyai daya tahan yang kuat. Sekarang aku ingin beristirahat.” jawab orang itu.
“Kau harus menjawab pertanyaan-pertanyaanku Ki Sanak” berkata Putut Lembana.
“Aku tidak mau.” jawab orang itu.
Namun tiba-tiba saja Putut Lembana yang muda itu dengan tangkasnya menangkap pergelangan tangan orang itu dan memilihnya. ”Aku ingin menantangmu untuk berperang tanding. Jika kau menolak berbicara dan menolak berperang tanding, maka aku akan membunuhmu dengan caraku. Kau memang sangat pantas untuk diperlakukan seperti itu.”
Orang itu menyeringai menahan sakit. Tetapi Putut Lembana justru semakin menekan tangan itu. “Jangan, sakit” desis orang itu.
“Aku minta kau berbicara malam ini. Jika kau mengaku merasa letih, maka aku akan membuatmu semakin letih dan tidak berdaya.” geram Putut Lembana.
Pemimpin kelompok itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Anak muda itu memiliki kelebihan daripadanya. Sementara anak yang masih lebih muda lagi itu telah mampu mengalahkan kawannya yang berkepala botak itu. Bahkan melukainya cukup parah.
“Perbuatanmu telah menimbulkan korban di padukuhan ini. Karena itu, maka kemarahan orang-orang padukuhan ini telah menjalar sampai ke setiap ubun-ubun. Kau tentu tahu maksudku. Justru karena kau adalah orang yang bertanggung jawab.”
Wajah orang itu menjadi pucat. Ia memang menyadari bahwa kedudukannya menjadi sangat lemah. Apapun yang diperlakukan atas dirinya, tentu dapat dianggap sah oleh orang-orang Logandeng. Bahkan dihadapan Ki Bekel sekalipun. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus berbicara jika ia tidak ingin nasibnya menjadi sangat buruk.
Sementara itu, Putut Lembana pun bertanya “Bagaimana Ki Sanak? Apakah kau tetap pada pendirianmu.”
“Lepaskan. Aku akan berbicara” desis orang itu.
Putut Lembana telah melepaskan tangan orang itu. Sambil beringsut sedikit iapun kemudian berkata “Aku kira kau cukup bijaksana menilai keadaan. Kau berada di rumah Ki Bekel Logandeng, sehingga kau tidak mempunyai kesempatan lain kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan benar.”
Orang itu mengangguk kecil.
“Nah, beritahukan kepada kami, apakah kalian orang-orang padepokan Renapati?”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk kecil sambil menjawab. “Ya. Aku orang dari Padepokan Renapati. Beberapa orang yang datang bersamaku memang para cantrik dari Padepokan Renapati.”
“Katakan, apa sebabnya, bahwa Ki Buyut Pudaklamatan berniat mengambil alih kepemimpinan Kabuyutan Sendang Apit, meskipun pemisahan itu sudah berjalan lama sekali. Kenapa pula baru sekarang dan begitu tiba-tiba?”
“Aku tidak tahu, Ki Sanak. Aku hanya menjalankan perintah untuk mengambil anak Ki Buyut Sendang Apit yang diketahui ada di padukuhan ini.”
“Anak Ki Buyut Sendang Apit memang pernah berada di padukuhan ini. Tetapi sekarang sudah tidak berada di sini lagi?”
“Dimana?” bertanya orang itu.
“Apakah aku harus memberitahukan kepadamu? Kemudian melepaskanmu pergi?” bertanya Putut Lembana.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya justru menunduk dalam-dalam. Dalam pada itu, Putut Lembana pun berkata “Nah, sekarang beritahukan kepada kami, kenapa tiba-tiba saja Ki Buyut Pudaklamatan menyerang Kabuyutan Sendang Apit?”
“Aku tidak tahu Ki Sanak. Aku hanya menjalankan perintah.” jawab orang itu.
“Tolong Ki Sanak. Jawab pertanyaan kami. Jika kau tidak mau menjawab, maka kau akan mengalami kesulitan.” berkata Putut Lembana.
Keringat dingin telah mengalir di seluruh tubuh pemimpin sekelompok orang yang menyerang padukuhan Logandeng itu.
Sementara Putut Lembana bertanya pula “Kenapa Ki Buyut Pudaklamatan tiba-tiba saja menyerang Kabuyutan Sendang Apit, justru setelah untuk waktu yang lama kedua Kabuyutan itu sempat hidup tenteram dan saling menghormati. Bahkan kedua orang Buyut yang masih sepupu itu dapat hidup rukun, tidak saja sebagai saudara sepupu, tetapi juga sebagai dua orang Buyut yang bertetangga.”
“Ya, Ki Sanak. Kami tahu bahwa kedua Kabuyutan itu pernah hidup rukun.” jawab orang itu “tetapi tiba-tiba saja terjadi gejolak itu. Kemudian, kami sekelompok orang diperintahkan untuk mengambil anak Ki Buyut Sendang Apit yang menurut keterangan ada di padukuhan ini.”
“Itu sudah kau katakan. Yang belum kau katakan, apakah sebabnya, kekalutan itu tiba-tiba saja terjadi.” potong Putut Lembana.
Ketika orang itu sempat memandang wajah Putut Lembana sekilas, maka jantungnya menjadi berdebar-debar. Wajah anak muda itu bagaikan menjadi bara. Orang itu mengetahui, bahwa batas kesabaran anak muda itu sudah sampai ke puncaknya. Karena itu, maka ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi jika ia tidak ingin tulang-tulangnya dipatahkan, bahkan barangkali juga lehernya. Karena itu, ketika sekali lagi anak muda itu bertanya, bahkan dengan membentaknya, maka orang itu tidak dapat ingkar lagi.
“Aku tidak akan mengulangi lagi pertanyaanku” geram Putut Lembana.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan gejolak jantungnya. Kemudian katanya “Baiklah, anak muda. Tetapi sudah tentu aku tidak akan dapat berbicara lebih banyak dari yang aku ketahui. Bahkan seandainya aku diperas sampai mati pun, aku tidak akan dapat berbicara lebih banyak lagi.”
Putut Lembana menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Dengan suara yang bergetar ia menggeram “Katakan apa yang kau ketahui itu. Apakah aku akan memerasmu sampai mati, itu terserah kepadaku.”
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun ia tidak menjawab.
“Nah, sekarang katakan, apa sebabnya kekalutan itu terjadi.” Putut Lembana benar-benar kehilangan kesabaran.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab “Memang telah terjadi campur tangan mPu Renapati.”
“Apa yang dilakukan oleh mPu Renapati itu?” bertanya Putut Lembana.
“mPu Renapati memang menghendaki agar kedua Kabuyutan itu disatukan kembali sebagaimana semula. Kedua Kabuyutan itu harus menjadi satu dibawah kekuasaan Ki Buyut Pudaklamatan, karena sebenarnya ayahnyalah yang berhak untuk mewarisi kedudukan itu. Hanya karena ayahnya telah meninggal lebih dahulu, maka pewaris jabatan itu berpindah kepada adiknya, ayah Ki Buyut Sendang Apit. Karena itulah, maka segala-galanya harus dikembalikan seperti semula.”
“Apa pamrih mPu Renapati dengan keinginannya itu? Jika Kabuyutan Pudaklamatan dan Sendang Apit sudah menjadi satu, apa keuntungan mPu Renapati? Jika ia mendorong kepada Ki Buyut Pudaklamatan melakukan hal itu, maka mPu Renapati tentu akan mendapat keuntungan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Putut Lembana yang sudah kehabisan kesabaran itu membentak “Jawab. Aku tahu bahwa yang aku tanyakan tidak lebih dari yang kau ketahui. Karena itu, jika kau mati, maka itu adalah salahmu sendiri, karena seharusnya kau dapat menghindarinya.”
Orang itu memang tidak dapat menghindar lagi. Putut Lembana yang marah itu memang dapat melemparkannya kepada orang-orang padukuhan Logandeng yang marah itu pula. Ternyata orang itu tidak dapat berbuat lain.
Putut Lembana yang sudah kehilangan kesabaran itu membentak “Jawab. Kau tidak dapat mempermainkan kami. Kau ada di tangan kami dan jiwamu tidak berharga bagi kami.”
“Baik. Baik.” orang itu menjadi gagap. Lalu katanya “Alasan yang sebenarnya adalah sederhana sekali. Anak Ki Buyut Pudaklamatan akan menjadi menantu mPu Renapati.”
“He?” Putut Lembana dan mereka yang mendengar jawaban itu terkejut. Dengan nada tinggi Putut Lembana mendesak “Kau jangan asal membuka mulutmu. Kau tahu akibatnya jika kau tidak berkata dengan jujur.”
“Aku berkata sebenarnya. Anak laki-laki Ki Buyut Pudaklamatan diharapkan akan mewarisi dua Kabuyutan sekaligus, sehingga dengan demikian, maka anak mPu Renapati akan menjadi isteri seorang Buyut yang daerahnya sangat luas.”
“Satu mimpi yang gila” geram Ki Bekel Logandeng “hanya karena mimpi itu, maka mPu Renapati telah mengorbankan orang-orangnya. Cantrik-cantriknya, orang-orang Pudaklamatan dan tentu juga orang-orang Sendang Apit yang ingin mempertahankan daerahnya, kampung halamannya.”
“Tetapi bukankah dahulu kedua Kabuyutan itu memang satu?” bertanya tawanan itu.
“Itu dahulu. Tetapi perubahan-perubahan telah terjadi. Bahkan ada dua Kabuyutan Pudaklamatan dan Sendang Apit telah dianggap sah.” jawab Ki Bekel Logandeng. Lalu katanya pula “Dahulu Tumapel adalah sebuah Pakuwon, Sekarang Tumapel telah menjadi Singasari yang besar.”
“Perubahan-perubahan itu masih berlangsung sampai sekarang. Apa yang pernah pecah itu akan bersatu kembali.” berkata tawanan itu.
“Perubahan yang dipaksakan dengan kekerasan, akibatnya akan berkepanjangan. Dendam dan kebencian” berkata Ki Bekel.
“Yang ingin digapai oleh mPu Renapati tentu bukan sekedar mimpi yang sederhana itu. Bukan sekedar bersatunya kembali dua Kabuyutan. Tetapi dengan sebuah Kabuyutan yang besar, maka mPu Renapati akan memiliki landasan kekuatan yang besar.” berkata Putut Lembana.
“Landasan apa?” bertanya Ki Bekel.
“Aku belum pernah melihat kedua Kabuyutan itu. Namun agaknya jika kedua Kabuyutan itu menjadi satu, akan tergalang kekuatan yang besar. Ditambah lagi dengan sejumlah orang-orang terlatih dari padepokan Renapati. Maka mimpi mPu Renapati pun akan berkembang. Mungkin kekuatan itu akan dapat menguasai sebuah Pakuwon atau bahkan lebih luas lagi dari sebuah Pakuwon. Atau bahwa mPu Renapati telah berpaling kepada kekuasaan Kediri.” berkata Putut Lembana.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Ya Mungkin kau benar-benar ngger. Mimpi mPu Renapati bukan mimpi yang sederhana. Yang dilakukannya sekarang adalah sekedar pancadan saja.”
“Dengan demikian, maka persoalan yang timbul karena tingkah mPu Renapati bukan persoalan yang sederhana, yang terbatas dalam lingkungan kedua Kabuyutan itu saja. Tetapi akan menebar sampai ke daerah yang lebih luas.”
“Ya, ngger. Hal ini harus kita bicarakan dengan Ki Buyut Talang Alun. Juga dengan angger Mahisa Murti. Persoalannya memang bukan persoalan yang sederhana sebagaimana angger katakan.”
Putut Lembana pun kemudian berkata “Baiklah Ki Bekel. Aku akan mengatakannya kepada pimpinan padepokan kami. Sementara itu, biarlah orang ini disini. Kita masih memerlukannya.”
Ki Bekel mengangguk sambil menjawab. “Ya. Silahkan angger berbicara dengan angger Mahisa Murti. Aku akan berbicara dengan Ki Buyut. Orang ini akan aku simpan disini.”
“Orang ini harus dijaga sebaik-baiknya. Jika ia tidak kembali pada waktunya, mungkin pimpinannya akan mengirimkan orang lebih banyak lagi untuk mencari mereka kemari. Mungkin orang-orang Pudaklamatan, tetapi juga mungkin orang-orang padepokan Renapati.”
“Baiklah ngger. Anak-anak akan menjaganya sebaik-baiknya." jawab Ki Bekel.
Sementara itu langit pun menjadi semakin terang. Malam berangsur-angsur menjadi larut. Putut Lembana pun telah minta diri untuk melaporkan apa yang telah terjadi di padukuhan Logandeng. Namun Putut Lembana itupun berkata “Biarlah keempat orang cantrik itu tetap berada di sini. Mungkin mereka diperlukan, karena nampaknya perkembangan keadaan tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.”
“Terima kasih ngger. Biarlah mereka berada di banjar. Mereka dapat beristirahat, karena mereka tentu letih.”
Demikianlah, maka Putut Lembana itupun telah meninggalkan Logandeng. Ketika ia sampai di padepokan, maka Putut Manyar dan Putut Parama masih belum kembali. Dengan singkat Putut Lembana telah memberikan laporan tentang kedatangan sekelompok orang dari padepokan Renapati dan orang-orang dari Kabuyutan. Pudaklamatan.
“Kami berhasil menangkap pemimpin mereka” berkata Putut Lembana. Iapun kemudian melaporkan keterangan yang dapat mereka sadap dari pemimpin kelompok orang-orang yang menyerang padukuhan Logandeng untuk mencari anak Ki Buyut Sendang Apit.
Mahisa Murti mendengarkan laporan itu dengan sungguh-sungguh. Kepada Kiai Wijang, Mahisa Murti itupun berkata “Nampaknya persoalannya akan berkembang. Kegagalan itu tentu membuat mereka semakin bernafsu.”
“Ya” Kiai Wijang mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Nampaknya Padepokan Braja Seta akan terlibat lebih banyak lagi dalam pertikaian yang terjadi di seberang hutan.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya “Jika hal itu harus kami lakukan bagi kepentingan sesama, maka kami akan melakukannya Kiai. Tentu saja dalam batas-batas kewajaran.”
“Yang agaknya harus segera dilakukan adalah membantu Kabuyutan Talang Alun. Bagi Ki Renapati menangkap anak Ki Buyut Sendang Apit, tentu termasuk salah satu keharusan jika mereka benar-benar ingin memotong masa depan Kabuyutan Sendang Apit.” berkata Putut Lembana.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu nampaknya terlalu curiga kepada setiap orang, termasuk kepada Mahisa Murti meskipun Ki Bekel sendiri sudah mengatakan tentang dirinya, bahkan mempertanggung-jawabkannya. Sehingga Ki Bekel itu telah merasa tersinggung pula.
Tetapi sikap itu tidak seharusnya menghalangi niat Padepokan Bajra Seta untuk membantu kesulitan yang sedang dialami oleh Kabuyutan Sendang Apit. Meskipun demikian, langkah-langkah yang diambil harus diperhitungkan dengan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka yang dapat segera dilakukan oleh Mahisa Murti adalah membantu Ki Bekel Logandeng mengamankan padukuhannya. Jika hal itu memang dikehendaki oleh Ki Buyut Talang Alun, maka Mahisa Murti pun akan melakukannya pula.
Dalam pada itu, hari itu juga Ki Bekel telah menemui Ki Buyut di Talang Alun untuk memberikan laporan tentang serangan yang telah terjadi di padukuhan Logandeng. “Ternyata mereka mencari anak Ki Buyut Sendang Apit.” berkata Ki Bekel.
“Untunglah, anak itu telah kami pindahkan” berkata salah seorang pengawalnya.
Namun Ki Bekel yang masih belum dapat melupakan sakit hatinya yang pernah tersinggung oleh sikap pengawal itu menjawab “Seandainya anak itu masih berada di Logandeng pun, anak itu akan tetap terlindung. Nyatanya, kami justru dapat menangkap pemimpin kelompok orang-orang yang datang ke padukuhan itu, yang terdiri dari orang-orang padepokan Renapati dan orang-orang Kabuyutan Pudaklamatan.”
Pengawal itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia berkata “Tetapi kami bertanggung jawab atas keselamatannya.”
“Apa yang dapat kalian lakukan berdua?” bertanya Ki Bekel “Kalian datang ke padukuhan Logandeng tanpa kepercayaan. Kami sudah menanggung akibat kedatangan kalian. Tetapi kalian masih saja memperkecil arti pengorbanan kami.”
“Sudahlah” berkata Ki Buyut “kedua pengawal itu tentu berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Jika orang-orang Renapati dan orang-orang Pudaklamatan telah datang ke padukuhan Logandeng dan ternyata mengalami kegagalan, maka kita harus bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang lebih buruk lagi. Jika orang-orang dari Padepokan Renapati dan Kabuyutan Pudaklamatan itu mengetahui bahwa anak Ki Buyut Sendang Apit ada di sini, maka mungkin sekali mereka akan datang kemari.”
“Ya. Itu mungkin sekali” jawab Ki Bekel “bagi mPu Renapati, anak itu merupakan duri bagi masa depan kedua Kabuyutan yang ingin dipersatukan itu.”
“Darimana kau tahu hal itu Ki Bekel?” bertanya salah seorang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu.
“Bukankah sebagian sudah kau katakan?” jawab Ki Bekel.
Kedua pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Seorang diantara mereka berkata “Aku merasa bertanggung jawab atas keselamatan anak Ki Buyut Sendang Apit.”
“Meskipun demikian, kalian seharusnya dapat membedakan, siapa yang pantas kalian curigai dan siapa yang tidak. Jika kalian tidak percaya kepada seseorang yang telah menyelamatkan tempat kalian mengungsi, maka kalian justru akan dapat berada dalam kesulitan. Tegasnya, jika angger Mahisa Murti dari Padepokan Bajra Seta itu menarik diri karena merasa tersinggung, maka kita benar-benar berada dalam kesulitan. Apalagi jika Ki Bekel Pudaklamatan dan mPu Renapati mengirimkan orang-orang terbaiknya ke Kabuyutan ini. Mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Kabuyutan Pudaklamatan. Tetapi orang-orang berilmu tinggi dari Padepokan Renapati akan dapat mengacaukan pertahanan kami.”
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Tetapi di wajah mereka masih nampak sesuatu yang membuat mereka ragu-ragu. Karena itu, maka Ki Buyut pun berkata “Sebaiknya kalian percaya kepadaku sepenuhnya. Karena itu, maka kalian juga harus mempercayai orang-orang yang aku percaya. Jika tidak, maka aku pun akan dapat tersinggung seperti Ki Bekel Logandeng itu.”
Kedua orang itu masih saja mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka pun berkata “Baiklah Ki Buyut. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Buyut.”
“Nah, baiklah. Jika demikian maka aku akan merasa mendapat kepercayaan sepenuhnya, sehingga aku tidak ragu-ragu mengambil keputusan, karena aku tidak merasa bimbang bahwa keputusanku akan kalian tentang.”
Kedua orang itu, maka atas kepercayaan kedua orang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu, maka Ki Buyut menjadi lebih leluasa untuk bertindak. Iapun telah bertemu dan berbicara langsung dengan Mahisa Murti dan Kiai Wijang. Bahkan Ki Buyut itupun telah mengatakan pula kepada Mahisa Murti, bahwa Ki Buyut Sendang Apit masih berada di sekitar Kabuyutannya bersama orang-orang yang setia kepadanya untuk mengadakan perlawanan. Namun kekuatan Kabuyutan Pudaklamatan yang dibantu oleh Padepokan Renapati memang tidak dapat dilawannya.
Meskipun demikian, Ki Buyut Sendang Apit tidak segera berputus asa. Dengan menyelamatkan anaknya, maka Ki Buyut masih mempunyai harapan untuk memiliki masa depan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun telah bersepakat untuk langsung melihat keadaan di Kabuyutan Sendang Apit. Mereka ingin menguak bebahu yang mengungsi di padukuhan Logandeng untuk memastikan keadaan yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan Sendang Apit itu. Ternyata bebahu itu tidak berkeberatan. Bahkan ia merasa bangga jika ia dapat berbuat sesuatu bagi Kabuyutannya.
Ketika Mahisa Murti siap untuk berangkat ke Kabuyutan Sendang Apit, maka Mahisa Murti telah membicarakan penempatan para Putut serta cantriknya di padukuhan induk dan padukuhan Logandeng yang nampaknya tetap menjadi sasaran orang-orang Pudaklamatan dan orang-orang Padepokan Renapati justru karena seorang dari kepercayaan mPu Renapati telah tertangkap dan disimpan di padukuhan Logandeng. Bahkan Mahisa Murti telah berpesan kepada Wantilan dan Sambega bahwa mereka dapat melepaskan Mahisa Semu untuk bersama-sama dengan Putut Lembana berada di padukuhan Logandeng.
“Tetapi Mahisa Amping masih belum waktunya untuk langsung ikut melibatkan diri dalam hal ini” berkata Mahisa Murti.
“Baiklah” jawab Wantilan “aku akan menjaga agar Mahisa Amping tetap berada di padepokan.”
“Kami menyerahkan kebijaksanaan kepada paman berdua. Paman dapat menentukan menambah atau mengurangi kegiatan dan jumlah para cantrik di Kabuyutan Talang Alun termasuk padukuhan Logandeng dan padukuhan-padukuhan yang lain. Namun harus diperhitungkan bahwa Kabuyutan Talang Alun bukan saja menjadi sasaran serangan orang-orang Kabuyutan Pudaklamatan, tetapi juga orang-orang dari Padepokan Renapati“
“Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya, ngger. Mudah-mudahan kami tidak menemui kesulitan untuk mengatasi kehadiran orang-orang Pudaklamatan dan orang-orang Padepokan Renapati. Kami percaya bahwa Kabuyutan Talang Alun sendiri sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya" jawab Wantilan.
“Ya. Namun yang harus banyak mendapat perhatian adalah orang-orang Renapati.” sahut Mahisa Murti.
Wantilan dan Sambega mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Wantilan berkata “Kami akan selalu berhubungan dengan Ki Buyut dan para Bekel di Kabuyutan Talang Alun.”
Demikianlah, maka setelah minta diri kepada Ki Bekel Logandeng dan Ki Buyut Talang Alun maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun telah berangkat ke seberang hutan yang terhitung lebat untuk melihat sendiri keadaan kedua Kabuyutan yang sedang bertikai bersama seorang bebahu Kabuyutan Sendang Apit yang sedang mengungsi di padukuhan Logandeng.
Dengan demikian maka mereka tidak akan kesulitan mencari jalan. Meskipun mereka menembus hutan yang. sangat lebat, tetapi mereka sama sekali tidak mengalami gangguan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Karena itu, maka mereka tidak berlama-lama berada di hutan. Di hari berikutnya, mereka telah berada di seberang.
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Bekel berkata selanjutnya “Sebenarnya kau tidak perlu terlalu mencurigai kami. Yang penting bagi kalian adalah menyelamatkan anak Ki Buyut itu. Bukan menyembunyikan kenyataan yang terjadi di Kabuyutan Sendang Apit dan Pudaklamatan. Jika kami berkesempatan mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka kami akan dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menanggapinya.”
Kedua pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab sama sekali.
“Ki Buyut” berkata Ki Bekel kemudian “agaknya bantuan Padepokan Bajra Seta memang kita perlukan. Jika orang-orang padepokan Renapati itu mencari anak Ki Buyut Sendang Apit sampai ke padukuhan induk ini, maka nampaknya benturan kekerasan tidak dapat dihindarkan lagi. mPu Renapati tentu tidak ingin terjadi kegagalan lagi, sebagaimana sekelompok orang yang dikirimkannya ke padukuhan Logandeng. Bahkan mungkin mPu Renapati tidak hanya sekedar mencari anak Ki Buyut. Tetapi mungkin ia juga mendendam padukuhan Logandeng.”
“Ya” Ki Buyut mengangguk-angguk “kita memang harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Anak-anak muda dan setiap laki-laki yang masih sanggup dan mampu ikut bertempur diwajibkan ikut mempertahankan kampung halamannya.”
“Nah, kau dengar Ki Sanak” berkata Ki Bekel Logandeng kepada kedua orang pengawal anak Ki Buyut Sendang Apit “bukankah kami tidak sekedar main-main. Malam nanti aku akan minta pada pimpinan Padepokan Bajra Seta untuk mengirimkan pasukan ke padukuhan Logandeng dan ke padukuhan induk. Pasukan yang terdiri dari para cantrik yang terlatih. Meskipun jumlahnya terhitung kecil, tetapi kemampuan mereka tinggi. Sementara itu kehadiran mereka juga mendorong keberanian anak-anak muda kami.”
Kedua orang pengawal anak Ki Buyut itu masih berdiam diri. Mereka memang melihat kenyataan itu. Kabuyutan Talang Alun ikut mengalami goncangan karena persoalan yang terjadi di Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun berkata “Ki Bekel. Aku akan sangat berterimakasih jika angger Mahisa Murti bersedia mengirimkan beberapa orang cantrik untuk membantu kesulitan kami jika orang-orang dari padepokan Renapati datang mencari anak Ki Buyut Sendang Apit. Meskipun anak-anak kami siap menghadapi ancaman yang betapapun juga, namun kelebihan dari para cantrik di Padepokan Bajra Seta akan sangat berarti bagi kita.”
Dari rumah Ki Buyut Talang Alun, Ki Bekel langsung menuju ke padepokan Bajra Seta menemui Mahisa Murti. Diceriterakannya hasil pembicaraannya dengan Ki Buyut. Bahkan Ki Buyut justru memerlukan bantuan dari Padepokan Bajra Seta.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Mahisa Murti menjawab “Baiklah Ki Bekel. Kami akan mengirimkan beberapa orang cantrik. Sebenarnya sejak semalam beberapa orang cantrik kami juga sudah ada di Kabuyutan. Tetapi mereka tidak melapor langsung kepada Ki Buyut. Tetapi mereka langsung berbaur dengan anak-anak mudanya. Putut Manyar dan Putut Parama juga ada di sana malam tadi. Bahkan mereka pulang hampir tengah hari.”
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Syukurlah. Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
“Jika Ki Buyut sudah setuju, maka biarlah kedua orang Putut padepokan ini nanti menghadap Ki Buyut untuk menyatakan kehadiran mereka bersama beberapa orang cantrik di Kabuyutan. Sementara itu Putut Lembana dan beberapa orang cantrik pula, akan tetap berada di Logandeng. Mungkin mPu Renapati berusaha menemukan orang-orangnya yang dianggapnya hilang.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih. Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih.”
Demikianlah, seperti yang dijanjikan oleh Mahisa Murti, maka padepokan Bajra Seta telah mengirimkan Putut Manyar dan Putut Parama ke padukuhan induk. Selain mereka berdua, beberapa orang cantrik juga diperintahkan untuk menyertai mereka. Namun untuk beberapa kepentingan, maka mereka memang tidak datang bersama-sama. Sedangkan Putut Lembana dan beberapa orang cantrik tetap diperintahkan untuk berada di Logandeng.
Sementara itu, Mahisa Murti telah memerintahkan pula beberapa orang cantrik untuk mengamati jalur jalan dari hutan yang memanjang menyekat daerah Kabuyutan Talang Alun dan Kabuyutan Sendang Apit. Mereka mendapat tugas untuk mengamati jika ada sekelompok orang yang menembus hutan itu dari seberang serta dianggap mencurigakan. Apalagi jika yang datang itu sekelompok laki-laki bersenjata.
Mereka dibekali dengan dua ekor burung merpati yang sudah terbiasa terbang di malam hari. Jika mereka melihat sekelompok orang yang pantas dicurigai, maka mereka harus melepaskan burung merpati itu. Burung itu akan langsung terbang ke padepokan dan hinggap di gupon mereka. Cantrik yang bertugas di padepokan harus selalu mengawasi jika burung itu datang kembali dan memasuki guponnya. Tetapi di malam yang kemudian turun, tidak terjadi hal-hal yang dapat mengganggu ketenangan Kabuyutan Talang Alun termasuk padukuhan Logandeng.
Ketika malam itu kedua pengawal anak Ki Buyut menyatakan kegelisahannya kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut pun menjawab “Aku kira benar apa yang dikatakan oleh Ki Bekel. Kalian terlalu curiga kepada orang lain.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang berniat untuk dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut Sendang Apit. Tetapi mereka tidak tahu dimana Ki Buyut Sendang Apit itu berada. Namun karena mereka datang bersama bebahu Sendang Apit, maka mereka berharap untuk dapat menemukan tempat persembunyian Ki Buyut Sendang Apit.
Ketika ketiga orang itu kemudian berada di Kabuyutan yang sedang bergolak itu, maka mereka segera melihat, betapa tata kehidupan hampir tidak terkendali lagi. Tetapi ketiga orang itu masih belum memasuki lingkungan yang lebih dalam lagi. Mereka baru melihat keadaan itu dari kejauhan. Bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas mereka. Ketika mereka bertiga berhasil menyelinap sampai ke sebuah padukuhan di Kabuyutan Sendang Apit, maka orang-orang di padukuhan itu memang terkejut.
“Keadaan sangat berbahaya bagimu.” berkata seorang sahabat bebahu itu “sebaiknya kau meninggalkan padukuhan ini.”
“Apakah kau sendiri tidak berada dalam bahaya?” bertanya bebahu itu.
“Aku orang kebanyakan. Meskipun aku mengalami perlakuan buruk, tetapi keselamatanku masih dapat diharapkan. Tetapi kau lain. Kau bebahu Kabuyutan ini. Dengan demikian maka keselamatanmu terancam” berkata sahabatnya itu.
“Aku memang hanya singgah. Aku akan segera meninggalkan tempat ini.” berkata bebahu itu. Beberapa saat ia terdiam. Baru kemudian ia berkata “Aku mencari hubungan dengan Ki Buyut untuk melaporkan tentang keadaan anaknya.”
Sahabatnya itu termangu-mangu. Katanya kemudian “Hanya orang-orang tertentu yang tahu, dimana Ki Buyut berada. Tetapi menurut pendengaranku, keadaannya memang sangat buruk. Meskipun demikian, Ki Buyut tetap bertahan. Sekali-sekali ia memang datang ke Kabuyutan. Tetapi segera menghilang lagi. Dua malam yang lalu, tiba-tiba saja Ki Buyut dengan beberapa orang telah muncul di banjar. Ki Buyut sempat berada di Banjar hampir semalam suntuk. Namun menjelang dini Ki Buyut segera pergi. Untunglah bahwa sekelompok pengawal dari Kabuyutan Pudaklamatan serta beberapa orang cantrik dari Padepokan Kencana Pura telah datang ke banjar untuk menyergap Ki Buyut. Tetapi banjar itu telah kosong.”
“Ki Buyut harus lebih berhati-hati.” desis bebahu itu.
“Tetapi kehadiran Ki Buyut di banjar telah membangkitkan kesetiaan orang-orang Sendang Apit yang telah hampir berputus asa. Namun dengan demikian maka para cantrik mPu Renapati menjadi semakin garang pula.” berkata sahabat bebahu itu.
Bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian “Baiklah. Kami minta diri. Dua orang kawanku ini adalah orang dari Talang Alun. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di sini.”
“Kalian berkunjung ke Kabuyutan kami pada saat yang kurang baik, Ki Sanak.” berkata orang itu.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang tersenyum saja. Sementara bebahu itu berkata “Justru karena keadaan yang kurang baik itulah yang telah memanggilnya kemari. Ki Talang Alun terdapat banyak pengungsi dari Kabuyutan kita.”
“Tetangga sebelah juga telah mengungsi ke Talang Alun. Tetapi aku masih mencoba bertahan di sini.”
Bebahu itupun kemudian minta diri. Tetapi ia masih bertanya “Apakah aku dapat memasuki padukuhan induk?”
“Jangan lakukan itu. Berbahaya sekali. Apalagi bagi seorang bebahu seperti kau.”
Bebahu itu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian “Aku ingin bertemu dengan Ki Buyut. Aku merasa malu, bahwa aku telah mengungsi lebih dahulu, sementara Ki Buyut dan beberapa orang kawan-kawan masih tetap berada di sini.”
“Tetapi diperlukan cadangan kekuatan diluar Kabuyutan kita yang telah diduduki ini. Diperlukan juga hubungan dengan Kabuyutan-kabuyutan lain yang akan bersedia membantu menegakkan kebenaran di Kabuyutan Sendang Apit ini.”
“Ya” bebahu itu mengangguk “salah satu diantara Kabuyutan yang siap membantu adalah Kabuyutan Talang Alun.”
Demikianlah, maka bebahu itupun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka berusaha untuk menyusup dari padukuhan ke padukuhan. Namun sulit bagi mereka untuk mendapat sedikit petunjuk dimana Ki Buyut bersembunyi.
Dalam pada itu, selagi mereka masih harus mencari Ki Buyut, maka bertiga mereka selalu bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Ketika kemudian malam turun, maka mereka tidur dimana saja yang mereka anggap tidak akan terganggu oleh para peronda darimanapun datangnya.
Namun di hari berikutnya, Mahisa Murti itupun berkata “Bagaimana pendapat kalian jika kita langsung menemui Ki Buyut Pudaklamatan.”
Bebahu itu nampak tegang. Katanya “Sangat berbahaya bagiku, justru karena aku bebahu Kabuyutan Sendang Apit.
“Kami mengerti” sahut Mahisa Murti “karena itu sebaiknya kau bersembunyi saja lebih dahulu. Biarlah kami berdua saja pergi ke Kabuyutan Pudaklamatan.”
Bebahu itu termangu-mangu. Bahkan iapun bertanya “Dimana aku harus bersembunyi? Di pategalan atau di lereng bukit?”
“Kau bersembunyi saja di rumah salah seorang sahabatmu yang dapat kau percaya” sahut Mahisa Murti.
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk bersembunyi saja. Tetapi dimana kita akan bertemu setelah kau pergi ke padukuhan induk Kabuyutan Pudaklamatan?
“Kita bertemu ditempat kita semalam bermalam besok" jawab Mahisa Murti.
“Baiklah” berkata Bebahu itu “mudah-mudahan kau dapat mempengaruhi pendapat Ki Buyut Pudaklamatan agar niatnya diurungkan. Ki Buyut Pudaklamatan jangan terseret oleh niat buruk mPu Renapati dari Padepokan Kencana Pura.”
Demikianlah, maka mereka pun segera berpisah. Mahisa Murti dan Kiai Wijang pergi ke Pudaklamatan, sementara bebahu itu telah pergi ke tempat seorang sahabatnya yang lain, yang akan bersedia menerimanya untuk bersembunyi beberapa saat.
Namun demikian, mereka harus berusaha untuk lepas dari penglihatan para peronda dari Pudaklamatan serta dari Padepokan Renapati yang selalu berkeliling dari padukuhan ke padukuhan. Mahisa Murti dan Kiai Wijang yang tidak ingin mengalami kesulitan diperjalanan, telah menempuh jalan-jalan bulak dan menghindari padukuhan-padukuhan. Mereka berusaha untuk tidak bertemu dengan siapapun juga. Kecuali dengan orang-orang yang bekerja d i sawah mereka.
Ketika keduanya memasuki lingkungan Kabuyutan Pudaklamatan, maka barulah mereka merasa sedikit tenang, karena di Kabuyutan itu tidak terasa langsung ada satu gejolak yang mengaduk tatanan kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Kiai Wijang nampaknya telah menarik perhatian beberapa orang. Ada juga diantara orang-orang Kabuyutan Pudaklamatan yang merasakan sesuatu yang lain pada kedua orang itu.
Tetapi akhirnya, Mahisa Murti dan Kiai Wijang sampai juga di rumah Ki Buyut Pudaklamatan. Namun ternyata bahwa rumah itu telah dijaga dengan rapat oleh sekelompok anak-anak muda. Tetapi keduanya sudah berniat untuk bertemu dan berbicara dengan Ki Buyut, karena itu maka Mahisa Murti itupun telah menemui anak-anak muda yang sedang berjaga-jaga di regol itu.
“Kami akan menghadap Ki Buyut Pudaklamatan” berkata Mahisa Murti.
“Siapakah kalian?” bertanya salah seorang diantara mereka, yang nampaknya pemimpin sekelompok dari anak-anak muda yang sedang bertugas itu.
“Kami datang dari seberang hutan. Kami adalah orang dari Kabuyutan Talang Alun”. jawab Mahisa Murti.
“Talang Alun?” anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Maksudmu Kabuyutan yang menerima banyak pengungsi dari Sendang Apit?”
“Ya” jawab Mahisa Murti “justru itu aku ingin berbicara dengan Ki Buyut Pudaklamatan.”
Anak muda itu kemudian berbicara dengan beberapa orang kawannya. Baru kemudian ia menjawab “Aku persilahkan kalian menunggu. Aku ingin menanyakannya lebih dahulu, apakah kau dapat diterima atau tidak.”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti kemudian “kami datang dari jauh. Kami hanya sekedar ingin mendapat keterangan langsung dari Ki Buyut Pudaklamatan, apakah yang sebenarnya terjadi.”
“Kenapa kau tidak bertanya kepada Ki Buyut Sendang Apit?”
“Kami tidak berhasil menemui Ki Buyut Sendang Apit.”
Seorang anak muda yang lain pun menyahut “Kabuyutan Sendang Apit sudah tidak ada lagi.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata “Tolong Ki Sanak. Bagaimanapun sikap Ki Buyut, aku ingin mendengarnya.”
“Tunggulah” berkata anak muda yang akan menyampaikannya kepada Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun kemudian telah dipersilahkan duduk di gardu yang agaknya baru dibuat setelah terjadi kekalutan antara Kabuyutan Pudaklamatan dengan Kabuyutan Sendang Apit.
Ketika niat Mahisa Murti untuk bertemu dengan Ki Buyut itu disampaikan oleh anak muda yang sedang bertugas itu, maka Ki Buyut pun menjadi ragu-ragu. Seorang yang sedang duduk bersamanya berkata “Apakah ada gunanya?”
“Aku kira akan ada gunanya” jawab Ki Buyut “Kabuyutan Talang Alun yang tiba-tiba didatangi banyak pengungsi itu tentu ingin mengetahui, apa yang telah terjadi. Ketika mereka datang ke Kabuyutan Sendang Apit, maka Ki Buyut Sendang Apit tidak dapat ditemuinya.”
“Tidak perlu Ki Buyut. Perintahkan saja para pengawal mengusirnya. Bahkan jika di jalan pulang mereka bertemu dengan para peronda dan para cantrik dari Padepokan Renapati, biarlah mereka ditangkap.”
“Apa salahnya jika kita mendengarkan pertanyaan-pertanyaannya, pendapatnya atau barangkali petunjuk-petunjuknya.”
“Kita tidak memerlukan petunjuk dan pendapat dan siapapun. Kita sudah cukup matang untuk menentukan sikap sendiri” berkata orang itu.
“Tetapi aku tidak berkeberatan menerima mereka” berkata Ki Buyut.
“Ki Buyut hanya membuang-buang waktu saja.” berkata orang itu “tetapi terserah kepada Ki Buyut jika Ki Buyut akan menerima mereka.”
“Aku ingin mendapat orang lain sebanyak-banyaknya” jawab Ki Buyut kemudian.
Orang itu tidak berusaha mencegah lagi. Karena itu, maka Ki Buyut pun telah mengisyaratkan agar orang dari Talang Alun itu diijinkan menemuinya.
“Biarlah ia duduk di pendapa” berkata Ki Buyut.
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun telah menerima Mahisa Murti dan Kiai Wijang di pendapa rumahnya. Sementara orang yang bersamanya itupun telah ikut pula menemui kedua orang tamu itu.
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun kemudian telah memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa keduanya adalah orang-orang Talang Alun yang diperintahkan oleh Ki Buyut untuk mendapatkan keterangan tentang kemelut yang terjadi di seberang hutan.
“Kabuyutan kami telah dibanjiri oleh para pengungsi” berkata Mahisa Murti kemudian. “Namun kami tidak berhasil menemui Ki Buyut Sendang Apit.”
Ki Buyut Sendang Apit sudah tidak dalam kedudukannya lagi” berkata orang yang menyertai Ki Buyut Pudaklamatan itu.
Ki Buyut Pudaklamatan itu sendiri menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Apa yang ingin Ki Sanak ketahui? Barangkali aku akan dapat memberikan keterangan.”
“Kami ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di Kabuyutan Sendang Apit. Menurut para pengungsi, para pengawal dari Kabuyutan Pudaklamatan telah menduduki Kabuyutan Sendang Apit, sehingga orang-orang Sendang Apit telah mengungsi meninggalkan kampung halamannya.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itulah yang menjawab “Sebenarnya tidak terjadi sesuatu. Seperti dua orang bersaudara dalam satu keluarga. Sekali-sekali terjadi perselisihan. Tetapi nanti atau besok, mereka akan menjadi baik kembali. Karena itu, maka sebaiknya Ki Sanak berdua dan bahkan Kabuyutan Talang Alun tidak usah mencampuri persoalan kami disini.”
“Bagaimanapun juga agaknya kami sudah terlibat. Kami mengalami sedikit kesulitan dengan para pengungsi.”
“Apakah mereka berbuat buruk di Kabuyutan Talang Alun?” bertanya Ki Buyut.
“Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi mereka memerlukan makan, tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan lain selama mereka berada di Talang Alun.” jawab Mahisa Murti.
“Seharusnya mereka tidak perlu meninggalkan kampung halaman mereka” berkata orang yang menyertai Ki Buyut itu.
“Aku justru membayangkan bahwa keadaan telah menjadi demikian buruknya sehingga mereka harus mengungsi,” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Gambaran dari orang-orang luar yang tidak langsung menyaksikan sendiri keadaan Kabuyutan kami” berkata orang itu.
“Bukan sekedar gambaran, karena kami sudah melihat keadaan itu. Aku telah menyaksikan sendiri dengan Kabuyutan Sendang Apit. Yang berkeliaran di sana adalah para pengawal dari Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Sudahlah Ki Sanak” berkata orang yang menyertai Ki Buyut Pudaklamatan itu “sebaiknya kalian tidak usah ikut memikirkan keadaan kami disini dan di Kabuyutan Sendang Apit. Itu persoalan kami. Persoalan keluarga kami.”
“Kami memang tidak akan mempersoalkan apa yang terjadi diantara keluarga. Tetapi karena persoalannya menyangkut kehidupan orang banyak, dan bahkan kehidupan di Kabuyutan kami, maka kami memerlukan mendapat keterangan.”
“Inilah yang terjadi di Kabuyutan kami” berkata orang itu “tidak akan terjadi perubahan apa-apa. Sebaiknya kalian tidak usah mencampuri persoalan kami.”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti “kami tidak akan mencampuri persoalan kalian. Tetapi karena di Kabuyutan kami terdapat banyak pengungsi, maka kami ingin sekedar mendapat keterangan. Lebih dari itu, kalian telah melanggar kemandirian kami. Sekelompok orang telah dikirim dari Kabuyutan Pudaklamatan memasuki Kabuyutan kami.”
Ki Buyut Pudaklamatan justru terkejut. Karena itu, maka ia bertanya “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya, Ki Buyut” jawab Mahisa Murti “sekelompok orang yang ternyata memburu anak laki-laki Ki Buyut Sendang Apit yang dikira mengungsi ke Talang Alun. Tetapi mereka tidak menemukan yang mereka cari. Justru karena itu, maka Kabuyutan kami telah disentuh pula oleh pertentangan yang terjadi di sebelah hutan ini.”
“Jika kalian tidak mencampuri persoalan kami, maka kami tentu tidak akan menyentuh Kabuyutan Talang Alun. Tetapi bahwa Talang Alun telah mencampuri persoalan kami, maka kami memang tidak mempunyai pilihan lain.”
“Aku tidak pernah memerintahkan para pengawal dari Pudaklamatan memasuki Kabuyutan Talang Alun” berkata Ki Buyut.
“Siapapun yang memerintahkan, namun hal itu sudah terjadi.” jawab Mahisa Murti. Lalu katanya “Hal itulah yang mendorong kami untuk datang menemui Ki Buyut Pudaklamatan. Karena jika hal seperti itu terulang kembali, maka Pudaklamatan telah menyeret Talang Alun untuk melibatkan diri.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itulah yang menyahut “Bahwa Talang Alun telah menyembunyikan anak Ki Buyut Sendang Apit itu berarti bahwa Talang Alun telah melibatkan diri kedalam persoalan kami, persoalan antara keluarga sendiri.”
“Kami menerima para pengungsi itu atas dasar perikemanusiaan semata-mata. Namun karena kemudian merupakan beban bagi kami, maka kami ingin mengetahui apakah yang sebenarnya telah terjadi.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itulah yang menjawab lagi “Sudah aku katakan. Sekedar perselisihan diantara keluarga. Nanti, pada suatu saat tentu akan menjadi baik lagi.”
“Lalu bagaimana dengan korban perselisihan itu? Jika keadaan menjadi baik, apakah korban perselisihan itu akan pulih kembali?” bertanya Mahisa Murti.
“Sudahlah” berkata orang itu “jangan terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain. Jika kau merasa berkeberatan dengan para pengungsi itu, usir saja mereka dari Talang Alun.”
“Itukah gambaran sikap orang-orang Pudaklamatan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak” tiba-tiba Ki Buyut memotong “aku tidak pernah menginginkan perselisihan ini.”
“Ki Buyut” berkata Kiai Wijang kemudian “kenapa Ki Buyut tidak berusaha untuk menyelesaikan persoalan antara Pudaklamatan dan Sendang Apit dengan baik?”
“Sebenarnya tidak ada perselisihan yang mendasar” jawab Ki Buyut.
“Jadi bagaimana kekalutan itu dapat terjadi? Bukankah sebaiknya Ki Buyut Pudaklamatan bertemu dan berbincang-bincang dengan Ki Buyut Sendang Apit untuk memecahkan persoalan yang timbul. Dengan demikian maka perselisihan ini tidak akan berlanjut terus. Bukankah Ki Buyut Sendang Apit itu adik sepupu Ki Buyut sendiri?”
“Cukup. Cukup. Kalian sudah terlalu banyak berbicara disini” berkata orang yang menyertai Ki Buyut Pudaklamatan.
Namun Kiai Wijang seakan-akan tidak mendengar. Bahkan iapun berkata “Ki Buyut. Jika Ki Buyut menghendaki, maka Ki Buyut Talang Alun akan bersedia menjadi penengah pembicaraan diantara kalian.”
“Sudah cukup. Sekali lagi aku peringatkan, jangan mencampuri persoalan kami.”
Tetapi Ki Buyut Pudaklamatan itu berkata “Jika adi Buyut Sendang Apit bersedia ditemui, aku sama sekali tidak berkeberatan untuk berbicara.”
Namun sebelum pembicaraan berkepanjangan, maka seorang anak muda telah muncul dari ruang dalam. Demikian ia membuka pintu pringgitan maka iapun bertanya dengan lantang “Untuk apa kalian berdua datang kemari? Aku mendengar sebagian dari pembicaraan kalian. Rasa-rasanya kalian adalah orang yang terpandai di bumi ini sehingga kalian mencoba untuk mengajari ayahku?”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang memandang anak muda itu dengan saksama. Dengan segera mereka mengetahui, bahwa anak muda itulah anak Ki Buyut Pudaklamatan yang akan menjadi menantu mPu Renapati dari padepokan Kencana Pura.
Sebelum Mahisa Murti dan Kiai Wijang menjawab, maka anak muda itupun berkata lantang “Sebaiknya kalian meninggalkan tempat ini. Semakin lama kalian disini, maka telingaku akan menjadi semakin panas.”
“Duduklah” berkata Ki Buyut “keduanya adalah tamuku. Kau tidak berhak berkata seperti itu.”
“Sudahlah ayah” berkata anak muda itu “ayah jangan membiarkan dua ekor ular tidur dibawah selimut yang sedang ayah pergunakan. Bagaimanapun juga, kedua ekor ular itu akan dapat menggigit. Karena itu, biarlah keduanya pergi.”
“Aku tidak mempersilahkan mereka pergi,” jawab ayahnya.
Wajah anak muda itu menjadi merah. Namun kemudian ia berkata “Aku sudah memberi kalian berdua peringatan. Karena itu, jika terjadi sesuatu atas kalian berdua, itu adalah salah kalian sendiri.”
Ki Buyut lah yang menjadi marah. Tetapi orang yang menyertainya duduk menemui kedua tamunya itu berkata “Sebaiknya Ki Buyut mendengarkan pendapat anak Ki Buyut itu. Ternyata panggraitanya lebih tajam dari Ki Buyut sendiri.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun saling berpandangan. Mereka sadar, bahwa mereka tidak akan dapat berbicara dengan sebaik-baiknya. Meskipun demikian mereka menangkap kesan, bahwa sebenarnya Ki Buyut sendiri bukan seorang yang tamak. Ki Buyut sendiri tidak ingin terjadi perselisihan antara kedua Kabuyutan itu. Namun anaknya yang sudah dipengaruhi oleh mPu Renapati menghendaki lain. Anak muda itu membayangkan satu masa depan yang gemilang dalam pemerintahannya, sehingga ia lupa pada sangkan paraning dumadi. Anak muda itu terbius oleh hembusan lidah mPu Renapati tentang mimpi bagi masa depan yang besar.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang menganggap bahwa kehadiran mereka di rumah itu tidak akan berarti apa-apa lagi. Merekapun yakin, bahwa orang yang selalu menyertai Ki Buyut itu tentu salah seorang dari padepokan Renapati yang ditempatkan di Kabuyutan Pudaklamatan.
Karena itu, maka sesaat kemudian, maka Mahisa Murti pun berkata “Baiklah Ki Buyut. Jika demikian, maka kami mohon diri. Kami akan kembali ke Kabuyutan Talang Alun. Namun kami serba sedikit telah melihat satu gambaran, apa yang telah terjadi disini. Maksudku di Kabuyutan Sendang Apit dan Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Terima kasih atas kunjungan kalian Ki Sanak. Salam buat Ki Buyut di Talang Alun. Kami hargai niatnya untuk membantu memecahkan kekalutan yang terjadi di Kabuyutan kami.”
“Tidak ada kekalutan disini ayah.” berkata anak muda itu “hanya orang-orang lain yang iri hati sajalah yang menganggap bahwa di Kabuyutan Pudaklamatan ada kekalutan.”
Tetapi jawab ayahnya mengejutkannya. “Bagaimana kau dapat menyembunyikan kenyataan yang digelar di kedua Kabuyutan? Apakah kau kira orang-orang yang pernah lewat Kabuyutan ini buta dan tuli?”
Wajah anak muda itu menjadi marah. Namun orang yang selalu menyertai Ki Buyut itu berkata “Kekalutan memang ada dimana-mana di seluruh muka bumi. Tetapi kekalutan yang terjadi disini terlalu dibesar-besarkan orang. Tetapi apapun yang terjadi, biarlah orang lain tidak ikut mencampurinya.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang pun kemudian telah minta diri. Ki Buyut yang mengantarnya sampai ke tangga pendapa berpesan “Hati-hatilah Ki Sanak. Semoga kalian selamat sampai di Kabuyutan Talang Alun.”
“Doa Ki Buyut menyertai kami berdua” jawab Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya pun segera melangkah meninggalkan Kabuyutan itu, sementara Ki Buyut pun segera naik pula ke pendapa dan selanjutnya masuk ke ruang dalam.
Yang ada di pendapa kemudian adalah orang yang selalu menyertai Ki Buyut itu serta anaknya laki-laki. Dengan geram anak Ki Buyut Pudaklamatan itu menggeram “Bereskan saja orang-orang itu.”
“Jangan ngger. Jika keduanya tidak sampai ke Kabuyutan Talang Alun, maka akan dapat menjadi alasan bagi Kabuyutan itu untuk langsung mencampuri persoalannya. Hilangnya kedua orang itu akan dapat menjadi alasan bagi Kabuyutan Talang Alun untuk menyerang Kabuyutan Pudaklamatan.”
“Apakah kita takut menghadapi Kabuyutan Talang Alun. Bukankah padepokan Renapati cukup kuat untuk menghadapi tiga atau empat Kabuyutan sekaligus? Apalagi bersama-sama dengan Kabuyutan Pudaklamatan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Tetapi sebaiknya kita untuk sementara membatasi diri. Mungkin pada kesempatan lain kita justru akan memancing pertengkaran dengan Kabuyutan Talang Alun.”
Tetapi anak muda itu berkata “Kita selesaikan mereka justru di Kabuyutan Talang Alun sendiri. Kita kirim beberapa orang pilihan untuk mengikutinya dan membunuhnya di seberang hutan, sehingga akan dapat diketemukan oleh orang-orang Talang Alun. Jika mereka mati di daerah mereka sendiri, maka mereka tidak akan dapat menuduh kita sehingga mereka tidak mempunyai alasan untuk mengirimkan pasukan menyeberangi hutan.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Satu kerja yang berat.”
“Kita kirim lima atau enam orang yang berilmu tinggi. Diantara mereka dari padepokan Renapati. Mereka harus berusaha mendahului keduanya dan menunggunya di seberang hutan, justru di bulak-bulak panjang di tlatah Kabuyutan Talang Alun itu sendiri. Usahakan agar mayatnya dapat diketemukan oleh orang-orang Talang Alun, apakah mereka yang akan pergi ke sawah atau mereka yang akan pergi ke pasar.”
“Tidak hanya ada satu jalan menuju ke Talang Alun” jawab orang itu.
“Tetapi jalan keluar dari hutan itu tentu dapat diperhitungkan. Agaknya jalur jalan para pengungsi itulah yang akan mereka lewati.”
“Jika kedua orang itu membaurkan diri dengan para pengungsi yang menuju ke Kabuyutan Talang Alun?”
“Itu lebih baik. Orang-orang kita akan dapat mencari perkara sehingga terjadi perselisihan dan perkelahian. Orang-orang kita pun harus menyatukan diri dengan para pengungsi itu.”
Orang yang menyertai Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Katanya “Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan mPu Renapati setuju.”
“Kita tidak mempunyai banyak waktu. Orang itu tidak boleh lolos. Biarlah orang-orang kita mendahuluinya dengan berkuda. Satu dua orang akan menyertai mereka dan akan membawa kembali kuda-kuda itu, setelah orang-orang kita memasuki hutan.”
Demikianlah, maka orang itupun dengan tergesa-gesa meninggalkan rumah Ki Buyut menuju ke Padepokan Renapati. Dengan tergesa-gesa pula ia menemui mPu Renapati dan melaporkan rencana calon menantunya itu.
mPu Renapati berpikir sejenak. Lalu katanya “Lakukan perintahnya. Ternyata penalarannya cukup tajam. Kedua orang itu tidak boleh memberikan kesan sikap Ki Buyut kepada orang-orang Talang Alun.”
Orang itupun kemudian telah melakukan perintah itu dengan tergesa-gesa. mPu Renapati telah menunjuk Kebo Wanter dan Lembu Pangambah untuk melakukan tugas itu bersama empat orang kawan mereka.
“Aku percaya bahwa Kebo Wanter dan Lembu Pangambah akan dapat melakukannya. Apalagi disertai oleh empat orang yang lain. Jika mereka bergabung dengan para pengungsi, sebaiknya mereka tidak berkelompok. Tetapi mereka harus saling memisahkan diri.”
Sesaat kemudian, Kebo Wanter dan Lembu Pangambah telah dipanggil. Ketika perintah itu diberikan, maka Kebo Wanter bertanya “Bukankah hanya ada dua orang dari Kabuyutan Talang Alun yang harus kami selesaikan?”
“Ya. Hanya dua orang.”
“Kenapa kami berdua harus membawa empat orang lagi? Seorang saja diantara kami akan dapat menyelesaikan mereka. Apalagi dua orang. Karena itu, empat orang itu tidak perlu sama sekali."
“Kalian tidak usah membantah. Pergilah bersama empat orang. Kalian dengar?”
Kebo Wanter dan Lembu Pangambah mengangguk-angguk. Sementara itu orang yang mendapat perintah dari mPu Renapati itu berkata “Kita tidak ingin rencana ini gagal, sehingga akibatnya akan menjadi semakin buruk. Karena itu, maka kedua orang itu tidak boleh melarikan diri. Meskipun kalian berdua saja yakin akan dapat mengalahkan mereka, bahkan seorang saja diantara kalian, tetapi kemungkinan melarikan diri harus diperhitungkan.”
Kebo Wanter dan Lembu Pangambah masih mengangguk-angguk. Sementara orang itu memberitahukan ciri-ciri dari orang yang harus mereka cari itu.
“Pergunakan jalur para pengungsi. Mungkin kedua orang itu ada diantara mereka.”
Demikianlah, maka sejenak kemudian enam orang telah berpacu menuju ke hutan yang menyekat Kabuyutan Sendang Apit dengan Kabuyutan Talang Alun. Bersama mereka ikut pula tiga orang yang akan membawa kuda-kuda itu kembali ke padepokan Renapati.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Kiai Wijang yang kemudian telah bertemu kembali dengan bebahu Sendang Apit itu telah memutuskan untuk kembali ke Talang Alun. Nampaknya tidak mungkin dapat berbicara terbuka dengan Ki Buyut Pudaklamatan yang selalu dibayangi oleh seseorang yang agaknya sengaja ditempatkan di rumah Ki Buyut oleh mPu Renapati. Sementara itu, anak Ki Buyut sendiri agaknya telah menjadi mabok oleh mimpi tentang masa depan yang besar.
Tetapi bebahu itu sendiri telah menyatakan diri untuk tinggal. Ia merasa akan mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Buyut Sendang Apit yang masih berada di Kabuyutannya. “Aku tentu dapat bertemu, dengan Ki Buyut meskipun tidak segera. Aku akan mengajak Ki Buyut menemui Ki Buyut Talang Alun dan membawanya ke Padepokan Bajra Seta.”
“Kami menunggu” berkata Mahisa Murti.
“Mudah-mudahan Ki Buyut bersedia meninggalkan Kabuyutan Sendang Apit barang dua tiga hari untuk keperluan itu.” berkata bebahu itu.
“Berhati-hatilah” pesan Kiai Wijang.
“Terima kasih. Kiai berdua pun harus berhati-hati di jalan.” berkata bebahu itu.
“Jika kau gagal menemui Ki Buyut, kau harus segera, menghubungi kami” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Baik. Tetapi nampaknya aku sudah mendapatkan jalur untuk sampai kepadanya. Ternyata aku masih dipercaya meskipun aku sudah pernah lari dari medan.” berkata bebahu itu.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Kiai Wijang telah meninggalkan bebahu itu di Kabuyutannya. Mereka memang telah menempuh perjalanan melalui jalur para pengungsi yang masih saja mengalir dari Kabuyutan Sendang Apit menyeberangi hutan. Mereka berharap bahwa di seberang hutan, mereka akan mendapatkan ketenangan setidak-tidaknya untuk sementara sambil menunggu perkembangan keadaan di Kabuyutan mereka.
Sekelompok pengungsi yang menyeberangi hutan itu memang tertarik melihat kehadiran dua orang yang sebelumnya belum mereka kenal. Orang-orang Kabuyutan Sendang Apit memang melihat kelainan pada Mahisa Murti dan Kiai Wijang dari kebiasaan orang-orang Kabuyutan itu.
Namun sekelompok pengungsi itupun merasa bahwa mereka memang tidak dapat mengenali semua penghuni Kabuyutan Sendang Apit yang termasuk luas itu. Apalagi kemungkinan hadirnya orang-orang baru yang datang dari Kabuyutan lain untuk menetap di Kabuyutan Sendang Apit. Apalagi nampaknya kedua orang itu bukan orang yang jahat yang akan dapat mengganggu mereka diperjalanan.
Meskipun demikian, seorang laki-laki diantara para pengungsi itu telah bertanya kepada Mahisa Murti dan Kiai Wijang “Apakah kalian juga pengungsi seperti kami?”
Ternyata Mahisa Murti menjawab apa adanya “Tidak Ki Sanak. Kami adalah orang-orang dari Kabuyutan Talang Alun di seberang hutan. Di Kabuyutan kami terdapat banyak sekali pengungsi yang mengalir dari Kabuyutan Sendang Apit. Karena itu, kami sengaja pergi ke Sendang Apit untuk melihat keadaan.”
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya “Jadi kalian adalah orang-orang Talang Alun.”
“Ya” jawab Mahisa Murti.
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya “Bagaimana keadaan saudara-saudara kami yang telah berada di Talang Alun?”
“Kami di Talang Alun telah mencoba berbuat sebaik-baiknya. Tetapi sudah tentu sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami.”
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Perjalanan di hutan yang lebat itu memang bukan perjalanan yang mudah. Apalagi diantara mereka terdapat perempuan dan anak-anak. Karena itu, maka perjalanan pun menjadi lambat dan sekali-sekali harus beristirahat.
Beberapa orang laki-laki yang ada diantara mereka telah merambah jalan yang akan dilalui. Namun mereka pun bersiap pula jika tiba-tiba mereka bertemu dengan binatang buas yang akan mengganggu. Tetapi binatang buas di hutan itu justru menyingkir jika mereka melihat sekelompok orang yang lewat. Apalagi jika mereka membawa obor dimalam hari.
Namun di tengah hutan mereka telah bertemu dengan tiga orang yang nampaknya sedang beristirahat. Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak menegur sekelompok orang yang sedang mengungsi itu. Mereka hanya memperhatikan seorang demi seorang. Namun kemudian sekelompok pengungsi itupun kemudian telah lewat.
“Apakah kita akan menggabungkan diri dengan mereka?” bertanya lembu Pangambah.
“Tidak perlu.” jawab Kebo Wanter “hanya akan mengganggu saja. Mungkin satu orang diantara mereka akan bertanya kepada kita. Bahkan mungkin kedua orang yang harus kita selesaikan itu. Kita harus berpikir bagaimana kita menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka itu.”
“Dua orang yang dimaksud mPu Renapati tentu dua orang yang ada diantara para pengungsi itu” berkata Lembu Pangambah.
“Ya. Aku sudah pasti.” jawab Kebo Wanter.
“Jika demikian, kenapa tidak kita selesaikan sekarang saja disini?” bertanya seorang yang ikut bersama Kebo Wanter dan Lembu Pangambah.
“Tiga orang kawan kita yang lain ada di ujung hutan” jawab Kebo Wanter “selebihnya, perintah itu mengatakan bahwa kita harus membunuh mereka di daerah Kabuyutan Talang Alun sendiri.”
“Kenapa? Bukankah lebih baik kita bunuh di hutan ini?”
“Jika mereka mati di Talang Alun, maka itu adalah persoalan Talang Alun sendiri. Tetapi jika di hutan ini atau di Sendang Apit, maka persoalannya akan dapat menjadi lain. Orang-orang Talang Alun akan dapat menyangkutkan Kabuyutan Sendang Apit atas kematian orang-orangnya itu.”
Orang itu tidak bertanya lagi, sementara itu kelompok pengungsi itu sudah menjadi semakin jauh. Baru beberapa saat kemudian maka ketiga orang itupun bangkit dan melangkah mengikuti arah para pengungsi itu.
Ketika kemudian para pengungsi itu melihat tiga orang yang lam duduk-duduk diatas sebatang pohon yang rebah di hutan itu, maka mereka mulai merasa curiga. Mungkin enam orang itu berniat buruk terhadap para pengungsi itu. Mungkin mereka perampok yang mengira bahwa para pengungsi itu membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Tetapi ketiga orang yang ditemuinya kemudian itu juga tidak mengganggu mereka. Ketiganya hanya memperhatikan saja iring-iringan sekelompok pengungsi yang lewat.
Namun dalam pada itu, setiap laki-laki diantara para pengungsi itu sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka telah mempersiapkan senjata mereka untuk melindungi keluarga mereka serta milik mereka yang sempat mereka bawa.
Ketika para pengungsi itu kemudian keluar dari hutan yang lebat, yang menyekat Kabuyutan Sendang Apit dengan Kabuyutan Talang Alun, maka rasa-rasanya mereka mulai dapat bernafas lega. Beberapa saat kemudian, mereka akan meninggalkan padang perdu dan turun ke daerah persawahan. Kemudian mereka pun akan segera sampai ke padukuhan-padukuhan terdekat dari Kabuyutan Talang Alun, yang akan menjadi tempat mereka untuk menetap sementara.
“Kami sudah sampai ke Talang Alun, Ki Sanak” berkata laki-laki yang sejak semula berbincang dengan Mahisa Murti dan Kiai Wijang.
“Ya. Kalian telah berada di Talang Alun” jawab Mahisa Murti.
“Dimana kami dapat tinggal?” bertanya laki-laki itu.
“Datang saja ke padukuhan yang mana saja. Di banjar telah ditugaskan orang-orang yang akan mengatur dimana kalian akan ditempatkan,” jawab Mahisa Murti.
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya “Terima kasih. Kami tidak akan melupakan jasa orang-orang Talang Alun.”
Demikianlah iring-iringan itu berjalan dengan wajah yang memancarkan harapan untuk mendapatkan tempat yang lebih tenang. Mereka seakan-akan telah melupakan perjalanan yang panjang menelusuri hutan dan padang perdu.
Sementara itu, malam yang turun pun semakin lama menjadi semakin gelap. Perempuan dan anak-anak yang merasa sangat letih, terpaksa harus berhenti lagi untuk beristirahat sebagaimana mereka lakukan beberapa kali sepanjang perjalanan.
Namun rasa-rasanya mereka sudah tidak diburu oleh kecemasan, bahwa mereka akan mengalami perlakuan kasar. Seakan-akan mereka sudah berada diambang pintu regol rumah mereka sendiri. Namun ketenangan mereka ternyata telah terusik. Enam orang yang mereka temui di hutan itupun telah menyusul mereka. Dua orang yang berjalan di paling depan langsung berdiri dekat ditempat para pengungsi itu beristirahat.
“Kami tidak akan mengganggu kalian” berkata salah seorang dari mereka.
Para pengungsi itu termangu-mangu sejenak. Tetapi setiap laki-laki yang ada diantara mereka memang sudah bersiap. Meski pun melihat ujudnya, keenam orang itu tentu orang yang memiliki kelebihan, tetapi para pengungsi itu tidak akan membiarkan mereka dirampok atau mengalami perlakuan buruk. Mereka sudah bersusah payah menempuh perjalanan yang panjang dan sulit. Sehingga karena itu, maka mereka pun rasa-rasanya tidak akan mau berkorban lebih banyak lagi.
Tetapi salah seorang dari keenam orang itu berkata “Aku justru sedang mencari saudaraku sendiri dari Talang Alun.
Diluar sadarnya orang-orang itu berpaling kepada Mahisa Murti dan Kiai Wijang. Ternyata orang-orang itupun telah memandang ke arah keduanya pula. Sebelum Mahisa Murti dan Kiai Wijang berkata sesuatu, maka orang yang mengaku mencari saudaranya itu berkata,
“Ternyata kau benar-benar ada di sana. Ketika kami melihat iring-iringan pengungsi ini lewat, kau berusaha untuk menyembunyikan dirimu diantara mereka. Tetapi ada diantara kami yang berhasil melihat kalian berdua.”
Mahisa Murti dan Kiai Wijang segera tanggap apa yang sedang mereka hadapi. Karena itu, maka Kiai Wijang pun segera menyahut “Ki Sanak. Kalian tidak usah berputar-putar lagi. Katakan saja apa maksud kalian. Kami memang orang-orang Talang Alun. Tetapi kalian bukan.”
“Jangan memutar balikkan persoalan. Beberapa hari kau telah menghilang dari Talang Alun. Sekarang kau kembali ke Talang Alun bersama para pengungsi. Ki Buyut yang menugaskan kami mencarimu, hampir berputus-asa. Untunglah kami melihat kau yang mencoba menyusup diantara para pengungsi itu.”
“Sudahlah, katakan apa yang kau maui?” berkata Mahisa Murti.
Salah seorang diantara mereka yang mencegat Mahisa Murti dan Kiai Wijang itupun berkata kepada para pengungsi “Nah Ki Sanak. Aku persilahkan kalian melanjutkan perjalanan. Di Talang Alun telah disediakan tempat bagi kalian. Biarlah aku menyelesaikan kedua orang yang telah banyak melakukan kejahatan di Kabuyutan kami. Untunglah mereka berdua belum melakukan kejahatan atas kalian, karena agaknya kalian tidak menjadi ketakutan karenanya. Bahkan nampaknya setiap laki-laki dalam iring-iringan pengungsi ini sudah siap untuk melawan.”
Para pengungsi itu memang menjadi bingung. Namun orang itu berkata selanjutnya “Silahkan meninggalkan tempat ini. Kami akan menangkap mereka dan membawanya kepada Ki Buyut. Jika kedua orang ini melawan, maka kami terpaksa mengakhirinya.”
Para pengungsi itu memang menjadi cemas. Karena itu, maka mereka memang merasa lebih baik tidak ikut campur. Apalagi orang itu mengatakan bahwa ia dan kawan-kawannya mendapat tugas dari Ki Buyut Talang Alun.
Ketika para pengungsi itu bersiap untuk melanjutkan perjalanan, maka Mahisa Murti justru berkata “Silahkan Ki Sanak. Jangan ragu-ragu. Tinggalkan tempat ini dan sampaikan kepada Ki Buyut apa yang telah terjadi disini.”
Para pengungsi yang masih baru saja mencoba untuk beristirahat itu telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Sementara Mahisa Murti berkata “Padukuhan yang pertama sudah tidak jauh lagi. Lampu-lampunya telah nampak dari tempat ini. Yang nampak terang itu tentu obor di regol padukuhan."
Para pengungsi itupun segera melanjutkan perjalanan. Mereka memang menjadi berdebar-debar dan bahkan merasa cemas melihat gelagat yang tidak baik antara keenam orang yang mengikuti mereka dari dalam hutan dengan dua orang yang bersama-sama mereka sejak dari seberang hutan.
Tetapi para pengungsi itu memang tidak ingin ikut campur jika persoalannya adalah persoalan orang-orang Talang Alun sendiri. Mereka memang merasa tidak berhak untuk melibatkan diri kedalamnya. Namun yang menggelisahkan mereka, bahwa Talang Alun yang dikiranya tenang dan damai itu masih juga diguncang oleh peristiwa-peristiwa kekerasan yang mencemaskan.
Sementara itu, ketika para pengungsi itu sudah menjadi semakin jauh, maka Kebo Wengker itupun berkata “Ki Sanak. Kami memang mendapat perintah untuk menyelesaikan Ki Sanak berdua, karena kalian akan dapat membuat suasana menjadi semakin Kalut. Kabuyutan Talang Alun tidak ingin terlibat dalam pertikaian yang terjadi di Pudaklamatan dan Sendang Apit. Karena itu, maka bahwa kalian telah mencoba mencampuri persoalan mereka maka kalian harus dilenyapkan dari bumi Talang Alun.”
Tetapi Mahisa Murti itu justru bertanya, “Bukankah tidak ada pertikaian apa-apa di Pudaklamatan? Bukankah yang terjadi itu satu hal yang sangat wajar, bahwa Ki Buyut Pudaklamatan mengambil kembali miliknya dari tangan adik sepupunya? Kelak anak Ki Buyut itu akan menjadi seorang pemimpin yang besar yang memimpin sebuah Kabuyutan besar yang terdiri dari gabungan dua Kabuyutan. He, apakah kau tidak setuju? Jika sikapmu itu diketahui oleh Ki Buyut Pudaklamatan, anak laki-lakinya atau bahkan mPu Renapati, maka kalian akan menyesal. Apalagi karena kalian sudah menganggap bahwa yang terjadi di Kabuyutan Pudaklamatan adalah satu pertikaian.”
Wajah Kebo Wanter menjadi merah. Sementara Lembu Pangambah membentak “Gila kau. Apapun yang kau katakan, kami akan membunuh kalian.”
“Nah, bukankah sudah aku katakan, sebaiknya kalian katakan langsung, apa maksud kalian. Kalian memang tidak usah berbelit-belit dan berputar-putar.”
“Baik” geram Lembu Pangambah “tundukkan kepalamu. Aku akan memanggilnya. Kematian yang demikian adalah kematian yang paling terhormat bagi kalian daripada kalian akan mati seperti seekor tikus didalam genggaman seekor kucing.”
Mahisa Murti sama sekali tidak menjadi ketakutan. Anak muda itu justru tertawa “Satu tantangan yang sudah terlalu sering diucapkan orang. Sudahlah. Kita tidak usah banyak berbicara. Marilah, kita akan bertempur. Tetapi maaf, bahwa kami memang tidak membawa senjata, karena senjata akan menyulitkan perjalanan kami di Kabuyutan Pudaklamatan.”
Kebo Wanter menggeram. Sambil melangkah surut mengambil jarak ia berkata “Kau memang terlalu sombong. Tetapi jangan takut bahwa aku akan membunuhmu dengan senjata. Jari-jariku cukup kuat untuk mematahkan lehermu, sementara itu kawanku itu akan mencekik kakek tua itu dengan jari-jarinya pula."
“Lalu, apa yang akan dilakukan oleh keempat kawanmu itu?” bertanya Kiai Wijang tiba-tiba.”
Telinga Kebo Wanter menjadi panas bagaikan disentuh api. Dengan geram ia menjawab “Mereka akan menjaga kalian, agar kalian tidak sempat melarikan diri.”
“Apakah kalian menduga bahwa kami akan melarikan diri?” bertanya Kiai Wijang pula.
“Ya.” jawab Kebo Wanter “aku melihat kelicikan di sorot mata kalian. Kalian tidak akan merasa malu untuk melarikan diri karena kalian memang tidak mempunyai harga diri sama sekali.”
Kiai Wijang tertawa. Katanya “Satu dugaan yang tepat. Karena ketika aku muda, maka aku adalah pelari tercepat di padukuhanku. Setiap ada lomba memburu itik, maka aku tentu menjadi pemenangnya.”
“Cukup” bentak Kebo Wanter yang tidak dapat menahan marahnya. Kepada keempat kawannya ia berkata “Jaga agar mereka tidak sempat melarikan diri.”
Keempat kawannya itupun segera memencar di seputar keempat orang yang nampaknya sudah siap untuk bertempur itu. Kebo Wanter yang marah itu segera menghadapi Mahisa Murti, sementara Lembu Pangambah melangkah mendekati Kiai Wijang yang telah mengambil jarak dari Mahisa Murti.
“Pandanglah Kabuyutan Talang Alun untuk yang terakhir. Kau akan segera mati, sebelum kawan para pengawal padukuhan terdekat itu datang kemari. Para pengungsi itu tentu menceriterakan apa yang mereka lihat. Para pengawal tentu ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disini.” geram Kebo Wanter.
“Ya. Sebentar lagi mereka tentu akan datang” sahut Mahisa Murti.
“Tetapi kau tidak akan memiliki waktu yang sebentar itu.” geram Kebo Wanter pula.
Mahisa Murti memang tidak menjawab lagi. Kebo Wanter telah mulai bergerak. Bahkan Lembu Pangambah lah yang justru telah meloncat menyerang Kiai Wijang. Lembu Pangambah ingin dalam waktu yang singkat, orang tua itu sudah dapat dibunuhnya.
Tetapi Kiai Wijang cukup berhati-hati. Dengan tangkasnya ia bergeser ke samping. Tidak sebagaimana seorang tua yang bergerak dengan lamban. Tetapi orang tua itu melenting dengan kecepatan yang justru mendahului serangan lawannya.
Lembu Pangambah memang agak terkejut melihat ketangkasan orang itu. Apalagi ketika ia masih mendengar orang tua itu justru tertawa. Bahkan sambil berkata “Jangan tergesa-gesa, karena kau tidak dapat membidik sasaran dengan baik.”
Lembu Pangambah mengumpat kasar. Namun serangannya pun segera meluncur kembali. Tetapi seperti yang terdahulu, serangannya itu tidak menyentuh sasaran. Lembu Pangambah yang geram itupun berteriak “Jangan lari. Kau tidak akan lepas dari tanganku.”
Tetapi jawaban Kiai Wijang memang menyakitkan telinganya. Katanya “Bukankah aku tidak akan dapat melarikan diri karena kawan-kawanmu telah mengepungku?”
“Persetan kau setan tua. Kau akan menyesal tingkah lakumu itu.” geram Lembu Pangambah.
Kiai Wijang tidak menjawab. Ia melihat dalam keremangan malam, mata Lembu Pangambah itu seakan-akan membara. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya Lembu Pangambah itu menyerang lawannya. Ia sama sekali tidak berusaha untuk menjajagi kemampuan orang tua itu.
Lembu Pangambah ingin pekerjaan itu segera selesai sehingga bersama kawan-kawannya ia akan segera meninggalkan daerah Talang Alun yang banyak dihuni oleh para pengungsi dari Sendang Apit. Tetapi ternyata tidak mudah untuk menundukkan orang tua itu. Ketika orang tua itu mulai bertempur, maka ia sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya lagi.
Sementara itu, Kebo Wanter pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Anak muda yang sombong itu harus dihancurkan dalam waktu yang pendek. Sebelum mati anak muda itu harus mengakui, bahwa ia bukan apa-apa bagi Kebo Wanter. Tetapi ternyata bahwa perhitungan Kebo Wanter itu keliru. Anak muda itu tidak segera dapat ditundukkannya. Serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh sasaran. Bahkan sekali-sekali, anak muda itu justru dengan sengaja membentur serangannya.
Kebo Wanter adalah seorang yang memiliki pengalaman yang luas. Sebagai seorang yang ditempa di sebuah padepokan, maka Kebo Wanter pun memiliki landasan ilmu yang cukup tinggi. Namun yang dihadapinya adalah Mahisa Murti, pemimpin sebuah padepokan yang cukup besar dan bahkan telah mendapat perhatian khusus dari Singasari.
Karena itu, maka Kebo Wanter mulai merasa dihadapkan pada sebuah teka-teki, bahwa anak muda dari Talang Alun itu tidak segera dapat ditundukkannya. Dengan, demikian, maka Kebo Wanter, seorang murid dari perguruan mPu Renapati yang terpilih itu, menjadi semakin marah. Tidak seharusnya anak dari Talang Alun itu dapat bertahan terlalu lama menghadapinya.
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Anak muda itu masih mampu bertahan. Bahkan serangan-serangan Kebo Wanter itu masih belum berhasil menyentuh kulitnya. Karena itu, maka Kebo Wanter tidak lagi mengekang dirinya. Ia berniat segera mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka iapun segera meningkat ke tataran ilmunya yang lebih tinggi. Yang sebelumnya sama sekali tidak diduganya, bahkan ia akan sampai ke tataran itu untuk menghadapi anak muda Talang Alun itu.
Dengan demikian, maka serangan-serangan Kebo Wanter pun menjadi semakin keras dan cepat. Kakinya berloncatan di seputar Mahisa Murti yang berusaha tidak terlalu banyak bergerak. Namun setiap geraknya seakan-akan telah menimbulkan getar udara yang menerpa kulit lawannya. Mula-mula Kebo Wanter tidak mau menghiraukan hal itu. Namun kemudian ia menyadari, bahwa hal itu memang terjadi.
“Kau sadap ilmumu itu dari iblis mana, anak muda?” bertanya Kebo Wanter kemudian.
“Aku tidak bersahabat dengan iblis Ki Sanak” jawab Mahisa Murti.
“Persetan dengan kesombonganmu” geram Kebo Wanter. Namun Kebo Wanter itupun kemudian harus mengakui, bahwa lawannya yang masih muda itu memang berilmu tinggi.
Seperti Kebo Wanter masih belum ingin mempergunakan senjata. Ia tahu bahwa lawannya yang masih muda itu tidak bersenjata. Iapun telah berkata bahwa ia akan membunuh anak muda itu tanpa senjata. Karena itu, betapapun ia menghadapi kenyataan bahwa lawannya itu berilmu tinggi, maka Kebo Wanter masih belum mempergunakan senjatanya.
Tetapi benturan-benturan yang kemudian terjadi, memaksa Kebo Wanter berpikir ulang. Ia tidak dapat sekedar menjunjung harga dirinya, tetapi semakin mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri.
Apalagi ketika kemudian, Mahisa Murti mulai menembus pertahanan Kebo Wanter dengan serangan-serangannya. Justru saat Kebo Wanter menggapai tataran ilmu yang dikuasainya, maka Mahisa Murti mulai menguak pertahanannya. Ketika Kebo Wanter meloncat menyerang dengan garangnya, dengan menjulurkan tangannya ke arah pelipis Mahisa Murti, maka Mahisa Murti justru merendah. Sambil memutar tubuhnya, maka Mahisa Murti telah menjulurkan sebelah kakinya mengarah ke dada Kebo Wanter. Tetapi Kebo Wanter sempat menghindar. Dengan cepat Kebo Wanter memiringkan tubuhnya.
Serangan kaki Mahisa Murti itu memang tidak mengenai sasarannya. Namun Mahisa Murti tidak berhenti. Dengan loncatan kecil, tubuhnya berputar. Kakinyalah yang dengan derasnya terayun menggapai kening.
Ternyata Kebo Wanter tidak mampu bergerak secepat Mahisa Murti. Meskipun ia tanggap akan serangan kaki berikutnya, namun Kebo Wanter ternyata telah terlambat menghindar. Kaki Mahisa Murti yang terayun mendatar itu menyambar keningnya. Demikian derasnya, sehingga Kebo Wanter pun telah terdorong beberapa langkah dan bahkan kemudian telah kehilangan keseimbangannya pula.
Kebo Wanter itu jatuh terbanting di tanah. Satu kejadian yang tidak pernah diperkirakan sejak ia berangkat dari padepokan Renapati. Yang diangan-angankan adalah bagaimana membunuh anak Talang Alun itu dengan tangannya, membiarkan mayatnya terbujur di bulak itu.
Jika kemudian mayat itu oleh orang-orang Talang Alun maka mereka akan menjadi bingung. Mungkin mereka dapat menduga bahwa anak muda dan seorang kawannya telah dibunuh oleh orang seberang hutan, tetapi karena kematiannya terjadi di Kabuyutan Talang Alun, maka orang-orang Talang Alun tidak dapat menuduh, bahwa orang-orang seberang hutan itulah yang telah membunuhnya...
* * * * *
Para pembaca sekalian, cerita Pelangi Dilangi Singasari episode Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan terhenti sampai di sini saja. Karena pengarangnya, Bapak S.H Mintardja tidak sempat menyelesaikannya, sebab beliau dipanggil menghadap Sang Maha Kuasa.SELESAI
SERIAL PENDEKAR MABUK | CERITA SILAT LAINYA |
---|