Serial Pendekar Mabuk
Istana Berdarah
Karya Suryadi
Istana Berdarah
Karya Suryadi
SATU
GULUNGAN ombak setinggi rumah mengamuk di tengah lautan. Hembusan angin begitu besar, bagai tiupan napas-napas iblis dari neraka. Gulungan ombak itu semakin besar dan meninggi, seakan ingin menembus langit. Kilatan cahaya halilintar pun menyambar murka pada benda apa pun yang muncul di permukaan laut. Gelegar suaranya bagai geram raksasa di atas langit.Sebuah perahu berlayar tunggal, tumbang diamuk badai dan gelombang. Lambung perahu pecah, tiangnya patah, layarnya tak tersisa sedikit pun pada tiang. Papan-papan kayunya mengambang terombang-ambing ombak, kadang terlempar ke angkasa dan jatuh entah ke mana.
Ketika murka samudera mereda, tampak sesosok tubuh terkapar tak berdaya di pasir pantai. Orang itu bertubuh tinggi besar tanpa mengenakan baju lagi. Masih untung celananya tetap melekat dan tidak hanyut terbawa ombak seperti bajunya. Orang itu dalam keadaan tengkurap dan masih memeluk sebatang balok.
Melihat dari gelang kayu akar bahar di tangan kanannya, melihat bentuk jari sebesar pisang ibaratnya, orang itu tak lain ialah Singo Bodong. Bentuk pusarnya yang menonjol tak bisa dipungkiri lagi, bahwa ia adalah Singo Bodong yang mengikuti perjalanan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ke Pulau Serindu.
Malang bagi sang Singo, perahu itu pecah dihantam badai lautan, ia pun terpisah dari Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Apakah Pendekar Mabuk masih bersama Dewa Racun, ia pun tak tahu pasti. Yang jelas ia sadari, bahwa pulau tempatnya terdampar itu adalah bukan pulau tujuan terakhir. Pulau itu terlewati oleh perahu mereka saat badai belum datang dan menggulung habis.
Cahaya sinar matahari yang menyengat kulit membuat Singo Bodong sadar dari pingsannya, ia menggeliat pelan diiringi oleh suara erang memanjang. Sekujur tubuhnya sakit semua, tulang-tulangnya bagaikan patah. Kulit pun terasa perih karena sabetan lidah-lidah ombak. Urat-uratnya bagaikan putus semua akibat berjuang mempertahankan hidup di tengah amukan badai dan ombak.
"Pendekar Mabuk... Dewa Racun...!" Singo Bodong memanggil dengan mata mengerjap-ngerjap perih, ia menyeringai, menyipitkan mata karena tak kuat menerima sinar matahari. Tubuhnya yang mau bangkit jatuh kembali karena lemas.
"Aku terdampar!" pikirnya dalam kelemasannya. "Pasti aku terdampar di suatu pulau. Kalau tahu pada awalnya bahwa aku akan terdampar begini, aku tak mau ikut Pendekar Mabuk! Perahu pecah, aku tak bisa pegangan Pendekar Mabuk, untung aku menemukan potongan balok, lalu aku berjuang sendiri melawan maut di tengah laut, aah... sungguh tak enak! Ternyata mengikuti perjalanan seorang pendekar sungguh tak enak!"
Tiba-tiba ada sesuatu yang menyentak dari dalam perut Singo Bodong yang berwajah sangar dan berkumis tebal itu. Sesuatu yang menyentak itu makin kuat, dan akhirnya Singo Bodong paksakan diri untuk duduk, lalu tersontaklah isi perutnya keluar mulut. "Hoooek...! Hoooek...!"
Tak banyak yang terkuras keluar, namun bikin Singo Bodong semakin geram menahan jengkel. Batinnya mengucap, "Mabuk yang telat! Mestinya tadi, sewaktu aku terombang-ambing ombak, muntah ini bekerja. Sekarang giliran aku mau istirahat, baru muntah ini datang!" Baru saja Singo Bodong bangkit dengan menggeloyor, tiba-tiba dari arah punggungnya ada benda keras yang menyentak kuat.
Bukk!
"Ehg...!" Singo Bodong memekik tertahan dan tubuhnya yang besar itu tersungkur ke depan sedikit terlonjak.
Bruusss...!
Singo Bodong terpaksa mencium pasir basah. Bahkan setengah terpaksa membenamkan wajahnya ke sana. Kepalanya semakin berat, pandangan matanya berkunang-kunang saat ia kibaskan pasir-pasir pantai yang menempel di kumisnya.
Benda apa yang menimpa punggungnya tadi? Begitu besar dan berat rasanya. Singo Bodong sempat menduga dirinya ditabrak kapal. Tapi ketika ia berpaling ke belakang, sangat kaget hatinya melihat seorang lelaki kurus berdiri tegak dan sepasang kaki merentang, seakan siap menerima pembalasan dari Singo Bodong.
Lelaki kurus berwajah bengis licik itu mengenakan celana merah dengan ikat pinggang kain biru. Orang itu tidak mengenakan baju, sehingga garis-garis tulangnya yang menonjol keluar itu terlihat jelas sekali, ia mirip sesosok tulang-belulang yang dibungkus oleh kulit. Nyaris tanpa daging secuil pun. Bahkan wajahnya kelihatan kempot sekali, dengan tulang pipi dan bagian radang menonjol keras.
Matanya cekung ke dalam tanpa alis mata sedikit pun. Rambutnya panjang meriap sampai lewat pundak, tapi tak terlalu lebat. Merawis tipis bagai orang habis menderita sakit panas berat. Rambut itu berwarna abu-abu, dan saat tertiup angin pantai mirip bendera tercabik-cabik badai.
Singo Bodong berwajah angker, tapi menurutnya orang kurus tanpa daging itu lebih angker lagi wajahnya. Mata cekungnya memandang dengan tajam, bagai ingin menembus ke dalam kelopak mata Singo Bodong. Karenanya, Singo Bodong segera mundur tiga tindak. Apalagi ia melihat senjata cakra di pinggangnya, Singo Bodong menjadi lebih ngeri lagi.
"Kali ini kau tak akan bisa lolos lagi!" kata orang kurus itu dengan suaranya yang cempreng mirip kaleng rombeng.
"Siapa kamu, Pak Tua!?" Singo Bodong menatap heran.
"Jangan berlagak lupa! Kau pasti masih mengenaliku. Akulah Cakradanu, alias si Tengkorak Terbang!"
"Tengkorak Terbang?!" gumam Singo Bodong kerutkan dahi. "Terbang ke mana? Aku tidak tahu!"
"Terbang ke ragamu untuk cabut nyawamu! Hiaahha ha hah...!"
Singo Bodong hanya membatin, "Ya ampun ini orang, suaranya benar-benar bikin gendang telingaku robek! Keras tapi tajam!"
Cakradanu alias si Tengkorak Terbang melangkahkan kaki mendekati Singo Bodong tiga tindak. Matanya tetap memandang tajam dan bermusuhan sikapnya. Singo Bodong hanya bisa menahan rasa waswas dan ngeri, sambil bergeser mundur sedikit demi sedikit.
"Sekarang tinggal pilih, mau mati di tanganku atau kuserahkan kepada Ratu Pekat?!"
Singo Bodong gumamkan suara, "Ratu Pekat?! Siapa lagi itu Ratu Pekat?! Aku semakin tidak mengerti apa maunya orang ini?!"
"Jawab...!" sentak Tengkorak Terbang dengan suara mengagetkan gendang telinga Singo Bodong.
"Aku tidak mengenal siapa kamu, dan siapa Ratu Pekat itu! Aku tidak punya urusan dengan kamu, Tengkorak Terbang!"
"Hiah, hah hah hah hah...!" Tengkorak Terbang melontarkan tawa hingga tubuhnya terlonjak-lonjak karena ringannya. Tiba-tiba tawa itu hilang lenyap bagai ditelan bumi. Wajah Tengkorak Terbang menjadi kaku dan bengis kembali. Terdengar suaranya menurun.
"Jangan berpura-pura pikun! Mataku masih jelas, ingatanku masih tajam! Aku tak bisa melupakan dirimu!"
"Aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Permisi!" Singo Bodong cepat langkahkan kaki, lari seperti kerbau mabuk. Larinya tak bisa kencang karena masih lemah badannya dan berkurang tenaganya. Tapi sekuat tenaga Singo Bodong harus bisa melarikan diri, sebab ia merasa tidak mengenal orang itu dan tidak punya urusan apa-apa yang perlu dijelaskan, ia merasa dalam bahaya yang tak mungkin bisa dilawannya. Singo Bodong tahu, orang sekurus tengkorak itu pasti berilmu tinggi, terbukti tendangan kakinya tadi terasa begitu berat di punggung. Sepertinya tulang punggung Singo Bodong mau patah saat menerima tendangan kaki kurus yang terdiri dari tulang terbungkus kulit itu.
Dugaan Singo Bodong tentang ketinggian ilmu Cakradanu itu memang benar. Terbukti larinya yang sudah sekencang itu masih bisa disusul oleh Cakradanu. Bahkan tubuh kurus itu melompati tubuh Singo Bodong yang tinggi besar, bersalto di udara dua kali, lalu mendaratkan kakinya persis di depan langkah Singo. Mau tak mau Singo pun berhenti secara mendadak. Napasnya terengah-engah. Sedangkan napas Tengkorak Terbang itu tetap tenang, bagai tak melakukan gerakan apa pun.
"Kau tak akan bisa lolos lagi, Dadung Amuk!" kata Cakradanu.
Singo Bodong jadi kerutkan dahi dalam kecemasannya. Tapi ia mulai bisa menangkap persoalan sebenarnya, bahwa Cakradanu telah salah duga, menyangka Singo Bodong adalah Dadung Amuk. Maka, Singo Bodong pun segera jelaskan kata. "Kau salah sangka, Tengkorak Terbang. Kau pasti mencari orang yang bernama Dadung Amuk. Aku bukan Dadung Amuk. Aku bernama Singo Bodong! Sumpah! Aku bernama Singo Bodong!"
"Hiaaah, hah hah hah hah...!" Tengkorak Terbang tertawa keras. Singo Bodong cepat menutup telinganya. Cakradanu berkata lagi, "Rupanya kau sekarang menjadi orang yang paling pengecut di dunia ini, Dadung Amuk!"
"Terserah anggapanmu. Tapi yang jelas aku bukan Dadung Amuk!" Lalu, di hati Singo Bodong menggeram jengkel, "Lagi-lagi orang menyangka aku Dadung Amuk! Dulu aku juga dicurigai sebagai Dadung Amuk oleh Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Sekarang ini di sini pun begitu. Nasib sial apa yang kualami ini sebenarnya? Dulu waktu Ibu mengandung aku, ngidam apa dia, sehingga anaknya hidup serba sial begini?!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Siluman Tujuh Nyawa).
Rupanya Tengkorak Terbang sama sekali tidak mau mempercayai penjelasan Singo Bodong. Bahkan ia berkata, "Kau boleh berganti nama jika kau sudah terbujur kaku tanpa nyawa, Dadung Amuk!"
"Jangan begitu," Singo Bodong tampak gemetar. "Aku benar-benar bukan Dadung Amuk. Mungkin wajahku memang mirip dia, tapi aku bukan dia, Tengkorak Terbang. Sungguh! Berani sumpah apa saja!"
"Tutup mulutmu! Aku tak butuh kepura-puraanmu! Sekarang terimalah pukulan 'Gempur Baja' ini, hiaaaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan sedikit kaki ke tanah, tubuhnya sudah melayang cepat menuju ke arah Singo Bodong. Kedua tangannya mengepal dan begitu mendarat tepat di depan Singo Bodong, kedua tangan itu disentakkan ke depan dengan cepat sekali.
Brreggh...!
Dada Singo Bodong menjadi sasaran empuknya. Singo Bodong mencoba kibaskan tangan untuk menangkis, tapi meleset. Akibatnya, tubuh besar itu tersentak ke belakang, kedua kakinya sampai mengambang di permukaan tanah. Lalu. ia jatuh terjengkang dalam satu sentakan yang mantap sekali.
Blegggh...!
Singo Bodong menyeringai. Ingin rasanya ia mengerang dan mengaduh tapi tak ada suara yang mampu dikeluarkan, ia hanya meringis-meringis dengan mencoba menarik napas yang rasanya sangat berat itu. Pukulan 'Gempur Baja' membuat Singo Bodong seperti kejatuhan batu sebesar ukuran tubuhnya sendiri. Tulang dadanya menjadi ngilu dan sakit di bagian dalamnya. Napasnya hanya bisa dihela sedikit, itu pun terasa senut-senut. Jika tidak berisi tenaga dalam yang cukup besar, tak mungkin pukulan dua tangan bertulang tanpa daging itu bisa membuat tubuh tinggi besar tersentak terbang ke belakang sampai berjarak empat tindak.
"Bisa mati aku kalau tetap bertahan dan melawannya," kata Singo Bodong dalam hatinya. "Tak guna kujelaskan bahwa diriku bukan Dadung Amuk. Sebaiknya, aku berpasrah diri saja. Biarlah dibawa ke Ratu Pekat. Mungkin di sana aku bisa jelaskan siapa diriku. Mungkin Ratu Pekat bisa percayai kata-kataku ketimbang Tengkorak Terbang ini!"
Terdengar Cakradanu serukan suara cemprengnya, "Dulu kau buat tulang punggungku hampir patah. Sekarang giliranku membuat tulang lehermu patah, Dadung Amuk!"
"Tunggu, tunggu, tunggu...!" sergah Singo Bodong sambil kedua tangannya terjulur ke depan menahan agar lawannya tidak bertindak. Lalu, Singo Bodong mencoba berdiri.
Pada saat itu, Tengkorak Terbang berkata, "O, jadi kau sudah mulai siap menghadapi seranganku kembali?!"
"Bukan begitu. Aku... aku tidak bermaksud melawan dan menyerang. Kalau kau tadi bilang aku disuruh memilih, baiklah.... Aku memilih diserahkan kepada Ratu Pekat! Bawalah aku menghadap dia!"
Tengkorak Terbang memandang penuh sangsi. Sinar matanya yang penuh curiga itu tak berkedip. Sekalipun Singo Bodong telah sodorkan kedua tangannya untuk siap dirantai atau diikat, tapi Tengkorak Terbang tak cepat bertindak. Orang kurus kerontang itu justru membatin dalam hatinya. "Mengapa dia semudah itu kutumbangkan? Mengapa dia segampang itu mau menyerah? Ada apa dengan dirinya?"
Singo Bodong melihat lawannya ragu-ragu. Mulanya ia merasa ada harapan, bahwa kata-katanya tadi akan dipercaya. Tapi segera ia punya praduga lain, bahwa lawannya tidak percaya tentang kepasrahannya dan masih ingin mencoba menghajarnya. Singo Bodong cemas dan segera ucapkan kata, "Bawalah aku menghadap Ratu Pekat! Aku sudah jelaskan bahwa diriku bukan si Dadung Amuk, tapi kau tidak percaya! Kalau kau menantangku bertarung, aku tidak berani. Aku bukan orang berilmu tinggi! Aku pasti bisa kau bunuh dalam satu gebrakan saja. Daripada aku mati nganggur, lebih baik bawalah aku menghadap Ratu Pekat, yang juga tak kutahu siapa dia itu. Aku pasrah padamu!"
Masih membatin Tengkorak Terbang saat ia berkata dalam hati. "Setahuku Dadung Amuk tidak punya jiwa seperti ini! Setahuku Dadung Amuk pantang menyerah. Dia memilih lebih baik mati daripada menyerah. Tapi mengapa orang ini mudah sekali pasrah padaku? Apakah dia memang bukan Dadung Amuk? Ah, tak mungkin! Baru enam bulan aku berpisah dari pertarungannya, mana mungkin aku lupakan wajah angkernya itu?! Hmmm... sebaiknya biar Ratu Pekat yang menentukan apakah dia Dadung Amuk atau bukan. Kalau toh dia memang Dadung Amuk, tak urung aku juga yang akan diperintahkan untuk menghabisi nyawanya!"
Singo Bodong segera digiring oleh Tengkorak Terbang. Sebagai jaga-jaga, Tengkorak Terbang tak mau berjalan di depan atau di samping Singo Bodong. Tetapi hal itu menyulitkan buat Singo Bodong, sebab tiba-tiba ia sering ditendang pinggangnya jika salah arah. Singo Bodong sampai merasa jengkel sendiri dan berkata,
"Jalanlah lebih dulu, jadi aku bisa mengikutimu! Aku tidak tahu ke mana arah menuju Ratu Pekat!"
"Jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!" kata Cakradanu dingin.
"Aku memang tidak tahu arah! Ke mana seharusnya aku melangkah sekarang ini?!"
"Belok ke kiri, Tolol!" bentak Tengkorak Terbang dengan suaranya yang nyaring memekakkan telinga.
Akhirnya Singo Bodong melangkah mengikuti perintah Tengkorak Terbang, ia sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda akan melakukan perlawanan. Tengkorak Terbang semakin heran melihat sikap polos itu. Hanya saja, tiba-tiba Singo Bodong tersentak mundur dalam tiga langkah sambil badannya melengkung ke depan. Ada sesuatu yang telah menyodok perutnya, hingga Singo Bodong merasa mual dan hampir muntah lagi. Sentakan mundur itu membuat tubuh besarnya menabrak Tengkorak Terbang. Akibatnya, punggung Singo Bodong kembali terkena pukulan tangan kurus kerontang itu.
Plokk...!
"Aku tersentak dari depan!" bentak Singo Bodong karena jengkel tak tertahankan. "Jangan marah padaku! Ada sesuatu yang menyodok perutku dari arah depan! Beratnya melebihi sebatang balok!"
Tengkorak Terbang tak jadi lepaskan pukulan lagi ke arah wajah Singo Bodong. Mata cekungnya segera menangkap memar merah di perut Singo Bodong, ia pun segera tahu, ada orang yang telah menyerang Singo Bodong dari kejauhan. Pukulan jarak jauh itu tepat mengenai perut Singo Bodong, pada bagian sedikit di atas pusarnya. Mata cekung itu cepat layangkan pandang ke arah depan. Keadaan di depan sana sepi-sepi saja. Tiap jengkal tanah, tiap bentuk tanaman, disusuri oleh mata cekung Tengkorak Terbang. Tapi tak terlihat tanda-tanda gerakan yang mencurigakan. Akhirnya si Tengkorak Terbang serukan suaranya,
"Siapa yang ada di depan?! Keluarlah! Jangan bikin aku marah!"
Dari atas pohon meluncur orang berpakaian serba ungu. Melihat warna pakaiannya saja Tengkorak Terbang sudah dapat mengerti siapa tokoh perempuan yang baru saja turun dari pohon itu.
"Cempaka Ungu...?!" sebut Tengkorak Terbang dengan sedikit kerutkan dahi.
Perempuan bertusuk konde bentuk kembang cempaka itu berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Sebagian rambutnya yang samping jatuh ke depan telinga berbentuk lengkung-lengkung indah, ia menyandang pedang di punggungnya dengan gagang dan sarung pedang dibungkus kain ungu. Perempuan berusia antara tiga puluh tahun itu bukan hanya cantik, tapi juga bermata menarik. Mata itu memandang Singo Bodong dengan tajam, penuh nafsu untuk membunuh. Wajahnya terlihat angkuh, menggambarkan ketegarannya sebagai perempuan gesit penantang maut.
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Cempaka Ungu?!"
"Apakah kau sekarang berpihak kepada si Badak Busuk itu?!" sambil matanya tetap memandang Singo Bodong.
"Jangan salah sangka! Aku hanya akan membawa dia menghadap ibumu, si Ratu Pekat!"
"Ibu tidak butuhkan orang itu! Jadi serahkan saja dia padaku! Cukup mampu aku melenyapkan nyawanya dalam satu jurus saja!"
"Cempaka Ungu, biar keputusan akhir ada di tangan ibumu!"
"Tidak perlu! Aku cukup bisa memutuskannya sendiri! Dua kakakku telah dibunuhnya, sudah pantas jika sebagai adik aku menuntut kematian kedua kakakku!"
"Tahan dulu, Cempaka Ungu! Dia bukan Dadung Amuk!"
"Omong kosong! Aku tahu persis wajahnya! Aku hafal persis tiap lekuk tubuhnya! Karena waktu itu aku pun hampir mati di tangannya! Dan sekarang, minggirlah, Tengkorak Terbang! Biar kubereskan dendamku kepada bangsat itu!"
Singo Bodong makin terbengong. Singo Bodong bergeser mundur dengan rasa takut, sebab perempuan itu telah mencabut pedangnya dari punggung.
Sreeet...!
*
* *
DUA
SEBENARNYA Tengkorak Terbang bisa saja merobohkan Cempaka Ungu. Dilihat dari gerakan ringannya sudah dapat ditakar kekuatan Tengkorak Terbang dalam menghadapi putri bungsu Ratu Pekat. Terbukti satu serangan kaki Cempaka Ungu yang menendang menggunakan jurus 'Tendangan Kipas', yaitu tendangan yang berputar berturut-turut, telah berhasil dihindari Tengkorak Terbang dengan hanya berkelit ke sana-sini, melompat-lompat bagai belalang sulit untuk disentuh.
Tak satu pun serangan Cempaka Ungu dibalas oleh Tengkorak Terbang. Sebab akan berbahaya jika Cempaka Ungu mengadu kepada ibunya, kalau ia terkena pukulan dari Tengkorak Terbang. Pasti murka sang Ratu Pekat akan menimpa diri Tengkorak Terbang. Jika sampai begitu, Tengkorak Terbang tak tahu harus lari ke mana menghadapi murka sang Ratu. Karena Ratu Pekat mempunyai pukulan yang bernama 'Renta Buana'. Tengkorak Terbang pernah melawan Ratu Pekat dan ia terkena pukulan 'Renta Buana', yang dapat membuat tubuh orang menjadi kurus berwajah tua.
Sebelum Cakradanu mendapat julukan Tengkorak Terbang, ia adalah seorang pemuda yang gagah dan rupawan. Pada waktu itu ia berusia antara dua puluh enam tahun, tapi ilmunya sudah bisa dibilang tinggi, ia murid seorang resi dari Partai Petapa Sakti yang bergelar Resi Tembang Dewa. Merasa dirinya muda dan tampan, juga berilmu tinggi, Cakradanu mencoba melamar Kenanga Merah, kakak dari Cempaka Ungu. Tetapi lamarannya ditolak, Cakradanu sakit hati dan menyerang istana kecil yang menjadi kekuasaan Ratu Pekat di Pulau Beliung itu. Istana itu dikenal dengan nama Istana Cambuk Biru.
Pada waktu itu, dua putri Ratu Pekat, yaitu Kenanga Merah dan Melati Hitam berusaha mengatasi amukan Cakradanu. Tetapi, kedua kakak Cempaka Ungu itu dapat dikalahkan. Namun ketika Ratu Pekat murka, Cakradanu dihantamnya dengan pukulan 'Renta Buana', ia menjadi lumpuh selama tujuh hari. Tubuhnya cepat sekali menjadi susut dan menua. Dagingnya habis bagaikan dimakan waktu yang ganas.
Untung ia segera mendapat obat penawar dari Ratu Pekat dengan perjanjian, Cakradanu akan bersedia mengabdi selamanya kepada Ratu Pekat sebagai penjaga pantai Pulau Beliung. Kalau saja Ratu Pekat tidak memberi obat dari pukulan 'Renta Buana'-nya itu, maka dalam waktu sepuluh hari Cakradanu akan mati dalam keadaan keropos tanpa kulit sedikitpun.
Usia Cakradanu yang pada waktu itu dua puluh enam tahun berubah menjadi seperti orang berusia enam puluh tahun. Bahkan sekarang, saat ia menemukan Singo Bodong di pantai, usianya sebenarnya masih empat puluh tahun kurang sedikit, tapi ia sudah kelihatan seperti berusia delapan puluh tahunan.
Ingat kekuatan Ratu Pekat yang begitu hebat. Cakradanu menjadi enggan membalas pukulan Cempaka Ungu. Tetapi ketika Cempaka Ungu hendak melepaskan pukulan pedang saktinya ke arah Singo Bodong, Tengkorak Terbang cepat-cepat melompat dan menyambut tubuh besar Singo Bodong. Tubuh besar itu dengan entengnya dipanggul di pundak yang tinggal tulang-belulang itu, lalu dibawanya lari cepat hingga mirip jerakan terbang.
"Lepaskan dia atau kuhancurkan tubuhmu yang keropos itu, Cakradanu!" teriak Cempaka Ungu dengan sangat bernafsu hendak membunuh Singo.
Ternyata Tengkorak Terbang tak pedulikan seruan itu. Cempaka Ungu cepat mengejarnya sambil masih tetap memegang pedang di tangannya. Gerakan Cempaka Ungu tak kalah cepat, hingga dalam waktu singkat ia berhasil memotong jalan dan menghadang langkah Cakradanu. Mau tak mau Tengkorak Terbang berhenti dan tuunkan tubuh besar Singo Bodong dari pundaknya. Tubuh itu dibanting begitu saja bagai meletakkan karung pasir.
Blukk...!
"Uuhhg...!" Singo Bodong menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap pinggangnya.
"Cempaka Ungu, aku tahu kau punya dendam kepada Dadung Amuk, tapi kumohon urusan itu diselesaian nanti saja, setelah orang ini kuserahkan kepada ibumu!"
"Tidak bisa! Aku harus membunuhnya sekarang juga! Setelah kupenggal kepalanya baru kau boleh serahkan kepala orang itu kepada ibuku, Cakradanu!"
"Itu menyalahi tugas yang diberikan ibumu kepadaku, Cempaka! Karena aku dipercaya untuk menjadi penjaga pantai yang sewaktu-waktu harus bisa menangkap mata-mata yang ingin menyusup masuk ke pulau ini! Aku harus bisa menyerahkannya hidup-hidup. Aku takut murka dari sang Ratu Pekat, Cempaka Ungu! Mengertilah dengan alam pikiranku ini, Cempaka!"
Perempuan bertampang cantik namun angkuh itu mendenguskan hidungnya. Semakin benci ia memandang Singo Bodong, semakin bergolak darahnya dan bertambah besar nafsunya untuk membunuh orang besar itu. Mata indahnya itu menatap Singo Bodong dengan buas, seolah-olah seluruh darah Singo Bodong ingin dihirupnya habis sebagai pembalasan atas kematian kedua kakaknya, yaitu Melati Hitam dan Kenanga Merah.
Singo Bodong sendiri semakin sedih hatinya, ia tahu bahwa perempuan itu ingin sekali menghabisi nyawanya. Seandainya ia bisa jelaskan bahwa dirinya bukan Dadung Amuk, ia akan jelaskan sejelas-jelasnya. Tapi geram kemarahan perempuan itu kelihatan tak akan mau menerima penjelasan Singo Bodong, dan sulit mempercayai kata-katanya. Sebab itu Singo Bodong sekarang justru bertaruh harap kepada Tengkorak Terbang, ia sengaja berdiri di belakang Tengkorak Terbang sebagai pelindung dari serangan Cempaka Ungu.
"Cempaka," kata Tengkorak Terbang tanpa ada kesan mengimbangi kemarahan perempuan itu, "Kalau aku bukan orang yang ditugaskan oleh ibumu untuk menangkap orang asing yang berkeliaran di pantai, aku akan serahkan orang besar ini kepadamu. Atau mungkin aku telah membunuhnya saat kutemukan ia terkapar di pantai. Tapi demi menjunjung tinggi titah sang Ratu, demi hormatku kepada ibumu, aku harus serahkan orang ini hidup-hidup kepada beliau. Jadi tolong jangan paksa aku bertarung melawanmu hanya mempertahankan orang yang nantinya akan dijatuhi hukuman mati oleh ibumu. Biarkan aku membawa orang ini ke Istana Cambuk Biru dan jangan halangi langkahku lagi, Cempaka Ungu!"
Perempuan berhidung bangir itu sentakkan napas kekesalannya lewat lubang hidung. Agaknya ia mulai bisa memahami kata-kata Tengkorak Terbang. Gerakan uratnya yang kencang kelihatan mengendor, pedangnya mulai dimasukkan kembali ke sarung pedang yang ada dipunggung. Tapi sikapnya masih keras dan ketus.
"Ingat, Cakradanu... orang itu adalah bagianku! Kalau Ibu telah lepaskan dia sebagai orang hukuman yang patut menjalankan hukuman mati, maka akulah algojo yang harus memenggalnya!"
"Itu terserah keputusan dari ibumu, Cempaka! Bukan aku yang memutuskannya!" kata Tengkorak Terbang dengan suara kecilnya.
Dari belakang Tengkorak Terbang, Singo Bodong beranikan diri untuk berbisik. Tapi karena jenis suaranya suara besar, maka bisikannya itu pun terdengar sampai di telinga Cempaka Ungu, "Kalau bisa jangan sampai dihukum mati, Paman!"
"Diam kau!" sentak Tengkorak Terbang.
Singo Bodong sempat tersentak kaget mendengar suara bentakan Tengkorak Terbang yang memekakkan gendang telinga itu. Sempat pula ia melirik kepada Cempaka Ungu, dan perempuan itu tampak cibirkan mulutnya dengan sinis mendengar bisikan tadi.
"Semudah itu ia menyerah kepada Tengkorak Terbang," pikir Cempaka. "Padahal tempo hari aku melihat sendiri saat ia menggempur Tengkorak Terbang yang hampir-hampir tak bernyawa lagi itu. Mengapa sekarang ia menjadi tunduk kepada Tengkorak Terbang? Apakah Tengkorak Terbang sudah mempunyai ilmu baru yang lebih dahsyat dari sebelumnya?"
Salah duga itu membuat Cempaka Ungu menjadi sedikit ciut nyalinya bila harus bertarung menghadapi Tengkorak Terbang. Sebab itu, ia seolah-olah tidak mau tahu lagi urusan Tengkorak Terbang dengan orang yang disangkanya Dadung Amuk itu. Segera ia tinggalkan mereka berdua dengan kata-kata, "Kutunggu kedatanganmu dengan babi bengkak itu ke istana!"
Kalau saja Singo Bodong adalah seorang perempuan tanpa ilmu, ingin sekali ia menangis keras-keras saat itu. Betapa sedih hatinya melihat banyak orang yang memusuhi dirinya. Sedangkan dia tidak merasa berbuat jahat kepada orang-orang itu. Ternyata orang-orang Pulau Beliung banyak yang tidak suka melihat kehadirannya. Bahkan ketika mendekati Istana Cambuk Biru, beberapa pemuda tanggung melempari batu ke arah Singo Bodong. Kalau Tengkorak Terbang tidak menghalangi dan menghancurkan batu-batu yang beterbangan dengan pukulan tenaga dalamnya, pasti kepala Singo Bodong sudah bocor sejak tadi.
Bahkan seorang anak berusia antara dua belas tahun berlari mendekati Singo Bodong dengan membawa pisau dan hendak menusukkan pisau itu ke tubuh Singo Bodong. Anak itu berteriak benci. "Kau yang membunuh bapakku, Setan Bengkak! Terimalah pembalasanku ini, ciaaat...!"
Plakk...!
Anak itu terjengkang dan berjungkir balik di tanah karena gebrakan tangan Tengkorak Terbang. Anak itu bukan anak yang punya ilmu, hanya punya dendam dan keberanian saja, sehingga dengan ditampar pipinya sudah melintir jatuh dan kesakitan.
Singo Bodong merasa sangat bersyukur bertemu Tengkorak Terbang, walau tetap saja diserahkan kepada pengadilan sang Ratu. Tetapi dapat dibayangkan olehnya, seandainya ia berada di pulau itu tanpa Tengkorak Terbang, jelas tubuhnya akan hancur dicincang banyak orang yang menaruh dendam kepadanya. Di dalam hati Singo Bodong terlontar lagi keluhannya,
"Seandainya Suto dan Dewa Racun ada bersamaku, maka habislah orang-orang itu diamuknya! Oh, Suto... di mana kamu? Apakah kamu tidak tahu kalau aku dimusuhi orang begini banyaknya dan aku tak bisa berkutik sedikit pun! Brengsek benar Suto dan Dewa Racun! Pergi dari perahu tanpa membawaku! Menyesal sekali aku mengikuti langkah orang yang kubangga-banggakan itu. Ternyata Suto tidak seperti bayangan kebanggaanku!"
Waktu Tengkorak Terbang mendekati pintu gerbang istana bersama Singo Bodong, beberapa orang yang menjadi prajurit istana itu segera mengepung mereka berdua. Orang-orang itu bersenjata semua, dan senjata mereka siap menghujam ke tubuh Singo Bodong. Melihat ujung-ujung tombak yang runcing, mata pedang yang berkilat tajam, Singo Bodong menjadi hampir tak bisa berjalan lagi karena gemetarnya kedua lutut begitu kuat.
Tengkorak Terbang tetap tenang di dalam kepungan itu. Mulanya ia sempat menduga orang-orang itu adalah suruhan Cempaka Ungu. Tapi pikirannya segera berubah setelah ia ingat amukan Dadung Amuk yang banyak menimbulkan korban baik prajurit-prajurit pengawal istana atau penduduk desa tak bersalah. Mungkin prajurit-prajurit yang mengepungnya saat itu bersikap waspada dan siap tempur melihat orang yang datang adalah orang yang disangkanya Dadung Amuk.
"Untuk apa kalian mengepung kami?!" suara Tengkorak Terbang sedikit menyentak. Orang-orang yang mengepung hanya saling pandang.
"Bubarkan kepungan ini!" sentak Tengkorak Terbang lagi.
"Tidak bisa!" jawab salah seorang dari mereka.
"Kenapa tidak bisa?"
"Kau bersama Dadung Amuk!"
"Apa kau tak lihat keberadaanku di sini, hah?!"
"Justru aku dan teman-teman khawatir jika Dadung Amuk menyerangmu secara tiba-tiba!"
"Kalau ku mau, sudah kupenggal batang lehernya dari tadi!"
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Karena dia sudah menyerah dan siap dihadapkan pengadilan sang Ratu! Siapa menentang langkahku ini, berarti menentang keputusan sang Ratu!"
Orang yang tadi berani bicara sekarang terdiam. Matanya memandangi teman-temannya. Teman-temannya juga saling pandang satu dengan yang lain. Pada saat hening tanpa kata, Tengkorak Terbang cepat sentakkan suaranya lagi, "Minggir kalian!"
Maka, empat orang yang menutup jalan menuju pintu gerbang itu pun segera menepi dengan sikap tetap mengacungkan senjatanya, seakan berjaga-jaga mendapat serangan sewaktu-waktu dari Singo Bodong yang dianggap tawanan mereka.
"Buka pintu!" sentak Tengkorak Terbang kepada penjaga pintu gerbang itu.
Dengan terburu-buru kedua penjaga segera membukakan pintu, dan Tengkorak Terbang menarik tangan Singo Bodong agar mempercepat langkahnya. Kali ini, Singo Bodong ada di belakang Tengkorak Terbang yang melangkah lebih dulu. Begitu mereka masuk ke pintu gerbang, ternyata di sana sudah ada rombongan penyambut kedatangan mereka. Rombongan itu bukan orang-orang yang ingin menjamu kedatangan seorang tamu, melainkan sebarisan prajurit yang bersiaga menghadapi kedatangan tawanannya.
Dua barisan bersenjata lengkap memagari jalan menuju serambi istana. Mereka berjajar di kanan-kiri membentuk barisan siap serang kapan saja terdengar perintah dari atasannya. Singo Bodong menyeringai karena merasa ngeri melihat senjata-senjata berkerlip pantulan sinar matahari menuju ke arahnya.
Rupanya kedatangan Tengkorak Terbang sudah diketahui oleh para penghuni Istana Cambuk Biru itu, sehingga sudah dilakukan persiapan penyambutan seperti itu. Siapa lagi yang membawa kabar tentang kedatangan Tengkorak Terbang dan Singo Bodong jika bukan Cempaka Ungu.
Karenanya, Tengkorak Terbang tidak heran jika di serambi istana kecil itu sudah berdiri Ratu Pekat didampingi oleh Cempaka Ungu dan seorang lelaki tampan yang menjadi tangan kanan dan pengawal pribadi sang Ratu. Lelaki tampan itu dikenal dengan nama Abirawa, berjuluk si Mata Elang, karena bentuk matanya yang kecoklatan itu mirip mata burung elang.
Sekalipun Mata Elang menjadi pengawal sang Ratu, yang tentunya punya ilmu cukup tinggi, tetapi ketika bertarung melawan Dadung Amuk, ia terdesak mundur dan hampir saja mati dengan aji pamungkas milik Dadung Amuk. Kalau saja Ratu Pekat tidak turun tangan menghadang aji pamungkas Dadung Amuk, mungkin Mata Elang sampai sekarang tak bisa lagi berdiri mendampingi sang Ratu.
Mata Elang, selain menjadi pengawal sang Ratu, juga sebagai pria pemuas birahi sang Ratu. Karenanya, sang Ratu tak mau jauh-jauh dari pemuda itu. Walau usia Ratu Pekat sudah mencapai lima puluh tahun lebih, tapi sisa kecantikan dan keelokan masa mudanya masih ada. Bahkan semangat cintanya masih meletup-letup dalam jiwa tuanya itu.
Perempuan berambut sedikit uban dengan wajah tua yang masih nampak cantik itu, berdiri tegak dengan kedua tangan di belakang. Matanya memandang liar kepada Singo Bodong, raut wajahnya mencerminkan murka yang tertahan.
Tengkorak Terbang segera bungkukkan badan tanda memberi hormat kepada sang Ratu. Semua dalam keadaan diam tanpa suara. Suasana menjadi hening mencekam, terutama buat Singo Bodong. Matanya yang lebar berkesan beringas itu tak berani memandang sang Ratu terlalu lama. Ia segera tundukkan wajah dengan jantung berdebar-debar. Di sela heningnya suasana itu, terdengarlah suara kecil melengking milik Tengkorak Terbang, yang sempat mengguncangkan tubuh Singo Bodong karena kagetnya.
"Cakradanu menghadap, Nyai Ratu!"
"Sudah tahu!" jawab Ratu Pekat dengan suara besar untuk jenis suara perempuan. "Siapa yang kau bawa itu?"
"Menurut dugaan saya semula, dia adalah Dadung Amuk! Tapi orang ini mengaku bernama Singo Bodong, Nyai Ratu!"
"Dia jelas Dadung Amuk!" mata Ratu Pekat menyipit dalam memandangi Singo Bodong.
"Terserah keputusan, Nyai Ratu!" kata Tengkorak Terbang.
"Suruh dia mendekat!"
Kemudian Tengkorak Terbang menyuruh Singo Bodong mendekat. "Kau dengar apa perintahnya? Cepat sana, mendekatlah!"
"Aku takut, Paman!" Singo Bodong meringis takut dengan mata berkedip-kedip, ia bagaikan memohon belas kasihan dan pembelaan dari Tengkorak Terbang.
"Mendekatlah sebelum Ratu murka!" sentaknya dalam bisik.
"Ta... tapi... tapi aku tak berani. Aku takut dibunuh olehnya!"
"Kalau kau bukan Dadung Amuk, kau harus bisa jelaskan padanya!"
Tengkorak Terbang mendorong punggung Singo Bodong. Kaki orang tinggi besar itu bagai sulit digerakkan untuk melangkah maju. Lemas dan gemetar sekali rasanya. Wajahnya sebentar-sebentar menoleh ke belakang, seakan minta didampingi oleh Tengkorak Terbang.
"Lekas maju!" sentak Tengkorak Terbang dalam bisikan kecilnya, sambil mendorong punggung Singo Bodong yang lebih tinggi dari kepalanya itu.
Singo Bodong menaiki tangga serambi yang terdiri dari lima baris itu. Kakinya terpeleset dan ia jatuh karena gemetarnya. Sang Ratu tersenyum sinis melihat jatuhnya Singo Bodong, karena menganggapnya pura-pura.
"Cepat bangun atau kutendang pantatmu!" sentak Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya melotot.
Singo Bodong takut dan segera bangkit dengan wajah mau menangis, ia menjadi sangat grogi karena semua mata memandang ke arahnya.
"Belum puaskah kamu mengobrak-abrik wilayahku ini, hah?!" sentak Ratu Pekat dengan mata membelalak tajam.
"Belum, eh... sudah, eh... anu... tidak! Tidak, Nyai Ratu!" Singo Bodong menjawab dengan tergagap-gagap, sekujur tubuhnya penuh dengan keringat dingin.
"Kau masih menyangka aku menyembunyikan kitab itu?!"
"Tidak, eh... anu... jangan! Eh, bukan., anu... ya, tidak!" Singo Bodong geleng-gelengkan kepala dalam kepolosan bodohnya.
Ratu segera sentakkan napas melalui hidungnya. Suuut...! Dan tubuh besar itu tumbang ke belakang, berguling-guling menuruni anak tangga batu. Kepalanya terbentur beberapa kali hingga ia mengerang dalam kesakitan.
"Kosong sekali...?!" pikir Ratu Pekat. "Hempasan napasku seperti menghantam gentong tanpa isi. Tak ada sentakan padat sedikit pun pada dirinya! Aneh. Kenapa Dadung Amuk seperti itu? Apakah dugaan Cempaka Ungu memang benar, bahwa Dadung Amuk ilmunya sudah berhasil dilenyapkan oleh Tengkorak Terbang? Jika benar begitu, berarti Tengkorak Terbang telah menguasai sebuah ilmu yang bernama ilmu 'Lebur Samudera', yang bisa menghilangkan seluruh kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimiliki lawan! Hmm... dapat dari mana Tengkorak Terbang? Ilmu itu hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang dalam dunia persilatan. Aku saja susah mendapatkannya sampai sekarang! Gawat! Aku bisa celaka kalau melawan Cakradanu!"
Tak satu pun serangan Cempaka Ungu dibalas oleh Tengkorak Terbang. Sebab akan berbahaya jika Cempaka Ungu mengadu kepada ibunya, kalau ia terkena pukulan dari Tengkorak Terbang. Pasti murka sang Ratu Pekat akan menimpa diri Tengkorak Terbang. Jika sampai begitu, Tengkorak Terbang tak tahu harus lari ke mana menghadapi murka sang Ratu. Karena Ratu Pekat mempunyai pukulan yang bernama 'Renta Buana'. Tengkorak Terbang pernah melawan Ratu Pekat dan ia terkena pukulan 'Renta Buana', yang dapat membuat tubuh orang menjadi kurus berwajah tua.
Sebelum Cakradanu mendapat julukan Tengkorak Terbang, ia adalah seorang pemuda yang gagah dan rupawan. Pada waktu itu ia berusia antara dua puluh enam tahun, tapi ilmunya sudah bisa dibilang tinggi, ia murid seorang resi dari Partai Petapa Sakti yang bergelar Resi Tembang Dewa. Merasa dirinya muda dan tampan, juga berilmu tinggi, Cakradanu mencoba melamar Kenanga Merah, kakak dari Cempaka Ungu. Tetapi lamarannya ditolak, Cakradanu sakit hati dan menyerang istana kecil yang menjadi kekuasaan Ratu Pekat di Pulau Beliung itu. Istana itu dikenal dengan nama Istana Cambuk Biru.
Pada waktu itu, dua putri Ratu Pekat, yaitu Kenanga Merah dan Melati Hitam berusaha mengatasi amukan Cakradanu. Tetapi, kedua kakak Cempaka Ungu itu dapat dikalahkan. Namun ketika Ratu Pekat murka, Cakradanu dihantamnya dengan pukulan 'Renta Buana', ia menjadi lumpuh selama tujuh hari. Tubuhnya cepat sekali menjadi susut dan menua. Dagingnya habis bagaikan dimakan waktu yang ganas.
Untung ia segera mendapat obat penawar dari Ratu Pekat dengan perjanjian, Cakradanu akan bersedia mengabdi selamanya kepada Ratu Pekat sebagai penjaga pantai Pulau Beliung. Kalau saja Ratu Pekat tidak memberi obat dari pukulan 'Renta Buana'-nya itu, maka dalam waktu sepuluh hari Cakradanu akan mati dalam keadaan keropos tanpa kulit sedikitpun.
Usia Cakradanu yang pada waktu itu dua puluh enam tahun berubah menjadi seperti orang berusia enam puluh tahun. Bahkan sekarang, saat ia menemukan Singo Bodong di pantai, usianya sebenarnya masih empat puluh tahun kurang sedikit, tapi ia sudah kelihatan seperti berusia delapan puluh tahunan.
Ingat kekuatan Ratu Pekat yang begitu hebat. Cakradanu menjadi enggan membalas pukulan Cempaka Ungu. Tetapi ketika Cempaka Ungu hendak melepaskan pukulan pedang saktinya ke arah Singo Bodong, Tengkorak Terbang cepat-cepat melompat dan menyambut tubuh besar Singo Bodong. Tubuh besar itu dengan entengnya dipanggul di pundak yang tinggal tulang-belulang itu, lalu dibawanya lari cepat hingga mirip jerakan terbang.
"Lepaskan dia atau kuhancurkan tubuhmu yang keropos itu, Cakradanu!" teriak Cempaka Ungu dengan sangat bernafsu hendak membunuh Singo.
Ternyata Tengkorak Terbang tak pedulikan seruan itu. Cempaka Ungu cepat mengejarnya sambil masih tetap memegang pedang di tangannya. Gerakan Cempaka Ungu tak kalah cepat, hingga dalam waktu singkat ia berhasil memotong jalan dan menghadang langkah Cakradanu. Mau tak mau Tengkorak Terbang berhenti dan tuunkan tubuh besar Singo Bodong dari pundaknya. Tubuh itu dibanting begitu saja bagai meletakkan karung pasir.
Blukk...!
"Uuhhg...!" Singo Bodong menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap pinggangnya.
"Cempaka Ungu, aku tahu kau punya dendam kepada Dadung Amuk, tapi kumohon urusan itu diselesaian nanti saja, setelah orang ini kuserahkan kepada ibumu!"
"Tidak bisa! Aku harus membunuhnya sekarang juga! Setelah kupenggal kepalanya baru kau boleh serahkan kepala orang itu kepada ibuku, Cakradanu!"
"Itu menyalahi tugas yang diberikan ibumu kepadaku, Cempaka! Karena aku dipercaya untuk menjadi penjaga pantai yang sewaktu-waktu harus bisa menangkap mata-mata yang ingin menyusup masuk ke pulau ini! Aku harus bisa menyerahkannya hidup-hidup. Aku takut murka dari sang Ratu Pekat, Cempaka Ungu! Mengertilah dengan alam pikiranku ini, Cempaka!"
Perempuan bertampang cantik namun angkuh itu mendenguskan hidungnya. Semakin benci ia memandang Singo Bodong, semakin bergolak darahnya dan bertambah besar nafsunya untuk membunuh orang besar itu. Mata indahnya itu menatap Singo Bodong dengan buas, seolah-olah seluruh darah Singo Bodong ingin dihirupnya habis sebagai pembalasan atas kematian kedua kakaknya, yaitu Melati Hitam dan Kenanga Merah.
Singo Bodong sendiri semakin sedih hatinya, ia tahu bahwa perempuan itu ingin sekali menghabisi nyawanya. Seandainya ia bisa jelaskan bahwa dirinya bukan Dadung Amuk, ia akan jelaskan sejelas-jelasnya. Tapi geram kemarahan perempuan itu kelihatan tak akan mau menerima penjelasan Singo Bodong, dan sulit mempercayai kata-katanya. Sebab itu Singo Bodong sekarang justru bertaruh harap kepada Tengkorak Terbang, ia sengaja berdiri di belakang Tengkorak Terbang sebagai pelindung dari serangan Cempaka Ungu.
"Cempaka," kata Tengkorak Terbang tanpa ada kesan mengimbangi kemarahan perempuan itu, "Kalau aku bukan orang yang ditugaskan oleh ibumu untuk menangkap orang asing yang berkeliaran di pantai, aku akan serahkan orang besar ini kepadamu. Atau mungkin aku telah membunuhnya saat kutemukan ia terkapar di pantai. Tapi demi menjunjung tinggi titah sang Ratu, demi hormatku kepada ibumu, aku harus serahkan orang ini hidup-hidup kepada beliau. Jadi tolong jangan paksa aku bertarung melawanmu hanya mempertahankan orang yang nantinya akan dijatuhi hukuman mati oleh ibumu. Biarkan aku membawa orang ini ke Istana Cambuk Biru dan jangan halangi langkahku lagi, Cempaka Ungu!"
Perempuan berhidung bangir itu sentakkan napas kekesalannya lewat lubang hidung. Agaknya ia mulai bisa memahami kata-kata Tengkorak Terbang. Gerakan uratnya yang kencang kelihatan mengendor, pedangnya mulai dimasukkan kembali ke sarung pedang yang ada dipunggung. Tapi sikapnya masih keras dan ketus.
"Ingat, Cakradanu... orang itu adalah bagianku! Kalau Ibu telah lepaskan dia sebagai orang hukuman yang patut menjalankan hukuman mati, maka akulah algojo yang harus memenggalnya!"
"Itu terserah keputusan dari ibumu, Cempaka! Bukan aku yang memutuskannya!" kata Tengkorak Terbang dengan suara kecilnya.
Dari belakang Tengkorak Terbang, Singo Bodong beranikan diri untuk berbisik. Tapi karena jenis suaranya suara besar, maka bisikannya itu pun terdengar sampai di telinga Cempaka Ungu, "Kalau bisa jangan sampai dihukum mati, Paman!"
"Diam kau!" sentak Tengkorak Terbang.
Singo Bodong sempat tersentak kaget mendengar suara bentakan Tengkorak Terbang yang memekakkan gendang telinga itu. Sempat pula ia melirik kepada Cempaka Ungu, dan perempuan itu tampak cibirkan mulutnya dengan sinis mendengar bisikan tadi.
"Semudah itu ia menyerah kepada Tengkorak Terbang," pikir Cempaka. "Padahal tempo hari aku melihat sendiri saat ia menggempur Tengkorak Terbang yang hampir-hampir tak bernyawa lagi itu. Mengapa sekarang ia menjadi tunduk kepada Tengkorak Terbang? Apakah Tengkorak Terbang sudah mempunyai ilmu baru yang lebih dahsyat dari sebelumnya?"
Salah duga itu membuat Cempaka Ungu menjadi sedikit ciut nyalinya bila harus bertarung menghadapi Tengkorak Terbang. Sebab itu, ia seolah-olah tidak mau tahu lagi urusan Tengkorak Terbang dengan orang yang disangkanya Dadung Amuk itu. Segera ia tinggalkan mereka berdua dengan kata-kata, "Kutunggu kedatanganmu dengan babi bengkak itu ke istana!"
Kalau saja Singo Bodong adalah seorang perempuan tanpa ilmu, ingin sekali ia menangis keras-keras saat itu. Betapa sedih hatinya melihat banyak orang yang memusuhi dirinya. Sedangkan dia tidak merasa berbuat jahat kepada orang-orang itu. Ternyata orang-orang Pulau Beliung banyak yang tidak suka melihat kehadirannya. Bahkan ketika mendekati Istana Cambuk Biru, beberapa pemuda tanggung melempari batu ke arah Singo Bodong. Kalau Tengkorak Terbang tidak menghalangi dan menghancurkan batu-batu yang beterbangan dengan pukulan tenaga dalamnya, pasti kepala Singo Bodong sudah bocor sejak tadi.
Bahkan seorang anak berusia antara dua belas tahun berlari mendekati Singo Bodong dengan membawa pisau dan hendak menusukkan pisau itu ke tubuh Singo Bodong. Anak itu berteriak benci. "Kau yang membunuh bapakku, Setan Bengkak! Terimalah pembalasanku ini, ciaaat...!"
Plakk...!
Anak itu terjengkang dan berjungkir balik di tanah karena gebrakan tangan Tengkorak Terbang. Anak itu bukan anak yang punya ilmu, hanya punya dendam dan keberanian saja, sehingga dengan ditampar pipinya sudah melintir jatuh dan kesakitan.
Singo Bodong merasa sangat bersyukur bertemu Tengkorak Terbang, walau tetap saja diserahkan kepada pengadilan sang Ratu. Tetapi dapat dibayangkan olehnya, seandainya ia berada di pulau itu tanpa Tengkorak Terbang, jelas tubuhnya akan hancur dicincang banyak orang yang menaruh dendam kepadanya. Di dalam hati Singo Bodong terlontar lagi keluhannya,
"Seandainya Suto dan Dewa Racun ada bersamaku, maka habislah orang-orang itu diamuknya! Oh, Suto... di mana kamu? Apakah kamu tidak tahu kalau aku dimusuhi orang begini banyaknya dan aku tak bisa berkutik sedikit pun! Brengsek benar Suto dan Dewa Racun! Pergi dari perahu tanpa membawaku! Menyesal sekali aku mengikuti langkah orang yang kubangga-banggakan itu. Ternyata Suto tidak seperti bayangan kebanggaanku!"
Waktu Tengkorak Terbang mendekati pintu gerbang istana bersama Singo Bodong, beberapa orang yang menjadi prajurit istana itu segera mengepung mereka berdua. Orang-orang itu bersenjata semua, dan senjata mereka siap menghujam ke tubuh Singo Bodong. Melihat ujung-ujung tombak yang runcing, mata pedang yang berkilat tajam, Singo Bodong menjadi hampir tak bisa berjalan lagi karena gemetarnya kedua lutut begitu kuat.
Tengkorak Terbang tetap tenang di dalam kepungan itu. Mulanya ia sempat menduga orang-orang itu adalah suruhan Cempaka Ungu. Tapi pikirannya segera berubah setelah ia ingat amukan Dadung Amuk yang banyak menimbulkan korban baik prajurit-prajurit pengawal istana atau penduduk desa tak bersalah. Mungkin prajurit-prajurit yang mengepungnya saat itu bersikap waspada dan siap tempur melihat orang yang datang adalah orang yang disangkanya Dadung Amuk.
"Untuk apa kalian mengepung kami?!" suara Tengkorak Terbang sedikit menyentak. Orang-orang yang mengepung hanya saling pandang.
"Bubarkan kepungan ini!" sentak Tengkorak Terbang lagi.
"Tidak bisa!" jawab salah seorang dari mereka.
"Kenapa tidak bisa?"
"Kau bersama Dadung Amuk!"
"Apa kau tak lihat keberadaanku di sini, hah?!"
"Justru aku dan teman-teman khawatir jika Dadung Amuk menyerangmu secara tiba-tiba!"
"Kalau ku mau, sudah kupenggal batang lehernya dari tadi!"
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Karena dia sudah menyerah dan siap dihadapkan pengadilan sang Ratu! Siapa menentang langkahku ini, berarti menentang keputusan sang Ratu!"
Orang yang tadi berani bicara sekarang terdiam. Matanya memandangi teman-temannya. Teman-temannya juga saling pandang satu dengan yang lain. Pada saat hening tanpa kata, Tengkorak Terbang cepat sentakkan suaranya lagi, "Minggir kalian!"
Maka, empat orang yang menutup jalan menuju pintu gerbang itu pun segera menepi dengan sikap tetap mengacungkan senjatanya, seakan berjaga-jaga mendapat serangan sewaktu-waktu dari Singo Bodong yang dianggap tawanan mereka.
"Buka pintu!" sentak Tengkorak Terbang kepada penjaga pintu gerbang itu.
Dengan terburu-buru kedua penjaga segera membukakan pintu, dan Tengkorak Terbang menarik tangan Singo Bodong agar mempercepat langkahnya. Kali ini, Singo Bodong ada di belakang Tengkorak Terbang yang melangkah lebih dulu. Begitu mereka masuk ke pintu gerbang, ternyata di sana sudah ada rombongan penyambut kedatangan mereka. Rombongan itu bukan orang-orang yang ingin menjamu kedatangan seorang tamu, melainkan sebarisan prajurit yang bersiaga menghadapi kedatangan tawanannya.
Dua barisan bersenjata lengkap memagari jalan menuju serambi istana. Mereka berjajar di kanan-kiri membentuk barisan siap serang kapan saja terdengar perintah dari atasannya. Singo Bodong menyeringai karena merasa ngeri melihat senjata-senjata berkerlip pantulan sinar matahari menuju ke arahnya.
Rupanya kedatangan Tengkorak Terbang sudah diketahui oleh para penghuni Istana Cambuk Biru itu, sehingga sudah dilakukan persiapan penyambutan seperti itu. Siapa lagi yang membawa kabar tentang kedatangan Tengkorak Terbang dan Singo Bodong jika bukan Cempaka Ungu.
Karenanya, Tengkorak Terbang tidak heran jika di serambi istana kecil itu sudah berdiri Ratu Pekat didampingi oleh Cempaka Ungu dan seorang lelaki tampan yang menjadi tangan kanan dan pengawal pribadi sang Ratu. Lelaki tampan itu dikenal dengan nama Abirawa, berjuluk si Mata Elang, karena bentuk matanya yang kecoklatan itu mirip mata burung elang.
Sekalipun Mata Elang menjadi pengawal sang Ratu, yang tentunya punya ilmu cukup tinggi, tetapi ketika bertarung melawan Dadung Amuk, ia terdesak mundur dan hampir saja mati dengan aji pamungkas milik Dadung Amuk. Kalau saja Ratu Pekat tidak turun tangan menghadang aji pamungkas Dadung Amuk, mungkin Mata Elang sampai sekarang tak bisa lagi berdiri mendampingi sang Ratu.
Mata Elang, selain menjadi pengawal sang Ratu, juga sebagai pria pemuas birahi sang Ratu. Karenanya, sang Ratu tak mau jauh-jauh dari pemuda itu. Walau usia Ratu Pekat sudah mencapai lima puluh tahun lebih, tapi sisa kecantikan dan keelokan masa mudanya masih ada. Bahkan semangat cintanya masih meletup-letup dalam jiwa tuanya itu.
Perempuan berambut sedikit uban dengan wajah tua yang masih nampak cantik itu, berdiri tegak dengan kedua tangan di belakang. Matanya memandang liar kepada Singo Bodong, raut wajahnya mencerminkan murka yang tertahan.
Tengkorak Terbang segera bungkukkan badan tanda memberi hormat kepada sang Ratu. Semua dalam keadaan diam tanpa suara. Suasana menjadi hening mencekam, terutama buat Singo Bodong. Matanya yang lebar berkesan beringas itu tak berani memandang sang Ratu terlalu lama. Ia segera tundukkan wajah dengan jantung berdebar-debar. Di sela heningnya suasana itu, terdengarlah suara kecil melengking milik Tengkorak Terbang, yang sempat mengguncangkan tubuh Singo Bodong karena kagetnya.
"Cakradanu menghadap, Nyai Ratu!"
"Sudah tahu!" jawab Ratu Pekat dengan suara besar untuk jenis suara perempuan. "Siapa yang kau bawa itu?"
"Menurut dugaan saya semula, dia adalah Dadung Amuk! Tapi orang ini mengaku bernama Singo Bodong, Nyai Ratu!"
"Dia jelas Dadung Amuk!" mata Ratu Pekat menyipit dalam memandangi Singo Bodong.
"Terserah keputusan, Nyai Ratu!" kata Tengkorak Terbang.
"Suruh dia mendekat!"
Kemudian Tengkorak Terbang menyuruh Singo Bodong mendekat. "Kau dengar apa perintahnya? Cepat sana, mendekatlah!"
"Aku takut, Paman!" Singo Bodong meringis takut dengan mata berkedip-kedip, ia bagaikan memohon belas kasihan dan pembelaan dari Tengkorak Terbang.
"Mendekatlah sebelum Ratu murka!" sentaknya dalam bisik.
"Ta... tapi... tapi aku tak berani. Aku takut dibunuh olehnya!"
"Kalau kau bukan Dadung Amuk, kau harus bisa jelaskan padanya!"
Tengkorak Terbang mendorong punggung Singo Bodong. Kaki orang tinggi besar itu bagai sulit digerakkan untuk melangkah maju. Lemas dan gemetar sekali rasanya. Wajahnya sebentar-sebentar menoleh ke belakang, seakan minta didampingi oleh Tengkorak Terbang.
"Lekas maju!" sentak Tengkorak Terbang dalam bisikan kecilnya, sambil mendorong punggung Singo Bodong yang lebih tinggi dari kepalanya itu.
Singo Bodong menaiki tangga serambi yang terdiri dari lima baris itu. Kakinya terpeleset dan ia jatuh karena gemetarnya. Sang Ratu tersenyum sinis melihat jatuhnya Singo Bodong, karena menganggapnya pura-pura.
"Cepat bangun atau kutendang pantatmu!" sentak Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya melotot.
Singo Bodong takut dan segera bangkit dengan wajah mau menangis, ia menjadi sangat grogi karena semua mata memandang ke arahnya.
"Belum puaskah kamu mengobrak-abrik wilayahku ini, hah?!" sentak Ratu Pekat dengan mata membelalak tajam.
"Belum, eh... sudah, eh... anu... tidak! Tidak, Nyai Ratu!" Singo Bodong menjawab dengan tergagap-gagap, sekujur tubuhnya penuh dengan keringat dingin.
"Kau masih menyangka aku menyembunyikan kitab itu?!"
"Tidak, eh... anu... jangan! Eh, bukan., anu... ya, tidak!" Singo Bodong geleng-gelengkan kepala dalam kepolosan bodohnya.
Ratu segera sentakkan napas melalui hidungnya. Suuut...! Dan tubuh besar itu tumbang ke belakang, berguling-guling menuruni anak tangga batu. Kepalanya terbentur beberapa kali hingga ia mengerang dalam kesakitan.
"Kosong sekali...?!" pikir Ratu Pekat. "Hempasan napasku seperti menghantam gentong tanpa isi. Tak ada sentakan padat sedikit pun pada dirinya! Aneh. Kenapa Dadung Amuk seperti itu? Apakah dugaan Cempaka Ungu memang benar, bahwa Dadung Amuk ilmunya sudah berhasil dilenyapkan oleh Tengkorak Terbang? Jika benar begitu, berarti Tengkorak Terbang telah menguasai sebuah ilmu yang bernama ilmu 'Lebur Samudera', yang bisa menghilangkan seluruh kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimiliki lawan! Hmm... dapat dari mana Tengkorak Terbang? Ilmu itu hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang dalam dunia persilatan. Aku saja susah mendapatkannya sampai sekarang! Gawat! Aku bisa celaka kalau melawan Cakradanu!"
*
* *
TIGA
ILMU 'Lebur Samudera' adalah ilmu yang sangat berbahaya. Si Gila Tuak pun tidak memiliki ilmu itu. Tetapi Ratu Pekat tahu, satu-satunya orang yang memiliki ilmu 'Lebur Samudera' yang ada di sekelilingnya itu adalah Dewi Kencana Langit, yang bersemayam di pesisir selatan bagian timur tanah Jawa. 'Lebur Samudera' ilmu yang tak kenal ampun lagi. Orang yang memiliki kesaktian setinggi apa pun, jika terkena pukulan ilmu 'Lebur Samudera', akan hilang semua kesaktiannya, dan ia tak akan bisa berbuat apa-apa. Ia akan menjadi orang polos dan bodoh. Bahkan untuk berlari cepat pun tak akan mampu.
Ratu Pekat melihat keadaan Singo Bodong yang dianggap Dadung Amuk itu, menjadi sangat curiga dan agak ragu dalam bertindak. Sebab ia tahu ciri-ciri orang berilmu tinggi yang habis terkena pukulan 'Lebur Samudera' akan menjadi seperti Singo Bodong, bodoh, penakut, dan kosong tanpa isi sedikit pun.
"Setidaknya," pikir Ratu Pekat, "Kalau Dadung Amuk hanya berpura-pura kalah, maka hempasan 'Napas Naga'-ku akan merasakan menyentuh benda padat. Itu tandanya ada sisa ilmu yang disembunyikan oleh orang yang kuserang. Tapi, 'Napas Naga'-ku tidak menyentuh benda padat sedikit pun. Tak ada sebagian yang memantul balik. Nyeplos begitu saja. Itu berarti Dadung Amuk tanpa ilmu sedikitpun!"
Sementara itu, si Mata Elang dan Cempaka Ungu menunggu keputusan yang akan dilontarkan oleh Ratu Pekat. Mereka berdua memandang sang Ratu. Tetapi sang Ratu memperhatikan gerakan Singo Bodong yang menggeliat bangkit dalam keadaan hidung berdarah sedikit.
"Apa keputusan Nyai...?!" Tengkorak Terbang memberanikan diri bertanya, karena ia merasakan kebisuan yang terjadi terlalu lama.
"Gantung dia di depan umum!" Cempaka Ungu yang menjawab.
Nyai tetap diam. Tapi Singo Bodong terperangah kaget dan semakin ketakutan, ia memandang sekelilingnya, belum ada yang bergerak menyeretnya. Bahkan Tengkorak Terbang hanya diam saja dengan menatap Ratu Pekat. Seakan keputusan dan perintah yang keluar dari mulut Cempaka Ungu itu tidak dihiraukan sama sekali. Mereka masih menunggu-nunggu keputusan dari Ratu Pekat.
Beberapa saat kemudian, Ratu Pekat serukan kata, "Karena kau yang berhasil melumpuhkannya, Tengkorak Terbang, maka kuserahkan nasibnya ke tanganmu!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh riuh seperti ratusan lebah bergaung. Rupanya para prajurit dan orang-orang yang ada di depan serambi itu saling bergumam, saling membicarakan keputusan Ratu Pekat yang terasa kurang sreg di hati mereka.
Tengkorak Terbang sendiri sempat bingung menerima putusan itu, karena ia masih belum bisa menentukan sikap dalam menghadapi keraguannya tentang diri Singo Bodong. Sedangkan diserambi sana, Cempaka Ungu mengajukan sanggahan terhadap keputusan ibunya,
"Ini tidak adil! Ibu harus menjadi penentu hukuman. Bukan Tengkorak Terbang! Karena Ibu yang kehilangan dua anak akibat kebiadaban si Dadung Amuk itu!"
"Aku sudah menjadi penentu! Aku sudah putuskan masalah ini. Tengkorak Terbang yang kuserahi tugas menentukan hukumannya!"
"Ibu. "
"Jangan lawan Tengkorak Terbang!" sergah Ratu Pekat berbisik kepada anaknya. "Nanti kujelaskan mengapa aku berkeputusan begitu!"
Cempaka Ungu tampak kecewa sekali, ia menggeram jengkel dengan kedua tangan menggenggam kencang. Lalu, matanya dilemparkan ke arah Tengkorak Terbang, dan ia berseru, "Cakradanu...!" Cempaka Ungu segera turuni tangga dan mendekati Tengkorak Terbang. Dengan mata yang tajam memandang, Cempaka Ungu berkata dalam geram kemarahannya, "Seperti apa yang kukatakan tadi, kau hanya boleh menyerahkan babi bengkak itu ke hadapan ibuku. Tapi akulah yang menjadi algojo dalam melaksanakan hukumannya nanti! Jadi sekarang, kuminta tawanan itu diseret ke lapangan! Gantung dia di sana!"
Tengkorak Terbang menarik napasnya dalam-dalam untuk meredam sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Kemudian dengan suara pelan ia menjawab, "Ratu Pekat yang menjadi penguasa di Pulau Beliung ini! Bukan kamu, Cempaka Ungu!"
"Tapi aku anaknya! Aku yang kehilangan kedua kakakku dibunuh oleh babi bengkak itu! Aku berhak menentukan putusan juga!"
"Tapi Nyai Ratu menyerahkannya kepadaku!"
"Gantung dia! Ini perintahku!" sentak Cempaka Ungu dengan suara keras dan tangan menuding tegas.
Tengkorak Terbang memandang Ratu Pekat. Sang Ratu diam saja, seakan menyetujui putusan yang dilontarkan dari Cempaka Ungu. Tengkorak Terbang merasa takut membantah keputusan itu, maka segera tangannya berkelebat mencandak lengan Singo Bodong, lalu menyeretnya pergi.
Sementara, Singo Bodong sendiri menjadi semakin gugup danketakutan, "Jangan...! Jangan gantung aku, Paman! Aku benar-benar bukan Dadung Amuk! Janganlah Paman salah duga! Paman akan menyesal menggantung orang tak bersalah. Sungguh, Paman... aku bukan Dadung Amuk. Aku Singo Bodong yang..."
"Diaaam...!" bentak Tengkorak Terbang yang membuat kata-kata Singo Bodong hilang seketika ditelan lengkingnya suara tadi. Ia tetap diseret oleh Tengkorak Terbang, dan keluar dari benteng istana kecil itu.
"Cempaka!" panggil Ratu Pekat ketika Cempaka Ungu mau bergerak mengikuti langkah Tengkorak Terbang. "Masuklah, aku mau bicara denganmu, Cempaka!"
Napas Cempaka Ungu disentakkan dalam satu hempasan rasa dongkol. Tapi akhirnya ia menuruti perintah itu. Ia masuk ke dalam istana kecil yang berlantai marmer hitam. Ratu Pekat duduk di sebuah kursi bantalan merah yang berpunggung ukiran bentuk mahkota. Kursi itu panjang, bisa untuk melonjorkan kaki. Tapi saat itu Ratu Pekat duduk dengan sedikit bersandar, punggungnya dipijit-pijit oleh si Mata Elang dengan penuh kesetiaan dari sebuah pengabdian.
"Cempaka, saat kuhempaskan 'Napas Naga'-ku, aku merasakan ada kejanggalan dalam diri Dadung Amuk tadi!"
Cempaka Ungu hanya cemberut, tak mau memberi ucapan kata apa pun, wajahnya memandang ke arah lain. Ratu Pekat melanjutkan kata, "Dadung Amuk kehilangan semua ilmu dan kesaktiannya! Ia telah kosong, seperti bayi baru lahir!"
Setelah palingkan wajah ke arah sang Ibu, Cempaka segera ajukan tanya, "Dari mana Ibu tahu hal itu?"
"'Napas Naga'-ku menemukan tempat kosong, tak ada sentakan balik sedikit pun. Itu tandanya Dadung Amuk tanpa isi sedikit pun!"
Cempaka Ungu kerutkan dahi. "Mengapa bisa begitu, Ibu?"
"Tengkorak Terbang yang melakukannya dan membuat dia menjadi seperti itu."
"Apa maksud, Ibu?"
"Kau tahu sendiri kehebatan jurus dan ilmunya Dadung Amuk sewaktu dia mengamuk di sini dan mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Begitu tangguh dan hebatnya dia. Ibu mengakui hal itu. Tapi di tangan Tengkorak Terbang, ia menjadi luluh dan tak berdaya seperti itu. Kesaktian dan kekuatannya hilang tak tersisa sedikit pun. Dan hanya orang yang mempunyai ilmu 'Lebur Samudera' yang bisa membuat lawan menjadi seperti itu."
"Jadi... jadi maksud Ibu, Tengkorak Terbang telah memiliki ilmu 'Lebur Samudera'? Oh, tidak mungkin, Ibu! Aku tidak percaya kalau Cakradanu bisa memiliki ilmu sehebat itu!"
"Nyatanya Dadung Amuk menjadi sebegitu lemahnya setelah dibawanya kemari! Tentunya saat ia temukan Dadung Amuk di pantai, ia telah lepaskan pukulan 'Lebur Samudera' yang membuat ilmu dan kesaktian Dadung Amuk menjadi sirna tanpa bekas!"
Tertegun Cempaka Ungu merenungi kata-kata ibunya. Tertegun pula si Mata Elang mendengar hal itu, hingga pijitan di pundak Ratu Pekat terhenti. Setelah Ratu Pekat menepuk pundaknya sendiri, si Mata Elang bergegas memijitnya lagi dengan pelan-pelan.
"Aku tahu Cakradanu menyimpan ilmu itu baru-baru ini saja. Sengaja ia tidak keluarkan kepada siapa pun, kecuali kepada Dadung Amuk. Itu pun mungkin karena sangat terpaksa. Dan kau tahu, Cempaka Ungu... jika ia benar telah menguasai ilmu 'Lebur Samudera', maka seluruh kesaktianmu, kesaktianku, bisa habis terkuras tanpa bekas sedikit pun. Ibu, kamu, Mata Elang, dan orang-orang kita bisa kehilangan kekuatan yang selama ini kita gali dengan bersusah payah! Tengkorak Terbang diam-diam menjadi orang paling berbahaya dari semua orang yang menjadi musuh kita. Bahkan Siluman Tujuh Nyawa pun bisa ditaklukkan oleh Tengkorak Terbang karena ilmu pukulan 'Lebur Samudera' itu!"
Gemetar hati Cempaka Ungu mendengarnya. Apa yang dikatakan oleh ibunya merupakan suatu keyakinan yang tak bisa disanggah lagi. Cempaka Ungu mulai merasa ngeri jika berhadapan dengan Tengkorak Terbang.
Ratu Pekat berkata lagi. "Jadi kuminta kau berhati-hati bila berhadapan dengannya. Sekali ia lancarkan pukulan itu, habislah kekuatanmu, menjadi seperti bayi baru lahir! Ibu pun diam-diam mencari cara untuk menghindari bentrokan dengan dia!"
"Bukankah dia berada di bawah kekuasaan Ibu?"
"Memang. Tapi kekuasaan tidak cukup untuk menandingi ilmu pukulan 'Lebur Samudera'!"
Si Mata Elang yang sejak tadi diam, kali ini mulai angkat bicara dengan suaranya yang sedikit serak, "Nyai masih bisa menggunakan kekuasaan untuk mengalahkan ilmu baru yang dimiliki Tengkorak Terbang!"
"Bagaimana caranya?"
"Beri dia tugas untuk satu perjalanan yang jauh, yang kira-kira memakan waktu bertahun-tahun, sampai ia mati dimakan usia di tempat itu!"
"Itu sudah kupikirkan," jawab Ratu Pekat. "Tapi jika dia tidak berada di sini, kekuatan kita masih kalah tanding dengan kekuatan Siluman Tujuh Nyawa. Kalau kita bisa memanfaatkan Tengkorak Terbang, maka Siluman Tujuh Nyawa bisa kita gulung habis, dan negeri manapun bisa kita tundukkan. Kita bisa mempunyai wilayah jajahan yang luas dan luas sekali!"
"Ya," sahut Cempaka. "Tengkorak Terbang itu ibarat barang yang dibuang sayang, tapi jika dirawat membahayakan!"
"Kalau begitu, siapkan dulu pertempuran untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa. Setelah kita tundukkan Siluman Tujuh Nyawa dan begundal-begundalnya, baru kita kirim Tengkorak Terbang ke tempat yang amat jauh dari sini!" kata Mata Elang lagi dengan penuh semangat. Hal itu membuat Ratu Pekat termenung mempertimbangkannya.
Seperti dikisahkan dalam episode Utusan Siluman Tujuh Nyawa, bahwa ada tokoh yang wajah dan penampilannya serupa betul dengan Dadung Amuk. Dadung Amuk adalah orang kepercayaan Siluman Tujuh Nyawa yang ditugaskan membunuh Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, dan bertugas pula mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Kitab itu adalah sebagai syarat mas kawin untuk mempersunting Gusti Dyah Sariningrum, orang yang dari dulu dicintai Siluman Tujuh Nyawa, juga yang menjadi kekasihnya Suto Sinting.
Ketika Dadung Amuk bertemu dengan Pendekar Mabuk, ia berhasil dikelabuhi oleh Pendekar Mabuk, dan segera menuju ke Pulau Hantu untuk mencari tokoh sakti yang sesat bernama Mawar Hitam. Padahal Kitab Wedar Kesuma adalah milik Nyai Betari Ayu, yang merupakan kakak dari Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Kitab itu sudah ada di tangan Suto, dan perjalanan menuju Pulau Serindu pun dilakukan bersama penunjuk jalan si Dewa Racun, dan Singo Bodong diajaknya serta.
Mulanya Pendekar Mabuk ingin mengetahui apakah Singo Bodong adalah Dadung Amuk, sehingga perlu mengawasi segala gerak-gerik Singo Bodong dalam perjalanannya. Tetapi, sebelum Suto memperoleh kepastian tentang perbedaan atau kesamaan tersebut, perahunya pecah dihantam ombak samudera. Singo Bodong pun terdampar di Pulau Beliung.
Kehadiran Singo Bodong itulah yang membuat Tengkorak Terbang dicurigai sebagai pemilik ilmu 'Lebur Samudera'. Karena baik Ratu Pekat maupun penduduk Pulau Beliung menyangka Singo Bodong adalah Dadung Amuk. Sedangkan Tengkorak Terbang sendiri tidak tahu adanya ilmu 'Lebur Samudera'. Bahkan mendengar dari gurunya pun belum pernah. Karenanya ia tidak tahu kalau sedang dibicarakan oleh Ratu Pekat, dan Cempaka Ungu.
Bahkan Tengkorak Terbang merasa takut membuat Ratu Pekat marah jika ia menentang keputusan yang dilontarkan oleh Cempaka Ungu. Karena itu, ia pun cepat menyeret Singo Bodong ke alun-alun kecil, di sana sudah tersedia tiang gantungan, untuk menjalankan hukuman gantung bagi siapa pun yang menentang kepemerintahan Ratu Pekat. Konon, tiang gantungan itu telah merenggut lebih dari sepuluh nyawa, termasuk nyawa para musuh yang menjadi tawanan.
Tiang gantungan itu berbentuk tiang gawang dengan sebuah panggung kecil di atasnya. Seorang algojo berselubung kain hitam di kepalanya, tanpa memakai baju, dan bercelana hitam ketat, telah berdiri di atas panggung kecil itu. Badannya besar dan berotot. Singo Bodong menjadi semakin takut lagi melihat algojo berselubung kain hitam di kepalanya, dengan hanya bagian kedua mata, hidung, dan mulut saja yang kelihatan dari luar. Melihat orang menyeramkan telah siap di atas panggung gantungan. Singo Bodong meronta-ronta saat dibawa ke sana.
"Jangan..! Jangan gantung aku, Paman...! Jangan! Aku tidak bersalah! Aku orang baik-baik, Paman! Oooh... Ibu...! Ibu tolong aku, Buuuuu...!"
Tengkorak Terbang walau berbadan kurus kerontang, tapi tenaganya jauh lebih besar dari tenaga Singo Bodong. Dengan sekali sentakan, tubuh besar itu terlempar sampai membentur tepian panggung gantungan.
Duuok...!
"Adduh...! Mati aku, Buuu...!" Singo Bodong akhirnya menangis, ia ditangkap oleh kedua tangan algojo, lalu segera diikat dengan kain kuat-kuat.
Kedua tangan Singo Bodong yang terikat ke belakang itu membuat Singo Bodong tak lagi bisa bergerak, ia hanya bisa meronta-ronta sambil berteriak memanggil ibunya beberapa kali. Hal itu membuat Tengkorak Terbang semakin menaruh curiga besar kepada Singo Bodong.
Tengkorak Terbang membatin, "Seperti itukah Dadung Amuk? Secengeng itukah anak buah Siluman Tujuh Nyawa? Sekecil itukah nyali orang yang dengan hebatnya mampu membunuh Melati Hitam dan Kenanga Merah? Rasa-rasanya aku seperti bukan melihat Dadung Amuk!"
Keraguan itu membingungkan hati Tengkorak Terbang, ia cepat melesat tinggalkan tempat itu, seakan tak mau tanggung jawab jika ada kesalahan hukuman. Niatnya untuk kabur dari arena penggantungan menjadi terhalang karena datangnya rombongan Ratu Pekat bersama Cempaka Ungu, Mata Elang, dan pengawal- pengawal lainnya.
"Sudah kau gantung orang itu?!" tanya Ratu Pekat.
"Menunggu perintah selanjutnya dari Nyai Ratu," jawab Cakradanu.
"Sudah kubilang, keputusannya kuserahkan ke tanganmu! Karena mulai saat ini, kau kuangkat menjadi panglimaku."
"Apa...?!" Tengkorak Terbang terkejut. "Saya diangkat menjadi panglima di Istana Cambuk Biru ini?!"
"Ya. Tadi aku lupa mengatakannya padamu!" jawab Ratu Pekat.
Cempaka Ungu menambahkan kata, "Jabatan itu sebagai hadiah dari ibuku atas keberhasilanmu menangkap Dadung Amuk!"
Tengkorak Terbang kerutkan dahi melihat sikap Cempaka Ungu tidak seketus tadi. Sekarang wajah Cempaka Ungu kelihatan lebih ramah dari sebelumnya. "Mengapa jadi begitu?" pikir Tengkorak Terbang. Bahkan si Mata Elang pun memandangnya dengan sikap bersahabat. Biasanya anak muda yang bertubuh kekar itu memandangnya dengan sikap angkuh, seakan meremehkan keberadaan Tengkorak Terbang di lingkungan para pejabat istana. Sekarang sikap angkuh dan meremehkan itu sudah tidak ada lagi. Bahkan dengan senyum kecilnya, si Mata Elang berkata,
"Sebagai seorang panglima yang baru saja diangkat, kau harus bisa tunjukkan sikap kejantananmu yang mengagumkan hati Nyai Ratu itu, Tengkorak Terbang. Kurasa tak ada jeleknya kau memutuskan apakah hukuman gantung itu perlu dilaksanakan atau tidak! Kau punya kekuasaan sekarang ini!"
"Nyai Ratu," kata Tengkorak Terbang. "Penghargaan ini terlalu tinggi buat saya! Tak pantas rasanya saya menjadi panglima!"
"Siapa bilang tak pantas?!" senyum Ratu Pekat tersungging. "Bahkan menurutku kau sangat pantas untuk mendapat gelar sang Penakluk dari Pulau Beliung!"
"O, tidak, Nyai! Itu semakin tidak pantas untuk orang seperti saya. Sebab...!"
"Jangan tolak kebaikanku ini, Cakradanu!" ucap Ratu Pekat dengan nada wibawanya.
Tengkorak Terbang tak bisa menyanggah lagi. Karena di dalam otaknya terbayang pukulan 'Renta Buana', yang jika Ratu Pekat murka kembali, pukulan itu bisa mengakhiri masa hidupnya dalam waktu yang amat singkat. Terus terang saja, Tengkorak Terbang merasa takut menghadapi murka sang Ratu.
"Baiklah jika memang itu putusan baik, Nyai Ratu! Saya menerimanya," jawab Tengkorak Terbang dengan hati masih diliputi tanda tanya yang besar.
"Sekarang aku ingin melihat tawanan kita itu! Digantung ataupun tidak, tergantung keputusanmu. Dan jika tidak, kau harus bisa berikan alasan kepada rakyat yang telah menaruh dendam kesumat kepada Dadung Amuk."
"Baik, Ratu...!"
Baru saja mereka bergegas melangkah mendekati kerumunan rakyat, tiba-tiba terdengar suara pekikan keras yang memberat. Pekikan itu datangnya dari arah tiang gantungan. Tengkorak Terbang tersentak kaget dan bergumam tegang.
"Celaka! Pasti petugas algojo itu telah melakukah penggantungan tanpa perintah lagi!"
Tetapi, mengapa rakyat yang berkerumun di situ pun bubar melarikan diri? Bukan hanya Tengkorak Terbang yang heran, tapi Ratu Pekat dan Cempaka Ungu serta si Mata Elang pun merasa heran. Maka, mereka bergegas lebih cepat lagi menuju arena penggantungan.
Apa yang terjadi di sana ternyata sangat tak diduga. Algojo telah tumbang dalam keadaan dadanya tertancap anak panah. Singo Bodong masih berdiri berkalung tali gantungan. Tapi tali itu segera putus ketika sebatang anak panah berukuran pendek melesat dan memutuskan tali penggantung itu. Tass...!
"Mata Elang, cepat bawa pergi tubuh Dadung Amuk itu!" teriak Tengkorak Terbang, yang membuat si Mata Elang cepat melakukan tugas.
Ratu Pekat melihat keadaan Singo Bodong yang dianggap Dadung Amuk itu, menjadi sangat curiga dan agak ragu dalam bertindak. Sebab ia tahu ciri-ciri orang berilmu tinggi yang habis terkena pukulan 'Lebur Samudera' akan menjadi seperti Singo Bodong, bodoh, penakut, dan kosong tanpa isi sedikit pun.
"Setidaknya," pikir Ratu Pekat, "Kalau Dadung Amuk hanya berpura-pura kalah, maka hempasan 'Napas Naga'-ku akan merasakan menyentuh benda padat. Itu tandanya ada sisa ilmu yang disembunyikan oleh orang yang kuserang. Tapi, 'Napas Naga'-ku tidak menyentuh benda padat sedikit pun. Tak ada sebagian yang memantul balik. Nyeplos begitu saja. Itu berarti Dadung Amuk tanpa ilmu sedikitpun!"
Sementara itu, si Mata Elang dan Cempaka Ungu menunggu keputusan yang akan dilontarkan oleh Ratu Pekat. Mereka berdua memandang sang Ratu. Tetapi sang Ratu memperhatikan gerakan Singo Bodong yang menggeliat bangkit dalam keadaan hidung berdarah sedikit.
"Apa keputusan Nyai...?!" Tengkorak Terbang memberanikan diri bertanya, karena ia merasakan kebisuan yang terjadi terlalu lama.
"Gantung dia di depan umum!" Cempaka Ungu yang menjawab.
Nyai tetap diam. Tapi Singo Bodong terperangah kaget dan semakin ketakutan, ia memandang sekelilingnya, belum ada yang bergerak menyeretnya. Bahkan Tengkorak Terbang hanya diam saja dengan menatap Ratu Pekat. Seakan keputusan dan perintah yang keluar dari mulut Cempaka Ungu itu tidak dihiraukan sama sekali. Mereka masih menunggu-nunggu keputusan dari Ratu Pekat.
Beberapa saat kemudian, Ratu Pekat serukan kata, "Karena kau yang berhasil melumpuhkannya, Tengkorak Terbang, maka kuserahkan nasibnya ke tanganmu!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh riuh seperti ratusan lebah bergaung. Rupanya para prajurit dan orang-orang yang ada di depan serambi itu saling bergumam, saling membicarakan keputusan Ratu Pekat yang terasa kurang sreg di hati mereka.
Tengkorak Terbang sendiri sempat bingung menerima putusan itu, karena ia masih belum bisa menentukan sikap dalam menghadapi keraguannya tentang diri Singo Bodong. Sedangkan diserambi sana, Cempaka Ungu mengajukan sanggahan terhadap keputusan ibunya,
"Ini tidak adil! Ibu harus menjadi penentu hukuman. Bukan Tengkorak Terbang! Karena Ibu yang kehilangan dua anak akibat kebiadaban si Dadung Amuk itu!"
"Aku sudah menjadi penentu! Aku sudah putuskan masalah ini. Tengkorak Terbang yang kuserahi tugas menentukan hukumannya!"
"Ibu. "
"Jangan lawan Tengkorak Terbang!" sergah Ratu Pekat berbisik kepada anaknya. "Nanti kujelaskan mengapa aku berkeputusan begitu!"
Cempaka Ungu tampak kecewa sekali, ia menggeram jengkel dengan kedua tangan menggenggam kencang. Lalu, matanya dilemparkan ke arah Tengkorak Terbang, dan ia berseru, "Cakradanu...!" Cempaka Ungu segera turuni tangga dan mendekati Tengkorak Terbang. Dengan mata yang tajam memandang, Cempaka Ungu berkata dalam geram kemarahannya, "Seperti apa yang kukatakan tadi, kau hanya boleh menyerahkan babi bengkak itu ke hadapan ibuku. Tapi akulah yang menjadi algojo dalam melaksanakan hukumannya nanti! Jadi sekarang, kuminta tawanan itu diseret ke lapangan! Gantung dia di sana!"
Tengkorak Terbang menarik napasnya dalam-dalam untuk meredam sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Kemudian dengan suara pelan ia menjawab, "Ratu Pekat yang menjadi penguasa di Pulau Beliung ini! Bukan kamu, Cempaka Ungu!"
"Tapi aku anaknya! Aku yang kehilangan kedua kakakku dibunuh oleh babi bengkak itu! Aku berhak menentukan putusan juga!"
"Tapi Nyai Ratu menyerahkannya kepadaku!"
"Gantung dia! Ini perintahku!" sentak Cempaka Ungu dengan suara keras dan tangan menuding tegas.
Tengkorak Terbang memandang Ratu Pekat. Sang Ratu diam saja, seakan menyetujui putusan yang dilontarkan dari Cempaka Ungu. Tengkorak Terbang merasa takut membantah keputusan itu, maka segera tangannya berkelebat mencandak lengan Singo Bodong, lalu menyeretnya pergi.
Sementara, Singo Bodong sendiri menjadi semakin gugup danketakutan, "Jangan...! Jangan gantung aku, Paman! Aku benar-benar bukan Dadung Amuk! Janganlah Paman salah duga! Paman akan menyesal menggantung orang tak bersalah. Sungguh, Paman... aku bukan Dadung Amuk. Aku Singo Bodong yang..."
"Diaaam...!" bentak Tengkorak Terbang yang membuat kata-kata Singo Bodong hilang seketika ditelan lengkingnya suara tadi. Ia tetap diseret oleh Tengkorak Terbang, dan keluar dari benteng istana kecil itu.
"Cempaka!" panggil Ratu Pekat ketika Cempaka Ungu mau bergerak mengikuti langkah Tengkorak Terbang. "Masuklah, aku mau bicara denganmu, Cempaka!"
Napas Cempaka Ungu disentakkan dalam satu hempasan rasa dongkol. Tapi akhirnya ia menuruti perintah itu. Ia masuk ke dalam istana kecil yang berlantai marmer hitam. Ratu Pekat duduk di sebuah kursi bantalan merah yang berpunggung ukiran bentuk mahkota. Kursi itu panjang, bisa untuk melonjorkan kaki. Tapi saat itu Ratu Pekat duduk dengan sedikit bersandar, punggungnya dipijit-pijit oleh si Mata Elang dengan penuh kesetiaan dari sebuah pengabdian.
"Cempaka, saat kuhempaskan 'Napas Naga'-ku, aku merasakan ada kejanggalan dalam diri Dadung Amuk tadi!"
Cempaka Ungu hanya cemberut, tak mau memberi ucapan kata apa pun, wajahnya memandang ke arah lain. Ratu Pekat melanjutkan kata, "Dadung Amuk kehilangan semua ilmu dan kesaktiannya! Ia telah kosong, seperti bayi baru lahir!"
Setelah palingkan wajah ke arah sang Ibu, Cempaka segera ajukan tanya, "Dari mana Ibu tahu hal itu?"
"'Napas Naga'-ku menemukan tempat kosong, tak ada sentakan balik sedikit pun. Itu tandanya Dadung Amuk tanpa isi sedikit pun!"
Cempaka Ungu kerutkan dahi. "Mengapa bisa begitu, Ibu?"
"Tengkorak Terbang yang melakukannya dan membuat dia menjadi seperti itu."
"Apa maksud, Ibu?"
"Kau tahu sendiri kehebatan jurus dan ilmunya Dadung Amuk sewaktu dia mengamuk di sini dan mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Begitu tangguh dan hebatnya dia. Ibu mengakui hal itu. Tapi di tangan Tengkorak Terbang, ia menjadi luluh dan tak berdaya seperti itu. Kesaktian dan kekuatannya hilang tak tersisa sedikit pun. Dan hanya orang yang mempunyai ilmu 'Lebur Samudera' yang bisa membuat lawan menjadi seperti itu."
"Jadi... jadi maksud Ibu, Tengkorak Terbang telah memiliki ilmu 'Lebur Samudera'? Oh, tidak mungkin, Ibu! Aku tidak percaya kalau Cakradanu bisa memiliki ilmu sehebat itu!"
"Nyatanya Dadung Amuk menjadi sebegitu lemahnya setelah dibawanya kemari! Tentunya saat ia temukan Dadung Amuk di pantai, ia telah lepaskan pukulan 'Lebur Samudera' yang membuat ilmu dan kesaktian Dadung Amuk menjadi sirna tanpa bekas!"
Tertegun Cempaka Ungu merenungi kata-kata ibunya. Tertegun pula si Mata Elang mendengar hal itu, hingga pijitan di pundak Ratu Pekat terhenti. Setelah Ratu Pekat menepuk pundaknya sendiri, si Mata Elang bergegas memijitnya lagi dengan pelan-pelan.
"Aku tahu Cakradanu menyimpan ilmu itu baru-baru ini saja. Sengaja ia tidak keluarkan kepada siapa pun, kecuali kepada Dadung Amuk. Itu pun mungkin karena sangat terpaksa. Dan kau tahu, Cempaka Ungu... jika ia benar telah menguasai ilmu 'Lebur Samudera', maka seluruh kesaktianmu, kesaktianku, bisa habis terkuras tanpa bekas sedikit pun. Ibu, kamu, Mata Elang, dan orang-orang kita bisa kehilangan kekuatan yang selama ini kita gali dengan bersusah payah! Tengkorak Terbang diam-diam menjadi orang paling berbahaya dari semua orang yang menjadi musuh kita. Bahkan Siluman Tujuh Nyawa pun bisa ditaklukkan oleh Tengkorak Terbang karena ilmu pukulan 'Lebur Samudera' itu!"
Gemetar hati Cempaka Ungu mendengarnya. Apa yang dikatakan oleh ibunya merupakan suatu keyakinan yang tak bisa disanggah lagi. Cempaka Ungu mulai merasa ngeri jika berhadapan dengan Tengkorak Terbang.
Ratu Pekat berkata lagi. "Jadi kuminta kau berhati-hati bila berhadapan dengannya. Sekali ia lancarkan pukulan itu, habislah kekuatanmu, menjadi seperti bayi baru lahir! Ibu pun diam-diam mencari cara untuk menghindari bentrokan dengan dia!"
"Bukankah dia berada di bawah kekuasaan Ibu?"
"Memang. Tapi kekuasaan tidak cukup untuk menandingi ilmu pukulan 'Lebur Samudera'!"
Si Mata Elang yang sejak tadi diam, kali ini mulai angkat bicara dengan suaranya yang sedikit serak, "Nyai masih bisa menggunakan kekuasaan untuk mengalahkan ilmu baru yang dimiliki Tengkorak Terbang!"
"Bagaimana caranya?"
"Beri dia tugas untuk satu perjalanan yang jauh, yang kira-kira memakan waktu bertahun-tahun, sampai ia mati dimakan usia di tempat itu!"
"Itu sudah kupikirkan," jawab Ratu Pekat. "Tapi jika dia tidak berada di sini, kekuatan kita masih kalah tanding dengan kekuatan Siluman Tujuh Nyawa. Kalau kita bisa memanfaatkan Tengkorak Terbang, maka Siluman Tujuh Nyawa bisa kita gulung habis, dan negeri manapun bisa kita tundukkan. Kita bisa mempunyai wilayah jajahan yang luas dan luas sekali!"
"Ya," sahut Cempaka. "Tengkorak Terbang itu ibarat barang yang dibuang sayang, tapi jika dirawat membahayakan!"
"Kalau begitu, siapkan dulu pertempuran untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa. Setelah kita tundukkan Siluman Tujuh Nyawa dan begundal-begundalnya, baru kita kirim Tengkorak Terbang ke tempat yang amat jauh dari sini!" kata Mata Elang lagi dengan penuh semangat. Hal itu membuat Ratu Pekat termenung mempertimbangkannya.
Seperti dikisahkan dalam episode Utusan Siluman Tujuh Nyawa, bahwa ada tokoh yang wajah dan penampilannya serupa betul dengan Dadung Amuk. Dadung Amuk adalah orang kepercayaan Siluman Tujuh Nyawa yang ditugaskan membunuh Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, dan bertugas pula mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Kitab itu adalah sebagai syarat mas kawin untuk mempersunting Gusti Dyah Sariningrum, orang yang dari dulu dicintai Siluman Tujuh Nyawa, juga yang menjadi kekasihnya Suto Sinting.
Ketika Dadung Amuk bertemu dengan Pendekar Mabuk, ia berhasil dikelabuhi oleh Pendekar Mabuk, dan segera menuju ke Pulau Hantu untuk mencari tokoh sakti yang sesat bernama Mawar Hitam. Padahal Kitab Wedar Kesuma adalah milik Nyai Betari Ayu, yang merupakan kakak dari Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Kitab itu sudah ada di tangan Suto, dan perjalanan menuju Pulau Serindu pun dilakukan bersama penunjuk jalan si Dewa Racun, dan Singo Bodong diajaknya serta.
Mulanya Pendekar Mabuk ingin mengetahui apakah Singo Bodong adalah Dadung Amuk, sehingga perlu mengawasi segala gerak-gerik Singo Bodong dalam perjalanannya. Tetapi, sebelum Suto memperoleh kepastian tentang perbedaan atau kesamaan tersebut, perahunya pecah dihantam ombak samudera. Singo Bodong pun terdampar di Pulau Beliung.
Kehadiran Singo Bodong itulah yang membuat Tengkorak Terbang dicurigai sebagai pemilik ilmu 'Lebur Samudera'. Karena baik Ratu Pekat maupun penduduk Pulau Beliung menyangka Singo Bodong adalah Dadung Amuk. Sedangkan Tengkorak Terbang sendiri tidak tahu adanya ilmu 'Lebur Samudera'. Bahkan mendengar dari gurunya pun belum pernah. Karenanya ia tidak tahu kalau sedang dibicarakan oleh Ratu Pekat, dan Cempaka Ungu.
Bahkan Tengkorak Terbang merasa takut membuat Ratu Pekat marah jika ia menentang keputusan yang dilontarkan oleh Cempaka Ungu. Karena itu, ia pun cepat menyeret Singo Bodong ke alun-alun kecil, di sana sudah tersedia tiang gantungan, untuk menjalankan hukuman gantung bagi siapa pun yang menentang kepemerintahan Ratu Pekat. Konon, tiang gantungan itu telah merenggut lebih dari sepuluh nyawa, termasuk nyawa para musuh yang menjadi tawanan.
Tiang gantungan itu berbentuk tiang gawang dengan sebuah panggung kecil di atasnya. Seorang algojo berselubung kain hitam di kepalanya, tanpa memakai baju, dan bercelana hitam ketat, telah berdiri di atas panggung kecil itu. Badannya besar dan berotot. Singo Bodong menjadi semakin takut lagi melihat algojo berselubung kain hitam di kepalanya, dengan hanya bagian kedua mata, hidung, dan mulut saja yang kelihatan dari luar. Melihat orang menyeramkan telah siap di atas panggung gantungan. Singo Bodong meronta-ronta saat dibawa ke sana.
"Jangan..! Jangan gantung aku, Paman...! Jangan! Aku tidak bersalah! Aku orang baik-baik, Paman! Oooh... Ibu...! Ibu tolong aku, Buuuuu...!"
Tengkorak Terbang walau berbadan kurus kerontang, tapi tenaganya jauh lebih besar dari tenaga Singo Bodong. Dengan sekali sentakan, tubuh besar itu terlempar sampai membentur tepian panggung gantungan.
Duuok...!
"Adduh...! Mati aku, Buuu...!" Singo Bodong akhirnya menangis, ia ditangkap oleh kedua tangan algojo, lalu segera diikat dengan kain kuat-kuat.
Kedua tangan Singo Bodong yang terikat ke belakang itu membuat Singo Bodong tak lagi bisa bergerak, ia hanya bisa meronta-ronta sambil berteriak memanggil ibunya beberapa kali. Hal itu membuat Tengkorak Terbang semakin menaruh curiga besar kepada Singo Bodong.
Tengkorak Terbang membatin, "Seperti itukah Dadung Amuk? Secengeng itukah anak buah Siluman Tujuh Nyawa? Sekecil itukah nyali orang yang dengan hebatnya mampu membunuh Melati Hitam dan Kenanga Merah? Rasa-rasanya aku seperti bukan melihat Dadung Amuk!"
Keraguan itu membingungkan hati Tengkorak Terbang, ia cepat melesat tinggalkan tempat itu, seakan tak mau tanggung jawab jika ada kesalahan hukuman. Niatnya untuk kabur dari arena penggantungan menjadi terhalang karena datangnya rombongan Ratu Pekat bersama Cempaka Ungu, Mata Elang, dan pengawal- pengawal lainnya.
"Sudah kau gantung orang itu?!" tanya Ratu Pekat.
"Menunggu perintah selanjutnya dari Nyai Ratu," jawab Cakradanu.
"Sudah kubilang, keputusannya kuserahkan ke tanganmu! Karena mulai saat ini, kau kuangkat menjadi panglimaku."
"Apa...?!" Tengkorak Terbang terkejut. "Saya diangkat menjadi panglima di Istana Cambuk Biru ini?!"
"Ya. Tadi aku lupa mengatakannya padamu!" jawab Ratu Pekat.
Cempaka Ungu menambahkan kata, "Jabatan itu sebagai hadiah dari ibuku atas keberhasilanmu menangkap Dadung Amuk!"
Tengkorak Terbang kerutkan dahi melihat sikap Cempaka Ungu tidak seketus tadi. Sekarang wajah Cempaka Ungu kelihatan lebih ramah dari sebelumnya. "Mengapa jadi begitu?" pikir Tengkorak Terbang. Bahkan si Mata Elang pun memandangnya dengan sikap bersahabat. Biasanya anak muda yang bertubuh kekar itu memandangnya dengan sikap angkuh, seakan meremehkan keberadaan Tengkorak Terbang di lingkungan para pejabat istana. Sekarang sikap angkuh dan meremehkan itu sudah tidak ada lagi. Bahkan dengan senyum kecilnya, si Mata Elang berkata,
"Sebagai seorang panglima yang baru saja diangkat, kau harus bisa tunjukkan sikap kejantananmu yang mengagumkan hati Nyai Ratu itu, Tengkorak Terbang. Kurasa tak ada jeleknya kau memutuskan apakah hukuman gantung itu perlu dilaksanakan atau tidak! Kau punya kekuasaan sekarang ini!"
"Nyai Ratu," kata Tengkorak Terbang. "Penghargaan ini terlalu tinggi buat saya! Tak pantas rasanya saya menjadi panglima!"
"Siapa bilang tak pantas?!" senyum Ratu Pekat tersungging. "Bahkan menurutku kau sangat pantas untuk mendapat gelar sang Penakluk dari Pulau Beliung!"
"O, tidak, Nyai! Itu semakin tidak pantas untuk orang seperti saya. Sebab...!"
"Jangan tolak kebaikanku ini, Cakradanu!" ucap Ratu Pekat dengan nada wibawanya.
Tengkorak Terbang tak bisa menyanggah lagi. Karena di dalam otaknya terbayang pukulan 'Renta Buana', yang jika Ratu Pekat murka kembali, pukulan itu bisa mengakhiri masa hidupnya dalam waktu yang amat singkat. Terus terang saja, Tengkorak Terbang merasa takut menghadapi murka sang Ratu.
"Baiklah jika memang itu putusan baik, Nyai Ratu! Saya menerimanya," jawab Tengkorak Terbang dengan hati masih diliputi tanda tanya yang besar.
"Sekarang aku ingin melihat tawanan kita itu! Digantung ataupun tidak, tergantung keputusanmu. Dan jika tidak, kau harus bisa berikan alasan kepada rakyat yang telah menaruh dendam kesumat kepada Dadung Amuk."
"Baik, Ratu...!"
Baru saja mereka bergegas melangkah mendekati kerumunan rakyat, tiba-tiba terdengar suara pekikan keras yang memberat. Pekikan itu datangnya dari arah tiang gantungan. Tengkorak Terbang tersentak kaget dan bergumam tegang.
"Celaka! Pasti petugas algojo itu telah melakukah penggantungan tanpa perintah lagi!"
Tetapi, mengapa rakyat yang berkerumun di situ pun bubar melarikan diri? Bukan hanya Tengkorak Terbang yang heran, tapi Ratu Pekat dan Cempaka Ungu serta si Mata Elang pun merasa heran. Maka, mereka bergegas lebih cepat lagi menuju arena penggantungan.
Apa yang terjadi di sana ternyata sangat tak diduga. Algojo telah tumbang dalam keadaan dadanya tertancap anak panah. Singo Bodong masih berdiri berkalung tali gantungan. Tapi tali itu segera putus ketika sebatang anak panah berukuran pendek melesat dan memutuskan tali penggantung itu. Tass...!
"Mata Elang, cepat bawa pergi tubuh Dadung Amuk itu!" teriak Tengkorak Terbang, yang membuat si Mata Elang cepat melakukan tugas.
*
* *
EMPAT
ALUN-ALUN menjadi sepi. Mereka yang tadinya berkerumun dengan berkasak-kusuk kegirangan karena ingin melihat kematian Dadung Amuk, sekarang menjadi diam tanpa suara. Sebagian masuk ke dalam rumah, sebagian lagi bersembunyi di balik pohon atau di balik apa saja, ingin melihat kelanjutan dari hukuman gantung itu. Padahal saat itu Singo Bodong sudah dilarikan si Mata Elang. Tetapi karena di alun-alun masih berdiri Ratu Pekat didampingi Cempaka Ungu, dan di tengah alun-alun masih berdiri Tengkorak Terbang, maka mereka masih berharap adanya kejutan- kejutan berikutnya.
Tengkorak Terbang mencabut anak panah yang menancap di dada algojo. Satu sentakan penuh kemarahan membuat anak panah lepas dari tubuh kekar itu. Tengkorak Terbang memperhatikan beberapa saat anak panah itu, kemudian dibawa mendekati Ratu Pekat dan ditunjukkan kepada sang Ratu sambil ia berkata, "Panah pendek!"
"Hmmm... ya! Aku tahu pemilik panah pendek ini! Kau tahu, Tengkorak Terbang?" tanya Ratu Pekat.
"Saya tahu, Nyai!"
"Lakukanlah tugasmu sebagai panglima!" Setelah berkata begitu, Ratu Pekat segera tinggalkan tempat. Cempaka Ungu mengiringinya dengan mata memandang liar ke arah sekeliling. Siaga untuk penyerangan mendadak. Sedangkan enam orang prajurit pengawalnya pun cepat mengambil sikap mengurung Ratu Pekat dengan memberikan jalan di bagian depannya. Dua prajurit ada di bagian depan, tujuh langkah dari Ratu Pekat.
Tengkorak Terbang layangkan pandangan matanya ke sekeliling alun-alun. Tiap wajah tersembunyi dipandanginya dengan seksama. Lalu, karena yang dicarinya tak terlihat, ia pun berteriak keras, "Dewa Racun...! Keluar kau dari persembunyianmu!"
Panah pendek itulah yang menjadi tanda bahwa senjata itu adalah milik Dewa Racun. Mereka mengenalinya, karena mereka pernah bentrok dengan orang-orang Pulau Serindu, termasuk Dewa Racun dan anak buah Dyah Sariningrum lainnya.
"Jangan sangka aku tidak mengenalimu, Kerdil! Keluar kau!"
Tiba-tiba meluncur anak panah dari depan Tengkorak Terbang. Zzlaaap...! Tangan kurus tanpa daging itu segera berkelebat cepat. Tabb...! Anak panah itu ditangkap tepat di depan matanya. Sebuah pohon berdaun rimbun segera menjadi sasaran Tengkorak Terbang, ia lepaskan pukulan jarak jauhnya dengan menghentakkan pangkal telapak tangannya. Wuuugh...! Tenaga dalam itu melesat tanpa sinar dan menghantam kerimbunan pohon.
Brusss...! Kraak...! Grusaaak...!
Dahan pohon terkena pukulan tenaga dalam dari jarak jauh. Dahan sebesar paha Singo Bodong itu patah dan tumbang ke bawah. Tetapi dari pohon itu tak terlihat gerakan manusia berpindah tempat. Mendadak dari arah samping kiri Tengkorak Terbang meluncur kembali sebatang anak panah dengan kecepatan tinggi, bagian ekor anak panah berhulu putih seperti tadi.
Zlappp...! Tebb...! Anak panah itu berhasil ditangkap kembali oleh Tengkorak Terbang. Terlambat sedikit mengenai lehernya. Segera anak panah itu dipatahkan dengan menggunakan satu tangan meremas. Trakk...! Kemudian dibuang dengan sentakkan menggeram.
Sebuah pohon rimbun kembali menjadi sasaran pukulan jarak jauh Tengkorak Terbang. Pukulan itu menghentak ke pohon sebelah kirinya dan terdengar suara grusak yang keras dan bunyi gedebuk yang sangat jelas. Tengkorak Terbang merasa pukulan jarak jauhnya mengenai sasaran. Lawan pasti jatuh dari atas pohon, ia menunggu sesaat. Tetapi sesosok bayangan putih yang ditunggunya itu justru muncul dari sebelah kanan. Suaranya terdengar jelas menyapa Tengkorak Terbang dengan kesan kalem.
"Aku di sini, Tengkorak Terbang!"
Cepat-cepat Tengkorak Terbang palingkan wajah. Mata cekungnya menatap sipit pada Dewa Racun yang bertubuh pendek kerdil, berpakaian dari bulu binatang berwarna putih, celana pendeknya pun berwarna putih bulu. Sementara di pinggangnya terselip dua pisau, dan di punggungnya tanpa tempat panah, tanpa busur panah juga.
"Kudengar kau memanggil namaku, Tengkorak Terbang!"
"Karena aku tahu kau memancing kemarahanku, Dewa Racun!"
"Kau salah duga, Tengkorak Terbang!"
"Tidak. Aku tidak salah duga!" sentak Tengkorak Terbang. "Aku kenal betul senjatamu itu, panah pendek! Sesuai dengan tubuhmu yang kerdil!"
"Justru aku keluar dari persembunyianku karena aku melihat ada orang menggunakan senjataku!"
"Omong kosongi Kau bersekongkol dengan anak buah Siluman Tujuh Nyawa itu!"
"Salah!" sahut Dewa Racun. "Kau tidak tahu bahwa aku telah kehilangan senjata saat perahuku pecah! Busur dan anak panahku hilang entah ke mana, juga kedua teman yang bersamaku hilang tak kutahu di mana. Hanya satu orang yang kutahu di mana letaknya!"
"Kau ingin cuci tangan dari persoalan ini, rupanya!"
"Terserah apa katamu, yang jelas"
Belum selesai Dewa Racun bicara, datang anak panah dari arah kiri Tengkorak Terbang. Zllappp! Kewaspadaan yang tinggi, kepekaan kulit yang tinggi, membuat Tengkorak Terbang berkelebat ke samping dengan tangan mengibas karena merasa adanya bahaya. Tebb...! Tangan itu cepat menangkap anak panah berbulu putih diekornya.
Cepat-cepat Tengkorak Terbang melayangkan pandangan matanya mengelilingi arah. Tapi tak ditemukan kecurigaan di mana-mana. Tempat meluncurnya anak panah yang baru saja ditangkapnya itu, adalah arah depan dari tempatnya berdiri tadi. Sekarang arah itu menjadi sebelah kirinya, karena Tengkorak Terbang berhadapan dengan Dewa Racun yang muncul dari arah kanannya tadi.
"Bukankah ini anak panahmu, Dewa Racun?!"
"Ya. Benar. Tapi apakah kau melihat aku memanahkannya?"
Tengkorak Terbang diam sambil menggeram. Anak panah itu diremas dan patah menjadi dua bagian. Trakk...! Lalu, dibuang lagi dengan gemas. Prukk...! "Jika bukan kau, lantas siapa yang menggunakannya?"
"Mana aku tahu?"
"Pasti temanmu yang berjuluk si Cakar Jatayu!"
"Cakar Jatayu tidak ikut dalam perjalananku, Tengkorak Terbang!" jawab Dewa Racun dengan lancar, karena semalaman ia menghabiskan banyak ikan bakar dan aroma ikan bakar masih ada di dalam mulutnya, sehingga bahasa gagapnya hilang, belum tumbuh lagi. Apabila aroma ikan bakar hilang dari mulutnya, ia akan bicara dengan gagap lagi, karena memang begitulah keanehan yang dimiliki Dewa Racun.
"Yang jelas, pemanahnya memihak dirimu, Dewa Racun!"
"Mungkin juga begitu. Mungkin ia hanya ingin membebaskan tawanan yang akan kau gantung itu, Tengkorak Terbang! Barangkali ia tahu, tawanan itu tidak punya dosa apa pun kepada orang-orang Istana Cambuk Biru, sehingga ia merasa perlu membebaskannya!"
"Persetan dengan kesimpulanmu! Yang kutahu,panah ini milikmu, dan kamulah yang harus bertanggung jawab!"
Ekor mata Dewa Racun sempat melihat bayangan jatuh dari pohon. Orang yang turun dari pohon itu ada di sebelah kanan Tengkorak Terbang. Jadi pada waktu pertama datangnya anak panah ke arah Tengkorak Terbang, orang itu ada di belakang Tengkorak Terbang. Tapi anehnya anak panah yang dilepaskan bisa berarah dari depan dan samping kiri Tengkorak Terbang.
Dewa Racun tahu, orang yang turun dan mengendap-endap pergi itu membawa busur dan beberapa anak panah miliknya. Dewa Racun tidak mengejarnya, karena ia tahu orang berbaju coklat dan bercelana putih itu tak lain adalah Suto Sinting, yang telah terpisah olehnya sejak perahu mereka pecah di lautan. Rupanya Pendekar Mabuk yang menemukan busur dan anak panah itu. Rupanya Pendekar Mabuk yang waktu itu ingin meraih tubuh Dewa Racun agar jangan terbawa ombak, tak berhasil dan hanya bisa meraih busur dan anak panah yang ada di punggung Dewa Racun.
Sebenarnya saat itu Dewa Racun telah menemukan dua temannya yang terpisah sejak badai lautan kemarin malam, ia ingin menemui kedua temannya itu, tapi suasananya tidak mengizinkan. Bahkan ekor matanya tadi juga melihat gerakan isyarat dari Suto agar dia tetap menghadapi Tengkorak Terbang, sementara Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke istana. Pasti Pendekar Mabuk akan membebaskan Singo Bodong, sebab nasib Singo Bodong ada dalam tanggung jawabnya.
Hanya saja, Dewa Racun merasa heran melihat gerakan panah Suto. Panah itu dilepaskan dari arah belakang Tengkorak Terbang, tapi bisa meluncur ke sasaran dari arah depan Tengkorak Terbang, atau dari arah kirinya. Berarti Pendekar Mabuk menggunakan cara pantulan, di mana panah dilepaskan ke depan, membentur salah satu dahan atau benda lainnya dan membalik dengan sama cepatnya ke arah lain. Sehingga. Tengkorak Terbang sempat terkecoh beberapa kali dengan melepaskan pukulan tenaga dalamnya ke arah depan, padahal lawan ada di belakangnya. Dewa Racun merasa tak mampu melakukan pemanahan seperti itu, dan dia tak sangka bahwa Pendekar Mabuk mempunyai cara sehebat itu.
Kepada Tengkorak Terbang, Dewa Racun berkata, "Kalau kau menuntut tanggung jawabku, karena panah itu milikku, lantas apa yang kau kehendaki dariku?"
"Kubawa kau menghadap kepada Ratu Pekat sebagai tawananku!"
"Itu tak mudah, Tengkorak Terbang," Dewa Racun tersenyum di balik wajah tuanya. "Kalau kau ingin jadikan aku tawananmu, berarti kau harus tundukkan aku lebih dulu!"
"Seberapa sulit menundukkan orang kerdil seperti kamu, ha?! Apakah kau tak sayang pada nyawamu kalau sampai melayang lenyap karena tangan kurusku ini?!"
"Yang kusayangkan kalau nyawamu sendiri yang minggat dari ragamu setelah mendapat satu jurus pukulan dariku, Tengkorak Terbang!"
"Kecil-kecil bermulut lebar kau, hah?!" geram Tengkorak Terbang. "Belum jera kau menderita pukulan 'Bayu Paksi'-ku?! Rasakan lagi kalau kau belum jera, hiiaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan kaki dan tubuhnya meluncur ke arah Dewa Racun bagaikan terbang. Jarak yang sepuluh langkah itu bisa dicapainya dengan cepat, dan pukulan 'Bayu Paksi' menghantam wajah Dewa Racun. Pukulan itu datang secara beruntun, bertubi-tubi dan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hampir tak bisa terlihat oleh mata orang biasa kecepatan pukulan beruntun itu.
Wuk wuk wuk...!
Tab tab tab tab tab...! Bleggh...!
Pukulan 'Bayu Paksi' bisa ditangkis oleh tangan Dewa Racun. Kalau dulu Dewa Racun terdesak menghadapi pukulan itu dan sempat terkena dua pukulan cepat itu, tapi sekarang semua pukulan dapat dilayani dengan kecepatan tangkisannya. Bahkan yang terakhir Dewan Racun sempat menyentakkan kedua telapak tangannya ke dada Tengkorak Terbang. Sentakkan kedua telapak tangan itu membuat Tengkorak Terbang terlempar ke belakang, dan jatuh berguling satukali.
"Bangsat kau!" geram Tengkorak Terbang.
"Kuharap jangan kau teruskan niatmu menjadikan aku tawananmu!" kata Dewa Racun yang sejak tadi hanya berdiri tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya, ia melanjutkan kata-katanya, "Kalau kau teruskan, kau akan mati. Jujur saja kukatakan padamu, bahwa sekujur tubuhmu telah penuh racun! Pukulanku yang mengenai dadamu menyebarkan racun berbahaya ke dalam jantung dan paru-parumu, Tengkorak Terbang. Sebentar lagi kau akan lumpuh! Dan tangkisan-tangkisanku tadi membuat racun Rengas Tulang akan membuat seluruh tulangmu menjadi keropos!"
"Persetan dengan bualanmu!" geram Tengkorak Terbang, ia segera sentakkan kedua tangannya ke depan dalam keadaan menggenggam semuanya. Kedua kakinya merentang lebar dan merendah. Sentakan itu cukup kuat, hingga menimbulkan gelombang pukulan tenaga dalam jarak jauh yang amat besar. Woouugh...!
Tapi Dewa Racun cepat sentakkan tangan kanannya ke kiri dengan badan sedikit merendah dan meliuk ke kiri. Telapak tangannya yang sedikit terbuka itu mengeluarkan gelombang hawa panas cukup besar.
Wuuuhg!
Gelombang hawa panas bukan hanya membentur pukulan tenaga dalam Tengkorak Terbang, melainkan juga menyingkirkan dari jalur arah yang menuju ke tubuh Dewa Racun.
Breeebeeehg...! Bouuhg...!
Kedua pukulan itu beradu dan sama-sama menghantam ke tanah samping. Tanah itu seketika menjadi cekung bagai ditumbuk oleh sebatang pohon sebesar gajah. Tengkorak Terbang terkesiap melihat tanah cekung tanpa menyemburkan percikan pasir sedikit pun. Jika bukan tenaga yang amat besar, tak mungkin membuat tanah cekung tanpa menyemburkan percikan pasirnya.
"Hiaaat...!" tiba-tiba Tengkorak Terbang meloncat ke depan dengan tubuh bagaikan terbang, kedua tangannya siap menerkam tubuh kecil Dewa Racun.
Srepp...! Tubuh Dewa Racun berhasil disergap dengan kedua tangan Tengkorak Terbang. Tapi pada saat itu juga tubuh kerdil itu melesat ke atas bagaikan belut licin, dan bersalto di udara dengan menggunakan kepala Tengkorak Terbang sebagai tempat kaki menjejak. Kepala itu tersentak ke depan, membuat Tengkorak Terbang terpaksa berguling di tanah berumput sebelum jatuh tersungkur.
Wuug, wuug...!
Jleeg...! Dewa Racun sudah mendaratkan kakinya dengan mantap, ia berdiri tanpa goyah sedikit pun. Matanya memandang tajam pada Tengkorak Terbang, tangannya menggenggam dalam keadaan tetap lurus ke bawah.
Tengkorak Terbang berdiri dengan satu kaki berlutut di tanah. Pandangan matanya mulai terasa berkunang-kunang. Kepala pun terasa mulai memberat. Dipakai menggeleng bagaikan kaku.
"Tengkorak Terbang, kuingatkan sekali lagi, jangan nekat mau menangkapku sebagai tawanan! Kau telah termakan oleh racun dari telapak kakiku tadi. Racun itu telah meresap masuk ke dalam otakmu dan sebentar lagi akan membuatmu tak mampu mengangkat kepala!"
Tengkorak Terbang tidak menjawab, ia tarik napasnya dalam-dalam. Terasa sakit dadanya untuk bernapas. Berat sekali tarikan napas itu hingga ia terpaksa busungkan dada. Kemudian ia mencoba berdiri dengan limbung.
"Percayalah dengan kata-kataku, Tengkorak Terbang! Racun akibat pukulanku itu telah bekerja menyempitkan jantungmu, juga mengecilkan paru-paru-mu! Sedangkan racun Rengas Tulang telah mulai menggerogoti tulang- belulangmu yang sebentar lagi akan membuatmu keropos! Hanya aku yang bisa menawarkan racun-racun itu, Cakradanu!"
"Kau memang jahanam!" Kedua tangan Tengkorak Terbang terangkat naik sampai di atas kepala, bentuk telapak tangannya merenggang kaku dan melengkung ke bawah. Kedua telapak tangan itu mulai berasap tipis bagai terbakar dari dalam.
Melihat hal itu, Dewa Racun cepat rentangkan kedua tangannya ke samping kanan kiri dengan lurus, kedua kakinya merapat. Telapak tangan Dewa Racun pun mengeluarkan asap kekuning-kuningan. Lalu, kedua kakinya yang rapat itu ditekuk ke depan bagian lututnya. Kedua tangan bergerak terlipat sikunya hingga kedua telapak tangan yang menghadap ke depan mendekati bagian dadanya.
"Kalau kau lepaskan pukulan 'Karang Iblis', aku juga akan melepaskan pukulan 'Halilintar'-ku!" ancam Dewa Racun.
"Baik! Kita adu pukulanmu dengan pukulanku, siapa yang unggul. Salah satu dari kita pasti mati, atau keduanya!"
"Aku tak keberatan!" balas Dewa Racun, siap sentakkan kedua telapak tangan yang sudah berasap kuning itu. Tetapi, tiba-tiba seorang prajurit bersenjatakan tombak berlari dan melompat ke pertengahan jarak antara Dewa Racun dengan Tengkorak Terbang.
"Tahan...! Tahan...!" serunya dengan panik. "Minggir kau, Pragulo!" teriak Tengkorak Terbang.
"Tahan, Tengkorak Terbang! Kau harus segera ke istana! Ratu memanggilmu. Ada bahaya besar di istana!" seru Pragulo.
Sesaat terpikir dalam otak Tengkorak Terbang jabatannya sebagai panglima baru. Segera kedua tangan yang siap melancarkan pukulan 'Karang Iblis' itu diturunkan. Tengkorak Terbang pejamkan mata sejenak untuk meredam ilmu yang sudah hampir terlepaskan tadi. Dan di sisi lain, Dewa Racun pun redamkan ilmu mautnya yang bernama 'Halilintar Racun Bumi'itu.
Tengkorak Terbang masih menyimpan dongkol dengan kemunculan Pragulo. Lalu, ia membentak, "Apa yang terjadi di istana, ha?!"
"Lihatlah sendiri! Sangat mengerikan!" jawab Pragulo.
"Aku harus cepat kembali, Tengkorak Terbang!" Setelah berkata begitu, Pragulo pun segera berlari kembali ke istana.
Sementara itu, Tengkorak Terbang palingkan pandang ke arah Dewa Racun dan berseru, "Setelah kuselesaikan urusanku di istana, kita lanjutkan pertarungan ini!"
"Aku siap menunggumu kapan saja, Tengkorak Terbang!" Tengkorak Terbang pun cepat-cepat sentakkan kakinya dan melesat bagaikan terbang. Namun dalam jarak antara sepuluh langkah ia jatuh ke tanah dan terkulai lemas, ia berusaha ingin bangkit, tapi jatuh lagi. Ia kerahkan tenaganya untuk berdiri, baru mendapat separo bagian sudah jatuh lagi.
Dewa Racun segera melesat mendekatinya, ia berdiri di depan Tengkorak Terbang dan memandanginya dengan senyum sinis, senyum kemenangan. Tengkorak Terbang memandang dengan geram, karena ia tahu kelumpuhannya itu akibat racun yang berhasil dipukulkan ke tubuhnya oleh Dewa Racun.
"Apa yang kukatakan tadi bukan suatu gertakan semata, Tengkorak Terbang!" kata Dewa Racun. "Kau akan lumpuh dan mati dalam keadaan jantungmu menjadi sebesar biji salak!"
"Dewa Racun...." Tengkorak Terbang mengerang dalam geram kemarahan yang tak mampu berbuat banyak. Bahkan untuk mengangkat tangannya pun mulai terasa sakit di seluruh tulangnya.
"Buka mulutmu!" kata Dewa Racun memerintahkan hal itu.
Tengkorak Terbang tak mau buka mulut, ia bahkan menggeletukkan giginya menahan luapan amarah.
"Buka mulutmu dan kuberikan obat penawarnya!" bentak Dewa Racun. Tetapi Tengkorak Terbang masih menatap dengan mata buas dan menggeletukkan gigi menahan rasa sakit di sekujur tulangnya.
"Kau akan mati jika tak mau menelan obatpenawarku ini!"
Tengkorak Terbang mencabut anak panah yang menancap di dada algojo. Satu sentakan penuh kemarahan membuat anak panah lepas dari tubuh kekar itu. Tengkorak Terbang memperhatikan beberapa saat anak panah itu, kemudian dibawa mendekati Ratu Pekat dan ditunjukkan kepada sang Ratu sambil ia berkata, "Panah pendek!"
"Hmmm... ya! Aku tahu pemilik panah pendek ini! Kau tahu, Tengkorak Terbang?" tanya Ratu Pekat.
"Saya tahu, Nyai!"
"Lakukanlah tugasmu sebagai panglima!" Setelah berkata begitu, Ratu Pekat segera tinggalkan tempat. Cempaka Ungu mengiringinya dengan mata memandang liar ke arah sekeliling. Siaga untuk penyerangan mendadak. Sedangkan enam orang prajurit pengawalnya pun cepat mengambil sikap mengurung Ratu Pekat dengan memberikan jalan di bagian depannya. Dua prajurit ada di bagian depan, tujuh langkah dari Ratu Pekat.
Tengkorak Terbang layangkan pandangan matanya ke sekeliling alun-alun. Tiap wajah tersembunyi dipandanginya dengan seksama. Lalu, karena yang dicarinya tak terlihat, ia pun berteriak keras, "Dewa Racun...! Keluar kau dari persembunyianmu!"
Panah pendek itulah yang menjadi tanda bahwa senjata itu adalah milik Dewa Racun. Mereka mengenalinya, karena mereka pernah bentrok dengan orang-orang Pulau Serindu, termasuk Dewa Racun dan anak buah Dyah Sariningrum lainnya.
"Jangan sangka aku tidak mengenalimu, Kerdil! Keluar kau!"
Tiba-tiba meluncur anak panah dari depan Tengkorak Terbang. Zzlaaap...! Tangan kurus tanpa daging itu segera berkelebat cepat. Tabb...! Anak panah itu ditangkap tepat di depan matanya. Sebuah pohon berdaun rimbun segera menjadi sasaran Tengkorak Terbang, ia lepaskan pukulan jarak jauhnya dengan menghentakkan pangkal telapak tangannya. Wuuugh...! Tenaga dalam itu melesat tanpa sinar dan menghantam kerimbunan pohon.
Brusss...! Kraak...! Grusaaak...!
Dahan pohon terkena pukulan tenaga dalam dari jarak jauh. Dahan sebesar paha Singo Bodong itu patah dan tumbang ke bawah. Tetapi dari pohon itu tak terlihat gerakan manusia berpindah tempat. Mendadak dari arah samping kiri Tengkorak Terbang meluncur kembali sebatang anak panah dengan kecepatan tinggi, bagian ekor anak panah berhulu putih seperti tadi.
Zlappp...! Tebb...! Anak panah itu berhasil ditangkap kembali oleh Tengkorak Terbang. Terlambat sedikit mengenai lehernya. Segera anak panah itu dipatahkan dengan menggunakan satu tangan meremas. Trakk...! Kemudian dibuang dengan sentakkan menggeram.
Sebuah pohon rimbun kembali menjadi sasaran pukulan jarak jauh Tengkorak Terbang. Pukulan itu menghentak ke pohon sebelah kirinya dan terdengar suara grusak yang keras dan bunyi gedebuk yang sangat jelas. Tengkorak Terbang merasa pukulan jarak jauhnya mengenai sasaran. Lawan pasti jatuh dari atas pohon, ia menunggu sesaat. Tetapi sesosok bayangan putih yang ditunggunya itu justru muncul dari sebelah kanan. Suaranya terdengar jelas menyapa Tengkorak Terbang dengan kesan kalem.
"Aku di sini, Tengkorak Terbang!"
Cepat-cepat Tengkorak Terbang palingkan wajah. Mata cekungnya menatap sipit pada Dewa Racun yang bertubuh pendek kerdil, berpakaian dari bulu binatang berwarna putih, celana pendeknya pun berwarna putih bulu. Sementara di pinggangnya terselip dua pisau, dan di punggungnya tanpa tempat panah, tanpa busur panah juga.
"Kudengar kau memanggil namaku, Tengkorak Terbang!"
"Karena aku tahu kau memancing kemarahanku, Dewa Racun!"
"Kau salah duga, Tengkorak Terbang!"
"Tidak. Aku tidak salah duga!" sentak Tengkorak Terbang. "Aku kenal betul senjatamu itu, panah pendek! Sesuai dengan tubuhmu yang kerdil!"
"Justru aku keluar dari persembunyianku karena aku melihat ada orang menggunakan senjataku!"
"Omong kosongi Kau bersekongkol dengan anak buah Siluman Tujuh Nyawa itu!"
"Salah!" sahut Dewa Racun. "Kau tidak tahu bahwa aku telah kehilangan senjata saat perahuku pecah! Busur dan anak panahku hilang entah ke mana, juga kedua teman yang bersamaku hilang tak kutahu di mana. Hanya satu orang yang kutahu di mana letaknya!"
"Kau ingin cuci tangan dari persoalan ini, rupanya!"
"Terserah apa katamu, yang jelas"
Belum selesai Dewa Racun bicara, datang anak panah dari arah kiri Tengkorak Terbang. Zllappp! Kewaspadaan yang tinggi, kepekaan kulit yang tinggi, membuat Tengkorak Terbang berkelebat ke samping dengan tangan mengibas karena merasa adanya bahaya. Tebb...! Tangan itu cepat menangkap anak panah berbulu putih diekornya.
Cepat-cepat Tengkorak Terbang melayangkan pandangan matanya mengelilingi arah. Tapi tak ditemukan kecurigaan di mana-mana. Tempat meluncurnya anak panah yang baru saja ditangkapnya itu, adalah arah depan dari tempatnya berdiri tadi. Sekarang arah itu menjadi sebelah kirinya, karena Tengkorak Terbang berhadapan dengan Dewa Racun yang muncul dari arah kanannya tadi.
"Bukankah ini anak panahmu, Dewa Racun?!"
"Ya. Benar. Tapi apakah kau melihat aku memanahkannya?"
Tengkorak Terbang diam sambil menggeram. Anak panah itu diremas dan patah menjadi dua bagian. Trakk...! Lalu, dibuang lagi dengan gemas. Prukk...! "Jika bukan kau, lantas siapa yang menggunakannya?"
"Mana aku tahu?"
"Pasti temanmu yang berjuluk si Cakar Jatayu!"
"Cakar Jatayu tidak ikut dalam perjalananku, Tengkorak Terbang!" jawab Dewa Racun dengan lancar, karena semalaman ia menghabiskan banyak ikan bakar dan aroma ikan bakar masih ada di dalam mulutnya, sehingga bahasa gagapnya hilang, belum tumbuh lagi. Apabila aroma ikan bakar hilang dari mulutnya, ia akan bicara dengan gagap lagi, karena memang begitulah keanehan yang dimiliki Dewa Racun.
"Yang jelas, pemanahnya memihak dirimu, Dewa Racun!"
"Mungkin juga begitu. Mungkin ia hanya ingin membebaskan tawanan yang akan kau gantung itu, Tengkorak Terbang! Barangkali ia tahu, tawanan itu tidak punya dosa apa pun kepada orang-orang Istana Cambuk Biru, sehingga ia merasa perlu membebaskannya!"
"Persetan dengan kesimpulanmu! Yang kutahu,panah ini milikmu, dan kamulah yang harus bertanggung jawab!"
Ekor mata Dewa Racun sempat melihat bayangan jatuh dari pohon. Orang yang turun dari pohon itu ada di sebelah kanan Tengkorak Terbang. Jadi pada waktu pertama datangnya anak panah ke arah Tengkorak Terbang, orang itu ada di belakang Tengkorak Terbang. Tapi anehnya anak panah yang dilepaskan bisa berarah dari depan dan samping kiri Tengkorak Terbang.
Dewa Racun tahu, orang yang turun dan mengendap-endap pergi itu membawa busur dan beberapa anak panah miliknya. Dewa Racun tidak mengejarnya, karena ia tahu orang berbaju coklat dan bercelana putih itu tak lain adalah Suto Sinting, yang telah terpisah olehnya sejak perahu mereka pecah di lautan. Rupanya Pendekar Mabuk yang menemukan busur dan anak panah itu. Rupanya Pendekar Mabuk yang waktu itu ingin meraih tubuh Dewa Racun agar jangan terbawa ombak, tak berhasil dan hanya bisa meraih busur dan anak panah yang ada di punggung Dewa Racun.
Sebenarnya saat itu Dewa Racun telah menemukan dua temannya yang terpisah sejak badai lautan kemarin malam, ia ingin menemui kedua temannya itu, tapi suasananya tidak mengizinkan. Bahkan ekor matanya tadi juga melihat gerakan isyarat dari Suto agar dia tetap menghadapi Tengkorak Terbang, sementara Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke istana. Pasti Pendekar Mabuk akan membebaskan Singo Bodong, sebab nasib Singo Bodong ada dalam tanggung jawabnya.
Hanya saja, Dewa Racun merasa heran melihat gerakan panah Suto. Panah itu dilepaskan dari arah belakang Tengkorak Terbang, tapi bisa meluncur ke sasaran dari arah depan Tengkorak Terbang, atau dari arah kirinya. Berarti Pendekar Mabuk menggunakan cara pantulan, di mana panah dilepaskan ke depan, membentur salah satu dahan atau benda lainnya dan membalik dengan sama cepatnya ke arah lain. Sehingga. Tengkorak Terbang sempat terkecoh beberapa kali dengan melepaskan pukulan tenaga dalamnya ke arah depan, padahal lawan ada di belakangnya. Dewa Racun merasa tak mampu melakukan pemanahan seperti itu, dan dia tak sangka bahwa Pendekar Mabuk mempunyai cara sehebat itu.
Kepada Tengkorak Terbang, Dewa Racun berkata, "Kalau kau menuntut tanggung jawabku, karena panah itu milikku, lantas apa yang kau kehendaki dariku?"
"Kubawa kau menghadap kepada Ratu Pekat sebagai tawananku!"
"Itu tak mudah, Tengkorak Terbang," Dewa Racun tersenyum di balik wajah tuanya. "Kalau kau ingin jadikan aku tawananmu, berarti kau harus tundukkan aku lebih dulu!"
"Seberapa sulit menundukkan orang kerdil seperti kamu, ha?! Apakah kau tak sayang pada nyawamu kalau sampai melayang lenyap karena tangan kurusku ini?!"
"Yang kusayangkan kalau nyawamu sendiri yang minggat dari ragamu setelah mendapat satu jurus pukulan dariku, Tengkorak Terbang!"
"Kecil-kecil bermulut lebar kau, hah?!" geram Tengkorak Terbang. "Belum jera kau menderita pukulan 'Bayu Paksi'-ku?! Rasakan lagi kalau kau belum jera, hiiaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan kaki dan tubuhnya meluncur ke arah Dewa Racun bagaikan terbang. Jarak yang sepuluh langkah itu bisa dicapainya dengan cepat, dan pukulan 'Bayu Paksi' menghantam wajah Dewa Racun. Pukulan itu datang secara beruntun, bertubi-tubi dan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hampir tak bisa terlihat oleh mata orang biasa kecepatan pukulan beruntun itu.
Wuk wuk wuk...!
Tab tab tab tab tab...! Bleggh...!
Pukulan 'Bayu Paksi' bisa ditangkis oleh tangan Dewa Racun. Kalau dulu Dewa Racun terdesak menghadapi pukulan itu dan sempat terkena dua pukulan cepat itu, tapi sekarang semua pukulan dapat dilayani dengan kecepatan tangkisannya. Bahkan yang terakhir Dewan Racun sempat menyentakkan kedua telapak tangannya ke dada Tengkorak Terbang. Sentakkan kedua telapak tangan itu membuat Tengkorak Terbang terlempar ke belakang, dan jatuh berguling satukali.
"Bangsat kau!" geram Tengkorak Terbang.
"Kuharap jangan kau teruskan niatmu menjadikan aku tawananmu!" kata Dewa Racun yang sejak tadi hanya berdiri tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya, ia melanjutkan kata-katanya, "Kalau kau teruskan, kau akan mati. Jujur saja kukatakan padamu, bahwa sekujur tubuhmu telah penuh racun! Pukulanku yang mengenai dadamu menyebarkan racun berbahaya ke dalam jantung dan paru-parumu, Tengkorak Terbang. Sebentar lagi kau akan lumpuh! Dan tangkisan-tangkisanku tadi membuat racun Rengas Tulang akan membuat seluruh tulangmu menjadi keropos!"
"Persetan dengan bualanmu!" geram Tengkorak Terbang, ia segera sentakkan kedua tangannya ke depan dalam keadaan menggenggam semuanya. Kedua kakinya merentang lebar dan merendah. Sentakan itu cukup kuat, hingga menimbulkan gelombang pukulan tenaga dalam jarak jauh yang amat besar. Woouugh...!
Tapi Dewa Racun cepat sentakkan tangan kanannya ke kiri dengan badan sedikit merendah dan meliuk ke kiri. Telapak tangannya yang sedikit terbuka itu mengeluarkan gelombang hawa panas cukup besar.
Wuuuhg!
Gelombang hawa panas bukan hanya membentur pukulan tenaga dalam Tengkorak Terbang, melainkan juga menyingkirkan dari jalur arah yang menuju ke tubuh Dewa Racun.
Breeebeeehg...! Bouuhg...!
Kedua pukulan itu beradu dan sama-sama menghantam ke tanah samping. Tanah itu seketika menjadi cekung bagai ditumbuk oleh sebatang pohon sebesar gajah. Tengkorak Terbang terkesiap melihat tanah cekung tanpa menyemburkan percikan pasir sedikit pun. Jika bukan tenaga yang amat besar, tak mungkin membuat tanah cekung tanpa menyemburkan percikan pasirnya.
"Hiaaat...!" tiba-tiba Tengkorak Terbang meloncat ke depan dengan tubuh bagaikan terbang, kedua tangannya siap menerkam tubuh kecil Dewa Racun.
Srepp...! Tubuh Dewa Racun berhasil disergap dengan kedua tangan Tengkorak Terbang. Tapi pada saat itu juga tubuh kerdil itu melesat ke atas bagaikan belut licin, dan bersalto di udara dengan menggunakan kepala Tengkorak Terbang sebagai tempat kaki menjejak. Kepala itu tersentak ke depan, membuat Tengkorak Terbang terpaksa berguling di tanah berumput sebelum jatuh tersungkur.
Wuug, wuug...!
Jleeg...! Dewa Racun sudah mendaratkan kakinya dengan mantap, ia berdiri tanpa goyah sedikit pun. Matanya memandang tajam pada Tengkorak Terbang, tangannya menggenggam dalam keadaan tetap lurus ke bawah.
Tengkorak Terbang berdiri dengan satu kaki berlutut di tanah. Pandangan matanya mulai terasa berkunang-kunang. Kepala pun terasa mulai memberat. Dipakai menggeleng bagaikan kaku.
"Tengkorak Terbang, kuingatkan sekali lagi, jangan nekat mau menangkapku sebagai tawanan! Kau telah termakan oleh racun dari telapak kakiku tadi. Racun itu telah meresap masuk ke dalam otakmu dan sebentar lagi akan membuatmu tak mampu mengangkat kepala!"
Tengkorak Terbang tidak menjawab, ia tarik napasnya dalam-dalam. Terasa sakit dadanya untuk bernapas. Berat sekali tarikan napas itu hingga ia terpaksa busungkan dada. Kemudian ia mencoba berdiri dengan limbung.
"Percayalah dengan kata-kataku, Tengkorak Terbang! Racun akibat pukulanku itu telah bekerja menyempitkan jantungmu, juga mengecilkan paru-paru-mu! Sedangkan racun Rengas Tulang telah mulai menggerogoti tulang- belulangmu yang sebentar lagi akan membuatmu keropos! Hanya aku yang bisa menawarkan racun-racun itu, Cakradanu!"
"Kau memang jahanam!" Kedua tangan Tengkorak Terbang terangkat naik sampai di atas kepala, bentuk telapak tangannya merenggang kaku dan melengkung ke bawah. Kedua telapak tangan itu mulai berasap tipis bagai terbakar dari dalam.
Melihat hal itu, Dewa Racun cepat rentangkan kedua tangannya ke samping kanan kiri dengan lurus, kedua kakinya merapat. Telapak tangan Dewa Racun pun mengeluarkan asap kekuning-kuningan. Lalu, kedua kakinya yang rapat itu ditekuk ke depan bagian lututnya. Kedua tangan bergerak terlipat sikunya hingga kedua telapak tangan yang menghadap ke depan mendekati bagian dadanya.
"Kalau kau lepaskan pukulan 'Karang Iblis', aku juga akan melepaskan pukulan 'Halilintar'-ku!" ancam Dewa Racun.
"Baik! Kita adu pukulanmu dengan pukulanku, siapa yang unggul. Salah satu dari kita pasti mati, atau keduanya!"
"Aku tak keberatan!" balas Dewa Racun, siap sentakkan kedua telapak tangan yang sudah berasap kuning itu. Tetapi, tiba-tiba seorang prajurit bersenjatakan tombak berlari dan melompat ke pertengahan jarak antara Dewa Racun dengan Tengkorak Terbang.
"Tahan...! Tahan...!" serunya dengan panik. "Minggir kau, Pragulo!" teriak Tengkorak Terbang.
"Tahan, Tengkorak Terbang! Kau harus segera ke istana! Ratu memanggilmu. Ada bahaya besar di istana!" seru Pragulo.
Sesaat terpikir dalam otak Tengkorak Terbang jabatannya sebagai panglima baru. Segera kedua tangan yang siap melancarkan pukulan 'Karang Iblis' itu diturunkan. Tengkorak Terbang pejamkan mata sejenak untuk meredam ilmu yang sudah hampir terlepaskan tadi. Dan di sisi lain, Dewa Racun pun redamkan ilmu mautnya yang bernama 'Halilintar Racun Bumi'itu.
Tengkorak Terbang masih menyimpan dongkol dengan kemunculan Pragulo. Lalu, ia membentak, "Apa yang terjadi di istana, ha?!"
"Lihatlah sendiri! Sangat mengerikan!" jawab Pragulo.
"Aku harus cepat kembali, Tengkorak Terbang!" Setelah berkata begitu, Pragulo pun segera berlari kembali ke istana.
Sementara itu, Tengkorak Terbang palingkan pandang ke arah Dewa Racun dan berseru, "Setelah kuselesaikan urusanku di istana, kita lanjutkan pertarungan ini!"
"Aku siap menunggumu kapan saja, Tengkorak Terbang!" Tengkorak Terbang pun cepat-cepat sentakkan kakinya dan melesat bagaikan terbang. Namun dalam jarak antara sepuluh langkah ia jatuh ke tanah dan terkulai lemas, ia berusaha ingin bangkit, tapi jatuh lagi. Ia kerahkan tenaganya untuk berdiri, baru mendapat separo bagian sudah jatuh lagi.
Dewa Racun segera melesat mendekatinya, ia berdiri di depan Tengkorak Terbang dan memandanginya dengan senyum sinis, senyum kemenangan. Tengkorak Terbang memandang dengan geram, karena ia tahu kelumpuhannya itu akibat racun yang berhasil dipukulkan ke tubuhnya oleh Dewa Racun.
"Apa yang kukatakan tadi bukan suatu gertakan semata, Tengkorak Terbang!" kata Dewa Racun. "Kau akan lumpuh dan mati dalam keadaan jantungmu menjadi sebesar biji salak!"
"Dewa Racun...." Tengkorak Terbang mengerang dalam geram kemarahan yang tak mampu berbuat banyak. Bahkan untuk mengangkat tangannya pun mulai terasa sakit di seluruh tulangnya.
"Buka mulutmu!" kata Dewa Racun memerintahkan hal itu.
Tengkorak Terbang tak mau buka mulut, ia bahkan menggeletukkan giginya menahan luapan amarah.
"Buka mulutmu dan kuberikan obat penawarnya!" bentak Dewa Racun. Tetapi Tengkorak Terbang masih menatap dengan mata buas dan menggeletukkan gigi menahan rasa sakit di sekujur tulangnya.
"Kau akan mati jika tak mau menelan obatpenawarku ini!"
*
* *
LIMA
ISTANA Cambuk Biru dilanda bencana. Di sana-sini, darah membanjir, memercik pada dinding, dan mayat tergeletak tak berbentuk lagi wajahnya. Mayat para prajurit pada umumnya pecah di bagian kepalanya, seperti mendapat hantaman benda keras yang cukup besar. Bahkan para penjaga di serambi istana yang berjumlah lima orang itu, tergeletak semuanya bermandi darah tanpa nyawa lagi. Lantai marmer hitam digenangi darah mereka. Dinding bermarmer abu-abu pun terkena percikan darah mereka.
Dewa Racun melihat keadaan itu dari atas sebuah pohon, tak begitu jauh jaraknya dari benteng istana, ia terperangah dan lama tak bisa mengedipkan mata menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Hampir satu persatu dari mayat yang ada di depan istana dipandangi pakaiannya. Tak satu pun yang berpakaian mirip Suto, atau Singo Bodong. Dewa Racun sedikit lega. Berarti kedua temannya itu tidak menjadi korban. Tapi bagaimana jika mereka menjadi korban di dalam istana? Sebab di serambi samping dekat jendela pun terdapat dua mayat tergeletak bertumpuk. Sebagian kaki mereka ada di dalam. Itu menandakan di bagian dalam istana juga banyak mayat yang bermandi darah, pecah kepalanya.
Bulu kuduk Dewa Racun berdiri, ia yakin Tengkorak Terbang akan terpaku melihat pemandangan mengerikan itu. Sayang sekali Tengkorak Terbang belum siuman sejak Dewa Racun membuka paksa mulut orang itu dan memasukkan segelintir obat hitam mirip kotoran kambing. Obat itu adalah penawar racun. Sengaja Dewa Racun tidak membiarkan Tengkorak Terbang mati oleh racunnya, sebab banyak saksi mata yang melihat pertarungannya dengan Tengkorak Terbang.
Sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum telah berpesan berulang-ulang, agar anak buahnya jangan membuat perselisihan dengan orang-orang Pulau Beliung. Ada suatu siasat yang sudah diatur oleh Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi itu, yang membuat ia dan anak buahnya harus menghindari perselisihan dengan orang- orang Pulau Beliung.
Melihat pemandangan mengerikan di mana darah mengalir membanjir di dalam maupun di luar istana, Dewa Racun menjadi gelisah karena ia menemukan suatu dugaan. "Jangan-jangan Pendekar Mabuk yang melakukan pembantaian seperti ini? Celaka kalau dia yang melakukannya. Padahal dia calon suami Nyai Gusti, sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum sudah wanti-wanti untuk tidak bikin perkara dengan orang-orang Pulau Beliung. Hmmm... kulihat Suto tadi memberi isyarat untuk menyusup ke istana. Aku tahu, tujuannya adalah membebaskan Singo Bodong. Tapi haruskah dengan melakukan pembantaian seperti ini?"
Zlabbb...! Crabb!
Sebuah anak panah menancap pada batang pohon, tepat di depan hidung Dewa Racun. Hampir saja Dewa Racun terjengkang jatuh dari pohon karena kagetnya. Dan kini ia segera mencabut anak panah itu, yang ternyata adalah miliknya sendiri, ia cepat pandangkan matanya ke arah datangnya anak panah. Ternyata di salah satu pohon tak jauh darinya telah bertengger sesosok tubuh berpakaian coklat dan celana putih, berikat pinggang merah sebagai tali pengikat tempat anak panah. Tempat anak panah itu ada di dadanya, menyilang ke kiri. Sedangkan di punggungnya tersandang bambu bumbung tuak yang menyilang ke arah kanan.
"Haram jadah! Si Suto sudah berada di sana! Hmmm...! Sebaiknya aku segera mendekatinya!" pikir Dewa Racun kegirangan. Wuuut...! Dewa Racun melompat dari dahan ke dahan tanpa menimbulkan suara, dan kejap berikutnya dia sudah berada dekat Suto Sinting.
"Maaf, aku hanya bisa selamatkan busur dan anak panahmu waktu kita terlempar dari perahu!" Suto menyerahkan busur dan tempat anak panah kepada Dewa Racun.
"Iya. Tapi kau gunakan anak panahku dengan ugal-ugalan! Aku jarang lepaskan anak panah kalau tidak benar-benar dalam keadaan kepepet! Hmmm... yang berbulu putih tinggal dua?!"
"Aku tadi hanya ingin mengecohkan Tengkorak Terbang dan membuat nyalinya ciut sebentar."
"Kau juga yang memanah tali gantungan Singo Bodong?!"
"Ya. Tapi aku belum berhasil membawa keluar Singo Bodong dari dalam istana!"
"Untung tak kau gunakan anak panah berbulu merah ini!"
"Kenapa?
"Bisa meledak tali itu dan kepala Singo Bodong bisa hancur seperti kepala mayat-mayat berserakan itu!"
"Kebetulan saja yang kuambil selalu yang berbulu putih!" jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum, lalu diambilnya bumbung tuak dan menenggak tuaknya beberapa teguk.
"Suto, apakah bukan kau yang melakukan pembantaian itu?"
"Bukan!" jawab Suto tegas. "Aku datang dalam keadaan mayat sudah bergelimpangan di sana-sini. Aku sendiri heran melihatnya."
"Hmmm...," Dewa Racun manggut-manggut setelah ia menyandang tempat anak panah dan busurnya di punggung. Lalu, ia berkata seperti orang menggumam, "Jika bukan kau, bukan aku, lantas siapa yang melakukan pembantaian sebegitu kejinya? Apakah Singo Bodong?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi. Mungkinkah Singo Bodong memberontak dengan kekuatan Dadung Amuk?!"
"Aku tak berani memberi jawaban. Makin lama keberadaan Singo Bodong makin membuatku pusing memikirkannya."
Pendekar Mabuk menenggak lagi tuaknya beberapa kali, lalu ia ajukan tanya, "Siapa sebenarnya mereka-mereka itu, Dewa Racun? Aku tak sempat tahu persoalannya. Yang kutahu, Singo Bodong telah berada di tiang gantungan. Lalu aku segera membebaskannya dari maut!"
"Singo Bodong mereka sangka Dadung Amuk. Menurut percakapan yang kusadap, ternyata Dadung Amuk pernah membuat kerusuhan di Pulau Beliung ini dalam upayanya mencari Kitab Wedar Kesuma...," Dewa Racun berhenti sejenak, alihkan percakapan, "Hei, bagaimana dengan kitab itu, apa masih ada padamu?"
"Ada di punggungku, di balik pakaianku!"
"Syukurlah! Aku khawatir kitab itu hanyut. Hmmm. Apakah kitab itu basah?"
"Kelihatannya kitab ini terbuat dari kulit yang anti basah. Seperti dilapisi lilin setiap permukaannya. Aku sudah memeriksanya begitu aku terdampar di pantai, kemarin malam."
"Bagus. Aku ikut senang mendengarnya."
"Lalu, soal Pulau Beliung dan ratunya itu bagaimana?"
"Hmmm... begini! Tengkorak Terbang menemukan Singo Bodong terdampar di pantai, lalu dibawa menghadap kepada Ratu Pekat"
"Itu sudah kupahami. Yang belum kupahami, siapa Ratu Pekat itu?"
"Ratu Pekat adalah tokoh tua yang menguasai Pulau Beliung ini. Dulu dia anak seorang tokoh sakti yang bergelar Iblis Pulau Bangkai! Tentunya kau kenal nama itu."
"Ya. Dia lawan dari bibi guruku, si Bidadari Jalang. Tapi dia sudah dibunuh oleh Bibi Guru. Iblis Pulau Bangkai juga mempunyai murid yang bernama Nagadipa, tempo hari bertemu denganku hendak menuntut balas." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan di Bukit Jagal).
"Ya. Benar. Tetapi, Iblis Pulau Bangkai lebih sayang kepada murid lelakinya itu, sehingga Ratu Pekat minggat dari Pulau Bangkai dan mengasingkan diri di sini! Tapi ia mencuri satu dari dua kitab milik ibunya. Di sinilah akhirnya ia berkuasa sebagai ratu penguasa Pulau Beliung."
"Tapi, kulihat tadi sepertinya Tengkorak Terbang sudah mengenal namamu. Apakah ada hubungan antara orang-orang Pulau Beliung ini dengan orang-orang Pulau Serindu?"
"Hubungan yang terjalin adalah permusuhan."
"Oh...?!" Pendekar Mabuk terkejut sedikit. "Permusuhan bagaimana maksudmu?"
"Ratu Pekat ingin merebut Pulau Serindu. Mereka pernah menyerang ke sana. Kami hampir terdesak mundur. Tapi, Siluman Tujuh Nyawa muncul dan memihak kami. Ratu Pekat terusir pulang ke kandangnya. Sejak itu, mereka tak berani menyerang Pulau Serindu, karena merasa tak mungkin bisa berhasil selama Siluman Tujuh Nyawa berada di pihak kami. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa memanfaatkan pertarungan kami untuk mencari jasa dan unjuk kesaktian di depan nyai gustiku. Dengan begitu, nyai gustiku berhutang jasa pada Siluman Tujuh Nyawa. Tapi Nyai Gusti tidak pernah mau peduli tentang pembelaan Siluman Tujuh Nyawa itu. Karenanya, kami dilarang bikin persoalan dengan orang-orang Pulau Beliung ini, supaya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa tidak menanam jasa lagi pada kami."
"Hmmm... begitu!" Suto manggut-manggut, lalu mengambil bumbungnya dan menenggak tuaknya lagi.
Pada saat itu, terlihat oleh mereka kedatangan Tengkorak Terbang yang segera memandang keadaan sekeliling dengan tegang. Mata cekungnya terbuka lebar, napasnya naik turun bagai ingin meledak dari dadanya. Tengkorak Terbang telah pulih dan terhindar dari racun maut yang nyaris mematikannya itu.
"Itu orang yang kau lawan tadi," kata Pendekar Mabuk.
"Ya. Kuharap kau diamlah dulu. Aku akan menyadap percakapan Tengkorak Terbang dengan Pragulo."
Suto diam, memandang pertemuan Tengkorak Terbang dengan orang yang disebut Pragulo itu. Sementara Dewa Racun tempelkan kedua jari telunjuknya di pelipis kanan kiri, lalu matanya tetap memandang kedua orang yang berbicara di depan serambi istana.
"Mengapa bisa sampai begini, Pragulo?! Siapa yang melakukannya, hah?! Siapa?!"
"Aku tak melihat siapa orangnya! Tapi menurut pengakuan Damar Jati sebelum ia menghembuskan napas terakhir, seseorang telah melesat lewat di dekatnya, tangan orang itu bergerak ke mana-mana sambil melompat dengan cepat. Lalu, tiba-tiba beberapa orang jatuh dengan kepala mengucurkan darah. Damar Jati segera menutup hidung karena mencium bau hangus. Tapi sekujur kepalanya terasa panas, ia bertahan memburu orang itu, tapi tak berhasil. Orang itu telah membawa lari Cempaka Ungu, dan sekarang sedang dikejar oleh Ratu Pekat bersama si Mata Elang."
"Tawanan kita bagaimana?"
"Dia sudah dimasukkan dalam ruang bawah tanah oleh si Mata Elang. Sekarang masih ada."
"Kau sendiri ada di mana waktu kejadian ini, hah?!"
"Aku... aku... aku sedang buang hajat di belakang kamar mandi! Waktu aku datang kemari, keadaan sudah menjadi seperti ini. Dan, aku mendapat cerita itu dari Damar Jati, yang segera menghembuskan napas terakhirnya."
"Edan semua!" geram Tengkorak Terbang. "Orang satu istana dibantai habis! Setan mana yang bikin perkara ini?!"
"Seb... sebaiknya, susul saja Ratu Pekat bersama si Mata Elang. Dia lari ke arah barat!"
"Dia siapa?!" bentak Tengkorak Terbang.
"Orang yang mencuri Cempaka Ungu itu!" jawab Pragulo dengan tegangnya. Dan tiba-tiba tangan Tengkorak Terbang melayang cepat menamparnya.
Plokk...!
Dewa Racun segera menceritakan percakapan yang disadapnya kepada Suto. Kemudian ia menambahkan kata, "Orang berkelebat sambil menggerak-gerakkan tangan dan menimbulkan bau hangus, itu pertanda orang tersebut menebarkan racun yang amat ganas. Bila dihirup oleh seseorang, racun itu terbawa melalui napas dan membuat hancur pembuluh darahnya khusus di bagian kepala. Karena itu mayat-mayat tersebut pecah kepalanya, bahkan ada yang sampai tak berbentuk lagi wujudnya. Sedangkan bagian tubuh mereka tampak masih utuh."
"Hmmm...! Ya, aku paham cara kerjanya. Tapi, menurutmu siapa tokoh penebar racun yang begitu keji itu?"
"Setahuku, racun itu adalah racun Angin Jantan."
"Nama yang cukup aneh," gumam Suto. Ia meneguk tuaknya kembali.
"Hanya ada tiga orang yang memiliki racun Angin Jantan, yaitu orang yang berjuluk si Darah Beku."
"Siapa itu Darah Beku?"
"Tokoh sakti di ujung tanah Tiongkok, kemudian yang kedua adalah orang yang berjuluk Gagak Neraka."
"Siapa itu Gagak Neraka?" potong Pendekar Mabuk.
"Pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Dan yang ketiga...," Dewa Racun berhenti sejenak, menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di pelataran Istana Cambuk Biru itu. Melihat berhentinya kata-kata Dewa Racun, Suto segera mendesak dengan berbisik,
"Siapa yang ketiga?"
"Aku sendiri!' jawab Dewa Racun dengan tanpa memandang Suto.
"Kau memiliki ilmu racun Angin Jantan...?!"
"Ya. Tapi bukan aku pelaku pembantaian berdarah itu!"
"Jadi menurutmu siapa? Siapa pula yang menculik Cempaka Ungu?"
"Tak mungkin orang itu adalah Darah Beku, sebab dia tidak punya urusan dengan orang-orang Pulau Beliung dan orang-orang Pulau Serindu."
"Jadi menurutmu, orang yang mencuri anak Ratu Pekat itu adalah Gagak Neraka?"
"Ya. Aku menduga dialah pelakunya."
"Mengapa hal itu ia lakukan?"
"Entah. Tapi bisa jadi karena ia cinta kepada Cempaka Ungu!"
"Cinta?!" Suto Sinting tertawa pendek dan pelan. "Bosan aku mendengar orang bercinta! Karena cintaku sendiri belum tiba pada tujuannya."
"Itu hanya kemungkinan yang ada padaku, Suto. Tapi untuk lebih jelasnya, kita susul saja mereka ke arah barat!"
Tiga teguk tuak ditelannya lebih dulu, setelah itu Pendekar Mabuk melesat pergi mengikuti Dewa Racun. Tujuannya untuk membebaskan Singo Bodong menjadi tertunda, karena rasa penasaran ingin mengetahui siapa pelaku pembantaian berdarah di Istana Cambuk Biru itu, dan apa tujuan orang tersebut.
Di bagian barat pulau itu, terdapat sebuah bukit karang tanpa tanaman sedikit pun kecuali lumut pada tebingnya. Bukit karang itu mempunyai bebatuan karang yang bertonjolan di sana-sini, seperti patok-patok makam raksasa. Di atas bukit karang itulah Ratu Pekat dan si Mata Elang mengejar orang yang mencuri Cempaka Ungu. Pada saat itu, Cempaka Ungu terkulai tak jauh dari kaki seorang berpakaian abu-abu muda, agak keputih-putihan, ia mengenakan sabuk hitam besar dengan hiasan kepala burung gagak di perutnya.
Tubuhnya agak besar, tapi masih kalah besar dengan Singo Bodong. Di kedua pinggangnya terselip piringan logam baja yang tipis separo lingkaran. Bagian yang lurus dari piringan itu berbentuk rata, tapi punya lubang besar untuk memasukkan keempat jarinya, sedangkan bagian yang lengkung bergerigi tajam. Piringan itu menyerupai kipas yang terbuat dari baja. Besar ukurannya sebesar kipas biasa. Warnanya putih mengkilap.
Orang itulah yang berjuluk Gagak Neraka. Rambutnya panjang berwarna hitam kelam sebatas punggung. Diikat dengan ikat kepala dari kulit buaya berwarna abu-abu juga. Usianya antara empat puluh tahun, sehingga masih tampak tegar dan tegap. Kedua pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit dari kulit buaya.
Rupanya ia telah menotok jalan darah Cempaka Ungu, sehingga gadis itu tak bisa berkutik sedikit pun. Hanya matanya yang berkedip-kedip dengan keadaan tubuh terbaring lunglai.
Si Mata Elang tetap berdiri di samping Ratu Pekat yang segera bicara kepada Gagak Neraka. "Apa maksudmu menyerang kami?! Jangan bikin persoalan dengan kami kalau kau ingin pulang tetap membawa nyawamu!"
"Ratu Pekat! Kau yang bikin persoalan lebih dulu, sehingga aku terpaksa bertindak. Putrimu yang tinggal satu ini yang akan menjadi penebus kesalahanmu, Ratu Pekat!" kata Gagak Neraka dengan suara besar. Wajahnya yang lonjong menampakkan kesan bengis dan tak kenal ampun.
"Apa kesalahanku, Gagak Neraka?! Bukankah kau yang bikin gara-gara dengan membantai habis anak buahku dan menculik putriku, si Cempaka Ungu?!"
"Karena kau menawan orangku, maka aku bikin ulah seperti itu!" sentak Gagak Neraka dengan mata tajam.
"Oh, jadi kau menghendaki Dadung Amuk yang menjadi tawananku itu, Gagak Neraka?!"
"Ya! Lepaskan dia nanti kulepaskan putrimu ini!"
"Manusia licik dan pengecut!" sentak si Mata Elang tiba-tiba.
"Tutup mulutmu, Mata Elang!" Gagak Neraka menuding, dan tiba-tiba melesat sinar merah dari ujung telunjuknya. Zuuut...! Sinar itu melesat cepat menuju ke tubuh si Mata Elang.
Tapi dengan cepat, bola mata si Mata Elang itu menjadi merah membara, lalu sebuah sinar merah pula melesat dari kedua matanya. Zlasss...!
Crub, bummm...!
Kedua sinar merah itu beradu di udara, dan menimbulkan ledakan yang tidak kecil. Gagak Neraka sempat terguncang tubuhnya demikian pula si Mata Elang. Tapi keduanya tetap sama-sama berdiri di tempat masing-masing dalam jarak delapan langkah.
Ratu Pekat serukan kata lagi, "Ketahuilah, Gagak Neraka...! Temanmu Dadung Amuk telah banyak menimbulkan korban di tempatku, gara-gara mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Sepantasnya kalau dia kutangkap dan kujatuhi hukuman gantung! Berarti dari pihakmu dulu yang membuat keonaran di pulauku ini, Gagak Neraka!" "Kalau kau menyerahkan kitab itu, maka kami tak akan bikin keonaran apa pun!" debat Gagak Neraka dengan senyum sinisnya.
"Kau salah alamat! Bukan di sini tempatnya mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Kau telah berbuat ngawur, Gagak Neraka! Itu menunjukkan kebodohan dari pihakmu!"
"Terserah apa katamu, Ratu Pekat! Yang jelas, anakmu ini akan kujadikan pemuas gairah teman-teman kapalku, jika Dadung Amuk tidak kau serahkan padaku!"
"Manusia haraaam....'" geram Ratu Pekat dengan tangan menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai memancarkan murka yang hampir tak tertahan lagi.
"Serahkan Dadung Amuk itu kepadaku, atau kubawa pergi putrimu ini!" ulang Gagak Neraka dalam ancamannya. "Bila kau serang aku, akan kuhantamkan pukulan mautku ke kepala anakmu. Pasti pecah, Ratu Pekat! Ha ha ha ha...!"
Si Mata Elang ingin menyerang, tapi ditahan oleh Ratu Pekat demi keselamatan Cempaka Ungu. Bahkan kedatangan Tengkorak Terbang pun segera dihadang oleh Ratu Pekat agar tidak turun tangan secara gegabah.
Tetapi Tengkorak Terbang menggeram dan berkata, "Saya mampu membunuhnya, Ratu! Biarkan saya menyerangnya!"
Dewa Racun melihat keadaan itu dari atas sebuah pohon, tak begitu jauh jaraknya dari benteng istana, ia terperangah dan lama tak bisa mengedipkan mata menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Hampir satu persatu dari mayat yang ada di depan istana dipandangi pakaiannya. Tak satu pun yang berpakaian mirip Suto, atau Singo Bodong. Dewa Racun sedikit lega. Berarti kedua temannya itu tidak menjadi korban. Tapi bagaimana jika mereka menjadi korban di dalam istana? Sebab di serambi samping dekat jendela pun terdapat dua mayat tergeletak bertumpuk. Sebagian kaki mereka ada di dalam. Itu menandakan di bagian dalam istana juga banyak mayat yang bermandi darah, pecah kepalanya.
Bulu kuduk Dewa Racun berdiri, ia yakin Tengkorak Terbang akan terpaku melihat pemandangan mengerikan itu. Sayang sekali Tengkorak Terbang belum siuman sejak Dewa Racun membuka paksa mulut orang itu dan memasukkan segelintir obat hitam mirip kotoran kambing. Obat itu adalah penawar racun. Sengaja Dewa Racun tidak membiarkan Tengkorak Terbang mati oleh racunnya, sebab banyak saksi mata yang melihat pertarungannya dengan Tengkorak Terbang.
Sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum telah berpesan berulang-ulang, agar anak buahnya jangan membuat perselisihan dengan orang-orang Pulau Beliung. Ada suatu siasat yang sudah diatur oleh Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi itu, yang membuat ia dan anak buahnya harus menghindari perselisihan dengan orang- orang Pulau Beliung.
Melihat pemandangan mengerikan di mana darah mengalir membanjir di dalam maupun di luar istana, Dewa Racun menjadi gelisah karena ia menemukan suatu dugaan. "Jangan-jangan Pendekar Mabuk yang melakukan pembantaian seperti ini? Celaka kalau dia yang melakukannya. Padahal dia calon suami Nyai Gusti, sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum sudah wanti-wanti untuk tidak bikin perkara dengan orang-orang Pulau Beliung. Hmmm... kulihat Suto tadi memberi isyarat untuk menyusup ke istana. Aku tahu, tujuannya adalah membebaskan Singo Bodong. Tapi haruskah dengan melakukan pembantaian seperti ini?"
Zlabbb...! Crabb!
Sebuah anak panah menancap pada batang pohon, tepat di depan hidung Dewa Racun. Hampir saja Dewa Racun terjengkang jatuh dari pohon karena kagetnya. Dan kini ia segera mencabut anak panah itu, yang ternyata adalah miliknya sendiri, ia cepat pandangkan matanya ke arah datangnya anak panah. Ternyata di salah satu pohon tak jauh darinya telah bertengger sesosok tubuh berpakaian coklat dan celana putih, berikat pinggang merah sebagai tali pengikat tempat anak panah. Tempat anak panah itu ada di dadanya, menyilang ke kiri. Sedangkan di punggungnya tersandang bambu bumbung tuak yang menyilang ke arah kanan.
"Haram jadah! Si Suto sudah berada di sana! Hmmm...! Sebaiknya aku segera mendekatinya!" pikir Dewa Racun kegirangan. Wuuut...! Dewa Racun melompat dari dahan ke dahan tanpa menimbulkan suara, dan kejap berikutnya dia sudah berada dekat Suto Sinting.
"Maaf, aku hanya bisa selamatkan busur dan anak panahmu waktu kita terlempar dari perahu!" Suto menyerahkan busur dan tempat anak panah kepada Dewa Racun.
"Iya. Tapi kau gunakan anak panahku dengan ugal-ugalan! Aku jarang lepaskan anak panah kalau tidak benar-benar dalam keadaan kepepet! Hmmm... yang berbulu putih tinggal dua?!"
"Aku tadi hanya ingin mengecohkan Tengkorak Terbang dan membuat nyalinya ciut sebentar."
"Kau juga yang memanah tali gantungan Singo Bodong?!"
"Ya. Tapi aku belum berhasil membawa keluar Singo Bodong dari dalam istana!"
"Untung tak kau gunakan anak panah berbulu merah ini!"
"Kenapa?
"Bisa meledak tali itu dan kepala Singo Bodong bisa hancur seperti kepala mayat-mayat berserakan itu!"
"Kebetulan saja yang kuambil selalu yang berbulu putih!" jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum, lalu diambilnya bumbung tuak dan menenggak tuaknya beberapa teguk.
"Suto, apakah bukan kau yang melakukan pembantaian itu?"
"Bukan!" jawab Suto tegas. "Aku datang dalam keadaan mayat sudah bergelimpangan di sana-sini. Aku sendiri heran melihatnya."
"Hmmm...," Dewa Racun manggut-manggut setelah ia menyandang tempat anak panah dan busurnya di punggung. Lalu, ia berkata seperti orang menggumam, "Jika bukan kau, bukan aku, lantas siapa yang melakukan pembantaian sebegitu kejinya? Apakah Singo Bodong?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi. Mungkinkah Singo Bodong memberontak dengan kekuatan Dadung Amuk?!"
"Aku tak berani memberi jawaban. Makin lama keberadaan Singo Bodong makin membuatku pusing memikirkannya."
Pendekar Mabuk menenggak lagi tuaknya beberapa kali, lalu ia ajukan tanya, "Siapa sebenarnya mereka-mereka itu, Dewa Racun? Aku tak sempat tahu persoalannya. Yang kutahu, Singo Bodong telah berada di tiang gantungan. Lalu aku segera membebaskannya dari maut!"
"Singo Bodong mereka sangka Dadung Amuk. Menurut percakapan yang kusadap, ternyata Dadung Amuk pernah membuat kerusuhan di Pulau Beliung ini dalam upayanya mencari Kitab Wedar Kesuma...," Dewa Racun berhenti sejenak, alihkan percakapan, "Hei, bagaimana dengan kitab itu, apa masih ada padamu?"
"Ada di punggungku, di balik pakaianku!"
"Syukurlah! Aku khawatir kitab itu hanyut. Hmmm. Apakah kitab itu basah?"
"Kelihatannya kitab ini terbuat dari kulit yang anti basah. Seperti dilapisi lilin setiap permukaannya. Aku sudah memeriksanya begitu aku terdampar di pantai, kemarin malam."
"Bagus. Aku ikut senang mendengarnya."
"Lalu, soal Pulau Beliung dan ratunya itu bagaimana?"
"Hmmm... begini! Tengkorak Terbang menemukan Singo Bodong terdampar di pantai, lalu dibawa menghadap kepada Ratu Pekat"
"Itu sudah kupahami. Yang belum kupahami, siapa Ratu Pekat itu?"
"Ratu Pekat adalah tokoh tua yang menguasai Pulau Beliung ini. Dulu dia anak seorang tokoh sakti yang bergelar Iblis Pulau Bangkai! Tentunya kau kenal nama itu."
"Ya. Dia lawan dari bibi guruku, si Bidadari Jalang. Tapi dia sudah dibunuh oleh Bibi Guru. Iblis Pulau Bangkai juga mempunyai murid yang bernama Nagadipa, tempo hari bertemu denganku hendak menuntut balas." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan di Bukit Jagal).
"Ya. Benar. Tetapi, Iblis Pulau Bangkai lebih sayang kepada murid lelakinya itu, sehingga Ratu Pekat minggat dari Pulau Bangkai dan mengasingkan diri di sini! Tapi ia mencuri satu dari dua kitab milik ibunya. Di sinilah akhirnya ia berkuasa sebagai ratu penguasa Pulau Beliung."
"Tapi, kulihat tadi sepertinya Tengkorak Terbang sudah mengenal namamu. Apakah ada hubungan antara orang-orang Pulau Beliung ini dengan orang-orang Pulau Serindu?"
"Hubungan yang terjalin adalah permusuhan."
"Oh...?!" Pendekar Mabuk terkejut sedikit. "Permusuhan bagaimana maksudmu?"
"Ratu Pekat ingin merebut Pulau Serindu. Mereka pernah menyerang ke sana. Kami hampir terdesak mundur. Tapi, Siluman Tujuh Nyawa muncul dan memihak kami. Ratu Pekat terusir pulang ke kandangnya. Sejak itu, mereka tak berani menyerang Pulau Serindu, karena merasa tak mungkin bisa berhasil selama Siluman Tujuh Nyawa berada di pihak kami. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa memanfaatkan pertarungan kami untuk mencari jasa dan unjuk kesaktian di depan nyai gustiku. Dengan begitu, nyai gustiku berhutang jasa pada Siluman Tujuh Nyawa. Tapi Nyai Gusti tidak pernah mau peduli tentang pembelaan Siluman Tujuh Nyawa itu. Karenanya, kami dilarang bikin persoalan dengan orang-orang Pulau Beliung ini, supaya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa tidak menanam jasa lagi pada kami."
"Hmmm... begitu!" Suto manggut-manggut, lalu mengambil bumbungnya dan menenggak tuaknya lagi.
Pada saat itu, terlihat oleh mereka kedatangan Tengkorak Terbang yang segera memandang keadaan sekeliling dengan tegang. Mata cekungnya terbuka lebar, napasnya naik turun bagai ingin meledak dari dadanya. Tengkorak Terbang telah pulih dan terhindar dari racun maut yang nyaris mematikannya itu.
"Itu orang yang kau lawan tadi," kata Pendekar Mabuk.
"Ya. Kuharap kau diamlah dulu. Aku akan menyadap percakapan Tengkorak Terbang dengan Pragulo."
Suto diam, memandang pertemuan Tengkorak Terbang dengan orang yang disebut Pragulo itu. Sementara Dewa Racun tempelkan kedua jari telunjuknya di pelipis kanan kiri, lalu matanya tetap memandang kedua orang yang berbicara di depan serambi istana.
"Mengapa bisa sampai begini, Pragulo?! Siapa yang melakukannya, hah?! Siapa?!"
"Aku tak melihat siapa orangnya! Tapi menurut pengakuan Damar Jati sebelum ia menghembuskan napas terakhir, seseorang telah melesat lewat di dekatnya, tangan orang itu bergerak ke mana-mana sambil melompat dengan cepat. Lalu, tiba-tiba beberapa orang jatuh dengan kepala mengucurkan darah. Damar Jati segera menutup hidung karena mencium bau hangus. Tapi sekujur kepalanya terasa panas, ia bertahan memburu orang itu, tapi tak berhasil. Orang itu telah membawa lari Cempaka Ungu, dan sekarang sedang dikejar oleh Ratu Pekat bersama si Mata Elang."
"Tawanan kita bagaimana?"
"Dia sudah dimasukkan dalam ruang bawah tanah oleh si Mata Elang. Sekarang masih ada."
"Kau sendiri ada di mana waktu kejadian ini, hah?!"
"Aku... aku... aku sedang buang hajat di belakang kamar mandi! Waktu aku datang kemari, keadaan sudah menjadi seperti ini. Dan, aku mendapat cerita itu dari Damar Jati, yang segera menghembuskan napas terakhirnya."
"Edan semua!" geram Tengkorak Terbang. "Orang satu istana dibantai habis! Setan mana yang bikin perkara ini?!"
"Seb... sebaiknya, susul saja Ratu Pekat bersama si Mata Elang. Dia lari ke arah barat!"
"Dia siapa?!" bentak Tengkorak Terbang.
"Orang yang mencuri Cempaka Ungu itu!" jawab Pragulo dengan tegangnya. Dan tiba-tiba tangan Tengkorak Terbang melayang cepat menamparnya.
Plokk...!
Dewa Racun segera menceritakan percakapan yang disadapnya kepada Suto. Kemudian ia menambahkan kata, "Orang berkelebat sambil menggerak-gerakkan tangan dan menimbulkan bau hangus, itu pertanda orang tersebut menebarkan racun yang amat ganas. Bila dihirup oleh seseorang, racun itu terbawa melalui napas dan membuat hancur pembuluh darahnya khusus di bagian kepala. Karena itu mayat-mayat tersebut pecah kepalanya, bahkan ada yang sampai tak berbentuk lagi wujudnya. Sedangkan bagian tubuh mereka tampak masih utuh."
"Hmmm...! Ya, aku paham cara kerjanya. Tapi, menurutmu siapa tokoh penebar racun yang begitu keji itu?"
"Setahuku, racun itu adalah racun Angin Jantan."
"Nama yang cukup aneh," gumam Suto. Ia meneguk tuaknya kembali.
"Hanya ada tiga orang yang memiliki racun Angin Jantan, yaitu orang yang berjuluk si Darah Beku."
"Siapa itu Darah Beku?"
"Tokoh sakti di ujung tanah Tiongkok, kemudian yang kedua adalah orang yang berjuluk Gagak Neraka."
"Siapa itu Gagak Neraka?" potong Pendekar Mabuk.
"Pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Dan yang ketiga...," Dewa Racun berhenti sejenak, menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di pelataran Istana Cambuk Biru itu. Melihat berhentinya kata-kata Dewa Racun, Suto segera mendesak dengan berbisik,
"Siapa yang ketiga?"
"Aku sendiri!' jawab Dewa Racun dengan tanpa memandang Suto.
"Kau memiliki ilmu racun Angin Jantan...?!"
"Ya. Tapi bukan aku pelaku pembantaian berdarah itu!"
"Jadi menurutmu siapa? Siapa pula yang menculik Cempaka Ungu?"
"Tak mungkin orang itu adalah Darah Beku, sebab dia tidak punya urusan dengan orang-orang Pulau Beliung dan orang-orang Pulau Serindu."
"Jadi menurutmu, orang yang mencuri anak Ratu Pekat itu adalah Gagak Neraka?"
"Ya. Aku menduga dialah pelakunya."
"Mengapa hal itu ia lakukan?"
"Entah. Tapi bisa jadi karena ia cinta kepada Cempaka Ungu!"
"Cinta?!" Suto Sinting tertawa pendek dan pelan. "Bosan aku mendengar orang bercinta! Karena cintaku sendiri belum tiba pada tujuannya."
"Itu hanya kemungkinan yang ada padaku, Suto. Tapi untuk lebih jelasnya, kita susul saja mereka ke arah barat!"
Tiga teguk tuak ditelannya lebih dulu, setelah itu Pendekar Mabuk melesat pergi mengikuti Dewa Racun. Tujuannya untuk membebaskan Singo Bodong menjadi tertunda, karena rasa penasaran ingin mengetahui siapa pelaku pembantaian berdarah di Istana Cambuk Biru itu, dan apa tujuan orang tersebut.
Di bagian barat pulau itu, terdapat sebuah bukit karang tanpa tanaman sedikit pun kecuali lumut pada tebingnya. Bukit karang itu mempunyai bebatuan karang yang bertonjolan di sana-sini, seperti patok-patok makam raksasa. Di atas bukit karang itulah Ratu Pekat dan si Mata Elang mengejar orang yang mencuri Cempaka Ungu. Pada saat itu, Cempaka Ungu terkulai tak jauh dari kaki seorang berpakaian abu-abu muda, agak keputih-putihan, ia mengenakan sabuk hitam besar dengan hiasan kepala burung gagak di perutnya.
Tubuhnya agak besar, tapi masih kalah besar dengan Singo Bodong. Di kedua pinggangnya terselip piringan logam baja yang tipis separo lingkaran. Bagian yang lurus dari piringan itu berbentuk rata, tapi punya lubang besar untuk memasukkan keempat jarinya, sedangkan bagian yang lengkung bergerigi tajam. Piringan itu menyerupai kipas yang terbuat dari baja. Besar ukurannya sebesar kipas biasa. Warnanya putih mengkilap.
Orang itulah yang berjuluk Gagak Neraka. Rambutnya panjang berwarna hitam kelam sebatas punggung. Diikat dengan ikat kepala dari kulit buaya berwarna abu-abu juga. Usianya antara empat puluh tahun, sehingga masih tampak tegar dan tegap. Kedua pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit dari kulit buaya.
Rupanya ia telah menotok jalan darah Cempaka Ungu, sehingga gadis itu tak bisa berkutik sedikit pun. Hanya matanya yang berkedip-kedip dengan keadaan tubuh terbaring lunglai.
Si Mata Elang tetap berdiri di samping Ratu Pekat yang segera bicara kepada Gagak Neraka. "Apa maksudmu menyerang kami?! Jangan bikin persoalan dengan kami kalau kau ingin pulang tetap membawa nyawamu!"
"Ratu Pekat! Kau yang bikin persoalan lebih dulu, sehingga aku terpaksa bertindak. Putrimu yang tinggal satu ini yang akan menjadi penebus kesalahanmu, Ratu Pekat!" kata Gagak Neraka dengan suara besar. Wajahnya yang lonjong menampakkan kesan bengis dan tak kenal ampun.
"Apa kesalahanku, Gagak Neraka?! Bukankah kau yang bikin gara-gara dengan membantai habis anak buahku dan menculik putriku, si Cempaka Ungu?!"
"Karena kau menawan orangku, maka aku bikin ulah seperti itu!" sentak Gagak Neraka dengan mata tajam.
"Oh, jadi kau menghendaki Dadung Amuk yang menjadi tawananku itu, Gagak Neraka?!"
"Ya! Lepaskan dia nanti kulepaskan putrimu ini!"
"Manusia licik dan pengecut!" sentak si Mata Elang tiba-tiba.
"Tutup mulutmu, Mata Elang!" Gagak Neraka menuding, dan tiba-tiba melesat sinar merah dari ujung telunjuknya. Zuuut...! Sinar itu melesat cepat menuju ke tubuh si Mata Elang.
Tapi dengan cepat, bola mata si Mata Elang itu menjadi merah membara, lalu sebuah sinar merah pula melesat dari kedua matanya. Zlasss...!
Crub, bummm...!
Kedua sinar merah itu beradu di udara, dan menimbulkan ledakan yang tidak kecil. Gagak Neraka sempat terguncang tubuhnya demikian pula si Mata Elang. Tapi keduanya tetap sama-sama berdiri di tempat masing-masing dalam jarak delapan langkah.
Ratu Pekat serukan kata lagi, "Ketahuilah, Gagak Neraka...! Temanmu Dadung Amuk telah banyak menimbulkan korban di tempatku, gara-gara mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Sepantasnya kalau dia kutangkap dan kujatuhi hukuman gantung! Berarti dari pihakmu dulu yang membuat keonaran di pulauku ini, Gagak Neraka!" "Kalau kau menyerahkan kitab itu, maka kami tak akan bikin keonaran apa pun!" debat Gagak Neraka dengan senyum sinisnya.
"Kau salah alamat! Bukan di sini tempatnya mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Kau telah berbuat ngawur, Gagak Neraka! Itu menunjukkan kebodohan dari pihakmu!"
"Terserah apa katamu, Ratu Pekat! Yang jelas, anakmu ini akan kujadikan pemuas gairah teman-teman kapalku, jika Dadung Amuk tidak kau serahkan padaku!"
"Manusia haraaam....'" geram Ratu Pekat dengan tangan menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai memancarkan murka yang hampir tak tertahan lagi.
"Serahkan Dadung Amuk itu kepadaku, atau kubawa pergi putrimu ini!" ulang Gagak Neraka dalam ancamannya. "Bila kau serang aku, akan kuhantamkan pukulan mautku ke kepala anakmu. Pasti pecah, Ratu Pekat! Ha ha ha ha...!"
Si Mata Elang ingin menyerang, tapi ditahan oleh Ratu Pekat demi keselamatan Cempaka Ungu. Bahkan kedatangan Tengkorak Terbang pun segera dihadang oleh Ratu Pekat agar tidak turun tangan secara gegabah.
Tetapi Tengkorak Terbang menggeram dan berkata, "Saya mampu membunuhnya, Ratu! Biarkan saya menyerangnya!"
*
* *
ENAM
RATU Pekat bukan orang bodoh, ia tidak mau korbankan anaknya yang tinggal satu-satunya itu demi mempertahankan tawanannya. Sebab itu, Ratu Pekat tetap melarang keinginan Tengkorak Terbang menyerang Gagak Neraka. Salah-salah anaknya bisa jadi korban.
"Bebaskan Dadung Amuk!" perintah Ratu Pekat.
Si Mata Elang dan Tengkorak Terbang sama-sama lemparkan pandang pada Ratu Pekat. Si Mata Elang berkata dalam bisik, "Yakinkah keputusan Nyai itu benar?"
"Ya. Aku tak mau kehilangan anak lagi."
"Mengapa bukan Tengkorak Terbang yang Nyai percaya untuk mengatasi hal ini?!" Si Mata Elang makin membisik, jarak wajahnya dengan Ratu Pekat cukup dekat. "Bukankah Tengkorak Terbang sudah memiliki ilmu 'Lebur Samudera', yang telah membuat Dadung Amuk tak berdaya karena hilang kesaktiannya?! Biarkan saja Tengkorak Terbang yang melancarkan pukulan 'Lebur Samudera' kepada Gagak Neraka. Biar orang itu pun mengalami nasib seperti Dadung Amuk, Nyai!"
"Itu bisa diatur nanti, Mata Elang. Yang penting sekarang selamatkan dulu anakku, setelah itu baru Tengkorak Terbang menyerang si Gagak Neraka dengan pukulan 'Lebur Samudera'-nya!"
"O, begitu maksud, Nyai?"
"Ya. Dan sekarang, cepat ambil tawanan kita, tukar dengan Cempaka Ungu!"
"Baik, Nyai Ratu!" kata si Mata Elang dengan penuh hormat sebagai lambang kepatuhannya.
Pada salah satu sisi, di balik jajaran batu-batu karang yang membentuk barisan mirip pagar berbunga itu, terpancang sorot pandangan dari dua pasang mata manusia. Kedua manusia itu bersembunyi di sana memperhatikan percakapan dan pertemuan Gagak Neraka dengan Ratu Pekat. Siapa lagi pengintai itu jika bukan Dewa Racun dan Pendekar Mabuk, si murid sinting Gila Tuak Suto!
Dengan sedikit merendahkan badan, Suto masih sempat menenggak tuaknya. Glek, glek, glek. Cukup tiga kali teguk. Bumbung tuak kembali disandangnya di punggung. Sementara itu, Dewa Racun tertawa dengan mulut dibekap pakai tangan sendiri.
"Ada apa...?"
"Ratu Pekat menyangka Tengkorak Terbang mempunyai ilmu 'Lebur Samudera'! Karena mereka sangka, Singo Bodong adalah Dadung Amuk yang ilmunya telah hilang musnah karena pukulan 'Lebur Samudera'. Hi hi hi hi...!"
"Apanya yang lucu?" Suto bahkan tampak bingung.
"Mereka tidak tahu, bahwa orang yang mereka tangkap itu Singo Bodong yang tidak punya ilmu apa- apa."
"Siapa tahu dugaan mereka benar, bahwa Singo Bodong itu memang Dadung Amuk."
"Tidak, tidak!" potong Dewa Racun. "Kita tidak perlu memikirkan hal itu, Suto, karena yang penting adalah menyelamatkan dia, orang besar yang polos dan bodoh itu, terlepas siapa dia sebenarnya, entah Singo Bodong atau Dadung Amuk."
"Ya, begitu saja!" jawab Suto sambil mengangguk tegas. "Lalu, bagaimana? Apakah kita mau turun tangan sekarang juga atau...?"
"Tunggu, sampai Singo Bodong diserahkan kepada Gagak Neraka, baru kita rebut darinya. Dengan begitu, kita tidak membuat perselisihan dengan orang-orang Pulau Beliung ini. Yang kita serang adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa."
"O, ya. Benar! Tepat sekali perhitunganmu!" kata Dewa Racun sambil tunjukkan jempolnya tanda memuji. "Selama aku berhadapan dengan Gagak Neraka, kau tak perlu ikut campur. Tapi awasi saja gerak-gerik si Mata Elang atau Tengkorak Terbang. Aku curiga mereka bisa melakukan kecurangan terhadap apa pun dan terhadap siapa pun."
"Ya, ya...! Aku paham. Bahkan sekarang pun rasa-rasanya aku perlu mengawasi si Mata Elang dalam membawa Singo Bodong kemari. Aku takut dia melakukan kelicikan terhadap diri Singo Bodong."
"Itu juga baik!" jawab Suto, kemudian dia biarkan Dewa Racun bergegas pergi meninggalkannya. Pendekar Mabuk sendiri segera beringsut dari tempatnya, mencari persembunyian yang lebih dekat lagi. Entah apa saja yang dipercakapkan antara Ratu Pekat dengan Gagak Neraka, Suto tak mendengar. Yang jelas ia menunggu saatnya bergerak setelah Singo Bodong diserahkan kepada Gagak Neraka.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk berpikir, "Dari mana Gagak Neraka tahu bahwa di pulau ini temannya si Dadung Amuk akan menjalani hukuman gantung? Apakah dia sudah lama bersembunyi di pulau ini? Walaupun ternyata orang yang dianggap Dadung Amuk itu bukan teman sebenarnya, tapi setidaknya ia melihat dan tahu ciri-ciri tawanan yang akan dihukum gantung itu. Atau, barangkali memang Singo Bodong adalah Dadung Amuk, dan hanya Gagak Neraka-lah yang tahu persis siapa orang bertubuh tinggi besar berwajah angker tapi bodoh itu. Ya, ya... kurasa Singo Bodong memang Dadung Amuk, sebab Gagak Neraka sampai mau menjemputnya kemari, dan mau bertindak sekeji itu demi menyelamatkan temannya. Jika Singo Bodong bukan Dadung Amuk, tak mungkin Gagak Neraka mau turun tangan sampai menggunakan pukulan 'Racun Angin Jantan'?!"
Saat yang ditunggu tiba. Singo Bodong siap ditukar dengan Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk menyiapkan diri untuk bergerak sewaktu-waktu. Sementara itu, Gagak Neraka pun melirik kanan-kiri, memeriksa keadaan sekelilingnya, ia tak mau terkecoh karena penukaran yang gagal.
"Lepaskan Cempaka Ungu!" perintah Ratu Pekat.
Gagak Neraka menjawab," Serahkan dulu dia padaku, dan kuserahkan Cempaka Ungu padamu!"
Ratu Pekat memandang penuh selidik. "Kalau kau curang, kulabrak kau sampai di depan Siluman Tujuh Nyawal Kuhancurkan semua orang-orangmu! Tentunya aku tidak sendirian, Gagak Neraka! Aku masih bisa punya kekuatan lebih besar lagi dengan meminta bantuan kepada teman-temanku yang kukenal!"
"Ha ha ha...! Percayalah pada Gagak Neraka, Ratu Pekat! Kita bertukar tawanan secara ksatria! Kalau kau curang, aku pun bisa menenggelamkan pulau ini!"
"Baik!" jawab Ratu Pekat. Kemudian ia berikan isyarat kepada si Mata Elang. Mata Elang pun segera melepaskan Singo Bodong dan mendorong tubuh besar itu, hingga Singo Bodong berhenti ke depan hampir jatuh. Tetapi, setelah itu Singo Bodong berhenti dalam kebingungan, ia justru memandangi si Mata Elang, Tengkorak Terbang, dan Ratu Pekat.
"Pergilah sana, Babi! Jangan buang-buang waktu!" sentak si Mata Elang dengan kasar kepada Singo Bodong.
"Pergi... pergi ke mana?" Singo Bodong bingung, kesan yang timbul ialah, bahwa ia tidak tahu masalah apa-apa tentang penukaran tawanan itu.
Terdengar Gagak Neraka berseru, "Dadung Amuk, cepatlah kemari!"
Singo Bodong memandang Gagak Neraka dengan dahi berkerut. Bahkan kepalanya sempat dimiring-miringkan sedikit untuk mengenali suara yang memanggilnya itu.
"Cepat kemari, Dadung Amuk!" seru Gagak Neraka tak sabar.
"Siapa... siapa orang itu, Tengkorak Terbang?" tanya Singo Bodong kepada Tengkorak Terbang, karena ia lebih akrab dengan nama tersebut.
Dan hal itu membuat Tengkorak Terbang serta yang lainnya merasa heran. "Ternyata dia tidak mengenali teman sendiri," pikir Tengkorak Terbang. "Tak mungkin Dadung Amuk sampai saat ini masih berpura-pura bodoh. Bukankah dia sudah ada temannya untuk melakukan penyerangan terhadapku?"
Sementara itu, terdengar kasak-kusuk antara si Mata Elang dengan Ratu Pekat. Sang Ratu berbisik, "Lihat kehebatan ilmu 'Lebur Samudera'. Bukan saja menghilangkan semua ilmu dan kesaktian lawan, tapi juga menghilangkan ingatan lawan. Sampai-sampai Dadung Amuk tidak mengenali Gagak Neraka."
"Begitu hebatnya ilmu yang dimiliki Tengkorak Terbang!" bisik si Mata Elang.
"Dadung Amuk!" panggil Gagak Neraka kepada Singo Bodong.
Tapi Singo Bodong hanya memandang bingung pada keadaan sekeliling. Tengkorak Terbang tak sabar. Ia segera mencekal lengan Singo Bodong dan menariknya, membawa mendekati Gagak Neraka. Dalam jarak dua langkah, Tengkorak Terbang berhenti.
"Ambillah orang ini, dan akan kuambil Cempaka Ungu!"
Gagak Neraka melompat maju, menyambar lengan Singo Bodong, ia melangkahi tubuh Cempaka Ungu. Lalu, berkata kepada Tengkorak Terbang, "Ambil dan bawalah pulang gadis itu! Aku sudah tidak membutuhkannya lagi!"
Tengkorak Terbang segera mengangkat tubuh Cempaka Ungu yang masih tertotok jalan darahnya itu, lalu selekasnya tinggalkan tempat tersebut, bergabung kembali kepada Ratu Pekat. Sang Ratu sentakkan satu jari tengahnya ke bagian belakang telinga Cempaka Ungu. Seketika itu, totokan jalan darah menjadi bebas dan Cempaka Ungu hembuskan napas lega.
Terdengar Gagak Neraka tertawa sambil berkata, "Aku tahu. Aku tahu kau memang jago untuk hal ini, Dadung Amuk! Sebaiknya mari kita tinggalkan pulau ini dan jangan usik mereka lagi!"
"Kamu siapa?" terdengar pula suara Singo Bodong bernada heran.
"Sudahlah, jangan main-main lagi!" kata Gagak Neraka sambil menepuk-nepuk pundak Singo Bodong. "Mari pulang, Sobat!"
"Pulang ke mana?!" Singo Bodong menolak tarikan tangan Gagak Neraka. Ia kerutkan dahi semakin tajam.
Saat itu pula dalam hati Suto berkata, "Kalau begitu, dia memang bukan Dadung Amuk! Bukan! Kalau dia Dadung Amuk yang punya ilmu cukup tinggi itu, pasti dia akan serang balik kekuatan Ratu Pekat bersama-sama Gagak Neraka! Bukankah Gagak Neraka hanya seorang diri mampu membuat istana berlumur darah dalam sekejap. Tentunya bersama Dadung Amuk dia bisa bikin habis keempat nyawa di pihak Ratu Pekat. Tapi mengapa Singo Bodong semakin bingung melihat dan mendengar ajakan Gagak Neraka? Itu sudah pasti, sebab Singo Bodong bukan Dadung Amuk!"
Semangat Pendekar Mabuk untuk selamatkan Singo Bodong semakin tinggi. Tetapi ia tetap tidak mau gegabah dalam bertindak. Karena pada saat itu, ia melihat seberkas sinar merah keluar melesat dari sepasang mata milik si Mata Elang. Sinar itu melesat ke arah Gagak Neraka. Tetapi dengan cepat Gagak Neraka sentakkan kaki dan melompat tinggi selamatkan diri. Sinar merah itu menerpa seonggok batu karang, dan seketika itu pula batu karang sebesar dua kali tubuh Singo Bodong itu pecah berantakan.
Duaaar...!
"Auuh...!" terdengar Singo Bodong mengaduh, karena pecahan karang itu ada yang melesat dan mengenai tulang kering kakinya. Singo Bodong meringis kesakitan sambil memegangi kaki.
"Dadung Amuk, serang mereka!" teriak Gagak Neraka sambil melompat kembali dan sentakkan tangan kanannya ke depan. Wuuush...! Tangan kanan itu melepaskan pukulan bersinar putih. Melesat ke arah tubuh si Mata Elang yang berpakaian serba merah.
Tapi, Mata Elang pun cepat sentakkan kaki dan melompat ke samping dengan lincahnya. Sementara itu, Singo Bodong masih mengaduh-aduh dengan suara tertahan. Tulang kering kakinya melepuh. Memar membiru.
"Kau mau main curang, Ratu Pekat! Kau pikir aku belum siap?!" seru Gagak Neraka.
Sreet...! Sreet...! Gagak Neraka mencabut senjata bergeriginya. Dua tangannya telah menggenggam senjata lempengan baja putih. Kedua tangan itu bergerak menyilang bolak-balik, dan cahaya kemilau dari baja putih itu memancarkan sinar berganti-ganti warna.
Pada saat itu, Tengkorak Terbang segera meluncurkan tubuhnya bagai melayang menuju ke arah Singo Bodong. Tetapi, dua senjata bergerigi itu segera digesekkan di atas kepala oleh Gagak Neraka.
Zrengngng...!
Gesekan dua logam itu menimbulkan nyala sinar merah bagai lahar gunung berapi. Sinar itu menyembur ke arah Tengkorak Terbang dengan sangat cepatnya. Wuuuut...! Hampir saja sinar itu mengenai pinggang Tengkorak Terbang jika tidak segera dihantam oleh kibasan tangan si Mata Elang yang mengeluarkan cahaya biru muda. Sinar keduanya membentur dalam jarak satu depa dari tubuh Tengkorak Terbang.
Blarrr...!
Kedua sinar yang berbenturan menimbulkan suara berdentum keras. Dentuman itu membuat satu gelombang tenaga yang menghentak begitu besarnya, sehingga tubuh Tengkorak Terbang yang sedang melayang itu terpental tak tentu arah dan jatuh dengan punggung membentur salah satu dinding batu karang. Bluuuk...! Breeg...! Tubuh Tengkorak Terbang jatuh ke tanah dalam keadaan menahan napas. Orang akan menyangka salah satu tulang Cakradanu pasti ada yang patah. Tapi nyatanya tidak. Cakradanu kembali tegak dengan mata liarnya.
"Biadab orang itu!" geram Cempaka Ungu. Ia mau bergerak, tapi tangan ibunya menghadang di depannya, menahan gerakan selanjutnya.
"Aku ingin menghadapi orang itu, Bu!"
"Jangan! Dia bukan lawanmu! Sebaiknya kita menjauh dulu. Biarkan Tengkorak Terbang dan si Mata Elang yang menanganinya!"
"Dadung Amuk! Bantu aku menyerang mereka, Tolol!" teriak Gagak Neraka kepada Singo Bodong.
Tetapi Singo Bodong justru melangkah mencari tempat untuk berlindung dengan kaki pincang. Si Mata Elang cepat gerakkan kedua tangannya menghantam ke depan. Pukulan jarak jauh dilepaskan. Tapi Gagak Neraka melompat dan bersalto di udara. Rupanya itu pancingan saja buat si Mata Elang. Dengan cepat, dari sinar matanya melesat cahaya merah membara.
Suuuut...! Duaaar...!
Tubuh Gagak Neraka terpental. Sinar merah itu ditangkisnya dengan senjatanya. Akibatnya, tubuh yang melayang itu bagai terkena dorongan sangat kuat, hingga tubuh itu terhempas dan jatuh di depan Tengkorak Terbang.
Segera Tengkorak Terbang mencabut senjata cakranya, yang berbentuk gerigi juga tapi bertangkai panjangnya satu hasta. Senjata cakra itu dikibaskan seperti membabatkan pedang, dan meluncurlah api warna-warni itu melesat menghantam tubuh Gagak Neraka.
Zrengngng...! Dua senjata Gagak Neraka digesekkan dengan cepat. Gesekan itu menimbulkan nyala api putih menyilaukan dan membentuk perisai segi empat yang cukup besar. Akibatnya, kekuatan tenaga dalam yang meluncur dari senjata cakra itu tertahan oleh cahaya putih menyilaukan tersebut. Duuub...! Dan akhirnya membalik menyerang pemiliknya.
Wuuus...!
Tengkorak Terbang segera sentakkan kaki dan melompat di udara dengan bersalto dua kali. Sinar warna-warni itu menghantam batu karang di belakangnya. Buubh...! Batu karang putih itu tiba-tiba menjadi hitam dan mengepulkan asap selintas. Asap lenyap, batu karang hitam itu menjadi rapuh, dan berwujud debu sisa pembakaran. Debu itu segera lenyap dihempaskan angin.
Singo Bodong terbengong-bengong. Pertarungan hebat seperti inilah yang sejak dulu ingin ia saksikan. Karenanya, Singo Bodong menjadi girang hatinya dan tiada hentinya mengikuti kedahsyatan ilmu-ilmu mereka dengan mulut melongo, lupa pada sakit di kakinya.
Sementara itu, mata Singo Bodong cepat membelalak lebar ketika tubuh si Mata Elang melenting tinggi dengan gerakan bersalto satu kali. Kaki Mata Elang menjejak telak tengkuk kepala Gagak Neraka yang sedang menghadapi serangan Tengkorak Terbang. Akibatnya, Gagak Neraka tersentak ke depan dan berguling di bebatuan dengan menggunakan dua senjata piringnya itu sebagai tumpuan di tanah. Dalam kejap berikutnya tubuh itu sudah kembali tegak dan mengibaskan tangan kanannya dari kiri ke kanan.
Wuuut...! Brett...!
Tubuh Tengkorak Terbang yang sedang menyerang ke tempat kosong akibat terjungkalnya Gagak Neraka itu, menjadi sasaran empuk bagi senjata di tangan kanan Gagak Neraka. Pinggang kurus terbungkus kulit itu pun robek tercabik. Panjangnya dari pinggang sampai ke dekat ketiak. Tengkorak Terbang tersentak saat itu. Ia jatuh berlutut dan memegangi lukanya yang amat sakit. Luka itu ternyata bergerak makin lebar, makin lebar lagi, dan terus bergerak melebar dengan sendirinya. Jika bukan karena racun yang ada di gerigi senjata Gagak Neraka, tak mungkin luka itu bergerak melebar.
Si Mata Elang semakin gusar melihat Tengkorak Terbang terluka. Ia segera melompat dan mencabut pedangnya yang pendek itu dari sarungnya. Sreeet...! "Mampus kau, Jahanaaam...!" teriak si Mata Elang. Traang...! Pedang dikibaskan, tapi ditangkis oleh Gagak Neraka dengan senjata di tangan kirinya. Pedang itu menyelip di antara gerigi senjata itu. Posisi Gagak Neraka dalam keadaan setengah berlutut, ia melihat sasaran empuk di betis Mata Elang, maka dengan cepat ia kibaskan senjata di tangan kanannya merobek kulit Mata Elang.
Brettt...!
"Aahk...!" Mata Elang memekik tertahan, ia segera mengangkat pedangnya dan hendak ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi, lutut Gagak Neraka menghentak, dan tubuh itu tersentak naik, lalu dengan cepat ia rapatkan dua tangannya, disentakkan ke depan sambil membuka ke kanan kiri.
Craaas...! Breet...!
"Aaahk...!" sekali lagi si Mata Elang terpekik dengan suara tertahan. Dadanya robek karena jurus menebar dari dua senjata bergerigi itu. Panjang robekan dadanya sampai ke pinggang kanan-kiri. Dan luka itu pun bergerak sendiri makin melebar, seperti luka di betisnya pula. Tubuh si Mata Elang terhuyung ke belakang dengan pedang masih di tangan dan diangkat ke atas, namun tak pernah sempat ditebaskan ke depan. Akhirnya ia rubuh dengan luka makin melebar, makin kelojotan tubuhnya direnggut rasa sakit yang luar biasa. Demikian pula halnya dengan Tengkorak Terbang yang menggeliat menahan sakit.
"Dadung Amuk, cepat pergi...!" sentak Gagak Neraka sambil masukkan dua senjata ke pinggang kanan-kirinya. Lalu, ia hampiri Singo Bodong yang ketakutan itu, dan tiba-tiba ia sentakkan jarinya ke leher Singo Bodong. Seketika itu Singo Bodong lemas bagaikan cucian basah, lalu diangkat oleh Gagak Neraka, dipanggul dan dibawanya lari dalam satu lompatan bertenaga ringan. Wuuust...!
Jleeg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk menghadang di depan Gagak Neraka. Orang itu terkejut dan terhenti langkahnya.
"Bebaskan Dadung Amuk!" perintah Ratu Pekat.
Si Mata Elang dan Tengkorak Terbang sama-sama lemparkan pandang pada Ratu Pekat. Si Mata Elang berkata dalam bisik, "Yakinkah keputusan Nyai itu benar?"
"Ya. Aku tak mau kehilangan anak lagi."
"Mengapa bukan Tengkorak Terbang yang Nyai percaya untuk mengatasi hal ini?!" Si Mata Elang makin membisik, jarak wajahnya dengan Ratu Pekat cukup dekat. "Bukankah Tengkorak Terbang sudah memiliki ilmu 'Lebur Samudera', yang telah membuat Dadung Amuk tak berdaya karena hilang kesaktiannya?! Biarkan saja Tengkorak Terbang yang melancarkan pukulan 'Lebur Samudera' kepada Gagak Neraka. Biar orang itu pun mengalami nasib seperti Dadung Amuk, Nyai!"
"Itu bisa diatur nanti, Mata Elang. Yang penting sekarang selamatkan dulu anakku, setelah itu baru Tengkorak Terbang menyerang si Gagak Neraka dengan pukulan 'Lebur Samudera'-nya!"
"O, begitu maksud, Nyai?"
"Ya. Dan sekarang, cepat ambil tawanan kita, tukar dengan Cempaka Ungu!"
"Baik, Nyai Ratu!" kata si Mata Elang dengan penuh hormat sebagai lambang kepatuhannya.
Pada salah satu sisi, di balik jajaran batu-batu karang yang membentuk barisan mirip pagar berbunga itu, terpancang sorot pandangan dari dua pasang mata manusia. Kedua manusia itu bersembunyi di sana memperhatikan percakapan dan pertemuan Gagak Neraka dengan Ratu Pekat. Siapa lagi pengintai itu jika bukan Dewa Racun dan Pendekar Mabuk, si murid sinting Gila Tuak Suto!
Dengan sedikit merendahkan badan, Suto masih sempat menenggak tuaknya. Glek, glek, glek. Cukup tiga kali teguk. Bumbung tuak kembali disandangnya di punggung. Sementara itu, Dewa Racun tertawa dengan mulut dibekap pakai tangan sendiri.
"Ada apa...?"
"Ratu Pekat menyangka Tengkorak Terbang mempunyai ilmu 'Lebur Samudera'! Karena mereka sangka, Singo Bodong adalah Dadung Amuk yang ilmunya telah hilang musnah karena pukulan 'Lebur Samudera'. Hi hi hi hi...!"
"Apanya yang lucu?" Suto bahkan tampak bingung.
"Mereka tidak tahu, bahwa orang yang mereka tangkap itu Singo Bodong yang tidak punya ilmu apa- apa."
"Siapa tahu dugaan mereka benar, bahwa Singo Bodong itu memang Dadung Amuk."
"Tidak, tidak!" potong Dewa Racun. "Kita tidak perlu memikirkan hal itu, Suto, karena yang penting adalah menyelamatkan dia, orang besar yang polos dan bodoh itu, terlepas siapa dia sebenarnya, entah Singo Bodong atau Dadung Amuk."
"Ya, begitu saja!" jawab Suto sambil mengangguk tegas. "Lalu, bagaimana? Apakah kita mau turun tangan sekarang juga atau...?"
"Tunggu, sampai Singo Bodong diserahkan kepada Gagak Neraka, baru kita rebut darinya. Dengan begitu, kita tidak membuat perselisihan dengan orang-orang Pulau Beliung ini. Yang kita serang adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa."
"O, ya. Benar! Tepat sekali perhitunganmu!" kata Dewa Racun sambil tunjukkan jempolnya tanda memuji. "Selama aku berhadapan dengan Gagak Neraka, kau tak perlu ikut campur. Tapi awasi saja gerak-gerik si Mata Elang atau Tengkorak Terbang. Aku curiga mereka bisa melakukan kecurangan terhadap apa pun dan terhadap siapa pun."
"Ya, ya...! Aku paham. Bahkan sekarang pun rasa-rasanya aku perlu mengawasi si Mata Elang dalam membawa Singo Bodong kemari. Aku takut dia melakukan kelicikan terhadap diri Singo Bodong."
"Itu juga baik!" jawab Suto, kemudian dia biarkan Dewa Racun bergegas pergi meninggalkannya. Pendekar Mabuk sendiri segera beringsut dari tempatnya, mencari persembunyian yang lebih dekat lagi. Entah apa saja yang dipercakapkan antara Ratu Pekat dengan Gagak Neraka, Suto tak mendengar. Yang jelas ia menunggu saatnya bergerak setelah Singo Bodong diserahkan kepada Gagak Neraka.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk berpikir, "Dari mana Gagak Neraka tahu bahwa di pulau ini temannya si Dadung Amuk akan menjalani hukuman gantung? Apakah dia sudah lama bersembunyi di pulau ini? Walaupun ternyata orang yang dianggap Dadung Amuk itu bukan teman sebenarnya, tapi setidaknya ia melihat dan tahu ciri-ciri tawanan yang akan dihukum gantung itu. Atau, barangkali memang Singo Bodong adalah Dadung Amuk, dan hanya Gagak Neraka-lah yang tahu persis siapa orang bertubuh tinggi besar berwajah angker tapi bodoh itu. Ya, ya... kurasa Singo Bodong memang Dadung Amuk, sebab Gagak Neraka sampai mau menjemputnya kemari, dan mau bertindak sekeji itu demi menyelamatkan temannya. Jika Singo Bodong bukan Dadung Amuk, tak mungkin Gagak Neraka mau turun tangan sampai menggunakan pukulan 'Racun Angin Jantan'?!"
Saat yang ditunggu tiba. Singo Bodong siap ditukar dengan Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk menyiapkan diri untuk bergerak sewaktu-waktu. Sementara itu, Gagak Neraka pun melirik kanan-kiri, memeriksa keadaan sekelilingnya, ia tak mau terkecoh karena penukaran yang gagal.
"Lepaskan Cempaka Ungu!" perintah Ratu Pekat.
Gagak Neraka menjawab," Serahkan dulu dia padaku, dan kuserahkan Cempaka Ungu padamu!"
Ratu Pekat memandang penuh selidik. "Kalau kau curang, kulabrak kau sampai di depan Siluman Tujuh Nyawal Kuhancurkan semua orang-orangmu! Tentunya aku tidak sendirian, Gagak Neraka! Aku masih bisa punya kekuatan lebih besar lagi dengan meminta bantuan kepada teman-temanku yang kukenal!"
"Ha ha ha...! Percayalah pada Gagak Neraka, Ratu Pekat! Kita bertukar tawanan secara ksatria! Kalau kau curang, aku pun bisa menenggelamkan pulau ini!"
"Baik!" jawab Ratu Pekat. Kemudian ia berikan isyarat kepada si Mata Elang. Mata Elang pun segera melepaskan Singo Bodong dan mendorong tubuh besar itu, hingga Singo Bodong berhenti ke depan hampir jatuh. Tetapi, setelah itu Singo Bodong berhenti dalam kebingungan, ia justru memandangi si Mata Elang, Tengkorak Terbang, dan Ratu Pekat.
"Pergilah sana, Babi! Jangan buang-buang waktu!" sentak si Mata Elang dengan kasar kepada Singo Bodong.
"Pergi... pergi ke mana?" Singo Bodong bingung, kesan yang timbul ialah, bahwa ia tidak tahu masalah apa-apa tentang penukaran tawanan itu.
Terdengar Gagak Neraka berseru, "Dadung Amuk, cepatlah kemari!"
Singo Bodong memandang Gagak Neraka dengan dahi berkerut. Bahkan kepalanya sempat dimiring-miringkan sedikit untuk mengenali suara yang memanggilnya itu.
"Cepat kemari, Dadung Amuk!" seru Gagak Neraka tak sabar.
"Siapa... siapa orang itu, Tengkorak Terbang?" tanya Singo Bodong kepada Tengkorak Terbang, karena ia lebih akrab dengan nama tersebut.
Dan hal itu membuat Tengkorak Terbang serta yang lainnya merasa heran. "Ternyata dia tidak mengenali teman sendiri," pikir Tengkorak Terbang. "Tak mungkin Dadung Amuk sampai saat ini masih berpura-pura bodoh. Bukankah dia sudah ada temannya untuk melakukan penyerangan terhadapku?"
Sementara itu, terdengar kasak-kusuk antara si Mata Elang dengan Ratu Pekat. Sang Ratu berbisik, "Lihat kehebatan ilmu 'Lebur Samudera'. Bukan saja menghilangkan semua ilmu dan kesaktian lawan, tapi juga menghilangkan ingatan lawan. Sampai-sampai Dadung Amuk tidak mengenali Gagak Neraka."
"Begitu hebatnya ilmu yang dimiliki Tengkorak Terbang!" bisik si Mata Elang.
"Dadung Amuk!" panggil Gagak Neraka kepada Singo Bodong.
Tapi Singo Bodong hanya memandang bingung pada keadaan sekeliling. Tengkorak Terbang tak sabar. Ia segera mencekal lengan Singo Bodong dan menariknya, membawa mendekati Gagak Neraka. Dalam jarak dua langkah, Tengkorak Terbang berhenti.
"Ambillah orang ini, dan akan kuambil Cempaka Ungu!"
Gagak Neraka melompat maju, menyambar lengan Singo Bodong, ia melangkahi tubuh Cempaka Ungu. Lalu, berkata kepada Tengkorak Terbang, "Ambil dan bawalah pulang gadis itu! Aku sudah tidak membutuhkannya lagi!"
Tengkorak Terbang segera mengangkat tubuh Cempaka Ungu yang masih tertotok jalan darahnya itu, lalu selekasnya tinggalkan tempat tersebut, bergabung kembali kepada Ratu Pekat. Sang Ratu sentakkan satu jari tengahnya ke bagian belakang telinga Cempaka Ungu. Seketika itu, totokan jalan darah menjadi bebas dan Cempaka Ungu hembuskan napas lega.
Terdengar Gagak Neraka tertawa sambil berkata, "Aku tahu. Aku tahu kau memang jago untuk hal ini, Dadung Amuk! Sebaiknya mari kita tinggalkan pulau ini dan jangan usik mereka lagi!"
"Kamu siapa?" terdengar pula suara Singo Bodong bernada heran.
"Sudahlah, jangan main-main lagi!" kata Gagak Neraka sambil menepuk-nepuk pundak Singo Bodong. "Mari pulang, Sobat!"
"Pulang ke mana?!" Singo Bodong menolak tarikan tangan Gagak Neraka. Ia kerutkan dahi semakin tajam.
Saat itu pula dalam hati Suto berkata, "Kalau begitu, dia memang bukan Dadung Amuk! Bukan! Kalau dia Dadung Amuk yang punya ilmu cukup tinggi itu, pasti dia akan serang balik kekuatan Ratu Pekat bersama-sama Gagak Neraka! Bukankah Gagak Neraka hanya seorang diri mampu membuat istana berlumur darah dalam sekejap. Tentunya bersama Dadung Amuk dia bisa bikin habis keempat nyawa di pihak Ratu Pekat. Tapi mengapa Singo Bodong semakin bingung melihat dan mendengar ajakan Gagak Neraka? Itu sudah pasti, sebab Singo Bodong bukan Dadung Amuk!"
Semangat Pendekar Mabuk untuk selamatkan Singo Bodong semakin tinggi. Tetapi ia tetap tidak mau gegabah dalam bertindak. Karena pada saat itu, ia melihat seberkas sinar merah keluar melesat dari sepasang mata milik si Mata Elang. Sinar itu melesat ke arah Gagak Neraka. Tetapi dengan cepat Gagak Neraka sentakkan kaki dan melompat tinggi selamatkan diri. Sinar merah itu menerpa seonggok batu karang, dan seketika itu pula batu karang sebesar dua kali tubuh Singo Bodong itu pecah berantakan.
Duaaar...!
"Auuh...!" terdengar Singo Bodong mengaduh, karena pecahan karang itu ada yang melesat dan mengenai tulang kering kakinya. Singo Bodong meringis kesakitan sambil memegangi kaki.
"Dadung Amuk, serang mereka!" teriak Gagak Neraka sambil melompat kembali dan sentakkan tangan kanannya ke depan. Wuuush...! Tangan kanan itu melepaskan pukulan bersinar putih. Melesat ke arah tubuh si Mata Elang yang berpakaian serba merah.
Tapi, Mata Elang pun cepat sentakkan kaki dan melompat ke samping dengan lincahnya. Sementara itu, Singo Bodong masih mengaduh-aduh dengan suara tertahan. Tulang kering kakinya melepuh. Memar membiru.
"Kau mau main curang, Ratu Pekat! Kau pikir aku belum siap?!" seru Gagak Neraka.
Sreet...! Sreet...! Gagak Neraka mencabut senjata bergeriginya. Dua tangannya telah menggenggam senjata lempengan baja putih. Kedua tangan itu bergerak menyilang bolak-balik, dan cahaya kemilau dari baja putih itu memancarkan sinar berganti-ganti warna.
Pada saat itu, Tengkorak Terbang segera meluncurkan tubuhnya bagai melayang menuju ke arah Singo Bodong. Tetapi, dua senjata bergerigi itu segera digesekkan di atas kepala oleh Gagak Neraka.
Zrengngng...!
Gesekan dua logam itu menimbulkan nyala sinar merah bagai lahar gunung berapi. Sinar itu menyembur ke arah Tengkorak Terbang dengan sangat cepatnya. Wuuuut...! Hampir saja sinar itu mengenai pinggang Tengkorak Terbang jika tidak segera dihantam oleh kibasan tangan si Mata Elang yang mengeluarkan cahaya biru muda. Sinar keduanya membentur dalam jarak satu depa dari tubuh Tengkorak Terbang.
Blarrr...!
Kedua sinar yang berbenturan menimbulkan suara berdentum keras. Dentuman itu membuat satu gelombang tenaga yang menghentak begitu besarnya, sehingga tubuh Tengkorak Terbang yang sedang melayang itu terpental tak tentu arah dan jatuh dengan punggung membentur salah satu dinding batu karang. Bluuuk...! Breeg...! Tubuh Tengkorak Terbang jatuh ke tanah dalam keadaan menahan napas. Orang akan menyangka salah satu tulang Cakradanu pasti ada yang patah. Tapi nyatanya tidak. Cakradanu kembali tegak dengan mata liarnya.
"Biadab orang itu!" geram Cempaka Ungu. Ia mau bergerak, tapi tangan ibunya menghadang di depannya, menahan gerakan selanjutnya.
"Aku ingin menghadapi orang itu, Bu!"
"Jangan! Dia bukan lawanmu! Sebaiknya kita menjauh dulu. Biarkan Tengkorak Terbang dan si Mata Elang yang menanganinya!"
"Dadung Amuk! Bantu aku menyerang mereka, Tolol!" teriak Gagak Neraka kepada Singo Bodong.
Tetapi Singo Bodong justru melangkah mencari tempat untuk berlindung dengan kaki pincang. Si Mata Elang cepat gerakkan kedua tangannya menghantam ke depan. Pukulan jarak jauh dilepaskan. Tapi Gagak Neraka melompat dan bersalto di udara. Rupanya itu pancingan saja buat si Mata Elang. Dengan cepat, dari sinar matanya melesat cahaya merah membara.
Suuuut...! Duaaar...!
Tubuh Gagak Neraka terpental. Sinar merah itu ditangkisnya dengan senjatanya. Akibatnya, tubuh yang melayang itu bagai terkena dorongan sangat kuat, hingga tubuh itu terhempas dan jatuh di depan Tengkorak Terbang.
Segera Tengkorak Terbang mencabut senjata cakranya, yang berbentuk gerigi juga tapi bertangkai panjangnya satu hasta. Senjata cakra itu dikibaskan seperti membabatkan pedang, dan meluncurlah api warna-warni itu melesat menghantam tubuh Gagak Neraka.
Zrengngng...! Dua senjata Gagak Neraka digesekkan dengan cepat. Gesekan itu menimbulkan nyala api putih menyilaukan dan membentuk perisai segi empat yang cukup besar. Akibatnya, kekuatan tenaga dalam yang meluncur dari senjata cakra itu tertahan oleh cahaya putih menyilaukan tersebut. Duuub...! Dan akhirnya membalik menyerang pemiliknya.
Wuuus...!
Tengkorak Terbang segera sentakkan kaki dan melompat di udara dengan bersalto dua kali. Sinar warna-warni itu menghantam batu karang di belakangnya. Buubh...! Batu karang putih itu tiba-tiba menjadi hitam dan mengepulkan asap selintas. Asap lenyap, batu karang hitam itu menjadi rapuh, dan berwujud debu sisa pembakaran. Debu itu segera lenyap dihempaskan angin.
Singo Bodong terbengong-bengong. Pertarungan hebat seperti inilah yang sejak dulu ingin ia saksikan. Karenanya, Singo Bodong menjadi girang hatinya dan tiada hentinya mengikuti kedahsyatan ilmu-ilmu mereka dengan mulut melongo, lupa pada sakit di kakinya.
Sementara itu, mata Singo Bodong cepat membelalak lebar ketika tubuh si Mata Elang melenting tinggi dengan gerakan bersalto satu kali. Kaki Mata Elang menjejak telak tengkuk kepala Gagak Neraka yang sedang menghadapi serangan Tengkorak Terbang. Akibatnya, Gagak Neraka tersentak ke depan dan berguling di bebatuan dengan menggunakan dua senjata piringnya itu sebagai tumpuan di tanah. Dalam kejap berikutnya tubuh itu sudah kembali tegak dan mengibaskan tangan kanannya dari kiri ke kanan.
Wuuut...! Brett...!
Tubuh Tengkorak Terbang yang sedang menyerang ke tempat kosong akibat terjungkalnya Gagak Neraka itu, menjadi sasaran empuk bagi senjata di tangan kanan Gagak Neraka. Pinggang kurus terbungkus kulit itu pun robek tercabik. Panjangnya dari pinggang sampai ke dekat ketiak. Tengkorak Terbang tersentak saat itu. Ia jatuh berlutut dan memegangi lukanya yang amat sakit. Luka itu ternyata bergerak makin lebar, makin lebar lagi, dan terus bergerak melebar dengan sendirinya. Jika bukan karena racun yang ada di gerigi senjata Gagak Neraka, tak mungkin luka itu bergerak melebar.
Si Mata Elang semakin gusar melihat Tengkorak Terbang terluka. Ia segera melompat dan mencabut pedangnya yang pendek itu dari sarungnya. Sreeet...! "Mampus kau, Jahanaaam...!" teriak si Mata Elang. Traang...! Pedang dikibaskan, tapi ditangkis oleh Gagak Neraka dengan senjata di tangan kirinya. Pedang itu menyelip di antara gerigi senjata itu. Posisi Gagak Neraka dalam keadaan setengah berlutut, ia melihat sasaran empuk di betis Mata Elang, maka dengan cepat ia kibaskan senjata di tangan kanannya merobek kulit Mata Elang.
Brettt...!
"Aahk...!" Mata Elang memekik tertahan, ia segera mengangkat pedangnya dan hendak ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi, lutut Gagak Neraka menghentak, dan tubuh itu tersentak naik, lalu dengan cepat ia rapatkan dua tangannya, disentakkan ke depan sambil membuka ke kanan kiri.
Craaas...! Breet...!
"Aaahk...!" sekali lagi si Mata Elang terpekik dengan suara tertahan. Dadanya robek karena jurus menebar dari dua senjata bergerigi itu. Panjang robekan dadanya sampai ke pinggang kanan-kiri. Dan luka itu pun bergerak sendiri makin melebar, seperti luka di betisnya pula. Tubuh si Mata Elang terhuyung ke belakang dengan pedang masih di tangan dan diangkat ke atas, namun tak pernah sempat ditebaskan ke depan. Akhirnya ia rubuh dengan luka makin melebar, makin kelojotan tubuhnya direnggut rasa sakit yang luar biasa. Demikian pula halnya dengan Tengkorak Terbang yang menggeliat menahan sakit.
"Dadung Amuk, cepat pergi...!" sentak Gagak Neraka sambil masukkan dua senjata ke pinggang kanan-kirinya. Lalu, ia hampiri Singo Bodong yang ketakutan itu, dan tiba-tiba ia sentakkan jarinya ke leher Singo Bodong. Seketika itu Singo Bodong lemas bagaikan cucian basah, lalu diangkat oleh Gagak Neraka, dipanggul dan dibawanya lari dalam satu lompatan bertenaga ringan. Wuuust...!
Jleeg...! Tiba-tiba Pendekar Mabuk menghadang di depan Gagak Neraka. Orang itu terkejut dan terhenti langkahnya.
*
* *
TUJUH
BUKAN hanya Gagak Neraka yang terkejut, tetapi Ratu Pekat dan Cempaka Ungu juga terkejut melihat kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya. Cempaka Ungu sempat berbisik kepada ibunya, "Siapa dia, Ibu?"
"Entah. Baru kali ini aku melihatnya. Yang jelas dia bukan orang Pulau Beliung."
"Ada di pihak siapa dia?"
"Lihat saja nanti!" jawab Ratu Pekat sambil tetap memandang Suto.
Gagak Neraka segera menurunkan Singo Bodong. Matanya memandang Pendekar Mabuk dengan penuh waspada. Apalagi saat itu Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya sedikit, Gagak Neraka semakin menaruh curiga. Sikap Pendekar Mabuk yang tenang dan seolah-olah meremehkan lawan, membuat Gagak Neraka menggeram sejenak dan segera bertanya,
"Siapa kau?! Begundal Ratu Pekat yang baru?!"
"Bukan," jawab Suto Sinting tetap tegas walau bernada pelan. "Aku tak punya hubungan apa-apa dengan mereka."
"Lalu mengapa kau menghadang langkahku, hah? Mau cari mampus kamu?! Mau sumbangkan nyawa sia-sia untuk Ratu Pekat? Biar putrinya jatuh cinta padamu? Iya?!"
"He he he...," Suto tertawa sedikit sumbang, kentara tuaknya mulai mempengaruhi suaranya. "Tak perlu aku membuat Cempaka Ungu jatuh cinta, dia sudah akan jatuh dengan sendirinya!"
"Lalu, mau apa kau menghadangku, Setan!"
"Oh, namaku bukan Setan! Julukanku Pendekar Mabuk! Tapi bukan Mabuk Setan! He he he...!" Pendekar Mabuk tetap berdiri tegak. Tangan kanannya menjinjing tali bumbung tuaknya. Bibirnya tetap sunggingkan senyum, dan membuat dua perempuan di bawah pohon itu bergetar hatinya.
Cempaka Ungu berbisik, "Siapa Pendekar Mabuk itu, Ibu?"
"Entahlah. Tapi sepertinya Ibu pernah mendengar julukan itu."
Gagak Neraka bergerak ke samping dua langkah, mencari posisi enak untuk menyerang. Jarak mereka hanya tiga langkah, ia menatap dengan pandangan asing melihat wajah dan penampilan Suto.
Terdengar Pendekar Mabuk ucapkan kata, "Gagak Neraka, pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa... mestinya kau bergegas pulang setelah berhasil tumbangkan Tengkorak Terbang dan si Mata Elang!"
"Apa pedulimu?"
"O, aku hanya ingin mempersilakan kau pulang. Tapi tolong orang bodoh yang kau totok jalan darahnya itu tinggalkan saja di sini!"
Gagak Neraka menggeram. "Persetan dengan omonganmu!" Lalu, lelaki berwajah lonjong dengan dagu agak panjang itu melangkahi tubuh Singo Bodong. Jaraknya semakin dekat dengan Suto. Tapi Suto tidak mundur selangkah pun. "Kalau kau menghalangi niatku membawa pulang temanku, kau akan mati juga seperti yang lain, Pendekar Mabuk!"
"O, belum tentu!" Suto sunggingkan senyum. "Mungkin kau yang mati seperti mereka!"
"Kurobek mulut bocahmu! Hiaaah...!" Wuuut...! Tangan Gagak Neraka bergerak hendak mencakar mulut Suto.
Tetapi tubuh Suto cepat meliuk ke belakang, lalu mengayun ke samping dan tegak lagi. Gerakannya mirip orang mabuk yang limbung akibat kebanyakan tuak. Tetapi, gerakan itulah sebenarnya yang membuat Suto dikenal dengan nama Pendekar Mabuk. Jurus-jurusnya bagaikan orang dipengaruhi racun tuak yang memabukkan.
"Pendekar Mabuk! Kuharap jangan kau memancing perkara denganku jika kau sudah tahu aku adalah pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Apakah kau belum mendengar kabar kesaktiannya?"
"Sudah!" jawab Pendekar Mabuk. "Dan aku tidak memancing perkara. Aku hanya minta kau pergi tanpa membawa orang itu," Suto Sinting menuding Singo Bodong. Gerakan jarinya yang menuding itu ternyata mempunyai kekuatan yang membuat pengaruh totokan pada diri Singo Bodong terlepas.
Singo Bodong segera bangkit. Melihat Singo Bodong terkejut dan ingin berteriak "Suto...!"
Pendekar Mabuk cepat hentakkan suaranya kepada Singo Bodong, "Diam kau!"
Singo Bodong hanya mengangguk-angguk dengan penuh rasa takut, kemudian melangkah mundur dengan terpincang-pincang. Ilmu 'Sentak Bidadari' telah digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk membuat Singo Bodong tidak bicara apa pun dalam beberapa saat. Akibatnya, Singo Bodong hanya bisa bengong memperhatikan Suto yang berhadapan dalam jarak dekat dengan Gagak Neraka.
Melihat Singo Bodong lepas dari totokannya, Gagak Neraka sempat kerutkan dahi dan merasa heran. Tetapi ia segera tahu, bahwa totokannya telah dilepaskan oleh Pendekar Mabuk melalui tudingan tangannya tadi. Gagak Neraka hanya membatin, "Boleh juga permainan bocah ingusan ini! Bisa melepaskan totokan dari jarak jauh."
Tetapi, di mulut Gagak Neraka terucap kata lain. Ia ajukan tanya kepada Suto Sinting, "Mengapa kau menghendaki temanku tinggal di sini? Apakah kau punya dendam kepada Dadung Amuk?"
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Kalau dia adalah Dadung Amuk, untuk apa aku menahannya? Bawalah pulang. Itu urusanmu. Tapi karena dia bukan Dadung Amuk, maka aku menahan niatmu untuk membawanya pergi."
"Kau gila! Kau pikir mataku rabun?!"
"Matamu tidak rabun, Gagak Neraka, tapi pikiranmu yang sedikit rabun, karena kau tidak bisa membedakan mana Dadung Amuk, dan mana yang bukan!"
"Kuhancurkan mulutmu itu jika kau mencoba mengelabuiku sekali lagi, Pendekar Mabuk! Dia adalah Dadung Amuk! Hanya karena dia terdampar saja, maka dia tidak membawa tambang saktinya, sehingga tidak mirip Dadung Amuk! Tapi aku tahu persis gayanya, suaranya, wajahnya dan..."
"Dan kesaktiannya apakah sama? Tidak! Dadung Amuk mungkin orang sakti, setidaknya punya ilmu kanuragan. Tapi dia tidak," sambil Suto Sinting menuding Singo Bodong lagi. "Kalau dia punya kesaktian, punya ilmu kanuragan, dia pasti akan melawan si Tengkorak Terbang atau orang-orang Istana Cambuk Biru lainnya. Dia tidak akan tinggal diam, apalagi melihat kau bertarung dikeroyok dua orang, tak mungkin Dadung Amuk akan tinggal diam. Pasti ikut turun tangan! Pasti dia memberontak dan melawan saat kau menotok jalan darahnya!"
"Kau pintar bersilat lidah rupanya!"
"Tidak juga. Aku hanya mengingatkan kau, bahwa orang yang kau anggap Dadung Amuk itu sebenarnya adalah Singo Bodong! Karena itulah dia tidak mengenalimu!"
Sambil mata tetap layangkan pandang ke wajah Pendekar Mabuk yang minum tuak seenaknya di depannya, Gagak Neraka membatin sendiri di hatinya, "Benarkah dia bukan Dadung Amuk? Ia memang tidak mengenaliku, ia memang lemah dan tak mau membantuku menyerang kedua lawan tadi. Tapi, seluruh wujudnya adalah Dadung Amuk! Ah, kurasa sang ketua lebih bisa mengenali apakah dia Dadung Amuk atau bukan. Aku harus membawanya menghadap sang ketua!" Setelah itu, Gagak Neraka berkata kepada Suto, "Siapa pun dia, aku harus membawanya menghadap sang ketua!"
"Tidak perlu! Tinggalkan saja dia di sini bersamaku!"
"Kalau begitu keputusanmu, aku terpaksa mencabut nyawamu sekarang juga, Pendekar Mabuk! Hiaaat...!"
Wuuut...!
Sebuah sodokan pangkal telapak tangan dihantamkan ke dada Pendekar Mabuk. Pada waktu itu, Pendekar Mabuk sengaja tidak menangkisnya. Tapi ia gerakkan tangan kirinya menghantam dada Gagak Neraka juga, sehingga dua pukulan itu sama-sama mengenai pada sasarannya.
Plakkk...! Plakkk...!
Gagak Neraka tersentak mundur dua tindak, sedangkan murid sinting si Gila Tuak tetap di tempat. Orang bermata bengis itu tersenyum lega setelah melihat hasil adu kekuatan pukulan yang sama-sama menggunakan tangan kiri itu. Ia melihat bekas merah di dada Suto, sedangkan di dadanya sendiri tak membekas warna merah sedikit pun.
"Minggirlah, Bocah Ingusan! Daripada nanti dadamu kubuat jebol dengan pukulanku yang kedua. Baru satu kali pukulan saja dadamu telah memerah begitu. Lihatlah...!"
Suto memandang dadanya sendiri. Tapi ia tetap sunggingkan senyum saat memandang ke arah lawan dan berkata, "Benar, dadaku merah karena pukulanmu!"
"Tentu. Dan dadaku tidak menjadi merah sedikit pun. Itu tandanya kekuatanmu belum seimbang dibanding kekuatanku!"
"Dadamu memang tidak memerah, Gagak Neraka, tapi bisakah kau melihat punggungmu?!"
Gagak Neraka terkesiap, lalu alisnya mengernyit, ia merasakan ada rasa sakit di punggungnya. Seperti rasa panas terbakar api. Dan ia pun mencium bau hangus, seperti kain terbakar. Maka, cepat-cepat ia berusaha menengok ke belakang, dan ternyata ada asap mengepul di bagian belakangnya, ia tarik ke depan bajunya, oh... ternyata bolong karena hangus terbakar. Terbayang dalam benak Gagak Neraka, pasti kulit punggungnya menjadi biru legam akibat pukulan lawannya tadi. Rasa sakit makin memanas di kulitnya. Rasa panas itu merayap ke hati, dan membuat Gagak Neraka makin menggeram jengkel, lalu segera ia lontarkan kemarahannya.
"Bangsat kau, Bocah Ingusan! Terimalah pukulan 'Ombak Racun'-ku ini, hiaaah...!" Kedua tangan Gagak Neraka menjambak tubuh Suto dari bawah ke atas secara bergantian. Gerakannya begitu cepat, hingga terdengar bunyi, wuuugh...! Wuuugh...!
Tubuh Pendekar Mabuk hanya meliuk-liuk seperti orang mabuk mau jatuh. Tapi jambakan tangan berjari bentuk cakar itu tidak satu pun mengenai kulit tubuh Pendekar Mabuk. Dengan cepat pula Suto menggerakkan bumbung bambu tempat tuak itu ke atas dalam sodokan yang kuat.
Duggh...!
"Eehhg...!" Gagak Neraka terdongak kepalanya, dagunya yang panjang itu menjadi sasaran bumbung tuak. Tangannya sempat terbentang karena sodokan tersebut. Kakinya melangkah ke belakang satu tindak. Dan, bumbung bambu itu segera berbalik arah menukik, lalu menyodok bagian perut Gagak Neraka. Begggh...!
Sodokan kedua ini yang membuat tubuh Gagak Neraka terlempar ke belakang dengan kedua kaki mengambang tanah. Tubuh itu bagai diseruduk tiga ekor banteng. Terlempar cukup jauh, ada sepuluh langkah. Lalu, tubuh itu jatuh membentur dinding batu karang.
Breehhg...!
"Hooek...!" Darah kental hitam kemerahan keluar dari mulut Gagak Neraka, ia jatuh berlutut dan terbungkuk- bungkuk. Setelah beberapa saat darah keluar dari mulutnya, Gagak Neraka mencoba untuk bangkit dengan mata sayu dan wajah pucat pasi. Tapi agaknya ia tak mampu lagi berdiri, ia melangkah dengan sempoyongan dan akhirnya jatuh lagi.
Singo Bodong terbengong-bengong melihat kejadian itu. Mata melebar, mulut melompong mirip sapi ompong. Waktu Suto mendekatinya, Singo Bodong masih tak sadar dari kebengongannya. Karena menurut penglihatannya, Suto menyodokkan bumbung tuaknya tidak dengan tenaga kuat, hanya cepat. Tapi mengapa bisa membuat tubuh Gagak Neraka yang tergolong besar bisa tersentak terbang sejauh itu? Tentu saja jika tidak disertai tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin tubuh Gagak Neraka jadi seperti itu.
"Apa yang kukatakan dulu benar, bukan?! Kau mirip sekali dengan orang yang bernama Dadung Amuk!" kata Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi... tapi aku tidak punya saudara kembar! Aku lahir tunggal, artinya sendirian!"
"Kita selidiki nanti, siapa Dadung Amuk sebenarnya, dan ada hubungan apa denganmu!"
"Hei, Suto... lihat, orang itu mampu berdiri dan melarikan diri dengan cepat!"
"Biarkan!" jawab Pendekar Mabuk melihat Gagak Neraka melarikan diri menyusuri pantai, mungkin ia menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau itu. Tetapi, pada saat itu Suto melihat Cempaka Ungu mengejar Gagak Neraka dengan cepat pula.
"Ratu, tahan dia!" seru Suto. "Gagak Neraka masih punya kekuatan simpanan! Berbahaya jika dilepaskan kepada anak gadismu!"
"Cempaka!" seru Ratu Pekat. Seruan itu tak terlalu keras, tapi membuat Cempaka Ungu berhenti dan menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak kesakitan di bagian telinganya. Rupanya, itulah cara yang biasa digunakan Ratu Pekat untuk memanggil anak-anaknya yang ingin nekat membandel. Gelombang tenaga dalam dikirimkan melalui suaranya, yang bisa membuat telinga anak itu sakit, lalu berhenti berlari. Kejap berikutnya sembuh kembali. Dan biasanya, Cempaka Ungu selalu cemberut jika habis dipanggil dengan cara seperti itu.
"Ibu mengapa melarangku mengejar si jahanam itu?!"
"Pendekar Mabuk yang menyuruhku!"
"Mengapa Ibu mau disuruh dia?! Ibu penguasa di sini!" sentak Cempaka Ungu dengan hati dongkol.
"Jangan salahkan Ibu, salahkanlah pemuda itu!"
Wajah ketus karena marah tak terlampiaskan itu menatap Suto. Dengan geram ia ucapkan kata, "Lancang sekali mulutmu, berani memberi perintah kepada ibuku! Tidak tahukah kau bahwa dia adalah seorang Ratu yang dihormati di sini?!"
Suto tidak menjawab, sepertinya mengacuhkan kata-kata Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk bahkan berkata kepada Ratu Pekat, "Dua orangmu dalam keadaan parah, Ratu. Lukanya makin lebar. Kalau kau izinkan, mereka akan kubawa ke istanamu!"
"Lakukanlah jika kau sanggup mengobatinya!"
Suto berpaling kepada Singo Bodong dan berkata, "Bantu aku membawa dua orang ini, Singo!"
Singo Bodong mengangguk. Cepat-cepat ia mengangkat orang yang paling ringan bebannya, yaitu Tengkorak Terbang. Tubuh bertulang-belulang nyaris tanpa daging itu jelas lebih enteng daripada si Mata Elang.
Ketika Suto ingin mengangkat si Mata Elang yang lukanya sudah hampir melingkari bagian dada sampai ke punggung, tiba-tiba Ratu Pekat berkata, "Biar aku yang membawanya!" Rasa sayang kepada si Mata Elang, yang setiap saat tampil sebagai pengawal sekaligus pemuas gairahnya, Ratu Pekat tak segan-segan mengangkat tubuh si Mata Elang. Dengan ringan sekali ia mengangkat tubuh kekar itu, dan membawanya lari dengan tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi.
Cempaka Ungu tertinggal gerakan ibunya, ia memandang Suto dengan angkuh. Suto tersenyum dan ingin mengajaknya pergi bersama, tapi Cempaka Ungu berkelebat meninggalkan Suto lebih cepat. Suto makin lebarkan senyum dan perdengarkan tawa rendahnya. Alangkah terkejutnya Cempaka Ungu ketika tiba di pintu gerbang, ternyata Suto sudah berdiri di depan pintu gerbang itu. Cempaka Ungu hanya membantin.
"Gila sekali gerakannya. Tadi kutinggalkan dengan kecepatan lari begitu tinggi, ternyata dia sudah sampai di sini lebih dulu!"
Cempaka Ungu tidak menyapa sedikit pun ketika melintas di depan Pendekar Mabuk, ia tetap pasang wajah cemberut dan angkuh. Tetapi ketika ia hendak menaiki tangga serambi istana, ia jadi terkejut lagi, karena ternyata Suto sudah ada di depan langkahnya, seakan sengaja menunggunya lewat.
"Aku tidak tertarik dengan permainanmu!" ucap Cempaka Ungu dengan sedikit sipitkan matanya.
Dan Suto hanya tertawa pelan. Hanya dengan beberapa teguk tuak yang diminumkan kepada Tengkorak Terbang dan si Mata Elang, luka-luka itu segera mengering, walaupun tidak hilang dalam sekejap waktu. Tetapi, racun yang merayap dan mengganas di tubuh mereka telah mati. Tinggal menunggu luka itu kering beberapa waktu lagi.
"Jika kau tak keberatan, sudilah kiranya kau perkenalkan dirimu yang telah menolongku," ujar Ratu Pekat.
"Aku tidak menolongmu!" kata Suto. "Aku hanya ingin menyelamatkan temanku yang bernama Singo Bodong itu!"
"Apakah dia bukan Dadung Amuk?"
"Bukan! Dia termasuk salah satu keajaiban alam! Tidak punya saudara lelaki, tidak punya saudara kembar, tapi punya wajah dan potongan tubuh yang mirip dengan orang lain, yaitu Dadung Amuk! Tapi, nasibnya tidak cerah. Dia selalu menjadi bahan pelampiasan dendam atau kemarahan orang yang merasa dirugikan oleh ulah si Dadung Amuk!"
"Tadi dari mana Gagak Neraka bisa mengetahui dia ada di sini? Dan membantai habis orang-orangku, sehingga tinggal lima orang. Kurasa Dadung Amuk yang datang bersama Gagak Neraka!"
"Tidak begitu, Nyai!" tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah luar. Orang itu berlari-lari kecil dengan gerakan kerdilnya. Orang itu tak lain adalah Dewa Racun.
Ratu Pekat terperanjat dan nyaris melemparkan kemarahan kepada Dewa Racun yang dianggap musuh olehnya. Tetapi ketika ia dan anaknya ingin bergerak menyerang Dewa Racun, Suto cepat ucapkan kata, "Dia temanku!"
Mendengar kalimat itu Ratu Pekat dan anaknya segera menahan gerakan berikutnya. Mereka sama-sama memandang wajah Suto, dan Suto pun hanya tersenyum tenang, ia bahkan membuka bumbung tuaknya lagi, dan menenggaknya beberapa teguk.
"Jadi kau orang Pulau Serindu?" tanya Ratu Pekat. "Belum," jawab Suto. "Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi orang Pulau Serindu. Tapi yang jelas, hilangkan dulu sikap permusuhanmu dengan Dewa Racun. Ada sesuatu yang menarik didengar dari kata- katanya tadi." Suto memandang Dewa Racun dan berkata, "Teruskan ucapanmu tadi, Dewa Racun!" "Kurasa di sini ada seorang mata-mata kiriman dari Siluman Tujuh Nyawa!" "Dari mana kau tahu?!" tanya Ratu Pekat kepada Dewa Racun. "Singo Bodong mirip Dadung Amuk. Singo Bodong terdampar di pulau ini bersama aku, dan juga Pendekar Mabuk ini, Nyai. Kami terdampar dalam keadaan saling terpisah. Lalu, tiba-tiba Singo Bodong mau digantung, karena disangka Dadung Amuk. Tiba-tiba pula, Gagak Neraka datang mau menyelamatkan Singo Bodong. Jelas ada orang yang salah duga, menyangka Dadung Amuk mau digantung, maka dia segera kirimkan berita kepada Siluman Tujuh Nyawa dengan caranya sendiri. Mungkin dengan hubungan batin dia bicara kepada Siluman Tujuh Nyawa. Lalu, Durmala Sanca itu mengirimkan Gagak Neraka kemari. Masalahnya sekarang, siapa orang-orangmu yang ternyata adalah orang susupan yang menjadi mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa?"
"Entah. Baru kali ini aku melihatnya. Yang jelas dia bukan orang Pulau Beliung."
"Ada di pihak siapa dia?"
"Lihat saja nanti!" jawab Ratu Pekat sambil tetap memandang Suto.
Gagak Neraka segera menurunkan Singo Bodong. Matanya memandang Pendekar Mabuk dengan penuh waspada. Apalagi saat itu Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya sedikit, Gagak Neraka semakin menaruh curiga. Sikap Pendekar Mabuk yang tenang dan seolah-olah meremehkan lawan, membuat Gagak Neraka menggeram sejenak dan segera bertanya,
"Siapa kau?! Begundal Ratu Pekat yang baru?!"
"Bukan," jawab Suto Sinting tetap tegas walau bernada pelan. "Aku tak punya hubungan apa-apa dengan mereka."
"Lalu mengapa kau menghadang langkahku, hah? Mau cari mampus kamu?! Mau sumbangkan nyawa sia-sia untuk Ratu Pekat? Biar putrinya jatuh cinta padamu? Iya?!"
"He he he...," Suto tertawa sedikit sumbang, kentara tuaknya mulai mempengaruhi suaranya. "Tak perlu aku membuat Cempaka Ungu jatuh cinta, dia sudah akan jatuh dengan sendirinya!"
"Lalu, mau apa kau menghadangku, Setan!"
"Oh, namaku bukan Setan! Julukanku Pendekar Mabuk! Tapi bukan Mabuk Setan! He he he...!" Pendekar Mabuk tetap berdiri tegak. Tangan kanannya menjinjing tali bumbung tuaknya. Bibirnya tetap sunggingkan senyum, dan membuat dua perempuan di bawah pohon itu bergetar hatinya.
Cempaka Ungu berbisik, "Siapa Pendekar Mabuk itu, Ibu?"
"Entahlah. Tapi sepertinya Ibu pernah mendengar julukan itu."
Gagak Neraka bergerak ke samping dua langkah, mencari posisi enak untuk menyerang. Jarak mereka hanya tiga langkah, ia menatap dengan pandangan asing melihat wajah dan penampilan Suto.
Terdengar Pendekar Mabuk ucapkan kata, "Gagak Neraka, pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa... mestinya kau bergegas pulang setelah berhasil tumbangkan Tengkorak Terbang dan si Mata Elang!"
"Apa pedulimu?"
"O, aku hanya ingin mempersilakan kau pulang. Tapi tolong orang bodoh yang kau totok jalan darahnya itu tinggalkan saja di sini!"
Gagak Neraka menggeram. "Persetan dengan omonganmu!" Lalu, lelaki berwajah lonjong dengan dagu agak panjang itu melangkahi tubuh Singo Bodong. Jaraknya semakin dekat dengan Suto. Tapi Suto tidak mundur selangkah pun. "Kalau kau menghalangi niatku membawa pulang temanku, kau akan mati juga seperti yang lain, Pendekar Mabuk!"
"O, belum tentu!" Suto sunggingkan senyum. "Mungkin kau yang mati seperti mereka!"
"Kurobek mulut bocahmu! Hiaaah...!" Wuuut...! Tangan Gagak Neraka bergerak hendak mencakar mulut Suto.
Tetapi tubuh Suto cepat meliuk ke belakang, lalu mengayun ke samping dan tegak lagi. Gerakannya mirip orang mabuk yang limbung akibat kebanyakan tuak. Tetapi, gerakan itulah sebenarnya yang membuat Suto dikenal dengan nama Pendekar Mabuk. Jurus-jurusnya bagaikan orang dipengaruhi racun tuak yang memabukkan.
"Pendekar Mabuk! Kuharap jangan kau memancing perkara denganku jika kau sudah tahu aku adalah pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa. Apakah kau belum mendengar kabar kesaktiannya?"
"Sudah!" jawab Pendekar Mabuk. "Dan aku tidak memancing perkara. Aku hanya minta kau pergi tanpa membawa orang itu," Suto Sinting menuding Singo Bodong. Gerakan jarinya yang menuding itu ternyata mempunyai kekuatan yang membuat pengaruh totokan pada diri Singo Bodong terlepas.
Singo Bodong segera bangkit. Melihat Singo Bodong terkejut dan ingin berteriak "Suto...!"
Pendekar Mabuk cepat hentakkan suaranya kepada Singo Bodong, "Diam kau!"
Singo Bodong hanya mengangguk-angguk dengan penuh rasa takut, kemudian melangkah mundur dengan terpincang-pincang. Ilmu 'Sentak Bidadari' telah digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk membuat Singo Bodong tidak bicara apa pun dalam beberapa saat. Akibatnya, Singo Bodong hanya bisa bengong memperhatikan Suto yang berhadapan dalam jarak dekat dengan Gagak Neraka.
Melihat Singo Bodong lepas dari totokannya, Gagak Neraka sempat kerutkan dahi dan merasa heran. Tetapi ia segera tahu, bahwa totokannya telah dilepaskan oleh Pendekar Mabuk melalui tudingan tangannya tadi. Gagak Neraka hanya membatin, "Boleh juga permainan bocah ingusan ini! Bisa melepaskan totokan dari jarak jauh."
Tetapi, di mulut Gagak Neraka terucap kata lain. Ia ajukan tanya kepada Suto Sinting, "Mengapa kau menghendaki temanku tinggal di sini? Apakah kau punya dendam kepada Dadung Amuk?"
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Kalau dia adalah Dadung Amuk, untuk apa aku menahannya? Bawalah pulang. Itu urusanmu. Tapi karena dia bukan Dadung Amuk, maka aku menahan niatmu untuk membawanya pergi."
"Kau gila! Kau pikir mataku rabun?!"
"Matamu tidak rabun, Gagak Neraka, tapi pikiranmu yang sedikit rabun, karena kau tidak bisa membedakan mana Dadung Amuk, dan mana yang bukan!"
"Kuhancurkan mulutmu itu jika kau mencoba mengelabuiku sekali lagi, Pendekar Mabuk! Dia adalah Dadung Amuk! Hanya karena dia terdampar saja, maka dia tidak membawa tambang saktinya, sehingga tidak mirip Dadung Amuk! Tapi aku tahu persis gayanya, suaranya, wajahnya dan..."
"Dan kesaktiannya apakah sama? Tidak! Dadung Amuk mungkin orang sakti, setidaknya punya ilmu kanuragan. Tapi dia tidak," sambil Suto Sinting menuding Singo Bodong lagi. "Kalau dia punya kesaktian, punya ilmu kanuragan, dia pasti akan melawan si Tengkorak Terbang atau orang-orang Istana Cambuk Biru lainnya. Dia tidak akan tinggal diam, apalagi melihat kau bertarung dikeroyok dua orang, tak mungkin Dadung Amuk akan tinggal diam. Pasti ikut turun tangan! Pasti dia memberontak dan melawan saat kau menotok jalan darahnya!"
"Kau pintar bersilat lidah rupanya!"
"Tidak juga. Aku hanya mengingatkan kau, bahwa orang yang kau anggap Dadung Amuk itu sebenarnya adalah Singo Bodong! Karena itulah dia tidak mengenalimu!"
Sambil mata tetap layangkan pandang ke wajah Pendekar Mabuk yang minum tuak seenaknya di depannya, Gagak Neraka membatin sendiri di hatinya, "Benarkah dia bukan Dadung Amuk? Ia memang tidak mengenaliku, ia memang lemah dan tak mau membantuku menyerang kedua lawan tadi. Tapi, seluruh wujudnya adalah Dadung Amuk! Ah, kurasa sang ketua lebih bisa mengenali apakah dia Dadung Amuk atau bukan. Aku harus membawanya menghadap sang ketua!" Setelah itu, Gagak Neraka berkata kepada Suto, "Siapa pun dia, aku harus membawanya menghadap sang ketua!"
"Tidak perlu! Tinggalkan saja dia di sini bersamaku!"
"Kalau begitu keputusanmu, aku terpaksa mencabut nyawamu sekarang juga, Pendekar Mabuk! Hiaaat...!"
Wuuut...!
Sebuah sodokan pangkal telapak tangan dihantamkan ke dada Pendekar Mabuk. Pada waktu itu, Pendekar Mabuk sengaja tidak menangkisnya. Tapi ia gerakkan tangan kirinya menghantam dada Gagak Neraka juga, sehingga dua pukulan itu sama-sama mengenai pada sasarannya.
Plakkk...! Plakkk...!
Gagak Neraka tersentak mundur dua tindak, sedangkan murid sinting si Gila Tuak tetap di tempat. Orang bermata bengis itu tersenyum lega setelah melihat hasil adu kekuatan pukulan yang sama-sama menggunakan tangan kiri itu. Ia melihat bekas merah di dada Suto, sedangkan di dadanya sendiri tak membekas warna merah sedikit pun.
"Minggirlah, Bocah Ingusan! Daripada nanti dadamu kubuat jebol dengan pukulanku yang kedua. Baru satu kali pukulan saja dadamu telah memerah begitu. Lihatlah...!"
Suto memandang dadanya sendiri. Tapi ia tetap sunggingkan senyum saat memandang ke arah lawan dan berkata, "Benar, dadaku merah karena pukulanmu!"
"Tentu. Dan dadaku tidak menjadi merah sedikit pun. Itu tandanya kekuatanmu belum seimbang dibanding kekuatanku!"
"Dadamu memang tidak memerah, Gagak Neraka, tapi bisakah kau melihat punggungmu?!"
Gagak Neraka terkesiap, lalu alisnya mengernyit, ia merasakan ada rasa sakit di punggungnya. Seperti rasa panas terbakar api. Dan ia pun mencium bau hangus, seperti kain terbakar. Maka, cepat-cepat ia berusaha menengok ke belakang, dan ternyata ada asap mengepul di bagian belakangnya, ia tarik ke depan bajunya, oh... ternyata bolong karena hangus terbakar. Terbayang dalam benak Gagak Neraka, pasti kulit punggungnya menjadi biru legam akibat pukulan lawannya tadi. Rasa sakit makin memanas di kulitnya. Rasa panas itu merayap ke hati, dan membuat Gagak Neraka makin menggeram jengkel, lalu segera ia lontarkan kemarahannya.
"Bangsat kau, Bocah Ingusan! Terimalah pukulan 'Ombak Racun'-ku ini, hiaaah...!" Kedua tangan Gagak Neraka menjambak tubuh Suto dari bawah ke atas secara bergantian. Gerakannya begitu cepat, hingga terdengar bunyi, wuuugh...! Wuuugh...!
Tubuh Pendekar Mabuk hanya meliuk-liuk seperti orang mabuk mau jatuh. Tapi jambakan tangan berjari bentuk cakar itu tidak satu pun mengenai kulit tubuh Pendekar Mabuk. Dengan cepat pula Suto menggerakkan bumbung bambu tempat tuak itu ke atas dalam sodokan yang kuat.
Duggh...!
"Eehhg...!" Gagak Neraka terdongak kepalanya, dagunya yang panjang itu menjadi sasaran bumbung tuak. Tangannya sempat terbentang karena sodokan tersebut. Kakinya melangkah ke belakang satu tindak. Dan, bumbung bambu itu segera berbalik arah menukik, lalu menyodok bagian perut Gagak Neraka. Begggh...!
Sodokan kedua ini yang membuat tubuh Gagak Neraka terlempar ke belakang dengan kedua kaki mengambang tanah. Tubuh itu bagai diseruduk tiga ekor banteng. Terlempar cukup jauh, ada sepuluh langkah. Lalu, tubuh itu jatuh membentur dinding batu karang.
Breehhg...!
"Hooek...!" Darah kental hitam kemerahan keluar dari mulut Gagak Neraka, ia jatuh berlutut dan terbungkuk- bungkuk. Setelah beberapa saat darah keluar dari mulutnya, Gagak Neraka mencoba untuk bangkit dengan mata sayu dan wajah pucat pasi. Tapi agaknya ia tak mampu lagi berdiri, ia melangkah dengan sempoyongan dan akhirnya jatuh lagi.
Singo Bodong terbengong-bengong melihat kejadian itu. Mata melebar, mulut melompong mirip sapi ompong. Waktu Suto mendekatinya, Singo Bodong masih tak sadar dari kebengongannya. Karena menurut penglihatannya, Suto menyodokkan bumbung tuaknya tidak dengan tenaga kuat, hanya cepat. Tapi mengapa bisa membuat tubuh Gagak Neraka yang tergolong besar bisa tersentak terbang sejauh itu? Tentu saja jika tidak disertai tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin tubuh Gagak Neraka jadi seperti itu.
"Apa yang kukatakan dulu benar, bukan?! Kau mirip sekali dengan orang yang bernama Dadung Amuk!" kata Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi... tapi aku tidak punya saudara kembar! Aku lahir tunggal, artinya sendirian!"
"Kita selidiki nanti, siapa Dadung Amuk sebenarnya, dan ada hubungan apa denganmu!"
"Hei, Suto... lihat, orang itu mampu berdiri dan melarikan diri dengan cepat!"
"Biarkan!" jawab Pendekar Mabuk melihat Gagak Neraka melarikan diri menyusuri pantai, mungkin ia menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau itu. Tetapi, pada saat itu Suto melihat Cempaka Ungu mengejar Gagak Neraka dengan cepat pula.
"Ratu, tahan dia!" seru Suto. "Gagak Neraka masih punya kekuatan simpanan! Berbahaya jika dilepaskan kepada anak gadismu!"
"Cempaka!" seru Ratu Pekat. Seruan itu tak terlalu keras, tapi membuat Cempaka Ungu berhenti dan menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak kesakitan di bagian telinganya. Rupanya, itulah cara yang biasa digunakan Ratu Pekat untuk memanggil anak-anaknya yang ingin nekat membandel. Gelombang tenaga dalam dikirimkan melalui suaranya, yang bisa membuat telinga anak itu sakit, lalu berhenti berlari. Kejap berikutnya sembuh kembali. Dan biasanya, Cempaka Ungu selalu cemberut jika habis dipanggil dengan cara seperti itu.
"Ibu mengapa melarangku mengejar si jahanam itu?!"
"Pendekar Mabuk yang menyuruhku!"
"Mengapa Ibu mau disuruh dia?! Ibu penguasa di sini!" sentak Cempaka Ungu dengan hati dongkol.
"Jangan salahkan Ibu, salahkanlah pemuda itu!"
Wajah ketus karena marah tak terlampiaskan itu menatap Suto. Dengan geram ia ucapkan kata, "Lancang sekali mulutmu, berani memberi perintah kepada ibuku! Tidak tahukah kau bahwa dia adalah seorang Ratu yang dihormati di sini?!"
Suto tidak menjawab, sepertinya mengacuhkan kata-kata Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk bahkan berkata kepada Ratu Pekat, "Dua orangmu dalam keadaan parah, Ratu. Lukanya makin lebar. Kalau kau izinkan, mereka akan kubawa ke istanamu!"
"Lakukanlah jika kau sanggup mengobatinya!"
Suto berpaling kepada Singo Bodong dan berkata, "Bantu aku membawa dua orang ini, Singo!"
Singo Bodong mengangguk. Cepat-cepat ia mengangkat orang yang paling ringan bebannya, yaitu Tengkorak Terbang. Tubuh bertulang-belulang nyaris tanpa daging itu jelas lebih enteng daripada si Mata Elang.
Ketika Suto ingin mengangkat si Mata Elang yang lukanya sudah hampir melingkari bagian dada sampai ke punggung, tiba-tiba Ratu Pekat berkata, "Biar aku yang membawanya!" Rasa sayang kepada si Mata Elang, yang setiap saat tampil sebagai pengawal sekaligus pemuas gairahnya, Ratu Pekat tak segan-segan mengangkat tubuh si Mata Elang. Dengan ringan sekali ia mengangkat tubuh kekar itu, dan membawanya lari dengan tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi.
Cempaka Ungu tertinggal gerakan ibunya, ia memandang Suto dengan angkuh. Suto tersenyum dan ingin mengajaknya pergi bersama, tapi Cempaka Ungu berkelebat meninggalkan Suto lebih cepat. Suto makin lebarkan senyum dan perdengarkan tawa rendahnya. Alangkah terkejutnya Cempaka Ungu ketika tiba di pintu gerbang, ternyata Suto sudah berdiri di depan pintu gerbang itu. Cempaka Ungu hanya membantin.
"Gila sekali gerakannya. Tadi kutinggalkan dengan kecepatan lari begitu tinggi, ternyata dia sudah sampai di sini lebih dulu!"
Cempaka Ungu tidak menyapa sedikit pun ketika melintas di depan Pendekar Mabuk, ia tetap pasang wajah cemberut dan angkuh. Tetapi ketika ia hendak menaiki tangga serambi istana, ia jadi terkejut lagi, karena ternyata Suto sudah ada di depan langkahnya, seakan sengaja menunggunya lewat.
"Aku tidak tertarik dengan permainanmu!" ucap Cempaka Ungu dengan sedikit sipitkan matanya.
Dan Suto hanya tertawa pelan. Hanya dengan beberapa teguk tuak yang diminumkan kepada Tengkorak Terbang dan si Mata Elang, luka-luka itu segera mengering, walaupun tidak hilang dalam sekejap waktu. Tetapi, racun yang merayap dan mengganas di tubuh mereka telah mati. Tinggal menunggu luka itu kering beberapa waktu lagi.
"Jika kau tak keberatan, sudilah kiranya kau perkenalkan dirimu yang telah menolongku," ujar Ratu Pekat.
"Aku tidak menolongmu!" kata Suto. "Aku hanya ingin menyelamatkan temanku yang bernama Singo Bodong itu!"
"Apakah dia bukan Dadung Amuk?"
"Bukan! Dia termasuk salah satu keajaiban alam! Tidak punya saudara lelaki, tidak punya saudara kembar, tapi punya wajah dan potongan tubuh yang mirip dengan orang lain, yaitu Dadung Amuk! Tapi, nasibnya tidak cerah. Dia selalu menjadi bahan pelampiasan dendam atau kemarahan orang yang merasa dirugikan oleh ulah si Dadung Amuk!"
"Tadi dari mana Gagak Neraka bisa mengetahui dia ada di sini? Dan membantai habis orang-orangku, sehingga tinggal lima orang. Kurasa Dadung Amuk yang datang bersama Gagak Neraka!"
"Tidak begitu, Nyai!" tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah luar. Orang itu berlari-lari kecil dengan gerakan kerdilnya. Orang itu tak lain adalah Dewa Racun.
Ratu Pekat terperanjat dan nyaris melemparkan kemarahan kepada Dewa Racun yang dianggap musuh olehnya. Tetapi ketika ia dan anaknya ingin bergerak menyerang Dewa Racun, Suto cepat ucapkan kata, "Dia temanku!"
Mendengar kalimat itu Ratu Pekat dan anaknya segera menahan gerakan berikutnya. Mereka sama-sama memandang wajah Suto, dan Suto pun hanya tersenyum tenang, ia bahkan membuka bumbung tuaknya lagi, dan menenggaknya beberapa teguk.
"Jadi kau orang Pulau Serindu?" tanya Ratu Pekat. "Belum," jawab Suto. "Mungkin sebentar lagi aku akan menjadi orang Pulau Serindu. Tapi yang jelas, hilangkan dulu sikap permusuhanmu dengan Dewa Racun. Ada sesuatu yang menarik didengar dari kata- katanya tadi." Suto memandang Dewa Racun dan berkata, "Teruskan ucapanmu tadi, Dewa Racun!" "Kurasa di sini ada seorang mata-mata kiriman dari Siluman Tujuh Nyawa!" "Dari mana kau tahu?!" tanya Ratu Pekat kepada Dewa Racun. "Singo Bodong mirip Dadung Amuk. Singo Bodong terdampar di pulau ini bersama aku, dan juga Pendekar Mabuk ini, Nyai. Kami terdampar dalam keadaan saling terpisah. Lalu, tiba-tiba Singo Bodong mau digantung, karena disangka Dadung Amuk. Tiba-tiba pula, Gagak Neraka datang mau menyelamatkan Singo Bodong. Jelas ada orang yang salah duga, menyangka Dadung Amuk mau digantung, maka dia segera kirimkan berita kepada Siluman Tujuh Nyawa dengan caranya sendiri. Mungkin dengan hubungan batin dia bicara kepada Siluman Tujuh Nyawa. Lalu, Durmala Sanca itu mengirimkan Gagak Neraka kemari. Masalahnya sekarang, siapa orang-orangmu yang ternyata adalah orang susupan yang menjadi mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa?"
*
* *
DELAPAN
SUTO Sinting, murid si Gila Tuak, membenarkan dugaan Dewa Racun. Jika tidak ada orang yang memberitahukan adanya tawanan yang akan dihukum gantung, tak mungkin Gagak Neraka datang ke Pulau Beliung dan mengamuk, menaburkan racun Angin Jantan. Anehnya Ratu Pekat kurang tertarik dengan dugaan Dewa Racun itu.
Di dalam kamar yang disediakan untuk beristirahat, Pendekar Mabuk sempat terpikir apa sebab Ratu Pekat tidak mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan pihak Dewa Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu Ratu Pekat membantah dengan suara keras.
"Tidak mungkin! Orang-orangku tidak ada yang berjiwa pengkhianat! Jangan kau menebar racun lewat mulutmu, Kerdil!"
"Kalau kau seorang Ratu yang cerdas, kau tidak akan menyanggah pendapatku, Nyai! Tapi kalau kau seorang Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu sendiri!" kata Dewa Racun dengan berani.
Ratu Pekat menggeram jengkel sambil melemparkan pandangan kepada Dewa Racun. Anak gadisnya pun tampak siap melakukan gerakan yang membahayakan jika ibunya memberi perintah sewaktu-waktu. Pendekar Mabuk melihat ketegangan itu dapat menjadikan satu bentrokan tersendiri antara Dewa Racun dengan Ratu Pekat Maka, cepat-cepat Suto mengambil alih pembicaraan pada waktu itu,
"Sebaiknya tak perlu dipikirkan dulu hal itu. Agaknya untuk membuktikan ada dan tidaknya pengkhianat di dalam istana ini, dibutuhkan waktu untuk membuktikannya. Dan... kami tidak punya banyak waktu, Ratu Pekat. Jadi, masalah ini kembali kuserahkan padamu! Keperluanku hanya menolong Singo Bodong saja. Tidak ikut campur dalam urusan kekuasaanmu di pulau ini!"
Kata-kata itu ternyata memang meredakan ketegangan tersebut. Ratu Pekat segera tarik napas dalam-dalam, meredam gemuruh di dalam dadanya. Setelah itu ia berkata kepada Pendekar Mabuk, "Apa yang bisa kubantu untuk kalian?"
"Aku butuh sebuah perahu untuk melanjutkan perjalananku," jawab Suto Sinting.
"Aku akan siapkan," kata Ratu Pekat. "Tapi haruskah kalian berangkat sekarang juga?"
Cempaka Ungu segera angkat bicara, "Hanya manusia bodoh yang mau mengawali perjalanan lautnya pada petang hari!" Entah kepada siapa kata-kata ketus itu ditujukan, karena wajah cantik berkesan judes itu memandang ke arah luar istana.
Pendekar Mabuk hanya berkata kepada Ratu Pekat. "Agaknya memang kami harus berangkat petang ini juga. Sebab kami tak punya saudara untuk menumpang bermalam di pulau ini."
Ratu Pekat berkata. "Kurasa istanaku ini cukup luas dan lebar. Ada dua kamar yang bisa kalian pakai, dan dua kamar itu memang kusediakan untuk tamu yang datang dan bermalam di istanaku. Jika kau tidak keberatan, kusuruh pelayanku menyiapkan dua kamar itu!"
Tetapi Cempaka Ungu berkata, "Pelayan kita sudah ikut mati terkena racun Angin Jantan, Ibu! Kalau memang dia mau bermalam dan menggunakan kamar itu, biar dia sendiri yang membereskannya."
"Cempaka, tak boleh kau bicara begitu kepada sang penolong kita."
"Aku tidak merasa ditolong olehnya?! Aku merasa mampu menumbangkan Gagak Neraka! Hanya secara kebetulan saja dia punya urusan pribadi dengan Gagak Neraka, yaitu menyelamatkan si raksasa bodoh itu, sehingga sepertinya dia ada di pihak kita!"
"Tutup mulutmu, Cempaka!" sentak ibunya dengan wibawa.
Cempaka Ungu pun tak berani bicara apa-apa lagi, hanya cemberut dan mendengus kesal. Wajahnya kembali dipalingkan ke luar.
"Gadis ini lucu," pikir Pendekar Mabuk saat itu. "Sejak tadi ia bersikap bermusuhan padaku, tapi ia bermaksud menahanku agar tidak lekas-lekas meninggalkan pulau ini. Gadis seusia dia memang sering bersikap aneh jika sedang punya maksud yang tersembunyi di dalam hatinya. Ah, persetanlah! Biar saja ia bertingkah dengan pribadinya sendiri...!"
Malam direnggut sepi. Samar-samar suara ombak terdengar dari kejauhan. Heningnya malam itu justru membuat Pendekar Mabuk gelisah karena kecamuk di dalam hatinya. Terbayang wajah yang muncul di alam semadinya dan di alam mimpi-mimpinya. Wajah itu milik seorang perempuan cantik yang ternyata adik dari Betari Ayu, yaitu Dyah Sariningrum.
Pendekar Mabuk bagai tak sabar lagi, ingin segera bertemu dengan ratu penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Berapa jauh lagi Pulau Serindu dari Pulau Beliung itu, Pendekar Mabuk tak tahu pasti. Tapi Dewa Racun pasti mengetahuinya, karena memang ia datang khusus untuk menjemput Pendekar Mabuk atas perintah nyai gustinya.
Di kamar itu, Pendekar Mabuk sendirian. Justru dalam kesendiriannya itu ia menjadi tak bisa tidur, karena tak ada teman berbagi rasa. Sebab itulah Pendekar Mabuk segera keluar dan masuk ke kamar Dewa Racun. Ternyata Dewa Racun juga belum tidur, ia habis melakukan semadi sebagai pengasah ilmu-ilmunya.
"Dia sudah tidur?" tanya Suto sambil menunjuk Singo Bodong yang meringkuk di atas pembaringan empuk.
"Kalau sudah tidur tentunya istana ini bergetar," jawab Dewa Racun, dan Suto tersenyum, ia ingat kebiasaan aneh Singo Bodong, yaitu jika tidur mendengkur dan jika mendengkur seisi rumah menjadi bergetar.
"Singo Bodong!" panggil Pendekar Mabuk.
Singo Bodong bergegas bangun. "Kau membutuhkan bantuanku, Pendekar Mabuk?"
"Aku mau jalan-jalan keluar sebentar. Cari angin! Kau tidur saja di kamarku sana! Lega dan lebih nyaman tempatnya."
"Baik. Tapi, kapan kau ingin mengajarkan ilmu-ilmumu kepadaku, Pendekar Mabuk?"
"Kalau sudah tiba waktunya!" jawab Suto sambil tersenyum. Kemudian ia menepuk punggung Singo Bodong yang melintas di depannya, lalu pindah ke kamar Suto.
"Kau ingin ikut jalan-jalan keluar, Dewa Racun?"
"Ada yang ingin kukerjakan. Pergilah dulu, nanti aku menyusul."
Di dalam kamar Pendekar Mabuk, Singo Bodong merasa girang melihat tempat tidur yang lebih lebar dari tempat tidur yang ada di kamar sebelah tadi. Selimutnya juga tebal dan lebar. Dua obor yang ada di satu sisi dinding itu menjadi penerang ruangan yang bersih dan lebih berkesan bagus segala perabotnya. Singo Bodong tersenyum-senyum, akhirnya menguap sambil menggeliatkan tubuhnya. "Oohaaaaem...!"
Blapp...! Tiba-tiba kedua obor itu padam apinya. Singo Bodong bingung mendapatkan kamar menjadi gelap. Hanya terkena hembusan napas menguapnya saja, kedua obor itu bisa padam apinya. Singo Bodong heran setengah mati. Biasanya ia menguap sampai berkali-kali, nyala api lilin pun tak akan bisa padam. Kenapa sekarang nyala dua obor berukuran besar itu bisa padam dengan satu hembusan napasnya.
"Apakah karena tadi punggungku ditepuk oleh Pendekar Mabuk, sehingga ada ilmunya yang masuk ke tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan menguapku?" pikir Singo Bodong sambil meraba-raba dalam kegelapan menuju pembaringan. Begitu ia temukan, ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar.
"Jika benar Pendekar Mabuk menyalurkan salah satu ilmunya ke tubuhku melalui tepukan punggung tadi, oh... alangkah hebatnya dia? Alangkah mujurnya nasibku? Paling tidak aku bisa melawan orang yang ingin mempermainkan aku dengan hembusan napasku!"
Sekalipun selimut pembalut dingin sudah membungkus tubuhnya, tapi Singo Bodong masih belum terpicing tidur. Hatinya masih berdebar-debar indah membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala api obor itu.
Sambil melangkah di pantai, Pendekar Mabuk membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi sedikit isi, biar tidak terlalu kosong. Kasihan aku melihat dia diseret ke sana-sini pada saat mau digantung. Jika dia punya sedikit isi, paling tidak ia tidak menjadi bulan- bulanan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya."
Gemuruh ombak tak begitu menderu. Itu pertanda tak ada badai di tengah lautan. Suto berhenti memandang lautan dalam sisa sinar rembulan yang kian redup dari harinya itu.
"Aku ingin memandang ke arah Pulau Serindu," pikirnya. "Tapi ke mana arahnya jika dari pantai sini? Sayang sekali aku tidak tahu arah Pulau Serindu, sehingga aku tidak bisa menatap ke arah calon istriku Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati."
Tiba-tiba Suto terpaksa harus melompat ke balik bebatuan, ia melihat seorang prajurit melangkah dengan terburu-buru dari arah kegelapan. Prajurit itu mendekati sebuah batu tinggi, dan naik ke atasnya dengan satu kali hentakkan kaki.
Prajurit itu melepaskan baju rompinya yang menjadi seragam orang-orang istana. Seragam itu menunjukkan jabatannya sebagai prajurit pengawal khusus yang mendampingi Ratu Pekat jika pergi ke mana-mana. Menurut cerita Dewa Racun, Ratu Pekat selalu didampingi enam prajurit pengawal yang menjaga depan, belakang, dan samping kanan-kiri, di samping itu juga pengawal pribadinya yang berjuluk si Mata Elang.
Melihat prajurit yang satu ini membuka baju rompinya sambil berdiri di atas batu tinggi, Suto jadi curiga dan semakin ingin tahu. Ia bergerak mendekat, dari tempat bersembunyi yang satu pindah ke yang satunya lagi. Makin dekat makin jelas wajah dan potongan tubuh prajurit itu.
"Mau apa dia berdiri di atas batu itu?" pikir Pendekar Mabuk dengan mata sedikit menyipit, memperjelas penglihatannya. Hatinya tetap memancarkan kecurigaan yang aneh terhadap prajurit bersenjatakan tombak itu. Saat ia ada di atas, tombaknya diletakkan di dinding batu. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa saja menyambar tombak itu, tapi untuk apa? Ia tak mau lakukan sesuatu yang tanpaa rti.
Prajurit itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya ke samping kanan kiri dengan gerakan pelan dan sepertinya disertai dengan mengerasnya urat. Kaki kirinya diangkat sampai telapak kakinya itu merapat di samping tumit kanan, lutut yang terangkat itu menjorok maju ke depan. Lalu, kedua tangannya yang merentang bergerak pelan-pelan ke atas kepala.
Sampai di atas kepala, kedua tangan itu merapat, tetapi hanya jari telunjuk dan ibu jarinya yang saling bertemu merapat, hingga membentuk satu lubang di antara pertemuan jari-jari itu. Tangan yang tegak lurus ke atas itu tiba-tiba memancarkan sinar merah ke kuning-kuningan dari ujung jari telunjuk yang saling bertemu itu. Sinar merah tersebut melesat tinggi sebesar lidi, panjang hingga tak terbatas sampai di mana ujungnya.
Angin laut berhembus, membawa suara yang terucap dari mulut prajurit itu sampai ke telinga Pendekar Mabuk. Awalnya Pendekar Mabuk bingung dengan bahasa-bahasa aneh yang diucapkan prajurit itu. Seperti bahasa mantera sebuah ilmu. Tapi setelah itu, Pendekar Mabuk mendengar kalimat yang bisa dimengerti bahasanya.
"Kekuatan melemah. Istana bebas terkuasai. Segera tumbuhkan api membakar ilalangnya. Segera tumbuhkan api membakar ilalangnya"
Suto membatin, "Apa yang dimaksud kata-kata itu? Sepertinya ia memanggil seseorang atau menghubungi seseorang melalui kekuatan batinnya. Oh, dia punya tato di bawah ketiak kirinya?"
Mata Suto bertambah menyipit untuk mempertegas gambar tato yang ada di bawah ketiak orang itu. Ternyata tato itu bergambar tengkorak manusia dengan tujuh mata rantai yang mengelilingi bagian atas kepala tengkorak sampai bagian samping. Pada bagian bawah tengkorak itu kosong tanpa tulisan atau gambar apapun.
Suto membatin lagi, "Apa arti tato itu? Atau hanya sebagai seni semata? Tengkorak...? Apakah dia punya hubungan dengan Tengkorak Terbang? Lalu apa maksudnya dia melakukan hal itu? Dia berhubungan dengan seseorang dan seseorang itu adalah Tengkorak Terbang?"
Prajurit itu cepat tinggalkan tempat tersebut tanpa merasa diintai oleh sepasang mata dari balik celah bebatuan karang. Pendekar Mabuk pun bergegas mengejarnya. Tapi di perjalanan ia berhenti dan membatin,
"Tak perlu! Tak perlu kukejar, toh aku tahu ke mana larinya. Pasti ke istana. Tapi... kenapa hatiku jadi tak enak setelah melihat apa yang dilakukan oleh prajurit itu? Naluriku mengatakan, ada sesuatu yang akan terjadi di pulau ini. Entah apa wujudnya!" Langkah Pendekar Mabuk santai-santai saja ketika mendekati istana, ia tak tahu bahwa di istana ada satu kejadian kecil yang menggelikan.
Diam-diam Cempaka Ungu rupanya tertarik kepada Pendekar Mabuk, tapi malu terlihat didepan mata ibunya. Karena itu, Cempaka Ungu memanfaatkan malam yang sepi, di mana penghuni istana sebagian besar telah tertidur dengan nyenyaknya. Cempaka Ungu menyusup masuk ke kamar Suto yang ternyata gelap itu.
"Kebetulan ia matikan lampunya!" pikir Cempaka Ungu. Karena ia sering keluar-masuk di kamaritu, jadi ia tahu betul di mana letak ranjang walau dalam keadaan gelap, ia bersuara membisik, "Pendekar Mabuk...! Pendekar Mabuk...! Sudah tidurkah kau?"
Tak ada jawaban. Cempaka Ungu menduga Suto sudah tertidur nyenyak. Dengan langkah sangat hati-hati ia semakin mendekati ranjang. Di ranjang itu, Singo Bodong sebenarnya belum tidur. Tapi karena gelap, dan mendengar suara perempuan, Singo Bodong tak berani bergerak sedikit pun. Ia sangat ketakutan.
"Pendekar Mabuk... bangunlah sebentar, aku ingin bicara denganmu," seru Cempaka Ungu dalam bisik mendesah, ia pegang kaki orang yang tidur di balik selimut tebal itu. Ia remas beberapa saat dengan hati berdebar-debar.
"Pendekar Mabuk, bangunlah sebentar. Sebentar saja. Aku hanya ingin meminta maaf atas segala sikapku tadi siang, dan... dan... oh, bangunlah sebentar, Pendekar Mabuk" Tangan Cempaka Ungu menyelusup masuk ke dalam selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan itu terasa meresap sampai di hatinya dan membuat hatinya makin berdebar-debar indah, ia mengusap-usap kaki itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis dari mulutnya.
"Kakimu dingin sekali, Pendekar Mabuk Boleh kuhangatkan?"
Tak ada jawaban yang keluar dari orang tidurnya meringkuk itu. Cempaka Ungu semakin berdesir-desir. Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu. Gelap pekat yang terjadi di kamar itu membuat Cempaka Ungu tak malu-malu untuk mengusap-usap rambut orang yang disangkanya Suto Sinting itu.
"Pendekar Mabuk, bisakah kau mendengar suaraku, hmm?! Jangan kau anggap sikapku sejahat itu padamu. Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik padamu. Aku tahu kau tersinggung dan marah padaku. Tapi tak bisakah kau bicara sepatah kata pun untuk memaafkan aku, Pendekar Mabuk?"
Usapan-usapan tangan Cempaka Ungu semakin lembut. Tapi sentuhan jemarinya di rambut atau dikening orang yang diusapnya, terasa menambah mekar bunga-bunga di hatinya.
"Kumohon kau mau tinggal di sini sampai beberapa waktu, Pendekar Mabuk. Jangan lekas-lekas pulang. Dan, biarkan aku bersikap ketus kepadamu bila di luaran, tapi sesungguhnya itu hanya suatu kedok saja. Aku sangat kagum padamu, Pendekar Mabuk. Sungguh kagum dengan jurus-jurusmu itu. Maukah kau mengajariku untuk mempermainkan bumbung tuak? Oh, ya... Ibu masih mempunyai simpanan tuak khusus untuk para tamu. Kau mau, Pendekar Mabuk? Hmmm... bagaimana kalau malam ini kita hangatkan diri dengan minum tuak? Aku juga doyan minum tuak," Cempaka Ungu mengikik tertahan. Tangannya mengusap-usap kepala dan kening orang yang tidur meringkuk itu. Makin lama ia merasakan semakin basah tangannya.
"Oh, kau mengeluarkan keringat dingin, Pendekar Mabuk? Aha... itu tandanya kau takut menghadapiku. Tapi, supaya kau tidak grogi, sebaiknya kuambilkan tuak untukmu. Kita minum bersama di kamar ini, tapi jangan sampai ada yang tahu. Setuju?!"
Singo Bodong semakin tak bisa berucap kata apa pun. Seumur-umur baru sekarang ia diusap-usap dengan mesra oleh seorang gadis cantik yang terbayang jelas dalam ingatannya. Kecantikan itu pernah menimbulkan rasa berdesir di hati Singo Bodong, tetapi segera sirna sejak ia tahu perempuan itu bernafsu untuk membunuhnya.
Cempaka Ungu sadar bahwa orang yang dianggap Pendekar Mabuk itu sebenarnya belum tidur. Jika sejak tadi ia tidak mendapat jawaban dan tanggapan apa pun, itu lantaran hati Pendekar Mabuk masih dongkol terhadap sikap ketusnya. Cempaka Ungu memakluminya. Tapi ia yakin, setelah ia datang bersama seguci tuak, pasti Pendekar Mabuk itu akan luluh dari kedongkolan hatinya. Cempaka Ungu keluar dari kamar dengan mengendap-endap.
Tapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat Suto sedang melangkah menuju kamarnya dan terkesiap juga memandang kemunculan seorang perempuan dari dalam kamarnya, "Cempaka...?" tegurnya dengan heran.
Cempaka merah mukanya. Gemetar sekujur tubuhnya. Yang ada dalam otaknya adalah sebuah pertanyaan besar, "Lantas siapa orang yang kuusap-usap dengan mesra tadi? Aduh, mati aku!" Wajah pucat dan sesekali semburat merah itu tak berani terlalu lama berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Rasa malunya begitu besar dan membakar kulit wajah. Cempaka Ungu cepat tinggalkan tempat dengan kepala menunduk malu.
Tetapi hati Suto menjadi resah dan curiga, ia segera masuk ke kamarnya, karena menyangka telah terjadi sesuatu terhadap diri Singo Bodong, ia ingat, bahwa Cempaka Ungu masih punya kebencian kepada Singo Bodong dan menyangka Singo Bodong adalah adik kembar Dadung Amuk. Pendekar Mabuk juga ingat bahwa Cempaka Ungu bernafsu sekali ingin menggantung Singo Bodong.
Pintu kamar itu dibuka dengan kasar oleh Suto. Melihat keadaan gelap, Suto menyangka itu ulah Cempaka Ungu yang ingin membunuh Singo Bodong. Seketika itu, Pendekar Mabuk berseru keras, "Singo...?! Singo Bodong!!"
Suara keras membangunkan Dewa Racun yang hampir tertidur, ia segera melompat keluar dari kamar dan menuju ke kamar sebelah. Dari pintu yang terbuka, Dewa Racun berseru, "Ada apa, Pendekar Mabuk...?!"
Suara keras Dewa Racun juga membangunkan Ratu Pekat yang segera bergegas ke kamar Pendekar Mabuk. Ratu Pekat pun berseru, "Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk...?!"
Kamar gelap. Pendekar Mabuk ada di dalamnya. Singo Bodong makin ketakutan melihat banyak yang datang, ia diam saja, bagaikan kelu lidahnya tak mampu berucap kata.
Di dalam kamar yang disediakan untuk beristirahat, Pendekar Mabuk sempat terpikir apa sebab Ratu Pekat tidak mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan pihak Dewa Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu Ratu Pekat membantah dengan suara keras.
"Tidak mungkin! Orang-orangku tidak ada yang berjiwa pengkhianat! Jangan kau menebar racun lewat mulutmu, Kerdil!"
"Kalau kau seorang Ratu yang cerdas, kau tidak akan menyanggah pendapatku, Nyai! Tapi kalau kau seorang Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu sendiri!" kata Dewa Racun dengan berani.
Ratu Pekat menggeram jengkel sambil melemparkan pandangan kepada Dewa Racun. Anak gadisnya pun tampak siap melakukan gerakan yang membahayakan jika ibunya memberi perintah sewaktu-waktu. Pendekar Mabuk melihat ketegangan itu dapat menjadikan satu bentrokan tersendiri antara Dewa Racun dengan Ratu Pekat Maka, cepat-cepat Suto mengambil alih pembicaraan pada waktu itu,
"Sebaiknya tak perlu dipikirkan dulu hal itu. Agaknya untuk membuktikan ada dan tidaknya pengkhianat di dalam istana ini, dibutuhkan waktu untuk membuktikannya. Dan... kami tidak punya banyak waktu, Ratu Pekat. Jadi, masalah ini kembali kuserahkan padamu! Keperluanku hanya menolong Singo Bodong saja. Tidak ikut campur dalam urusan kekuasaanmu di pulau ini!"
Kata-kata itu ternyata memang meredakan ketegangan tersebut. Ratu Pekat segera tarik napas dalam-dalam, meredam gemuruh di dalam dadanya. Setelah itu ia berkata kepada Pendekar Mabuk, "Apa yang bisa kubantu untuk kalian?"
"Aku butuh sebuah perahu untuk melanjutkan perjalananku," jawab Suto Sinting.
"Aku akan siapkan," kata Ratu Pekat. "Tapi haruskah kalian berangkat sekarang juga?"
Cempaka Ungu segera angkat bicara, "Hanya manusia bodoh yang mau mengawali perjalanan lautnya pada petang hari!" Entah kepada siapa kata-kata ketus itu ditujukan, karena wajah cantik berkesan judes itu memandang ke arah luar istana.
Pendekar Mabuk hanya berkata kepada Ratu Pekat. "Agaknya memang kami harus berangkat petang ini juga. Sebab kami tak punya saudara untuk menumpang bermalam di pulau ini."
Ratu Pekat berkata. "Kurasa istanaku ini cukup luas dan lebar. Ada dua kamar yang bisa kalian pakai, dan dua kamar itu memang kusediakan untuk tamu yang datang dan bermalam di istanaku. Jika kau tidak keberatan, kusuruh pelayanku menyiapkan dua kamar itu!"
Tetapi Cempaka Ungu berkata, "Pelayan kita sudah ikut mati terkena racun Angin Jantan, Ibu! Kalau memang dia mau bermalam dan menggunakan kamar itu, biar dia sendiri yang membereskannya."
"Cempaka, tak boleh kau bicara begitu kepada sang penolong kita."
"Aku tidak merasa ditolong olehnya?! Aku merasa mampu menumbangkan Gagak Neraka! Hanya secara kebetulan saja dia punya urusan pribadi dengan Gagak Neraka, yaitu menyelamatkan si raksasa bodoh itu, sehingga sepertinya dia ada di pihak kita!"
"Tutup mulutmu, Cempaka!" sentak ibunya dengan wibawa.
Cempaka Ungu pun tak berani bicara apa-apa lagi, hanya cemberut dan mendengus kesal. Wajahnya kembali dipalingkan ke luar.
"Gadis ini lucu," pikir Pendekar Mabuk saat itu. "Sejak tadi ia bersikap bermusuhan padaku, tapi ia bermaksud menahanku agar tidak lekas-lekas meninggalkan pulau ini. Gadis seusia dia memang sering bersikap aneh jika sedang punya maksud yang tersembunyi di dalam hatinya. Ah, persetanlah! Biar saja ia bertingkah dengan pribadinya sendiri...!"
Malam direnggut sepi. Samar-samar suara ombak terdengar dari kejauhan. Heningnya malam itu justru membuat Pendekar Mabuk gelisah karena kecamuk di dalam hatinya. Terbayang wajah yang muncul di alam semadinya dan di alam mimpi-mimpinya. Wajah itu milik seorang perempuan cantik yang ternyata adik dari Betari Ayu, yaitu Dyah Sariningrum.
Pendekar Mabuk bagai tak sabar lagi, ingin segera bertemu dengan ratu penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Berapa jauh lagi Pulau Serindu dari Pulau Beliung itu, Pendekar Mabuk tak tahu pasti. Tapi Dewa Racun pasti mengetahuinya, karena memang ia datang khusus untuk menjemput Pendekar Mabuk atas perintah nyai gustinya.
Di kamar itu, Pendekar Mabuk sendirian. Justru dalam kesendiriannya itu ia menjadi tak bisa tidur, karena tak ada teman berbagi rasa. Sebab itulah Pendekar Mabuk segera keluar dan masuk ke kamar Dewa Racun. Ternyata Dewa Racun juga belum tidur, ia habis melakukan semadi sebagai pengasah ilmu-ilmunya.
"Dia sudah tidur?" tanya Suto sambil menunjuk Singo Bodong yang meringkuk di atas pembaringan empuk.
"Kalau sudah tidur tentunya istana ini bergetar," jawab Dewa Racun, dan Suto tersenyum, ia ingat kebiasaan aneh Singo Bodong, yaitu jika tidur mendengkur dan jika mendengkur seisi rumah menjadi bergetar.
"Singo Bodong!" panggil Pendekar Mabuk.
Singo Bodong bergegas bangun. "Kau membutuhkan bantuanku, Pendekar Mabuk?"
"Aku mau jalan-jalan keluar sebentar. Cari angin! Kau tidur saja di kamarku sana! Lega dan lebih nyaman tempatnya."
"Baik. Tapi, kapan kau ingin mengajarkan ilmu-ilmumu kepadaku, Pendekar Mabuk?"
"Kalau sudah tiba waktunya!" jawab Suto sambil tersenyum. Kemudian ia menepuk punggung Singo Bodong yang melintas di depannya, lalu pindah ke kamar Suto.
"Kau ingin ikut jalan-jalan keluar, Dewa Racun?"
"Ada yang ingin kukerjakan. Pergilah dulu, nanti aku menyusul."
Di dalam kamar Pendekar Mabuk, Singo Bodong merasa girang melihat tempat tidur yang lebih lebar dari tempat tidur yang ada di kamar sebelah tadi. Selimutnya juga tebal dan lebar. Dua obor yang ada di satu sisi dinding itu menjadi penerang ruangan yang bersih dan lebih berkesan bagus segala perabotnya. Singo Bodong tersenyum-senyum, akhirnya menguap sambil menggeliatkan tubuhnya. "Oohaaaaem...!"
Blapp...! Tiba-tiba kedua obor itu padam apinya. Singo Bodong bingung mendapatkan kamar menjadi gelap. Hanya terkena hembusan napas menguapnya saja, kedua obor itu bisa padam apinya. Singo Bodong heran setengah mati. Biasanya ia menguap sampai berkali-kali, nyala api lilin pun tak akan bisa padam. Kenapa sekarang nyala dua obor berukuran besar itu bisa padam dengan satu hembusan napasnya.
"Apakah karena tadi punggungku ditepuk oleh Pendekar Mabuk, sehingga ada ilmunya yang masuk ke tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan menguapku?" pikir Singo Bodong sambil meraba-raba dalam kegelapan menuju pembaringan. Begitu ia temukan, ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar.
"Jika benar Pendekar Mabuk menyalurkan salah satu ilmunya ke tubuhku melalui tepukan punggung tadi, oh... alangkah hebatnya dia? Alangkah mujurnya nasibku? Paling tidak aku bisa melawan orang yang ingin mempermainkan aku dengan hembusan napasku!"
Sekalipun selimut pembalut dingin sudah membungkus tubuhnya, tapi Singo Bodong masih belum terpicing tidur. Hatinya masih berdebar-debar indah membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala api obor itu.
Sambil melangkah di pantai, Pendekar Mabuk membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi sedikit isi, biar tidak terlalu kosong. Kasihan aku melihat dia diseret ke sana-sini pada saat mau digantung. Jika dia punya sedikit isi, paling tidak ia tidak menjadi bulan- bulanan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya."
Gemuruh ombak tak begitu menderu. Itu pertanda tak ada badai di tengah lautan. Suto berhenti memandang lautan dalam sisa sinar rembulan yang kian redup dari harinya itu.
"Aku ingin memandang ke arah Pulau Serindu," pikirnya. "Tapi ke mana arahnya jika dari pantai sini? Sayang sekali aku tidak tahu arah Pulau Serindu, sehingga aku tidak bisa menatap ke arah calon istriku Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati."
Tiba-tiba Suto terpaksa harus melompat ke balik bebatuan, ia melihat seorang prajurit melangkah dengan terburu-buru dari arah kegelapan. Prajurit itu mendekati sebuah batu tinggi, dan naik ke atasnya dengan satu kali hentakkan kaki.
Prajurit itu melepaskan baju rompinya yang menjadi seragam orang-orang istana. Seragam itu menunjukkan jabatannya sebagai prajurit pengawal khusus yang mendampingi Ratu Pekat jika pergi ke mana-mana. Menurut cerita Dewa Racun, Ratu Pekat selalu didampingi enam prajurit pengawal yang menjaga depan, belakang, dan samping kanan-kiri, di samping itu juga pengawal pribadinya yang berjuluk si Mata Elang.
Melihat prajurit yang satu ini membuka baju rompinya sambil berdiri di atas batu tinggi, Suto jadi curiga dan semakin ingin tahu. Ia bergerak mendekat, dari tempat bersembunyi yang satu pindah ke yang satunya lagi. Makin dekat makin jelas wajah dan potongan tubuh prajurit itu.
"Mau apa dia berdiri di atas batu itu?" pikir Pendekar Mabuk dengan mata sedikit menyipit, memperjelas penglihatannya. Hatinya tetap memancarkan kecurigaan yang aneh terhadap prajurit bersenjatakan tombak itu. Saat ia ada di atas, tombaknya diletakkan di dinding batu. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa saja menyambar tombak itu, tapi untuk apa? Ia tak mau lakukan sesuatu yang tanpaa rti.
Prajurit itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya ke samping kanan kiri dengan gerakan pelan dan sepertinya disertai dengan mengerasnya urat. Kaki kirinya diangkat sampai telapak kakinya itu merapat di samping tumit kanan, lutut yang terangkat itu menjorok maju ke depan. Lalu, kedua tangannya yang merentang bergerak pelan-pelan ke atas kepala.
Sampai di atas kepala, kedua tangan itu merapat, tetapi hanya jari telunjuk dan ibu jarinya yang saling bertemu merapat, hingga membentuk satu lubang di antara pertemuan jari-jari itu. Tangan yang tegak lurus ke atas itu tiba-tiba memancarkan sinar merah ke kuning-kuningan dari ujung jari telunjuk yang saling bertemu itu. Sinar merah tersebut melesat tinggi sebesar lidi, panjang hingga tak terbatas sampai di mana ujungnya.
Angin laut berhembus, membawa suara yang terucap dari mulut prajurit itu sampai ke telinga Pendekar Mabuk. Awalnya Pendekar Mabuk bingung dengan bahasa-bahasa aneh yang diucapkan prajurit itu. Seperti bahasa mantera sebuah ilmu. Tapi setelah itu, Pendekar Mabuk mendengar kalimat yang bisa dimengerti bahasanya.
"Kekuatan melemah. Istana bebas terkuasai. Segera tumbuhkan api membakar ilalangnya. Segera tumbuhkan api membakar ilalangnya"
Suto membatin, "Apa yang dimaksud kata-kata itu? Sepertinya ia memanggil seseorang atau menghubungi seseorang melalui kekuatan batinnya. Oh, dia punya tato di bawah ketiak kirinya?"
Mata Suto bertambah menyipit untuk mempertegas gambar tato yang ada di bawah ketiak orang itu. Ternyata tato itu bergambar tengkorak manusia dengan tujuh mata rantai yang mengelilingi bagian atas kepala tengkorak sampai bagian samping. Pada bagian bawah tengkorak itu kosong tanpa tulisan atau gambar apapun.
Suto membatin lagi, "Apa arti tato itu? Atau hanya sebagai seni semata? Tengkorak...? Apakah dia punya hubungan dengan Tengkorak Terbang? Lalu apa maksudnya dia melakukan hal itu? Dia berhubungan dengan seseorang dan seseorang itu adalah Tengkorak Terbang?"
Prajurit itu cepat tinggalkan tempat tersebut tanpa merasa diintai oleh sepasang mata dari balik celah bebatuan karang. Pendekar Mabuk pun bergegas mengejarnya. Tapi di perjalanan ia berhenti dan membatin,
"Tak perlu! Tak perlu kukejar, toh aku tahu ke mana larinya. Pasti ke istana. Tapi... kenapa hatiku jadi tak enak setelah melihat apa yang dilakukan oleh prajurit itu? Naluriku mengatakan, ada sesuatu yang akan terjadi di pulau ini. Entah apa wujudnya!" Langkah Pendekar Mabuk santai-santai saja ketika mendekati istana, ia tak tahu bahwa di istana ada satu kejadian kecil yang menggelikan.
Diam-diam Cempaka Ungu rupanya tertarik kepada Pendekar Mabuk, tapi malu terlihat didepan mata ibunya. Karena itu, Cempaka Ungu memanfaatkan malam yang sepi, di mana penghuni istana sebagian besar telah tertidur dengan nyenyaknya. Cempaka Ungu menyusup masuk ke kamar Suto yang ternyata gelap itu.
"Kebetulan ia matikan lampunya!" pikir Cempaka Ungu. Karena ia sering keluar-masuk di kamaritu, jadi ia tahu betul di mana letak ranjang walau dalam keadaan gelap, ia bersuara membisik, "Pendekar Mabuk...! Pendekar Mabuk...! Sudah tidurkah kau?"
Tak ada jawaban. Cempaka Ungu menduga Suto sudah tertidur nyenyak. Dengan langkah sangat hati-hati ia semakin mendekati ranjang. Di ranjang itu, Singo Bodong sebenarnya belum tidur. Tapi karena gelap, dan mendengar suara perempuan, Singo Bodong tak berani bergerak sedikit pun. Ia sangat ketakutan.
"Pendekar Mabuk... bangunlah sebentar, aku ingin bicara denganmu," seru Cempaka Ungu dalam bisik mendesah, ia pegang kaki orang yang tidur di balik selimut tebal itu. Ia remas beberapa saat dengan hati berdebar-debar.
"Pendekar Mabuk, bangunlah sebentar. Sebentar saja. Aku hanya ingin meminta maaf atas segala sikapku tadi siang, dan... dan... oh, bangunlah sebentar, Pendekar Mabuk" Tangan Cempaka Ungu menyelusup masuk ke dalam selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan itu terasa meresap sampai di hatinya dan membuat hatinya makin berdebar-debar indah, ia mengusap-usap kaki itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis dari mulutnya.
"Kakimu dingin sekali, Pendekar Mabuk Boleh kuhangatkan?"
Tak ada jawaban yang keluar dari orang tidurnya meringkuk itu. Cempaka Ungu semakin berdesir-desir. Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu. Gelap pekat yang terjadi di kamar itu membuat Cempaka Ungu tak malu-malu untuk mengusap-usap rambut orang yang disangkanya Suto Sinting itu.
"Pendekar Mabuk, bisakah kau mendengar suaraku, hmm?! Jangan kau anggap sikapku sejahat itu padamu. Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik padamu. Aku tahu kau tersinggung dan marah padaku. Tapi tak bisakah kau bicara sepatah kata pun untuk memaafkan aku, Pendekar Mabuk?"
Usapan-usapan tangan Cempaka Ungu semakin lembut. Tapi sentuhan jemarinya di rambut atau dikening orang yang diusapnya, terasa menambah mekar bunga-bunga di hatinya.
"Kumohon kau mau tinggal di sini sampai beberapa waktu, Pendekar Mabuk. Jangan lekas-lekas pulang. Dan, biarkan aku bersikap ketus kepadamu bila di luaran, tapi sesungguhnya itu hanya suatu kedok saja. Aku sangat kagum padamu, Pendekar Mabuk. Sungguh kagum dengan jurus-jurusmu itu. Maukah kau mengajariku untuk mempermainkan bumbung tuak? Oh, ya... Ibu masih mempunyai simpanan tuak khusus untuk para tamu. Kau mau, Pendekar Mabuk? Hmmm... bagaimana kalau malam ini kita hangatkan diri dengan minum tuak? Aku juga doyan minum tuak," Cempaka Ungu mengikik tertahan. Tangannya mengusap-usap kepala dan kening orang yang tidur meringkuk itu. Makin lama ia merasakan semakin basah tangannya.
"Oh, kau mengeluarkan keringat dingin, Pendekar Mabuk? Aha... itu tandanya kau takut menghadapiku. Tapi, supaya kau tidak grogi, sebaiknya kuambilkan tuak untukmu. Kita minum bersama di kamar ini, tapi jangan sampai ada yang tahu. Setuju?!"
Singo Bodong semakin tak bisa berucap kata apa pun. Seumur-umur baru sekarang ia diusap-usap dengan mesra oleh seorang gadis cantik yang terbayang jelas dalam ingatannya. Kecantikan itu pernah menimbulkan rasa berdesir di hati Singo Bodong, tetapi segera sirna sejak ia tahu perempuan itu bernafsu untuk membunuhnya.
Cempaka Ungu sadar bahwa orang yang dianggap Pendekar Mabuk itu sebenarnya belum tidur. Jika sejak tadi ia tidak mendapat jawaban dan tanggapan apa pun, itu lantaran hati Pendekar Mabuk masih dongkol terhadap sikap ketusnya. Cempaka Ungu memakluminya. Tapi ia yakin, setelah ia datang bersama seguci tuak, pasti Pendekar Mabuk itu akan luluh dari kedongkolan hatinya. Cempaka Ungu keluar dari kamar dengan mengendap-endap.
Tapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat Suto sedang melangkah menuju kamarnya dan terkesiap juga memandang kemunculan seorang perempuan dari dalam kamarnya, "Cempaka...?" tegurnya dengan heran.
Cempaka merah mukanya. Gemetar sekujur tubuhnya. Yang ada dalam otaknya adalah sebuah pertanyaan besar, "Lantas siapa orang yang kuusap-usap dengan mesra tadi? Aduh, mati aku!" Wajah pucat dan sesekali semburat merah itu tak berani terlalu lama berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Rasa malunya begitu besar dan membakar kulit wajah. Cempaka Ungu cepat tinggalkan tempat dengan kepala menunduk malu.
Tetapi hati Suto menjadi resah dan curiga, ia segera masuk ke kamarnya, karena menyangka telah terjadi sesuatu terhadap diri Singo Bodong, ia ingat, bahwa Cempaka Ungu masih punya kebencian kepada Singo Bodong dan menyangka Singo Bodong adalah adik kembar Dadung Amuk. Pendekar Mabuk juga ingat bahwa Cempaka Ungu bernafsu sekali ingin menggantung Singo Bodong.
Pintu kamar itu dibuka dengan kasar oleh Suto. Melihat keadaan gelap, Suto menyangka itu ulah Cempaka Ungu yang ingin membunuh Singo Bodong. Seketika itu, Pendekar Mabuk berseru keras, "Singo...?! Singo Bodong!!"
Suara keras membangunkan Dewa Racun yang hampir tertidur, ia segera melompat keluar dari kamar dan menuju ke kamar sebelah. Dari pintu yang terbuka, Dewa Racun berseru, "Ada apa, Pendekar Mabuk...?!"
Suara keras Dewa Racun juga membangunkan Ratu Pekat yang segera bergegas ke kamar Pendekar Mabuk. Ratu Pekat pun berseru, "Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk...?!"
Kamar gelap. Pendekar Mabuk ada di dalamnya. Singo Bodong makin ketakutan melihat banyak yang datang, ia diam saja, bagaikan kelu lidahnya tak mampu berucap kata.
*
* *
SEMBILAN
PAGI yang cerah. Perahu sudah disiapkan oleh orang-orangnya Ratu Pekat. Kalau saja Suto mau, mereka sudah bisa bertolak dari Pulau Beliung di pagi itu. Apalagi perahu yang disiapkan lebih besar dari perahunya yang pecah dihantam ombak tempo hari. Perbekalanpun disiapkan didalam perahu itu, termasuk dua guci tuak yang paling enak.
Tetapi, Pendekar Mabuk berkata lain kepada Ratu Pekat, "Aku tidak jadi berangkat hari ini!"
Kata-kata itu tidak mengejutkan Ratu Pekat, tapi membuat Dewa Racun dan Singo Bodong terperanjat. Mereka sama-sama memandang Pendekar Mabuk, hanya Suto tidak peduli dengan sikap memandang mereka. Suto memandangi wajah-wajah mereka yang ada di depannya, yaitu wajah Ratu Pekat, Cempaka Ungu, si Mata Elang dan terakhir Tengkorak Terbang.
Luka-luka kedua orang itu telah mengering, dan kesehatannya memulih berkat pengobatan sederhana yang punya kekuatan besar. Hasil pengobatan itu membuat hati orang-orangnya Ratu Pekat menjadi salut dan hormat kepada Suto Sinting.
"Kalau boleh aku tahu," kata Ratu Pekat. "Apa yang membuatmu menangguhkan keberangkatan kalian, Pendekar Mabuk?"
"Apakah kau keberatan aku menunda keberangkatanku?" Pendekar Mabuk ganti bertanya kepada Ratu Pekat.
"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi aku ingin tahu. Apakah karena persoalan tadi malam di kamarmu?"
"Oh, bukan karena itu! Itu hanya sebuah mimpi Singo Bodong yang tiba-tiba menjadi ketakutan karena cahaya api di dalam kamar padam dengan sendirinya."
Singo Bodong memang tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya kepada Suto ia ceritakan semuanya secara bisik-bisik, tapi Suto pun tidak ingin mempermalukan Cempaka Ungu dengan membeberkan cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka Ungu merasa bersyukur, bahwa cerita tentang kenakalannya itu tidak sampai didengar oleh ibunya, atau oleh Tengkorak Terbang maupun si Mata Elang.
"Sebelumnya aku ingin bertanya," kata Suto. "Adakah di antara kita yang hadir di sini mengetahui simbol atau lambang yang menjadi kebanggaan Siluman Tujuh Nyawa itu?"
Ratu Pekat menyahut, "Yang kutahu, setiap kapal sekutunya Siluman Tujuh Nyawa selalu memakai bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh mata rantai melingkarinya. Tengkorak itu melambangkan siluman, tujuh mata rantai itu melambangkan tujuh nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu membahas soal lambang yang menjadi kebanggaan dia! Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu, Pendekar Mabuk, mengapa kau menanyakan lambang tersebut?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa lambang tengkorak dengan tujuh mata rantai itu bukan milik Tengkorak Terbang."
Tengkorak Terbang tertawa dengan suara lengkingnya, "Hiaah, hiah hah hah hah hah...!"
"Husy! Diam!" bentak Ratu Pekat dan tawa itu lenyap seketika. Sepi bagaikan suara jangkrik terinjak kaki manusia. Ratu Pekat lanjutkan kata-katanya kepada Pendekar Mabuk, "Tengkorak Terbang hanya sebuah julukan karena kurusnya tubuh dia. Bukan semata-mata menjadi lambang tersebut."
"Baiklah, jika begitu, kuingatkan sekali lagi padamu, Ratu Pekat, bahwa apa yang pernah dikatakan Dewa Racun kemarin itu memang benar."
"Soal apa?" Ratu Pekat kerutkan dahi.
"Salah satu dari orangmu adalah mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tidak mungkin! Orangku tidak punya jiwa pengkhianat!" Ratu Pekat tetap membantah, mungkin karena ingin menutup rasa malu bahwa ternyata ia lengah dan kemasukan mata-mata tanpa diketahui sejak kapan bercokolnya.
"Ratu Pekat, percayalah dengan pendapatku. Ada pengkhianat di sini dan istanamu akan direbutnya, pulau ini akan dikuasai, kau sendiri mungkin akan diusir, atau dibunuh, atau dijadikan tawanan dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Jangan bicara seenakmu, Pendekar Mabuk! Apakah kau bisa membuktikan siapa di antara kami yang menjadi mata-mata?"
"Bisa!" jawab Suto, matanya melirik ke arah Tengkorak Terbang. Bukan maksud Suto menuduh Tengkorak Terbang, tapi ia ingin tahu perubahan sikap Tengkorak Terbang sebagai panglima yang baru diangkat kemarin siang itu. Hanya saja, lirikan mata Suto diartikan lain oleh mereka. Mereka ikut-ikutan memandang Tengkorak Terbang, sehingga yang dipandang merasa sebagai pihak yang dituduh.
Berdiri seketika Tengkorak Terbang dengan kebuasan mata cekungnya, ia berkata dengan suara cemprengnya, "Hati-hati kau bicara, Pendekar Mabuk! Sekalipun kau telah menyelamatkan lukaku, aku masih tega membunuhmu jika kau mencoba menghasut Ratu! Aku bukan mata-mata!"
"Aku tidak menuduh kamu," jawab Suto dengan tersenyum. "Kalau aku memandangmu, itu karena aku ingin tahu sikapmu sebagai seorang panglima baru di Istana Cambuk Biru ini! Kau memang bukan mata-mata yang kumaksud, Tengkorak Terbang."
"Lantas siapa orang yang kau maksud?" sentak Tengkorak Terbang yang sudah telanjur dongkol hatinya.
"Berapa sisa prajurit yang ada di sini?" tanya Pendekar Mabuk kepada Tengkorak Terbang.
"Lima orang!"
"Kumpulkan dia dan aku bisa membedakan mana yang mata-mata dan mana yang bukan!"
"Kerjakan!" perintah Ratu Pekat kepada Tengkorak Terbang. Sang Ratu agak malu menerima kenyataan itu. Ia menggeram dengan mata memandang dalam terawang kebencian.
"Kalau benar salah satu prajuritku adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa, maka hal itu adalah kelalaian dari Pragulo, sebagai ketua keprajuritan ia tidak bisa membedakan mana lawan dan mana yang bukan lawan." Ratu Pekat palingkan wajah kepada si Mata Elang dan berkata dengan tegas. "Jika terbukti ada yang menjadi mata-mata, pancung Pragulo lebih dulu!"
"Baik!" jawab si Mata Elang dengan patuh.
Dewa Racun berkata, "Setahuku, Siluman Tujuh Nyawa tidak pernah mengirim orangnya untuk menyusup atau mengemban tugas khusus yang tanpa ilmu tinggi. Jika benar ada mata-matanya di sini, berarti sekalipun ia prajuritmu, Ratu, ia pasti punya ilmu tinggi!"
"Aku tahu!" kata Ratu Pekat tegas. "Tapi akan kuhadapi sendiri dia! Setinggi apa pun ilmunya, akan kuhadapi sendiri dia!"
"Itu hal yang baik," kata Dewa Racun, "Sebab, orang-orang yang disebar oleh Siluman Tujuh Nyawa adalah orang-orang pilihan, yang sedikitnya punya ilmu setingkat dengan Gagak Neraka atau Dadung Amuk. Bisa jadi lebih tinggi tingkatan ilmunya dari kedua orang yang kusebutkan tadi."
Ratu Pekat mau melanjutkan kata-katanya, tapi Tengkorak Terbang telah datang bersama keempat prajurit. Mereka diperintahkan Ratu untuk berjejer di depan serambi.
"Mana Pragulo...?!" sentak Tengkorak Terbang kepada salah seorang prajurit.
Sebelum prajurit itu menjawab, suara Pragulo telah menyahut dari samping istana sambil berlari-lari.
"Ke mana saja kau?"
"Hmmm... anu, maaf. Sedang buang hajat di belakang kamar mandi!"
Plakkk...! Tangan Tengkorak Terbang bergerak cepat menampar pipi Pragulo.
Prajurit yang menjadi kepala bagian keprajuritan itu hanya diam saja, menunduk, merasa bersalah. Kemudian ia diperintahkan berjejer di antara keempat prajurit lainnya.
"Biar saya yang menangani, Ratu. Mohon izinmu!" kata Suto.
"Memang harus kau yang menanganinya!" jawab Ratu Pekat, ia berdiri didampingi si Mata Elang dan Cempaka Ungu. Sementara itu, Dewa Racun dan Singo Bodong ada di sisi lain, agak jauh dari mereka.
Kepada para prajurit, Suto berkata, "Semua buka baju! Aku akan memilih satu orang untuk kubekali ilmuku, dan kujadikan benteng terdepan dalam menjaga keamanan istana!"
Seorang prajurit berwajah bengis berkata dengan angkuhnya. "Apakah ilmumu cukup tinggi, sehingga kau berani mau melatih kami, hah?!"
"Wiroto! Kerjakan apa saja perintahnya!" sentak Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya memandang keji kepada prajurit angkuh yang bernama Wiroto itu.
Kini, kelima prajurit telah melepas rompi mereka masing-masing. Wiroto hanya bisa melirik benci kepada Pendekar Mabuk, tapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum saja. Bahkan dengan santainya ia menenggak bumbung tuak yang sudah terisi kembali itu.
Glek glek glek...! Tak ada suara, tak ada gerakan, kecuali langkah Suto yang memandangi wajah-wajah prajurit dengan penuh selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu tampak menahan napas karena meredam nafsu kemarahannya.
"Coba kamu maju ke depan," perintah Pendekar Mabuk kepada Wiroto.
Prajurit itu melangkah maju dua tindak. Pendekar Mabuk memberikan sebatang tombak dan berkata, "Angkat kedua tanganmu ke atas, dan tahanlah tombak ini. Aku menyalurkan tenaga dalamku di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat menahannya atau tidak."
"Apa maksudnya orang itu?" bisik Cempaka Ungu kepada ibunya.
"Diam saja. Biarkan ia berbuat sesukanya!" jawab sang Ibu.
Wiroto menahan tombak dengan kedua tangan ke atas. Rupanya Pendekar Mabuk memang menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam batang tombak itu, sehingga Wiroto tampak merah mukanya sewaktu mempertahankan agar tombak tetap tersangga dengan kedua tangannya, ia sampai meliuk-liuk hampir jatuh, lututnya gemetar seperti sedang menyangga beban yang amat besar dan berat. Akhirnya Wiroto menggeloyor jatuh, tapi buru-buru ditangkap Pendekar Mabuk, dan tombak itu diambil oleh Pendekar Mabuk. Wiroto terengah-engah, ia tak mampu menahan tombak itu dalam sepuluh hitungan.
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala, "Payah," katanya meremehkan prajurit sombong itu. Lalu, Pendekar Mabuk menyuruh Pragulo maju ke depan dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Wiroto.
Pada saat kedua tangan Pragulo terangkat ke atas untuk menyangga tombak, tiba-tiba Suto berkata kepada Tengkorak Terbang, "Lihat tato di bawah ketiaknya!"
Tengkorak Terbang terkesiap dan tegang wajahnya, ia berseru sambil mencekal tangan Pragulo agar tetap terangkat ke atas, "Ratu, lihat tato di bawah ketiaknya! Ini lambang Siluman Tujuh Nyawa!"
Beggg...!
Tiba-tiba Pragulo sentakkan gagang tombak ke punggung Tengkorak Terbang. Saat itu, Ratu Pekat segera berseru, "Tangkap dia!"
Sebelum yang lain bergerak, Pragulo sudah lebih dulu melenting di udara dan menjejak kepala salah seorang prajurit, lalu melesat pergi melarikan diri. Tengkorak Terbang segera berteriak, "Kejar dia!"
Tapi Ratu Pekat berseru pula, "Jangan! Biar aku yang mengejarnya!"
Pragulo tak sadar telah terpancing oleh akal Pendekar Mabuk, ia tak bisa menyangkal tuduhan lagi. Karenanya ia lebih baik melarikan diri jika harus bertarung dengan beberapa orang berilmu tinggi yang ada di situ.
Tetapi karena Ratu Pekat sendiri yang mengejarnya, maka yang lain pun ikut mengejar, hanya beberapa prajurit yang masih tinggal menjaga istana. Tak lupa, Singo Bodong pun ikut lari karena ingin menyaksikan pertarungan yang menurut dugaannya pasti akan seru, sebab sang Ratu turun tangan sendiri.
Langkah Pragulo terhenti karena terhadang oleh munculnya perempuan berpakaian serba hitam dengan sulaman benang emasnya, dan mengenakan jubah putih sutera. Perempuan itu menyandang cambuk pendek berukuran satu depa, kecil seukuran kelingkingnya. Perempuan itu tak lain adalah Ratu Pekat sendiri.
"Biadab kau, Pragulo! Ternyata selama ini kaulah racun di dalam istanaku!" geram Ratu Pekat.
"Kau telah kebobolan beberapa kali, Ratu Pekat! Kau tidak tahu bahwa aku pun ikut ambil bagian membunuh orang-orangmu pada saat kedatangan Dadung Amuk, juga pada saat kedatangan Gagak Neraka kemarin itu! Ha ha ha ha...!"
"Jahanam kau! Hiaaah...!" Ratu Pekat melepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat sentakan punggung pergelangan tangannya. Wuuust...! Seberkas sinar merah melesat ke arah Pragulo. Tapi orang itu cepat melompat dan menghantamkan pukulan jarak jauhnya melalui kedua telapak tangan yang dihentakkan ke depan.
Wuuugh...!
Sinar merahnya Ratu Pekat mengenai tempat kosong, tapi pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa cahaya itu juga sempat ditahan oleh sentakan tangan kiri Ratu Pekat yang melesat tinggi ke samping.
Begg...!
Ratu Pekat terjengkang jatuh ke belakang. Itu pertanda tenaga dalam Pragulo lebih besar dari tenaga dalam yang digunakan menghadangnya.
"Ibu...?!" teriak Cempaka Ungu sambil cepat mencabut pedangnya. Tapi gerakannya ditahan oleh Tengkorak Terbang.
"Jangan! Aku yakin, Ratu bisa selesaikan sendiri urusan itu! Beri kesempatan pada dia untuk melampiaskan dendam dan murkanya!"
Hadir juga di situ Pendekar Mabuk dan Dewa Racun bersama Singo Bodong yang terbengong-bengong. Si Mata Elang hanya bersiap mengambil kesempatan sewaktu-waktu Ratu Pekat terdesak.
Cempaka Ungu segera mendekati Suto, berbisik penuh kecemasan, "Cepat turunlah! Jangan sampai Ibu celaka!"
"Biar saja! Ibumu ingin tunjukkan murkanya bagi orang yang mencoba mengkhianatinya!"
"Tapi Ibu dalam keadaan sakit!" katanya sambil mengguncang lengan Pendekar Mabuk.
"Ibumu pasti bisa mengatasinya sendiri!" jawab Suto acuh tak acuh. Seakan membalas keangkuhan Cempaka Ungu.
Gadis itu menjadi geram dan salah tingkah sendiri, sampai tak sadar ia masih berpegangan lengan Pendekar Mabuk. Ketika Suto melirik, Cempaka Ungu buru-buru melepaskan dengan rasa malu.
Pragulo tampak gesit dan lincah. Gerakannya begitu cepat, sehingga tombak yang sejak tadi dijatuhkan di tanah bisa diambilnya hanya dengan satu sentilan ibu jari kaki. Tapp...! Tombak itu ada di tangannya, lalu diputar-putar dengan cepat seperti ia memainkan toya. Gerakan jurusnya cukup indah, enak dipandang mata.
Suto memuji gerakan indah jurus itu, yang mampu merenggangkan kaki lurus ke tanah sambil memainkan tombak berputar, bahkan menggelincir sendiri di punggungnya yang membungkuk itu. Sambil membungkuk, Pragulo melepaskan pukulan jarak jauhnya ke atas, ke arah dada Ratu Pekat. Tetapi Ratu Pekat menghindar dengan satu kali sentakkan kaki, tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali.
Sambil bersalto rupanya Ratu Pekat cepat mencabut cambuknya. Begitu mendarat di tanah dengan kaki tegak, cambuk kecil itu segera dikibaskan ke depan. Jaraknya tak menjangkau, tapi ujung cambuk itu menyemburkan cahaya biru petir dan menggelegar.
Duarrr...!
Pragulo cepat sentakkan tombaknya ke tanah dan tubuhnya terangkat terbang tinggi-tinggi, lalu tombak itu dilemparkan dengan cepatnya ke tubuh Ratu Pekat. Wuttt...! Jrubb...!
Tombak itu menancap di tanah karena Ratu Pekat menghindar, sedangkan cahaya biru petir tadi menghantam sebuah pohon yang membuat pohon itu lenyap dalam sekejap tanpa bekas sedikit pun. Pragulo mendaratkan kakinya di tanah dengan sedikit merendah. Lalu, kedua tangannya bergerak mengeras dari samping pinggul naik ke atas pelan-pelan. Tubuhnya sampai kelihatan bergetar. Tubuh itu mengeluarkan asap kebiru-biruan.
Dewa Racun cepat berteriak, "Minggir semua! Dia mau tebarkan Racun Pemunah Bangkai! Minggir semuaaa...! Tutup hidung kaliaaan...!"
Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi, Ratu Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan cambuk birunya lagi.
Duarrr...!
Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo. Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas. Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu semakin penasaran.
"Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari kejauhan. "Sekali dia sentakkan tangannya, Racun Pemunah Bangkai akan menyebar!"
Wuuttt... wuttt...!
Pendekar Mabuk bergerak cepat menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh. Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri dengan gerakan berotot dan asap makin banyak mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Mabuk cepat tenggak tuaknya dan melompat beberapa kali berjungkir balik di tanah. Tap tap tap tap tap...! Cepat sekali!
Pendekar Mabuk tiba di depan Pragulo. Tepat pada saat itu Pragulo sentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah Pendekar Mabuk. Tapi segera Pendekar Mabuk semburkan tuak dari dalam mulutnya itu.
Brusss...!
"Aaaaahk...!" Pragulo memekik dengan tubuh mengejang, kepala terdongak ke atas, mulut terbuka lebar dan mata terpejam kuat. Pukulan Racun Pemunah Bangkai itu membalik menyerang dirinya sendiri, dan akibatnya tubuh Pragulo itu mulai menghitam. Lama-lama kulit tubuhnya menjadi lumer, bau busuk menyebar tajam.
Suto cepat tinggalkan tempat karena tak tahan bau bangkai itu. Dari kejauhan, semua yang tutup hidung hanya bisa memandang dengan mata melotot melihat tubuh Pragulo menjadi lumer hitam, dan akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan tetap melumer menjijikkan. Akhirnya tubuh Pragulo tak berbentuk manusia lagi, melainkan berbentuk cairan kental hitam yang baunya sangat busuk.
Cempaka Ungu muntah-muntah seketika. Singo Bodong juga muntah-muntah sampai tak sadar mengenai punggung Dewa Racun. Tentu saja ia mendapat tamparan Dewa Racun yang merasa jijik terkena muntahan Singo Bodong.
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya lagi, lalu ia melompat dengan cepat dan tiba di dekat benda lumer itu dan menyemburkan tuak dalam mulutnya, Brusss...!
Bau bangkai itu mulai menipis. Angin pantai membuatnya terbang, dan cepat menjadi hilang. Sementara itu, Dewa Racun tertegun bengong melihat apa yang dilakukan Suto tadi. Menyemburkan tuak membuat bau busuk itu hilang, sudah merupakan hal yang menakjubkan buat Dewa Racun. Karena dia tahu, bau bangkai itu tidak bisa hilang selama tujuh hari. Tapi ternyata dengan semburan tuak bisa cepat lenyap.
"Luar biasa dia itu...?!" gumamnya dengan mulut masih bau anyir ikan bakar.
"Terima kasih, Pendekar Mabuk. Sekali lagi kau telah menyelamatkan aku!" kata Ratu Pekat kemudian.
"Karena aku punya pamrih," jawab Suto.
"Pamrih apa?!" tanya Cempaka Ungu.
"Sebuah perahu!" jawab Pendekar Mabuk dengan senyum.
"Jadi, kau akan bertolak sekarang juga atau nanti sore?" tanya si Mata Elang.
"Sedang kupertimbangkan kapan aku harus pergi dari pulau ini."
"Rupanya ada hal yang meragukan dirimu?" tanya Tengkorak Terbang.
"Terus terang saja, memang ada keraguan pada diriku!"
"Keraguan apa?" tanya Ratu Pekat.
"Semalam kulihat Pragulo melakukan hubungan jarak jauh dengan seseorang. Sepertinya dengan Siluman Tujuh Nyawa. Dia berdiri di batu sebelah sana," Suto menunjuk arah batu itu. "Dia menyebut-nyebut istanamu yang lemah."
"Kalau begitu, mereka akan datang menyerang pulau ini?" kata Ratu Pekat dalam kecemasan.
"Mereka siapa, Ibu?"
"Kapal Siluman Tujuh Nyawa!"
"Menyerang kita? Kita yang lemah seperti ini akan kedatangan mereka? Apakah kita mampu bertahan?!"
Si Mata Elang memandang Tengkorak Terbang, dan Tengkorak Terbang sendiri menatap tegang pada si Mata Elang.
"Tak bisakah kau tinggal sesaat lagi, Pendekar Mabuk?" tanya Tengkorak Terbang dengan nada memohon.
"Ya, tinggallah beberapa hari lagi di sini," sahut Ratu Pekat.
"Aku harus berunding dengan Dewa Racun dulu," kata Suto. Tapi matanya tertuju pada Cempaka Ungu, dan gadis itu menatap penuh harap. Sebuah harapan untuk sebentuk perlindungan. Haruskah Suto menunda lagi perjalanannya ke Pulau Serindu?
Tetapi, Pendekar Mabuk berkata lain kepada Ratu Pekat, "Aku tidak jadi berangkat hari ini!"
Kata-kata itu tidak mengejutkan Ratu Pekat, tapi membuat Dewa Racun dan Singo Bodong terperanjat. Mereka sama-sama memandang Pendekar Mabuk, hanya Suto tidak peduli dengan sikap memandang mereka. Suto memandangi wajah-wajah mereka yang ada di depannya, yaitu wajah Ratu Pekat, Cempaka Ungu, si Mata Elang dan terakhir Tengkorak Terbang.
Luka-luka kedua orang itu telah mengering, dan kesehatannya memulih berkat pengobatan sederhana yang punya kekuatan besar. Hasil pengobatan itu membuat hati orang-orangnya Ratu Pekat menjadi salut dan hormat kepada Suto Sinting.
"Kalau boleh aku tahu," kata Ratu Pekat. "Apa yang membuatmu menangguhkan keberangkatan kalian, Pendekar Mabuk?"
"Apakah kau keberatan aku menunda keberangkatanku?" Pendekar Mabuk ganti bertanya kepada Ratu Pekat.
"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi aku ingin tahu. Apakah karena persoalan tadi malam di kamarmu?"
"Oh, bukan karena itu! Itu hanya sebuah mimpi Singo Bodong yang tiba-tiba menjadi ketakutan karena cahaya api di dalam kamar padam dengan sendirinya."
Singo Bodong memang tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya kepada Suto ia ceritakan semuanya secara bisik-bisik, tapi Suto pun tidak ingin mempermalukan Cempaka Ungu dengan membeberkan cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka Ungu merasa bersyukur, bahwa cerita tentang kenakalannya itu tidak sampai didengar oleh ibunya, atau oleh Tengkorak Terbang maupun si Mata Elang.
"Sebelumnya aku ingin bertanya," kata Suto. "Adakah di antara kita yang hadir di sini mengetahui simbol atau lambang yang menjadi kebanggaan Siluman Tujuh Nyawa itu?"
Ratu Pekat menyahut, "Yang kutahu, setiap kapal sekutunya Siluman Tujuh Nyawa selalu memakai bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh mata rantai melingkarinya. Tengkorak itu melambangkan siluman, tujuh mata rantai itu melambangkan tujuh nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu membahas soal lambang yang menjadi kebanggaan dia! Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu, Pendekar Mabuk, mengapa kau menanyakan lambang tersebut?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa lambang tengkorak dengan tujuh mata rantai itu bukan milik Tengkorak Terbang."
Tengkorak Terbang tertawa dengan suara lengkingnya, "Hiaah, hiah hah hah hah hah...!"
"Husy! Diam!" bentak Ratu Pekat dan tawa itu lenyap seketika. Sepi bagaikan suara jangkrik terinjak kaki manusia. Ratu Pekat lanjutkan kata-katanya kepada Pendekar Mabuk, "Tengkorak Terbang hanya sebuah julukan karena kurusnya tubuh dia. Bukan semata-mata menjadi lambang tersebut."
"Baiklah, jika begitu, kuingatkan sekali lagi padamu, Ratu Pekat, bahwa apa yang pernah dikatakan Dewa Racun kemarin itu memang benar."
"Soal apa?" Ratu Pekat kerutkan dahi.
"Salah satu dari orangmu adalah mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tidak mungkin! Orangku tidak punya jiwa pengkhianat!" Ratu Pekat tetap membantah, mungkin karena ingin menutup rasa malu bahwa ternyata ia lengah dan kemasukan mata-mata tanpa diketahui sejak kapan bercokolnya.
"Ratu Pekat, percayalah dengan pendapatku. Ada pengkhianat di sini dan istanamu akan direbutnya, pulau ini akan dikuasai, kau sendiri mungkin akan diusir, atau dibunuh, atau dijadikan tawanan dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Jangan bicara seenakmu, Pendekar Mabuk! Apakah kau bisa membuktikan siapa di antara kami yang menjadi mata-mata?"
"Bisa!" jawab Suto, matanya melirik ke arah Tengkorak Terbang. Bukan maksud Suto menuduh Tengkorak Terbang, tapi ia ingin tahu perubahan sikap Tengkorak Terbang sebagai panglima yang baru diangkat kemarin siang itu. Hanya saja, lirikan mata Suto diartikan lain oleh mereka. Mereka ikut-ikutan memandang Tengkorak Terbang, sehingga yang dipandang merasa sebagai pihak yang dituduh.
Berdiri seketika Tengkorak Terbang dengan kebuasan mata cekungnya, ia berkata dengan suara cemprengnya, "Hati-hati kau bicara, Pendekar Mabuk! Sekalipun kau telah menyelamatkan lukaku, aku masih tega membunuhmu jika kau mencoba menghasut Ratu! Aku bukan mata-mata!"
"Aku tidak menuduh kamu," jawab Suto dengan tersenyum. "Kalau aku memandangmu, itu karena aku ingin tahu sikapmu sebagai seorang panglima baru di Istana Cambuk Biru ini! Kau memang bukan mata-mata yang kumaksud, Tengkorak Terbang."
"Lantas siapa orang yang kau maksud?" sentak Tengkorak Terbang yang sudah telanjur dongkol hatinya.
"Berapa sisa prajurit yang ada di sini?" tanya Pendekar Mabuk kepada Tengkorak Terbang.
"Lima orang!"
"Kumpulkan dia dan aku bisa membedakan mana yang mata-mata dan mana yang bukan!"
"Kerjakan!" perintah Ratu Pekat kepada Tengkorak Terbang. Sang Ratu agak malu menerima kenyataan itu. Ia menggeram dengan mata memandang dalam terawang kebencian.
"Kalau benar salah satu prajuritku adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa, maka hal itu adalah kelalaian dari Pragulo, sebagai ketua keprajuritan ia tidak bisa membedakan mana lawan dan mana yang bukan lawan." Ratu Pekat palingkan wajah kepada si Mata Elang dan berkata dengan tegas. "Jika terbukti ada yang menjadi mata-mata, pancung Pragulo lebih dulu!"
"Baik!" jawab si Mata Elang dengan patuh.
Dewa Racun berkata, "Setahuku, Siluman Tujuh Nyawa tidak pernah mengirim orangnya untuk menyusup atau mengemban tugas khusus yang tanpa ilmu tinggi. Jika benar ada mata-matanya di sini, berarti sekalipun ia prajuritmu, Ratu, ia pasti punya ilmu tinggi!"
"Aku tahu!" kata Ratu Pekat tegas. "Tapi akan kuhadapi sendiri dia! Setinggi apa pun ilmunya, akan kuhadapi sendiri dia!"
"Itu hal yang baik," kata Dewa Racun, "Sebab, orang-orang yang disebar oleh Siluman Tujuh Nyawa adalah orang-orang pilihan, yang sedikitnya punya ilmu setingkat dengan Gagak Neraka atau Dadung Amuk. Bisa jadi lebih tinggi tingkatan ilmunya dari kedua orang yang kusebutkan tadi."
Ratu Pekat mau melanjutkan kata-katanya, tapi Tengkorak Terbang telah datang bersama keempat prajurit. Mereka diperintahkan Ratu untuk berjejer di depan serambi.
"Mana Pragulo...?!" sentak Tengkorak Terbang kepada salah seorang prajurit.
Sebelum prajurit itu menjawab, suara Pragulo telah menyahut dari samping istana sambil berlari-lari.
"Ke mana saja kau?"
"Hmmm... anu, maaf. Sedang buang hajat di belakang kamar mandi!"
Plakkk...! Tangan Tengkorak Terbang bergerak cepat menampar pipi Pragulo.
Prajurit yang menjadi kepala bagian keprajuritan itu hanya diam saja, menunduk, merasa bersalah. Kemudian ia diperintahkan berjejer di antara keempat prajurit lainnya.
"Biar saya yang menangani, Ratu. Mohon izinmu!" kata Suto.
"Memang harus kau yang menanganinya!" jawab Ratu Pekat, ia berdiri didampingi si Mata Elang dan Cempaka Ungu. Sementara itu, Dewa Racun dan Singo Bodong ada di sisi lain, agak jauh dari mereka.
Kepada para prajurit, Suto berkata, "Semua buka baju! Aku akan memilih satu orang untuk kubekali ilmuku, dan kujadikan benteng terdepan dalam menjaga keamanan istana!"
Seorang prajurit berwajah bengis berkata dengan angkuhnya. "Apakah ilmumu cukup tinggi, sehingga kau berani mau melatih kami, hah?!"
"Wiroto! Kerjakan apa saja perintahnya!" sentak Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya memandang keji kepada prajurit angkuh yang bernama Wiroto itu.
Kini, kelima prajurit telah melepas rompi mereka masing-masing. Wiroto hanya bisa melirik benci kepada Pendekar Mabuk, tapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum saja. Bahkan dengan santainya ia menenggak bumbung tuak yang sudah terisi kembali itu.
Glek glek glek...! Tak ada suara, tak ada gerakan, kecuali langkah Suto yang memandangi wajah-wajah prajurit dengan penuh selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu tampak menahan napas karena meredam nafsu kemarahannya.
"Coba kamu maju ke depan," perintah Pendekar Mabuk kepada Wiroto.
Prajurit itu melangkah maju dua tindak. Pendekar Mabuk memberikan sebatang tombak dan berkata, "Angkat kedua tanganmu ke atas, dan tahanlah tombak ini. Aku menyalurkan tenaga dalamku di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat menahannya atau tidak."
"Apa maksudnya orang itu?" bisik Cempaka Ungu kepada ibunya.
"Diam saja. Biarkan ia berbuat sesukanya!" jawab sang Ibu.
Wiroto menahan tombak dengan kedua tangan ke atas. Rupanya Pendekar Mabuk memang menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam batang tombak itu, sehingga Wiroto tampak merah mukanya sewaktu mempertahankan agar tombak tetap tersangga dengan kedua tangannya, ia sampai meliuk-liuk hampir jatuh, lututnya gemetar seperti sedang menyangga beban yang amat besar dan berat. Akhirnya Wiroto menggeloyor jatuh, tapi buru-buru ditangkap Pendekar Mabuk, dan tombak itu diambil oleh Pendekar Mabuk. Wiroto terengah-engah, ia tak mampu menahan tombak itu dalam sepuluh hitungan.
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala, "Payah," katanya meremehkan prajurit sombong itu. Lalu, Pendekar Mabuk menyuruh Pragulo maju ke depan dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Wiroto.
Pada saat kedua tangan Pragulo terangkat ke atas untuk menyangga tombak, tiba-tiba Suto berkata kepada Tengkorak Terbang, "Lihat tato di bawah ketiaknya!"
Tengkorak Terbang terkesiap dan tegang wajahnya, ia berseru sambil mencekal tangan Pragulo agar tetap terangkat ke atas, "Ratu, lihat tato di bawah ketiaknya! Ini lambang Siluman Tujuh Nyawa!"
Beggg...!
Tiba-tiba Pragulo sentakkan gagang tombak ke punggung Tengkorak Terbang. Saat itu, Ratu Pekat segera berseru, "Tangkap dia!"
Sebelum yang lain bergerak, Pragulo sudah lebih dulu melenting di udara dan menjejak kepala salah seorang prajurit, lalu melesat pergi melarikan diri. Tengkorak Terbang segera berteriak, "Kejar dia!"
Tapi Ratu Pekat berseru pula, "Jangan! Biar aku yang mengejarnya!"
Pragulo tak sadar telah terpancing oleh akal Pendekar Mabuk, ia tak bisa menyangkal tuduhan lagi. Karenanya ia lebih baik melarikan diri jika harus bertarung dengan beberapa orang berilmu tinggi yang ada di situ.
Tetapi karena Ratu Pekat sendiri yang mengejarnya, maka yang lain pun ikut mengejar, hanya beberapa prajurit yang masih tinggal menjaga istana. Tak lupa, Singo Bodong pun ikut lari karena ingin menyaksikan pertarungan yang menurut dugaannya pasti akan seru, sebab sang Ratu turun tangan sendiri.
Langkah Pragulo terhenti karena terhadang oleh munculnya perempuan berpakaian serba hitam dengan sulaman benang emasnya, dan mengenakan jubah putih sutera. Perempuan itu menyandang cambuk pendek berukuran satu depa, kecil seukuran kelingkingnya. Perempuan itu tak lain adalah Ratu Pekat sendiri.
"Biadab kau, Pragulo! Ternyata selama ini kaulah racun di dalam istanaku!" geram Ratu Pekat.
"Kau telah kebobolan beberapa kali, Ratu Pekat! Kau tidak tahu bahwa aku pun ikut ambil bagian membunuh orang-orangmu pada saat kedatangan Dadung Amuk, juga pada saat kedatangan Gagak Neraka kemarin itu! Ha ha ha ha...!"
"Jahanam kau! Hiaaah...!" Ratu Pekat melepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat sentakan punggung pergelangan tangannya. Wuuust...! Seberkas sinar merah melesat ke arah Pragulo. Tapi orang itu cepat melompat dan menghantamkan pukulan jarak jauhnya melalui kedua telapak tangan yang dihentakkan ke depan.
Wuuugh...!
Sinar merahnya Ratu Pekat mengenai tempat kosong, tapi pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa cahaya itu juga sempat ditahan oleh sentakan tangan kiri Ratu Pekat yang melesat tinggi ke samping.
Begg...!
Ratu Pekat terjengkang jatuh ke belakang. Itu pertanda tenaga dalam Pragulo lebih besar dari tenaga dalam yang digunakan menghadangnya.
"Ibu...?!" teriak Cempaka Ungu sambil cepat mencabut pedangnya. Tapi gerakannya ditahan oleh Tengkorak Terbang.
"Jangan! Aku yakin, Ratu bisa selesaikan sendiri urusan itu! Beri kesempatan pada dia untuk melampiaskan dendam dan murkanya!"
Hadir juga di situ Pendekar Mabuk dan Dewa Racun bersama Singo Bodong yang terbengong-bengong. Si Mata Elang hanya bersiap mengambil kesempatan sewaktu-waktu Ratu Pekat terdesak.
Cempaka Ungu segera mendekati Suto, berbisik penuh kecemasan, "Cepat turunlah! Jangan sampai Ibu celaka!"
"Biar saja! Ibumu ingin tunjukkan murkanya bagi orang yang mencoba mengkhianatinya!"
"Tapi Ibu dalam keadaan sakit!" katanya sambil mengguncang lengan Pendekar Mabuk.
"Ibumu pasti bisa mengatasinya sendiri!" jawab Suto acuh tak acuh. Seakan membalas keangkuhan Cempaka Ungu.
Gadis itu menjadi geram dan salah tingkah sendiri, sampai tak sadar ia masih berpegangan lengan Pendekar Mabuk. Ketika Suto melirik, Cempaka Ungu buru-buru melepaskan dengan rasa malu.
Pragulo tampak gesit dan lincah. Gerakannya begitu cepat, sehingga tombak yang sejak tadi dijatuhkan di tanah bisa diambilnya hanya dengan satu sentilan ibu jari kaki. Tapp...! Tombak itu ada di tangannya, lalu diputar-putar dengan cepat seperti ia memainkan toya. Gerakan jurusnya cukup indah, enak dipandang mata.
Suto memuji gerakan indah jurus itu, yang mampu merenggangkan kaki lurus ke tanah sambil memainkan tombak berputar, bahkan menggelincir sendiri di punggungnya yang membungkuk itu. Sambil membungkuk, Pragulo melepaskan pukulan jarak jauhnya ke atas, ke arah dada Ratu Pekat. Tetapi Ratu Pekat menghindar dengan satu kali sentakkan kaki, tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali.
Sambil bersalto rupanya Ratu Pekat cepat mencabut cambuknya. Begitu mendarat di tanah dengan kaki tegak, cambuk kecil itu segera dikibaskan ke depan. Jaraknya tak menjangkau, tapi ujung cambuk itu menyemburkan cahaya biru petir dan menggelegar.
Duarrr...!
Pragulo cepat sentakkan tombaknya ke tanah dan tubuhnya terangkat terbang tinggi-tinggi, lalu tombak itu dilemparkan dengan cepatnya ke tubuh Ratu Pekat. Wuttt...! Jrubb...!
Tombak itu menancap di tanah karena Ratu Pekat menghindar, sedangkan cahaya biru petir tadi menghantam sebuah pohon yang membuat pohon itu lenyap dalam sekejap tanpa bekas sedikit pun. Pragulo mendaratkan kakinya di tanah dengan sedikit merendah. Lalu, kedua tangannya bergerak mengeras dari samping pinggul naik ke atas pelan-pelan. Tubuhnya sampai kelihatan bergetar. Tubuh itu mengeluarkan asap kebiru-biruan.
Dewa Racun cepat berteriak, "Minggir semua! Dia mau tebarkan Racun Pemunah Bangkai! Minggir semuaaa...! Tutup hidung kaliaaan...!"
Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri Pragulo. Semua mundur menjauh sambil tutup hidung dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi, Ratu Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan cambuk birunya lagi.
Duarrr...!
Cahaya sembur biru kilat mengenai tubuh Pragulo. Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas. Ratu Pekat menjadi tegang melihat pukulan 'Cambuk Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu semakin penasaran.
"Cepat ambil sang Ratu!" teriak Dewa Racun dari kejauhan. "Sekali dia sentakkan tangannya, Racun Pemunah Bangkai akan menyebar!"
Wuuttt... wuttt...!
Pendekar Mabuk bergerak cepat menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh. Pragulo seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri dengan gerakan berotot dan asap makin banyak mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir disentakkan ke depan. Tetapi, Pendekar Mabuk cepat tenggak tuaknya dan melompat beberapa kali berjungkir balik di tanah. Tap tap tap tap tap...! Cepat sekali!
Pendekar Mabuk tiba di depan Pragulo. Tepat pada saat itu Pragulo sentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah Pendekar Mabuk. Tapi segera Pendekar Mabuk semburkan tuak dari dalam mulutnya itu.
Brusss...!
"Aaaaahk...!" Pragulo memekik dengan tubuh mengejang, kepala terdongak ke atas, mulut terbuka lebar dan mata terpejam kuat. Pukulan Racun Pemunah Bangkai itu membalik menyerang dirinya sendiri, dan akibatnya tubuh Pragulo itu mulai menghitam. Lama-lama kulit tubuhnya menjadi lumer, bau busuk menyebar tajam.
Suto cepat tinggalkan tempat karena tak tahan bau bangkai itu. Dari kejauhan, semua yang tutup hidung hanya bisa memandang dengan mata melotot melihat tubuh Pragulo menjadi lumer hitam, dan akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan tetap melumer menjijikkan. Akhirnya tubuh Pragulo tak berbentuk manusia lagi, melainkan berbentuk cairan kental hitam yang baunya sangat busuk.
Cempaka Ungu muntah-muntah seketika. Singo Bodong juga muntah-muntah sampai tak sadar mengenai punggung Dewa Racun. Tentu saja ia mendapat tamparan Dewa Racun yang merasa jijik terkena muntahan Singo Bodong.
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya lagi, lalu ia melompat dengan cepat dan tiba di dekat benda lumer itu dan menyemburkan tuak dalam mulutnya, Brusss...!
Bau bangkai itu mulai menipis. Angin pantai membuatnya terbang, dan cepat menjadi hilang. Sementara itu, Dewa Racun tertegun bengong melihat apa yang dilakukan Suto tadi. Menyemburkan tuak membuat bau busuk itu hilang, sudah merupakan hal yang menakjubkan buat Dewa Racun. Karena dia tahu, bau bangkai itu tidak bisa hilang selama tujuh hari. Tapi ternyata dengan semburan tuak bisa cepat lenyap.
"Luar biasa dia itu...?!" gumamnya dengan mulut masih bau anyir ikan bakar.
"Terima kasih, Pendekar Mabuk. Sekali lagi kau telah menyelamatkan aku!" kata Ratu Pekat kemudian.
"Karena aku punya pamrih," jawab Suto.
"Pamrih apa?!" tanya Cempaka Ungu.
"Sebuah perahu!" jawab Pendekar Mabuk dengan senyum.
"Jadi, kau akan bertolak sekarang juga atau nanti sore?" tanya si Mata Elang.
"Sedang kupertimbangkan kapan aku harus pergi dari pulau ini."
"Rupanya ada hal yang meragukan dirimu?" tanya Tengkorak Terbang.
"Terus terang saja, memang ada keraguan pada diriku!"
"Keraguan apa?" tanya Ratu Pekat.
"Semalam kulihat Pragulo melakukan hubungan jarak jauh dengan seseorang. Sepertinya dengan Siluman Tujuh Nyawa. Dia berdiri di batu sebelah sana," Suto menunjuk arah batu itu. "Dia menyebut-nyebut istanamu yang lemah."
"Kalau begitu, mereka akan datang menyerang pulau ini?" kata Ratu Pekat dalam kecemasan.
"Mereka siapa, Ibu?"
"Kapal Siluman Tujuh Nyawa!"
"Menyerang kita? Kita yang lemah seperti ini akan kedatangan mereka? Apakah kita mampu bertahan?!"
Si Mata Elang memandang Tengkorak Terbang, dan Tengkorak Terbang sendiri menatap tegang pada si Mata Elang.
"Tak bisakah kau tinggal sesaat lagi, Pendekar Mabuk?" tanya Tengkorak Terbang dengan nada memohon.
"Ya, tinggallah beberapa hari lagi di sini," sahut Ratu Pekat.
"Aku harus berunding dengan Dewa Racun dulu," kata Suto. Tapi matanya tertuju pada Cempaka Ungu, dan gadis itu menatap penuh harap. Sebuah harapan untuk sebentuk perlindungan. Haruskah Suto menunda lagi perjalanannya ke Pulau Serindu?
SELESAI