Serial Pendekar Mabuk
Pedang Guntur Biru
Karya Suryadi
Pedang Guntur Biru
Karya Suryadi
SATU
PAKAIAN kuning gading membuat wajah cantiknya menjadi lebih anggun lagi. Dengan rambut dikepang satu ke belakang, senjata pedang masih terselip di pinggang, perempuan itu tetap berdiri tegak di depan orang berpakaian serba merah itu. Melihat sikap memandang yang dingin dan ketus dari perempuan berpakaian kuning dengan dirangkapi rompi panjang warna ungu itu, jelas ada permusuhan di antara mereka berdua. Itulah sebabnya ia tetap berdiri tegak di depan pintu masuk sebuah kuil yang berpagar batu tinggi."Sekalipun kau kakak perguruanku, tapi aku tetap tak bisa izinkan kau masuk kuil ini, Barong Geni!" kata perempuan itu dengan tegas dan berkesan berani.
Barong Geni yang berpakaian serba merah sampai pada ikat kepalanya juga merah itu, sengaja sunggingkan senyum sinis kepada bekas adik seperguruannya yang bernama Intan Selaksa. Kumisnya yang sedikit lebat itu diusap-usap dengan jari, kadang dipelintir agar melengkung kedua ujungnya. Barong Geni segera serukan kata,
"Kita mempunyai hak yang sama untuk menempati kuil ini, Intan Selaksa! Jangan kau tampakkan sikap serakahmu di depanku! Kau bisa menyesal kalau sampai aku bertindak kasar kepadamu!"
"Memang kita dulu bekas saudara seperguruan, kita memang sama-sama murid Begawan Sangga Mega yang sudah almarhum itu. Tetapi kau sudah diusir dari kuil ini! Kau telah menjadi murid murtad dan tidak diizinkan menginjak kuil ini lagi oleh sang Begawan!"
"Itu dulu, semasa Guru masih hidup!" sanggah Barong Geni.
"Sekarang pun larangan itu tetap berlaku, Barong Geni! Sebelum Guru wafat, beliau pernah berpesan agar akulah orang yang harus menjadi penjaga kuil ini, dan melarangmu menginjakkan kaki di kuil ini! Jadi kusarankan padamu, Barong Geni, sebaiknya cepatlah angkat kakimu dari tanah Kuil Swanalingga ini, supaya arwah Guru tidak murka kepadamu!"
Mata lebar berwajah angker dengan badan yang besar itu cepat menggeramkan suaranya pertanda menahan kemarahan. Rambut ikalnya yang dibungkus kain merah sebagian itu dibiarkan terhempas angin pegunungan yang semilir. Perutnya yang buncit dengan baju tidak dikancingkan sengaja dipamerkan sebagai umpan pukulan nantinya.
Barong Geni punya keyakinan, bahwa hari itu ia harus bertarung dengan Intan Selaksa. Agaknya Intan Selaksa tak bisa diajak damai untuk urusan ini. Barong Geni merasa diremehkan oleh larangan Intan Selaksa itu. Maka, segera ia lontarkan kata yang lebih bernada bermusuhan lagi kepada Intan Selaksa,
"Aku tak bermaksud bermusuhan denganmu, Intan Selaksa. Tapi kalau kau merasa sudah bosan menikmati hidupmu ini, aku juga tidak keberatan jika harus melenyapkan nyawamu!"
Intan Selaksa sunggingkan senyum tipis tanda mengejek ucapan itu. Bahkan ia berkata dengan ketusnya, "Demi mematuhi perintah wasiat Guru, nyawaku sudah siap kujadikan perisai, Barong Geni! Akan kulayani jika kau ingin bertingkah di depanku! Tak mungkin aku gentar menghadapimu, Barong Geni!"
"Perempuan Sombong!" geram Barong Geni sambil melepaskan tangannya yang sejak tadi melintir kumis. "Tingkat ilmumu belum seberapa tapi sudah berani berkoar seperti itu di depan Barong Geni! Majulah, jika kau ingin cepat menuju alam akhirat! Majulah...!"
Sambil lontarkan tantangan, Barong Geni mulai pasang kuda-kuda dan angkat kedua tangannya di pertengahan dada, yang satu diangkat sampai di atas kepala, ia siap melancarkan pukulannya begitu Intan Selaksa sedikit saja bergerak mencurigakan. Matanya pun makin memancar tajam dan penuh kobaran api permusuhan.
Tetapi, Intan Selaksa masih tetap diam dengan berdiri merenggang kaki. Kedua tangannya disangkutkan pada ikat pinggang di depan perutnya. Wajah ayunya memamerkan senyum berlesung pipit yang semakin membuatnya manis. Tapi kali ini senyum manis itu tetap berkesan pahit, karena mata Intan Selaksa tak mau pancarkan keteduhan.
"Majulah kalau memang kau ingin menjadi perisai Kuil Swanalingga ini, Monyet!" bentak Barong Geni.
"Tak perlu aku maju mendekatimu," kata Intan Selaksa dengan suara kalem seperti tadi juga. "Untuk apa aku mendekatimu jika kau tak mampu gerakkan tanganmu, Barong Geni?!"
"Omong besar! Kurompalkan gigimu semua, Intan Selaksa! Hiiih...!"
Barong Geni sangat terkejut. Dahinya berkerut-kerut dengan tubuh bergerak-gerak dalam sentakan kaku yang berat. Bahkan ia sempat kerahkan tenaganya untuk menggerakkan kedua tangan, tapi kedua tangannya tetap tak bisa bergerak turun, ke depan, ke samping, atau kemana saja. Tangan itu menjadi kaku dan keras bagaikan kayu. Bagian jemari pun tak bisa digerakkan sedikit pun.
"Monyet busuk!" caci Barong Geni. "Rupanya kau telah menotok jalan darahku di bagian kedua tangan ini dengan kekuatan senyumanmu, hah?! Kau telah kuasai ilmu 'Sungging Betari' dari Begawan Sangga Mega itu?! Baik! Aku tak mudah menyerah, Intan Selaksa! Kutunjukkan padamu bahwa aku pun tetap mampu melawanmu walaupun kau menguasai ilmu 'Sungging Betari'! Hiaaah...!"
Barong Geni sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melesat terbang dengan berkelebat menendang kepala Intan Selaksa. Wusss...! Intan Selaksa menangkis tendangan itu dengan sentilan dua jarinya. Tass...! Kaki itu bukan hanya tertahan, namun juga terlempar ke arah lain dengan satu sentakan kuat.
Bregggh...! Barong Geni jatuh dengan tangan tetap kaku pada posisi semula, yang kiri di depan dada, yang kanan di atas kepala.
Intan Selaksa cepat menjauhkan diri dengan satu lompatan ringan ke arah samping. Senyumnya semakin mekar melecehkan jatuhnya Barong Geni. Yang merasa dilecehkan cepat berdiri dan menggeram dengan nafsu ingin membunuh.
"Kuakui kau sekarang sudah banyak berubah, Intan Selaksa! Kau lebih tangkas dan lebih cepat bergerak daripada tiga tahun yang lalu. Tetapi jangan dulu kau merasa bangga dengan kemajuanmu itu! Aku akan merampungkan janjiku yang tadi kuucapkan padamu! Hiaaa...!"
Barong Geni sentakkan kakinya dari jarak lima langkah. Sentakan itu mempunyai gelombang tenaga dalam yang melesat cepat menghantam perut Intan Selaksa.
Wusss...! Begggh...!
"Ahhg...!" Intan Selaksa tak sempat menangkis karena begitu cepatnya gelombang tenaga dalam dari tendangan kaki Barong Geni, sehingga akibatnya ia terpental ke belakang dan jatuh disemak-semak.
Grusakkk...!
"Hup...!" Intan Selaksa sentakkan kedua tangannya ke tanah dan tubuhnya melentik bagai kaki jangkrik. Lalu, tiba-tiba ia sudah berdiri dengan tegak dan mengangkat kedua tangannya ke depan dengan telapak tangan siap melepaskan pukulan jarak jauh. Tapi belum sempat pukulan itu terlepaskan, Barong Geni sudah lebih cepat menggerakkan kakinya yang menendang berputar beberapa kali hingga putaran kaki itu seperti kipas yang bergerak dengan cepat.
Wutttt... wuttt... wuttt... wuttt...!
Suara itu begitu cepatnya hingga yang didengar Intan Selaksa suara yang memanjang. Wungngng...! Angin kencang menyerupai badai datang menghantam tubuh Intan Selaksa. Tak sempat ia menahan angin itu ataupun melompat hindarkan diri. Akibatnya, Intan Selaksa terlempar ke samping dalam keadaan tidak beraturan. Terjungkir balik dirinya membentur batu dan pohon yang ada. Sementara itu, dengan tangan tetap kaku dalam posisi seperti orang sedang menari, Barong Geni tetap melepaskan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin', yang membuat Intan Selaksa semakin terlempar-lempar tak tentu arah.
Ketika tubuhnya membentur batang pohon besar, Intan Selaksa mencoba kerahkan tenaga dalamnya untuk menahan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' itu. Kedua tangannya disentakkan ke depan dengan kuat, tapi angin badai dari jurus tendangan maut itu sangat kuat dan tak mampu ditahannya, sehingga Intan Selaksa terpelanting ke mana-mana. Membentur dan menggores apa saja.
Prass...! Bras...! Plak, trakk...! Brett...!
Sampai suatu ketika, Barong Geni tahu-tahu terlempar ke arah samping dengan cukup keras dan cepat. Wusss...! Tubuhnya bagaikan sehelai daun yang dihempaskan badai cukup besar. Tubuh itu menghantam sebuah gugusan batu. Bokkk...! Batu itu gompal. Barong Geni dengan tangan masih tetap kaku tak dapat dilipat lagi itu terpaksa mengerang kesakitan. Dadanya tertimpa gompalan batu dua genggaman tangan. Tubuh itu terkapar di sana dengan hidung berdarah.
"Monyet Borok!" gerutunya dalam hati. "Siapa yang berani campur tangan urusanku?! Tak mungkin Intan Selaksa bisa melemparkan aku sedemikian kuatnya, apalagi aku sedang mainkan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' itu! Hmmm...! Pasti ada pihak lain yang campur tangan dengan urusanku!"
Karena matanya masih berkunang-kunang untuk memandang, Barong Geni pejamkan mata sebentar, lalu mengibaskan kepala dan membuka matanya lagi dengan dahi berkerut-kerut. Tangannya tak bisa mengusap darah yang keluar dari hidungnya, hingga membasahi kumis dan bibir. Seorang perempuan sebaya dengan Intan Selaksa segera membantu Intan Selaksa untuk berdiri.
Perempuan itu mengenakan baju hijau dengan celana coklat. Bajunya berbelahan dada cukup lebar, hingga sisi bukitnya tampak tersumbul mulus, menggumpal penuh tantangan. Perempuan itu berbibir lebar dan tebal, tapi diberi warna merah segar merangsang. Rambutnya sepanjang punggung, lepas tergerai. Di selipan depan perut terlihat sebuah senjata bergagang hitam, yaitu rencong.
Melihat ciri-ciri itu, Barong Geni segera mengenali perempuan itu. Ia segera serukan kata amukannya dengan suara besar, "Gincu Mayat! Rupanya kau sengaja cari perkara denganku, hah?!"
Gincu Mayat, perempuan bertubuh sekal itu tidak melayani seruan Barong Geni. Ia masih menolong Intan Selaksa yang terluka memar dan kulitnya robek di sana-sini akibat hempasan badai dari 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' tadi. Bahkan di bagian hidung dan telinganya keluarkan darah segar walau tak begitu banyak, seperti darah yang dikeluarkan Barong Geni dari hidung.
"Kau masih kuat berdiri, Intan Selaksa?!"
"Oh, ya...! Aku masih sanggup melawannya, Gincu Mayat. Terima kasih atas pertolonganmu!" Intan Selaksa menyeka darah dari hidungnya.
"Istirahatlah dulu biar aku yang hadapi dia, Intan!" kata Gincu Mayat.
"Tidak. Ini urusan perguruan, Gincu Mayat! Kau tak bisa ikut campur! Biarlah aku yang hadapi kebo busuk itu!"
"Intan, aku pernah kau tolong dari maut, sekarang aku pun perlu menolongmu dari maut, supaya impas sudah hutangku padamu!"
"Anggap saja kau telah melunaskan hutangmu padaku dengan mengalihkan jurusnya tadi! Sekarang tiba giliranku untuk menggempurnya!"
Tapi Gincu Mayat berkeras hati dan segera menyingkirkan tubuh Intan Selaksa dari depannya. Gincu Mayat maju beberapa tindak untuk menghadapi Barong Geni. Tangan Barong Geni yang kanan masih di atas kepala, dan yang kiri masih di depan dada. Ke mana pun ia melangkahkan kaki, dan dalam keadaan bagaimanapun, tangan itu tetap saja kaku begitu. Hal itu dijadikan bahan ejekan oleh Gincu Mayat.
"Kau ini seorang penari ronggeng atau seorang pendekar, Barong Geni?! Atau jangan-jangan kau pemain topeng monyet, yang selalu berjalan ke mana-mana dengan tangan begitu?! Hi hihi...!"
"Tutup mulutmu, Perempuan haram!" bentak Barong Geni. "Aku tak punya urusan apa pun denganmu! Pergilah sana dan jangan bikin perkara denganku!"
"Hei hei hei... orang tampan yang angker kalau marah semakin tambah menggairahkan, rupanya! Hi hi hi...! Kemarahanmu itu adalah lambang kehangatan lelaki yang amat menggiurkan, Barong!"
"Setan belang kau! Pergilah sana, kau tak tahu urusanku dengan Intan Selaksa!"
"Siapa bilang aku tak tahu?!" kata Gincu Mayat dengan melenggak-lenggok di depan Barong Geni. "Aku cukup tahu masalahmu! Kau ingin menguasai kuil peninggalan guru kalian itu, bukan?! Ah, aku tahu apa maksudmu untuk menguasai kuil itu! Kau punya tujuan tersendiri! Kau ingin cari sesuatu di dalam kuil itu!"
"Kalau toh itu tujuanku, kau tak punya hak untuk menghalangiku! Kau bukan murid Begawan Sangga Mega! Akulah murid Begawan Sangga Mega!"
Intan Selaksa cepat menyahut, "Memang. Tapi kau murid yang sudah diusir dan tidak diakui sebagai murid lagi. Kau murid murtad! Karena kau telah mencuri kitab pusaka untuk kau persembahkan kepada Dewi Kelambu Darah!"
"Karena dia punya syarat begitu untuk menjadi istriku, apa salahnya jika aku menuruti permintaan calon istriku itu?!" sanggah Barong Geni dengan suara keras.
"Guru tidak pernah punya murid yang berkepribadian serapuh itu, Barong Geni! Guru tidak suka dengan jiwamu, yang mengorbankan kepentingan pihak lain untuk mengeruk kepentingan diri sendiri!" sentak Intan Selaksa masih tampak berani dan tegar.
"Seorang istri adalah nyawa bagi hidupku, Intan Selaksa!" kata Barong Geni.
Lalu, Intan Selaksa menyahut, "Apakah Dewi Kelambu Darah sekarang menjadi istrimu?!"
"Memang belum. Tapi..."
"Tapi dia punya permintaan lagi, bukan?!" sahut Gincu Mayat.
"Itu urusan dia dengan aku!"
"Memang. Aku hanya ingin meyakinkan bahwa dugaanku benar," kata Gincu Mayat. "Bahkan aku bisa menduga, apa yang diinginkan oleh Dewi Kelambu Darah! Pasti dia minta supaya kau mencuri Pedang Guntur Biru yang disembunyikan oleh gurumu di dalam kuil itu, bukan?!"
"Setan kau!" geram Barong Geni.
Intan Selaksa sipitkan mata. Mulai mengerti duduk persoalan sebenarnya yang membuat Barong Geni mendesak ingin masuk ke dalam kuil Swanalingga. Intan Selaksa merasakan kebenaran dugaan Gincu Mayat itu, sehingga ia semakin keras berkehendak mengusir Barong Geni.
Sementara itu, Barong Geni sendiri merasa sangat jengkel kepada mulut lancang Gincu Mayat yang membuat tujuan sebenarnya diketahui oleh Intan Selaksa. Tetapi demi cintanya kepada Dewi Kelambu Darah, Barong Geni harus tetap berusaha untuk bisa masuk ke dalam kuil dan mencari di mana Pedang Guntur Biru disembunyikan oleh almarhum gurunya itu.
Melihat ciri-ciri itu, Barong Geni segera mengenali perempuan itu. Ia segera serukan kata amukannya dengan suara besar, "Gincu Mayat! Rupanya kau sengaja cari perkara denganku, hah?!"
Gincu Mayat, perempuan bertubuh sekal itu tidak melayani seruan Barong Geni. Ia masih menolong Intan Selaksa yang terluka memar dan kulitnya robek di sana-sini akibat hempasan badai dari 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' tadi. Bahkan di bagian hidung dan telinganya keluarkan darah segar walau tak begitu banyak, seperti darah yang dikeluarkan Barong Geni dari hidung.
"Kau masih kuat berdiri, Intan Selaksa?!"
"Oh, ya...! Aku masih sanggup melawannya, Gincu Mayat. Terima kasih atas pertolonganmu!" Intan Selaksa menyeka darah dari hidungnya.
"Istirahatlah dulu biar aku yang hadapi dia, Intan!" kata Gincu Mayat.
"Tidak. Ini urusan perguruan, Gincu Mayat! Kau tak bisa ikut campur! Biarlah aku yang hadapi kebo busuk itu!"
"Intan, aku pernah kau tolong dari maut, sekarang aku pun perlu menolongmu dari maut, supaya impas sudah hutangku padamu!"
"Anggap saja kau telah melunaskan hutangmu padaku dengan mengalihkan jurusnya tadi! Sekarang tiba giliranku untuk menggempurnya!"
Tapi Gincu Mayat berkeras hati dan segera menyingkirkan tubuh Intan Selaksa dari depannya. Gincu Mayat maju beberapa tindak untuk menghadapi Barong Geni. Tangan Barong Geni yang kanan masih di atas kepala, dan yang kiri masih di depan dada. Ke mana pun ia melangkahkan kaki, dan dalam keadaan bagaimanapun, tangan itu tetap saja kaku begitu. Hal itu dijadikan bahan ejekan oleh Gincu Mayat.
"Kau ini seorang penari ronggeng atau seorang pendekar, Barong Geni?! Atau jangan-jangan kau pemain topeng monyet, yang selalu berjalan ke mana-mana dengan tangan begitu?! Hi hihi...!"
"Tutup mulutmu, Perempuan haram!" bentak Barong Geni. "Aku tak punya urusan apa pun denganmu! Pergilah sana dan jangan bikin perkara denganku!"
"Hei hei hei... orang tampan yang angker kalau marah semakin tambah menggairahkan, rupanya! Hi hi hi...! Kemarahanmu itu adalah lambang kehangatan lelaki yang amat menggiurkan, Barong!"
"Setan belang kau! Pergilah sana, kau tak tahu urusanku dengan Intan Selaksa!"
"Siapa bilang aku tak tahu?!" kata Gincu Mayat dengan melenggak-lenggok di depan Barong Geni. "Aku cukup tahu masalahmu! Kau ingin menguasai kuil peninggalan guru kalian itu, bukan?! Ah, aku tahu apa maksudmu untuk menguasai kuil itu! Kau punya tujuan tersendiri! Kau ingin cari sesuatu di dalam kuil itu!"
"Kalau toh itu tujuanku, kau tak punya hak untuk menghalangiku! Kau bukan murid Begawan Sangga Mega! Akulah murid Begawan Sangga Mega!"
Intan Selaksa cepat menyahut, "Memang. Tapi kau murid yang sudah diusir dan tidak diakui sebagai murid lagi. Kau murid murtad! Karena kau telah mencuri kitab pusaka untuk kau persembahkan kepada Dewi Kelambu Darah!"
"Karena dia punya syarat begitu untuk menjadi istriku, apa salahnya jika aku menuruti permintaan calon istriku itu?!" sanggah Barong Geni dengan suara keras.
"Guru tidak pernah punya murid yang berkepribadian serapuh itu, Barong Geni! Guru tidak suka dengan jiwamu, yang mengorbankan kepentingan pihak lain untuk mengeruk kepentingan diri sendiri!" sentak Intan Selaksa masih tampak berani dan tegar.
"Seorang istri adalah nyawa bagi hidupku, Intan Selaksa!" kata Barong Geni.
Lalu, Intan Selaksa menyahut, "Apakah Dewi Kelambu Darah sekarang menjadi istrimu?!"
"Memang belum. Tapi..."
"Tapi dia punya permintaan lagi, bukan?!" sahut Gincu Mayat.
"Itu urusan dia dengan aku!"
"Memang. Aku hanya ingin meyakinkan bahwa dugaanku benar," kata Gincu Mayat. "Bahkan aku bisa menduga, apa yang diinginkan oleh Dewi Kelambu Darah! Pasti dia minta supaya kau mencuri Pedang Guntur Biru yang disembunyikan oleh gurumu di dalam kuil itu, bukan?!"
"Setan kau!" geram Barong Geni.
Intan Selaksa sipitkan mata. Mulai mengerti duduk persoalan sebenarnya yang membuat Barong Geni mendesak ingin masuk ke dalam kuil Swanalingga. Intan Selaksa merasakan kebenaran dugaan Gincu Mayat itu, sehingga ia semakin keras berkehendak mengusir Barong Geni.
Sementara itu, Barong Geni sendiri merasa sangat jengkel kepada mulut lancang Gincu Mayat yang membuat tujuan sebenarnya diketahui oleh Intan Selaksa. Tetapi demi cintanya kepada Dewi Kelambu Darah, Barong Geni harus tetap berusaha untuk bisa masuk ke dalam kuil dan mencari di mana Pedang Guntur Biru disembunyikan oleh almarhum gurunya itu.
Sebab, jika Barong Geni tidak bisa memberikan Pedang Guntur Biru kepada Dewi Kelambu Darah, maka perempuan itu tidak mau menjadi istrinya. Padahal Barong Geni sudah terlalu besar mencurahkan rasa cintanya kepada Dewi Kelambu Darah, terlalu berat memendamnya lebih lama lagi. Maka, tak ada pilihan lain buat Barong Geni kecuali menuruti permintaannya itu.
"Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Barong Geni!" kata Gincu Mayat, seakan membela Intan Selaksa mati-matian.
"Apa hakmu melarangku mengambil Pedang Guntur Biru?! Pusaka itu bukan milik gurumu si Bungkuk Jagal yang sudah modar itu!" kata Barong Geni dengan kasarnya, sengaja membuat merah muka Gincu Mayat, ia tambahkan pula kata, "Kalau saja gurumu sekarang masih hidup, ingin rasanya kucacah jadi satu dengan tubuhmu, Gincu Mayat!"
"Kelewat batas omonganmu, Barong!" geram Gincu Mayat. "Kau perlu mendapat pelajaran dariku supaya bisa bicara lebih hati-hati lagi! Heaaah...!" Gincu Mayat sentakkan tangannya dari samping bawah sedikit ke depan. Settt...! Dan muncullah sinar merah yang melesat cepat menuju dada Barong Geni.
"Hiaaat...!" Barong Geni manfaatkan tangannya yang kaku di depan dada itu untuk dialiri gelombang tenaga dalam. Memang tangan itu tak bisa keluarkan pukulan balasan, tapi cukup kuat untuk menahan sinar merah yang hendak menghantam dadanya.
Cratt...! Percikan bunga api muncrat dengan kuat. Sinar merah itu membelok arah setelah membentur tangan Barong Geni. Sinar merah itu menghantam pohon, dan pohon tersebut menjadi kering dalam waktu dua helaan napas.
"Bebek bunting!" geram Barong Geni. "Sukar sekali melepaskan totokan Intan Selaksa ini! Kalau saja kedua tanganku belum tertotok dan bisa bergerak bebas, sudah hancur kepala kedua perempuan itu dalam satu gebrakan saja!"
Wuttt...! Intan Selaksa lompatkan diri ketika Barong Geni ingin bergerak ke kiri. Intan Selaksa menghadang di sana dengan pedang yang telah dicabutnya dari sarungnya. Barong Geni tak berani mendekat, karena ia tahu pedang itu cukup berbahaya. Siapa pun tergores sedikit saja dapat mengakibatkan luka yang membawa mati dalam tiga hitungan. Pedang itulah yang dinamakan Pedang Sengat Kubur. Tetapi Barong Geni tidak mau tunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Barong Geni malahan berkata,
"Kau pikir aku akan gentar jika kau sudah cabut pedang begitu? Hmmm...! Pedang untuk tebang pohon saja belum tentu bisa dipakai untuk menyerangku?!" Barong Geni mencibir.
Intan Selaksa menahan diri untuk tidak murka dengan melakukan gerakan gegabah. "Kalau kau tak takut dengan pedangku mengapa kau melangkah mundur, Barong Geni?!" kata Intan Selaksa.
"Aku mencari tempat untuk menyerangmu!" Jawab Barong Geni.
Pada saat Barong Geni bicara begitu sambil melayangkan pandang kepada Intan Selaksa, tiba-tiba Gincu Mayat melepaskan pukulan tenaga dalam yang keluarnya dari jari tengah tangan kanan. Zuuttt...! Hijau warna sinar yang keluar itu, dan telak menghantam punggung Barong Geni.
Zrappp...!
"Aahg...!" Barong Geni mendelik dengan wajah menegang karena kaget dan tubuhnya melengkung ke depan, ia mulai merasakan panas di telapak kakinya, lalu menjalar panas di betisnya dan terus bergerak sampai di lututnya. Cepat-cepat Barong Geni menekan napasnya kuat-kuat. Tubuhnya sampai gemetar karena kerahkan tenaga dalam berhawa dingin untuk melawan hawa panas yang akan membakar dirinya.
"Gggrrr...!" Barong Geni mengerang dengan kaki makin merenggang rendah dan tangannya gemetaran. Peluh pun keluar dari tiap pori-pori tubuhnya. Matanya berusaha memandang sekelilingnya untuk hindari serangan tiba-tiba dari kedua perempuan itu.
"Sebentar lagi bagian dalam tubuhmu akan terbakar, Barong! Tak perlu ditahan-tahan begitu, nanti malah jebol bagian bawahmu!" ledek Gincu Mayat sambil cekikikan.
Melihat Barong Geni mulai lemah, Intan Selaksa segera melesat lompat dengan pedang siap menebas pundak atau leher Barong Geni. "Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang itu meleset dari sasaran karena Barong Geni menjatuhkan diri dan berguling dua kali di tanah dalam keadaan tangan kaku. Ia cepat sentakkan kaki dan berdiri lagi. Melihat Intan Selaksa siap melancarkan jurus pedangnya lagi, Barong Geni cepat melompat jauh. Kemudian ia melarikan diri sambil berseru, "Tunggu pembalasanku nanti!"
Intan Selaksa ingin mengejar Barong Geni, tapi Gincu Mayat menahannya. "Tak perlu kau kejar. Nanti dia akan datang lagi dengan sendirinya untuk serahkan nyawa padamu!"
"Sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Barong Geni!" kata Gincu Mayat, seakan membela Intan Selaksa mati-matian.
"Apa hakmu melarangku mengambil Pedang Guntur Biru?! Pusaka itu bukan milik gurumu si Bungkuk Jagal yang sudah modar itu!" kata Barong Geni dengan kasarnya, sengaja membuat merah muka Gincu Mayat, ia tambahkan pula kata, "Kalau saja gurumu sekarang masih hidup, ingin rasanya kucacah jadi satu dengan tubuhmu, Gincu Mayat!"
"Kelewat batas omonganmu, Barong!" geram Gincu Mayat. "Kau perlu mendapat pelajaran dariku supaya bisa bicara lebih hati-hati lagi! Heaaah...!" Gincu Mayat sentakkan tangannya dari samping bawah sedikit ke depan. Settt...! Dan muncullah sinar merah yang melesat cepat menuju dada Barong Geni.
"Hiaaat...!" Barong Geni manfaatkan tangannya yang kaku di depan dada itu untuk dialiri gelombang tenaga dalam. Memang tangan itu tak bisa keluarkan pukulan balasan, tapi cukup kuat untuk menahan sinar merah yang hendak menghantam dadanya.
Cratt...! Percikan bunga api muncrat dengan kuat. Sinar merah itu membelok arah setelah membentur tangan Barong Geni. Sinar merah itu menghantam pohon, dan pohon tersebut menjadi kering dalam waktu dua helaan napas.
"Bebek bunting!" geram Barong Geni. "Sukar sekali melepaskan totokan Intan Selaksa ini! Kalau saja kedua tanganku belum tertotok dan bisa bergerak bebas, sudah hancur kepala kedua perempuan itu dalam satu gebrakan saja!"
Wuttt...! Intan Selaksa lompatkan diri ketika Barong Geni ingin bergerak ke kiri. Intan Selaksa menghadang di sana dengan pedang yang telah dicabutnya dari sarungnya. Barong Geni tak berani mendekat, karena ia tahu pedang itu cukup berbahaya. Siapa pun tergores sedikit saja dapat mengakibatkan luka yang membawa mati dalam tiga hitungan. Pedang itulah yang dinamakan Pedang Sengat Kubur. Tetapi Barong Geni tidak mau tunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Barong Geni malahan berkata,
"Kau pikir aku akan gentar jika kau sudah cabut pedang begitu? Hmmm...! Pedang untuk tebang pohon saja belum tentu bisa dipakai untuk menyerangku?!" Barong Geni mencibir.
Intan Selaksa menahan diri untuk tidak murka dengan melakukan gerakan gegabah. "Kalau kau tak takut dengan pedangku mengapa kau melangkah mundur, Barong Geni?!" kata Intan Selaksa.
"Aku mencari tempat untuk menyerangmu!" Jawab Barong Geni.
Pada saat Barong Geni bicara begitu sambil melayangkan pandang kepada Intan Selaksa, tiba-tiba Gincu Mayat melepaskan pukulan tenaga dalam yang keluarnya dari jari tengah tangan kanan. Zuuttt...! Hijau warna sinar yang keluar itu, dan telak menghantam punggung Barong Geni.
Zrappp...!
"Aahg...!" Barong Geni mendelik dengan wajah menegang karena kaget dan tubuhnya melengkung ke depan, ia mulai merasakan panas di telapak kakinya, lalu menjalar panas di betisnya dan terus bergerak sampai di lututnya. Cepat-cepat Barong Geni menekan napasnya kuat-kuat. Tubuhnya sampai gemetar karena kerahkan tenaga dalam berhawa dingin untuk melawan hawa panas yang akan membakar dirinya.
"Gggrrr...!" Barong Geni mengerang dengan kaki makin merenggang rendah dan tangannya gemetaran. Peluh pun keluar dari tiap pori-pori tubuhnya. Matanya berusaha memandang sekelilingnya untuk hindari serangan tiba-tiba dari kedua perempuan itu.
"Sebentar lagi bagian dalam tubuhmu akan terbakar, Barong! Tak perlu ditahan-tahan begitu, nanti malah jebol bagian bawahmu!" ledek Gincu Mayat sambil cekikikan.
Melihat Barong Geni mulai lemah, Intan Selaksa segera melesat lompat dengan pedang siap menebas pundak atau leher Barong Geni. "Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang itu meleset dari sasaran karena Barong Geni menjatuhkan diri dan berguling dua kali di tanah dalam keadaan tangan kaku. Ia cepat sentakkan kaki dan berdiri lagi. Melihat Intan Selaksa siap melancarkan jurus pedangnya lagi, Barong Geni cepat melompat jauh. Kemudian ia melarikan diri sambil berseru, "Tunggu pembalasanku nanti!"
Intan Selaksa ingin mengejar Barong Geni, tapi Gincu Mayat menahannya. "Tak perlu kau kejar. Nanti dia akan datang lagi dengan sendirinya untuk serahkan nyawa padamu!"
* * *
DUA
DENGAN keadaan tangan kiri masih di depan dada sedikit merenggang, dan tangan kanan di atas kepala bagai ingin menghentakkan tenaga pukulan lewat telapak tangannya yang terbuka, Barong Geni selesai sudah mengatasi hawa panas yang akan membakar bagian dalam tubuhnya, ia cepat berlari tinggalkan tempat sepi itu untuk menemui Dewi Kelambu Darah, ia berlari dengan tangan masih di atas kepala.
"Haram jadah betul si Intan Selaksa itu!" gerutu Barong Geni sambil melesat dalam larinya. "Jurus totokan 'Sungging Betah' ini sukar sekali kulumpuhkan! Mau garuk-garuk kepala saja sulitnya bukan main! Uuh...! Akan kubunuh dia tanpa ampun lagi!"
Sebuah lembah berpemandangan indah, mempunyai aneka tanaman bunga warna-warni. Di lembah itulah Dewi Kelambu Darah bersemayam, hidup dalam kesendirian, ia merasa lebih damai hidup dalam kesendirian ketimbang harus ada teman. Kelak suatu saat, ia dapat menghimpun banyak orang sebagai rakyat pendukung kekuatannya, jika sebuah ilmu yang bernama 'Gagar Mayang', sudah dicapainya. Ilmu itu sekarang masih di pelajari dengan tekun.
Barong Geni sedang menuju ke lembah itu, ketika tiba-tiba seorang berpakaian putih dengan celana hitam meluncur dari sebuah pohon, menghadang langkah Barong Geni. Orang itu melompat bagaikan kapas jatuh tanpa suara. Langkah Barong Geni terhenti, dan matanya menatap tajam kepada lelaki berusia lebih muda darinya itu. Rambutnya panjang lurus dan lemas diikat dengan ikat kepala warna kuning. Sebilah pedang tersandang di punggungnya, ia tampak lebih tegap dan lebih gagah dari Barong Geni yang berusia empat puluh tahun itu.
"Setan Alas!" rutuk Barong Geni setelah tahu siapa penghadangnya.
Orang yang dimakinya itu sunggingkan senyum tipis, dingin. "Kita ketemu lagi, Barong Geni!" ucapnya kalem.
"Aku sudah muak bertemu kamu!" ketus Barong Geni dengan mulut bersungut-sungut dan makin jengkel kepada tangannya yang belum bisa digerakkan itu.
"Kau benar, Barong Geni! Kau mestinya memang muak bertemu denganku, karena aku pun muak bertemu denganmu! Tapi kali ini pertemuan kita adalah pertemuan terakhir! Tak ada lagi pertemuan berikutnya, karena aku akan mengirim nyawamu ke neraka sekarang juga!"
"Hmmm...! Boleh saja kau bermulut besar, tapi nyalimu sebenarnya tak ada seujung kuku! Berapa kali kau bertarung denganku dan selalu melarikan diri?!"
"Kali ini kau yang akan melarikan diri. Bahka nnyawamu yang akan lari terbirit-birit melihat pedangku!"
"Bocah setan...! Seranglah aku bila kau mampu!" tantang Barong Geni. Dan, pemuda tampan itu segera mencabut pedangnya pelan-pelan, ia tampak lebih tenang dari saat terakhir bertarung dengan Barong Geni, sekitar tiga bulan yang lalu. "Jangan menyesal dengan tantanganmu sendiri jika pedang ini merobek lehermu, Barong Geni!"
"Hah...! Kau pikir dengan berhasil membawa pedang itu, aku akan takut dan gentar padamu, Panji Tampan?! Cuihhh...! Aku justru bernafsu sekali untuk segera membunuhmu!"
Padahal di dalam hatinya Barong Geni berkata, "Gila! Sekarang dia pakai bawa-bawa pedang segala! Rupanya dia benar-benar ingin membunuhku supaya bisa mendekati Dewi Kelambu Darah! Ah, sayang sekali tanganku begini, sehingga aku tak bisa menggunakan senjataku! Celaka...! Kalau dia memang jago main pedang, habislah leherku dibabatnya! Paling tidak salah satu tanganku yang seperti ini akan mudah dibuntungnya! Sial benar itu si Intan Kunyuk!" geram Barong Geni jengkel.
"Bersiaplah pergi ke neraka sekarang juga, Barong! Hiaat...!"
"Tunggu...!" Barong Geni sentakkan kaki dan melompat mundur dua tindak. Sedangkan waktu itu Panji Tampan sudah siap tebaskan pedang. Barong Geni cepat ucapkan kata, "Kuingatkan sekali lagi padamu, Panji Tampan, bahwa Dewi Kelambu Darah itu usianya sudah banyak! Dia sudah tua! Sepantasnya menjadi ibumu! Kau masih muda belia, usiamu kutaksir tak lebih dari dua puluh tujuh tahun. Sayang sekali kalau kau masih ngotot ingin mengawini Dewi Kelambu! Ketahuilah pula, bahwa Dewi Kelambu Darah kelihatan cantik dan menarik karena dia punya ilmu pengawet kecantikan! Bahkan usia aslinya dengan usiaku, masih tua dia!"
"Persetan dengan usia! Aku suka kepadanya, mau apa kau?!"
"Mata tampan yang rabun... he he he...! Cucilah matamu pakai air belerang, biar bisa melihat mana perempuan yang cocok menjadi istrimu, Panji Tampan!" Sambil berceloteh, Barong Geni berpikir bagaimana mencari cara mengatasi pertarungan tersebut dalam keadaan tangan kaku begitu. Tapi sejauh ini dia belum temukan cara yang terbaik selain nekat menggunakan jurus jarak jauh.
"Tua bangka! Tak perlu kau banyak bicara lagi, terimalah jurus pedang pembukaku ini! Hiaaat...!"
Wutt, wuttt...! Pedang berkelebat dua kali, lalu kaki Panji Tampan disentakkan ke tanah dan melesat terbang tubuhnya ke arah Barong Geni. Pedangnya diarahkan lurus bagai hendak menusuk mata Barong Geni. Maka, Barong Geni pun cepat menghindarkan diri ke samping, dan saat itu pula ternyata pedang menebas ke samping.
Wungngng...! Begitu cepat, begitu rapat hampir menyentuh telinga Barong Geni, sehingga angin pedang itu menimbulkan dengung yang memekakkan telinga.
Barong Geni menggulingkan badan, kemudian kakinya menyentak ke atas dengan penuh gelombang tenaga dalam yang dilepaskan lewat telapak kaki itu. Wusssh...! Crasss...! Pedang Panji menebas mengenai sinar putih yang melesat dari telapak kaki itu. Benturan sinar pedang timbulkan letupan api yang memercik ke kaki Barong Geni sendiri. Kaki itu kepanasan dan Barong Geni cepat singkirkan kakinya dalam gerak memutar sambil pinggangnya dipakai menyentak dan tubuhnya pun melenting di udara tak begitu tinggi. Jlegg...! Ia kembali berdiri dengan kedua kaki yang kokoh tegap. Tapi tangan tetap seperti monyet yang tak mampu menggaruk kepalanya sendiri.
"Jurus pedang pembuka...!" kata Panji Tampan sambil sunggingkan senyum meremehkan, ia tampak lebih kalem dari biasanya.
Barong Geni diam-diam dibuat grogi oleh kekaleman sikap bertarungnya Panji Tampan itu. Barong Geni menyimpan kecemasan yang selalu ditutup dengan omong besarnya, "Jurus seperti itu diandalkan?! Hmm...! Buat bunuh cacing saja belum tentu bisa, apalagi buat melukai tubuhku!"
"Itu baru jurus pembuka!" sangkal Panji Tampan. "Sekarang jurus pedang pertama. Bersiaplah, Barong...! Tak sampai kugunakan jurus pedang kedua, kau sudah pindah ke neraka dan carilah kekasih lain di sana!"
Wuuhhggg...! Tiba-tiba Barong sentakkan kakinya ke depan dengan cepat. Jaraknya yang berada antara enam langkah itu membuat kaki tersebut dengan jelas mengeluarkan sinar kuning yang bergerak cepat. Sebenarnya sinar kuning itu akan menghantam perut Panji Tampan, tapi karena Panji melihat kilatan sinar kuning itu, maka ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke udara bagai singa mau menerkam mangsanya, ia menghindari sinar kuning itu sambil menyerang kembali lawannya dengan pedang tersebut.
Jrabbb...! Sinar kuning mengenai gundukan cadas di belakang Panji Tampan. Tapi pedang Panji Tampan kala itu sudah mencapai di depan leher Barong Geni. Dengan cepat Barong Geni menjatuhkan diri ke rumput, sehingga pedang dan tubuh lawan tak jadi menabraknya. Sebagai balasan, kaki Barong Geni menendang ke atas sambil berjungkir balik ke belakang.
Beggg...! Tendangan itu mengenai perut Panji Tampan. Terpelanting tubuh Panji Tampan di udara. Kesempatan itu digunakan oleh Barong Geni untuk siap-siap melancarkan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin'. Tetapi tiba-tiba tubuh Panji yang terguling-guling di tanah itu terlempar menyerosot bagai ada yang menariknya kuat-kuat. Berbagai tanaman yang tumbuh serta ranting yang ada di tanah diterjang habis oleh tubuh Panji Tampan.
"Kenapa anak itu?!" pikir Barong Geni dengan heran, ia tak jadi melancarkan 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' karena terpaku oleh kejadian aneh tersebut. Bahkan matanya makin membelalak lebar dengan tangan tetap di atas kepala dan di depan dada ketika ia melihat tubuh Panji bangkit sendiri, lalu terlempar terbang seperti sehelai kain sarung yang dilemparkan seseorang.
Wuusss...! Beehggg...!
"Uuhg...!" Panji Tampan terpekik dengan suara tertahan. Punggungnya menghantam batang pohon dengan keras, sampai batang pohon itu terguncang merontokkan daun layunya. Selesai itu, tubuh Panji Tampan jatuh terpuruk dengan napas berat terhela. Mulutnya keluarkan darah kental. Panji Tampan tak mampu bergerak karena sekujur tubuhnya selain terkoyak duri atau batu, juga ada luka dalam yang membuatnya memuntahkan darah hitam yang kental.
Jlegg...!
Tiba-tiba seseorang telah berada di belakang Barong Geni. Cepat-cepat Barong Geni palingkan wajah, dan ia terperangah kaget melihat seorang perempuan cantik berdiri di belakangnya mengenakan jubah jingga dan pakaian sebatas dada warna biru tua berias benang perak. Rambutnya disanggul indah, lehernya dengan kalung batuan putih bagai barisan berlian mewah. Perempuan cantik berhidung mancung tapi bermata tajam itu tak lain adalah Dewi Kelambu Darah.
"Tak kuizinkan dia mengganggumu lagi, Barong Geni!" ucapnya penuh kesan wibawa walau bernada merayu.
"Sebenarnya kau tak perlu menghajarnya begitu, Kelambu Darah! Aku masih sanggup mempercepat kematiannya! Cuma, aku tadi sedikit main-main dulu dengan jurus pedangnya itu!"
Barong Geni melangkahkan kaki mendekati Dewi Kelambu Darah. Senyum Dewi hanya separo saja. Karena ia merasa heran melihat tangan Barong Geni tetap di atas kepala dan di depan dada.
"Ada apa dengan tanganmu?"
"Intan Selaksa menotok jalan darahku. Aku sulit melepaskan totokan ini, Dewi!"
"Hi hik hik...!" Dewi Kelambu Darah menjadi geli mendengar pengaduan dari mulut Barong Geni. Yang ditertawakan menjadi malu sekali.
Barong Geni tak bisa sembunyikan wajah malunya. Padahal tadi baru saja ia merasa bangga, hatinya berbunga-bunga melihat Dewi Kelambu Darah membela pertarungannya dengan Panji Tampan menggunakan kekuatan pandangan matanya yang cukup hebat itu. Baru saja tadi Barong Geni merasa mendapat penghargaan dari seseorang yang dicintainya. Tiba-tiba sekarang ia harus menahan rasa malu akibat pengakuannya tentang tangan yang tak bisa digerakkan lagi itu.
"Jadi kau tak bisa kalahkan Intan Selaksa?!"
"Bukan tak bisa, Dewi! Aku terpaksa melarikan diri karena Gincu Mayat ikut campur dalam urusan ini!"
"Gincu Mayat...?!" Dewi Kelambu Darah agak terkesiap matanya, lalu menyipit benci. "Berani-beraninya dia ikut campur urusanmu? Apakah dia tak tahu bahwa kau calon suamiku?"
"Dia tahu persis! Bahkan dia tahu bahwa aku datang ke Kuil Swanalingga untuk mencari Pedang Guntur Biru! Mulutnya itu yang membuat Intan Selaksa jadi tahu tujuanku sebenarnya!"
Menggeram mulut Dewi Kelambu Darah sambil geletakkan giginya, ia mengencangkan genggaman tangannya. Lalu ia bertanya, "Jadi, bagaimana dengan pedang pusaka itu? Kau belum berhasil mendapatkannya?!"
"Untuk sekarang memang belum," jawab Barong Geni. "Tapi untuk waktu mendatang, Pedang Guntur Biru pasti akan kudapatkan dan kupersembahkan padamu, Kelambu Darah!"
"Ingat, kalau kau tak cepat memberikan pedang pusaka itu, berarti masa bulan madu kita tertunda lagi!"
"Tidak! Tidak akan terlambat lagi, Sayang. Tidak lama lagi kau akan dapatkan pedang pusaka itu, biar kau semakin kuat dan cepat menjadi seorang ratu! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Pedang Guntur Biru itu, tapi... tapi..."
"Tapi apa?!" tukas Dewi Kelambu Darah melihat Barong Geni kelihatan gelisah. Lalu, Barong Geni ucapkan kata, "Tapi tapi bagaimana aku bisa kalahkan mereka jika tanganku dua-duanya terpatung kaku begini?! Aku tak bisa melancarkan pukulan 'Tapak Geni'-ku?!"
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum. "Dengan anak kemarin sore saja kamu bisa dipermainkan begitu?! Bagaimana jika kamu menghadapi lawan yang berilmu tinggi?!"
"Aku sedikit lengah tadi. Sungguh kuakui, aku lupa bahwa dia punya jurus totok melalui senyumannya! Tapi lain kali takkan kubiarkan dia tersenyum walau sekejap pun!"
Kali ini bibir Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum meremehkan Barong Geni. Makin malu Barong Geni melihat senyum keremehan seperti itu. Makin geram ia pada Intan Selaksa. Tapi ia segera sadar bahwa ia tidak hanya bisa menggeram menahan amarah saja. Ia harus melepaskan kemarahannya kepada Intan Selaksa. Namun ia butuh bantuan Dewi Kelambu Darah untuk melepaskan totokan pada jalur darah kedua tangannya itu.
"Kelambu Darah, kumohon kau mau melepaskan totokan ini, supaya pusaka Pedang Guntur Biru bisa cepat kudapatkan dan kuserahkan padamu, seperti aku menyerahkan kitab pusaka itu!"
Dewi Kelambu Darah masih sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan. Tapi matanya masih tetap pandangi kedua tangan Barong Geni.
Wusss...! Tiba-tiba kedua tangan Barong Geni jatuh lemas. Rupanya Dewi Kelambu Darah sudah melepaskan pengaruh totokan itu melalui pandangan mata yang mempunyai kekuatan dahsyat itu. Barong Geni menghembuskan napas lega dan menggerak-gerakkan tangannya agar rasa pegal hilang secepatnya. Jari-jarinya pun dikembang-kuncupkan karena tanpa begitu, semua urat terasa kaku.
"Ingat, Barong Geni... semalam kulihat rembulan purnama mempunyai garis hitam yang bagai ingin memotong pertengahan rembulan. Itu pertanda alam kesucian telah terbuka. Jangan biarkan rembulan tak bergaris lagi. Karena itu pertanda alam kesucian tertutup kembali. Jika alam kesucian tertutup kembali, maka sekian tahun lagi Pedang Guntur Biru bisa dicuri orang. Jadi, jangan sampai kau terlambat, Barong Geni! Sekaranglah saatnya mencuri pedang pusaka itu, selagi alam kesucian terbuka!"
"Aku sangat mengerti, Kelambu Darah!"
"Kalau kau terlambat, menunggu sekian tahun lagi kita baru bisa berbulan madu. Padahal sebenarnya aku sudah tak tahan, Barong," kata Dewi Kelambu Darah sambil mendekati lelaki itu dan menatapnya dengan mata sendu, seakan sebuah ajakan untuk bercumbu.
Rambut Barong Geni diusap-usapnya dengan lembut, penuh kemesraan. Sambil tubuhnya merapat di belakang Barong Geni dan dengus napasnya terasa hangat di tengkuk kepala dan leher Barong Geni. Terbakar darah kejantanan Barong Geni manakala ia mendengar bisikan Dewi.
"Jangan sampai pria lain yang menyerahkan pedang itu padaku, karena jika orang lain yang serahkan maka itu berarti aku harus menikah dengan pria lain itu, Barong! Dapatkan segera Pedang Guntur Biru di dalam kuil itu! Aku tak tahan menunggu masa bulan madu kita tiba, Barong! Oh... dapatkan pedang itu, Sayang...!"
Dewi Kelambu Darah menggelendot di pundak. Barong Geni makin berdetak keras jantungnya. Ia ingin mencium, tapi yang mau dicium segera undurkan diri dengan menggoda. Mata Dewi Kelambu Darah tetap memandang penuh daya rangsang yang memabukkan jiwa. Tak tahan Barong Geni melihatnya.
"Sekarang juga aku akan kembali ke kuil itu, Dewi! Sabarkan hasratmu. Tak lama lagi bulan madu kita akan tiba!"
"Yah, lekaslah bertindak! Karena hanya kau yang tahu seluk-beluk kuil itu, maka kaulah yang masuk ke sana! Kalau Gincu Mayat turut campur, aku yang menghabisi nyawanya. Kau tak perlu layani dia!"
"Jadi kau akan mendampingiku dari belakang, Dewi?"
"Ya. Karena aku tak mau kehilangan kamu!" jawab Dewi Kelambu Darah yang membuat Barong Geni semakin bersemangat untuk mendapatkan Pedang Guntur Biru.
"Aku berangkat sekarang! Jaga dirimu baik-baik di belakangku!" Ucap Barong Geni dengan penuh keperkasaan dan kegagahan ia melangkah menunaikan tugas setia seorang calon suami.
Dewi Kelambu Darah tertawa terkikik setelah Barong Geni pergi. Dalam hatinya, Kelambu Darah ucapkan kata, "Manusia bodoh! Sekalipun dia dapatkan pedang pusaka itu, siapa yang mau menjadi suaminya? Puih...! Tak sudi aku bergelut di atas ranjang dengannya! Menjijikkan! Tapi, untuk sementara ini aku harus mendorong semangatnya dan menjaganya dari belakang! Kuperlukan tenaganya untuk mencuri pedang pusaka itu! Siapa pun akan tahu jika terjadi heboh nanti, bahwa pusaka Pedang Guntur Biru dicuri oleh murid murtadnya Begawan Sangga Mega! Dunia akan mengecam dia! Dia akan diburu oleh banyak orang, sementara aku bisa melarikan diri dan tenggelam untuk beberapa saat! Setelah itu aku akan muncul sebagai ratu yang punya banyak rakyat, karena mereka tak ada yang tahu bahwa akulah otak pencurian pusaka Pedang Guntur Biru itu! Hi hihi...!"
Dewi Kelambu Darah cepat mengikuti kepergian Barong Geni. Tak disadarinya, Panji Tampan yang belum mati hanya dalam keadaan parah itu, telah mendengar suara percakapan mereka tadi. Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh Barong Geni dan Dewi Kelambu Darah. Sambil menahan luka berat, Panji Tampan berusaha untuk bangkit dan berdiri berpegangan batang pohon. Hatinya mulai membatin,
"Tak mungkin kususul sekarang juga, keadaanku sangat parah! Aku harus pulang temui Guru dan menceritakan tentang Pedang Guntur Biru itu. Pasti Guru tahu apa dan bagaimana pedang pusaka tersebut! Jika memungkinkan, aku mau merebut pedang pusaka itu dari tangan Barong Geni, bukan untuk kuserahkan kepada Dewi Kelambu Darah, tapi untuk kumiliki sendiri! Dewi Kelambu Darah ternyata racun dalam hidupku!"
Geram sekali Panji Tampan setelah menyadari bahwa ternyata Dewi Kelambu Darah memang ada hubungan dongan Barong Geni. Selama ini, Panji Tampan tidak menduga bahwa rayuan Dewi Kelambu Darah hanya racun bagi hidupnya. Dewi Kelambu Darah sering mengeluh dan merasa diganggu oleh Barong Geni. Nyatanya, justru Dewi Kelambu Darah sendiri yang nyosor kepada Barong Geni. Akibatnya, timbul rasa benci dalam hati Panji Tampan dan lebih parah lagi rasa benci itu menjadi dendam, karena merasa ditipu dan dipermainkan.
"Kalau perlu kurebut pedang itu dan kupakai membunuh Dewi Kelambu Darah yang telah tega melukaiku separah ini!" pikir Panji Tampan dengan dendam menyentak-nyentak dada.
"Haram jadah betul si Intan Selaksa itu!" gerutu Barong Geni sambil melesat dalam larinya. "Jurus totokan 'Sungging Betah' ini sukar sekali kulumpuhkan! Mau garuk-garuk kepala saja sulitnya bukan main! Uuh...! Akan kubunuh dia tanpa ampun lagi!"
Sebuah lembah berpemandangan indah, mempunyai aneka tanaman bunga warna-warni. Di lembah itulah Dewi Kelambu Darah bersemayam, hidup dalam kesendirian, ia merasa lebih damai hidup dalam kesendirian ketimbang harus ada teman. Kelak suatu saat, ia dapat menghimpun banyak orang sebagai rakyat pendukung kekuatannya, jika sebuah ilmu yang bernama 'Gagar Mayang', sudah dicapainya. Ilmu itu sekarang masih di pelajari dengan tekun.
Barong Geni sedang menuju ke lembah itu, ketika tiba-tiba seorang berpakaian putih dengan celana hitam meluncur dari sebuah pohon, menghadang langkah Barong Geni. Orang itu melompat bagaikan kapas jatuh tanpa suara. Langkah Barong Geni terhenti, dan matanya menatap tajam kepada lelaki berusia lebih muda darinya itu. Rambutnya panjang lurus dan lemas diikat dengan ikat kepala warna kuning. Sebilah pedang tersandang di punggungnya, ia tampak lebih tegap dan lebih gagah dari Barong Geni yang berusia empat puluh tahun itu.
"Setan Alas!" rutuk Barong Geni setelah tahu siapa penghadangnya.
Orang yang dimakinya itu sunggingkan senyum tipis, dingin. "Kita ketemu lagi, Barong Geni!" ucapnya kalem.
"Aku sudah muak bertemu kamu!" ketus Barong Geni dengan mulut bersungut-sungut dan makin jengkel kepada tangannya yang belum bisa digerakkan itu.
"Kau benar, Barong Geni! Kau mestinya memang muak bertemu denganku, karena aku pun muak bertemu denganmu! Tapi kali ini pertemuan kita adalah pertemuan terakhir! Tak ada lagi pertemuan berikutnya, karena aku akan mengirim nyawamu ke neraka sekarang juga!"
"Hmmm...! Boleh saja kau bermulut besar, tapi nyalimu sebenarnya tak ada seujung kuku! Berapa kali kau bertarung denganku dan selalu melarikan diri?!"
"Kali ini kau yang akan melarikan diri. Bahka nnyawamu yang akan lari terbirit-birit melihat pedangku!"
"Bocah setan...! Seranglah aku bila kau mampu!" tantang Barong Geni. Dan, pemuda tampan itu segera mencabut pedangnya pelan-pelan, ia tampak lebih tenang dari saat terakhir bertarung dengan Barong Geni, sekitar tiga bulan yang lalu. "Jangan menyesal dengan tantanganmu sendiri jika pedang ini merobek lehermu, Barong Geni!"
"Hah...! Kau pikir dengan berhasil membawa pedang itu, aku akan takut dan gentar padamu, Panji Tampan?! Cuihhh...! Aku justru bernafsu sekali untuk segera membunuhmu!"
Padahal di dalam hatinya Barong Geni berkata, "Gila! Sekarang dia pakai bawa-bawa pedang segala! Rupanya dia benar-benar ingin membunuhku supaya bisa mendekati Dewi Kelambu Darah! Ah, sayang sekali tanganku begini, sehingga aku tak bisa menggunakan senjataku! Celaka...! Kalau dia memang jago main pedang, habislah leherku dibabatnya! Paling tidak salah satu tanganku yang seperti ini akan mudah dibuntungnya! Sial benar itu si Intan Kunyuk!" geram Barong Geni jengkel.
"Bersiaplah pergi ke neraka sekarang juga, Barong! Hiaat...!"
"Tunggu...!" Barong Geni sentakkan kaki dan melompat mundur dua tindak. Sedangkan waktu itu Panji Tampan sudah siap tebaskan pedang. Barong Geni cepat ucapkan kata, "Kuingatkan sekali lagi padamu, Panji Tampan, bahwa Dewi Kelambu Darah itu usianya sudah banyak! Dia sudah tua! Sepantasnya menjadi ibumu! Kau masih muda belia, usiamu kutaksir tak lebih dari dua puluh tujuh tahun. Sayang sekali kalau kau masih ngotot ingin mengawini Dewi Kelambu! Ketahuilah pula, bahwa Dewi Kelambu Darah kelihatan cantik dan menarik karena dia punya ilmu pengawet kecantikan! Bahkan usia aslinya dengan usiaku, masih tua dia!"
"Persetan dengan usia! Aku suka kepadanya, mau apa kau?!"
"Mata tampan yang rabun... he he he...! Cucilah matamu pakai air belerang, biar bisa melihat mana perempuan yang cocok menjadi istrimu, Panji Tampan!" Sambil berceloteh, Barong Geni berpikir bagaimana mencari cara mengatasi pertarungan tersebut dalam keadaan tangan kaku begitu. Tapi sejauh ini dia belum temukan cara yang terbaik selain nekat menggunakan jurus jarak jauh.
"Tua bangka! Tak perlu kau banyak bicara lagi, terimalah jurus pedang pembukaku ini! Hiaaat...!"
Wutt, wuttt...! Pedang berkelebat dua kali, lalu kaki Panji Tampan disentakkan ke tanah dan melesat terbang tubuhnya ke arah Barong Geni. Pedangnya diarahkan lurus bagai hendak menusuk mata Barong Geni. Maka, Barong Geni pun cepat menghindarkan diri ke samping, dan saat itu pula ternyata pedang menebas ke samping.
Wungngng...! Begitu cepat, begitu rapat hampir menyentuh telinga Barong Geni, sehingga angin pedang itu menimbulkan dengung yang memekakkan telinga.
Barong Geni menggulingkan badan, kemudian kakinya menyentak ke atas dengan penuh gelombang tenaga dalam yang dilepaskan lewat telapak kaki itu. Wusssh...! Crasss...! Pedang Panji menebas mengenai sinar putih yang melesat dari telapak kaki itu. Benturan sinar pedang timbulkan letupan api yang memercik ke kaki Barong Geni sendiri. Kaki itu kepanasan dan Barong Geni cepat singkirkan kakinya dalam gerak memutar sambil pinggangnya dipakai menyentak dan tubuhnya pun melenting di udara tak begitu tinggi. Jlegg...! Ia kembali berdiri dengan kedua kaki yang kokoh tegap. Tapi tangan tetap seperti monyet yang tak mampu menggaruk kepalanya sendiri.
"Jurus pedang pembuka...!" kata Panji Tampan sambil sunggingkan senyum meremehkan, ia tampak lebih kalem dari biasanya.
Barong Geni diam-diam dibuat grogi oleh kekaleman sikap bertarungnya Panji Tampan itu. Barong Geni menyimpan kecemasan yang selalu ditutup dengan omong besarnya, "Jurus seperti itu diandalkan?! Hmm...! Buat bunuh cacing saja belum tentu bisa, apalagi buat melukai tubuhku!"
"Itu baru jurus pembuka!" sangkal Panji Tampan. "Sekarang jurus pedang pertama. Bersiaplah, Barong...! Tak sampai kugunakan jurus pedang kedua, kau sudah pindah ke neraka dan carilah kekasih lain di sana!"
Wuuhhggg...! Tiba-tiba Barong sentakkan kakinya ke depan dengan cepat. Jaraknya yang berada antara enam langkah itu membuat kaki tersebut dengan jelas mengeluarkan sinar kuning yang bergerak cepat. Sebenarnya sinar kuning itu akan menghantam perut Panji Tampan, tapi karena Panji melihat kilatan sinar kuning itu, maka ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke udara bagai singa mau menerkam mangsanya, ia menghindari sinar kuning itu sambil menyerang kembali lawannya dengan pedang tersebut.
Jrabbb...! Sinar kuning mengenai gundukan cadas di belakang Panji Tampan. Tapi pedang Panji Tampan kala itu sudah mencapai di depan leher Barong Geni. Dengan cepat Barong Geni menjatuhkan diri ke rumput, sehingga pedang dan tubuh lawan tak jadi menabraknya. Sebagai balasan, kaki Barong Geni menendang ke atas sambil berjungkir balik ke belakang.
Beggg...! Tendangan itu mengenai perut Panji Tampan. Terpelanting tubuh Panji Tampan di udara. Kesempatan itu digunakan oleh Barong Geni untuk siap-siap melancarkan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin'. Tetapi tiba-tiba tubuh Panji yang terguling-guling di tanah itu terlempar menyerosot bagai ada yang menariknya kuat-kuat. Berbagai tanaman yang tumbuh serta ranting yang ada di tanah diterjang habis oleh tubuh Panji Tampan.
"Kenapa anak itu?!" pikir Barong Geni dengan heran, ia tak jadi melancarkan 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' karena terpaku oleh kejadian aneh tersebut. Bahkan matanya makin membelalak lebar dengan tangan tetap di atas kepala dan di depan dada ketika ia melihat tubuh Panji bangkit sendiri, lalu terlempar terbang seperti sehelai kain sarung yang dilemparkan seseorang.
Wuusss...! Beehggg...!
"Uuhg...!" Panji Tampan terpekik dengan suara tertahan. Punggungnya menghantam batang pohon dengan keras, sampai batang pohon itu terguncang merontokkan daun layunya. Selesai itu, tubuh Panji Tampan jatuh terpuruk dengan napas berat terhela. Mulutnya keluarkan darah kental. Panji Tampan tak mampu bergerak karena sekujur tubuhnya selain terkoyak duri atau batu, juga ada luka dalam yang membuatnya memuntahkan darah hitam yang kental.
Jlegg...!
Tiba-tiba seseorang telah berada di belakang Barong Geni. Cepat-cepat Barong Geni palingkan wajah, dan ia terperangah kaget melihat seorang perempuan cantik berdiri di belakangnya mengenakan jubah jingga dan pakaian sebatas dada warna biru tua berias benang perak. Rambutnya disanggul indah, lehernya dengan kalung batuan putih bagai barisan berlian mewah. Perempuan cantik berhidung mancung tapi bermata tajam itu tak lain adalah Dewi Kelambu Darah.
"Tak kuizinkan dia mengganggumu lagi, Barong Geni!" ucapnya penuh kesan wibawa walau bernada merayu.
"Sebenarnya kau tak perlu menghajarnya begitu, Kelambu Darah! Aku masih sanggup mempercepat kematiannya! Cuma, aku tadi sedikit main-main dulu dengan jurus pedangnya itu!"
Barong Geni melangkahkan kaki mendekati Dewi Kelambu Darah. Senyum Dewi hanya separo saja. Karena ia merasa heran melihat tangan Barong Geni tetap di atas kepala dan di depan dada.
"Ada apa dengan tanganmu?"
"Intan Selaksa menotok jalan darahku. Aku sulit melepaskan totokan ini, Dewi!"
"Hi hik hik...!" Dewi Kelambu Darah menjadi geli mendengar pengaduan dari mulut Barong Geni. Yang ditertawakan menjadi malu sekali.
Barong Geni tak bisa sembunyikan wajah malunya. Padahal tadi baru saja ia merasa bangga, hatinya berbunga-bunga melihat Dewi Kelambu Darah membela pertarungannya dengan Panji Tampan menggunakan kekuatan pandangan matanya yang cukup hebat itu. Baru saja tadi Barong Geni merasa mendapat penghargaan dari seseorang yang dicintainya. Tiba-tiba sekarang ia harus menahan rasa malu akibat pengakuannya tentang tangan yang tak bisa digerakkan lagi itu.
"Jadi kau tak bisa kalahkan Intan Selaksa?!"
"Bukan tak bisa, Dewi! Aku terpaksa melarikan diri karena Gincu Mayat ikut campur dalam urusan ini!"
"Gincu Mayat...?!" Dewi Kelambu Darah agak terkesiap matanya, lalu menyipit benci. "Berani-beraninya dia ikut campur urusanmu? Apakah dia tak tahu bahwa kau calon suamiku?"
"Dia tahu persis! Bahkan dia tahu bahwa aku datang ke Kuil Swanalingga untuk mencari Pedang Guntur Biru! Mulutnya itu yang membuat Intan Selaksa jadi tahu tujuanku sebenarnya!"
Menggeram mulut Dewi Kelambu Darah sambil geletakkan giginya, ia mengencangkan genggaman tangannya. Lalu ia bertanya, "Jadi, bagaimana dengan pedang pusaka itu? Kau belum berhasil mendapatkannya?!"
"Untuk sekarang memang belum," jawab Barong Geni. "Tapi untuk waktu mendatang, Pedang Guntur Biru pasti akan kudapatkan dan kupersembahkan padamu, Kelambu Darah!"
"Ingat, kalau kau tak cepat memberikan pedang pusaka itu, berarti masa bulan madu kita tertunda lagi!"
"Tidak! Tidak akan terlambat lagi, Sayang. Tidak lama lagi kau akan dapatkan pedang pusaka itu, biar kau semakin kuat dan cepat menjadi seorang ratu! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Pedang Guntur Biru itu, tapi... tapi..."
"Tapi apa?!" tukas Dewi Kelambu Darah melihat Barong Geni kelihatan gelisah. Lalu, Barong Geni ucapkan kata, "Tapi tapi bagaimana aku bisa kalahkan mereka jika tanganku dua-duanya terpatung kaku begini?! Aku tak bisa melancarkan pukulan 'Tapak Geni'-ku?!"
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum. "Dengan anak kemarin sore saja kamu bisa dipermainkan begitu?! Bagaimana jika kamu menghadapi lawan yang berilmu tinggi?!"
"Aku sedikit lengah tadi. Sungguh kuakui, aku lupa bahwa dia punya jurus totok melalui senyumannya! Tapi lain kali takkan kubiarkan dia tersenyum walau sekejap pun!"
Kali ini bibir Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum meremehkan Barong Geni. Makin malu Barong Geni melihat senyum keremehan seperti itu. Makin geram ia pada Intan Selaksa. Tapi ia segera sadar bahwa ia tidak hanya bisa menggeram menahan amarah saja. Ia harus melepaskan kemarahannya kepada Intan Selaksa. Namun ia butuh bantuan Dewi Kelambu Darah untuk melepaskan totokan pada jalur darah kedua tangannya itu.
"Kelambu Darah, kumohon kau mau melepaskan totokan ini, supaya pusaka Pedang Guntur Biru bisa cepat kudapatkan dan kuserahkan padamu, seperti aku menyerahkan kitab pusaka itu!"
Dewi Kelambu Darah masih sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan. Tapi matanya masih tetap pandangi kedua tangan Barong Geni.
Wusss...! Tiba-tiba kedua tangan Barong Geni jatuh lemas. Rupanya Dewi Kelambu Darah sudah melepaskan pengaruh totokan itu melalui pandangan mata yang mempunyai kekuatan dahsyat itu. Barong Geni menghembuskan napas lega dan menggerak-gerakkan tangannya agar rasa pegal hilang secepatnya. Jari-jarinya pun dikembang-kuncupkan karena tanpa begitu, semua urat terasa kaku.
"Ingat, Barong Geni... semalam kulihat rembulan purnama mempunyai garis hitam yang bagai ingin memotong pertengahan rembulan. Itu pertanda alam kesucian telah terbuka. Jangan biarkan rembulan tak bergaris lagi. Karena itu pertanda alam kesucian tertutup kembali. Jika alam kesucian tertutup kembali, maka sekian tahun lagi Pedang Guntur Biru bisa dicuri orang. Jadi, jangan sampai kau terlambat, Barong Geni! Sekaranglah saatnya mencuri pedang pusaka itu, selagi alam kesucian terbuka!"
"Aku sangat mengerti, Kelambu Darah!"
"Kalau kau terlambat, menunggu sekian tahun lagi kita baru bisa berbulan madu. Padahal sebenarnya aku sudah tak tahan, Barong," kata Dewi Kelambu Darah sambil mendekati lelaki itu dan menatapnya dengan mata sendu, seakan sebuah ajakan untuk bercumbu.
Rambut Barong Geni diusap-usapnya dengan lembut, penuh kemesraan. Sambil tubuhnya merapat di belakang Barong Geni dan dengus napasnya terasa hangat di tengkuk kepala dan leher Barong Geni. Terbakar darah kejantanan Barong Geni manakala ia mendengar bisikan Dewi.
"Jangan sampai pria lain yang menyerahkan pedang itu padaku, karena jika orang lain yang serahkan maka itu berarti aku harus menikah dengan pria lain itu, Barong! Dapatkan segera Pedang Guntur Biru di dalam kuil itu! Aku tak tahan menunggu masa bulan madu kita tiba, Barong! Oh... dapatkan pedang itu, Sayang...!"
Dewi Kelambu Darah menggelendot di pundak. Barong Geni makin berdetak keras jantungnya. Ia ingin mencium, tapi yang mau dicium segera undurkan diri dengan menggoda. Mata Dewi Kelambu Darah tetap memandang penuh daya rangsang yang memabukkan jiwa. Tak tahan Barong Geni melihatnya.
"Sekarang juga aku akan kembali ke kuil itu, Dewi! Sabarkan hasratmu. Tak lama lagi bulan madu kita akan tiba!"
"Yah, lekaslah bertindak! Karena hanya kau yang tahu seluk-beluk kuil itu, maka kaulah yang masuk ke sana! Kalau Gincu Mayat turut campur, aku yang menghabisi nyawanya. Kau tak perlu layani dia!"
"Jadi kau akan mendampingiku dari belakang, Dewi?"
"Ya. Karena aku tak mau kehilangan kamu!" jawab Dewi Kelambu Darah yang membuat Barong Geni semakin bersemangat untuk mendapatkan Pedang Guntur Biru.
"Aku berangkat sekarang! Jaga dirimu baik-baik di belakangku!" Ucap Barong Geni dengan penuh keperkasaan dan kegagahan ia melangkah menunaikan tugas setia seorang calon suami.
Dewi Kelambu Darah tertawa terkikik setelah Barong Geni pergi. Dalam hatinya, Kelambu Darah ucapkan kata, "Manusia bodoh! Sekalipun dia dapatkan pedang pusaka itu, siapa yang mau menjadi suaminya? Puih...! Tak sudi aku bergelut di atas ranjang dengannya! Menjijikkan! Tapi, untuk sementara ini aku harus mendorong semangatnya dan menjaganya dari belakang! Kuperlukan tenaganya untuk mencuri pedang pusaka itu! Siapa pun akan tahu jika terjadi heboh nanti, bahwa pusaka Pedang Guntur Biru dicuri oleh murid murtadnya Begawan Sangga Mega! Dunia akan mengecam dia! Dia akan diburu oleh banyak orang, sementara aku bisa melarikan diri dan tenggelam untuk beberapa saat! Setelah itu aku akan muncul sebagai ratu yang punya banyak rakyat, karena mereka tak ada yang tahu bahwa akulah otak pencurian pusaka Pedang Guntur Biru itu! Hi hihi...!"
Dewi Kelambu Darah cepat mengikuti kepergian Barong Geni. Tak disadarinya, Panji Tampan yang belum mati hanya dalam keadaan parah itu, telah mendengar suara percakapan mereka tadi. Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh Barong Geni dan Dewi Kelambu Darah. Sambil menahan luka berat, Panji Tampan berusaha untuk bangkit dan berdiri berpegangan batang pohon. Hatinya mulai membatin,
"Tak mungkin kususul sekarang juga, keadaanku sangat parah! Aku harus pulang temui Guru dan menceritakan tentang Pedang Guntur Biru itu. Pasti Guru tahu apa dan bagaimana pedang pusaka tersebut! Jika memungkinkan, aku mau merebut pedang pusaka itu dari tangan Barong Geni, bukan untuk kuserahkan kepada Dewi Kelambu Darah, tapi untuk kumiliki sendiri! Dewi Kelambu Darah ternyata racun dalam hidupku!"
Geram sekali Panji Tampan setelah menyadari bahwa ternyata Dewi Kelambu Darah memang ada hubungan dongan Barong Geni. Selama ini, Panji Tampan tidak menduga bahwa rayuan Dewi Kelambu Darah hanya racun bagi hidupnya. Dewi Kelambu Darah sering mengeluh dan merasa diganggu oleh Barong Geni. Nyatanya, justru Dewi Kelambu Darah sendiri yang nyosor kepada Barong Geni. Akibatnya, timbul rasa benci dalam hati Panji Tampan dan lebih parah lagi rasa benci itu menjadi dendam, karena merasa ditipu dan dipermainkan.
"Kalau perlu kurebut pedang itu dan kupakai membunuh Dewi Kelambu Darah yang telah tega melukaiku separah ini!" pikir Panji Tampan dengan dendam menyentak-nyentak dada.
* * *
TIGA
KUIL Swanalingga berupa bangunan batu tanpa semen atau bahan perekat. Begawan Sangga Mega membangun kuil tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi, di mana setiap batu direkatkan memakai hawa lekat yang keluar dari telapak tangannya. Kuil itu sulit dirubuhkan karena perekat yang dipakai benar-benar perekat istimewa.
Di sana terdapat ruang pemujaan dan ruang semadi yang dinamakan kamar Cipta Hening. Kuil itu terdiri dari tiga bangunan berbentuk stupa candi. Satu bangunan besar tempat pemujaan dan tempat kamar Cipta Hening, dua bangunan lagi digunakan untuk beristirahat para murid Begawan Sangga Mega sebelum wafat dibunuh oleh Tapak Baja. Salah satu dari dua bangunan itu sering digunakan untuk menerima tamu atau memberi wejangan bagi para murid Begawan Sangga Mega.
Kuil itu dulu pernah diserang oleh pasukan Chubi, dari Tiongkok. Semua murid habis binasa kecuali Intan Selaksa dan Barong Geni. Dua murid kesayangan Begawan Sangga Mega itulah yang menjadi penerus ilmu-ilmu kesayangan Begawan Sangga Mega. Tapi sayang sekali, Barong Geni murtad dengan mencuri kitab pusaka untuk diserahkan kepada Dewi Kelambu Darah sebagai tanda cintanya. Dengan diusirnya Barong Geni, maka hanya Intan Selaksa satu-satunya pewaris semua ilmu yang dimiliki Begawan.
Sayang sekali ketika Intan Selaksa pergi ke Lembah Tengkorak untuk melenyapkan giok penyebar penyakit yang ada di sana, Tapak Baja datang mengincar Pedang Guntur Biru. Begawan Sangga Mega tak mau serahkan pedang itu, sekalipun hanya dengan dalih dipinjamkan. Tapak Baja sakit hati. Lalu, dengan cara licik ia membunuh Begawan Sangga Mega. Ketika Intan Selaksa kembali dari meleburkan batu giok penyebar penyakit di Lembah Tengkorak, ia sudah temukan gurunya tak bernyawa lagi, tanpa tahu siapa pembunuhnya.
Mulanya Intan menyangka Barong Geni yang membunuh gurunya. Tapi dilihat dari bekas pukulan lawan di tubuh Begawan, jelas bukan jurus pukulan milik Barong Geni, bahkan bukan pula milik pukulan Dewi Kelambu Darah, yang bercita-cita ingin menjadi ratu itu. Tetapi jauh sebelum Intan Selaksa mendapat tugas menghancurkan batu giok penyebar penyakit di Lembah Tengkorak, Begawan Sangga Mega pernah berkata, bahwa kelak apa pun yang terjadi, Intan Selaksa harus mempertahankan kuil itu dan melindungi dari jamahan tangan-tangan sesat. Tak boleh ada yang merusak kuil itu, tak boleh ada yang masuk ke kamar Cipta Hening, sampai suatu saat nanti kuil itu akan lenyap dengan sendirinya, dan Intan Selaksa akan menerima titisan ilmu dari semua ilmu yang dimiliki Begawan Sangga Mega.
Intan Selaksa mematuhi tugas sebagai juru kunci Kuil Swanalingga sejak kematian gurunya. Sampai suatu saat, ia melihat seorang perempuan yang terdesak dengan luka berdarahnya dari serangan dua orang lelaki tak dikenal oleh Intan Selaksa. Merasa iba melihat nasib perempuan itu, Intan Selaksa cepat ambil tindakan selamatkan perempuan itu. Ilmu pengobatan dari gurunya digunakan, dan perempuan itu selamat dari maut yang nyaris merenggut nyawanya. Perempuan itulah yang kemudian dikenal dengan nama Gincu Mayat. Dia murid tokoh sesat si Bungkuk Jagal, penguasa Tanah Merah.
Gincu Mayat dikenal sebagai murid liar si Bungkuk Jagal, karena sampai berusia tiga puluh tahun lebih ia masih berkeliaran mencari tempat kehidupan dan jati dirinya, yang membuat ia hidup penuh gejolak gairah kepada siapa pun yang diinginkannya. Gairah itu membuat ia menjadi liar jika tidak tersalurkan, juga menjadi buas setelah tersalurkan. Karena itu, tak pernah ada lelaki yang tetap hidup setelah bercinta dengan Gincu Mayat, dan tak ada lelaki yang tetap hidup jika menolak rayuan mesra Gincu Mayat.
Intan Selaksa tidak mau terpengaruh kehidupan sesat si Gincu Mayat. Karena itu, ia menjauhkan diri, walau tidak membuka pintu permusuhan dengan Gincu Mayat. Sikap baik dari Intan Selaksa membuat Gincu Mayat sesekali bertandang ke Kuil Swanalingga sebagai seorang sahabat saja. Mengingat hidup mereka sama-sama diterkam sepi, tanpa pendamping, tanpa saudara, tanpa Guru, maka mereka sering saling bertukar rasa, bertukar pendapat dan bertukar pengalaman. Intan Selaksa selalu menerima tamunya di ruang khusus untuk menerima tamu, yang dulu sering pula dipakai untuk mendengarkan wejangan dari Begawan Sangga Mega.
Tetapi kali ini Intan Selaksa punya rasa atas pembelaan diri Gincu Mayat terhadap dirinya. Jika waktu tadi Gincu Mayat tak muncul, mungkin Intan Selaksa sudah tak bernyawa lagi dihantam habis oleh Barong Geni, orang yang sering menghalalkan cara demi mencapai kebutuhan pribadinya. Intan Selaksa merasa sangat beruntung dengan kedatangan Gincu Mayat itu. Bahkan setelah ia sembuhkan luka-lukanya dengan ramuan peninggalan mendiang gurunya, Intan Selaksa ucapkan kata kepada Gincu Mayat,
"Pertolonganmu sangat berharga bagiku, karena tepat pada waktunya. Aku tak tahu harus membalas dengan cara bagaimana untuk menghargai pertolonganmu, Gincu Mayat!"
"Sudah kubilang tadi, aku hanya membalas hutangku kepadamu! Dengan begini, kita impas. Kita tak punya hutang nyawa lagi!"
"Kau begitu baik padaku, Gincu Mayat! Di tengah sepiku menunggu saat kepergianku tiba sebagai penjaga kuil ini, hanya kau teman yang sering mengisi kesunyian hati ini!"
"Mengapa tak cari teman pria yang bisa mengisi hatimu?!" pancing Gincu Mayat. "Aku bisa mencarikan lelaki yang bisa kau pakai hiburan setiap malam atau kapan saja kau inginkan!"
Intan Selaksa hanya sunggingkan senyum berlesung pipit itu, kemudian ia ucapkan kata, "Lelaki bukan jaminan pengisi hati yang damai! Lelaki kadang menghadirkan sejuta keresahan di hati, dan menjadi sang penyiksa jiwa! Rasa-rasanya belum waktunya aku berurusan dengan masalah hati lelaki."
"Hi hi hi...!" Gincu Mayat tertawa. Bodoh amat kau! Lelaki memang bukan jaminan pengisi hati yang damai, tapi lelaki bisa kita jadikan alat hiburan! Jangan jadikan lelaki pengisi hati, bisa ngelunjak dia, Intan Selaksa! Hi hi hi...! Hidup seperti aku inilah contoh hidup yang tak pernah merasa disiksa jiwanya oleh lelaki, melainkan dipuasi batinnya oleh kelemahan lelaki yang bisa kupermainkan kapan saja! Nyawa lelaki pun bisa kupermainkan dengan sekehendak hatiku! Hi hi hi...!"
Hanya senyum yang ada di wajah Intan Selaksa kala itu. Langkah kakinya pelan mengikuti irama langkah kaki Gincu Mayat. Hanya langkah kaki itu yang bisa didampingi dan diikuti, tapi cara hidup dan jiwa liar dari Gincu Mayat tak bisa diikuti oleh Intan Selaksa. Langkah kaki Gincu Mayat setelah mengitari taman di depan kuil, tiba-tiba terhenti di depan ruang pemujaan yang berpintu lengkung tanpa daun pintu. Di dalam sana terdapat pintu batu yang tertutup rapat. Pintu batu itulah penutup rapat ruang atau kamar semadi yang dinamakan kamar Cipta Hening.
"Intan Selaksa, sejak aku sering datang bertandang kemari aku tak pernah melihat pintu kamar itu terbuka. Apakah tidak pernah kau bersihkan?"
"Tidak," jawab Intan Selaksa. "Itu kamar larangan. Guru tak pernah izinkan siapa pun masuk ke kamar itu, termasuk aku. Aku hanya diizinkan memegang kuncinya dan membersihkan bagian luarnya saja!"
"Apa yang ada di dalam kamar itu sebenarnya, Intan Selaksa?"
"Entahlah! Sejak aku tinggal di sini menjadi murid Begawan Sangga Mega, aku belum pernah masuk ke kamar semadi itu. Dan aku tidak pernah punya rasa ingin tahu dengan isi kamar tersebut!"
Kepala Gincu Mayat mengangguk-angguk sambil bergumam kecil. Kemudian ia coba bertanya, "Apakah kamar itu tempat menyimpan pusaka-punnka milik gurumu?"
"Setahuku guru tidak mempunyai pusaka apa-apa, kecuali ilmunya sendiri itulah pusakanya," jawab Intan Selaksa menjelaskan.
"Bukankah gurumu punya pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Menurut kabarnya begitu, tapi guru tidak pernah membicarakan kepadaku tentang pusaka Pedang Guntur Biru. Aku jadi sangsi, apakah benar Guru memiliki pusaka itu?"
"Mungkin dia simpan di dalam kamar tersebut, Intan!"
"Itu pun aku tak pasti. Antara percaya dan tidak, sebab aku belum pernah melihat Guru memegang pusaka Pedang Guntur Biru. Tetapi menurut cerita orang-orang yang pernah kutemui, Begawan Sangga Mega mempunyai pusaka tua yang bernama Pedang Guntur Biru. Pedang itu bisa menyerang dari jarak cukup jauh, bisa membikin kebal pemiliknya, dan bisa membuat pemiliknya terbang oleh kekuatan pedang pusaka tersebut. Hanya itu yang bisa kujelaskan kepadamu jika kau bertanya tentang pusaka Pedang Guntur Biru."
Gincu Mayat tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya sambil ucapkan kata, "Apakah kau tak berhasrat memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Aku tidak berani punya hasrat seperti itu!" jawab Intan Selaksa jujur. Karena dia memang perempuan yang polos dan menyukai kejujuran.
"Kalau kau memiliki Pedang Guntur Biru, kau akan menjadi orang sakti yang sulit ditumbangkan. Mungkin pula tak ada tandingannya!"
"Apakah begitu sifat orang yang memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?" Intan Selaksa justru merasa heran dengan penjelasan Gincu Mayat. Karena menurut pendapatnya, jika benar apa yang dikatakan Gincu Mayat, lantas mengapa sang Begawan Sangga Mega mati di tangan orang? Bukankah Begawan Sangga Mega dikenal sebagai pemilik pusaka Pedang Guntur Biru?
"Mendiang guruku sendiri pernah menceritakan hal itu padaku, dan ia kagum dengan kesaktian dan kehebatan yang dimiliki Pedang Guntur Biru! Tetapi ia juga mengatakan, tak ada orang yang bisa mencuri atau merebut pedang itu dari tangan gurumu! Hanya saja, sekarang sang Begawan Sangga Megah toh sudah tiada. Tak ada salahnya jika kau sebagai murid kesayangannya menjadi pewaris Pedang Guntur Biru itu!"
"Tapi aku tak pernah melihat pedang itu ada di kuil ini!"
"Mungkin terlalu rahasia, sehingga gurumu tidak tunjukkan pedang itu kepada siapa pun termasuk muridnya. Tapi jika kau memeriksa bagian dalam kamar Cipta Hening itu, kau baru akan melihat seperti apa bentuk dan wujudnya pusaka Pedang Guntur Biru itu."
"Apakah menurutmu, Guru memang menyimpannya di kamar Cipta Hening itu?" tanya Intan Selaksa bernada sangsi.
"Jika kamar itu tidak dipakai menyimpan Pedang Guntur Biru, mengapa gurumu tidak mengizinkan siapa pun masuk ke sana? Larangan itulah yang sebenarnya merupakan jawaban dari pertanyaan di mana Pedang Guntur Biru disimpan oleh gurumu, Intan!"
Intan Selaksa diam dalam renungan yang panjang. Lalu, Gincu Mayat segera mendesak, "Cobalah, buka pintu kamar itu dan periksalah dalamnya."
"Aku... aku tidak berani, Gincu Mayat! Aku sangat menjunjung tinggi perintah Guru dan menghargai larangan Guru. Aku tidak berani melanggar satu pun dari apa yang dilarang beliau!"
"Hi hi hi...! Kau memang murid yang patuh, Intan Selaksa, tapi kau juga murid yang bodoh! Kepatuhanmu itu memang berharga jika gurumu masih hidup. Tapi sekarang gurumu sudah wafat, kepatuhan itu tak perlu ada lagi! Justru gurumu itu sangat berharap kau bisa mengambil gagasan sendiri untuk bertindak tanpa diri beliau!"
"Gagasan...?!" Intan Selaksa makin kerutkan dahi. "Ya. Setiap orang berhak punya gagasan sendiri dalam bertindak!"
Tiba-tiba Gincu Mayat sentakkan tangannya, mendorong tubuh Intan Selaksa dengan kuat. Intan Selaksa jatuh terjungkal ke tanah. Gincu Mayat berkelebat lompat ke kiri sambil tangannya menyambar sesuatu yang melayang cepat bagaikan anak panah.
Wussst...! Tap...!
"Hei, kenapa kau mendorongku sekasar itu, Gincu Mayat?!" sentak Intan Selaksa.
Gincu Mayat tidak menjawab. Matanya tajam memandang sekeliling halaman kuil, terutama di atas tembok pagar berbatu hitam itu. Kejap berikut, Gincu Mayat segera dekati Intan Selaksa dan ulurkan tangannya. Tangan yang menggenggam itu membuka telapaknya, lalu tampaklah sebuah pisau kecil seukuran kelingking bergagang hitam dengan ujungnya yang runcing tajam.
"Seseorang ingin membunuhmu!" kata Gincu Mayat.
Intan Selaksa terkesiap memandang pisau kecil yang berhasil ditangkap oleh Gincu Mayat. Lekas-lekas ia pandangkan matanya ke sekeliling, dan ia susuri setiap tempat, pohon, dan atap bangunan kuil. Tak ada orang di sana, tak ada tempat yang patut dicurigai.
"Pisau ini beracun ganas jika sampai menggores kulit tubuh manusia," kata Gincu Mayat. "Orang yang tergores atau terkena pisau kecil ini akan hangus terbakar dan tak dapat ditolong lagi!"
"Dari mana kau tahu?"
"Aku kenal pemiliknya!" jawab Gincu Mayat.
"Siapa pemiliknya? Apakah Barong Geni atau Dewi Kelambu Darah?"
"Bukan!" jawab Gincu Mayat dengan tegas. "Pisau ini milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat Mati."
"Maksudmu... Eyang Sambar Jantung?"
"Benar!"
"Tidak mungkin!" sanggah Intan Selaksa. "Eyang Sambar Jantung adalah teman baik Begawan Sangga Mega! Ia juga baik kepadaku!"
"Di balik kebaikan seseorang tak mungkinkah tersimpan kebusukan?"
"Ya. Memang. Tapi tidak begitu untuk Eyang Sambar Jantung!"
Baru saja Intan Selaksa selesai bicara begitu, tiba-tiba Gincu Mayat terpekik, "Awas...!" sambil ia sentakkan kaki dan melenting di udara, demikian pula halnya dengan gerakan mendadak Intan Selaksa. Tubuhnya sempat bersalto satu kali di udara. Dan pada waktu itu, Intan Selaksa sempat melihat gerakan benda hitam yang melesat cepat, lalu menancap di sebuah pohon yang ada di sudut halaman Kuil Swanalingga.
Pohon itu berdaun lebat, rindang, dan teduh jika digunakan untuk duduk-duduk di bawahnya pada siang hari. Tapi ketika benda hitam kecil itu menancap di batang pohon itu dengan suara halus, hampir tak terdengar, tiba-tiba daunnya menjadi kuning. Daun itu mengalami perubahan sangat cepat, dari kuning menjadi coklat, lalu berguguran bagaikan bunyi suara hujan deras.
Ranting-rantingnya ikut beterbangan, bahkan dahannya ada yang patah sendiri. Dan dalam waktu yang sangat singkat, pohon itu menjadi gundul tanpa ranting. Batangnya yang masih berdahan sebagian itu menjadi keropos dengan warna hitam, bagaikan sebatang pohon yang sudah terbakar sejak puluhan tahun yang lalu. Tentu saja pemandangan seperti itu memukaukan mata Intan Selaksa. Terbayang ngeri di benaknya, jika sampai pisau kecil itu menancap pada bagian tubuhnya, sudah pasti dirinya akan mengalami nasib mengenaskan seperti pohon besar itu.
Wuttt...! Intan Selaksa lekas lompatkan diri, bersembunyi di dalam ruang pemujaan. Waktu itu, Gincu Mayat cepat sentakkan kaki dan menyusul Intan Selaksa dengan gerakan lompat yang amat ringan dan cepat. Wesss...! Mereka berdua bersembunyi di sana dengan mata memandang tajam ke arah sekeliling.
Tak ada manusia, tak ada gerakan. Bahkan angin pun bagaikan berhenti, hingga daun yang berguguran itu tak sempat bergerak sedikit pun. Alam bagaikan mati tanpa bunyi hening yang semestinya timbul akibat hembusan angin tipis. Senyap sekali kuil tersebut.
Tapi tiba-tiba suara deru terdengar dari kejauhan. Deru itu makin lama semakin mendekat, menghadirkan hembusan angin yang membuat daun-daun kering beterbangan. Deru itu bertambah jelas dan keras, membuat pohon-pohon meliukkan puncaknya, bagian pintu pagar yang terbuat dari besi berjeruji yang amat kekar itu terhempas membuka dalam satu sentakan keras.
Trangng!
Angin badai terasa menghadirkan kesejukan yang cukup tinggi, dan makin lama makin dingin. Dahan pohon lainnya terdengar berderak patah. Tubuh mereka di ruang pemujaan tak berdaun pintu itu menjadi saling berpegangan tiang penyangga atap pintu lengkung. "Angin apa ini? Kerasnya bukan main?!" seru Intan Selaksa mengimbangi suara deru yang memekakkan telinga.
"Entahlah! Mungkin ini yang dinamakan Angin Setan!"
"Angin Setan apa?"
"Angin Setan yang hanya datang sewaktu-waktu jika diinginkan oleh pemiliknya!" seru Gincu Mayat, rambutnya beterbangan ke arah belakangnya. Matanya menyipit menahan derasnya angin menerpa.
"Siapa pemilik Angin Setan ini?!"
"Siapa lagi kalau bukan Sambar Jantung!"
Di hati Intan Selaksa menggumamkan nama itu dengan nada heran sekali, ia kenal betul dengan Eyang Sambar Jantung. Hubungannya nyaris seperti hubungan antara murid dan guru, karena Sambar Jantung sering kasih saran dan pandangan hidup kepada Intan Selaksa. Bahkan sering juga Sambar Jantung mengingatkan kepada Intan agar menjadi murid yang baik yang selalu taat kepada perintah dan ajaran gurunya.
Jika benar Sambar Jantung yang bikin ulah seperti ini, lantas apa maksudnya? Apa pula maksud Sambar Jantung dua kali melepaskan pisau beracun untuk membunuh Intan? Atau, jangan-jangan yang jadi sasaran adalah Gincu Mayat? Bukan Intan Selaksa? Rasa- rasanya sangat aneh sekali dan tak mudah dipercaya bahwa Eyang Sambar Jantung bermaksud membunuh Intan Selaksa. Rasa-rasanya tak pernah ada kesalahan yang dibuat Intan terhadap SambarJantung.
Hembusan angin badai masih terasa kuat dan semakin besar saja. Di luar pagar kuil, jauh di sebelah barat sana, terdengar sebuah pohon yang tumbang dengan menimbulkan dentuman yang mengguncangkan tanah. Daun-daun kering yang gugur dari pohon hangus seketika itu sudah beterbangan keluar dari pagar kuil yang tingginya mencapai tiga atau empat tombak, dengan ketebalannya mencapai tiga jengkal atau setengah ukuran tombak.
Bahkan sekarang angin badai aneh itu menghadirkan bintik-bintik putih seperti tepung. Bintik-bintik putih itu menerpa dedaunan atau benda apa pun. Semakin lama semakin banyak jumlahnya, membuat satu batang pohon dalam sekejap berubah menjadi putih bagaikan dibungkus kapas. Tapi pada saat itu udara terasa sangat dingin. Kian lama kian membuat Intan Selaksa menggigil. "Serbuk apa itu yang membawa hawa sedingin ini?!" seru Intan Selaksa dari tempatnya yang berjarak empat langkah dari Gincu Mayat.
"Salju!" jawab Gincu Mayat. Suaranya keras juga.
"Salju...?!" suara Intan Selaksa bernada heran sekali.
"Mengapa ada salju di sini?"
"Seseorang telah menghadirkan badai salju!"
"Siapa?"
"Tentunya si Penguasa Pantai Selat Mati itu! Sambar Jantung!"
"Mana mungkin beliau? Untuk apa Eyang Sambar Jantung sampai menghadirkan badai salju kemari?!"
"Kurasa dia juga inginkan pusaka Pedang Guntur Biru!"
"Apa...?!" Intan terkejut dan terpekik di sela deru angin kencang yang hadirkan butiran salju semakin banyak itu.
Di sana terdapat ruang pemujaan dan ruang semadi yang dinamakan kamar Cipta Hening. Kuil itu terdiri dari tiga bangunan berbentuk stupa candi. Satu bangunan besar tempat pemujaan dan tempat kamar Cipta Hening, dua bangunan lagi digunakan untuk beristirahat para murid Begawan Sangga Mega sebelum wafat dibunuh oleh Tapak Baja. Salah satu dari dua bangunan itu sering digunakan untuk menerima tamu atau memberi wejangan bagi para murid Begawan Sangga Mega.
Kuil itu dulu pernah diserang oleh pasukan Chubi, dari Tiongkok. Semua murid habis binasa kecuali Intan Selaksa dan Barong Geni. Dua murid kesayangan Begawan Sangga Mega itulah yang menjadi penerus ilmu-ilmu kesayangan Begawan Sangga Mega. Tapi sayang sekali, Barong Geni murtad dengan mencuri kitab pusaka untuk diserahkan kepada Dewi Kelambu Darah sebagai tanda cintanya. Dengan diusirnya Barong Geni, maka hanya Intan Selaksa satu-satunya pewaris semua ilmu yang dimiliki Begawan.
Sayang sekali ketika Intan Selaksa pergi ke Lembah Tengkorak untuk melenyapkan giok penyebar penyakit yang ada di sana, Tapak Baja datang mengincar Pedang Guntur Biru. Begawan Sangga Mega tak mau serahkan pedang itu, sekalipun hanya dengan dalih dipinjamkan. Tapak Baja sakit hati. Lalu, dengan cara licik ia membunuh Begawan Sangga Mega. Ketika Intan Selaksa kembali dari meleburkan batu giok penyebar penyakit di Lembah Tengkorak, ia sudah temukan gurunya tak bernyawa lagi, tanpa tahu siapa pembunuhnya.
Mulanya Intan menyangka Barong Geni yang membunuh gurunya. Tapi dilihat dari bekas pukulan lawan di tubuh Begawan, jelas bukan jurus pukulan milik Barong Geni, bahkan bukan pula milik pukulan Dewi Kelambu Darah, yang bercita-cita ingin menjadi ratu itu. Tetapi jauh sebelum Intan Selaksa mendapat tugas menghancurkan batu giok penyebar penyakit di Lembah Tengkorak, Begawan Sangga Mega pernah berkata, bahwa kelak apa pun yang terjadi, Intan Selaksa harus mempertahankan kuil itu dan melindungi dari jamahan tangan-tangan sesat. Tak boleh ada yang merusak kuil itu, tak boleh ada yang masuk ke kamar Cipta Hening, sampai suatu saat nanti kuil itu akan lenyap dengan sendirinya, dan Intan Selaksa akan menerima titisan ilmu dari semua ilmu yang dimiliki Begawan Sangga Mega.
Intan Selaksa mematuhi tugas sebagai juru kunci Kuil Swanalingga sejak kematian gurunya. Sampai suatu saat, ia melihat seorang perempuan yang terdesak dengan luka berdarahnya dari serangan dua orang lelaki tak dikenal oleh Intan Selaksa. Merasa iba melihat nasib perempuan itu, Intan Selaksa cepat ambil tindakan selamatkan perempuan itu. Ilmu pengobatan dari gurunya digunakan, dan perempuan itu selamat dari maut yang nyaris merenggut nyawanya. Perempuan itulah yang kemudian dikenal dengan nama Gincu Mayat. Dia murid tokoh sesat si Bungkuk Jagal, penguasa Tanah Merah.
Gincu Mayat dikenal sebagai murid liar si Bungkuk Jagal, karena sampai berusia tiga puluh tahun lebih ia masih berkeliaran mencari tempat kehidupan dan jati dirinya, yang membuat ia hidup penuh gejolak gairah kepada siapa pun yang diinginkannya. Gairah itu membuat ia menjadi liar jika tidak tersalurkan, juga menjadi buas setelah tersalurkan. Karena itu, tak pernah ada lelaki yang tetap hidup setelah bercinta dengan Gincu Mayat, dan tak ada lelaki yang tetap hidup jika menolak rayuan mesra Gincu Mayat.
Intan Selaksa tidak mau terpengaruh kehidupan sesat si Gincu Mayat. Karena itu, ia menjauhkan diri, walau tidak membuka pintu permusuhan dengan Gincu Mayat. Sikap baik dari Intan Selaksa membuat Gincu Mayat sesekali bertandang ke Kuil Swanalingga sebagai seorang sahabat saja. Mengingat hidup mereka sama-sama diterkam sepi, tanpa pendamping, tanpa saudara, tanpa Guru, maka mereka sering saling bertukar rasa, bertukar pendapat dan bertukar pengalaman. Intan Selaksa selalu menerima tamunya di ruang khusus untuk menerima tamu, yang dulu sering pula dipakai untuk mendengarkan wejangan dari Begawan Sangga Mega.
Tetapi kali ini Intan Selaksa punya rasa atas pembelaan diri Gincu Mayat terhadap dirinya. Jika waktu tadi Gincu Mayat tak muncul, mungkin Intan Selaksa sudah tak bernyawa lagi dihantam habis oleh Barong Geni, orang yang sering menghalalkan cara demi mencapai kebutuhan pribadinya. Intan Selaksa merasa sangat beruntung dengan kedatangan Gincu Mayat itu. Bahkan setelah ia sembuhkan luka-lukanya dengan ramuan peninggalan mendiang gurunya, Intan Selaksa ucapkan kata kepada Gincu Mayat,
"Pertolonganmu sangat berharga bagiku, karena tepat pada waktunya. Aku tak tahu harus membalas dengan cara bagaimana untuk menghargai pertolonganmu, Gincu Mayat!"
"Sudah kubilang tadi, aku hanya membalas hutangku kepadamu! Dengan begini, kita impas. Kita tak punya hutang nyawa lagi!"
"Kau begitu baik padaku, Gincu Mayat! Di tengah sepiku menunggu saat kepergianku tiba sebagai penjaga kuil ini, hanya kau teman yang sering mengisi kesunyian hati ini!"
"Mengapa tak cari teman pria yang bisa mengisi hatimu?!" pancing Gincu Mayat. "Aku bisa mencarikan lelaki yang bisa kau pakai hiburan setiap malam atau kapan saja kau inginkan!"
Intan Selaksa hanya sunggingkan senyum berlesung pipit itu, kemudian ia ucapkan kata, "Lelaki bukan jaminan pengisi hati yang damai! Lelaki kadang menghadirkan sejuta keresahan di hati, dan menjadi sang penyiksa jiwa! Rasa-rasanya belum waktunya aku berurusan dengan masalah hati lelaki."
"Hi hi hi...!" Gincu Mayat tertawa. Bodoh amat kau! Lelaki memang bukan jaminan pengisi hati yang damai, tapi lelaki bisa kita jadikan alat hiburan! Jangan jadikan lelaki pengisi hati, bisa ngelunjak dia, Intan Selaksa! Hi hi hi...! Hidup seperti aku inilah contoh hidup yang tak pernah merasa disiksa jiwanya oleh lelaki, melainkan dipuasi batinnya oleh kelemahan lelaki yang bisa kupermainkan kapan saja! Nyawa lelaki pun bisa kupermainkan dengan sekehendak hatiku! Hi hi hi...!"
Hanya senyum yang ada di wajah Intan Selaksa kala itu. Langkah kakinya pelan mengikuti irama langkah kaki Gincu Mayat. Hanya langkah kaki itu yang bisa didampingi dan diikuti, tapi cara hidup dan jiwa liar dari Gincu Mayat tak bisa diikuti oleh Intan Selaksa. Langkah kaki Gincu Mayat setelah mengitari taman di depan kuil, tiba-tiba terhenti di depan ruang pemujaan yang berpintu lengkung tanpa daun pintu. Di dalam sana terdapat pintu batu yang tertutup rapat. Pintu batu itulah penutup rapat ruang atau kamar semadi yang dinamakan kamar Cipta Hening.
"Intan Selaksa, sejak aku sering datang bertandang kemari aku tak pernah melihat pintu kamar itu terbuka. Apakah tidak pernah kau bersihkan?"
"Tidak," jawab Intan Selaksa. "Itu kamar larangan. Guru tak pernah izinkan siapa pun masuk ke kamar itu, termasuk aku. Aku hanya diizinkan memegang kuncinya dan membersihkan bagian luarnya saja!"
"Apa yang ada di dalam kamar itu sebenarnya, Intan Selaksa?"
"Entahlah! Sejak aku tinggal di sini menjadi murid Begawan Sangga Mega, aku belum pernah masuk ke kamar semadi itu. Dan aku tidak pernah punya rasa ingin tahu dengan isi kamar tersebut!"
Kepala Gincu Mayat mengangguk-angguk sambil bergumam kecil. Kemudian ia coba bertanya, "Apakah kamar itu tempat menyimpan pusaka-punnka milik gurumu?"
"Setahuku guru tidak mempunyai pusaka apa-apa, kecuali ilmunya sendiri itulah pusakanya," jawab Intan Selaksa menjelaskan.
"Bukankah gurumu punya pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Menurut kabarnya begitu, tapi guru tidak pernah membicarakan kepadaku tentang pusaka Pedang Guntur Biru. Aku jadi sangsi, apakah benar Guru memiliki pusaka itu?"
"Mungkin dia simpan di dalam kamar tersebut, Intan!"
"Itu pun aku tak pasti. Antara percaya dan tidak, sebab aku belum pernah melihat Guru memegang pusaka Pedang Guntur Biru. Tetapi menurut cerita orang-orang yang pernah kutemui, Begawan Sangga Mega mempunyai pusaka tua yang bernama Pedang Guntur Biru. Pedang itu bisa menyerang dari jarak cukup jauh, bisa membikin kebal pemiliknya, dan bisa membuat pemiliknya terbang oleh kekuatan pedang pusaka tersebut. Hanya itu yang bisa kujelaskan kepadamu jika kau bertanya tentang pusaka Pedang Guntur Biru."
Gincu Mayat tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya sambil ucapkan kata, "Apakah kau tak berhasrat memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Aku tidak berani punya hasrat seperti itu!" jawab Intan Selaksa jujur. Karena dia memang perempuan yang polos dan menyukai kejujuran.
"Kalau kau memiliki Pedang Guntur Biru, kau akan menjadi orang sakti yang sulit ditumbangkan. Mungkin pula tak ada tandingannya!"
"Apakah begitu sifat orang yang memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?" Intan Selaksa justru merasa heran dengan penjelasan Gincu Mayat. Karena menurut pendapatnya, jika benar apa yang dikatakan Gincu Mayat, lantas mengapa sang Begawan Sangga Mega mati di tangan orang? Bukankah Begawan Sangga Mega dikenal sebagai pemilik pusaka Pedang Guntur Biru?
"Mendiang guruku sendiri pernah menceritakan hal itu padaku, dan ia kagum dengan kesaktian dan kehebatan yang dimiliki Pedang Guntur Biru! Tetapi ia juga mengatakan, tak ada orang yang bisa mencuri atau merebut pedang itu dari tangan gurumu! Hanya saja, sekarang sang Begawan Sangga Megah toh sudah tiada. Tak ada salahnya jika kau sebagai murid kesayangannya menjadi pewaris Pedang Guntur Biru itu!"
"Tapi aku tak pernah melihat pedang itu ada di kuil ini!"
"Mungkin terlalu rahasia, sehingga gurumu tidak tunjukkan pedang itu kepada siapa pun termasuk muridnya. Tapi jika kau memeriksa bagian dalam kamar Cipta Hening itu, kau baru akan melihat seperti apa bentuk dan wujudnya pusaka Pedang Guntur Biru itu."
"Apakah menurutmu, Guru memang menyimpannya di kamar Cipta Hening itu?" tanya Intan Selaksa bernada sangsi.
"Jika kamar itu tidak dipakai menyimpan Pedang Guntur Biru, mengapa gurumu tidak mengizinkan siapa pun masuk ke sana? Larangan itulah yang sebenarnya merupakan jawaban dari pertanyaan di mana Pedang Guntur Biru disimpan oleh gurumu, Intan!"
Intan Selaksa diam dalam renungan yang panjang. Lalu, Gincu Mayat segera mendesak, "Cobalah, buka pintu kamar itu dan periksalah dalamnya."
"Aku... aku tidak berani, Gincu Mayat! Aku sangat menjunjung tinggi perintah Guru dan menghargai larangan Guru. Aku tidak berani melanggar satu pun dari apa yang dilarang beliau!"
"Hi hi hi...! Kau memang murid yang patuh, Intan Selaksa, tapi kau juga murid yang bodoh! Kepatuhanmu itu memang berharga jika gurumu masih hidup. Tapi sekarang gurumu sudah wafat, kepatuhan itu tak perlu ada lagi! Justru gurumu itu sangat berharap kau bisa mengambil gagasan sendiri untuk bertindak tanpa diri beliau!"
"Gagasan...?!" Intan Selaksa makin kerutkan dahi. "Ya. Setiap orang berhak punya gagasan sendiri dalam bertindak!"
Tiba-tiba Gincu Mayat sentakkan tangannya, mendorong tubuh Intan Selaksa dengan kuat. Intan Selaksa jatuh terjungkal ke tanah. Gincu Mayat berkelebat lompat ke kiri sambil tangannya menyambar sesuatu yang melayang cepat bagaikan anak panah.
Wussst...! Tap...!
"Hei, kenapa kau mendorongku sekasar itu, Gincu Mayat?!" sentak Intan Selaksa.
Gincu Mayat tidak menjawab. Matanya tajam memandang sekeliling halaman kuil, terutama di atas tembok pagar berbatu hitam itu. Kejap berikut, Gincu Mayat segera dekati Intan Selaksa dan ulurkan tangannya. Tangan yang menggenggam itu membuka telapaknya, lalu tampaklah sebuah pisau kecil seukuran kelingking bergagang hitam dengan ujungnya yang runcing tajam.
"Seseorang ingin membunuhmu!" kata Gincu Mayat.
Intan Selaksa terkesiap memandang pisau kecil yang berhasil ditangkap oleh Gincu Mayat. Lekas-lekas ia pandangkan matanya ke sekeliling, dan ia susuri setiap tempat, pohon, dan atap bangunan kuil. Tak ada orang di sana, tak ada tempat yang patut dicurigai.
"Pisau ini beracun ganas jika sampai menggores kulit tubuh manusia," kata Gincu Mayat. "Orang yang tergores atau terkena pisau kecil ini akan hangus terbakar dan tak dapat ditolong lagi!"
"Dari mana kau tahu?"
"Aku kenal pemiliknya!" jawab Gincu Mayat.
"Siapa pemiliknya? Apakah Barong Geni atau Dewi Kelambu Darah?"
"Bukan!" jawab Gincu Mayat dengan tegas. "Pisau ini milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat Mati."
"Maksudmu... Eyang Sambar Jantung?"
"Benar!"
"Tidak mungkin!" sanggah Intan Selaksa. "Eyang Sambar Jantung adalah teman baik Begawan Sangga Mega! Ia juga baik kepadaku!"
"Di balik kebaikan seseorang tak mungkinkah tersimpan kebusukan?"
"Ya. Memang. Tapi tidak begitu untuk Eyang Sambar Jantung!"
Baru saja Intan Selaksa selesai bicara begitu, tiba-tiba Gincu Mayat terpekik, "Awas...!" sambil ia sentakkan kaki dan melenting di udara, demikian pula halnya dengan gerakan mendadak Intan Selaksa. Tubuhnya sempat bersalto satu kali di udara. Dan pada waktu itu, Intan Selaksa sempat melihat gerakan benda hitam yang melesat cepat, lalu menancap di sebuah pohon yang ada di sudut halaman Kuil Swanalingga.
Pohon itu berdaun lebat, rindang, dan teduh jika digunakan untuk duduk-duduk di bawahnya pada siang hari. Tapi ketika benda hitam kecil itu menancap di batang pohon itu dengan suara halus, hampir tak terdengar, tiba-tiba daunnya menjadi kuning. Daun itu mengalami perubahan sangat cepat, dari kuning menjadi coklat, lalu berguguran bagaikan bunyi suara hujan deras.
Ranting-rantingnya ikut beterbangan, bahkan dahannya ada yang patah sendiri. Dan dalam waktu yang sangat singkat, pohon itu menjadi gundul tanpa ranting. Batangnya yang masih berdahan sebagian itu menjadi keropos dengan warna hitam, bagaikan sebatang pohon yang sudah terbakar sejak puluhan tahun yang lalu. Tentu saja pemandangan seperti itu memukaukan mata Intan Selaksa. Terbayang ngeri di benaknya, jika sampai pisau kecil itu menancap pada bagian tubuhnya, sudah pasti dirinya akan mengalami nasib mengenaskan seperti pohon besar itu.
Wuttt...! Intan Selaksa lekas lompatkan diri, bersembunyi di dalam ruang pemujaan. Waktu itu, Gincu Mayat cepat sentakkan kaki dan menyusul Intan Selaksa dengan gerakan lompat yang amat ringan dan cepat. Wesss...! Mereka berdua bersembunyi di sana dengan mata memandang tajam ke arah sekeliling.
Tak ada manusia, tak ada gerakan. Bahkan angin pun bagaikan berhenti, hingga daun yang berguguran itu tak sempat bergerak sedikit pun. Alam bagaikan mati tanpa bunyi hening yang semestinya timbul akibat hembusan angin tipis. Senyap sekali kuil tersebut.
Tapi tiba-tiba suara deru terdengar dari kejauhan. Deru itu makin lama semakin mendekat, menghadirkan hembusan angin yang membuat daun-daun kering beterbangan. Deru itu bertambah jelas dan keras, membuat pohon-pohon meliukkan puncaknya, bagian pintu pagar yang terbuat dari besi berjeruji yang amat kekar itu terhempas membuka dalam satu sentakan keras.
Trangng!
Angin badai terasa menghadirkan kesejukan yang cukup tinggi, dan makin lama makin dingin. Dahan pohon lainnya terdengar berderak patah. Tubuh mereka di ruang pemujaan tak berdaun pintu itu menjadi saling berpegangan tiang penyangga atap pintu lengkung. "Angin apa ini? Kerasnya bukan main?!" seru Intan Selaksa mengimbangi suara deru yang memekakkan telinga.
"Entahlah! Mungkin ini yang dinamakan Angin Setan!"
"Angin Setan apa?"
"Angin Setan yang hanya datang sewaktu-waktu jika diinginkan oleh pemiliknya!" seru Gincu Mayat, rambutnya beterbangan ke arah belakangnya. Matanya menyipit menahan derasnya angin menerpa.
"Siapa pemilik Angin Setan ini?!"
"Siapa lagi kalau bukan Sambar Jantung!"
Di hati Intan Selaksa menggumamkan nama itu dengan nada heran sekali, ia kenal betul dengan Eyang Sambar Jantung. Hubungannya nyaris seperti hubungan antara murid dan guru, karena Sambar Jantung sering kasih saran dan pandangan hidup kepada Intan Selaksa. Bahkan sering juga Sambar Jantung mengingatkan kepada Intan agar menjadi murid yang baik yang selalu taat kepada perintah dan ajaran gurunya.
Jika benar Sambar Jantung yang bikin ulah seperti ini, lantas apa maksudnya? Apa pula maksud Sambar Jantung dua kali melepaskan pisau beracun untuk membunuh Intan? Atau, jangan-jangan yang jadi sasaran adalah Gincu Mayat? Bukan Intan Selaksa? Rasa- rasanya sangat aneh sekali dan tak mudah dipercaya bahwa Eyang Sambar Jantung bermaksud membunuh Intan Selaksa. Rasa-rasanya tak pernah ada kesalahan yang dibuat Intan terhadap SambarJantung.
Hembusan angin badai masih terasa kuat dan semakin besar saja. Di luar pagar kuil, jauh di sebelah barat sana, terdengar sebuah pohon yang tumbang dengan menimbulkan dentuman yang mengguncangkan tanah. Daun-daun kering yang gugur dari pohon hangus seketika itu sudah beterbangan keluar dari pagar kuil yang tingginya mencapai tiga atau empat tombak, dengan ketebalannya mencapai tiga jengkal atau setengah ukuran tombak.
Bahkan sekarang angin badai aneh itu menghadirkan bintik-bintik putih seperti tepung. Bintik-bintik putih itu menerpa dedaunan atau benda apa pun. Semakin lama semakin banyak jumlahnya, membuat satu batang pohon dalam sekejap berubah menjadi putih bagaikan dibungkus kapas. Tapi pada saat itu udara terasa sangat dingin. Kian lama kian membuat Intan Selaksa menggigil. "Serbuk apa itu yang membawa hawa sedingin ini?!" seru Intan Selaksa dari tempatnya yang berjarak empat langkah dari Gincu Mayat.
"Salju!" jawab Gincu Mayat. Suaranya keras juga.
"Salju...?!" suara Intan Selaksa bernada heran sekali.
"Mengapa ada salju di sini?"
"Seseorang telah menghadirkan badai salju!"
"Siapa?"
"Tentunya si Penguasa Pantai Selat Mati itu! Sambar Jantung!"
"Mana mungkin beliau? Untuk apa Eyang Sambar Jantung sampai menghadirkan badai salju kemari?!"
"Kurasa dia juga inginkan pusaka Pedang Guntur Biru!"
"Apa...?!" Intan terkejut dan terpekik di sela deru angin kencang yang hadirkan butiran salju semakin banyak itu.
* * *
EMPAT
SALJU menyelimuti Kuil Swanalingga. Udara dingin yang dihadirkan oleh angin salju membuat kedua tubuh perempuan itu saling menggigil. Tetapi curahan hujan salju yang mirip serbuk tepung putih itu telah berhenti. Badainya pun hilang. Anginnya bertiup semilir. Hening mencekam sekeliling. Intan Selaksa keluar dari bangunan pemujaan, ia memeriksa sekeliling kuil.
Tak ada sesuatu yang aneh ditemukan di sekeliling kuil, kecuali beberapa pohon melengkung akibat badai tadi, dan beberapa dahan patah jatuh ke tanah. Lebih dari itu, hanya putih salju yang membungkus tiap benda yang terlihat di sana. Intan Selaksa pun cepat memeriksa daerah sekeliling pagar bumi itu, ia segera keluar dari halaman kuil.
Pada saat itu, Intan Selaksa tak menyadari adanya bahaya di ruang pemujaan. Gincu Mayat telah gunakan kesempatan itu untuk memeriksa ruang pemujaan. Altar tempat lilin-lilin dinyalakan itu diperiksa dengan teliti. Bagian-bagian yang tertutup, yang bercelah, yang bisa digeser dan dibuka-tutup, Juga diperiksanya dengan cermat. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dicari atau yang mencurigakan.
Langkah kakinya masih bergerak pelan sambil matanya mengelilingi seluruh tempat itu. Lantai pun disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan adanya suara geduk yang berongga. Jika ada suara gedukan kaki berongga, itu pertanda ada ruang bawah tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya, tidak ada yang punya suara geduk sedikit menggema. Itu artinya tak ada ruang bawah tanah di bawah bangunan tersebut.
Kini, Gincu Mayat tiba di depan kamar Cipta Hening, ia pandangi dinding dan pintu lebih dulu. Susunan batu diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa dijadikan alasan sebagai sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan batu itu merapat lekat tak sedikit pun bisa digeser atau dilepas.
Pintu dipandanginya. Pintu itu terbuat dari lempengan baja yang sangat kokoh dan tua. Warnanya sudah berubah hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel. Jadi menurut dugaan Gincu Mayat, pintu itu bergerak menggeser ke kiri atau ke kanan jika ingin membukanya. Tak ada lubang yang bisa dipakai untuk mengintai keadaan di dalam ruangan tersebut. Pintu sangat rapat.
Gincu Mayat mencoba menggeser pintu, mendorong ke kiri atau ke kanan. Tapi pintu tidak bergeming. Ketebalannya ada satu jengkal menurut dugaan Gincu Mayat. Dihantam pakai tangan pun suaranya tak menimbulkan gema. Duggg...! Hanya seperti dinding cadas yang dipukul dengan tangan kosong.
"Bagaimana jika didobrak?" pikir Gincu Mayat. Pertimbangannya memutuskan untuk mencoba mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya. Maka, Gincu Mayat cepat mengundurkan diri lima tindak. Dari sana ia sentakkan kedua tangannya dalam keadaan telapak tangan terbuka ke depan.
Wouggh...! Hembusan tenaga dalam melesat begitu besar. Biasanya bisa menumbangkan pohon besar hingga tercabut akarnya. Tapi kali ini, ternyata kekuatan itu tak bisa dipakai untuk mendobrak pintu baja keabu-abuan itu.
Gincu Mayat segera berdiri tegak dengan kakimelenggang. Lalu kakinya itu tiba-tiba merendah, dantangan kanannya menuding memakai jari tengah. Tangankirinya bagai mendorong pergelangan telapak tangankanan. Tangan itu bergerak maju dengan kuat dan sedikitgemetar karena tenaga dikerahkan ke arah tangan kanan.Dari jari tengah yang menuding kaku itu melesatsinar hijau. Sinar itu memanjang sampai membenturpintu kamar Cipta Hening itu.
Wuuttt...! Sinar itu terusmemancar tiada putusnya, bergerak pelan menyusuritepian pintu, sampai membentuk gerakan sesuai dengan keliling pintu tersebut.
Zubb...! Pijar sinar hijau itu padam. Gincu Mayat menarik napas dalam-dalam, ia siap mendobrak pintu yang sudah dipotong memakai sinar hijau tadi. Tapi, Gincu Mayat merasa sangsi.
"Tak ada bekas meleleh pada bagian yang sudah kupotong?!" ucapnya dalam hati, "Bau terbakar pun tak ada! Hangus pun tidak pintu itu. Apakah itu berarti pintu sudah terpotong atau tetap utuh?"
Gincu Mayat segera mendekati dan mencoba mendorongnya pelan-pelan untuk mengetahui keadaan pintu. Ternyata masih kokoh, utuh dan tidak lecet sedikit pun. Gincu Mayat berpikir, seandainya didobrak memakai tendangan tenaga dalam juga percuma, sebab pintu itu lebih kokoh daripada bukit batu.
"Aduh, gatal juga telapak tanganku jadinya?" ucapnya lirih sambil telapak tangannya saling digosok-gosokkan untuk menghilangkan rasa gatal. Gincu Mayat belum menyadari, bahwa rasa gatal itu telah membuat telapak tangannya menjadi merah. Sambil memikirkan cara membuka pintu kamar Cipta Hening, ia menggosok-gosokkan telapak tangan semakin keras. Pintu dicoba untuk ditendangnya dalam satu lompatan dari jarak lima tindak.
Wusss...! Dugggh...! Tak ada gerakan pada pintu, tapi tubuh Gincu Mayat terpental ke belakang dan jatuh nyaris terlentang.
"Gila! Pintu itu punya kekuatan membalikkan pukulan tenaga dalam! Sama saja aku menendang diriku sendiri tadi?!" Gincu Mayat bangkit. Telapak tangannya gigih digaruknya. Tapi pada saat itu terdengar suara berucap dari arah belakangnya,
"Sebentar lagi akan buntung kedua tanganmu itu, Anak Manis!"
Terkejut Gincu Mayat mendengar sapaan itu. Ia cepat palingkan wajah dan kerutkan dahi. Seorang lelaki tua yang rambut dan kumisnya telah beruban seperti jenggotnya, telah berdiri di sana, mengenakan pakaian abu-abu dengan kainnya yang menyilang di dada sampai pundak. Pundak satunya bebas tak tertutup kain. Dari rambut putihnya yang botak di bagian dekat dahi itu, Gincu Mayat segera mengenali orang tersebut, yang tak lain adalah si Sambar Jantung. Jari-jari kesepuluh kukunya itu berwarna hitam runcing walau tak terlalu panjang.
Kuku itu kelihatan keras bagaikan besi baja, atau mirip kuku elang jantan. Melihat kuku hitam keling itu, Gincu Mayat semakin yakin bahwa orang tersebut dikenal sebagai Penguasa Pantai Selat Mati yang tadi melemparkan pisau kecil bergagang hitam. Gincu Mayat menantang tatapan mata tua yang masih tajam itu. Bahkan Gincu Mayat berani ucapkan kata ketus,
"Sudah kuduga kau datang juga kemari setelah melihat rembulan bergaris, tadi malam!"
"Rupanya kau mengerti juga rahasia rembulan bergaris, Anak Manis?!" kata si Sambar Jantung dengan senyum tuanya yang peot.
"Aku bukan orang bodoh, Pak Tua! Aku juga sudah lama menunggu munculnya rembulan bergaris. Sudah lama kutahu rahasia itu!"
"He he he he... tapi kau tak tahu rahasia membuka pintu kamar itu, Anak Manis! Lihatlah, tanganmu sudah mulai parah!"
Gincu Mayat tak sadar bahwa sambil bicara ia sejak tadi menggaruk telapak tangannya secara bergantian. Rasa gatal amat mencekam dan menjengkelkan. Tapi ketika ia pandangi telapak tangan itu, ternyata kulitnya sudah terkelupas banyak. Warna merahnya sudah berupa merah darah bercampur serat daging. Gincu Mayat tersentak kaget menyadari keadaan kedua telapak tangannya. Anehnya, tak ada rasa sakit dan perih sedikit pun kecuali rasa gatal yang semakin lama semakin menuntut untuk terus digaruk lebih kuat lagi. Bilamana perlu digaruk memakai ujung garpu runcing.
Sambar Jantung terkekeh lagi dan ucapkan kata, "Racun Kulit Peri memang ganas, tapi tak membuat korbannya kesakitan! Sebentar lagi kedua telapak tanganmu itu akan bolong, lalu terpotong dengan sendirinya! Tapi rasa gatal masih tetap menjalar ke lengan sampai lenganmu nanti akan putus dengan sendirinya dan terus sampai ke sekujur tubuhmu akan menjadi gatal serta terpotong-potong!"
"Jaga mulutmu, Tua Bangka! Aku bukan anak kecil yang pantas ditakut-takuti lagi! Kusarankan, tinggalkan tempat ini dan jangan ganggu urusanku!"
"O, kau ingin mencuri pedang pusaka itu tanpa diganggu oleh siapa pun? He he he... itu tak mungkin, Anak Manis! Seluruh tokoh tingkat tinggi akan datang kemari memburu pedang tersebut, karena pada umumnya mereka juga menunggu kapan rembulan bergaris hitam!"
"Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dari kuil ini! Mereka akan kecewa karena pedang pusaka sudah lebih dulu kudapatkan!"
"O, jangan besar hati dulu, Anak Manis. Kau tak akan mungkin bisa membawa lari pedang pusaka itu selama ada aku di sini!"
"Kalau begitu aku harus singkirkan nyawamu, Pak Tua!"
"Itu lebih baik kalau memang kau bisa, Anak Manis!"
"Tua bangka banyak cakap kau, hiii...!"
Crass...! Sinar merah keluar dari telapak tangan Gincu Mayat. Tapi Gincu Mayat sendiri yang pekikkan suara tertahan, ia tersentak mundur dengan tangan segera ditarik kembali, karena rasa sakit perih begitu menyengat akibat keluarnya tenaga dalam bersinar merah itu. Sedangkan tenaga dalam yang sudah telanjur terlepas itu ditangkap dengan kibasan tangan Sambar Jantung.
Sinar itu menjadi bulatan semacam bola yang bernyala-nyala di atas telapak tangan Sambar Jantung. Kemudian, Sambar Jantung melemparkan bulatan merah tersebut ke arah sebuah batu bersusun yang ada di samping ruang pemujaan tersebut.
Wuttt...! Duarr...! Batu itu pecah bagai dilempar dengan bahan peledak yang cukup kuat. Lalu, Sambar Jantung palingkan pandang ke arah Gincu Mayat sambil sunggingkan senyum tuanya yang menggeramkan hati Gincu Mayat.
"Gila! Tenaga dalamku bisa ditangkapnya?!" gumam hati Gincu Mayat terheran-heran. Tapi ia segera kembali pikirkan tangannya yang tadi terasa sakit untuk keluarkan tenaga dalam bersinar. "Aduh, gatalnya semakin kuat! Iih... sampai berdarah begini masih saja maunya digaruk terus?!"
Si Sambar Jantung terkekeh-kekeh melihat Gincu Mayat sibuk garuk-garuk tangannya. Lalu, ia ucapkan kata dengan kalem, "Pergilah ke luar, Anak Manis! Akan kuledakkan kamar itu!"
"Langkahi dulu bangkaiku kalau kau mau meledakkan kamar itu untuk mengambil pusaka Pedang Guntur Biru!" kata Gincu Mayat masih berani.
"Kau anak manis yang nakal rupanya! Perlu kuberi pelajaran sedikit biar tak nakal lagi!" Si Sambar Jantung seperti menempeleng udara memakai punggung telapak tangannya.
Plakkk...! Terasa ada tamparan keras sekali di wajah Gincu Mayat. Bahkan tubuhnya terpelanting beberapa tindak dari tempatnya berdiri. Tamparan itu bagai disertai sentakan tenaga dalam. Padahal tangan si Sambar Jantung tak sampai mengenai kulit wajah Gincu Mayat. Itu pun sudah membuat Gincu Mayat terpelanting jauh, apalagi jika sampai kena di kulit wajah, pasti akan hancur wajah itu.
"Setan tua kau!" sentak Gincu Mayat dengan marah. Lalu, ia cepat mencabut rencong di depan perutnya. Srett...! Tapi belum sempat digunakan, tangan kiri Sambar Jantung telah menebas dari bawah ke depan. Wuttt...! Ringan sekali gerakannya, bagai dilakukan tanpa menguras tenaga. Tetapi akibatnya sangat berbahaya. Tubuh Gincu Mayat terlempar terbang ke atas, wusss...! Langsung menuju ke arah pintu lengkung dan jatuh di pelataran kuil.
Buhgg...! Ia terjatuh dalam keadaan miring, hampir saja ujung rencong menembus perutnya sendiri. Dari sana ia cepat bangun dan berteriak keras, "Tua bangka! Keluar kau kalau memang ilmumu tinggi! Hadapi aku di tempat bebas ini! Kalau kau tak berani keluar menghadapi aku, bersujudlah di depanku dan akan kuangkat kau sebagai muridku!"
"Anak haram...!" geram Sambar Jantung, lalu cepat ia langkahkan kaki keluar dari ruang pemujaan itu sambil kedua tangannya menghempas ke depan dengan ringan.
Wusss...! Dan tubuh Gincu Mayat kembali terbang, bahkan melewati pagar tembok tinggi sebagai batas halaman kuil. Brugg...! Gincu Mayat jatuh telentang dalam keadaan kehilangan senjata rencongnya. Dan keadaan jatuhnya tepat di depan kaki Intan Selaksa yang kaget saat mendengar teriakan suara Gincu Mayat itu.
"Gincu Mayat...?!" Intan Selaksa terkejut sekali, terlebih setelah melihat kedua telapak tangan Gincu Mayat hampir putus, berdarah dan sangat menjijikkan. Tulang-tulang jarinya nyaris terlihat semua.
"Oh, apa yang terjadi, Gincu Mayat...?!" Intan Selaksa cepat menolong orang yang selama ini dianggap sebagai temannya itu.
Gincu Mayat sendiri tak mau terlihat lemah di depan Intan Selaksa, ia cepat bangkit dengan napas ditarik dalam-dalam. "Tanganmu...? Oh, tanganmu hampir putus, Gincu Mayat!"
"Jangan hiraukan tanganku! Biarlah luka ini, yang penting aku bisa mengusir si Sambar Jantung dari dalam kuil! Dia bermaksud mencuri pedang pusaka dari kamar itu!"
"Tapi... tapi tanganmu ini pasti terkena racun Kulit Peri! Kau telah memegang pintu kamar Cipta Hening, bukan?!"
"Hmmm... anu... iya, secara tak sadar tadi aku memegangnya untuk menghindari serangan si Sambar Jantung!"
"Oh, aku lupa tak bilang padamu, bahwa pintu itu tidak boleh dipegang karena Guru memasang racun ganas di pintu itu!"
"Aku tak sengaja, Intan Selaksa!"
Tiba-tiba suara di belakang Intan Selaksa menyahut, "Tak sengaja menjadi bodoh, maksudnya! Dia mau membongkar pintu itu dan mengincar pedang pusaka di dalamnya!"
Intan Selaksa kaget ketika membalikkan wajah ternyata si Sambar Jantung sudah berdiri lima langkah dari pintu gerbang kuil. "Eyang...?!"
"Jangan dekati dia! Perempuan itu bukan teman tapi musuh bagimu, Intan Selaksa!"
"Jangan percayai omongannya!" bisik Gincu Mayat.
Intan berkata kepada Sambar Jantung, "Eyang, sudah cukup lama saya bersahabat dengan Gincu Mayat! Jadi"
"Dia sengaja mendekati kamu untuk mempelajari kuil ini! Dia ingin mendapatkan pedang pusaka itu, Intan Selaksa! Kau telah tertipu dengan sikap baiknya selama ini!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Apakah kau sendiri datang bukan untuk maksud yang sama?!" sentak Gincu Mayat. "Kau juga menginginkan pedang pusaka itu dengan cara bersahabat baik terhadap Begawan Sangga Mega! Kau bermaksud mengorek keterangan tentang rahasia penyimpanan pusaka itu dari mulut Begawan Sangga Mega! Kau pikir aku tak bisa mencium kelicikanmu itu, Tua peot?!"
Sambil melontarkan sebarisan tuduhan, Gincu Mayat tak sadar kalau sudah ada tiga jarinya yang jatuh ke tanah tanpa menimbulkan rasa sakit selain gatal. Ketika ia sadar akan hal itu, ia tersentak kaget dan menjadi tertegun sedih melihat tiga jarinya jatuh di tanah berlapis salju.
Sementara itu, Intan Selaksa mulai terpengaruh dengan kata-kata Gincu Mayat, namun juga terpengaruh kata-kata Sambar Jantung, ia mundur beberapa tindak, menjauhi keduanya dengan dahi berkerut dan wajah mencerminkan kekecewaan yang dalam.
"Saya tak sangka kalau Eyang punya tujuan seperti itu!" kata Intan Selaksa sambil memandang si Sambar Jantung.
"Intan Selaksa, jangan kau terpengaruh oleh tuduhannya! Dia hanya mencari teman untuk dibenci! Dia sengaja pengaruhi kamu, supaya kamu hilang kepercayaan kepadaku, sebagai sahabat baik mendiang gurumu!"
"Omong kosong sahabat baik!" sahut Gincu Mayat. "Jika kau sahabat baik Begawan Sangga Mega, kau pasti tidak akan meledakkan kamar itu dengan menyingkirkan aku keluar ke sini!"
"Terlalu tajam lidahmu, Anak Bodoh!" geram si Sambar Jantung. Kemudian tangannya bergerak seperti mencakar udara di depannya.
Wuttt...! Brettt...!
"Auh...!" Gincu Mayat menyentakkan kepalanya ke belakang bagai menghindari serangan. Tapi agaknya ia terlambat menghindari serangan lawan yang berjarak tujuh langkah darinya itu. Cakaran tersebut ternyata mengenai mulut Gincu Mayat, dan mulut itu pun koyak di bagian bibir dan sebagian pipinya. Padahal cakaran itu dilakukan dalam jarak tujuh langkah.
Intan Selaksa makin terkesiap melihat luka di mulut Gincu Mayat. Ia mulai membatin, "Bahaya sekali jurus Eyang Sambar Jantung! Seperti yang pernah diceritakan oleh Guru, bahwa Eyang Sambar punyai jurus 'Angin Merapat'. Rupanya seperti itulah jurus 'Angin Merapat'. Tak perlu menyentuh tubuh lawan, dengan merobek udara, mulut lawan sudah bisa robek sendiri! Bahaya sekali melawan dia, jika memang benar dia ingin kuasai pusaka di kamar Cipta Hening itu!"
Terdengar suara tua manusia berambut putih yang usianya konon sudah mencapai seratus tahun lebih itu, "Bocah bodoh! Lekas tinggalkan tempat ini dan carilah obat untuk menyembuhkan gatal-gatalmu itu!"
"Aku tak akan pergi sebelum mencabut nyawamu, Tua Bangka!" sentak Gincu Mayat geram. Lalu, tiba-tiba ia melompat dan bersalto di udara satu kali. Wuttt...! Arah kakinya hendak menendang kepala si Sambar Jantung. "Hiaaat...!"
Sambar Jantung tak mengelak. Tetap ada di tempatnya. Tapi tangan kanannya berkelebat naik bagai menjungkirkan sesuatu. Dan ternyata, tubuh Gincu Mayat itulah yang dijungkirbalikkan. Tubuh itu terlempar ke belakang dan satu kali salto mundur. Sebelum kakinya mendarat di bumi, si Sambar Jantung cepat mengibaskan kedua tangannya bagai merobek udara dengan kuku-kuku hitamnya. Wrettt...! Kedua tangan itu merobek ke kiri dan kekanan.
"Aaahg...!" Gincu Mayat sempat terpekik ketika melihat dadanya robek dari ulu hati sampai ke bawah perut. Robek bersama pakaiannya, sehingga isi perutnya berhamburan keluar dengan mengerikan. Sementara itu, tangan Sambar Jantung cepat disentakkan ke depan dan kembali ditarik ke belakang seperti merogoh sesuatu. Dan ternyata, dalam kejap berikutnya tangan berkuku hitam itu telah menggenggam benda merah berlumur darah. Itulah jantung milik Gincu Mayat.
"He he he he...!" tawanya terkekeh-kekeh melihat jantung lawan ada di tangannya. Sedangkan Gincu Mayat segera roboh tak bergerak selamanya, dan Intan Selaksa cepat palingkan wajah tak berani memandang apa yang dipegang oleh si Sambar Jantung.
Tiba-tiba sebentuk bayangan merah berkelebat cepat menghantam si Sambar Jantung. Tapi sebelum menyentuh tubuh Sambar Jantung, kaki Sambar Jantung menendang pelan udara di depannya. Wusss...! Akibatnya bayangan merah tadi kembali membalik dengan terpelanting tak tentu arah. Tubuhnya membentur pohon di belakang Intan Selaksa.
Buukk...!
"Monyet Tua...!" maki orang itu yang ternyata adalah Barong Geni.
"Datang-datang memaki orang tua, dasar anak tak tahu sopan! Makanlah ini! Hiihh...!"
Wusss...! Jantung itu dilemparkan ke wajah Barong Geni. Tapi cepat-cepat Barong Geni sentakkan tangan kanannya dengan telapak tangan dan, wuhhggg...! Api menyambar benda itu. Duarrr...! Meledaklah jantung dari tangan si Sambar Jantung akibat terkena pukulan 'Lahar Pati' yang dimiliki Barong Geni.
"Barong, jangan serang dia! Berbahaya!" kata Intan Selaksa, karena dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba rasa persaudaraan dalam seperguruan bangkit lagi di hati Intan Selaksa. Tapi agaknya Barong Geni tak pedulikan seruan itu bahkan ucapkan kata,
"Tanganku bebas sudah dari totokanmu! Mudah bagiku untuk membunuh orang ini, Intan Selaksa! Minggirlah. Biar aku yang hadapi!"
Tak ada sesuatu yang aneh ditemukan di sekeliling kuil, kecuali beberapa pohon melengkung akibat badai tadi, dan beberapa dahan patah jatuh ke tanah. Lebih dari itu, hanya putih salju yang membungkus tiap benda yang terlihat di sana. Intan Selaksa pun cepat memeriksa daerah sekeliling pagar bumi itu, ia segera keluar dari halaman kuil.
Pada saat itu, Intan Selaksa tak menyadari adanya bahaya di ruang pemujaan. Gincu Mayat telah gunakan kesempatan itu untuk memeriksa ruang pemujaan. Altar tempat lilin-lilin dinyalakan itu diperiksa dengan teliti. Bagian-bagian yang tertutup, yang bercelah, yang bisa digeser dan dibuka-tutup, Juga diperiksanya dengan cermat. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dicari atau yang mencurigakan.
Langkah kakinya masih bergerak pelan sambil matanya mengelilingi seluruh tempat itu. Lantai pun disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan adanya suara geduk yang berongga. Jika ada suara gedukan kaki berongga, itu pertanda ada ruang bawah tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya, tidak ada yang punya suara geduk sedikit menggema. Itu artinya tak ada ruang bawah tanah di bawah bangunan tersebut.
Kini, Gincu Mayat tiba di depan kamar Cipta Hening, ia pandangi dinding dan pintu lebih dulu. Susunan batu diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa dijadikan alasan sebagai sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan batu itu merapat lekat tak sedikit pun bisa digeser atau dilepas.
Pintu dipandanginya. Pintu itu terbuat dari lempengan baja yang sangat kokoh dan tua. Warnanya sudah berubah hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel. Jadi menurut dugaan Gincu Mayat, pintu itu bergerak menggeser ke kiri atau ke kanan jika ingin membukanya. Tak ada lubang yang bisa dipakai untuk mengintai keadaan di dalam ruangan tersebut. Pintu sangat rapat.
Gincu Mayat mencoba menggeser pintu, mendorong ke kiri atau ke kanan. Tapi pintu tidak bergeming. Ketebalannya ada satu jengkal menurut dugaan Gincu Mayat. Dihantam pakai tangan pun suaranya tak menimbulkan gema. Duggg...! Hanya seperti dinding cadas yang dipukul dengan tangan kosong.
"Bagaimana jika didobrak?" pikir Gincu Mayat. Pertimbangannya memutuskan untuk mencoba mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya. Maka, Gincu Mayat cepat mengundurkan diri lima tindak. Dari sana ia sentakkan kedua tangannya dalam keadaan telapak tangan terbuka ke depan.
Wouggh...! Hembusan tenaga dalam melesat begitu besar. Biasanya bisa menumbangkan pohon besar hingga tercabut akarnya. Tapi kali ini, ternyata kekuatan itu tak bisa dipakai untuk mendobrak pintu baja keabu-abuan itu.
Gincu Mayat segera berdiri tegak dengan kakimelenggang. Lalu kakinya itu tiba-tiba merendah, dantangan kanannya menuding memakai jari tengah. Tangankirinya bagai mendorong pergelangan telapak tangankanan. Tangan itu bergerak maju dengan kuat dan sedikitgemetar karena tenaga dikerahkan ke arah tangan kanan.Dari jari tengah yang menuding kaku itu melesatsinar hijau. Sinar itu memanjang sampai membenturpintu kamar Cipta Hening itu.
Wuuttt...! Sinar itu terusmemancar tiada putusnya, bergerak pelan menyusuritepian pintu, sampai membentuk gerakan sesuai dengan keliling pintu tersebut.
Zubb...! Pijar sinar hijau itu padam. Gincu Mayat menarik napas dalam-dalam, ia siap mendobrak pintu yang sudah dipotong memakai sinar hijau tadi. Tapi, Gincu Mayat merasa sangsi.
"Tak ada bekas meleleh pada bagian yang sudah kupotong?!" ucapnya dalam hati, "Bau terbakar pun tak ada! Hangus pun tidak pintu itu. Apakah itu berarti pintu sudah terpotong atau tetap utuh?"
Gincu Mayat segera mendekati dan mencoba mendorongnya pelan-pelan untuk mengetahui keadaan pintu. Ternyata masih kokoh, utuh dan tidak lecet sedikit pun. Gincu Mayat berpikir, seandainya didobrak memakai tendangan tenaga dalam juga percuma, sebab pintu itu lebih kokoh daripada bukit batu.
"Aduh, gatal juga telapak tanganku jadinya?" ucapnya lirih sambil telapak tangannya saling digosok-gosokkan untuk menghilangkan rasa gatal. Gincu Mayat belum menyadari, bahwa rasa gatal itu telah membuat telapak tangannya menjadi merah. Sambil memikirkan cara membuka pintu kamar Cipta Hening, ia menggosok-gosokkan telapak tangan semakin keras. Pintu dicoba untuk ditendangnya dalam satu lompatan dari jarak lima tindak.
Wusss...! Dugggh...! Tak ada gerakan pada pintu, tapi tubuh Gincu Mayat terpental ke belakang dan jatuh nyaris terlentang.
"Gila! Pintu itu punya kekuatan membalikkan pukulan tenaga dalam! Sama saja aku menendang diriku sendiri tadi?!" Gincu Mayat bangkit. Telapak tangannya gigih digaruknya. Tapi pada saat itu terdengar suara berucap dari arah belakangnya,
"Sebentar lagi akan buntung kedua tanganmu itu, Anak Manis!"
Terkejut Gincu Mayat mendengar sapaan itu. Ia cepat palingkan wajah dan kerutkan dahi. Seorang lelaki tua yang rambut dan kumisnya telah beruban seperti jenggotnya, telah berdiri di sana, mengenakan pakaian abu-abu dengan kainnya yang menyilang di dada sampai pundak. Pundak satunya bebas tak tertutup kain. Dari rambut putihnya yang botak di bagian dekat dahi itu, Gincu Mayat segera mengenali orang tersebut, yang tak lain adalah si Sambar Jantung. Jari-jari kesepuluh kukunya itu berwarna hitam runcing walau tak terlalu panjang.
Kuku itu kelihatan keras bagaikan besi baja, atau mirip kuku elang jantan. Melihat kuku hitam keling itu, Gincu Mayat semakin yakin bahwa orang tersebut dikenal sebagai Penguasa Pantai Selat Mati yang tadi melemparkan pisau kecil bergagang hitam. Gincu Mayat menantang tatapan mata tua yang masih tajam itu. Bahkan Gincu Mayat berani ucapkan kata ketus,
"Sudah kuduga kau datang juga kemari setelah melihat rembulan bergaris, tadi malam!"
"Rupanya kau mengerti juga rahasia rembulan bergaris, Anak Manis?!" kata si Sambar Jantung dengan senyum tuanya yang peot.
"Aku bukan orang bodoh, Pak Tua! Aku juga sudah lama menunggu munculnya rembulan bergaris. Sudah lama kutahu rahasia itu!"
"He he he he... tapi kau tak tahu rahasia membuka pintu kamar itu, Anak Manis! Lihatlah, tanganmu sudah mulai parah!"
Gincu Mayat tak sadar bahwa sambil bicara ia sejak tadi menggaruk telapak tangannya secara bergantian. Rasa gatal amat mencekam dan menjengkelkan. Tapi ketika ia pandangi telapak tangan itu, ternyata kulitnya sudah terkelupas banyak. Warna merahnya sudah berupa merah darah bercampur serat daging. Gincu Mayat tersentak kaget menyadari keadaan kedua telapak tangannya. Anehnya, tak ada rasa sakit dan perih sedikit pun kecuali rasa gatal yang semakin lama semakin menuntut untuk terus digaruk lebih kuat lagi. Bilamana perlu digaruk memakai ujung garpu runcing.
Sambar Jantung terkekeh lagi dan ucapkan kata, "Racun Kulit Peri memang ganas, tapi tak membuat korbannya kesakitan! Sebentar lagi kedua telapak tanganmu itu akan bolong, lalu terpotong dengan sendirinya! Tapi rasa gatal masih tetap menjalar ke lengan sampai lenganmu nanti akan putus dengan sendirinya dan terus sampai ke sekujur tubuhmu akan menjadi gatal serta terpotong-potong!"
"Jaga mulutmu, Tua Bangka! Aku bukan anak kecil yang pantas ditakut-takuti lagi! Kusarankan, tinggalkan tempat ini dan jangan ganggu urusanku!"
"O, kau ingin mencuri pedang pusaka itu tanpa diganggu oleh siapa pun? He he he... itu tak mungkin, Anak Manis! Seluruh tokoh tingkat tinggi akan datang kemari memburu pedang tersebut, karena pada umumnya mereka juga menunggu kapan rembulan bergaris hitam!"
"Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dari kuil ini! Mereka akan kecewa karena pedang pusaka sudah lebih dulu kudapatkan!"
"O, jangan besar hati dulu, Anak Manis. Kau tak akan mungkin bisa membawa lari pedang pusaka itu selama ada aku di sini!"
"Kalau begitu aku harus singkirkan nyawamu, Pak Tua!"
"Itu lebih baik kalau memang kau bisa, Anak Manis!"
"Tua bangka banyak cakap kau, hiii...!"
Crass...! Sinar merah keluar dari telapak tangan Gincu Mayat. Tapi Gincu Mayat sendiri yang pekikkan suara tertahan, ia tersentak mundur dengan tangan segera ditarik kembali, karena rasa sakit perih begitu menyengat akibat keluarnya tenaga dalam bersinar merah itu. Sedangkan tenaga dalam yang sudah telanjur terlepas itu ditangkap dengan kibasan tangan Sambar Jantung.
Sinar itu menjadi bulatan semacam bola yang bernyala-nyala di atas telapak tangan Sambar Jantung. Kemudian, Sambar Jantung melemparkan bulatan merah tersebut ke arah sebuah batu bersusun yang ada di samping ruang pemujaan tersebut.
Wuttt...! Duarr...! Batu itu pecah bagai dilempar dengan bahan peledak yang cukup kuat. Lalu, Sambar Jantung palingkan pandang ke arah Gincu Mayat sambil sunggingkan senyum tuanya yang menggeramkan hati Gincu Mayat.
"Gila! Tenaga dalamku bisa ditangkapnya?!" gumam hati Gincu Mayat terheran-heran. Tapi ia segera kembali pikirkan tangannya yang tadi terasa sakit untuk keluarkan tenaga dalam bersinar. "Aduh, gatalnya semakin kuat! Iih... sampai berdarah begini masih saja maunya digaruk terus?!"
Si Sambar Jantung terkekeh-kekeh melihat Gincu Mayat sibuk garuk-garuk tangannya. Lalu, ia ucapkan kata dengan kalem, "Pergilah ke luar, Anak Manis! Akan kuledakkan kamar itu!"
"Langkahi dulu bangkaiku kalau kau mau meledakkan kamar itu untuk mengambil pusaka Pedang Guntur Biru!" kata Gincu Mayat masih berani.
"Kau anak manis yang nakal rupanya! Perlu kuberi pelajaran sedikit biar tak nakal lagi!" Si Sambar Jantung seperti menempeleng udara memakai punggung telapak tangannya.
Plakkk...! Terasa ada tamparan keras sekali di wajah Gincu Mayat. Bahkan tubuhnya terpelanting beberapa tindak dari tempatnya berdiri. Tamparan itu bagai disertai sentakan tenaga dalam. Padahal tangan si Sambar Jantung tak sampai mengenai kulit wajah Gincu Mayat. Itu pun sudah membuat Gincu Mayat terpelanting jauh, apalagi jika sampai kena di kulit wajah, pasti akan hancur wajah itu.
"Setan tua kau!" sentak Gincu Mayat dengan marah. Lalu, ia cepat mencabut rencong di depan perutnya. Srett...! Tapi belum sempat digunakan, tangan kiri Sambar Jantung telah menebas dari bawah ke depan. Wuttt...! Ringan sekali gerakannya, bagai dilakukan tanpa menguras tenaga. Tetapi akibatnya sangat berbahaya. Tubuh Gincu Mayat terlempar terbang ke atas, wusss...! Langsung menuju ke arah pintu lengkung dan jatuh di pelataran kuil.
Buhgg...! Ia terjatuh dalam keadaan miring, hampir saja ujung rencong menembus perutnya sendiri. Dari sana ia cepat bangun dan berteriak keras, "Tua bangka! Keluar kau kalau memang ilmumu tinggi! Hadapi aku di tempat bebas ini! Kalau kau tak berani keluar menghadapi aku, bersujudlah di depanku dan akan kuangkat kau sebagai muridku!"
"Anak haram...!" geram Sambar Jantung, lalu cepat ia langkahkan kaki keluar dari ruang pemujaan itu sambil kedua tangannya menghempas ke depan dengan ringan.
Wusss...! Dan tubuh Gincu Mayat kembali terbang, bahkan melewati pagar tembok tinggi sebagai batas halaman kuil. Brugg...! Gincu Mayat jatuh telentang dalam keadaan kehilangan senjata rencongnya. Dan keadaan jatuhnya tepat di depan kaki Intan Selaksa yang kaget saat mendengar teriakan suara Gincu Mayat itu.
"Gincu Mayat...?!" Intan Selaksa terkejut sekali, terlebih setelah melihat kedua telapak tangan Gincu Mayat hampir putus, berdarah dan sangat menjijikkan. Tulang-tulang jarinya nyaris terlihat semua.
"Oh, apa yang terjadi, Gincu Mayat...?!" Intan Selaksa cepat menolong orang yang selama ini dianggap sebagai temannya itu.
Gincu Mayat sendiri tak mau terlihat lemah di depan Intan Selaksa, ia cepat bangkit dengan napas ditarik dalam-dalam. "Tanganmu...? Oh, tanganmu hampir putus, Gincu Mayat!"
"Jangan hiraukan tanganku! Biarlah luka ini, yang penting aku bisa mengusir si Sambar Jantung dari dalam kuil! Dia bermaksud mencuri pedang pusaka dari kamar itu!"
"Tapi... tapi tanganmu ini pasti terkena racun Kulit Peri! Kau telah memegang pintu kamar Cipta Hening, bukan?!"
"Hmmm... anu... iya, secara tak sadar tadi aku memegangnya untuk menghindari serangan si Sambar Jantung!"
"Oh, aku lupa tak bilang padamu, bahwa pintu itu tidak boleh dipegang karena Guru memasang racun ganas di pintu itu!"
"Aku tak sengaja, Intan Selaksa!"
Tiba-tiba suara di belakang Intan Selaksa menyahut, "Tak sengaja menjadi bodoh, maksudnya! Dia mau membongkar pintu itu dan mengincar pedang pusaka di dalamnya!"
Intan Selaksa kaget ketika membalikkan wajah ternyata si Sambar Jantung sudah berdiri lima langkah dari pintu gerbang kuil. "Eyang...?!"
"Jangan dekati dia! Perempuan itu bukan teman tapi musuh bagimu, Intan Selaksa!"
"Jangan percayai omongannya!" bisik Gincu Mayat.
Intan berkata kepada Sambar Jantung, "Eyang, sudah cukup lama saya bersahabat dengan Gincu Mayat! Jadi"
"Dia sengaja mendekati kamu untuk mempelajari kuil ini! Dia ingin mendapatkan pedang pusaka itu, Intan Selaksa! Kau telah tertipu dengan sikap baiknya selama ini!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka! Apakah kau sendiri datang bukan untuk maksud yang sama?!" sentak Gincu Mayat. "Kau juga menginginkan pedang pusaka itu dengan cara bersahabat baik terhadap Begawan Sangga Mega! Kau bermaksud mengorek keterangan tentang rahasia penyimpanan pusaka itu dari mulut Begawan Sangga Mega! Kau pikir aku tak bisa mencium kelicikanmu itu, Tua peot?!"
Sambil melontarkan sebarisan tuduhan, Gincu Mayat tak sadar kalau sudah ada tiga jarinya yang jatuh ke tanah tanpa menimbulkan rasa sakit selain gatal. Ketika ia sadar akan hal itu, ia tersentak kaget dan menjadi tertegun sedih melihat tiga jarinya jatuh di tanah berlapis salju.
Sementara itu, Intan Selaksa mulai terpengaruh dengan kata-kata Gincu Mayat, namun juga terpengaruh kata-kata Sambar Jantung, ia mundur beberapa tindak, menjauhi keduanya dengan dahi berkerut dan wajah mencerminkan kekecewaan yang dalam.
"Saya tak sangka kalau Eyang punya tujuan seperti itu!" kata Intan Selaksa sambil memandang si Sambar Jantung.
"Intan Selaksa, jangan kau terpengaruh oleh tuduhannya! Dia hanya mencari teman untuk dibenci! Dia sengaja pengaruhi kamu, supaya kamu hilang kepercayaan kepadaku, sebagai sahabat baik mendiang gurumu!"
"Omong kosong sahabat baik!" sahut Gincu Mayat. "Jika kau sahabat baik Begawan Sangga Mega, kau pasti tidak akan meledakkan kamar itu dengan menyingkirkan aku keluar ke sini!"
"Terlalu tajam lidahmu, Anak Bodoh!" geram si Sambar Jantung. Kemudian tangannya bergerak seperti mencakar udara di depannya.
Wuttt...! Brettt...!
"Auh...!" Gincu Mayat menyentakkan kepalanya ke belakang bagai menghindari serangan. Tapi agaknya ia terlambat menghindari serangan lawan yang berjarak tujuh langkah darinya itu. Cakaran tersebut ternyata mengenai mulut Gincu Mayat, dan mulut itu pun koyak di bagian bibir dan sebagian pipinya. Padahal cakaran itu dilakukan dalam jarak tujuh langkah.
Intan Selaksa makin terkesiap melihat luka di mulut Gincu Mayat. Ia mulai membatin, "Bahaya sekali jurus Eyang Sambar Jantung! Seperti yang pernah diceritakan oleh Guru, bahwa Eyang Sambar punyai jurus 'Angin Merapat'. Rupanya seperti itulah jurus 'Angin Merapat'. Tak perlu menyentuh tubuh lawan, dengan merobek udara, mulut lawan sudah bisa robek sendiri! Bahaya sekali melawan dia, jika memang benar dia ingin kuasai pusaka di kamar Cipta Hening itu!"
Terdengar suara tua manusia berambut putih yang usianya konon sudah mencapai seratus tahun lebih itu, "Bocah bodoh! Lekas tinggalkan tempat ini dan carilah obat untuk menyembuhkan gatal-gatalmu itu!"
"Aku tak akan pergi sebelum mencabut nyawamu, Tua Bangka!" sentak Gincu Mayat geram. Lalu, tiba-tiba ia melompat dan bersalto di udara satu kali. Wuttt...! Arah kakinya hendak menendang kepala si Sambar Jantung. "Hiaaat...!"
Sambar Jantung tak mengelak. Tetap ada di tempatnya. Tapi tangan kanannya berkelebat naik bagai menjungkirkan sesuatu. Dan ternyata, tubuh Gincu Mayat itulah yang dijungkirbalikkan. Tubuh itu terlempar ke belakang dan satu kali salto mundur. Sebelum kakinya mendarat di bumi, si Sambar Jantung cepat mengibaskan kedua tangannya bagai merobek udara dengan kuku-kuku hitamnya. Wrettt...! Kedua tangan itu merobek ke kiri dan kekanan.
"Aaahg...!" Gincu Mayat sempat terpekik ketika melihat dadanya robek dari ulu hati sampai ke bawah perut. Robek bersama pakaiannya, sehingga isi perutnya berhamburan keluar dengan mengerikan. Sementara itu, tangan Sambar Jantung cepat disentakkan ke depan dan kembali ditarik ke belakang seperti merogoh sesuatu. Dan ternyata, dalam kejap berikutnya tangan berkuku hitam itu telah menggenggam benda merah berlumur darah. Itulah jantung milik Gincu Mayat.
"He he he he...!" tawanya terkekeh-kekeh melihat jantung lawan ada di tangannya. Sedangkan Gincu Mayat segera roboh tak bergerak selamanya, dan Intan Selaksa cepat palingkan wajah tak berani memandang apa yang dipegang oleh si Sambar Jantung.
Tiba-tiba sebentuk bayangan merah berkelebat cepat menghantam si Sambar Jantung. Tapi sebelum menyentuh tubuh Sambar Jantung, kaki Sambar Jantung menendang pelan udara di depannya. Wusss...! Akibatnya bayangan merah tadi kembali membalik dengan terpelanting tak tentu arah. Tubuhnya membentur pohon di belakang Intan Selaksa.
Buukk...!
"Monyet Tua...!" maki orang itu yang ternyata adalah Barong Geni.
"Datang-datang memaki orang tua, dasar anak tak tahu sopan! Makanlah ini! Hiihh...!"
Wusss...! Jantung itu dilemparkan ke wajah Barong Geni. Tapi cepat-cepat Barong Geni sentakkan tangan kanannya dengan telapak tangan dan, wuhhggg...! Api menyambar benda itu. Duarrr...! Meledaklah jantung dari tangan si Sambar Jantung akibat terkena pukulan 'Lahar Pati' yang dimiliki Barong Geni.
"Barong, jangan serang dia! Berbahaya!" kata Intan Selaksa, karena dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba rasa persaudaraan dalam seperguruan bangkit lagi di hati Intan Selaksa. Tapi agaknya Barong Geni tak pedulikan seruan itu bahkan ucapkan kata,
"Tanganku bebas sudah dari totokanmu! Mudah bagiku untuk membunuh orang ini, Intan Selaksa! Minggirlah. Biar aku yang hadapi!"
* * *
LIMA
SEMENTARA itu, di lereng Gunung Pakayon, tempat dibangunnya Kuil Swanalingga, terlihat sekelebat bayangan menyusup di antara pepohonan berdahan tinggi. Sosok yang mempunyai kilasan warna hitam itu agaknya sedang menguntit seseorang yang berjubah hijau dengan celana dan bajunya yang putih kusam, menggenggam tongkat berkepala bola kristal sebesar genggamannya sendiri.
Sosok kelebat hitam itu tak tahu, bahwa gerakannya diikuti oleh sepasang mata yang ada di atas pohon. Melesat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan bunyi sedikit pun. Orang yang di atas pohon itu mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih. Sesekali terlihat meneguk tuak dari bumbung tuak yang sering disandang di punggung. Orang berambut panjang meriap tanpa diikat itu bertampang muda, gagah, dan ganteng. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, murid dari si Gila Tuak.
Dalam pengejarannya memburu musuh utama, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto mengalami kesulitan mencari jejak manusia sesat yang punya nama asli Durmala Sanca itu. Tanpa disengaja, Pendekar Mabuk telah mengarahkan pelariannya ke Gunung Pakayon. Tapi ia tak tahu bahwa di Gunung Pakayon itu terdapat Kuil Swanalingga, bekas tempat bersemayamnya Begawan Sangga Mega.
Suto juga tidak tahu bahwa disana, di kuil itu, sedang terjadi pertarungan para manusia serakah yang ingin memperebutkan Pedang Guntur Biru. Pelarian Suto Sinting dalam mengejar Siluman Tujuh Nyawa terpengaruh oleh kelebatan gerak cepat sosok berwarna hitam itu. Ia menyangka, Siluman Tujuh Nyawa itulah yang berkelebat dalam sosok warna hitam. Karena itu ia ikuti terus melalui pohon demi pohon.
Kalau bukan karena berhentinya gerakan manusia berambut putih dan berjubah hijau muda dengan celana dan bajunya warna putih kusam, mungkin Suto Sinting masih menyangka sosok berwarna hitam itu adalah Siluman Tujuh Nyawa. Karena ketika manusia bertongkat itu berhenti dan cepat palingkan diri ke belakang, sosok hitam yang mengejarnya secara diam-diam itu kepergok dan tak lagi bisa bersembunyi.
"O, rupanya kau yang ikuti aku sejak tadi?" kata orang berjubah putih yang menurut Suto usianya mencapai tujuh puluh tahun lebih. Orang itu tampak kalem dan sunggingkan senyum tuanya yang berkesan jenaka. Matanya berbulu lentik tapi putih warna bulunya. Jenggot dan kumisnya pun putih. Badannya agak gemuk, di jarinya terdapat banyak cincin berbatu akik. Satu tangan mengenakan empat cincin. Yang paling kecil seukuran kacang tanah.
Sedangkan orang yang menguntitnya itu ternyata seorang perempuan cantik dan berkesan judes galak. Pakaiannya hitam, berhias benang emas. Hanya sampai dada. Punggungnya terbuka tanpa kain penutup apa pun. Bahkan rambutnya yang panjang disanggul naik, hingga kulit lehernya yang jenjang itu terlihat kuning mulus. Di kepalanya ada mahkota kecil berhias batuan intan dan berlian, ia pun mengenakan kalung emas dengan hiasan bunga cempaka dari butiran intan, ia juga mengenakan gelang ketat di lengannya dari lempengan emas.
Usianya seperti masih muda, sekitar tiga puluh tahunan, tapi barangkali ia sudah berusia lebil tua empat kali lipat dari aslinya, terbukti ia menyapa lelaki berambut uban itu dengan seenaknya. Tanpa ada kesan merasa lebih muda dari lelaki berjubah hijau itu.
"Jangan pandangi wajahku terlalu lama, Raja Nujum! Kecantikanku ini bukan untuk dinikmati lelaki setua kamu!"
"He he he...! Kalau toh aku memandangmu terlalu lama, bukan karena aku menikmati kecantikanmu, Ratu Teluh Bumi! Tapi aku sedang mencari di mana letak kecantikanmu yang konon memikat hati tiap lelaki itu?! Sampai sekarang pun tak kulihat kecantikan itu!"
"Dasar mata rabun!" geram Ratu Teluh Bumi yang merasa terhina oleh pengakuan Raja Nujum itu. "Mana bisa kau melihat kecantikan karena tiap harinya yang kau lihat hanya ratusan ekor cacing sebagai santapan mu itu!"
"Memang! Dan karena itulah tak kutemukan kecantikan di wajahmu, kecuali seraut wajah cacing!"
Makin terbelalak mata perempuan cantik judes itu. Tangannya tiba-tiba meraih sesuatu di depan matanya, lalu sesuatu yang telah digenggam itu dilemparkannya ke arah Raja Nujum bagai menyebarkan sesuatu ke sana. Werrr...! Ternyata yang melesat dari genggaman itu adalah seekor ular kobra kecil berkepala merah. Ular itu melesat ke arah Raja Nujum, dan dengan cepat Raja Nujum menebaskan kepala tongkatnya yang ada bola kristalnya itu.
Plokk...! Ular itu terhantam kepala tongkat. Tapi entah ke mana perginya bangkai ular itu. Tak terlihat jatuh di tanah atau menempel di pohon sebelah kiri RajaN ujum.
Mata Suto yang ada di atas pohon agak jauh dari mereka sempat memperhatikan bola kristal yang diusap-usap oleh tangan Raja Nujum. Orang itu tertawa dalam kekeh suara tuanya. Bola kristal itu menyala berpendar-pendar merah, dan dari nyala merahnya itu terlihat bayangan seekor ular yang sedang menggerinjal-gerinjal bagai sedang sekarat.
Kemudian bayang itu tak bergerak lagi, lalu bola kristal itu kepulkan asap merah. Asap itu keluar dari bagian tengah atas bola kristal. Hilangnya asap, hilang pula cahaya merah tersebut, lalu bola kristal berubah menjadi bening kembali. Terdengar lagi kekeh tawa Raja Nujum, kemudian suara ucapannya yang sedikit bergetar karena pengaruh usia itu,
"Kurasa saat ini bukan waktunya untuk bermain-main, Ratu Teluh Bumi! Aku tahu, kau mengikutiku karena kau ingin sampai ke Kuil Swanalingga! Kau tak tahu jalannya, sehingga kau numpang arah denganku! Bukankah begitu, Ratu Teluh Bumi?!"
"Salah!" jawab Ratu Teluh Bumi dengan cepat dan tegas. "Aku mengikutimu karena aku harus membayang-bayangimu terus supaya kau tak dapatkan pedang pusaka itu! Jika pedang pusaka itu jatuh ke tanganmu, maka akan hancurlah seisi dunia ini akibat ulah keserakahan dan kelalimanmu, Raja Nujum!"
"Apakah tidak sebaliknya?" kata Raja Nujum dengan kalem sekali. "Pedang pusaka itu akan menjadi malapetaka bagi penduduk bumi, jika ada di tanganmu. Sebab kau punya cita-cita ingin menjadi ratu di atas segala ratu di bumi ini! Kau ingin membangun kembali kekuasaan yang pernah dipegang oleh ayahmu, yang sekarang wilayahnya telah menjadi wilayah kekuasaan Jenggala!"
"Rasa-rasanya perlu kurobek mulutmu supaya tidak sampai di telinga orang-orang Jenggala Manik!"
"Merobek mulutku itu hal yang mudah, Ratu Teluh. Tapi mencapai mulutku itu yang sulit!" kakek tua itu menyeringai kempot. Tapi Ratu Teluh Bumi tidak berminat untuk tersenyum sedikit pun. Ia menganggap ucapan Raja Nujum yang terakhir itu sebagai tantangan yang tak patut ditolak. Karena itu, Ratu Teluh Bumi cepat berkata,
"Raja Nujum, kalau kau ingin mencoba jurus 'Teluh Kelabang'-ku, terimalah kirimanku ini! Hupp...!"
Tangan Ratu Teluh Bumi menggenggam tiba-tiba di depan matanya. Lalu dengan ayunan yang jelas dan tegas, ia sentakkan genggaman tangannya ke tanah. Wutt...! Begg...! Seperti ada sesuatu yang dibuang ke bawah kakinya sendiri. Genggaman itu dilepaskan bersama tangan yang menyentak ke bawah, lalu terasa ada guncangan kecil di tanah sekelilingnya.
Tiba-tiba Raja Nujum pejamkan mata. Tongkatnya digenggam dengan kedua tangan. Tangan itu diletakkan di atas bola kristal. Tiba-tiba bola kristal itu menyalakan warna kuning berasap menggumpal-gumpal di dalamnya. Tubuh Raja Nujum tetap tegak memejam mata. Tiba-tiba badannya melengkung ke belakang, sedikit membungkuk. Warna pijar kuning di bola kristalnya itu padam seketika. Dan Raja Nujum muntah dengan suara keras, "Hoooekk...!"
Sekumpulan kelabang hitam kemerah-merahan keluar dari mulut Raja Nujum. Wajah orang itu jadi merah, bahkan ia sampai jatuh terduduk dengan satu kaki masih sempat berpijak tanah. Mulutnya menganga lebar sambil memuntahkan puluhan kelabang sebesar jari kelingking, tapi agak panjang lagi. Kadang-kadang tubuh itu tersentak dengan mata terbelalak. Binatang berbisa itu mulai mengerumuni tubuh Raja Nujum yang masih tersentak-sentak memuntahkan puluhan binatang kelabang.
"Ha ha ha ha...!" Ratu Teluh Bumi tertawa kegirangan. "Sebentar lagi mulutmu tak akan bisa bicara lancang dan mengucapkan tantangan padaku, Raja Nujum! Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi! Selamat tinggal... aku akan ke Kuil Swanalingga sendiri! Aku tahu di gunung ini letak kuil itu, dan akan kubawa pulang Pedang Guntur Biru itu! Ha ha ha ha...!"
Wuttt...! Ratu Teluh Bumi berkelebat pergi dengan cepat. Gerakannya lebih cepat lagi dari gerakan menguntit tadi. Dalam sekejap ia telah hilang dari pandangan mata seorang pengintai di atas pohon, yaitu si Pendekar Mabuk.
Suto Sinting sendiri sempat terkejut ketika Ratu Teluh Bumi menyebutkan nama pedang pusaka itu. Suto pernah mendengar cerita tentang Pedang Guntur Biru yang hak warisnya ada di tangan Siluman Tujuh Nyawa setelah orang sesat itu berusia tiga ratus tahun. Sekarang usianya baru dua ratus lima belas tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cermin Pemburu Nyawa)
Tetapi, untuk sementara Pendekar Mabuk perlu hindari dulu pemikiran mengenai pedang pusaka tersebut, ia kasihan melihat orang tua bertongkat bola kristal itu kelojotan dalam sekaratnya yang dikerumuni oleh puluhan kalajengking atau kelabang berbisa itu. Wajahnya sudah merah matang, termakan sengat kelabang tersebut.
Wuttt...! Pendekar Mabuk melesat cepat dari tempat persembunyiannya. Tiba di depan Raja Nujum, ia telah meneguk tuaknya sebagian dan yang sebagian disimpan di mulut. Kemudian dengan cepat ia semburkan tuak itu ke tubuh Raja Nujum. Brusss...!
Puluhan kelabang itu berkelip-kelip bagai tersiram minyak, lalu memancarkan cahaya silau, dan kejap berikutnya kelabang-kelabang itu lenyap tak berbekas sedikit pun. Juga yang tadinya masih tersisa di tepian mulut Raja Nujum, menjadi hilang tak berbekas lagi. Pendekar Mabuk segera menuangkan tuak ke mulut Raja Nujum setelah orang itu ditelentangkan. Glek glek glek...! Raja Nujum bagaikan dipaksa meminum tuak dari bumbung yang selalu digendong Pendekar Mabuk di punggungnya.
"Kalau bukan orang berilmu tinggi, dia sudah mati sejak muntahnya yang pertama tadi," kata Suto di dalam hatinya. "Sekalipun begitu, seandainya aku terlambat menyingkirkan kelabang-kelabang itu, orang ini tetap mati walau berilmu tinggi! Karena tadi ia telah menyalakan bola kacanya itu menjadi kuning, menurut dugaanku dia melakukan perlawanan ilmu teluh yang dilepaskan oleh perempuan cantik dan judes tadi. Tapi agaknya Raja Nujum tak berhasil melawannya, dan akhirnya kekuatan teluh itu masuk ke dalam raganya!"
Sebenarnya ilmu penyembuhan yang dinamakan 'Sembur Husada' tadi, dapat membuat seseorang lupa terhadap Pendekar Mabuk. Yang semula kenal, menjadi tidak kenal dengan Suto. Kebetulan Raja Nujum memang belum kenal dengan Suto, sehingga Suto tak punya pertimbangan apa-apa untuk melakukan penyembuhkan 'Sembur Husada', kecuali pertimbangan rasa kasihan pada diri Raja Nujum.
Maka ketika Raja Nujum merasakan tubuhnya menjadi enteng, tak merasakan lagi panas menyiksa di dalam tubuhnya, ia pun segera bangkit dan berdiri tegak dengan napas terhirup panjang-panjang, ia bahkan merasa lebih sehat, lebih enak ketimbang sebelum meneguk tuak Suto. Karena memang begitulah biasanya orang yang habis mendapat penyembuhan dari Pendekar Mabuk. Tuak itu bagaikan obat penghilang segala macam penyakit separah apapun.
Mata tua itu segera menatap Pendekar Mabuk yang berdiri di bawah pohon, tujuh langkah jaraknya dari tempatnya berdiri. Raja Nujum masih pandangi Suto dengan perasaan heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, "Siapa anak muda itu?! Sepertinya aku pernah ditolongnya? Hmm... coba kulihat di bola kacaku ini...!"
Melihat Raja Nujum sudah sehat, Suto Sinting pun segera menghampiri orang itu dengan menenteng bumbung tempat tuaknya. Sunggingan senyum tipis sebagai senyum keramahan terlihat jelas di bibir Suto. "Sudah benar-benar sehatkah tubuhmu, Raja Nujum?"
"Tunggu sebentar, aku ingin melihat apa yang terjadi pada diriku tadi. Sebab... sepertinya aku pernah melihatmu sebelum ini...!"
Bola kristal itu menyalakan lampu hijau bening, lalu terlihat sebuah adegan dua manusia saling berhadapan. Di dalam bola itu tergambar kembali peristiwa yang dialami Raja Nujum, sejak ia diserang oleh Ratu Teluh Bumi memakai ular kobra merah, sampai saat ia sekarat memuntahkan puluhan kelabang hitam kemerahan. Dan di situ pula ia melihat Pendekar Mabuk menyembuhkannya dengan tuak. Setelah itu, bola kristal itu pun padam. Raja Nujum manggut-manggut pandangi Suto dengan mata tua yang tajam tak berkedip. Suto sembunyikan perasaan kagumnya melihat semua peristiwa tadi bisa dilihat kembali melalui bola kaca tersebut.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda!" kata Raja Nujum.
"Aku hanya menjalankan tugasku sebagai manusia, yaitu saling menolong," jawab Pendekar Mabuk dengan tetap menjaga hormat.
"Pandanglah aku sejenak, biar kutahu siapa dirimu!" kata Raja Nujum tanpa ada kesan bermusuhan. Suto menuruti menatap mata Raja Nujum beberapa kejap. Tapi tiba-tiba tubuh Raja Nujum terpental mundur dan terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Raja Nujum...?! Kenapa kau?!" Pendekar Mabuk merasa heran melihat gerakan itu. Ia cemas dan ingin menolong, tapi Raja Nujum kembali berdiri tegak. Pendekar Mabuk menghentikan langkah tak jadi meraih tangan Raja Nujum. "Kau masih belum sehat rupanya," kata Suto.
"Tidak. Aku sudah sehat."
"Lalu kenapa kau terhuyung-huyung tadi?"
"Aku mencoba menembus kehidupanmu lewat mata, tapi aku tak kuat. Kau pasti punya keistimewaan, sehingga matamu sukar kutembus!"
"Keistimewaan... apa?! Aku biasa-biasa saja!" Suto merendah.
"Biasanya dengan menembus kehidupan melalui mata seseorang, aku bisa mengerti siapa namanya, berapa usianya, dari mana asalnya, apa kepandaiannya, siapa gurunya, bagaimana kisah cintanya, dan lain sebagainya. Tapi kali ini aku gagal menembus kehidupan dari matamu! Bahkan kekuatan itu memantul balik, hampir melemparkan tubuhku. Itu tandanya kau punya keistimewaan! Coba kulihat garis tanganmu, Anak Muda! Percayalah, aku tak bermaksud jahat padamu! Hanya sekadar ingin mengenalmu saja!"
Suto segera menyodorkan telapak tangan kanannya. Raja Nujum segera memperhatikan garis tangan Suto. Tapi mendadak Raja Nujum tersentak kaget. Matanya terbelalak melihat tato pisau kecil bergagang bintang di ujungnya. Kagetnya itu telah membuat Raja Nujum cepat melayangkan pandang ke dahi Pendekar Mabuk, dan kini ia menjadi pucat pias wajahnya. Bibir tuanya gemetaran saat ingin ucapkan sesuatu.
"Ada apa...?!" Pendekar Mabuk bertanya dengan heran.
"Baru kusadari di dahimu ada titik merah," kata Raja Nujum dengan sikap masih terbengong.
"Ada apa dengan titik merah ini?"
"Kau manusia gaib, Anak Muda!"
Pendekar Mabuk tertawa dikatakan manusia gaib. "Aku manusia biasa! Aku masih doyan nasi, jagung, tuak, ubi, dan semua yang dimakan dan diminum manusia. Jadi aku bukan manusia gaib."
"Tak mungkin! Kau pasti bisa masuk ke alam gaib!"
"Ya. Kalau soal itu memang benar."
"Dan kau punya jabatan tinggi di sebuah negeri di alam gaib!"
"Mungkin saja begitu! Tapi apakah dengan begitu aku tak boleh berkenalan denganmu, Raja Nujum?"
"Kau sudah mengenalku, tapi aku belum mengenalmu!"
Senyum Pendekar Mabuk mekar dengan ramah. "Aku Pendekar Mabuk," jawab Suto, lalu cepat mengangkat bumbung tuaknya, dan ia meneguk tuak tak begitu banyak.
"Siapa namamu?"
"Suto! Guruku memanggilku Suto Sinting!"
"Suto Sinting?! Aku sepertinya pernah mendengar nama itu!"
"Mungkin Suto lain, bukan Suto aku, Raja Nujum!"
"Entahlah. Mungkin benar katamu itu. Karena, biasanya aku tak pernah bertanya tentang nama kepada orang yang baru kukenal. Dengan menembus kehidupan lewat matanya, aku sudah bisa tahu namanya. Tapi... noda merah kecil itu rupanya yang menghalangi kekuatanku hingga tak bisa masuk ke alam kehidupanmu!"
"Mungkin lain kali kau lebih banyak tahu tentang diriku. Sekarang aku ganti ingin tanyakan sesuatu padamu, Raja Nujum."
"Tentang apa?"
"Tentang Pedang Guntur Biru!"
"Apa kau menginginkan pedang pusaka itu pula?"
"Tidak. Tapi aku tahu siapa orang yang berhak memegang pusaka tersebut! Dan aku heran, mengapa Ratu Teluh Bumi itu sangat menghendaki pedang tersebut, padahal aku tahu dia bukan pewaris pusaka Pedang Guntur Biru, Raja Nujum!"
Makin menyipit mata Raja Nujum pandangi wajah Pendekar Mabuk. Lalu setelah diam beberapa saat, Raja Nujum berucap kata, "Menurutmu, siapa pewaris pedang pusaka itu, Nak?"
"Yang berhak adalah orang sesat yang bernama Durmala Sanca, punya julukan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Hah...?!" Raja Nujum tersentak kaget mendengarnya. Matanya melebar, menatap Suto tak berkedip. "Dari mana kau tahu nama itu?"
"Aku sedang memburu dia untuk kupenggal kepalanya!"
"Oh...?" Makin kaget lagi Raja Nujum. "Kau mau memenggal kepala Durmala Sanca?! Kau tahu, berapa usianya?"
"Dua ratus lima belas tahun!"
"Edan!" Raja Nujum makin tegang. "Kau tahu siapa Begawan Sangga Mega yang kuilnya ada di puncak gunung ini?"
"Begawan Sangga Mega adalah pamannya Durmala Sanca!"
"Gila!" gumam Raja Nujum bernada heran dan kagum.
"Tapi Durmala Sanca tidak akan bisa memegang pusaka Pedang Guntur Biru, karena usianya belum mencapai tiga ratus tahun!"
"Benar. Tapi apakah kau tahu, mengapa harus menunggu tiga ratus tahun, sehingga Durmala Sanca boleh memegang pusaka itu?"
"Karena dia dikutuk oleh kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun!"
"Luar biasa kau ini?!" tambah heran lagi Raja Nujum kepada Suto. Sambungnya, "Kau tahu, apa sebab dia dikutuk selama itu?"
"Karena dia pernah mau memperkosa neneknya!"
"Benar-benar edan kau ini! Apakah kau juga tahu siapa kakek dan neneknya Durmala Sanca?!"
"Eyang Purbapati dan Nini Galih!"
Jawaban itu membuat Raja Nujum terkesiap dan pucat wajahnya. "Hati-hati kau menyebut nama itu, Suto. Mereka orang sakti yang dihormati oleh kalangan tokoh tua di rimba persilatan! Jangan sampai kau sebutkan kedua nama itu dan didengar oleh muridnya. Bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu, Suto!"
"Maksudmu, murid dari Eyang Purbapati dan Nini Galih?"
"Iya. Apakah kau kenal dengan murid mereka?"
"Maksudmu, si Gila Tuak dan Bidadari Jalang?!"
"Hahh...?! Kau tahu juga?!" Raja Nujum kian nyata terperangah, antara heran, kagum, dan takut.
"Jujur saja katakan padaku, Raja Nujum, mengapa kau sejak tadi memancingku dengan pertanyaan begitu? Siapa kau sebenarnya?"
Raja Nujum diam sebentar, ia punya pertimbangan lain. Lalu, ia segera ucapkan kata, "Akan kujelaskan siapa diriku jika kau bisa sebutkan siapa guru dari Purbapati dan Nini Galih itu! Guru mereka siapa?!"
Suto Sinting diam beberapa kejap. Agak ragu untuk menyebutkannya. Setelah beberapa saat ditunggu jawabannya oleh Raja Nujum, akhirnya Pendekar Mabuk pun ucapkan kata,
"Mungkin yang kau maksud adalah... Eyang Wijayasuro?!"
Blegarrr...! Terdengar suara petir di siang hari bolong. Langit terang tiba-tiba berubah menjadi redup, kemudian mendung hitam datang bersama badai di langit sana. Mendung hitam bergulung-gulung membuat bumi makin temaram, karena matahari tak mampu tembus kepekatan hitamnya. Angin di bumi pun bertiup cukup kencang. Jubah hijau yang dipakai Raja Nujum berkelebat bagai mau terbang.
Raja Nujum sendiri terpaku di tempat dengan mata lebar tak berkedip. Suto menjadi cemas, mengapa alam tiba-tiba bagaikan murka. Untung hanya sejenak, dan kejap berikutnya langit kembali cerah, angin reda, dan mendung hilang begitu cepatnya.
"Sudah kusebutkan nama Eyang Guru itu, sekarang sebutkan siapa dirimu, Raja Nujum?!"
"Aku putra bungsu dari ketujuh putra Purbapati dan Nini Galih!" jawab Raja Nujum dengan pelan. Pendekar Mabuk ganti tercengang kaget.
Sosok kelebat hitam itu tak tahu, bahwa gerakannya diikuti oleh sepasang mata yang ada di atas pohon. Melesat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan bunyi sedikit pun. Orang yang di atas pohon itu mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih. Sesekali terlihat meneguk tuak dari bumbung tuak yang sering disandang di punggung. Orang berambut panjang meriap tanpa diikat itu bertampang muda, gagah, dan ganteng. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, murid dari si Gila Tuak.
Dalam pengejarannya memburu musuh utama, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto mengalami kesulitan mencari jejak manusia sesat yang punya nama asli Durmala Sanca itu. Tanpa disengaja, Pendekar Mabuk telah mengarahkan pelariannya ke Gunung Pakayon. Tapi ia tak tahu bahwa di Gunung Pakayon itu terdapat Kuil Swanalingga, bekas tempat bersemayamnya Begawan Sangga Mega.
Suto juga tidak tahu bahwa disana, di kuil itu, sedang terjadi pertarungan para manusia serakah yang ingin memperebutkan Pedang Guntur Biru. Pelarian Suto Sinting dalam mengejar Siluman Tujuh Nyawa terpengaruh oleh kelebatan gerak cepat sosok berwarna hitam itu. Ia menyangka, Siluman Tujuh Nyawa itulah yang berkelebat dalam sosok warna hitam. Karena itu ia ikuti terus melalui pohon demi pohon.
Kalau bukan karena berhentinya gerakan manusia berambut putih dan berjubah hijau muda dengan celana dan bajunya warna putih kusam, mungkin Suto Sinting masih menyangka sosok berwarna hitam itu adalah Siluman Tujuh Nyawa. Karena ketika manusia bertongkat itu berhenti dan cepat palingkan diri ke belakang, sosok hitam yang mengejarnya secara diam-diam itu kepergok dan tak lagi bisa bersembunyi.
"O, rupanya kau yang ikuti aku sejak tadi?" kata orang berjubah putih yang menurut Suto usianya mencapai tujuh puluh tahun lebih. Orang itu tampak kalem dan sunggingkan senyum tuanya yang berkesan jenaka. Matanya berbulu lentik tapi putih warna bulunya. Jenggot dan kumisnya pun putih. Badannya agak gemuk, di jarinya terdapat banyak cincin berbatu akik. Satu tangan mengenakan empat cincin. Yang paling kecil seukuran kacang tanah.
Sedangkan orang yang menguntitnya itu ternyata seorang perempuan cantik dan berkesan judes galak. Pakaiannya hitam, berhias benang emas. Hanya sampai dada. Punggungnya terbuka tanpa kain penutup apa pun. Bahkan rambutnya yang panjang disanggul naik, hingga kulit lehernya yang jenjang itu terlihat kuning mulus. Di kepalanya ada mahkota kecil berhias batuan intan dan berlian, ia pun mengenakan kalung emas dengan hiasan bunga cempaka dari butiran intan, ia juga mengenakan gelang ketat di lengannya dari lempengan emas.
Usianya seperti masih muda, sekitar tiga puluh tahunan, tapi barangkali ia sudah berusia lebil tua empat kali lipat dari aslinya, terbukti ia menyapa lelaki berambut uban itu dengan seenaknya. Tanpa ada kesan merasa lebih muda dari lelaki berjubah hijau itu.
"Jangan pandangi wajahku terlalu lama, Raja Nujum! Kecantikanku ini bukan untuk dinikmati lelaki setua kamu!"
"He he he...! Kalau toh aku memandangmu terlalu lama, bukan karena aku menikmati kecantikanmu, Ratu Teluh Bumi! Tapi aku sedang mencari di mana letak kecantikanmu yang konon memikat hati tiap lelaki itu?! Sampai sekarang pun tak kulihat kecantikan itu!"
"Dasar mata rabun!" geram Ratu Teluh Bumi yang merasa terhina oleh pengakuan Raja Nujum itu. "Mana bisa kau melihat kecantikan karena tiap harinya yang kau lihat hanya ratusan ekor cacing sebagai santapan mu itu!"
"Memang! Dan karena itulah tak kutemukan kecantikan di wajahmu, kecuali seraut wajah cacing!"
Makin terbelalak mata perempuan cantik judes itu. Tangannya tiba-tiba meraih sesuatu di depan matanya, lalu sesuatu yang telah digenggam itu dilemparkannya ke arah Raja Nujum bagai menyebarkan sesuatu ke sana. Werrr...! Ternyata yang melesat dari genggaman itu adalah seekor ular kobra kecil berkepala merah. Ular itu melesat ke arah Raja Nujum, dan dengan cepat Raja Nujum menebaskan kepala tongkatnya yang ada bola kristalnya itu.
Plokk...! Ular itu terhantam kepala tongkat. Tapi entah ke mana perginya bangkai ular itu. Tak terlihat jatuh di tanah atau menempel di pohon sebelah kiri RajaN ujum.
Mata Suto yang ada di atas pohon agak jauh dari mereka sempat memperhatikan bola kristal yang diusap-usap oleh tangan Raja Nujum. Orang itu tertawa dalam kekeh suara tuanya. Bola kristal itu menyala berpendar-pendar merah, dan dari nyala merahnya itu terlihat bayangan seekor ular yang sedang menggerinjal-gerinjal bagai sedang sekarat.
Kemudian bayang itu tak bergerak lagi, lalu bola kristal itu kepulkan asap merah. Asap itu keluar dari bagian tengah atas bola kristal. Hilangnya asap, hilang pula cahaya merah tersebut, lalu bola kristal berubah menjadi bening kembali. Terdengar lagi kekeh tawa Raja Nujum, kemudian suara ucapannya yang sedikit bergetar karena pengaruh usia itu,
"Kurasa saat ini bukan waktunya untuk bermain-main, Ratu Teluh Bumi! Aku tahu, kau mengikutiku karena kau ingin sampai ke Kuil Swanalingga! Kau tak tahu jalannya, sehingga kau numpang arah denganku! Bukankah begitu, Ratu Teluh Bumi?!"
"Salah!" jawab Ratu Teluh Bumi dengan cepat dan tegas. "Aku mengikutimu karena aku harus membayang-bayangimu terus supaya kau tak dapatkan pedang pusaka itu! Jika pedang pusaka itu jatuh ke tanganmu, maka akan hancurlah seisi dunia ini akibat ulah keserakahan dan kelalimanmu, Raja Nujum!"
"Apakah tidak sebaliknya?" kata Raja Nujum dengan kalem sekali. "Pedang pusaka itu akan menjadi malapetaka bagi penduduk bumi, jika ada di tanganmu. Sebab kau punya cita-cita ingin menjadi ratu di atas segala ratu di bumi ini! Kau ingin membangun kembali kekuasaan yang pernah dipegang oleh ayahmu, yang sekarang wilayahnya telah menjadi wilayah kekuasaan Jenggala!"
"Rasa-rasanya perlu kurobek mulutmu supaya tidak sampai di telinga orang-orang Jenggala Manik!"
"Merobek mulutku itu hal yang mudah, Ratu Teluh. Tapi mencapai mulutku itu yang sulit!" kakek tua itu menyeringai kempot. Tapi Ratu Teluh Bumi tidak berminat untuk tersenyum sedikit pun. Ia menganggap ucapan Raja Nujum yang terakhir itu sebagai tantangan yang tak patut ditolak. Karena itu, Ratu Teluh Bumi cepat berkata,
"Raja Nujum, kalau kau ingin mencoba jurus 'Teluh Kelabang'-ku, terimalah kirimanku ini! Hupp...!"
Tangan Ratu Teluh Bumi menggenggam tiba-tiba di depan matanya. Lalu dengan ayunan yang jelas dan tegas, ia sentakkan genggaman tangannya ke tanah. Wutt...! Begg...! Seperti ada sesuatu yang dibuang ke bawah kakinya sendiri. Genggaman itu dilepaskan bersama tangan yang menyentak ke bawah, lalu terasa ada guncangan kecil di tanah sekelilingnya.
Tiba-tiba Raja Nujum pejamkan mata. Tongkatnya digenggam dengan kedua tangan. Tangan itu diletakkan di atas bola kristal. Tiba-tiba bola kristal itu menyalakan warna kuning berasap menggumpal-gumpal di dalamnya. Tubuh Raja Nujum tetap tegak memejam mata. Tiba-tiba badannya melengkung ke belakang, sedikit membungkuk. Warna pijar kuning di bola kristalnya itu padam seketika. Dan Raja Nujum muntah dengan suara keras, "Hoooekk...!"
Sekumpulan kelabang hitam kemerah-merahan keluar dari mulut Raja Nujum. Wajah orang itu jadi merah, bahkan ia sampai jatuh terduduk dengan satu kaki masih sempat berpijak tanah. Mulutnya menganga lebar sambil memuntahkan puluhan kelabang sebesar jari kelingking, tapi agak panjang lagi. Kadang-kadang tubuh itu tersentak dengan mata terbelalak. Binatang berbisa itu mulai mengerumuni tubuh Raja Nujum yang masih tersentak-sentak memuntahkan puluhan binatang kelabang.
"Ha ha ha ha...!" Ratu Teluh Bumi tertawa kegirangan. "Sebentar lagi mulutmu tak akan bisa bicara lancang dan mengucapkan tantangan padaku, Raja Nujum! Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi! Selamat tinggal... aku akan ke Kuil Swanalingga sendiri! Aku tahu di gunung ini letak kuil itu, dan akan kubawa pulang Pedang Guntur Biru itu! Ha ha ha ha...!"
Wuttt...! Ratu Teluh Bumi berkelebat pergi dengan cepat. Gerakannya lebih cepat lagi dari gerakan menguntit tadi. Dalam sekejap ia telah hilang dari pandangan mata seorang pengintai di atas pohon, yaitu si Pendekar Mabuk.
Suto Sinting sendiri sempat terkejut ketika Ratu Teluh Bumi menyebutkan nama pedang pusaka itu. Suto pernah mendengar cerita tentang Pedang Guntur Biru yang hak warisnya ada di tangan Siluman Tujuh Nyawa setelah orang sesat itu berusia tiga ratus tahun. Sekarang usianya baru dua ratus lima belas tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cermin Pemburu Nyawa)
Tetapi, untuk sementara Pendekar Mabuk perlu hindari dulu pemikiran mengenai pedang pusaka tersebut, ia kasihan melihat orang tua bertongkat bola kristal itu kelojotan dalam sekaratnya yang dikerumuni oleh puluhan kalajengking atau kelabang berbisa itu. Wajahnya sudah merah matang, termakan sengat kelabang tersebut.
Wuttt...! Pendekar Mabuk melesat cepat dari tempat persembunyiannya. Tiba di depan Raja Nujum, ia telah meneguk tuaknya sebagian dan yang sebagian disimpan di mulut. Kemudian dengan cepat ia semburkan tuak itu ke tubuh Raja Nujum. Brusss...!
Puluhan kelabang itu berkelip-kelip bagai tersiram minyak, lalu memancarkan cahaya silau, dan kejap berikutnya kelabang-kelabang itu lenyap tak berbekas sedikit pun. Juga yang tadinya masih tersisa di tepian mulut Raja Nujum, menjadi hilang tak berbekas lagi. Pendekar Mabuk segera menuangkan tuak ke mulut Raja Nujum setelah orang itu ditelentangkan. Glek glek glek...! Raja Nujum bagaikan dipaksa meminum tuak dari bumbung yang selalu digendong Pendekar Mabuk di punggungnya.
"Kalau bukan orang berilmu tinggi, dia sudah mati sejak muntahnya yang pertama tadi," kata Suto di dalam hatinya. "Sekalipun begitu, seandainya aku terlambat menyingkirkan kelabang-kelabang itu, orang ini tetap mati walau berilmu tinggi! Karena tadi ia telah menyalakan bola kacanya itu menjadi kuning, menurut dugaanku dia melakukan perlawanan ilmu teluh yang dilepaskan oleh perempuan cantik dan judes tadi. Tapi agaknya Raja Nujum tak berhasil melawannya, dan akhirnya kekuatan teluh itu masuk ke dalam raganya!"
Sebenarnya ilmu penyembuhan yang dinamakan 'Sembur Husada' tadi, dapat membuat seseorang lupa terhadap Pendekar Mabuk. Yang semula kenal, menjadi tidak kenal dengan Suto. Kebetulan Raja Nujum memang belum kenal dengan Suto, sehingga Suto tak punya pertimbangan apa-apa untuk melakukan penyembuhkan 'Sembur Husada', kecuali pertimbangan rasa kasihan pada diri Raja Nujum.
Maka ketika Raja Nujum merasakan tubuhnya menjadi enteng, tak merasakan lagi panas menyiksa di dalam tubuhnya, ia pun segera bangkit dan berdiri tegak dengan napas terhirup panjang-panjang, ia bahkan merasa lebih sehat, lebih enak ketimbang sebelum meneguk tuak Suto. Karena memang begitulah biasanya orang yang habis mendapat penyembuhan dari Pendekar Mabuk. Tuak itu bagaikan obat penghilang segala macam penyakit separah apapun.
Mata tua itu segera menatap Pendekar Mabuk yang berdiri di bawah pohon, tujuh langkah jaraknya dari tempatnya berdiri. Raja Nujum masih pandangi Suto dengan perasaan heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, "Siapa anak muda itu?! Sepertinya aku pernah ditolongnya? Hmm... coba kulihat di bola kacaku ini...!"
Melihat Raja Nujum sudah sehat, Suto Sinting pun segera menghampiri orang itu dengan menenteng bumbung tempat tuaknya. Sunggingan senyum tipis sebagai senyum keramahan terlihat jelas di bibir Suto. "Sudah benar-benar sehatkah tubuhmu, Raja Nujum?"
"Tunggu sebentar, aku ingin melihat apa yang terjadi pada diriku tadi. Sebab... sepertinya aku pernah melihatmu sebelum ini...!"
Bola kristal itu menyalakan lampu hijau bening, lalu terlihat sebuah adegan dua manusia saling berhadapan. Di dalam bola itu tergambar kembali peristiwa yang dialami Raja Nujum, sejak ia diserang oleh Ratu Teluh Bumi memakai ular kobra merah, sampai saat ia sekarat memuntahkan puluhan kelabang hitam kemerahan. Dan di situ pula ia melihat Pendekar Mabuk menyembuhkannya dengan tuak. Setelah itu, bola kristal itu pun padam. Raja Nujum manggut-manggut pandangi Suto dengan mata tua yang tajam tak berkedip. Suto sembunyikan perasaan kagumnya melihat semua peristiwa tadi bisa dilihat kembali melalui bola kaca tersebut.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda!" kata Raja Nujum.
"Aku hanya menjalankan tugasku sebagai manusia, yaitu saling menolong," jawab Pendekar Mabuk dengan tetap menjaga hormat.
"Pandanglah aku sejenak, biar kutahu siapa dirimu!" kata Raja Nujum tanpa ada kesan bermusuhan. Suto menuruti menatap mata Raja Nujum beberapa kejap. Tapi tiba-tiba tubuh Raja Nujum terpental mundur dan terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Raja Nujum...?! Kenapa kau?!" Pendekar Mabuk merasa heran melihat gerakan itu. Ia cemas dan ingin menolong, tapi Raja Nujum kembali berdiri tegak. Pendekar Mabuk menghentikan langkah tak jadi meraih tangan Raja Nujum. "Kau masih belum sehat rupanya," kata Suto.
"Tidak. Aku sudah sehat."
"Lalu kenapa kau terhuyung-huyung tadi?"
"Aku mencoba menembus kehidupanmu lewat mata, tapi aku tak kuat. Kau pasti punya keistimewaan, sehingga matamu sukar kutembus!"
"Keistimewaan... apa?! Aku biasa-biasa saja!" Suto merendah.
"Biasanya dengan menembus kehidupan melalui mata seseorang, aku bisa mengerti siapa namanya, berapa usianya, dari mana asalnya, apa kepandaiannya, siapa gurunya, bagaimana kisah cintanya, dan lain sebagainya. Tapi kali ini aku gagal menembus kehidupan dari matamu! Bahkan kekuatan itu memantul balik, hampir melemparkan tubuhku. Itu tandanya kau punya keistimewaan! Coba kulihat garis tanganmu, Anak Muda! Percayalah, aku tak bermaksud jahat padamu! Hanya sekadar ingin mengenalmu saja!"
Suto segera menyodorkan telapak tangan kanannya. Raja Nujum segera memperhatikan garis tangan Suto. Tapi mendadak Raja Nujum tersentak kaget. Matanya terbelalak melihat tato pisau kecil bergagang bintang di ujungnya. Kagetnya itu telah membuat Raja Nujum cepat melayangkan pandang ke dahi Pendekar Mabuk, dan kini ia menjadi pucat pias wajahnya. Bibir tuanya gemetaran saat ingin ucapkan sesuatu.
"Ada apa...?!" Pendekar Mabuk bertanya dengan heran.
"Baru kusadari di dahimu ada titik merah," kata Raja Nujum dengan sikap masih terbengong.
"Ada apa dengan titik merah ini?"
"Kau manusia gaib, Anak Muda!"
Pendekar Mabuk tertawa dikatakan manusia gaib. "Aku manusia biasa! Aku masih doyan nasi, jagung, tuak, ubi, dan semua yang dimakan dan diminum manusia. Jadi aku bukan manusia gaib."
"Tak mungkin! Kau pasti bisa masuk ke alam gaib!"
"Ya. Kalau soal itu memang benar."
"Dan kau punya jabatan tinggi di sebuah negeri di alam gaib!"
"Mungkin saja begitu! Tapi apakah dengan begitu aku tak boleh berkenalan denganmu, Raja Nujum?"
"Kau sudah mengenalku, tapi aku belum mengenalmu!"
Senyum Pendekar Mabuk mekar dengan ramah. "Aku Pendekar Mabuk," jawab Suto, lalu cepat mengangkat bumbung tuaknya, dan ia meneguk tuak tak begitu banyak.
"Siapa namamu?"
"Suto! Guruku memanggilku Suto Sinting!"
"Suto Sinting?! Aku sepertinya pernah mendengar nama itu!"
"Mungkin Suto lain, bukan Suto aku, Raja Nujum!"
"Entahlah. Mungkin benar katamu itu. Karena, biasanya aku tak pernah bertanya tentang nama kepada orang yang baru kukenal. Dengan menembus kehidupan lewat matanya, aku sudah bisa tahu namanya. Tapi... noda merah kecil itu rupanya yang menghalangi kekuatanku hingga tak bisa masuk ke alam kehidupanmu!"
"Mungkin lain kali kau lebih banyak tahu tentang diriku. Sekarang aku ganti ingin tanyakan sesuatu padamu, Raja Nujum."
"Tentang apa?"
"Tentang Pedang Guntur Biru!"
"Apa kau menginginkan pedang pusaka itu pula?"
"Tidak. Tapi aku tahu siapa orang yang berhak memegang pusaka tersebut! Dan aku heran, mengapa Ratu Teluh Bumi itu sangat menghendaki pedang tersebut, padahal aku tahu dia bukan pewaris pusaka Pedang Guntur Biru, Raja Nujum!"
Makin menyipit mata Raja Nujum pandangi wajah Pendekar Mabuk. Lalu setelah diam beberapa saat, Raja Nujum berucap kata, "Menurutmu, siapa pewaris pedang pusaka itu, Nak?"
"Yang berhak adalah orang sesat yang bernama Durmala Sanca, punya julukan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Hah...?!" Raja Nujum tersentak kaget mendengarnya. Matanya melebar, menatap Suto tak berkedip. "Dari mana kau tahu nama itu?"
"Aku sedang memburu dia untuk kupenggal kepalanya!"
"Oh...?" Makin kaget lagi Raja Nujum. "Kau mau memenggal kepala Durmala Sanca?! Kau tahu, berapa usianya?"
"Dua ratus lima belas tahun!"
"Edan!" Raja Nujum makin tegang. "Kau tahu siapa Begawan Sangga Mega yang kuilnya ada di puncak gunung ini?"
"Begawan Sangga Mega adalah pamannya Durmala Sanca!"
"Gila!" gumam Raja Nujum bernada heran dan kagum.
"Tapi Durmala Sanca tidak akan bisa memegang pusaka Pedang Guntur Biru, karena usianya belum mencapai tiga ratus tahun!"
"Benar. Tapi apakah kau tahu, mengapa harus menunggu tiga ratus tahun, sehingga Durmala Sanca boleh memegang pusaka itu?"
"Karena dia dikutuk oleh kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun!"
"Luar biasa kau ini?!" tambah heran lagi Raja Nujum kepada Suto. Sambungnya, "Kau tahu, apa sebab dia dikutuk selama itu?"
"Karena dia pernah mau memperkosa neneknya!"
"Benar-benar edan kau ini! Apakah kau juga tahu siapa kakek dan neneknya Durmala Sanca?!"
"Eyang Purbapati dan Nini Galih!"
Jawaban itu membuat Raja Nujum terkesiap dan pucat wajahnya. "Hati-hati kau menyebut nama itu, Suto. Mereka orang sakti yang dihormati oleh kalangan tokoh tua di rimba persilatan! Jangan sampai kau sebutkan kedua nama itu dan didengar oleh muridnya. Bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu, Suto!"
"Maksudmu, murid dari Eyang Purbapati dan Nini Galih?"
"Iya. Apakah kau kenal dengan murid mereka?"
"Maksudmu, si Gila Tuak dan Bidadari Jalang?!"
"Hahh...?! Kau tahu juga?!" Raja Nujum kian nyata terperangah, antara heran, kagum, dan takut.
"Jujur saja katakan padaku, Raja Nujum, mengapa kau sejak tadi memancingku dengan pertanyaan begitu? Siapa kau sebenarnya?"
Raja Nujum diam sebentar, ia punya pertimbangan lain. Lalu, ia segera ucapkan kata, "Akan kujelaskan siapa diriku jika kau bisa sebutkan siapa guru dari Purbapati dan Nini Galih itu! Guru mereka siapa?!"
Suto Sinting diam beberapa kejap. Agak ragu untuk menyebutkannya. Setelah beberapa saat ditunggu jawabannya oleh Raja Nujum, akhirnya Pendekar Mabuk pun ucapkan kata,
"Mungkin yang kau maksud adalah... Eyang Wijayasuro?!"
Blegarrr...! Terdengar suara petir di siang hari bolong. Langit terang tiba-tiba berubah menjadi redup, kemudian mendung hitam datang bersama badai di langit sana. Mendung hitam bergulung-gulung membuat bumi makin temaram, karena matahari tak mampu tembus kepekatan hitamnya. Angin di bumi pun bertiup cukup kencang. Jubah hijau yang dipakai Raja Nujum berkelebat bagai mau terbang.
Raja Nujum sendiri terpaku di tempat dengan mata lebar tak berkedip. Suto menjadi cemas, mengapa alam tiba-tiba bagaikan murka. Untung hanya sejenak, dan kejap berikutnya langit kembali cerah, angin reda, dan mendung hilang begitu cepatnya.
"Sudah kusebutkan nama Eyang Guru itu, sekarang sebutkan siapa dirimu, Raja Nujum?!"
"Aku putra bungsu dari ketujuh putra Purbapati dan Nini Galih!" jawab Raja Nujum dengan pelan. Pendekar Mabuk ganti tercengang kaget.
* * *
ENAM
KEMUDIAN Raja Nujum membeberkan silsilahnya. Bahwa ayahnya, yaitu Purbapati dan ibunya Nini Galih mempunyai tujuh anak. Yang pertama bernama Durmagati, yaitu ayah dari Durmala Sanca. Yang kedua Begawan Sangga Mega, yang ketiga, keempat, dan kelima serta keenam, meninggal dalam usia muda. Jadi, Purbapati dan Nini Galih mempunyai tiga anak yang masih hidup. Ketiga putra Purbapati ini, ternyata tak ada yang sanggup menerima ilmu-ilmu dari sang Ayah atau sang Ibu. Hanya sebagian kecil saja yang sanggup mereka terima ilmu tersebut.
Bahkan Durmagati dan Raja Nujum pernah hampir mati gara-gara menempuh salah satu ilmu yang sekarang dimiliki Suto Sinting, yaitu ilmu 'Seberang Raga', yang bisa merubah pohon atau batu menjadi wujud dirinya. Karena ketiga putranya tidak ada yang sanggup menerima ilmu-ilmunya, maka Purbapati mengangkat murid yang bernama Sabawana. Murid inilah yang ternyata mampu mewarisi seluruh ilmu Purbapati. Murid inilah yang kemudian dikenal dengan nama si Gila Tuak.
Sedangkan untuk pusaka Pedang Guntur Biru, tidak bisa diserahkan kepada Sabawana karena dia bukan darah keturunan Purbapati. Orang yang berhak menerima pusaka tersebut adalah anak pertama. Setiap anak pertama dari pemegang pusaka itu adalah ahli waris tunggal. Karenanya, Durmagati-lah orang yang menjadi ahli waris Pedang Guntur Biru.
Durmagati mempunyai anak kembar, Durmala Sanca dan Wicara Sanca. Takut dianggap bukan anak pertama, maka Durmala Sanca membunuh Wicara Sanca pada usia lima belas tahun. Sejak itu sikap dan tindak-tanduk Durmala Sanca memalukan keluarga, menurunkan martabat darah keturunan Purbapati. Terlebih setelah Durmala Sanca berusia tujuh belas tahun, ia mencoba memperkosa neneknya, yaitu Nini Galih yang punya ilmu awet muda dan kecantikan abadi. Sekalipun niat perkosaan itu dapat digagalkan oleh sang kakek, tapi sang kakek murka kepada cucunya, lalu dikutuk untuk menjadi manusia sesat selama tiga ratus tahun.
Durmala Sanca diusir dan dicoret dari daftar keluarga sampai berusia tiga ratus tahun baru akan diakui sebagai darah keturunan Purbapati. Sebelum Durmala Sanca diusir, ia berhasil membunuh ibunya, kemudian menyusul membunuh ayahnya sendiri. Pedang Guntur Biru segera diambil oleh Begawan Sangga Mega untuk diselamatkan dari tangan Durmala Sanca, karena amanat itu turun dari sang kakek sendiri.
Sejak itu, pusaka Pedang Guntur Biru berubah ketentuannya, bukan hanya anak pertama yang boleh menyimpan dan menggunakan pedang itu, melainkan anak kedua pun diizinkan. Tapi hanya sampai batas anak kedua, selebihnya sudah tak boleh dipegang oleh anak berikutnya, karena bisa mengurangi kekuatan gaib yang ada pada Pedang Guntur Biru itu.
Durmala Sanca akhirnya pergi berguru ke dataran Tibet, sedangkan pedang di tangan Begawan Sangga Mega tetap disimpan untuk diberikan kepada keturunan berikutnya. Jika Durmala Sanca mati sebelum memegang pusaka tersebut, maka pedang berhak diterima oleh anak Durmala Sanca. Sebenarnya anak dari Begawan Sangga Mega pun boleh dan berhak menerima pedang tersebut, tapi Begawan Sangga Mega tidak memiliki satu anak pun. Ia tidak punya keturunan, sehingga anak dari kakaknya itulah yang berhak menerimanya. Padahal Durmala Sanca mempunyai dua anak, yaitu Dadung Amuk dan Singo Bodong. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Istana Berdarah)
Sedangkan Dadung Amuk sudah mati digantung oleh bapaknya sendiri, yaitu Durmala Sanca. Sekarang tinggal Singo Bodong yang masih hidup di Pulau Beliung. Tapi Singo Bodong orang lugu, polos, dan tidak punya kesaktian apa-apa, bahkan tidak tahu siapa bapaknya, tidak tahu bahwa ia adalah pewaris pedang pusaka yang jadi incaran para tokoh tua itu.
Sejauh itu, Raja Nujum belum tahu bahwa Suto adalah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Raja Nujum mencari Durmala Sanca untuk memenggal kepalanya, dan dalam kaitannya dengan peristiwa perebutan Pedang Guntur Biru itu Pendekar Mabuk hanya ingin selamatkan pedang itu dari tangan si angkara murka. Niatnya itu seirama dengan tujuan kedatangan Raja Nujum ke Gunung Pakayon itu. Karenanya, Raja Nujum cepat membawa Pendekar Mabuk ke Kuil Swanalingga.
Namun langkah mereka terhenti karena kemunculan suara tembang yang mengayun mendayu-dayu enak didengar. Dari mana arahnya tak jelas dilacak, tapi suara itu begitu nyata terdengar.
Hidup semakin bersimbah darah, jika pertanda itu tiba.
Manakala rembulan bergaris tegas, terbukalah alam kesucian.
Menembus hati setiap manusia, untuk merengkuh sebuah pusaka.
Tapi apalah artinya pusaka, bagi diri orang yang cepat mati.
Apalah artinya mati, bagi diri orang yang bosan hidup. Dan apalah artinya hidup, bagi diri orang yang tak punya sanak keluarga...
Tiba-tiba dada Suto Sinting merasa pedih, teringat akan masa lalunya. Keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang Hitam, ia berlari-lari dalam kejaran, padahal waktu itu ia masih berusia delapan tahun. Ia hidup sebatang kara karena kekejian seorang pemburu dendam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).
Suto menundukkan kepala dan meremas kedua tangannya untuk melawan tangis. Sementara, Raja Nujum terkulai berlutut dan mulai terisak. Badannya sampai terguncang-guncang karena ingat masa mudanya, ingat saudara-saudaranya yang telah mendahuluinya, ingat bahwa kini hidupnya sebatang kara, tanpa keluarga, tanpa istri, tanpa anak, dan tanpa hari kepastian untuk mati.
Woosss! Napas Suto mulai berubah menjadi napas badai. Setiap hatinya dirundung duka yang dalam atau kemarahan yang mendendam, tiap hembusan napasnya berubah menjadi badai. Itu karena Pendekar Mabuk telah menelan pusaka Tuak Setan yang mestinya dimusnahkan. Apabila saat itu Suto melepaskan napasnya lewat mulut dengan sentakan keras, maka badai dahsyat akan terjadi di gunung itu.
Tapi Pendekar Mabuk masih sadar akan bahaya napasnya sendiri. Itulah sebabnya ia tundukkan kepala, hingga tiap napas yang keluar hanya membentur tanah. Lama kelamaan tanah itu menjadi cekung akibat terkena hembusan napas Pendekar Mabuk.
"Pasti ada orang yang menggunakan ilmu tingginya melalui tembang itu! Ia menyerangku dan menyerang Raja Nujum langsung ke kalbu!" pikir Suto dengan mata terpejam kuat karena ia ingin menahan diri untuk tidak menangis, menyesal, sedih, dan murka. Tetapi, orang itu tetap mengalunkan tembangnya semakin mendayu-dayu,
Bila nyawa keluarga jadi hinaan, siapa lagi yang akan datang sebagai pembela.
Bila hormat keluarga jadi cercaan, siapa lagi yang akan datang menjadi pemuji.
Biar hati tahankan pilu, tapi dendam tetap bertalu.
Sekali lepas ilmu sejati, hancur sudah dendam kesumat di hati.
Terasa rendah jiwa dan diri ini, bila tak mampu lampiaskan dendam pribadi...
Keringat Suto tetap bercucuran, ia tetap bertahan untuk tidak melepaskan amarah karena ingat dendam masa lalunya. Kemudian, Pendekar Mabuk mencoba untuk memainkan Jurus 'Siulan Peri' pemberian dari Bidadari Jalang. Tetapi Pendekar Mabuk memilih tempat yang aman untuk pantulan siulannya itu. Sebuah gugusan batu di sampingnya menjadi tempat yang tepat untuk memantulkan siulannya.
"Suiiiiittt...! Suiiittt...!"
Wuurrr...! Batu itu berguncang nyaris terbang, karena napas yang keluar dari siulan bertenaga badai. Tetapi suara siulan itu sendiri membuat semua hewan hutan berlarian dengan panik. Gendang telinga manusia bisa menjadi pecah jika tak kuat menahannya.
Raja Nujum cepat menutup telinganya dengan kedua tangan, hingga tongkatnya dilepas begitu saja. Tapi orang tua itu masih menangis seperti anak kecil. Terisak-isak sambil menyeringai menahan rasa sakit mendengar siulan bertenaga dalam cukup tinggi itu.
"Suuuiiittt...! Suuuiiittt...!"
Batu yang dipakai perisai hembusan napas itu mulai retak setelah bagian tertentu yang sering terkena napas siulan itu cekung dengan sendirinya. Guncangan batu semakin keras, sesekali tampak mau terbang karena hembusan. Padahal batu itu besar dan tingginya dua kali lipat dengan ukuran tubuh Suto.
"Hentikan siulan ituuu...!" sentak seseorang yang tiba-tiba melesat bagaikan terbang turun dari atas pohon.
Jleggg...! Wajahnya memerah bagai habis menahan sesuatu yang amat menyakitkan. Matanya nanar berwarna merah semburat. Napasnya terengah-engah dengan lelehan kecil darah segar dari kedua telinganya. Rupanya dialah yang melantunkan tembang bertenaga dalam mengarah ke kalbu tiap lawannya. Orang itu berpakaian putih dengan rangkap jubah tanpa lengan warna abu-abu. Rambutnya putih diikat kain biru muda, ia juga membawa tongkat berkepala burung hantu.
Raja Nujum menghentikan tangisnya. Tiba-tiba saja rasa sedih itu hilang lenyap dan menjadi suatu keheranan, mengapa ia menangis? Kini yang ia rasakan suara berdengung di dalam telinganya akibat siulan Suto tadi. Tapi ia masih bisa menahan tak sampai berdarah lubang telinganya itu. Mungkin pula sebagian kekuatan tenaga dalam dari siulan diredamnya dengan hawa murni yang ada di dalam dirinya.
Begitu melihat orang yang tadi melantunkan tembang berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi untuk menembus kalbu, Raja Nujum segera bangkit dan menggeramkan suara kejengkelannya, "Hemm... rupanya kau, si Bandot Tembang!"
"Dari mana kau tahu namaku?" Bandot Tembang yang berbadan kurus itu merasa heran.
Tapi oleh Raja Nujum pertanyaan itu tak dihiraukannya. Raja Nujum hanya ucapkan kata, "Tak perlu kau tahu dari mana bisa kusebutkan namamu, yang jelas cepatlah pergi dan jangan ganggu langkah kami! Kami tidak mengganggu langkahmu, Bandot Tembang."
"Sebelum kuputuskan untuk pergi atau tetap menghalangi langkah kalian berdua, sebutkan dulu ke mana arah kalian pergi dan bertujuan untuk apa?"
Suto Sinting tidak menjawab, ia bahkan menenggak tuak seenaknya saja, tanpa merasa sungkan dan gentar. Bandot Tembang merasa tak suka melihat Suto itu. Ia segera sentakkan tangan kanannya ke salah satu pohon, pukulan itu mengeluarkan cahaya putih yang cepat berkelebat menghantam pohon dan memantul ke arah bumbung tuak yang sedang diangkat ke atas.
Trakk...!
Zingngng...! Sinar putih perak itu setelah membentur bumbung tuak segera memantul balik, melesat ke pohon semula dan kembali ke arah Bandot Tembang.
Trak...!
Blarrr...! Sinar itu dipukul sendiri oleh Bandot Tembang memakai tongkatnya. Orang tua itu tersentak mundur dua tindak akibat gelombang ledakan tongkat dengan sinar tadi.
"Sinting bocah inil" geramnya bernada gumam. "Pukulanku bisa dikembalikan lebih cepat dan lebih besar?!"
"Bandot Tembang," kata Raja Nujum, "Kita tidak punya persoalan apa-apa, jadi tak perlu kita berselisih!"
"Kubilang tadi, sebutkan dulu ke mana arah kalian dan perlu apa kalian menuju arah itu?!"
"Apa kau penguasa gunung ini?!" tanya Raja Nujum menyindir.
Bandot Tembang menjawab, "Sejak Begawan Sangga Mega mati, akulah calon pengganti penguasa gunung ini! Setiap orang yang lewat harus meminta izin dariku!"
"Jika tidak, bagaimana?!"
"Kucabut napasnya! Tak kuizinkan lagi ia bernapas!"
"Haram jadah! Apakah kau punya hak atas hidup dan matinya seseorang?!" geram Raja Nujum.
Kini Pendekar Mabuk mulai angkat bicara dengan sikap kalemnya, "Ki Bandot Tembang, kami ingin menuju ke Kuil Swanalingga untuk melihat apa yang terjadi di sana."
"Yang jelas, di sana ada perebutan pedang pusaka peninggalan Begawan Sangga Mega! Jika kau mau ikut rebutan pedang itu, berarti kau harus kalahkan aku lebih dulu!" kata Bandot Tembang.
"Berarti kau sendiri akan ke arah sana, bukan?!" sahut Raja Nujum.
"Ya! Dan sudah kuduga kalian pasti akan ikut dalam rebutan Pedang Guntur Biru itu! Untuk memperingan beban, kalian kumusnahkan dulu di sini, jadi di sana tidak banyak bikin masalah lagi!"
"Minggirlah, Suto, biar kuhadapi dia!" bisik Raja Nujum.
Maka, Suto pun mengalah, dan ia bergeser ke samping, berdiri di bawah pohon dengan tubuh bersandar seenaknya. Santai.
"Sebutkan namamu, karena kita akan tentukan siapa yang mati lebih dulu!"
"Raja Nujum, namaku!"
"Baik! Terimalah awal kematianmu, Raja Nujum! Hiaah...!"
Bandot Tembang sentakkan tongkatnya ke arah samping. Dari tongkat itu keluar sinar berbentuk mata anak panah warnanya merah. Melesat menghantam pohon seolah-olah tiap pohon dijadikan tempat pantulan. Mata Raja Nujum terpaksa mengikuti gerakan itu agar tubuhnya tidak terhantam dari belakang.
Tak tak tak...! Gerakan sinar itu begitu cepat dan membingungkan. Kadang menukik, kadang naik. Gerakan pantulannya membentuk sudut tak tentu. Dan akhirnya mengarah kepada Raja Nujum dari samping kiri. Raja Nujum cepat membalikkan badan ke kiri sambil kibaskan kepala tongkatnya, wuttt...!
Darrr...! Mata anak panah yang merah berbentuk sinar itu pecah akibat hantaman bola kristal. Tetapi segera dapat dilihat di dalam bola kristal itu sinar merah tersebut masih bergerak ke sana-sini tempat berpantul dan sasarannya. Sampai akhirnya sinar kuning menyala dan bagai menelan sinar merah kecil itu. Zrubb...! Sinar kuning padam, sinar merah pun lenyap. Bola kristal kembali bening.
"Ha ha ha ha...!" Bandot Tembang justru tertawa melihatnya, ia manggut-manggut lalu berkata, "Itu baru jemputan nyawa pertama. Kurasa untukmu cukup dua kali jemputan saja, Raja Nujum! Hiaah...!"
Wuttt...! Melesat sinar biru yang seperti mata anak panah lagi. Gerakannya cepat memantul ke sana-sini. Dan, wuttt...! Keluar lagi sinar biru dari kepala tongkat Bandot Tembang, memantul lewat pohon lain. Dan, wwwuut...!
Lagi-lagi sinar biru keluar dari kepala tongkat dan bergerak cepat memantul ke sana-sini. Tiga sinar biru berkeliaran bagai saling kejar ke sana-sini, membingungkan Raja Nujum, ia sangka sinar pertama akan menyerangnya, ternyata justru memantul pada gugusan batu dan menjauh lagi. Sinar kedua akan mendekat, ternyata memantul lagi karena berbenturan dengan sinar biru yang sama dan tidak timbulkan ledakan.
Pendekar Mabuk membatin, "Hebat juga jurus ilmu seperti ini. Membingungkan orang yang diserang! Kasihan Raja Nujum, dia berputar-putar menunggu kesempatan diserang dan tak mau lengah karena serangan itu. Tapi, rasa-rasanya gerakan sinar biru itu semakin cepat semua! Bisa mati Raja Nujum terkena salah satu dari ketiga sinar biru itu!"
Maka, Pendekar Mabuk segera membuka tutup bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu dihadapkan ke arah sinar-sinar yang saling bersimpang-siur itu. Lalu, dengan satu sentakan kaki ke bumi, sinar-sinar itu tiba-tiba bergerak cepat ke arah mulut bumbung, dan masuk ketiganya ke sana dengan menimbulkan suara ngejos yang cukup keras.
Jrosss...! Asap mengepul dari mulut bumbung tuak. Tapi Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuak itu dan menentengnya kembali dengan santai. Bumbung itu telah berhasil menyedot ketiga sinar tersebut sehingga tak satu pun mengenai Raja Nujum.
Bandot Tembang mendelik melihat ketiga sinar tenaga dalamnya tersedot masuk ke dalam bumbung itu. Ia tak berkedip menatap Suto karena merasa baru kali ini ada orang yang melumpuhkan jurus 'Tiga Surya Bernyawa' itu. Biasanya salah satu dari sinar biru itu akan mengenai lawan setelah lawan berulang kali dibuat kecele oleh sinar-sinar lainnya.
"Bahaya juga anak muda itu?!" pikir Bandot Tembang. "Gurunya kebingungan, dia yang tenang-tenang bisa menyedot ketiga sinarku itu?! Kurang ajar dia...!"
Bandot Tembang dipandangi oleh dua orang, ia tak mau dianggap kalah, ia tak mau dilecehkan dengan cara mereka. Maka, ia pun segera mengalunkan tembang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam lebih tinggi dari yang pertama tadi,
Hening hati ditelan mati, rembulan lepaskan...
Belum habis sudah terpotong suara siulan Pendekar Mabuk, "Suuuittt !"
Cepat-cepat Bandot Tembang menutup telinganya, demikian pula Raja Nujum. Kemudian, suara tembang yang hilang itu berubah menjadi geram kemarahan yang belum bisa terlampiaskan. Maka, ia pun segera sentakkan kaki dan melesat pergi setelah ucapkan kata, "Kutunggu kalian di Kuil Swanalingga! Kita bertarung di sana!"
Wusss...! Bandot Tembang pergi dengan cepat. Pendekar Mabuk pandangi Raja Nujum yang masih menutup telinganya dengan mata terpejam kuat-kuat. Tapi menjadi terkejut ketika Suto menepak lengannya.
Plakkk...!
Matanya jadi terbelalak lebar ketika Suto berkata, "Dia telah kabur!"
"Hah...? Ke mana kaburnya? Kapan?"
"Tadi, saat kau pejamkan mata kuat-kuat!" jawab Pendekar Mabuk. Kemudian tawa Pendekar Mabuk pun terdengar. "Dia menantang kita di kuil sana, Raja Nujum! Haruskah dilayani?!"
Raja Nujum hanya mengangkat kedua pundaknya, lalu melangkah.
Bahkan Durmagati dan Raja Nujum pernah hampir mati gara-gara menempuh salah satu ilmu yang sekarang dimiliki Suto Sinting, yaitu ilmu 'Seberang Raga', yang bisa merubah pohon atau batu menjadi wujud dirinya. Karena ketiga putranya tidak ada yang sanggup menerima ilmu-ilmunya, maka Purbapati mengangkat murid yang bernama Sabawana. Murid inilah yang ternyata mampu mewarisi seluruh ilmu Purbapati. Murid inilah yang kemudian dikenal dengan nama si Gila Tuak.
Sedangkan untuk pusaka Pedang Guntur Biru, tidak bisa diserahkan kepada Sabawana karena dia bukan darah keturunan Purbapati. Orang yang berhak menerima pusaka tersebut adalah anak pertama. Setiap anak pertama dari pemegang pusaka itu adalah ahli waris tunggal. Karenanya, Durmagati-lah orang yang menjadi ahli waris Pedang Guntur Biru.
Durmagati mempunyai anak kembar, Durmala Sanca dan Wicara Sanca. Takut dianggap bukan anak pertama, maka Durmala Sanca membunuh Wicara Sanca pada usia lima belas tahun. Sejak itu sikap dan tindak-tanduk Durmala Sanca memalukan keluarga, menurunkan martabat darah keturunan Purbapati. Terlebih setelah Durmala Sanca berusia tujuh belas tahun, ia mencoba memperkosa neneknya, yaitu Nini Galih yang punya ilmu awet muda dan kecantikan abadi. Sekalipun niat perkosaan itu dapat digagalkan oleh sang kakek, tapi sang kakek murka kepada cucunya, lalu dikutuk untuk menjadi manusia sesat selama tiga ratus tahun.
Durmala Sanca diusir dan dicoret dari daftar keluarga sampai berusia tiga ratus tahun baru akan diakui sebagai darah keturunan Purbapati. Sebelum Durmala Sanca diusir, ia berhasil membunuh ibunya, kemudian menyusul membunuh ayahnya sendiri. Pedang Guntur Biru segera diambil oleh Begawan Sangga Mega untuk diselamatkan dari tangan Durmala Sanca, karena amanat itu turun dari sang kakek sendiri.
Sejak itu, pusaka Pedang Guntur Biru berubah ketentuannya, bukan hanya anak pertama yang boleh menyimpan dan menggunakan pedang itu, melainkan anak kedua pun diizinkan. Tapi hanya sampai batas anak kedua, selebihnya sudah tak boleh dipegang oleh anak berikutnya, karena bisa mengurangi kekuatan gaib yang ada pada Pedang Guntur Biru itu.
Durmala Sanca akhirnya pergi berguru ke dataran Tibet, sedangkan pedang di tangan Begawan Sangga Mega tetap disimpan untuk diberikan kepada keturunan berikutnya. Jika Durmala Sanca mati sebelum memegang pusaka tersebut, maka pedang berhak diterima oleh anak Durmala Sanca. Sebenarnya anak dari Begawan Sangga Mega pun boleh dan berhak menerima pedang tersebut, tapi Begawan Sangga Mega tidak memiliki satu anak pun. Ia tidak punya keturunan, sehingga anak dari kakaknya itulah yang berhak menerimanya. Padahal Durmala Sanca mempunyai dua anak, yaitu Dadung Amuk dan Singo Bodong. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Istana Berdarah)
Sedangkan Dadung Amuk sudah mati digantung oleh bapaknya sendiri, yaitu Durmala Sanca. Sekarang tinggal Singo Bodong yang masih hidup di Pulau Beliung. Tapi Singo Bodong orang lugu, polos, dan tidak punya kesaktian apa-apa, bahkan tidak tahu siapa bapaknya, tidak tahu bahwa ia adalah pewaris pedang pusaka yang jadi incaran para tokoh tua itu.
Sejauh itu, Raja Nujum belum tahu bahwa Suto adalah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Raja Nujum mencari Durmala Sanca untuk memenggal kepalanya, dan dalam kaitannya dengan peristiwa perebutan Pedang Guntur Biru itu Pendekar Mabuk hanya ingin selamatkan pedang itu dari tangan si angkara murka. Niatnya itu seirama dengan tujuan kedatangan Raja Nujum ke Gunung Pakayon itu. Karenanya, Raja Nujum cepat membawa Pendekar Mabuk ke Kuil Swanalingga.
Namun langkah mereka terhenti karena kemunculan suara tembang yang mengayun mendayu-dayu enak didengar. Dari mana arahnya tak jelas dilacak, tapi suara itu begitu nyata terdengar.
Hidup semakin bersimbah darah, jika pertanda itu tiba.
Manakala rembulan bergaris tegas, terbukalah alam kesucian.
Menembus hati setiap manusia, untuk merengkuh sebuah pusaka.
Tapi apalah artinya pusaka, bagi diri orang yang cepat mati.
Apalah artinya mati, bagi diri orang yang bosan hidup. Dan apalah artinya hidup, bagi diri orang yang tak punya sanak keluarga...
Tiba-tiba dada Suto Sinting merasa pedih, teringat akan masa lalunya. Keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang Hitam, ia berlari-lari dalam kejaran, padahal waktu itu ia masih berusia delapan tahun. Ia hidup sebatang kara karena kekejian seorang pemburu dendam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).
Suto menundukkan kepala dan meremas kedua tangannya untuk melawan tangis. Sementara, Raja Nujum terkulai berlutut dan mulai terisak. Badannya sampai terguncang-guncang karena ingat masa mudanya, ingat saudara-saudaranya yang telah mendahuluinya, ingat bahwa kini hidupnya sebatang kara, tanpa keluarga, tanpa istri, tanpa anak, dan tanpa hari kepastian untuk mati.
Woosss! Napas Suto mulai berubah menjadi napas badai. Setiap hatinya dirundung duka yang dalam atau kemarahan yang mendendam, tiap hembusan napasnya berubah menjadi badai. Itu karena Pendekar Mabuk telah menelan pusaka Tuak Setan yang mestinya dimusnahkan. Apabila saat itu Suto melepaskan napasnya lewat mulut dengan sentakan keras, maka badai dahsyat akan terjadi di gunung itu.
Tapi Pendekar Mabuk masih sadar akan bahaya napasnya sendiri. Itulah sebabnya ia tundukkan kepala, hingga tiap napas yang keluar hanya membentur tanah. Lama kelamaan tanah itu menjadi cekung akibat terkena hembusan napas Pendekar Mabuk.
"Pasti ada orang yang menggunakan ilmu tingginya melalui tembang itu! Ia menyerangku dan menyerang Raja Nujum langsung ke kalbu!" pikir Suto dengan mata terpejam kuat karena ia ingin menahan diri untuk tidak menangis, menyesal, sedih, dan murka. Tetapi, orang itu tetap mengalunkan tembangnya semakin mendayu-dayu,
Bila nyawa keluarga jadi hinaan, siapa lagi yang akan datang sebagai pembela.
Bila hormat keluarga jadi cercaan, siapa lagi yang akan datang menjadi pemuji.
Biar hati tahankan pilu, tapi dendam tetap bertalu.
Sekali lepas ilmu sejati, hancur sudah dendam kesumat di hati.
Terasa rendah jiwa dan diri ini, bila tak mampu lampiaskan dendam pribadi...
Keringat Suto tetap bercucuran, ia tetap bertahan untuk tidak melepaskan amarah karena ingat dendam masa lalunya. Kemudian, Pendekar Mabuk mencoba untuk memainkan Jurus 'Siulan Peri' pemberian dari Bidadari Jalang. Tetapi Pendekar Mabuk memilih tempat yang aman untuk pantulan siulannya itu. Sebuah gugusan batu di sampingnya menjadi tempat yang tepat untuk memantulkan siulannya.
"Suiiiiittt...! Suiiittt...!"
Wuurrr...! Batu itu berguncang nyaris terbang, karena napas yang keluar dari siulan bertenaga badai. Tetapi suara siulan itu sendiri membuat semua hewan hutan berlarian dengan panik. Gendang telinga manusia bisa menjadi pecah jika tak kuat menahannya.
Raja Nujum cepat menutup telinganya dengan kedua tangan, hingga tongkatnya dilepas begitu saja. Tapi orang tua itu masih menangis seperti anak kecil. Terisak-isak sambil menyeringai menahan rasa sakit mendengar siulan bertenaga dalam cukup tinggi itu.
"Suuuiiittt...! Suuuiiittt...!"
Batu yang dipakai perisai hembusan napas itu mulai retak setelah bagian tertentu yang sering terkena napas siulan itu cekung dengan sendirinya. Guncangan batu semakin keras, sesekali tampak mau terbang karena hembusan. Padahal batu itu besar dan tingginya dua kali lipat dengan ukuran tubuh Suto.
"Hentikan siulan ituuu...!" sentak seseorang yang tiba-tiba melesat bagaikan terbang turun dari atas pohon.
Jleggg...! Wajahnya memerah bagai habis menahan sesuatu yang amat menyakitkan. Matanya nanar berwarna merah semburat. Napasnya terengah-engah dengan lelehan kecil darah segar dari kedua telinganya. Rupanya dialah yang melantunkan tembang bertenaga dalam mengarah ke kalbu tiap lawannya. Orang itu berpakaian putih dengan rangkap jubah tanpa lengan warna abu-abu. Rambutnya putih diikat kain biru muda, ia juga membawa tongkat berkepala burung hantu.
Raja Nujum menghentikan tangisnya. Tiba-tiba saja rasa sedih itu hilang lenyap dan menjadi suatu keheranan, mengapa ia menangis? Kini yang ia rasakan suara berdengung di dalam telinganya akibat siulan Suto tadi. Tapi ia masih bisa menahan tak sampai berdarah lubang telinganya itu. Mungkin pula sebagian kekuatan tenaga dalam dari siulan diredamnya dengan hawa murni yang ada di dalam dirinya.
Begitu melihat orang yang tadi melantunkan tembang berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi untuk menembus kalbu, Raja Nujum segera bangkit dan menggeramkan suara kejengkelannya, "Hemm... rupanya kau, si Bandot Tembang!"
"Dari mana kau tahu namaku?" Bandot Tembang yang berbadan kurus itu merasa heran.
Tapi oleh Raja Nujum pertanyaan itu tak dihiraukannya. Raja Nujum hanya ucapkan kata, "Tak perlu kau tahu dari mana bisa kusebutkan namamu, yang jelas cepatlah pergi dan jangan ganggu langkah kami! Kami tidak mengganggu langkahmu, Bandot Tembang."
"Sebelum kuputuskan untuk pergi atau tetap menghalangi langkah kalian berdua, sebutkan dulu ke mana arah kalian pergi dan bertujuan untuk apa?"
Suto Sinting tidak menjawab, ia bahkan menenggak tuak seenaknya saja, tanpa merasa sungkan dan gentar. Bandot Tembang merasa tak suka melihat Suto itu. Ia segera sentakkan tangan kanannya ke salah satu pohon, pukulan itu mengeluarkan cahaya putih yang cepat berkelebat menghantam pohon dan memantul ke arah bumbung tuak yang sedang diangkat ke atas.
Trakk...!
Zingngng...! Sinar putih perak itu setelah membentur bumbung tuak segera memantul balik, melesat ke pohon semula dan kembali ke arah Bandot Tembang.
Trak...!
Blarrr...! Sinar itu dipukul sendiri oleh Bandot Tembang memakai tongkatnya. Orang tua itu tersentak mundur dua tindak akibat gelombang ledakan tongkat dengan sinar tadi.
"Sinting bocah inil" geramnya bernada gumam. "Pukulanku bisa dikembalikan lebih cepat dan lebih besar?!"
"Bandot Tembang," kata Raja Nujum, "Kita tidak punya persoalan apa-apa, jadi tak perlu kita berselisih!"
"Kubilang tadi, sebutkan dulu ke mana arah kalian dan perlu apa kalian menuju arah itu?!"
"Apa kau penguasa gunung ini?!" tanya Raja Nujum menyindir.
Bandot Tembang menjawab, "Sejak Begawan Sangga Mega mati, akulah calon pengganti penguasa gunung ini! Setiap orang yang lewat harus meminta izin dariku!"
"Jika tidak, bagaimana?!"
"Kucabut napasnya! Tak kuizinkan lagi ia bernapas!"
"Haram jadah! Apakah kau punya hak atas hidup dan matinya seseorang?!" geram Raja Nujum.
Kini Pendekar Mabuk mulai angkat bicara dengan sikap kalemnya, "Ki Bandot Tembang, kami ingin menuju ke Kuil Swanalingga untuk melihat apa yang terjadi di sana."
"Yang jelas, di sana ada perebutan pedang pusaka peninggalan Begawan Sangga Mega! Jika kau mau ikut rebutan pedang itu, berarti kau harus kalahkan aku lebih dulu!" kata Bandot Tembang.
"Berarti kau sendiri akan ke arah sana, bukan?!" sahut Raja Nujum.
"Ya! Dan sudah kuduga kalian pasti akan ikut dalam rebutan Pedang Guntur Biru itu! Untuk memperingan beban, kalian kumusnahkan dulu di sini, jadi di sana tidak banyak bikin masalah lagi!"
"Minggirlah, Suto, biar kuhadapi dia!" bisik Raja Nujum.
Maka, Suto pun mengalah, dan ia bergeser ke samping, berdiri di bawah pohon dengan tubuh bersandar seenaknya. Santai.
"Sebutkan namamu, karena kita akan tentukan siapa yang mati lebih dulu!"
"Raja Nujum, namaku!"
"Baik! Terimalah awal kematianmu, Raja Nujum! Hiaah...!"
Bandot Tembang sentakkan tongkatnya ke arah samping. Dari tongkat itu keluar sinar berbentuk mata anak panah warnanya merah. Melesat menghantam pohon seolah-olah tiap pohon dijadikan tempat pantulan. Mata Raja Nujum terpaksa mengikuti gerakan itu agar tubuhnya tidak terhantam dari belakang.
Tak tak tak...! Gerakan sinar itu begitu cepat dan membingungkan. Kadang menukik, kadang naik. Gerakan pantulannya membentuk sudut tak tentu. Dan akhirnya mengarah kepada Raja Nujum dari samping kiri. Raja Nujum cepat membalikkan badan ke kiri sambil kibaskan kepala tongkatnya, wuttt...!
Darrr...! Mata anak panah yang merah berbentuk sinar itu pecah akibat hantaman bola kristal. Tetapi segera dapat dilihat di dalam bola kristal itu sinar merah tersebut masih bergerak ke sana-sini tempat berpantul dan sasarannya. Sampai akhirnya sinar kuning menyala dan bagai menelan sinar merah kecil itu. Zrubb...! Sinar kuning padam, sinar merah pun lenyap. Bola kristal kembali bening.
"Ha ha ha ha...!" Bandot Tembang justru tertawa melihatnya, ia manggut-manggut lalu berkata, "Itu baru jemputan nyawa pertama. Kurasa untukmu cukup dua kali jemputan saja, Raja Nujum! Hiaah...!"
Wuttt...! Melesat sinar biru yang seperti mata anak panah lagi. Gerakannya cepat memantul ke sana-sini. Dan, wuttt...! Keluar lagi sinar biru dari kepala tongkat Bandot Tembang, memantul lewat pohon lain. Dan, wwwuut...!
Lagi-lagi sinar biru keluar dari kepala tongkat dan bergerak cepat memantul ke sana-sini. Tiga sinar biru berkeliaran bagai saling kejar ke sana-sini, membingungkan Raja Nujum, ia sangka sinar pertama akan menyerangnya, ternyata justru memantul pada gugusan batu dan menjauh lagi. Sinar kedua akan mendekat, ternyata memantul lagi karena berbenturan dengan sinar biru yang sama dan tidak timbulkan ledakan.
Pendekar Mabuk membatin, "Hebat juga jurus ilmu seperti ini. Membingungkan orang yang diserang! Kasihan Raja Nujum, dia berputar-putar menunggu kesempatan diserang dan tak mau lengah karena serangan itu. Tapi, rasa-rasanya gerakan sinar biru itu semakin cepat semua! Bisa mati Raja Nujum terkena salah satu dari ketiga sinar biru itu!"
Maka, Pendekar Mabuk segera membuka tutup bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu dihadapkan ke arah sinar-sinar yang saling bersimpang-siur itu. Lalu, dengan satu sentakan kaki ke bumi, sinar-sinar itu tiba-tiba bergerak cepat ke arah mulut bumbung, dan masuk ketiganya ke sana dengan menimbulkan suara ngejos yang cukup keras.
Jrosss...! Asap mengepul dari mulut bumbung tuak. Tapi Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuak itu dan menentengnya kembali dengan santai. Bumbung itu telah berhasil menyedot ketiga sinar tersebut sehingga tak satu pun mengenai Raja Nujum.
Bandot Tembang mendelik melihat ketiga sinar tenaga dalamnya tersedot masuk ke dalam bumbung itu. Ia tak berkedip menatap Suto karena merasa baru kali ini ada orang yang melumpuhkan jurus 'Tiga Surya Bernyawa' itu. Biasanya salah satu dari sinar biru itu akan mengenai lawan setelah lawan berulang kali dibuat kecele oleh sinar-sinar lainnya.
"Bahaya juga anak muda itu?!" pikir Bandot Tembang. "Gurunya kebingungan, dia yang tenang-tenang bisa menyedot ketiga sinarku itu?! Kurang ajar dia...!"
Bandot Tembang dipandangi oleh dua orang, ia tak mau dianggap kalah, ia tak mau dilecehkan dengan cara mereka. Maka, ia pun segera mengalunkan tembang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam lebih tinggi dari yang pertama tadi,
Hening hati ditelan mati, rembulan lepaskan...
Belum habis sudah terpotong suara siulan Pendekar Mabuk, "Suuuittt !"
Cepat-cepat Bandot Tembang menutup telinganya, demikian pula Raja Nujum. Kemudian, suara tembang yang hilang itu berubah menjadi geram kemarahan yang belum bisa terlampiaskan. Maka, ia pun segera sentakkan kaki dan melesat pergi setelah ucapkan kata, "Kutunggu kalian di Kuil Swanalingga! Kita bertarung di sana!"
Wusss...! Bandot Tembang pergi dengan cepat. Pendekar Mabuk pandangi Raja Nujum yang masih menutup telinganya dengan mata terpejam kuat-kuat. Tapi menjadi terkejut ketika Suto menepak lengannya.
Plakkk...!
Matanya jadi terbelalak lebar ketika Suto berkata, "Dia telah kabur!"
"Hah...? Ke mana kaburnya? Kapan?"
"Tadi, saat kau pejamkan mata kuat-kuat!" jawab Pendekar Mabuk. Kemudian tawa Pendekar Mabuk pun terdengar. "Dia menantang kita di kuil sana, Raja Nujum! Haruskah dilayani?!"
Raja Nujum hanya mengangkat kedua pundaknya, lalu melangkah.
* * *
TUJUH
HALAMAN Kuil Swanalingga berlapis salju tanahnya. Di luar halaman itu tanah mulai berlapis darah. Barong Geni terkapar tanpa nyawa, juga tanpa jantung. Intan Selaksa tak berani memandangi jenazah saudara seperguruannya. Intan Selaksa sama sekali tak menyangka bahwa orang yang selama ini dihormati seperti menghormati gurunya sendiri, ternyata berhati keji. Mulanya Intan Selaksa menyangka, kedatangan Sambar Jantung untuk membela mempertahankan kuil tersebut dari jamahan tangan-tangan rakus.
Tetapi ternyata Sambar Jantung sendiri yang bertangan rakus. Hal itu diketahui oleh Intan Selaksa lewat ucapan si tua berkepala sedikit botak bagian depannya, pada saat ia berhadapan dengan Barong Geni. Waktu itu Barong Geni mengatakan, "Saya murid Begawan Sangga Mega, Eyang! Sekalipun saya sudah lama tinggalkan kuil ini, tapi saya masih berhak memiliki Pedang Guntur Biru itu!"
Sambar Jantung menyanggah, "Tidak bisa! Seorang murid murtad tidak layak memiliki pusaka seampuh Pedang Guntur Biru! Bahkan siapa pun tidak layak memilikinya kecuali aku!"
"Rakus juga Eyang ini sebenarnya?!"
"Peduli apa katamu, pedang itu harus kudapatkan! Minggir kau Barong Geni, jika tidak kau akan celaka seperti Gincu Mayat itu!"
"Jika memang Eyang sanggup, singkirkanlah saya bersama nyawa saya!" kata Barong Geni sengaja paksakan diri ucapkan kata begitu.
Intan Selaksa sendiri yang mendengar menjadi merinding penuh perasaan ngeri. Barong Geni dinilai terlalu ceroboh bicaranya. Apa yang diperkirakan Intan Selaksa memang benar. Barong Geni tak bisa menyentuh Eyang Sambar Jantung, karena orang itu selalu menggunakan jurus 'Angin Merapat'. Tak perlu sambangi lawan, dari tempatnya berdiri saja ia sudah bisa menghajar habis tubuh lawannya. Sampai akhirnya Barong Geni dirobek dadanya dan dirogoh jantungnya dengan amat mengerikan. Darah di tangan Eyang Sambar Jantung belum kering. Jantung milik Barong Geni belum dibuang, tiba-tiba sudah datang serangan yang amat mengejutkan.
Serangan itu bukan saja mengejutkan hati Sambar Jantung, namun juga mengejutkan hati Intan Selaksa. Eyang Sambar Jantung tiba-tiba saja terjungkal ke depan. Jantung yang dipegangnya terlepas entah ke mana. Tubuh tua itu bagai mainan anak-anak yang bisa mudah dijungkir-balikkan di atas tanah. Kepalanya sempat membentur bongkahan batu sebesar kelapa. Takkk...! Sambar Jantung meringis kesakitan. Untung tak sampai keluarkan darah dari kepala itu.
Intan Selaksa merasa heran melihat Sambar Jantung terpental ke sana-sini dan berjungkir balik tak karuan. Dari bawah sebuah pohon yang setengahnya digunakan untuk berlindung sewaktu-waktu itu, Intan Selaksa menyangka Sambar Jantung kumat penyakit ayannya. Tapi setelah Sambar Jantung berhasil berdiri lagi dan cepat pejamkan mata, maka Intan Selaksa tahu bahwa ada seseorang yang telah menyerang dari jarak jauh. Di mana orang itu, Intan Selaksa belum sempat temukan. Karena perhatiannya lebih tertarik ke arah Sambar Jantung.
Orang itu bergetar tubuhnya, seperti sedang menahan sesuatu. Tangannya yang berdarah itu bergerak pelan-pelan merentang ke depan. Lalu dengan sentakan keras, Sambar Jantung kibaskan kedua tangannya ke atas seperti orang memercikkan air di dalam kolam. Wusss...!Kejap berikutnya, dari balik semak-semak berjarak sepuluh langkah lebih itu meluncurlah sesosok tubuh berjubah ungu, melayang terbang tanpa kendali, ia terlempar tinggi.
Pada saat itu kedua tangan Sambar Jantung bergerak menarik diri, dan tubuh yang melayang itu tertarik dengan cepat, kemudian jatuh tak berapa jauh dari dinding pagar halaman kuil. Hampir saja tubuh itu membentur dinding tersebut jika kakinya tidak segera menghadang dan menyentak ke dinding pagar. Brukk...! Jatuh juga orang itu, namun ia cepat berdiri dengan sikap tegak dan menantang. Orang itu dikenal Intan Selaksa sebagai perempuan yang dibencinya, namun Intan Selaksa kalah melawannya. Siapa lagi kalau bukan Dewi Kelambu Darah?
"Setan betina! Kau ikut campur juga dalam urusan ini, hah?!" hardik Sambar Jantung.
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum sinis, lalu ucapkan kata, "Siapa pun tokoh tua di rimba persilatan pasti akan ikut campur, Tua jompo! Siapa orangnya yang tidak tertarik dengan pedang pusaka yang bisa mengirimkan serangannya dari jarak cukup jauh? Siapa orangnya yang tidak tertarik dengan pedang yang bisa bikin kebal tubuh pemegangnya? Kurasa semua tokoh akan hadir di sini untuk memperebutkan Pedang Guntur Biru."
"Ya, memang! Tapi mereka akan kecele, sebab aku sudah lebih dulu membawanya lari! He he he he...!"
"Apa yang akan kau bawa lari itu, Sambar Jantung? Pedang atau tahi kucing?! Hmm...!" Dewi Kelambu Darah mencibir. "Membawa lari Pedang Guntur Biru tidak semudah membawa lari tahi kucing, Tua jompo!"
Sambar Jantung malahan tertawa geli dan berkata, "Kalau yang kubawa tahi kucing, jelas akan kulemparkan ke wajahmu, Dewi Kelambu Darah! Untuk apa kubawa lari?! Kau ini ada-ada saja!"
"Karena kau terlalu menganggap enteng bisa membawa lari pedang pusaka itu! Apakah kau tak perhitungkan bahwa kau harus kalahkan aku lebih dulu dan itu hal yang paling sulit, bahkan teramat sulit ketimbang kau jungkir-balikkan gunung ini?!"
Sambar Jantung mencibir sambil kekehkan tawa tua, lalu berkata, "Ilmu setinggi pohon tomat saja disombongkan?! Hmm...! Apa yang bisa kau perbuat dengan ilmu sedangkal itu, Kelambu Darah? Hanya buat main-main saja, memang bagus dan menarik! Tapi untuk mengalahkan ilmu yang kumiliki, oooh... masih sangat jauh, Nak! Jauh sekali! Saking jauhnya tidak akan terlihat sedikitpun!"
Panas hati Dewi Kelambu Darah mendengar hinaan seperti itu. Matanya yang sedikit lebar tapi berbentuk indah itu menatap tajam pada Sambar Jantung. Bulu matanya lentik, bening bagian bola matanya, tepiannya berwarna sedikit hitam tampak galak, sangat indah dan serasi dengan bentuk hidungnya yang bangir. Tapi mata indah itu adalah mata maut. Sangat berbahaya bagi lawan.
Buktinya hanya dengan menatap tajam-tajam saja, tubuh Sambar Jantung tersentak ke belakang secara tiba-tiba. Hampir saja terlempar sangat jauh kalau Sambar Jantung tidak cepat-cepat menahan diri dengan cara menahan napas, merendahkan kuda-kudanya, menggerakkan tangannya dengan keras dan kaku, lalu menyentakkan tangan itu ke depan. Kini tubuh Dewi Kelambu Darah yang terpelanting jatuh.
Brukkk...!
Sambar Jantung terkekeh dengan tawa tuanya, maju beberapa tindak dalam langkah kemenangan atas adu kekuatan yang baru saja terjadi itu. Bahkan ia serukan kata yang memanaskan telinga, "Belajar lagi, Nak! Biar kamu jadi anak yang pintar dan sakti, serta bisa kalahkan Eyang! Kalau perlu, makan kotoran kambing biar bisa mengembik, makan kotoran anjing biar bisa melolong, dan... kalau mau sakti seperti aku ya makan saja"
Fuih...! Dewi Kelambu Darah sentakkan napas melalui hidungnya dalam jarak tujuh langkah. Tiba-tiba Sambar Jantung terbungkuk ke depan sambil memegangi dadanya. Wajah menjadi merah bagai menahan rasa sakit yang luar biasa. Kesempatan itu digunakan Kelambu Darah untuk menggerakkan kepalanya ke kiri dalam satu sentakan.
Wuttt!
Tubuh Sambar Jantung tersentak ke samping, bagai sampah dilemparkan begitu saja. Dugg...! Kepalanya membentur dinding pagar yang keras itu. Ia sempat terpekik dengan napas tertahan, "Huggh.!"
Brukk! Tubuhnya jatuh seperti nangka busuk. Tapi cepat-cepat ia berdiri setengah kaki dan menamparkan tangannya kedepan. Wuttt!
Plakk! Dalam jarak sudah lebih dari tujuh langkah, wajah Dewi Kelambu Darah tertampar keras tanpa tersentuh tangan lawan. Kerasnya tamparan membuat Kelambu Darah terpelanting ke kiri, dan pipinya menjadi memar merah.
"Kurasa Eyang Sambar Jantung bisa kalah dengan Dewi Kelambu Darah!" pikir Intan Selaksa dari tempatnya menjauh. "Perempuan itu tanpa gerakan tangan bisa menendang, memukul, menampar, melempar, dan mungkin juga bisa mencekik leher lawannya. Sedangkan Eyang Sambar Jantung bisa melakukan hal seperti itu jika ia gerakkan tangannya, ia tak bisa menggunakan kekuatan mata seperti yang dimiliki Dewi Kelambu Darah itu. Hmmm...! Siapa yang menang, aku tak perlu tahu. Karena siapa pun pemenang pertarungan ini, tetap saja ia mengincar pedang pusaka itu! Dengan kata lain, dia akan mengincarku, karena akulah yang memegang kunci kamar Cipta Hening! Haruskah aku menyerahkan kunci itu jika nyawaku terancam? Oh, tidak! Aku lebih baik melarikan diri sejauh mungkin dan bersembunyi! Kalau keadaan terpaksa sekali, biarlah aku mati tapi kunci kamar itu tak akan kuserahkan kepada siapa pun, seperti pesan Guru sebelum wafat. Kalau keadaan terpaksa sekali, aku harus bisa melawan mereka sebatas kemampuan yang ada, sampai aku mati! Tapi... kalau kunci kamar masih tetap ada ditubuhku, mereka akan temukan setelah aku mati dibunuhnya! Jadi, sebaiknya kusimpan dulu kunci ini di suatu tempat! Hmmm... tapi di mana aku harus menyimpannya? Dalam keadaan seperti ini, jelas mereka akan curiga dan akan kejar aku jika aku lari untuk sembunyikan kunci kamar ini!"
Sambar Jantung tetap bertahan dari serangan mata maut Dewi Kelambu Darah. Mereka bertarung dengan sesekali saling hina dan membuat kedua hati bertambah panas. Tanpa diketahui oleh mereka ternyata kamar yang diduga sebagai tempat penyimpanan pedang pusaka saat itu sedang disambangi seseorang, kamar itu didekati dengan gerakan yang gesit dan tanpa suara.
Seorang perempuan judes berwajah cantik sedang memeriksa keadaan sekeliling depan kamar Cipta Hening. Perempuan bermahkota kecil dengan mengenakan gelang lempengan di kedua lengannya itu tak lain adalah Ratu Teluh Bumi. Ia berhasil menyusup masuk ke dalam halaman Kuil Swanalingga melalui bagian samping. Lompatannya cukup tinggi dan ringan, sehingga ia berbasil mendekati kamar tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun.
"Ruang depan itu pasti ruang pemujaan, dan kamar inilah pasti yang dinamakan kamar Cipta Hening. Karena menurut desas-desus pusaka itu tersimpan di salah satu kamar yang ada di dekat ruang pemujaan. Di sini ada satu kamar, hanya kamar ini! Hmmm... ya! Terlihat pintunya begitu kokoh dan..."
Tangan yang ingin meraba pintu itu tiba-tiba ditarik. Tak sadar mulut Ratu Teluh Bumi berucap, "Ets, ada racunnya?!"
Kemudian tangan itu meraba tapi tak sampai menempel di daun pintu itu. Tangan itu merasakan ada hawa gatal yang terpancar dari lapisan pintu tersebut. Ratu Teluh Bumi segera ucapkan kata lirih,
"Hmm... tak mungkin dijinakkan racun ini! Bahaya sekali jika tersentuh kulit sedikit pun. Jika begitu, pasti ada alat lain yang bisa digunakan untuk membuka pintu ini! Tak mungkin Begawan Sangga Mega dan muridnya bisa menyentuh pintu ini tanpa terkena racunnya, karena tak ada tempat pegangan tangan untuk membuka pintu ini!"
Mata Ratu Teluh Bumi menyusuri tiap dinding batu yang ada di sekitar pintu. Tapi tak ditemukan susunan batu yang bisa dicurigai sebagai kunci pembuka pintu tersebut. "Sepertinya harus didobrak dengan kekuatan ilmu tinggi!" kembali Ratu Teluh ucapkan kata lirihnya. Maka, ia pun segera undurkan langkah lima tindak. Dari sana ia melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh melalui telapak tangan kanannya.
Wusssh...! Beeng...!
Pintu tak terguncang sedikit pun. Suara yang timbul akibat benturan pukulan tenaga dalam itu tak seberapa keras. Sepertinya suara yang mestinya menggelegar itu teredam oleh ketebalan pintu itu.
"Pukulan 'Elang Santet' tak bisa menjebolkannya. Padahal biasanya baja setebal apa pun bisa kujebol dengan pukulan 'Elang Santet'! Hmmm... kalau begitu aku harus gunakan jurus 'Lintah Sakti'! Membelah gunung pun sanggup dengan jurus 'Lintah Sakti', apalagi hanya pintu sekeras itu!"
Jurus 'Lintah Sakti' keluar dari kesepuluh jari Ratu Teluh Bumi. Kedua tangannya yang diangkat ke atas itu membentuk cakar dan menyentak keras hingga pancarkan sinar merah membara ke arah pintu itu. Sepuluh sinar merah keluar dari tiap jari tangan Ratu Teluh. Biasanya pintu akan lumer, atau jebol dalam satu ledakan yang teramat kuat. Tetapi sinar merah sepuluh bias itu masih belum membuat pintu menjadi lumer atau hangus sedikit pun. Malahan timbul sinar biru yang mengelilingi tepian pintu.
Ratu Teluh Bumi terkejut melihat sinar biru mengelilingi pintu, ia membatin, "Sinarnya siapa itu?"
Ratu Teluh Bumi palingkan wajah ke kiri selesai menghentikan pukulan 'Lintah Sakti'-nya. Ternyata di sana ada seraut wajah tua berjubah abu-abu. Orang itu sedang tudingkan kepala tongkatnya ke arah pintu, dari tongkatnya itu keluar sinar biru mengelilingi pintu tersebut. Sinar itu padam ketika sinar merah 'Lintah Sakti' pun padam. Ternyata pintu tetap kokoh tak bergeming.
"Setan kurap!" geram Ratu Teluh Bumi sambil mengarahkan badan ke lelaki tua bertongkat burung hantu itu.
"Kubantu kau menjebolkan pintu itu!"
"Persetan dengan bantuanmu! Aku mampu lakukan sendiri!" gertak Ratu Teluh Bumi. "Sebaiknya cepat tinggalkan aku sendirian di sini, Bandot Tembang!"
Si Bandot Tembang malahan sunggingkan senyumnya. Ratu Teluh Bumi mendengus muak. Bandot Tembang ucapkan kata dengan nada pelan, "Aku akan membantumu untuk mendapatkan pusaka itu! Tapi dengan catatan, kau harus mau mengakui kekalahanmu dan tunduk padaku! Karena gurumu pun sudah dibunuh oleh guruku."
"Dan gurumu sudah kubunuh sendiri!" sahut Ratu Teluh Bumi. "Mana mungkin aku tunduk kepada muridnya jika gurunya sendiri kubantai tanpa ampun, hah?!"
Bandot Tembang bagai disiram air panas wajahnya. Mulai tampak merah menahan marah. Terbayang kematian gurunya yang sungguh mengerikan. Sekalipun peristiwa itu terjadi sekian puluh tahun yang lalu, tetapi Bandot Tembang masih tetap ingat, ia yang pertama kali menemukan potongan tangan gurunya, kemudian bagian-bagian tubuh lainnya ditemukan keesokan harinya, ia tahu gurunya bertarung dengan Ratu Teluh Bumi, tapi waktu itu ia tak bisa berbuat apa-apa karena Guru memenjarakannya di atas pohon. Tak ada yang bisa menyentuhnya karena ia dilapisi kekuatan anti pukulan tenaga dalam apa pun. Ia digantung dengan kepala di bawah karena tindakan yang dianggap sesat oleh sang Guru.
"Bandot Tembang! Jika kau mau tinggalkan aku sendirian di sini, umurmu akan panjang. Tapi jika kau tetap ingin menggangguku, kau akan menyusul gurumu secepatnya!"
"Mulut betinamu cukup kotor bagiku, Ratu Teluh! Sebaiknya kususulkan saja nyawamu sendiri agar bisa minta bantuan gurumu untuk membukakan pintu itu. Hiiah...!"
Bandot Tembang meremas sendiri tongkatnya sampai tangannya mengeluarkan otot dan gemetaran. Dari ukiran mata burung hantu di kepala tongkat meluncurkan cahaya sinar kuning dua buah. Memanjang dan menjadi satu di ujungnya. Sinar itu menembus dada Ratu Teluh Bumi tujuannya. Tapi jari telunjuk Ratu Teluh Bumi cepat dihadangkan di depan dada. Sinar kuning itu tepat mengenai ujung jari telunjuk.
Rupanya sinar itu sedang ditangkis oleh Ratu Teluh Bumi dengan ujung telunjuknya dan berusaha dilawan kekuatannya hingga kedua kaki Ratu Teluh Bumi gemetaran. Kedua tubuh itu sama-sama gemetar. Gerakan sinar juga makin menipis. Kejap berikutnya sinar kuning itu hilang seketika bagai tersedot telunjuk Ratu Teluh Bumi.
Zlubb...!
Tetapi pada saat itu pula telapak tangan Ratu Teluh Bumi menjadi menyala kuning. Telapak tangan itu segera dihentakkan ke depan dan melesatlah sinar kuning itu berupa gumpalan bola yang bergerak dengan cepat.
Wuttt...!
Bandot Tembang menghadangkan kepala tongkatnya, sehingga bola kuning menyala-nyala itu menghantam kepala tongkat itu dengan keras.
Blarrr...!
Ledakannya begitu keras dan timbulkan gelombang hawa panas yang menyentak sangat kuat. Tubuh Bandot Tembang terlempar ke belakang dan terguling-guling hingga keluar dari ruang pemujaan, sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi terpental pula hingga membentur dinding tepi pintu. Kalau saja saat itu punggungnya membentur pintu kamar Cipta Hening, pasti Ratu Teluh celaka, karena racun pintu itu akan menempel di punggungnya.
Ia sangat beruntung karena punggungnya membentur batuan dinding samping pintu. Tulang punggungnya terasa mau patah. Sakit sekali. Tapi dengan cepat ia berhasil mengatasi rasa sakit itu, hanya menggunakan hirupan napas panjang dan menahannya di dada beberapa hitungan, ia sudah bisa berdiri kembali dan cepat berlari untuk menyerang Bandot Tembang yang terbungkuk-bungkuk di pelataran kuil memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Hiaaat...!" Ratu Teluh Bumi pekikkan suaranya sambil melompat terbang ke arah Bandot Tembang yang sedang berusaha bangkit.
Buhgg...!
Dada Bandot Tembang terkena tendangan kaki yang melompat itu. Tendangan tersebut jelas dialiri tenaga dalam cukup besar, sehingga membuat Bandot Tembang terlempar tubuhnya, menghantam pintu gerbang kuil yang terbuka separo itu. Pintu tersebut jebol dan tubuh Bandot Tembang terpuruk jatuh tepat di depan kaki Sambar Jantung.
Pertarungan Sambar Jantung dengan Dewi Kelambu Darah terhenti. Mereka, juga Intan Selaksa, terkejut melihat dua orang keluar dari halaman Kuil Swanalingga. Mereka tampak cemas dan ada kekhawatiran kalau-kalau Pedang Guntur Biru sudah berada di tangan mereka. Tapi setelah mata mereka memeriksa sekilas keadaan Ratu Teluh Bumi dan Bandot Tembang, mereka menjadi lega karena tak satu pun dari mereka yang memegang Pedang Guntur Biru.
"Oh, ternyata Ratu Teluh Bumi yang jahat itu juga hadir di sini?" pikir Intan Selaksa. "Lalu, siapa lagi tokoh tua yang memuntahkan darah dan terlempar dari dalam itu?! Aku belum mengenalinya, tapi aku yakin dia pasti berilmu tinggi. Hmmm...! Empat orang sakti sudah ada di sini. Bakalan hancur tubuhku kalau tak cepat melarikan diri. Tak ada yang sanggup kulawan satu pun dari mereka. Karena kulihat orang yang terlempar itu sudah berdiri lagi dengan tegak, sepertinya tak pernah mendapat pukulan hebat dari lawannya!"
"Bandot Tembang...?! Rupanya sejak tadi kau sudah ada di dalam kuil itu, hah?! Kurang ajar!" geram Sambar Jantung menggeram.
"Aku juga tak sangka kalau Ratu Teluh pun sudah ada di dalam sana," sahut Dewi Kelambu Darah. "Kalian mencari pedang atau sama-sama menggunakan kesempatan untuk bercinta?"
"Tutup mulutmu, Kelambu robek!" bentak Ratu Teluh Bumi dengan gusar.
"Hei, tahan dulu!" seru Sambar Jantung. "Gadis itu melarikan diri. Dia pemegang kunci kamar pusaka tersebut!"
"Mau lari ke mana anak celeng itu, hiaaah...!" Ratu Teluh Bumi segera sentakkan kaki dan ia melesat pergi mengejar Intan Selaksa.
Melihat Ratu Teluh mengejar Intan, yang lain pun ikut mengejarnya dengan gusar.
Tetapi ternyata Sambar Jantung sendiri yang bertangan rakus. Hal itu diketahui oleh Intan Selaksa lewat ucapan si tua berkepala sedikit botak bagian depannya, pada saat ia berhadapan dengan Barong Geni. Waktu itu Barong Geni mengatakan, "Saya murid Begawan Sangga Mega, Eyang! Sekalipun saya sudah lama tinggalkan kuil ini, tapi saya masih berhak memiliki Pedang Guntur Biru itu!"
Sambar Jantung menyanggah, "Tidak bisa! Seorang murid murtad tidak layak memiliki pusaka seampuh Pedang Guntur Biru! Bahkan siapa pun tidak layak memilikinya kecuali aku!"
"Rakus juga Eyang ini sebenarnya?!"
"Peduli apa katamu, pedang itu harus kudapatkan! Minggir kau Barong Geni, jika tidak kau akan celaka seperti Gincu Mayat itu!"
"Jika memang Eyang sanggup, singkirkanlah saya bersama nyawa saya!" kata Barong Geni sengaja paksakan diri ucapkan kata begitu.
Intan Selaksa sendiri yang mendengar menjadi merinding penuh perasaan ngeri. Barong Geni dinilai terlalu ceroboh bicaranya. Apa yang diperkirakan Intan Selaksa memang benar. Barong Geni tak bisa menyentuh Eyang Sambar Jantung, karena orang itu selalu menggunakan jurus 'Angin Merapat'. Tak perlu sambangi lawan, dari tempatnya berdiri saja ia sudah bisa menghajar habis tubuh lawannya. Sampai akhirnya Barong Geni dirobek dadanya dan dirogoh jantungnya dengan amat mengerikan. Darah di tangan Eyang Sambar Jantung belum kering. Jantung milik Barong Geni belum dibuang, tiba-tiba sudah datang serangan yang amat mengejutkan.
Serangan itu bukan saja mengejutkan hati Sambar Jantung, namun juga mengejutkan hati Intan Selaksa. Eyang Sambar Jantung tiba-tiba saja terjungkal ke depan. Jantung yang dipegangnya terlepas entah ke mana. Tubuh tua itu bagai mainan anak-anak yang bisa mudah dijungkir-balikkan di atas tanah. Kepalanya sempat membentur bongkahan batu sebesar kelapa. Takkk...! Sambar Jantung meringis kesakitan. Untung tak sampai keluarkan darah dari kepala itu.
Intan Selaksa merasa heran melihat Sambar Jantung terpental ke sana-sini dan berjungkir balik tak karuan. Dari bawah sebuah pohon yang setengahnya digunakan untuk berlindung sewaktu-waktu itu, Intan Selaksa menyangka Sambar Jantung kumat penyakit ayannya. Tapi setelah Sambar Jantung berhasil berdiri lagi dan cepat pejamkan mata, maka Intan Selaksa tahu bahwa ada seseorang yang telah menyerang dari jarak jauh. Di mana orang itu, Intan Selaksa belum sempat temukan. Karena perhatiannya lebih tertarik ke arah Sambar Jantung.
Orang itu bergetar tubuhnya, seperti sedang menahan sesuatu. Tangannya yang berdarah itu bergerak pelan-pelan merentang ke depan. Lalu dengan sentakan keras, Sambar Jantung kibaskan kedua tangannya ke atas seperti orang memercikkan air di dalam kolam. Wusss...!Kejap berikutnya, dari balik semak-semak berjarak sepuluh langkah lebih itu meluncurlah sesosok tubuh berjubah ungu, melayang terbang tanpa kendali, ia terlempar tinggi.
Pada saat itu kedua tangan Sambar Jantung bergerak menarik diri, dan tubuh yang melayang itu tertarik dengan cepat, kemudian jatuh tak berapa jauh dari dinding pagar halaman kuil. Hampir saja tubuh itu membentur dinding tersebut jika kakinya tidak segera menghadang dan menyentak ke dinding pagar. Brukk...! Jatuh juga orang itu, namun ia cepat berdiri dengan sikap tegak dan menantang. Orang itu dikenal Intan Selaksa sebagai perempuan yang dibencinya, namun Intan Selaksa kalah melawannya. Siapa lagi kalau bukan Dewi Kelambu Darah?
"Setan betina! Kau ikut campur juga dalam urusan ini, hah?!" hardik Sambar Jantung.
Dewi Kelambu Darah sunggingkan senyum sinis, lalu ucapkan kata, "Siapa pun tokoh tua di rimba persilatan pasti akan ikut campur, Tua jompo! Siapa orangnya yang tidak tertarik dengan pedang pusaka yang bisa mengirimkan serangannya dari jarak cukup jauh? Siapa orangnya yang tidak tertarik dengan pedang yang bisa bikin kebal tubuh pemegangnya? Kurasa semua tokoh akan hadir di sini untuk memperebutkan Pedang Guntur Biru."
"Ya, memang! Tapi mereka akan kecele, sebab aku sudah lebih dulu membawanya lari! He he he he...!"
"Apa yang akan kau bawa lari itu, Sambar Jantung? Pedang atau tahi kucing?! Hmm...!" Dewi Kelambu Darah mencibir. "Membawa lari Pedang Guntur Biru tidak semudah membawa lari tahi kucing, Tua jompo!"
Sambar Jantung malahan tertawa geli dan berkata, "Kalau yang kubawa tahi kucing, jelas akan kulemparkan ke wajahmu, Dewi Kelambu Darah! Untuk apa kubawa lari?! Kau ini ada-ada saja!"
"Karena kau terlalu menganggap enteng bisa membawa lari pedang pusaka itu! Apakah kau tak perhitungkan bahwa kau harus kalahkan aku lebih dulu dan itu hal yang paling sulit, bahkan teramat sulit ketimbang kau jungkir-balikkan gunung ini?!"
Sambar Jantung mencibir sambil kekehkan tawa tua, lalu berkata, "Ilmu setinggi pohon tomat saja disombongkan?! Hmm...! Apa yang bisa kau perbuat dengan ilmu sedangkal itu, Kelambu Darah? Hanya buat main-main saja, memang bagus dan menarik! Tapi untuk mengalahkan ilmu yang kumiliki, oooh... masih sangat jauh, Nak! Jauh sekali! Saking jauhnya tidak akan terlihat sedikitpun!"
Panas hati Dewi Kelambu Darah mendengar hinaan seperti itu. Matanya yang sedikit lebar tapi berbentuk indah itu menatap tajam pada Sambar Jantung. Bulu matanya lentik, bening bagian bola matanya, tepiannya berwarna sedikit hitam tampak galak, sangat indah dan serasi dengan bentuk hidungnya yang bangir. Tapi mata indah itu adalah mata maut. Sangat berbahaya bagi lawan.
Buktinya hanya dengan menatap tajam-tajam saja, tubuh Sambar Jantung tersentak ke belakang secara tiba-tiba. Hampir saja terlempar sangat jauh kalau Sambar Jantung tidak cepat-cepat menahan diri dengan cara menahan napas, merendahkan kuda-kudanya, menggerakkan tangannya dengan keras dan kaku, lalu menyentakkan tangan itu ke depan. Kini tubuh Dewi Kelambu Darah yang terpelanting jatuh.
Brukkk...!
Sambar Jantung terkekeh dengan tawa tuanya, maju beberapa tindak dalam langkah kemenangan atas adu kekuatan yang baru saja terjadi itu. Bahkan ia serukan kata yang memanaskan telinga, "Belajar lagi, Nak! Biar kamu jadi anak yang pintar dan sakti, serta bisa kalahkan Eyang! Kalau perlu, makan kotoran kambing biar bisa mengembik, makan kotoran anjing biar bisa melolong, dan... kalau mau sakti seperti aku ya makan saja"
Fuih...! Dewi Kelambu Darah sentakkan napas melalui hidungnya dalam jarak tujuh langkah. Tiba-tiba Sambar Jantung terbungkuk ke depan sambil memegangi dadanya. Wajah menjadi merah bagai menahan rasa sakit yang luar biasa. Kesempatan itu digunakan Kelambu Darah untuk menggerakkan kepalanya ke kiri dalam satu sentakan.
Wuttt!
Tubuh Sambar Jantung tersentak ke samping, bagai sampah dilemparkan begitu saja. Dugg...! Kepalanya membentur dinding pagar yang keras itu. Ia sempat terpekik dengan napas tertahan, "Huggh.!"
Brukk! Tubuhnya jatuh seperti nangka busuk. Tapi cepat-cepat ia berdiri setengah kaki dan menamparkan tangannya kedepan. Wuttt!
Plakk! Dalam jarak sudah lebih dari tujuh langkah, wajah Dewi Kelambu Darah tertampar keras tanpa tersentuh tangan lawan. Kerasnya tamparan membuat Kelambu Darah terpelanting ke kiri, dan pipinya menjadi memar merah.
"Kurasa Eyang Sambar Jantung bisa kalah dengan Dewi Kelambu Darah!" pikir Intan Selaksa dari tempatnya menjauh. "Perempuan itu tanpa gerakan tangan bisa menendang, memukul, menampar, melempar, dan mungkin juga bisa mencekik leher lawannya. Sedangkan Eyang Sambar Jantung bisa melakukan hal seperti itu jika ia gerakkan tangannya, ia tak bisa menggunakan kekuatan mata seperti yang dimiliki Dewi Kelambu Darah itu. Hmmm...! Siapa yang menang, aku tak perlu tahu. Karena siapa pun pemenang pertarungan ini, tetap saja ia mengincar pedang pusaka itu! Dengan kata lain, dia akan mengincarku, karena akulah yang memegang kunci kamar Cipta Hening! Haruskah aku menyerahkan kunci itu jika nyawaku terancam? Oh, tidak! Aku lebih baik melarikan diri sejauh mungkin dan bersembunyi! Kalau keadaan terpaksa sekali, biarlah aku mati tapi kunci kamar itu tak akan kuserahkan kepada siapa pun, seperti pesan Guru sebelum wafat. Kalau keadaan terpaksa sekali, aku harus bisa melawan mereka sebatas kemampuan yang ada, sampai aku mati! Tapi... kalau kunci kamar masih tetap ada ditubuhku, mereka akan temukan setelah aku mati dibunuhnya! Jadi, sebaiknya kusimpan dulu kunci ini di suatu tempat! Hmmm... tapi di mana aku harus menyimpannya? Dalam keadaan seperti ini, jelas mereka akan curiga dan akan kejar aku jika aku lari untuk sembunyikan kunci kamar ini!"
Sambar Jantung tetap bertahan dari serangan mata maut Dewi Kelambu Darah. Mereka bertarung dengan sesekali saling hina dan membuat kedua hati bertambah panas. Tanpa diketahui oleh mereka ternyata kamar yang diduga sebagai tempat penyimpanan pedang pusaka saat itu sedang disambangi seseorang, kamar itu didekati dengan gerakan yang gesit dan tanpa suara.
Seorang perempuan judes berwajah cantik sedang memeriksa keadaan sekeliling depan kamar Cipta Hening. Perempuan bermahkota kecil dengan mengenakan gelang lempengan di kedua lengannya itu tak lain adalah Ratu Teluh Bumi. Ia berhasil menyusup masuk ke dalam halaman Kuil Swanalingga melalui bagian samping. Lompatannya cukup tinggi dan ringan, sehingga ia berbasil mendekati kamar tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun.
"Ruang depan itu pasti ruang pemujaan, dan kamar inilah pasti yang dinamakan kamar Cipta Hening. Karena menurut desas-desus pusaka itu tersimpan di salah satu kamar yang ada di dekat ruang pemujaan. Di sini ada satu kamar, hanya kamar ini! Hmmm... ya! Terlihat pintunya begitu kokoh dan..."
Tangan yang ingin meraba pintu itu tiba-tiba ditarik. Tak sadar mulut Ratu Teluh Bumi berucap, "Ets, ada racunnya?!"
Kemudian tangan itu meraba tapi tak sampai menempel di daun pintu itu. Tangan itu merasakan ada hawa gatal yang terpancar dari lapisan pintu tersebut. Ratu Teluh Bumi segera ucapkan kata lirih,
"Hmm... tak mungkin dijinakkan racun ini! Bahaya sekali jika tersentuh kulit sedikit pun. Jika begitu, pasti ada alat lain yang bisa digunakan untuk membuka pintu ini! Tak mungkin Begawan Sangga Mega dan muridnya bisa menyentuh pintu ini tanpa terkena racunnya, karena tak ada tempat pegangan tangan untuk membuka pintu ini!"
Mata Ratu Teluh Bumi menyusuri tiap dinding batu yang ada di sekitar pintu. Tapi tak ditemukan susunan batu yang bisa dicurigai sebagai kunci pembuka pintu tersebut. "Sepertinya harus didobrak dengan kekuatan ilmu tinggi!" kembali Ratu Teluh ucapkan kata lirihnya. Maka, ia pun segera undurkan langkah lima tindak. Dari sana ia melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh melalui telapak tangan kanannya.
Wusssh...! Beeng...!
Pintu tak terguncang sedikit pun. Suara yang timbul akibat benturan pukulan tenaga dalam itu tak seberapa keras. Sepertinya suara yang mestinya menggelegar itu teredam oleh ketebalan pintu itu.
"Pukulan 'Elang Santet' tak bisa menjebolkannya. Padahal biasanya baja setebal apa pun bisa kujebol dengan pukulan 'Elang Santet'! Hmmm... kalau begitu aku harus gunakan jurus 'Lintah Sakti'! Membelah gunung pun sanggup dengan jurus 'Lintah Sakti', apalagi hanya pintu sekeras itu!"
Jurus 'Lintah Sakti' keluar dari kesepuluh jari Ratu Teluh Bumi. Kedua tangannya yang diangkat ke atas itu membentuk cakar dan menyentak keras hingga pancarkan sinar merah membara ke arah pintu itu. Sepuluh sinar merah keluar dari tiap jari tangan Ratu Teluh. Biasanya pintu akan lumer, atau jebol dalam satu ledakan yang teramat kuat. Tetapi sinar merah sepuluh bias itu masih belum membuat pintu menjadi lumer atau hangus sedikit pun. Malahan timbul sinar biru yang mengelilingi tepian pintu.
Ratu Teluh Bumi terkejut melihat sinar biru mengelilingi pintu, ia membatin, "Sinarnya siapa itu?"
Ratu Teluh Bumi palingkan wajah ke kiri selesai menghentikan pukulan 'Lintah Sakti'-nya. Ternyata di sana ada seraut wajah tua berjubah abu-abu. Orang itu sedang tudingkan kepala tongkatnya ke arah pintu, dari tongkatnya itu keluar sinar biru mengelilingi pintu tersebut. Sinar itu padam ketika sinar merah 'Lintah Sakti' pun padam. Ternyata pintu tetap kokoh tak bergeming.
"Setan kurap!" geram Ratu Teluh Bumi sambil mengarahkan badan ke lelaki tua bertongkat burung hantu itu.
"Kubantu kau menjebolkan pintu itu!"
"Persetan dengan bantuanmu! Aku mampu lakukan sendiri!" gertak Ratu Teluh Bumi. "Sebaiknya cepat tinggalkan aku sendirian di sini, Bandot Tembang!"
Si Bandot Tembang malahan sunggingkan senyumnya. Ratu Teluh Bumi mendengus muak. Bandot Tembang ucapkan kata dengan nada pelan, "Aku akan membantumu untuk mendapatkan pusaka itu! Tapi dengan catatan, kau harus mau mengakui kekalahanmu dan tunduk padaku! Karena gurumu pun sudah dibunuh oleh guruku."
"Dan gurumu sudah kubunuh sendiri!" sahut Ratu Teluh Bumi. "Mana mungkin aku tunduk kepada muridnya jika gurunya sendiri kubantai tanpa ampun, hah?!"
Bandot Tembang bagai disiram air panas wajahnya. Mulai tampak merah menahan marah. Terbayang kematian gurunya yang sungguh mengerikan. Sekalipun peristiwa itu terjadi sekian puluh tahun yang lalu, tetapi Bandot Tembang masih tetap ingat, ia yang pertama kali menemukan potongan tangan gurunya, kemudian bagian-bagian tubuh lainnya ditemukan keesokan harinya, ia tahu gurunya bertarung dengan Ratu Teluh Bumi, tapi waktu itu ia tak bisa berbuat apa-apa karena Guru memenjarakannya di atas pohon. Tak ada yang bisa menyentuhnya karena ia dilapisi kekuatan anti pukulan tenaga dalam apa pun. Ia digantung dengan kepala di bawah karena tindakan yang dianggap sesat oleh sang Guru.
"Bandot Tembang! Jika kau mau tinggalkan aku sendirian di sini, umurmu akan panjang. Tapi jika kau tetap ingin menggangguku, kau akan menyusul gurumu secepatnya!"
"Mulut betinamu cukup kotor bagiku, Ratu Teluh! Sebaiknya kususulkan saja nyawamu sendiri agar bisa minta bantuan gurumu untuk membukakan pintu itu. Hiiah...!"
Bandot Tembang meremas sendiri tongkatnya sampai tangannya mengeluarkan otot dan gemetaran. Dari ukiran mata burung hantu di kepala tongkat meluncurkan cahaya sinar kuning dua buah. Memanjang dan menjadi satu di ujungnya. Sinar itu menembus dada Ratu Teluh Bumi tujuannya. Tapi jari telunjuk Ratu Teluh Bumi cepat dihadangkan di depan dada. Sinar kuning itu tepat mengenai ujung jari telunjuk.
Rupanya sinar itu sedang ditangkis oleh Ratu Teluh Bumi dengan ujung telunjuknya dan berusaha dilawan kekuatannya hingga kedua kaki Ratu Teluh Bumi gemetaran. Kedua tubuh itu sama-sama gemetar. Gerakan sinar juga makin menipis. Kejap berikutnya sinar kuning itu hilang seketika bagai tersedot telunjuk Ratu Teluh Bumi.
Zlubb...!
Tetapi pada saat itu pula telapak tangan Ratu Teluh Bumi menjadi menyala kuning. Telapak tangan itu segera dihentakkan ke depan dan melesatlah sinar kuning itu berupa gumpalan bola yang bergerak dengan cepat.
Wuttt...!
Bandot Tembang menghadangkan kepala tongkatnya, sehingga bola kuning menyala-nyala itu menghantam kepala tongkat itu dengan keras.
Blarrr...!
Ledakannya begitu keras dan timbulkan gelombang hawa panas yang menyentak sangat kuat. Tubuh Bandot Tembang terlempar ke belakang dan terguling-guling hingga keluar dari ruang pemujaan, sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi terpental pula hingga membentur dinding tepi pintu. Kalau saja saat itu punggungnya membentur pintu kamar Cipta Hening, pasti Ratu Teluh celaka, karena racun pintu itu akan menempel di punggungnya.
Ia sangat beruntung karena punggungnya membentur batuan dinding samping pintu. Tulang punggungnya terasa mau patah. Sakit sekali. Tapi dengan cepat ia berhasil mengatasi rasa sakit itu, hanya menggunakan hirupan napas panjang dan menahannya di dada beberapa hitungan, ia sudah bisa berdiri kembali dan cepat berlari untuk menyerang Bandot Tembang yang terbungkuk-bungkuk di pelataran kuil memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Hiaaat...!" Ratu Teluh Bumi pekikkan suaranya sambil melompat terbang ke arah Bandot Tembang yang sedang berusaha bangkit.
Buhgg...!
Dada Bandot Tembang terkena tendangan kaki yang melompat itu. Tendangan tersebut jelas dialiri tenaga dalam cukup besar, sehingga membuat Bandot Tembang terlempar tubuhnya, menghantam pintu gerbang kuil yang terbuka separo itu. Pintu tersebut jebol dan tubuh Bandot Tembang terpuruk jatuh tepat di depan kaki Sambar Jantung.
Pertarungan Sambar Jantung dengan Dewi Kelambu Darah terhenti. Mereka, juga Intan Selaksa, terkejut melihat dua orang keluar dari halaman Kuil Swanalingga. Mereka tampak cemas dan ada kekhawatiran kalau-kalau Pedang Guntur Biru sudah berada di tangan mereka. Tapi setelah mata mereka memeriksa sekilas keadaan Ratu Teluh Bumi dan Bandot Tembang, mereka menjadi lega karena tak satu pun dari mereka yang memegang Pedang Guntur Biru.
"Oh, ternyata Ratu Teluh Bumi yang jahat itu juga hadir di sini?" pikir Intan Selaksa. "Lalu, siapa lagi tokoh tua yang memuntahkan darah dan terlempar dari dalam itu?! Aku belum mengenalinya, tapi aku yakin dia pasti berilmu tinggi. Hmmm...! Empat orang sakti sudah ada di sini. Bakalan hancur tubuhku kalau tak cepat melarikan diri. Tak ada yang sanggup kulawan satu pun dari mereka. Karena kulihat orang yang terlempar itu sudah berdiri lagi dengan tegak, sepertinya tak pernah mendapat pukulan hebat dari lawannya!"
"Bandot Tembang...?! Rupanya sejak tadi kau sudah ada di dalam kuil itu, hah?! Kurang ajar!" geram Sambar Jantung menggeram.
"Aku juga tak sangka kalau Ratu Teluh pun sudah ada di dalam sana," sahut Dewi Kelambu Darah. "Kalian mencari pedang atau sama-sama menggunakan kesempatan untuk bercinta?"
"Tutup mulutmu, Kelambu robek!" bentak Ratu Teluh Bumi dengan gusar.
"Hei, tahan dulu!" seru Sambar Jantung. "Gadis itu melarikan diri. Dia pemegang kunci kamar pusaka tersebut!"
"Mau lari ke mana anak celeng itu, hiaaah...!" Ratu Teluh Bumi segera sentakkan kaki dan ia melesat pergi mengejar Intan Selaksa.
Melihat Ratu Teluh mengejar Intan, yang lain pun ikut mengejarnya dengan gusar.
* * *
DELAPAN
INTAN Selaksa tahu bahwa dirinya dikejar oleh mereka. Secepat mungkin ia melarikan dirinya. Tapi kecepatan itu masih kalah juga dengan kecepatan mereka. Dalam waktu singkat, Ratu Teluh Bumi sudah berdiri menghadang langkah Intan Selaksa.
"O, bahaya! Dia sudah sampai di depan sana!" gumam Intan Selaksa dalam ketegangannya. "Sebaiknya aku lari ke arah kiri saja!"
Wusss...! Intan Selaksa berkelebat tanpa peduli lagi apakah Ratu Teluh Bumi masih mengejarnya lagi atau sudah bosan. Yang jelas dia harus cepat selamatkan diri, karena kunci kamar itu ada di balik ikat pinggangnya. Baru saja beberapa jarak ia menempuh pelariannya yang berbelok arah itu, tiba-tiba di depannya sudah berdiri Sambar Jantung yang segera berseru,
"Intan, jangan takut. Aku melindungimu! Kemarilah, Anak Manis!"
Mata perempuan muda itu menegang lagi. "Tak mungkin dia mau melindungiku. Sebelum ia bergerak, aku harus cepat hindarkan diri!"
Wuttt...! Intan Selaksa berbelok arah. Tak tahu ke mana tujuannya, yang jelas ia harus bisa selamatkan dirinya dari kejaran orang-orang bertangan rakus itu.
Jlegg...! Bandot Tembang sudah berdiri di depan Intan Selaksa dalam jarak sepuluh langkah. Tanpa berhenti sedikit pun, Intan Selaksa cepat melarikan diri ke arah kiri. Arahnya sudah berubah lagi. Mana yang dilihat aman itu yang ia tuju. Dia samping kirinya Intan melihat sekelebat bayangan warna jingga sejajar dengan larinya. Jelas itu warna jubahnya Dewi Kelambu Darah yang ingin mencegat di depan jalan. Maka, cepat-cepat Intan Selaksa berbelok arah, menerabas semak berduri dan tak pedulikan kulitnya tergores semak-semak itu. Tapi dalam beberapa jarak kemudian, tahu-tahu Ratu Teluh Bumi sudah berdiri di depannya dengan sikap menghadang.
"Mati aku...!" gumam Intan Selaksa dalam hati. Cepat-cepat ia membalikkan diri dan berlari lagi. Namun begitu ia melangkah sambil membalikkan diri, ia membentur sesuatu dengan keras. Bukk...! Intan Selaksa jatuh terduduk di tanah. Matanya memandang ke atas.
"Oh, siapa lagi ini?!" pikirnya. "Tampan sekali wajahnya?"
Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, kemudian ia membantu Intan Selaksa untuk berdiri. Napas Intan terengah-engah, tapi matanya tak berkedip pandangi pemuda tampan itu. "Berdirilah di belakangku!"
"Ap... ap... apakah kau juga inginkan Pedang Guntur Biru?"
"Ya. Tapi bukan untuk kumiliki! Hanya sekadar menjaganya agar tidak jatuh di tangan orang-orang kotor yang mengejarmu itu!"
"Kkkau... kau siapa?" tanya Intan Selaksa.
Pemuda itu hanya senyum sedikit. Senyum itu indah menurut mata Intan Selaksa yang belum rabun itu. Dan tiba-tiba dari arah belakang pemuda tampan itu muncul seorang lelaki tua berbaju jubah hijau celana putih, membawa tongkat bola kristal. Raja Nujum segera ucapkan kata,
"Dia bernama Suto Sinting! Jangan jauh-jauh darinya. Intan!"
"Oh, syukurlah Paman Raja Nujum datang tepat pada waktunya!" Intan Selaksa sunggingkan senyum. Lesung pipit terbentang indah di sudut senyum Intan Selaksa.
Suto Sinting tak berkedip pandangi senyum berlesung pipit itu, karena ia segera terbayang wajah calon istrinya yang dalam pengungsian di Pulau Mayat, yaitu Dyah Sariningrum.
"Raja Nujuuum...!" teriak Ratu Teluh Bumi. "Hadapilah aku lebih dulu jika kau ingin mendapatkan pusaka itu!" Tapi di dalam hati Ratu Teluh Bumi cepat berkata, "Gila! Ganteng sekali pemuda itu! Siapa dia? Baru sekarang kutemukan raut wajah setampan dia! Wah, kenapa bergetar dan deg-degan hatiku? Sebaiknya kulupakan dulu siapa dia. Agaknya Raja Nujum sudah kenal baik dengan Intan Selaksa dan mau melindungi gadis itu. Ada baiknya jika Raja Nujum kusingkirkan dulu!"
Belum sempat Raja Nujum membalas sapaan dan tantangan Ratu Teluh Bumi, tiba-tiba muncul Bandot Tembang ke tempat itu. Bandot Tembang segera pandangi Raja Nujum, hatinya sedikit ciut melihat Pendekar Mabuk tersenyum padanya dan menyapa dengan kalem,
"Kita bertemu lagi. Eyang Bandot Tembang yang sakti dan punya ilmu tinggi dalam melarikan diri...!"
"Tutup bacotmu, Bocah Sinting!" gertak Bandot Tembang.
"Biarkan dia bicara!" terdengar suara tua yang segera tampakkan diri dari arah kanan depan. Cepat-cepat Raja Nujum yang menyahut,
"O, syukurlah kau ada di sini Sambar Jantung!"
Intan Selaksa cepat berbisik dari belakang Raja Nujum, "Dia ternyata juga inginkan pusaka itu, Paman!"
Raja Nujum hanya menggumam, pertanda mengiyakan bisikan Intan, tapi ia bersikap tenang seakan belum mengetahui maksud Sambar Jantung, ia bahkan berkata kepada Sambar Jantung, "Sebagai teman akrab dari mendiang kakakku, aku yakin kau datang untuk membela satu muridnya yang dikejar-kejar orang banyak ini, Sambar Jantung!"
"Ya. Aku akan melindungi Intan, tapi Intan ketakutan! Ia samakan aku dengan mereka! He he he he...! Dia salah anggapan, Raja Nujum!" sambil Sambar Jantung menghabiskan tawanya. Hatinya merasa sedikit aman karena bisa mengelabui Raja Nujum. Tentunya Intan Selaksa akan menurut kepada Raja Nujum jika Raja Nujum menganjurkan Intan Selaksa untuk berlindung kepadanya. Dengan begitu ia bisa membujuk Intan Selaksa untuk serahkan kunci kamar pusaka itu.
Intan Selaksa menjadi muak melihat lagak Sambar Jantung. Kalau saja jurusnya berlaku untuk menotok orang-orang itu, ia akan lakukan menotok mereka dengan senyuman. Tapi berulang kali ia mencoba tersenyum dengan melancarkan kekuatan tenaga totok seperti yang dilakukannya kepada Barong Geni. Namun jurus itu ternyata tidak berlaku, dan orang-orang itu tak bisa ditotok dengan senyuman.
Mendadak muncul kembali dari arah kiri Pendekar Mabuk, seorang perempuan yang langkahnya tenang dan langsung mendekati Suto dalam jarak dua langkah. Dewi Kelambu Darah pandangi mata Suto yang saat itu sedang tersenyum menatapnya pula. Mata Dewi Kelambu Darah menjadi sedikit sayu bagai dibuai kemesraan dalam bayangan.
"Hatiku bergetar melihatmu! Baru sekarang kutemui pemuda setampan kamu! Layak rasanya kau merebah di balik kelambuku...!"
"Sayang aku tak berminat, Nyai...!" jawab Pendekar Mabuk sambil tetap sunggingkan senyum yang menggoda.
"Tunduklah kau kepadaku!" mata bening berbulu lentik menatap Suto. Seberkas kekuatan dilancarkan melalui pandangan mata itu.
Intan Selaksa cemas, karena dia tahu Dewi Kelambu Darah mempunyai kekuatan di mata dan bisa memerintah orang seenaknya saja, bahkan bisa melemparkan orang sebesar apa pun dengan ringan dan mudah. Maka, sebelum Pendekar Mabuk terkena pengaruh kekuatan mata Dewi Kelambu Darah, tangan Intan Selaksa cepat menyodok ke pinggang perempuan itu. Sodokan dengan menggunakan telapak tangan itu bertenaga besar sehingga tubuh Dewi Kelambu Darah tersentak terbang, terpental hingga lebih dari tujuh langkah jauhnya.
Buhgg...! Wusss...! Brukk...!
"Ha ha ha ha...!" terdengar suara tawa Bandot Tembang dan Sambar Jantung bersamaan begitu melihat Kelambu Darah terpental.
"Babi Busuk...!" geram Dewi Kelambu Darah. Untuk menghentikan tawa kedua orang itu, Dewi Kelambu Darah kibaskan kepalanya dengan mata tertuju pada Bandot Tembang. Wuttt...! Bandot Tembang terlempar dan membentur tubuh Ratu Teluh Bumi.
Bruss...! Plakkk...! Ratu Teluh Bumi menampar wajah Bandot Tembang yang dalam keadaan menabrak dengan wajah hampir mencium. Tamparan keras tak diduga itu membuat Bandot Tembang terlempar lagi ke samping dan jatuh berguling dua kali.
Sambar Jantung makin tertawa geli melihat Bandot Tembang bagai dipermainkan dua perempuan. Tapi tawa tersebut cepat lenyap, karena mata Dewi Kelambu Darah kini memandangnya dan dengan satu kali sentakan kepala mengibas, Sambar Jantung terjungkal ke samping dan wajahnya masuk ke semak-semak. Brusss...!
"Siapa yang mau tertawa lagi, hah?!" bentak Dewi Kelambu Darah dengan lagak galaknya. Lalu, terdengar suara tawa yang walau tak keras namun terdengar jelas. Itulah tawa milik Pendekar Mabuk.
"Ha ha ha ha. Aku tertawa!"
Dewi Kelambu Darah cepat palingkan pandang dengan wajah tetap menampakkan kegeramannya. Tapi ia cepat berkata, "Kalau kau yang tertawa, terserah!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir, mencemooh sikap Dewi Kelambu Darah.
Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuaknya dan menenggak beberapa teguk tuak, sementara itu terdengar Bandot Tembang berseru,
"Raja Nujum! Menyingkirlah kau dan jangan lindungi bocah bodoh itu! Aku membutuhkan kunci pembuka pintu kamar pusaka tersebut!"
Ratu Teluh Bumi menyahut, "Kalau kau melindungi gadis itu, kami akan membunuhmu bersama-sama, Raja Nujum!"
Pada saat itu, Intan Selaksa mempunyai gagasan yang lebih bagus lagi. Ia segera mengambil kunci kamar Cipta Hening dari selipan ikat pinggangnya. Kemudian dengan diam-diam, sebelum bumbung tuak Suto ditutup kembali, bumbung yang sudah ada di punggung itu segera didekati. Dengan berlagak menepak punggung Suto, kunci itu dicemplungkan ke dalam bumbung tuak. Plung!
"O, bahaya! Dia sudah sampai di depan sana!" gumam Intan Selaksa dalam ketegangannya. "Sebaiknya aku lari ke arah kiri saja!"
Wusss...! Intan Selaksa berkelebat tanpa peduli lagi apakah Ratu Teluh Bumi masih mengejarnya lagi atau sudah bosan. Yang jelas dia harus cepat selamatkan diri, karena kunci kamar itu ada di balik ikat pinggangnya. Baru saja beberapa jarak ia menempuh pelariannya yang berbelok arah itu, tiba-tiba di depannya sudah berdiri Sambar Jantung yang segera berseru,
"Intan, jangan takut. Aku melindungimu! Kemarilah, Anak Manis!"
Mata perempuan muda itu menegang lagi. "Tak mungkin dia mau melindungiku. Sebelum ia bergerak, aku harus cepat hindarkan diri!"
Wuttt...! Intan Selaksa berbelok arah. Tak tahu ke mana tujuannya, yang jelas ia harus bisa selamatkan dirinya dari kejaran orang-orang bertangan rakus itu.
Jlegg...! Bandot Tembang sudah berdiri di depan Intan Selaksa dalam jarak sepuluh langkah. Tanpa berhenti sedikit pun, Intan Selaksa cepat melarikan diri ke arah kiri. Arahnya sudah berubah lagi. Mana yang dilihat aman itu yang ia tuju. Dia samping kirinya Intan melihat sekelebat bayangan warna jingga sejajar dengan larinya. Jelas itu warna jubahnya Dewi Kelambu Darah yang ingin mencegat di depan jalan. Maka, cepat-cepat Intan Selaksa berbelok arah, menerabas semak berduri dan tak pedulikan kulitnya tergores semak-semak itu. Tapi dalam beberapa jarak kemudian, tahu-tahu Ratu Teluh Bumi sudah berdiri di depannya dengan sikap menghadang.
"Mati aku...!" gumam Intan Selaksa dalam hati. Cepat-cepat ia membalikkan diri dan berlari lagi. Namun begitu ia melangkah sambil membalikkan diri, ia membentur sesuatu dengan keras. Bukk...! Intan Selaksa jatuh terduduk di tanah. Matanya memandang ke atas.
"Oh, siapa lagi ini?!" pikirnya. "Tampan sekali wajahnya?"
Pemuda tampan itu mengulurkan tangan, kemudian ia membantu Intan Selaksa untuk berdiri. Napas Intan terengah-engah, tapi matanya tak berkedip pandangi pemuda tampan itu. "Berdirilah di belakangku!"
"Ap... ap... apakah kau juga inginkan Pedang Guntur Biru?"
"Ya. Tapi bukan untuk kumiliki! Hanya sekadar menjaganya agar tidak jatuh di tangan orang-orang kotor yang mengejarmu itu!"
"Kkkau... kau siapa?" tanya Intan Selaksa.
Pemuda itu hanya senyum sedikit. Senyum itu indah menurut mata Intan Selaksa yang belum rabun itu. Dan tiba-tiba dari arah belakang pemuda tampan itu muncul seorang lelaki tua berbaju jubah hijau celana putih, membawa tongkat bola kristal. Raja Nujum segera ucapkan kata,
"Dia bernama Suto Sinting! Jangan jauh-jauh darinya. Intan!"
"Oh, syukurlah Paman Raja Nujum datang tepat pada waktunya!" Intan Selaksa sunggingkan senyum. Lesung pipit terbentang indah di sudut senyum Intan Selaksa.
Suto Sinting tak berkedip pandangi senyum berlesung pipit itu, karena ia segera terbayang wajah calon istrinya yang dalam pengungsian di Pulau Mayat, yaitu Dyah Sariningrum.
"Raja Nujuuum...!" teriak Ratu Teluh Bumi. "Hadapilah aku lebih dulu jika kau ingin mendapatkan pusaka itu!" Tapi di dalam hati Ratu Teluh Bumi cepat berkata, "Gila! Ganteng sekali pemuda itu! Siapa dia? Baru sekarang kutemukan raut wajah setampan dia! Wah, kenapa bergetar dan deg-degan hatiku? Sebaiknya kulupakan dulu siapa dia. Agaknya Raja Nujum sudah kenal baik dengan Intan Selaksa dan mau melindungi gadis itu. Ada baiknya jika Raja Nujum kusingkirkan dulu!"
Belum sempat Raja Nujum membalas sapaan dan tantangan Ratu Teluh Bumi, tiba-tiba muncul Bandot Tembang ke tempat itu. Bandot Tembang segera pandangi Raja Nujum, hatinya sedikit ciut melihat Pendekar Mabuk tersenyum padanya dan menyapa dengan kalem,
"Kita bertemu lagi. Eyang Bandot Tembang yang sakti dan punya ilmu tinggi dalam melarikan diri...!"
"Tutup bacotmu, Bocah Sinting!" gertak Bandot Tembang.
"Biarkan dia bicara!" terdengar suara tua yang segera tampakkan diri dari arah kanan depan. Cepat-cepat Raja Nujum yang menyahut,
"O, syukurlah kau ada di sini Sambar Jantung!"
Intan Selaksa cepat berbisik dari belakang Raja Nujum, "Dia ternyata juga inginkan pusaka itu, Paman!"
Raja Nujum hanya menggumam, pertanda mengiyakan bisikan Intan, tapi ia bersikap tenang seakan belum mengetahui maksud Sambar Jantung, ia bahkan berkata kepada Sambar Jantung, "Sebagai teman akrab dari mendiang kakakku, aku yakin kau datang untuk membela satu muridnya yang dikejar-kejar orang banyak ini, Sambar Jantung!"
"Ya. Aku akan melindungi Intan, tapi Intan ketakutan! Ia samakan aku dengan mereka! He he he he...! Dia salah anggapan, Raja Nujum!" sambil Sambar Jantung menghabiskan tawanya. Hatinya merasa sedikit aman karena bisa mengelabui Raja Nujum. Tentunya Intan Selaksa akan menurut kepada Raja Nujum jika Raja Nujum menganjurkan Intan Selaksa untuk berlindung kepadanya. Dengan begitu ia bisa membujuk Intan Selaksa untuk serahkan kunci kamar pusaka itu.
Intan Selaksa menjadi muak melihat lagak Sambar Jantung. Kalau saja jurusnya berlaku untuk menotok orang-orang itu, ia akan lakukan menotok mereka dengan senyuman. Tapi berulang kali ia mencoba tersenyum dengan melancarkan kekuatan tenaga totok seperti yang dilakukannya kepada Barong Geni. Namun jurus itu ternyata tidak berlaku, dan orang-orang itu tak bisa ditotok dengan senyuman.
Mendadak muncul kembali dari arah kiri Pendekar Mabuk, seorang perempuan yang langkahnya tenang dan langsung mendekati Suto dalam jarak dua langkah. Dewi Kelambu Darah pandangi mata Suto yang saat itu sedang tersenyum menatapnya pula. Mata Dewi Kelambu Darah menjadi sedikit sayu bagai dibuai kemesraan dalam bayangan.
"Hatiku bergetar melihatmu! Baru sekarang kutemui pemuda setampan kamu! Layak rasanya kau merebah di balik kelambuku...!"
"Sayang aku tak berminat, Nyai...!" jawab Pendekar Mabuk sambil tetap sunggingkan senyum yang menggoda.
"Tunduklah kau kepadaku!" mata bening berbulu lentik menatap Suto. Seberkas kekuatan dilancarkan melalui pandangan mata itu.
Intan Selaksa cemas, karena dia tahu Dewi Kelambu Darah mempunyai kekuatan di mata dan bisa memerintah orang seenaknya saja, bahkan bisa melemparkan orang sebesar apa pun dengan ringan dan mudah. Maka, sebelum Pendekar Mabuk terkena pengaruh kekuatan mata Dewi Kelambu Darah, tangan Intan Selaksa cepat menyodok ke pinggang perempuan itu. Sodokan dengan menggunakan telapak tangan itu bertenaga besar sehingga tubuh Dewi Kelambu Darah tersentak terbang, terpental hingga lebih dari tujuh langkah jauhnya.
Buhgg...! Wusss...! Brukk...!
"Ha ha ha ha...!" terdengar suara tawa Bandot Tembang dan Sambar Jantung bersamaan begitu melihat Kelambu Darah terpental.
"Babi Busuk...!" geram Dewi Kelambu Darah. Untuk menghentikan tawa kedua orang itu, Dewi Kelambu Darah kibaskan kepalanya dengan mata tertuju pada Bandot Tembang. Wuttt...! Bandot Tembang terlempar dan membentur tubuh Ratu Teluh Bumi.
Bruss...! Plakkk...! Ratu Teluh Bumi menampar wajah Bandot Tembang yang dalam keadaan menabrak dengan wajah hampir mencium. Tamparan keras tak diduga itu membuat Bandot Tembang terlempar lagi ke samping dan jatuh berguling dua kali.
Sambar Jantung makin tertawa geli melihat Bandot Tembang bagai dipermainkan dua perempuan. Tapi tawa tersebut cepat lenyap, karena mata Dewi Kelambu Darah kini memandangnya dan dengan satu kali sentakan kepala mengibas, Sambar Jantung terjungkal ke samping dan wajahnya masuk ke semak-semak. Brusss...!
"Siapa yang mau tertawa lagi, hah?!" bentak Dewi Kelambu Darah dengan lagak galaknya. Lalu, terdengar suara tawa yang walau tak keras namun terdengar jelas. Itulah tawa milik Pendekar Mabuk.
"Ha ha ha ha. Aku tertawa!"
Dewi Kelambu Darah cepat palingkan pandang dengan wajah tetap menampakkan kegeramannya. Tapi ia cepat berkata, "Kalau kau yang tertawa, terserah!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir, mencemooh sikap Dewi Kelambu Darah.
Pendekar Mabuk segera membuka bumbung tuaknya dan menenggak beberapa teguk tuak, sementara itu terdengar Bandot Tembang berseru,
"Raja Nujum! Menyingkirlah kau dan jangan lindungi bocah bodoh itu! Aku membutuhkan kunci pembuka pintu kamar pusaka tersebut!"
Ratu Teluh Bumi menyahut, "Kalau kau melindungi gadis itu, kami akan membunuhmu bersama-sama, Raja Nujum!"
Pada saat itu, Intan Selaksa mempunyai gagasan yang lebih bagus lagi. Ia segera mengambil kunci kamar Cipta Hening dari selipan ikat pinggangnya. Kemudian dengan diam-diam, sebelum bumbung tuak Suto ditutup kembali, bumbung yang sudah ada di punggung itu segera didekati. Dengan berlagak menepak punggung Suto, kunci itu dicemplungkan ke dalam bumbung tuak. Plung!
Tapi tak terdengar oleh siapa pun. Bahkan Suto bagai tak peduli dengan tepukan pundak itu, karena matanya memandang ke arah Ratu Teluh Bumi yang bisa melepaskan pukulan atau mengirimkan kekuatan gaib secara membahayakan. Pendekar Mabuk hanya sedikit memiringkan kepala, karena menyangka Intan Selaksa ingin bisikkan kata. Bahkan ia menutup bumbung tuaknya pun tidak dengan memperhatikan mulut tabungnya.
"Perempuan yang bernama Dewi Kelambu Darah tadi sangat berbahaya!" bisik Intan Selaksa, supaya tak kentara kepura-puraannya.
"Aku bisa atasi dia! Aku tahu dia menggunakan kekuatan mata!"
Terdengar suara Raja Nujum berkata kepada empat orang serakah itu, "Ketahuilah kalian, Pedang Guntur Biru tidak akan bisa dimiliki oleh siapa pun, selain pewarisnya!"
"Siapa pewarisnya?!" tanya Bandot Tembang.
"Tidak ada di sini! Aku pun bukan pewarisnya!"
"Lalu untuk apa kau ada di sini jika bukan pewaris pusaka Pedang Guntur Biru?" seru Dewi Kelambu Darah.
"Aku hanya ingin menyelamatkan kuil dari jamahan tangan-tangan kotor! Bagaimanapun juga kuil itu adalah tempat suci milik kakakku Begawan Sangga Mega! Aku perlu menjaga kesucian kuil itu!"
"Sudah ada muridnya! Intan Selaksa yang menjaganya. Mengapa kau mau ikut menjaganya?!"
"Karena dia tidak cukup kuat untuk menghadapi keserakahan dan kerakusan kalian!" jawab Raja Nujum.
"Eh, Raja Nujum...," kata Sambar Jantung, "Rasa- rasanya cukup aku saja yang menjaga Intan Selaksa. Aku sanggup menghadapi mereka, bahkan berjumlah dua-tiga kali lipat dari ilmu mereka pun aku masih sanggup!"
"Aku percaya!" sambil Raja Nujum sunggingkan senyum. "Tapi aku juga percaya bahwa kau sanggup membawa lari pedang itu pula!"
"Mengapa kau menduga begitu?"
"Di bola kacaku ini aku bisa melihat kerakusanmu yang ingin menjarah Kuil Swanalingga! Kau tak bisa bohong, Sambar Jantung!"
Tak bisa lagi Sambar Jantung menyembunyikan niatnya dari Raja Nujum, karena ia segera sadar bahwa Raja Nujum bisa menebak hati seseorang dan bisa melihat masa depan serta masa lalu seseorang. Karenanya, dengan santai dan meremehkan sekali Sambar Jantung ucapkan kata kepada Raja Nujum, "Kalau begitu... kelihatannya kau juga sudah tahu bahwa nyawamu sebentar lagi mati di tanganku! He he he...!"
"Kalau itu tantangan, aku akan menyambutnya!" jawab Raja Nujum dengan tetap kalem. Tapi segera ia berbisik kepada Suto Sinting, "Kuhadapi mereka berempat, kau lari sembunyikan Intan Selaksa!"
"Baik! Kucari kesempatan baik untuk pergi dari sini!" jawab Pendekar Mabuk dengan suara pelan sekali. Lalu kepada Intan Selaksa, Suto pun berbisik pelan, "Bersiaplah lari bersamaku! Biar mereka dihadapi Raja Nujum!"
"Aku siap," balas Intan Selaksa.
Bandot Tembang membatin, "Mereka semua berilmu tinggi! Cukup sulit mengalahkan mereka! Sebaiknya kugunakan tembang saktiku untuk membuat mereka pecah jantungnya!"
Dewi Kelambu Darah berseru, "Raja Nujum, sebelum kau melawan Sambar Jantung, sebaiknya kau hadapi dulu aku. Kasihan Sambar Jantung, sudah terlalu tua untuk mengadakan pertarungan!"
"Kepada siapa pun yang ingin menantangku lebih dulu, aku siap melayani sekarang juga!" jawab Raja Nujum. Kalem sekali sikapnya.
Tiba-tiba terdengar Bandot Tembang mengalunkan sebuah irama tembang yang mencekam denyut nadi setiap orang.
Tanah kubur telah tersingkap, menunggu ajal setiap insan.
Jika jantung tak berdenyut, napas pun hanyut terbawa sukma.
Dalam keheningan relung hati yang....
Plokk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam tenggorokan Bandot Tembang. Sesuatu itu muncul secara tiba-tiba dari sentilan jari Pendekar Mabuk berkekuatan tinggi. Jurus 'Jari Guntur' digunakan, membuat Bandot Tembang tersedak dan terbatuk-batuk.
"Huk huk huk hukk...!" Bandot Tembang segera memaki, "Bang... Bangsat! Kubunuh kau.!" Suara itu menjadi serak dan rusak. Bandot Tembang terbatuk-batuk lagi. Lalu mencoba bicara kembali. Tapi tenggorokannya bagaikan pecah dan semakin serak suaranya.
"Siapa anak muda itu?! Dia bisa menggunakan jarinya untuk merobek pita suara orang di dalam tenggorokan!" sentak Ratu Teluh Bumi.
Suto menyahut, "Namaku, Suto Sinting! Jelas...?!"
Dengan suara makin gerok mirip suara kambing disembelih, Bandot Tembang berkata, "Hakro, trak pengrah hengerar namra gritu...! Huk uhuk huk...!"
Sambar Jantung menyahut, "Kau memang tak pernah dengar nama itu, Bandot Tembang, karena kau memang bodoh! Tapi biar setua ini telingaku masih belum tuli! Kudengar nama Suto Sinting adalah seorang pendekar yang sedang kondang bergelar Pendekar Mabuk! Dia adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang! Benarkah begitu, Suto?!"
"Benar!" jawab Pendekar Mabuk tegas, membuat Raja Nujum palingkan wajah kepadanya dan berkata dalam gerutuan,
"Setan kau! Kenapa tak bilang sejak tadi kalau kau murid si Gila Tuak? Aku kenal baik dengan gurumu itu!"
"Aku takut kau tak mempercayai pengakuanku tadi!"
"Pantas kau kenal siapa ibuku, siapa ayahku dan siapa kakek guruku. Rupanya kau murid si Gila Tuak itu?!"
"Sudahlah, lekas lakukan gebrakan, aku akan bawa lari Intan!"
"Baik!" Raja Nujum menurut. Lalu, ia maju tiga tindak dan tongkatnya dibabatkan memutar dengan kepala tongkat ada di depan. Wusss! Satu kibasan kuat itu menghadirkan sentakan tenaga dalam yang sungguh besar, hingga keempat orang itu terpental berjatuhan tak tentu arah. Bahkan sebatang pohon rubuh menimpa kaki Dewi Kelambu Darah.
Brurrkk...!
"Aaaaow...!" Dewi Kelambu Darah terpekik kesakitan, satu kakinya terselip batang pohon dan menghimpitnya kuat-kuat. Sementara yang lainnya terjungkal di semak-semak atau ke mana saja. Masing-masing jarak jatuh mereka mencapai tujuh langkah dari tempat semula mereka berdiri. Sementara itu, bola kristal di tongkat Raja Nujum masih menyala berkejap-kejap warna merah membara. Sebelum tongkat itu dikibaskan lagi, Raja Nujum segera berbisik ke belakang,
"Cepat lari dan..." Ia terhenti bicara bisiknya, karena ketika melirik ke belakang, ternyata Pendekar Mabuk dan Intan Selaksa sudah menghilang, entah sejak kapan dan ke arah mana. Raja Nujum tak mendengar gerakan pergi Suto dan Intan.
Intan Selaksa bagaikan sedang bermimpi, ia tak sadar jika telah diangkat dan dibawa lari oleh Pendekar Mabuk menggunakan jurus gerak silumannya yang luar biasa cepat itu. Dalam waktu singkat, mereka sudah berada di depan kuil. Suto menurunkan Intan Selaksa dari atas pundaknya, Intan Selaksa terperangah memandang sekeliling dan berkata dengan suara gumam, "Sudah ada di sini lagi?"
"Aku tidak tahu arah yang pasti kita tuju! Jika kau tahu, tunjukkan arahnya! Aku akan membawamu lari dan bersembunyi disana!"
"Memang di sini sangat berbahaya! Tapi guruku punya gubuk peristirahatan untuk menghibur diri. Di sebelah sana, arah ke barat, ada sebuah telaga berair biru bening. Guru sering memancing ikan di sana, tapi tidak untuk dimakan, juga tidak untuk dibunuh. Hanya diusap- usapnya sesaat, lalu dicemplungkan lagi ke air telaga."
"Jika begitu kita bergegas ke sana saja!"
"Tapi tempat itu melalui sarang ular berbisa! Jarang orang bisa selamat sampai di sana, kecuali dengan memutari gunung ini dari arah timur!"
"Kita coba saja!" setelah bicara begitu, Intan Selaksa ingin mengatakan sesuatu, namun ia sudah berada di pundak Suto dan melesat pergi melebihi gerakan angin atau anak panah secepat apa pun.
Rasa-rasanya hanya tiga helaan napas, Intan Selaksa sudah sampai di tepi telaga biru. Airnya jernih dan tempatnya indah. Banyak tanaman berwarna walau bukan bunga. Di sana ada sebuah gubuk yang berbentuk saung, tanpa dinding penuh. Hanya separo bagian dinding yang menutupi saung itu, sedangkan bagian depannya terbuka lepas. Atapnya dari rumbia bercampur ijuk hitam. Lantainya lebih tinggi tiga jengkal dari tanah. Sungguh nyaman beristirahat di sana. Tiupan udara gunung sungguh semilir mengantukkan mata orang yang kenyang.
"Apakah telaga ini mempunyai ikan cukup banyak?"
"Tak terlalu banyak, tapi memang Guru memelihara ikan hias aneka warna di dalam telaga ini!"
"Hmm... sungguh indah pemandangan di sini! Aku bisa betah berada di sini berbulan-bulan!"
"Jika kau berada di sini berbulan-bulan, lantas bagaimana dengan kekasihmu? Mestinya dia rindu padamu!" pancing Intan Selaksa yang segera ditatap Pendekar Mabuk. Intan Selaksa tersenyum, seolah-olah pamerkan lesung pipit yang amat digemari Suto Sinting itu.
"Di sini ternyata bukan saja untuk memancing ikan, namun untuk memancing sekerat hati!" ujar Pendekar Mabuk membuat Intan Selaksa menjadi tersipu-sipu. Lalu ia melangkahkan kaki ke tepian telaga, ia duduk di sebuah batu yang ada di sana, memandangi air telaga yang tenang dan warna birunya begitu indah bagaikan agar-agar.
"Kalau saja mereka tahu tempat ini, mereka tidak akan mau bertarung untuk memperebutkan Pedang Guntur Biru," ujar Pendekar Mabuk mendekati.
"Kalau saja mereka tahu, mereka tidak sudi saling bunuh, sebab pusaka itu memang tidak ada!"
"Tidak ada?!"
"Guru tidak pernah punya Pedang Guntur Biru! Kamar itu bukan kamar penyimpanan pusaka, hanya sekadar kamar semadi!"
"Apakah kau pernah masuk di dalamnya?"
"Belum. Tapi saat pintu kamar itu terbuka, aku sempat melihat isinya. Tak ada barang apa pun kecuali selembar tikar di lantai. Ruangan itu benar-benar kosong! Bersih, bahkan tanpa cahaya jika pintu tidak dibuka!"
"Tapi mengapa mereka berebut untuk masuk ke kamar itu?"
"Mereka salah duga! Kabar tentang mendiang Guru memiliki pusaka Pedang Guntur Biru sepertinya hanya sebuah isapan jempoi belaka, sekadar untuk menjaga wibawa Guru dan menakut-nakuti lawan!"
"Tapi... tapi Raja Nujum adik dari Begawan Sangga Mega! Raja Nujum pun mengakui bahwa kakaknya itu menyimpan pusaka Pedang Guntur Biru, Intan Selaksa! Dia kemari juga untuk menjaga supaya pedang pusaka itu tidak jatuh ke tangan orang sesat!"
"Barangkali setelah peristiwa ini, akan tersebar kabar bahwa pusaka Pedang Guntur Biru ada di tangan Paman Raja Nujum! Ini untuk menipu lawan, supaya Paman Raja Nujum pun disegani dan ditakuti, sehingga tidak sembarang orang berani berhadapan dengannya."
Tercenung lama Suto jadinya. Menurut jalan pikirannya, apa yang dikatakan Intan Selaksa itu memang benar. Artinya, bisa saja terjadi suatu tipuan sejak puluhan tahun yang lalu tentang adanya pusaka Pedang Guntur Biru. Tipuan itu dimaksud untuk menjaga wibawa dan rasa hormat bagi keluarga Eyang Purbapati. Sebenarnya pedang pusaka itu memang tidak ada.
"Lantas mengapa kau dikejar-kejar mereka dan mereka kehendaki kunci kamar tersebut? Kau sendiri mengapa mempertahankannya? Jika memang di dalam kamar semadi itu tidak terdapat benda pusaka itu, seharusnya kau tak perlu repot-repot mempertahankan kamar itu!"
"Amanat mendiang Guru, aku harus menjaga kuil dan kamar itu khususnya, agar jangan sampai ada yang menjamah atau merusaknya. Aku hanya tunaikan tugas dari mendiang Guru!"
Mengapa mendiang gurunya Intan Selaksa mengkhususkan kamar itu? Jika tidak ada apa-apanya, pasti tidak perlu dikhususkan, pikir Suto dalam renungan panjangnya.
"Perempuan yang bernama Dewi Kelambu Darah tadi sangat berbahaya!" bisik Intan Selaksa, supaya tak kentara kepura-puraannya.
"Aku bisa atasi dia! Aku tahu dia menggunakan kekuatan mata!"
Terdengar suara Raja Nujum berkata kepada empat orang serakah itu, "Ketahuilah kalian, Pedang Guntur Biru tidak akan bisa dimiliki oleh siapa pun, selain pewarisnya!"
"Siapa pewarisnya?!" tanya Bandot Tembang.
"Tidak ada di sini! Aku pun bukan pewarisnya!"
"Lalu untuk apa kau ada di sini jika bukan pewaris pusaka Pedang Guntur Biru?" seru Dewi Kelambu Darah.
"Aku hanya ingin menyelamatkan kuil dari jamahan tangan-tangan kotor! Bagaimanapun juga kuil itu adalah tempat suci milik kakakku Begawan Sangga Mega! Aku perlu menjaga kesucian kuil itu!"
"Sudah ada muridnya! Intan Selaksa yang menjaganya. Mengapa kau mau ikut menjaganya?!"
"Karena dia tidak cukup kuat untuk menghadapi keserakahan dan kerakusan kalian!" jawab Raja Nujum.
"Eh, Raja Nujum...," kata Sambar Jantung, "Rasa- rasanya cukup aku saja yang menjaga Intan Selaksa. Aku sanggup menghadapi mereka, bahkan berjumlah dua-tiga kali lipat dari ilmu mereka pun aku masih sanggup!"
"Aku percaya!" sambil Raja Nujum sunggingkan senyum. "Tapi aku juga percaya bahwa kau sanggup membawa lari pedang itu pula!"
"Mengapa kau menduga begitu?"
"Di bola kacaku ini aku bisa melihat kerakusanmu yang ingin menjarah Kuil Swanalingga! Kau tak bisa bohong, Sambar Jantung!"
Tak bisa lagi Sambar Jantung menyembunyikan niatnya dari Raja Nujum, karena ia segera sadar bahwa Raja Nujum bisa menebak hati seseorang dan bisa melihat masa depan serta masa lalu seseorang. Karenanya, dengan santai dan meremehkan sekali Sambar Jantung ucapkan kata kepada Raja Nujum, "Kalau begitu... kelihatannya kau juga sudah tahu bahwa nyawamu sebentar lagi mati di tanganku! He he he...!"
"Kalau itu tantangan, aku akan menyambutnya!" jawab Raja Nujum dengan tetap kalem. Tapi segera ia berbisik kepada Suto Sinting, "Kuhadapi mereka berempat, kau lari sembunyikan Intan Selaksa!"
"Baik! Kucari kesempatan baik untuk pergi dari sini!" jawab Pendekar Mabuk dengan suara pelan sekali. Lalu kepada Intan Selaksa, Suto pun berbisik pelan, "Bersiaplah lari bersamaku! Biar mereka dihadapi Raja Nujum!"
"Aku siap," balas Intan Selaksa.
Bandot Tembang membatin, "Mereka semua berilmu tinggi! Cukup sulit mengalahkan mereka! Sebaiknya kugunakan tembang saktiku untuk membuat mereka pecah jantungnya!"
Dewi Kelambu Darah berseru, "Raja Nujum, sebelum kau melawan Sambar Jantung, sebaiknya kau hadapi dulu aku. Kasihan Sambar Jantung, sudah terlalu tua untuk mengadakan pertarungan!"
"Kepada siapa pun yang ingin menantangku lebih dulu, aku siap melayani sekarang juga!" jawab Raja Nujum. Kalem sekali sikapnya.
Tiba-tiba terdengar Bandot Tembang mengalunkan sebuah irama tembang yang mencekam denyut nadi setiap orang.
Tanah kubur telah tersingkap, menunggu ajal setiap insan.
Jika jantung tak berdenyut, napas pun hanyut terbawa sukma.
Dalam keheningan relung hati yang....
Plokk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam tenggorokan Bandot Tembang. Sesuatu itu muncul secara tiba-tiba dari sentilan jari Pendekar Mabuk berkekuatan tinggi. Jurus 'Jari Guntur' digunakan, membuat Bandot Tembang tersedak dan terbatuk-batuk.
"Huk huk huk hukk...!" Bandot Tembang segera memaki, "Bang... Bangsat! Kubunuh kau.!" Suara itu menjadi serak dan rusak. Bandot Tembang terbatuk-batuk lagi. Lalu mencoba bicara kembali. Tapi tenggorokannya bagaikan pecah dan semakin serak suaranya.
"Siapa anak muda itu?! Dia bisa menggunakan jarinya untuk merobek pita suara orang di dalam tenggorokan!" sentak Ratu Teluh Bumi.
Suto menyahut, "Namaku, Suto Sinting! Jelas...?!"
Dengan suara makin gerok mirip suara kambing disembelih, Bandot Tembang berkata, "Hakro, trak pengrah hengerar namra gritu...! Huk uhuk huk...!"
Sambar Jantung menyahut, "Kau memang tak pernah dengar nama itu, Bandot Tembang, karena kau memang bodoh! Tapi biar setua ini telingaku masih belum tuli! Kudengar nama Suto Sinting adalah seorang pendekar yang sedang kondang bergelar Pendekar Mabuk! Dia adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang! Benarkah begitu, Suto?!"
"Benar!" jawab Pendekar Mabuk tegas, membuat Raja Nujum palingkan wajah kepadanya dan berkata dalam gerutuan,
"Setan kau! Kenapa tak bilang sejak tadi kalau kau murid si Gila Tuak? Aku kenal baik dengan gurumu itu!"
"Aku takut kau tak mempercayai pengakuanku tadi!"
"Pantas kau kenal siapa ibuku, siapa ayahku dan siapa kakek guruku. Rupanya kau murid si Gila Tuak itu?!"
"Sudahlah, lekas lakukan gebrakan, aku akan bawa lari Intan!"
"Baik!" Raja Nujum menurut. Lalu, ia maju tiga tindak dan tongkatnya dibabatkan memutar dengan kepala tongkat ada di depan. Wusss! Satu kibasan kuat itu menghadirkan sentakan tenaga dalam yang sungguh besar, hingga keempat orang itu terpental berjatuhan tak tentu arah. Bahkan sebatang pohon rubuh menimpa kaki Dewi Kelambu Darah.
Brurrkk...!
"Aaaaow...!" Dewi Kelambu Darah terpekik kesakitan, satu kakinya terselip batang pohon dan menghimpitnya kuat-kuat. Sementara yang lainnya terjungkal di semak-semak atau ke mana saja. Masing-masing jarak jatuh mereka mencapai tujuh langkah dari tempat semula mereka berdiri. Sementara itu, bola kristal di tongkat Raja Nujum masih menyala berkejap-kejap warna merah membara. Sebelum tongkat itu dikibaskan lagi, Raja Nujum segera berbisik ke belakang,
"Cepat lari dan..." Ia terhenti bicara bisiknya, karena ketika melirik ke belakang, ternyata Pendekar Mabuk dan Intan Selaksa sudah menghilang, entah sejak kapan dan ke arah mana. Raja Nujum tak mendengar gerakan pergi Suto dan Intan.
Intan Selaksa bagaikan sedang bermimpi, ia tak sadar jika telah diangkat dan dibawa lari oleh Pendekar Mabuk menggunakan jurus gerak silumannya yang luar biasa cepat itu. Dalam waktu singkat, mereka sudah berada di depan kuil. Suto menurunkan Intan Selaksa dari atas pundaknya, Intan Selaksa terperangah memandang sekeliling dan berkata dengan suara gumam, "Sudah ada di sini lagi?"
"Aku tidak tahu arah yang pasti kita tuju! Jika kau tahu, tunjukkan arahnya! Aku akan membawamu lari dan bersembunyi disana!"
"Memang di sini sangat berbahaya! Tapi guruku punya gubuk peristirahatan untuk menghibur diri. Di sebelah sana, arah ke barat, ada sebuah telaga berair biru bening. Guru sering memancing ikan di sana, tapi tidak untuk dimakan, juga tidak untuk dibunuh. Hanya diusap- usapnya sesaat, lalu dicemplungkan lagi ke air telaga."
"Jika begitu kita bergegas ke sana saja!"
"Tapi tempat itu melalui sarang ular berbisa! Jarang orang bisa selamat sampai di sana, kecuali dengan memutari gunung ini dari arah timur!"
"Kita coba saja!" setelah bicara begitu, Intan Selaksa ingin mengatakan sesuatu, namun ia sudah berada di pundak Suto dan melesat pergi melebihi gerakan angin atau anak panah secepat apa pun.
Rasa-rasanya hanya tiga helaan napas, Intan Selaksa sudah sampai di tepi telaga biru. Airnya jernih dan tempatnya indah. Banyak tanaman berwarna walau bukan bunga. Di sana ada sebuah gubuk yang berbentuk saung, tanpa dinding penuh. Hanya separo bagian dinding yang menutupi saung itu, sedangkan bagian depannya terbuka lepas. Atapnya dari rumbia bercampur ijuk hitam. Lantainya lebih tinggi tiga jengkal dari tanah. Sungguh nyaman beristirahat di sana. Tiupan udara gunung sungguh semilir mengantukkan mata orang yang kenyang.
"Apakah telaga ini mempunyai ikan cukup banyak?"
"Tak terlalu banyak, tapi memang Guru memelihara ikan hias aneka warna di dalam telaga ini!"
"Hmm... sungguh indah pemandangan di sini! Aku bisa betah berada di sini berbulan-bulan!"
"Jika kau berada di sini berbulan-bulan, lantas bagaimana dengan kekasihmu? Mestinya dia rindu padamu!" pancing Intan Selaksa yang segera ditatap Pendekar Mabuk. Intan Selaksa tersenyum, seolah-olah pamerkan lesung pipit yang amat digemari Suto Sinting itu.
"Di sini ternyata bukan saja untuk memancing ikan, namun untuk memancing sekerat hati!" ujar Pendekar Mabuk membuat Intan Selaksa menjadi tersipu-sipu. Lalu ia melangkahkan kaki ke tepian telaga, ia duduk di sebuah batu yang ada di sana, memandangi air telaga yang tenang dan warna birunya begitu indah bagaikan agar-agar.
"Kalau saja mereka tahu tempat ini, mereka tidak akan mau bertarung untuk memperebutkan Pedang Guntur Biru," ujar Pendekar Mabuk mendekati.
"Kalau saja mereka tahu, mereka tidak sudi saling bunuh, sebab pusaka itu memang tidak ada!"
"Tidak ada?!"
"Guru tidak pernah punya Pedang Guntur Biru! Kamar itu bukan kamar penyimpanan pusaka, hanya sekadar kamar semadi!"
"Apakah kau pernah masuk di dalamnya?"
"Belum. Tapi saat pintu kamar itu terbuka, aku sempat melihat isinya. Tak ada barang apa pun kecuali selembar tikar di lantai. Ruangan itu benar-benar kosong! Bersih, bahkan tanpa cahaya jika pintu tidak dibuka!"
"Tapi mengapa mereka berebut untuk masuk ke kamar itu?"
"Mereka salah duga! Kabar tentang mendiang Guru memiliki pusaka Pedang Guntur Biru sepertinya hanya sebuah isapan jempoi belaka, sekadar untuk menjaga wibawa Guru dan menakut-nakuti lawan!"
"Tapi... tapi Raja Nujum adik dari Begawan Sangga Mega! Raja Nujum pun mengakui bahwa kakaknya itu menyimpan pusaka Pedang Guntur Biru, Intan Selaksa! Dia kemari juga untuk menjaga supaya pedang pusaka itu tidak jatuh ke tangan orang sesat!"
"Barangkali setelah peristiwa ini, akan tersebar kabar bahwa pusaka Pedang Guntur Biru ada di tangan Paman Raja Nujum! Ini untuk menipu lawan, supaya Paman Raja Nujum pun disegani dan ditakuti, sehingga tidak sembarang orang berani berhadapan dengannya."
Tercenung lama Suto jadinya. Menurut jalan pikirannya, apa yang dikatakan Intan Selaksa itu memang benar. Artinya, bisa saja terjadi suatu tipuan sejak puluhan tahun yang lalu tentang adanya pusaka Pedang Guntur Biru. Tipuan itu dimaksud untuk menjaga wibawa dan rasa hormat bagi keluarga Eyang Purbapati. Sebenarnya pedang pusaka itu memang tidak ada.
"Lantas mengapa kau dikejar-kejar mereka dan mereka kehendaki kunci kamar tersebut? Kau sendiri mengapa mempertahankannya? Jika memang di dalam kamar semadi itu tidak terdapat benda pusaka itu, seharusnya kau tak perlu repot-repot mempertahankan kamar itu!"
"Amanat mendiang Guru, aku harus menjaga kuil dan kamar itu khususnya, agar jangan sampai ada yang menjamah atau merusaknya. Aku hanya tunaikan tugas dari mendiang Guru!"
Mengapa mendiang gurunya Intan Selaksa mengkhususkan kamar itu? Jika tidak ada apa-apanya, pasti tidak perlu dikhususkan, pikir Suto dalam renungan panjangnya.
* * *
SEMBILAN
MATAHARI pagi telah pancarkan sinarnya sejak tadi. Pendekar Mabuk bergegas bangkit ketika menyadari dirinya telah semalaman tertidur di saung tepi telaga itu. Nyenyak sekali tidurnya, sampai ia tak terasa bahwa Intan Selaksa telah bangun dan tinggalkan saung.
"Ke mana dia?!" pikir Suto mencari-cari Intan Selaksa. "Mungkin sedang buang air di balik rumpun bambu merah itu? Hmm... tak perlu kususul. Nanti sangkanya mataku seperti keranjang!" gumam Pendekar Mabuk sambil melangkahkan kakinya mendekati telaga, kemudian ia meraup air telaga untuk mencuci muka.
Namun tiba-tiba ada gelombang tenaga yang datang dari seberang telaga yang bergaris tengah antara tujuh tombak. Gelombang tenaga dalam itu memang tidak berbahaya, tapi sentakannya yang kuat membuat tubuh Suto terjengkang ke belakang saat ingin meraup air.
Bugg...!
Suto Sinting cepat bangkit dan pandangi arah datangnya gelombang angin besar itu. Ternyata datangnya dari Intan Selaksa yang baru muncul dari rimbunan bayam kuning setinggi lututnya. Dari sana Intan berseru,
"Jangan sekali-kali menyentuh air telaga!"
"Mengapa?" teriak Suto.
"Guru berpesan begitu! Aku tak tahu artinya!"
"Anak itu terlalu patuh kepada segala perintah gurunya, ia juga mempunyai nilai kesetiaan yang tinggi," pikir Pendekar Mabuk.
Intan Selaksa melangkahkan kaki dengan santai, mendekati Suto. "Kubawakan bunga untukmu," kata Intan Selaksa.
"Bunga apa ini? Baunya harum sekali," Suto pandangi bunga berwarna merah jambu yang berbau harum lembut, bentuknya mirip seperti mawar berkelopak susun dua.
"Ini namanya bunga Cendana Surga!"
"Aku baru kali ini mendengar namanya. Cukup indah, seperti indahnya warna bunga dan bentuknya. Cantik sekali, seperti cantiknya si pemberi," ucap Pendekar Mabuk melegakan hati Intan Selaksa.
Gadis itu tersenyum dengan manisnya, berkesan malu namun bahagia hatinya. "Bunga Cendana Surga layak dimiliki oleh seorang pria," kata Intan Selaksa.
"Mengapa begitu?"
"Pria yang memiliki bunga Cendana Surga membuat dirinya tak bisa disakiti oleh perempuan mana pun! Seorang perempuan tak akan tega melukai hati pria yang memiliki bunga Cendana Surga. Bawalah bunga itu untuk menjaga-jaga hatimu. Sampai seratus tahun pun bunga itu tak akan layu. Harumnya tetap akan menyebar di seluruh tubuhmu, dan tercium dari jarak tiga puluh langkah. Tapi jangan sampai bunga itu jatuh ke tanah, karena dia akan cepat layu dan tak lagi menyebarkan wewangian yang menenteramkan hati siapa pun!"
"Terima kasih! Mengapa kau berikan padaku? Bukan pada pria yang bisa menjadi kekasihmu abadi?"
"Aku tidak punya kekasih abadi! Aku hanya punya harapan abadi!"
Suto tersenyum sambil pandangi Intan Selaksa. Kejap berikutnya Suto berkerut dan cepat berkata, "Intan Selaksa, aku punya firasat tak baik untuk Raja Nujum! Sebaiknya kau di sini dulu, aku akan menengoknya ke sana! Siapa tahu Raja Nujum membutuhkan bantuan secepatnya!"
"Aku harus ikut!"
"Jangan! Mereka memburumu dan memaksamu untuk menyerahkan kunci itu! Kalau kau tak mau, kau bisa dibunuh oleh mereka di luar jangkauan pengamananku!"
"Kunci itu sudah tidak ada lagi padaku!"
"Hah...?! Lantas ke mana kunci itu?"
"Ada di dalam bumbung tuakmu!"
"Gila kamu!" Suto tertawa geli.
"Sejak kemarin sudah kumasukkan, sebelum kau menghantam tenggorokan Bandot Tembang."
Pendekar Mabuk tertawa bagai orang menggumam. "Nakal kau...!" Ia menjentik lirih ujung hidung Intan Selaksa. "Kalau begitu sejak semalam aku minum tuak campur kunci?!"
Intan Selaksa tertawa renyah. "Maafkan aku. Aku panik kala itu!"
"Baiklah! Kalau begitu kau ikut aku ke sana, dan jangan jauh-jauh dariku! Jika mereka memaksamu untuk menyerahkan kunci dan kau terdesak, katakan yang sebenarnya, bahwa kunci kau masukkan ke dalam bumbung tuakku. Suruh mereka ambil sendiri!"
Tak ada rasa gentar di hati Intan Selaksa selama ia bersama Suto. Bahkan ia punya kesiapan nyali untuk melawan siapa pun yang mencoba menyerangnya. Tetapi apa yang terjadi di tempat pertarungan Raja Nujum sungguh menyedihkan. Mereka menemui duka di sana, karena mendapatkan keadaan Raja Nujum yang sedang sekarat, sebentar lagi mati. Sedangkan orang-orang yang kemarin melawannya sudah tidak terlihat kecuali Bandot Tembang. Orang ini terbujur kaku dalam keadaan jebol dadanya.
"Paman...! Paman Raja Nujum...!" Intan Selaksa cepat mendekati orang tua yang sekarat itu dengan wajah duka menahan tangis.
"Mer... mereka... menyerang kuil... pertahankan... perta..."
Pendekar Mabuk bergegas ingin menuangkan tuak ke dalam mulut Raja Nujum. Tapi sudah terlambat. Raja Nujum menghembuskan napasnya yang terakhir pada saat tutup bumbung itu dibuka oleh Suto Sinting.
"Pamaaan...!" seru Intan Selaksa dalam tangis berkabungnya.
Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung tuaknya. Tapi segera dibuka lagi, lalu dituang ke mulutnya. Beberapa teguk tuak ditenggak sebagai alat penghapus duka atas kematian Raja Nujum.
"Cepat kita ke kuil!" kata Suto kepada Intan Selaksa. "Mereka pasti akan merusak kuil itu. Setelah dari sana, baru kita makamkan Raja Nujum di samping makan gurumu, Intan!"
Jenazah itu ditinggalkan. Tongkat yang telah pecah bola kristalnya juga ditinggalkan. Mayat Bandot Tembang dilangkahi. Matinya mengerikan. Matanya sempat melirik ke kanan dan tak kembali lagi.
"Raja Nujum agaknya bertarung semalam suntuk dengan mereka! Kulihat darahnya masih segar," kata Suto. "Tapi yang membuatku merasa aneh, mengapa Raja Nujum masih juga berpesan agar kuil dipertahankan! Ada apa dengan kuiltersebut? Jika tidak ada pusaka Pedang Guntur Biru, tak mungkin kuil begitu gigih harus dipertahankan!"
Intan Selaksa menyahut, "Tak tahulah bagaimana sebenarnya. Yang kutahu hanya, Guru tak pernah mempunyai pedang atau senjata apa pun!"
"Sangat disayangkan jika kuil itu dihancurkan mereka tapi mereka tidak temukan pedang pusaka itu!"
"Itu yang kucemaskan dari awalnya," sahut Intan Selaksa.
"Kalau begitu, kupancing saja mereka dengan pertarungan!"
"Belum tentu mereka mau melayani pertarungan denganmu! Mereka lebih mementingkan pedang pusaka dengan cara memporak-porandakan kuil!"
"Aku bisa menggunakan kunci! Dengan menunjukkan kunci itu, mereka pasti bersedia bertarung melawanku supaya bisa dapatkan kunci kamar semadi itu!"
"Bagaimana kalau kau sampai... kalah?"
"Kalau suratan takdirku sudah begitu, tak ada yang bisa menghindarinya!" jawab Pendekar Mabuk dengan tenang. Kunci itu agak sulit diambilnya, karena bumbung masih berisi tuak hampir separo bagian. Jika dituangkan semua tuaknya, kunci bisa terambil tapi Suto kehabisan tuak. Karena itu diambillah jalan untuk menggunakan kayu pengait. Kunci itu ternyata berbentuk seperti senjata cakra kecil. Ujungnya bergerigi dan mempunyai garis siku dua buah pada batangnya.
Panjangnya antara satu ukuran jari tengah, tapi lebih kecil dari ukuran jari itu sendiri. Bagian pemegangnya berbentuk gambar hati yang berlobang. Suto mencari akar, lalu membuatnya kalung dengan bandul kunci tersebut, ia mengikatkan akar dan kunci di lehernya agak ketat, supaya dalam pertarungan nanti sukar diserobot lawan. Ketika mereka sampai di kuil, tiga orang itu sedang menggempur dinding kamar semadi. Mereka pikir pintu itu lebih sulit digempur ketimbang dindingnya. Tetapi pada waktu Sambar Jantung ingin melepaskan pukulan penggempurnya, Pendekar Mabuk segera berteriak,
"Kuncinya ada di sini! Tak perlu menggempur dinding itu! Ambil saja kunci ini!"
"Bocah monyet itu muncul lagi!" geram Ratu Teluh Bumi.
Sengaja Suto memancingnya ke arah luar halaman kuil, karena keadaan di dalam halaman kuil sangat tak baik jika untuk pertempuran. Bahkan Suto sengaja memancing mereka untuk mengejarnya ke sebuah gugusan cadas yang menyerupai bukit kecil itu. Suto berdiri di sana, sementara Intan Selaksa bersembunyi di balik kerimbunan pohon yang ada tak jauh dari bukit cadas itu.
Dalam waktu singkat Sambar Jantung, Ratu Teluh Bumi, dan Dewi Kelambu Darah sudah mengepung Suto Sinting. Mata mereka sama-sama memandang ke arah leher Pendekar Mabuk yang berkalung kunci warna hitam dari batuan jenis kecombong hitam.
"Kuberi kesempatan tiap orang satu kali untuk melawanku dan merebut kunci ini dari leherku!" kata Suto dengan sikap tetap tenang.
Mereka saling cibirkan bibir. Bahkan Sambar Jantung berkata, "Menyambar kunci itu amat mudah, Suto! Mungkin jantungmu juga ikut tersambar, karena sambar-menyambar itu pekerjaanku, Nak!"
"Cobalah kau yang mengawali pertarungan ini! Tak perlu sampai ada yang mati, asal semua bersikap ksatria, kalau kalah segera mundur dan akui kekalahan kalian!" kata Pendekar Mabuk sambil menenggak tuak lagi Kesempatan Pendekar Mabuk lengah saat menenggak tuak digunakan oleh Sambar Jantung untuk menggerakkan tangannya dari tempat ia berdiri berjarak enam langkah dari Pendekar Mabuk itu.
Wuttt...! Tangannya bergerak menyambut sesuatu didepannya. Tetapi tangan Suto yang tidak memegangi tuak itu menepis, dan terasa menyentuh hawa panas yang berbunyi,
Plakkk...!
Sambar Jantung terkejut. Tangannya bisa ditangkis walau tak tersentuh tepian tangan Suto. Ia makin penasaran kepada Pendekar Mabuk itu. Dengan cepat ia sentakkan tangannya dari bawah ke atas bagai ingin menjungkir balikkan meja.
Pendekar Mabuk merasa ada gerakan gelombang dari atas yang mendorong tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik. Sebab itu, ia segera sentakkan bumbung tuaknya yang telah ditutup itu ke bawah. Wuttt...!
Plokk...!
Bumbung tuak itu bagaikan menghantam benda keras, padahal hanya berkelebat di tempat kosong depan kaki Pendekar Mabuk. Namun akibatnya sangat berbahaya bagi Sambar Jantung, ia terpelanting dengan kuat bagai tangannya disentakkan ke arah samping dan memutar, ia jatuh dengan bagian punggung lebih dulu.
Bukk...! Menyeringai wajahnya, merasa sakit punggungnya, tapi lebih sakit bagian pergelangan tangannya. Matanya membelalak melihat pergelangan tangannya bengkak seketika dan membiru bagai mengenakan gelang besar. Warna biru itu terus bergerak sampai ke batas siku.
"Biadab kau! Terimalah aji pamungkasku ini! Hiaaah...!"
Tangannya masih bisa menghentak ke depan, dan hembusan badai berserbuk putih itu keluar dengan deras, mengguncangkan tanah sekeliling. Badai salju terjadi, udara dingin begitu cepat menyembur ke tubuh Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk diam saja. Dipandanginya gerakan jurus 'Badai Salju'-nya si Sambar Jantung itu. Dalam waktu singkat tubuh Pendekar Mabuk telah menjadi putih terbungkus salju. Dan salju-salju itu sebenarnya salju beracun. Salju itu akan memakan daging dan darah korbannya hingga menjadi tulang-belulang.
"Bocah edan!" geram Sambar Jantung. "Sudah dibungkus salju sebanyak itu tetap saja tak mau rubuh?! Hiaaah...!"
Sambar Jantung sentakkan kedua tangan lagi dengan telapak tangan membara merah menyala. Pukulan itu melepaskan sinar merah berbentuk piringan setengah lingkaran. Sinar merah melesat ke dada Suto, dengan cepat Suto bergerak limbung seperti mau jatuh karena mabuk, tapi pada saat itu ia mengangkat bumbung tuaknya, dan sinar merah itu menghantam bumbung tersebut.
Crasss...!
Sinar merah memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar bentuknya. Sambar Jantung terkesiap, dan saking kagetnya tak sempat hindarkan diri, lalu sinar merah itu pun menghantam dadanya. Blarrr! Tubuh Sambar Jantung pecah menjadi serpihan-serpihan kecil tak bisa dilihat oleh mata lagi, mana bagian kepala, mana bagian jari. Lembut sekali, tanpa suara mengaduh, tanpa darah memercik.
Pendekar Mabuk mengibaskan badannya, salju-salju yang membungkusnya itu berjatuhan. Badannya basah seperti orang habis tercebur di sungai. Tapi ia tetap tegar dan menatap Ratu Teluh Bumi, lalu menatap Dewi Kelambu Darah. "Siapa lagi...?" tanya Suto. "Atau sebaiknya tak perlu ada pertarungan biar tak ada korban!"
"Jangan merasa menang dulu!" kata Dewi Kelambu Darah. "Aku lawanmu! Bukan si tua bangka itu!" Sett...! Mata Kelambu Darah bergerak ke samping.
Pendekar Mabuk terpelanting, karena tak menyangka akan mendapat serangan seketika itu. Pendekar Mabuk berguling-guling di atas tanah tiga kali, lalu cepat hinggap di atas sebongkah batu yang tingginya hanya sebatas betis. Jlegg...! Ia berdiri siap menghadapi Dewi Kelambu Darah. Mata perempuan itu pun kembali memandang dengan liar dan tajam.
Suto segera pandangi mata itu. Kelambu Darah meremas kedua tangannya, Suto sedikit bergetar kakinya. Rupanya mereka beradu kekuatan lewat pandangan mata. Kelambu Darah ingin mengambil kunci itu dengan kekuatan matanya, tapi Pendekar Mabuk mendorong kekuatan itu dengan tetap berdiri merenggang kaki. Makin lama semakin sama-sama bergetar tubuh mereka. Angin gunung berhembus menyingkapkan pakaian dan rambut mereka yang tampak gigih saling mempertahankan diri. Dan tiba-tiba Suto Sinting menggenggamkan tangannya, lalu menyentakkan napas melalui hidung. Fuih...!
Napas tanpa dendam dan kemarahan itu tidak menghadirkan angin badai Tuak Setan, namun mempunyai kekuatan mendorong balik pancaran mata Dewi Kelambu Darah. Hal itu membuat Dewi Kelambu Darah tiba-tiba terpekik sambil terjengkang ke belakang.
"Aaa...!" Kedua bola matanya pecah. Darah memercik dari kedua rongga mata itu. Tangan menutup mata sambil menjerit. Tubuhnya limbung karena sentakan keras, dan jatuh terguling-guling ke lereng berjurang dalam. Suara jeritannya masih terdengar membahana, makin lama semakin hilang. Lenyap, dan berganti sepi yang menanti.
Ratu Teluh Bumi maju dua tindak. Suto melesat pindah tempat agar dia tak terjebak jatuh ke jurang dibelakangnya. Pada waktu Pendekar Mabuk tiba ditempatnya yang baru, Ratu Teluh Bumi segera melemparkan sesuatu yang seolah-olah habis ditangkapnya di udara atas kepala.
Wuttt...! Gemerincing bunyinya menerjang angin, menuju ke arah Suto. Rupanya serombongan pecahan beling atau logam-logam tajam. Dengan kibasan tangan bagai memercikkan air, rombongan benda tajam itu pecah berhamburan ke mana-mana. Satu di antaranya masuk ke rahang Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tersentak bagai tersengat bisa kalajengking. Dan tiba-tiba kulit rahangnya itu mengelupas. Bergerak pelan mengelupas sendiri sampai ke bagian pipi. Ratu Teluh Bumi cepat pejamkan mata. Kejap berikutnya luka itu kembali seperti semula. Mulus lagi wajahnya.
Namun ia segera meniup telapak tangannya ke arah Suto. Dan Suto segera putarkan bumbung tuak ke atas. Sesuatu yang berwarna serbuk hitam dari tiupan tangan Ratu Teluh Bumi itu menyebar ke mana-mana terkena kibasan angin bumbung. Bahkan kibasan angin itu semakin besar dan menghantam keras kepala Ratu Teluh Bumi.
Plokk...!
"Ahhg...!" Ratu Teluh Bumi terpelanting. Kepalanya mengucurkan darah, sepertinya menjadi retak, ia terguling-guling jatuh ke lereng bukit pendek itu. Tapi ia masih berusaha berdiri dan memandang ke atas bukit. Sementara itu, berdirinya sendiri sudah menjadi limbung, darah makin membanjir membasahi tubuhnya. Setelah dirasakan tak mungkin lagi untuk meneruskan pertarungan, Ratu Teluh Bumi pun berseru,
"Tunggu beberapa saat lagi! Aku pasti akan membalas kekalahan ini, Suto Sinting!" Tanpa menunggu jawaban dari Suto, Ratu Teluh Bumi cepat menjejakkan kaki ke tanah dan ia melesat pergi dengan cepat. Kemudian dengan lenyapnya Ratu Teluh Bumi, muncullah Intan Selaksa yang telah keluar dari persembunyiannya dan berseru memanggil Suto dengan senyum kegembiraan.
"Sutooo...!" Ia memeluk Pendekar Mabuk dengan rasa bangga dan lega yang teramat dalam. Suto pun membalas pelukan kemenangan itu dengan hangat. Tapi angin gunung yang membawa udara dingin itu tetap saja menghembuskan napasnya, mempermainkan rambut kedua insan itu hingga dari bawah terlihat bagaikan dua tugu merapat dan meriap-riapkan rambut dengan indahnya.
"Doaku ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa! Kau diberi kemenangan, Pendekar Mabuk!"
"Terima kasih atas doamu! Jika tanpa doamu, belum tentu aku menemukan kemenanganku, Intan!"
Rupanya Pendekar Mabuk sendiri sangat penasaran, ingin membuktikan apakah benar di dalam kamar semadi itu tersimpan pedang pusaka yang mereka perebutkan. Ia meminta izin kepada Intan Selaksa untuk membuka dan memeriksa kamar tersebut. Intan Selaksa semula takut kepada pesan gurunya. Tapi Suto membujuk dan siap menanggung segala akibatnya. Maka, Intan Selaksa pun memberanikan diri untuk penuhi permintaan itu.
Terlebih dulu Pendekar Mabuk semadi beberapa saat lamanya di depan pintu kamar tersebut, seakan memohon izin kepada mendiang Guru Intan Selaksa itu untuk menengok keadaan di dalam kamar tanpa akan menyentuh apa pun. Setelah itu, Intan Selaksa disuruh membuka pintu kamar dengan menggunakan kunci. Ternyata lubang kunci ada di meja altar di tempat pemujaan. Begitu kunci dimasukkan ke dalam lobang, lalu diputar, maka pintu itu pun bergerak dengan sendiri. Zrrr...!
Kamar terbuka sudah. Tak ada yang berani masuk. Hanya memandang dari jarak tiga langkah. Ternyata kamar benar-benar kosong. Tak ada benda apa pun kecuali selembar tikar. Batu-batuannya tersusun rapi, tak ada kesan sebagai pintu rahasia menuju ke sebuah ruangan.
"Aneh! Kamar kosong begini disangka ada benda pusakanya?!" gumam Suto Sinting dengan heran.
"Sudah kukatakan, kamar ini kosong! Ternyata benar, bukan?!"
Suto manggut-manggut merenunginya. Tiba-tiba datang angin tak terlalu kencang. Daun kering terbang tertiup angin, masuk ke kamar itu dan jatuh di tikar. Intan Selaksa ingin buru-buru memungutnya karena merasa telah mengotori kamar semadi itu. Namun tangannya segera ditepis oleh Suto Sinting dalam sentakan keras.
Wuttt...! Pluk...! Segera tubuh itu dipeluknya. Intan Selaksa terkejut berada dalam pelukan Suto. Tapi lebih terkejut lagi melihat sesuatu yang terjadi di dalam kamar. Daun kering itu telah membuat beban lain di tikar, dan puluhan tombak berjajar rapi keluar dari arah kanan-kiri dinding.
Zzzrabb...! Dua rombongan tombak saling menghujam rapat. Jika ada orang berdiri di atas tikar itu, pasti akan hancur ditembus lebih dari empat puluh tombak yang bergerak cepat darikanan-kiri.
Suto dan Intan terkejut. Mereka masih termenung membayangkan kengerian yang nyaris menghancurkan tubuh Intan Selaksa. Bahkan ketika mereka kembali berada di tepi telaga, bayangan mengerikan itu masih menghantui pikiran mereka.
"Untung kau segera memelukku! Kalau tidak, habislah riwayatku!"
"Gurumu sengaja kasih jebakan bagi mereka yang berhati rakus! Tentu saja jika gurumu duduk di situ, jebakan itu tak akan bergerak karena sudah dijinakkan lebih dulu!"
"Benar juga! Tapi..., apakah menurutmu di sela-sela tombak itu terdapat pedang pusaka?"
Suto berkerut dahi dan menggumam, "Mungkin juga! Kenapa baru sekarang kita pikirkan hal itu? Mengapa tadi tidak terpikir oleh kita, sehingga kita bisa memeriksanya?! Tapi seingatku, seorang teman pernah mengatakan kepadaku, bahwa Begawan Sangga Mega mengatakan, "Pedang itu tak bisa dilihat sembarang orang. Letaknya jauh dari hati pewarisnya. Jadi, kurasa karena pewarisnya adalah Siluman Tujuh Nyawa yang berhati sesat, maka artinya pedang itu jauh dari hati orang yang sesat atau kotor. Letaknya tak bisa dilihat sembarang orang, artinya hanya orang berhati bersih yang bisa melihat di mana pedang itu berada."
"Begitukah maksudnya?"
"Kira-kira saja begitu! Aku tak tahu secara tepatnya!" jawab Suto.
Tapi sampai jauh malam Suto dan Intan Selaksa yang menikmati keindahan purnama di tepi telaga itu masih belum bisa memastikan, apakah Pedang Guntur Biru itu memang ada atau tidak? Jika ada apakah memang tak bisa dilihat sembarang orang, atau terletak di suatu tempat yang sukar dijangkau manusia?
Ketika Pendekar Mabuk sendirian merenungkan itu di tepi telaga, tiba-tiba tak sadar ia mengusap keningnya yang bertanda merah itu dengan tangan kiri. Lalu matanya terbelalak kaget melihat cahaya biru mengambang di perairan telaga tersebut. Suto mendekati cahaya biru itu, ia makin tersentak kaget setelah mengetahui benda bercahaya biru itu adalah sebuah pedang bergagang dari batuan giok biru, sarungnya dari logam putih beling bercahaya biru semburat. Berdebar-debar Pendekar Mabuk melihat pedang itu. Ternyata di situlah, di perairan telaga itulah pedang itu disimpan oleh Begawan Sangga Mega.
Jelas tak akan mudah ditemukan atau dilihat orang, karena pedang itu ada di antara lapisan alam nyata dan alam gaib. Hanya orang-orang yang bisa melihat alam gaib saja yang bisa melihat seperti apa Pedang Guntur Biru itu. Berbentuk sangat indah, menarik sekali. Setiap orang pasti berminat untuk memilikinya. Tapi Pendekar Mabuk menahan hatinya dan berhasil untuk tidak memegangnya. Sekalipun ia bisa melihat alam gaib jika mengusap keningnya dengan tangan kiri, sekalipun ia bisa memegang, tapi ia tak mau gegabah melakukannya. Sekalipun ia bisa membawa lari dan memilikinya, tapi ia tak mau membawanya lari. Ia hanya berkata dalam hatinya,
"Bukan aku pewarisnya, tapi mungkin Siluman Tujuh Nyawa itu, kalau memang dia bisa berusia tiga ratus tahun. Jika ia sebelumnya sudah mati, berarti satu-satunya pewaris pedang itu adalah. Singo Bodong!"
Hati Suto Sinting cukup lega. Puas rasanya walau hanya bisa memandang Pedang Guntur Biru itu. Setidaknya ia menjadi percaya, bahwa Pedang Pusaka Guntur Biru itu memang ada, dan tak bisa dimiliki oleh siapa pun walau harus saling bunuh-membunuh, kecuali orang berhati suci, polos, bersih, dan tidak dihinggapi nafsu angkara murka.
Pendekar Mabuk terpaksa harus melanjutkan perjalanannya, memburu Siluman Tujuh Nyawa untuk memenggal kepala tokoh sesat yang banyak memakan korban tak bersalah itu. Ia terpaksa harus berpisah dengan Intan Selaksa dengan ucapan kata berpisah,
"Suatu saat, aku pasti datang lagi menengokmu ke sini. Dan satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa ternyata pusaka itu memang ada!"
Pendekar Mabuk membiarkan dipeluk Intan Selaksa sebagai salam perpisahannya.
"Ke mana dia?!" pikir Suto mencari-cari Intan Selaksa. "Mungkin sedang buang air di balik rumpun bambu merah itu? Hmm... tak perlu kususul. Nanti sangkanya mataku seperti keranjang!" gumam Pendekar Mabuk sambil melangkahkan kakinya mendekati telaga, kemudian ia meraup air telaga untuk mencuci muka.
Namun tiba-tiba ada gelombang tenaga yang datang dari seberang telaga yang bergaris tengah antara tujuh tombak. Gelombang tenaga dalam itu memang tidak berbahaya, tapi sentakannya yang kuat membuat tubuh Suto terjengkang ke belakang saat ingin meraup air.
Bugg...!
Suto Sinting cepat bangkit dan pandangi arah datangnya gelombang angin besar itu. Ternyata datangnya dari Intan Selaksa yang baru muncul dari rimbunan bayam kuning setinggi lututnya. Dari sana Intan berseru,
"Jangan sekali-kali menyentuh air telaga!"
"Mengapa?" teriak Suto.
"Guru berpesan begitu! Aku tak tahu artinya!"
"Anak itu terlalu patuh kepada segala perintah gurunya, ia juga mempunyai nilai kesetiaan yang tinggi," pikir Pendekar Mabuk.
Intan Selaksa melangkahkan kaki dengan santai, mendekati Suto. "Kubawakan bunga untukmu," kata Intan Selaksa.
"Bunga apa ini? Baunya harum sekali," Suto pandangi bunga berwarna merah jambu yang berbau harum lembut, bentuknya mirip seperti mawar berkelopak susun dua.
"Ini namanya bunga Cendana Surga!"
"Aku baru kali ini mendengar namanya. Cukup indah, seperti indahnya warna bunga dan bentuknya. Cantik sekali, seperti cantiknya si pemberi," ucap Pendekar Mabuk melegakan hati Intan Selaksa.
Gadis itu tersenyum dengan manisnya, berkesan malu namun bahagia hatinya. "Bunga Cendana Surga layak dimiliki oleh seorang pria," kata Intan Selaksa.
"Mengapa begitu?"
"Pria yang memiliki bunga Cendana Surga membuat dirinya tak bisa disakiti oleh perempuan mana pun! Seorang perempuan tak akan tega melukai hati pria yang memiliki bunga Cendana Surga. Bawalah bunga itu untuk menjaga-jaga hatimu. Sampai seratus tahun pun bunga itu tak akan layu. Harumnya tetap akan menyebar di seluruh tubuhmu, dan tercium dari jarak tiga puluh langkah. Tapi jangan sampai bunga itu jatuh ke tanah, karena dia akan cepat layu dan tak lagi menyebarkan wewangian yang menenteramkan hati siapa pun!"
"Terima kasih! Mengapa kau berikan padaku? Bukan pada pria yang bisa menjadi kekasihmu abadi?"
"Aku tidak punya kekasih abadi! Aku hanya punya harapan abadi!"
Suto tersenyum sambil pandangi Intan Selaksa. Kejap berikutnya Suto berkerut dan cepat berkata, "Intan Selaksa, aku punya firasat tak baik untuk Raja Nujum! Sebaiknya kau di sini dulu, aku akan menengoknya ke sana! Siapa tahu Raja Nujum membutuhkan bantuan secepatnya!"
"Aku harus ikut!"
"Jangan! Mereka memburumu dan memaksamu untuk menyerahkan kunci itu! Kalau kau tak mau, kau bisa dibunuh oleh mereka di luar jangkauan pengamananku!"
"Kunci itu sudah tidak ada lagi padaku!"
"Hah...?! Lantas ke mana kunci itu?"
"Ada di dalam bumbung tuakmu!"
"Gila kamu!" Suto tertawa geli.
"Sejak kemarin sudah kumasukkan, sebelum kau menghantam tenggorokan Bandot Tembang."
Pendekar Mabuk tertawa bagai orang menggumam. "Nakal kau...!" Ia menjentik lirih ujung hidung Intan Selaksa. "Kalau begitu sejak semalam aku minum tuak campur kunci?!"
Intan Selaksa tertawa renyah. "Maafkan aku. Aku panik kala itu!"
"Baiklah! Kalau begitu kau ikut aku ke sana, dan jangan jauh-jauh dariku! Jika mereka memaksamu untuk menyerahkan kunci dan kau terdesak, katakan yang sebenarnya, bahwa kunci kau masukkan ke dalam bumbung tuakku. Suruh mereka ambil sendiri!"
Tak ada rasa gentar di hati Intan Selaksa selama ia bersama Suto. Bahkan ia punya kesiapan nyali untuk melawan siapa pun yang mencoba menyerangnya. Tetapi apa yang terjadi di tempat pertarungan Raja Nujum sungguh menyedihkan. Mereka menemui duka di sana, karena mendapatkan keadaan Raja Nujum yang sedang sekarat, sebentar lagi mati. Sedangkan orang-orang yang kemarin melawannya sudah tidak terlihat kecuali Bandot Tembang. Orang ini terbujur kaku dalam keadaan jebol dadanya.
"Paman...! Paman Raja Nujum...!" Intan Selaksa cepat mendekati orang tua yang sekarat itu dengan wajah duka menahan tangis.
"Mer... mereka... menyerang kuil... pertahankan... perta..."
Pendekar Mabuk bergegas ingin menuangkan tuak ke dalam mulut Raja Nujum. Tapi sudah terlambat. Raja Nujum menghembuskan napasnya yang terakhir pada saat tutup bumbung itu dibuka oleh Suto Sinting.
"Pamaaan...!" seru Intan Selaksa dalam tangis berkabungnya.
Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung tuaknya. Tapi segera dibuka lagi, lalu dituang ke mulutnya. Beberapa teguk tuak ditenggak sebagai alat penghapus duka atas kematian Raja Nujum.
"Cepat kita ke kuil!" kata Suto kepada Intan Selaksa. "Mereka pasti akan merusak kuil itu. Setelah dari sana, baru kita makamkan Raja Nujum di samping makan gurumu, Intan!"
Jenazah itu ditinggalkan. Tongkat yang telah pecah bola kristalnya juga ditinggalkan. Mayat Bandot Tembang dilangkahi. Matinya mengerikan. Matanya sempat melirik ke kanan dan tak kembali lagi.
"Raja Nujum agaknya bertarung semalam suntuk dengan mereka! Kulihat darahnya masih segar," kata Suto. "Tapi yang membuatku merasa aneh, mengapa Raja Nujum masih juga berpesan agar kuil dipertahankan! Ada apa dengan kuiltersebut? Jika tidak ada pusaka Pedang Guntur Biru, tak mungkin kuil begitu gigih harus dipertahankan!"
Intan Selaksa menyahut, "Tak tahulah bagaimana sebenarnya. Yang kutahu hanya, Guru tak pernah mempunyai pedang atau senjata apa pun!"
"Sangat disayangkan jika kuil itu dihancurkan mereka tapi mereka tidak temukan pedang pusaka itu!"
"Itu yang kucemaskan dari awalnya," sahut Intan Selaksa.
"Kalau begitu, kupancing saja mereka dengan pertarungan!"
"Belum tentu mereka mau melayani pertarungan denganmu! Mereka lebih mementingkan pedang pusaka dengan cara memporak-porandakan kuil!"
"Aku bisa menggunakan kunci! Dengan menunjukkan kunci itu, mereka pasti bersedia bertarung melawanku supaya bisa dapatkan kunci kamar semadi itu!"
"Bagaimana kalau kau sampai... kalah?"
"Kalau suratan takdirku sudah begitu, tak ada yang bisa menghindarinya!" jawab Pendekar Mabuk dengan tenang. Kunci itu agak sulit diambilnya, karena bumbung masih berisi tuak hampir separo bagian. Jika dituangkan semua tuaknya, kunci bisa terambil tapi Suto kehabisan tuak. Karena itu diambillah jalan untuk menggunakan kayu pengait. Kunci itu ternyata berbentuk seperti senjata cakra kecil. Ujungnya bergerigi dan mempunyai garis siku dua buah pada batangnya.
Panjangnya antara satu ukuran jari tengah, tapi lebih kecil dari ukuran jari itu sendiri. Bagian pemegangnya berbentuk gambar hati yang berlobang. Suto mencari akar, lalu membuatnya kalung dengan bandul kunci tersebut, ia mengikatkan akar dan kunci di lehernya agak ketat, supaya dalam pertarungan nanti sukar diserobot lawan. Ketika mereka sampai di kuil, tiga orang itu sedang menggempur dinding kamar semadi. Mereka pikir pintu itu lebih sulit digempur ketimbang dindingnya. Tetapi pada waktu Sambar Jantung ingin melepaskan pukulan penggempurnya, Pendekar Mabuk segera berteriak,
"Kuncinya ada di sini! Tak perlu menggempur dinding itu! Ambil saja kunci ini!"
"Bocah monyet itu muncul lagi!" geram Ratu Teluh Bumi.
Sengaja Suto memancingnya ke arah luar halaman kuil, karena keadaan di dalam halaman kuil sangat tak baik jika untuk pertempuran. Bahkan Suto sengaja memancing mereka untuk mengejarnya ke sebuah gugusan cadas yang menyerupai bukit kecil itu. Suto berdiri di sana, sementara Intan Selaksa bersembunyi di balik kerimbunan pohon yang ada tak jauh dari bukit cadas itu.
Dalam waktu singkat Sambar Jantung, Ratu Teluh Bumi, dan Dewi Kelambu Darah sudah mengepung Suto Sinting. Mata mereka sama-sama memandang ke arah leher Pendekar Mabuk yang berkalung kunci warna hitam dari batuan jenis kecombong hitam.
"Kuberi kesempatan tiap orang satu kali untuk melawanku dan merebut kunci ini dari leherku!" kata Suto dengan sikap tetap tenang.
Mereka saling cibirkan bibir. Bahkan Sambar Jantung berkata, "Menyambar kunci itu amat mudah, Suto! Mungkin jantungmu juga ikut tersambar, karena sambar-menyambar itu pekerjaanku, Nak!"
"Cobalah kau yang mengawali pertarungan ini! Tak perlu sampai ada yang mati, asal semua bersikap ksatria, kalau kalah segera mundur dan akui kekalahan kalian!" kata Pendekar Mabuk sambil menenggak tuak lagi Kesempatan Pendekar Mabuk lengah saat menenggak tuak digunakan oleh Sambar Jantung untuk menggerakkan tangannya dari tempat ia berdiri berjarak enam langkah dari Pendekar Mabuk itu.
Wuttt...! Tangannya bergerak menyambut sesuatu didepannya. Tetapi tangan Suto yang tidak memegangi tuak itu menepis, dan terasa menyentuh hawa panas yang berbunyi,
Plakkk...!
Sambar Jantung terkejut. Tangannya bisa ditangkis walau tak tersentuh tepian tangan Suto. Ia makin penasaran kepada Pendekar Mabuk itu. Dengan cepat ia sentakkan tangannya dari bawah ke atas bagai ingin menjungkir balikkan meja.
Pendekar Mabuk merasa ada gerakan gelombang dari atas yang mendorong tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik. Sebab itu, ia segera sentakkan bumbung tuaknya yang telah ditutup itu ke bawah. Wuttt...!
Plokk...!
Bumbung tuak itu bagaikan menghantam benda keras, padahal hanya berkelebat di tempat kosong depan kaki Pendekar Mabuk. Namun akibatnya sangat berbahaya bagi Sambar Jantung, ia terpelanting dengan kuat bagai tangannya disentakkan ke arah samping dan memutar, ia jatuh dengan bagian punggung lebih dulu.
Bukk...! Menyeringai wajahnya, merasa sakit punggungnya, tapi lebih sakit bagian pergelangan tangannya. Matanya membelalak melihat pergelangan tangannya bengkak seketika dan membiru bagai mengenakan gelang besar. Warna biru itu terus bergerak sampai ke batas siku.
"Biadab kau! Terimalah aji pamungkasku ini! Hiaaah...!"
Tangannya masih bisa menghentak ke depan, dan hembusan badai berserbuk putih itu keluar dengan deras, mengguncangkan tanah sekeliling. Badai salju terjadi, udara dingin begitu cepat menyembur ke tubuh Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk diam saja. Dipandanginya gerakan jurus 'Badai Salju'-nya si Sambar Jantung itu. Dalam waktu singkat tubuh Pendekar Mabuk telah menjadi putih terbungkus salju. Dan salju-salju itu sebenarnya salju beracun. Salju itu akan memakan daging dan darah korbannya hingga menjadi tulang-belulang.
"Bocah edan!" geram Sambar Jantung. "Sudah dibungkus salju sebanyak itu tetap saja tak mau rubuh?! Hiaaah...!"
Sambar Jantung sentakkan kedua tangan lagi dengan telapak tangan membara merah menyala. Pukulan itu melepaskan sinar merah berbentuk piringan setengah lingkaran. Sinar merah melesat ke dada Suto, dengan cepat Suto bergerak limbung seperti mau jatuh karena mabuk, tapi pada saat itu ia mengangkat bumbung tuaknya, dan sinar merah itu menghantam bumbung tersebut.
Crasss...!
Sinar merah memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar bentuknya. Sambar Jantung terkesiap, dan saking kagetnya tak sempat hindarkan diri, lalu sinar merah itu pun menghantam dadanya. Blarrr! Tubuh Sambar Jantung pecah menjadi serpihan-serpihan kecil tak bisa dilihat oleh mata lagi, mana bagian kepala, mana bagian jari. Lembut sekali, tanpa suara mengaduh, tanpa darah memercik.
Pendekar Mabuk mengibaskan badannya, salju-salju yang membungkusnya itu berjatuhan. Badannya basah seperti orang habis tercebur di sungai. Tapi ia tetap tegar dan menatap Ratu Teluh Bumi, lalu menatap Dewi Kelambu Darah. "Siapa lagi...?" tanya Suto. "Atau sebaiknya tak perlu ada pertarungan biar tak ada korban!"
"Jangan merasa menang dulu!" kata Dewi Kelambu Darah. "Aku lawanmu! Bukan si tua bangka itu!" Sett...! Mata Kelambu Darah bergerak ke samping.
Pendekar Mabuk terpelanting, karena tak menyangka akan mendapat serangan seketika itu. Pendekar Mabuk berguling-guling di atas tanah tiga kali, lalu cepat hinggap di atas sebongkah batu yang tingginya hanya sebatas betis. Jlegg...! Ia berdiri siap menghadapi Dewi Kelambu Darah. Mata perempuan itu pun kembali memandang dengan liar dan tajam.
Suto segera pandangi mata itu. Kelambu Darah meremas kedua tangannya, Suto sedikit bergetar kakinya. Rupanya mereka beradu kekuatan lewat pandangan mata. Kelambu Darah ingin mengambil kunci itu dengan kekuatan matanya, tapi Pendekar Mabuk mendorong kekuatan itu dengan tetap berdiri merenggang kaki. Makin lama semakin sama-sama bergetar tubuh mereka. Angin gunung berhembus menyingkapkan pakaian dan rambut mereka yang tampak gigih saling mempertahankan diri. Dan tiba-tiba Suto Sinting menggenggamkan tangannya, lalu menyentakkan napas melalui hidung. Fuih...!
Napas tanpa dendam dan kemarahan itu tidak menghadirkan angin badai Tuak Setan, namun mempunyai kekuatan mendorong balik pancaran mata Dewi Kelambu Darah. Hal itu membuat Dewi Kelambu Darah tiba-tiba terpekik sambil terjengkang ke belakang.
"Aaa...!" Kedua bola matanya pecah. Darah memercik dari kedua rongga mata itu. Tangan menutup mata sambil menjerit. Tubuhnya limbung karena sentakan keras, dan jatuh terguling-guling ke lereng berjurang dalam. Suara jeritannya masih terdengar membahana, makin lama semakin hilang. Lenyap, dan berganti sepi yang menanti.
Ratu Teluh Bumi maju dua tindak. Suto melesat pindah tempat agar dia tak terjebak jatuh ke jurang dibelakangnya. Pada waktu Pendekar Mabuk tiba ditempatnya yang baru, Ratu Teluh Bumi segera melemparkan sesuatu yang seolah-olah habis ditangkapnya di udara atas kepala.
Wuttt...! Gemerincing bunyinya menerjang angin, menuju ke arah Suto. Rupanya serombongan pecahan beling atau logam-logam tajam. Dengan kibasan tangan bagai memercikkan air, rombongan benda tajam itu pecah berhamburan ke mana-mana. Satu di antaranya masuk ke rahang Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tersentak bagai tersengat bisa kalajengking. Dan tiba-tiba kulit rahangnya itu mengelupas. Bergerak pelan mengelupas sendiri sampai ke bagian pipi. Ratu Teluh Bumi cepat pejamkan mata. Kejap berikutnya luka itu kembali seperti semula. Mulus lagi wajahnya.
Namun ia segera meniup telapak tangannya ke arah Suto. Dan Suto segera putarkan bumbung tuak ke atas. Sesuatu yang berwarna serbuk hitam dari tiupan tangan Ratu Teluh Bumi itu menyebar ke mana-mana terkena kibasan angin bumbung. Bahkan kibasan angin itu semakin besar dan menghantam keras kepala Ratu Teluh Bumi.
Plokk...!
"Ahhg...!" Ratu Teluh Bumi terpelanting. Kepalanya mengucurkan darah, sepertinya menjadi retak, ia terguling-guling jatuh ke lereng bukit pendek itu. Tapi ia masih berusaha berdiri dan memandang ke atas bukit. Sementara itu, berdirinya sendiri sudah menjadi limbung, darah makin membanjir membasahi tubuhnya. Setelah dirasakan tak mungkin lagi untuk meneruskan pertarungan, Ratu Teluh Bumi pun berseru,
"Tunggu beberapa saat lagi! Aku pasti akan membalas kekalahan ini, Suto Sinting!" Tanpa menunggu jawaban dari Suto, Ratu Teluh Bumi cepat menjejakkan kaki ke tanah dan ia melesat pergi dengan cepat. Kemudian dengan lenyapnya Ratu Teluh Bumi, muncullah Intan Selaksa yang telah keluar dari persembunyiannya dan berseru memanggil Suto dengan senyum kegembiraan.
"Sutooo...!" Ia memeluk Pendekar Mabuk dengan rasa bangga dan lega yang teramat dalam. Suto pun membalas pelukan kemenangan itu dengan hangat. Tapi angin gunung yang membawa udara dingin itu tetap saja menghembuskan napasnya, mempermainkan rambut kedua insan itu hingga dari bawah terlihat bagaikan dua tugu merapat dan meriap-riapkan rambut dengan indahnya.
"Doaku ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa! Kau diberi kemenangan, Pendekar Mabuk!"
"Terima kasih atas doamu! Jika tanpa doamu, belum tentu aku menemukan kemenanganku, Intan!"
Rupanya Pendekar Mabuk sendiri sangat penasaran, ingin membuktikan apakah benar di dalam kamar semadi itu tersimpan pedang pusaka yang mereka perebutkan. Ia meminta izin kepada Intan Selaksa untuk membuka dan memeriksa kamar tersebut. Intan Selaksa semula takut kepada pesan gurunya. Tapi Suto membujuk dan siap menanggung segala akibatnya. Maka, Intan Selaksa pun memberanikan diri untuk penuhi permintaan itu.
Terlebih dulu Pendekar Mabuk semadi beberapa saat lamanya di depan pintu kamar tersebut, seakan memohon izin kepada mendiang Guru Intan Selaksa itu untuk menengok keadaan di dalam kamar tanpa akan menyentuh apa pun. Setelah itu, Intan Selaksa disuruh membuka pintu kamar dengan menggunakan kunci. Ternyata lubang kunci ada di meja altar di tempat pemujaan. Begitu kunci dimasukkan ke dalam lobang, lalu diputar, maka pintu itu pun bergerak dengan sendiri. Zrrr...!
Kamar terbuka sudah. Tak ada yang berani masuk. Hanya memandang dari jarak tiga langkah. Ternyata kamar benar-benar kosong. Tak ada benda apa pun kecuali selembar tikar. Batu-batuannya tersusun rapi, tak ada kesan sebagai pintu rahasia menuju ke sebuah ruangan.
"Aneh! Kamar kosong begini disangka ada benda pusakanya?!" gumam Suto Sinting dengan heran.
"Sudah kukatakan, kamar ini kosong! Ternyata benar, bukan?!"
Suto manggut-manggut merenunginya. Tiba-tiba datang angin tak terlalu kencang. Daun kering terbang tertiup angin, masuk ke kamar itu dan jatuh di tikar. Intan Selaksa ingin buru-buru memungutnya karena merasa telah mengotori kamar semadi itu. Namun tangannya segera ditepis oleh Suto Sinting dalam sentakan keras.
Wuttt...! Pluk...! Segera tubuh itu dipeluknya. Intan Selaksa terkejut berada dalam pelukan Suto. Tapi lebih terkejut lagi melihat sesuatu yang terjadi di dalam kamar. Daun kering itu telah membuat beban lain di tikar, dan puluhan tombak berjajar rapi keluar dari arah kanan-kiri dinding.
Zzzrabb...! Dua rombongan tombak saling menghujam rapat. Jika ada orang berdiri di atas tikar itu, pasti akan hancur ditembus lebih dari empat puluh tombak yang bergerak cepat darikanan-kiri.
Suto dan Intan terkejut. Mereka masih termenung membayangkan kengerian yang nyaris menghancurkan tubuh Intan Selaksa. Bahkan ketika mereka kembali berada di tepi telaga, bayangan mengerikan itu masih menghantui pikiran mereka.
"Untung kau segera memelukku! Kalau tidak, habislah riwayatku!"
"Gurumu sengaja kasih jebakan bagi mereka yang berhati rakus! Tentu saja jika gurumu duduk di situ, jebakan itu tak akan bergerak karena sudah dijinakkan lebih dulu!"
"Benar juga! Tapi..., apakah menurutmu di sela-sela tombak itu terdapat pedang pusaka?"
Suto berkerut dahi dan menggumam, "Mungkin juga! Kenapa baru sekarang kita pikirkan hal itu? Mengapa tadi tidak terpikir oleh kita, sehingga kita bisa memeriksanya?! Tapi seingatku, seorang teman pernah mengatakan kepadaku, bahwa Begawan Sangga Mega mengatakan, "Pedang itu tak bisa dilihat sembarang orang. Letaknya jauh dari hati pewarisnya. Jadi, kurasa karena pewarisnya adalah Siluman Tujuh Nyawa yang berhati sesat, maka artinya pedang itu jauh dari hati orang yang sesat atau kotor. Letaknya tak bisa dilihat sembarang orang, artinya hanya orang berhati bersih yang bisa melihat di mana pedang itu berada."
"Begitukah maksudnya?"
"Kira-kira saja begitu! Aku tak tahu secara tepatnya!" jawab Suto.
Tapi sampai jauh malam Suto dan Intan Selaksa yang menikmati keindahan purnama di tepi telaga itu masih belum bisa memastikan, apakah Pedang Guntur Biru itu memang ada atau tidak? Jika ada apakah memang tak bisa dilihat sembarang orang, atau terletak di suatu tempat yang sukar dijangkau manusia?
Ketika Pendekar Mabuk sendirian merenungkan itu di tepi telaga, tiba-tiba tak sadar ia mengusap keningnya yang bertanda merah itu dengan tangan kiri. Lalu matanya terbelalak kaget melihat cahaya biru mengambang di perairan telaga tersebut. Suto mendekati cahaya biru itu, ia makin tersentak kaget setelah mengetahui benda bercahaya biru itu adalah sebuah pedang bergagang dari batuan giok biru, sarungnya dari logam putih beling bercahaya biru semburat. Berdebar-debar Pendekar Mabuk melihat pedang itu. Ternyata di situlah, di perairan telaga itulah pedang itu disimpan oleh Begawan Sangga Mega.
Jelas tak akan mudah ditemukan atau dilihat orang, karena pedang itu ada di antara lapisan alam nyata dan alam gaib. Hanya orang-orang yang bisa melihat alam gaib saja yang bisa melihat seperti apa Pedang Guntur Biru itu. Berbentuk sangat indah, menarik sekali. Setiap orang pasti berminat untuk memilikinya. Tapi Pendekar Mabuk menahan hatinya dan berhasil untuk tidak memegangnya. Sekalipun ia bisa melihat alam gaib jika mengusap keningnya dengan tangan kiri, sekalipun ia bisa memegang, tapi ia tak mau gegabah melakukannya. Sekalipun ia bisa membawa lari dan memilikinya, tapi ia tak mau membawanya lari. Ia hanya berkata dalam hatinya,
"Bukan aku pewarisnya, tapi mungkin Siluman Tujuh Nyawa itu, kalau memang dia bisa berusia tiga ratus tahun. Jika ia sebelumnya sudah mati, berarti satu-satunya pewaris pedang itu adalah. Singo Bodong!"
Hati Suto Sinting cukup lega. Puas rasanya walau hanya bisa memandang Pedang Guntur Biru itu. Setidaknya ia menjadi percaya, bahwa Pedang Pusaka Guntur Biru itu memang ada, dan tak bisa dimiliki oleh siapa pun walau harus saling bunuh-membunuh, kecuali orang berhati suci, polos, bersih, dan tidak dihinggapi nafsu angkara murka.
Pendekar Mabuk terpaksa harus melanjutkan perjalanannya, memburu Siluman Tujuh Nyawa untuk memenggal kepala tokoh sesat yang banyak memakan korban tak bersalah itu. Ia terpaksa harus berpisah dengan Intan Selaksa dengan ucapan kata berpisah,
"Suatu saat, aku pasti datang lagi menengokmu ke sini. Dan satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa ternyata pusaka itu memang ada!"
Pendekar Mabuk membiarkan dipeluk Intan Selaksa sebagai salam perpisahannya.
SELESAI