Perawan Sesat

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Perawan Sesat Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Perawan Sesat
Karya Suryadi

Cerita silat online Indonesia Serial Pendekar Mabuk karya Suryadi
SATU
SEMILIR angin menghembus ke permukaan telaga. Air telaga bergerak-gerak bagai digelitik jemari perawan. Telaga yang tidak begitu luas itu dikelilingi oleh pepohonan rindang berbatang tinggi. Teduh sekali suasana di sekeliling telaga.

Tiba-tiba tanpa angin tanpa badai, air telaga berkecipak dan muncrat ke atas. Sesosok tubuh melesat keluar dari kedalaman telaga. Tubuh itu segera bersalto ke depan dan kejap berikutnya sepasang kaki kekarnya telah menapak tanah.

Jliggg...!

Napas orang itu terhempas. Sebagian air ikut menyembur keluar dari mulutnya. Matanya yang kecil tapi tajam itu menatap sekeliling dengan penuh waspada. Orang berpakaian hitam dengan alis kuning emas pada tepiannya itu segera kibaskan kepala. Rambut dan sekujur tubuhnya yang basah siratkan air ke kanan-kiri. Ikat kepalanya dilepas dan diperas.

Melihat dari bentuk kumisnya yang sedikit tebal dengan cambang tipis, sebuah pedang sarung perak berukir yang tetap tersemat di pinggang kirinya, ia cukup dikenal di rimba persilatan. Para tokoh mengenalnya dengan nama: Datuk Marah Gadai. Ia tergolong salah satu dari sekian tokoh sakti yang punya hasrat untuk menguasai rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Ia punya harapan untuk menjadi penguasa tanah Jawa, hingga tak segan-segan turunkan tangan dan cabutkan pedang untuk membunuh siapa pun yang menjadi penghalangnya.

Datuk Marah Gadai memandangi air telaga dengan perasaan dongkol. Matanya yang berkesan bengis itu semakin tampak bengis, karena sebuah perasaan kecewa yang dikarenakan oleh sesuatu hal semakin menggerogoti jiwanya. Datuk Marah Gadai menggeram dalam keraguan bertindak.

"Kutinggalkan telaga keparat ini, atau kucoba sekali lagi menyelam dan mencari di dasar telaga. Bila perlu kuangkat semua tanah yang ada di dasar telaga ini!"

Belum sampai Datuk Marah Gadai putuskan langkah, tiba-tiba ia mendengar suara tawa terkekeh dari atas pohon. Cepat-cepat Datuk Marah Gadai palingkan wajah lemparkan pandangan ke atas.

"Turun kau, Monyet!" sentak Datuk Marah Gadai dengan kasar.

"Tak perlu kau suruh aku turun, aku memang sudah berniat turun sendiri. Karena kaulah orang yang kucari-cari beberapa waktu ini dan ternyata kutemukan di sini! He, he, he...!"

Orang di atas pohon itu segera melompat turun. Tubuhnya yang kurus kering bagaikan kipas dihembus angin. Rambutnya yang putih panjang meriap panjang bagaikan serabut akar kering melayang ke mana-mana. Orang yang bercelana hitam, berkain putih penutup dada, dan menggenggam tongkat kayu putih itu tak lain adalah Peramal Pikun dengan nama asli Renggono. Dia adalah kakak dari Cadaspati, murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang tempo hari telah dibunuh oleh Datuk Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).

Tokoh tua yang lebih banyak cengengesan itu memang mempunyai kesaktian melebihi adiknya, tapi ia tidak termasuk sebagai murid Malaikat Tanpa Nyawa. Bahkan dulu ia pernah bentrok dengan Malaikat Tanpa Nyawa, dan ia segera kabur karena sang adik membela gurunya. Namun sebagai seorang kakak, Peramal Pikun tak bisa tinggal diam melihat kematian adiknya di tangan Datuk Marah Gadai. Untuk itulah ia merasa gembira karena bisa bertemu dengan pembunuh adiknya di tepi Telaga Manik Intan. Peramal Pikun hentikan tawanya sejenak. Pandangan matanya menjadi lebih tajam. Kata-katanya terasa sedingin es.

"Kau yang membunuh Cadaspati, adikku!"

"Benar!" jawab Datuk Marah Gadai bersikap menantang.

"Apakah kau ingin menyusulnya? Aku bersedia membantumu!"

"Kau yang akan kususulkan ke sana untuk meminta maaf padanya!"

Datuk Marah Gadai sunggingkan senyum tipis dan sinis, pertanda meremehkan gertakan Peramal Pikun. "Rupanya biar tua kau masih punya nyali juga, Peramal Pikun! Seharusnya kau bisa bayangkan, adikmu yang terhitung lebih muda dan lebih lincah darimu itu bisa kubunuh tanpa ampun lagi, apalagi kamu yang sudah tua renta tinggal tulang terbungkus kulit? Sama saja aku melawan ranting kering yang sudah waktunya rengas!"

Peramal Pikun menyipitkan pandangan matanya. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat meremas kuat. Kejap berikutnya ia sentakkan kepala tongkat ke depan, kaki merendah terbentang, tangan terangkat ke atas.

Wuuugh....!

Sebuah gumpalan tenaga dalam dilancarkan melalui kepala tongkatnya. Tenaga dalam itu melesat ke dada Datuk, tapi dengan cepat tangan kanan Datuk terangkat di depan dada dengan dua jari mengeras berdiri dan punggung tangan itu menghadap ke arah depan. Dari punggung tangan itu keluar gelombang tenaga penangkis, sehingga di depan mereka terdengar suara seperti dua benda empuk beradu.

Beggh...!

Kedua tubuh masih sama-sama tegak. Hanya kain dan rambut Peramal Pikun yang tersibak bagai dihembus angin balik. Sementara itu, Datuk Marah Gadai sunggingkan senyum karena ia pun merasa sedikit terdorong oleh benturan tenaga dalam itu. Peramal Pikun mengendurkan urat-urat tangannya dan kembali bersikap seperti tadi. Tongkatnya ditapakkan ke tanah. Seakan apa yang dilakukan tadi hanya untuk menguji kesigapan lawannya.

Sang lawan pun menurunkan tangan dan berdiri dalam sikap tenang seperti semula. Datuk Marah Gadai melangkah ke samping dua tindak. Sengaja ia berdiri bersandar pohon supaya timbul kesan menganggap enteng kehadiran Peramal Pikun.

"Kalau kau menuntut kematian adikmu itu kuanggap tuntutan yang wajar. Tapi aku sangsi, apa kamu bisa mengungguli ilmuku, Peramal Pikun?"

Merasa diremehkan, Peramal Pikun sentakkan tongkatnya ke tanah.

Duggg...!

Tak diduga-duga tubuh Datuk Marah Gadai tersentak ke atas dan nyaris jatuh ke tanah. Rupanya Peramal Pikun salurkan tenaga dalamnya melalui tongkat, dan tenaga dalam itu melesak masuk ke tanah, lalu menyentak ke atas, membuat tubuh Datuk Marah Gadai tersentak naik. Ada separo tombak tinggi sentakan itu. Kalau saja Datuk Marah Gadai tidak bisa cepat kuasai keseimbangan, ia akan jatuh terduduk di tanah. Untung ia segera kuasai keseimbangan tubuhnya yang sedikit gemuk itu, sehingga ia hanya terhuyung-huyung dan berhasil berpegangan batang pohon.

"Datuk Marah Gadai!" kata Peramal Pikun dengan tegas. "Perlu kau ketahui, kehadiranku menemui dirimu bukan hanya menuntut balas atas kematian adikku, tapi juga ingin merebut Pusaka Tuak Setan yang kau ambil dari Cadaspati, adikku itu."

"Pusaka apa yang bisa diperoleh adikmu itu?! Tidak ada pusaka apa-apa yang bisa diperolehnya, karena adikmu itu sebenarnya manusia tanpa isi, tak punya ilmu apa-apa, sehingga tak bisa memperoleh pusaka apa pun! Menyesal juga aku telah bersusah payah mengejarnya, buang-buang waktu saja, dan ternyata Pusaka Tuak Setan memang tidak ada padanya."

"Hmmm... begitukah pengakuanmu, Datuk Marah Gadai? Jika memang Cadaspati tidak memegang pusaka itu, tentunya kau sekarang telah memegangnya! Aku lihat sendiri kau muncul dari kedalaman telaga!"

"Ya. Memang aku muncul dari kedalaman telaga ini. Lantas apa maksudmu?"

"Tentunya kau yakin jika Pusaka Tuak Setan itu masih ada di dasar telaga, dan kau segera memburunya setelah kau bunuh adikku itu. Tentunya juga kau sekarang sudah mendapatkannya, Marah Gadai!"

Tawa Datuk Marah Gadai terlepas keras. Pada saat yang sama, Peramal Pikun berkata dalam hatinya. "Pasti dia sudah dapatkan pusaka itu. Kalau dia tidak memperoleh Pusaka Tuak Setan dari Cadaspati, tak mungkin dia menyelam di dalam telaga dalam keadaan tanpa melepas pakaian. Sengaja dia menyelam dengan berpakaian lengkap, karena keadaan itu bisa dimanfaatkan olehnya untuk menyembunyikan Pusaka Tuak Setan di balik baju atau pinggangnya itu."

Datuk Marah Gadai hentikan tawa. Tapi bibirnya masih sunggingkan sisa senyum sinisnya, sambil ia perdengarkan suaranya yang sedikit besar itu. "Lucu sekali buatku. Dulu, sangkaku Cadaspati membawa Pusaka Tuak Setan dari dasar telaga, sebab aku lihat dia muncul dari kedalaman telaga. Lalu aku kejar dia sampai akhirnya kubunuh, dan ternyata dia tidak pegang pusaka itu. Sekarang, aku muncul dari dasar telaga tanpa membawa pusaka itu, tapi disangka berhasil memperoleh pusaka itu. Tentunya kau tidak percaya jika kukatakan bahwa aku tidak memperoleh benda apa pun di dalam dasar telagaiItu! Satu pasir pun tidak kubawa naik ke permukaan ini, Peramal Pikun. Harap kau mau percaya agar tak terjadi salah duga yang berakibat buruk, seperti nasib adikmu itu!"

Peramal Pikun membatin, "Apa benar dia tidak dapatkan pusaka itu? Jika benar, lantas ke mana perginya pusaka itu? Siapa yang sudah berhasil membawanya pergi? Atau... masih ada di dalam telaga ini?"

Sejurus setelah keduanya sama-sama diam, Datuk Marah Gadai kembali perdengarkan suaranya, "Peramal Pikun, kurasa kau tak perlu curiga padaku. Pusaku itu memang tidak ada. Mungkin juga yang namanya Pusaka Tuak Setan hanya merupakan kabar bohong saja. Pusaka itu tidak pernah ada dari dulu sampai sekarang. Jadi, tak ada guna kita bersitegang memperebutkannya. Dan, aku tak bisa terlalu lama tinggal di sini, karena aku punya banyak urusan di tempat lain. Aku harus segera pergi!"

"Tunggu!" cegah Peramal Pikun sambil melangkah satu tindak.

"Urusan kita belum beres, Marah Gadai!"

"Sudah kukatakan, Tuak Setan itu tidak ada!"

"Barangkali benar. Tapi urusan soal kematian adikku belum selesai. Kau harus menebusnya dengan nyawa pula, Marah Gadai!"

"Aku tidak tega jika harus meremukkan tulang-tulang tuamu, Renggono!" kata Datuk Marah Gadai menyebutkan nama asli Peramal Pikun. Tetapi agaknya orang berkumis putih dan beralis tebal putih itu tidak mau membiarkan lawannya pergi begitu saja. Saat Datuk Marah Gadai balikkan badan dan siap melangkah, Peramal Pikun segera kibaskan tongkatnya ke arah depan, dari kanan ke kiri.

Wuuung...!

Bunyi kibasannya mirip suara gasing. Datuk Marah Gadai segera balikkan badan untuk menangkis pukulan tenaga dalam itu. Tapi ia telat bergerak. Tenaga dalam tanpa bentuk itu telah menghantam bagian punggungnya. Bugg...! Tubuh orang berpakaian basah itu terjungkal ke depan tanpa ampun lagi. Pakaian yang basah menjadi kotor karena tanah. Peramal Pikun melihat adanya peluang emas untuk membunuh Datuk Marah Gadai. Maka, ujung tongkatnya yang bawah disentakkan ke depan dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

Zuuut...! Crasss...!

Ujung tongkat itu keluarkan cahaya merah yang membentuk seperti lempengan logam bundar. Sinar merah itu melesat cepat ke arah Datuk Marah Gadai.

Melihat kelebatan sinar merah, Datuk Marah Gadai tak punya kesempatan untuk menangkisnya, ia hanya tolakkan kaki kanannya ke tanah, dan tubuhnya melesat naik dengan ringan dalam keadaan masih berbaring. Tubuh yang terangkat bagaikan terbang itu selamat dari sasaran sinar merah. Tetapi sinar itu menghantam bagian bawah pohon, memotong batang pohon itu bagaikan gergaji yang luar biasa tajamnya.

Brukkk...!

Pohon itu pun tumbang dengan potongan rapi bak irisan kue lapis. Datuk Marah Gadai sempat terhenyak melihat potongan serapi itu. Segera ia sigapkan diri kembali dan palingkan wajah ke arah Peramal Pikun.

"Bersyukurlah kau bisa selamat dari jurus 'Kepak Garuda'-ku. Andai tidak, tubuhmu akan terpotong seperti pohon itu, Marah Gadai!"

Datuk Marah Gadai menggeram sambil genggamkan dua tangannya kuat-kuat. Matanya menatap bengis tanpa senyum sedikit pun. "Tua pikun bikin penyakit kau ini, Renggono! Jangan merasa bangga dengan jurus mainanmu seperti itu. Coba kau terima jurus 'Tapak Dewa'-ku ini, hiat...!"

Kaki kanan Datuk Marah Gadai menendang ke depan dalam satu sentakan keras. Dari telapak kaki itu keluar sinar putih keperakan yang dulu nyaris melenyapkan nyawa Cadaspati di telaga itu juga. Peramal Pikun pernah melihat kehebatan jurus 'Tapak Dewa' itu. Ia tidak menghindar, karena ia mempunyai jurus tandingan sendiri. Maka ketika sinar putih keperakan itu melesat ke arahnya, Peramal Pikun sentakkan jari tengah dari tangan kanannya. Jari yang menyentak ke depan itu keluarkan nyala pijar api merah juga, dan menghantam sinar putih keperakan itu.

Duarrr...!

Benturan dua tenaga dalam dahsyat itu timbulkan dentuman yang sempat membuat permukaan air telaga berguncang. Tubuh Datuk Marah Gadai terpental ke belakang, membentur batang pohon yang tadi tumbang. Sementara itu, tubuh Peramal Pikun hanya terdorong ke belakang, dua langkah jaraknya. Datuk Marah Gadai cepat bangkitkan diri. Satu kaki sentakkan ke tanah dan tubuhnya melesat bagai terbang disertai pekik kemarahan.

"Hiaaaaat...!"

Melihat Datuk Marah Gadai melompat ke arahnya, Peramal Pikun tak mau tinggal diam, sehingga ia pun sentakkan tumit sedikit dan tubuhnya melayang terbang menyongsong lawan. Mereka beradu pukulan tenaga dalam di udara.

Plak plak plak...! Begg...!

Telapak tangan Datuk Marah Gadai berhasil menghantam dada Peramal Pikun. Tak ayal lagi tubuh kurus kering itu tersentak ke belakang dan jatuh berguling-guling. Darah keluar dari mulut Peramal Pikun. Kain putih yang menyilang dari pundak ke pinggang itu tampak hitam, terbakar oleh pukulan telapak tangan Datuk Marah Gadai. Bekas pukulan itu masih mengepulkan asap tipis dan menyebarkan bau hangus sebuah kain.

Datuk Marah Gadai sendiri masih berdiri tegak tanpa luka. Ia memandang lawannya dengan senyum sinis meremehkan. Jarak mereka antara tujuh langkah, tanpa penghalang benda apa pun. Pada saat itu, tongkat Peramal Pikun tergeletak di tanah akibat lepas dari pegangannya saat beradu pukulan di udara tadi. Melihat tongkat ada di dekat kaki kanan, keadaan tubuh masih separo berbaring, secepatnya Peramal Pikun jejakkan kakinya ke kepala tongkat. Dalam satu jejakan kaki, tongkat itu melesat sendiri menuju arah lawan.

Wuuugh...! Trak... trak...!

Dua tangan Datuk Marah Gadai sentakkan ke atas dari bawah tongkat yang hampir mengenai dadanya. Sentakan keras tangan itu membuat tongkat membalik dan terlempar kuat, hingga melayang tinggi sampai akhirnya jatuh tepat di depan mata Peramal Pikun.

Jlubh...!

Tongkat itu jatuh dalam keadaan berdiri dan menancap di tanah. Bagian kepala tongkat tetap menghadap ke atas. Dengan sigap Peramal Pikun yang sudah terluka itu menangkap tongkat dan berusaha untuk bangkitkan badan. Tetapi Datuk Marah Gadai tak mau diam saja. Ia segera sentakkan kakinya lagi bagai menendang udara kosong, dan jurus 'Tapak Dewa' kembali dilancarkan ke arah Peramal Pikun. Sinar putih keperakan itu melesat cepat menghantam Peramal Pikun.

Wuuush...!

Seperti dalam kisah Pusaka Tuak Setan, jurus maut 'Tapak Dewa' itu pernah ditendangkan ke arah Cadaspati. Tapi waktu itu Cadaspati bisa menghindar, dan yang menjadi sasaran adalah batu di belakangnya. Batu itu lenyap begitu saja ketika terhantam sinar putih keperakan. Batu itu tiba-tiba berubah menjadi bubuk hitam yang lembut sekali.

Begitu pula saat sinar putih keperakan itu menerjang tubuh Peramal Pikun, tiba-tiba tubuh itu lenyap. Bekasnya tak ada, bahkan tongkatnya pun ikut lenyap. Tapi batu besar yang semula dipakai sandaran tubuh Peramal Pikun ikut lenyap. Hilangnya batu Itu meninggalkan bekas bubuk hitam yang menggunduk kecil di tanah.

Datuk Marah Gadai heran dan membatin, "Aneh. Mengapa lenyapnya tubuh Peramal Pikun tidak meninggalkan bekas apa pun, kecuali bekas darahnya yang tadi keluar dari mulut? Mestinya tubuh itu pun meninggalkan bekas debu seperti batu tersebut."

Ketika Datuk Marah Gadai palingkan wajah ke seberang telaga, ternyata tubuh Peramal Pikun ada di sana, bersandar pada sebatang pohon. Orang itu masih dalam keadaan duduk dan menahan sakit di dadanya. "Setan! Cepat sekali ia berpindah tempat sejauh itu?" pikir Datuk Marah Gadai. Kemudian ia pun serukan kata, "Jangan harap kau bisa lolos dari seranganku, Renggono!"

Tanpa menghampiri lawannya, Datuk Marah Gadai kembali lancarkan tendangan mautnya yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa'. Sinar putih keperakan kembali meluncur cepat melebihi anak panah ke arah Peramal Pikun yang keadaannya semakin parah.

Wuuush...!

Pohon yang dipakai sandaran Peramal Pikun itu ikut lenyap seketika karena dihantam sinar putih keperakan. Pohon itu tinggalkan sisa serbuk putih kehijauan yang menggunduk di tanah. Tapi tubuh Peramal Pikun lenyap tanpa bekas lagi.

Datuk Marah Gadai melebarkan matanya mencari ke kanan-kiri, ternyata dia temukan tubuh lawannya sedang terbaring di atas tanah, di depan dua gugusan batu cadas. Tongkatnya masih tergenggam di tangan kanan. Wajahnya makin pucat pasi.

"Hebat sekali dia. Bisa menghilang bagaikan siluman!" ucap batin Datuk Marah Gadai dengan nada heran. "Padahal keadaannya separah itu, tapi ia masih bisa menghindari pukulanku dengan melesat cepat tak terlihat oleh mataku. Agaknya, orang tua renta itu tidak bisa ditumbangkan semudah menumbangkan adiknya. Kalau kugunakan pedangku, pastilah dia tak akan bisa berkutik lagi. Tapi, haruskah aku menggunakan pusaka Pedang Lidah Iblis ini untuk urusan seperti ini? Ah, tidak! Cukup dengan pukulanku yang melukai bagian dalamnya, tua renta itu akan mati sendiri. Karena pukulan itu tidak akan mudah terobati! Sebaiknya kutinggalkan saja dia, supaya aku tidak boros tenaga!"

Tanpa tinggalkan pesan dan pamit. Datuk Marah Gadai sentakkan kakinya dan melesat pergi dari Telaga Manik Intan. Kepergiannya itu hanya bisa dilihat saja oleh Peramal Pikun, tak dapat lagi ia cegah kepergian musuhnya karena luka dalamnya terasa semakin parah. Peramal Pikun hanya bisa bicara dalam hatinya.

"Tukang gadai itu minggat begitu saja! Setan! Aku tak bisa mencegahnya. Pukulan tenaga dalamnya ini sungguh luar biasa tingginya. Hampir saja aku tak kuat menahan. Kalau saja jurus 'Tapak Dewa'-nya tadi mengenaiku, habis sudah riwayatku di telaga ini. Hanya saja... siapa orang yang telah memindahkan tubuhku dari tempat satu ke tempat yang lain? Pastilah dia orang berilmu tinggi, sampai gerakannya tak bisa terlihat oleh mataku sendiri!"

* * *


DUA


TAMAN Perguruan Merpati Wingit dibangun dengan berbagai keindahan, kenyamanan, dan keanehan. Selain air mancur yang muncrat ke atas tapi tak pernah kembali ke kolamnya, juga terdapat sebuah ayunan bertiang gawang. Ayunan itu mempunyai kursi tempat duduk untuk dua orang dengan punggung kursi terbuat dari bahan kayu berukir yang mempunyai bantalan empuk. Ayunan itu mempunyai atap tak terlalu lebar. Yang menjadi keanehan dari ayunan tersebut adalah tempat duduk itu tidak mempunyai tali atau besi pengait. Kursi itu bagaikan mengambang di udara, tapi bisa diayunkan maju mundur.

Di atas ayunan itu, duduklah seorang pemuda bercelana putih dan berbaju coklat tanpa lengan. Rambutnya riap-riapan dibiarkan begitu saja. Pemuda tampan yang selalu berada tak jauh dari bumbung bambu tempat menyimpan tuaknya itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak, yaitu Suto Sinting!

Kala itu Suto duduk di ayunan aneh dengan ke dua mata lurus memandang ke setangkai mawar ungu, tapi jelas pikirannya tidak berada di ujung kuncup-kuncup bunga mawar itu. Suto masih tak habis pikir mengapa orang-orang Perguruan Merpati Wangit itu bersikap begitu baik padanya, namun juga begitu bodoh tindakannya.

Sejak Suto dirawat di Perguruan Merpati Wingit akibat tubuhnya mengepulkan asap dan berkelejotan bagaikan terbakar itu, ternyata banyak kejadian bodoh yang dilakukan oleh murid-murid Merpati Wingit, yang pada umumnya perempuan itu.

Seperti dikisahkan dalam episode Darah Asmara Gila, tubuh Suto menjadi seperti terbakar saat cairan dari Tuak Setan itu tertelan masuk ke dalam mulutnya, ia terkapar di atas bukit itu, ditinggalkan oleh lawannya si Mawar Hitam dari Pulau Hantu, sedangkan Peri Malam yang waktu itu membela Suto dan menyerang gurunya sendiri, dalam keadaan parah akibat pukulan sang Guru.

Pada saat itulah Nyai Guru Betari Ayu datang dan terkejut melihat keadaan Suto yang mirip sedang sekarat itu. Betari Ayu datang bersama Murbawati, muridnya, kemudian segera membawa lari tubuh yang berasap itu ke Perguruan Merpati Wingit, tempat Betari Ayu duduk sebagai Guru dan ketua perguruan tersebut.

Enam hari lamanya Suto dalam perawatan Betari Ayu, demikian pula Peri Malam. Mereka dirawat berbeda kamar, sebab Betari Ayu selalu mengistimewakan Suto dalam segala hal. Peri Malam yang sudah dianggap murid murtad oleh Mawar Hitam itu dirawat di dalam ruang penyembuhan, sedangkan Suto dirawat di dalam kamar pribadi Betari Ayu, yang tentu saja jauh labih bersih, lebih indah, dan lebih wangi dari ruang-ruang lainnya.

Sebenarnya bagi Suto sendiri, tak perlu ia harus dirawat sedemikian khususnya. Karena Gila Tuak gurunya, pernah jelaskan bahwa siapa pun orangnya yang pernah telan Tuak Setan, tubuhnya akan menjadi seperti terbakar dan lemas tak berdaya selama satu hari penuh. Hari berikutnya orang itu akan sehat kembali dengan mempunyai satu kekuatan dalam maha dahsyat. Dan untuk pengendapan Tuak Setan di dalam tubuh orang yang meminumnya itu dibutuhkan waktu satu hari penuh.

Tetapi, Nyai Betari Ayu tidak mengetahui hal itu. Ia menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Suto, sebab sangkanya Suto terluka dalam karena suatu pertarungan hebat. Tak disadari oleh Betari Ayu yang ada di dalam raga Suto itu menjadi lebih besar dan punya kekuatan tersendiri, yaitu membentuk gelombang tenaga yang dapat memancarkan daya pikat luar biasa lewat sorotan matanya. Daya pikat itu hanya berlaku untuk lawan jenisnya.

Selama dua hari Suto selalu mendapat saluran hawa murni dari Nyai Betari Ayu. Sekalipun Suto sudah merasa enak badannya, tapi Nyai Betari Ayu masih tetap mendesak Suto untuk tetap beristirahat dan jangan banyak bergerak. Empat hari lamanya Suto selalu berada di kamar pribadi Nyai Betari Ayu. Selama empat hari itu pula sudah lima orang murid perempuan di situ yang minggat karena mereka begitu terpikat melihat ketampanan Suto, tak terkuasai amukan birahi dan cintanya, akhirnya mereka pergi satu persatu, beda waktu dan beda tempat, tanpa kesepakatan.

Betari Ayu sendiri hampir saja larut dalam kepicikan otaknya dan ingin pergi dari perguruan yang dipimpinnya. Karena selama tiga hari ia berada di dalam kamar bersama Suto, namun Suto tidak mau memberikan sebentuk kemesraan yang diharapkan hatinya dan dituntut jiwanya. Pada hari ketiga itu, Nyai Betari Ayu sempat berkata,

"Rasa-rasanya aku juga ingin pergi karena tak kuat lagi menahan rasa sakit yang menyiksa hati."

"Apa yang membuat hatimu sakit dan tersiksa, Nyai?"

"Sebentuk keinginan yang tak tersampaikan."

"Apa keinginanmu itu, Nyai?"

Lama sekali Betari Ayu yang memang ayu itu terdiam dan tundukkan wajahnya. Suto memandangi dengan satu keheranan yang tidak dimengerti. Bahkan keheranannya itu kian bertambah besar setelah mengetahui Nyai Betari Ayu itu teteskan air mata. Perempuan itu bagaikan tak mau ingat lagi kedudukannya, kewibawaannya dan kharismanya sebagai guru yang sangat dihormati dan ditakuti di perguruan tersebut.

Perempuan itu menangis nyata-nyata di depan tamu istimewanya itu. Tak terpikir lagi rasa malu, tak terpikir lagi akan jatuh harga dirinya, Nyai letari Ayu ucapkan kata di sela tangisnya, "Aku ingin bercumbu denganmu, Suto...."

Betari Ayu seperti bukan orang sakti lagi. Nyai Betari Ayu seperti bukan seorang Guru yang bijak dan berkharisma lagi. Ia seperti tidak punya harga diri lagi. Ia menangis setelah mengucapkan kata itu sambil menciumi telapak tangan Suto yang sejak tadi digenggam dan diremas-remasnya.

Kala itu, Suto Sinting ucapkan kata lembut, "Nyai, aku tidak ingin memberikan kehangatan tubuhku kepada perempuan siapa pun juga. Karena guruku pernah bilang, setitik air yang tersembur keluar dari kemesraanku, akan menghasilkan darah pendekar yang sukar dicari tandingannya. Jadi aku tidak berani sembarangan memberikan setitik air kemesraan kepada perempuan yang belum jelas kedudukannya di dalam hatiku."

"Ya. Aku percaya. Semua ini memang kelemahanku. Aku tidak bisa bertahan lagi. Hasratku ingin bercinta denganmu begitu besarnya, sehingga menutup kesabaranku, menutup kewibawaanku, menutup perasaan maluku, dan yang lebih parah, melemahkan jiwaku serta meracuni sukmaku!"

"Nyai, maafkan aku," ucap Suto sambil usapkan tangan ke rambut Nyai Betari Ayu dengan lembut sekali. Air mata Betari Ayu kian deras, kian gemetar tubuhnya, kian berdebar hatinya dan detak jantung terasa kian cepat mendobrak dada. Pada saat-saat seperti ini, Nyai Betari Ayu merasa cemas, ingat bahwa dirinya sedang mengidap penyakit laknat yang ditimbulkan akibat pukulan 'Renggangpati' dari lawannya.

Pukulan 'Renggangpati' itu membuat sesak pernapasan jika Betari Ayu sedang dilanda birahi, dan membuat tubuhnya bisa kejang-kejang. Pukulan 'Renggangpati' itu mengakibatkan penyumbatan pada saluran jantung dan paru-paru.

Tapi anehnya, sejak bibirnya pernah dikecup oleh Suto Sinting yang mempunyai bau aroma tuak, sesak napas dan kejang-kejang tak pernah lagi dialaminya. Betari Ayu tak tahu, bahwa saat bibirnya dikecup oleh Suto, pemuda itu merasakan adanya penyakit yang melanda diri perempuan cantik itu. Pemuda itu segera salurkan kekuatan dalamnya untuk penyembuhan melalui sisa aroma tuak dalam mulutnya. Pemuda tampan itu pun tak pernah mengatakan hal itu, hingga sering membuat Betari Ayu terheran-heran kepada dirinya sendiri.

Cemas akan penyakit Renggangpati itu tetap saja ada, tetapi Betari Ayu tidak bisa menghilangkan perasaan ingin bercumbu dengan Pendekar Mabuk yang punya daya pikat begitu tinggi itu. Hanya tangis lembut yang bisa dilakukan oleh Betari Ayu. Hanya meremas-remas jemari tangan Suto yang bisa diresapi oleh Betari Ayu. Tak ayal lagi hal itu timbulkan iba di hati Suto.

"Besok, atau lusa, atau malam nanti..., kalau aku tak mampu lagi bertahan dari tuntutan gairah ini, biarkan aku pergi seperti murid-muridku itu, Suto," tutur Betari Ayu begitu lirih dan mengharukan.

"Jangan, Nyai," bisik Suto yang menempelkan mulutnya di sekitar telinga dan pelipis Betari Ayu. "Jangan lakukan kebodohan hanya karena nafsu birahi. Kau orang terhormat, kau orang bijak, kau punya sikap dan watak yang dibutuhkan oleh manusia-manusia lain, agar bumi ini tidak dikuasai oleh orang-orang bersifat angkara murka, yang bergolongan hitam, yang sesat dan tidak tahu kehidupan manusiawi."

Betari Ayu bisikkan kata di sela isak tangis, "Lebih baik aku bertarung dengan tokoh sakti yang berilmu tinggi, daripada harus bertarung melawan nafsu sendiri, Suto."

"Ya. Memang lawan terberat adalah nafsu diri sendiri. Tetapi seseorang tidak bisa mencapai kesempurnaan dalam pertarungan ini. Setiap orang hanya bisa diwajibkan melawan nafsu pribadinya, karena memang itulah syarat yang dibutuhkan agar layak dikatakan atau dijuluki sebagai pendekar sejati. Dia harus bisa mengalahkan lawan terberatnya jika ingin disebut oleh dirinya sebagai pendekar sejati, Nyai."

"Aku mengerti, Suto. Aku mengerti. Tapi hanya bisa mengerti, tak mampu lagi menjalani, Suto!" Tangis itu semakin mengisak haru. Tangan Suto kini semakin sering diremas-remasnya, juga diciumnya.

"Nyai, agaknya tak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirimu agar tidak pergi."

Terdongak wajah Betari Ayu. Genangan air matanya ditembus oleh sinar mata yang berbinar-binar penuh harap. Bibirnya yang lembut dan sangat menawan itu berucap kata, "Kau mau menuruti keinginanku, Suto?"

"Ya."

"Oh...!" cepat sekali Betari Ayu memeluk tubuh Suto. Tangisnya terisak di sana. Terpeluk erat tubuhnya oleh tangan pemuda tampan itu.

Terdengar pula sebuah bisikan lembut di telinganya. "Akan kuberikan kemesraan yang kau harapkan, tapi dengan caraku sendiri, Nyai...!"

"Terserah caramu, Suto. Malu tak malu, aku memang pasrah padamu. Biarlah rendah kau pandang diriku ini, yang penting aku tetap bisa membimbing murid-muridku seterusnya...!"

Suto sunggingkan senyum. Betari Ayu menerima senyuman itu dengan jiwa bagaikan terbang dari raganya. Indah sekali rasa yang ada di dalam hati. Betari Ayu sangat menyukainya. "Kita duduk di lantai, Nyai."

Betari Ayu anggukkan kepalanya, lalu turun dari pembaringan mengikuti Suto. Sejenak terdengar suara, klik... klik...! Pintu-pintu dikunci oleh Betari Ayu dari jarak jauh.

Suto tahu hal itu, sebuah cara mengunci pintu dari jarak jauh yang hanya dilakukan oleh orang-orang berilmu tinggi. Lalu, Suto ucapkan kata, "Duduklah bersila di sana, saya duduk di sini, Nyai."

"Perlukah kubuka sanggul rambutku?"

"Tidak perlu."

"Pakaianku?"

"Tidak perlu," jawab Suto lembut. "Kita akan bercumbu dalam bayangan, Nyai. Tapi nikmatnya melebihi kenyataan."

Betari Ayu desiskan tawa malu namun penuh kegembiraan, ia segera duduk bersila. Badannya tegak, sama seperti badan Suto yang duduk bersila tanpa jarak di depan Betari Ayu. Kedua lutut Suto saling bersentuhan erat dengan lutut Betari Ayu. Suto angkatkan kedua tangan sebatas dada dengan telapak tangan terbuka, ia suruhkan demikian pula pada Betari Ayu. Lalu, kedua telapak tangan saling bertemu. Jemari mereka saling menelusup dan menggenggamlah tangan mereka.

"Pejamkan mata, Nyai. Kosongkan pikiran agar aku bisa masuk dalam pikiranmu," ucap Suto lirih sekali.

Betari Ayu lakukan perintah. Lama ia pejamkan mata dan kosongkan pikiran. Makin lama makin terasa dirinya disentuh hangat oleh jemari Suto. Terasa saat itu Suto menciumi wajahnya dengan lembut. Kedua bibir itu saling berpagut mesra. Betari Ayu merasa menerima lumatan bibir Suto yang cukup hangat dan nikmat. Kemudian ia pun merasa dirayapi oleh ciuman mesra Suto di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya ia merasa dibaringkan oleh Suto dan dipeluk erat-erat dalam satu irama cinta yang menggelora. Dalam sikap masih duduk berhadapan dan lutut bersentuhan, Betari Ayu tak sadar ucapkan kata mendesah, "Oh, Suto..!"

Betari Ayu tak sadar lontarkan ratapannya. Betari Ayu tak sadar gigitkan bibirnya sendiri. Betari Ayu tak lagi mampu bertahan, maka menjeritlah ia sekeras-kerasnya. Lalu malam dibiarkan melenggang dalam sepi. Betari Ayu mulai buka matanya pelan, tepat pada saat itu Suto pun buka matanya sedikit-sedikit. Kedua mata yang seolah-olah selesai melakukan pelayaran cinta itu sama-sama memandang lembut. Betari Ayu tersenyum, seolah memberi tanda bahwa ia telah mencapai kepuasan dari kencan mesra dalam bayangan.

Napas Suto tetap tenang dan teratur, ia seperti tidak melakukan satu gerakan pun. Tetapi napas Nyai Betari Ayu terengah-engah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat yang tercurah ruah. Ketika tangan yang saling genggam itu terlepaskan, Betari Ayu usapkan tangan menyapu keringatnya. Ia tertawa malu, namun segera hamburkan diri memeluk Suto. Ia bisikkan kata di telinga Suto.

"Aku lega. Aku puas, Suto. Aku... aku seperti telah menerima apa yang kuharapkan darimu. Indah sekali, Suto. Aku menyukainya walau itu dalam bayanganku. Aku ingin mengulangnya entah nanti atau esok pagi."

"Tak bisa terlalu sering bercumbu dalam bayangan, Nyai. Karena kekuatan yang kusalurkan lewat detak nadi kita itu, dua kali lipat besarnya dengan kekuatanku bertarung melawan musuh yang tangguh. Aku tak berani melakukannya terlalu sering, Nyai. Karena hal itu akan cepat membuat kekuatanku semakin berkurang."

"Oh, kalau begitu kau memang harus istirahat Suto. Tapi, tentunya esok malam kekuatanmu sudah kembali pulih, Suto," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum dan lirikkan mata yang punya makna tersendiri. Suto hanya tertawa kecil. Dicubitnya pipi Betari Ayu, dan perempuan itu tidak mengelak, melainkan justru bersandar rebah di dada Suto. Bayangan itu sempat melintas di pikiran Suto. Duduknya di atas bangku ayunan masih tetap tenang. Hatinya membatin,

"Nyai Betari Ayu. memang cantik, lembut, dan menggairahkan. Tapi sayang ia bukan Dyah Sariningrum. Mengapa yang hadir dalam ingatanku hanya wajah Dyah Sariningrum, bukan wajah Nyai Betari Ayu. Rasa rinduku begitu besar, ingin segera dapat menemukan wanita idaman hatiku yang sering hadir dalam mimpi itu. Tapi di mana aku harus temukan dia? Kalau kutanyakan pada Nyai Betari Ayu apakah pertanyaan itu tidak menyinggung hatinya dan melukai cintanya? Aku tahu, Nyai Betari Ayu cinta sama aku. Tapi Nyai tidak memaksaku untu membalas. Dia hanya memohon padaku agar aku tidak melarang dirinya untuk tetap mencintaiku sepanjang masa. Ah, perempuan itu sungguh aneh, namun menyenangkan sekali sikapnya."

Kala ia duduk di ayunan itu, adalah hari ketujuh ia berada di lingkungan Perguruan Merpati Wingit. Mestinya siang itu ia baringkan tubuh di atas ranjang berlapis kain lembut. Tapi ia lebih suka duduk merenungi perjalanan hidupnya di taman yang berkesan teduh dan damai itu.

Kejap berikutnya, mata Suto melirik ke arah serambi, dan di sana tampak seorang perempuan ayu berjubah kuning sutera mendekatinya. Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu sendiri. Langkahnya agak cepat, menandakan ada sesuatu yang amat penting untuk segera dibicarakan.

"Suto," sapa Nyai Betari Ayu dengan nada cemas tersembunyi.

"Ada apa, Nyai?"

"Seorang lagi muridku telah pergi, baru saja tadi!"

"Oh...," Suto hanya mengeluh dengan sikap turut prihatin atas langkah picik yang diambil oleh sang murid.

Betari Ayu ucapkan kata lagi, "Muridku yang pergi tadi, mengatakan kepada temannya bahwa ia ingin sekali berdekatan denganmu. Sebagai bukti gairahnya begitu besar padamu, ia tunjukkan dengan minggat dari perguruan."

"Kalau begitu, aku harus cepat pergi dari sini, Nyai. Jangan kau tahan lagi diriku, supaya muridmu tak pergi seluruhnya, gara-gara kehadiranku di sini."

"Haruskah begitu, Suto?"

"Ya. Dan..., bagaimana dengan Peri Malam? Apakah dia sudah sembuh dari luka dalamnya?"

"Sudah. Dan dia sudah pergi tanpa pamit kemarin sore."

"Dia pergi tanpa pamit? Tanpa berterima kasih padamu?"

"Dia bahkan menantangku ingin mengadakan pertarungan pribadi di suatu tempat. Dia akan kembali untuk menentukan waktunya. Karena dia cemburu padaku, melihat kau berada dalam perawatanku dan tidur di kamar pribadiku. Dia cemburu, Suto!"

* * *


TIGA


SEJAUH ini, Nyai Betari Ayu masih belum tahu bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang. Padahal perempuan yang menamakan dirinya Bidadari Jalang adalah lawan berat Nyai Betari Ayu. Malah di dalam hati Betari Ayu masih menyimpan dendam kepada Bidadari Jalang, sebab pukulan 'Renggangpati' itu diterimanya dari jurus maut Bidadari Jalang.

Dulu, Betari Ayu adalah kekasih Datuk Marah Gadai. Tetapi sang kekasih digoda terus oleh Bidadari Jalang, hingga akhirnya terpikat dan meninggalkan Betari Ayu. Perginya Datuk Marah Gadai meninggalkan bekas luka yang sulit sembuh di hati Betari Ayu. Sejak saat itu, Betari Ayu tidak mau turun ke dunia persilatan, dan ia lebih suka mengasingkan diri dengan membentuk pasukan tersendiri, yaitu dengan cara mendirikan perguruan yang kebanyakan muridnya adalah perempuan. Kelak, Betari Ayu punya cita-cita untuk menyerang Bidadari Jalang dan Datuk Marah Gadai dengan mengerahkan murid-muridnya yang dianggap pasukan tempurnya.

Andai saja Betari Ayu tahu, bahwa Suto adalah juga murid Bidadari Jalang, entah apa jadinya. Mungkin Betari Ayu akan memusuhi Suto dan menaruh benci pula pada pemuda tampan itu, atau justru melenyapkan dendam dan cita-citanya karena terpikat oleh kemesraan Suto Sinting. Dan karena Suto tahu dua hal itu akan terjadi salah satunya, maka Suto tetap tidak mau menyebut-nyebut nama Bidadari Jalang di depan Nyai Betari Ayu.

Suto memang jarang menyebutkan nama gurunya yang satu ini, sebab ada sedikit rasa malu menyebutkan nama yang banyak cacat di kalangan para tokoh persilatan. Namun Bidadari Jalang seakan selalu menjadi musuh dari tiap masing-masing tokoh, karena memang sebelum bertemu dengan Suto, tingkah Bidadari Jalang selalu menghadirkan perselisihan, terutama urusan lelaki. Suto tak mau dikatakan sebagai murid jalang. Karenanya, ia lebih dikenal sebagai murid si Gila Tuak, tokoh dari aliran putih yang namanya tertera pada urutan paling atas dari nama-nama tokoh yang sulit ditumbangkan itu.

Tak heran jika seseorang menyebutkan nama murid si Gila Tuak, maka orang yang satunya akan segera terbayang wajah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang ke mana-mana membawa bumbung tuaknya itu. Seperti halnya saat itu, saat sore mulai menua, seorang perempuan berpakaian serba ungu muda yang ketat dengan tubuhnya, melesat bagaikan terbang membawa lari Peramal Pikun.

Tiba di suatu gua, tubuh renta Peramal Pikun yang habis terkena pukulan hebat dari Datuk Marah Gadai itu diletakkan oleh perempuan itu. Kemudian, tangan perempuan itu saling terkatup yang kiri dan yang kanan, ia duduk bersila di samping tubuh tua renta bertongkat putih. Perempuan itu melakukan semadi beberapa saat, kemudian kedua tangannya ditempelkan di dada Peramal Pikun.

Kejap berikutnya, tubuh Peramal Pikun tersentak-sentak bagai meregang nyawa. Tapi asap kuning yang keluar dari kedua telapak tangan yang menempel di dada Peramal Pikun itu ternyata bukan asap beracun. Sebuah cara penyembuhan sedang dilakukan. Peramal Pikun tersentak lagi dalam satu kejutan, lalu diam lemas dan terkulai. Ia bagaikan orang tertidur dengan nyenyak.

Kala ia bangun di pagi hari, badannya sudah kembali segar seperti sediakala. Napasnya longgar, nyeri di dada sudah tak ada. Tapi perempuan yang menolongnya membawa ke gua itu tak diketahui di mana dia berada. Peramal Pikun mencari-carinya sejenak.

"Seingatku dia seorang perempuan cantik," kata hati Peramal Pikun. "Seingatku dia berpakaian ungu muda, ketat dan badannya yang aduhai itu. Baju ungu tanpa lengan, tapi rambutnya yang panjang sepunggung acak-acakan, seperti orang gila. Ia menyandang pedang di punggungnya. Seingatku, sarung pedang dan gagangnya terbuat dari gading berukir. Seingatku, di gagang pedangnya ada benang-benang berumbai warna merah darah. Tapi, Siapa dia? Belum pernah kutemukan dirinya selama aku berkelana di rimba persilatan. Mungkinkah dia siluman dari negeri seberang?"

Peramal Pikun yakin, perempuan berambut mirip orang gila itu pastilah orang berilmu tinggi. Gerakannya begitu cepat saat memindahkan tubuh Peramal Pikun agar terhindar dari serangan jurus 'Tapak Dewa' milik Datuk Marah Gadai. Luka dalam yang berat dan mampu disembuhkan dalam waktu cepat, merupakan ciri orang berilmu tinggi. Peramal Pikun percaya, bahwa perempuan itu jelas punya maksud tertentu sehingga melakukan pertolongan terhadap dirinya,

"Aku harus mencari perempuan itu. Paling tidak aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolongannya," pikir Peramal Pikun. Maka, ia pun keluar dari dalam gua yang bau oleh kotoran kelelawar itu.

Peramal Pikun terkejut begitu tiba di mulut gua, ternyata gua itu terletak di tebing curam, di bawahnya laut yang bergolak dengan batu-batu karang runcing mirip gigi ikan raksasa. Meleset sedikit, habis sudah nyawa orang dihujam karang-karang runcing.

"Kucing kudis!" umpat Peramal Pikun. "Bagaimana caranya keluar dari gua ini? Tak ada jalan setapak pun untuk ke tempat datar. Gua ini seperti menempel pada dinding karang yang merupakan tebing curam. Gua ini seperti tembok raksasa yang berlubang. Mencapai ke daratan di atasnya sungguh tinggi, mencapai ke laut juga dalam. Lalu aku harus lewat mana?"

Peramal Pikun garuk-garuk kepala. Matanya memandang sekeliling mencari jalan untuk memanjat tebing ke atas atau menuruni tebing ke bawah. Tak ada jalan sama sekali. Dinding tebing di samping kanan-kiri gua sangat licin berlumut. Kalau memang harus melompat ke laut, ujung-ujung karang runcing belum tentu ramah kepada kakinya. Bisa jadi tubuhnya yang tua renta itu menancap di salah satu karang runcing itu.

"Monyet monyong!" Peramal Pikun umpatkan kata. "Orang itu menolongku, tapi juga membunuhku kalau begini caranya. Mengapa ia taruh aku di gua ini? Apa gua-gua di tempat lain sudah penuh penghuninya? Dan lagi, bagaimana caranya membawaku kemari? Apakah ia membawaku dalam keadaan tubuhku disampirkan di pundak dan dia merayap turun dari atas sampai mencapai mulut gua ini?"

Renggono sesalkan diri, mengapa saat ia dibawa ke gua itu ia dalam keadaan pingsan? Padahal ketika perempuan itu mendekatinya dan hendak mengangkat tubuhnya, ia masih bisa memperhatikan ciri-ciri perempuan itu. Tapi ketika sudah berada di atas gendongan perempuan cantik, ia malahan pingsan. Andai tidak pingsan, ia bisa melihat bagaimana caranya perempuan itu membawanya ke gua bertebing terjal lurus itu.

Wuusss...! Wuusss...!

Seekor kelelawar masuk ke dalam gua. Kejap berikutnya, seekor lagi menyusul. Bahkan hampir menyambar kepala Peramal Pikun. Mata tua itu memandang ke langit-langit gua. Tak ada lubang keluar di sana. Yang ada hanya dua kelelawar agak besar menggantung dan mencicit menjelang petang. Peramal Pikun gumamkan kata, "Mati aku kalau begini! Apa mungkin aku harus hidup bersama kampret-kampret ini?!"

Lelaki tua berkumis dan alis serba putih itu termenung. Kejap berikutnya ia tersentak, karena tiba-tiba di mulut gua telah berdiri sosok bayangan berambut mekar acak-acakan.

"Nah, ini dia!" Peramal Pikun ucapkan kata bernada lega.

Perempuan berpakaian ketat warna ungu muda itu datang. Pedang bergagang bentuk 'barang keramat' lelaki itu terlihat jelas terselempang di punggungnya. Pedang bergagang dan bersarung dari gading ukuran itu jelas menandakan bukan sembarang pedang. Sisa cahaya sore masih merambah masuk melalui mulut gua. Peramal Pikun sengaja tidak berdiri, masih tetap duduk di tempatnya sambil memeluk tongkat putihnya. Perempuan itu mendekat, memandang tanpa senyum sedikit pun. Pandangan matanya bening tapi tajam, seakan mempunyai kekuatan tersendiri dalam dirinya.

"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Peramal Pikun setelah sempat salah tingkah dipandangi lama tanpa diajak bicara.

"Aku tidak butuh terima kasihmu!" kata perempuan berpedang gading. Suaranya serak-serak galak.

"Jadi apa yang kau butuhkan dariku?" tanya Peramal Pikun.

"Aku mencari pemuda tanpa pusar."

Peramal Pikun terkekeh geli mendengarnya. Perempuan itu cepat sentakkan kaki kanannya, berkelebat menampar pipi Peramal Pikun.

Plakkk...!

Peramal Pikun hentikan tawa. Kalau ia tak ingat bahwa dirinya telah diselamatkan oleh perempuan itu dari jurus mautnya Datuk Marah Gadai, pasti ia sudah membalas dan melawan saat itu. Tapi ingat ke sana, Peramal Pikun tak mau kasih balasan. Ia hanya cemberutkan wajah dan berkata, "Kenapa kau menamparku? Kenapa pakai kaki?"

"Karena kau menertawakan diriku! Aku bertanya sungguh-sungguh!"

"Aku juga tertawa sungguh-sungguh," balas Peramal Pikun. "Aku baru dengar ada pemuda tanpa pusar. Itu sesuatu yang lucu bagiku!"

"Aku tidak sedang melucu!" sentak perempuan itu. "Aku butuh pemuda tanpa pusar. Aku mencarinya."

"Pemuda tanpa pusar...?!" gumam Peramal Pikun. Diam-diam, ia segera membuka kain penutup perutnya sendiri, meliriknya sebentar dan menggumam dalam hatinya, "Hmmm... yang ini ada pusarnya!"

Perempuan itu kembali sentakkan suara, "Kalau kau tak mau menunjukkan, aku terpaksa meninggalkanmu di gua ini sendirian!"

"Mengapa kau mengancamku begitu? Kau memaksaku harus menunjukkan pemuda tanpa pusar, sedangkan aku sendiri tidak tahu. Setiap laki-laki punya pusar, Jabrik!" geram hati Peramal Pikun.

"Aku tahu. Tapi aku mencari yang tanpa pusar!"

"Aku tidak tahu! Aku sendiri punya pusar! Apa harus ditutup supaya kelihatannya tanpa pusar?!"

Plakkk...!

Cepat sekali kelebatan kaki itu menampar pipi Peramal Pikun menggunakan punggung telapakannya. Tangan Peramal Pikun berkelebat namun telat. Dua kali sudah pipinya ditampar perempuan. Ditamparnya pakai kaki. Jelas itu hal yang merendahkan dirinya sendiri. Tapi Peramal Pikun tetap sabarkan diri. Bahkan ia sediakan diri untuk satu kali tamparan lagi. Menurutnya, tiga kali tamparan pakai kaki sudah cukup untuk membayar jasa pertolongan perempuan berambut jabrik itu.

"Mengapa kau bertanya padaku, Jabrik? Mengapa kau seolah-olah yakin betul bahwa aku tahu di mana adanya pemuda tanpa pusar?"

"Karena kulihat kau lebih tua dari lawanmu di telaga itu. Kau tua renta, dan aku yakin kau memang tokoh tua di rimba persilatan. Tentunya kau punya banyak pengalaman!"

"Pengalaman bertarung memang banyak, tapi pengalaman memeriksa pusar orang belum punya," jawab Peramal Pikun.

"Jangan kau coba mendustai aku, Tua renta!"

"Aku tidak mendustaimu, Jabrik! Aku benar-benar tidak tahu."

Perempuan jabrik itu menatap mata Peramal Pikun lekat-lekat. Ia temukan kejujuran dari sorot pandangan mata Peramal Pikun. Akhirnya ia mengalah, tak mau desak lagi orang tua renta itu. Ia duduk di sebuah batu datar. Ia pandangkan mata ke arah luar, matahari makin.hilangkan sinarnya. Gelap bertambah pekat di dalam gua jika tidak segera ia lakukan sesuatu.

Sebongkah batu diambilnya. Batu itu agak runcing ujungnya. Lalu kedua telapak tangannya menggosok batu itu dengan cepat. Mata Peramal Pikun hanya memperhatikan tanpa mau berucap kata. Dan mata Peramal Pikun sedikit terperanjat melihat batu itu menyala dan kepulkan asap api.

Gua menjadi terang. Batu itu bagaikan obor besar yang tergeletak berdiri di tanah gua. Peramal Pikun cuma sunggingkan senyum tipis. Segera ia angkat tongkat, ia sodokkan ujungnya ke arah batu bernyala itu. Jarak sodokan antara dua depa dari batu menyala.

Blaap...!

Batu itu padam seketika bagai ditiup angin kencang yang keluar dari ujung tongkat Peramal Pikun. Terdengar suara perempuan jabrik itu menggeram. Terbayang dalam gelap sebuah kaki akan bergerak menampar seperti tadi. Maka, Peramal Pikun cepat angkat tongkat dan sodokkan ke arah tadi.

Buusss...!

Batu itu menyala kembali. Tampak wajah perempuan jabrik menatap penuh kemarahan. Peramal Pikun nyengir. Kemarahan di wajah perempuan itu pun reda setelah melihat batu nyala kembali.

"Agaknya kita harus bermalam di sini," kata Peramal Pikun seperti bicara pada diri sendiri.

Perempuan jabrik tidak beri jawaban apa-apa. Ia panggangkan kedua tangannya di atas batu berapi. Peramal Pikun pindah duduk agak dekat api. Lalu, ia melontarkan pertanyaan dengan sikap baik-baik. "Menurut ramalanku, kau orang berilmu tinggi."

Perempuan cantik berambut jabrik hanya menatap wajah Peramal Pikun sebentar, lalu kembali memandang api yang menyala, panggangkan kedua tangannya.

"Menurut ramalanku, kau perempuan yang keras, tegar, dan pemberani. Dan menurut ramalanku... kau tidak punya suami!"

"Apakah kerjamu meramal?" suara serak-serak galak itu terdengar tanpa irama. Datar-datar saja.

"Dulu, kerjaku memang meramal, itulah sebabnya aku punya julukan Peramal Pikun. Julukan itu muncul dengan sendirinya, karena ramalanku selalu meleset. He he he...!"

Perempuan jabrik menatap cepat. Tawa Peramal Pikun terhenti dalam sekejap. Ia tarik napas panjang dan menghindar dari tatap mata si perempuan jabrik.

"Boleh aku tahu namamu?" tanya Peramal Pikun tanpa pandang.

"Tak perlu kau tahu namaku. Tapi kau perlu tahu julukanku."

"Siapa julukanmu?"

"Perawan Sesat!"

"He he he...!"

Plakk...!

Tamparan ketiga pakai kaki mendarat tepat di pipi Peramal Pikun. Tangannya berkelebat tapi telat menangkis. Peramal Pikun hanya tudingkan tangan ke arah perempuan itu sambil ucapkan kata, "Sudah tiga kali. Impas! Aku tak punya hutang jasa lagi padamu! Kali ini kau tampar pipiku lagi, kubalas dengan melemparkanmu ke laut sana!"

"Kalau kau bisa, lakukan sekarang!"

"Nanti saja!" sambil peramal sial itu bersungut-sungut. Tapi tiba-tiba ia ingat nama julukan tadi, dan perlu menegaskan sekali lagi dengan sebuah tanya, "Apa benar julukanmu Perawan Sesat?"

"Ya."

Peramal Pikun cepat tutup mulutnya dengan telapak tangan, serta palingkan wajah membelakangi Perawan Sesat. Hanya badannya yang tampak bergerak diguncang tawa geli. Perawan Sesat tahu hal itu, tapi ia tidak ambil peduli.

"Dari mana asalmu, Perawan Sesat?"

"Bukit Garinda," jawab Perawan Sesat tanpa memandang Peramal Pikun.

"Bukit Garinda...?!" Peramal Pikun belalakkan mata sedikit. "Bukankah itu wilayah Partai Perempuan Sakti?"

"Ya."

"O, jadi kau orang dari Perempuan Sakti?"

"Ya."

"Aku kenal dengan salah seorang anggota Perempuan Sakti. Dulu aku pernah bentrok dengannya karena salah paham, tapi sekarang sudah tak ada masalah lagi. Orang itu bernama Nyai Lembah Asmara! Apa kau kenal dengan nama itu?"

Perawan Sesat tatapkan mata tajam-tajam ke mata cekung Peramal Pikun. Lalu, kejap berikutnya ia ucapkan kata tegas-tegas. "Itu nama guruku!"

"Ooo... jadi kau muridnya Nyai Lembah Asmara?!"

"Betul!"

Peramal Pikun angguk-anggukkan kepala dalam senyum kemenangan masa lalunya. Tak sadar dia ucapkan kata, "Cantik sekali dia...."

Plakkk...!

Satu tendangan kaki menampar kena di pipi Peramal Pikun. Cepat ia angkat tongkatnya. Tapi hasrat untuk mengibaskan tongkat ke kepala Perawan Sesat terhenti dan hilang seketika, karena ia ingat, Perawan Sesat murid Nyai Lembah Asmara. Perempuan cantik itu dikenalnya sebagai perempuan berdarah dingin. Musuh tak pernah lolos dari tangannya. Pasti mati sebelum minta ampun.

Peramal Pikun ingat, dulu ia pernah terdesak melawan Nyai Lembah Asmara, hampir sepuluh tahun yang lalu. Ilmu Ketua Partai Perempuan Sakti itu cukup tinggi. Menurut ukuran Peramal Pikun, sangat tinggi. Ia dulu hampir mati di tangan Nyai Lembah Asmara. Ia jadi jera bertemu dalam bentrokan dengan perempuan itu. Karenanya, saat ia akan membalas tamparan Perawan Sesat, ia urungkan niat, karena tak mau punya urusan dengan Nyai Lembah Asmara. Peramal Pikun kendorkan ketegangannya, dan lontarkan tanya,

"Apakah mencari pemuda tanpa pusar itu utusan dari gurumu?"

"Ya."

"Hmmm...," Peramal Pikun manggut-manggut. "Aku tahu sekarang maksudnya."

"Jika kau tahu, tunjukkan di mana tempat pemuda tanpa pusar itu!"

"O, kalau tempat pemuda tanpa pusar aku tidak tahu. Siapa orangnya pun aku tidak tahu. Aku cuma tahu tujuan dari gurumu itu dan...."

"Kabar burung yang didengar oleh Guru,!" sahut Perawan Sesat. "Pemuda tanpa pusar itu telah diangkat murid oleh tokoh tua dari golongan putih yang bergelar si Gila Tuak."

"Hah...?!" Peramal Pikun sentakkan suara, belalakkan mata. Kaget ia mendengar nama si Gila Tuak dibawa-bawa. Ia segera lontarkan tanya pada Perawan Sesat. "Jadi, menurut gurumu, pemuda tanpa pusar itu muridnya si Gila Tuak?"

"Betul! Apa kau kenal dengan murid si Gila Tuak?"

"Kenal sekali. Dia yang bernama Suto Sinting, bergelar Pendekar Mabuk. Tapi..., aku tidak tahu apakah dia punya pusar atau tidak! Aku belum pernah memeriksa perutnya!"

"Suto Sinting...?!" geram suara serak Perawan Sesat.

* * *


EMPAT


SINAR matahari pagi menerobos mulut gua. Peramal Pikun terpaksa bersedia membantu Perawan Sesat mencari Suto Sinting. Tapi orang tua renta itu tidak tahu ke mana arahnya. Suto bisa ada di mana saja, menurutnya. Satu hal yang membuat Peramal Pikun bingung, bagaimana ia harus keluar dari gua bertebing tegak lurus itu. Tapi hatinya segera merasa lega setelah dia ingat pada Perawan Sesat di sampingnya, tentunya Perawan Sesat tidak akan tinggal diam.

"Naiklah ke punggungku," kata Perawan Sesat.

"Aku...?!" Peramal Pikun menepuk dadanya sendiri.

"Iya. Kamu naik ke punggungku. Kugendong memanjat tebing terjal ini!" kata Perawan Sesat sambil menyentak.

Sambil tetap memegangi tongkat, Peramal Pikun mau tak mau naik ke punggung, digendong belakang oleh Perawan Sesat.

"Pegang yang erat!"

"Ya," jawab Peramal Pikun sambil membayangkan, mungkin dulu beginilah ia dibawa oleh Perawan Sesat ke dalam gua itu.

"Hei, ada yang mengganjal di punggungku dengan keras! Apa ini? Jangan main-main kamu, Tua renta!"

"Tongkatku yang mengganjal!"

"Tongkat yang mana?!"

"Tunggu kucabut sebentar," dan Peramal Pikun membetulkan letak tongkat putihnya. Sebentar diunjukkan kepada Perawan Sesat. "Tongkat yang ini maksudku!"

"Ya sudah! Pegangan yang kuat. Jatuh tidak kutanggung!"

Peramal Pikun sangka dirinya akan dibawa terbang oleh Perawan Sesat. Tapi nyatanya tidak begitu. Dengan menggunakan ilmu aneh, Perawan Sesat merayap dinding tebing bertegak lurus itu dengan cepat. Kaki dan tangannya bagaikan mengandung perekat yang amat kuat. Ia merayap cepat seperti seekor cicak menggendong makanannya.

Crap... crap... crap... crap...!

Dalam waktu singkat, tubuh mereka sudah sampai di dataran atas tebing. Perawan Sesat sentakkan punggungnya ke depan, dan tubuh Peramal Pikun terlempar jatuh telentang dengan meringis. "Uh...! Patah tulang pinggangku kalau begini caranya!"

"Cepatlah bangkit! Jangan seperti bayi yang belum disapih!" perintah Perawan Sesat dengan tegasnya.

Peramal Pikun berjingkat bangkit dalam satu sentakan pinggang. Jleeg...! Kejap berikutnya ia sudah berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merendah. Lalu, kedua kaki itu ditegakkannya. Ia berkata kepada perempuan yang punya keahlian merayap dinding itu. "Aku tak tahu arah mana yang pertama kali harus kita tuju. Seperti kataku tadi, Suto bisa ada di mana saja. Artinya dia susah dicari dan ditentukan tempatnya."

"Baik. Kalau begitu kita berpencar. Kau ke utara dan aku ke selatan!" kata Perawan Sesat.

"Kalau aku temukan Suto, bagaimana aku harus menghubungimu?"

"Tahan napasmu, panggil namaku tiga kali, hembuskan napas ke atas. Paham?"

"Paham. Kalau itu kulakukan, kau pasti akan datang?"

"Kalau tidak, untuk apa aku memberi tahu caranya!" Setelah ucapkan kata itu, Perawan Sesat melesat pergi bagaikan kilat menuju ke arah selatan.

Peramal Pikuh sempat terbengong dalam gerutuannya. "Siapa saja kalau mendengar namanya dipanggil ya akan datang!" sambil ia segera langkahkan kaki ke arah utara.

Perawan Sesat tiba di sebuah desa. Desa itu pernah disinggahi Suto. Bahkan Suto pernah bermalam di rumah keluarga Kriyo Suntuk yang amat kagum dengan kisah kependekaran. singgah untuk mengisi tuak dalam bumbungnya. Di sana, ia pun pernah bertemu dengan lelaki berkumis tebal dan berbadan besar, tinggi, jari tangannya sebesar pisang dalam arti kiasannya. Lelaki itu bernama Singo Bodong.

Kedai itu sekarang dalam keadaan ramai pembeli. Perawan Sesat sengaja datang bersinggah di kedai itu. Sekadar minum adalah alasan yang tepat untuk bertanya ke sana-sini tentang Suto Sinting. Ia duduk di bangku pojok, sementara di bangku sudut berseberangan ada pula perempuan yang ikut nongkrong di situ, berpakaian serba hitam dengan trisula terselip di pinggang kanannya.

Kehadiran Perawan Sesat menjadi pusat perhatian para pembeli di kedai itu, karena rambut acak-acakan dan wajah cantik sangat menarik perhatian setiap orang. Pedang gading berukir itu pun membuat banyak mata mengaguminya.

"Minum...!"katanya kepada pemilik kedai, seorang perempuan berbadan kurus. "Kopi atau teh panas, Nona?"

"Arak!" jawab Perawan Sesat.

Wajah cantik yang sangar sempat bikin gemetar pria muda yang ada di samping kirinya. Pria muda itu pun segera pindah tempat duduk, dan mata Perawan Sesat memperhatikan dengan tajam, berkesan liar dan ganas. Minggirnya pria muda itu, lelaki berikat kepala putih dengan baju merah lusuh menjadi orang terdekat jaraknya dari Perawan Sesat. Kepada lelaki itu Perawan Sesat serukan tanya,

"Hei, kau kenal dengan lelaki bernama Suto Sinting?! Kalau kenal, tunjukkan di mana tempatnya. Aku perlu bertemu dengannya!"

"Hmmm... anu... saya... saya tidak mengenalnya, Nona!"

"Bodoh!"

"Iya. Hmmm... memang bodoh saya ini!" lelaki berbaju merah itu merendahkan diri dengan wajah pucat. Baru disentak dengan kata 'bodoh' saja wajahnya sudah langsung serupa dengan mayat.

Arak pesanan disediakan oleh pemilik kedai. Perawan Sesat meneguknya dengan rakus. Dua orang pemuda berseberangan arah dengannya saling berkasak-kusuk, "Sayang sekali, cantik-cantik tapi rakus, ya?"

"Ssst...! Bukan begitu. Yang benar, sayang sekali rakus-rakus tapi cantik. Itu tidak akan menyinggung perasaannya kalau dia mendengarnya."

"Ih, eh... rambutnya habis terkena racun apa ya, kok bisa awut-awutan begitu? Jangan-jangan dia habis diperkosa?"

"Ssst...! Jangan bilang begitu. Yang benar, rambutnya habis memperkosa siapa. Itu tidak akan menyinggung perasaannya...."

Wuuut...! Sepotong jadah atau ketan bakar tiba-tiba melesat cepat masuk ke mulut orang yang sedang bicara. Jruub...! Orang itu jadi mendelik, tak lagi bisa berucap kata apa pun kecuali, "Uhmm... uhhmmm... uuhmmm...!" sambil tuding-tuding mulutnya sendiri. Maksudnya minta bantuan temannya untuk mencopotkan ketan bakar yang melesak masuk ke mulut. Tapi temannya berlagak tidak mendengar, berlagak tundukkan kepala tak berani berkutik.

Perawan Sesat serukan kata, "Siapa di antara kalian yang tahu lelaki bersama Suto?! Ada atau tidak?!"

Tak ada yang menjawab. Semua diam dan ketakutan. Perawan Sesat lemparkan pandangan ke pemilik kedai. Perempuan tua yang kurus kering itu buru-buru gelengkan kepala sebelum ditanya. Perawan Sesat sentakkan suara kepada lelaki yang tertunduk di samping kirinya orang yang tersumbat ketan bakar di mulutnya.

"Hai, kau tahu tentang Suto Sinting?! Hei... aku tanya padamu, Baju kuning!"

Orang itu merasa ditanya, tapi tak berani jawab apa pun. Tak berani juga dongakkan wajah atau tatapkan matanya ke arah perempuan berambut awut-awutan itu. Sikap takutnya bikin hati Perawan Sesat makin jengkel. Sepotong pisang goreng dicomot, lalu dilemparkan ke orang itu.

Wuuttt...! Tapp...!

Ada tangan yang bisa menangkap lemparan cepat pisang goreng tersebut. Tangan itu milik perempuan berpakaian hitam dan bermata sedikit lebar. Sekarang perempuan itu tatap mata Perawan Sesat dengan berani. Entah apa yang ada di benak Perawan Sesat, yang jelas ia tidak ulangi lagi lemparan tersebut. Ia diam dan meneguk arak pesanannya. Tetapi pada saat itu perempuan yang pegang pisang goreng lemparan Perawan Sesat tadi mengibaskan tangannya cepat-cepat. Pisang itu berubah jadi busuk dan mengeluarkan belatung menjijikkan. Beberapa orang di dekatnya tersentak sampai ada yang menumpahkan makanan.

Perawan Sesat hanya melirik sekejap sambil bangkit berdiri. Ia lemparkan sekeping uang kepada pemilik kedai, lalu ia tinggalkan kedai itu dengan langkah-langkah tegasnya. Perempuan yang berpakaian hitam segera mengikuti Perawan Sesat secara diam-diam. Bulu kuduknya merinding sebentar membayangkan gumpalan belatung yang terpegang oleh tangannya tadi. Jelas belatung itu bikinan dari perempuan berambut jabrik. Ia tahu hal itu, sehingga ia makin penasaran mengikutinya.

Perawan Sesat bukan tidak tahu dirinya diikuti. Ia sengaja memancing di satu tempat sepi. Penguntitnya sebentar-sebentar bersembunyi di balik pohon. Perawan Sesat pura-pura tak tahu. Tapi pada satu tikungan jalan, penguntitnya terperangah karena kehilangan jejak. Orang yang diikutinya itu hilang bagaikan asap tersapu angin begitu membelok di gugusan cadas yang menjadi bagian dari salah satu lereng bukit kapur. Penguntit itu layangkan pandangan mata ke mana-mana sampai ke atas bukit kapur itu.

"Oh, dia sudah di sana?!" gumam hati perempuan bersenjatakan trisula putih berkilauan itu.

Perawan Sesat sengaja berdiri di atas bukit kapur menghadap ke arah penguntitnya. Ia gerakkan telunjuknya memanggil si penguntit dengan sikap menantang. Perempuan berpakaian serba hitam merasa ditantang dan segera sentakkan kaki. Wesss...! Tubuhnya melompat ke salah satu lereng pendek, melompat lagi ke lereng yang lebih tinggi, sampai akhirnya sama-sama berdiri di atas puncak bukit kapur yang tak seberapa tinggi itu.

"Sejak dari warung matamu sudah menguntitku terus!" kata Perawan Sesat dengan nada dingin. "Apa perlumu mengikutiku?!"

"Aku tak suka kau menyebutkan nama kekasihku!"

"Siapa kekasihmu?"

"Suto Sinting!"

Wajah dingin Perawan Sesat sunggingkan senyum yang amat kaku. Ia perdengarkan ejekannya. "Suto Sinting amat bodoh kalau mau jadi kekasih orang macam kau! Masih banyak perempuan cantik di dunia ini, mengapa dia pilih seekor kambing gunung untuk menjadi kekasihnya?"

"Bangsat kau! Jaga mulutmu, Perempuan busuk! Di dunia ini tidak ada perempuan lain yang pantas jadi kekasih Pendekar Mabuk kecuali Dewi Murka."

Perawan Sesat perdengarkan tawanya yang mengikik penuh kesan hinaan. Perempuan yang berpakaian serba hitam itu geletukkan giginya. Perawan Sesat tak tahu, bahwa Dewi Murka saat itu sebenarnya dalam keadaan rapuh. Mudah dilumpuhkan. Karena, Dewi Murka baru beberapa hari yang lalu terkena pukulan hebat dari Selendang Kubur, teman seperguruannya.

Mereka bertarung di sebuah pantai karena perasaan iri Dewi Murka melihat Selendang Kubur tampak mesra bersama Suto. Keduanya sama-sama menaruh hati pada Suto Sinting. Sampai-sampai Dewi Murka tega memfitnah teman seperguruannya dan mendesak Selendang Kubur untuk segera pulang ke padepokan dengan alasan dipanggil oleh gurunya, yaitu Nyai Betari Ayu.

Padahal tujuan Dewi Murka hanya untuk menyingkirkan Selendang Kubur dari sisi Suto Sinting. Pertarungan itu membuat keduanya sama-sama terluka berat. Keduanya sama-sama saling menghindar untuk menunggu waktu penyembuhan tiba. Setelah itu keduanya sama-sama akan bertarung lagi sampai mati.

Kini dalam perjalanan pulangnya, Dewi Murka memerlukan waktu beristirahat beberapa hari. Dan ia mendapat tumpangan di sebuah rumah salah satu penduduk desa tadi. Mestinya Dewi Murka masih harus beristirahat dua hari lagi, sambil melakukan penyembuhan terhadap dirinya. Tapi, kehadiran Perawan Sesat membuatnya panas hati dan merasa tidak rela jika Suto dicari perempuan berambut acak-acakan itu. Pikirnya,

"Perempuan ini harus kusingkirkan juga, supaya kelak hubunganku dengan Suto tak ada yang mengganggu lagi!"

Itulah sebabnya dia menguntit Perawan Sesat dan melayani tantangan di atas bukit kapur. Sekalipun kesehatannya belum pulih, Dewi Murka tak pernah merasa gentar beradu tanding dengan Perawan Sesat.

"Dewi Murka! Tak peduli siapa dirimu, yang jelas kau tahu di mana Suto Sinting! Tunjukkan padaku tempatnya atau kau kutelan habis di bukit ini juga!"

"Jangan anggap diriku kecil, Perempuan Jabrik! Gunung pun bisa kuhancurkan apalagi kepalamu yang mirip landak itu!"

"Jahanam!" geram Perawan Sesat dengan kedua tangan telah menggenggam kuat-kuat. "Boleh kau berkoar di depan orang lain, tapi jangan sekali-kali berkoar di depan Perawan Sesat!"

"Berkoar di depanmu sama saja berkoar di depan orang gila! Kenapa harus takut?!" sambil Dewi Murka tersenyum sinis.

Panas hati Perawan Sesat tak bisa dikendalikan lagi. Ia segera menggeram panjang bagaikan seekor macan, lalu kakinya menghentak satu kali ke tanah.

Duuggg...! Buurrr...!

Bukit kapur itu bergetar. Bagian bawahnya rontok sebagian. Bongkah-bongkah tanah kapur yang ada di bagian bawah melesat ke sana-sini. Dewi Murka merasakan bukit kapur itu sedikit rendah dan menyusut dari ketinggian semula. Itu pertanda bagian bawah bukit itu melesat ke dalam tanah atau hancur di beberapa bagian.

Dewi Murka berkata dalam hatinya, "Gila! Bukit ini menjadi rendah sedikit dari semula. Hentakan kakinya terasa dahsyat walaupun mungkin berlaku hanya untuk seonggok bukit kapur seperti ini. Tapi aku tak perlu gentar menghadapinya. Dia belum tahu jurus-jurus dahsyatku!"

Terdengar suara Perawan Sesat menghentak, "Tunjukkan kesaktianrnu kalau kau benar-benar bisa meruntuhkan sebuah gunung!"

Dewi Murka tersenyum tipis. Berkesan lebih kalem dari Perawan Sesat. Lalu, ia pun menghentakkan kaki kanannya ke tanah dengan keras.

Duugg...! Krakk...!

Tanah bagian atas bukit terbelah retak. Terpisah bagian tengah jarak antara Dewi Murka dengan Perawan Sesat. Dengan satu hentakan kaki pula, Perawan Sesat kembalikan posisi retaknya tanah itu.

Duug...! Kreep...!

Terkesiap mata Dewi Murka melihat keretakan kembali merapat dan pulih seperti sediakala. Sepertinya tak pernah terjadi keretakan. Di sisi lain, jauh di bawah bukit kapur itu, sepasang mata mengawasi peristiwa itu dari balik semak pohon. Sepasang mata itu berulang kali terbelalak melihat kedua perempuan tersebut beradu kesaktian ilmunya. Sepasang mata itu milik seorang lelaki berkumis yang memperkenalkan dirinya kepada Suto beberapa waktu yang lalu dengan nama Singo Bodong.

Percakapan Perawan Sesat di kedai itu didengarnya, karena kebetulan ia sedang buang air kecil di belakang kedai. Mestinya ia ada di kedai itu. Tapi karena ingin buang air kecil, ia minta izin kepada pemilik kedai untuk ke kamar mandi. Ketika ia mau keluar kembali, ia dengar suara Perawan Sesat menyebutkan nama Suto Sinting. Ia tak jadi keluar, karena ingin tahu apa yang dilakukan perempuan berambut jabrik itu. Dan diam-diam ia pun menguntit kepergian Perawan Sesat yang diikuti oleh Dewi Murka sampai di bukit kapur.

Dari tempat persembunyiannya Singo Bodong membatin, "Kedua perempuan itu manusia atau iblis sampai punya kekuatan tenaga dalam seperti itu. Aku saja yang berbadan sebegini besar belum tentu bisa gerakkan bukit kapur itu, eh... mereka yang jenisnya perempuan dengan badan selangsing itu bisa bikin bukit retak dan menjadi rendah sedikit dari asalnya. Gila itu dua perempuan."

Mata Singo Bodong yang lebar itu kembali mengikuti peristiwa di atas bukit kapur. Agaknya kali ini Perawan Sesat sudah merasa cukup pamer ilmunya. Melihat lawannya tidak merasa gentar sedikit pun, Perawan Sesat segera sentakkan kedua kakinya dan tubuhnya pun melesat terbang bagaikan seekor harimau hendak menerkam mangsanya. Pada saat itu Dewi Murka pun melompat menyambut tubuh lawan yang melayang. Kedua perempuan itu saling beradu kecepatan pukulan di udara.

Plak, plak, plak...! Buugh, bugh...!

"Heegh...!" terdengar suara Dewi Murka memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh bagai karung basah.

Brukkk...!

Perawan Sesat sudah sejak tadi daratkan kakinya dengan sigap di tanah berkapur itu. Ia berdiri tegak dengan tegarnya, memandang lawannya yang jatuh terkulai dan memuntahkan darah hitam dari mulutnya. Bahkan dari telinga dan hidung Dewi Murka juga mengeluarkan darah hitam kemerah-merahan.

Dewi Murka berusaha untuk bangkit. Ia mencabut trisula dari pinggangnya. Matanya memandang dengan sedikit membeliak. Tetapi sebelum ia sempat bangkit, ia sudah kembali jatuh terkulai. Tubuhnya terjajar di tanah berkapur. Telantang menghadap langit. Semburan darah hitam kemerahan itu kembali keluar dari mulutnya bersama tubuh yang menyentak kejang satu kali.

Perawan Sesat hempaskan napas lega, lalu tinggalkan tempat itu tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia tampak tidak peduli sekali dengan keadaan lawannya. Cepat ia melompat, cepat pula ia melesat hilang.

Singo Bodong kehilangan jejaknya. Bingung mencari ke mana perginya Perawan Sesat, sebagai sosok perempuan yang dikagumi ilmu dan kecepatan gerak tangannya tadi. Karena tak bisa mengejar dan mengikuti jejak kepergian Perawan Sesat, lelaki berkumis tebal melintang itu segera naik dengan susah payah ke bukit kapur. Tepat ketika ia sampai di sana, Dewi Murka hembuskan napasnya yang terakhir.

* * *


LIMA


HANYA Singo Bodong yang tahu persis mengenai kematian Dewi Murka. Hanya Singo Bodong yang melihat jelas Perawan Sesat telah membuat jiwa Dewi Murka benar-benar nungging. Tapi siapa yang kenal Dewi Murka di antara penduduk desa itu? Toh pada saat Dewi Murka menginap beberapa hari di rumah keluarga Gito Gepuk, ia memperkenalkan diri sebagai Wulansih, nama aslinya.

Kalau saja mereka tahu nama Dewi Murka, maka kematiannya akan tersebar ke mana-mana sebagai kematian murid Perguruan Merpati Wingit. Kalau kematian Dewi Murka tersebar, maka seorang pemuda berparas ganteng berpakaian hitam-hitam dengan senjata kapak dua mata itu tidak akan terus-menerus mencarinya. Pemuda yang memiliki senjata kapak Kebo Geni ini tidak lain adalah Manusia Sontoloyo, yang dikenal dengan nama panggilan Dirgo Mukti. Mengapa Dirgo mencari Dewi Murka beberapa hari ini?

Itu adalah tugas. Tugas yang turun dan dikeluarkan dari mulut Selendang Kubur, Selendang Kubur bersedia memberikan kehangatan tubuhnya kepada Dirgo, jika Dirgo Mukti sudah kembali memengal kepala Dewi Murka. Kala itu, pertempuran Selendang Kubur dengan Dewi Murka sama-sama mengakibatkan luka dalam di kedua belah pihak. Mereka saling berpisah untuk lakukan pengobatan masing-masing. Selendang Kubur bertemu dengan Dirgo, lalu ditolong dari keadaan parahnya, dibawa ke dalam gua tempat tinggal Dirgo, di pesisir pantai Karang Siru.

Sebagai lelaki yang normal, Dirgo bisa menilai kecantikan dan kemulusan tubuh Selendang Kubur yang tidak jauh berbeda nilainya dengan Peri Malam. Sekalipun hati Dirgo terbakar cinta kepada Peri Malam, namun melihat kemontokan dada Selendang Kubur dan daya tarik lainnya, Dirgo tidak menolak untuk mengulurkan tangannya mencari pelepas dahaga. Selendang Kubur kala itu dalam keadaan pingsan, lalu segera dibawa masuk ke dalam gua dan dirawatnya.

"Lukanya terlalu parah," gumam Dirgo Mukti sambil memperhatikan tubuh Selendang Kubur yang dibujurkan di atas pembaringannya. "Dia terkena pukulan tenaga dalam yang tinggi di dua tempat, jantung dan ulu hati. Terlambat sedikit pengobatannya, melayang sudah nyawa si cantik yang menggairahkan ini. Hmmm... aku harus segera menolongnya. Dengan begitu, dia berhutang nyawa padaku dan setidaknya tidak keberatan membayar hutangnya dengan kehangatan tubuhnya beberapa kali."

Tetapi Manusia Sontoloyo itu sedikit ragu setelah mempertimbangkannya. Ia membatin kembali, "Pengobatan ini tidak cukup dengan penyaluran hawa murni ke dalam tubuhnya. Ia harus mendapat resapan getar nadi dari sekujur tubuhku. Dan resapan getar nadi ini belum pernah kulakukan kepada siapa pun. Guru pernah berpesan untuk tidak melakukan pengobatan melalui resapan getar nadi jika tidak benar-benar terpaksa. Karena jika aku gagal melakukan resapan getar nadi, maka nyawaku sendiri akan melayang pergi dari ragaku. Tapi..., keadaan perempuan cantik ini mempunyai dua luka yang berbahaya dan harus cepat penanganannya. Hmmm... wajahnya makin pucat dan membiru. Agaknya pukulan tenaga dalam yang tepat mengenai sudut jantungnya ini mengandung kekuatan racun berbahaya...!"

Manusia Sontoloyo akhirnya memutuskan untuk melakukan pengobatan resapan getar nadi. Tanpa ragu-ragu ia melepas pakaian Selendang Kubur. Kalau saja Selendang Kubur tidak dalam keadaan pingsan lama, tentu ia akan memberontak dan menolak. Justru karena keadaan pingsan itulah Manusia Sontoloyo berani melakukan pengobatan cara resapan getar nadi.

"Wah, indah sekali tubuh perempuan ini...?!" gumam Dirgo. Matanya tak berkedip menatap kemulusan tubuh yang sudah tanpa selembar benang pun itu. "Kalau saja tak ada luka membiru di bagian ulu hati dan dada kirinya, sudah pasti tubuh ini akan mulus dan menggiurkan. Hmmm... dadanya begini montok dan kencang. Benar-benar sepasang dada yang menantang untuk bertanding cinta. Sayang sekali dia dalam keadaan terluka parah. Setidaknya kusalurkan dulu hawa murniku melalui telapak tanganku!."

Pada umumnya orang melakukan penyaluran hawa murni ke dalam tubuh si sakit dengan cara menempelkan kedua telapak tangan ke bagian yang terluka. Tetapi Manusia Sontoloyo membalikkan tangannya, ia menggunakan punggung telapak tangan untuk menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Selendang Kubur.

Beberapa saat lamanya hal itu ia lakukan, hingga akhirnya detak jantung Selendang Kubur kembali normal. Tapi Selendang Kubur masih belum siuman! Tentu saja, sebab masih ada luka berat di ulu hatinya. Luka itu memang berhubungan dengan luka dibagian jantung, sebab mempunyai saluran darah yang membawa racun. Racun itu menyebar di seluruh tubuh dan menjadi beku pada bagian ulu hati yang terluka. Ini bisa menyebabkan pembusukan segera terjadi pada bagian ulu hati tersebut. Pembekuan racun pada luka itulah yang harus disembuhkan dengan resapan getar nadi.

Maka, Manusia Sontoloyo pun segera melepaskan seluruh pakaiannya. Kini ia telungkupkan badan ke tubuh Selendang Kubur. Kedua kakinya diusahakan menggapit bagian paha dan betis Selendang Kubur. Kedua tangannya memeluk bagian dada sampai punggung. Mulutnya mengatup rapat ke mulut Selendang Kubur. Lalu, pelukan dan gapitan itu diperkuat.

Beberapa helaan napas berikutnya, tubuh Dirgo Mukti mulai tampak berkeringat. Tubuh itu menjadi pucat sedikit demi sedikit. Keringatnya semakin bertambah. Bahkan pada bagian betis kakinya yang berbulu itu pun mengeluarkan butiran keringat. Sampai pada telapak kakinya pun berkeringat pula. Dan tubuh perempuan yang dipeluk erat dalam keadaan seperti itu, mengeluarkan keringat berwarna kekuning-kuningan dari tiap lubang pori-pori tubuhnya.

Setelah keringat yang keluar dari pori-pori kulit tubuh Selendang Kubur itu berubah menjadi bening, maka Dirgo pun segera menghentikan resapan getar nadinya. Ia terengah-engah dan jatuh lemas begitu turun dari ranjang. Sementara perempuan yang habis menjalani pengobatan aneh itu dalam keadaan seperti tertidur nyenyak. Wajah pucatnya mulai surut, warna legam di dada dan ulu hati pun mulai memudar.

Dirgo membiarkan perempuan itu masih telentang tanpa selembar benang pun. Beberapa saat setelah itu, manakala napas Dirgo sudah kembali teratur, keletihannya lenyap sudah, maka Dirgo Mukti segera ambil kain dan air tawar untuk membersihkan tubuh Selendang Kubur.

Dengan penuh gairah Dirgo membasuh tubuh yang kini benar-benar tampak mulus, karena warna legam di kedua lukanya sudah hilang. Tetapi Selendang Kubur masih belum bisa siuman walau napasnya telah teratur. Ketika ia dibasuh dengan kain basah sekujur tubuhnya, ia masih diam saja.

"Indah sekali tubuh ini. Semuanya serba kencang, sampai ke bagian pantatnya. Hmm, hmm, hmm...!" gemas Dirgo dengan nakal, ia remas gumpalan-gumpalan yang bisa menimbulkan birahi itu. Semakin lama kenakalannya semakin bertambah jalang. Bukan hanya diremas saja bagian-bagian yang menggumpal penuh tantangan itu, namun juga dipagut-pagutnya beberapa saat.

"Selagi pingsan kurasa ia tak akan tahu kalau aku telah menikmati tubuhnya," pikir Dirgo dengan binal. Maka, ia pun bergegas kembali melepas apa saja yang melekat di tubuhnya. Ia kembali bersikap seakan hendak melakukan resapan getar nadi. Tetapi lelaki yang bergelar Manusia Sontoloyo itu mulai dilanda rasa kecewa.

"Kurang ajar! Dia mengunci kedua pahanya hingga tak bisa dibuka sedikit pun!" geram Dirgo Mukti.

Rupanya ia menjadi penasaran. Dirgo sentakkan tangannya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk mendorong sesuatu yang berat. Tetapi kedua paha Selendang Kubur terkunci rapat, tetap saja tak bisa direnggangkan sedikit pun. Dirgo mencobanya sekali lagi dengan jurus 'Sigar Jambe'. Kedua tangannya merapat pada bagian pergelangan, lalu disentakkan ke depan dengan bergerak membuka tanpa menyentuh paha itu. Tapi ternyata kedua paha tetap merapat kuat. Hanya sedikit terguncang tubuh Selendang Kubur, namun tidak membuat terpisah kedua kakinya.

"Edan!" sentak Dirgo, yang akhirnya menyerah kalah. Ia tak bisa lakukan apa yang ia inginkan. Tanpa sadar hasratnya kala itu sudah hilang karena kedongkolan hati dan lelahnya tenaga untuk membuka paha. Bahkan penggunaan jurus 'Sigar Jambe' itu telah menguras tenaganya karena selalu membalik masuk ke dalam dirinya.

Hari berikutnya, saat Selendang Kubur telah lama sadar dari pingsannya, Dirgo mencoba mendekati dengan kenakalan tangannya. Tetapi Selendang Kubur berkelit dan menepisnya dengan perasaan tak suka kepada tindakan itu.

"Jangan begitu, Selendang Kubur. Aku telah bersusah payah menolongmu, menyelamatkan nyawamu dari luka parah itu, jika aku meminta upah satu kali saja, bukankah itu tindakan yang bijaksana?"

"Aku tidak mempunyai kebijakan seperti itu."

"Tapi aku telah menyembuhkan lukamu, Selendang Kubur!"

"Aku tak keberatan kau kembalikan diriku seperti keadaan semula," jawab Selendang Kubur dengan keras kepala.

Terdengar helaan napas Dirgo dalam kejap berikutnya, "Nasibku selalu buruk jika sudah berurusan dengan perempuan!"

Selendang Kubur tetap tegak terbujur dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia dengarkan apa pun yang Dirgo Mukti ucapkan.

"Berulang kali aku jatuh cinta pada perempuan, berulang kali cintaku selalu ditolak."

"Urusan pribadi seperti itu sulit sekali dijajaki maknanya. Barangkali kau sangka aku benci padamu. Barangkali kau sangka aku menghinamu. Dan barangkali kau sangka aku jijik padamu. Tapi menurutku memang begitulah sikap pribadi yang harus kumiliki."

Selendang Kubur geserkan langkah dan duduk di atas batuan karang. Ucapannya berlanjut dari sana, tertuju untuk Dirgo yang ada tepat di samping kirinya.

"Manusia punya pendirian dan sikap, punya penilaian dan anggapan, yang belum tentu satu dengan lainnya sama. Kalau kau lebih banyak berpikir dengan gairahmu, aku lebih banyak berpikir dengan dendamku. Kalau kau lebih bangga dengan kemesraanmu, aku lebih bangga kalau dapatkan kepala Dewi Murka. Semua punya alasan masing-masing yang tak mudah dipahami orang lain."

Dirgo Mukti geserkan langkah dan bungkukkan badan, lalu ia berucap, "Kau sungguh simpan dendam kesumat dengan Dewi Murka?"

"Ya. Aku ingin penggal kepalanya. Siapa pun dapat hadiahkan penggalan kepala Dewi, akan kuanggap sebagai orang yang patut dihormati!"

"Termasuk aku?"

"Tak peduli dirimu atau gelandangan mana pun juga, jika ia persembahkan hadiah padaku berupa penggalan kepala Dewi Murka, ia adalah manusia yang patut kuhormati dan kudekati hatinya."

Kata-kata itu punya pengertian lain buat Manusia Sontoloyo. Ia anggap dirinya mendapat tugas dan perintah langsung dari mulut Selendang Kubur. Ia merasa, dengan menghadiahkan penggalan kepada Dawl Murka, maka Selendang Kubur akan pasrah menyerahkan kehangatan tubuhnya yang makin lama makin menantang gairah membakar birahi itu.

Dengan modal anggapan itu, Manusia Sontoloyo memburu Dewi Murka ke arah selatan, sesuai keterangan dari Selendang Kubur tentang arah pelarian Dewi Murka. Tak heran jika Manusia Sontoloyo itu merambah ke pesisir selatan untuk mencari seorang perempuan berbaju serba hitam, bersenjata trisula, dan bernama Dewi Murka.

Tapi ketika langkahnya hendak beralih dari menyusuri pantai ke kedalaman hutan, mendadak langkah itu terhenti. Dirgo Mukti melompat mundur dalam satu sentakan kaki yang melenting tinggi di udara. Sebuah pohon kelapa rubuh tepat di depannya halangi langkahnya.

"Tak mungkin pohon itu rubuh sendiri. Batang dan daunnya masih segar. Pasti ada orang yang hendak berbuat jahat padaku, atau ingin menghadang langkahku! Hemmm... mana orang itu?" pikir Dirgo.

* * *


ENAM


ORANG yang dicari Dirgo muncul di belakangnya. Kehadirannya tanpa hawa dan tanpa suara, Dirgo sempat terperanjat sebentar melihat munculnya perempuan jabrik berpakaian ungu muda ketat. Bukan rambut yang bikin Dirgo kaget, tapi bentuk tubuh yang begitu menggiurkan yang bikin Dirgo terkesiap tak berucap.

Hati Dirgo jadi berdebar-debar memandang belahan dada perempuan itu yang tampak mulus, menonjol dan sekal-sekal montok. Sungguh suatu pemandangan yang harus diperhatikan tanpa kedipan mata barang sejenak. Tapi wajah perempuan itu tetap tanpa senyum. Kecantikan itu bagai gunung batu tersaput gumpalan es. Dingin sekali. Walaupun Dirgo sunggingkan senyum, perempuan berhidung kecil bangir dan bermata bundar itu tak tertarik untuk membalas senyuman Dirgo.

"Luar biasa...," gumam Dirgo di dalam hatinya. Ia pandangi perempuan yang berpinggul meliuk indah dengan pantat menonjol sekal itu. Ia nikmati kemolekan yang begitu langka itu sambil langkahkan kaki kelilingi tubuh perempuan tersebut. Yang di pandang tak bergerak sedikit pun kecuali matanya yang melirik dengan liar. Wajah bekunya sedikit tegak terdongak naik dagunya, menampakkan sebentuk keangkuhan yang angker.

"He he he...!" Dirgo perdengarkan tawanya yang pelan mirip orang menelan minuman. Tiba di depan perempuan cantik berambut jabrik, Dirgo Mukti hentikan langkahnya. Jarak mereka hanya tiga langkah. "Kaukah yang rubuhkan pohon itu?" tanya Dirgo dengan kedua tangan selipkan jempol ke ikat pinggang di depan perutnya.

Perempuan itu sedikit miringkan wajah dalam pandang sipitnya. Semakin tajam mata itu bak ujung tombak yang baru diasah dengan gerinda.

"Kaukah yang tumbangkan pohon untuk menghadang langkahku?" ulang Dirgo.

Perempuan itu menjawab dengan suara serak-serak angker namun menggairahkan. "Ya. Aku yang lakukan! Mau apa kau?!"

Dirgo Mukti lebarkan senyum. "Justru aku yang seharusnya bertanya begitu mau apa kau menghadang langkahku dengan cara begitu?"

"Mau memastikan dirimu!" jawab perempuan yang kemudian mengaku bernama Perawan Sesat itu.

"Apa yang perlu kau pastikan dari diriku, Perawan Sesat?"

"Apakah benar kau yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu?!"

"Mengapa kau tanyakan hal itu?"

"Aku mencarinya."

"Untuk apa?"

"Suatu keperluan penting."

"Menyenangkan atau menyusahkan?!"

"Sangat menyenangkan."

Dirgo manggut-manggut dalam senyuman, melangkah ke samping tiga pijak sambil membatin, "Perempuan ini boleh juga. Cantik tapi berkesan liar. Merangsang tapi berkesan angker. Perempuan seperti ini pasti punya gairah besar dalam bercinta. Tubuhnya serba kencang dan itu menunjukkan jaminan kenikmatan yang luar biasa. Perempuan ini jauh lebih menggiurkan dari Selendang Kubur atau pun Peri Malam. Hmmm... dia mencari Suto Sinting. Dia punya kepentingan yang menyenangkan. Apakah dia punya kencan dengan Suto Sinting? Atau barangkali dia ingin membuat kencan dengan murid si Gila Tuak itu?"

Perawan Sesat ikuti gerakan langkah Dirgo. Matanya bagai tak mau lepas dari wajah Dirgo Mukti. Ia membatin pula di dalam hatinya, "Kurasa memang ini orangnya. Peramal Pikun itu memberi ciri ketampanan. Suto orang yang tampan, gagah, dan perkasa. Orang ini punya ciri seperti itu. Tapi apakah benar dia yang bernama Suto?"

Kejap berikutnya keduanya saling pandang lagi. Lalu, Dirgo Mukti lontarkan tanya, "Dari mana asalmu, Perawan Sesat?"

"Jawab dulu pertanyaanku tadi, kaukah yang bernama Suto?!" sentak perempuan berpedang gading.

"Ya. Aku Suto Sinting!" jawab Manusia Sontoloyo dalam tipuannya.

Perawan Sesat hembuskan napas lepas, seperti mengalami perasaan lega. Wajah dinginnya sedikit mencair. Keangkerannya mulai surut. Keangkuhannya kian menipis. Kekakuan sikapnya pun menjadi berubah sedikit santai.

"Ada kepentingan apa kau mencariku?!" tanya Dirgo.

"Aku harus membawamu ke Bukit Garinda, Suto!"

"Untuk apa aku ke sana?"

"Guru ingin menemuimu."

"Perlu apa gurumu menemuiku?" Dirgo ganti berlagak angkuh.

"Itu urusan pribadi Guru. Sebaiknya ikut saja perintahku, jangan bikin aku paksa dirimu dengan kekerasan."

"Bagaimana jika aku ingin kekerasan itu?" goda Dirgo Mukti.

"Kau akan menyesal nantinya, Suto!"

"Bagaimana jika aku ingin menyesal lebih dulu?" sambil Dirgo mendekati Perawan Sesat. Senyumnya makin mekar, membuat Perawan Sesat menganggap kata-kata Dirgo tadi tidak bersungguh-sungguh. Karenanya perempuan itu tidak cepat tunjukkan kekerasan sikapnya, ia diam saja ketika Suto palsu berdiri jarak satu langkah di depannya. Ia pandang terus lelaki tampan itu.

"Aku mau kau bawa menghadap gurumu, tapi aku inginkan sesuatu darimu sebagai syarat utama."

"Apa yang kau inginkan?"

"Kemesraan." jawab Manusia Sontoloyo itu.

Perempuan berbibir menggemaskan itu tampak gelisah. Dirgo pegang kedua pundak Perawan Sesat. Hati perempuan itu makin resah. Dirgo melihat sikap pasrah yang bergumul rasa gelisah. Dirgo gunakan kesempatan itu untuk mencium pipi Perawan Sesat.

"Jangan...," bisik perempuan itu.

Tapi Dirgo nekat lakukan. Ciumannya mendarat penuh semangat di wajah kanan Perawan Sesat. Perempuan itu berusaha mengelak walau tak banyak.

"Jangan, Suto...." Perempuan itu menggelinjangkan kepala samping. Lehernya terbuka, dan Manusia Sontolo merenggut leher itu dengan sebuah kecupan memburu. "Jangan...," bisiknya lagi, lalu berlanjut, "Jangan di sini, Suto!"

Mendengar lanjutan kata Perawan Sesat, Dirgo justru hentikan ciumannya. Ia tarik kepala ke belakang dan pandang mata perempuan itu sambil tersenyum dalam tawa terkulum.

"Apakah syarat itu harus kupenuhi?" bisik Perawan Sesat sambil biarkan tangan Dirgo menelusuri masuk ke belahan dadanya.

"Ya. Harus kau sendiri yang penuhi. Kalau kau tidak penuhi syarat itu, aku tak mau menghadap gurumu."

"Aku takut kau laporkan pada Guru."

"Aku tak akan bilang apa pun padanya nanti."

"Kau berani berjanji?"

"Aku berjanji dengan berbagai sanksi."

"Apakah kau berani kehilangan nyawa jika sampai bocorkan rahasia?"

"Ambillah nyawaku jika aku dusta padamu!"

Tap..!

Tangan Dirgo ditangkapnya kuat, lalu disentakkan lepas dari belahan dadanya yang membengkak itu. Tanpa berucap kata apa pun, Perawan Sesat sentakkan ujung kakinya. Tubuhnya melenting ke udara dan bersalto dua kali untuk mencapai bawah pohon rindang. Dirgo pun mengikutinya dengan satu lompatan ringan dan bersalto dua kali di udara.

Kejap berikut tubuh mereka sudah saling berhadapan. Tangan Dirgo mulai meraih lengan Perawan Sesat. Tubuh itu tertarik ke depan dan terpeluk Dirgo. Kepala perempuan itu sengaja tengadah dengan bibir yang merekah. Dirgo segera melumat bibir itu dengan tangan meremasi punggung Perawan Sesat. Mulut perempuan itu terlepas dan lontarkan desah bersuara serak. Ia biarkan Dirgo menjamah sekujur tubuhnya. Karena ia sendiri merasa tidak bisa menghindar dari gairah yang kian memberontak dan melonjak-lonjak itu.

Kejap berikut, keduanya sama-sama berpeluh. Kejap lain lagi, mereka telah siap berdiri untuk tentukan langkah. Pakaian mereka sudah kembali rapi. Dan saat itu senyuman manis Perawan Sesat tampak mekar disuguhkan di depan Dirgo Mukti dengan sinar kepuasan.

"Sudah kuduga, kau memang galak dalam bercinta," kata Manusia Sontoloyo dengan senyum kemenangan.

Perawan Sesat tersipu malu, namun ia lontarkan kata lirih. "Memang begitulah aku. Tak boleh tersenggol kemesraan sedikit saja."

Manusia Sontoloyo serukan tawanya, membuat Perawan Sesat makin tersipu namun penuh bangga diri. Tanpa terpikir oleh mereka, sepasang mata mengintai sejak lompatan tubuh mereka mencari tempat bercumbu tadi. Sepasang mata itu mengikuti terus gerak-gerik dan suara mereka dari balik semak belukar. Sepasang mata itu menahan napasnya kuat-kuat agar tidak didengar oleh kedua pasang insan yang tadi dilihatnya begitu bergelora mencapai puncak birahinya.

"Syarat sudah kupenuhi," kata Perawan Sesat "Sekarang kau harus mau menghadap Guru, Suto."

"Ya. Aku akan menghadap gurumu!"

"Guru akan senang melihat aku datang bersamamu Suto Sinting!"

"Karena kau telah menyenangkan hatiku, maka aku harus menyenangkan dirimu, juga menyenangkan gurumu!"

"Aku kagum pada sikap ksatriamu, Suto. Dan...," ucapan itu terhenti. Menandakan adanya sesuatu yang membuatnya ragu. Dan mendadak tangan perempuan berambut makin awut-awutan itu berkelebat ke belakang sambil balikkan badan. Rupanya lemparkan selembar daun yang tadi sempat dipetiknya sebelum melangkah pergi dari ranjang alamnya. Daun itu kini melesat terbang bagaikan lempengan logam dan menancap tepat di batang sebuah pohon bersemak bawahnya.

Jruub...!

"Ada apa?!" tanya Dirgo Mukti kaget.

Pertanyaan itu belum terjawab, tiba-tiba dari semak bawah pohon yang tertancap daun itu melesat sesosok bayangan kuning. Kejap berikutnya telah berdiri seorang perempuan berpakaian kuning kunyit dengan dada yang sekal juga, walau kalah montok dengan Perawan Sesat.

Perempuan yang baru hadir dan keluar dari persembunyiannya itu berambut lurus sebatas pundak lewat sedikit. Rambutnya itu dililit rantai emas kecil melingkar kepala. Di bagian tengah kening rantai itu mempunyai batuan hias merah delima sebesar kacang tanah. Perempuan itu mempunyai tahi lalat di ujung dagu kanannya. Siapa lagi dia jika bukan Peri Malam, murid si Mawar Hitam yang sudah dianggap murtad itu.

"Peri Malam...!" desis Manusia Sontoloyo mulai cemas.

Perawan Sesat tatap wajah Peri Malam dengan sikap bermusuhan. Sedangkan yang ditatap hanya senyum-senyum sinis dengan lagak berkesan meremehkan keangkeran wajah cantik Perawan Sesat. "Apa maksudmu mengintip dari semak sana?!" geram Perawan Sesat.

"Hanya ingin melihat orang bodoh bercinta!" jawab Peri Malam.

"Sekali lagi kau bilang begitu, tak kuberi ampun dirimu!" sambil si jabrik sipitkan mata.

Peri Malam tertawa lepas terkikik-kikik. "Lucu sekali kau ini. Kudengar namamu Perawan Sesat. Pantas jika kau bernafsu besar hanya karena tersesat kemesraan lelaki dungu di sampingmu itu, sebab kau berotak udang, alias bodoh!"

Wuuttt...!

Tangan Perawan Sesat sentakkan ke depan dengan gerakan cepat. Pukulan tenaga dalam jarak jauh melesat ke arah Peri Malam. Namun Peri Malam sempat hantamkan tangan kanan ke kiri sambil liukkan badan menyamping.

Wuusss...! Greebb...!

Kedua pukulan tenaga dalam saling beradu dan terbuang ke gundukan tanah dekat pohon rindang yang tadi dipakai payung kencan.

"Perawan Sesat, jangan layani dia!" kata Dirgo Mukti dalam kecemasan yang tersimpan. Ia berusaha menarik lengan Perawan Sesat, tapi dikibaskan oleh perempuan itu.

"Aku harus menghajar perempuan itu biar tahu sopan!" geram Perawan Sesat sambil angkat kedua lengan ke atas dengan tenaga terkerahkan.

Peri Malam segera serukan kata, "Jangan salah sangka! Aku datang hanya untuk mengatakan bahwa kau salah memilih orang!"

Cepat-cepat Dirgo kembali menarik lengan Perawan Sesat dan berkata, "Lekaslah, jangan buang-buang waktu! Gurumu pasti sudah menunggu lama!"

"Tunggu!" Perawan Sesat sentakkan lengan, mata tetap arahkan tajam ke arah Peri Malam. Lalu ia serukan tanya, "Apa maksud kata-katamu, Perempuan Burik?!"

"Kau sangka lelaki di sampingmu itu Suto Sinting?" Peri Malam segera tertawa lepas.

Dirgo cepat hentakkan suara, "Tutup mulutmu, Peri Malam!"

"Oh, oh... lihat, dia ketakutan! Dia bentak aku karena dia takut aku bocorkan siapa dirinya di depanmu! Lihat...! Hi hi hi...!"

Tangan Peri Malam menuding ke arah Dirgo Mukti, membuat Perawan Sesat memperhatikan wajah Dirgo dengan curiga. Dirgo jadi gemas dan segera lancarkan pukulan jarak jauhnya.

Wuugh...!

"Woww...!" teriak Peri Malam sambil tertawa ia lompatkan badan, melesat tinggi dan kembali jatuh berpijak kaki tegap. Tawanya dilanjutkan seraya ia serukan kata, "Suto Sinting bukan dia! Suto Sinting sekarang ada di Perguruan Merpati Wingit! Dia dalam perawatan lukanya di sana. Sedangkan orang yang ada di sampingmu itu adalah Dirgo Mukti, alias Manusia Sontoloyo!?"

"Bohong! Aku Suto Sinting!" sentak Dirgo dengan mata melotot.

Perawan Sesat kian kerutkan dahi dalam tatap matanya ke arah Dirgo. Sementara itu, Dirgo masih tampakkan kegusarannya seraya membentak Peri Malam. "Jangan turut campur urusanku, Peri Malam! Jangan kau fitnah Perawan Sesat dengan kelicikanmu. Akulah Suto Sinting!"

"Dirgo...!" seru Peri Malam. "Setahuku, Suto Sinting lebih tampan dan lebih memikat daripada dirimu. Suto Sinting tidak mau bertindak ceroboh kotor seperti yang kau lakukan di bawah pohon tadi. Setahuku, Suto Sinting itu lelaki tanpa pusar yang bergelar Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak. Sedangkan kau, hmm... murid siapa kau? Gelar mu saja Manusia Sontoloyo! Jangan mengaku-aku nama Suto Sinting hanya untuk memperoleh kemesraan dan kenikmatan tubuh seorang perempuan. Kau bisa mati di tangan Perawan Sesat itu!"

"Diam...!" teriak Dirgo. Ia hendak lepaskan pukulan jarak jauh kepada Peri Malam. Tapi, dengan kasar pundaknya ditarik ke belakang oleh Perawan Sesat hingga ia tersentak dan berpaling ke arahnya.

"Sontoloyo...!" geram Perawan Sesat. Tajam matanya memandang.

"Jangan hiraukan kata-kata itu. Aku Suto Sinting murid sinting si Gila Tuak. Akulah orang yang kau cari, Perawan Sesat!"

Tiba-tiba tangan Perawan Sesat bergerak cepat bagaikan kilat. Tak mampu terlihat oleh mata Dirgo.

Wuusss...! Bret, breett...!

Perawan Sesat membuka baju Dirgo. Tampak ada pusar di perut lelaki itu yang tadi tak sempat diperhatikan Perawan Sesat. Seketika itu, Dirgo cepat raih bajunya dan dekap pusarnya sambil sedikit membungkuk malu.

"Apa-apaan ini...?!" Dirgo berlagak sewot. "Jahanam kau!" geram Perawan Sesat. "Aku Suto Sinting. Bukan jahanam!"

"Dusta! Di perutmu ada pusar. Aku tahu itu pusar bukan kerupuk mentah! Dan itu berarti kau bukan Suto Sinting!"

Plookkk...!

Begitu cepat dan kuat tangan Perawan Sesat menghantam telak wajah Dirgo Mukti. Pukulan itu membuat Dirgo menggeragap sambil terhuyung mundur tiga tapak.

Wuuut...! Plokkk...!

Sebuah tendangan samping dilancarkan ke depan oleh Perawan Sesat. Dirgo tak sempat menangkis karena kecepatannya yang luar biasa. Akibatnya, wajah yang belum sempat menemukan titik sakitnya akibat tonjokan tadi, sekarang menjadi semakin panas sekujur kepala.

Tendangan dan pukulan itu kosong tanpa kekuatan tenaga dalam. Tapi sudah cukup bikin pandangan mata Dirgo berkunang-kunang. Ia cepat kibaskan kepala untuk membuang kunang-kunangnya. Sedangkan Perawan Sesat kali ini siap hantamkan pukulan jarak jauhnya bertenaga dalam. Dirgo pun bergegas bangkit dan siap menghadapi pukulan itu. Dengan satu gerakan jarinya ia sentakkan gelombang pelapis yang tak mudah ditembus oleh pukulan siapa pun, kecuali pukulan dari Suto Sinting.

Tetapi, ketika pukulan Perawan Sesat dihantamkan, ternyata Dirgo terpental ke belakang dengan mata terpejam. Jatuh telentang setelah mendengar suara ledakan keras. Blarrr...! Itu pertanda gelombang pelapisnya mampu didobrak oleh pukulan tenaga dalam Perawan Sesat. Dirgo Mukti berdarah di bagian hidungnya. Ia bergegas bangkit lagi. Perawan Sesat sudah siapkan pukulan kembali.

Tapi Peri Malam segera berseru, "Tahan! Dia punya urusan pribadi dengan Suto Sinting pada dua purnama mendatang. Mereka akan bertarung sampai mati di Bukit Jagal! Beri kesempatan dia hidup biar buktikan kehebatannya dalam pertarungan nanti! Sebaiknya...," kata-kata itu henti, karena tiba-tiba tubuh Perawan Sesat bagaikan lenyap karena kecepatan lompatnya yang begitu tinggi.

Dirgo tak sempat berseru menahan kepergian perempuan yang liar dalam bercinta itu. Ia hanya mengeram dongkol pada Peri Malam. Peri Malam tertawa cekikikan melihat wajah Dirgo bonyok.

* * *


TUJUH


PERAWAN Sesat bukan hanya tajam mata namun juga tajam ingatannya. Ucapan Peri Malam sempat lekat dalam ingatan, bahwa Suto ada di Perguruan Merpati Wingit dalam perawatan lukanya. Ini suatu kesempatan baik buat Perawan Sesat untuk membawa Suto ke Bukit Garinda. Tetapi, ke mana arah Perguruan Merpati Wingit? Perawan Sesat tak pernah tahu arah perguruan itu. Satu-satunya jalan ia harus mencari sebuah desa dan menanyakan kepada beberapa orang di sana.

Perawan Sesat kembali berkelebat ke satu arah. Tujuannya adalah kaki bukit yang tampak dari tempatnya singgah di atas pohon. Namun baru beberapa kejap ia bergerak, telinganya menangkap suara deru kaki kuda. Perawan Sesat telengkan kepala untuk menyimak suara kaki kuda itu. Setelah jelas arahnya, Perawan Sesat sentakkan kaki dan melesat pergi menuju arah derap kaki kuda.

Tiga orang berkuda melaju melintasi kaki bukit. Dua dari mereka adalah perempuan berparas manis, satu penunggang kuda lainnya seorang pemuda berparas imut-imut. Pemuda itu tampak bersemangat pula dalam memacu kudanya walau tetap tertinggal dari kedua perempuan yang berpakaian ungu dan putih.

Perempuan yang berpakaian ungu adalah Murbawati, murid Perguruan Merpati Wingit yang mendapat tugas untuk mencari Dewi Murka dan Selendang Kubur. Ia membawa dua anak buahnya, yaitu Widarti, yang berpakaian putih dan Sungko, pemuda berpakaian hitam. Laju kuda mereka terpaksa berhenti, karena seorang perempuan berambut acak-acakan menghadang di depan mereka dengan rentangkan tangan, Widarti sempat berbisik,

"Terus saja. Dia pasti orang gila!"

Tapi Murbawati membantah, "Belum tentu. Siapa tahu dia habis diperkosa dan butuh pertolongan kita. Lihat saja rambutnya acak-acakan begitu!"

Sungko menyahut, "Temui saja dia. Akan kuawasi dari atas kuda."

Kuda tunggangan Widarti melonjak naik sambil meringkik ketika mendekati Perawan Sesat. Widarti kebingungan menenangkan kudanya, sampai akhirnya ia jatuh dari punggung kuda. Beruntung ia tak cedera apa pun, sehingga bisa cepat bangkit dan menemui Perawan Sesat. Pada saat itu, Murbawati yang ilmunya lebih tinggi dari kedua teman atau anak buahnya itu, juga turun dari punggung kuda.

"Apa maksudmu menghadang kami, Sobat?" tanya Widarti.

"Aku mencari arah Perguruan Merpati Wingit!" jawab Perawan Sesat dengan tegas, tanpa ada keramahan sedikit pun. Matanya sempat layangkan lirikan ke wajah Sungko yang ganteng imut-imut itu. Sungko cepat alihkan pandang karena hatinya berdesir aneh ketika beradu pandang dengan mata indah itu.

Widarti saling bertatap pandangan dengan Murbawati. Kemudian, Murbawati maju setindak dan bertanya dengan kalem. "Ada perlu apa kau mencari arah Perguruan Merpati Wingit?"

"Itu urusanku. Kalau kalian tahu, lekas tunjukkan saja dan jangan banyak bertanya!"

Murbawati segera membatin, "Orang ini agaknya tidak bisa diajak bersahabat. Tapi ada apa dia mau menuju ke perguruanku? Apakah dia musuh Nyai Guru yang ingin membalas dendam?"

Perawan Sesat menyentak keras, "Lekas jawab pertanyaanku!"

Dari atas punggung kuda, Sungko berseru agak lantang, "Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit! Mau apa kau, hah?!"

"Bagus!" seru Perawan Sesat. "Pucuk dicinta ulam pun tiba! Berarti kalian bisa tunjukkan dimana letak perguruan kalian itu!"

"Tidak bisa!" seru Murbawati supaya Sungko pun mendengar suaranya dan tahu maksudnya, "Kami tidak akan tunjukkan di mana tempat perguruan kami, sebelum kamu sebutkan apa keperluan mencari perguruan kami!"

Perawan Sesat menatap liar pada Murbawati. Mulutnya tampak menggeletakkan gigi gerahamnya. Kedua tangan mulai mengepal keras dalam sikap tetap berdiri tegak dan kaki sedikit merenggang. "Kalian tidak perlu tahu apa perlunya aku ke sana, karena ini urusan pribadiku! Kalian hanya menunjukkan arahnya saja, dan jangan memancing kemarahanku!"

"Sekalipun kau marah, kami tetap tak akan tunjukkan sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu ke sana!" kata Widarti dengan berani.

"Kalian ini benar-benar mencari mampus di sini! Hiihhh...!"

Perawan Sesat sentakkan tangannya, layangkan pukulan jarak tujuh langkah itu. Widarti segera melompat dengan ringan dan pukulan tenaga dalam itu mengenai pohon di belakang Sungko. Pohon itu tumbang dalam keadaan patah besar di bagian tengahnya. Sungko sempat terkejut melihat pohon tumbang di belakangnya dalam jarak sepuluh langkah darinya.

"Murbawati, biar kutangani kunyuk satu ini!" kata Widarti sambil melangkah maju dua tindak. Lalu, di situ ia berseru, "Manusia landak! Kami tidak bikin perkara denganmu, tapi kalau kamu jual perkara kami siap membeli!"

"Hah...!" Perawan Sesat mendesis meremehkan ucapan Widarti. "Mestinya kalian sayang nyawa sendiri dan tidak coba-coba membakar kemarahanku. Aku tak pernah kasih ampun pada orang yang sengaja menantangku, tahu?!"

"Sikapmu sendiri yang menantangku!" sentak Widarti yang sudah siap mencabut pisau-pisau terbang yang berjajar melingkari pinggangnya itu.

"Rupanya kalian memang perlu bukti!" Setelah menggeramkan kata itu, Perawan Sesat jejakkkan kaki, tubuhnya pun jadi melayang bagaikan terbang. Widarti menyambutnya dengan satu lompatan ringan. Mereka beradu kecepatan pukulan udara sambil saling membenturkan diri.

Plak, plak...! Beegh...!

Tubuh Widarti tersentak ke belakang, melayang jatuh di kaki kuda yang ditunggangi Sungko. Mata pemuda itu terbeliak kaget lihat temannya mengucurkan darah dari mulutnya. Darah merah kental itu keluar bagai tersontak kuat dari dalam.

Murbawati pun merasa cemas. Ia segera berlari mendekati Widarti dan menolongnya bangkit. Widarti sempat berkata, "Aku tidak apa-apa. Aku masih sanggup kalahkan dia!"

"Hati-hati, dia berilmu tinggi. Kulihat caranya melompat tanpa banyak hentakan kaki. Itu menandakan dia berilmu tinggi. Juga kecepatan pukulannya luar biasa. Jangan lawan dia dari jarak dekat, Widarti."

"Ya, ya! Aku mengerti. Minggirlah, biar dia kuhadapi lagi!"

Widarti perempuan yang pantang menyerah. Sekalipun dadanya terasa sakit, ia masih bisa bangkit dan melangkah beberapa tindak ke depan. Tangannya segera berkelebat cepat mengambil dua pisau terbangnya dan melemparkannya ke arah Perawan Sesat.

Pisau itu meluncur searah sejajar dengan cepat. Perawan Sesat hanya sunggingkan senyum tipis tanpa meremehkan. Lalu, ia kibaskan tenaga dalamnya melalui kelebatan tangan kanan yang seperti membuang sesuatu dari bawah ke atas.

Wusss...!

Kedua pisau terbang itu terpental berlainan arah dan melesat ke tempat kosong. Kibasan angin tenaga dalamnya membuat tubuh Widarti berguncang sesaat. Kesempatan itu digunakan oleh perempuan bermata buas untuk melompat dan bersalto dua kali. Gerakannya itu begitu cepat dan tak terlihat, sehingga tahu-tahu ia sudah berada di depan Widarti jarak satu jangkauan. Widarti terkesiap melihat lawannya sudah ada di depannya. Ia tak sempat bergerak karena Perawan Sesat lebih dulu menghentakkan pukulannya memakai pangkal pergelangan tangan ke dada Widarti.

Begh... begh... beg...!

"Heeghh...!" Widarti tersentak kejang dengan kepala terdongak ke atas dan kaki berjingkat naik. Lalu, pukulan Perawan Sesat yang menggunakan punggung telapak tangannya itu mengakhiri pertarungan tersebut. Kuat sekali pukulan itu, membuat Widarti kembali tersentak ke belakang dan terbang sejauh lima langkah. Tubuhnya rubuh di samping kudanya sendiri dengan mulut memuntahkan darah merah kehitaman. Dari telinga dan hidung pun mengucurkan darah merah kehitaman. Mata Widarti mendelik dengan mulut masih ternganga.

"Widarti...!" Sungko melompat turun dan buru-buru menolong temannya. Tapi ketika kepala Widarti diangkatnya, napas perempuan itu menghempus panjang dan lepas tanpa helaan lagi.

"Biadab!" geram Murbawati melihat Widarti hembuskan napas terakhir. Cepat-cepat ia palingkan wajah yang memerah karena marah. Matanya memandang tajam pada lawannya yang berdiri dengan sikap siap bertarung kembali.

"Jangan buang-buang nyawa!" seru Perawan Sesat. "Cepat tunjukkan arah perguruan kalian, dan dua nyawa kalian akan tertolong!"

"Persetan dengan ancamanmu! Kau telah membuka pintu permusuhan dengan orang-orang Perguruan Merpati Wingit!"

"Terpaksa kulakukan karena kalian mengharap kan sikap seperti itu! Kuingatkan pada kalian, bahwa sebenarnya aku bisa mempercepat kematian temanmu itu. Tapi kalian perlu melihat permainanku tadi. Barangkali dengan begitu kalian mau jawab pertanyaanku!"

"Tak ada jawaban untuk manusia sekeji kamu!" sentak Murbawati sambil mencabut pedang panjang dari pelana kudanya. Sreet...! Ia berdiri dengan kuda-kuda kokoh sambil memegang pedang panjang memakai kedua tangannya. Pedang itu lebih tepat jika disebut samurai. Hanya sayang tidak berujung lengkung, dan tidak ada istilah samurai buat orang-orang Perguruan Merpati Wingit.

"Kau pikir aku akan ciut nyali melihat pedang panjangmu itu?" ejek Perawan Sesat sambil melangkah ke samping, mencari celah.

"Tak peduli kau takut atau tidak, kalau kau tidak minta ampun di depan kami atas pembunuhan terhadap teman kami, kutebas batang lehermu sekarang juga!"

"Pohon pisang boleh kau tebas, tapi Perawan Sesat adalah perawan yang keras. Sekali kau tebas, sekali pula nyawamu amblas!"

"Banyak mulut!" geram Murbawati sambil melangkah satu tindak, lalu memutar mencari kesempatan untuk menyerang.

Perawan Sesat pun bergerak mengitar, tak mau kecolongan celah bagi lawannya. Sambil bergerak mengitar, ia masih bisa serukan kata, "Kau benar-benar manusia yang tak bisa merawat nyawamu! Kau akan menyesal di alam kubur jika tetap melawanku, Monyet Bunting!"

"Aku ke alam kubur untuk menyusulmu! Cabut pedangmu yang bergagang jorok itu! Kita percepat siapa yang harus pergi ke alam kubur di antara kita berdua"

"Cabut pedang? O, tidak untuk sekarang! Membasmi tikus busuk macam kamu tidak perlu dengan pedang! Cukup dengan satu kedipan mata kau akan tak bernyawa!"

"Manusia sombong! Buktikan sesumbarmu itu. Hiaaat...!" Murbawati sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat dengan pedang siap tebas ada di atas pundak kanannya.

Perawan Sesat tidak ikut melompat, tapi lebih bersikap menunggu datangnya serangan. Begitu pedang ditebaskan ke arah depan oleh Murbawati, badan Perawan Sesat segera berbalik memunggungi lawannya dengan sedikit melompat ke samping kanan.

Wuuusss...!

Pedang menebas tempat kosong. Secepat kilat tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping, telapak tangannya yang sudah mengepulkan asap menghantam ketiak kiri Murbawati. Beeegh...! Lalu sikunya bergerak menyodok kuat ke pinggang Murbawati. Deeg...! Murbawati pekikkan suara tertahan dengan mata terbelalak tak mampu berkedip. Saat ia mendaratkan kakinya, ia menggeloyor ke depan. Perawan Sesat melompat mengangkangi tubuh Murbawati, dua pukulan telapak tangannya menghantam bagian tengkuk kepala lawan.

Duub...! Duub...!

"Hooeek...!" Seketika itu darah segar sontak ruah dari mulut Murbawati. Lubang telinga dan hidung pun semburkan darah segar pada saat tubuh itu roboh dan muka menciumi tanah. Tubuh Murbawati berkelojot sebentar, kemudian menyentak kuat satu kali. Setelah itu lemas. Tubuh Murbawati tak lagi berkutik akibat pukulan beruntun dari perempuan bertenaga dalam tinggi itu.

Sungko membelalakkan mata melihat Murbawati mati di tangan perempuan bermata liar itu. Mulai ciut nyalinya saat itu. Tapi demi membela perguruan, Sungko segera sentakkan tumitnya dan melesat di udara dengan berjungkir balik satu kali. Kaki itu pun mendarat tanpa suara di depan Perawan Sesat dalam jarak tiga langkah.

"Temanmu mati," kata Perawan Sesat dengan nada mengejek.

"Ya. Tapi aku belum mati!" jawab Sungko memaksakan keberaniannya.

"Kau ingin menyusulnya?"

"Aku ingin menyusulkan nyawamu agar bertemu dengan kedua nyawa teman seperguruanku itu!"

"Hah...!" Perawan Sesat senyumkan kesinisan. "Bocah bawang, bocah bawang...! Tidakkah kau lihat gerakanku menghabisi nyawa si baju ungu ini?! Apa kau pikir kau punya gerakan lebih cepat dari si baju ungu?"

"Ya!"

"Dan kau punya senjata sepanjang senjata baju ungu?"

"Ya!"

"Boleh kulihat senjatamu?" seraya Perawan Sesat tersenyum nakal. Arti kalimatnya juga berkesan nakal.

Sungko yang masih tampak ingusan itu mulai gundah dan gusar tatap matanya. Bibirnya yang ranum dan kemerahan-merahan tampak segar itu pandangi oleh Perawan Sesat. Lalu, terucap kata dari mulut Perawan Sesat yang berbibir mesum itu.

"Tak tega aku harus membunuhmu. Hmmm..., sebaiknya kutanyakan siapa namamu? Mungkin kalau aku memaafkan kamu, aku bisa mengenang nama pemuda tampan yang ingusan ini?"

"Namaku Sungko!" jawab Sungko dengan tegas.

"Sungko?! Oh, itu nama yang bagus. Sayang kalau harus dihias di batu nisan dalam usia semuda ini!"

"Persetan dengan kata-katamu! Aku menuntut kematian kedua teman perguruanku ini?!"

"Dengan apa kau mau menuntutnya, Sungko? Hmm...?!"

"Dengan nyawamu, Bodoh!"

"Dengan nyawaku? O, boleh saja! Tapi jangan sekali-kali kamu menyentuh tubuhku, Sungko. Sebab kalau tubuhku tersentuh lelaki macam kamu, gairahku berkobar dan kita tak jadi bertarung dengan permusuhan, tapi akan bertarung dengan kemesraan. Hi hi hi...!" Perawan Sesat perdengarkan tawa seraknya.

Ia lebih puas mempermainkan pemuda itu ketimbang harus cepat melenyapkan nyawanya. Perawan Sesat paham betul, pemuda seusia Sungko itu mudah sekali goyah pendiriannya. Juga mudah untuk membunuhnya. Karena itu, Perawan Sesat tetap memandangnya dan sesekali membuang lirikan mesumnya ke arah Sungko. Pemuda itu kian salah tingkah.

Di dalam hatinya Sungko berkata, "Apa yang harus kulakukan jika begini? Dia cukup tinggi ilmunya. Aku hanya mempunyai dua pisau di pinggang belakang. Tak mungkin bisa untuk mengalahkan perempuan nakal ini. Haruskah aku menyerah kalah? O, tidak! Guru selalu berpesan lebih baik mati daripada menyerah kalah. Kita akan terhina tujuh turunan jika menyerah kalah. Apa pun yang terjadi, aku harus melawan perempuan ini!" geram hati Sungko timbulkan semangat dalam jiwanya.

Tetapi ketika ia kembali menatap ke arah lawannya, mata itu tak mampu lagi berkedip. Perawan Sesat telah melebarkan belahan bajunya yang tanpa lengan itu. Kedua bukit mulus dipamerkan sebagian. Tapi justru karena sebagian itulah maka debar jantung Sungko menjadi kiat cepat detakannya.

Perawan Sesat sengaja melangkah ke arah pepohonan rindang sambil sesekali mengerlingkan mata dalam tatap pandangnya. Sungko mengikuti dengan pandangan mata yang tak bisa dikedipkan lagi itu. Jemari tangan Perawan Sesat berkutik memanggil Sungko saat ia berdiri dan bersandar di bawah pohon rindang.

"Tidak. Aku tidak boleh mendekatinya!" kata Sungko kepada dirinya sendiri. "Aku harus tetap di sini. Aku tak boleh tergoda!"

Kata hati berucap begitu, tapi kaki tetap melangkah mendekati Perawan Sesat. Sungko bagai terkena kekuatan gaib yang membuat dirinya melangkah tanpa disadari. Ketika ia sadar, ia sudah berada di depan Perawan Sesat dalam jarak satu langkah ke depan.

Sungko makin terpaku di tempat ketika belahan baju itu kian dilebarkan oleh tangan Perawan Sesat. Suara tawa pelan dari Perawan Sesat menghadirkan nada serak-serak menantang birahi. Tentu Sungko bertambah gemetar kedua lututnya.

"Lepaskan pakaianmu, Sungko," kata Perawan Sesat dalam desah serak yang enak didengar di kesunyian tempat itu.

"Tidak," kata hati Sungko. "Aku tidak boleh melepaskan pakaianku. Ini godaan! Aku harus tahan godaan! Aku tak boleh hanyut dalam rayuannya! Aku murid Perguruan Merpati Wingit! Aku harus tunjukkan belapatiku kepada perguruan!"

Hati berkata begitu tapi tangan tetap saja bergerak melepasi pakaiannya. Sampai akhirnya Sungko menyadari bahwa dirinya telah polos tanpa selembar benang pun. Ia buru-buru menutup bagian tertentu dengan kedua tangan, wajah pucat, mata melebar dan mulut melongo. Kepalanya celingak-celinguk ke kiri kanan dengan malunya.

"Lepaskan...! Lepaskan tanganmu, Sungko...!"

"Aku tidak mau!" sentak Sungko. Matanya menatap pandangan Perawan Sesat. Dan mata Perawan Sesat berkerling satu kali. Sungko tertegun bengong sambil melepaskan kedua tangannya.

"Aku tahu, kau inginkan sesuatu dariku!" kata Perawan Sesat sambil menarik pelan tangan Sungko, dan pemuda imut-imut itu menurut saja. Ia usap-usap rambut kepala Sungko sambil bicara.

"Kau butuh kenikmatan saat ini juga, Sungko?!" Pemuda itu tak bisa menjawab tapi ia anggukkan kepalanya. "Akan kuberi kau kenikmatan segunung besarnya. Tapi ke mana arah perguruanmu itu? Aku butuh mengantarmu pulang."

"Ke... ke arah barat. Ikuti saja sungai berbatu-batu dan kau akan temukan bangunan besar berpagar tembok tinggi. Itulah Perguruan Merpati Wingit," jawab Sungko bagai tak sadar.

"O, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang tiba saatnya kuberikan kenikmatan itu padamu. Nah, pejamkan matamu, Sungko!"

* * *


DELAPAN


MANUSIA Sontoloyo sengaja menghajar Peri Malam dengan tangan kosong. Sebuah tendangan disentakkan miring ke arah wajah Peri Malam. Tangan perempuan bertahi lalat di sudut dagu kanannya itu mengibas sentak ke arah samping. Tendangan itu meleset dari sasaran. Tapi kejab berikutnya Dirgo Mukti berbalik dan kaki satunya lagi berkelebat ke belakang.

Plook...!

Wajah Peri Malam telak-telak terkena tendangan keras itu. Walau tak bertenaga dalam, namun sempat membuat Peri Malam terhuyung-huyung tiga tindak. Setelah berhasil menendang wajah Peri Malam, Dirgo segera hentikan gerakan. Napasnya tetap teratur walau ia telah lakukan banyak gerakan.

"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Peri Malam!" kata Dirgo Mukti dengan menahan kedongkolan hatinya. "Lain kali, jangan suka ikut campur urusan orang!"

"Aku tidak rela kau mengaku-ngaku sebagai Suto!"

"Apa urusanmu?!" sanggah Dirgo dengan kerutkan dahi.

"Nama itu nama terhormat. Tak pantas dipakai oleh orang berpenyakit kudis seperti kamu!" ejek Peri Malam.

"Heh...," Dirgo tertawa satu sentakan. "Nama Suto Sinting kok dikatakan nama terhormat! Menurutku namaku lebih terhormat daripada nama Suto Sinting!"

"Tutup bacotmu!" sentak Peri Malam dengan kasar. Serta-merta ia jejakkan kaki dan melayang menyerang dengan tendangan bertenaga dalam. Tendangan itu dihindari oleh Dirgo Mukti dengan cara merundukkan kepala. Tubuh Peri Malam lewat di atas kepala Dirgo, dan tangan Dirgo bergerak nakal ke atas bagai mencomot buah jambu.

"Aaauw...!" jerit Peri Malam kaget karena sesuatu yang disembunyikan selama ini tercomot oleh tangan Dirgo. "Sontoloyo kotor!" sentaknya marah.

Kemudian tangan kirinya disodokkan ke depan dalam keadaan menggenggam. Pukulan bertenaga dalam melesat tanpa menyentuh sasaran. Gelombang tenaga itu meluncur kuat ke arah Dirgo. Secepatnya Dirgo melompat menghindari, tapi sentakan tangan kedua dari Peri Malam berhasil mengenai sasaran.

Beegh...!

Tubuh Dirgo Mukti tersentak ke belakang dan kedua kakinya sempat terangkat sedikit dari tanah. Ia merasa seperti diseruduk seekor banteng mabuk. Dadanya sedikit terasa sesak dan tubuhnya jatuh terhempas di pasir pantai.

"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Dirgo," kata Peri Malam mengutip kata-kata Dirgo tadi. "Lain kali jangan coba-coba berani memegang bagian terlarang dari tubuhku!"

Dirgo bangkit dengan menarik napas panjang-panjang. Ia sunggingkan senyum meremehkan dan berkata, "Kalau begitu, aku boleh pegang tubuhmu yang tidak terlarang!"

"Semua tubuhku terlarang dipegang oleh tanganmu!" sentak Peri Malam dengan bersungut-sungut cemberut. Ia palingkan wajah kembali menatap Dirgo dan berkata, "Hanya Suto yang boleh memegangnya!"

Benci sekali Dirgo jika mendengar nama murid sinting si Gila Tuak itu disebutkan oleh Peri Malam. Rasa-rasanya ia menjadi sangat rendah jika dibandingkan dengan Suto. Panas hati mendengar ucapan Peri Malam tadi membuat Dirgo ucapkan kata pedas, "Lelaki hina macam dia tak patut disebut namanya di depanku!"

"Aku akan menyebutnya setiap saat. Karena Suto memang seorang pendekar tanpa tanding yang layak namanya diagungkan!"

"Dia tidak pantas bergelar pendekar!"

"Dia lebih pantas dari pada kamu!" bantah Peri Malam dengan nada makin tegas dan keras.

Mulut Manusia Sontoloyo mencibir, "Hanya kebetulan saja dia pernah belajar silat dari si Gila Tuak, lantas orang kasih gelar pendekar padanya! Sebenarnya dia tidak punya isi apa-apa! Kosong melompong seperti rumah keong!"

Peri Malam tidak suka mendengar Suto diremehkan. Ketus nadanya ia bicara pada Dirgo Mukti. "Kau bilang dia kosong, tapi kau tak bisa memukulnya! Hmm...! Pendekar tidak bisa memukul lawan, itu namanya bukan pendekar, pendekar yang kerjanya tarik dokar ke mana-mana!"

"Aku bukan kusir!"

"Iya. Tapi kau kudanya!" sentak Peri Malam.

Wuug...!

Sebuah tendangan bertenaga dalam kali ini dilancarkan oleh Dirgo. Secepatnya Peri Malam sentakkan tangan kanan menyamping dengan kekuatan tenaga dalam juga.

Breeg...!

Kedua tenaga dalam itu bentrok. Peri Malam berhasil membuang ke arah samping kanannya. Di sana ada batu, dan batu itu pecah menjadi empat bagian. Peri Malam palingkan pandang ke arah Dirgo. Ternyata kedua tangan Dirgo sudah angkatkan sampai batas pundaknya. Jari-jarinya mekar mengeras, kedua kakinya merendah. Lalu tangan kanan berkelebat ke depan dengan membengkokkan pergelangan tangannya. Melalui punggung telapak tangan itu, Dirgo lepaskan pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi.

"Haiit...!" Peri Malam sentakkan tangannya ke depan dada dalam keadaan jari-jari lurus ke atas. Dari sisi telapak tangan keluar cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu melesat dan meledak di pertengahan jarak.

Duaaar...!

Dirgo Mukti berguncang tubuhnya akibat sentakan ledakan tadi. Tapi Peri Malam terlempar dua langkah jauhnya akibat sentakan ledakan tersebut. Ia jatuh dalam posisi miring, lalu segera berguling. Kemarahan Dirgo Mukti karena dibandingkan oleh Suto belum habis. Ia masih ingin menghajar Peri Malam yang menurutnya dianggap sebagai perempuan lancang mulut. Pada saat Peri Malam bergegas bangkit, sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi melesat melalui dua totokan jari tangannya. Pukulan itu mempunyai cahaya sinar merah api.

Wuuusss...! Slaaap..! Duaar...!

Peri Malam terkesiap mendapat serangan sinar merah api. Ia baru saja ingin melompat menghindari. Tapi sinar api itu meledak di pertengahan karena datangnya sinar hijau bening dari arah pepohonan tepi pantai.

Dirgo Mukti cepat palingkan wajah memandang ke arah pepohonan, begitu pula halnya dengan Peri Malam. Lalu, keduanya sama-sama lihat kemunculan seorang lelaki berpakaian serba coklat dengan menenteng bumbung tuaknya. Siapa lagi dia kalau bukan Suto Sinting, murid si Gila Tuak?

"Suto...!" pekik Peri Malam kegirangan.

Suto melangkah dengan santai dan tersenyum-senyum kepada Dirgo. Tapi arah langkahnya menuju ke Peri Malam, membuat Dirgo menjadi semakin dongkol.

"Suto...! Syukurlah kau tahu aku di sini..!" Peri Malam memeluk tanpa canggung-canggung lagi. Suto pun memeluk Peri Malam karena ingat perjuangannya mempertahankan Tuak Setan dari tangan si Mawar Hitam.

"Jahanam!" geram Dirgo Mukti dengan pelan. Kemudian ia segera kirimkan kembali pukulan bertenaga tinggi melalui kedua jari tangan yang disentakkan ke depan. Sinar merah api menyala lagi dan melesat ke arah Suto dan Peri Malam yang masih berpelukan hangat.

Walau dalam keadaan sedang berpelukan, namun mata Suto bisa melihat kilasan sinar merah api menuju ke arahnya. Ia tidak melepaskan pelukan itu, melainkan hanya menggeser bumbung tuaknya ke samping kiri Peri Malam, dan sinar merah api itu menghantam bumbung tuak dengan suara lirih, deeg...! Lalu, melesat kembali ke arah semula tanpa padamkan sinarnya.

Melihat sinar merah api kembali ke arahnya, Dirgo tercengang kaget dan buru-buru melompat ke arah samping dengan satu sentakan ujung jempol kakinya.

Wuuttt...!

Sinar merah api itu lewat ke tempat kosong. Tapi pada akhirnya membentur tebing karang yang agak jauh dari tempat mereka. Benturan itu membuat karang meledak.

Blaarr...!

Sebagian tebing karang menyembur dalam pecahan, sisanya berguguran jatuh di perairan laut. Ombak menelan guguran karang tersebut, membuat mata Dirgo masih terasa memandanginya.

"Dari mana kau tahu aku di sini?"

"Ada kemungkinan kau rindu pada gurumu dan berusaha menatap Pulau Hantu dari sini," jawab Suto dengan tenang, seakan ia tidak melihat keberadaan Dirgo Mukti di sebelah sana, dalam jarak tujuh langkah.

"Memang aku rindu pada guruku, tapi aku tak berani pulang ke sana. Itu sama saja aku menyerahkan nyawa kepada Guru!"

Makin panas hati Dirgo melihat tangan Peri Malam merapi-rapikan pakaian Suto. Ia segera mengirim pukulan bertenaga tinggi dari jarak jauh tanpa rupa. Pukulan itu diarahkan ke bagian kaki. Karena Dirgo Mukti sengaja ingin membuat kemesraan itu jadi berantakan dengan tubuh berjungkir balik tak karuan. Maka, tangan kirinya pun menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka dan jari-jarinya mengarah ke bawah. Gelombang pukulan jarak jauh itu bagai merayap di atas permukaan tanah.

Pada saat itu, Suto sedang mencubit pipi Peri Malam dan berkata, "Kupikir kau mati kena pukulan gurumu sendiri. Ternyata kau masih hidup dan semakin nakal!"

Duug...! Kaki Suto menghentak pelan ke tanah. Gelombang pukulan jarak jauh milik Dirgo itu berbalik arah dan lebih cepat serta lebih besar kekuatannya. Dirgo Mukti merasakan kembalinya pukulan itu, hingga ia perlu secepatnya berkelit pindah tempat.

Namun ia terlambat bergerak. Pukulan itu sudah lebih dulu menghantam bagian kakinya hingga membuat tanah menyembur naik. Dirgo Mukti terpelanting bagai dilemparkan ke atas. Ia kurang menjaga keseimbangan tubuhnya akibat rasa kagetnya tadi. Maka, mau tak mau ia pun jatuh bergedebuk di atas tanah berpasir.

Suara bergedebuk itulah yang membuat Peri Malam sadarkan diri dan cepat palingkan wajah ke arah Dirgo. Suto pun palingkan wajah ke sana sambil tersenyum. Peri Malam merasa heran melihat Dirgo bagai orang pontang-panting tanpa sebab. Perempuan itu pun bertanya pelan, tujuannya kepada Suto.

"Kenapa dia?"

"Entahlah! Mungkin encoknya kambuh!"

Dirgo yang mendengar jawaban itu segera menyentak dengan segunung kedongkolan di dalam hatinya. "Encok gundulmu!"

"Hei, sopan sedikit bicara dengan seorang pendekar!" Peri Malam bernada galak mengingatkan Dirgo Mukti.

Makin panas hati Dirgo jadinya. "Kalian yang tidak tahu sopan! Main peluk di depanku!"

Peri Malam maju setindak dengan tolak pinggang kiri, "Ih, kami mau main peluk atau main mata itu hak kami? Tak perlu harus hiraukan kamu! Kenapa kamu marah? Kalau merasa kurang terima, majulah sini...! Biar kuremukkan seluruh gigimu itu!"

Dirgo mendengus kesal dan membatin "Hmmm...! Terang saja dia berani bilang begitu karena di belakangnya ada Suto. Pemuda itu benar-benar bangsat! Kuserang dua kali dengan sembunyi-sembunyi masih juga bisa membalikkan seranganku. Kurasa memang dia punya ilmu sedikit lebih tinggi dariku. Rasa-rasanya aku perlu memperdalam jurus-jurusku lagi, dan mempelajari jurus 'Cakar Naga' secepatnya. Akan kulawan ilmunya dengan 'Cakar Naga'-ku pada pertarunganku kelak di Bukit Jagal!"

Tanpa mau bikin perkara lagi, Dirgo segera angkat kaki dari tempat itu. Ia melesat tanpa pamit dengan cepatnya. Peri Malam mau mengejar, tapi tangannya ditahan oleh Suto. Dan ia senang sekali mendapat sentakan menahan dari Suto. Hatinya bangga, seakan dirinya sangat dikhawatirkan oleh Suto.

"Biar kukejar dia!" Peri Malam memancing sikap. "Jangan. Tak perlu!" kata Suto dengan kalem.

"Kalau tidak kukejar dan kuremukkan dia masih tetap akan menggangguku terus!"

"Jauhi dia supaya tidak diganggu olehnya," kata Suto yang kedengaran lebih kalem sekarang dari pada dulu. Sebab sekarang Suto memang menyadari bahwa di dalam tubuhnya sudah bermukim Pusaka Tuak Setan. Kalau dia mengumbar nafsu kemarahan, bisa-bisa napasnya menyemburkan badai yang sangat dahsyat dan membawa korban tak bersalah.

Sikap tenang dan kalem itu membuat Peri Malam semakin menyukai Suto. Menurut pandangannya, Suto semakin menarik saja. Hatinya kian ditumbuhi bunga rimbun jika bertatap pandang dengan pendekar tampan itu. Rasa-rasanya pelukan yang tadi dilakukan Suto akan membekas selamanya dan meresap hangat sepanjang masa di dalam hati.

Tiba-tiba Manusia Sontoloyo itu tampakkan diri kembali dengan sebuah seruan dari atas batu karang berjarak antara lima belas langkah di belakang Suto. "Sutooo...!"

Peri Malam dan Suto sama-sama memandang. Peri Malam denguskan napas tanda kesal hatinya. "Hah...! Dia lagi, dia lagi...!"

"Dengar, Suto...!" seru Manusia Sontoloyo. "Ada seorang perempuan cantik mencarimu. Dia bernama Perawan Sesat! Sekarang sedang menuju ke Perguruan Merpati Wingit karena menyangka dirimu ada di sana! Dia membutuhkan kamu dan ingin membawamu pergi!"

"Jangan dengarkan omongannya!" sentak Peri Malam mulai cemburu dan waswas. Ia sentakkan pula tubuh Suto agar berpaling memandang ke arahnya. Tapi kepala Suto masih kembali palingkan pandang ke arah Dirgo Mukti, sebab Dirgo masih lanjutkan seruannya.

"Hati-hati, dia berilmu tinggi! Mungkin akan membabi buta mengamuk jika kamu tidak mau ikuti dengannya! Satu lagi, dia adalah perempuan cantik yang menggairahkan! Dia lebih cantik dari Peri...!"

Wuuus...! Duaar...!

Kata-kata Dirgo tak terlanjutkan karena Peri Malam mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang lebih bertenaga dalam tinggi lagi. Pukulan itu bersinar biru dan melesat jauh ke tempat Dirgo. Tapi Dirgo cepat menghindar dan menghilang, hingga sinar biru itu mengenai batu yang dipakai pijakan kaki Dirgo Mukti. Batu itu pun meledak menjadi serpihan-serpihan lembut.

"Jangan dengarkan celoteh si Gila Sontoloyo itu!" ucap Peri Malam dengan cemberut kesal.

"Perawan Sesat...?!" gumam Suto dengan kerutkan dahi.

"Lupakan tentang perempuan itu!"

"Apa kau kenal dia?"

"Tidak. Tapi aku tadi melihat dia bercumbu di sebelah sana dengan Dirgo. Tadi kudengar Dirgo mengaku sebagai dirimu. Lalu, aku keluar dan membeberkan rahasianya. Dirgo ditinggalkan oleh Perawan Sesat. Aku salah ucap tadi. Untuk meyakinkan perempuan itu, kukatakan bahwa Suto yang asli ada di Perguruan Merpati Wingit. Lalu dia bergegas kesana mencarimu dengan meninggalkan kemarahan kepada Dirgo Mukti! Sudahlah, jangan pikirkan tentang dia!" Peri Malam merajuk manja.

"Aku tidak memikirkan dia, tapi memikirkan orang-orang Perguruan Merpati Wingit! Mereka bisa jadi korban tak bersalah jika benar perempuan itu mengamuk karena tidak menemukan aku di sana!"

"Itu urusan orang-orang Merpati Wingit! Bukan urusanmu!"

"Aku pernah ditolong oleh mereka. Kau pun diselamatkan dari luka dalammu oleh mereka! Tak bisa kita berdiam diri begini saja!"

"Aku tak setuju kalau kau kembali ke Merpati Wingit!"

"Aku harus kembali ke sana!" Suto bergegas melangkah, tapi segera Peri Malam melompat dan cepat menghadang langkah Suto.

"Jangan ke sana, Suto!"

"Aku hanya ingin melihat apa yang dilakukan perempuan yang tak kukenal itu!"

"Kau pasti akan kembali kepada Betari Ayu!" nada cemburu makin tampak jelas dari raut muka Peri Malam.

"Aku memang harus kembali kepada Nyai Betari Ayu untuk menjelaskan bahwa aku tidak ada hubungan apa-apa dengan perempuan yang bernama Perawan Sesat itu!"

"Tidak! Kamu tidak boleh ke sana! Betari Ayu akan semakin kegirangan jika kau datang. Aku tahu dia mencintaimu, Suto!"

"Itu hak dia! Aku tak bisa melarang!"

"Tapi kau melayaninya! Kau tidur dengannya dan...."

"Cukup! Urusan itu kita bicarakan nanti saja! Sekarang aku mau ke sana dan jangan halangi aku!"

"Tidak boleh!" Peri Malam rentangkan kedua tangannya.

Suto nekat sentakkan kaki dan melesat pergi menabrak tubuh Peri Malam. Akibatnya perempuan itu terjengkang ke belakang dan jatuh di atas tanah berpasir. Ia segera bangkit begitu melihat Suto sudah lenyap dari pandangan matanya. Ia berseru,

"Sutooo...! Tunggu! Aku ikut...!"

Karena pada saat itu terlintas dalam pikiran Peri Malam, jika ia tidak ikut mengawasi Suto, bisa-bisa hubungan Suto dengan Betari Ayu semakin lengket. Ini membuat ia kehilangan kesempatan untuk menempatkan cintanya di samping hati Suto. Ia harus mencegah hubungan itu agar tidak selengket karet.

Kelebatan Suto memang susah diikuti. Tapi Peri Malam masih bisa menggunakan penciumannya melalui udara. Bau keringat Suto telah melekat dalam ingatannya. Bau keringat Pendekar Mabuk yang mengandung tuak itulah yang menjadi penuntun Peri Malam untuk menyusul kepergian Suto.

Suto sendiri tidak peduli apakah dia diikuti Peri Malam atau tidak. Tetapi yang jelas firasatnya mengatakan ada yang tak beres di Perguruan Merpati Wingit. Firasat itu semakin kuat setelah di perjalanan Suto menemukan tiga kuda tanpa penunggang. Bahkan ia menemukan mayat Murbawati dan Widarti terkapar di sekitar kuda itu.

"Gila! Ini pasti perbuatan Perawan Sesat. Mungkin mereka bertemu dan didesak mengenai tempat perguruan mereka namun tidak mengaku, akibatnya mereka dibunuh secara keji! Hmmm...! Siapa perempuan yang mengaku berjuluk Perawan Sesat itu? Tak pernah kudengar namanya!" kata Suto sambil matanya memandang ke sana-sini.

Saat itu Peri Malam datang menyusul. Ia ikut terperanjat kaget melihat dua nyawa amblas dari raga dua orang dari Merpati Wingit yang kala itu dikenal pula olehnya. Peri Malam memandang Suto dan berkata dengan nada pelan. "Ada tiga kuda. Tapi mengapa hanya ada dua mayat? Pasti ada satu lagi yang menjadi korban!"

"Ya. Benar. Lihatlah ke arah bawah pohon sana...!" Peri Malam terkejut melihat mayat Sungko dalam keadaan tanpa selembar benang di tubuhnya. Mayat Sungko biru legam sekujur tubuhnya, pertanda dihantam dengan pukulan tenaga dalam cukup tinggi.

* * *


SEMBILAN


PERAWAN Sesat sungguh perempuan yang ganas. Dia ibarat iblis cantik berdarah dingin. Siapa pun yang menghalangi langkahnya, dibabatnya habis. Repotnya lagi, dia memang punya ilmu cukup tinggi. Sukar dijatuhkan lawan. Ketika ia menemukan Perguruan Merpati Wingit, ia dihadang oleh dua penjaga di pintu gerbang. Kedua penjaga itu melarang dia masuk. Tanpa banyak berdebat, kedua penjaga pintu gerbang itu dihantam secara bersamaan hingga keduanya terkapar tak bernyawa.

Brakkk...!

Pintu gerbang itu didobraknya dengan sebuah tendangan berkekuatan tinggi. Pintu gerbang itu bukan hanya membuka, namun juga terlepas dari engselnya dan sempat terbang sampai tujuh langkah jauhnya dari pintu.

Suara gaduh itu membuat mata para murid Merpati Wingit terperanjat dan terbelalak kaget. Sosok penampilan yang berambut awut-awutan dengan pedang gading di punggung, mata tajam, wajah angker, jelas melambangkan suatu permusuhan yang harus segera diatasi. Beberapa murid mengepung Perawan Sesat.

Tak ada gentar sedikit pun di hati Perawan Sesat. Ia bahkan berseru, "Mana yang namanya Suto! Aku butuh bertemu dengan Suto!"

Salah seorang dari wakil para murid itu berkata, "Di sini tidak ada Suto Sinting! Pemuda itu sudah pergi!"

"Dusta!" sentak Perawan Sesat. "Kudengar dia berada di sini dalam perawatan lukanya!"

"Tidak ada! Keluar kau atau kami rajang-rajang tubuhmu!" bentak salah satu wakil dari para murid.

"Aku tak akan pergi sebelum membawa Suto!"

"Bedebah kau! Seraaang...!"

Serentak para pengepung menyerang Perawan Sesat. Mulanya mereka belum menggunakan senjata. Namun, ketika kedua tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping dengan satu kekuatan tinggi, para penyerang itu berjumpalitan. Ada yang terlempar sejauh tujuh langkah, ada yang tersentak naik ke atas dan jatuh dalam keadaan patah lehernya. Ada pula yang langsung menyemburkan darah kental dari mulutnya. Pendek cerita, satu kali gebrakan delapan nyawa melayang.

Melihat delapan korban jatuh akibat gebrakan Perawan Sesat, seorang berpakaian biru dengan rambut pendek sebahu dan dililit kain ikat kepala warna merah maju ke depan. Ia memberi isyarat agar para murid tidak menyerang. Orang itu adalah wakil dari Murbawati selama Murbawati pergi. Mereka tak tahu bahwa Murbawati, dan dua temannya sudah menjadi mayat akibat ulah perempuan berambut jabrik itu. Perempuan yang tampil lebih kalem itu adalah Suryadani, ilmunya setingkat dengan Murbawati.

"Siapa kamu dan mengapa mengamuk di wilayah kami?"

"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang penting, aku harus pergi membawa Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu!"

"Suto sudah tidak ada. Dia sudah pergi. Memang mulanya dia kami rawat di sini, tapi setelah sembuh dia pergi dari sini! Dia memang bukan murid perguruan kami," tutur Suryadani dengan lebih kalem dan sabar.

"Aku perlu membuktikannya!" kata Perawan Sesat dengan mata memancarkan kesan angker.

"Dengan cara apa kau mau membuktikannya?"

"Menggeledah tempat ini!"

"O, ini tempat terhormat! Tak bisa seenaknya kau mengacak-acak tempat ini!"

"Kalau begitu aku harus memaksa untuk menggeledah tempat ini!" sentak Perawan Sesat.

"Kalau kau memaksa begitu, maka aku pun memaksa bertindak keras!" Suryadani tak mau kalah gertak.

"Bagus!" Perawan Sesat melangkah ke samping dengan mata melirik liar. Ia berkata dengan suara semakin bermusuhan, "Menyingkirlah, aku akan menggeledah tempat ini. Atau berikan Suto supaya aku cepat pergi dari sini!"

"Tak ada Suto. Tak mau menyingkir!"

"Berarti kau memang cari mampus! Hiaaat...!" Perawan Sesat hanya membentak dengan kaki menghentak kuat ke tanah, tangan terangkat ke atas. Belum lagi ia maju menyerang, Suryadani sudah tumbang karena gelombang bentakannya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.

Suryadani segera bangkit berdiri dan membatin, "Suaranya tak seberapa keras, tapi gelombang kekuatan tenaga dalamnya begitu hebat! Oh, telingaku berdarah...?!"

Suryadani memegangi cairan yang mengalir ke pipi kiri. Ternyata memang darah yang keluar dari telinganya. Kemudian dia memegang bagian depan hidung. Darah juga mengalir walau tak banyak. "Aku harus hati-hati dengannya," pikir Suryadani.

"Majulah kalau kau memang ingin mengusirku!" sentak Perawan Sesat. Maka, Suryadani pun melompat maju tiga langkah. Ia segera mencabut keris yang terselip di pinggang kiri.

Srettt...!

Baru saja keris dicabut, Perawan Sesat menghantamkan pukulannya dari jarak jauh melalui sentakan tangan kirinya.

Wuusss...! Krak...!

Keris itu patah tiga tempat. Suryadani terperangah kaget. Keris itu keris pusaka yang sekali sabet bisa bikin lawan terbeset perutnya. Tapi mengapa sekarang semudah itu dipatahkan oleh lawannya tanpa disentuh sedikit pun. Keris yang tinggal sisa gagangnya yang digenggam itu segera dibuang. Suryadani sentakkan ujung kakinya dan melesat naik ke udara. Bertepatan dengan itu, Perawan Sesat pun sentakkan kakinya tanpa suara, dan melesat naik tanpa maju. Ia hanya menunggu serangan di atas. Suryadani lancarkan pukulan gandanya.

Wuuttt, wuuttt...!

Plak, plak...!

Pukulan ganda bisa ditangkis oleh telapak tangan Perawan Sesat. Sebelum mereka bergerak turun, tangan Perawan Sesat menghantam kuat di dada Suryadani.

Bagh...!

"Aahg...!" terpekik Suryadani dengan suara tertahan. Ia jatuh ke tanah, rubuh tak berkutik selain hanya mengucurkan darah kental dari mulutnya. Pukulan di dada itu membekas hangus bagai habis terbakar api yang maha panas.

Perawan Sesat segera sentakkan kaki menendang tubuh Suryadani yang sudah parah itu. Tubuh tersebut terjerembab dan telentang, kemudian meregang nyawa. Mati.

Melihat Suryadani tak bernyawa lagi, para murid sempat terbelalak kaget. Salah seorang memberi aba-aba. "Kepuuung...!"

Lebih dari lima belas murid mengepung Perawan Sesat berkeliling. Namun, sebelum mereka melakukan penyerangan serempak, terdengar suara bijak berseru dari depan bangunan joglo itu.

"Minggir semua...!"

Perintah pelan itu ditaati oleh para murid Merpati Wingit. Mereka menyingkir ke samping, dan Perawan Sesat menatap seraut wajah ayu berjubah kuning dengan ikat kepala dari kain merah berbintik-bintik kuning emas. Tali itu agak panjang, di kedua ujungnya mempunyai logam seperti mata tombak ukuran kecil. Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu, guru dan ketua di situ.

"Selamat datang di perguruan kami!" sapa Nyai Betari Ayu dengan lebih tenang lagi ketimbang Suryadani tadi. Ia langkahkan kaki maju dua tindak. Matanya teduh memandang mata liar Perawan Sesat.

"Tak perlu basa-basi padaku! Yang kubutuhkan adalah Suto!"

"Kalau tak salah penglihatanku," kata Betari Ayu, "Kau adalah murid Nyai Lembah Asmara yang berjuluk Perawan Sesat."

Terkesiap mata Perawan Sesat. Sedikit menyipit dia memandang Betari Ayu. Tangan yang sudah diangkat ke atas itu diturunkan dan sedikit mengendur. Namun sikapnya masih jelas bermusuhan. "Kau kenal dengan guruku?"

"Jelas kenal! Apa gurumu tak pernah bercerita tentang Nyai Betari Ayu...?"

"Ya. Pernah. Beliau pernah punya teman bernama Nyai Betari Ayu!"

"Itulah aku!"

"Oh...?!" semakin mengendur kekerasan urat tangan Perawan Sesat. Semakin surut kebengisan di wajahnya. Tapi kewaspadaannya masih tetap tinggi. Terbukti ketika salah seorang murid membokongnya dengan melemparkan pisau terbang ke arah punggung, Perawan Sesat segera sentakkan jempol kakinya dan ia melesat ke atas lalu putarkan tendangan dengan cepat. Tendangan itu membuat pisau terbang melesat balik dengan cepat sekali, dan menancap di leher pemiliknya.

"Aaahg...!" terdengar suara pekik tertahan dari si pembokong. Untuk beberapa saat suasana hening kembali setelah suara rubuhnya si pembokong.

Perawan Sesat kembali berdiri sigap berhadapan dengan Nyai Betari Ayu. Kala itu Betari Ayu hanya sipitkan mata melihat anak muridnya rubuh tertancap pisau. Betari Ayu hanya tarik napasnya dan menghembuskan pelan-pelan. "Perawan Sesat, pulanglah dan sampaikan salamku kepada gurumu, Nyai Lembah Asmara!"

"Guruku akan menerima salammu kalau aku pulang bersama Suto Sinting, pemuda tanpa pusar itu!"

"Suto tidak ada di sini, Perawan Sesat!"

"Aku belum percaya jika belum menggeledahnya!"

"Gurumu pasti percaya!" seraya Betari Ayu sunggingkan senyum.

"Guru boleh percaya, tapi aku tidak semudah itu mempercayaimu!"

"Aku keberatan jika kau menggeledah tempat ini!"

"Kalau begitu aku harus memaksanya!"

"Aku akan bertahan!"

"Kau akan kehilangan nyawamu, Betari Ayu!"

"Apa boleh buat demi pertahankan martabat perguruan!"

Perempuan berpedang gading itu mendengus kesal. Ia membatin, "Hmm... kalem-kalem tapi nyalinya besar juga orang ini! Kalau kuserang dia, apakah Guru akan menyalahkan aku? Ah, kurasa tidak! Karena tugasku adalah merebut Suto dari tangan siapa pun!"

Betari Ayu sendiri sedang mencari jalan agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi. Tetapi, agaknya Perawan Sesat ini orang yang sulit diajak damai. Mungkin karena didikan dari gurunya yang pantang melepaskan lawan jika sudah beradu pandang. "Perawan Sesat, apakah artinya kau mengobrak-abrik tempatku ini jika kau tidak menemukan Suto? Kau hanya memperburuk keadaan hubunganku dengan gurumu! Padahal aku sudah bertahan sabar untuk tidak merampas tanah Bukit Garinda yang sebenarnya kusewakan kepada gurumu, tapi sekarang agaknya mau dimiliki oleh kalian! Jadi menurutku, sudahlah... jangan kita bersitegang untuk masalah yang tidak penting!"

"Kehadiran Suto di depan Nyai Guru Lembah Asmara adalah hal yang sangat penting!" jawab Perawan Sesat.

"Apakah gurumu dalam keadaan sakit?"

"Tidak. Tapi Guru membutuhkan keturunan. Dia butuh pembibit yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki tanpa pusar!"

"Aneh!" Betari Ayu kerutkan dahi.

"Memang aneh. Tapi itu bukan urusanmu. Itu urusan pribadi Guru. Jadi jangan coba-coba kamu halangi urusan pribadi guruku!"

"Aku tidak menghalangi. Kalau di sini ada Suto, silakan bawa sendiri pemuda itu. Tapi kurasa Suto akan menolak, sebab dia sudah punya kekasih sendiri. Dyah Sariningrum namanya...!"

Perawan Sesat diam termenung sebentar. Lalu, matanya kembali terkesiap memandang Betari Ayu. Ia berkata bagaikan menggumam, "Jangan kau dustai diriku, Betari Ayu!"

"Tidak ada dusta dalam mulutku, Perawan Sesat! Suto Sinting sangat mencintai perempuan itu sehingga tak pernah mau bercinta dengan perempuan lain!"

"Omong kosong! Tak ada lelaki yang tak terpikat oleh kecantikan Nyai Guru Lembah Asmara. Suto pasti akan bergairah kepada beliau dan mau menjadi pembibit keturunan Nyai Guru Lembah Asmara!"

"Terserah. Itu urusanmu dengan Suto. Tapi urusanku dengan kamu kurasa sudah selesai. Suto tidak ada di sini!"

"Aku curiga kau menyimpan di dalam kamar pribadimu!"

"Itu tidak benar!"

"Kalau begitu aku harus masuk ke sana dan membuktikan!"

"Kau harus melewati aku dulu, Perawan Sesat!"

"O, kau menantangku?!"

"Karena kau menghendaki pertarungan denganku!"

"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut dalam tiga helaan napas, Betari Ayu!"

"Yang kusesali kalau nyawaku tak bisa kau cabut!"

"Bersiaplah untuk mati sekarang juga!"

"Aku sudah bersiap sejak tadi!"

Perawan Sesat merasa semakin ditantang. Maka dengan cepat ia sentakkan tangannya ke depan kedua-duanya. Wuuttt...! Sebuah gelombang pukulan tenaga dalam yang amat besar menghantam tubuh Nyai Betari Ayu.

Tapi dengan gerakan seperti menari, Betari Ayu hadangkan tangan kanannya ke depan dada. Gelombang pukulan yang besar tak berbentuk itu tertahan di depan dada. Betari Ayu tetap berdiri dengan kedua kaki merapat dan tangan kanan menahan di depan dada. Wajahnya tak ada kekerasan sedikit pun. Bahkan berkesan senyum tipis yang membikin Perawan Sesat menjadi tambah penasaran.

Kedua tangan perawan gila itu mendorong ke depan agar gelombang pukulan tenaga dalamnya tidak membalik arah. Ia bagaikan mendorong sebongkah batu sebesar gajah. Sekujur tubuhnya menjadi keras. Berkeringat di sekitar kening dan lehernya. Tangannya gemetar jelas karena dorongan yang memerlukan pengerahan tenaga itu.

Sementara yang menahan hanya tenang-tenang saja. Tangan kirinya berada di belakang, tangan kanannya tetap tegak dengan jari menghadang ke atas. Dalam satu kesempatan, Nyai Betari Ayu melihat letak kaki Perawan Sesat dalam keadaan lemah satu sisi. Maka, tangan kanannya itu disentakkan ke depan seperti gerakan orang menari. Dan, tubuh perempuan jabrik itu tersentak ke belakang, terpental lima langkah jauhnya. Di sana ia rubuh dan terguling-guling bagai dihempas badai besar.

Murid-murid yang memperhatikan adu tenaga dalam itu menjadi tertegun bengong melihat kehebatan gurunya. Tetapi murid yang ada di belakang gurunya menjadi cemas karena tangan kiri Betari Ayu menjadi berdarah. Tangan kiri itu semenjak tadi menggenggam menahan kekuatan dorongan tenaga dalam lawan, sampai kuku-kukunya masuk ke dalam kulit telapak tangan. Maka basahlah tangan kiri itu oleh darah merah segar.

Perawan Sesat merasa mendapat lawan yang cukup tangguh. Ia segera bangkit dan mencoba menghantamkan pukulan jurus lain yang lebih berbahaya dari yang pertama tadi. Tetapi dengan badan sedikit merendah dan tangan melambai bagai menebarkan bunga, pukulan Perawan Sesat dapat dihantam balik.

Untuk kedua kali Perawan Sesat terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling. Ia pun segera menggeram kasar, "Bangsat! Tak boleh dibuat main-main orang itu!" Perawan Sesat terpaksa mencabut pedang gadingnya itu.

Srettt...!

Tiba-tiba angin badai datang bertiup di sekeliling wilayah perguruan itu. Pedang tersebut ternyata bukan terbuat dari logam, melainkan terbuat dari gading tanpa ukuran. Bentuknya pipih dengan bagian kedua sisinya tipis bak pedang logam yang tajam.

Beberapa murid perguruan berkerut dahi dan menyangsikan ketajaman pedang gadis itu. Sebagian dari mereka sempat mencibir dan merasa aneh melihat pedang gading. Tetapi ketika pedang itu ditebaskan ke depan, badai besar datang dengan cepatnya. Bukan hanya tubuh manusia yang terpental, namun atap bangunan joglo itu pun somplak ke atas dan berantakan sebagian. Salah satu tiang penyangga atap patah. Tubuh Nyai Betari Ayu juga terpental hingga membentur dinding bangunan lainnya.

"Maju kau, Betari Ayu...!" teriak Perawan Sesat dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang yang siap diayunkan lagi. Ia berdiri di tengah arena, memandang orang-orang yang mengucurkan darah lewat lubang telinga, hidung, dan mulut. Pada umumnya mereka mengerang kesakitan dan tak mampu berdiri lagi.

Darah juga keluar dari lubang hidung, mulut, dan telinga Nyai Betari Ayu. Tapi ia masih mampu berdiri dan melepaskan ikat kepalanya yang terbuat dari tali sutera itu. Ia memutar-mutar tali kepala yang mempunyai logam runcing di ujungnya itu. Wuung...! Wuung...! Bunyinya mendengung bagai jutaan lebah bergaung.

Tali sutera itu segera dilepaskan dan meluncur ke arah Perawan Sesat. Ujung logamnya memercik-mercikkan api melayang dengan berputar-putar. Namun semua itu segera ditebas oleh pedang gading Perawan Sesat.

Wuuussh...!

Tali itu terpental membalik dalam putaran cepat. Badai datang dari angin tebasan pedang gading. Tubuh-tubuh yang sedang berusaha bangkit kembali terpental dan mengeluarkan darah pada tiap lubangnya.

Nyai Betari Ayu sempat bertahan berdiri sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Pada saat itu tali ikat kepalanya itu meluncur ke arahnya. Dengan sigap tangan diajukan ke depan dan segera menyambar tali yang melesat cepat itu.

"Pusaka Jerat Petir ini tidak mampu mengalahkan pedang gading tersebut! Luar biasa kekuatan pedang gading itu!" pikir Nyai Betari Ayu. Ia tetap bertahan berdiri. Tapi kelemahan kakinya tak tertahankan hingga ia pun jatuh. Banyak darah yang keluar dari mulutnya.

"Keluarkan Suto atau kuporak-porandakan tempat ini!" teriak Perawan Sesat. Ia siap kibaskan pedang gadingnya lagi.

Tetapi pada saat itu, sekelebat bayangan melintas di atas kepala Perawan Sesat. Hampir saja Perawan Sesat menusukkan pedangnya ketika ia segera terperanjat melihat sosok pria berpakaian coklat, menenteng tabung tuak di tangan kiri. Orang itu menatap Perawan Sesat dengan pandangan lembut dan senyum indah.

"Kau mencariku, Perawan Sesat?"

Tak bisa cepat Perawan Sesat menjawab, karena matanya segera terpaku pandang ke arah wajah tampan itu. Hatinya bergetar lemas bagai terhisap daya pikat Suto yang sungguh membuat tangannya gemetar. Namun, rupanya Perawan Sesat mencoba menentang batinnya sendiri. Ia masih berusaha untuk bersikap keras dan ganas.

"Kaukah yang bernama Suto Sinting?!"

"Tak salah dugaanmu, Perawan Sesat."

"Kau harus ikut aku menghadap guruku sekarang juga!"

"Aku tidak bisa sebelum kau sembuhkan orang-orang ini dan sebelum kau bangkitkan mereka yang mati!"

"Kalau begitu aku perlu menyeretmu, Suto!"

"Jika itu yang terbaik bagimu, lakukanlah!" Suto angkat bahu seakan pasrah.

"Kau tidak takut dengan pedangku ini, Suto?!"

"Pedang apa?! Kau tidak memegang pedang!"

Perawan Sesat mendongak ke atas memandang pedangnya. Ia terperanjat setengah mati melihat pedang itu hilang lenyap tanpa bekas. Yang tinggal hanya bagian gagangnya yang masih dengan kuatnya digenggam memakai kedua tangan. Seketika itu wajah Perawan Sesat pucat pasi merasa kehilangan pedang. Ia tak menyadari saat Suto melompati atas kepalanya, Suto sempat semburkan tuak dari mulutnya. Memang hanya sedikit, tapi punya kekuatan ilmu yang mampu menghilangkan benda yang tersentuh percikan tuak itu. Benda tersebut adalah pedang gading yang kini hilang tak berbekas.

Pada saat mata Perawan Sesat memandang terkesiap melihat pedangnya hilang, Suto menyentakkan bumbung tuaknya ke depan. Bumbung itu melayang cepat dan tubuh Suto terbawa melesat. Bumbung itu menyodok dada Perawan Sesat dengan kerasnya.

Buueeggh...!

"Heegh...." Perawan Sesat memekik tertahan, tubuhnya terpental jauh ke belakang hingga mencapai tempat pintu gerbang jatuh. Di sana tubuh itu rubuh tertindih tubuh Suto yang tidak bisa mengendalikan tenaga dalam dari dalam bumbung tuaknya.

Bruukkk...!

"Heeegh...!" Perawan Sesat makin memekik tertahan karena tertindih tubuh Suto. Dan pada saat itu meleleh darah dari mulut Perawan Sesat yang memejamkan mata menahan sakit.

Suto bergegas bangkit. Perawan Sesat mengerang menahan rasa sakit di dadanya. Suto memperdengarkan suara. "Pulanglah dan jangan coba-coba temui aku lagi di tempat ini!"

"Aku... harus pulang bersamamu, Suto!"

"Tidak bisa!"

"Kau harus bertemu dengan guruku!"

"Siapa gurumu itu?"

Perawan Sesat diam sebentar, lalu menjawab lirih. "Dyah Sariningrum...."

"Hah...?!" Suto terpekik tertahan karena kaget. Jantungnya pun berdetak-detak, kakinya gemetar mendengar nama itu disebutkan.

"Beliau menunggumu sekian lama. Ingin sekali bertemu denganmu!"

"Baik! Aku akan ke sana! Aku harus berikan beberapa tuak dulu kepada Betari Ayu untuk mengobati mereka yang terluka. Lalu, bawalah aku ke tempat gurumu!"

Segera Suto melompat cepat dan menemui Betari Ayu. Ia meninggalkan beberapa tuak dalam sebuah cawan dan menyuruh Nyai Betari Ayu meminumkan tuak itu kepada mereka yang terluka. Betari Ayu bertanya, "Kau sendiri mau ke mana, Suto...?"

"Urusan pribadi, Nyai!" jawab Suto menyembunyikan tujuannya.

Segera ia menemui Perawan Sesat dan mengajaknya pergi. Tapi karena Perawan Sesat dalam keadaan luka parah di bagian dalam, maka Suto terpaksa menggendong tubuh itu dan melesat bagaikan anak panah menuju sasarannya.

"Sutooo...!" teriak Peri Malam yang baru tiba di perguruan itu. Ia pun bergegas mengejar Suto walau harus tertinggal beberapa jauh.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.