Serial Pendekar Mabuk
Episode Pusaka Tuak Setan
Karya Suryadi
Episode Pusaka Tuak Setan
Karya Suryadi
SATU
SEEKOR kuda berlari dengan cepat melintasi pepohonan, menuruni lembah dan menuju ke satu arah tertentu. Kuda itu ditunggangi oleh seorang perempuan muda bersenjatakan cambuk di pinggangnya. Tetapi perempuan muda itu dalam keadaan lemas, sehingga sesekali tubuhnya nyaris terjungkal dari punggung kuda. Mata perempuan muda itu terpejam bagai tak mampu lagi untuk memandang ke arah depan. Bahkan ketika kudanya melewati jalan menurun, tubuh perempuan muda itu jatuh tertelungkup di belakang leher kuda.Sekujur tubuh perempuan muda itu ternyata memar membiru. Dari telapak kaki sampai bagian kepala seperti habis kejatuhan pohon besar. Bahkan pada bagian wajahnya sedikit tampak membengkak. Sebagian rambutnya pun ada yang rontok, dan rontokan helai rambutnya berjatuhan di sekitar pundak dan punggung.
la tak mampu lagi mengendalikan kudanya. Tapi sang kuda ternyata sudah terbiasa melewati jalur perjalanan tersebut, sehingga tanpa kendali pun sudah mengerti arah yang dituju. Seolah-olah sang kuda mengetahui bahwa majikannya dalam keadaan luka dalam yang cukup berat dan perlu segera dibawa pulang ke perguruan.
Itulah sebabnya begitu mendekati pintu gerbang perguruan yang bagian atasnya bertuliskan: "Perguruan Merpati Wingit", kuda itu memperlambat sendiri langkahnya. Dan tepat di depan pintu gerbang yang kokoh itu, sang kuda berhenti. Kedua penjaga pintu gerbang terperanjat dengan mata membelalak. Salah seorang berseru,
"Murbawati...?! Oh, kenapa dia?!"
"Kelihatannya terluka cukup berat!"
"Lekas antarkan dia menghadap Nyai Guru!"
Murbawati masih belum bisa bicara. Namun kedua penjaga pintu gerbang perguruan itu mengetahui bahwa Murbawati masih bernapas. Kudanya segera dituntun oleh salah satu dari kedua penjaga tersebut menuju ke sebuah tempat berbangunan joglo. Di sana, murid-murid Perguruan Merpati Wingit sedang berkumpul mendengarkan wejangan guru mereka.
Seorang perempuan berwajah cantik, namun sebenarnya sudah cukup banyak usianya, sedang duduk di sebuah bangku berupa kotak sederhana. Perempuan itu mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna kuning gading. Kain itu tipis, sehingga pakaian dalamnya yang berwarna biru tua itu terlihat membayang di balik jubah kuningnya.
Rambutnya yang panjang sebatas pinggang dibiarkan lepas terurai ke depan, sebagian di dada kiri sebagian lagi di dada kanan, la mengenakan ikat kepala bukan dari kain, melainkan dari tali sutera yang berwarna merah, berbintik-bintik kuning emas. Tali sutera itu sedikit panjang sehingga sisa ikatannya jatuh berjuntai melewati pundak kanannya. Di tiap bagian ujung tali sutera itu mempunyai semacam logam berbentuk mata tombak kecil, berwarna putih berkilauan.
Orang yang mengantarkan Murbawati berseru beberapa jarak sebelum sampai di tempat berkumpul itu. "Nyai Guru...! Murbawati terluka!"
Perempuan berselubung kain jubah kuning gading itu segera bangkit, karena memang dia itulah yang disebut Nyai Guru Betari Ayu. Melihat Murbawati terkulai bagaikan celana basah di atas kuda, Nyai Guru Betari Ayu segera bangkit dengan mata terperanjat. Para murid yang sedang duduk bersila dengan rapi itu pun ikut bergegas bangkit, dan segera mengerumuni kuda tunggangan Murbawati.
"Jangan dipakai buat tontonan!" seru Betari Ayu. "Angkat dia dan bawa masuk dengan segera!"
Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak berdaya itu dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu yang dilapisi kain tebal.
"Tinggalkan kami!" kata Betari Ayu kepada para penggotong tubuh Murbawati itu.
Mereka pun patuh, segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini yang ada di situ hanya Murbawati dan Betari Ayu. Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot pandangan mata yang menyimpan kemarahan. Gigi menggeletuk, mata pun menjadi menyipit. Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh di dalam dadanya yang terasa hampir meledak melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam, mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal namun tampak indah itu.
"Keparat! Ini pasti perbuatan Bidadari Jalang!"
Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu memanggil kedua murid kesayangannya, yaitu Dewi Murka dan Selendang Kubur. Dua perempuan yang mempunyai tinggi sejajar namun berwarna kulit beda itu segera masuk ke ruang penyembuhan. Wajah mereka juga memancarkan ketegangan dan kemarahan yang tertahan. Rasa iba melihat keadaan saudara seperguruan menderita seperti itu, membuat hati Dewi Murka tak sabar menanti tugas pembalasan.
"Kalian tentunya tahu, apa yang membuat tubuh Murbawati membiru seperti itu!" kata Betari Ayu tanpa memandang kedua muridnya.
Dewi Murka menjawab, "Pasti pukulan beracun yang dinamakan pukulan 'Guntur Perkasa', milik Bidadari Jalang itu, Nyai Guru."
"Benar! Dan rupanya dia sudah campur tangan dalam urusan kita!" ujar Betari Ayu dengan nada geram.
"Nyai Guru," sela Selendang Kubur yang mengenakan pakaian merah dadu bak buah jambu yang ranum dengan pinggang dililit selendang putih. la berucap kata dengan sikap hormat kepada sang guru. Mata Betari Ayu pun segera beralih kepadanya.
"Lanjutkan kata-katamu, Selendang Kubur!"
"Menurut dugaan saya, Guru..., Murbawati bukan terkena pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang."
Dewi Murka menyahut, "Ah, tahu apa kau tentang pukulan itu? Hanya aku dan Guru yang mengetahui ciri pukulan itu!"
"Aku juga tahu tentang pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang itu, Dewi! Aku pernah melihat ia menghantam musuhnya memakai pukulan tersebut. Tetapi, kali ini yang diterima Murbawati bukan pukulan 'Guntur Perkasa'."
"Alasanmu?!" sergah Betari Ayu.
"Kalau saja Murbawati telah menderita pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya sudah membusuk. Pukulan itu selain membuat tubuh lawan menjadi memar membiru, juga membuat tubuh lawan menjadi cepat membusuk. Bukankah tubuh Murbawati tidak membusuk sampai sekarang, Guru?"
"Kurasa sebentar lagi!" sahut Dewi Murka. Sikap dan wajahnya menampakkan seakan ia sangat tahu dalam hal ini.
Betari Ayu melangkah ke bagian kepala Murbawati, memandangnya beberapa saat, kemudian berkata kepada kedua muridnya. "Kurasa benar apa katamu, Selendang Kubur!"
"Benar bagaimana, Guru?!" sergah Dewi Murka.
"Jika memang Murbawati terkena pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang, pasti saat ini tubuhnya mengeluarkan bau busuk. Pada bagian sudut matanya mengeluarkan cairan hitam yang baunya sangat menusuk hidung. Nyatanya, sudut mata Murbawati tidak melelehkan cairan hitam. Berarti ini bukan pukulan 'Guntur Perkasa' dari Bidadari Jalang."
Dewi Murka merasa tidak bisa membantah lagi, karena semua keputusan gurunya tak berani disanggahnya. Dewi Murka yang berpakaian hitam dengan trisula di pinggang, hanya diam dan memandangi tubuh Murbawati. Sesaat berikutnya, barulah Dewi Murka bertanya, "Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang ini, Guru?"
"Lupakan dulu tentang siapa penyerang Murbawati. Sekarang kalian berdua bantu aku menyalurkan hawa murni melalui telapak kaki Murbawati. Aku akan menyalurkan tenagaku melalui bagian dadanya. Dewi, di telapak kanan. Selendang Kubur, di telapak kiri. Jangan berhenti sebelum kulepaskan tanganku dari dada Murbawati."
"Baik, Guru," jawab Selendang Kubur dengan sikap patuh. "Apakah pakaian Murbawati perlu dilepas semuanya, Guru?"
"Hmmm..., sebagian saja, sebagian atasnya saja...!"
Di luar ruang penyembuhan itu, para murid Perguruan Merpati Wingit saling berkasak-kusuk membicarakan nasib Murbawati. Mereka saling menduga- duga, tapi tak satu pun mempunyai kepastian tentang siapa penyerang Murbawati sebenarnya. Mereka saling menggeram dendam, merasa marah melihat saudara seperguruan mengalami nasib begitu menyedihkan. Tetapi tak satu pun dari mereka yang berani ambil tindakan sendiri, sebelum ada keputusan dan perintah dari sang Guru yang mereka segani itu.
Murbawati dikenal di lingkungan perguruan sebagai murid yang cekatan dan pandai menyusup. Sama dengan murid-murid lainnya, ia selalu bangga jika mendapat perintah dari gurunya. Seolah-olah sebuah perintah merupakan suatu penghormatan besar baginya. Dua hari yang lalu, Murbawati diutus menemui Ketua Partai Perempuan Sakti yang bergelar Ratu Lembah Asmara, guna menyampaikan undangan dari Nyai Guru Betari Ayu.
Pertemuan itu akan diadakan tepat di malam purnama. Betari Ayu meminta kesediaan Ratu Lembah Asmara untuk membicarakan masalah tanah di Bukit Garinda yang dulu dipinjamkan kepada Ratu Lembah Asmara. Tanah itu milik leluhur Betari Ayu. Karena hubungan baik, maka Betari Ayu meminjamkan tanah tersebut kepada Ratu Lembah Asmara sebagai tempat bercokolnya perempuan-perempuan penabur cinta. Tetapi belakangan hari, Betari Ayu membutuhkan tanah itu untuk memperluas wilayah perguruannya yang berkembang kian pesat itu.
Tetapi, agaknya Betari Ayu kecewa dengan sikap Ratu Lembah Asmara. Kehadiran Murbawati sebagai utusan Perguruan Merpati Wingit disambut dengan permusuhan. Sang utusan dilukai sedemikian parahnya, sehingga untuk mengobatinya, Betari Ayu terpaksa mengerahkan banyak tenaga hingga beberapa waktu lamanya.
Murbawati tersentak dan segera memuntahkan cairan hijau kehitam-hitaman dari mulutnya. Ini pertanda racun pukulan itu terdesak keluar, dan jiwa Murbawati tertolong. Namun perempuan muda itu belum bisa bicara apa-apa. Tubuhnya masih lemas, hingga Betari Ayu membiarkan Murbawati beristirahat beberapa waktu lamanya.
Menjelang malam tiba, Betari Ayu duduk di serambi depan kamarnya. la termenung mempertimbangkan sikap yang harus diambilnya. Jelas, melukai muridnya sama saja menantang pertempuran dengannya. Tetapi, apakah benar Ratu Lembah Asmara yang menyerang Murbawati? Seingat Betari Ayu, Ratu Lembah Asmara tidak memiliki pukulan yang mirip sekali dengan pukulan 'Guntur Perkasa' milik Bidadari Jalang.
"Jika Ratu Lembah Asmara melancarkan pukulan, selalu saja pukulan yang mematikan yang dilancarkan. Tak pernah tanggung-tanggung seperti ini!" pikir Betari Ayu. "Andaikata benar bahwa Murbawati menderita pukulan dari Ratu Lembah Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu? Apakah ia sudah bosan bersahabat denganku? Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku? Apa alasannya ia bertindak begitu? Bukankah aku pernah menolong nyawanya dari ancaman maut Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit Menoreh?"
Betari Ayu diguncang oleh keresahan dalam hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi oleh seseorang, tapi ia tak tahu kepada siapa ia harus menuntut sikap yang menantang itu. Satu-satunya wajah yang sering muncul dalam ingatannya hanyalah Bidadari Jalang. Karena antara dia dengan Bidadari Jalang pernah terjadi bentrokan ketika memperebutkan seorang lelaki yang bernama Datuk Marah Gadai.
Sejenak, ingatan Betari Ayu melayang pada seraut wajah pria tampan berkesan jantan: Datuk Marah Gadai. Ada hati yang bersemi di dalam dada Betari Ayu. Ada cinta yang tumbuh di dalam hati Betari Ayu. Tetapi, Datuk Marah Gadai terpikat oleh godaan Bidadari Jalang. Mata jeli Betari Ayu masih terbayang saat ia memergoki Datuk Marah Gadai bercinta dengan Bidadari Jalang.
Terbakar hati Betari Ayu pada saat itu. Diterjangnya Bidadari Jalang dengan amukan rasa cemburu yang mendidihkan darahnya. Tetapi, Bidadari Jalang cukup tangguh, tak mudah dirobohkan. Justru Betari Ayu sendiri yang terluka dalam oleh satu pukulan dahsyat dari Bidadari Jalang. Pukulan itu sampai sekarang masih membekas di dalam raga Betari Ayu.
Yang lebih menyakitkan lagi, Datuk Marah Gadai tidak peduli keadaan Betari Ayu kala itu. Datuk Marah Gadai justru pergi bersama Bidadari Jalang, melanjutkan cengkeramanya di tempat lain. Sementara bekas luka pukulan tenaga dalam Bidadari Jalang sampai sekarang masih sesekali menyumbat pernapasan Betari Ayu. Apabila bekas pukulan itu bekerja kembali, pernapasan Betari Ayu jadi tersumbat, membuat Betari Ayu mengalami kejang-kejang dan sulit bernapas, terasa bagai mau mati. Sampai sekarang Betari Ayu belum bila melenyapkan sisa pukulan Regangpati yang bermukim di bagian jantung dan paru-parunya.
Betari Ayu bagaikan luka di kedua sisi hati, terhadap Bidadari Jalang, juga terhadap Datuk Marah Gadai. Kedua orang itu menjadi musuh utama Betari Ayu, yang tidak tahu kapan akan dibalaskan dendamnya. Karena selama bekas pukulan 'Regangpati' itu belum bisa dilenyapkan, Betari Ayu belum berani menghadapi mereka berdua. Jika bekas pukulan itu kambuh pada saat pertarungan, maka jelas nyawa Betari Ayu akan mudah dicabut oleh salah satu dari mereka.
Selendang Kubur dan Dewi Murka itulah yang selalu menolong Betari Ayu jika sedang kambuh. Tanpa melalui hawa murni mereka, maka penyumbatan pada pernapasan dan pembekuan darah yang terjadi akibat pukulan 'Regangpati', akan menewaskan nyawa sang Guru yang banyak menurunkan ilmu putihnya kepada para muridnya. Malam itu, Selendang Kubur melihat sang Guru sedang termenung. la mencoba mendekati dengan hati-hati. Agaknya sang Guru tidak keberatan untuk didekati, sehingga sang Guru menegur lebih dulu.
"Ada yang ingin kau sampaikan padaku, Selendang Kubur?"
Langkah Selendang Kubur terhenti sejenak. la biarkan dirinya ditatap oleh sang Guru yang segera berkata, "Bicaralah. Tak ada yang perlu kau ragukan!"
"Saya hanya ingin membicarakan tentang Murbawati, Guru."
"Apa pendapatmu tentang dia?"
"Murbawati telah siuman. Agaknya ia ingin bicara dengan Guru."
Sedikit tersentak kepala Betari Ayu. Ada kelegaan di hatinya. Tanpa bicara sepatah kata lagi, ia segera bergegas menuju ruang penyembuhan. Selendang Kubur mengikuti langkah gurunya dari belakang. Di sebuah tikungan lorong, Dewi Murka melihat kelebatan sang Guru dan Selendang Kubur. Hatinya segera membatin.
"Hmmm... apa yang akan dilakukan Nyai Guru dengan Selendang Kubur. Pasti Selendang Kubur sedang cari muka agar mendapat pujian di hati Nyai Guru. Baiklah. Aku harus segera menyusul mereka supaya Selendang Kubur tidak punya kesempatan untuk mengambil hati Nyai Guru." Maka, bergegaslah Dewi Murka menyusul langkah gurunya dan Selendang Kubur.
Diam-diam Selendang Kubur mendengar langkah kaki di belakangnya yang berjarak antara lima belas langkah. Selendang Kubur memejamkan mata sejenak. Suara langkah itu semakin jelas, dan ia segera mengenali langkah dan napas yang ada di belakangnya adalah milik Dewi Murka. Selendang Kubur hanya tersenyum sinis di dalam hatinya.
Belakangan ini, keduanya memang saling bersaing. Persaingan itu terjadi sejak Betari Ayu berkata, bahwa ia mau mengundurkan diri dari dunia persilatan. Dia juga akan menyerahkan kekuasaan di perguruan tersebut kepada seseorang. Tapi sampai saat itu dia belum punya pilihan, siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit Itu. Jelas orang pilihannya ada dua, yaitu Dewi Murka atau Selendang Kubur, karena hanya mereka berdualah yang mempunyai ilmu paling tinggi dari murid-murid lainnya. Bahkan Murbawati masih berada dua tingkat di bawah mereka.
Orang yang jelas-jelas berkeinginan keras untuk menjadi pengganti Nyai Guru Betari Ayu adalah Dewi Murka. Dengan menjadi pewaris kedudukan Nyai Guru, maka dialah orang yang berhak memegang Kitab Wedar Kesuma yang selama ini menjadi kunci utama dari semua ilmu yang dimiliki Nyai Guru. Kitab Wedar Kesuma itulah yang menjadi incaran utama bagi Dewi Murka.
Sementara itu, Selendang Kubur juga mengetahui tentang kitab tersebut. la juga merasa menjadi calon pengganti gurunya. la juga mengincar kedudukan dan Kitab Wedar Kesuma, tapi ia tak mau kelihatan menyolok. la tetap bersikap tenang, walau mata hatinya penuh waspada terhadap gerak-gerik Dewi Murka.
Pada waktu Betari Ayu memasuki ruang penyembuhan, Selendang Kubur pun segera masuk dan menutup pintunya, bahkan menguncinya dari dalam. Maksudnya supaya Dewi Murka tidak ikut menyusul masuk dan tak dapat membuka pintu ruangan seenaknya saja. Tetapi, rupanya Dewi Murka mengetahui niat licik Selendang Kubur. Maka, dengan merabakan jemari tangannya pada pintu tersebut, kunci pintu pun bergerak sendiri.
Klik...! Dan pintu dapat dibuka. Dewi Murka pun segera masuk. Matanya beradu pandang dengan Selendang Kubur. Senyum sinis dipamerkan di hadapan Selendang Kubur. Perempuan berpakaian merah dadu dengan selendang putih di pinggangnya itu hanya diam saja, dan segera mengalihkan pandangan kepada tubuh Murbawati yang memar birunya sudah banyak berkurang.
"Murbawati," sapa Nyai Guru Betari Ayu dengan sikap tegasnya. "Ceritakan, siapa orang yang menyerangmu sedemikian rupa?"
Dewi Murka menyahut dengan pertanyaan, "Apakah Bidadari Jalang orangnya, Murbawati?"
"Bukan," jawab Murbawati masih dengan suara lemah.
"Apakah Ratu Lembah Asmara? tanya Betari Ayu.
"Juga bukan, Nyai Guru."
"Lantas siapa?"
"Pujangga Kramat," jawab Murbawati.
Tiga wajah perempuan yang sama-sama memiliki kecantikan tersendiri itu kini saling beradu pandang. Dahi mereka sedikit berkerut mendengar nama tersebut. Selendang Kubur dan Dewi Murka merasa asing terhadap nama itu, tapi Betari Ayu rupanya tidak merasa asing. Hanya sedikit heran, mengapa Murbawati jadi punya urusan dengan Pujangga Kramat.
"Nyai Guru, mohon sudi memaafkan kelancangan saya yang telah membuat saya terluka seperti ini," tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan sikap menyesal. Nyai Guru Betari Ayu hanya diam saja, mata tetap memandang Murbawati, mulut terkatup rapat, kedua tangan berlipat di dada. Murbawati melanjutkan kata-katanya.
"Saya terpancing oleh kemunculan seorang pemuda tampan yang berkelebat melintasi perjalanan saya, pada saat saya menuju ke Bukit Garinda. Saya ikuti pemuda tampan yang menawan hati itu. Ternyata dia adalah murid dari saudara perguruan Bidadari Jalang. Pemuda itu adalah murid si Gila Tuak...."
Tersentak wajah Betari Ayu mendengar nama tokoh tua itu disebutkan oleh Murbawati. Pandangan matanya menjadi lebih tajam lagi. Tapi mulutnya masih tetap terkatup rapat, seakan tak mau memberi ucapan apa pun. Sedangkan Dewi Murka dan Selendang Kubur juga ikut terkesiap mendengar nama si Gila Tuak. Mereka juga tidak asing lagi dengan nama tokoh tua yang sangat disegani oleh orang-orang di rimba persilatan.
Hanya saja, mereka merasa sangat heran mendengar si Gila Tuak mempunyai seorang murid. Menurut kedua murid Betari Ayu itu, berita adanya si Gila Tuak mempunyai murid jelas akan menghebohkan dunia persilatan, karena selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau mempunyai murid siapa pun juga.
Murbawati melihat wajah gurunya dan kedua temannya itu mengalami sedikit ketegangan. Namun ia tetap melanjutkan kata-katanya, "Saya sangat tertarik dengan murid si Gila Tuak itu, sehingga saya berusaha mencuri percakapan antara si Gila Tuak dengan muridnya itu dari balik gugusan batu cadas. Saya mendengar adanya rahasia penting yang dibicarakan oleh mereka berdua...."
"Tentang apa?" tukas Betari Ayu.
"Sebuah pusaka yang bernama Tuak Setan."
"Hah ...?!" kembali lagi Betari Ayu terperanjat kaget dengan mata makin melebar. Sebentar matanya singgah di wajah Dewi Murka dan Selendang Kubur, sebentar kemudian sudah kembali menatap tajam kepada Murbawati yang masih terbaring lemah.
"Apa yang kau ketahui tentang pusaka Tuak Setan itu?"
"Gila Tuak memerintahkan muridnya itu untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan yang sangat berbahaya jika jatuh ke tangan orang lain. Gila Tuak tidak ingin pusaka itu masih berada di bumi kita, karena sangat membahayakan jika digunakan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Dan... pada saat saya mencuri percakapan mereka itu, tiba-tiba muncul di hadapan saya Pujangga Kramat, pelayan setianya si Gila Tuak. la menyerang saya dengan dua jurus, dan saya terluka parah begini!"
Tanpa sadar tangan Betari Ayu meremas gelang logam di tangannya. Gelang itu menjadi lumer karena asap yang mengepul dari telapak tangannya. Buru-buru ia menyadari hal itu dan membuang gelang dari bahan baja mengkilap dari tangannya.
"Pujangga Kramat bukan tandinganmu, Murbawati!" geram Betari Ayu. "Dewi Murka adalah lawan yang imbang untuk berhadapan dengan Pujangga Kramat. Orang itu selain tidak bisa bicara dengan benar, juga tidak bisa bersikap bijaksana dan lebih sering main hukum sendiri. Memang dia pelayan setia si Gila Tuak, tapi aku yakin Gila Tuak tidak menyuruh dia untuk bertindak seenaknya sendiri begitu."
"Saya dianggap pencuri, Guru," kata Murbawati sambil bernada sedih, seakan sakit hati sekali dengan tuduhan tersebut.
Dewi Murka yang tadi disebut-sebut namanya sebagai orang yang layak menandingi Pujangga Kramat, segera berkata dengan hati masih merasa bangga. "Haruskah saya berangkat sekarang, Guru?!"
"Tahan sebentar!" kata Betari Ayu, yang segera memandang ke arah Murbawati. "Apalagi yang kamu ketahui tentang Pusaka Tuak Setan itu?!"
"Tidak banyak, Guru. Yang saya tahu Tuak Setan akan dimusnahkan oleh murid si Gila Tuak itu."
Betari Ayu menarik napas. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Lalu, ia menggumam sendiri, "Tuak Setan...!" Sejurus kemudian ia menatap Selendang Kubur dan Dewi Murka secara bergantian, lalu berkata, "Tuak Setan adalah pusaka maut yang tidak pernah digunakan oleh si Gila Tuak. Pusaka itu disembunyikan oleh si Gila Tuak, entah di mana tempatnya. Pusaka itu menjadi incaran setiap orang, baik dari tokoh tua maupun tokoh muda. Gila Tuak sendiri tidak berani menghancurkan pusaka itu karena pusaka tersebut mempunyai pertalian nyawa dengan dirinya. Tetapi jika orang lain yang menghancurkannya, pertalian nyawa itu menjadi hilang dan Gila Tuak tidak mengalami bahaya apa pun."
Selendang Kubur mengajukan pertanyaan, "Apa kehebatan Pusaka Tuak Setan itu, Nyai Guru?"
"Tuak Setan berbentuk guci yang berisi tuak ribuan tahun usianya. Apabila tuak tersebut diminum oleh seseorang, maka napas orang tersebut bisa berubah menjadi badai yang amat dahsyat jika dihentakkan dengan sedikit dorongan tenaga dalam. Badai itu dapat menyapu habis pohon-pohon besar di hutan, atau menggelindingkan batu sebesar rumah sekalipun. Karena itu, jika Tuak Setan diminum oleh orang yang punya sifat angkara murka, maka bumi ini akan hancur sebelum waktunya. Air laut bisa meluap dan menenggelamkan gunung setinggi apa pun. Tuak Setan memang berbahaya, seperti bahayanya jika si Gila Tuak mengamuk."
"Mengapa si Gila Tuak tidak meminumnya sendiri?" tanya Dewi Murka.
"Karena dia takut menghadirkan bencana besar. Dia merasa masih bisa terpancing oleh kemarahan. Dan Pusaka Tuak Setan lebih berbahaya lagi jika digunakan oleh seseorang yang sedang memendam kemarahan. Sebagai tokoh golongan putih, si Gila Tuak tidak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan. Mungkin berdasarkan itulah, maka ia memutuskan untuk menghancurkan Pusaka Tuak Setan. Tapi..., mengapa muridnya yang disuruh menghancurkan? Mengapa bukan Bidadari Jalang?"
Murbawati menyahut, "Menurut yang saya dengar, si Gila Tuak mengatakan tidak akan ada orang yang bisa menghancurkan guci Pusaka Tuak Setan itu kecuali sang murid itu sendiri."
"Berarti murid si Gila Tuak bukan orang sembarangan?" gumam Betari Ayu sambil termenung.
Lalu, Dewi Murka bertanya kepada Murbawati, "Siapa murid si Gila Tuak itu?"
"Kudengar, kakek tua itu menyebutnya Suto Sinting!"
"Suto Sinting...?!" gumam mereka berbarengan.
* * *
DUA
DERU suara air terjun memekakkan telinga. Curahan airnya yang bening menghantam bebatuan, pecah dan berubah menjadi gumpalan air yang mengaliri sungai dangkal di Jurang Lindu itu. Sungai yang penuh dengan batu-batu gurung berwarna hitam kelam, menjadi tempat melejitnya tubuh kekar berikat kepala kulit ular hijau pupus.
Kaki pemuda itu melompat dari satu batu ke batu lainnya hanya menggunakan ujung jempol kakinya saja pada waktu menapak di salah satu batu. Bekas tapakan ujung jempol kaki itu menimbulkan asap tipis, yang lama kelamaan membuat batu itu menjadi hancur sebagian kecil. Sepertinya batu itu mengalami kerapuhan dimakan usia beratus-ratus tahun. Kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui ujung jempol kakinya itulah yang membuat batu menjadi rapuh dan hancur dalam bentuk serpihan lembut.
Lima buah pisau kecil melesat dari suatu tempat. Suiiit..! Kelima pisau kecil itu melayang cepat bagaikan kilat, menuju ke arah pemuda yang sedang bersalto dari batu ke batu. Putaran saltonya tampak lebih cepat lagi hingga tak terlihat gerakan jungkir baliknya, sampai akhirnya pemuda itu berdiri tegak di atas sebuah batu runcing dengan menggunakan satu kaki.
la segera memeriksa tabung bambu berisi tuak yang digendongnya di bagian punggung. Ternyata kelima pisau terbang tadi berhasil ditangkisnya dengan tabung bambu. Kelima pisau itu menancap berjajar dari atas ke bawah di tabung tuak yang disebutnya bumbung itu. Pemuda, berkemeja komprang warna hijau muda dengan celananya yang juga berwarna hijau muda itu, tersenyum sambil mencabuti lima pisau yang menancap di bumbungnya. la melirik ke arah daratan, di bawah sebuah pohon, seorang kakek berjubah kuning sedang tersenyum pula kepadanya. Kakek itulah yang tadi melemparkan lima pisau berkecepatan bagai kilat itu.
Pemuda yang mengenakan ikat pinggang dari kain warna merah tua tak lain adalah Suto, si bocah tanpa pusar yang diangkat murid oleh si Gila Tuak, (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar). Kakek berjubah kuning yang berdiri di bawah pohon besar itulah si Gila Tuak, yang selama ini telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada murid tunggalnya tersebut. la merasa puas melihat kecepatan gerak Suto dengan ketajaman mata dan otak yang cukup tinggi, sehingga mampu melihat dan menangkis gerakan lima pisau tadi.
"Suto, kemari!" perintah si Gila Tuak sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah satu kali.
"Baik, Kek...!" jawab Suto dengan tegas. la hendak melompat dari batu itu, tetapi tiba-tiba ia merasa seluruh urat tubuhnya menjadi kaku, kecuali di bagian kepala. la ingin menurunkan satu kakinya yang terangkat, namun tak bisa. Bahkan untuk menggerakkan tangannya, juga tak mampu. Semuanya menjadi kaku dan beku.
"Uh... uh... eh....'" Suto berusaha sekuat tenaga menggerakkan anggota tubuhnya, tapi usahanya itu sia-sia.
Si Gila Tuak terdengar terkekeh-kekeh dari tempatnya. Suto segera memandang ke arah gurunya. Maka, segeralah sadar bahwa dirinya sedang ditotok dari jarak jauh oleh sang Guru. "Sial! Dia menotokku dari sana lewat hentakan tongkatnya tadi," kata Suto dalam hati dengan sedikit dongkol. "Baik. Akan kutunjukkan kemampuanku melepaskan totokan dari jarak jauh itu." Suto memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam-dalam, dan seketika itu ia memekik panjang, "Hiaaat...!"
Maka tubuh Suto pun berhasil melenting tinggi dan jungkir balik di angkasa. Batu yang tadi dipijaknya menjadi hancur seketika oleh sentakan kaki Suto tadi.
Prakkk...! Batu itu menjadi bongkahan-bongkahan yang segera berjatuhan masuk ke aliran arus sungai berair bening.
Tubuh Suto yang telah bebas dari pengaruh totokan gurunya segera melesat ke daratan, kedua kakinya menapak di tanah tepian sungai. Jligg...! Tubuhnya tepat berhadapan dengan si Gila Tuak yang terkekeh-kekeh sambil sesekali menenggak tuak yang tersimpan dari dalam tongkatnya.
"Hiaaah...!" Suto mengambil bumbung tuak dari punggungnya. Lalu, bumbung itu dihentakkan ke tanah. Jluug...!
Tepat pada saat itu tubuh si Gila Tuak tersentak naik ke atas di luar dugaan sang guru. Tubuh tua tersebut bagai dilemparkan ke atas dengan kuatnya akibat tenaga dalam Suto yang disalurkan lewat bumbung dan melalui jalan tembus tanah. Karena cepat dan kuatnya sentakan tenaga dalam Suto, akhirnya tubuh si Gila Tuak melayang cepat membentur dahan pohon kepalanya.
Plokkk...!
"Aaauh...!" Gila Tuak menyeringai kesakitan. la segera berkelebat jungkir balik di angkasa dalam keadaan mulutnya tersumpal bagian atas tongkat yang tadi hendak ditenggak isinya. Kaki si Gila Tuak mendarat di tanah dengan sigap dan tegap. Ia segera menarik tongkatnya yang menyumpal mulut, sementara Suto tertawa terkakak-kakak melihat wajah gurunya merengut akibat dipermainkan oleh sang murid.
"Hati-hati kau, Suto!" sentak si Gila Tuak sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit terkena benturan dahan tadi.
Suto sendiri segera membuka tutup bumbungnya, dan menenggak tuak yang tersimpan di dalam bumbung itu. Glek... glek... glek... !
Pada waktu wajah Suto terdongak menenggak tuak itulah si Gila Tuak segera meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Suto.
Wusss...!
Dengan sigap tangan kiri Suto yang tidak memegang bumbung segera disentakkan ke depan. Wuuggg...! Gelombang tenaga dalam dilancarkan pula oleh Suto. Gelombang itu berbenturan dengan hawa pukulan jarak jauh dari si Gila Tuak, dan akibatnya menimbulkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh dari pohon.
Beeegh...!
Suto tersentak mundur satu langkah. Tetapi si Gila Tuak tersentak mundur tiga langkah. Rupanya Suto mengirim kekuatan tenaga dalamnya lebih besar dari pukulan jarak jauhnya si Gila Tuak, membuat tubuh kakek berjubah kuning itu lebih besar menerima sentakan. Tubuh itu membentur pohon.
Bukkk...!
"Kurang ajar kau!" geram si Gila Tuak karena merasakan sakit pada bagian punggungnya yang terkena tunas pohon berbentuk seperti tangan menggenggam.
Suto tertawa keras sambil menuding-nuding gurunya yang menyeringai kesakitan di bagian punggung. Wajah sang Guru cemberut, dan membuat Suto semakin geli. Sang Guru hanya menahan napas beberapa saat, sementara Suto sudah memutar-mutarkan bumbungnya yang berukuran sedikit lebih besar dari tongkat sang Guru.
Ketika bumbung itu diputar dengan cara memegangi talinya, timbullah suara berdengung yang membisingkan telinga. Putaran bumbung itu pun memancarkan angin kencang bergelombang-gelombang. Rambut sang Guru tersingkap nyaris copot dari kulit kepalanya. Jubahnya beterbangan naik dan terkait pada salah satu patahan ranting.
"Hentikan, Suto! Itu jurus berbahaya!" sentak si Gila Tuak.
Suto memang menghentikan gerakan bumbungnya itu, namun ia masih tertawa terbahak-bahak memandangi gurunya yang bersungut-sungut.
Sang Guru mau bergerak maju, namun gerakannya bagai ada yang menahan dari belakang. Segera si Gila Tuak pasang waspada, la melirik sedikit tegang ke belakang sambil membatin, "Siapa orang yang berani menahan gerakanku ini?!"
Si Gila Tuak segera pasang kuda-kuda, bersiap menyerang sesuatu yang menahan gerakan majunya. Namun melihat Suto tertawa terkakak-kakak sambil menuding-nuding kearahnya, si Gila Tuak menjadi ragu-ragu. Pelan-pelan ia palingkan kepalanya, dan ia pun jadi menghempaskan napas kesal. Karena ia tahu pada saat itu jubahnya tersangkut patahan ranting, sehingga menahan gerakan majunya.
"Kucing Kurap!" makinya dengan dongkol, segera menyentakkan jubah dan jubahnya segera lepas dari patahan ranting.
Suto tertawa terpingkal-pingkal melihat gurunya menahan kedongkolan. Tawanya sampai membuat Suto jongkok sambil tetap memegangi bumbung tuaknya.
"Diam, Suto! Diam....!" sentak si Gila Tuak.
Tetapi Suto masih terpingkal-pingkal, bahkan semakin bertambah kegelian mendengar bentakan gurunya. Secepatnya si Gila Tuak melemparkan tongkatnya ke arah Suto. Tongkat hitam itu pun meluncur cepat ke arah wajah Suto, dengan tujuan mulut Suto.
Tetapi dengan cepat Suto berguling di rerumputan sambil mengibaskan bumbungnya. Kibasan bumbung tuak Suto begitu cepat dan kuat, sehingga pada waktu menangkis tongkat yang meluncur cepat itu menimbulkan bunyi bagaikan dua lonceng logam berbenturan.
Taaang...!
Bunyi itu menggema ke mana-mana, mengungguli suara deru air terjun. Jika tanpa dialiri kekuatan tenaga dalam baik tongkat maupun bumbung Suto, tidak mungkin bisa menimbulkan suara berdentang sedemikian hebatnya. Bahkan tongkat yang meluncur datar tadi saat itu bisa melesat naik, tinggi dan lebih cepat dari luncuran semula, sampai akhirnya tongkat itu menancap pada batang pohon di bagian atas.
Jruub...!
"Ambil tongkatku!" sentak si Gila Tuak setelah mengetahui tempat menancapnya tongkat cukup tinggi. "Suto, lekas ambil tongkat itu dan kembalikan padaku!"
"Salah Guru sendiri, mengapa membuang tongkatnya?!" bantah Suto sambil menghabiskan tawanya. Kemudian ia berdiri dengan sedikit limbung. Matanya mulai tampak sayu akibat pengaruh tuak yang tadi ditenggaknya untuk yang kesekian kalinya, Si Gila Tuak bergegas menghampiri Suto dengan langkah cepat. Suto berjalan mundur dengan limbung dan sedikit membungkuk. la mengangkat kedua tangannya dengan lemah. Satu tangan masih memegangi bumbung tuak. la tahu gurunya akan marah jika perintah itu tidak dikerjakan. Maka dengan sikap orang mabuk yang menyerah, Suto berkata diiringi sisa tawanya.
"Iya, iya...! Baik, akan saya kembalikan pada Kakek Guru!"
"Kupelintir batang lehermu kalau tidak kau kembalikan tongkatku. Dasar murid sinting!"
Suto segera melompat dan bersalto di udara satu kali. Kakinya menjejak pohon tempat menancapnya tongkat itu. Dengan satu sentakan keras dan bertenaga dalam, pohon itu dijejak dan menimbulkan bunyi bergemuruh. Daun-daunnya rontok sebagian. Tongkat yang menancap di bagian atas itu jadi melesat mundur dan jatuh di bawah pohon tempat si Gila Tuak tadi berdiri mengawasi latihan sang murid.
Pluk...! Tongkat itu jatuh tergeletak di rerumputan. Si Gila Tuak bergegas memungutnya. Namun, baru saja ia membungkuk untuk mengambil tongkat, tiba-tiba badannya bergerak mundur. Karena pada saat itu Suto menghentakkan jari tengahnya ke depan dengan satu hembusan napas kencang.
Wuuus...!
Dan tiba-tiba tongkat itu bergerak-gerak, kemudian segera berubah menjadi seekor ular sanca.
Si Gila Tuak melompat mundur karena kaget. Suto kembali tertawa terpingkal-pingkal. Ular sanca itu menatap si Gila Tuak, sejurus kemudian segera melesat menyambar kepala si Gila Tuak. Namun dengan cepat tangan si Gila Tuak menangkapnya.
Hup...! Kepala ular digenggam kuat, lalu tangan kanan si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor, dan dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu sudah berubah menjadi tongkat seperti sediakala.
Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping, dan ia bertepuk tangan sambil berkata, "Bagus, bagus, bagus...! Itu baru guruku namanya. Hebat...!"
Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto. Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan, ujung bawahnya menyentuh tanah. "Rupanya kau telah menerima warisan ilmu sihir dari bibi gurumu Bidadari Jalang itu!"
"Tinggal sebagian ilmu yang belum saya miliki dari Bibi Guru," kata Suto seraya menghentikan tawanya.
"Kapan dia berjanji akan menyelesaikan penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila Tuak sambil mendekati Suto.
"Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek. Bibi Guru hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya, karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap penyakit racun birahinya."
"Apa kau percaya dengan omongan bibi gurumu itu? Dia sudah terbiasa bertindak curang, Suto."
"Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek. Akan saya buat dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai dia membohong aku."
Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid gila! Bibi gurunya akan dibuat bertekuk lutut. Kurasa..., itu bisa saja terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu 'Candra Geni' yang dapat membakar lautan walau hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu? Aku harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila Tuak di dalam hatinya.
Memang tinggal satu ilmu yang belum diturunkan oleh si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi bukan berarti si Gila Tuak merasa sayang untuk menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada Suto, pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada Suto, pemuda tampan yang punya senyum memikat hati setiap perempuan itu tentu sudah lebih tangguh menghadapi musuh mana pun.
Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian tersebut, ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto untuk menghilangkan racun birahi dari dalam dirinya. Pada waktu itu si Gila Tuak berkata, "Boleh saja kau meminta bantuan bocah tanpa pusar itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang akan dilakukan oleh Suto terhadap dirimu nanti, justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba persilatan."
"Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata Bidadari Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak. "Aku sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku yang kuanggap sangat ampuh ini ternyata masih bisa dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini semakin membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku kian hilang satu persatu."
"Jangan merasa lebih tinggi dari yang lain. Ada yang lebih tinggi dari yang tertinggi. Ingat-ingatlah hal itu, Nawang Tresni!"
"Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun birahiku ini hilang, aku bermaksud mengasingkan diri dari rimba persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk melanglang buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba persilatan jika tidak ada keperluan yang penting."
"Aku mendukung rencanamu, Nawang Tresni."
"Jika begitu, izinkan aku membawa bocah tanpa pusar itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk pemusatan tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan untuk melawan racun birahiku."
"Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap dalam pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah itu semakin dewasa semakin kelihatan ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati kepadanya."
Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak keberatan kau mengawasinya, karena memang aku sangat membutuhkan tenaga intinya."
Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh Bidadari Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid, kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa anak buah yang dibekali jurus-jurus ringannya.
Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak. Kadang-kadang mereka melatih Suto secara berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua jurus mereka itu.
Bidadari Jalang kini telah terbebas dari racun birahi. Suto telah menyalurkan hawa murninya ke dalam diri Bidadari Jalang. Untuk melakukan penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat mata Suto menjadi buta sementara dengan racun tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si Gila Tuak, supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut dilakukan dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua pakaiannya di dalam sebuah kamar.
"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang waktu penyembuhan dulu.
Suto melakukannya dengan sedikit gemetar, karena ia merasakan kelembutan kulit punggung Bidadari Jalang.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto! Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu. Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.
Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang menjadi menggigil pada saat hawa murni Suto disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari Jalang berkata, "Besar sekali hawa murni yang keluar darinya? Oh, tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak akan sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?!"
Bidadari Jalang tetap duduk bersila memunggungi Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh tanpa pakaian itu gemetar menggigil, namun tubuh Suto yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi bermandikan keringat hingga mirip orang habis kehujanan.
"Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku. Tekan tanganmu seperti tadi. Lakukanlah, Suto!" sambil Bidadari Jalang berbaring.
Suto meraba bagian ulu hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu memekik keras. "Hai, jangan yang itu yang kau pegang!"
"Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah pegang!"
"Nakal kamu!"
Plakkk...! Wajah Suto ditampar. Tapi Suto tetap tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang sekal dan berujung kencang. Suto menahan geli, lalu segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik napas panjang-panjang.
Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh belas tahun. Suto sudah menjadi pria tampan yang menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering bicara meracau karena pengaruh minuman tuaknya. Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto muncul di rimba persilatan sebagai pendekar pembela kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai pemuda yang sering mabuk, dan ke mana-mana selalu membawa tabung bambu yang disebut bumbung.
Benda itu berukuran satu depa panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari tongkat milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto, bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung itu mempunya tali yang biasa diselempangkan di dada jika bumbung itu sedang dibawa di punggungnya.
"Suto," kata si Gila Tuak setelah mereka selesai latihan tadi, "Ikutlah aku ke dalam gua, akan kutunjukkan di mana letak penyimpanan Pusaka Tuak Setan yang harus kau ambil dan kau hancurkan itu!"
Gila Tuak melesat dalam satu lompatan seperti angin, menerobos curah air terjun, dan Suto mengikutinya. Ternyata di balik curah air terjun itu terdapat gua, sebagai tempat bermukimnya si Gila Tuak selama ini.
PAGI yang cerah dihiasi dengan deru kaki kuda yang berlari cepat. Kuda putih itu ditunggangi oleh seorang perempuan berpakaian serba hitam, berikat pinggang sabuk lebar warna coklat. Rambutnya yang panjang disanggul ke atas dan diberi tusuk konde dari bambu kuning. Tangan kirinya mengenakan gelang dari logam putih mengkilat, sebagai tanda bahwa ia adalah orang Perguruan Merpati Wingit.
Tak salah lagi, perempuan yang mampu bergerak lincah bersama kuda putihnya itu tak lain adalah Dewi Murka. Rupanya dialah yang mendapat tugas menemui si Gila Tuak ke Jurang Lindu untuk menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru Betari Ayu tidak ingin masalah tersebut menjadi berbuntut panjang. Selama ini hubungannya dengan si Gila Tuak cukup baik, sekalipun hubungannya dengan Bidadari Jalang bermusuhan. Tetapi selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi saudara seperguruannya itu, sehingga permusuhan tersebut tidak membuat retak hubungan baiknya dengan Betari Ayu.
Mengingat masalah hadirnya Murbawati menjadi masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak, yaitu Pujangga Kramat, maka Betari Ayu segera mengutus Dewi Murka untuk menyelesaikan secara baik-baik. Bilamana perlu meminta maaf atas kesan buruk yang dilakukan Murbawati sebagai pencuri kata. Sekalipun sebenarnya Betari Ayu memahami maksud hati Murbawati yang terpikat oleh sebentuk ketampanan seorang pemuda, namun sikapnya yang mengendap-endap dan bersembunyi itu dianggap salah oleh Betari Ayu.
Dengan diutusnya Dewi Murka untuk menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak, ini merupakan kebanggaan yang amat menggembirakan hati Dewi Murka. Karena, menurutnya tugas ini sudah merupakan pertanda akan adanya kepercayaan dari Nyai Guru kepadanya. Tidak menutup kemungkinan lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit, dan berhak pula memiliki Kitab Wedar Kesuma. Itulah sebabnya Dewi Murka sangat bersemangat memacu kudanya menuju Jurang Lindu.
Tetapi ketika kuda melewati kaki bukit cadas yang tak seberapa tinggi itu, mendadak kaki kuda menyentak ke atas bagian belakangnya. Keras sekali sentakan itu, sehingga tubuh penunggangnya pun jatuh terpental ke depan bersama ringkik suara kuda. Beruntung gerakan naluri Dewi Murka cukup tajam, sehingga pada waktu ia melayang karena dibuang oleh kudanya, tubuh langsing itu segera menguasai keseimbangan. Bersalto satu kali dan segera mendarat ke tanah dengan kaki tegak berdiri kokoh berpijak. Kedua tangannya segera mengambil sikap menunggu serangan berikutnya.
Tapi sampai beberapa saat lamanya Dewi Murka menunggu dengan mata memandang tajam ke sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu yang tampak mencurigakan yang akan membahayakan dirinya.
"Aku merasakan ada pukulan dari jarak jauh yang menghantam pantat kudaku," pikir Dewi Murka dengan tetap waspada. "Tetapi penyerang gelap itu tidak segera menyerangku lagi. Apa maksudnya dia begitu? Siapa dia sebenarnya?"
Sambil bicara dalam hati, Dewi Murka segera mendekati kudanya yang masih sedikit liar akibat pukulan gelap tadi. Dewi Murka segera berhasil memegangi tali kekang kuda dan mengusap-usap bagian tengah kepala kuda agar sang kuda menjadi tenang.
"Tenang, tenang...," katanya pelan kepada sang kuda, "Dia pasti akan menampakkan diri. Tak mungkin dia membiarkan aku lolos. Kita tunggu saja di sini sambil beristirahat sebentar, Kliwon!" seraya ia menyebutkan kudanya.
Kliwon memang menjadi tenang setelah diusap-usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi baru saja kuda itu tampak tenang, kali ini kaki kuda menjadi tersentak ke depan dan naik tinggi-tinggi sambil meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan kuda hampir saja mengenai wajah Dewi Murka kalau saja ia tidak segera mundur dengan melompat dua langkah.
Satu hal yang membuat Dewi Murka terkejut adalah putusnya tali kekang kuda. Tali itu putus hampir di dekat bagian yang digenggam tangan kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu menimbulkan asap yang menandakan adanya sebuah pukulan tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari salah satu sisi. Pukulan itu mengenai tali kuda. Serentak mata Dewi Murka terbelalak setelah ia segera menyadari akibat dari pukulan tersebut. la mengenali pukulan itu.
"Tapak Merpati Murka'...!" gumamnya menyebut nama pukulan jarak jauh tersebut. "Pasti ada orang Merpati Wingit di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati Murka' hanya dimiliki orang-orang Perguruan Merpati Wingit. Hmmm... siapa gerangan orang yang menggunakan pukulan berbahaya itu untuk menyerangku. Jelas, ini bukan serangan main-main. Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud jahat."
Dewi Murka segera memejamkan mata dengan kedua tangannya saling bertaut di depan dada. Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah menemukan sesuatu yang dicarinya. Seketika itu tangan Dewi Murka menyentak ke depan, tertuju pada gugusan batu cadas yang ada di lereng bukit. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup tinggi dilancarkan.
Wuuugh...! Blaarrr...!
Gugusan batu cadas yang cukup besar itu pecah karena dihantam pukulan tanpa wujud itu. Dari gugusan tersebut segera muncul sesosok tubuh bergerak lincah, melenting tinggi dan bersalto di udara dua kali. Sosok itu dalam sekilas menampakkan warna merah dadu, dan segera mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari tempat Dewi Murka berdiri.
"Oh, kau rupanya?!" Dewi Murka sedikit terperanjat dan segera mundur satu tindak. la sangat mengenali penyerang gelapnya itu, yang tak lain adalah Selendang Kubur. "Apa maksudmu menyerangku, Selendang Kubur?!" ketus suara Dewi Murka dengan sikap tetap siaga menerima pukulan sewaktu-waktu. Matanya pun memandang tajam berkesan bermusuhan.
Selendang Kubur hanya memandang dengan sinis, demikian pula senyumnya yang tipis menandakan senyum kesinisan. "Serahkan tugas itu kepadaku, Dewi Murka. Guru telah salah memilih orang untuk melaksanakan tugas bertemu dengan si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh kata-katamu yang suka memuji diri sendiri itu."
Dewi Murka memperdengarkan suara tawanya yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu ia pun berkata dengan ketus. "Guru bukan orang bodoh, ia tidak mungkin mengutus muridnya yang masih hijau untuk berurusan dengan tokoh tua itu."
Selendang Kubur menggeram menahan kemarahannya. la membatin. "Usianya memang tiga tahun lebih tua dariku, tapi tidak layak ia mengatakan aku sebagai murid yang masih hijau. Agaknya mulut perempuan licik ini perlu diberi pelajaran...!"
Pelan-pelan Selendang Kubur menarik selendang putihnya sehingga terlepas dari pinggang. Melihat gerakan seperti itu, Dewi Murka mulai bersiap mencabut trisulanya dari pinggang, karena lepasnya selendang putih dari pinggang merupakan tantangan maut buat dirinya, karena memang begitulah kebiasaan Selendang Kubur jika hatinya mempunyai niat bertarung dengan siapa pun.
"Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi..., menyingkirlah dan serahkan tugas itu padaku. Aku lebih mampu menghadapi sikap si Gila Tuak jika sewaktu-waktu ia bertindak keras."
"Dugaanmu salah, Selendang Kubur. Si Gila Tuak tidak akan bertindak keras kepada siapa pun, selama ia tidak melihat sikap kita berniat kurang ajar padanya."
"Tapi aku punya rencana sendiri dalam tugas ini!" ucap Selendang Kubur dengan nada dingin.
Senyum sinis Dewi Murka kembali mekar di sudut bibirnya yang mungil namun tampak judes itu. "Aku tahu, ada sesuatu yang membuatmu penasaran, Selendang Kubur. Rencana tersendiri yang kau maksudkan itu tak lain ingin melihat dengan jelas, seperti apa murid si Gila Tuak yang menurut pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan memikat hati itu!"
"Jahanam!" geram Selendang Kubur. Kemudian mulutnya terkatup rapat, hatinya berkata, "Dia tahu jalan pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi niat kecilku itu. Aku tak boleh kelihatan terlalu penasaran ingin melihat murid si Gila Tuak yang kata Murbawati mempunyai daya tarik begitu kuat dan amat mempesona hati itu. Atau, barangkali di dalam hati kecil Dewi Murka juga mempunyai niat yang sama dengan niat hati kecilku ini?"
Dewi Murka sendiri berkata dalam hatinya, "Celaka. Kurasa dugaanku itu benar. Buktinya Selendang Kubur tidak membantah tuduhanku. Rupanya apa yang terpikir dalam otakku, terpikir pula dalam otaknya. Kabar tentang adanya murid Gila Tuak itulah yang membuatku lebih bersemangat lagi menunaikan tugas ini. Aku juga ingin membuktikan kebenaran kata Murbawati tentang Suto Sinting yang mempunyai wajah menggetarkan hati setiap perempuan itu. Aku punya rencana sendiri jika kata-kata Murbawati itu memang benar. Tapi, ah... sayang Selendang Kubur ini berdiri sebagai calon penghalang utamaku. Haruskah aku menyingkirkannya dengan sebentuk kematian?!"
Sepertinya percakapan batin mereka saling didengar oleh lawannya, sehingga Selendang Kubur pun segera berkata, "Rupanya kita punya maksud yang sama, Dewi. Maksud pribadi yang terlepas dari urusan perguruan ini memang ada baiknya kita selesaikan dengan cara kita sendiri!"
"Apa maumu, Selendang Kubur?! Jangan pikir aku akan mundur setapak pun menghadapi kecuranganmu ini!"
"Sangat kebetulan jika kau tak mundur setapak pun, itu akan memudahkan diriku untuk membunuhmu dengan cepat, Dewi!"
Dan tiba-tiba sebelum Dewi Murka mengatakan sesuatu, selendang putih di tangan Selendang Kubur itu berkelebat cepat menghantam ke arah dada Dewi Murka. Kibasan selendang itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi Murka segera melompat ke kanan menghindarinya. Serta-merta tubuh Dewi Murka meluncur bagaikan terbang dengan ujung trisulanya mengarah ke tubuh Selendang Kubur. Gerakannya begitu cepat, sampai-sampai Selendang Kubur nyaris tertikam ujung trisula yang memancarkan udara panas dalam jarak satu depa di depannya.
"Hiaaat...!" Selendang Kubur melesat naik bagaikan terbang. Ketinggiannya melebihi tubuh Dewi Murka yang melayang menembus tempat kosong di bawahnya. Seketika itu pula kaki Selendang Kubur dijejakkan ke bawah, tepat mengenai punggung Dewi Murka dengan kerasnya.
Bukkk...!
"Uuhg...!" Dewi Murka sempat memekik tertahan dan segera berguling di tanah. Hampir saja tubuhnya membentur batu runcing ketika dijejali punggungnya dari atas tadi. Saat berikutnya, Dewi Murka telah mampu berdiri dengan kedua kaki sedikit merendah. Trisulanya terangkat ke atas, sejajar dengan pundak kanannya. Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan dengan menahan napas beberapa saat dan menghembuskannya pelan-pelan. Kini mata Dewi Murka memandang lebih tajam lagi ke arah Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan trisulanya ke depan.
Wuuugh...!
Ujung trisula mengeluarkan gelombang hawa panas yang diperkirakan dapat membakar selendang putih itu. Tetapi, Selendang Kubur justru mengibaskan selendangnya ke depan dengan melancarkan tenaga dalamnya yang mengandung gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga dalam yang tersalur melalui senjata masing-masing itu bertemu di pertengahan jarak dan menimbulkan bunyi teredam yang cukup jelas.
Dubbb...! Blaarrr...!
Suara ledakan pun menyusul. Tabrakan dua tenaga dalam bergelombang berlawanan itu mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak. Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit, daun-daun berjatuhan dari atas pohon, seakan tanah di sekeliling mereka berdiri mengalami guncangan gempa yang lumayan keras, kuda pun meringkik ketakutan.
Tetapi kedua murid Betari Ayu itu sama-sama berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap saling pandang dan tangan mereka tetap bersikap seperti tadi. Makin lama semakin terlihat jelas, kedua lutut mereka sama-sama bergerak ke bawah pelan-pelan. Beberapa jurus kemudian keduanya sama-sama jatuh terlutut di tanah. Tubuh mereka mulai kelihatan sama-sama lemah. Dari hidung Dewi Murka mengalir darah segar. Sedikit namun jelas terlihat oleh mata Selendang Kubur. Sedangkan mata Dewi Murka pun melihat jelas pula adanya darah segar yang mengalir dari mulut Selendang Kubur bagian sudutnya.
Rupanya mereka sama-sama menahan hawa aneh yang melesat ke segala arah akibat benturan dua tenaga dalam mereka. Hawa aneh itu menghantam dada masing- masing dan sempat membuat luka di bagian dalam tubuh mereka. Sekalipun luka itu tak seberapa, namun mereka sama-sama sadar jika hal itu diteruskan akan membuat mereka sama-sama tewas tanpa hasil. Alias mati konyol. Namun apakah mereka mau berdamai jika pikiran mereka diliputi oleh kepentingan pribadi masing-masing?
JIKA bukan orang berilmu tinggi, tak akan mampu menembus curah air hujan yang begitu derasnya. Di dalam gua, di balik curah air terjun raksasa itulah Suto digodok bertahun-tahun oleh si Gila Tuak. Anak itu tak akan bisa keluar dari gua sebelum mencapai ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam yang cukup kuat. Karena tanpa kekuatan tersebut, Suto tak akan bisa menembus curah air terjun raksasa itu.
Gua di balik air terjun tersebut, bukan gua sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil, hanya cukup untuk satu orang dan tak bisa terlihat dari luar air terjun. Setiap orang yang melompat masuk menembus air terjun itu harus tepat tiba di bibir mulut gua. Jika tidak, maka ia akan jatuh tergelincir dan menjadi santapan batu-batu runcing di bawahnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak semua orang bisa mencapai mulut gua.
Memang mulut gua itu sempit, namun di bagian dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai lapisan tanah bersusun-susun. Mempunyai kedalaman yang lebih dari seratus langkah terhitung dari mulutnya. Dan mempunyai langit-langit yang tinggi, lebih dari sepuluh tombak tingginya.
Di setiap sisi dinding gua terdapat obor-obor penerang yang bahan bakarnya terbuat dari minyak kelapa. Lebih dari tiga puluh obor mengelilingi dinding gua, dan lebih dari dua puluh lampu minyak berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar sebagai tempat berlatih gerakan jurus-jurus maut si Gila Tuak.
Tetapi kali ini Suto tidak melakukan gerakan jurus-jurus maut tersebut. Suto dibiarkan duduk bersila dengan dikelilingi nyala dian kecil. Si Gila Tuak sengaja duduk di sebuah balai-balai bambu sambil sesekali menenggak tuaknya.
Rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya. Dan, rupanya sudah sejak tadi Suto dibiarkan duduk bersila dengan kedua mata terpejam. Jelas hal itu sudah lama dilakukan oleh Suto karena sekujur tubuhnya berkeringat. Baju yang dilepaskan dari awal semadinya itu menampakkan punggung lebar dan kekar itu berkilauan oleh butir-butir keringatnya. Ada perasaan bangga di hati si Gila Tuak memandang ketekunan muridnya. la terkekeh sendiri setelah meneguk tuaknya untuk yang kesekian kali. Dalam hatinya ia berkata,
"Tiga hari sudah kubiarkan dia duduk di situ. Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada dirinya untuk memburu tugas yang diberikan. Dia dalam kesulitan menyelesaikan tugasnya, namun dia tidak mau menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa menunggu menyerah dirinya. Aku harus membangunkan semadinya!"
Serta-merta si Gila Tuak melemparkan sekeping logam bekas patahan ujung tombak. Benda itu runcing dan meluncur cepat tak dapat terlihat oleh mata telanjang. Benda itu akan menancap di punggung Suto yang berkulit sawo matang.
Zingng...! Tappp...!
Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa berpaling sedikit pun. Benda yang melayang itu ditangkap dengan tangannya. Kemudian tangan itu bergerak menyentak pelan, namun membuat benda yang ditangkapnya kembali melesat lebih cepat dari gerakan terbangnya yang tadi.
Crangng!
"Ait...!" si Gila Tuak melompat dari tempat duduknya. Hampir saja benda itu mengenai pundaknya kalau tidak segera berkelit ke kiri dan melompat turun dari balai-balai bambu.
"Konyol!" geram hati si Gila Tuak. "Dia selalu membalikkan seranganku. Lebih cepat dari dugaanku semula. Dan, kali ini aku tak menyangka kalau dia akan membalikkan benda itu. Untung sisa kegesitanku masih ada, sehingga benda itu menancap pada dinding batu. Kalau tidak, bisa jadi pundakku ditembus oleh benda itu. Cukup bagus juga sentakan tenaga dalamnya. Dalam gerakan tangan pelan sudah dapat membuat benda besi itu meluncur melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm... agaknya bocah tanpa pusar itu memang mempunyai kelebihan dalam kekuatannya. Mungkin juga pengaruh jurus-jurus pernapasan yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepadanya, sehingga menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang ada padaku maupun pada Bidadari Jalang."
Dengan langkah seenaknya si Gila Tuak mendekati sang murid. Matanya memandang tajam dan penuh curiga. Karena pada saat itu, Suto tidak segera menyelesaikan semadinya, melainkan melanjutkan semadinya dengan cara memejamkan mata, dan kedua tangan tetap terletak lurus di kedua lututnya yang bersila. Kedua tangan itu sama-sama menggenggam walau tak terlalu kencang.
"Suto, berhentilah! Aku mau bicara padamu!"
Suto masih diam, sepertinya tidak mendengar ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu dilontarkan dengan nada semakin keras, tapi Suto tetap diam tak bergerak sedikit pun kecuali pernapasannya.
"Keras kepala kau ini, hah?!" bentak si Gila Tuak.
Suto masih tidak bergeming bagaikan patung batu. Gila Tuak bergerak ke depan, jaraknya tujuh langkah dari tempat Suto bersila. Dengan jengkel ia lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto. Tongkat itu meluncur dengan ujung bagian bawahnya terarah ke dada Suto seperti anak panah. Tiba-tiba Suto menggerakkan tangan kanannya. Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan ujung tongkat yang melesat cepat.
Tappp...! Tongkat tertahan dua jari Suto. Mata Suto tetap terpejam. Kemudian, kedua jari itu bergerak menyentak ke depan dengan pelan. Wuugh...!
Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam keadaan tetap mendatar di udara bagaikan anak panah. Namun kali ini gerakan tongkat begitu cepatnya sehingga si Gila Tuak terperanjat terkesima. la tak menyangka Suto akan mengembalikan tongkatnya dalam satu sentakan jari yang pelan, namun menghasilkan kekuatan tampar cukup besar. Kepala tongkat meluncur ke arah dada Gila Tuak. Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke samping dan tongkatnya kembali membentur dinding batu.
Duaaang...!
Gua tersebut bagai ditabrak seribu banteng. Berguncang menggetarkan semua obor dan benda-benda yang menempel di dinding. Salah satu obor jatuh. Obor itu ada di belakang Gila Tuak. Apinya nyaris menyambar ujung jubah Gila Tuak. Cepat-cepat kakek berjubah kuning itu melompat sambil berteriak antara kaget dan jengkel.
"Kucing Kurap! Semut Bunting!" makinya sambil mengibas-ngibaskan api yang hendak membakar ujung jubahnya. Getaran dinding gua berhenti. Obor yang jatuh dipasang kembali. Mata si Gila Tuak memandang curiga kepada muridnya. Tongkatnya diambil dan digenggam dengan tangan kiri. Hatinya berkata,
"Ada yang tidak beres pada dirinya. Hmmm... ada apa sebenarnya? Dia kusuruh mencoba mencari Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun kenapa sampai tiga hari belum selesai juga? Padahal seharusnya dia mempunyai tali hubungan dengan Pusaka Tuak Setan, karena semua ilmuku sudah kuturunkan padanya."
Si Gila Tuak tak berani mengganggu semadinya Suto lagi. Tapi ia duduk di sebuah batu datar yang ada di depan Suto, berjarak empat langkah darinya. la bakal menunggu sadarnya Suto dari semadi. la duduk sambil sesekali menenggak tuak dari dalam guci besar yang tadi diambilnya dari pembaringan bambu. Beberapa saat lamanya setelah menunggu, akhirnya si Gila Tuak membangunkan semadi Suto melalui suara batinnya.
"Suto, bangunlah. Buka matamu!"
Maka, pelan-pelan Suto membuka matanya. Seketika itu terperangah kaget wajah si Gila Tuak melihat kedua mata Suto berdarah. Darah itu mengalir dari balik kelopak mata, membasahi pipi Suto bagaikan air mata seorang lelaki. Dahi Gila Tuak berkerut tajam dengan mata tak berkedip memandangi muridnya.
"Apa yang terjadi, Suto!" sentak si Gila Tuak.
Suto menarik napas panjang, kemudian menjawab, "Tidak apa-apa, Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang meleleh dari matanya. Tetapi, rupanya Suto sendiri tidak menyadari adanya darah yang keluar dari kelopak matanya. la terkejut ketika melihat tangannya berlumur darah setelah mengusap pipinya. Mata itu segera memandang gurunya dengan tajam dan tegang.
"Apa yang terjadi pada diri saya, Guru?!" ia justru balik bertanya, membuat si Gila Tuak menjadi kebingungan menjawabnya.
Segera sang murid didekati. Gila Tuak memeriksa mata muridnya dengan bersimpuh di depan sang murid. Darah yang keluar dari mata Suto dipegangnya, diremas-remas dengan kedua jari, bahkan diciumnya sesaat. Kemudian, tampak kepala si Gila Tuak mengangguk-angguk kecil seperti menemukan sesuatu dalam hatinya.
"Guru, mengapa kedua mata saya mengucurkan darah? Apakah saya terkena pukulan tenaga dalam dari luar gua?"
"Tidak! Kau menangis!" jawab si Gila Tuak sambil berdiri untuk mengambil kain pembersih.
Sementara itu, Suto menjadi terbengong mendengar jawaban tersebut. "Saya menangis, Guru?!"
"Ya. Itu disebabkan karena perasaanmu telah bekerja sebegitu kuatnya, hingga tangismu bukan lagi tangis air mata, melainkan tangis darah."
Gila Tuak mendekati kembali sambil melemparkan kain pembersih. Suto menangkapnya, lalu membersihkan darah dari wajahnya, juga dari kedua sudut matanya. Telinganya masih mendengar gurunya berkata,
"Pasti kau telah melakukan pengembaraan sukma terlalu jauh. Kau hanya kuperintahkan untuk mencari di mana Pusaka Tuak Setan itu kusembunyikan. Tugas itu kuberikan padamu untuk mengetahui apakah kau mempunyai tali hubungan dengan pusaka leluhurku itu atau tidak. Jika kau punya hubungan batin dengan pusaka itu, berarti kau akan mampu menghancurkan pusaka tersebut. Tetapi jika kau tidak punya hubungan batin, kau tidak akan bisa menghancurkan pusaka Tuak Setan."
Gila Tuak duduk kembali ke batu yang tadi. Suto selesai mengeringkan darah dari sudut matanya. Pandangan matanya tetap terang, tidak mengalami buram sedikit pun. Gila Tuak berkata dengan tegas.
"Tapi rupanya sukmamu tidak mencari tempat persembunyian Pusaka Tuak Setan, melainkan mengembara ke mana-mana! Itu aku tidak suka, Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!"
"Saya sudah menemukan dimana pusaka itu disembunyikan Kakek Guru!" kata Suto juga dengan tegas.
"Di mana?" pancing Gila Tuak.
"Di sebuah telaga, di bagian dasar telaga itulah guci Tuak Setan terkubur!"
Mulut si Gila Tuak terbungkam. Hatinya berkata, "O, kalau begitu dia memang sudah menemukan Pusaka Tuak Setan. Dia punya tali hubungan batin. Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu dengan kekuatan batinnya. Bagus kalau begitu adanya!"
Terdengar suara Suto menuntut kepastian, "Apakah penglihatan sukma saya salah, Kek?"
"Tidak. Sukmamu telah menemukan kuburan Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau sampai mencucurkan air mata berdarah, Suto? Apa yang telah terjadi pada sukmamu?"
Suto bangkit, berjalan mendekati bumbungnya. la menenggak beberapa teguk tuak dari bumbung tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati gurunya sambil masih memegangi bumbung dari bambu pilihan itu. "Kakek Guru, sejujurnya saya katakan, sukma saya telah bertemu dangan seorang wanita cantik yang sangat menarik hati. Wanita itu berwajah duka. Saya kasihan sekali padanya. Tapi dia tidak mau menyebutkan apa penyebab dukanya itu. Dia sempat menangis ketika jatuh dalam pelukan saya, Kek. Dan saya biarkan dia menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada saya. Hati saya menjadi turut berduka, seakan merasakan kesedihan yang lebih dalam dari kesedihan yang disandangnya. Apa artinya itu, Kek?"
Si Gila Tuak terkekeh-kekeh menertawakan kata-kata Suto. Sang murid menjadi berkerut dahi ditertawakan demikian. Hatinya menjadi dongkol dan ingin berontak karena merasa dilecehkan oleh sang Guru. Beberapa saat setelah sang Guru puas tertawa, ia pun berkata,
"Itulah perempuan yang bakal menjadi jodohmu kelak, Suto. Rupanya sukmamu yang nakal menerobos sejarah hidupmu di masa mendatang, dan menemukan wanita yang menjadi jodohmu."
"Begitukah?"
"Ya," jawab Gila Tuak sambil melirik ke samping, memandangi sang murid yang termenung dengan dahi masih berkerut.
"Siapa nama perempuan itu, Suto?" tanya Gila Tuak setelah menenggak tuaknya kembali.
"Namanya...?" Suto semakin mengerutkan dahinya, mengingat-ingat sebuah nama. Sejurus kemudian ia pun menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum, itu namanya!"
Sambil tetap tersenyum, si Guru menggumamkan nama itu, "Dyah Sariningrum...?! Bagus sekali nama itu. Cantik sekali!" Gila Tuak manggut-manggut.
"Wajahnya juga cantik, Kakek Guru. Lebih cantik dia daripada Bibi Guru Bidadari Jalang."
"Ssst ...! Jangan keras-keras. Kalau kebetulan bibi gurumu ada di sekitar sini dan dia mendengar, dia bisa melabrakmu! Dia tidak pernah mau kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana pun juga!"
Suto hanya tersenyum malas-malasan. Ini pertanda otaknya masih tertuju pada seraut wajah cantik yang ditemukan dalam pengelanaan sukmanya tadi. Karena itu, Suto pun segera bertanya, "Apakah benar Dyah Sariningrum itu calon jodoh saya, Kek? Apakah bukan sekadar calon teman biasa?"
"Jika ia calon teman biasa, tangismu tak akan berupa darah. Aku tahu, tangis itu tangis kesedihan yang sesungguhnya milik Dyah Sariningrum. Jika sampai kau mencucurkan air mata berdarah, itu pertanda kesedihan yang dialami Dyah Sariningrum sungguh besar dan dalam sekali. Jika tak begitu besar kesedihan itu, tak akan kau mencucurkan air mata darah, Suto."
Kepala pemuda tanpa pusar itu manggut-manggut sambil menggumam. Lalu, ia kembali bertanya, "Di mana saya bisa menjumpainya, Kek?"
"Di suatu tempat. Tak ada yang tahu dengan pasti. Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya saja padaku, tanpa kau cari dia akan bertemu denganmu, karena dia adalah jodohmu."
"Tapi saya tak sabar ingin segera menemuinya, Kek!"
"Berlatih sabar adalah hal yang baik dalam hidupmu, Suto. Jangan memburu nafsu pribadi. Itu justru akan mencelakakan dirimu," kata si Gila Tuak sambil menatap tajam pada muridnya. Sambungnya lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus menghancurkan Pusaka Tuak Setan itu! Musnahkan pusaka itu, supaya tidak menjadi sumber bencana bagi sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa."
"Baik. Saya sudah paham dengan maksud Kakek Guru. Tapi, di mana letak telaga yang dipakai mengubur pusaka itu, Kek?"
"Namanya Telaga Manik Intan. Letaknya ada di sebelah barat pegunungan Suralaya."
"Ya. Saya paham, Kek. Tapi ada satu hal yang belum saya mengerti, tentang adanya benda berkilauan yang terlihat oleh mata sukma saya ketika menemukan Tuak Setan itu. Benda tersebut ada di samping Guci Tuak Setan. Benda apakah itu sebenarnya, Kek?"
"Kau melihatnya dengan jelas?"
"Tidak terlalu jelas."
Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil menggumam. "Benda itu milik bibi gurumu. Benda itu adalah sebuah cincin. Namanya Cincin Manik Intan, warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu warisan dari guru bibi gurumu yang bernama Eyang Nini Galih. Batu Cincin Manik Intan itu konon terbentuk dari tetesan air mata Bidadari yang sedang memendam murkanya begitu hebat, hingga hanya bisa menangis."
"Apa keistimewaan batu itu, Kek?"
"Sangat berbahaya jika dipakai oleh orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu amarahnya. Batu itu bisa memancarkan kekuatan dahsyat hanya dengan menyalurkan tenaga dalam melalui cincin tersebut. Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur lewat batu itu akan berubah menjadi tenaga dahsyat yang mampu melelehkan baja setebal satu depa."
"Dahsyat sekali!" gumam Suto kagum.
"Ya. Tapi dulu bibi gurumu pernah menggunakan cincin tersebut. Sayangnya dia tidak bisa mengendalikan kemarahan. Cincin itu memancarkan kekuatan dahsyatnya tanpa terarah pada saat bibi gurumu sedang memendam kemarahan. Ke mana pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu telah mengeluarkan kekuatan dahsyat dan menghantam apa saja yang ada di depannya. Banyak korban tak bersalah menjadi sasaran tenaga dalam yang keluar melalui cincin tersebut."
"Lalu, mengapa Bibi Guru menguburnya di dasar telaga juga?"
"Aku membujuknya agar ia tidak memakai cincin itu lagi. Karena pada saat itu, nyawaku sendiri hampir saja menjadi korban tak bersalah. Akhirnya, bibi gurumu mau menguburkan cincin itu asalkan aku mau menguburkan satu-satunya pusaka andalan yang kumiliki. Kami pun bersepakat, aku menguburkan Tuak Setan dan bibi gurumu menguburkan Cincin Manik Intan. Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Aku sendiri tidak berani menggunakan Tuak Setan, karena aku khawatir malah nantinya menjadi penyebar bencana di seluruh pulau Jawa."
Alangkah hebatnya kedua pusaka tersebut. Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas orang yang meminumnya dapat mendatangkan badai yang begitu dahsyatnya hingga bisa menyapu permukaan pulau Jawa. Tentu saja kedua pusaka tersebut menjadi bahan incaran para tokoh dunia persilatan, terutama tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dugaan Suto itu memang benar. Sebab, pada saat percakapan itu terjadi, sebenarnya ada beberapa pasang telinga yang mencuri dengar melalui kekuatan telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua, bahkan ada yang jauh dari gua, namun dengan suatu ilmu kekuatan batin mereka mampu mendengar percakapan tersebut.
Karena pada saat selesai berbicara tentang Cincin Manik Intan, tiba-tiba si Gila Tuak menutup mulutnya sendiri. Wajahnya berubah menjadi tegang dan cemas.
"Ada apa, Guru?" tanya Suto.
"Ada yang mencuri percakapan kita," jawabnya dengan pelan tapi mengandung ketegasan yang menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata, "Lekas, pergilah ke Telaga Manik Intan, hancurkan kedua pusaka itu sebelum mereka lebih dulu menemukannya!"
"Baik, Guru. Tapi bolehkah saya tahu, mengapa bukan Kakek Guru sendiri yang turun tangan dalam hal ini?"
"Kalau aku yang menghancurkan pusaka Tuak Setan, aku akan mati. Karena itu warisan untukku yang tidak kusukai. Tapi jika kau yang menghancurkan, aku tetap hidup. Artinya, tidak mati karena hancurnya Pusaka Tuak Setan. Ditambah lagi, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan turun ke rimba persilatan lagi jika aku sudah mempunyai murid tunggal. Aku hanya akan turun kembali ke dunia persilatan jika dalam keadaan yang benar-benar terpaksa, demi menyelamatkan banyak manusia. Jadi, kurasa sekaranglah saatnya kau muncul di permukaan rimba persilatan untuk menjadi wakilku!"
"Saya mengerti, Guru!"
"Kerjakan!"
DUA perempuan itu bersalto ke belakang secara bersama-sama. Bukan karena benturan pukulan mereka melainkan karena adanya pukulan berbahaya yang dilancarkan dari jarak jauh oleh lelaki bertubuh sedikit gemuk, mengenakan baju merah dan celana hitam dengan ikat pinggangnya yang hitam juga itu. Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan Selendang Kubur sedang berkelahi mempertahankan keinginan masing-masing untuk menemui si Gila Tuak. Tetapi ketika mereka sedang bertempur, tiba-tiba saja mereka merasakan adanya serangan dari pihak ketiga.
"Selendang Kubur, kurasa lebih baik kita bersama-sama menghadapi lelaki tambun itu! Dan nanti kita bersama-sama saja menghadapi si Gila Tuak!" ujar Dewi Murka mengajak berdamai.
"Aku mengerti, Dewi. Baiklah kalau kau menghendaki kita bersatu."
Mereka berdua memang tidak menyangka jika kehadirannya di Jurang Lindu akan disambut oleh sikap bermusuhan dari seorang lelaki yang dikenal dengan nama julukan Pujangga Kramat. Pelayan setia si Gila Tuak itu adalah orang yang mudah curiga. Tak satu pun manusia yang berada di sekitar wilayah air terjun itu yang luput dari sasaran kecurigaan.
Bahkan seorang penggembala kambing pun pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga penggembala kambing itu nyaris mati di tangan Pujangga Kramat. Dan, kali ini kehadiran Selendang Kubur serta Dewi Murka pun dianggapnya suatu niat yang jahat, walaupun di ujung pertemuan mereka berdua sudah menjelaskan akan bertemu dengan si Gila Tuak.
Tetapi, Pujangga Kramat itu berkata, "Tak punya bertemu waktu si Gila Tuak kalian kepada!"
Mulanya Selendang Kubur dan Dewi Murka sama-sama ingin tertawa geli mendengar kata-kata Pujangga Kramat. Tetapi mereka segera maklum, karena mereka pernah mendengar cerita dari Guru mereka, bahwa Pujangga Kramat adalah manusia yang tidak pernah benar dalam menggunakan tata bahasa. Kadang orang bingung mengartikan tiap ucapan kata Pujangga Kramat, yang menurutnya mempunyai seni sastra tersendiri.
"Kami datang dengan maksud baik," kata Dewi Murka.
"Peduli tak. Izin tak ada menerima tamu untuk si Gila Tuak dari," kata Pujangga Kramat.
Selendang Kubur berbisik kepada Dewi Murka, "Apa maksudnya?"
"Tak peduli. Tak ada izin dari si Gila Tuak untuk menerima tamu!"
"Ooo...," Selendang Kubur manggut-manggut. "Jika begitu, kita desak saja dia dengan rayuan."
"Lelaki macam dia sepertinya tak butuh rayuan wanita."
Belum sempat kedua perempuan itu berunding lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan nada membentak. "Ini tempat kalian tinggalkan segera! Di sekitar sini orang tak lain boleh ada. Si Gila Tuak mendidik sedang muridnya. Kuusir paksa kalian kalau segera tak pergi!"
"Kami tak akan pergi sebelum bertemu dengan si Gila Tuak!" kata Dewi Murka.
Maka, menyeranglah Pujangga Kramat dengan pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya. Berjumpalitanlah kedua perempuan itu ke belakang. Kini, kedua perempuan itu sama-sama rentangkan tangan siap hantamkan pukulan 'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat segera ambil sikap menyamping. Kedua kakinya merenggang rendah dengan kedua tangan diangkat setinggi pundak. Matanya tertuju tajam pada masing-masing perempuan yang bersebelahan itu. Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama memutar tubuh satu putaran dan kedua tangan mereka dihentakkan ke depan dengan keras.
Wuuggh...! Wuggh...! Duubh...!
Pukulan itu ditahan oleh Pujangga Kramat dengan menggunakan tenaga dalam dari kedua tangannya. Tetapi, agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar' itu lebih besar kekuatannya, sehingga tubuh yang sedikit gemuk dan agak pendek itu terjengkang ke belalang, lima langkah jauhnya.
Brrukk...!
Tubuh Pujangga Kramat bagai hendak terbenam di dalam tanah. Napasnya menjadi sesak, matanya sempat mendelik. Namun buru-buru ia mengeraskan semua uratnya dan melesat cepat dengan menggunakan ke dua kakinya. Kini ia sudah kembali berdiri dengan wajah memerah.
"Gila. Cukup hebat juga orang ini. Dia mampu berdiri lagi dengan cepat setelah mendapat pukulan kita berdua!" kata Dewi Murka.
Selendang Kubur hanya tersenyum sinis. Segera ia melepas kain selendangnya seraya berkata pelan kepada Dewi Murka. "Biar kuhadapi dengan selendangku. Dia perlu mendapat pelajaran yang layak dari selendang ini!"
Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat kata, namun ia melangkah mundur beberapa tindak, membiarkan Selendang Kubur maju ke depan.
Pada saat itu, Pujangga Kramat berkata, "Aku salahkan jangan, jika melayang kau punya nyawa! Lagi sekali kuingatkan kamu, dari sini cepatlah pergi!"
Selendang Kubur sempat berpaling ke arah Dewi Murka dan bertanya, "Apa maksudnya?"
"Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja dia!"
Selendang Kubur mengangguk tanda setuju. la melangkah maju tiga tindak. Pujangga Kramat pun melangkah maju dengan bersiap mengirimkan pukulannya lewat kepalan tinjunya yang besar dan kekar. Namun sebelum tangan itu sempat bergerak melancarkan pukulan tenaga dalamnya, selendang putih berkelebat dengan cepatnya, bagai hembusan angin di siang hari bolong.
Wusss...! Srettt...!
Kain selendang menjerat lengan Pujangga Kramat. Kuat dan erat sekali lilitan kain selendang itu. Pujangga Kramat mengerahkan tenaganya untuk menarik selendang tersebut, sementara Selendang Kubur pun berusaha menarik selendangnya kuat-kuat. Keduanya saling beradu kerahkan tenaga. Keduanya sama-sama berkuda-kuda rendah dengan tangan gemetaran.
Selendang Kubur membatin, "Besar juga kekuatan orang ini. Biasanya tangan yang terlilit selendangku akan patah dalam satu hentakan. Tapi agaknya tangan orang ini cukup kokoh. Aku harus lebih mengerahkan tenaga lagi!" Maka memekiklah Selendang Kubur dengan suaranya yang nyaring. "Hiaaat....!"
la sentakkan tenaga lebih kuat lagi, dan tubuh Pujangga Kramat pun terlempar maju bagaikan terbang ke arah Selendang Kubur. Perempuan itu segera menyongsongnya dengan satu lompatan bertenaga.
"Heaaah...!"
Plak, plak...!
"Huggh...!"
Dua pukulan ganda dari tangan Selendang Kubur tepat telak di dada Pujangga Kramat. Lelaki yang mengenakan baju komprang tanpa dikancingkan bagian depannya itu tersentak mundur akibat pukulan telapak tangan Selendang Kubur. la jatuh berdebam ke tanah dan berguling-guling, seperti nangka busuk jatuh dari pohon.
Bluuugh...!
Lelaki berikat kepala kulit rusa itu menyeringai kesakitan. Namun seringainya hanya sebentar, karena ia telah menarik napas dalam-dalam menahannya beberapa saat. Rasa nyeri segera teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat di dadanya membekas dua telapak tangan merah memar, la segera membatin. "Hebat juga jurus perempuan itu! Kalau aku tidak mengerahkan tenaga perisaiku, pasti dada ini sudah jebol sampai kebelakang."
Selendang Kubur sendiri berkata kepada Dewi Murka saat berdiri di sampingnya. "Dia punya pelapis di dalam dadanya. Pasti dia melapisi dengan suatu gelombang berkekuatan baja. Mestinya dia punya dada sudah hangus dan terbakar, tapi nyatanya hanya membekas merah saja!"
"Apakah kau sudah menyerah?" tanya Dewi Murka berkesan mengejek. "Kalau kau sudah kewalahan menghadapi dia, biarlah aku yang maju!"
"Selendang Kubur tak pernah mengenal kata menyerah!" geram Selendang Kubur yang mempunyai nama asli Larasati.
"Kalau begitu, silakan kau lanjutkan pertarunganmu. Aku akan menjadi penonton yang baik." Dewi Murka tersenyum sinis, meremehkan kemampuan Selendang Kubur.
Tetapi sikapnya itu tidak dihiraukan oleh Selendang Kubur. Perempuan itu segera bergerak maju dengan selendang putih dikalungkan di lehernya. "Pujangga Kramat, satu kali lagi kau menentang kemauanku bertemu dengan si Gila Tuak, kupatahkan batang lehermu memakai selendang kuburku ini!"
Pujangga Kramat tertawa sedikit keras. la bertolak pinggang, seakan memamerkan dadanya yang tidak bisa dijebol oleh kekuatan pukulan lawannya. Lalu, Pujangga Kramat pun berkata, "Hebatnya apa selendang itumu?! Tak hebat adanya sama sekali!"
"Apakah kau tak melihat bekas telapak tanganku di dadamu?"
"Tak lihat kau pula bekas di tangan pergelanganmu?"
Selendang Kubur sedikit bingung mengartikan kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi Murka dan bertanya, "Apa arti kata-katanya?"
"Lihat pergelangan tanganmu!" kata Dewi Murka.
"Oh...?!" Selendang Kubur terpekik dalam hatinya. la melihat noda hitam menghangus di pergelangan tangan kirinya. Ternyata pada waktu terjadi bentrokan di udara tadi, Pujangga Kramat berhasil menotokkan jarinya ke pergelangan tangan Selendang Kubur. Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan darah, sehingga tidak mengakibatkan apa-apa kecuali bekas hangus, biru kehitam-hitaman pada kulit yang kuning langsat itu.
"Keparat!" geram hati Selendang Kubur. "Hampir saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat bekas seperti ini di kulit pergelangan tanganku. Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan membahayakan jika tidak diperhatikan!"
"He, he, he ... diam mengapa, Selendang Kubur? Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah sebaiknya sekarang kau juga, sebelum kujebol pusar dan lainnya pusarmu."
Geram hati Selendang Kubur bertambah mengganas. Maka, ia pun segera menarik selendangnya ke belakang dan melecutkannya dengan kaki menghentak ke tanah satu kali.
Wusss...! Dueaarr...!
Ujung selendang memercikkan api. Suara menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin selendang. Tubuh lelaki bergelang akar bahar terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai tepian tebing sungai. Pukulan yang bernama 'Selendang Petir' itu telah dilancarkan. Pujangga Kramat tidak menduga akan mendapat serangan sehebat itu. Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan berkekuatan besar.
Untung saja sikunya menghantam gugusan batu di tepi tebing sungai. Jika tidak, ia pasti telah terjun ke tebing sungai itu. Napasnya sendiri terasa bagaikan hilang dalam beberapa jurus. Ketika ia temukan lagi napasnya, ia terengah-engah dengan mata berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam penglihatannya itu.
"Samber gledek!" makinya dalam hati. "Untung ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku. Kalau saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur disambar ekor petir yang keluar dari ujung selendang keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku jadinya! Aku harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu perempuan itu bagaimana rasanya orang disambar angin petir."
Pujangga Kramat segera bangkit, tidak menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia maju satu langkah, tubuhnya terasa gontai. Agar tak kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur.
Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai kecamuk batin. "Orang ini manusia apa banteng?! Mestinya ia terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya rambutnya terbakar atau pakaiannya terbakar oleh percikan api dari pukulan 'Selendang Petir'ku tadi. Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia cukup mampu melapisi dirinya dengan kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga rupanya."
Dari arah belakang terdengar Dewi Murka berkata merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur. "Kau ini mau bertarung apa menari? Sejak tadi tak ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu saja!"
"Diamlah kau!" sentak Selendang Kubur, tanpa memandangi Dewi Murka.
"Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau belajar dari jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti dia!"
Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan maju dua langkah dengan memutar-mutarkan kain selendangnya di atas kepala.
Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu sentakan kedua jari dari masing-masing tangannya.
Wuugh...!
Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar dari keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh Selendang Kubur. Tubuh tersebut pada mulanya terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya. Putarannya semakin kencang. Tubuh itu terangkat sedikit dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut terangkat dan berputar dengan kuat.
Wusss... wuuss... wuusss...!
Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan kekuatan yang memutarkan tubuh. Namun semakin dilawan terasa semakin cepat saja putaran tersebut. Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus yang cukup besar.
"Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu jika dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka yang tampak mau melawannya dengan kekuatan tenaga dalamnya.
Namun begitu mendengar kata-kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-kata itu. Maka ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat yang telah membuatnya seperti baling-baling. Bahkan kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika tangan Pujangga Kramat menghentak ke samping, bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh.
Buuk... buukkk ...!
Kedua tubuh perempuan itu berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak mampu bergerak untuk sesaat. la ditertawakan oleh Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba- tiba berhenti melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam sekejap.
"Edan! Perempuan itu tidak merasakan pusing sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan lurus!"
Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka. Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain selendangnya ke bagian kaki.
Wuusss...! Sreett...!
Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat, bagai terikat kuat dengan selendang putih itu.
Brukkk...!
Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki bergeleng akar hitam itu sempat menggeragap sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga merasakan tubuhnya mulai melayang.
Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh itu dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan cara memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia antara empat puluh tahunan itu dipakai mainan, diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin lama semakin cepat putarannya. Membentur pohon sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu. Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari selendang, maka tubuh itu akan meluncur cepat, terbuang entah ke mana dan jika membentur benda keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah. Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat menjadi panik. la memekik dengan suara mirip gaung sejuta kumbang.
"Waooow...!"
Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa pusing yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Selendang Kubur. Maka dengan cepat ia menghunus trisulanya. Gerakan tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan pucuk trisula. Jelas gerakan putar itu akan berhenti dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung trisula. Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka. Perempuan itu sempat terbengong melompong melihat tangannya kosong.
Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika melihat sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal selendang tanpa bandul apa pun yang dibawa berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk Selendang Kubur itu. Dewi Murka menahan tawa keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh Pujangga Kramat itu.
"Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu telah lenyap!" seru Dewi Murka.
Dan seruan itu didengar oleh Selendang Kubur. "Hah...?!" Selendang Kubur terkejut melihat ujung selendangnya telah kosong. Matanya terbelalak memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri dalam jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok yang ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua dengan celana putih. Rambutnya panjang sebatas punggung, lurus rapi, lembut gemulai.
Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian coklat dengan sebuah bumbung dari bambu yang ada di bagian punggungnya, melintang miring bagaikan sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.
Kedua perempuan itu memandang dengan mata tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan senyum di bibirnya, hati kedua perempuan tersebut menjadi berdesir, berdebar-debar penuh bunga-bunga indah bermekaran membuai jiwa.
Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur, "Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting itu!"
"Ya. Memang benar. Pasti dia. Ketampanannya sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih sekali.
"Paman Sugiri," kata Suto kepada Pujangga Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan biarlah urusan ini saya yang selesaikan."
"Baiklah, Suto," jawab Pujangga Kramat dengan suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan geli di hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.
"Pasti dia pusing akibat kau putar-putarkan!" bisik Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian Selendang Kubur telah kembali tertuju pada pemuda tampan itu.
Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan berwajah cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia melangkah mendekati mereka dan berhenti dalam jarak tiga langkah di depan mereka.
"Kaukah yang tadi mau membunuh Paman Sugiri, alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi Murka.
"Hmmm... maksudku... maksudku...."
Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba Suto yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat terpelanting nyaris jatuh ketika tangan kirinya berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.
Sreppp...! Jliiggg...!
Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke belakang, senyumnya kembali mekar indah mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu cepat. Bahkan Dewi Murka terbelalak kaget melihat trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi, persis pada tempat semula.
"Edan gerakannya! Melebihi angin menurutku. Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi Murka sambil mundur mendekati Selendang Kubur.
Suto berbalik arah. Kini ia berhadapan dengan kedua perempuan itu. Matanya yang memancar indah dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang diminumnya di dalam gua, telah membuat daya pikat tersendiri di hati kedua perempuan itu.
"Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa dengan Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung tuaknya untuk dilepas dari punggung.
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit," jawab Selendang Kubur. "Kami... kami... kami..,," ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang mata Suto menatap dengan kelembutan yang meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang Kubur merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya karena tatapan mata Suto, maka ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata lagi. "Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak, untuk menyampaikan permohonan maaf dari guru kami, Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari, yang membuat teman kami menderita sakit akibat pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat."
"Apakah temanmu itu juga seorang perempuan muda berkuda hitam?"
"Benar!" jawab Selendang Kubur.
"O, dia yang mencuri dengar percakapanku dengan guruku itu?"
"Buk... bukan... buk... bukan...," Dewi Murka ingin ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah lelaki yang belum pernah ia jumpai di mana pun juga. Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa melontarkan kata-kata dengan baik.
Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud temannya, "Temanku itu bukan menyadap percakapanmu dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu hanya... hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih jelas ketampananmu."
Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa terkekeh mirip orang tua, sambil berkata, "Jadi dia hanya ingin mengintip ketampananku? Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak bermaksud mencuri dengar pembicaraanku dengan Guru?"
"Tidak," jawab Selendang Kubur. "Kalau toh kami mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu suatu hal yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang ke sini untuk meluruskan salah duga antara pihak perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."
Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke pepohonan sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di sana. Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat cepat tak bisa ditangkap penglihatan bentuk dan wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan tersebut.
"Siapa namamu?" tanyanya kepada Selendang Kubur.
Yang ditanya menatap, dan bola matanya segera blingsatan karena hatinya makin berdebar pada saat beradu pandang. la tak berani terlalu lama beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan bisa bicara jika dalam keadaan beradu pandang. "Namaku Selendang Kubur," jawab Selendang Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka. Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku yang bergelar Dewi Murka."
"Bagus sekali. Nama kalian tak ada hubungannya dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila Tuak, telah menerima penjelasan dari pihak Merpati Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa lagi di antara kita."
"Kami memohon maaf jika sikap teman kami ini tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang Kubur dengan mata sengaja memandang ke arah gugusan batu di tanah lereng.
"Permintaan maaf kuterima," jawab Suto. "Tapi sikapmu bicara padaku masih kurang sopan."
"Harus bagaimana aku bicara padamu?"
"Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap yang sopan."
"Aku belum sanggup."
"Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka ini, sejak tadi sanggup menatapku."
"Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa padamu."
Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang Kubur. "Persoalan sudah selesai. Kalian boleh pulang."
"Tid... tidak... tidakkah... kam... kami...," Dewi Murka tak pernah mampu menyelesaikan kata-katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.
"Apa maksudmu?"
"Kam... kam... kam...."
"Kambing?" sahut Suto menerka.
Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat. Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip sejak tadi. "Ak... ak... aku... aku...."
"Sudahlah, jangan bicara," potong Suto. "Napasku bisa putus mendengar bicaramu! Sekarang, sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun akan segera pergi."
Selendang Kubur menatap sebentar, lalu memalingkan pandangan ke arah lain, sambil melontarkan pertanyaan. "Ke mana kau akan pergi? Ke Telaga Manik Intan?"
"Kau tak perlu tahu."
"Ak... aku...," Dewi Murka mencoba bicara lagi. "Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke... keadaan... bah... bah...."
"Bahagia?" sahut Suto.
"Bah... bah... bahaya...."
Serentak wajah Selendang Kubur berpaling menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu, Dewi?"
Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap memandang Suto. la berkata gagap lagi, "Tol... tolong... ak... aku.... Di punggung...."
Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah kian memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka. Ternyata punggung perempuan itu telah berdarah karena ditembus oleh sepucuk jarum besi sepanjang kelingkingnya.
"Dewi...?!" sentak Selendang Kubur dengan sangat terkejut.
Dewi Murka rubuh ke dada Suto. Wajahnya kian memucat. la telah menjadi salah sasaran dari seseorang yang ingin menyerang Suto dengan menggunakan jarum beracun.
PADA saat Suto menenggak tuak dengan mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah seseorang di balik persembunyiannya melepaskan jarum beracun ke arah Suto. Tetapi, bertepatan dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa sadar menutup jalannya jarum beracun, sehingga yang menjadi sasaran adalah punggungnya.
Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputus-putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan Suto, melainkan karena tertahan oleh racun dari jarum di punggungnya. Jarum itu yang membuat napas Dewi Murka menjadi terputus-putus. Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh, namun ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui kekuatan tenaga dalamnya secara diam-diam. Tetapi, usaha itu tidak berhasil.
"Ini perbuatan orang berilmu tinggi," kata Suto kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya sampai tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku memakai telinga guruku, mungkin mendengarnya."
"Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah kau berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?"
"Biar saja begitu. Nasibnya sesuai dengan namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging."
"Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak bisakah si Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang yang bijak dan suka menolong?"
"Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah dia mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau orang yang pelit."
Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat Selendang Kubur berani menahan tangan Suto sambil berkata, "Tak perlu kau tanyakan! Aku akan segera pergi membawa temanku ini pulang ke perguruan."
"Itu langkah yang bagus!" kata Suto, lalu kembali penenggak tuak dari bumbung bambunya.
"Manusia yang tak berperasaan adalah kamu, Suto!" geram Selendang Kubur dengan mata memandang menyipit, memancarkan benci.
"Mengapa kau berkata begitu, Selendang Kubur?"
"Karena aku tahu kau bisa memberi pertolongan pada diri temanku, tapi kau tidak mau melakukannya."
"Apakah kau percaya betul bahwa aku sanggup menolongnya?"
"Aku percaya!" sentak Selendang Kubur.
Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum banyak. "Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong menyembuhkannya."
Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya, karena ia melihat wajah Dewi Murka semakin membiru, parahnya benar-benar beku.
"Baringkan tubuhnya," kata Suto kepada Selendang Kubur.
"Bagaimana dengan jarum di punggungnya?"
"O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!"
Dengan satu kali sentak, jarum itu pun dicabut oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari lubang bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya tidak terkena semburan darah hitam. Setelah darah itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera meneguk tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak ditelannya. Sebagian disimpan di mulut. Kemudian, tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung Dewi Murka.
Bruusss...!
Air tuak ada yang memercik ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu menyentak berani. "Kau mau mengobati temanku atau mau meludahi aku, hah?!"
Suto hanya tertawa sambil berkata, "Maaf, aku tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu, wajahmu pasti hangus saat ini juga."
Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah, mengusap air tuak yang melekat di pipi dan rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.
"Sudah, bawalah pulang dengan segera!" kata Suto.
"Pengobatan macam apa ini?! Baru disembur satu kali sudah disuruh membawanya pulang!"
"Kau percaya atau tidak kalau dia akan sembuh?"
"Yah, percaya!" jawab Selendang Kubur dengan bimbang.
"Kalau kau percaya, dia akan sembuh. Kalau kau tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"
Mata Selendang Kubur menatap Suto. Kali ini debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya gugup, sehingga ia berani menatap agak lama. Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran indah dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa maksud kata-katamu sebenarnya?"
"Tidak ada maksud apa-apa," kata Suto sambil nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin memberat karena terlalu banyak tuak.
Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat kaget melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya, warna biru di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal itu membuat mata Selendang Kubur tak mau berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama ia semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum itu telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah berkurang dari pucatnya. Perempuan itu mulai mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.
Dalam hati Selendang Kubur membatin, "Luar biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya, racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan yang cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki oleh pendekar lain."
Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar. Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang Kubur sedikit lega melihat temannya semakin membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah Suto yang ada di belakangnya. "Dia benar-benar telah...."
Selendang Kubur terperanjat. Suto sudah tidak ada di belakangnya. Suto telah pergi tanpa meninggalkan suara apa pun. Selendang Kubur sama sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah kosong. Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di tanah. la segera memeriksa sekeliling. Ternyata memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu.
"Manusia itu mirip sekali dengan siluman! Pergi tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke Telaga Manik Intan?" pikir Selendang Kubur sambil masih tetap mengawasi sekeliling. "Haruskah aku menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?"
"Selendang Kubur," sapa Dewi Murka yang saat itu sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang Kubur terkesiap melihat Dewi Murka dapat berdiri tegak.
"Apa yang telah terjadi pada diriku? Mengapa aku terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa basah?"
Selendang Kubur makin berkerut dahi. la bertanya, "Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah menimpamu?"
"Aku merasa sedang tidur karena lelah. Tapi begitu aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu membawaku kemari, hah?"
"Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau tadi terluka."
"Terluka? Omong kosong! Tidak ada orang yang bisa melukaiku!"
"Kau tadi disembuhkan oleh Suto."
"Suto...?! Siapa itu Suto?" Dewi Murka menampakkan keheranannya.
Setelah hening sejurus, Selendang Kubur berkata, "Apakah kau tak ingat seorang pemuda tampan yang menjadi murid si Gila Tuak?"
"Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari Murbawati!"
Selendang Kubur membatin, "Rupanya ada bagian ingatan Dewi Murka yang terhapus karena penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar-benar tak ingat dengan pertemuannya bersama Suto. Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"
Dengan sedikit menahan kesabarannya, Selendang Kubur berkata, "Kau tadi benar-benar telah bertemu dengan si tampan Suto itu! Kita berdua telah melihat ketampanannya yang menggiurkan hati!"
"Ah, omong kosong! Aku merasa tidak bertemu siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."
"Kita telah bertemu dengannya!" Selendang Kubur berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi perempuan itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya Selendang Kubur berkata. "Kalau begitu, ada baiknya jika kita susul dia ke Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin bisa menemukan ingatanmu kembali tentang ketampanan Suto."
"Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak untuk menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan si Gila Tuak."
"Itu sudah kita lakukan saat kita bertemu Suto. Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan pihak si Gila Tuak!"
"Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya tipu dayamu untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga Kramat, seperti tadi."
Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka. Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak mau banyak bicara. la hanya berkata, "Kalau kau tetap berkeras hati untuk menemui si Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"
Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak dari mulutnya ke luka di punggung Dewi Murka, ada kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa Dewi Murka. Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu akibat dari penyembuhan menggunakan cara sembur. Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula hilang ingatannya tentang Suto.
Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi dengan kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata-mata menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di balik kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat itu adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu. Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin mencelakainya dengan jarum beracun.
Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan begitu cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya mau tak mau ia terbawa sampai di sebelah barat pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga lari menuju ke sebelah barat pegunungan Suralaya itu.
"Apakah orang itu bermaksud membunuhku agar mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu menjadi tujuannya, berarti orang itu telah menyadap percakapanku dengan Guru, dan mungkin ia sudah cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak Setan. la pasti sudah sangat lama mengincar pusaka tersebut," pikir Suto.
Mendadak langkah Suto terhenti karena ia mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya ada di sebelah kiri. Suto segera mengikuti arah suara pekik pertarungan itu. Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto jadi sedikit terperanjat. Karena kedua orang yang sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi sebuah danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh di pertengahannya. Danau itulah sebenarnya Telaga Manik Intan.
SEKALIPUN tubuhnya kurus kering, namun ketika sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan keras, orang itu hanya tersentak sedikit. la masih tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara mengaduh sedikit pun. Hanya saja, beberapa saat kemudian ia membuka mulutnya, dan mulut itu mengeluarkan asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap supaya keluar dari dalam tubuhnya. Dan asap itu adalah asap yang timbul akibat pukulan di punggungnya tadi.
Sementara itu lawannya yang tadi berhasil memukul punggung dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam cukup besar, segera mundur setindak dan berdiri dengan tegar. Matanya yang memang kecil terkesan sipit itu menatap orang bertubuh kurus kering dengan tajam. Wajah dingin, tanpa keramahan sedikit pun. Orang ini mempunyai tubuh sedikit lebih gemuk dari lawannya. la mengenakan baju berlengan panjang kombor warna hitam dengan bagian tepinya dililit kain kuning emas. Celananya juga hitam dan punya lilitan kain emas. Di pinggangnya terselip sebuah pedang dengan sarung pedang warna perak.
Sementara di bagian kepalanya ada kain pengikat berwarna merah tua, membuat penampilannya kelihatan lebih ganas lagi. Orang ini mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang tipis yang menambah angker wajahnya, yang berusia antara empat puluh lima tahun.
Sedangkan orang kurus kering itu bermata cekung, berjenggot abu-abu dan rambut acak -acakan tanpa ikat kepala. Pakaiannya serba biru dengan baju potongan jubah yang tidak pernah dikancingkan bagian depannya. Dadanya terlihat tipis bertonjolan tulang iga. Orang ini dalam keadaan basah kuyup, sepertinya habis terendam air dalam telaga tersebut.
"Siapa mereka itu?! Ada persoalan apa sehingga mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya aku tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik aku duduk di balik semak ini sambil menonton pertarungan mereka," kata Suto dalam hatinya, la segera menggeser bumbung tuak dari punggung, lalu menengadahkan kepala dan menenggak tuak sedikit.
Terdengar orang berpakaian serba hitam itu berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri dengan kedua tangan berkuku panjang siap menyambut serangan. "Satu gebrakan lagi kau akan rubuh dan nyawamu minggat! Kuperingatkan padamu, menyerahlah! Selagi hatiku baik padamu, cepat serahkan benda itu dan selamatkan nyawamu dari amukanku!"
Kata-kata itu ditertawakan oleh orang kurus berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di mata kanan dibiarkan saja membuat wajah itu semakin berkesan bengis dalam usia antara lima puluh tahunan. "Kau salah alamat, Datuk Marah Gadai!" katanya, "Benda yang kau cari itu tidak ada di tanganku."
"Omong kosong! Kau telah menyelam di dalam telaga itu dan pasti kau telah memperoleh benda itu!" sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu.
Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang kurus yang kali ini berdiri dengan tenang, sambil mengusap-usap jenggot abu-abunya.
Suto membatin, "O, orang yang berpakaian hitam itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu. Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai kebiasaan menggadaikan barang-barangnya, sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi...!" Suto cekikikan sendiri di balik persembunyiannya. Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang masih bersitegang tentang barang yang harus diperebutkan.
Orang kurus kering itu berkata, "Aku memang telah menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana tidak ada apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga kecuali kekecewaan!"
"Puih! Mana ada orang yang mau percaya dengan mulut kotor murid Malaikat Tanpa Nyawa?!" Datuk meludah. "Orang paling licik di seantero jagat adalah kau, Cadaspati! Dan mulut orang licik selalu menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa harus memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan dengan menghancurkan mulutmu lebih dulu, Cadaspati!"
Suto terperanjat begitu mendengar Pusaka Tuak Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati kecilnya berkata, "Rupanya mereka berebut Pusaka Tuak Setan? Orang yang basah kuyup itu ternyata murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat orang kurus itulah yang semasa kecilku menyalurkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi Guru dan Kakek Guru sendiri. Hmmm... sekarang ilmu 'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba saatnya aku membalas perbuatan Cadaspati waktu itu."
Suto bergeser dari tempat persembunyiannya. la mencari tempat yang lebih leluasa lagi untuk memandang daerah tepian telaga. Satu-satunya tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di atas pohon. Maka, tubuh Suto pun segera melesat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi. Dalam sekali hentakan kaki, tubuh itu telah hinggap di sebuah dahan dari pohon berdaun lebat. Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak menimbulkan guncangan sedikit pun pada dedaunan pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin dalam gerakannya.
"Nah, dari sini lebih enak menonton pertarungan orang-orang bodoh itu," kata Suto dalam hatinya. "Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka Tuak Setan itu sudah berhasil jatuh di tangan Cadaspati atau belum. Kubiarkan dulu ia didesak oleh Datuk Marah Gadai sampai pada pengakuan terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana kalau ternyata yang terdesak justru Datuk sendiri? Karena kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati tidak bisa dianggap ringan oleh Datuk Marah Gadai."
Pada saat itu Datuk Marah Gadai sudah siap lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya terangkat sampai batas dada. Kemudian tangan itu saling menyilang dengan gemetar. Telapak tangan yang mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras itu mulai kelihatan berasap tipis.
Cadaspati tidak tinggal diam. la mengerahkan tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku tangannya memercik-mercikkan bunga api. Seperti ada aliran tenaga yang berlompatan dari kuku yang satu ke kuku yang satunya lagi.
"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung cepat di udara.
"Hiaaah ...!" Cadaspati juga menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang ke arah Datuk Main Gadai. Begitu dua tubuh itu bertemu, dengan cepat mereka saling menghantamkan pukulan masing-masing.
Plak...! Plak...! Wugh... wuugh...!
"Hugh...!" keduanya sama memekik tertahan. Tubuh mereka saling terpental ke belakang.
Datuk Marah Gadai hampir saja tersungkur masuk ke dalam telaga. la jatuh dalam posisi terduduk di tepian telaga. Namun kakinya segera dihentakkan hingga ia bangkit kembali. Sementara itu, Cadaspati setelah mengadu pukulan segera bersalto ke belakang satu kali dan kakinya mendarat di tanah dengan rapi tanpa limbung sedikit pun. Matanya yang cekung itu memantang penuh nafsu membunuh. Rambutnya yang panjang tersingkap oleh angin telaga.
Datuk Marah Gadai menggeram ketika melihat Cadaspati menyeringai bagai mengejek kekuatannya. "Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya kucabut nyawamu! Hiaaat...!"
Datuk Marah Gadai menyentakkan kaki kanannya ke depan dengan satu tendangan miring. Dari telapak kakinya berkelebat sinar putih keperakan yang melesat ke arah Cadaspati. Sinar putih keperakan itu segera dihindari oleh Cadaspati dengan satu lompatan ke atas. Dan bersamaan dengan itu, Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek angin.
Wuuusss...!
Lima berkas sinar meluncur dari kuku-kuku tangan kanan Cadaspati. Sinar merah api itu begitu cepat menerjang tubuh Datuk Marah Gadai. Segera orang berpakaian hitam itu berguling-guling ke samping dan akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan tangan kuat. Kelima sinar merah api itu masuk ke dalam telaga hingga airnya berguncang hebat. Sebagian air ada yang muncrat ke tanah tepiannya. Sisa kekuatan sinar merah api itu membuat gelombang di permukaan air telaga. Telaga bagai ada yang mengguncang-guncangnya dari dalam.
Sementara itu, sinar putih perak dari kaki Datuk Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang membuat gugusan batu itu sirna dalam sekejap. Tinggal debu halus yang menggunduk sebagai tanda hancurnya gugusan batu tersebut.
"Rupanya keduanya sama-sama berilmu tinggi," pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai oleh keadaan mabuknya. Bahkan tak sengaja ia melontarkan suara legukan satu kali.
"Huk...!" Buru-buru Suto menutup mulutnya karena takut suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakti itu. Di hati Suto ada rasa waswas karena setelah suara cegukan satu kali itu, Datuk Marah Gadai mulai memandang sekelilingnya penuh curiga.
"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Aku tak bisa meredam suara cegukanku ini!"
Cadaspati sendiri membatin, "Dia mulai lengah. Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!"
Niat Cadaspati untuk kabur ternyata diketahui oleh Datuk Marah Gadai. Ketika Cadaspati berbalik memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya melalui telapak tangan.
Wuuugh...! Beegh...!
"Huggh ...!" tubuh Cadaspati melengkung ke belakang. Punggungnya terkena telak pukulan jarak jauh Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah dengan wajah semakin mendendam bengis. "Keparat kau, Datuk!"
"Mau lari ke mana kau, hah? Jangan lari dulu kau. Selesaikan dulu urusan kita ini!"
Mata cekung yang memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi lunak, sayu dan kebengisannya pun berkurang. Datuk berkerut dahi karena merasa heran. Ia berkata dalam hatinya. "O, rupanya pukulanku tadi telah mengenai titik kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya mulai terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu di mana titik kelemahan Cadaspati. Rupanya ada di bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis punggungnya!"
Cadaspati memang berdiri dengan oleng. Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan bicaranya bernada mengambang. "Hei, Datuk... jangan terlalu lama kalau marah, nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he, he, he...!"
Datuk diam, menatap dengan curiga dan semakin merasa aneh melihat sikap Cadaspati. Kebengisannya menjadi hilang. Cahaya nafsu membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot mata cekungnya.
Cadaspati mencoba bersandar pada sebatang pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh tergagap-gagap. la segera bangkit dan menggerutu sendiri. "Siapa yang menaruh pohon tidak pas pada tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang menyingkirkan pohon ini waktu mau kusandari! Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar aku bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!"
Datuk Marah Gadai tertawa sinis. "Aku tak mengerti arah bicaramu, Cadaspati!"
"Tidak perlu pakai arah!" sentaknya dengan suara mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak mata bagai menggantung. la menuding Datuk dengan tangan lemas. Katanya lagi. "Kau... sini! Kau ke sini, Datuk!"
Datuk masih diam, tapi ia membatin, "Hmm... ada yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah mengacaukan urusanku dengan Cadaspati."
Dugaan itu memang benar. Suto telah menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri Cadaspati. Gerak-gerik dan suaranya berubah menjadi suara Suto. Hal ini dilakukan oleh Suto sebagai tindakan balas dendam atas kelakuan Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).
Datuk Marah Gadai pun segera membentak, "Siapa kau sebenarnya, hah?!"
"Apa kau lupa pada tampang gantengku, Datuk?" Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang pantas. Tetapi, kata-kata itu diucapkan oleh orang yang sudah cukup umur, berkulit wajah keriput dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh ungkapan kata yang lucu jika wajah seperti itu dikatakan ganteng.
Namun Datuk Marah Gadai tidak mau tertawa lebar-lebar. la hanya tertawa sinis dan segera berkata kepada Cadaspati. "Jangan kau campuri urusanku dengan Cadaspati! Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang juga, nah?"
"Remukkanlah! Ini bukan kepalaku. He he he...!"
"Jahanam kau! Hiih...!" Datuk Marah Gadai menghantamkan pukulan tangan kosongnya ke wajah Cadaspati.
Plook...!
"Uts...!" Cadaspati mundur selangkah, ia mendekap mulutnya. Sedikit bengkak bibir atasnya. Untung saja pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak mengandung kekuatan tenaga dalam. Andai saja Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga dalamnya, pasti mulut itu akan hancur berantakan ke mana-mana giginya. Cadaspati yang tadi menggeloyor, kali ini segera mendekat kembali dan berkata sambil menuding-nuding dengan tangan lemas. "Kamu jahat! Kamu tidak tahu kebaikan. Aku benci sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!"
"Tutup mulutmu, hiiih...!" Datuk Marah Gadai menghantam pukulan lagi ke mulut Cadaspati. Kali ini bertenaga lebih kuat dari yang pertama. Tetapi, Cadaspati segera menangkis pukulan itu dengan kelebatan tangan kanannya, lalu punggung pergelangan tangan kanan itu disodokkan ke ulu hati Datuk.
Bukkk...!
"Ugh...!" Datuk Marah Gadai tersentak kaget. Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah Gadai sempat terbeliak lebar. la segera mengeraskan perut dan menahan napas. "Kurang ajar! Aku dibuat mainan seenaknya saja!" geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan bertenaga dalam melesat dalam jarak empat langkah darinya.
Wuuugh...!
"Aaahg...!" Cadaspati terpekik, Pukulan itu mengenai dadanya. la tersentak ke belakang. Melayang jauh, antara tujuh langkah. Kemudian tubuhnya jatuh di bawah pohon. Punggungnya membentur akar pohon yang bertonjolan keras itu.
Pada saat itu, Suto melepaskan ilmu 'Inti Neraka' dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati menjadi dirinya sendiri. Dan ia terkejut menyadari sudah terbaring di bawah pohon dengan dada sakit dan tulang punggung bagai mau patah.
"Apa yang kualami tadi?" pikir Cadaspati. la berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit dan menyeringai menahan sakit.
Melihat keadaan Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah Gadai pun segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi. "Hiaaat...!" tangan kanan disentakkan ke depan dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu mempunyai gelombang panas yang mampu membakar kulit pohon.
Cadaspati segera menghadang pukulan itu dengan sentakkan tangan kirinya. Namun, agaknya kekuatan tangan itu tidak sebanding, sehingga pukulan hawa panas itu menerjang telapak tangan kiri Cadaspati. Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan hangus sampai di bagian ketiak dan dada sebelah kiri. Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga membentur pohon besar di belakangnya.
"Uughh...!" Cadaspati mengaduh tertahan. la menggeliat bangkit. Tetapi Datuk Marah Gadai segera mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam mampu meleburkan gugusan batu tadi.
"Lebih baik matilah kau daripada tetap tak mau menyerahkan Pusaka Tuak Setan!" seru Datuk Marah Gadai, lalu kaki kanannya pun dihentakkan menendang ke depan. Sinar putih keperakan melesat dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati.
Namun tiba-tiba sekilas sinar biru telah melesat cepat dan membentur sinar putih keperakan itu. Benturan itu menimbulkan ledakan hebat yang mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blarrr...!
Datuk Marah Gadai belalakkan mata lebar-lebar. Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua berambut putih yang muncul dari balik semak belukar. Sosok orang berambut putih panjang tanpa ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara Cadaspati dan Datuk Marah Gadai. Posisinya lebih dekat ke Cadaspati.
"He, he, he...," orang tua yang lebih kurus dari Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan. la mengenakan celana hitam dan kain putih yang diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian melilit di pinggang. Di pinggang itu pun ia mengenakan sabuk besar dari kulit binatang warna hitam berbulu.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin, "Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini? Sepertinya ia ada di pihak Cadaspati."
"Selamat jumpa lagi, Datuk Marah Gadai. Kali ini kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil melukai adikku, Cadaspati!"
"Aku tidak ada urusan denganmu, Peramal Pikun! Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban kemarahanku!"
"He, he, he.... Mana bisa aku menyingkir kalau kau ingin mencelakai adikku, Datuk?! Bebaskanlah adikku ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi. Bukankah persoalan kita sepuluh tahun yang lalu sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita harus bikin persoalan baru lagi, Datuk Marah Gadai?"
"Aku membutuhkan benda pusaka yang dibawa oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia melangkah sejengkal pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu diserahkan kepadaku!"
Orang yang berjuluk Peramal Pikun itu segera bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau membawa Pusaka Tuak Setan?"
"Tidak!" jawab Cadaspati sambil berdiri bersandar di pohon akibat luka pukulan dari Datuk Marah Gadai tadi.
"Datuk, adikku tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Jadi, tak ada yang bisa diserahkan olehnya kepadamu!"
"Omong kosong!" sentak Datuk Marah Gadai. Lalu, ia diam sebentar. Hatinya berkata, "Sebenarnya aku sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini. Ilmunya sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku melawannya gara-gara persoalan perempuan. Hampir saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi. Untung waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia pun punya lelaki simpanan lainnya, sehingga kami memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan membiarkan Rindani dengan lelaki simpanannya. Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan mati di tangannya. Dan sekarang, ilmuku memang sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu juga semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah aku melawannya lagi?"
"Hei, Datuk..., mengapa diam saja? Apakah bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau melepaskan adikku? Atau kita teruskan persoalan ini dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?" tantang Peramal Pikun.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin, "Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih punya nyali juga. Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai kesan bengis seperti wajah adiknya. Wajah itu malah berkesan selalu ceria dan tersenyum."
Datuk Marah Gadai berkata dengan suara lantang, "Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul dari dalam telaga itu. Pasti dia sudah menemukan pusaka tersebut!"
"Mengapa kau berkeyakinan begitu, Datuk Marah Gadai?! Apakah kau belum tahu, bahwa Pusaka Tuak Setan itu milik si Gila Tuak?"
Diam-diam Suto terkejut mendengar nama gurunya disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara cegukannya tidak berbunyi.
"Aku memang tahu, pusaka itu milik si Gila Tuak. Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!" kata Datuk Marah Gadai. "Aku mendengar percakapan si Gila Tuak dengan muridnya, bahwa pusaka itu akan dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus sudah lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang sudah mendahului langkahku masuk ke dalam telaga ini!"
"He, he, he..., siapa tahu adikku masuk ke dalam telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!"
"Tidak mungkin! Dia pasti telah memperoleh Pusaka Tuak Setan! Mungkin disembunyikan di balik pakaiannya itu!"
Sekali lagi Suto membatin, "Iya. Kurasakan agak berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya. Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu sepertinya mempunyai kantong untuk menyimpan Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang tak berharga yang ada di kantong jubah belakangnya itu?"
Datuk Marah Gadai mengambil sikap siap menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan sebatas dada. Tapi Peramal Pikun masih tetap tenang dan cengar-cengir saja. "Peramal Pikun, terpaksa kau juga perlu kukirim ke neraka karena membela adikmu yang punya urusan denganku!"
"Tunggu, tunggu...," Peramal Pikun tetap kalem. "Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi kesia-siaan pertarungan ini yang kupertimbangkan. Sebab menurut ramalanku, Pusaka Tuak Setan itu tidak akan jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan murid tunggalnya si Gila Tuak."
"Ramalanmu semakin tua semakin tak manjur!"
"Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si murid Gila Tuak sudah siap mengambil pusaka itu. Bahkan dia pun siap berhadapan denganmu, Datuk Marah Gadai."
"Persetan dengan murid si Gila Tuak. Yang kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang sudah ada di tangan adikmu itu!"
"Murid si Gila Tuak tidak bisa dipersetankan, Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini."
Datuk Marah Gadai tampak sedikit waswas. la melirik sekelilingnya. "Ramalanmu tak ada artinya bagiku. Kau hanya ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang lain di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk mati bersama adikmu!" Kaki Datuk Marah Gadai mulai bergeser merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku.
Peramal Pikun masih kalem, melangkah maju dua tindak. "Tunggu dulu, Datuk.... Siapa bilang di sini hanya ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya, menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk."
"Mana yang seorang lagi!" sentak Datuk Marah Gadai dengan suaranya yang besar.
"Ada di atas sana," jawab Peramal Pikun sambil tangannya seperti menebarkan sesuatu namun sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang melesat ke dalam tempat Suto bersembunyi.
Datuk Marah Gadai pun terkejut ketika memandang ke atas dan melihat seorang pemuda bertengger di sana. Pemuda itu kini melompat turun dengan dua kali salto, karena ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan oleh Peramal Pikun. Tenaga dalam itu membentur dahan dan membuat dahan itu berderak, lalu patah dan jatuh ke tanah.
Tepat pada waktu itu, Suto sudah berada di antara Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun. Bukan hanya mata Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun mata Cadaspati pun ikut terbelalak melihat kehadiran Suto.
MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa tegak, melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat bumbung tuak yang masih dipegang dengan tangan kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera dapat menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang tadi mengganggunya dengan menggunakan raga Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati bertingkah seperti orang gila di hadapannya.
"Berarti dia sudah ada di atas sejak tadi!" geram Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu sedang cengar-cengir memandang Peramal Pikun.
"Menurut ramalanku, kau yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak!" kata Peramal Pikun.
Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari tadi!" jawab Suto dengan suara mabuknya yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya masih sesekali menyentak tubuh.
"Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki orang Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti. Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa menjadi seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting. Tentu saja kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting semua. He he he he...!"
"Kalau... huk... kalau begitu, huk... aku buka perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja, huk...!" sambil Suto cegukan.
Datuk Marah Gadai membentak, "Ini bukan urusan ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"
"Sudah kubilang tadi, huk... Paman. Kalau kau, huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan menjadi setan, huk!"
"Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah ingusan!"
"He he he...," Suto tertawa dan bicara kepada Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku sebagai bocah ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah, huk... he he he...!"
Rupanya kesempatan itu digunakan oleh Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa tenaganya ia segera melarikan diri dari arena pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati membatin. "Aku tak akan mampu menghadapi Datuk Marah Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar masalah Datuk diurus oleh Renggono, kakakku!"
Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya. Maka ia pun segera berteriak. "Hai, mau ke mana kau?! Jangan lari, Jahanam!" Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk mengejar Cadaspati.
Namun, secepatnya pula Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu kali di udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk Marah Gadai.
Wungng...!
Tongkat itu tidak mengenai sasaran, namun membuat tubuh Datuk Marah Gadai bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah dengan wajah membentur semak-semak.
Prosss...!
Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah dengan tongkat digenggam tangan kanan. la menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap wajahnya. Wajah itu menjadi merah tergores-gores akibat duri semak yang ditabraknya.
"Keparat kau, Peramal Pikun! Terang sudah kau turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai dengan wajah menampakkan kemarahannya.
"He he he... terpaksa aku bikin urusan lagi denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"
Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah. Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu, terucap dalam batin Datuk Marah Gadai. "Angin pukulannya lebih hebat dari yang dulu. Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku akan kehilangan pusaka yang sudah kuincar bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa berlari jauh karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku tadi."
Suto tidak ikut campur. la bahkan menenggak tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil menyaksikan pertarungan tersebut, sambil sesekali memperdengarkan suara cegukannya. Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk Marah Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang punya nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun tersentak naik bersama tubuh di atasnya yang terdorong ke belakang.
Broolll...! Wusss ...!
Tubuh Peramal Pikun bagai didorong kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau manusia keriput berambut putih panjang itu bersalto satu kali. Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi, Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin besar melesat dari kedua tangan.
Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan berdiri. Rupanya ia menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga dalam yang disalurkan melalui kepala tongkatnya yang berbentuk kepala burung garuda itu.
Duub...!
Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling berbenturan di pertengahan jalan. Satu benturan itu mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu runcing.
"Aaauh...!" Datuk Marah Gadai memekik karena pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.
Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat Datuk Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh Peramal Pikun. Sedangkan Peramal Pikun sendiri hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap berdiri pada tempatnya. la berkata kepada Suto.
"Pernah melihat beruang kecocok paku? Nah, lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!"
Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh mabuknya. Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk Marah Gadai semakin panas. Maka, ia pun segera mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan tenaga dalam ke arah depan. Dari tendangan kaki itu melesatlah sinar putih keperakan. Meluncur dengan cepat ke arah tubuh Peramal Pikun.
Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali. Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat terus ke arah Suto yang sedang duduk di batu.
Melihat kilatan cahaya putih keperakan melesat ke arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung tuaknya di depan wajah. Sinar itu tepat mengenai bumbung, namun tidak segera meledakkan bumbung, juga tidak segera padam, melainkan justru berbalik melesat ke tempat asalnya.
Wusss...! Kecepatannya melebihi kecepatan semula. Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan tubuh, menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada diatas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih keperakan itu. Sinar tersebut menghantam sebuah pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya.
"Sinting betul bocah itu!" geram hati Datuk Marah Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa dikembalikan sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada orang yang bisa menangkis jurus 'Tapak Dewa' dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah Gadai terheran-heran.
Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat terkejut melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus 'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa ditangkis kecuali dihindari atau diadu dengan kekuatan yang lebih dahsyat lagi.
Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah Gadai, ia dibuat kelabakan menghindari jurus 'Tapak Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu yang bisa menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah mempunyai jurus tandingan sehingga tadi ia bisa menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari kepala tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk Garuda'.
Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat terheran-heran melihat Suto dengan cengengesan menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat tuaknya. Peramal Pikun pun membatin. "Bumbung itu pasti bukan sembarang bumbung. Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa Suto Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang ada urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!"
Kesadaran Peramal Pikun terlambat. Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat itu sudah kosong. Pohon yang semula dipakai bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya kepada Suto Sinting. "Ke mana orang itu tadi?"
Murid si Gila Tuak menjawab, "Pergi. Lari ke sana!" ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi. "Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama Kadaspati itu!"
"Cadaspati! Bukan Kadaspati!" sentak Peramal Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto hanya tertawa sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak menahannya?!" kata Peramal Pikun, sepertinya menyalahkan Suto.
Murid Gila Tuak itu menjawab. "Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi kubiarkan dia lari ke sana, huk...!"
"Tapi dia akan berhasil merebut Guci Pusaka Tuak Setan dari tangan adikku!"
"Kau bilang tadi, menurut ramalanmu, Guci Pusaka Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi, untuk apa aku menghalangi kepergiannya!"
"Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi kalau kau tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan orang lain!"
"Berarti ramalanmu itu palsu!"
"Palsu atau tidak, itu tergantung anggapan orang. Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu dari tangan si Datuk Marah Gadai!"
"Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau ingin agar aku membunuh adikmu untuk merebut Guci Pusaka Tuak Setan itu?"
"Itu berarti kau harus berurusan denganku Suto Sinting!"
"Aku malas berurusan denganmu! Bukan karena aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang lemah, huk!"
Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan sebagai orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak melepaskan kemarahannya. la hanya berkata dalam hati. "Kalau bukan karena aku sedang membutuhkan dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu! Sayang aku harus membujuknya untuk ikut mengejar Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa kujadikan tameng dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku. Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi melawan Datuk Marah Gadai."
Suto berdiri dari duduknya dengan sempoyongan. la berkata dengan suara mabuknya. "Aku mau mandi, biar segar badanku!"
"Hei, bukankah tugasmu menghancurkan Pusaka Tuak Setan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila Tuak dari kejauhan."
"Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga, huk...! Aku mau mandi!"
"Bocah ini benar-benar sinting!" kata Peramal Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera menyusul Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan Cadaspati!"
PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan dalam hatinya ia berkata.
"Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis."
Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya. Baru saja ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru-buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah celingak-celinguk penuh curiga. Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam. Suto menghempaskan napas dan menggeram jengkel dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut, Paman Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera mendekati Suto dan berkata dengan napas masih terengah-engah.
"Itu perempuan desak aku! Desak aku itu perempuan!"
"Paman ini mau ngomong apa kok desak-desakan sama perempuan?"
"Itu perempuan,..!"
"Perempuan itu?" Suto tertawa dalam suara tawa mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa wajahmu memar begitu, Paman? Ada apa, huk?"
"Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia sama Guru."
"Maksud Paman Giri, ada perempuan mendesak Paman untuk bertemu dengan Guru?"
"Betul sangat!"
"Sangat betul!" Suto membenarkan susunan katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman menyusulku kemari, huk?"
"Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan. Dia masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya pasti."
"Guru ditantang perempuan itu?"
"Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa guru olehnya."
"Guru bisa dibunuh olehnya? Ah, tak mungkin itu, Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang perempuan. Huk...!"
"Datang cepatlah bantu Guru selamatkan."
"Aku mau mandi."
"Dulu tundalah!"
"Tundalah dulu!" sentak Suto membetulkan kalimat.
"Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari keganasan perempuan itu selamatkan gurumu!"
"Ah, pusing aku mengartikan bahasamu, Paman! Aku mau mandi!"
"Tahanlah!"
"Huk ..., tak bisa kutahan. Aku mau bertemu dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak segera mandi."
"Tega kepada kau Guru, hancurlah dia oleh perempuan itu?!"
"Tega tak aku Guru kepada dan... aduh, kenapa bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"
"Pergi cepatlah ke sana!"
"Aku mau mandi! Tahu... ?!" sentak Suto merasa jengkel akhirnya.
Sentakan itu membuat Pujangga Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut. Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi penurut. Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto.
Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan susah-payah karena mabuk. Pujangga Kramat diminta untuk membantu menarikkan bajunya. Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat menuruti perintah itu tanpa banyak bicara. Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto yang seperti orang mengantuk itu segera melirik ke arah rimbunan pohon. Baju yang telah dilepaskan segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat memandang dengan heran, tak mengerti maksud Suto.
la segera menghentakkan kaki kanannya ke tanah. Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan. Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah seberang memercik ke arah rimbunan semak yang dicurigai Suto.
Crattt...!
"Auh ...!" terdengar suara pekik dari rimbunan semak.
Pujangga Kramat terperanjat dan berkata, "Orang ada rimbunan semak dibalik."
"Aku tahu, ada orang di balik rimbunan semak. Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara padaku apa maunya!"
"Itu suara perempuan. Perempuan itu jangan-jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan mukaku."
"Kau takut, Paman?" Suto tersenyum geli.
"Takut tidak. Jera iya."
Suto tertawa terkekeh, la berseru, "Perempuan di balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi mandi. Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip aku dari sana!"
Merasa persembunyiannya sudah diketahui, perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana dengan satu lompatan tanpa menimbulkan suara gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh dedaunan.
"Aku tidak bermaksud mengintipmu, Suto!" kata perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.
"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!" Suto memandang dengan mata merahnya yang mirip orang mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot pandangan mata Selendang Kubur.
Pada saat itu, Pujangga Kramat berbisik, "Ini perempuan bersama tadi dengan perempuan membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke gua, temui Ki Gila Tuak."
"Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan maksudmu," sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan Selendang Kubur berjalan mendekat. Suto segera berkata, "Selendang Kubur, temanmu mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya guruku. Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan akan menyeretnya keluar dari gua dengan kasar!"
"Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa persoalan tadi sudah kita selesaikan. la bahkan tidak ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan meminta maaf atas sikap mencurigakan dari Murbawati, teman kami."
"O, begitu?"
"Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka tidak akan perbuat jahat kepada gurumu."
"Bagus kalau begitu! Huk...!" ia masih sesekali celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok wajah Paman Giri ini?"
"Barangkali Pujangga Kramat menghalangi niat baiknya hingga ia melakukan kekerasan."
"Oh, begitu?"
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit tidak suka mencari persoalan dengan orang lain."
"Bagus. Lalu, apa perlumu datang kemari?"
"Menjagamu," jawab Selendang Kubur sambil memalingkan pandangan mata ke arah lain.
"Jawabanmu sungguh lucu bagiku," Suto tertawa. "Jawaban itu hanya alasan belaka yang dibuat-buat. Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku mandi!"
Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan berkesan ketus. "Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah bisa melihatmu telanjang."
"Hah...?l" Pujangga Kramat terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan menutupkan tangannya ke bawah.
Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa pelan, setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang Kubur. la berkata, "Jangan menyombongkan ilmu di depanku, Selendang Kubur."
"Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'. Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati Wingit yang menguasai ilmu 'Candra Tembus Pandang'."
Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak percaya. "Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!" kata Selendang Kubur setelah menatap Suto beberapa saat.
Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang Kubur berkata, "Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda hitam semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan, dekat dengan tulang pinggul."
Menggeragap bingung Suto menghadapi perempuan berhidung mancung dan bermata bundar itu. Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata tembus pandang. Akibatnya, Suto segera bersembunyi di belakang Pujangga Kramat. Tetapi Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya, pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan kedua tangan mendekap bagian bawah.
Suto kebingungan, maka ia segera berpindah tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat. Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari dan bersembunyi di balik pohon besar. Hanya kepalanya yang nongol dan berseru, "Bersembunyi cepat pohon di balik!"
Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan berbalik wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia berseru. "Pohon itu pun masih bisa kutembus dengan pandanganku, Suto!"
"Celaka! Perempuan itu bikin aku susah berdiri saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa di atas gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak berani menatapku. Rupanya dia punya kekuatan tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak sopan padaku."
Suto yang salah tingkah itu segera mengambil keputusan untuk menceburkan diri ke telaga. Setidaknya dengan begitu ia bisa menyembunyikan tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk mandi. Maka, serta-merta Suto melompat dari balik pohon setelah melemparkan bumbungnya ke tangan Pujangga Kramat. Lompatannya bersalto satu kali dan, byuurrr...!
Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan berseru kepada Pujangga Kramat. "Apakah dia bunuh diri?"
"Tidak dia bunuh diri, mandi tapi," jawab Pujangga Kramat yang membuat Selendang Kubur merenungkan arti kata sebenarnya.
Setelah memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, melompat bagaikan terbang dan hinggap di atas sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran besar. la bagai seorang penjaga yang menunggu majikannya sedang mandi. Matanya memandang sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya datang pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.
Semakin lama semakin berkerut cemas dahi Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke permukaan air telaga. Hati Selendang Kubur menjadi cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga Kramat yang masih bersembunyi di belakang pohon.
"Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia bisa berenang?"
"Entahlah!" jawab Pujangga Kramat. "Tak pernah melihatnya aku berenang, tak pernah melihatnya aku tenggelam!"
Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama. Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke dasar telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka Tuak Setan. Suto ingin mengetahui apakah Cadaspati benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau memang tidak menemukan apa-apa di telaga itu. Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di bagian mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata Suto sempat melihat benda yang separonya terkubur tanah dasar telaga. Benda itu sangat mencurigakan. Letaknya tepat ada di tengah dasar telaga. Suto bergegas berenang mendekatinya.
"Hei, itu seperti benda berbentuk guci?!" pikir Suto. Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut adalah guci berlumut, dibungkus dengan anyaman pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut, bahkan ada beberapa rumah keong kecil-kecil melekat di anyaman pandan. "Inilah guci yang kulihat pada saat aku bersemadi di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan sukar dihancurkan dengan tangan kosong. Sebaiknya kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul ke permukaan!"
Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh Cadaspati dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak Setan!"
Selendang Kubur merasa lega begitu melihat kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal itu akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat. Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon. Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada tubuh Suto yang berpakaian basah kuyup.
Pandangan mata yang semula menemukan keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan senyum itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang. Rupanya pandangan mata perempuan berselendang putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah benda berukuran kecil di tangan Suto. Benda itu berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar genggaman tangan Suto.
"Pusaka Tuak Setan!" gumam Selendang Kubur dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat menimbulkan bencana besar jika disalahgunakan? Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak itu, yang dapat mendatangkan badai topan lewat hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut. Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak terkalahkan menghadapi lawan manapun juga! Jelas orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di tanah Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Paman Giri, Pusaka Tuak Setan kutemukan!" kata Suto kepada Pujangga Kramat.
Orang berperut agak buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum. Hatinya berdebar-debar. Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan oleh Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan pada dirinya. la berkata dalam hati, "Rasa puyeng di kepalaku jadi hilang? Hei... jalanku pun tadi tidak limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang akibat aku memegang Guci Tuak Setan ini?"
"Suto," kata Pujangga Kramat. "Satu ada lagi pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"
"Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin Manik Intan."
"Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh menghancurkan pusaka dua-duanya!"
Suto berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata pelan. "Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru masih ada di dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku tadi melihatnya di sana!"
"Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!"
"Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku akan menyelam kembali ke dasar telaga."
"Lama-lama jangan. Nanti hilang napasmu."
Suto segera melompat kembali ke dalam telaga. Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa heran dan perlu berkerut dahi. "Mengapa ia kembali masuk ke dalam telaga?" pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar kubur? Mungkin sebuah atau dua buah pusaka lagi yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya kutunggu saja hasilnya."
Pada saat Suto menyelam di dasar telaga kembali, tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada sesuatu yang membuat hatinya begitu. la berusaha melupakan keresahan tersebut dan tetap mencari Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak ditemukan. Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada. Suto bertambah gelisah karena tidak mudah menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke permukaan air menjadi semakin besar. Sampai-sampai timbul pertanyaan di batinnya.
"Ada apa di atas? Mengapa hasratku ingin muncul ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin itu sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di sini? Ke mana larinya cincin itu?"
Cukup lama Suto menahan kegundahan hati. Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu. Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan hatinya, maka ia pun segera muncul di permukaan telaga.
"Paman Giri, aku tidak...," kata-kata Suto terhenti seketika. Pandangan matanya menemukan sesuatu yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la segera jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air, lalu ia bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku membiru.
"Paman Giri...!" Suto menyentakkan kata untuk membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu masih belum bisa membuka matanya. Sekujur tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan. Di bagian lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu. Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu serupa dengan jarum beracun yang mengenai punggung Dewi Murka.
"Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di tangan Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman Giri memakai jarum beracun. Hmmmm... Selendang Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun hilang? Benarkah Selendang Kubur yang merebut Pusaka Tuak Setan itu?"
Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi dalam hatinya ia masih berkata,
"Jika benar Selendang Kubur telah mencuri Pusaka Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan tanah Jawa! Keparat! Ke mana perginya Selendang Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak mungkin! Jadi, ke mana aku harus mencari Selendang Kubur?"
Segera menyusul!!! Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode Darah Asmara Gila
Hup...! Kepala ular digenggam kuat, lalu tangan kanan si Gila Tuak menarik ular itu dari leher ke ekor, dan dengan satu tahanan napas, ternyata ular itu sudah berubah menjadi tongkat seperti sediakala.
Suto masih tertawa. Kali ini ia duduk di rerumputan, meletakkan bumbungnya di samping, dan ia bertepuk tangan sambil berkata, "Bagus, bagus, bagus...! Itu baru guruku namanya. Hebat...!"
Cepat tubuh tua berbalik menghadap Suto. Tongkatnya digenggam dengan tangan kanan, ujung bawahnya menyentuh tanah. "Rupanya kau telah menerima warisan ilmu sihir dari bibi gurumu Bidadari Jalang itu!"
"Tinggal sebagian ilmu yang belum saya miliki dari Bibi Guru," kata Suto seraya menghentikan tawanya.
"Kapan dia berjanji akan menyelesaikan penurunan ilmunya padamu?" tanya si Gila Tuak sambil mendekati Suto.
"Bibi Guru tidak bilang pada saya, Kek. Bibi Guru hanya berkata, bahwa ia akan memenuhi janjinya, karena saya telah melakukan penyembuhan terhadap penyakit racun birahinya."
"Apa kau percaya dengan omongan bibi gurumu itu? Dia sudah terbiasa bertindak curang, Suto."
"Saya tahu kelemahan Bibi Guru, Kek. Akan saya buat dia bertekuk lutut di hadapan saya jika sampai dia membohong aku."
Si Gila Tuak menggumam lirih, "Murid gila! Bibi gurunya akan dibuat bertekuk lutut. Kurasa..., itu bisa saja terjadi, karena seluruh ilmuku telah kuturunkan kepadanya. Tinggal satu ilmu yang belum, yaitu 'Candra Geni' yang dapat membakar lautan walau hanya dengan cara memandang saja. Tapi, perlukah ilmu itu kuturunkan kepada bocah sinting itu? Aku harus pertimbangkan masak-masak," ucap si Gila Tuak di dalam hatinya.
Memang tinggal satu ilmu yang belum diturunkan oleh si Gila Tuak kepada murid tunggalnya, tapi bukan berarti si Gila Tuak merasa sayang untuk menurunkannya. Si Gila Tuak melihat Suto masih belum membutuhkan ilmu 'Candra Geni'. Dengan bekal ilmu lain yang diturunkannya kepada Suto, pemuda tanpa pusar itu sudah cukup mampu menghadapi bahaya apa pun. Apalagi sebagian ilmu Bidadari Jalang sudah diturunkan kepada Suto, pemuda tampan yang punya senyum memikat hati setiap perempuan itu tentu sudah lebih tangguh menghadapi musuh mana pun.
Si Gila Tuak yang menentukan perjanjian tersebut, ketika Bidadari Jalang membutuhkan bantuan Suto untuk menghilangkan racun birahi dari dalam dirinya. Pada waktu itu si Gila Tuak berkata, "Boleh saja kau meminta bantuan bocah tanpa pusar itu, tapi kau harus memberinya upah kebijakan kepadanya. Aku tak rela kalau penyembuhan yang akan dilakukan oleh Suto terhadap dirimu nanti, justru akan membuatmu semakin gila-gilaan di rimba persilatan."
"Aku tahu maksudmu, Sabawana," kata Bidadari Jalang dengan menyebut nama asli si Gila Tuak. "Aku sendiri sudah menyadari, bahwa kekuatan ilmuku yang kuanggap sangat ampuh ini ternyata masih bisa dilumpuhkan oleh ilmu lain. Racun birahi ini semakin membuatku kehilangan banyak tenaga dan ilmuku kian hilang satu persatu."
"Jangan merasa lebih tinggi dari yang lain. Ada yang lebih tinggi dari yang tertinggi. Ingat-ingatlah hal itu, Nawang Tresni!"
"Ya. Aku ingat. Karenanya, setelah racun birahiku ini hilang, aku bermaksud mengasingkan diri dari rimba persilatan. Aku sudah terlalu lelah untuk melanglang buana lagi. Aku tidak akan turun di rimba persilatan jika tidak ada keperluan yang penting."
"Aku mendukung rencanamu, Nawang Tresni."
"Jika begitu, izinkan aku membawa bocah tanpa pusar itu ke Lembah Badai. Akan kudidik ia untuk pemusatan tenaga intinya, yang kelak bisa digunakan untuk melawan racun birahiku."
"Kuizinkan kau membawa Suto, tapi tetap dalam pengawasanku. Sebab, kita sama-sama tahu, bocah itu semakin dewasa semakin kelihatan ketampanannya. Aku takut kau jatuh hati kepadanya."
Bidadari Jalang tertawa mengikik. "Aku tak keberatan kau mengawasinya, karena memang aku sangat membutuhkan tenaga intinya."
Begitulah akhirnya, Suto juga dididik oleh Bidadari Jalang, yang selama ini juga belum mempunyai murid, kecuali orang-orang suruhan, pelayan, dan beberapa anak buah yang dibekali jurus-jurus ringannya.
Beberapa waktu lamanya Bidadari Jalang menggembleng bocah tanpa pusar itu dalam pengawasan Ki Sabawana yang berjuluk si Gila Tuak. Kadang-kadang mereka melatih Suto secara berbarengan, sehingga mereka menemukan jurus-jurus baru yang tercipta karena perpaduan dua jurus mereka itu.
Bidadari Jalang kini telah terbebas dari racun birahi. Suto telah menyalurkan hawa murninya ke dalam diri Bidadari Jalang. Untuk melakukan penyembuhan itu, si Gila Tuak sengaja membuat mata Suto menjadi buta sementara dengan racun tuak simpanannya. Hal itu dilakukan oleh si Gila Tuak, supaya murid tunggalnya tidak tergoda pada saat melakukan penyembuhan terhadap diri Bidadari Jalang. Sebab, cara penyembuhan tersebut dilakukan dalam keadaan Bidadari Jalang melepas semua pakaiannya di dalam sebuah kamar.
"Letakkan telapak tanganmu dua-duanya di punggungku, Suto," kata Bidadari Jalang waktu penyembuhan dulu.
Suto melakukannya dengan sedikit gemetar, karena ia merasakan kelembutan kulit punggung Bidadari Jalang.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, Suto! Pusatkan perhatianmu pada tenaga intimu. Keluarkan hawa murnimu melalui kedua telapak tanganmu itu," tuntun Bidadari Jalang.
Suto melakukan hal itu. Tubuh Bidadari Jalang menjadi menggigil pada saat hawa murni Suto disalurkan ke dalam tubuhnya. Di dalam hati Bidadari Jalang berkata, "Besar sekali hawa murni yang keluar darinya? Oh, tubuhku begitu dingin, bagaikan disekap di dalam gunung es. Kalau saja ia mempunyai pusar, tidak akan sebesar ini kekuatan hawa murni dan tenaga intinya. Oh, luar biasa kekuatan bocah sinting ini...?!"
Bidadari Jalang tetap duduk bersila memunggungi Suto. Tubuhnya berjuang dengan keras menahan hawa dingin yang membekukan darah. Tubuh tanpa pakaian itu gemetar menggigil, namun tubuh Suto yang kala itu sudah berusia lima belas tahun jadi bermandikan keringat hingga mirip orang habis kehujanan.
"Nah, sekarang lakukan di ulu hatiku. Tekan tanganmu seperti tadi. Lakukanlah, Suto!" sambil Bidadari Jalang berbaring.
Suto meraba bagian ulu hati Bidadari Jalang. Tiba-tiba perempuan itu memekik keras. "Hai, jangan yang itu yang kau pegang!"
"Oh, maaf. Maaf, Bibi... saya salah pegang!"
"Nakal kamu!"
Plakkk...! Wajah Suto ditampar. Tapi Suto tetap tersenyum berkesan meringis, karena ia sadar bahwa yang dipegangnya tadi adalah gundukan dada yang sekal dan berujung kencang. Suto menahan geli, lalu segera kembali bersungguh-sungguh setelah menarik napas panjang-panjang.
Sekarang, usianya sudah lebih dari tujuh belas tahun. Suto sudah menjadi pria tampan yang menggiurkan hati setiap wanita, walaupun ia sering bicara meracau karena pengaruh minuman tuaknya. Menurut si Gila Tuak, sudah waktunya Suto muncul di rimba persilatan sebagai pendekar pembela kebenaran. Tetapi karena sering diajak minum tuak oleh si Gila Tuak, maka Suto pun tumbuh sebagai pemuda yang sering mabuk, dan ke mana-mana selalu membawa tabung bambu yang disebut bumbung.
Benda itu berukuran satu depa panjangnya. Besarnya sedikit lebih besar dari tongkat milik gurunya. Dalam genggaman tangan Suto, bumbung itu hanya sisa beberapa jari saja. Bumbung itu mempunya tali yang biasa diselempangkan di dada jika bumbung itu sedang dibawa di punggungnya.
"Suto," kata si Gila Tuak setelah mereka selesai latihan tadi, "Ikutlah aku ke dalam gua, akan kutunjukkan di mana letak penyimpanan Pusaka Tuak Setan yang harus kau ambil dan kau hancurkan itu!"
Gila Tuak melesat dalam satu lompatan seperti angin, menerobos curah air terjun, dan Suto mengikutinya. Ternyata di balik curah air terjun itu terdapat gua, sebagai tempat bermukimnya si Gila Tuak selama ini.
* * *
TIGA
PAGI yang cerah dihiasi dengan deru kaki kuda yang berlari cepat. Kuda putih itu ditunggangi oleh seorang perempuan berpakaian serba hitam, berikat pinggang sabuk lebar warna coklat. Rambutnya yang panjang disanggul ke atas dan diberi tusuk konde dari bambu kuning. Tangan kirinya mengenakan gelang dari logam putih mengkilat, sebagai tanda bahwa ia adalah orang Perguruan Merpati Wingit.
Tak salah lagi, perempuan yang mampu bergerak lincah bersama kuda putihnya itu tak lain adalah Dewi Murka. Rupanya dialah yang mendapat tugas menemui si Gila Tuak ke Jurang Lindu untuk menyelesaikan perkara Murbawati. Nyai Guru Betari Ayu tidak ingin masalah tersebut menjadi berbuntut panjang. Selama ini hubungannya dengan si Gila Tuak cukup baik, sekalipun hubungannya dengan Bidadari Jalang bermusuhan. Tetapi selama ini si Gila Tuak tidak pernah mau ikut campur urusan pribadi saudara seperguruannya itu, sehingga permusuhan tersebut tidak membuat retak hubungan baiknya dengan Betari Ayu.
Mengingat masalah hadirnya Murbawati menjadi masalah bagi pelayan setianya Gila Tuak, yaitu Pujangga Kramat, maka Betari Ayu segera mengutus Dewi Murka untuk menyelesaikan secara baik-baik. Bilamana perlu meminta maaf atas kesan buruk yang dilakukan Murbawati sebagai pencuri kata. Sekalipun sebenarnya Betari Ayu memahami maksud hati Murbawati yang terpikat oleh sebentuk ketampanan seorang pemuda, namun sikapnya yang mengendap-endap dan bersembunyi itu dianggap salah oleh Betari Ayu.
Dengan diutusnya Dewi Murka untuk menyelesaikan masalah dengan pihak Gila Tuak, ini merupakan kebanggaan yang amat menggembirakan hati Dewi Murka. Karena, menurutnya tugas ini sudah merupakan pertanda akan adanya kepercayaan dari Nyai Guru kepadanya. Tidak menutup kemungkinan lagi bahwa kelak Dewi Murka lah yang dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit, dan berhak pula memiliki Kitab Wedar Kesuma. Itulah sebabnya Dewi Murka sangat bersemangat memacu kudanya menuju Jurang Lindu.
Tetapi ketika kuda melewati kaki bukit cadas yang tak seberapa tinggi itu, mendadak kaki kuda menyentak ke atas bagian belakangnya. Keras sekali sentakan itu, sehingga tubuh penunggangnya pun jatuh terpental ke depan bersama ringkik suara kuda. Beruntung gerakan naluri Dewi Murka cukup tajam, sehingga pada waktu ia melayang karena dibuang oleh kudanya, tubuh langsing itu segera menguasai keseimbangan. Bersalto satu kali dan segera mendarat ke tanah dengan kaki tegak berdiri kokoh berpijak. Kedua tangannya segera mengambil sikap menunggu serangan berikutnya.
Tapi sampai beberapa saat lamanya Dewi Murka menunggu dengan mata memandang tajam ke sekelilingnya, ternyata tidak ada sesuatu yang tampak mencurigakan yang akan membahayakan dirinya.
"Aku merasakan ada pukulan dari jarak jauh yang menghantam pantat kudaku," pikir Dewi Murka dengan tetap waspada. "Tetapi penyerang gelap itu tidak segera menyerangku lagi. Apa maksudnya dia begitu? Siapa dia sebenarnya?"
Sambil bicara dalam hati, Dewi Murka segera mendekati kudanya yang masih sedikit liar akibat pukulan gelap tadi. Dewi Murka segera berhasil memegangi tali kekang kuda dan mengusap-usap bagian tengah kepala kuda agar sang kuda menjadi tenang.
"Tenang, tenang...," katanya pelan kepada sang kuda, "Dia pasti akan menampakkan diri. Tak mungkin dia membiarkan aku lolos. Kita tunggu saja di sini sambil beristirahat sebentar, Kliwon!" seraya ia menyebutkan kudanya.
Kliwon memang menjadi tenang setelah diusap-usap beberapa kali oleh penunggangnya. Tetapi baru saja kuda itu tampak tenang, kali ini kaki kuda menjadi tersentak ke depan dan naik tinggi-tinggi sambil meringkik beberapa kali. Sentakan kaki depan kuda hampir saja mengenai wajah Dewi Murka kalau saja ia tidak segera mundur dengan melompat dua langkah.
Satu hal yang membuat Dewi Murka terkejut adalah putusnya tali kekang kuda. Tali itu putus hampir di dekat bagian yang digenggam tangan kanan Dewi Murka, Putusnya tali itu menimbulkan asap yang menandakan adanya sebuah pukulan tenaga dalam berapi yang dilancarkan dari salah satu sisi. Pukulan itu mengenai tali kuda. Serentak mata Dewi Murka terbelalak setelah ia segera menyadari akibat dari pukulan tersebut. la mengenali pukulan itu.
"Tapak Merpati Murka'...!" gumamnya menyebut nama pukulan jarak jauh tersebut. "Pasti ada orang Merpati Wingit di sini. Karena pukulan 'Tapak Merpati Murka' hanya dimiliki orang-orang Perguruan Merpati Wingit. Hmmm... siapa gerangan orang yang menggunakan pukulan berbahaya itu untuk menyerangku. Jelas, ini bukan serangan main-main. Ini sudah merupakan serangan yang bermaksud jahat."
Dewi Murka segera memejamkan mata dengan kedua tangannya saling bertaut di depan dada. Beberapa saat kemudian, sepertinya ia telah menemukan sesuatu yang dicarinya. Seketika itu tangan Dewi Murka menyentak ke depan, tertuju pada gugusan batu cadas yang ada di lereng bukit. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup tinggi dilancarkan.
Wuuugh...! Blaarrr...!
Gugusan batu cadas yang cukup besar itu pecah karena dihantam pukulan tanpa wujud itu. Dari gugusan tersebut segera muncul sesosok tubuh bergerak lincah, melenting tinggi dan bersalto di udara dua kali. Sosok itu dalam sekilas menampakkan warna merah dadu, dan segera mendarat dalam jarak sepuluh tombak dari tempat Dewi Murka berdiri.
"Oh, kau rupanya?!" Dewi Murka sedikit terperanjat dan segera mundur satu tindak. la sangat mengenali penyerang gelapnya itu, yang tak lain adalah Selendang Kubur. "Apa maksudmu menyerangku, Selendang Kubur?!" ketus suara Dewi Murka dengan sikap tetap siaga menerima pukulan sewaktu-waktu. Matanya pun memandang tajam berkesan bermusuhan.
Selendang Kubur hanya memandang dengan sinis, demikian pula senyumnya yang tipis menandakan senyum kesinisan. "Serahkan tugas itu kepadaku, Dewi Murka. Guru telah salah memilih orang untuk melaksanakan tugas bertemu dengan si Gila Tuak. Guru terpengaruh oleh kata-katamu yang suka memuji diri sendiri itu."
Dewi Murka memperdengarkan suara tawanya yang kecil dan berkesan mengejek. Setelah itu ia pun berkata dengan ketus. "Guru bukan orang bodoh, ia tidak mungkin mengutus muridnya yang masih hijau untuk berurusan dengan tokoh tua itu."
Selendang Kubur menggeram menahan kemarahannya. la membatin. "Usianya memang tiga tahun lebih tua dariku, tapi tidak layak ia mengatakan aku sebagai murid yang masih hijau. Agaknya mulut perempuan licik ini perlu diberi pelajaran...!"
Pelan-pelan Selendang Kubur menarik selendang putihnya sehingga terlepas dari pinggang. Melihat gerakan seperti itu, Dewi Murka mulai bersiap mencabut trisulanya dari pinggang, karena lepasnya selendang putih dari pinggang merupakan tantangan maut buat dirinya, karena memang begitulah kebiasaan Selendang Kubur jika hatinya mempunyai niat bertarung dengan siapa pun.
"Kuperingatkan satu kali lagi, Dewi..., menyingkirlah dan serahkan tugas itu padaku. Aku lebih mampu menghadapi sikap si Gila Tuak jika sewaktu-waktu ia bertindak keras."
"Dugaanmu salah, Selendang Kubur. Si Gila Tuak tidak akan bertindak keras kepada siapa pun, selama ia tidak melihat sikap kita berniat kurang ajar padanya."
"Tapi aku punya rencana sendiri dalam tugas ini!" ucap Selendang Kubur dengan nada dingin.
Senyum sinis Dewi Murka kembali mekar di sudut bibirnya yang mungil namun tampak judes itu. "Aku tahu, ada sesuatu yang membuatmu penasaran, Selendang Kubur. Rencana tersendiri yang kau maksudkan itu tak lain ingin melihat dengan jelas, seperti apa murid si Gila Tuak yang menurut pengakuan Murbawati sebagai pemuda tampan memikat hati itu!"
"Jahanam!" geram Selendang Kubur. Kemudian mulutnya terkatup rapat, hatinya berkata, "Dia tahu jalan pikiranku. Ah, aku harus bisa menutupi niat kecilku itu. Aku tak boleh kelihatan terlalu penasaran ingin melihat murid si Gila Tuak yang kata Murbawati mempunyai daya tarik begitu kuat dan amat mempesona hati itu. Atau, barangkali di dalam hati kecil Dewi Murka juga mempunyai niat yang sama dengan niat hati kecilku ini?"
Dewi Murka sendiri berkata dalam hatinya, "Celaka. Kurasa dugaanku itu benar. Buktinya Selendang Kubur tidak membantah tuduhanku. Rupanya apa yang terpikir dalam otakku, terpikir pula dalam otaknya. Kabar tentang adanya murid Gila Tuak itulah yang membuatku lebih bersemangat lagi menunaikan tugas ini. Aku juga ingin membuktikan kebenaran kata Murbawati tentang Suto Sinting yang mempunyai wajah menggetarkan hati setiap perempuan itu. Aku punya rencana sendiri jika kata-kata Murbawati itu memang benar. Tapi, ah... sayang Selendang Kubur ini berdiri sebagai calon penghalang utamaku. Haruskah aku menyingkirkannya dengan sebentuk kematian?!"
Sepertinya percakapan batin mereka saling didengar oleh lawannya, sehingga Selendang Kubur pun segera berkata, "Rupanya kita punya maksud yang sama, Dewi. Maksud pribadi yang terlepas dari urusan perguruan ini memang ada baiknya kita selesaikan dengan cara kita sendiri!"
"Apa maumu, Selendang Kubur?! Jangan pikir aku akan mundur setapak pun menghadapi kecuranganmu ini!"
"Sangat kebetulan jika kau tak mundur setapak pun, itu akan memudahkan diriku untuk membunuhmu dengan cepat, Dewi!"
Dan tiba-tiba sebelum Dewi Murka mengatakan sesuatu, selendang putih di tangan Selendang Kubur itu berkelebat cepat menghantam ke arah dada Dewi Murka. Kibasan selendang itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tidak kecil, sehingga Dewi Murka segera melompat ke kanan menghindarinya. Serta-merta tubuh Dewi Murka meluncur bagaikan terbang dengan ujung trisulanya mengarah ke tubuh Selendang Kubur. Gerakannya begitu cepat, sampai-sampai Selendang Kubur nyaris tertikam ujung trisula yang memancarkan udara panas dalam jarak satu depa di depannya.
"Hiaaat...!" Selendang Kubur melesat naik bagaikan terbang. Ketinggiannya melebihi tubuh Dewi Murka yang melayang menembus tempat kosong di bawahnya. Seketika itu pula kaki Selendang Kubur dijejakkan ke bawah, tepat mengenai punggung Dewi Murka dengan kerasnya.
Bukkk...!
"Uuhg...!" Dewi Murka sempat memekik tertahan dan segera berguling di tanah. Hampir saja tubuhnya membentur batu runcing ketika dijejali punggungnya dari atas tadi. Saat berikutnya, Dewi Murka telah mampu berdiri dengan kedua kaki sedikit merendah. Trisulanya terangkat ke atas, sejajar dengan pundak kanannya. Rasa nyeri di punggung bisa dihilangkan dengan menahan napas beberapa saat dan menghembuskannya pelan-pelan. Kini mata Dewi Murka memandang lebih tajam lagi ke arah Selendang Kubur. Kemudian ia menyentakkan trisulanya ke depan.
Wuuugh...!
Ujung trisula mengeluarkan gelombang hawa panas yang diperkirakan dapat membakar selendang putih itu. Tetapi, Selendang Kubur justru mengibaskan selendangnya ke depan dengan melancarkan tenaga dalamnya yang mengandung gelombang dingin. Akibatnya, kedua pukulan tenaga dalam yang tersalur melalui senjata masing-masing itu bertemu di pertengahan jarak dan menimbulkan bunyi teredam yang cukup jelas.
Dubbb...! Blaarrr...!
Suara ledakan pun menyusul. Tabrakan dua tenaga dalam bergelombang berlawanan itu mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak. Bebatuan kecil berguguran dari lereng bukit, daun-daun berjatuhan dari atas pohon, seakan tanah di sekeliling mereka berdiri mengalami guncangan gempa yang lumayan keras, kuda pun meringkik ketakutan.
Tetapi kedua murid Betari Ayu itu sama-sama berdiri tak bergerak. Mata mereka tetap saling pandang dan tangan mereka tetap bersikap seperti tadi. Makin lama semakin terlihat jelas, kedua lutut mereka sama-sama bergerak ke bawah pelan-pelan. Beberapa jurus kemudian keduanya sama-sama jatuh terlutut di tanah. Tubuh mereka mulai kelihatan sama-sama lemah. Dari hidung Dewi Murka mengalir darah segar. Sedikit namun jelas terlihat oleh mata Selendang Kubur. Sedangkan mata Dewi Murka pun melihat jelas pula adanya darah segar yang mengalir dari mulut Selendang Kubur bagian sudutnya.
Rupanya mereka sama-sama menahan hawa aneh yang melesat ke segala arah akibat benturan dua tenaga dalam mereka. Hawa aneh itu menghantam dada masing- masing dan sempat membuat luka di bagian dalam tubuh mereka. Sekalipun luka itu tak seberapa, namun mereka sama-sama sadar jika hal itu diteruskan akan membuat mereka sama-sama tewas tanpa hasil. Alias mati konyol. Namun apakah mereka mau berdamai jika pikiran mereka diliputi oleh kepentingan pribadi masing-masing?
* * *
EMPAT
JIKA bukan orang berilmu tinggi, tak akan mampu menembus curah air hujan yang begitu derasnya. Di dalam gua, di balik curah air terjun raksasa itulah Suto digodok bertahun-tahun oleh si Gila Tuak. Anak itu tak akan bisa keluar dari gua sebelum mencapai ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam yang cukup kuat. Karena tanpa kekuatan tersebut, Suto tak akan bisa menembus curah air terjun raksasa itu.
Gua di balik air terjun tersebut, bukan gua sembarang gua. la memiliki mulut yang kecil, hanya cukup untuk satu orang dan tak bisa terlihat dari luar air terjun. Setiap orang yang melompat masuk menembus air terjun itu harus tepat tiba di bibir mulut gua. Jika tidak, maka ia akan jatuh tergelincir dan menjadi santapan batu-batu runcing di bawahnya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa tidak semua orang bisa mencapai mulut gua.
Memang mulut gua itu sempit, namun di bagian dalamnya cukup lega dan luas. Mempunyai lapisan tanah bersusun-susun. Mempunyai kedalaman yang lebih dari seratus langkah terhitung dari mulutnya. Dan mempunyai langit-langit yang tinggi, lebih dari sepuluh tombak tingginya.
Di setiap sisi dinding gua terdapat obor-obor penerang yang bahan bakarnya terbuat dari minyak kelapa. Lebih dari tiga puluh obor mengelilingi dinding gua, dan lebih dari dua puluh lampu minyak berukuran kecil yang mengelilingi tanah datar sebagai tempat berlatih gerakan jurus-jurus maut si Gila Tuak.
Tetapi kali ini Suto tidak melakukan gerakan jurus-jurus maut tersebut. Suto dibiarkan duduk bersila dengan dikelilingi nyala dian kecil. Si Gila Tuak sengaja duduk di sebuah balai-balai bambu sambil sesekali menenggak tuaknya.
Rupanya ia baru saja bangun dari tidurnya. Dan, rupanya sudah sejak tadi Suto dibiarkan duduk bersila dengan kedua mata terpejam. Jelas hal itu sudah lama dilakukan oleh Suto karena sekujur tubuhnya berkeringat. Baju yang dilepaskan dari awal semadinya itu menampakkan punggung lebar dan kekar itu berkilauan oleh butir-butir keringatnya. Ada perasaan bangga di hati si Gila Tuak memandang ketekunan muridnya. la terkekeh sendiri setelah meneguk tuaknya untuk yang kesekian kali. Dalam hatinya ia berkata,
"Tiga hari sudah kubiarkan dia duduk di situ. Rupanya belum juga ia berhasil menyelesaikan tugasnya. Tapi kulihat ada kemauan keras pada dirinya untuk memburu tugas yang diberikan. Dia dalam kesulitan menyelesaikan tugasnya, namun dia tidak mau menyerah. Sayang, keadaan tidak bisa menunggu menyerah dirinya. Aku harus membangunkan semadinya!"
Serta-merta si Gila Tuak melemparkan sekeping logam bekas patahan ujung tombak. Benda itu runcing dan meluncur cepat tak dapat terlihat oleh mata telanjang. Benda itu akan menancap di punggung Suto yang berkulit sawo matang.
Zingng...! Tappp...!
Tangan Suto berkelebat ke belakang tanpa berpaling sedikit pun. Benda yang melayang itu ditangkap dengan tangannya. Kemudian tangan itu bergerak menyentak pelan, namun membuat benda yang ditangkapnya kembali melesat lebih cepat dari gerakan terbangnya yang tadi.
Crangng!
"Ait...!" si Gila Tuak melompat dari tempat duduknya. Hampir saja benda itu mengenai pundaknya kalau tidak segera berkelit ke kiri dan melompat turun dari balai-balai bambu.
"Konyol!" geram hati si Gila Tuak. "Dia selalu membalikkan seranganku. Lebih cepat dari dugaanku semula. Dan, kali ini aku tak menyangka kalau dia akan membalikkan benda itu. Untung sisa kegesitanku masih ada, sehingga benda itu menancap pada dinding batu. Kalau tidak, bisa jadi pundakku ditembus oleh benda itu. Cukup bagus juga sentakan tenaga dalamnya. Dalam gerakan tangan pelan sudah dapat membuat benda besi itu meluncur melebihi kecepatan lemparanku tadi. Hmmm... agaknya bocah tanpa pusar itu memang mempunyai kelebihan dalam kekuatannya. Mungkin juga pengaruh jurus-jurus pernapasan yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepadanya, sehingga menghasilkan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang ada padaku maupun pada Bidadari Jalang."
Dengan langkah seenaknya si Gila Tuak mendekati sang murid. Matanya memandang tajam dan penuh curiga. Karena pada saat itu, Suto tidak segera menyelesaikan semadinya, melainkan melanjutkan semadinya dengan cara memejamkan mata, dan kedua tangan tetap terletak lurus di kedua lututnya yang bersila. Kedua tangan itu sama-sama menggenggam walau tak terlalu kencang.
"Suto, berhentilah! Aku mau bicara padamu!"
Suto masih diam, sepertinya tidak mendengar ucapan sang Guru. Tiga kali kata-kata itu dilontarkan dengan nada semakin keras, tapi Suto tetap diam tak bergerak sedikit pun kecuali pernapasannya.
"Keras kepala kau ini, hah?!" bentak si Gila Tuak.
Suto masih tidak bergeming bagaikan patung batu. Gila Tuak bergerak ke depan, jaraknya tujuh langkah dari tempat Suto bersila. Dengan jengkel ia lemparkan tongkatnya ke arah dada Suto. Tongkat itu meluncur dengan ujung bagian bawahnya terarah ke dada Suto seperti anak panah. Tiba-tiba Suto menggerakkan tangan kanannya. Dua jari terbuka keras dan berhasil menahan ujung tongkat yang melesat cepat.
Tappp...! Tongkat tertahan dua jari Suto. Mata Suto tetap terpejam. Kemudian, kedua jari itu bergerak menyentak ke depan dengan pelan. Wuugh...!
Tongkat melesat berbalik ke asalnya dalam keadaan tetap mendatar di udara bagaikan anak panah. Namun kali ini gerakan tongkat begitu cepatnya sehingga si Gila Tuak terperanjat terkesima. la tak menyangka Suto akan mengembalikan tongkatnya dalam satu sentakan jari yang pelan, namun menghasilkan kekuatan tampar cukup besar. Kepala tongkat meluncur ke arah dada Gila Tuak. Mau tak mau sang Guru segera berkelit ke samping dan tongkatnya kembali membentur dinding batu.
Duaaang...!
Gua tersebut bagai ditabrak seribu banteng. Berguncang menggetarkan semua obor dan benda-benda yang menempel di dinding. Salah satu obor jatuh. Obor itu ada di belakang Gila Tuak. Apinya nyaris menyambar ujung jubah Gila Tuak. Cepat-cepat kakek berjubah kuning itu melompat sambil berteriak antara kaget dan jengkel.
"Kucing Kurap! Semut Bunting!" makinya sambil mengibas-ngibaskan api yang hendak membakar ujung jubahnya. Getaran dinding gua berhenti. Obor yang jatuh dipasang kembali. Mata si Gila Tuak memandang curiga kepada muridnya. Tongkatnya diambil dan digenggam dengan tangan kiri. Hatinya berkata,
"Ada yang tidak beres pada dirinya. Hmmm... ada apa sebenarnya? Dia kusuruh mencoba mencari Pusaka Tuak Setan yang kusembunyikan, namun kenapa sampai tiga hari belum selesai juga? Padahal seharusnya dia mempunyai tali hubungan dengan Pusaka Tuak Setan, karena semua ilmuku sudah kuturunkan padanya."
Si Gila Tuak tak berani mengganggu semadinya Suto lagi. Tapi ia duduk di sebuah batu datar yang ada di depan Suto, berjarak empat langkah darinya. la bakal menunggu sadarnya Suto dari semadi. la duduk sambil sesekali menenggak tuak dari dalam guci besar yang tadi diambilnya dari pembaringan bambu. Beberapa saat lamanya setelah menunggu, akhirnya si Gila Tuak membangunkan semadi Suto melalui suara batinnya.
"Suto, bangunlah. Buka matamu!"
Maka, pelan-pelan Suto membuka matanya. Seketika itu terperangah kaget wajah si Gila Tuak melihat kedua mata Suto berdarah. Darah itu mengalir dari balik kelopak mata, membasahi pipi Suto bagaikan air mata seorang lelaki. Dahi Gila Tuak berkerut tajam dengan mata tak berkedip memandangi muridnya.
"Apa yang terjadi, Suto!" sentak si Gila Tuak.
Suto menarik napas panjang, kemudian menjawab, "Tidak apa-apa, Kakek Guru," sambil ia mengusap air yang meleleh dari matanya. Tetapi, rupanya Suto sendiri tidak menyadari adanya darah yang keluar dari kelopak matanya. la terkejut ketika melihat tangannya berlumur darah setelah mengusap pipinya. Mata itu segera memandang gurunya dengan tajam dan tegang.
"Apa yang terjadi pada diri saya, Guru?!" ia justru balik bertanya, membuat si Gila Tuak menjadi kebingungan menjawabnya.
Segera sang murid didekati. Gila Tuak memeriksa mata muridnya dengan bersimpuh di depan sang murid. Darah yang keluar dari mata Suto dipegangnya, diremas-remas dengan kedua jari, bahkan diciumnya sesaat. Kemudian, tampak kepala si Gila Tuak mengangguk-angguk kecil seperti menemukan sesuatu dalam hatinya.
"Guru, mengapa kedua mata saya mengucurkan darah? Apakah saya terkena pukulan tenaga dalam dari luar gua?"
"Tidak! Kau menangis!" jawab si Gila Tuak sambil berdiri untuk mengambil kain pembersih.
Sementara itu, Suto menjadi terbengong mendengar jawaban tersebut. "Saya menangis, Guru?!"
"Ya. Itu disebabkan karena perasaanmu telah bekerja sebegitu kuatnya, hingga tangismu bukan lagi tangis air mata, melainkan tangis darah."
Gila Tuak mendekati kembali sambil melemparkan kain pembersih. Suto menangkapnya, lalu membersihkan darah dari wajahnya, juga dari kedua sudut matanya. Telinganya masih mendengar gurunya berkata,
"Pasti kau telah melakukan pengembaraan sukma terlalu jauh. Kau hanya kuperintahkan untuk mencari di mana Pusaka Tuak Setan itu kusembunyikan. Tugas itu kuberikan padamu untuk mengetahui apakah kau mempunyai tali hubungan dengan pusaka leluhurku itu atau tidak. Jika kau punya hubungan batin dengan pusaka itu, berarti kau akan mampu menghancurkan pusaka tersebut. Tetapi jika kau tidak punya hubungan batin, kau tidak akan bisa menghancurkan pusaka Tuak Setan."
Gila Tuak duduk kembali ke batu yang tadi. Suto selesai mengeringkan darah dari sudut matanya. Pandangan matanya tetap terang, tidak mengalami buram sedikit pun. Gila Tuak berkata dengan tegas.
"Tapi rupanya sukmamu tidak mencari tempat persembunyian Pusaka Tuak Setan, melainkan mengembara ke mana-mana! Itu aku tidak suka, Suto! Aku kecewa dengan sikapmu!"
"Saya sudah menemukan dimana pusaka itu disembunyikan Kakek Guru!" kata Suto juga dengan tegas.
"Di mana?" pancing Gila Tuak.
"Di sebuah telaga, di bagian dasar telaga itulah guci Tuak Setan terkubur!"
Mulut si Gila Tuak terbungkam. Hatinya berkata, "O, kalau begitu dia memang sudah menemukan Pusaka Tuak Setan. Dia punya tali hubungan batin. Dialah yang bisa menghancurkan pusaka itu dengan kekuatan batinnya. Bagus kalau begitu adanya!"
Terdengar suara Suto menuntut kepastian, "Apakah penglihatan sukma saya salah, Kek?"
"Tidak. Sukmamu telah menemukan kuburan Pusaka Tuak Setan itu. Tapi, mengapa kau sampai mencucurkan air mata berdarah, Suto? Apa yang telah terjadi pada sukmamu?"
Suto bangkit, berjalan mendekati bumbungnya. la menenggak beberapa teguk tuak dari bumbung tersebut. Setelah itu ia kembali mendekati gurunya sambil masih memegangi bumbung dari bambu pilihan itu. "Kakek Guru, sejujurnya saya katakan, sukma saya telah bertemu dangan seorang wanita cantik yang sangat menarik hati. Wanita itu berwajah duka. Saya kasihan sekali padanya. Tapi dia tidak mau menyebutkan apa penyebab dukanya itu. Dia sempat menangis ketika jatuh dalam pelukan saya, Kek. Dan saya biarkan dia menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada saya. Hati saya menjadi turut berduka, seakan merasakan kesedihan yang lebih dalam dari kesedihan yang disandangnya. Apa artinya itu, Kek?"
Si Gila Tuak terkekeh-kekeh menertawakan kata-kata Suto. Sang murid menjadi berkerut dahi ditertawakan demikian. Hatinya menjadi dongkol dan ingin berontak karena merasa dilecehkan oleh sang Guru. Beberapa saat setelah sang Guru puas tertawa, ia pun berkata,
"Itulah perempuan yang bakal menjadi jodohmu kelak, Suto. Rupanya sukmamu yang nakal menerobos sejarah hidupmu di masa mendatang, dan menemukan wanita yang menjadi jodohmu."
"Begitukah?"
"Ya," jawab Gila Tuak sambil melirik ke samping, memandangi sang murid yang termenung dengan dahi masih berkerut.
"Siapa nama perempuan itu, Suto?" tanya Gila Tuak setelah menenggak tuaknya kembali.
"Namanya...?" Suto semakin mengerutkan dahinya, mengingat-ingat sebuah nama. Sejurus kemudian ia pun menjawab dengan nada jelas. "Dyah Sariningrum, itu namanya!"
Sambil tetap tersenyum, si Guru menggumamkan nama itu, "Dyah Sariningrum...?! Bagus sekali nama itu. Cantik sekali!" Gila Tuak manggut-manggut.
"Wajahnya juga cantik, Kakek Guru. Lebih cantik dia daripada Bibi Guru Bidadari Jalang."
"Ssst ...! Jangan keras-keras. Kalau kebetulan bibi gurumu ada di sekitar sini dan dia mendengar, dia bisa melabrakmu! Dia tidak pernah mau kecantikannya dikalahkan oleh perempuan mana pun juga!"
Suto hanya tersenyum malas-malasan. Ini pertanda otaknya masih tertuju pada seraut wajah cantik yang ditemukan dalam pengelanaan sukmanya tadi. Karena itu, Suto pun segera bertanya, "Apakah benar Dyah Sariningrum itu calon jodoh saya, Kek? Apakah bukan sekadar calon teman biasa?"
"Jika ia calon teman biasa, tangismu tak akan berupa darah. Aku tahu, tangis itu tangis kesedihan yang sesungguhnya milik Dyah Sariningrum. Jika sampai kau mencucurkan air mata berdarah, itu pertanda kesedihan yang dialami Dyah Sariningrum sungguh besar dan dalam sekali. Jika tak begitu besar kesedihan itu, tak akan kau mencucurkan air mata darah, Suto."
Kepala pemuda tanpa pusar itu manggut-manggut sambil menggumam. Lalu, ia kembali bertanya, "Di mana saya bisa menjumpainya, Kek?"
"Di suatu tempat. Tak ada yang tahu dengan pasti. Hanya dirimu yang mengetahuinya. Tapi percaya saja padaku, tanpa kau cari dia akan bertemu denganmu, karena dia adalah jodohmu."
"Tapi saya tak sabar ingin segera menemuinya, Kek!"
"Berlatih sabar adalah hal yang baik dalam hidupmu, Suto. Jangan memburu nafsu pribadi. Itu justru akan mencelakakan dirimu," kata si Gila Tuak sambil menatap tajam pada muridnya. Sambungnya lagi. "Sekarang tugasmu yang utama harus menghancurkan Pusaka Tuak Setan itu! Musnahkan pusaka itu, supaya tidak menjadi sumber bencana bagi sesama manusia, juga sesama makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa."
"Baik. Saya sudah paham dengan maksud Kakek Guru. Tapi, di mana letak telaga yang dipakai mengubur pusaka itu, Kek?"
"Namanya Telaga Manik Intan. Letaknya ada di sebelah barat pegunungan Suralaya."
"Ya. Saya paham, Kek. Tapi ada satu hal yang belum saya mengerti, tentang adanya benda berkilauan yang terlihat oleh mata sukma saya ketika menemukan Tuak Setan itu. Benda tersebut ada di samping Guci Tuak Setan. Benda apakah itu sebenarnya, Kek?"
"Kau melihatnya dengan jelas?"
"Tidak terlalu jelas."
Si Gila Tuak mengangguk-angguk sambil menggumam. "Benda itu milik bibi gurumu. Benda itu adalah sebuah cincin. Namanya Cincin Manik Intan, warnanya putih berkilauan. Batu cincin itu warisan dari guru bibi gurumu yang bernama Eyang Nini Galih. Batu Cincin Manik Intan itu konon terbentuk dari tetesan air mata Bidadari yang sedang memendam murkanya begitu hebat, hingga hanya bisa menangis."
"Apa keistimewaan batu itu, Kek?"
"Sangat berbahaya jika dipakai oleh orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu amarahnya. Batu itu bisa memancarkan kekuatan dahsyat hanya dengan menyalurkan tenaga dalam melalui cincin tersebut. Tenaga dalam sekecil apa pun jika tersalur lewat batu itu akan berubah menjadi tenaga dahsyat yang mampu melelehkan baja setebal satu depa."
"Dahsyat sekali!" gumam Suto kagum.
"Ya. Tapi dulu bibi gurumu pernah menggunakan cincin tersebut. Sayangnya dia tidak bisa mengendalikan kemarahan. Cincin itu memancarkan kekuatan dahsyatnya tanpa terarah pada saat bibi gurumu sedang memendam kemarahan. Ke mana pun gerakan tangan yang mengenakan cincin itu telah mengeluarkan kekuatan dahsyat dan menghantam apa saja yang ada di depannya. Banyak korban tak bersalah menjadi sasaran tenaga dalam yang keluar melalui cincin tersebut."
"Lalu, mengapa Bibi Guru menguburnya di dasar telaga juga?"
"Aku membujuknya agar ia tidak memakai cincin itu lagi. Karena pada saat itu, nyawaku sendiri hampir saja menjadi korban tak bersalah. Akhirnya, bibi gurumu mau menguburkan cincin itu asalkan aku mau menguburkan satu-satunya pusaka andalan yang kumiliki. Kami pun bersepakat, aku menguburkan Tuak Setan dan bibi gurumu menguburkan Cincin Manik Intan. Kedua pusaka itu sangat berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Aku sendiri tidak berani menggunakan Tuak Setan, karena aku khawatir malah nantinya menjadi penyebar bencana di seluruh pulau Jawa."
Alangkah hebatnya kedua pusaka tersebut. Dengan menenggak habis Tuak Setan, napas orang yang meminumnya dapat mendatangkan badai yang begitu dahsyatnya hingga bisa menyapu permukaan pulau Jawa. Tentu saja kedua pusaka tersebut menjadi bahan incaran para tokoh dunia persilatan, terutama tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dugaan Suto itu memang benar. Sebab, pada saat percakapan itu terjadi, sebenarnya ada beberapa pasang telinga yang mencuri dengar melalui kekuatan telinga dalamnya. Mereka ada di luar gua, bahkan ada yang jauh dari gua, namun dengan suatu ilmu kekuatan batin mereka mampu mendengar percakapan tersebut.
Karena pada saat selesai berbicara tentang Cincin Manik Intan, tiba-tiba si Gila Tuak menutup mulutnya sendiri. Wajahnya berubah menjadi tegang dan cemas.
"Ada apa, Guru?" tanya Suto.
"Ada yang mencuri percakapan kita," jawabnya dengan pelan tapi mengandung ketegasan yang menegangkan. Lalu, Gila Tuak berkata, "Lekas, pergilah ke Telaga Manik Intan, hancurkan kedua pusaka itu sebelum mereka lebih dulu menemukannya!"
"Baik, Guru. Tapi bolehkah saya tahu, mengapa bukan Kakek Guru sendiri yang turun tangan dalam hal ini?"
"Kalau aku yang menghancurkan pusaka Tuak Setan, aku akan mati. Karena itu warisan untukku yang tidak kusukai. Tapi jika kau yang menghancurkan, aku tetap hidup. Artinya, tidak mati karena hancurnya Pusaka Tuak Setan. Ditambah lagi, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan turun ke rimba persilatan lagi jika aku sudah mempunyai murid tunggal. Aku hanya akan turun kembali ke dunia persilatan jika dalam keadaan yang benar-benar terpaksa, demi menyelamatkan banyak manusia. Jadi, kurasa sekaranglah saatnya kau muncul di permukaan rimba persilatan untuk menjadi wakilku!"
"Saya mengerti, Guru!"
"Kerjakan!"
* * *
LIMA
DUA perempuan itu bersalto ke belakang secara bersama-sama. Bukan karena benturan pukulan mereka melainkan karena adanya pukulan berbahaya yang dilancarkan dari jarak jauh oleh lelaki bertubuh sedikit gemuk, mengenakan baju merah dan celana hitam dengan ikat pinggangnya yang hitam juga itu. Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan Selendang Kubur sedang berkelahi mempertahankan keinginan masing-masing untuk menemui si Gila Tuak. Tetapi ketika mereka sedang bertempur, tiba-tiba saja mereka merasakan adanya serangan dari pihak ketiga.
"Selendang Kubur, kurasa lebih baik kita bersama-sama menghadapi lelaki tambun itu! Dan nanti kita bersama-sama saja menghadapi si Gila Tuak!" ujar Dewi Murka mengajak berdamai.
"Aku mengerti, Dewi. Baiklah kalau kau menghendaki kita bersatu."
Mereka berdua memang tidak menyangka jika kehadirannya di Jurang Lindu akan disambut oleh sikap bermusuhan dari seorang lelaki yang dikenal dengan nama julukan Pujangga Kramat. Pelayan setia si Gila Tuak itu adalah orang yang mudah curiga. Tak satu pun manusia yang berada di sekitar wilayah air terjun itu yang luput dari sasaran kecurigaan.
Bahkan seorang penggembala kambing pun pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga penggembala kambing itu nyaris mati di tangan Pujangga Kramat. Dan, kali ini kehadiran Selendang Kubur serta Dewi Murka pun dianggapnya suatu niat yang jahat, walaupun di ujung pertemuan mereka berdua sudah menjelaskan akan bertemu dengan si Gila Tuak.
Tetapi, Pujangga Kramat itu berkata, "Tak punya bertemu waktu si Gila Tuak kalian kepada!"
Mulanya Selendang Kubur dan Dewi Murka sama-sama ingin tertawa geli mendengar kata-kata Pujangga Kramat. Tetapi mereka segera maklum, karena mereka pernah mendengar cerita dari Guru mereka, bahwa Pujangga Kramat adalah manusia yang tidak pernah benar dalam menggunakan tata bahasa. Kadang orang bingung mengartikan tiap ucapan kata Pujangga Kramat, yang menurutnya mempunyai seni sastra tersendiri.
"Kami datang dengan maksud baik," kata Dewi Murka.
"Peduli tak. Izin tak ada menerima tamu untuk si Gila Tuak dari," kata Pujangga Kramat.
Selendang Kubur berbisik kepada Dewi Murka, "Apa maksudnya?"
"Tak peduli. Tak ada izin dari si Gila Tuak untuk menerima tamu!"
"Ooo...," Selendang Kubur manggut-manggut. "Jika begitu, kita desak saja dia dengan rayuan."
"Lelaki macam dia sepertinya tak butuh rayuan wanita."
Belum sempat kedua perempuan itu berunding lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan nada membentak. "Ini tempat kalian tinggalkan segera! Di sekitar sini orang tak lain boleh ada. Si Gila Tuak mendidik sedang muridnya. Kuusir paksa kalian kalau segera tak pergi!"
"Kami tak akan pergi sebelum bertemu dengan si Gila Tuak!" kata Dewi Murka.
Maka, menyeranglah Pujangga Kramat dengan pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya. Berjumpalitanlah kedua perempuan itu ke belakang. Kini, kedua perempuan itu sama-sama rentangkan tangan siap hantamkan pukulan 'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat segera ambil sikap menyamping. Kedua kakinya merenggang rendah dengan kedua tangan diangkat setinggi pundak. Matanya tertuju tajam pada masing-masing perempuan yang bersebelahan itu. Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama memutar tubuh satu putaran dan kedua tangan mereka dihentakkan ke depan dengan keras.
Wuuggh...! Wuggh...! Duubh...!
Pukulan itu ditahan oleh Pujangga Kramat dengan menggunakan tenaga dalam dari kedua tangannya. Tetapi, agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang Merpati Liar' itu lebih besar kekuatannya, sehingga tubuh yang sedikit gemuk dan agak pendek itu terjengkang ke belalang, lima langkah jauhnya.
Brrukk...!
Tubuh Pujangga Kramat bagai hendak terbenam di dalam tanah. Napasnya menjadi sesak, matanya sempat mendelik. Namun buru-buru ia mengeraskan semua uratnya dan melesat cepat dengan menggunakan ke dua kakinya. Kini ia sudah kembali berdiri dengan wajah memerah.
"Gila. Cukup hebat juga orang ini. Dia mampu berdiri lagi dengan cepat setelah mendapat pukulan kita berdua!" kata Dewi Murka.
Selendang Kubur hanya tersenyum sinis. Segera ia melepas kain selendangnya seraya berkata pelan kepada Dewi Murka. "Biar kuhadapi dengan selendangku. Dia perlu mendapat pelajaran yang layak dari selendang ini!"
Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat kata, namun ia melangkah mundur beberapa tindak, membiarkan Selendang Kubur maju ke depan.
Pada saat itu, Pujangga Kramat berkata, "Aku salahkan jangan, jika melayang kau punya nyawa! Lagi sekali kuingatkan kamu, dari sini cepatlah pergi!"
Selendang Kubur sempat berpaling ke arah Dewi Murka dan bertanya, "Apa maksudnya?"
"Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja dia!"
Selendang Kubur mengangguk tanda setuju. la melangkah maju tiga tindak. Pujangga Kramat pun melangkah maju dengan bersiap mengirimkan pukulannya lewat kepalan tinjunya yang besar dan kekar. Namun sebelum tangan itu sempat bergerak melancarkan pukulan tenaga dalamnya, selendang putih berkelebat dengan cepatnya, bagai hembusan angin di siang hari bolong.
Wusss...! Srettt...!
Kain selendang menjerat lengan Pujangga Kramat. Kuat dan erat sekali lilitan kain selendang itu. Pujangga Kramat mengerahkan tenaganya untuk menarik selendang tersebut, sementara Selendang Kubur pun berusaha menarik selendangnya kuat-kuat. Keduanya saling beradu kerahkan tenaga. Keduanya sama-sama berkuda-kuda rendah dengan tangan gemetaran.
Selendang Kubur membatin, "Besar juga kekuatan orang ini. Biasanya tangan yang terlilit selendangku akan patah dalam satu hentakan. Tapi agaknya tangan orang ini cukup kokoh. Aku harus lebih mengerahkan tenaga lagi!" Maka memekiklah Selendang Kubur dengan suaranya yang nyaring. "Hiaaat....!"
la sentakkan tenaga lebih kuat lagi, dan tubuh Pujangga Kramat pun terlempar maju bagaikan terbang ke arah Selendang Kubur. Perempuan itu segera menyongsongnya dengan satu lompatan bertenaga.
"Heaaah...!"
Plak, plak...!
"Huggh...!"
Dua pukulan ganda dari tangan Selendang Kubur tepat telak di dada Pujangga Kramat. Lelaki yang mengenakan baju komprang tanpa dikancingkan bagian depannya itu tersentak mundur akibat pukulan telapak tangan Selendang Kubur. la jatuh berdebam ke tanah dan berguling-guling, seperti nangka busuk jatuh dari pohon.
Bluuugh...!
Lelaki berikat kepala kulit rusa itu menyeringai kesakitan. Namun seringainya hanya sebentar, karena ia telah menarik napas dalam-dalam menahannya beberapa saat. Rasa nyeri segera teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat di dadanya membekas dua telapak tangan merah memar, la segera membatin. "Hebat juga jurus perempuan itu! Kalau aku tidak mengerahkan tenaga perisaiku, pasti dada ini sudah jebol sampai kebelakang."
Selendang Kubur sendiri berkata kepada Dewi Murka saat berdiri di sampingnya. "Dia punya pelapis di dalam dadanya. Pasti dia melapisi dengan suatu gelombang berkekuatan baja. Mestinya dia punya dada sudah hangus dan terbakar, tapi nyatanya hanya membekas merah saja!"
"Apakah kau sudah menyerah?" tanya Dewi Murka berkesan mengejek. "Kalau kau sudah kewalahan menghadapi dia, biarlah aku yang maju!"
"Selendang Kubur tak pernah mengenal kata menyerah!" geram Selendang Kubur yang mempunyai nama asli Larasati.
"Kalau begitu, silakan kau lanjutkan pertarunganmu. Aku akan menjadi penonton yang baik." Dewi Murka tersenyum sinis, meremehkan kemampuan Selendang Kubur.
Tetapi sikapnya itu tidak dihiraukan oleh Selendang Kubur. Perempuan itu segera bergerak maju dengan selendang putih dikalungkan di lehernya. "Pujangga Kramat, satu kali lagi kau menentang kemauanku bertemu dengan si Gila Tuak, kupatahkan batang lehermu memakai selendang kuburku ini!"
Pujangga Kramat tertawa sedikit keras. la bertolak pinggang, seakan memamerkan dadanya yang tidak bisa dijebol oleh kekuatan pukulan lawannya. Lalu, Pujangga Kramat pun berkata, "Hebatnya apa selendang itumu?! Tak hebat adanya sama sekali!"
"Apakah kau tak melihat bekas telapak tanganku di dadamu?"
"Tak lihat kau pula bekas di tangan pergelanganmu?"
Selendang Kubur sedikit bingung mengartikan kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi Murka dan bertanya, "Apa arti kata-katanya?"
"Lihat pergelangan tanganmu!" kata Dewi Murka.
"Oh...?!" Selendang Kubur terpekik dalam hatinya. la melihat noda hitam menghangus di pergelangan tangan kirinya. Ternyata pada waktu terjadi bentrokan di udara tadi, Pujangga Kramat berhasil menotokkan jarinya ke pergelangan tangan Selendang Kubur. Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan darah, sehingga tidak mengakibatkan apa-apa kecuali bekas hangus, biru kehitam-hitaman pada kulit yang kuning langsat itu.
"Keparat!" geram hati Selendang Kubur. "Hampir saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat bekas seperti ini di kulit pergelangan tanganku. Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan membahayakan jika tidak diperhatikan!"
"He, he, he ... diam mengapa, Selendang Kubur? Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah sebaiknya sekarang kau juga, sebelum kujebol pusar dan lainnya pusarmu."
Geram hati Selendang Kubur bertambah mengganas. Maka, ia pun segera menarik selendangnya ke belakang dan melecutkannya dengan kaki menghentak ke tanah satu kali.
Wusss...! Dueaarr...!
Ujung selendang memercikkan api. Suara menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin selendang. Tubuh lelaki bergelang akar bahar terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai tepian tebing sungai. Pukulan yang bernama 'Selendang Petir' itu telah dilancarkan. Pujangga Kramat tidak menduga akan mendapat serangan sehebat itu. Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan berkekuatan besar.
Untung saja sikunya menghantam gugusan batu di tepi tebing sungai. Jika tidak, ia pasti telah terjun ke tebing sungai itu. Napasnya sendiri terasa bagaikan hilang dalam beberapa jurus. Ketika ia temukan lagi napasnya, ia terengah-engah dengan mata berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam penglihatannya itu.
"Samber gledek!" makinya dalam hati. "Untung ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku. Kalau saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur disambar ekor petir yang keluar dari ujung selendang keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku jadinya! Aku harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu perempuan itu bagaimana rasanya orang disambar angin petir."
Pujangga Kramat segera bangkit, tidak menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia maju satu langkah, tubuhnya terasa gontai. Agar tak kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur.
Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai kecamuk batin. "Orang ini manusia apa banteng?! Mestinya ia terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya rambutnya terbakar atau pakaiannya terbakar oleh percikan api dari pukulan 'Selendang Petir'ku tadi. Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia cukup mampu melapisi dirinya dengan kekuatan tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga rupanya."
Dari arah belakang terdengar Dewi Murka berkata merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur. "Kau ini mau bertarung apa menari? Sejak tadi tak ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu saja!"
"Diamlah kau!" sentak Selendang Kubur, tanpa memandangi Dewi Murka.
"Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau belajar dari jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti dia!"
Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan maju dua langkah dengan memutar-mutarkan kain selendangnya di atas kepala.
Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu sentakan kedua jari dari masing-masing tangannya.
Wuugh...!
Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar dari keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh Selendang Kubur. Tubuh tersebut pada mulanya terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya. Putarannya semakin kencang. Tubuh itu terangkat sedikit dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut terangkat dan berputar dengan kuat.
Wusss... wuuss... wuusss...!
Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan kekuatan yang memutarkan tubuh. Namun semakin dilawan terasa semakin cepat saja putaran tersebut. Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus yang cukup besar.
"Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu jika dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka yang tampak mau melawannya dengan kekuatan tenaga dalamnya.
Namun begitu mendengar kata-kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-kata itu. Maka ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat yang telah membuatnya seperti baling-baling. Bahkan kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika tangan Pujangga Kramat menghentak ke samping, bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh.
Buuk... buukkk ...!
Kedua tubuh perempuan itu berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak mampu bergerak untuk sesaat. la ditertawakan oleh Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba- tiba berhenti melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam sekejap.
"Edan! Perempuan itu tidak merasakan pusing sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan lurus!"
Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka. Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain selendangnya ke bagian kaki.
Wuusss...! Sreett...!
Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat, bagai terikat kuat dengan selendang putih itu.
Brukkk...!
Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki bergeleng akar hitam itu sempat menggeragap sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga merasakan tubuhnya mulai melayang.
Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh itu dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan cara memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia antara empat puluh tahunan itu dipakai mainan, diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin lama semakin cepat putarannya. Membentur pohon sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu. Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari selendang, maka tubuh itu akan meluncur cepat, terbuang entah ke mana dan jika membentur benda keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah. Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat menjadi panik. la memekik dengan suara mirip gaung sejuta kumbang.
"Waooow...!"
Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa pusing yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Selendang Kubur. Maka dengan cepat ia menghunus trisulanya. Gerakan tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan pucuk trisula. Jelas gerakan putar itu akan berhenti dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung trisula. Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka. Perempuan itu sempat terbengong melompong melihat tangannya kosong.
Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika melihat sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal selendang tanpa bandul apa pun yang dibawa berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk Selendang Kubur itu. Dewi Murka menahan tawa keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh Pujangga Kramat itu.
"Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu telah lenyap!" seru Dewi Murka.
Dan seruan itu didengar oleh Selendang Kubur. "Hah...?!" Selendang Kubur terkejut melihat ujung selendangnya telah kosong. Matanya terbelalak memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri dalam jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok yang ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua dengan celana putih. Rambutnya panjang sebatas punggung, lurus rapi, lembut gemulai.
Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian coklat dengan sebuah bumbung dari bambu yang ada di bagian punggungnya, melintang miring bagaikan sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.
Kedua perempuan itu memandang dengan mata tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan senyum di bibirnya, hati kedua perempuan tersebut menjadi berdesir, berdebar-debar penuh bunga-bunga indah bermekaran membuai jiwa.
Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur, "Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting itu!"
"Ya. Memang benar. Pasti dia. Ketampanannya sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih sekali.
"Paman Sugiri," kata Suto kepada Pujangga Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan biarlah urusan ini saya yang selesaikan."
"Baiklah, Suto," jawab Pujangga Kramat dengan suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan geli di hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.
"Pasti dia pusing akibat kau putar-putarkan!" bisik Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian Selendang Kubur telah kembali tertuju pada pemuda tampan itu.
Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan berwajah cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia melangkah mendekati mereka dan berhenti dalam jarak tiga langkah di depan mereka.
"Kaukah yang tadi mau membunuh Paman Sugiri, alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi Murka.
"Hmmm... maksudku... maksudku...."
Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba Suto yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat terpelanting nyaris jatuh ketika tangan kirinya berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.
Sreppp...! Jliiggg...!
Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke belakang, senyumnya kembali mekar indah mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu cepat. Bahkan Dewi Murka terbelalak kaget melihat trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi, persis pada tempat semula.
"Edan gerakannya! Melebihi angin menurutku. Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi Murka sambil mundur mendekati Selendang Kubur.
Suto berbalik arah. Kini ia berhadapan dengan kedua perempuan itu. Matanya yang memancar indah dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang diminumnya di dalam gua, telah membuat daya pikat tersendiri di hati kedua perempuan itu.
"Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa dengan Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung tuaknya untuk dilepas dari punggung.
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit," jawab Selendang Kubur. "Kami... kami... kami..,," ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang mata Suto menatap dengan kelembutan yang meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang Kubur merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya karena tatapan mata Suto, maka ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata lagi. "Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak, untuk menyampaikan permohonan maaf dari guru kami, Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari, yang membuat teman kami menderita sakit akibat pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat."
"Apakah temanmu itu juga seorang perempuan muda berkuda hitam?"
"Benar!" jawab Selendang Kubur.
"O, dia yang mencuri dengar percakapanku dengan guruku itu?"
"Buk... bukan... buk... bukan...," Dewi Murka ingin ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah lelaki yang belum pernah ia jumpai di mana pun juga. Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa melontarkan kata-kata dengan baik.
Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud temannya, "Temanku itu bukan menyadap percakapanmu dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu hanya... hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih jelas ketampananmu."
Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa terkekeh mirip orang tua, sambil berkata, "Jadi dia hanya ingin mengintip ketampananku? Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak bermaksud mencuri dengar pembicaraanku dengan Guru?"
"Tidak," jawab Selendang Kubur. "Kalau toh kami mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu suatu hal yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang ke sini untuk meluruskan salah duga antara pihak perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."
Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke pepohonan sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di sana. Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat cepat tak bisa ditangkap penglihatan bentuk dan wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan tersebut.
"Siapa namamu?" tanyanya kepada Selendang Kubur.
Yang ditanya menatap, dan bola matanya segera blingsatan karena hatinya makin berdebar pada saat beradu pandang. la tak berani terlalu lama beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan bisa bicara jika dalam keadaan beradu pandang. "Namaku Selendang Kubur," jawab Selendang Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka. Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku yang bergelar Dewi Murka."
"Bagus sekali. Nama kalian tak ada hubungannya dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila Tuak, telah menerima penjelasan dari pihak Merpati Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa lagi di antara kita."
"Kami memohon maaf jika sikap teman kami ini tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang Kubur dengan mata sengaja memandang ke arah gugusan batu di tanah lereng.
"Permintaan maaf kuterima," jawab Suto. "Tapi sikapmu bicara padaku masih kurang sopan."
"Harus bagaimana aku bicara padamu?"
"Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap yang sopan."
"Aku belum sanggup."
"Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka ini, sejak tadi sanggup menatapku."
"Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa padamu."
Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang Kubur. "Persoalan sudah selesai. Kalian boleh pulang."
"Tid... tidak... tidakkah... kam... kami...," Dewi Murka tak pernah mampu menyelesaikan kata-katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.
"Apa maksudmu?"
"Kam... kam... kam...."
"Kambing?" sahut Suto menerka.
Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat. Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip sejak tadi. "Ak... ak... aku... aku...."
"Sudahlah, jangan bicara," potong Suto. "Napasku bisa putus mendengar bicaramu! Sekarang, sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun akan segera pergi."
Selendang Kubur menatap sebentar, lalu memalingkan pandangan ke arah lain, sambil melontarkan pertanyaan. "Ke mana kau akan pergi? Ke Telaga Manik Intan?"
"Kau tak perlu tahu."
"Ak... aku...," Dewi Murka mencoba bicara lagi. "Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke... keadaan... bah... bah...."
"Bahagia?" sahut Suto.
"Bah... bah... bahaya...."
Serentak wajah Selendang Kubur berpaling menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu, Dewi?"
Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap memandang Suto. la berkata gagap lagi, "Tol... tolong... ak... aku.... Di punggung...."
Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah kian memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka. Ternyata punggung perempuan itu telah berdarah karena ditembus oleh sepucuk jarum besi sepanjang kelingkingnya.
"Dewi...?!" sentak Selendang Kubur dengan sangat terkejut.
Dewi Murka rubuh ke dada Suto. Wajahnya kian memucat. la telah menjadi salah sasaran dari seseorang yang ingin menyerang Suto dengan menggunakan jarum beracun.
* * *
ENAM
PADA saat Suto menenggak tuak dengan mendonggakkan kepalanya, pada saat itulah seseorang di balik persembunyiannya melepaskan jarum beracun ke arah Suto. Tetapi, bertepatan dengan itu pula tubuh Dewi Murka bergeser tanpa sadar menutup jalannya jarum beracun, sehingga yang menjadi sasaran adalah punggungnya.
Rupanya perkataan Dewi Murka yang terputus-putus itu bukan lantaran gugup melihat ketampanan Suto, melainkan karena tertahan oleh racun dari jarum di punggungnya. Jarum itu yang membuat napas Dewi Murka menjadi terputus-putus. Sebenarnya sejak tadi ia sudah hampir rubuh, namun ia mencoba bertahan mengeluarkan jarum itu melalui kekuatan tenaga dalamnya secara diam-diam. Tetapi, usaha itu tidak berhasil.
"Ini perbuatan orang berilmu tinggi," kata Suto kepada Selendang Kubur. "Gerakan jarumnya sampai tak sempat terdengar oleh telingaku. Entah kalau aku memakai telinga guruku, mungkin mendengarnya."
"Tubuhnya semakin membiru. Tak bisakah kau berbuat sesuatu untuk menolong jiwa temanku ini?"
"Biar saja begitu. Nasibnya sesuai dengan namanya. Sekarang jiwanya benar-benar nungging."
"Begitukah ajaran si Gila Tuak? Tidak bisakah si Gila Tuak mendidik muridnya untuk menjadi orang yang bijak dan suka menolong?"
"Coba kutanyakan pada guruku dulu, apakah dia mendidikku untuk menjadi orang yang bijak atau orang yang pelit."
Suto mau melangkah, tetapi dengan cepat Selendang Kubur berani menahan tangan Suto sambil berkata, "Tak perlu kau tanyakan! Aku akan segera pergi membawa temanku ini pulang ke perguruan."
"Itu langkah yang bagus!" kata Suto, lalu kembali penenggak tuak dari bumbung bambunya.
"Manusia yang tak berperasaan adalah kamu, Suto!" geram Selendang Kubur dengan mata memandang menyipit, memancarkan benci.
"Mengapa kau berkata begitu, Selendang Kubur?"
"Karena aku tahu kau bisa memberi pertolongan pada diri temanku, tapi kau tidak mau melakukannya."
"Apakah kau percaya betul bahwa aku sanggup menolongnya?"
"Aku percaya!" sentak Selendang Kubur.
Suto terkekeh, mulai mabuk walau belum banyak. "Kalau kau percaya, baiklah! Aku akan menolong menyembuhkannya."
Selendang Kubur menghempaskan napas, sedikit merasa lega. Tapi kecemasan masih ada di hatinya, karena ia melihat wajah Dewi Murka semakin membiru, parahnya benar-benar beku.
"Baringkan tubuhnya," kata Suto kepada Selendang Kubur.
"Bagaimana dengan jarum di punggungnya?"
"O, iya! Jarum itu harus dicabut dulu!"
Dengan satu kali sentak, jarum itu pun dicabut oleh tangan Suto. Cuuur...! Darah hitam muncrat dari lubang bekas jarum. Suto menarik wajahnya supaya tidak terkena semburan darah hitam. Setelah darah itu tidak memancar lagi dari lubang luka, Suto segera meneguk tuaknya lagi. Kali ini tidak semua tuak ditelannya. Sebagian disimpan di mulut. Kemudian, tuak di mulut itu disemburkan satu kali ke punggung Dewi Murka.
Bruusss...!
Air tuak ada yang memercik ke wajah Selendang Kubur, membuat perempuan itu menyentak berani. "Kau mau mengobati temanku atau mau meludahi aku, hah?!"
Suto hanya tertawa sambil berkata, "Maaf, aku tidak sengaja, Kalau aku sengaja meludahimu, wajahmu pasti hangus saat ini juga."
Tangan Selendang Kubur mengibas-ngibas wajah, mengusap air tuak yang melekat di pipi dan rahangnya. la bersungut-sungut dongkol.
"Sudah, bawalah pulang dengan segera!" kata Suto.
"Pengobatan macam apa ini?! Baru disembur satu kali sudah disuruh membawanya pulang!"
"Kau percaya atau tidak kalau dia akan sembuh?"
"Yah, percaya!" jawab Selendang Kubur dengan bimbang.
"Kalau kau percaya, dia akan sembuh. Kalau kau tidak percaya, dia tetap akan sembuh juga!"
Mata Selendang Kubur menatap Suto. Kali ini debaran indah di hatinya tidak terlalu membuatnya gugup, sehingga ia berani menatap agak lama. Mungkin ia mulai terbiasa menerima debaran indah dari sorot pandangan mata itu, sehingga ia pun dapat berkata dengan lancar, tidak segeragap tadi. "Apa maksud kata-katamu sebenarnya?"
"Tidak ada maksud apa-apa," kata Suto sambil nyengir, matanya kian sayu, bagai semakin memberat karena terlalu banyak tuak.
Tetapi Selendang Kubur segera terperanjat kaget melihat Dewi Murka mulai menggerakkan tangannya, warna biru di wajahnya berkurang menjadi tipis. Hal itu membuat mata Selendang Kubur tak mau berkedip memperhatikan temannya. Semakin lama ia semakin tahu dengan jelas bahwa racun dari jarum itu telah hilang. Karena wajah Dewi Murka pun sudah berkurang dari pucatnya. Perempuan itu mulai mengeluarkan keluhan kecil yang pelan sekali.
Dalam hati Selendang Kubur membatin, "Luar biasa caranya mengobati luka beracun. Hanya dengan disembur memakai tuak dalam mulutnya, racun itu cepat hilang. Dan, oh... ternyata bekas luka jarum pun cepat kering. Jelas ini ilmu pengobatan yang cukup aneh dan cukup tinggi. Jarang dimiliki oleh pendekar lain."
Wajah Dewi Murka menjadi semakin segar. Bahkan kedua matanya mulai terbuka. Selendang Kubur sedikit lega melihat temannya semakin membaik. la segera berkata sambil berpaling ke arah Suto yang ada di belakangnya. "Dia benar-benar telah...."
Selendang Kubur terperanjat. Suto sudah tidak ada di belakangnya. Suto telah pergi tanpa meninggalkan suara apa pun. Selendang Kubur sama sekali tidak merasakan kepergian Suto sebelum ia memandang ke arah belakangnya yang ternyata telah kosong. Ada rasa kecewa tersembunyi di hati Selendang Kubur. Ada rasa tak yakin bahwa dirinya telah ditinggal pergi oleh Suto Sinting itu. Maka, ia segera bangkit dengan membaringkan kepala Dewi Murka di tanah. la segera memeriksa sekeliling. Ternyata memang tak ada lagi Suto di sekitar tempat itu.
"Manusia itu mirip sekali dengan siluman! Pergi tanpa suara dan rupa, muncul juga begitu! Ke mana perginya? Mungkinkah dia langsung menuju ke Telaga Manik Intan?" pikir Selendang Kubur sambil masih tetap mengawasi sekeliling. "Haruskah aku menyusulnya ke Telaga Manik Intan? Atau kubawa pulang Dewi Murka kepada Nyai Guru?"
"Selendang Kubur," sapa Dewi Murka yang saat itu sudah berdiri dengan tegak, seperti tidak pernah menderita luka berbahaya sedikit pun. Selendang Kubur terkesiap melihat Dewi Murka dapat berdiri tegak.
"Apa yang telah terjadi pada diriku? Mengapa aku terbaring di tanah? Mengapa punggungku terasa basah?"
Selendang Kubur makin berkerut dahi. la bertanya, "Apakah kau tidak menyadari sesuatu yang telah menimpamu?"
"Aku merasa sedang tidur karena lelah. Tapi begitu aku bangun, ternyata aku tidur di sini. Apa maksudmu membawaku kemari, hah?"
"Jangan salah sangka padaku, Dewi. Kau tadi terluka."
"Terluka? Omong kosong! Tidak ada orang yang bisa melukaiku!"
"Kau tadi disembuhkan oleh Suto."
"Suto...?! Siapa itu Suto?" Dewi Murka menampakkan keheranannya.
Setelah hening sejurus, Selendang Kubur berkata, "Apakah kau tak ingat seorang pemuda tampan yang menjadi murid si Gila Tuak?"
"Ah, jangan dulu tergesa-gesa memuji ketampannya sebelum kau melihat sendiri rupa orangnya. Kau terpengaruh oleh kata-kata dari Murbawati!"
Selendang Kubur membatin, "Rupanya ada bagian ingatan Dewi Murka yang terhapus karena penyembuhan Suto tadi. Hmmm... agaknya ia benar-benar tak ingat dengan pertemuannya bersama Suto. Aneh sekali. Mengapa ia jadi begitu?"
Dengan sedikit menahan kesabarannya, Selendang Kubur berkata, "Kau tadi benar-benar telah bertemu dengan si tampan Suto itu! Kita berdua telah melihat ketampanannya yang menggiurkan hati!"
"Ah, omong kosong! Aku merasa tidak bertemu siapa-siapa kecuali Pujangga Kramat."
"Kita telah bertemu dengannya!" Selendang Kubur berusaha meyakinkan Dewi Murka, tetapi perempuan itu tetap bersikeras mengatakan belum pernah bertemu dengan Suto Sinting. Akhirnya Selendang Kubur berkata. "Kalau begitu, ada baiknya jika kita susul dia ke Telaga Manik Intan. Dia ada di sana dan kau mungkin bisa menemukan ingatanmu kembali tentang ketampanan Suto."
"Tidak. Aku akan menemui si Gila Tuak untuk menyelesaikan urusan antara perguruan kita dengan si Gila Tuak."
"Itu sudah kita lakukan saat kita bertemu Suto. Sudah tidak ada persoalan lagi antara kita dengan pihak si Gila Tuak!"
"Aku tidak percaya! Kurasa itu hanya tipu dayamu untuk menutupi perasaan takutmu bertemu Pujangga Kramat, seperti tadi."
Menjengkelkan sekali pendirian Dewi Murka. Selendang Kubur menyadari, jika hal itu diteruskan maka perselisihan antara dirinya dengan Dewi Murka akan terjadi lagi. Karena itu, Selendang Kubur tak mau banyak bicara. la hanya berkata, "Kalau kau tetap berkeras hati untuk menemui si Gila Tuak, temuilah sendiri! Aku akan pergi ke Telaga Manik Intan untuk menjaga kemungkinan Suto dicelakai orang di sana! Kita berpisah di sini, Dewi...!"
Kalau saja Suto masih ada, maka Suto bisa menjelaskan bahwa ketika ia menyemburkan tuak dari mulutnya ke luka di punggung Dewi Murka, ada kekuatan yang menyertainya merasuk dalam jiwa Dewi Murka. Kekuatan itu telah menghapus ingatan Dewi Murka bertemu dengan Suto. Itu adalah salah satu akibat dari penyembuhan menggunakan cara sembur. Cepat sembuh, cepat kering, dan cepat pula hilang ingatannya tentang Suto.
Sayang sekali Suto sudah berkelebat pergi dengan kecepatan lari yang cukup tinggi. la bukan semata-mata menuju Telaga Manik Intan, namun karena ingin mengejar sesosok bayangan yang berkelebat di balik kerimbunan pohon. Suto yakin, sosok yang berkelebat itu adalah orang yang mengirimkan jarum beracun itu. Suto ingin tahu, apa alasan orang itu ingin mencelakainya dengan jarum beracun.
Tetapi gerakan orang itu cukup gesit dan begitu cepatnya, sehingga Suto kehilangan jejak. Akhirnya mau tak mau ia terbawa sampai di sebelah barat pegunungan Suralaya. Rasa-rasanya orang yang kemarin siang berkelebat dari Lembah Lindu itu juga lari menuju ke sebelah barat pegunungan Suralaya itu.
"Apakah orang itu bermaksud membunuhku agar mudah memperoleh Pusaka Tuak Setan?! Jika itu menjadi tujuannya, berarti orang itu telah menyadap percakapanku dengan Guru, dan mungkin ia sudah cukup lama menunggu kabar tentang Pusaka Tuak Setan. la pasti sudah sangat lama mengincar pusaka tersebut," pikir Suto.
Mendadak langkah Suto terhenti karena ia mendengar suara pekik pertarungan. Arahnya ada di sebelah kiri. Suto segera mengikuti arah suara pekik pertarungan itu. Ketika ia berhasil menemukan daerah tempat suara pekik pertarungan itu terdengar lantang, Suto jadi sedikit terperanjat. Karena kedua orang yang sedang adu kesaktiannya itu berada di tepi sebuah danau berair bening bagian atasnya, dan berair keruh di pertengahannya. Danau itulah sebenarnya Telaga Manik Intan.
* * *
TUJUH
SEKALIPUN tubuhnya kurus kering, namun ketika sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan keras, orang itu hanya tersentak sedikit. la masih tegak berdiri tanpa mengeluarkan suara mengaduh sedikit pun. Hanya saja, beberapa saat kemudian ia membuka mulutnya, dan mulut itu mengeluarkan asap. Sepertinya ia sengaja menyentakkan asap supaya keluar dari dalam tubuhnya. Dan asap itu adalah asap yang timbul akibat pukulan di punggungnya tadi.
Sementara itu lawannya yang tadi berhasil memukul punggung dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam cukup besar, segera mundur setindak dan berdiri dengan tegar. Matanya yang memang kecil terkesan sipit itu menatap orang bertubuh kurus kering dengan tajam. Wajah dingin, tanpa keramahan sedikit pun. Orang ini mempunyai tubuh sedikit lebih gemuk dari lawannya. la mengenakan baju berlengan panjang kombor warna hitam dengan bagian tepinya dililit kain kuning emas. Celananya juga hitam dan punya lilitan kain emas. Di pinggangnya terselip sebuah pedang dengan sarung pedang warna perak.
Sementara di bagian kepalanya ada kain pengikat berwarna merah tua, membuat penampilannya kelihatan lebih ganas lagi. Orang ini mempunyai kumis sedikit tebal dan cambang tipis yang menambah angker wajahnya, yang berusia antara empat puluh lima tahun.
Sedangkan orang kurus kering itu bermata cekung, berjenggot abu-abu dan rambut acak -acakan tanpa ikat kepala. Pakaiannya serba biru dengan baju potongan jubah yang tidak pernah dikancingkan bagian depannya. Dadanya terlihat tipis bertonjolan tulang iga. Orang ini dalam keadaan basah kuyup, sepertinya habis terendam air dalam telaga tersebut.
"Siapa mereka itu?! Ada persoalan apa sehingga mereka bertarung di tepi telaga? Hmmm... sebaiknya aku tak perlu ikut campur urusan mereka. Lebih baik aku duduk di balik semak ini sambil menonton pertarungan mereka," kata Suto dalam hatinya, la segera menggeser bumbung tuak dari punggung, lalu menengadahkan kepala dan menenggak tuak sedikit.
Terdengar orang berpakaian serba hitam itu berkata kepada lawannya, yang masih tegar berdiri dengan kedua tangan berkuku panjang siap menyambut serangan. "Satu gebrakan lagi kau akan rubuh dan nyawamu minggat! Kuperingatkan padamu, menyerahlah! Selagi hatiku baik padamu, cepat serahkan benda itu dan selamatkan nyawamu dari amukanku!"
Kata-kata itu ditertawakan oleh orang kurus berpakaian serba biru. Rambutnya yang meriap di mata kanan dibiarkan saja membuat wajah itu semakin berkesan bengis dalam usia antara lima puluh tahunan. "Kau salah alamat, Datuk Marah Gadai!" katanya, "Benda yang kau cari itu tidak ada di tanganku."
"Omong kosong! Kau telah menyelam di dalam telaga itu dan pasti kau telah memperoleh benda itu!" sentak orang yang disebut Datuk Marah Gadai itu.
Dan sentakan itu kembali ditertawakan orang kurus yang kali ini berdiri dengan tenang, sambil mengusap-usap jenggot abu-abunya.
Suto membatin, "O, orang yang berpakaian hitam itu bernama Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi... lucu. Mungkin dia kalau sedang marah mempunyai kebiasaan menggadaikan barang-barangnya, sehingga dijuluki Datuk Marah Gadai. Hi, hi, hi...!" Suto cekikikan sendiri di balik persembunyiannya. Matanya kembali menatap dua tokoh tua yang masih bersitegang tentang barang yang harus diperebutkan.
Orang kurus kering itu berkata, "Aku memang telah menyelam di dalam telaga itu, tapi di sana tidak ada apa-apa. Tidak ada yang kuperoleh dari dasar telaga kecuali kekecewaan!"
"Puih! Mana ada orang yang mau percaya dengan mulut kotor murid Malaikat Tanpa Nyawa?!" Datuk meludah. "Orang paling licik di seantero jagat adalah kau, Cadaspati! Dan mulut orang licik selalu menyemburkan kebohongan. Agaknya aku terpaksa harus memaksamu menyerahkan Pusaka Tuak Setan dengan menghancurkan mulutmu lebih dulu, Cadaspati!"
Suto terperanjat begitu mendengar Pusaka Tuak Setan disebut-sebut oleh Datuk Marah Gadai. Hati kecilnya berkata, "Rupanya mereka berebut Pusaka Tuak Setan? Orang yang basah kuyup itu ternyata murid Malaikat Tanpa Nyawa, yang bernama Cadaspati. Aku pernah mendengar kisahnya dari cerita Guru, dan aku ingat orang kurus itulah yang semasa kecilku menyalurkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam tubuhku, sehingga tubuhku seakan menjadi dirinya dan menyerang Bibi Guru dan Kakek Guru sendiri. Hmmm... sekarang ilmu 'Inti Neraka' itu sudah menjadi milikku. Tiba saatnya aku membalas perbuatan Cadaspati waktu itu."
Suto bergeser dari tempat persembunyiannya. la mencari tempat yang lebih leluasa lagi untuk memandang daerah tepian telaga. Satu-satunya tempat yang enak untuk bersembunyi adalah di atas pohon. Maka, tubuh Suto pun segera melesat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi. Dalam sekali hentakan kaki, tubuh itu telah hinggap di sebuah dahan dari pohon berdaun lebat. Kakinya yang mendarat di dahan itu tidak menimbulkan guncangan sedikit pun pada dedaunan pohon, tanpa suara dan tanpa hempasan angin dalam gerakannya.
"Nah, dari sini lebih enak menonton pertarungan orang-orang bodoh itu," kata Suto dalam hatinya. "Sebaiknya kupelajari dulu, apakah benar Pusaka Tuak Setan itu sudah berhasil jatuh di tangan Cadaspati atau belum. Kubiarkan dulu ia didesak oleh Datuk Marah Gadai sampai pada pengakuan terakhirnya. Hmmm... tapi bagaimana kalau ternyata yang terdesak justru Datuk sendiri? Karena kelihatannya ilmu yang dimiliki Cadaspati tidak bisa dianggap ringan oleh Datuk Marah Gadai."
Pada saat itu Datuk Marah Gadai sudah siap lancarkan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya terangkat sampai batas dada. Kemudian tangan itu saling menyilang dengan gemetar. Telapak tangan yang mengembang kaku dengan jari-jarinya mengeras itu mulai kelihatan berasap tipis.
Cadaspati tidak tinggal diam. la mengerahkan tenaga dalamnya yang membuat setiap kuku tangannya memercik-mercikkan bunga api. Seperti ada aliran tenaga yang berlompatan dari kuku yang satu ke kuku yang satunya lagi.
"Hiaaat...!" Datuk Marah Gadai menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung cepat di udara.
"Hiaaah ...!" Cadaspati juga menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang ke arah Datuk Main Gadai. Begitu dua tubuh itu bertemu, dengan cepat mereka saling menghantamkan pukulan masing-masing.
Plak...! Plak...! Wugh... wuugh...!
"Hugh...!" keduanya sama memekik tertahan. Tubuh mereka saling terpental ke belakang.
Datuk Marah Gadai hampir saja tersungkur masuk ke dalam telaga. la jatuh dalam posisi terduduk di tepian telaga. Namun kakinya segera dihentakkan hingga ia bangkit kembali. Sementara itu, Cadaspati setelah mengadu pukulan segera bersalto ke belakang satu kali dan kakinya mendarat di tanah dengan rapi tanpa limbung sedikit pun. Matanya yang cekung itu memantang penuh nafsu membunuh. Rambutnya yang panjang tersingkap oleh angin telaga.
Datuk Marah Gadai menggeram ketika melihat Cadaspati menyeringai bagai mengejek kekuatannya. "Jahanam kau! Rupanya kau sudah bosan bernapas. Cadaspati! Tak ada waktu lagi untuk bermain-main denganmu! Sekaranglah saatnya kucabut nyawamu! Hiaaat...!"
Datuk Marah Gadai menyentakkan kaki kanannya ke depan dengan satu tendangan miring. Dari telapak kakinya berkelebat sinar putih keperakan yang melesat ke arah Cadaspati. Sinar putih keperakan itu segera dihindari oleh Cadaspati dengan satu lompatan ke atas. Dan bersamaan dengan itu, Cadaspati mengibaskan tangannya bagai merobek angin.
Wuuusss...!
Lima berkas sinar meluncur dari kuku-kuku tangan kanan Cadaspati. Sinar merah api itu begitu cepat menerjang tubuh Datuk Marah Gadai. Segera orang berpakaian hitam itu berguling-guling ke samping dan akhirnya melesat bangkit dalam satu hentakan tangan kuat. Kelima sinar merah api itu masuk ke dalam telaga hingga airnya berguncang hebat. Sebagian air ada yang muncrat ke tanah tepiannya. Sisa kekuatan sinar merah api itu membuat gelombang di permukaan air telaga. Telaga bagai ada yang mengguncang-guncangnya dari dalam.
Sementara itu, sinar putih perak dari kaki Datuk Marah Gadai tadi menghantam gugusan batu, yang membuat gugusan batu itu sirna dalam sekejap. Tinggal debu halus yang menggunduk sebagai tanda hancurnya gugusan batu tersebut.
"Rupanya keduanya sama-sama berilmu tinggi," pikir Suto dari atas pohon. la meneguk tuaknya kembali. Tanpa sadar ia sebenarnya sudah dikuasai oleh keadaan mabuknya. Bahkan tak sengaja ia melontarkan suara legukan satu kali.
"Huk...!" Buru-buru Suto menutup mulutnya karena takut suara cegukannya terdengar oleh kedua tokoh sakti itu. Di hati Suto ada rasa waswas karena setelah suara cegukan satu kali itu, Datuk Marah Gadai mulai memandang sekelilingnya penuh curiga.
"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Aku tak bisa meredam suara cegukanku ini!"
Cadaspati sendiri membatin, "Dia mulai lengah. Dia mencari-cari sesuatu. Sebaiknya aku segera tinggalkan tempat ini dan tak perlu melayani dia!"
Niat Cadaspati untuk kabur ternyata diketahui oleh Datuk Marah Gadai. Ketika Cadaspati berbalik memunggungi lawannya, Datuk Marah Gadai segera mengirimkan pukulan jarak jauhnya melalui telapak tangan.
Wuuugh...! Beegh...!
"Huggh ...!" tubuh Cadaspati melengkung ke belakang. Punggungnya terkena telak pukulan jarak jauh Datuk Marah Gadai. la segera berbalik arah dengan wajah semakin mendendam bengis. "Keparat kau, Datuk!"
"Mau lari ke mana kau, hah? Jangan lari dulu kau. Selesaikan dulu urusan kita ini!"
Mata cekung yang memandang bengis itu tiba-tiba berubah menjadi lunak, sayu dan kebengisannya pun berkurang. Datuk berkerut dahi karena merasa heran. Ia berkata dalam hatinya. "O, rupanya pukulanku tadi telah mengenai titik kelemahannya. la menjadi lemah dan langkahnya mulai terhuyung-huyung. Hmmm... sekarang aku tahu di mana titik kelemahan Cadaspati. Rupanya ada di bagian punggung! Kalau begitu, kugempur habis punggungnya!"
Cadaspati memang berdiri dengan oleng. Langkahnya pun terhuyung limbung. Bahkan bicaranya bernada mengambang. "Hei, Datuk... jangan terlalu lama kalau marah, nanti barang-barangmu habis kau gadaikan, he, he, he...!"
Datuk diam, menatap dengan curiga dan semakin merasa aneh melihat sikap Cadaspati. Kebengisannya menjadi hilang. Cahaya nafsu membunuh tidak tampak sama sekali dari sorot mata cekungnya.
Cadaspati mencoba bersandar pada sebatang pohon. Tapi sandarannya meleset dan ia jatuh tergagap-gagap. la segera bangkit dan menggerutu sendiri. "Siapa yang menaruh pohon tidak pas pada tempatnya?! Kurang ajar! Hai, Datuk... kau yang menyingkirkan pohon ini waktu mau kusandari! Sekarang pindahkan kembali ke tempatnya, biar aku bisa tepat bersandar di pohon itu. Lekas!"
Datuk Marah Gadai tertawa sinis. "Aku tak mengerti arah bicaramu, Cadaspati!"
"Tidak perlu pakai arah!" sentaknya dengan suara mengambang. Matanya semakin sayu, kelopak mata bagai menggantung. la menuding Datuk dengan tangan lemas. Katanya lagi. "Kau... sini! Kau ke sini, Datuk!"
Datuk masih diam, tapi ia membatin, "Hmm... ada yang tak beres dalam diri Cadaspati. Kurasa bukan akibat pukulanku tadi. Pasti ada sesuatu yang telah mengacaukan urusanku dengan Cadaspati."
Dugaan itu memang benar. Suto telah menyusupkan ilmu 'Inti Neraka' ke dalam diri Cadaspati. Gerak-gerik dan suaranya berubah menjadi suara Suto. Hal ini dilakukan oleh Suto sebagai tindakan balas dendam atas kelakuan Cadaspati semasa Suto masih kecil (baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).
Datuk Marah Gadai pun segera membentak, "Siapa kau sebenarnya, hah?!"
"Apa kau lupa pada tampang gantengku, Datuk?" Kalau saja kata-kata itu diucapkan oleh Suto sendiri, mungkin bisa dimaklumi dan memang pantas. Tetapi, kata-kata itu diucapkan oleh orang yang sudah cukup umur, berkulit wajah keriput dengan tulang-tulang pipi bertonjolan, sungguh ungkapan kata yang lucu jika wajah seperti itu dikatakan ganteng.
Namun Datuk Marah Gadai tidak mau tertawa lebar-lebar. la hanya tertawa sinis dan segera berkata kepada Cadaspati. "Jangan kau campuri urusanku dengan Cadaspati! Menyingkirlah! Atau kuremukkan kepalamu sekarang juga, nah?"
"Remukkanlah! Ini bukan kepalaku. He he he...!"
"Jahanam kau! Hiih...!" Datuk Marah Gadai menghantamkan pukulan tangan kosongnya ke wajah Cadaspati.
Plook...!
"Uts...!" Cadaspati mundur selangkah, ia mendekap mulutnya. Sedikit bengkak bibir atasnya. Untung saja pukulan itu pukulan tangan kosong yang tidak mengandung kekuatan tenaga dalam. Andai saja Datuk memukulnya dengan mengerahkan tenaga dalamnya, pasti mulut itu akan hancur berantakan ke mana-mana giginya. Cadaspati yang tadi menggeloyor, kali ini segera mendekat kembali dan berkata sambil menuding-nuding dengan tangan lemas. "Kamu jahat! Kamu tidak tahu kebaikan. Aku benci sama kamu, Datuk. Aku benci sekali!"
"Tutup mulutmu, hiiih...!" Datuk Marah Gadai menghantam pukulan lagi ke mulut Cadaspati. Kali ini bertenaga lebih kuat dari yang pertama. Tetapi, Cadaspati segera menangkis pukulan itu dengan kelebatan tangan kanannya, lalu punggung pergelangan tangan kanan itu disodokkan ke ulu hati Datuk.
Bukkk...!
"Ugh...!" Datuk Marah Gadai tersentak kaget. Pukulan punggung tangan itu terasa begitu keras bagai hantaman palu godam. Mata Datuk Marah Gadai sempat terbeliak lebar. la segera mengeraskan perut dan menahan napas. "Kurang ajar! Aku dibuat mainan seenaknya saja!" geram Datuk Marah Gadai. Segera ia hentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Sebuah pukulan bertenaga dalam melesat dalam jarak empat langkah darinya.
Wuuugh...!
"Aaahg...!" Cadaspati terpekik, Pukulan itu mengenai dadanya. la tersentak ke belakang. Melayang jauh, antara tujuh langkah. Kemudian tubuhnya jatuh di bawah pohon. Punggungnya membentur akar pohon yang bertonjolan keras itu.
Pada saat itu, Suto melepaskan ilmu 'Inti Neraka' dari tubuh Cadaspati. Kini keadaan Cadaspati menjadi dirinya sendiri. Dan ia terkejut menyadari sudah terbaring di bawah pohon dengan dada sakit dan tulang punggung bagai mau patah.
"Apa yang kualami tadi?" pikir Cadaspati. la berusaha untuk bangkit. Pelan-pelan ia bangkit dan menyeringai menahan sakit.
Melihat keadaan Cadaspati mulai rapuh, Datuk Marah Gadai pun segera memanfaatkan dengan melancarkan pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi. "Hiaaat...!" tangan kanan disentakkan ke depan dengan otot lengannya mengeras. Pukulan itu mempunyai gelombang panas yang mampu membakar kulit pohon.
Cadaspati segera menghadang pukulan itu dengan sentakkan tangan kirinya. Namun, agaknya kekuatan tangan itu tidak sebanding, sehingga pukulan hawa panas itu menerjang telapak tangan kiri Cadaspati. Tangan itu menjadi memar membiru, berkesan hangus sampai di bagian ketiak dan dada sebelah kiri. Tubuh Cadaspati pun terdorong keras hingga membentur pohon besar di belakangnya.
"Uughh...!" Cadaspati mengaduh tertahan. la menggeliat bangkit. Tetapi Datuk Marah Gadai segera mengerahkan tendangan intinya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam mampu meleburkan gugusan batu tadi.
"Lebih baik matilah kau daripada tetap tak mau menyerahkan Pusaka Tuak Setan!" seru Datuk Marah Gadai, lalu kaki kanannya pun dihentakkan menendang ke depan. Sinar putih keperakan melesat dari kaki itu, mengarah cepat ke tubuh Cadaspati.
Namun tiba-tiba sekilas sinar biru telah melesat cepat dan membentur sinar putih keperakan itu. Benturan itu menimbulkan ledakan hebat yang mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blarrr...!
Datuk Marah Gadai belalakkan mata lebar-lebar. Makin terkejut lagi ia begitu melihat sosok tua berambut putih yang muncul dari balik semak belukar. Sosok orang berambut putih panjang tanpa ikat kepala itu tahu-tahu sudah berdiri di antara Cadaspati dan Datuk Marah Gadai. Posisinya lebih dekat ke Cadaspati.
"He, he, he...," orang tua yang lebih kurus dari Cadaspati itu tertawa terkekeh-kekeh. Tongkatnya yang berwarna putih itu digenggam tangan kanan. la mengenakan celana hitam dan kain putih yang diselempangkan lewat pundak kiri dan sebagian melilit di pinggang. Di pinggang itu pun ia mengenakan sabuk besar dari kulit binatang warna hitam berbulu.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin, "Siapa tokoh tua yang baru saja muncul ini? Sepertinya ia ada di pihak Cadaspati."
"Selamat jumpa lagi, Datuk Marah Gadai. Kali ini kita jumpa dalam keadaan kau sudah berhasil melukai adikku, Cadaspati!"
"Aku tidak ada urusan denganmu, Peramal Pikun! Menyingkirlah. Biar nyawa tuamu tak jadi korban kemarahanku!"
"He, he, he.... Mana bisa aku menyingkir kalau kau ingin mencelakai adikku, Datuk?! Bebaskanlah adikku ini, supaya kita tidak punya persoalan lagi. Bukankah persoalan kita sepuluh tahun yang lalu sudah kita selesaikan dengan baik? Apakah kita harus bikin persoalan baru lagi, Datuk Marah Gadai?"
"Aku membutuhkan benda pusaka yang dibawa oleh adikmu itu! Tak akan kubiarkan ia melangkah sejengkal pun sebelum Pusaka Tuak Setan itu diserahkan kepadaku!"
Orang yang berjuluk Peramal Pikun itu segera bertanya kepada Cadaspati, "Apakah kau membawa Pusaka Tuak Setan?"
"Tidak!" jawab Cadaspati sambil berdiri bersandar di pohon akibat luka pukulan dari Datuk Marah Gadai tadi.
"Datuk, adikku tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Jadi, tak ada yang bisa diserahkan olehnya kepadamu!"
"Omong kosong!" sentak Datuk Marah Gadai. Lalu, ia diam sebentar. Hatinya berkata, "Sebenarnya aku sudah enggan bentrokan dengan Peramal Pikun ini. Ilmunya sangat tinggi. Sepuluh tahun yang lalu aku melawannya gara-gara persoalan perempuan. Hampir saja aku habis binasa diterjang ilmunya yang tinggi. Untung waktu itu Rindani segera ketahuan bahwa dia pun punya lelaki simpanan lainnya, sehingga kami memutuskan untuk menghentikan perselisihan dan membiarkan Rindani dengan lelaki simpanannya. Kalau waktu itu aku dan dia tidak mengambil keputusan untuk melepaskan Rindani, pasti aku akan mati di tangannya. Dan sekarang, ilmuku memang sudah bertambah. Tapi tentunya Peramal Pikun itu juga semakin tinggi lagi ilmunya. Hmmm... haruskah aku melawannya lagi?"
"Hei, Datuk..., mengapa diam saja? Apakah bungkamnya mulutmu sebagai tanda kau melepaskan adikku? Atau kita teruskan persoalan ini dengan cara kau menghadapiku lebih dulu?" tantang Peramal Pikun.
Dari tempat persembunyiannya Suto membatin, "Tokoh yang satu ini biar tua tapi masih punya nyali juga. Tapi dilihat dari wajahnya, ia tidak mempunyai kesan bengis seperti wajah adiknya. Wajah itu malah berkesan selalu ceria dan tersenyum."
Datuk Marah Gadai berkata dengan suara lantang, "Aku tidak percaya kalau Cadaspati tidak memiliki Pusaka Tuak Setan. Aku melihat sendiri ia muncul dari dalam telaga itu. Pasti dia sudah menemukan pusaka tersebut!"
"Mengapa kau berkeyakinan begitu, Datuk Marah Gadai?! Apakah kau belum tahu, bahwa Pusaka Tuak Setan itu milik si Gila Tuak?"
Diam-diam Suto terkejut mendengar nama gurunya disebut-sebut. la tetap menutup mulut supaya suara cegukannya tidak berbunyi.
"Aku memang tahu, pusaka itu milik si Gila Tuak. Tapi dia sudah tidak mementingkannya lagi!" kata Datuk Marah Gadai. "Aku mendengar percakapan si Gila Tuak dengan muridnya, bahwa pusaka itu akan dihancurkan. Jadi sebelum dihancurkan, aku harus sudah lebih dulu mencurinya dari tempat kuburan pusaka itu. Ternyata, adikmulah yang sudah mendahului langkahku masuk ke dalam telaga ini!"
"He, he, he..., siapa tahu adikku masuk ke dalam telaga hanya sekadar mandi, sebab bertahun-tahun ia tak pernah mandi sampai badannya bau terasi!"
"Tidak mungkin! Dia pasti telah memperoleh Pusaka Tuak Setan! Mungkin disembunyikan di balik pakaiannya itu!"
Sekali lagi Suto membatin, "Iya. Kurasakan agak berat waktu ilmu 'Inti Neraka' masuk ke raganya. Bagian belakang pakaiannya yang mirip jubah itu sepertinya mempunyai kantong untuk menyimpan Guci Tuak Setan. Atau mungkinkah benda lain yang tak berharga yang ada di kantong jubah belakangnya itu?"
Datuk Marah Gadai mengambil sikap siap menyerang. Kedua tangannya mulai dinaikkan sebatas dada. Tapi Peramal Pikun masih tetap tenang dan cengar-cengir saja. "Peramal Pikun, terpaksa kau juga perlu kukirim ke neraka karena membela adikmu yang punya urusan denganku!"
"Tunggu, tunggu...," Peramal Pikun tetap kalem. "Bukan soal ke neraka yang kupikirkan, tapi kesia-siaan pertarungan ini yang kupertimbangkan. Sebab menurut ramalanku, Pusaka Tuak Setan itu tidak akan jatuh ke tangan siapa-siapa, kecuali ke tangan murid tunggalnya si Gila Tuak."
"Ramalanmu semakin tua semakin tak manjur!"
"Manjur atau tidak, tapi kenyataannya si murid Gila Tuak sudah siap mengambil pusaka itu. Bahkan dia pun siap berhadapan denganmu, Datuk Marah Gadai."
"Persetan dengan murid si Gila Tuak. Yang kubutuhkan Pusaka Tuak Setan yang sudah ada di tangan adikmu itu!"
"Murid si Gila Tuak tidak bisa dipersetankan, Datuk. Sekarang pun dia sudah berada di sini."
Datuk Marah Gadai tampak sedikit waswas. la melirik sekelilingnya. "Ramalanmu tak ada artinya bagiku. Kau hanya ingin mengelabuiku, Peramal Pikun. Tak ada orang lain di sini, kecuali kita bertiga! Jadi, bersiaplah untuk mati bersama adikmu!" Kaki Datuk Marah Gadai mulai bergeser merendah. Tangannya mengeras bagai besi. Kaku.
Peramal Pikun masih kalem, melangkah maju dua tindak. "Tunggu dulu, Datuk.... Siapa bilang di sini hanya ada kita bertiga? Di sini ada empat orang. Ya, menurut ramalanku di sini ada empat orang, Datuk."
"Mana yang seorang lagi!" sentak Datuk Marah Gadai dengan suaranya yang besar.
"Ada di atas sana," jawab Peramal Pikun sambil tangannya seperti menebarkan sesuatu namun sebetulnya menebarkan tenaga dalam yang melesat ke dalam tempat Suto bersembunyi.
Datuk Marah Gadai pun terkejut ketika memandang ke atas dan melihat seorang pemuda bertengger di sana. Pemuda itu kini melompat turun dengan dua kali salto, karena ia harus menghindari tenaga dalam yang dilemparkan oleh Peramal Pikun. Tenaga dalam itu membentur dahan dan membuat dahan itu berderak, lalu patah dan jatuh ke tanah.
Tepat pada waktu itu, Suto sudah berada di antara Datuk Marah Gadai dan Peramal Pikun. Bukan hanya mata Datuk Marah Gadai yang terperanjat, namun mata Cadaspati pun ikut terbelalak melihat kehadiran Suto.
* * *
DELAPAN
MELIHAT sikap berdiri Suto yang tak bisa tegak, melihat bentuk mata Suto yang sayu, dan melihat bumbung tuak yang masih dipegang dengan tangan kiri Suto, Datuk Marah Gadai segera dapat menyimpulkan, pemuda berpakain coklat inilah yang tadi mengganggunya dengan menggunakan raga Cadaspati. Pemuda yang mengenakan baju tanpa lengan inilah yang mengendalikan Cadaspati bertingkah seperti orang gila di hadapannya.
"Berarti dia sudah ada di atas sejak tadi!" geram Datuk Marah Gadai dalam hatinya. Matanya pun memandang lebih menyipit kepada Suto yang saat itu sedang cengar-cengir memandang Peramal Pikun.
"Menurut ramalanku, kau yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak!" kata Peramal Pikun.
Suto menjawab, "Menurut ramalanku, kau kakaknya Cadaspati yang berjuluk Peramal Pikun."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari tadi!" jawab Suto dengan suara mabuknya yang sesekali cegukan itu. Bahkan ketika Suto tertawa bersama Peramal Pikun, suara cegukannya masih sesekali menyentak tubuh.
"Menurut ramalanku, kelak kau dijuluki orang Pendekar Mabuk! Kau akan menjadi orang sakti. Bahkan jauh di masa tuamu nanti, kau bisa menjadi seorang tokoh yang bergelar Tokoh Sinting. Tentu saja kau akan mempunyai murid yang sinting-sinting semua. He he he he...!"
"Kalau... huk... kalau begitu, huk... aku buka perguruan, huk... perguruan Sinting Teladan saja, huk...!" sambil Suto cegukan.
Datuk Marah Gadai membentak, "Ini bukan urusan ramal-meramal! Ini urusan Pusaka Tuak Setan!"
"Sudah kubilang tadi, huk... Paman. Kalau kau, huk... minum tuak itu, huk... maka kau akan... akan menjadi setan, huk!"
"Itu bukan urusanmu! Menyingkirlah, biar kuhancurkan dulu kedua orang tua itu, Bocah ingusan!"
"He he he...," Suto tertawa dan bicara kepada Peramal Pikun. "Dia mengatakan aku sebagai bocah ingusan, huk...! Padahal aku cuma ingusnya bocah, huk... he he he...!"
Rupanya kesempatan itu digunakan oleh Cadaspati untuk menelusup pergi. Dan dengan sisa tenaganya ia segera melarikan diri dari arena pertarungan. Karena pada waktu itu Cadaspati membatin. "Aku tak akan mampu menghadapi Datuk Marah Gadai dalam keadaan terluka begini. Aku bisa mati di tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri, biar masalah Datuk diurus oleh Renggono, kakakku!"
Datuk Marah Gadai sempat melihat kelebatan sosok Cadaspati yang meninggalkan tempatnya. Maka ia pun segera berteriak. "Hai, mau ke mana kau?! Jangan lari, Jahanam!" Serta-merta Datuk Marah Gadai melompat untuk mengejar Cadaspati.
Namun, secepatnya pula Peramal Pikun melompat dengan bersalto satu kali di udara. Tongkatnya dibabatkan ke arah kepala Datuk Marah Gadai.
Wungng...!
Tongkat itu tidak mengenai sasaran, namun membuat tubuh Datuk Marah Gadai bagaikan dihantam seribu topan. Tubuh yang terkena kibasan angin tongkat itu terjerembab jatuh ke tanah dengan wajah membentur semak-semak.
Prosss...!
Peramal Pikun kembali berdiri tegak di tanah dengan tongkat digenggam tangan kanan. la menertawakan keadaan Datuk Marah Gadai, yang segera berusaha bangkit dengan mengusap-usap wajahnya. Wajah itu menjadi merah tergores-gores akibat duri semak yang ditabraknya.
"Keparat kau, Peramal Pikun! Terang sudah kau turut campur dengan urusanku! Jelas sudah kau bikin persoalan baru denganku!" geram Datuk Marah Gadai dengan wajah menampakkan kemarahannya.
"He he he... terpaksa aku bikin urusan lagi denganmu, karena kau mengancam nyawa adikku!"
Napas Datuk Marah Gadai terengah-engah. Sekarang sedang berusaha diredakan. Pada saat itu, terucap dalam batin Datuk Marah Gadai. "Angin pukulannya lebih hebat dari yang dulu. Sekalipun aku bisa mengalahkan dia di sini, tapi aku akan kehilangan pusaka yang sudah kuincar bertahun-tahun lamanya itu. Aku tak boleh larut melayani dia. Aku harus mencari kesempatan untuk mengejar Cadaspati. Tak mungkin ia bisa berlari jauh karena ia dalam keadaan terluka oleh pukulanku tadi."
Suto tidak ikut campur. la bahkan menenggak tuaknya lagi. Diteguk sedikit, sebagai pembasah tenggorokan, kemudian duduk di sebuah batu sambil menyaksikan pertarungan tersebut, sambil sesekali memperdengarkan suara cegukannya. Mata Suto sempat terperanjat ketika Datuk Marah Badai tiba-tiba menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke telapak kaki Peramal Pikun yang punya nama asli Renggono itu. Pukulan tersebut mampu membuat tanah tempat berpijak kaki Peramal Pikun tersentak naik bersama tubuh di atasnya yang terdorong ke belakang.
Broolll...! Wusss ...!
Tubuh Peramal Pikun bagai didorong kuat dan dijumpalitkan ke belakang. Mau tak mau manusia keriput berambut putih panjang itu bersalto satu kali. Belum sampai kakinya memijakkan tanah lagi, Datuk Marah Gadai telah kembali mengirimkan pukulan tenaga dalamnya dengan menyentakkan kedua tangannya ke depan. Wuuugh...! Angin besar melesat dari kedua tangan.
Peramal Pikun segera menghentakkan tongkatnya ke depan dalam keadaan berdiri. Rupanya ia menahan pukulan Datuk Marah Gadai dengan tenaga dalam yang disalurkan melalui kepala tongkatnya yang berbentuk kepala burung garuda itu.
Duub...!
Dua tenaga dalam berilmu tinggi saling berbenturan di pertengahan jalan. Satu benturan itu mengakibatkan tubuh Datuk Marah Gadai tersentak ke belakang dan oleng ke kiri, lalu jatuh di atas kayu runcing.
"Aaauh...!" Datuk Marah Gadai memekik karena pantatnya tertusuk kayu runcing. la segera bangkit dan mencabut ranting kayu yang terbawa pantatnya.
Pada saat itu, Suto tertawa geli melihat Datuk Marah Gadai seperti sedang dipermainkan oleh Peramal Pikun. Sedangkan Peramal Pikun sendiri hanya tersenyum-senyum dengan tubuh tetap berdiri pada tempatnya. la berkata kepada Suto.
"Pernah melihat beruang kecocok paku? Nah, lihatlah dia! Persis seperti beruang kecocok paku!"
Suto yang ada di belakang Peramal Pikun itu semakin tertawa terbahak-bahak dalam pengaruh mabuknya. Mendengar suara tawa Suto, hati Datuk Marah Gadai semakin panas. Maka, ia pun segera mengangkat kakinya dan menendang penuh kerahan tenaga dalam ke arah depan. Dari tendangan kaki itu melesatlah sinar putih keperakan. Meluncur dengan cepat ke arah tubuh Peramal Pikun.
Dengan gerakan tua yang masih gesit, Peramal Pikun melompat ke samping dan bersalto satu kali. Akibatnya sinar putih keperakan itu melesat terus ke arah Suto yang sedang duduk di batu.
Melihat kilatan cahaya putih keperakan melesat ke arahnya, Suto segera menyilangkan bumbung tuaknya di depan wajah. Sinar itu tepat mengenai bumbung, namun tidak segera meledakkan bumbung, juga tidak segera padam, melainkan justru berbalik melesat ke tempat asalnya.
Wusss...! Kecepatannya melebihi kecepatan semula. Datuk Marah Gadai tersentak kaget bukan kepalang. Terpaksa ia segera melentingkan tubuh, menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, hingga dalam kejap berikutnya ia sudah berada diatas sebuah pohon, ia terhindar dari sinar putih keperakan itu. Sinar tersebut menghantam sebuah pohon lain. Pohon itu segera lenyap seketika, tinggal serpihan bubuk yang menggunduk di tempatnya.
"Sinting betul bocah itu!" geram hati Datuk Marah Gadai. "Jurus 'Tapak Dewa'-ku bisa dikembalikan sambil cengengesan! Baru sekarang aku melihat ada orang yang bisa menangkis jurus 'Tapak Dewa' dengan sebatang bambu dan mengembalikan ke asalnya. Benar-benar sinting bocah itu!" Datuk Marah Gadai terheran-heran.
Sementara itu, Peramal Pikun pun sempat terkejut melihat Suto bisa mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' yang terkenal dahsyat dan berbahaya itu. Jurus 'Tapak Dewa' adalah salah satu jurus andalan Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun tahu, jurus itu tak bisa ditangkis kecuali dihindari atau diadu dengan kekuatan yang lebih dahsyat lagi.
Peramal Pikun pun ingat, bahwa dulu ketika sepuluh tahun yang lalu ia melawan Datuk Marah Gadai, ia dibuat kelabakan menghindari jurus 'Tapak Dewa' tersebut. Dulu, ia belum punya ilmu yang bisa menandingi jurus 'Tapak Dewa'. Sekarang ia sudah mempunyai jurus tandingan sehingga tadi ia bisa menyelamatkan Cadaspati dengan sinar merah dari kepala tongkatnya, yang dinamakan jurus 'Patuk Garuda'.
Peramal Pikun mengakui, ia tak akan berani menangkis jurus 'Tapak Dewa'. Karenanya ia sangat terheran-heran melihat Suto dengan cengengesan menangkis jurus itu menggunakan bumbung tempat tuaknya. Peramal Pikun pun membatin. "Bumbung itu pasti bukan sembarang bumbung. Dan ilmu anak ini sungguh telah mewarisi ilmunya si Gila Tuak. Hanya si Gila Tuak-lah yang selama ini selalu bisa menangkis jurus-jurus maut atau ilmu-ilmu sedahsyat apa pun. Hmmm... rupanya di dalam jiwa Suto Sinting ini terpendam jiwa si Gila Tuak bersama seluruh kesaktiannya. Jika bukan orang berilmu tinggi, mempunyai kesaktian tingkat atas, tak mungkin ia bisa menangkis dan sekaligus mengembalikan jurus 'Tapak Dewa' itu. Aku berani bertaruh, bocah sinting ini akan cepat dikenal namanya di rimba persilatan. Tapi, o, ya... aku sedang ada urusan dengan Datuk Marah Gadai! Bukan mengagumi kehebatan bocah sinting itu...!"
Kesadaran Peramal Pikun terlambat. Pandangannya dilayangkan ke atas, ternyata tempat itu sudah kosong. Pohon yang semula dipakai bertengger oleh Datuk Marah Gadai itu bagai menelan tubuh sedikit gemuk milik Datuk Marah Gadai. Peramal Pikun mulai bingung, la bertanya kepada Suto Sinting. "Ke mana orang itu tadi?"
Murid si Gila Tuak menjawab, "Pergi. Lari ke sana!" ia menunjuk ke arah perginya Cadaspati tadi. "Mungkin dia mengejar adikmu, huk... yang bernama Kadaspati itu!"
"Cadaspati! Bukan Kadaspati!" sentak Peramal Pikun membetulkan ucapan Suto yang keliru. Suto hanya tertawa sambil mengangguk.
"Mengapa kau tidak menahannya?!" kata Peramal Pikun, sepertinya menyalahkan Suto.
Murid Gila Tuak itu menjawab. "Aku tidak ada urusan dengan dia! Jadi kubiarkan dia lari ke sana, huk...!"
"Tapi dia akan berhasil merebut Guci Pusaka Tuak Setan dari tangan adikku!"
"Kau bilang tadi, menurut ramalanmu, Guci Pusaka Tuak Setan akan jatuh ke tanganku, huk...! Jadi, untuk apa aku menghalangi kepergiannya!"
"Memang akan jatuh ke tanganmu. Tapi kalau kau tidak merebutnya, tentu saja akan jatuh ke tangan orang lain!"
"Berarti ramalanmu itu palsu!"
"Palsu atau tidak, itu tergantung anggapan orang. Yang jelas, kau harus merebut Pusaka Tuak Setan itu dari tangan si Datuk Marah Gadai!"
"Dia, huk... dia tidak membawa Pusaka Tuak Setan. Yang membawa adalah adikmu! Apakah kau ingin agar aku membunuh adikmu untuk merebut Guci Pusaka Tuak Setan itu?"
"Itu berarti kau harus berurusan denganku Suto Sinting!"
"Aku malas berurusan denganmu! Bukan karena aku takut padamu, tapi aku segan melawan orang lemah, huk!"
Tersinggung hati Peramal Pikun dikatakan sebagai orang lemah. Tapi ia menahan diri untuk tidak melepaskan kemarahannya. la hanya berkata dalam hati. "Kalau bukan karena aku sedang membutuhkan dia, sudah kuhajar habis mulutnya yang mabuk itu! Sayang aku harus membujuknya untuk ikut mengejar Datuk Marah Gadai, sebab ia bisa kujadikan tameng dan menambah kekuatanku jika ia ada di pihakku. Yang jelas, Datuk Marah Gadai jangan sampai menemukan Cadaspati. Sebab aku tahu, Cadaspati terluka cukup parah. Dia tak akan mampu lagi melawan Datuk Marah Gadai."
Suto berdiri dari duduknya dengan sempoyongan. la berkata dengan suara mabuknya. "Aku mau mandi, biar segar badanku!"
"Hei, bukankah tugasmu menghancurkan Pusaka Tuak Setan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Kudengarkan percakapanmu dengan si Gila Tuak dari kejauhan."
"Oh, kalau begitu ilmumu tinggi juga, huk...! Aku mau mandi!"
"Bocah ini benar-benar sinting!" kata Peramal Pikun dalam hati. "Sebaiknya aku segera menyusul Datuk Marah Gadai, sebelum ia menewaskan Cadaspati!"
* * *
SEMBILAN
PERAMAL Pikun pergi dengan berkelebat bagaikan angin atau hantu siang hari. Suto tidak peduli lagi dengan kepergian Peramal Pikun. Hasratnya untuk mandi begitu kuat, tak bisa ditahan lagi. Bahkan dalam hatinya ia berkata.
"Siapa tahu habis mandi bisa bertemu dengan Dyah Sariningrum. Setidaknya bunga rindu di hati yang belum pernah bertemu ini akan terpupus habis."
Suto mulai meletakkan bumbung tuaknya. Baru saja ia mau membuka baju, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang berlari cepat ke arahnya. Suto buru-buru merapatkan bajunya kembali dengan wajah celingak-celinguk penuh curiga. Dari kerumunan semak di seberang telaga, muncul sesosok tubuh berbaju merah dan bercelana hitam. Suto menghempaskan napas dan menggeram jengkel dalam hatinya.
"Kau membuatku terkejut, Paman Giri!"
Orang yang dipanggil sebagai Paman Giri itu tak lain adalah Pujangga Kramat, manusia yang tak pernah benar dalam bicaranya. Orang tersebut segera mendekati Suto dan berkata dengan napas masih terengah-engah.
"Itu perempuan desak aku! Desak aku itu perempuan!"
"Paman ini mau ngomong apa kok desak-desakan sama perempuan?"
"Itu perempuan,..!"
"Perempuan itu?" Suto tertawa dalam suara tawa mabuknya yang terkekeh-kekeh. "Mengapa wajahmu memar begitu, Paman? Ada apa, huk?"
"Ya, itu perempuan desak aku ketemu dia sama Guru."
"Maksud Paman Giri, ada perempuan mendesak Paman untuk bertemu dengan Guru?"
"Betul sangat!"
"Sangat betul!" Suto membenarkan susunan katanya. "Lalu, apa yang membuat Paman menyusulku kemari, huk?"
"Bahaya itu perempuan. Ganas jago dan. Dia masuk nekat dalam ke gua. Ki Gila Tuak ditantangnya pasti."
"Guru ditantang perempuan itu?"
"Begitu mestinya dugaanku. Dibunuh bisa guru olehnya."
"Guru bisa dibunuh olehnya? Ah, tak mungkin itu, Paman Guru pasti bisa mengatasi seorang perempuan. Huk...!"
"Datang cepatlah bantu Guru selamatkan."
"Aku mau mandi."
"Dulu tundalah!"
"Tundalah dulu!" sentak Suto membetulkan kalimat.
"Iya. Dulu tundalah mandimu. Dari keganasan perempuan itu selamatkan gurumu!"
"Ah, pusing aku mengartikan bahasamu, Paman! Aku mau mandi!"
"Tahanlah!"
"Huk ..., tak bisa kutahan. Aku mau bertemu dengan Dyah Sariningrum. Malu aku, huk... kalau tak segera mandi."
"Tega kepada kau Guru, hancurlah dia oleh perempuan itu?!"
"Tega tak aku Guru kepada dan... aduh, kenapa bahasaku jadi ikut-ikutan kacau begini?!"
"Pergi cepatlah ke sana!"
"Aku mau mandi! Tahu... ?!" sentak Suto merasa jengkel akhirnya.
Sentakan itu membuat Pujangga Kramat menjadi ciut nyali. Sentakan itu sepertinya mempunyai kekuatan tersendiri yang bisa mempengaruhi keberanian seseorang menjadi surut. Jika bukan berilmu tinggi, orang itu akan menjadi penurut. Itulah kekuatan ilmu 'Sentak Bidadari' yang diturunkan oleh Bidadari Jalang kepada Suto.
Suto segera melepaskan bajunya dengan gerakan susah-payah karena mabuk. Pujangga Kramat diminta untuk membantu menarikkan bajunya. Karena keberanian yang surut, Pujangga Kramat menuruti perintah itu tanpa banyak bicara. Tetapi pada saat itu Suto sempat mendengar detak jantung di balik kerimbunan pohon. Mata Suto yang seperti orang mengantuk itu segera melirik ke arah rimbunan pohon. Baju yang telah dilepaskan segera dikenakan kembali. Pujangga Kramat memandang dengan heran, tak mengerti maksud Suto.
la segera menghentakkan kaki kanannya ke tanah. Hentakan kaki itu bukan sembarang hentakan. Hentakan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang bisa membuat air telaga di tepian sebelah seberang memercik ke arah rimbunan semak yang dicurigai Suto.
Crattt...!
"Auh ...!" terdengar suara pekik dari rimbunan semak.
Pujangga Kramat terperanjat dan berkata, "Orang ada rimbunan semak dibalik."
"Aku tahu, ada orang di balik rimbunan semak. Sebaiknya suruh keluar dia dari sana dan bicara padaku apa maunya!"
"Itu suara perempuan. Perempuan itu jangan-jangan mau yang lawan gurumu dan bonyokkan mukaku."
"Kau takut, Paman?" Suto tersenyum geli.
"Takut tidak. Jera iya."
Suto tertawa terkekeh, la berseru, "Perempuan di balik semak, keluarlah dari sana! Aku tak jadi mandi. Percuma kau tunggu aku di sana, tak bisa kau intip aku dari sana!"
Merasa persembunyiannya sudah diketahui, perempuan yang ada di balik rimbunan semak itu pun akhirnya menampakkan wajah. la keluar dari sana dengan satu lompatan tanpa menimbulkan suara gemerisik daun. Padahal tubuhnya jelas menyentuh dedaunan.
"Aku tidak bermaksud mengintipmu, Suto!" kata perempuan itu setelah berdiri dengan kaki tegak sedikit merenggang, tampak sigap dan tegar.
"Oh, rupanya kau, Selendang Kubur!" Suto memandang dengan mata merahnya yang mirip orang mengantuk. Pandangan mata itu tertuju lekat ke sorot pandangan mata Selendang Kubur.
Pada saat itu, Pujangga Kramat berbisik, "Ini perempuan bersama tadi dengan perempuan membonyokkan wajahku. Punya teman dia masuk ke gua, temui Ki Gila Tuak."
"Hmmm... ya, ya. Aku paham dengan maksudmu," sambil Suto mengangguk-angguk. la biarkan Selendang Kubur berjalan mendekat. Suto segera berkata, "Selendang Kubur, temanmu mengamuk dan masuk ke tempat istirahatnya guruku. Tolong ingatkan padanya, aku segera datang dan akan menyeretnya keluar dari gua dengan kasar!"
"Tidak. Dewi Murka tidak bermaksud jahat menemui gurumu. la masih tidak percaya bahwa persoalan tadi sudah kita selesaikan. la bahkan tidak ingat bahwa ia telah bertemu kamu. Jadi, ia nekat masuk ke dalam gua untuk menemui gurumu dan meminta maaf atas sikap mencurigakan dari Murbawati, teman kami."
"O, begitu?"
"Percayalah padaku, Suto! Dewi Murka tidak akan perbuat jahat kepada gurumu."
"Bagus kalau begitu! Huk...!" ia masih sesekali celukan. "Lantas mengapa dia bikin bonyok wajah Paman Giri ini?"
"Barangkali Pujangga Kramat menghalangi niat baiknya hingga ia melakukan kekerasan."
"Oh, begitu?"
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit tidak suka mencari persoalan dengan orang lain."
"Bagus. Lalu, apa perlumu datang kemari?"
"Menjagamu," jawab Selendang Kubur sambil memalingkan pandangan mata ke arah lain.
"Jawabanmu sungguh lucu bagiku," Suto tertawa. "Jawaban itu hanya alasan belaka yang dibuat-buat. Aku tahu, kau kemari, huk... untuk mengintip aku mandi!"
Mata Selendang Kubur menyipit, tanda tak suka dengan tuduhan itu. la pun berkata dengan tegas dan berkesan ketus. "Kalau aku mau, tak perlu aku mengintipmu mandi. Cukup dengan keadaan seperti ini, aku sudah bisa melihatmu telanjang."
"Hah...?l" Pujangga Kramat terkejut. la segera merapatkan kedua pahanya dan menutupkan tangannya ke bawah.
Suto tidak demikian. Suto hanya tertawa pelan, setengah tidak percaya pada kata-kata Selendang Kubur. la berkata, "Jangan menyombongkan ilmu di depanku, Selendang Kubur."
"Aku tidak menyombongkan ilmu. Memang aku bisa melihat tubuhmu tanpa pakaian walaupun kau mengenakan baju rangkap tujuh dari kulit kerbau sekalipun. Aku mempunyai 'Candra Tembus Pandang'. Dan hanya aku satu-satunya murid Perguruan Merpati Wingit yang menguasai ilmu 'Candra Tembus Pandang'."
Senyum Suto tipis dan masih berkesan tidak percaya. "Kau mempunyai tahi lalat di bawah pinggulmu!" kata Selendang Kubur setelah menatap Suto beberapa saat.
Suto terperanjat kaget, karena kata-kata itu memang benar. Lebih terkejut lagi setelah Selendang Kubur berkata, "Kau tidak mempunyai pusar, dan ada noda hitam semacam tompel kecil di atas pahamu yang kanan, dekat dengan tulang pinggul."
Menggeragap bingung Suto menghadapi perempuan berhidung mancung dan bermata bundar itu. Salah tingkah ia menyembunyikan dirinya, karena apa yang dikatakan Selendang Kubur mengandung kebenaran semua. Suto jadi percaya bahwa Selendang Kubur mampu mempunyai sorot mata tembus pandang. Akibatnya, Suto segera bersembunyi di belakang Pujangga Kramat. Tetapi Pujangga Kramat pun segera bergeser berdirinya, pindah ke belakang Suto sambil merapatkan kaki dan kedua tangan mendekap bagian bawah.
Suto kebingungan, maka ia segera berpindah tempat kembali ke belakang Pujangga Kramat. Karena malu dipandang, Pujangga Kramat lari dan bersembunyi di balik pohon besar. Hanya kepalanya yang nongol dan berseru, "Bersembunyi cepat pohon di balik!"
Buru-buru Suto mengambil bumbungnya dan lari ke balik pohon. Selendang Kubur tertawa malu dan berbalik wajah, memunggungi Suto. Dari sana ia berseru. "Pohon itu pun masih bisa kutembus dengan pandanganku, Suto!"
"Celaka! Perempuan itu bikin aku susah berdiri saja?!" gerutu hati Suto. "Pantas waktu jumpa di atas gua, dia bicara denganku memalingkan wajahnya, tak berani menatapku. Rupanya dia punya kekuatan tembus pandang, dan tak enak hati melihat tembus keadaan tubuhku saat itu. Kupikir ia bersikap tidak sopan padaku."
Suto yang salah tingkah itu segera mengambil keputusan untuk menceburkan diri ke telaga. Setidaknya dengan begitu ia bisa menyembunyikan tubuhnya dan bisa memanfaatkan waktu untuk mandi. Maka, serta-merta Suto melompat dari balik pohon setelah melemparkan bumbungnya ke tangan Pujangga Kramat. Lompatannya bersalto satu kali dan, byuurrr...!
Selendang Kubur terperanjat kaget dan segera menatap ke arah telaga. la sedikit tegang dengan berseru kepada Pujangga Kramat. "Apakah dia bunuh diri?"
"Tidak dia bunuh diri, mandi tapi," jawab Pujangga Kramat yang membuat Selendang Kubur merenungkan arti kata sebenarnya.
Setelah memahami makna kata-kata itu, Selendang Kubur tampak lega. la segera melesatkan tubuhnya dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, melompat bagaikan terbang dan hinggap di atas sebuah pohon. Duduk di dahan berukuran besar. la bagai seorang penjaga yang menunggu majikannya sedang mandi. Matanya memandang sekeliling, mengawasi kalau-kalau ada bahaya datang pada waktu Suto sedang mandi. la siap menghalau bahaya itu sebelum bahaya mendekati Suto.
Semakin lama semakin berkerut cemas dahi Selendang Kubur. Suto tidak timbul-timbul ke permukaan air telaga. Hati Selendang Kubur menjadi cemas sekali, takut kalau-kalau Suto tenggelam di telaga itu. Maka, ia pun berseru kepada Pujangga Kramat yang masih bersembunyi di belakang pohon.
"Hai, Pujangga Kramat...! Apakah dia bisa berenang?"
"Entahlah!" jawab Pujangga Kramat. "Tak pernah melihatnya aku berenang, tak pernah melihatnya aku tenggelam!"
Selendang Kubur tidak mengerti bahwa Suto mempunyai kekuatan menahan napas cukup lama. Suto yang punya niat untuk sekadar mandi itu menjadi punya minat lain, yaitu ingin menyelam ke dasar telaga yang konon menjadi kuburan Pusaka Tuak Setan. Suto ingin mengetahui apakah Cadaspati benar sudah membawa lari Pusaka Tuak Setan, atau memang tidak menemukan apa-apa di telaga itu. Air di pertengahan berwarna keruh, tapi di bagian mendekati dasar telaga berwarna bening lagi. Mata Suto sempat melihat benda yang separonya terkubur tanah dasar telaga. Benda itu sangat mencurigakan. Letaknya tepat ada di tengah dasar telaga. Suto bergegas berenang mendekatinya.
"Hei, itu seperti benda berbentuk guci?!" pikir Suto. Lalu, ia menghentakkan tanah yang menimbun separo benda itu. Dan, ternyata benda tersebut adalah guci berlumut, dibungkus dengan anyaman pandan sebagai tempat guci yang juga berlumut, bahkan ada beberapa rumah keong kecil-kecil melekat di anyaman pandan. "Inilah guci yang kulihat pada saat aku bersemadi di dalam gua. Berarti guci inilah yang disebut Pusaka Tuak Setan?! Hmmm... kelihatannya keras sekali dan sukar dihancurkan dengan tangan kosong. Sebaiknya kuhancurkan di darat saja. Aku harus segera muncul ke permukaan!"
Suto bergegas berenang naik. Dalam hatinya ia sempat berkata, "Jadi, apa yang direbutkan oleh Cadaspati dan Datuk Marah Gadai itu? Ternyata Cadaspati memang tidak memiliki Pusaka Tuak Setan!"
Selendang Kubur merasa lega begitu melihat kepala Suto muncul dari kedalaman air telaga. la tidak segera mendekatinya, karena ia tahu hal itu akan membuat Suto malu dan tak jadi naik ke darat. Selendang Kubur hanya duduk diam di atas pohon. Tapi pandangan matanya selalu tertuju pada tubuh Suto yang berpakaian basah kuyup.
Pandangan mata yang semula menemukan keindahan dan membuat bibirnya menyunggingkan senyum itu, tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang. Rupanya pandangan mata perempuan berselendang putih di pinggangnya itu telah menangkap sebuah benda berukuran kecil di tangan Suto. Benda itu berbentuk guci kuno yang ukurannya sebesar genggaman tangan Suto.
"Pusaka Tuak Setan!" gumam Selendang Kubur dengan hati berdebar-debar. "Tuak itukah yang dikatakan sebagai Tuak Setan dan dapat menimbulkan bencana besar jika disalahgunakan? Seingatku Guru pernah menceritakan kehebatan tuak itu, yang dapat mendatangkan badai topan lewat hembusan napas orang yang meminum tuak tersebut. Oh, jelas orang itu akan menjadi sakti dan tak terkalahkan menghadapi lawan manapun juga! Jelas orang tersebut menjadi raja di atas segala raja di tanah Jawa ini. Hmmm...," Selendang Kubur masih tetap diam, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Paman Giri, Pusaka Tuak Setan kutemukan!" kata Suto kepada Pujangga Kramat.
Orang berperut agak buncit itu memandang tak berkedip dengan perasaan kagum. Hatinya berdebar-debar. Sementara Guci Tuak Setan itu diperhatikan oleh Pujangga Kramat, Suto memikirkan satu keanehan pada dirinya. la berkata dalam hati, "Rasa puyeng di kepalaku jadi hilang? Hei... jalanku pun tadi tidak limbung lagi. Apakah mabukku telah hilang akibat aku menyelam di air telaga itu? Atau mabukku hilang akibat aku memegang Guci Tuak Setan ini?"
"Suto," kata Pujangga Kramat. "Satu ada lagi pusaka terkubur Tuak Setan bersama!"
"Maksudmu, ada satu pusaka lagi yang terkubur bersama Tuak Setan ini? Oh, ya... aku ingat! Cincin Manik Intan."
"Ya. Ambillah. Ki Gila Tuak menyuruh menghancurkan pusaka dua-duanya!"
Suto berpikir beberapa saat, kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya mengeluarkan kata pelan. "Ya, satu lagi pusaka milik Bibi Guru masih ada di dasar telaga. Sebaiknya kuambil sekarang juga. Aku tadi melihatnya di sana!"
"Ambillah, orang lain sebelum mengambilnya!"
"Baik, Paman Giri. Bawalah dulu guci kuno ini, aku akan menyelam kembali ke dasar telaga."
"Lama-lama jangan. Nanti hilang napasmu."
Suto segera melompat kembali ke dalam telaga. Tindakannya itu membuat Selendang Kubur merasa heran dan perlu berkerut dahi. "Mengapa ia kembali masuk ke dalam telaga?" pikir Selendang Kubur. "Apakah dia meneruskan mandinya atau ada sesuatu yang tertinggal di dasar kubur? Mungkin sebuah atau dua buah pusaka lagi yang masih ada di sana. Hmmmm...! Sebaiknya kutunggu saja hasilnya."
Pada saat Suto menyelam di dasar telaga kembali, tiba-tiba hatinya menjadi gundah dan resah. Ada sesuatu yang membuat hatinya begitu. la berusaha melupakan keresahan tersebut dan tetap mencari Cincin Manik Intan. Anehnya, cincin itu tidak ditemukan. Suto mengorek tanah di tempat Pusaka Tuak Setan tadi ditemukan, namun cincin itu tidak ada. Suto bertambah gelisah karena tidak mudah menemukan cincin itu. Hasratnya ingin naik ke permukaan air menjadi semakin besar. Sampai-sampai timbul pertanyaan di batinnya.
"Ada apa di atas? Mengapa hasratku ingin muncul ke permukaan menjadi begitu besar? Mengapa cincin itu sendiri hilang? Tadi kulihat kilau batuannya ada di sini? Ke mana larinya cincin itu?"
Cukup lama Suto menahan kegundahan hati. Cukup lama pula Suto menyelam mencari cincin itu. Akhirnya ia tak tahan dengan keresahan hatinya, maka ia pun segera muncul di permukaan telaga.
"Paman Giri, aku tidak...," kata-kata Suto terhenti seketika. Pandangan matanya menemukan sesuatu yang amat mengejutkan. Mata Suto pun melebar. la segera jejakkan kakinya yang ada di dalam air, dan tubuhnya melesat terbang dari kedalaman air, lalu ia bersalto satu kali di udara. Kakinya mendarat dengan tegar di samping sesosok tubuh yang terbujur kaku membiru.
"Paman Giri...!" Suto menyentakkan kata untuk membangunkan Pujangga Kramat. Ternyata orang itu masih belum bisa membuka matanya. Sekujur tubuhnya menjadi pucat kebiru-biruan. Di bagian lehernya ada jarum. Suto mencabut jarum itu. Diamatinya beberapa saat, dan ternyata jarum itu serupa dengan jarum beracun yang mengenai punggung Dewi Murka.
"Celaka! Pusaka Tuak Setan tidak ada di tangan Paman Giri! Pasti ada yang telah mencuri atau merebutnya dengan terlebih dulu merubuhkan Paman Giri memakai jarum beracun. Hmmmm... Selendang Kubur... di mana dia? Mengapa Selendang Kubur pun hilang? Benarkah Selendang Kubur yang merebut Pusaka Tuak Setan itu?"
Suto bergegas mengambil bumbung tempat tuak yang masih tetap bersandar di bawah pohon. Tapi dalam hatinya ia masih berkata,
"Jika benar Selendang Kubur telah mencuri Pusaka Tuak Setan dan meminum tuaknya, maka dia adalah satu-satunya orang yang bisa menghancur leburkan tanah Jawa! Keparat! Ke mana perginya Selendang Kubur? Pulang ke perguruannya? Hmmm... jelas tak mungkin! Jadi, ke mana aku harus mencari Selendang Kubur?"
SELESAI
Segera menyusul!!! Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode Darah Asmara Gila