Tumbal Tanpa Kepala

Cerita silat Indonesia online serial Pendekar Mabuk episode Tumbal Tanpa Kepala karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Tumbal Tanpa Kepala
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, menghentikan langkahnya beberapa saat sebelum mencapai perahu yang ditunggangi Badai Kelabu dan Melati Sewu dalam perjalanan membawa jenazah guru mereka. Dewa Racun pun setuju untuk pindah ke perahu milik Badai Kelabu karena jika mengandalkan perahu yang ditungganginya dikhawatirkan akan mengalami kebocoran lagi di tengah perjalanan.

Ketika Pendekar Mabuk menghentikan langkahnya, Dewa Racun dan Badai Kelabu pun ikut berhenti melangkah. Keduanya saling pandang dengan nada heran. Padahal mereka sudah mencapai pantai, dan jarak dengan perahu tidak berapa jauh lagi. Mengapa Pendekar Mabuk harus menghentikan langkah ? Pikir mereka.

"Suara berdenging itu adalah suara rongga karang tertiup angin, Suto," kata Badai Kelabu. "Tak perlu kau curigai hal itu."

"Bukan suara itu yang kucurigai, tapi langkah kaki menginjak dedaunan kering yang kupikirkan!" kata Pendekar Mabuk.

"Mungkin langkah kaki kami, Suto!"

"Kalian sudah mencapai pasir pantai, tak mungkin suara langkah kakinya terdengar kering dan gemerisik!"

"Mak...mak...maksudmu, ada orang yang membuntuti kami?!" tanya Dewa Racun yang gagap itu.

Suto tidak menjawab, melainkan justru kerutkan dahinya dengan menelengkan telinganya, menyimak suatu suara yang tertangkap oleh indera pendengarannya. Dewa Racun dan Badai Kelabu saling berpandangan sebentar, kemudian mata mereka pun memandang sekeliling penuh selidik.

"Suara itu semakin aneh," ujar Pendekar Mabuk kepada kedua rekannya.

"Suara itu seperti gemerisik tapi bukan daun kering yang diinjak, melainkan seperti... seperti...."

Kata-kata itu terhenti sejenak, dan tiba-tiba kedua tangan Pendekar Mabuk itu bergerak cepat mendorong tubuh Dewa Racun dan Badai Kelabu. Sentakan tangan Suto itu begitu kuatnya, sehingga kedua rekannya itu terlempar ke belakang beberapa tombak jauhnya sedangkan tubuhnya sendiri cepat menyentak naik, melenting di udara dengan gerakan salto dua kali kebelakang.

Bersamaan dengan itu, dari dalam pasir pantai yang mereka pijak keluarlah sesosok makhluk yang mengagetkan, menyentak keluar dan menyemburkan butiran-butiran kecil seperti biji kacang hijau berwarna merah.

Kalau saja Dewa Racun dan Badai Kelabu tidak terpelanting jatuh karena dorongan Pendekar Mabuk tadi, pasti mereka terkena semburan butir-butir merah yang menyebar ke setiap arah. Pendekar Mabuk sendiri untung terpelanting dan jatuh pada saat mendaratkan kakinya ke tanah dari bersalto dua kali itu, jika tidak ia pun akan t erkena serbuk aneh yang muncrat dari mulut makhluk yang muncul dari dalam tanah itu.

Makhluk tersebut ternyata manusia biasa, hanya punya keistimewaan mampu menembus dan berjalan di dalam tanah. Orang itu bertubuh kurus dengan rambut panjang meriap tak beraturan. Wajahnya angker tanpa kumis, tulang-tulang pipi dan rahangnya bertonjolan. Matanya cekung dan alisnya tidak ada. Orang itu mengenakan pakaian hitam yang kotor dan banyak lumpur melekat kering di pakaiannya itu. Rambutnya pun kotor, sebagian ada yang lengket karena lumpur kering.

Pendekar Mabuk dipandanginya sesaat. Beberapa saat kemudian dari matanya memancarkan sorot cahaya kuning yang berkelebat cepat menghantam tubuh Pendekar Mabuk. Yang dihantam, karena masih terkesima melihat kemunculan manusia dari dalam tanah itu, tak sempat melakukan tangkisan. Hanya menggunakan gerak silumannya yang mampu berlari cepat dalam sekejap.

Tahu-tahu Pendekar Mabuk sudah berada di samping Badai Kelabu dan Dewa Racun. Sedangkan sinar kuning yang memancar dari mata orang aneh itu menghantam pasir pantai, pasir itu menyembur keras dan cukup tinggi diiringi suara letusan yang teredam.

"Siapa dia, Dewa Racun?! Aku tidak mengenalinya sama sekali?!" bisik Suto.

Tapi Badai Kelabu yang menyahut, "Perwira Mayat Hidup!"

"Siapa itu Perwira Mayat Hidup?!"

Badai Kelabu lagi yang menjawab, "Tokoh sesat yang menjadi lawannya Siluman Tujuh Nyawa. Menurut cerita mendiang guru, Perwira Mayat Hidup itu sejak dulu bermusuhan dengan Siluman Tujuh Nyawa, dan berulang kali gagal membunuh Siluman Tujuh Nyawa. Namun selalu berhasil meloloskan diri dari ancaman maut musuh bebuyutannya itu!"

Manusia yang berjuluk Perwira Mayat Hidup itu menggeramkan suara ketika mata Suto terlihat menatapinya dengan tajam. Kemudian ia melangkah tiga tindak, sedangkan Badai Kelabu segera mundur dua tindak. Agaknya perempuan itu merasa takut terhadap Perwira Mayat Hidup, sehingga ia perlu waspada dan bersiap untuk melarikan diri jika terjadi serangan maut dari manusia aneh itu.

Dari belakang Pendekar Mabuk, Badai Kelabu sempat berbisik, "Ilmunya sangat tinggi Suto! Ia tak bisa di bunuh! Jika dibunuh, beberapa saat akan bangkit lagi!"

"Ak... ak... aku melihat tadi dia semburkan racun Sejuta Bangkai!" kata Dewa Racun. "It .. itu... racun yang berbahaya! Tergores sedikit saja kulit kita bisa busuk mendadak!"

Pendekar Mabuk diam saja, menampung segala ucapan dari kedua rekannya itu. Matanya tetap memandang ke arah Perwira Mayat Hidup yang dianggap paling berbahaya jika tidak terus diperhatikan. Sinar yang keluar dari matanya dapat membunuh sewaktu-waktu dan sangat di luar dugaan.

Beberapa saat kemudian terdengar suara manusia aneh itu yang sedikit serak dan besar, tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang kurus dan berkulit keriput itu. "Kalian yang bertarung di Pulau Kidung itu, bukan?!"

"Benar!" jawab Suto. "Jika yang kau maksud adalah pertarungan di Pulau Kidung yang menewaskan Resi Kidung Sentanu, memang kamilah yang di sana, tapi bukan kami yang membunuh tokoh putih itu!"

"Aku tidak menanyakan siapa yang membunuh Kidung Sentanu!" geram Perwira Mayat Hidup, "Aku hanya peduli dengan tombak maut milik si Jangkar Langit itu! Kalian yang telah berhasil merampasnya dari tangan si Tapak Baja rupanya!"

"O, kau salah sangka, Perwira Mayat Hidup! Tombak itu tidak ada pada kami!"

"Omong kosong! Grrr...! Tombak itu pasti telah kau sembunyikan di suatu tempat! Mengakulah, Bocah Kadal" bentak Perwira Mayat Hidup itu dengan matanya semakin memandang angker dan mengerikan.

Tetapi Pendekar Mabuk masih tetap tenang, ia bahkan menyempatkan diri meneguk tuaknya beberapa kali. Tapi tiba-tiba tangan Dewa Racun berkelebat ke depan, dan sebuah pisau dilemparkan dengan kecepatan tinggi. Pisau yang menuju ke dada Perwira Mayat Hidup itu ditangkis dengan telapak tangannya dan disentakkan dengan cepat sehingga dapat membalik arah dan menuju ke Dewa Racun. Gerakan pisau yang lebih cepat dari semula itu hampir-hampir mengenai tubuh Dewa Racun jika bumbung tuak Pendekar Mabuk tidak segera dihadangkan ke depan dada Dewa Racun.

Jrabb...! Pisau itu menancap di bumbung tuak. "Ambil, dan jangan lakukan serangan lagi kepadanya!" kata Suto kepada Dewa Racun.

Maka si kerdil pemberani itu pun segera mencabut pisaunya dan mundur tiga tindak, sejajar dengan Badai Kelabu.

Pendekar Mabuk berkata kepada Perwira Mayat Hidup itu, "Apa maksudmu menuduh kami menyembunyikan tombak maut itu?!"

"Kalian tidak pantas menjadi pemiliknya!" jawab Perwira Mayat Hidup dengan suara seraknya. "Akulah yang pantas memiliki Pusaka Tombak Maut itu! Akulah yang seharusnya memiliki tombak tersebut untuk membinasakan Durmala Sanca, si keparat jahanam itu!"

"Sayang sekali tombak itu tidak ada pada kami. Kalau saja tombak itu ada pada kami, akan kuserahkan padamu, karena kami pun memusuhi Siluman Tujuh Nyawa!"

"Jangan sebut dia Siluman Tujuh Nyawa!" bentak Perwira Mayat Hidup. "Dia hanya punya secuil nyawa! Bukan tujuh nyawa! Akulah yang sepantasnya menyandang gelar tersebut! Bahkan aku pun lebih pantas berjuluk Siluman Sejuta Nyawa! Sayang sekali julukan itu tidak dikenal orang, dan lebih dikenal dengan nama Perwira Mayat Hidup. Padahal akulah orang yang punya sejuta nyawa! Siapa yang bisa membunuhku dari seluruh tokoh sakti di dunia persilatan ini? Tidak ada!"

"Kalau begitu, mengapa kau tak bisa kalahkan Durmala Sanca?!"

"Karena dia punya sejuta kelicikan!"

"Hmm...!" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum. "Apakah kau tak bisa membalas kelicikannya?! Berarti kau masih rendah dan ilmu-mu masih di bawah tingkat ilmunya Durmala Sanca!"

"Grrr...! Biadab kau berani mengatakan aku begitu!" Perwira Mayat Hidup menggenggam kuat-kuat sambil menggeram keras, ia maju dua tindak dan berkata sambil menuding tegas pada Pendekar Mabuk. "Kau tak perlu banyak bicara! Serahkan saja tombak milik Jangkar Langit itu! Kalau tidak, kuhancurkan kepala kalian bertiga!"

"Tombak itu tidak ada pada kami, tapi dibawa lari oleh Hantu Laut!" kata Pendekar Mabuk tetap dengan tenang.

"Tidak mungkin! Hantu Laut hanya jongos kapal, dia tidak mungkin bisa merebut tombak itu dari tangan Tapak Baja! Kau jangan membual kelewat batas, Bocah Kadal!"

"Kalau tak percaya, ya sudah!" Suto angkat bahu seenaknya, seakan meremehkan kegeraman hati Perwira Mayat Hidup. Suto sengaja melangkah ke arah kanan beberapa tindak, agar tidak membentuk garis lurus dengan keberadaan Badai Kelabu dan Dewa Racun. Sebab ia khawatir jika tahu-tahu Perwira Mayat Hidup menyerangnya, serangan itu akan mengenai kedua temannya jika ia menghindar.

"Bocah Kadal! Rupanya kau memaksaku untuk bertindak kasar kepadamu, hah?!" bentak Perwira Mayat Hidup sambil mengikuti gerakan Pendekar Mabuk. Tiba-tiba orang aneh itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu kedua tangan itu pelan-pelan bergerak mundur bagai menarik tubuh Pendekar Mabuk.

Tetapi pada saat itu Pendekar Mabuk menahan napasnya dan tetap berdiri di tempatnya. Tangan Perwira Mayat Hidup masih mengeras kaku ke depan dengan tubuh sedikit melengkung ke belakang. Ia sedang mengerahkan tenaganya untuk menarik tubuh Pendekar Mabuk yang sedang mengeraskan perutnya, menyimpan tenaga dan napas di bagian perut.

Rupanya mereka adu kekuatan tenaga dalam secara aneh. Perwira Mayat Hidup bukan sekadar ingin menarik tubuh Suto Sinting, melainkan ingin menjebol jantung agar keluar dari dada Suto dan melayang ke tangannya. Dada Suto pun terasa berdenyut-denyut seakan ingin tersedot ke depan, jantungnya mulai terasa sakit. Pendekar Mabuk bertahan terus hingga tubuhnya gemetar, bumbung tuak yang menggantung di pundak mulai berguncang-guncang. Urat-urat di leher mulai tampak bersumbulan. Wajah Pendekar Mabuk memerah. Dada kirinya mulai tampak bergerak-gerak. Baju bulu yang dikenakan mulai rontok bulu-bulunya dan beterbangan, lari ke telapak tangan Perwira Mayat Hidup.

Di sisi lain, Badai Kelabu dan Dewa Racun tampak cemas sekali melihat keadaan Suto yang hanya bertahan. Badai Kelabu sempat berbisik tegang kepada Dewa Racun, "Suto bisa celaka kalau hanya bertahan! Lawannya kali ini mempunyai tenaga kuat sekali, daya sedotnya sangat tinggi, karena memang begitulah cara dia mengambil jantung lawan untuk dimakannya!"

Dewa Racun diam, memikirkan suatu cara. Dan tiba-tiba ia nekat mencabut pisaunya dan melemparkannya ke punggung Perwira Mayat Hidup.

Wuttt ...! Debb...! Wusss...!

"Awas !" sentak Badai Kelabu, dan Dewa Racun pun lompat ke kiri. Pisaunya menancap di tanah setelah memantul balik. Pisau itu bagaikan membentur dinding karet yang membal dan sulit ditembus benda tajam.

"Hiih...!" Dewa Racun menghantamkan pukulan tenaga dalamnya yang melepaskan sinar merah dari telapak tangannya. Sinar merah itu berkelebat cepat menyerang punggung Perwira Mayat Hidup, tetapi segera memantul balik dan menghantam pohon kelapa jauh di belakang Dewa Racun dan Badai Kelabu. Pohon kelapa itu pun rubuh seketika. Jika Badai Kelabu dan Dewa Racun tidak lekas merundukkan badan, maka salah satu dari tubuh mereka akan mengalami nasib seperti pohon kelapa tersebut.

"Dalam keadaan seperti itu, dia tidak mempan diserang dengan senjata apa pun! Jangan lakukan lagi, nanti malah mencelakai diri kita sendiri, Dewa Racun!"

Sementara itu, kulit tubuh Pendekar Mabuk semakin memerah. Urat-uratnya kian bertonjolan. Kedua tangannya telah menggenggam kuat-kuat di kanan kiri. Tapi kakinya masih tegar berdiri dan kokoh menahan daya sedot dari lawannya. Namun beberapa saat kemudian, Pendekar Mabuk menyentakkan kedua tangannya dari bawah ke atas, "Haaah...!" teriaknya keras-keras sambil melepaskan tangannya dalam satu kekuatan yang menyentak.

Tubuh Perwira Mayat Hidup terlempar tinggi-tinggi akibat sentakan kedua tangan Pendekar Mabuk itu. Dan ketika itulah, Pendekar Mabuk segera melepaskan pukulan 'Pecah Raga', selarik sinar hijau melesat dari tangan kirinya dan menghantam lurus ke tubuh lawan yang masih di angkasa sana.

Kejadian berikutnya sungguh mengerikan. Perwira Mayat Hidup tidak berbentuk lagi. Raganya pecah menjadi serpihan-serpihan yang berhamburan ke mana-mana. Pecahan itu berjatuhan di pasir pantai, termasuk bagian kepalanya yang entah menjadi beberapa bagian.

Pendekar Mabuk terengah-engah. Kulit tubuhnya sudah kembali memulih seperti sediakala walau dengan sedikit demi sedikit. Urat-uratnya mulai mengendur dan tidak lagi bertonjolan keluar di permukaan kulit . Ia melangkah sedikit gontai mendekati kedua rekannya. Badai Kelabu menyambut dan memapah Pendekar Mabuk, lalu membawanya duduk di sebongkah batu.

"Hampir saja jantungku tersedot keluar dari ragaku!" kata Pendekar Mabuk sambil terengah-engah.

"Aku sudah mencemaskan hal itu! Kalau kau bertahan saja, kau bisa mati karena dia mempunyai kekuatan yang begitu besar!" kata Badai Kelabu.

Ketika Pendekar Mabuk menenggak tuaknya, Dewa Racun menyempatkan berkata, "Il...il...ilmuku tak cukup untuk menandinginya! Ak...aku sudah berusaha membantumu Suto. Tap..tapi...tidak berhasil!"

Suto menghempaskan napas kelegaan dari mulutnya yang habis meneguk tuak. Badannya kembali terasa segar. Saat itu ia berkata, "Aku hanya mengkhawatirkan kalau kalian berdua ikut campur dan menjadi sasarannya! Jelas aku tak dapat menolong kalian pada saat seperti tadi! Untunglah kau tak banyak berbuat Dewa Racun! Kalau kau tadi melompat dan menyerangnya, bisa-bisa jantungmu yang disedot keluar olehnya!"

"Ak...ak...aku sudah memperhitungkan hal itu dan... dan tak berani terlalu lancang!"

Kemudian, Badai Kelabu berkata setelah ia termenung beberapa saat tadi, "Menurut cerita mendiang guruku, Perwira Mayat Hidup, bukan orang yang mudah dibunuh! Biasanya dia akan bangkit lagi dari kematiannya!"

"Tap... tap...tapi sekarang dia mati dalam keadaan pecah begitu, man... maaann...mana bisa hidup lagi?!" Dewa Racun agak ngotot.

Badai Kelabu sendiri tidak berani membantah, hanya berkata seperti bicara pada diri sendiri, "Menurut kabar, orang itu punya ilmu 'Aji Cadar Angin'! Kalau mayatnya kena angin bisa hidup kembali!"

Suto Sinting diam dan termenung cemas beberapa saat. Dewa Racun tidak mempunyai kecemasan seperti Suto. Ia percaya betul, bahwa Perwira Mayat Hidup tidak akan bisa bangkit lagi dari kematiannya karena keadaan tubuhnya telah hancur.

"Seb...seb...sebaiknya, kita segera tinggalkan tempat ini! Kurasa orang-orang di Pulau Beliung sedang membutuhkan kita dan menunggu-nunggu kedatangan kita, Suto!"

"Baiklah! Aku setuju!" kata Pendekar Mabuk, lalu berdiri dan menggantungkan bumbung tuaknya di punggung.

"Bagaimana dengan diriku Suto?!" tiba-tiba Badai Kelabu bertanya dengan nada sedih. "Aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Guru tak ada, teman tak ada, dan...dan aku tak mau kembali ke Pulau Hitam lagi! Aku masih terbayang kejahatan Guru!"

"Apakah kau mau ikut ke Pulau Beliung?"

"Kemana pun kau ingin membawaku, aku tak menolak, Suto!"

Pendekar Mabuk tersenyum dan merangkul gadis itu. Ia menepuk-nepuk pundak Badai Kelabu sambil berkata, "Bangkitkan semangatmu untuk tetap hidup dengan siapapun dan di mana pun! Sekarang ikutlah ke Pulau Beliung! Aku yang menjamin keselamatan dan hidupmu di sana!"

Pada saat mereka mulai naik ke perahu, tanpa mereka sadari serpihan tubuh Perwira Mayat Hidup yang telah menyebar itu bergerak-gerak terhembus angin pantai. Serpihan-serpihan itu semakin lama semakin saling berdekatan. Bagian-bagian yang terpisah mengumpul menjadi satu bagai digerakkan oleh hembusan angin dari berbagai arah.

* * *

DUA
Perahu pun melaju menyusuri jalur pelayaran ke Pulau Beliung. Ketiga penumpangnya dalam keadaan tenang, bahkan Pendekar Mabuk sempat berbicara di buritan bersama Badai Kelabu. Kasak-kusuk mereka mulai menyinggung soal hati dan perasaan secara pribadi. Mereka tidak tahu, bahwa potongan-potongan tubuh Perwira Mayat Hidup itu telah berkumpul menjadi satu dan saling lekat kembali, hingga membentuk satu bagian tubuh.

Selembar rambut pun kembali lagi pada tempatnya. Semakin banyak angin berhembus semakin bergerak-gerak tubuh mayat yang kembali utuh itu. Sampai pada akhirnya, tampak tubuh mayat terlentang itu bergerak pada bagian perutnya. Ia mulai bernapas sedikit dengan mata membelalak lebar, memandang sekeliling dengan liar.

"Ke mana mereka...?!" geram suara Perwira Mayat Hidup yang telah bangkit kembali dari kematiannya. Ia segera berdiri dan memandang ke lautan. Terlihat olehnya sebuah perahu yang sedang meninggalkan pulau tersebut.

Di perahu itu, mata Dewa Racun menyipit memandang kearah pulau tadi. Jantungnya menjadi berdebar-debar, hatinya gelisah dan lidahnya semakin keluh untuk mengucapkan sesuatu yang dilihatnya. Dalam hatinya ia membatin, "Sepertinya ada orang berdiri di pantai? Rambutnya berserakan! Potongannya seperti potongan tubuh si Perwira Mayat Hidup! Apakah benar orang itu bangkit lagi dari kematiannya dengan tubuh sehancur itu? Ah mungkin aku hanya salah pandang saja!"

Perahu melaju dengan mulus. Ombak lautan pun tidak bergulung-gulung, lebih berkesan tenang. Tapi sinar matahari mulai susut karena keadaannya sudah mulai mendekati cakrawala barat.

Badai Kelabu sengaja menggantikan Dewa Racun untuk berada di haluan, memegang kemudi agar arah perahu tetap di jalur pelayaran menuju Pulau Beliung. Sementara itu, Dewa Racun segera mendekati Pendekar Mabuk yang sejak tadi menenggak tuaknya sedikit demi sedikit.

Dewa Racun mulai berbicara dengan suara pelan, takut didengar oleh Badai Kelabu, "Ap...ap...apakah kau percaya kalau seseorang yang sudah mati bisa bangkit lagi?"

"Percaya! Karena memang ada ilmu semacam itu di dunia ini. Guruku pernah bercerita tentang kehebatan ilmu Ki Jangkar Langit, bahwa ia juga orang yang susah dibunuh! Kematian baginya hanyalah tidur sekejap, yang pada suatu saat akan bisa bangkit lagi karena sesuatu hal!" Pendekar Mabuk bicara dengan lancar, bukan seperti orang mabuk.

"Kalll... kaaal... kaal... kalau begitu, orang tersebut akan hidup selama-lamanya?"

"Bukan begitu artinya! Orang itu akan mati apabila sudah tiba saatnya untuk mati dan kembali kepada Yang Maha Kuasa! Jika belum waktunya garis kehidupan menentukan ia mati, maka walaupun mati beberapa kali, itu hanya suatu kecelakaan biasa yang bisa membuatnya hidup lagi. Kematian di luar kodrat ibarat bagi kita adalah pingsan karena sesuatu hal. Orang pingsan bisa bangkit lagi, bukan? Nah, demikian pula orang yang punya ilmu seperti Ki Jangkar Langit!"

"Jad... jad... jadi, bagaimana untuk mengalahkan orang yang punya ilmu seperti itu, terutama jika ia adalah orang sesat dan jahat, tentunya sangat sulit untuk dibunuh!"

"Memang sulit!" jawab Suto sambil tersenyum, "Tapi jika garis ketentuan hidupnya sudah mencapai pada titik kematian, secara sengaja atau tidak sengaja, seseorang bisa saja membuatnya mati selama-lamanya. Entah dengan cara bagaimana dan dalam keadaan mati yang seperti apa, kita tidak tahu! Setiap orang akan menemui jalan kematiannya sendiri-sendiri, yang pada umumnya berbeda-beda cara. Tetapi jalan itu tetap ada. Tidak bisa hilang dari garis ketentuan hidup yang sudah dipastikan dari sang Pencipta!"

Dewa Racun diam dan manggut-manggut. Ada sesuatu yang direnungkan, ada sesuatu yang dipikirkan, ada sesuatu pula yang membuatnya gelisah. Dan kegelisahan itu tertangkap oleh mata dan perasaan Pendekar Mabuk. Karenanya, Suto pun segera bertanya,

"Mengapa kau tanyakan hal itu? Apakah ada sesuatu yang tertangkap oleh firasat mu?"

"Tid... tid... tidak ada! Hanya saja, aaak... aku sedikit mencemaskan kata-kata Badai Kelabu," jawab Dewa Racun.

"Kata-kata yang mana?"

"Ilmu 'Cadar Angin'!"

"Kau cemas kalau Perwira Mayat Hidup itu bangkit lagi?"

"Tid... tid... tidak cemas, hanya mmmee...merasa tak enak hati saja! Sep...sepertinya...."

Dewa Racun tidak teruskan ucapannya. Matanya melirik ke arah buritan. Kejap berikutnya sudah kembali kepada Suto Sinting dan berkata soal lain. "Meng... meng... mengapa kau tidak gunakan jurus 'Manggala' atau 'Yudha'? Buk...bukankah kau mendapat kekuatan baru dari Gusti Ratu Kartika Wangi?!"

"Kalau tidak terpaksa sekali, aku tak akan pergunakan jurus maut! Bahkan kalau memang bisa, cukup kugunakan kata-kata untuk mengalahkan lawanku. Karena memang begitulah aku diajarkan bersikap dan hidup di masyarakat oleh guruku si Gila Tuak!"

"O, iiiy...iya ! Aku meng...meng...mengerti maksudnya! Cuma, menurutku Perwira Mayat Hidup itu adalah lawan yang berbahaya dan tak cukup dikalahkan dengan kata-kata. Bahkan...."

Dewa Racun kembali berhenti bicara. Matanya kembali melirik ke arah buritan. Ada kecemasan yang melintas di mata Dewa Racun. Kecemasan dan kegelisahan itu sejak tadi sudah diketahui oleh Pendekar Mabuk, tapi si tampan itu diam saja dan berlagak tidak melihat kejanggalan tersebut. Namun diam-diam seluruh inderanya dipasang baik-baik dan menyebarkan tingkat kewaspadaan yang tinggi.

"Dewa Racun, masuklah ke barak!"

"Meng... meng... mengapa kau menyuruhku masuk ke barak?"

Pendekar Mabuk berdiri, memandang rekannya yang kerdil sebentar. Kemudian ia memandang ke arah Badai Kelabu, ternyata gadis itu tetap tenang tanpa memendam kegelisahan apa pun. "Badai Kelabu, tinggalkan haluan. Masuklah ke barak!"

"Kenapa?" tanya Badai Kelabu dengan memendam keheranan.

"Biar aku yang kemudikan perahu ini!" jawab Pendekar Mabuk.

"Tapi mengapa kau menyuruhku masuk ke barak?"

"Supaya kau istirahat! Dewa Racun juga kusuruh masuk ke barak supaya beristirahat! Aku yakin perjalanan menuju Pulau Beliung masih cukup jauh dan melelahkan."

"Aku tidak lelah. Aku justru bersemangat dan senang sekali bisa mendampingi perjalananmu!" senyum Badai Kelabu mekar dengan indah.

Pendekar Mabuk membalas dan mendekatinya, kemudian berkata pelan, "Masuklah ke barak bersama Dewa Racun!"

Badai Kelabu berubah keceriaannya menjadi wajah penuh keheranan. Sebelum ia mengajukan tanya, Suto sudah lebih dulu berkata, "Turutilah kata-kataku!"

Badai Kelabu dan Dewa Racun akhirnya menurut. Mereka masuk ke barak beratap rumbia lapis kayu papan. Di dalam barak itu, mereka berdua saling beradu tanya, "Mengapa si tampan itu menyuruh kita masuk ke barak ini?"

"Ak...ak...aku tidak tahu. Aku juga heran, mengapa dia menjadi agak dingin sikapnya?"

"Mungkin ada kata-kata ku yang tak berkenan dihatinya?"

"Kat...kat...kat...kata-kata dari siapa?"

"Barangkali darimu?"

" Mungkinkah begitu?"

Baru saja Badai Kelabu ingin bicara lagi, tiba-tiba ia urungkan niatnya itu. Kapal terasa terguncang aneh walaupun hanya sedikit guncangannya. Kejap berikutnya terdengar suara, bruukk...! Dan kedua orang di dalam barak ikut sama-sama terkejut.

"Seperti suara orang melompat dari kedalaman air ke atas perahu!"

"Tapi mengapa Suto diam saja?"

Tak berapa lama, mereka melihat kilatan cahaya merah yang menerjang punggung Suto. Cahaya merah itu datangnya dari atas atap barak. Mereka berdua terpaku di tempat melihat Suto terkena kilatan sinar merah.

ZIappp...! Bwurrr...!

"Dia terbakar!" sentak Badai Kelabu dan segera berlari keluar dari barak. Tapi Dewa Racun menahan tangannya dan berkata dengan jari telunjuk ditempelkan di mulutnya.

"Ddi...di...diam!" bisik Dewa Racun. "Ak...ak...aku yakin Suto tidak sebodoh itu! Kit...kita lihat saja apakah benar dia terbakar atau tidak!"

"Tapi jelas ada api yang membungkusnya setelah ia terkena kilatan sinar merah dari atas tempat kita ini!"

"Sssst ...! Tet...tet...teee...tenang dulu!"

Api yang membungkus tubuh Pendekar Mabuk itu tiba-tiba padam dan lenyap begitu saja. Wussst ...! Tubuh Pendekar Mabuk tidak mengalami luka bakar sedikit pun. Rupanya ia menggunakan tipuan pandangan mata dengan mengeluarkan tenaga dalam yang berupa asap membungkus dirinya. Asap itu tembus pandang sehingga tidak terlihat, dan yang terbakar tadi adalah lapisan hawa murni yang berbentuk asap tembus pandang itu.

Pendekar Mabuk segera membalikkan badannya dan menyunggingkan senyum ke arah orang yang ada di atas atap barak. Badai Kelabu terbengong melihat keadaan Suto yang tetap gagah dan tegar itu.

"Bangsat kau!" terdengar makian suara serak dari atas atap barak. Badai Kelabu dan Dewa Racun segera mengerti, siapa orang yang berdiri di atas atap itu, yang tak lain adalah Perwira Mayat Hidup.

"Rupanya kau memang sengaja ingin adu ilmu kesaktian denganku, Bocah Kadal!"

"Aku tidak bermaksud begitu, tapi aku siap jika kau inginkan!"

"Kau tidak terkejut sedikit pun melihat aku bangkit lagi?!"

"Itu permainan anak kecil! Tetanggaku punya anak, dan anaknya juga bisa bangkit lagi dari kematiannya! Itu hanya permainan anak-anak saja, tak perlu membuatku terheran-heran!"

"Kalau begitu, kutunjukkan jurus mautku yang bisa membuatmu terperangah dan terheran-heran, Hiaaaat...!"

Perwira Mayat Hidup melompat bagaikan terbang ke arah haluan. Pendekar Mabuk segera melompat juga menyongsong gerakan terbang lawannya. Tapi tiba-tiba tubuh Perwira Mayat Hidup berhenti di udara tanpa beralaskan apa pun. Ia berdiri menghadang gerakan Suto ke arahnya, lalu dengan cepat ia sentakkan tangannya yang mengeluarkan cahaya kuning itu. Claap...!

Suto Sinting cepat putarkan tubuh dan sinar kuning itu tepat mengenai bumbung tuaknya. Tabb...! Wuttt...! Sinar kuning itu membalik arah dan mengenai tangan Perwira Mayat Hidup. Jrrabb...!

Bhuggg...! Tubuh Perwira Mayat Hidup terpental jatuh ke laut. Byuur...! Dalam sekejap ternyata tubuh itu kembali melayang naik ke permukaan kapal. Jleeg!

"Bocah Edan! Bumbung apa yang ada di punggungmu itu, sehingga bisa membalikkan sinar kuningku itu?!"

"Bisa juga melepaskan nyawamu selamanya jika kau tak mau menyerah, Perwira Mayat Hidup!"

"Hah...! Tak ada kata menyerah bagiku!" bentaknya dengan wajah semakin angker dan ganas. "Terimalah jurus maut ku berikutnya! Hiaah!"

Clapp...! Sinar putih perak menghantam Pendekar Mabuk, keluar dari sodokan jari tangan Perwira Mayat Hidup itu.

Suto Sinting tidak menghindari, melainkan menangkis kembali dengan kibasan bumbung tuaknya. Sinar putih itu menghantam bumbung dan memantul balik seperti tadi. Tapi kali ini agaknya Perwira Mayat Hidup telah siap siaga, sehingga ia segera melompat ke arah haluan dan sinar yang memantul balik itu jatuh ke laut.

Jrrrosss...! Menyemburlah air laut, tingginya hampir separo tinggi pohon kelapa.

Pada saat itu, Pendekar Mabuk pun segera sentakkan telapak tangannya yang berjari rapat dalam keadaan miring. Settt...! Dan pada saat itu, dua mata pisau kecil yang tidak terlihat oleh mata telanjang telah melesat begitu cepatnya. Yang terlihat oleh Dewa Racun dan Badai Kelabu hanyalah dua sinar emas melesat dan menghantam perut Perwira Mayat Hidup.

Orang tersebut langsung diam tak bergerak. Keadaannya tetap dengan tangan terangkat dan seolah-olah ingin lepaskan pukulan dahsyatnya lagi. Tapi saat itu, Dewa Racun segera keluar dari barak dan mendekati Suto sambil berkata,

"Ju... juu... jurus 'Manggala' telah kau gunakan, Suto?!"

"Ya. Agaknya tak ada jalan lain kecuali harus melenyapkannya dengan jurus 'Manggala'!"

Badai Kelabu pun ikut keluar dari barak dan memandangi Perwira Mayat Hidup yang diam mematung dengan mata masih mendelik ganas. "Mengapa dia diam saja? Apakah dia menjadi patung?" tanya Badai Kelabu kepada Pendekar Mabuk.

Baru saja Suto ingin menjawab, tapi tiba-tiba datang angin sedikit kencang. Rambut Perwira Mayat Hidup terbang beberapa helai. Badai Kelabu terkejut melihat keadaan seperti itu. Matanya memandang tak berkedip dengan dahi berkerut.

Tak berapa lama, telinga Perwira Mayat Hidup menjadi rontok bagaikan abu yang tersapu angin. Menyusul kemudian bagian jari tangannya. Prusss...! Terbang terbawa angin dan menjadi abu. Makin lama, semakin hilang bagian tubuhnya.

Badai Kelabu baru menyadari bahwa Perwira Mayat Hidup ternyata telah mati sejak ia menjadi patung tadi. Bahkan bukan saja sekadar mati menjadi mayat, namun menjadi abu yang masih membentuk seperti wujud aslinya. Dan kematian itu akibat jurus maut yang dimiliki Pendekar Mabuk, yaitu jurus 'Manggala'.

Gumpalan abu yang membentuk wujud aslinya itu makin lama semakin habis tersapu angin, dan akhirnya kematian Perwira Mayat Hidup itu tidak meninggalkan bekas secuil pun. Lenyap menjadi abu dan bertaburan di lautan lepas.

Suto berucap kata seperti bicara pada dirinya sendiri, "Kekuatannya pada angin, tapi ia dimusnahkan oleh angin juga!"

Badai Kelabu menghirup napas panjang-panjang dan menghembuskannya dengan satu kelegaan yang memuaskan hati. Ia berkata kepada Dewa Racun yang baru berhenti dari tertegunnya. "Luar biasa jurus itu! Dapatkah aku mempelajarinya dari Suto?"

Dewa Racun yang kerdil menggelengkan kepala, "Tid... tidak... tidak semua orang bisa, tidak setiap orang memiliki jurus 'Manggala'! Hanya Suto Sinting Pendekar Mabuk itu, yang mempunyai dua jurus langka, yaitu jurus 'Manggala' dan jurus 'Yudha'. Sebab dia adalah seorang 'Manggala Yudha' negeri alam gaib yang bernama Puri Gerbang Surgawi!"

"Bukankah itu negeri di Pulau Serindu?"

"It... itu anaknya, yang di alam gaib adalah ibunya!"

Badai Kelabu hanya bisa manggut-manggut menyimpan sejuta kekaguman.

* * *

Perjalanan Kapal Neraka yang membawa Hantu Laut bersama Pusaka Tombak Maut-nya itu mengalami guncangan hebat secara tiba-tiba. Hantu Laut mulai curiga dengan guncangan yang tidak sewajarnya itu. Cepat-cepat ia meraih Pusaka Tombak Maut tersebut, lalu memeriksa ke lambung kapal.

Tiba-tiba sesosok tubuh melesat keluar dari dalam air laut. Tubuh itu bergerak lentur, meluncur cepat ke atas, langsung kakinya menendang wajah Hantu Laut dari bawah ke atas. Plokkk...!

"Uuhg...!" Hantu Laut terpekik, selain kaget juga merasa sakit. Cepat-cepat ia tegakkan tubuhnya dalam berdiri dan memandang liar ke arah tamu tak diundang. "Bangsat! Pagi-pagi sudah sarapan kaki!" gerutu Hantu Laut karena saat itu adalah pagi hari dan ia baru saja bangun dari tidurnya, ia kibaskan wajahnya untuk membuang rasa sakit yang membuat pandangan matanya berkunang-kunang.

Mata besar itu menatap gusar pada sesosok tubuh kurus yang sudah berdiri di tepi geladak. Tubuh basah kuyup itu berpakaian serba putih model biksu. Rambutnya juga berwarna putih dikonde di tengah kepala, hingga wajahnya yang kurus dan kempot itu terlihat jelas. Jenggotnya yang panjang meneteskan air karena basah. Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu berdiri dengan memegang tongkat dari kayu biasa, dan ujungnya mempunyai cabang berbentuk huruf 'V' yang panjangnya tak sama. Bahkan di bawahcabangnya terdapat dua daun yang menguning layu. Dan Hantu Laut segera mengenali orang itu.

"Rupanya kau yang datang dan menghambat perjalananku ke Pulau Beliung, Jangkar Langit!"

"Ya. Aku yang datang, menuntut kematian adikku si Talang Sukma, dan merebut kembali Pusaka Tombak Maut-ku itu!" kata Jangkar Langit dengan tegas. Lalu serta-merta Jangkar Langit sodokkan tangannya ke depan sebagai sodokan jarak jauh ke arah dagu lawannya. Wuttt!

"Serahkan tombak itu! Kau tak akan bisa membunuhku, Hantu Laut!"

Hantu Laut tersedak keras, mulutnya ternganga, muncrat darahnya dari mulut itu. Ia cepat berdiri mengambil keseimbangan badannya yang gemuk itu. Ia terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh, untung tombak di tangannya cepat digunakan untuk menahan tubuh, hingga ia tak sempat jatuh.

Jangkar Langit cepat menyerang kembali lawannya dengan pukulan tenaga dalam dari jarak lima langkah. Wuttt...! Tapi saat itu Hantu Laut cepat putarkan tombak di atas kepalanya, lalu keluarlah sinar hijau mengelilingi tubuhnya dalam jarak dua langkah. Sinar hijau itu memercikkan butiran-butiran mengkilap seperti serbuk intan dan membuat pukulan tenaga dalam dari Jangkar Langit terpental membalik menyerang tubuhnya. Wussst...!

Drabb...!

Jangkar Langit cepat menahan pukulannya yang membalik itu dengan melintangkan tongkatnya yang beraliran tenaga dalam tinggi. Tapi akhirnya ia terpental sendiri dan jatuh bersandar pada tepian pagar kapal akibat sentakan pukulan yang membalik tadi.

Dalam kesempatan seperti itu, Hantu Laut cepat sentakkan tombaknya ke depan dan melesatlah sinar merah berkelok-kelok ke arah lawan. Jangkar Langit terperanjat melihat cepatnya sinar merah menyerangnya, ia tak sempat menangkis atau menghindar sehingga, jrubb!

Sinar itu menikam dadanya. Tubuh Jangkar Langit mengejang dengan mata mendelik. Kulit wajahnya yang coklat berangsur-angsur menjadi biru dan makin lama makin biru legam. Kulit tangannya dan yang lainnya pun begitu. Bahkan rambut putihnya mengeriting hitam bagai terbakar kekuatan api yang amat tinggi dari dalam tubuh. Akhirnya orang tua sakti itu pun menghembuskan napas terakhir dengan bau hangus tercium tajam. Jenggotnya terbakar tanpa terlihat bentuk apinya.

"Ha ha ha ha...! Siapa bilang kau tak bisa dibunuh olehku?! Sekarang mampuslah kau, Jangkar Langit! Sinar merah dari tenaga dalamku itu telah lebih berbahaya daripada kulepaskan lewat telapak tanganku! Mati kau di ujung pusakamu, Jangkar Langit! Hua ha ha ha...!"

Hantu Laut merasa puas melihat kematian Jangkar Langit yang biru legam sekujur tubuhnya itu. Ia sempat menendang beberapa kali mayat itu untuk membuktikan kematiannya. Ternyata Jangkar Langit tak bergerak-gerak lagi, bahkan mungkin untuk selama-lamanya mayatnya mendelik dengan mulut ternganga. Asap yang tadi keluar dari mulutnya kini sudah tak ada.

Angin berhembus cukup baik untuk pelayaran. Hantu Laut meneruskan perjalanan dengan dada terasa makin membengkak, karena bisa mengalahkan orang sakti seperti Jangkar Langit. Sesekali ia memandang mayat Jangkar Langit yang masih dibiarkan di tempatnya semula. Jika ia memandang, ia selalu tertawa kepada mayat itu, seakan unjuk kehebatan di depan Jangkar Langit yang sudah tak bernyawa lagi itu.

Sampai di pertengahan laut, ketika arah kapal sudah diubah menuju ke Pulau Beliung, Hantu Laut menyempatkan diri untuk membuang mayat Jangkar Langit. Byurrr...! Mayat itu dibuang dengan cara diseret ke tepian dan digulingkan memakai kaki.

"Sudah tua masih saja berkoar lancang di depan Hantu Laut! Apa dia pikir Hantu Laut ini budak kapal seperti dulu?! Hmmm...!"

Hantu Laut mencibir sendiri, kemudian masuk ke barak untuk mengambil minuman araknya, ia menenggak arak cukup banyak sebagai ungkapan pesta kemenangannya melawan Jangkar Langit. Tetapi, ketika ia ingin menenggak lagi, tiba-tiba perahunya terasa terguncang aneh. Ada suara gemuruh di bagian lambung kapal. Hantu Laut cepat memeriksanya. Tapi tiba-tiba, brusss...! Wajahnya kembali diterjang lompatan cepat dari orang yang muncul dari kedalaman laut. Tersentak dan terpelanting Hantu Laut yang gemuk itu.

Ia cepat berdiri dan tercengang dengan mata nyaris melotot keluar. Karena ia melihat sesosok tubuh tua berdiri di depannya dalam keadaan segar-bugar. Sosok tua itu tak lain ialah Jangkar Langit!

"Masih hidup juga si tua bangka ini?! Edan!" geram Hantu Laut.

* * *

TIGA
SEMENTARA itu sebuah perahu berlayar tunggal sedang melaju di jalur pelayaran arah Pulau Beliung. Perahu itu bermuatan dua orang lelaki. Yang satu berbadan sedikit gemuk, pendek dan berkumis hitam, yang satunya lagi bertubuh kurus, kempot dan lonjong. Yang berwajah lonjong ini mempunyai kumis pendek, kurang dari lebarnya bibir, ia mempunyai nama julukan Golok Makam. Sedangkan yang berbadan agak gemuk dan mengenakan pakaian biru tua itu bernama Loh Gawe.

Loh Gawe berambut pendek, dililit logam tembaga berhias kerang kuning kecil di tengah dahinya, berusia sekitar lima puluh tahun, hingga rambutnya sudah bercampur dengan uban sedikit . Sedangkan Golok Makam berusia sekitar empat puluh lima tahun, berambut panjang melewati punggung tanpa ikat kepala, berbaju rompi hitam dan celananya hitam pula. Ia bersenjat akan sebuah golok yang mempunyai cantolan seperti mata kail di bagian ujungnya.

Berbeda dengan senjata Loh Gawe, yaitu berupa rantai sepanjang tiga jengkal yang mempunyai bola besi berduri sebesar genggamannya, bertangkai hitam sepanjang satu jengkal. Loh Gawe mempunyai mata lebih lebar daripada si Golok Makam.

Tapi keduanya sama-sama bermata bengis, seakan berdarah dingin. Sebab keduanya adalah utusan dari Siluman Tujuh Nyawa. Mereka berdua adalah termasuk algojo pembantai di bawah perintah Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa.

Perahu berlayar tunggal itu tidak begitu besar. Tapi angin samudera menghembuskan layarnya membuat perahu itu berjalan cepat. Di bagian haluan berdiri si Golok Makam sebagai pengemudi perahu tersebut, sedangkan Loh Gawe duduk di bagian buritan dengan wajah angkernya. Loh Gawe sepertinya sedang memendam kemarahan yang tak tahu harus dilampiaskan kepada siapa.

Dari buritan terdengar suaranya yang menggeram gemas beberapa kali, kadang mendengus sambil hentakkan kakinya ke lantai perahu. Hal itu membuat si Golok Makam palingkan wajahnya memandang Loh Gawe, lalu serukan kata dari haluan,

"Tahanlah dulu nafsumu, Loh Gawe! Aku percaya Kapal Neraka itu berlayar ke Pulau Beliung! Di sana kita pasti akan bertemu dengan Hantu Laut, dan kita bisa tanyakan kepadanya siapa yang membunuh kakakmu si Tapak Baja itu. Apakah orang-orangnya Resi Kidung Sentanu, atau muridnya si Jangkar Langit! Sebab kulihat mayat Talang Sukma, adik Jangkar Langit, ada di Pulau Kidung juga!"

"Apakah mungkin orangnya Resi Kidung Sentanu ada yang masih hidup dan bisa mengalahkan kakakku, Tapak Baja itu?!" suara Loh Gawe lebih besar dan bernada seperti orang menggeram dalam gerutuan.

"Set ahuku, Kidung Sentanu mempunyai anak angkat yang bernama Lembu Ireng. Tadi tak kulihat mayat Lembu Ireng di antara mayat-mayat penduduk Pulau Kidung! Jadi jelas, Lembu Ireng belum terbunuh oleh Tapak Baja!"

"Kalau begitu kita cari si Lembu Ireng itu dulu!"

"Jangan, Loh Gawe! Tugas kita adalah menyusul Kapal Neraka dan menyuruh Tapak Baja serta Hantu Laut untuk menghadap Siluman Tujuh Nyawa. Karena agaknya sang ketua ingin memberikan tugas penting kepada mereka berdua. Karena Tapak Baja sudah meninggal, maka kita sampaikan saja tugas ini kepada Hantu Laut! Biarlah nanti Hantu Laut yang ceritakan peristiwa kematian Tapak Baja itu!"

Loh Gawe menggeram lagi, lalu sentakkan napasnya dengan jengkel, ia bangkit dan melangkahkan kaki ke haluan. Sampai di sana ia diam berdiri di samping si Golok Makam dengan mata memandang ke depan dan memicing bernada dendam. Terdengar Loh Gawe ucapkan kata berat, "Kurasa Jangkar Langit yang menewaskan kakakku itu! Sebab kudengar Tapak Baja berhasil mencuri dan membawa lari tombak pusakanya yang bernama Pusaka Tombak Maut itu!"

"Semuanya baru akan jelas jika kita bertemu dengan Hantu Laut!" jawab si Golok Makam dengan suara pelan. Kejap berikut suara Golok Makam terdengar lagi. "Jangkar Langit tokoh tua yang terkenal sakti! Mungkin saja ia sekarang sedang mengejar Hantu Laut untuk memperoleh pusakanya! Ia mengejar Hantu Laut karena Tapak Baja tidak memegang tombak pusaka itu! Atau... atau barangkali Hantu Laut yang membawa lari pusaka tersebut?"

Loh Gawe palingkan wajah, memandang paras muka temannya yang lonjong berhidung mirip burung betet. "Pusaka itu dibawa lari Hantu Laut?!" gumam Loh Gawe. "Jika benar begitu, berarti Hantu Laut saat ini sedang mengamuk di Pulau Beliung, karena Pulau Beliung adalah sasaran berikutnya dari tugas Tapak Baja setelah menghancurkan semua penghuni Pulau Kidung!"

"Karena itu aku yakin, kita akan bertemu Hantu Laut di Pulau Beliung!" tambah si Golok Makam.

"Bagaimana jika ternyata di Pulau Beliung kita tidak temukan Hantu Laut? Apakah tugas Tapak Baja kita ambil alih, atau kita tinggalkan Pulau Beliung untuk mencari Hantu Laut?!"

Golok Makam kali ini memandang wajah Loh Gawe sambil berkata, "Tugas kita adalah menyuruh pulang Kapal Neraka, siapa pun yang ada di atas kapal itu! Bukan menghancurkan Pulau Beliung! Siapa tahu sang ketua telah berubah pikirannya untuk tidak menghancurkan Pulau Beliung, karena alasan tertentu! Jadi, kita jangan bertindak gegabah dulu! Kita kerjakan apa yang harus kita kerjakan!"

Golok Makam dan Loh Gawe tidak tahu, bahwa saat itu Hantu Laut sedang kewalahan menghadapi Jangkar Langit di atas Kapal Neraka. Tombak pusaka itu berulang kali menghujam tubuh Jangkar Langit, kematian Jangkar Langit pun tiba berulang kali, namun setiap kali mayatnya dibuang ke laut, Jangkar Langit bangkit kembali. Tubuhnya yang luka-luka separah apa pun, bisa lenyap lukanya tak berbekas.

Setiap kali Jangkar Langit melesat dari kedalaman air dan hinggap di tepian geladak Kapal Neraka, mata Hantu Laut selalu terbelalak kaget, kemudian pertarungan dimulai lagi. Bahkan Hantu Laut sempat berpikir, "Mungkin pusaka ini tidak bisa membuatnya mati! Jadi sebaiknya kugunakan senjata yoyo saktiku ini untuk membunuhnya!"

Hantu Laut masih memegang Pusaka Tombak Maut tapi yang digunakan untuk menyerang Jangkar Langit adalah yoyo saktinya. Yoyo itu jika dilemparkan dengan tenaga dalam akan melayang menerjang lawan sambil mengeluarkan gerigi beracunnya, tapi jika tali yoyo disentak ke belakang, yoyo itu akan meluncur kembali ke tangan Hantu Laut dalam keadaan gerigi masuk ke dalam lapisan yoyo.

Pertarungan yang menjengkelkan itu membuat Hantu Laut berulang kali terkena pukulan tenaga dalam Jangkar Langit. Tetapi selalu saja ia masih tegar dan sulit ditumbangkan. Bahkan terakhir kali Hantu Laut sempat melukai tubuh Jangkar Langit. Yoyonya menggores lebar pada bagian tengkuk kepala Jangkar Langit.

Jelas-jelas Jangkar Langit mati akibat racun gerigi yoyo yang juga berkekuatan tenaga dalam itu. Tapi ketika Hantu Laut melemparkan mayat lawannya ke laut, kejap berikutnya lawannya itu telah melesat kembali dari kedalaman laut dan bertengger di geladak. Badannya tampak segar tanpa luka sedikit pun.

"Gila! Ini manusia apa setan?!" geram Hantu Laut dalam hatinya.

Hantu Laut tidak tahu, bahwa Jangkar Langit mempunyai ilmu yang bernama 'Aji Banyu Jiwa'. Tidak ada orang yang memiliki 'Aji Banyu Jiwa' selain Jangkar Langit. Guru Suto Sinting, si Gila Tuak, juga tidak memiliki Ilmu 'Aji Banyu Jiwa'.

'Aji Banyu Jiwa' itu mempunyai kekuatan di air. Banyu itu sendiri artinya air. Jadi setiap Jangkar Langit mati dalam keadaan luka separah apa pun, jika jasadnya terkena air, entah air hujan atau air laut, atau air apa saja, maka mayatnya akan bangkit lagi dan luka-luka separah apa pun bisa sembuh kembali secara gaib.

Itulah sebabnya si Gila Tuak sendiri merasa segan terhadap Jangkar Langit, karena Gila Tuak tahu bahwa Jangkar Langit orang yang sukar dibunuh. Sedangkan Jangkar Langit sendiri merasa sungkan berselisih dengan si Gila Tuak, karena ia tahu si Gila Tuak mempunyai Pusaka Tuak Setan yang dapat memporak-porandakan alam sekitarnya.

Keduanya akhirnya saling menghormati dan saling bersahabat dengan baik. Bahkan dalam satu pertarungan, jika di sana ada Jangkar Langit dan si Gila Tuak, pertarungan itu bisa berhenti dengan sendirinya karena yang bertarung merasa enggan berurusan dengan kedua tokoh tersebut.

Bibi gurunya dari Suto Sinting, yaitu Bidadari Jalang, adalah orang terkuat kedua dalam urutan nama-nama tokoh yang sulit ditumbangkan. Tetapi jika ia bertemu dengan Jangkar Langit, ia pun merasa sungkan karena selama ini Jangkar Langit tak pernah tampakkan kemarahan atau permusuhannya dengan Bidadari Jalang.

Tak heran jika Hantu Laut merasa kewalahan melawan Jangkar Langit, yang dikenal sebagai manusia yang tidak pernah mau cari masalah dengan siapa pun. Hantu Laut sendiri sebenarnya terluka parah di bagian dalamnya. Tapi ia masih bisa bertahan untuk menyelamatkan Pusaka Tombak Maut itu.

Sebaliknya, Jangkar Langit merasa kewalahan juga melawan orang besar bertenaga bison itu, karena kesempatan untuk menghancurkan Hantu Laut selalu terhalang gerakan perisai tombak pusaka tersebut. Sinar hijau selalu digunakan Hantu Laut untuk melindungi dirinya dari serangan Jangkar Langit. Sedangkan Jangkar Langit sendiri tahu, bahwa sinar hijau yang keluar dari tombak yang diputar-putarkan itu memang sulit ditembus oleh jurus apa pun.

Tanpa disadari oleh keduanya, pertarungan itu mulai terlihat oleh sebuah perahu berlayar biru dengan simbol tengkorak dan tujuh mata rantai yang berwarna putih. Perahu itulah yang membawa Loh Gawe dan si Golok Makam untuk mendekati Kapal Neraka.

"Loh Gawe...! Lihat Kapal Neraka itu!" kata Golok Makam. "Sepertinya Hantu Laut sedang bertempur menghadapi tokoh tua berpakaian serba putih itu!"

"Tak salah lagi, dialah si Jangkar Langit!" geram Loh Gawe dengan mata mulai membuas penuh nafsu membunuh. "Dekati terus kapal itu! Kita hajar si Jangkar Langit dari sini!"

Loh Gawe melayangkan pukulan jarak jauhnya yang berwarna merah membara. Sasarannya adalah punggung Jangkar Langit yang sedang menghadapi tebasan-tebasan tombak Hantu Laut. Bahkan, Golok Makam juga ikut melancarkan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan cahaya kuning menyala.

Tetapi Jangkar Langit sangat waspada. Mata tuanya sangat tajam dan jeli, sehingga kedua pukulan itu bisa dihindari dengan cara melambungkan diri, berjungkir balik di udara hingga mencapai atap barak Kapal Neraka itu.

Hantu Langit terkesiap melihat dua sinar melesat ke arah kapalnya. Menghindarnya Jangkar Langit membuat kedua sinar itu menjadi terarah kepadanya. Hantu Laut pun cepat sentakkan kakinya untuk melesat ke samping dengan gerakan seperti singa terbang.

Jlegarr...! Blarr...!

Kedua sinar itu dihantam dengan kekuatan merah yang keluar dari ujung Tombak Maut. Hantu Laut perlu menghancurkan kedua sinar tersebut, karena jika tidak kedua sinar itu akan menghantam tiang layar utama, dan tiang itu pasti akan hancur.

"Hantu Laut...!" seru Golok Makam dari perahunya yang makin mendekat. "Istirahat lah, biar kami yang hadapi si tua rebus itu!"

Hantu Laut serukan kata, "Hati-hati! Jangan malah kalian menghancurkan kapalku ini!"

Jangkar Langit tak merasa gentar sedikit pun melihat kemunculan perahu berlayar biru tua itu. Ia sudah menduga, mereka yang berada di atas perahu adalah sekutunya Siluman Tujuh Nyawa. Buat Jangkar Langit mereka tidak ada apa-apanya. Justru yang terberat adalah merebut tombak pusakanya, sementara tombak pusaka itu dipakai bertarung melawan dirinya sendiri. Itu sama saja Jangkar Langit melawan kekuatan ampuhnya sendiri.

Wuttt...! Kejap berikut tubuh Loh Gawe melenting diudara dari perahunya dan tiba di atas geladak Kapal Neraka dengan tegar dan sigap. Matanya langsung tertuju pada Jangkar Langit yang masih berdiri dengan tenang di atas at ap barak.

"Jangkar Langit!" bentak Loh Gawe. "Akulah lawanmu! Bukan si gundul Hantu Laut itu!"

"Kau hanya buang-buang waktu saja!" ucap Jangkar Langit dengan tenang, tak kelihatan terengah-engah napasnya.

"Turunlah dari sana, kita selesaikan hutang-piutang kita!"

"Aku tak punya hutang padamu!"

"Omong kosong! Kau punya hutang padaku, karena kau telah membunuh kakakku Tapak Baja itu! Sekarang aku, Loh Gawe, menuntut balas kematian kakakku itu!"

Jangkar Langit tersenyum. "Pertimbangkan dulu anggapanmu itu, Loh Gawe! Aku tak pernah cari perkara dengan orang lain! Kalau saja pusakaku tidak direbut oleh kakakmu dengan licik, dan sekarang dikuasai oleh Hantu Laut, aku tidak mau bertarung dengan siapa pun!"

Wussst...! Tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh dilancarkan kembali oleh Golok Makam yang masih ada di perahunya. Pukulan itu berwarna kuning menyala dan menghantam pinggang Jangkar Langit.

Bruss!

"Heggh...!" Jangkar Langit tersentak, suaranya tertahan dengan mata melebar. Pukulan sinar kuning tepat mengenai pinggang dan membuat pinggang itu somplak mengerikan. Darah pun memercik dari tubuh Jangkar Langit. Tubuh itu tersungkur ke depan. Brukk...! Lalu terguling jatuh dari atas atap. Pada saat itu, Loh Gawe segera mencabut senjata rantai berbandul bola baja berduri, lalu dihantamkan dalam satu lompatan ringan ke arah kepala Jangkar Langit.

Prokkk...! Kepala Jangkar Langit koyak lebar, darahnya makin menyebar mengotori dinding barak. Tubuh itu ambruk tak berkut ik lagi. Namun Loh Gawe masih belum puas, ia hantamkan lagi rantai bandul berduri itu ke dada Jangkar Langit. Grasss...! Dada itu hancur, bolong mengerikan, karena hantaman bola berduri itu disertai kilatan cahaya merah membara.

Wuttt! Jlegg...!

Golok Makam mendarat di geladak Kapal Neraka, ia segera menarik tangan Loh Gawe sambil berseru, "Cukup! Cukup, Loh Gawe! Dia sudah tewas menyusul kakakmu!"

"Laknat itu akan kuhancurkan hingga berkeping-keping!"

Hantu Laut segera berseru dari tempat yang agak tinggi, "Jangan kotori kapalku dengan bangkai orang itu!"

Loh Gawe menatap mata Hantu Laut. Kemudian napasnya dihempaskan hingga ketegangannya berkurang, ia segera memasukkan kembali senjatanya keselipan sabuk hitamnya, lalu ia bicara pada Hantu Laut, "Aku datang bukan sekadar ingin balas dendam kematian kakakku, tapi ada tugas dari sang ketua untuk menemuimu!"

"Untuk mengawiniku?!"

"Untuk menemuimu, Tuli!" sentak Golok Makam.

"O, untuk menemuiku?! Hmmm... ada apa ketua menyuruh kalian menemuiku?!" tanya Hantu Laut yang biasanya sedikit sungkan terhadap Golok Makam dan Loh Gawe karena tingkatannya lebih tinggi, tapi kali ini agaknya Hantu Laut tampakkan sikap beraninya.

"Kau dipanggil menghadap sang ketua!" jawab Loh Gawe.

"Aku harus ke Pulau Beliung dulu!"

"Tak perlu! Sang ketua ingin cepat bertemu denganmu, dan sebenarnya dengan kakakku juga si Tapak Baja. Tapi ceritakanlah sendiri nanti kepada sang ketua tentang nasib kakakku!"

Hantu Laut memandang kearah jauh sambil melangkahkan kaki mendekati pagar tepian kapal, ia masih menggenggam Pusaka Tombak Maut yang sejak tadi dilirik oleh kedua temannya itu. Kejap berikutnya Hantu Laut palingkan wajah dan ucapkan kata kepada Loh Gawe, "Apakah sang ketua punya kepentingan besar, sampai ia membelokkan tugasku untuk menunda penghancuran di Pulau Beliung?"

"Tentu. Ini amat penting!"

"Kalau begitu, sang ketua sendirilah yang seharusnya datang menemuiku di Kapal Neraka ini!"

Terperanjat Golok Makam dan Loh Gawe mendengar ucapan Hantu Laut. Mereka saling pandang, sementara Hantu Laut berjalan mendekati haluan, dan memeriksa arah jalur pelayarannya, ia juga melirik ke arah perahu berlayar biru yang talinya ditambatkan di pagar kapalnya.

"Aku tak jelas dengan maksud kata-katamu, Hantu Laut!" kata Golok Makam. "Kau dipanggil sang ketua agar segera menghadap!"

"Aku tidak mau!" jawab Hantu Laut. "Jika sang ketua punya kepentingan denganku, biarlah dia yang menghadapku kemari!"

"Lancang sekali mulut mu, Hantu Laut?!" sentak Loh Gawe dengan dada bergemuruh. Wajahnya pun menjadi tegang. "Apa maksudmu bicara begitu, Hantu Laut? Apakah kau ingin menentang sang ketua? Kau tak takut dibunuhnya?!"

"Ha ha ha ha...!" Hantu Laut tertawa.

Loh Gawe segera bernapas lega, karena menyangka itu tadi hanya kelakar Hantu Laut saja. Mereka tersenyum pahit sambil memandangi apa yang dilakukan Hantu Laut. Rupanya Hantu Laut mengangkat mayat Jangkar Langit dan dilemparkannya ke laut. Tapi mayat itu jatuhnya ke perahu berlayar biru.

"Hei, mayat itu jatuh di perahuku!" kata Golok Makam.

Tapi Hantu Laut tidak peduli. Bahkan dengan menggunakan ujung tombak ia putuskan tambang penambat perahu itu, hingga kini perahu itu terapung-apung tanpa arah.

"Gila! Kenapa kau lepaskan tambatan perahuku?!" sentak Golok Makam dengan mata membelalak.

Hantu Laut hanya berkata, "Aku tidak suka Kapal Neraka ini menjadi tambatan perahu asing milik siapa pun! Perahu itu harus kuusir, jika perlu pemiliknya pun akan kupaksa untuk tinggalkan Kapal Neraka ini!"

Terbakar kulit wajah Golok Makam, mendidih darahnya mendengar ucapan orang yang selama ini tak berani bicara selancang itu kepadanya. Bahkan Loh Gawe pun segera bergerak mendekati Hantu Laut dan ingin menampar mulut si gendut berkepala botak licin itu. Tapi, tangan Hantu Laut cepat berkelebat juga menangkis tamparan itu.

Plakkk...!

Begggh...! Tangan yang habis menangkis segera disodokkan ke depan dengan telapak terbuka. Dada Loh Gawe menjadi sasaran telak. Terhantam mundur Loh Gawe saat itu, karena sentakan telapak tangan Hantu Laut itu berkekuatan tenaga dalam cukup besar. Loh Gawe tersentak ke belakang sampai menabrak Golok Makam, yang sedang bimbang untuk mengejar perahunya atau menghajar si gundul itu lebih dulu?

Hantu Laut sunggingkan senyum lebar sambil busungkan dadanya, kepalanya sedikit mendongak di bagian dagu, menampakkan keangkuhannya.

"Beraninya kau bersikap begini kepadaku, Hantu Laut?!" geram Loh Gawe.

"Kenapa harus takut? Kenapa selamanya aku harus menjadi pelayan dan budak-budak kalian? Kalau aku berani berbuat kasar dan tidak menghormat kepada kalian, itu karena aku berani menghadapi kalian!"

"Jahanam botak!" sentak Golok Makam. "Sekarang juga kuperintahkan kau putar haluan kapal ini dan kembali menghadap sang ketua!"

"Aku tidak mau menghadap Durmala Sanca! Kalau mau, dia yang harus menghadapku dengan terlebih dulu mencium telapak kakiku!"

"Kurang ajar!" geram Loh Gawe dengan napas mulai terengah-engah. "Kuhancurkan mulut mu yang sombong itu sebelum kuseret kau menghadap sang ketua! Berani-beraninya kau bersikap tak menghormat kepada kami, hah?"

"Jangankan kalian," kata Hantu Laut meremehkan. "Kakakmu saja mati di tanganku, Loh Gawe!"

"Apa...?!" Loh Gawe semakin mendidih darahnya setelah mendengar, bahwa ternyata yang membunuh Tapak Baja adalah Hantu Laut.

"Kau membunuh Tapak Baja?!" ujar Golok Makam. "Mana mungkiiin...! Ilmumu masih di bawah alas kaki Tapak Baja!"

"Tombak pusaka ini telah merenggut nyawa Tapak Baja, itu berarti ilmuku lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Tapak Baja! Jangankan Tapak Baja, Durmala Sanca pun akan kubuat menjilat-jilat bekas telapak kakiku bila perlu!"

"Biadab kau! Hiaaat...!" Loh Gawe segera mencabut senjatanya dan menghantamkan ke kepala Hantu Laut dengan satu lompatan, Wussst...!

Hantu Laut menghindar, kakinya segera berkelebat ke samping dan mengenai iga Loh Gawe. Beggg...! Loh Gawe terguling-guling di lantai geladak. Tendangan itu cukup kuat dan bertenaga besar. Melihat Loh Gawe jatuh, Golok Makam segera mencabut senjatanya, lalu melompat ke atas sambil menyerang dengan menebaskan goloknya ke kanan-kiri dengan cepat.

Hantu Laut melihat bayangan Golok Makam jatuh di tiang layar. Maka dengan cepat tiang layar itu ditusuknya memakai tombak. Jrrub...!

"Aaaahhh...!" Golok Makam menjerit sekeras-kerasnya sambil memegangi kepalanya. Kepala itu menjadi bolong dan rusak pada bagian pelipisnya. Lalu, Golok Makam jatuh dengan berkelojotan dan kejap berikutnya tidak berkutik lagi. Diam untuk selama-lamanya.

"Bangsat busuk kau!" sentak Loh Gawe begitu melihat Golok Makam tak bernyawa lagi. Hatinya mulai gentar melihat tombak itu bisa membunuh melalui bayangan Golok Makam.

"Kalau kau mau susul kakakmu, kuantarkan pakai tombak pusaka ini! Silakan maju, Loh Gawe!" tantang Hantu Laut.

"Kau memang tak perlu diberi ampun sedikit pun, Setan gundul!" Loh Gawe putar-putarkan rantai bandul berdurinya. Lalu, ia sentakkan kakinya ke depan, tak sampai melompat tinggi karena takut bayangannya ditangkap oleh Hantu Laut. "Hiaaat...!"

Wungng... wungngng...!

Dua kali bandul rantainya itu menghantam kepala Hantu Laut, tapi Hantu Laut bisa menghindar dengan merunduk. Namun ternyata itu hanya sebuah pancingan supaya kaki Loh Gawe mudah menendang wajah Hantu Laut.

Plokkk...!

Hantu Laut terkena tendangan Loh Gawe dengan telak. Wajahnya berdarah pada bagian hidung, ia jatuh terjerembab ke belakang. Loh Gawe cepat menyerbu dengan menghantamkan bandul besinya, tapi belum sempat niatnya terlaksana, Hantu Laut telah menggoreskan ujung tombak ke papan geladak, karena di sana terdapat bayangan kaki Loh Gawe.

Brettt...!

"Aaahg...!" Loh Gawe melonjak kesakitan, betisnya tertoreh benda tajam yang tidak menyentuhnya. Betis itu menganga lebar dan terasa sakit di sekujur kaki itu. "Hiaaat...!" Loh Gawe cepat sentakkan kaki yang tidak terluka itu, hingga tubuhnya melayang mundur dan hinggap di atas atap barak.

"Bangsat kau!" geram Loh Gawe. "Kulaporkan kau kepada sang ketua, biar hancurkan kapal ini bersama nyawamu juga!"

"Laporkanlah! Kurasa dia memang sepantasnya mengetahui, bahwa akulah orang yang akan menghancurkan kekuasaannya selama ini!" kata Hantu Laut. Lalu, ia tertawa terbahak-bahak sambil membiarkan Loh Gawe terjun ke laut, selamatkan diri dengan berenang.

* * *

EMPAT
KEPERGIAN Loh Gawe bukan sekadar kepergian seorang bawahan yang ingin melapor kepada atasannya. Hantu Laut tahu, Loh Gawe ketakutan menghadapi dirinya bersama Pusaka Tombak Maut. Karenanya, Hantu Laut semakin bangga atas kekuatan dirinya, dan kian besar tekadnya untuk menundukkan Ratu Pekat di Pulau Beliung.

Layar hitam bergambar tengkorak dengan tujuh rantai itu terlihat dari pantai Pulau Beliung. Waktu itu, Singo Bodong sedang dilatih jurus-jurus silat oleh orang berpakaian serba putih, bahkan ikat rambutnya yang pendek itu pun juga berwarna putih, padahal rambutnya sendiri sudah putih, bahkan alas kakinya pun dari sandal bertali putih. Agaknya orang ini menyukai warna putih, sehingga pantas ia menamakan dirinya sebagai Jalak Putih.

Ketika menerangkan jurus gerakan cepat, Jalak Putih menancapkan gagang tombaknya ke pasir pantai. Tombak berujung bulan sabit yang berkilauan tajamnya itu berdiri dengan tegak dalam jarak lima kaki darinya. Singo Bodong sedang menirukan gerakan memukul lawan di depan dengan cepat. Tapi gerakan itu tiba-tiba terhenti dan membuat Jalak Putih membentak,

"Lakukan lagi! Jangan merasa cepat lelah! Sampai kedua tanganmu terasa lemah, terus saja bergerak!"

"Terus ya terus...! Tapi lihatlah kapal berlayar hitam itu!" kata Singo Bodong sambil menunjuk ke arah laut.

Jalak Putih pun melemparkan pandangan ke sana, dan ia terkejut melihat gambar tengkorak pada layar hitam kapal itu. Ia gumamkan suara dengan wajah tegang, "Kapal Neraka...?!"

"Bahaya atau tidak kapal itu?!" tanya Singo Bodong lugu, karena memang ia tidak tahu kehebatan dan kegawatan Kapal Neraka.

"Cepat beritahu Pangeran Berdarah dan ratu di istana, Kapal Neraka datang!"

"Membawa mayat?"

"Jangan banyak tanya!" bentak Jalak Putih. "Kapal itu kapal berbahaya! Itu kapal sekutunya Siluman Tujuh Nyawa!"

"Hah...?!" Singo Bodong yang bertampang angker tapi kosong tanpa isi itu menjadi terbelalak kaget. Matanya yang besar kian lebar.

"Cepat beritahu mereka yang ada di istana!"

"lyy... iya... iya...!" Singo Bodong pun segera lari dengan langkah seperti kerbau takut setan.

Jalak Putih segera memasukkan dua jarinya ke mulut dan bersuit satu kali dengan nayring, "Suiiittt...!"

Kejap berikutnya dua orang muncul dari arah kanan dan kiri Jalak Putih. Kedua orang itu tak lain ialah Penghulu Petir dan si Latah Lidah. Penghulu Petir bertanya,

"Ada apa? Mengapa kau memberi tanda bahaya?"

"Lihat kapal itu!" sentak Jalak Putih. Sentakan itu memancing kelatahan si Latah Lidah.

"Lihat!" seru Latah Lidah sambil matanya memandang ke laut.

Penghulu Petir menggumam tegang, "Kapal Neraka! Hmm... itu kapalnya Tapak Baja!"

"Iya. Tapak Baja," jawab Latah Lidah menirukan.

"Cepat panggil Pangeran Berdarah!" sentak Penghulu Petir kepada si Latah Lidah.

Tapi yang disentak ganti menyentak karena latahnya, "Cepat! Cepat berdarah! Eh... anu... cepat... iya cepat...."

"Kamu pergi segera sana!" bentak Penghulu Petir.

"Iya, iya...! Aku pergi, eh... kamu pergi! Eh, aku...!" Latah Lidah bergegas pergi, tapi Jalak Putih berkata,

"Tidak perlu!"

"Perlu! Eh, anu... iya, tidak perlu!" kata si Latah Lidah.

"Singa Bodong sudah kusuruh memberitahu orang-orang dalam istana. Kita bertiga hadapi kapal itu dulu!"

"Tapi," kata Penghulu Petir agak ragu. Matanya makin disipitkan dengan tangan menahan silau matahari. "Sepertinya Kapal Neraka itu tidak berpenumpang satu pun!"

"Siapa bilang?!" kata Jalak Putih.

"Siapa?!" Latah Lidah menyahut namun tak dihiraukan oleh dua temannya.

Jalak Putih berkata, "Lihat, ada yang berdiri dihaluan!"

"O, iya! Benar! Maklum saja, mataku sudah agak rabun karena usia yang makin banyak!"

"Banyak! Dijual saja kalau banyak! Eh, anu... maksudku, anu...!" Latah Lidah jadi ribut sendiri. Kedua temannya sering dibuat jengkel oleh kebiasaan buruk si Latah Lidah. Kadang ia ditampar oleh mereka, tapi si Latah Lidah tidak merasa sakit hati.

Seperti dikisahkan dalam Pusaka Tombak Maut, Pengeran Berdarah mendapat tugas dari gurunya, yaitu Jangkar Langit, untuk memburu Tapak Baja yang telah membawa lari Pusaka Tombak Maut itu. Dalam pengejaran itu, Pangeran Berdarah meminta bantuan tiga rekannya, yaitu Jalak Putiih, si Latah Lidah dan Penghulu Petir.

Perjalanan perburuan itu sampai ke Pulau Beliung. Padahal waktu itu Pulau Beliung baru saja diporak-porandakan oleh Gagak Neraka yang dibantu mata- matanya bernama Pragulo. Sedangkan anak bungsu Ratu Pekat yang bernama Cempaka Ungu itu adalah kekasih Pangeran Berdarah. Maka, tinggallah Pangeran Berdarah di Pulau Beliung itu untuk sementara waktu, sambil menunggu kemungkinan datangnya penyerbuan orang-orang Siluman Tujuh Nyawa.

Sebab pada waktu itu, menurut dugaan Suto akan datang penyerbuan dari pihak Siluman Tujuh Nyawa. Suto Sinting sendiri waktu itu harus pergi ke Pulau Hitam bersama Dewa Racun untuk sembuhkan sakit gurunya Badai Kelabu. Sebelum Suto kembali berada di Pulau Beliung, Pangeran Berdarah dan konco-konconya tetap berada di Pulau Beliung untuk memperkuat pertahanan Ratu Pekat dari serangan Siluman Tujuh Nyawa.

Tetapi mereka tidak menyangka sama sekali kalau yang datang ternyat aadalah Kapal Neraka, yang menjadi ciri Tapak Baja. Mereka tidak tahu, bahwa Tapak Baja sudah dibunuh oleh orangnya sendiri, yaitu Hantu Laut. Mereka juga tidak menduga kalau ternyata Pusaka Tombak Maut itu ada di tangan Hantu Laut.

Maka ketika Hantu Laut mendarat di pantai pulau itu, Jalak Putih dan kedua temannya merasa heran melihat orang besar, gemuk, dan gundul itu menggenggam Pusaka Tombak Maut. Penghulu Petir yang tampil terdepan dari kedua temannya sempat berdebar-debar menghadapi Hantu Laut yang menggenggam tombak tersebut. Sekali pun begitu, Penghulu Petir beranikan diri untuk menggertak Hantu Laut,

"Mana nakhodamu?! Suruh dia turun biar kuhancurkan batok kepalanya itu!"

"Tapak Baja maksudmu?! Ha ha ha ha...! Jangan berharap bisa bertemu lagi dengan nakhoda gila itu! Dia sudah pergi ke alam kubur! Dia mati oleh tanganku!"

Penghulu Petir memandang Jalak Putih, dan Jalak Putih memandang si Latah Lidah. Latah Lidah sendiri pandangkan matanya ke Penghulu Petir. Mereka sama-sama kaget mendengar pengakuan Hantu Laut. Jalak Putih maju setindak dan berkata, "Hantu Laut, kalau tak salah lihat, tombak yang kau bawa itu adalah Pusaka Tombak Maut!"

"Benar!"

"Serahkan tombak itu!" kata Jalak Putih.

"Tidak. Tidak terlalu parah," jawab Hantu Laut.

"Serahkan, kataku!" bentak Jalak Putih mengulang kata-katanya.

Bentakan itu diikuti oleh kelatahan temannya. "Serahkan! Ya, serahkan! Kata siapa tadi" si Latah Lidah celingak-celinguk kebingungan sendiri.

Hantu Laut tertawa, kemudian berkata, "Aku kenal kalian Jalak Putiih, Penghulu Petir, dan yang di sana itu pasti si Latah Lidah!"

"Bagus kalau kamu mengenal kita-kita orang!" kata Jalak Putih.

"Tapi ada urusan apa kalian dengan tombak pusaka ini? Kalian bukan pemilik pusaka ini. Ini pusaka milik Jangkar Langit!"

"Kami diutus merebutnya!"

"Putus rambut...?!" Hantu Laut berkerut dahi. Kurang jelas pendengarannya.

"Kami diutusnya untuk merebut pusaka itu, Tuli!"

"Ya. Tuli," sahut si Latah Lidah.

Hantu Laut tertawa mendengar pengakuan Jalak Putih. "Bodoh amat si Jangkar Langit itu! Mengutus orang semacam tikus-tikus begini akan sia-sia!"

"Hantu Laut," kata Penghulu Petir, "Jangan kau banyak tingkah di depan kami. Aku tahu ilmumu masih cetek! Bakal hancur lebur jika maju menyerang kami!"

"Apa...? Baju?"

"Maju, kataku!" bentak Penghulu Petir. Tapi suara bentakan itu membuat si Latah Lidah kaget dan berseru, "Maju! Iya, iya... maju. Ciaaat...!"

Si Latah Lidah tahu-tahu melayang dan menerjang Hantu Laut dengan tendangan terbangnya. Senjata pisau besarnya dicabut dan digunakan untuk membabat kepala Hantu Laut.

Wutt...!

Hantu Laut merendahkan badan menghindari tendangan kaki si Latah Lidah, ia melihat bayangan Latah Lidah di pasir pantai, lalu sambil memutar setengah jongkok ia goreskan tombak itu di pasir.

Bruss...!

"Aahk...!" Latah Lidah terpekik, jatuh tubuhnya dengan bersimbah darah. Rupanya ia terluka lebar dari pinggang kanan sampai ke pundak kiri. Isi perutnya nyaris keluar karena lebarnya luka. Tentu saja hal itu membuat si Latah Lidah kejang-kejang beberapa saat, kemudian tersentak dalam hembusan napas panjang, dan diam tak bergerak lagi.

Jalak Putih dan Penghulu Petir terkejut melihat si Latah Lidah dalam satu jurus saja langsung tewas dalam keadaan yang mengerikan. Jalak Putih terbakar darahnya, lalu ia segera mencabut tombak berujung bulan sabit itu, dan ia sentakkan kakinya untuk melompat rendah menyerang Hantu Laut. "Hiaaat...!"

Wuttt...!

Hantu Laut melompat mundur menghindari tebasan tombak berbulan sabit itu. Segera Pusaka Tombak Maut beraksi, disentakkan ke depan seperti mau ditusukkan. Lalu, sinar merah keluar dari ujung tombak itu dan wwwussst...! Sinar merah berkelok-kelok itu melesat cepat ke arah Jalak Putih.

"Hiiaaat...!" Jalak Putih menahan sinar merah itu dengan memutarkan tombak bulan sabitnya di sela-sela jemarinya. Putarannya begitu kuat dan cepat hingga menyerupai perisai. Tapi sinar merah berkelok-kelok itu tetap menembus perisai itu.

Zrrrap...! Crrasss...!

Jalak Putih tersentak tubuhnya ke belakang, terpapar di depan Penghulu Petir dengan tubuh berkelojotan. Telinga, hidung, mulut, dan matanya mengeluarkan asap putih, rambutnya mengeriting terbakar. Jalak Putih terkena sinar merah maut yang menembus ulu hatinya. Maka, tak ampun lagi Jalak Putih pun menghembuskan napas terakhir dalam keadaan hangus terbakar.

Pada waktu itu, tampak Singo Bodong berlari-lari bersama Pangeran Berdarah. Disusul kemudian wajah Tengkorak Terbang tampak di belakang Pengeran Berdarah. Singo Bodong menghentikan langkah saat melihat tubuh Jalak Putih tersentak dan mati dalam keadaan terbakar bagian dalam tubuhnya. Singo Bodong melongo menyaksikan hal itu.

"Majulah sekalian kau, Penghulu Petir!" tantang Hantu Laut.

Orang kurus yang hanya memakai baju jubah yang tidak dikancingkan itu, tersenyum getir menutupi rasa was-wasnya, ia tetap bersikap kalem, melangkah pelan ke samping sambil mencabut sabit bergagang panjang. Senjatanya itu digenggam kuat-kuat sambil sedikit dimainkan.

"Kau boleh saja merobohkan kedua orang ini dengan mudah, tapi jangan harap bisa robohkan Penghulu Petir dalam satu gebrakan!" kata Penghulu Petir menutupi kegetiran hatinya.

Hantu Laut segera putarkan tombak itu di atas kepalanya hingga berbunyi gaung memanjang. Putaran tombak mengeluarkan cahaya hijau mengelilingi tubuhnya dalam jarak dua langkah. Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Berdarah berseru kepada Penghulu Petir,

"Jangan mendekat! Jauhi dia, Penghulu Petir!"

Hantu Laut justru berlari mendekati Penghulu Petir supaya sinar hijau itu mengenai tubuh Penghulu Petir. Tapi orang kurus itu cepat sentakkan kakinya dan bersalto ke belakang dengan lincahnya. Sabit bergagang panjang itu diangkat ke atas, siap untuk ditebaskan. Tapi lagi-lagi terdengar suara Pangeran Berdarah berseru,

"Jauhi dia, Penghulu Petir!"

Maka, Penghulu Petir pun merasa lega mendengar perintah itu. Ia segera menjauh tanpa ada kesan pengecut dan takut, ia seolah-olah hanya menuruti perintah dari Pangeran Berdarah yang menjadi tuannya dalam peristiwa pengejaran Pusaka Tombak Maut itu.

"Kuhadapi dia!" kata Tengkorak Terbang dengan suaranya yang kecil. Tapi tangan Pengeran Berdarah menghadang dan berkata,

"Jangan! Tombak pusaka itu berbahaya! Biar aku yang menghadapinya! Menjauhlah sedikit, Tengkorak Terbang!"

Si gundul gemuk itu berhenti menggerakkan tombaknya. Cahaya hijau yang mengelilinginya berhenti pula. Hilang tanpa wujud lagi. Lalu, Pangeran Berdarah serukan kata kepada Hantu Laut,

"Akulah lawanmu, Hantu Laut!"

"Ha ha ha ha...!" Hantu Laut tertawa panjang, setelah itu baru ucapkan kata, "Anak baru kemarin sore mau coba-coba lawan aku?! Dengar, Pangeran Berdarah, walau kau muridnya Jangkar Langit, aku tak pernah merasa gentar berhadapan denganmu! Jangankan kamu, gurumu saja sudah mati di tanganku dan kubuang ke laut, demikian juga Talang Sukma, adik gurumu itu!"

"Jahanaaam...!" geram Pangeran Berdarah dengan wajah semakin merah karena luapan amarah. Mula-mula ia mencoba untuk tidak mempercayai kata-kata Hantu Laut tentang kematian gurunya, tapi Hantu Laut berkata lagi,

"Kesaktianmu dengan kesaktianbJangkar Langit belum ada sekuku hitamnya! Dia memang bisa hidup berulang kali dari kematiannya! Tapi akhirnya dia tak berkutik untuk selamanya! Kalau tak percaya, carilah perahu berlayar biru dengan simbol tengkorak! Kubuang mayat gurumu di atas perahu itu, dan kutinggalkan terombang-ambing di tengah lautan lepas sana! Hua ha ha ha...!"

Kata-kata itulah yang akhirnya membuat Pangeran Berdarah percaya bahwa gurunya memang mati terbunuh oleh Hantu Laut, sebab ia tahu persis, bahwa gurunya mempunyai 'Aji Banyu Jiwa' yang akan hidup lagi jika terkena air. Tapi jika Hantu Laut membuang mayat gurunya di sebuah perahu, sudah tentu mayat itu tidak akan bangkit lagi, kecuali perahunya menjadi basah. Jika sampai sekarang Jangkar Langit tidak muncul-muncul, berarti Jangkar Langit benar-benar mati. Jika Jangkar Langit tidak mati, dan sudah bertemu dengan Hantu Laut di tengah lautan sana, mustahil Hantu Laut bisa sampai di Pulau Beliung dengan keadaan segar-bugar seperti yang dilihatnya kini.

"Benar-benar jahanam kau, Hantu Laut!" geram Pangeran Berdarah. "Terimalah pembalasanku atas kematian Guru! Hiaaat...!"

Pangeran Berdarah mencabut kerisnya dan segera berlari mendekati Hantu Laut. Keris itu memancarkan cahaya biru ketika lepas dari sarungnya. Cahaya biru itu sangat menyilaukan mata siapapun yang memandangnya, termasuk Hantu Laut.

Mau tak mau Hantu Laut sentakkan kakinya dan melenting ke atas dalam keadaan bersalto ke belakang satu kali. Lalu, secepatnya ia hadangkan tombak pusaka itu miring ke kanan, ia sentakkan dengan satu kekuatan tenaga dalam. Dan dari ujung tombak cepat keluarkan kilatan cahaya biru pula. Kilatan cahaya biru itu melesat cepat menghantam cahaya biru keris Pangeran Berdarah.

Terjadi ledakan dahsyat dari benturan dua cahaya biru itu. Pangeran Berdarah dan Hantu Laut sama-sama saling terpental ke belakang. Bahkan Penghulu Petir pun jatuh kelabakan hampir membentur batu kepalanya akibat hentakan gelombang yang keluar dari ledakan tadi. Sedangkan Tengkorak Terbang yang berbadan kurus tanpa daging ibaratnya, tersentak dan jatuh menabrak Singo Bodong.

Hantu Laut cepat berdiri sambil berpegangan pada tombak yang pangkalnya menancap di pasir. Sedangkan Pangeran Berdarah masih terpaku dalam keadaan setengah berlutut, ia mengeluarkan darah dari mulutnya, sementara keris pusaka yang tadi memancarkan sinar biru itu dalam keadaan patah menjadi dua bagian.

"Luar biasa kekuatan dahsyat dari tombak itu," pikir Pangeran Berdarah. "Pantas kalau Guru sangat wanti-wanti untuk tidak gegabah menyerang orang yang bersenjatakan Pusaka Tombak Maut! Tapi, bagaimanapun juga aku harus membalas kematian Guru!"

Baru saja Pangeran Berdarah berpikir begitu, tiba-tiba datang serangan dari Hantu Laut, berupa asap hitam yang menyembur dari ujung gagang tombak pusaka itu. Hantu Laut menyentakkan tombak dalam keadaan terbalik dan semburan asap hitam melesat membungkus wajah Pangeran Berdarah yang baru saja hendak berdiri itu. Wosss...!

"Huaaa...!" Pangeran Berdarah tiba-tiba memekik keras, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia berlari ke laut dan membuka wajahnya. Singo Bodong, Tengkorak Terbang, dan Penghulu Petir hanya bisa memandang dengan mata lebar dan mulut melongo, melihat wajah Pangeran Berdarah melepuh dan sebagian terkelupas kulitnya. Terlihat daging merah di balik kulit itu. Merah kehitam-hitaman.

Hantu Laut cepat mengejar Pangeran Berdarah dan dengan satu tikaman kuat di punggung, tombak itu menancap tanpa ampun lagi. Pangeran Berdarah yang bermaksud mengambil air untuk menahan rasa panas di wajahnya itu terpaksa melengkung ke depan tubuhnya dengan kepala terdongak, kemudian ia roboh dan tak bernyawa lagi.

Hantu Laut sendiri heran melihat asap hitam bisa keluar dari ujung tongkat bagian bawah. Karena ia tidak menyangka kalau ujung tongkat bagian bawah mempunyai kekuatan tersendiri, yaitu bisa mengeluarkan asap beracun yang amat panas jika disentakkan dengan satu kekuatan tenaga dalam. Padahal Hantu Laut tadi bermaksud hanya mengagetkan Pangeran Berdarah supaya berpaling lalu ia bisa menikam bayangan orang itu yang jatuh di depannya.

"Siapa yang ingin menghadapiku lagi, hah?!" sentak Hantu Laut sambil matanya memandang liar kepada Panghulu Petir, Singo Bodong, dan Tengkorak Terbang.

Pada saat itu Tengkorak Terbang berbisik kepada Singo Bodong, "Lekas lari ke istana! Suruh Nyai Ratu dan Cempaka Ungu bersembunyi!"

Singo Bodong pun segera berlari, dan Tengkorak Terbang berseru kepada Penghulu Petir, "Bendung dia dengan kekuatan kita berdua!"

"Siapa yang melendung?!" bentak Hantu Laut. "Perutku memang besar karena kebanyakan minum darah orang. Bukan melendung karena mengandung?!" Ia salah dengar karena penyakit budeknya. Tapi Tengkorak Terbang dan Penghulu Petir tidak melayani kesalahan dengar itu. Mereka segera menyusun kekuatan untuk menyerang Hantu Laut.

* * *

LIMA
SINGO Bodong cepat-cepat menemui Ratu Pekat dan Cempaka Ungu di serambi Istana. Pada waktu itu, Ratu Pekat sedang bicara dengan pengawal pribadinya yang berjuluk si Mata Elang.

"Tengoklah pertarungan di pantai, Mata Elang! Bagaimana keadaannya di sana. dan cepat beri laporan padaku! Kau tak perlu ikut campur dulu, karena orang itu memegang Pusaka Tombak Maut!"

"Baik, Nyai Ratu! Saya berangkat ke sana sekarang juga!"

"Aku ikut!"

"Tidak, Cempaka!" sahut Nyai Ratu. "Aku ingin bersama Sanjaya, Ibu!"

"Sanjaya atau Pangeran Berdarah sedang menghadapi lawan tangguhnya! Nanti kau ikut menjadi korban atau justru mengganggu perhatian Sanjaya! Kau tetap di sini bersama Ibu, Cempaka Ungu!"

Pada saat Mata Elang hendak meninggalkan tempat itulah Singo Bodong datang dengan wajah tegang dan menceritakan pertarungan maut di pantai. Cempaka Ungu menjerit dalam tangis mendengar Pangeran Berdarah yang bernama asli Sanjaya itu mati di tangan Hantu Laut. Ia ingin berlari ke pantai untuk membalas dendam atas kematian kekasihnya, tapi oleh Ratu Pekat dihalangi.

"Aku harus membalas kematian Sanjaya, Ibu! Biarkan aku melawan Hantu Laut dengan senjatanya berupa apa pun!"

"Cempaka! Jangan picik otakmu! Masih banyak pria lain yang mau denganmu, tapi hanya satu nyawa yang ada padamu! Selamatkan dulu nyawamu! Jangan mau mati konyol karena cinta!" sentak Ratu Pekat. Cempaka Ungu mengurungkan niat nya manakala melihat wajah ibunya memerah menahan amarah.

"Atas saran Tengkorak Terbang, Nyai disuruh bersembunyi!" kata Singo Bodong. "Tapi saya tidak tahu harus sembunyikan Nyai Ratu di mana. Rumah saya jauh!" tambah Singo Bodong dengan keluguannya.

Mata Elang berkata, "Nyai, sebaiknya cepat bergegas lewat pintu rahasia di kamar Nyai itu!"

"Apakah tidak sebaiknya kuhadapi saja Hantu Laut itu?"

"Jangan, Nyai! Biar saya yang menahan mereka!"

Ratu Pekat berpikir sebentar, lalu bertanya kepada Singo Bodong, "Apa benar orang dari Kapal Neraka itu hanya satu orang yang berkepala botak dan tidak memakai baju?"

"Benar, Nyai! Hanya satu orang yang sering disebut oleh Jalak Putih dengan nama Hantu Laut! Saya berani bersumpah, Nyai. Hanya satu orang. Sisanya saya tidak tahu ada di mana. Sumpah, Nyai. Saya tidak tahu! Saya bukan Dadung Amuk!"

Singo Bodong menjawab dengan penuh keyakinan, karena ia takut disangka Dadung Amuk, anak buah Siluman Tujuh Nyawa yang mempunyai wajah dan potongan tubuh persis Singo Bodong. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Istana Berdarah dan Utusan Siluman Tujuh Nyawa).

Baru saja Nyai Ratu Pekat bergegas untuk melarikan diri melalui pintu rahasia yang ada di kamarnya, tiba-tiba orang-orang penjaga pintu gerbang berhamburan dengan gaduh. Mereka lari ketakutan, ada yang nekat masuk ke dalam istana. Rupanya saat itulah Hantu Laut muncul di istana dan mengejar Penghulu Petir yang terluka perutnya dan mengucurkan darah segar.

"Nyai, tolong... tolong saya...!" ratap Penghulu Petir sambil terhuyung-huyung. Sampai di depan Ratu Pekat, Penghulu Petir jatuh tersungkur, setelah itu tidak berdaya lagi. Mata Elang segera memeriksanya, ternyata Penghulu Petir sudah tidak bernapas lagi.

"Dia telah tewas. Nyai," ucap Mata Elang dengan pelan, menahan kegeraman amarahnya.

"Ratu Pekaaat...!" teriak Hantu Laut sambil menaiki anak tangga menuju serambi istana.

"Aku harus menghadapi. Terpaksa menghadapinya!" ucap Ratu Pekat seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Jangan, Ibu! Jangan hadapi dia!" Cempaka Ungu menahan. "Biar Mata Elang yang hadapi dia, Ibu! Kita lari saja, bersembunyi lewat pintu rahasia! Lekaslah...!"

"Tidak bisa! Mata Elang harus ikut bersembunyi!" sahut Ratu Pekat, karena Mata Elang selain pengawal pribadi juga pemuas gairah. Ratu Pekat tidak mau kehilangan Mata Elang. Karenanya ia tidak mau pergi tanpa lelaki itu.

"Ratu Pekat! Mau lari ke mana kau, hah? Mau kabur seperti orangmu yang kurus kering mirip tengkorak hidup itu, hah?! Ha ha ha...!" Hantu Laut benar-benar tak punya rasa takut sama sekali. Bahkan semakin tampak membanggakan dirinya dengan senjata tombak pusaka itu.

"Hantu Laut!" hardik Ratu Pekat dengan didampingi putrinya yang sudah mencabut pedang ungunya.

Hantu Laut maju setindak dan berkata, "Aku hanya ingin memberitahukan padamu, bahwa aku sekarang menjadi orang sakti! Pusaka ini ada di tanganku, kurebut dari tangan Tapak Baja!"

"Kau merebutnya dari tangan Tapak Baja?"

"Ya. Dan sekarang Tapak Baja sudah mati. Mati di tanganku! Hua ha ha ha...!"

Cempaka Ungu saling pandang dengan ibunya, si Mata Elang juga merasa heran mendengar kabar itu, sedangkan Singo Bodong sudah sejak tadi lari sembunyikan diri di dekat kandang burung, di belakang istana.

"Hantu Laut! Tapak Baja mati atau tidak, itu urusanmu! Aku tidak ada sangkut-pautnya dengan Tapak Baja!"

"Juga si tua renta Jangkar Langit, mati di tanganku, di atas kapalku dalam upaya merebut pusaka ini! Ha ha ha...!" Hantu Laut makin terbahak-bahak.

Ratu Pekat kembali terkesiap mendengar Jangkar Langit telah tewas di tangan Hantu Laut. "Hantu Laut, kematian Jangkar Langit juga tidak ada hubungannya dengan diriku! Jadi sebaiknya tinggalkan saja tempat ini!"

"Siapa bilang kematian mereka tidak ada hubungannya denganmu, Ratu Pekat?! Justru hal itu perlu kau ketahui, supaya kau tahu, bahwa kau pun bisa menyusul mereka ke akhirat jika tak mau tunduk dengan perintahku!"

"Tutup mulut mu, Hantu Laut?!" sentak Ratu Pekat.

"Tutup lututku...?!"

"Tutup mulut mu!" ulang Ratu Pekat.

"O, tutup mulutku? Ah, tak bisa! Tak bisa aku menutup mulut di depanmu, sebelum kamu tahu isi hatiku, Ratu Pekat!" Hantu Laut segera langkahkan kaki mendekati pilar agar bisa memandang Ratu Pekat tanpa terganggu silaunya matahari siang itu. Lalu, ia ucapkan kata lagi, "Ratu Pekat, aku bisa saja memusnahkan pulau ini dengan senjata pusaka ini! Orang Pulau Beliung akan mati semua karena menghirup udara beracun dari tiap jengkal tanah jika tombak ini kutancapkan ke dalam tanah. Tapi, rasa-rasanya sayang sekali jika kau ikut mati, Ratu Pekat. Sebab itu, kutawarkan pilihan padamu, kuhancurkan pulau ini, atau kau menjadi istriku?!"

Bagai petir menyambar di gendang telinga, Ratu Pekat terbelalak kaget. Cempaka Ungu dan Mata Elang pun terkejut. Mata mereka sama-sama menatap tajam kepada Hantu Laut, tapi Hantu Laut justru cengengesan sambil memandang liar Ratu Pekat dan Cempaka Ungu. Bahkan ia berkata,

"Putrimu itu cantik juga. Tak keberatan jika aku harus mengawini ibu dan anaknya sekalian! Ha ha ha ha...!" "Jahanam kau, Manusia busuk!" sentak Cempaka Ungu dan siap menerjang Hantu Laut. Tapi tangan ibunya menahan, hingga gerakan itu pun tak dilanjutkan.

Namun tiba-tiba Mata Elang berkata, "Hantu Laut! Boleh kau mengawini Nyai Ratu setelah kau bisa membunuhku!"

"Itu pekerjaan yang amat mudah!" kata Hantu Laut. Selesai ia berkata begitu, tiba-tiba dari mata si Mata Elang mengeluarkan cahaya merah menyerang Hantu Laut. Wusss...!

Hupp...! Tab, tab...!

Hantu Laut segera lompat ke belakang dengan bersalto dua kali. Tiba di tangga serambi, ia siapkan tombaknya ke arah depan dengan sikap menunggu lawan datang. "Kalau kau merasa cukup sakti, datanglah kemari, Bocah Ingusan!" pancing Hantu Laut.

Mendengar pancingan itu, Mata Elang cepat melesat bagaikan terbang sambil mencabut pedangnya dari punggung. Srett...! Dan pedang itu pun dikibaskan untuk memenggal kepala Hantu Laut.

Tranngg...! Pedang itu ditangkis dengan tombak.

Trik, klinting...! Pedang itu patah dan jatuh di lantai bermarmer bening. Mata Elang terperanjat kaget melihat pedang pusakanya patah.

"Ke mana pedangmu, Bocah ingusan?! Patah?. Oh, kasihan sekali! Itu pertanda nyawamu sebentar lagi akan patah pula, tahu?!"

"Keparat kau! Hiaaah...!"

Hantu Laut merundukkan kepala ketika serangan Mata Elang menerjang dengan satu lompatan dan pukulan maut lewat sinar matanya yang memancarkan cahaya merah seperti tadi. Hantu Laut bahkan sempat berguling satu kali di lantai, kemudian cepat berlutut satu kaki dan menggoreskan ujung tombak ke lantai. Goresan itu cukup panjang, dan mengenai sekujur panjang bayangan tubuh Mata Elang.

Crasss...!

"Aaahg...!" Masih di udara tubuh Mata Elang sudah berkelejot. Ia pun jatuh berdebam di lantai. Punggungnya terluka parah dari paha sampai ke tengkuk kepalanya. Luka itu sangat parah karena tubuh Mata Elang bagaikan habis disabet dengan senjata runcing yang tajamnya luar biasa.

"Mata Elang...!" pekik Ratu Pekat begitu melihat Mata Elang berkelejotan di lantai dengan bermandi darah. Ketika ratu menghampirinya, mengangkat kepala Mata Elang, saat itu juga pemuda tampan itu menghembuskan napasnya yang terakhir, ia jatuh terkulai tak bernapas di tangan Ratu Pekat.

"Biadab kau, Hantu Laut!" geram Ratu Pekat sambil meletakkan kepala mayat Mata Elang. Ratu Pekat segera berdiri, pancarkan pandangan murkanya kepada Hantu Laut.

Tapi orang gundul mengkilap itu justru tertawa. "Sudah kubilang tadi, aku ini sekarang jadi orang sakti berilmu tinggi! Jangan remehkan aku, Ratu Pekat! Kurasa kau pun perlu pertimbangkan lamaranku tadi daripada mati cepat seperti bocah itu!"

"Lamaran sesat! Hadapi dulu aku kalau memang kau merasa berilmu tinggi, hiiih...!"

Ratu Pekat sentakkan napasnya, lalu dari kalung berbatu Galih Bumi itu melesatlah sinar biru tua ke arah Hantu Laut. Dengan cepat Hantu laut melompat ke samping untuk menghindari sinar biru itu. Wuttt...!
Glaarrr...!

Sinar biru itu menghantam sebuah pilar di sudut teras istana. Pilar itu langsung saja berantakan, menjadi kepingan-kepingan kecil, dan menggunduk mirip gunungan batu kerikil.

"Hebat juga sinar biru dari kalungmu itu, Ratu Pekat! Tak rugi aku jika punya istri berilmu tinggi seperti kamu, Ratu Pekat!"

"Tutup mulut mu! Terimalah kematianmu, Hantu Laut!"

Srett...! Hantu Laut sedikit sipitkan mata melihat Ratu Pekat keluarkan senjata, yaitu cambuk kecil yang tidak terlalu panjang. Cambuk itu segera dilecutkan ke arah tubuh Hantu Laut. Tarrr...! Keluar sinar kuning dari lecutan itu, menghantam Hantu Laut. Tapi sinar kuning bisa dihalau oleh Hantu Laut dengan mengerahkan pukulan tenaga dalamnya lewat tangan kiri.

Blarrr...!

Timbul ledakan cukup kuat akibat benturan sinar kuning dengan pukulan tenaga dalam Hantu Laut. Lalu, Pusaka Tombak Maut disentakkan dalam keadaan miring. Pada waktu itu, Ratu Pekat mengirimkan pukulan cambuknya yang mengeluarkan cahaya merah. Tapi ujung tombak itu pun keluarkan cahaya biru petir dan menghantam cahaya merah itu.

Ratu Pekat terpental jatuh. Tubuhnya jatuh di lantai dan terseret sampai lebih dari tujuh langkah jauhnya. Sedangkan Hantu Laut juga terpental akibat ledakan besar yang terjadi karena benturan dua cahaya tadi.

Cempaka Ungu cemaskan ibunya. "Ibu...! Biar aku yang melawannya!"

Wuttt...! Cempaka Ungu melompat dan menyerang Hantu Laut dengan menebaskan pedangnya. Tapi dengan cepat Hantu Laut berguling ke samping sambil tetap memegang tombak itu. Wuttt...!

Sebenarnya kalau Hantu Laut ingin membunuh Cempaka Ungu sangat mudah, sebab bayangan Cempaka Ungu waktu melayang jatuh di depan kaki Hantu Laut. Tapi agaknya Hantu Laut merasa sayang jika harus membunuh gadis itu. Dalam hatinya ia sempat berkata, "Jangan bunuh gadis itu! Bisa kupakai gantian dengan ibunya jika aku sedang bosan menikmati yang tua!"

Terdengar suara Ratu Pekat berseru, "Cempaka! Mundur kau!"

Seruan itu seruan kemarahan. Cempaka Ungu tak berani nekat menyerang Hantu Laut. Ia segera menyingkir agak jauh. Saat itu Ratu Pekat telah berdiri dan melecutkan cambuknya dari jarak dua belas langkah.

Wuttt...! Tarrr...!

Cambuk pendek itu menjadi panjang dengan mengeluarkan pijar sinar biru. Melesat cepat menghantam Hantu Laut. Tapi dengan cekatan Hantu Laut menghadangkan tombaknya ke atas.

Wussst! Cambuk yang memancarkan cahaya biru berpijar-pijar itu tersangkut melilit di tombak itu, tepat di bagian ujung tombak. Hantu Laut segera sentakkan tombaknya ke belakang. Wusss...!

Sentakannya pelan, tapi mempunyai kekuatan yang begitu besar. Tubuh Ratu Pekat sampai terbawa terbang ke arah Hantu Laut. Dan, tangan kiri Hantu Laut segera menyongsong tubuh Ratu Pekat yang melayang ke arahnya.

Begggh...! Sebuah pukulan bertenaga dalam yang tidak seberapa tinggi telah dilepaskan Hantu Laut. Tepat mengenai pusar Ratu Pekat. Pukulan itu membuat Ratu Pekat terpental ke belakang. Tangan yang memegangi cambukpun terlepas.

"Uuhg...!" Ratu Pekat keluarkan darah dari mulutnya ketika tersedak dalam keadaan jatuh ke lantai.

"Ibu...?!" pekik Cempaka Ungu, segera berlari menolong ibunya, ia pun berkata dengan pelan, "Ibu, keadaan ibu sangat lemah!"

"Aku tidak apa-apa! Tidak apa-apa!"

"Tapi cambuk pusaka ibu ada di tangannya!"

Ratu Pekat sedikit terperanjat setelah menyadari ia tidak memegang cambuk lagi. Hantu Laut tersenyum-senyum sambil mempermainkan cambuk pendek yang sudah tidak menyalakan pijar biru lagi itu.

"Luar biasa kehebatan pusaka itu!" pikir Ratu Pekat. "Cambukku tak bisa mematahkannya. Malahan seperti tersedot kuat oleh kekuatan Tombak Maut itu! Celaka! Sekarang cambuk itu ada di tangannya! Aku dan putriku bisa mati kalau begini caranya!"

Ratu Pekat berdiri tanpa dibantu anaknya lagi. Tapi Cempaka Ungu masih ada di sampingnya dan berbisik, "Ibu, kita lari saja! Ayolah, Bu...!"

"Terlambat! Dia pasti akan mengejar kita!"

"Tapi bagaimana dengan pusaka cambuk biru itu, Bu? Dia memegang dua pusaka ampuh!"

"Mainkan siasat saja!" bisik Ratu Pekat.

"Ratu Pekat ," kata Hantu Laut. "Pusakamu ada di tanganku! Apakah kau masih inginkan pusaka cambuk ini?!"

"Aku merasa kau tak akan bisa menggunakan cambuk itu!"

"Hanya kau seorang yang bisa?"

"Ya. Hanya aku!"

"Kalau begitu, terimalah...!"

Wutt...! Cambuk dilemparkan begitu saja oleh Hantu Laut sambil tertawa-tawa. Cambuk segera ditangkap oleh Ratu Pekat. Lalu terdengar Hantu Laut bicara, "Kurang berbaik hatikah aku padamu?"

"Aku merasa kau tak pernah punya hati baik!"

"Kalau begitu kutancapkan tombak ini ke tanah biar semua penduduk Pulau Beliung mati karena racun!"

"Kau tak perlu mengancamku begitu, Hantu Laut! Jangan membawa korban rakyat ku yang tidak seberapa banyak jumlahnya ini!"

"Karena kau tak mau tunduk padaku, Ratu Pekat!"

"Apa yang harus kulakukan jika aku tunduk padamu?!"

"Kau harus menjadi istriku, juga anakmu itu!"

Cempaka Ungu cemas dan berbisik dari belakang ibunya, "Ibu, aku tidak mau! Aku tidak sudi!"

"Diamlah! Ibu yang atur siasat ini!"

Terdengar suara Hantu Laut mendesak, "Bagaimana? Kalian terima lamaranku?"

"Tidak bisa, Hantu Laut! Karena istana ini dalam ancaman kutukan maut Siluman Tujuh Nyawa!"

"Kutukan? Kutukan bagaimana?!"

"Istana ini akan hancur pada saat aku atau anakku menikah dengan seseorang! Pernikahan itu juga akan membawa kematianku dan kematian Cempaka Ungu! Jadi usahamu sia-sia, Hantu Laut!"

"Bangsat! Kubunuh Siluman Tujuh Nyawa itu!"

"Percuma! Kutukan itu bisa bebas lepas jika di depan istana ini ditanami tubuh tumbal seorang pendekar sakti!"

"Tidak ada lagi pendekar sakti kecuali diriku!" sergah Hantu Laut.

"Selain kau, masih ada satu orang lagi yang bisa dijadikan tumbal pemusnah kutukan itu!"

"Siapa?"

"Pendekar Mabuk!" jawab Ratu Pekat.

"Pendekar Gebuk?!"

"Pendekar Mabuk!" ulang Ratu Pekat.

"Jadi kalau kau mau mengawini aku dan anakku ini, carikan aku tumbal tubuh Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting."

"Suto Sinting...?! Hmmm... aku pernah mendengar nama itu, tapi di mana dan siapa yang mengucapkannya, aku lupa!"

Saat itu Ratu Pekat berbisik kepada Cempaka Ungu, "Tundukkan wajahmu biar kita kelihatan sedih karena kutukan itu!"

Hantu Laut sangat percaya dengan ucapan Ratu Pekat, karena ia melihat kedua wajah perempuan Ibu dan anak itu tampak murung sedih, seakan tak bisa banyak berbuat karena kutukan tersebut. Hal yang membuat Hantu Laut percaya dengan bualan Ratu Pekat adalah pengalamannya selama ini, bahwa Siluman Tujuh Nyawa memang sering memasang kutuk atau penyakit tertentu, yang membuat lawan jenisnya akan bergantung pada dirinya.

Seperti misalnya sebuah pukulan maut yang bernama 'Candra Badar', telah ditanamkan pada diri Ratu Gusti Mahkota Sejati, yang bernama asli Dyah Sariningrum, di mana perempuan itu telah dibuat tak bisa keluar dari Istananya sebelum Siluman Tujuh Nyawa datang dan membebaskan pukulan tersebut.

Itulah sebabnya Hantu Laut sangat percaya dengan kata-kata Ratu Pekat, sehingga ia bertanya, "Dimana bisa ketemukan Pendekar Mabuk itu?"

"Dalam perjalanan ke Pulau Hitam! Ke mana-mana dia selalu membawa bumbung tempat tuak dipunggungnya?"

"Oooh, yaaa...! Aku pernah bertemu dengannya di Pulau Kidung!"

"Cari dia! Penggal kepalanya. Buang ke laut. Tubuhnya ditanam di depan istana ini, sehingga aku dan anakku bebas dari kutukan itu, lalu kau bisa mengawini kami!"

"Akan kucari Pendekar Mabuk! Tak lama lagi aku pasti datang membawa tumbal!"

* * *

ENAM
DENGAN menggunakan perahunya sendiri, Tengkorak Terbang berhasil menghindari pertarungan berbahaya dengan Hantu Laut. Tetapi terlebih dulu ia sempat bocorkan bagian bawah Kapal Neraka itu, hingga kapal itu makin lama makin miring karena banyaknya air yang masuk ke lambung kapal.

Ketika Hantu Laut hendak pergi keesokan harinya untuk mencari tumbal raga dari Pendekar Mabuk, ia terkejut melihat Kapal Neraka sudah tenggelam sebagian. Waktu itu, Ratu Pekat dan Cempaka Ungu sengaja mengantar kepergian Hantu Laut sampai di pantai. Seolah-olah kedua perempuan itu sangat berharap kepada Hantu Laut untuk berhasil mendapatkan tumbal tanpa kepala dari raga Pendekar Mabuk. Hantu Laut tak sadar kalau dirinya dijebak agar masuk dalam pertarungan yang akan merenggut nyawanya.

Ratu Peekat yakin, hanya Suto Sinting yang bisa mengalahkan manusia botak dan berhidung bulat dengan senjata pusakanya itu. Tanpa bantuan Suto, Ratu Pekat merasa kalah tinggi ilmunya. Andai Hantu Laut tanpa Pusaka Tombak Maut mungkin dalam satu gebrakan saja, Ratu Pekat bisa merobohkan tubuh besar mirip raksasa itu. Tapi jika tombak pusaka itu masih di tangan Hantu Laut, Ratu Pekat merasa kalah ilmu dengan orang yang tak pernah memakai baju itu.

"Lutung kudisan!" gerutu Hantu Laut. "Ada anak buahmu yang membocorkan kapalku!"

"Bukankah anak buahku sudah mati semua di tanganmu?"

"Tidak! Ada yang melarikan diri, dan kubiarkan! Si Tengkorak busuk itu yang melarikan diri!"

"Oh, jadi Tengkorak Terbang masih hidup?"

"Kalau begini aku tak bisa pergi!" kata Hantu Laut dengan menahan amarahnya.

"Kami punya perahu lain yang bisa kau pakai untuk mencari Pendekar Mabuk itu!" kata Cempaka Ungu dengan sikap dibuat-buat manis.

"Ah, tak ada wibawanya aku pakai perahu atau kapal lain! Kapal Neraka itu membuat ciut nyali pendekar mana pun yang melihatnya!"

"Kalau begitu, biarlah kusuruh beberapa orangku yang masih tersisa untuk menambal kapalmu!"

"Atur saja bagaimana baiknya! Akan kubunuh Tengkorak Busuk itu jika bertemu denganku!"

"Ya, bunuh saja! Tapi pentingkan mencari Pendekar Mabuk dulu!" bujuk Cempaka Ungu setelah paham betul dengan kelicikan ibunya.

Dalam keadaan hanya berdua, Ratu Pekat bicara pada putinya, "Tak ada pilihan lain untuk menggunakan cara ini! Kita harus bisa tetap baik kepadanya, supaya dia tidak menyerang kita sampai menunggu kedatangan Suto!"

"Tapi aku takut dia memperkosaku, Bu!"

"Tidak akan! Karena Ibu sudah kasih tahu padanya, bahwa setiap lelaki menyentuh tubuhmu atau tubuhku, maka kita bertiga, bersama lelaki itu akan mati termakan kutuk! Dan dia percaya betul akan hal itu! Karenanya, bersikap baik terus kepadanya dan bujuk dia supaya tetap bersemangat memburu Pendekar Mabuk!"

Cempaka Ungu menampakkan kegelisahannya ketika berkata, "Nanti kalau dia bertemu Suto dan Suto bisa dipenggalnya, bagaimana?!"

"Ibu yakin, Pendekar Mabuk tidak akan mudah dikalahkan! Ingat gerakan-gerakannya ketika melawan Gagak Neraka? Ingat ketika ia beradu kesaktian dengan Mata Elang? Dia bukan pendekar yang mudah dikalahkan dengan senjata pusaka seperti Tombak Maut itu! Setidaknya Suto bisa menghindari kekuatan ilmu yang ada pada Pusaka Tombak Maut. Atau paling tidak Suto punya cara sendiri untuk mengalahkan Hantu Laut!?"

"Yang kupikirkan, bagaimana nasib kita jika Hantu Laut unggul dalam melawan Pendekar Mabuk, Bu!"

"Pada saat Hantu Laut pergi mencari Pendekar Mabuk, kita bisa lari bersembunyi lewat pintu rahasia, atau meminta bantuan kepada beberapa sahabatku! Yang jelas, banyak cara yang bisa kita lakukah jika dia sudah pergi dari pulau ini!"

Hal yang membuat Ratu Pekat tak bisa banyak bergerak juga karena Hantu Laut tidak mau beristirahat di kamar tamu. Dia memaksa diri harus beristirahat di kamarnya Ratu Pekat sendiri, sehingga sang ratu tidur atau beristirahat dengan anaknya, di kamarnya Cempaka Ungu. Mereka, tak bisa lari atau bersembunyi lewat pintu rahasia yang ada di kamar tidur ratu, yang sekarang ditempati Hantu Laut itu.

Lebih-lebih Hantu Laut telah ajukan ancaman, jika Ratu Pekat melakukan perlawanan lagi, maka Hantu Laut akan sebarkan racun melalui tanah merekah di seluruh pulau itu. Padahal di situ ada penduduk biasa yang tak tahu-menahu masalah istana. Ratu Pekat merasa punya kepentingan melindungi penduduk pulau tersebut, sekalipun jumlahnya tak seberapa banyak.

Sedih juga hati Ratu Pekat kehilangan Mata Elang. Bahkan Cempaka pun sering ikut merasa sedih jika teringat kemat ian Pangeran Berdarah, kekasihnya. Tetapi Ratu Pekat masih bisa menahan kesedihannya. Walau dia sudah kehilangan semua orang-orangnya, tapi ia masih punya satu harapan, yaitu kembalinya Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Semula Ratu Pekat ingin menaruh harap kepada Tengkorak Terbang, tapi orang itu telah melarikan diri dan tak jelas ke mana arah pelariannya, dan akan kembali atau tidak.

Sebenarnya Tengkorak Terbang pantang melarikan diri jika berhadapan dengan lawannya. Bila perlu mati di tangan lawan lebih baik daripada melarikan diri. Tetapi pelariannya itu adalah pelarian mengatur siasat, ia harus segera menyusul Suto ke Pulau Hitam. Jika ia mati di tangan Hantu Laut, siapa lagi yang akan menyusul dan memberitahukan peristiwa amukan Hantu Laut kepada Suto? Karena itu, Tengkorak Terbang segera melakukan penyusulan tersebut.

Sendirian ia terombang-ambing di tengah lautan bersama perahu kecilnya, ia berharap di perjalanan bisa berpapasan dengan perahu yang ditumpangi Suto Sinting. Tapi ternyata yang ditemuinya perahu lain. Tengkorak Terbang mengeluh dengan desah kejengkelan, sebab kali ini ia kembali berpapasan dengan perahu berlayar kuning dengan gambar tengkorak dan tujuh mata rantai warna merah.

Jelas perahu itu adalah perahu anak buahnya Siluman Tujuh Nyawa. Tengkorak Terbang tak bisa menghindari berpapasan dengan perahu itu, karena ia sempat kehilangan angin dan tak bisa lanjutkan perjalanan dengan cepat, ia hanya bisa gunakan satu dayung dengan tenaga lemah karena pertarungan dengan Hantu Laut.

Perahu berlayar kuning itu semakin mendekat. Sepertinya memang sengaja mendekatinya. Tengkorak Terbang membatin, "Kalau terpaksa harus mati bertarung melawan mereka, ya sudahlah! Itu namanya nasib yang tak bisa dihindari! Mudah-mudahan saja tak lama nanti muncul perahu yang membawa Suto, jadi aku bisa kasih berita kepadanya tentang keadaan Pulau Beliung sekarang ini!"

Perahu berlayar kuning lebih besar dari perahunya Tengkorak Terbang. Ketika mereka berdekatan, Tengkorak Terbang segera tahu siapa penumpangnya. Hanya dua orang, yang satu pernah bertarung melawan Tengkorak Terbang, tapi melarikan diri karena kalah dengan ilmunya Pendekar Mabuk. Orang itu, yang memakai pakaian abu-abu bersabuk hitam dengan hiasan kepala burung gagak, tak lain adalah Gagak Neraka.

Sedangkan lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun itu, cukup terkenal juga di rimba persilatan, ia termasuk anak buah Siluman Tujuh Nyawa yang konon ahli dalam pengobatan, ia dikenal dengan nama julukan Tabib Akhirat, ia mengenakan baju jubah hijau dengan pakaian dalamnya hitam. Rambut abu-abu panjang diikat memakai ikat kepala dari kulit ular. Ia selalu menggenggam kapak bergagang panjang, bagaikan orang mau menebang pohon.

Rupanya Gagak Neraka sudah sembuh dari lukanya akibat pertarungannya dengan Pendekar Mabuk dalam kasus Istana Berdarah itu. Tentunya si Tabib Akhirat yang mengobati luka tersebut. Kini ketika ia melihat Tengkorak Terbang ada di perahu itu sendirian tanpa Suto, geram kejengkelannya mendidihkan darah. Segera ia melepaskan pukulan tenaga dalam ke arah Tengkorak Terbang. Wuttt! Tapi Tengkorak Terbang segera tangkis pukulan itu dengan lompatan tubuh dari tengah perahu ke buritan.

"Tikus Busuk!" seru Gagak Neraka. "Rasa-rasanya hari ini adalah hari terakhir bagimu! Kematianmu yang tertunda tempo hari, perlu kau lanjutkan hari ini!"

"Gagak Neraka! Kalau kau sendiri sudah siap mati, aku pun siap membunuhmu!"

"Tulang rakus! Hiaaah...!"

Gagak Neraka sentakkan tangan kanannya ke depan, dari telapak tangannya keluar jarum kecil-kecil jumlahnya cukup banyak, warnanya hitam bagai berkarat semua. Tengkorak Terbang tak mungkin bisa menghindar karena gerakan jarum maut itu sangat cepat. Satu-satunya jalan ia segera lepaskan pukulan 'Tangan Matahari', yaitu dengan menyentakkan kedua tangan bersamaan dan keluarlah sinar warna-warni yang menggumpal bagaikan bola dan melesat dengan cepat.

Kedua perahu itu terguncang hebat akibat ledakan dari pukulan 'Tangan Matahari' dengan jarum-jarum hitam itu. Yang paling hebat getarannya adalah perahu yang ditumpangi Tengkorak Terbang. Perahu itu hampir saja terguling akibat air laut melonjak dan bergelombang hebat. Sedangkan Tengkorak Terbang sendiri tubuhnya sempat terlempar ke laut dan menjadi basah kuyup.

Gagak Neraka terlempar tubuhnya sampai membentur pintu barak, dan membuat Tabib Akhirat menggerutu jengkel dan menyentak pada Gagak Neraka, "Hentikan permainanmu itu! Kalau tak bisa kalahkan dia, tak perlu menyerang lagi!"

Gagak Neraka takut, karena Tabib Akhirat punya tingkatan lebih tinggi dari dirinya. Gagak Neraka hanya berkata, "Aku sekadar menguji kehebatan si tulang belulang itu!"

"Tujuan kita mau membalas kekalahanmu kepada Pendekar Mabuk atau kepada Tengkorak rapuh itu?!"

"Ya, kepada si Pendekar Mabuk! Tapi dia temannya Pendekar Mabuk!"

"Kalau begitu tanyakan padanya saja, apakah Pendekar Mabuk masih ada di Pulau Beliung atau sudah minggat dari sana?!"

Maka, berserulah Gagak Neraka kepada Tengkorak Terbang, "Hai, Tulang Babi...! Apakah Pendekar Mabuk masih ada di Pulau Beliung atau sudah pergi?! Jawab pertanyaanku daripada kupaksa kau bicara dengan kekerasan!"

Tengkorak Terbang yang rambut dan sekujur tubuhnya basah kuyup itu sudah berdiri lagi di buritan perahunya, ia berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, seakan masih berani menghadapi serangan dari lawannya. Tapi untuk sementara ia segera serukan kata, karena ia sudah tahu apa yang jadi tujuan pelayaran perahu berlayar kuning itu, "Kalau kau mencari Pendekar Mabuk, tanyakanlah kepada temanmu yang berjuluk Hantu Laut!"

"Kenapa harus kepada dia aku bertanya? Apa hubungannya?"

"Pendekar Mabuk ada di Pulau Beliung, sudah dikalahkan oleh Hantu Laut!"

"Omong kosong!" bentak Gagak Neraka, lalu cepat ia palingkan wajah untuk memandang Tabib Akhirat. Bagi mereka, Hantu Laut bukan orang sehebat Tapak Baja atau sehebat diri mereka. Mana mungkin bisa mengalahkan Pendekar Mabuk, yang menurut Gagak Neraka adalah orang berilmu tinggi.

Tabib Akhirat pun ikut bicara dari perahunya, "Mana mungkin Hantu Laut bisa kalahkan Pendekar Mabuk! Hantu Laut hanya kuli Kapal Neraka! Dia budak suruhan Tapak Baja!"

"Temuilah sendiri di Pulau Beliung! Tanyakanlah kepadanya, apakah dia kuli kapal, atau budak Tapak Baja, atau orang sakti! Dia sekarang sudah hebat, tidak seperti dulu! Kalian kalah hebat! Aku saja lari dari pertarungan dengannya, karena dia sudah mempunyai pusaka maut!"

"Pusaka apa?"

"Tanyakanlah sendiri, aku tak sempat menanyakannya!" jawab Tengkorak Terbang. "Yang kutahu, Tapak Baja telah dibunuhnya!"

"Hah...?!" kedua orang di atas perahu berlayar kuning tercengang heran.

"Jangan membual di depanku, Bangsat!" teriak Gagak Neraka sambil kirimkan pukulan jarak jauhnya. Tengkorak Terbang cepat sentakkan tangan kirinya. Pukulan tanpa sinar saling beradu di pertengahan, menimbulkan letupan kecil yang tidak terlalu mengguncangkan perahu seperti tadi.

"Cobalah kau datang sendiri dan lawan si Hantu Laut itu! Kujamin nyawa kalian amblas dalam satu gebrakan!" seru Tengkorak Terbang, sengaja memanaskan hati mereka.

"Mana mungkin dia berani melawan kami! Kedudukan kami lebih tinggi darinya!" seru Tabib Akhirat.

"Jangankan kalian, Siluman Tujuh Nyawa pun akan ditumpasnya habis jika tak mau bersujud di depan kakinya!"

"Jahanam! Tutup mulutmu!" bentak Gagak Neraka.

Tabib Akhirat segera menahan tangan Gagak Neraka yang ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya lagi. Tabib Akhirat berkata pelan, "Biarkan dia bicara!"

"Dia mengigau!"

"Kulihat dia memang seperti orang sedang melarikan diri! Biarkan dia bicara, aku ingin mendengarnya!"

"Kubilang, dia mengigau!"

"Kalau begitu, aku ingin mendengar igauannya!" Kemudian, Tabib Akhirat berseru kepada Tengkorak, "Apakah Tapak Baja ada di sana? Maksudku, mati di sana?"

"Tidak! Hantu Laut datang sendirian. Dia ingin kuasai Pulau Beliung untuk tempat tinggalnya selamanya. Tapi ia berkoar kepada kami, bahwa ia sudah berhasil membunuh Tapak Baja, dan sebentar lagi dia akan bunuh Siluman Tujuh Nyawa!"

"Dia berbohong padamu!" kata Tabib Akhirat.

"Menurut ku dia tidak berbohong! Apa yang dikatakan ada benarnya juga, sebab dia telah memiliki sebuah tombak pusaka milik Jangkar Langit!"

"Pusaka Tombak Maut?!"

"O, ya! Itu nama tombak pusaka yang sekarang menjadi andalannya! Menurut rencana, dia akan membantai semua orang-orangnya Siluman Tujuh Nyawa, dan dia akan kuasai semua jalur pelayaran dan jajahan Siluman Tujuh Nyawa!"

Gagak Neraka makin panas telinganya mendengar berita itu. Ia berkata kepada Tabib Akhirat, "Celaka! Jika omongan tengkorak keropos itu benar, berarti kita harus kasih laporan kepada sang ketua!"

"Kita buktikan dulu di Pulau Beliung! Seperti apa tingkah Hantu Laut terhadap kita sekarang ini! Jika memang membahayakan, biar kuhabisi sendiri dia!"

* * *

TUJUH
KAPAL Neraka dikerumuni beberapa orang. Bukan karena mereka kagum dan heran melihat kapal yang terkenal sebagai penyebar maut itu, tapi dengan sangat terpaksa mereka melakukan tugas dari Ratu Pekat untuk memperbaiki beberapa kerusakan kapal tersebut. Kepada salah seorang prajurit yang memimpin perbaikan kapal itu, Ratu Pekat berkata pelan,

"Kalau bisa agak dibuat lama sedikit. Jangan terburu-buru selesai. Mengerti?"

"Mengerti, Nyai Ratu. Tapi, apakah tidak sebaiknya biar cepat selesai saja, biar setan gundul itu cepat pergi dari pulau ini?"

"Tidak. Aku sangat berharap dia bertemu dengan Pendekar Mabuk di sini! Jangan biarkan dia pergi dan tersesat, hingga tidak bertemu dengan Pendekar Mabuk. Terlalu bodoh kalau aku membiarkan dia pergi begitu saja, walau sebenarnya aku bisa punya kesempatan untuk lari dan bersembunyi. Kalau dia masih hidup dengan tombak pusakanya, dia tetap akan menjadi ganjalan ketenangan hidup kita di mana saja! Jadi, dia harus mati. Dan Pendekar Mabuk-lah yang bisa mengalahkan dia! Mengerti?"

"Baik. Saya mengerti, Nyai Ratu!"

"Suruh orang-orang jangan cepat-cepat dalam bekerja! Diperlambat saja, sambil menunggu kedatangan Pendekar Mabuk dari Pulau Hitam!" kata Ratu Pekat dengan tetap berwibawa terhadap bawahannya.

"Baik, Nyai. Tapi..., bagaimana jika Pendekar Mabuk tidak kembali lagi kemari? Apa yang harus kita lakukan?"

"Tidak mungkin! Pendekar Mabuk pasti kembali ke sini. Karena Singo Bodong masih ada bersama kita. Jika dia ingin meneruskan perjalanannya, pasti dia harus kembali ke sini dulu untuk mengambil Singo Bodong. Dia teman Pendekar Mabuk dan keselamatannya dalam tanggung jawab Pendekar Mabuk."

Selama ini Singo Bodong takut menampakkan diri di depan Hantu Laut. Biar wajahnya menyeramkan, kumisnya tebal, badannya hampir sama besar dengan Hantu Laut, tetapi merasa tidak berilmu apa-apa Singo Bodong berusaha untuk tidak bertatap muka dengan Hantu Laut. Bila perlu ia akan tundukkan kepala rendah-rendah agar tidak beradu pandangan mata dengan Hantu Laut. Sebab melihat sinar matanya saja Singo Bodong sudah ketakutan karena terbayang keganasan Hantu Laut saat bertarung melawan Jalak Putih, Penghulu Petir, Pengeran Berdarah, si Latah Lidah, dan si Mata Elang.

Tetapi pada saat Singo Bodong ikut membantu memperbaiki Kapal Neraka karena memang diperintahkan oleh Ratu Pekat, Singo Bodong merasa was was dan selalu berusaha menutup diri dari pandangan mata Hantu Laut yang sering hadir memeriksa pekerjaan itu. Sekalipun Singo Bodong sudah berusaha menyembunyikan diri dari tubuh beberapa pekerja lainnya, namun mata jeli Hantu Laut masih bisa menangkap keberadaannya di situ.

Dari pantai yang kering, Hantu Laut berseru, "Dadung Amuk!"

Singo Bodong diam saja walaupun dia tahu, bahwa dirinya dianggap Dadung Amuk. Singo Bodong berlagak tidak mendengar dan turut memperbaiki kapal tersebut dengan lebih giat lagi.

"Dadung Amuk...!" seru Hantu Laut lagi. Lalu, ia dekati Singo Bodong yang diam-diam semakin berdebar-debar itu.

Wajah Hantu Laut berseri-seri setelah tiba di dekat Singo Bodong, ia cepat meraih pundak Singo Bodong dan berseru girang, "Dadung Amuk! Oh, ternyata kau ada di sini juga?! Ha ha ha...!" Hantu Laut cepat memeluk Singo Bodong dengan satu tangan, karena tangan yang satunya memegangi tombak pusaka.

Di bawah sebuah pohon agak jauh, sepasang mata memperhatikan kegembiraan Hantu Laut bertemu Singo Bodong. Sepasang mata itu milik gadis cantik Cempaka Ungu. Ia diam saja di sana, tapi matanya terus mengikuti sikap Singo Bodong dan Hantu Laut saat bertemu disamping kapal itu.

Dari keceriaan wajahnya, Hantu Laut tidak tampak bermusuhan dengan Singo Bodong. Malahan dia berkata, "Dadung Amuk! Tak usah kau ikut bekerja! Kau... kau... apakah kau tawanan Ratu Pekat, sehingga mau-maunya bekerja menambal kapalku?"

"Tapi...."

"Sudahlah, ikutlah aku bicara di tempat teduh itu! Lihat, calon istriku yang satu sudah menungguku di sana! Kita dekati dia, dan kuperkenalkan pada dia siapa dirimu sebenarnya! Ha ha ha ha...!"

Mau tak mau Singo Bodong mengikuti langkah Hantu Laut. Ia dirangkul oleh Hantu Laut yang tampak sangat kegirangan bertemu dengan Singo Bodong, sebab Singo Bodong dianggapnya Dadung Amuk.

Melihat dua orang bertubuh besar itu datang mendekatinya, Cempaka Ungu diam saja di tempatnya, ia ingin tahu apa sebenarnya yang akan terjadi jika Hantu Laut tahu bahwa Singo Bodong bukanlah Dadung Amuk. Sedangkan Singo Bodong semakin resah dan kebingungan, takut disangka oleh Cempaka Ungu bahwa dirinya adalah Dadung Amuk.

"Cempaka Ungu, Sayangku...," kata Hantu Laut sambil masih merangkul Singo Bodong. "Kenapa kau tidak bilang-bilang padaku bahwa di sini ada Dadung Amuk?! Dia ini orang yang paling banyak berjasa terhadapku! Beberapa kali nyawaku diselamatkan oleh Dadung Amuk! Bukankah begitu, Dadung Amuk?!"

"Hmmm... anu... aku... aku bukan Dadung Amuk! Aku...."

"Lihat, lihat...! Begitu merendahnya dia di depanku, Cempaka! Dia ini orang yang paling baik padaku, lebih baik dari saudara kandungku sendiri!"

Cempaka Ungu masih diam saja. Senyumnya dipaksakan mekar, tapi otaknya berputar-putar memikirkan sikap Hantu Laut terhadap Singo Bodong. Hantu Laut seperti bertemu dengan saudara sendiri yang sudah puluhan tahun tidak pernah jumpa. Berulangkali ia merangkul Singo Bodong dalam tawanya yang benar-benar tampak gembira.

"Dadung Amuk, kupikir kau telah tewas dalam peristiwa di Pulau Tatar! Sebab aku tahu, lawanmu di sana cukup tangguh! Sudah lama kita tidak saling jumpa, Dadung Amuk! Aku sering bayangkan wajahmu jika sedang dalam tekanan perintah dari Tapak Baja! Tapi sekarang, tak akan ada lagi yang berani memerintahku dengan tekanan keras! Tak akan ada lagi yang menamparku seperti dulu, sebab Tapak Baja telah kubunuh dengan tombak pusaka ini! Ha ha ha ha...!"

Singo Bodong cengar-cengir salah tingkah, ia mencoba berkata, "Iyy... iya, aku sudah mendengar tentang kematian Tapak Baja."

"Itulah aku yang sekarang, Dadung Amuk!"

"Tapi aku buk... buk... bukan Dadung Amuk!"

"Omong Kosong! Ha ha ha...! Aku tak bisa kau tipu dengan kepura-puraanmu. Kau adalah Dadung Amuk! Kau tidak banyak berubah dan tetap berwatak pura-pura bodoh seperti dulu saja! Walaupun kau tanpa tambang pusakamu itu, tapi aku tetap bisa mengenali dirimu, Dadung Amuk! Ha ha ha...! O, ya... kau tidak perlu ikut bekerja seperti mereka! Kau bukan orang-orang seperti mereka! Dan... dan kenapa kau bisa jadi selemah ini? Apa yang telah terjadi pada dirimu, Dadung Amuk?!"

"Tidak... tid... tidak ada apa-apa? Sumpah! Tidak ada apa-apa!"

"Jujur saja, Dadung Amuk! Aku tahu kau pasti dalam kesulitan! Aku akan ganti menolongmu, Dadung Amuk! Aku harus menolongmu, karena belum satu pun jasa baikmu padaku yang sempat kubalas!" sambil berkata begitu, Hantu Laut menepuk-nepuk pundak Singo Bodong dengan tetap merangkulkan tangannya ke pundak itu. Kadang ia meremas-remas pundak Singo Bodong sebagai ungkapan rasa kagum dan gembira terhadap orang yang dianggapnya Dadung Amuk itu.

"Dadung Amuk, jika kau ditawan oleh Ratu Pekat, akan kusuruh dia membebaskan kamu! Dia pasti menurut padaku, seperti halnya Cempaka Ungu ini! Sebab mereka bakal menjadi istriku dua-duanya, hua ha ha ha...!"

Singo Bodong hanya cengar-cengir, tak bisa ikut tertawa sekeras Hantu Laut, sebab hatinya berdebar-debar dalam kegelisahan. Sebentar-sebentar ia melirik Cempaka Ungu dengan sorot pandangan mata penuh kecemasan, seakan ia ingin minta pertolongan kepada Cempaka Ungu untuk memisahkan dirinya dari Hantu Laut.

Cempaka Ungu segera tanggap dengan kecemasan itu, karenanya ia segera berkata kepada Hantu Laut, "Hantu Laut, kami tidak tahu kalau Dadung Amuk itu teman baikmu. Sungguh kami tidak tahu!"

"Sangat baik aku dengannya! Aku banyak berhutang nyawa padanya. Artinya, nyawaku sering diselamatkan oleh dia! Dia ini orang sakti, sejajar dengan Tapak Baja. Jangan kamu menganggap remeh pada dia, Cempaka Ungu! Kalau dia sudah mengamuk, bisa habis seluruh penghuni pulau ini. Bisa hancur dalam sekejap istanamu itu jika ia sudah gunakan tambang mautnya itu!"

"Ya, karena itu kukatakan tadi, kami tidak tahu kalau dia teman baikmu. Sebaiknya izinkan aku membawa dia menghadap Ibu, dan kubicarakan tentang pembebasannya. Jujur saja, dia masih tawanan kami!"

"Lho, katanya aku bukan tawanan? Katanya...!" Singo Bodong terhenti dari bicaranya yang bernada ngotot karena tidak mengerti arah pikiran Cempaka Ungu, dan Cempaka Ungu segera berkata agak keras.

"Diam kau, dan biarkan aku bicara dengan Hantu Laut!"

Tapi Hantu Laut berkata, "Hei, jangan bentak-bentak dia! Bisa hilang kesabaranku jika melihat orang yang berjasa banyak padaku kau bentak-bentak!"

"Baiklah. Aku tidak akan membentak-bentaknya lagi. Tapi biarkanlah aku membawa dia menghadap Ibu Ratu. Mungkin kalau sudah kujelaskan kepada Ibu siapa Dadung Amuk ini, Ibu pasti akan membebaskan dia dan tidak akan menjadi tawanan kami lagi!"

"Harus begitu! Sudah, bawa dia ke istana, nanti aku menyusul! Aku akan mengawasi pekerja-pekerja itu dulu!" kata Hantu Laut. Dan sebelum Singo Bodong pergi bersama Cempaka Ungu, Hantu Laut sempatkan diri berkata kepada Singo Bodong. "Dadung Amuk, katakan saja apa yang harus kubantu agar aku bisa membalas budi baikmu selama ini! Aku siap membantumu, Dadung Amuk!"

Singo Bodong hanya mengangguk dengan senyum yang benar-benar kaku. Setelah itu, ia pun melangkah pergi bersama Cempaka Ungu. Tangannya agak ditarik oleh Cempaka Ungu hingga langkahnya menjadi lebih cepat lagi. Singo Bodong semakin berdebar ketakutan dan ia berkata kepada Cempaka Ungu, "Berani sumpah segala sumpah, aku bukan Dadung Amuk, Cempaka! Aku Singo Bodong, seperti yang ditirukan Suto tempo hari! Aku bukan Dadung Amuk, Cempaka! Jangan salah duga!"

"Diam kamu! Justru karena kamu bukan Dadung Amuk, maka kuajak berunding bersama Ibu."

Di depan Ratu Pekat, Cempaka menceritakan peristiwa salah duga itu. Apa yang dikatakan Hantu Laut kepadanya tentang jasa dan kebaikan Dadung Amuk juga diceritakan kembali kepada Ratu Pekat.

"Lalu, apa maksudmu menyampaikan berita ini, Cempaka?" tanya Ratu Pekat dengan tenang.

"Bukankah Singo Bodong bisa kita gunakan untuk pelindung kita?"

Berkerutlah dahi Ratu Pekat karena heran mendengar usul anaknya. Lalu dia bertanya, "Dia tidak punya ilmu apa-apa, mana bisa melindungi kita?"

"Dia harus tetap mengaku Dadung Amuk di depan Hantu Laut!"

"Apa...?! Aku harus mengaku Dadung Amuk?! Tidak. Aku tidak mau mengaku Dadung Amuk!" kata Singo Bodong membantah usulan itu, dan ia berkata lagi, "Dadung Amuk orang jahat! Aku bukan orang jahat!"

"Singo Bodong," kata Ratu Pekat memotong ucapannya. "Aku tahu maksud Cempaka. Ini hanya pura-pura saja. Kau mengaku Dadung Amuk, untuk meredam segala tindakan Hantu Laut yang semena-mena terhadap kami. Dengan adanya kamu, sebagai Dadung Amuk, Hantu Laut merasa ada orang yang disegani."

"Betul. Maksudku begitu, Ibu!" potong Cempaka Ungu.

"Ingat kata-kata Hantu Laut tadi, kau dianggap orang paling berjasa dalam hidupnya. Kau dianggap orang yang sering selamatkan nyawanya dan lebih baik dari seorang saudara kandung. Dia merasa berhutang budi kepadamu! Bahkan dia siap membantumu jika kau butuh bantuan apa pun, itu berarti dia akan menuruti segala perintahmu! Kau disegani oleh Hantu Laut, karena kau tidak pernah memusuhi dia, dan dia tahu kau dianggap orang berilmu tinggi, sejajar dengan Tapak Baja. Jadi, dengan adanya kau sebagai Dadung Amuk di sini, tingkah laku Hantu Laut yang memuakkan itu bisa kau redam!"

"Tap... tapi, tapi saya takut berhadapan dengan dia, Nyai Ratu!"

"Kau harus berani. Kalau selamanya kau menjadi orang penakut, maka jiwamu akan dijajah oleh orang lain! Tak ada orang yang bisa menolongmu kecuali dirimu sendiri! Jadi, kau harus berani berhadapan dengan siapa pun! Ingat, kau punya kekuatan, yaitu wajah dan potongan tubuh yang mirip Dadung Amuk. Anggapan keliru itulah yang kau gunakan sebagai kekuatanmu!"

Cempaka Ungu menambahkan kata, "Di depan dia, kau harus tegas dan kelihatan berilmu tinggi. Dia tak akan berani melawanmu, karena dia merasa berhutang nyawa padamu! Tunjukkan di depan dia bahwa kau adalah Dadung Amuk yang dikaguminya. Biasanya seseorang akan menurut dengan perintah orang yang dikagumi dan disanjungnya!"

Ratu Pekat menambahkan kata lagi, "Tapi kau juga jangan kelihatan semena-mena kepadanya, supaya dia tidak berbalik benci kepadamu. Justru tampakkan sikapmu memuji keberhasilannya dalam memiliki Pusaka Tombak Maut itu, biar dia semakin salut padamu. Tapi juga jangan terlalu merendahkan diri di depannya, supaya kau tetap dihormati olehnya."

"Bagaimana... bagaimana kalau dia tahu bahwa aku bukan Dadung Amuk yang sebenarnya?"

"Tidak mungkin!" sahut Cempaka Ungu. "Kau mengaku sebagai Singo Bodong saja dia tetap ngotot dan menganggapmu Dadung Amuk!"

"Ya. Kurasa dia tidak akan mengetahui bahwa kau adalah bukan Dadung Amuk. Dia tetap akan menganggapmu Dadung Amuk. Lebih bagus lagi kalau kau memakai baju merah dan jangan dikancingkan. Itu pakaian yang benar-benar mirip dengan Dadung Amuk!"

"Bila perlu," kata Cempaka Ungu, "Kucarikan kau sebuah tambang dalam tiga gulungan, bawalah tambang itu lalu, kau gantungkan di pundak kiri."

"Betul! Itu baru persis sekali dengan Dadung Amuk! Asal lagakmu jangan ragu-ragu dan celingak-celinguk seperti biasanya. Berlagaklah tegar, perkasa dan berani!"

"Suruh Hantu Laut jangan menempati kamar pribadi Ibu," kata Cempaka Ungu. "Dan bila kau punya kesempatan, curi tombak itu lalu serahkan pada kami!"

"Betul!" sahut Ratu Pekat lagi semakin bersemangat.

"Curi tombak itu, tapi jangan terburu-buru dan jangan sampai kelihatan gerak-gerikmu. Sebab tanpa tombak itu, Hantu Laut bisa kurobohkan dalam waktu yang amat singkat! Satu jurus pun dia bisa mampus!"

"Ya, memang kelihatannya begitu," gumam Singo Bodong. "Tapi... bagaimana aku harus mengatasi rasa takutku sendiri ini...?"

"Aku mendampingimu terus," kata Cempaka Ungu. "Aku mengawasimu dari kejauhan. Jika terjadi sesuatu, aku maju lebih dulu melindungimu!"

Dadung Amuk sebenarnya orang kejam, ia pernah bertemu dengan Suto Sinting dan bertarung beberapa gebrakan. Namun Dadung Amuk kalah, ia ditugaskan mencari Pendekar Mabuk oleh Siluman Tujuh Nyawa, tapi ketika bertemu dengan Suto, ia tidak tahu siapa orang yang ditemuinya itu. Suto mengaku sebagai Pendekar Mabuk, bahkan yang terakhir kali Suto mengaku sebagai Pendeta Tibet, yang adalah guru dari Siluman Tujuh Nyawa.

Dadung Amuk berhasil dikelabuhi Suto. Ketika Dadung Amuk mengaku ditugaskan oleh Siluman Tujuh Nyawa membunuh orang yang bernama Suto Sinting dan mencari kitab Pusaka Wedar Kesuma, Pendekar Mabuk menyuruh Dadung Amuk pergi ke Pulau Hantu, dan mengatakan disanalah adanya Pusaka Kitab Wedar Kesuma. Maka, Dadung Amuk pun pergi ke Pulau Hantu. Padahal di sana ada tokoh sesat yang cukup tinggi ilmunya, yaitu Mawar Hitam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Siluman Tujuh Nyawa). Sampai sekarang belum diketahui bagaimana nasib Dadung Amuk.

Sementara itu, Ratu Pekat dan Cempaka Ungu mendandani Singo Bodong sehingga mirip betul dengan Dadung Amuk. Mengenakan pakaian longgar warna merah, celana hitam, menggantungkan tambang di pundak kirinya, rambut diikat kain batik model warok yang memang sudah kesehariannya dipakai Singo Bodong, ikat pinggang hitam besar, dan mengenakan akar bahar hitam yang juga sudah kesehariannya dikenakan Singo Bodong. Semakin yakin Hantu Laut bahwa orang itu adalah Dadung Amuk. Hanya saja, ia merasa heran, mengapa Dadung Amuk menjadi tawanan ratu.

"Rasa-rasanya tak mungkin kau bisa mengalahkan ilmu dan kesaktian Dadung Amuk, Ratu Pekat! Bahkan kau bisa membuat dia tunduk dan menurut padamu, sungguh hal yang tidak masuk akal bagiku!"

Jawab Ratu Pekat, "Dia datang ke pulau ini dalam keadaan linglung. Menurut dugaanku, dia telah melangkahi akar Mimang."

"Apa itu akar Mimang?"

"Akar yang jika dilangkahi, bisa membuat orang yang melangkahi lupa akan dirinya, lupa jalan menuju pulang."

"Ooo...," Hantu Laut manggut-manggut. "Kalau begitu dia lupa tentang ilmu-ilmunya?"

"Ya. Tapi secara gerak naluri, tenaga dalamnya bisa tersalur keluar dengan sendirinya, dan itu lebih berbahaya, karena tidak pakai ukuran batin! Itulah sebabnya kami menganggap dia bukan seperti tawanan biasa."

"Bebaskan dia!" kata Hantu Laut.

"Sudah kubebaskan. Sejak aku tahu dia teman baikmu yang banyak menolong kamu, sering menyelamatkan kamu, dan kamu punya hutang nyawa kepadanya, aku telah membebaskan dia. Tapi dia masih saja tak mau pergi meninggalkan pulau ini."

"Jangan paksa dia untuk pergi! Biarkan dia bertindak atas kemauannya! Aku sangat menaruh hormat kepadanya!"

"Ya. Aku tahu apa yang kau harapkan. Aku telah laksanakan!"

Hantu Laut semakin bangga melihat penampilan Singo Bodong yang dianggapnya sudah kembali seperti Dadung Amuk dalam kesehariannya. Singo Bodong pun jika bertemu dengan Hantu Laut memasang lagak wibawa dan tegas, walau hatinya penuh kecemasan.

"Kuharap kita bisa susun kekuatan di sini untuk melawan sang ketua dan para keroconya! Kau setuju, Dadung Amuk?"

"Sangat setuju!"

"Bagus! Ha ha ha...! Kita akan gilas Siluman Tujuh Nyawa menjadi Siluman Tujuh Potong!"

"Ha ha ha ha...!" Singo Bodong paksakan diri tertawa terbahak walaupun tetap sumbang didengarnya. Lalu, Singo Bodong berkata, "Tapi aku kurang setuju jika kau tidur dan menempati kamar pribadi Ratu Pekat!"

"Kenapa? Dia calon istriku!"

"Itu kalau kau bisa memenggal kepala Pendekar Mabuk!"

"Harus bisa! Bila perlu, aku minta bantuanmu untuk melawan dia."

"Kurasa tidak perlu. Kau sudah cukup kuat dan tangguh dengan tombak pusaka itu! Kau bisa mengatasi orang sakti mana pun tanpa bantuan dariku lagi!"

"Ah, jangan berkata begitu padaku, Dadung Amuk. Dari dulu kau selalu membangkitkan semangat dan keberanianku! Aku jadi minder di depanmu, Dadung Amuk!"

"Tak apa. Aku juga hanya sekadar memujimu," jawab Singo Bodong, keceplosan pengakuan polosnya. Tapi, segera ia berkata, "Kuharap kau tidak menempati kamar pribadi Ratu. Apa kau setuju?"

"Hmmm... baiklah, aku setuju! Lantas di mana aku harus tidur selama kapalku belum selesai dalam perbaikan?"

"Banyak kamar di dalam istana ini, dan kau bisa pilih sendiri!"

"Demi persahabatan dan persaudaraan kita, kuturuti keinginanmu, Dadung Amuk. Tapi, bolehkah aku tahu mengapa kamu melarangku menempati kamar ratu?"

"Karena ratu menyuruhku bilang begitu padamu."

"Jadi, kau diperalat oleh Ratu Pekat?"

"Hmmm... anu... begini... bukan diperalat. Ratu sebenarnya menaruh hati melihat keperkasaanmu. Tapi dia tidak ingin kehilangan daya tarik terhadapmu jika kamu masih menempati kamar pribadinya. Jadi, dia ingin agar aku menyampaikan isi hatinya, bahwa dia tak mau kehilangan rasa tertarik kepadamu. Jika kau tetap menempati kamar pribadinya, dia akan kecewa dan rasa tertarik padamu berkurang, bahkan bisa hilang. Dia takut kehilangan hal itu, Hantu Laut! Jadi saranku, jangan kecewakan dia supaya dia semakin kagum dan tertarik padamu!"

"Ha ha ha ha...! Ya, ya... aku tahu maksudnya! Aku akan turuti saranmu itu!"

Singo Bodong merasa lega, ternyata ia bisa bicara tanpa menimbulkan kecurigaan Hantu Laut. Lalu, ia berkata lagi sambil duduk di bangku taman samping istana. "Sebenarnya sudah lama aku ingin melawan sang ketua!"

"O, ya?! Kalau begitu kita memang sangat cocok bertemu di sini!" Hantu Laut bersemangat dan tampak gembira sekali.

"Tapi aku merasa ilmuku masih rendah dan belum seimbang untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa! Dia sangat kuat dan tinggi ilmunya!" Singo Bodong berlagak mengeluh. Sejauh ini, ia selalu diperhatikan oleh sepasang mata, yaitu mata Cempaka Ungu yang berada di kejauhan atau di balik persembunyian.

Melihat Singo Bodong mengeluh seperti patah harapan, Hantu Laut segera membangkitkannya lagi dengan menyombongkan pusaka tersebut, "Jangan merasa lemah, Dadung Amuk! Sekarang aku sudah memiliki pusaka tombak ini! Siluman Tujuh Nyawa tak akan berkutik melawan kita! Kau lihat sendiri, Ratu Pekat bisa tunduk padaku karena aku mempunyai tombak pusaka ini!"

"Kau memang tampak lebih perkasa jika memegang tombak itu!"

"Ah, kau pun juga kelihatan masih perkasa dan gagah! Jangan selalu memujiku, Dadung Amuk!"

Singo Bodong dan Hantu Laut sama-sama memandangi Pusaka Tombak Maut yang selalu ada di tangan Hantu Laut. Singo Bodong memandangnya dengan kagum. Tercetus ucapan polosnya sebagai Singo Bodong yang tidak diketahui Hantu Laut.

"Hebat sekali pusaka ini! Bagaimana bangganya rasa hatiku jika bisa memainkan jurus dengan menggunakan tombak ini!"

"Mudah saja!" kata Hantu Laut. "Sentakkan tenaga dalam seringan apa pun bisa menjadi besar jika disalurkan lewat tombak ini. Kurasa kau bisa memainkan tombak ini. Tak beda dengan tombak-tombak lainnya dalam permainan jurusnya. Kau sudah menguasai jurus tombak, karena kulihat dulu kau mengalahkan Pancar Gunung dengan sebuah tombak biasa, kau ingat saat kau selamatkan nyawaku dari Pancar Gunung itu, Dadung Amuk?"

"Hmmm... kapan, ya? Oh, ya ya...! Aku ingat," jawab Singo Bodong. "Tapi gerakan tombak waktu itu tentunya tidak sama dengan gerakan tombak ini?!"

"Sama saja! Kalau tak percaya, cobalah memainkannya sebentar!"

Hantu Laut menyerahkan tombak itu kepada Singo Bodong. Wutt ...! Hampir saja tombak itu jatuh karena Singo Bodong tak pernah pegang tombak yang ternyata cukup berat untuk ukuran tangannya. Tombak biasa pun tak pernah dipegangnya, apalagi tombak pusaka yang tentunya punya bobot kesaktian tersendiri di dalamnya.

"Coba mainkan beberapa jurus tombakmu! Aku dulu mengagumi kecepatanmu dalam memainkan tombak!"

"Hmmm... ya... ya....!" Singo Bodong sebenarnya bingung, dia harus memainkan bagaimana, sebab dia tidak tahu jurus tombak. Karenanya, tombak itu hanya dipegang-pegang saja, kadang ditentengnya seperti menenteng tas atau kayu potongan biasa. Tak pantas sekali sebagai orang sakti yang bersenjatakan tombak.

Sementara itu, Cempaka Ungu yang memperhatikan dari tempat tersembunyi sudah mulai berdebar-debar hatinya. Singo Bodong sudah berhasil memegang tombak itu. Tinggal ia bawa lari atau dilemparkan di suatu tempat, maka Cempaka Ungu akan mengambilnya. Tapi Singo Bodong tidak segera melarikan tombak itu. Ia bahkan hanya menimbang-nimbang berat tombak di dalam tangannya.

Sedangkan Hantu Laut justru merasa bangga dan senang melihat Dadung Amuk palsu memegang tombak itu. Seakan ia bisa membagi rasa bangga kepada orang yang banyak memberi jasa padanya itu.

"Ayolah, mainkan satu-dua jurus tombakmu, Dadung Amuk!"

"Aku tak bisa!" Singo Bodong serahkan tombak kembali kepada Hantu Laut.

"Ah, mainkanlah dulu! Aku tak akan mencuri jurusmu!" Hantu Laut tak mau menerima tombak, bahkan mendesak Singo Bodong untuk memainkan jurus tombak. "Lekaslah, ingin kulihat kegesitanmu menebaskan tombak itu, Dadung Amuk! Aku sangat bangga pada jurus-jurusmu!"

Dalam hati Cempaka Ungu sudah tak sabar lagi. "Cepat bawa lari, Goblok! Bawa lari...!" Cempaka Ungu menggeram sendiri di persembunyiannya. Tapi Singo Bodong hanya celingak-celinguk dengan hati berdebar-debar.

* * *

DELAPAN
KAPAL Neraka masih dalam perbaikan. Tiba-tiba muncul perahu berlayar kuning. Siapa lagi orang di atas perahu berlayar kuning itu jika bukan Gagak Neraka dan Tabib Akhirat. Pandangan mata mereka tertuju pada Kapal Neraka. Tabib Akhirat berkata kepada Gagak Neraka tanpa palingkan wajah,

"Rupanya benar apa kata tengkorak keropos itu! Kapal Neraka berlabuh di Pulau Beliung!"

"Jadi apa yang dikatakan tengkorak keropos itu memang benar semua? Termasuk Tapak Baja yang dibunuh Hantu Laut, dan sikap Hantu Laut yang ingin memberontak kepada sang ketua?"

"Ya. Kurasa memang begitu! Sekarang yang kita hadapi bukan Pendekar Mabuk, melainkan Hantu Laut! Jika kau ingin balas kekalahanmu tempo hari kepada Pendekar Mabuk, kau harus kalahkan Hantu Laut itu dulu! Karena Pendekar Mabuk adalah tawanan si Hantu Laut, menurut pengakuan tengkorak keropos tadi!"

"Hantu Laut...?!" gumam Gagak Neraka. "Dia memiliki Pusaka Tombak Maut itu!"

"Jangan takut! Kau harus jaga jarak dalam menyerang dia. Jangan terlalu dekat, karena gerakan tombak itu sangat berbahaya! Bertarunglah dalam jarak jauh saja!"

"Kau sendiri tidak akan ikut menghajar Hantu Laut?"

"Tentu saja aku ikut! Tapi aku ingin kau dulu yang maju, jadi aku bisa pelajari jurus-jurus kelemahan tombak maut itu!"

Seorang prajurit yang ikut perbaikan kapal itu segera berlari ke istana untuk memberitahukan kedatangan perahu berlayar kuning. Prajurit itu mengetahui, bahwa orang yang ada di atas perahu itu pasti orang suruhan Siluman Tujuh Nyawa, karena ia melihat gambar tengkorak dan rantai bermata tujuh.

Pada waktu prajurit itu belum tiba di istana, Singo Bodong sudah hampir membawa lari tombak pusaka tersebut. Tapi ketika ia didesak terus untuk memainkan satu jurus tombak oleh Hantu Laut, dan ia kibaskan tombak itu dengan sembarangan, Hantu Laut sempat terpental dan Singo Bodong pun cepat melepaskan tombak itu. Karena dari ujung tombak keluar sinar kilat biru yang segera melesat dan mengenai sebuah pohon. Pohon itu langsung hancur dari ujung sampai akarnya. Singo Bodong yang kaget, juga terpental karena ledakan pohon, dan tombaknya terlepas jatuh.

Bahkan hampir-hampir kilatan cahaya biru itu mengenai Cempaka Ungu yang bersembunyi tak jauh dari pohon yang meledak itu. Karena takutnya, Singo Bodong gemetar dan segera mengambil tombak itu lalu menyerahkannya kembali kepada Hantu Laut sambil berkata dalam kepolosan asli Singo Bodong.

"Mmma... maaf, aku tidak sengaja! Sungguh aku tidak sengaja, Hantu Laut! Ak... aku... aku tidak tahu kalau benda ini bisa keluarkan cahaya biru petir. Maaf...! Jangan marah padaku...!"

"Ha ha ha ha...!" Hantu Laut tertawa melihat wajah Dadung Amuk palsu menjadi ketakutan karena kagetnya.

"Ini kukembalikan tombakmu. Ak... aku tak bisa menggunakannya!"

Hantu Laut menerima tombak itu sambil masih tertawa terbahak-bahak. Lalu ia ucapkan kata, "Dadung Amuk, Dadung Amuk... ternyata kau sekarang menjadi orang jenaka yang pandai melucu. Kepura-puraanmu itu sungguh menggelikan hatiku! Kau pandai berlagak dan bersandiwara, sekarang! Bukan main merendahnya kau di depanku...! Ha ha ha...!"

"Tuan Nakhoda!" seru prajurit yang memang diharuskan memanggil Hantu Laut dengan sebutan Tuan Nakhoda. "Ada perahu Siluman Tujuh Nyawa merapat ke pantai!"

"Apa warna layarnya?"

"Kuning!"

"Aku tanya apa warnanya! Bukan menyuruhmu untuk kencing!"

"Lha, iya! Warna layarnya kuning, Tuan Nakhoda!"

"O, kuning?! Hmmm...!" Hantu Laut berpikir sejenak, lalu menggumam, "Tabib Akhirat!" Hantu Laut segera bergegas tinggalkan istana sambil membawa Pusaka Tombak Maut.

Sementara itu, Cempaka Ungu segera mendekati Singo Bodong dan membentak, "Bodoh! Tolol! Goblok...!"

Singo Bodong yang bersosok Dadung Amuk itu hanya berkedip-kedip matanya sambil mengerutkan tubuh jika mendapat satu bentakan dari Cempaka Ungu.

"Tombak sudah di tanganmu, mengapa tidak segera kau bawa lari dan kau serahkan padaku?!"

"Ak... aku... aku takut!"

"Aku ada di rumpun tanaman melati itu!"

"Aku tidak tahu kau di sana! Seharusnya kau berseru dari sana dan mengatakan bahwa kamu ada di sana, jadi...."

"Sudah, sudah! Dasar manusia dungu!" omel Cempaka Ungu. "Hampir saja sinar biru tadi menghantamku dari bawah pohon yang hancur itu! Huhh...! Manusia kelewat dungu kau ini!" geram Cempaka Ungu dengan menahan rasa jengkel.

"Ada apa, Cempaka?! Suara ledakan apa itu tadi?!" Ratu Pekat muncul, lalu Cempaka Ungu mengadukan hal itu. Ratu Pekat hanya berkata, "Jangan terlalu menyalahkan Singo Bodong! Dia memang orang bodoh berotak udang rebus! Tapi pada kesempatan lain nanti, kau harus lebih dekat mendampinginya. Jika terlihat dia sudah memegang tombak itu, kau segera serang Hantu Laut dan robohkan dia dengan jurus andalanmu! Jika dia sudah roboh, tombak itu bisa kita kuasai!"

"Dia tadi berada terlalu dekat dengan Singo Bodong, jadi aku takut pukulan jarak jauhku justru mengenai si dungu itu!"

"Sudahlah, tak perlu terlalu jengkel kepada Singo Bodong. Tapi yang penting kita sudah mendapatkan kelemahannya. Suatu saat nanti, pasti tombak itu jatuh ketangan kita!"

"Kalau begitu, Ibu saja yang mendampingi dia, supaya Ibu lebih cepat menghantam Hantu Laut jika tombak sudah di tangan Singo!"

"Baiklah, aku yang akan mendampingi Singo Bodong dari kejauhan. Sekarang, di mana Hantu Laut?"

Singo Bodong menyahut, "Pergi ke pantai, Nyai Ratu. Ada perahu datang berlayar kuning."

"Perahu berlayar kuning? Apakah perahunya Suto?" gumam Ratu seperti bicara sendiri.

"Saya rasa bukan Suto, Nyai. Sebab tadi saya dengar Hantu Laut menyebutkan satu nama."

"Siapa...?"

"Tabib Akhirat!"

"Hah...?!" Wajah ratu terbelalak kaget, dan kelihatan cemas. Cempaka Ungu heran melihat perubahan ibunya yang menjadi sangat cemas dan gelisah itu. Maka, Cempaka Ungu pun ajukan tanya,

"Kenapa Ibu cemas?"

"Tidak apa-apa," jawab ratu sambil bergegas pergi. Cempaka Ungu mengejar dan mendesak, "Siapa Tabib Akhirat itu? Jelaskan aku, Bu!"

Ratu Pekat hentikan langkah, ia pandangi wajah anaknya itu dengan suatu keraguan yang menggelisahkan. Cempaka Ungu semakin heran dan penasaran.

"Jelaskan padaku, siapa Tabib Akhirat itu?"

"Bekas kekasihku."

"Ooo...," Cempaka Ungu manggut-manggut sambil tertawa geli.

Tapi Ratu Pekat segera berkata, "Kau lahir dari benihnya!"

"Hah...?!" Cempaka Ungu terkejut, tawanya hilang seketika.

"Dia yang membuahi aku dan akhirnya aku mengandung bayimu. Tapi antara aku dan dia tidak ada ikatan suami-istri. Dia pergi entah ke mana, dan tak kutahu kalau dia ternyata bergabung dengan Siluman Tujuh Nyawa."

"Ja... ja... jadi, dia ayahku, Bu?"

"Ya. Dia ayahmu yang sebenarnya."

"Bukankah kata ibu, ayahku adalah Garuda Paksi, yang sekarang sudah tewas itu? Bukankah Garuda Paksi juga ayah dari kedua kakakku yang juga sudah tewas itu?"

"Kedua kakakmu memang anak dari Garuda Paksi. Tapi kau bukan! Garuda Paksi tidak menyangka kalau aku punya hubungan gelap dengan Tabib Akhirat, dan dia tidak tahu bahwa bayi yang kukandung itu adalah benih dari Tabib Akhirat!"

"Ap... apakah... apakah Tabib Akhirat tahu bahwa aku anaknya?"

"Sewaktu kau berusia dua bulan, dia pernah melihat mu. Tapi setelah itu dia menghilang lagi dan baru sekarang muncul kembali!"

"Kalau begitu aku harus segera ke pantai dan menemuinya!" Wuttt...! Cempaka Ungu cepat melesat pergi dengan satu lompatan bertenaga ringan.

Ratu Pekat berseru memanggilnya, "Cempaka! Tahan niat mu itu!"

Tapi Cempaka Ungu tidak menghiraukan seruan tersebut. Ratu Pekat pun akhirnya bergegas pergi mengejar Cempaka Ungu. Singo Bodong sempat tertegun bengong dan tak mengerti apa yang harus dilakukan. Tetapi akhirnya ia pun berlari seperti kerbau takut setan menuju ke pantai, untuk melihat apa yang terjadi di sana.

Orang-orang yang mengerjakan perbaikan Kapal Neraka itu berhenti bekerja. Mereka memandangi suatu ketegangan yang terjadi di bawah pohon kelapa yang meliuk agak rendah ke pantai. Ketegangan itu terjadi antara Hantu Laut dan Gagak Neraka.

Sedangkan Tabib Akhirat dengan dinginnya berdiri agak jauh dari mereka. "Aku mendengar kabar kurang enak dari seseorang tentang dirimu, Hantu Laut!"

"Kabar tentang aku beranak?!"

"Kabar kurang enak!" tegas Gagak Neraka.

"O, kabar kurang enak?! Ya, mungkin saja!"

"Kau membunuh Tapak Baja?"

"Betul! Aku yang membunuhnya!"

"Kau mau memberontak kepada sang ketua?"

"Betul! Aku akan membunuh sang ketua!" jawab Hantu Laut tanpa tedeng aling-aling lagi, artinya secara blak-blakan dia berkata apa adanya.

"Sayang sekali sikapmu berbalik begitu, Hantu Laut! Padahal aku baru mau usulkan pada ketua untuk mengangkat kamu menjadi pengawal pribadiku!"

"Aku tak sudi! Mau apa kau?!" tantang Hantu Laut.

"Aku terpaksa menyeret mu agar mendapat hukuman dari sang ketua!"

"Mampukah nyawamu menyeret ragaku?!"

"Habis sudah kesabaranku, Hantu Laut! Terimalah pukulan maut ku ini, hiaaat ...!" Gagak Neraka melepaskan pukulan yang mengandung jarum-jarum hitam itu.

Wusss...! Jarum-jarum hitam menyembur ke arah dada Hantu Laut. Tapi dengan kecepatan tinggi pula, Hantu Laut kibaskan tombaknya miring ke samping, dan sinar biru keluar dari ujung tombak itu. Clappp, clappp...!

Blarrr...! Satu ledakan menghantam serombongan jarum hitam. Tapi sinar biru berikutnya menerabas kepulan asap ledakan itu. Hampir mengenai kepala Gagak Neraka. Untung Gagak Neraka terjengkang jatuh akibat ledakan itu, sehingga ia lolos dari sinar biru yang kedua.

Dari tempatnya berdiri, Tabib Akhirat berseru, "Jauhi dia! Jauh!"

Mendengar seruan Tabib Akhirat, Hantu Laut menduga siasat tarungnya sudah diketahui oleh Tabib Akhirat. Maka, sebelum Gagak Neraka sempat menjauh, Hantu Laut segera melayang menerjang Gagak Neraka dengan tombaknya.

Srett...! Trangngng...!

Tombak itu ditahan oleh senjata Gagak Neraka yang berupa piringan bergerigi setengah lingkaran. Tapi piringan itu pecah dan benturan kedua senjata itu menimbulkan ledakan, juga memancarkan cahaya merah membara. Cahaya itu mengenai dada Gagak Neraka, ia menjadi limbung dalam berdirinya. Seketika itu pula Hantu Laut sentakkan tombaknya ke depan dan sinar merah berkelok-kelok melesat dari ujung tombak. Tak sempat dihindari oleh Gagak Neraka.

Jrasss...!

"Aaahg...!" Gagak Neraka mendelik. Mulutnya keluarkan asap dan lubang telinga serta hidung pun berasap. Gagak Neraka menggelepar-gelepar di pasir, bau hangus menyebar di udara. Lalu, Gagak Neraka berhenti menggelepar ketika Tabib Akhirat mendekatinya mau menolong. Rupanya saat itulah saat terakhir Gagak Neraka hembuskan napasnya, dan setelah itu tak berkutik lagi tanpa secuil nyawa pun.

"Kau benar-benar keterlaluan, Hantu Laut! Kau jahanam busuk! Temanmu sendiri kau bunuh seperti ini!" geram Tabib Akhirat.

"Apakah kau mau menyusul nyawanya, Tabib Akhirat?!"

"Kususulkan nyawamu lebih dulu, Bangsat! Hiaaat...!" Tabib Akhirat kibaskan kapaknya yang bergagang panjang sambil melompat menyerang Hantu Laut. Wuttt...!

Kibasan itu memercikkan serbuk-serbuk hitam bertaburan. Hantu Laut cepat bersalto ke belakang dua kali. Ia tak berani hadapi serbuk itu, karena ia tahu serbuk hitam itu racun yang amat berbahaya dan ganas.

Tabib Akhirat tak mau kasih kesempatan pada lawannya untuk menyerang, ia mendesak Hantu Laut dengan tebasan-tebasan kapaknya. Setiap kali dibabatkan, kapak itu berbunyi, Wungngng...! Sambil keluarkan serbuk hitam. Hantu Laut melesat lompat ke belakang. Tapi Tabib Akhirat mengejarnya terus, hingga satu saat, ia ayunkan kapaknya ke depan dari atas ke bawah, lalu melesatlah sinar kuning ke arah Hantu Laut.

Seharusnya sinar kuning itu bisa ditangkis dengan sentakan tombak miring yang keluarkan cahaya petir biru, atau dengan putarkan tombak mengelilingi kepala yang keluarkan cahaya hijau. Tapi kesempatan itu tak dimiliki Hantu Laut. Sinar Kuning itu hanya dihindari dan akhirnya menghantam gugusan batu. Gugusan batu pun pecah menimbulkan dentuman keras.

Blarrr...!

Pecahan batu itu ada yang melesat mengenai kepala gundul Hantu Laut. Pletakk...! Currr...! Darah mengucur keluar dari kepala Hantu Laut. Bahkan tubuh Hantu Laut sempat berguling-guling di pasir akibat gelombang hentakan daya ledak tadi.

Tiba-tiba Tabib Akhirat menyerang dengan kapaknya yang diayunkan dari kanan ke kiri. Sasarannya adalah leher Hantu Laut yang saat itu sedang bergegas untuk berdiri.

"Modar kau sekarang, Jahanam!" geram Tabib Akhirat.

"Ayah...!" panggil Cempaka Ungu dari arah belakang.

Tabib Akhirat palingkan wajah mendengar seruan itu. Di sana ia melihat Cempaka Ungu berdiri di depan Ratu Pekat. Tabib Akhirat tersentak dan cepat teringat tentang hubungan gelapnya dengan Ratu Pekat. "Ratu Pekat, diakah bayi itu?!"

Dari jauh Ratu Pekat anggukkan kepala. Tabib Akhirat makin terpukau, terkesima dan terharu melihat benihnya telah tumbuh sedewasa itu. Tabib Akhirat lupa akan lawannya. Cempaka Ungu berlari ingin memeluk Tabib Akhirat.

Tapi pada waktu itu, Hantu Laut melihat bayangan Tabib Akhirat jatuh di atas gugusan cadas. Maka dengan cepat ia lemparkan tombak itu ke cadas tersebut. Wuttt...!

"Jangaaan...!" teriak Cempaka Ungu melihat apa yang dilakukan Hantu Laut. Maka dengan cepat Cempaka Ungu berkelebat menutup bayangan Tabib Akhirat. Tepat pada waktu itu tombak menancap di gugusan cadas. Jrubbb...!

"Aaahhg...!" Cempaka mengejang memegangi perutnya. Rupanya tombak itu menancap tepat di bayangan perut Cempaka Ungu. Perutpun menjadi bolong dan mengucurkan darah.

"Cempakaaaa...!" teriak Ratu Pekat sambil melesat terbang menuju anaknya.

"Setan!" geram Tabib Akhirat, karena ia sendiri terluka di bagian pahanya. Rupanya saat bayangan Cempaka Ungu jatuh menutup bayangan Tabib Akhirat, Tabib sempat melompat ke atas karena takut dilempar tombak secara langsung oleh Hantu Laut. Bayangan perut Cempaka dan paha Tabib Akhirat menjadi satu, dan tertancap Tombak Maut itu. Karenanya, selain Cempaka Ungu sendiri tertusuk tombak perutnya, Tabib Akhirat pun tertusuk tombak pahanya. Paha itu berdarah dan menghitam.

Keringat banyak mengucur dari tubuh Tabib Akhirat, sementara itu, Cempaka Ungu segera dibawa lari oleh Ratu Pekat ke istana. Di perjalanan, Cempaka Ungu berkata, "Ibu, aku tak kuat lagi...!"

"Kuatkan anakku! Kuatkan! Ibu akan sembuhkan kamu dengan batu Galih Bumi...!"

Tapi alangkah kecewanya Ratu Pekat, karena begitu tiba di istana, sebelum ia mengambil air yang akan dipakai merendam batu Galih Bumi dan diminumkan kepada Cempaka Ungu, ternyata gadis itu sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Ratu Pekat tak dapat berteriak dan mengucap kata apa pun. Tapi wajahnya menjadi merah dan nafsu untuk membunuh Hantu Laut menjadi berkobar besar.

* * *

SEMBILAN
RATU Pekat segera kembali ke pantai untuk bikin perhitungan dengan Hantu Laut. Tak ada gentar sedikit pun pada diri Ratu Pekat. Mati pun ia siap demi menebus kematian anaknya.

Di pantai, ternyata Tabib Akhirat merasa tak sanggup bertahan melawan Hantu Laut. Lukanya makin parah, ia harus sembuhkan lukanya lebih dulu, baru kembali menghadapi Hantu Laut. Karena itu, ia segera berlari dengan cepat menuju perahunya, ia sempat berpapasan dengan Singo Bodong yang menurut dugaannya adalah Dadung Amuk.

"Oh, kau bersekongkol dengannya sekarang, Dadung Amuk?!"

"Buk... bukan... bukan! Aku...!"

"Tunggu pembalasanku!" kata Tabib Akhirat dengan penuh dendam. Lalu, ia cepat melompat ke perahunya, ia sentakkan kedua tangannya setelah memasang layar, dan angin kencang keluar dari tangannya mendorong layar perahu itu untuk bergerak cepat.

"Dadung Amuk! Kenapa tidak kau cegah dia tadi!" sentak Hantu Laut kepada Singo Bodong. Yang disentak hanya gelagapan tak bisa menjawab.

"Bodoh amat! Dia bisa menjadi sumber penyakit bagi kita nantinya!"

Singo Bodong berusaha menguasai kegugupannya, dengan senyum kaku yang dipaksakan ia berkata, "Bib... bib... biarlah! Biar dia ceritakan kehebatanmu di depan Siluman Tujuh Nyawa. Supaya... supaya Siluman Tujuh Nyawa punya perhitungan tersendiri jika ingin melabrak kita!"

"Oh, begitu? Bagus kalau begitu maksudmu. Tapi...." Tiba-tiba Hantu Laut terpental bersama bunyi letusan keras.

Duarrr...!

Cambuk biru berkelebat menghantam tubuh Hantu Laut. Untung yang terkena pukulan cambuk itu adalah bagian ujung tombak, sehingga ledakannya yang besar hanya membuat Hantu Laut terpental dan berguling-guling. Singo Bodong pun terkapar dalam jarak empat langkah dari tempatnya. Kepalanya terasa pening akibat terbentur batu.

Tetapi pada waktu itu, Pusaka Tombak Maut terlepas dari tangan Hantu Laut. Tombak itu jatuh di dekat Singo Bodong. Cepat-cepat Hantu Laut berteriak, "Dadung Amuk, cepat ambil tombak itu!"

Singo Bodong yang ketakutan segera mengambil tombak itu. Ratu Pekat merasa lega, tombak sudah ada di tangan Singo Bodong. Tapi sayangnya, ketika Hantu Laut memintanya, Singo Bodong menyerahkan dengan segera karena perasaan takutnya.

"Babi bodoh! Tombak itu diserahkan kembali pada si setan gundul! Dasar bodoh!" geram Ratu Pekat.

Kemudian Hantu Laut sengaja mendekati Ratu Pekat yang sudah siap melecutkan tombaknya lagi. "Ratu Pekat, mengapa kau menyerangku, hah?!"

"Karena kau telah membunuh anakku!" bentak Ratu Pekat.

"Itu di luar kesadaranku! Aku tidak sengaja! Yang ingin kubunuh adalah Tabib Akhirat! Bukan Cempaka! Itu kesalahan Cempaka sendiri, mengapa dia melindungi bayangan Tabib Akhirat!"

"Karena dia ingin melindungi nyawa ayahnya!"

Hantu Laut terbengong sekejap. Tapi segera ia tersentak kaget karena tiba-tiba cahaya biru melesat dari kalung batu Galih Bumi. Zuttt...!

Mau tak mau Hantu Laut segera menghadapi lepasnya sinar biru dari batu Galih Bumi itu dengan sinar biru dari ujung tombaknya. Blarrrr...!

Keduanya sama-sama terpental ke belakang. Lalu keduanya sama-sama bangkit kembali. Hantu Laut melompat lebih mendekati Ratu Pekat hingga kini jaraknya hanya tujuh langkah.

"Ratu Pekat, jangan paksa aku membunuhmu!"

"Kau harus kubunuh jika kau tidak mau membunuhku!"

"Bukankah kau sudah berjanji akan menjadi istriku? Jangan takut, sebentar lagi kapalku selesai diperbaiki, dan aku akan memburu tumbal raga Pendekar Mabuk! Aku akan datang dengan membawa tumbal tanpa kepala, Ratu Pekat! Jangan bermusuhan denganku!"

"Aku sudah tidak butuh tumbal lagi untuk perkawinan kita! Bukan tumbal Pendekar Mabuk tanpa kepala yang kukehendaki sekarang, tapi tumbal kepala botakmu itu!"

"Ratu Pekat, sabarlah! Tahan nafsumu! Ini hanya kesalahpahaman saja! Aku tidak bermaksud membunuh Cempaka! Aku... aku akan segera berangkat mencari tumbal tanpa kepala dari raga Pendekar Mabuk! Sekarang juga aku akan berangkat!"

"Aku tidak butuh tumbal lagi!" bentak Ratu Pekat.

"Jika kau masih ingin mengawiniku, carilah tumbal kepalaku! Penggal kepalaku dan tanam di depan istana, lalu kawinlah dengan ragaku!"

"Ratu... dengarkan dulu kata-kataku...."

"Aku tak butuh kata-katamu! Aku butuh nyawamu untuk menggantikan nyawa putriku! Hiaaat...!"

Wusss...! Tarrr...!

Cambuk melecut dengan pijar biru yang menyala-nyala itu. Hantu Laut terpaksa kibaskan tombaknya memutari kepala dan nyala sinar hijau mengelilinginya. Cambuk biru itu melecut berulang kali namun tak bisa menembus sinar hijau yang melingkari tubuh Hantu Laut.

Tar tar tar tar...!

Blarr blarr blarr blarrr...!

Ratu Pekat benar-benar mengamuk. Cambukan mautnya membabi buta. Setiap ledakan akibat benturan cambuk biru dengan sinar hijau itu membuat tubuh Hantu Laut terdesak mundur satu tindak.

Ratu Pekat kehabisan tenaga karena melecutkan cambuknya dengan penuh pencurahan tenaga dalamnya, ia merasa perlu berhenti sebentar. Tapi Hantu Laut masih putar-putarkan tombaknya dan nyala sinar hijau masih mengelilingi tubuhnya.

Di luar dugaan, sekelebat bayangan melesat dari arah belakang Hantu Laut, melompati bagian atas kepalanya. Brusss...! Ada sesuatu yang menyembur dari atas kepala Hantu Laut. Bayangan itu cepat mendaratkan sepasang kakinya di depan Hantu Laut. Jleggg...!

"Sutooo...!" teriak Ratu Pekat kegirangan.

Hantu Laut tertegun melihat pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan mengenakan celana putih. Di punggungnya tersandang bumbung bambu tempat tuak. Tangan Hantu Laut masih berputar-putar mengelilingi kepalanya.

"Oh, kau rupanya?! Aku ingat kita pernah bertemu di Pulau Kidung!" kata Hantu Laut.

Suto hanya sunggingkan senyum tipis, lalu mengambil bumbung tuak dan menenggaknya tiga teguk.

"Mau apa kau kemari? Mau jadi tumbal tanpa kepala?!"

"Tidak. Aku hanya ingin menahan kekejamanmu!"

"Majulah kalau kau berani! Tombak ini akan menghantam kepalamu menjadi remuk!"

"Tombak yang mana?!" tanya Pendekar Mabuk dengan senyum makin lebar.

Hantu Laut yang merasa masih memegang tombak dan diputar-putarkan di kepalanya itu menjadi tersentak kaget setelah ia melihat ke tangannya, ternyata sudah tidak memegang tombak lagi. Hantu Laut kebingungan memandang sekeliling dan berkata, "Mana tombakku tadi? Lho... mana tombakku?!"

Terdengar suara tawa Dewa Racun yang ada di belakang Hantu Laut. Dewa Racun bahkan berkata, "Ap... ap... apa yang kau cari, Gundul? Un... un... undur-undur atau kerang laut?!"

"Diam kau, Bangsat! Aku mencari tombak pusakaku!"

"Tak perlu dicar... car... cari! Tombakmu sudah musnah oleh ilmu 'Sembur Siluman' milik anak muda tampan itu!"

Hantu Laut cepat palingkan wajah kepada Suto. "Mana tombak pusakaku tadi, hah?!"

Suto menjawab dengan tenang, "Sudah kumakan!"

Hantu Laut menggeram, merasa panas hatinya karena kehilangan senjata yang menjadi andalan kekuatannya. "Dasar Anak Monyet!"

"Suto, minggirlah! Biar aku yang menghadapi dia," kata Ratu Pekat. "Akan kuhancurkan sekujur tubuhnya untuk membalas kematian Cempaka Ungu!"

"Apa...?! Jadi, Cempaka Ungu...?!" Pendekar Mabuk terkejut dan menjadi tertegun beberapa kejap. Dewa Racun dan Badai Kelabu yang ikut bersama Pendekar Mabuk dari Pulau Kolam Sabda Dewa itu, saling pandang dengan dahi berkerut mendengar kematian Cempaka Ungu.

Kesempatan itu digunakan oleh Hantu Laut untuk melarikan diri, karena ia sadar, tanpa tombak pusaka itu kekuatannya tak akan mampu menandingi Ratu Pekat. Tetapi ketika Suto mendengar seruan Badai Kelabu yang menyapa Hantu Laut,

"Hai, mau lari ke mana kau?!"

Cepat-cepat Pendekar Mabuk kirimkan jurus 'Jari Guntur'-nya. Jarinya menyentil dan tenaga dalam yang keluar dari sentilan itu mengenai bawah ketiak Hantu Laut. Tebbb...! Seketika itu pula Hantu Laut diam tak bergerak. Tapi ia masih sadarkan diri, dia masih bisa bicara dan bernapas dengan baik. Bahkan dia masih berusaha untuk bergerak melangkah atau melompat. Tapi gerakan itu sia-sia. Ia telah tertotok jalan darahnya dengan menggunakan jurus 'Jari Guntur'-nya Pendekar Mabuk.

"Suto, lepaskan monyet gundul itu! Biarkan dia bertarung denganku supaya dendamku atas kematian Cempaka bisa terbalaskan!" kata Ratu Pekat.

"Nyai Ratu, membalas dendam kepada siapa pun itu pekerjaan yang paling mudah. Tapi menahan diri untuk tidak menjadi budak dendam itu pekerjaan yang amat sulit! Tidak semua orang bisa. Nyai. Dan seseorang bisa menjadi hebat jika dia bisa mengalahkan dendam di dalam hatinya sendiri!"

"Aku tidak bisa!" Nyai Ratu Pekat hampir menangis.

"Nyai harus bisa! Kamu orang kuat, orang berilmu tinggi, dan orang hebat di Pulau Beliung ini! Mengapa tidak bisa kalahkan dendam sendiri? Nyai pasti bisa kalahkan nafsu sendiri!"

"Aku tidak bisa!" teriak Ratu Pekat sambil segera melompat dan menerjang Hantu Laut dengan membabi buta. Dihantamnya Hantu Laut bertubi-tubi, dihajarnya habis-habisan orang berkepala gundul itu.

Karena dia tak bisa bergerak apa-apa, maka ia hanya bisa berteriak meraung-raung kesakitan. Darah mengucur dari beberapa tempat tubuhnya. Hantu Laut menjerit-jerit minta tolong entah kepada siapa. Ratu Pekat menghajarnya dengan tangan kosong sambil memekik-mekik melampiaskan dendamnya.

Badai Kelabu mendekati Suto dan berkata, "Hantu Laut akan mati hancur di tangan Ratu Pekat! Ini tak adil, Suto! Hantu Laut tak bebas bergerak!"

"Biarkan dulu Ratu Pekat puas melampiaskan dendamnya. Kujaga dia agar tak sampai mati!" kata Pendekar Mabuk.

Setelah beberapa saat ratu menghajar habis Hantu Laut hingga tubuh dan wajah Hantu Laut babak-belur, nyaris rusak semuanya, Pendekar Mabuk pun segera serukan kata, "Cukup, Nyai!"

Satu sentakan membuat Ratu Pekat hentikan serangan, lalu dia menangis dalam kelelahan dan curahan rasa duka, mengingat kematian putrinya yang tinggal satu-satunya itu.

Pendekar Mabuk memandang kemunculan Singo Bodong, ia sempat terkejut, karena Singo Bodong memakai pakaian dan membawa tambang seperti yang disandang Dadung Amuk. Dewa Racun pun sempat terkejut melihatnya.

Tapi Singo Bodong segera berkata, "Aku disuruh Nyai Ratu pakai pakaian ini!"

Suto dan Dewa Racun hembuskan napas kelegaan. Mereka tahu, orang itu memang Singo Bodong. Lalu, Suto perintahkan Singo Bodong untuk membawa pergi Ratu Pekat. "Bawa Ratu ke istana! Badai Kelabu, bantu Singo Bodong bawa ratu ke istana dan tenangkan dia!"

Ratu Pekat masih menangisi kematian Cempaka Ungu. Ia dibimbing pelan-pelan oleh Badai Kelabu, dikawal oleh Singo Bodong berpakaian Dadung Amuk.

Sementara itu, Hantu Laut sempat meratap berseru, "Dadung Amuk... tolong aku!"

"Aku bukan Dadung Amuk! Kalau aku Dadung Amuk, kau tidak kubiarkan membawa Pusaka Tombak Maut tadi!" kata Singo Bodong. Kemudian ia tinggalkan Hantu Laut yang terluka parah baik luar maupun dalamnya.

"Kaukah pendekar yang suka mabuk itu?!" tanya Hantu Laut kepada Suto, dan Suto hanya mengangguk membenarkan.

"Kau memihak Ratu Pekat?!"

"Kurasa itu lebih baik daripada aku memihakmu!"

"Tapi... tapi dia ingin menjadikan kamu tumbal istana!"

"Tidak mungkin!"

"Aku yang... yang disuruhnya memenggal kepalamu!"

"Itu hanya siasat ratu saja! Karena kau terlalu takabur dengan senjata tombak pusaka itu! Sekarang, takaburlah kalau kau bisa takabur! Sombonglah kalau kau bisa sombong!"

Hantu Laut tak bisa bicara, ia sendiri heran, begitu cepat Pendekar Mabuk ini membuat dirinya sama sekali tak berkutik. Padahal semula ia sangka dirinya akan menjadi orang yang sulit dikalahkan.

"Kalau aku mau membunuhmu dengan ilmuku, sekarang juga aku sudah bunuh kamu. Tapi itu takabur!" kata Suto. "Kalau aku mau sembuhkan kamu, sekarangpun aku bisa sembuhkan kamu!"

"Kenapa kau tidak lakukan?!"

"Cobalah bertanya pada dirimu sendiri, apakah orang jahat seperti kamu pantas mendapat penyembuhan? Bukankah lebih baik kau menderita luka-luka separah ini?"

Dewa Racun makin menggoda lagi, "Wah, een... enn... enaknya matanya yang lebar itu dicolok saja pakai pisau. Pas... pasti jeritannya akan melengking...!" Sret...! Dewa Racun mencabut salah satu pisaunya.

Hantu Laut ketakutan dan berseru, "Jangan! Jangan...! Oh, kumohon jangan kau colok mataku dengan pisau itu! Sakit sekali!"

"Tentu saja sak... sak... sakit...! Tapi kala kau lukai orang lain, kau tidak memikirkan bahwa hal itu menyakitkan orang tersebut!"

"Ampunilah aku...! Tolonglah aku! Aku tidak akan bersikap seperti yang sudah-sudah! Aku telah sadar, bahwa ketinggian ilmu apa pun masih tetap ada yang bisa mengalahkan dan mengunggulinya...! Tolonglah aku, Pendekar Mabuk! Aku akan mengabdi padamu jika kau mau menolongku!"

"Aku tidak suka berteman dengan orang keji," kata Pendekar Mabuk.

"Ak... aku... aku tidak akan berbuat keji lagi! Aku... tobat!" Hantu Laut tundukkan kepala menahan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Wajah dukanya itu disembunyikan dengan penuh kepasrahan.

Suto melihat kepasrahan itu begitu tulus, kemudian ia berkata, "Kuberi kau kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakumu selama ini! Jika kau tak mampu perbaiki tingkah lakumu, terpaksa aku tak mau peduli lagi dengan nyawamu!"

"Ba, ba, baaaik... baik! Beri aku kesempatan satu kali ini!"

Pendekar Mabuk pun melepaskan totokannya. Tab...! Brukk...! Hantu Laut rubuh dengan napas terengah-engah. Tubuh yang penuh luka itu terkulai di atas pasir pantai.

"Meng... mengapa kau lepaskan dia?" tanya Dewa Racun.

"Pengampunan harus ada! Kesempatan bertobat harus diberikan kepada orang yang telah pasrah akan hidupnya!"

"Bagaimana kalau ternyata dia tidak bertobat, tapi semakin gila dari se... se... se... sekarang?!"

"Dia yang tanggung hukumannya! Entah dari mana hukuman itu datangnya! Yang jelas dari Dia, tapi melalui siapa, kita tak pernah tahu, Dewa Racun!"

Kemudian Suto menyuruh beberapa prajurit dan orang-orang yang mengerjakan perbaikan kapal itu untuk menggotong Hantu Laut ke istana. Suto dan Dewa Racun mengikuti dari belakang sambil Dewa Racun berkata,

"Kita ter... ter... terlambat datang. Tombak pusaka itu sudah banyak merenggut korban nyawa di sini!"

"Itu pun bukan kehendak kita, Dewa Racun!"

"Yyya... ya, memang bukan kehendak kita! Tapi, bagaimana jika kita tak jadi berangkat ke Pulau Serindu malam ini? Apakah itu juga bukan kehendak kita?"

"Kehendak kita hanya sesuatu yang kita usahakan dan bisa berhasil. Itulah kehendak yang diizinkan oleh Dia. Tapi sesuatu yang di luar batas kemampuan kita adalah bukan kehendak kita! Hanya Dia yang mampu melakukannya. Jika kita malam ini gagal tak jadi berangkat ke Pulau Serindu, itu karena pertimbangan lain dalam otak kita! Kecuali jika memang ada halangan datang tiba-tiba, itu baru kehendak Dia yang menahan kita untuk bersabar sementara waktu."

Dewa Racun manggut-manggut, lalu bertanya, "Halangan apa misalnya, Suto?"

"Kedatangan kapal Siluman Tujuh Nyawa dan pertarunganku dengan Siluman Tujuh Nyawa, bisa menjadi penghalang langkah kita!"

"Ap... apa... apakah kau telah siap menghadapi Siluman Tujuh Nyawa...?!"

"Kapan pun aku selalu siap menundukkan kekejaman siapa pun!" jawab Pendekar Mabuk dengan mantap dan tegas.

Dewa Racun menyukai ketegasan seperti itu. Dia semakin bangga berteman dengan Suto. Tapi tiba-tiba terlintas kecemasan dalam hati Dewa Racun yang segera berkata kepada Suto, "Suto, bag... bagaimana dengan Singo Bodong tadi?"

"Apa maksudmu?"

"Benarkah dia... dia Singo Bodong? Apakah bukan Daduk Amuk?!"

"Bukankah kata dia Nyai Ratu yang menyuruhnya berpakaian seperti Dadung Amuk, yang tentu saja punya tujuan untuk mengecohkan Hantu Laut tadi?"

"Ya, memmm... memm... memang. Tapi, bagaimana kalau ternyata Dadung Amuk memang hadir di pulau ini, dan dia mengetahui penyamaran Singo Bodong, lalu Singo Bodong dibunuh, sedangkan dia tampil sebagai Singo Bodong yang berpura-pura menjadi Dadung Amuk?"

Suto diam sebentar, kemudian menggumam lirih, "Iya. Kalau ternyata itu tadi Dadung Amuk asli, bagaimana nasib Ratu Pekat yang kusuruh membawanya ke istana?! Kalau begitu... kalau begitu kita susul mereka cepat-cepat ke istana!"

Pendekar Mabuk melesat lebih dulu bagaikan anak panah, lalu Dewa Racun mengikutinya dengan gerakannya yang lincah walau tubuhnya kerdil dan langkahnya pendek. Pendekar Mabuk diliputi kecemasan hingga tak menghiraukan lagi diri Dewa Racun yang tertinggal dibelakangnya.

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.