Serial Pendekar Mabuk
Utusan Siluman Tujuh Nyawa
Karya Suryadi
Utusan Siluman Tujuh Nyawa
Karya Suryadi
SATU
SEBELUM berangkat ke Puri Gerbang Surgawi, tempat kediaman Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang menjadi kekasih idaman Suto, Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu menyempatkan diri untuk singgah ke Jurang Lindu. Kali ini ia terpaksa tidak bisa meninggalkan Dewa Racun, orang kepercayaan Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang ditugaskan menjemput dan mengawal Suto Sinting. Tetapi, Dewa Racun agaknya tahu diri dalam hal ini."Tem... tem... temuilah gurumu, akkk... akkk... aku akan menunggu di luar gua. Aaakk... aku tidak perlu ikut masuk!"
"Baiklah. Aku tak lama!" Suto cepat tinggalkan orang kerdil berpakaian putih- putih dari jenis kulit binatang berbulu itu. Curahan air terjun yang deras ditembusnya masuk dengan satu kelebatan secepat kilat.
Jraasss...!
Mulut gua yang ada di balik curahan deras air terjun itu dipakai mendarat sepasang kaki Pendekar Mabuk yang kokoh. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin bisa menerabas tembus curahan air sebegitu besarnya dari jarak lompat lebih delapan belas langkah. Apalagi tanah di mulut gua itu licin oleh lumut, sudah pasti akan membuat orang yang tidak mempunyai ilmu peringan tubuh akan tergelincir.
"Sudah kau selesaikan urusanmu, Suto?!"
Kehadiran Suto disambut oleh seorang berpakaian serba hijau yang tidak mengenakan jubah. Jubah kuningnya itu tampak digantungkan pada salah satu sisi dinding gua. Orang tua berambut panjang beruban itu tak lain adalah si Gila Tuak, guru Suto Sinting.
"Maksud Guru, urusan yang mana?" Suto ganti bertanya sambil langkahkan kaki mendekati gentong tuak.
"Pertarunganmu dengan Manusia Sontoloyo apa sudah kau selesaikan?"
"Sudah, Guru!"
"Bagus. Sebab, menang atau kalah sebuah pertarungan tak boleh ditolak oleh seorang pendekar. Dengan cara licik atau ksatria, janji pertarungan tanding laga tetap harus dilaksanakan!"
"Saya paham, Guru!"
Tak jauh dari gentong-gentong tuak itu, seorang perempuan cantik yang anggun dan bijaksana duduk memandangi Suto. Perempuan yang mengenakan pakaian biru muda dengan jubah tipis sutera warna kuning itu sunggingkan senyumnya saat Suto menuang tuak ke dalam bumbung sambil melirik kepadanya.
"Apakah Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo itu tewas di tanganmu, Suto?" tanya perempuan itu yang tak lain adalah Betari Ayu.
"Tidak, ia dirobohkan oleh muridmu sendiri, Nyai Betari."
"Muridku?!" Betari Ayu berdiri dengan rasa kaget. "Muridku yang mana? Selendang Kubur?"
"Ya. Dia bergabung dengan Peri Malam dan Perawan Sesat."
"Bergabung dengan Perawan Sesat?! Aneh sekali!"
"Mereka bertiga yang memprakarsai pertarungan di Bukit Jagal. Mereka bertiga ingin membunuhku setelah terlebih dulu tenagaku dipancing agar terkuras dengan melawan Manusia Sontoloyo. Mereka berjanji kepada Manusia Sontoloyo akan sanggup menjadi istri si Sontoloyo itu, apabila Sontoloyo bisa mengalahkan aku! Seorang temanku mengetahui rencana itu, lalu kubuat kelicikan lain juga untuk menjebak mereka bertiga. Sontoloyo kubiarkan menang, tentu saja mereka bertiga jadi kelabakan dituntut janjinya oleh Sontoloyo. Akhirnya mereka bertiga yang bertarung melawan Sontoloyo!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan di Bukit Jagal).
Si Gila Tuak perdengarkan tawanya yang mirip orang menggumam. Kemudian ia ajukan tanya, "Apakah Sontoloyo menang?"
"Tidak, Kakek Guru!" jawab Suto sudah terbiasa memanggil gurunya dengan sebutan kakek, karena Suto diambil murid sejak berusia delapan tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar). Suto lanjutkan kata, "Dirgo Mukti atau si Manusia Sontoloyo itu terluka parah, nyaris mati di tangan tiga perempuan itu. Tapi Mawar Hitam datang dan segera mengambil tubuh Dirgo Mukti kemudian membawanya pergi ke Pulau Hantu."
"Mawar Hitam...?!" gumam Nyai Betari Ayu. Ada kecemasan terbayang di wajahnya yang cantik itu.
"Dia masih punya dendam padaku, juga kepada Bibi Guru," Suto palingkan wajah kepada si Gila Tuak yang punya nama asli Ki Sabawana.
"Hati-hatilah jika ketemu dia," kata si Gila Tuak. "Dia bukan saja berilmu tinggi, tapi punya banyak kelicikan."
"Saya mengerti, Guru."
"Kau tak perlu mengejarnya ke Pulau Hantu. Di sana banyak jebakan maut yang mematikan! Kalau kau ingin menghadapi dia, pancing dia supaya keluar dari Pulau Hantu dan lawanlah di tempat lain. Itu pun kalau memang terasa perlu!"
"Baik, Guru!"
Betari Ayu bertanya, "Lalu, apa alasannya ketiga perempuan itu ingin membunuhmu?"
"Aku kurang jelas, Nyai Betari. Tapi aku punya kemungkinan, barangkali saja mereka sakit hati sebab cintanya tak pernah kuhiraukan."
Si Gila Tuak terkekeh dalam tawa pelannya. "Perempuan bisa lebih ganas dari seekor singa lapar jika sudah berurusan tentang cinta."
"Tapi bisa selembut sutera jika bisa mengendalikan cintanya," timpal Betari Ayu kemudian. Si Gila Tuak makin terkekeh.
"Guru, saya datang menemui Guru hanya sekadar untuk pamit. Saya hampir menemukan siapa perempuan yang bernama Dyah Sariningrum itu. Di mana tinggalnya pun saya sudah tahu. Sekarang saya akan berangkat ke Pulau Serindu untuk menemuinya."
Si Gila Tuak melayangkan pandang ke arah Betari Ayu yang mulai berwajah sendu. Si Gila Tuak tahu, di dalam hati Betari Ayu tersimpan duka kala Suto sebutkan nama Dyah Sariningrum. Karena, si Gila Tuak pun tahu bahwa Betari Ayu menyimpan rindu dan cinta untuk Suto Sinting. Tapi agaknya Betari Ayu lebih berjiwa mengalah dan tak mau memperlihatkan rasa kecewanya.
"Guru, apa saran Guru untuk perjalananku ke Pulau Serindu? Menurut kabar dari Peramal Pikun, Guru sebenarnya banyak tahu tentang calon jodoh saya itu, tapi selama ini Guru tidak pernah bilang apa-apa pada saya. Jika Guru berkenan, tolong ceritakan sedikit tentang Dyah Sariningrum, Guru!"
Kepala berikat kain merah itu menggeleng. Gila Tuak ucapkan kata dengan pelan, sangat berwibawa dan bijak sikapnya. "Betari Ayu lebih banyak tahu tentang Dyah Sariningrum daripada aku. Tanyakan saja padanya."
Cepat-cepat Pendekar Mabuk palingkan wajah dan lemparkan pandangan tajam kepada Betari Ayu. Dahi pun dikerutkan tanda heran dan terperanjat, sebab selama ini Betari Ayu tak pernah mau bicarakan tentang Dyah Sariningrum. Jika benar Betari Ayu tahu banyak tentang Dyah Sariningrum, mengapa selama ini ia rahasiakan hal itu di depan Pendekar Mabuk?
Betari Ayu tak berani membalas tatapan Suto. Pandangan mata Pendekar Mabuk bagaikan menyimpan segunung cinta dan daya pikat yang luar biasa, sehingga Betari Ayu tak mau terjerat perasaannya terlalu dalam. Ia palingkan wajah ke arah lain sewaktu Suto ajukan tanya, "Benarkah kau banyak tahu tentang Dyah Sariningrum?"
"Karena gurumu sudah buka rahasia, terpaksa aku tak bisa berpura-pura lagi," jawab Betari Ayu.
Pendekar Mabuk langkahkan kaki dua tindak ke depan Betari Ayu. Sengaja ia berdiri di depan wajah cantik itu supaya ia bisa menatap lekat-lekat wajah perempuan yang selama ini menyimpan cinta dan kasih sayang kepadanya itu. "Nyai," ucap Suto dengan lembut, "Katakanlah apa yang kamu tahu tentang kekasihku itu! Katakanlah apa adanya, Nyai."
Terdongak sedikit wajah Betari Ayu. Dipaksakan diri memandang wajah Suto sambil ucapkan kata, "Dyah Sariningrum adalah adikku!"
"Hah...?!" Terperangah mulut Pendekar Mabuk seketika. Terbelalak mata pemuda tampan itu, dan mematunglah ia di depan Betari Ayu. Debar-debar jantung Suto seakan ingin meledak menjebol dada demi mendengar jawaban dari mulut berbibir manis milik Nyai Betari Ayu itu.
"Saat kau sebutkan nama adikku, saat kau mengigau dalam sakitmu memanggil-manggil nama adikku, hatiku pedih sekali, Suto. Perih, tapi juga bangga. Aku tahu kau sangat mencintai adikku walau belum pernah bertemu di alam nyata, kecuali di alam mimpi dan di alam semadimu. Tapi aku percaya, kau punya cinta yang tulus kepadanya. Itulah sebabnya aku tak banyak menuntut dari cinta yang tumbuh di hatiku, Suto. Karena aku tahu, hatimu itu ingin kau persembahkan kepada adikku sendiri. Aku hanya bisa merawat cinta untuk diriku sendiri, dan membagikan kasih sayang kepadamu yang jauh lebih dalam dari seluruh kasih sayang yang pernah ada."
"Mengapa kau tidak pernah mengatakannya padaku, Nyai?"
"Kau tidak mudah percaya. Kau akan tuduh aku mempengaruhi jalan pikiranmu. Kau akan anggap aku berdusta. Dan yang terakhir, kau bisa benci padaku karena salah duga. Aku tak ingin kau benci, Suto. Aku juga tak ingin membencimu. Karenanya, semua kupendam dan kujadikan rahasia pribadi buat diriku sendiri." Saat ucapkan kalimat terakhir, Nyai Betari Ayu tundukkan wajahnya, ia menggigit bibirnya sendiri, bak menahan luapan rasa yang tak mampu terucap lewat kata.
"Nyai...," Suto ingin ucapkan sesuatu, namun ia tak mampu menyampaikannya. Kerongkongannya bagai tersekat gumpalan rasa yang tak tahu apa namanya.
Betari Ayu mengangkat wajahnya pelan-pelan. Tangannya menggenggam pundak Suto sambil ucapkan kata, "Pergilah. Berangkatlah ke Puri Gerbang Surgawi. Temui dia dan sampaikan salamku kepadanya! Kabarkan keadaanku baik-baik saja!"
Suto makin tak tahu harus bilang apa melihat kebijakan begitu agung dari Nyai Betari Ayu. Ia hanya pandang gurunya, dan si Gila Tuak cepat menambahkan. "Hati-hati, kau pasti akan berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa!"
Dahi Suto berkerut. "Siapa Siluman Tujuh Nyawa itu, Guru?"
Gila Tuak hanya memandang Betari Ayu, lalu memberi isyarat dengan anggukkan kepala pelan sekali, hampir tak terlihat oleh mata Suto. Setelah melihat isyarat itu, Betari Ayu pun tuturkan kata sebagai jawaban pertanyaan Suto tadi.
"Nama aslinya Durmala Sanca, murid seorang Pendeta Tibet, ia penguasa Laut Tenggara. Usianya sudah seratus tahun, tapi masih kelihatan seperti berusia lima puluh tahun. Durmala Sanca orang berilmu tinggi. Jarang menginjakkan kakinya di tanah Jawa jika tidak ada urusan penting. Salah satu ilmu kesaktiannya adalah, bisa berubah wujud menjadi tujuh rupa yang berbeda-beda. Itulah sebabnya ia mendapat julukan di kalangan rimba persilatan sebagai Siluman Tujuh Nyawa."
"Apakah Kakek Guru pernah bertemu dengannya?" tanya Pendekar Mabuk kepada si Gila Tuak.
"Secara berhadapan belum pernah, ia selalu menghindari pertemuan denganku. Antara aku dan dia tidak punya persoalan apa-apa. Tapi dengan bibi gurumu, Bidadari Jalang, dia pernah bentrok dan hampir saja tewas di tangan Bidadari Jalang. Sejak itu ia tak pernah muncul lagi."
Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Lalu, ia alihkan pandang kepada Betari Ayu, dan lontarkan tanya, "Lantas, apa hubungannya dengan Dyah Sariningrum?"
"Sejak masa mudanya, ia mengejar-ngejar adikku. Dia ingin memperistri adikku, tapi adikku menolak dan mengadakan perlawanan. Sampai akhirnya, Dyah Sariningrum terkena satu pukulan darinya yang bernama pukulan 'Candra Badar'."
"Apakah pukulan itu berbahaya?"
"Sampai sekarang masih berbahaya dan tetap bersarang di tubuh adikku. Pukulan 'Candra Badar' itu membuat adikku bagai tahanan yang terkurung, tak bisa keluar ke mana-mana, kecuali di lingkungan istananya."
"Mengapa bisa begitu?"
"Pukulan 'Candra Badar' membuat tubuh adikku terbakar jika terkena sinar matahari, cahaya rembulan, atau cahaya bintang. Jadi, baik siang maupun malam, Dyah Sariningrum tidak bisa keluar dari istananya. Karena cahaya kunang-kunang pun bisa membuat tubuhnya terbakar. Semua cahaya yang bersifat alam, akan membakar tubuhnya sebelum pukulan 'Candra Badar' itu dibuang atau ditawarkan dari tubuh adikku. Itulah sebabnya ia tak pernah berkunjung kemari untuk menemuiku. Hanya sekali tempo saja aku ke sana menengok keadaannya."
Bukan hanya Pendekar Mabuk yang terkesiap mendengar penjelasan itu, tapi si Gila Tuak pun jadi kerutkan dahi, matanya tajam memandang Betari Ayu. Lalu, sebelum Suto Sinting bicara, Gila Tuak mendului berkata kepada Betari Ayu,
"Mengapa kau tak pernah ceritakan padaku tentang 'Candra Badar' itu, Betari?! Aku malah baru mendengarnya saat ini!"
"Urusan ini terlalu pribadi, sehingga tak enak jika harus kubeberkan pada orang lain," jawab Nyai Betari Ayu.
Rupanya keadaan Dyah Sariningrum yang diceritakan Betari Ayu membuat panas hati si Gila Tuak. Baik Nyai Betari Ayu maupun Dyah Sariningrum adalah teman baik semasa muda si Gila Tuak. Usia mereka sebenarnya seimbang, hanya bedanya Betari Ayu dan Dyah Sariningrum menguasai ilmu kecantikan abadi sehingga kelihatan tetap muda dan cantik, seperti yang dialami oleh Bidadari Jalang, Nyai Lembah Asmara, dan beberapa tokoh tingkat tinggi lainnya.
Merasa teman baiknya dalam keadaan dilukai oleh Durmala Sanca, si Gila Tuak pandangkan mata ke arah luar mulut gua. Pandangannya kaku, dingin. Tangannya menggenggam kuat, giginya menggeletuk menahan geram. Lalu, terdengar suaranya yang sangat berwibawa di telinga Pendekar Mabuk. "Suto, cepat berangkat! Bebaskan kekasihmu itu dan hancurkan Siluman Tujuh Nyawa"
"Baik, Guru!" jawab Pendekar Mabuk tegas dan bersikap patuh. "Saya pamit sekarang, Guru!"
"Ya."
"Saya pamit, Nyai!"
"Tunggu," cegah Nyai Betari Ayu, membuat Suto menghentikan langkahnya yang sudah sampai di mulut gua, juga membuat si Gila Tuak kerutkan dahi dalam menatapkan pandangannya.
"Bawalah cincin ini. Kau yang berhak memakainya, Suto. Bukan aku!" Nyai Betari Ayu melepaskan Cincin Pusaka Manik Intan yang mempunyai kekuatan sangat dahsyat itu. Tempo hari Pendekar Mabuk mengenakan di jari Betari Ayu sebagai sikap berjaga-jaga dari serangan mendadak, karena pada waktu itu Betari Ayu dalam keadaan terluka.
"Sebenarnya aku ingin menitipkan cincin ini padamu sebagai ganti diriku menjaga keselamatanmu, Nyai!"
"Tidak, Suto. Aku tidak berhak memakai cincin pusaka ini! Kaulah yang berhak memakainya, karena cincin ini milik bibi gurumu, Bidadari Jalang."
Si Gila Tuak segera menyahut, "Simpan saja di dalam bumbung tuakmu. Tuak itu akan semakin mempunyai kekuatan dahsyat jika dipakai merendam cincin itu, Suto!"
"Baik, Guru!"
"Jika keadaan sangat memaksa, kau masih bisa memakai dan menggunakannya!"
"Baik, Guru. Saya paham!"
"Suto," Betari Ayu meraih tangan pemuda tampan itu. "Ingatlah, kita saling menyimpan kasih sayang, tapi berikan cintamu kepada adikku setulus mungkin, dan kumohon jangan sakiti hatinya."
"Tidak akan aku melukai hatinya maupun kulitnya. Bahkan bayangannya pun tak berani sembarangan kuinjak!"
Senyum manis mekar di bibir Nyai Betari Ayu. Senyum manis itu berbaur dengan rasa iba, cinta, sayang, dan kebahagiaan.
Pendekar Mabuk melirik gurunya sebentar. Tapi karena sang Guru tidak palingkan pandang, walau sudah ditunggu sekian lama, maka Pendekar Mabuk nekat mencium pipi Nyai Betari Ayu. Setelah itu, Pendekar Mabuk jadi malu melirik gurunya sendiri dan berkata pelan, "Maaf, Guru...!"
"Teruskan!" hanya itu jawaban si Gila Tuak, lalu balikkan badan dan melangkah ke gentong tuak.
Pendekar Mabuk baru akan mengulangi kembali kecupannya tadi, namun si Gila Tuak segera menoleh kaget. Dari sana ia membentak keras, "Yang kumaksud, teruskan langkahmu!"
"Oh, hmm... iya... anu, maaf, Guru!" Suto kaget dan jadi gelagapan. Lalu, dengan cepat ia melesat pergi tinggalkan mulut gua.
Si Gila Tuak memandangi kepergian muridnya sambil geleng-gelengkan kepala dan menggumam. "Dasar murid sinting...!"
*
* *
DUA
SATU hal yang belum diketahui secara pasti oleh Suto, yaitu dengan apa ia harus pergi ke Pulau Serindu, yang konon jauh letaknya dari tanah Jawa.
"Kkkam... kam... kamu tidak usah khawatir, Suto. Aku sudah siapkan pe... pppeee... per..."
"Perawan?!"
"Husy! Bukan! Akk... aku sudah siapkan perahu untuk perjalanan kita ke sana. Perahu itu kugunakan waktu kemari dan kusimpan di tempat yang yang ammm... ammm.."
"Ampuh?!"
"Aman!" sentak Dewa Racun.
Setiap Suto mendengar omongan Dewa Racun, ia selalu merasa capek sendiri melihat orang kerdil itu terengah-engah dalam bicaranya. Kadang Suto tak ingin mengajak Dewa Racun untuk bicara, tapi orang kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu justru memancing percakapan. Kadang Pendekar Mabuk merasa tak sabar jika bicara dengan Dewa Racun yang gagap itu. Kadang juga merasa kasihan jika Dewa Racun harus banyak bicara. Tapi si kerdil bersenjata panah pendek itu agaknya tersinggung jika tidak diajak bicara.
"Ap... apa... apakah kita mau mampir dulu ke pondoknya Renggono?" tanya Dewa Racun dalam perjalanan menuju pantai.
"Siapa itu Renggono?"
"Nama aslinya Peee... pee. Peramal Pikun!"
"Menurutmu sendiri bagaimana? Apakah kita perlu mampir ke sana dulu atau langsung ke pantai tempat perahumu disembunyikan?"
"Per... perrr... perasaanku tak enak sejak tadi. Ada baiknya kalau kita mammm... maamm... maamm..."
"Kamu itu lapar atau bagaimana? Kok maem, maem, terus?"
"Maksudku, mammm... mampir ke Peramal Pikun!" Dewa Racun bersungut-sungut merasa dilecehkan.
Pendekar Mabuk tertawa sambil tepuk-tepuk pundak Dewa Racun, menenangkan perasaan Dewa Racun agar tidak tersingung. "Baiklah, kalau memang kau punya perasaan tak enak, aku tak keberatan untuk mampir ke pondoknya Renggono sekalian aku mau pamitan sama dia."
Pondok persinggahan Peramal Pikun terletak di tepi sungai yang sunyi, rimbun oleh pepohonan sekitarnya. Tepatnya, pondok itu terletak di kaki sebuah bukit tanpa nama. Enak untuk mengasingkan diri, juga enak untuk berlatih ilmu. Peramal Pikun bukan orang dari golongan hitam. Tapi ia mempunyai adik yang termasuk dalam golongan hitam, yaitu Cadaspati, murid dari Malaikat Tanpa Nyawa yang sudah dibunuh oleh si Gila Tuak, sebelum Suto menjadi muridnya. Cadaspati sendiri dibunuh oleh Datuk Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pusaka Tuak Setan).
Manusia kurus kering yang sudah tua renta itu sebenarnya adalah teman baik Dewa Racun. Semasa Peramal Pikun menjadi muridnya Nyai Gusti Dyah Sariningrum, ia berteman akrab dengan Dewa Racun. Sayang sekali, Renggono jatuh cinta pada gurunya sendiri, yaitu Dyah Sariningrum dan pernah melawan untuk memperkosanya, sehingga ia diusir dari Pulau Serindu dan dikutuk dengan ilmu yang bernama 'Rentang Kutuk'. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan di Bukit Jagal).
Tetapi pengaruh kutukan itu bisa ditawarkan oleh Suto, sehingga Peramal Pikun yang tidak pernah meramal dan bila meramal tidak pernah tepat itu, lolos dari maut yang mengancam nyawanya.
Langkah Suto Sinting tiba-tiba terhenti, tangannya meraih lengan Dewa Racun. Berhentinya langkah Pendekar Mabuk bikin Dewa Racun kerutkan dahi pertanda merasa heran.
"Add... adda... ada apa, Suto?"
"Aku melihat mayat di sebelah kanan sana!" kata Pendekar Mabuk berbisik. Matanya yang memandang kearah kanan segera diikuti oleh pandangan mata Dewa Racun. Dengan satu lompatan Suto mendekati pandangan matanya, Dewa Racun juga ikut-ikutan lompat dalam kecepatan tinggi.
Wuuttt...!
Sesosok tubuh terkulai di atas batang pohon yang tumbang. Sesosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. Mayat perempuan itu berpakaian coklat tua ketat tanpa lengan baju. Keadaannya tertelungkup bagai jemuran basah disampirkan di batang pohon. Perempuan bernasib malang itu mempunyai wajah cantik, rambutnya acak-acakkan. Suto Sinting tak asing lagi dengan wajah itu, yang tak lain adalah wajah Perawan Sesat.
Karenanya, Pendekar Mabuk sangat terkejut melihat Perawan Sesat telah menjadi mayat di situ. Dewa Racun sendiri terperanjat, karena dia tahu Perawan Sesat adalah salah satu dari tiga kelompok perempuan patah hati. Temannya yang dua adalah Selendang Kubur dan Peri Malam. Perawan Sesat inilah yang membujuk Suto setengah mendesak untuk tetap hadir dalam pertarungan di Bukit Jagal melawan Dirgo Mukti.
"Ada apa sebenarnya? Apa yang telah terjadi di sini? Bukankah tempat ini sudah dekat dengan pondok kediaman Peramal Pikun?" pikir Suto dalam renungan sejenaknya.
Dewa Racun membalikkan tubuh mayat itu. Ia terkesiap sejenak melihat permukaan dada Perawan Sesat hangus bagai terbakar api yang amat dahsyat. Di sekitar lehernya ada bilur-bilur luka, dan dikedua lengannya juga ada luka terkoyak bagai sabetan senjata tajam beberapa kali. Dewa Racun memandang mata Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk masih tertegun menatapi keadaan mayat Perawan Sesat. Lalu, Pendekar Mabuk melayangkan pandang ke alam sekeliling. Banyak pohon tumbang atau rusak, ada yang kering tapi masih berdiri dengan daun-daunnya yang masih tergantung menempel. Ada bongkahan batu yang tampak pecah dalam beberapa waktu yang lalu. Juga beberapa lubang tanah yang terjadi bagai disemburkan dari kedalaman bumi.
"Tampaknya habis ada pertarungan hebat di sini," gumam Pendekar Mabuk seperti bicara pada dirinya sendiri.
Tapi Dewa Racun merasa diajak bicara, sehingga ia pun menyahut. "Ya. Ada pertarungan heb... heeb... hebat di sini. Sepertinya belum laaam... laaam... lama. Bau asap dari benda terbak... bakar masih kurasakan jelas di hiid... hiiidung... hidungku!"
"Hmmm... siapa orang yang membunuh Perawan Sesat ini? Setahuku Perawan Sesat punya ilmu cukup tinggi. Aku pernah menolongnya, aku pernah bersamanya beberapa saat, dan aku tahu sebatas apa tinggi ilmunya! Apalagi dia punya pedang gading yang berkekuatan dahsyat! Hmmm... ke mana pedang gadingnya? Tak kulihat ada di sekitar sini?"
Pendekar Mabuk masih terpukau melihat keadaan mayat Perawan Sesat yang dianggap misterius itu. Tanpa pedang gading, tanpa Selendang Kubur dan Perawan Sesat, dadanya hangus sampai pakaiannya pun tampak habis terbakar, matanya masih mendelik saat sebelum dikatupkan oleh Dewa Racun. Padahal Suto tahu, ilmu yang dimiliki Perawan Sesat bukan ilmu rendahan.
"Kkkam... kam... kamu tidak usah khawatir, Suto. Aku sudah siapkan pe... pppeee... per..."
"Perawan?!"
"Husy! Bukan! Akk... aku sudah siapkan perahu untuk perjalanan kita ke sana. Perahu itu kugunakan waktu kemari dan kusimpan di tempat yang yang ammm... ammm.."
"Ampuh?!"
"Aman!" sentak Dewa Racun.
Setiap Suto mendengar omongan Dewa Racun, ia selalu merasa capek sendiri melihat orang kerdil itu terengah-engah dalam bicaranya. Kadang Suto tak ingin mengajak Dewa Racun untuk bicara, tapi orang kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu justru memancing percakapan. Kadang Pendekar Mabuk merasa tak sabar jika bicara dengan Dewa Racun yang gagap itu. Kadang juga merasa kasihan jika Dewa Racun harus banyak bicara. Tapi si kerdil bersenjata panah pendek itu agaknya tersinggung jika tidak diajak bicara.
"Ap... apa... apakah kita mau mampir dulu ke pondoknya Renggono?" tanya Dewa Racun dalam perjalanan menuju pantai.
"Siapa itu Renggono?"
"Nama aslinya Peee... pee. Peramal Pikun!"
"Menurutmu sendiri bagaimana? Apakah kita perlu mampir ke sana dulu atau langsung ke pantai tempat perahumu disembunyikan?"
"Per... perrr... perasaanku tak enak sejak tadi. Ada baiknya kalau kita mammm... maamm... maamm..."
"Kamu itu lapar atau bagaimana? Kok maem, maem, terus?"
"Maksudku, mammm... mampir ke Peramal Pikun!" Dewa Racun bersungut-sungut merasa dilecehkan.
Pendekar Mabuk tertawa sambil tepuk-tepuk pundak Dewa Racun, menenangkan perasaan Dewa Racun agar tidak tersingung. "Baiklah, kalau memang kau punya perasaan tak enak, aku tak keberatan untuk mampir ke pondoknya Renggono sekalian aku mau pamitan sama dia."
Pondok persinggahan Peramal Pikun terletak di tepi sungai yang sunyi, rimbun oleh pepohonan sekitarnya. Tepatnya, pondok itu terletak di kaki sebuah bukit tanpa nama. Enak untuk mengasingkan diri, juga enak untuk berlatih ilmu. Peramal Pikun bukan orang dari golongan hitam. Tapi ia mempunyai adik yang termasuk dalam golongan hitam, yaitu Cadaspati, murid dari Malaikat Tanpa Nyawa yang sudah dibunuh oleh si Gila Tuak, sebelum Suto menjadi muridnya. Cadaspati sendiri dibunuh oleh Datuk Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pusaka Tuak Setan).
Manusia kurus kering yang sudah tua renta itu sebenarnya adalah teman baik Dewa Racun. Semasa Peramal Pikun menjadi muridnya Nyai Gusti Dyah Sariningrum, ia berteman akrab dengan Dewa Racun. Sayang sekali, Renggono jatuh cinta pada gurunya sendiri, yaitu Dyah Sariningrum dan pernah melawan untuk memperkosanya, sehingga ia diusir dari Pulau Serindu dan dikutuk dengan ilmu yang bernama 'Rentang Kutuk'. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan di Bukit Jagal).
Tetapi pengaruh kutukan itu bisa ditawarkan oleh Suto, sehingga Peramal Pikun yang tidak pernah meramal dan bila meramal tidak pernah tepat itu, lolos dari maut yang mengancam nyawanya.
Langkah Suto Sinting tiba-tiba terhenti, tangannya meraih lengan Dewa Racun. Berhentinya langkah Pendekar Mabuk bikin Dewa Racun kerutkan dahi pertanda merasa heran.
"Add... adda... ada apa, Suto?"
"Aku melihat mayat di sebelah kanan sana!" kata Pendekar Mabuk berbisik. Matanya yang memandang kearah kanan segera diikuti oleh pandangan mata Dewa Racun. Dengan satu lompatan Suto mendekati pandangan matanya, Dewa Racun juga ikut-ikutan lompat dalam kecepatan tinggi.
Wuuttt...!
Sesosok tubuh terkulai di atas batang pohon yang tumbang. Sesosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. Mayat perempuan itu berpakaian coklat tua ketat tanpa lengan baju. Keadaannya tertelungkup bagai jemuran basah disampirkan di batang pohon. Perempuan bernasib malang itu mempunyai wajah cantik, rambutnya acak-acakkan. Suto Sinting tak asing lagi dengan wajah itu, yang tak lain adalah wajah Perawan Sesat.
Karenanya, Pendekar Mabuk sangat terkejut melihat Perawan Sesat telah menjadi mayat di situ. Dewa Racun sendiri terperanjat, karena dia tahu Perawan Sesat adalah salah satu dari tiga kelompok perempuan patah hati. Temannya yang dua adalah Selendang Kubur dan Peri Malam. Perawan Sesat inilah yang membujuk Suto setengah mendesak untuk tetap hadir dalam pertarungan di Bukit Jagal melawan Dirgo Mukti.
"Ada apa sebenarnya? Apa yang telah terjadi di sini? Bukankah tempat ini sudah dekat dengan pondok kediaman Peramal Pikun?" pikir Suto dalam renungan sejenaknya.
Dewa Racun membalikkan tubuh mayat itu. Ia terkesiap sejenak melihat permukaan dada Perawan Sesat hangus bagai terbakar api yang amat dahsyat. Di sekitar lehernya ada bilur-bilur luka, dan dikedua lengannya juga ada luka terkoyak bagai sabetan senjata tajam beberapa kali. Dewa Racun memandang mata Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk masih tertegun menatapi keadaan mayat Perawan Sesat. Lalu, Pendekar Mabuk melayangkan pandang ke alam sekeliling. Banyak pohon tumbang atau rusak, ada yang kering tapi masih berdiri dengan daun-daunnya yang masih tergantung menempel. Ada bongkahan batu yang tampak pecah dalam beberapa waktu yang lalu. Juga beberapa lubang tanah yang terjadi bagai disemburkan dari kedalaman bumi.
"Tampaknya habis ada pertarungan hebat di sini," gumam Pendekar Mabuk seperti bicara pada dirinya sendiri.
Tapi Dewa Racun merasa diajak bicara, sehingga ia pun menyahut. "Ya. Ada pertarungan heb... heeb... hebat di sini. Sepertinya belum laaam... laaam... lama. Bau asap dari benda terbak... bakar masih kurasakan jelas di hiid... hiiidung... hidungku!"
"Hmmm... siapa orang yang membunuh Perawan Sesat ini? Setahuku Perawan Sesat punya ilmu cukup tinggi. Aku pernah menolongnya, aku pernah bersamanya beberapa saat, dan aku tahu sebatas apa tinggi ilmunya! Apalagi dia punya pedang gading yang berkekuatan dahsyat! Hmmm... ke mana pedang gadingnya? Tak kulihat ada di sekitar sini?"
Pendekar Mabuk masih terpukau melihat keadaan mayat Perawan Sesat yang dianggap misterius itu. Tanpa pedang gading, tanpa Selendang Kubur dan Perawan Sesat, dadanya hangus sampai pakaiannya pun tampak habis terbakar, matanya masih mendelik saat sebelum dikatupkan oleh Dewa Racun. Padahal Suto tahu, ilmu yang dimiliki Perawan Sesat bukan ilmu rendahan.
Gerakannya cepat sekali, bahkan mempunyai gerak siluman yang bisa melesat cepat pindah tempat di kejauhan sana. Suto pernah adu kecepatan gerak pada waktu itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sesat dan Murka Sang Nyai). Melihat keadaan seperti ini, pastilah lawan si Perawan Sesat mempunyai ilmu lebih tinggi lagi.
"Mungkinkah kedua pppeee... perempuan temannya itu yang membunuhnya?" tanya Dewa Racun.
"Maksudmu Selendang Kubur dan Peri Malam? Hmmm... tidak! Menurutku bukan mereka. Sebab, aku bisa mengukur ilmu mereka berdua dibandingkan ilmunya Perawan Sesat masih belum seberapa. Masih tinggi ilmunya Perawan Sesat."
"Tap... tap... tapi mengapa dia sekarang mati?"
"Pasti lawannya lebih sak... sak... sakti lagi!"
"Ah, jangan ikut-ikutan bi... bicara gagap!"
"Maaf, aku sedikit latah," kata Suto tanpa ada kesan bercanda, berarti dia tadi memang benar-benar latah sebentar karena terbawa gaya bicara Dewa Racun.
"Dddi... dia terkena pukulan beracun. Racun itu sangat gaaa... ga... ganas," sambil Dewa Racun mengamat-amati mayat itu.
"Apakah bukan karena pukulan tenaga dalam yang amat tinggi?"
"Ya. Mmme... memang. Tapi ada campuran rraaa... raa... racunnya! Lihat bagian bibirnya tampak biru."
"Itu karena dia mati. Semua mayat bibirnya tampak biru!"
"Tiddd... tidak semua. Kulit di sekitar bib... bib... bibirnya ini kelihatan biru, dddan... dan daging di dalam kuku-kukunya itu juga membiru. Berarti addda... ada racun yang ikut masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin bersamaan pukulan bertenaga tinggi, aaat... atau pukulan beracun dulu, baru pukulan yang meng... meng... meng"
"Mengerut?!"
"Bukan. Menghanguskan dadanya! Jeel...jelll..."
"Jelek?"
"Jelas! Jelas kematiannya disebabkan pula karena ada rrra...raa..."
"Raja?"
"Racun!" sentak Dewa Racun jengkel pada kegagapannya sendiri.
Suto diam sejenak, memandangi mayat itu lebih dekat lagi dengan berjongkok kaki. Lalu, ia berkata pada Dewa Racun. "Luka di tangannya seperti luka cambuk. Juga di leher dan di bagian perutnya. Lihat, pakaiannya sampai robek seperti habis kena cambuk keras!"
"Berrr... berr... beeer...," Dewa Racun megap-megap sambil matanya terpejam-pejam. "Berr... berarti, ia bertarung dengan orang yang bersenjatakan cccam... cccam... caambuk!"
"Ya. Tapi, siapa tokoh berilmu tinggi yang bersenjatakan cambuk? Menurut cerita Peri Malam, ia pernah melihat Cadaspati bertarung dengan Datuk Marah Gadai dengan senjata cambuk. Cambuk itu milik Cadaspati. Tapi, Cadaspati sudah lenyap. Mati di tangan Datuk Marah Gadai. Setelah itu... siapa lagi yang punya senjata cambuk? Seingatku tak ada!"
"Bbberr...beeer..."
"Beranak?"
"Berarti! Berarti kita harus mencari orang yang bersenjata cambuk. Pasti dialah pembunuh Perawan Sesat."
"Kenapa harus mencari orang itu? Aku tidak punya urusan apa-apa. Kematian Perawan Sesat bukan urusanku."
"Kal... kali... kalau begitu, sebaiknya kita ting... ting..."
"Tinggi?"
"Bukan. Kita ting...ting...ting...."
"Ah, kamu seperti lonceng penjual tuak saja, tang-ting, tang-ting tak jelas artinya!"
"Maksudku, ting... tinggalkan saja! Ya, tinggalkan saja mayat ini kalau memang tak ada urusannya dengan diir... diiir... dirimu!"
Pendekar Mabuk diam sebentar. Ada sesuatu yang dipikirkan, seperti mengganjal di hatinya. Dewa Racun pandangi wajah Suto yang berpikir. Lama sekali, baru Dewa Racun ajukan tanya. "Add... ada ada apa, Suto?"
"Hmm... tidak ada apa-apa! Mari kita ke pondoknya Peramal Pikun!" kata Pendekar Mabuk, lalu melesat cepat, bagai menghilang dari depan Dewa Racun.
Mata orang kerdil itu jelalatan mengikutinya dengan terbengong heran. Lalu, cepat ia susul Suto sambil membatin dalam hatinya. "Mengapa gerakan Suto jadi cepat sekali? Ia seperti terburu-buru. Ada apa? Apakah mau kasih laporan pada Renggono? Mungkin karena kata Suto, Renggono pernah menolong Perawan Sesat, jadi ia merasa perlu memberi tahu Renggono perihal kematian Perawan Sesat?"
Dewa Racun berhenti jarak sepuluh langkah dari pondoknya Peramal Pikun. Mata si kerdil berambut jarang itu terbuka lebar tak berkedip melihat dinding terbuat dari anyaman bambu itu jebol dan berantakan. Pondok itu juga jebol bagian atapnya, seperti habis dipakai keluar makhluk yang bisa terbang, atau seperti habis kejatuhan seekor garuda raksasa.
Dewa Racun segera sentakkan kaki dan melesat pergi dari tempatnya menuju pondok itu. Wajah tegangnya memperhatikan Suto yang mencoba masuk ke dalam pondok dengan susah, karena terhalang reruntuhan sebagian atap.
"Pikun...!" desis Suto dengan mata tak berkedip, jantungnya berdetak dengan kuat.
Di belakangnya segera menyusul masuk Dewa Racun yang juga berdesis tegang. "Renggono...?"
Tubuh Renggono atau Peramal Pikun yang kurus kering itu terkapar di atas balai-balai bambu bertikar anyaman pandan. Tubuhnya dalam keadaan berdarah di bagian mulut dan telinga serta hidungnya. Melihat letak kaki sebelah masih terkulai di luar balai-balai, berarti Peramal Pikun baru saja berniat baringkan badan di situ dengan keadaan susah payah.
Hal yang membuat mata Dewa Racun terkesiap adalah bintik-bintik merah yang memenuhi tubuh Peramal Pikun. Bintik-bintik itu seperti cacar berdarah, menggelembung kecil dan akhirnya pecah memercikkan darah segar. Sedangkan wajah Peramal Pikun sudah seputih kapas, napasnya sangat tipis, namun masih bisa membuka mata sedikit.
"Racun cobra...!" desis Dewa Racun setelah memandangi bintik-bintik merah di sekujur tubuh Peramal Pikun, sampai pada bagian daun telinganya juga.
"Pikun, apa yang telah terjadi?" tanya Pendekar Mabuk sambil menahan kegeraman di dalam hatinya melihat nasib Peramal Pikun yang mengenaskan itu.
"Barrru... sajaaa... diiia... dia pergi," ucap Peramal Pikun dengan lirih sekali dan susah payah melontarkannya.
"Siapa? Siapa yang menyerangmu?" desak Suto.
Dewa Racun menyahut, "Renggono, kau pasti ter... terkena pukulan... pukulan 'Racun Sengat Cobra'. Dddaan... ddaan... pemilik pukulan itu aad... ada... adalah Siluman Tujuh Nyawa! Bbbe... benarkah yang datang menyerangmu aaad... ada... adalah Siluman Tujuh Nyawa itu?"
Peramal Pikun makin berat helakan napas. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi sulit sekali keluar. Napas dan suara bagai berdesak ingin lebih dulu keluar dari mulut.
Melihat keadaan sudah separah itu, Suto cepat-cepat ambil bumbung tuaknya yang sejak tadi tersandar di punggung bagaikan pedang. Suto buka tutup bumbung, dan ia tenggak tuak beberapa teguk, sebagian di pakainya berkumur-kumur di mulut. Lalu, serta-merta tuak itu disemburkan ke sekujur tubuh Peramal Pikun.
Buuurs...bruus...!
"Ahhg... aahg...!" Peramal Pikun gelagapan.
Suto tuang tuak ke dalam mulutnya lagi, lalu semburkan kembali ke tubuh Peramal Pikun. Bruuus...! Bruuus...! Bweeerrs...!
"Ahhhhggg...!"tubuh Peramal Pikun mengejang kaku, kepalanya terdongak ke atas dengan mata tuanya terpejam rapat-rapat. Makin lama dari tiap lubang keluar asap kehijau-hijauan. Peramal Pikun mengerang dengan suara tertahan bagaikan orang sekarat. Tubuh kakunya menggeliat-geliat. Asap semakin banyak keluar dari tiap lubang pori-pori tubuhnya. Asap kehijauan itu mengabarkan bau aroma sangit, seperti rambut terbakar.
Melihat hal itu, Dewa Racun mundur tiga tindak. Tegang dan merasa aneh melihat apa yang dilakukan Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk tetap tenang memandang walau ia pun mundur satu tindak. Setelah asap kehijauan membungkus tubuh Peramal Pikun, asap itu mulai mereda tipis, dan makin lama makin habis. Tapi tubuh Peramal Pikun tidak sekejang tadi. Tubuh itu terkulai lemas dengan mata terpejam. Lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikit pun. Dewa Racun menyangka Peramal Pikun mati. Tapi melihat dari gerakan dadanya yang turun naik dengan pelan itu, Dewa Racun yakin bahwa Renggono tidak mati.
Hal yang kemudian membuat Dewa Racun tak berkedip menatap tubuh Peramal Pikun itu ialah keadaan yang bersih di tubuh itu. Bintik-bintik merah seperti cacar berdarah itu sudah tidak ada. Lenyap sama sekali. Bahkan sisa darah yang semula membekas di hidung, bibir, dan telinga, juga lenyap tak berbekas. Peramal Pikun bagaikan orang sedang tertidur dalam istirahat tenangnya.
Pendekar Mabuk sedikit sunggingkan senyum. Wajah cemas hilang, berganti kelegaan yang menghadirkan sorot pandangan mata teduh. Bahkan ia segera melangkahkan kaki keluar untuk memandang sekeliling tempat itu, sambil melewati Dewa Racun dan berkata, "Biarkan ia tidur sejenak."
Dewa Racun tidak mengucapkan sepatah kata pun, karena ia masih terpaku di tempat, terheran-heran melihat cara penyembuhan yang dilakukan Pendekar Mabuk. Kelihatannya sangat sederhana, tuak diminum, dikumur-kumur, lalu disemburkan. Mudah sekali, tapi sebenarnya punya kekuatan ilmu tinggi. Pengobatan seperti itu belum pernah dilihat Dewa Racun sebelumnya.
"Aneh sekali," Dewa Racun membatin, "Begitu sederhana tapi punya khasiat yang amat tinggi. Luka itu lenyap tanpa menunggu waktu berlama-lama. Peramal Pikun kelihatan kembali segar tubuhnya. Ilmu macam apa sebenarnya yang dimiliki anak muda itu?"
Dewa Racun cepat berkelebat menyusul Suto di luar pondok. Pendekar Mabuk duduk di atas sebuah batu dengan mata memandang dedaunan. "Saam... sampai kapan dddii... dia siuman?"
"Dia tidak pingsan. Dia hanya tertidur sebentar. Tak lama dia akan bangun. Tapi...," Suto diam, berkerut dahi, dan melepaskan kerutannya, seakan pasrah pada keadaan.
Dewa Racun jadi penasaran, lalu ajukan pertanyaan yang mendesak, "Tapi kena... kenapa?"
"Dia akan lupa padaku."
"Maks... maksud... maksudmu?"
"Ilmu 'Sembur Husada' adalah jenis pengobatan yang bersifat sangat gawat. Korban bisa sembuh, tapi dia akan lupa ingatan tentang diriku. Dia tidak ingat kapan bertemu dengan aku."
"Mengapa bisa begitu?"
"Semburan tuakku membuat ingatan masa lalunya tersapu habis. Terutama ingatan masa lalu tentang diriku. Tapi, penyakitnya pun tersapu habis tak berbekas."
"Heeb... hebb... hebat sekali ilmumu."
"Ah, sekadar ilmu pengobatan biasa, untuk menolong sesama," Pendekar Mabuk merendahkan diri.
Dewa Racun geleng-geleng kepala, ia segera duduk di batu depan Suto dan bertanya, "App... apakah... ilmu 'Sembur Husada' bisa untuk... untuk mengobati segala macam luka raac... raac... racun?"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum rikuh, namun ia anggukkan kepala, "Ya. Bisa."
"Wah, ilmuku biiis... biisa... bisa kalah. Seemmua... semua racunku biiis... bisa kau tawarkan dengan ilmu Sembur Hus... Huss"
"Di sini tak ada ayam, tak perlu berhas-hus, has-hus!" Suto terkikik geli.
Dewa Racun bersungut-sungut. Sebelum Dewa Racun bicara lagi, tiba-tiba dari pondok reot itu muncul Peramal Pikun, seperti baru saja bangun tidur, ia menguap di depan pintu, dan segera berseri setelah memandang Dewa Racun.
"Dewa Racun, oh... rupanya kau datang membawa teman baru? Hmm siapa namanya? Kulihat anak muda itu cukup gagah dan ganteng."
Dewa Racun kerutkan dahi, lalu ucapkan kata lirih seperti bicara pada diri sendiri, "Benar juga apa katamu, Sut... Sut Suto! Dia tidak mengenalimu laaa... laaa. lagi!"
"Tak apa. Kau bisa membimbing ingatannya dengan menceritakan tentang diriku."
Peramal Pikun mendekati Dewa Racun dan Suto, tapi ia bersikap tak kenal Suto dan merasa baru kali itu melihat Suto. Dewa Racun segera ajukan tanya, "Kau sama sekali tak mengenal anak muda ini?"
"Kalau kukenal namanya, sudah kusapa dia sejak tadi! Oh, ya... siapa namamu, Anak Muda?"
"Suto...!"
"Hmmm... Suto...? Ya, sepertinya aku pernah dengar, tapi di mana dan kapan. Aku lupa. Maklum sudah tua, sudah waktunya pikun lagi!" Peramal Pikun nyengir terkekeh.
"Dia yang baru saja sembuhkan kamu, Renggono!"
"Sembuhkan aku? Hmm...?" Renggono kerutkan dahi mengingat-ingat. "Seingatku, aku tadi dapat serangan dari orang tinggi besar menggendong tambang dipundaknya"
"Tinggi, bess... besar...? Gendong tambang di pun... pundak?"
"Ya. Orang itu serang aku, karena ia tersinggung dengan jawabanku. Dia tanyakan di mana murid si Gila Tuak, dan aku bilang agar dia cari sendiri di setiap gentong tuak, lalu dia marah. Dia serang aku habis-habisan dan..."
"Dia itulah yang... yang... yang bernama Dadung Amuk!" sela Dewa Racun.
"Siapa Dadung Amuk itu?"
"Oor... or... or... orang kepercayaan Siluman Tujuh Nyawa! Pantas kaal... kaaall... kalau kau kena pukulan 'Racun Sengat Cobra'!"
"Dadung Amuk?!" gumam Pendekar Mabuk. "Dia cari aku? Untuk apa dan ke mana dia sekarang?"
"Mungkinkah kedua pppeee... perempuan temannya itu yang membunuhnya?" tanya Dewa Racun.
"Maksudmu Selendang Kubur dan Peri Malam? Hmmm... tidak! Menurutku bukan mereka. Sebab, aku bisa mengukur ilmu mereka berdua dibandingkan ilmunya Perawan Sesat masih belum seberapa. Masih tinggi ilmunya Perawan Sesat."
"Tap... tap... tapi mengapa dia sekarang mati?"
"Pasti lawannya lebih sak... sak... sakti lagi!"
"Ah, jangan ikut-ikutan bi... bicara gagap!"
"Maaf, aku sedikit latah," kata Suto tanpa ada kesan bercanda, berarti dia tadi memang benar-benar latah sebentar karena terbawa gaya bicara Dewa Racun.
"Dddi... dia terkena pukulan beracun. Racun itu sangat gaaa... ga... ganas," sambil Dewa Racun mengamat-amati mayat itu.
"Apakah bukan karena pukulan tenaga dalam yang amat tinggi?"
"Ya. Mmme... memang. Tapi ada campuran rraaa... raa... racunnya! Lihat bagian bibirnya tampak biru."
"Itu karena dia mati. Semua mayat bibirnya tampak biru!"
"Tiddd... tidak semua. Kulit di sekitar bib... bib... bibirnya ini kelihatan biru, dddan... dan daging di dalam kuku-kukunya itu juga membiru. Berarti addda... ada racun yang ikut masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin bersamaan pukulan bertenaga tinggi, aaat... atau pukulan beracun dulu, baru pukulan yang meng... meng... meng"
"Mengerut?!"
"Bukan. Menghanguskan dadanya! Jeel...jelll..."
"Jelek?"
"Jelas! Jelas kematiannya disebabkan pula karena ada rrra...raa..."
"Raja?"
"Racun!" sentak Dewa Racun jengkel pada kegagapannya sendiri.
Suto diam sejenak, memandangi mayat itu lebih dekat lagi dengan berjongkok kaki. Lalu, ia berkata pada Dewa Racun. "Luka di tangannya seperti luka cambuk. Juga di leher dan di bagian perutnya. Lihat, pakaiannya sampai robek seperti habis kena cambuk keras!"
"Berrr... berr... beeer...," Dewa Racun megap-megap sambil matanya terpejam-pejam. "Berr... berarti, ia bertarung dengan orang yang bersenjatakan cccam... cccam... caambuk!"
"Ya. Tapi, siapa tokoh berilmu tinggi yang bersenjatakan cambuk? Menurut cerita Peri Malam, ia pernah melihat Cadaspati bertarung dengan Datuk Marah Gadai dengan senjata cambuk. Cambuk itu milik Cadaspati. Tapi, Cadaspati sudah lenyap. Mati di tangan Datuk Marah Gadai. Setelah itu... siapa lagi yang punya senjata cambuk? Seingatku tak ada!"
"Bbberr...beeer..."
"Beranak?"
"Berarti! Berarti kita harus mencari orang yang bersenjata cambuk. Pasti dialah pembunuh Perawan Sesat."
"Kenapa harus mencari orang itu? Aku tidak punya urusan apa-apa. Kematian Perawan Sesat bukan urusanku."
"Kal... kali... kalau begitu, sebaiknya kita ting... ting..."
"Tinggi?"
"Bukan. Kita ting...ting...ting...."
"Ah, kamu seperti lonceng penjual tuak saja, tang-ting, tang-ting tak jelas artinya!"
"Maksudku, ting... tinggalkan saja! Ya, tinggalkan saja mayat ini kalau memang tak ada urusannya dengan diir... diiir... dirimu!"
Pendekar Mabuk diam sebentar. Ada sesuatu yang dipikirkan, seperti mengganjal di hatinya. Dewa Racun pandangi wajah Suto yang berpikir. Lama sekali, baru Dewa Racun ajukan tanya. "Add... ada ada apa, Suto?"
"Hmm... tidak ada apa-apa! Mari kita ke pondoknya Peramal Pikun!" kata Pendekar Mabuk, lalu melesat cepat, bagai menghilang dari depan Dewa Racun.
Mata orang kerdil itu jelalatan mengikutinya dengan terbengong heran. Lalu, cepat ia susul Suto sambil membatin dalam hatinya. "Mengapa gerakan Suto jadi cepat sekali? Ia seperti terburu-buru. Ada apa? Apakah mau kasih laporan pada Renggono? Mungkin karena kata Suto, Renggono pernah menolong Perawan Sesat, jadi ia merasa perlu memberi tahu Renggono perihal kematian Perawan Sesat?"
Dewa Racun berhenti jarak sepuluh langkah dari pondoknya Peramal Pikun. Mata si kerdil berambut jarang itu terbuka lebar tak berkedip melihat dinding terbuat dari anyaman bambu itu jebol dan berantakan. Pondok itu juga jebol bagian atapnya, seperti habis dipakai keluar makhluk yang bisa terbang, atau seperti habis kejatuhan seekor garuda raksasa.
Dewa Racun segera sentakkan kaki dan melesat pergi dari tempatnya menuju pondok itu. Wajah tegangnya memperhatikan Suto yang mencoba masuk ke dalam pondok dengan susah, karena terhalang reruntuhan sebagian atap.
"Pikun...!" desis Suto dengan mata tak berkedip, jantungnya berdetak dengan kuat.
Di belakangnya segera menyusul masuk Dewa Racun yang juga berdesis tegang. "Renggono...?"
Tubuh Renggono atau Peramal Pikun yang kurus kering itu terkapar di atas balai-balai bambu bertikar anyaman pandan. Tubuhnya dalam keadaan berdarah di bagian mulut dan telinga serta hidungnya. Melihat letak kaki sebelah masih terkulai di luar balai-balai, berarti Peramal Pikun baru saja berniat baringkan badan di situ dengan keadaan susah payah.
Hal yang membuat mata Dewa Racun terkesiap adalah bintik-bintik merah yang memenuhi tubuh Peramal Pikun. Bintik-bintik itu seperti cacar berdarah, menggelembung kecil dan akhirnya pecah memercikkan darah segar. Sedangkan wajah Peramal Pikun sudah seputih kapas, napasnya sangat tipis, namun masih bisa membuka mata sedikit.
"Racun cobra...!" desis Dewa Racun setelah memandangi bintik-bintik merah di sekujur tubuh Peramal Pikun, sampai pada bagian daun telinganya juga.
"Pikun, apa yang telah terjadi?" tanya Pendekar Mabuk sambil menahan kegeraman di dalam hatinya melihat nasib Peramal Pikun yang mengenaskan itu.
"Barrru... sajaaa... diiia... dia pergi," ucap Peramal Pikun dengan lirih sekali dan susah payah melontarkannya.
"Siapa? Siapa yang menyerangmu?" desak Suto.
Dewa Racun menyahut, "Renggono, kau pasti ter... terkena pukulan... pukulan 'Racun Sengat Cobra'. Dddaan... ddaan... pemilik pukulan itu aad... ada... adalah Siluman Tujuh Nyawa! Bbbe... benarkah yang datang menyerangmu aaad... ada... adalah Siluman Tujuh Nyawa itu?"
Peramal Pikun makin berat helakan napas. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi sulit sekali keluar. Napas dan suara bagai berdesak ingin lebih dulu keluar dari mulut.
Melihat keadaan sudah separah itu, Suto cepat-cepat ambil bumbung tuaknya yang sejak tadi tersandar di punggung bagaikan pedang. Suto buka tutup bumbung, dan ia tenggak tuak beberapa teguk, sebagian di pakainya berkumur-kumur di mulut. Lalu, serta-merta tuak itu disemburkan ke sekujur tubuh Peramal Pikun.
Buuurs...bruus...!
"Ahhg... aahg...!" Peramal Pikun gelagapan.
Suto tuang tuak ke dalam mulutnya lagi, lalu semburkan kembali ke tubuh Peramal Pikun. Bruuus...! Bruuus...! Bweeerrs...!
"Ahhhhggg...!"tubuh Peramal Pikun mengejang kaku, kepalanya terdongak ke atas dengan mata tuanya terpejam rapat-rapat. Makin lama dari tiap lubang keluar asap kehijau-hijauan. Peramal Pikun mengerang dengan suara tertahan bagaikan orang sekarat. Tubuh kakunya menggeliat-geliat. Asap semakin banyak keluar dari tiap lubang pori-pori tubuhnya. Asap kehijauan itu mengabarkan bau aroma sangit, seperti rambut terbakar.
Melihat hal itu, Dewa Racun mundur tiga tindak. Tegang dan merasa aneh melihat apa yang dilakukan Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk tetap tenang memandang walau ia pun mundur satu tindak. Setelah asap kehijauan membungkus tubuh Peramal Pikun, asap itu mulai mereda tipis, dan makin lama makin habis. Tapi tubuh Peramal Pikun tidak sekejang tadi. Tubuh itu terkulai lemas dengan mata terpejam. Lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikit pun. Dewa Racun menyangka Peramal Pikun mati. Tapi melihat dari gerakan dadanya yang turun naik dengan pelan itu, Dewa Racun yakin bahwa Renggono tidak mati.
Hal yang kemudian membuat Dewa Racun tak berkedip menatap tubuh Peramal Pikun itu ialah keadaan yang bersih di tubuh itu. Bintik-bintik merah seperti cacar berdarah itu sudah tidak ada. Lenyap sama sekali. Bahkan sisa darah yang semula membekas di hidung, bibir, dan telinga, juga lenyap tak berbekas. Peramal Pikun bagaikan orang sedang tertidur dalam istirahat tenangnya.
Pendekar Mabuk sedikit sunggingkan senyum. Wajah cemas hilang, berganti kelegaan yang menghadirkan sorot pandangan mata teduh. Bahkan ia segera melangkahkan kaki keluar untuk memandang sekeliling tempat itu, sambil melewati Dewa Racun dan berkata, "Biarkan ia tidur sejenak."
Dewa Racun tidak mengucapkan sepatah kata pun, karena ia masih terpaku di tempat, terheran-heran melihat cara penyembuhan yang dilakukan Pendekar Mabuk. Kelihatannya sangat sederhana, tuak diminum, dikumur-kumur, lalu disemburkan. Mudah sekali, tapi sebenarnya punya kekuatan ilmu tinggi. Pengobatan seperti itu belum pernah dilihat Dewa Racun sebelumnya.
"Aneh sekali," Dewa Racun membatin, "Begitu sederhana tapi punya khasiat yang amat tinggi. Luka itu lenyap tanpa menunggu waktu berlama-lama. Peramal Pikun kelihatan kembali segar tubuhnya. Ilmu macam apa sebenarnya yang dimiliki anak muda itu?"
Dewa Racun cepat berkelebat menyusul Suto di luar pondok. Pendekar Mabuk duduk di atas sebuah batu dengan mata memandang dedaunan. "Saam... sampai kapan dddii... dia siuman?"
"Dia tidak pingsan. Dia hanya tertidur sebentar. Tak lama dia akan bangun. Tapi...," Suto diam, berkerut dahi, dan melepaskan kerutannya, seakan pasrah pada keadaan.
Dewa Racun jadi penasaran, lalu ajukan pertanyaan yang mendesak, "Tapi kena... kenapa?"
"Dia akan lupa padaku."
"Maks... maksud... maksudmu?"
"Ilmu 'Sembur Husada' adalah jenis pengobatan yang bersifat sangat gawat. Korban bisa sembuh, tapi dia akan lupa ingatan tentang diriku. Dia tidak ingat kapan bertemu dengan aku."
"Mengapa bisa begitu?"
"Semburan tuakku membuat ingatan masa lalunya tersapu habis. Terutama ingatan masa lalu tentang diriku. Tapi, penyakitnya pun tersapu habis tak berbekas."
"Heeb... hebb... hebat sekali ilmumu."
"Ah, sekadar ilmu pengobatan biasa, untuk menolong sesama," Pendekar Mabuk merendahkan diri.
Dewa Racun geleng-geleng kepala, ia segera duduk di batu depan Suto dan bertanya, "App... apakah... ilmu 'Sembur Husada' bisa untuk... untuk mengobati segala macam luka raac... raac... racun?"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum rikuh, namun ia anggukkan kepala, "Ya. Bisa."
"Wah, ilmuku biiis... biisa... bisa kalah. Seemmua... semua racunku biiis... bisa kau tawarkan dengan ilmu Sembur Hus... Huss"
"Di sini tak ada ayam, tak perlu berhas-hus, has-hus!" Suto terkikik geli.
Dewa Racun bersungut-sungut. Sebelum Dewa Racun bicara lagi, tiba-tiba dari pondok reot itu muncul Peramal Pikun, seperti baru saja bangun tidur, ia menguap di depan pintu, dan segera berseri setelah memandang Dewa Racun.
"Dewa Racun, oh... rupanya kau datang membawa teman baru? Hmm siapa namanya? Kulihat anak muda itu cukup gagah dan ganteng."
Dewa Racun kerutkan dahi, lalu ucapkan kata lirih seperti bicara pada diri sendiri, "Benar juga apa katamu, Sut... Sut Suto! Dia tidak mengenalimu laaa... laaa. lagi!"
"Tak apa. Kau bisa membimbing ingatannya dengan menceritakan tentang diriku."
Peramal Pikun mendekati Dewa Racun dan Suto, tapi ia bersikap tak kenal Suto dan merasa baru kali itu melihat Suto. Dewa Racun segera ajukan tanya, "Kau sama sekali tak mengenal anak muda ini?"
"Kalau kukenal namanya, sudah kusapa dia sejak tadi! Oh, ya... siapa namamu, Anak Muda?"
"Suto...!"
"Hmmm... Suto...? Ya, sepertinya aku pernah dengar, tapi di mana dan kapan. Aku lupa. Maklum sudah tua, sudah waktunya pikun lagi!" Peramal Pikun nyengir terkekeh.
"Dia yang baru saja sembuhkan kamu, Renggono!"
"Sembuhkan aku? Hmm...?" Renggono kerutkan dahi mengingat-ingat. "Seingatku, aku tadi dapat serangan dari orang tinggi besar menggendong tambang dipundaknya"
"Tinggi, bess... besar...? Gendong tambang di pun... pundak?"
"Ya. Orang itu serang aku, karena ia tersinggung dengan jawabanku. Dia tanyakan di mana murid si Gila Tuak, dan aku bilang agar dia cari sendiri di setiap gentong tuak, lalu dia marah. Dia serang aku habis-habisan dan..."
"Dia itulah yang... yang... yang bernama Dadung Amuk!" sela Dewa Racun.
"Siapa Dadung Amuk itu?"
"Oor... or... or... orang kepercayaan Siluman Tujuh Nyawa! Pantas kaal... kaaall... kalau kau kena pukulan 'Racun Sengat Cobra'!"
"Dadung Amuk?!" gumam Pendekar Mabuk. "Dia cari aku? Untuk apa dan ke mana dia sekarang?"
* * *
TIGA
KEPERGIAN ke Pulau Serindu tertunda karena hati Suto dibuat penasaran oleh dua kejadian aneh, yaitu kematian Perawan Sesat dan penyerangan terhadap diri Peramal Pikun. Sesuatu yang amat membuat penasaran hati Suto adalah ciri-ciri orang yang menyerang Peramal Pikun. Kepada Dewa Racun, Peramal Pikun mengatakan, bahwa orang yang menyerangnya dengan sebuah pukulan 'Racun Sengat Cobra' itu adalah orang yang tinggi, besar, matanya lebar, berkumis tebal melintang, jari-jari tangannya besar, alis juga tebal. Pakaiannya komprang, baju tak dikancingkan.
"Menurutku, orang itu bukan bernama Dadung Amuk," kata Suto dalam perjalanan menuju pantai. "Aku pernah jumpai orang yang berciri-ciri begitu."
"Dddi... di... di mana kamu pernah jumpa orang itu?"
"Di sebuah desa nelayan. Nanti desa itu akan kita lewati."
"App... appa... apakah dia penduduk asli desa itu?"
"Ya. Dia menetap di desa itu!" jawab Suto memastikan diri.
Dewa Racun diam memikirkah jawaban-jawaban Suto. Saat berikutnya ia perdengarkan suara gagapnya lagi, "Set... set... seet... setahuku, Dadung Amuk tidak pernah tinggal menetap di sebuah desa. Ia selalu ikut ke mana pun Siluman Tujuh Nyawa pergi, karena ia termasuk tangan kanannya Siluman Tujuh Nya... Nya... Nyawa! Ilmunya cukup ting... ting... tinggi, karena ia termasuk murid dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Setahuku," kata Pendekar Mabuk setelah diam sesaat, "Orang yang punya ciri-ciri seperti warok, bukan bernama Dadung Amuk, tapi bernama Singo Bodong! Dan dia tidak punya ilmu sedikit pun! Ia orang lugu!"
Pendekar Mabuk ingat saat ia mengejar Peri Malam dan masuk ke sebuah desa, di situ ia menemukan sebuah kedai. Suto mengisi tuaknya di kedai tersebut. Tapi ia diganggu oleh penampilan seseorang yang bertubuh tinggi besar, jarinya ibarat sebesar pisang, semuanya mirip dengan orang yang diceritakan Peramal Pikun. Pendekar Mabuk sempat menumbangkan orang itu, dan orang itu bernama Singo Bodong.
Bahkan waktu bermalam di keluarga Kriyo Suntuk, Singo Bodong ikut hadir sebagai pendengar saat Suto menuturkan kisah kependekaran para tokoh-tokoh dunia persilatan. Singo Bodong ikut dalam kelompok orang-orang pengagum Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).
Jika benar orang yang ciri-cirinya diceritakan oleh Peramal Pikun adalah Singo Bodong, yang mungkin juga bergelar Dadung Amuk, maka Suto benar-benar terkecoh kala itu. Ia menyangka Singo Bodong orang polos dan lugu dalam hal keilmuannya, tapi ternyata justru berilmu tinggi dan berbahaya, ia bisa melumpuhkan Peramal Pikun yang punya ilmu cukup tinggi itu, juga bisa melumpuhkan Perawan Sesat.
Sebab menurut dugaan Dewa Racun, orang yang membunuh Perawan Sesat itu juga orang yang sama dengan yang telah menyerang Peramal Pikun. Luka koyak pada beberapa tubuh Perawan Sesat diduga merupakan luka akibat cambukan, dan Dewa Racun tahu, bahwa Dadung Amuk banyak menggunakan senjata cambuk dalam pertarungannya. Sedangkan setahu Suto, Singo Bodong tidak pernah membawa-bawa cambuk yang berupa tali di pundaknya. Inilah beda gambaran antara Dadung Amuk dengan Singo Bodong.
"Ada apa dia mencariku, sehingga dia membunuh Perawan Sesat dan melukai Peramal Pikun?" tanya Pendekar Mabuk seakan bicara pada dirinya sendiri.
Dewa Racun mendengar dan menanggapinya, "Ku... ku... kurasa, kematian Perawan Sesat tid... tidak ada hubungannya dengan pencarian dirimu. Ku... kurasa nasib perempuan itu hampir sama dengan nasib Peramal Pikun."
"Maksudmu?"
"Per... peeer... perkelahian itu timbul karena Dadung Amuk tersinggung, atau merasa jengkel dengan jaaa... jaaa"
"Janda?"
"Bukan. Jengkel dengan jaaa... jawaban Perawan Sesat. Seb...seeeb...seeb..."
"Sebul?"
"Sebab! Sebab, Dadung Amuk orang yang mudah tersinggung dan cepat marah. Kaaal... kaaal kalau sedang marah, tak segan-segan membunuh orang walaupun perkaranya kee...keee..."
"Kecil!"
"Bukan! Eh, iya... kecil! Perkara kecil bisa bikin Dadung Amuk bunuh ooor...orrr...orrr... "
"Orok?"
"Orang!" sentak Dewa Racun.
"Kau tahu banyak tentang dia rupanya?"
"Kka... kare... karena dia peer... pernah mengamuk di Puri Gerbang Surgawi. Ak... aku... aku pernah terdesak melawannya."
Semakin sangsi hati Suto. Jika benar Singo Bodong itu adalah Dadung Amuk, tak mungkin Dewa Racun terdesak melawan Singo Bodong. Tapi pengakuan Dewa Racun itu agaknya bukan pengakuan yang dibuat-buat. Dia bukan orang yang punya kebiasaan menipu. Jika benar Dadung Amuk itu adalah Singo Bodong, maka wajarlah jika ia mengetahui nama Pendekar Mabuk. Tapi tidak wajar jika dia mencari Suto sampai membunuh Perawan Sesat atau melukai Peramal Pikun.
Langkah Pendekar Mabuk pun terhenti kembali. Kali ini Dewa Racun menabrak Suto dari belakang, karena dia tidak tahu bahwa Suto akan menghentikan langkahnya, ia sempat mengomel, "Lain kali kalau mau berhenti kasih tan... tan tanda! Jadi aku tidak menabrakmu!"
"Kita sudah sampai di batas desa yang kuceritakan tadi."
"Hmmm... kkaal... kalau begitu, mari kita cari orang yang... yang kamu bilang beer... berr... bernama Singo Dobong!"
"Singo Bodong!" Pendekar Mabuk membetulkan.
"O, iya. Singo Bodong!"
"Tak usah jauh-jauh mencarinya," kata Suto. "Kita bisa nongkrong di kedai yang dulu pernah kusinggahi itu. Pasti cepat atau lambat kita bisa bertemu Singo Bodong. Dia suka nongkrong di kedai itu, karena di sana ada jual arak. Singo Bodong suka minum arak. Kita bisa sergap dia di sana!"
Sebuah kedai yang dulu pernah disinggahi Suto, keadaannya masih sama. Bedanya, dulu kedai itu hanya ditunggui oleh pemiliknya seorang perempuan tua kurus. Sekarang perempuan tua itu bersama suaminya, yang juga kurus badannya. Kedai itu mempunyai bentuk meja yang berkeliling dalam bentuk huruf 'U'. Meja itu panjang dan mempunyai bangku yang panjang pula. Saat Suto dan Dewa Racun tiba di kedai itu, di sana sudah ada empat pembeli, dua di meja yang berhadapan dengan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun, dua lagi ada di samping depan Pendekar Mabuk. Seperti biasa, pertama kali yang dilakukan Suto adalah pesan tuak untuk ditambahkan ke dalam bumbung tuaknya.
Dua pembeli yang duduk berseberangan meja dengan Suto selalu cekikikan menertawakan bentuk tubuh kerdil Dewa Racun. Mereka sebentar-sebentar melirik, berbisik, cekikik-cekikik, sambil menikmati makanannya berlalap pete. Dewa Racun menahan kejengkelan hati, sebab ia tahu dirinya ditertawakan. Bahkan yang berbaju hijau berseru kepada pemilik kedai.
"Mak, Mak... tolong ambilkan kerupuk gendar di depan bocah cilik itu, Mak!"
Sebelum pemilik kedai mengambil kerupuk gendar, Dewa Racun sudah lebih dulu mengambilkannya, sambil berkata, "Tak usah merepotkan si Mak, Kang.... Ini kuambil... kuambilkan! Te... te... terimalah!"
Wuuuttt...!
Dewa Racun melemparkan kerupuk gendar kepada si baju hijau. Tangan si baju hijau berkelebat menangkap, claapp...! Ia tersenyum menunjukkan ketangkasannya. "Terima kasih, Nang! Kecil-kecil sudah ringan tangan besok gedenya pasti panjang tangan, he he he...!" si baju hijau tertawa, temannya si baju hitam juga tertawa.
Temannya itu segera memotong kerupuk gendar tersebut, lalu keduanya sama-sama mencaplok kerupuk gendar yang agaknya baru saja digoreng sehingga terdengar kriyuk-kriyuk. Orang berbaju putih yang ada di depan samping Pendekar Mabuk itu jadi kepingin dan dia mengambil sendiri kerupuk itu lalu menyantapnya dengan nikmat.
Pendekar Mabuk diam-diam sudah menaruh curiga pada tindakan Dewa Racun. Mata Pendekar Mabuk memandangi wajah dua orang yang sebentar-sebentar cekikikan menertawakan Dewa Racun itu. Makin lama makin jelas ada perubahan di wajah kedua orang tersebut. Dari pori-pori wajahnya keluar rambut kecil-kecil. Rambut itu makin lama makin cepat bertumbuhnya, sehingga wajah orang itu mulai menghitam samar-samar.
Pemilik kedai dan dua orang di samping depan Suto itu terperangah melihat perubahan di wajah dua orang itu. Bahkan yang berbaju putih berseru, "Kang, Kang...! Kenapa wajah kalian itu? Banyak rambutnya!"
Orang berbaju hitam memandang temannya dan berkata, "Iya. Wajahmu ada rambutnya itu, Min!"
Yang dipanggil Min juga berkata kepada si baju hitam, "Wajahmu sendiri banyak rambutnya, Jo?!"
Lalu, kedua orang itu saling tegang. Mereka mengusap-usap rambut di wajah, mengibas-ngibaskannya, tapi rambut tetap tumbuh dengan cepat. Makin lama makin banyak. Orang itu ketakutan dan panik, ia berdiri dan melepas bajunya. Bajunya digosokkan ke wajah. Tapi pertumbuhan rambut begitu cepat dan semakin lebat. Bahkan bukan hanya di wajahnya saja, melainkan di dada, pundak, lengan, serta sekujur tubuh menjadi berambut lebat. Rambut kepalanya sendiri menjadi meriap panjang.
"Kenapa kita ini, Jo...?! Ooh... gatal sekali! Uuh...!"
"Kita jadi seperti monyet, Min! Aduh, gatal sekali rambut-rambut ini?! Oooh... bagaimana ini, Min?!"
Suasana menjadi gaduh. Kedua orang itu garuk-garuk dan berpola serba salah. Rambut makin menutup sekujur tubuhnya. Mereka jejeritan sambil meraungkan tangis ketakutan. Satu dari mereka lari ke bawah pohon dan menggosok-gosokkan punggungnya dengan batang pohon itu. Temannya pun menyusul, sehingga akhirnya mereka jadi bahan tontonan orang banyak.
"Mungkin dia keracunan kerupuk gendar yang dimakannya tadi!" kata orang berbaju merah, yang duduk di samping orang berbaju putih. Yang berbaju putih menyanggah. "Ah, kurasa kerupuk itu tidak ada racunnya. Buktinya aku juga makan kerupuk itu dan tidak tumbuh rambut seperti mereka!"
Dewa Racun tertawa dengan mulut dibekap pakai tangannya sendiri. Pendekar Mabuk melirik dan membatin, "Tak salah lagi dugaanku, pasti dia yang bikin ulah terhadap dua orang itu. Tapi, biar sajalah. Biar dua orang itu belajar untuk tidak menertawakan kecacatan seseorang. Biar kapok mereka! Cuma... diam-diam hebat juga Dewa Racun ini. Pasti saat ia lemparkan kerupuk tadi, ia sudah salurkan racun di dalam kerupuk yang membuat pertumbuhan bulu kedua orang itu menjadi cepat dan lebat."
Ulah Dewa Racun mendatangkan banyak orang. Mereka menonton kedua orang berbulu itu dengan kasihan dan geli, karena gerakannya menjadi seperti monyet kegatalan. Tontonan itu memancing seseorang untuk datang melihat, dan orang itulah yang ditunggu-tunggu oleh Suto.
Dewa Racun terkesiap sejenak, lalu berbisik pada Suto, "Lihat ooor... orr... orang yang baru ddaaa... daa... datang itu. Dialah... dialah yyyaaah... yyyang namanya Dadung Amuk!"
Suto kerutkan dahi. Setahu Suto, orang tinggi besar yang baru datang itu bernama Singo Bodong, bukan Dadung Amuk. Dan, dipundaknya tidak ada tambang seperti ciri-ciri Dadung Amuk. Maka Suto pun membantah. "Dia bukan Dadung Amuk. Dia yang kukatakan tadi bernama Singo Bodong!"
"Buk... buk... bukan! Dia itu Dadung Amuk. Aaak... aaak... aku pernah ketemu dengan dia. Dddi... dia pasti mengenaliku, Suto! Kaaal... kalau... kalau tidak percaya, cobalah kau panggil dia!"
Orang berkumis tebal yang jari-jarinya besar dan mengenakan gelang akar bahar itu tertawa keras melihat ulah kebingungan dua manusia berbulu itu. "Huaaa, ha ha ha ha...! Ini baru tontonan segar, hua, ha ha ha...!"
Dari tempat duduknya di kedai itu, Suto mengambil sebutir jagung rebus, yang diambilnya dari kumpulan jagung rebus di atas meja. Biji jagung rebus yang lunak itu disentilkan ke betis orang tinggi besar tersebut.
Tasss...! Biji jagung melesat cepat, mengenai betis yang sebesar gedebong pisang. Plik...!
"Aaauh...!" orang tinggi besar itu tiba-tiba menjerit dan jatuh ke tanah dalam keadaan terduduk, ia mengerang sambil memegangi betisnya yang tiba-tiba sakit sekali bagai dipatok ular berbisa, ia meraung sambil memaki-maki kesakitan, "Babi bunting! Siapa yang lempar kakiku pakai batu besar, hah?! Kucing kurap! Kambing kudis! Auuooh.. sakitnya, Diamput!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada Dewa Racun, "Kalau dia orang berilmu tinggi, tak mungkin akan meraung kesakitan hanya terkena sentilan jagung rebus!"
"Aneh?!" gumam Dewa Racun sambil memandangi orang besar itu dengan mata terbengong. Lalu, ia segera bisikan kata pada Suto. "Setahuku, Ddda... Dadung Amuk tidak bisa kesakitan seperti itu. App... aap... apalagi hanya kena sebutir jagung, walau kau isi tenaga dalam, terkena tendangan dadanya ser... ser... seribu kali juga tidak akan mengaduh begitu."
"Itu tandanya dia bukan Dadung Amuk!"
"Tid... tidak... tidak mungkin. Dia pasti Dadung Amuk. Aku kenali suara tawanya tadi!"
Orang-orang yang menonton dua manusia berbulu itu sebagian memandang dan mengerumuni orang besar yang kesakitan dan duduk di tanah. Betis orang itu memar membiru sebesar kelereng. Jelas itu karena tenaga dalam Pendekar Mabuk yang disalurkan melalui sebutir jagung rebus tadi. Jika tidak dialiri tenaga dalam, tak mungkin bisa membekas biru dan membuat orang tinggi besar bagaikan lumpuh seketika. Tapi, tentu saja tenaga dalam itu tidak berbahaya. Suto Sinting tidak ingin mencelaki orang tak bersalah.
"Ada apa ini?!" Suto tampil dengan lagak tidak tahu-menahu.
"Oh, kamu...?! Kebetulan, kakiku sakit sekali, ada yang melemparnya pakai batu besar. Entah siapa orangnya dan entah di mana batunya! Aduuuh... tolong sembuhkan kakiku ini, sepertinya lumpuh dan tak bisa dipakai berdiri lagi!"
"Mungkin kena kencing kodok, Kang!" kata Suto dengan kalem. Kemudian betis itu diperiksanya sebentar, dan tiba-tiba ditepuk dengan keras. Plakkk...!
"Wadooow...!" teriak orang itu dengan mulut lebar menganga. Teriakan itu justru ditertawakan oleh beberapa orang, karena wajah angker orang tinggi besar itu kelihatan lucu dalam keadaan meraung kesakitan begitu.
"Kamu ini bagaimana? Kusuruh menyembuhkan malah ditabok! Dasar murid sinting! Apa begitu perintah gurumu si Gila Tuak jika harus menolong orang?!"
"Maaf, memang begitulah caraku mengobati penyakit seperti ini! Kalau kau tak terima, kukembalikan lagi penyakitnya!" seraya Suto angkat tangannya untuk menabok betis lagi,
"Eeeh, jangan, jangan! Sudah. Sudah cukup...!" orang itu menggerak-gerakkan kakinya. "Hmmm... kok rasa sakitnya jadi hilang seketika? Tadinya urat kakiku terasa kaku, sekarang jadi lemas," sambil ia sentak-sentakkan kakinya ke depan.
Plokkk...!
Tiba-tiba ada orang yang terkena sentakkan kaki itu. Orang itu hanya memekik kecil, lalu mundur. Tidak mengalami luka apa pun. Orang besar itu justru mengomel. "Lain kali kalau ada orang sedang goyang-goyangkan kaki jangan di depannya, tahu?! Kalau kena begitu bukan salah kakinya!"
Orang besar itu berdiri, mencoba berjalan mondar-mandir. Bahkan melonjak-lonjak kecil, ia pun akhirnya nyengir kepada Pendekar Mabuk. "Enteng sekali, Suto! Tak ada rasa sakit sedikit pun! Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Mabuk!"
Lalu, dia segera mendekat dan menepuk-nepuk pundak Suto, "Kapan kau tiba di desa ini? Kapan datangnya, Suto?"
Pendekar Mabuk tidak langsung menjawab, tapi melirik tangan orang itu yang menepuk-nepuk pundaknya. Orang itu cepat-cepat hentikan gerakan tangannya dan menarik tangan sambil cengar-cengir malu.
"Maaf, bukan maksudku berkurang ajar padamu. Aku gembira sekali kau datang dan tentunya kau menceritakan kisah pertempuran tokoh-tokoh di dunia persilatan, seperti waktu di rumahnya Kriyo Suntuk itu, bukan?"
"Apa benar kau yang bernama Singo Bodong?"
"Oh, ya jelas! Jelas!" Singo Bodong busungkan dada. "Orang perkasa begini mana ada lainnya kecuali Singo Bodong! Semua penduduk desa sini tahu kalau orang gagah dan ganteng seperti ini adalah Singo Bodong! Ha ha ha ha...! Ayo kutraktir minum kau! Mau minum Arak Mujolangu atau Tuak Kebalen?"
Dewa Racun garuk-garuk kepala melihat keakraban Pendekar Mabuk dengan orang yang disangkanya Dadung Amuk itu. Di dalam hati Dewa Racun masih membantah penglihatannya.
"Menurutku, orang itu bukan bernama Dadung Amuk," kata Suto dalam perjalanan menuju pantai. "Aku pernah jumpai orang yang berciri-ciri begitu."
"Dddi... di... di mana kamu pernah jumpa orang itu?"
"Di sebuah desa nelayan. Nanti desa itu akan kita lewati."
"App... appa... apakah dia penduduk asli desa itu?"
"Ya. Dia menetap di desa itu!" jawab Suto memastikan diri.
Dewa Racun diam memikirkah jawaban-jawaban Suto. Saat berikutnya ia perdengarkan suara gagapnya lagi, "Set... set... seet... setahuku, Dadung Amuk tidak pernah tinggal menetap di sebuah desa. Ia selalu ikut ke mana pun Siluman Tujuh Nyawa pergi, karena ia termasuk tangan kanannya Siluman Tujuh Nya... Nya... Nyawa! Ilmunya cukup ting... ting... tinggi, karena ia termasuk murid dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Setahuku," kata Pendekar Mabuk setelah diam sesaat, "Orang yang punya ciri-ciri seperti warok, bukan bernama Dadung Amuk, tapi bernama Singo Bodong! Dan dia tidak punya ilmu sedikit pun! Ia orang lugu!"
Pendekar Mabuk ingat saat ia mengejar Peri Malam dan masuk ke sebuah desa, di situ ia menemukan sebuah kedai. Suto mengisi tuaknya di kedai tersebut. Tapi ia diganggu oleh penampilan seseorang yang bertubuh tinggi besar, jarinya ibarat sebesar pisang, semuanya mirip dengan orang yang diceritakan Peramal Pikun. Pendekar Mabuk sempat menumbangkan orang itu, dan orang itu bernama Singo Bodong.
Bahkan waktu bermalam di keluarga Kriyo Suntuk, Singo Bodong ikut hadir sebagai pendengar saat Suto menuturkan kisah kependekaran para tokoh-tokoh dunia persilatan. Singo Bodong ikut dalam kelompok orang-orang pengagum Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).
Jika benar orang yang ciri-cirinya diceritakan oleh Peramal Pikun adalah Singo Bodong, yang mungkin juga bergelar Dadung Amuk, maka Suto benar-benar terkecoh kala itu. Ia menyangka Singo Bodong orang polos dan lugu dalam hal keilmuannya, tapi ternyata justru berilmu tinggi dan berbahaya, ia bisa melumpuhkan Peramal Pikun yang punya ilmu cukup tinggi itu, juga bisa melumpuhkan Perawan Sesat.
Sebab menurut dugaan Dewa Racun, orang yang membunuh Perawan Sesat itu juga orang yang sama dengan yang telah menyerang Peramal Pikun. Luka koyak pada beberapa tubuh Perawan Sesat diduga merupakan luka akibat cambukan, dan Dewa Racun tahu, bahwa Dadung Amuk banyak menggunakan senjata cambuk dalam pertarungannya. Sedangkan setahu Suto, Singo Bodong tidak pernah membawa-bawa cambuk yang berupa tali di pundaknya. Inilah beda gambaran antara Dadung Amuk dengan Singo Bodong.
"Ada apa dia mencariku, sehingga dia membunuh Perawan Sesat dan melukai Peramal Pikun?" tanya Pendekar Mabuk seakan bicara pada dirinya sendiri.
Dewa Racun mendengar dan menanggapinya, "Ku... ku... kurasa, kematian Perawan Sesat tid... tidak ada hubungannya dengan pencarian dirimu. Ku... kurasa nasib perempuan itu hampir sama dengan nasib Peramal Pikun."
"Maksudmu?"
"Per... peeer... perkelahian itu timbul karena Dadung Amuk tersinggung, atau merasa jengkel dengan jaaa... jaaa"
"Janda?"
"Bukan. Jengkel dengan jaaa... jawaban Perawan Sesat. Seb...seeeb...seeb..."
"Sebul?"
"Sebab! Sebab, Dadung Amuk orang yang mudah tersinggung dan cepat marah. Kaaal... kaaal kalau sedang marah, tak segan-segan membunuh orang walaupun perkaranya kee...keee..."
"Kecil!"
"Bukan! Eh, iya... kecil! Perkara kecil bisa bikin Dadung Amuk bunuh ooor...orrr...orrr... "
"Orok?"
"Orang!" sentak Dewa Racun.
"Kau tahu banyak tentang dia rupanya?"
"Kka... kare... karena dia peer... pernah mengamuk di Puri Gerbang Surgawi. Ak... aku... aku pernah terdesak melawannya."
Semakin sangsi hati Suto. Jika benar Singo Bodong itu adalah Dadung Amuk, tak mungkin Dewa Racun terdesak melawan Singo Bodong. Tapi pengakuan Dewa Racun itu agaknya bukan pengakuan yang dibuat-buat. Dia bukan orang yang punya kebiasaan menipu. Jika benar Dadung Amuk itu adalah Singo Bodong, maka wajarlah jika ia mengetahui nama Pendekar Mabuk. Tapi tidak wajar jika dia mencari Suto sampai membunuh Perawan Sesat atau melukai Peramal Pikun.
Langkah Pendekar Mabuk pun terhenti kembali. Kali ini Dewa Racun menabrak Suto dari belakang, karena dia tidak tahu bahwa Suto akan menghentikan langkahnya, ia sempat mengomel, "Lain kali kalau mau berhenti kasih tan... tan tanda! Jadi aku tidak menabrakmu!"
"Kita sudah sampai di batas desa yang kuceritakan tadi."
"Hmmm... kkaal... kalau begitu, mari kita cari orang yang... yang kamu bilang beer... berr... bernama Singo Dobong!"
"Singo Bodong!" Pendekar Mabuk membetulkan.
"O, iya. Singo Bodong!"
"Tak usah jauh-jauh mencarinya," kata Suto. "Kita bisa nongkrong di kedai yang dulu pernah kusinggahi itu. Pasti cepat atau lambat kita bisa bertemu Singo Bodong. Dia suka nongkrong di kedai itu, karena di sana ada jual arak. Singo Bodong suka minum arak. Kita bisa sergap dia di sana!"
Sebuah kedai yang dulu pernah disinggahi Suto, keadaannya masih sama. Bedanya, dulu kedai itu hanya ditunggui oleh pemiliknya seorang perempuan tua kurus. Sekarang perempuan tua itu bersama suaminya, yang juga kurus badannya. Kedai itu mempunyai bentuk meja yang berkeliling dalam bentuk huruf 'U'. Meja itu panjang dan mempunyai bangku yang panjang pula. Saat Suto dan Dewa Racun tiba di kedai itu, di sana sudah ada empat pembeli, dua di meja yang berhadapan dengan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun, dua lagi ada di samping depan Pendekar Mabuk. Seperti biasa, pertama kali yang dilakukan Suto adalah pesan tuak untuk ditambahkan ke dalam bumbung tuaknya.
Dua pembeli yang duduk berseberangan meja dengan Suto selalu cekikikan menertawakan bentuk tubuh kerdil Dewa Racun. Mereka sebentar-sebentar melirik, berbisik, cekikik-cekikik, sambil menikmati makanannya berlalap pete. Dewa Racun menahan kejengkelan hati, sebab ia tahu dirinya ditertawakan. Bahkan yang berbaju hijau berseru kepada pemilik kedai.
"Mak, Mak... tolong ambilkan kerupuk gendar di depan bocah cilik itu, Mak!"
Sebelum pemilik kedai mengambil kerupuk gendar, Dewa Racun sudah lebih dulu mengambilkannya, sambil berkata, "Tak usah merepotkan si Mak, Kang.... Ini kuambil... kuambilkan! Te... te... terimalah!"
Wuuuttt...!
Dewa Racun melemparkan kerupuk gendar kepada si baju hijau. Tangan si baju hijau berkelebat menangkap, claapp...! Ia tersenyum menunjukkan ketangkasannya. "Terima kasih, Nang! Kecil-kecil sudah ringan tangan besok gedenya pasti panjang tangan, he he he...!" si baju hijau tertawa, temannya si baju hitam juga tertawa.
Temannya itu segera memotong kerupuk gendar tersebut, lalu keduanya sama-sama mencaplok kerupuk gendar yang agaknya baru saja digoreng sehingga terdengar kriyuk-kriyuk. Orang berbaju putih yang ada di depan samping Pendekar Mabuk itu jadi kepingin dan dia mengambil sendiri kerupuk itu lalu menyantapnya dengan nikmat.
Pendekar Mabuk diam-diam sudah menaruh curiga pada tindakan Dewa Racun. Mata Pendekar Mabuk memandangi wajah dua orang yang sebentar-sebentar cekikikan menertawakan Dewa Racun itu. Makin lama makin jelas ada perubahan di wajah kedua orang tersebut. Dari pori-pori wajahnya keluar rambut kecil-kecil. Rambut itu makin lama makin cepat bertumbuhnya, sehingga wajah orang itu mulai menghitam samar-samar.
Pemilik kedai dan dua orang di samping depan Suto itu terperangah melihat perubahan di wajah dua orang itu. Bahkan yang berbaju putih berseru, "Kang, Kang...! Kenapa wajah kalian itu? Banyak rambutnya!"
Orang berbaju hitam memandang temannya dan berkata, "Iya. Wajahmu ada rambutnya itu, Min!"
Yang dipanggil Min juga berkata kepada si baju hitam, "Wajahmu sendiri banyak rambutnya, Jo?!"
Lalu, kedua orang itu saling tegang. Mereka mengusap-usap rambut di wajah, mengibas-ngibaskannya, tapi rambut tetap tumbuh dengan cepat. Makin lama makin banyak. Orang itu ketakutan dan panik, ia berdiri dan melepas bajunya. Bajunya digosokkan ke wajah. Tapi pertumbuhan rambut begitu cepat dan semakin lebat. Bahkan bukan hanya di wajahnya saja, melainkan di dada, pundak, lengan, serta sekujur tubuh menjadi berambut lebat. Rambut kepalanya sendiri menjadi meriap panjang.
"Kenapa kita ini, Jo...?! Ooh... gatal sekali! Uuh...!"
"Kita jadi seperti monyet, Min! Aduh, gatal sekali rambut-rambut ini?! Oooh... bagaimana ini, Min?!"
Suasana menjadi gaduh. Kedua orang itu garuk-garuk dan berpola serba salah. Rambut makin menutup sekujur tubuhnya. Mereka jejeritan sambil meraungkan tangis ketakutan. Satu dari mereka lari ke bawah pohon dan menggosok-gosokkan punggungnya dengan batang pohon itu. Temannya pun menyusul, sehingga akhirnya mereka jadi bahan tontonan orang banyak.
"Mungkin dia keracunan kerupuk gendar yang dimakannya tadi!" kata orang berbaju merah, yang duduk di samping orang berbaju putih. Yang berbaju putih menyanggah. "Ah, kurasa kerupuk itu tidak ada racunnya. Buktinya aku juga makan kerupuk itu dan tidak tumbuh rambut seperti mereka!"
Dewa Racun tertawa dengan mulut dibekap pakai tangannya sendiri. Pendekar Mabuk melirik dan membatin, "Tak salah lagi dugaanku, pasti dia yang bikin ulah terhadap dua orang itu. Tapi, biar sajalah. Biar dua orang itu belajar untuk tidak menertawakan kecacatan seseorang. Biar kapok mereka! Cuma... diam-diam hebat juga Dewa Racun ini. Pasti saat ia lemparkan kerupuk tadi, ia sudah salurkan racun di dalam kerupuk yang membuat pertumbuhan bulu kedua orang itu menjadi cepat dan lebat."
Ulah Dewa Racun mendatangkan banyak orang. Mereka menonton kedua orang berbulu itu dengan kasihan dan geli, karena gerakannya menjadi seperti monyet kegatalan. Tontonan itu memancing seseorang untuk datang melihat, dan orang itulah yang ditunggu-tunggu oleh Suto.
Dewa Racun terkesiap sejenak, lalu berbisik pada Suto, "Lihat ooor... orr... orang yang baru ddaaa... daa... datang itu. Dialah... dialah yyyaaah... yyyang namanya Dadung Amuk!"
Suto kerutkan dahi. Setahu Suto, orang tinggi besar yang baru datang itu bernama Singo Bodong, bukan Dadung Amuk. Dan, dipundaknya tidak ada tambang seperti ciri-ciri Dadung Amuk. Maka Suto pun membantah. "Dia bukan Dadung Amuk. Dia yang kukatakan tadi bernama Singo Bodong!"
"Buk... buk... bukan! Dia itu Dadung Amuk. Aaak... aaak... aku pernah ketemu dengan dia. Dddi... dia pasti mengenaliku, Suto! Kaaal... kalau... kalau tidak percaya, cobalah kau panggil dia!"
Orang berkumis tebal yang jari-jarinya besar dan mengenakan gelang akar bahar itu tertawa keras melihat ulah kebingungan dua manusia berbulu itu. "Huaaa, ha ha ha ha...! Ini baru tontonan segar, hua, ha ha ha...!"
Dari tempat duduknya di kedai itu, Suto mengambil sebutir jagung rebus, yang diambilnya dari kumpulan jagung rebus di atas meja. Biji jagung rebus yang lunak itu disentilkan ke betis orang tinggi besar tersebut.
Tasss...! Biji jagung melesat cepat, mengenai betis yang sebesar gedebong pisang. Plik...!
"Aaauh...!" orang tinggi besar itu tiba-tiba menjerit dan jatuh ke tanah dalam keadaan terduduk, ia mengerang sambil memegangi betisnya yang tiba-tiba sakit sekali bagai dipatok ular berbisa, ia meraung sambil memaki-maki kesakitan, "Babi bunting! Siapa yang lempar kakiku pakai batu besar, hah?! Kucing kurap! Kambing kudis! Auuooh.. sakitnya, Diamput!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada Dewa Racun, "Kalau dia orang berilmu tinggi, tak mungkin akan meraung kesakitan hanya terkena sentilan jagung rebus!"
"Aneh?!" gumam Dewa Racun sambil memandangi orang besar itu dengan mata terbengong. Lalu, ia segera bisikan kata pada Suto. "Setahuku, Ddda... Dadung Amuk tidak bisa kesakitan seperti itu. App... aap... apalagi hanya kena sebutir jagung, walau kau isi tenaga dalam, terkena tendangan dadanya ser... ser... seribu kali juga tidak akan mengaduh begitu."
"Itu tandanya dia bukan Dadung Amuk!"
"Tid... tidak... tidak mungkin. Dia pasti Dadung Amuk. Aku kenali suara tawanya tadi!"
Orang-orang yang menonton dua manusia berbulu itu sebagian memandang dan mengerumuni orang besar yang kesakitan dan duduk di tanah. Betis orang itu memar membiru sebesar kelereng. Jelas itu karena tenaga dalam Pendekar Mabuk yang disalurkan melalui sebutir jagung rebus tadi. Jika tidak dialiri tenaga dalam, tak mungkin bisa membekas biru dan membuat orang tinggi besar bagaikan lumpuh seketika. Tapi, tentu saja tenaga dalam itu tidak berbahaya. Suto Sinting tidak ingin mencelaki orang tak bersalah.
"Ada apa ini?!" Suto tampil dengan lagak tidak tahu-menahu.
"Oh, kamu...?! Kebetulan, kakiku sakit sekali, ada yang melemparnya pakai batu besar. Entah siapa orangnya dan entah di mana batunya! Aduuuh... tolong sembuhkan kakiku ini, sepertinya lumpuh dan tak bisa dipakai berdiri lagi!"
"Mungkin kena kencing kodok, Kang!" kata Suto dengan kalem. Kemudian betis itu diperiksanya sebentar, dan tiba-tiba ditepuk dengan keras. Plakkk...!
"Wadooow...!" teriak orang itu dengan mulut lebar menganga. Teriakan itu justru ditertawakan oleh beberapa orang, karena wajah angker orang tinggi besar itu kelihatan lucu dalam keadaan meraung kesakitan begitu.
"Kamu ini bagaimana? Kusuruh menyembuhkan malah ditabok! Dasar murid sinting! Apa begitu perintah gurumu si Gila Tuak jika harus menolong orang?!"
"Maaf, memang begitulah caraku mengobati penyakit seperti ini! Kalau kau tak terima, kukembalikan lagi penyakitnya!" seraya Suto angkat tangannya untuk menabok betis lagi,
"Eeeh, jangan, jangan! Sudah. Sudah cukup...!" orang itu menggerak-gerakkan kakinya. "Hmmm... kok rasa sakitnya jadi hilang seketika? Tadinya urat kakiku terasa kaku, sekarang jadi lemas," sambil ia sentak-sentakkan kakinya ke depan.
Plokkk...!
Tiba-tiba ada orang yang terkena sentakkan kaki itu. Orang itu hanya memekik kecil, lalu mundur. Tidak mengalami luka apa pun. Orang besar itu justru mengomel. "Lain kali kalau ada orang sedang goyang-goyangkan kaki jangan di depannya, tahu?! Kalau kena begitu bukan salah kakinya!"
Orang besar itu berdiri, mencoba berjalan mondar-mandir. Bahkan melonjak-lonjak kecil, ia pun akhirnya nyengir kepada Pendekar Mabuk. "Enteng sekali, Suto! Tak ada rasa sakit sedikit pun! Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Mabuk!"
Lalu, dia segera mendekat dan menepuk-nepuk pundak Suto, "Kapan kau tiba di desa ini? Kapan datangnya, Suto?"
Pendekar Mabuk tidak langsung menjawab, tapi melirik tangan orang itu yang menepuk-nepuk pundaknya. Orang itu cepat-cepat hentikan gerakan tangannya dan menarik tangan sambil cengar-cengir malu.
"Maaf, bukan maksudku berkurang ajar padamu. Aku gembira sekali kau datang dan tentunya kau menceritakan kisah pertempuran tokoh-tokoh di dunia persilatan, seperti waktu di rumahnya Kriyo Suntuk itu, bukan?"
"Apa benar kau yang bernama Singo Bodong?"
"Oh, ya jelas! Jelas!" Singo Bodong busungkan dada. "Orang perkasa begini mana ada lainnya kecuali Singo Bodong! Semua penduduk desa sini tahu kalau orang gagah dan ganteng seperti ini adalah Singo Bodong! Ha ha ha ha...! Ayo kutraktir minum kau! Mau minum Arak Mujolangu atau Tuak Kebalen?"
Dewa Racun garuk-garuk kepala melihat keakraban Pendekar Mabuk dengan orang yang disangkanya Dadung Amuk itu. Di dalam hati Dewa Racun masih membantah penglihatannya.
"Tak mungkin Dadung Amuk seperti ini. Tendangan kakinya yang tak sengaja mengenai orang tadi, membuat orang itu tidak apa-apa. Padahal angin tendangan Dadung Amuk sudah cukup membuat mulut orang menjadi pecah. Baru anginnya saja begitu, apalagi tendangan langsungnya. Hmmm... dia sepertinya memang bukan Dadung Amuk, tapi mataku belum rabun dan belum pikun, aku lihat jelas orang itu adalah Dadung Amuk. Anehnya dia sangat akrab dengan Suto?! Apakah dia mengenaliku juga? Seharusnya dia mengenaliku sebagai orang Puri Gerbang Surgawi, sebab aku pernah bertarung dengannya beberapa waktu yang lalu."
Pendekar Mabuk mengajak Singo Bodong duduk di dalam kedai, dan memperkenalkan Dewa Racun kepada Singo Bodong. "Ini temanku, Dewa Racun julukannya. Dia orang sakti, berilmu tinggi. Jangan coba-coba menghina kekerdilannya, kau bisa dibuat berbulu seperti kedua orang tadi."
"Oh, eh... hmm... ya... aku percaya. Aku tak akan menghina.... Hmmm... kau mau minum juga, Dewa Racun?"
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun, melainkan ia ganti bertanya kepada Singo Bodong, "Bukkk... bukankah kamu yang ber... berr... bernama Dadung Amuk?"
"Bukan. Namaku Singo Bodong," jawab Singo Bodong dengan polos, tanpa ngotot sedikit pun.
"Setahuku kam... kamu Dadung Amuk, orangnya Siluman Tujuh Nyawa!"
Singo Bodong tertawa geli, "Mana ada siluman kok punya tujuh nyawa? Orang mana dia itu?"
"Jja... jang... jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!" sentak Dewa Racun dengan kegeramannya.
Singo Bodong ketakutan dan segera berlindung di belakang Suto. "Kenapa dia galak padaku, Suto?"
Pendekar Mabuk mengajak Singo Bodong duduk di dalam kedai, dan memperkenalkan Dewa Racun kepada Singo Bodong. "Ini temanku, Dewa Racun julukannya. Dia orang sakti, berilmu tinggi. Jangan coba-coba menghina kekerdilannya, kau bisa dibuat berbulu seperti kedua orang tadi."
"Oh, eh... hmm... ya... aku percaya. Aku tak akan menghina.... Hmmm... kau mau minum juga, Dewa Racun?"
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun, melainkan ia ganti bertanya kepada Singo Bodong, "Bukkk... bukankah kamu yang ber... berr... bernama Dadung Amuk?"
"Bukan. Namaku Singo Bodong," jawab Singo Bodong dengan polos, tanpa ngotot sedikit pun.
"Setahuku kam... kamu Dadung Amuk, orangnya Siluman Tujuh Nyawa!"
Singo Bodong tertawa geli, "Mana ada siluman kok punya tujuh nyawa? Orang mana dia itu?"
"Jja... jang... jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!" sentak Dewa Racun dengan kegeramannya.
Singo Bodong ketakutan dan segera berlindung di belakang Suto. "Kenapa dia galak padaku, Suto?"
*
* *
EMPAT
KALAU tidak ditahan Suto, Dewa Racun sudah melancarkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Singo Bodong. Pukulan itu menyentak begitu saja melalui telapak tangan kiri Dewa Racun. Karena Suto berada di depan Singo Bodong, maka pukulan itu dihadang dengan tangan kanan Suto.
Deebb...!
Tubuh Dewa Racun terguncang sedikit, seperti mau jatuh. Tubuh Pendekar Mabuk juga meliuk sedikit ke belakang. Itu pertanda pukulan tenaga dalam yang dilancarkan Dewa Racun cukup besar. Setidaknya dapat membuat dada Singo Bodong memar membiru jika terkena pukulan itu.
"Suto, mengapa temanmu memusuhiku? Aku tidak menghinanya dan tidak pula meremehkan kesaktiannya. Sumpah! Aku tidak menghinanya sedikit pun! Apa salahku hingga dia memusuhi aku?!"
"Tenanglah. Temanku ini tidak suka dengar orang banyak omong!"
"O, ya ya ya...! Aku akan diam," kata Singo Bodong kelihatan sangat ketakutan. Dari raut mukanya saja sudah dapat diketahui, Singo Bodong benar-benar ketakutan hingga wajahnya jadi pucat.
"Dewa Racun, kurasa ada sedikit kesalahpahaman diantara kita. Sebaiknya kita selesaikan dengan baik-baik."
"Aku masih tidak percaya kalau dia buk... buk...bukan Dadung Amuk! Aku kenal betul lagak-lagaknya!"
"Ya. Boleh saja kau beranggapan begitu. Tapi lihat wajah pucatnya. Dia benar-benar takut padamu!"
Dewa Racun perhatikan kepucatan wajah Singo Bodong. Yang diperhatikan sedikit tundukkan kepala alihkan pandangan dengan perasaan takut. Kemudian, terdengar Pendekar Mabuk berbisik lagi,
"Dewa Racun, kita cari tempat yang lebih baik untuk selesaikan perkara ini!"
"Baik!" jawab Dewa Racun dengan wajah bersungut-sungut memendam kejengkelan.
Pendekar Mabuk membawa mereka berdua di perbatasan desa. Di sana ada pohon rindang yang berbentuk seperti payung raksasa. Biasanya pohon itu dipakai meneduh anak-anak penggembala kambing. Tapi kala itu suasana sepi, tak ada anak-anak penggembala kambing.
Mungkin mereka sedang bermain ke pantai yang ada di sebelah utara desa itu. Sebab, sebagian dari penduduk desa itu ada yang hidup sebagai nelayan, ada pula yang bercocok tanam. Yang rumahnya lebih ke utara hidup dengan bernelayan, yang rumahnya lebih ke selatan hidup dengan bercocok tanam atau berternak kambing.
Pendekar Mabuk berhenti melangkah setelah sampai di bawah pohon besar yang rindang mirip payung raksasa itu. Ia selalu memandang ke arah Dewa Racun, karena takut kalau-kalau manusia kerdil itu tiba-tiba menyerang Singo Bodong.
"Suto," kata Singo Bodong. "Aku sangat senang sekali bisa bertemu denganmu. Aku mencarimu ke mana-mana di sekitar pantai tapi kau tidak kutemukan. Aku sangat berharap bisa bertemu dengan kamu. Semula, aku berharap kau izinkan aku ikut kamu ke mana pun kamu pergi. Aku sangat kagum pada kesaktian ilmumu. Aku ingin berguru kepadamu supaya punya simpanan seperti yang kau miliki. Tapi begitu aku merasa dimusuhi oleh temanmu ini, aku jadi tak berani ikut kamu. Aku bisa mati dihajar oleh temanmu, yang walaupun kecil orangnya tapi aku tahu ilmunya tinggi."
"Darimana kau tahu kalau dia berilmu tinggi?" pancing Pendekar Mabuk.
"Dari caranya memandang diriku, dia tak punya rasa takut sedikit pun. Kalau orang tidak punya ilmu tinggi, dia pasti akan takut memandang diriku yang tinggi, besar dan kelihatannya angker ini!"
Sederhana sekali cara berpikirnya, pikir Pendekar Mabuk tapi ia mempercayai pendapat Singo Bodong, ia pun segera berkata kepada Dewa Racun, "Kurasa kau sudah mendengar sendiri kata-katanya tadi, Dewa Racun. Dia takut padamu."
"It... itu... itu hanya pura-pura saja! Ak... aku... aku masih ingin menjajalnya. Dia akan kupaksa agar menunjukkan ilmunya kepada kit... kit... kita!"
"Jangan. Itu berbahaya. Dia bisa mati karena pukulanmu tadi!"
"Om...om... om "
"Ompong?!"
"Omong kosong!" sentak Dewa Racun. "Dii... dia bisa menangkisnya sendiri. Kal... kalau... kalau tidak percaya, hhiiah!"
Tiba-tiba Dewa Racun sentakkan dua tangannya dari atas ke depan sambil kedua kakinya menghentak bumi. Gerakan itu begitu cepat dan mengagetkan Suto Sinting. Tenaga dalam dihempaskan dari kedua tangan dan dibarengi oleh hentakan kaki ke bumi.
Singo Bodong yang masih terbengong tiba-tiba terlempar ke belakang tujuh langkah jauhnya. Tubuhnya bagaikan terbang dengan membungkuk ke depan, dan akhirnya jatuh terkapar sambil meraung keras-keras, ia terbatuk-batuk di sana dan memuntahkan darah kental dari mulutnya. Darah itu tak banyak namun membuat Suto cemas.
Suto bergegas menghampirinya. Menarik tangan Singo Bodong hingga terduduk di tempat. Mata orang tinggi besar berkumis melintang itu terbeliak-beliak bagai sedang sekarat. Suto cepat tempelkan tangan kanannya ke punggung orang itu. Hawa murni disalurkan lewat punggung Singo Bodong. Kejap berikutnya, Singo Bodong hempaskan napas panjang-panjang, lalu terengah-engah. Padahal tadi ia tak bisa bernapas dan tersengal-sengal.
"Adduuh... apa salahku, Suto?" ratapnya dengan nada sangat menderita sekali. "Kau bawa aku kemari hanya untuk kau siksa begini. Sebaiknya aku pulang saja, Suto!"
"Maafkan temanku itu. Dia salah duga. Kau disangka Dadung Amuk."
"Dadung Amuk, Dadung Amuk, mukanya kusut itu yang seperti dadung sedang mengamuk!" gerutu Singo Bodong, (dadung = tali tambang).
Dewa Racun tertegun diam memandangi Pendekar Mabuk melangkah bersama Singo Bodong ke arah bawah pohon. Dewa Racun hanya membatin, "Cukup berbahaya pukulanku tadi. Tak mungkin ia biarkan begitu saja. Mestinya ia tangkis walau secara diam-diam. Tapi darah yang keluar dari mulutnya itu menandakan pukulanku kena pada sasaran. Kalau tidak segera ditolong Suto, bisa mati dia! Apakah dia memang bukan Dadung Amuk? Rasa-rasanya sulit aku mempercayai dirinya bukan Dadung Amuk?!"
Suto Sinting berbisik kepada Dewa Racun, "Kurasa sudah cukup, jangan kau jajal lagi ilmunya. Dia kosong. Tidak punya ilmu apa-apa."
"Jang... jang... jangan mudah tertipu oleh permainan liciknya, Suto," balas Dewa Racun berbisik.
"Waktu kusalurkan hawa murni di dalam tubuhnya, aku tidak merasakan getaran membalik sedikit pun. Itu tandanya dia kosong, seperti gentong tanpa isi."
"Benarkah?!"
"Ya. Aku bukan ada di pihaknya! Aku hanya ingin mencegah agar jangan terjadi kesalahpahaman yang menimbulkan korban."
Dewa Racun tarik napas, mengangkat pundaknya pertanda pasrah pada keputusan Suto Sinting. Kemudian ia dekati Singo Bodong dengan maksud mau minta maaf. Tapi Singo Bodong bergerak lari ke belakang pohon dengan ketakutan. Gerakannya itu menimbulkan kaget bagi si kerdil Dewa Racun, sehingga Dewa Racun pasang kuda-kuda dan siap menyerang dengan pukulan jarak jauhnya.
"Tahan...!" sentak Suto cepat-cepat.
"Suto, aku mau pulang saja!" kata Singo Bodong dengan wajah makin merasa ngeri berada di depan Dewa Racun.
"Jangan bikin dia ketakutan dulu kalau kau mau tahu bagaimana keadaan sebenarnya." kata Suto kepada Dewa Racun.
"Kkku... kupikir dia mau menyerangku," kata Dewa Racun dengan tersipu malu. Melihat ada senyum malu di bibir Dewa Racun, Singo Bodong sedikit lega. Ketika Suto memanggilnya, ia pun mendekat. Dewa Racun segera berkata kepada Singo Bodong,
"Maafkan aku. Kau memang mirip sekali dengan bekas mus... mus... musuhku!"
"Aku merasa tidak bermusuhan denganmu."
"Kkau... kau berkata dde... dengan sungguh-sungguh?"
"Sumpah! Berani disambar janda terbang atau apa saja, aku bukan musuhmu. Mak... mak... maksudku aku tidak pernah bermusuhan deng... denganmu!"
"Hai! Jang... jangan... jangan ikut-ikutan gagap kamu!" gertak Dewa Racun.
"Aku bukan ikut-ikutan gagap. Ak... aku... aku takut sama kamu!"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengarnya. Yang satu memang gagap omongannya, yang satu gagap karena gugup. Keringat dingin Singo Bodong sampai keluar semua karena ia duduk berhadapan dengan Dewa Racun yang berdiri, ia merasa ngeri kalau sewaktu-waktu wajahnya menjadi tempat tamparan atau tendangan orang kerdil itu, sehingga ia gugup menghadapi Dewa Racun.
"Jad... jadi... jadi kamu bukan Dadung Amuk?"
"Buk... buk... bukan! Summ... sumpah!"
"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk tertawa terbahak-bahak melihat kedua orang itu. Yang satu kecil tapi berani, yang satu besar tapi penakut. Sungguh keadaan yang menggelikan buat Suto. Setelah tawa dan kegelian itu reda, Suto bertanya pada Singo Bodong, "Apakah kau belum pernah mendengar nama Dadung Amuk?"
"Belum, Suto."
"Apakah di sini ada yang bernama Dadung Amuk?"
"Seingatku, tidak ada yang bernama Dadung Amuk didesa ini."
"Kal... kalau... kalau orang yang mirip kamu, apa ada di desa ini, Sing... Sing... Sing... Singo Bodong?"
"Tidak ada. Tidak ada orang yang mirip aku di sini!" kemudian Singo Bodong berbisik kepada Suto, "Aku capek kalau dia ngomong."
"Ssst...!" Suto mengingatkan, Singo Bodong segera diam.
"Tap... tapi... tapi tadi di sana kudengar kamu mencari-cari Suto sam... sampai ke mana-mana. Apakah benar begitu?"
"Ya. Benar."
"Da... Dadung Amuk jug... juga mencari-cari Suto!"
"Apa perlunya dia mencari Suto? Kurasa berbeda dengan keperluanku mencari Suto," jawab Singo Bodong.
"Ap... apa... apa perlumu mencari Suto?"
"Mmmmau... mau berguru!" jawab Singo Bodong dengan masih menyimpan rasa waswas, takut dipukul orang kerdil itu.
"Mmme... meng... mengapa kamu mau berguru kepada Suto?"
"Sebab... sebab... sebab Suto sakti. Pendekar Mabuk punya ilmu tinggi. Aku kepingin seperti Pendekar Mabuk. Kalau perlu aku mau cari si Gila Tuak, dan menjadi muridnya juga, seperti Suto. Ak... aku... aku malu jadi orang besar dan berwajah angker begini, tapi tak bisa mainkan jurus sedikit pun. Ak... aku... aku malu pada diriku sendiri."
Plakkk...!
"Jangan ikut-ikutan gagap, nanti aku tersinggung!" kata Dewa Racun sambil menampar pelan pipi Singo Bodong.
Yang ditampar kaget dan segera menggeser duduknya agak menjauh, sambil mengusap-usap pipinyayang pedas karena tamparan tangan kecil berbobot besar.
Pendekar Mabuk segera berkata kepada Dewa Racun, "Dewa Racun, ada yang ingin kubicarakan sebentar denganmu."
Setelah itu Suto melangkah agak menjauhi Singo Bodong. Dewa Racun segera mendekati. Suto segera jongkok biar bisik-bisiknya jelas di telinga Dewa Racun, "Aku punya gagasan untuk membawa serta Singo Bodong ke mana pun kita pergi."
"Apa... apa mak... mak... maksudmu membawa dia?" bisik Dewa Racun.
"Kalau dia bersama kita terus, segala gerak-geriknya bisa kita awasi, sehingga kita tahu apakah dia berpura-pura bodoh atau memang bodoh. Selain itu, kita bisa membatasi gerakan Dadung Amuk agar tidak melakukan pembantaian terhadap siapa pun, kalau memang ternyata Singo Bodong adalah Dadung Amuk."
"Hmmm... ya, ak... ak... aku tahu maksudmu sekarang. Jadi, kita tidak boleh kelihatan men... men... mencurigai dia. Ada baiknya kalau nanti kita berpura-pura lengah, sup... supaya dia terpancing dengan jati dirinya. Tap... tapi kalau dia memang bukan Dadung Amu dan... dan memang Singo Bodong yang bodoh dan penakut, apakah dia tidak akan menambah beb... beb... beban kita?"
"Kit... kita bisa gunakan tenaga kasarnya," jawab Suto agak terbawa gagap. Akhirnya ia tertawa sendiri karena kegagapannya itu benar-benar tidak disadari.
Kepada Singo Bodong, Suto berkata, "Singo Bodong, aku dan Dewa Racun mau pergi menyeberang lautan. Apakah kau mau ikut kami?!"
"Iyyy... iya! Mau! Mmmmau... mau sekali!" sambil berdiri penuh semangat.
Tapi Dewa Racun menggerutu, "Dia ikut-ikutan gagap disengaja atau tidak disengaja?!"
"Dia kegirangan. Wajar kalau gagap sedikit. Jangan tersinggung."
Pendekar Mabuk ganti bicara pada Singo Bodong, "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!"
"Hmmm... tapi... tapi bolehkah aku pulang sebentar, Suto? Aku harus pamit pada ibuku dulu, supaya dia tahu ke mana aku pergi!"
"Jabang bayi! Sud... sudah tua begitu kalau pergi mass... masih harus pamit ibunya segala!" kata Dewa Racun.
"Soalnya, ibuku hanya tinggal sendirian di rumah."
"Tak ada temannya?"
"Ada. Adik perempuanku. Yah, cuma adik perempuanku yang menemani ibuku. Adik perempuanku dan suaminya, dan keenam anaknya, dan dua adik iparnya!"
"Itu namanya tidak sendirian! Ibumu banyak teman!" kata Pendekar Mabuk sedikit membentak dan menahan rasa geli. "Ya, sudah... cepatlah pulang dan bawa makanan kalau memang ada."
"Singkong rebus! Ibuku punya singkong rebus yang tadi pagi tidak laku dijual. Apa kalian mau?"
"Ambil saa... saa... saja!" jawab Dewa Racun berlagak acuh tak acuh tapi kelihatan butuh.
Singo Bodong berlari seperti kerbau kebakaran ekor. Tak ada tenaga peringan tubuh sedikit pun yang digunakan dalam larinya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sengaja memperhatikan larinya untuk meneliti kebenaran jati diri Singo Bodong.
"Orang berilmu tinggi tidak mungkin berlari seperti itu," kata Suto bersuara lirih.
"Kalau dia pintar bersandiwara, jelas dia akan berlari seperti itu di depp... deep... depan kita!"
Terdengar Suto berkata lagi tanpa memandang Dewa Racun. "Bagaimana mengenai wajah pucatnya? Apakah orang bersandiwara bisa memainkan wajah pucat dengan sendirinya? Apakah wajah pucat bisa timbul pada diri orang yang berpura-pura takut?"
"Memm... memm... memang tidak bisa. Tap... tapi kalau dia pandai berpura-pura, wajah pucat bis... bis... bisa keluar dengan sen... sendirinya."
Suto Sinting duduk di sebuah batu yang licin, dibawah pohon. Batu itu agaknya sudah sering digunakan duduk oleh para penggembala, ia mengambil bumbung dan menenggak tuak beberapa teguk. Napas dihempas lepas, Suto berkata bebas,
Pendekar Mabuk berhenti melangkah setelah sampai di bawah pohon besar yang rindang mirip payung raksasa itu. Ia selalu memandang ke arah Dewa Racun, karena takut kalau-kalau manusia kerdil itu tiba-tiba menyerang Singo Bodong.
"Suto," kata Singo Bodong. "Aku sangat senang sekali bisa bertemu denganmu. Aku mencarimu ke mana-mana di sekitar pantai tapi kau tidak kutemukan. Aku sangat berharap bisa bertemu dengan kamu. Semula, aku berharap kau izinkan aku ikut kamu ke mana pun kamu pergi. Aku sangat kagum pada kesaktian ilmumu. Aku ingin berguru kepadamu supaya punya simpanan seperti yang kau miliki. Tapi begitu aku merasa dimusuhi oleh temanmu ini, aku jadi tak berani ikut kamu. Aku bisa mati dihajar oleh temanmu, yang walaupun kecil orangnya tapi aku tahu ilmunya tinggi."
"Darimana kau tahu kalau dia berilmu tinggi?" pancing Pendekar Mabuk.
"Dari caranya memandang diriku, dia tak punya rasa takut sedikit pun. Kalau orang tidak punya ilmu tinggi, dia pasti akan takut memandang diriku yang tinggi, besar dan kelihatannya angker ini!"
Sederhana sekali cara berpikirnya, pikir Pendekar Mabuk tapi ia mempercayai pendapat Singo Bodong, ia pun segera berkata kepada Dewa Racun, "Kurasa kau sudah mendengar sendiri kata-katanya tadi, Dewa Racun. Dia takut padamu."
"It... itu... itu hanya pura-pura saja! Ak... aku... aku masih ingin menjajalnya. Dia akan kupaksa agar menunjukkan ilmunya kepada kit... kit... kita!"
"Jangan. Itu berbahaya. Dia bisa mati karena pukulanmu tadi!"
"Om...om... om "
"Ompong?!"
"Omong kosong!" sentak Dewa Racun. "Dii... dia bisa menangkisnya sendiri. Kal... kalau... kalau tidak percaya, hhiiah!"
Tiba-tiba Dewa Racun sentakkan dua tangannya dari atas ke depan sambil kedua kakinya menghentak bumi. Gerakan itu begitu cepat dan mengagetkan Suto Sinting. Tenaga dalam dihempaskan dari kedua tangan dan dibarengi oleh hentakan kaki ke bumi.
Singo Bodong yang masih terbengong tiba-tiba terlempar ke belakang tujuh langkah jauhnya. Tubuhnya bagaikan terbang dengan membungkuk ke depan, dan akhirnya jatuh terkapar sambil meraung keras-keras, ia terbatuk-batuk di sana dan memuntahkan darah kental dari mulutnya. Darah itu tak banyak namun membuat Suto cemas.
Suto bergegas menghampirinya. Menarik tangan Singo Bodong hingga terduduk di tempat. Mata orang tinggi besar berkumis melintang itu terbeliak-beliak bagai sedang sekarat. Suto cepat tempelkan tangan kanannya ke punggung orang itu. Hawa murni disalurkan lewat punggung Singo Bodong. Kejap berikutnya, Singo Bodong hempaskan napas panjang-panjang, lalu terengah-engah. Padahal tadi ia tak bisa bernapas dan tersengal-sengal.
"Adduuh... apa salahku, Suto?" ratapnya dengan nada sangat menderita sekali. "Kau bawa aku kemari hanya untuk kau siksa begini. Sebaiknya aku pulang saja, Suto!"
"Maafkan temanku itu. Dia salah duga. Kau disangka Dadung Amuk."
"Dadung Amuk, Dadung Amuk, mukanya kusut itu yang seperti dadung sedang mengamuk!" gerutu Singo Bodong, (dadung = tali tambang).
Dewa Racun tertegun diam memandangi Pendekar Mabuk melangkah bersama Singo Bodong ke arah bawah pohon. Dewa Racun hanya membatin, "Cukup berbahaya pukulanku tadi. Tak mungkin ia biarkan begitu saja. Mestinya ia tangkis walau secara diam-diam. Tapi darah yang keluar dari mulutnya itu menandakan pukulanku kena pada sasaran. Kalau tidak segera ditolong Suto, bisa mati dia! Apakah dia memang bukan Dadung Amuk? Rasa-rasanya sulit aku mempercayai dirinya bukan Dadung Amuk?!"
Suto Sinting berbisik kepada Dewa Racun, "Kurasa sudah cukup, jangan kau jajal lagi ilmunya. Dia kosong. Tidak punya ilmu apa-apa."
"Jang... jang... jangan mudah tertipu oleh permainan liciknya, Suto," balas Dewa Racun berbisik.
"Waktu kusalurkan hawa murni di dalam tubuhnya, aku tidak merasakan getaran membalik sedikit pun. Itu tandanya dia kosong, seperti gentong tanpa isi."
"Benarkah?!"
"Ya. Aku bukan ada di pihaknya! Aku hanya ingin mencegah agar jangan terjadi kesalahpahaman yang menimbulkan korban."
Dewa Racun tarik napas, mengangkat pundaknya pertanda pasrah pada keputusan Suto Sinting. Kemudian ia dekati Singo Bodong dengan maksud mau minta maaf. Tapi Singo Bodong bergerak lari ke belakang pohon dengan ketakutan. Gerakannya itu menimbulkan kaget bagi si kerdil Dewa Racun, sehingga Dewa Racun pasang kuda-kuda dan siap menyerang dengan pukulan jarak jauhnya.
"Tahan...!" sentak Suto cepat-cepat.
"Suto, aku mau pulang saja!" kata Singo Bodong dengan wajah makin merasa ngeri berada di depan Dewa Racun.
"Jangan bikin dia ketakutan dulu kalau kau mau tahu bagaimana keadaan sebenarnya." kata Suto kepada Dewa Racun.
"Kkku... kupikir dia mau menyerangku," kata Dewa Racun dengan tersipu malu. Melihat ada senyum malu di bibir Dewa Racun, Singo Bodong sedikit lega. Ketika Suto memanggilnya, ia pun mendekat. Dewa Racun segera berkata kepada Singo Bodong,
"Maafkan aku. Kau memang mirip sekali dengan bekas mus... mus... musuhku!"
"Aku merasa tidak bermusuhan denganmu."
"Kkau... kau berkata dde... dengan sungguh-sungguh?"
"Sumpah! Berani disambar janda terbang atau apa saja, aku bukan musuhmu. Mak... mak... maksudku aku tidak pernah bermusuhan deng... denganmu!"
"Hai! Jang... jangan... jangan ikut-ikutan gagap kamu!" gertak Dewa Racun.
"Aku bukan ikut-ikutan gagap. Ak... aku... aku takut sama kamu!"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengarnya. Yang satu memang gagap omongannya, yang satu gagap karena gugup. Keringat dingin Singo Bodong sampai keluar semua karena ia duduk berhadapan dengan Dewa Racun yang berdiri, ia merasa ngeri kalau sewaktu-waktu wajahnya menjadi tempat tamparan atau tendangan orang kerdil itu, sehingga ia gugup menghadapi Dewa Racun.
"Jad... jadi... jadi kamu bukan Dadung Amuk?"
"Buk... buk... bukan! Summ... sumpah!"
"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk tertawa terbahak-bahak melihat kedua orang itu. Yang satu kecil tapi berani, yang satu besar tapi penakut. Sungguh keadaan yang menggelikan buat Suto. Setelah tawa dan kegelian itu reda, Suto bertanya pada Singo Bodong, "Apakah kau belum pernah mendengar nama Dadung Amuk?"
"Belum, Suto."
"Apakah di sini ada yang bernama Dadung Amuk?"
"Seingatku, tidak ada yang bernama Dadung Amuk didesa ini."
"Kal... kalau... kalau orang yang mirip kamu, apa ada di desa ini, Sing... Sing... Sing... Singo Bodong?"
"Tidak ada. Tidak ada orang yang mirip aku di sini!" kemudian Singo Bodong berbisik kepada Suto, "Aku capek kalau dia ngomong."
"Ssst...!" Suto mengingatkan, Singo Bodong segera diam.
"Tap... tapi... tapi tadi di sana kudengar kamu mencari-cari Suto sam... sampai ke mana-mana. Apakah benar begitu?"
"Ya. Benar."
"Da... Dadung Amuk jug... juga mencari-cari Suto!"
"Apa perlunya dia mencari Suto? Kurasa berbeda dengan keperluanku mencari Suto," jawab Singo Bodong.
"Ap... apa... apa perlumu mencari Suto?"
"Mmmmau... mau berguru!" jawab Singo Bodong dengan masih menyimpan rasa waswas, takut dipukul orang kerdil itu.
"Mmme... meng... mengapa kamu mau berguru kepada Suto?"
"Sebab... sebab... sebab Suto sakti. Pendekar Mabuk punya ilmu tinggi. Aku kepingin seperti Pendekar Mabuk. Kalau perlu aku mau cari si Gila Tuak, dan menjadi muridnya juga, seperti Suto. Ak... aku... aku malu jadi orang besar dan berwajah angker begini, tapi tak bisa mainkan jurus sedikit pun. Ak... aku... aku malu pada diriku sendiri."
Plakkk...!
"Jangan ikut-ikutan gagap, nanti aku tersinggung!" kata Dewa Racun sambil menampar pelan pipi Singo Bodong.
Yang ditampar kaget dan segera menggeser duduknya agak menjauh, sambil mengusap-usap pipinyayang pedas karena tamparan tangan kecil berbobot besar.
Pendekar Mabuk segera berkata kepada Dewa Racun, "Dewa Racun, ada yang ingin kubicarakan sebentar denganmu."
Setelah itu Suto melangkah agak menjauhi Singo Bodong. Dewa Racun segera mendekati. Suto segera jongkok biar bisik-bisiknya jelas di telinga Dewa Racun, "Aku punya gagasan untuk membawa serta Singo Bodong ke mana pun kita pergi."
"Apa... apa mak... mak... maksudmu membawa dia?" bisik Dewa Racun.
"Kalau dia bersama kita terus, segala gerak-geriknya bisa kita awasi, sehingga kita tahu apakah dia berpura-pura bodoh atau memang bodoh. Selain itu, kita bisa membatasi gerakan Dadung Amuk agar tidak melakukan pembantaian terhadap siapa pun, kalau memang ternyata Singo Bodong adalah Dadung Amuk."
"Hmmm... ya, ak... ak... aku tahu maksudmu sekarang. Jadi, kita tidak boleh kelihatan men... men... mencurigai dia. Ada baiknya kalau nanti kita berpura-pura lengah, sup... supaya dia terpancing dengan jati dirinya. Tap... tapi kalau dia memang bukan Dadung Amu dan... dan memang Singo Bodong yang bodoh dan penakut, apakah dia tidak akan menambah beb... beb... beban kita?"
"Kit... kita bisa gunakan tenaga kasarnya," jawab Suto agak terbawa gagap. Akhirnya ia tertawa sendiri karena kegagapannya itu benar-benar tidak disadari.
Kepada Singo Bodong, Suto berkata, "Singo Bodong, aku dan Dewa Racun mau pergi menyeberang lautan. Apakah kau mau ikut kami?!"
"Iyyy... iya! Mau! Mmmmau... mau sekali!" sambil berdiri penuh semangat.
Tapi Dewa Racun menggerutu, "Dia ikut-ikutan gagap disengaja atau tidak disengaja?!"
"Dia kegirangan. Wajar kalau gagap sedikit. Jangan tersinggung."
Pendekar Mabuk ganti bicara pada Singo Bodong, "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!"
"Hmmm... tapi... tapi bolehkah aku pulang sebentar, Suto? Aku harus pamit pada ibuku dulu, supaya dia tahu ke mana aku pergi!"
"Jabang bayi! Sud... sudah tua begitu kalau pergi mass... masih harus pamit ibunya segala!" kata Dewa Racun.
"Soalnya, ibuku hanya tinggal sendirian di rumah."
"Tak ada temannya?"
"Ada. Adik perempuanku. Yah, cuma adik perempuanku yang menemani ibuku. Adik perempuanku dan suaminya, dan keenam anaknya, dan dua adik iparnya!"
"Itu namanya tidak sendirian! Ibumu banyak teman!" kata Pendekar Mabuk sedikit membentak dan menahan rasa geli. "Ya, sudah... cepatlah pulang dan bawa makanan kalau memang ada."
"Singkong rebus! Ibuku punya singkong rebus yang tadi pagi tidak laku dijual. Apa kalian mau?"
"Ambil saa... saa... saja!" jawab Dewa Racun berlagak acuh tak acuh tapi kelihatan butuh.
Singo Bodong berlari seperti kerbau kebakaran ekor. Tak ada tenaga peringan tubuh sedikit pun yang digunakan dalam larinya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sengaja memperhatikan larinya untuk meneliti kebenaran jati diri Singo Bodong.
"Orang berilmu tinggi tidak mungkin berlari seperti itu," kata Suto bersuara lirih.
"Kalau dia pintar bersandiwara, jelas dia akan berlari seperti itu di depp... deep... depan kita!"
Terdengar Suto berkata lagi tanpa memandang Dewa Racun. "Bagaimana mengenai wajah pucatnya? Apakah orang bersandiwara bisa memainkan wajah pucat dengan sendirinya? Apakah wajah pucat bisa timbul pada diri orang yang berpura-pura takut?"
"Memm... memm... memang tidak bisa. Tap... tapi kalau dia pandai berpura-pura, wajah pucat bis... bis... bisa keluar dengan sen... sendirinya."
Suto Sinting duduk di sebuah batu yang licin, dibawah pohon. Batu itu agaknya sudah sering digunakan duduk oleh para penggembala, ia mengambil bumbung dan menenggak tuak beberapa teguk. Napas dihempas lepas, Suto berkata bebas,
"Orang itu memang aneh dan membingungkan. Kalau tidak ada penjelasan darimu tentang Dadung Amuk, aku tidak akan terheran-heran dan bingung sendiri seperti saat ini. Separo hatiku percaya bahwa dia adalah Singo Bodong, tapi separo hatiku sangsi. Hanya saja aku lebih mengikuti separo hatiku yang percaya bahwa dia Singo Bodong."
"Sep... sep... separo hatiku juga sangsi, tapi separo hatiku percaya bahwa dia Dadung Amuk, dan akk... ak cenderung mengikuti separo hatiku, bah... bah... bahwa dia adalah Dadung Amuk. Bedanya hanya pada tali saja! Kal... kalau dia menggantungkan tali di pundaknya ak... aku tak sangsi lagi kalau dia adalah Dadung Amuk. Dan... dan... hei, aku jadi punya curiga lain, Suto!"
"Curiga akan hal apa? Wajahmu jadi tegang, Dewa Racun?!"
"Jaaa... jang... jangan-jangan, dia melarikan diri karena kita telah tahu kedoknya, bahwa dia addda... adalah Dadung Amuk?!"
"Melarikan diri?"
"lyyy... iyaa.... Dia melarikan diri dan mencari kelengahanmu untuk menyerangmu dari belakang! Aku menyusulnya ke sana!" Dewa Racun cepat sentakkan kaki dan melesat pergi.
Suto terperanjat dan berseru, "Mau ke mana kau?"
"Mencari rumah Singo Bodong dan membuktikan bahwa ddiii... dia tidak melarikan diiir... diiir... diri! tetaplah di situ, aku segera daaa... datang bersamanya!"
Tak sempat Suto punya pertimbangan lain, Dewa Racun sudah menghilang. Dalam kesendiriannya di bawah pohon itu, Pendekar Mabuk merenungkan kejadian eneh tersebut. Suto membatin, "Ada benarnya dugaan Dewa Racun. Kalau memang Singo Bodong adalah Dadung Amuk, bisa jadi dia melarikan diri dan tak mau menemuiku. Tapi dia akan menghantamku dari belakang, tapi apa mungkin hal itu akan terjadi? Belum tentu Dadung Amuk bermusuhan denganku. Siapa tahu dia mencariku untuk satu keperluan. Hanya karena jawaban Peramal Pikun waktu itu menyinggung perasaannya, maka dia jadi marah dan mengamuk seperti itu. Ah, semuanya serba tak jelas. Apa perlunya Dadung Amuk mencariku, juga tak jelas. Mengapa ia membunuh Perawan Sesat, juga belum pasti karena kesalahan bicara. Mungkin punya alasan lain. Mungkin malah bukan Dadung Amuk yang membunuhnya. Sebaiknya aku tak perlu terlalu gampang mengambil kesimpulan. Aku tak perlu gegabah dalam bertindak. Tapi, bagaimanapun juga aku harus bisa bertemu dengan Dadung Amuk yang sebenarnya, supaya persoalan ini menjadi gamblang. Setelah itu, baru aku berangkat ke Pulau Serindu."
Pendekar Mabuk hempaskan napas panjang. Dewa Racun belum muncul juga bersama Singo Bodong. Apakah ada masalah di sana? Jangan-jangan Dewa Racun yang sangat penasaran itu menjajal ilmunya Singo Bodong hingga terjadi keributan? Itu yang mencemaskan hati Suto.
"Sep... sep... separo hatiku juga sangsi, tapi separo hatiku percaya bahwa dia Dadung Amuk, dan akk... ak cenderung mengikuti separo hatiku, bah... bah... bahwa dia adalah Dadung Amuk. Bedanya hanya pada tali saja! Kal... kalau dia menggantungkan tali di pundaknya ak... aku tak sangsi lagi kalau dia adalah Dadung Amuk. Dan... dan... hei, aku jadi punya curiga lain, Suto!"
"Curiga akan hal apa? Wajahmu jadi tegang, Dewa Racun?!"
"Jaaa... jang... jangan-jangan, dia melarikan diri karena kita telah tahu kedoknya, bahwa dia addda... adalah Dadung Amuk?!"
"Melarikan diri?"
"lyyy... iyaa.... Dia melarikan diri dan mencari kelengahanmu untuk menyerangmu dari belakang! Aku menyusulnya ke sana!" Dewa Racun cepat sentakkan kaki dan melesat pergi.
Suto terperanjat dan berseru, "Mau ke mana kau?"
"Mencari rumah Singo Bodong dan membuktikan bahwa ddiii... dia tidak melarikan diiir... diiir... diri! tetaplah di situ, aku segera daaa... datang bersamanya!"
Tak sempat Suto punya pertimbangan lain, Dewa Racun sudah menghilang. Dalam kesendiriannya di bawah pohon itu, Pendekar Mabuk merenungkan kejadian eneh tersebut. Suto membatin, "Ada benarnya dugaan Dewa Racun. Kalau memang Singo Bodong adalah Dadung Amuk, bisa jadi dia melarikan diri dan tak mau menemuiku. Tapi dia akan menghantamku dari belakang, tapi apa mungkin hal itu akan terjadi? Belum tentu Dadung Amuk bermusuhan denganku. Siapa tahu dia mencariku untuk satu keperluan. Hanya karena jawaban Peramal Pikun waktu itu menyinggung perasaannya, maka dia jadi marah dan mengamuk seperti itu. Ah, semuanya serba tak jelas. Apa perlunya Dadung Amuk mencariku, juga tak jelas. Mengapa ia membunuh Perawan Sesat, juga belum pasti karena kesalahan bicara. Mungkin punya alasan lain. Mungkin malah bukan Dadung Amuk yang membunuhnya. Sebaiknya aku tak perlu terlalu gampang mengambil kesimpulan. Aku tak perlu gegabah dalam bertindak. Tapi, bagaimanapun juga aku harus bisa bertemu dengan Dadung Amuk yang sebenarnya, supaya persoalan ini menjadi gamblang. Setelah itu, baru aku berangkat ke Pulau Serindu."
Pendekar Mabuk hempaskan napas panjang. Dewa Racun belum muncul juga bersama Singo Bodong. Apakah ada masalah di sana? Jangan-jangan Dewa Racun yang sangat penasaran itu menjajal ilmunya Singo Bodong hingga terjadi keributan? Itu yang mencemaskan hati Suto.
Maka, Suto pun bergegas untuk menyusul ke pertengahan desa mencari Singo Bodong atau Dewa Racun, ia harus mencegah rasa penasaran Dewa Racun, cupaya tidak timbul korban salah paham. Tetapi baru saja Suto Sinting berdiri sambil membetulkan letak bumbung tuaknya di punggung, tiba-tiba ia melihat seorang bertubuh besar melompat lari ke arah kaki bukit di depan Suto. Cepat-cepat Suto menggumam dalam batinnya,
"O, rupanya Singo Bodong hanya ganti pakaian, yang semula hitam sekarang ganti pakai baju merah. Tapi celananya masih hitam juga. Tapi... tapi mengapa dia membawa tambang? Gulungan tambang itu digantungkan di pundak seperti tas gantung saja. Mau apa dia membawa tambang? Mau gali sumur atau mau tebang pohon? Oh, dia menuju kemari. Rupanya dia hampir lupa menghampiriku di sini. Eh, tapi di mana Dewa Racun? Mengapa dia tidak bersama Dewa Racun?"
Pendekar Mabuk menjadi semakin curiga melihat gerakan Singo Bodong berbaju merah. Gerakan itu cepat dan ringan, tidak seperti kerbau kebakaran ekornya. Kejap berikutnya, Singo Bodong berbaju merah tanpa dikancingkan itu sudah berada di depan Suto. Matanya lebar, seperti biasanya. Alisnya tebal, kumisnya juga tebal melintang. Tapi kali ini Singo Bodong berbaju komprang merah itu menatap Suto dengan sedikit menyipit curiga. Kain ikat kepalanya sedikit lebih rapi dari yang tadi.
Dan anehnya, Singo Bodong menyapa Suto dengan suaranya yang besar bulat seperti biasanya, "Apakah kau kenal dengan orang yang bernama Suto Sinting?!"
"O, rupanya Singo Bodong hanya ganti pakaian, yang semula hitam sekarang ganti pakai baju merah. Tapi celananya masih hitam juga. Tapi... tapi mengapa dia membawa tambang? Gulungan tambang itu digantungkan di pundak seperti tas gantung saja. Mau apa dia membawa tambang? Mau gali sumur atau mau tebang pohon? Oh, dia menuju kemari. Rupanya dia hampir lupa menghampiriku di sini. Eh, tapi di mana Dewa Racun? Mengapa dia tidak bersama Dewa Racun?"
Pendekar Mabuk menjadi semakin curiga melihat gerakan Singo Bodong berbaju merah. Gerakan itu cepat dan ringan, tidak seperti kerbau kebakaran ekornya. Kejap berikutnya, Singo Bodong berbaju merah tanpa dikancingkan itu sudah berada di depan Suto. Matanya lebar, seperti biasanya. Alisnya tebal, kumisnya juga tebal melintang. Tapi kali ini Singo Bodong berbaju komprang merah itu menatap Suto dengan sedikit menyipit curiga. Kain ikat kepalanya sedikit lebih rapi dari yang tadi.
Dan anehnya, Singo Bodong menyapa Suto dengan suaranya yang besar bulat seperti biasanya, "Apakah kau kenal dengan orang yang bernama Suto Sinting?!"
LIMA
KECURIGAAN Pendekar Mabuk menjadi bertambah setelah Singo Bodong berbaju merah itu menggertak Pendekar Mabuk dengan sungguh-sungguh.
"Aku tanya kepadamu! Kenapa kamu melotot saja hah?!"
Di dalam hati Suto berkata, "Singo Bodong tidak akan berani membentakku begini! Rasa-rasanya aku berhadapan dengan jelmaan Singo Bodong saat ini!"
"Hei, kau tuli?!" sentak orang tinggi besar itu. "Aku tanya kepadamu, apakah kamu kenal dengan orang yang bernama Suto Sinting?! Kalau kenal bilang saja kenal, kalau tidak bilang saja tidak! Jangan bikin kemarahanku melabrak kepalamu, tahu?!"
"Sepertinya... aku baru sekarang mendengar nama orang yang kau cari itu," jawab Pendekar Mabuk dengan kalem. "Siapa namanya tadi?"
"Suto Sinting!" teriaknya keras dengan wajah dongkol.
"Aneh. Nama kok Suto Sinting?" gumam Suto berlagak bingung.
"Itu urusan dia! Urusanku hanya mencari dia dan membunuhnya!"
Terkesiap Pendekar Mabuk mendengar kalimat terakhir. Geram mendengar dirinya dicari untuk dibunuh. Tapi Suto cepat menahan nafsu amarahnya, dan bersikap tetap tenang, ia hanya lontarkan tanya kepada orang itu, "Apakah kau belum pernah bertemu dengan Suto Sinting?"
"Kalau sudah pernah bertemu, aku tak akan bertanya- tanya lagi! Cukup dengan melihat orangnya, langsung kuhancurkan kepalanya!"
"Kau ini bagaimana? Belum pernah ketemu orangnya kok sudah mau main bunuh saja? Jangan-jangan malah kau yang terbunuh!"
"Gggrr...!" orang itu menggeram seperti singa. "Baru sekarang ada orang berani bicara seperti itu! Kurang ajar! Jangan berani sepelekan aku sekali lagi, kalau kau masih ingin bisa bersiul esok hari!"
"Aku tidak sepelekan kamu. Tapi aku khawatirkan dirimu. Badan besar begitu kalau tahu-tahu mati alangkah sayangnya?! Siapa yang mau menguburkan dirimu segede gajah itu?!"
"Lancang mulutmu, Anak Muda! Jangan bikin persoalan denganku kalau kau memang tak kenal Suto Sinting! Bisa-bisa nasibmu seperti perempuan berambut jabrik dan lelaki kurus kering di dalam pondoknya!"
Suto cepat membatin, "Perempuan berambut jabrik? Oh, pasti yang dimaksud adalah Perawan Sesat. Hmmm... jadi rupanya dialah orang yang membunuh Perawan Sesat dan melukai Peramal Pikun!"
Orang itu berkata dengan mata melebar ganas, "Ingat! Jangan lagi bicara sembrono di depanku! Kau bisa kehilangan nyawamu dalam satu helaan napas saja, tahu?!"
Suto tersenyum, bahkan tertawa pendek seperti orang terbatuk. "Kau tak perlu berlagak galak di depanku, Singo Bodong! Aku...!"
"Namaku bukan Singo Bodong!" bentak orang itu. "Namaku Dadung Amuk! Ingat, Dadung... Amuk...!"
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan berkata, "Mau Dadung Amuk atau Dadung Keropos, di mataku kau tetap Singo Bodong! Kau tak bisa bohongi aku!"
"Kurang ajar! Hihhh...!" Dadung Amuk melayangkan tamparan bertenaga dalam, arahnya ke pipi kiri Suto. Tapi dengan cepat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Pendekar Mabuk bergerak ke samping, menghadang gerakan tangan itu.
Tap...!
Telapak tangan bagai tertotok dua jari Suto. Tubuh Dadung Amuk tersentak bagai mau melonjak namun ditahan, ia menggeram sambil kibas-kibas tangannya yang membentur dua jari Suto, "Ooo...?! Rupanya kau punya isi juga, Bocah Kencur?!" Dadung Amuk mulai tampak merah mukanya.
Suto masih tetap tenang, berdiri tegak memandang wajah Dadung Amuk. "Boleh aku tahu, mengapa kau ingin membunuh Suto?" tanya Pendekar Mabuk sambil ia melipat tangan di dada.
"Perlu apa kau tahu urusanku, hah! Terima saja pelajaran keras dariku ini! Huhh...!"
Wuugh...!
Dadung Amuk kepalkan tangannya. Tinju yang besar itu dihantamkan ke wajah Pendekar Mabuk. Tapi tubuh Pendekar Mabuk hanya berkelit ke samping dengan sedikit miring. Wuuus...! Pukulan besar itu lolos, tidak mengenai sasaran.
Orang tinggi besar itu hentikan gerak. Makin tajam ia perhatikan wajah Pendekar Mabuk sambil melangkah mengitarinya. "Lincah juga kau rupanya!" gumam Dadung Amuk.
Suto hanya mengikuti dengan lirikan mata sambil berkata, "Kalau kau mau jelaskan persoalanmu, mungkin aku bisa ikut membantumu mencarikan Suto."
"Semula aku butuh bantuanmu!" kata Dadung Amuk yang kini ada di belakang Suto. Pendekar Mabuk tetap tidak berpaling. Lalu, Dadung Amuk lanjutkan kata, "Tapi setelah kutahu kau sepertinya menantang ilmu padaku, aku jadi ingin mencoba isimu, setinggi apa kesombonganmu bicara dengan kenyataan yang ada. Hiaaah...!"
Dadung Amuk sentakkan tangannya. Pukulan bertenaga dalam melesat dari tepian tangan. Arahnya ke punggung Suto. Suto tersentak bagai mendapat dorongan keras dari belakang, tapi ketika ia terlompat ke depan, rupanya kedua kakinya menyepak ke belakang. Prakkk...! Kedua kaki Suto menendang bagai kuda dan tepat mengenai wajah angker badung Amuk. Orang itu tersentak bagai menggeragap dan mundur empat langkah, terhuyung-huyung jadinya.
Sementara itu, setelah kakinya mendarat di wajah Dadung Amuk, tubuh Suto bergerak terguling di rerumputan, tapi punggungnya tak sampai menyentuh tanah. Tahu-tahu kakinya telah berpijak di tanah secara mantap dan bersama-sama. Jlegg...! Dalam keadaan jongkok, Pendekar Mabuk segera balik berdiri dan balikkan kepala bagai ingin membuang rasa sakit.
"Monyet!" geram Dadung Amuk di dalam hatinya, "Tendangan bocah itu melebihi tendangan dua ekor kuda! Kalau aku tidak segera sigap, sudah berantakan gigiku!"
Dadung Amuk yang berpenampilan seperti seorangwarok itu segera maju tiga langkah dengan mata makin buas dan liar. Penuh nafsu untuk membunuh. SedangkanSuto bergerak ke samping dengan kalem,dan berdiridengan punggung disandarkan pada batang pohon besar. "Bocah keparat! Sudah terlambat kau minta ampun padaku! Terima 'Racun Sengat Kobra'-ku ini, hiaaah...!"
Dadung Amuk mengangkat kedua tangannya di depan wajah membentuk tegak lurus ke atas. Lalu, dari kesepuluh kukunya mengeluarkan cahaya merah seperti benang-benang menyala. Cahaya merah itu menjadi satu di depan tangan dan melesat membentuk bayangan seekor kobra melesat, menghantam dada Suto.
Tetapi sebelum bayangan ular kobra itu mendekatinya, Suto sudah lebih dulu memutar bumbung bambu tempat tuaknya dari punggung ke depan, lalu bayangan merah seekor ular kobra itu ditangkisnya dengan bumbung tempat tuak.
Trangngng...!
Terdengar seperti suara besi bolong yang dihantam besi padat saat bayangan seekor kobra mematuk bumbung tuak. Bayangan merah itu berbalik arah, bahkan kini menjadi tiga bayangan ular kobra melesat menuju kepada pemiliknya.
Wesss... wess... wess...!
Dadung Amuk belalakkan matanya lebar-lebar. Kaget melihat bayangan merah tiga ekor ular kobra menuju ke arahnya. Cepat-cepat ia sentakkan kedua telapak tangannya dari bawah ke atas dengan sedikit merendahkan kedua kaki yang merenggang kokoh itu.
Wuurrsss...!
Pukulan dari atas ke bawah itu membuat bayangan tiga ekor ular kobra menjadi nyala api sekejap. Lalu, padam dan tinggal kepulan asapnya saja. Kepulan asap itu cepat menghilang ditiup angin. Mulut Dadung Amuk tak bisa bicara apa-apa. Ia masih terkesima memandang tabung tuak yang dipegang satu tangan oleh Suto itu. Ia masih merasa seperti sedang bermimpi melihat pukulan 'Racun Sengat Cobra' bisa dikembalikan dengan kekuatan tiga kali lipat itu. Baru kali ini ia mengalami kejadian yang sungguh mengherankan dan menakjubkan.
"Siapa anak muda itu sebenarnya? Tak mungkin ia berilmu rendah. Pukulan maut itu bisa ditangkis dan dikembalikan, ini benar-benar luar biasa ilmunya! Siluman Tujuh Nyawa jelas tak akan percaya kalau kuceritakan kejadian ini kepadanya. Hmmm... sebaiknya tak perlu cerita kepada siapa-siapa, nanti malahan aku ditertawakan mereka. Tapi..., agaknya anak muda ini tidak bisa dibuat main-main!"
Dengan lantang, untuk menutupi rasa kagetnya atas kejadian tadi, Dadung Amuk serukan kata, "Bocah kencur! Siapa dirimu sebenarnya, hah?!"
"Apa perlunya kau tahu siapa diriku?" Suto sengaja berlagak sinis untuk memancing kemarahan Dadung Amuk.
"Sebaiknya kau mengaku saja, supaya aku bisa mencatat namamu dalam daftar orang-orang yang telah kubunuh!"
"Akan kucatatkan sendiri setelah aku berhasil kau bunuh!"
Geram dari mulut Dadung Amuk semakin jelas. Napasnya pun ngos-ngosan seperti seekor banteng mau mengamuk. "Kuhitung tiga kali, kalau kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, kuhabisi nyawamu sekarang juga!"
"Hitung saja satu kali! Jangan tiga kali. Itu terlalu banyak!" kata Suto makin memanaskan dada Dadung Amuk.
Orang yang tidak mau disebut Singo Bodong itu segera mengangkat kedua tangannya pelan-pelan. Tangan yang menyerupai terkaman seekor singa itu bergetar dan bergerak terus sampai di atas kepala. Lalu, kedua telapak kakinya pelan-pelan terangkat naik sedikit dari permukaan tanah. Mata itu semakin tajam memandang. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat cepat menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Wess...!
Pendekar Mabuk pun bergerak sangat cepat, menggunakan gerak siluman. Kejap berikut Pendekar Mabuk sudah berada jauh di bawah pepohonan pisang. Dan gerakan cepat tubuh Dadung Amuk menghantam pohon besar yang menyerupai bentuk payung besar itu.
Brruess...! Wwwrrrr...!
Daun-daun runtuh bagaikan pohon mendapat guncangan hebat. Tubuh Dadung Amuk yang membentur pohon dengan keras itu terpental ke belakang dan terkapar telentang di rerumputan. Hidungnya berdarah, juga bibirnya ada yang robek sebagian. Dadung Amuk sesak napas, ia mencoba berdiri dengan terengap-engap. Tubuhnya terkena rontokan daun cukup banyak, hingga ia merasa semakin geram dengan daun-daun yang mengotori kepalanya.
"Haaah...!" Ia menyentak jengkel, lalu segera bangkit. Matanya memandang celingak-celinguk mencari Suto. Sedangkan yang dipandang hanya senyum-senyum saja di tempat berjarak dua puluh langkah dari pohon besar itu.
"Monyet borok!" geramnya memaki Suto. Darah yang mengalir dari hidung diusapnya dengan lengan baju. "Anak setan!" geram Dadung Amuk. "Cepat sekali gerakannya. Jangan-jangan dia punya ilmu sejajar dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bisa mampus aku di sini! Sebaiknya kutinggalkan saja dia! Tak perlu kulayani, ketimbang aku gagal menemukan Suto, bisa kena pancung leherku oleh Siluman Tujuh Nyawa!"
Dengan satu hentakan kaki, Dadung Amuk segera melesat pergi, ia menjauh dan makin menjauh menuju lereng perbukitan. Suto hanya memandanginya dengan senyum. Dan ketika Dadung Amuk tiba di perbatasan bukit, Suto gunakan gerak silumannya lagi.
"Aku tanya kepadamu! Kenapa kamu melotot saja hah?!"
Di dalam hati Suto berkata, "Singo Bodong tidak akan berani membentakku begini! Rasa-rasanya aku berhadapan dengan jelmaan Singo Bodong saat ini!"
"Hei, kau tuli?!" sentak orang tinggi besar itu. "Aku tanya kepadamu, apakah kamu kenal dengan orang yang bernama Suto Sinting?! Kalau kenal bilang saja kenal, kalau tidak bilang saja tidak! Jangan bikin kemarahanku melabrak kepalamu, tahu?!"
"Sepertinya... aku baru sekarang mendengar nama orang yang kau cari itu," jawab Pendekar Mabuk dengan kalem. "Siapa namanya tadi?"
"Suto Sinting!" teriaknya keras dengan wajah dongkol.
"Aneh. Nama kok Suto Sinting?" gumam Suto berlagak bingung.
"Itu urusan dia! Urusanku hanya mencari dia dan membunuhnya!"
Terkesiap Pendekar Mabuk mendengar kalimat terakhir. Geram mendengar dirinya dicari untuk dibunuh. Tapi Suto cepat menahan nafsu amarahnya, dan bersikap tetap tenang, ia hanya lontarkan tanya kepada orang itu, "Apakah kau belum pernah bertemu dengan Suto Sinting?"
"Kalau sudah pernah bertemu, aku tak akan bertanya- tanya lagi! Cukup dengan melihat orangnya, langsung kuhancurkan kepalanya!"
"Kau ini bagaimana? Belum pernah ketemu orangnya kok sudah mau main bunuh saja? Jangan-jangan malah kau yang terbunuh!"
"Gggrr...!" orang itu menggeram seperti singa. "Baru sekarang ada orang berani bicara seperti itu! Kurang ajar! Jangan berani sepelekan aku sekali lagi, kalau kau masih ingin bisa bersiul esok hari!"
"Aku tidak sepelekan kamu. Tapi aku khawatirkan dirimu. Badan besar begitu kalau tahu-tahu mati alangkah sayangnya?! Siapa yang mau menguburkan dirimu segede gajah itu?!"
"Lancang mulutmu, Anak Muda! Jangan bikin persoalan denganku kalau kau memang tak kenal Suto Sinting! Bisa-bisa nasibmu seperti perempuan berambut jabrik dan lelaki kurus kering di dalam pondoknya!"
Suto cepat membatin, "Perempuan berambut jabrik? Oh, pasti yang dimaksud adalah Perawan Sesat. Hmmm... jadi rupanya dialah orang yang membunuh Perawan Sesat dan melukai Peramal Pikun!"
Orang itu berkata dengan mata melebar ganas, "Ingat! Jangan lagi bicara sembrono di depanku! Kau bisa kehilangan nyawamu dalam satu helaan napas saja, tahu?!"
Suto tersenyum, bahkan tertawa pendek seperti orang terbatuk. "Kau tak perlu berlagak galak di depanku, Singo Bodong! Aku...!"
"Namaku bukan Singo Bodong!" bentak orang itu. "Namaku Dadung Amuk! Ingat, Dadung... Amuk...!"
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan berkata, "Mau Dadung Amuk atau Dadung Keropos, di mataku kau tetap Singo Bodong! Kau tak bisa bohongi aku!"
"Kurang ajar! Hihhh...!" Dadung Amuk melayangkan tamparan bertenaga dalam, arahnya ke pipi kiri Suto. Tapi dengan cepat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Pendekar Mabuk bergerak ke samping, menghadang gerakan tangan itu.
Tap...!
Telapak tangan bagai tertotok dua jari Suto. Tubuh Dadung Amuk tersentak bagai mau melonjak namun ditahan, ia menggeram sambil kibas-kibas tangannya yang membentur dua jari Suto, "Ooo...?! Rupanya kau punya isi juga, Bocah Kencur?!" Dadung Amuk mulai tampak merah mukanya.
Suto masih tetap tenang, berdiri tegak memandang wajah Dadung Amuk. "Boleh aku tahu, mengapa kau ingin membunuh Suto?" tanya Pendekar Mabuk sambil ia melipat tangan di dada.
"Perlu apa kau tahu urusanku, hah! Terima saja pelajaran keras dariku ini! Huhh...!"
Wuugh...!
Dadung Amuk kepalkan tangannya. Tinju yang besar itu dihantamkan ke wajah Pendekar Mabuk. Tapi tubuh Pendekar Mabuk hanya berkelit ke samping dengan sedikit miring. Wuuus...! Pukulan besar itu lolos, tidak mengenai sasaran.
Orang tinggi besar itu hentikan gerak. Makin tajam ia perhatikan wajah Pendekar Mabuk sambil melangkah mengitarinya. "Lincah juga kau rupanya!" gumam Dadung Amuk.
Suto hanya mengikuti dengan lirikan mata sambil berkata, "Kalau kau mau jelaskan persoalanmu, mungkin aku bisa ikut membantumu mencarikan Suto."
"Semula aku butuh bantuanmu!" kata Dadung Amuk yang kini ada di belakang Suto. Pendekar Mabuk tetap tidak berpaling. Lalu, Dadung Amuk lanjutkan kata, "Tapi setelah kutahu kau sepertinya menantang ilmu padaku, aku jadi ingin mencoba isimu, setinggi apa kesombonganmu bicara dengan kenyataan yang ada. Hiaaah...!"
Dadung Amuk sentakkan tangannya. Pukulan bertenaga dalam melesat dari tepian tangan. Arahnya ke punggung Suto. Suto tersentak bagai mendapat dorongan keras dari belakang, tapi ketika ia terlompat ke depan, rupanya kedua kakinya menyepak ke belakang. Prakkk...! Kedua kaki Suto menendang bagai kuda dan tepat mengenai wajah angker badung Amuk. Orang itu tersentak bagai menggeragap dan mundur empat langkah, terhuyung-huyung jadinya.
Sementara itu, setelah kakinya mendarat di wajah Dadung Amuk, tubuh Suto bergerak terguling di rerumputan, tapi punggungnya tak sampai menyentuh tanah. Tahu-tahu kakinya telah berpijak di tanah secara mantap dan bersama-sama. Jlegg...! Dalam keadaan jongkok, Pendekar Mabuk segera balik berdiri dan balikkan kepala bagai ingin membuang rasa sakit.
"Monyet!" geram Dadung Amuk di dalam hatinya, "Tendangan bocah itu melebihi tendangan dua ekor kuda! Kalau aku tidak segera sigap, sudah berantakan gigiku!"
Dadung Amuk yang berpenampilan seperti seorangwarok itu segera maju tiga langkah dengan mata makin buas dan liar. Penuh nafsu untuk membunuh. SedangkanSuto bergerak ke samping dengan kalem,dan berdiridengan punggung disandarkan pada batang pohon besar. "Bocah keparat! Sudah terlambat kau minta ampun padaku! Terima 'Racun Sengat Kobra'-ku ini, hiaaah...!"
Dadung Amuk mengangkat kedua tangannya di depan wajah membentuk tegak lurus ke atas. Lalu, dari kesepuluh kukunya mengeluarkan cahaya merah seperti benang-benang menyala. Cahaya merah itu menjadi satu di depan tangan dan melesat membentuk bayangan seekor kobra melesat, menghantam dada Suto.
Tetapi sebelum bayangan ular kobra itu mendekatinya, Suto sudah lebih dulu memutar bumbung bambu tempat tuaknya dari punggung ke depan, lalu bayangan merah seekor ular kobra itu ditangkisnya dengan bumbung tempat tuak.
Trangngng...!
Terdengar seperti suara besi bolong yang dihantam besi padat saat bayangan seekor kobra mematuk bumbung tuak. Bayangan merah itu berbalik arah, bahkan kini menjadi tiga bayangan ular kobra melesat menuju kepada pemiliknya.
Wesss... wess... wess...!
Dadung Amuk belalakkan matanya lebar-lebar. Kaget melihat bayangan merah tiga ekor ular kobra menuju ke arahnya. Cepat-cepat ia sentakkan kedua telapak tangannya dari bawah ke atas dengan sedikit merendahkan kedua kaki yang merenggang kokoh itu.
Wuurrsss...!
Pukulan dari atas ke bawah itu membuat bayangan tiga ekor ular kobra menjadi nyala api sekejap. Lalu, padam dan tinggal kepulan asapnya saja. Kepulan asap itu cepat menghilang ditiup angin. Mulut Dadung Amuk tak bisa bicara apa-apa. Ia masih terkesima memandang tabung tuak yang dipegang satu tangan oleh Suto itu. Ia masih merasa seperti sedang bermimpi melihat pukulan 'Racun Sengat Cobra' bisa dikembalikan dengan kekuatan tiga kali lipat itu. Baru kali ini ia mengalami kejadian yang sungguh mengherankan dan menakjubkan.
"Siapa anak muda itu sebenarnya? Tak mungkin ia berilmu rendah. Pukulan maut itu bisa ditangkis dan dikembalikan, ini benar-benar luar biasa ilmunya! Siluman Tujuh Nyawa jelas tak akan percaya kalau kuceritakan kejadian ini kepadanya. Hmmm... sebaiknya tak perlu cerita kepada siapa-siapa, nanti malahan aku ditertawakan mereka. Tapi..., agaknya anak muda ini tidak bisa dibuat main-main!"
Dengan lantang, untuk menutupi rasa kagetnya atas kejadian tadi, Dadung Amuk serukan kata, "Bocah kencur! Siapa dirimu sebenarnya, hah?!"
"Apa perlunya kau tahu siapa diriku?" Suto sengaja berlagak sinis untuk memancing kemarahan Dadung Amuk.
"Sebaiknya kau mengaku saja, supaya aku bisa mencatat namamu dalam daftar orang-orang yang telah kubunuh!"
"Akan kucatatkan sendiri setelah aku berhasil kau bunuh!"
Geram dari mulut Dadung Amuk semakin jelas. Napasnya pun ngos-ngosan seperti seekor banteng mau mengamuk. "Kuhitung tiga kali, kalau kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, kuhabisi nyawamu sekarang juga!"
"Hitung saja satu kali! Jangan tiga kali. Itu terlalu banyak!" kata Suto makin memanaskan dada Dadung Amuk.
Orang yang tidak mau disebut Singo Bodong itu segera mengangkat kedua tangannya pelan-pelan. Tangan yang menyerupai terkaman seekor singa itu bergetar dan bergerak terus sampai di atas kepala. Lalu, kedua telapak kakinya pelan-pelan terangkat naik sedikit dari permukaan tanah. Mata itu semakin tajam memandang. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat cepat menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Wess...!
Pendekar Mabuk pun bergerak sangat cepat, menggunakan gerak siluman. Kejap berikut Pendekar Mabuk sudah berada jauh di bawah pepohonan pisang. Dan gerakan cepat tubuh Dadung Amuk menghantam pohon besar yang menyerupai bentuk payung besar itu.
Brruess...! Wwwrrrr...!
Daun-daun runtuh bagaikan pohon mendapat guncangan hebat. Tubuh Dadung Amuk yang membentur pohon dengan keras itu terpental ke belakang dan terkapar telentang di rerumputan. Hidungnya berdarah, juga bibirnya ada yang robek sebagian. Dadung Amuk sesak napas, ia mencoba berdiri dengan terengap-engap. Tubuhnya terkena rontokan daun cukup banyak, hingga ia merasa semakin geram dengan daun-daun yang mengotori kepalanya.
"Haaah...!" Ia menyentak jengkel, lalu segera bangkit. Matanya memandang celingak-celinguk mencari Suto. Sedangkan yang dipandang hanya senyum-senyum saja di tempat berjarak dua puluh langkah dari pohon besar itu.
"Monyet borok!" geramnya memaki Suto. Darah yang mengalir dari hidung diusapnya dengan lengan baju. "Anak setan!" geram Dadung Amuk. "Cepat sekali gerakannya. Jangan-jangan dia punya ilmu sejajar dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bisa mampus aku di sini! Sebaiknya kutinggalkan saja dia! Tak perlu kulayani, ketimbang aku gagal menemukan Suto, bisa kena pancung leherku oleh Siluman Tujuh Nyawa!"
Dengan satu hentakan kaki, Dadung Amuk segera melesat pergi, ia menjauh dan makin menjauh menuju lereng perbukitan. Suto hanya memandanginya dengan senyum. Dan ketika Dadung Amuk tiba di perbatasan bukit, Suto gunakan gerak silumannya lagi.
Wuuut... wuuut...!
Tahu-tahu ia sudah menghilang dari tempat semula dan membuat Dadung Amuk terkejut sekali. Karena sewaktu ia hendak teruskan langkah setelah melewati perbatasan bukit, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah. Maka Dadung Amuk pun menahan gerak selanjutnya, ia berhenti dan menggumam dalam hati,
"Monyet juling! Itu bocah sudah ada di sana! Cepat sekali gerakannya?! Setahuku dia masih tenang-tenang di bawah pohon pisang!"
Suto sunggingkan senyumnya, ramah tapi menantang. Dadung Amuk gemetar dibakar kemarahannya. Napasnya pun naik-turun dengan cepat bukan karena lari tapi karena memendam nafsu amarahnya. "Heii, Bocah Kencur...!" sapanya dengan lebih galak lagi, sambil ia langkahkan kaki tiga tindak ke depan. "Apa maksudmu menghadang langkahku, hah?! Mau benar-benar cari mati kau, hah?!"
"Aku hanya ingin tahu, apa alasanmu ingin membunuh Suto?!"
"Itu tugasku! Tugas dari ketuaku!"
"Siapa ketuamu?"
"Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Kenapa hanya 'O' saja? Kau tak merasa takut mendengar nama angker itu? Siluman Tujuh Nyawa! Bisa kau bayangkan betapa hebatnya ketuaku itu mempunyai tujuh nyawa!"
"Kurang angker menurutku! Dan lagi, itu hanya sebutan saja! Toh nyawanya tetap hanya satu?!"
"Tapi kau bisa dipancung dalam sekejap jika kau berhadapan dengannya! Dia orang yang tak pernah kenal kata ampun dan menyerah!"
"Ooo...," Suto manggut-manggut lagi namun tetap tenang dan tersenyum-senyum kalem. "Lantas, apa alasannya Siluman Tujuh Nyawa mau membunuh Suto Sinting?"
"Itu rahasia!"
"Apakah Pendekar Mabuk itu musuh lamanya Siluman Tujuh Nyawa?"
"Musuh barunya!"
"Musuh baru?! Hmmm... sejak kapan Siluman Tujuh Nyawa bermusuhan dengan Pendekar Mabuk?"
"Sejak Siluman Tujuh Nyawa mendengar kekasihnya mengirim utusan kemari untuk mencari orang yang bernama Suto Sinting!"
"Siapa kekasihnya Siluman Tujuh Nyawa itu?"
"Gusti Mahkota Sejati!"
Pendekar Mabuk perdengarkan tawa kecil berkesan meremehkan. Dadung Amuk tetap bermata nanar, penuh nafsu membunuh tapi tak berani lakukan karena pertimbangan ilmu Suto yang dianggapnya sangat tinggi itu, "Mengapa kau tertawa? Apakah kau pernah mendengar nama itu?"
"Pernah atau tidak, itu urusanku, Dadung Amuk. Tapi tolong sampaikan kepada Durmala Sanca, bahwa Gusti Mahkota Sejati tidak pantas menjadi kekasihnya,"
"Tunggu dulu!" sergah Dadung Amuk sambil maju dua tindak. "Kau menyebut nama asli ketuaku Durmala Sanca. Apakah kau kenal dengan dia? Apakah kau tahu persis tentang dia?"
"Tentu saja aku tahu, karena dulu aku gurunya Durmala Sanca. Dulu dia berguru denganku di Tibet."
"Ooh... jad... jadi...?" Dadung Amuk mulai gentar karena dia tahu persis cerita tentang Siluman Tujuh Nyawa itu.
Melihat lawannya mulai terpengaruh oleh kata-katanya, Suto menambahkan bualannya, sekadar untuk menghindari pertumpahan darah. Sebab menurutnya, Dadung Amuk tak bisa diusir pergi jika tanpa dilawan dengan kekerasan atau dengan kelicikan. "Ketahuilah, Dadung Amuk, ketuamu itu mempunyai ilmu pukulan 'Candra Badar' juga dari aku!"
"'Candra Badar'...?! Oh, kau tahu juga tentang pukulan 'Candra Badar'itu?!"
"Jelas tahu, karena memang itu sebenarnya ilmuku yang kuturunkan kepadanya. Durmala Sanca bisa menjelma menjadi tujuh wujud yang berbeda-beda, yang dinamakan ilmu 'Siluman Tujuh Nyawa'. Itu juga ilmu yang kuturunkan padanya!"
"Oooh...?!" Dadung Amuk terperangah. Mulutnya yang berbibir tebal itu melongo bagai liang tikus. Untuk lebih meyakinkan, Dadung Amuk ajukan tanya, "Jika kau benar mengetahui tentang diri ketuaku, coba sebutkan berapa usianya?"
"Usianya sudah cukup banyak. Mungkin kau tidak percaya kalau kukatakan bahwa usia Durmala Sanca sudah mencapai seratus tahun."
"Oh, benar...!" ucap Dadung Amuk dengan desah keheranan.
"Tapi karena dia kuberi ilmu awet muda, maka ia seperti baru berumur antara lima puluh tahunan."
"Benar lagi...," desahnya kagum.
"Sekarang, sebaiknya kembalilah kepada dia, dan katakan kau telah menemui gurunya. Katakan pula, guru berpesan agar dia jangan mengganggu Gusti Mahkota Sejati, dan jangan mencoba bermusuhan dengan anak muda yang bernama Suto Sinting itu!"
"Hmmm... ah, eh... anu... tapi, apakah kau juga tahu siapa perempuan yang bernama Gusti Mahkota Sejati itu?"
"Kenapa tidak? Aku selalu mengikuti gerakan Durmala Sanca! Aku tahu, sejak muda dia mengejar-ngejar perempuan yang bernama Dyah Sariningrum, yang kemudian menjadi penguasa di negeri Puri Gerbang Surgawi, yang ada di Pulau Serindu!"
"Ooh... benar lagi dia...," desah Dadung Amuk makin gemetar.
"Dan sekarang perempuan itu sedang terpenjara oleh ilmu 'Candra Badar', ia tak bisa keluar ke mana-mana karena takut kena sinar matahari, sinar rembulan, sinar bintang, bahkan sinar kunang-kunang pun bisa membakar tubuh perempuan itu! Dan memang begitulah ilmu 'Candra Badar'kuciptakan!"
"Dia tahu semuanya tentang ilmu itu? Oh, kalau begitu apa yang dikatakannya memang benar. Dia gurunya sang ketua!" pikir Dadung Amuk. "Tetapi, siapa nama orang ini? Bagaimana aku harus menyebutkan namanya jika ditanya oleh sang ketua nanti?"
Lalu, Suto pun berkata dengan gaya wibawanya, "Dadung Amuk, kuperintahkan kau segera kembali kepada ketuamu dan tinggalkan pulau ini! Mengerti?!"
"Hmmm... eh... tapi... tapi jika benar kau guru sang ketua, hmmm... lantas bagaimana aku harus menjelaskan namamu? Sebab kamu kelihatannya jauh lebih muda dari sang ketua!"
"Tentu saja. Kalau muridku bisa semuda itu, mengapa aku tidak bisa jauh lebih muda lagi?"
"O, hmmm... iya. Benar."
"Dan katakan saja kepadanya, bahwa kau habis bertemu dengan Pendeta Tibet! Tak perlu kau sebut namaku, dia sudah akan menyebutnya sendiri! Dia pasti masih ingat namaku!"
"Pendeta Tibet...! Oh, benar. Sang ketua memang pernah bercerita bahwa gurunya adalah Pendeta Tibet. Jadi... oh, celaka! Jadi sejak tadi aku berhadapan dengan gurunya sang ketua?! Pantas ilmuku tidak ada apa-apanya?!"
"Berangkatlah, Dadung Amuk! Pulanglah kepada muridku si Durmala Sanca itu!"
"Tapi... tapi"
"Atau kau ingin aku menghantamkan pukulan 'Candra Badar' ke tubuhmu, Dadung Amuk?!"
Orang itu kaget dan ketakutan. "Oh, hmmm... eh... tidak... jangan! Sebaiknya memang aku pulang dan melaporkan pada sang ketua!"
Tahu-tahu ia sudah menghilang dari tempat semula dan membuat Dadung Amuk terkejut sekali. Karena sewaktu ia hendak teruskan langkah setelah melewati perbatasan bukit, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah. Maka Dadung Amuk pun menahan gerak selanjutnya, ia berhenti dan menggumam dalam hati,
"Monyet juling! Itu bocah sudah ada di sana! Cepat sekali gerakannya?! Setahuku dia masih tenang-tenang di bawah pohon pisang!"
Suto sunggingkan senyumnya, ramah tapi menantang. Dadung Amuk gemetar dibakar kemarahannya. Napasnya pun naik-turun dengan cepat bukan karena lari tapi karena memendam nafsu amarahnya. "Heii, Bocah Kencur...!" sapanya dengan lebih galak lagi, sambil ia langkahkan kaki tiga tindak ke depan. "Apa maksudmu menghadang langkahku, hah?! Mau benar-benar cari mati kau, hah?!"
"Aku hanya ingin tahu, apa alasanmu ingin membunuh Suto?!"
"Itu tugasku! Tugas dari ketuaku!"
"Siapa ketuamu?"
"Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Kenapa hanya 'O' saja? Kau tak merasa takut mendengar nama angker itu? Siluman Tujuh Nyawa! Bisa kau bayangkan betapa hebatnya ketuaku itu mempunyai tujuh nyawa!"
"Kurang angker menurutku! Dan lagi, itu hanya sebutan saja! Toh nyawanya tetap hanya satu?!"
"Tapi kau bisa dipancung dalam sekejap jika kau berhadapan dengannya! Dia orang yang tak pernah kenal kata ampun dan menyerah!"
"Ooo...," Suto manggut-manggut lagi namun tetap tenang dan tersenyum-senyum kalem. "Lantas, apa alasannya Siluman Tujuh Nyawa mau membunuh Suto Sinting?"
"Itu rahasia!"
"Apakah Pendekar Mabuk itu musuh lamanya Siluman Tujuh Nyawa?"
"Musuh barunya!"
"Musuh baru?! Hmmm... sejak kapan Siluman Tujuh Nyawa bermusuhan dengan Pendekar Mabuk?"
"Sejak Siluman Tujuh Nyawa mendengar kekasihnya mengirim utusan kemari untuk mencari orang yang bernama Suto Sinting!"
"Siapa kekasihnya Siluman Tujuh Nyawa itu?"
"Gusti Mahkota Sejati!"
Pendekar Mabuk perdengarkan tawa kecil berkesan meremehkan. Dadung Amuk tetap bermata nanar, penuh nafsu membunuh tapi tak berani lakukan karena pertimbangan ilmu Suto yang dianggapnya sangat tinggi itu, "Mengapa kau tertawa? Apakah kau pernah mendengar nama itu?"
"Pernah atau tidak, itu urusanku, Dadung Amuk. Tapi tolong sampaikan kepada Durmala Sanca, bahwa Gusti Mahkota Sejati tidak pantas menjadi kekasihnya,"
"Tunggu dulu!" sergah Dadung Amuk sambil maju dua tindak. "Kau menyebut nama asli ketuaku Durmala Sanca. Apakah kau kenal dengan dia? Apakah kau tahu persis tentang dia?"
"Tentu saja aku tahu, karena dulu aku gurunya Durmala Sanca. Dulu dia berguru denganku di Tibet."
"Ooh... jad... jadi...?" Dadung Amuk mulai gentar karena dia tahu persis cerita tentang Siluman Tujuh Nyawa itu.
Melihat lawannya mulai terpengaruh oleh kata-katanya, Suto menambahkan bualannya, sekadar untuk menghindari pertumpahan darah. Sebab menurutnya, Dadung Amuk tak bisa diusir pergi jika tanpa dilawan dengan kekerasan atau dengan kelicikan. "Ketahuilah, Dadung Amuk, ketuamu itu mempunyai ilmu pukulan 'Candra Badar' juga dari aku!"
"'Candra Badar'...?! Oh, kau tahu juga tentang pukulan 'Candra Badar'itu?!"
"Jelas tahu, karena memang itu sebenarnya ilmuku yang kuturunkan kepadanya. Durmala Sanca bisa menjelma menjadi tujuh wujud yang berbeda-beda, yang dinamakan ilmu 'Siluman Tujuh Nyawa'. Itu juga ilmu yang kuturunkan padanya!"
"Oooh...?!" Dadung Amuk terperangah. Mulutnya yang berbibir tebal itu melongo bagai liang tikus. Untuk lebih meyakinkan, Dadung Amuk ajukan tanya, "Jika kau benar mengetahui tentang diri ketuaku, coba sebutkan berapa usianya?"
"Usianya sudah cukup banyak. Mungkin kau tidak percaya kalau kukatakan bahwa usia Durmala Sanca sudah mencapai seratus tahun."
"Oh, benar...!" ucap Dadung Amuk dengan desah keheranan.
"Tapi karena dia kuberi ilmu awet muda, maka ia seperti baru berumur antara lima puluh tahunan."
"Benar lagi...," desahnya kagum.
"Sekarang, sebaiknya kembalilah kepada dia, dan katakan kau telah menemui gurunya. Katakan pula, guru berpesan agar dia jangan mengganggu Gusti Mahkota Sejati, dan jangan mencoba bermusuhan dengan anak muda yang bernama Suto Sinting itu!"
"Hmmm... ah, eh... anu... tapi, apakah kau juga tahu siapa perempuan yang bernama Gusti Mahkota Sejati itu?"
"Kenapa tidak? Aku selalu mengikuti gerakan Durmala Sanca! Aku tahu, sejak muda dia mengejar-ngejar perempuan yang bernama Dyah Sariningrum, yang kemudian menjadi penguasa di negeri Puri Gerbang Surgawi, yang ada di Pulau Serindu!"
"Ooh... benar lagi dia...," desah Dadung Amuk makin gemetar.
"Dan sekarang perempuan itu sedang terpenjara oleh ilmu 'Candra Badar', ia tak bisa keluar ke mana-mana karena takut kena sinar matahari, sinar rembulan, sinar bintang, bahkan sinar kunang-kunang pun bisa membakar tubuh perempuan itu! Dan memang begitulah ilmu 'Candra Badar'kuciptakan!"
"Dia tahu semuanya tentang ilmu itu? Oh, kalau begitu apa yang dikatakannya memang benar. Dia gurunya sang ketua!" pikir Dadung Amuk. "Tetapi, siapa nama orang ini? Bagaimana aku harus menyebutkan namanya jika ditanya oleh sang ketua nanti?"
Lalu, Suto pun berkata dengan gaya wibawanya, "Dadung Amuk, kuperintahkan kau segera kembali kepada ketuamu dan tinggalkan pulau ini! Mengerti?!"
"Hmmm... eh... tapi... tapi jika benar kau guru sang ketua, hmmm... lantas bagaimana aku harus menjelaskan namamu? Sebab kamu kelihatannya jauh lebih muda dari sang ketua!"
"Tentu saja. Kalau muridku bisa semuda itu, mengapa aku tidak bisa jauh lebih muda lagi?"
"O, hmmm... iya. Benar."
"Dan katakan saja kepadanya, bahwa kau habis bertemu dengan Pendeta Tibet! Tak perlu kau sebut namaku, dia sudah akan menyebutnya sendiri! Dia pasti masih ingat namaku!"
"Pendeta Tibet...! Oh, benar. Sang ketua memang pernah bercerita bahwa gurunya adalah Pendeta Tibet. Jadi... oh, celaka! Jadi sejak tadi aku berhadapan dengan gurunya sang ketua?! Pantas ilmuku tidak ada apa-apanya?!"
"Berangkatlah, Dadung Amuk! Pulanglah kepada muridku si Durmala Sanca itu!"
"Tapi... tapi"
"Atau kau ingin aku menghantamkan pukulan 'Candra Badar' ke tubuhmu, Dadung Amuk?!"
Orang itu kaget dan ketakutan. "Oh, hmmm... eh... tidak... jangan! Sebaiknya memang aku pulang dan melaporkan pada sang ketua!"
*
* *
ENAM
SEPERGINYA Dadung Amuk, Pendekar Mabuk tak dapat menahan tawa. Ia lepaskan tawa itu sambil sesekali menenggak tuaknya. Dengan modal cerita dari Nyai Betari Ayu, ternyata ia bisa mengusir Dadung Amuk pergi meninggalkan tanah Jawa. Pikir punya pikir, Dadung Amuk itu sebenarnya sama bodohnya dengan Singo Bodong.
"Singo Bodong...?!" gumam Suto sendirian. "O, ya... aku hampir lupa dengan Singo Bodong! Seharusnya tadi kudesak Dadung Amuk agar mengaku sebagai Singo Bodong! Paling tidak dia bisa jelaskan apa alasannya memakai Dadung Amuk dan memihak Siluman Tujuh Nyawa! Sayang sekali aku lupa, orang itu pasti sudah pergi jauh ketika kuancam dengan pukulan 'Candra Badar'...!"
Suto juga ingat tentang Dewa Racun. Maka, segera ia kembali ke pohon besar yang menyerupai payung raksasa itu. Ternyata di sana ia sudah ditunggu kedatangannya oleh dua orang, yaitu Dewa Racun dan satu lagi... Singo Bodong. Mata Suto sedikit menyipit heran memperhatikan Singo Bodong berbaju hitam tanpa dikancingkan. Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewa Racun sudah mendahului menyapanya,
"Ddda... dari... dari mana saja kamu? Sejak tadi aku menunggu di sini bersama si orang besar ini, tapi baru sekarang kau muncul!"
Suto masih memandang heran pada wajah Singo Bodong yang tampak tersenyum ceria. Tak ada rasa takut dan tegang sedikit pun. Dalam hatinya Suto berucap kata, "Secepat itukah Dadung Amuk ganti pakaian? Secepat itukah dia lepaskan baju dan menyimpannya dengan rapi bersama tambangnya?"
Dewa Racun ajukan tanya, "Suto... aad... ada apa tadi sebenarnya dddi... di sini?! Ak... aku melihat ada bek... bekas pertempuran. Lihat, pohon itu membekas hit... hitam... hitam sekali! Memm... memm... membentuk bayangan manusia! Tadi waktu kutinggalkan, pohon itu tidak membekas bayangan apa-apa! Ddda... daun-daun juga rontok. Pa... pas... pasti ada pertarungan di sini!"
Suto tidak menjawab pertanyaan Dewa Racun, ia bahkan bergegas menghampiri Singo Bodong yang tampak kegirangan mau diajak pergi itu. Singo Bodong sendiri ajukan tanya, "Aku sudah diizinkan pergi oleh Ibu. Kita mau berangkat kapan? Sekarang?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Pendekar Mabuk. Tapi tangan Pendekar Mabuk segera tarik lengan Singo Bodong mendekati pohon, lalu berkata, "Coba kau peluk pohon itu pas di tempat yang hangus!"
"Apa-apaan ini, Suto?"
"Lakukan saja kalau kau ingin ikut pergi denganku!"
"Baik. Baik! Kau tak perlu bentak aku!"
Singo Bodong memeluk pohon tepat di bagian yang hangus oleh benturan tubuh Dadung Amuk tadi. Dan ternyata ukuran tubuh pas dengan bentuk bayangan manusia yang hangus di pohon itu.
"Cocok! Tak salah lagi!" gumam Pendekar Mabuk membuat Dewa Racun dan Singo Bodong menatapnya penuh keheranan.
"Ap... appp... apa maksudmu, Suto?!" tanya Dewa Racun.
"Aku habis bertarung dengan dia!" sambil Pendekar Mabuk menuding Singo Bodong.
Yang dituding makin kerutkan dahi. "Kau habis bertarung denganku? Oh mana mungkin!" kata Singo Bodong menyanggah. "Aku tidak merasa bertarung denganmu!"
"Jangan pura-pura! Ukuran tubuhmu cocok dengan ukuran bayangan hangus di pohon itu! Kau tadi yang menabrak pohon itu dengan kekuatan tenaga dalammu!"
Dewa Racun membantah, "Ttid... tidak mungkin. Aku ada di rumahnya, menunggui dia mandi dan menimba air sumur! Aku disuguhkan singkong rebus dan diajak bercerita banyak oleh adik perempuannya!"
"Saat kau ngobrol dengan adik perempuannya itulah dia lolos dan menemuiku di sini, berlagak tidak mengenaliku!"
"Tiiid... tidak... tidak mungkin! Aku bicara dengan adik perempuannya di dekat sumur. Aku lihat dia men... men... menimba air!"
"Tapi dia tadi kemari sebagai Dadung Amuk dan mengadu ilmu denganku. Lalu lari ke sana dan aku mengejarnya! Akhirnya dia kusuruh pulang kepada ketuanya, dan dia menurut. Dia pergi menghilang dari pandanganku, lalu aku kemari, dan dia sudah ada di sini!"
"Tidddak... tidak mungkin! Dia selalu bersamaku!" debat Dewa Racun. Sekarang ganti Dewa Racun yang membela Singo Bodong. Sedang yang dibela hanya bengong-bengong tak mengerti maksudnya. Singo Bodong tampak bingung memikirkan perdebatan itu. Dewa Racun segera mengajak Pendekar Mabuk menjauhi Singo Bodong dan berbicara secara kasak-kusuk,
"Apakah kau bertemu Dadung Amuk?"
"Ya!"
"Diiid... dia... dia tidak kau desak untuk mengaku sebagai Singo Bodong?"
"Dia tidak mau mengaku."
"Apakah tidak ada kemungkinan, bahwa dddia... dia memang Dadung Amuk dan buk.. buk... bukan Singo Bodong?"
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Seb... seb... sebab aku berani bersumpah, dia sejak tadi bersamaku. Tidak ke mana-mana."
"Jangan-jangan dia punya ilmu sejenis 'Seberang Raga'? Dirinya yang asli sebagai Daduk Amuk, orang lain atau makhluk lain dijadikan Singo Bodong?"
"Se... se... seperti yang kau miliki itu?"
"Ya!"
Dewa Racun diam tanda tak bisa menjawab dengan pasti. Menurutnya dugaan Pendekar Mabuk memang bisa saja terjadi. Tapi ilmu sejenis itu jarang dimiliki oleh tokoh persilatan. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki ilmu sejenis 'Seberang Raga'. Apakah Singo Bodong termasuk orang dalam jenis tertentu, entahlah! Yang jelas, Dewa Racun kembali mengikuti langkah Suto mendekati Singo Bodong.
"Singo Bodong," kata Pendekar Mabuk. "Kau tahu aku punya ilmu 'Candra Badar' juga! Sekarang juga akan kupukulkan ke tubuhmu ilmu 'Candra Badar' itu!"
"Maksudnya sekarang juga kau akan turunkan ilmu 'Candra Badar' kepada diriku? Oh, boleh, boleh...!" Singo Bodong tampak kegirangan.
Dewa Racun merasa heran sekali dengan sikap Suto. Bahkan ketika Suto menggerakkan tangannya merentang ke depan dan ke belakang dengan kaki kanan lurus ke belakang dan kaki kiri merendah, kepala dan badan ikut merendah, Dewa Racun cepat lompatkan diri dan hadang pukulan itu di depan Singo Bodong.
"Tahan!" serunya. "Aaap... apa... apa maksudmu, Suto?!"
Pendekar Mabuk kendurkan ketegangannya, lalu hempaskan napas, ia memandang Dewa Racun dengan dongkol. Lalu, cepat ia tarik tangan Dewa Racun dan bisikkan kata di tempat jauh dari Singo Bodong. "Aku hanya ingin mengujinya! Bodoh! Seharusnya kau biarkan aku berpura-pura mau lancarkan pukulan 'Candra Badar'. Sebab tadi Dadung Amuk ketakutan waktu kuancam dengan pukulan itu!"
"Ta... tap... tapi apakah kau benar-benar punya pukulan itu?"
"Tidak, Bodoh! Itu hanya pura-pura untuk memancing dia!"
"Kulihat dddi... dia... dia tidak takut, malah salah duga dan kegirangan. Disangkanya kau mau masukkan ilmu 'Candra Badar' sebagai kekuatan diiir...dirinya!"
"Uuuf...! Pusing sekali aku memikirkan keanehan ini!"
"Sebentar lagi hari menn... menjadi sore. Sebaiknya kiit... kita mendekati pantai. Kiit... kita tidur di sana, baru esok paginya berangkat ke Pulau Serindu!"
"Bagaimana dengan anak gajah itu? Tetap diajak?" Suto menuding Singo Bodong.
"Kkkkau... kau sendiri tadi yang usulkan begitu, sekarang kau sendiri yang... yang jadi ragu. Apa maumu sebenarnya, Suto?!"
"Baiklah. Aku yang usulkan, aku pula yang harus tanggung jawab! Kita berangkat sekarang!"
Singo Bodong tampak kegirangan ketika mengikuti langkah Suto dan Dewa Racun. Mereka menyusuri pantai, untuk mencapai tempat disembunyikannya perahu Dewa Racun. Mereka tidak menggunakan langkah cepat seperti kilat, mereka menggunakan langkah biasa, hanya sedikit cepat. Itu saja sudah membuat Singo Bodong ketinggalan beberapa tombak jaraknya.
"Dadung Amuk tadi mengaku utusan dari Siluman Tujuh Nyawa. Tugasnya mencari aku dan membunuhnya. Tapi dia tidak tahu bahwa dia sudah berhadapan dengan Suto. Dan aku tadi mengaku sebagai guru Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli Durmala Sanca."
"Hei, kkau... kau tahu nama asli Siluman Tujuh Nyawa? Dari... dari mana kau tahu nama itu?"
"Oh, ya! Rupanya aku belum cerita padamu. Betari Ayu, orang yang pernah kuceritakan padamu tempo hari itu."
"Hmmm... ya, ya... aakkk... aku. aku ingat. Orang itu yang menaruh kasih sayang padamu! Lantas, ada apa dengan dia?"
"Dddi... ddia... dia adalah..."
"Uts! Jangan ikut-ikutan latah!"
"O, ya. Maaf. Dia adalah kakak dari Dyah Sariningrum!"
"Hahh...?!" Dewa Racun hentikan langkahnya, kaget dan terperangah dongakkan kepala, memandang Suto.
"Kenapa kau terkejut? Aku tidak mendustaimu! Betari Ayu itulah yang menceritakan tentang 'Candra Badar' di dalam tubuh Dyah Sariningrum dan membuat nyai gustimu itu tidak bisa keluar ke mana-mana. Karena takut terbakar oleh sinar matahari, rembulan, bintang bahkan cahaya sinar kunang-kunang"
"Jjja... jaaadi jadi Betari Ayu itu adalah Nyai Guru Dyah Kumalawindu.?!"
"Siapa itu Dyah Kumalawindu?!"
"Kakak da... dari Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"
"Setahuku dia bernama Betari Ayu!"
"Itu nama julukannya! Kkka... kalau benar di... dia... kakak dari Nyai Gusti, berarti dia menyimpan Kitab Pusaka Wedar Kesuma!"
"O, ya! Soal kitab pusaka itu aku pernah dengar. Memang ada di tangannya! Tapi aku tidak tahu kalau dia punya nama sebenarnya adalah Dyah Kumalawindu."
"Jabang bayi!" gumam Dewa Racun, ia tetap diam di tempat sampai Singo Bodong mendekat. Dewa Racun masih termenung, makin lama semakin tampak gelisah.
Singo Bodong berkata, "Langkah kalian boleh cepat dariku. Tapi napas kalian masih kalah dengan napasku. Ayo, jalan lagi! Tak perlu pakai istirahat segala! Bikin lama perjalanan saja!"
Singo Bodong meneruskan langkahnya, menunjukkan bahwa dia belum merasa lelah. Dia tak tahu Suto dan Dewa Racun berhenti bukan karena istirahat, tapi ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Dan langkah Singo Bodong itu dibiarkan oleh mereka berdua, sehingga Singo Bodong ngeloyor sendiri bagai tak mempedulikan mereka lagi.
"Ada apa, Dewa Racun? Kelihatannya kau gelisah sekali setelah kita bicara tentang Betari Ayu itu?"
"Nyai Guru Dyah Kumalawindu, adalah orang yang paling dihormati oleh nyai gustiku. Sebab, kitab Pusaka Wedar Kesuma ada di tangan Nyai Guru Dyah Kumalawindu."
"Apa arti kitab itu bagi Gusti Mahkota Sejati?"
"Oh, kau tahu... tahu... nama kkke... kehormatan nyai gustiku juga rupanya?"
"Betari Ayu yang menceritakannya. Jadi, apa artinya kitab itu bagi nyai gustimu itu?"
"Semua ilmu yang dimiliki nyai gustiku ada di dalam Kitab Wedar Kesuma. Jaa... jadi... setinggi apa pun ilmu Nyai Gusti, dapat... diketahui dan diungguli oleh Nyai Guru Betari Ayu itu. Sedangkan ilmu yang dimiliki Nyai Betari Ayu, tidak banyak diketahui oleh Nyai Guss... Gusti!"
"Terus, apa hubungannya?"
"Begg... beg... begini, Suto," Dewa Racun melompat di salah satu batu supaya tingginya mendekati tinggi tubuh Suto. Lalu ia bicara sungguh-sungguh, "Seeb... sebenarnya, aaad... ada dua syarat yang ingin diajukan oleh Nyai Gusti Dyah Sariningrum kepadamu. Satu syarat aku sudah tahu, yaitu kkkau... kau harus bisa memegang Kitab Pusaka Wedar Kesuma itu! Kkkau... kau harus bisa memilikinya, sebab dengan begitu, semua kekuatan Nyai Gusti dipasrahkan kepadamu. Itulah tanda cinta Nyai kepadamu. Syarat yang kedua, aku bell... beeel... belum tahu!"
"Jadi, aku harus merebut kitab pusaka dari tangan kakaknya?"
"Ssse... seolah-olah begitu. Kkau... kau harus mengalahkan kakaknya lebih dulu dan mengambil alih kitab pusaka itu. Jika kau bisa memiliki dan mengalahkan Nyai Betari Ayu, berarti hidup Nyai Gusti ada di tanganmu. Letak kehormatan Nyai Gusti ada pada dirimu, Suto. Mmmmee... memang sekarang nyai guruku hanya ingin bertemu denganmu. Tapi dalam pertemuan nanti, dia akan bicarakan tentang dua syarat yang... bisa dianggap sebagai mas kawin yang dimintanya."
"Hmmm... begitu maunya?!"
"Jad... jadi... jadi saranku, sebaiknya kau datang ke sana dengan sudah mmmemm... memm... membawa Kitab Wedar Kesuma itu, agar jangan jatuh di tangan orang lain."
"Apakah menurutmu ada orang lain yang mengincar kitab itu?"
"Seee... see... seingatku, satu purnama yang lalu, Nyai Gusti Mahkota Sejati, kedatangan tamu yang paling memuakkan baginya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Kedatangannya masih tetap sama, ingin melamar Nyai Gusti. Jikk... jik... jika Nyai Gusti menerima lamarannya, pukulan 'Candra Badar' akan dilepaskan dari tubuh Nyai Gusti. Tap... tapi... Nyai Gusti mengatakan bahwa beliau tidak punya pilihan lain terhadap lelaki yang ingin dijadikan suaminya kecuali... kecuali kamu Suto Sinting. Ta... tapi... Siluman Tujuh Nyawa tetap mendesak, dddan... dan mengancam akan menghancurkan negeri Puri Gerbang Surgawi, juga akan menenggelamkan Pul... Pul... Pulau Serindu. Hal itu membuat Nyai Gusti cemas, mengkhawatirkan nasib orang-orangnya. Lalu, Nyai Gusti mempunyai cara untuk mempersulit niat Siluman Tujuh Nyawa itu. Beliau mau menerima lamaran Siluman Tujuh Nyawa kkkaa... kaaalau... kalau Siluman Tujuh Nyawa bisa mendapatkan kiiit... kiit.... Kitab Wedar Kesuma. Tentang di mana kitab itu berada, Nyai Guru tidak memm... memm... memberitahukannya."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut. "Jadi, tentunya sekarang ini Siluman Tujuh Nyawa sedang kebingungan mencari Kitab Wedar Kesuma?"
"Aaak.. aku... rasa begitu, Pendekar Mabuk!"
"Dan pantas Siluman Tujuh Nyawa mengutus Dadung Amuk untuk mencari Pendekar Mabuk dan membunuhnya. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa cemburu kepadaku, Dewa Racun!"
"Seep... sepertinya begitu!"
"Kitab Wedar Kesuma...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil merenung lama, sampai akhirnya Dewa Racun berkata,
"Keistimewaan kitab itu lagi, ssse... setiap ilmu yang ditemukan oleh Nyai Gustiku atau Nyai Betari Ayu, sudah langsung tertulis dengan sendirinya di dalam kitab itu!"
"Hebat sekali kitab itu?!" Suto kerutkan dahi.
"Kkaaalau... kalau tidak hebat, tidak akan menjadi mas kawin buat Nyai Gusti Dyah Sariningrum. Paaal... paling tidak, orang yang akan meminang Nyai Guru Mahkota Sejati, harus mengalahkan kakaknya terlebih dulu dan merebut kitab pusaka itu."
Suto manggut-manggut dalam renungannya, lalu hatinya membatin, "Tapi kenapa dulu kitab itu akan diserahkan kepada Selendang Kubur atau Dewi Murka? Hmmm... mungkin waktu itu Nyai Betari Ayu menganggap salah satu dari muridnya layak menjadi penerusnya dan berhak mempelajari isi Kitab Wedar Kesuma. Tapi, bisa saja sebenarnya kitab itu diserahkan kembali kepada adiknya, dan Nyai Betari Ayu mengasingkan diri dari dunia persilatan. Barangkali sudah ada kesepakatan antara kakak-beradik itu untuk menjadikan kitab tersebut sebagai mas kawin buat sang adik? Jadi, mungkin Betari Ayu tidak ingin adiknya mempunyai sembarang suami yang ilmunya di bawah ilmu sang kakak. Dengan kata lain, siapa ingin menjadi suami Dyah Sariningrum harus diuji dulu tingkat ketinggian ilmunya. Hmmm... apakah itu berarti aku harus bertarung dulu dengan Nyai Betari Ayu?"
Mereka teruskan melangkah sambil mempertimbangkan arah. Singo Bodong bahkan sudah tidak kelihatan, jalannya tanpa berhenti sehingga bikin cemas Dewa Racun sendiri. Karena itu, Suto memerintahkan Dewa Racun untuk mendahului langkahnya menyusul Singo Bodong agar tidak tersesat arah.
Dalam kesendirian langkahnya itulah Suto mempertimbangkan sikap yang harus diambil. Untuk mengalahkan Betari Ayu adalah hal yang mudah. Tapi Suto tidak akan tega melawan Betari Ayu. Jangankan melukai kulitnya, melukai hatinya pun tak sampai hati. Haruskah kasih sayang yang terpendam itu dihancurkan oleh pertarungan untuk memperebutkan Kitab Pusaka Wedar Kesuma?
Langkah Suto kembali terhenti. Kali ini terhenti secara mendadak. Karena di depannya tiba-tiba muncul Singo Bodong berbaju komprang warna merah membawa tambang dipundaknya.
"Oh, kau belum pergi dari pulau ini, Dadung Amuk?"
"Hmmm... belum, Eyang Guru," Dadung Amuk menghormat karena menyangka Pendekar Mabuk gurunya Siluman Tujuh Nyawa.
"Kenapa kau belum pergi? Dan kenapa kau hadang langkahku?"
"Eyang Guru, saya mohon izin untuk tinggal beberapa saat di pulau ini."
"Apa perlumu?" Suto menampakkan kesan wibawanya.
"Ada satu tugas dari sang ketua yang lupa saya bicarakan tadi."
"Tugas apa?"
"Mencari Kitab Wedar Kesuma untuk mas kawin Gusti Mahkota Sejati!"
"Kitab itu tidak ada di sini!"
"Oh, begitukah, Eyang Guru?! Apakah tidak sebaiknya saya diizinkan untuk mencarinya lebih dulu?"
"Dekatlah kemari!" Pendekar Mabuk memanggil dengan dada membusung dan jari tangan menyuruh Dadung Amuk mendekat. Lalu, orang tinggi besar itu membungkuk dan mendekatkan telinganya, Suto pun berbisik, "Kitab Wedar Kesuma..., tapi jangan bilang siapa-siapa, mengerti?"
"Baik. Baik, Eyang Guru. Saya mengerti!"
"Kalau mau dapatkan Kitab Wedar kesuma, pergilah ke Pulau Hantu! Rebutlah dari tangan seorang nenek peot yang berjuluk si Mawar Hitam! Jelas?"
"Jelas, jelas! Jelas sekali, Eyang Guru!"
"Tapi hati-hati melawan dia! Jangan mudah ditipu dan jangan cepat mempercayai kata-katanya. Ingat, Mawar Hitam hanya akan berikan Kitab Wedar Kesuma pada saat menjelang ajal!"
"O, ya! Saya mengerti. Jadi, saya harus bikin dia sekarat dulu!"
"Terserah caramu! Pergilah sana, Eyang merestui!"
"Terima kasih, Eyang Guru!' dan orang bodoh itu pun pergi setelah memberi hormat pada Pendekar Mabuk yang dianggap eyang gurunya.
"Singo Bodong...?!" gumam Suto sendirian. "O, ya... aku hampir lupa dengan Singo Bodong! Seharusnya tadi kudesak Dadung Amuk agar mengaku sebagai Singo Bodong! Paling tidak dia bisa jelaskan apa alasannya memakai Dadung Amuk dan memihak Siluman Tujuh Nyawa! Sayang sekali aku lupa, orang itu pasti sudah pergi jauh ketika kuancam dengan pukulan 'Candra Badar'...!"
Suto juga ingat tentang Dewa Racun. Maka, segera ia kembali ke pohon besar yang menyerupai payung raksasa itu. Ternyata di sana ia sudah ditunggu kedatangannya oleh dua orang, yaitu Dewa Racun dan satu lagi... Singo Bodong. Mata Suto sedikit menyipit heran memperhatikan Singo Bodong berbaju hitam tanpa dikancingkan. Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewa Racun sudah mendahului menyapanya,
"Ddda... dari... dari mana saja kamu? Sejak tadi aku menunggu di sini bersama si orang besar ini, tapi baru sekarang kau muncul!"
Suto masih memandang heran pada wajah Singo Bodong yang tampak tersenyum ceria. Tak ada rasa takut dan tegang sedikit pun. Dalam hatinya Suto berucap kata, "Secepat itukah Dadung Amuk ganti pakaian? Secepat itukah dia lepaskan baju dan menyimpannya dengan rapi bersama tambangnya?"
Dewa Racun ajukan tanya, "Suto... aad... ada apa tadi sebenarnya dddi... di sini?! Ak... aku melihat ada bek... bekas pertempuran. Lihat, pohon itu membekas hit... hitam... hitam sekali! Memm... memm... membentuk bayangan manusia! Tadi waktu kutinggalkan, pohon itu tidak membekas bayangan apa-apa! Ddda... daun-daun juga rontok. Pa... pas... pasti ada pertarungan di sini!"
Suto tidak menjawab pertanyaan Dewa Racun, ia bahkan bergegas menghampiri Singo Bodong yang tampak kegirangan mau diajak pergi itu. Singo Bodong sendiri ajukan tanya, "Aku sudah diizinkan pergi oleh Ibu. Kita mau berangkat kapan? Sekarang?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Pendekar Mabuk. Tapi tangan Pendekar Mabuk segera tarik lengan Singo Bodong mendekati pohon, lalu berkata, "Coba kau peluk pohon itu pas di tempat yang hangus!"
"Apa-apaan ini, Suto?"
"Lakukan saja kalau kau ingin ikut pergi denganku!"
"Baik. Baik! Kau tak perlu bentak aku!"
Singo Bodong memeluk pohon tepat di bagian yang hangus oleh benturan tubuh Dadung Amuk tadi. Dan ternyata ukuran tubuh pas dengan bentuk bayangan manusia yang hangus di pohon itu.
"Cocok! Tak salah lagi!" gumam Pendekar Mabuk membuat Dewa Racun dan Singo Bodong menatapnya penuh keheranan.
"Ap... appp... apa maksudmu, Suto?!" tanya Dewa Racun.
"Aku habis bertarung dengan dia!" sambil Pendekar Mabuk menuding Singo Bodong.
Yang dituding makin kerutkan dahi. "Kau habis bertarung denganku? Oh mana mungkin!" kata Singo Bodong menyanggah. "Aku tidak merasa bertarung denganmu!"
"Jangan pura-pura! Ukuran tubuhmu cocok dengan ukuran bayangan hangus di pohon itu! Kau tadi yang menabrak pohon itu dengan kekuatan tenaga dalammu!"
Dewa Racun membantah, "Ttid... tidak mungkin. Aku ada di rumahnya, menunggui dia mandi dan menimba air sumur! Aku disuguhkan singkong rebus dan diajak bercerita banyak oleh adik perempuannya!"
"Saat kau ngobrol dengan adik perempuannya itulah dia lolos dan menemuiku di sini, berlagak tidak mengenaliku!"
"Tiiid... tidak... tidak mungkin! Aku bicara dengan adik perempuannya di dekat sumur. Aku lihat dia men... men... menimba air!"
"Tapi dia tadi kemari sebagai Dadung Amuk dan mengadu ilmu denganku. Lalu lari ke sana dan aku mengejarnya! Akhirnya dia kusuruh pulang kepada ketuanya, dan dia menurut. Dia pergi menghilang dari pandanganku, lalu aku kemari, dan dia sudah ada di sini!"
"Tidddak... tidak mungkin! Dia selalu bersamaku!" debat Dewa Racun. Sekarang ganti Dewa Racun yang membela Singo Bodong. Sedang yang dibela hanya bengong-bengong tak mengerti maksudnya. Singo Bodong tampak bingung memikirkan perdebatan itu. Dewa Racun segera mengajak Pendekar Mabuk menjauhi Singo Bodong dan berbicara secara kasak-kusuk,
"Apakah kau bertemu Dadung Amuk?"
"Ya!"
"Diiid... dia... dia tidak kau desak untuk mengaku sebagai Singo Bodong?"
"Dia tidak mau mengaku."
"Apakah tidak ada kemungkinan, bahwa dddia... dia memang Dadung Amuk dan buk.. buk... bukan Singo Bodong?"
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Seb... seb... sebab aku berani bersumpah, dia sejak tadi bersamaku. Tidak ke mana-mana."
"Jangan-jangan dia punya ilmu sejenis 'Seberang Raga'? Dirinya yang asli sebagai Daduk Amuk, orang lain atau makhluk lain dijadikan Singo Bodong?"
"Se... se... seperti yang kau miliki itu?"
"Ya!"
Dewa Racun diam tanda tak bisa menjawab dengan pasti. Menurutnya dugaan Pendekar Mabuk memang bisa saja terjadi. Tapi ilmu sejenis itu jarang dimiliki oleh tokoh persilatan. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki ilmu sejenis 'Seberang Raga'. Apakah Singo Bodong termasuk orang dalam jenis tertentu, entahlah! Yang jelas, Dewa Racun kembali mengikuti langkah Suto mendekati Singo Bodong.
"Singo Bodong," kata Pendekar Mabuk. "Kau tahu aku punya ilmu 'Candra Badar' juga! Sekarang juga akan kupukulkan ke tubuhmu ilmu 'Candra Badar' itu!"
"Maksudnya sekarang juga kau akan turunkan ilmu 'Candra Badar' kepada diriku? Oh, boleh, boleh...!" Singo Bodong tampak kegirangan.
Dewa Racun merasa heran sekali dengan sikap Suto. Bahkan ketika Suto menggerakkan tangannya merentang ke depan dan ke belakang dengan kaki kanan lurus ke belakang dan kaki kiri merendah, kepala dan badan ikut merendah, Dewa Racun cepat lompatkan diri dan hadang pukulan itu di depan Singo Bodong.
"Tahan!" serunya. "Aaap... apa... apa maksudmu, Suto?!"
Pendekar Mabuk kendurkan ketegangannya, lalu hempaskan napas, ia memandang Dewa Racun dengan dongkol. Lalu, cepat ia tarik tangan Dewa Racun dan bisikkan kata di tempat jauh dari Singo Bodong. "Aku hanya ingin mengujinya! Bodoh! Seharusnya kau biarkan aku berpura-pura mau lancarkan pukulan 'Candra Badar'. Sebab tadi Dadung Amuk ketakutan waktu kuancam dengan pukulan itu!"
"Ta... tap... tapi apakah kau benar-benar punya pukulan itu?"
"Tidak, Bodoh! Itu hanya pura-pura untuk memancing dia!"
"Kulihat dddi... dia... dia tidak takut, malah salah duga dan kegirangan. Disangkanya kau mau masukkan ilmu 'Candra Badar' sebagai kekuatan diiir...dirinya!"
"Uuuf...! Pusing sekali aku memikirkan keanehan ini!"
"Sebentar lagi hari menn... menjadi sore. Sebaiknya kiit... kita mendekati pantai. Kiit... kita tidur di sana, baru esok paginya berangkat ke Pulau Serindu!"
"Bagaimana dengan anak gajah itu? Tetap diajak?" Suto menuding Singo Bodong.
"Kkkkau... kau sendiri tadi yang usulkan begitu, sekarang kau sendiri yang... yang jadi ragu. Apa maumu sebenarnya, Suto?!"
"Baiklah. Aku yang usulkan, aku pula yang harus tanggung jawab! Kita berangkat sekarang!"
Singo Bodong tampak kegirangan ketika mengikuti langkah Suto dan Dewa Racun. Mereka menyusuri pantai, untuk mencapai tempat disembunyikannya perahu Dewa Racun. Mereka tidak menggunakan langkah cepat seperti kilat, mereka menggunakan langkah biasa, hanya sedikit cepat. Itu saja sudah membuat Singo Bodong ketinggalan beberapa tombak jaraknya.
"Dadung Amuk tadi mengaku utusan dari Siluman Tujuh Nyawa. Tugasnya mencari aku dan membunuhnya. Tapi dia tidak tahu bahwa dia sudah berhadapan dengan Suto. Dan aku tadi mengaku sebagai guru Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli Durmala Sanca."
"Hei, kkau... kau tahu nama asli Siluman Tujuh Nyawa? Dari... dari mana kau tahu nama itu?"
"Oh, ya! Rupanya aku belum cerita padamu. Betari Ayu, orang yang pernah kuceritakan padamu tempo hari itu."
"Hmmm... ya, ya... aakkk... aku. aku ingat. Orang itu yang menaruh kasih sayang padamu! Lantas, ada apa dengan dia?"
"Dddi... ddia... dia adalah..."
"Uts! Jangan ikut-ikutan latah!"
"O, ya. Maaf. Dia adalah kakak dari Dyah Sariningrum!"
"Hahh...?!" Dewa Racun hentikan langkahnya, kaget dan terperangah dongakkan kepala, memandang Suto.
"Kenapa kau terkejut? Aku tidak mendustaimu! Betari Ayu itulah yang menceritakan tentang 'Candra Badar' di dalam tubuh Dyah Sariningrum dan membuat nyai gustimu itu tidak bisa keluar ke mana-mana. Karena takut terbakar oleh sinar matahari, rembulan, bintang bahkan cahaya sinar kunang-kunang"
"Jjja... jaaadi jadi Betari Ayu itu adalah Nyai Guru Dyah Kumalawindu.?!"
"Siapa itu Dyah Kumalawindu?!"
"Kakak da... dari Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"
"Setahuku dia bernama Betari Ayu!"
"Itu nama julukannya! Kkka... kalau benar di... dia... kakak dari Nyai Gusti, berarti dia menyimpan Kitab Pusaka Wedar Kesuma!"
"O, ya! Soal kitab pusaka itu aku pernah dengar. Memang ada di tangannya! Tapi aku tidak tahu kalau dia punya nama sebenarnya adalah Dyah Kumalawindu."
"Jabang bayi!" gumam Dewa Racun, ia tetap diam di tempat sampai Singo Bodong mendekat. Dewa Racun masih termenung, makin lama semakin tampak gelisah.
Singo Bodong berkata, "Langkah kalian boleh cepat dariku. Tapi napas kalian masih kalah dengan napasku. Ayo, jalan lagi! Tak perlu pakai istirahat segala! Bikin lama perjalanan saja!"
Singo Bodong meneruskan langkahnya, menunjukkan bahwa dia belum merasa lelah. Dia tak tahu Suto dan Dewa Racun berhenti bukan karena istirahat, tapi ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Dan langkah Singo Bodong itu dibiarkan oleh mereka berdua, sehingga Singo Bodong ngeloyor sendiri bagai tak mempedulikan mereka lagi.
"Ada apa, Dewa Racun? Kelihatannya kau gelisah sekali setelah kita bicara tentang Betari Ayu itu?"
"Nyai Guru Dyah Kumalawindu, adalah orang yang paling dihormati oleh nyai gustiku. Sebab, kitab Pusaka Wedar Kesuma ada di tangan Nyai Guru Dyah Kumalawindu."
"Apa arti kitab itu bagi Gusti Mahkota Sejati?"
"Oh, kau tahu... tahu... nama kkke... kehormatan nyai gustiku juga rupanya?"
"Betari Ayu yang menceritakannya. Jadi, apa artinya kitab itu bagi nyai gustimu itu?"
"Semua ilmu yang dimiliki nyai gustiku ada di dalam Kitab Wedar Kesuma. Jaa... jadi... setinggi apa pun ilmu Nyai Gusti, dapat... diketahui dan diungguli oleh Nyai Guru Betari Ayu itu. Sedangkan ilmu yang dimiliki Nyai Betari Ayu, tidak banyak diketahui oleh Nyai Guss... Gusti!"
"Terus, apa hubungannya?"
"Begg... beg... begini, Suto," Dewa Racun melompat di salah satu batu supaya tingginya mendekati tinggi tubuh Suto. Lalu ia bicara sungguh-sungguh, "Seeb... sebenarnya, aaad... ada dua syarat yang ingin diajukan oleh Nyai Gusti Dyah Sariningrum kepadamu. Satu syarat aku sudah tahu, yaitu kkkau... kau harus bisa memegang Kitab Pusaka Wedar Kesuma itu! Kkkau... kau harus bisa memilikinya, sebab dengan begitu, semua kekuatan Nyai Gusti dipasrahkan kepadamu. Itulah tanda cinta Nyai kepadamu. Syarat yang kedua, aku bell... beeel... belum tahu!"
"Jadi, aku harus merebut kitab pusaka dari tangan kakaknya?"
"Ssse... seolah-olah begitu. Kkau... kau harus mengalahkan kakaknya lebih dulu dan mengambil alih kitab pusaka itu. Jika kau bisa memiliki dan mengalahkan Nyai Betari Ayu, berarti hidup Nyai Gusti ada di tanganmu. Letak kehormatan Nyai Gusti ada pada dirimu, Suto. Mmmmee... memang sekarang nyai guruku hanya ingin bertemu denganmu. Tapi dalam pertemuan nanti, dia akan bicarakan tentang dua syarat yang... bisa dianggap sebagai mas kawin yang dimintanya."
"Hmmm... begitu maunya?!"
"Jad... jadi... jadi saranku, sebaiknya kau datang ke sana dengan sudah mmmemm... memm... membawa Kitab Wedar Kesuma itu, agar jangan jatuh di tangan orang lain."
"Apakah menurutmu ada orang lain yang mengincar kitab itu?"
"Seee... see... seingatku, satu purnama yang lalu, Nyai Gusti Mahkota Sejati, kedatangan tamu yang paling memuakkan baginya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Kedatangannya masih tetap sama, ingin melamar Nyai Gusti. Jikk... jik... jika Nyai Gusti menerima lamarannya, pukulan 'Candra Badar' akan dilepaskan dari tubuh Nyai Gusti. Tap... tapi... Nyai Gusti mengatakan bahwa beliau tidak punya pilihan lain terhadap lelaki yang ingin dijadikan suaminya kecuali... kecuali kamu Suto Sinting. Ta... tapi... Siluman Tujuh Nyawa tetap mendesak, dddan... dan mengancam akan menghancurkan negeri Puri Gerbang Surgawi, juga akan menenggelamkan Pul... Pul... Pulau Serindu. Hal itu membuat Nyai Gusti cemas, mengkhawatirkan nasib orang-orangnya. Lalu, Nyai Gusti mempunyai cara untuk mempersulit niat Siluman Tujuh Nyawa itu. Beliau mau menerima lamaran Siluman Tujuh Nyawa kkkaa... kaaalau... kalau Siluman Tujuh Nyawa bisa mendapatkan kiiit... kiit.... Kitab Wedar Kesuma. Tentang di mana kitab itu berada, Nyai Guru tidak memm... memm... memberitahukannya."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut. "Jadi, tentunya sekarang ini Siluman Tujuh Nyawa sedang kebingungan mencari Kitab Wedar Kesuma?"
"Aaak.. aku... rasa begitu, Pendekar Mabuk!"
"Dan pantas Siluman Tujuh Nyawa mengutus Dadung Amuk untuk mencari Pendekar Mabuk dan membunuhnya. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa cemburu kepadaku, Dewa Racun!"
"Seep... sepertinya begitu!"
"Kitab Wedar Kesuma...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil merenung lama, sampai akhirnya Dewa Racun berkata,
"Keistimewaan kitab itu lagi, ssse... setiap ilmu yang ditemukan oleh Nyai Gustiku atau Nyai Betari Ayu, sudah langsung tertulis dengan sendirinya di dalam kitab itu!"
"Hebat sekali kitab itu?!" Suto kerutkan dahi.
"Kkaaalau... kalau tidak hebat, tidak akan menjadi mas kawin buat Nyai Gusti Dyah Sariningrum. Paaal... paling tidak, orang yang akan meminang Nyai Guru Mahkota Sejati, harus mengalahkan kakaknya terlebih dulu dan merebut kitab pusaka itu."
Suto manggut-manggut dalam renungannya, lalu hatinya membatin, "Tapi kenapa dulu kitab itu akan diserahkan kepada Selendang Kubur atau Dewi Murka? Hmmm... mungkin waktu itu Nyai Betari Ayu menganggap salah satu dari muridnya layak menjadi penerusnya dan berhak mempelajari isi Kitab Wedar Kesuma. Tapi, bisa saja sebenarnya kitab itu diserahkan kembali kepada adiknya, dan Nyai Betari Ayu mengasingkan diri dari dunia persilatan. Barangkali sudah ada kesepakatan antara kakak-beradik itu untuk menjadikan kitab tersebut sebagai mas kawin buat sang adik? Jadi, mungkin Betari Ayu tidak ingin adiknya mempunyai sembarang suami yang ilmunya di bawah ilmu sang kakak. Dengan kata lain, siapa ingin menjadi suami Dyah Sariningrum harus diuji dulu tingkat ketinggian ilmunya. Hmmm... apakah itu berarti aku harus bertarung dulu dengan Nyai Betari Ayu?"
Mereka teruskan melangkah sambil mempertimbangkan arah. Singo Bodong bahkan sudah tidak kelihatan, jalannya tanpa berhenti sehingga bikin cemas Dewa Racun sendiri. Karena itu, Suto memerintahkan Dewa Racun untuk mendahului langkahnya menyusul Singo Bodong agar tidak tersesat arah.
Dalam kesendirian langkahnya itulah Suto mempertimbangkan sikap yang harus diambil. Untuk mengalahkan Betari Ayu adalah hal yang mudah. Tapi Suto tidak akan tega melawan Betari Ayu. Jangankan melukai kulitnya, melukai hatinya pun tak sampai hati. Haruskah kasih sayang yang terpendam itu dihancurkan oleh pertarungan untuk memperebutkan Kitab Pusaka Wedar Kesuma?
Langkah Suto kembali terhenti. Kali ini terhenti secara mendadak. Karena di depannya tiba-tiba muncul Singo Bodong berbaju komprang warna merah membawa tambang dipundaknya.
"Oh, kau belum pergi dari pulau ini, Dadung Amuk?"
"Hmmm... belum, Eyang Guru," Dadung Amuk menghormat karena menyangka Pendekar Mabuk gurunya Siluman Tujuh Nyawa.
"Kenapa kau belum pergi? Dan kenapa kau hadang langkahku?"
"Eyang Guru, saya mohon izin untuk tinggal beberapa saat di pulau ini."
"Apa perlumu?" Suto menampakkan kesan wibawanya.
"Ada satu tugas dari sang ketua yang lupa saya bicarakan tadi."
"Tugas apa?"
"Mencari Kitab Wedar Kesuma untuk mas kawin Gusti Mahkota Sejati!"
"Kitab itu tidak ada di sini!"
"Oh, begitukah, Eyang Guru?! Apakah tidak sebaiknya saya diizinkan untuk mencarinya lebih dulu?"
"Dekatlah kemari!" Pendekar Mabuk memanggil dengan dada membusung dan jari tangan menyuruh Dadung Amuk mendekat. Lalu, orang tinggi besar itu membungkuk dan mendekatkan telinganya, Suto pun berbisik, "Kitab Wedar Kesuma..., tapi jangan bilang siapa-siapa, mengerti?"
"Baik. Baik, Eyang Guru. Saya mengerti!"
"Kalau mau dapatkan Kitab Wedar kesuma, pergilah ke Pulau Hantu! Rebutlah dari tangan seorang nenek peot yang berjuluk si Mawar Hitam! Jelas?"
"Jelas, jelas! Jelas sekali, Eyang Guru!"
"Tapi hati-hati melawan dia! Jangan mudah ditipu dan jangan cepat mempercayai kata-katanya. Ingat, Mawar Hitam hanya akan berikan Kitab Wedar Kesuma pada saat menjelang ajal!"
"O, ya! Saya mengerti. Jadi, saya harus bikin dia sekarat dulu!"
"Terserah caramu! Pergilah sana, Eyang merestui!"
"Terima kasih, Eyang Guru!' dan orang bodoh itu pun pergi setelah memberi hormat pada Pendekar Mabuk yang dianggap eyang gurunya.
*
* *
TUJUH
SEPENINGGALAN Dadung Amuk, Pendekar Mabuk kembali renungkan diri. Ia membatin dalam hatinya, "Lagi-lagi dia muncul pada saat Singo Bodong tidak ada di tempat! Mungkinkah Singo Bodong dapat berubah secepat itu? Tapi dari mana dia sembunyikan tambang yang selalu digulung menggantung di pundaknya! itu? Setahuku sejak dari desa dia berangkat tanpa membawa tambang. Bajunya tetap hitam, bukan merah. Dan lagi-lagi aku lupa mendesaknya untuk mengaku siapa dirinya sebenarnya! Apakah kali ini Dewa Racun tetap ada bersama Singo Bodong? Ataukah dia sedang kelimpungan mencari Singo Bodong?"
Dari arah kejauhan, tampak dua sosok manusia berlarian menuju ke arah Pendekar Mabuk. Cepat-cepat Suto menyongsong mereka, karena mereka adalah Dewa Racun dan Singo Bodong.
"Hamm... ham... hampir saja dia jatuh dari tebing kalau tidak segera kutolong!" kata Dewa Racun sambil menuding Singo Bodong yang terbengong-bengong.
"Kenapa dia berada di tebing?"
Singo Bodong menyahut, "Jalannya buntu. Harus memanjat tebing untuk mencapai pantai berikutnya! Jadi, aku naik ketebing."
"Man... man... manusia ini bodoh sekali! Dia pilih teb... teb... tebing yang licin untuk dipanjatnya. Padahal ada tebing yang kering dan bisa untuk lee... leee... lewat!"
Suto menarik tangan Dewa Racun, menjauh sedikit dan berbisik, "Dalam beberapa saat tadi kau benar-benar bersamanya?"
"Bbe... be... benar! Ada apa?"
"Dadung Amuk baru saja menemuiku."
Terkesiap mata Dewa Racun menatap Pendekar Mabuk. Suto melanjutkan bisikannya sambil sedikit melirik Singo Bodong, "Dia juga diperintahkan untuk mencari Kitab Wedar Kesuma!"
"Oh...? App... apa... apakah dia sudah tahu di mana letaknya?"
"Belum. Kutunjukkan arah yang salah. Kusuruh dia mencarinya pada Mawar Hitam di Pulau Hantu."
"He he he...!" Dewa Racun terkekeh geli. "Pin... pintar juga kau rupanya. Kkaau... kau umpankan Dadung Amuk kepada Mawar Hitam. Pas... pasti habislah Dadung Amuk dihajar si Mawar Hitam itu!
"Ya, tapi itu kalau Dadung Amuk bukan Singo Bodong goblok itu! Tapi kalau Dadung Amuk adalah Singo Bodong, maka ia selamat dari ancaman Mawar Hitam!"
"Kkku... kurasa mereka memang berbeda. Dia sejak tadi bersamaku dan setiap gerakannya kkku... kuperhatikan!"
"Baiklah. Aku percaya padamu! Tapi aku perlu tanyakan sesuatu kepadanya," lalu Pendekar Mabuk pun bergegas temui Singo Bodong yang merasa tak suka mereka kasak-kusuk terus sejak tadi. "Singo Bodong, kau punya saudara berapa?"
"Satu," jawab Singo Bodong setelah diam sebentar merasa heran.
"Seorang adik atau seorang kakak?"
"Seorang adik."
"Lelaki atau perempuan?"
"Perempuan. Dewa Racun sudah ngobrol sama adikku!"
Dewa Racun menyahut, "Ya. Ddiiia... dia punya adik perempuan yang bernama Narsih. Anaknya sudah empat. Suaminya nelayan."
"Sebaiknya biarkan dulu aku bicara pada dia! Kau tak perlu ikut campur. Mengerti?"
"Baaa... baik!" Dewa Racun agak takut sedikit melihat Pendekar Mabuk tanpa senyum.
"Singo Bodong, jujur saja katakan padaku, apakah kau tidak mempunyai saudara kembar?"
"Saudara kembar...?! Kurasa aku lahir tunggal dari perut ibuku."
"Kau yakin tidak punya saudara lagi?"
"Tidak punya!" jawab Singo Bodong. "Ibuku hanya melahirkan dua kali. Pertama aku, kedua Narsih. Jangan kau suruh ibuku melahirkan lagi. Dia sudah cukup tua!"
Pendekar Mabuk bergegas ke tepian hutan tak jauh dari pantai, hanya berjarak sepuluh langkah lewat sedikit. Dewa Racun dan Singo Bodong mengikutinya. Suto memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu duduk di dekatnya. Singo Bodong menurut bagaikan patuh pada segala perintah Suto. Ia duduk di bongkahan batu yang ada di depan Pendekar Mabuk. Dewa Racun mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon berdahan lengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah. Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan percakapan Suto dengan Singo Bodong.
Agaknya Pendekar Mabuk kali ini bersungguh-sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong. Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar Mabuk tak pernah peduli dengan kegelapan bumi.
"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"
"Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!" jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi bodoh itu.
"Siapa nama aslimu?" "Sugali!"
"Mengapa kau disebut Singo Bodong?"
"Karena... hmmm... karena sewaktu kecil aku hampir mati dimakan seekor singa. Tapi segera diselamatkan oleh orang-orang desa. Sejak itu aku dipanggil Bodong!" sambil menunjukkan pusarnya yang memang melotot keluar bagai mata orang sedang marah.
"Baiklah, aku percaya!"
"Sejak kita jumpa di kerumunan orang depan kedai itu, kau dan Dewa Racun selalu curigai aku terus. Ada apa sebenarnya?"
"Ada orang mirip kamu dan mengaku bernama Dadung Amuk!"
"Mirip aku?!" Singo Bodong memegang dadanya sendiri. "Dia mirip Singo Bodong? Oh, tidak mungkin, Singo Bodong hanya satu! Singo Bodong tidak mau disamakan dengan Dadung Amuk!"
"Kau benar-benar tidak mengenal Dadung Amuk?"
"Tidak. Singo Bodong tidak kenal dengan Dadung Amuk!" Singo Bodong tetap menggeleng. "Kalau ada orang yang meniru-niru penampilan Singo Bodong, ooh... Singo Bodong akan marah. Singo Bodong akan adukan orang itu pada ibu."
"Orang ini gede-gede bisul!" pikir Dewa Racun. "Kelihatannya saja gede, tua, tapi jiwanya masih anak- anak! Masih suka manja kepada ibunya. Pantaslah kalau dia tidak laku kawin walau usianya sudah cukup dewasa."
Suto juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Dewa Racun. Namun Suto tidak menghanyutkan diri dalam pemikiran itu, ia segera ajukan pertanyaan yang membuat Singo Bodong tertegun beberapa saat,
"Apakah ayahmu masih ada?"
Singo Bodong menarik napas panjang-panjang. Matanya yang lebar berkesan galak itu menjadi redup. Pendekar Mabuk jadi kerutkan dahi. Sesaat kemudian terdengarlah jawaban dari mulut Singo Bodong yang bernada lesu, "Aku tidak tahu, apakah ayahku masih ada atau tidak."
"Mengapa begitu?"
"Dulu, semasa masih mudanya ibuku adalah seorang sinden, ia berkeliling ke mana-mana bersama rombongan tayub. Dulu, katanya Ibu pesinden tercantik. Banyak lelaki suka padanya. Sampai satu saat, Ibu lahirkan aku dari lelaki yang tidak mau menikahi Ibu. Lelaki itu sekarang entah ada di mana, masih hidup atau sudah mati, Ibu sendiri tak tahu." Wajah duka melapisi kulit coklat tua yang berkumis tebal itu.
Suto melihat kesungguhan dari cerita Singo Bodong. Lalu, Suto bertanya lagi. "Adikmu yang perempuan itu apakah lahir dari lelaki yang sama?"
"Tidak. Adikku lahir dari Ibu!"
"Iya. Maksudku, apakah lahir akibat hubungan ibumu dengan laki-laki yang menjadi bapakmu itu?"
"Kata Ibu, memang iya! Tapi sejak lahirnya Narsih, ibuku tidak mau lagi berhubungan dengan orang itu."
"Kenapa?"
"Karena orang itu tidak pernah muncul lagi. Dan Ibu tidak tahu harus mencarinya ke mana. Lalu, Ibu berhenti jadi sinden, padahal Ibu punya suara bagus. Sampai sekarang Ibu masih suka alunkan tembang di tengah malam. Kalau dia sudah alunkan tembang, waaah..."
"Ya ya ya...! Cukup! Aku sudah bisa bayangkan kehebatan ibumu," potong Suto yang merasa tak perlu mendengar pujian seorang anak kepada ibunya.
Dewa Racun melompat dari dahan. Turun mendekati Pendekar Mabuk dan berbisik, "Aak... aakk... aku rasa dia bukan hasil dari sejenis Sa... Sab. Sabrang Raga."
"Ya. Lalu siapa Dadung Amuk itu sebenarnya? Ayahnya dia?"
"Mungkin saja!"
Suto ajukan tanya lagi kepada Singo Bodong, "Apakah kau pernah dengar ibumu sebutkan ciri-ciri lelaki yang menjadi bapakmu itu?"
"Hmmm...!" Singo Bodong kerutkan dahi sejenak, lalu menjawab, "Menurut cerita Ibu, bapakku orang yang ganteng, tampan sepertiku kira-kira. Dia sering disebut Ibu dengan sebutan sang Arjuna!"
Dewa Racun tertawa tertahan dan berbisik kepada Pendekar Mabuk, "Kaaal... kalau hasil cetakannya seperti dia, lantas sang Arjuna-nya seperti apa menurutmu?"
"Rusak," jawab Suto sedikit tersenyum, lalu kembali bersikap tegas kepada Singo Bodong. "Kau pernah dengar ibumu menyebutkan nama bapakmu?"
"Hmmm... hm... dulu pernah."
"Siapa nama bapakmu itu?"
"Aku lupa. Aku tidak pernah mengingatnya. Tapi Ibu lebih sering memanggilnya Arjuna!"
Dewa Racun berbisik lagi, "Jangan-jangan ibunya tidak bisa bedakan antara Arjuna dengan Dasamuka?!" Ia tertawa terkikik dengan mulut dibungkam sendiri.
Suto hanya tersenyum tipis dan tak mau tanggapi kelakar itu. Tapi tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Naah...! Hampir seperti itu namanya! Hampir seperti... siapa tadi?"
"Dasamuka?" ulang Dewa Racun.
"Iya. Iya...! Hampir seperti Dasamuka nama bapakku."
"Dasamuka itu tokoh raksasa dalam pewayangan!"
"Iya. Aku tahu, karena aku sering nonton wayang. Tapi, nama bapakku hampir sama dengan Dasamuka!"
Pendekar Mabuk menggumam dan berpikir beberapa saat. "Siapa nama tokoh dunia persilatan yang bernama mirip Dasamuka?"
"Bbbe... belum tentu orang itu dari tokoh persilatan!"
Kemudian Suto ajukan tanya lagi pada Singo Bodong, "Apakah ibumu pernah ceritakan kehebatan orang yang menjadi pujaan hatinya itu?"
"Hhmm... ya. Pernah. Ibu pernah cerita kalau sang Arjuna itu pandai berkelahi. Kalau berkelahi tidak pernah kalah!"
Suto memandang Dewa Racun dan berkata pelan, "Jelas dia dari tokoh persilatan!"
"Hmmm.... Sssi... siapa? Siapa tokoh persilatan yang namanya mirip Dasamuka? Aaap... apakah Durmala, kurasa itu tak mungkin!"
Tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Yaaaa...! Itu...!" Ia menuding Dewa Racun, yang membuat Dewa Racun sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya. "Itu nama bapakku! Durmala...! Tapi... Durmala siapa, ya?" pikir Singo Bodong.
Suto cepat menyahut. "Durmala Sanca...?"
"Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan semangat. "Betul! Nama bapakku betul itu, Durmala Sanca!"
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama Suto dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak mendengar nama ayah dari Singo Bodong adalah Durmala Sanca. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh Suto maupun Dewa Racun, karena Durmala Sanca adalah nama asli Siluman Tujuh Nyawa.
"Apakah kau percaya dengan kata-katanya?" Suto mencari tahu perasaan Dewa Racun.
Dan si kerdil yang gagap itu menjawab, "Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak mirip nama Durmala Sanca. Mungkin dia salah dengar atau salah ingat. Tak mungkin Dur... Durmala Sanca punya anak seperti dia!"
Kemudian Pendekar Mabuk segera tanyakan pada Singo Bodong, "Apakah kau tidak salah dengar tentang nama itu?"
"Tidak. Kurasa tidak. Malahan Ibu pernah bilang aku tak boleh menanyakan perihal lelaki yang telah dianggapnya siluman itu."
Kembali mata Suto beradu pandang dengan mata Dewa Racun. Kejap berikutnya mereka sama-sama terbungkam mulut, hanyut dalam kecamuk batinnya masing-masing. Ketika petang tiba, Pendekar Mabuk mencarikan tempat bermalam untuk Singo Bodong. Sebuah pohon berdahan lebar dan pipih dijadikan tempat bermalam oleh mereka. Dalam kejap berikutnya Singo Bodong telah tidur mendengkur mirip babi kelelahan. Sesuatu yang aneh dirasakan oleh Suto dan Dewa Racun. Sesuatu yang aneh itu sama-sama dipendamnya dalam hati. Tapi lama-lama keduanya tak tahan memendam keanehan itu, lalu Suto yang mengawali bicara,
"Kau rasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi?"
"Bbbe... betul. Aku merasakan. Taaap... tapi menurutmu apa keanehan itu?"
"Suara dengkuran Singo Bodong."
"Ya. Beeet... beeet... betul!" bisik Dewa Racun sedikit tegang.
"Dengkuran Singo Bodong membuat pohon ini bergetar."
"Ya. Bbbe... beeet... betul. Aku merasakan getarannya walau sangat pelan."
"Padahal pohon ini cukup besar, akarnya pun merambah ke mana-mana dalam bentuk pipih. Pohon ini cukup kekar. Tapi kenapa bergetar hanya karena suara dengkuran Singo Bodong?"
"Jang... jang... jangan-jangan dia memang Siluman Tujuh Nyawa?! Dia mewarisi darah kesaktian Siluman Tujuh Nyawa! Dia tid.... tidd... tidak menyadari hal itu. Meen... menurut cerita Narsih, adiknya, Singo Bodong jarang tidur di rumah. Ibunya tidak suka jika Singo Bodong tidur di rumah."
"Alasannya apa?"
"Kalau dia tidur, rumahnya seep... seep... seperti mau runtuh!"
"Begitukah dia?"
"Kupikir tadinya iit... itu hanya olok-olok Narsih saja. Tapi... tapi melihat kenyataan ini, apa yang dddi... dikatakan Narsih itu benar. Singo Bodong kalau tidur bikin rumah mau roboh, kareeena... karena rumah itu pasti bergetar oleh suara dengkurannya!"
Suto menarik napas, lalu ia ucapkan kata lirih, "Semakin membingungkan masalah ini! Jika benar Singo Bodong anak Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa, lantas Dadung Amuk itu siapa? Apakah juga anaknya Durmala Sanca? Tapi Dadung Amuk menyebut Durmala Sanca dengan kata sang ketua. Dia tidak menyebutkan sang ayah."
"Jang... jaaang... jangan-jangan, Singo Bodong sendiri tidak menyadari bahwa dirinya bisa memecah diri menjadi satu orang lagi. Sat..satu...satu orang dari hasil titisannya itulah yang menjadi Dadung Amuk! Tap... tapi... tapi dia tidak sadari hal itu, sama halnya dia tidak sadari kaaal... kalau dengkurannya bisa menggetarkan batang pohon sebesar dan sekokoh iin... inn... ini!"
"Kau semakin banyak mengajukan kemungkinan, semakin bingung aku memikirkannya," kata Suto. "Kalau Singo Bodong bisa memecah diri menjadi Dadung Amuk, berarti Singo Bodong orang sakti?"
"Sebagai se... se... seorang Singo, mungkin dia tidak sakti. Tapi see... sebagai seorang Dadung Amuk, dia cukup sakti. Paling tidak, berilmu ting... ting... tinggi!"
Suto menenggak tuaknya sesaat. Setelah itu termenung beberapa lama. Suara dengkur Singo Bodong hampir mirip lolong serigala. Setiap hembusan napas menghadirkan suara berubah-ubah. Suara itu membuat dedaunan bergetar, ranting, dan dahan pohon ikut terasa gemetar.
"Barangkali dia akan menjadi orang hebat kalau dibekali ilmu tenaga dalam," kata Suto kepada Dewa Racun yang duduk di samping kanannya.
"Apakah kau bermaksud membekali sebagian tenaga dalammu?"
"Aku sedang pertimbangkan untung-ruginya."
"Un... untungnya dia bisa jaga diri sendiri dan... dan... dan tidak merepotkan kita kalau addd... ada apa-apa. Tapi ruginya, kalau dddi... dia... dia berontak kepada kita, sama saja senjata maak... makan... makan tuan!"
"Tentu saja menyalurkan tenaga dalam harus pakai takaran, yang sewaktu-waktu kita bisa lumpuhkan sendiri!"
"Kkkal... kalau kau punya pikiran bbbeg... beeg... begitu, ya sudah. Lakukanlah!"
Suto masih diam, kembali meneguk tuaknya beberapa kali. Ia pikirkan masak-masak tentang rencana menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Singo Bodong. Tapi rasa penasaran ingin mengetahui siapa dan sejauh mana kekuatan Singo Bodong, membuat Suto akhirnya bergegas mendekati tidurnya Singo Bodong. Tetapi baru saja Pendekar Mabuk ingin memegang kaki Singo Bodong, tahu-tahu tangannya tersentak ke belakang, hampir membuatnya terjatuh dari atas pohon.
Wuuuut...!
"Edan...!" sentak Suto dengan suara tertahan.
"Add... ada apa...?!" Dewa Racun kaget dan bergegas bangkit.
Suto melangkah mundur dalam pijakan dahan yang sama. Ia mendekati Dewa Racun dan berbisik, "Tubuhnya tak bisa disentuh."
"Mak... maksudmu...?"
"Ada tenaga dalam yang bekerja dengan sendirinya, melapisi tubuhnya. Tanganku seperti kesemutan. Linu rasa tulangku."
"Aaan... aneh sekali! Beeet... betul... betulkah begitu?"
Dewa Racun penasaran, ia segera mendekati Singo Bodong, ia bermaksud menendang pelan kaki Singo Bodong yang masih tetap mendengkur itu. Tetapi, tiba-tiba kaki Dewa Racun bagai ada yang menyentakkan kuat-kuat, yaitu suatu tenaga bergelombang menghempaskan kaki itu.
Wuuut...! Sreet...! Braas...!
"Aauw...!" Dewa Racun terpekik, ia jatuh karena tubuh kecilnya terpental. Untung tangannya cepat meraih salah satu akar yang mirip tambang itu, sehingga ia bergelayutan sesaat di sana. Suto menertawakan sekejap, dan membiarkan Dewa Racun naik kembali melalui ayunan tangannya. Tubuh kecil itu bersalto dan hinggap di dahan samping Suto.
"Bagaimana? Benar apa yang kukatakan tadi, bahwa dia punya lapisan tenaga dalam yang membuat dirinya tak bisa disentuh orang?"
"Beeen... ben... benar! Dan cukup kuat. An... aneh sekali. Dia orang bodoh, lugu, tapi sebenarnya dia punya kekuatan yang cukup besar. Jang... jang... jangan-jangan kekuatan itu adalah kekuatan yang dimiliki Dadung Amuk?!"
"Dadung Amuk?!" gumam Suto dalam berpikir. "Ya. Mungkin dalam keadaan tak sadar seperti ini, dia menjadi Dadung Amuk?!"
Dari arah kejauhan, tampak dua sosok manusia berlarian menuju ke arah Pendekar Mabuk. Cepat-cepat Suto menyongsong mereka, karena mereka adalah Dewa Racun dan Singo Bodong.
"Hamm... ham... hampir saja dia jatuh dari tebing kalau tidak segera kutolong!" kata Dewa Racun sambil menuding Singo Bodong yang terbengong-bengong.
"Kenapa dia berada di tebing?"
Singo Bodong menyahut, "Jalannya buntu. Harus memanjat tebing untuk mencapai pantai berikutnya! Jadi, aku naik ketebing."
"Man... man... manusia ini bodoh sekali! Dia pilih teb... teb... tebing yang licin untuk dipanjatnya. Padahal ada tebing yang kering dan bisa untuk lee... leee... lewat!"
Suto menarik tangan Dewa Racun, menjauh sedikit dan berbisik, "Dalam beberapa saat tadi kau benar-benar bersamanya?"
"Bbe... be... benar! Ada apa?"
"Dadung Amuk baru saja menemuiku."
Terkesiap mata Dewa Racun menatap Pendekar Mabuk. Suto melanjutkan bisikannya sambil sedikit melirik Singo Bodong, "Dia juga diperintahkan untuk mencari Kitab Wedar Kesuma!"
"Oh...? App... apa... apakah dia sudah tahu di mana letaknya?"
"Belum. Kutunjukkan arah yang salah. Kusuruh dia mencarinya pada Mawar Hitam di Pulau Hantu."
"He he he...!" Dewa Racun terkekeh geli. "Pin... pintar juga kau rupanya. Kkaau... kau umpankan Dadung Amuk kepada Mawar Hitam. Pas... pasti habislah Dadung Amuk dihajar si Mawar Hitam itu!
"Ya, tapi itu kalau Dadung Amuk bukan Singo Bodong goblok itu! Tapi kalau Dadung Amuk adalah Singo Bodong, maka ia selamat dari ancaman Mawar Hitam!"
"Kkku... kurasa mereka memang berbeda. Dia sejak tadi bersamaku dan setiap gerakannya kkku... kuperhatikan!"
"Baiklah. Aku percaya padamu! Tapi aku perlu tanyakan sesuatu kepadanya," lalu Pendekar Mabuk pun bergegas temui Singo Bodong yang merasa tak suka mereka kasak-kusuk terus sejak tadi. "Singo Bodong, kau punya saudara berapa?"
"Satu," jawab Singo Bodong setelah diam sebentar merasa heran.
"Seorang adik atau seorang kakak?"
"Seorang adik."
"Lelaki atau perempuan?"
"Perempuan. Dewa Racun sudah ngobrol sama adikku!"
Dewa Racun menyahut, "Ya. Ddiiia... dia punya adik perempuan yang bernama Narsih. Anaknya sudah empat. Suaminya nelayan."
"Sebaiknya biarkan dulu aku bicara pada dia! Kau tak perlu ikut campur. Mengerti?"
"Baaa... baik!" Dewa Racun agak takut sedikit melihat Pendekar Mabuk tanpa senyum.
"Singo Bodong, jujur saja katakan padaku, apakah kau tidak mempunyai saudara kembar?"
"Saudara kembar...?! Kurasa aku lahir tunggal dari perut ibuku."
"Kau yakin tidak punya saudara lagi?"
"Tidak punya!" jawab Singo Bodong. "Ibuku hanya melahirkan dua kali. Pertama aku, kedua Narsih. Jangan kau suruh ibuku melahirkan lagi. Dia sudah cukup tua!"
Pendekar Mabuk bergegas ke tepian hutan tak jauh dari pantai, hanya berjarak sepuluh langkah lewat sedikit. Dewa Racun dan Singo Bodong mengikutinya. Suto memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu duduk di dekatnya. Singo Bodong menurut bagaikan patuh pada segala perintah Suto. Ia duduk di bongkahan batu yang ada di depan Pendekar Mabuk. Dewa Racun mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon berdahan lengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah. Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan percakapan Suto dengan Singo Bodong.
Agaknya Pendekar Mabuk kali ini bersungguh-sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong. Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar Mabuk tak pernah peduli dengan kegelapan bumi.
"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"
"Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!" jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi bodoh itu.
"Siapa nama aslimu?" "Sugali!"
"Mengapa kau disebut Singo Bodong?"
"Karena... hmmm... karena sewaktu kecil aku hampir mati dimakan seekor singa. Tapi segera diselamatkan oleh orang-orang desa. Sejak itu aku dipanggil Bodong!" sambil menunjukkan pusarnya yang memang melotot keluar bagai mata orang sedang marah.
"Baiklah, aku percaya!"
"Sejak kita jumpa di kerumunan orang depan kedai itu, kau dan Dewa Racun selalu curigai aku terus. Ada apa sebenarnya?"
"Ada orang mirip kamu dan mengaku bernama Dadung Amuk!"
"Mirip aku?!" Singo Bodong memegang dadanya sendiri. "Dia mirip Singo Bodong? Oh, tidak mungkin, Singo Bodong hanya satu! Singo Bodong tidak mau disamakan dengan Dadung Amuk!"
"Kau benar-benar tidak mengenal Dadung Amuk?"
"Tidak. Singo Bodong tidak kenal dengan Dadung Amuk!" Singo Bodong tetap menggeleng. "Kalau ada orang yang meniru-niru penampilan Singo Bodong, ooh... Singo Bodong akan marah. Singo Bodong akan adukan orang itu pada ibu."
"Orang ini gede-gede bisul!" pikir Dewa Racun. "Kelihatannya saja gede, tua, tapi jiwanya masih anak- anak! Masih suka manja kepada ibunya. Pantaslah kalau dia tidak laku kawin walau usianya sudah cukup dewasa."
Suto juga mempunyai pemikiran yang sama dengan Dewa Racun. Namun Suto tidak menghanyutkan diri dalam pemikiran itu, ia segera ajukan pertanyaan yang membuat Singo Bodong tertegun beberapa saat,
"Apakah ayahmu masih ada?"
Singo Bodong menarik napas panjang-panjang. Matanya yang lebar berkesan galak itu menjadi redup. Pendekar Mabuk jadi kerutkan dahi. Sesaat kemudian terdengarlah jawaban dari mulut Singo Bodong yang bernada lesu, "Aku tidak tahu, apakah ayahku masih ada atau tidak."
"Mengapa begitu?"
"Dulu, semasa masih mudanya ibuku adalah seorang sinden, ia berkeliling ke mana-mana bersama rombongan tayub. Dulu, katanya Ibu pesinden tercantik. Banyak lelaki suka padanya. Sampai satu saat, Ibu lahirkan aku dari lelaki yang tidak mau menikahi Ibu. Lelaki itu sekarang entah ada di mana, masih hidup atau sudah mati, Ibu sendiri tak tahu." Wajah duka melapisi kulit coklat tua yang berkumis tebal itu.
Suto melihat kesungguhan dari cerita Singo Bodong. Lalu, Suto bertanya lagi. "Adikmu yang perempuan itu apakah lahir dari lelaki yang sama?"
"Tidak. Adikku lahir dari Ibu!"
"Iya. Maksudku, apakah lahir akibat hubungan ibumu dengan laki-laki yang menjadi bapakmu itu?"
"Kata Ibu, memang iya! Tapi sejak lahirnya Narsih, ibuku tidak mau lagi berhubungan dengan orang itu."
"Kenapa?"
"Karena orang itu tidak pernah muncul lagi. Dan Ibu tidak tahu harus mencarinya ke mana. Lalu, Ibu berhenti jadi sinden, padahal Ibu punya suara bagus. Sampai sekarang Ibu masih suka alunkan tembang di tengah malam. Kalau dia sudah alunkan tembang, waaah..."
"Ya ya ya...! Cukup! Aku sudah bisa bayangkan kehebatan ibumu," potong Suto yang merasa tak perlu mendengar pujian seorang anak kepada ibunya.
Dewa Racun melompat dari dahan. Turun mendekati Pendekar Mabuk dan berbisik, "Aak... aakk... aku rasa dia bukan hasil dari sejenis Sa... Sab. Sabrang Raga."
"Ya. Lalu siapa Dadung Amuk itu sebenarnya? Ayahnya dia?"
"Mungkin saja!"
Suto ajukan tanya lagi kepada Singo Bodong, "Apakah kau pernah dengar ibumu sebutkan ciri-ciri lelaki yang menjadi bapakmu itu?"
"Hmmm...!" Singo Bodong kerutkan dahi sejenak, lalu menjawab, "Menurut cerita Ibu, bapakku orang yang ganteng, tampan sepertiku kira-kira. Dia sering disebut Ibu dengan sebutan sang Arjuna!"
Dewa Racun tertawa tertahan dan berbisik kepada Pendekar Mabuk, "Kaaal... kalau hasil cetakannya seperti dia, lantas sang Arjuna-nya seperti apa menurutmu?"
"Rusak," jawab Suto sedikit tersenyum, lalu kembali bersikap tegas kepada Singo Bodong. "Kau pernah dengar ibumu menyebutkan nama bapakmu?"
"Hmmm... hm... dulu pernah."
"Siapa nama bapakmu itu?"
"Aku lupa. Aku tidak pernah mengingatnya. Tapi Ibu lebih sering memanggilnya Arjuna!"
Dewa Racun berbisik lagi, "Jangan-jangan ibunya tidak bisa bedakan antara Arjuna dengan Dasamuka?!" Ia tertawa terkikik dengan mulut dibungkam sendiri.
Suto hanya tersenyum tipis dan tak mau tanggapi kelakar itu. Tapi tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Naah...! Hampir seperti itu namanya! Hampir seperti... siapa tadi?"
"Dasamuka?" ulang Dewa Racun.
"Iya. Iya...! Hampir seperti Dasamuka nama bapakku."
"Dasamuka itu tokoh raksasa dalam pewayangan!"
"Iya. Aku tahu, karena aku sering nonton wayang. Tapi, nama bapakku hampir sama dengan Dasamuka!"
Pendekar Mabuk menggumam dan berpikir beberapa saat. "Siapa nama tokoh dunia persilatan yang bernama mirip Dasamuka?"
"Bbbe... belum tentu orang itu dari tokoh persilatan!"
Kemudian Suto ajukan tanya lagi pada Singo Bodong, "Apakah ibumu pernah ceritakan kehebatan orang yang menjadi pujaan hatinya itu?"
"Hhmm... ya. Pernah. Ibu pernah cerita kalau sang Arjuna itu pandai berkelahi. Kalau berkelahi tidak pernah kalah!"
Suto memandang Dewa Racun dan berkata pelan, "Jelas dia dari tokoh persilatan!"
"Hmmm.... Sssi... siapa? Siapa tokoh persilatan yang namanya mirip Dasamuka? Aaap... apakah Durmala, kurasa itu tak mungkin!"
Tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Yaaaa...! Itu...!" Ia menuding Dewa Racun, yang membuat Dewa Racun sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya. "Itu nama bapakku! Durmala...! Tapi... Durmala siapa, ya?" pikir Singo Bodong.
Suto cepat menyahut. "Durmala Sanca...?"
"Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan semangat. "Betul! Nama bapakku betul itu, Durmala Sanca!"
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama Suto dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak mendengar nama ayah dari Singo Bodong adalah Durmala Sanca. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh Suto maupun Dewa Racun, karena Durmala Sanca adalah nama asli Siluman Tujuh Nyawa.
"Apakah kau percaya dengan kata-katanya?" Suto mencari tahu perasaan Dewa Racun.
Dan si kerdil yang gagap itu menjawab, "Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak mirip nama Durmala Sanca. Mungkin dia salah dengar atau salah ingat. Tak mungkin Dur... Durmala Sanca punya anak seperti dia!"
Kemudian Pendekar Mabuk segera tanyakan pada Singo Bodong, "Apakah kau tidak salah dengar tentang nama itu?"
"Tidak. Kurasa tidak. Malahan Ibu pernah bilang aku tak boleh menanyakan perihal lelaki yang telah dianggapnya siluman itu."
Kembali mata Suto beradu pandang dengan mata Dewa Racun. Kejap berikutnya mereka sama-sama terbungkam mulut, hanyut dalam kecamuk batinnya masing-masing. Ketika petang tiba, Pendekar Mabuk mencarikan tempat bermalam untuk Singo Bodong. Sebuah pohon berdahan lebar dan pipih dijadikan tempat bermalam oleh mereka. Dalam kejap berikutnya Singo Bodong telah tidur mendengkur mirip babi kelelahan. Sesuatu yang aneh dirasakan oleh Suto dan Dewa Racun. Sesuatu yang aneh itu sama-sama dipendamnya dalam hati. Tapi lama-lama keduanya tak tahan memendam keanehan itu, lalu Suto yang mengawali bicara,
"Kau rasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi?"
"Bbbe... betul. Aku merasakan. Taaap... tapi menurutmu apa keanehan itu?"
"Suara dengkuran Singo Bodong."
"Ya. Beeet... beeet... betul!" bisik Dewa Racun sedikit tegang.
"Dengkuran Singo Bodong membuat pohon ini bergetar."
"Ya. Bbbe... beeet... betul. Aku merasakan getarannya walau sangat pelan."
"Padahal pohon ini cukup besar, akarnya pun merambah ke mana-mana dalam bentuk pipih. Pohon ini cukup kekar. Tapi kenapa bergetar hanya karena suara dengkuran Singo Bodong?"
"Jang... jang... jangan-jangan dia memang Siluman Tujuh Nyawa?! Dia mewarisi darah kesaktian Siluman Tujuh Nyawa! Dia tid.... tidd... tidak menyadari hal itu. Meen... menurut cerita Narsih, adiknya, Singo Bodong jarang tidur di rumah. Ibunya tidak suka jika Singo Bodong tidur di rumah."
"Alasannya apa?"
"Kalau dia tidur, rumahnya seep... seep... seperti mau runtuh!"
"Begitukah dia?"
"Kupikir tadinya iit... itu hanya olok-olok Narsih saja. Tapi... tapi melihat kenyataan ini, apa yang dddi... dikatakan Narsih itu benar. Singo Bodong kalau tidur bikin rumah mau roboh, kareeena... karena rumah itu pasti bergetar oleh suara dengkurannya!"
Suto menarik napas, lalu ia ucapkan kata lirih, "Semakin membingungkan masalah ini! Jika benar Singo Bodong anak Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa, lantas Dadung Amuk itu siapa? Apakah juga anaknya Durmala Sanca? Tapi Dadung Amuk menyebut Durmala Sanca dengan kata sang ketua. Dia tidak menyebutkan sang ayah."
"Jang... jaaang... jangan-jangan, Singo Bodong sendiri tidak menyadari bahwa dirinya bisa memecah diri menjadi satu orang lagi. Sat..satu...satu orang dari hasil titisannya itulah yang menjadi Dadung Amuk! Tap... tapi... tapi dia tidak sadari hal itu, sama halnya dia tidak sadari kaaal... kalau dengkurannya bisa menggetarkan batang pohon sebesar dan sekokoh iin... inn... ini!"
"Kau semakin banyak mengajukan kemungkinan, semakin bingung aku memikirkannya," kata Suto. "Kalau Singo Bodong bisa memecah diri menjadi Dadung Amuk, berarti Singo Bodong orang sakti?"
"Sebagai se... se... seorang Singo, mungkin dia tidak sakti. Tapi see... sebagai seorang Dadung Amuk, dia cukup sakti. Paling tidak, berilmu ting... ting... tinggi!"
Suto menenggak tuaknya sesaat. Setelah itu termenung beberapa lama. Suara dengkur Singo Bodong hampir mirip lolong serigala. Setiap hembusan napas menghadirkan suara berubah-ubah. Suara itu membuat dedaunan bergetar, ranting, dan dahan pohon ikut terasa gemetar.
"Barangkali dia akan menjadi orang hebat kalau dibekali ilmu tenaga dalam," kata Suto kepada Dewa Racun yang duduk di samping kanannya.
"Apakah kau bermaksud membekali sebagian tenaga dalammu?"
"Aku sedang pertimbangkan untung-ruginya."
"Un... untungnya dia bisa jaga diri sendiri dan... dan... dan tidak merepotkan kita kalau addd... ada apa-apa. Tapi ruginya, kalau dddi... dia... dia berontak kepada kita, sama saja senjata maak... makan... makan tuan!"
"Tentu saja menyalurkan tenaga dalam harus pakai takaran, yang sewaktu-waktu kita bisa lumpuhkan sendiri!"
"Kkkal... kalau kau punya pikiran bbbeg... beeg... begitu, ya sudah. Lakukanlah!"
Suto masih diam, kembali meneguk tuaknya beberapa kali. Ia pikirkan masak-masak tentang rencana menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Singo Bodong. Tapi rasa penasaran ingin mengetahui siapa dan sejauh mana kekuatan Singo Bodong, membuat Suto akhirnya bergegas mendekati tidurnya Singo Bodong. Tetapi baru saja Pendekar Mabuk ingin memegang kaki Singo Bodong, tahu-tahu tangannya tersentak ke belakang, hampir membuatnya terjatuh dari atas pohon.
Wuuuut...!
"Edan...!" sentak Suto dengan suara tertahan.
"Add... ada apa...?!" Dewa Racun kaget dan bergegas bangkit.
Suto melangkah mundur dalam pijakan dahan yang sama. Ia mendekati Dewa Racun dan berbisik, "Tubuhnya tak bisa disentuh."
"Mak... maksudmu...?"
"Ada tenaga dalam yang bekerja dengan sendirinya, melapisi tubuhnya. Tanganku seperti kesemutan. Linu rasa tulangku."
"Aaan... aneh sekali! Beeet... betul... betulkah begitu?"
Dewa Racun penasaran, ia segera mendekati Singo Bodong, ia bermaksud menendang pelan kaki Singo Bodong yang masih tetap mendengkur itu. Tetapi, tiba-tiba kaki Dewa Racun bagai ada yang menyentakkan kuat-kuat, yaitu suatu tenaga bergelombang menghempaskan kaki itu.
Wuuut...! Sreet...! Braas...!
"Aauw...!" Dewa Racun terpekik, ia jatuh karena tubuh kecilnya terpental. Untung tangannya cepat meraih salah satu akar yang mirip tambang itu, sehingga ia bergelayutan sesaat di sana. Suto menertawakan sekejap, dan membiarkan Dewa Racun naik kembali melalui ayunan tangannya. Tubuh kecil itu bersalto dan hinggap di dahan samping Suto.
"Bagaimana? Benar apa yang kukatakan tadi, bahwa dia punya lapisan tenaga dalam yang membuat dirinya tak bisa disentuh orang?"
"Beeen... ben... benar! Dan cukup kuat. An... aneh sekali. Dia orang bodoh, lugu, tapi sebenarnya dia punya kekuatan yang cukup besar. Jang... jang... jangan-jangan kekuatan itu adalah kekuatan yang dimiliki Dadung Amuk?!"
"Dadung Amuk?!" gumam Suto dalam berpikir. "Ya. Mungkin dalam keadaan tak sadar seperti ini, dia menjadi Dadung Amuk?!"
*
* *
DELAPAN
SISA cahaya purnama masih ada, membuat keadaan di pantai menjadi tampak benderang. Karena benderangnya cahaya itu, Suto melihat sekelebat gerakan melesat dari arah hutan ke pantai. Kelebat gerakan itu berlari dari ujung sana mendekati tempat Suto dan dua teman barunya itu duduk sebelum bergegas naik ke pohon besar itu. Dalam kilasan gerak yang lain, Suto melihat seseorang mengejar cepat orang pertama. Suto cepat colekkan tangannya ke lengan Dewa Racun dan Dewa Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar Mabuk. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah mengerti apa yang dimaksud Suto, maka ia pun ikut lemparkan pandang kepantai.
Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah melihat perempuan itu!"
"Tentu saja. Dia adalah Selendang Kubur, satu dari ketiga perempuan yang hadir di pertarungan Bukit Jagal tempo hari."
"O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha menghindari kejaran lawan. Dan... dan apa yang ada di tangannya itu?!"
"Sebuah kitab!" Suto terperanjat. "Jangan-jangan itu adalah Kitab Pusaka Wedar Kesuma?!"
"Kau... kaaau... yakin kalau itu Kitab Wedar Kesuma?"
"Kar... karena dia adalah murid Betari Ayu! Mungkin dia habis curi itu kitab atau... atau. Entahlah! Kau tetap di sini. Aku akan mengurusnya sebentar!"
Sebelum mendapat jawaban dari Dewa Racun, Suto sudah cepat menghilang dengan satu jejakan lembut kakinya ke dahan pohon.
Wuuut...!
Selendang Kubur terjungkal dari larinya, karena seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauhnya dari belakang. Tubuh perempuan itu tersungkur di pasir pantai. Tapi cepat ia hentakkan siku dan melesat bangkit dengan satu tangan kiri memeluk sebuah kitab. Sementara itu, orang yang tadi mengejarnya melompatkan tubuh dan bersalto di udara dua kali untuk lebih mendekat lagi.
Jleeg...!
Orang itu mendaratkan kedua kakinya dengan tepat dan mantap, ia berpakaian hitam berlilit benang emas di tepiannya, menyandang pedang perak dengan sarung pedang dari perak berukir juga. Pakaian orang itu sebagian telah robek bagaikan koyak, namun jelas bukan koyak oleh cakaran tangan Selendang Kubur.
Suto mengenali orang itu sebagai tokoh alot yang berjuluk Datuk Marah Gadai. Tapi Suto tidak tahu bahwa koyaknya pakaian Datuk Marah Gadai adalah akibat hempasan badai yang menerbangkan dirinya, saat Pendekar Mabuk menggunakan Tuak Setan-nya.
"Selendang Kubur!" geram Datuk Marah Gadai. "Satu kesempatan lagi kuberikan padamu. Serahkan kitab pusaka itu atau kutenggelamkan dirimu ke dasar bumi?!"
"Aku memilih, tenggelamkan dirimu sendiri ke dasar bumi!"
"Keparat betul kau!" Datuk Marah Gadai segera angkat tangan kanannya setinggi telinga, telapak tangan itu sudah mengembang dan menghadap ke arah Selendang Kubur, siap untuk dihentakkan.
Tapi Selendang Kubur tak kalah siap. Ia mengangkat satu kakinya hingga terlipat ke belakang, dua tangannya terentang tinggi sambil salah satu tangan masih menggenggam kitab itu. Selendang Kubur bagai seekor merpati yang siap murka di hadapan Datuk Marah Gadai.
Sementara itu, Datuk Marah Gadai masih mencoba menggertak Selendang Kubur dengan kata-kata, "Satu jurus lagi kalau kau tak hancur, lebih baik aku bunuh diri!"
"Lakukanlah sekarang juga kalau kau mau bunuh diri! Apa pun yang terjadi, kau tidak berhak memiliki kitab pusaka ini!"
"Kau pun tak berhak, tahu?! Kau telah mencuri kitab itu tanpa setahu gurumu!"
"Dan kau datang juga untuk mencurinya! Hmm...! Kita sama-sama pencuri, Datuk! Rasanya tak keberatan aku beradu nyawa kepadamu untuk mempertahankan kitab ini! Majulah kalau kau ingin selesaikan riwayatmu malam ini juga!"
"Keparat kau! Hiih...!" Datuk Marah Gadai sentakkan tangannya. Dari sentakan tangan keluar cahaya biru yang melesat cepat ke arah Selendang Kubur. Tapi perempuan itu segera kibaskan kedua tangannya bagai sayap merpati mengamuk.
Wuuut... wuuut...wuuut...!
Gelombang tenaga dalam cukup besar keluar dari kibasan tangan tanpa wujud sedikit pun. Gelombang hawa bertenaga dalam itu menahan datangnya sinar biru dari tangan Datuk Marah Gadai.
Blarrr...! Cahaya biru memecah terang dalam sekejap. Suara benturan tenaga dalam itu menimbulkan sentakan kuat yang membuat tubuh Selendang Kubur terpental tiga langkah ke belakang dalam keadaan oleng, dan akhirnya jatuh bagai merpati patah sayapnya. Sedang sentakan yang ditimbulkan dari ledakan dua tenaga dalam beradu itu hanya membuat tubuh Datuk Marah Gadai guncang sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri dan siap lancarkan serangan lagi.
Suto melihat suatu pertarungan yang tak seimbang. Datuk Marah Gadai lebih tinggi ilmunya dari Selendang Kubur. Maka, dengan cepat Pendekar Mabuk melompat ke arah Selendang Kubur yang sudah berdiri siap menghadapi serangan lagi. Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai pun sentakkan kakinya dan dari kaki itu keluar cahaya putih keperakan yang pernah hampir menghancurkan tubuh Cadaspati.
Wuuuut...!
Cahaya putih keperakan itu melesat cepat ke arah Selendang Kubur. Namun dengan gerakan cepat pula, Suto melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya. Dubbb! Cahaya putih keperakan membentur bumbung tuak, dan cahaya itu membalik dengan sinar lebih terang dan lebih besar lagi.
Wooos...!
Datuk Marah Gadai terbelalak melihat tendangan mautnya dikembalikan dengan lebih besar lagi. Cepat-cepat ia sentakkan kaki dan melesat naik ke udara pada saat cahaya perak itu hampir menghantam tubuhnya.
Wesss...! Clappp...!
Sebongkah batuan karang jauh di belakang Datuk Marah Gadai tiba-tiba lenyap akibat terkena hantaman cahaya putih keperakan itu. Bahkan debunya tak tersisa sedikit pun. Datuk Marah Gadai kian terperanjat memandangnya. Biasanya benda yang terkena cahaya tendangan jurus 'Tapak Dewa'-nya itu akan hancur seketika dan menjadi serbuk. Tapi kali ini begitu besar cahaya putih keperakan itu, hingga serbuk pun tak tertinggal di tempat bekas batu itu berada. Datuk Marah Gadai belum pernah melihat kekuatan jurus Tapak Dewa'-nya sebesar itu.
"Bahaya juga ini si bocah sinting!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan serangan berikutnya. Matanya yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Mabuk dengan tajam. Suto hanya sunggingkan senyum kalem.
"Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar Mabuk!" kata Selendang Kubur dengan wajah merengut. "Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus dirimu sendiri!"
Selendang Kubur mendekati Pendekar Mabuk dengan langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Mabuk dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam cinta. Pendekar Mabuk tersenyum menatapnya, Selendang Kubur mendengus menyambutnya, ia mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman Pendekar Mabuk yang tampan rupa itu.
"Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam urusan ini!"
"Tenanglah...!" kata Pendekar Mabuk sambil menepuk pundak Selendang Kubur. Tepukan pelan itu membuat tubuh Selendang Kubur sedikit terguncang tubuhnya, makin mendengus kesal hatinya.
Suto berkata kepada Datuk Marah Gadai, "Tak sepantasnya kamu lawan dia, Datuk! Sebaiknya selesaikan perkaramu tanpa kekerasan!"
"Bocah bawang! Tahu apa kau urusan orang tua?! Kalau dia bisa berdamai denganku, tak akan mungkin aku menyerangnya dengan jurus 'Tapak Dewa'-ku!"
"Persoalannya sangat sepele, mengapa harus dengan menggunakan jurus berbahaya?"
"Buatmu sepele, Suto! Tapi buatku persoalan ini sangat penting!"
Suto tertawa kecil bersikap melecehkan. Bahkan ia sempat teguk tuaknya sejenak, lalu ia pandangi Selendang Kubur yang masih mendekap kitab berwarna hijau muda.
Tiba-tiba terdengar suara Datuk Marah Gadai membentak, "Minggir kau, Suto! Atau ikut kuhancurkan tubuhmu bersama perempuan itu!"
"Jangan mudah menghancurkan orang, supaya dirimu tidak mudah dihancurkan orang lain, Datuk!"
"Jahanaaam...!" geram Datuk Marah Gadai. "Anak kemarin sore mau gurui orang tua. Hah...?! Seharusnya kau pulang ke rumah dan menetek pada ibumu, tidak ikut campur urusan ini!"
"Kau sajalah yang pulang dan menyusui ibumu!" kata Suto mulai serius. Agaknya ia cukup tersinggung dengan hinaan balik itu.
Serta-merta Datuk Marah Gadai sentakkan kedua kakinya dan melesat terbang ke udara dengan kedua tangan terangkat ke atas. Suto hentakkan kedua lututnya dan tubuhnya pun melayang ke udara menyambut Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!"
Plakkk... Plakkk...!
Kedua tangan beradu, keras sekali sentakan kedua pasang tangan itu. Datuk Marah Gadai terhempas ke belakang dan bersalto satu kali di udara, sedangkan Suto tak sampai terhempas ke belakang, namun segera turun dan mendaratkan kakinya ke tanah dengan sedikit merendah.
Jleggg...!
Suto dan Datuk Marah Gadai sama-sama berdiri tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling adu pandang sama tajamnya. Tapi bibir Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis yang membuat Datuk Marah Gadai mencibir sambil berkata,
"Heh...! Anak kemarin sore sudah berani mau adu tenaga sama orang tua! Masih untung kau bisa bernapas saat ini! Aku tahu kau kewalahan menahan tenaga dalamku, Suto. Wajahmu mulai memerah. Kau cukup banyak kerahkan kekuatan untuk menahan pukulanku!"
"Wajahku memerah? Oh, mungkin saja begitu. Tapi bagaimana dengan kedua telapak tanganmu, Datuk?"
Serentak Datuk Marah Gadai memandang kedua tangannya. Mata Datuk Marah Gadai terperanjat kaget melihat kedua telapak tangannya memar biru kemerah-merahan. Bahkan bagian ujung-ujung jari jelas biru legam. Rasa kaget Datuk Marah Gadai membuat tubuhnya tersentak sedikit ke belakang, ia sama sekali tak menduga bahwa telapak tangannya menjadi memar akibat beradu tenaga di udara tadi. Belum pernah ia alami hal seperti itu, sekalipun ia melawan tokoh tua.
"Kurang ajar anak itu! Ternyata dia punya tenaga dalam lebih besar dariku! Baru sekarang kurasakan ngilu tulang-tulang lenganku. Baru sekarang kusadari telapak tanganku sangat panas! Hmmm...! Anak ini tidak bisa diajak bercanda rupanya! Cepat atau lambat harus kulenyapkan, biar tidak menjadi penghalang bagiku untuk mendapatkan kitab pusaka itu!" Datuk Marah Gadai berceloteh di dalam hatinya.
Suto hanya melirik sesekali penuh waspada, tapi wajahnya menatap Selendang Kubur. "Jangan lawan orang itu. Kau bisa mati, Selendang Kubur. Ilmunya cukup tinggi, tak sebanding dengan ilmumu!"
"Persetan dengan omonganmu, Suto! Minggirlah dan jangan ikut campur lagi urusanku! Aku muak padamu, Suto!"
"Kalau kau muak padaku, kenapa kau tak lari sejak tadi? Larilah sana, selama kuhadapi Datuk Marah Gadai!"
"Hhmmmm...!" geram Selendang Kubur. "Kau telah menotokku lewat tepukan pundak tadi! Kau telah buat aku terpaku di sini tak bisa bergerak kecuali bicara! Kalau saja kau tidak menotokku dengan cara halusmu, sudah kuserang sendiri kau dari belakang!"
Dewa Racun yang memperhatikan dari atas pohon menggumam heran setelah menyadari hal itu. Ia berkata dalam hatinya, "Pantas sejak tadi Selendang Kubur hanya menjadi penonton saja, rupanya dia telah terkena totokan melalui tepukan pundak yang dilakukan Suto tadi. Hmm...! Sungguh mengangumkan sebenarnya anak muda itu! Serasi sekali jika berjodohan dengan Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"
Datuk Marah Gadai segera pejamkan mata. Rupanya ia salurkan hawa dingin ke telapak tangannya yang panas. Telapak tangan itu tampak berasap tipis beberapa saat. Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai buka matanya dan serukan kata, "Suto! Kalau kau tetap tak mau minggir dari hadapanku, kau akan menerima ajal secepat kilat malam ini juga!"
"Kalau memang kau mampu, Datuk, lakukanlah secepatnya!"
"Besar juga nyalimu, rupanya! Apakah kau ingin memiliki kitab pusaka itu juga?!"
"Kalau aku mau memiliki, tidak dengan jalan mencurinya! Aku akan minta kepada pemiliknya, yaitu Betari Ayu! Jadi aku sebenarnya hanya menyelamatkan kitab itu dari jamahan tangan-tangan pencuri, seperti kalian berdua!"
"Tutup mulutmu, Suto!" sentak Selendang Kubur tiba-tiba. Ia masih tak bisa bergerak, tapi ia mampu bicara lantang, "Aku murid dari Nyai Betari Ayu, dan karenanya akulah yang berhak memegang kitab ini, Suto!"
"Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu curang! Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu untuk satu keperluan pribadimu, Selendang Kubur. Karenanya, aku perlu mencegah niat burukmu itu!"
"Suto!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana. "Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut nyawamu, Suto! Hiaaat"
Jari tangan Suto membara hijau, lalu menyentil ke depan. Tass...! Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan hal itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari mengeras kaku dan memercik-mercikkan bunga api biru. Suto cepat sabetkan bumbung tuaknya ke depan sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.
Wuuung...! Suara bumbung itu seperti gaung kematian. Gelombang tenaga dalam yang besar terlepas dari sabetan bumbung itu. Gelombang besar itu menghantam tubuh Datuk Marah Gadai, membuat tubuh itu terguling dan terhempas ke samping. Tubuh Datuk Marah Gadai terguling-guling di udara, dan akhirnya membentur batuan karang setinggi dua tombak.
Bluukk...! Prass...!
Ujung batuan karang itu patah, sebagian hancur terkena benturan tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu sendiri jatuh ke tanah dengan kepala terbenam di pasir pantai. Kalau tubuh Datuk Marah Gadai tidak dialiri tenaga dalamnya sendiri, maka batuan karang itu tak akan remuk bagian ujung atasnya saat terkena benturan tubuhnya itu. Tapi karena aliran tenaga dalam sedang memenuhi tubuh Datuk Marah Gadai yang siap dipukulkan melalui kedua tangannya itu, maka batuan karang itu pun gompal pada bagian atasnya.
Pinggang Datuk Marah Gadai bagaikan patah. Sakit sekali untuk berdiri. Tapi dengan menahan napas beberapa kejap, rasa sakit itu pun hilang, walau tidak hilang sama sekali. Datuk Marah Gadai bisa berdiri dengan geram, suaranya penuh hasrat untuk membunuh Suto. Dua tangannya masih memercikkan bunga api warna biru. Ia berseru dari sana, "Suto! Rasakan jurus 'Gledek Menjilat Bumi' ini, hiaaa...!"
Woosss...! Dari kedua tangan Datuk Marah Gadai melesat cahaya kilat berkelok-kelok seperti ratusan cacing ganas, menggerombol dan menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk cepat kibaskan tangannya seperti memercikkan air. Tapi pada saat itu, semua kuku Suto Sinting memancarkan cahaya merah bara. Pada saat tangan kanan Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu di udara, maka bertebaranlah bunga-bunga api warna merah, melesat ke arah gerombolan sinar biru yang mirip cacing liar itu.
Prattt...! Trappp... trap...!
Sinar biru itu belum mau padam, tapi berhenti di udara bagai tertahan percikan bunga api dari tangan Pendekar Mabuk. Maka, dengan cepat tangan kiri Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu lagi ke udara. Tangan itu juga berkuku menyala bara, dan bunga-bunga api terpercik dari jemari Suto Sinting, melesat menghantam gerombolan sinar biru seperti cacing liar itu.
Trrappp... cerattt...! Prattt cratt crat...! Pritik pritik prritik glegarrrr...!
Jurus 'Gledek Menjilat Bumi' hancur oleh percikan bunga api dari Pendekar Mabuk yang dinamakan jurus 'Lintang Kesumat'. Pecah dan hancurnya gerombolan sinar biru mirip cacing liar itu menimbulkan ledakan yang menggema bagai menelusuri seluruh pantai. Ledakan itu juga menghadirkan hempasan gelombang besar yang membuat tubuh Datuk Marah Gadai terlempar ke laut dalam jarak dua puluh langkah dari pantai.
Byurrr...!
Rambut Suto sendiri tersingkap ke belakang karena angin gelombang yang cukup kuat. Pohon tempat bersembunyi Dewa Racun berguncang lebih hebat lagi, daunnya sebagian gugur. Tapi Singo Bodong tetap saja mendengkur.
Sedangkan tubuh Selendang Kubur yang tertotok itu jatuh berdebam bagaikan patung kayu. Tapi ia memekikkan suara ngeri, membuat Suto palingkan wajah. Melihat Selendang Kubur jatuh dalam keadaan tetap kaku dan seperti keadaan semula, yaitu mendekap kitab dengan satu tangannya lurus ke bawah menggenggam, Pendekar Mabuk segera menghampirinya dan mengangkat tubuh itu, lalu diberdirikan lagi dengan kaki Selendang Kubur agak ditimbuni pasir supaya tak jatuh lagi.
"Jahanam kau, Suto! Jangan bikin aku seperti patung yang sewaktu-waktu rubuh kau berdirikan lagi! Lepaskan pengaruh totokanmu ini, Suto! Lepaskan!"
"Sabarlah, ada saatnya sendiri melepaskan totokanmu!" kata Pendekar Mabuk sambil merapikan letak baju, rambut, dan ikat pinggang Selendang Kubur. Kain selendang putih yang selalu melilit di pinggang Selendang Kubur juga dibetulkan letaknya, dirapikan, bagaikan patung yang dihias kembali letak busananya.
Selendang Kubur makin merasa dilecehkan. Geram hatinya, dan menggeletuk giginya, ia berkata dengan gigi bergeletuk, "Kubunuh kau setelah bebas totokanku, Suto...!" tapi mendadak ia berteriak, "Awaaaas...!"
Suto berpaling ke belakang, rupanya Datuk Marah Gadai telah mengirimkan pukulan jarak jauhnya lagi berupa bola api yang makin dekat makin besar bentuknya. Pendekar Mabuk pun segera siapkan bumbung tuaknya, dan dihentakkkan dari bawah ke atas. Ujung bawah bumbung tuak itu mengeluarkan cahaya kuning sebesar lidi, menyentak naik ke atas, mendorong bola api yang bergerak mendekat menjadi bergerak naik, naik, dan naik terus begitu tingginya, lalu meledak di angkasa sana.
Blengngng...!
Dentuman itu membahana sampai ke mana-mana, bagai ledakan gunung berapi. Asapnya hitam mengepul membentuk gulungan awan hitam, nyaris menutup terangnya sisa purnama di malam itu.
"Bangsat!" geram Datuk Marah Gadai. "Pukulan 'Inti Sukma' bisa dibuang ke atas olehnya! Setan cilik dari neraka mana bocah itu?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis memandang gulungan asap yang menyerupai awan di angkasa. Setelah makin pudar asap itu, Suto Sinting melirik Selendang Kubur dan berkata lirih, "Terima kasih atas peringatanmu tadi. Kalau tidak, kita mati bersama dalam wujud kepingan tulang dan cuilan daging hangus!"
"Tak perlu berterima kasih padaku, Setan! Aku tidak menyelamatkan dirimu!"
"Mengapa kau tadi berteriak 'awas' jika tak bermaksud menyelamatkan diriku?" goda Pendekar Mabuk sambil senyum-senyum.
"Karena aku tak ingin kau mati di tangan orang! Kau harus mati di tanganku sendiri!" sentak Selendang Kubur dengan ketusnya.
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat pertarungan dahsyat itu.
Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup. Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi. "Suto!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak lima langkah dari Pendekar Mabuk, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di dadanya. "Jangan anggap dirimu menang, Suto! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa hidupmu sekarang juga!"
"Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata Suto. "Kalau kau masih merasa belum kalah, bertindaklah secara ksatria. Tapi kalau kau merasa sudah cukup lemah melawanku, bersikaplah jantan. Pergilah dari sini tanpa pamit pun aku tetap menghormati sikapmu, Datuk!"
"Mulut busuk! Hadapilah Pedang Lidah Iblis-ku ini, hiaaat...!" Gagang pedang digenggam kuat, lalu dicabut dari sarungnya. "Uuh...! Uuh...! Uuuh...!"
Datuk Marah Gadai kebingungan. Pedangnya tak bisa dicabut dari sarungnya. Susah payah ia kerahkan tenaga untuk mencabut pedang, tapi dirinya sendiri bahkan terpelanting ke samping, hampir saja jatuh. Napasnya ditahan kuat-kuat, tenaganya dipusatkan ke tangan, tapi pedang tak bisa dicabut. Akhirnya ia mencaci sendiri dengan napas terengah-engah. "Landak buduk! Setan belang! Sulit sekali pedang ini dicabutnya! Biadab...! Kenapa jadi begini...?! Uuh, uuh, uuh...!"
Mata perempuan yang bagaikan patung itu membelalak kagum melihat pedang tak bisa dicabut, demikian pula mata di atas pohon milik Dewa Racun. Sedangkan Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum saja waktu melihat susah payahnya Datuk Marah Gadai mencabut pedang.
"Mungkin pedangmu kau gembok dan gemboknya berkarat, sehingga tak bisa dibuka, Datuk!"
"Congor kurapmu!" sentak Datuk Marah Gadai dengan hati makin panas. Cacian itu justru membuat Suto Sinting tertawa geli.
Selendang Kubur membatin, "Pasti itu ulah Pendekar Mabuk. Tadi kulihat ia sentilkan jarinya dan tubuh Datuk Marah Gadai terguncang sedikit. Saat itulah sebenarnya Suto telah mengunci pedang itu hingga tak bisa dilepas dari sarungnya. Padahal menurut cerita Peri Malam, Datuk Marah Gadai mempunyai pedang amat hebat, bisa menerbangkan bebatuan pada saat dicabut dari sarungnya. Tapi nyatanya menghadapi Suto pedang itu mampu dibungkam kekuatannya! Hebat sekali si tampan yang satu ini! Selain memikat hati, juga mengagumkan dunia persilatan!"
Tentang kehebatan Pedang Lidah Iblis milik Datuk Marah Gadai hanya Peri Malam-lah yang tahu persis, karena dia mengintai dari balik semak sewaktu Datuk Marah Gadai mengalahkan Cadaspati memakai pedang itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).
Tiba-tiba Suto membopong tubuh Selendang Kubur bagai mengangkat dan memindahkan patung. Selendang Kubur hanya berteriak-teriak dengan sebaris makian dan bentakan. Tapi Suto tak peduli. Patung hidup itu dipindahkan jauh-jauh dari tempatnya semula.
Sementara itu, Datuk Marah Gadai bersusah payah melepas pedangnya. Bahkan pengait pedang yang mengikat di pinggang dilepasnya. Pedang berusaha ditarik dengan kerahkan tenaga dalamnya kuat-kuat, di depan dadanya pedang itu dibetot ke kanan, tapi tetap tak bisa terlepas dari sarungnya.
"Mengapa kau pindahkan aku di balik batu ini, hah?!" bentak Selendang Kubur.
"Demi keselamatan jiwamu," jawab Suto.
"Cuih...! Aku tak butuh penyelamatanmu!"
"Setidaknya dari tempat ini kau bisa melihat kematian Datuk Marah Gadai, orang yang selalu mengejar-ngejar pusaka itu!"
"Kau tak akan bisa mengalahkannya, Suto! Dia cukup kuat!"
"Siapa bilang?"
"Peri Malam pernah melihat kehebatan pedang Lidah Iblis-nya itu. Kalau pedang itu tercabut, matilah kau di tangannya!"
"Kalau pedang itu tercabut, dia sudah lebih dulu mati!" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Sesumbarmu untuk anak kecil saja, Pendekar Mabuk! Bukan untukku!"
"Karena kau masih anak kecil, maka aku sesumbar untukmu!"
"Buktikan! Buktikan sesumbarmu!" sentak Selendang Kubur dengan ungkapan rasa benci karena memendam kedongkolan hati.
Datuk Marah Gadai kebingungan melepas pedangnya. Wajahnya jadi memerah akibat kerahkan tenaga. Tapi pada waktu itu, Pendekar Mabuk yang berada dalam jarak lima belas langkah bersama Selendang Kubur, segera lemparkan pandangannya ke arah Datuk Marah Gadai. Jari tangan Suto mulai menyala hijau lagi, khusus hanya jari telunjuknya. Lalu, Suto pun menyentilkan jari itu ke depan.
Tasss...!
Pada saat itu, Datuk Marah Gadai berhenti mengerahkan tenaga sebentar, ia menggerutu tak jelas, lalu mulai mencabut pedangnya lagi. Kali ini, pedang bisa dicabut dengan enteng. Seerrt...! Tapi tiba-tiba dari sarung pedang keluar sinar merah terang bersama bunyi ledakan yang cukup kuat dan keras.
Duarrr...! Lalu, ledakan itu menggema panjang, glerrrrr...!
Mata Selendang Kubur tak bisa berkedip, mulutnya tak bisa terkatup. Di balik kerimbunan atas pohon, mata Dewa Racun juga terbelalak tak bisa berkedip lagi, karena ia melihat jelas kepala Datuk Marah Gadai pecah akibat ledakan itu. Tubuhnya tumbang tak bernyawa lagi. Dewa Racun tak bisa ucapkan sepatah katapun.
Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah melihat perempuan itu!"
"Tentu saja. Dia adalah Selendang Kubur, satu dari ketiga perempuan yang hadir di pertarungan Bukit Jagal tempo hari."
"O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha menghindari kejaran lawan. Dan... dan apa yang ada di tangannya itu?!"
"Sebuah kitab!" Suto terperanjat. "Jangan-jangan itu adalah Kitab Pusaka Wedar Kesuma?!"
"Kau... kaaau... yakin kalau itu Kitab Wedar Kesuma?"
"Kar... karena dia adalah murid Betari Ayu! Mungkin dia habis curi itu kitab atau... atau. Entahlah! Kau tetap di sini. Aku akan mengurusnya sebentar!"
Sebelum mendapat jawaban dari Dewa Racun, Suto sudah cepat menghilang dengan satu jejakan lembut kakinya ke dahan pohon.
Wuuut...!
Selendang Kubur terjungkal dari larinya, karena seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauhnya dari belakang. Tubuh perempuan itu tersungkur di pasir pantai. Tapi cepat ia hentakkan siku dan melesat bangkit dengan satu tangan kiri memeluk sebuah kitab. Sementara itu, orang yang tadi mengejarnya melompatkan tubuh dan bersalto di udara dua kali untuk lebih mendekat lagi.
Jleeg...!
Orang itu mendaratkan kedua kakinya dengan tepat dan mantap, ia berpakaian hitam berlilit benang emas di tepiannya, menyandang pedang perak dengan sarung pedang dari perak berukir juga. Pakaian orang itu sebagian telah robek bagaikan koyak, namun jelas bukan koyak oleh cakaran tangan Selendang Kubur.
Suto mengenali orang itu sebagai tokoh alot yang berjuluk Datuk Marah Gadai. Tapi Suto tidak tahu bahwa koyaknya pakaian Datuk Marah Gadai adalah akibat hempasan badai yang menerbangkan dirinya, saat Pendekar Mabuk menggunakan Tuak Setan-nya.
"Selendang Kubur!" geram Datuk Marah Gadai. "Satu kesempatan lagi kuberikan padamu. Serahkan kitab pusaka itu atau kutenggelamkan dirimu ke dasar bumi?!"
"Aku memilih, tenggelamkan dirimu sendiri ke dasar bumi!"
"Keparat betul kau!" Datuk Marah Gadai segera angkat tangan kanannya setinggi telinga, telapak tangan itu sudah mengembang dan menghadap ke arah Selendang Kubur, siap untuk dihentakkan.
Tapi Selendang Kubur tak kalah siap. Ia mengangkat satu kakinya hingga terlipat ke belakang, dua tangannya terentang tinggi sambil salah satu tangan masih menggenggam kitab itu. Selendang Kubur bagai seekor merpati yang siap murka di hadapan Datuk Marah Gadai.
Sementara itu, Datuk Marah Gadai masih mencoba menggertak Selendang Kubur dengan kata-kata, "Satu jurus lagi kalau kau tak hancur, lebih baik aku bunuh diri!"
"Lakukanlah sekarang juga kalau kau mau bunuh diri! Apa pun yang terjadi, kau tidak berhak memiliki kitab pusaka ini!"
"Kau pun tak berhak, tahu?! Kau telah mencuri kitab itu tanpa setahu gurumu!"
"Dan kau datang juga untuk mencurinya! Hmm...! Kita sama-sama pencuri, Datuk! Rasanya tak keberatan aku beradu nyawa kepadamu untuk mempertahankan kitab ini! Majulah kalau kau ingin selesaikan riwayatmu malam ini juga!"
"Keparat kau! Hiih...!" Datuk Marah Gadai sentakkan tangannya. Dari sentakan tangan keluar cahaya biru yang melesat cepat ke arah Selendang Kubur. Tapi perempuan itu segera kibaskan kedua tangannya bagai sayap merpati mengamuk.
Wuuut... wuuut...wuuut...!
Gelombang tenaga dalam cukup besar keluar dari kibasan tangan tanpa wujud sedikit pun. Gelombang hawa bertenaga dalam itu menahan datangnya sinar biru dari tangan Datuk Marah Gadai.
Blarrr...! Cahaya biru memecah terang dalam sekejap. Suara benturan tenaga dalam itu menimbulkan sentakan kuat yang membuat tubuh Selendang Kubur terpental tiga langkah ke belakang dalam keadaan oleng, dan akhirnya jatuh bagai merpati patah sayapnya. Sedang sentakan yang ditimbulkan dari ledakan dua tenaga dalam beradu itu hanya membuat tubuh Datuk Marah Gadai guncang sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri dan siap lancarkan serangan lagi.
Suto melihat suatu pertarungan yang tak seimbang. Datuk Marah Gadai lebih tinggi ilmunya dari Selendang Kubur. Maka, dengan cepat Pendekar Mabuk melompat ke arah Selendang Kubur yang sudah berdiri siap menghadapi serangan lagi. Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai pun sentakkan kakinya dan dari kaki itu keluar cahaya putih keperakan yang pernah hampir menghancurkan tubuh Cadaspati.
Wuuuut...!
Cahaya putih keperakan itu melesat cepat ke arah Selendang Kubur. Namun dengan gerakan cepat pula, Suto melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya. Dubbb! Cahaya putih keperakan membentur bumbung tuak, dan cahaya itu membalik dengan sinar lebih terang dan lebih besar lagi.
Wooos...!
Datuk Marah Gadai terbelalak melihat tendangan mautnya dikembalikan dengan lebih besar lagi. Cepat-cepat ia sentakkan kaki dan melesat naik ke udara pada saat cahaya perak itu hampir menghantam tubuhnya.
Wesss...! Clappp...!
Sebongkah batuan karang jauh di belakang Datuk Marah Gadai tiba-tiba lenyap akibat terkena hantaman cahaya putih keperakan itu. Bahkan debunya tak tersisa sedikit pun. Datuk Marah Gadai kian terperanjat memandangnya. Biasanya benda yang terkena cahaya tendangan jurus 'Tapak Dewa'-nya itu akan hancur seketika dan menjadi serbuk. Tapi kali ini begitu besar cahaya putih keperakan itu, hingga serbuk pun tak tertinggal di tempat bekas batu itu berada. Datuk Marah Gadai belum pernah melihat kekuatan jurus Tapak Dewa'-nya sebesar itu.
"Bahaya juga ini si bocah sinting!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan serangan berikutnya. Matanya yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Mabuk dengan tajam. Suto hanya sunggingkan senyum kalem.
"Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar Mabuk!" kata Selendang Kubur dengan wajah merengut. "Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus dirimu sendiri!"
Selendang Kubur mendekati Pendekar Mabuk dengan langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Mabuk dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam cinta. Pendekar Mabuk tersenyum menatapnya, Selendang Kubur mendengus menyambutnya, ia mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman Pendekar Mabuk yang tampan rupa itu.
"Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam urusan ini!"
"Tenanglah...!" kata Pendekar Mabuk sambil menepuk pundak Selendang Kubur. Tepukan pelan itu membuat tubuh Selendang Kubur sedikit terguncang tubuhnya, makin mendengus kesal hatinya.
Suto berkata kepada Datuk Marah Gadai, "Tak sepantasnya kamu lawan dia, Datuk! Sebaiknya selesaikan perkaramu tanpa kekerasan!"
"Bocah bawang! Tahu apa kau urusan orang tua?! Kalau dia bisa berdamai denganku, tak akan mungkin aku menyerangnya dengan jurus 'Tapak Dewa'-ku!"
"Persoalannya sangat sepele, mengapa harus dengan menggunakan jurus berbahaya?"
"Buatmu sepele, Suto! Tapi buatku persoalan ini sangat penting!"
Suto tertawa kecil bersikap melecehkan. Bahkan ia sempat teguk tuaknya sejenak, lalu ia pandangi Selendang Kubur yang masih mendekap kitab berwarna hijau muda.
Tiba-tiba terdengar suara Datuk Marah Gadai membentak, "Minggir kau, Suto! Atau ikut kuhancurkan tubuhmu bersama perempuan itu!"
"Jangan mudah menghancurkan orang, supaya dirimu tidak mudah dihancurkan orang lain, Datuk!"
"Jahanaaam...!" geram Datuk Marah Gadai. "Anak kemarin sore mau gurui orang tua. Hah...?! Seharusnya kau pulang ke rumah dan menetek pada ibumu, tidak ikut campur urusan ini!"
"Kau sajalah yang pulang dan menyusui ibumu!" kata Suto mulai serius. Agaknya ia cukup tersinggung dengan hinaan balik itu.
Serta-merta Datuk Marah Gadai sentakkan kedua kakinya dan melesat terbang ke udara dengan kedua tangan terangkat ke atas. Suto hentakkan kedua lututnya dan tubuhnya pun melayang ke udara menyambut Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!"
Plakkk... Plakkk...!
Kedua tangan beradu, keras sekali sentakan kedua pasang tangan itu. Datuk Marah Gadai terhempas ke belakang dan bersalto satu kali di udara, sedangkan Suto tak sampai terhempas ke belakang, namun segera turun dan mendaratkan kakinya ke tanah dengan sedikit merendah.
Jleggg...!
Suto dan Datuk Marah Gadai sama-sama berdiri tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling adu pandang sama tajamnya. Tapi bibir Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis yang membuat Datuk Marah Gadai mencibir sambil berkata,
"Heh...! Anak kemarin sore sudah berani mau adu tenaga sama orang tua! Masih untung kau bisa bernapas saat ini! Aku tahu kau kewalahan menahan tenaga dalamku, Suto. Wajahmu mulai memerah. Kau cukup banyak kerahkan kekuatan untuk menahan pukulanku!"
"Wajahku memerah? Oh, mungkin saja begitu. Tapi bagaimana dengan kedua telapak tanganmu, Datuk?"
Serentak Datuk Marah Gadai memandang kedua tangannya. Mata Datuk Marah Gadai terperanjat kaget melihat kedua telapak tangannya memar biru kemerah-merahan. Bahkan bagian ujung-ujung jari jelas biru legam. Rasa kaget Datuk Marah Gadai membuat tubuhnya tersentak sedikit ke belakang, ia sama sekali tak menduga bahwa telapak tangannya menjadi memar akibat beradu tenaga di udara tadi. Belum pernah ia alami hal seperti itu, sekalipun ia melawan tokoh tua.
"Kurang ajar anak itu! Ternyata dia punya tenaga dalam lebih besar dariku! Baru sekarang kurasakan ngilu tulang-tulang lenganku. Baru sekarang kusadari telapak tanganku sangat panas! Hmmm...! Anak ini tidak bisa diajak bercanda rupanya! Cepat atau lambat harus kulenyapkan, biar tidak menjadi penghalang bagiku untuk mendapatkan kitab pusaka itu!" Datuk Marah Gadai berceloteh di dalam hatinya.
Suto hanya melirik sesekali penuh waspada, tapi wajahnya menatap Selendang Kubur. "Jangan lawan orang itu. Kau bisa mati, Selendang Kubur. Ilmunya cukup tinggi, tak sebanding dengan ilmumu!"
"Persetan dengan omonganmu, Suto! Minggirlah dan jangan ikut campur lagi urusanku! Aku muak padamu, Suto!"
"Kalau kau muak padaku, kenapa kau tak lari sejak tadi? Larilah sana, selama kuhadapi Datuk Marah Gadai!"
"Hhmmmm...!" geram Selendang Kubur. "Kau telah menotokku lewat tepukan pundak tadi! Kau telah buat aku terpaku di sini tak bisa bergerak kecuali bicara! Kalau saja kau tidak menotokku dengan cara halusmu, sudah kuserang sendiri kau dari belakang!"
Dewa Racun yang memperhatikan dari atas pohon menggumam heran setelah menyadari hal itu. Ia berkata dalam hatinya, "Pantas sejak tadi Selendang Kubur hanya menjadi penonton saja, rupanya dia telah terkena totokan melalui tepukan pundak yang dilakukan Suto tadi. Hmm...! Sungguh mengangumkan sebenarnya anak muda itu! Serasi sekali jika berjodohan dengan Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"
Datuk Marah Gadai segera pejamkan mata. Rupanya ia salurkan hawa dingin ke telapak tangannya yang panas. Telapak tangan itu tampak berasap tipis beberapa saat. Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai buka matanya dan serukan kata, "Suto! Kalau kau tetap tak mau minggir dari hadapanku, kau akan menerima ajal secepat kilat malam ini juga!"
"Kalau memang kau mampu, Datuk, lakukanlah secepatnya!"
"Besar juga nyalimu, rupanya! Apakah kau ingin memiliki kitab pusaka itu juga?!"
"Kalau aku mau memiliki, tidak dengan jalan mencurinya! Aku akan minta kepada pemiliknya, yaitu Betari Ayu! Jadi aku sebenarnya hanya menyelamatkan kitab itu dari jamahan tangan-tangan pencuri, seperti kalian berdua!"
"Tutup mulutmu, Suto!" sentak Selendang Kubur tiba-tiba. Ia masih tak bisa bergerak, tapi ia mampu bicara lantang, "Aku murid dari Nyai Betari Ayu, dan karenanya akulah yang berhak memegang kitab ini, Suto!"
"Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu curang! Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu untuk satu keperluan pribadimu, Selendang Kubur. Karenanya, aku perlu mencegah niat burukmu itu!"
"Suto!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana. "Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut nyawamu, Suto! Hiaaat"
Jari tangan Suto membara hijau, lalu menyentil ke depan. Tass...! Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan hal itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari mengeras kaku dan memercik-mercikkan bunga api biru. Suto cepat sabetkan bumbung tuaknya ke depan sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.
Wuuung...! Suara bumbung itu seperti gaung kematian. Gelombang tenaga dalam yang besar terlepas dari sabetan bumbung itu. Gelombang besar itu menghantam tubuh Datuk Marah Gadai, membuat tubuh itu terguling dan terhempas ke samping. Tubuh Datuk Marah Gadai terguling-guling di udara, dan akhirnya membentur batuan karang setinggi dua tombak.
Bluukk...! Prass...!
Ujung batuan karang itu patah, sebagian hancur terkena benturan tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu sendiri jatuh ke tanah dengan kepala terbenam di pasir pantai. Kalau tubuh Datuk Marah Gadai tidak dialiri tenaga dalamnya sendiri, maka batuan karang itu tak akan remuk bagian ujung atasnya saat terkena benturan tubuhnya itu. Tapi karena aliran tenaga dalam sedang memenuhi tubuh Datuk Marah Gadai yang siap dipukulkan melalui kedua tangannya itu, maka batuan karang itu pun gompal pada bagian atasnya.
Pinggang Datuk Marah Gadai bagaikan patah. Sakit sekali untuk berdiri. Tapi dengan menahan napas beberapa kejap, rasa sakit itu pun hilang, walau tidak hilang sama sekali. Datuk Marah Gadai bisa berdiri dengan geram, suaranya penuh hasrat untuk membunuh Suto. Dua tangannya masih memercikkan bunga api warna biru. Ia berseru dari sana, "Suto! Rasakan jurus 'Gledek Menjilat Bumi' ini, hiaaa...!"
Woosss...! Dari kedua tangan Datuk Marah Gadai melesat cahaya kilat berkelok-kelok seperti ratusan cacing ganas, menggerombol dan menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk cepat kibaskan tangannya seperti memercikkan air. Tapi pada saat itu, semua kuku Suto Sinting memancarkan cahaya merah bara. Pada saat tangan kanan Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu di udara, maka bertebaranlah bunga-bunga api warna merah, melesat ke arah gerombolan sinar biru yang mirip cacing liar itu.
Prattt...! Trappp... trap...!
Sinar biru itu belum mau padam, tapi berhenti di udara bagai tertahan percikan bunga api dari tangan Pendekar Mabuk. Maka, dengan cepat tangan kiri Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu lagi ke udara. Tangan itu juga berkuku menyala bara, dan bunga-bunga api terpercik dari jemari Suto Sinting, melesat menghantam gerombolan sinar biru seperti cacing liar itu.
Trrappp... cerattt...! Prattt cratt crat...! Pritik pritik prritik glegarrrr...!
Jurus 'Gledek Menjilat Bumi' hancur oleh percikan bunga api dari Pendekar Mabuk yang dinamakan jurus 'Lintang Kesumat'. Pecah dan hancurnya gerombolan sinar biru mirip cacing liar itu menimbulkan ledakan yang menggema bagai menelusuri seluruh pantai. Ledakan itu juga menghadirkan hempasan gelombang besar yang membuat tubuh Datuk Marah Gadai terlempar ke laut dalam jarak dua puluh langkah dari pantai.
Byurrr...!
Rambut Suto sendiri tersingkap ke belakang karena angin gelombang yang cukup kuat. Pohon tempat bersembunyi Dewa Racun berguncang lebih hebat lagi, daunnya sebagian gugur. Tapi Singo Bodong tetap saja mendengkur.
Sedangkan tubuh Selendang Kubur yang tertotok itu jatuh berdebam bagaikan patung kayu. Tapi ia memekikkan suara ngeri, membuat Suto palingkan wajah. Melihat Selendang Kubur jatuh dalam keadaan tetap kaku dan seperti keadaan semula, yaitu mendekap kitab dengan satu tangannya lurus ke bawah menggenggam, Pendekar Mabuk segera menghampirinya dan mengangkat tubuh itu, lalu diberdirikan lagi dengan kaki Selendang Kubur agak ditimbuni pasir supaya tak jatuh lagi.
"Jahanam kau, Suto! Jangan bikin aku seperti patung yang sewaktu-waktu rubuh kau berdirikan lagi! Lepaskan pengaruh totokanmu ini, Suto! Lepaskan!"
"Sabarlah, ada saatnya sendiri melepaskan totokanmu!" kata Pendekar Mabuk sambil merapikan letak baju, rambut, dan ikat pinggang Selendang Kubur. Kain selendang putih yang selalu melilit di pinggang Selendang Kubur juga dibetulkan letaknya, dirapikan, bagaikan patung yang dihias kembali letak busananya.
Selendang Kubur makin merasa dilecehkan. Geram hatinya, dan menggeletuk giginya, ia berkata dengan gigi bergeletuk, "Kubunuh kau setelah bebas totokanku, Suto...!" tapi mendadak ia berteriak, "Awaaaas...!"
Suto berpaling ke belakang, rupanya Datuk Marah Gadai telah mengirimkan pukulan jarak jauhnya lagi berupa bola api yang makin dekat makin besar bentuknya. Pendekar Mabuk pun segera siapkan bumbung tuaknya, dan dihentakkkan dari bawah ke atas. Ujung bawah bumbung tuak itu mengeluarkan cahaya kuning sebesar lidi, menyentak naik ke atas, mendorong bola api yang bergerak mendekat menjadi bergerak naik, naik, dan naik terus begitu tingginya, lalu meledak di angkasa sana.
Blengngng...!
Dentuman itu membahana sampai ke mana-mana, bagai ledakan gunung berapi. Asapnya hitam mengepul membentuk gulungan awan hitam, nyaris menutup terangnya sisa purnama di malam itu.
"Bangsat!" geram Datuk Marah Gadai. "Pukulan 'Inti Sukma' bisa dibuang ke atas olehnya! Setan cilik dari neraka mana bocah itu?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis memandang gulungan asap yang menyerupai awan di angkasa. Setelah makin pudar asap itu, Suto Sinting melirik Selendang Kubur dan berkata lirih, "Terima kasih atas peringatanmu tadi. Kalau tidak, kita mati bersama dalam wujud kepingan tulang dan cuilan daging hangus!"
"Tak perlu berterima kasih padaku, Setan! Aku tidak menyelamatkan dirimu!"
"Mengapa kau tadi berteriak 'awas' jika tak bermaksud menyelamatkan diriku?" goda Pendekar Mabuk sambil senyum-senyum.
"Karena aku tak ingin kau mati di tangan orang! Kau harus mati di tanganku sendiri!" sentak Selendang Kubur dengan ketusnya.
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat pertarungan dahsyat itu.
Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup. Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi. "Suto!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak lima langkah dari Pendekar Mabuk, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di dadanya. "Jangan anggap dirimu menang, Suto! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa hidupmu sekarang juga!"
"Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata Suto. "Kalau kau masih merasa belum kalah, bertindaklah secara ksatria. Tapi kalau kau merasa sudah cukup lemah melawanku, bersikaplah jantan. Pergilah dari sini tanpa pamit pun aku tetap menghormati sikapmu, Datuk!"
"Mulut busuk! Hadapilah Pedang Lidah Iblis-ku ini, hiaaat...!" Gagang pedang digenggam kuat, lalu dicabut dari sarungnya. "Uuh...! Uuh...! Uuuh...!"
Datuk Marah Gadai kebingungan. Pedangnya tak bisa dicabut dari sarungnya. Susah payah ia kerahkan tenaga untuk mencabut pedang, tapi dirinya sendiri bahkan terpelanting ke samping, hampir saja jatuh. Napasnya ditahan kuat-kuat, tenaganya dipusatkan ke tangan, tapi pedang tak bisa dicabut. Akhirnya ia mencaci sendiri dengan napas terengah-engah. "Landak buduk! Setan belang! Sulit sekali pedang ini dicabutnya! Biadab...! Kenapa jadi begini...?! Uuh, uuh, uuh...!"
Mata perempuan yang bagaikan patung itu membelalak kagum melihat pedang tak bisa dicabut, demikian pula mata di atas pohon milik Dewa Racun. Sedangkan Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum saja waktu melihat susah payahnya Datuk Marah Gadai mencabut pedang.
"Mungkin pedangmu kau gembok dan gemboknya berkarat, sehingga tak bisa dibuka, Datuk!"
"Congor kurapmu!" sentak Datuk Marah Gadai dengan hati makin panas. Cacian itu justru membuat Suto Sinting tertawa geli.
Selendang Kubur membatin, "Pasti itu ulah Pendekar Mabuk. Tadi kulihat ia sentilkan jarinya dan tubuh Datuk Marah Gadai terguncang sedikit. Saat itulah sebenarnya Suto telah mengunci pedang itu hingga tak bisa dilepas dari sarungnya. Padahal menurut cerita Peri Malam, Datuk Marah Gadai mempunyai pedang amat hebat, bisa menerbangkan bebatuan pada saat dicabut dari sarungnya. Tapi nyatanya menghadapi Suto pedang itu mampu dibungkam kekuatannya! Hebat sekali si tampan yang satu ini! Selain memikat hati, juga mengagumkan dunia persilatan!"
Tentang kehebatan Pedang Lidah Iblis milik Datuk Marah Gadai hanya Peri Malam-lah yang tahu persis, karena dia mengintai dari balik semak sewaktu Datuk Marah Gadai mengalahkan Cadaspati memakai pedang itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).
Tiba-tiba Suto membopong tubuh Selendang Kubur bagai mengangkat dan memindahkan patung. Selendang Kubur hanya berteriak-teriak dengan sebaris makian dan bentakan. Tapi Suto tak peduli. Patung hidup itu dipindahkan jauh-jauh dari tempatnya semula.
Sementara itu, Datuk Marah Gadai bersusah payah melepas pedangnya. Bahkan pengait pedang yang mengikat di pinggang dilepasnya. Pedang berusaha ditarik dengan kerahkan tenaga dalamnya kuat-kuat, di depan dadanya pedang itu dibetot ke kanan, tapi tetap tak bisa terlepas dari sarungnya.
"Mengapa kau pindahkan aku di balik batu ini, hah?!" bentak Selendang Kubur.
"Demi keselamatan jiwamu," jawab Suto.
"Cuih...! Aku tak butuh penyelamatanmu!"
"Setidaknya dari tempat ini kau bisa melihat kematian Datuk Marah Gadai, orang yang selalu mengejar-ngejar pusaka itu!"
"Kau tak akan bisa mengalahkannya, Suto! Dia cukup kuat!"
"Siapa bilang?"
"Peri Malam pernah melihat kehebatan pedang Lidah Iblis-nya itu. Kalau pedang itu tercabut, matilah kau di tangannya!"
"Kalau pedang itu tercabut, dia sudah lebih dulu mati!" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Sesumbarmu untuk anak kecil saja, Pendekar Mabuk! Bukan untukku!"
"Karena kau masih anak kecil, maka aku sesumbar untukmu!"
"Buktikan! Buktikan sesumbarmu!" sentak Selendang Kubur dengan ungkapan rasa benci karena memendam kedongkolan hati.
Datuk Marah Gadai kebingungan melepas pedangnya. Wajahnya jadi memerah akibat kerahkan tenaga. Tapi pada waktu itu, Pendekar Mabuk yang berada dalam jarak lima belas langkah bersama Selendang Kubur, segera lemparkan pandangannya ke arah Datuk Marah Gadai. Jari tangan Suto mulai menyala hijau lagi, khusus hanya jari telunjuknya. Lalu, Suto pun menyentilkan jari itu ke depan.
Tasss...!
Pada saat itu, Datuk Marah Gadai berhenti mengerahkan tenaga sebentar, ia menggerutu tak jelas, lalu mulai mencabut pedangnya lagi. Kali ini, pedang bisa dicabut dengan enteng. Seerrt...! Tapi tiba-tiba dari sarung pedang keluar sinar merah terang bersama bunyi ledakan yang cukup kuat dan keras.
Duarrr...! Lalu, ledakan itu menggema panjang, glerrrrr...!
Mata Selendang Kubur tak bisa berkedip, mulutnya tak bisa terkatup. Di balik kerimbunan atas pohon, mata Dewa Racun juga terbelalak tak bisa berkedip lagi, karena ia melihat jelas kepala Datuk Marah Gadai pecah akibat ledakan itu. Tubuhnya tumbang tak bernyawa lagi. Dewa Racun tak bisa ucapkan sepatah katapun.
*
* *
SEMBILAN
MALAM menjadi hening kembali setelah kematian Datuk Marah Gadai. Selendang Kubur bisukan mulutnya, karena jiwanya terpaku melihat kehebatan ilmu Pendekar Mabuk yang jelas jauh di atas ilmunya. Datuk Marah Gadai mati karena pusakanya sendiri. Tapi Selendang Kubur tahu, Pendekar Mabuk-lah penyebabnya. Tanpa ketinggian ilmu Suto, tak mungkin Datuk Marah Gadai dimakan senjatanya sendiri.
Pendekar Mabuk menengadah, bumbung tuaknya dituang. Glek glek glek...! Tiga teguk tuak membasahi kerongkongannya. Pendekar Mabuk merasa lega. Ia kembali menutup tabung itu, dan menyandangnya kembali ke punggung, seperti menyandang sebilah pedang. Tali bumbung menyilang di dadanya, dari pundak kanan ke pinggang kiri.
"Sudah selesai sekarang," kata Suto seraya memandang mayat Datuk Marah Gadai sebentar.
Terdengar pula Selendang Kubur berkata, "Lepaskan pengaruh totokanku ini!"
"Nanti dulu!"
"Tunggu apa lagi, Setan!" bentak Selendang Kubur dongkol sekali.
"Bagaimana dengan kitab itu?"
"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati Wingit yang berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab ini!"
Pendekar Mabuk tersenyum, bahkan tertawa pelan berkesan meremehkan kata-kata Selendang Kubur. Lalu, ia berkata pada perempuan itu, "Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu, dan kubiarkan kau tetap dalam pengaruh totokan. Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa mengejarnya!"
"Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut melawanmu, Suto! Aku berani taruhkan nyawa untuk kitab ini!"
"Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau mau melawanku. Mungkin aku akan kalah padamu, tapi bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu! Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!"
"Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini kecuali aku!"
"Siapa bilang?!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kerumunan dedaunan di belakang Selendang Kubur. Pemilik suara itu segera melesat dengan satu lompatan ringan, dan jatuh dengan tegak di depan Selendang Kubur.
Tersentak kaget Selendang Kubur melihat kehadiran orang itu. Gemetar bibirnya saat menyebutkan sapa, "Nyai Guru...?!"
Suto sendiri sebenarnya kaget mendengar sahutan kata Betari Ayu tadi. Tapi ia bisa menutup kekagetannya dengan senyum yang dipamerkan di depan Betari Ayu.
Di atas pohon, Dewa Racun terbelalak matanya. Tak sadar ia mengucap lirih, "Nyaaa... Nyaaai... Nyaii Guru? Oh, itu dia Nyai Guru Dyah Kemalawindu...?! Celaka! Suto tak mau segera ambil kitab itu, akibatnya pemilik kitab da... daa... datang sebelum kitab jatuh di tangan Suto! Uh, bodoh amat Suto itu!"
Dewa Racun sengaja belum mau muncul, ia ingin melihat peristiwa selanjutnya antara Suto dengan Betari Ayu. Ia ingin melihat pertarungan yang sudah tentu lebih dahsyat dibanding pertarungan Suto melawan Datuk Marah Gadai tadi.
"Rupanya kau yang mencuri kitab itu, Selendang Kubur!" kata Betari Ayu dengan wajah dingin, kaku, menampakkan kemarahan yang terpendam. Matanya memandang tajam namun berkesan sinis.
"Nyai... Nyai Guru, saya hanya sekadar menyelamatkan pusaka ini dari tangan Datuk Marah Gadai, yang... yang... yang sudah berhasil saya bunuh, Nyai!"
Pendekar Mabuk menahan tawa dan segera berpaling wajah agar tak dilihat Betari Ayu. Selendang Kubur sebentar-sebentar melirik Suto dengan cemas, dan berharap Suto tidak ikut bicara dulu.
"Jadi, Datuk Marah Gadai mau mencuri kitab itu?"
"Ben... benar, Nyai."
"Dan kau telah merebut lalu membunuhnya?"
"Ben... ben... benar, Nyai. Lihatlah, mayatnya ad... ad... ada di sana, Nyai!"
Dewa Racun membatin dari atas pohon, "Kurang ajar! Perempuan itu ikut-ikutan gagap! Dari mana dia tahu kalau aku bicara gagap, sehingga dia bisa menghinaku dengan berpura-pura gagap?!" Dewa Racun ingin turun untuk menghajar Selendang Kubur. Tapi segera ia temukan kesimpulan lain, bahwa rasa takutnya Selendang Kubur itu menghadirkan kegagapan tersendiri yang tidak semata-mata menghina kegagapan Dewa Racun. Karena itu, Dewa Racun tak jadi melepaskan marahnya, ia tetap mengikuti dari atas pohon.
Terdengar suara Betari Ayu berkata kepada Selendang Kubur, "Kalau kau telah membunuh Datuk Marah Gadai, mengapa kau tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?"
"Suto menahan saya, Nyai!"
"Suto menahanmu? Ada perlu apa dia menahanmu?"
"Dia mau rebut kitab ini, Nyai. Tapi saya pertahankan terus!"
"Suto ingin merebut kitab itu? Untuk apa? Semua ilmu yang ada di dalam kitab ini masih belum ada sekuku hitamnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Suto!"
"Tap... tapi... tapi..."
"Tapi kau ditotok olehnya sejak tadi sehingga kau tak bisa bergerak?"
Selendang Kubur tak bisa bicara lagi. Bibirnya gemetar dan lidahnya bagaikan kaku. Nyai Betari Ayu kembali melanjutkan kata, "Bagaimana kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai jika sejak tadi kau tak bisa bergerak, bahkan untuk pindah ke sini pun perlu digotong Suto mirip patung dipindahkan? Menahan gelombang ledakan pun kau tak mampu, hingga tubuhmu tumbang seperti batang pisang?! Bagaimana mungkin kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai?"
Mendengar ucapan Nyai Betari Ayu, baik Pendekar Mabuk maupun Dewa Racun mengerti bahwa sejak tadi ternyata perempuan berwibawa yang mempunyai kecantikan yang anggun itu sudah memperhatikan pertarungan Suto dengan Datuk Marah Gadai. Karenanya, Pendekar Mabuk cepat bergerak. Kitab itu diambil paksa dari Selendang Kubur.
Breet!
Selendang Kubur hanya bisa terperangah dan tak bisa bergerak sedikit pun. Kemudian, Pendekar Mabuk menyerahkan kitab itu kepada Betari Ayu. "Ambillah, ini hakmu, Nyai!"
Betari Ayu memandang Suto dengan mata dingin. Cukup lama mereka saling pandang. Akhirnya, tangan Betari Ayu menerima kitab itu dengan mata tetap menatap Suto Sinting.
Dewa Racun bergumam dalam hatinya, "Bodoh! Mengapa diserahkan begitu saja! Apakah Pendekar Mabuk tak berani melawan Nyai Betari Ayu?"
Terdengar Pendekar Mabuk berkata kepada Betari Ayu sambil ia melangkah ke samping Selendang Kubur, "Apa hukuman untuk pencuri kitab ini?"
Betari Ayu tidak menjawab. Kitab itu diselipkan di pinggangnya. Terdengar lagi Pendekar Mabuk berkata, "Apakah pencuri kitab ini harus dipenggal kepalanya?"
Selendang Kubur melirik dengan benci. Penuh nafsu untuk menyerang tapi tangannya tetap kaku, bagai masih mendekap kitab.
"Atau harus dihukum bakar?" tanya Suto lagi makin membuat Selendang Kubur cemas dan memendam kemarahan.
Saat berikutnya, Betari Ayu yang berdiri dengan kedua tangan di belakang itu berkata, "Tanyakan saja pada pencuri itu, hukuman apa yang ia sukai!"
Suto tertawa kecil semakin memuakkan Selendang Kubur, lalu ia berkata kepada Selendang Kubur, "Kau dengar sendiri apa kata gurumu itu? Kau bebas memilih hukuman. Silakan pilih mana yang kau suka."
"Apa hakmu memilihkan hukuman untukku, Setan?!"
Pakkk...! Tiba-tiba Betari Ayu ayunkan tangannya dengan gerakan yang tak bisa dilihat mata. Tangan itu menampar pipi Selendang Kubur dengan keras. Pipi itu menjadi merah, membekas empat jari. Selendang Kubur menggigit bibir menahan rasa sakit dengan napas terengah-engah.
Betari Ayu berkata pelan, "Sekali lagi kau tidak sopan terhadap dia, kupatahkan kedua tangan dan kakimu!"
Pendekar Mabuk sendiri sempat kaget dan tak menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat menampar Selendang Kubur, ia jadi tak enak hati mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di depan sang murid.
"Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Kubur setelah hening sejurus dan suaranya terdengar melemah. Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata.
Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan kemarahannya, "Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di depanku!"
Selendang Kubur segera tarik napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian berkata dengan tegas, "Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi! Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"
Suto manggut-manggut sambil sesekali melirik Selendang Kubur. Yang dilirik sudah mulai mengendurkan permusuhannya. Sikapnya kembali lunak. "Ke mana kau akan menenangkan diri?" tanya Nyai Betari Ayu.
"Barangkali saya perlu beristirahat di Puncak Kundalini beberapa waktu lamanya."
"Aku sendiri mau mengasingkan diri ke sana!"
"Jika Guru izinkan, biarlah saya berada di lerengnya!"
Betari Ayu tundukkan kepala sebentar untuk berpikir, lalu wajahnya ditengadahkan dan berkata kepada Pendekar Mabuk, "Lepaskan totokannya, Suto!"
Suto tertawa pelan, kemudian menepuk punggung Selendang Kubur sambil berkata, "Ingatlah janjimu, jangan sampai kau langgar!"
Pada saat itulah tubuh Selendang Kubur tersentak dan jatuh bagaikan lumpuh. Beberapa saat kemudian ia berusaha bangkit, dan dapat bergerak dengan bebas, ia segera menunduk, memberi hormat pada gurunya yang bijak.
Sang guru segera berkata, "Pergilah sekarang juga ke Gunung Kundalini, aku nanti menyusulmu!"
"Baik, Guru!"
Setelah itu, Selendang Kubur pun melesat cepat tanpa menoleh kepada Suto lagi. Kini tinggal Suto berhadapan dengan Betari Ayu. Dewa Racun berdebar-debar memperhatikan pertemuan kedua tokoh itu.
"Benarkah kau membutuhkan Kitab Wedar Kesuma ini, Suto?"
"Kalau kau izinkan, aku memintanya."
"Bagaimana kalau tak ku izinkan?"
"Bawalah pergi, dan biarlah aku tak jadi memberikan mas kawin untuk adikmu Gusti Mahkota Sejati."
"Rebutlah dariku!"
Suto menggeleng dengan mulut bungkam. "Kalau kau tak merebut dan bertarung denganku, kitab ini tidak akan kuberikan padamu!"
"Pergilah dan jangan bikin darahku mendidih, Nyai!"
"Baik kalau itu keputusanmu. Aku pergi!"
Slaappp...! Betari Ayu pun melesat cepat tinggalkan tempat.
Suto tertegun tak bergerak dalam kegundahan hatinya antara mengejar, merebut, bertarung, atau mengalah?
Dan pada saat itu Dewa Racun datang dengan kegeramannya. "Bo... bod... bodoh! Rebut kitab itu! Kau harus tunjukkan pada Nyai Gusti-ku bahwa kau bisa merebut dan mengalahkan kakaknya! Re... rebut! Lekas kejar di... dia! Kejar...!"
Suto tetap diam. Bahkan ia tundukkan kepala dan pejamkan mata. Dewa Racun menggerutu tak karuan. Tapi tiba-tiba ia berkelebat pergi ke semak-semak, pada saat itu ia melihat ada bayangan datang mendekati Suto. Ternyata Betari Ayu kembali lagi. Perempuan cantik dan anggun itu berdiri di depan Suto, dan Suto memandangnya dengan lembut.
Lalu, Suto berkata, "Mengapa tak segera pergi! Jangan paksa aku membunuhmu, Nyai!"
"Aku telah kalah padamu sebelum kau bertarung denganku," kata Betari Ayu. "Terimalah kitab ini! Berikan kepada adikku sebagai mas kawin darimu. Dan katakan, kau telah menundukkan aku dengan kelembutan dan kasih sayangmu!"
Suto menerima kitab itu. Lalu tiba-tiba Betari Ayu melesat pergi tanpa pamit lagi. Suto menggeragap dan segera serukan kata, "Nyaaaaii...!" dengan hati disiram keharuan yang dalam.
Pendekar Mabuk menengadah, bumbung tuaknya dituang. Glek glek glek...! Tiga teguk tuak membasahi kerongkongannya. Pendekar Mabuk merasa lega. Ia kembali menutup tabung itu, dan menyandangnya kembali ke punggung, seperti menyandang sebilah pedang. Tali bumbung menyilang di dadanya, dari pundak kanan ke pinggang kiri.
"Sudah selesai sekarang," kata Suto seraya memandang mayat Datuk Marah Gadai sebentar.
Terdengar pula Selendang Kubur berkata, "Lepaskan pengaruh totokanku ini!"
"Nanti dulu!"
"Tunggu apa lagi, Setan!" bentak Selendang Kubur dongkol sekali.
"Bagaimana dengan kitab itu?"
"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati Wingit yang berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab ini!"
Pendekar Mabuk tersenyum, bahkan tertawa pelan berkesan meremehkan kata-kata Selendang Kubur. Lalu, ia berkata pada perempuan itu, "Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu, dan kubiarkan kau tetap dalam pengaruh totokan. Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa mengejarnya!"
"Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut melawanmu, Suto! Aku berani taruhkan nyawa untuk kitab ini!"
"Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau mau melawanku. Mungkin aku akan kalah padamu, tapi bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu! Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!"
"Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini kecuali aku!"
"Siapa bilang?!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kerumunan dedaunan di belakang Selendang Kubur. Pemilik suara itu segera melesat dengan satu lompatan ringan, dan jatuh dengan tegak di depan Selendang Kubur.
Tersentak kaget Selendang Kubur melihat kehadiran orang itu. Gemetar bibirnya saat menyebutkan sapa, "Nyai Guru...?!"
Suto sendiri sebenarnya kaget mendengar sahutan kata Betari Ayu tadi. Tapi ia bisa menutup kekagetannya dengan senyum yang dipamerkan di depan Betari Ayu.
Di atas pohon, Dewa Racun terbelalak matanya. Tak sadar ia mengucap lirih, "Nyaaa... Nyaaai... Nyaii Guru? Oh, itu dia Nyai Guru Dyah Kemalawindu...?! Celaka! Suto tak mau segera ambil kitab itu, akibatnya pemilik kitab da... daa... datang sebelum kitab jatuh di tangan Suto! Uh, bodoh amat Suto itu!"
Dewa Racun sengaja belum mau muncul, ia ingin melihat peristiwa selanjutnya antara Suto dengan Betari Ayu. Ia ingin melihat pertarungan yang sudah tentu lebih dahsyat dibanding pertarungan Suto melawan Datuk Marah Gadai tadi.
"Rupanya kau yang mencuri kitab itu, Selendang Kubur!" kata Betari Ayu dengan wajah dingin, kaku, menampakkan kemarahan yang terpendam. Matanya memandang tajam namun berkesan sinis.
"Nyai... Nyai Guru, saya hanya sekadar menyelamatkan pusaka ini dari tangan Datuk Marah Gadai, yang... yang... yang sudah berhasil saya bunuh, Nyai!"
Pendekar Mabuk menahan tawa dan segera berpaling wajah agar tak dilihat Betari Ayu. Selendang Kubur sebentar-sebentar melirik Suto dengan cemas, dan berharap Suto tidak ikut bicara dulu.
"Jadi, Datuk Marah Gadai mau mencuri kitab itu?"
"Ben... benar, Nyai."
"Dan kau telah merebut lalu membunuhnya?"
"Ben... ben... benar, Nyai. Lihatlah, mayatnya ad... ad... ada di sana, Nyai!"
Dewa Racun membatin dari atas pohon, "Kurang ajar! Perempuan itu ikut-ikutan gagap! Dari mana dia tahu kalau aku bicara gagap, sehingga dia bisa menghinaku dengan berpura-pura gagap?!" Dewa Racun ingin turun untuk menghajar Selendang Kubur. Tapi segera ia temukan kesimpulan lain, bahwa rasa takutnya Selendang Kubur itu menghadirkan kegagapan tersendiri yang tidak semata-mata menghina kegagapan Dewa Racun. Karena itu, Dewa Racun tak jadi melepaskan marahnya, ia tetap mengikuti dari atas pohon.
Terdengar suara Betari Ayu berkata kepada Selendang Kubur, "Kalau kau telah membunuh Datuk Marah Gadai, mengapa kau tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?"
"Suto menahan saya, Nyai!"
"Suto menahanmu? Ada perlu apa dia menahanmu?"
"Dia mau rebut kitab ini, Nyai. Tapi saya pertahankan terus!"
"Suto ingin merebut kitab itu? Untuk apa? Semua ilmu yang ada di dalam kitab ini masih belum ada sekuku hitamnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Suto!"
"Tap... tapi... tapi..."
"Tapi kau ditotok olehnya sejak tadi sehingga kau tak bisa bergerak?"
Selendang Kubur tak bisa bicara lagi. Bibirnya gemetar dan lidahnya bagaikan kaku. Nyai Betari Ayu kembali melanjutkan kata, "Bagaimana kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai jika sejak tadi kau tak bisa bergerak, bahkan untuk pindah ke sini pun perlu digotong Suto mirip patung dipindahkan? Menahan gelombang ledakan pun kau tak mampu, hingga tubuhmu tumbang seperti batang pisang?! Bagaimana mungkin kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai?"
Mendengar ucapan Nyai Betari Ayu, baik Pendekar Mabuk maupun Dewa Racun mengerti bahwa sejak tadi ternyata perempuan berwibawa yang mempunyai kecantikan yang anggun itu sudah memperhatikan pertarungan Suto dengan Datuk Marah Gadai. Karenanya, Pendekar Mabuk cepat bergerak. Kitab itu diambil paksa dari Selendang Kubur.
Breet!
Selendang Kubur hanya bisa terperangah dan tak bisa bergerak sedikit pun. Kemudian, Pendekar Mabuk menyerahkan kitab itu kepada Betari Ayu. "Ambillah, ini hakmu, Nyai!"
Betari Ayu memandang Suto dengan mata dingin. Cukup lama mereka saling pandang. Akhirnya, tangan Betari Ayu menerima kitab itu dengan mata tetap menatap Suto Sinting.
Dewa Racun bergumam dalam hatinya, "Bodoh! Mengapa diserahkan begitu saja! Apakah Pendekar Mabuk tak berani melawan Nyai Betari Ayu?"
Terdengar Pendekar Mabuk berkata kepada Betari Ayu sambil ia melangkah ke samping Selendang Kubur, "Apa hukuman untuk pencuri kitab ini?"
Betari Ayu tidak menjawab. Kitab itu diselipkan di pinggangnya. Terdengar lagi Pendekar Mabuk berkata, "Apakah pencuri kitab ini harus dipenggal kepalanya?"
Selendang Kubur melirik dengan benci. Penuh nafsu untuk menyerang tapi tangannya tetap kaku, bagai masih mendekap kitab.
"Atau harus dihukum bakar?" tanya Suto lagi makin membuat Selendang Kubur cemas dan memendam kemarahan.
Saat berikutnya, Betari Ayu yang berdiri dengan kedua tangan di belakang itu berkata, "Tanyakan saja pada pencuri itu, hukuman apa yang ia sukai!"
Suto tertawa kecil semakin memuakkan Selendang Kubur, lalu ia berkata kepada Selendang Kubur, "Kau dengar sendiri apa kata gurumu itu? Kau bebas memilih hukuman. Silakan pilih mana yang kau suka."
"Apa hakmu memilihkan hukuman untukku, Setan?!"
Pakkk...! Tiba-tiba Betari Ayu ayunkan tangannya dengan gerakan yang tak bisa dilihat mata. Tangan itu menampar pipi Selendang Kubur dengan keras. Pipi itu menjadi merah, membekas empat jari. Selendang Kubur menggigit bibir menahan rasa sakit dengan napas terengah-engah.
Betari Ayu berkata pelan, "Sekali lagi kau tidak sopan terhadap dia, kupatahkan kedua tangan dan kakimu!"
Pendekar Mabuk sendiri sempat kaget dan tak menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat menampar Selendang Kubur, ia jadi tak enak hati mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di depan sang murid.
"Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Kubur setelah hening sejurus dan suaranya terdengar melemah. Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata.
Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan kemarahannya, "Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di depanku!"
Selendang Kubur segera tarik napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian berkata dengan tegas, "Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi! Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"
Suto manggut-manggut sambil sesekali melirik Selendang Kubur. Yang dilirik sudah mulai mengendurkan permusuhannya. Sikapnya kembali lunak. "Ke mana kau akan menenangkan diri?" tanya Nyai Betari Ayu.
"Barangkali saya perlu beristirahat di Puncak Kundalini beberapa waktu lamanya."
"Aku sendiri mau mengasingkan diri ke sana!"
"Jika Guru izinkan, biarlah saya berada di lerengnya!"
Betari Ayu tundukkan kepala sebentar untuk berpikir, lalu wajahnya ditengadahkan dan berkata kepada Pendekar Mabuk, "Lepaskan totokannya, Suto!"
Suto tertawa pelan, kemudian menepuk punggung Selendang Kubur sambil berkata, "Ingatlah janjimu, jangan sampai kau langgar!"
Pada saat itulah tubuh Selendang Kubur tersentak dan jatuh bagaikan lumpuh. Beberapa saat kemudian ia berusaha bangkit, dan dapat bergerak dengan bebas, ia segera menunduk, memberi hormat pada gurunya yang bijak.
Sang guru segera berkata, "Pergilah sekarang juga ke Gunung Kundalini, aku nanti menyusulmu!"
"Baik, Guru!"
Setelah itu, Selendang Kubur pun melesat cepat tanpa menoleh kepada Suto lagi. Kini tinggal Suto berhadapan dengan Betari Ayu. Dewa Racun berdebar-debar memperhatikan pertemuan kedua tokoh itu.
"Benarkah kau membutuhkan Kitab Wedar Kesuma ini, Suto?"
"Kalau kau izinkan, aku memintanya."
"Bagaimana kalau tak ku izinkan?"
"Bawalah pergi, dan biarlah aku tak jadi memberikan mas kawin untuk adikmu Gusti Mahkota Sejati."
"Rebutlah dariku!"
Suto menggeleng dengan mulut bungkam. "Kalau kau tak merebut dan bertarung denganku, kitab ini tidak akan kuberikan padamu!"
"Pergilah dan jangan bikin darahku mendidih, Nyai!"
"Baik kalau itu keputusanmu. Aku pergi!"
Slaappp...! Betari Ayu pun melesat cepat tinggalkan tempat.
Suto tertegun tak bergerak dalam kegundahan hatinya antara mengejar, merebut, bertarung, atau mengalah?
Dan pada saat itu Dewa Racun datang dengan kegeramannya. "Bo... bod... bodoh! Rebut kitab itu! Kau harus tunjukkan pada Nyai Gusti-ku bahwa kau bisa merebut dan mengalahkan kakaknya! Re... rebut! Lekas kejar di... dia! Kejar...!"
Suto tetap diam. Bahkan ia tundukkan kepala dan pejamkan mata. Dewa Racun menggerutu tak karuan. Tapi tiba-tiba ia berkelebat pergi ke semak-semak, pada saat itu ia melihat ada bayangan datang mendekati Suto. Ternyata Betari Ayu kembali lagi. Perempuan cantik dan anggun itu berdiri di depan Suto, dan Suto memandangnya dengan lembut.
Lalu, Suto berkata, "Mengapa tak segera pergi! Jangan paksa aku membunuhmu, Nyai!"
"Aku telah kalah padamu sebelum kau bertarung denganku," kata Betari Ayu. "Terimalah kitab ini! Berikan kepada adikku sebagai mas kawin darimu. Dan katakan, kau telah menundukkan aku dengan kelembutan dan kasih sayangmu!"
Suto menerima kitab itu. Lalu tiba-tiba Betari Ayu melesat pergi tanpa pamit lagi. Suto menggeragap dan segera serukan kata, "Nyaaaaii...!" dengan hati disiram keharuan yang dalam.
SELESAI