Cambuk Getar Bumi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Cambuk Getar Bumi Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Cambuk Getar Bumi
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
LANGIT bergemuruh bagai mau rubuh. Kilatan cahaya petir menyambar mega demi mega, menembus awan hitam dan mengguncangnya sesaat. Gemuruh guntur itu disertai deru angin membadai yang datang dari selatan. Hembusan angin begitu kencangnya hingga membuat pucuk-pucuk pohon meliuk tajam seakan ingin menyentuh bumi.

Seorang pemuda berpakaian celana putih dan baju coklat tanpa lengan mempercepat langkahnya. Pemuda berwajah tampan yang punya rambut lurus sebatas pundak itu mencari tempat untuk berlindung, karena ia tahu alam sebentar lagi akan diguyur air hujan dengan lebat.

Bumbung bambu masih digantungkan di pundaknya. Bumbung itu adalah tempat menyimpan tuak yang punya khasiat luar biasa baginya. Pemuda penyandang bumbung tuak itulah yang dikenal dengan julukan Pendekar Mabuk, Suto Sinting, murid dari tokoh sakti ternama; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.

Mendekati sebuah gua, Suto Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Dahinya berkerut pertanda punya perasaan heran pada saat itu. Ia menelengkan kepala untuk menangkap sebuah suara dengan jelas. Lalu suara itu berhasil didengarnya dengan samar-samar.

"Tolooong...!"

"Ada orang yang berseru minta tolong," pikirnya.

"Tolong...! Tolong...!"

"Hmm... arahnya di sebelah barat?" gumam Suto seraya cepat bergegas ke barat. Tapi sampai di barat ia berhenti lagi dan sedikit bingung, karena suara itu terdengar lagi dari arah timur.

"Tolooong...!"

"Suara perempuan itu dari arah timur? Tapi tadi kudengar dari arah barat? Mana yang benar?!" Suto sedikit menggerutu, matanya memandang ke timur dan ke barat bergantian. Pendengarannya kian dipertajam. Lalu ia menemukan kesimpulan dalam hatinya.

"Ooo... yang kudengar dari barat tadi adalah pantulan gemanya. Dinding bukit itu yang membuat suara memantul sehingga membingungkan diriku! Suara minta tolong itu pasti dari timur!"

Pendekar Mabuk bergegas ke arah kerimbunan hutan disebelah timur. Hembusan angin membadai sedikit reda. Agaknya hujan tak jadi datang. Langit mendung mulai terbuka, awan hitamnya berarak-arak pindah ke utara. Di sebelah timur, di tengah kerimbunan hutan yang tak begitu lebat, ternyata ada sebuah telaga berukuran tak seberapa besar. Pendekar Mabuk tiba di tepi telaga. Seorang wanita cantik menjerit kaget.

"Aaauh...!" Perempuan itu terkejut melihat kemunculan Suto Sinting. Tubuhnya yang terendam air sebatas leher seakan ingin semakin dibenamkan. Perempuan itu rupanya sedang mandi di telaga tersebut seorang diri. Rambutnya yang lurus selewat pundak itu tampak basah kuyup. Matanya yang membelalak indah itu menatap Suto dengan marah.

"Jangan mendekat! Pergi! Pergi! Jangan mendekat kemari!"

Suto jadi serba salah, ia berkata, "Aku mendengar suara jeritan orang meminta tolong, karenanya aku datang kemari, Nona!"

Perempuan muda yang memang masih pantas dipanggil Nona itu berseru dari kedalaman air telaga, "Itu jeritanku. Tapi... tapi aku menjerit bukan untukmu!"

"Tapi di sini tak ada orang lain kecuali kita berdua, Nona!"

"Bohong!" sentaknya, ia bersungut-sungut. Bahkan sekarang menjerit lagi, "Tolooong...!"

"Husy!" sentak Suto sedikit menahan geli di hati. "Tak perlu menjerit. Aku akan menolongmu!"

Gadis itu menatap sedikit ragu. Tubuhnya masih direndam dalam air telaga sampai batas leher, hingga yang terlihat hanya kepalanya saja. "Kau... kau benar-benar mau menolongku? Bukan mau memperkosaku?"

"Aku bukan orang sejahat itu, Nona."

"Kalau kau bukan orang jahat, tolong carikan pakaianku."

"Apa...?" Suto agak kaget, matanya memandang gadis yang merendam diri sebatas leher itu.

"Carikan pakaianku!" sentak gadis itu dengan jengkel. "Pakaianku hilang. Tadi kutaruh di bebatuan situ, ketika aku menyelam dan muncul lagi, ternyata pakaianku sudah tidak ada. Aku bingung, tak berani keluar dari air."

Sambil menahan geli Suto Sinting tersenyum dan palingkan wajah ke arah lain. Pikirnya, "Pantas dia merendam diri sampai batas leher, rupanya ia tidak mengenakan pakaian apa-apa? Hi hi hi hi...!"

"Hei, kenapa kau senyum-senyum? Cari pakaianku. Lekas!" bentak gadis itu.

Suto memandang dalam keceriaan yang berseri, memperlihatkan daya pikat dari ketampanan dan kegagahannya. Gadis bertahi lalat di tepi bibir atas sebelah kiri itu semakin cemberut, bicaranya keras, membentak lantang,

"Jangan bengong saja di situ! Cari pakaianku, Tolol!"

"Kalau kau membentak-bentakku, sebaiknya aku pergi saja dan silakan cari pakaianmu sendiri!" Suto berpura-pura ingin pergi.

"Tunggu!" teriak gadis itu. "Baiklah, aku tidak membentakmu lagi," suaranya mereda. "Tolonglah, carikan pakaianku, nanti kuberi upah."

"Apa upahnya?"

"Akan kuajarkan padamu sebuah jurus yang jarang dimiliki orang."

Senyum Pendekar Mabuk melebar. "Jurus apa itu?"

"Jurus pukulan 'Malaikat Rela'," jawab gadis itu dengan suaranya yang selalu keras dan bening.

Suto sempat tertawa dalam gumam. "Lucu sekali nama jurus itu."

"Jangan menertawakan. Kalau kau tahu kehebatan jurus itu kau akan terbengong-bengong!"

"Apa kehebatannya?"

"Pukulan 'Malaikat Rela' dapat merobohkan delapan pohon dalam satu kali hentakan. Jika dilepaskan kepada lawanmu, dia akan tumbang setelah bernapas tiga kali. Percayalah, jurus itu tak ada yang memiliki kecuali diriku. Maka carilah pakaianku dan kau akan kuajarkan jurus tersebut! Cepat, cari! Aku kedinginan merendam di sini terlalu lama."

"Baiklah. Tapi sebutkan dulu namamu, kalau nanti kau ingkar janji aku bisa mencarimu ke mana saja kau lari!"

"Ah...!" gadis itu mendesah dengan bersungut-sungut, tapi akhirnya menjawab juga apa yang ditanyakan Suto tadi.

"Namaku... Putri Kunang, murid si Dewa Sengat."

"Putri Kunang?" gumam Suto sambil berkerut dahi. "Cantik juga namamu itu."

"Sudahlah, jangan memujiku dulu. Yang kubutuhkan saat ini bukan pujian tapi pakaian. Kau dengar? Pakaian!"

Sambil tertawa kecil Suto Sinting mencari pakaian gadis cerewet itu. Ia berkeliling sekitartelaga, menerobos semak belukar, menyingkap kerimbunan ilalang yang tumbuh tak jauh dari tempat sekitar telaga. Tapi pakaian itu tidak ditemukan juga oleh Suto. Dari semak-semak bawah pohon Suto berseru, "Apa warna pakaianmu?"

"Mungkin hijau!" jawab Putri Kunang.

"Kenapa pakai kata mungkin?"

"Sebab aku tak bisa membedakan warna hijau dan warna merah."

Suto tertawa. "Sayang sekali, gadis cantik-cantik sepertimu tapi buta warna."

"Jangan mengecamku, carilah pakaian itu!" sentak Putri Kunang.

Sambil menggerutu Suto masih mencari pakaian gadis itu. Tapi sampai beberapa saat lamanya, ia belum temukan juga pakaian si gadis. Tak ada selembar kain pun di sekitar telaga tersebut. "Siapa yang usil kepada gadis cerewet itu? Pakaian dibawa kabur, pemiliknya ditinggalkan saja di telaga," kata Suto dalam hati. "Bikin repot diriku saja kalau begini! Uuuh...! Jangan-jangan dia datang kemari tanpa pakaian?"

Pendekar Mabuk menjadi jengkel sendiri dalam hatinya. Pakaian itu memang tak ada. Dugaan Suto, seseorang telah membawanya lari jauh dari telaga. Maka Suto pun naik ke atas pohon dengan sentakan kecil kaki kirinya. Suuut...! Ia gunakan ilmu peringan tubuhnya hingga mencapai dahan di atas pohoh. Matanya memandang alam sekitar. Tak ada orang di sana-sini. Hutan itu sepi tanpa gerakkan apapun kecuali hembusan angin yang menggoyang dedaunan.

"Bagaimana?!" seru Putri Kunang. "Apakah pakaianku sudah kau temukan?"

"Tak ada di mana-mana!" teriak Suto dari atas pohon.

"Pasti dibawa lari oleh seseorang! Carilah orangnya, baru kau akan temukan pakaianku!"

"Tak ada orang di sekitar sini! Di sebelah sana juga tak ada!" Suto Sinting melompat turun dari atas pohon. Jleeg...! Ia mendarat tepat di tepi telaga, di depan mata Putri Kunang.

"Dasar bodoh! Percuma punya wajah tampan kalau cari pakaian saja tak becus!" omel Putri Kunang. Tubuhnya masih terendam di air sebatas leher.

"Ke mana lagi aku harus mencari jika memang tak ada di sekitar sini? Mungkin seseorang telah mencurinya dan membawanya lari entah kemana."

Putri Kunang menggerutu tak jelas sambil bersungut-sungut. Suto Sinting masih berpikir sambil memandang ke sana-sini. Ia menenggak tuaknya sebentar, lalu kembali melangkah mengitari telaga sambil mempertajam penglihatannya ke semak-semak, siapa tahu pakaian itu dikembalikan oleh pencurinya secara diam-diam. Tapi sampai langkah Suto kembali ke tempat semula, ia tetap tidak menemukan pakaian si gadis cantik yang cerewet itu.

Tiba-tiba sekelebat anak panah melesat dengan cepat ke arah kepala Putri Kunang. Panah itu datang dari belakang kepala si gadis. Suto Sinting terperanjat dan cepat berkelebat bagaikan terbang. Wuuuttt...! Taab...! Anak panah itu disambarnya dan kini berhasil berada di genggaman tangan Suto Sinting. Kaki Suto terpaksa menapak pada selembar daun yang mengambang di permukaan air di belakang Putri Kunang.

"Ada apa?!" suara Putri Kunang tampak tegang, ia terkesiap ketika melihat Suto menggenggam anak panah berbulu merah bagian pangkalnya. "Panah siapa itu?!" Putri Kunang setengah menyentak. "Kau ingin membunuhku pakai anak panah itu,ya?!"

"Seseorang telah melepaskan anak panah ini ke arahmu! Aku menyambarnya, bukan mau membunuhmu!" kata Suto dengan jengkel, dan kakinya yang kiri itu segera menyentak lembut di atas permukaan daun mengambang, lalu tubuhnya melesat ke darat sambil masih pegangi anak panah itu.

Wuuttt...! Jleeg...!

Mata Suto segera memandang ke arah datangnya anak panah. Kerimbunan dedaunan pohon sukun menjadi pusat perhatian Pendekar Mabuk, ia yakin ada seseorang di atas pohon sukun yang berdaun lebar dan rimbun itu. Maka, ia pun segera melemparkan anak panah itu ke batang pohon.

Wuuttt...!

Duaaarrr...! Anak panah menancap di batang pohon, lalu meledak menimbulkan guncangan, hebat. Pohon sukun itu bagaikan ingin tumbang. Lalu seseorang jatuh dari atas pohon dengan teriakan ketakutan.

"Woaaawww...!"

Bruukkk...! Tenaga dalam tinggi yang disalurkan Suto melalui anak panah itu berhasil membuat orang yang bersembunyi di atas pohon terkapar di tanah tepi telaga. Tetapi pada saat itu yang ada dalam hati Putri Kunang adalah kecamuk batin yang berbeda dengan kemunculan orang dari atas pohon itu.

"Si tampan itu ilmunya lumayan juga? Dia bisa bergerak lebih cepat dari gerakan anak panah. Dan bisa berdiri di atas daun yang mengambang di air. Dia bisa salurkan tenaga dalamnya pada anak panah itu, sehingga ledakannya mengguncang pohon begitu hebatnya. Hmm... siapa dia sebenarnya?"

Tetapi hati Suto justru menanyakan orang yang sedang mengerang kesakitan sambil memegangi pinggangnya. "Siapa orang ini? Mengapa mau membunuh Putri Kunang? Apakah dia pencuri pakaian si gadis cerewet itu?"

Sedangkan lelaki yang jatuh dari atas pohon itu berkata dalam hati, "Berapa ketinggian tempatku jatuh ini? Mengapa tulang punggungku jadi seperti patah begini? Ternyata sangat tak enak jatuh dalam keadaan telentang. Lain kali aku harus punya cara jatuh yang nyaman!"

Suto Sinting menghampiri lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang berpakaian serba hitam tapi mengenakan ikat kepala merah itu. Busur panahnya patah karena tertindih badannya. Sisa anak panah di punggung menjadi berantakan, dua batang anak panah ada yang patah juga. Pendekar Mabuk segera mencengkeram baju orang itu dan menariknya ke atas, sehingga orang itu menjadi berdiri dengan sangat terpaksa.

"Kembalikan pakaian gadis itu, atau kutenggelamkan kau ke dasar telaga?!" ancam Suto dengan tegas.

"Ak... aku... aku tidak mencuri pakaiannya!" kata orang tersebut.

"Lalu mengapa kau mau membunuh gadis itu dengan panahmu?"

"Ak... aku... aku hanya disuruh!"

"Siapa yang menyuruhmu?!"

"Seseorang."

Suto memperkuat cengkeramannya, menarik tubuh orang pendek itu lebih mendekat ke wajahnya. "Sebutkan namanya! Sebutkan siapa yang menyuruhmu!"

"De... de... Dewa Sengat!"

"Bohong!" teriak Putri Kunang dari permukaan air telaga. "Dewa Sengat adalah guruku. Tak mungkin dia suruh kau membunuhku!"

Tiba-tiba melesatlah kilatan benda bercahaya putih karena pantulan sinar matahari yang mulai bebas dari mendung itu.

Ziing...! Jraab...!

"Uuhg...!" Orang berpakaian serba hitam itu mendelik. Mulutnya keluarkan darah sedikit, lalu ia rubuh tak bergeming selamanya. Suto Sinting dan Putri Kunang terperanjat. Rupanya seseorang telah membunuh orang berpakaian serba hitam itu dengan senjata rahasianya yang amat beracun. Senjata rahasia itu menghantam punggung kiri dan tembus sampai merobek jantung. Tentu saja orang itu melakukan hal demikian supaya sebuah rahasia tetap terjaga dan tidak bocor dari mulut orang berpakaian hitam itu.

Pendekar Mabuk segera melesat cepat mengejar orang yang menghilang di balik kerimbunan semak sebelah timur. Rasa penasaran membuat Suto ingin mengetahui siapa orang yang menyuruh si pemanah untuk membunuh Putri Kunang. Tetapi agaknya orang yang melemparkan senjata rahasia itu punya tempat khusus untuk bersembunyi dan selamatkan diri, sehingga Suto tidak berhasil temukan orang tersebut, ia pun bergegas kembali ketelaga.

Tetapi sesampainya di telaga Suto Sinting terperanjat melihat gadis cerewet itu sudah tidak ada di sana. Ia kebingungan mencari dengan pandangan matanya. Telaga telah sepi tanpa kepala Putri Kunang.

"Apakah dia tenggelam atau menyelam?" pikir Suto. Tetapi begitu melihat mayat orang yang melepaskan panah tadi ternyata sekarang dalam keadaan telanjang tanpa pakaian, maka Suto makin yakin bahwa Putri Kunang telah keluar dari telaga dan pergi entah ke mana setelah melepasi pakaian mayat itu.

Dengan senyum geli Suto membayangkan saat gadis cerewet itu keluar dari permukaan air sendang dalam keadaan tanpa busana, lalu mendekati mayat itu, melepasi pakaiannya, dan mengenakan pakaian si mayat dengan tergesa-gesa, lalu pergi meninggalkan telaga. Mayat sedikit gemuk itu dibiarkan telanjang.

"Kurasa ia belum jauh dari sini!" kata Suto bagai bicara pada diri sendiri.

Maka Suto Sinting pun segera bergegas mengejar ke arah selatan, karena ia melihat tanah yang menuju arah selatan tampak basah. Berarti tetesan air dalam tubuh si gadis adalah jejak yang harus ditujunya. Dan ternyata dugaan Suto Sinting itu memang benar. Putri Kunang yang bertubuh langsing itu sedang berlari dengan sebentar-sebentar jatuh tersungkur dan bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, berlari dengan tersendat-sendat.

Wuuttt...! Suto Sinting melintasi kepala Putri Kunang dalam gerakan bersalto tiga kali. Tahu-tahu ia sudah berdiri menghadang di depan langkah gadis itu. Si gadis hanya menghela napas menahan kejengkelannya. Tetapi Suto Sinting tertawa kecil melihat pakaian gadis itu.

"Jangan tertawa!" hardik gadis itu. "Kurasa memang lebih baik aku mengenakan pakaian mayat itu daripada harus berendam di dalam telaga sampai esok pagi! Sayang sekali pakaian ini terlalu sempit untukku, padahal mayat itu lebih gemuk dari tubuhku."

"Tentu saja agak sempit," kata Suto. "Kau tergesa-gesa, sehingga kedua kakimu masuk dalam satu lubang kaki celana itu!"

Putri Kunang kaget, memperhatikan celana hitam yang dipakainya, ia semakin kaget lagi dan menggumam jengkel. "Astaga! Benar-benar pikun aku ini!"

Putri Kunang akhirnya menahan tawa geli melihat kedua kakinya masuk dalam satu lubang kaki celana, sedangkan lubang kaki yang satunya kosong tanpa terisi kaki kiri si gadis. "Pantas gerakanku sangat terbatas dan sebentar-sebentar tersendat jatuh," gumamnya di sela tawa.

Sementara itu Suto meski ikut tertawa tapi matanya lebih tertuju pada wajah si gadis yang sungguh cantik pada saat tertawa. "Pergilah ke semak-semak sana, dan betulkan pakaianmu," ujar Suto seraya membuka tutup bumbung tuaknya, ia menengak tuak itu beberapa teguk ketika Putri Kunang pergi ke semak-semak dan membetulkan celananya.

Kejap berikutnya gadis itu telah kembali dengan pakaian lebih rapi dari sebelumnya. Kini kakinya masuk dalam lubang kaki celana sebagaimana mestinya. Celana itu mengatung, karena tinggi tubuhnya melebihi tinggi tubuh mayat si pemanah.

"Kurasa orang yang membunuh si pemanah itulah yang mencuri pakaianmu."

"Kalau tidak dia, ya si pemanah sendiri. Pedangku juga ikut hilang dicurinya! Kurang ajar betul dia! Aku akan kembali mencari pakaianku yang sebenarnya!" Gadis itu kembali ke telaga.

Suto Sinting diam sebentar, mempertimbangkan diri apakah perlu mengikuti gadis itu atau meninggalkannya? Dalam keadaan diam berpikir, mendadak muncul sekelebat benda dari arah samping kirinya.

Wuuuttt...! Seettt...! Tab!

Sebuah pisau bergagang hias bulu merah ditangkap oleh gerakan cepat tangan Suto. Pisau terbang itu terselip di sela jari Suto dan dijepitnya kuat-kuat. Mata Pendekar Mabuk segera menatap semak-semak yang dicurigainya. Maka, dengan gerakan cepat Suto Sinting melemparkan pisau itu ke arah semak-semak sambil merendahkan badan.

Wuuuttt...!Zlaappp...! Gusrak...!

"Aauh...!" suara orang terpekik terdengar jelas dari semak-semak itu. Kejap berikutnya muncullah seraut wajah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan seringai kesakitan, ia melangkah dengan sempoyongan. Rupanya betis orang itu terkena lemparan pisau dari Pendekar Mabuk tadi. Orang berpakaian biru tua itu memaki dalam gerutuan. Matanya memandang tajam penuh kemarahan, ia berusaha mencabut pisau terbang yang dikembalikan Suto dengan seringai sakit yang membuat wajahnya bagaikan terkumpul di tengah hidung.

Sleeb...! Pisau berhasil dicabut. Ketika ingin dilemparkan kembali ke arah Suto Sinting, tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru dari balik pepohonan yang tumbuh dengan rapat.

"Tahan...!"

Orang berpakaian biru itu tak jadi lepaskan lemparan pisaunya. Kejap berikutnya muncul seraut wajah tua yang usianya sekitar lima puluh tahun dengan rambut pendeknya mulai ditumbuhi uban. Orang bersenjata pisau lebar di pinggang kanan kirinya itu mengenakan pakaian hijau tua dengan tubuhnya yang tergolong gemuk, kumisnya tebal dan matanya lebar, angker.

Suto Sinting berdiri tegak dengan bambu tuaknya ada di tangan kanan. Sikapnya menampakkan diri sebagai orang yang siap menghadapi lawan dengan cara apa pun. Namun wajahnya masih tampak ramah, tenang, dan penuh waspada.

"Kau pasti yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu!" geram orang berbaju hijau tua itu.

"Benar. Memang akulah yang bergelar Pendekar Mabuk. Lalu, kalian sendiri siapa? Dan mengapa memusuhiku?"

"Rupanya kau belum mengenal kami, Bocah Sinting! Kami adalah orang-orang Lereng Iblis yang disegani para tokoh di rimba persilatan ini!"

"Aku memang pernah mendengar nama Lereng Iblis, tapi tidak pernah merasa segan," kata Suto membuat si baju biru yang terluka kakinya itu menjadi marah, ia segera melemparkan pisau ke dada Suto.

Wuuttt...!

Suto Sinting menangkis dengan gerakkan tangan kanan ke dada, dan pisau itu membentur bumbung bambu tuaknya. Traang...! Pisau itu membalik arah dengan gerakan lebih cepat lagi. Untung si baju biru dapat bergerak lebih cepat juga, sehingga pisau yang memantul balik itu tidak mengenai tubuhnya melainkan menancap di pohon belakangnya.

Jruub...!

Kedua orang Lereng Iblis memandang heran melihat pisau itu menancap di batang pohon dengan kuat, seluruh mata pisau terbenam di kayu jati itu hingga tinggal bagian gagangnya saja yang tampak dari luar batang pohon.

"Pisau itu seperti menancap di batang pohon pisang saja?" pikir si baju hijau. "Pasti bambu tuaknya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang mampu menerbangkan pisau dengan kekuatan tinggi. Hmmm... kalau begitu aku harus hati-hati dengan bambu tuaknya itu."

"Lalu apa keperluan kalian sehingga menyerangku dari belakang?" tanya Suto.

"Jangan berlagak bodoh! Semua orang tahu bahwa kau telah berhasil membunuh Bandar Hantu Malam. Dengan begitu kau pasti telah memiliki pusakanya yang bernama Cambuk Getar Bumi itu! KamidariLereng Iblis merasa terhina, sebab cambuk itu sebenarnya milik ketua kami yang dicuri oleh Bandar Hantu Malam! Jadi, kalau kau masih ingin menikmati sisa hidup yang masih panjang itu, sebaiknya serahkan saja kepada kami pusaka Cambuk Getar Bumi itu."

Pendekar Mabuk justru sunggingkan senyum tipis, ia berkata dengan tenang. "Kalian salah dengar. Yang berhasil kutumbangkan bukan Bandar Hantu Malam yang asli. Yang kutumbangkan adalah Dampu Sabang, adik seperguruan Bandar Hantu Malam yang asli. Dampu Sabang sengaja mengaku sebagai Bandar Hantu Malam dan membuat keonaran di mana-mana, supaya nama Bandar Hantu Malam yang sudah bersih itu menjadi tercemar kembali. Jadi, sebenarnya kalian salah duga. Jika ada seseorang yang melihat atau menemukan mayat Bandar Hantu Malam, sebenarnya mayat itu adalah mayat Dampu Sabang. Sedangkan Bandar Hantu Malam yang bernama asli Ki Randu Papak itu masih hidup dan bermukim di pondoknya, di Gunung Keong Langit. Kalau kalian tak percaya, silakan memeriksanya ke puncak gunung itu!"

Si baju biru mencibir sinis, tak percaya dengan penjelasan Pendekar Mabuk. Sedangkan Pendekar Mabuk membayangkan peristiwa pertarungan Bandar Hantu Malam dengan Dampu Sabang, yang pada akhirnya ia turun tangan serta berhasil menumbangkan Dampu Sabang. Tokoh sesat itu menjadi debu, dengan begitu semestinya tak ada orang yang bisa temukan mayat Dampu Sa bang sehingga menganggap mayat itu adalah Bandar Hantu Malam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bandar Hantu Malam)

Tetapi si baju hijau itu agaknya masih ngotot dan berkata, "Kau tak bisa membohongiku, Bocah Tolol! Kau takbisa menipu kami, karena kami pernah berhadapan dengan Bandar Hantu Malam dan mengenal betul wajah orang itu. Sekarang kami tahu bahwa orang itu telah mati, sebab tiga orang kami menemukan mayatnya dalam keadaan luka memar parah sekali."

Penjelasan itu lama-lama membuat Suto Sinting kerutkan dahi. Ia curiga dengan penjelasan itu. "Jangan-jangan Bandar Hantu Malam yang asli memang sudah mati? Mereka tampak yakin sekali akan hal itu."

"Tak perlu banyak berpikir!" kata si baju biru dengan suara keras. "Serahkan saja pusaka Cambuk Getar Bumi itu kepada kami, dan kau akan selamat dari murka orang-orang Lereng Iblis!"

"Aku tidak tahu menahu tentang cambuk itu!" kata Suto agak bingung.

"Paksa dia! Jangan buang-buang waktu!" geram si baju biru yang terluka kakinya. Meski wajahnya mulai pucat karena racun pada ujung pisaunya sendiri itu, tapi dia masih kelihatan sangar dan garang.

"Kuhitung sampai tiga kali kalau kau tak serahkan cambuk itu, kau akan kukirim ke neraka secepatnya!" gertak si baju hijau.

"Berhitunglah sampai seribu kali, aku tetap tak akan serahkan cambuk itu, karena aku memang tidak tahu menahu tentang cambuk tersebut!" kata Suto.

"Bangsat! Heaah...!" si baju biru menyerang dengan jurus tangan kosong yang melepaskan selarik sinar merah lurus ke dada Suto Sinting.

Pendekar Mabuk tak menyangka orang itu yang akan menyerangnya, ia segera melompat ke atas, suutt...! Menghindari sinar merah itu. Tetapi ujung bambu tuaknya terkena sinar merah yang segera membalik arah, membias kesamping dan sinar itu bergerak lebih cepat serta lebih besar, menghantam dada si baju hijau dengan telaknya.

Blaarr...!

Asap hitam mengepul tebal. Membungkus orang berkumis tebal yang tidak menduga akan terkena serangan balik dari sinar merah milik temannya. Di dalam asap tebal itu terdengar suara mirip pohon rubuh. Bruugk...! Ketika asap menipis tampak tubuh si baju hijau terkapar di rerumputan. Seluruh pakaiannya menjadi abu karena hangus, sekujur tubuhnya hitam, matang. Rambutnya habis terbakar oleh ledakan sinar merah temannya tadi.

"Gobang?! Gobaaang...?!" si baju biru mengguncang-guncang tubuh mayat yang terbakar hangus oleh jurusnya sendiri tadi. Ia tampak menyesal dan amat sedih melihat temannya mati terkena sinar merahnya. Kesedihan itu membuatnya kian murka kepada Pendekar Mabuk.

"Jahanam kau!" geramnya. "Kau telah membunuh Gobang, sahabatku yang paling setia ini! Kubalas kematiannya dengan merenggut nyawamu, Bocah Sinting!"

"Hei, tunggu...! Bukan aku yang membunuhnya, melainkan kau sendiri! Dia terkena sinar merahmu tadi!"

"Tapi kau yang membalikkannya ke arah Gobang! Mestinya kau tak boleh memantulkan sinar itu! Mestinya kau biarkan sinar itu mengenai tubuhmu, Goblok!" teriak si baju biru dengan gusarnya. Lalu serta merta ia lepaskan pukulan dari dua tangannya yang diayunkan ke depan secara bersamaan.

"Heaaat...!"

Slaapp...! Sinar merah dua larik keluar dari telapak tangan orang berbaju biru itu. Suto Sinting kembali tidak lakukan serangan balasan, namun hanya melenting di udara dan bersalto mundur dua kali untuk hindari sinar merah itu. Dan kedua sinar itu akhirnya kenai dua pohon yang segera timbulkan ledakan ganda cukup menggelegar. Kedua pohon itu pun menjadi hangus seketika tanpa daun lagi.

Si baju biru rupanya semakin penasaran. Maka Suto Sinting pun dihujani dengan sinar merah bertubi-tubi, sehingga Pendekar Mabuk melompat ke sana-sini tanpa memberikan balasan, sebab ia tahu orang tersebut sebenarnya salah duga tentang siapa pembunuh Bandar Hantu Malam.

Slaap, slaap, slaap, slaap...!

Sinar-sinar merah melesat ke sana-sini menyergap Pendekar Mabuk. Tetapi sejak tadi yang menjadi sasaran adalah pohon-pohon tak bersalah. Bunyi ledakan yang menggelegar berkali-kali itu membisingkan gendang telinga, sehingga Suto lebih menitik beratkan untuk menutup dua telinganya dengan kekuatan hawa murni dari dalam tubuhnya sendiri.

Kebrutalan si baju biru akhirnya membuat sinar merahnya mengenai bumbung tuak Suto, dan sinar itu membalik dengan lebih besar dan lebih cepat lagi, akhirnya menghantam pemiliknya sendiri.

Blaarr...!

Tak disangkal lagi, si baju biru pun mengalami nasib seperti orang yang dipanggilnya dengan nama Gobang tadi. Ia terkapar dalam keadaan sekujur tubuhnya hangus terbakar. Maka nyawa pun enggan hinggap di raganya lagi. Pendekar Mabuk hanya memandangi dengan geleng-geleng kepala.

"Keras kepala kau! Akhirnya senjata makan tuan!" gerutu Suto yang merasa tak suka melihat lawannya mati secara mengenaskan begitu.

Setelah ledakan-ledakan itu lenyap, suasana menjadi hening dan lengang. Suto yang masih tertegun tak jauh dari kedua mayat lawannya itu menjadi berpaling cepat ke belakang. Oh, ternyata gadis cerewet itu muncul lagi. Ia telah kenakan pakaiannya sendiri. Rupanya ia telah temukan pakaian itu lengkap dengan pedangnya yang kini ada di pinggang. Sarung pedang yang terbuat dari perunggu berhias ukiran lebah dari atas sampai bawah tampak kekar dan angker. Warnanya hitam kehijau-hijauan. Gagang pedangnya berhias lebah bersayap. Entah apa artinya, Suto tak mengerti.

Yang jelas, Suto melihat gadis itu muncul dengan tenang, merapi-rapikan pakaiannya yang berwarna kuning kunyit itu, seakan ia tidak mendengar suara ledakan beberapa kali tadi. Ia bahkan tersenyum ceria kepada Suto dan berkata sambil mengencangkan ikat pinggangnya dari kain merah tua.

"Aku berhasil menemukan pakaianku di atas pohon sukun. Berarti si pemanah tadi yang mencurinya!" ia tersenyum kegirangan.

"Kau tampak cantik kalau kenakan pakaianmu sendiri," kata Suto sambil pamerkan senyumnya. Jelas senyum itu adalah senyum yang menawan hati setiap wanita, sehingga si gadis terpana menatapnya tak berkedip. Suto malah salah tingkah, akhirnya ia menunjuk kedua mayat yang hangus itu.

"Orang-orang Lereng Iblis menyerangku, menyangka aku membunuh Bandar Hantu Malam dan menyembunyikan cambuk"

"Cambuk Getar Bumi," sahut Putri Kunang dengan kalem, tak merasa terkejut sedikit pun.

"Kau tahu tentang pusaka itu rupanya?"

"Karena aku sedang memburunya!"

Suto terperanjat, menatap nanar. Putri Kunang berkata acuh tak acuh, "Dan aku pun yakin bahwa cambuk itu ada ditanganmu, kau sembunyikan di suatu tempat. Jadi, agaknya aku harus bertarung melawanmu untuk dapatkan cambuk itu. Hiaaatt...!" Putri Kunang sentakkan kaki, melompat menerjang Suto.

* * *

DUA
LERENG perbukitan yang terjal menjadi ajang pertarungan. Dua tokoh sakti berusia enam puluh ke atas saling beradu kekuatan ilmu mereka. Entah sudah berapa lama pertarungan itu berlangsung, yang jelas sudah banyak pohon yang tumbang dan bongkahan batu pun berhamburan karena menjadi korban salah sasaran jurus- jurus mereka.

Dua tokoh sakti itu sama-sama kenakan jubah berlengan panjang, yang satu berwarna merah, yang satu berwarna abu-abu. Tokoh tua yang mengenakan jubah abu-abu dalam keadaan menderita luka dalam. Sebuah pukulan telapak tangan telah menghantam dadanya dan tokoh berjubah abu-abu itu memuntahkan darah dari mulutnya. Tapi ia masih sanggup bertahan, terbukti ia masih lakukan serangan yang tak kalah hebat dari serangan lawannya.

Si jubah merah dibuat terdesak ketika si jubah abu-abu lepaskan pukulan bersinar ke arah pohon. Sinar kuning itu melesat menghantam pohon sampingnya. Tapi gerakan sinar memantul ke pohon belakang si jubah merah, dan sinar itu memantul lagi menghantam punggung si jubah merah.

Dess...! Wuuus...!

Asap mengepul ketika si jubah merah terhenyak dengan mata tegang akibat pukulan sinar kuning itu. Asap tersebut mengepul dari tubuh si jubah merah bersamaan dengan itu keluarlah dari mulutnya yang terkatup rapat. Jubah merah segera rapatkan telapak tangan di dada. Tubuhnya gemetar sesaat. Si jubah abu-abu bermaksud menyerangnya lagi, tapi kedua tangan lawan yang merapat di dada itu menyentak ke depan, lurus dan kaku, lalu dari ujung telapak tangan itu melesat selarik sinar hijau bening.

Slaap...!

Jubah abu-abu merasa terancam, maka ia sentakkan tangan kanannya ke depan dan terlepaslah sinar merah lebar yang menghantam sinar hijau bening itu.

Blaarrr...!

Dua tokoh tua itu sama-sama terlempar ke belakang dengan dahsyatnya akibat gelombang ledakan tadi. Keduanya jatuh terpuruk di tempat yang berlawanan dalam jarak sekitar lima belas langkah. Mereka buru-buru ambil sikap bersila, pejamkan mata beberapa saat, lakukan semadi penyembuhan diri. Kejap berikutnya keduanya sama-sama bangkit dalam keadaan segar bugar, seakan tak pernah terluka parah bagian dalamnya.

"Kau tak akan bisa unguli ilmuku, Muka Besi!" geram si jubah merah.

Rupanya tokoh tua berjenggot agak panjang warna putih itu bernama Muka Besi. Maka si Muka Besi pun membalas seruan tersebut, "Kalau aku tak bisa tumbangkan dirimu, lebih baik aku berguru padamu selama hidupku, Setan Samudera!"

Jubah merah yang berjuluk Setan Samudera itu mencibir sinis, ia melangkah empat tindak, demikian pula si Muka Besi yang berkulit hitam itu. Mereka sama-sama berdiri dengan kaki sedikit merenggang, keduanya sama-sama siap lakukan serangan lagi. Namun sebelumnya si Muka Besi berkata dengan nada dingin.

"Kuingatkan padamu untuk tidak memancing kemarahanku lebih parah lagi, Setan Samudera! Sebetulnya aku tak ingin di antara kita ada yang mati gara-gara kesalah pahaman ini!"

"Aku tak bisa kau bujuk dan kau tipu, Muka Besi. Aku tahu persis saat kau pulang dari Gunung Keong Langit. Pasti kau habis membunuh si Bandar Hantu Malam, murid dari kakak sulungku itu."

"Sejujurnya kukatakan padamu, aku hanya mengingatkan Bandar Hantu Malam agar berhati-hati, sebab aku punya firasat bahwa jiwanya terancam bahaya!"

"Omong kosong! Kau pasti membunuhnya untuk dapatkan Cambuk Getar Bumi!" bentak Setan Samudera. "Sekarang kuminta cambuk itu, sebab cambuk itu milik kakak sulungku; Warok Guci Wangsit, guru si Bandar Hantu Malam dan Dampu Sabang. Cambuk itu adalah warisan orangtua kami! Tak berhak dimiliki oleh siapa pun!"

"Sia-sia saja jika kau memaksaku, karena aku tak tahu soal cambuk itu!" kata Muka Besi. "Memang aku adalah adik dari Bandar Hantu Malam, tapi kami beda guru dan beda aliran. Karenanya aku tak mau tahu tentang pusaka itu. Aku merasa urusanku bukanlah urusannya, dan urusannya bukan urusanku. Bagiku tak ada guna memiliki pusaka Cambuk Getar Bumi. Aku merasa masih sanggup mengungguli yang memegang pusaka itu. Buatku, Cambuk Getar Bumi bukan pusaka yang patut diperebutkan, karena kekuatannya tak seberapa dibandingkan dengan pusaka warisan guruku: Kipas Racun Peri!"

Sambil berkata begitu, Muka Besi keluarkan sebuah kipas dari kain kafan warna putih kusam. Kipas itu panjangnya dua jengkel, tulang-tulangnya dari kulit penyu warna hitam kecoklatan, kain kipasnya adalah kain kafan putih lecek. Benda itu sepertinya tidak punya nilai karena berkesan sangat usang. Tapi sesungguhnya merupakan pusaka yang mempunyai kekuatan tersendiri. Si Muka Besi melangkah ke samping sambil berkipas-kipas pelan.

Setan Samudera mencibir, seakan meremehkan kesaktian Kipas Racun Peri itu. "Kipas kumal seperti itu kau andalkan kekuatannya? Hmm...! Lebih baik kau gunakan untuk membakar sate atau mendinginkan semangkuk bubur, Muka Besi!"

Wajah hitam si Muka Besi menjadi muram dan penuh kebencian, ia tersinggung mendengar hinaan itu. Maka serta merta ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melayang bagaikan terbang. Kipasnya dibentangkan, lalu dikibaskan ke arah Setan Samudera.

Wuuusss...! Claap...!

Kipas itu keluarkan sinar merah yang menyebar dalam sekejap. Tetapi Setan Samudera sudah lebih dulu sentakkan kaki dan melesat ke atas pohon dalam keadaan mata terpejam. Setelah di sana matanya pun kembali terbuka, dan ia bersalto turun ke darat.

Jleeg...!

"Untung aku cepat pejamkan mata," katanya dalam hati. "Kalau tidak segera pejamkan mata, bisa buta mataku terkena sinar merah itu. Aku tahu letak kekuatan kipasnya itu. Aku tahu bagaimana cara mengatasinya. Kalau saja saat ini Cambuk Getar Bumi ada di tanganku, pasti tubuh si Muka Besi akan terbelah menjadi beberapa potong."

Kipas Racun Peri gagal kenai lawan. Si Muka Besi kian penasaran, menggeram penuh kejengkelan. Kipasnya kini dalam keadaan terkatup, menjadi benda mirip tongkat yang panjangnya dua jengkel. Mata si Muka Besi menatap tajam pada lawannya. Suaranya pun terdengar penuh kejengkelan. "Mengapa kau menghindari kalau kau anggap Kipas Racun Peri ini hanya kipas biasa, Setan Samudera?! Kalau kau memang punya ilmu lebih tinggi dariku dan mampu menumbangkan aku, hadapilah kipas mautku ini!"

Wuuutt...!

Tiba-tiba kipas itu disentakkan ke depan, lurus dan kuat. Dari ujung kipas keluar selarik sinar sejengkal panjangnya. Sinar itu melesat ke arah Setan Samudera. Tentu saja Setan Samudera segera melesat dengan satu lompatan cepat ke arah kanan. Ternyata sejengkal sinar biru itu membelok mengikuti arah kepergian Setan Samudera.

Claap...!

Setan Samudera pindah ke utara sinar itu ikut ke utara, Setan Samudera menghindari ke timur, sinar itu ikut ke timur. Ternyata sejengkal sinar biru itu seperti benda bernyawa yang mengejar musuhnya ke mana pun sang musuh menghindar. Dan Setan Samudera telah mengetahui kehebatan sinar itu saat ia berhadapan dengan Muka Besi sepuluh tahun yang lalu. Karenanya, Setan Samudera menjebak sinar itu ke balik batu. Seakan ia bersembunyi di sana. Dan ketika sinar biru itu mendekatinya, tubuh Setan Samudera segera lenyap, wuusss...! Se benarnya ia hanya melompat ke atas dengan kecepatan tinggi sehingga mirip menghilang. Kini ia sudah berada di atas pohon ketika sinar biru itu menghantam batu tersebut.

Blegaaarrr...!

Batu besar itu terbelah menjadi beberapa keping dalam keadaan terpotong rapi dan halus. Setan Samudera menertawakan dari atas pohon. Si MukaBesi menggerutu semakin jengkel.

"Sayang dia mampu bergerak lincah. Kalau tidak, hancur dihantam jurus 'Sinar Bernyawa' tadi," pikir si Muka Besi dengan mata menatap tajam.

Tiba-tiba dari atas pohon Setan Samudera melesat sambil kibaskan tangan seperti orang menampar dari kiri ke kanan. Weesss...! Dari kuku tangan yang berkelebat itu memercikkan lima butir sinar hijau seperti kelereng. Slaapp...! Lima sinar hijau yang mirip kelereng itu menerjang tubuh si Muka Besi. Tetapi Kipas Racun Peri segera dibentangkan. Wuuurt...! Dan lima sinar itu ditangkisnya dengan kipas itu.

Bruub...! Duaaar...!

Ledakan dahsyat membuat tubuh si Muka Besi terlempar ke belakang. Jatuh meringkuk di bawah pohon. Saat itulah Setan Samudera lepaskan pukulan pelebur jasad yang berupa sinar biru bening melesat dari ujung tangan yang menguncup itu.

Slaap...! Blegaaarrr...!

Ada sinar lain yang menghadang sinar birunya Setan Samudera. Sinar lain itu berwarna ungu dan membuat tubuh Setan Samudera terlempar ke atas dan melayang jauh hingga membentur pohon. Duuurrr...! Pohon itu guncang, daunnya berguguran. Setan Samudera akhirnya terpuruk di bawah pohon itu dengan tubuh ditimbuni rontokan daun pohon rindang itu. Sedangkan si Muka Besi terpelanting ke samping, karena pada saat ia baru bangkit setengah membungkuk, terjadilah ledakan dahsyat yang mempunyai gelombang sentakan cukup besar.

Setan Samudera bergegas bangkit dengan hidung berdarah, ia memaki dengan jengkelnya, "Monyet bunting! Rupanya kau mau ikut campur urusanku, Dewa Sengat!"

Dewa Sengat adalah julukan untuk orang yang baru saja datang dan melepaskan sinar ungu tadi. Sosok kurusnya yang jangkung amat dikenal oleh golongan tokoh tua seperti Setan Samudera dan Muka Besi. Tetapi usianya lebih tua dari mereka. Dewa Sengat berjubah ungu itu berusia sekitar sembilan puluh tahun ke atas, kepalanya hanya ditumbuhi rambut tipis warna putih, nyaris gundul. Tapi kumis dan jenggotnya sama-sama lebat dan sama-sama putih rata. Demikian pula alis di mata cekungnya cukup tebal dan berwarna putih, bentuknya naik ke atas, sehingga ia kelihatan tampak angker.

"Apa yang kalian perebutkan adalah sesuatu yang sia-sia. Pertarungan ini tidak mempunyai makna apa-apa!"

Muka Besi dan Setan Samudera sama-sama pandangi Dewa Sengat. Tapi mata tua si Dewa Sengat masih tajam melirik ke sana-sini, membuat hati mereka akui kalah wibawa dengan Dewa Sengat.

"Apa maksud kata-katamu itu, Dewa Sengat?!" tanya si Muka Besi.

"Bandar Hantu Malam mati di tangan bocah ingusan bernama Suto Sinting!"

"Suto Sinting?!" gumam Setan Samudera. "Maksudmu, murid si Gila Tuak itu?"

"Ya! Kabar itu kudengar dari salah seorang prajurit Negeri Ringgit Kencana. Beberapa orang juga mendengar kabar itu."

"Kalau begitu, Cambuk Getar Bumi ada di tangan murid sinting si Gila Tuak?"

"Kurasa begitu, Setan Samudera! Jadi kalian tak perlu saling adu kekuatan! Itu pekerjaan yang sia-sia. Jika kalian ingin balas dendam kepada pembunuh Bandar Hantu Malam, dan ingin rebut kembali Cambuk Getar Bumi, carilah pemuda tampan yang bergelar Pendekar Mabuk!"

Setan Samudera adalah adik bungsu dari Warok Guci Wangsit, guru dari Ki Randu Papak atau si Bandar Hantu Malam. Tentunya ia sangat berharap agar cambuk pusaka milik murid kakaknya itu jatuh ke tangannya, sebab cambuk itu semula milik orangtuanya, lalu diwariskan kepada Warok Guci Wangsit. Dari Warok Guci Wangsit diwariskan ke muridnya yang bernama Ki Randu Papak itu.

Sementara itu, Muka Besi berhak menuntut kematian Bandar Hantu Malam, karena Bandar Hantu Malam adalah kakaknya. Jika benar kakaknya itu mati di tangan Suto Sinting, maka Muka Besi harus menuntut balas kepada si murid sinting Gila Tuak itu.

Berita kematian Bandar Hantu Malam menyebar dari mulut Kelana Cinta, perwira negeri dasar laut yang merasa bangga karena musuh berbahaya yang membuat ratunya menderita itu sudah dikalahkan oleh Suto Sinting. Kelana Cinta mengabarkan kematian Bandar Hantu Malam tanpa menyebut-nyebut nama Dampu Sabang, karena diduga nama Dampu Sabang kurang membuat hebat hasil kerja Suto Sinting.

Padahal yang dibunuh Suto adalah Bandar Hantu Malam palsu, yaitu Dampu Sabang, yang sengaja mengaku-aku sebagai Bandar Hantu Malam dan membuat keonaran, agar nama Bandar Hantu Malam menjadi cemar kembali. Sedangkan Bandar Hantu Malam yang asli telah diselamatkan Suto dari keadaan kritisnya yang nyaris melenyapkan nyawa orang tersebut. Luka berbahaya itu ditimbulkan ketika Ki Randu Papak yang sebagai Bandar Hantu Malam asli itu bertarung melawan Dampu Sabang memperebutkan Cambuk Getar Bumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bandar Hantu Malam).

Sedangkan berita kematian yang menyebar adalah berita kematian Bandar Hantu Malam yang asli. Suto sempat terkejut ketika mayat Bandar Hantu Malam masih tergantung di atas pohon dalam keadaan kaki diatas kepala di bawah, ia benar-benar tidak menduga kalau Bandar Hantu Malam benar-benar mati. Mayat itu ditemukan Suto ketika ia melarikan diri dari pertarungannya dengan Putri Kunang. Suto berlari bukan karena takut, namun sengaja menghindari dengan gadis cerewet yang sukar diberi pengertian.

"Dari pada ada korban tak bersalah, lebih baik aku menghindari kepicikan gadis cerewet ini!" pikir Suto kala itu, sehingga ia melarikan diri walau tetap dikejar oleh Putri Kunang.

Pelarian Suto ke arah Gunung Keong Langit, karena ia bermaksud temui Bandar Hantu Malam agar bisa jelaskan kepada gadis itu atau siapa saja yang beranggapan bahwa dirinya telah membunuh Bandar Hantu Malam. Tetapi ketika sampai di lereng Gunung Keong Langit, Suto Sinting terpaksa menjadi lemas karena melihat mayat Ki Randu Papak membusuk dalam keadaan tergantung jungkir balik.

Jelas ini perbuatan si pembunuh untuk memamerkan hasil kerjanya, juga sebagai ungkapan dendam kepada Bandar Hantu Malam. Meski sudah mati tapi tetap tak dihormati, sehingga jenazahnya tidak dikuburkan, melainkan digantung dan dijadikan pusat perhatian orang banyak.

"Pantas aku dituduh membunuh Bandar Hantu Malam. Rupanya kabar kematian Dampu Sabang itu dihubungkan dengan adanya mayat yang tergantung sekejam ini! Ah, sayang sekali aku tak bisa menolong Ki Randu Papak. Perpisahanku selama sepuluh hari dengan Ki Randu Papak ternyata mengakibatkan kematian seperti ini. Kasihan sekali. Apakah pembunuhnya menginginkan cambuk pusakanya itu, atau karena ada maksud lain? Hmmmm... kulihat banyak lubang di tubuh mayat itu. Pasti ia terkena pukulan dahsyat dari orang berilmu tinggi. Dan... hei, ke mana kalung merahnya?"

Suto memandangi sekeliling tempat itu, mencari kalung batu-batuan warna merah yang sering dikenakan Ki Randu Papak. Kalung itu punya kekuatan tersendiri, bahkan bisa keluarkan tenaga perisai yang membuat lawan tak bisa menyentuh Ki Randu Papak. Kalung itu tidak ada pada mayat Ki Randu Papak. Di sekitar tempat tersebut juga tak didapatkan kalung merah itu.

"Jangan-jangan kalung merahnya itulah yang diincar oleh pembunuhnya?" pikir Suto sambil menutup hidung dengan daun arum sekar untuk melawan bau busuk dari mayat tersebut.

Pendekar Mabuk tak tega membiarkan mayat tokoh yang pernah dikagumi ketenangannya dan kesaktiannya itu. Hati Suto pun sedih sekali merenungi kematian orang yang telah memberi rahasia padanya tentang kelemahan Siluman Tujuh Nyawa, ia menggali liang kubur sendirian, lalu memakamkan jenazah yang telah membusuk itu dengan hati berkecamuk duka.

"Kurasa orang yang menyerangnya lebih tinggi ilmunya dari Ki Randu Papak. Mungkin juga karena salah anggapan akibat tingkah Dampu Sabang yang bikin onar dengan mengaku sebagai Bandar Hantu Malam. Pasti tokoh yang ilmunya lebih tinggi dari Ki Randu Papak itu beranggapan bahwa Ki Randu Papak masih jahat seperti dulu. Ah, kasihan. Orang mau bertobat ternyata banyak sekali hambatannya. Orang ingin berbuat baik, ternyata sangat sulit karena sudah telanjur dipercaya sebagai orang sesat. Ternyata sebuah pengakuan itu sukar didapatkan, terutama pengakuan diri sebagai manusia baik-baik. Kadang orang yang sudah mendapat pengakuan sebagai orang baik, sering memanfaatkan pengakuan itu untuk tindakan yang kurang baik, sehingga memanfaatkan pengakuan itu untuk tindakan yang kurang baik, sehingga orang tidak akan menduga kalau tindakan kurang baik itu datang darinya"

Panjang sekali kecamuk batin Pendekar Mabuk manakala memakamkan jenazah Ki Randu Papak. Yang ia temukan dari pelajaran itu adalah pengakuan berbuat baik ternyata sulit diperoleh lagi oleh orang yang dulunya pernah berbuat jahat. Itulah sebabnya Suto bertekad untuk tidak melakukan kejahatan apa pun, sebab sekali ia melakukan kejahatan maka sukar untuk mengembalikan nama baiknya.

"Pembunuh budiman!" celetuk sebuah suara setelah Suto selesai melakukan pemakaman itu.

Suto Sinting terkejut dan segera berpaling ke arah si pemilik suara tersebut. Ternyata suara itu datang dari mulut seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun, tapi masih kelihatan cantik dan menggairahkan. Pakaiannya ketat sekali, hingga bentuk tubuhnya, terutama di bagian dada, kelihatan menonjol jelas walaupun dilapisi baju jubah warna merah jambu.

Perempuan itu bersanggul rapi, namun sebagian rambutnya terurai ke bawah. Wajahnya agak lonjong, sesuai dengan bentuk hidungnya yang mancung, bibirnya yang sedikit tebal menggairahkan ditambah kulitnya yang kuning langsat. Perempuan itu menyandang pedang di punggungnya bergagang lilitan tali hitam, ujung gagangnya berhias cincin bergerigi dari besi. Agaknya cincin bergerigi itu bisa dilepas sewaktu-waktu dan dijadikan senjata yang siap terbang menerjang lawan.

Suto berkerut dahi, karena merasa baru pertama kali itu bertemu dengan perempuan cantik yang tampaknya cukup matang dalam bergaulan. Melihat kalung dan gelangnya, tentulah ia perempuan yang masih mempunyai keturunan darah biru.

"Dua hari aku mencarimu, Pembunuh budiman! Ternyata baru sekarang kita saling jumpa," kata perempuan itu. "Mungkin sudah waktunya kita saling tentukan nasib, siapa yang mati di balik kematian guruku ini!"

Kian kuat dahi Suto berkerut memandangi si cantik yang bermata indah tapi berkesan galak itu. Agaknya si cantik berbibir selalu basah itu punya dendam yang tak sabar ingin dilampiaskan. Tentu saja Pendekar Mabuk tidak gegabah melayani dendam perempuan secantik itu.

"Siapa kau, Nona cantik?" sapa Suto meramahkan diri.

Setelah perempuan itu memandangi Suto beberapa saat tanpa berkedip, ia pun segera menjawab pertanyaan yang sempat hening tanpa jawaban tadi. "Namaku Delima Gusti, murid Ki Randu Papak! Rupanya kau adalah pembunuh budiman, habis membunuh, menggantung korbannya sesaat, lalu memakamkannya!"

"Kau salah sangka, Delima Gusti," kata Suto tetap tenang, ia meraih bumbung tuaknya untuk menenggak tuak beberapa teguk. Tapi niat itu sempat tertunda karena kata-kata dingin Delima Gusti.

"Kabar yang menyebar cukup jelas, Pendekar Mabuk adalah pembunuh Bandar Hantu Malam. Dan aku tahu, ciri-ciri Pendekar Mabuk, bumbung tuak, serta wajah tampan. Tapi aku tak sangka kalau kau ternyata lebih tampan dari bayanganku."

Sebelum menenggak tuak, Suto sempatkan diri untuk tersenyum sebenar. Perempuan cantik itu masih tetap tenang. Bahkan ia tidak lakukan penyerangan ketika Suto menenggak tuaknya. Setelah Suto selesai menenggak tuak, barulah perepuan cantik itu berkata,

"Kurasa kau akan lebih bijaksana jika serahkan Cambuk Getar Bumi itu kepadaku, karena aku adalah murid tunggal Ki Randu Papak."

"Kalau kujelaskan yang sebenarnya, apakah kau mau percaya, Delima Gusti?"

Perempuan itu menggeleng. "Yang kubutuhkan bukan penjelasan, tapi cambuk pusaka itu! Tak rela hatiku jika cambuk Guru jatuh di tangan orang yang bukan muridnya! Jika kau bersikeras mempertahankan pusaka itu, maka aku pun akan bertindak sebagaimana mestinya. Kuharap kau tidak menyesal jika murkaku datang dan menerjangmu, Pendekar Mabuk!"

"Aku tak mau layani kemarahan orang yang salah paham!" kata Suto, lalu ia pun melesat pergi dengan kecepatan melebihi angin.

Zlaaap...!

* * *

TIGA
PELARIAN Suto Sinting sebenarnya semata-mata menghindari pertikaian tanpa arti. Tapi pelarian itu dianggap oleh mereka merupakan sesuatu yang timbul karena rasa takut dan rasa bersalah Suto. Tentu saja mereka semakin penasaran mengejar Suto Sinting, terutama Delima Gusti dan Putri Kunang.

Delima Gusti rupanya berilmu tinggi juga. Ia bisa menandingi kecepatan gerak Pendekar Mabuk. Bahkan ia pandai mencari jalan pintas, sehingga ketika tiba di sebuah lembah ia mampu menghadang langkah Pendekar Mabuk.

"Mau lari ke mana kau, Pembunuh budiman?!" tegur Delima Gusti sambil sunggingkan senyum sinis.

"Delima Gusti, jangan timbulkan pertarungan karena kesalah pahaman ini. Banjir darah yang terjadi akan merupakan sesuatu yang sia-sia, sebab aku tidak membunuh gurumu dan tidak merebut pusakanya. Justru aku adalah orang yang kagum kepada gurumu, Ki Randu Papak itu."

"Pencuri mana yang mau mengaku tanpa disiksa dulu?" setelah mengucapkan kata-kata begitu, Delima Gusti sentakkan kakinya ke tanah.

Duug...! Claap...!

Seberkas sinar muncul dari tanah yang dihentakkan itu. Sinar tersebut seperti bintang berekor warnanya merah terang. Sinar itu melesat ke arah dada Suto Sinting dan itulah jurus yang dinamakan 'Ludah Naga'.

Suto Sinting yang cukup waspada bergerak dengan gesit melompat ke samping kanan sekitar empat langkah jauhnya. Sinar tersebut menghantam sebuah pohon, dan pohon itu menjadi layu, mengecil, susut, kulitnya saling terkelupas, dan akhirnya lembek seperti batang pohon pisang yang busuk. Mata Suto terbelalak kagum melihat pohon besar itu kini terpuruk di tempatnya dalam keadaan lumer tak berbentuk lagi. Ternyata sinar merah yang keluar dari tanah itu mempunyai kekuatan dahsyat, yaitu melumerkan benda apa saja yang tersentuh olehnya.

"Kau memang gesit, sehingga jurus 'Ludah Naga' bisa kau hindari," kata Delima Gusti. "Tapi jangan bangga dulu, Pendekar Mabuk. Kurasa kau tak akan bisa lepas dari jurus ' Sinar Laba-laba'-ku ini! Huup...!"

Plok...! Delima Gusti bertepuk tangan satu kali, lalu kedua tangan disentakkan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Dari tengah telapak tangan keluar sinar biru berlarik-larik mirip benang laba-laba penjerat. Setiap satu tangan bisa keluarkan delapan sinar biru. Dan kedua sinar itu saling silang saat mendekati tubuh Pendekar Mabuk.

Tetapi tiba-tiba seberkas sinar merah melesat di depan dada membentuk seperti piringan besar yang menghadang sinar biru itu, sehingga akibatnya terjadilah ledakan hebat pada saat itu.

Blegaaarrr...!

Suto Sinting terlempar ke belakang karena gelombang ledak tersebut. Dadanya terasa panas sekali dan seolah-olah kulit dan urat-uratnya ingin jebol ke depan. Suto Sinting rasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di dada. Maka, buru-buru dia membuka bumbung tuaknya dan menenggaknya dua teguk. Setelah menenggak tuak, rasa sakitnya berkurang dan pandangannya yang tadi buram kini jelas kembali.

Delima Gusti segera bangkit dari jatuhnya. Rupanya perempuan itu juga terlempar karena daya ledak yang tinggi tadi, tapi tak seberapa jauh. Ada luka di dalam tubuhnya, tapi tak seberapa parah. Mungkin ia bisa atasi dengan cepat menggunakan saluran hawa murninya yang beredar mengikuti peredaran darah.

Yang jelas Suto dan Delima Gusti sama-sama memandang ke arah datangnya sinar merah itu. Ternyata sinar itu datang dari seorang gadis bertahi lalat kecil di sudut bibir atasnya. Gadis berpakaian kuning kunyit itu tak lain adalah Putri Kunang. Matanya memandang dingin kepada Delima Gusti. Sedangkan yang dipandang pun balas memandang sinis, lalu menyapa dengan nada bermusuhan.

"Apa maksudmu membela pembunuh budiman itu?! Biar disangka punya cinta dan rela berkorban? Hmmm...!" Delima Gusti mencibir.

"Aku bukan membela dia, Perempuan Tolol! Aku hanya selamatkan dia, karena dia belum mau bicara tentang di mana Cambuk Getar Bumi itu disimpannya!"

"O, jadi kau juga mencari cambuk pusaka guruku? Kalau begitu kau pun harus kuberi pelajaran biar tahu adat bahwa orang yang bukan murid Bandar Hantu Malam tak boleh memiliki cambuk pusaka!"

"Aku membutuhkan cambuk itu, bukan untuk kumiliki!"

"Alasanmu bisa saja dibuat-buat! Aku pun membutuhkan cambuk itu! Dan untuk kumiliki!"

Pertengkaran mulut kedua wanita itu dipergunakan oleh Suto Sinting untuk larikan diri sejak tubuhnya menjadi segar kembali. Claap...! Suto bagaikan tak mau terlibat persoalan tersebut. Kedua wanita itu menjadi terperanjat melihat Pendekar Mabuk lari dengan kecepatan tinggi.

"Hoi, berhenti kau!" teriak Delima Gusti, ia pun mengejar Suto, dan menimbulkan kecemasan di hati Putri Kunang.

"Jangan lukai si tampan itu, Perempuan Bodoh!" lalu gadis cerewet itu pun berlari mengejar Delima Gusti, ia sengaja lari ke arah lain, karena ia tahu Suto dan Delima Gusti akan terjebak sungai dan mereka pasti membelok ke arah yang sedang ditujunya. Dari sanalah Putri Kunang akan menghadang Suto dan membuat pemuda itu hentikan pelariannya.

Pendekar Mabuk segera ingat daerah yang dilaluinya itu adalah daerah yang bernama Lembah Sunyi, ia pernah datang ke sana untuk menuju ke padepokan milik Resi Wulung Gading, yaitu keponakan dari Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang. Tetapi pada waktu itu Suto tak berhasil temui Resi Wulung Gading karena sang Resi sedang bertapa di Gua Getah Tumbal.

Suto memang terhalang sungai lebar. Tapi itu bukan hal sulit untuk diatasi, sebab dulu Suto pernah menyeberangi sungai tersebut. Maka, disambarlah beberapa daun yang ada di dekatnya, dan lembar demi lembar daun itu dilemparkan ke air sungai. Suto pun melompat dengan berpijak pada daun itu, yang tentu saja karena menggunakan ilmu peringan tubuh, sehingga ia bisa berdiri di atas daun yang mengambang di permukaan air. Dari daun ke daun Suto melompat, akhirnya tiba di seberang dan berlari menembus kelompok pepohonan bambu wulung yang berwarna hitam kebiru-biruan itu.

Delima Gusti hentikan langkah, merasa kehilangan jejak, ia berlari menyusuri tepian sungai itu, sampai akhirnya bertemu dengan Putri Kunang yang sedang berdiri menghadang. Putri Kunang kerutkan dahi dan merasa heran, karena yang dilihatnya hanyalah Delima Gusti, padahal yang diharapkan adalah Pendekar Mabuk. Maka dengan suara ketus, Putri Kunang menyapa Delima Gusti.

"Mana si tampan itu?!"

"Seharusnya kutanyakan padamu hal yang sama, atau kupaksa dirimu untuk serahkan Pendekar Mabuk itu!" kata Delima Gusti.

"Aku tidak sembunyikan dia!"

"Omong kosong! Tak mungkin ia menghilang begitu saja!"

"Lantas apa maumu, hah?" tantang Putri Kunang.

"Maumu sendiri bagaimana?!" Delima Gusti membalikkan tarungan. Mereka saling pandang dengan tegang. Delima Gusti segera serukan suaranya, "Kalau kau tak mau keluarkan pendekar tampan itu dari persembunyiannya, aku tak bisa menunda kemarahanku lagi! Kau akan terima akibatnya, Gadis Bodoh!"

"Kau pikir aku takut padamu?! Kau belum tahu siapa diriku, hah?!" Putri Kunang tampakkan sikap kian galak.

Delima Gusti tersinggung, dan segera lepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangannya. Sinar itu menyebar lebar bagai cerobong yang siap menelan Putri Kunang.

Namun dengan cepat tangan Putri Kunang berkelebat ke samping dan dari lengannya melesat sinar lebar warna hijau bening, langsung bertabrakan dengan sinar merah mirip cerobong besar itu.

Zrruubb...! Blaaarrr...!

Ledakan dahsyat membuat tubuh Putri Kunang terdesak mundur tiga tindak. Delima Gusti tersentak hingga empat tindak jauhnya dari tempat berdiri semula. Tapi keduanya dalam keadaan tak terluka, sehingga keduanya masih bersemangat untuk saling menyerang.

Putri Kunang yang mendului mencabut pedang, sehingga Delima Gusti tak mau kalah gertak, ia pun mencabut pedangnya dari punggung. Sreett...! Lalu keduanya sama-sama sentakkan kaki dan melesat bagaikan terbang ke pertengahan jarak. Di udara sana mereka saling tebas dan tangkis dengan pedang masing-masing.

Trang, trang, trang, trang...!

Keduanya sama-sama turun ke bumi dan masih saling tebas dan tangkis, sehingga pedang mereka memercikkan bunga api beberapa kali. Bahkan kadang terjadi letupan yang diiringi oleh semburan bunga api ke berbagai arah. Gerakkan jurus pedang mereka begitu cepat, sehingga denting perpaduan pedang itu bagaikan suara denging yang berkepanjangan tanpaputus-putus.

Mereka tak tahu bahwa Suto Sinting sudah mendekati gerbang padepokan Resi Wulung Gading. Tempat itu sudah dibangun kembali dan tertata rapi. Tapi tempat yang dulunya ramai oleh para murid Resi Wulung Gading itu, kini menjadi sepi, sunyi, bagai sebuah petilasan belaka. Para murid Resi Wulung Gading sudah tewas semua dibantai habis oleh Bandar Hantu Malam palsu alias Dampu Sabang.

Waktu itu Suto datang ke tempat tersebut dalam keadaan masih menjadi ladang pembantaian. Di mana-mana terdapat mayat yang mulai membusuk. Dan waktu itu, hanya ada dua anak buah atau murid padepokan yang selamat dari pembantaian, yaitu dua orang yang ditugaskan menghubungi seorang kenalan Resi Wulung Gading di pantai selatan, bernama Dul dan Sukat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bandar Hantu Malam).

Sekarang, ketika Suto sedang mengamat-amati tempat itu, Dul muncul dari balik pintu gerbang, ia menyapa ramah kepada Suto, sehingga percakapan pun terjadi tanpa kesan duka dan permusuhan.

"Apakah kau ingin bertemu dengan Guru?" tanya Dul yang ilmunya tak seberapa tinggi itu.

"Apakah gurumu ada?"

"Ada. Mari kuantar bertemu Guru."

Sebenarnya Suto Sinting tidak punya maksud menemui Resi Wulung Gading. Tetapi karena sudah sampai di depan Padepokan Lembah Sunyi, tak ada salahnya jika Suto sempatkan diri untuk singgah dan membicarakan tentang kematian Bandar Hantu Malam. Di samping itu Suto pun ingin bicarakan tentang pedang pusaka yang konon bisa mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa, tokoh sesat yang diburu-burunya itu.

"Kapan gurumu pulang dari Gua Getah Tumbal?" tanya Suto kepada Dul ketika melintasi pekarangan yang luas itu.

"Tiga hari setelah kami selesai memakamkan semua korban," jawab Dul.

Dari pendopo muncul seorang lelaki tua berjenggot putih, bertubuh gemuk, dengan rambut kepala lebat warna putih sepanjang punggung. Raut wajahnya tampak tenang namun berkharisma tinggi, ia mengenakan pakaian model biksu, kain putih berselempang di pundak kiri, sisanya melilit tubuh. Suto sudah dapat menduga, itulah Resi Wulung Gading, dan ternyata dugaan tersebut dibenarkan oleh Dul. Suto membungkuk, memberi hormat kepada keponakan eyang gurunya.

Resi Wulung Gading membawa Suto masuk dan mereka berbincang-bincang di pendopo. Sekalipun usianya sudah cukup banyak, namun Resi Wulung Gading masih bisa duduk bersila dengan badan tegak dan gagah. Suto pun tak mau kalah gagah. Ia ingin tunjukan sebagai murid Bidadari Jalang yang selalu tampak gagah dan perkasa. Namun kesopanan tetap dijaga oleh Pendekar Mabuk dengan tidak cengar-cengir sembarangan di depan tokoh tua itu.

"Angin gunung menyebarkan bau bangkai si Bandar Hantu Malam," kata Resi Wulung Gading. "Kudengarkan percakapan mereka melalui hembusan angin, kaulah yang menjadi tersangka atas kematian Bandar Hantu Malam. Benarkah itu, Suto?"

"Tidak, Resi! Yang saya bunuh adalah Dampu Sabang, yaitu si pemalsu nama Bandar Hantu Malam yang telah membantai semua murid padepokan ini!"

Tokoh tua berkumis warna putih itu manggut-manggut. Ia berkata bagaikan orang menggumam karena kelewat kalem. "Firasatku benar. Dampu Sabang-lah orangnya. Dan firasatku benar, pembantai itu pasti sudah mati sebelum genap empat puluh hari kematian para muridku. Itulah sebabnya aku tak bergegas pergi menemui Bandar Hantu Malam, karena firasatku mengatakan bahwa aku harus diam menunggu berita demi berita."

Wajah Resi Wulung Gading tampak masih menyimpan duka atas peristiwa pembantaian itu. Namun duka tersebut disembunyikan rapat-rapat di balik ketegangan sikapnya. Pandangan matanya yang teduh memancarkan ketegasan yang membuat Suto Sinting tak berani terlalu lama menatapnya. Setelah mendengarkan kisah perjalanan Suto menghadapi tuduhan-tuduhan tersebut, Resi Wulung Gading berkata dengan nada sedikit heran,

"Delima Gusti?! Seingatku Delima Gusti adalah anak Adipati Suralaya. Dia bukan murid Randu Papak, sebab Randu Papak tidak pernah mengangkat murid kepada siapa pun. Tetapi ia memang kenal dengan Randu Papak, sebab dulu Randu Papak pernah selamatkan sang Adipati ketika dalam bahaya musuhnya."

"Lalu, untuk apa Delima Gusti mengaku-aku sebagai murid Ki Randu Papak atau Bandar Hantu Malam?"

"Jelas untuk menunjukkan seolah-olah dia punya hak atas pusaka Cambuk Getar Bumi itu. Pengakuannya hanya sebagai alasan belaka. Pasti dia punya maksud lain sehingga ingin memiliki cambuk itu."

"Lalu, bagaimana dengan gadis cerewet itu, Resi?"

"Putri Kunang, maksudmu? Hmm... setahuku dia murid Dewa Sengat, anak dari penguasa Pulau Dadap. Ayahnya bernama Watu Saka, yang menjadi kunci utama untuk temukan Pulau Karun. Watu Saka dulu seorang bajak laut, saingan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi sebelum akhir tiba, Watu Saka telah menjadi seorang petapa, dan ia mati secara moksa; lenyap tidak berbekas."

"Lalu, kira-kira untuk apa Putri Kunang berusaha memiliki cambuk pusakanya Bandar Hantu Malam, Resi?"

Setelah diam beberapa saat, Resi Wulung Gading pun menjawab, "Barangkali untuk melawan seseorang yang ingin singkirkan dirinya dari Pulau Dadap."

"Mungkinkah orang itu adalah Siluman Tujuh Nyawa?"

"Mungkin saja," jawab Resi Wulung Gading. "Tapi jika benar lawannya adalah Durmala Sanca, maka ia tidak akan berhasil kalahkan manusia sesat itu sebelum ia memiliki Pedang Kayu Petir."

Suto segera menceritakan permusuhannya dengan Siluman Tujuh Nyawa, dan pada akhirnya ia berkata, "Seandainya Resi berkenan, biarlah saya yang menumpas habis riwayat tokoh sesat itu dengan Pedang Kayu Petir."

Tetapi Resi Wulung Gading berkata, "Pedang Kayu Petir sudah berpuluh-puluh tahun hilang dari tanganku. Aku sedang melacaknya dengan teropong sukma, karenanya aku banyak bertapa untuk mencari pedang itu lewat alam gaib. Kurasa kau bisa lakukan hal itu, sebab kau punya tanda di keningmu yang membuatmu bisa keluar masuk ke alam gaib."

Suto sunggingkan senyum tersipu dan sedikit tundukkan wajah, ia jadi tak enak hati dilihat tanda merah di keningnya yang memang merupakan tanda kehormatan dari Ratu Gusti Kartika Wangi, calon mertuanya, yang mampu membuatnya keluar-masuk alam tak terlihat mata manusia, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

"Kelak, jika Pedang Kayu Petir sudah kutemukan, akan kupinjamkan padamu dan singkirkanlah manusia terkutuk itu agar tak menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia di muka bumi ini," kata Resi Wulung Gading. "Apalagi kau adalah cucu murid dari bibiku; Nini Galih, selayaknya kau melenyapkan orang yang telah menodai eyang gurumu itu. Aku bersyukur kepada Sang Penguasa Jagat, bahwa aku dipertemukan dengan cucu murid bibiku itu. Setidaknya, kaulah nantinya yang akan mewakili orang-orang aliran putih untuk melawan si sesat itu. Tetapi, agaknya kau memang harus melewati berbagai cobaan untuk menguji jiwamu, Suto. Perkara hilangnya Cambuk Getar Bumi yang melibatkan dirimu, harus kau hadapi dengan tabah dan keputusan-keputusan yang bijak."

"Sebenarnya, apa keistimewaan dari Cambuk Getar Bumi itu, Resi?"

"Cambuk itu bisa guncangkan bumi jika dilecutkan ketanah dan juga bisa tenggelamkan lawan, menjadikan lawan terkubur hidup-hidup bagai ditelan bumi. Cambuk itu juga mampu hadirkan hujan petir yang menyerang lawan, bisa membuat si pemilik cambuk hilang lenyap setelah cambuk diputar-putar di atas kepala dan membungkus pemiliknya dengan kabut tebal. Siapa yang terlilit cambuk itu, akan mati terpotong-potong sesuai jumlah lilitannya. Itulah antara lain keistimewaan Cambuk Getar Bumi, yang kukira tak sempat diambil Randu Papak dari persembunyiannya ketika seorang lawan menyerang dan membunuhnya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut, menyimpan rasa kagum terhadap kehebatan cambuk tersebut. "Pantas kalau banyak yang menginginkan cambuk itu," pikirnya. "Apakah Resi mengetahui di mana cambuk itu disimpannya?"

Setelah diam sesaat, tokoh tua itu menjawab, "Randu Papak tidak mungkin menyimpan pusaka di dalam rumah. Pasti ada di luar sekitar pondoknya. Carilah, temukan dengan segera, sebelum orang lain menemukannya untuk kejahatan!"

Suto merasa mendapat perintah dari eyang gurunya, maka semangatnya pun timbul membara untuk temukan cambuk itu. Tetapi Resi Wulung Gading kembali berkata dengan suaranya yang bernada bijak, "Tetapi ingat, Suto... kau tidak boleh gunakan cambuk itu untuk perlawanan kepada siapa pun."

"Mengapa begitu, Resi?'

"Sebab seingatku, cambuk itu telah terkena kutuk seorang paderi yang mati dibunuh oleh Bandar Hantu Malam, semasa dia menjadi orang sesat. Aku juga ingat dengan cerita Bandar Hantu Malam, beberapa puluh tahun yang lalu, ketika ia habis kehilangan istrinya. Dikatakan olehnya, bahwa ia tak akan mau gunakan cambuk itu lagi karena terkena kutuk seorang paderi."

"Kutukan yang bagaimana itu, Resi?"

"Barang siapa gunakan cambuk itu untuk perlawanan, maka selamanya ia akan menjadi orang sesat dan tak akan mati dengan tenang. Rohnya akan mengembara memasuki hewan-hewan yang menjijikkan. Barangkali karena kutukan itulah maka Bandar Hantu Malam tidak mau pergunakan cambuk itu lagi, tapi tetap menjaganya agar jangan jatuh ke tangan orang sesat dan dipergunakan untuk membantai pihak yang tak bersalah."

"Jadi, tugas saya hanya menyelamatkan cambuk itu agar tidak menjadi sumber malapetaka bagi orang lain maupun bagi si pemegangnya?"

"Ya. Kurasa itulah yang harus kau lakukan. Bila perlu lenyapkan cambuk itu agar tidak menjadi sumber malapetaka bagi siapa pun!"

"Akan saya kerjakan, Resi!" kata Suto dengan tegas.

"Hati-hatilah, sebab menurut firasatku, banyak tokoh berilmu tinggi menghendaki cambuk itu tanpa mengetahui kutukan di dalamnya. Bahkan kau akan bertemu dengan seorang tokoh sakti yang kau kenal, dan kalau tak baik-baik membawa diri kau akan bertarung dengan tokoh sakti itu."

"Siapa tokoh sakti itu, Resi?"

Resi Wulung Gading hanya geleng-gelengkan kepala dengan penuh wibawa. Suto Sinting amat penasaran, namun tak berani mendesak sang Resi.

* * *

EMPAT
BEGITU Pendekar Mabuk meninggalkan perbatasan Lembah Sunyi, ternyata ia sudah ditunggu-tunggu oleh dua wanita yang semula saling bertarung dengan pedang itu. Delima Gusti dan Putri Kunang telah hentikan pertarungan mereka, karena telah menyadari bahwa itu hanya sia-sia. Mereka bahkan bersepakat untuk mencari Pendekar Mabuk dan memaksa sang pendekar tampan untuk tunjukkan letak penyimpanan Cambuk Getar Bumi.

Tak heran jika kali ini langkah Suto Sinting terhadang mereka berdua yang tampak bersatu untuk menyerang Suto. Gelagat mereka terbaca oleh firasat batin Suto Sinting, namun si murid Gila Tuak itu masih tetap tampakkan ketenangannya. Hatinya sempat membatin, "Wanita-wanita cantik ini sangat sayang jika sampai dilukai kulit tubuhnya, karena mereka sebenarnya tidak mengetahui siapa orang yang telah membunuh Bandar Hantu Malam dan di mana cambuk itu berada. Mereka hanya didorong oleh hasrat untuk memiliki benda pusaka itu tanpa mempertimbangkan langkah yang benar. Hmm... rasa-rasanya aku harus melawan mereka dengan cara lain."

Delima Gusti perdengarkan suaranya yang bernada dingin itu, "Pembunuh budiman, ke mana pun kau lari kau tak akan bisa hilang dari pandanganku! Sebaiknya serahkan saja cambuk milik guruku itu!"

"Siapa gurumu itu? Bandar Hantu Malam? Oh, bukan! Kau bukan murid Bandar Hantu Malam," kata Suto dalam sunggingkan senyum menawan. "Kau adalah putri Adipati Suralaya yang kenal baik dengan Bandar Hantu Malam. Hanya kenal baik."

Perempuan cantik yang dadanya montok itu terperanjat mendengar kata-kata Suto. Tetapi Putri Kunang pun kaget dan memandangi Delima Gusti dengan dahi berkerut tajam.

"Jadi..., kau adalah orang kadipaten Suralaya?!"

Delima Gusti tidak menjawab, ia hanya memandang sinis pada Suto.

"Dan kau, Putri Kunang, entah apa maksudmu bersikeras mendapatkan cambuk itu, yang kutahu kau adalah anak mendiang Watu Saka, bekas bajak laut yang menjadi penguasa Pulau Dadap."

"Dari mana kau tahu?!" Putri Kunang terkejut.

Delima Gusti ikut-ikutan kaget dan kini ganti dia yang menatap Putri Kunang dengan dahi berkerut. "Jadi, kau adalah orang Pulau Dadap?! Kalau begitu kaulah yang membunuh adikku tiga tahun yang lalu?"

"Bukan aku!" sentak Putri Kunang. "Penyerbuan ke kadipaten Suralaya bukan prakarsa ku, tapi prakarsa Sri Maharatu, kakak tiriku itu!"

"Tapi penyerbuan itu telah timbulkan korban banyak di pihakku. Kalau begitu kita adalah musuh, dan aku berhak membalas kematian orang-orangku lewat kehadiranmu di sini! Hiaaat...!"

Trang, trang, trang, trang...!

Mereka saling menyerang dengan pedang kembali. Persatuan mereka buyar setelah saling mengetahui bahwa mereka ternyata bermusuhan. Orang-orang Pulau Dadap pernah menyerang Kadipaten Suralaya karena perebutan wilayah kekuasaan. Menurut ayah Putri Kunang, tanah kadipaten itu adalah warisan kakeknya yang direbut oleh sang Adipati. Sedangkan menurut Adipati Suralaya, tanah kadipaten adalah hak miliknya sebagai anak bungsu dari kakeknya Watu Saka. Perkara itulah yang akhirnya membekas di hati kedua wanita tersebut sehingga saling baku hantam sendiri.

Suto Sinting tertawa geli sambil tinggalkan mereka menuju puncak Gunung Keong Langit, ia harus mencari cambuk itu di sekitar pondok Bandar Hantu Malam dan harus bisa menemukan sebelum cambuk itu berada di tangan orang sesat, yang akan menjadi sesat seumur hidupnya karena pengaruh kutukan pada cambuk pusaka itu. Tetapi separo perjalanan Suto tak bisa dilalui dengan mulus. Langkahnya kembali terhenti karena kemunculan tokoh tua berambut putih panjang berikat kepala merah, mengenakan jubah abu-abu dan menggenggam tongkat tanpa bentuk di bagian ujungnya. Tokoh tua berusia sekitar enam puluh tahun, bertubuh kurus dan sangat dikenal oleh Suto Sinting.

"Kita bertemu lagi, Suto," sapa orang tersebut dengan ramah dan tenang.

Suto Sinting pun membalas senyum keramahan itu tanpa curiga. "Ki Lumaksono...? Oh, tak kusangka kita akan bertemu di sini. Mengapa tidak bersama Ki Paradito?"

"Dia punya kesibukan sendiri di tempat lain," jawab Ki Lumaksono yang dikenal dengan julukan Pawang Gempa itu. Suto memang pernah bertemu dengan tokoh tua itu ketika berurusan dengan Nila Cendani, (Baca serial Pendekar Mabuk episode Ratu Tanpa Tapak)

"Rupanya namamu kian lama kian dikenal di kalangan para tokoh tingkat tinggi karena kehebatanmu mampu kalahkan mereka. Sekarang tentunya kau akan semakin hebat dengan memiliki Cambuk Getar Bumi, Suto!"

"O, kau salah duga, Ki Lumaksono. Aku tidak memiliki cambuk itu."

Ki Lumaksono terkekeh tawar. "Tak mungkin. Semua mulut kabarkan bahwa kau yang membunuh Bandar Hantu Malam, tentunya kau yang kuasai pusakanya. Tapi ada baiknya, pusaka itu tak perlu kau miliki, Suto. Kau sudah cukup sakti dengan ilmu warisan gurumu, si Gila Tuak itu. Ada baiknya kalau Cambuk Getar Bumi kau berikan padaku, supaya julukanku pun semakin mantap sebagai Pawang Gempa yang mampu mengguncang bumi di mana pun aku berada!"

Suto diam sesaat, teringat kata-kata Resi Wulung Gading, bahwa ia akan berhadapan dengan seorang tokoh tua yang telah dikenalnya. Mungkin Ki Lumaksono inilah orang yang dimaksud dalam kata-kata Resi Wulung Gading. Suto Sinting mulai hati-hati menjaga diri mengendalikan hasratnya, ia harus menghindari pertarungan dengan orang yang sudah dikenalnya itu, karena pertarungan tersebut jelas akan membawa celaka bagi salah satu atau keduanya. Suto berusaha menjelaskan perkara sebenarnya, tapi Ki Lumaksono agaknya tak mau percaya dengan penjelasan tersebut.

"Sebenarnya aku sungkan melawanmu, Suto. Tapi dalam perkara ini, agaknya tak ada jalan lain yang harus kutempuh kecuali mendesakmu dengan kekerasan, supaya cambuk itu kau berikan padaku!"

"Aku tidak bersedia melawanmu, Ki Lumaksono. Aku tidak mau timbulkan korban seperti dalam perkara Keris Setan Kobra itu. Kedua perkara itu sama-sama salah duga dan mengakibatkan korban darah tanpa arti, Ki Lumaksono!"

"Punya arti maupun tanpa arti, itu terserah pendapatmu. Yang jelas bagiku Cambuk Getar Bumi punya arti besar dan harus kupertaruhkan dengan nyawaku! Jika kau bersikeras tak mau serahkan cambuk itu, bersiaplah menghadapi paksaanku, Suto! Semoga kau tahan menerima jurus-jurusku!"

"Ah, Ki Lumaksono... ingatlah bahwa..." Suto belum habis bicara, tahu-tahu Ki Lumaksono lepaskan serangan dengan sodokan ujung tongkatnya.

Wuuttt...!

Gelombang panas melesat dari kepala tongkat dan hendak membungkus tubuh Pendekar Mabuk. Tetapi dengan cekatan Pendekar Mabuk berhasil sentakkan kaki dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali, membiarkan gelombang hawa panas itu menerkam pepohonan dibelakangnya.

Zraabb...! Kraakk!

Sebatang pohon besar retak dalam keadaan mengering seketika. Kulit batang hangus dan dedaunannya pun berhamburan menjadi abu.

"Tahan seranganmu, Ki Lumaksono!" seru Suto yang tak mau memberikan perlawanan.

Tapi tokoh tua yang satu ini agaknya sudah tak mau dengar lagi alasan apa pun dari mulut Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia sentakkan kakinya ke bumi. Bluug...! Dan tanah pun bergolak bagai dilanda gempa hebat.

Tubuh Suto Sinting yang baru saja mendarat dari lompatannya terpaksa harus bersalto lagi di udara. Kakinya ditapakkan pada batang pohon yang sedang miring karena mau tumbang. Dees...! Batang pohon itu menerima sentakan kaki Suto. Tubuh Pendekar Mabuk melenting kembali ke udara, tapi pohon itu segera tumbang bagaikan mendapat dorongan keras dari tenaga amat besar.

Bruk!

Baru saja Suto mau jejakkan kaki ke bumi, tongkat Ki Lumaksono segera menyambar tubuh Suto dengan gerakan amat cepat. Wuuttt...! Suto terpaksa memiringkan badan, menghadang bumbung tuaknya, dan bumbung tuak itulah yang menjadi sasaran tongkat tersebut.

Duaar...!

Ledakan terdengar menggelegar. Rupanya tongkat itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, sehingga ketika beradu dengan bambu bumbung tuak yang punya kekuatan dahsyat di dalamnya itu, keduanya saling percikkan cahaya merah terang dan gelombang ledakannya membuat Pendekar Mabuk terpelanting ke samping, jatuh bersimpuh, sedangkan Ki Lumaksono terlempar bagaikan kapas terhempas angin. Tubuhnya membentur pohon yang berjarak delapan langkah dari tempatnya berdiri. Kepala Ki Lumaksono beradu dengan batang pohon itu, sehingga bocor di bagian pelipisnya. Darah mengalir ke pipi dan menetes di pundak Ki Lumaksono. Tetapi tokoh tua itu masih belum jera dan segera bangkit tanpa hiraukan darah dari lukanya.

Suto sempat berseru keras, "Jangan korbankan diri untuk sesuatu yang tidak ada, Ki Lumaksono! Kalau kau ingin memiliki Cambuk Getar Bumi, carilah pada orang lain atau ditempat lain!"

"Persetan dengan saran busukmu itu, Suto Sinting! Kau mau serahkan cambuk itu atau tidak, hah?!" bentak Ki Lumaksono dengan murkanya.

"Aku tidak memegang cambuk itu!"

Wuuttt...!

Tiba-tiba sinar merah menyembur dari ujung tongkat Ki Lumaksono. Slaapp...! Gerakan sinar merah lurus itu sangat cepat. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa menangkisnya dengan bumbung tuaknya. Pasti sinar merah itu akan berbalik arah menjadi lebih cepat dan lebih besar lagi kekuatannya. Tentu akan menghancurkan tubuh Ki Lumaksono jika orang tua itu tak bisa menghindarinya. Tetapi hal itu dinilai cukup berbahaya bagi keselamatan jiwa Ki Lumaksono. Karenanya, Pendekar Mabuk bermaksud sentakkan kaki ke tanah dan melesat ke atas hinggap di dahan sebuah pohon.

Tetapi ternyata keadaan menjadi lain. Sinar merah itu dihadang oleh sekelebat sinar biru berbentuk bola yang membuat laju sinar merah terhenti, lalu terdorong balik ke pemiliknya dalam gerakan meliuk-liuk membingungkan. Akibatnya, Ki Lumaksono yang terkesiap itu menjadi sasaran sinar merah dan sinar biru bola itu.

Blaarrr...!

Cahaya terang warna putih memecah menyilaukan di depan mata Suto Sinting. Keadaannya yang sudah di atas pohon itu membuatnya hampir jatuh karena kaget menerima sentakkan gelombang ledak yang cukup dahsyat tersebut. Ketika sinar terang itu lenyap, Suto terbengong di atas pohon mencari-cari perginya Ki Lumaksono. Kejap berikut baru disadari bahwa Ki Lumaksono sudah menjadi serpihan-serpihan daging hangus yang tak begitu kentara lagi jika tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh.

"Gila! Tubuhnya hancur sebegitu rupa. Pasti bukan karena sinar merahnya sendiri, melainkan karena sinar biru menyerupai bola juga ikut andil memecah raga Ki Lumaksono. Hmm... sinar birunya siapa itu tadi?" pikir Suto yang telah turun dari atas pohon. Kini matanya memandang ke sana-sini mencari si pemilik sinar biru tersebut.

Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakangnya, "Apa yang kau cari anak muda yang tampan?"

Suto bergegas memandang ke belakang. Ternyata seorang lelaki tua yang jangkung, kurus, berjubah ungu. Alis, jenggot, dan kumisnya cukup tebal dan berwarna putih. Tetapi kepalanya berambut tipis, nyaris gundul. Orang itu tak lain adalah Dewa Sengat yang telah berpencar dengan Muka Besi dan Setan Samudera. Barangkali mereka bertiga punya jalan masing-masing untuk temukan Cambuk Getar Bumi. Yang jelas, Suto merasa asing melihat penampilan tokoh tua itu. Ia belum pernah jumpa sebelumnya, sehingga ia pun bertanya dengan nada sopan,

"Siapakah engkau, Pak Tua?"

"Kulihat kau berhasil memancing muridku hingga bertempur melawan putri Adipati Suralaya itu!"

Suto berpikir sejenak, lalu segera mengerti maksud si orang tua itu. "Jadi, kaulah yang bernama Dewa Sengat, guru dari Putri Kunang?"

"Betul," jawabnya tegas tanpa senyum, tampak berwibawa sekali. "Kau bukan saja tampan di wajah, namun juga tampan di otak dan ilmu. Kau punya keunggulan di tiga bidang itu, Suto. Tak heran jika muridku ragu membunuhmu dan bisa terpancing pertarungan dengan Delima Gusti! Bagus sekali akalmu itu!" kata-kata yang terakhir berkesan ketus dan dingin.

Suto mulai waspada sekalipun ia tetap tampak tenang. "Dewa Sengat, tolong peringatkan kepada muridmu itu agar jangan memburuku terus dengan menganggap akulah pemegang Cambuk Getar Bumi. Aku tak ingin kehabisan kesabaran pada muridmu yang cantik itu, Dewa Sengat."

"Justru aku mendampinginya untuk dapatkan cambuk itu!"

"Kalau begitu kau pun perlu mengetahui bahwa aku tidak memiliki cambuk itu!"

"Kau tak bisa bohongi kami!" katanya dengan dingin sekali.

"Aku berani bersumpah. Kusarankan urungkan niat itu, sebab cambuk tersebut telah terkena kutuk seorang paderi, bahwa barang siapa menggunakan cambuk itu untuk pertarungan, maka selamanya si pemegang cambuk akan menjadi orang sesat dan rohnya akan berkelana masuk ke binatang-binatang menjijikkan. Ingatlah itu, Dewa Sengat!"

Tangan Dewa Sengat menggenggam di udara. Tangan itu segera ditarik ke dada, genggamannya dibuka, dan seekor lebah terbang dari dalam genggaman itu.

Suto memandang dengan heran, tak mengerti apa maksudnya. "Apa maksudnya memamerkan sihir seperti itu didepanku?" pikir Suto, namun pikiran itu segera disingkirkan karena Dewa Sengat segera beberkan masalahnya.

"Cambuk Getar Bumi harus didapatkan oleh muridku; Putri Kunang, karena pada malam purnama nanti dia harus bertarung melawan Sri Maharatu, kakak tirinya sendiri untuk tentukan siapa yang berhak menjadi penguasa Pulau Dadap. Kuakui, ilmu yang dimiliki Sri Maharatu sangat tinggi, ilmu Putri Kunang ada dibawahinya. Sri Maharatu mempunyai guru yang bernama Pendita Arak Merah. Dia orang terhebat di pegunungan Tibet. Ilmu dan kesaktiannya yang tinggi nyaris tertuang habis diwariskan kepada Sri Maharatu."

Suto Sinting tak sadar, seekor lebah yang tadi lepas dan terbang dari genggaman Dewa Sengat, kali ini hinggap di tengkuk kepala Suto dan menyengatnya dengan lembut. Hampir-hampir tak terasa sakit, kecuali hanya rasa gatal. Suto menepiskan tangannya, menggaruk tengkuk kepala, tapi saat itu lebah sudah pergi entah kemana.

Dewa Sengat lanjutkan bicara, "Tak ada senjata atau pusaka yang bisa menandingi ilmu dan kesaktian Sri Maharatu, kecuali Cambuk Getar Bumi. Dan jika Putri Kunang kalah dalam pertarungan, maka hak warisnya sebagai penguasa Pulau Dadap akan hilang, jatuh ke tangan kakak tirinya itu. Padahal siapa yang menjadi penguasa Pulau Dadap, berarti dia juga menguasai Pulau Karun, yaitu sebuah pulau yang menjadi tempat penyimpanan harta karun, barang-barang rampokan semasa ayah Putri Kunang menjadi seorang bajak laut. Pulau itu dijaga oleh puluhan harimau putih yang punya kesaktian tersendiri. Tak seorang pun bisa masuk ke Pulau Karun dan mengambil barang-barang berharga yang dikubur di sana, kecuali orang yang menjadi penguasa Pulau Dadap. Sekarang ini"

Pandangan mata Suto mulai kabur. Tapi dia masih belum menyadari adanya sesuatu yang telah berpengaruh pada dirinya. Karena pandangan mata itu kadang tampak kabur, kadang tampak jelas. Suto menganggapnya itu suatu akibat keletihan biasa, ia masih mendengarkan penjelasan Dewa Sengat.

"... Pulau Dadap sebenarnya tidak mempunyai penguasa yang sah. Sri Maharatu mengangkat diri sebagai penguasa, tapi tidak melalui penobatan secara sah. Para tetua Pulau Dadap tidak ada yang berani menobatkan Sri Maharatu. Karenanya, Sri Maharatu tidak bisa masuk ke Pulau Karun, sebab dia akan habis dimakan harimau putih yang menjaga pulau itu. Sebab itu, para tetua Pulau Dadap terpaksa lakukan cara yang disetujui oleh Sri Maharatu dan Putri Kunang. Mereka akan bertarung di malam purnama nanti. Siapa yang unggul, dialah yang berhak menjadi penguasa Pulau Dadap, dan akan dinobatkan sebagai penguasa secara sah dengan upacara adat!"

Suto Sinting membatin di hatinya, "Aduh, kenapa kepalaku jadi pusing sekali? Oh, apa yang terjadi sebenarnya? Tubuhku terasa lemas dan... dan... oh, aku ingin tidur. Aku mengantuk sekali...?!"

Pelan-pelan Suto merendahkan badan, bahkan duduk bersandar batang pohon. Sementara itu, Dewa Sengat masih terus bicara dan suaranya hanya menggaung-gaung diterima oleh pendengaran Suto. Lambat laun Pendekar Mabuk tak sadarkan diri, ia tertidur dengan nyenyak tanpa mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

Dewa Sengat tersenyum tipis dan dingin, lalu menggumam dengan suara lirih, "Setinggi apa pun ilmumu, tak akan bisa menahan jurus 'Lebah Setan'-ku, Pendekar Mabuk. Kau akan tahu sendiri akibat jurus 'Lebah Setan' jika kau terbangun nanti!"

Dengkur Suto terdengar lirih, ia benar-benar tertidur dengan nyenyak tanpa rasakan apa-apa lagi. Lebah yang menyengat tengkuk kepala dan menimbulkan rasa gatal itu telah menyebarkan racun berbahaya dan mempengaruhi jalan darah yang menuju ke otak. Tentu saja Pendekar Mabuk tak tahu apa akibat terkena jurus 'Lebah Setan' itu?

* * *

LIMA
RUPANYA, Dewa Sengat tak mau ada orang lain seperti Ki Lumaksono ikut memperebutkan Cambuk Getar Bumi. Bahkan bila perlu ia akan singkirkan Setan Samudera yang juga kehendaki cambuk pusaka itu. Bila nantinya si Muka Besi yang inginkan cambuk itu, bukan hanya ingin menuntut balas pada pembunuh kakaknya, maka Dewa Sengat pun akan singkirkan si Muka Besi. Sebab, Delima Gusti sudah berhasil dilumpuhkan olehnya sebelum menemui Suto Sinting. Tapi Delima Gusti tidak sampai kehilangan nyawa, perempuan itu hanya larikan diri dan merasa tak mampu hadapi kesaktian Dewa Sengat.

Ketika Putri Kunang tiba di tempat gurunya yang sedang pandangi Suto dalam keadaan tertidur itu, Putri Kunang segera ajukan tanya kepada sang Guru, "Apakah dia sudah mau serahkan cambuk itu, Guru?"

"Belum. Tapi kita tunggu saja sampai ia terbangun. Pasti ia akan sebutkan di mana Cambuk Getar Bumi disembunyikan."

"Tapi hari sudah hampir petang, Guru. Haruskah kita menunggunya di sini?"

"Memang tidak, muridku. Kita akan memindahkan Suto ke gua di kaki bukit yang ada di sebelah barat itu."

Bukit di sebelah barat adalah anak Gunung Keong Langit. Penduduk di sekitar situ, termasuk penduduk Desa Pucangan menyebutkan demikian, karena bentuk bukit itu walau berbeda arah namun menyerupai Gunung Keong Langit. Agaknya Dewa Sengat sudah pernah menjelajahi bukit itu, sehingga ia tahu persis tentang sebuah gua berlangit-langit tinggi dan mempunyai tempat yang lebar, sedikit dalam. Bebatuan yang ada di dalamnya membentuk benteng bagi serangan yang datang dari luar gua. Di sanalah, Suto Sinting dibawa oleh Dewa Sengat, sementara bumbung tuaknya dibuang oleh Putri Kunang di jurang yang ada di kaki Gunung Keong Langit.

Sayang waktu itu Suto Sinting tertidur nyenyak sehingga tak mengetahui di mana bumbung bambu tuaknya dibuang oleh Putri Kunang. Tetapi, seandainya Suto dalam keadaan sadar dan melihat bumbung tuaknya dibuang ke jurang, tentunya ia akan marah besar tanpa peduli yang membuang gadis secantik Putri Kunang, tanpa peduli pembuangan bumbung itu atas persetujuan dan perintah si Dewa Sengat.

Suto dibaringkan di dalam gua itu. Wajah tampannya kelihatan semakin menawan dalam keadaan tertidur nyenyak menurut pendapat Putri Kunang. Tak heran jika gadis itu memandanginya terus selama sang Guru memeriksa keadaan di luar gua. Bahkan jari-jari lentik Putri Kunang itu sempat mempermainkan bibir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. Rasa iba mulai timbul di hati Putri Kunang. Rasa sesal atas tindakan yang terpaksa dilakukannya itu meresahkan jiwa Putri Kunang. Ia mengusap-usap rambut di sekitar kening si pendekar tampan itu dengan kecamuk hati berucap penuh perasaan.

"Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa lakukan semua ini karena aku sangat membutuhkan cambuk pusaka itu. Tapi percayalah, tak ada kebencian sedikit pun di hatiku kepadamu. Kelak jika aku sudah resmi menjadi penguasa Pulau Dadap, akan kuundang kau sebagai tamu kehormatan yang menawan hatiku. Ah, sungguh sayang kalau aku harus melukaimu. Kau tak layak menerima perlakuan seperti ini. Semua kulakukan dengan sangat terpaksa, tapi kelak akan kutebus dengan kesetiaan jika aku sudah selesaikan pertarungan dengan Sri Maharatu"

Dewa Sengat yang ada di luar gua menjadi terkejut mendengar suara gemuruh di awal petang. Malam akan melintas dengan rembulan mengintip separo bagian di balik awan. Cahayanya yang pucat menyiram bumi. Cahaya itu memperjelas penglihatan Dewa Sengat terhadap kilatan sinar biru berhamburan di langit bagai pasukan petir menyerang bumi. Kilatan cahaya biru itulah yang menimbulkan gelegar bergemuruh dan mengguncangkan bumi sampai menggetarkan tanah gua tersebut.

Putri Kunang pun terperanjat dan bergegas keluar gua. Ia temui gurunya, yang sedang memandang ke arah timur, lalu ia bertanya dengan nada pelan, "Ada apa itu, Guru?"

"Celaka!" Dewa Sengat hanya menggeram dengan nada cemas.

"Bunyi apa yang bergemuruh tadi, Guru?"

Sang Guru tidak menjawab, hanya berkata, "Kau tetaplah di sini. Jaga Pendekar Mabuk itu. Jika ia bangun, cegah dia agar jangan sampai pergi tinggalkan gua. Aku akan ke timur sebentar."

"Jelaskan dulu apa yang terjadi, Guru?!" desak Putri Kunang.

"Seseorang telah melecutkan cambuk itu."

"Hah...?!" Putri Kunang menjadi tegang. "Maksudnya, Cambuk Getar Bumi telah dilecutkan oleh seseorang di sebelah timur sana?"

"Ya. Kilatan cahaya petir yang bagai pasukan petir dari langit itu adalah akibat cambuk pusaka tersebut dilecutkan oleh seseorang disana."

"Kalau begitu... kalau begitu Suto Sinting tidak memegang cambuk itu, Guru?"

"Mungkin memang bukan dia pemiliknya. Tapi mungkin juga seseorang telah mengetahui penyimpanan Cambuk Getar Bumi dan berhasil mencurinya. Aku akan ke sana mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya."

Claap...! Dewa Sengat yang punya sifat mementingkan kepentingan diri sendiri itu segera pergi dari hadapan sang murid. Gadis berambut poni dengan tahi lalat di ujung bibir atas sebelah kiri hanya bisa tertegun bengong dengan kecemasan menyelimuti perasaannya.

"Celaka betul! Kalau sampai cambuk itu ada di tangan orang yang sukar ditandingi, bisa-bisa aku gagal menjadi penguasa Pulau Dadap. Padahal kuharapkan cambuk itu ada di tangan Pendekar Mabuk yang tampan itu. Ah, mudah-mudahan Guru bisa merebut cambuk itu kalau memang cambuk itu ada di tangan orang lain. Semoga saja dugaan Guru tadi keliru, bukan cambuk yang dilecutkan tapi benar-benar petir yang berkerlap menyongsong hujan," celoteh batin Putri Kunang sambil melangkah memasuki gua.

Namun sesampainya di dekat Suto yang tertidur pulas, Putri Kunang terkejut setengah mati melihat seekor ular berkaki empat sedang merayap di samping kanan Suto Sinting. Langkah gadis itu terhenti, suaranya tak mampu terpekik, karena ular besar itu dikenalnya sebagai seekor naga. Sekujur tubuh Putri Kunang menggigil gemetaran memandangi seekor naga bertanduk sedang mengangkat kepala menatapnya. Asap hitam mengepul dari lubang hidung naga. Lidahnya terjulur-julur seakan ingin semburkan api.

Putri Kunang segera kuasai diri. Pedangnya dicabut pelan-pelan, tapi ia melangkah mundur pelan-pelan juga. Sampai akhirnya, setibanya di mulut gua, ia segera lari dengan kecepatan tinggi tak mau berpaling lagi. Arahnya menuju tempat perginya sang Guru, karena ia bermaksud melaporkan keadaan Suto yang terancam bahaya oleh seekor naga berkulit kuning kehitaman.

Putri Kunang terganggu pandangan matanya. Sebenarnya yang dilihatnya adalah seekor naga, tapi dalam kenyataan yang ada di samping Suto Sinting adalah bumbung bambu tuaknya. Bumbung itu memang telah dibuang oleh Putri Kunang ke jurang. Tetapi ia tak tahu bahwa bumbung bambu itu jelmaan dari mahagurunya Suto, yaitu Eyang Wijayasura. Gila Tuak saja memanggilnya kakek guru. Dan nama itu tak boleh disebut sembarangan, karena bisa datangkan badai dan hujan petir yang membuat langit bagaikan mau kiamat..Tak heran ketika Suto bangun dipagi hari, ia temukan bumbung tuak masih di sampingnya. Hanya saja, keadaan Suto sudah berbeda dari biasanya. Suto Sinting mengalami hilang ingatan.

"Benda apa ini? Kenapa ada di sampingku?" ucapnya heran ketika melihat bumbung tuaknya. Memandangi gua itu pun ia sangat heran. "Mengapa aku ada di sini? Siapa yang membawaku ke sini? Untuk apa aku ada di gua ini?"

Suto masih sibuk memperhatikan bumbung tuaknya, ia benar-benar tak mengerti bumbung tuak itu untuk apa. Ketika dibuka penutupnya, ia mencium bau aroma tuak. Ia merasa asing dengan aroma tuak, sehingga hidungnya mendengus tak suka mencium bau tuak. Maka ketika ia bergegas pergi meninggalkan gua, bumbung tuak itu ditinggalkannya pula. Ia melangkah tanpa tujuan dan serba heran memandangi alam sekitarnya, ia tak tahu ada di mana saat itu.

Namun ketika ia berhenti dan menoleh ke belakang, ternyata bumbung tuak itu tergeletak tak jauh dari kakinya berpijak. Hanya saja, Suto tak mau hiraukan bumbung tuak itu, sehingga ia melangkah kembali tanpa membawa serta bumbung tuak tersebut, ia tak tahu kalau bumbung tuak itu selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi, seakan seorang teman yang amat setia mengikutinya.

"Perutku lapar sekali. Mau makan apa aku ini? Di mana ada desa? Di mana ada kedai? Oh, mungkin itu sebuah kedai," Suto mendekati tempat yang diduga sebuah kedai, ternyata hanya pepohonan bercabang rendah yang dahan-dahannya mengembang bagaikan payung. Jaraknya tak jauh dari tanah. Tapi Suto menggerutu, "Uuh... tak ada penjualnya. Mungkin masih tidur."

Rupanya sengatan Lebah Setan itu membuat Suto menjadi linglung, lupa ingatan, lupa tentang apa saja yang pernah dialaminya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah cambuk. Terbayang bentuk cambuk, dan mulutnya mengucapkan kata cambuk berulang kali dengan pelan. Sengatan lebah itu mempunyai racun yang membuat seseorang hanya ingat pada satu benda, yaitu benda yang sedang dipikirkan pada saat Lebah Setan itu menancapkan sengat beracunnya.

"Cambuk... cambuk..., ya cambuk...! Cambuk apa namanya? Oh, ya... namanya Cambuk Getar Bumi. Siapa pemiliknya? Ya, cambuk! Pemiliknya ya cambuk itu sendiri. Hmm... enaknya lapar-lapar begini makan cambuk saja. Pasti gurih!"

Suto tersenyum-senyum sambil jalan melenggang. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Ki Rosowelas, si pemilik kedai yang tinggal di Desa Pucangan, di mana Suto pernah bermalam di rumah Ki Rosowelas, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bandar Hantu Malam). Waktu itu, ternyata Suto sudah sampai di perbatasan Desa Pucangan, tapi ia tidak mengenali desa itu.

"Suto...! " tegur Ki Rosowelas yang waktu itu baru pulang dari mencari kayu bakar, ia memikul kayu bakar dan meletakkannya ketika melihat Suto jalan melenggang memasuki perbatasan desa.

Namun teguran itu tidak dibalas oleh Suto Sinting. Ki Rosowelas hanya dipandanginya dengan dahi berkerut, seolah-olah merasa heran, merasa baru kali itu bertemu orang berusia enam puluh tahun itu.

Ki Rosowelas sendiri mulai heran melihat sikap Suto. "Suto, Bandar Hantu Malam telah dibunuh oleh seseorang, apakah kau sudah mengetahuinya?"

"Hantu? Di mana ada hantu?" Suto agak tegang.

"Bandar Hantu Malam!" tegas Ki Rosowelas.

"Ah, biar saja hantu muncul malam hari. Itu memang sudah pekerjaannya," Suto bersungut-sungut dan hendak pergi.

Ki Rosowelas segera menahannya karena rasa heran kian meninggi. "Suto, mengapa kau bicaranya tak karuan begitu? Ada apa sebenarnya?!"

"Suto, Suto...! Kau ini bicara kepada siapa, Pak Tua?"

Ki Rosowelas bingung dan terbengong-bengong. Suto segera berkata, "Kalau ada hantu muncul malam hari, harus segera dicambuk!"

Ki Rosowelas tidak menjawab, tidak berkata apapun. Tapi hatinya segera membatin, "Sepertinya dia mengalami keanehan. Dia seperti bukan Suto yang dulu datang dan bermalam di rumahku. Tapi... tapi wajahnya adalah wajah Suto Sinting, yang pernah kalahkan bayangan hitam alias Nyai Sedah itu?!"

Sambil memikul kayu bakarnya, Ki Rosowelas mengejar Suto. Mendekati rumah penduduk desa pertama, Suto tersusul. Ki Rosowelas terengah-engah dan menghadang langkah Pendekar Mabuk. Pemuda itu berhenti dan memandang dengan bersungut-sungut. Ki Rosowelas segera berkata, "Suto, apakah kau tak ingat padaku?"

"Apakah kau yang bernama Cambuk Getar Bumi?!"

"Aduh! Mengacau sekali bicaramu! Aku adalah Ki Rosowelas, bapak Sundari!"

"Sundari itu... pemilik cambuk?"

"Aaah...!" Ki Rosowelas jengkel, menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil. "Sundari itu anakku!"

"Jadi... anakmu itu cambuk?"

Ki Rosowelas tarik napas dalam-dalam, garuk-garuk kepala sebentar, ia menggumam bernada gerutu tak jelas. Suto Sinting memperhatikan dengan bingung. Lalu pemuda itu berkata,

"Minggirlah. Jangan halangi langkahku. Aku mau cari makan!"

"Makanlah di kedaiku! Mari...!"

"Apakah di kedaimu ada makanan cambuk?"

"Cambuk lagi, cambuk lagi!!" geram Ki Rosowelas. Luar biasa jengkelnya, tapi luar biasa pula bingungnya menghadapi keanehan Pendekar Mabuk. Tak peduli keadaan pikunnya Suto, Ki Rosowelas segera membawa pemuda itu ke kedainya. Waktu itu, kedai sedang ditunggui oleh Sundari, anak gadisnya yang berkulit hitam manis dan pernah menaruh hati kepada Suto. Melihat kedatangan Suto, wajah gadis desa itu berseri-seri menyambutnya.

Tapi Suto Sinting bingung menghadapi gadis manis itu dan dahinya berkerut tajam seraya bertanya, "Kau siapa?'

"Masa lupa? Aku Sundari!"

"Sun... dari... dari mana?" tanya Suto bingung.

"Bapak... kenapa dia ini, Pak?" tanya Sundari kepada Ki Rosowelas.

"Itulah yang membuatku bingung sejak tadi. Dia seperti orang gila!"

Suto berkata lantang, "Aku lapar..!"

"Mau makan?! Mau makan, ya?!" tawar Sundari.

Suto mengangguk-angguk. "Ya. Makan."

"Lauknya pakai apa?"

"Cambuk!" jawab Suto.

Sundari terbengong dan memandangi bapaknya. "Dari tadi yang disebutkan hanya cambuk," kata Ki Rosowelas. "Jangan-jangan dia kesurupan. Coba ambilkan bawang putih di dapur, Sundari!"

Sundari bergegas ke dapur dengan hati sedih dan cemas. Tapi Suto berkata kepada Ki Rosowelas, "Hei, Pak Tua...! Mana enak makan cambuk pakai bawang putih?!"

Waktu itu di kedai hanya ada satu pembeli, yaitu seorang lelaki berpakaian serba hitam, usianya sekitar tiga puluh tahun lewat sedikit. Lelaki itu memperhatikan Suto, sesekali tersenyum geli mendengar kata-kata Suto. Tapi baik Ki Rosowelas maupun Suto tak peduli dengan tamu yang sedang makan itu.

"Pak Tua, kalau kau mau hidangkan cambuk dengan bawang putih, aku tidak mau makan. Tapi kalau diberi garam sedikit, aku mau makan. Cambuk Getar Bumi enaknya dicocol pakai garam, dimakan mentah-mentah. He he he he...!"

Ki Rosowelas bermaksud memborehkan bawang putih ke dahi Suto, juga dibagian jempol kakinya. Karena menurutnya cara mengusir setan yang masuk dalam tubuh manusia kesurupan dengan memborehkan bawang putih yang sudah dikunyahkan. Tetapi pada waktu itu Suto Sinting justru menendang Ki Rosowelas karena tak mau menerima borehan bawang putih. Untung tendangannya tak seberapa keras, sehingga Ki Rosowelas hanya jatuh terjengkang ke belakang.

"Dasar bodoh kau, Pak Tua! Jempol kakiku tidak lapar! Kenapa mau kau beri bawang putih?! Yang lapar perutku!" ia menepuk-nepuk perut. "Aku mau makan! Makan pakai Cambuk Getar Bumi!" bentak Suto, sangat memprihatinkan Ki Rosowelas dan Sundari.

Bahkan Sundari sempat menangis duka dan meratap dipundak ayahnya dengan suara lirih. "Dia telah gila, Pak...! Dia tidak ingat kita lagi...!"

Suto akhirnya mencaplok apa saja yang tersaji di meja. Sikapnya yang gagah dan sopan sebagai seorang pendekar sudah tidak ada lagi padanya. Bahkan setelah mencaplok makanan hingga perut terasa kenyang, Suto pergi meninggalkan kedai Ki Rosowelas tanpa pamit kepada Sundari maupun bapaknya.

Mereka tak berani menarik kembali, selain hanya merasakan sedih melihat seorang pendekar yang dulu dikaguminya, kini menjadi gila dan lupa akan diri mereka. Sundari menangis dalam pelukan ayahnya, sampai-sampai mereka lupa menagih uang kepada orang berpakaian serba hitam yang tadi makan di situ. Mereka biarkan orang itu pergi begitu saja, walau sempat memasukkan kerupuk ke dalam sarung yang melilit dipinggangnya.

Bumbung bambu itu mengikuti terus dari belakang. Tapi Suto sama sekali tak mau pedulikan bumbung bambu itu. Ia melangkah ke mana kakinya ingin melangkah. Tak punya tujuan danarah.

Sementara itu, di suatu tempat disekitar bukit cadas yang tak begitu tinggi itu, terjadi sebuah pertarungan sengit antara Muka Besi dan seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang masih tampak cantik dan menggairahkan bentuk tubuhnya.

Perempuan itu kenakan pakaian putih dengan dirangkap jubah biru muda, serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Pakaian putihnya hanya menutup sampai bagian dada, tepiannya dililit benang emas, sehingga belahan dadanya terlihat menantang dipandang setiap lelaki. Perempuan berambut panjang dengan sanggul di tengahnya berhias bunga mawar merah itu kelihatan kalem-kalem saja menghadapi Muka Besi. Di pinggangnya terselip cambuk berwarna hitam dengan gagang berhias benang-benang merah sebagai ronce-roncenya. Bagian ujung cambuk tampak nyala sinar biru berpijar-pijar bagaikan sinar kunang-kunang. Jika malam terlihat dengan jelas sekali.

Muka Besi memperhatikan lawannya dengan mata tak berkedip, bukan tertarik pada kecantikannya, melainkan tertarik pada cambuk si perempuan itu, sebab ia tahu cambuk itu adalah cambuk pusaka milik Bandar Hantu Malam. Itulah yang dinamakan Cambuk Getar Bumi. Rupanya perempuan cantik itulah yang berhasil mendapatkan Cambuk Getar Bumi dengan cara membunuh Bandar Hantu Malam.

"Jadi memang kaulah pembunuh kakakku itu, Sri Maharatu?!"

Perempuan yang ternyata adalah Sri Maharatu itu sunggingkan senyum sinis kepada Muka Besi. Suaranya yang bening segera terdengar jelas di telinga si Muka Besi, "Benar, Muka Besi. Dan tentunya aku tidak sendirian. Aku bekerja sama dengan musuh lama kakakmu, yaitu Nyai Pancungsari. Dia memperoleh kalung merah milik kakakmu itu dan aku memperoleh Cambuk Getar Bumi yang kala itu sudah di tangannya dan ingin dilecutkan ke tubuh Nyai Pancungsari."

"Kalau begitu sepantasnya kau mati menebus nyawa kakakku!" geram Muka Besi.

"Kita lihat saja siapa yang mati, kau atau aku. Tapi kusarankan, jika ingin panjang umur, tinggalkan aku dan jangan dekati lagi aku! Karena aku bisa bikin kau seperti Tiga Utusan Lereng Iblis itu. Barangkali kau melihatnya semalam, atau setidaknya kau menemukan mayat mereka diperjalanan."

"Ya. Sudah kuduga Tiga Utusan Lereng Iblis itu terbunuh oleh Cambuk Getar Bumi. Tapi yang kuburu bukan cambuk itu, melainkan hutang nyawa yang harus kau tebus dengan nyawa juga, Sri Maharatu!"

"Kalau kau keras kepala, aku tak segan-segan pergunakan cambuk ini!"

"Persetan dengan ancamanmu! Heaah...!" tokoh tua itu segera lepaskan pukulan jarak jauhnya. Kedua tangannya yang berjari rapat dan lurus itu dilipat ke dalam lalu disentakkan ke depan dalam keadaan telapak tangan tengkurap. Dari ujung-ujung jari tangan itu keluar sepuluh larik sinar putih menyilaukan yang serempak menyerang tubuh Sri Maharatu.

Zraaabb...!

Murid Pendita Arak Merah dari Tibet itu hanya diam saja, tapi kedua tangannya saling beradu di depan dada. Sinar biru keluar menyebar dari perpaduan telapak tangan di depan dada. Semasa telapak tangan itu masih saling menempel, sinar biru itu membentuk perisai didepannya, sehingga sinar putih yang terdiri dari sepuluh larik itu ditahan oleh sinar biru tersebut.

Zruub...!

Tak ada bunyi ledakan apa pun. Kedua sinar sama-sama padam. Tapi sepuluh jari tangan Muka Besi menjadi melepuh dan mengeluarkan asap. Muka Besi menahan rasa sakit itu dengan menggeletukkan gigi, hingga tubuhnya gemetaran dan keringat dinginnya mengucur dari kulit kepala. Napasnya tertahan berulang-ulang yang mengakibatkan ia terengah-engah dicekam murkanya.

Sri Maharatu hanya sunggingkan senyum sinis. "Cambuk Getar Bumi belum kugunakan, kau sudah kewalahan melawanku, Muka Besi! Karena itu kusarankan sekali lagi, pergi dan tinggalkan aku selamanya!"

"Keparat!" geram Muka Besi, lalu tiba-tiba tubuhnya melayang cepat bagaikan seekor singa hendak menerkam mangsanya. Wuuuttt...! Kedua telapak tangannya membara merah dan berasap. Bau besi terbakar menyebar kemana-mana.

Sri Maharatu rendahkan badan dengan menarik kaki kanannya ke belakang dan melipat lutut kirinya sedikit, lalu telapak kanannya yang terbuka di samping dan menghadap ke depan itu keluarkan sinar biru yang berbentuk seperti anak panah berukuran kecil dan pendek.

Claappp...!

Sinar biru itu ditahan dengan telapak tangan kanan Muka Besi yang telah membara dan berasap. Duaarr...! Ledakan cukup kuat terjadi, gelombang hawa panas menyentakkan tubuh Sri Maharatu hingga perempuan itu terpelanting dan badannya nyaris berputar dua kali. Ia sempoyongan dan berpegangan batang pohon.

Sedangkan Muka Besi masih tetap tegar, menapakkan kakinya di tanah dengan mantap. Matanya memandang tajam pada lawannya yang terdesak. Muka Besi tak mau beri kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Sebelum Sri Maharatu berdiri tegak, Muka Besi sudah lebih dulu lepaskan pukulan jarak jauh bersinar hijau bening dari dua jari tangannya yang bengkak itu.

Claapp...!

Sinar itu melesat cepat melebihi anak panah lepas dari busur. Sasarannya adalah dada Sri Maharatu. Tetapi perempuan itu segera tarik jubahnya dan menghadang ke depan dada. Deeb...! Sinar hijau tertahan, lalu membalik arah kepada si Muka Besi. Tentu saja Muka Besi menjadi panik sesaat, ia melompat menghindari sinarnya sendiri.

Blaarrr...! Gugusan batu cadas menjadi sasaran sinar hijau itu. Batu tersebut bukan hanya hancur, namun menjadi serbuk lembut yang menggunduk di tempatnya.

Sedangkan Sri Maharatu tak sabar, segera pergunakan cambuk pusaka itu. Ia lecutkan cambuk ke tanah. Taarrr...!

Blegaarrr...! Tanah berguncang hebat. Tempat yang terkena ujung cambuk itu terbelah sampai pada tempat berdiri Muka Besi.

Tubuh Muka Besi tersedot masuk ke dalam belahan tanah dengan cepat, tanpa bisa lakukan gerakan apa pun, sehingga suara pekiknya menggema di dalam tanah, dan tanah itu pun terkatup merapat kembali seperti sediakala. Sri Maharatu sunggingkan senyum melihat Muka Besi terkubur dalam tanah bagaikan ditelan bumi.

* * *

ENAM
TERNYATA tanpa disadari oleh Sri Maharatu, ada sepasang mata yang memperhatikan pertarungannya dari kejauhan. Sepasang mata itu tak lain milik anak Adipati Suralaya; Delima Gusti. Perempuan ini setelah berhasil atasi luka dalamnya akibat pukulan Dewa Sengat, segera berkeliaran lagi memburu cambuk pusaka tersebut. Dialah orang pertama yang melihat Cambuk Getar Bumi ternyata ada di tangan Sri Maharatu.

Kesempatan itu diluar dugaannya sendiri, saat ia selesai sembuhkan luka dalamnya dengan semadi gantung; kaki di atas kepala di bawah, tiba-tiba ia mendengar langkah-langkah kaki manusia berlari, ia mengikuti langkah kaki itu, ternyata tiga orang utusan dari Lereng Iblis. Mereka mengejar Sri Maharatu dan akhirnya Delima Gusti melihat sendiri bagaimana Sri Maharatu menumbangkan tiga utusan tersebut dengan menggunakan cambuk itu.

Sejak itulah Delima Gusti mengikuti gerak langkah Sri Maharatu, sambil berpikir bagaimana cara mencuri cambuk tersebut. Karena menurutnya, tak mungkin ia bisa rebut cambuk itu dengan pertarungan. Tanpa cambuk itu saja Sri Maharatu akan unggul melawannya, apalagi dengan cambuk di tangannya. Delima Gusti hanya bisa membayang-bayangi gerakan Sri Maharatu yang menurut dugaannya menuju ke pantai dan ingin kembali ke Pulau Dadap.

Tetapi di perjalanan, Sri Maharatu diserang oleh Muka Besi. Serangan itu hampir saja kenai Delima Gusti yang bersembunyi di tempat jauh. Delima Gusti sudah menduga, si Muka Besi akan tumbang di tangan Sri Maharatu. Dugaan itu timbul setelah Delima Gusti melihat Kipas Racun Peri yang menjadi senjata andalan Muka Besi jatuh terlepas karena pukulan tenaga dalam Sri Maharatu. Kipas itu hancur berkeping-keping, sehingga tak bisa digunakan lagi. Namun si Muka Besi tetap berlari mengejar Sri Maharatu ketika Sri Maharatu enggan melayaninya.

Pertarungan kedua Muka Besi dengan Sri Maharatu semakin membuat Delima Gusti merasa ngeri berhadapan dengan Sri Maharatu, sekali pun perempuan itulah yang ada di dalam dendamnya. Delima Gusti hanya berani hadapi Sri Maharatu jika Cambuk Getar Bumi ada di tangannya. Kini ia berpikir, dengan cara apa ia bisa memiliki cambuk itu? Tipuan dan kelicikan apa yang harus dipergunakan, agar Cambuk Getar Bumi jatuh ke tangannya dan ia bisa melampiaskan dendamnya kepada Sri Maharatu?

Renungannya di atas pohon terhenti manakala ia melihat Suto Sinting melangkah dengan santainya. Tiba-tiba di dalam otaknya terpetik gagasan untuk memanfaatkan Pendekar Mabuk tanpa peduli harus membujuk dan merayunya lebih dulu. Maka, Delima Gusti pun segera turun dari tempat pengintaiannya, karena pada saat itu Sri Maharatu sedang terlibat pembicaraan dengan orang-orang desa yang akan dijadikan orang upahan sebagai pendayung perahunya nanti.

Melihat kemunculan Delima Gusti yang cantik dan bertubuh menggairahkan itu Suto hanya tersenyum menyeringai. Senyumnya itu berkesan malu-malu kucing. Sikap itu telah membuat Delima Gusti mulai curiga, namun kecurigaannya disembunyikan rapat-rapat di dalam hatinya.

"Mana bumbung tuakmu, Pendekar Mabuk?" tanya Delima Gusti melihat Suto tanpa membawa bumbung tuaknya.

Suto hanya tersenyum-senyum norak. "Apakah aku pantas berjuluk Pendekar Cambuk?!"

"Aku menyebutmu Pendekar Mabuk! Bukan Pendekar Cambuk?!"

"Namamu siapa, Bibi?"

Delima Gusti kian berkerut dahi. Ia belum bicara, Suto sudah menduluinya, "Cantik sekali wajahmu, Bi. Apakah kau sudah punya suami? Kalau belum, kusarankan bersuamilah Cambuk Getar Bumi. Hidupmu akan bahagia dan indah."

"Aneh. Kenapa ia bicaranya seperti itu?" pikir Delima Gusti. Matanya masih memandangi Suto yang cengar-cengir, ia menghardik untuk mengembalikan sikap Suto yang tidak sepantasnya dimiliki seorang pendekar kondang. "Hei...! Sadar, Suto!"

Suto Sinting terlonjak kaget, lalu punya rasa takut yang tercermin dari wajahnya.

Delima Gusti menatap kian tajam, Suto tunjukkan kepala tanda takut. "Pandanglah aku!"

Suto menggeleng dengan tetap menunduk takut.

"Pandanglah aku, Suto!" gertak Delima Gusti.

Tapi Suto bahkan melarikan diri kembali arah. Delima Gusti semakin penasaran melihat sikap Suto seperti itu. Ia segera mengejarnya dan tahu-tahu menghadang di depan Suto Sinting. Pemuda tampan itu segera mundur dengan wajah tegang, tubuhnya merapat di sebuah pohon.

"Aku Delima Gusti! Kenapa kau takut padaku seperti itu? Apakah kau tak ingat siapa diriku?"

Suto gelengkan kepala dengan wajah menyedihkan.

"Aku Delima Gusti! ingat, aku yang pernah mengejarmu dan mendugamu sebagai pemilik Cambuk Getar Bumi! Aku yang kau kejar-kejar saat di telaga karena membunuh anak buahku sendiri yang akan buka rahasia tentang siapa yang menyuruhnya menyerang Putri Kunang! Apakah kau masih tak ingat?"

Suto menggeleng lagi dengan wajah kian tampak menyedihkan.

Delima Gusti membatin, "Rupanya dia lupa ingatan. Siapa yang telah membuatnya begini?"

Perempuan itu kembali mencoba bertanya, "Siapa namamu?"

Pemuda tampan seperti pendekar bego, hanya gelengkan kepala saja.

Delima Gusti menggertak, "Siapa namamu?!"

"Ent... entah.... Namaku... namaku...?" Suto berpikir sejenak, tampak susah payah mengingat-ingat namanya. "Namaku... hmm... namaku Cambuk! Ya, Cambuk Getar Bumi!" karena memang hanya nama itu yang diingatnya.

Delima Gusti geleng-geleng kepala, merasa sangat heran. Suto ikut geleng-geleng kepala,benar-benar seperti orang yang amat bodoh.

"Pasti ada seseorang yang membuatnya menjadi gila seperti ini. Masa dengan namanya sendiri sampai lupa begitu? Parah sekali keadaannya!" pikir Delima Gusti, kemudian ia bersikap lunak karena tahu bahwa Suto akan ketakutan jika dibentak-bentak. Delima Gusti sunggingkan senyum ramah, ia dekati Pendekar Mabuk yang tundukkan kepala kembali. Matanya sebentar-sebentar melirik ke depan dengan takut-takut. Dagunya diangkat pelan-pelan oleh Delima Gusti. Wajah itu terdongak dan dipandanginya dengan lembut. Rasa takut Suto berkurang.

"Dengar, namamu adalah Suto Sinting! Suto Sinting!" Delima Gusti menjelaskan dengan suara tegas.

Suto memperhatikan gerakan bibir perempuan itu. Matanya memandang tak berkedip bagai penuh kekaguman.

"Namamu adalah Suto Sinting! Gelarmu Pendekar Mabuk! Jelas? Pendekar Mabuk! Coba tirukan... Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Ayo, tirukan...! Suto Sinting. Suto..."

Pemuda bertampang bego itu justru memegang bibir Delima Gusti bagaikan menangkap seekor kupu-kupu, pelan, pelan, pelan cup! Bibir dipegang.

"Puih!"

Suto terkejut, tangannya ditarik mundur dengan takut. "Disuruh menghafal namanya malah bibir orang diobok-obok!" gerutu Delima Gusti dengan jengkel. Diam-diam dia menaruh rasa iba dan sangat prihatin melihat keadaan Suto Sinting. Rasa iba itu dipendam dalam hati, namun sikapnya yang menjadi baik dan ingin mengembalikan ingatan Suto merupakan cermin dari rasa iba hatinya.

"Apakah seluruh kesaktiannya juga hilang?" pikir Delima Gusti ketika ia termenung beberapa saat lamanya, dan membiarkan Suto bermainkan jubah merah jambunya. "Sebaiknya kucoba gerakan silatnya apakah masih ada. Jika hilang sama sekali, berarti pemuda ini benar-benar parah dan layak dilindungi."

Delima Gusti tiba-tiba berkelebat menampar Suto Sinting. Plokkk...! Suto terpekik kesakitan dan mundur beberapa langkah dengan mengusap-usap pipinya.

"Lawan aku! Ayo, lawan aku...!" kata Delima Gusti. Kemudian kakinya berkelebat menendang dada Suto tanpa tenaga dalam.

Wuuttt...! Duugg...!

Pendekar Mabuk terpental jatuh dan memekik tertahan. "Uuhg...!" ia menyeringai kesakitan memegangi dadanya.

"Lawan aku! Kalau kau tak mau melawanku, kau bisa kehilangan nyawa! Ayo, lawan aku, Suto...!" dan kakinya pun menendang, kali ini tendangan sengaja di arahkan ke samping telinga Suto. Ia hanya ingin memancing gerakan naluri seorang pendekar untuk menangkis tendangannya. Tapi tendangan yang dipelesetkan ke arah kiri itu justru di luar dugaan membuat Suto bergerak ke kiri dan akhirnya wajah Suto jadi sasaran kaki Delima Gusti.

Plokkk...!

"Uuffh...!" Suto memejamkan mata dan merunduk sambil menutupi wajahnya.

"Astaga!" Delima Gusti segera meraih Suto dan memeluknya. "Maaf, maafkan aku! Kalau ada orang menendang ke kiri jangan bergerak ke kiri, kau menghindar ke kanan, jadi tendanganku tidak akan kenai wajahmu!" Delima Gusti menyesal. Tendangannya tadi agak keras. Sekalipun tanpa tenaga dalam namun membuat bibir Suto sedikit bengkak. Delima Gusti merangkulnya untuk menunjukkan sikap bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud menyakiti Suto. Hatinya pun berkata,

"Ternyata gerak nalurinya pun tak mampu diingat lagi. Ia kehilangan ilmu-ilmunya dan menjadi manusia tanpa kekuatan apa pun. Kasihan sekali. Padahal orang banyak yang mengincarnya dan menduga ia sebagai pembunuh Bandar Hantu Malam, sekaligus pencuri Cambuk Getar Bumi. Padahal pembunuh dan pencurinya adalah Sri Maharatu sendiri. Kalau saja tak kudengar pengakuan Sri Maharatu kepada si Muka Besi, mungkin sampai saat ini aku masih menduganya sebagai pembunuh dan pencuri."

Hati perempuan itu punya kekhawatiran besar terhadap jiwa Suto Sinting. Sebab ia yakin, jika orang-orang pemburu Cambuk Getar Bumi bertemu dengan Suto, pasti mereka anggap Suto berpura-pura gila, atau segera menyerangnya dengan jurus maut, karena mereka tahu bahwa Suto orang berilmu tinggi. Mereka tak tahu kalau Suto sudah kehilangan ilmunya dan menjadi linglung.

Niat untuk memperdaya Sri Maharatu dengan memanfaatkan Suto akhirnya dibatalkan. Delima Gusti justru berpikir mencari cara untuk sembuhkan Pendekar Mabuk, atau setidaknya menyembunyikan si tampan itu agar aman dari serangan orang-orang pemburu Cambuk Getar Bumi. Namun niat itu pun belum sempat terlaksana, karena pada saat itu Suto Sinting segera diserang oleh seseorang dengan menggunakan sinar merah yang menyerupai lemparan senjata rahasia.

Claapp...!

Untung kewaspadaan Delima Gusti cukup tinggi. Kilatan cahaya merah itu tertangkap oleh ekor matanya. Tubuh Pendekar Mabuk segera ditariknya merapat ke tubuh, lalu Suto diajaknya jatuh berguling. Dengan begitu sinar merah itu kenai pohon yang ada di seberang sana.

Duaarr...! Pohon itu pun pecah terbelah menjadi dua, masing-masing tumbang ke kiri dan ke kanan dengan timbulkan bunyi gemuruh.

Delima Gusti cepat membawa Suto berlindung di balik pohon. "Kau tetap di sini! Jangan kemana-mana! Ada orang yang ingin membunuhmu. Mengerti?!"

Suto mengangguk-angguk dengan wajah tegang penuh rasa takut. Delima Gusti segera lemparkan pandang ke arah semak-semak tempat datangnya sinar merah tadi. Tak ada gerakan di sana. Tampaknya sepi-sepi saja, tanpa ada seorang pun yang bersembunyi di balik semak-semak. Gerak naluri Delima Gusti seakan perintahkan kepalanya untuk berpaling ke belakang, ternyata saat itu sedang melesat sinar merah seperti tadi yang datang berlawanan arah. Sinar itu kini terarah ke punggung Delima Gusti, sehingga ketika ia berpaling, sinar itu tepat menuju kedadanya.

Wuutt...!

Delima Gusti cepat sentakkan tangan kirinya ke depan dan dari telapak tangan kirinya yang sikunya ditopang tangan kanan itu melesatlah sinar biru berpendar-pendar dan menghantam sinar merah itu.

Wuusss...!

Blaarr...! Ledakan timbul dengan dahsyat.

Tubuh Delima Gusti tersentak mundur tiga langkah dengan kedua tangan tetap bertahan di dada. Sedangkan tubuh Suto terlempar sejauh enam tombak dan mengerang di sana dalam keadaan terkapar menyedihkan. Pada saat itu, Delima Gusti segera melihat sekelebat bayangan berpindah tempat, dari tempat datangnya sinar kedua ke sisi lain lagi. Delima Gusti segera cabut cincin bergerigi di ujung gagang pedangnya, lalu melemparkannya dengan lemparan miring.

Ziingng...! Wesss...!

Duaar...! Bunyi ledakan timbul kembali ketika cincin bergerigi itu disambut oleh pukulan bersinar putih. Cincin bergerigi itu hancur berkeping-keping sebelum sampai pada tempatnya.

Kejap berikutnya sesosok tubuh melompat bersalto dari arah datangnya pukulan sinar putih. Seorang lelaki tua berdiri menghadap ke arah Suto Sinting, tapi matanya memandang kepada Delima Gusti. Mata perempuan itu terkesiap sejenak mengingat wajah tokoh tua berjubah merah. Setelah ingat siapa tokoh itu, ia segera bergumam dengan nada geram. "Setan Samudera!"

Orang kurus berwajah angker dengan rambut putih botak depan itu memang Setan Samudera. Ia sengaja menyerang Suto dengan sinar merahnya, karena ia sangka pendekar sakti itu masih berilmu tinggi. Jika Suto masih berilmu tinggi, maka serangan sinar merahnya tadi hanya akan melumpuhkan saja tidak akan menghancurkan tubuh bertenaga dalam tinggi, ia tak tahu, seandainya sinar merahnya tadi mengenai dada Suto, maka pemuda itu pun akan hancur terbelah menjadi dua bagian seperti pohon yang bernasib malang itu.

Kini melihat Suto terkapar dengan erangan kecil, Setan Samudera sedikit heran dan menyangka kekuatan Suto sebagai pendekar terkenal di rimba persilatan hanya sampai di situ saja. Setan Samudera tidak mau menyia-nyiakan waktu, ia bergegas ingin memaksa Suto untuk serahkan Cambuk Getar Bumi. Namun ketika ia melangkah satu tindak, Delima Gusti kirimkan pukulan bersinar merah dari tangan kanannya.

Claap...! Sinar itu sengaja diarahkan di depan kaki Setan Samudera. Duaarr...! Setan Samudera bergerak mundur dan tanah menjadi berlubang, sebagian tanah menyembur ke atas menyebarkan debu.

Delima Gusti melangkah dekati Suto dengan mata pandangi Setan Samudera. Sebaliknya, si wajah angker pun tatap mata perempuan itu dengan tajam dan tak berkedip, ia kelihatan menyimpan kemarahannya kuat-kuat.

"Jangan coba-coba menyentuh pemuda tak berdaya ini!"bkata Delima Gusti. "Dia bukan tandinganmu untuk saat ini, Setan Samudera! Dia kehilangan segala-galanya, dan akulah yang menjadi pelindungnya."

"Kebetulan sekali kalau dia kehilangan segala-galanya, aku akan mudah memaksanya menyerahkan cambuk pusaka warisan orang tuaku itu!"

"Cambuk Getar Bumi tidak ada padanya!"

"Tahu apa kau, Perempuan Ganjen!" hardik Setan Samudera. "Kau pikir dia akan jatuh cinta padamu jika kau perlihatkan kesetiaanmu di depannya?! Hmm...! Pemuda seperti dia tak pernah punya cinta yang tulus. Dia pemuda mata keranjang yang mudah jatuh di pangkuan wanita manapun!"

"Itu bukan urusanmu, Setan Samudera! Kalau kau inginkan Cambuk Getar Bumi, pergilah ke pantai, cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu, orang Pulau Dadap! Kulihat sendiri kehebatan cambuk itu saat memangsa korbannya; si Muka Besi!" kata-kata tersebut ditekankan, sehingga Setan Samudera terperanjat dengan mata sedikit menyipit sangsi.

"Kau ingin mengelabuiku, Perempuan Ganjen?!"

"Tua bangka, kalau kau tak percaya, pergilah ke arah pantai. Temui Sri Maharatu sebelum dia menyeberang dengan perahunya menuju Pulau Dadap. Kalau kau tetap di sini, kau akan kecewa, dan aku pun kecewa sekali jika cambuk pusaka itu jatuh ke tangannya. Sebab dengan begitu, aku tidak akan bisa melampiaskan dendamku kepada Sri Maharatu. Jelas aku akan kalah jika ia menggunakan Cambuk Getar Bumi!"

Setan Samudera belum berkedip dalam menatap Delima Gusti, tapi hatinya bicara pada diri sendiri, "Sepertinya dia berkata yang sebenarnya. Aku tahu, dia anak Adipati Suralaya. Orang kadipaten punya persoalan sendiri dengan orang Pulau Dadap. Wajar jika ia merasa tak rela jika cambuk itu jatuh ke tangan Sri Maharatu, sebab ia akan tumbang berhadapan dengan Sri Maharatu! Hmm... sebaiknya, kukejar saja Sri Maharatu ke arah pantai sebelum ia menyeberang ke Pulau Dadap!"

Tanpa pamit ini-itu, Setan Samudera sentakkan kaki dan melesat dengan cepat, pergi tinggalkan Delima Gusti. Hati Delima Gusti sedikit lega, setidaknya Suto telah terhindar dari ancaman salah duga yang dapat membawa maut bagi jiwanya itu. Maka, Delima Gusti pun segera menolong Suto yang masih terkapar dan mengerang lirih, merasakan panas dan sakit pada dadanya.

"Ke mana aku harus sembunyikan orang ini?" pikir Delima Gusti setelah ia salurkan hawa dingin ke tubuh Suto, dan rasa sakit Pendekar Mabuk berangsur-angsur berkurang. Delima Gusti berkata, "Lihat, orang jubah merah tadi mau membunuhmu, bukan?! Nyawamu terancam, banyak orang yang ingin membunuhmu! Kau mau selamat atau mau mati?"

"Mati dengan selamat," jawab Pendekar Mabuk tak paham maksud kata-katanya sendiri.

"Kau harus selamat! Jangan mau mati!" gertak Delima Gusti dengan jengkel.

Suto Sinting hanya angguk-anggukkan kepala.

"Kalau kau mati, nyawamu hilang dari raga, kau bisa jadi hantu bergentayangan ke sana-sini setiap malam!"

"Hiii...!" Suto bergidik ngeri.

"Kalau kau mau selamat, berarti kau tidak mati. Dan itu berarti pula kau harus turuti kata-kataku! Aku akan melindungimu. Mengerti?"

Pendekar Mabuk mengangguk, tapi sambil berkata, "Dengan cambuk?"

"Dengan apa saja, aku akan melindungimu! Sekarang, ikutlah aku dan jangan jauh-jauh dariku!"

"Tap... tapi... tapi aku harus ambil cambuk."

"Mau ambil cambuk ke mana?!"

"Di... di... di mana saja. Aku tak tahu!" Delima Gusti mendesah jengkel, lalu menarik tangan Suto dan diajaknya pergi, ia yakin Setan Samudera berhasil menghambat perjalanan Sri Maharatu. Setidaknya selama Setan Samudera menghambat Sri Maharatu, ia punya waktu untuk sembunyikan Suto. Setelah itu baru menyusul, melihat perkembangan di pantai.

Delima Gusti punya seorang kenalan yang pondoknya tak jauh dari tempat itu. Ia membawa Pendekar Mabuk kepondok tersebut. Orang yang dituju Delima Gusti merasa terkejut melihat keadaan Suto yang kosong ilmu, kosong ingatan. Orang tersebut tak lain adalah Resi Wulung Gading. Pendekar Mabuk tak ingat tempat itu, juga merasa tak kenal dengan Resi Wulung Gading.

"Aku sudah mengenalnya, Delima Gusti. Dia kemarin datang kemari dan ceritakan tentang dirimu yang mengaku sebagai murid Bandar Hantu Malam."

"Kuakui itu memang siasatku, Eyang Resi. Aku memang sangat berharap dapatkan cambuk itu, karena aku ingin melawan Sri Maharatu. Aku menyesali tindakanku terhadap Suto kemarin itu. Ternyata dia tak bersalah, dan sebagai penebus kesalahanku, aku ingin selamatkan dia, Eyang Resi."

Resi Wulung Gading angguk-anggukkan kepala samar-samar, ia tahu betul bahwa Delima Gusti sebenarnya bukan golongan tokoh hitam. Hanya karena diburu dendam ia menjadi bernafsu sekali untuk dapatkan cambuk itu dengan cara apapun. Kini penyesalan Delima Gusti diakui Resi Wulung Gading sebagai sikap bijak yang patut disambut dengan kebijakan pula.

"Dendam memang sering membuat mata manusia menjadi gelap, terutama mata hati. Dendam juga dapat membuat pikiran manusia menjadi buntu dan akhirnya mencari jalan pintas. Karena itu kuingatkan kepadamu, Delima Gusti, kendorkanlah urat dendammu. Jangan semata-mata hidup untuk turuti hati yang dendam. Biarlah pembalasan tiba dengan sendirinya, karena Yang Maha Kuasa adalah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Siapa salah akan kalah, siapa benar tetap tegar!"

"Aku mengerti, Eyang Resi."

"Sekarang pantaulah sampai di mana tingkah laku Sri Maharatu! Firasatku mengatakan, dia akan hancur dalam waktu dekat. Cambuk itu telah terkena kutuk, kutuk itulah yang akan hancurkan dirinya. Hanya saja, siapa yang bakal menjadi pemilik Cambuk Getar Bumi setelah Sri Maharatu, aku tak punya firasat akan hal itu. Keadaan Sri Maharatu yang memiliki cambuk itu bisa kau jadikan pelajaran dalam hidupmu dan untuk hidup selanjutnya."

"Baik, Eyang Resi. Lalu, bagaimana dengan Pendekar Mabuk ini?"

"Akan kurawat!" jawabnya tegas. "Mudah-mudahan aku bisa kembalikan ingatannya dan ilmu-ilmunya. Sebab menurutku, dia telah terkena racun sengatan seekor lebah. Jurus itu bernama jurus 'Lebah Setan', pemiliknya tak lain adalah si Dewa Sengat. Berhati-hatilah kau jika bertemu dengannya."

Terbayang wajah Dewa Sengat dan Putri Kunang. Geram di hati Delima Gusti membuatnya ingin berhadapan kembali dengan Dewa Sengat dan Putri Kunang. Tetapi hal yang terpenting dipikirkannya adalah, mungkinkah Resi Wulung Gading bisa kembalikan ilmu dan ingatan Pendekar Mabuk?

* * *

TUJUH
SETAN Samudera yang penasaran ingin buktikan kata-kata Delima Gusti, akhirnya menemukan apa yang diharapkan. Di depannya tampak seorang perempuan cantik bermata jalang mengenakan jubah biru muda lembut, perhiasannya lengkap, sanggulnya diberi hiasan bunga mawar merah. Setan Samudera tak asing dengan perempuan itu.

"Sri Maharatu!" gumamnya penuh debar-debar ketidaksabaran. "Cambuk itu memang ada padanya. Selagi diselipkan di pinggangnya, sebaiknya kupukul dari belakang," pikir Setan Samudera.

Sri Maharatu sedang bicara dengan dua nelayan sambil berjalan, tiba-tiba dua larik sinar warna merah dan hijau melesat menghantam punggungnya. Slaapp! Tapi gerak naluri Sri Maharatu cukup tinggi, ia merasa ada sesuatu yang bergerak cepat menuju ke arahnya. Dengan cepat ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke atas, bersalto di tempat, lalu kedua nelayan yang ada di kanan kirinya itu dirapatkan dengan cara menarik dua kepala tersebut menggunakan tangannya. Kedua orang itu saling terhempas berbenturan, dan pada saat itulah sinar merah dan hijau menghantam dua nelayan tersebut.

Zraab...! Jraabbb...!

Tak ada bunyi ledakan apa pun, tapi kedua nelayan itu sama-sama terhenyak sekejap. Tubuh Sri Maharatu berhasil mendarat di tanah belakang kedua nelayan tersebut, lalu lompat ke samping, berjungkir balik dengan menggunakan kedua tangannya menapak di tanah.

Wut, wut, wut...! Jleegg!

Sedangkan kedua nelayan itu menemui ajal secara bersamaan. Yang satu menjadi arang, hangus terbakar sekejap oleh sinar merah, dan yang satunya lagi punggungnya berlubang sebesar buah kelapa, lalu jatuh terpuruk tanpa nyawa sedikit pun.

Sri Maharatu tak pedulikan nasib kedua nelayan itu. Kini yang dipandangi adalah wajah Setan Samudera. Wajah angker itu ditatap oleh mata indah berkesan jalang dengan senyum sinis menggoda murka. Setan Samudera hentikan langkah setelah berada dalam jarak tujuh langkah di depan Sri Maharatu. Pancaran matanya tampak bernafsu sekali memandangi Cambuk Getar Bumi yang ada di pinggang perempuan berpinggul menggairahkan itu.

"Sudah mendengar kabarnya si Muka Besi?" tanya Sri Maharatu dengan sinis.

"Aku tak peduli dengan nasib si Muka Besi!" geram Setan Samudera. "Yang kupedulikan adalah pusaka leluhurku itu! Kalau kau tak mau serahkan padaku, kau akan hancur melebihi nasib dua orang itu!"

Sri Maharatu tetap tenang dan tersenyum-senyum sinis. Sambil bermainkan rambut yang meriap ke dada kanannya, Sri Maharatu berkata dengan nada mengejek, "Apakah leluhurmu masih ada yang sanggup melawanku? Mengapa tak kau bawa kemari sekalian? Atau mungkin kau ingin menyusul Muka Besi sendirian?"

"Keparat kau, Perempuan Lacur!" geram Setan Samudera. "Mulutmu perlu disumbat dengan ini, heaah...!" tangan kanan Setan Samudera melemparkan sesuatu yang diambil dari balik lengan jubah kirinya.

Wuuttt...!

Gerakannya yang begitu cepat membuat Sri Maharatu hanya bisa menghindar dengan cara melompat ke atas tegak lurus dari tempatnya. Sambil melompat tangannya pun melepaskan pukulan bersinar putih perak yang melebar dari kedua jarinya.

Zraabb...!

Benda yang dilemparkan Setan Samudera itu tak lain adalah puluhan jarum merah yang membara bagaikan terpanggang api. Puluhan jarum merah itu dihantam oleh sinar putih perak di pertengahan jarak.

Syuurrbb...!

Jarum-jarum itu bagaikan masuk ke dalam gumpalan uap air, tak ada suara dentuman yang membahana. Jarum-jarum itu lenyap bersama hilangnya sinar putih perak tepat ketika Sri Maharatu turun dan mendarat ke tempat semula. Yang ada hanya kepulan asap putih tipis, dalam sekejap hilang tersapu angin.

"Jurusmu masih ringan, Setan Samudera! Sebaiknya kau pulang saja, jangan hadapi aku biar awet umurmu!" ejek Sri Maharatu.

"Tutup mulutmu, Perempuan Binal! Terimalah jurus 'Bangau Pelebur Jasad' ini jika kau mampu! Heaah...!" Setan Samudera sentakkan tangan kirinya yang menguncup dan dari kuncup tangan itu melesat sinar biru bening ke arah Sri Maharatu.

Slaapp...!

Sedangkan tangan kanannya yang berkelebat ke atas kepala segera diayunkan ke depan dengan meliuk ke samping lebih dulu. Kuncup jemari tangan kanan itu juga lepaskan selarik sinar warna kuning bening. Slaapp...! Dua sinar itu menyatu di pertengahan jarak dan melesat makin cepat ke arah lawan dengan berubah warna menjadi hijau tua dan berukuran besar.

Wuusss...!

Perempuan cantik itu segera rapatkan kedua telapak tangan di dada, dan dari telapak tangan itu menyebarlah sinar biru membentuk perisai di depannya. Sinar hijau tersebut menghantam sinar biru perisai dengan kuat.

Blegarrr...!

Warna hijau kebiru-biruan pecah dalam sekejap. Gelombang ledakannya begitu kuat, sehingga tubuh Sri Maharatu terlempar ke belakang dalam keadaan hilang keseimbangan. Brrukss...! Ia jatuh di semak-semak bagaikan sebuah karung yang dilemparkan begitu saja.

Setan Samudera sendiri tak kelihatan wujudnya. Sri Maharatu yang bangkit dengan gerutuan tak jelas sempat kebingungan mencari Setan Samudera. Ketika mendengar suara erangan tipis dan pendek, mata Sri Maharatu memandang ke atas pohon yang ada di belakang Setan Samudera saat perpaduan dua pukulan hebat tadi.

Rupanya gelombang ledakan itu melemparkan Setan Samudera tinggi-tinggi hingga tubuhnya tersangkut di atas pohon. Sekalipun kepala terasa sedikit pening, tapi Sri Maharatu sempat tertawa melihat lawannya tersangkut di atas pohon. Lalu, ia buru-buru lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru berbentuk anak panah yang keluar dari telapak tangan kanannya dalam satu hentakan, seraya ia berseru lantang, "Turun kau, Tua bangka!"

Slaap...!

Melesatnya sinar biru berbentuk anak panah pendek itu sangat cepat, sehingga Setan Samudera dibuat kaget dalam sekejap. Kemudian dengan gunakan tangannya menyentak di dahan, tubuh Setan Samudera melesat menerabas dedaunan. Zraaakk...! Ia berpindah dahan di lain pohon. Keadaannya telah berdiri tegak di atas sana sambil memperhatikan sinar birunya lawan yang menghantam dahan tempatnya tersangkut tadi.

Jruubb...! Praasss...!

Dahan itu pecah menjadi potongan-potongan kecil dan jatuh menggunduk di tempatnya tumbuh. Dari bagian batang bawah sampai di bagian pucuk tak ada yang tak terpotong seukuran satu jengkal. Jumlahnya puluhan potong, mungkin seratus potong lebih, dan hebatnya dapat tertata rapi membentuk gunungan kayu yang sudah kering.

"Edan! Ilmu apa yang dipakai si murid Pendita Arak Merah itu?!" pikir Setan Samudera. "Sebaiknya kugunakan jurus andalanku sebelum cambuk itu digunakan lebih dulu olehnya. Sebab kalau cambuk itu sudah di tangannya, aku akan sulit mengalahkannya," pikir Setan Samudera sambil bergerak turun dari atas pohon, jubahnya berkelebat bagaikan sayap burung perkasa. Begitu tiba di tanah, kedua tangannya segera merentang cepat, lalu meliuk-liuk, mengibas ke sana-sini dengan kaki di angkat silih berganti, melompat-lompat di tempat, membungkuk, merendah dan memutar badan dengan cepat.

Weesss...!

Pada saat tubuh memutar dan kembali pada arah semula itulah, kedua tangan yang beradu pergelangannya disentakkan ke depan dan menyemburlah sinar merah bagaikan kobaran lidah api. Besar dan ganas gerakannya.

Woosss...!

Jurus 'Mulut Naga Liar' itu biasanya digunakan untuk menyerang lawan yang berjumlah lebih dari sepuluh orang, karena semburan api yang berbentuk sinar merah besar itu mampu menghanguskan sepasukan prajurit dalam sekejap. Tiga langkah sebelum nyala api besar itu tiba, biasanya lawan sudah hangus lebih dulu. Tapi agaknya kali ini Setan Samudera berhadapan dengan lawan yang ilmunya lebih tinggi.

Sri Maharatu segera tarik jubahnya dan dihadangkan ke depan, sehingga sinar merah besar dan ganas itu berhasil ditahan dengan jubah sutera yang amat tipis namun mempunyai kekuatan tenaga dalam tinggi.

Zeerrb...! Sinar besar itu menyusut dalam jarak tiga langkah sebelum menyentuh jubah, lalu ketika menyentuh jubah, sinar merah besar itu padam seketika. Blaaab...! Tinggal asapnya yang mengepul sangat tipis dan membuat Setan Samudera terbengong-bengong memandanginya.

"Tak pernah ada benda yang mampu bertahan menerima panasnya sinar merahku itu. Pintu baja setebal gerbang banteng pun lumer dalam sekejap. Tapi jubah tipis itu kekuatannya melebihi pintu baja tebal. Tak sedikit pun ada bekas menghangus di jubah tipis itu. Luar biasa!" gumam hati Setan Samudera.

Tetapi agaknya ia tak mau menyerah begitu saja. Ia segera mainkan jurus lagi untuk serangan berikutnya, namun tiba-tiba tangan Sri Maharatu menyambar cambuk di pinggangnya membuat Setan Samudera diam-diam menjadi tegang memandanginya. Kedua tangannya telah menggenggam, genggaman itu telah berasap, siap untuk dilemparkan. Namun gerakannya terlalu lambat menurut Sri Maharatu, sehingga ketika cambuk pusaka itu dilecutkan, genggaman tersebut masih merapat.

Taarrr...! Cambuk Getar Bumi berkelebat dengan ujungnya menyala biru pendar-pendar. Cambuk itu sempat dihindari oleh Setan Samudera yang melompat naik ke udara, tapi ujung cambuk bagaikan memburunya naik pula, lalu melilit di bagian dada dan perut dengan timbulkan suara ledakan cukup keras.

Duaarr...!

Seketika itu asap hitam mengepul tebal membungkus tubuh Setan Samudera. Asap hitam yang sulit diterobos pandangan mata manusia biasa itu bergumpal-gumpal sesaat. Setan Samudera yang tak terdengar suaranya. Ketika asap itu terhembus angin dan lenyap, yang ada di depan Sri Maharatu adalah potongan tubuh Setan Samudera yang menjadi empat bagian, karena ada empat lilitan cambuk di tubuhnya. Tubuh yang terpotong itu tidak keluarkan darah sedikit pun. Namun jelas hal itu membuat Setan Samudera tak mampu bernapas lagi, dan matilah ia dirajang oleh cambuk pusaka leluhurnya sendiri.

Sri Maharatu sunggingkan senyum kemenangan sambil menarik tali cambuk dengan tangan kiri dan menggulungnya rapi. Mulutnya mengucap kata bagaikan bicara pada mayat yang terpotong. "Sudah kuingatkan sebelumnya, tapi kau tidak mau percaya padaku, Setan Samudera. Kini, rasakan sendiri bagaimana nasibmu terkirim ke alam baka sana! Semoga semua ini menjadi hikmah dan pelajaran bagimu, Setan Samudera!"

Pada waktu cambuk melilit tadi, ternyata Delima Gusti sudah tiba di semak-semak belakang Sri Maharatu. Ia terbelalak menyaksikan adegan mengerikan. Jantungnya berdetak-detak melihat nasib Setan Samudera yang menjadi korban keganasan Cambuk Getar Bumi itu. Kematiannya berbeda dengan cara kematian yang dialami Muka Besi. Tapi buat Delima Gusti, cara itu lebih kejam daripada cara kematian si Muka Besi.

Sementara itu, di Padepokan Lembah Sunyi, Resi Wulung Gading sibuk memulihkan ingatan Pendekar Mabuk. Pemuda itu sengaja ditotok jalan darahnya supaya tidak bisa bergerak ke mana-mana. Ia dibaringkan di atas lantai berlapiskan permadani. Resi Wulung Gading segera tempelkan telapak tangan kanannya ke dada Suto, tepat di ulu hatinya. Tangan itu menyala pijar warna hijau. Sinar pijar hijau itu kian melebar, membuat sebagian dada Suto pun menjadi menyala pijar hijau. Itulah jurus pengobatan yang dinamakan 'Tapak Lumut Dewa', yang mampu untuk menawarkan segala macam racun.

Kini tubuh Suto menjadi menyala hijau sampai batas perut ke atas. Kepalanya pun memancarkan cahaya hijau membuat rambutnya bagaikan berwarna putih uban. Makin lama sinar pijar hijau itu merambat sampai ke telapak kaki, sehingga lengkaplah sekujur tubuh Suto menerima getaran hawa suci yang dinamakan 'Tapak Lumut Dewa' itu. Tangan Resi Wulung Gading ditarik dari dada Suto. Warna hijau pijar pada tangan itu menjadi padam. Tapi warna hijau pijar di sekujur tubuh Suto masih saja menyala, bahkan makin lama makin terang. Resi Wulung Gading terkejut dan menjadi bingung sendiri.

"Biasanya begitu tangan kutarik ke atas, tubuh yang menyala ini menjadi padam seketika. Tapi mengapa sampai telapak tanganku sendiri sudah padam, tubuh bocah ini masih menyala hijau begini?!"

Resi Wulung Gading menunggunya beberapa saat, tetapi sampai lama ternyata tubuh Suto masih seperti beling mengandung fosfor, hijau terang dan memijar. Tubuh itu masih belum bisa bergerak sedikit pun. Resi Wulung Gading kian kebingungan.

"Apakah aku salah mantera? Ah, kurasa tidak! Nyatanya tanganku bisa menyala hijau, berarti aku tidak salah mantera dan tidak salah pernapasanku. Wah, kalau bocah ini tubuhnya menjadi hijau selamanya, bagaimana?!" gumam Resi Wulung Gading sambil menahan kegelisahan dan kecemasannya.

Tokoh tua yang usianya sudah banyak dan layak jika menjadi pikun, lupa ini-itu, ternyata masih punya cara lain untuk padamkan sinar hijau yang membungkus tubuh Suto. Cara tersebut menggunakan jari tengah tangan kanannya. Jari tengah itu ditempelkan di tengah kening, antara kedua alis Pendekar Mabuk. Dengan sedikit ditekan, jari itu mulai menyala putih menyilaukan dengan kepulan asap tipis di sekelilingnya. Tiba-tiba, slaappp...! Sinar putih menyilaukan itu masuk ke tubuh Pendekar Mabuk, warna hijaunya lenyap dan berganti warna putih perak menyilaukan. Kini tubuh Suto bagaikan dilapisi sinar perak, dan sampai beberapa saat tak mau padam-padam.

"Wah, sekarang malah ganti sinar tapi masih tak mau padam juga?!" gumam Resi Wulung Gading. "Racun 'Lebah Setan' ternyata memang sulit dilumpuhkan. Mungkin harus Dewa Sengat sendiri yang mengobati Suto. Tapi... kurasa dia tak mau. Sebab aku tahu persis wataknya, tak pernah mau mengobati orang yang terkena serangan jurus mautnya. Orang itu dibiarkan berupaya mencari obat sendiri, yang jika terlambat bisa mengakibatkan nyawa orang itu lenyap. Jadi, kalau toh Suto dihadapkan kepada Dewa Sengat, dia tidak akan mau obati Suto!"

Resi Wulung Gading memang baru kali ini mencoba menawarkan racun sengat dari jurus 'Lebah Setan', dan ternyata dia tidak mampu lumpuhkan kekuatan racun sengat tersebut, ia berjalan mondar-mandir di samping tubuh Suto yang dibaringkan. Resi Wulung Gading memeras otak mencari jalan keluar, sambil sebentar-sebentar melirik tubuh Suto yang masih memancarkan nyala sinar putih perak menyilaukan.

"Celaka kalau sampai begini seterusnya, ia bisa menjadi bahan tontonan orang banyak. Citranya sebagai Pendekar Mabuk akan lenyap, dan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang pasti akan menuntutku! Hmmm... lalu bagaimana cara memadamkan sinar itu dari tubuhnya! Aku tak pernah alami kejadian seperti ini! Haruskah disiram dengan air satu ember?! Oh, tidak! Dia bukan kompor! Tak bisa dipadamkan dengan siraman air atau rendaman karung basah. Pasti ada caranya. Hmmm...!" gumam itu memanjang dalam renungan yang mencemaskan jiwanya.

Setelah beberapa saat merenung, Resi Wulung Gading segera tampakkan wajah lega berseri, ia berkata seperti bicara pada diri sendiri, "Aku lupa tidak membuka jalur nadinya! Pantas sinarnya tak mau padam!" Maka, dengan gunakan dua jari tangannya, Resi Wulung Gading menotok telapak kaki Suto Sinting. Teebb...! Satu totokan membuat tubuh itu tersentak, kaki terangkat naik karena kaget dan dagu Resi Wulung Gading tertendang tak sengaja.

Plookk...!

"Uh...! Terima kasih atas pembalasanmu, Suto," ucapnya pelan sambil mengusap-usap jenggotnya. Selembar jenggot tersangkut di jari kaki Suto yang tadi tersentak keatas. Selembar jenggot itu diambil oleh pemiliknya, dipandanginya dengan rasa amat sayang, tapi akhirnya sang Resi geleng-geleng kepala dan membuang selembar jenggotnya kesamping.

Suto Sinting sudah mulai bisa gerakkan tangannya. Nyala sinar perak itu telah padam sejak sentakkan totok di telapak kaki tadi. Resi Wulung Gading semakin kelihatan lega ketika Suto sudah mulai buka mata dan berkedip-kedip.

"Racun itu telah punah, pasti ia kembali pada dirinya, kembali dalam ingatan semula," ucap sang Resi, lalu Pendekar Mabuk pun ditegurnya, "Bagaimana keadaanmu, Suto?! Sudah ingatkah kau siapa diriku?"

"Cambuk...," jawab Suto lirih.

Resi Wulung Gading bersungut-sungut. "Hmmm... masih gila juga?!" ia melangkah dan garuk-garuk kepalanya.

Ternyata Pendekar Mabuk memang belum bisa terhindar dari pengaruh racun sengatan 'Lebah Setan' itu. Ia masih tidak ingat siapa dirinya, yang diingat hanyalah kata cambuk. Lebih parah lagi, ternyata Suto Sinting sekarang malahan tidak bisa bangkit dari pembaringannya. Bahkan untuk gerakkan tangan agar naik ke atas pun tak bisa. Kepalanya hanya bisa berpaling ke kiri dan kanan, itu pun dilakukan dengan pelan-pelan sekali.

"Aduh, kenapa malah jadi lumpuh begini?!" pikir Resi Wulung Gading dengan bingung dan menahan kejengkelan. "Rupanya pengaruh kekuatan racun 'Lebah Setan' itu sungguh hebat. Jika dicoba untuk ditawarkan atau diobati akan membuat si penderita semakin parah dan mengakibatkan lumpuh. Aku tak tahu akan hal itu. Kasihan Suto, sekarang seperti bayi baru selapan hari, hanya bisa menengok ke kiri-kanan dengan pelan. Hmm... aku harus mencari cara untuk memulihkan keadaan bocah ini! Ah, sayang ada beberapa jurus dan ilmu pengobatan yang telah kulupa karena ketuaanku. Dulu aku mempunyai seratus macam pengobatan. Kini yang kuingat hanya dua-tiga macam saja."

Pikir punya pikir, akhirnya Resi Wulung Gading mempunyai gagasan baru setelah melihat tanda merah di kening Pendekar Mabuk. Tanda itu berasal dari penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Tidak setiap orang bisa sampai ke negeri itu. Hanya orang-orang berilmu tinggi dan yang mempunyai tanda khusus seperti Suto yang bisa keluar masuk negeri yang dipegang oleh Ratu Gusti Kartika Wangi, calon mertua Suto, sebab Suto adalah calon istri Dyah Sariningrum, anak dari Ratu Kartika Wangi.

"Bagaimana kalau Suto kubawa kepada beliau? Kuserahkan kepada Ratu Kartika Wangi. Mudah-mudahan penguasa bijak itu mampu sembuhkan Suto dan bisa membuat Suto pulih kekuatan dan ingatannya seperti sediakala."

Tanpa banyak menunggu pertimbangan lain, Resi Wulung Gading segera angkat tubuh pemuda tampan itu. Sekalipun tubuhnya kelihatan berkulit lumer dan tampak ketuaannya sangat melemah, namun ternyata sang Resi masih punya tenaga simpanan cukup banyak, sehingga ketika mengangkat tubuh Pendekar Mabuk ia tak memerlukan urat mengencang ataupun suara ngotot mengeras di leher. Nyiiing...! Seperti mengambil sarung dan disangkutkan di pundaknya.

Ketinggian ilmu yang tersimpan dalam diri Resi Wulung Gading membuatnya mampu menembus lapisan alam kehidupan nyata dan tak nyata. Cukup dengan melangkah keluar dari kamar pengobatan itu, sang Resi yang menyampirkan tubuh Suto di pundaknya itu telah menembus alam kehidupan lain, yang menurut pandangan Dul dan Sukat, sang Resi menghilang begitu melangkah keluar dari kamar.

Kehadiran sang Resi sudah diteropong oleh indera keenam Ratu Kartika Wangi. Maka dikerahkanlah sejumlah prajurit Negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib untuk menyambut kehadiran sang tokoh sakti yang sudah mulai pikun karena ketuaannya itu. Wanita-wanita cantik berseragam sama berjajar memagari lorong yang menuju singgasana. Mereka menyambut kedatangan sang Resi dengan taburan bunga yang aromanya enak dihirup lama-lama.

Sang Resi pun tampakkan senyum keramahannya sambil masih tetap memanggul Suto yang mirip sarung basah disangkutkan di pundak itu, (Untuk lebih lengkap tentang negeri ini, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah)

Seorang wanita cantik berwajah bulat telur dengan cahaya mata yang memancarkan pesona dan kebijakan, duduk di singgasana mengenakan jubah ungu dan semuanya serba ungu. Dialah yang bernama Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi untuk alam gaib. Sang Ratu sedikit tegang ketika melihat Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai oleh Resi Wulung Gading. Sang Ratu pun segera ajukan tanya kepada sang resi.

"Resi Wulung Gading, apa maksudmu membawa Manggala Yudha Kinasih kemari dan kau baringkan seenaknya saja dilantai?"

"Ampun, Gusti Ratu Kartika Wangi...," sang Resi menghormat karena kedudukan dan kesaktiannya masih dibawah sang Ratu. Katanya lagi, "Suto Sinting telah benar-benar sinting, Gusti Ratu! Ia terkena racun sengatan 'Lebah Setan' dan lupa siapa dirinya, lupa siapa saya, serta lupa bagaimana menggunakan jurus-jurusnya! Ia menjadi polos tanpa kekuatan apapun."

"Racun sengat 'Lebah Setan'...? Hmm..., kalau tak salah itu ilmunya si Dewa Sengat!"

"Betul, dan memang orang itulah yang menyengatnya. Eh, yang melepaskan lebah dan lebah itu menyengat Suto!"

"Kudengar di sana sedang heboh tentang cambuknya si Warok Guci Wangsit?!"

"Benar. Dan Suto dituduh pencuri cambuk pusaka itu, Gusti Ratu. Mereka salah paham, dan mengakibatkan Suto menderita begini."

Ratu Kartika Wangi manggut-manggut. "Terlalu berani Dewa Sengat melukai calon menantuku separah ini. Aku khawatir dia akan binasa oleh Cambuk Getar Bumi itu. Kalau tak salah, sekarang cambuk itu ada di tangan Sri Maharatu!"

"Memang benar. Begitulah menurut laporan Delima Gusti, putri sang Adipati Suralaya. Jika cambuk di tangan Sri Maharatu, saya khawatir akan timbulkan korban sangat banyak. Saya yakin, Pendekar Mabuk itu mampu kalahkan Sri Maharatu jika keadaannya pulih seperti sediakala. Jadi saya mohon, Gusti Ratu Kartika Wangi sudi kiranya membantu memulihkan keadaan Suto Sinting."

"Jangan khawatir, Wulung Gading," lalu sang Ratu memandang kepada seorang pengawal yang ada di tepian pintu menuju keluar. "Hidupkan Kolam Sabda Dewa, dan mandikan Suto disana!"

Kolam Sabda Dewa adalah kolam keramat yang bisa merubah nasib sesuai yang diinginkan orang yang bersangkutan, jika orang itu mandi di dalamnya. Namun apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memulihkan kekuatan dan ingatan Pendekar Mabuk?

* * *

DELAPAN
PUTRI Kunang menggerutu sejak tadi. Pengaduannya tentang melihat seekor naga diabaikan oleh sang Guru. Sangat tidak dipercayai sekalipun ia ngotot setengah mati. Itu saja sudah membuatnya menjadi dongkol. Belum lagi adanya dugaan bahwa Cambuk Getar Bumi ada di tangan orang lain, itu menambah kedongkolan Putri Kunang.

"Jika benar begitu, lantas untuk apa kita siksa Pendekar Mabuk, Guru?! Kasihan dia! Tak ada salah apa-apa menjadi sasaran kemarahan orang banyak, menjadi sasaran kelicikan kita juga!"

"Itu hanya sebuah dugaan, Putri Kunang. Kita lihat saja kenyataannya!"

"Kenyataannya kita belum temukan cambuk itu, sedangkan kita juga sudah kehilangan Pendekar Mabuk yang ganteng itu. Aaah...! Kenyataan ini terlalu pahit bagiku, Guru!"

Sang Guru diam saja, merasa serba salah memberi jawaban. Memang kenyataan itu dirasakan cukup pahit. Waktu mereka kembali ke gua di pagi hari, ternyata Suto Sinting sudah tidak ada di tempat, sedangkan semalam mereka melacak suara dan cahaya cambuk tidak berhasil. Bukan hanya Putri Kunang yang dongkol hatinya, melainkan sang Guru pun merasakan kedongkolan itu amat menggemaskan. Ditambah lagi separo hari mereka mencari jejak Suto dan cambuk itu ternyata tidak menemukan hasil apa pun.

Sampai akhirnya, Dewa Sengat tiba-tiba menghadapi serangan berupa tiga pisau terbang yang melayang bersamaan ke arahnya. Tiga pisau terbang itu berukuran satu jengkal dan ujung gagangnya mempunyai rumbai-rumbai benang merah terang.

Zingng...!

Dada sang Guru yang menjadi sasaran tiga pisau terbang tersebut. Tetapi dengan kewaspadaan tinggi dan gerakan yang lincah, Dewa Sengat cukup mampu menghindari tiga pisau terbang tersebut, ia melenting tinggi dan bersalto satu kali, sehingga pisau terbang itu lewat di bawahnya.

Wesss...!

Jraabb...! Ketiganya menancap di batang pohon. Putri Kunang terkesima sejenak melihat batang pohon itu langsung mengering, kulitnya mengelupas, daunnya menjadi coklat rengas. Putri Kunang tahu, mata pisau tersebut pasti mempunyai jenis racun yang mampu mengeringkan darah dalam sekejap.

"Tampakkan dirimu jika kau seorang berilmu tinggi!" sentak Dewa Sengat seraya menatap kerimbunan hutan di depannya.

Seruan itu terjawab dengan kemunculan seorang lelaki berperawakan tinggi, besar, berkumis lebat, rambutnya abu-abu karena bercampur uban. Lelaki itu kenakan ikat kepala yang menutup sebagian besar rambut depannya. Ikat kepala itu berwarna merah. Tubuhnya yang kekar berkesan gemuk itu mempunyai kulit warna gelap, membuat wajah angkernya semakin tampak menyeramkan bagi manusia biasa. Orang tersebut kenakan pakaian serba merah, di dampingi dua orang yang berpakaian hitam-hitam. Dua pendampingnya itu masih berusia muda, sekitar dua puluh lima tahun. Badannya kurus, namun wajah mereka tampak bengis, tak takut mati.

"Oh, rupanya kau Baureksa?!" sapa Dewa Sengat yang mengenali orang berkumis tebal dan berpakaian serba merah itu.

"Siapa dia, Guru?"

"Penguasa Lereng Iblis!" jawab Dewa Sengat berbisik kepada muridnya.

"Dewa Sengat!" terdengar suara Baureksa begitu lantang dan garang. "Sebenarnya aku tak ingin berurusan dulu denganmu sebelum Cambuk Getar Bumi berhasil pindah ke tanganku. Tapi aku terpaksa melakukannya sekarang juga, karena tiga utusanku. Tapi aku terpaksa melakukannya sekarang juga, karena tiga utusanku kudapatkan mati di daerah ini!"

"Lalu apa maksudmu? Mau meneruskan perkara lama yang belum terselesaikan?"

"Terpaksa harus diselesaikan sekarang juga karena kau sudah membuatku kehilangan kesabaran, Dewa Sengat! Masalahnya bukan saja dendam atas kematian adikku ditanganmu, tapi juga demi membalaskan kematian tiga utusanku itu!"

"Aku tidak merasa membunuh tiga utusanmu!"

"Omong kosong! Siapa lagi orang yang bisa membunuh tiga utusanku itu selain dirimu? Karena mereka mempunyai jurus 'Awak Baja', yang tidak mempan diserang dengan senjata apa pun. Hanya kau yang tahu rahasia jurus 'Awak Baja' itu, dan kebetulan kutemukan dirimu berada di sekitar sini!"

Putri Kunang menatap gurunya, seakan menunggu perintah. Tapi sang Guru tetap tenang memandang Baureksa dengan penuh waspada. Orang bertubuh besar itu maju dua tindak, pendamping kanan-kirinya ikut maju dua tindak. Kini jarak mereka menjadi sekitar lima langkah. Masing-masing siap serang dan siap hadapi serangan. Putri Kunang pun ikut siaga di samping gurunya.

"Baureksa, kalau aku membunuh seseorang aku tak pernah dustai tindakanku itu. Tapi kalau aku tidak membunuh, jangan paksa aku mengakuinya, nanti kau sendiri yang kehilangan nyawa, Baureksa!"

"Enak sekali mulut tuamu bicara, Dewa Sengat! Rasa-rasanya kau perlu cobai kehebatan ilmuku belakangan ini!"

"Kalau kau jual, aku beli!"

"Keparat! Suhito, Roka, serang dia!"

"Heaaat...!" kedua orang berpakaian hitam itu segera melompat maju dengan mencabut golok masing-masing.

Putri Kunang bergerak tanpa perintah gurunya, ia segera lompat maju dengan pedang terhunus dan siap hadapi kedua orang berpakaian hitam itu. Trang! Wutt, wutt, wuttt, trangng...! Putri Kunang pamerkan jurus' Pedang Angin' andalannya. Gerakannya begitu cepat melebihi gerakan angin, tak mudah dilihat ke mana arah pedangnya berkelebat. Sehingga dalam waktu singkat Suhito dan Roka tumbang di tangan Putri Kunang.

Cras...! Craasss...!

Suhito robek perutnya dan Roka robek lehernya. Tentu saja mereka segera menggelepar dan tak bernapas lagi selama-lamanya.

Kematian Suhito dan Roka yang begitu singkat membuat mata Baureksa mendelik. Wajahnya kian merah, semakin menyeramkan. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat sehingga kulit-kulit tubuhnya tampak bertonjolan urat kekar, ia menggeram kepada Putri Kunang, lalu melompat dengan tangannya menyebarkan sesuatu ke arah Putri Kunang.

Wrrr...!

"Mundur!" teriak Dewa Sengat, dan seketika itu pula Putri Kunang bersalto mundur dua kali.

Dewa Sengat menerabas serbuk besi beracun dengan menghentakkan tangannya ke depan dan menyemburlah asap bercampur hembusan angin kencang yang membuat serbuk besi beracun itu beterbangan membalik kearah penyebarnya. Tetapi pada waktu itu Baureksa sudah menduga kemungkinan seperti itu, sehingga ia sudah lebih dulu sentakkan kakinya lagi dan melompat kesamping. Dari samping ia lepaskan pukulan jarak jauh bercahaya hijau, menyerupai bentuk piringan bergerigi.

Slaappp...! Arahnya ke pinggang Dewa Sengat. Tetapi Dewa Sengat dengan cepat sentakkan tangan kirinya kesamping, terlepaslah sinar merah menyerupai bintang berekor yang melesat menghantam sinar hijau.

Duaarrr..!

Gelombang ledakan itu membuat Dewa Sengat tersentak mundur dua tindak, Baureksa pun mundur dua tindak. Keduanya masih sama-sama berdiri dengan tegar, tanpa goyah sedikit pun. Mata mereka saling pandang tajam setelah asap putih dari ledakan tadi menghilang dari pandangan mata mereka.

"Kuingatkan padamu, Baureksa...," kata Dewa Sengat. "Kau tidak akan unggul jika melawanku. Kau masih butuh waktu sepuluh tahun lagi untuk berguru kepada orang berilmu tinggi, baru bisa melawanku, Baureksa!"

"Tutup bacotmu, Dewa Sengat!" geram Baureksa. Tangannya bergerak pelan-pelan dengan penuh tenaga. Kedua tangan itu mengembang, dan akhirnya saling bertemu di dada, saling rapat dan masih tetap bergetar. Matanya tetap memandang tajam ke arah Dewa Sengat tanpa berkedip sedikit pun. Getaran tubuhnya itu rupanya memancarkan gelombang tenaga dalam berhawa panas. Gelombang hawa panas itu dikumpulkan menjadi satu dan dipusatkan di bola matanya. Maka dalam beberapa kejap berikutnya, dari kedua bola mata itu melesatlah dua larik sinar merah terarah kedada Dewa Sengat.

Claapp...!

Tapi baru tiba di pertengahan jarak, sinar merah dua larik dihadang oleh dua sinar kuning yang melesat dari kedua ujung jari Putri Kunang. Akibatnya dua sinar itu saling berbenturan dan timbulkan ledakan yang cukup dahsyat.

Blaarrr...!

Baureksa membuka muka karena ledakan itu menyentakkan tenaga balik yang membahayakan bagi matanya. Pada saat itu Dewa Sengat bersiul panjang. Suiiittt...! Baureksa tak pedulikan siulan lengking memanjang itu. Ia segera serang Dewa Sengat dengan jurus lain. Kali ini sinar biru sebesar ibu jarinya melesat dari tengah telapak tangan kanannya. Slaappp...! Sinar biru lurus itu kembali dihadang oleh Putri Kunang dengan gunakan sinar kuningnya tadi yang kini lebih besar lagi ukurannya dari yang tadi, karena sinar kuning itu melesat dari ujung lima jari yang menguncup menjadi satu.

Slaappp...! Blegaarr...!

Baureksa dan Putri Kunang sama-sama tersentak mundur. Putri Kunang sempat berpikir, "Gila! Besar sekali tenaganya itu. Tanganku sampai terasa ngilu, kulit jariku terasa panas?!"

Sementara itu Baureksa pun membatin, "Muridnya ini lebih berbahaya dari gurunya. Serangannya selalu bertenaga tinggi. Tanganku dibuat kesemutan akibat benturan dengan sinar kuningnya. Kurasa lebih baik muridnya kuhancurkan dulu!"

Tetapi hasrat itu belum sempat terlaksana, tahu-tahu terdengar suara gemuruh di belakang Baureksa yang membuat orang itu berpaling ke belakang, ia terkejut melihat puluhan lebah datang membentuk barisan hitam yang terbang ke arahnya. Baureksa mulai tegang. Karena di sebelah utara dan selatan pun tampak bayangan hitam bagaikan mendung berarak-arak mendekatinya, gaung suara lebah itu bergemuruh mirip suara banjir datang dari berbagai arah.

"Bangsat! Dewa Sengat mau main-main seperti anak kecil saja!" pikirnya penuh kejengkelan. Maka Baureksa pun melepaskan pukulan-pukulan bersinar yang membuat lebah-lebah itu berantakan, namun segera kembali membentuk barisan menyerang ke arah Baureksa. Dirasakan semakin banyak yang mati semakin berlipat ganda yang datang.

Baureksa sibuk hadapi lebah-lebah itu. Dewa Sengat menyambarkan tangannya di tempat kosong. Tangan itu menggenggam sesaat dan ditarik di depan dada. Ketika genggamannya dibuka, teryata ada dua ekor lebah merah yang melesat terbang dari genggaman itu. Wuungng...! Dua lebah merah itu menyerang punggung dan leher Baureksa.

"Auh...!" Baureksa terpekik kaget mendapat sengatan di dua tempat. Tapi seketika itu pula tubuhnya mengejang, jantungnya bagaikan sulit dipakai bernapas. Jantung itu berhenti dalam tiga hitungan, dan akhirnya tubuh Baureksa yang besar dan berwajah angker itu roboh bagaikan nangka busuk jatuh dari atas pohon. Buugh...! Wajahnya tetap mengejang, matanya tetap mendelik, semua tubuhnya tetap dalam keadaan seperti pada saat berdiri tadi. Namun ia sudah tidak bernapas mulai saat itu sampai selamanya.

Sedangkan lebah-lebah yang berduyun-duyun itu segera menyergapnya beramai-ramai. Lebah-lebah itu bukan haus madu, melainkan haus darah. Tubuh Baureksa akhirnya tertutup rapat oleh ratusan lebah yang membentuk warna hitam bergaung, merindingkan bulu kuduk siapa pun yang melihatnya.

"Tinggalkan tempat ini, Muridku!" ucap Dewa Sengat bagaikan sebuah perintah yang harus ditaati oleh sang murid. Maka, mereka pun bergegas pergi mencari Pendekar Mabuk sambil mencari siapa pemegang pusaka Cambuk Getar Bumi sebenarnya.

Pada waktu itu, Delima Gusti sedang mencari jalan pintas untuk mencapai pantai. Kelebatan bayangan dirinya terlihat oleh mata Putri Kunang. Ia segera berkata pada gurunya,

"Delima Gusti berlari ke utara, Guru! Jangan-jangan dia yang berhasil temukan Cambuk Getar Bumi dari tempat persembunyiannya?!"

"Kejar dia!"

Wuuttt...! Putri Kunang tidak tunggu perintah kedua, ia segera melesat mengejar Delima Gusti dengan gunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga mampu berlari dengan cepat. Dewa Sengat mengikuti dari belakang, sebab pikirnya,

"Biarlah kali ini muridku yang akan selesaikan urusan dengan Delima Gusti. Kecuali jika Delima Gusti memegang cambuk pusaka itu, baru aku yang maju."

Putri Kunang pun mengambil jalan pintas untuk memotong di depan langkah Delima Gusti. Gerakannya yang cepat dan menerabas semak belukar mana pun juga membuat ia tiba di jalanan depan Delima Gusti. Akibatnya, putri sang Adipati itu pun hentikan langkah dan mulai pasang waspada melihat kemunculan Putri Kunang di depannya, ia melirik ke samping kanan, tampak Dewa Sengat sedang menuju ke tempat itu juga. Hati Delima Gusti membatin,

"Guru sesat itu selalu ikut campur tangan urusan muridnya. Mereka suka main keroyokan! Hmmm...! Kalau terpaksa harus kulawan sampai titik darah penghabisan, apa boleh buat! Kukerahkan semua tenagaku, kukeluarkan semua jurus simpananku untuk melawan mereka berdua!"

Putri Kunang dan Dewa Sengat pandangi Delima Gusti dari rambut sampai kakinya. Mereka memeriksa keadaan Delima Gusti yang ternyata tidak memegang Cambuk Getar Bumi. Dewa Sengat kendorkan ketegangan, tapi Putri Kunang masih tetap siap lepaskan serangan sewaktu-waktu.

"Mau apa kau menghadangku?!" ketus Delima Gusti dengan mata menyipit sinis.

"Tentu saja meneruskan pertarungan kita kemarin!"

"Aku tak punya waktu! Aku harus kejar kakak tirimu itu, karena dia sudah berhasil dapatkan Cambuk Getar Bumi."

"Hahh...?!" Putri Kunang terpekik, wajahnya tegang, matanya mendelik.

Dewa Sengat pun kaget, sehingga ia anggap Delima Gusti hanya menyebar isu belaka, maka ia pun melangkah dekati Delima Gusti dan berkata dengan suara tegas bernada menghardik. "Jangan sembarangan bicara kalau mulutmu tak mau hancur, Delima Gusti!"

Delima Gusti sunggingkan senyum sinis. "Kalian jadi ketakutan sekali kelihatannya. Baru mendengar kabarnya saja sudah ketakutan, apalagi jika kalian lihat Sri Maharatu memotong-motong tubuh Setan Samudera dengan cambuk itu, dan melihat Sri Maharatu menenggelamkan si Muka Besi di dalam bumi dengan cambuk itu, mungkin kalian akan terkencing-kencing di tempat!"

"Kurang ajar! Hiih...!" Putri Kunang terhina dan melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar kuning dari ujung jari tangannya. Slaappp...!

Delima Gusti menangkisnya dengan sentakan kaki ketanah, dan dari tanah di kakinya itu melesat sinar merah seperti bintang berekor. Claapp...! Kedua sinar bertabrakan dan meledak di pertengahan jarak.

Blaarrr...!

Kedua perempuan itu saling berlompatan kebelakang menghindari gelombang ledak yang cukup punya tenaga kurang kuat itu. Putri Kunang segera cabut pedangnya, dan Delima Gusti pun cabut pedang juga, memainkan jurus pedang pembuka.

Wutt, wutt, wutt...!

"Hentikan!" sentak Dewa Sengat dengan berwibawa dan berwajah angker. Seruan itu bukan hanya untuk Delima Gusti, namun juga untuk muridnya sendiri, sehingga sang murid takberani lanjutkan gerakan berikutnya. "Delima Gusti! Benarkah kata-katamu tadi?!"

"Kalau tak benar, mengapa aku harus lari ke arah utara?! Kau tahu arah utara adalah arah pantai! Kulihat Sri Maharatu membawa cambuk pusaka itu kearah pantai. Dugaanku mengatakan, bahwa Sri Maharatu akan bawa Cambuk Getar Bumi pulang ke Pulau Dadap. Aku harus mencegahnya!"

Wajah Putri Kunang mulai menampakkan kecemasannya, ia pandangi wajah gurunya yang agak penuh pertimbangan itu. Sementara sang Guru mempertimbangkan langkah, sang murid berkata kepada Delima Gusti,

"Mana mungkin kakak tiriku itu berhasil mendapatkan Cambuk Getar Bumi? Itu berarti ia harus bertarung dulu dengan Bandar Hantu Malam. Dan ia tak akan semudah itu dapat kalahkan Bandar Hantu Malam!"

"Memang!" jawab Delima Gusti, "la bekerja sama dengan tokoh tua yang berjuluk Nini Pancungsari! Mereka berhasil membunuh Bandar Hantu Malam ketika Bandar Hantu Malam mau gunakan cambuk itu. Nini Pancungsari mengambil kalung merah si Bandar Hantu Malam, sedangkan Sri Maharatu mengambil cambuk pusaka tersebut. Tiga utusan dari Lereng Iblis dibabatnya habis. Tapi aku tak melihat jelas pertarungan itu. Yang kulihat dengan jelas-jelas adalah saat ia melawan si Muka Besi dan Setan Samudera!"

Setelah hening sesaat, tiba-tiba Dewa Sengat ucapkan kata, "Masuk akal!"

Ucapan itu membuat kendor ketegangan Putri Kunang. Pedangnya disarungkan kembali. Wajah gadis cerewet itu menjadi murung, dicekam kecemasan juga dicekam kekecewaan, ia melangkah jauhi gurunya, bersandar dibawah pohon dengan wajah cemberut dan kedua tangannya bersidekap di dada. Sang Guru memperhatikan kekecewaan muridnya, hatinya tak tega, lalu didekatinya sang murid.

"Putri Kunang "

Belum selesai bicara, Putri Kunang sudah menyahut dengan bersungut-sungut, "Percuma aku minta bantuan Guru kalau kenyataannya justru dia yang dapatkan cambuk itu! Jelas aku akan kalah dalam pertarungan di malam purnama nanti!"

"Kita masih punya cara lain, Putri Kunang."

"Tidak ada cara lain! Dia pasti akan unggul dan menjadi penguasa di Pulau Dadap! Aku akan hancur terpotong atau ditelan bumi karena cambuk itu!"

Dewa Sengat tarik napas sabarkan diri. Putri Kunang mulai menangis. "Kasihan Suto, jadi korban kebodohan kita! Kalau Guru tidak gunakan 'Lebah Setan', mungkin kita bisa minta bantuan kepadanya!"

Sang Guru masih diam, prihatin mendengar kabar itu. Sesekali matanya memandang Delima Gusti yang masih diam di tempatnya, seakan menunggu keputusan bersama. Sebab dalam hati Delima Gusti pun berkata,

"Akan kumanfaatkan kekuatan Dewa Sengat untuk mencuri kelengahan Sri Maharatu. Begitu Dewa Sengat bertarung melawan Sri Maharatu, aku harus mencari kesempatan untuk merebut cambuk itu dari pinggangnya!"

Terdengar lagi suara Putri Kunang berkata bagaikan bicara pada diri sendiri, "Aku tidak akan pulang ke Pulau Dadap! Percuma aku pulang ke sana, hanya akan serahkan nyawa saja. Percuma aku punya Guru kalau begini, tak bisa selamatkan diriku, tak bisa selamatkan hak warisku!"

"Jangan berkata begitu, Putri Kunang!"

"Harus berkata bagaimana?!" ucapnya sambil mengisak dalam tangis. "Kalau Guru sayang padaku, rebutlah cambuk itu untukku."

"Aku tak punya alasan untuk merebut cambuk itu, Muridku!"

"Tak perlu alasan apa-apa untuk orang macam dia, Guru! Kalau aku mampu, akan kulakukan sendiri. Tetapi ilmuku masih rendah, tanpa cambuk itu pun Sri Maharatu dapat dengan mudah kalahkan diriku, karena ia mewarisi sebagian besar ilmu Pendita Arak Merah, gurunya!"

Dewa Sengat diam berpikir, saat itu Delima Gusti berani diri untuk mendekati mereka, ia ingin katakan sesuatu, tapi Putri Kunang lebih dulu bicara kepada gurunya dengan isak tangis yang mengguncangkan tubuh.

"Aku akan berhenti jadi muridmu, Guru! Aku tidak akan mau berguru lagi padamu kalau kau tak bisa rebutkan cambuk itu untukku!"

Setelah tarik napas panjang-panjang, Dewa Sengat pun akhirnya berkata, "Baiklah, muridku...!" ia mengusap-usap rambut Putri Kunang. "Berat hatiku ditangisi murid tercinta, apa pun jadinya akan kurebutkan cambuk itu untukmu. Tapi ingat, jika terjadi sesuatu pada diriku, itu adalah tanda kasih sayangku kepadamu, Muridku. Jika sampai aku tumbang di tangannya, larilah dan jangan hadapi dia dalam waktu sekarang. Kembangkan ilmu silat aliran Lebah Maut, pelajari semua ilmu yang ada di dalam kitab kita itu. Hanya itu pesanku padamu, Putri Kunang. Sekarang aku akan berangkat mencarinya!"

"Aku harus ikut!"

"Jangan! Kalau dia melihatmu, maka dia akan mengejarmu dengan cambuk itu, Muridku!"

"Aku akan membantu Guru melawannya!"

"Itu lebih berbahaya. Salah-salah kau lebih dulu celaka ketimbang diriku, Putri Kunang."

Delima Gusti menimpali dengan memaksakan diri, "Aku juga akan membantumu, Dewa Sengat! Sri Maharatu tak akan bisa kalahkan kekuatan kita bertiga. Tapi aku dan Putri Kunang tidak akan menyerang secara terang-terangan. Biarlah kami berbuat sedikit curang, karena kecurangan untuk orang semacam Sri Maharatu tidaklah berarti kelemahan bagi kita!"

"Aku setuju!" sahut Putri Kunang.

Dewa Sengat berpikir sesaat, setelah itu menjawab, "Baiklah kalau memang kalian keras kepala mau membantuku! Kita berangkat sekarang juga, dan hati-hatilah. Jangan sampai dia mengetahui keberadaan kalian!"

Maka bergegaslah mereka menuju ke pantai mencari Sri Maharatu yang diperkirakan sedang mempersiapkan diri melakukan penyeberangan, menuju Pulau Dadap, tempat yang diharapkan di mana ia akan menjadi penguasa terhormat.

* * *

SEMBILAN
OMBAK laut bergulung-gulung dengan tenang. Tidak seliar biasanya. Karena saat itu angin berhembus sepoi-sepoi basah, tanpa badai dan topan yang memancing amukan sang ombak. Cuaca cerah sungguh baik untuk berlayar. Dan di sudut sana, tampak seorang wanita berjubah biru muda sedang mempersiapkan diri, menyewa sebuah perahu bersama pendayungnya. Perempuan itu tak lain adalah Sri Maharatu, dengan cambuk pusakanya yang terselip di pinggang, digulung membentuk lingkaran kecil.

Dewa Sengat semakin percaya dengan ucapan Delima Gusti. Matanya tertuju pada cambuk di pinggang Sri Maharatu. Hatinya mulai berkecamuk sesuai dengan jalan pikirannya yang sedang mencari cara menyerobot cambuk itu.

"Kalau dia kuserang secara bertubi-tubi, dia tidak akan punya kesempatan untuk mencabut cambuk itu. Tapi sekali dia punya kesempatan, habislah aku! Seranganku harus terarah pada tangan kanannya, sebab ia akan gunakan tangan kanan untuk mencabut cambuk di pinggang kirinya. Kalau kugunakan jurus 'Jeritan Kumbang', dia bisa dikerumuni puluhan bahkan ratusan lebih lebah hutan yang haus darah. Tapi dengan cambuknya dia bisa kalahkan pasukan lebahku. Sebaiknya, sebelum ia gunakan cambuk itu dalam menghadapi pasukan lebahku, aku harus bisa menyambarnya lebih dulu dari belakang. Ya, kurasa cara yang terbaik adalah memancingnya dengan pasukan lebah."

Jaraknya yang masih cukup jauh dari Sri Maharatu membuat Dewa Sengat tak ragu-ragu lepaskan siulan lengking memanjang sebagai isyarat memanggil pasukan lebahnya. Siulan itu berhenti, Dewa Sengat maju dekati sasaran sebelum pasukan lebah datang, ia bermaksud bersembunyi di balik gundukan batu karang yang berwarna putih kecoklatan itu. Tetapi sial, ia kepergok mata Sri Maharatu yang kala itu tak sengaja berpaling ke arahnya dan mengetahui kehadirannya.

Dewa Sengat terpaksa urungkan niat untuk bersembunyi, ia sengaja tampakkan diri dekati Sri Maharatu yang memandangnya dengan senyum sinis. Dalam hati Sri Maharatu berkata, "Pasti dia datang untuk rebut cambuk ini! Dan pasti dia datang bersama Putri Kunang! Hmm... ke mana murid bengalnya itu? Apakah bersembunyi di suatu tempat? Oh, aku harus hati-hati jika begitu."

"Kau mencari cambuk ini, Dewa Sengat?" pancing Sri Maharatu sambil mencabut cambuk dari pinggangnya.

Dewa Sengat mengeluh dalam hati, "Wah, belum-belum dia sudah cabut cambuk itu! Sukar menyerobotnya jika sudah dalam genggaman tangannya. Bahaya sekali! Aku bisa celaka kalau tak hati-hati dengan gerakannya."

Melihat cambuk yang melingkar itu telah dilepaskan menjadi terjulur panjang, dua nelayan yang hendak menjadi pendayung dan akan disewa perahunya segera singkirkan diri. Mereka tahu gelagat, bakal terjadi pertarungan yang dapat membuat mereka jadi korban salah sasaran. Mereka segera pergi jauh-jauh, namun juga tidak mau tinggalkan begitu saja. Mereka memandang dari kejauhan dengan perasaan ingin tahu apa yang bakal terjadi sebenarnya.

Sri Maharatu melangkah ke samping, kian lama kian memperpendek jarak. Sedangkan Dewa Sengat berdebar-debar menunggu pasukan lebahnya yang tak kunjung datang. Sementara itu, Putri Kunang dan Delima Gusti saling berbisik dari tempat persembunyian mereka.

"Celaka! Dia sudah genggam cambuk itu, Delima Gusti!"

"Bakalan sulit merebutnya, kecuali jika tangan kanannya itu yang diserang secara bertubi-tubi."

"Kalau begitu, pusatkan serangan ke tangan kanannya biar cambuknya terlepas. Kita berpencar dua arah!"

"Kurasa itu gagasan yang baik," dan Delima Gusti pun memisahkan diri. Hatinya menyusun rencana, "Begitu cambuk terlepas, akan kusambar lebih dulu sebelum Putri Kunang mendapatkannya!"

Dewa Sengat sengaja tidak bicara, sebab menurutnya sudah tak ada kata-kata lagi untuk Sri Maharatu. Membujuknya jelas tak mungkin, menantangnya pun sudah tak perlu kata-kata, karena perempuan itu tahu maksud kedatangan Dewa Sengat ke situ. Yang dibutuhkan Dewa Sengat adalah kesempatan untuk menyerang telak dan mematikan. Sebab itu, ia tak banyak bergerak kecuali matanya yang memandang tajam penuh waspada.

"Mengapa diam saja, Dewa Sengat? Kau takut melihatku menggenggam cambuk pusaka ini? Hi hi hi hi...! Baru sekarang kulihat seorang Guru pucat wajahnya menghadapi lawan muridnya!"

Kata-kata itu membuat Dewa Sengat bagai dibakar darahnya. Darah itu mendidih dan naik ke kepala. Tapi Dewa Sengat berusaha menahan ledakan amarahnya, ia berpura-pura tidak mendengar hinaan itu. Ia hanya berkata pelan, "Tak kusangka kaulah orangnya yang membunuh Bandar Hantu Malam dan bekerjasama dengan Nini Pancungsari!" Dewa Sengat hanya mengulur waktu sambil menunggu pasukan lebahnya datang.

"Dari mana kau tahu?" tanya Sri Maharatu sambil tersenyum bangga.

"Nini Pancungsari sendiri yang menceritakannya padaku."

Sri Maharatu lepaskan tawa mengikik dengan keras. "Tak mungkin, Dewa Sengat! Tak mungkin Nini Pancungsari sendiri yang menceritakannya, sebab nenek tua itu segera kubunuh setelah cambuk ini ada dalam genggamanku."

"Kejam!" geram Dewa Sengat.

"Ya. Mungkin layak dibilang kejam, tapi aku hanya sekadar menguji keaslian cambuk pusaka ini. Tubuh Nini Pancungsari terbelah menjadi dua ketika kutebas dengan lecutan cambuk ini, lalu ia menggelinding ke jurang bersama kalung merahnya Bandar Hantu Malam. Hi hi hihi...!"

Dewa Sengat mulai lega, awan hitam berarak-arak mulai datang dari arah selatan. Awan hitam yang dilihatnya itulah pasukan lebah yang ditunggu-tunggu. Bahkan kini pasukan lebah lain muncul pula berarak-arak dari timur dan barat. Dewa Sengat mulai punya semangat. Napasnya ditarik panjang-panjang sebagai persiapan melepas jurus-jurus mautnya.

Sri Maharatu mendengar suara gemuruh dari tiga arah. Tanpa berpaling memandang ke tiga arah itu ia sudah dapat menduga apa yang terjadi, ia pun sudah bisa simpulkan apa yang membuat Dewa Sengat sejak tadi tidak bergerak menyerang. p"Rupanya dia mencari kesempatan untuk menyerobot cambuk ini saat aku sibuk menghadapi pasukan lebahnya," pikir Sri Maharatu. Sambil sunggingkan senyum sinis, Sri Maharatu berkata kepada Dewa Sengat, "Rupanya kau sedang menunggu pasukan lebahmu itu Dewa Sengat? Dan kau akan curi kesempatan untuk menghantamku lalu menyerobot cambuk ini? Oh, mudah sekali pikiranmu kubaca, Dewa Sengat!"

Tokoh tua itu tak bisa bilang apa-apa. Ia hanya memikirkan cara terbaik untuk segera lakukan gerakan serang. Tapi lawannya ternyata punya kecerdasan otak tersendiri.

Sri Maharatu segera gerakkan cambuknya. Matanya masih memandangi Dewa Sengat tapi cambuk segera dilecutkan di atas kepalanya ketika bunyi gemuruh lebah itu kian mendekat.

Wuutt...! Taarr...! Taarrr...! Taarrr...!

Bumi pun berguncang. Yang keluar dari ujung cambuk itu adalah puluhan petir yang menyebar ke segala penjuru. Gelegar suara petir menghadirkan gema dan gelombang sentakan amat dahsyat. Air laut bergolak karena diguncang gempa setempat. Dan lidah-lidah petir itu menyambar habis lebah-lebah yang datang dari tiga arah. Binatang bersengat itu dihujani petir dan dilalap dalam sekejap. Sedangkan Dewa Sengat tak bisa lakukan serangan karena mata Sri Maharatu tertuju kepadanya.

Habis sudah pasukan lebah andalan Dewa Sengat. Alam menjadi hujan bangkai lebah di beberapa tempat. Hening tercipta beberapa saat. Senyum kemenangan Sri Maharatu tersungging kian membakar darah Dewa Sengat.

Wuuttt...! Akhirnya Dewa Sengat menangkap udara, menggenggam, dan membuka genggamannya. Maka lima lebah merah yang tadi mematikan Baureksa menyebar ke arah Sri Maharatu. Wwwrrr...!

Sri Maharatu sentakkan tangan kirinya. Claapp...! Sinar merah lebar melesat dan menghantam habis lima ekor lebah merah itu. Craasss...! Tak satu pun ada yang utuh bangkainya.

Putri Kunang mengetahui kebingungan gurunya. Tak mendapat kesempatan baik untuk lakukan serangan. Maka, Putri Kunang pun segera lepaskan sinar kuning dari dua jarinya ke arah pergelangan tangan Sri Maharatu. Claappp...! Dengan gerakan cepat, Sri Maharatu yang merasakan gelombang panas mendekatinya dari samping kanan, segera sentakkan tangan kirinya ke kanan dengan badan meliuk ke kanan pula. Claaappp...! Sinar merah kembali menghancurkan sinar kuning lawan.

Bllaarrr...!

Pada saat itulah, pancingan Putri Kunang dianggapnya berhasil. Karena Dewa Sengat segera lepas jurus mautnya berupa sepuluh larik sinar ungu dari ujung jari-jarinya.

Zraaabbb...!

Sayangnya Sri Maharatu mampu bergerak lincah dengan menarik jubahnya ke depan dan menghadang sepuluh sinar ungu itu. Sehingga sinar-sinar tersebut memantul balik dan nyaris kenai tubuh Dewa Sengat sendiri. Untung Dewa Sengat segera berjungkir balik di udara, sehingga sinar itu melesat ke arah lautan dan menggelegar di sana. Tetapi seketika itu pula cambuk pusaka berkelebat melecut tubuh Dewa Sengat dengan kecepatan tinggi.

Taarrr...! Craass...!

Cambuk itu melilit dari pundak kanan ke pinggang kiri. Tali cambuk menyala biru seketika itu juga. Asap mengepul dengan tebal. Ketebalannya tidak bisa ditembus mata manusia biasa, sehingga Putri Kunang dan Delima Gusti menjadi tegang dan kebingungan mencapai sasaran pandang di balik gumpalan asap itu.

Ketika asap telah menepi dan lenyap terbawa angin pantai, Putri Kunang mendelik melihat gurunya telah terkapar dalam keadaan tubuh terpotong menjadi dua bagian dari pundak ke pinggang. Tentu saja Dewa Sengat tak punya nyawa lagi, dan ia tergeletak bagaikan boneka kayu yang tak berguna lagi.

"Guruuu...!" teriak Putri Kunang sambil menangis, ia keluar dari tempat persembunyiannya, menghamburkan tangis ke mayat gurunya.

"Akhirnya kau muncul juga, Anak Bengal! Hi hi hi...!" Sri Maharatu melecehkan tangis Putri Kunang. "Menangislah tujuh hari lamanya, maka mayat gurumu akan membusuk di depanmu, tak akan bangkit lagi!"

"Manusia kejam!" geram Putri Kunang. Ia segera bangkit dan tangan kanannya menyentak lurus, dengan telapak tangan lurus yang tengkurap. Lalu dari tangan itu menyemburlah puluhan kunang-kunang beracun warna hijau yang segera menerjang tubuh Sri Maharatu.

Tetapi kunang-kunang beracun itu pun dengan mudah dilenyapkan oleh sinar merahnya Sri Maharatu. Wuusss...! Lenyapnya kunang-kunang beracun itu membuat Sri Maharatu lepaskan tawa kemenangan yang mengikik. Putri Kunang kian geram, lalu ia pun mencabut pedangnya.

"Hei, kau mau bertarung melawanku, Anak Bengal?! Bukankah pertarungan kita kurang tiga hari lagi, tepat malam purnama? Tahanlah dulu!"

"Pertarungan kita memang kurang tiga hari lagi, tapi sekarang aku menuntut balas kematian guruku dulu! Hiaaat...!"

Putri Kunang melompat cepat dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi Sri Maharatu segera melompat juga dengan kaki berkelebat dan ujung kakinya melepaskan sinar putih kecil.

Slaap...! Deeb...!

"Uuhg...!" Putri Kunang terpental mundur dengan suara pekik tertahan. Sinar putih kecil bagaikan perak itu mengenai dadanya, ia terjungkal dan dadanya menjadi biru legam. Wajahnya pucat, walau ia masih berusaha untuk bangkit. Mulutnya mulai keluarkan darah kental.

"Dia terluka!" gumam Delima Gusti dari persembunyiannya. Sri Maharatu tertawa dan berseru, "Kalau kau kehendaki pertarungan sekarang juga, maka terimalah ajalmu ini, Anak Bengal!"

Cambuk terangkat dan hendak dilecutkan. Jelas jika mengenai punggung Putri Kunang, maka tubuh gadis cerewet itu akan terpotong menjadi dua bagian, seperti nasib gurunya. Tapi ketika cambuk hendak dilecutkan, Delima Gusti lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru dari telapak tangannya. Claapp...! Selarik sinar biru tepat kenai bawah ketiak tangan kanan Sri Maharatu.

Desss...! Wuuttt...!

Bruukkk! Tubuh Sri Maharatu terlempar lima tombak jauhnya. Padahal seharusnya tubuh itu hancur berkeping-keping, tapi karena mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, maka tubuh itu hanya hangus di bagian bawah ketiak dan terlempar berguling-guling. Sayang cambuknya tidak terlepas dari tangan, sehingga Delima Gusti tak dapat menyambarnya.

"Uuhhg...!" Sri Maharatu mengerang kesakitan, tak lama kemudian memuntahkan darah segar. Tapi matanya masih memandang ke arah kemunculan Delima Gusti. Cambuknya dapat berkelebat sewaktu-waktu.

"Putri Kunang! Cepat tinggalkan dia! Kau terluka parah!" seru Delima Gusti.

Putri Kunang setuju, namun ia tak mampu berdiri karena kekuatannya semakin berkurang, tubuhnya menjadi lemas. Wajahnya mulai membiru. Delima Gusti segera menyambar tubuh Putri Kunang. Tubuh itu dipanggul di pundaknya. Pedang Putri Kunang jatuh dan dibiarkan saja. Kemudian, Delima Gusti membawanya lari saat Sri Maharatu mulai bangkit berdiri.

"Hei, mau lari ke mana kalian, hah?!"

Teriak Sri Maharatu tidak dihiraukan. Delima Gusti merasa perlu menyelamatkan Putri Kunang. Sekalipun negerinya bermusuhan dengan orang-orang Pulau Dadap, tapi Delima Gusti telah memperoleh kesimpulan bahwa permusuhan itu timbul karena ulah Sri Maharatu. Putri Kunang sebenarnya tidak bersalah, karena segala perintah keluar dari mulut Sri Maharatu. Jika Sri Maharatu mati, mungkin saja antara orang-orang PuIau Dadap dan orang-orang Kadipaten Suralaya akan berdamai.

Delima Gusti berlari lebih cepat lagi, tetapi gerakan Sri Maharatu yang mengejarnya jauh lebih cepat lagi. Luka dalam yang cukup berat itu bagaikan tidak mengurangi kekuatan Sri Maharatu. Bahkan ia tampak semakin ganas dan bernafsu sekali untuk membunuh adik tirinya serta Delima Gusti.

Taarrr...! Cambuk dilecutkan di udara, lalu hujan petir pun datang.

Blegaarr...! Blegaarr...! Blegaarr...!

Delima Gusti berlari dengan melompat ke sana-sini sehingga ia dapat lolos dari hujan petir. Arah pelariannya tak bisa dipastikan, karena Sri Maharatu mengejarnya secara membabi buta. Sesekali menghujani mereka dengan petir-petir yang dapat menghancurkan tubuh mereka dengan sentuhan sedikit saja.

"Yaaah...?!" Delima Gusti terperangah, ia salah arah. Ia telah berlari ke bibir tebing karang. Tak ada jalan lain di depannya. Hanya ada jurang yang amat dalam, dibawahnya batu-batu karang runcing yang dihantam ombak besar. Tak mungkin digunakan untuk terjun, sama saja bunuh diri.

Sambil masih memanggul-manggul tubuh Putri Kunang, Delima Gusti kebingungan mencari arah pelariannya, ia segera membalik arah, tapi Sri Maharatu telah muncul di depannya dan menyergapnya dengan cambuk siap dilecutkan.

"Mau lari ke mana kau, Tikus Busuk?!" kata Sri Maharatu sambil menyeringai.

Delima Gusti membatin, "Celaka! Tak ada cara lain kecuali menghadapinya!" Maka ia pun menurunkan tubuh Putri Kunang yang semakin lemas, wajahnya kian membiru, napasnya mulai menipis. Iba hati Delima Gusti kepada Putri Kunang bukan membuat semangatnya tinggi, melainkan justru turun. Sebab dalam alam pikirannya, jika Sri Maharatu terhadap adik tirinya saja tega melukai separah itu, apalagi terhadap dirinya yang dianggap musuh bebuyutan. Pasti Sri Maharatu tak akan segan-segan pergunakan Cambuk Getar Bumi untuk mempercepat kematian musuh bebuyutannya.

"Mati aku! Tapi aku harus mencoba melawannya. Aku tak mau mati dalam keadaan menyerah! Aku ingin mati terhormat!" kata Delima Gusti.

"Tikus busuk!" sentak Sri Maharatu, "Sudah tiba saatnya kau gugur di tangan musuh lamamu ini! Dan kali ini Cambuk Getar Bumi yang akan menghantarkan dirimu ke gerbang alam kelanggengan!"

Sreettt...! Delima Gusti cabut pedangnya. Sri Maharatu siap-siap lecutkan cambuk pusaka itu. Namun mendadak ia mendengar seruan keras dari belakangnya.

"Hentikan!"

Sri Maharatu berpaling ke belakang sebentar, dahinya berkerut, ia segera lompat ke samping, karena tak mau dibokong oleh Delima Gusti saat ia memperhatikan orang yang berseru itu.

Sedangkan Delima Gusti tercengang sesaat, lalu wajahnya cerah dan senyumnya mengembang, ia pun berseru girang, "Sutooo...! Suto...!"

Pendekar Mabuk berhasil melacak kepergian lewat gelegar hujan petir tadi. Rupanya pendekar yang semula kehilangan ingatan dan ilmunya itu menjadi pulih seperti sediakala setelah dimandikan di Kolam Sabda Dewa. Bahkan kehadirannya di bukit karang itu disertai Resi Walung Gading yang menjadi pemandu dalam pelacakan Cambuk Getar Bumi itu. Bumbung tuak yang selalu mengikutinya itu pun sudah ada di tangannya kembali begitu Suto temukan kesadarannya. Kini ia justru menengak tuaknya dengan tenang, seakan tak merasa takut didera cambuk pusaka itu.

"Tampan sekali dia? Hmmm... rupanya dia yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kondang itu?" gumam hati Sri Maharatu. "Ala, Mak...?! Sayang sekali kalau pria setampan itu harus kulukai dengan cambuk ini?!"

Suto Sinting melangkah dekati Sri Maharatu, sementara Resi Wulung Gading tetap tinggal di tempat, menjadi penonton yang baik, seperti Delima Gusti. Senyum jalang Sri Maharatu mulai disunggingkan. Kerlingan matanya sengaja dipamerkan agar Suto tergoda.

Pendekar Mabuk membalas dengan senyuman lembutnya yang menawan. Tapi ia segera berkata dengan nada tegas. "Cambuk itu tercemar kutuk. Kalau kau tidak segera menghancurkannya, kau akan menjadi orang sesat sepanjang masa. Jika kau mati, rohmu akan hinggap pada binatang-binatang menjijikkan."

"Jadi apa maksudmu datang kemari, Pendekar Tampan?"

"Menghancurkan cambuk itu, supaya tidak menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan manusia di muka bumi!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas.

"Tidak bisa. Aku lebih setuju kalau kau ikut pulang ke Pulau Dadap dan menjadi suamiku. Aku sudah dua tahun menjanda, Pendekar Mabuk!"

"Lupakan tentang harapanmu itu, yang penting serahkan dulu cambuk itu padaku dan akan kuhancurkan sekarang juga, supaya kau bebas dari hidup sesat!"

Sri Maharatu semakin berkerut dahi. "Kalau begitu kau ada di pihak Delima Gusti?!"

"Aku ada di pihak yang benar!"

"Hmmm... rupanya kau si tampan yang patut dihancurkan pula?!" Sri Maharatu manggut-manggut. "Bersiaplah untuk hancur, Pendekar tampan yang bodoh!"

Melihat cambuk mulai mau digerakkan, Suto Sinting segera menggerakkan kedua tangan, membuka jurus yang akan membingungkan penglihatan Sri Maharatu. Seett...! Slaapp...! Jurus 'Sapta Tingal' digunakan oleh Pendekar Mabuk. Jurus itu membuat wujud Pendekar Mabuk ada tujuh orang. Dan tentu saja mencengangkan Delima Gusti serta Sri Maharatu.

"Edan! Suto Sinting ada tujuh...?!" gumam Delima Gusti.

Tujuh sosok, tujuh ciri dan tujuh rupa Pendekar Mabuk itu segera bergerak sendiri-sendiri, mereka membentuk lingkaran mengurung Sri Maharatu. Gerakkan mereka semakin cepat dan membuat Sri Maharatu yang diputari itu bingung menentukan mana Pendekar Mabuk yang asli.

Taarrr...! Cambuk dilecutkan, mengenai tubuh Pendekar Mabuk. Tapi tubuh itu lenyap tak berbekas. Itu berarti tubuh yang palsu. Cambuk pun dilepas kembali, sekaligus menyambar dua sosok Pendekar Mabuk. Tarr, tarr...! Dua sosok itu pun lenyap tak berbekas, tidak terpotong seperti Dewa Sengat.

"Mana yang asli! Sebutkan dirimu! Mana yang asli...?!"

Keempat sosok Suto itu menjawab, "Akuuu...!"

Sri Maharatu bingung, ia segera melecutkan cambuknya ke salah satu bayangan kembar itu. Tapi lagi-lagi ia salah sasaran. Dan pada waktu ia melecutkan cambuknya itu, Suto Sinting sentakkan telapak tangan ke depan dengan hembusan napas melalui hidung, bukan melalui mulut. Jurus 'Yudha' dipergunakan. Dari tangan itu melesat logam putih berbentuk bintang kecil-kecil, jumlahnya lebih dari sepuluh bintang.

Claapp...! Jruubbb...! Bintang-bintang itu menancap terbenam di pinggang kanan Sri Maharatu. Perempuan itu hanya tersentak kaget dan segera pandangi Suto.

Namun ia hanya bisa diam memandang tanpa bergerak-gerak lagi. Ketika angin berhembus, daun telinganya jatuh sendiri, disusul jari-jari tangannya yang jatuh ketanah, lalu bagian-bagian tubuh lainnya menjadi rontok dan kepala perempuan itu pun menggelinding ke tanah.

Plok...!

Masih tetap melotot namun tak bergerak lagi. Itulah kehebatan jurus 'Yudha' pemberian Ratu Kartika Wangi. Suto menggunakan jurus itu atas anjuran calon mertuanya yang telah memandikan dirinya di Kolam Sabda Dewa, yang membuat kekuatan dan ingatannya pulih kembali.

Kematian Sri Maharatu membuat Delima Gusti dan Resi Wulung Gading terbengong tak mampu kedipkan matanya. Andai Delima Gusti tidak terpaku bengong di tempat, tentunya ia segera menyambar Cambuk Getar Bumi yang jatuh di tanah itu. Kesadaran akan cambuk itu terlambat, karena Pendekar Mabuk telah menyemburnya dengan tuak, dan Cambuk Getar Bumi pun lenyap karena jurus 'Sembur Siluman' itu. Kini cambuk pusaka telah tiada, Sri Maharatu pun telah binasa.

Suto Sinting dan Resi Wulung Gading mendapat undangan upacara penobatan Putri Kunang sebagai penguasa tunggal Pulau Dadap. Bahkan Delima Gusti pun hadir dalam acara tersebut. Kehadirannya itu yang menjadi titik awal perdamaian antara orang-orang Pulau Dadap dengan orang-orang Kadipaten Suralaya.

SELESAI
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.