Serial Pendekar Mabuk
Keris Setan Kobra
Karya Suryadi
Keris Setan Kobra
Karya Suryadi
SATU
GEMERCIK air sungai jatuh di bebatuan. Iramanya melenakan, membuat rasa kantuk tiba. Angin semilir berhembus di keteduhan pohon rindang yang tumbuh dekat air terjun itu. Siang yang panas menjadi siang yang sejuk. Tak heran jika Suto Sinting terlena tidur di bawah pohon munggur yang menaunginya.Mimpi pun hadir di sela kenyenyakan tidur siang Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu. Mimpi itu indah baginya. Ya, memang indah, sebab mimpi yang hadir adalah mimpi tentang seorang wanita cantik berpakaian sutera biru muda. Rambutnya bak mayang terurai, lembut, dan halus. Mahkota kecil menghiasi rambut indah yang mungkin cukup dikeramas memakai merang. Wajah cantiknya tak bisa dilukiskan lagi. Bibirnya menggairahkan, selalu tampak basah, menggemaskan sekali. Ingin Suto menggigitnya dengan lembut.
Wanita yang hadir dalam mimpinya itu mengenakan perhiasan lengkap, gelang berhias batuan intan, kalung susun dua berhias berlian, cincin, giwang, pokoknya elok sekali, ia tampak seperti seorang ratu. Atau anak raja. Atau memang dia seorang ratu. Entahlah. Mimpi Suto belum saling bercakap-cakap. Hanya saling pandang saja.
Bayangan mimpi itu semakin jelas. Wanita berjubah biru muda tipis membayang bagian dalamnya yang dibungkus kain ketat itu, mulai melangkah mendekati Pendekar Mabuk, ia menyerahkan setangkai bunga aneh, yaitu mawar pelangi. Artinya, mawar itu punya aneka warna seperti pelangi dan baunya harum lembut. Wanita itu tersenyum saat menyerahkan bunga tanpa duri. Lesung pipit di pipinya membuat Suto terperangah kagum.
"Ini untukmu," wanita dalam mimpi itu berucap lirih, suaranya merdu.
"Aku... belum kenal siapa dirimu, mengapa harus terima bunga darimu?"
"Kuberikan bunga ini untukmu. Cuma-cuma. Tidak dipungut biaya."
"Apakah kau tukang kembang?"
"Bukan," jawab wanita yang diperkirakan baru berusia dua puluh lima tahun. "Aku seorang ratu. Bukan tukang kembang."
"Ooo... ratu apa?"
"Ratu Ringgit Kencana."
"Punya negeri?"
"Punya. Negeriku bernama Negeri Ringgit Kencana."
"Bagus sekali," kata Suto lembut dan menawan.
"Apanya yang bagus? Nama negeriku?"
"Bunganya," jawab Suto. "Ada yang lainnya?"
"Di negeriku banyak bunga Mawar Pelangi. Apakah kau suka?"
"Sangat suka. Bolehkah aku datang ke negerimu?"
"Aku akan menjemputmu sebentar lagi."
"Namamu siapa?"
"Asmaradani."
"Oh, eloknya...?"
"Namaku yang elok?"
"Mawarmu ini," jawab Suto sambil tersenyum lembut.
"Aku butuh bantuanmu."
"Indah sekali. Belum-belum sudah butuh bantuan."
"Aku terpaksa menghubungimu, karena tak punya senopati."
"Begitukah...?!"
Asmaradani, Ratu Ringgit Kencana, anggukkan kepala dengan gemulai. Bau wewangiannya menyerap ke dalam hati sanubari Pendekar Mabuk. Lama-lama mata indah itu mulai berkaca-kaca. Wajah cantik ceria menjadi tersaput duka. Ratu Ringgit Kencana melelehkan air mata. Suto Sinting trenyuh, lalu menghapus air mata yang meleleh sampai di pertengahan pipi. Ia menghapus dengan jari telunjuk yang ditekuk dan digunakan sebagai menadah butiran air mata itu.
"Jangan menangis, Asmaradani. Aku akan datang menolongmu," bisik Suto Sinting dengan nada mesra sekali. "Sebutkan kesulitanmu dan aku akan lakukan apa yang seharusnya kulakukan."
Asmaradani menatap dengan penuh perasaan. Jari-jemarinya yang lentik indah itu meraba pipi Suto Sinting. Pendekar tampan berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih berikat pinggang merah dan menyandang bambu tempat tuak itu membiarkan pipinya disentuh tangan berkulit halus, seperti tangan kulit bayi. Lembut sekali rasanya. Enak sekali dinikmati. Bahkan Suto pun membiarkan rambutnya diusap pelan-pelan oleh Asmaradani. Rambut panjang lewat pundak itu dipermainkan oleh wanita itu. Pelan... pelan... pelan... seakan setiap gerak dan sentuhan diresapi sampai ke dasar hati.
Sayang sekali mimpi itu terputus karena sentakan halus di bagian rambut, seperti tertarik seseorang tanpa sengaja. Suto Sinting buka mata dan terkejut dengan ucapan tak sadar.
"Jabang bayi...!"
Yang ada di depan wajahnya adalah wajah hitam, bermata besar, berhidung besar, kepala gundul tapi berkuncir rambut merah jagung di bagian tengahnya. Orang yang sedang berjongkok di depannya itu berkulit hitam, tinggi, besar, tanpa baju kecuali hanya mengenakan cawat saja. Dialah anak jin yang bernama Logo. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Suto Sinting, karena ternyata anak jin itulah yang memegang- megang rambut Suto. Wajahnya sangat berbeda jauh dengan wajah dalam mimpi Suto tadi.
"Logo...?! Kau mengejutkan tidurku!"
"Maaf," kata Logo bersuara besar. Maklum, anak jin kalau suaranya kecil bisa disangka anak kucing. Maka wajar kalau Logo bersuara besar.
"Ibu menyuruhku memanggilmu," kata Logo. "Kau ditunggu di gua pantai Bukit Semberani. Ibu ingin membicarakan sesuatu kepadamu, Kang Suto."
"Katakan kepada ibumu, aku sedang tidur. Nanti saja kalau sudah bangun, aku akan ke sana."
"Baik. Akan kusampaikan pesanmu. Permisi, Kang Suto."
"Ya," jawab Suto sedikit dongkol. Gara-gara sentuhan kasarnya mimpi pun jadi hancur berantakan. Padahal sedang asyik-asyiknya. Suto kembali tidur, memejamkan mata, tapi tak bisa nyenyak seperti tadi. Pikirannya digelayuti bayangan wajah ibunya Logo, wanita cantik bernama Sumbaruni yang menggunakan julukan Pelangi Sutera, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).
"Ah, mau apa Pelangi Sutera memanggilku?" pikir Pendekar Mabuk. "Apakah dia sudah menemukan tempat persembunyian Ratu Tanpa Tapak yang bernama Nila Cendani itu? Kalau belum, kenapa harus bertemu denganku? Mau bikin persoalan apa lagi? Soal cintanya? Ah, malas! Aku bosan bicara soal cinta. Terlalu cengeng. Tapi... tapi wanita dalam mimpiku itu tadi terasa aneh sekali bagiku. Toh aku menyukai kecengengannya? Toh aku tidak benci melihatnya menangis. Hmmm, siapa tadi namanya? Oh, ya... Asmaradani. Bagus sekali. Dia memberikan mawar warna pelangi. Apa artinya? Apakah ada hubungannya dengan Pelangi Sutera? Ah, wajahnya beda jauh. Kurasa tak ada hubungannya. Lalu, apa artinya mimpiku tadi? Apakah mimpi bertemu wanita cantik punya arti akan bertemu dengan anak jin?!" Suto Sinting tertawa sendiri membayangkan wajah Logo.
Ia menarik napas, masih merebah, masih memejamkan mata. Sadar sepenuhnya. Namun tiba-tiba Suto terkejut karena ia mencium bau bunga mawar. Dahinya berkerut dengan mata masih terpejam. Penciumannya dipertajam. Bau bunga mawar seperti dalam mimpinya itu semakin jelas. Ketika kepalanya bergerak miring ke kiri pelan-pelan, aroma harum lembut bunga mawar itu kian bertambah nyata. Suto Sinting terpaksa buka matanya.
"Hahhh...?!" Pendekar Mabuk kian terperangah kaget. Cepat-cepat bangkit terduduk. Karena saat itu matanya memandang setangkai bunga mawar tanpa duri dan berwarna pelangi tergeletak di samping kirinya, seakan ikut tidur mendampinginya. "Bunga ini ada di sampingku?! Apakah sejak tadi?! Siapa yang membawanya? Apakah si anak jin tadi? Ah, aneh sekali. Padahal bunga mawar warna pelangi ini hanya kutemukan dalam mimpiku. Kenapa bisa benar-benar ada di sampingku?"
Pandangan mata Pendekar Mabuk segera menyelidik ke sekelilingnya. Tak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu. Sungguh pemandangan yang lengang. Semak di kejauhan sana pun dipandang dengan sedikit menyipit, tapi tak terlihat ada sesuatu yang mencurigakan. Pohon-pohon dipandangi juga, tapi tak ada orang bersembunyi di sana.
"Apakah bunga ini ada sejak tadi sebelum aku terbaring tidur di sini? Ah, tak mungkin. Tadi aku tidak mencium bau bunga ini. Jangan-jangan pohon ini angker? Atau..., ada seseorang yang meletakkan bunga ini kemudian lari dan tak mau kembali lagi? Orang gila itu namanya. Tak mungkin, ah!"
Tiba-tiba pendengaran pendekar tampan itu menangkap suara orang berlari. Cepat-cepat kakinya menyentak ke tanah, wuuut...! Tubuhnya terlempar ke atas dengan ringan sekali. Jleeg...! Ia bagaikan seekor jatayu yang hinggap di atas dahan dengan kokohnya. Di balik semak dedaunan pohon itu Suto Sinting bersembunyi, ingin melihat siapa orang yang berlari ke arahnya itu.
Ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun. Kurus dan berpakaian coklat muda baik baju maupun celananya. Rambutnya sedikit bergelombang, panjang lewat pundak, tidak diikat. Pemuda itu juga membawa bumbung bambu warna coklat muda, tali penggantungnya diberi lapisan kain hitam.
Melihat wajahnya yang pucat tegang dengan bibir berdarah, pemuda itu pasti habis dihajar oleh seseorang, ia malahan bersembunyi di balik pohon besar yang dipakai bersembunyi oleh Suto di atasnya. Pemuda itu tak tahu kalau di atasnya ada orang bersembunyi pula. Mungkin karena panik, takut, ngos-ngosan, sehingga pemuda kurus itu tak sadar bicara sendiri dengan gemetar.
"Ya ampuuun... dosa apa aku ini kok sampai dikejar-kejar orang? Mimpi apa aku semalam kok sampai dihajar orang? Kalau tadi aku tak segera lari, pasti aku dibunuh oleh orang itu. Ihh... mengerikan. Goloknya tajam sekali. Kalau aku dibacok pakai golok itu, oooh... ngeri! Ngeri sekali membayangkannya."
Di atas pohon Pendekar Mabuk mendengarkan dengan seksama. "Wah... itu dia orangnya?!" ucap pemuda itu dengan tenang. "Dia pasti mencariku. Mudah-mudahan dia tidak tahu kalau aku bersembunyi di balik pohon ini!"
Suto Sinting segera memandang ke arah yang dipandang pemuda tersebut. Memang ada orang datang dalam keadaan wajah tegang, sepertinya sedang mencari seseorang yang akan dibunuhnya. Orang tersebut sedikit gemuk, mengenakan pakaian serba hitam. Kumisnya tebal, matanya lebar. Tak terlalu tinggi, tapi cukup menyeramkan bagi orang awam. Dilihat dari keangkeran wajahnya, jelas orang itu pasti bukan orang baik-baik. Suto Sinting ingin mengetahui apa yang akan diperbuat oleh orang berkumis tebal itu.
Ketika orang itu celingak-celinguk mencari buruannya, tiba-tiba muncul seorang lagi dari arah lain, juga celingak-celinguk mencari sesuatu. Orang yang baru saja muncul itu berpakaian merah luruh, kurus, dan berambut kucai. Matanya cekung, dingin, tampang bengisnya terlihat nyata. Kumisnya tipis, tapi panjang. Golok bergagang hitam terselip di depan perutnya, belum dicabut dari sarungnya. Tapi orang berpakaian hitam tadi sudah menggenggam golok putih berkilauan, seakan siap bacok kapan saja bertemu buronannya.
"Dia menghilang!" seru si gemuk berkumis tebal.
"Tak mungkin. Cari sampai ketemu. Pasti ada disekitar sini!" balas si baju merah dalam seruannya.
Suto Sinting tahu, mereka berteman. Tentunya mereka sama-sama mencari pemuda yang bersembunyi di bawahnya itu. Si pemuda tampak kian menggigil, merapatkan tubuh ke batang pohon dengan napas tersendat-sendat.
"Kasihan...," gumam hati Pendekar Mabuk. Sendatan napas pemuda di bawahnya ternyata membuatnya tak sadar menjadi terbatuk-batuk.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Walaupun sudah ditutup tangan, tapi suara batuknya masih saja terdengar jelas.
"Aku mendengar suara orang batuk Brojo! Apakah kau yang batuk?" seru si baju merah.
"Enak saja. Mungkin kaulah yang kumat bengeknya!" seru orang yang bernama Brojo.
Maka si baju merah berseru lagi, "Mana mungkin! Biar aku kurus, yang namanya Mat Paung tak akan terkena penyakit bengek, karena tiap hari makananku empedu ular dan minum darah ular!"
Rupanya si baju merah itu bernama Mat Paung. Ia orang yang tak mau direndahkan walau oleh teman sendiri, ia menepuk dadanya saat membanggakan dirinya sebagai orang yang tidak pernah terserang batuk dan bengek. Tapi karena terlalu keras menepuk dada, akhirnya ia justru menjadi batuk sendiri.
Brojo memandangi Mat Paung yang berjarak lebih dari sepuluh langkah itu. Brojo merasakan ada keanehan kala mendengar suara batuk Mat Paung. "Suara batukmu berbeda dengan yang tadi. Berarti... berarti bocah itu ada di balik pohon besar di sana, Mat Paung! Coba cari ke sana!"
Rasa gentar, gugup, membuat napas pemuda itu kian tersendat-sendat dan batuk pun tak bisa ditahan. Pemuda itu akhirnya tertangkap karena batuk berulang kali. Sia-sia saja ia bersembunyi jika suara batuknya tak bisa ikut disembunyikan. Brojo dan Mat Paung segera menemukannya.
"Am... ampun... ampun, Kang...!" pemuda itu ketakutan, bahkan sempat menyembah-nyembah kepada kedua lelaki yang usianya sekitar empat puluh tahun kurang sedikit.
Buuhg...! Mat Paung menendang pinggang pemuda itu saat si pemuda bersujud menyembah supaya diampuni. Tentu saja pemuda itu terpekik dengan suara tertahan, ia terpental ke samping, berguling, dan mengerang. Napasnya kian sesak, tubuhnya kian lemas, akhirnya ia hanya terbaring dengan mulut cengap-cengap mencari napas. Tetapi Brojo segera menginjak perutnya, menekan kuat sehingga pemuda itu pun mendelik kesakitan. Brojo berseru dengan garangnya.
"Serahkan benda itu atau kau kubuat modar sekarang juga, hah!"
"Sud... sum... uuh... aahg...," pemuda itu tak bisa bicara.
Dari atas pohon peristiwa itu dapat dilihat Suto dengan jelas sekali, ia merasa kasihan kepada pemuda tersebut, sebab menurut penglihatannya si pemuda agaknya tidak berilmu sedikit pun. Maka diam-diam Suto Sinting mengirimkan pertolongannya dengan melepaskan pukulan yang bernama jurus 'Jari Guntur', yaitu sebuah sentilan jari dengan ringan namun mempunyai kekuatan seperti seekor kuda yang sedang menendang dengan berangnya.
Tees...! Jari disentilkan ke arah tengkuk Brojo. Tubuh gemuk itu tiba-tiba terlempar ke samping dan tersungkur dengan parah. Gabruusss...! Mulutnya mencium tanah, menyodok batu keras. Tentunya berdarah dan robek dibagian tepi bibir serta pipi. Tulang pipinya menjadi memar merah.
"Eh, diam-diam kau memang berilmu tinggi? Kau hanya pura-pura ketakutan, ya? Kampret busuk! Hiaaah...!" Mat Paung mencabut goloknya dan ingin menebaskan ke bagian kaki. Ia bermaksud memotong kaki pemuda itu sebagai pelajaran. Tetapi ketika golok terangkat, Suto Sinting melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya lagi ke pergelangan tangan Mat Paung.
Teess...!
Tangan yang memegang golok itu tersentak ke samping dan goloknya lepas bagaikan dibuang begitu saja. Tapi Mat Paung sempat memekik kesakitan dengan wajah menyeringai dan melangkah mundur dua tindak, ia memegangi lengan kanannya memakai tangan kiri dan menggamitnya ke dekat paha.
"Uuuh...! Bangsat kau! Kau punya ilmu tapi tidak bilang-bilang. Uuhh...! Ternyata apa yang dikatakan orang-orang itu memang benar, kau berilmu tinggi. Tapi... tapi aku yakin ilmumu tak setinggi ilmuku, Setan Alas!"
"Buk... bukan aku, Kang...! Sumpah... summ... sumpah...! Aku tidak menyakitimu, Kang," bocah muda itu ketakutan walau ia sudah bangkit dan hendak melarikan diri. Langkahnya terhenti karena di sisi lain ia dihadang Brojo yang mulutnya mulai banyak dibungkus darah. Brojo benar-benar memandang penuh kebencian dan kemarahan.
"Aku tak bisa memaafkanmu lagi, Setan!" geram Brojo. "Tinggal pilih, serahkan benda itu atau kau kupenggal sekarang juga. Jawab!"
"Ak... aku tidak punya. Sungguh...! Aku tidak menyimpannya, Kang!"
"Bohong! Kini semua orang tahu bahwa Keris Setan Kobra sudah jatuh ke tanganmu! Semua orang tahu!"
"Ya, ampun, Kaaang... untuk apa aku membohongimu?! Aku benar-benar tidak tahu menahu tentang Keris Setan Kobra itu. Sumpah mati sekarang juga, Kang!"
Suto Sinting sangat terkejut mendengar masalah sebenarnya. Pemuda itu dituduh sebagai pencuri Keris Setan Kobra. Aneh sekali. Bukankah Keris Setan Kobra disembunyikan rapat-rapat oleh Ki Empu Sakya, pemiliknya? Kenapa bocah muda yang polos itu dituduh sebagai pemilik keris pusaka tersebut? Atau jangan-jangan pemuda dungu itu benar-benar memiliki keris pusaka tersebut? Suto Sinting mulai bimbang dan ragu untuk membantu pemuda tersebut. Karena jika benar pemuda itu memiliki keris pusaka Setan Kobra, berarti pemuda itu telah berhasil merampasnya dari tangan Ki Empu Sakya?
"Aku tak sabar lagi! Modar kau sekarang juga! Hiaaah...!'" Brojo melayangkan goloknya untuk membacok kepala pemuda tersebut. Tapi naluri Suto segera mengatakan bahwa ia harus melindungi pemuda itu untuk mengetahui perkara sebenarnya. Naluri Suto mengatakan ada sesuatu yang tak beres dalam perkara itu. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan lagi oleh Suto. Kali ini sengaja diarahkan ke dada Brojo.
Taas...! Duuhg...!
"Uhhg...!" Suara pekik tertahan terdengar dari mulut Brojo. Matanya mendelik, mulutnya ternganga, ia tersentak mundur walau tak sampai jatuh. Tapi ia terhuyung-huyung empat tindak ke belakang. Lalu, mulutnya mengeluarkan darah segar tak begitu banyak.
"Brojo...?!" Mat Paung kaget, ia tetap menyangka pemuda kurus itu yang menyerang Brojo secara diam-diam.
"Kau memang membuatku penasaran ingin meremukkan kepalamu, Bocah Dungu! Terimalah jurus 'Kuda Gila' ini, heaaat...!"
Mat Paung melompat-lompat di tempat dengan golok berkelebat dimainkan, lalu tiba-tiba, wuuuss...! Ia melompat menerjang pemuda kurus itu. Tapi Suto Sinting menyentilnya dari jauh.
Teess...! Duuhg...!
Mat Paung melayang balik, terjungkal di udara dan jatuh dengan kepala terlipat membentur tanah keras.
Duuhg...! Krek...!
"Aaooww...!" ia menjerit kesakitan karena tulang lehernya nyaris patah, ia tak bisa mendongak lagi. Jika kepalanya dipakai memandang tegak, tulang lehernya terasa sakit sekali. Akibatnya ia hanya menunduk terus sambil meraung-raung kesakitan. Sementara itu, pemuda kurus itu justru semakin bertambah kebingungan melihat para pengejarnya dalam keadaan seperti itu. Brojo sendiri menjadi pucat pasi dan napasnya sulit dihela.
"Mat Paung...!" suara Brojo berat dan sukar diucapkan. "Kita... kita tinggalkan saja orang ini. Kita lapor pada ketua, biar ketua yang tangani.... Ayo, kita selamatkan diri. Dia... dia memang berilmu tinggi, seperti kata orang-orang itu..."
Mat Paung merintih tanpa bisa menjawab. Ketika Brojo membawanya pergi, Mat Paung menurut saja. Tapi Brojo sempat berseru di kejauhan kepada pemuda kurus yang memandangi kepergiannya dengan terbengong heran itu.
"Ingat, kami akan kembali lagi! Kau akan berurusan dengan ketua kami, Suto!"
Seruan terakhir membuat Pendekar Mabuk terkejut sekali, ia mendengar suara yang menyebutkan namanya, ia jadi terbengong beberapa saat. "Dia menyebut namaku?! Apakah pemuda itu bernama Suto?!" pikirnya.
Tak ada jalan lain untuk mengetahui persoalan sebenarnya kecuali dengan cara turun dari pohon dan menemui pemuda kurus itu. Maka, ketika pemuda kurus itu bergegas pergi, Suto Sinting segera melompat dari atas pohon dan tubuhnya melayang turun ke bawah dengan gerakan tak terlalu cepat.
Jleeg...!
Tapi suara kakinya itu sempat terdengar pemuda tersebut, sehingga si pemuda cepat palingkan wajah. Ia terkejut memandangi Suto Sinting, mulutnya terperangah dengan wajah cemas dan napas memburu menandakan rasa takutnya.
"Jangan takut padaku," kata Suto.
"Ak... aku tidak tahu menahu tentang pusaka Keris Setan Kobra itu Kang!" pemuda tersebut mendahului alasannya.
"Aku tidak bermaksud mencari keris itu. Aku hanya ingin menanyakan apa persoalan sebenarnya yang kau hadapi dengan Brojo dan Mat Paung itu?"
"Ap... apakah... apakah kau orang yang menolongku menyerang mereka?"
"Benar," jawab Suto dengan tenang. Ketenangan Suto membuat pemuda itu ikut-ikutan lega dan rasa takutnya berkurang.
"Akkk.... aku tidak tahu kenapa dia menyerangku. Mereka... menurut pengakuan si baju hitam, adalah orang-orang Perguruan Lumbung Darah. Mereka menuduhku sebagai orang pencuri pusaka Keris Setan Kobra milik Ki Empu Sakya. Padahal aku tidak mempunyai keris itu. Aku bukan orang sakti, mana mungkin aku membunuh Ki Empu Sakya dan merebut keris pusakanya?"
"Tunggu, tunggu...!" Suto menemukan kejanggalan. "Apa kau bilang tadi? Membunuh Ki Empu Sakya?!"
"Iya. Mereka sangka begitu."
"Apakah... apakah Ki Empu Sakya memang ada yang membunuhnya?"
"Benar. Delapan hari yang lalu, Ki Empu Sakya dibunuh orang di belakang rumahnya. Aku sendiri melihat jenazahnya."
"Astaga...?!" Suto Sinting terbengong tegang. "Delapan hari yang lalu aku sedang berada di Pulau Serindu menengok calon istriku," pikir Suto.
Hening tercipta sejenak. Suto terbayang wajah Ki Empu Sakya yang pernah ditolongnya saat terancam keserakahan Wiratmoko dalam persoalan keris itu juga. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas), ia sama sekali tak menduga kalau Ki Empu Sakya ternyata sudah tiada. Berita itu baru saja diterimanya, karena ia pergi ke Pulau Serindu menengok Dyah Sariningrum selama enam hari. Baru sekarang ia tiba di tanah Jawa, dan tahu-tahu mendengar kabar tersebut.
"Aku sudah bilang kepada orang-orang Perguruan Lumbung Darah itu bahwa aku tidak memiliki keris pusaka tersebut, tapi mereka tetap tidak percaya."
"Mengapa mereka menduga keras kaulah pemilik keris itu?' tanya Suto.
"Karena mereka sangka aku bernama Suto Sinting!"
"Hahh...?!" Suto Sinting terkesiap memandang pemuda kurus.
"Padahal namaku Sabani, bukan Suto Sinting. Enak saja, aku disamakan dengan Suto Sinting. Gantengnya saja sudah tentu ganteng aku, ya Kang?"
"Hmmm... iya...," jawab Suto dengan terpaksa.
"Aku jadi benci dengan orang yang bernama Suto Sinting. Gara-gara dia aku jadi dihajar mereka. Kalau ketemu orangnya yang bernama Suto Sinting, ingin rasanya aku meludahi wajah si Suto Sinting itu!" Sabani bersungut-sungut.
Suto Sinting tarik napas dalam-dalam menahan kesabaran mendengar kata-kata Sabani ini. Ia terpaksa harus memaklumi kebodohan pemuda kurus tersebut. "Mengapa kau sampai disangka Suto Sinting?"
"Entah. Kata mereka, ciri-ciriku sama dengan Suto Sinting. Kata dua orang tadi, Suto Sinting membawa-bawa bumbung tuaknya ke mana pun pergi. Padahal aku membawa bumbung ini bukan bumbung tuak. Aku pedagang legen. Aku jualan legen di pasar. Kamu tahu legen kan? Itu lho... air sadapan bunga kelapa. Ah, kurasa kau juga pedagang legen. Buktinya kau membawa-bawa bambu juga. Kau pasti tahulah, apa itu legen."
"Ya...ya." jawab Suto dengan menahan kedongkolan karena dirinya disangka pedagan legen. "Lalu, kenapa mereka menuduh kau mempunyai keris itu?"
"Soalnya, yang membunuh Ki Empu Sakya itu adalah pemuda bernama Suto Sinting. Jadi, karena aku dianggap Suto Sinting, maka aku dianggap punya keris pusaka Keris Setan Kobra!"
Jantung Suto berdetak-detak cepat. Sekarang ia tahu persoalannya. Dirinya dianggap sebagai pembunuh Ki Empu Sakya. Jelas ini perbuatan orang jahat yang menyebar fitnah begitu. Atau barangkali ada orang yang meniru penampilannya lalu membunuh Ki Empu Sakya. "Apes amat nasibmu hari ini," pikir Suto dengan sedih. Tapi ia segera berkata kepada Sabani, "Apakah kau juga yakin kalau yang membunuh Ki Empu Sakya adalah orang bernama Suto Sinting?"
"Yakin!"
"Kau melihat sendiri Suto membunuhnya?"
"Tidak," jawab Sabani polos.
"Tapi kenapa kau yakin kalau Suto Sinting yang membunuhnya?"
"Karena menurut kabar orang-orang begitu. Suto Sinting pembunuhnya! Orang-orang pun tahu, bahwa keris pusaka itu sekarang ada di tangan Suto Sinting. Wah, itu orang memang benar-benar sinting kok. Sudah membunuh, tapi masih juga mencuri keris pusaka korbannya! Benar-benar pantasnya dipancung saja kepala orang yang bernama Suto Sinting itu. Iya, kan? Kau setujukan?"
Suto Sinting hanya tarik napas lagi, menahan kemarahannya yang menggumpal di dada, menyakitkan ulu hati. "Kau tinggal di mana, Sabani?"
"Aku di desa Kukusan, satu desa dengan Ki Empu Sakya. Makanya aku kenal sama tokoh tua yang sakti itu."
"Kau kenal dengan bocah bernama Angon Luwak?"
"Lho... itu nama adikku!" Sabani kaget. "Apakah kau kenal dengan adikku itu? Dia sudah berminggu-minggu tidak pulang ke rumah, Kang!"
Pendekar Mabuk diam saja. Termenung beberapa saat lamanya. Sabani segera berkata, "Sudah, begitu saja. Kang. Aku ucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau kau mau mampir ke rumahku, mari bersamaku menuju ke rumah. Kalau tidak, kita pisah di sini dan sampai ketemu di lain waktu."
Suto Sinting hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil masih menerawang tak tentu arah. Sabani berkata lagi, "Oya, Kang... kalau ketemu orang yang bernama Suto, ludahi saja mukanya! Jangan takut. Biar dia sadar bahwa wajahnya tak pantas dipajang di mana-mana, karena sudah membunuh, eeh... mencuri pusaka lagi! Itu kan jahat namanya."
"Sabani, kalau kau ketemu Angon Luwak adikmu itu, katakan bahwa aku membutuhkan dia!"
"O, ya! Mudah-mudahan dia sudah pulang pada hari ini. Lalu... namamu siapa?"
"Tanyakan saja pada Angon Luwak. Dia tahu namaku!"
"Lho, tapi dari mana dia bisa menyebutkan namamu kalau aku tidak menunjukkan wajahmu. Dia tidak akan mengenalinya, Kang. Siapa namamu sebenarnya?"
Dengan suara pelan dan hati sedih menahan kedongkolan, Pendekar Mabuk pun akhirnya berkata, "Akulah yang bernama Suto Sinting."
"Hahhh...?!" Sabani berseru kaget, matanya mendelik, Suto memandang dengan tenang dan menganggukkan kepala. Sabani tiba-tiba tertawa. "Ah, kau bercanda saja, Kang! Jangan mengaku-aku begitu nanti kalau didengar orang kau malah dikejar-kejar seperti aku tadi. Aku saja tak sudi dituduh bernama Suto Sinting, kau malah mengaku-aku sebagai Suto Sinting?!"
"Sabani adikmu tahu persis siapa aku. Katakan, Suto Sinting membutuhkan dia secepatnya. Aku tak jauh dari sekitar desamu."
Sabani memandang dengan dahi berkerut. "Kau benar-benar cari penyakit, Kang. Jangan begitu. Kau pedagang legen, ya sudah dagang legen saja. Jangan cari nama biar terkenal. Nanti kau repot sendiri. Suto Sinting itu orang berilmu tinggi, menurut kata orang-orang. Suto Sinting tidak jualan legen seperti kita ini. Kang," Sabani geli sendiri, menganggap jawaban Suto sebuah kelakar sesama pedagang legen, karena sama-sama membawa bumbung bambu.
Sebenarnya Suto jengkel dengan sikap Sabani. Tapi ia tetap menyimpan kejengkelan itu karena Sabani memang tidak tahu menahu tentang Suto Sinting itu siapa dan yang mana. "Kau mau percaya atau tidak, itu urusanmu. Yang jelas, akulah Suto Sinting, dan aku butuh adikmu Angon Luwak untuk menyelidiki siapa pembunuh Ki Empu Sakya sebenarnya!"
Claaap...! Suto cepat-cepat pergi dengan gerak lari bertenaga ringan tinggi. Dalam satu kedipan mata saja Suto sudah berada dalam jarak jauh. Hal itu membuat Sabani terbengong melompong dan menjadi percaya, karena ia tahu hanya orang berilmu tinggi yang bisa bergerak secepat itu. Ia menjadi gemetar dan menggigil, takut pada ucapannya tadi tentang meludahi wajah Suto.
"Maafkan aku. Kang... aku tak tahu kalau yang bernama Suto itu juga pedagang legen. Moga-moga kau tidak mendendam padaku. Kang...," kata Sabani dengan wajah pucat pasi.
* * *
DUA
PENGEJARAN terhadap diri Ratu Tanpa Tapak kehilangan jejak. Berhari-hari Suto Sinting tidak temukan perempuan yang ingin menjadi penguasa di seluruh jagat raya itu. Akhirnya Suto putuskan untuk menghentikan pengejaran, ia berangkat ke Pulau Serindu untuk menengok Dyah Sariningrum. Kepergiannya itu didampingi oleh Ki Gendeng Sekarat, si tukang tidur, karena memang dialah yang diutus mencari Suto oleh sang Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi itu. Sedangkan Pelangi Sutera tetap tinggal di tempat dan tidak mengetahui kepergian Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).
Berawal dari situlah, ternyata sebuah peristiwa yang tak diduga-duga itu terjadi dengan sangat menyedihkan. Ki Empu Sakya dibunuh seseorang dan tersebarlah berita bahwa Suto Sinting adalah pembunuh Ki Empu Sakya. Tersebar pula kabar, bahwa keris pusaka milik Ki Empu Sakya yang bernama Keris Setan Kobra itu telah dicuri oleh Suto Sinting dengan cara membunuh Ki Empu Sakya lebih dulu. Siapa yang menyebarkan berita itu pertama kalinya, tak diketahui secara pasti. Yang jelas, kini Suto Sinting si Pendekar Mabuk menjadi buronan orang banyak, bahkan menjadi bahan ejekan mereka.
"Tak kusangka pemuda setampan dia, sesakti dia, ternyata tega membunuh orang tak bersalah dan mencuri pusakanya. Sangat memalukan sekali."
"Aku juga tidak menyangka akan begitu. Padahal gurunya; si Gila Tuak, tidak mempunyai perilaku seburuk itu!"
"Dia tidak pantas mendapat gelar pendekar dan menjadi sanjungan para tokoh golongan putih. Tindakannya sudah membuatnya masuk dalam golongan hitam!"
Begitulah celoteh mereka, hampir rata-rata mengecam Suto Sinting dan menjelekkan gurunya; si Gila Tuak. Berita itu sampai di telinga para sahabat Suto Sinting. Mereka menjadi bimbang, walau sebagian ada yang percaya dengan berita tersebut. Tetapi bagi Pelangi Sutera, berita itu tidak mudah dipercayai begitu saja. Karenanya ia menyuruh Logo anaknya yang lahir dari ayah jin itu, untuk mencari Pendekar Mabuk dan mengajaknya bicara tentang hal itu. Tetapi niatnya itu tak pernah terlaksana, karena Suto Sinting sedang sibuk menyelidiki siapa penyebar fitnah tersebut.
Dalam perjalanannya menuju desa Kukusan, Pendekar Mabuk melihat suatu pertarungan yang tidak seimbang, ia melihatnya dari atas bukit. Seorang gadis berpakaian hijau terang, rambut kepang dua, sedang dikeroyok lima orang lelaki berperawakan kekar dan ganas-ganas. Gadis itu tak lain adalah Mega Dewi, anak Lurah Pramadi yang akrab dengan Ki Empu Sakya dan banyak yang tahu bahwa Mega Dewi pernah dekat dengan Suto Sinting.
Suto Sinting tidak berpikir apa persoalannya sehingga lima orang kekar menyerang Mega Dewi secara bersamaan. Suto hanya memikirkan, Mega Dewi perlu bantuan karena kekuatannya tak seimbang menghadapi lima orang ganas itu. Maka Suto Sinting pun segera melesat turun dari bukit untuk membantu Mega Dewi.
Pada saat itu, Mega Dewi terkena pukulan orang berompi hitam dengan tato di dada bergambar tengkorak. Orang tersebut sepertinya paling ganas dari keempat temannya. Pukulan berupa sinar hijau melesat dari tangannya dan mengenai lambung Mega Dewi.
Pada waktu itu Mega Dewi sedang menghadapi dua penyerang bersenjata tombak berujung pedang lengkung. Akibat pukulan sinar hijau itu, Mega Dewi jatuh tersungkur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Orang bertato gambar tengkorak itu segera mencabut pedang dari pinggangnya dan melompat untuk menebas leher Mega Dewi.
"Lebih baik modar daripada tak mau membantu kami. Mega Dewi! Heaaat...!"
Wuuut...! Weees...!
Trang...! Tahu-tahu bambu bumbung tuak sudah menahan gerakan pedang yang nyaris menempel di leher Mega Dewi. Bambu itu bagaikan besi dan membuat pedang lawan rompal separo bagian. Sisi tajamnya tinggal bagian ujung dan dekat gagang. Begitu pedang rompal, pemiliknya terperanjat kaget. Suto segera sentakkan kakinya ke kiri.
Wuuut...! Duuuhg...!
Tendangan sampingnya mengenai rusuk lawan yang ganas itu. Kraak...! Dua tulang rusuk patah seketika, lawan jatuh terpental dan meraung-raung kesakitan di sana. Keempat orang lainnya segera mengurung Suto Sinting. Sang pendekar tampan dia mmemandang dengan mata tajam. Salah seorang dari mereka berseru garang,
"Monyet kencur! Siapa kau dan apa perlumu mencampuri urusan kami dengan gadis itu, hah?!"
"Justru aku yang ingin bertanya siapa kalian, sehingga kalian berani menyerang sahabatku?!"
Yang berkumis pendek berseru, "Kami orang-orang Tambak Wesi! Kami harus paksa gadis itu agar menunjukkan di mana Suto Sinting itu berada! Sebab kami pernah dengar bahwa anak gadis mendiang Ki Lurah Pramadi itu pernah dekat dengan Suto Sinting. Malahan ada yang bilang dia bekas kekasihnya Suto Sinting. Kami membutuhkan orang itu!"
"Untuk apa?"
"Merebut Keris Pusaka Setan Kobra!"
Yang bersenjata sabit itu berseru pula, "Suto telah membunuh Ki Empu Sakya, pasti dia telah merebut keris pusakanya juga."
"Dan perlu kau ketahui, Anak Muda..., kami adalah bekas murid-murid Ki Empu Sakya. Beliau pernah menjadi sesepuh di Perguruan Tambak Wesi. Maka layaklah jika kami menuntut kembali keris pusaka tersebut!"
Suto memandang dengan menyipitkan mata. Satu persatu wajah diperhatikan, ia tak yakin dengan pengakuan tersebut. Ki Empu Sakya orang bijaksana, kalem, dan sabar. Tak mungkin pernah bergabung dengan manusia-manusia berwajah bengis seperti mereka. Tetapi hal itu disimpannya saja dalam hati. Suto hanya berkata kepada mereka berempat,
"Kalau kalian mencari Suto Sinting, akulah orangnya!"
"Hahh...?!" mereka saling terkejut dan sama-sama saling pandang dengan tegang. Dua di antaranya tampak cemas. Dua lagi tampak memberanikan diri. Salah satu dari yang memberanikan diri itu berkata keras.
"Kalau begitu kami harus memaksamu agar mau serahkan keris itu!"
"Aku tidak mempunyai Keris Setan Kobra, dan aku tidak membunuh Ki Empu Sakya, karena beliau termasuk orang yang kuhormati!"
"Omong kosong! Kau harus dipaksa rupanya. Hiiaat...!" Orang itu melompat dengan mengibas-ngibaskan sabit kembarnya di kanan kiri. Kibasan sabit kembar itu menimbulkan bunyi yang membuat merinding orang awam.
Tetapi Suto Sinting tetap diam dan tenang. Rupanya ia cepat-cepat pergunakan ilmu 'Layang Raga' sejak mendengar penjelasan mereka. Maka, ketika si Sabit Kembar membabatkan sabitnya ke lengan Suto, temannya yang menggenggam tombak bergagang pedang lengkung itu memekik kesakitan.
"Aoooww...!"
Sabit Kembar berpaling memandangi teman yang menjerit, ternyata tangan orang itu putus dan buntung seketika. Yang lainnya menjadi sangat heran melihat adegan itu. Si Sabit Kembar masih penasaran. Dengan kakinya ia menendang ulu hati Suto Sinting sekuat tenaga. Tentunya tenaga dalam pun dikerahkan.
Wuutt..! Duuugh..!
"Uuhgg...!" temannya yang berbaju hitam mendelik, langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Sedangkan Suto Sinting tetap diam tak bergeming. Si Sabit Kembar menjadi panik. "Edan! Apa iya yang kuserang dia yang celaka temanku sendiri?" pikirnya. Si Sabit Kembar kurang percaya. Maka sekali lagi ia menyerang Pendekar Mabuk dengan kedua sabitnya.
Wut, wut, wut, craass...!
Kedua sabit itu merobek menyilang di perut Suto Sinting. Lalu terdengar pekik tertahan dari temannya yang belum terluka apa pun itu.
"Aahg...!" pekikan pendek itu membuat si pemilik perut limbung ke belakang. Sabit Kembar semakin terperangah heran melihat perut temannya berodol, ususnya keluar semua. Padahal ia merasa merobek perut Suto Sinting dengan jurus 'Elang Ganas', tapi mengapa justru temannya yang menderita luka separah itu, dan akhirnya membuat orang tersebut tidak bernyawa lagi.
"Celaka! Ilmu apa yang digunakan orang ini?!" pikir si Sabit Kembar dengan mundur beberapa tindak. "Kalau kuteruskan bisa mati semua temanku?!"
"Kalau aku bersalah, aku tak akan bisa gunakan ilmu 'Layang Raga'," kata Suto. "Sebagai bukti bahwa aku tidak bersalah, maka aku masih bisa gunakan ilmuku itu."
Mereka akhirnya lari meninggalkan Suto dengan membawa mayat temannya. Tak satu pun ada yang berani coba-coba lagi dengan Pendekar Mabuk. Ketenangan Suto yang tidak mau mengejar mereka itu justru membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan larinya kian kencang. Yang buntung tangannya juga terpaksa harus lari sekencang mungkin sambil membawa potongan tangannya sendiri, sebab ia berharap sang Guru bisa menyambungkan kembali potongan tangan tersebut, ia tidak tahu bahwa sang Guru tak mampu melakukan hal yang begitu ajaib.
Pendekar Mabuk segera melirik ke arah Mega Dewi. Gadis itu duduk di bawah pohon, diam dan cemberut. Jelas ia masih menderita luka dalam, karena wajahnya masih pucat dan sesekali tersentak memuntahkan darah. Setelah dipaksa meminum tuaknya Suto, maka luka dalam itu pun mulai reda dan ia tak lagi tersentak muntah darah. Makin lama kesehatannya berangsur-angsur membaik, tetapi ia masih bersikap dingin kepada Suto Sinting.
"Mengapa sikapmu tidak seramah dulu. Mega Dewi?"
Gadis berkepang dua itu menjawab dengan ketus, "Pikirlah sendiri!"
Pendekar Mabuk tidak melayani keketusan Mega Dewi. Ia hanya tersenyum dan berdiri di depan Mega Dewi sambil bermainkan sehelai ilalang. Wajah murung itu dipandanginya dalam senyum yang tiada habisnya.
"Kau cemburu karena kutinggalkan terlalu lama?"
"Untuk apa menaruh cemburu kepada seorang pengkhianat!"
Kaget juga Suto mendengar ucapan itu. Senyumnya segera hilang, ia mulai bisa meraba masalah yang dipendam dalam hati Mega Dewi. Ia pun segera jongkok di hadapan Mega Dewi sambil memegangi bumbung tuak yang tadi diteguk isinya tiga kali. Ia bertanya dengan nada lebih pelan dan bersungguh-sungguh.
"Apa maksudmu mengatakan aku seorang pengkhianat?!"
"Karena kau tega membunuh sahabat sendiri. Ki Empu Sakya bukan musuhmu, tapi kau serakah, ingin memiliki kerisnya sehingga membunuh beliau! Akibatnya, orang banyak yang mengejarku karena disangkanya aku menyembunyikan kau!"
Suto menarik napas sambil berdiri. "Mega Dewi, semua itu fitnah belaka! Jangan mau percaya dengan kata-kata siapa pun tentang hal itu."
"Itu bukan fitnah, itu kenyataan!"
"Apa alasanmu menuduhku begitu dan yakin bahwa aku yang membunuhnya?"
"Ada saksi mata yang melihatmu melakukan serangan mematikan bagi diri mendiang Ki Empu Sakya!"
"Siapa saksi matanya?"
"Seorang penduduk desa, tetangga tak jauh dari rumah Ki Empu Sakya!" jawab Mega Dewi dengan tetap ketus.
"Apa kata orang itu?!"
"Pembunuhnya orang yang membawa-bawa bambu bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan kau?!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mulai tahu, mengapa ia dituduh sebagai pembunuh Ki Empu Sakya. Tak heran jika Sabani juga disangka bernama Suto Sinting, karena ia pedagang legen yang ke mana-mana membawa bambu bumbung tuak.
Mega Dewi berdiri, menatap sinis kepada Suto Sinting. "Mulai sekarang kau tak perlu bersahabat denganku lagi, Suto!"
"Mega Dewi, kau salah sangka!"
"Tidak mungkin!" bantah Mega Dewi dengan menggeram menahan kemarahan. "Aku tahu kau berilmu tinggi, Ki Empu Sakya juga berilmu tinggi. Ki Empu Sakya tak akan mudah diserang atau bahkan dibunuh jika penyerangnya bukan orang yang berilmu tinggi!"
"Tapi itu bukan aku, Mega Dewi. Tidak semua orang yang membawa bambu bumbung adalah Pendekar Mabuk Suto Sinting?! Di pasar banyak orang membawa bambu bumbung sebagai penjual legen kelapa!"
"Seorang penjual legen lebih mustahil lagi jika bisa membunuh Ki Empu Sakya. Aku tahu seberapa tinggi ilmu Ki Empu Sakya. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bohongi dengan dalih-dalihmu, Suto!"
Sedih sekali hati Pendekar Mabuk mendengar kata- kata Mega Dewi. Menurutnya, itu baru satu orang teman yang tidak percaya, bagaimana jika sampai semua temannya tidak mau percaya lagi kepadanya? Padahal memperoleh kepercayaan itu lebih sulit daripada memperoleh kemenangan dalam suatu pertarungan.
Pada dasarnya, Suto Sinting mengakui kebenaran kata-kata Mega Dewi. Orang yang bisa membunuh Ki Empu Sakya pasti orang berilmu tinggi, itu memang benar. Suto juga mengakui bahwa Ki Empu Sakya orang berilmu tinggi. Jika tidak berilmu tinggi beliau tidak akan mungkin bisa melihat noda merah di kening Suto, yaitu lambang penghargaan yang diberikan oleh Gusti Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa di sebuah negeri alam gaib.
Memang mustahil jika pedagang legen seperti Sabani itu mampu membunuh Ki Empu Sakya. Jika benar pembunuhnya membawa bumbung bambu, maka Suto dapat menduga orang sakti lainnya yang juga punya kegemaran minum tuak dan ke mana-mana membawa bumbung bambu. Tapi sejauh ingatannya, sepanjang pengelanaannya di rimba persilatan selama ini, Suto belum pernah temui orang yang ke mana-mana membawa bumbung bambu.
Bumbung bambu merupakan ciri khas Pendekar Mabuk. Tak heran jika Mega Dewi sangat percaya dengan berita tersebut, dan menduga keras bahwa memang Suto lah pembunuh Ki Empu Sakya. Lalu, pembunuhan itu dikaitkan dengan keris pusaka milik Ki Empu Sakya. Wajar jika semua orang menduga kalau keris itu sekarang ada di tangan Suto Sinting.
Sebelum Mega Dewi pergi meninggalkannya karena tak mau bersahabat lagi, Suto Sinting sempat mengajukan satu pertanyaan kepada gadis kepang dua itu. "Siapa nama saksi yang melihat Ki Empu Sakya dibunuh?!"
"Mbok Wiji, seorang pengrajin perabot dapur dari bambu!"
"Aku akan temui dia, dan kubuktikan bahwa bukan aku orang yang dilihatnya kala itu! Tak lama lagi kau akan tahu apakah aku bersalah atau tidak."
"Aku sudah tak mau peduli lagi dengan dirimu. Aku tak mau terlibat persoalan apa-apa bersamamu! Dan kau tak perlu mencariku atau berusaha menemuiku lagi, Suto. Aku sudah tidak suka berteman denganmu!"
Kata-kata itu menyakitkan bagi Suto Sinting, tapi agaknya kali ini Suto harus menelan kepahitan tersebut. Sebelum ia bisa membuktikan kepada masyarakat dan para tokoh bahwa dirinya tidak bersalah, ia masih harus menelan kenyataan pahit dan mendengar kata-kata yang menyakitkan seperti itu. Tak ada cara lain untuk membersihkan diri kecuali dengan menggunakan pengakuan perempuan desa yang bernama Mbok Wiji. Suto akan tampakkan diri di desa Kukusan itu, dan memohon kepada Mbok Wiji untuk mengenali wajah pembunuh Ki Empu Sakya.
Suto yakin Mbok Wiji akan mengatakan bahwa wajah pembunuh Ki Empu Sakya bukan wajah yang dimiliki Suto. Bergegaslah Suto Sinting menuju desa Kukusan. Perjalanannya sengaja melalui tempat-tempat yang tersembunyi, supaya jangan temui halangan dari siapa pun sebelum ia berhasil temui Mbok Wiji. Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang digabungkan dengan ilmu 'Layang Raga' kecepatan lari Suto lebih tinggi dari kecepatan anak panah melesat dari busurnya.
Ketika sampai di batas desa, hari sudah sore. Matahari hampir tenggelam. Tapi Suto tidak pedulikan suasana tersebut, ia mulai kurangi kecepatan larinya dan menjadi berjalan cepat biasa saja. Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat kerumunan orang di lereng bukit. Di sana ada tanah pemakaman, dan di tanah pemakaman itu agaknya sedang dilakukan upacara penguburan. Suto menjadi penasaran nalurinya mengatakan ada sesuatu yang perlu ditengok di kuburan itu. Ketika ia tiba di sana, ternyata ia bertemu dengan Sabani, si pedagang legen dalam bumbung bambu itu.
Tapi Sabani kala itu tidak membawa bumbungnya. "Kang...?" Sabani gemetar, ingat dosanya ketika bertemu Suto yang pertama kalinya itu. "Siapa yang meninggal, Sabani?"
"Mbok Wiji."
"Hah...?!" Suto Sinting terperangah kaget.
"Jenazahnya ditemukan cucunya tadi pagi, di dekat sungai. Sepertinya ia dibunuh oleh seseorang menggunakan senjata tajam. Kang. Lehernya robek."
Suto Sinting menjadi tertegun penuh kekecewaan. Satu-satunya saksi mata atas peristiwa kematian Ki Empu Sakya kini telah tiada. Semakin sulit bagi Suto untuk membuktikan bahwa orang yang membawa bumbung bambu dan membunuh Ki Empu Sakya itu bukan dirinya. Mbok Wiji tentunya mengenali pembunuh tersebut. Tapi sekarang Mbok Wiji sudah tiada. Bagaimana Suto harus membuktikan bahwa dirinya tak bersalah?
Berawal dari situlah, ternyata sebuah peristiwa yang tak diduga-duga itu terjadi dengan sangat menyedihkan. Ki Empu Sakya dibunuh seseorang dan tersebarlah berita bahwa Suto Sinting adalah pembunuh Ki Empu Sakya. Tersebar pula kabar, bahwa keris pusaka milik Ki Empu Sakya yang bernama Keris Setan Kobra itu telah dicuri oleh Suto Sinting dengan cara membunuh Ki Empu Sakya lebih dulu. Siapa yang menyebarkan berita itu pertama kalinya, tak diketahui secara pasti. Yang jelas, kini Suto Sinting si Pendekar Mabuk menjadi buronan orang banyak, bahkan menjadi bahan ejekan mereka.
"Tak kusangka pemuda setampan dia, sesakti dia, ternyata tega membunuh orang tak bersalah dan mencuri pusakanya. Sangat memalukan sekali."
"Aku juga tidak menyangka akan begitu. Padahal gurunya; si Gila Tuak, tidak mempunyai perilaku seburuk itu!"
"Dia tidak pantas mendapat gelar pendekar dan menjadi sanjungan para tokoh golongan putih. Tindakannya sudah membuatnya masuk dalam golongan hitam!"
Begitulah celoteh mereka, hampir rata-rata mengecam Suto Sinting dan menjelekkan gurunya; si Gila Tuak. Berita itu sampai di telinga para sahabat Suto Sinting. Mereka menjadi bimbang, walau sebagian ada yang percaya dengan berita tersebut. Tetapi bagi Pelangi Sutera, berita itu tidak mudah dipercayai begitu saja. Karenanya ia menyuruh Logo anaknya yang lahir dari ayah jin itu, untuk mencari Pendekar Mabuk dan mengajaknya bicara tentang hal itu. Tetapi niatnya itu tak pernah terlaksana, karena Suto Sinting sedang sibuk menyelidiki siapa penyebar fitnah tersebut.
Dalam perjalanannya menuju desa Kukusan, Pendekar Mabuk melihat suatu pertarungan yang tidak seimbang, ia melihatnya dari atas bukit. Seorang gadis berpakaian hijau terang, rambut kepang dua, sedang dikeroyok lima orang lelaki berperawakan kekar dan ganas-ganas. Gadis itu tak lain adalah Mega Dewi, anak Lurah Pramadi yang akrab dengan Ki Empu Sakya dan banyak yang tahu bahwa Mega Dewi pernah dekat dengan Suto Sinting.
Suto Sinting tidak berpikir apa persoalannya sehingga lima orang kekar menyerang Mega Dewi secara bersamaan. Suto hanya memikirkan, Mega Dewi perlu bantuan karena kekuatannya tak seimbang menghadapi lima orang ganas itu. Maka Suto Sinting pun segera melesat turun dari bukit untuk membantu Mega Dewi.
Pada saat itu, Mega Dewi terkena pukulan orang berompi hitam dengan tato di dada bergambar tengkorak. Orang tersebut sepertinya paling ganas dari keempat temannya. Pukulan berupa sinar hijau melesat dari tangannya dan mengenai lambung Mega Dewi.
Pada waktu itu Mega Dewi sedang menghadapi dua penyerang bersenjata tombak berujung pedang lengkung. Akibat pukulan sinar hijau itu, Mega Dewi jatuh tersungkur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Orang bertato gambar tengkorak itu segera mencabut pedang dari pinggangnya dan melompat untuk menebas leher Mega Dewi.
"Lebih baik modar daripada tak mau membantu kami. Mega Dewi! Heaaat...!"
Wuuut...! Weees...!
Trang...! Tahu-tahu bambu bumbung tuak sudah menahan gerakan pedang yang nyaris menempel di leher Mega Dewi. Bambu itu bagaikan besi dan membuat pedang lawan rompal separo bagian. Sisi tajamnya tinggal bagian ujung dan dekat gagang. Begitu pedang rompal, pemiliknya terperanjat kaget. Suto segera sentakkan kakinya ke kiri.
Wuuut...! Duuuhg...!
Tendangan sampingnya mengenai rusuk lawan yang ganas itu. Kraak...! Dua tulang rusuk patah seketika, lawan jatuh terpental dan meraung-raung kesakitan di sana. Keempat orang lainnya segera mengurung Suto Sinting. Sang pendekar tampan dia mmemandang dengan mata tajam. Salah seorang dari mereka berseru garang,
"Monyet kencur! Siapa kau dan apa perlumu mencampuri urusan kami dengan gadis itu, hah?!"
"Justru aku yang ingin bertanya siapa kalian, sehingga kalian berani menyerang sahabatku?!"
Yang berkumis pendek berseru, "Kami orang-orang Tambak Wesi! Kami harus paksa gadis itu agar menunjukkan di mana Suto Sinting itu berada! Sebab kami pernah dengar bahwa anak gadis mendiang Ki Lurah Pramadi itu pernah dekat dengan Suto Sinting. Malahan ada yang bilang dia bekas kekasihnya Suto Sinting. Kami membutuhkan orang itu!"
"Untuk apa?"
"Merebut Keris Pusaka Setan Kobra!"
Yang bersenjata sabit itu berseru pula, "Suto telah membunuh Ki Empu Sakya, pasti dia telah merebut keris pusakanya juga."
"Dan perlu kau ketahui, Anak Muda..., kami adalah bekas murid-murid Ki Empu Sakya. Beliau pernah menjadi sesepuh di Perguruan Tambak Wesi. Maka layaklah jika kami menuntut kembali keris pusaka tersebut!"
Suto memandang dengan menyipitkan mata. Satu persatu wajah diperhatikan, ia tak yakin dengan pengakuan tersebut. Ki Empu Sakya orang bijaksana, kalem, dan sabar. Tak mungkin pernah bergabung dengan manusia-manusia berwajah bengis seperti mereka. Tetapi hal itu disimpannya saja dalam hati. Suto hanya berkata kepada mereka berempat,
"Kalau kalian mencari Suto Sinting, akulah orangnya!"
"Hahh...?!" mereka saling terkejut dan sama-sama saling pandang dengan tegang. Dua di antaranya tampak cemas. Dua lagi tampak memberanikan diri. Salah satu dari yang memberanikan diri itu berkata keras.
"Kalau begitu kami harus memaksamu agar mau serahkan keris itu!"
"Aku tidak mempunyai Keris Setan Kobra, dan aku tidak membunuh Ki Empu Sakya, karena beliau termasuk orang yang kuhormati!"
"Omong kosong! Kau harus dipaksa rupanya. Hiiaat...!" Orang itu melompat dengan mengibas-ngibaskan sabit kembarnya di kanan kiri. Kibasan sabit kembar itu menimbulkan bunyi yang membuat merinding orang awam.
Tetapi Suto Sinting tetap diam dan tenang. Rupanya ia cepat-cepat pergunakan ilmu 'Layang Raga' sejak mendengar penjelasan mereka. Maka, ketika si Sabit Kembar membabatkan sabitnya ke lengan Suto, temannya yang menggenggam tombak bergagang pedang lengkung itu memekik kesakitan.
"Aoooww...!"
Sabit Kembar berpaling memandangi teman yang menjerit, ternyata tangan orang itu putus dan buntung seketika. Yang lainnya menjadi sangat heran melihat adegan itu. Si Sabit Kembar masih penasaran. Dengan kakinya ia menendang ulu hati Suto Sinting sekuat tenaga. Tentunya tenaga dalam pun dikerahkan.
Wuutt..! Duuugh..!
"Uuhgg...!" temannya yang berbaju hitam mendelik, langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Sedangkan Suto Sinting tetap diam tak bergeming. Si Sabit Kembar menjadi panik. "Edan! Apa iya yang kuserang dia yang celaka temanku sendiri?" pikirnya. Si Sabit Kembar kurang percaya. Maka sekali lagi ia menyerang Pendekar Mabuk dengan kedua sabitnya.
Wut, wut, wut, craass...!
Kedua sabit itu merobek menyilang di perut Suto Sinting. Lalu terdengar pekik tertahan dari temannya yang belum terluka apa pun itu.
"Aahg...!" pekikan pendek itu membuat si pemilik perut limbung ke belakang. Sabit Kembar semakin terperangah heran melihat perut temannya berodol, ususnya keluar semua. Padahal ia merasa merobek perut Suto Sinting dengan jurus 'Elang Ganas', tapi mengapa justru temannya yang menderita luka separah itu, dan akhirnya membuat orang tersebut tidak bernyawa lagi.
"Celaka! Ilmu apa yang digunakan orang ini?!" pikir si Sabit Kembar dengan mundur beberapa tindak. "Kalau kuteruskan bisa mati semua temanku?!"
"Kalau aku bersalah, aku tak akan bisa gunakan ilmu 'Layang Raga'," kata Suto. "Sebagai bukti bahwa aku tidak bersalah, maka aku masih bisa gunakan ilmuku itu."
Mereka akhirnya lari meninggalkan Suto dengan membawa mayat temannya. Tak satu pun ada yang berani coba-coba lagi dengan Pendekar Mabuk. Ketenangan Suto yang tidak mau mengejar mereka itu justru membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan larinya kian kencang. Yang buntung tangannya juga terpaksa harus lari sekencang mungkin sambil membawa potongan tangannya sendiri, sebab ia berharap sang Guru bisa menyambungkan kembali potongan tangan tersebut, ia tidak tahu bahwa sang Guru tak mampu melakukan hal yang begitu ajaib.
Pendekar Mabuk segera melirik ke arah Mega Dewi. Gadis itu duduk di bawah pohon, diam dan cemberut. Jelas ia masih menderita luka dalam, karena wajahnya masih pucat dan sesekali tersentak memuntahkan darah. Setelah dipaksa meminum tuaknya Suto, maka luka dalam itu pun mulai reda dan ia tak lagi tersentak muntah darah. Makin lama kesehatannya berangsur-angsur membaik, tetapi ia masih bersikap dingin kepada Suto Sinting.
"Mengapa sikapmu tidak seramah dulu. Mega Dewi?"
Gadis berkepang dua itu menjawab dengan ketus, "Pikirlah sendiri!"
Pendekar Mabuk tidak melayani keketusan Mega Dewi. Ia hanya tersenyum dan berdiri di depan Mega Dewi sambil bermainkan sehelai ilalang. Wajah murung itu dipandanginya dalam senyum yang tiada habisnya.
"Kau cemburu karena kutinggalkan terlalu lama?"
"Untuk apa menaruh cemburu kepada seorang pengkhianat!"
Kaget juga Suto mendengar ucapan itu. Senyumnya segera hilang, ia mulai bisa meraba masalah yang dipendam dalam hati Mega Dewi. Ia pun segera jongkok di hadapan Mega Dewi sambil memegangi bumbung tuak yang tadi diteguk isinya tiga kali. Ia bertanya dengan nada lebih pelan dan bersungguh-sungguh.
"Apa maksudmu mengatakan aku seorang pengkhianat?!"
"Karena kau tega membunuh sahabat sendiri. Ki Empu Sakya bukan musuhmu, tapi kau serakah, ingin memiliki kerisnya sehingga membunuh beliau! Akibatnya, orang banyak yang mengejarku karena disangkanya aku menyembunyikan kau!"
Suto menarik napas sambil berdiri. "Mega Dewi, semua itu fitnah belaka! Jangan mau percaya dengan kata-kata siapa pun tentang hal itu."
"Itu bukan fitnah, itu kenyataan!"
"Apa alasanmu menuduhku begitu dan yakin bahwa aku yang membunuhnya?"
"Ada saksi mata yang melihatmu melakukan serangan mematikan bagi diri mendiang Ki Empu Sakya!"
"Siapa saksi matanya?"
"Seorang penduduk desa, tetangga tak jauh dari rumah Ki Empu Sakya!" jawab Mega Dewi dengan tetap ketus.
"Apa kata orang itu?!"
"Pembunuhnya orang yang membawa-bawa bambu bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan kau?!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mulai tahu, mengapa ia dituduh sebagai pembunuh Ki Empu Sakya. Tak heran jika Sabani juga disangka bernama Suto Sinting, karena ia pedagang legen yang ke mana-mana membawa bambu bumbung tuak.
Mega Dewi berdiri, menatap sinis kepada Suto Sinting. "Mulai sekarang kau tak perlu bersahabat denganku lagi, Suto!"
"Mega Dewi, kau salah sangka!"
"Tidak mungkin!" bantah Mega Dewi dengan menggeram menahan kemarahan. "Aku tahu kau berilmu tinggi, Ki Empu Sakya juga berilmu tinggi. Ki Empu Sakya tak akan mudah diserang atau bahkan dibunuh jika penyerangnya bukan orang yang berilmu tinggi!"
"Tapi itu bukan aku, Mega Dewi. Tidak semua orang yang membawa bambu bumbung adalah Pendekar Mabuk Suto Sinting?! Di pasar banyak orang membawa bambu bumbung sebagai penjual legen kelapa!"
"Seorang penjual legen lebih mustahil lagi jika bisa membunuh Ki Empu Sakya. Aku tahu seberapa tinggi ilmu Ki Empu Sakya. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bohongi dengan dalih-dalihmu, Suto!"
Sedih sekali hati Pendekar Mabuk mendengar kata- kata Mega Dewi. Menurutnya, itu baru satu orang teman yang tidak percaya, bagaimana jika sampai semua temannya tidak mau percaya lagi kepadanya? Padahal memperoleh kepercayaan itu lebih sulit daripada memperoleh kemenangan dalam suatu pertarungan.
Pada dasarnya, Suto Sinting mengakui kebenaran kata-kata Mega Dewi. Orang yang bisa membunuh Ki Empu Sakya pasti orang berilmu tinggi, itu memang benar. Suto juga mengakui bahwa Ki Empu Sakya orang berilmu tinggi. Jika tidak berilmu tinggi beliau tidak akan mungkin bisa melihat noda merah di kening Suto, yaitu lambang penghargaan yang diberikan oleh Gusti Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa di sebuah negeri alam gaib.
Memang mustahil jika pedagang legen seperti Sabani itu mampu membunuh Ki Empu Sakya. Jika benar pembunuhnya membawa bumbung bambu, maka Suto dapat menduga orang sakti lainnya yang juga punya kegemaran minum tuak dan ke mana-mana membawa bumbung bambu. Tapi sejauh ingatannya, sepanjang pengelanaannya di rimba persilatan selama ini, Suto belum pernah temui orang yang ke mana-mana membawa bumbung bambu.
Bumbung bambu merupakan ciri khas Pendekar Mabuk. Tak heran jika Mega Dewi sangat percaya dengan berita tersebut, dan menduga keras bahwa memang Suto lah pembunuh Ki Empu Sakya. Lalu, pembunuhan itu dikaitkan dengan keris pusaka milik Ki Empu Sakya. Wajar jika semua orang menduga kalau keris itu sekarang ada di tangan Suto Sinting.
Sebelum Mega Dewi pergi meninggalkannya karena tak mau bersahabat lagi, Suto Sinting sempat mengajukan satu pertanyaan kepada gadis kepang dua itu. "Siapa nama saksi yang melihat Ki Empu Sakya dibunuh?!"
"Mbok Wiji, seorang pengrajin perabot dapur dari bambu!"
"Aku akan temui dia, dan kubuktikan bahwa bukan aku orang yang dilihatnya kala itu! Tak lama lagi kau akan tahu apakah aku bersalah atau tidak."
"Aku sudah tak mau peduli lagi dengan dirimu. Aku tak mau terlibat persoalan apa-apa bersamamu! Dan kau tak perlu mencariku atau berusaha menemuiku lagi, Suto. Aku sudah tidak suka berteman denganmu!"
Kata-kata itu menyakitkan bagi Suto Sinting, tapi agaknya kali ini Suto harus menelan kepahitan tersebut. Sebelum ia bisa membuktikan kepada masyarakat dan para tokoh bahwa dirinya tidak bersalah, ia masih harus menelan kenyataan pahit dan mendengar kata-kata yang menyakitkan seperti itu. Tak ada cara lain untuk membersihkan diri kecuali dengan menggunakan pengakuan perempuan desa yang bernama Mbok Wiji. Suto akan tampakkan diri di desa Kukusan itu, dan memohon kepada Mbok Wiji untuk mengenali wajah pembunuh Ki Empu Sakya.
Suto yakin Mbok Wiji akan mengatakan bahwa wajah pembunuh Ki Empu Sakya bukan wajah yang dimiliki Suto. Bergegaslah Suto Sinting menuju desa Kukusan. Perjalanannya sengaja melalui tempat-tempat yang tersembunyi, supaya jangan temui halangan dari siapa pun sebelum ia berhasil temui Mbok Wiji. Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang digabungkan dengan ilmu 'Layang Raga' kecepatan lari Suto lebih tinggi dari kecepatan anak panah melesat dari busurnya.
Ketika sampai di batas desa, hari sudah sore. Matahari hampir tenggelam. Tapi Suto tidak pedulikan suasana tersebut, ia mulai kurangi kecepatan larinya dan menjadi berjalan cepat biasa saja. Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat kerumunan orang di lereng bukit. Di sana ada tanah pemakaman, dan di tanah pemakaman itu agaknya sedang dilakukan upacara penguburan. Suto menjadi penasaran nalurinya mengatakan ada sesuatu yang perlu ditengok di kuburan itu. Ketika ia tiba di sana, ternyata ia bertemu dengan Sabani, si pedagang legen dalam bumbung bambu itu.
Tapi Sabani kala itu tidak membawa bumbungnya. "Kang...?" Sabani gemetar, ingat dosanya ketika bertemu Suto yang pertama kalinya itu. "Siapa yang meninggal, Sabani?"
"Mbok Wiji."
"Hah...?!" Suto Sinting terperangah kaget.
"Jenazahnya ditemukan cucunya tadi pagi, di dekat sungai. Sepertinya ia dibunuh oleh seseorang menggunakan senjata tajam. Kang. Lehernya robek."
Suto Sinting menjadi tertegun penuh kekecewaan. Satu-satunya saksi mata atas peristiwa kematian Ki Empu Sakya kini telah tiada. Semakin sulit bagi Suto untuk membuktikan bahwa orang yang membawa bumbung bambu dan membunuh Ki Empu Sakya itu bukan dirinya. Mbok Wiji tentunya mengenali pembunuh tersebut. Tapi sekarang Mbok Wiji sudah tiada. Bagaimana Suto harus membuktikan bahwa dirinya tak bersalah?
* * *
TIGA
SIAPA pun jika menghadapi masalah seperti itu tidak akan mudah tidur, kecuali Ki Gendeng Sekarat. Suto Sinting pun menjadi susah tidur. Malam hari ia temukan pohon yang bisa digunakan untuk tidur, tetapi yang terbayang di benaknya hanyalah wajah Ki Empu Sakya dan persoalan dirinya. Di atas pohon itu, Suto hanya berkedip-kedip memikirkan nasib dirinya yang benar-benar sial itu. Suto Sinting pun segera ingat pesan calon istrinya; Dyah Sariningrum. Pesan itu diucapkan ketika Dyah Sariningrum mengantar Suto sampai ke pantai.
"Jangan singgah ke pulau mana pun, kecuali ke tujuanmu. Kalau kau singgah di pulau mana pun, maka kau akan menemui persoalan yang rumit."
"Kau tak perlu cemburu, Sayangku," bisik Suto Sinting dengan mesra.
"Tidak. Aku tidak akan cemburu. Aku percaya kepadamu. Tapi langkah seseorang kadang tidak mengetahui lubang di depannya. Aku percaya kau tidak akan jatuh cinta pada wanita lain. Hanya saja, menurut perhitungan hari, tanggal, waktu, dan bulan, kepergianmu ini harus langsung ke tempat tujuan. Sekali lagi, jika kau mampir-mampir maka kau akan menemui nasib sial."
"Apakah kau suka jika aku bernasib sial?"
Dyah Sariningrum yang punya lesung pipit itu tersenyum manis. Cantik sekali. Ia tersenyum sambil gelengkan kepala dan memandang lembut kepada calon suaminya. "Aku tidak ingin kau bernasib sial. Karena itu aku beritahukan apa yang harus kau lakukan supaya tidak bernasib sial."
"Aku harus menurut padamu, karena aku sayang kepadamu, Dyah tersayang," kata Suto makin membisik dan menyiram kesejukan hati sang Ratu yang bergelar Ratu Mahkota Sejati itu.
Tetapi dalam perjalanan pulang dengan tugas memburu Siluman Tujuh Nyawa, Suto Sinting sempat lupa akan pesan calon istrinya itu. Sekalipun Suto orang yang cerdas dan berilmu tinggi, tapi kealpaan tetap saja bisa singgah pada dirinya. Manusia tak akan luput dari kelupaan, karena kelupaan merupakan bagian dari penyakit kodrati bagi manusia itu sendiri.
Di atas perahunya yang berlayar tunggal, dengan ditemani oleh seorang prajurit negeri Puri Gerbang Surgawi, Suto Sinting melihat suatu pertarungan di atas permukaan air laut. Salah satu orang yang mengadakan pertarungan di atas sepotong papan itu adalah Raja Maut, sahabat gurunya Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak)
Melihat Raja Maut bertarung dengan seorang wanita cantik namun berkesan galak itu, Suto Sinting tak bisa tinggal diam. Apalagi pelayaran perahunya harus melintasi tempat itu. Pada mulanya Suto Sinting tidak mengenal perempuan yang bertarung dengan Raja Maut. Tetapi prajurit yang menyertainya dalam perahu itu berkata,
"Perempuan itulah yang bernama Nyai Demang Ronggeng, penguasa Pulau Blacan yang tampak dari sini itu."
"Ooo... ya, ya, ya... aku mengerti sekarang," kata Suto sambil manggut-manggut. "Aku pernah dengar cerita permusuhan Raja Maut dengan Nyai Demang Ronggeng. Pasti persoalan Kitab Sukma Sukmi yang dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng dari tangan gurunya si Raja Maut."
"Saya malah tidak dengar cerita itu, Gusti Manggala Yudha," kata prajurit tersebut kepada Suto.
Gusti Manggala Yudha memang pangkat dan sebutan Suto di kalangan orang-orang Puri Gerbang Surgawi. Kedudukannya lebih tinggi dari sang Ratu Mahkota Sejati, karena kehormatan Suto itu diberikan oleh penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib, yaitu Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum atau si Ratu Mahkota Sejati itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).
"Raja Maut agaknya terdesak oleh kekuatan Nyai Demang Ronggeng. Sekujur tubuhnya telah basah kuyup, sedangkan Nyai Demang Ronggeng masih kering," gumam Suto bagaikan bicara sendiri.
Ketika melihat Raja Maut terpental jauh karena satu pukulan sinar merah dari kibasan kipas berbulu merah itu, Suto Sinting cemaskan jiwa Raja Maut.
"Arahkan perahu kita untuk menolong Raja Maut!" kata Suto kepada sang prajurit yang mengendalikan laju perahu itu.
Maka sang prajurit pun menuruti perintah tersebut. Raja Maut benar-benar terluka parah. Tubuhnya mengambang di air dalam keadaan pingsan. Suto Sinting segera menolong, mengangkat tubuh Raja Maut untuk diselamatkan jiwanya. Raja Maut dibaringkan di perahu itu. Mulutnya dipaksa terbuka, lalu tuak dari bumbung dituangkan oleh Suto sedikit demi sedikit. Akhirnya beberapa teguk tuak tertelan oleh Raja Maut, sampai orang tua itu tersedak dan terbatuk-batuk, sadar dari pingsannya. Namun karena tubuhnya masih memar membiru dan lemas. Raja Maut tak bisa bilang apa-apa
Jleeg...!
Rupanya pertolongan Suto kepada Raja Maut tidak disukai oleh Nyai Demang Ronggeng. Perempuan itu berusaha mencapai perahu dan tiba-tiba ia sudah berhasil menginjakkan kakinya di buritan perahu. Suto Sinting sempat terperanjat, namun kembali tenang dengan berkata sopan kepada Nyai Demang Ronggeng,
"Maaf... aku tidak bermaksud campuri urusanmu, melainkan sekadar menolong orang yang kukenal ini!"
"Lancang betul kau!" sentak Nyai Demang Ronggeng. "Aku ingin membunuhnya, tapi kau ingin menyelamatkannya. Itu sama saja kau telah menantangku untuk lanjutkan pertarungan ini!"
"Tidak. Aku tidak menantangmu. Ini sekadar tugasku sebagai manusia, menolong yang lemah, membantu yang susah!"
"Hmmm...!" Nyai Demang Ronggeng mencibir melihat Suto merendahkan hati di depannya. Matanya menatap terus tak berkedip, lama-lama hatinya berkata, "Ganteng juga dia!" Tapi sikapnya tetap dipaksakan angkuh dan sinis. "Kalau kau tak menantangku," kata Nyai Demang Ronggeng, "Bunuh si setan tua itu! Jangan obati dia! Ceburkan ke laut sekarang juga!"
Dengan senyum kalem Pendekar Mabuk berkata, "Maaf, aku tidak bisa berbuat sekejam itu, Nyai. Guruku tidak pernah ajarkan agar aku berbuat sejahat itu kepada orang tak berdaya."
"Siapa gurumu?!"
"Gila Tuak"
Mata Nyai Demang Ronggeng terkesiap, ia terkejut, namun disembunyikan dalam hati. Hanya wajahnya yang tampak semakin sinis dengan kata-katanya yang ketus, kadang bernada dingin. "Kebetulan sekali! Si Gila Tuak punya hutang padaku! Hutang jurus!"
"Oh, aku tidak tahu hal itu, Nyai. Aku tidak bermaksud apa-apa padamu."
"Gila Tuak pernah menyerangku saat aku bertarung melawan setan busuk itu!" Ia menuding Raja Maut "Aku dibuatnya lari terbirit-birit. Sekarang giliranku membalas sakit hati itu melalui muridnya!"
"Nyai Demang Ronggeng, terlalu buruk jika kita turuti nafsu membunuh dan membalas dendam. Sebaiknya, lupakan saja niatmu itu agar di antara kita tidak ada yang celaka, Nyai!"
"Akan kulupakan setelah aku berhasil mengirim penggalan kepala murid si Gila Tuak. Hiaaatt...!" Nyai Demang Ronggeng nekat menyerang Suto Sinting dengan lompatan cepat bagaikan hembusan angin.
Wuuutt...!
Tetapi Suto Sinting enggan melayani, sehingga ia hanya menghindar pada saat jaraknya dengan lawan sudah sangat dekat, ia menjatuhkan diri dalam posisi duduk, lalu meraih bumbung tuak yang tergeletak di samping raga si Raja Maut.
Serangan yang dihindari dengan seenaknya itu membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng tak mampu berhenti seketika. Ia melaju dengan lompatan cepatnya dan akhirnya melewati batas perahu dan, byuuurrr...! Ia jatuh ke lautan. Untuk sesaat ia menyelam diri, tapi kejap berikut ia muncul dengan satu sentakan kuat. Bruuus...! Ia melayang tinggi bagaikan seekor lumba-lumba muncul dari kedalaman air. Gerakan saltonya membuat ia mampu hinggap di atas barak perahu yang beratap papan itu. Draak...! Tubuhnya yang basah kuyup meneteskan air ke atap barak. Tapi kipas bulu merahnya itu bagaikan anti basah. Tak sedikit pun air menempel di kipas tersebut.
"Nyai Demang Ronggeng," kata Suto, "Jangan memaksaku bertindak kasar kepadamu. Aku tahu siapa kau, dan aku kenal dengan dengan Ki Gendeng Sekarat, saudara seperguruanmu, karena itu aku masih menghormatimu, Nyai."
"Aku tidak butuh hormatmu! Aku benci pada Gendeng Sekarat! Hiaaat...!" Kali ini Nyai Demang Ronggeng melompat sambil kibaskan kipasnya. Dari kipas itu keluar tenaga dalam yang besar dan menyerang Suto Sinting yang masih enggan melayaninya. Suto bermaksud menghindar, namun terlambat, sehingga tubuhnya yang baru saja hendak melompat itu terhempas pukulan tenaga dalam dari kipas merah.
Wuuut...! Braaak...!
Suto Sinting jatuh di haluan kapal. Prajurit ingin membantu tapi Suto segera melarangnya. Pendekar Mabuk cepat berdiri karena Nyai Demang Ronggeng telah lepaskan lagi serangan berikutnya, berupa cahaya merah dari kipas tersebut.
Slaaap...!
Dengan cepat Suto meraih bumbung tuaknya dan disilangkan di depan dada. Akibatnya sinar merah itu mengenai bumbung tuak tersebut namun tidak membuat bumbung itu hancur, melainkan membuat sinar merah memantul kembali arah. Pantulan sinar merah itu ternyata lebih cepat dan lebih besar lagi, tenaga yang ada di dalam sinar merah menjadi berlipat ganda.
Wuuusss...!
Nyai Demang Ronggeng terkejut. Hampir saja ia terpaku melihat sinar merahnya membalik dalam keadaan lebih besar. Dengan gerakan cepat, kipas dibentangkan dan digunakan menangkis sinar merah itu.
Praak...! Blaaar...!
Sinar merah jebol seketika. Tubuh Nyai Demang Ronggeng terpental jatuh ke laut kembali. Byuuur...! Tetapi sebelum ia jatuh masuk ke dalam air, prajurit sempat melihat mulut Nyai Demang Ronggeng semburkan darah segar, pakaiannya terbakar pada bagian dada. Setelah itu lenyap, tak bisa diketahui keadaannya.
Raja Maut mulai sehat walau tidak sepenuhnya, ia mulai sadar bahwa dirinya berada di atas perahu, ia juga kaget melihat Suto ada di perahu itu juga. "Apa yang terjadi, Suto?"
"Nyai Demang Ronggeng terkena pukulannya sendiri dan masuk ke perairan. Sampai sekarang belum muncul-muncul," Suto menjawab dengan mata memandangi perairan di sekelilingnya.
"Apa warna pukulannya tadi?"
"Merah! Keluar dari kipasnya."
"Habislah riwayatnya. Setidaknya bagian dalamnya rusak berat!" gumam Raja Maut sambil memandangi perairan juga.
"Apakah ini persoalan Kitab Sukma Sukmi?"
"Benar. Hari ini kutentukan sikapku; kalau tak dapat merebut kitab itu, lebih baik aku mati di tangannya, toh aku sudah turunkan ilmuku kepada muridku. Bagiku mati bukan masalah lagi."
"Sebenarnya aku hanya ingin menolongmu, Raja Maut. Tidak bermaksud mencampuri urusan kalian berdua. Tetapi...," ucapan itu terhenti. Sesosok tubuh keluar dari kedalaman air laut. Mirip ikan lumba-lumba sedang terbang.
Bruuusss...!
Jleeg...! Nyai Demang Ronggeng masih hidup, keadaannya memang menyedihkan. Dada sampai leher berwarna hitam hangus. Sebagian pakaiannya rusak termakan api. Namun keadaan api sudah padam karena air laut. Matanya menjadi mengerikan. Bagian tepi kelopak mata itu memerah. Hidungnya masih melelehkan darah. Tapi ia masih mampu berdiri di buritan dengan tegak dan kokoh.
"Nyai, sudahlah, jangan teruskan pertarungan ini," kata Suto memohon.
Tapi agaknya perempuan berhati sadis itu tetap ingin lanjutkan pertarungan sampai titik darah penghabisan. Dengan geram kemarahannya ia berkata, "Sekarang sudah tak ada waktu untuk berdamai denganmu, murid Gila Tuak! Kau atau si setan tua itu yang mati di tanganku! Atau kalian berdua sama-sama kukirim ke alam baka?!"
"Kau pikir mudah mengirimku ke alam baka?" sahut si Raja Maut, lalu mencoba berdiri, tapi ia jatuh lagi karena keadaannya masih lemah. Pada saat Raja Maut jatuh, Nyai Demang Ronggeng segera melepaskan pukulan dengan kedua tangan disentakkan ke depan.
Wuuus...! Sinar merah besar melesat menghantam tubuh Raja Maut.
Suto Sinting cepat lompatkan diri ke depan Raja Maut, lalu dengan kedua tangan disentakkan ke depan, melesatlah sinar biru besar dari tangan Suto. Sinar bru itu menghadang laju sinar merah, dan bertemu di pertengahan tanpa ledakan. Kedua orang itu akhirnya adu kekuatan tenaga dalam.
Nyai Demang Ronggeng kerahkan tenaga dalamnya supaya sinar merah bisa menembus tubuh Suto, sedangkan Suto sendiri kerahkan tenaga dalamnya supaya sinar biru bisa mendesak sinar merah lawan. Kedua tangan Suto Sinting bergetar, tapi sekujur tubuh Nyai Demang Ronggeng gemetaran. Wajahnya yang pucat menjadi memerah, pertanda seluruh kekuatan dikerahkannya.
Pertemuan kedua sinar itu memercikkan bunga api. Garis pertemuan bergerak maju-mundur menandakan kekuatan mereka saling dipertahankan. Sampai akhirnya, kaki Suto Sinting menghentak ke lantai perahu. Duuuhg...! Seakan hentakan itu mendatangkan kekuatan besar dan membuat sinar birunya mampu mendesak ke depan dan akhirnya menghantam tubuh Nyai Demang Ronggeng.
Blaaar...!
Cahaya biru pijar memecah menyilaukan. Pandangan mata mereka tak mampu menembus nyala biru terang yang melebar melebihi lebar layar itu. Namun cahaya itu hanya sekejap, lalu lenyap.
Blaab...!
Sosok Nyai Demang Ronggeng tidak kelihatan lagi. Asap tipis masih menyelimuti tempat berdirinya Nyai Demang Ronggeng. Semakin tipis asap itu semakin terlihat oleh mereka tubuh Nyai Demang Ronggeng mengambang dipermukaan air dalam keadaan hangus seluruhnya. Perempuan itu telah menjadi arang karena terkena pukulan jurus 'Tangan Guntur' yang jarang digunakan Suto itu.
Raja Maut dan prajurit memandang dengan mulut ternganga bengong. Wajah mereka diliputi perasaan kagum dan takjub terhadap hasil pukulan jurus Pendekar Mabuk itu. Sedangkan Suto Sinting sendiri memandang mayat yang ditinggalkan perahu itu dengan wajah sesal. Bahkan ia menggumam di samping Raja Maut,
"Seharusnya hal itu tidak terjadi kalau hatinya tidak sekeras baja!"
"Memang itulah akibat yang harus diterima bagi orang yang tak pernah mau mengenal perdamaian," ujar Raja Maut. "Aku tak salahkan dirimu. Kau hanya sebatas melindungiku. Karena kau tahu keadaanku sedang lemah, tak mungkin mampu melawan jurusnya tadi. Aku berterima kasih padamu, Suto! Biar kujelaskan sendiri pada si Gila Tuak, gurumu itu, mengapa kau membunuh Kiswanti."
Suto memandang jauh dalam lamunan sesalnya. Pantai Pulau Blacan terlihat jelas dan akan dilewatinya. Suto Sinting diam tanpa bicara apa pun. Raja Maut segera mendekati dan bicara dengan hati-hati.
"Suto, aku harus mengambil Kitab Sukma Sukmi di pulau itu. Maukah kau menungguku mengambilnya, agar aku bisa pulang menumpang perahumu?"
Napas Suto Sinting ditarik dalam-dalam. "Ambillah, setelah itu jagalah agar Kitab Sukma Sukmi yang berisi jurus-jurus maut dan ilmu 'Tarian Mayat' itu jangan sampai jatuh ke tangan orang sesat lagi."
Raja Maut yang berjubah abu-abu itu tersenyum ceria. Pendekar Mabuk senang melihat orang yang ditolongnya menjadi ceria. Maka perahu pun menepi ke pantai Pulau Blacan. Raja Maut turun sendiri, menuju persinggahan Nyai Demang Ronggeng. Suto dan prajurit menunggu di perahu sampai beberapa saat lamanya. Suto sempat bercerita tentang hubungan Nyai Demang Ronggeng dengan Ki Gendeng Sekarat yang ditinggalkannya di Pulau Serindu. Bahkan Suto banyak bercerita pengalaman yang dilalui bersama si tukang tidur itu.
"Jadi, Ki Gendeng Sekarat itu sebenarnya sudah hampir mati di tangan Ratu Tanpa Tapak, Gusti Manggala?"
"Ya. Tapi seorang teman bernama Sumbaruni menolongnya, aku pun akhirnya datang membantu mereka."
"Sumbaruni...?" gumam prajurit itu bernada heran. Dahinya pun berkerut. "Sepertinya saya pernah dengar nama Sumbaruni dari cerita ke cerita."
"Mungkin kau ingin katakan bahwa Sumbaruni itu bersuamikan jin Kazmat?"
"Bukan itu saja," jawab prajurit yang usianya sekitar tiga puluh tahun. "Menurut cerita yang saya dengar, Sumbaruni itu pelayan seorang petapa di Gunung Winukir. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana, yang mempunyai murid bernama Pramban Jati dan Resi Wisbo."
"Pramban Jati itu gurunya Ki Gendeng Sekarat!" sahut Suto.
"Ooo...," prajurit itu manggut-manggut.
"Resi Wisbo adalah gurunya Raja Maut tadi!"
"O, begitu?! Jadi antara Sumbaruni dan Nyai Demang Ronggeng, Ki Gendeng Sekarat, Raja Maut bisa jadi mempunyai kesamaan ilmu, Gusti?"
"Mungkin saja. Cuma yang mana yang lebih tinggi, kurasa Sumbaruni-lah yang paling tinggi ilmunya. Karena dia mendapat warisan ilmu secara langsung dari Eyang Bayudana sang petapa itu."
Percakapan itu terhenti karena Raja Maut telah kembali dengan membawa Kitab Sukma Sukmi. Mereka meluncur ke Tanah Jawa memakan waktu perjalanan selama satu hari satu malam. Dan saat itulah sebenarnya Suto Sinting telah lupa akan pesan Dyah Sariningrum. Ia telah mampir ke sebuah pulau, walau hanya di pantainya saja, dan walaupun untuk menolong seseorang.
Kini dalam lamunan malam Suto di atas pohon, kesalahan itu teringat kembali. Hatinya pun berkata, "Pantas nasibku sial, karena aku telah mampir ke Pulau Blacan! Kurasa Dyah pun tahu kesalahan yang telah kuperbuat itu, karena ia punya kekuatan batin untuk meneropong kehidupanku dari jauh."
Hati Suto Sinting ingin menyesali langkahnya itu, tapi ia merasa penyesalan tersebut tidak berarti apa-apa. Tak perlu dipikirkan lagi. Sebab yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. "Kurasa aku memang harus temui Sumbaruni atau Pelangi Sutera itu! Paling tidak, Sumbaruni punya saran untukku."
Kecamuk batin dan pikirannya itu akhirnya melelahkan jiwa. Suto Sinting tertidur ketika pagi tinggal sedikit waktu lagi. Namun dalam tidurnya itu, ia kembali bermimpi tentang wanita cantik berjubah sutera warna biru muda.
"Asmaradani...?!" sapa Pendekar Mabuk dalam mimpinya. Seolah-olah mereka saling melepas rindu karena lama tak jumpa. Asmaradani memeluk Suto penuh ungkapan rasa kangen. Lalu, wanita cantik itu kembali menyerahkan setangkai bunga mawar warna pelangi dengan tangkai tanpa duri.
"Lama aku menunggumu, ingin serahkan bunga ini untukmu, Suto."
"Kau baik padaku. Asmaradani," ucap Suto bernada mesra. Sayang mimpi itu tak panjang. Suto terbangun ketika mendengar suara kokok ayam dan lesung penumbuk padi di kejauhan sana. Tetapi ia jadi terkejut setelah menyadari tangannya menggenggam setangkai mawar pelangi tak berduri.
"Bunga ini benar-benar kumiliki?! Mimpiku itu... oh, mimpi apa sebenarnya? Apa arti mimpi seaneh ini?!" pikir Suto dengan bingungnya.
"Jangan singgah ke pulau mana pun, kecuali ke tujuanmu. Kalau kau singgah di pulau mana pun, maka kau akan menemui persoalan yang rumit."
"Kau tak perlu cemburu, Sayangku," bisik Suto Sinting dengan mesra.
"Tidak. Aku tidak akan cemburu. Aku percaya kepadamu. Tapi langkah seseorang kadang tidak mengetahui lubang di depannya. Aku percaya kau tidak akan jatuh cinta pada wanita lain. Hanya saja, menurut perhitungan hari, tanggal, waktu, dan bulan, kepergianmu ini harus langsung ke tempat tujuan. Sekali lagi, jika kau mampir-mampir maka kau akan menemui nasib sial."
"Apakah kau suka jika aku bernasib sial?"
Dyah Sariningrum yang punya lesung pipit itu tersenyum manis. Cantik sekali. Ia tersenyum sambil gelengkan kepala dan memandang lembut kepada calon suaminya. "Aku tidak ingin kau bernasib sial. Karena itu aku beritahukan apa yang harus kau lakukan supaya tidak bernasib sial."
"Aku harus menurut padamu, karena aku sayang kepadamu, Dyah tersayang," kata Suto makin membisik dan menyiram kesejukan hati sang Ratu yang bergelar Ratu Mahkota Sejati itu.
Tetapi dalam perjalanan pulang dengan tugas memburu Siluman Tujuh Nyawa, Suto Sinting sempat lupa akan pesan calon istrinya itu. Sekalipun Suto orang yang cerdas dan berilmu tinggi, tapi kealpaan tetap saja bisa singgah pada dirinya. Manusia tak akan luput dari kelupaan, karena kelupaan merupakan bagian dari penyakit kodrati bagi manusia itu sendiri.
Di atas perahunya yang berlayar tunggal, dengan ditemani oleh seorang prajurit negeri Puri Gerbang Surgawi, Suto Sinting melihat suatu pertarungan di atas permukaan air laut. Salah satu orang yang mengadakan pertarungan di atas sepotong papan itu adalah Raja Maut, sahabat gurunya Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak)
Melihat Raja Maut bertarung dengan seorang wanita cantik namun berkesan galak itu, Suto Sinting tak bisa tinggal diam. Apalagi pelayaran perahunya harus melintasi tempat itu. Pada mulanya Suto Sinting tidak mengenal perempuan yang bertarung dengan Raja Maut. Tetapi prajurit yang menyertainya dalam perahu itu berkata,
"Perempuan itulah yang bernama Nyai Demang Ronggeng, penguasa Pulau Blacan yang tampak dari sini itu."
"Ooo... ya, ya, ya... aku mengerti sekarang," kata Suto sambil manggut-manggut. "Aku pernah dengar cerita permusuhan Raja Maut dengan Nyai Demang Ronggeng. Pasti persoalan Kitab Sukma Sukmi yang dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng dari tangan gurunya si Raja Maut."
"Saya malah tidak dengar cerita itu, Gusti Manggala Yudha," kata prajurit tersebut kepada Suto.
Gusti Manggala Yudha memang pangkat dan sebutan Suto di kalangan orang-orang Puri Gerbang Surgawi. Kedudukannya lebih tinggi dari sang Ratu Mahkota Sejati, karena kehormatan Suto itu diberikan oleh penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib, yaitu Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum atau si Ratu Mahkota Sejati itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).
"Raja Maut agaknya terdesak oleh kekuatan Nyai Demang Ronggeng. Sekujur tubuhnya telah basah kuyup, sedangkan Nyai Demang Ronggeng masih kering," gumam Suto bagaikan bicara sendiri.
Ketika melihat Raja Maut terpental jauh karena satu pukulan sinar merah dari kibasan kipas berbulu merah itu, Suto Sinting cemaskan jiwa Raja Maut.
"Arahkan perahu kita untuk menolong Raja Maut!" kata Suto kepada sang prajurit yang mengendalikan laju perahu itu.
Maka sang prajurit pun menuruti perintah tersebut. Raja Maut benar-benar terluka parah. Tubuhnya mengambang di air dalam keadaan pingsan. Suto Sinting segera menolong, mengangkat tubuh Raja Maut untuk diselamatkan jiwanya. Raja Maut dibaringkan di perahu itu. Mulutnya dipaksa terbuka, lalu tuak dari bumbung dituangkan oleh Suto sedikit demi sedikit. Akhirnya beberapa teguk tuak tertelan oleh Raja Maut, sampai orang tua itu tersedak dan terbatuk-batuk, sadar dari pingsannya. Namun karena tubuhnya masih memar membiru dan lemas. Raja Maut tak bisa bilang apa-apa
Jleeg...!
Rupanya pertolongan Suto kepada Raja Maut tidak disukai oleh Nyai Demang Ronggeng. Perempuan itu berusaha mencapai perahu dan tiba-tiba ia sudah berhasil menginjakkan kakinya di buritan perahu. Suto Sinting sempat terperanjat, namun kembali tenang dengan berkata sopan kepada Nyai Demang Ronggeng,
"Maaf... aku tidak bermaksud campuri urusanmu, melainkan sekadar menolong orang yang kukenal ini!"
"Lancang betul kau!" sentak Nyai Demang Ronggeng. "Aku ingin membunuhnya, tapi kau ingin menyelamatkannya. Itu sama saja kau telah menantangku untuk lanjutkan pertarungan ini!"
"Tidak. Aku tidak menantangmu. Ini sekadar tugasku sebagai manusia, menolong yang lemah, membantu yang susah!"
"Hmmm...!" Nyai Demang Ronggeng mencibir melihat Suto merendahkan hati di depannya. Matanya menatap terus tak berkedip, lama-lama hatinya berkata, "Ganteng juga dia!" Tapi sikapnya tetap dipaksakan angkuh dan sinis. "Kalau kau tak menantangku," kata Nyai Demang Ronggeng, "Bunuh si setan tua itu! Jangan obati dia! Ceburkan ke laut sekarang juga!"
Dengan senyum kalem Pendekar Mabuk berkata, "Maaf, aku tidak bisa berbuat sekejam itu, Nyai. Guruku tidak pernah ajarkan agar aku berbuat sejahat itu kepada orang tak berdaya."
"Siapa gurumu?!"
"Gila Tuak"
Mata Nyai Demang Ronggeng terkesiap, ia terkejut, namun disembunyikan dalam hati. Hanya wajahnya yang tampak semakin sinis dengan kata-katanya yang ketus, kadang bernada dingin. "Kebetulan sekali! Si Gila Tuak punya hutang padaku! Hutang jurus!"
"Oh, aku tidak tahu hal itu, Nyai. Aku tidak bermaksud apa-apa padamu."
"Gila Tuak pernah menyerangku saat aku bertarung melawan setan busuk itu!" Ia menuding Raja Maut "Aku dibuatnya lari terbirit-birit. Sekarang giliranku membalas sakit hati itu melalui muridnya!"
"Nyai Demang Ronggeng, terlalu buruk jika kita turuti nafsu membunuh dan membalas dendam. Sebaiknya, lupakan saja niatmu itu agar di antara kita tidak ada yang celaka, Nyai!"
"Akan kulupakan setelah aku berhasil mengirim penggalan kepala murid si Gila Tuak. Hiaaatt...!" Nyai Demang Ronggeng nekat menyerang Suto Sinting dengan lompatan cepat bagaikan hembusan angin.
Wuuutt...!
Tetapi Suto Sinting enggan melayani, sehingga ia hanya menghindar pada saat jaraknya dengan lawan sudah sangat dekat, ia menjatuhkan diri dalam posisi duduk, lalu meraih bumbung tuak yang tergeletak di samping raga si Raja Maut.
Serangan yang dihindari dengan seenaknya itu membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng tak mampu berhenti seketika. Ia melaju dengan lompatan cepatnya dan akhirnya melewati batas perahu dan, byuuurrr...! Ia jatuh ke lautan. Untuk sesaat ia menyelam diri, tapi kejap berikut ia muncul dengan satu sentakan kuat. Bruuus...! Ia melayang tinggi bagaikan seekor lumba-lumba muncul dari kedalaman air. Gerakan saltonya membuat ia mampu hinggap di atas barak perahu yang beratap papan itu. Draak...! Tubuhnya yang basah kuyup meneteskan air ke atap barak. Tapi kipas bulu merahnya itu bagaikan anti basah. Tak sedikit pun air menempel di kipas tersebut.
"Nyai Demang Ronggeng," kata Suto, "Jangan memaksaku bertindak kasar kepadamu. Aku tahu siapa kau, dan aku kenal dengan dengan Ki Gendeng Sekarat, saudara seperguruanmu, karena itu aku masih menghormatimu, Nyai."
"Aku tidak butuh hormatmu! Aku benci pada Gendeng Sekarat! Hiaaat...!" Kali ini Nyai Demang Ronggeng melompat sambil kibaskan kipasnya. Dari kipas itu keluar tenaga dalam yang besar dan menyerang Suto Sinting yang masih enggan melayaninya. Suto bermaksud menghindar, namun terlambat, sehingga tubuhnya yang baru saja hendak melompat itu terhempas pukulan tenaga dalam dari kipas merah.
Wuuut...! Braaak...!
Suto Sinting jatuh di haluan kapal. Prajurit ingin membantu tapi Suto segera melarangnya. Pendekar Mabuk cepat berdiri karena Nyai Demang Ronggeng telah lepaskan lagi serangan berikutnya, berupa cahaya merah dari kipas tersebut.
Slaaap...!
Dengan cepat Suto meraih bumbung tuaknya dan disilangkan di depan dada. Akibatnya sinar merah itu mengenai bumbung tuak tersebut namun tidak membuat bumbung itu hancur, melainkan membuat sinar merah memantul kembali arah. Pantulan sinar merah itu ternyata lebih cepat dan lebih besar lagi, tenaga yang ada di dalam sinar merah menjadi berlipat ganda.
Wuuusss...!
Nyai Demang Ronggeng terkejut. Hampir saja ia terpaku melihat sinar merahnya membalik dalam keadaan lebih besar. Dengan gerakan cepat, kipas dibentangkan dan digunakan menangkis sinar merah itu.
Praak...! Blaaar...!
Sinar merah jebol seketika. Tubuh Nyai Demang Ronggeng terpental jatuh ke laut kembali. Byuuur...! Tetapi sebelum ia jatuh masuk ke dalam air, prajurit sempat melihat mulut Nyai Demang Ronggeng semburkan darah segar, pakaiannya terbakar pada bagian dada. Setelah itu lenyap, tak bisa diketahui keadaannya.
Raja Maut mulai sehat walau tidak sepenuhnya, ia mulai sadar bahwa dirinya berada di atas perahu, ia juga kaget melihat Suto ada di perahu itu juga. "Apa yang terjadi, Suto?"
"Nyai Demang Ronggeng terkena pukulannya sendiri dan masuk ke perairan. Sampai sekarang belum muncul-muncul," Suto menjawab dengan mata memandangi perairan di sekelilingnya.
"Apa warna pukulannya tadi?"
"Merah! Keluar dari kipasnya."
"Habislah riwayatnya. Setidaknya bagian dalamnya rusak berat!" gumam Raja Maut sambil memandangi perairan juga.
"Apakah ini persoalan Kitab Sukma Sukmi?"
"Benar. Hari ini kutentukan sikapku; kalau tak dapat merebut kitab itu, lebih baik aku mati di tangannya, toh aku sudah turunkan ilmuku kepada muridku. Bagiku mati bukan masalah lagi."
"Sebenarnya aku hanya ingin menolongmu, Raja Maut. Tidak bermaksud mencampuri urusan kalian berdua. Tetapi...," ucapan itu terhenti. Sesosok tubuh keluar dari kedalaman air laut. Mirip ikan lumba-lumba sedang terbang.
Bruuusss...!
Jleeg...! Nyai Demang Ronggeng masih hidup, keadaannya memang menyedihkan. Dada sampai leher berwarna hitam hangus. Sebagian pakaiannya rusak termakan api. Namun keadaan api sudah padam karena air laut. Matanya menjadi mengerikan. Bagian tepi kelopak mata itu memerah. Hidungnya masih melelehkan darah. Tapi ia masih mampu berdiri di buritan dengan tegak dan kokoh.
"Nyai, sudahlah, jangan teruskan pertarungan ini," kata Suto memohon.
Tapi agaknya perempuan berhati sadis itu tetap ingin lanjutkan pertarungan sampai titik darah penghabisan. Dengan geram kemarahannya ia berkata, "Sekarang sudah tak ada waktu untuk berdamai denganmu, murid Gila Tuak! Kau atau si setan tua itu yang mati di tanganku! Atau kalian berdua sama-sama kukirim ke alam baka?!"
"Kau pikir mudah mengirimku ke alam baka?" sahut si Raja Maut, lalu mencoba berdiri, tapi ia jatuh lagi karena keadaannya masih lemah. Pada saat Raja Maut jatuh, Nyai Demang Ronggeng segera melepaskan pukulan dengan kedua tangan disentakkan ke depan.
Wuuus...! Sinar merah besar melesat menghantam tubuh Raja Maut.
Suto Sinting cepat lompatkan diri ke depan Raja Maut, lalu dengan kedua tangan disentakkan ke depan, melesatlah sinar biru besar dari tangan Suto. Sinar bru itu menghadang laju sinar merah, dan bertemu di pertengahan tanpa ledakan. Kedua orang itu akhirnya adu kekuatan tenaga dalam.
Nyai Demang Ronggeng kerahkan tenaga dalamnya supaya sinar merah bisa menembus tubuh Suto, sedangkan Suto sendiri kerahkan tenaga dalamnya supaya sinar biru bisa mendesak sinar merah lawan. Kedua tangan Suto Sinting bergetar, tapi sekujur tubuh Nyai Demang Ronggeng gemetaran. Wajahnya yang pucat menjadi memerah, pertanda seluruh kekuatan dikerahkannya.
Pertemuan kedua sinar itu memercikkan bunga api. Garis pertemuan bergerak maju-mundur menandakan kekuatan mereka saling dipertahankan. Sampai akhirnya, kaki Suto Sinting menghentak ke lantai perahu. Duuuhg...! Seakan hentakan itu mendatangkan kekuatan besar dan membuat sinar birunya mampu mendesak ke depan dan akhirnya menghantam tubuh Nyai Demang Ronggeng.
Blaaar...!
Cahaya biru pijar memecah menyilaukan. Pandangan mata mereka tak mampu menembus nyala biru terang yang melebar melebihi lebar layar itu. Namun cahaya itu hanya sekejap, lalu lenyap.
Blaab...!
Sosok Nyai Demang Ronggeng tidak kelihatan lagi. Asap tipis masih menyelimuti tempat berdirinya Nyai Demang Ronggeng. Semakin tipis asap itu semakin terlihat oleh mereka tubuh Nyai Demang Ronggeng mengambang dipermukaan air dalam keadaan hangus seluruhnya. Perempuan itu telah menjadi arang karena terkena pukulan jurus 'Tangan Guntur' yang jarang digunakan Suto itu.
Raja Maut dan prajurit memandang dengan mulut ternganga bengong. Wajah mereka diliputi perasaan kagum dan takjub terhadap hasil pukulan jurus Pendekar Mabuk itu. Sedangkan Suto Sinting sendiri memandang mayat yang ditinggalkan perahu itu dengan wajah sesal. Bahkan ia menggumam di samping Raja Maut,
"Seharusnya hal itu tidak terjadi kalau hatinya tidak sekeras baja!"
"Memang itulah akibat yang harus diterima bagi orang yang tak pernah mau mengenal perdamaian," ujar Raja Maut. "Aku tak salahkan dirimu. Kau hanya sebatas melindungiku. Karena kau tahu keadaanku sedang lemah, tak mungkin mampu melawan jurusnya tadi. Aku berterima kasih padamu, Suto! Biar kujelaskan sendiri pada si Gila Tuak, gurumu itu, mengapa kau membunuh Kiswanti."
Suto memandang jauh dalam lamunan sesalnya. Pantai Pulau Blacan terlihat jelas dan akan dilewatinya. Suto Sinting diam tanpa bicara apa pun. Raja Maut segera mendekati dan bicara dengan hati-hati.
"Suto, aku harus mengambil Kitab Sukma Sukmi di pulau itu. Maukah kau menungguku mengambilnya, agar aku bisa pulang menumpang perahumu?"
Napas Suto Sinting ditarik dalam-dalam. "Ambillah, setelah itu jagalah agar Kitab Sukma Sukmi yang berisi jurus-jurus maut dan ilmu 'Tarian Mayat' itu jangan sampai jatuh ke tangan orang sesat lagi."
Raja Maut yang berjubah abu-abu itu tersenyum ceria. Pendekar Mabuk senang melihat orang yang ditolongnya menjadi ceria. Maka perahu pun menepi ke pantai Pulau Blacan. Raja Maut turun sendiri, menuju persinggahan Nyai Demang Ronggeng. Suto dan prajurit menunggu di perahu sampai beberapa saat lamanya. Suto sempat bercerita tentang hubungan Nyai Demang Ronggeng dengan Ki Gendeng Sekarat yang ditinggalkannya di Pulau Serindu. Bahkan Suto banyak bercerita pengalaman yang dilalui bersama si tukang tidur itu.
"Jadi, Ki Gendeng Sekarat itu sebenarnya sudah hampir mati di tangan Ratu Tanpa Tapak, Gusti Manggala?"
"Ya. Tapi seorang teman bernama Sumbaruni menolongnya, aku pun akhirnya datang membantu mereka."
"Sumbaruni...?" gumam prajurit itu bernada heran. Dahinya pun berkerut. "Sepertinya saya pernah dengar nama Sumbaruni dari cerita ke cerita."
"Mungkin kau ingin katakan bahwa Sumbaruni itu bersuamikan jin Kazmat?"
"Bukan itu saja," jawab prajurit yang usianya sekitar tiga puluh tahun. "Menurut cerita yang saya dengar, Sumbaruni itu pelayan seorang petapa di Gunung Winukir. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana, yang mempunyai murid bernama Pramban Jati dan Resi Wisbo."
"Pramban Jati itu gurunya Ki Gendeng Sekarat!" sahut Suto.
"Ooo...," prajurit itu manggut-manggut.
"Resi Wisbo adalah gurunya Raja Maut tadi!"
"O, begitu?! Jadi antara Sumbaruni dan Nyai Demang Ronggeng, Ki Gendeng Sekarat, Raja Maut bisa jadi mempunyai kesamaan ilmu, Gusti?"
"Mungkin saja. Cuma yang mana yang lebih tinggi, kurasa Sumbaruni-lah yang paling tinggi ilmunya. Karena dia mendapat warisan ilmu secara langsung dari Eyang Bayudana sang petapa itu."
Percakapan itu terhenti karena Raja Maut telah kembali dengan membawa Kitab Sukma Sukmi. Mereka meluncur ke Tanah Jawa memakan waktu perjalanan selama satu hari satu malam. Dan saat itulah sebenarnya Suto Sinting telah lupa akan pesan Dyah Sariningrum. Ia telah mampir ke sebuah pulau, walau hanya di pantainya saja, dan walaupun untuk menolong seseorang.
Kini dalam lamunan malam Suto di atas pohon, kesalahan itu teringat kembali. Hatinya pun berkata, "Pantas nasibku sial, karena aku telah mampir ke Pulau Blacan! Kurasa Dyah pun tahu kesalahan yang telah kuperbuat itu, karena ia punya kekuatan batin untuk meneropong kehidupanku dari jauh."
Hati Suto Sinting ingin menyesali langkahnya itu, tapi ia merasa penyesalan tersebut tidak berarti apa-apa. Tak perlu dipikirkan lagi. Sebab yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. "Kurasa aku memang harus temui Sumbaruni atau Pelangi Sutera itu! Paling tidak, Sumbaruni punya saran untukku."
Kecamuk batin dan pikirannya itu akhirnya melelahkan jiwa. Suto Sinting tertidur ketika pagi tinggal sedikit waktu lagi. Namun dalam tidurnya itu, ia kembali bermimpi tentang wanita cantik berjubah sutera warna biru muda.
"Asmaradani...?!" sapa Pendekar Mabuk dalam mimpinya. Seolah-olah mereka saling melepas rindu karena lama tak jumpa. Asmaradani memeluk Suto penuh ungkapan rasa kangen. Lalu, wanita cantik itu kembali menyerahkan setangkai bunga mawar warna pelangi dengan tangkai tanpa duri.
"Lama aku menunggumu, ingin serahkan bunga ini untukmu, Suto."
"Kau baik padaku. Asmaradani," ucap Suto bernada mesra. Sayang mimpi itu tak panjang. Suto terbangun ketika mendengar suara kokok ayam dan lesung penumbuk padi di kejauhan sana. Tetapi ia jadi terkejut setelah menyadari tangannya menggenggam setangkai mawar pelangi tak berduri.
"Bunga ini benar-benar kumiliki?! Mimpiku itu... oh, mimpi apa sebenarnya? Apa arti mimpi seaneh ini?!" pikir Suto dengan bingungnya.
* * *
EMPAT
LANGKAH Pendekar Mabuk semakin diperlambat karena suara aneh di sekelilingnya. Matanya melirik curiga walaupun sikapnya masih tenang-tenang saja. Telinganya menangkap suara detak jantung yang jumlah lebih dari dua irama. Itu tandanya ada beberapa orang yang bersembunyi di sekitar semak dan kerapatan pohon. Mereka sepertinya menunggu saat yang baik untuk lakukan penyerangan.
"Siapa mereka?" tanya Suto dalam hatinya. Hanya itu yang ada di hatinya, karena kejap berikutnya sebilah pisau melesat dari arah belakang, sasarannya pada punggungnya. Slaaap...! Kecepatan pisau itu cukup tinggi. Pasti dilemparkan dari tangan orang berilmu lumayan tinggi. Tetapi Pendekar Mabuk tidak kalah cepat berputar badan. Wuuut...! Ceeb...!
Pisau seukuran satu jengkal itu tahu-tahu sudah terselip di sela jari-jari Suto Sinting. Padahal tangan Suto hanya berkelebat dan berhenti sampai di depan dadanya, namun pisau itu telah mampu ditangkapnya sehingga tak sampai merobek kulit tubuhnya. Dengan pisau masih terselip di tangan, Suto Sinting diam tak bergerak dan mata memandang jeli ke sekitarnya. Suto tidak menemukan bayangan manusia di sana-sini, tapi hati nuraninya mengatakan ada yang bersembunyi di balik pohon di depannya itu. Maka dengan gerakan tangan berkelebat cepat dan kaki sedikit merendah, pisau itu dilemparkan ke dahan pohon tersebut.
Slaaab...! Craab, craaab, craab...!
Gerakan pisau begitu cepat dan memotong tiga dahan seukuran satu lengan orang dewasa. Ketiga dahan itu langsung jatuh secara bersamaan.
Grussaak...! Duuhg...!
"Aow..!" seseorang terpekik kesakitan karena kejatuhan salah satu dahan. Pasti kepalanya bocor, setidaknya benjol. Suto Sinting tersenyum geli dan matanya menatap tajam ke arah pohon tersebut. Dugaannya benar, ada orang bersembunyi di balik pohon itu. Orang tersebut tak sengaja terpekik karena tak menyangka akan kejatuhan dahan sebesar lengan. Anehnya orang itu masih saja tidak mau keluar dari persembunyiannya, rupanya ia bertahan untuk tidak menampakkan diri dan segera menutup mulutnya dengan tangan.
Suto Sinting mau meninggalkan orang itu dan tidak peduli dengan serangan tadi. Tetapi baru saja ia balikkan tubuh, tiba-tiba dari arah kirinya melesat dua benda kecil warna putih terpantul sinar matahari. Benda itu adalah dua senjata rahasia yang dilemparkan dari balik dua pohon berjajar rapat.
Ziing, ziing...!
Dua tangan Suto segera berkelebat menangkap dua senjata rahasia tersebut dalam gerakan melebihi kecepatan layang senjata itu sendiri. Sleb, sleb...! Sekali lagi dua senjata itu mampu ditangkap dengan jepitan jari-jemarinya. Ternyata senjata itu berbentuk bintang segi enam yang runcing dan berbau amis. Itu tandanya senjata tersebut mempunyai kadar racun tinggi yang berbahaya jika melukai kulit tubuh manusia. Belum sempat Suto mengembalikan senjata tersebut, dari dua arah yang berlawanan muncul pisau terbang lagi yang kecepatan geraknya sama.
Slaab... slaab...!
Seketika itu pula Suto Sinting lompatkan badan dan bentangkan kedua tangan dalam keadaan melempar dua senjata rahasia yang terselip di kedua tangannya itu.
Wuuut...! Ziing, ziing...!
Rupanya Suto membubuhkan tenaga dalam tinggi pada dua bintang segi enam itu, sehingga ketika kedua benda tersebut membentur pisau-pisau terbang, terjadilah ledakan yang cukup lumayan besarnya.
Duaar...! Daaar...!
Nyala api memercik lebar dan kepulan asap membubung tinggi dari benturan benda tersebut. Gelombang ledakannya sempat mematahkan ranting-ranting pada pohon di sekitar terjadinya benturan tersebut. Sementara itu, Suto Sinting kembali berdiri tegap dengan bumbung tuak masih ada di belakang, tergantung dipundak.
"Sedikitnya ada empat orang yang berada di sini. Mereka menyebar di empat tempat. Aku harus lebih hati-hati lagi," pikir Suto Sinting. "Agaknya mereka tak mau kuabaikan. Mereka ingin kulayani. Baiklah, akan kuturuti keinginan mereka."
Tentunya secara diam-diam lawan menjadi jengkel karena serangan gelapnya mampu dipatahkan Suto Sinting. Terutama orang yang kejatuhan dahan tadi, pasti hatinya sangat penasaran untuk membalas tingkah Pendekar Mabuk. Tak heran jika orang itu keluar dari persembunyian lebih dulu, setelah itu disusul oleh teman-temannya yang lain.
Orang itu keluar dengan kepala berdarah karena kejatuhan dahan. Wajahnya tampak bengis, matanya memandang tajam, penuh nafsu membunuh. Bajunya yang berwarna kuning itu basah oleh darah, terutama bagian kiri, karena rupanya bagian kepala yang bocor itu cenderung di sebelah kiri, atas telinga.
Suto Sinting hanya tersenyum tipis melihat empat orang dalam kedudukan mengepung dirinya dari empat arah. Mereka bertubuh kekar dan berwajah angker. Pandangan mata mereka dingin dan sikap mereka sangat jelas bermusuhan. Tetapi Pendekar Mabuk justru menyempatkan diri untuk meneguk tuaknya dengan santai. Pada saat ia meneguk tuak dengan mengangkat bumbung memakai satu tangan, seseorang yang ada di belakangnya mencoba memanfaatkan keadaan itu untuk melemparkan pisau dengan cepat.
Wuuut...!
Orang itu menduga keadaan tersebut adalah kesempatan yang baik untuk menyerang karena dianggapnya Suto sedang lengah. Orang itu tak menduga jika Suto Sinting punya gerakan cepat dalam menurunkan bumbung tuak dan berbalik dengan cepat pula. Pisau itu ditangkis dengan bumbung tuak, Trangg...! Dan pisau itu kembali arah dengan kecepatan tinggi dari dilemparkan tadi. Orang tersebut kaget dan mendelik, ia kebingungan menghindari pisaunya sendiri. Akhirnya, jeebb...! Pisau menancap di bawah pundak kanan.
"Aahg...!" orang itu memekik sambil menyeringai. Tubuhnya jadi gemetar. Kulitnya mulai memerah. Rupanya pisau itu beracun ganas. Suto tak menyangka sama sekali. Orang tersebut akhirnya jatuh terkapar dengan mengerang-erang.
"Bangsat!" teriak orang berkepala gundul dengan kumis lebat sekali itu. "Kau telah celakai teman kami, Iblis Busuk!" Orang itu bergegas makin dekat.
"Maaf, bukan aku yang melemparkan pisau, tapi dia!"
"Tapi kenapa kau tangkis pakai bumbung tuakmu itu, hah?!"
"Karena aku tak mau kena pisaunya. Kalau kau mau silakan saja!" jawab Suto Sinting seenaknya.
Orang itu menjadi menggeram penuh luapan kemarahan. Golok panjangnya segera dicabut dari sarungnya. Sreeet..! Tapi temannya yang mengenakan rompi merah berhias benang kuning membentuk gambar kalajengking itu segera berseru sambil memberi isyarat dengan tangan,
"Tahan dulu, Jolegi!"
Suto membatin, "Ooo... si gundul sangar itu bernama Jolegi? Aneh juga nama itu, seperti nama makanan jajan pasar?" Suto tertawa dalam hati.
Jolegi berkata kepada si rompi merah, "Aku tak sabar ingin membelah kepalanya, Lawa Abang!"
Lawa Abang yang berompi merah itu berkata, "Tahan dulu! Kalau kau belah kepalanya, kita tak akan dapat hasilnya, Bodoh!"
Orang yang terkena pisau itu masih terkapar mengerang-erang kecil. Kulit tubuhnya kian merah bagai terpanggang api. Sedangkan seorang teman yang menolongnya dengan memberikan obat berbentuk butiran hitam itu segera kembali menemui Suto Sinting. Orang itu bertubuh kurus, tapi wajah lonjongnya menampakkan kesan bengis terhadap lawan. Kumisnya tipis, turun ke bawah sampai dagu. Suto segera mengambil tempat, sehingga semua lawannya ada di depannya.
"Suto Sinting!" sapa orang berwajah runcing itu. "Kami pasti tak salah duga, kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, bukan?"
"Ya. Kalian siapa?"
Semua diam, seakan saling berserah diri untuk menjelaskan. Lawa Abang segera berseru kepada si muka runcing, "Jelaskan sekalian, Musang Hitam!"
Maka orang berwajah runcing dan berkulit hitam itu pun berkata tegas. "Kami adalah orang-orang yang tergabung dalam Partai Bayaran. Kami dibayar untuk dapatkan pusaka Keris Setan Kobra yang kau rampas dari Ki Empu Sakya itu, Suto Sinting."
"Kalian salah duga," kata Suto Sinting dengan masih kalem. "Bukan aku yang membunuh Ki Empu Sakya, dan aku tidak mempunyai keris pusaka itu!"
"He, he, he, he...!" Musang Hitam terkekeh sinis. "Kepada orang lain kau boleh mengaku begitu, Anak Muda. Tapi kepada kami kau tak bisa berkata begitu. Karena kami tak pernah punya rasa segan untuk mencacah dan merajang-rajang tubuh orang yang bermaksud menipu kami, Suto Sinting!"
Dengan mata menatap Musang Hitam yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, Suto Sinting berkata tegas pula. "Kalian salah sasaran! Carilah pembunuhnya. Jangan termakan hasutan dan fitnah dari orang tak bertanggung jawab. Aku tidak punya keris pusaka!"
"Terlalu lambat. Musang Hitam!" geram Jolegi. "Begini caranya memaksa anak angkuh ini. Heaaat...!" Jolegi melompat menyerang Suto Sinting dengan jurus goloknya yang berkelebat cepat menebas sana-sini membingungkan lawan. Tetapi ketika tubuh itu mendekati Suto Sinting, tahu-tahu sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi tanpa sinar menghantamnya tanpa tanggung-tanggung lagi. Suara tubuh yang terhantam itu sampai terdengar oleh teman-teman Jolegi.
Bueeegh...! Wuuus...!
Jolegi terlempar kuat dan cepat. Gusraaak...! "Auuuhh...!" rintihan itu terdengar kecil, karena Jolegi jatuh jauh dari tempatnya berdiri semula. Jaraknya lebih dari sepuluh langkah. Wajahnya terbenam di semak-semak tempatnya bersembunyi tadi. Tentu saja kedua temannya yang masih dalam keadaan siaga menjadi terperanjat bengong melihat kekuatan tenaga dalam yang begitu besar itu. Mereka sangka datang dari Suto, padahal Suto sendiri membatin,
"Siapa yang menyerangnya? Siapa orang yang membantuku ini?"
Wuuut...! Jleeg...!
Sekelebet bayangan putih melintas di udara, lalu mendarat dengan sigap. Semua mata terbuka lebar. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun sudah berdiri tegak dengan pakaian putih berhias benang emas. Gadis itu mempunyai potongan rambut pendek, seperti potongan lelaki. Justru potongan rambutnya itu yang menampakkan jelas bentuk kecantikannya yang menggemaskan.
Gadis itu bukan hanya cantik, tapi manis dan enak dipandang mata. Hidungnya kecil tapi bangir, bibirnya mungil tapi selalu menimbulkan bayangan yang enak untuk dikecup. Matanya tak terlalu besar, tapi indah dan tajam. Dadanya tak terlalu besar, tapi sekal dan menantang gairah.
Suto bukan saja merasa kagum, tapi juga heran, karena baru sekarang ia melihat sosok gadis cantik bersenjatakan pedang di punggungnya. Ujung gagang pedang yang dibalut kain beludru merah itu berbentuk hiasan bunga mawar yang indah. Dan agaknya hanya pedang itulah satu-satunya senjata andalan gadis asing berkulit kuning itu.
"Lawa Abang, rupanya sobat muda kita ini punya simpanan yang bisa kita buat hiburan sejenak, he, he, he...!" ujar Musang Hitam, tak peduli lagi dengan keadaan Jolegi.
Sementara itu, orang yang terkena pisau dan sedang berusaha melawan racun dengan obat pemberian Musang Hitam tadi, kini bergegas bangkit walaupun hanya duduk saja. Matanya memandang lebar tak berkedip kepada gadis cantik yang baru saja datang itu.
Slaap...!
Gadis itu melemparkan sesuatu ke samping kanan dengan kaki sedikit merendah. Rupanya sebuah senjata rahasia berbentuk segi tiga dari logam putih mengkilap berukuran kecil. Senjata rahasianya itu langsung menancap di leher orang yang sedang melawan racun dan terbengong memandangnya. Juub...! Begitu senjata rahasia itu menancap di leher, orang itu langsung terkapar lagi dan meraung-raung kecil.
"Ahhggrr...! Uugrr!"
"Sial amat kau. Kadal Gunung. Baru mau melihat kecantikan sebentar sudah harus berbaring lagi," ujar Lawa Abang sambil menahan kejengkelan.
Suto Sinting hanya melirik memperhatikan gadis yang berdiri sejajar dengannya, tapi berjarak empat langkah lebih itu. Sang gadis pun juga melirik sebentar, lalu segera memandang Lawa Abang dan Musang Hitam.
"Kalian pergi dan jangan ganggu pemuda ini, atau terlibat urusan berat denganku?!" tantang gadis itu dengan beraninya. Tak ada wajah sangar pada dirinya. Tak pantas ia menggertak begitu. Sebab itu mereka mentertawakan.
"Sayangilah kecantikanmu, Nona. Jangan berkoar begitu di depan orang-orang Partai Bayaran!" ujar Lawa Abang.
"Tak perlu kusayangi wajahku, karena ada orang lain yang akan sayang dengan wajahku ini, Lawa Abang!"
"Hei...?! Kau tahu namaku? Rupanya aku orang terkenal dan dikagumi wanita cantik sepertimu, ya?" Lawa Abang bangga diri.
"Aku mendengar percakapan kalian sejak tadi. Sebelum kalian persiapkan diri untuk mencegah Suto Sinting, aku sudah lebih dulu bersembunyi di sini!"
"Bagus!" sahut Musang Hitam, ia manggut-manggut seakan merasa senang menghadapi tantangan gadis cantik itu. "Apakah kau kekasihnya Suto?"
"Bukan!" jawabnya tegas. "Aku pengagum Pendekar Mabuk!"
"Pengagum?" Lawa Abang memandang Musang Hitam dengan menahan tawa. "Dia seorang pengagum Pendekar Mabuk? Hua, ha, ha, ha, ha...! Baru sekarang ada orang mengagumi pembunuh keji dan perampok benda pusaka! Ha, ha, ha, ha...!"
Slaaap...!
Sebutir bola besi putih berukuran sebesar biji salak dilemparkan oleh gadis itu. Tangannya bergerak sangat cepat ketika mengambil bola besi putih dari balik bajunya dan melemparkannya ke depan nyaris tak terlihat gerakannya. Bola itu tak sempat dihindari dan ditangkis, tahu-tahu sudah masuk ke mulut Lawa Abang.
Bluuss...!
Kontan tawa orang itu diam. Matanya mendelik. Lehernya dijulurkan. Rupanya bola besi itu menyumbat tenggorokan dan tidak bergerak turun. Dari luar terlihat bentuknya yang menonjol sedikit lebih besar dari jakunnya. Lawa Abang mendelik, mau menelan susah, mau dimuntahkan susah. Dan anehnya golok yang ada di tangannya sejak mau menyerang Suto itu tiba-tiba berkelebat menempel lehernya.
Plaaak...!
Golok itu menempel dan sulit dilepaskan. Lawa Abang tak bisa berseru meminta tolong pada Musang Hitam, karena tenggorokannya tersumbat dan tak mampu keluarkan suara. Namun Musang Hitam yang terheran-heran itu segera membantu melepaskan golok yang menempel di leher Lawa Abang. Tanpa diduga-duga trisula yang terselip di pinggang Musang Hitam itu bergerak keluar dari pinggang dengan sendirinya.
Zlaaap...! Trang!
Trisula itu bagaikan tersedot dan menempel di leher Lawa Abang.
"Apa-apaan ini?!" Musang Hitam mulai berang. Trisulanya disentakkan. Kini trisula itu tercabut. Hanya saja, untuk dibawa pergi menjauhi leher Lawa Abang terasa berat sekali. Musang Hitam bingung mengendalikan daya tarik yang timbul dari leher Lawa Abang. Trisulanya berulang kali bergerak kuat ke arah leher Lawa Abang. Hampir saja menancap di leher itu.
Jolegi datang dengan terhuyung-huyung. Musang Hitam tambah kaget melihat wajah Jolegi terkelupas kulitnya. Rupanya pukulan tenaga dalam gadis itu tadi telah menyebarkan hawa panas tinggi yang mengelupas kulit wajah Jolegi. Orang itu menggeram penuh dendam dan kesakitan. Goloknya yang masih tergenggam di tangan itu tiba-tiba bergerak sendiri ke arah leher Lawa Abang.
Wuuut...! Traaang...!
Beradu dengan golok yang menempel di leher Lawa Abang. Jolegi berusaha mencabutnya. Tapi begitu berhasil, golok itu kembali tersedot ke leher Lawa Abang. Bahkan dua pisau yang masih terselip di pinggangnya itu lompat sendiri ke arah Lawa Abang.
Traaang...! Jruub...!
Satu pisau akhirnya menancap walau tak terlalu dalam. Gelang besi yang dikenakan Jolegi pun tahu-tahu menempel di leher Lawa Abang. Tangan Jolegi terbawa pula ke sana.
Traak...!
"Edan! Tinggalkan saja dia!" kata Jolegi sambil menyeringai antara kesakitan dan kebingungan menarik gelang besinya dari leher Lawa Abang.
"Tidak perlu," bisik Musang Hitam. "Kita bisa serang dari belakang saja!"
Dengan leher penuh senjata dan logam besi, Lawa Abang dituntun pulang oleh Musang Hitam. Sementara itu, Jolegi yang sudah berhasil melepaskan gelang dari tangannya dan membiarkan gelang itu menempel di leher Lawa Abang, segera membantu Kadal Gunung untuk meninggalkan tempat itu.
Ia sempat berkata kepada Suto Sinting, "Sekarang kami kalah, tapi ingat... kami akan datang lagi untuk menyelesaikan urusan ini, Suto!"
Gadis itu yang menyahut, "Jangan lupa kalau datang lagi sekalian membawa peti mati untuk kalian masing-masing."
"Persetan kau!" geram Jolegi.
"Hei, sebutkan dulu siapa orang yang mengupah kalian untuk menemuiku?!" sentak Suto Sinting sambil melompat dan berdiri menghadang langkah Jolegi.
Semula Jolegi tidak mau bicara. Tetapi gadis cantik itu mengancamnya, "Aku bisa mengirimmu ke alam lain jika kau tak menjawab pertanyaannya!"
Jolegi melirik ke belakang, ia merasa ngeri juga melihat gadis itu sudah ada dalam jarak tiga langkah dibelakangnya. Akhirnya Jolegi pun menjawab, "Ratu Tanpa Tapak!"
"Hahh...?!" Suto terkejut "Di mana dia sekarang? Katakan!"
Jruub...! Sebilah pisau melayang cepat dan menancap di perut Jolegi ketika ia akan menjawab. Akibatnya Jolegi mengejang dan mendelik. Mulutnya ternganga. Pegangan tangannya terlepas, Kadal Gunung jatuh tersungkur dengan menyedihkan. Jolegi pun menyusul jatuh, lalu terkapar tak bernyawa lagi.
Slaaap...! Daaar...!
Sinar merah pun mengakhiri riwayat Kadal Gunung. Semuanya datang dari Musang Hitam, ia tak mau rahasia itu bocor, ia membungkam teman sendiri dengan cara sekeji itu. Lalu ia melesat pergi sambil memanggul tubuh Lawa Abang. Sementara itu, Suto Sinting dan gadis cantik itu masih tertegun bengong, karena tak menyangka Musang Hitam akan membunuh teman sendiri demi terjaganya rahasia.
"Apakah aku harus mengejarnya?!" tanya gadis itu kepada Suto.
"Tak perlu. Biarkan semua ini menjadi pelajaran bagi mereka, dan mereka tak akan berani menggangguku lagi," jawab Pendekar Mabuk dengan pandangan mata mulai tertuju kepada gadis itu. "Siapa kau sebenarnya dan mengapa memihakku?"
"Aku pengagummu," jawab gadis itu.
Suto tersenyum dengan dahi sedikit berkerut. "Hanya pengagum saja?"
Senyum gadis itu mengembang saat menganggukkan kepala. Amboi... cantiknya! Senyum itu mampu merontokkan jantung tiap lelaki yang punya penyakit jantungan. Begitu indah dan menawan, menggemaskan dan membuat penasaran. Untung Suto Sinting mampu menahan gejolak jiwa, sehingga ia tetap tenang dan pandangan beralih tempat. Namun hanya sekejap, karena mata itu kembali mengagumi kecantikan yang sepertinya diturunkan oleh dewa dari langit itu.
"Siapa namamu?"
"Rindu Malam," jawabnya.
"Hah...? Rindu Malam? Oh, bagus sekali nama itu! Sumpah tujuh turunan, bagus sekali nama itu. Aku sangat menyukainya!" puji Suto bagaikan tak mampu terbendung lagi. Wajah Suto tampak ceria berseri-seri. Itu tandanya ia benar-benar menyukai nama Rindu Malam, sebuah nama yang bukan saja indah, namun mempunyai arti hangat tersendiri bagi Suto.
Gadis itu hanya tersenyum-senyum sedikit berkesan malu. "Kau dari perguruan mana? Jurusmu aneh-aneh menurutku."
"Apa yang aneh?" Rindu Malam ganti bertanya.
"Bola apa yang kau lemparkan masuk ke mulut Lawa Abang tadi?"
"Itu yang dinamakan biji semberani. Punya kekuatan menarik logam apa pun. Semakin terkena cairan semakin tinggi kekuatan daya tariknya."
"Lucu sekali senjatamu itu," ujar Suto sambil tertawa kecil. Rupanya bola itu mempunyai kekuatan magnit yang mampu menyedot logam bukan saja besi, namun juga emas dan yang lainnya. Bola itu jelas akan membuat lawan kebingungan, salah-salah mati dihunjam senjata yang terbang dengan sendirinya.
"Biji semberani?!" gumam Suto sambil berkerut dahi, merasakan ada sesuatu yang aneh. "Apakah kau murid Raja Maut yang tinggal di Bukit Semberani?!"
"Bukan!" jawab Rindu Malam. "Tapi aku memang tinggal di dasar Bukit Semberani. Jauh di kedalamannya sana."
Percakapan terhenti karena gangguan sinar kuning yang melesat menghantam Suto Sinting dari belakang. Claaap...! Tapi Rindu Malam segera berkelebat ke samping dan sentakkan tangannya. Telapak tangan keluarkan sinar merah yang segera menghantam sinar kuning itu.
Claap...! Blaaarrr...!
Ledakan begitu kuat, gelombang ledaknya membuat Suto dan Rindu Malam sama-sama terpental. Tapi keduanya bisa kuasai keseimbangan, sehingga dalam sekejap mereka mampu berdiri tegak lagi. Hanya saja, pengirim pukulan bersinar kuning itu tahu-tahu terlempar dari atas pohon karena gelombang ledakan tadi. Ia jatuh menerabas ranting dan dahan hingga patah.
Bruuuk...!
Oh, ternyata seorang gadis berpakaian hijau bergaris-garis kuning. Siapa gadis itu? Suto tidak mengenalnya, Rindu Malam pun tidak mengenalnya.
"Siapa mereka?" tanya Suto dalam hatinya. Hanya itu yang ada di hatinya, karena kejap berikutnya sebilah pisau melesat dari arah belakang, sasarannya pada punggungnya. Slaaap...! Kecepatan pisau itu cukup tinggi. Pasti dilemparkan dari tangan orang berilmu lumayan tinggi. Tetapi Pendekar Mabuk tidak kalah cepat berputar badan. Wuuut...! Ceeb...!
Pisau seukuran satu jengkal itu tahu-tahu sudah terselip di sela jari-jari Suto Sinting. Padahal tangan Suto hanya berkelebat dan berhenti sampai di depan dadanya, namun pisau itu telah mampu ditangkapnya sehingga tak sampai merobek kulit tubuhnya. Dengan pisau masih terselip di tangan, Suto Sinting diam tak bergerak dan mata memandang jeli ke sekitarnya. Suto tidak menemukan bayangan manusia di sana-sini, tapi hati nuraninya mengatakan ada yang bersembunyi di balik pohon di depannya itu. Maka dengan gerakan tangan berkelebat cepat dan kaki sedikit merendah, pisau itu dilemparkan ke dahan pohon tersebut.
Slaaab...! Craab, craaab, craab...!
Gerakan pisau begitu cepat dan memotong tiga dahan seukuran satu lengan orang dewasa. Ketiga dahan itu langsung jatuh secara bersamaan.
Grussaak...! Duuhg...!
"Aow..!" seseorang terpekik kesakitan karena kejatuhan salah satu dahan. Pasti kepalanya bocor, setidaknya benjol. Suto Sinting tersenyum geli dan matanya menatap tajam ke arah pohon tersebut. Dugaannya benar, ada orang bersembunyi di balik pohon itu. Orang tersebut tak sengaja terpekik karena tak menyangka akan kejatuhan dahan sebesar lengan. Anehnya orang itu masih saja tidak mau keluar dari persembunyiannya, rupanya ia bertahan untuk tidak menampakkan diri dan segera menutup mulutnya dengan tangan.
Suto Sinting mau meninggalkan orang itu dan tidak peduli dengan serangan tadi. Tetapi baru saja ia balikkan tubuh, tiba-tiba dari arah kirinya melesat dua benda kecil warna putih terpantul sinar matahari. Benda itu adalah dua senjata rahasia yang dilemparkan dari balik dua pohon berjajar rapat.
Ziing, ziing...!
Dua tangan Suto segera berkelebat menangkap dua senjata rahasia tersebut dalam gerakan melebihi kecepatan layang senjata itu sendiri. Sleb, sleb...! Sekali lagi dua senjata itu mampu ditangkap dengan jepitan jari-jemarinya. Ternyata senjata itu berbentuk bintang segi enam yang runcing dan berbau amis. Itu tandanya senjata tersebut mempunyai kadar racun tinggi yang berbahaya jika melukai kulit tubuh manusia. Belum sempat Suto mengembalikan senjata tersebut, dari dua arah yang berlawanan muncul pisau terbang lagi yang kecepatan geraknya sama.
Slaab... slaab...!
Seketika itu pula Suto Sinting lompatkan badan dan bentangkan kedua tangan dalam keadaan melempar dua senjata rahasia yang terselip di kedua tangannya itu.
Wuuut...! Ziing, ziing...!
Rupanya Suto membubuhkan tenaga dalam tinggi pada dua bintang segi enam itu, sehingga ketika kedua benda tersebut membentur pisau-pisau terbang, terjadilah ledakan yang cukup lumayan besarnya.
Duaar...! Daaar...!
Nyala api memercik lebar dan kepulan asap membubung tinggi dari benturan benda tersebut. Gelombang ledakannya sempat mematahkan ranting-ranting pada pohon di sekitar terjadinya benturan tersebut. Sementara itu, Suto Sinting kembali berdiri tegap dengan bumbung tuak masih ada di belakang, tergantung dipundak.
"Sedikitnya ada empat orang yang berada di sini. Mereka menyebar di empat tempat. Aku harus lebih hati-hati lagi," pikir Suto Sinting. "Agaknya mereka tak mau kuabaikan. Mereka ingin kulayani. Baiklah, akan kuturuti keinginan mereka."
Tentunya secara diam-diam lawan menjadi jengkel karena serangan gelapnya mampu dipatahkan Suto Sinting. Terutama orang yang kejatuhan dahan tadi, pasti hatinya sangat penasaran untuk membalas tingkah Pendekar Mabuk. Tak heran jika orang itu keluar dari persembunyian lebih dulu, setelah itu disusul oleh teman-temannya yang lain.
Orang itu keluar dengan kepala berdarah karena kejatuhan dahan. Wajahnya tampak bengis, matanya memandang tajam, penuh nafsu membunuh. Bajunya yang berwarna kuning itu basah oleh darah, terutama bagian kiri, karena rupanya bagian kepala yang bocor itu cenderung di sebelah kiri, atas telinga.
Suto Sinting hanya tersenyum tipis melihat empat orang dalam kedudukan mengepung dirinya dari empat arah. Mereka bertubuh kekar dan berwajah angker. Pandangan mata mereka dingin dan sikap mereka sangat jelas bermusuhan. Tetapi Pendekar Mabuk justru menyempatkan diri untuk meneguk tuaknya dengan santai. Pada saat ia meneguk tuak dengan mengangkat bumbung memakai satu tangan, seseorang yang ada di belakangnya mencoba memanfaatkan keadaan itu untuk melemparkan pisau dengan cepat.
Wuuut...!
Orang itu menduga keadaan tersebut adalah kesempatan yang baik untuk menyerang karena dianggapnya Suto sedang lengah. Orang itu tak menduga jika Suto Sinting punya gerakan cepat dalam menurunkan bumbung tuak dan berbalik dengan cepat pula. Pisau itu ditangkis dengan bumbung tuak, Trangg...! Dan pisau itu kembali arah dengan kecepatan tinggi dari dilemparkan tadi. Orang tersebut kaget dan mendelik, ia kebingungan menghindari pisaunya sendiri. Akhirnya, jeebb...! Pisau menancap di bawah pundak kanan.
"Aahg...!" orang itu memekik sambil menyeringai. Tubuhnya jadi gemetar. Kulitnya mulai memerah. Rupanya pisau itu beracun ganas. Suto tak menyangka sama sekali. Orang tersebut akhirnya jatuh terkapar dengan mengerang-erang.
"Bangsat!" teriak orang berkepala gundul dengan kumis lebat sekali itu. "Kau telah celakai teman kami, Iblis Busuk!" Orang itu bergegas makin dekat.
"Maaf, bukan aku yang melemparkan pisau, tapi dia!"
"Tapi kenapa kau tangkis pakai bumbung tuakmu itu, hah?!"
"Karena aku tak mau kena pisaunya. Kalau kau mau silakan saja!" jawab Suto Sinting seenaknya.
Orang itu menjadi menggeram penuh luapan kemarahan. Golok panjangnya segera dicabut dari sarungnya. Sreeet..! Tapi temannya yang mengenakan rompi merah berhias benang kuning membentuk gambar kalajengking itu segera berseru sambil memberi isyarat dengan tangan,
"Tahan dulu, Jolegi!"
Suto membatin, "Ooo... si gundul sangar itu bernama Jolegi? Aneh juga nama itu, seperti nama makanan jajan pasar?" Suto tertawa dalam hati.
Jolegi berkata kepada si rompi merah, "Aku tak sabar ingin membelah kepalanya, Lawa Abang!"
Lawa Abang yang berompi merah itu berkata, "Tahan dulu! Kalau kau belah kepalanya, kita tak akan dapat hasilnya, Bodoh!"
Orang yang terkena pisau itu masih terkapar mengerang-erang kecil. Kulit tubuhnya kian merah bagai terpanggang api. Sedangkan seorang teman yang menolongnya dengan memberikan obat berbentuk butiran hitam itu segera kembali menemui Suto Sinting. Orang itu bertubuh kurus, tapi wajah lonjongnya menampakkan kesan bengis terhadap lawan. Kumisnya tipis, turun ke bawah sampai dagu. Suto segera mengambil tempat, sehingga semua lawannya ada di depannya.
"Suto Sinting!" sapa orang berwajah runcing itu. "Kami pasti tak salah duga, kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, bukan?"
"Ya. Kalian siapa?"
Semua diam, seakan saling berserah diri untuk menjelaskan. Lawa Abang segera berseru kepada si muka runcing, "Jelaskan sekalian, Musang Hitam!"
Maka orang berwajah runcing dan berkulit hitam itu pun berkata tegas. "Kami adalah orang-orang yang tergabung dalam Partai Bayaran. Kami dibayar untuk dapatkan pusaka Keris Setan Kobra yang kau rampas dari Ki Empu Sakya itu, Suto Sinting."
"Kalian salah duga," kata Suto Sinting dengan masih kalem. "Bukan aku yang membunuh Ki Empu Sakya, dan aku tidak mempunyai keris pusaka itu!"
"He, he, he, he...!" Musang Hitam terkekeh sinis. "Kepada orang lain kau boleh mengaku begitu, Anak Muda. Tapi kepada kami kau tak bisa berkata begitu. Karena kami tak pernah punya rasa segan untuk mencacah dan merajang-rajang tubuh orang yang bermaksud menipu kami, Suto Sinting!"
Dengan mata menatap Musang Hitam yang berusia sekitar empat puluh tahun itu, Suto Sinting berkata tegas pula. "Kalian salah sasaran! Carilah pembunuhnya. Jangan termakan hasutan dan fitnah dari orang tak bertanggung jawab. Aku tidak punya keris pusaka!"
"Terlalu lambat. Musang Hitam!" geram Jolegi. "Begini caranya memaksa anak angkuh ini. Heaaat...!" Jolegi melompat menyerang Suto Sinting dengan jurus goloknya yang berkelebat cepat menebas sana-sini membingungkan lawan. Tetapi ketika tubuh itu mendekati Suto Sinting, tahu-tahu sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi tanpa sinar menghantamnya tanpa tanggung-tanggung lagi. Suara tubuh yang terhantam itu sampai terdengar oleh teman-teman Jolegi.
Bueeegh...! Wuuus...!
Jolegi terlempar kuat dan cepat. Gusraaak...! "Auuuhh...!" rintihan itu terdengar kecil, karena Jolegi jatuh jauh dari tempatnya berdiri semula. Jaraknya lebih dari sepuluh langkah. Wajahnya terbenam di semak-semak tempatnya bersembunyi tadi. Tentu saja kedua temannya yang masih dalam keadaan siaga menjadi terperanjat bengong melihat kekuatan tenaga dalam yang begitu besar itu. Mereka sangka datang dari Suto, padahal Suto sendiri membatin,
"Siapa yang menyerangnya? Siapa orang yang membantuku ini?"
Wuuut...! Jleeg...!
Sekelebet bayangan putih melintas di udara, lalu mendarat dengan sigap. Semua mata terbuka lebar. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun sudah berdiri tegak dengan pakaian putih berhias benang emas. Gadis itu mempunyai potongan rambut pendek, seperti potongan lelaki. Justru potongan rambutnya itu yang menampakkan jelas bentuk kecantikannya yang menggemaskan.
Gadis itu bukan hanya cantik, tapi manis dan enak dipandang mata. Hidungnya kecil tapi bangir, bibirnya mungil tapi selalu menimbulkan bayangan yang enak untuk dikecup. Matanya tak terlalu besar, tapi indah dan tajam. Dadanya tak terlalu besar, tapi sekal dan menantang gairah.
Suto bukan saja merasa kagum, tapi juga heran, karena baru sekarang ia melihat sosok gadis cantik bersenjatakan pedang di punggungnya. Ujung gagang pedang yang dibalut kain beludru merah itu berbentuk hiasan bunga mawar yang indah. Dan agaknya hanya pedang itulah satu-satunya senjata andalan gadis asing berkulit kuning itu.
"Lawa Abang, rupanya sobat muda kita ini punya simpanan yang bisa kita buat hiburan sejenak, he, he, he...!" ujar Musang Hitam, tak peduli lagi dengan keadaan Jolegi.
Sementara itu, orang yang terkena pisau dan sedang berusaha melawan racun dengan obat pemberian Musang Hitam tadi, kini bergegas bangkit walaupun hanya duduk saja. Matanya memandang lebar tak berkedip kepada gadis cantik yang baru saja datang itu.
Slaap...!
Gadis itu melemparkan sesuatu ke samping kanan dengan kaki sedikit merendah. Rupanya sebuah senjata rahasia berbentuk segi tiga dari logam putih mengkilap berukuran kecil. Senjata rahasianya itu langsung menancap di leher orang yang sedang melawan racun dan terbengong memandangnya. Juub...! Begitu senjata rahasia itu menancap di leher, orang itu langsung terkapar lagi dan meraung-raung kecil.
"Ahhggrr...! Uugrr!"
"Sial amat kau. Kadal Gunung. Baru mau melihat kecantikan sebentar sudah harus berbaring lagi," ujar Lawa Abang sambil menahan kejengkelan.
Suto Sinting hanya melirik memperhatikan gadis yang berdiri sejajar dengannya, tapi berjarak empat langkah lebih itu. Sang gadis pun juga melirik sebentar, lalu segera memandang Lawa Abang dan Musang Hitam.
"Kalian pergi dan jangan ganggu pemuda ini, atau terlibat urusan berat denganku?!" tantang gadis itu dengan beraninya. Tak ada wajah sangar pada dirinya. Tak pantas ia menggertak begitu. Sebab itu mereka mentertawakan.
"Sayangilah kecantikanmu, Nona. Jangan berkoar begitu di depan orang-orang Partai Bayaran!" ujar Lawa Abang.
"Tak perlu kusayangi wajahku, karena ada orang lain yang akan sayang dengan wajahku ini, Lawa Abang!"
"Hei...?! Kau tahu namaku? Rupanya aku orang terkenal dan dikagumi wanita cantik sepertimu, ya?" Lawa Abang bangga diri.
"Aku mendengar percakapan kalian sejak tadi. Sebelum kalian persiapkan diri untuk mencegah Suto Sinting, aku sudah lebih dulu bersembunyi di sini!"
"Bagus!" sahut Musang Hitam, ia manggut-manggut seakan merasa senang menghadapi tantangan gadis cantik itu. "Apakah kau kekasihnya Suto?"
"Bukan!" jawabnya tegas. "Aku pengagum Pendekar Mabuk!"
"Pengagum?" Lawa Abang memandang Musang Hitam dengan menahan tawa. "Dia seorang pengagum Pendekar Mabuk? Hua, ha, ha, ha, ha...! Baru sekarang ada orang mengagumi pembunuh keji dan perampok benda pusaka! Ha, ha, ha, ha...!"
Slaaap...!
Sebutir bola besi putih berukuran sebesar biji salak dilemparkan oleh gadis itu. Tangannya bergerak sangat cepat ketika mengambil bola besi putih dari balik bajunya dan melemparkannya ke depan nyaris tak terlihat gerakannya. Bola itu tak sempat dihindari dan ditangkis, tahu-tahu sudah masuk ke mulut Lawa Abang.
Bluuss...!
Kontan tawa orang itu diam. Matanya mendelik. Lehernya dijulurkan. Rupanya bola besi itu menyumbat tenggorokan dan tidak bergerak turun. Dari luar terlihat bentuknya yang menonjol sedikit lebih besar dari jakunnya. Lawa Abang mendelik, mau menelan susah, mau dimuntahkan susah. Dan anehnya golok yang ada di tangannya sejak mau menyerang Suto itu tiba-tiba berkelebat menempel lehernya.
Plaaak...!
Golok itu menempel dan sulit dilepaskan. Lawa Abang tak bisa berseru meminta tolong pada Musang Hitam, karena tenggorokannya tersumbat dan tak mampu keluarkan suara. Namun Musang Hitam yang terheran-heran itu segera membantu melepaskan golok yang menempel di leher Lawa Abang. Tanpa diduga-duga trisula yang terselip di pinggang Musang Hitam itu bergerak keluar dari pinggang dengan sendirinya.
Zlaaap...! Trang!
Trisula itu bagaikan tersedot dan menempel di leher Lawa Abang.
"Apa-apaan ini?!" Musang Hitam mulai berang. Trisulanya disentakkan. Kini trisula itu tercabut. Hanya saja, untuk dibawa pergi menjauhi leher Lawa Abang terasa berat sekali. Musang Hitam bingung mengendalikan daya tarik yang timbul dari leher Lawa Abang. Trisulanya berulang kali bergerak kuat ke arah leher Lawa Abang. Hampir saja menancap di leher itu.
Jolegi datang dengan terhuyung-huyung. Musang Hitam tambah kaget melihat wajah Jolegi terkelupas kulitnya. Rupanya pukulan tenaga dalam gadis itu tadi telah menyebarkan hawa panas tinggi yang mengelupas kulit wajah Jolegi. Orang itu menggeram penuh dendam dan kesakitan. Goloknya yang masih tergenggam di tangan itu tiba-tiba bergerak sendiri ke arah leher Lawa Abang.
Wuuut...! Traaang...!
Beradu dengan golok yang menempel di leher Lawa Abang. Jolegi berusaha mencabutnya. Tapi begitu berhasil, golok itu kembali tersedot ke leher Lawa Abang. Bahkan dua pisau yang masih terselip di pinggangnya itu lompat sendiri ke arah Lawa Abang.
Traaang...! Jruub...!
Satu pisau akhirnya menancap walau tak terlalu dalam. Gelang besi yang dikenakan Jolegi pun tahu-tahu menempel di leher Lawa Abang. Tangan Jolegi terbawa pula ke sana.
Traak...!
"Edan! Tinggalkan saja dia!" kata Jolegi sambil menyeringai antara kesakitan dan kebingungan menarik gelang besinya dari leher Lawa Abang.
"Tidak perlu," bisik Musang Hitam. "Kita bisa serang dari belakang saja!"
Dengan leher penuh senjata dan logam besi, Lawa Abang dituntun pulang oleh Musang Hitam. Sementara itu, Jolegi yang sudah berhasil melepaskan gelang dari tangannya dan membiarkan gelang itu menempel di leher Lawa Abang, segera membantu Kadal Gunung untuk meninggalkan tempat itu.
Ia sempat berkata kepada Suto Sinting, "Sekarang kami kalah, tapi ingat... kami akan datang lagi untuk menyelesaikan urusan ini, Suto!"
Gadis itu yang menyahut, "Jangan lupa kalau datang lagi sekalian membawa peti mati untuk kalian masing-masing."
"Persetan kau!" geram Jolegi.
"Hei, sebutkan dulu siapa orang yang mengupah kalian untuk menemuiku?!" sentak Suto Sinting sambil melompat dan berdiri menghadang langkah Jolegi.
Semula Jolegi tidak mau bicara. Tetapi gadis cantik itu mengancamnya, "Aku bisa mengirimmu ke alam lain jika kau tak menjawab pertanyaannya!"
Jolegi melirik ke belakang, ia merasa ngeri juga melihat gadis itu sudah ada dalam jarak tiga langkah dibelakangnya. Akhirnya Jolegi pun menjawab, "Ratu Tanpa Tapak!"
"Hahh...?!" Suto terkejut "Di mana dia sekarang? Katakan!"
Jruub...! Sebilah pisau melayang cepat dan menancap di perut Jolegi ketika ia akan menjawab. Akibatnya Jolegi mengejang dan mendelik. Mulutnya ternganga. Pegangan tangannya terlepas, Kadal Gunung jatuh tersungkur dengan menyedihkan. Jolegi pun menyusul jatuh, lalu terkapar tak bernyawa lagi.
Slaaap...! Daaar...!
Sinar merah pun mengakhiri riwayat Kadal Gunung. Semuanya datang dari Musang Hitam, ia tak mau rahasia itu bocor, ia membungkam teman sendiri dengan cara sekeji itu. Lalu ia melesat pergi sambil memanggul tubuh Lawa Abang. Sementara itu, Suto Sinting dan gadis cantik itu masih tertegun bengong, karena tak menyangka Musang Hitam akan membunuh teman sendiri demi terjaganya rahasia.
"Apakah aku harus mengejarnya?!" tanya gadis itu kepada Suto.
"Tak perlu. Biarkan semua ini menjadi pelajaran bagi mereka, dan mereka tak akan berani menggangguku lagi," jawab Pendekar Mabuk dengan pandangan mata mulai tertuju kepada gadis itu. "Siapa kau sebenarnya dan mengapa memihakku?"
"Aku pengagummu," jawab gadis itu.
Suto tersenyum dengan dahi sedikit berkerut. "Hanya pengagum saja?"
Senyum gadis itu mengembang saat menganggukkan kepala. Amboi... cantiknya! Senyum itu mampu merontokkan jantung tiap lelaki yang punya penyakit jantungan. Begitu indah dan menawan, menggemaskan dan membuat penasaran. Untung Suto Sinting mampu menahan gejolak jiwa, sehingga ia tetap tenang dan pandangan beralih tempat. Namun hanya sekejap, karena mata itu kembali mengagumi kecantikan yang sepertinya diturunkan oleh dewa dari langit itu.
"Siapa namamu?"
"Rindu Malam," jawabnya.
"Hah...? Rindu Malam? Oh, bagus sekali nama itu! Sumpah tujuh turunan, bagus sekali nama itu. Aku sangat menyukainya!" puji Suto bagaikan tak mampu terbendung lagi. Wajah Suto tampak ceria berseri-seri. Itu tandanya ia benar-benar menyukai nama Rindu Malam, sebuah nama yang bukan saja indah, namun mempunyai arti hangat tersendiri bagi Suto.
Gadis itu hanya tersenyum-senyum sedikit berkesan malu. "Kau dari perguruan mana? Jurusmu aneh-aneh menurutku."
"Apa yang aneh?" Rindu Malam ganti bertanya.
"Bola apa yang kau lemparkan masuk ke mulut Lawa Abang tadi?"
"Itu yang dinamakan biji semberani. Punya kekuatan menarik logam apa pun. Semakin terkena cairan semakin tinggi kekuatan daya tariknya."
"Lucu sekali senjatamu itu," ujar Suto sambil tertawa kecil. Rupanya bola itu mempunyai kekuatan magnit yang mampu menyedot logam bukan saja besi, namun juga emas dan yang lainnya. Bola itu jelas akan membuat lawan kebingungan, salah-salah mati dihunjam senjata yang terbang dengan sendirinya.
"Biji semberani?!" gumam Suto sambil berkerut dahi, merasakan ada sesuatu yang aneh. "Apakah kau murid Raja Maut yang tinggal di Bukit Semberani?!"
"Bukan!" jawab Rindu Malam. "Tapi aku memang tinggal di dasar Bukit Semberani. Jauh di kedalamannya sana."
Percakapan terhenti karena gangguan sinar kuning yang melesat menghantam Suto Sinting dari belakang. Claaap...! Tapi Rindu Malam segera berkelebat ke samping dan sentakkan tangannya. Telapak tangan keluarkan sinar merah yang segera menghantam sinar kuning itu.
Claap...! Blaaarrr...!
Ledakan begitu kuat, gelombang ledaknya membuat Suto dan Rindu Malam sama-sama terpental. Tapi keduanya bisa kuasai keseimbangan, sehingga dalam sekejap mereka mampu berdiri tegak lagi. Hanya saja, pengirim pukulan bersinar kuning itu tahu-tahu terlempar dari atas pohon karena gelombang ledakan tadi. Ia jatuh menerabas ranting dan dahan hingga patah.
Bruuuk...!
Oh, ternyata seorang gadis berpakaian hijau bergaris-garis kuning. Siapa gadis itu? Suto tidak mengenalnya, Rindu Malam pun tidak mengenalnya.
* * *
LIMA
TIGA teguk tuak ditanggak. Suto Sinting sengaja biarkan gadis berwajah mungil manis berkulit hitam bersih itu memandanginya dengan tajam, Pendekar Mabuk memang tidak terpancing kemarahannya, tapi Rindu Malam sebagai pengagum Pendekar Mabuk merasa tidak suka dengan sikap sinis gadis itu. Rindu Malam mengambil tempat di depan Suto Sinting, seakan siap menjadi pelindung jika gadis berambut panjang itu menyerang sewaktu-waktu.
"Apa mau mu menyerang kami, hah?!" gertak Rindu Malam.
"Aku benci dengan seorang pendekar yang mengkhianati sahabat sendiri!"
"Apa maksudmu?!"
"Pemuda sinting itu membunuh sahabatnya sendiri yang tidak pernah menyakiti hati siapa pun. Ia mencuri keris pusaka sahabatnya dengan licik!"
Sekalipun Rindu Malam merasa kurang enak mendengar ucapan itu, tapi ia tak berani cepat-cepat lanjutkan kata. Ia diam sebentar, dan Suto Sinting segera perdengarkan suara,
"Siapa kau sebenarnya. Nona Manis?"
"Aku Srimurti, murid Raja Maut!" jawabnya dengan ketus sekali.
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Baru sekarang kita jumpa. Tapi aku sudah pernah dengar nama mu sebelumnya."
"Aku pun dengar namamu sudah lama, tapi tak sangka kalau ternyata kau pendekar yang licik, keji, dan rakus!"
"Hati-hati bicaramu!" sentak Rindu Malam, ia tampak mulai semakin berang.
"Aku tak kenal siapa kau," kata Srimurti kepada Rindu Malam. "Kuharap kau menyingkir dari depanku, karena aku punya urusan sendiri dengan pendekar licik itu!"
"Aku tak punya urusan denganmu, Srimurti," kata Suto Sinting.
"Kau punya urusan denganku, Suto!" sergah Srimurti. "Ki Empu Sakya sudah kuanggap orangtuaku sendiri, karena beliau sangat dekat dan akrab denganku dan dengan guruku. Kematian Ki Empu Sakya membuatku punya perhitungan sendiri denganmu, karena aku tak ingin pusaka Keris Setan Kobra itu jatuh ke tangan orang sesat sepertimu! Sebaiknya serahkan saja padaku secara baik-baik biar dirawat dan disimpan oleh guruku; Raja Maut!"
"Kau keliru!" jawab Suto tenang sambil maju melewati Rindu Malam. Jaraknya tinggal tiga langkah dari Srimurti. Suaranya tenang dan jelas. "Kau terhasut oleh fitnah seseorang, atau hanyut dalam arus salah paham. Aku tidak lakukan apa pun terhadap Ki Empu Sakya!"
"Omong kosong!" sahut Srimurti. "Kurasa kau perlu dipaksa supaya tahu bagaimana menjadi orang jujur dan benar! Hiaaah...!"
Wuuut...!
Srimurti sentakkan kakinya dan dari telapak kaki melesat sinar hijau kecil ke arah wajah Suto Sinting. Tapi tubuh Suto Sinting cepat melengkung ke belakang dan sinar hijau itu lewat di depan wajahnya. Hampir saja mengenai dada Rindu Malam yang ada di belakangnya. Untung dengan cepat Rindu Malam sentakkan tangan kirinya dan sinar merah kecil pun beradu dengan sinar hijaunya Srimurti.
Blaaar...!
Ledakan itu tak berbahaya. Srimurti segera mengerahkan tenaga dalamnya melalui gerakan tangan yang direntangkan ke depan-belakang bagaikan bangau hendak terbang. Tapi gerakan Rindu Malam lebih cepat, melayang bagaikan singa menerkam melewati batas kepala Suto Sinting.
Wuuus...! Arahnya ke tubuh Srimurti, tapi dengan cepat Srimurti justru putar tubuhnya dan layangkan tendangan dengan satu kaki. Weees...! Plak..! Tangan Rindu Malam sempat berkelebat menangkis, tapi tangan yang kiri sempat menghantam dada Srimurti yang baru saja kembali pada keadaan semula. Duuhhk..! Srimurti terkejut, tak menyangka datangnya serangan kuat itu. Matanya mendelik sebentar dan dadanya segera kepulkan asap lewat pori-pori kulit tubuhnya, pakaiannya hangus membekas gambar telapak tangan hitam.
Srimurti terhempas ke belakang. Punggungnya membentur pohon dalam keadaan tetap berdiri. Duuhg...! Ia menyeringai sebentar. Merunduk menahan sakit. Tetapi Rindu Malam menerjang terus sambil berseru,
"Kulumpuhkan kau sekarang juga jika ingin mengganggunya! Heaaah...!"
Wuuut...!
Srimurti sentakkan kaki, bergerak cepat dan larikan diri menerabas semak. Rindu Malam berseru, "Hai, jangan lari!" sambil ia nekat mengejarnya penuh hasrat bermusuhan.
Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala dan tetap diam di tempatnya. Hatinya merasa heran, namun juga prihatin terhadap anggapan Srimurti, sebagai murid sahabatnya sendiri itu.
"Mengapa murid Raja Maut sampai seyakin itu menganggapku sebagai pembunuh Ki Empu Sakya? Apakah Raja Maut pun beranggapan begitu?! Hmm..., sebaiknya aku harus segera temui Raja Maut untuk membicarakan kesalahpahaman ini!"
Pendekar Mabuk pun heran dengan sikap Rindu Malam yang tampak sangat melindungi dirinya. Benarkah sikap itu hanya sebatas sikap seorang pengagum, atau punya maksud-maksud lain yang tak berani dikatakan secara terus terang? Suto Sinting sempat memikirkan kemunculan Rindu Malam yang tak pernah diduga-duga itu. Namun pikiran tersebut segera buyar karena sebelum mencapai pondok Raja Maut di puncak Bukit Semberani, ternyata tokoh tua itu sudah berada di bawah sebuah pohon, seakan sengaja berdiri di situ menunggu kedatangan Suto.
Dilihat dari sikap dan wajahnya. Raja Maut sepertinya tidak terpengaruh oleh adanya berita tentang siapa pembunuh Ki Empu Sakya. Ia kalem dan berkesan bersahabat. Senyumnya tipis sekali, sepertinya sinis, tapi sebenarnya tidak. Memang begitulah senyum kalem si Raja Maut itu.
"Muridmu baru saja menyerangku, Raja Maut!" ujar Suto setelah menenggak tuaknya sebentar. "Dia menyangka akulah pembunuh Ki Empu Sakya dan merebut pusaka Keris Setan Kobra."
Senyum Raja Maut kian melebar. "Kita duduk di depan gubukku sana saja!" ajak Raja Maut.
Suto Sinting tak menolak. Mereka bergegas menuju pelataran pondok beratap sirap. Di sana ada pohon rindang tapi rendah, seperti payung peneduh di waktu siang, di bawahnya ada tiga batu berpermukaan datar. Di atas batu itu mereka duduk dan bicara.
"Aku ikut prihatin dengan kabar yang mencemarkan nama baikmu, Suto." Raja Maut bicara dengan mata memandang sekeliling, seperti memasang kewaspadaan tinggi, seakan begitulah sikapnya jika berada di tempat yang ingin digunakan untuk bicara hal-hal bersifat rahasia.
"Aku sendiri tak menduga kalau kau akan dikecam olah para tokoh dunia persilatan dengan tuduhan membunuh sahabatku, yang juga sahabat gurumu itu."
"Tapi aku tidak melakukannya, Raja Maut. Kau tahu sendiri, belakangan ini aku sedang bepergian dan bahkan pulangnya sempat bertemu denganmu di Pulau Blacan!"
"Kutinggalkan pulau ini selama sembilan hari," kata Raja Maut. "Aku menemui seorang sahabat di Pulau Lengkur selama empat hari, sisanya kugunakan untuk menuju ke Pulau Blacan dengan singgah di selat Merah. Ketika aku kembali kemari dengan membawa Kitab Sukma Sukmi, tahu-tahu kudengar kabar kematian Ki Empu Sakya. Aku sangat terkejut. Lebih terkejut lagi mendengar kabar, pelakunya adalah Suto Sinting. Hampir hampir aku tak percaya dengan pendengaranku sendiri."
"Dalam hatimu, apakah kau percaya bahwa aku pelakunya?"
"Hati kecilku mengatakan, bukan kau! Aku tahu sifat gurumu, dan aku tahu sifat itu menurun pula pada dirimu. Tak ada sifat sejahat itu pada gurumu dan dirimu. Tapi mengapa berita semakin hari semakin santer mengatakan kaulah pembunuhnya? Repotnya lagi, banyak tokoh yang beranggapan pusaka Keris Setan Kobra ada di tanganmu!" Raja Maut bicara dengan wajah menampakkan keprihatinan cukup dalam, sehingga Suto Sinting merasa tidak semata-mata dituduh, melainkan juga diperhatikan kesulitannya.
"Aku terpojok, Raja Maut...," lalu Suto pun menceritakan perihal kematian Mbok Wiji, sikap Srimurti, Mega Dewi, dan yang lainnya. "Bisakah kau membantuku dalam persoalan ini?"
"Aku tak menjanjikan hasilnya, tapi setidaknya aku punya saran untukmu."
"Apa saranmu?"
"Menghilang untuk sementara waktu. Jangan muncul dulu di rimba persilatan sampai persoalan ini menjadi gamblang, siapa pelaku sebenarnya dan siapa pemegang keris pusaka itu."
"Menghilang...?!" gumam Suto Sinting sambil termenung.
"Kemunculanmu hanya akan menimbulkan pertumpahan darah dari pihak yang tidak bersalah. Aku percaya, ada pihak lain yang sengaja ingin mencelakakan dirimu, dan mencemarkan namamu serta nama gurumu. Terbukti setiap mulut yang bicara kudengar selalu menyebut-nyebut nama Gila Tuak."
Suto tarik napas panjang-panjang. Pandangan matanya terlempar jauh. Raja Maut memperhatikan sesaat, lalu ikut memandang jauh sambil berkata pelan. "Pusat perhatian mereka bukan kepada Empu Sakya, tapi yang terpenting adalah keris pusaka itu."
"Sebenarnya aku sendiri tidak banyak tahu tentang kehebatan keris itu."
"Keris pusaka Setan Kobra adalah keris pelenyap raga dan jiwa. Keris itu juga mampu membunuh lawan dengan cara membayangkan wajah lawan dan menusukkan keris itu ke batang pohon. Lawan ditempat sejauh mana pun tidak akan bisa menghindari maut tersebut, ia akan mati bersama terhunjamnya keris ke batang pohon. Keris itu juga bisa digunakan membunuh lawan melalui bekas tapak kaki lawan tersebut. Tergores sedikit saja, lawan mati seketika. Tapi jika keris iu dihunjamkan langsung ke tubuh lawan, maka tubuh itu akan lenyap tak berbekas dan tak akan muncul lagi di permukaan bumi."
"Hebat sekali!" gumam Suto Sinting. "Mengapa Ki Empu Sakya saat berhadapan dengan Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, tak mau gunakan kerisnya itu?!"
"Empu Sakya tidak mau lakukan pertempuran lagi. Sudah dua puluh tahun ia tak mau terlibat dalam kancah persilatan. Membunuh dan melukai siapa pun tak mau dia lakukan, ia punya keinginan untuk menjadi seorang petapa yang mampu mencapai kesempurnaan jiwa, sehingga kelak matinya akan moksa, hilang tak berbekas dan langsung ke alam kelanggengan yang penuh keindahan, tapi harapan itu ternyata gagal karena ia masih simpan keris pusaka itu."
Suto Sinting manggut-manggut. Hatinya mengakui kewajaran setiap hasrat manusia sesat yang ingin memiliki keris tersebut, seperti Ratu Tanpa Tapak. Rupanya ratu yang bernama asli Nila Cendani itu ingin memiliki keris tersebut untuk kalahkan Suto dengan cara membunuh Suto dari jarak jauh. Pantas jika Nila Cendani mengupah beberapa orang untuk rebut keris itu yang menurut sangkaannya ada di tangan Suto Sinting.
Setelah diam sesaat lamanya, Suto Sinting segera ajukan tanya, "Menurutmu siapa sebenarnya orang yang membunuh Ki Empu Sakya?"
"Teropong batinku lemah sejak aku terkena pukulan Nyai Demang Ronggeng tempo hari. Akibatnya aku tak bisa mengetahui siapa pelakunya. Tetapi menurutku, kau memang harus bersembunyi untuk beberapa waktu. Sebab jika kau masih berkeliaran di rimba persilatan, banyak tokoh yang mengincar kematianmu untuk rebut keris itu. Mereka anggap ilmumu tidak setinggi ilmu Ki Empu Sakya dalam kekuatan teropong batinnya. Mungkin para tokoh dari berbagai penjuru yang punya ilmu tinggi-tinggi itu juga akan ikut dalam perebutan keris tersebut. Apalagi cucunya Empu Sakya yang bernama Kalatandu."
"Aku baru mendengar nama itu," potong Suto dengan terpaksa karena merasa heran dan asing sekali dengan nama Kalatandu.
Maka Raja Maut pun jelaskan maksud kata-katanya. "Kalatandu adalah cucu Empu Sakya. Termasuk muridnya juga. Tapi karena Kalatandu sebenarnya anak dari mendiang Nini Tandu, kakak perempuan Empu Sakya yang baru separo bagian turunkan kesaktiannya kepada Kalatandu, maka Kalatandu sendiri bertekad mengembara mencari pembunuh ibunya setelah mendapatkan hampir seluruh ilmu dari Empu Sakya. Entah sekarang Kalatandu sudah berhasil menemukan pembunuh ibunya atau belum, entah ada di mana, yang jelas kalau dia, si Kalatandu itu mendengar kematian Empu Sakya di tanganmu dan mendengar bahwa keris pusaka itu juga ada di tanganmu, dia akan mengamuk dan mencarimu. Menurutku, maaf..., kau kalah tinggi ilmunya dengan Kalatandu."
Mata pendekar tampan berambut sedikit panjang itu tidak berkedip memandangi wajah Raja Maut yang bicara dengan sungguh-sungguh. Bahkan di wajah Raja Maut sepertinya tersimpan kecemasan di balik sikap tenang dan wibawanya. Suto Sinting sendiri sempat kaget mendengar Kalatandu diperhitungkan sebagai orang yang berilmu tinggi darinya. Namun hati kecil Suto sangsi dan bertanya-tanya,
"Apa benar Kalatandu lebih tinggi ilmunya dariku?" Akibatnya, hati Suto penasaran, ingin bisa bertemu dengan Kalatandu. Setidaknya untuk jelaskan perkara sebenarnya supaya tidak terjadi permusuhan.
Renungan mereka menghadirkan kebungkaman yang sunyi. Kesunyian itu terpecahkan oleh langkah orang berlari dengan tergopoh-gopoh dari arah samping pondok, seakan muncul dari kemiringan lereng. Raja Maut dan Suto Sinting sama-sama terkejut melihat orang yang datang berlari ke arah mereka. Orang itu tak lain adalah Srimurti, yang berlumur darah dan banyak luka di tubuhnya. Tentu saja Raja Maut menjadi tegang melihat muridnya dalam keadaan terluka parah. Sang murid jatuh tersungkur tepat di depan kaki gurunya.
"Muridku...? Siapa yang melakukan semua ini padamu?!" Raja Maut mulai tampakkan kemarahannya. Wajahnya mulai memerah menahan amarah.
Srimurti masih bisa bicara dalam sanggahan tangan sang Guru, "Perem... perempuan itu... benar-benar ingin membunuhku. Guru."
"Perempuan yang mana?! Siapa namanya?!"
"Ta... tanyakan... tanyakan kepada... dia...!" Srimurti menuding Suto, tentu saja wajah Suto terperanjat tegang dan Raja Maut cepat memandangnya.
"Mak... maksudmu... gadis berpakaian putih tadi?"
"Bbbe... benar...! Dia membelamu dan... dan ingin membunuhku."
"Apa maksud semua ini, Suto Sinting?!" Raja Maut tampak menuntut pada Suto walau ia masih berusaha menahan murka, ia merasa sakit hati dan tak rela jika murid tunggalnya dilukai separah itu.
Suto menjadi serba salah, ingin menyalahkan Srimurti karena tuduhannya yang membuat Rindu Malam mengamuk, tapi takut salah sangka dan menimbulkan Raja Maut kian marah. Maka sebagai penengah ketegangan dan pereda kemarahan, Suto Sinting berkata, "Kuobati dulu muridmu itu, biar tidak terlambat. Setelah itu kita bicarakan tentang Rindu Malam."
"Siapa itu Rindu Malam?"
"Yang melukai muridmu; Srimurti! Nanti kujelaskan. Bawalah masuk Srimurti dan berikan minuman tuak dari bumbung ini...," Suto berusaha tetap tenang. Dalam hatinya sendiri Pendekar Mabuk merasa heran dan tidak menyangka kalau Rindu Malam menghajar Srimurti separah itu. Kepala Srimurti hampir pecah, entah terkena pukulan jurus seperti apa. Tubuh hitam Srimurti pun memar merah kebiru-biruan dari telapak kaki sampai ubun-ubun. Ujung-ujung rambut Srimurti keriting bagai bekas terbakar.
Srimurti hampir saja tak tertolong kalau ia tak segera pulang dan tidak bertemu Suto. Sebab luka yang diderita Srimurti bercampur dengan pukulan beracun ganas yang sulit dicari penangkalnya. Jika tidak meneguk tuak dari bumbung keramat milik Suto Sinting itu, nyawa Srimurti sudah sampai ke tepi neraka. Karena keadaan gawatnya terselamatkan oleh tuaknya Suto, maka Srimurti sendiri mengurangi sikap permusuhannya dengan Suto Sinting.
Keadaan yang cepat membaik membuat Srimurti jelaskan perasaan hatinya yang benci kepada pembunuh Ki Empu Sakya. Seperti para tokoh lainnya, Srimurti juga yakin bahwa pembunuhnya adalah Suto, karena kemana-mana membawa bumbung tempat tuak.
Raja Maut berkata, "Itu tidak bisa dipakai alasan. Bambu seperti bumbung tuak itu mudah didapat, dan bisa ditenteng oleh setiap orang. Mungkin saja seorang penjual legen, seperti yang diceritakan Suto tadi, adalah orang yang membunuh Empu Sakya."
"Kabar menyebutkan orang pembawa bembu tuak itu pemuda yang ganteng. Dan Suto sendiri juga pemuda yang...," Srimurti tidak berani teruskan ucapannya, karena ia menyembunyikan perasaan kagumnya terhadap ketampanan Suto. Ia tak mau Suto mengetahui hatinya memuji ketampanan pendekar itu. Sebab itu, Srimurti segera lanjutkan dengan kata-kata lain.
"Tak tahulah, Guru. Yang jelas para tokoh sudah memastikan Suto-lah perampas keris milik Ki Empu Sakya itu."
"Kau jangan mudah terpengaruh oleh berita yang belum terbukti nyata, Muridku," kata Raja Maut. "Kau masih terlalu dini untuk mengenal Suto Sinting. Aku cukup dalam mengenalnya, karena aku sahabat gurunya. Tak mungkin Suto lakukan hal seperti itu, karena dialah yang menolong Ki Empu Sakya ketika hampir saja berhadapan dengan Iblis Naga Pamungkas."
"Tapi..., gadisnya itu sangat ganas menyerangku, Guru. Aku jadi curiga, jangan-jangan ia bekerja sama dengan kekasihnya."
Raja Maut memandang Suto seakan menuntut penjelasan dan pengakuan. Suto segera gelengkan kepala sambil berkata, "Dia bukan kekasihku. Dia mengaku pengagumku bernama Rindu Malam."
"Aku tidak mengenal nama itu," kata Raja Maut. Agaknya Raja Maut memang tidak mengenal nama Rindu Malam.
Suto sempat merasa heran, mengapa gadis secantik Rindu Malam yang punya jurus aneh dan ilmu tinggi tidak dikenal oleh tokoh tua seperti Raja Maut. Jangan-jangan nama itu adalah nama samaran di depan Suto saja. Mungkin jika Rindu Malam berhadapan dengan Raja Maut, maka sang tokoh tua itu akan mengenalinya dengan nama lain. Bagi Suto, yang penting Raja Maut percaya bahwa Rindu Malam bukan kekasihnya, dan sekadar sebagai pengagumnya.
Pembelaan Rindu Malam dinilai wajar karena tak rela jika orang yang dikagumi cedera atau luka oleh siapa pun. Suto Sinting pun segera melupakan Rindu Malam dengan kemisteriusannya, karena ia segera punya gagasan untuk temui Pelangi Sutera di gua pantai Semberani. Suto harus bertemu wanita bekas istri jin itu, karena agaknya tempo hari ketika Logo sang anak jin itu mengatakan bahwa Suto dipanggil ibunya, permasalahan matinya Empu Sakya itulah yang akan dibicarakan oleh Pelangi Sutera.
Sama-sama dalam wilayah Bukit Semberani, tapi jarak antara pondok Raja Maut dengan gua yang sekarang dipakai tempat tinggal Pelangi Sutera itu cukup jauh. Puncak dengan dasar. Namun Suto dapat menempuhnya dalam waktu cepat karena mampu bergerak melebihi anak panah. Sayangnya ia harus berhenti ketika mau injakkan kakinya di dataran pasir pantai.
Suto cepat rapatkan badannya pada sebuah pohon. Matanya mengintai dari sana. Bocah berusia sepuluh tahun sedang berlari-lari dengan wajah tegang. "Angon Luwak...?!" gumam Suto dengan heran. "Mengapa ia berlari ketakutan begitu? Oh, ternyata ia dikejar dua ekor kuda?!"
Angon Luwak memang dikejar dua ekor kuda. Penunggangnya dua lelaki yang sama sekali tak imbang jika harus bertarung melawan bocah sekecil Angon Luwak. Satu dari penunggang kuda itu telah dikenal oleh Suto Sinting. Lelaki muda berpakaian mewah itu tak lain adalah Raden Udaya, putra adipati yang pernah menghadang perjalanan Suto Sinting karena menganggap Mega Dewi kekasihnya direbut oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas).
Tetapi lelaki yang satunya, yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, sama sekali masih asing bagi Suto Sinting. Sekalipun begitu, Suto Sinting segera lompat ke arah pantai dan mendarat di depan Angon Luwak. Bocah itu terperangah girang.
"Kang Suto...?!" napasnya terengah-engah dan segera berlindung di belakang Pendekar Mabuk. Kemunculan Suto membuat dua kuda pengejarnya segera berhenti dalam jarak lima langkah di depan Suto.
Mereka beradu pandang. Raden Udaya merasa muak melihat tampang Suto. Sikapnya sinis dan jelas sekali bermusuhan. Sedangkan lelaki yang berpakaian hitam celana merah berwajah dingin dan berambut lurus itu hanya diam di tempat, mata nya menatap bagaikan ingin membekukan darah Pendekar Mabuk.
"Selamat bertemu lagi, Raden Udaya," sapa Suto sengaja tersenyum mengejek.
"Persetan dengan dirimu, Suto!" geram Raden Udaya dengan suara pelan.
"Tak kusangka ternyata kau tega bermusuhan dengan anak sekecil Angon Luwak."
"Dia membuat kudaku ketakutan. Anak itu harus dihajar, biar lain kali tidak membuat kudaku ketakutan."
Suto Sinting sunggingkan senyum. Sinis dan masih mengejek sifatnya. "Tak kuizinkan kau menghajar bocah yang bukan tandinganmu, Raden Udaya!"
"Keparat!" geram si baju hitam berwajah dingin itu. Ia segera bergegas untuk lakukan satu lompatan penyerangan dari atas punggung kuda.
Tapi tiba-tiba Raden Udaya rentangkan satu tangannya, menahan gerakan orang itu dengan isyarat, sedangkan mata tetap memandang ke arah Suto penuh benci. "Jangan kotori tanganmu untuk menghadapi tikus lumbung itu, Malaikat Beku," kata Raden Udaya kepada si baju hitam celana merah yang berjuluk Malaikat Beku itu. Lanjutnya lagi, "Ada urusan lain yang perlu kita selesaikan. Yang ini nanti-nanti saja, karena terlalu mudah untuk diselesaikan bagi kita!"
Setelah berkata begitu, Raden Udaya dan Malaikat Beku segera pergi tinggalkan Suto dan Angon Luwak. Agaknya Raden Udaya sungkan berhadapan dengan Suto Sinting karena ingat kecemburuannya dulu. Suto merasa kebetulan karena ia tidak buang-buang waktu terlalu banyak.
"Mereka benar-benar ingin membunuhku, Kang!"
"Makanya lain kali kau jangan dekati mereka. Orang kaya seperti Raden Udaya itu akan lebih menghargai nyawa kuda daripada nyawa bocah desa sepertimu!"
"Tapi..." ucapan Angon Luwak terhenti karena ia sempat kaget melihat kemunculan Logo, si anak jin.
Manusia hitam bercawat dan bertubuh tinggi besar itu melangkah dari arah gua yang dituju Suto Sinting. Wajah sangarnya tersenyum, maksudnya ingin bersikap ramah, tapi justru senyum itu menakutkan bagi Angon Luwak, sehingga Angon Luwak semakin bersembunyi di belakang Suto Sinting.
"Angon Luwak, dia tidak jahat seperti dugaanmu. Bermainlah dengan Logo, aku akan temui ibunya. Tak usah takut."
"Aku bukan takut. Kang. Aku cuma merasa jijik melihat kulitnya yang hitam mengkilap dan bau keringatnya seperti timbunan sampah," kata Angon Luwak.
Suto tertawa pendek. "Tahan bau tak sedap itu, lama-lama kau akan terbiasa. Nanti akan kukatakan kepada ibunya agar Logo perlu dimandikan dengan air kembang seribu rupa seribu aroma."
Kemudian Suto bicara kepada Logo, "Ibumu ada, Logo?"
"Ibu pergi," jawab Logo yang bersuara besar.
Suto mendesah kecewa. "Pergi ke mana?"
"Ke Jurang Lindu temui gurumu; Gila Tuak."
"Hah...?! Untuk apa dia temui guruku?!"
Logo geleng-geleng kepala. "Aku tidak tahu, Suto. Tapi sepertinya untuk urusan yang amat penting. Karena Ibu pergi dengan terburu-buru."
Hati Suto Sinting jadi tak enak. "Kalau begitu aku harus bergegas menyusul ke Jurang Lindu. Jangan- jangan dia bicara tentang cintanya dan ingin bertanding kesaktian dengan Dyah Sariningrum; calon istriku itu?! Gawat!" pikir Suto mulai tampak tegang.
"Apa mau mu menyerang kami, hah?!" gertak Rindu Malam.
"Aku benci dengan seorang pendekar yang mengkhianati sahabat sendiri!"
"Apa maksudmu?!"
"Pemuda sinting itu membunuh sahabatnya sendiri yang tidak pernah menyakiti hati siapa pun. Ia mencuri keris pusaka sahabatnya dengan licik!"
Sekalipun Rindu Malam merasa kurang enak mendengar ucapan itu, tapi ia tak berani cepat-cepat lanjutkan kata. Ia diam sebentar, dan Suto Sinting segera perdengarkan suara,
"Siapa kau sebenarnya. Nona Manis?"
"Aku Srimurti, murid Raja Maut!" jawabnya dengan ketus sekali.
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Baru sekarang kita jumpa. Tapi aku sudah pernah dengar nama mu sebelumnya."
"Aku pun dengar namamu sudah lama, tapi tak sangka kalau ternyata kau pendekar yang licik, keji, dan rakus!"
"Hati-hati bicaramu!" sentak Rindu Malam, ia tampak mulai semakin berang.
"Aku tak kenal siapa kau," kata Srimurti kepada Rindu Malam. "Kuharap kau menyingkir dari depanku, karena aku punya urusan sendiri dengan pendekar licik itu!"
"Aku tak punya urusan denganmu, Srimurti," kata Suto Sinting.
"Kau punya urusan denganku, Suto!" sergah Srimurti. "Ki Empu Sakya sudah kuanggap orangtuaku sendiri, karena beliau sangat dekat dan akrab denganku dan dengan guruku. Kematian Ki Empu Sakya membuatku punya perhitungan sendiri denganmu, karena aku tak ingin pusaka Keris Setan Kobra itu jatuh ke tangan orang sesat sepertimu! Sebaiknya serahkan saja padaku secara baik-baik biar dirawat dan disimpan oleh guruku; Raja Maut!"
"Kau keliru!" jawab Suto tenang sambil maju melewati Rindu Malam. Jaraknya tinggal tiga langkah dari Srimurti. Suaranya tenang dan jelas. "Kau terhasut oleh fitnah seseorang, atau hanyut dalam arus salah paham. Aku tidak lakukan apa pun terhadap Ki Empu Sakya!"
"Omong kosong!" sahut Srimurti. "Kurasa kau perlu dipaksa supaya tahu bagaimana menjadi orang jujur dan benar! Hiaaah...!"
Wuuut...!
Srimurti sentakkan kakinya dan dari telapak kaki melesat sinar hijau kecil ke arah wajah Suto Sinting. Tapi tubuh Suto Sinting cepat melengkung ke belakang dan sinar hijau itu lewat di depan wajahnya. Hampir saja mengenai dada Rindu Malam yang ada di belakangnya. Untung dengan cepat Rindu Malam sentakkan tangan kirinya dan sinar merah kecil pun beradu dengan sinar hijaunya Srimurti.
Blaaar...!
Ledakan itu tak berbahaya. Srimurti segera mengerahkan tenaga dalamnya melalui gerakan tangan yang direntangkan ke depan-belakang bagaikan bangau hendak terbang. Tapi gerakan Rindu Malam lebih cepat, melayang bagaikan singa menerkam melewati batas kepala Suto Sinting.
Wuuus...! Arahnya ke tubuh Srimurti, tapi dengan cepat Srimurti justru putar tubuhnya dan layangkan tendangan dengan satu kaki. Weees...! Plak..! Tangan Rindu Malam sempat berkelebat menangkis, tapi tangan yang kiri sempat menghantam dada Srimurti yang baru saja kembali pada keadaan semula. Duuhhk..! Srimurti terkejut, tak menyangka datangnya serangan kuat itu. Matanya mendelik sebentar dan dadanya segera kepulkan asap lewat pori-pori kulit tubuhnya, pakaiannya hangus membekas gambar telapak tangan hitam.
Srimurti terhempas ke belakang. Punggungnya membentur pohon dalam keadaan tetap berdiri. Duuhg...! Ia menyeringai sebentar. Merunduk menahan sakit. Tetapi Rindu Malam menerjang terus sambil berseru,
"Kulumpuhkan kau sekarang juga jika ingin mengganggunya! Heaaah...!"
Wuuut...!
Srimurti sentakkan kaki, bergerak cepat dan larikan diri menerabas semak. Rindu Malam berseru, "Hai, jangan lari!" sambil ia nekat mengejarnya penuh hasrat bermusuhan.
Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala dan tetap diam di tempatnya. Hatinya merasa heran, namun juga prihatin terhadap anggapan Srimurti, sebagai murid sahabatnya sendiri itu.
"Mengapa murid Raja Maut sampai seyakin itu menganggapku sebagai pembunuh Ki Empu Sakya? Apakah Raja Maut pun beranggapan begitu?! Hmm..., sebaiknya aku harus segera temui Raja Maut untuk membicarakan kesalahpahaman ini!"
Pendekar Mabuk pun heran dengan sikap Rindu Malam yang tampak sangat melindungi dirinya. Benarkah sikap itu hanya sebatas sikap seorang pengagum, atau punya maksud-maksud lain yang tak berani dikatakan secara terus terang? Suto Sinting sempat memikirkan kemunculan Rindu Malam yang tak pernah diduga-duga itu. Namun pikiran tersebut segera buyar karena sebelum mencapai pondok Raja Maut di puncak Bukit Semberani, ternyata tokoh tua itu sudah berada di bawah sebuah pohon, seakan sengaja berdiri di situ menunggu kedatangan Suto.
Dilihat dari sikap dan wajahnya. Raja Maut sepertinya tidak terpengaruh oleh adanya berita tentang siapa pembunuh Ki Empu Sakya. Ia kalem dan berkesan bersahabat. Senyumnya tipis sekali, sepertinya sinis, tapi sebenarnya tidak. Memang begitulah senyum kalem si Raja Maut itu.
"Muridmu baru saja menyerangku, Raja Maut!" ujar Suto setelah menenggak tuaknya sebentar. "Dia menyangka akulah pembunuh Ki Empu Sakya dan merebut pusaka Keris Setan Kobra."
Senyum Raja Maut kian melebar. "Kita duduk di depan gubukku sana saja!" ajak Raja Maut.
Suto Sinting tak menolak. Mereka bergegas menuju pelataran pondok beratap sirap. Di sana ada pohon rindang tapi rendah, seperti payung peneduh di waktu siang, di bawahnya ada tiga batu berpermukaan datar. Di atas batu itu mereka duduk dan bicara.
"Aku ikut prihatin dengan kabar yang mencemarkan nama baikmu, Suto." Raja Maut bicara dengan mata memandang sekeliling, seperti memasang kewaspadaan tinggi, seakan begitulah sikapnya jika berada di tempat yang ingin digunakan untuk bicara hal-hal bersifat rahasia.
"Aku sendiri tak menduga kalau kau akan dikecam olah para tokoh dunia persilatan dengan tuduhan membunuh sahabatku, yang juga sahabat gurumu itu."
"Tapi aku tidak melakukannya, Raja Maut. Kau tahu sendiri, belakangan ini aku sedang bepergian dan bahkan pulangnya sempat bertemu denganmu di Pulau Blacan!"
"Kutinggalkan pulau ini selama sembilan hari," kata Raja Maut. "Aku menemui seorang sahabat di Pulau Lengkur selama empat hari, sisanya kugunakan untuk menuju ke Pulau Blacan dengan singgah di selat Merah. Ketika aku kembali kemari dengan membawa Kitab Sukma Sukmi, tahu-tahu kudengar kabar kematian Ki Empu Sakya. Aku sangat terkejut. Lebih terkejut lagi mendengar kabar, pelakunya adalah Suto Sinting. Hampir hampir aku tak percaya dengan pendengaranku sendiri."
"Dalam hatimu, apakah kau percaya bahwa aku pelakunya?"
"Hati kecilku mengatakan, bukan kau! Aku tahu sifat gurumu, dan aku tahu sifat itu menurun pula pada dirimu. Tak ada sifat sejahat itu pada gurumu dan dirimu. Tapi mengapa berita semakin hari semakin santer mengatakan kaulah pembunuhnya? Repotnya lagi, banyak tokoh yang beranggapan pusaka Keris Setan Kobra ada di tanganmu!" Raja Maut bicara dengan wajah menampakkan keprihatinan cukup dalam, sehingga Suto Sinting merasa tidak semata-mata dituduh, melainkan juga diperhatikan kesulitannya.
"Aku terpojok, Raja Maut...," lalu Suto pun menceritakan perihal kematian Mbok Wiji, sikap Srimurti, Mega Dewi, dan yang lainnya. "Bisakah kau membantuku dalam persoalan ini?"
"Aku tak menjanjikan hasilnya, tapi setidaknya aku punya saran untukmu."
"Apa saranmu?"
"Menghilang untuk sementara waktu. Jangan muncul dulu di rimba persilatan sampai persoalan ini menjadi gamblang, siapa pelaku sebenarnya dan siapa pemegang keris pusaka itu."
"Menghilang...?!" gumam Suto Sinting sambil termenung.
"Kemunculanmu hanya akan menimbulkan pertumpahan darah dari pihak yang tidak bersalah. Aku percaya, ada pihak lain yang sengaja ingin mencelakakan dirimu, dan mencemarkan namamu serta nama gurumu. Terbukti setiap mulut yang bicara kudengar selalu menyebut-nyebut nama Gila Tuak."
Suto tarik napas panjang-panjang. Pandangan matanya terlempar jauh. Raja Maut memperhatikan sesaat, lalu ikut memandang jauh sambil berkata pelan. "Pusat perhatian mereka bukan kepada Empu Sakya, tapi yang terpenting adalah keris pusaka itu."
"Sebenarnya aku sendiri tidak banyak tahu tentang kehebatan keris itu."
"Keris pusaka Setan Kobra adalah keris pelenyap raga dan jiwa. Keris itu juga mampu membunuh lawan dengan cara membayangkan wajah lawan dan menusukkan keris itu ke batang pohon. Lawan ditempat sejauh mana pun tidak akan bisa menghindari maut tersebut, ia akan mati bersama terhunjamnya keris ke batang pohon. Keris itu juga bisa digunakan membunuh lawan melalui bekas tapak kaki lawan tersebut. Tergores sedikit saja, lawan mati seketika. Tapi jika keris iu dihunjamkan langsung ke tubuh lawan, maka tubuh itu akan lenyap tak berbekas dan tak akan muncul lagi di permukaan bumi."
"Hebat sekali!" gumam Suto Sinting. "Mengapa Ki Empu Sakya saat berhadapan dengan Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, tak mau gunakan kerisnya itu?!"
"Empu Sakya tidak mau lakukan pertempuran lagi. Sudah dua puluh tahun ia tak mau terlibat dalam kancah persilatan. Membunuh dan melukai siapa pun tak mau dia lakukan, ia punya keinginan untuk menjadi seorang petapa yang mampu mencapai kesempurnaan jiwa, sehingga kelak matinya akan moksa, hilang tak berbekas dan langsung ke alam kelanggengan yang penuh keindahan, tapi harapan itu ternyata gagal karena ia masih simpan keris pusaka itu."
Suto Sinting manggut-manggut. Hatinya mengakui kewajaran setiap hasrat manusia sesat yang ingin memiliki keris tersebut, seperti Ratu Tanpa Tapak. Rupanya ratu yang bernama asli Nila Cendani itu ingin memiliki keris tersebut untuk kalahkan Suto dengan cara membunuh Suto dari jarak jauh. Pantas jika Nila Cendani mengupah beberapa orang untuk rebut keris itu yang menurut sangkaannya ada di tangan Suto Sinting.
Setelah diam sesaat lamanya, Suto Sinting segera ajukan tanya, "Menurutmu siapa sebenarnya orang yang membunuh Ki Empu Sakya?"
"Teropong batinku lemah sejak aku terkena pukulan Nyai Demang Ronggeng tempo hari. Akibatnya aku tak bisa mengetahui siapa pelakunya. Tetapi menurutku, kau memang harus bersembunyi untuk beberapa waktu. Sebab jika kau masih berkeliaran di rimba persilatan, banyak tokoh yang mengincar kematianmu untuk rebut keris itu. Mereka anggap ilmumu tidak setinggi ilmu Ki Empu Sakya dalam kekuatan teropong batinnya. Mungkin para tokoh dari berbagai penjuru yang punya ilmu tinggi-tinggi itu juga akan ikut dalam perebutan keris tersebut. Apalagi cucunya Empu Sakya yang bernama Kalatandu."
"Aku baru mendengar nama itu," potong Suto dengan terpaksa karena merasa heran dan asing sekali dengan nama Kalatandu.
Maka Raja Maut pun jelaskan maksud kata-katanya. "Kalatandu adalah cucu Empu Sakya. Termasuk muridnya juga. Tapi karena Kalatandu sebenarnya anak dari mendiang Nini Tandu, kakak perempuan Empu Sakya yang baru separo bagian turunkan kesaktiannya kepada Kalatandu, maka Kalatandu sendiri bertekad mengembara mencari pembunuh ibunya setelah mendapatkan hampir seluruh ilmu dari Empu Sakya. Entah sekarang Kalatandu sudah berhasil menemukan pembunuh ibunya atau belum, entah ada di mana, yang jelas kalau dia, si Kalatandu itu mendengar kematian Empu Sakya di tanganmu dan mendengar bahwa keris pusaka itu juga ada di tanganmu, dia akan mengamuk dan mencarimu. Menurutku, maaf..., kau kalah tinggi ilmunya dengan Kalatandu."
Mata pendekar tampan berambut sedikit panjang itu tidak berkedip memandangi wajah Raja Maut yang bicara dengan sungguh-sungguh. Bahkan di wajah Raja Maut sepertinya tersimpan kecemasan di balik sikap tenang dan wibawanya. Suto Sinting sendiri sempat kaget mendengar Kalatandu diperhitungkan sebagai orang yang berilmu tinggi darinya. Namun hati kecil Suto sangsi dan bertanya-tanya,
"Apa benar Kalatandu lebih tinggi ilmunya dariku?" Akibatnya, hati Suto penasaran, ingin bisa bertemu dengan Kalatandu. Setidaknya untuk jelaskan perkara sebenarnya supaya tidak terjadi permusuhan.
Renungan mereka menghadirkan kebungkaman yang sunyi. Kesunyian itu terpecahkan oleh langkah orang berlari dengan tergopoh-gopoh dari arah samping pondok, seakan muncul dari kemiringan lereng. Raja Maut dan Suto Sinting sama-sama terkejut melihat orang yang datang berlari ke arah mereka. Orang itu tak lain adalah Srimurti, yang berlumur darah dan banyak luka di tubuhnya. Tentu saja Raja Maut menjadi tegang melihat muridnya dalam keadaan terluka parah. Sang murid jatuh tersungkur tepat di depan kaki gurunya.
"Muridku...? Siapa yang melakukan semua ini padamu?!" Raja Maut mulai tampakkan kemarahannya. Wajahnya mulai memerah menahan amarah.
Srimurti masih bisa bicara dalam sanggahan tangan sang Guru, "Perem... perempuan itu... benar-benar ingin membunuhku. Guru."
"Perempuan yang mana?! Siapa namanya?!"
"Ta... tanyakan... tanyakan kepada... dia...!" Srimurti menuding Suto, tentu saja wajah Suto terperanjat tegang dan Raja Maut cepat memandangnya.
"Mak... maksudmu... gadis berpakaian putih tadi?"
"Bbbe... benar...! Dia membelamu dan... dan ingin membunuhku."
"Apa maksud semua ini, Suto Sinting?!" Raja Maut tampak menuntut pada Suto walau ia masih berusaha menahan murka, ia merasa sakit hati dan tak rela jika murid tunggalnya dilukai separah itu.
Suto menjadi serba salah, ingin menyalahkan Srimurti karena tuduhannya yang membuat Rindu Malam mengamuk, tapi takut salah sangka dan menimbulkan Raja Maut kian marah. Maka sebagai penengah ketegangan dan pereda kemarahan, Suto Sinting berkata, "Kuobati dulu muridmu itu, biar tidak terlambat. Setelah itu kita bicarakan tentang Rindu Malam."
"Siapa itu Rindu Malam?"
"Yang melukai muridmu; Srimurti! Nanti kujelaskan. Bawalah masuk Srimurti dan berikan minuman tuak dari bumbung ini...," Suto berusaha tetap tenang. Dalam hatinya sendiri Pendekar Mabuk merasa heran dan tidak menyangka kalau Rindu Malam menghajar Srimurti separah itu. Kepala Srimurti hampir pecah, entah terkena pukulan jurus seperti apa. Tubuh hitam Srimurti pun memar merah kebiru-biruan dari telapak kaki sampai ubun-ubun. Ujung-ujung rambut Srimurti keriting bagai bekas terbakar.
Srimurti hampir saja tak tertolong kalau ia tak segera pulang dan tidak bertemu Suto. Sebab luka yang diderita Srimurti bercampur dengan pukulan beracun ganas yang sulit dicari penangkalnya. Jika tidak meneguk tuak dari bumbung keramat milik Suto Sinting itu, nyawa Srimurti sudah sampai ke tepi neraka. Karena keadaan gawatnya terselamatkan oleh tuaknya Suto, maka Srimurti sendiri mengurangi sikap permusuhannya dengan Suto Sinting.
Keadaan yang cepat membaik membuat Srimurti jelaskan perasaan hatinya yang benci kepada pembunuh Ki Empu Sakya. Seperti para tokoh lainnya, Srimurti juga yakin bahwa pembunuhnya adalah Suto, karena kemana-mana membawa bumbung tempat tuak.
Raja Maut berkata, "Itu tidak bisa dipakai alasan. Bambu seperti bumbung tuak itu mudah didapat, dan bisa ditenteng oleh setiap orang. Mungkin saja seorang penjual legen, seperti yang diceritakan Suto tadi, adalah orang yang membunuh Empu Sakya."
"Kabar menyebutkan orang pembawa bembu tuak itu pemuda yang ganteng. Dan Suto sendiri juga pemuda yang...," Srimurti tidak berani teruskan ucapannya, karena ia menyembunyikan perasaan kagumnya terhadap ketampanan Suto. Ia tak mau Suto mengetahui hatinya memuji ketampanan pendekar itu. Sebab itu, Srimurti segera lanjutkan dengan kata-kata lain.
"Tak tahulah, Guru. Yang jelas para tokoh sudah memastikan Suto-lah perampas keris milik Ki Empu Sakya itu."
"Kau jangan mudah terpengaruh oleh berita yang belum terbukti nyata, Muridku," kata Raja Maut. "Kau masih terlalu dini untuk mengenal Suto Sinting. Aku cukup dalam mengenalnya, karena aku sahabat gurunya. Tak mungkin Suto lakukan hal seperti itu, karena dialah yang menolong Ki Empu Sakya ketika hampir saja berhadapan dengan Iblis Naga Pamungkas."
"Tapi..., gadisnya itu sangat ganas menyerangku, Guru. Aku jadi curiga, jangan-jangan ia bekerja sama dengan kekasihnya."
Raja Maut memandang Suto seakan menuntut penjelasan dan pengakuan. Suto segera gelengkan kepala sambil berkata, "Dia bukan kekasihku. Dia mengaku pengagumku bernama Rindu Malam."
"Aku tidak mengenal nama itu," kata Raja Maut. Agaknya Raja Maut memang tidak mengenal nama Rindu Malam.
Suto sempat merasa heran, mengapa gadis secantik Rindu Malam yang punya jurus aneh dan ilmu tinggi tidak dikenal oleh tokoh tua seperti Raja Maut. Jangan-jangan nama itu adalah nama samaran di depan Suto saja. Mungkin jika Rindu Malam berhadapan dengan Raja Maut, maka sang tokoh tua itu akan mengenalinya dengan nama lain. Bagi Suto, yang penting Raja Maut percaya bahwa Rindu Malam bukan kekasihnya, dan sekadar sebagai pengagumnya.
Pembelaan Rindu Malam dinilai wajar karena tak rela jika orang yang dikagumi cedera atau luka oleh siapa pun. Suto Sinting pun segera melupakan Rindu Malam dengan kemisteriusannya, karena ia segera punya gagasan untuk temui Pelangi Sutera di gua pantai Semberani. Suto harus bertemu wanita bekas istri jin itu, karena agaknya tempo hari ketika Logo sang anak jin itu mengatakan bahwa Suto dipanggil ibunya, permasalahan matinya Empu Sakya itulah yang akan dibicarakan oleh Pelangi Sutera.
Sama-sama dalam wilayah Bukit Semberani, tapi jarak antara pondok Raja Maut dengan gua yang sekarang dipakai tempat tinggal Pelangi Sutera itu cukup jauh. Puncak dengan dasar. Namun Suto dapat menempuhnya dalam waktu cepat karena mampu bergerak melebihi anak panah. Sayangnya ia harus berhenti ketika mau injakkan kakinya di dataran pasir pantai.
Suto cepat rapatkan badannya pada sebuah pohon. Matanya mengintai dari sana. Bocah berusia sepuluh tahun sedang berlari-lari dengan wajah tegang. "Angon Luwak...?!" gumam Suto dengan heran. "Mengapa ia berlari ketakutan begitu? Oh, ternyata ia dikejar dua ekor kuda?!"
Angon Luwak memang dikejar dua ekor kuda. Penunggangnya dua lelaki yang sama sekali tak imbang jika harus bertarung melawan bocah sekecil Angon Luwak. Satu dari penunggang kuda itu telah dikenal oleh Suto Sinting. Lelaki muda berpakaian mewah itu tak lain adalah Raden Udaya, putra adipati yang pernah menghadang perjalanan Suto Sinting karena menganggap Mega Dewi kekasihnya direbut oleh Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas).
Tetapi lelaki yang satunya, yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, sama sekali masih asing bagi Suto Sinting. Sekalipun begitu, Suto Sinting segera lompat ke arah pantai dan mendarat di depan Angon Luwak. Bocah itu terperangah girang.
"Kang Suto...?!" napasnya terengah-engah dan segera berlindung di belakang Pendekar Mabuk. Kemunculan Suto membuat dua kuda pengejarnya segera berhenti dalam jarak lima langkah di depan Suto.
Mereka beradu pandang. Raden Udaya merasa muak melihat tampang Suto. Sikapnya sinis dan jelas sekali bermusuhan. Sedangkan lelaki yang berpakaian hitam celana merah berwajah dingin dan berambut lurus itu hanya diam di tempat, mata nya menatap bagaikan ingin membekukan darah Pendekar Mabuk.
"Selamat bertemu lagi, Raden Udaya," sapa Suto sengaja tersenyum mengejek.
"Persetan dengan dirimu, Suto!" geram Raden Udaya dengan suara pelan.
"Tak kusangka ternyata kau tega bermusuhan dengan anak sekecil Angon Luwak."
"Dia membuat kudaku ketakutan. Anak itu harus dihajar, biar lain kali tidak membuat kudaku ketakutan."
Suto Sinting sunggingkan senyum. Sinis dan masih mengejek sifatnya. "Tak kuizinkan kau menghajar bocah yang bukan tandinganmu, Raden Udaya!"
"Keparat!" geram si baju hitam berwajah dingin itu. Ia segera bergegas untuk lakukan satu lompatan penyerangan dari atas punggung kuda.
Tapi tiba-tiba Raden Udaya rentangkan satu tangannya, menahan gerakan orang itu dengan isyarat, sedangkan mata tetap memandang ke arah Suto penuh benci. "Jangan kotori tanganmu untuk menghadapi tikus lumbung itu, Malaikat Beku," kata Raden Udaya kepada si baju hitam celana merah yang berjuluk Malaikat Beku itu. Lanjutnya lagi, "Ada urusan lain yang perlu kita selesaikan. Yang ini nanti-nanti saja, karena terlalu mudah untuk diselesaikan bagi kita!"
Setelah berkata begitu, Raden Udaya dan Malaikat Beku segera pergi tinggalkan Suto dan Angon Luwak. Agaknya Raden Udaya sungkan berhadapan dengan Suto Sinting karena ingat kecemburuannya dulu. Suto merasa kebetulan karena ia tidak buang-buang waktu terlalu banyak.
"Mereka benar-benar ingin membunuhku, Kang!"
"Makanya lain kali kau jangan dekati mereka. Orang kaya seperti Raden Udaya itu akan lebih menghargai nyawa kuda daripada nyawa bocah desa sepertimu!"
"Tapi..." ucapan Angon Luwak terhenti karena ia sempat kaget melihat kemunculan Logo, si anak jin.
Manusia hitam bercawat dan bertubuh tinggi besar itu melangkah dari arah gua yang dituju Suto Sinting. Wajah sangarnya tersenyum, maksudnya ingin bersikap ramah, tapi justru senyum itu menakutkan bagi Angon Luwak, sehingga Angon Luwak semakin bersembunyi di belakang Suto Sinting.
"Angon Luwak, dia tidak jahat seperti dugaanmu. Bermainlah dengan Logo, aku akan temui ibunya. Tak usah takut."
"Aku bukan takut. Kang. Aku cuma merasa jijik melihat kulitnya yang hitam mengkilap dan bau keringatnya seperti timbunan sampah," kata Angon Luwak.
Suto tertawa pendek. "Tahan bau tak sedap itu, lama-lama kau akan terbiasa. Nanti akan kukatakan kepada ibunya agar Logo perlu dimandikan dengan air kembang seribu rupa seribu aroma."
Kemudian Suto bicara kepada Logo, "Ibumu ada, Logo?"
"Ibu pergi," jawab Logo yang bersuara besar.
Suto mendesah kecewa. "Pergi ke mana?"
"Ke Jurang Lindu temui gurumu; Gila Tuak."
"Hah...?! Untuk apa dia temui guruku?!"
Logo geleng-geleng kepala. "Aku tidak tahu, Suto. Tapi sepertinya untuk urusan yang amat penting. Karena Ibu pergi dengan terburu-buru."
Hati Suto Sinting jadi tak enak. "Kalau begitu aku harus bergegas menyusul ke Jurang Lindu. Jangan- jangan dia bicara tentang cintanya dan ingin bertanding kesaktian dengan Dyah Sariningrum; calon istriku itu?! Gawat!" pikir Suto mulai tampak tegang.
*
* *
ENAM
BOCAH yang sudah tidak mau menjadi penggembala kambing lagi itu, sekarang seakan menjadi pengamat dunia persilatan. Sebab ia selalu mengikuti para tokoh sakti beraliran putih, terutama Suto Sinting. Tempo hari ia ingin ikut Ki Gendeng Sekarat ke Pulau Serindu, tetapi Ki Gendeng Sekarat keberatan. Ki Gendeng Sekarat hanya berjanji suatu saat akan datang lagi menemui Angon Luwak dan memberikan Ilmu mainannya.
Maka bocah itu pun menggelandang menyusuri jejak kepergian Suto Sinting. Terutama setelah ia sekian hari lamanya kebingungan mencari Suto tidak ada, kini ia sudah temukan pendekar kebanggaannya itu, maka diikutinya terus ke mana pun perginya Pendekar Mabuk tersebut. Walaupun pada awal keberangkatan Suto ke Jurang Lindu sudah berpesan agar Angon Luwak bermain dengan Logo dan tetap tinggal bersama Logo untuk suatu saat akan dihubungi lagi, tapi bocah itu nekat mengikuti arah kepergian Suto secara diam-diam.
Sebenarnya Pendekar Mabuk mengetahui gerak-gerik bocah yang mengikutinya itu, tapi Suto sengaja berpura-pura tidak mengetahui dan membiarkannya. Karena ia mengakui bahwa di dalam jiwa Angon Luwak telah bangkit semangat kependekaran yang sebenarnya perlu dibina sejak sekarang. Sayangnya Suto tidak punya waktu, sehingga ia hanya bisa membiarkan jiwa kependekaran itu berkembang dalam diri Angon Luwak dengan cara mengikuti segala gerak dan langkahnya.
Tentu saja Angon Luwak ikut berhenti ketika langkah Suto Sinting pun tak dilanjutkan. Langkah Suto terhenti karena dari empat pohon muncul empat sosok yang saling berloncatan dengan gerak-gerak liar dan beringasnya. Angon Luwak cepat sembunyikan diri dan mengintai kejadian yang akan terjadi antara Pendekar Mabuk dengan keempat sosok berwajah angker itu.
Rupanya dari keempat sosok berwajah angker itu masih punya satu orang lagi yang bersembunyi dari balik pohon, kira-kira dua puluh langkah di depan Suto Sinting. Orang tersebut kini muncul dengan kalem, membawa tongkat berkepala bola besi berduri. Orang itu berusia sekitar lima puluh tahun, berambut panjang warna abu abu dengan jubahnya yang berwarna biru tua.
Suto picingkan mata untuk melihat jelas raut wajah orang berjenggot abu-abu itu. Agaknya ia tokoh yang dihormati oleh keempat orang yang tadi melompat dari pohon mirip bajing loncat itu. Wajahnya kurus, tapi jika ia melangkah tanah di sekitarnya terasa bergetar halus. Rumput-rumput yang tidak terpijak bergetaran, rumput yang terpijak menjadi layu seketika. Warna hijaunya berubah menjadi kekuning-kuningan, sedikit coklat. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bekas tapak kakinya membuat rumput menjadi kuning layu.
Bocah kecil itu terbengong heran dan kagum melihat bekas tapak kaki orang berjubah biru itu. Tapi Suto Sinting tetap tenang dan tidak merasa heran dengan hal itu. Ia bahkan sedikit tersenyum berkesan menganggap wajar hal hal seperti itu.
Ke empat orang yang masing-masing bersenjata golok lebar itu mengurung Suto lebih rapat lagi, tapi mereka memberi tempat bagi hadirnya si jubah biru. Dan kehadiran si jubah biru hanya dipandangi Suto dengan kalem, tak ada rasa gentar atau takut sedikit pun. Bahkan ia sempat menenggak tuak dan meneguknya beberapa kali. Pada waktu ia menenggak tuak, seseorang ingin menyerangnya, memanfaatkan kesempatan itu sebagai peluang emas untuk merobohkan Pendekar Mabuk. Tetapi si jubah biru memberi isyarat dengan tangan, melarang anak buahnya menyerang Suto dalam keadaan sedang menenggak tuak.
"Gayamu mirip seperti apa yang diceritakan oleh mereka di kedai-kedai, Suto Sinting!" kata si jubah biru dengan suara serak.
"Maaf, boleh kutahu siapa kalian? Mengapa mengurungku begini?"
Tanpa senyum sedikit pun, si jubah biru menjawab, "Buka matamu dan ingat baik-baik. Orang yang sedang bicara denganmu inilah yang berjuluk si Jejak Iblis, ketua Perguruan Pasir Tawu."
"Senang sekali aku mengenal nama julukan dan nama perguruan yang baru sekarang kudengar."
Jejak Iblis sipitkan mata dalam memandang. "Kupikir yang bernama Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu adalah orang pandai dan punya wawasan luas. Ternyata pendapatku keliru. Pendekar Mabuk adalah orang yang pandangannya sempit dan pengetahuannya cekak. Sampai sampai Perguruan Pasir Tawu dan nama Jejak Iblis saja baru didengarnya sekarang. Kasihan sekali kau, Nak!"
Ejekan yang disertai geleng-geleng kepala itu sebenarnya membuat Suto Sinting tersinggung. Tetapi Suto mampu atasi dirinya agar tidak terpancing oleh kemarahannya sendiri. Sebab jika ia terpancing oleh kemarahannya, maka ia tidak akan dapat memusatkan kekuatannya pada seluruh indera yang ada. Sedangkan dalam keadaan terkepung begitu, seluruh indera harus bekerja dengan baik, sampai pada indera keenam pun harus digerakkan dengan baik-baik. Jika tidak, maka bahaya yang datang sewaktu-waktu bisa jadi merenggut nyawanya dalam waktu satu gebrakan saja.
"Apa maksudmu menemuiku dengan cara seperti ini. Jejak Iblis?"
"Tentu saja aku tak ingin kau lolos dari tanganku," jawabnya kalem.
Suto kerutkan dahi, terkesiap sesaat, lalu bertanya, "Mengapa kau tak ingin aku lolos dari tanganmu? Apakah aku punya salah pada perguruanmu?"
"Tidak," jawab Jejak Iblis pelan tapi berkesan tegas. "Hanya saja, kami telah disewa seseorang untuk menangkapmu atau membunuhmu dan merebut keris pusaka milik mendiang Empu Sakya."
Mendengar penjelasan itu Pendekar Mabuk segera tahu apa maksud pembicaraan tersebut dan siapa orang yang dimaksud. "Nila Cendani yang menyewamu, bukan?"
"Syukur jika kau telah mengetahuinya. Tapi ada yang perlu kau ketahui lagi, bahwa Nila Cendani itu masih punya darah keturunan denganku, walaupun dalam urutan silsilah jauh. Ia sering membantu perguruanku, dan sekarang malahan menyewa perguruanku untuk tugas ini. Tentunya jika tidak disertai imbalan cukup besar aku tidak akan bersedia turun tangan sendiri, Suto Sinting."
"Berapa besar imbalanmu, sehingga kau mau memihak ratu yang sesat itu?"
"Separo harta karun yang dipendamnya di Teluk Sumbing akan menjadi milikku."
"Harta karun?!" gumam Suto heran. "Apakah Nila Cendani punya harta karun?!"
"Tak perlu banyak tanya," kata Jejak Iblis. "Serahkan saja keris itu sebelum aku bertindak kasar yang akan membuatmu menyesal, Suto Sinting."
"Aku tidak mempunyai keris apa-apa. Yang kupunya hanya bumbung tempat tuak ini," sambil Suto mengangkat bumbung tuaknya, sebagai siasat menjaga diri sewaktu-waktu. Firasat Suto itu ternyata benar.
Begitu dia menyatakan tidak mempunyai Keris Setan Kobra, tongkat si Jejak Iblis diacungkan ke depan sebagai isyarat. Maka dua anak buahnya yang ada di kanan kiri Suto segera lakukan lompatan kilat sambil menebaskan golok lebar mereka.
Wuuut, wuuut...!
Trak, trak...!
Suto Sinting bergerak memutar. Gerakan memutar itu ternyata merupakan jurus penangkis bagi serangan lawan dari kanan kiri. Gerakan dengan tubuh limbung bagaikan orang mabuk itu mampu membuat kedua golok lebar tertahan oleh bambu bumbung tuaknya secara hampir bersamaan. Hantaman golok ke bumbung tuak mempunyai kekuatan balik yang cukup besar, membuat kedua tangan si penyerang tersentak ke belakang dan mereka terbawa sentakan itu hingga terjungkal ke belakang tak tentu arah.
Hub...! Suto Sinting kembali berdiri dengan satu kaki berjingkat, kaki yang satunya menempel di atas telakan kaki yang berjingkat. Tubuhnya melengkung ke depan dan oleng sedikit bagaikan orang dilanda hawa mabuk. Tapi sebenarnya Suto masih dalam keadaan sadar, tak mengalami mabuk sedikit pun. Gerakan itu membuat mata Jejak Iblis menyipit, bagai mencari kelemahan dan mempelajari kelengahan Pendekar Mabuk.
Dua orang yang terjungkal cepat berdiri. Kini orang yang ada di belakang Suto bergegas menyerang dengan lompatan yang bersamaan. Mereka lakukan semua itu tanpa suara pekik dan teriak apa pun. Jurus mereka punya gerakan kembar. Arahnya sama-sama ke punggung Suto. Tetapi jurus itu segera dipatahkan oleh kilatan cahaya putih yang melesat ke dua arah. Kilatan cahaya putih itu adalah pantulan sinar matahari pada sebuah benda yang melayang dan tahu-tahu menancap ke punggung kedua penyerang itu.
Ziiing, ziing...! Jlub, jlub...! Brrrruuuk...!
Keduanya jatuh bersama. Mereka terkapar mengejang di tanah berumput. Matanya terbeliak-beliak bagaikan mempertahankan nyawanya agar jangan pergi dari raga. Tentu saja hal itu mengejutkan dua anak buah Jejak Iblis yang tadi dijungkirbalikkan Suto. Sedangkan Jejak Iblis sendiri hanya picingkan mata menahan murka yang siap dilepaskan sewaktu-waktu. Rumput yang diinjaknya berasap tipis, pertanda terbakar oleh kekuatan tinggi yang tersalur ke kaki berkata menahan murka.
Suto Sinting memandangi dua orang yang masih berkelojotan itu. Ia tak melihat bentuk senjata rahasia yang menancap di tubuh kedua korban itu. Matanya segera menyapu sekeliling, mencari orang yang merobohkan anak buah Jejak Iblis. Tapi ia tidak melihat gerakan dan tempat yang mencurigakan.
Jejak Iblis berseru kepada kedua anak buahnya yang tadi dijungkirbalikkan Pendekar Mabuk, "Agaknya suasana kurang tepat untuk kalian! Bawa kedua temanmu itu, Pulang! Biar kuhadapi sendiri anak muda dan konco bancinya itu!"
Maka kedua anak buah Jejak Iblis segera menyambar tubuh kedua orang yang membiru tubuhnya itu. Mereka memanggulnya dan segera melesat berlari membawa pergi orang yang terluka itu. Kini tinggal Jejak Iblis sendirian menghadapi Suto Sinting, ia maju beberapa langkah tanpa gentar dan tatap tenang. Suto Sinting pun juga tetap tenang dengan bumbung tuak ada di tangan kanan.
"Rupanya kau punya pengawal yang berjiwa pengecut, Suto!"
"Aku tidak punya pengawal siapa-siapa. Kalau toh ada orang yang menyerang pihakmu, mungkin karena kau punya urusan sendiri dengan orang itu!" kata Suto Sinting dengan tetap berdiri tegak, gagah, dan tampak jantan.
"Kita bertarung secara jantan! Jika kau kalah kau harus serahkan keris pusaka itu. Jika kau menang, aku akan serahkan nyawaku! Setuju"
"Tidak!" sahut Suto cepat. "Karena aku tidak mempunyai keris pusaka. Jadi aku tidak punya sesuatu yang harus dipertaruhkan. Kusarankan, jangan mau kehilangan untuk hal yang sia-sia, Jejak Iblis!"
"Aku harus memaksamu! Bersiaplah untuk jurus awalku ini, Suto!"
Zliing...! Senjata rahasia melesat lagi dengan cepat sebelum Jejak Iblis bergerak. Dengan cepat Jejak Iblis sentakkan tangan pemegang tongkat dan bola berduri di ujung tongkat itu berputar cepat menghadang senjata rahasia tersebut!
Logam kecil itu mental karena putaran bola berduri. Logam kecil itu melesat ke arah Suto Sinting. Agaknya memang diarahkan ke sana oleh gerakan jurus memutar tongkat oleh Jejak Iblis. Tapi dengan tangkas Pendekar Mabuk menahan gerakan benda itu menggunakan bumbung tuaknya. Jraaab...! Benda itu menancap di bambu bumbung tuak. Ternyata benda itu berbentuk segi tiga kecil.
"Rindu Malam...?!" gumam hati Suto mengenali jenis senjata rahasia itu.
Dugaannya tepat sekali. Memang Rindu Malam ada disekitar tempat itu. Jejak Iblis memaksanya keluar dari persembunyiannya yang sudah diketahui oleh Jejak Iblis lewat datangnya senjata rahasia tersebut. Tangan kiri si Jejak Iblis menyentak ke arah kerimbunan di balik pohon-pohon pendek. Sinar merah seperti meteor melesat dan menghantam pohon-pohon pendek itu.
Duaaar...! Blegaaar...!
Gemanya menggaung kemana- mana. Rindu Malam lebih dulu melompat keluar dari persembunyiannya sebelum sinar merah itu meledakkan pohon-pohon pendek. Gerakan saltonya di udara sangat cepat, menyerupai baling-baling yang tertiup angin kencang. Tahu-tahu gadis berambut pendek seperti potongan lelaki itu sudah berdiri di samping Suto Sinting dalam jarak tiga langkah. Kakinya sedikit merenggang, badannya tegak, wajahnya tampak tegas memandang Jejak Iblis. Matanya yang indah itu berkesan lembut dan kalem namun punya kharisma tersendiri.
"Menyingkirlah, biar kutangani orang ini," bisik Rindu Malam dengan suara pelan yang mampu didengar oleh telinga Jejak Iblis.
Maka tokoh tua itu segera berkata kepada gadis cantik itu, "Jangan paksakan dirimu berkorban untuk pria seperti dia, Nona. Suto Sinting hanya bagus di wajah tapi buruk di hatinya. Terbukti dia sudah tega membunuh orang yang selama ini dikenal baik oleh para tokoh persilatan!"
"Kurasa Suto hanya punya wajah bagus, tapi hati buruknya adalah milikmu, Pak Tua!" jawab Rindu Malam sambil maju dua langkah. "Apa pedulimu jika aku berdiri di pihaknya? Apakah kau akan takut menghadapiku?!"
"Jejak Iblis orang yang tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun!"
"Bagus kalau begitu! Jika kau memang ingin bertarung melawan Suto, akulah wakilnya dan mari kita tentukan siapa yang unggul di antara kita!"
Suto hanya membatin, "Konyol juga gadis ini. Apa dia tak bisa menilai kehebatan ilmu Jejak Iblis melalui rumput yang layu dan menguning jika habis dipijaknya? Apakah getaran tanah yang timbul karena langkah kaki Jejak Iblis tak membuatnya memperhitungkan tantangannya? Benar-benar gila gadis ini. Untuk apa sebenarnya dia mau korbankan diri membelaku?"
Setelah saling pandang beberapa saat antara Rindu Malam dengan Jejak Iblis, kini giliran wajah Suto Sinting yang terperanjat kaget melihat mata Jejak Iblis mulai keluarkan darah, seperti lelehan air mata. Sedangkan bola mata Rindu Malam masih kelihatan tajam dan hanya mengalami perubahan tipis, yaitu sedikit merah di bagian tepiannya.
"Rupanya mereka adu kekuatan tenaga dalam lewat pandangan mata?!" pikir Suto Sinting. "Dan, sepertinya Rindu Malam punya kekuatan lebih tinggi dari Jejak Iblis. Buktinya Jejak Iblis menjadi berdarah sedangkan Rindu Malam tidak mengalami hal seperti itu. Oh, hebat sekali gadis ini sebenarnya?!"
Darah yang mengalir dari kedua rongga mata Jejak Iblis semakin banyak. Tangan Rindu Malam menggenggam tidak terlalu kuat, tetapi tangan Jejak iblis menggenggam kuat. Bahkan sebagian kukunya ada yang menembus masuk ke besi tongkatnya, pertanda ia bertahan mati-matian agar tak tumbang melawan gadis muda yang ternyata berilmu tinggi itu. Tiba-tiba Jejak Iblis melesat begaikan kapas terhempas angin. Tubuh Rindu Malam pun ikut menyambut serangan lawan.
Wuuut...!
Sedangkan Suto melompat mundur memberikan tempat lebih leluasa bagi keduanya. Jejak Iblis menghantamkan bola berduri di ujung tongkat itu. Wuuung...! Tapi tangan Rindu Malam menyambar pedang di punggungnya dengan sangat cepat. Tahu-tahu pedang itu sudah ditebaskan menyambut gerakan bola berduri.
Traang! Traak...! Buk...!
Tongkat itu patah seketika. Bola berduri jatuh di tanah. Sedangkan pedang Rindu Malam masih tetap utuh tanpa rusak sedikit pun. Tubuhnya segera berputar cepat di udara setelah melakukan jurus tebas pedang jitunya itu, dan kakinya berhasil berkelebat menendang wajah Jejak Iblis.
Plook...! Wajah orang berjenggot pendek abu-abu itu terlempar ke samping, membuat keseimbangan tubuhnya limbung. Akhirnya ia jatuh pada saat menapakkan kakinya ke tanah. Saat wajahnya terlempar karena tendangan cepat Rindu Malam tadi, Suto melihat ada percikan merah yang keluar dari mulutnya, itulah darah yang ditimbulkan dari tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Edan! Cepat sekali gerakannya. Sulit kupatahkan?!" pikir Jejak Iblis dengan napas mulai terengah-engah.
Sementara itu, Rindu Malam masih berdiri dengan tegak dan sigap, pedangnya tergenggam di tangan kanan dengan kokoh. Jejak Iblis berdiri lagi. Tongkatnya dibuang karena merasa tak berfungsi. Getaran tanah yang ditimbulkan akibat jatuhnya dirinya tadi mulai reda dan diam seperti sedia kala.
"Sebuah gerakan yang amat terlatih," kata Suto dalam hati memperhatikan cara Rindu Malam memasukkan pedang dengan cepatnya itu.
Kini Rindu Malam mulai pasang kuda-kuda karena lawannya telah membuka jurus baru tanpa senjata. Tiba-tiba tubuh Jejak Iblis melayang bagaikan seekor garuda ingin mematuk jantung lawannya. Rindu Malam pun sentakkan kaki dan ternyata mampu melesat naik lebih tinggi dari kepala Jejak Iblis. Ia bersalto satu kali sambil kakinya menjejak ke bawah. Duuuhg...! Kepala Jejak Iblis dijadikan sasaran kakinya. Suaranya terdengar jelas, menimbulkan kesan jejakan kaki Rindu Malam itu cukup telak mengenai sasaran.
Bruuuk...! Jejak Iblis jatuh dengan satu lutut menyentuh tanah. Hidungnya mengeluarkan darah kental akibat tendangan tersebut, ia segera bangkit dan berbalik badan menghadapi Rindu Malam yang sudah berdiri dengan tegak dalam jarak tujuh langkah darinya itu. Rupanya tendangan kaki Rindu Malam berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi, sehingga saat ini tubuh Jejak Iblis mengepulkan asap putih dari pori-pori. Warna kulit membiru tampak ada di bagian dahi, lalu warna memar itu berjalan turun sampai ke dagu, leher, dada, dan akhirnya sampai ke bagian bawah lainnya dalam keadaan memar membiru semua.
Jejak Iblis mulai gemetaran. "Titik urat sarafku dilumpuhkan! Siapa perempuan muda itu yang mampu menyerang titik urat sarafku? Kalau tak segera kuobati, pasti jantungku akan berhenti dalam waktu dekat ini!" Setelah berpikir begitu. Jejak Iblis pun akhirnya berkata, "Kau hebat, Nona! Tapi suatu saat aku akan datang untuk membalas kekalahan ini." Selesai bicara begitu, tubuh Jejak Iblis melesat kembali bagaikan sebatang panah dilepaskan dari busurnya.
Sebenarnya Suto ingin mengejar, tapi Rindu Malam berseru, "Biar aku saja yang mengejarnya!" Claap...! Tubuh Rindu Malam pun berkelebat pergi dengan sangat cepat. Kejap berikutnya terdengar suara Angon Luwak berseru,
"Auuh...! Tolooong...! Kang Suto, tolooong...!"
"Angon Luwak!" seru Suto dengan cepat, lalu ia berkelebat pergi kearah tempat datangnya suara Angon Luwak. Samar-samar terdengar suara derap kaki kuda yang menjauh. Tapi suara Angon Luwak pun semakin menjauh.
"Kaaang...! Kang Sutooo...! Tolong, Kaaang...!"
Tanpa disengaja seorang penunggang kuda berpakaian hitam-hitam menggamit kedua tangan Angon Luwak, sehingga bocah itu tidak bisa menggenggam apa-apa. Sementara itu, Suto yang mengejarnya melalui pohon ke pohon mengetahui Raden Udaya dan Malaikat Beku berlari menunggang kuda di depan orang berpakaian hitam tersebut. Suto Sinting segera lompat turun dan menerjang penunggang kuda berpakaian hitam.
Wuuusss...! Bruuuss...!
Tahu-tahu tubuh Angon Luwak sudah di atas pundak Pendekar Mabuk. Sedangkan orang berpakaian hitam itu tumbang, jatuh dari atas kuda dan memekik keras.
"Aaaa... hhgg...!"
Rupanya ia jatuh tepat di atas tonggak kayu runcing. Pinggangnya terhunjam tonggak kayu runcing itu. Jreeb...! Ia mengerang kesakitan, sementara Suto membawa Angon Luwak lari lebih cepat dan lebih jauh lagi. Raden Udaya dan Malaikat Beku memandang peristiwa itu dari kejauhan dengan jengkel sekali.
"Biar kukejar dia!" kata Malaikat Beku tak sabar menahan kemarahannya.
Maka bocah itu pun menggelandang menyusuri jejak kepergian Suto Sinting. Terutama setelah ia sekian hari lamanya kebingungan mencari Suto tidak ada, kini ia sudah temukan pendekar kebanggaannya itu, maka diikutinya terus ke mana pun perginya Pendekar Mabuk tersebut. Walaupun pada awal keberangkatan Suto ke Jurang Lindu sudah berpesan agar Angon Luwak bermain dengan Logo dan tetap tinggal bersama Logo untuk suatu saat akan dihubungi lagi, tapi bocah itu nekat mengikuti arah kepergian Suto secara diam-diam.
Sebenarnya Pendekar Mabuk mengetahui gerak-gerik bocah yang mengikutinya itu, tapi Suto sengaja berpura-pura tidak mengetahui dan membiarkannya. Karena ia mengakui bahwa di dalam jiwa Angon Luwak telah bangkit semangat kependekaran yang sebenarnya perlu dibina sejak sekarang. Sayangnya Suto tidak punya waktu, sehingga ia hanya bisa membiarkan jiwa kependekaran itu berkembang dalam diri Angon Luwak dengan cara mengikuti segala gerak dan langkahnya.
Tentu saja Angon Luwak ikut berhenti ketika langkah Suto Sinting pun tak dilanjutkan. Langkah Suto terhenti karena dari empat pohon muncul empat sosok yang saling berloncatan dengan gerak-gerak liar dan beringasnya. Angon Luwak cepat sembunyikan diri dan mengintai kejadian yang akan terjadi antara Pendekar Mabuk dengan keempat sosok berwajah angker itu.
Rupanya dari keempat sosok berwajah angker itu masih punya satu orang lagi yang bersembunyi dari balik pohon, kira-kira dua puluh langkah di depan Suto Sinting. Orang tersebut kini muncul dengan kalem, membawa tongkat berkepala bola besi berduri. Orang itu berusia sekitar lima puluh tahun, berambut panjang warna abu abu dengan jubahnya yang berwarna biru tua.
Suto picingkan mata untuk melihat jelas raut wajah orang berjenggot abu-abu itu. Agaknya ia tokoh yang dihormati oleh keempat orang yang tadi melompat dari pohon mirip bajing loncat itu. Wajahnya kurus, tapi jika ia melangkah tanah di sekitarnya terasa bergetar halus. Rumput-rumput yang tidak terpijak bergetaran, rumput yang terpijak menjadi layu seketika. Warna hijaunya berubah menjadi kekuning-kuningan, sedikit coklat. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bekas tapak kakinya membuat rumput menjadi kuning layu.
Bocah kecil itu terbengong heran dan kagum melihat bekas tapak kaki orang berjubah biru itu. Tapi Suto Sinting tetap tenang dan tidak merasa heran dengan hal itu. Ia bahkan sedikit tersenyum berkesan menganggap wajar hal hal seperti itu.
Ke empat orang yang masing-masing bersenjata golok lebar itu mengurung Suto lebih rapat lagi, tapi mereka memberi tempat bagi hadirnya si jubah biru. Dan kehadiran si jubah biru hanya dipandangi Suto dengan kalem, tak ada rasa gentar atau takut sedikit pun. Bahkan ia sempat menenggak tuak dan meneguknya beberapa kali. Pada waktu ia menenggak tuak, seseorang ingin menyerangnya, memanfaatkan kesempatan itu sebagai peluang emas untuk merobohkan Pendekar Mabuk. Tetapi si jubah biru memberi isyarat dengan tangan, melarang anak buahnya menyerang Suto dalam keadaan sedang menenggak tuak.
"Gayamu mirip seperti apa yang diceritakan oleh mereka di kedai-kedai, Suto Sinting!" kata si jubah biru dengan suara serak.
"Maaf, boleh kutahu siapa kalian? Mengapa mengurungku begini?"
Tanpa senyum sedikit pun, si jubah biru menjawab, "Buka matamu dan ingat baik-baik. Orang yang sedang bicara denganmu inilah yang berjuluk si Jejak Iblis, ketua Perguruan Pasir Tawu."
"Senang sekali aku mengenal nama julukan dan nama perguruan yang baru sekarang kudengar."
Jejak Iblis sipitkan mata dalam memandang. "Kupikir yang bernama Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu adalah orang pandai dan punya wawasan luas. Ternyata pendapatku keliru. Pendekar Mabuk adalah orang yang pandangannya sempit dan pengetahuannya cekak. Sampai sampai Perguruan Pasir Tawu dan nama Jejak Iblis saja baru didengarnya sekarang. Kasihan sekali kau, Nak!"
Ejekan yang disertai geleng-geleng kepala itu sebenarnya membuat Suto Sinting tersinggung. Tetapi Suto mampu atasi dirinya agar tidak terpancing oleh kemarahannya sendiri. Sebab jika ia terpancing oleh kemarahannya, maka ia tidak akan dapat memusatkan kekuatannya pada seluruh indera yang ada. Sedangkan dalam keadaan terkepung begitu, seluruh indera harus bekerja dengan baik, sampai pada indera keenam pun harus digerakkan dengan baik-baik. Jika tidak, maka bahaya yang datang sewaktu-waktu bisa jadi merenggut nyawanya dalam waktu satu gebrakan saja.
"Apa maksudmu menemuiku dengan cara seperti ini. Jejak Iblis?"
"Tentu saja aku tak ingin kau lolos dari tanganku," jawabnya kalem.
Suto kerutkan dahi, terkesiap sesaat, lalu bertanya, "Mengapa kau tak ingin aku lolos dari tanganmu? Apakah aku punya salah pada perguruanmu?"
"Tidak," jawab Jejak Iblis pelan tapi berkesan tegas. "Hanya saja, kami telah disewa seseorang untuk menangkapmu atau membunuhmu dan merebut keris pusaka milik mendiang Empu Sakya."
Mendengar penjelasan itu Pendekar Mabuk segera tahu apa maksud pembicaraan tersebut dan siapa orang yang dimaksud. "Nila Cendani yang menyewamu, bukan?"
"Syukur jika kau telah mengetahuinya. Tapi ada yang perlu kau ketahui lagi, bahwa Nila Cendani itu masih punya darah keturunan denganku, walaupun dalam urutan silsilah jauh. Ia sering membantu perguruanku, dan sekarang malahan menyewa perguruanku untuk tugas ini. Tentunya jika tidak disertai imbalan cukup besar aku tidak akan bersedia turun tangan sendiri, Suto Sinting."
"Berapa besar imbalanmu, sehingga kau mau memihak ratu yang sesat itu?"
"Separo harta karun yang dipendamnya di Teluk Sumbing akan menjadi milikku."
"Harta karun?!" gumam Suto heran. "Apakah Nila Cendani punya harta karun?!"
"Tak perlu banyak tanya," kata Jejak Iblis. "Serahkan saja keris itu sebelum aku bertindak kasar yang akan membuatmu menyesal, Suto Sinting."
"Aku tidak mempunyai keris apa-apa. Yang kupunya hanya bumbung tempat tuak ini," sambil Suto mengangkat bumbung tuaknya, sebagai siasat menjaga diri sewaktu-waktu. Firasat Suto itu ternyata benar.
Begitu dia menyatakan tidak mempunyai Keris Setan Kobra, tongkat si Jejak Iblis diacungkan ke depan sebagai isyarat. Maka dua anak buahnya yang ada di kanan kiri Suto segera lakukan lompatan kilat sambil menebaskan golok lebar mereka.
Wuuut, wuuut...!
Trak, trak...!
Suto Sinting bergerak memutar. Gerakan memutar itu ternyata merupakan jurus penangkis bagi serangan lawan dari kanan kiri. Gerakan dengan tubuh limbung bagaikan orang mabuk itu mampu membuat kedua golok lebar tertahan oleh bambu bumbung tuaknya secara hampir bersamaan. Hantaman golok ke bumbung tuak mempunyai kekuatan balik yang cukup besar, membuat kedua tangan si penyerang tersentak ke belakang dan mereka terbawa sentakan itu hingga terjungkal ke belakang tak tentu arah.
Hub...! Suto Sinting kembali berdiri dengan satu kaki berjingkat, kaki yang satunya menempel di atas telakan kaki yang berjingkat. Tubuhnya melengkung ke depan dan oleng sedikit bagaikan orang dilanda hawa mabuk. Tapi sebenarnya Suto masih dalam keadaan sadar, tak mengalami mabuk sedikit pun. Gerakan itu membuat mata Jejak Iblis menyipit, bagai mencari kelemahan dan mempelajari kelengahan Pendekar Mabuk.
Dua orang yang terjungkal cepat berdiri. Kini orang yang ada di belakang Suto bergegas menyerang dengan lompatan yang bersamaan. Mereka lakukan semua itu tanpa suara pekik dan teriak apa pun. Jurus mereka punya gerakan kembar. Arahnya sama-sama ke punggung Suto. Tetapi jurus itu segera dipatahkan oleh kilatan cahaya putih yang melesat ke dua arah. Kilatan cahaya putih itu adalah pantulan sinar matahari pada sebuah benda yang melayang dan tahu-tahu menancap ke punggung kedua penyerang itu.
Ziiing, ziing...! Jlub, jlub...! Brrrruuuk...!
Keduanya jatuh bersama. Mereka terkapar mengejang di tanah berumput. Matanya terbeliak-beliak bagaikan mempertahankan nyawanya agar jangan pergi dari raga. Tentu saja hal itu mengejutkan dua anak buah Jejak Iblis yang tadi dijungkirbalikkan Suto. Sedangkan Jejak Iblis sendiri hanya picingkan mata menahan murka yang siap dilepaskan sewaktu-waktu. Rumput yang diinjaknya berasap tipis, pertanda terbakar oleh kekuatan tinggi yang tersalur ke kaki berkata menahan murka.
Suto Sinting memandangi dua orang yang masih berkelojotan itu. Ia tak melihat bentuk senjata rahasia yang menancap di tubuh kedua korban itu. Matanya segera menyapu sekeliling, mencari orang yang merobohkan anak buah Jejak Iblis. Tapi ia tidak melihat gerakan dan tempat yang mencurigakan.
Jejak Iblis berseru kepada kedua anak buahnya yang tadi dijungkirbalikkan Pendekar Mabuk, "Agaknya suasana kurang tepat untuk kalian! Bawa kedua temanmu itu, Pulang! Biar kuhadapi sendiri anak muda dan konco bancinya itu!"
Maka kedua anak buah Jejak Iblis segera menyambar tubuh kedua orang yang membiru tubuhnya itu. Mereka memanggulnya dan segera melesat berlari membawa pergi orang yang terluka itu. Kini tinggal Jejak Iblis sendirian menghadapi Suto Sinting, ia maju beberapa langkah tanpa gentar dan tatap tenang. Suto Sinting pun juga tetap tenang dengan bumbung tuak ada di tangan kanan.
"Rupanya kau punya pengawal yang berjiwa pengecut, Suto!"
"Aku tidak punya pengawal siapa-siapa. Kalau toh ada orang yang menyerang pihakmu, mungkin karena kau punya urusan sendiri dengan orang itu!" kata Suto Sinting dengan tetap berdiri tegak, gagah, dan tampak jantan.
"Kita bertarung secara jantan! Jika kau kalah kau harus serahkan keris pusaka itu. Jika kau menang, aku akan serahkan nyawaku! Setuju"
"Tidak!" sahut Suto cepat. "Karena aku tidak mempunyai keris pusaka. Jadi aku tidak punya sesuatu yang harus dipertaruhkan. Kusarankan, jangan mau kehilangan untuk hal yang sia-sia, Jejak Iblis!"
"Aku harus memaksamu! Bersiaplah untuk jurus awalku ini, Suto!"
Zliing...! Senjata rahasia melesat lagi dengan cepat sebelum Jejak Iblis bergerak. Dengan cepat Jejak Iblis sentakkan tangan pemegang tongkat dan bola berduri di ujung tongkat itu berputar cepat menghadang senjata rahasia tersebut!
Logam kecil itu mental karena putaran bola berduri. Logam kecil itu melesat ke arah Suto Sinting. Agaknya memang diarahkan ke sana oleh gerakan jurus memutar tongkat oleh Jejak Iblis. Tapi dengan tangkas Pendekar Mabuk menahan gerakan benda itu menggunakan bumbung tuaknya. Jraaab...! Benda itu menancap di bambu bumbung tuak. Ternyata benda itu berbentuk segi tiga kecil.
"Rindu Malam...?!" gumam hati Suto mengenali jenis senjata rahasia itu.
Dugaannya tepat sekali. Memang Rindu Malam ada disekitar tempat itu. Jejak Iblis memaksanya keluar dari persembunyiannya yang sudah diketahui oleh Jejak Iblis lewat datangnya senjata rahasia tersebut. Tangan kiri si Jejak Iblis menyentak ke arah kerimbunan di balik pohon-pohon pendek. Sinar merah seperti meteor melesat dan menghantam pohon-pohon pendek itu.
Duaaar...! Blegaaar...!
Gemanya menggaung kemana- mana. Rindu Malam lebih dulu melompat keluar dari persembunyiannya sebelum sinar merah itu meledakkan pohon-pohon pendek. Gerakan saltonya di udara sangat cepat, menyerupai baling-baling yang tertiup angin kencang. Tahu-tahu gadis berambut pendek seperti potongan lelaki itu sudah berdiri di samping Suto Sinting dalam jarak tiga langkah. Kakinya sedikit merenggang, badannya tegak, wajahnya tampak tegas memandang Jejak Iblis. Matanya yang indah itu berkesan lembut dan kalem namun punya kharisma tersendiri.
"Menyingkirlah, biar kutangani orang ini," bisik Rindu Malam dengan suara pelan yang mampu didengar oleh telinga Jejak Iblis.
Maka tokoh tua itu segera berkata kepada gadis cantik itu, "Jangan paksakan dirimu berkorban untuk pria seperti dia, Nona. Suto Sinting hanya bagus di wajah tapi buruk di hatinya. Terbukti dia sudah tega membunuh orang yang selama ini dikenal baik oleh para tokoh persilatan!"
"Kurasa Suto hanya punya wajah bagus, tapi hati buruknya adalah milikmu, Pak Tua!" jawab Rindu Malam sambil maju dua langkah. "Apa pedulimu jika aku berdiri di pihaknya? Apakah kau akan takut menghadapiku?!"
"Jejak Iblis orang yang tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun!"
"Bagus kalau begitu! Jika kau memang ingin bertarung melawan Suto, akulah wakilnya dan mari kita tentukan siapa yang unggul di antara kita!"
Suto hanya membatin, "Konyol juga gadis ini. Apa dia tak bisa menilai kehebatan ilmu Jejak Iblis melalui rumput yang layu dan menguning jika habis dipijaknya? Apakah getaran tanah yang timbul karena langkah kaki Jejak Iblis tak membuatnya memperhitungkan tantangannya? Benar-benar gila gadis ini. Untuk apa sebenarnya dia mau korbankan diri membelaku?"
Setelah saling pandang beberapa saat antara Rindu Malam dengan Jejak Iblis, kini giliran wajah Suto Sinting yang terperanjat kaget melihat mata Jejak Iblis mulai keluarkan darah, seperti lelehan air mata. Sedangkan bola mata Rindu Malam masih kelihatan tajam dan hanya mengalami perubahan tipis, yaitu sedikit merah di bagian tepiannya.
"Rupanya mereka adu kekuatan tenaga dalam lewat pandangan mata?!" pikir Suto Sinting. "Dan, sepertinya Rindu Malam punya kekuatan lebih tinggi dari Jejak Iblis. Buktinya Jejak Iblis menjadi berdarah sedangkan Rindu Malam tidak mengalami hal seperti itu. Oh, hebat sekali gadis ini sebenarnya?!"
Darah yang mengalir dari kedua rongga mata Jejak Iblis semakin banyak. Tangan Rindu Malam menggenggam tidak terlalu kuat, tetapi tangan Jejak iblis menggenggam kuat. Bahkan sebagian kukunya ada yang menembus masuk ke besi tongkatnya, pertanda ia bertahan mati-matian agar tak tumbang melawan gadis muda yang ternyata berilmu tinggi itu. Tiba-tiba Jejak Iblis melesat begaikan kapas terhempas angin. Tubuh Rindu Malam pun ikut menyambut serangan lawan.
Wuuut...!
Sedangkan Suto melompat mundur memberikan tempat lebih leluasa bagi keduanya. Jejak Iblis menghantamkan bola berduri di ujung tongkat itu. Wuuung...! Tapi tangan Rindu Malam menyambar pedang di punggungnya dengan sangat cepat. Tahu-tahu pedang itu sudah ditebaskan menyambut gerakan bola berduri.
Traang! Traak...! Buk...!
Tongkat itu patah seketika. Bola berduri jatuh di tanah. Sedangkan pedang Rindu Malam masih tetap utuh tanpa rusak sedikit pun. Tubuhnya segera berputar cepat di udara setelah melakukan jurus tebas pedang jitunya itu, dan kakinya berhasil berkelebat menendang wajah Jejak Iblis.
Plook...! Wajah orang berjenggot pendek abu-abu itu terlempar ke samping, membuat keseimbangan tubuhnya limbung. Akhirnya ia jatuh pada saat menapakkan kakinya ke tanah. Saat wajahnya terlempar karena tendangan cepat Rindu Malam tadi, Suto melihat ada percikan merah yang keluar dari mulutnya, itulah darah yang ditimbulkan dari tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Edan! Cepat sekali gerakannya. Sulit kupatahkan?!" pikir Jejak Iblis dengan napas mulai terengah-engah.
Sementara itu, Rindu Malam masih berdiri dengan tegak dan sigap, pedangnya tergenggam di tangan kanan dengan kokoh. Jejak Iblis berdiri lagi. Tongkatnya dibuang karena merasa tak berfungsi. Getaran tanah yang ditimbulkan akibat jatuhnya dirinya tadi mulai reda dan diam seperti sedia kala.
"Sebuah gerakan yang amat terlatih," kata Suto dalam hati memperhatikan cara Rindu Malam memasukkan pedang dengan cepatnya itu.
Kini Rindu Malam mulai pasang kuda-kuda karena lawannya telah membuka jurus baru tanpa senjata. Tiba-tiba tubuh Jejak Iblis melayang bagaikan seekor garuda ingin mematuk jantung lawannya. Rindu Malam pun sentakkan kaki dan ternyata mampu melesat naik lebih tinggi dari kepala Jejak Iblis. Ia bersalto satu kali sambil kakinya menjejak ke bawah. Duuuhg...! Kepala Jejak Iblis dijadikan sasaran kakinya. Suaranya terdengar jelas, menimbulkan kesan jejakan kaki Rindu Malam itu cukup telak mengenai sasaran.
Bruuuk...! Jejak Iblis jatuh dengan satu lutut menyentuh tanah. Hidungnya mengeluarkan darah kental akibat tendangan tersebut, ia segera bangkit dan berbalik badan menghadapi Rindu Malam yang sudah berdiri dengan tegak dalam jarak tujuh langkah darinya itu. Rupanya tendangan kaki Rindu Malam berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi, sehingga saat ini tubuh Jejak Iblis mengepulkan asap putih dari pori-pori. Warna kulit membiru tampak ada di bagian dahi, lalu warna memar itu berjalan turun sampai ke dagu, leher, dada, dan akhirnya sampai ke bagian bawah lainnya dalam keadaan memar membiru semua.
Jejak Iblis mulai gemetaran. "Titik urat sarafku dilumpuhkan! Siapa perempuan muda itu yang mampu menyerang titik urat sarafku? Kalau tak segera kuobati, pasti jantungku akan berhenti dalam waktu dekat ini!" Setelah berpikir begitu. Jejak Iblis pun akhirnya berkata, "Kau hebat, Nona! Tapi suatu saat aku akan datang untuk membalas kekalahan ini." Selesai bicara begitu, tubuh Jejak Iblis melesat kembali bagaikan sebatang panah dilepaskan dari busurnya.
Sebenarnya Suto ingin mengejar, tapi Rindu Malam berseru, "Biar aku saja yang mengejarnya!" Claap...! Tubuh Rindu Malam pun berkelebat pergi dengan sangat cepat. Kejap berikutnya terdengar suara Angon Luwak berseru,
"Auuh...! Tolooong...! Kang Suto, tolooong...!"
"Angon Luwak!" seru Suto dengan cepat, lalu ia berkelebat pergi kearah tempat datangnya suara Angon Luwak. Samar-samar terdengar suara derap kaki kuda yang menjauh. Tapi suara Angon Luwak pun semakin menjauh.
"Kaaang...! Kang Sutooo...! Tolong, Kaaang...!"
Tanpa disengaja seorang penunggang kuda berpakaian hitam-hitam menggamit kedua tangan Angon Luwak, sehingga bocah itu tidak bisa menggenggam apa-apa. Sementara itu, Suto yang mengejarnya melalui pohon ke pohon mengetahui Raden Udaya dan Malaikat Beku berlari menunggang kuda di depan orang berpakaian hitam tersebut. Suto Sinting segera lompat turun dan menerjang penunggang kuda berpakaian hitam.
Wuuusss...! Bruuuss...!
Tahu-tahu tubuh Angon Luwak sudah di atas pundak Pendekar Mabuk. Sedangkan orang berpakaian hitam itu tumbang, jatuh dari atas kuda dan memekik keras.
"Aaaa... hhgg...!"
Rupanya ia jatuh tepat di atas tonggak kayu runcing. Pinggangnya terhunjam tonggak kayu runcing itu. Jreeb...! Ia mengerang kesakitan, sementara Suto membawa Angon Luwak lari lebih cepat dan lebih jauh lagi. Raden Udaya dan Malaikat Beku memandang peristiwa itu dari kejauhan dengan jengkel sekali.
"Biar kukejar dia!" kata Malaikat Beku tak sabar menahan kemarahannya.
* * *
TUJUH
ORANG berjubah kuning dengan pakaian hijau bagian dalamnya itu berdiri dengan tegak dan gagah, padahal usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun lebih. Rambutnya putih meriap-riap dipermainkan angin yang berhembus ke tanah Jurang Lindu itu. Orang itu tak lain adalah Ki Sabawana, yang lebih dikenal dengan nama si Gila Tuak, guru dari Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Sementara itu, perempuan cantik yang tampak masih muda padahal sudah berusia tujuh puluh tahun lewat itu, berdiri di samping si Gila Tuak dengan kaki sedikit renggang dan kedua tangan ke belakang. Rambut perempuan cantik itu terurai, warnanya hitam mengkilap halus. Pakaiannya merah, jubahnya ungu muda. Ia berdada montok, bentuk tubuhnya masih saja menggiurkan setiap lelaki hidung belang. Perempuan cantik itu tak lain adalah Bidadari Jalang, juga gurunya Suto Sinting yang oleh Suto disebutnya Bibi Guru.
Mereka berdua berhadapan dengan beberapa orang, antara lain seorang lelaki berjubah biru dengan pakaian dalam abu-abu, rambut putihnya panjang lewat punggung, tubuhnya kurus dan jangkung. Salah satu matanya buta sebelah kiri. Ia adalah tokoh tua berusia delapan puluh tahun, namanya Ki Darma Paksi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Titisan Ilmu Setan).
Di samping Darma Paksi adalah lelaki berpakaian abu-abu juga dengan jenggot panjangnya yang putih berusia tujuh puluh tahun lebih, berkumis pendek dan badannya juga kurus, ia adalah Ki Argapura yang dikenal dengan julukan si Penggal Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).
Di belakang Ki Argapura berdiri tegak seorang lelaki berpakaian serba putih, kurus, bungkuk, rambut putih tipis, mata sipit, jenggot panjang, kumis putih melengkung ke bawah, menggenggam pipa tembakau. Dia dikenal di rimba persilatan dengan nama Tabib Awan Putih, yang berusia delapan puluh tahun. Sedangkan di sampingnya berdiri pula lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun, bercelana biru dan jubah abu-abu, rambut botak tengah warna putih, berbadan gemuk, ia lelaki yang sejak tadi mengunyah makanan dari kantung kulit di pinggangnya, ia adalah Ki Madang Wengi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Mustika Serat Iblis)
Di samping kanan Ki Madang Wengi, di bawah pohon berdaun lebat, berdiri pula seorang lelaki, tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Bajunya juga serba putih model biksu, rambutnya putih digelung tengah, jenggotnya panjang, badannya kurus. Dia adalah Ki Jangkar Langit, pemilik pusaka Tombak Maut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pusaka Tombak Maut).
Sedangkan orang yang sejak tadi duduk di atas batu dengan mata cekungnya menatap Bidadari Jalang, bertubuh kurus dan berkulit hitam dengan rambutnya berwarna putih itu tak lain adalah Ki Sonokeling, yang bisa merubah wujudnya menjadi seekor macan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Malaikat Jubah Keramat).
Tak jauh dari Ki Sonokeling berdiri seorang wanita cantik berpakaian ungu ketat dilapis jubah ungu yang warnanya lebih tua lagi. Perempuan berusia tua sekali tapi masih kelihatan seperti gadis berusia dua puluh lima tahun itu tak lain adalah Pelangi Sutera atau Sumbaruni, Ibu dari anak jin Logo. Wanita inilah yang sebenarnya sedang disusul oleh Suto Sinting. Wanita inilah yang dikhawatirkan hendak menantang adu kekuatan ilmu dengan Dyah Sariningrum karena ia mencintai Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak), ia juga bersebelahan dengan Ki Lumakaono yang berjuluk Pawang Gempa dan Ki Parandito yang berjuluk Juru Bungkam.
Jurang Lindu itu juga dihadiri oleh seorang tokoh kawakan yang masih tampak cantik dan muda, rambutnya disanggul, sesuai wajahnya yang bulat telur. Wanita ini mempunyai nama asli yang tidak boleh disebutkan, karena dapat mendatangkan badai besar jika nama aslinya itu disebutkan siapa saja. Ia adalah maha guru di Kuil Elang Putih berjuluk Embun Salju, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Pedang Emas).
Masih banyak lagi tokoh tua beraliran putih yang hadir di antara mereka, sehingga hari itu Jurang Lindu penuh dengan tokoh tua aliran putih yang masing-masing punya pemikiran yang sama, yaitu menuntut Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kedua tokoh itu dituntut atas tindakan murid mereka; Suto Sinting, yang dikabarkan membunuh Ki Empu Sakya, seorang tokoh tua yang tak pernah mau menyakiti siapa pun sejak ia menjadi seorang empu. Perbuatan baik semasa hidup sang empu membuat mereka merasa tidak rela atas perlakuan yang menyebabkan kematian sang empu.
"Aku berani bertaruh nyawa, bahwa Suto tidak mungkin melakukan tindakan seperti itu!" tegas Bidadari Jalang, bekas tokoh hitam yang sekarang sudah berubah aliran menjadi tokoh putih dan mengasingkan diri di Lembah Badai.
"Saksi mata mengatakan Suto-lah pelakunya," kata Ki Madang Wengi. "Aku menjadi kecewa sekali mendengar muridmu bertindak sekejam itu kepada orang seperti Empu Sakya itu, Gila Tuak!"
"Saksi mata hanya menyebutkan ciri-ciri orang yang membunuh Empu Sakya. Di dunia ini ada banyak orang yang punya ciri-ciri sama, apalagi ciri-ciri penampilan. Wajah yang hampir serupa pun banyak dijumpai dipermukaan bumi ini, padahal mereka bukan saudara sedarah kandung," sanggah Gila Tuak.
"Kalau sekiranya kalian berdua sudah tak mampu mengajar murid kalian, serahkan saja padaku untuk menanganinya! Suto Sinting harus kalian jatuhi hukuman supaya tidak melakukan tindakan seperti itu lagi!" kata Jangkar Langit dengan tegasnya.
"Jangkar Langit benar," sahut si Penggal Jagat, Ki Argapura. "Aku menyesal mengajarkan ilmu pedangku kepada Suto Sinting jika ternyata jiwanya tak sebersih ilmu-ilmu yang dimilikinya! Kusarankan untuk melepaskan gelar pendekarnya sebagai hukuman atas tindakan itu, Gila Tuak!"
"Ya, ya, ya....," celoteh mereka seperti gaung lebah.
Kemudian Tabib Awan Putih pun berkata, "Mencabut kependekarannya adalah tindakan yang lebih bijaksana! Aku setuju!"
"Aku juga setuju sekali untuk mencabut gelar pendekar pada diri muridmu itu, Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" timpal Ki Sonokeling.
"Aku tidak setuju!" sentak gadis cantik yang tak lain adalah Sumbaruni, bekas istri jin itu.
Semua mata memandang Sumbaruni. Semua mulut menjadi berhenti berucap. Sumbaruni atau Pelangi Sutera melangkah pelan mendekati Gila Tuak, tetapi pandangan matanya tertuju kepada mereka, ia tampak tegas dan berwibawa di depan para tokoh tua itu, sebab mereka tahu Sumbaruni punya ilmu dari tokoh sakti yang lebih tua dari mereka, yaitu Eyang Bayudana.
Nama Bayudana adalah nama sejajar dengan Purbapati dan Nini Galih, gurunya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tentu saja Sumbaruni lebih berwibawa dari mereka. Kedudukannya sejajar dengan Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Embun Salju, dan seorang tokoh lain yang kehadirannya di situ diwakili oleh utusannya bernama Kelana Cinta.
"Gelar kependekaran Suto Sinting tidak layak dicabut sebelum kalian bisa buktikan secara nyata bahwa dia bersalah!" tegas Sumbaruni.
"Tapi saksi mata yang..."
"Saksi mata itu telah mati!" sahut Sumbaruni cepat dan keras, membuat Ki Darma Paksi tak jadi lanjutkan kata. "Aku yakin Suto tidak bersalah!" tambah Sumbaruni setelah semua diam selama satu helaan napas. "Siapa di antara kalian yang mau bangkitkan jenazah Empu Sakya dan tanyakan langsung siapa pelakunya?! Siapa yang mau?!"
Tak ada suara lagi yang terdengar. Ki Madang Wengi hanya mengunyah makanannya tanpa mau berikan jawaban apa pun. Ki Sonokeling pandangi Ki Argapura yang hanya diam termenung memandang tanah di depannya.
"Kalian tak bisa mengecam Gila Tuak dan Bidadari Jalang seenaknya sendiri! Kalian juga harus mampu buktikan secara nyata, bukan secara kabar burung bahwa Suto Sinting memang bersalah. Kalau kalian mau berolah pikir," kata Sumbaruni si Pelangi Sutera itu, "...coba kalian renungkan, mengapa saksi mata itu mati? Dan kematiannya itu menurut para penduduk desa Kukusan, tetangga-tetangga Ki Empu Sakya, adalah disebabkan karena ada seseorang yang membunuhnya. Mbok Wiji dilenyapkan, itu pertanda seseorang tak mau rahasianya terbongkar jika Mbok Wiji terlalu banyak bicara tentang kesaksiannya. Cukup dengan kesaksian tentang tabung bambu tempat tuak saja yang diharapkan oleh seseorang, selebihnya ia tak ingin Mbok Wiji bicara misalnya tentang wajahnya, rambut si pembunuh, warna bajunya atau yang lainnya! Jelas ini adalah fitnah yang bermaksud untuk menjatuhkan nama harum Pendekar Mabuk dan suatu tujuan untuk menjatuhkan nama harum para gurunya!"
Gila Tuak segera berkata kepada Embun Salju, "Embun Salju, kau tentunya dapat melihat kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh melalui ketajaman Indera keenammu yang dinamakan Ilmu 'Jalur Gaib'. Coba kau gunakan ilmu itu untuk mengetahui kebenaran peristiwa itu."
Embun Salju tarik napas dengan tetap bersikap tenang, "Ilmu 'Jalur Gaib' sepertinya ada yang menutup, sehingga sudah kucoba berulang kali untuk melihat kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh, tapi selalu gagal."
"Itu berarti orang yang membunuh Empu Sakya punya Ilmu 'Perisai Sukma'!" sahut Sumbaruni dengan cepat dan keras.
"Benar pendapatmu, Sumbaruni," kata Embun Salju. "Setahuku orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma' adalah Empu Sakya sendiri."
"Yang lain?"
Embun Salju angkat pundak dan bentangkan tangan pertanda tidak tahu jawabannya. Lalu, terjadilah masa bungkam beberapa saat. Mereka saling berpikir dan berkecamuk sendiri-sendiri. Tiba-tiba Bidadari Jalang, memecah kesunyian diantara mereka dengan ucapan yang jelas didengar oleh semua pihak.
"Seingatku, Tabib Awan Putih mempunyai ilmu 'Perisai sukma'."
Tabib Awan Putih sedikit menggeragap. "Hmm... eeh... iya, benar."
Pusat pandangan tertuju pada Tabib Awan Putih. Semakin gugup tabib tua dari Tiongkok itu dipandangi oleh mereka.
"Tapi... tapi aku tidak menutup 'Jalur Gaib'-mu, Embun Salju!"
"Ya, aku merasakan bukan tenagamu yang menutup 'Jalur Gaib'-ku ini. Tapi tenaga orang lain yang sulit kukenali, karena mirip tenaga Empu Sakya sendiri."
Gila Tuak segera berkata, "Suto, muridku, tidak mempunyai Ilmu 'Perisai Sukma'. Dia tidak mempunyai ilmu itu karena aku tidak memilikinya."
"Jadi, pembunuh Empu Sakya adalah orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma'," simpul Sumbaruni. "Menurut Embun Salju, ilmu "Perisai Sukma' itu bukan dari kekuatan Tabib Awan Putih. Jika begitu, dari siapa ilmu itu datangnya? Jika kita bisa kenali pemilik 'Perisai Sukma' yang bukan dari Tabib Awan Putih, maka kita akan dapatkan titik terang tentang siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya! Tapi aku tidak setuju dengan pendapat kalian yang memojokkan Suto, sebab Suto Sinting tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
Pertemuan para tokoh tingkat tinggi itu cukup seru. Menegangkan juga. Jika tidak ada sumbang saran dan pemikiran dari Sumbaruni, jelas Gila Tuak dan Bidadari Jalang akan terdesak oleh tuntutan mereka. Tidak menutup kemungkinan akan hadirnya pertikaian diantara gurunya Suto dengan para tokoh tingkat tinggi itu.
Seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, masih cantik dan berambut cepak seperti potongan lelaki, tapi mengenakan rantai emas berbatu merah delima ditengahnya, segera unjuk bicara. Tokoh ini mewakili seseorang. Dan ia dikenal oleh beberapa orang dengan nama Kelana Cinta. Ki Jangkar Langit mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengelana, Madang Wengi mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengembara yang tidak pernah terlibat persoalan memalukan.
Sedangkan Embun Salju mengenal Kelana Cinta sebagai wanita yang melakukan tapa berkeliling dan berbicara tentang cinta, namun sikap dan perilakunya bukan binal atau jalang. Melainkan justru selalu menjaga harga diri dan martabat kaum wanita.
Kelana Cinta berkata, "Aku kenal seseorang yang punya ilmu itu, tapi aku tak bisa sebutkan. Aku akan temui dia dan menanyakan kebenarannya. Orang itu selain mempunyai ilmu 'Perisai Sukma' ia juga mempunyai ilmu 'Jalur Gaib'."
Embun Salju terkejut, karena merasa kesaktiannya diungguli oleh orang yang diceritakan oleh Kelana Cinta. Ia penasaran, dan segera bertanya dengan sifat sedikit mendesak. "Siapa orang itu? Katakan saja sekarang juga. Aku ingin menemuinya juga untuk perkara lain. Katakan saja, Kelana Cinta."
Gadis berpakaian merah jambu segar dengan pedang di punggung itu hanya tersenyum ramah. "Maaf, aku tak bisa, karena ini memang sumpahku. Tapi aku berjanji akan secepatnya membawa kabar kepadamu, Embun Salju. Yang jelas, orang yang kukenal itu tidak mungkin orang yang membunuh Empu Sakya. Sebab ia pun berteman baik dengan Empu Sakya."
Sementara itu, perempuan cantik yang tampak masih muda padahal sudah berusia tujuh puluh tahun lewat itu, berdiri di samping si Gila Tuak dengan kaki sedikit renggang dan kedua tangan ke belakang. Rambut perempuan cantik itu terurai, warnanya hitam mengkilap halus. Pakaiannya merah, jubahnya ungu muda. Ia berdada montok, bentuk tubuhnya masih saja menggiurkan setiap lelaki hidung belang. Perempuan cantik itu tak lain adalah Bidadari Jalang, juga gurunya Suto Sinting yang oleh Suto disebutnya Bibi Guru.
Mereka berdua berhadapan dengan beberapa orang, antara lain seorang lelaki berjubah biru dengan pakaian dalam abu-abu, rambut putihnya panjang lewat punggung, tubuhnya kurus dan jangkung. Salah satu matanya buta sebelah kiri. Ia adalah tokoh tua berusia delapan puluh tahun, namanya Ki Darma Paksi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Titisan Ilmu Setan).
Di samping Darma Paksi adalah lelaki berpakaian abu-abu juga dengan jenggot panjangnya yang putih berusia tujuh puluh tahun lebih, berkumis pendek dan badannya juga kurus, ia adalah Ki Argapura yang dikenal dengan julukan si Penggal Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).
Di belakang Ki Argapura berdiri tegak seorang lelaki berpakaian serba putih, kurus, bungkuk, rambut putih tipis, mata sipit, jenggot panjang, kumis putih melengkung ke bawah, menggenggam pipa tembakau. Dia dikenal di rimba persilatan dengan nama Tabib Awan Putih, yang berusia delapan puluh tahun. Sedangkan di sampingnya berdiri pula lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun, bercelana biru dan jubah abu-abu, rambut botak tengah warna putih, berbadan gemuk, ia lelaki yang sejak tadi mengunyah makanan dari kantung kulit di pinggangnya, ia adalah Ki Madang Wengi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Mustika Serat Iblis)
Di samping kanan Ki Madang Wengi, di bawah pohon berdaun lebat, berdiri pula seorang lelaki, tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Bajunya juga serba putih model biksu, rambutnya putih digelung tengah, jenggotnya panjang, badannya kurus. Dia adalah Ki Jangkar Langit, pemilik pusaka Tombak Maut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pusaka Tombak Maut).
Sedangkan orang yang sejak tadi duduk di atas batu dengan mata cekungnya menatap Bidadari Jalang, bertubuh kurus dan berkulit hitam dengan rambutnya berwarna putih itu tak lain adalah Ki Sonokeling, yang bisa merubah wujudnya menjadi seekor macan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Malaikat Jubah Keramat).
Tak jauh dari Ki Sonokeling berdiri seorang wanita cantik berpakaian ungu ketat dilapis jubah ungu yang warnanya lebih tua lagi. Perempuan berusia tua sekali tapi masih kelihatan seperti gadis berusia dua puluh lima tahun itu tak lain adalah Pelangi Sutera atau Sumbaruni, Ibu dari anak jin Logo. Wanita inilah yang sebenarnya sedang disusul oleh Suto Sinting. Wanita inilah yang dikhawatirkan hendak menantang adu kekuatan ilmu dengan Dyah Sariningrum karena ia mencintai Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak), ia juga bersebelahan dengan Ki Lumakaono yang berjuluk Pawang Gempa dan Ki Parandito yang berjuluk Juru Bungkam.
Jurang Lindu itu juga dihadiri oleh seorang tokoh kawakan yang masih tampak cantik dan muda, rambutnya disanggul, sesuai wajahnya yang bulat telur. Wanita ini mempunyai nama asli yang tidak boleh disebutkan, karena dapat mendatangkan badai besar jika nama aslinya itu disebutkan siapa saja. Ia adalah maha guru di Kuil Elang Putih berjuluk Embun Salju, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Pedang Emas).
Masih banyak lagi tokoh tua beraliran putih yang hadir di antara mereka, sehingga hari itu Jurang Lindu penuh dengan tokoh tua aliran putih yang masing-masing punya pemikiran yang sama, yaitu menuntut Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kedua tokoh itu dituntut atas tindakan murid mereka; Suto Sinting, yang dikabarkan membunuh Ki Empu Sakya, seorang tokoh tua yang tak pernah mau menyakiti siapa pun sejak ia menjadi seorang empu. Perbuatan baik semasa hidup sang empu membuat mereka merasa tidak rela atas perlakuan yang menyebabkan kematian sang empu.
"Aku berani bertaruh nyawa, bahwa Suto tidak mungkin melakukan tindakan seperti itu!" tegas Bidadari Jalang, bekas tokoh hitam yang sekarang sudah berubah aliran menjadi tokoh putih dan mengasingkan diri di Lembah Badai.
"Saksi mata mengatakan Suto-lah pelakunya," kata Ki Madang Wengi. "Aku menjadi kecewa sekali mendengar muridmu bertindak sekejam itu kepada orang seperti Empu Sakya itu, Gila Tuak!"
"Saksi mata hanya menyebutkan ciri-ciri orang yang membunuh Empu Sakya. Di dunia ini ada banyak orang yang punya ciri-ciri sama, apalagi ciri-ciri penampilan. Wajah yang hampir serupa pun banyak dijumpai dipermukaan bumi ini, padahal mereka bukan saudara sedarah kandung," sanggah Gila Tuak.
"Kalau sekiranya kalian berdua sudah tak mampu mengajar murid kalian, serahkan saja padaku untuk menanganinya! Suto Sinting harus kalian jatuhi hukuman supaya tidak melakukan tindakan seperti itu lagi!" kata Jangkar Langit dengan tegasnya.
"Jangkar Langit benar," sahut si Penggal Jagat, Ki Argapura. "Aku menyesal mengajarkan ilmu pedangku kepada Suto Sinting jika ternyata jiwanya tak sebersih ilmu-ilmu yang dimilikinya! Kusarankan untuk melepaskan gelar pendekarnya sebagai hukuman atas tindakan itu, Gila Tuak!"
"Ya, ya, ya....," celoteh mereka seperti gaung lebah.
Kemudian Tabib Awan Putih pun berkata, "Mencabut kependekarannya adalah tindakan yang lebih bijaksana! Aku setuju!"
"Aku juga setuju sekali untuk mencabut gelar pendekar pada diri muridmu itu, Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" timpal Ki Sonokeling.
"Aku tidak setuju!" sentak gadis cantik yang tak lain adalah Sumbaruni, bekas istri jin itu.
Semua mata memandang Sumbaruni. Semua mulut menjadi berhenti berucap. Sumbaruni atau Pelangi Sutera melangkah pelan mendekati Gila Tuak, tetapi pandangan matanya tertuju kepada mereka, ia tampak tegas dan berwibawa di depan para tokoh tua itu, sebab mereka tahu Sumbaruni punya ilmu dari tokoh sakti yang lebih tua dari mereka, yaitu Eyang Bayudana.
Nama Bayudana adalah nama sejajar dengan Purbapati dan Nini Galih, gurunya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Tentu saja Sumbaruni lebih berwibawa dari mereka. Kedudukannya sejajar dengan Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Embun Salju, dan seorang tokoh lain yang kehadirannya di situ diwakili oleh utusannya bernama Kelana Cinta.
"Gelar kependekaran Suto Sinting tidak layak dicabut sebelum kalian bisa buktikan secara nyata bahwa dia bersalah!" tegas Sumbaruni.
"Tapi saksi mata yang..."
"Saksi mata itu telah mati!" sahut Sumbaruni cepat dan keras, membuat Ki Darma Paksi tak jadi lanjutkan kata. "Aku yakin Suto tidak bersalah!" tambah Sumbaruni setelah semua diam selama satu helaan napas. "Siapa di antara kalian yang mau bangkitkan jenazah Empu Sakya dan tanyakan langsung siapa pelakunya?! Siapa yang mau?!"
Tak ada suara lagi yang terdengar. Ki Madang Wengi hanya mengunyah makanannya tanpa mau berikan jawaban apa pun. Ki Sonokeling pandangi Ki Argapura yang hanya diam termenung memandang tanah di depannya.
"Kalian tak bisa mengecam Gila Tuak dan Bidadari Jalang seenaknya sendiri! Kalian juga harus mampu buktikan secara nyata, bukan secara kabar burung bahwa Suto Sinting memang bersalah. Kalau kalian mau berolah pikir," kata Sumbaruni si Pelangi Sutera itu, "...coba kalian renungkan, mengapa saksi mata itu mati? Dan kematiannya itu menurut para penduduk desa Kukusan, tetangga-tetangga Ki Empu Sakya, adalah disebabkan karena ada seseorang yang membunuhnya. Mbok Wiji dilenyapkan, itu pertanda seseorang tak mau rahasianya terbongkar jika Mbok Wiji terlalu banyak bicara tentang kesaksiannya. Cukup dengan kesaksian tentang tabung bambu tempat tuak saja yang diharapkan oleh seseorang, selebihnya ia tak ingin Mbok Wiji bicara misalnya tentang wajahnya, rambut si pembunuh, warna bajunya atau yang lainnya! Jelas ini adalah fitnah yang bermaksud untuk menjatuhkan nama harum Pendekar Mabuk dan suatu tujuan untuk menjatuhkan nama harum para gurunya!"
Gila Tuak segera berkata kepada Embun Salju, "Embun Salju, kau tentunya dapat melihat kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh melalui ketajaman Indera keenammu yang dinamakan Ilmu 'Jalur Gaib'. Coba kau gunakan ilmu itu untuk mengetahui kebenaran peristiwa itu."
Embun Salju tarik napas dengan tetap bersikap tenang, "Ilmu 'Jalur Gaib' sepertinya ada yang menutup, sehingga sudah kucoba berulang kali untuk melihat kejadian sebelum Empu Sakya terbunuh, tapi selalu gagal."
"Itu berarti orang yang membunuh Empu Sakya punya Ilmu 'Perisai Sukma'!" sahut Sumbaruni dengan cepat dan keras.
"Benar pendapatmu, Sumbaruni," kata Embun Salju. "Setahuku orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma' adalah Empu Sakya sendiri."
"Yang lain?"
Embun Salju angkat pundak dan bentangkan tangan pertanda tidak tahu jawabannya. Lalu, terjadilah masa bungkam beberapa saat. Mereka saling berpikir dan berkecamuk sendiri-sendiri. Tiba-tiba Bidadari Jalang, memecah kesunyian diantara mereka dengan ucapan yang jelas didengar oleh semua pihak.
"Seingatku, Tabib Awan Putih mempunyai ilmu 'Perisai sukma'."
Tabib Awan Putih sedikit menggeragap. "Hmm... eeh... iya, benar."
Pusat pandangan tertuju pada Tabib Awan Putih. Semakin gugup tabib tua dari Tiongkok itu dipandangi oleh mereka.
"Tapi... tapi aku tidak menutup 'Jalur Gaib'-mu, Embun Salju!"
"Ya, aku merasakan bukan tenagamu yang menutup 'Jalur Gaib'-ku ini. Tapi tenaga orang lain yang sulit kukenali, karena mirip tenaga Empu Sakya sendiri."
Gila Tuak segera berkata, "Suto, muridku, tidak mempunyai Ilmu 'Perisai Sukma'. Dia tidak mempunyai ilmu itu karena aku tidak memilikinya."
"Jadi, pembunuh Empu Sakya adalah orang yang punya ilmu 'Perisai Sukma'," simpul Sumbaruni. "Menurut Embun Salju, ilmu "Perisai Sukma' itu bukan dari kekuatan Tabib Awan Putih. Jika begitu, dari siapa ilmu itu datangnya? Jika kita bisa kenali pemilik 'Perisai Sukma' yang bukan dari Tabib Awan Putih, maka kita akan dapatkan titik terang tentang siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya! Tapi aku tidak setuju dengan pendapat kalian yang memojokkan Suto, sebab Suto Sinting tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
Pertemuan para tokoh tingkat tinggi itu cukup seru. Menegangkan juga. Jika tidak ada sumbang saran dan pemikiran dari Sumbaruni, jelas Gila Tuak dan Bidadari Jalang akan terdesak oleh tuntutan mereka. Tidak menutup kemungkinan akan hadirnya pertikaian diantara gurunya Suto dengan para tokoh tingkat tinggi itu.
Seorang wanita muda berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, masih cantik dan berambut cepak seperti potongan lelaki, tapi mengenakan rantai emas berbatu merah delima ditengahnya, segera unjuk bicara. Tokoh ini mewakili seseorang. Dan ia dikenal oleh beberapa orang dengan nama Kelana Cinta. Ki Jangkar Langit mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengelana, Madang Wengi mengenal Kelana Cinta sebagai gadis pengembara yang tidak pernah terlibat persoalan memalukan.
Sedangkan Embun Salju mengenal Kelana Cinta sebagai wanita yang melakukan tapa berkeliling dan berbicara tentang cinta, namun sikap dan perilakunya bukan binal atau jalang. Melainkan justru selalu menjaga harga diri dan martabat kaum wanita.
Kelana Cinta berkata, "Aku kenal seseorang yang punya ilmu itu, tapi aku tak bisa sebutkan. Aku akan temui dia dan menanyakan kebenarannya. Orang itu selain mempunyai ilmu 'Perisai Sukma' ia juga mempunyai ilmu 'Jalur Gaib'."
Embun Salju terkejut, karena merasa kesaktiannya diungguli oleh orang yang diceritakan oleh Kelana Cinta. Ia penasaran, dan segera bertanya dengan sifat sedikit mendesak. "Siapa orang itu? Katakan saja sekarang juga. Aku ingin menemuinya juga untuk perkara lain. Katakan saja, Kelana Cinta."
Gadis berpakaian merah jambu segar dengan pedang di punggung itu hanya tersenyum ramah. "Maaf, aku tak bisa, karena ini memang sumpahku. Tapi aku berjanji akan secepatnya membawa kabar kepadamu, Embun Salju. Yang jelas, orang yang kukenal itu tidak mungkin orang yang membunuh Empu Sakya. Sebab ia pun berteman baik dengan Empu Sakya."
* * *
Kita tinggalkan dulu persidangan di Jurang Lindu itu. Ada sesuatu yang menarik untuk disimak, karena punya hubungan dengan soal cinta, tapi tidak ada kaitannya dengan Kelana Cinta. Dengan susah payah, Mega Dewi memang bermaksud mencari Jurang Lindu. Ia ingin bertemu dengan Gila Tuak dan mengadukan kekejaman Suto menurut anggapannya. Tetapi di perjalanan ternyata ia dicegat oleh seorang pemuda tampan yang cukup dikenalnya.
Pemuda itu mengenakan pakaian bagus, bercorak bangsawan, berambut rapi, dan bersenjata pedang dengan sarung emasnya. Pemuda itu tak lain adalah Raden Udaya. Ia sendirian, karena memang ia ingin bertemu empat mata dengan Mega Dewi untuk utarakan persoalan cintanya.
"Sudah beberapa kali kukatakan, Raden... aku tidak bersedia menerima cintamu!" tegas Mega Dewi dengan wajah tak ada senyum sedikit pun.
Tetapi Raden Udaya masih bersikap sabar dan tidak tersinggung, ia mendekat lagi dan berkata dengan suaranya yang dibuat semesra mungkin. "Mega Dewi, apakah kau melihat aku lakukan suatu kesalahan yang menyakitkan hatimu, sehingga aku tak layak menjadi pendamping mu?" "Tidak. Kau sangat baik padaku, Raden Udaya. Selama ini kita bersahabat tanpa ada pertengkaran apa pun. Tapi hanya sebatas bersahabat saja."
"Apakah persahabatan yang manis tak layak berlanjut ke jenjang perkawinan, Mega Dewi?"
"Tidak semua persahabatan harus berakhir di perkawinan. Ada yang menjadi langgeng dan sama-sama terkubur di dalam tanah, namun tetap bersahabat di alam sana. Kumohon kau tidak menjadi pemuda yang picik dan mengartikan sebuah persahabatan sebagai alasan untuk jatuh cinta, Raden."
Pemuda yang sebenarnya tampan juga itu segera tarik napas dalam-dalam. Kini ia merasakan perih di tepian hatinya. Wajah tampannya tertunduk murung. Mega Dewi kasihan, tapi tak mau memberi hati kepada pemuda itu, takut disalah artikan lagi.
"Mega Dewi," kata Raden Udaya pelan sekali. "Tahukah kau, bahwa kau telah sangat mengecewakan hatiku yang amat sayang kepadamu ini?"
"Aku tahu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang tidak mencintaimu. Haruskah aku berdusta untuk sebuah cinta palsu? Banggakah dirimu jika mendapat cinta palsu?"
"Memang tidak. Tapi siang malam yang terbayang dalam benakku hanya dirimu, Mega Dewi. Siang malam yang ada di hatiku hanyalah senyummu, tawamu, dan candamu. Sayang sekali sejak kau mengenal Pendekar Mabuk itu kau tidak punya tawa dan canda padaku seperti dulu. Mungkinkah kau telah perbandingkan diriku dengannya dan menganggapnya lebih unggul dariku?"
"Udaya!" ketus Mega Dewi mulai tersinggung hatinya. "Hubungan kita tak ada sangkut pautnya dengan Pendekar Mabuk! Kau sangka aku jatuh cinta padanya? Kau sangka aku mudah tergiur dengan ketampanannya?"
"Jika tidak, mengapa kau menjauhiku, Mega Dewi?!"
"Karena ayahmu itu, sang Adipati, adalah orang yang pernah melukai ibuku. Melukai hati Ibu semasa Ibu masih seusiaku. Untung Ibu bertemu dengan ayahku, dan menjadi terobati luka hatinya. Ketahuilah, Udaya...sang Adipati pernah mempermainkan cinta ibuku, sehingga Ibu hampir-hampir menjadi gila karena kekejian cintanya. Dan sekarang aku membalaskan sakit hati almarhumah ibuku itu melalui dirimu, yaitu putra sang Adipati!"
Raden Udaya tertegun bengong. Matanya memandang tak berkedip. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling pandang, sehingga akhirnya Raden Udaya pun berkata dengan nada menggeramjengkel. "Kalau begitu kau memang punya niat jahat padaku tanpa kusadari sebelumnya!"
"Kalau kau anggap begitu, aku tak keberatan. Sekarang apa maumu?"
"Tak ada kemauan lain kecuali hanya ingin mengisap madumu!" jawab Raden Udaya, kemudian segera menyergap memeluk Mega Dewi dan menciuminya dengan kasar.
Tentu saja Mega Dewi berontak dengan sengit, ia sadar dirinya akan diperkosa oleh pemuda itu. Maka ia tak tanggung-tanggung menghantamkan telapak tangannya ke dada pemuda tersebut.
Duuuhg...! Craaas...!
Raden Udaya terpental jauh. Dadanya hangus karena pukulan bertenaga panas cukup tinggi itu. Untung ia kenakan baju pelapis dari baja, sehingga kulit dadanya tidak mengalami hangus berat, tapi pakaian bagusnya menjadi terbakar sebatas lebar pukulan telapak tangan Mega Dewi.
Malaikat Beku muncul dan segera melompat dari punggung kuda. Cambuknya disambar dan hendak dilecutkan ke tubuh Mega Dewi. Tetapi Mega Dewi segera larikan diri, tak mau layani persoalan itu. Sedangkan Raden Udaya berseru melarang Malaikat Beku yang ingin mengejar Mega Dewi dengan cambuknya.
"Biarkan dia! Suatu saat akan kubuat bertekuk lutut di hadapanku!"
"Kita sudah gagal mengejar Suto dan bocah itu, aku jadi muak sendiri! Aku ingin melampiaskan murkaku kepada gadis itu, Raden!"
"Jangan! Dia masih bisa berguna bagi hidupku kelak!" kata Raden Udaya, dan sebagai orang sewaannya, Malaikat Beku tak berani membantah larangan itu. Walau hatinya dongkol karena gagal mengejar Suto dan Angon Luwak, namun agaknya ia harus menelan kedongkolan itu dengan sangat terpaksa.
Suto Sinting memang berhasil selamatkan Angon Luwak dari penculikan anak buah Raden Udaya yang bernama Kromosudo itu. Kegagalan menculik Angon Luwak membuat Kromosudo dihajar habis oleh cambuk Malaikat Beku. Bahkan sekarang disuruh Raden Udaya untuk pulang ke kadipaten dan mengurus kuda-kuda piaraan yang ada di istal kadipaten. Padahal semula Kromosudo adalah prajurit pengawal kepercayaan Raden Udaya.
Sejak Raden Udaya memperoleh pengawal pribadi yang berilmu tinggi yakni Malaikat Beku, tenaga dan kepandaian Kromosudo terbuang begitu saja, karena memang tidak sebanding dengan kesaktian Malaikat Beku. Walaupun Kromosudo sakit hati, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Raden Udaya maupun Malaikat Beku tidak tahu bahwa Suto membawa Angon Luwak ke gua tempat mereka bertemu Ki Gendeng Sekarat yang membawa Raja Maut dalam keadaan luka parah itu. Di gua itu, Suto Sinting memarahi Angon Luwak yang tak mau pulang ke rumah dan tetap mengikuti Suto.
"Kalau kau menguntitku terus, kau akan mati sia-sia karena bisa dijadikan umpan bagi musuh-musuhku. Kau akan dijadikan pelampiasan kemarahan mereka. Sedangkan kau tidak punya ilmu setinggi mereka. Lebih baik kau tinggal di rumahmu, atau kau bermain dengan Logo, nanti toh aku akan ke gua di pantai Semberani itu."
"Aku mengikutimu karena ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu, Kang," kata bocah berambut lurus itu.
"Apa yang ingin kau katakan padaku?" Suto berkerut dahi.
"Kau dicari orang banyak karena dituduh membunuh Ki Empu Sakya."
"Aku tahu! Aku sudah mendengar berita itu."
"Kau dituduh merampas pusaka milik Ki Empu Sakya, yaitu Keris Setan Kobra, Kang! Mereka banyak yang berkeinginan untuk merebut keris itu darimu!"
"Itu pun aku sudah tahu, Angon Luwak!"
"Tapi aku yakin keris itu tidak ada di tanganmu, Kang. Karena aku tahu di mana tempat persembunyian keris itu. Apakah kau juga sudah tahu, Kang?"
Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Suto Sinting berwajah tegang karena sedikit terperangah. Pendekar Mabuk bahkan sempat cemas, lalu memandang ke sana-sini, takut percakapan itu didengar orang.
"Apa benar kau tahu tempat penyimpanan keris itu?!"
Angon Luwak yang lugu itu mengangguk. "Ketika kudengar kabar orang mencarimu dan menganggap keris itu ada di tanganmu, aku menengok tempat penyimpanan keris itu. Ternyata masih ada di tempat. Lalu kubiarkan di tempatnya dan aku ingin mencari cara untuk meyakinkan mereka, bahwa kau tidak mempunyai keris itu. Tapi aku sudah lebih dulu dikejar-kejar oleh dua orang kadipaten."
Suto sedikit bimbang. "Jangan-jangan kau membohongiku?"
"Tidak, Kang."
"Bagaimana kau bisa mengetahui tempat penyimpanan keris itu?" suara Suto semakin lirih.
"Ki Empu Sakya pernah bercerita padaku tentang pohon yang punya kesaktian besar. Namanya pohon Kenari Raja. Pohonnya besar, daunnya rindang, batangnya ditumbuhi duri runcing-runcing. Menurut cerita Ki Empu Sakya, pohon itu menyimpan kekuatan sakti yang sampai sekarang tak diketahui orang. Letak kekuatan sakti ada di dalam batang pohon itu. Suatu saat kutemukan pohon itu tak berapa jauh dari hutan di belakang rumahnya. Aku heran dan ingin tahu kekuatan apa yang ada di dalam pohon itu. Ternyata pohon itu berongga dan di sisi luarnya mempunyai pintu bikinan manusia. Waktu kubuka, ternyata berisi keris. Aku takut, dan kututup lagi. Tapi aku yakin, itulah keris pusaka Setan Kobra. Karena kulihat sepintas saja, gagangnya seperti kepala ular kobra!"
Suto Sinting menjadi berdebar-debar. "Benarkah cerita bocah ini?" pikirnya.
Pemuda itu mengenakan pakaian bagus, bercorak bangsawan, berambut rapi, dan bersenjata pedang dengan sarung emasnya. Pemuda itu tak lain adalah Raden Udaya. Ia sendirian, karena memang ia ingin bertemu empat mata dengan Mega Dewi untuk utarakan persoalan cintanya.
"Sudah beberapa kali kukatakan, Raden... aku tidak bersedia menerima cintamu!" tegas Mega Dewi dengan wajah tak ada senyum sedikit pun.
Tetapi Raden Udaya masih bersikap sabar dan tidak tersinggung, ia mendekat lagi dan berkata dengan suaranya yang dibuat semesra mungkin. "Mega Dewi, apakah kau melihat aku lakukan suatu kesalahan yang menyakitkan hatimu, sehingga aku tak layak menjadi pendamping mu?" "Tidak. Kau sangat baik padaku, Raden Udaya. Selama ini kita bersahabat tanpa ada pertengkaran apa pun. Tapi hanya sebatas bersahabat saja."
"Apakah persahabatan yang manis tak layak berlanjut ke jenjang perkawinan, Mega Dewi?"
"Tidak semua persahabatan harus berakhir di perkawinan. Ada yang menjadi langgeng dan sama-sama terkubur di dalam tanah, namun tetap bersahabat di alam sana. Kumohon kau tidak menjadi pemuda yang picik dan mengartikan sebuah persahabatan sebagai alasan untuk jatuh cinta, Raden."
Pemuda yang sebenarnya tampan juga itu segera tarik napas dalam-dalam. Kini ia merasakan perih di tepian hatinya. Wajah tampannya tertunduk murung. Mega Dewi kasihan, tapi tak mau memberi hati kepada pemuda itu, takut disalah artikan lagi.
"Mega Dewi," kata Raden Udaya pelan sekali. "Tahukah kau, bahwa kau telah sangat mengecewakan hatiku yang amat sayang kepadamu ini?"
"Aku tahu, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang tidak mencintaimu. Haruskah aku berdusta untuk sebuah cinta palsu? Banggakah dirimu jika mendapat cinta palsu?"
"Memang tidak. Tapi siang malam yang terbayang dalam benakku hanya dirimu, Mega Dewi. Siang malam yang ada di hatiku hanyalah senyummu, tawamu, dan candamu. Sayang sekali sejak kau mengenal Pendekar Mabuk itu kau tidak punya tawa dan canda padaku seperti dulu. Mungkinkah kau telah perbandingkan diriku dengannya dan menganggapnya lebih unggul dariku?"
"Udaya!" ketus Mega Dewi mulai tersinggung hatinya. "Hubungan kita tak ada sangkut pautnya dengan Pendekar Mabuk! Kau sangka aku jatuh cinta padanya? Kau sangka aku mudah tergiur dengan ketampanannya?"
"Jika tidak, mengapa kau menjauhiku, Mega Dewi?!"
"Karena ayahmu itu, sang Adipati, adalah orang yang pernah melukai ibuku. Melukai hati Ibu semasa Ibu masih seusiaku. Untung Ibu bertemu dengan ayahku, dan menjadi terobati luka hatinya. Ketahuilah, Udaya...sang Adipati pernah mempermainkan cinta ibuku, sehingga Ibu hampir-hampir menjadi gila karena kekejian cintanya. Dan sekarang aku membalaskan sakit hati almarhumah ibuku itu melalui dirimu, yaitu putra sang Adipati!"
Raden Udaya tertegun bengong. Matanya memandang tak berkedip. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling pandang, sehingga akhirnya Raden Udaya pun berkata dengan nada menggeramjengkel. "Kalau begitu kau memang punya niat jahat padaku tanpa kusadari sebelumnya!"
"Kalau kau anggap begitu, aku tak keberatan. Sekarang apa maumu?"
"Tak ada kemauan lain kecuali hanya ingin mengisap madumu!" jawab Raden Udaya, kemudian segera menyergap memeluk Mega Dewi dan menciuminya dengan kasar.
Tentu saja Mega Dewi berontak dengan sengit, ia sadar dirinya akan diperkosa oleh pemuda itu. Maka ia tak tanggung-tanggung menghantamkan telapak tangannya ke dada pemuda tersebut.
Duuuhg...! Craaas...!
Raden Udaya terpental jauh. Dadanya hangus karena pukulan bertenaga panas cukup tinggi itu. Untung ia kenakan baju pelapis dari baja, sehingga kulit dadanya tidak mengalami hangus berat, tapi pakaian bagusnya menjadi terbakar sebatas lebar pukulan telapak tangan Mega Dewi.
Malaikat Beku muncul dan segera melompat dari punggung kuda. Cambuknya disambar dan hendak dilecutkan ke tubuh Mega Dewi. Tetapi Mega Dewi segera larikan diri, tak mau layani persoalan itu. Sedangkan Raden Udaya berseru melarang Malaikat Beku yang ingin mengejar Mega Dewi dengan cambuknya.
"Biarkan dia! Suatu saat akan kubuat bertekuk lutut di hadapanku!"
"Kita sudah gagal mengejar Suto dan bocah itu, aku jadi muak sendiri! Aku ingin melampiaskan murkaku kepada gadis itu, Raden!"
"Jangan! Dia masih bisa berguna bagi hidupku kelak!" kata Raden Udaya, dan sebagai orang sewaannya, Malaikat Beku tak berani membantah larangan itu. Walau hatinya dongkol karena gagal mengejar Suto dan Angon Luwak, namun agaknya ia harus menelan kedongkolan itu dengan sangat terpaksa.
Suto Sinting memang berhasil selamatkan Angon Luwak dari penculikan anak buah Raden Udaya yang bernama Kromosudo itu. Kegagalan menculik Angon Luwak membuat Kromosudo dihajar habis oleh cambuk Malaikat Beku. Bahkan sekarang disuruh Raden Udaya untuk pulang ke kadipaten dan mengurus kuda-kuda piaraan yang ada di istal kadipaten. Padahal semula Kromosudo adalah prajurit pengawal kepercayaan Raden Udaya.
Sejak Raden Udaya memperoleh pengawal pribadi yang berilmu tinggi yakni Malaikat Beku, tenaga dan kepandaian Kromosudo terbuang begitu saja, karena memang tidak sebanding dengan kesaktian Malaikat Beku. Walaupun Kromosudo sakit hati, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Raden Udaya maupun Malaikat Beku tidak tahu bahwa Suto membawa Angon Luwak ke gua tempat mereka bertemu Ki Gendeng Sekarat yang membawa Raja Maut dalam keadaan luka parah itu. Di gua itu, Suto Sinting memarahi Angon Luwak yang tak mau pulang ke rumah dan tetap mengikuti Suto.
"Kalau kau menguntitku terus, kau akan mati sia-sia karena bisa dijadikan umpan bagi musuh-musuhku. Kau akan dijadikan pelampiasan kemarahan mereka. Sedangkan kau tidak punya ilmu setinggi mereka. Lebih baik kau tinggal di rumahmu, atau kau bermain dengan Logo, nanti toh aku akan ke gua di pantai Semberani itu."
"Aku mengikutimu karena ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu, Kang," kata bocah berambut lurus itu.
"Apa yang ingin kau katakan padaku?" Suto berkerut dahi.
"Kau dicari orang banyak karena dituduh membunuh Ki Empu Sakya."
"Aku tahu! Aku sudah mendengar berita itu."
"Kau dituduh merampas pusaka milik Ki Empu Sakya, yaitu Keris Setan Kobra, Kang! Mereka banyak yang berkeinginan untuk merebut keris itu darimu!"
"Itu pun aku sudah tahu, Angon Luwak!"
"Tapi aku yakin keris itu tidak ada di tanganmu, Kang. Karena aku tahu di mana tempat persembunyian keris itu. Apakah kau juga sudah tahu, Kang?"
Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Suto Sinting berwajah tegang karena sedikit terperangah. Pendekar Mabuk bahkan sempat cemas, lalu memandang ke sana-sini, takut percakapan itu didengar orang.
"Apa benar kau tahu tempat penyimpanan keris itu?!"
Angon Luwak yang lugu itu mengangguk. "Ketika kudengar kabar orang mencarimu dan menganggap keris itu ada di tanganmu, aku menengok tempat penyimpanan keris itu. Ternyata masih ada di tempat. Lalu kubiarkan di tempatnya dan aku ingin mencari cara untuk meyakinkan mereka, bahwa kau tidak mempunyai keris itu. Tapi aku sudah lebih dulu dikejar-kejar oleh dua orang kadipaten."
Suto sedikit bimbang. "Jangan-jangan kau membohongiku?"
"Tidak, Kang."
"Bagaimana kau bisa mengetahui tempat penyimpanan keris itu?" suara Suto semakin lirih.
"Ki Empu Sakya pernah bercerita padaku tentang pohon yang punya kesaktian besar. Namanya pohon Kenari Raja. Pohonnya besar, daunnya rindang, batangnya ditumbuhi duri runcing-runcing. Menurut cerita Ki Empu Sakya, pohon itu menyimpan kekuatan sakti yang sampai sekarang tak diketahui orang. Letak kekuatan sakti ada di dalam batang pohon itu. Suatu saat kutemukan pohon itu tak berapa jauh dari hutan di belakang rumahnya. Aku heran dan ingin tahu kekuatan apa yang ada di dalam pohon itu. Ternyata pohon itu berongga dan di sisi luarnya mempunyai pintu bikinan manusia. Waktu kubuka, ternyata berisi keris. Aku takut, dan kututup lagi. Tapi aku yakin, itulah keris pusaka Setan Kobra. Karena kulihat sepintas saja, gagangnya seperti kepala ular kobra!"
Suto Sinting menjadi berdebar-debar. "Benarkah cerita bocah ini?" pikirnya.
* * *
DELAPAN
POHON Kenari Raja salah satu jenis pohon langka pada masa itu hingga masa sekarang. Di seluruh hutan Tanah Jawa hanya ada beberapa batang pohon Kenari Raja yang tumbuh mendekati kaki bukit. Bahkan namanya pun tak banyak yang tahu. Pohon itu memang besar, mirip pohon beringin. Daunnya lebat, cabang-cabangnya kekar, batang pohon ditumbuhi duri-duri runcing. Keistimewaan pohon itu terletak di bagian tengah batang yang berongga menyerupai cerobong asap. Sekalipun begitu kayu pohon Kenari Raja sangat keras, melebihi kerasnya kayu pohon jati.
Pendekar Mabuk ingin membuktikan kata-kata bocah penggembala itu. Sang bocah sendiri ingin menunjukkan kebenaran omongannya. Maka mereka pun pergi ke hutan yang letaknya searah bagian belakang rumah Ki Empu Sakya. Suto Sinting sempat berkata dalam hatinya, "Hutan ini sepertinya hutan yang pernah dilewati pada waktu kami berurusan dengan Iblis Naga Pamungkas? Hmmm... ya, ya. Aku ingat betul. Bahkan di bawah pohon inilah aku bertarung melawan Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, sebelum Ki Empu Sakya ingin melawannya." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas).
"Benarkah ini pohon yang kau maksud, Angon Luwak?"
"Benar, Kang. Ki Empu Sakya membuat pintu di batang pohon itu dengan memotong sebagian batangnya. Potongannya tidak dibuang, tapi ditutupkan kembali dan dikunci memakai pantek besi. Itu pantek besinya. Coba kau geser sedikit pantek besinya, pasti sebagian batang yang terpotong bisa kau lepas."
Bocah berusia sepuluh tahun mengenakan baju tanpa lengan warna abu-abu dengan celana hitamnya sebatas betis, ternyata bukan bocah pendusta. Apa pun yang dikatakannya memang benar. Suto menggeser pantek besi menyerupai paku, dan kulit pohon seakan terkelupas dalam ukuran besar. Ternyata itulah pintu ynng dimaksud Angon Luwak sebagai penutup rongga batang pohon.
Suto Sinting berhasil melepas potongan batang yang dikatakan 'pintu' itu, dan ternyata di dalam batang pohon tersebut terdapat sebilah keris bergagang kepala seekor ular kobra yang mengembangkan cuping di kanan kirinya. Warna gagang berbentuk kepala ular itu hitam keling, mengkilat. Suto Sinting terperanjat sejenak, lalu dengan hati-hati mengambil keris tersebut setelah lebih dulu memberi sikap hormat agar tak kualat.
Jantung Pendekar Mabuk berdetak-detak keras ketika memegang keris yang menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak itu. Hatinya berdebar-debar, perasaan senang dan bangga tersirat lewat senyuman di wajahnya. Sarung keris terbuat dari ukiran logam emas. Panjangnya dua jengkal lebih sedikit, tapi tak sampai tiga jengkal. Ketika Suto Sinting melolos keris itu dari sarungnya, tampaknya cahaya merah api yang memercik-mercik di sekeliling mata keris. Keris itu berkelok-kelok dan membentuk badan ular kobra hingga ekor. Bagian ekornya itulah yang runcing dan tajam, warna hitam perunggu.
Angon Luwak memandang dengan mulut melompong. Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum kebanggaannya. Andai kata saat itu ia mau bayangkan wajah seseorang lalu menusukkan keris itu ke batang pohon apa saja, maka orang yang dibayangkan itu akan mati pada saat keris ditusukkan ke pohon. Tetapi Suto tidak ingin mengotori bayangan otaknya. Suto hanya merasa perlu menyelamatkan keris tersebut dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu.
"Pantas kalau keris ini menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak. Percikan sinar merah ini menunjukkan kesaktian yang selalu ada di dalam keris ini, Angon Luwak."
"Kalau memiliki keris ini bisa jadi pendekar ampuh, Kang?"
"Memang. Tapi kalau jiwanya tak kuat, ia bisa menjadi orang paling jahat. Sebab dengan membayangkan wajah seseorang, keris ini bisa untuk membunuh orang tersebut dari jarak sejauh apa pun."
"Ck, ck, ck, ck..., sakti sekali keris ini, ya Kang? Mengapa Ki Empu Sakya tidak mau menggunakannya? Dia bisa menjadi pendekar tanpa tanding, Kang."
"Ki Empu Sakya bukan orang jahat. Beliau tidak ingin melukai siapa pun, tidak mau memusuhi siapa pun, karena ingin mencapai kesempurnaan hidup," kata Suto sambil memasukkan keris tersebut ke sarungnya. Kini keris yang sudah berada dalam sarungnya digenggam erat, masih dipandangi beberapa saat.
"Kau ingin memegangnya?" tanya Suto kepada Angon Luwak.
Bocah itu menggeleng. "Tidak, Kang. Nanti kalau aku tak sadar malah keris itu remuk dalam genggaman tanganku," katanya, karena Angon Luwak tahu ia mempunyai ilmu 'Genggam Buana' pemberian Ki Gendeng Sekarat yang bisa meremukkan apa saja yang digenggamnya kuat-kuat.
Suto Sinting tersenyum geli mendengar jawaban polos bocah itu. Tapi senyum itu hilang seketika karena kemunculan seseorang yang melompat dari balik semak belukar di seberang sana. Rupanya perjalanan Suto dan Angon Luwak ada yang menguntitnya sejak tadi. Orang tersebut tak lain adalah Jejak Iblis, yang tubuhnya telah terluka bagai tercabik-cabik binatang buas. Pakaiannya rusak mirip gelandangan. Separo wajahnya memar membiru lantaran dihajar habis-habisan oleh Rindu Malam yang ketika itu mengejar pelariannya. Rupanya Jejak Iblis masih belum jera dan tetap mengincar keris pusaka tersebut.
"Wah, Kang... dia datang lagi, Kang," kata Angon Luwak dengan cemas.
"Tenanglah. Cari tempat yang aman buat persembunyianmu. Aku akan menghadapi orang itu, Angon Luwak," bisik Suto Sinting dengan mata tetap memandang Jejak Iblis yang kehadirannya tadi membuat tanah bergetar.
Kini ia melangkah mendekati Suto. Langkahnya itu membuat tanah bergetar dan daun berguncang. "Akhirnya kupergoki juga kebusukanmu, Suto Sinting. Kau benar-benar memiliki keris itu," kata Jejak Iblis dengan nada datar dan dingin.
"Aku baru sekarang memegang keris ini dan menemukannya di sini!" kata Suto.
"Bagus. Jika begitu, serahkanlah padaku sebelum kesabaranku hilang."
Orang ini benar-benar ngotot, menurut pikiran Suto. Sudah babak belur masih saja mengejar dan menginginkan keris tersebuL Suto sangat prihatin dengan watak Jejak Iblis yang tak pernah bisa menghargai nyawanya itu. "Keris ini tidak akan kuserahkan ke tangan orang-orang seperti mu, Jejak Iblis. Apa pun yang akan kau perbuat terhadapku, aku akan melayanimu!"
Jejak Iblis mulai menggeram. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Tapi pada saat itu pula melesatlah sebuah bayangan yang menerjangnya dari samping.
Bruss...!
Jejak Iblis kaget bukan kepalang. Ia terlempar tujuh langkah dari tempatnya berdiri. Bayangan yang menerjangnya itu ternyata seorang gadis cantik berpakaian putih yang tak lain adalah Rindu Malam.
"Dia lagi...?' gumam Suto dalam hatinya.
Rindu Malam menatap Suto sebentar, ia berkata, "Selamatkan keris itu, akan kutumbangkan orang ini!"
Luka-luka Jejak Iblis semakin parah, tapi orang itu tak ada kapoknya, ia bangkit dan mengambil sikap siap menghadapi pertarungan dengan gadis cantik itu.
Sementara itu Suto Sinting yang ingin segera pergi terpaksa batalkan niatnya karena dari sisi lain muncul tiga orang brewok yang mempunyai wajah kembar. Semuanya berambut botak bagian depan, tapi brewoknya lebat. Wajahnya angker dan matanya garang. Badan mereka besar, kekar, senjata mereka sama-sama tombak bermata pedang. Di bawah ujung tombak itu terdapat ronce-ronce benang merah.
"Agaknya aku harus menghadapi mereka," pikir Suto sambil menyelipkan Keris Setan Kobra ke pinggangnya. Sementara itu, Suto Sinting sempat melihat gerakan Rindu Malam yang bersalto cepat sekali di udara menyerang tubuh Jejak Iblis yang sedang melompat menyerangnya pula. Dalam sekejap Suto melihat Rindu Malam dan Jejak Iblis beradu telapak tangan di udara.
Plak...!
Blaaar...! Ledakan dahsyat terdengar mengguncangkan tempat itu. Cahaya api merah berpendar bersamaan bunyi ledakan tadi.
Jleeg...! Rindu Malam mendaratkan kakinya ke tanah dengan sigap, tanpa luka apa pun. Sementara itu, Jejak Iblis kehilangan dua tangannya. Terpotong tepat dipergelangan tangan. Wajahnya yang tadi tampak biru separo bagian, kini menjadi hitam hangus, tinggal kelopak matanya yang tampak merah. Rambutnya pun mengepulkan asap dan akhirnya rontok semua. Lelaki itu masih berdiri dengan sedikit limbung dan gemetaran.
"Jurus apa yang digunakan Rindu Malam itu? Dahsyat sekali?" pikir Suto.
Agaknya kali ini Jejak Iblis mengakui kekalahannya. Ia sudah kehilangan tenaga cukup banyak, ia sudah merasakan dirinya amat lemah dan parah. Suto yakin kali ini Jejak Iblis tak sanggup lagi melawan Rindu Malam karena sudah kehilangan kedua tangannya. Keyakinan Suto itu menemui kebenarannya. Karena kejap berikutnya Jejak Iblis segera larikan diri dalam keadaan tak mampu melompat secepat dulu. Ia berlari terhuyung-huyung sambil meninggalkan ancaman bagi RinduM alam.
"Aku akan menuntut balas kekalahan ini! Ingat!"
Rindu Malam tidak mengejarnya, hanya menghempaskan napas lega. Tapi ia segera berbalik arah, karena ia tahu ada tiga orang brewok yang sedang berhadapan dengan Suto Sinting. Gadis itu melenting ke atas dan bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Suto Sinting. Jleeg...! Tegap dan kokoh sekali berdirinya. Matanya yang indah menatap tajam pada tiga orang brewok itu.
"Ilmumu cukup hebat, Nona Cantik," ujar brewok berbaju merah. "Tapi ilmu itu hanya bisa untuk mengalahkan si Jejak Iblis. Jangan harap kau bisa mengalahkan Tiga Jagal dari Utara."
Rindu Malam tersenyum sinia. "Apa maksud kalian datang kemari?"
Brewok berbaju hitam menjawab, "Untuk apa lagi kami datang kalau bukan untuk keris pusaka itu? Kami telah menyadap pembicaraan Pendekar Mabuk dengan bocah kumal itu, dan kami sengaja biarkan mereka menemukan keris itu lebih dulu. Buat kami lebih mudah merebut keris itu daripada menemukan tempat penyimpanannya! Hea, ha, ha, ha, ha...!"
Brewok baju hijau juga tertawa dan berkata, "Jangan kalian khawatirkan kami. Kami tidak akan seganas dugaan kalian jika berhasil merebut keris itu. Kami sudah cukup sakti tanpa keris itu. Kami hanya ingin menjualnya kepada seseorang, dan menukarnya dengan separo harta karun yang dipendam di daerah Teluk Sumbing itu! He, he, he,he...!"
"Nila Cendani yang kau maksud?!" seru Suto.
"Benar, Pendekar Tampan! Rupanya kau telah mengetahui si cantik bertangan besi itu," jawab brewok berbaju hitam.
Rindu Malam berbisik, "Mundurlah, biar kuhadapi mereka!"
"Mereka agaknya berilmu tinggi dan ganas-ganas! Biar aku saja yang menghadapinya."
"Jangan buang-buang tenagamu," kata Rindu Malam kepada Suto. "Aku mampu kalahkan mereka dalam satu gebrakan."
"Jangan sombong, Rindu Malam."
"Aku bicara karena aku punya bukti! Mundurlah dulu ke bawah pohon. Jadilah penonton yang baik, Suto."
Suto Sinting akhirnya angkat pundak pertanda terserah apa maunya si gadis cantik itu. Pendekar Mabuk menepi ke bawah pohon Kenari Raja. Di sana ia meneguk tuaknya. Santai sekali sikapnya dalam suasana seperti itu.
"Kalahkan aku jika kau ingin menghadapi Suto Sinting, Pendekar Mabuk itu!" kata Rindu Malam.
"Hei, Nona... tidakkah kau sayang dengan kecantikan dan kehangatan tubuhmu itu, hah? Daripada kau bertarung melawan kami, lebih baik menjadi istri kami bertiga, kau akan mendapatkan kepuasan sepanjang hidupmu."
"Iya, benar! He, he, he...!" brewok berbaju hijau menimpali dengan tawanya yang memuakkan Rindu Malam.
Sreet...! Rindu Malam cabut pedangnya dari punggung. Tiga Jagal dari Utara segera persiapkan diri menghadapi lawannya dengan berjajar masing-masing sejarak dua langkah. Mereka mulai memainkan jurus kembar tiga. Mengibaskan tombak pedangnya ke beberapa arah, lalu sama-sama berhenti bergerak dalam keadaan tombak diarahkan ke depan dengan kaki merendah.
"Serang!" teriak brewok berbaju merah. Lalu ketiganya menyatuhkan ujung tombak. Traak...! Mata tombak berbentuk pedang putih itu saling menempel. Dari perpaduan pedang itu melesat sinar biru sebesar gagang tombak itu.
Slaaap...!
Rindu Malam rendahkan kaki, pedangnya berdiri di depan dengan ujungnya ditahan memakai telapak tangan kiri. Selarik sinar biru besar itu menghantam pertengahan pedang Rindu Malam. Traang...! Seperti tombak menancap pada dinding cadas, sinar biru itu ditahan oleh Rindu Malam. Pedangnya menjadi menyala biru terang. Tiga Jagal dari Utara kerahan tenaga dalam lebih kuat lagi agar sinar birunya bisa mematahkan pedang Rindu Malam dan mengenai dada gadis itu. Tetapi sampai tubuh mereka gemetaran, keringat mereka mengucur, sinar biru itu tetap tidak mampu mematahkan pedang Rindu Malam.
Tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam yang menempel di balik ujung pedang disentakkan bagaikan memukul pedang sendiri dengan pangkal telapak tangan. Dees...! Tiba-tiba sinar biru itu berubah menjadi ungu dan putus dari larikannya. Sinar ungu bagaikan membalik ke senjata Tiga Jagal dari Utara dan meledakkan senjata mereka di sana.
Blaaar...!
Traaaang...! Tombak mereka hancur berkeping-keping, gagangnya terpotong-potong menyebar ke sana-sini. Tiga Jagal dari Utara saling terpental terbang ke belakang. Mereka jatuh terbanting dengan kerasnya.
Bruuuk...!
Rindu Malam merubah posisi kuda-kudanya dengan sedikit tegak dari semula. Pedangnya dimainkan ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Lalu gerakan pedang yang menimbulkan suara dengung segera berhenti dalam keadaan terangkat di atas kepala bagian samping kanan. Tangan kiri Rindu Malam terjulur ke depan sedikit ditekuk dalam keadaan menggenggam kuat-kuat.
"Jurus apa lagi yang digunakan si manis ini?" pikir Suto masih tetap tidak mau ikut campur pertarungan itu. Sebab ia merasa bahwa Rindu Malam ingin unjuk kebolehan ilmu di depannya. Dan Suto tak mau mengecewakan gadis itu dengan ikut campur dalam pertarungan satu melawan tiga itu. Ia hanya akan berbuat jika Rindu Malam terdesak dalam bahaya.
Tiga Jagal dari Utara masih bisa bangkit walaupun masing-masing dada mereka telah kepulkan asap. Suto tahu, mereka luka di bagian dalam akibat ledakan sinar ungu tadi. Tetapi agaknya mereka semakin murka dan penasaran untuk membalas sarangan Rindu Malam. Kini ketiganya sama-sama melompat maju melakukan serangan dengan jurus yang sama. Telapak tangan mereka yang digunakan menjadi andalan sebagai ganti senjata, karena telapak tangan mereka kini menyala biru terang. Suto menyimpan kecemasan, karena ia tahu tiga brewok itu kini menggunakan pukulan maut yang tentunya punya kekuatan dahsyat.
"Heaaat...!" mereka berteriak keras bersama-sama. Rindu Malam berguling di tanah bagaikan bola. Menggelinding dengan cepat dan tahu-tahu sudah berdiri tepat pada saat tiga brewok mendaratkan kaki mereka di tempat Rindu Malam berdiri tadi. Jrreg...! Pada saat itulah Rindu Malam yang beradu punggung dengan tiga lawannya segera berbalik cepat, pedangnya ditebaskan menyamping.
Craaas...!
"Ahhhg...!" Tiga Jagal dari Utara sama-sama memekik tertahan. Pedang Rindu Malam berhasil melukai mereka dalam satu sabetan cepat. Bekas luka sabetan pedang itu menyala, mengeluarkan lidah api yang membakar luka tersebut. Tak heran jika Tiga Jagal dari Utara saling berkelojotan meraung-raung di tanah, berguling-guling dirajang rasa sakit yang luar biasa. Api yang menyala akibat tebasan pedang itu sukar dipadamkan walaupun sudah dipakai berguling-guling. Bahkan api itu semakin lama semakin berkobar membakar separo tubuh mereka bagian bawah. Teriakan histeris memilukan hati.
Suto Sinting tak tega. Ia segera meneguk tuak, menyimpannya di mulut, lalu melakukan satu lompatan panjang sambil menyemburkan tuak dari mulutnya. Wuuurrsss...! Api itu padam, tapi tubuh mereka telah hangus dan berasap. Mereka masih hidup, sedang merasakan sakit yang tiada taranya. Bagian perut ke bawah dalam keadaan luka bakar yang amat parah. Mereka tak mampu berdiri lagi.
Rindu Malam terperanjat melihat tindakan Suto Sinting yang memadamkan api dengan semburan tuaknya tadi. Dalam gumamannya yang didengar Suto, Rindu Malam berkata dengan nada kecewa. "Baru sekarang ada orang yang mampu memadamkan api pedangku. Jurus 'Pedang Lahar' selama ini tak pernah ada yang mampu mengalahkannya. Sekali orang itu terbakar, akan selamanya terbakar. Tapi sekarang ternyata ada orang yang mampu memadamkan api pedangku itu. Luar biasa!"
"Aku kasihan. Terlalu menyiksa jika membiarkan mereka terbakar dan akhirnya mati. Kalau memang kau ingin bunuh mereka, bunuhlah dengan cepat, jangan membiarkan mereka tersiksa lama baru menemui ajalnya," kata Suto Sinting.
"Aku tak berani lakukan jika kau tidak menghendaki demikian," kata Rindu Malam.
"Sebenarnya aku bisa memulihkan luka bakar itu, tapi biarlah luka itu sebagai pelajaran bagi mereka agar tidak berpihak kepada yang jahat dan tidak rakus dengan harta harapannya."
Rindu Malam mengangguk-angguk. Seakan ia tak berani menentang keputusan Pendekar Mabuk. Matanya memandang Suto dalam kebeningan yang meneduhkan. "Apa rencanamu sekarang?"
"Menyerahkan keris ini kepada guruku, entah mau diapakan," jawab Suto.
"Bolehkah aku ikut?"
Suto diam sesaat mempertimbangkan. Setelah itu ia berkata, "Baiklah."
Baru sampai di situ kata-kata Suto, tiba-tiba ia mendengar suara pekikan Angon Luwak di persembunyiannya. Suto cepat palingkan wajah memandang ke arah suara pekikan Angon Luwak yang sepintas itu. Firasatnya mengatakan, bahwa anak itu dalam bahaya. Ternyata sekelebat bayangan terlihat membawa lari Angon Luwak. Rindu Malam dan Suto sama-sama tercengang. Pendekar Mabuk bergegas mengejar bayangan yang membawa lari Angon Luwak. Tapi tangan Rindu Malam menahan.
"Biar kukejar dia dan kubebaskan anak itu. Kau pergilah ke tempat gurumu, kita akan bertemu di Pantat Semberani!"
Suto menghempaskan napas, lalu anggukkan kepala. Slaaap...! Rindu Malam tak banyak bicara, segera lari kejar bayangan yang menculik Angon Luwak. Gerakan larinya sangat cepat, menyamai gerakan Pendekar Mabuk yang juga berlari menuju Jurang Lindu.
Zlaaap...!
Pertemuan para tokoh tingkat tinggi masih terjadi di Jurang Lindu. Mereka bukan lagi memperdebatkan kesalahan Suto Sinting, melainkan menyingkap tabir rahasia mengenai siapa orang yang telah membunuh Ki Empu Sakya itu. Jangkar Langit mempunyai pendapat,
"Empu Sakya pasti dibunuh pada saat sedang tidur. Sebab kelemahannya memang dalam keadaan tidur."
Ki Madang Wengi menyahut, "Benar. Setahuku Empu Sakya punya kelemahan pada saat tidur. Di saat itulah seluruh kesaktian dan kekuatannya pergi dan ia menjadi orang yang kosong ilmu. Karenanya Empu Sakya termasuk manusia yang jarang tidur."
"Siapa saja yang tahu kelemahan Empu Sakya?" tanya Bidadari Jalang.
"Kurasa tidak banyak," jawab Ki Argapura. "Hanya sahabat dekatnya, seperti kita-kita ini yang mengetahuinya."
"Mungkinkah satu di antara kita ini yang telah membunuh Empu Sakya?" kata Ki Sonokeling sambil memandangi mereka satu persatu.
Mereka pun menjadi saling pandang bernada curiga. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk muncul di antara mereka. Kehadirannya membuat semua mata tertuju kepada Pendekar Mabuk. Mata mereka pun tertuju pada Keris Setan Kobra yang terselip di ikat pinggang Suto yang berwarna merah itu. Pendekar Mabuk tak pedulikan pandangan mereka, tapi ia segera tundukkan kepala memberi hormat kepada sang Guru, juga menghormat kepada para tokoh tua lainnya.
"Aku melihat senjata terselip di pinggangmu, Muridku," tegur Gila Tuak.
"Apakah itu Keris Setan Kobra?" tanya Bidadari Jalang memancing kejujuran.
"Benar, Bibi Guru. Saya menemukan keris ini di penyimpanannya dan segera membawa kemari untuk diselamatkan dari tangan para angkara murka."
Suto Sinting mengambil keris itu, lalu dengan kedua tangan diserahkan kepada Gila Tuak. Ia dalam keadaan merendah, satu lututnya menempel tanah. Gila Tuak menerima keris itu dengan bingung dan punya rasa tak enak kepada para tokoh lainnya.
"Bagaimana keris ini bisa jatuh ke tanganmu, Muridku?"
Maka, Suto Sinting pun menceritakan perjalanan menemukan keris bersama bocah desa yang menjadi tetangga Ki Empu Sakya itu. Semua yang hadir di situ mendengar cerita Suto tanpa ada yang memotong dengan pertanyaan apa pun.
"Banyak orang yang menghadang saya, memaksa saya menyerahkan keris itu sebelum saya mendapatkannya. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang disewa oleh Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak yang sangat bernafsu untuk mendapatkan keris itu guna membalas kekalahannya dalam pertarungan dengan saya."
Ki Parandito segera menyahut, "Ya, aku dengar sendiri saat ia lari meninggalkan ancaman dan menyebut-nyebut niatnya untuk membalasmu setelah mendapatkan Keris Setan Kobra. Tapi apakah mungkin Nila Cendani yang membunuh Empu Sakya?"
"Mungkin saja!" jawab Ki Darma Paksi.
Embun Salju segera berkata, "Tapi Nila Cendani tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'. Dari mana ia menutup ilmu 'Jalur Gaib'-ku selama ini?"
Semua saling bungkam dan saling pandang. Gila Tuak segera membuka kebungkaman dengan mengajukan tanya, "Mau kita apakan keris ini?"
Ki Madang Wengi menjawab, "Lenyapkan saja supaya tidak jadi bahan rebutan. Salah-salah bisa jatuh ke tangan orang-orang seperti Nila Cendani dan kehidupan di bumi bisa dirusaknya dengan Keris Setan Kobra itu."
"Aku setuju. Lenyapkan saja keris itu," kata Ki Argapura.
"Baiklah," ujar Gila Tuak. Ia meletakkan keris itu diatas sebuah batu. "Suto, lenyapkan dengan tuakmu!" perintah Gila Tuak.
Maka, Suto pun segera melaksanakan perintah tersebut, ia menenggak tuak, tapi tidak ditelan semuanya. Sebagian disimpan di mulut, lalu tuak di mulut disemburkan ke keris tersebut.
Wuuurrsss...!
Jurus 'Sembur Siluman' digunakan oleh Suto Sinting. Keris itu lenyap, seperti halnya benda lain jika disembur tuak dengan jurus 'Sembur Siluman' akan hilang seketika itu juga. Tetapi sebenarnya sewaktu-waktu Suto bisa memunculkan keris itu lagi dengan menggunakan ilmu 'Jelma Siluman' dengan kekuatan pandangan matanya.
Lenyapnya keris itu membuat mereka menghela napas lega. Tetapi tiba-tiba terdengar langkah kaki berlari-lari menuju tempat mereka. Suara meratap pun terdengar makin mendekat.
"Kang Sutooo...! Kaaang...!"
"Angon Luwak!" teriak Suto dengan kaget sekali, sebab Angon Luwak dalam keadaan terluka parah. Suto Sinting menyongsongnya, lalu mengangkat bocah itu yang terkulai lemas sebelum sampai di antara para tokoh tua. Suto Sinting segera membawa Angon Luwak ke depan gurunya. Yang lainnya ikut memandangi bocah itu dengan iba hati.
"Agaknya ia terkena pukulan tenaga dalam yang tidak semestinya dilepaskan untuk bocah sekecil dirinya," ujar Ki Argapura, entah bicara kepada siapa.
Pendekar Mabuk segera berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Angon Luwak. Setelah ia menunggu kesembuhan Angon Luwak dengan menceritakan tentang Raden Udaya yang waktu itu ditemuinya sedang mengejar-ngejar Angon Luwak. Suto Sinting juga menceritakan keadaan Tiga Jagal dari Utara yang dikalahkan oleh seorang gadis pengagumnya, tapi Suto tidak sebutkan nama gadis itu. Karena menurut Suto, nama Rindu Malam tidaklah terlalu penting bagi mereka. Yang terpenting adalah sikap gadis itu sebagai pengagumnya yang mau korbankan nyawa demi membela dirinya dan ikut menyelamatkan Keris Setan Kobra itu.
"Jangan-jangan dia jatuh cinta padamu?" kata Sumbaruni bernada cemburu.
Embun Salju tersenyum tipis, Bidadari Jalang juga tersenyum, Nyai Punding Sunyi pun tersenyum. Malahan Ki Madang Wengi pun berkata,
"Ingat, Sumbaruni... usiamu sudah di atasku. Jangan main cemburu begitu."
Sumbaruni tersinggung dan bicara dengan lantang, "Apa pedulimu kalau aku jatuh cinta pada pemuda seperti Suto, Madang Wengi?! Toh keadaan diriku masih tetap muda dan membutuhkan pasangan yang seimbang."
Beberapa tokoh tua terkekeh geli. Tapi mereka tidak lanjutkan kata-kata, sebab Angon Luwak mulai sadar dan bocah itu agaknya sudah mulai bisa diajak bicara. Luka-lukanya memang belum sembuh keseluruhan, tapi sudah lebih baik daripada semula.
"Apa yang terjadi padamu, Angon Luwak?" tanya Suto di depan mereka.
"Orang kadipaten itu... mau membunuhku, Kang," jawab Angon Luwak. "Tapi Rindu Malam datang selamatkan aku, dan menyuruhku lari mencarimu ke arah timur, lalu... kulihat dirimu ada disini."
"Sekarang di mana Rindu Malam?"
"Sedang... sedang bertarung melawan pengawalnya orang kadipaten itu."
Suto mengerti maksudnya. Orang kadipaten yang dimaksud pasti Raden Udaya. Pengawalnya adalah Malaikat Beku. Tapi ada sesuatu yang ingin diketahui oleh Suto melihat Raden Udaya tampak bernafsu sekali untuk membunuh Angon Luwak.
"Sebenarnya, persoalan apa yang membuatmu selalu dikejar-kejar oleh Raden Udaya itu, Angon Luwak?"
"Persoalannya...," Angon Luwak diam sebentar, memikirkan jawabannya. Yang lain, para tokoh tua tingkat tinggi itu, menunggu jawaban dengan tanpa ada yang bersuara. Bocah itu pun akhirnya berkata lagi,
"Persoalannya karena aku punya nyawa dan orang itu akan lenyapkan nyawaku. Tentunya aku tak mau karena nyawaku cuma satu, Kang."
Beberapa dari mereka ada yang tertawa dalam gumam mendengar kepolosan jawaban Angon Luwak. Yang lainnya hanya tersenyum, termasuk Bidadari Jalang. Suto Sinting menjelaskan maksudnya.
"Benar. Mereka akan melenyapkanmu karena kau punya satu nyawa. Tapi apa sebabnya sehingga ia ingin melenyapkanmu, Angon Luwak?"
"Karena... karena saya waktu itu melihat pengawalnya orang kadipaten itu membunuh Mbok Wiji di tanggul sungai, Kang."
"Raden Udaya membunuh Mbok Wiji?"
"Pengawalnya, Kang. Raden Udaya hanya memerintahkan."
"Mbok Wiji?!" gumam mereka satu persatu.
Sumbaruni berkata, "Mbok Wiji adalah saksi mata yang melihat pembunuh Empu Sakya. Mengapa ia membunuh Mbok Wiji?"
"Melenyapkan saksi mata!" jawab Bidadari Jalang.
"Bukankah tidak ada hubungannya dengan dirinya?" kata Ki Argapura.
"Mbok Wiji yang sebarkan cerita tentang ciri-ciri pembunuh itu, yakni tentang bumbung tuak dari bambu. Dan semua orang tahu, pembawa bambu tuak adalah Suto. Maka tersebarlah berita, bahwa Suto adalah pembunuh Empu Sakya," kata Sumbaruni. "Tetapi jika Mbok Wiji bicara lebih banyak atau dihadapkan pada Suto, maka mungkin Mbok Wiji akan menyatakan bahwa wajah pembunuh bukan wajah yang dimiliki Suto."
"Berarti Raden Udaya-lah pembunuhnya?" Ki Sonokeling ambil kesimpulan begitu.
"Tapi Udaya tidak punya ilmu tinggi, dan tidak punya ilmu 'Perisai Sukma'."
"Aku curiga pada pengawalnya, si Malaikat Beku itu!" kata Suto bagaikan bicara sendiri. "Sebaiknya kutemui mereka. Angon Luwak, di mana Rindu Malam bertarung dengan pengawalnya Raden Udaya itu?"
"Di pantai, Kang...," jawab Angon Luwak.
Suto Sinting pun pamit kepada gurunya untuk menyusul Raden Udaya ke pantai. Ki Madang Wengi mengikutinya.
Pendekar Mabuk ingin membuktikan kata-kata bocah penggembala itu. Sang bocah sendiri ingin menunjukkan kebenaran omongannya. Maka mereka pun pergi ke hutan yang letaknya searah bagian belakang rumah Ki Empu Sakya. Suto Sinting sempat berkata dalam hatinya, "Hutan ini sepertinya hutan yang pernah dilewati pada waktu kami berurusan dengan Iblis Naga Pamungkas? Hmmm... ya, ya. Aku ingat betul. Bahkan di bawah pohon inilah aku bertarung melawan Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, sebelum Ki Empu Sakya ingin melawannya." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas).
"Benarkah ini pohon yang kau maksud, Angon Luwak?"
"Benar, Kang. Ki Empu Sakya membuat pintu di batang pohon itu dengan memotong sebagian batangnya. Potongannya tidak dibuang, tapi ditutupkan kembali dan dikunci memakai pantek besi. Itu pantek besinya. Coba kau geser sedikit pantek besinya, pasti sebagian batang yang terpotong bisa kau lepas."
Bocah berusia sepuluh tahun mengenakan baju tanpa lengan warna abu-abu dengan celana hitamnya sebatas betis, ternyata bukan bocah pendusta. Apa pun yang dikatakannya memang benar. Suto menggeser pantek besi menyerupai paku, dan kulit pohon seakan terkelupas dalam ukuran besar. Ternyata itulah pintu ynng dimaksud Angon Luwak sebagai penutup rongga batang pohon.
Suto Sinting berhasil melepas potongan batang yang dikatakan 'pintu' itu, dan ternyata di dalam batang pohon tersebut terdapat sebilah keris bergagang kepala seekor ular kobra yang mengembangkan cuping di kanan kirinya. Warna gagang berbentuk kepala ular itu hitam keling, mengkilat. Suto Sinting terperanjat sejenak, lalu dengan hati-hati mengambil keris tersebut setelah lebih dulu memberi sikap hormat agar tak kualat.
Jantung Pendekar Mabuk berdetak-detak keras ketika memegang keris yang menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak itu. Hatinya berdebar-debar, perasaan senang dan bangga tersirat lewat senyuman di wajahnya. Sarung keris terbuat dari ukiran logam emas. Panjangnya dua jengkal lebih sedikit, tapi tak sampai tiga jengkal. Ketika Suto Sinting melolos keris itu dari sarungnya, tampaknya cahaya merah api yang memercik-mercik di sekeliling mata keris. Keris itu berkelok-kelok dan membentuk badan ular kobra hingga ekor. Bagian ekornya itulah yang runcing dan tajam, warna hitam perunggu.
Angon Luwak memandang dengan mulut melompong. Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum kebanggaannya. Andai kata saat itu ia mau bayangkan wajah seseorang lalu menusukkan keris itu ke batang pohon apa saja, maka orang yang dibayangkan itu akan mati pada saat keris ditusukkan ke pohon. Tetapi Suto tidak ingin mengotori bayangan otaknya. Suto hanya merasa perlu menyelamatkan keris tersebut dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, seperti Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu.
"Pantas kalau keris ini menjadi bahan rebutan dan incaran orang banyak. Percikan sinar merah ini menunjukkan kesaktian yang selalu ada di dalam keris ini, Angon Luwak."
"Kalau memiliki keris ini bisa jadi pendekar ampuh, Kang?"
"Memang. Tapi kalau jiwanya tak kuat, ia bisa menjadi orang paling jahat. Sebab dengan membayangkan wajah seseorang, keris ini bisa untuk membunuh orang tersebut dari jarak sejauh apa pun."
"Ck, ck, ck, ck..., sakti sekali keris ini, ya Kang? Mengapa Ki Empu Sakya tidak mau menggunakannya? Dia bisa menjadi pendekar tanpa tanding, Kang."
"Ki Empu Sakya bukan orang jahat. Beliau tidak ingin melukai siapa pun, tidak mau memusuhi siapa pun, karena ingin mencapai kesempurnaan hidup," kata Suto sambil memasukkan keris tersebut ke sarungnya. Kini keris yang sudah berada dalam sarungnya digenggam erat, masih dipandangi beberapa saat.
"Kau ingin memegangnya?" tanya Suto kepada Angon Luwak.
Bocah itu menggeleng. "Tidak, Kang. Nanti kalau aku tak sadar malah keris itu remuk dalam genggaman tanganku," katanya, karena Angon Luwak tahu ia mempunyai ilmu 'Genggam Buana' pemberian Ki Gendeng Sekarat yang bisa meremukkan apa saja yang digenggamnya kuat-kuat.
Suto Sinting tersenyum geli mendengar jawaban polos bocah itu. Tapi senyum itu hilang seketika karena kemunculan seseorang yang melompat dari balik semak belukar di seberang sana. Rupanya perjalanan Suto dan Angon Luwak ada yang menguntitnya sejak tadi. Orang tersebut tak lain adalah Jejak Iblis, yang tubuhnya telah terluka bagai tercabik-cabik binatang buas. Pakaiannya rusak mirip gelandangan. Separo wajahnya memar membiru lantaran dihajar habis-habisan oleh Rindu Malam yang ketika itu mengejar pelariannya. Rupanya Jejak Iblis masih belum jera dan tetap mengincar keris pusaka tersebut.
"Wah, Kang... dia datang lagi, Kang," kata Angon Luwak dengan cemas.
"Tenanglah. Cari tempat yang aman buat persembunyianmu. Aku akan menghadapi orang itu, Angon Luwak," bisik Suto Sinting dengan mata tetap memandang Jejak Iblis yang kehadirannya tadi membuat tanah bergetar.
Kini ia melangkah mendekati Suto. Langkahnya itu membuat tanah bergetar dan daun berguncang. "Akhirnya kupergoki juga kebusukanmu, Suto Sinting. Kau benar-benar memiliki keris itu," kata Jejak Iblis dengan nada datar dan dingin.
"Aku baru sekarang memegang keris ini dan menemukannya di sini!" kata Suto.
"Bagus. Jika begitu, serahkanlah padaku sebelum kesabaranku hilang."
Orang ini benar-benar ngotot, menurut pikiran Suto. Sudah babak belur masih saja mengejar dan menginginkan keris tersebuL Suto sangat prihatin dengan watak Jejak Iblis yang tak pernah bisa menghargai nyawanya itu. "Keris ini tidak akan kuserahkan ke tangan orang-orang seperti mu, Jejak Iblis. Apa pun yang akan kau perbuat terhadapku, aku akan melayanimu!"
Jejak Iblis mulai menggeram. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Tapi pada saat itu pula melesatlah sebuah bayangan yang menerjangnya dari samping.
Bruss...!
Jejak Iblis kaget bukan kepalang. Ia terlempar tujuh langkah dari tempatnya berdiri. Bayangan yang menerjangnya itu ternyata seorang gadis cantik berpakaian putih yang tak lain adalah Rindu Malam.
"Dia lagi...?' gumam Suto dalam hatinya.
Rindu Malam menatap Suto sebentar, ia berkata, "Selamatkan keris itu, akan kutumbangkan orang ini!"
Luka-luka Jejak Iblis semakin parah, tapi orang itu tak ada kapoknya, ia bangkit dan mengambil sikap siap menghadapi pertarungan dengan gadis cantik itu.
Sementara itu Suto Sinting yang ingin segera pergi terpaksa batalkan niatnya karena dari sisi lain muncul tiga orang brewok yang mempunyai wajah kembar. Semuanya berambut botak bagian depan, tapi brewoknya lebat. Wajahnya angker dan matanya garang. Badan mereka besar, kekar, senjata mereka sama-sama tombak bermata pedang. Di bawah ujung tombak itu terdapat ronce-ronce benang merah.
"Agaknya aku harus menghadapi mereka," pikir Suto sambil menyelipkan Keris Setan Kobra ke pinggangnya. Sementara itu, Suto Sinting sempat melihat gerakan Rindu Malam yang bersalto cepat sekali di udara menyerang tubuh Jejak Iblis yang sedang melompat menyerangnya pula. Dalam sekejap Suto melihat Rindu Malam dan Jejak Iblis beradu telapak tangan di udara.
Plak...!
Blaaar...! Ledakan dahsyat terdengar mengguncangkan tempat itu. Cahaya api merah berpendar bersamaan bunyi ledakan tadi.
Jleeg...! Rindu Malam mendaratkan kakinya ke tanah dengan sigap, tanpa luka apa pun. Sementara itu, Jejak Iblis kehilangan dua tangannya. Terpotong tepat dipergelangan tangan. Wajahnya yang tadi tampak biru separo bagian, kini menjadi hitam hangus, tinggal kelopak matanya yang tampak merah. Rambutnya pun mengepulkan asap dan akhirnya rontok semua. Lelaki itu masih berdiri dengan sedikit limbung dan gemetaran.
"Jurus apa yang digunakan Rindu Malam itu? Dahsyat sekali?" pikir Suto.
Agaknya kali ini Jejak Iblis mengakui kekalahannya. Ia sudah kehilangan tenaga cukup banyak, ia sudah merasakan dirinya amat lemah dan parah. Suto yakin kali ini Jejak Iblis tak sanggup lagi melawan Rindu Malam karena sudah kehilangan kedua tangannya. Keyakinan Suto itu menemui kebenarannya. Karena kejap berikutnya Jejak Iblis segera larikan diri dalam keadaan tak mampu melompat secepat dulu. Ia berlari terhuyung-huyung sambil meninggalkan ancaman bagi RinduM alam.
"Aku akan menuntut balas kekalahan ini! Ingat!"
Rindu Malam tidak mengejarnya, hanya menghempaskan napas lega. Tapi ia segera berbalik arah, karena ia tahu ada tiga orang brewok yang sedang berhadapan dengan Suto Sinting. Gadis itu melenting ke atas dan bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Suto Sinting. Jleeg...! Tegap dan kokoh sekali berdirinya. Matanya yang indah menatap tajam pada tiga orang brewok itu.
"Ilmumu cukup hebat, Nona Cantik," ujar brewok berbaju merah. "Tapi ilmu itu hanya bisa untuk mengalahkan si Jejak Iblis. Jangan harap kau bisa mengalahkan Tiga Jagal dari Utara."
Rindu Malam tersenyum sinia. "Apa maksud kalian datang kemari?"
Brewok berbaju hitam menjawab, "Untuk apa lagi kami datang kalau bukan untuk keris pusaka itu? Kami telah menyadap pembicaraan Pendekar Mabuk dengan bocah kumal itu, dan kami sengaja biarkan mereka menemukan keris itu lebih dulu. Buat kami lebih mudah merebut keris itu daripada menemukan tempat penyimpanannya! Hea, ha, ha, ha, ha...!"
Brewok baju hijau juga tertawa dan berkata, "Jangan kalian khawatirkan kami. Kami tidak akan seganas dugaan kalian jika berhasil merebut keris itu. Kami sudah cukup sakti tanpa keris itu. Kami hanya ingin menjualnya kepada seseorang, dan menukarnya dengan separo harta karun yang dipendam di daerah Teluk Sumbing itu! He, he, he,he...!"
"Nila Cendani yang kau maksud?!" seru Suto.
"Benar, Pendekar Tampan! Rupanya kau telah mengetahui si cantik bertangan besi itu," jawab brewok berbaju hitam.
Rindu Malam berbisik, "Mundurlah, biar kuhadapi mereka!"
"Mereka agaknya berilmu tinggi dan ganas-ganas! Biar aku saja yang menghadapinya."
"Jangan buang-buang tenagamu," kata Rindu Malam kepada Suto. "Aku mampu kalahkan mereka dalam satu gebrakan."
"Jangan sombong, Rindu Malam."
"Aku bicara karena aku punya bukti! Mundurlah dulu ke bawah pohon. Jadilah penonton yang baik, Suto."
Suto Sinting akhirnya angkat pundak pertanda terserah apa maunya si gadis cantik itu. Pendekar Mabuk menepi ke bawah pohon Kenari Raja. Di sana ia meneguk tuaknya. Santai sekali sikapnya dalam suasana seperti itu.
"Kalahkan aku jika kau ingin menghadapi Suto Sinting, Pendekar Mabuk itu!" kata Rindu Malam.
"Hei, Nona... tidakkah kau sayang dengan kecantikan dan kehangatan tubuhmu itu, hah? Daripada kau bertarung melawan kami, lebih baik menjadi istri kami bertiga, kau akan mendapatkan kepuasan sepanjang hidupmu."
"Iya, benar! He, he, he...!" brewok berbaju hijau menimpali dengan tawanya yang memuakkan Rindu Malam.
Sreet...! Rindu Malam cabut pedangnya dari punggung. Tiga Jagal dari Utara segera persiapkan diri menghadapi lawannya dengan berjajar masing-masing sejarak dua langkah. Mereka mulai memainkan jurus kembar tiga. Mengibaskan tombak pedangnya ke beberapa arah, lalu sama-sama berhenti bergerak dalam keadaan tombak diarahkan ke depan dengan kaki merendah.
"Serang!" teriak brewok berbaju merah. Lalu ketiganya menyatuhkan ujung tombak. Traak...! Mata tombak berbentuk pedang putih itu saling menempel. Dari perpaduan pedang itu melesat sinar biru sebesar gagang tombak itu.
Slaaap...!
Rindu Malam rendahkan kaki, pedangnya berdiri di depan dengan ujungnya ditahan memakai telapak tangan kiri. Selarik sinar biru besar itu menghantam pertengahan pedang Rindu Malam. Traang...! Seperti tombak menancap pada dinding cadas, sinar biru itu ditahan oleh Rindu Malam. Pedangnya menjadi menyala biru terang. Tiga Jagal dari Utara kerahan tenaga dalam lebih kuat lagi agar sinar birunya bisa mematahkan pedang Rindu Malam dan mengenai dada gadis itu. Tetapi sampai tubuh mereka gemetaran, keringat mereka mengucur, sinar biru itu tetap tidak mampu mematahkan pedang Rindu Malam.
Tiba-tiba tangan kiri Rindu Malam yang menempel di balik ujung pedang disentakkan bagaikan memukul pedang sendiri dengan pangkal telapak tangan. Dees...! Tiba-tiba sinar biru itu berubah menjadi ungu dan putus dari larikannya. Sinar ungu bagaikan membalik ke senjata Tiga Jagal dari Utara dan meledakkan senjata mereka di sana.
Blaaar...!
Traaaang...! Tombak mereka hancur berkeping-keping, gagangnya terpotong-potong menyebar ke sana-sini. Tiga Jagal dari Utara saling terpental terbang ke belakang. Mereka jatuh terbanting dengan kerasnya.
Bruuuk...!
Rindu Malam merubah posisi kuda-kudanya dengan sedikit tegak dari semula. Pedangnya dimainkan ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Lalu gerakan pedang yang menimbulkan suara dengung segera berhenti dalam keadaan terangkat di atas kepala bagian samping kanan. Tangan kiri Rindu Malam terjulur ke depan sedikit ditekuk dalam keadaan menggenggam kuat-kuat.
"Jurus apa lagi yang digunakan si manis ini?" pikir Suto masih tetap tidak mau ikut campur pertarungan itu. Sebab ia merasa bahwa Rindu Malam ingin unjuk kebolehan ilmu di depannya. Dan Suto tak mau mengecewakan gadis itu dengan ikut campur dalam pertarungan satu melawan tiga itu. Ia hanya akan berbuat jika Rindu Malam terdesak dalam bahaya.
Tiga Jagal dari Utara masih bisa bangkit walaupun masing-masing dada mereka telah kepulkan asap. Suto tahu, mereka luka di bagian dalam akibat ledakan sinar ungu tadi. Tetapi agaknya mereka semakin murka dan penasaran untuk membalas sarangan Rindu Malam. Kini ketiganya sama-sama melompat maju melakukan serangan dengan jurus yang sama. Telapak tangan mereka yang digunakan menjadi andalan sebagai ganti senjata, karena telapak tangan mereka kini menyala biru terang. Suto menyimpan kecemasan, karena ia tahu tiga brewok itu kini menggunakan pukulan maut yang tentunya punya kekuatan dahsyat.
"Heaaat...!" mereka berteriak keras bersama-sama. Rindu Malam berguling di tanah bagaikan bola. Menggelinding dengan cepat dan tahu-tahu sudah berdiri tepat pada saat tiga brewok mendaratkan kaki mereka di tempat Rindu Malam berdiri tadi. Jrreg...! Pada saat itulah Rindu Malam yang beradu punggung dengan tiga lawannya segera berbalik cepat, pedangnya ditebaskan menyamping.
Craaas...!
"Ahhhg...!" Tiga Jagal dari Utara sama-sama memekik tertahan. Pedang Rindu Malam berhasil melukai mereka dalam satu sabetan cepat. Bekas luka sabetan pedang itu menyala, mengeluarkan lidah api yang membakar luka tersebut. Tak heran jika Tiga Jagal dari Utara saling berkelojotan meraung-raung di tanah, berguling-guling dirajang rasa sakit yang luar biasa. Api yang menyala akibat tebasan pedang itu sukar dipadamkan walaupun sudah dipakai berguling-guling. Bahkan api itu semakin lama semakin berkobar membakar separo tubuh mereka bagian bawah. Teriakan histeris memilukan hati.
Suto Sinting tak tega. Ia segera meneguk tuak, menyimpannya di mulut, lalu melakukan satu lompatan panjang sambil menyemburkan tuak dari mulutnya. Wuuurrsss...! Api itu padam, tapi tubuh mereka telah hangus dan berasap. Mereka masih hidup, sedang merasakan sakit yang tiada taranya. Bagian perut ke bawah dalam keadaan luka bakar yang amat parah. Mereka tak mampu berdiri lagi.
Rindu Malam terperanjat melihat tindakan Suto Sinting yang memadamkan api dengan semburan tuaknya tadi. Dalam gumamannya yang didengar Suto, Rindu Malam berkata dengan nada kecewa. "Baru sekarang ada orang yang mampu memadamkan api pedangku. Jurus 'Pedang Lahar' selama ini tak pernah ada yang mampu mengalahkannya. Sekali orang itu terbakar, akan selamanya terbakar. Tapi sekarang ternyata ada orang yang mampu memadamkan api pedangku itu. Luar biasa!"
"Aku kasihan. Terlalu menyiksa jika membiarkan mereka terbakar dan akhirnya mati. Kalau memang kau ingin bunuh mereka, bunuhlah dengan cepat, jangan membiarkan mereka tersiksa lama baru menemui ajalnya," kata Suto Sinting.
"Aku tak berani lakukan jika kau tidak menghendaki demikian," kata Rindu Malam.
"Sebenarnya aku bisa memulihkan luka bakar itu, tapi biarlah luka itu sebagai pelajaran bagi mereka agar tidak berpihak kepada yang jahat dan tidak rakus dengan harta harapannya."
Rindu Malam mengangguk-angguk. Seakan ia tak berani menentang keputusan Pendekar Mabuk. Matanya memandang Suto dalam kebeningan yang meneduhkan. "Apa rencanamu sekarang?"
"Menyerahkan keris ini kepada guruku, entah mau diapakan," jawab Suto.
"Bolehkah aku ikut?"
Suto diam sesaat mempertimbangkan. Setelah itu ia berkata, "Baiklah."
Baru sampai di situ kata-kata Suto, tiba-tiba ia mendengar suara pekikan Angon Luwak di persembunyiannya. Suto cepat palingkan wajah memandang ke arah suara pekikan Angon Luwak yang sepintas itu. Firasatnya mengatakan, bahwa anak itu dalam bahaya. Ternyata sekelebat bayangan terlihat membawa lari Angon Luwak. Rindu Malam dan Suto sama-sama tercengang. Pendekar Mabuk bergegas mengejar bayangan yang membawa lari Angon Luwak. Tapi tangan Rindu Malam menahan.
"Biar kukejar dia dan kubebaskan anak itu. Kau pergilah ke tempat gurumu, kita akan bertemu di Pantat Semberani!"
Suto menghempaskan napas, lalu anggukkan kepala. Slaaap...! Rindu Malam tak banyak bicara, segera lari kejar bayangan yang menculik Angon Luwak. Gerakan larinya sangat cepat, menyamai gerakan Pendekar Mabuk yang juga berlari menuju Jurang Lindu.
Zlaaap...!
Pertemuan para tokoh tingkat tinggi masih terjadi di Jurang Lindu. Mereka bukan lagi memperdebatkan kesalahan Suto Sinting, melainkan menyingkap tabir rahasia mengenai siapa orang yang telah membunuh Ki Empu Sakya itu. Jangkar Langit mempunyai pendapat,
"Empu Sakya pasti dibunuh pada saat sedang tidur. Sebab kelemahannya memang dalam keadaan tidur."
Ki Madang Wengi menyahut, "Benar. Setahuku Empu Sakya punya kelemahan pada saat tidur. Di saat itulah seluruh kesaktian dan kekuatannya pergi dan ia menjadi orang yang kosong ilmu. Karenanya Empu Sakya termasuk manusia yang jarang tidur."
"Siapa saja yang tahu kelemahan Empu Sakya?" tanya Bidadari Jalang.
"Kurasa tidak banyak," jawab Ki Argapura. "Hanya sahabat dekatnya, seperti kita-kita ini yang mengetahuinya."
"Mungkinkah satu di antara kita ini yang telah membunuh Empu Sakya?" kata Ki Sonokeling sambil memandangi mereka satu persatu.
Mereka pun menjadi saling pandang bernada curiga. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk muncul di antara mereka. Kehadirannya membuat semua mata tertuju kepada Pendekar Mabuk. Mata mereka pun tertuju pada Keris Setan Kobra yang terselip di ikat pinggang Suto yang berwarna merah itu. Pendekar Mabuk tak pedulikan pandangan mereka, tapi ia segera tundukkan kepala memberi hormat kepada sang Guru, juga menghormat kepada para tokoh tua lainnya.
"Aku melihat senjata terselip di pinggangmu, Muridku," tegur Gila Tuak.
"Apakah itu Keris Setan Kobra?" tanya Bidadari Jalang memancing kejujuran.
"Benar, Bibi Guru. Saya menemukan keris ini di penyimpanannya dan segera membawa kemari untuk diselamatkan dari tangan para angkara murka."
Suto Sinting mengambil keris itu, lalu dengan kedua tangan diserahkan kepada Gila Tuak. Ia dalam keadaan merendah, satu lututnya menempel tanah. Gila Tuak menerima keris itu dengan bingung dan punya rasa tak enak kepada para tokoh lainnya.
"Bagaimana keris ini bisa jatuh ke tanganmu, Muridku?"
Maka, Suto Sinting pun menceritakan perjalanan menemukan keris bersama bocah desa yang menjadi tetangga Ki Empu Sakya itu. Semua yang hadir di situ mendengar cerita Suto tanpa ada yang memotong dengan pertanyaan apa pun.
"Banyak orang yang menghadang saya, memaksa saya menyerahkan keris itu sebelum saya mendapatkannya. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang disewa oleh Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak yang sangat bernafsu untuk mendapatkan keris itu guna membalas kekalahannya dalam pertarungan dengan saya."
Ki Parandito segera menyahut, "Ya, aku dengar sendiri saat ia lari meninggalkan ancaman dan menyebut-nyebut niatnya untuk membalasmu setelah mendapatkan Keris Setan Kobra. Tapi apakah mungkin Nila Cendani yang membunuh Empu Sakya?"
"Mungkin saja!" jawab Ki Darma Paksi.
Embun Salju segera berkata, "Tapi Nila Cendani tidak mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'. Dari mana ia menutup ilmu 'Jalur Gaib'-ku selama ini?"
Semua saling bungkam dan saling pandang. Gila Tuak segera membuka kebungkaman dengan mengajukan tanya, "Mau kita apakan keris ini?"
Ki Madang Wengi menjawab, "Lenyapkan saja supaya tidak jadi bahan rebutan. Salah-salah bisa jatuh ke tangan orang-orang seperti Nila Cendani dan kehidupan di bumi bisa dirusaknya dengan Keris Setan Kobra itu."
"Aku setuju. Lenyapkan saja keris itu," kata Ki Argapura.
"Baiklah," ujar Gila Tuak. Ia meletakkan keris itu diatas sebuah batu. "Suto, lenyapkan dengan tuakmu!" perintah Gila Tuak.
Maka, Suto pun segera melaksanakan perintah tersebut, ia menenggak tuak, tapi tidak ditelan semuanya. Sebagian disimpan di mulut, lalu tuak di mulut disemburkan ke keris tersebut.
Wuuurrsss...!
Jurus 'Sembur Siluman' digunakan oleh Suto Sinting. Keris itu lenyap, seperti halnya benda lain jika disembur tuak dengan jurus 'Sembur Siluman' akan hilang seketika itu juga. Tetapi sebenarnya sewaktu-waktu Suto bisa memunculkan keris itu lagi dengan menggunakan ilmu 'Jelma Siluman' dengan kekuatan pandangan matanya.
Lenyapnya keris itu membuat mereka menghela napas lega. Tetapi tiba-tiba terdengar langkah kaki berlari-lari menuju tempat mereka. Suara meratap pun terdengar makin mendekat.
"Kang Sutooo...! Kaaang...!"
"Angon Luwak!" teriak Suto dengan kaget sekali, sebab Angon Luwak dalam keadaan terluka parah. Suto Sinting menyongsongnya, lalu mengangkat bocah itu yang terkulai lemas sebelum sampai di antara para tokoh tua. Suto Sinting segera membawa Angon Luwak ke depan gurunya. Yang lainnya ikut memandangi bocah itu dengan iba hati.
"Agaknya ia terkena pukulan tenaga dalam yang tidak semestinya dilepaskan untuk bocah sekecil dirinya," ujar Ki Argapura, entah bicara kepada siapa.
Pendekar Mabuk segera berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Angon Luwak. Setelah ia menunggu kesembuhan Angon Luwak dengan menceritakan tentang Raden Udaya yang waktu itu ditemuinya sedang mengejar-ngejar Angon Luwak. Suto Sinting juga menceritakan keadaan Tiga Jagal dari Utara yang dikalahkan oleh seorang gadis pengagumnya, tapi Suto tidak sebutkan nama gadis itu. Karena menurut Suto, nama Rindu Malam tidaklah terlalu penting bagi mereka. Yang terpenting adalah sikap gadis itu sebagai pengagumnya yang mau korbankan nyawa demi membela dirinya dan ikut menyelamatkan Keris Setan Kobra itu.
"Jangan-jangan dia jatuh cinta padamu?" kata Sumbaruni bernada cemburu.
Embun Salju tersenyum tipis, Bidadari Jalang juga tersenyum, Nyai Punding Sunyi pun tersenyum. Malahan Ki Madang Wengi pun berkata,
"Ingat, Sumbaruni... usiamu sudah di atasku. Jangan main cemburu begitu."
Sumbaruni tersinggung dan bicara dengan lantang, "Apa pedulimu kalau aku jatuh cinta pada pemuda seperti Suto, Madang Wengi?! Toh keadaan diriku masih tetap muda dan membutuhkan pasangan yang seimbang."
Beberapa tokoh tua terkekeh geli. Tapi mereka tidak lanjutkan kata-kata, sebab Angon Luwak mulai sadar dan bocah itu agaknya sudah mulai bisa diajak bicara. Luka-lukanya memang belum sembuh keseluruhan, tapi sudah lebih baik daripada semula.
"Apa yang terjadi padamu, Angon Luwak?" tanya Suto di depan mereka.
"Orang kadipaten itu... mau membunuhku, Kang," jawab Angon Luwak. "Tapi Rindu Malam datang selamatkan aku, dan menyuruhku lari mencarimu ke arah timur, lalu... kulihat dirimu ada disini."
"Sekarang di mana Rindu Malam?"
"Sedang... sedang bertarung melawan pengawalnya orang kadipaten itu."
Suto mengerti maksudnya. Orang kadipaten yang dimaksud pasti Raden Udaya. Pengawalnya adalah Malaikat Beku. Tapi ada sesuatu yang ingin diketahui oleh Suto melihat Raden Udaya tampak bernafsu sekali untuk membunuh Angon Luwak.
"Sebenarnya, persoalan apa yang membuatmu selalu dikejar-kejar oleh Raden Udaya itu, Angon Luwak?"
"Persoalannya...," Angon Luwak diam sebentar, memikirkan jawabannya. Yang lain, para tokoh tua tingkat tinggi itu, menunggu jawaban dengan tanpa ada yang bersuara. Bocah itu pun akhirnya berkata lagi,
"Persoalannya karena aku punya nyawa dan orang itu akan lenyapkan nyawaku. Tentunya aku tak mau karena nyawaku cuma satu, Kang."
Beberapa dari mereka ada yang tertawa dalam gumam mendengar kepolosan jawaban Angon Luwak. Yang lainnya hanya tersenyum, termasuk Bidadari Jalang. Suto Sinting menjelaskan maksudnya.
"Benar. Mereka akan melenyapkanmu karena kau punya satu nyawa. Tapi apa sebabnya sehingga ia ingin melenyapkanmu, Angon Luwak?"
"Karena... karena saya waktu itu melihat pengawalnya orang kadipaten itu membunuh Mbok Wiji di tanggul sungai, Kang."
"Raden Udaya membunuh Mbok Wiji?"
"Pengawalnya, Kang. Raden Udaya hanya memerintahkan."
"Mbok Wiji?!" gumam mereka satu persatu.
Sumbaruni berkata, "Mbok Wiji adalah saksi mata yang melihat pembunuh Empu Sakya. Mengapa ia membunuh Mbok Wiji?"
"Melenyapkan saksi mata!" jawab Bidadari Jalang.
"Bukankah tidak ada hubungannya dengan dirinya?" kata Ki Argapura.
"Mbok Wiji yang sebarkan cerita tentang ciri-ciri pembunuh itu, yakni tentang bumbung tuak dari bambu. Dan semua orang tahu, pembawa bambu tuak adalah Suto. Maka tersebarlah berita, bahwa Suto adalah pembunuh Empu Sakya," kata Sumbaruni. "Tetapi jika Mbok Wiji bicara lebih banyak atau dihadapkan pada Suto, maka mungkin Mbok Wiji akan menyatakan bahwa wajah pembunuh bukan wajah yang dimiliki Suto."
"Berarti Raden Udaya-lah pembunuhnya?" Ki Sonokeling ambil kesimpulan begitu.
"Tapi Udaya tidak punya ilmu tinggi, dan tidak punya ilmu 'Perisai Sukma'."
"Aku curiga pada pengawalnya, si Malaikat Beku itu!" kata Suto bagaikan bicara sendiri. "Sebaiknya kutemui mereka. Angon Luwak, di mana Rindu Malam bertarung dengan pengawalnya Raden Udaya itu?"
"Di pantai, Kang...," jawab Angon Luwak.
Suto Sinting pun pamit kepada gurunya untuk menyusul Raden Udaya ke pantai. Ki Madang Wengi mengikutinya.
* * *
SEMBILAN
PANTAI itu termasuk jajaran wilayah Pantai Semberani, walau letak pertarungan mereka jauh dari kaki Bukit Semberani. Tak heran jika di situ ternyata telah berdiri pula seorang tokoh tua berambut abu-abu yang tak lain adalah Raja Maut. Tokoh tua itulah yang menyaksikan pertarungan Rindu Malam dengan Malaikat Beku. Ledakan-ledakan yang terjadi akibat pertarungan ilmu Rindu Malam dengan Malaikat Beku mengguncang tanah pantai, menggetarkan Bukit Semberani, sehingga memancing Raja Maut keluar dari pondoknya, ingin melihat apa yang terjadi disekitarnya.
Agaknya Rindu Malam terdesak oleh kekuatan Malaikat Beku. Tubuhnya berulang kali terjungkal akibat hentakan gelombang tenaga dalam yang dahsyat dari cambuk si Malaikat Beku. Cambuk itu bukan sembarang cambuk. Kenyal dan alot. Mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga sejak tadi sulit dipotong oleh pedang Rindu Malam.
"Kurasa gadis itu akan terdesak dan celaka jika aku tak segera turun tangan," pikir Raja Maut. "Tapi haruskah aku ikut campur tangan dengan urusan mereka? Ah, kurasa jika hanya menyelamatkan gadis itu, tak seberapa berat ikut campurku terhadap urusan mereka."
Malaikat Beku memutar-mutar cambuknya di udara. Kejap berikut cambuk itu dilecutkan ke tanah berpasir. Taaar...! Ujung cambuk menghantam tanah berpasir. Lalu dari dalam tanah itu menyembur puluhan jarum warna merah yang melesat ke arah Rindu Malam, Zraaaak...! Rindu Malam masih terjatuh dari satu sentakan kuat tadi. Ketika ia bangun separo berdiri, tiba-tiba ia diserang pukulan jarum tersebut.
Zrubb...!
"Ahhg...?!" Rindu Malam terkejut, tak sempat menghindar. Tubuhnya segera mengejang di tempat. Kepalanya terdongak dengan wajah menyeringai menderita. Tubuh gadis itu segera berasap, menyebarkan bau busuk, seperti bau mayat yang sudah terkubur satu minggu lamanya.
"Sudah kuingatkan agar kau lari dariku, Nona. Tapi agaknya kau memang ingin lekas modar! Sekarang terimalah jurus 'Cambuk Pembelah Raga' ini! Heeaaaat"
Cambuk itu melayang di udara. Saat itu seluruh tali cambuk berubah menjadi membara merah dan berasap. Cambuk itu pun dilecutkan ke tubuh Rindu Malam yang mengejang kaku karena jarum beracun tadi.
Taaar...! Glegaaar!
Suara ledakan membahana terdengar menyeramkan. Gelombang air laut naik setinggi atap rumah, bergulung-gulung menuju ke tengah samudera. Mestinya tubuh Rindu Malam akan hancur terpotong-potong menjadi beberapa puluh bagian. Tetapi pada saat cambuk sedang dilecutkan, Raja Maut bergerak lebih dulu dan lebih cepat, ia menyambar tubuh Rindu Malam. Wuuut...! Tahu-tahu sudah ada di balik gugusan batu karang. Jauhnya lebih dari lima belas langkah dari tempat Malaikat Beku berdiri.
Sedangkan Raden Udaya hanya terperangah bengong, masih duduk di atas kudanya di belakang Malaikat Beku, berjarak lewat dari dua puluh langkah. Sejak tadi ia menyaksikan pertarungan hebat itu, dengan senyum kebanggaan, karena Malaikat Beku yang dijagokan ternyata mampu menunjukkan kehebatan ilmu dan jurus-jurusnya. Bukan hanya Raden Udaya yang kecewa melihat Rindu Malam terselamatkan oleh gerakan cepat Raja Maut, tetapi Malaikat Beku pun sangat kecewa dan murkanya kian bertambah.
"Keparat kau, Tua Bangka!" teriaknya penuh luapan amarah. "Kuhancurkan sekalian tubuhmu dengan Cabuk Urat Setan-ku ini! Heaaah...!"
Malaikat Beku berlari mengejar Raja Maut yang menunggu dengan siap. Tetapi gerakan Malaikat Beku itu dipatahkan oleh sebuah serangan yang datang dari arah samping kirinya. Dees...! Sebuah sentilan jari tengah membuat Malaikat Beku terlempar hampir masuk ke perairan laut. Jurus 'Jari Guntur' mengawali kehadiran Suto di pantai itu.
"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur lagi, hah?!" teriak Malaikat Beku.
"Aku...!" jawab Suto, lalu muncul dari persembunyiannya. Hal itu membuat Raden Udaya terkejut dan cemas. Tapi membuat Raja Maut tersenyum lega. Sementara Rindu Malam terkapar dengan tubuh membiru dan tak bisa berbuat apa-apa. Raja Maut mencoba menawarkan racun di tubuh Rindu Malam dengan menyalurkan hawa dingin ke tubuh gadis itu.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting melompat dan berdiri tegak tak jauh dari Malaikat Beku. Di ujung sana, Raden Udaya yang menjadi takut menyimpan kecemasannya. Lalu ia putuskan untuk menyingkir sementara dari tempat itu, menunggu hasil akhir pertarungan yang bakal terjadi dengan seru itu. Tetapi ketika Raden Udaya membelokkan arah kudanya, tiba-tiba seseorang telah melemparkan batu kerikil sekecil kacang tanah.
Wuuut...! Teeb...!
Raden Udaya jatuh dari punggung kuda, tapi ia tak bisa bergerak lagi, sekujur tubuhnya menjadi kaku. Rupanya seseorang telah menotok jalan darahnya memakai batu kerikil itu. Kini yang dapat dilakukan oleh Raden Udaya hanya menggerakkan kepala saja, termasuk mulut dan matanya. Tapi bagian tubuh lainnya kejang seperti tubuh patung batu.
"Siapa ini yang menotokku?!" teriaknya dengan berang.
Suara tawa seperti menggumam terdengar. Seorang lelaki bertubuh agak gemuk muncul sambil mengunyah makanan. Ki Madang Wengi itulah orang yang telah menotok jalan darah Raden Udaya untuk menahan agar anak Adipati itu tidak pergi dari tempatnya. Ki Madang Wengi hanya terkekeh-kekeh mendengar sebaris cacian dari Raden Udaya yang minta dibebaskan dari totokannya. Ki Madang Wengi bahkan duduk di atas batu sambil memperhatikan ke arah pertarungan Malaikat Beku dan Suto Sinting.
Sebelum itu, Suto Sinting yang tampak tenang sempat menenggak tuaknya, menelannya beberapa teguk. Membiarkan Malaikat Beku melecutkan cambuknya kearah tubuh Suto. Tubuh Pendekar Mabuk itu melesat lompat ke samping menghindari cambuk tersebut dengan tetap menenggak tuaknya. Setelah selesai menenggak, barulah ia memandang dengan senyum penuh tantangan.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara Raja Maut berseru kepada Pendekar Mabuk, "Habisi saja dia, Suto! Dia adalah Kalatandu, cucu sesat Empu Sakya yang banyak mengetahui rahasia dan kelemahan Empu Sakya!"
Suto manggut-manggut memandangi Malaikat Beku sambil menyunggingkan senyum sinis. Malaikat Beku tempak berang kepada Raja Maut. Tetapi jaraknya yang jauh membuat ia tak berani menyerang, karena takut diserang Suto dari belakang. Hatinya hanya membatin, "Busuklah mulut si tua bangka itu! Dia tahu siapa diriku!"
Sedangkan Suto Sinting segera perdengarkan suaranya yang kelem, "Ooo... jadi kau yang bernama Kalatandu?"
"Ya! Memang aku Kalatandu!" sentak Malaikat Beku.
"Kurasa kau yang membunuh Mbok Wiji!"
"Memang. Perempuan itu kubunuh supaya tidak banyak bicara tentang diriku. Sebab hanya dialah yang mengetahui saat aku membunuh Empu Sakya, kakekku sendiri itu. Tapi dia hanya tahu ciri-ciri yang ada padaku. Sengaja kubawa bumbung tempat tuak seperti bumbungmu itu, supaya orang akan menyangka kaulah pelakunya. Ternyata rencanaku itu berhasil. Tapi aku jadi khawatir kalau Mbok Wiji bicara tentang wajahku dan ciri-ciri lainnya!"
"Dugaan para tokoh pun begitu, Kalatandu."
"Persetan dengan dugaan para tokoh. Sekarang sudah telanjur terbuka. Tapi kau tak bisa menyalahkan aku saja, sebab anak Adipati itulah yang memerintahkan diriku dan mengupahku untuk menjatuhkan namamu! Dengan begitu kau akan dibenci oleh Mega Dewi dan Mega Dewi akan mencintai Udaya! Anak Adipati itulah yang mengatur siasat dengan menggunakan bambu tuak pada saat aku membunuh kakekku yang sedang tidur itu."
"Kenapa kau tega membunuh kakekmu sendiri."
"Karena aku sudah tak sabar lagi menunggu keris pusaka itu belum juga diwariskan padaku. Sayangnya waktu Kakek sudah kubunuh, aku tidak menemukan letak penyimpanan keris itu. Tapi aku cukup puas dapat membunuh Empu Sakya dengan keris peninggalan Ibuku. Kurasa Mbok Wiji juga tahu kalau aku keluar dari belakang rumah Empu Sakya sambil membawa keris, ia pasti akan menceritakan kepada orang-orang tentang keris yang kubawa itu, sehingga orang sangka kaulah pembunuhnya dan berhasil membawa keris pusaka!"
"Terima kasih atas pengakuanmu, Kalatandu," kata Suto kalem sekali.
"Sengaja kubeberkan supaya kau tidak penasaran dalam perjalanan menuju ke alam baka, Suto Sinting! Tentunya kau pun tahu bahwa bocahmu itu perlu kubunuh karena dia mengetahui saat aku membunuh Mbok Wiji. Jika tidak kubunuh dan ia buka rahasia itu, maka orang cerdas akan bisa menyimpulkan siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya. Tapi sayang... bocahmu itu licin seperti belut dan selalu dinaungi dewa keberuntungan, sehingga sampai sekarang masih belum berhasil kulenyapkan!"
"Kau tak akan berhasil membunuhnya semasa Pendekar Mabuk masih hidup."
"Kalau begitu sekaranglah saatnya untuk minggat ke neraka! Heaaat...!"
Taaar...!
Cambuk dilecutkan, ujungnya melepaskan sinar api yang berkerilap menyambar tubuh Suto Sinting. Tapi Pendekar Mabuk berhasil bersalto dua kali ke belakang dengan gerakan cepat. Gerakan itu membuat cambuk Kalatandu mengenai tempat kosong. Kalatandu menjadi sangat penasaran, ia menggeram sambil segera lakukan lompatan menyerang. Cambuknya diputar di atas kepala menimbulkan bunyi dengung yang amat kuat, lalu dilecutkan ke arah Suto kembali.
Taaar...!
Suto Sinting menangkis cambuk itu dengan bambu tuaknya. Cambuk menjadi terjerat bambu tuak. Lalu Suto sentakkan dengan keras, penuh kekuatan tenaga dalam, sehingga tubuh yang melayang itu tersentak maju ke arahnya, kemudian ujung bambu disodokkan ke depan. Wuuuk...! Buuuhg...! Tepat mengenai dada Kalatandu.
"Uhhg...!" tubuh Kalatandu belum sampai menyentuh tanah sudah terlempar lagi ke belakang. Wajahnya menjadi merah dan mulutnya keluarkan darah akibat sodokan bambu tuak yang bernama jurus 'Mabuk Pelebur Gunung'. Tubuh Suto pun melangkah dua tindak dengan menggeloyor seperti orang mau jatuh karena mabuk. Tapi itulah jurus mautnya yang membahayakan lawan.
Kalatandu masih bisa bangkit. Padahal wajahnya sudah biru legam, demikian pula bagian lengannya. Rambutnya rontok dan menjadi beterbangan tertiup angin pantai. Suto menganggap Kalatandu berilmu tinggi, karena biasanya lawan yang terkena jurus 'Mabuk Pelebur Gunung' akan mati beberapa saat setelah rambutnya rontok.
"Rupanya ia punya baja pelapis jiwa di dalam tubuhnya!" pikir Suto, namun ia masih menampakkan ketenangannya.
Kalatandu menepukkan tangannya di atas kepala. Plaaak...! Claaap...! Sinar putih melesat menghantam Suto Sinting. Dengan cepat Suto berguling ke tanah menyambar cambuk yang jatuh, lalu cambuk itu dilecutkan ke arah datangnya sinar tersebut. Taaar...! Kilatan cahaya biru keluar dari ujung cambuk dan menghantam sinar putih.
Blegaaar...!
Ledakan terjadi dengan dahsyat. Gugusan batu karang setinggi rumah menjadi rontok berjatuhan menutup sebagian tepian pantai. Tetapi Kalatandu masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser dari tempatnya sedikit pun. Bahkan kedua tangan yang tadi bertepuk satu kali di atas kepala itu ditarik turun sampai ke dada secara pelan-pelan, kemudian disentakkan ke depan dengan kaki merenggang rendah.
Wuuut...! Slaaap...!
Sinar merah meluncur selarik lurus dari ujung dua tangan yang menyatu itu. Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak. Taaas...! Sinar merah itu menjadi besar dan bentuk besarnya bergerak makin mendekati ujung tangan Kalatandu. Akhirnya Kalatandu ketakutan sendiri dan melepaskan kedua tangannya sambil melompat menghindar.
Wuuut...! Blaaar...!
Sekali lagi gugusan batu karang menjadi sasaran sinar itu. Dihantam kuat dalam bentuk satu ledakan, dan tahu-tahu gugusan batu karang itu lenyap, tinggal setumpuk pasir putih kecoklatan sebagai tanda batu karang itu lebur menjadi selembut itu. Kalatandu sempat terperangah heran dan tegang.
Tapi pada saat itu, Suto Sinting masih memanfaatkan senjata Kalatandu itu dengan melecutkan cambuk tersebut ke udara tiga kali. Tar, tar, tar...! Dan kilatan cahaya api merah kebiru-biruan melesat menghantam tubuh Kalatandu.
Duaaar...!
Ketiganya menghantam bersama, tubuh Kalatandu terlempar jauh. Ketika ia jatuh ke tanah, ternyata satu kakinya sudah tak ada, satu tangannya jatuh di sebelah sana, dan daun telinganya pun entah jatuh di mana. Kalatandu masih mencoba berdiri untuk lakukan serangan dengan satu tangan. Namun Pendekar Mabuk segera melompat dan lecutkan cambuk ke arah punggung lawan.
Taaar...! Craas...!
Tenaga dalam yang dimiliki Suto membuat ujung cambuk bagaikan pedang tajam. Punggung Kalatandu koyak lebar. Tak diduga ujung cambuk itu mengenai jantung dari belakang, jantung itu pecah dan Kalatandu pun tak mampu berkutik lagi. Ia rebah tanpa nyawa dengan tubuh berlumur darah.
Kejadian itu dilihat jelas dengan mata Raden Udaya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena masih dalam pengaruh totokan Ki Madang Wengi. Sedangkan Ki Madang Wengi segera membawanya ke tempat para tokoh yang berkumpul di Jurang Lindu. Mereka sepakat menyerahkan Raden Udaya kepada sang Adipati untuk dihukum karena kesalahannya mengupah Kalatandu membunuh Ki Empu Sakya.
"Katakan kepada sang Adipati, jika ia tidak bisa menghukum secara adil, kita yang akan mengadili sesuai cara kita sendiri!" kata Jangkar Langit kepada Ki Madang Wengi dan Ki Sonokeling yang ditugaskan membawa Raden Udaya ke kadipaten.
Suto Sinting pun berhasil mengobati luka racun Rindu Malam, yang apabila terlambat sedikit lagi akan menewaskan nyawa gadis cantik itu. Raja Maut tersenyum tipis, wajahnya tampak ceria.
"Sekarang namamu sudah bersih dari para tokoh aliran putih, Suto. Kurasa Madang Wengi mampu membuka mulut Raden Udaya untuk mengakui segala tindakannya bersama Kalatandu, si cucu sesat itu."
Suto Sinting tersenyum lega. Tapi ia segera membawa Rindu Malam melangkah agak jauh dan bertanya kepada si cantik itu, "Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengorbankan nyawa untuk persoalanku ini? Katakan sejujurnya, Rindu Malam."
Gadis itu menatap sebentar, lalu tundukkan kepala sambil berkata, "Aku seorang utusan yang ditugaskan membantu menyelesaikan perjalanmu, setelah itu membawamu ke negeriku."
"Utusan dari mana?"
"Negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam pelan tapi jelas. Sangat mengejutkan Suto. "Ratu Asmaradani mengutusku menjemputmu, Suto!"
"Asmaradani?! Bukankah wanita itu hanya ada dalam mimpiku?! Tapi kenapa ternyata ada dalam kenyataan?!" pikir Suto dengan terheran-heran.
Lalu terbayang dalam ingatan Suto tentang mimpinya, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Asmaradani memberikan setangkai mawar warna pelangi. Mawar itu tanpa duri, dan punya aroma wangi yang amat lembut, membekas di hati. Saat terbayang mawar yang mirip dengan hiasan di ujung gagang pedang Rindu Malam itu, Suto mendengar suara gadis itu berkata,
"Kami punya kesulitan, dan hanya kau yang bisa melepaskan kesulitan itu."
"Kesulitan apa?!"
Rindu Malam belum menjawab, segera muncul gadis yang rambutnya cepak seperti lelaki, tapi mempunyai rantai emas berbatu mirah delima di keningnya. Gadis itu tak lain adalah Kelana Cinta, yang hadir di pertemuan para tokoh tingkat tinggi di Jurang Lindu tadi. Rindu Malam merunduk memberi hormat. Ternyata Kelana Cinta mempunyai jabatan lebih tinggi dari Rindu Malam.
"Persoalannya sudah selesai, Rindu Malam. Pelakunya adalah Raden Udaya dengan menggunakan kesaktian seseorang yang mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
"Ia bernama Kalatandu, Perwira Kelana Cinta," kata Rindu Malam, yang ternyata seorang perwira, jabatan tinggi bagi mata-mata Negeri Ringgit Kencana, yang punya hak mewakili ratunya untuk kepentingan apa pun.
"Baik. Sekarang sudah tiba saatnya menjemput Pendekar Mabuk karena kurasa sang Ratu sudah menunggunya terlalu lama."
"Suto, mari ikut kami ke Negeri Ringgit Kencana," kata Rindu Malam.
"Aku... hmmm... baiklah, aku bersedia. Tapi jelaskan dulu kesulitan apa yang harus kuhadapi untuk menolong kalian?"
"Ratu Asmaradani bisa jelaskan padamu. Jika kau ingin tahu kesulitan itu, cepatlah temui ratu kami!" kata Kelana Cinta dengan sikap sopan dan tampak menghormat kepada Pendekar Mabuk.
Si tampan Suto Sinting itu hanya tertegun bengong dengan dahi berkerut tajam.
Agaknya Rindu Malam terdesak oleh kekuatan Malaikat Beku. Tubuhnya berulang kali terjungkal akibat hentakan gelombang tenaga dalam yang dahsyat dari cambuk si Malaikat Beku. Cambuk itu bukan sembarang cambuk. Kenyal dan alot. Mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga sejak tadi sulit dipotong oleh pedang Rindu Malam.
"Kurasa gadis itu akan terdesak dan celaka jika aku tak segera turun tangan," pikir Raja Maut. "Tapi haruskah aku ikut campur tangan dengan urusan mereka? Ah, kurasa jika hanya menyelamatkan gadis itu, tak seberapa berat ikut campurku terhadap urusan mereka."
Malaikat Beku memutar-mutar cambuknya di udara. Kejap berikut cambuk itu dilecutkan ke tanah berpasir. Taaar...! Ujung cambuk menghantam tanah berpasir. Lalu dari dalam tanah itu menyembur puluhan jarum warna merah yang melesat ke arah Rindu Malam, Zraaaak...! Rindu Malam masih terjatuh dari satu sentakan kuat tadi. Ketika ia bangun separo berdiri, tiba-tiba ia diserang pukulan jarum tersebut.
Zrubb...!
"Ahhg...?!" Rindu Malam terkejut, tak sempat menghindar. Tubuhnya segera mengejang di tempat. Kepalanya terdongak dengan wajah menyeringai menderita. Tubuh gadis itu segera berasap, menyebarkan bau busuk, seperti bau mayat yang sudah terkubur satu minggu lamanya.
"Sudah kuingatkan agar kau lari dariku, Nona. Tapi agaknya kau memang ingin lekas modar! Sekarang terimalah jurus 'Cambuk Pembelah Raga' ini! Heeaaaat"
Cambuk itu melayang di udara. Saat itu seluruh tali cambuk berubah menjadi membara merah dan berasap. Cambuk itu pun dilecutkan ke tubuh Rindu Malam yang mengejang kaku karena jarum beracun tadi.
Taaar...! Glegaaar!
Suara ledakan membahana terdengar menyeramkan. Gelombang air laut naik setinggi atap rumah, bergulung-gulung menuju ke tengah samudera. Mestinya tubuh Rindu Malam akan hancur terpotong-potong menjadi beberapa puluh bagian. Tetapi pada saat cambuk sedang dilecutkan, Raja Maut bergerak lebih dulu dan lebih cepat, ia menyambar tubuh Rindu Malam. Wuuut...! Tahu-tahu sudah ada di balik gugusan batu karang. Jauhnya lebih dari lima belas langkah dari tempat Malaikat Beku berdiri.
Sedangkan Raden Udaya hanya terperangah bengong, masih duduk di atas kudanya di belakang Malaikat Beku, berjarak lewat dari dua puluh langkah. Sejak tadi ia menyaksikan pertarungan hebat itu, dengan senyum kebanggaan, karena Malaikat Beku yang dijagokan ternyata mampu menunjukkan kehebatan ilmu dan jurus-jurusnya. Bukan hanya Raden Udaya yang kecewa melihat Rindu Malam terselamatkan oleh gerakan cepat Raja Maut, tetapi Malaikat Beku pun sangat kecewa dan murkanya kian bertambah.
"Keparat kau, Tua Bangka!" teriaknya penuh luapan amarah. "Kuhancurkan sekalian tubuhmu dengan Cabuk Urat Setan-ku ini! Heaaah...!"
Malaikat Beku berlari mengejar Raja Maut yang menunggu dengan siap. Tetapi gerakan Malaikat Beku itu dipatahkan oleh sebuah serangan yang datang dari arah samping kirinya. Dees...! Sebuah sentilan jari tengah membuat Malaikat Beku terlempar hampir masuk ke perairan laut. Jurus 'Jari Guntur' mengawali kehadiran Suto di pantai itu.
"Bangsat! Siapa yang mau ikut campur lagi, hah?!" teriak Malaikat Beku.
"Aku...!" jawab Suto, lalu muncul dari persembunyiannya. Hal itu membuat Raden Udaya terkejut dan cemas. Tapi membuat Raja Maut tersenyum lega. Sementara Rindu Malam terkapar dengan tubuh membiru dan tak bisa berbuat apa-apa. Raja Maut mencoba menawarkan racun di tubuh Rindu Malam dengan menyalurkan hawa dingin ke tubuh gadis itu.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting melompat dan berdiri tegak tak jauh dari Malaikat Beku. Di ujung sana, Raden Udaya yang menjadi takut menyimpan kecemasannya. Lalu ia putuskan untuk menyingkir sementara dari tempat itu, menunggu hasil akhir pertarungan yang bakal terjadi dengan seru itu. Tetapi ketika Raden Udaya membelokkan arah kudanya, tiba-tiba seseorang telah melemparkan batu kerikil sekecil kacang tanah.
Wuuut...! Teeb...!
Raden Udaya jatuh dari punggung kuda, tapi ia tak bisa bergerak lagi, sekujur tubuhnya menjadi kaku. Rupanya seseorang telah menotok jalan darahnya memakai batu kerikil itu. Kini yang dapat dilakukan oleh Raden Udaya hanya menggerakkan kepala saja, termasuk mulut dan matanya. Tapi bagian tubuh lainnya kejang seperti tubuh patung batu.
"Siapa ini yang menotokku?!" teriaknya dengan berang.
Suara tawa seperti menggumam terdengar. Seorang lelaki bertubuh agak gemuk muncul sambil mengunyah makanan. Ki Madang Wengi itulah orang yang telah menotok jalan darah Raden Udaya untuk menahan agar anak Adipati itu tidak pergi dari tempatnya. Ki Madang Wengi hanya terkekeh-kekeh mendengar sebaris cacian dari Raden Udaya yang minta dibebaskan dari totokannya. Ki Madang Wengi bahkan duduk di atas batu sambil memperhatikan ke arah pertarungan Malaikat Beku dan Suto Sinting.
Sebelum itu, Suto Sinting yang tampak tenang sempat menenggak tuaknya, menelannya beberapa teguk. Membiarkan Malaikat Beku melecutkan cambuknya kearah tubuh Suto. Tubuh Pendekar Mabuk itu melesat lompat ke samping menghindari cambuk tersebut dengan tetap menenggak tuaknya. Setelah selesai menenggak, barulah ia memandang dengan senyum penuh tantangan.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara Raja Maut berseru kepada Pendekar Mabuk, "Habisi saja dia, Suto! Dia adalah Kalatandu, cucu sesat Empu Sakya yang banyak mengetahui rahasia dan kelemahan Empu Sakya!"
Suto manggut-manggut memandangi Malaikat Beku sambil menyunggingkan senyum sinis. Malaikat Beku tempak berang kepada Raja Maut. Tetapi jaraknya yang jauh membuat ia tak berani menyerang, karena takut diserang Suto dari belakang. Hatinya hanya membatin, "Busuklah mulut si tua bangka itu! Dia tahu siapa diriku!"
Sedangkan Suto Sinting segera perdengarkan suaranya yang kelem, "Ooo... jadi kau yang bernama Kalatandu?"
"Ya! Memang aku Kalatandu!" sentak Malaikat Beku.
"Kurasa kau yang membunuh Mbok Wiji!"
"Memang. Perempuan itu kubunuh supaya tidak banyak bicara tentang diriku. Sebab hanya dialah yang mengetahui saat aku membunuh Empu Sakya, kakekku sendiri itu. Tapi dia hanya tahu ciri-ciri yang ada padaku. Sengaja kubawa bumbung tempat tuak seperti bumbungmu itu, supaya orang akan menyangka kaulah pelakunya. Ternyata rencanaku itu berhasil. Tapi aku jadi khawatir kalau Mbok Wiji bicara tentang wajahku dan ciri-ciri lainnya!"
"Dugaan para tokoh pun begitu, Kalatandu."
"Persetan dengan dugaan para tokoh. Sekarang sudah telanjur terbuka. Tapi kau tak bisa menyalahkan aku saja, sebab anak Adipati itulah yang memerintahkan diriku dan mengupahku untuk menjatuhkan namamu! Dengan begitu kau akan dibenci oleh Mega Dewi dan Mega Dewi akan mencintai Udaya! Anak Adipati itulah yang mengatur siasat dengan menggunakan bambu tuak pada saat aku membunuh kakekku yang sedang tidur itu."
"Kenapa kau tega membunuh kakekmu sendiri."
"Karena aku sudah tak sabar lagi menunggu keris pusaka itu belum juga diwariskan padaku. Sayangnya waktu Kakek sudah kubunuh, aku tidak menemukan letak penyimpanan keris itu. Tapi aku cukup puas dapat membunuh Empu Sakya dengan keris peninggalan Ibuku. Kurasa Mbok Wiji juga tahu kalau aku keluar dari belakang rumah Empu Sakya sambil membawa keris, ia pasti akan menceritakan kepada orang-orang tentang keris yang kubawa itu, sehingga orang sangka kaulah pembunuhnya dan berhasil membawa keris pusaka!"
"Terima kasih atas pengakuanmu, Kalatandu," kata Suto kalem sekali.
"Sengaja kubeberkan supaya kau tidak penasaran dalam perjalanan menuju ke alam baka, Suto Sinting! Tentunya kau pun tahu bahwa bocahmu itu perlu kubunuh karena dia mengetahui saat aku membunuh Mbok Wiji. Jika tidak kubunuh dan ia buka rahasia itu, maka orang cerdas akan bisa menyimpulkan siapa pembunuh Empu Sakya sebenarnya. Tapi sayang... bocahmu itu licin seperti belut dan selalu dinaungi dewa keberuntungan, sehingga sampai sekarang masih belum berhasil kulenyapkan!"
"Kau tak akan berhasil membunuhnya semasa Pendekar Mabuk masih hidup."
"Kalau begitu sekaranglah saatnya untuk minggat ke neraka! Heaaat...!"
Taaar...!
Cambuk dilecutkan, ujungnya melepaskan sinar api yang berkerilap menyambar tubuh Suto Sinting. Tapi Pendekar Mabuk berhasil bersalto dua kali ke belakang dengan gerakan cepat. Gerakan itu membuat cambuk Kalatandu mengenai tempat kosong. Kalatandu menjadi sangat penasaran, ia menggeram sambil segera lakukan lompatan menyerang. Cambuknya diputar di atas kepala menimbulkan bunyi dengung yang amat kuat, lalu dilecutkan ke arah Suto kembali.
Taaar...!
Suto Sinting menangkis cambuk itu dengan bambu tuaknya. Cambuk menjadi terjerat bambu tuak. Lalu Suto sentakkan dengan keras, penuh kekuatan tenaga dalam, sehingga tubuh yang melayang itu tersentak maju ke arahnya, kemudian ujung bambu disodokkan ke depan. Wuuuk...! Buuuhg...! Tepat mengenai dada Kalatandu.
"Uhhg...!" tubuh Kalatandu belum sampai menyentuh tanah sudah terlempar lagi ke belakang. Wajahnya menjadi merah dan mulutnya keluarkan darah akibat sodokan bambu tuak yang bernama jurus 'Mabuk Pelebur Gunung'. Tubuh Suto pun melangkah dua tindak dengan menggeloyor seperti orang mau jatuh karena mabuk. Tapi itulah jurus mautnya yang membahayakan lawan.
Kalatandu masih bisa bangkit. Padahal wajahnya sudah biru legam, demikian pula bagian lengannya. Rambutnya rontok dan menjadi beterbangan tertiup angin pantai. Suto menganggap Kalatandu berilmu tinggi, karena biasanya lawan yang terkena jurus 'Mabuk Pelebur Gunung' akan mati beberapa saat setelah rambutnya rontok.
"Rupanya ia punya baja pelapis jiwa di dalam tubuhnya!" pikir Suto, namun ia masih menampakkan ketenangannya.
Kalatandu menepukkan tangannya di atas kepala. Plaaak...! Claaap...! Sinar putih melesat menghantam Suto Sinting. Dengan cepat Suto berguling ke tanah menyambar cambuk yang jatuh, lalu cambuk itu dilecutkan ke arah datangnya sinar tersebut. Taaar...! Kilatan cahaya biru keluar dari ujung cambuk dan menghantam sinar putih.
Blegaaar...!
Ledakan terjadi dengan dahsyat. Gugusan batu karang setinggi rumah menjadi rontok berjatuhan menutup sebagian tepian pantai. Tetapi Kalatandu masih tetap berdiri tegak tanpa bergeser dari tempatnya sedikit pun. Bahkan kedua tangan yang tadi bertepuk satu kali di atas kepala itu ditarik turun sampai ke dada secara pelan-pelan, kemudian disentakkan ke depan dengan kaki merenggang rendah.
Wuuut...! Slaaap...!
Sinar merah meluncur selarik lurus dari ujung dua tangan yang menyatu itu. Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak. Taaas...! Sinar merah itu menjadi besar dan bentuk besarnya bergerak makin mendekati ujung tangan Kalatandu. Akhirnya Kalatandu ketakutan sendiri dan melepaskan kedua tangannya sambil melompat menghindar.
Wuuut...! Blaaar...!
Sekali lagi gugusan batu karang menjadi sasaran sinar itu. Dihantam kuat dalam bentuk satu ledakan, dan tahu-tahu gugusan batu karang itu lenyap, tinggal setumpuk pasir putih kecoklatan sebagai tanda batu karang itu lebur menjadi selembut itu. Kalatandu sempat terperangah heran dan tegang.
Tapi pada saat itu, Suto Sinting masih memanfaatkan senjata Kalatandu itu dengan melecutkan cambuk tersebut ke udara tiga kali. Tar, tar, tar...! Dan kilatan cahaya api merah kebiru-biruan melesat menghantam tubuh Kalatandu.
Duaaar...!
Ketiganya menghantam bersama, tubuh Kalatandu terlempar jauh. Ketika ia jatuh ke tanah, ternyata satu kakinya sudah tak ada, satu tangannya jatuh di sebelah sana, dan daun telinganya pun entah jatuh di mana. Kalatandu masih mencoba berdiri untuk lakukan serangan dengan satu tangan. Namun Pendekar Mabuk segera melompat dan lecutkan cambuk ke arah punggung lawan.
Taaar...! Craas...!
Tenaga dalam yang dimiliki Suto membuat ujung cambuk bagaikan pedang tajam. Punggung Kalatandu koyak lebar. Tak diduga ujung cambuk itu mengenai jantung dari belakang, jantung itu pecah dan Kalatandu pun tak mampu berkutik lagi. Ia rebah tanpa nyawa dengan tubuh berlumur darah.
Kejadian itu dilihat jelas dengan mata Raden Udaya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena masih dalam pengaruh totokan Ki Madang Wengi. Sedangkan Ki Madang Wengi segera membawanya ke tempat para tokoh yang berkumpul di Jurang Lindu. Mereka sepakat menyerahkan Raden Udaya kepada sang Adipati untuk dihukum karena kesalahannya mengupah Kalatandu membunuh Ki Empu Sakya.
"Katakan kepada sang Adipati, jika ia tidak bisa menghukum secara adil, kita yang akan mengadili sesuai cara kita sendiri!" kata Jangkar Langit kepada Ki Madang Wengi dan Ki Sonokeling yang ditugaskan membawa Raden Udaya ke kadipaten.
Suto Sinting pun berhasil mengobati luka racun Rindu Malam, yang apabila terlambat sedikit lagi akan menewaskan nyawa gadis cantik itu. Raja Maut tersenyum tipis, wajahnya tampak ceria.
"Sekarang namamu sudah bersih dari para tokoh aliran putih, Suto. Kurasa Madang Wengi mampu membuka mulut Raden Udaya untuk mengakui segala tindakannya bersama Kalatandu, si cucu sesat itu."
Suto Sinting tersenyum lega. Tapi ia segera membawa Rindu Malam melangkah agak jauh dan bertanya kepada si cantik itu, "Siapa kau sebenarnya, sehingga berani mengorbankan nyawa untuk persoalanku ini? Katakan sejujurnya, Rindu Malam."
Gadis itu menatap sebentar, lalu tundukkan kepala sambil berkata, "Aku seorang utusan yang ditugaskan membantu menyelesaikan perjalanmu, setelah itu membawamu ke negeriku."
"Utusan dari mana?"
"Negeri Ringgit Kencana," jawab Rindu Malam pelan tapi jelas. Sangat mengejutkan Suto. "Ratu Asmaradani mengutusku menjemputmu, Suto!"
"Asmaradani?! Bukankah wanita itu hanya ada dalam mimpiku?! Tapi kenapa ternyata ada dalam kenyataan?!" pikir Suto dengan terheran-heran.
Lalu terbayang dalam ingatan Suto tentang mimpinya, seorang wanita cantik yang mengaku bernama Asmaradani memberikan setangkai mawar warna pelangi. Mawar itu tanpa duri, dan punya aroma wangi yang amat lembut, membekas di hati. Saat terbayang mawar yang mirip dengan hiasan di ujung gagang pedang Rindu Malam itu, Suto mendengar suara gadis itu berkata,
"Kami punya kesulitan, dan hanya kau yang bisa melepaskan kesulitan itu."
"Kesulitan apa?!"
Rindu Malam belum menjawab, segera muncul gadis yang rambutnya cepak seperti lelaki, tapi mempunyai rantai emas berbatu mirah delima di keningnya. Gadis itu tak lain adalah Kelana Cinta, yang hadir di pertemuan para tokoh tingkat tinggi di Jurang Lindu tadi. Rindu Malam merunduk memberi hormat. Ternyata Kelana Cinta mempunyai jabatan lebih tinggi dari Rindu Malam.
"Persoalannya sudah selesai, Rindu Malam. Pelakunya adalah Raden Udaya dengan menggunakan kesaktian seseorang yang mempunyai ilmu 'Perisai Sukma'."
"Ia bernama Kalatandu, Perwira Kelana Cinta," kata Rindu Malam, yang ternyata seorang perwira, jabatan tinggi bagi mata-mata Negeri Ringgit Kencana, yang punya hak mewakili ratunya untuk kepentingan apa pun.
"Baik. Sekarang sudah tiba saatnya menjemput Pendekar Mabuk karena kurasa sang Ratu sudah menunggunya terlalu lama."
"Suto, mari ikut kami ke Negeri Ringgit Kencana," kata Rindu Malam.
"Aku... hmmm... baiklah, aku bersedia. Tapi jelaskan dulu kesulitan apa yang harus kuhadapi untuk menolong kalian?"
"Ratu Asmaradani bisa jelaskan padamu. Jika kau ingin tahu kesulitan itu, cepatlah temui ratu kami!" kata Kelana Cinta dengan sikap sopan dan tampak menghormat kepada Pendekar Mabuk.
Si tampan Suto Sinting itu hanya tertegun bengong dengan dahi berkerut tajam.
SELESAI