Serial Pendekar Mabuk
Manusia Penyebar Kutuk
Karya Suryadi
Manusia Penyebar Kutuk
Karya Suryadi
SATU
ANGIN berhembus dari utara ke selatan. Udara kering terasa membakar kulit manusia, seakan sang matahari ingin mengelupas setiap kulit penghuni bumi. Tanah retak menjadi pertanda bahwa bumi pun sebenarnya mengeluh menerima teriknya sang mentari yang merajai langit raya.Udara panas itu terasa semakin panas ketika angin berhembus dan taburkan pukulan jarak jauh bertenaga inti api. Pukulan jarak jauh dilepaskan dari telapak tangan orang yang berdiri di atas sebuah pohon tak terlalu rindang. Pukulan itulah yang membuat seorang perempuan berjingkat loncat sebelum hawa panas terasa ingin menerkam tubuhnya.
Wuttt...! Blabb...!
Rumput tempat berdirinya orang itu terbakar. Jelas ini perbuatan orang yang kurang perhitungan. Perempuan itu cepat melarikan diri ke balik pohon. Matanya memandang ke arah jalan yang habis dilewatinya. Mata itu mencari sesosok manusia di sana. Tapi tak ditemukannya. Jalan sepi, alam juga sunyi. Tapi perempuan itu yakin, dibalik kesepian dan kesunyian itu pasti ada sepasang mata yang menunggu kesempatan melepas maut untuknya.
Karena itu perempuan tersebut tak mau segera keluar dari pohon, ia justru menggunakan ilmu 'Getar Bayu', yaitu mengirimkan suara aneh yang bisa menyakitkan gendang telinga bagi manusia yang berada dalam jarak dua puluh tombak dari tempatnya.
Perempuan itu pun mencakarkan kukunya pada batang pohon yang digunakan untuk bersembunyi. Batang pohon itu dicakar pelan-pelan sekali gerakannya, hingga timbulkan suara berderit kecil, namun dapat diterima jelas di pendengaran orang lain. Derit kecil itu menyerupai suara pintu yang engselnya berkarat.
Kriiit... kkkriiit... kkkkrrriiiieett...!
Burung-burung beterbangan sambil mencicit ketakutan. Ular-ular mendesis sambil cepat tinggalkan tempat sekitar situ. Dan seorang lelaki yang berada di salah satu pohon, pada bagian dahan yang atas, segera menutup telinganya dengan kedua tangan. Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit pada gendang telinganya. Seolah-olah gendang telinganya bagai ditusuk-tusuk dengan jarum yang terpanggang api. Semakin panjang deritannya semakin kuat rasa sakit yang dirasakannya.
Kriiiieeeet...!
Laki-laki di atas pohon itu hampir saja menjerit untuk mengimbangi rasa sakit itu. Namun karena kedua tangannya dipakai untuk menutup telinga rapat-rapat, akhirnya tubuh pun oleng saat berdiri di atas dahan sebesar pahanya sendiri itu. Tubuh itu kehilangan keseimbangan dan jatuhlah lelaki itu dalam keadaan terjungkal.
Brasss...! Bukk!
Beruntung sekali ia bisa berjungkir balik satu kali pada saat jatuh dan melayang dari atas, sehingga posisi jatuhnya tepat di tanah tak berbatu, serta kedua kakinya yang menyentuh tanah lebih dulu dalam posisi jongkok.
Mendengar suara bergedebuk, perempuan yang mengenakan pakaian hitam berhias benang emas, rambut disanggul, cantik, judes,dan berkesan kejam itu segera palingkan wajahnya ke arah tersebut, ia hentikan mencakar pohon, kini ia hampiri orang yang jatuh itu dengan satu lompatan bertenaga peringan tubuh cukup tinggi.
Wussst! Dalam sekejap, perempuan yang mengenakan kalung berlian, gelang ketat, dan berhias mahkota kecil itu sudah berada di depan orang yang jatuh dari atas pohon. "Siapa kau?!" hardik Ratu Teluh Bumi.
"Namaku Prahasto!" jawab pemuda berambut pendek dan rapi. Ia bersenjatakan keris yang terselip di depan perutnya. Melihat dandanan yang rapi, wajah yang rupawan, dan senjata keris di depan itu, Ratu Teluh Bumi dapat memperkirakan bahwa Prahasto bukan masyarakat desa biasa, bukan tokoh dunia persilatan, melainkan anak muda yang berdarah bangsawan.
Jika Prahasto tokoh di rimba persilatan, setidaknya ia muncul manakala para tokoh memperebutkan pedang pusaka di Kuil Swanalingga, yang membuat Ratu Teluh Bumi terpaksa menyepi untuk beberapa waktu, karena menderita luka-luka dari serangan Pendekar Mabuk. (Baca serial Pendekar Mabuk daiam episode Pedang Guntur Biru)
Dari sekian banyak tokoh yang memperebutkan Pedang Guntur Biru itu, hanya Ratu Teluh Bumi yang mampu selamatkan diri walau harus menerima kekalahan. Dan sekarang ia tampil kembali untuk bikin perhitungan dengan seseorang, namun baru saja ia turun dari lereng tempat peristirahatannya, tahu-tahu ia sudah mendapat serangan dari anak muda yang bernama Prahasto itu.
"Aku tidak kenal siapa kau. Aku baru tahu namamu Prahasto. Bukankah kita tidak punya persoalan apa-apa?"
"Memang! Tapi aku diperintahkan oleh seseorang untuk membunuhmu. Dan aku dapatkan upah cukup besar untuk pekerjaan ini!"
Perempuan yang berusia sekitar lima puluh tahun, tapi masih awet cantik, berkulit kencang, berdada montok, dan berpinggul menggiurkan itu hanya sunggingkan senyum sinis kepada Prahasto. Kejap berikut terdengar ia berkata, "Jadi, kau seorang pembunuh bayaran?"
"Anggap saja begitu!"
"Kau yakin bisa membunuhku?"
"Aku yakin ilmuku lebih tinggi dari ilmumu!" Prahasto tampak sengaja menjatuhkan keberanian Ratu Teluh Bumi.
Tapi perempuan itu hanya sunggingkan senyum sinisnya yang berkesan keji, lalu berkata pelan, "Apakah kau juga mampu mengalahkanku dalam bercinta?"
Mata Prahasto sejak tadi dipandangnya, kali ini berkedip bingung tanpa mengeluarkan jawaban. Mata itu masih terus dipandang oleh Ratu Teluh Bumi dengan sorot pandangan mulai sayu menantang gairah. Prahasto menjadi semakin kelimpungan. Hatinya berdebar-debar, darahnya mendidih dan mengalir deras. Bukan amarah yang mencekam jiwanya, tapi tuntutan gairah yang memaksa jantungnya berdetak-detak. Prahasto sendiri merasa heran, mengapa tiba-tiba ia mempunyai tuntutan gairah dalam keadaan harus membunuh lawannya.
"Apakah kau bisa mengalahkan cumbuanku?"
Prahasto gemetar kedua kakinya. Anak muda itu mulai sulit bernapas karena diburu tuntutan batin yang ingin menggapai kemesraan hangat. Matanya tak bisa dibuang ke arah lain, karena dengan menatap mata lawannya, Prahasto merasa diraba sekujur tubuhnya.
"Lepaskan pakaianmu jika kau mampu mengalahkanku," kata Ratu Teluh Bumi yang membuat Prahasto makin terengah-engah.
Tanpa sadar tangannya telah melepasi pakaiannya sendiri. Prahasto benar-benar tak sadar bahwa ia telah masuk dalam pengaruh kekuatan teluh perempuan itu yang dipancarkan melalui matanya. Jiwanya terbuai. Jiwa yang terbuai itu menjadi mudah dimasuki kekuatan batin. Tiba-tiba tubuh Prahasto tersentak ke depan, dari dalam tenggorokan seperti ada yang menyentak. Tak bisa ditahan lagi, dan ia pun muntah di depan Ratu Teluh Bumi.
"Hoekkk...! Huek!" ia membungkuk-bungkuk, dan matanya sendiri melihat apa yang dimuntahkan saat itu. Cairan putih kental, mirip darah, tapi bukan darah. Tak terlalu banyak, namun cukup bikin sekujur badan lemas, bagai orang habis mencapai puncak cumbuan. Ada rasa nikmat pada diri Prahasto saat memuntahkan cairan tersebut. Ada rasa kelegaan dari suatu tuntutan batinnya tadi. Bahkan sekarang ia muntah lagi dengan bahan muntahan yang sama, dalam jumlah yang cukup banyak, delapan kali lipat dari yang pertama. Dan apa yang dimuntahkan itu sepertinya suatu kekuatan seorang lelaki yang makin banyak dibuang makin berkurang tenaganya.
Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum kemenangan, ia geli sendiri melihat anak muda itu terkulai jatuh tak lagi mampu berdiri. Napasnya terengah-engah seperti orang habis berlari mengelilingi tanah Jawa. Wajahnya pucat pasi. Kedua kakinya gemetaran. Rasa nikmat memang ada di dalam hati Prahasto, tapi rasa letih menghujam di sekujur tubuh, membuat persendiannya menjadi ngilu.
"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Prahasto...!"
"Aku... aku lupa..." jawab Prahasto sambil ngos-ngosan. Sepertinya menggerakkan bibir saja tak bisa, apalagi menggerakkan tangan untuk melepaskan pukulan.
"Hooekk...!"Prahasto kembali muntah. Lebih banyak lagi jumlah cairan yang dimuntahkan. Napasnya bagai tinggal sekuku hitam. Tubuhnya makin lemas bagai tanpa urat dan tulang lagi. Rasa nikmat tetap hadir, seperti halnya jika ia melakukan percumbuan dengan mesra. Ia tak tahu, bahwa dengan cara begitulah Ratu Teluh Bumi melumpuhkan dirinya dan menyerang habis kekuatannya.
"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Prahasto.!"
Pernyataan ulang itu membuat Prahasto mulai sadar, bahwa ia sedang dipaksa mengatakan hal yang sebenarnya. Jika ia tidak mau katakan yang sebenarnya, maka ia akan dipaksa memuntahkan sesuatu yang membuatnya semakin tak berdaya lagi itu. Prahasto berpikir sejenak, setelah itu baru menjawab dengan suara yang sangat pelan, hampir tak mudah ditangkap oleh pendengaran, "Dayang... Kesumat!"
Ratu Teluh Bumi terkesiap. "Dayang Kesumat?! Benarkah Dayang Kesumat yang menyuruhmu membunuhku?!"
"Be... benar!"
"Apa alasannya ingin membunuhku? Dayang Kesumat tak pernah berselisih denganku, dan aku sendiri tak pernah berbuat salah kepada Dayang Kesumat!"
"Entah... yang jelas aku harus temui dia pada malam purnama nanti...!"
"Di mana kau mau temui dia? Biar aku sendiri yang hadapi dia! Katakan di mana, atau kau muntah kenikmatan lagi?"
"Di... di Di Bukit Gelagah!"
"Bukit Gelagah?! Pada malam purnama...?! Hmm..! Kurasa tak perlu aku membunuhmu, Cah Bagus! Yang perlu kubunuh adalah Dayang Kesumat sebagai manusia lancang yang mau bikin persoalan denganku! Dia tak tahu, Ratu Teluh Bumi yang sekarang bukan lagi Ratu Teluh Bumi yang dulu!"
"Tapi... tapi"
Wesss...! Ratu Teluh Bumi melesat pergi dengan sangat cepat, ia tak pedulikan lagi keadaan Prahasto yang terkulai lemas, gemetar seluruh tubuhnya bagai ingin menemukana jalnya.
Akibatnya Prahasto hanya bisa telentang di tempat itu tanpa bergerak-gerak, ia tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Sumsum dan darahnya bagaikan terkuras habis. Seolah-olah tak tersisa sedikit pun di dalam tubuhnya. Matanya pun tak bisa dipakai memandang dengan jelas. Buram dan berkunang-kunang. Sampai matahari bergerak memburu sore, Prahasto masih tetap tak bisa melakukan apa-apa.
Dan seseorang yang menunggu serta memperhatikan dari kejauhan sejak pertarungannya dengan Ratu Teluh Bumi, akhirnya tampakkan diri kepada Prahasto. Mestinya orang itu tak boleh menampakkan diri, tapi karena cemas akan keselamatan jiwa Prahasto, maka ia pun segera menghampiri tubuh yang terkapar tanpa daya itu.
Prahasto samar-samar melihat bayangan orang mendekat, ia merasa sedikit lega. Tapi ketika ia mempertegas pandangan matanya untuk melihat orang itu dengan lebih jelas lagi, ia menjadi kaget setengah mati. Hanya saja ia tak bisa tersentak seperti layaknya orang kaget. Hanya hatinya yang memekik begitu melihat orang yang menghampirinya. Orang itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Orang itu cukup dikenal oleh Prahasto. Dia adalah Rakawuni, seorang anggota prajurit sandi dari kerajaan. Orang itu tingkatannya lebih tinggi dari Prahasto. Dalam jajaran keprajuritan di Istana Jenggala, Prahasto masih tamtama sedangkan Rakawuni sudah termasuk perwira unggul, dan masuk dalam jajaran prajurit sandi praja, artinya prajurit khusus untuk menangani masalah-masalah berbahaya dalam keistanaan. Tidak setiap prajurit bisa menjadi prajurit sandi praja. Mereka adalah orang-orang pilihan yang punya ilmu tinggi, punya kepandaian menyamar, punya kepandaian mencuri, dan punya kepandaian menggunakan semua jenis senjata.
"Rakawuni...," ucap Prahasto, pelan sekali sehingga Rakawuni sempatkan diri untuk merendahkan badan.
"Aku dengar ucapanmu, Prahasto!"
"Aku... tak sadar telah diserangnya."
"Ya. Aku tak bisa membantumu tadi, karena aku tak boleh kelihatan. Ratu Teluh Bumi kenal betul denganku!"
"Dia... sungguh tinggi ilmunya. Bukan tandinganku!"
"Kau harus gunakan otakmu, bukan kekuatanmu, Prahasto."
"Ya. Aku... aku sudah gunakan otakku. Karenanya aku katakan hal yang tidak sebenarnya."
"Bagus. Apa yang kau katakan kepadanya?"
"Aku disuruh membunuh dia. Orang yang menyuruhku adalah Dayang Kesumat! Akan kuadu dia dengan Dayang Kesumat, karena Dayang Kesumat lebih tinggi ilmunya dari Ratu Teluh Bumi."
"Mengapa kau mengadunya dengan Dayang Kesumat?"
"Karena Dayang Kesumat pernah menolak cintaku!"
* * *
Lelaki bertubuh agak gemuk dan berwajah bundar itu mempercepat larinya. Gerakan kaki nyaris tak bisa dilihat lagi mana yang kanan dan mana yang kiri. Lelaki sedikit pendek berpakaian abu-abu dengan potongan rambut pendek bundar seperti topi tapi cukup tebal itu dikenal dengan nama Wilduto.
Melarikan diri merupakan pekerjaannya setiap hari. Dia adalah satu-satunya anggota Pencuri Terhormat dari Gua Maksiat yang punya kecepatan lari paling jago. Tapi agaknya kali ini Wilduto yang berwajah bulat dengan mata bundar jelek itu mengalami keanehan dalam larinya. Kaki sudah diayun dengan cepat dan sangat cepat. Arah yang dituju adalah gugusan tanah tinggi yang mempunyai tiga pohon kelapa berjajar itu.
Di sana, ia bisa menghilang dari kejaran lawan, karena di sana ada lorong kecil, mirip lorong ular yang bisa dipakai untuk masuk tubuhnya. Lorong itu yang akan membawanya ke Gua Maksiat, tempat teman-temannya yang pekerjaannya sebagai pencuri membagi hasil, berjudi, atau membawa perempuan impiannya.
Tetapi secepat baling-baling kaki itu bergerak, gugusan tanah tinggi bertanda tiga batang pohon kelapa berjajar itu terasa masih jauh. Wilduto mempercepat lagi larinya, kerahkan semua tenaga, bahkan keringatnya sampai bercucuran. Tapi anehnya pohon kelapa berjajar tiga itu belum juga dicapainya.
Wilduto menoleh ke belakang, ia terkejut. Memandang ke samping. Juga terkejut. Memandang ke bawah, semakin terkejut. Karena tanah yang dipijaknya berongga, melesak ke dalam, rumput yang dipijak menjadi rusak. Pohon di sampingnya tidak bergerak. Padahal dia sudah lari sekuat tenaga sejak tadi maka Wilduto segera sadar bahwa ada kekuatan gaib yang menahannya dari belakang.
Dan ketika ia memandang ke arah belakang lagi, tiba-tiba matanya menangkap seraut wajah cantik yang amat mengejutkan hati. Tersentak Wilduto seketika itu dan mundur tiga tindak dari tempatnya. "Celaka...!" gumamnya sangat lirih sekali.
Perempuan cantik yang masih tampak muda itu bertubuh ramping. Pakaian penutup dadanya berwarna hijau dengan hiasan benang emas. Celananya yang ketat itu juga berwarna hijau, ia mengenakan baju jubah tak dikancingkan, berwarna biru muda samar-samar, sehingga masih tetap membayang wujud bentuk tubuhnya yang menggiurkan itu.
Rambutnya diurai, pakai mahkota emas kecil, ia juga mengenakan kalung lempengan emas bermata intan susun dua. Ia mengenakan gelang kroncong, kiri lima, dan kanan lima. Gemerincing suara gelang terdengar jika tangannya digerakkan. Di pundaknya tersumbul gagang pedang berbenang koncer merah. Pedang yang disematkan di punggungnya itu adalah pedang bersarung merah tembaga berukir.
Wilduto merasa takut berhadapan dengan perempuan cantik berhidung mancung dan berbibir bagus itu. Bukan karena Wilduto tidak pernah bertemu dengan perempuan secantik itu, tapi memang Wilduto berusaha untuk jangan sampai bertemu dengan perempuan tersebut. Sebab ia tahu, perempuan itu adalah Dayang Kesumat, penguasa dari Pulau Hantu yang terkenal cukup sakti. (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode Cermin Pemburu Nyawa).
"Mau lali ke mana kau, Tikus Busuk!" seru Dayang Kesumat dengan suara cadelnya yang tidak bisa sebutkan huruf 'R', ia berdiri dalam jarak tujuh langkah dari tempat Wilduto.
"Mengapa kau masih mengejarku terus, Dayang Kesumat?! Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak punya salah apa-apa padamu?!"
"Kalau tak punya salah, kau tak akan lali, Wilduto!" Dayang Kesumat maju tiga tindak.
Wilduto mundur dua langkah, ia berusaha menghindari pandangan mata Dayang Kesumat yang tajam itu.
"Kembalikan gelangku, atau kau kubunuh sekalang juga, Wilduto!"
"Sungguh aku tidak mengerti apa maksudmu, Dayang Kesumat!"
Dayang Kesumat segera menggenggam jari kelingkingnya. Wilduto segera tersentak dengan leher memanjang, ia mendelik dan tak bisa bernapas. Lehernya bagaikan ada yang mencekik dengan keras. Wajah Wilduto menjadi merah dan badannya bergerak- gerak, seakan kedua tangannya ingin menarik sesuatu yang mencekik leher, tapi tak ada tangan yang harus disingkirkan atau ditarik. Ketika kelingking yang digenggam Dayang Kesumat dilepaskan, maka Wilduto kembali bisa bernapas walau diawali dengan terbatuk-batuk. Napasnya terengah-engah dan lehernya terasa panas.
"Kau benal-benal maling bodoh, Wilduto! Kalau kau mau menculi, jangan menculi balang-balangku! Itu sama saja kau jual nyawamu dan kau tukal dengan balang-balangku!"
"Ak... aku tidak mencuri! Uhuk uhuk uhukk...! Aku tidak ambil apa-apa darimu, Dayang Kesumat!"
"Lantas untuk apa kau menyusup masuk ke pesangglahanku?"
"Aku tersesat!"
"Jika kau telsesat, mengapa kau lali begitu melihatku?"
"Aku... hmm... aku takut kalau...! Heggh...!" Wilduto mengejang. Matanya mendelik dengan badan setengah bungkuk ke depan. Kedua tangannya mendekap 'jimat lelaki' yang dirasakan telah diremas oleh sebuah tangan.
Pada saat itu, Dayang Kesumat menggenggam jari telunjuknya sendiri. Yang digenggam jari telunjuknya, tapi yang merasakan sakit adalah bagian bawah Wilduto. Itulah jurus yang sering ditakuti lawan. Jurus 'Jemari Mayat' merupakan jurus yang langka dimiliki orang. Jurus itu bisa membunuh orang dengan mudah, dengan hanya menggenggam salah satu bagian jari. Jika bagian jari kelingking yang digenggam, maka lawan akan merasakan tercekik. Jika bagian telunjuk yang diremas, maka lawan akan merasa diremas kuat bagian 'jimat'-nya itu. Begitu pula dengan jari-jari yang lainnya, punya sasaran tersendiri untuk setiap jarinya.
"Lekas selahkan Gelang Mata Setan-ku!" sentak Dayang Kesumat.
"Gelang itu... gelang itu... jatuh ke laut, waktu kau menyerangku di perahu!"
"Apaaa...?!" seru Dayang Kesumat sambil melangkah maju siap melepaskan murkanya.
"Coba sebutkan sekali lagi!" sentaknya.
Makin takut Wilduto hadapi wajah garang perempuan cantik itu. Tapi ia tetap sebutkan dengan suara bergetar, "Gelang itu... jatuh ketika kau menyerangku di kapal. Jatuh ke laut dan..."
"Jahanam kau!"
Behggg ! Dayang Kesumat lepaskan tendangan kuat ke arah dada Wilduto. Seketika itu Wilduto terlempar jauh, bagaikan daun kering terlempar begitu saja. Wilduto tak sempat mengaduh atau memekik, karena napasnya bagai terhenti sekian kejap.
Dayang Kesumat masih belum puas, maka dengan satu sentakan tangan kirinya, melesatlah sinar merah berbentuk bintang. Zlapp! Sinar merah itu seharusnya menghantam pinggang Wilduto, dan Wilduto akan pecah berkeping-keping. Tetapi sebelum sinar merah itu menghantam sasaran, terlebih dulu sekelebat sinar hijau melesat dan tepat membentur sinar merah.
Blarrr!
Meledaklah benturan dua sinar itu. Gelombang ledakannya membuat Wilduto terlonjak terbang ke atas dan jatuh bagaikan nangka busuk. Blukkk! Sedangkan Dayang Kesumat tidak bergeming sedikit pun diterpa gelombang ledakan yang membawa angin besar menyebar itu.
Dayang Kesumat tak menghiraukan lagi keadaan Wilduto yang kini bisa mengerang kesakitan. Mata Dayang Kesumat memandang nanar ke sekelilingnya, ia mencari si pemilik sinar hijau tadi. Kemarahan semakin tampak nyata di permukaan wajah cantiknya yang bermata jeli indah itu. Tiba-tiba ia rasakan ada hembusan hawa panas yang akan menyerangnya dari belakang. Dengan cepat Dayang Kesumat berbalik arah dan lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar itu.
Wussst...!
Blamm...! Terjadi letupan kecil yang memercikkan sinar putih keperakan. Itu pertanda pukulan hawa panas yang akan menyerangnya berhasil dipatahkan di pertengahan jalan. Kemudian, dengan geramnya Dayang Kesumat menghantam bagian atas sebuah pohon yang berdaun rindang.
Zlappp...! Sinar merah melesat dan menuju ke pohon berdaun rindang itu. Dengan cepat, melompatlah sesosok bayangan berwarna kuning. Wuttt..! Dan dalam kejap berikutnya, sosok yang melompat itu telah berada dibawah pohon, lalu kembali melesat ke samping. Pada saat itu, sinar merah menghantam dahan pohon dengan timbulkan suara ledakan yang cukup kencang.
Duerrr...! Prasss...!
Semua daun di pohon itu menyebar entah ke mana, menjadi serpihan-serpihan kecil. Batang dan dahannya pun pecah menyebar ke mana-mana. Orang yang baru turun dari pohon itu terpaksa lompat kembali untuk menghindari hujan serpihan kayu dari atasnya.
Wuttt...! Wilduto menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dayang Kesumat melihatnya, lalu segera berlari mengejar. Tapi tiba-tiba ia tersentak dan hampir saja tersungkur kalau tidak segera berjungkir balik dengan lincah ke arah depan. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan dari lawan barunya dan mengenai punggungnya.
"Bangsat!" geram Dayang Kesumat dengan mata mulai memandang garang kepada lawan barunya yang tak lain adalah Prahasto. Segera Dayang Kesumat mengirimkan pukulan jarak jauh lagi, wusss...!
Prahasto menghindarinya dengan melompat tinggi dan bersalto satu kali di udara. Kemudian kakinya berhasil mendarat dengan tegap dan sigap. Matanya memandang penuh waspada dalam keadaan badan setengah miring ke kanan.
"Plahasto! Mengapa kau menyelangku? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?!"
"Ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa bersikap begini padamu, Dayang Kesumat!"
Hati Dayang Kesumat menjadi benci melihat sikap Prahasto yang menyerang dengan sungguh-sungguh tadi. Karena itu, Dayang Kesumat pun merencanakan untuk tidak segan-segan membunuh Prahasto, walau sebenarnya ia sangat sayang, karena sewaktu-waktu ia bisa menggunakan tenaga Prahasto untuk keperluan batiniahnya.
Selagi Dayang Kesumat merenungkan diri, tiba-tiba Prahasto melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui genggaman tangannya yang menghantam ke depan. Kepalan tangan itu keluarkan cahaya kuning yang nyaris tak terlihat jika dalam keadaan siang hari.
Wussst...!
Cepat-cepat telapak tangan Dayang Kesumat dihadangkan ke dada. Dan sinar kuning itu menghantam telapak tangan tersebut. Debb...! Wuttt...! Dayang Kesumat terlempar ke belakang, ia tak sangka kekuatan pukulan bercahaya kuning itu sangat besar. Tubuhnya sempat terbanting ke belakang dan membentur sebatang pohon. Bruss...!
"Dia benal-benal ingin membunuhku!" pikir Dayang Kesumat. "Apa penyebab sebenarnya?" Dayang Kesumat segera bangkit, telapak tangannya terasa ngilu, tapi tidak ia perhatikan. Dengan cepat tangan kanan itu meremas jari kelingkingnya. Sett...!
"Keehkkr...!" Prahasto mendelik seketika dengan tubuh kejang, ia memegangi lehernya sendiri, mencari tangan yang mencekik keras-keras itu. Tapi ia tak mendapatkan tangan orang lain kecuali tangannya sendiri. Prahasto kelabakan, sukar bernapas hingga mulutnya ternganga, menjulurkan lidah dan kepalanya tersentak-sentak.
"Mengapa kau mau membunuh aku, hah?! Sebutkan, mengapa kau mau membunuh aku?! Apa alasanmu, hah?!" Dayang Kesumat melepaskan jurus 'Jemari Mayat'- nya.
Prahasto terbatuk-batuk dalam keadaan seperti Wilduto tadi. Dayang Kesumat berkata, "Kalau kau tak mau jawab, aku akan lakukan lagi!"
Prahasto berusaha menjawab dengan napas masih terengah-engah, "Karena... karena... aku disuruh oleh seseorang! Ada yang mengupahku untuk membunuhmu!"
"Siapa...?"
"Aku... aku tak tahu!"
"Siapa?!" bentak Dayang Kesumat sambil ia meremas jari tengah.
Sekarang yang dirasakan Prahasto adalah perut. Perut itu terasa diremas isinya dan dipulir kuat-kuat. Prahasto kembali tidak bisa bernapas. Megap-megap dan mendelik sambil tubuhnya gemetaran. Bahkan tubuh itu terangkat sedikit, kakinya menggantung, tidak menyentuh tanah. Kejap berikut, ia dilepaskan dalam satu sentakan yang membuatnya jatuh.
"Jawab kataku, siapa yang suluh kamu bunuh aku?! Kalau tidak, kucekik kau dali sini sampai mati!"
"Ak... aku mau kasih tahu orangnya, tapi... tapi kau harus berjanji untuk tidak bunuh aku!"
"Baik. Kau bisa kuampuni jika kau kasih jawaban yang benal!"
Prahasto benar-benar merasakan sakit. Bukan berpura-pura. Padahal kalau dia maju untuk serang Dayang Kesumat, bisa saja ia lakukan. Tapi jelas dia akan dibunuhnya. Kalau toh dia lari, dia juga akan dikejar dan dibunuhnya. Maka, segeralah Prahasto memainkan rencananya,
"Aku disuruh oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Teluh Bumi! Dia yang menghendaki kematianmu!"
"Latu Teluh Bumi...?!" geram Dayang Kesumat dengan bahasa cadelnya. "Diam-diam olang itu jahanam juga! Dia pelalian dali Jenggala! Dia satu-satunya olang Jenggala pada masa pemelintahan laja sebelumnya yang masih hidup! Dulu dia lali dali Jenggala, dan kutampung di Pulau Hantu. Tapi sekalang dia belbalik mau membunuhku! Pasti dia mau kuasai Pulau Hantu untuk menyusun kekuatan balu, buat menyelang Jenggala!"
"Soal itu, aku benar-benar tidak tahu! Dia tidak pernah sebutkan alasannya memberi perintah begitu padaku. Dia hanya menyebutkan sejumlah uang yang cukup menggiurkan bagiku! Sebagai pengelana, aku selalu butuh uang dan segala pekerjaan pun kuhalalkan! Yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk menyambung hidupku!"
"Sehalusnya kau kubunuh, Plahasto... kalena kuanggap kau telah menodai pelsahabatan kita!"
"Tapi kau janji tidak akan membunuhku tadi!"
"Ya, aku memang janji! Tapi janjiku kucabut, kecuali kau mau kasih tahu padaku, di mana aku bisa temui Latu Teluh Bumi itu?!"
"Aku tidak bisa sebutkan sekarang. Entah dia ada dimana. Tapi aku bisa bertemu dengannya pada malam purnama nanti. Aku harus temui dia di Bukit Gelagah untuk melaporkan hasil kerjaku ini!"
"Bukit Gelagah?!" gumam Dayang Kesumat. "Dua hali lagi adalah malam pulnama. Belalti aku halus bikin pelhitungan dengannya dua hali lagi di Bukit Gelagah."
"Tapi aku tak berani ikut mendampingimu! Aku takut dia mengetahui bahwa aku memihakmu!"
"Aku akan datang sendili! Tapi kalau di sana tak ada dia, kau kucali untuk kubunuh!" Dayang Kesumat bicara dengan mata memancarkan dendam untuk membunuh. Agaknya dia benar-benar merasa benci pada Prahasto jika pada malam purnama nanti tak ada Ratu Teluh Bumi di Bukit Gelagah.
Prahasto pun cemas, takut kalau-kalau Ratu Teluh Bumi tidak hadir di bukit itu pada malam purnama nanti, pastilah dirinya akan jadi bahan buruan bagi Dayang Kesumat. Dan Prahasto tidak sanggup menghadapi ilmu Dayang Kesumat, termasuk ilmu yang baru saja dipakai menyerangnya, jurus 'Jemari Mayat'. Prahasto tak pernah tahu bahwa Dayang Kesumat punya jurus seperti itu. Sama halnya Dayang Kesumat tak pernah tahu kalau Prahasto adalah prajurit sandi dari Jenggala. Ia mengenal Prahasto sebagai pengelana yang hidupnya dari upah demi upah.
Melarikan diri merupakan pekerjaannya setiap hari. Dia adalah satu-satunya anggota Pencuri Terhormat dari Gua Maksiat yang punya kecepatan lari paling jago. Tapi agaknya kali ini Wilduto yang berwajah bulat dengan mata bundar jelek itu mengalami keanehan dalam larinya. Kaki sudah diayun dengan cepat dan sangat cepat. Arah yang dituju adalah gugusan tanah tinggi yang mempunyai tiga pohon kelapa berjajar itu.
Di sana, ia bisa menghilang dari kejaran lawan, karena di sana ada lorong kecil, mirip lorong ular yang bisa dipakai untuk masuk tubuhnya. Lorong itu yang akan membawanya ke Gua Maksiat, tempat teman-temannya yang pekerjaannya sebagai pencuri membagi hasil, berjudi, atau membawa perempuan impiannya.
Tetapi secepat baling-baling kaki itu bergerak, gugusan tanah tinggi bertanda tiga batang pohon kelapa berjajar itu terasa masih jauh. Wilduto mempercepat lagi larinya, kerahkan semua tenaga, bahkan keringatnya sampai bercucuran. Tapi anehnya pohon kelapa berjajar tiga itu belum juga dicapainya.
Wilduto menoleh ke belakang, ia terkejut. Memandang ke samping. Juga terkejut. Memandang ke bawah, semakin terkejut. Karena tanah yang dipijaknya berongga, melesak ke dalam, rumput yang dipijak menjadi rusak. Pohon di sampingnya tidak bergerak. Padahal dia sudah lari sekuat tenaga sejak tadi maka Wilduto segera sadar bahwa ada kekuatan gaib yang menahannya dari belakang.
Dan ketika ia memandang ke arah belakang lagi, tiba-tiba matanya menangkap seraut wajah cantik yang amat mengejutkan hati. Tersentak Wilduto seketika itu dan mundur tiga tindak dari tempatnya. "Celaka...!" gumamnya sangat lirih sekali.
Perempuan cantik yang masih tampak muda itu bertubuh ramping. Pakaian penutup dadanya berwarna hijau dengan hiasan benang emas. Celananya yang ketat itu juga berwarna hijau, ia mengenakan baju jubah tak dikancingkan, berwarna biru muda samar-samar, sehingga masih tetap membayang wujud bentuk tubuhnya yang menggiurkan itu.
Rambutnya diurai, pakai mahkota emas kecil, ia juga mengenakan kalung lempengan emas bermata intan susun dua. Ia mengenakan gelang kroncong, kiri lima, dan kanan lima. Gemerincing suara gelang terdengar jika tangannya digerakkan. Di pundaknya tersumbul gagang pedang berbenang koncer merah. Pedang yang disematkan di punggungnya itu adalah pedang bersarung merah tembaga berukir.
Wilduto merasa takut berhadapan dengan perempuan cantik berhidung mancung dan berbibir bagus itu. Bukan karena Wilduto tidak pernah bertemu dengan perempuan secantik itu, tapi memang Wilduto berusaha untuk jangan sampai bertemu dengan perempuan tersebut. Sebab ia tahu, perempuan itu adalah Dayang Kesumat, penguasa dari Pulau Hantu yang terkenal cukup sakti. (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode Cermin Pemburu Nyawa).
"Mau lali ke mana kau, Tikus Busuk!" seru Dayang Kesumat dengan suara cadelnya yang tidak bisa sebutkan huruf 'R', ia berdiri dalam jarak tujuh langkah dari tempat Wilduto.
"Mengapa kau masih mengejarku terus, Dayang Kesumat?! Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak punya salah apa-apa padamu?!"
"Kalau tak punya salah, kau tak akan lali, Wilduto!" Dayang Kesumat maju tiga tindak.
Wilduto mundur dua langkah, ia berusaha menghindari pandangan mata Dayang Kesumat yang tajam itu.
"Kembalikan gelangku, atau kau kubunuh sekalang juga, Wilduto!"
"Sungguh aku tidak mengerti apa maksudmu, Dayang Kesumat!"
Dayang Kesumat segera menggenggam jari kelingkingnya. Wilduto segera tersentak dengan leher memanjang, ia mendelik dan tak bisa bernapas. Lehernya bagaikan ada yang mencekik dengan keras. Wajah Wilduto menjadi merah dan badannya bergerak- gerak, seakan kedua tangannya ingin menarik sesuatu yang mencekik leher, tapi tak ada tangan yang harus disingkirkan atau ditarik. Ketika kelingking yang digenggam Dayang Kesumat dilepaskan, maka Wilduto kembali bisa bernapas walau diawali dengan terbatuk-batuk. Napasnya terengah-engah dan lehernya terasa panas.
"Kau benal-benal maling bodoh, Wilduto! Kalau kau mau menculi, jangan menculi balang-balangku! Itu sama saja kau jual nyawamu dan kau tukal dengan balang-balangku!"
"Ak... aku tidak mencuri! Uhuk uhuk uhukk...! Aku tidak ambil apa-apa darimu, Dayang Kesumat!"
"Lantas untuk apa kau menyusup masuk ke pesangglahanku?"
"Aku tersesat!"
"Jika kau telsesat, mengapa kau lali begitu melihatku?"
"Aku... hmm... aku takut kalau...! Heggh...!" Wilduto mengejang. Matanya mendelik dengan badan setengah bungkuk ke depan. Kedua tangannya mendekap 'jimat lelaki' yang dirasakan telah diremas oleh sebuah tangan.
Pada saat itu, Dayang Kesumat menggenggam jari telunjuknya sendiri. Yang digenggam jari telunjuknya, tapi yang merasakan sakit adalah bagian bawah Wilduto. Itulah jurus yang sering ditakuti lawan. Jurus 'Jemari Mayat' merupakan jurus yang langka dimiliki orang. Jurus itu bisa membunuh orang dengan mudah, dengan hanya menggenggam salah satu bagian jari. Jika bagian jari kelingking yang digenggam, maka lawan akan merasakan tercekik. Jika bagian telunjuk yang diremas, maka lawan akan merasa diremas kuat bagian 'jimat'-nya itu. Begitu pula dengan jari-jari yang lainnya, punya sasaran tersendiri untuk setiap jarinya.
"Lekas selahkan Gelang Mata Setan-ku!" sentak Dayang Kesumat.
"Gelang itu... gelang itu... jatuh ke laut, waktu kau menyerangku di perahu!"
"Apaaa...?!" seru Dayang Kesumat sambil melangkah maju siap melepaskan murkanya.
"Coba sebutkan sekali lagi!" sentaknya.
Makin takut Wilduto hadapi wajah garang perempuan cantik itu. Tapi ia tetap sebutkan dengan suara bergetar, "Gelang itu... jatuh ketika kau menyerangku di kapal. Jatuh ke laut dan..."
"Jahanam kau!"
Behggg ! Dayang Kesumat lepaskan tendangan kuat ke arah dada Wilduto. Seketika itu Wilduto terlempar jauh, bagaikan daun kering terlempar begitu saja. Wilduto tak sempat mengaduh atau memekik, karena napasnya bagai terhenti sekian kejap.
Dayang Kesumat masih belum puas, maka dengan satu sentakan tangan kirinya, melesatlah sinar merah berbentuk bintang. Zlapp! Sinar merah itu seharusnya menghantam pinggang Wilduto, dan Wilduto akan pecah berkeping-keping. Tetapi sebelum sinar merah itu menghantam sasaran, terlebih dulu sekelebat sinar hijau melesat dan tepat membentur sinar merah.
Blarrr!
Meledaklah benturan dua sinar itu. Gelombang ledakannya membuat Wilduto terlonjak terbang ke atas dan jatuh bagaikan nangka busuk. Blukkk! Sedangkan Dayang Kesumat tidak bergeming sedikit pun diterpa gelombang ledakan yang membawa angin besar menyebar itu.
Dayang Kesumat tak menghiraukan lagi keadaan Wilduto yang kini bisa mengerang kesakitan. Mata Dayang Kesumat memandang nanar ke sekelilingnya, ia mencari si pemilik sinar hijau tadi. Kemarahan semakin tampak nyata di permukaan wajah cantiknya yang bermata jeli indah itu. Tiba-tiba ia rasakan ada hembusan hawa panas yang akan menyerangnya dari belakang. Dengan cepat Dayang Kesumat berbalik arah dan lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar itu.
Wussst...!
Blamm...! Terjadi letupan kecil yang memercikkan sinar putih keperakan. Itu pertanda pukulan hawa panas yang akan menyerangnya berhasil dipatahkan di pertengahan jalan. Kemudian, dengan geramnya Dayang Kesumat menghantam bagian atas sebuah pohon yang berdaun rindang.
Zlappp...! Sinar merah melesat dan menuju ke pohon berdaun rindang itu. Dengan cepat, melompatlah sesosok bayangan berwarna kuning. Wuttt..! Dan dalam kejap berikutnya, sosok yang melompat itu telah berada dibawah pohon, lalu kembali melesat ke samping. Pada saat itu, sinar merah menghantam dahan pohon dengan timbulkan suara ledakan yang cukup kencang.
Duerrr...! Prasss...!
Semua daun di pohon itu menyebar entah ke mana, menjadi serpihan-serpihan kecil. Batang dan dahannya pun pecah menyebar ke mana-mana. Orang yang baru turun dari pohon itu terpaksa lompat kembali untuk menghindari hujan serpihan kayu dari atasnya.
Wuttt...! Wilduto menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dayang Kesumat melihatnya, lalu segera berlari mengejar. Tapi tiba-tiba ia tersentak dan hampir saja tersungkur kalau tidak segera berjungkir balik dengan lincah ke arah depan. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan dari lawan barunya dan mengenai punggungnya.
"Bangsat!" geram Dayang Kesumat dengan mata mulai memandang garang kepada lawan barunya yang tak lain adalah Prahasto. Segera Dayang Kesumat mengirimkan pukulan jarak jauh lagi, wusss...!
Prahasto menghindarinya dengan melompat tinggi dan bersalto satu kali di udara. Kemudian kakinya berhasil mendarat dengan tegap dan sigap. Matanya memandang penuh waspada dalam keadaan badan setengah miring ke kanan.
"Plahasto! Mengapa kau menyelangku? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?!"
"Ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa bersikap begini padamu, Dayang Kesumat!"
Hati Dayang Kesumat menjadi benci melihat sikap Prahasto yang menyerang dengan sungguh-sungguh tadi. Karena itu, Dayang Kesumat pun merencanakan untuk tidak segan-segan membunuh Prahasto, walau sebenarnya ia sangat sayang, karena sewaktu-waktu ia bisa menggunakan tenaga Prahasto untuk keperluan batiniahnya.
Selagi Dayang Kesumat merenungkan diri, tiba-tiba Prahasto melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui genggaman tangannya yang menghantam ke depan. Kepalan tangan itu keluarkan cahaya kuning yang nyaris tak terlihat jika dalam keadaan siang hari.
Wussst...!
Cepat-cepat telapak tangan Dayang Kesumat dihadangkan ke dada. Dan sinar kuning itu menghantam telapak tangan tersebut. Debb...! Wuttt...! Dayang Kesumat terlempar ke belakang, ia tak sangka kekuatan pukulan bercahaya kuning itu sangat besar. Tubuhnya sempat terbanting ke belakang dan membentur sebatang pohon. Bruss...!
"Dia benal-benal ingin membunuhku!" pikir Dayang Kesumat. "Apa penyebab sebenarnya?" Dayang Kesumat segera bangkit, telapak tangannya terasa ngilu, tapi tidak ia perhatikan. Dengan cepat tangan kanan itu meremas jari kelingkingnya. Sett...!
"Keehkkr...!" Prahasto mendelik seketika dengan tubuh kejang, ia memegangi lehernya sendiri, mencari tangan yang mencekik keras-keras itu. Tapi ia tak mendapatkan tangan orang lain kecuali tangannya sendiri. Prahasto kelabakan, sukar bernapas hingga mulutnya ternganga, menjulurkan lidah dan kepalanya tersentak-sentak.
"Mengapa kau mau membunuh aku, hah?! Sebutkan, mengapa kau mau membunuh aku?! Apa alasanmu, hah?!" Dayang Kesumat melepaskan jurus 'Jemari Mayat'- nya.
Prahasto terbatuk-batuk dalam keadaan seperti Wilduto tadi. Dayang Kesumat berkata, "Kalau kau tak mau jawab, aku akan lakukan lagi!"
Prahasto berusaha menjawab dengan napas masih terengah-engah, "Karena... karena... aku disuruh oleh seseorang! Ada yang mengupahku untuk membunuhmu!"
"Siapa...?"
"Aku... aku tak tahu!"
"Siapa?!" bentak Dayang Kesumat sambil ia meremas jari tengah.
Sekarang yang dirasakan Prahasto adalah perut. Perut itu terasa diremas isinya dan dipulir kuat-kuat. Prahasto kembali tidak bisa bernapas. Megap-megap dan mendelik sambil tubuhnya gemetaran. Bahkan tubuh itu terangkat sedikit, kakinya menggantung, tidak menyentuh tanah. Kejap berikut, ia dilepaskan dalam satu sentakan yang membuatnya jatuh.
"Jawab kataku, siapa yang suluh kamu bunuh aku?! Kalau tidak, kucekik kau dali sini sampai mati!"
"Ak... aku mau kasih tahu orangnya, tapi... tapi kau harus berjanji untuk tidak bunuh aku!"
"Baik. Kau bisa kuampuni jika kau kasih jawaban yang benal!"
Prahasto benar-benar merasakan sakit. Bukan berpura-pura. Padahal kalau dia maju untuk serang Dayang Kesumat, bisa saja ia lakukan. Tapi jelas dia akan dibunuhnya. Kalau toh dia lari, dia juga akan dikejar dan dibunuhnya. Maka, segeralah Prahasto memainkan rencananya,
"Aku disuruh oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Teluh Bumi! Dia yang menghendaki kematianmu!"
"Latu Teluh Bumi...?!" geram Dayang Kesumat dengan bahasa cadelnya. "Diam-diam olang itu jahanam juga! Dia pelalian dali Jenggala! Dia satu-satunya olang Jenggala pada masa pemelintahan laja sebelumnya yang masih hidup! Dulu dia lali dali Jenggala, dan kutampung di Pulau Hantu. Tapi sekalang dia belbalik mau membunuhku! Pasti dia mau kuasai Pulau Hantu untuk menyusun kekuatan balu, buat menyelang Jenggala!"
"Soal itu, aku benar-benar tidak tahu! Dia tidak pernah sebutkan alasannya memberi perintah begitu padaku. Dia hanya menyebutkan sejumlah uang yang cukup menggiurkan bagiku! Sebagai pengelana, aku selalu butuh uang dan segala pekerjaan pun kuhalalkan! Yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk menyambung hidupku!"
"Sehalusnya kau kubunuh, Plahasto... kalena kuanggap kau telah menodai pelsahabatan kita!"
"Tapi kau janji tidak akan membunuhku tadi!"
"Ya, aku memang janji! Tapi janjiku kucabut, kecuali kau mau kasih tahu padaku, di mana aku bisa temui Latu Teluh Bumi itu?!"
"Aku tidak bisa sebutkan sekarang. Entah dia ada dimana. Tapi aku bisa bertemu dengannya pada malam purnama nanti. Aku harus temui dia di Bukit Gelagah untuk melaporkan hasil kerjaku ini!"
"Bukit Gelagah?!" gumam Dayang Kesumat. "Dua hali lagi adalah malam pulnama. Belalti aku halus bikin pelhitungan dengannya dua hali lagi di Bukit Gelagah."
"Tapi aku tak berani ikut mendampingimu! Aku takut dia mengetahui bahwa aku memihakmu!"
"Aku akan datang sendili! Tapi kalau di sana tak ada dia, kau kucali untuk kubunuh!" Dayang Kesumat bicara dengan mata memancarkan dendam untuk membunuh. Agaknya dia benar-benar merasa benci pada Prahasto jika pada malam purnama nanti tak ada Ratu Teluh Bumi di Bukit Gelagah.
Prahasto pun cemas, takut kalau-kalau Ratu Teluh Bumi tidak hadir di bukit itu pada malam purnama nanti, pastilah dirinya akan jadi bahan buruan bagi Dayang Kesumat. Dan Prahasto tidak sanggup menghadapi ilmu Dayang Kesumat, termasuk ilmu yang baru saja dipakai menyerangnya, jurus 'Jemari Mayat'. Prahasto tak pernah tahu bahwa Dayang Kesumat punya jurus seperti itu. Sama halnya Dayang Kesumat tak pernah tahu kalau Prahasto adalah prajurit sandi dari Jenggala. Ia mengenal Prahasto sebagai pengelana yang hidupnya dari upah demi upah.
* * *
DUA
SEMILIR angin membawa keteduhan di bawah pohon rindang itu. Pendekar Mabuk yang sedang melepaskan lelah di bawah pohon tersebut mulai mengeluh dalam hati. Perutnya terasa lapar sekali, tapi tak tahu ke mana ia harus mencari tempat untuk makan. Dari ketinggian lereng itu, Pendekar Mabuk memandang ke arah utara, dan samar-samar ia melihat persawahan membentang dengan tanaman padinya yang masih menghijau. Dalam hatinya Suto Sinting pun berkata membatin,
"Kurasa tak jauh dari persawahan di sana pasti ada sebuah desa. Dan kurasa di desa itu ada kedai untuk makan. Sebaiknya aku segera ke sana saja. Perutku terasa perih jika diisi tuak terus-menerus. Kebetulan tuakku tinggal sedikit, ada baiknya kalau aku bukan hanya mengisi perut, tapi juga mengisi bumbung tuakku ini!"
Maka bergegaslah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu melangkah menuruni lereng perbukitan. Namun beberapa saat sebelum ia mencapai pematang sawah di seberang sana, langkahnya menjadi terhenti akibat kehadiran seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon besar berdaun rimbun.
Orang tersebut adalah pemuda sebaya dengannya, berambut panjang yang diikat ke belakang, tubuhnya tinggi, tegap, dan mempunyai wajah lumayan ganteng. Pemuda itu mengenakan baju hijau tua dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya. Dilihat dari caranya memandang, Suto sudah dapat menduga, pemuda tersebut punya maksud tak baik padanya. Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya curiga terhadap Suto.
Tetapi saat itu Suto Sinting tetap tenang dan menyunggingkan senyum keramahan, ia berhenti antara tujuh langkah di depan pemuda berbaju hijau itu. Karena pemuda itu sejak tadi hanya memandang dengan tajam dan tidak membalas senyum keramahan Pendekar Mabuk, maka si Pendekar Mabuk itu menyapa pemuda tersebut lebih dulu.
"Agaknya kau punya masalah yang ingin kau sampaikan padaku, Sobat! Katakanlah apa masalahmu. Tapi tolong sebutkan dulu namamu!"
"Namaku Jarum Lanang," jawab pemuda itu bernada ketus.
"Itu nama yang bagus!" kata Suto sambil tetap tersenyum kalem. "Setelah itu, apa masalahmu?"
"Tak usah berpura-pura ramah padaku! Serahkan Sumping Rengganis sekarang juga, atau aku terpaksa membunuhmu?!"
"Apa...?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi dengan heran.
"Serahkan Sumping Rengganis padaku!"
Pendekar Mabuk diam sebentar, berpikir beberapa saat lalu bertanya dengan wajah lugu. "Sumping Rengganis itu apa? Nama pusaka atau nama makanan?!"
Wajah Jarum Lanang semakin tampak marah, ia maju dua tindak dari tempatnya menggeram, kemudian berkata dengan mata makin tajam memandang Pendekar Mabuk, "Kau benar-benar memuakkan! Jangan berlagak bodoh di depanku, Jahanam!"
"O, namaku Suto! Suto Sinting! Ya, itu namaku dan bukan Jahanam!" kata Suto sambil menyunggingkan senyum yang berkesan tidak merasa gentar sedikit pun dengan gertakan pemuda berambut panjang itu.
Sikap tersebut membuat Jarum Lanang menjadi semakin dongkol, maka dengan cepat tangannya berkelebat ke depan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dan pukulan itu oleh Suto hanya dibalas dengan gerakan telapak tangan kiri yang terbuka menghadap ke depan. Wubbb...! Pukulan jarak jauh tanpa sinar itu bagaikan diredam oleh tangan kiri Pendekar Mabuk, lalu dibelokkan arahnya ke samping. Wursss...! Berubah menjadi hembusan angin yang menerjang semak.
"Apa kau ingin unjuk permainan padaku, Jarum Lanang?!"
Jarum Lanang membentak, "Aku hanya ingin meminta kembali kekasihku yang bernama Sumping Rengganis!"
"Ooo... Sumping Rengganis itu nama kekasihmu?!" Suto membuka mata lebar-lebar sambil tertawa kecil dan akhirnya manggut-manggut.
Tetapi Jarum Lanang sudah tak sabar lagi, maka dengan cepat ia mencabut salah satu pisaunya dan dilemparkan kearah Pendekar Mabuk dengan kelebatan cepat, hampir tak terlihat.
Zingngng...!Tebb...! Pendekar Mabuk kembali kelebatkan tangannya didepan, dan ternyata saat itulah ia bergerak menangkap pisau yang dilemparkan oleh Jarum Lanang. Pisau itu tahu-tahu menancap di sela-sela dua jemari tangannya, tanpa luka dan tanpa darah sedikit pun. Pendekar Mabuk tersenyum lagi, tapi Jarum Lanang terkesiap matanya melihat kecepatan lawan dalam menangkap pisau terbangnya. Dalam hatinya Jarum Lanang membatin,
"Agaknya dia bukan pemuda sembarangan, bukan sekadar pemuda tampan tanpa isi! Aku yakin dia punya ilmu yang lumayan. Buktinya dia bisa menangkap lemparan pisauku dengan jemarinya! Hmm...! Aku tak boleh sembarangan menghadapi pemuda ini!"
Lalu Jarum Lanang segera terperanjat dan terpaksa sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat ke atas karena Suto Sinting mengembalikan pisaunya dengan satu gerakan yang hampir-hampir tak terlihat kelebatan geraknya. Wussst...! Kalau bukan karena ada pantulan sinar matahari yang membuat mata pisau berkerilap sekejap tadi, Jarum Lanang tak bisa melihat bahwa benda itu meluncur kearahnya.
Pisau tersebut bisa lolos dari dirinya. Jarum Lanang merasa lega. Ia memandang ke belakang sebentar, melihat di mana menancapnya pisau tersebut untuk nanti dicabutnya kembali. Rupanya pisau itu menancap di batang pohon tak terlalu besar tak begitu jauh darinya. Jarum Lanang kembali lega. Tapi tiba-tiba terperanjat kaget karena pisau itu ternyata tidak menancap, melainkan juga menembus batang pohon itu. Ploss...! Keluar dan menembus pohon depannya lagi. Ploss! Pada batang pohon ketiga pisau itu berhenti menancap. Jrabb...!
Melihat kehebatan lemparan pisaunya Pendekar Mabuk, Jarum Lanang hampir saja tak bisa menelan ludahnya sendiri, ia tak bisa bicara apa pun, selain hanya membatin, "Luar biasa! Pisau itu bukan hanya menancap tapi menembus, dan bukan saja menembus pada batang pohon pertama, namun juga menembus pohon kedua dan berhenti di pohon ketiga! Tanpa tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin hal itu bisa dilakukan! Ternyata pemuda itu punya kehebatan melempar pisau lebih tinggi dariku. Gawat kalau begini! Agaknya aku tak boleh gegabah dalam menghadapinya! Benar-benar harus pakai perhitungan!"
Kemudian terdengar suara Pendekar Mabuk berkata, "Jarum Lanang, sebaiknya kita tak perlu berselisih! Jujur saja kukatakan padamu, kau akan kalah jika melawanku! Dan aku tidak suka menyerang orang yang tidak punya kesalahan apa pun kepadaku. Jika itu hanya kesalahpahaman, kita harus luruskan bukan dengan perselisihan atau pertarungan! Perlu kau percayai, bahwa aku tidak tahu menahu tentang kekasihmu itu. Mendengar namanya saja baru kali ini!"
"Omong kosong! Sewaktu aku di lereng sana, aku melihat Sumping Rengganis masih menungguku di sini! Dan ketika kau tiba di sini, dia sudah tak ada! Kejap berikutnya kau muncul dengan langkah terburu-buru! Dugaanku mengatakan, kau telah sembunyikan kekasihku itu dan entah kau bunuh atau kau apakan dia di tempat persembunyiannya, lalu kau ingin buru-buru pergi dari sini!"
"Oh, salah besar itu, Jarum Lanang! Salah besar! Aku melangkah terburu-buru karena ingin segera mencapai desa seberang sana untuk mencari kedai! Aku lapar sekali dan ingin segera mengisi perut!"
"Bohong! Wajahmu lebih tampan dariku, pasti Sumping Rengganis lebih terpikat dengan senyumanmu!"
"Terima kasih atas pengakuanmu itu! Tapi sungguh mati aku tidak menculik atau menyembunyikan kekasihmu, Jarum Lanang! Sebaiknya, kau percaya saja padaku, supaya di antara kita tidak terjadi pertarungan!"
"Kau kira aku takut melawanmu?!" sentak Jarum Lanang sambil melangkah dua tindak ke depan.
"Tentu saja kau tidak takut padaku! Kau punya ilmu tinggi mestinya, terbukti kau berani menyerangku dengan lemparan pisau. Tapi aku pun juga tidak akan gentar melawanmu, hanya saja aku tidak suka berselisih karena kesalahpahaman!"
"Rupanya kau perlu dipaksa, Suto! Heaaah...!" Jarum Lanang segera melompat dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya bercahaya kuning.
Suto Sinting hanya menghindar ke samping tanpa berpindah dari tempatnya berpijak. Wuttt...! Sinar kuning itu melesat tak mengenai Pendekar Mabuk, melainkan mengenai pohon di belakangnya. Blarr...! Pohon itu pun rubuh dan hancur dipertengahannya.
Pada saat itu, kaki Jarum Lanang sudah menapak di tanah depan Suto dalam jarak satu langkah persis. Tangannya segera menghantam lurus ke wajah Suto. Dengan cepat tangan Pendekar Mabuk berkelebat menangkisnya. Plakk...! Kemudian dua jarinya menusuk kuat ke arah ulu hati Jarum Lanang. Tubb...!
"Heggh...!" Jarum Lanang terpekik tertahan sambil tubuhnya tersentak terbang ke belakang dan jatuh dalam jarak empat langkah.
Pendekar Mabuk mengambil bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Ia tetap bersikap santai dan tenang tanpa nafsu menyerang. Sementara itu, Jarum Lanang yang jatuh terduduk di tanah itu berusaha bangkit dengan wajah menyeringai menahan sakit pada ulu hatinya, ia pun membatin,
"Gila betul sodokan jari pemuda itu! Ulu hatiku terasa bengkak! Uhh... sakitnya bukan main! Hanya dua jari yang menyodok, tapi rasanya seperti sebatang kayu kelapa yang menghantam dadaku!"
Suto mendekati Jarum Lanang dan menyodorkan bumbung tuaknya dengan berkata, "Minumlah tuakku ini, supaya kau tak terlalu merasa sakit!"
Plakk...! Jarum Lanang mengibaskan tangannya, menghantam bumbung tuak yang disodorkan kepadanya. Biasanya benda seperti itu jika dihantam dengan kibasan tangan akan terpental. Tapi kali ini ternyata tidak. Benda itu tetap di tempatnya tanpa gerak sedikit pun. Padahal tangan Jarum Lanang cukup keras mengibaskan dan menghantam bumbung itu. Tapi justru terasa kesemutan sekujur tubuh Jarum Lanang ketika memukul bumbung tersebut.
"Kalau kau tak biasa minum tuak, ya sudah! Aku tidak memaksanya!" kata Suto dengan kalem. Kemudian ia gantungkan bumbung tuak itu dipundaknya. "Maaf, aku harus segera meninggalkanmu! Aku tak kuat menahan lapar terlalu lama! Kalau ingin menyusulku, aku ada di sebuah kedai di desa seberang itu!"
Tanpa menunggu jawaban dari Jarum Lanang, Pendekar Mabuk itu pun segera melangkah meninggalkan tempat tersebut. Tapi agaknya Jarum Lanang masih penasaran dan merasa yakin bahwa Sumping Rengganis, kekasihnya itu, disembunyikan oleh Pendekar Mabuk. Maka, diam-diam Jarum Lanang mencabut pisaunya lagi dan melemparkannya ke arah Suto.
Wusss...!
Suto tidak berpaling. Tapi ketika pisau itu mendekat ingin menancap di punggungnya, bumbung tuak didorong ke belakang hingga melintang di punggung. Pisau itu mengenai bumbung tuak tersebut trangng...! Seperti membentur besi baja suaranya, dan anehnya lagi pisau itu memantul balik ke arah Jarum Lanang.
"Haahh...?!" Jarum Lanang membelalakkan matanya lebar-lebar. Jarum Lanang juga melompat dan bersalto di udara karena pisau itu bergerak ke arahnya lebih cepat dari gerakan lemparannya tadi. Wutt..!
Duarrr...!
Makin terbelalak mata Jarum Lanang melihat pisaunya menancap di salah satu pohon, bukan tembus seperti tadi namun membuat pohon itu meledak dan hancur pada bagian tengahnya, kemudian rubuh menimpa pohon yang lainnya. Dalam hatinya Jarum Lanang berkata, "Luar biasa orang itu. Dia punya ilmu tidak tanggung-tanggung. Sinting juga ilmunya itu! Pantas ia diberi nama Suto Sinting! Dia bisa mengembalikan pisauku dan pisau itu mempunyai tenaga dalam sangat tinggi, hingga mampu meledakkan sebatang pohon. Padahal aku tak pernah menyalurkan tenaga dalam sebesar itu ke dalam batang pisau terbangku! Bumbung itu sungguh merupakan bumbung yang ampuh dan punya kesaktian tersendiri!"
Pendekar Mabuk membalikkan badan, memandang Jarum Lanang dengan tersenyum, lalu segera berkata, "Masih belum puas menjajalku?"
Jarum Lanang tak bisa bicara. Untuk meminta maaf pun ia tak mampu mengucapkan lewat mulutnya. Lidahnya terasa kaku dan kelu.
Pendekar Mabuk itu bahkan berkata, "Cobalah cari dulu kekasihmu itu di tempat lain! Jangan menuduh orang sembarangan, nanti kau akan diadili oleh tuduhanmu sendiri!"
"Hmmm... eh... iya! Aku... aku bersalah. Tapi... tapi bolehkah aku tahu siapa gurumu, Suto?"
"Guruku?! Oh, ya... rupanya kau belum kenal pada guruku! Aku murid sinting si Gila Tuak, gelarku Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?! Si... si Gila Tuak...?!" Jarum Lanang terperanjat sekali hingga matanya melebar.
"Kau pernah dengar nama itu, Jarum Lanang?!"
"Gila Tuak adalah sahabat guruku dan... dan nama Pendekar Mabuk sudah lama kudengar, tapi... tapi aku tak sangka kalau kaulah orangnya, Suto! Oh, maaa... maafkan aku! Maafkan aku...!" Jarum Lanang membungkuk dengan kaki rapat ketika meminta maaf begitu.
Pendekar Mabuk tak terdengar suaranya. Ketika Jarum Lanang mengangkat badan dan mendongakkan kepalanya dari sikap membungkuk, ia menjadi terkejut lagi melihat Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, sudah tidak ada di depannya. Pandangan mata Jarum Lanang terarah di tempat jauh, dan ia melihat Pendekar Mabuk sudah ada di pematang sawah yang jauh di seberang sana. Jarum Lanang geleng-gelengkan kepala sambil menggumam, "Luar biasa hebatnya dia...!"
"Kurasa tak jauh dari persawahan di sana pasti ada sebuah desa. Dan kurasa di desa itu ada kedai untuk makan. Sebaiknya aku segera ke sana saja. Perutku terasa perih jika diisi tuak terus-menerus. Kebetulan tuakku tinggal sedikit, ada baiknya kalau aku bukan hanya mengisi perut, tapi juga mengisi bumbung tuakku ini!"
Maka bergegaslah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu melangkah menuruni lereng perbukitan. Namun beberapa saat sebelum ia mencapai pematang sawah di seberang sana, langkahnya menjadi terhenti akibat kehadiran seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon besar berdaun rimbun.
Orang tersebut adalah pemuda sebaya dengannya, berambut panjang yang diikat ke belakang, tubuhnya tinggi, tegap, dan mempunyai wajah lumayan ganteng. Pemuda itu mengenakan baju hijau tua dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya. Dilihat dari caranya memandang, Suto sudah dapat menduga, pemuda tersebut punya maksud tak baik padanya. Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya curiga terhadap Suto.
Tetapi saat itu Suto Sinting tetap tenang dan menyunggingkan senyum keramahan, ia berhenti antara tujuh langkah di depan pemuda berbaju hijau itu. Karena pemuda itu sejak tadi hanya memandang dengan tajam dan tidak membalas senyum keramahan Pendekar Mabuk, maka si Pendekar Mabuk itu menyapa pemuda tersebut lebih dulu.
"Agaknya kau punya masalah yang ingin kau sampaikan padaku, Sobat! Katakanlah apa masalahmu. Tapi tolong sebutkan dulu namamu!"
"Namaku Jarum Lanang," jawab pemuda itu bernada ketus.
"Itu nama yang bagus!" kata Suto sambil tetap tersenyum kalem. "Setelah itu, apa masalahmu?"
"Tak usah berpura-pura ramah padaku! Serahkan Sumping Rengganis sekarang juga, atau aku terpaksa membunuhmu?!"
"Apa...?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi dengan heran.
"Serahkan Sumping Rengganis padaku!"
Pendekar Mabuk diam sebentar, berpikir beberapa saat lalu bertanya dengan wajah lugu. "Sumping Rengganis itu apa? Nama pusaka atau nama makanan?!"
Wajah Jarum Lanang semakin tampak marah, ia maju dua tindak dari tempatnya menggeram, kemudian berkata dengan mata makin tajam memandang Pendekar Mabuk, "Kau benar-benar memuakkan! Jangan berlagak bodoh di depanku, Jahanam!"
"O, namaku Suto! Suto Sinting! Ya, itu namaku dan bukan Jahanam!" kata Suto sambil menyunggingkan senyum yang berkesan tidak merasa gentar sedikit pun dengan gertakan pemuda berambut panjang itu.
Sikap tersebut membuat Jarum Lanang menjadi semakin dongkol, maka dengan cepat tangannya berkelebat ke depan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dan pukulan itu oleh Suto hanya dibalas dengan gerakan telapak tangan kiri yang terbuka menghadap ke depan. Wubbb...! Pukulan jarak jauh tanpa sinar itu bagaikan diredam oleh tangan kiri Pendekar Mabuk, lalu dibelokkan arahnya ke samping. Wursss...! Berubah menjadi hembusan angin yang menerjang semak.
"Apa kau ingin unjuk permainan padaku, Jarum Lanang?!"
Jarum Lanang membentak, "Aku hanya ingin meminta kembali kekasihku yang bernama Sumping Rengganis!"
"Ooo... Sumping Rengganis itu nama kekasihmu?!" Suto membuka mata lebar-lebar sambil tertawa kecil dan akhirnya manggut-manggut.
Tetapi Jarum Lanang sudah tak sabar lagi, maka dengan cepat ia mencabut salah satu pisaunya dan dilemparkan kearah Pendekar Mabuk dengan kelebatan cepat, hampir tak terlihat.
Zingngng...!Tebb...! Pendekar Mabuk kembali kelebatkan tangannya didepan, dan ternyata saat itulah ia bergerak menangkap pisau yang dilemparkan oleh Jarum Lanang. Pisau itu tahu-tahu menancap di sela-sela dua jemari tangannya, tanpa luka dan tanpa darah sedikit pun. Pendekar Mabuk tersenyum lagi, tapi Jarum Lanang terkesiap matanya melihat kecepatan lawan dalam menangkap pisau terbangnya. Dalam hatinya Jarum Lanang membatin,
"Agaknya dia bukan pemuda sembarangan, bukan sekadar pemuda tampan tanpa isi! Aku yakin dia punya ilmu yang lumayan. Buktinya dia bisa menangkap lemparan pisauku dengan jemarinya! Hmm...! Aku tak boleh sembarangan menghadapi pemuda ini!"
Lalu Jarum Lanang segera terperanjat dan terpaksa sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat ke atas karena Suto Sinting mengembalikan pisaunya dengan satu gerakan yang hampir-hampir tak terlihat kelebatan geraknya. Wussst...! Kalau bukan karena ada pantulan sinar matahari yang membuat mata pisau berkerilap sekejap tadi, Jarum Lanang tak bisa melihat bahwa benda itu meluncur kearahnya.
Pisau tersebut bisa lolos dari dirinya. Jarum Lanang merasa lega. Ia memandang ke belakang sebentar, melihat di mana menancapnya pisau tersebut untuk nanti dicabutnya kembali. Rupanya pisau itu menancap di batang pohon tak terlalu besar tak begitu jauh darinya. Jarum Lanang kembali lega. Tapi tiba-tiba terperanjat kaget karena pisau itu ternyata tidak menancap, melainkan juga menembus batang pohon itu. Ploss...! Keluar dan menembus pohon depannya lagi. Ploss! Pada batang pohon ketiga pisau itu berhenti menancap. Jrabb...!
Melihat kehebatan lemparan pisaunya Pendekar Mabuk, Jarum Lanang hampir saja tak bisa menelan ludahnya sendiri, ia tak bisa bicara apa pun, selain hanya membatin, "Luar biasa! Pisau itu bukan hanya menancap tapi menembus, dan bukan saja menembus pada batang pohon pertama, namun juga menembus pohon kedua dan berhenti di pohon ketiga! Tanpa tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin hal itu bisa dilakukan! Ternyata pemuda itu punya kehebatan melempar pisau lebih tinggi dariku. Gawat kalau begini! Agaknya aku tak boleh gegabah dalam menghadapinya! Benar-benar harus pakai perhitungan!"
Kemudian terdengar suara Pendekar Mabuk berkata, "Jarum Lanang, sebaiknya kita tak perlu berselisih! Jujur saja kukatakan padamu, kau akan kalah jika melawanku! Dan aku tidak suka menyerang orang yang tidak punya kesalahan apa pun kepadaku. Jika itu hanya kesalahpahaman, kita harus luruskan bukan dengan perselisihan atau pertarungan! Perlu kau percayai, bahwa aku tidak tahu menahu tentang kekasihmu itu. Mendengar namanya saja baru kali ini!"
"Omong kosong! Sewaktu aku di lereng sana, aku melihat Sumping Rengganis masih menungguku di sini! Dan ketika kau tiba di sini, dia sudah tak ada! Kejap berikutnya kau muncul dengan langkah terburu-buru! Dugaanku mengatakan, kau telah sembunyikan kekasihku itu dan entah kau bunuh atau kau apakan dia di tempat persembunyiannya, lalu kau ingin buru-buru pergi dari sini!"
"Oh, salah besar itu, Jarum Lanang! Salah besar! Aku melangkah terburu-buru karena ingin segera mencapai desa seberang sana untuk mencari kedai! Aku lapar sekali dan ingin segera mengisi perut!"
"Bohong! Wajahmu lebih tampan dariku, pasti Sumping Rengganis lebih terpikat dengan senyumanmu!"
"Terima kasih atas pengakuanmu itu! Tapi sungguh mati aku tidak menculik atau menyembunyikan kekasihmu, Jarum Lanang! Sebaiknya, kau percaya saja padaku, supaya di antara kita tidak terjadi pertarungan!"
"Kau kira aku takut melawanmu?!" sentak Jarum Lanang sambil melangkah dua tindak ke depan.
"Tentu saja kau tidak takut padaku! Kau punya ilmu tinggi mestinya, terbukti kau berani menyerangku dengan lemparan pisau. Tapi aku pun juga tidak akan gentar melawanmu, hanya saja aku tidak suka berselisih karena kesalahpahaman!"
"Rupanya kau perlu dipaksa, Suto! Heaaah...!" Jarum Lanang segera melompat dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya bercahaya kuning.
Suto Sinting hanya menghindar ke samping tanpa berpindah dari tempatnya berpijak. Wuttt...! Sinar kuning itu melesat tak mengenai Pendekar Mabuk, melainkan mengenai pohon di belakangnya. Blarr...! Pohon itu pun rubuh dan hancur dipertengahannya.
Pada saat itu, kaki Jarum Lanang sudah menapak di tanah depan Suto dalam jarak satu langkah persis. Tangannya segera menghantam lurus ke wajah Suto. Dengan cepat tangan Pendekar Mabuk berkelebat menangkisnya. Plakk...! Kemudian dua jarinya menusuk kuat ke arah ulu hati Jarum Lanang. Tubb...!
"Heggh...!" Jarum Lanang terpekik tertahan sambil tubuhnya tersentak terbang ke belakang dan jatuh dalam jarak empat langkah.
Pendekar Mabuk mengambil bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Ia tetap bersikap santai dan tenang tanpa nafsu menyerang. Sementara itu, Jarum Lanang yang jatuh terduduk di tanah itu berusaha bangkit dengan wajah menyeringai menahan sakit pada ulu hatinya, ia pun membatin,
"Gila betul sodokan jari pemuda itu! Ulu hatiku terasa bengkak! Uhh... sakitnya bukan main! Hanya dua jari yang menyodok, tapi rasanya seperti sebatang kayu kelapa yang menghantam dadaku!"
Suto mendekati Jarum Lanang dan menyodorkan bumbung tuaknya dengan berkata, "Minumlah tuakku ini, supaya kau tak terlalu merasa sakit!"
Plakk...! Jarum Lanang mengibaskan tangannya, menghantam bumbung tuak yang disodorkan kepadanya. Biasanya benda seperti itu jika dihantam dengan kibasan tangan akan terpental. Tapi kali ini ternyata tidak. Benda itu tetap di tempatnya tanpa gerak sedikit pun. Padahal tangan Jarum Lanang cukup keras mengibaskan dan menghantam bumbung itu. Tapi justru terasa kesemutan sekujur tubuh Jarum Lanang ketika memukul bumbung tersebut.
"Kalau kau tak biasa minum tuak, ya sudah! Aku tidak memaksanya!" kata Suto dengan kalem. Kemudian ia gantungkan bumbung tuak itu dipundaknya. "Maaf, aku harus segera meninggalkanmu! Aku tak kuat menahan lapar terlalu lama! Kalau ingin menyusulku, aku ada di sebuah kedai di desa seberang itu!"
Tanpa menunggu jawaban dari Jarum Lanang, Pendekar Mabuk itu pun segera melangkah meninggalkan tempat tersebut. Tapi agaknya Jarum Lanang masih penasaran dan merasa yakin bahwa Sumping Rengganis, kekasihnya itu, disembunyikan oleh Pendekar Mabuk. Maka, diam-diam Jarum Lanang mencabut pisaunya lagi dan melemparkannya ke arah Suto.
Wusss...!
Suto tidak berpaling. Tapi ketika pisau itu mendekat ingin menancap di punggungnya, bumbung tuak didorong ke belakang hingga melintang di punggung. Pisau itu mengenai bumbung tuak tersebut trangng...! Seperti membentur besi baja suaranya, dan anehnya lagi pisau itu memantul balik ke arah Jarum Lanang.
"Haahh...?!" Jarum Lanang membelalakkan matanya lebar-lebar. Jarum Lanang juga melompat dan bersalto di udara karena pisau itu bergerak ke arahnya lebih cepat dari gerakan lemparannya tadi. Wutt..!
Duarrr...!
Makin terbelalak mata Jarum Lanang melihat pisaunya menancap di salah satu pohon, bukan tembus seperti tadi namun membuat pohon itu meledak dan hancur pada bagian tengahnya, kemudian rubuh menimpa pohon yang lainnya. Dalam hatinya Jarum Lanang berkata, "Luar biasa orang itu. Dia punya ilmu tidak tanggung-tanggung. Sinting juga ilmunya itu! Pantas ia diberi nama Suto Sinting! Dia bisa mengembalikan pisauku dan pisau itu mempunyai tenaga dalam sangat tinggi, hingga mampu meledakkan sebatang pohon. Padahal aku tak pernah menyalurkan tenaga dalam sebesar itu ke dalam batang pisau terbangku! Bumbung itu sungguh merupakan bumbung yang ampuh dan punya kesaktian tersendiri!"
Pendekar Mabuk membalikkan badan, memandang Jarum Lanang dengan tersenyum, lalu segera berkata, "Masih belum puas menjajalku?"
Jarum Lanang tak bisa bicara. Untuk meminta maaf pun ia tak mampu mengucapkan lewat mulutnya. Lidahnya terasa kaku dan kelu.
Pendekar Mabuk itu bahkan berkata, "Cobalah cari dulu kekasihmu itu di tempat lain! Jangan menuduh orang sembarangan, nanti kau akan diadili oleh tuduhanmu sendiri!"
"Hmmm... eh... iya! Aku... aku bersalah. Tapi... tapi bolehkah aku tahu siapa gurumu, Suto?"
"Guruku?! Oh, ya... rupanya kau belum kenal pada guruku! Aku murid sinting si Gila Tuak, gelarku Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?! Si... si Gila Tuak...?!" Jarum Lanang terperanjat sekali hingga matanya melebar.
"Kau pernah dengar nama itu, Jarum Lanang?!"
"Gila Tuak adalah sahabat guruku dan... dan nama Pendekar Mabuk sudah lama kudengar, tapi... tapi aku tak sangka kalau kaulah orangnya, Suto! Oh, maaa... maafkan aku! Maafkan aku...!" Jarum Lanang membungkuk dengan kaki rapat ketika meminta maaf begitu.
Pendekar Mabuk tak terdengar suaranya. Ketika Jarum Lanang mengangkat badan dan mendongakkan kepalanya dari sikap membungkuk, ia menjadi terkejut lagi melihat Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, sudah tidak ada di depannya. Pandangan mata Jarum Lanang terarah di tempat jauh, dan ia melihat Pendekar Mabuk sudah ada di pematang sawah yang jauh di seberang sana. Jarum Lanang geleng-gelengkan kepala sambil menggumam, "Luar biasa hebatnya dia...!"
* * *
TIGA
BUKIT Gelagah mempunyai jurang yang cukup curam. Tak ada orang yang selamat jika tergelincir ke dalam jurang itu. Itulah sebabnya jurang itu dinamakan Jurang Petaka. Pada waktu terang bulan, permukaan bukit itu cukup terang, karena tidak memiliki pepohonan tinggi, selain jenis rumput dan bebatuan yang menjulang. Ada batu besar yang melebihi tinggi tubuh manusia dewasa, ada juga yang melebihi atap sebuah gubuk. Tapi kebanyakan permukaan bukit itu dihiasi oleh bebatuan setinggi perut atau setinggi lutut.
Seseorang yang menjerit dari atas Bukit Gelagah, suaranya akan memantul cukup lama, karena Jurang Petaka mempunyai dinding tebing yang mengurung jurang itu, hingga pantulan suara bisa berbalik ke sana-sini sampai beberapa kali. Di seberang Bukit Gelagah ada bukit lagi yang bernama Bukit Menara Tunda. Bukit itu hanya terdiri atas cadas dan lumut tanpa ada pepohonan tinggi. Sulit mencapai Bukit Menara Tunda karena tempatnya licin, dan selalu berair. Tebing Bukit Menara Tunda itulah yang menjadi tempat utama memantulkan suara jerit seseorang dari atas Bukit Gelagah.
Rembulan yang kini tampak penuh sebagai mata langit di waktu malam, tak tanggung-tanggung pancarkan sinarnya ke atas Bukit Gelagah, sehingga sosok bayangan seseorang yang berdiri di sana terlihat jelas, dari warna pakaiannya sampai lekuk tubuhnya. Orang yang berdiri di sana berjubah biru muda dari bahan kain tipis semacam sutera. Siapa lagi orang berjubah biru muda dengan rambut diurai lepas sebatas punggung jika bukan Dayang Kesumat?
Agaknya murka di dalam hati mendengar tantangan secara tak langsung dari Ratu Teluh Bumi telah membuat Dayang Kesumat tak sabar menunggu saat pelampiasan murkanya. Karena itu Dayang Kesumat datang lebih dulu, ketika Bukit Gelagah masih kosong tanpa penghuni ataupun pengunjung lainnya. Sejak tadi Dayang Kesumat berdiri bagai mematung memandang ke arah jurang. Remang-remang cahaya rembulan tampakkan lekak-lekuk jurang dengan beberapa tanaman di tebingnya yang merimbun. Dasar jurang terlalu jauh untuk dilihat dan terlalu gelap, karena tak sepenuhnya mendapatkan sinar rembulan bila malam hari.
Hati Dayang Kesumat pun membatin, "Rasa-rasanya jurang ini sangat cocok untuk membuang bangkai si Ratu Teluh Bumi nanti! Jerit suaranya yang menggema panjang akan menjadi kepuasan hatiku, ketimbang ia mati tanpa pekik tanpa jerit!"
Baru berpikir begitu, Dayang Kesumat merasakan ada getaran tanah yang terjadi akibat pijakan kaki orang berjalan. Cepat-cepat Dayang Kesumat palingkan wajahnya ke belakang. Beberapa kejap kemudian sesosok bayangan telah melesat, kemudian mendarat di tanah depannya. Sesosok bayangan itu adalah perempuan berpedang pendek di pinggangnya. Dia tak lain dari Ratu Teluh Bumi.
Mereka saling pandang sejenak. Sama-sama tajam dalam memandang, sama-sama membisu mulut mereka, sama-sama membara murka hati mereka. Keduanya sama-sama membatin,
"Rupanya apa yang dikatakan Prahasto memang benar! Buktinya dia ada di sini. Bukan siap untuk bertarung denganku, melainkan menunggu kedatangan Prahasto!"
Karena keduanya sama-sama membatin seperti itu, maka mereka tidak perlu saling mencari tahu penyebab kehadiran mereka di situ. Mereka hanya perlu mengetahui berapa jurus yang harus mereka mainkan dalam pertarungan itu. Dayang Kesumat yang mendahului bicara,
"Kau minta aku memainkan betapa julus untuk kematianmu?"
Ratu Teluh Bumi justru ganti bertanya, "Kau siap berapa jurus untuk malam ini? Tak perlu kita suruh orang lain melakukannya, kita sendiri yang menjadi pelaku sang pencabut nyawa!" Ratu Teluh Bumi bermaksud menyindir Dayang Kesumat yang dianggap hanya berani menyerang dengan meminjam tangan orang lain.
Tapi Dayang Kesumat merasa Ratu Teluh Bumi mengakui kelicikannya dan merasa dirinya tidak perlu meminjam tangan orang lain untuk membunuh. Karenanya Dayang Kesumat pun menjawab, "Bagus! Kalau memang kau sudah siap, memang tak ada pellunya kita meminjam tangan olang lain! Tentukan saja siapa yang halus mati di sini, kau atau aku!"
"Bersiaplah, Dayang! Jemputlah ajalmu dengan baik!" Ratu Teluh Bumi membuka jurus pertama dengan menarik kakinya ke belakang, sedangkan yang kanan masih di tempat, lutut kanannya sedikit terlipat. Kedua tangannya mulai mengembang bagaikan seekor elang ingin terbang menangkap lawannya.
Dayang Kesumat hanya diam saja. Tapi kedua tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Kedua tangannya itu telah turun ke samping kanan-kiri dan siap melakukan gerakan menyerang. Matanya tak lepas memandang permainan jurus yang dibawakan Ratu Teluh Bumi di mana semua gerakan dilakukan dalam keadaan tubuh merendah. Tangan kanan Dayang Kesumat mulai menggenggam kelingkingnya. Srett...!
Dan Ratu Teluh Bumi cepat-cepat sentakkan dua jarinya dari depan dada ke atas. Suttt...! Tebb...! Jari itu seperti memotong segumpal daging yang tak terlihat. Totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sehingga tiba-tiba tangan kanan Dayang Kesumat tersentak ke belakang, lalu lepaskan genggaman kelingkingnya.
"Edan! Dia tahu kelemahanku," pikir Dayang Kesumat. "Dia gunakan indela keenamnya untuk menyodok tanganku! Sial! Pelgelangan tanganku telasa ngilu sekali!"
Ratu Teluh Bumi bergerak terus dengan permainan rendah badan. Kakinya melangkah panjang-panjang namun pelan dan pasti. Bahkan kini ia putarkan badan dengan cepat dan sentakkan tangannya ke tanah. Cepat-cepat Dayang Kesumat melompat pindah tempat. Lalu dari tempatnya berdiri tadi muncul serbuk hitam menyembur dari dalam tanah.
Wrusss...!
"Hmm... 'Lacun Hitam' digunakan!" pikir Dayang Kesumat sambil sunggingkan senyum dingin yang amat tipis, ia merasa telah selamat dari racun yang amat membahayakan itu.
Sementara di dalam hatinya, Ratu Teluh Bumi berkata sendiri, "Sial! Dia tahu jurusku! Tak bisa ditipu dengan gerakan!"
Dayang Kesumat memandang terus mata Ratu Teluh Bumi. Dan tiba-tiba Ratu Teluh Bumi tersentak. Tubuhnya cepat tegak. Matanya tak bisa berkedip. Tapi kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Kedua tangan Dayang Kesumat juga menggenggamkuat-kuat. Dan masing-masing tangan itu mengepulkan asap putih yang samar-samar. Tubuh Ratu Teluh Bumi bergetar seluruhnya. Tapi Dayang Kesumat hanya pada bagian tangannya saja yang bergetar. Tangan itu pelan-pelan bergerak naik sampai di dada dalam keadaan tetap mengepal dan berasap. Mereka adu tenaga dalam melalui pandangan mata. Tapi sayang, Dayang Kesumat buru-buru sentakkan kedua tangannya itu ke depan.
Wussst...! Tangan itu terbuka, dan sebuah tenaga berasap merah keluar dari telapak tangannya. Wuhkkk...!
Beggh...! Sentakan tenaga dalam itu mengenai dada Ratu Teluh Bumi. Sentakan itu sangat kuat. Kuat sekali. Sehingga, tubuh Ratu Teluh Bumi pun terlempar dengan cepatnya bagaikan segumpal kapas tertiup badai.
Wuuusssh...!
"Aaaa!" Ratu Teluh Bumi terlempar ke jurang. Tubuhnya melayang-layang. Jeritannya menggema berkepanjangan. Makin lama makin kecil suara gemanya itu, sampai pada akhirnya tak terdengar lagi sedikit pun bunyi jeritan itu. Seakan jeritan histeris hilang ditelan mulut jurang yang rakus dan lahap terhadap mangsanya itu.
Dayang Kesumat tetap diam, cantik tapi angker, ia menghembuskan napas kelegaan melihat lawannya terlempar ke jurang, ia pandangi jurang gelap itu sesaat, kemudian sunggingkan senyum tipis sebagai senyum kemenangan. Setelah itu, ia tinggalkan tepian jurang dengan langkah yang terlihat tegas, tegap dan meyakinkan.
"Selamat tinggal, Latu Teluh! Mudah-mudahan nyawamu tidak telsesat mencali jalan menuju nelaka!" kata Dayang Kesumat di dalam hatinya, ia pun segera melesat tinggalkan Bukit Gelagah itu
Tanpa diketahui oleh Dayang Kesumat, suara jeritan Ratu Teluh Bumi itu telah memudarkan semadi seseorang yang tinggal di dasar Jurang Petaka itu. Terpaksa orang tersebut lepaskan masa semadinya walau tetap duduk di tempatnya yang berbatu datar. Tanpa memandang ke atas, orang tersebut menadahkan kedua tangannya di atas kepala. Lebih dari dua helaan napas tangan itu menadah dengan pandangan mata tetap lurus.
Kira-kira empat helaan napasnya setelah itu, kedua tangan yang menadah itu dijatuhi tubuh Ratu Teluh Bumi. Anehnya, gerakan jatuhnya tubuh itu menjadi pelan ketika mendekati tubuh orang yang sedang duduk bersila itu. Bahkan ketika menempel di tangan yang tengadah, tubuh Ratu Teluh Bumi tak sempat mengguncangkan sehelai pun rambut orang itu. Tak ada suara, tak ada gerakan. Semuanya terjadi dengan sangat pelan. Tetapi kejap berikutnya, terdengar suara kasar, brukk...! Itu suara tubuh Ratu Teluh Bumi yang dilemparkan ke arah belakang oleh orang yang sedang semadi itu.
"Uhhg...! Monyet...!" maki Ratu Teluh Bumi dalam hati. Perempuan itu tidak mati. Perempuan itu hanya mengalami luka dalam akibat pukulan berasap dari Dayang Kesumat itu. Tapi seandainya tubuhnya tidak disangga dan gerakannya tidak diatur oleh orang yang sedang duduk bersila itu, maka tubuh Ratu Teluh Bumi sudah pasti hancur tak berbentuk lagi. Ketinggian jurang itu sangat mengerikan jika dipandang dari bawah.
Orang yang menyelamatkan Ratu Teluh Bumi itu duduk bersila tanpa peduli dengan keluh dan raungan kecil di belakangnya. Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Matanya memandang ke satu arah tak berkedip. Di depannya itu, ada sungai kecil dengan lebar antara dua tombak. Celah-celah bebatuannya mempunyai tanaman setinggi mata kaki. Di sela-sela tanaman jenis rumput merah itu, tersumbul sebatang tanaman bunga yang tingginya satu betis.
Tanaman yang paling tinggi dari semua tanaman di depan orang itu mempunyai daun berbentuk segi tiga sama sisi. Daunnya tak lebat, lebarnya sama dengan daun beringin. Warnanya hijau kehitam-hitaman. Tanaman itu hanya mempunyai satu batang yang meluncur ke atas sebatas betis. Sedangkan orang yang memandangi tanaman itu duduk di atas batu datar yang tingginya sebatas betis orang dewasa, sehingga tanaman itu seolah-olah ada dibawahnya. Jarak tempat bersila dengan tanaman itu hanya satu langkah.
Di ujung tanaman ada kuncup bunga yang masih kecil. Kecil sekali, kira-kira sekecil biji kapas. Ujung tanaman itulah yang menjadi pusat pandangan mata tak berkedip itu. Entah sudah berapa lama orang itu pandangi tanaman bunga aneh tersebut. Entah dengan maksud apa hal itu dilakukan. Yang jelas, ia tak pernah berpaling sedikit pun dari pandangannya. Jika ada sesuatu yang mendekat ia dapat menghalaunya dengan gerakan tangan tanpa melihat sasaran. Seperti halnya saat ia menopang tubuh Ratu Teluh Bumi, tanpa memandang ke arah atas ia sudah bisa membuat tubuh itu tepat jatuh di kedua tangannya.
Di samping orang itu mengenakan kerudung dari kepala sampai kaki, ia juga mempunyai senjata berupa tongkat berujung sabit panjang. Mata sabit yang menyerupai paruh burung itu sangat tajam dan berkilauan. Senjata itu dinamakan pusaka El Maut. Dan orang yang bersenjata El Maut dengan pakaian kerudung kain hitam, dengan wajah putih bagai berbedak tebal, dengan bibir biru bagai bergincu mayat, dengan hidung bangir mencipta ketampanan tersendiri, dengan pandangan mata dingin bersama raut mukanya yang dingin bak manusia berwajah salju, tak lain dan tak bukan adalah Siluman Tujuh Nyawa, ia mempunyai nama asli Durmala Sanca.
Orang ini adalah tokoh sesat yang amat sakti. Selain terkenal sakti, juga terkenal keji dan ganas. Usianya sudah sangat tua, lebih dari dua ratus tahun, tapi raut mukanya masih seperti pemuda berusia dua puluh tujuh tahun. Itulah Siluman Tujuh Nyawa, yang menjadi musuh utama bagi Pendekar Mabuk.
Ratu Teluh Bumi pernah mendengar nama itu, tapi belum pernah jumpa dengan orangnya. Karena itu, ia tidak tahu siapa orang yang telah menolongnya, namun juga bagai tak peduli akan dirinya itu. Ratu Teluh Bumi mencoba membangunkan semadi orang itu dengan merayap mendekati orang tersebut dari arah belakang. Badan Ratu Teluh Bumi sangat lemah. Dadanya terasa panas sekali. Pernapasannya menjadi sangat sesak, berat untuk dihela. Darah yang keluar dari mulutnya saat mendapat pukulan Dayang Kesumat tadi sekarang sudah hampir mengering dihembus angin jurang. Dengan suara berat Ratu Teluh Bumi berkata dari belakang Siluman Tujuh Nyawa,
"Aku terluka di dalam. Tolonglah aku...!"
Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Matanya tetap tak berkedip pandangi ujung tanaman hijau kehitaman itu. Ia seperti orang tuli, tak mendengar ucapan lirih itu.
"Tolonglah aku... Aku tak kuat...!"
"Kau sudah kutolong," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datarnya yang terkenal dingin itu.
"Aku... masih sakit..."
"Kau berhutang nyawa padaku."
"Biarlah... biarlah aku berhutang dua nyawa denganmu. Pertama kau selamatkan aku dari ketinggian jurang ini, kedua... tolong selamatkan aku dari luka di dalam dadaku ini.... Aku percaya, kau bisa mengobati lukaku!"
"Apa upahnya untuk pertolongan dua nyawa?"
"Ter... terserah... apa maumu, aku akan lakukan!"
"Kumau kau mati saja!"
Suara datar dan dingin itu menyakitkan hati Ratu Teluh Bumi. Kalau tidak dalam keadaan sedang sakit begitu berat, Ratu Teluh Bumi sudah menyerang orang itu karena ucapan yang seenaknya saja itu. Tapi demi mendapatkan pertolongan, Ratu Teluh Bumi akhirnya berkata, "Aku... aku masih ingin hidup..."
"Untuk apa kau hidup?"
"Untuk... membalas dendamku kepada lawan yang mengirimku ke jurang ini!"
Sepi kembali tercipta dan mencekam. Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Tak ada gerak, tak ada kedipan mata. Sementara itu, Ratu Teluh Bumi semakin memperdengarkan engahan tarik napasnya yang memberat dan tampak tersiksa sekali.
Kejap berikut, barulah Siluman Tujuh Nyawa berkata, "Aku tidak punya pelayan."
"Biarlah... aku saja yang menjadi pelayanmu. Aku bersedia "
"Kau berjanji?"
"Ya. Aku berjanji, jika kau tolong aku, aku bersedia menjadi pelayanmu. Ooh... semakin panas sekujur tubuhku rasanya"
"Peganglah jubahku!" kata Durmala Sanca.
Ratu Teluh Bumi tak paham maksud kata-kata itu. Tapi kemudian ia melakukan apa yang diperintahkan orang berjubah hitam sekujur tubuhnya itu. Ratu Teluh Bumi memegang jubah tersebut dengan kedua tangannya. Kemudian, ia melihat sendiri kulit tubuhnya menjadi menyala. Seperti ada sinar biru yang berpendar-pendar mengelilingi seluruh tubuhnya.
Pada saat sinar biru itu menyala di tubuhnya, Ratu Teluh Bumi merasakan ada kesejukan yang meresap ke dalam tubuhnya. Kesejukan itu seakan begitu damai dan menyenangkan hati. Ratu Teluh Bumi meresapi kesejukan itu dengan mata terpejam pelan-pelan. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa tidak bergerak sedikit pun. Bahkan berpaling pun tidak. Napasnya pun terdengar biasa-biasa saja, tidak ditahan, tidak dihembuskan kencang. Matanya masih tetap tertuju pada bunga yang belum tumbuh itu.
Setelah beberapa saat, Ratu Teluh Bumi merasakan hawa panas di dalam dadanya hilang sama sekali. Otaknya pun terasa menjadi terang, urat-uratnya menjadi segar kembali, dan peredaran darahnya terasa sangat lancar.
"Lepaskan jubahku..!" perintah Durmala Sanca dengan tetap bernada dingin, bagai manusia tanpa perasaan.
Ratu Teluh Bumi lepaskan jubah hitam itu, dan ternyata tubuhnya kembali segar. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa letih, tak ada rasa lemas, yang ada hanya sebentuk kehidupan yang penuh semangat. Ratu Teluh Bumi hembuskan napas dengan lega sambil ia berdiri dan menggerak-gerakkan badannya untuk mencari sesuatu yang masih terasa mengganggu, ternyata tak ada yang terasa mengganggu tubuhnya.
"Sekarang kau adalah pelayanku! Kau harus turut dengan perintahku, Ratu Teluh Bumi...!"
Terkesiap mata Ratu Teluh Bumi mendengar namanya disebutkan, ia sangat heran mengetahui orang itu bisa sebutkan namanya. Lalu, ia bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya? Mengapa kau bisa tahu namaku?"
"Karena aku menyukai tindakanmu yang tegas dan tidak pandang bulu! Kau berani membunuh siapa saja yang menentangmu tanpa ragu-ragu lagi"
Ratu Teluh Bumi berdebar-debar, merasa disanjung seseorang atas segala yang dilakukannya selama ini. Ia semakin yakin bahwa ia benar dalam bersikap selama ini. "Lalu, satu lagi pertanyaanku belum kaujawab, siapa kamu?"
"Kau pernah dengar namaku, tapi mungkin baru kali ini kau bertemu denganku. Kau pasti pernah mendengar Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ya. Betul. Aku pernah dengar nama orang sakti itu!"
"Akulah Siluman Tujuh Nyawa!"
"Kau...?!" Ratu Teluh Bumi terpekik. Lalu cepat-cepat ia bergeser ke depan dan pandangi wajah orang itu baik-baik. Ia pandangi tombak El Maut yang ditancapkan di tanah samping kanan batu datar yang dipakainya duduk itu. Tetapi yang dipandangi tetap diam tak bergerak, matanya tetap lurus ke arah tanaman aneh tersebut. "Oh, benar! Kau memang Siluman Tujuh Nyawa! Oh, senang sekali hatiku bisa bertemu denganmu!"
"Jangan sentuh aku lagi!" katanya dengan cepat dan tetap dingin. "Selimut racunku telah kupasang. Kalau kau sentuh aku, kau akan mati dalam tiga hitungan!"
Ratu Teluh Bumi yang ingin menggenggam tangan Siluman Tujuh Nyawa sebagai ungkapan rasa gembiranya, terpaksa terhenti seketika, ia justru menjadi kagum mendengar selimut racun dikenakan oleh orang itu dan akan mematikan jika disentuh. Padahal sejak tadi Ratu Teluh Bumi tahu, tak ada gerakan atau jurus yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa kecuali diam memandangi tanaman.
"Kalau boleh aku tahu, tanaman apa yang kau pandangi itu!"
"Namanya bunga Sukma Weling."
"Nama yang aneh, pasti punya arti besar! Boleh aku tahu?"
"Bunga itu mempunyai kekuatan gaib yang sangat ampuh. Di dalam bunga itu, tersimpan satu kekuatan yang bernama ilmu 'Sabda iblis'!"
"Ilmu 'Sabda Iblis'...?! ilmu macam apa itu?" tanya Ratu Teluh Bumi semakin tertarik untuk mendengarkan penjelasan Siluman Tujuh Nyawa.
"Ilmu 'Sabda Iblis' adalah ucapan yang bisa menjadi kenyataan. Orang yang makan bunga itu, akan langsung mempunyai ilmu 'Sabda Iblis'. Orang yang mempunyai ilmu 'Sabda Iblis', maka apa yang dikatakannya pasti menjadi kenyataan!"
"Hebat sekali kekuatan ilmu itu? Lalu, mengapa kau pandangi terus bunga itu?"
"Dia baru bisa mekar setelah seratus tahun usianya! Tetapi jika selalu disiram dengan hawa murni maka pertumbuhannya menjadi cepat sekali. Jika penyiramannya dilakukan secara terus-menerus tanpa henti, maka bunga itu akan cepat tumbuh dan berkembang dalam waktu satu bulan lamanya!"
"Satu bulan?! Hmmm... Lantas kau sendiri telah melakukan penyiraman dengan hawa murni selama berapa hari?"
"Dua puluh tujuh hari!"
"Selama itukah kau duduk di sini dan memandangi bunga itu?!"
"Ya," jawab Siluman Tujuh Nyawa tak beralih pandang sedikit pun. Hal itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi terheran-heran dan kagum. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin sanggup melakukan semadi seperti yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa itu. Selama dua puluh tujuh hari, diam tak bergerak dan tak berkedip. Sungguh itu suatu perbuatan semadi yang cukup berat.
"Aku sangat kagum padamu," bisik Ratu Teluh Bumi dengan nada mendesah lirih, sepertinya punya arti sendiri bagi jiwa perempuan itu.
Seseorang yang menjerit dari atas Bukit Gelagah, suaranya akan memantul cukup lama, karena Jurang Petaka mempunyai dinding tebing yang mengurung jurang itu, hingga pantulan suara bisa berbalik ke sana-sini sampai beberapa kali. Di seberang Bukit Gelagah ada bukit lagi yang bernama Bukit Menara Tunda. Bukit itu hanya terdiri atas cadas dan lumut tanpa ada pepohonan tinggi. Sulit mencapai Bukit Menara Tunda karena tempatnya licin, dan selalu berair. Tebing Bukit Menara Tunda itulah yang menjadi tempat utama memantulkan suara jerit seseorang dari atas Bukit Gelagah.
Rembulan yang kini tampak penuh sebagai mata langit di waktu malam, tak tanggung-tanggung pancarkan sinarnya ke atas Bukit Gelagah, sehingga sosok bayangan seseorang yang berdiri di sana terlihat jelas, dari warna pakaiannya sampai lekuk tubuhnya. Orang yang berdiri di sana berjubah biru muda dari bahan kain tipis semacam sutera. Siapa lagi orang berjubah biru muda dengan rambut diurai lepas sebatas punggung jika bukan Dayang Kesumat?
Agaknya murka di dalam hati mendengar tantangan secara tak langsung dari Ratu Teluh Bumi telah membuat Dayang Kesumat tak sabar menunggu saat pelampiasan murkanya. Karena itu Dayang Kesumat datang lebih dulu, ketika Bukit Gelagah masih kosong tanpa penghuni ataupun pengunjung lainnya. Sejak tadi Dayang Kesumat berdiri bagai mematung memandang ke arah jurang. Remang-remang cahaya rembulan tampakkan lekak-lekuk jurang dengan beberapa tanaman di tebingnya yang merimbun. Dasar jurang terlalu jauh untuk dilihat dan terlalu gelap, karena tak sepenuhnya mendapatkan sinar rembulan bila malam hari.
Hati Dayang Kesumat pun membatin, "Rasa-rasanya jurang ini sangat cocok untuk membuang bangkai si Ratu Teluh Bumi nanti! Jerit suaranya yang menggema panjang akan menjadi kepuasan hatiku, ketimbang ia mati tanpa pekik tanpa jerit!"
Baru berpikir begitu, Dayang Kesumat merasakan ada getaran tanah yang terjadi akibat pijakan kaki orang berjalan. Cepat-cepat Dayang Kesumat palingkan wajahnya ke belakang. Beberapa kejap kemudian sesosok bayangan telah melesat, kemudian mendarat di tanah depannya. Sesosok bayangan itu adalah perempuan berpedang pendek di pinggangnya. Dia tak lain dari Ratu Teluh Bumi.
Mereka saling pandang sejenak. Sama-sama tajam dalam memandang, sama-sama membisu mulut mereka, sama-sama membara murka hati mereka. Keduanya sama-sama membatin,
"Rupanya apa yang dikatakan Prahasto memang benar! Buktinya dia ada di sini. Bukan siap untuk bertarung denganku, melainkan menunggu kedatangan Prahasto!"
Karena keduanya sama-sama membatin seperti itu, maka mereka tidak perlu saling mencari tahu penyebab kehadiran mereka di situ. Mereka hanya perlu mengetahui berapa jurus yang harus mereka mainkan dalam pertarungan itu. Dayang Kesumat yang mendahului bicara,
"Kau minta aku memainkan betapa julus untuk kematianmu?"
Ratu Teluh Bumi justru ganti bertanya, "Kau siap berapa jurus untuk malam ini? Tak perlu kita suruh orang lain melakukannya, kita sendiri yang menjadi pelaku sang pencabut nyawa!" Ratu Teluh Bumi bermaksud menyindir Dayang Kesumat yang dianggap hanya berani menyerang dengan meminjam tangan orang lain.
Tapi Dayang Kesumat merasa Ratu Teluh Bumi mengakui kelicikannya dan merasa dirinya tidak perlu meminjam tangan orang lain untuk membunuh. Karenanya Dayang Kesumat pun menjawab, "Bagus! Kalau memang kau sudah siap, memang tak ada pellunya kita meminjam tangan olang lain! Tentukan saja siapa yang halus mati di sini, kau atau aku!"
"Bersiaplah, Dayang! Jemputlah ajalmu dengan baik!" Ratu Teluh Bumi membuka jurus pertama dengan menarik kakinya ke belakang, sedangkan yang kanan masih di tempat, lutut kanannya sedikit terlipat. Kedua tangannya mulai mengembang bagaikan seekor elang ingin terbang menangkap lawannya.
Dayang Kesumat hanya diam saja. Tapi kedua tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Kedua tangannya itu telah turun ke samping kanan-kiri dan siap melakukan gerakan menyerang. Matanya tak lepas memandang permainan jurus yang dibawakan Ratu Teluh Bumi di mana semua gerakan dilakukan dalam keadaan tubuh merendah. Tangan kanan Dayang Kesumat mulai menggenggam kelingkingnya. Srett...!
Dan Ratu Teluh Bumi cepat-cepat sentakkan dua jarinya dari depan dada ke atas. Suttt...! Tebb...! Jari itu seperti memotong segumpal daging yang tak terlihat. Totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sehingga tiba-tiba tangan kanan Dayang Kesumat tersentak ke belakang, lalu lepaskan genggaman kelingkingnya.
"Edan! Dia tahu kelemahanku," pikir Dayang Kesumat. "Dia gunakan indela keenamnya untuk menyodok tanganku! Sial! Pelgelangan tanganku telasa ngilu sekali!"
Ratu Teluh Bumi bergerak terus dengan permainan rendah badan. Kakinya melangkah panjang-panjang namun pelan dan pasti. Bahkan kini ia putarkan badan dengan cepat dan sentakkan tangannya ke tanah. Cepat-cepat Dayang Kesumat melompat pindah tempat. Lalu dari tempatnya berdiri tadi muncul serbuk hitam menyembur dari dalam tanah.
Wrusss...!
"Hmm... 'Lacun Hitam' digunakan!" pikir Dayang Kesumat sambil sunggingkan senyum dingin yang amat tipis, ia merasa telah selamat dari racun yang amat membahayakan itu.
Sementara di dalam hatinya, Ratu Teluh Bumi berkata sendiri, "Sial! Dia tahu jurusku! Tak bisa ditipu dengan gerakan!"
Dayang Kesumat memandang terus mata Ratu Teluh Bumi. Dan tiba-tiba Ratu Teluh Bumi tersentak. Tubuhnya cepat tegak. Matanya tak bisa berkedip. Tapi kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Kedua tangan Dayang Kesumat juga menggenggamkuat-kuat. Dan masing-masing tangan itu mengepulkan asap putih yang samar-samar. Tubuh Ratu Teluh Bumi bergetar seluruhnya. Tapi Dayang Kesumat hanya pada bagian tangannya saja yang bergetar. Tangan itu pelan-pelan bergerak naik sampai di dada dalam keadaan tetap mengepal dan berasap. Mereka adu tenaga dalam melalui pandangan mata. Tapi sayang, Dayang Kesumat buru-buru sentakkan kedua tangannya itu ke depan.
Wussst...! Tangan itu terbuka, dan sebuah tenaga berasap merah keluar dari telapak tangannya. Wuhkkk...!
Beggh...! Sentakan tenaga dalam itu mengenai dada Ratu Teluh Bumi. Sentakan itu sangat kuat. Kuat sekali. Sehingga, tubuh Ratu Teluh Bumi pun terlempar dengan cepatnya bagaikan segumpal kapas tertiup badai.
Wuuusssh...!
"Aaaa!" Ratu Teluh Bumi terlempar ke jurang. Tubuhnya melayang-layang. Jeritannya menggema berkepanjangan. Makin lama makin kecil suara gemanya itu, sampai pada akhirnya tak terdengar lagi sedikit pun bunyi jeritan itu. Seakan jeritan histeris hilang ditelan mulut jurang yang rakus dan lahap terhadap mangsanya itu.
Dayang Kesumat tetap diam, cantik tapi angker, ia menghembuskan napas kelegaan melihat lawannya terlempar ke jurang, ia pandangi jurang gelap itu sesaat, kemudian sunggingkan senyum tipis sebagai senyum kemenangan. Setelah itu, ia tinggalkan tepian jurang dengan langkah yang terlihat tegas, tegap dan meyakinkan.
"Selamat tinggal, Latu Teluh! Mudah-mudahan nyawamu tidak telsesat mencali jalan menuju nelaka!" kata Dayang Kesumat di dalam hatinya, ia pun segera melesat tinggalkan Bukit Gelagah itu
Tanpa diketahui oleh Dayang Kesumat, suara jeritan Ratu Teluh Bumi itu telah memudarkan semadi seseorang yang tinggal di dasar Jurang Petaka itu. Terpaksa orang tersebut lepaskan masa semadinya walau tetap duduk di tempatnya yang berbatu datar. Tanpa memandang ke atas, orang tersebut menadahkan kedua tangannya di atas kepala. Lebih dari dua helaan napas tangan itu menadah dengan pandangan mata tetap lurus.
Kira-kira empat helaan napasnya setelah itu, kedua tangan yang menadah itu dijatuhi tubuh Ratu Teluh Bumi. Anehnya, gerakan jatuhnya tubuh itu menjadi pelan ketika mendekati tubuh orang yang sedang duduk bersila itu. Bahkan ketika menempel di tangan yang tengadah, tubuh Ratu Teluh Bumi tak sempat mengguncangkan sehelai pun rambut orang itu. Tak ada suara, tak ada gerakan. Semuanya terjadi dengan sangat pelan. Tetapi kejap berikutnya, terdengar suara kasar, brukk...! Itu suara tubuh Ratu Teluh Bumi yang dilemparkan ke arah belakang oleh orang yang sedang semadi itu.
"Uhhg...! Monyet...!" maki Ratu Teluh Bumi dalam hati. Perempuan itu tidak mati. Perempuan itu hanya mengalami luka dalam akibat pukulan berasap dari Dayang Kesumat itu. Tapi seandainya tubuhnya tidak disangga dan gerakannya tidak diatur oleh orang yang sedang duduk bersila itu, maka tubuh Ratu Teluh Bumi sudah pasti hancur tak berbentuk lagi. Ketinggian jurang itu sangat mengerikan jika dipandang dari bawah.
Orang yang menyelamatkan Ratu Teluh Bumi itu duduk bersila tanpa peduli dengan keluh dan raungan kecil di belakangnya. Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Matanya memandang ke satu arah tak berkedip. Di depannya itu, ada sungai kecil dengan lebar antara dua tombak. Celah-celah bebatuannya mempunyai tanaman setinggi mata kaki. Di sela-sela tanaman jenis rumput merah itu, tersumbul sebatang tanaman bunga yang tingginya satu betis.
Tanaman yang paling tinggi dari semua tanaman di depan orang itu mempunyai daun berbentuk segi tiga sama sisi. Daunnya tak lebat, lebarnya sama dengan daun beringin. Warnanya hijau kehitam-hitaman. Tanaman itu hanya mempunyai satu batang yang meluncur ke atas sebatas betis. Sedangkan orang yang memandangi tanaman itu duduk di atas batu datar yang tingginya sebatas betis orang dewasa, sehingga tanaman itu seolah-olah ada dibawahnya. Jarak tempat bersila dengan tanaman itu hanya satu langkah.
Di ujung tanaman ada kuncup bunga yang masih kecil. Kecil sekali, kira-kira sekecil biji kapas. Ujung tanaman itulah yang menjadi pusat pandangan mata tak berkedip itu. Entah sudah berapa lama orang itu pandangi tanaman bunga aneh tersebut. Entah dengan maksud apa hal itu dilakukan. Yang jelas, ia tak pernah berpaling sedikit pun dari pandangannya. Jika ada sesuatu yang mendekat ia dapat menghalaunya dengan gerakan tangan tanpa melihat sasaran. Seperti halnya saat ia menopang tubuh Ratu Teluh Bumi, tanpa memandang ke arah atas ia sudah bisa membuat tubuh itu tepat jatuh di kedua tangannya.
Di samping orang itu mengenakan kerudung dari kepala sampai kaki, ia juga mempunyai senjata berupa tongkat berujung sabit panjang. Mata sabit yang menyerupai paruh burung itu sangat tajam dan berkilauan. Senjata itu dinamakan pusaka El Maut. Dan orang yang bersenjata El Maut dengan pakaian kerudung kain hitam, dengan wajah putih bagai berbedak tebal, dengan bibir biru bagai bergincu mayat, dengan hidung bangir mencipta ketampanan tersendiri, dengan pandangan mata dingin bersama raut mukanya yang dingin bak manusia berwajah salju, tak lain dan tak bukan adalah Siluman Tujuh Nyawa, ia mempunyai nama asli Durmala Sanca.
Orang ini adalah tokoh sesat yang amat sakti. Selain terkenal sakti, juga terkenal keji dan ganas. Usianya sudah sangat tua, lebih dari dua ratus tahun, tapi raut mukanya masih seperti pemuda berusia dua puluh tujuh tahun. Itulah Siluman Tujuh Nyawa, yang menjadi musuh utama bagi Pendekar Mabuk.
Ratu Teluh Bumi pernah mendengar nama itu, tapi belum pernah jumpa dengan orangnya. Karena itu, ia tidak tahu siapa orang yang telah menolongnya, namun juga bagai tak peduli akan dirinya itu. Ratu Teluh Bumi mencoba membangunkan semadi orang itu dengan merayap mendekati orang tersebut dari arah belakang. Badan Ratu Teluh Bumi sangat lemah. Dadanya terasa panas sekali. Pernapasannya menjadi sangat sesak, berat untuk dihela. Darah yang keluar dari mulutnya saat mendapat pukulan Dayang Kesumat tadi sekarang sudah hampir mengering dihembus angin jurang. Dengan suara berat Ratu Teluh Bumi berkata dari belakang Siluman Tujuh Nyawa,
"Aku terluka di dalam. Tolonglah aku...!"
Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Matanya tetap tak berkedip pandangi ujung tanaman hijau kehitaman itu. Ia seperti orang tuli, tak mendengar ucapan lirih itu.
"Tolonglah aku... Aku tak kuat...!"
"Kau sudah kutolong," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datarnya yang terkenal dingin itu.
"Aku... masih sakit..."
"Kau berhutang nyawa padaku."
"Biarlah... biarlah aku berhutang dua nyawa denganmu. Pertama kau selamatkan aku dari ketinggian jurang ini, kedua... tolong selamatkan aku dari luka di dalam dadaku ini.... Aku percaya, kau bisa mengobati lukaku!"
"Apa upahnya untuk pertolongan dua nyawa?"
"Ter... terserah... apa maumu, aku akan lakukan!"
"Kumau kau mati saja!"
Suara datar dan dingin itu menyakitkan hati Ratu Teluh Bumi. Kalau tidak dalam keadaan sedang sakit begitu berat, Ratu Teluh Bumi sudah menyerang orang itu karena ucapan yang seenaknya saja itu. Tapi demi mendapatkan pertolongan, Ratu Teluh Bumi akhirnya berkata, "Aku... aku masih ingin hidup..."
"Untuk apa kau hidup?"
"Untuk... membalas dendamku kepada lawan yang mengirimku ke jurang ini!"
Sepi kembali tercipta dan mencekam. Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Tak ada gerak, tak ada kedipan mata. Sementara itu, Ratu Teluh Bumi semakin memperdengarkan engahan tarik napasnya yang memberat dan tampak tersiksa sekali.
Kejap berikut, barulah Siluman Tujuh Nyawa berkata, "Aku tidak punya pelayan."
"Biarlah... aku saja yang menjadi pelayanmu. Aku bersedia "
"Kau berjanji?"
"Ya. Aku berjanji, jika kau tolong aku, aku bersedia menjadi pelayanmu. Ooh... semakin panas sekujur tubuhku rasanya"
"Peganglah jubahku!" kata Durmala Sanca.
Ratu Teluh Bumi tak paham maksud kata-kata itu. Tapi kemudian ia melakukan apa yang diperintahkan orang berjubah hitam sekujur tubuhnya itu. Ratu Teluh Bumi memegang jubah tersebut dengan kedua tangannya. Kemudian, ia melihat sendiri kulit tubuhnya menjadi menyala. Seperti ada sinar biru yang berpendar-pendar mengelilingi seluruh tubuhnya.
Pada saat sinar biru itu menyala di tubuhnya, Ratu Teluh Bumi merasakan ada kesejukan yang meresap ke dalam tubuhnya. Kesejukan itu seakan begitu damai dan menyenangkan hati. Ratu Teluh Bumi meresapi kesejukan itu dengan mata terpejam pelan-pelan. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa tidak bergerak sedikit pun. Bahkan berpaling pun tidak. Napasnya pun terdengar biasa-biasa saja, tidak ditahan, tidak dihembuskan kencang. Matanya masih tetap tertuju pada bunga yang belum tumbuh itu.
Setelah beberapa saat, Ratu Teluh Bumi merasakan hawa panas di dalam dadanya hilang sama sekali. Otaknya pun terasa menjadi terang, urat-uratnya menjadi segar kembali, dan peredaran darahnya terasa sangat lancar.
"Lepaskan jubahku..!" perintah Durmala Sanca dengan tetap bernada dingin, bagai manusia tanpa perasaan.
Ratu Teluh Bumi lepaskan jubah hitam itu, dan ternyata tubuhnya kembali segar. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa letih, tak ada rasa lemas, yang ada hanya sebentuk kehidupan yang penuh semangat. Ratu Teluh Bumi hembuskan napas dengan lega sambil ia berdiri dan menggerak-gerakkan badannya untuk mencari sesuatu yang masih terasa mengganggu, ternyata tak ada yang terasa mengganggu tubuhnya.
"Sekarang kau adalah pelayanku! Kau harus turut dengan perintahku, Ratu Teluh Bumi...!"
Terkesiap mata Ratu Teluh Bumi mendengar namanya disebutkan, ia sangat heran mengetahui orang itu bisa sebutkan namanya. Lalu, ia bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya? Mengapa kau bisa tahu namaku?"
"Karena aku menyukai tindakanmu yang tegas dan tidak pandang bulu! Kau berani membunuh siapa saja yang menentangmu tanpa ragu-ragu lagi"
Ratu Teluh Bumi berdebar-debar, merasa disanjung seseorang atas segala yang dilakukannya selama ini. Ia semakin yakin bahwa ia benar dalam bersikap selama ini. "Lalu, satu lagi pertanyaanku belum kaujawab, siapa kamu?"
"Kau pernah dengar namaku, tapi mungkin baru kali ini kau bertemu denganku. Kau pasti pernah mendengar Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ya. Betul. Aku pernah dengar nama orang sakti itu!"
"Akulah Siluman Tujuh Nyawa!"
"Kau...?!" Ratu Teluh Bumi terpekik. Lalu cepat-cepat ia bergeser ke depan dan pandangi wajah orang itu baik-baik. Ia pandangi tombak El Maut yang ditancapkan di tanah samping kanan batu datar yang dipakainya duduk itu. Tetapi yang dipandangi tetap diam tak bergerak, matanya tetap lurus ke arah tanaman aneh tersebut. "Oh, benar! Kau memang Siluman Tujuh Nyawa! Oh, senang sekali hatiku bisa bertemu denganmu!"
"Jangan sentuh aku lagi!" katanya dengan cepat dan tetap dingin. "Selimut racunku telah kupasang. Kalau kau sentuh aku, kau akan mati dalam tiga hitungan!"
Ratu Teluh Bumi yang ingin menggenggam tangan Siluman Tujuh Nyawa sebagai ungkapan rasa gembiranya, terpaksa terhenti seketika, ia justru menjadi kagum mendengar selimut racun dikenakan oleh orang itu dan akan mematikan jika disentuh. Padahal sejak tadi Ratu Teluh Bumi tahu, tak ada gerakan atau jurus yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa kecuali diam memandangi tanaman.
"Kalau boleh aku tahu, tanaman apa yang kau pandangi itu!"
"Namanya bunga Sukma Weling."
"Nama yang aneh, pasti punya arti besar! Boleh aku tahu?"
"Bunga itu mempunyai kekuatan gaib yang sangat ampuh. Di dalam bunga itu, tersimpan satu kekuatan yang bernama ilmu 'Sabda iblis'!"
"Ilmu 'Sabda Iblis'...?! ilmu macam apa itu?" tanya Ratu Teluh Bumi semakin tertarik untuk mendengarkan penjelasan Siluman Tujuh Nyawa.
"Ilmu 'Sabda Iblis' adalah ucapan yang bisa menjadi kenyataan. Orang yang makan bunga itu, akan langsung mempunyai ilmu 'Sabda Iblis'. Orang yang mempunyai ilmu 'Sabda Iblis', maka apa yang dikatakannya pasti menjadi kenyataan!"
"Hebat sekali kekuatan ilmu itu? Lalu, mengapa kau pandangi terus bunga itu?"
"Dia baru bisa mekar setelah seratus tahun usianya! Tetapi jika selalu disiram dengan hawa murni maka pertumbuhannya menjadi cepat sekali. Jika penyiramannya dilakukan secara terus-menerus tanpa henti, maka bunga itu akan cepat tumbuh dan berkembang dalam waktu satu bulan lamanya!"
"Satu bulan?! Hmmm... Lantas kau sendiri telah melakukan penyiraman dengan hawa murni selama berapa hari?"
"Dua puluh tujuh hari!"
"Selama itukah kau duduk di sini dan memandangi bunga itu?!"
"Ya," jawab Siluman Tujuh Nyawa tak beralih pandang sedikit pun. Hal itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi terheran-heran dan kagum. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin sanggup melakukan semadi seperti yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa itu. Selama dua puluh tujuh hari, diam tak bergerak dan tak berkedip. Sungguh itu suatu perbuatan semadi yang cukup berat.
"Aku sangat kagum padamu," bisik Ratu Teluh Bumi dengan nada mendesah lirih, sepertinya punya arti sendiri bagi jiwa perempuan itu.
* * *
EMPAT
RATU Teluh Bumi merasa sangat beruntung dapat bertarung dengan Dayang Kesumat. Bahkan kalah dalam pertarungan ternyata bukan berarti harus mati selamanya. Kalah dalam pertarungan mempunyai sisi baik tersendiri yang kadang tak disadari oleh si penderita kekalahan. Andai dia menang melawan Dayang Kesumat, ia tidak akan temukan sesuatu yang sangat berharga dalam sejarah hidupnya, pertama bisa bertatap muka dengan tokoh sakti yang namanya cukup kondang dan ditakuti setiap orang itu, kedua bisa mendengar cerita tentang bunga ajaib yang bernama bunga Sukma Weling. Bahkan dari kekalahannya itu, Ratu Teluh Bumi punya keberuntungan, yaitu dapat melihat bentuk tanaman bunga yang tumbuhnya seratus tahun sekali itu. Konon tanaman seperti itu hanya ada di tanah Jawa.
Memperhatikan pertumbuhan bunga aneh itu, merupakan pengalaman yang amat mahal harganya. Apabila siang, tanaman bunga itu berubah warnanya menjadi kuning berkilauan, seperti tanaman dari logam emas mulia. Tapi jika malam tiba, tanaman itu berubah menjadi hijau kehitam-hitaman. Sebelum itu, pada senja hari menjelang matahari tenggelam, tanaman itu bentuknya tetap tapi wujudnya berubah, yaitu menjadi transparan, bagai tanaman dari kaca yang bisa tembus pandang. Kuncup bunganya pun menjadi seperti batu giok berwarna hijau kecoklat-coklatan.
"Mendengar kedahsyatan ilmu 'Sabda Iblis' saja aku sudah terkagum-kagum, apalagi melihat keampuhannya secara langsung!" pikir Ratu Teluh Bumi dalam kesendiriannya. Selama dia berada di Jurang Petaka itu, dia memang seperti seorang diri. Siluman Tujuh Nyawa hampir-hampir tak pernah mengajak bicara pada hari berikutnya.
Hanya pada malam perjumpaan mereka saja Siluman Tujuh Nyawa mau diajak bicara. Tapi esok harinya, ia bungkam seribu bahasa. Hanya satu kali ia berkata, "Jangan bicara denganku sebelum aku mengajakmu bicara!"
Manusia berdarah dingin itu benar-benar punya kharisma tinggi. Hanya satu kali dia berucap kata demikian, Ratu Teluh Bumi tidak pernah berani mengajaknya bicara lagi. Sekalipun demikian, diam-diam Ratu Teluh Bumi punya rasa kagum yang cukup tinggi terhadap Siluman Tujuh Nyawa, ia melihat dengan mata kepala sendiri, sikap duduk orang itu tak pernah berubah. Helaan napasnya pun tetap, pandangan matanya juga tak sedikit pun berubah.
Melalui cara penyembuhannya yang sungguh ajaib itu, Ratu Teluh Bumi bisa membayangkan sebegitu tinggi ilmu yang dimiliki Siluman Tujuh Nyawa, sehingga andai saja Ratu Teluh Bumi menjadi muridnya, jelas dia bisa melalap habis Dayang Kesumat. Diam-diam pula Ratu Teluh Bumi menaruh harapan, selama ia menjadi pelayannya Siluman Tujuh Nyawa, semoga ia bisa mendapat ilmu orang sakti itu walau hanya sebagian kecil saja. Barangkali secara mencuri-curi pun bisa ia lakukan, dan jelas ilmu kesaktiannya akan bertambah hebat lagi. Jika ia menjadi sakti seperti Siluman Tujuh Nyawa, maka orang-orang Jenggala itu dengan mudah dapat digulung habis.
Ratu Teluh Bumi benar-benar ingin menjadi murid Siluman Tujuh Nyawa. Sebab, hidupnya tidak akan tenang jika Jenggala belum berhasil direbut kembali ke tangannya. Ratu Teluh Bumi dulu adalah putri seorang Raja Jenggala. Tapi dengan adanya penggulingan kekuasaan, keluarganya menjadi hancur. Ayah, ibu, dan dua adiknya mati karena pembunuhan yang tak dapat dibuktikan. Tapi menurutnya, raja baru di Jenggala itulah yang menjadi dalang serangkaian pembunuhan terhadap sanak saudaranya, termasuk bibi dan pamannya sekeluarga. Tinggal dia yang masih hidup, dan segera melarikan diri untuk pertahankan hidupnya. Jika ia tidak bisa bertahan hidup, maka ia tak akan punya kesempatan untuk merebut Keraton Jenggala lagi.
Musuh utama Ratu Teluh Bumi yang mempunyai nama asli Ajeng Prawesti adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Karena pemuda peminum tuak itulah yang pernah membuatnya hampir mati akibat satu pertarungan di Kuil Swanalingga. Sampai sekarang kekalahan itu masih timbulkan dendam di hati Ratu Teluh Bumi. Dan musuh keduanya adalah Dayang Kesumat. Jika musuh yang lain lolos, tak jadi masalah. Tapi kedua musuh itu tak boleh lolos secara hidup-hidup.
Ratu Teluh Bumi bahkan punya rencana untuk minta bantuan Siluman Tujuh Nyawa untuk menumpas habis musuh-musuhnya itu. Tetapi permohonan itu tak bisa dilakukan sekarang, karena Siluman Tujuh Nyawa masih punya tugas mempercepat berkembangnya bunga Sukma Weling itu. Tetapi, agaknya bunga Sukma Weling sudah mulai mau berkembang.
Pada hari kedua Ratu Teluh Bumi tinggal di Jurang Petaka di sebuah rumah gubuk tak jauh dari tempat Siluman Tujuh Nyawa bersemadi, tiba-tiba ia telah dikejutkan dengan ukuran bunga yang sudah menjadi sebesar kacang tanah yang masih berkulit. Padahal malam harinya baru separo dari ukuran yang ada pagi itu. Dan pada malam berikutnya, bunga itu mulai membuka kelopaknya, ada sinar biru indah muncul dari tepian kelopak bunga.
Begitu indahnya bunga itu, sehingga Ratu Teluh Bumi tiada hentinya memandangi bunga tersebut. Tanpa sadar, ia telah salurkan hawa murni melalui pandangan matanya, dan disiramkan ke tanaman aneh itu. Akibatnya, pertumbuhan bunga tersebut menjadi lebih pesat. Ratu Teluh Bumi ikut menyiram bunga dengan hawa murninya sampai pagi menyingsing. Semestinya, bunga itu mekar pada menjelang sore nanti. Tapi pagi itu kelopaknya telah mekar.
Warna bunga itu merah bening, seperti kaca. Seolah-olah dari dalam benang sarinya tersembur sinar kecil warna merah, dan biru, sehingga bunga itu berwarna aneh. Merah bukan, biru bukan, ungu pun bukan. Tiga perpaduan warna itulah yang membuat indah bunga berkelopak bening itu. Semakin siang, semakin menarik warnanya. Semakin menyenangkan untuk dipandangi tanpa kedip.
Ratu Teluh Bumi berdiri di samping Siluman Tujuh Nyawa sejak kemarin malam dan ia tak merasakan jenuh atau capek sedikitpun. Rasa kantuk juga tak ada pada dirinya. Suatu hal yang aneh, sebab biasanya Ratu Teluh Bumi tak bisa tahan berdiri begitu lamanya tanpa kedip. Tiba-tiba di dalam hati Ratu Teluh Bumi tercetus gagasan sederhana. Hati itu mengatakan,
"Jika orang memakan bunga itu, apa yang dilontarkan dalam ucapan, pasti terjadi. Sabda Pendita Ratu! Apa yang dikatakan, itulah yang terjadi. Berarti bunga itu bisa dipakai untuk mengutuk seseorang. Dan dengan menyebar kutukan, tentunya aku pasti akan bisa melampiaskan dendamku kepada musuh-musuhku hanya melalui ucapanku! Oh, kenapa bunga itu tidak kumakan saja...?!"
Begitu terpetik gagasan demikian, maka dengan berkelebat cepat Ratu Teluh Bumi menyambar bunga itu. Tess...! Kemudian ia segera membawanya lari menjauhi Siluman Tujuh Nyawa. Tentu saja perbuatan itu sangat mengejutkan Durmala Sanca. Begitu kagetnya Siluman Tujuh Nyawa hingga ia terlonjak kaget, tubuhnya naik ke atas bagaikan terbang. Dalam keadaan melesat naik, ia sempat menyambar tongkat El Maut-nya.
Wuussst..!
Ratu Teluh Bumi terus melarikan diri dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, ia melompat ke sana kemari, dan tahu-tahu tercegat Siluman Tujuh Nyawa di depannya.
"Perempuan gila! Serahkan bunga itu!"
"Maaf, aku membutuhkannya, Durmala Sanca! Jadi kumohon..."
Wutt...! Tombak El Maut itu dikibaskan ke leher Ratu Teluh Bumi. Untung datangnya sempat diketahui dengan ekor mata Ratu Teluh Bumi, sehingga kibasan senjata yang ingin memenggal kepalanya itu bisa dihindari dengan cara merundukkan badan, berguling ke samping dan sentakkan kaki, lalu melesat pergi lagi.
"Perempuan tak tahu diuntung! Kembalikan atau kuhabisi nyawamu dari sini!" Orang berjubah hitam dari kepala sampai kaki itu tetap berdiri di tempatnya. Tetapi Ratu Teluh Bumi berlari terus dan mencari jalan ke mana saja yang bisa dilewati.
Melihat pencuri bunga itu terus berlarian tanpa mau berhenti, Siluman Tujuh Nyawa menjadi murka. Cukup lama ia tekuni menyiram bunga itu, begitu tumbuh dan berkembang disambar oleh perempuan yang telah diselamatkan dari maut itu. Sakit sekali hati Siluman Tujuh Nyawa kepada Ratu Teluh Bumi. Karena itu ia tak segan-segan lepaskan pukulan mautnya ke arah Ratu Teluh Bumi.
Senjata El Maut itu dilemparkan dari jarak jauh. Wuungng...! Senjata itu bergerak memutar-mutar bagai ingin membabat apa saja yang ditemuinya. Arah lemparan tertuju kepada Ratu Teluh Bumi. Sementara itu, Siluman Tujuh Nyawa sendiri berkelebat mengejar Ratu Teluh Bumi dengan jurus silumannya.
Zlappp...!
Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan Ratu Teluh Bumi. Senjata El Maut itu menebas leher atau apa saja yang ada pada diri Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu sempat berlindung di balik bebatuan besar, sehingga senjata itu luput dari kepalanya, dan tahu-tahu senjata itu sudah kembali hinggap di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Ratu Teluh Bumi segera teruskan langkah, tapi tak jadi karena ia dihadang oleh orang berkerudung hitam berwajah putih itu.
"Jangan bodoh kalau mau berumur panjang, Ratu Teluh Bumi! Kau telah mencuri bungaku itu, dan kau harus berikan padaku jika tak ingin melihat murkaku padamu!"
Tiba-tiba Ratu Teluh Bumi melihat gugusan batu menonjol di tebing itu. Tanpa mau layani kata-kata Siluman Tujuh Nyawa, Ratu Teluh Bumi pun segera sentakkan jempol kakinya ke tanah dan tubuhnya telah melayang cepat ke atas, lalu hinggap pada gugusan batu yang menempel di dinding tebing itu. Jlegg...!
"Keparat! Kau benar-benar memancing murkaku, Ratu Teluh!" seru Siluman Tujuh Nyawa. Kemudian ia lepaskan pukulan yang memancarkan selarik sinar merah yang keluar dari ujung sabit tongkat itu. Zlapp...! Sinar merah itu seperti tali yang memanjang dan terarah ke tubuh Ratu Teluh Bumi.
Jlarrr...! Batu tempat berpijak Ratu Teluh Bumi pecah seketika terkena sinar merah itu. Sementara Ratu Teluh Bumi sendiri telah melesat naik ke salah satu pohon jenis ilalang tebing, ia hinggap di ujung ilalang. Sementara itu juga, Siluman Tujuh Nyawa menggunakan jurus silumannya untuk berkelebat cepat mendului gerakan naik Ratu Teluh Bumi. Wuttt...!
Blarrr...! Tangan Siluman Tujuh Nyawa disentakkan dan cahaya ungu berkelebat keluar dari jari telunjuknya. Cahaya itu menghantam dinding tebing dan meledak, timbulkan gelombang hawa panas dari ledakannya itu yang menghempaskan tubuh Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu terlempar tak terkendalikan lagi. Tubuhnya melayang turun kembali dan tahu-tahu tersangkut pada semak pepohonan tebing. Bruss!
"Uuh...!" Ratu Teluh Bumi terpekik sebentar. Lalu cepat-cepat hatinya berkata, "Kenapa bunga ini tidak segera kumakan saja? Kalau bunga ini bisa untuk mengutuk orang, berarti bisa juga untuk menghentikan pengejaran Siluman Tujuh Nyawa!"
Maka dengan cepat Ratu Teluh Bumi melahap bunga itu. Zubb...! Bunga dimasukkan ke mulut. Tapi serangan Siluman Tujuh Nyawa muncul lagi. Ratu Teluh Bumi tepaksa menghindari dengan satu lompatan. Namun tubuhnya bagai tersedot ke belakang, ia pun akhirnya terpelanting dan menerabas semak tebing hingga sampai ke depan gubuk Siluman Tujuh Nyawa itu.
Brukk...!
Ratu Teluh Bumi ingin memekik, tapi mulutnya sibuk mengunyah bunga Sukma Weling dan segera menelannya. Pada waktu itu, Siluman Tujuh Nyawa sudah menyerang lagi dengan tubuhnya yang melayang bagaikan terbang. Senjatanya siap diayunkan ke depan untuk melukai tubuh Ratu Teluh Bumi. Mau tak mau Ratu Teluh Bumi kerahkan tenaganya untuk bangkit dengan cepat, kemudian melompat ke arah yang aman dengan bersalto satu kali di udara.
Wukkk...!
Crass...! Senjata El Maut menancap pada sebuah batu tempat Ratu Teluh Bumi tadi terkapar jatuh. Batu itu langsung menjadi merah seperti tersiram lahar, kemudian retak perlahan-lahan dan kepulkan asap putih kehitam-hitaman.
Melihat Ratu Teluh Bumi sudah bersiap larikan diri, Siluman Tujuh Nyawa segera sentakkan tangan kanannya, dan dari kuku-kuku runcing itu keluar lidah sinar merah berkelok-kelok yang tiada putusnya. Sinar itu segera menyergap tubuh Ratu Teluh Bumi. Zrruppp...! Tiba-tiba tubuh tersebut tak bisa bergerak lagi, bagai terikat benang merah yang panas rasanya.
"Hentikan!" bentak Ratu Teluh Bumi sambil menahan sakit. Seketika itu Siluman Tujuh Nyawa menghentikan serangannya, ia menjadi seperti orang bingung yang tak tahu harus berbuat apa dalam waktu begitu cepat.
Ratu Telah Bumi terkejut melihat tubuhnya telah berubah menjadi hitam seluruhnya. Tapi sebelum rasa kagetnya itu habis, warna hitam itu kembali hilang, dan menjadi biasa. Mungkin itulah pengaruh menelan bunga Sukma Weling, yang membuat bentakannya itu dituruti oleh Siluman Tujuh Nyawa.
"Diam di situ dan jangan kejar aku lagi! Mengerti?!"
"Mengerti!" jawab Siluman Tujuh Nyawa.
Ratu Teluh Bumi justru kaget melihat tokoh sesat yang teramat sakti itu menjadi diam dan menurut dengan perintahnya. Maka timbullah pertanyaan di dalam hati Ratu Teluh Bumi. "Apakah ini berarti aku telah menguasai ilmu "Sabda Iblis'?!"
Memperhatikan pertumbuhan bunga aneh itu, merupakan pengalaman yang amat mahal harganya. Apabila siang, tanaman bunga itu berubah warnanya menjadi kuning berkilauan, seperti tanaman dari logam emas mulia. Tapi jika malam tiba, tanaman itu berubah menjadi hijau kehitam-hitaman. Sebelum itu, pada senja hari menjelang matahari tenggelam, tanaman itu bentuknya tetap tapi wujudnya berubah, yaitu menjadi transparan, bagai tanaman dari kaca yang bisa tembus pandang. Kuncup bunganya pun menjadi seperti batu giok berwarna hijau kecoklat-coklatan.
"Mendengar kedahsyatan ilmu 'Sabda Iblis' saja aku sudah terkagum-kagum, apalagi melihat keampuhannya secara langsung!" pikir Ratu Teluh Bumi dalam kesendiriannya. Selama dia berada di Jurang Petaka itu, dia memang seperti seorang diri. Siluman Tujuh Nyawa hampir-hampir tak pernah mengajak bicara pada hari berikutnya.
Hanya pada malam perjumpaan mereka saja Siluman Tujuh Nyawa mau diajak bicara. Tapi esok harinya, ia bungkam seribu bahasa. Hanya satu kali ia berkata, "Jangan bicara denganku sebelum aku mengajakmu bicara!"
Manusia berdarah dingin itu benar-benar punya kharisma tinggi. Hanya satu kali dia berucap kata demikian, Ratu Teluh Bumi tidak pernah berani mengajaknya bicara lagi. Sekalipun demikian, diam-diam Ratu Teluh Bumi punya rasa kagum yang cukup tinggi terhadap Siluman Tujuh Nyawa, ia melihat dengan mata kepala sendiri, sikap duduk orang itu tak pernah berubah. Helaan napasnya pun tetap, pandangan matanya juga tak sedikit pun berubah.
Melalui cara penyembuhannya yang sungguh ajaib itu, Ratu Teluh Bumi bisa membayangkan sebegitu tinggi ilmu yang dimiliki Siluman Tujuh Nyawa, sehingga andai saja Ratu Teluh Bumi menjadi muridnya, jelas dia bisa melalap habis Dayang Kesumat. Diam-diam pula Ratu Teluh Bumi menaruh harapan, selama ia menjadi pelayannya Siluman Tujuh Nyawa, semoga ia bisa mendapat ilmu orang sakti itu walau hanya sebagian kecil saja. Barangkali secara mencuri-curi pun bisa ia lakukan, dan jelas ilmu kesaktiannya akan bertambah hebat lagi. Jika ia menjadi sakti seperti Siluman Tujuh Nyawa, maka orang-orang Jenggala itu dengan mudah dapat digulung habis.
Ratu Teluh Bumi benar-benar ingin menjadi murid Siluman Tujuh Nyawa. Sebab, hidupnya tidak akan tenang jika Jenggala belum berhasil direbut kembali ke tangannya. Ratu Teluh Bumi dulu adalah putri seorang Raja Jenggala. Tapi dengan adanya penggulingan kekuasaan, keluarganya menjadi hancur. Ayah, ibu, dan dua adiknya mati karena pembunuhan yang tak dapat dibuktikan. Tapi menurutnya, raja baru di Jenggala itulah yang menjadi dalang serangkaian pembunuhan terhadap sanak saudaranya, termasuk bibi dan pamannya sekeluarga. Tinggal dia yang masih hidup, dan segera melarikan diri untuk pertahankan hidupnya. Jika ia tidak bisa bertahan hidup, maka ia tak akan punya kesempatan untuk merebut Keraton Jenggala lagi.
Musuh utama Ratu Teluh Bumi yang mempunyai nama asli Ajeng Prawesti adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Karena pemuda peminum tuak itulah yang pernah membuatnya hampir mati akibat satu pertarungan di Kuil Swanalingga. Sampai sekarang kekalahan itu masih timbulkan dendam di hati Ratu Teluh Bumi. Dan musuh keduanya adalah Dayang Kesumat. Jika musuh yang lain lolos, tak jadi masalah. Tapi kedua musuh itu tak boleh lolos secara hidup-hidup.
Ratu Teluh Bumi bahkan punya rencana untuk minta bantuan Siluman Tujuh Nyawa untuk menumpas habis musuh-musuhnya itu. Tetapi permohonan itu tak bisa dilakukan sekarang, karena Siluman Tujuh Nyawa masih punya tugas mempercepat berkembangnya bunga Sukma Weling itu. Tetapi, agaknya bunga Sukma Weling sudah mulai mau berkembang.
Pada hari kedua Ratu Teluh Bumi tinggal di Jurang Petaka di sebuah rumah gubuk tak jauh dari tempat Siluman Tujuh Nyawa bersemadi, tiba-tiba ia telah dikejutkan dengan ukuran bunga yang sudah menjadi sebesar kacang tanah yang masih berkulit. Padahal malam harinya baru separo dari ukuran yang ada pagi itu. Dan pada malam berikutnya, bunga itu mulai membuka kelopaknya, ada sinar biru indah muncul dari tepian kelopak bunga.
Begitu indahnya bunga itu, sehingga Ratu Teluh Bumi tiada hentinya memandangi bunga tersebut. Tanpa sadar, ia telah salurkan hawa murni melalui pandangan matanya, dan disiramkan ke tanaman aneh itu. Akibatnya, pertumbuhan bunga tersebut menjadi lebih pesat. Ratu Teluh Bumi ikut menyiram bunga dengan hawa murninya sampai pagi menyingsing. Semestinya, bunga itu mekar pada menjelang sore nanti. Tapi pagi itu kelopaknya telah mekar.
Warna bunga itu merah bening, seperti kaca. Seolah-olah dari dalam benang sarinya tersembur sinar kecil warna merah, dan biru, sehingga bunga itu berwarna aneh. Merah bukan, biru bukan, ungu pun bukan. Tiga perpaduan warna itulah yang membuat indah bunga berkelopak bening itu. Semakin siang, semakin menarik warnanya. Semakin menyenangkan untuk dipandangi tanpa kedip.
Ratu Teluh Bumi berdiri di samping Siluman Tujuh Nyawa sejak kemarin malam dan ia tak merasakan jenuh atau capek sedikitpun. Rasa kantuk juga tak ada pada dirinya. Suatu hal yang aneh, sebab biasanya Ratu Teluh Bumi tak bisa tahan berdiri begitu lamanya tanpa kedip. Tiba-tiba di dalam hati Ratu Teluh Bumi tercetus gagasan sederhana. Hati itu mengatakan,
"Jika orang memakan bunga itu, apa yang dilontarkan dalam ucapan, pasti terjadi. Sabda Pendita Ratu! Apa yang dikatakan, itulah yang terjadi. Berarti bunga itu bisa dipakai untuk mengutuk seseorang. Dan dengan menyebar kutukan, tentunya aku pasti akan bisa melampiaskan dendamku kepada musuh-musuhku hanya melalui ucapanku! Oh, kenapa bunga itu tidak kumakan saja...?!"
Begitu terpetik gagasan demikian, maka dengan berkelebat cepat Ratu Teluh Bumi menyambar bunga itu. Tess...! Kemudian ia segera membawanya lari menjauhi Siluman Tujuh Nyawa. Tentu saja perbuatan itu sangat mengejutkan Durmala Sanca. Begitu kagetnya Siluman Tujuh Nyawa hingga ia terlonjak kaget, tubuhnya naik ke atas bagaikan terbang. Dalam keadaan melesat naik, ia sempat menyambar tongkat El Maut-nya.
Wuussst..!
Ratu Teluh Bumi terus melarikan diri dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, ia melompat ke sana kemari, dan tahu-tahu tercegat Siluman Tujuh Nyawa di depannya.
"Perempuan gila! Serahkan bunga itu!"
"Maaf, aku membutuhkannya, Durmala Sanca! Jadi kumohon..."
Wutt...! Tombak El Maut itu dikibaskan ke leher Ratu Teluh Bumi. Untung datangnya sempat diketahui dengan ekor mata Ratu Teluh Bumi, sehingga kibasan senjata yang ingin memenggal kepalanya itu bisa dihindari dengan cara merundukkan badan, berguling ke samping dan sentakkan kaki, lalu melesat pergi lagi.
"Perempuan tak tahu diuntung! Kembalikan atau kuhabisi nyawamu dari sini!" Orang berjubah hitam dari kepala sampai kaki itu tetap berdiri di tempatnya. Tetapi Ratu Teluh Bumi berlari terus dan mencari jalan ke mana saja yang bisa dilewati.
Melihat pencuri bunga itu terus berlarian tanpa mau berhenti, Siluman Tujuh Nyawa menjadi murka. Cukup lama ia tekuni menyiram bunga itu, begitu tumbuh dan berkembang disambar oleh perempuan yang telah diselamatkan dari maut itu. Sakit sekali hati Siluman Tujuh Nyawa kepada Ratu Teluh Bumi. Karena itu ia tak segan-segan lepaskan pukulan mautnya ke arah Ratu Teluh Bumi.
Senjata El Maut itu dilemparkan dari jarak jauh. Wuungng...! Senjata itu bergerak memutar-mutar bagai ingin membabat apa saja yang ditemuinya. Arah lemparan tertuju kepada Ratu Teluh Bumi. Sementara itu, Siluman Tujuh Nyawa sendiri berkelebat mengejar Ratu Teluh Bumi dengan jurus silumannya.
Zlappp...!
Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan Ratu Teluh Bumi. Senjata El Maut itu menebas leher atau apa saja yang ada pada diri Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu sempat berlindung di balik bebatuan besar, sehingga senjata itu luput dari kepalanya, dan tahu-tahu senjata itu sudah kembali hinggap di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Ratu Teluh Bumi segera teruskan langkah, tapi tak jadi karena ia dihadang oleh orang berkerudung hitam berwajah putih itu.
"Jangan bodoh kalau mau berumur panjang, Ratu Teluh Bumi! Kau telah mencuri bungaku itu, dan kau harus berikan padaku jika tak ingin melihat murkaku padamu!"
Tiba-tiba Ratu Teluh Bumi melihat gugusan batu menonjol di tebing itu. Tanpa mau layani kata-kata Siluman Tujuh Nyawa, Ratu Teluh Bumi pun segera sentakkan jempol kakinya ke tanah dan tubuhnya telah melayang cepat ke atas, lalu hinggap pada gugusan batu yang menempel di dinding tebing itu. Jlegg...!
"Keparat! Kau benar-benar memancing murkaku, Ratu Teluh!" seru Siluman Tujuh Nyawa. Kemudian ia lepaskan pukulan yang memancarkan selarik sinar merah yang keluar dari ujung sabit tongkat itu. Zlapp...! Sinar merah itu seperti tali yang memanjang dan terarah ke tubuh Ratu Teluh Bumi.
Jlarrr...! Batu tempat berpijak Ratu Teluh Bumi pecah seketika terkena sinar merah itu. Sementara Ratu Teluh Bumi sendiri telah melesat naik ke salah satu pohon jenis ilalang tebing, ia hinggap di ujung ilalang. Sementara itu juga, Siluman Tujuh Nyawa menggunakan jurus silumannya untuk berkelebat cepat mendului gerakan naik Ratu Teluh Bumi. Wuttt...!
Blarrr...! Tangan Siluman Tujuh Nyawa disentakkan dan cahaya ungu berkelebat keluar dari jari telunjuknya. Cahaya itu menghantam dinding tebing dan meledak, timbulkan gelombang hawa panas dari ledakannya itu yang menghempaskan tubuh Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu terlempar tak terkendalikan lagi. Tubuhnya melayang turun kembali dan tahu-tahu tersangkut pada semak pepohonan tebing. Bruss!
"Uuh...!" Ratu Teluh Bumi terpekik sebentar. Lalu cepat-cepat hatinya berkata, "Kenapa bunga ini tidak segera kumakan saja? Kalau bunga ini bisa untuk mengutuk orang, berarti bisa juga untuk menghentikan pengejaran Siluman Tujuh Nyawa!"
Maka dengan cepat Ratu Teluh Bumi melahap bunga itu. Zubb...! Bunga dimasukkan ke mulut. Tapi serangan Siluman Tujuh Nyawa muncul lagi. Ratu Teluh Bumi tepaksa menghindari dengan satu lompatan. Namun tubuhnya bagai tersedot ke belakang, ia pun akhirnya terpelanting dan menerabas semak tebing hingga sampai ke depan gubuk Siluman Tujuh Nyawa itu.
Brukk...!
Ratu Teluh Bumi ingin memekik, tapi mulutnya sibuk mengunyah bunga Sukma Weling dan segera menelannya. Pada waktu itu, Siluman Tujuh Nyawa sudah menyerang lagi dengan tubuhnya yang melayang bagaikan terbang. Senjatanya siap diayunkan ke depan untuk melukai tubuh Ratu Teluh Bumi. Mau tak mau Ratu Teluh Bumi kerahkan tenaganya untuk bangkit dengan cepat, kemudian melompat ke arah yang aman dengan bersalto satu kali di udara.
Wukkk...!
Crass...! Senjata El Maut menancap pada sebuah batu tempat Ratu Teluh Bumi tadi terkapar jatuh. Batu itu langsung menjadi merah seperti tersiram lahar, kemudian retak perlahan-lahan dan kepulkan asap putih kehitam-hitaman.
Melihat Ratu Teluh Bumi sudah bersiap larikan diri, Siluman Tujuh Nyawa segera sentakkan tangan kanannya, dan dari kuku-kuku runcing itu keluar lidah sinar merah berkelok-kelok yang tiada putusnya. Sinar itu segera menyergap tubuh Ratu Teluh Bumi. Zrruppp...! Tiba-tiba tubuh tersebut tak bisa bergerak lagi, bagai terikat benang merah yang panas rasanya.
"Hentikan!" bentak Ratu Teluh Bumi sambil menahan sakit. Seketika itu Siluman Tujuh Nyawa menghentikan serangannya, ia menjadi seperti orang bingung yang tak tahu harus berbuat apa dalam waktu begitu cepat.
Ratu Telah Bumi terkejut melihat tubuhnya telah berubah menjadi hitam seluruhnya. Tapi sebelum rasa kagetnya itu habis, warna hitam itu kembali hilang, dan menjadi biasa. Mungkin itulah pengaruh menelan bunga Sukma Weling, yang membuat bentakannya itu dituruti oleh Siluman Tujuh Nyawa.
"Diam di situ dan jangan kejar aku lagi! Mengerti?!"
"Mengerti!" jawab Siluman Tujuh Nyawa.
Ratu Teluh Bumi justru kaget melihat tokoh sesat yang teramat sakti itu menjadi diam dan menurut dengan perintahnya. Maka timbullah pertanyaan di dalam hati Ratu Teluh Bumi. "Apakah ini berarti aku telah menguasai ilmu "Sabda Iblis'?!"
* * *
LIMA
BISA dibayangkan betapa kecewanya hati Siluman Tujuh Nyawa. Hampir seluruh kekuatannya dicurahkan untuk menyirami bunga itu siang malam, tanpa makan, tanpa minum, tanpa bergerak, dan tanpa berkedip, juga tanpa buang air segala, semua dilakukan demi tumbuh dan berkembangnya bunga Sukma Weling. Ia juga menguras perhatian, menguras hawa murni, demi mencapai satu ilmu yang akan menjadi kebanggaannya. Namun ketika bunga itu berkembang dan ilmu itu datang, ternyata orang lain yang menuai dan memakan hasilnya.
Cukup lama Siluman Tujuh Nyawa terpaku di tempat karena perintah gaib dari Ratu Teluh Bumi. Ia tak bergerak mengejar sedikit pun kecuali memandangi kepergian si pencuri bunga dengan mulut tetap terkatup dan wajah tetap dingin. Setelah ia sadari keadaannya yang di luar kemauan pribadi, meledaklah murka sang tokoh sesat itu.
Dihancurkannya batu sebesar rumah di depannya dengan satu pukulan dahsyat. Dibakarnya gubuk persinggahannya sendiri dengan satu ilmu api yang sangat hebat. Dihantamnya pohon besar dengan tenaga dalam penuh kebencian, hingga pohon itu lenyap dan tinggal serbuk-serbuknya saja. Lalu wajah putihnya itu berubah menjadi merah dan mata dinginnya berubah menjadi bara. Ia berteriak sekeras-kerasnya di dalam jurang maut itu,
"Ratu Teluuuh...! Kubunuh seluruh keturunanmu untuk menebus kekecewaanku saat ini! Kucari kau ke mana pun kau berada, Bangsaaat...!" Lalu napasnya terengah-engah, giginya menggeletuk. Tanah yang dipijaknya keluarkan asap dan menjadi cekung, tongkat yang dipegangnya membekas hitam hangus membentuk kelima jari yang menggenggam.
Zlappp... Siluman Tujuh Nyawa masuk ke alam gaib. Tubuhnya menghilang dan gerakannya tak bisa dilihat lagi oleh mata telanjang, ia mengejar Ratu Teluh Bumi dari sisi lapisan kehidupan lain. Hal ini dilakukan supaya ruang geraknya lebih leluasa, lebih cepat dan membuat Ratu Teluh Bumi tidak merasa dikejar, ia sudah siapkan satu rencana untuk menguliti Ratu Teluh Bumi dalam keadaan hidup-hidup, kemudian menyayat-nyayat dagingnya selama satu bulan penuh tanpa henti.
Tetapi agaknya keberuntungan tetap berada di tangan Ratu Teluh Bumi. Siluman Tujuh Nyawa mengejar berlawanan arah dengan pelarian Ratu Teluh Bumi. Tentu saja hal itu membuat Ratu Teluh Bumi bagaikan menemukan kemenangan yang kedua kalinya. Arah utama yang dituju Ratu Teluh Bumi adalah negeri Jenggala. Ia ingin hancurkan negeri itu dengan ilmu 'Sabda Iblis'-nya, untuk kemudian membangunnya lagi dan duduk sebagai pewaris penguasa kerajaan itu melanjutkan kejayaan leluhurnya.
Tetapi langkah itu terhenti karena kemunculan seorang gadis berpakaian merah bata. Gadis itu bermata bundar dan berhidung mancung, kulitnya kuning langsat, ia mempunyai rambut lurus lemas sepanjang batas pundak, diikat dengan kain warna hijau. Sebilah pedang disandang di punggungnya.
Dan ia bergerak cepat menghadang langkah Ratu Teluh Bumi dengan satu pukulan jarak jauh lebih dulu yang dilepaskan ke sebuah pohon. Pohon itu rubuh tepat di depan Ratu Teluh Bumi. Ini membuat Ratu Teluh Bumi lompat mundur kira-kira tiga tindak. Setelah itu baru gadis itu tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum, dengan sorot pandangan mata yang bermusuhan.
"Sumping Rengganis...?!" gumam Ratu Teluh Bumi ketika mengenali siapa penghadang langkahnya itu.
Gadis yang bernama Sumping Rengganis segera menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan sikap siap tempur, ia pun membalas sapaan dengan sinis dan bersuara lantang. "Mau lari ke mana kau, Pencuri?! Sepandai-pandai kau sembunyi suatu saat pasti akan kutemukan juga, Ratu Teluh! Sekarang tiba saatnya kita bikin perhitungan!"
"Baiklah. Apa maumu sekarang, Sumping Rengganis?!"
"Pulangkan Kitab Pusaka Triwindu milik kakekku itu! Kau telah mencurinya dan karena itu kau harus mau kuserahkan kepada kakekku untuk diadili sesuai dengan ketentuan perguruannya!"
"Kau masih muda, Sumping Rengganis! Kau masih bau kencur, sehingga belum bisa memahami mengapa aku harus mencuri kitab pusaka itu. Jadi sebaiknya kau tak perlu ikut campur, Sumping Rengganis. Lebih baik kau urus dirimu yang sudah menjadi perawan tua dan butuh pendamping hidup yang setia!"
"Bicaramu mulai melantur, Ratu Teluh! Aku tahu kau terkejut saat melihat kemunculanku! Karena pasti kau menyangka aku tidak akan bisa mengejarmu! Wajahmu mulai pucat karena ketakutan, dan itu adalah wajah polos seorang pencuri yang tertangkap tak berkutik!"
Ratu Teluh Bumi sengaja sunggingkan senyum tipis sebagai kesan meremehkan kata-kata Sumping Rengganis. Ia juga melangkah dua tindak sehingga jaraknya menjadi empat langkah dari Sumping Rengganis. Mata Ratu Teluh Bumi memandang lekat-lekat wajah gadis ayu yang menurutnya sudah layak menyandang gelar perawan tua, karena usianya sudah mencapai tiga puluh tahun lebih.
Tetapi Sumping Rengganis tidak mau buang-buang waktu, ia segera mencabut pedangnya, srett...! Dan bersiap menyerang Ratu Teluh Bumi. Sementara lawannya terlihat tenang-tenang saja, seolah-olah tidak merasa gentar sedikit pun dengan pedang yang terhunus itu.
"Ratu Teluh Bumi, putuskan pilihanmu sekarang juga! Serahkan kitab yang kau curi itu, atau serahkan nyawa pencurimu?!"
"Silakan pilih sendiri sebatas kemauanmu, Sumping!"
"Kau memang manusia terkutuk, Ratu Teluh! Heaah...!" Sumping Rengganis melompat ke arah Ratu Teluh Bumi dan menebaskan pedangnya dengan cepat bagai hembusan angin badai.
Wuuttt...!
Pedang itu melintas miring dari depan wajah Ratu Teluh Bumi ke samping kanan. Tapi tak sampai menggores bagian tubuh Ratu Teluh Bumi karena dengan satu sentakan ringan, tubuh Ratu Teluh Bumi telah melompat mundur untuk menghindari tebasan pedang lawannya.
"Heeaat...!" Sumping Rengganis menusukkan pedang ke arah dada Ratu Teluh Bumi dengan gerakan cepat dan tak disangka-sangka. Brett! Baju hitam Ratu Teluh Bumi terkena tusukan itu dan menjadi robek. Tetapi tangan yang memegang pedang dalam keadaan menusuk lurus itu segera dapat dibuang oleh Ratu Teluh Bumi dengan tendangan berputar cepat satu kali.
Plakkk...!
Tendangan itu tepat mengenai bagian siku dari Sumping Rengganis. Karena kuatnya, tubuh Sumping Rengganis pun terbuang ke kiri dalam keadaan memutar. Dan kakinya cepat berkelebat sewaktu tubuhnya terputar.
Wuttt...!
Hampir saja kaki itu menampar kuat wajah Ratu Teluh Bumi jika kepala Ratu Teluh Bumi tidak segera ditariknya ke belakang.
Wess...!
Tapi tanpa diduga-duga kaki Sumping Rengganis yang satu pun bergerak cepat menyusul tendangan pertamanya yang meleset sasaran itu. Tendangan kedua ini lebih tidak disangka-sangka lagi oleh Ratu Teluh Bumi, sehingga kejap berikutnya wajahnya terdongak karena tendangan itu menyentak telak di bawah dagunya.
Dess...! Ratu Teluh Bumi hampir terlempar saat itu. Untung ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan terhuyung-huyung ke belakang. Tetapi dalam hatinya ia cepat membatin, "Jurus tendangan dan pedangnya memang cukup tinggi! Kalau aku tidak siap melapisi tubuhku dengan tenaga dalam yang tersalur menyeluruh, bisa remuk daguku oleh tendangannya tadi!"
Wukk! Wukkk...! Ratu Teluh Bumi bersalto ke belakang dua kali untuk menjaga jarak dengan lawannya. Tapi sang lawan cepat mengejar dengan satu lompatan, lalu pedangnya menebas lagi dari kiri ke kanan, menyilang dari pinggang ke arah dada.
Wuttt...!
Ratu Teluh Bumi hanya melompat mundur satu kali, lalu begitu melihat dada Sumping Rengganis membuka, satu pukulan tenaga dalam dilepaskan melalui telapak tangannya. Suttt..! Cahaya merah melesat dari tapak tangan itu. Tapi Sumping Rengganis agaknya juga sudah siap, sehinga dengan cepat tangan kirinya menyentak maju dan seberkas sinar hijau menghantam kecepatan gerak sinar merah itu.
Duesr...!
Gelombang ledakan berhawa panas menyentak sebar, membuat Sumping Rengganis terjajar mundur tiga tindak dalam keadaan limbung, sedangkan Ratu Teluh Bumi hanya tersentak satu tindak kebelakang. Napas segera ditahan oleh Ratu Teluh Bumi, kemudian ia berucap kata,
"Lumpuh kau, Sumping...!"
Brekk...!
Secara tiba-tiba Sumping Rengganis jatuh terkulai ditanah bagai cucian basah. Tak ada tenaga untuk bangkit sedikit pun. Kedua kakinya seolah-olah tidak lagi memiliki tulang dan urat sedikit pun. Sumping Rengganis menjadi kebingungan, ia masih bisa menggerakkan tangannya untuk menopang badan, tapi kedua kakinya tidak berdaya untuk berdiri. Sama sekali lemas dan tak mampu digerakkan. Bahkan kedua kaki itu seperti mati rasa. Andai dipotong pun tak akan merasakan sakit sedikitpun.
Sumping Rengganis belum tahu kekuatan ilmu 'Sabda Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi. Ia sama sekali tak menyadari bahwa jika Ratu Teluh Bumi menahan napas lalu ucapkan satu atau dua kata, maka apa yang diucapkannya itu menjadi kenyataan. Sumping Rengganis telah dikutuk oleh Ratu Teluh Bumi untuk menjadi lumpuh. Tetapi gadis cantik bermata indah itu tak mudah menyerah, ia segera lepaskan jurus 'Pedang Penjilat Nyawa' itu dalam keadaan terduduk di tanah. Pedangnya itu disentakkan ke depan dalam gerakan menusuk dengan dua tangan, kemudian selarik sinar biru melesat dari ujung pedang. Sinar biru itu meluncur cepat secara bertubi-tubi.
Jrab jrab jrab jrab...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting diudara dalam gerak berjungkir balik satu kali. Sinar biru yang melesat secara berturut-turut itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu segera berlubang antara lima atau enam tempat. Sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi segera dapat mendarat dengan aman setelah sebuah pukulan bercahaya sinar biru juga dilepaskan dari tangan kanannya dan menghantam pedang Sumping Rengganis.
Trangng...! Pedang itu terbuang jatuh karena hantaman sinar biru. Dan tiba-tiba pedang itu berasap lalu melelehkan logamnya. Pedang tersebut telah meleleh dan tak berwujud pedang lagi. Tinggal bagian gagangnya yang telah menjadi hangus bagaikan habis disambar petir tanpa ampun lagi.
Sumping Rengganis terkesiap melihat pedangnya bernasib malang. Matanya tak berkedip, mulutnya ternganga bengong, sementara itu kakinya masih belum bisa dipakai untuk berdiri, ia segera alihkan pandang kepada Ratu Teluh Bumi. Orang itu sunggingkan senyum sinis yang membakar amarah di dalam hati Sumping Rengganis, membuatnya semakin terengah-engah bagai orang habis melakukan pelarian jauh.
"Kau memang nakal, Bocah Kencur! Sudah lumpuh masih saja bandel dan berani menyerang!"
"Aku tak akan berhenti menyerangmu sebelum kau kembalikan kitab kakekku yang kau curi itu, Jahanam!"
"Oh, jadi kau ingin yang lebih parah lagi...?" Ratu Teluh Bumi melebarkan senyum dengan tenangnya. Lalu, ia segera tarik napas dan menahan napasnya sambil mengucapkan kata kutukan, "Kalau begitu, jadilah kau seekor serigala!"
Blarrr...!
Petir di langit menyambar bumi. Tak ada hujan tak ada mendung, petir itu seakan terkejut mendengar kutukan yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi, karena dalam sekejap saja, tubuh Sumping Rengganis telah berubah menjadi seekor serigala berbulu hitam.
"Aaauuu...!" Serigala itu meraung panjang, sebagai tanda raung kesedihan Sumping Rengganis setelah melihat tubuhnya berbulu, mulutnya maju dan mempunyai ekor di belakang. Serigala itu mempunyai mata merah, taring yang runcing, dan tajam, serta kuku yang tajam-tajam juga.
Ratu Teluh Bumi tertawa terkekeh-kekeh kegirangan. Ternyata ia mampu mengubah manusia menjadi seekor serigala. Hatinya sangat bangga terhadap ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu 'Sabda Iblis' itu digunakan untuk yang kedua kalinya, sebagai sasaran korban adalah Sumping Rengganis. Maka segeralah ia berkata,
"Kalau sudah begini mau apa kau, Sumping Rengganis?! Kau sudah bukan manusia lagi! Kau seekor serigala! Kau tak mungkin bisa menuntut kitab itu lagi! Sebaiknya segeralah kau pergi ke lereng bukit dan bergabunglah dengan kawanan serigala lainnya!"
"Gggrrr...!" serigala itu menggeram sambil menyeringai pamerkan gigi dan taringnya yang tajam-tajam itu.
Ratu Teluh Bumi hanya tersenyum-senyum penuh kemenangan yang memuaskan hatinya. Tetapi, tiba-tiba tubuhnya terpental dan jatuh terguling-guling ke samping. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga besar dilepaskan. Ratu Teluh Bumi sibuk mengagumi hasil kutukannya, sehingga tak tahu kalau ada serangan dari arah samping.
Jatuhnya Ratu Teluh Bumi membuat serigala itu segera melompat dan menerkamnya dengan raung geram kebuasannya. Ratu Teluh Bumi berusaha menghindari setiap cabikan kaki serigala dan gigitan binatang itu. Ia berguling-guling, sampai tubuhnya membentur pohon dan tak bisa bergerak lagi karena serigala itu sudah berada di depannya. Maka ia sentakkan pukulan tenaga dalam bercahaya kuning dari tangan kiri.
Wuttt...! Behgg...!
"Aiiik...!" binatang itu memekik, kemudian tubuhnya tersentak melayang ke belakang, ia terkena pukulan kuat. Dan ketika bangkit lagi, binatang itu segera larikan diri tanpa berpaling ke belakang.
Ratu Teluh Bumi bangkit, ia segera ingat ada musuh yang menyerangnya dari samping. Ketika ia memandang ke arah barat, ternyata seorang pemuda sedang berdiri terlolong bengong pandangi kepergian Sumping Rengganis yang sudah berubah menjadi seekor serigala. Pemuda itu seakan ragu dengan apa yang dilihatnya. Melihat ciri-ciri pemuda berambut panjang yang diikat ke belakang dengan tubuh yang tinggi, tegap, berpakaian hijau tua, dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya, Ratu Teluh Bumi segera kenali siapa pemuda itu.
"Jarum Lanang...!" ucap Ratu Teluh Bumi sebagai sebuah sapaan.
Pemuda yang berjuluk Jarum Lanang itu cepat palingkan wajah dan pandangi Ratu Teluh Bumi. Sang Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum ketusnya dengan mata menatap tajam, menyembunyikan kemarahan akibat diserang secara tiba-tiba.
"Bb... benarkah... benarkah serigala itu adalah Sumping Rengganis yang bertarung denganmu tadi?!" tanya Jarum Lanang dengan wajah memerah semu. Itu tandanya ia pun menahan kemarahan yang menegangkan jiwa, membakar darahnya.
"Ya. Itu adalah Sumping Rengganis, kekasihmu!"
"Biadab kau, Ratu Teluh!" geram Jarum Lanang.
"Terpaksa aku lakukan hal itu, karena ia menyerangku tiada hentinya, seperti seekor serigala yang buas!"
"Tentu saja dia menyerangmu, karena kamu mencuri kitab pusaka milik kakeknya!"
"Kalau kau sudah tahu begitu, lantas mau apa?" tantang Ratu Teluh Bumi.
"Harus membunuhmu dan menjadikan kamu daging cincang makanan para serigala!" sentak Jarum Lanang tak lagi bisa menahan diri. Kemudian dengan serta-merta ia melepaskan dua pisau terbangnya ke arah Ratu Teluh Bumi.
Wuttt wuttt...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting naik ke atas. Ketika bergerak turun, ia lepaskan satu pukulan tenaga dalam dari telapak tangannya, yaitu pukulan yang memercikkan sinar biru. Sinar itu melayang cepat ke arah Jarum Lanang, membuat si Jarum Lanang melompat ke kiri dan berguling satu kali di tanah, kejap berikutnya ia sudah berdiri lagi dengan tegap.
"Ratu Teluh! Aku harus melawanmu sampai mati untuk menuntut ucapanmu yang membuat Sumping Rengganis menjadi seekor serigala!" teriak Jarum Lanang dengan garangnya.
Ratu Teluh Bumi tenang-tenang saja. Tapi segera ia tarik napas dan menahan napasnya itu sambil berucap kata, "Kalau begitu, kau pun layak menjadi seekor tikus sebagai calon santapan serigala itu, Jarum Lanang!"
Blarrr...!
Petir kembali terkejut. Kilatan cahaya peraknya membakar langit. Dan seketika itu tubuh tegap Jarum Lanang pun lenyap. Yang ada hanyalah seekor tikus wirok berwarna abu-abu. Mencicit hendak menggigit kaki Ratu Teluh Bumi. Tapi dengan cepat kaki itu menendang dan tikus wirok itu pun terpental sambil serukan cicit yang menjerit. Kemudian tikus itu pun pergi dengan berlari bagai keberatan ekornya yang panjang.
Gerakan tikus berlari ketakutan itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi tertawa kegelian untuk yang kedua kalinya. Hati Ratu Teluh Bumi semakin besar, ia telah memiliki ilmu ampuh yang sangat jarang dimiliki oleh para tokoh di dunia persilatan baik dari kalangan tokoh tua maupun tokoh muda. Bahkan dalam hatinya Ratu Teluh Bumi berucap kata,
"Mana Dayang Kesumat? Mana Suto Sinting itu? Biar kukutuk mereka dengan ilmu 'Sabda Iblis'-ku untuk menjadi seekor cacing! Biar mudah bagi siapa saja yang ingin membunuhnya! Ha ha haha...!"
Sambil tertawa Ratu Teluh Bumi pun melanjutkan langkahnya. Arah tujuan tetap ke Kerajaan Jenggala yang sudah cukup lama ditinggalkan. Ketika ia melintasi sebuh desa, dan menemukan kedai, Ratu Teluh Bumi sempatkan diri untuk mengisi perutnya dan membasahi tenggorokannya. Namun baru saja ia ingin masuk ke kedai itu, tiba-tiba ia melihat sosok Prahasto dan seorang lagi yang cukup dikenalnya, yaitu Rakawuni.
Tanpa setahu mereka, Ratu Teluh Bumi berada di balik tenda penutup panas dari bahan kain kumal. Dari balik tenda penutup itu Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan Prahasto dengan Rakawuni,
"Jadi, Dayang Kesumat sudah bertemu denganmu dan mengatakan bahwa Ratu Teluh Bumi telah dibunuhnya?"
"Ya. Dayang Kesumat bilang, Ratu Teluh Bumi jatuh ke jurang dan bilamana perlu kita disuruh mencarinya sendiri! Maksudku, mencari bangkai si Ratu Teluh kampret itu! Ha ha ha ha...!"
"Bagus-bagus...! Rupanya kau layak menjadi prajurit sandi praja! Nanti akan kuusulkan kepada senopati untuk mengangkatmu menjadi prajurit sandi praja, dan akan kuceritakan kepada beliau, bagaimana kau punya akal untuk membunuh Ratu Teluh Bumi!"
"Aku tak keberatan, Rakawuni! Dan ceritakan pula kepada sang Senopati, bahwa Ratu Teluh Bumi yang berilmu tinggi itu akhirnya mati dalam tugasku. Kalau aku tidak melakukan adu domba begitu, aku tak akan sanggup membunuh Ratu Teluh Bumi. Ha ha ha...!"
Dari tempatnya berdiri, Ratu Teluh Bumi segera sadar bahwa ternyata selama ini ia telah diadu domba untuk bertarung melawan Dayang Kesumat. Dan ternyata pula Prahasto itu adalah orang Jenggala yang ditugaskan untuk membunuhnya. Maka, Ratu Teluh Bumi pun mengencangkan kedua tangannya, menggenggam kuat-kuat sambil menggeram lirih, "Jahanam! Licik dia!"
Cukup lama Siluman Tujuh Nyawa terpaku di tempat karena perintah gaib dari Ratu Teluh Bumi. Ia tak bergerak mengejar sedikit pun kecuali memandangi kepergian si pencuri bunga dengan mulut tetap terkatup dan wajah tetap dingin. Setelah ia sadari keadaannya yang di luar kemauan pribadi, meledaklah murka sang tokoh sesat itu.
Dihancurkannya batu sebesar rumah di depannya dengan satu pukulan dahsyat. Dibakarnya gubuk persinggahannya sendiri dengan satu ilmu api yang sangat hebat. Dihantamnya pohon besar dengan tenaga dalam penuh kebencian, hingga pohon itu lenyap dan tinggal serbuk-serbuknya saja. Lalu wajah putihnya itu berubah menjadi merah dan mata dinginnya berubah menjadi bara. Ia berteriak sekeras-kerasnya di dalam jurang maut itu,
"Ratu Teluuuh...! Kubunuh seluruh keturunanmu untuk menebus kekecewaanku saat ini! Kucari kau ke mana pun kau berada, Bangsaaat...!" Lalu napasnya terengah-engah, giginya menggeletuk. Tanah yang dipijaknya keluarkan asap dan menjadi cekung, tongkat yang dipegangnya membekas hitam hangus membentuk kelima jari yang menggenggam.
Zlappp... Siluman Tujuh Nyawa masuk ke alam gaib. Tubuhnya menghilang dan gerakannya tak bisa dilihat lagi oleh mata telanjang, ia mengejar Ratu Teluh Bumi dari sisi lapisan kehidupan lain. Hal ini dilakukan supaya ruang geraknya lebih leluasa, lebih cepat dan membuat Ratu Teluh Bumi tidak merasa dikejar, ia sudah siapkan satu rencana untuk menguliti Ratu Teluh Bumi dalam keadaan hidup-hidup, kemudian menyayat-nyayat dagingnya selama satu bulan penuh tanpa henti.
Tetapi agaknya keberuntungan tetap berada di tangan Ratu Teluh Bumi. Siluman Tujuh Nyawa mengejar berlawanan arah dengan pelarian Ratu Teluh Bumi. Tentu saja hal itu membuat Ratu Teluh Bumi bagaikan menemukan kemenangan yang kedua kalinya. Arah utama yang dituju Ratu Teluh Bumi adalah negeri Jenggala. Ia ingin hancurkan negeri itu dengan ilmu 'Sabda Iblis'-nya, untuk kemudian membangunnya lagi dan duduk sebagai pewaris penguasa kerajaan itu melanjutkan kejayaan leluhurnya.
Tetapi langkah itu terhenti karena kemunculan seorang gadis berpakaian merah bata. Gadis itu bermata bundar dan berhidung mancung, kulitnya kuning langsat, ia mempunyai rambut lurus lemas sepanjang batas pundak, diikat dengan kain warna hijau. Sebilah pedang disandang di punggungnya.
Dan ia bergerak cepat menghadang langkah Ratu Teluh Bumi dengan satu pukulan jarak jauh lebih dulu yang dilepaskan ke sebuah pohon. Pohon itu rubuh tepat di depan Ratu Teluh Bumi. Ini membuat Ratu Teluh Bumi lompat mundur kira-kira tiga tindak. Setelah itu baru gadis itu tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum, dengan sorot pandangan mata yang bermusuhan.
"Sumping Rengganis...?!" gumam Ratu Teluh Bumi ketika mengenali siapa penghadang langkahnya itu.
Gadis yang bernama Sumping Rengganis segera menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan sikap siap tempur, ia pun membalas sapaan dengan sinis dan bersuara lantang. "Mau lari ke mana kau, Pencuri?! Sepandai-pandai kau sembunyi suatu saat pasti akan kutemukan juga, Ratu Teluh! Sekarang tiba saatnya kita bikin perhitungan!"
"Baiklah. Apa maumu sekarang, Sumping Rengganis?!"
"Pulangkan Kitab Pusaka Triwindu milik kakekku itu! Kau telah mencurinya dan karena itu kau harus mau kuserahkan kepada kakekku untuk diadili sesuai dengan ketentuan perguruannya!"
"Kau masih muda, Sumping Rengganis! Kau masih bau kencur, sehingga belum bisa memahami mengapa aku harus mencuri kitab pusaka itu. Jadi sebaiknya kau tak perlu ikut campur, Sumping Rengganis. Lebih baik kau urus dirimu yang sudah menjadi perawan tua dan butuh pendamping hidup yang setia!"
"Bicaramu mulai melantur, Ratu Teluh! Aku tahu kau terkejut saat melihat kemunculanku! Karena pasti kau menyangka aku tidak akan bisa mengejarmu! Wajahmu mulai pucat karena ketakutan, dan itu adalah wajah polos seorang pencuri yang tertangkap tak berkutik!"
Ratu Teluh Bumi sengaja sunggingkan senyum tipis sebagai kesan meremehkan kata-kata Sumping Rengganis. Ia juga melangkah dua tindak sehingga jaraknya menjadi empat langkah dari Sumping Rengganis. Mata Ratu Teluh Bumi memandang lekat-lekat wajah gadis ayu yang menurutnya sudah layak menyandang gelar perawan tua, karena usianya sudah mencapai tiga puluh tahun lebih.
Tetapi Sumping Rengganis tidak mau buang-buang waktu, ia segera mencabut pedangnya, srett...! Dan bersiap menyerang Ratu Teluh Bumi. Sementara lawannya terlihat tenang-tenang saja, seolah-olah tidak merasa gentar sedikit pun dengan pedang yang terhunus itu.
"Ratu Teluh Bumi, putuskan pilihanmu sekarang juga! Serahkan kitab yang kau curi itu, atau serahkan nyawa pencurimu?!"
"Silakan pilih sendiri sebatas kemauanmu, Sumping!"
"Kau memang manusia terkutuk, Ratu Teluh! Heaah...!" Sumping Rengganis melompat ke arah Ratu Teluh Bumi dan menebaskan pedangnya dengan cepat bagai hembusan angin badai.
Wuuttt...!
Pedang itu melintas miring dari depan wajah Ratu Teluh Bumi ke samping kanan. Tapi tak sampai menggores bagian tubuh Ratu Teluh Bumi karena dengan satu sentakan ringan, tubuh Ratu Teluh Bumi telah melompat mundur untuk menghindari tebasan pedang lawannya.
"Heeaat...!" Sumping Rengganis menusukkan pedang ke arah dada Ratu Teluh Bumi dengan gerakan cepat dan tak disangka-sangka. Brett! Baju hitam Ratu Teluh Bumi terkena tusukan itu dan menjadi robek. Tetapi tangan yang memegang pedang dalam keadaan menusuk lurus itu segera dapat dibuang oleh Ratu Teluh Bumi dengan tendangan berputar cepat satu kali.
Plakkk...!
Tendangan itu tepat mengenai bagian siku dari Sumping Rengganis. Karena kuatnya, tubuh Sumping Rengganis pun terbuang ke kiri dalam keadaan memutar. Dan kakinya cepat berkelebat sewaktu tubuhnya terputar.
Wuttt...!
Hampir saja kaki itu menampar kuat wajah Ratu Teluh Bumi jika kepala Ratu Teluh Bumi tidak segera ditariknya ke belakang.
Wess...!
Tapi tanpa diduga-duga kaki Sumping Rengganis yang satu pun bergerak cepat menyusul tendangan pertamanya yang meleset sasaran itu. Tendangan kedua ini lebih tidak disangka-sangka lagi oleh Ratu Teluh Bumi, sehingga kejap berikutnya wajahnya terdongak karena tendangan itu menyentak telak di bawah dagunya.
Dess...! Ratu Teluh Bumi hampir terlempar saat itu. Untung ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan terhuyung-huyung ke belakang. Tetapi dalam hatinya ia cepat membatin, "Jurus tendangan dan pedangnya memang cukup tinggi! Kalau aku tidak siap melapisi tubuhku dengan tenaga dalam yang tersalur menyeluruh, bisa remuk daguku oleh tendangannya tadi!"
Wukk! Wukkk...! Ratu Teluh Bumi bersalto ke belakang dua kali untuk menjaga jarak dengan lawannya. Tapi sang lawan cepat mengejar dengan satu lompatan, lalu pedangnya menebas lagi dari kiri ke kanan, menyilang dari pinggang ke arah dada.
Wuttt...!
Ratu Teluh Bumi hanya melompat mundur satu kali, lalu begitu melihat dada Sumping Rengganis membuka, satu pukulan tenaga dalam dilepaskan melalui telapak tangannya. Suttt..! Cahaya merah melesat dari tapak tangan itu. Tapi Sumping Rengganis agaknya juga sudah siap, sehinga dengan cepat tangan kirinya menyentak maju dan seberkas sinar hijau menghantam kecepatan gerak sinar merah itu.
Duesr...!
Gelombang ledakan berhawa panas menyentak sebar, membuat Sumping Rengganis terjajar mundur tiga tindak dalam keadaan limbung, sedangkan Ratu Teluh Bumi hanya tersentak satu tindak kebelakang. Napas segera ditahan oleh Ratu Teluh Bumi, kemudian ia berucap kata,
"Lumpuh kau, Sumping...!"
Brekk...!
Secara tiba-tiba Sumping Rengganis jatuh terkulai ditanah bagai cucian basah. Tak ada tenaga untuk bangkit sedikit pun. Kedua kakinya seolah-olah tidak lagi memiliki tulang dan urat sedikit pun. Sumping Rengganis menjadi kebingungan, ia masih bisa menggerakkan tangannya untuk menopang badan, tapi kedua kakinya tidak berdaya untuk berdiri. Sama sekali lemas dan tak mampu digerakkan. Bahkan kedua kaki itu seperti mati rasa. Andai dipotong pun tak akan merasakan sakit sedikitpun.
Sumping Rengganis belum tahu kekuatan ilmu 'Sabda Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi. Ia sama sekali tak menyadari bahwa jika Ratu Teluh Bumi menahan napas lalu ucapkan satu atau dua kata, maka apa yang diucapkannya itu menjadi kenyataan. Sumping Rengganis telah dikutuk oleh Ratu Teluh Bumi untuk menjadi lumpuh. Tetapi gadis cantik bermata indah itu tak mudah menyerah, ia segera lepaskan jurus 'Pedang Penjilat Nyawa' itu dalam keadaan terduduk di tanah. Pedangnya itu disentakkan ke depan dalam gerakan menusuk dengan dua tangan, kemudian selarik sinar biru melesat dari ujung pedang. Sinar biru itu meluncur cepat secara bertubi-tubi.
Jrab jrab jrab jrab...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting diudara dalam gerak berjungkir balik satu kali. Sinar biru yang melesat secara berturut-turut itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu segera berlubang antara lima atau enam tempat. Sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi segera dapat mendarat dengan aman setelah sebuah pukulan bercahaya sinar biru juga dilepaskan dari tangan kanannya dan menghantam pedang Sumping Rengganis.
Trangng...! Pedang itu terbuang jatuh karena hantaman sinar biru. Dan tiba-tiba pedang itu berasap lalu melelehkan logamnya. Pedang tersebut telah meleleh dan tak berwujud pedang lagi. Tinggal bagian gagangnya yang telah menjadi hangus bagaikan habis disambar petir tanpa ampun lagi.
Sumping Rengganis terkesiap melihat pedangnya bernasib malang. Matanya tak berkedip, mulutnya ternganga bengong, sementara itu kakinya masih belum bisa dipakai untuk berdiri, ia segera alihkan pandang kepada Ratu Teluh Bumi. Orang itu sunggingkan senyum sinis yang membakar amarah di dalam hati Sumping Rengganis, membuatnya semakin terengah-engah bagai orang habis melakukan pelarian jauh.
"Kau memang nakal, Bocah Kencur! Sudah lumpuh masih saja bandel dan berani menyerang!"
"Aku tak akan berhenti menyerangmu sebelum kau kembalikan kitab kakekku yang kau curi itu, Jahanam!"
"Oh, jadi kau ingin yang lebih parah lagi...?" Ratu Teluh Bumi melebarkan senyum dengan tenangnya. Lalu, ia segera tarik napas dan menahan napasnya sambil mengucapkan kata kutukan, "Kalau begitu, jadilah kau seekor serigala!"
Blarrr...!
Petir di langit menyambar bumi. Tak ada hujan tak ada mendung, petir itu seakan terkejut mendengar kutukan yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi, karena dalam sekejap saja, tubuh Sumping Rengganis telah berubah menjadi seekor serigala berbulu hitam.
"Aaauuu...!" Serigala itu meraung panjang, sebagai tanda raung kesedihan Sumping Rengganis setelah melihat tubuhnya berbulu, mulutnya maju dan mempunyai ekor di belakang. Serigala itu mempunyai mata merah, taring yang runcing, dan tajam, serta kuku yang tajam-tajam juga.
Ratu Teluh Bumi tertawa terkekeh-kekeh kegirangan. Ternyata ia mampu mengubah manusia menjadi seekor serigala. Hatinya sangat bangga terhadap ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu 'Sabda Iblis' itu digunakan untuk yang kedua kalinya, sebagai sasaran korban adalah Sumping Rengganis. Maka segeralah ia berkata,
"Kalau sudah begini mau apa kau, Sumping Rengganis?! Kau sudah bukan manusia lagi! Kau seekor serigala! Kau tak mungkin bisa menuntut kitab itu lagi! Sebaiknya segeralah kau pergi ke lereng bukit dan bergabunglah dengan kawanan serigala lainnya!"
"Gggrrr...!" serigala itu menggeram sambil menyeringai pamerkan gigi dan taringnya yang tajam-tajam itu.
Ratu Teluh Bumi hanya tersenyum-senyum penuh kemenangan yang memuaskan hatinya. Tetapi, tiba-tiba tubuhnya terpental dan jatuh terguling-guling ke samping. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga besar dilepaskan. Ratu Teluh Bumi sibuk mengagumi hasil kutukannya, sehingga tak tahu kalau ada serangan dari arah samping.
Jatuhnya Ratu Teluh Bumi membuat serigala itu segera melompat dan menerkamnya dengan raung geram kebuasannya. Ratu Teluh Bumi berusaha menghindari setiap cabikan kaki serigala dan gigitan binatang itu. Ia berguling-guling, sampai tubuhnya membentur pohon dan tak bisa bergerak lagi karena serigala itu sudah berada di depannya. Maka ia sentakkan pukulan tenaga dalam bercahaya kuning dari tangan kiri.
Wuttt...! Behgg...!
"Aiiik...!" binatang itu memekik, kemudian tubuhnya tersentak melayang ke belakang, ia terkena pukulan kuat. Dan ketika bangkit lagi, binatang itu segera larikan diri tanpa berpaling ke belakang.
Ratu Teluh Bumi bangkit, ia segera ingat ada musuh yang menyerangnya dari samping. Ketika ia memandang ke arah barat, ternyata seorang pemuda sedang berdiri terlolong bengong pandangi kepergian Sumping Rengganis yang sudah berubah menjadi seekor serigala. Pemuda itu seakan ragu dengan apa yang dilihatnya. Melihat ciri-ciri pemuda berambut panjang yang diikat ke belakang dengan tubuh yang tinggi, tegap, berpakaian hijau tua, dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya, Ratu Teluh Bumi segera kenali siapa pemuda itu.
"Jarum Lanang...!" ucap Ratu Teluh Bumi sebagai sebuah sapaan.
Pemuda yang berjuluk Jarum Lanang itu cepat palingkan wajah dan pandangi Ratu Teluh Bumi. Sang Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum ketusnya dengan mata menatap tajam, menyembunyikan kemarahan akibat diserang secara tiba-tiba.
"Bb... benarkah... benarkah serigala itu adalah Sumping Rengganis yang bertarung denganmu tadi?!" tanya Jarum Lanang dengan wajah memerah semu. Itu tandanya ia pun menahan kemarahan yang menegangkan jiwa, membakar darahnya.
"Ya. Itu adalah Sumping Rengganis, kekasihmu!"
"Biadab kau, Ratu Teluh!" geram Jarum Lanang.
"Terpaksa aku lakukan hal itu, karena ia menyerangku tiada hentinya, seperti seekor serigala yang buas!"
"Tentu saja dia menyerangmu, karena kamu mencuri kitab pusaka milik kakeknya!"
"Kalau kau sudah tahu begitu, lantas mau apa?" tantang Ratu Teluh Bumi.
"Harus membunuhmu dan menjadikan kamu daging cincang makanan para serigala!" sentak Jarum Lanang tak lagi bisa menahan diri. Kemudian dengan serta-merta ia melepaskan dua pisau terbangnya ke arah Ratu Teluh Bumi.
Wuttt wuttt...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting naik ke atas. Ketika bergerak turun, ia lepaskan satu pukulan tenaga dalam dari telapak tangannya, yaitu pukulan yang memercikkan sinar biru. Sinar itu melayang cepat ke arah Jarum Lanang, membuat si Jarum Lanang melompat ke kiri dan berguling satu kali di tanah, kejap berikutnya ia sudah berdiri lagi dengan tegap.
"Ratu Teluh! Aku harus melawanmu sampai mati untuk menuntut ucapanmu yang membuat Sumping Rengganis menjadi seekor serigala!" teriak Jarum Lanang dengan garangnya.
Ratu Teluh Bumi tenang-tenang saja. Tapi segera ia tarik napas dan menahan napasnya itu sambil berucap kata, "Kalau begitu, kau pun layak menjadi seekor tikus sebagai calon santapan serigala itu, Jarum Lanang!"
Blarrr...!
Petir kembali terkejut. Kilatan cahaya peraknya membakar langit. Dan seketika itu tubuh tegap Jarum Lanang pun lenyap. Yang ada hanyalah seekor tikus wirok berwarna abu-abu. Mencicit hendak menggigit kaki Ratu Teluh Bumi. Tapi dengan cepat kaki itu menendang dan tikus wirok itu pun terpental sambil serukan cicit yang menjerit. Kemudian tikus itu pun pergi dengan berlari bagai keberatan ekornya yang panjang.
Gerakan tikus berlari ketakutan itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi tertawa kegelian untuk yang kedua kalinya. Hati Ratu Teluh Bumi semakin besar, ia telah memiliki ilmu ampuh yang sangat jarang dimiliki oleh para tokoh di dunia persilatan baik dari kalangan tokoh tua maupun tokoh muda. Bahkan dalam hatinya Ratu Teluh Bumi berucap kata,
"Mana Dayang Kesumat? Mana Suto Sinting itu? Biar kukutuk mereka dengan ilmu 'Sabda Iblis'-ku untuk menjadi seekor cacing! Biar mudah bagi siapa saja yang ingin membunuhnya! Ha ha haha...!"
Sambil tertawa Ratu Teluh Bumi pun melanjutkan langkahnya. Arah tujuan tetap ke Kerajaan Jenggala yang sudah cukup lama ditinggalkan. Ketika ia melintasi sebuh desa, dan menemukan kedai, Ratu Teluh Bumi sempatkan diri untuk mengisi perutnya dan membasahi tenggorokannya. Namun baru saja ia ingin masuk ke kedai itu, tiba-tiba ia melihat sosok Prahasto dan seorang lagi yang cukup dikenalnya, yaitu Rakawuni.
Tanpa setahu mereka, Ratu Teluh Bumi berada di balik tenda penutup panas dari bahan kain kumal. Dari balik tenda penutup itu Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan Prahasto dengan Rakawuni,
"Jadi, Dayang Kesumat sudah bertemu denganmu dan mengatakan bahwa Ratu Teluh Bumi telah dibunuhnya?"
"Ya. Dayang Kesumat bilang, Ratu Teluh Bumi jatuh ke jurang dan bilamana perlu kita disuruh mencarinya sendiri! Maksudku, mencari bangkai si Ratu Teluh kampret itu! Ha ha ha ha...!"
"Bagus-bagus...! Rupanya kau layak menjadi prajurit sandi praja! Nanti akan kuusulkan kepada senopati untuk mengangkatmu menjadi prajurit sandi praja, dan akan kuceritakan kepada beliau, bagaimana kau punya akal untuk membunuh Ratu Teluh Bumi!"
"Aku tak keberatan, Rakawuni! Dan ceritakan pula kepada sang Senopati, bahwa Ratu Teluh Bumi yang berilmu tinggi itu akhirnya mati dalam tugasku. Kalau aku tidak melakukan adu domba begitu, aku tak akan sanggup membunuh Ratu Teluh Bumi. Ha ha ha...!"
Dari tempatnya berdiri, Ratu Teluh Bumi segera sadar bahwa ternyata selama ini ia telah diadu domba untuk bertarung melawan Dayang Kesumat. Dan ternyata pula Prahasto itu adalah orang Jenggala yang ditugaskan untuk membunuhnya. Maka, Ratu Teluh Bumi pun mengencangkan kedua tangannya, menggenggam kuat-kuat sambil menggeram lirih, "Jahanam! Licik dia!"
* * *
ENAM
SENGAJA Ratu Teluh Bumi menghadang di tikungan jalan sepi. Dadanya sudah megap-megap mau jebol menahan amarah kepada Prahasto. Yang membuatnya menyesal adalah kebodohannya sendiri. Ratu Teluh Bumi menjadi merasa sangat bodoh, karena sudah berusia lima puluh tahun tapi masih bisa diadu domba oleh anak berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sungguh sangat memalukan dan menjengkelkan. Dan yang membuatnya lebih berang lagi adalah, bahwa ternyata Prahasto adalah orang Jenggala yang ditugaskan membunuhnya. Ini sungguh suatu tantangan yang mendidihkan darah Ratu Teluh Bumi.
Tak lama kemudian terlihatlah dua orang melangkah seiring sambil sesekali tertawa. Mereka itu adalah Rakawuni dan Prahasto. Melihat tawa Prahasto, jantung Ratu Teluh Bumi bagaikan dirogoh dengan paksa dan ingin meledak dalam remasan dendam. Sebetulnya sejak di kedai itu Ratu Teluh Bumi sudah ingin melampiaskan marahnya. Tapi ia tak ingin banyak orang tahu tentang kebodohannya yang telah berhasil diadu domba oleh Prahasto. Karenanya ia memilih menghadang mereka berdua di tikungan jalan sepi itu.
Sengaja Ratu Teluh Bumi tidak menegur mereka dan tetap berdiri di bawah pohon rindang dengan punggung bersandar pada batang pohon. Kedua tangannya bersidekap di dada, tapi matanya tetap mengawasi langkah kedua orang itu.
Tiba-tiba langkah Rakawuni terhenti setelah ia memandang ke arah samping. Maksudnya ingin bicara kepada Prahasto sambil memandang yang diajak bicara, tapi matanya menembus pemandangan seberang sehingga tertangkaplah sosok Ratu Teluh Bumi oleh pandangan mata Rakawuni.
Prahasto heran melihat Rakawuni berhenti dengan mata terbelalak. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Rakawuni? Kau seperti melihat setan saja?!"
Rakawuni memang tidak menjawab, tapi Prahasto segera palingkan wajah ke arah seberang dan ia pun menjadi terkejut melihat Ratu Teluh Bumi berdiri tenang di bawah pohon. Prahasto segera bergumam dengan nada penuh keheranan,
"Dayang Kesumat bilang dia sudah mati?!"
"Lalu, siapa yang di sana itu? Apakah arwahnya Ratu Teluh Bumi?"
"Hm...! Rakawuni, jagailah aku! Aku akan mendekatinya!"
"Baik! Aku pun sudah telanjur dipergoki olehnya sedang bersama kamu. Pasti dia tahu bahwa kamu adalah orang utusan dari Jenggala! Kita hadapi bersama saja apa yang ingin ia lakukan terhadap diri kita, Prahasto!"
Kemudian mereka berdua segera menghampiri Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tetap tenang saja. Sebab ia tahu, dalam sekejap ia bisa mengutuk mereka berdua sekehendak hatinya.
"Ratu Teluh...?!" Benarkah kau Ratu Teluh Bumi?" Prahasto berlagak heran dan cemas.
"Aku Ratu Teluh Bumi!" jawab perempuan itu.
"Oh, syukurlah kalau kau masih selamat! Bagaimana dengan Dayang Kesumat? Sudah berhasil kau bunuh?"
"Dayang Kesumat juga selamat. Sebentar lagi dia menemuimu, dia ingin kasih upah padamu, yaitu siksaan yang membuatmu menderita seumur hidup. Tapi sebelum itu, aku yang berhak menyiksamu lebih dulu!" Ratu Teluh Bumi bicara dengan tenang walau dadanya bergemuruh hebat.
Sementara itu, Rakawuni memandang dengan penuh waspada. Bahkan kali ini dia ikut angkat bicara menegur Ratu Teluh Bumi, "Lama kita tidak jumpa, Ajeng Prawesti!"
"Ya, dan sekali jumpa kita akan saling bunuh, Rakawuni!"
"Kenapa begitu? Kita dulu sahabat baik, Ajeng!"
"Dulu memang sahabat, tapi sejak kau ikut memberontak menggulingkan kekuasaan ayahku, kau sudah bukan lagi sahabat, melainkan musuh bagi diriku, Rakawuni!"
"Ah, itu urusan negara! Jangan campur adukkan urusan negara dengan persahabatan, Ratu Teluh Bumi!" kata Rakawuni berusaha untuk tidak tampakkan permusuhan.
Tapi agaknya Ajeng Prawesti tak bisa menahan sikap permusuhan itu, bahkan dengan ketusnya ia berkata, "Kalian mau maju bersama atau satu persatu?!"
Prahasto menyahut, "Hei, apa-apaan ini? Maksudmu bagaimana, Ratu Teluh Bumi?"
"Jangan berpura-pura bodoh, Prahasto!" geram Ratu Teluh, kini ia berdiri tegak, tanpa bersandar di pohon itu. Lanjutnya lagi, "Aku sudah tahu semua kedok yang kau pakai! Kau orang Jenggala, prajurit sandi yang bertugas membunuhku! Tapi kau tak mampu tandingi ilmuku, sehingga kau mengadu domba antara aku dengan Dayang Kesumat!"
Prahasto ingin ajukan sanggahan tapi ia tak bisa melakukan, karena ia tak punya alasan lain untuk menutupi kenyataan dirinya. Akhirnya Prahasto pun berkata, "Ya, memang aku orang Jenggala! Tapi aku cukup puas bisa mengadu domba kamu dengan Dayang Kesumat! Hanya saja aku tidak tahu, mengapa Dayang Kesumat mengatakan bahwa kau telah dibunuhnya dan dilemparkan ke jurang!"
"Dayang Kesumat tidak tahu kalau aku orang sakti yang melebihi dirinya! Bahkan dalam waktu sekejap akan kuhabisi orang-orang Jenggala, dan akan kurebut kembali takhta kerajaan yang menjadi warisan leluhurku itu!"
"Jaga bicaramu, Ratu Teluh!" geram Prahasto dengan nada mengancam, ia pun mundur dua tindak untuk bersiap melakukan serangan.
Tapi pada saat itu, Ratu Teluh Bumi menarik napas dan menahannya, lalu ia berkata kepada Prahasto, "Jangan berlagak pahlawan di depanku, Prahasto! Kau bukan seorang pahlawan, melainkan seekor ular berkepala dua!"
Zlappp...! Blarrr...!
Bukan Rakawuni saja yang terkejut, tapi sang petir juga ikut kaget. Tubuh Prahasto seketika itu berubah wujud menjadi seekor ular hitam berkepala dua. Rakawuni sempat melompat karena kagetnya, dan ular berkepala dua itu menggelosor-gelosor dengan lemas, bagai menangisi perubahan wujud dirinya. Ular itu sebesar jempol kaki orang dewasa. Panjangnya kira-kira satu tombak.
"Gila kau, Ajeng!" gumam Rakawuni bernada gemas. Setelah lama pandangi ular itu, ia segera menatap mata Ratu Teluh Bumi yang sering dipanggilnya Ajeng Prawesti. Rakawuni berkata, "Kejam sekali kau, Ajeng! Ilmumu cukup tinggi, itu kuakui! Tapi kau menjadi manusia berhati binatang jika begini caranya!"
"Ya, daripada kamu binatang yang berpura-pura menjadi manusia! Bagaimanapun juga ia tetap binatang! Kau sama juga dengan Prahasto! Rupanya kau pun lebih bagus jika kukutuk menjad..."
Wuttt...! Prokk!
Sebelum Ratu Teluh Bumi ucapkan kutuknya, kaki Rakawuni sudah lebih dulu menyerang dengan satu tendangan kuat. Tendangan itu berkelebat cepat dan tak disangka-sangka datangnya. Tepat mengenai mulut Ratu Teluh Bumi, membuat perempuan itu tersentak mundur dan menggeloyor hampir jatuh. Untung tangannya segera memegang batang pohon sehinggga tubuhnya tak sempat jatuh. Sementara itu, ular berkepala dua jelmaan dari Prahasto itu seperti mengalami ketakutan. Ular itu bergerak cepat melarikan diri masuk ke semak-semak dan menghilang disana.
"Ucapan Ajeng sangat berbahaya!" kata Rakawuni dalam hatinya. "Jadi sebaiknya yang kucecar adalah mulutnya, dan jangan kasih kesempatan dia untuk bicara!"
Wutt! Tubuh Rakawuni cepat melompat dan dalam sekejap sudah berada di depan Ratu Teluh Bumi. Ia sedikit melompat dan menendang dalam satu putaran tubuh cepat.
Wuesss...! Plokk!
Ratu Teluh Bumi kembali terkena tendangan putar dari kaki Rakawuni. Wajah yang terkena tendangan itu tersentak ke samping kiri dan tubuhnya pun terlempar ke kiri. Ia jatuh tersungkur dalam keadaan berdarah mulutnya. Rakawuni masih mencecarnya lagi dengan sebuah pukulan bertenaga dalam dari jarak jauh.
Wussttt..!
Segera tangan Ratu Teluh Bumi berkelebat melihat sinar putih terlepas dari telapak tangan Rakawuni. Kelebatan sebuah tangan Ratu Teluh Bumi itu memancarkan cahaya hijau terang, dan membentur cahaya putih tersebut.
Blarrr...! Gelombang ledakan terjadi dalam jarak dua jangkauan tangan dari depan Ratu Teluh Bumi. Akibatnya Ratu Teluh Bumi tersentak lagi dan terguling-guling di tanah, sementara Rakawuni hanya mundur dua tindak akibat hempasan angin gelombang panas itu.
"Aku harus kabur!" tiba-tiba hati Rakawuni berkata demikian. "Kalau aku tidak melarikan diri untuk pulang ke Jenggala, maka tak ada orang yang tahu bahwa Ratu Teluh Bumi atau Ajeng Prawesti akan menyerang istana dan merebut kekuasan sang Prabu! Aku yakin, Ajeng Prawesti akan berhasil memporak-porandakan Jenggala dengan ilmu kutuknya yang cukup tinggi dan berbahaya itu! Maka, selagi ia kesakitan, aku harus cepat-cepat melarikan diri pulang ke Jenggala...!"
Rakawuni bertindak penuh perhitungan, ia cepat melesat pergi tinggalkan Ratu Teluh Bumi. Sebenarnya bisa saja ia menyerang perempuan itu lagi. Tapi perhitungan dia, jika serangan itu meleset dan Ratu Teluh Bumi melepaskan kutuknya, maka tak akan ada orang yang melaporkan keadaan Ajeng Prawesti dan bahaya yang mengancam Jenggala.
Melihat Rakawuni kabur, Ratu Teluh Bumi segera tahan napas dan berseru keras-keras, "Rakawuni...! Ingat, Jenggala akan hancur dalam waktu singkat!"
Rakawuni tidak melayani seruan itu. Ia terus saja melarikan diri. Tapi Ratu Teluh Bumi masih penasaran walau ia telah lepaskan kutukannya itu. Ia pun bergegas dan berkelebat mengejar Rakawuni. Ia pun punya perhitungan bahwa Rakawuni akan menyebar kabar tentang rencana penyerangannya. Jika rencana kedatangannya ke Jenggala sudah diketahui penguasa setempat, maka setidaknya Ratu Teluh Bumi akan menghadapi banyak perintang. Untuk memperlancar rencananya, Rakawuni harus dibunuh lebih dulu. Itulah sebabnya ia harus bisa mengejar dan menangkap Rakawuni.
Hanya beda beberapa saat saja, Siluman Tujuh Nyawa tiba di tempat itu setelah Ratu Teluh Bumi mengejar Rakawuni. Siluman Tujuh Nyawa datang dari semak belukar dan tidak tahu bahwa di bawah pohon itu beberapa saat yang lalu berdiri orang yang dikejarnya. Mata dingin itu memandang sekeliling sambil menggeram dalam hati. Lalu, batinnya pun mengucap kata,
"Ke mana aku harus mencarinya? Ingin rasanya aku segera menemukan dia dan membeset-beset kulit tubuhnya! Tapi perempuan itu termasuk licin seperti belut! Hmm...! Sebaiknya kucari dia ke utara sana, siapa tahu dia tinggal di perkampungan itu!"
Siluman Tujuh Nyawa mencari berlawanan arah lagi, ia justru menuju ke perkampungan, tempat di mana ada sebuah kedai besar yang tadi dipakai makan oleh Rakawuni dan Prahasto. Namun ketika ia tiba di perbatasan desa, mendadak langkahnya terhenti dan ia harus melesat ke suatu gugusan tanah untuk sembunyikan diri. Ia melihat seorang pemuda berjalan tinggalkan desa itu.
Pemuda tersebut berpakaian baju coklat tanpa lengan dan celana putih. Pemuda itu menyandang bumbung tuak di punggungnya dan rambutnya panjang meriap tanpa diikat. Siluman Tujuh Nyawa mengenali betul wajah tampan pemuda itu, yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Pemuda itulah yang memburunya selama ini dan membuat Siluman Tujuh Nyawa bersembunyi di Jurang Petaka.
Agaknya Pendekar Mabuk baru saja mengisi perutnya di kedai tersebut, ia juga mengisi penuh bumbung tuaknya yang tak pernah ketinggalan selalu ada di sebelah kirinya itu. Tetapi ketika Suto melewati gugusan tanah yang membentuk gundukan bukit kecil itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dirasakan oleh firasatnya, ia mencium darah amis. Bau amis darah itu sangat samar-samar, dan ia tandai sebagai keadaan yang tak seberapa jauh dari tokoh sesat yang tangannya berlumur darah orang tak berdosa itu.
"Sepertinya dia ada di sekitar sini?" pikir Suto. Kemudian ia mengusap keningnya dengan tangan kiri. Slapp...! Keningnya itu mempunyai tanda merah kecil, pemberian Gusti Ratu Kartika Wangi dari alam gaib. Jika diusap memakai tangan kiri, maka Suto bisa melihat kehidupan di alam gaib. Apa yang tak tampak di mata orang awam akan tampak di mata Suto Sinting.
Tetapi Suto tetap tidak menemukan sosok manusia sesat yang diburunya. Hanya saja, sebuah cahaya terlihat membias dari balik gundukan tanah sebesar gajah bergandeng dua itu. Cahaya itu berwarna merah berpendar-pendar. Suto pandangi cukup lama gundukan tanah yang bagai menyembunyikan cahaya merah itu.
"Cahaya merah, jelas cahaya kemaksiatan dan kekuatan ilmu hitam," pikirnya. "Jika tidak dilihat dengan mata gaib, maka cahaya merah itu tidak akan kelihatan oleh mata biasa. Jika di balik gundukan tanah itu ada cahaya merah, berarti di sana ada kekuatan ilmu hitam yang cukup besar. Hmmm...! Apa yang ada di balik gundukan tanah itu sebaiknya kupaksa keluar saja dia...!"
Maka serta-merta Pendekar Mabuk sentakkan tangannya ke depan dan melesatlah sinar hijau mirip piringan bergerigi. Sinar hijau itulah yang dinamakan sinar 'Pecah Raga' yang biasnya jika mengenai lawan, maka tubuh lawan bisa pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Kali ini sinar hijau itu dihantamkan pada gundukan tanah tersebut. Tanah cadas itu pun pecah dalam satu dentuman menggelegar.
Blarrr...! Brrasss...!
Gundukan tanah cadas yang begitu besarnya pecah seketika, serpihan tanahnya menyembur ke segala arah. Bahkan sampai setinggi pohon kelapa tanah itu menyembur naik. Dan dari pecahan cadas itu muncul sekelebat bayangan hitam yang melompat tinggalkan tempat. Bayangan hitam itu berlari cepat bagaikan angin setan. Tapi Suto pun segera mengejarnya dengan kecepatan lebih tinggi lagi, sehingga dalam waktu singkat, Suto sudah menghadang di depan Siluman Tujuh Nyawa.
Wujud Suto sudah bisa tampak di mata telanjang, karena ia sudah mengusap kembali keningnya dengan tangan kanan, itu artinya ia menampakkan diri. Tujuh langkah sebelum mencapai Suto, orang berkerudung hitam yang menggenggam pusaka El Maut itu menghentikan langkahnya. Pendekar Mabuk memandang tajam wajah dingin itu, dan wajah dingin itu juga menatap lebih dingin lagi.
"Kau tak akan bisa lari lagi, Durmata Sanca!" kata Suto Sinting dengan suara tenang.
Durmala Sanca membalas, "Kau menyerahkan nyawa, Pendekar Mabuk! Jangan menyesal kalau saat ini adalah saat terakhirmu menghirup udara di permukaan bumi!"
"Aku tak akan menyesal! Tapi pastikanlah dirimu untuk tidak lari lagi dari hadapanku, Durmala Sanca!"
"Aku tak akan lari darimu! Ini pertemuan kita yang terakhir! Aku sudah cukup kuat dan bisa kalahkan luka yang kudapat darimu!"
"Bagus! Aku pun sudah lama menunggu saat-saat seperti ini, Durmala Sanca!"
Tangan Siluman Tujuh Nyawa mulai meremas tongkatnya sendiri. Pendekar Mabuk merasa ada yang meremas jantungnya. Mulai terasa sesak pernapasannya. Tetapi Suto tahu, gerakan tangan meremas tongkat itu adalah kekuatan tenaga dalam yang disalurkan lewat mata dan menembus ke mata Suto, lalu meremas kuat jantungnya agar pecah.
Suto pun kerahkan tenaga dalamnya, membuat jari tangannya berkuku terang. Kuku itu menyala merah membara, lalu Suto sentilkan jari tengah itu dengan satu sentakan pelan. Tess... Sentakan pelan itu melepaskan kekuatan tenaga dalam yang bernama jurus 'Lintang Kesumat'. Kekuatan dahsyat dari sentilan itu mengenai punggung tangan Durmala Sanca.
Crasss...! Punggung tangan yang memegangi tongkat itu pun robek dan berdarah, seperti habis terbacok ujung clurit. Maka genggaman tangan itu melemah, bahkan tongkat tersebut hampir terlepas jika tidak segera berpindah ke tangan yang kiri. Siluman Tujuh Nyawa segera kibaskan tangan yang berdarah, ia merasakan sakit, tapi wajahnya tetap kaku dan dingin, tanpa menampakkan perubahan wajah yang kesakitan. Luka-luka itu segera dijilatnya.
Slappp...! Dalam waktu kurang dari satu helaan napas, luka di punggung tangannya itu telah merapat kembali, menjadi kering dan menjadi seperti semula.
Keduanya masih sama-sama berdiri dengan kedua kaki merenggang. Suto tampak lebih tegap karena dadanya terbusung kekar. Mereka sama-sama saling membungkam mulut, tapi sebenarnya saling melepaskan serangan dan saling tangkis. Tiba-tiba dari mata Siluman Tujuh Nyawa pancarkan selarik sinar merah seperti lidi yang melesat ke dada Pendekar Mabuk. Tetapi sebelum sinar itu mengenai dadanya, Pendekar Mabuk telah lebih dulu menggerakkan bumbung tuaknya maju ke depan dada. Akibatnya sinar merah itu menghantam bumbung tuak dari bambu itu.
Trass...! Clappp...!
Sinar itu membelok arah, membentuk sudut kecil dan membalik ke dada Siluman Tujuh Nyawa. Dengan cepat Siluman Tujuh Nyawa menghadang sinar yang membalik itu dengan tongkatnya. Gagang tongkat itu menjadi sasaran ujung sinar yang masih seperti lidi. Clapp...! Sinar itu juga membelok membentuk sudut kecil dan mengarah ke perut Pendekar Mabuk. Melihat gerakan sinar yang tidak bisa ditangkis lagi dengan bumbung tuak, karena bumbung tuak sedang menahan sinar pertama, maka Pendekar Mabuk cepat-cepat sentakkan tangannya ke perut. Sinar itu ditangkis dengan jari kuku tengahnya yang telah menyala hijau. Sinar sebesar lidi itu membentur kuku jari yang menyala hijau lalu membalik membentuk sudut sedikit lebar.
Clappp...! Kini keadaan sinar itu seperti rentangan benang kesana-sini membentuk huruf 'M' dalam keadaan miring. Dan pembalikan sinar dari jari tangan Suto itu tidak sempat ditangkis lagi oleh Siluman Tujuh Nyawa. Sinar itu tepat mengenai pahanya.
Crasss...!
"Ahg...!" Siluman Tujuh Nyawa terpekik. Sinar dari matanya padam seketika. Dengan begitu, padam pula semua sinar yang bersimpang siur tadi. Tapi keadaan paha Siluman Tujuh Nyawa cukup parah. Luka pada paha itu tembus ke belakang dihantam sinar merahnya sendiri. Paha itu berlubang dan mengucurkan darah. Lubang tembusan sinar merah itu sebesar tutup botol. Siluman Tujuh Nyawa menjadi samar-samar biru wajahnya. Matanya makin mendelik tak bisa berkedip.
Pendekar Mabuk segera lepaskan pukulan jurus 'Manggala'-nya. Tapi sebelum hal itu terjadi, zlappp...! Tubuh Siluman Tujuh Nyawa menghilang, ia lari melalui sisi alam gaib. Suto Sinting penasaran dan segera menghilang pula dengan mengusapkan tangannya ke kening. Zlapp...! Di alam gaib itu ia mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang jelas sudah terluka cukup parah.
Tak lama kemudian terlihatlah dua orang melangkah seiring sambil sesekali tertawa. Mereka itu adalah Rakawuni dan Prahasto. Melihat tawa Prahasto, jantung Ratu Teluh Bumi bagaikan dirogoh dengan paksa dan ingin meledak dalam remasan dendam. Sebetulnya sejak di kedai itu Ratu Teluh Bumi sudah ingin melampiaskan marahnya. Tapi ia tak ingin banyak orang tahu tentang kebodohannya yang telah berhasil diadu domba oleh Prahasto. Karenanya ia memilih menghadang mereka berdua di tikungan jalan sepi itu.
Sengaja Ratu Teluh Bumi tidak menegur mereka dan tetap berdiri di bawah pohon rindang dengan punggung bersandar pada batang pohon. Kedua tangannya bersidekap di dada, tapi matanya tetap mengawasi langkah kedua orang itu.
Tiba-tiba langkah Rakawuni terhenti setelah ia memandang ke arah samping. Maksudnya ingin bicara kepada Prahasto sambil memandang yang diajak bicara, tapi matanya menembus pemandangan seberang sehingga tertangkaplah sosok Ratu Teluh Bumi oleh pandangan mata Rakawuni.
Prahasto heran melihat Rakawuni berhenti dengan mata terbelalak. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Rakawuni? Kau seperti melihat setan saja?!"
Rakawuni memang tidak menjawab, tapi Prahasto segera palingkan wajah ke arah seberang dan ia pun menjadi terkejut melihat Ratu Teluh Bumi berdiri tenang di bawah pohon. Prahasto segera bergumam dengan nada penuh keheranan,
"Dayang Kesumat bilang dia sudah mati?!"
"Lalu, siapa yang di sana itu? Apakah arwahnya Ratu Teluh Bumi?"
"Hm...! Rakawuni, jagailah aku! Aku akan mendekatinya!"
"Baik! Aku pun sudah telanjur dipergoki olehnya sedang bersama kamu. Pasti dia tahu bahwa kamu adalah orang utusan dari Jenggala! Kita hadapi bersama saja apa yang ingin ia lakukan terhadap diri kita, Prahasto!"
Kemudian mereka berdua segera menghampiri Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tetap tenang saja. Sebab ia tahu, dalam sekejap ia bisa mengutuk mereka berdua sekehendak hatinya.
"Ratu Teluh...?!" Benarkah kau Ratu Teluh Bumi?" Prahasto berlagak heran dan cemas.
"Aku Ratu Teluh Bumi!" jawab perempuan itu.
"Oh, syukurlah kalau kau masih selamat! Bagaimana dengan Dayang Kesumat? Sudah berhasil kau bunuh?"
"Dayang Kesumat juga selamat. Sebentar lagi dia menemuimu, dia ingin kasih upah padamu, yaitu siksaan yang membuatmu menderita seumur hidup. Tapi sebelum itu, aku yang berhak menyiksamu lebih dulu!" Ratu Teluh Bumi bicara dengan tenang walau dadanya bergemuruh hebat.
Sementara itu, Rakawuni memandang dengan penuh waspada. Bahkan kali ini dia ikut angkat bicara menegur Ratu Teluh Bumi, "Lama kita tidak jumpa, Ajeng Prawesti!"
"Ya, dan sekali jumpa kita akan saling bunuh, Rakawuni!"
"Kenapa begitu? Kita dulu sahabat baik, Ajeng!"
"Dulu memang sahabat, tapi sejak kau ikut memberontak menggulingkan kekuasaan ayahku, kau sudah bukan lagi sahabat, melainkan musuh bagi diriku, Rakawuni!"
"Ah, itu urusan negara! Jangan campur adukkan urusan negara dengan persahabatan, Ratu Teluh Bumi!" kata Rakawuni berusaha untuk tidak tampakkan permusuhan.
Tapi agaknya Ajeng Prawesti tak bisa menahan sikap permusuhan itu, bahkan dengan ketusnya ia berkata, "Kalian mau maju bersama atau satu persatu?!"
Prahasto menyahut, "Hei, apa-apaan ini? Maksudmu bagaimana, Ratu Teluh Bumi?"
"Jangan berpura-pura bodoh, Prahasto!" geram Ratu Teluh, kini ia berdiri tegak, tanpa bersandar di pohon itu. Lanjutnya lagi, "Aku sudah tahu semua kedok yang kau pakai! Kau orang Jenggala, prajurit sandi yang bertugas membunuhku! Tapi kau tak mampu tandingi ilmuku, sehingga kau mengadu domba antara aku dengan Dayang Kesumat!"
Prahasto ingin ajukan sanggahan tapi ia tak bisa melakukan, karena ia tak punya alasan lain untuk menutupi kenyataan dirinya. Akhirnya Prahasto pun berkata, "Ya, memang aku orang Jenggala! Tapi aku cukup puas bisa mengadu domba kamu dengan Dayang Kesumat! Hanya saja aku tidak tahu, mengapa Dayang Kesumat mengatakan bahwa kau telah dibunuhnya dan dilemparkan ke jurang!"
"Dayang Kesumat tidak tahu kalau aku orang sakti yang melebihi dirinya! Bahkan dalam waktu sekejap akan kuhabisi orang-orang Jenggala, dan akan kurebut kembali takhta kerajaan yang menjadi warisan leluhurku itu!"
"Jaga bicaramu, Ratu Teluh!" geram Prahasto dengan nada mengancam, ia pun mundur dua tindak untuk bersiap melakukan serangan.
Tapi pada saat itu, Ratu Teluh Bumi menarik napas dan menahannya, lalu ia berkata kepada Prahasto, "Jangan berlagak pahlawan di depanku, Prahasto! Kau bukan seorang pahlawan, melainkan seekor ular berkepala dua!"
Zlappp...! Blarrr...!
Bukan Rakawuni saja yang terkejut, tapi sang petir juga ikut kaget. Tubuh Prahasto seketika itu berubah wujud menjadi seekor ular hitam berkepala dua. Rakawuni sempat melompat karena kagetnya, dan ular berkepala dua itu menggelosor-gelosor dengan lemas, bagai menangisi perubahan wujud dirinya. Ular itu sebesar jempol kaki orang dewasa. Panjangnya kira-kira satu tombak.
"Gila kau, Ajeng!" gumam Rakawuni bernada gemas. Setelah lama pandangi ular itu, ia segera menatap mata Ratu Teluh Bumi yang sering dipanggilnya Ajeng Prawesti. Rakawuni berkata, "Kejam sekali kau, Ajeng! Ilmumu cukup tinggi, itu kuakui! Tapi kau menjadi manusia berhati binatang jika begini caranya!"
"Ya, daripada kamu binatang yang berpura-pura menjadi manusia! Bagaimanapun juga ia tetap binatang! Kau sama juga dengan Prahasto! Rupanya kau pun lebih bagus jika kukutuk menjad..."
Wuttt...! Prokk!
Sebelum Ratu Teluh Bumi ucapkan kutuknya, kaki Rakawuni sudah lebih dulu menyerang dengan satu tendangan kuat. Tendangan itu berkelebat cepat dan tak disangka-sangka datangnya. Tepat mengenai mulut Ratu Teluh Bumi, membuat perempuan itu tersentak mundur dan menggeloyor hampir jatuh. Untung tangannya segera memegang batang pohon sehinggga tubuhnya tak sempat jatuh. Sementara itu, ular berkepala dua jelmaan dari Prahasto itu seperti mengalami ketakutan. Ular itu bergerak cepat melarikan diri masuk ke semak-semak dan menghilang disana.
"Ucapan Ajeng sangat berbahaya!" kata Rakawuni dalam hatinya. "Jadi sebaiknya yang kucecar adalah mulutnya, dan jangan kasih kesempatan dia untuk bicara!"
Wutt! Tubuh Rakawuni cepat melompat dan dalam sekejap sudah berada di depan Ratu Teluh Bumi. Ia sedikit melompat dan menendang dalam satu putaran tubuh cepat.
Wuesss...! Plokk!
Ratu Teluh Bumi kembali terkena tendangan putar dari kaki Rakawuni. Wajah yang terkena tendangan itu tersentak ke samping kiri dan tubuhnya pun terlempar ke kiri. Ia jatuh tersungkur dalam keadaan berdarah mulutnya. Rakawuni masih mencecarnya lagi dengan sebuah pukulan bertenaga dalam dari jarak jauh.
Wussttt..!
Segera tangan Ratu Teluh Bumi berkelebat melihat sinar putih terlepas dari telapak tangan Rakawuni. Kelebatan sebuah tangan Ratu Teluh Bumi itu memancarkan cahaya hijau terang, dan membentur cahaya putih tersebut.
Blarrr...! Gelombang ledakan terjadi dalam jarak dua jangkauan tangan dari depan Ratu Teluh Bumi. Akibatnya Ratu Teluh Bumi tersentak lagi dan terguling-guling di tanah, sementara Rakawuni hanya mundur dua tindak akibat hempasan angin gelombang panas itu.
"Aku harus kabur!" tiba-tiba hati Rakawuni berkata demikian. "Kalau aku tidak melarikan diri untuk pulang ke Jenggala, maka tak ada orang yang tahu bahwa Ratu Teluh Bumi atau Ajeng Prawesti akan menyerang istana dan merebut kekuasan sang Prabu! Aku yakin, Ajeng Prawesti akan berhasil memporak-porandakan Jenggala dengan ilmu kutuknya yang cukup tinggi dan berbahaya itu! Maka, selagi ia kesakitan, aku harus cepat-cepat melarikan diri pulang ke Jenggala...!"
Rakawuni bertindak penuh perhitungan, ia cepat melesat pergi tinggalkan Ratu Teluh Bumi. Sebenarnya bisa saja ia menyerang perempuan itu lagi. Tapi perhitungan dia, jika serangan itu meleset dan Ratu Teluh Bumi melepaskan kutuknya, maka tak akan ada orang yang melaporkan keadaan Ajeng Prawesti dan bahaya yang mengancam Jenggala.
Melihat Rakawuni kabur, Ratu Teluh Bumi segera tahan napas dan berseru keras-keras, "Rakawuni...! Ingat, Jenggala akan hancur dalam waktu singkat!"
Rakawuni tidak melayani seruan itu. Ia terus saja melarikan diri. Tapi Ratu Teluh Bumi masih penasaran walau ia telah lepaskan kutukannya itu. Ia pun bergegas dan berkelebat mengejar Rakawuni. Ia pun punya perhitungan bahwa Rakawuni akan menyebar kabar tentang rencana penyerangannya. Jika rencana kedatangannya ke Jenggala sudah diketahui penguasa setempat, maka setidaknya Ratu Teluh Bumi akan menghadapi banyak perintang. Untuk memperlancar rencananya, Rakawuni harus dibunuh lebih dulu. Itulah sebabnya ia harus bisa mengejar dan menangkap Rakawuni.
Hanya beda beberapa saat saja, Siluman Tujuh Nyawa tiba di tempat itu setelah Ratu Teluh Bumi mengejar Rakawuni. Siluman Tujuh Nyawa datang dari semak belukar dan tidak tahu bahwa di bawah pohon itu beberapa saat yang lalu berdiri orang yang dikejarnya. Mata dingin itu memandang sekeliling sambil menggeram dalam hati. Lalu, batinnya pun mengucap kata,
"Ke mana aku harus mencarinya? Ingin rasanya aku segera menemukan dia dan membeset-beset kulit tubuhnya! Tapi perempuan itu termasuk licin seperti belut! Hmm...! Sebaiknya kucari dia ke utara sana, siapa tahu dia tinggal di perkampungan itu!"
Siluman Tujuh Nyawa mencari berlawanan arah lagi, ia justru menuju ke perkampungan, tempat di mana ada sebuah kedai besar yang tadi dipakai makan oleh Rakawuni dan Prahasto. Namun ketika ia tiba di perbatasan desa, mendadak langkahnya terhenti dan ia harus melesat ke suatu gugusan tanah untuk sembunyikan diri. Ia melihat seorang pemuda berjalan tinggalkan desa itu.
Pemuda tersebut berpakaian baju coklat tanpa lengan dan celana putih. Pemuda itu menyandang bumbung tuak di punggungnya dan rambutnya panjang meriap tanpa diikat. Siluman Tujuh Nyawa mengenali betul wajah tampan pemuda itu, yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Pemuda itulah yang memburunya selama ini dan membuat Siluman Tujuh Nyawa bersembunyi di Jurang Petaka.
Agaknya Pendekar Mabuk baru saja mengisi perutnya di kedai tersebut, ia juga mengisi penuh bumbung tuaknya yang tak pernah ketinggalan selalu ada di sebelah kirinya itu. Tetapi ketika Suto melewati gugusan tanah yang membentuk gundukan bukit kecil itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dirasakan oleh firasatnya, ia mencium darah amis. Bau amis darah itu sangat samar-samar, dan ia tandai sebagai keadaan yang tak seberapa jauh dari tokoh sesat yang tangannya berlumur darah orang tak berdosa itu.
"Sepertinya dia ada di sekitar sini?" pikir Suto. Kemudian ia mengusap keningnya dengan tangan kiri. Slapp...! Keningnya itu mempunyai tanda merah kecil, pemberian Gusti Ratu Kartika Wangi dari alam gaib. Jika diusap memakai tangan kiri, maka Suto bisa melihat kehidupan di alam gaib. Apa yang tak tampak di mata orang awam akan tampak di mata Suto Sinting.
Tetapi Suto tetap tidak menemukan sosok manusia sesat yang diburunya. Hanya saja, sebuah cahaya terlihat membias dari balik gundukan tanah sebesar gajah bergandeng dua itu. Cahaya itu berwarna merah berpendar-pendar. Suto pandangi cukup lama gundukan tanah yang bagai menyembunyikan cahaya merah itu.
"Cahaya merah, jelas cahaya kemaksiatan dan kekuatan ilmu hitam," pikirnya. "Jika tidak dilihat dengan mata gaib, maka cahaya merah itu tidak akan kelihatan oleh mata biasa. Jika di balik gundukan tanah itu ada cahaya merah, berarti di sana ada kekuatan ilmu hitam yang cukup besar. Hmmm...! Apa yang ada di balik gundukan tanah itu sebaiknya kupaksa keluar saja dia...!"
Maka serta-merta Pendekar Mabuk sentakkan tangannya ke depan dan melesatlah sinar hijau mirip piringan bergerigi. Sinar hijau itulah yang dinamakan sinar 'Pecah Raga' yang biasnya jika mengenai lawan, maka tubuh lawan bisa pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Kali ini sinar hijau itu dihantamkan pada gundukan tanah tersebut. Tanah cadas itu pun pecah dalam satu dentuman menggelegar.
Blarrr...! Brrasss...!
Gundukan tanah cadas yang begitu besarnya pecah seketika, serpihan tanahnya menyembur ke segala arah. Bahkan sampai setinggi pohon kelapa tanah itu menyembur naik. Dan dari pecahan cadas itu muncul sekelebat bayangan hitam yang melompat tinggalkan tempat. Bayangan hitam itu berlari cepat bagaikan angin setan. Tapi Suto pun segera mengejarnya dengan kecepatan lebih tinggi lagi, sehingga dalam waktu singkat, Suto sudah menghadang di depan Siluman Tujuh Nyawa.
Wujud Suto sudah bisa tampak di mata telanjang, karena ia sudah mengusap kembali keningnya dengan tangan kanan, itu artinya ia menampakkan diri. Tujuh langkah sebelum mencapai Suto, orang berkerudung hitam yang menggenggam pusaka El Maut itu menghentikan langkahnya. Pendekar Mabuk memandang tajam wajah dingin itu, dan wajah dingin itu juga menatap lebih dingin lagi.
"Kau tak akan bisa lari lagi, Durmata Sanca!" kata Suto Sinting dengan suara tenang.
Durmala Sanca membalas, "Kau menyerahkan nyawa, Pendekar Mabuk! Jangan menyesal kalau saat ini adalah saat terakhirmu menghirup udara di permukaan bumi!"
"Aku tak akan menyesal! Tapi pastikanlah dirimu untuk tidak lari lagi dari hadapanku, Durmala Sanca!"
"Aku tak akan lari darimu! Ini pertemuan kita yang terakhir! Aku sudah cukup kuat dan bisa kalahkan luka yang kudapat darimu!"
"Bagus! Aku pun sudah lama menunggu saat-saat seperti ini, Durmala Sanca!"
Tangan Siluman Tujuh Nyawa mulai meremas tongkatnya sendiri. Pendekar Mabuk merasa ada yang meremas jantungnya. Mulai terasa sesak pernapasannya. Tetapi Suto tahu, gerakan tangan meremas tongkat itu adalah kekuatan tenaga dalam yang disalurkan lewat mata dan menembus ke mata Suto, lalu meremas kuat jantungnya agar pecah.
Suto pun kerahkan tenaga dalamnya, membuat jari tangannya berkuku terang. Kuku itu menyala merah membara, lalu Suto sentilkan jari tengah itu dengan satu sentakan pelan. Tess... Sentakan pelan itu melepaskan kekuatan tenaga dalam yang bernama jurus 'Lintang Kesumat'. Kekuatan dahsyat dari sentilan itu mengenai punggung tangan Durmala Sanca.
Crasss...! Punggung tangan yang memegangi tongkat itu pun robek dan berdarah, seperti habis terbacok ujung clurit. Maka genggaman tangan itu melemah, bahkan tongkat tersebut hampir terlepas jika tidak segera berpindah ke tangan yang kiri. Siluman Tujuh Nyawa segera kibaskan tangan yang berdarah, ia merasakan sakit, tapi wajahnya tetap kaku dan dingin, tanpa menampakkan perubahan wajah yang kesakitan. Luka-luka itu segera dijilatnya.
Slappp...! Dalam waktu kurang dari satu helaan napas, luka di punggung tangannya itu telah merapat kembali, menjadi kering dan menjadi seperti semula.
Keduanya masih sama-sama berdiri dengan kedua kaki merenggang. Suto tampak lebih tegap karena dadanya terbusung kekar. Mereka sama-sama saling membungkam mulut, tapi sebenarnya saling melepaskan serangan dan saling tangkis. Tiba-tiba dari mata Siluman Tujuh Nyawa pancarkan selarik sinar merah seperti lidi yang melesat ke dada Pendekar Mabuk. Tetapi sebelum sinar itu mengenai dadanya, Pendekar Mabuk telah lebih dulu menggerakkan bumbung tuaknya maju ke depan dada. Akibatnya sinar merah itu menghantam bumbung tuak dari bambu itu.
Trass...! Clappp...!
Sinar itu membelok arah, membentuk sudut kecil dan membalik ke dada Siluman Tujuh Nyawa. Dengan cepat Siluman Tujuh Nyawa menghadang sinar yang membalik itu dengan tongkatnya. Gagang tongkat itu menjadi sasaran ujung sinar yang masih seperti lidi. Clapp...! Sinar itu juga membelok membentuk sudut kecil dan mengarah ke perut Pendekar Mabuk. Melihat gerakan sinar yang tidak bisa ditangkis lagi dengan bumbung tuak, karena bumbung tuak sedang menahan sinar pertama, maka Pendekar Mabuk cepat-cepat sentakkan tangannya ke perut. Sinar itu ditangkis dengan jari kuku tengahnya yang telah menyala hijau. Sinar sebesar lidi itu membentur kuku jari yang menyala hijau lalu membalik membentuk sudut sedikit lebar.
Clappp...! Kini keadaan sinar itu seperti rentangan benang kesana-sini membentuk huruf 'M' dalam keadaan miring. Dan pembalikan sinar dari jari tangan Suto itu tidak sempat ditangkis lagi oleh Siluman Tujuh Nyawa. Sinar itu tepat mengenai pahanya.
Crasss...!
"Ahg...!" Siluman Tujuh Nyawa terpekik. Sinar dari matanya padam seketika. Dengan begitu, padam pula semua sinar yang bersimpang siur tadi. Tapi keadaan paha Siluman Tujuh Nyawa cukup parah. Luka pada paha itu tembus ke belakang dihantam sinar merahnya sendiri. Paha itu berlubang dan mengucurkan darah. Lubang tembusan sinar merah itu sebesar tutup botol. Siluman Tujuh Nyawa menjadi samar-samar biru wajahnya. Matanya makin mendelik tak bisa berkedip.
Pendekar Mabuk segera lepaskan pukulan jurus 'Manggala'-nya. Tapi sebelum hal itu terjadi, zlappp...! Tubuh Siluman Tujuh Nyawa menghilang, ia lari melalui sisi alam gaib. Suto Sinting penasaran dan segera menghilang pula dengan mengusapkan tangannya ke kening. Zlapp...! Di alam gaib itu ia mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang jelas sudah terluka cukup parah.
* * *
TUJUH
SATU keunggulan yang dimiliki Siluman Tujuh Nyawa adalah pandai melarikan diri dan bersembunyi. Pendekar Mabuk mengakui keunggulan itu. Karena setiap kali ia mengejar Siluman Tujuh Nyawa, ia selalu kehilangan jejak orang sesat itu. Padahal Suto sudah mengejarnya sampai ke alam gaib, tapi masih saja Siluman Tujuh Nyawa berhasil loloskan diri dari pengejaran tersebut.
"Sial! Lolos lagi dia!" geram Pendekar Mabuk, yang segera meneguk tuaknya untuk mengobati kekecewaan hatinya itu. Tiga teguk tuak ditelan Suto Sinting. Kepalanya yang mendongak untuk menerima tuangan air tuak itu kini kembali tegak. Dan ia sangat terkejut melihat tiba-tiba ada seorang perempuan cantik berdiri di depannya dalam jarak delapan langkah. Suto kerutkan dahi sebentar, mengingat-ingat seraut wajah cantik yang sepertinya pernah dijumpainya. Kemudian ingatannya kembali melayang pada peristiwa di Pulau Padang Peluh. (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode Cermin Pemburu Nyawa)
Dan Suto pun segera ingat, bahwa perempuan itu adalah Dayang Kesumat, tokoh sesat dari Pulau Hantu yang juga menjadi lawan bagi bibi gurunya, yaitu Bidadari Jalang. Pendekar Mabuk tahu, bahwa Dayang Kesumat seperti orang yang baru lahir kembali ke dunia. Dulu, perempuan cantik itu adalah seorang nenek peot, bungkuk, dan bersenjatakan tongkat berkepala tengkorak kambing. Suto pernah adu kesaktian dengan Dayang Kesumat ketika perempuan itu menjadi nenek kempot, guru dari Peri Malam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).
Ketika itu, Dayang Kesumat memakai nama Mawar Hitam. Dan ia selalu saja menyelamatkan orang berilmu tinggi yang nyaris mati. Ia bawa ke Pulau Hantu, dan di sana rupanya ia melakukan sesuatu yang sangat luar biasa. Mawar Hitam berhasil menyerap semua ilmu orang-orang sakti itu dengan menggunakan Ilmu 'Serap Kawekas', sehingga seluruh kesaktian orang-orang yang ditolongnya dari suatu pertarungan itu menjadi miliknya.
Dan Mawar Hitam pun berhasil mempelajari ilmu 'Rias Renggana', yang bisa menyedot kecantikan beberapa orang, sehingga dirinya menjadi muda dan cantik. Dalam keadaan diri sudah berubah cantik dan muda itulah, si Mawar Hitam pun mengubah namanya menjadi Dayang Kesumat.
Satu hal yang membuat Suto selalu ingat dan bisa mengetahui bahwa perempuan cantik itu adalah Mawar Hitam, yaitu melalui percakapannya. Dayang Kesumat tidak bisa bilang 'R', dan hal itu terjadi sejak Dayang Kesumat masih menjadi sosok si Mawar Hitam. Dialah satu-satunya tokoh sakti yang cadel.
Kali ini Pendekar Mabuk merasa heran, mengapa Dayang Kesumat menemui dirinya seperti suatu pertemuan yang disengaja. Karena itu, setelah menghampiri perempuan cantik itu, Suto pun segera ajukan tanya, "Sepertinya kau sengaja menemuiku, Dayang Kesumat? Ada apa?"
"Aku tidak sengaja menemuimu. Tapi begitu kulihat kau ada di sini, aku jadi punya gagasan lain, sehingga aku pun menemuimu, Suto!"
"Untuk apa?"
"Aku kehilangan pusaka Gelang Mata Setan, sehingga aku tidak bisa melihat di mana gulumu belada."
"Oh, kau ingin temui guruku si Gila Tuak?"
"Bukan si Gila Tuak! Aku ingin temui Bidadali Jalang!"
"Oh, kau ingin ketemu Bibi Guru Bidadari Jalang?"
"Ya! Tolong kasih tahu di mana dia belsinggah asingkan dili?"
Suto tidak mau sembarangan memberikan tempat tinggal Bidadari Jalang. Bagaimanapun juga, Bidadari Jalang adalah guru Suto juga. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar). Sekalipun dulu Bidadari Jalang bekas tokoh sesat, tapi sejak dia angkat murid Suto Sinting bersama-sama si Gila Tuak yang menjadi saudara seperguruan itu, Bidadari Jalang mulai insaf dan tak mau leburkan diri dalam kesesatan lagi. Ia ingin menjadi seorang pertapa untuk menebus dosa-dosanya yang selama ini dilakukan dengan sangat sengaja.
Si Gila Tuak, saudara seperguruan Bidadari Jalang itu, selalu membimbing dan mengawasi sikap Bidadari Jalang. Si Gila Tuak sengaja kasih kesibukan Bidadari Jalang untuk pelajari ilmu 'Kasampurnan Urip', sehingga Bidadari Jalang benar-benar meninggalkan segala tindak kemaksiatannya. Tekadnya adalah menjadi pertapa suci jika ia telah berhasil melebur dosa-dosanya selama ini. Sebagai murid, Pendekar Mabuk perlu curigai maksud pertanyaan Dayang Kesumat itu, sehingga ia pun segera ajukan tanya,
"Apa maksudmu mencari bibi guruku, Dayang Kesumat?!"
"Sudah saatnya aku membalas dendamku kepada dia, Suto!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengar jawaban polos seenaknya itu. Terlalu sembrono Dayang Kesumat berkata menurut Suto. Karenanya Pendekar Mabuk pun segera berkata, "Jadi kau ingin balas dendam dan membunuh bibi guruku?"
"Betul!"
"Itu sulit, Dayang Kesumat!" Suto sunggingkan senyum tipis.
"Mengapa sulit?"
"Seperti kau ketahui, Bidadari Jalang punya murid, tentunya muridnya tidak akan rela jika gurunya dibunuh orang seenaknya saja! Jadi sebaiknya kau harus bunuh dulu muridnya, baru kau temui gurunya dan lawanlah gurunya!"
Dayang Kesumat tertawa pelan bernada meremehkan. "Itu altinya aku halus membunuhmu dulu, Suto!"
"Kurasa memang sebaiknya begitu, Dayang Kesumat," jawab Suto dengan tenang, sepertinya tidak merasa dalam ancaman maut perempuan sakti itu.
"Sayang sekali kalau wajah tampanmu mati di tanganku, Suto!"
"Lebih sayang lagi kalau wajah cantikmu berubah menjadi tua dan kempot seperti saat kau dalam wujud si Mawar Hitam!"
"Suto...!" sentak Dayang Kesumat dengan mata tegas dan tajam. Rupanya ia mulai tersinggung jika ada yang membicarakan masa lalunya. "Sekali lagi kau bicala sepelti itu, kuhabisi nyawamu saat itu juga!" ancamnya dengan sungguh-sungguh, tapi Suto menertawakannya.
"Kalau kau tersinggung, kau tak usah mengancamku segala, Dayang Kesumat! Kalau kau memang berani melabrak bibi guruku, kau harus berani menghadapiku!"
"Tak ada yang membuatku tak belani menghadapimu, Suto Sinting! Sekalipun dulu kau pelnah menolongku, menyelamatkan lukaku akibat setangan dali si Tua Lakus di Pulau Padang Peluh, tapi semua itu kuanggap tidak pelnah teljadi. Buatku tak ada balas budi. Sekali aku beltekad membunuh olang, tak peduli olang itu punya kebaikan padaku atau tidak, maka olang itu tetap halus kubunuh!"
"Aku tak menuntut balas jasa dari perbuatanku tempo hari! Aku pun sudah lupa, dan tak pernah ingat-ingat tentang kebaikanku! Yang kuingat hanyalah, pembelaan terhadap Guru!"
"Gulumu itu olang sesat dan jahat! Untuk apa kau bela?!"
"Kau sendiri apakah orang baik-baik, Dayang Kesumat?!" balas Suto Sinting sambil tersenyum kalem. "Membela orang yang ingin bertobat dari kesesatan hidupnya di masa lalu itu adalah hal yang baik, daripada membela orang sesat yang tidak pernah mau bertobat seperti dirimu, Dayang Kesumat!"
"Bocah kemalin sole sudah belani gului aku, kamu ya?! Lupanya kau memang pellu dikasih pelajalan bial tahu adat, Suto! Hihh...!"
Dayang Kesumat segera mencengkeram jari telunjuknya sendiri, itu pertanda Dayang Kesumat mencengkeram 'seekor burung' peliharaan Suto. Namun dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan napasnya dan tertahan beberapa saat, sehingga ia masih tetap bisa tersenyum dan berdiri dengan tenang, sementara itu Dayang Kesumat kerutkan dahi dengan wajah heran. Jari telunjuk itu diremas-remas, bahkan dipelintirnya sendiri dengan ibu jari. Tapi Dayang Kesumat seperti tidak menemukan apa-apa yang dicari.
Suto bahkan bertanya dengan nada geli, "Apa yang kau cari, Dayang Kesumat?!!"
Perempuan itu belum mau menjawab, tapi masih mencari-cari lewat jari telunjuknya yang diremas-remas. Kejap berikutnya Dayang Kesumat berucap kata pelan seperti bicara pada dirinya sendiri. "Tak ada...?! Apakah... apakah kau memang tak punya?"
Semakin geli Suto Sinting menghadapi tingkah perempuan cantik yang agaknya punya kegemaran meremas-remas 'peliharaan' orang itu. Lalu, Pendekar Mabuk pun berkata, "Kau tak akan temukan apa yang kau cari, Nyai Mawar Hitam! Aku telah menariknya ke dalam dan tak akan bisa dijamah oleh siapa pun!"
"Jahanam!" geram Dayang Kesumat antara malu dan jengkel. Maka, segera ia meremas jari kelingkingnya, itu pertanda Dayang Kesumat mencekik leher Pendekar Mabuk.
Segera Pendekar Mabuk menahan napasnya dan Dayang Kesumat bagai mencekik tempat kosong. Dalam bayangan batin tangannya menggapai-gapai leher Suto, namun tidak pernah sampai pada tujuan, karena ada hawa yang membatasi dan membuat tangan tak bisa menembusnya.
"Setan!" geram Dayang Kesumat, lalu cepat-cepat ia meremas jari tengahnya. Terasa ia meremas tempat kosong juga. Tak bisa menyentuh bagian perut Pendekar Mabuk. Dan ia meremas jempol tangannya sendiri. Itulah remasan untuk jantung. Tapi ia kembali tidak menemukan sesuatu dalam bayangan batinnya. Jantung itu seakan berpindah tempat. Padahal Suto Sinting melapisi tubuhnya dengan tahanan napas Tuak Setan yang membuat dirinya tidak bisa dijangkau oleh kekuatan batin siapapun.
"Kau sungguh-sungguh membuatku mulka, Suto! Kau pamelkan kehebatan ilmumu di depanku! Sekalang telimalah julus 'Gempul Sukma'! Hiaaah...!"
Prokk...! Dayang Kesumat bertepuk tangan satu kali dengan sentakan kuat. Jurus 'Gempur Sukma' itu bisa membuat lawan pecah kepalanya dalam satu tepukan tangan yang membutuhkan kerahan tenaga dalam sangat besar. Tetapi ternyata Pendekar Mabuk segera menggenggamkan kedua tangannya kuat-kuat, sehingga kekuatan batin itu membalik dan tenaga dalam yang dikerahkan itu mengamuk dalam diri Dayang Kesumat sendiri.
Wengng...! Bruss...! Grusak...!
Tubuh Dayang Kesumat bagai terlempar tinggi-tinggi dan jatuh di sembarang tempat. Kali ini ia jatuh di semak-semak dalam keadaan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Tubuh Dayang Kesumat dibanting oleh kekuatan batin dan hawa murninya sendiri. Terasa sakit sekujur tubuhnya, tak mampu ia memekik karena napas terasa menggumpal di ulu hati, kerongkongan terasa mau pecah akibat sentakan balik tenaga dalamnya itu.
Pendekar Mabuk tersenyum, ia cepat ambil bumbung tuaknya dari punggung, kemudian menenggaknya beberapa teguk dengan santai. Glek glek glek...!
Dayang Kesumat bergegas bangkit dengan menahan rasa sakit. Suto Sinting sedikit berkerut dahi melihat wajah Dayang Kesumat menjadi merah kebiru-biruan. Itu pertanda Dayang Kesumat dihajar oleh kekuatannya sendiri hingga babak belur begitu.
"Urungkanlah niatmu, Dayang! Karena jika kau nekat, maka kau akan mati ditanganku!"
Dayang Kesumat menggeram dengan napas terengah-engah. Tapi tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada gerakan cepat meluncur dari arah belakangnya. Gerakan cepat itu adalah sesuatu yang akan mengancam bahaya jiwa Pendekar Mabuk. Maka dengan tanpa menoleh ke belakang, Pendekar Mabuk segera kelebatkan bumbung tuaknya ke punggung.
Blehkk...!
Tak lama kemudian terdengar suara, crap crap...! Suto Sinting tersenyum kepada Dayang Kesumat dan berkata, "Rupanya kau tidak sendirian, Dayang Kesumat!"
"Aku sendilian!"
"Tapi ada yang menyerangku dari belakang!" Pendekar Mabuk memperlihatkan bumbung tuaknya. Di bumbung tuak itu terdapat senjata rahasia berbentuk lingkaran bergerigi, bentuknya pipih, menancap kuat di bumbung tuak itu. Warna benda tersebut hitam legam. Pasti dimaksudkan oleh pemiliknya agar benda itu tak terlihat mata jika dilemparkan dari kejauhan. Logam yang dipakainya adalah baja murni dengan mengandung kadar racun yang berbahaya.
"Lihat, temanmu menyerangku dari belakang dengan senjata rahasia ini!" kata Suto kepada Dayang Kesumat. "Rupanya, meskipun kau merasa orang sakti, kau masih suka main keroyokan, Dayang Kesumat!"
"Setan! Jangan melendahkan aku begitu, Suto! Aku bukan olang belwatak pengecut! Tak pelnah aku main keloyokan dalam peltalunganku! Jangan kau bicala seenaknya, Suto!"
"Kalau begitu ada orang lain yang membelamu!"
"Aku tak peduli! Yang penting hadapilah aku, sebagai jalan kematian buat gulumu!"
"Kau masih belum jela... eh, jera?!"
Tiba-tiba dari arah belakang Suto terdengar suara, "Dayang Kesumat, biarkan aku yang menghadapi dia! Kau beristirahatlah!"
Baik Pendekar Mabuk maupun Dayang Kesumat sama-sama memandang ke arah orang yang berseru dalam jarak sepuluh langkah di belakang Suto itu. Keduanya sama-sama heran karena tidak kenal dengan orang itu. Maka ketika orang itu menghampiri Suto dan berhenti dalam jarak lima langkah, Suto segera bertanya,
"Siapa kau? Dan ada hubungan apa dengan Dayang Kesumat?"
Sedangkan Dayang Kesumat berseru, "Aku tak kenal siapa kamu, untuk apa kamu mau membelaku? Pelgilah sana!"
Orang berbadan tegap dan lumayan tampan itu berkata, "Aku teman dari Prahasto, Dayang. Namaku Rakawuni! Aku salah satu orang yang sering perhatikan dirimu, Dayang Kesumat. Dan aku memendam kebanggaan akan kecantikanmu, ketinggian ilmumu dan caramu bersikap tegas! Tak rela hatiku jika kau dilukai oleh siapa pun, Dayang Kesumat!"
Hati Dayang Kesumat menjadi berdebar-debar mendapat pujian seperti itu. Ia tak jadi menggeram dan mengusir orang itu. Tapi Suto tertawa terkekeh-kekeh dengan mulut ditutup tangan. "Wahai, rayuan yang begitu maut, sungguh melebihi sebilah pedang tajam! Dapat untuk memotong sehelai benang kasur!"
"Tutup mulutmu! Sudah bukan waktunya kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, tapi hadapilah aku, Rakawuni dari Jenggala!" ujar Rakawuni dengan beraninya. Rupanya dalam pelariannya menuju Jenggala, ia sempat bertemu Dayang Kesumat dan Suto Sinting. Sejak ia bertemu dan melihat Dayang Kesumat bertarung melawan Prahasto, hatinya mulai tertarik dengan kecantikan dan keindahan tubuh Dayang Kesumat. Bahkan sebelum itu, ia pernah bertemu dengan Dayang Kesumat dalam satu pertemuan tokoh sakti, tapi Dayang Kesumat tak pernah memperhatikan dirinya.
Semakin Rakawuni melihat dari dekat wajah itu, semakin hatinya tertarik. Lalu dia gunakan satu kesempatan baik saat itu untuk menunjukkan rasa bela patinya terhadap Dayang Kesumat, sekalipun ia tahu bahwa Dayang Kesumat sudah berusia banyak. Sikapnya ini mempunyai dua tujuan, pertama memiliki kecantikan Dayang Kesumat dan kedua berlindung dari kejaran Ratu Teluh Bumi di balik Dayang Kesumat. Rakawuni pun segera lepaskan serangan kepada Pendekar Mabuk berupa pukulan jarak jauh tanpa sinar.
Wukk...! Suto Sinting segera melesat naik dengan satu sentakan kaki. Ia menghindari pukulan jarak jauh itu. Akibatnya, Dayang Kesumat yang di belakangnya menjadi terpental melayang ke belakang karena terkena pukulan yang dihindari Suto itu.
Buhgg...! Bruss...! Dayang Kesumat kembali terpelanting jatuh di semak-semak yang tadi. Ia menjadi geram kepada Rakawuni dan Rakawuni menjadi terbengong menyesal.
"Jahanam kau, Iblis!" bentak Dayang Kesumat yang merasa seperti dipermainkan oleh Rakawuni.
"Maaf, maafkan aku...! Aku tak sengaja menyerangmu, Dayang!" Rakawuni menjadi kebingungan sendiri. Tapi segera ia menyerang Suto kembali dengan jurus bersinar merah dari ujung kedua jarinya. Suitt...! Sinar itu melesat, panjangnya satu jengkal dan lebarnya seukuran jari kelingking. Sinar itu menghantam dada Pendekar Mabuk.
Tapi dengan cepat bumbung tuak yang masih dengan kuat digenggam Pendekar Mabuk itu dihadangkan ke depan dada. Sinar merah yang mirip tongkat kecil itu menghantam bumbung tuak, dan membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat bergeraknya. Wutt...!
Duarrr...!
Rakawuni terlempar ke samping dan berguling-guling ketika sinar merahnya dihindari dan menghantam sebongkah batu. Batu itu menjadi pecah, memercik lembut ke segala arah. Rambut Rakawuni menjadi kotor, sementara Pendekar Mabuk sendiri cepat menjauhi percikan yang sudah diperkirakan akan sampai ke dirinya.
"Keparat kau, Kunyuk! Pandai kau kembalikan seranganku! Tapi demi orang yang kukagumi, terimalah jurus 'Gentar Gundala' ini! Hiaaat...!"
Suto buru-buru menghentakkan tangannya memukul bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu masih dipakai menancap dua senjata bergerigi. Dan ketika disentakkan, dua senjata bergerigi milik Rakawuni itu melesat cepat ke arah Rakawuni.
Zingng, zingng...!
Crass...! Senjata itu dihindari oleh Rakawuni yang tak jadi melepaskan jurus 'Gentar Gundala'-nya. Tetapi gerakannya kurang cepat sehingga lengan kirinya terserempet senjata bergerigi itu, dan koyaklah lengan itu. Brett...! Kain pun robek, darah pun keluar, sedang senjata itu tetap melesat menghantam tempat kosong. Rakawuni mengerang dengan mata memejam kuat. Lukanya itu kelihatan mengeluarkan busa. Itulah racun yang berbahaya, yang dipasang oleh Rakawuni sendiri pada senjata rahasianya.
Suto Sinting tidak segera menyerang Rakawuni, karena dilihatnya Dayang Kesumat telah menghilang. Timbul kecemasan di hati Suto, takut kalau Dayang Kesumat pergi ke persinggahan gurunya, si Gila Tuak, dan memaksa si Gila Tuak untuk menunjukkan tempat pengasingan Bidadari Jalang. Suto tahu bahwa Dayang Kesumat pasti mengetahui tempat tinggal si Gila Tuak, karena dari dulu hingga sekarang, si Gila Tuak tidak pernah berpindah tempat tinggal, yaitu di sebuah gua di balik air terjun yang ada di Jurang Lindu.
"Rakawuni...! Perempuan yang kau bela itu pergi meninggalkanmu! Itu tandanya kamu tidak disukai dan tidak dianggap ada di bumi ini! Pembelaanmu hanya sesuatu yang sia-sia saja! Sebenarnya saat ini bisa saja aku membunuhmu dengan mudah! Tapi sengaja kubiarkan kau hidup, supaya kau bisa menarik hikmah dari peristiwa ini, agar bisa berguna untuk hidupmu di masa mendatang. Aku terpaksa harus pergi juga dan tak akan melayanimu lagi...!"
Zlapp...! Pendekar Mabuk pergi berkelebat. Rakawuni sempat tertegun melihat gerakan Pendekar Mabuk yang begitu cepat, mirip angin setan lewat. Tak sempat mata Rakawuni melihat ke mana dan sampai di mana gerakan lari Suto itu. Sehingga di dalam hati Rakawuni pun berkata,
"Manusia atau setan dia itu sebenarnya?! Melihat gerakan dan perlawanannya dalam menghadapi jurus jarinya Dayang Kesumat, dia pasti lebih tinggi ilmunya dari Dayang Kesumat! Hmm...! Bagaimana jika aku minta bantuan dia untuk menghadapi Ratu Teluh Bumi? Kira-kira apakah dia bersedia kujadikan pembunuh bayaran demi membela rakyat Jenggala?"
"Sial! Lolos lagi dia!" geram Pendekar Mabuk, yang segera meneguk tuaknya untuk mengobati kekecewaan hatinya itu. Tiga teguk tuak ditelan Suto Sinting. Kepalanya yang mendongak untuk menerima tuangan air tuak itu kini kembali tegak. Dan ia sangat terkejut melihat tiba-tiba ada seorang perempuan cantik berdiri di depannya dalam jarak delapan langkah. Suto kerutkan dahi sebentar, mengingat-ingat seraut wajah cantik yang sepertinya pernah dijumpainya. Kemudian ingatannya kembali melayang pada peristiwa di Pulau Padang Peluh. (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode Cermin Pemburu Nyawa)
Dan Suto pun segera ingat, bahwa perempuan itu adalah Dayang Kesumat, tokoh sesat dari Pulau Hantu yang juga menjadi lawan bagi bibi gurunya, yaitu Bidadari Jalang. Pendekar Mabuk tahu, bahwa Dayang Kesumat seperti orang yang baru lahir kembali ke dunia. Dulu, perempuan cantik itu adalah seorang nenek peot, bungkuk, dan bersenjatakan tongkat berkepala tengkorak kambing. Suto pernah adu kesaktian dengan Dayang Kesumat ketika perempuan itu menjadi nenek kempot, guru dari Peri Malam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).
Ketika itu, Dayang Kesumat memakai nama Mawar Hitam. Dan ia selalu saja menyelamatkan orang berilmu tinggi yang nyaris mati. Ia bawa ke Pulau Hantu, dan di sana rupanya ia melakukan sesuatu yang sangat luar biasa. Mawar Hitam berhasil menyerap semua ilmu orang-orang sakti itu dengan menggunakan Ilmu 'Serap Kawekas', sehingga seluruh kesaktian orang-orang yang ditolongnya dari suatu pertarungan itu menjadi miliknya.
Dan Mawar Hitam pun berhasil mempelajari ilmu 'Rias Renggana', yang bisa menyedot kecantikan beberapa orang, sehingga dirinya menjadi muda dan cantik. Dalam keadaan diri sudah berubah cantik dan muda itulah, si Mawar Hitam pun mengubah namanya menjadi Dayang Kesumat.
Satu hal yang membuat Suto selalu ingat dan bisa mengetahui bahwa perempuan cantik itu adalah Mawar Hitam, yaitu melalui percakapannya. Dayang Kesumat tidak bisa bilang 'R', dan hal itu terjadi sejak Dayang Kesumat masih menjadi sosok si Mawar Hitam. Dialah satu-satunya tokoh sakti yang cadel.
Kali ini Pendekar Mabuk merasa heran, mengapa Dayang Kesumat menemui dirinya seperti suatu pertemuan yang disengaja. Karena itu, setelah menghampiri perempuan cantik itu, Suto pun segera ajukan tanya, "Sepertinya kau sengaja menemuiku, Dayang Kesumat? Ada apa?"
"Aku tidak sengaja menemuimu. Tapi begitu kulihat kau ada di sini, aku jadi punya gagasan lain, sehingga aku pun menemuimu, Suto!"
"Untuk apa?"
"Aku kehilangan pusaka Gelang Mata Setan, sehingga aku tidak bisa melihat di mana gulumu belada."
"Oh, kau ingin temui guruku si Gila Tuak?"
"Bukan si Gila Tuak! Aku ingin temui Bidadali Jalang!"
"Oh, kau ingin ketemu Bibi Guru Bidadari Jalang?"
"Ya! Tolong kasih tahu di mana dia belsinggah asingkan dili?"
Suto tidak mau sembarangan memberikan tempat tinggal Bidadari Jalang. Bagaimanapun juga, Bidadari Jalang adalah guru Suto juga. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar). Sekalipun dulu Bidadari Jalang bekas tokoh sesat, tapi sejak dia angkat murid Suto Sinting bersama-sama si Gila Tuak yang menjadi saudara seperguruan itu, Bidadari Jalang mulai insaf dan tak mau leburkan diri dalam kesesatan lagi. Ia ingin menjadi seorang pertapa untuk menebus dosa-dosanya yang selama ini dilakukan dengan sangat sengaja.
Si Gila Tuak, saudara seperguruan Bidadari Jalang itu, selalu membimbing dan mengawasi sikap Bidadari Jalang. Si Gila Tuak sengaja kasih kesibukan Bidadari Jalang untuk pelajari ilmu 'Kasampurnan Urip', sehingga Bidadari Jalang benar-benar meninggalkan segala tindak kemaksiatannya. Tekadnya adalah menjadi pertapa suci jika ia telah berhasil melebur dosa-dosanya selama ini. Sebagai murid, Pendekar Mabuk perlu curigai maksud pertanyaan Dayang Kesumat itu, sehingga ia pun segera ajukan tanya,
"Apa maksudmu mencari bibi guruku, Dayang Kesumat?!"
"Sudah saatnya aku membalas dendamku kepada dia, Suto!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengar jawaban polos seenaknya itu. Terlalu sembrono Dayang Kesumat berkata menurut Suto. Karenanya Pendekar Mabuk pun segera berkata, "Jadi kau ingin balas dendam dan membunuh bibi guruku?"
"Betul!"
"Itu sulit, Dayang Kesumat!" Suto sunggingkan senyum tipis.
"Mengapa sulit?"
"Seperti kau ketahui, Bidadari Jalang punya murid, tentunya muridnya tidak akan rela jika gurunya dibunuh orang seenaknya saja! Jadi sebaiknya kau harus bunuh dulu muridnya, baru kau temui gurunya dan lawanlah gurunya!"
Dayang Kesumat tertawa pelan bernada meremehkan. "Itu altinya aku halus membunuhmu dulu, Suto!"
"Kurasa memang sebaiknya begitu, Dayang Kesumat," jawab Suto dengan tenang, sepertinya tidak merasa dalam ancaman maut perempuan sakti itu.
"Sayang sekali kalau wajah tampanmu mati di tanganku, Suto!"
"Lebih sayang lagi kalau wajah cantikmu berubah menjadi tua dan kempot seperti saat kau dalam wujud si Mawar Hitam!"
"Suto...!" sentak Dayang Kesumat dengan mata tegas dan tajam. Rupanya ia mulai tersinggung jika ada yang membicarakan masa lalunya. "Sekali lagi kau bicala sepelti itu, kuhabisi nyawamu saat itu juga!" ancamnya dengan sungguh-sungguh, tapi Suto menertawakannya.
"Kalau kau tersinggung, kau tak usah mengancamku segala, Dayang Kesumat! Kalau kau memang berani melabrak bibi guruku, kau harus berani menghadapiku!"
"Tak ada yang membuatku tak belani menghadapimu, Suto Sinting! Sekalipun dulu kau pelnah menolongku, menyelamatkan lukaku akibat setangan dali si Tua Lakus di Pulau Padang Peluh, tapi semua itu kuanggap tidak pelnah teljadi. Buatku tak ada balas budi. Sekali aku beltekad membunuh olang, tak peduli olang itu punya kebaikan padaku atau tidak, maka olang itu tetap halus kubunuh!"
"Aku tak menuntut balas jasa dari perbuatanku tempo hari! Aku pun sudah lupa, dan tak pernah ingat-ingat tentang kebaikanku! Yang kuingat hanyalah, pembelaan terhadap Guru!"
"Gulumu itu olang sesat dan jahat! Untuk apa kau bela?!"
"Kau sendiri apakah orang baik-baik, Dayang Kesumat?!" balas Suto Sinting sambil tersenyum kalem. "Membela orang yang ingin bertobat dari kesesatan hidupnya di masa lalu itu adalah hal yang baik, daripada membela orang sesat yang tidak pernah mau bertobat seperti dirimu, Dayang Kesumat!"
"Bocah kemalin sole sudah belani gului aku, kamu ya?! Lupanya kau memang pellu dikasih pelajalan bial tahu adat, Suto! Hihh...!"
Dayang Kesumat segera mencengkeram jari telunjuknya sendiri, itu pertanda Dayang Kesumat mencengkeram 'seekor burung' peliharaan Suto. Namun dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan napasnya dan tertahan beberapa saat, sehingga ia masih tetap bisa tersenyum dan berdiri dengan tenang, sementara itu Dayang Kesumat kerutkan dahi dengan wajah heran. Jari telunjuk itu diremas-remas, bahkan dipelintirnya sendiri dengan ibu jari. Tapi Dayang Kesumat seperti tidak menemukan apa-apa yang dicari.
Suto bahkan bertanya dengan nada geli, "Apa yang kau cari, Dayang Kesumat?!!"
Perempuan itu belum mau menjawab, tapi masih mencari-cari lewat jari telunjuknya yang diremas-remas. Kejap berikutnya Dayang Kesumat berucap kata pelan seperti bicara pada dirinya sendiri. "Tak ada...?! Apakah... apakah kau memang tak punya?"
Semakin geli Suto Sinting menghadapi tingkah perempuan cantik yang agaknya punya kegemaran meremas-remas 'peliharaan' orang itu. Lalu, Pendekar Mabuk pun berkata, "Kau tak akan temukan apa yang kau cari, Nyai Mawar Hitam! Aku telah menariknya ke dalam dan tak akan bisa dijamah oleh siapa pun!"
"Jahanam!" geram Dayang Kesumat antara malu dan jengkel. Maka, segera ia meremas jari kelingkingnya, itu pertanda Dayang Kesumat mencekik leher Pendekar Mabuk.
Segera Pendekar Mabuk menahan napasnya dan Dayang Kesumat bagai mencekik tempat kosong. Dalam bayangan batin tangannya menggapai-gapai leher Suto, namun tidak pernah sampai pada tujuan, karena ada hawa yang membatasi dan membuat tangan tak bisa menembusnya.
"Setan!" geram Dayang Kesumat, lalu cepat-cepat ia meremas jari tengahnya. Terasa ia meremas tempat kosong juga. Tak bisa menyentuh bagian perut Pendekar Mabuk. Dan ia meremas jempol tangannya sendiri. Itulah remasan untuk jantung. Tapi ia kembali tidak menemukan sesuatu dalam bayangan batinnya. Jantung itu seakan berpindah tempat. Padahal Suto Sinting melapisi tubuhnya dengan tahanan napas Tuak Setan yang membuat dirinya tidak bisa dijangkau oleh kekuatan batin siapapun.
"Kau sungguh-sungguh membuatku mulka, Suto! Kau pamelkan kehebatan ilmumu di depanku! Sekalang telimalah julus 'Gempul Sukma'! Hiaaah...!"
Prokk...! Dayang Kesumat bertepuk tangan satu kali dengan sentakan kuat. Jurus 'Gempur Sukma' itu bisa membuat lawan pecah kepalanya dalam satu tepukan tangan yang membutuhkan kerahan tenaga dalam sangat besar. Tetapi ternyata Pendekar Mabuk segera menggenggamkan kedua tangannya kuat-kuat, sehingga kekuatan batin itu membalik dan tenaga dalam yang dikerahkan itu mengamuk dalam diri Dayang Kesumat sendiri.
Wengng...! Bruss...! Grusak...!
Tubuh Dayang Kesumat bagai terlempar tinggi-tinggi dan jatuh di sembarang tempat. Kali ini ia jatuh di semak-semak dalam keadaan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Tubuh Dayang Kesumat dibanting oleh kekuatan batin dan hawa murninya sendiri. Terasa sakit sekujur tubuhnya, tak mampu ia memekik karena napas terasa menggumpal di ulu hati, kerongkongan terasa mau pecah akibat sentakan balik tenaga dalamnya itu.
Pendekar Mabuk tersenyum, ia cepat ambil bumbung tuaknya dari punggung, kemudian menenggaknya beberapa teguk dengan santai. Glek glek glek...!
Dayang Kesumat bergegas bangkit dengan menahan rasa sakit. Suto Sinting sedikit berkerut dahi melihat wajah Dayang Kesumat menjadi merah kebiru-biruan. Itu pertanda Dayang Kesumat dihajar oleh kekuatannya sendiri hingga babak belur begitu.
"Urungkanlah niatmu, Dayang! Karena jika kau nekat, maka kau akan mati ditanganku!"
Dayang Kesumat menggeram dengan napas terengah-engah. Tapi tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada gerakan cepat meluncur dari arah belakangnya. Gerakan cepat itu adalah sesuatu yang akan mengancam bahaya jiwa Pendekar Mabuk. Maka dengan tanpa menoleh ke belakang, Pendekar Mabuk segera kelebatkan bumbung tuaknya ke punggung.
Blehkk...!
Tak lama kemudian terdengar suara, crap crap...! Suto Sinting tersenyum kepada Dayang Kesumat dan berkata, "Rupanya kau tidak sendirian, Dayang Kesumat!"
"Aku sendilian!"
"Tapi ada yang menyerangku dari belakang!" Pendekar Mabuk memperlihatkan bumbung tuaknya. Di bumbung tuak itu terdapat senjata rahasia berbentuk lingkaran bergerigi, bentuknya pipih, menancap kuat di bumbung tuak itu. Warna benda tersebut hitam legam. Pasti dimaksudkan oleh pemiliknya agar benda itu tak terlihat mata jika dilemparkan dari kejauhan. Logam yang dipakainya adalah baja murni dengan mengandung kadar racun yang berbahaya.
"Lihat, temanmu menyerangku dari belakang dengan senjata rahasia ini!" kata Suto kepada Dayang Kesumat. "Rupanya, meskipun kau merasa orang sakti, kau masih suka main keroyokan, Dayang Kesumat!"
"Setan! Jangan melendahkan aku begitu, Suto! Aku bukan olang belwatak pengecut! Tak pelnah aku main keloyokan dalam peltalunganku! Jangan kau bicala seenaknya, Suto!"
"Kalau begitu ada orang lain yang membelamu!"
"Aku tak peduli! Yang penting hadapilah aku, sebagai jalan kematian buat gulumu!"
"Kau masih belum jela... eh, jera?!"
Tiba-tiba dari arah belakang Suto terdengar suara, "Dayang Kesumat, biarkan aku yang menghadapi dia! Kau beristirahatlah!"
Baik Pendekar Mabuk maupun Dayang Kesumat sama-sama memandang ke arah orang yang berseru dalam jarak sepuluh langkah di belakang Suto itu. Keduanya sama-sama heran karena tidak kenal dengan orang itu. Maka ketika orang itu menghampiri Suto dan berhenti dalam jarak lima langkah, Suto segera bertanya,
"Siapa kau? Dan ada hubungan apa dengan Dayang Kesumat?"
Sedangkan Dayang Kesumat berseru, "Aku tak kenal siapa kamu, untuk apa kamu mau membelaku? Pelgilah sana!"
Orang berbadan tegap dan lumayan tampan itu berkata, "Aku teman dari Prahasto, Dayang. Namaku Rakawuni! Aku salah satu orang yang sering perhatikan dirimu, Dayang Kesumat. Dan aku memendam kebanggaan akan kecantikanmu, ketinggian ilmumu dan caramu bersikap tegas! Tak rela hatiku jika kau dilukai oleh siapa pun, Dayang Kesumat!"
Hati Dayang Kesumat menjadi berdebar-debar mendapat pujian seperti itu. Ia tak jadi menggeram dan mengusir orang itu. Tapi Suto tertawa terkekeh-kekeh dengan mulut ditutup tangan. "Wahai, rayuan yang begitu maut, sungguh melebihi sebilah pedang tajam! Dapat untuk memotong sehelai benang kasur!"
"Tutup mulutmu! Sudah bukan waktunya kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, tapi hadapilah aku, Rakawuni dari Jenggala!" ujar Rakawuni dengan beraninya. Rupanya dalam pelariannya menuju Jenggala, ia sempat bertemu Dayang Kesumat dan Suto Sinting. Sejak ia bertemu dan melihat Dayang Kesumat bertarung melawan Prahasto, hatinya mulai tertarik dengan kecantikan dan keindahan tubuh Dayang Kesumat. Bahkan sebelum itu, ia pernah bertemu dengan Dayang Kesumat dalam satu pertemuan tokoh sakti, tapi Dayang Kesumat tak pernah memperhatikan dirinya.
Semakin Rakawuni melihat dari dekat wajah itu, semakin hatinya tertarik. Lalu dia gunakan satu kesempatan baik saat itu untuk menunjukkan rasa bela patinya terhadap Dayang Kesumat, sekalipun ia tahu bahwa Dayang Kesumat sudah berusia banyak. Sikapnya ini mempunyai dua tujuan, pertama memiliki kecantikan Dayang Kesumat dan kedua berlindung dari kejaran Ratu Teluh Bumi di balik Dayang Kesumat. Rakawuni pun segera lepaskan serangan kepada Pendekar Mabuk berupa pukulan jarak jauh tanpa sinar.
Wukk...! Suto Sinting segera melesat naik dengan satu sentakan kaki. Ia menghindari pukulan jarak jauh itu. Akibatnya, Dayang Kesumat yang di belakangnya menjadi terpental melayang ke belakang karena terkena pukulan yang dihindari Suto itu.
Buhgg...! Bruss...! Dayang Kesumat kembali terpelanting jatuh di semak-semak yang tadi. Ia menjadi geram kepada Rakawuni dan Rakawuni menjadi terbengong menyesal.
"Jahanam kau, Iblis!" bentak Dayang Kesumat yang merasa seperti dipermainkan oleh Rakawuni.
"Maaf, maafkan aku...! Aku tak sengaja menyerangmu, Dayang!" Rakawuni menjadi kebingungan sendiri. Tapi segera ia menyerang Suto kembali dengan jurus bersinar merah dari ujung kedua jarinya. Suitt...! Sinar itu melesat, panjangnya satu jengkal dan lebarnya seukuran jari kelingking. Sinar itu menghantam dada Pendekar Mabuk.
Tapi dengan cepat bumbung tuak yang masih dengan kuat digenggam Pendekar Mabuk itu dihadangkan ke depan dada. Sinar merah yang mirip tongkat kecil itu menghantam bumbung tuak, dan membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat bergeraknya. Wutt...!
Duarrr...!
Rakawuni terlempar ke samping dan berguling-guling ketika sinar merahnya dihindari dan menghantam sebongkah batu. Batu itu menjadi pecah, memercik lembut ke segala arah. Rambut Rakawuni menjadi kotor, sementara Pendekar Mabuk sendiri cepat menjauhi percikan yang sudah diperkirakan akan sampai ke dirinya.
"Keparat kau, Kunyuk! Pandai kau kembalikan seranganku! Tapi demi orang yang kukagumi, terimalah jurus 'Gentar Gundala' ini! Hiaaat...!"
Suto buru-buru menghentakkan tangannya memukul bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu masih dipakai menancap dua senjata bergerigi. Dan ketika disentakkan, dua senjata bergerigi milik Rakawuni itu melesat cepat ke arah Rakawuni.
Zingng, zingng...!
Crass...! Senjata itu dihindari oleh Rakawuni yang tak jadi melepaskan jurus 'Gentar Gundala'-nya. Tetapi gerakannya kurang cepat sehingga lengan kirinya terserempet senjata bergerigi itu, dan koyaklah lengan itu. Brett...! Kain pun robek, darah pun keluar, sedang senjata itu tetap melesat menghantam tempat kosong. Rakawuni mengerang dengan mata memejam kuat. Lukanya itu kelihatan mengeluarkan busa. Itulah racun yang berbahaya, yang dipasang oleh Rakawuni sendiri pada senjata rahasianya.
Suto Sinting tidak segera menyerang Rakawuni, karena dilihatnya Dayang Kesumat telah menghilang. Timbul kecemasan di hati Suto, takut kalau Dayang Kesumat pergi ke persinggahan gurunya, si Gila Tuak, dan memaksa si Gila Tuak untuk menunjukkan tempat pengasingan Bidadari Jalang. Suto tahu bahwa Dayang Kesumat pasti mengetahui tempat tinggal si Gila Tuak, karena dari dulu hingga sekarang, si Gila Tuak tidak pernah berpindah tempat tinggal, yaitu di sebuah gua di balik air terjun yang ada di Jurang Lindu.
"Rakawuni...! Perempuan yang kau bela itu pergi meninggalkanmu! Itu tandanya kamu tidak disukai dan tidak dianggap ada di bumi ini! Pembelaanmu hanya sesuatu yang sia-sia saja! Sebenarnya saat ini bisa saja aku membunuhmu dengan mudah! Tapi sengaja kubiarkan kau hidup, supaya kau bisa menarik hikmah dari peristiwa ini, agar bisa berguna untuk hidupmu di masa mendatang. Aku terpaksa harus pergi juga dan tak akan melayanimu lagi...!"
Zlapp...! Pendekar Mabuk pergi berkelebat. Rakawuni sempat tertegun melihat gerakan Pendekar Mabuk yang begitu cepat, mirip angin setan lewat. Tak sempat mata Rakawuni melihat ke mana dan sampai di mana gerakan lari Suto itu. Sehingga di dalam hati Rakawuni pun berkata,
"Manusia atau setan dia itu sebenarnya?! Melihat gerakan dan perlawanannya dalam menghadapi jurus jarinya Dayang Kesumat, dia pasti lebih tinggi ilmunya dari Dayang Kesumat! Hmm...! Bagaimana jika aku minta bantuan dia untuk menghadapi Ratu Teluh Bumi? Kira-kira apakah dia bersedia kujadikan pembunuh bayaran demi membela rakyat Jenggala?"
* * *
DELAPAN
SERAUT wajah bundar berhidung bulat dan mata besar itu tampak kebingungan menghadapi tebasan kapak panjang yang begitu cepatnya. Wajah bundar bertubuh sedikit gemuk dan agak pendek itu cepat melompat dengan satu kali sentakan kaki ke tanah. Wutt...! Dan kapak bergagang panjang itu melesat cepat di bawah kakinya. Andai si mata besar tidak cepat melompat, maka kakinya akan menjadi santapan lezat bagi kapak bergagang panjang.
Orang bersenjata kapak gagang panjang itu menggeram gemas karena pukulannya meleset terus. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam, ia berdiri dengan mata cekungnya yang memandang angker. Tubuhnya yang kurus dibiarkan dihempas angin lereng gunung, membuat rambutnya yang panjang terlepas disapu angin sampai meriap di depan matanya, ia masih menunggu kesempatan menyerang lagi. Orang itu dikenal dengan nama Campak Garang.
"Majulah kalau kau memang masih merasa tangguh di depanku, Mahesa Lola!" ujar Campak Garang kepada si wajah bulat yang bernama Mahesa Lola itu.
"Jangan merasa menang dulu, Campak Garang! Aku sedang pelajari jurus-jurusmu!"
"Kalau kau mau bertarung, bertarunglah dengan ksatria. Kalau mau pelajari jurus-jurusku, datanglah sebagai muridku!"
"Mana aku sudi menjadi murid pencuri sebusuk kamu!"
"Hei, jaga bicaramu kalau tak ingin kubelah kepalamu, Mahesa!"
"Nyatanya sejak tadi kau tak bisa lakukan angan-anganmu! Mana kau bisa membelah kepala orang sakti seperti aku!" ejek Mahesa Lola semakin tampak masih berani, walau nyalinya sudah ciut sebenarnya.
"Hiaaat...!" Campak Garang melompat bagaikan terbang.
Mahesa Lola hanya bersifat menunggu, untuk kemudian segera berguling ke samping dalam satu lompatan. Campak Garang kecele lagi. Kapaknya membelah udara kosong. Satu kesempatan bagus pada saat itu karena Campak Garang dalam posisi membelakangi Mahesa Lola. Maka segera Mahesa Lola melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang tak seberapa besar itu. Wutt...!
Beggh...! Campak Garang tersentak, namun tak sampai jatuh. Hanya melengkung sedikit tubuhnya, kemudian segera berbalik dengan pandangan mata angkernya. Tiba-tiba tangannya berkelebat dan kapak panjangnya itu terbang dengan cepat ke arah kepala Mahesa Lola.
Mahesa Lola terkesiap melihat kapak begitu cepat melayang ke arahnya, ia baru akan menghindar dengan harapan tipis, tapi tiba-tiba kapak itu berbelok arah dan tahu-tahu menancap ke sebuah pohon. Beloknya arah kapak itu sungguh tidak masuk akal. Kapak yang terbang datar itu tahu-tahu melesat naik dengan sendirinya. Tinggi sekali sampai menancap pada dahan pohon. Dan keadaannya sekarang jelas tak terjangkau lagi oleh pemiliknya. Campak Garang hanya bisa terbengong memandangi kapaknya karena tak tahu bagaimana cara mengambilnya lagi.
Campak Garang yakin ada orang yang membela Mahesa Lola dalam pertarungannya itu. Pembela Mahesa Lola, pasti orang berilmu tinggi. Jika bukan karena kekuatan orang berilmu tinggi, tak mungkin kapak bisa melesat ke atas dan menancap di dahan pohon yang begitu tinggi. Campak Garang segera menyusuri sekelilingnya dengan pandangan mata cekung yang angker itu. Lalu, ia temukan seraut wajah cantik yang berdiri di belakangnya dengan sikap tenang namun dingin. Campak Garang segera melompat ke samping, dan kini ia bisa memandang antara Mahesa Lola dan sang pembelanya yang berwajah dingin itu.
"Apa yang teljadi, Mahesa Lola?!" tanya orang itu yang agaknya sudah cukup kenal dengan Mahesa Lola.
"Dia pencuri! Dia yang bantu Ratu Teluh Bumi mencuri kitab pusaka milik pamanku, yaitu kakeknya Sumping Rengganis!"
"Aku hanya membantu menunjukkan arah rumah Ki Bayan saja! Bukan ikut mencuri kitab itu, Goblok!" sentak Campak Garang.
"Kalau tidak salah kau yang belnama Campak Galang!" kata Dayang Kesumat. "Aku kenal kau sebagai anggota kawanan Penculi Gua Maksiat! Kau teman Wilduto, bukan?!"
"Aku tidak punya urusan denganmu, Perempuan cadel!"
Terkesiap mata Dayang Kesumat. Marah hatinya dihina seperti itu. Maka dengan cepat ia meremas jari kelingkingnya. Srett...! Dan tiba-tiba Campak Garang mendelik. Kepalanya bergerak-gerak ke belakang dengan kedua tangan memegangi lehernya. Campak Garang tercekik kuat-kuat. Wajahnya menjadi merah. Mulutnya ternganga dengan lidah mulai terjulur keluar. Bahkan sekarang tubuhnya terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah lagi.
Mahesa Lola terbengong-bengong memandanginya, ia menatap Dayang Kesumat juga menatap Campak Garang, begitu terus bergantian karena ia bingung. Apa yang dilakukan Dayang Kesumat tak dapat dimengerti oleh Mahesa Lola. Ia hanya melihat Campak Garang terangkat tubuhnya dalam keadaan tercekik. Sampai akhirnya kaki Campak Garang tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi. Dan tubuh Campak Garang pun segera roboh ke tanah, seakan dilepaskan oleh pencekiknya. Sementara itu, Dayang Kesumat tampak hembuskan napas legadengan mengembangkan tangannya yang dari tadi menggenggam kuat-kuat.
Mahesa Lola semakin tertegun bingung melihat Campak Garang ternyata mati dalam keadaan mata mendelik dan mulut ternganga. Batin Mahesa pun berkata, "Pasti Dayang Kesumat yang mencekiknya dengan ilmu tinggi yang dimiliki! Ck ck ck...! Benar-benar hebat ilmu perempuan itu!"
Dayang Kesumat menghampiri Mahesa Lola, lalu ucapkan kata, "Kulasa ulusanmu dengan olang itu sudah selesai, Mahesa! Pulanglah dan aku akan teluskan peljalananku membulu musuh lamaku!"
"Eh, hmm... tunggu sebentar, Dayang Kesumat! Kau masih punya janji padaku yang belum kau penuhi!"
"Janji apa?"
"Aku sudah membantumu membangun istana di Pulau Hantu. Aku ikut membangun istana itu tanpa upah. Tapi kau berjanji akan mengangkatku menjadi muridmu, Dayang Kesumat! Lupakah kau?"
Dayang Kesumat diam sebantar. Ia memang pernah keluarkan janji seperti itu kepada Mahesa Lola. Tapi setelah dipikir-pikir hatinya merasa berat jika ada orang yang memiliki ilmu sama dengannya. Karena itu, Dayang Kesumat bermaksud membatalkan janjinya. Dayang Kesumat pun segera berkata kepada Mahesa Lola, "Aku belum punya waktu untuk angkat mulid, Mahesa!"
"Aku bersedia mendampingimu ke mana saja sambil kau menjadi guruku. Aku bersedia pelajari ilmu darimu sambil jalan ke mana saja, Dayang Kesumat"
"Tak bisa, Mahesa! Aku tak belsedia jadi gulumu sambil jalan ke mana-mana! Kalau aku tulunkan ilmu kepada mulidku, aku halus punya tempat dan diam di tempat itu, tanpa ada ulusan lain-lain!"
Mahesa Lola bersungut-sungut dengan nada kecewa. "Dari dulu kau selalu bilang belum ada waktu. Lantas kapan kau punya waktu untuk mengangkatku sebagai murid?"
"Aku tidak bisa pastikan, Mahesa!"
Mahesa Lola tundukkan kepala dengan wajah sedihnya, "Sudah lama aku mengagumi ilmu kesaktianmu. Sudah lama aku mengidam-idamkan untuk menjadi muridmu. Tapi sampai sekarang harapan itu bagaikan sebuah mimpi rakyat jelata saja!"
Kasihan wajah Mahesa Lola sebenarnya. Tapi Dayang Kesumat segera ingat pengalaman pahitnya, ia pernah punya murid tunggal, yaitu Peri Malam. Tetapi akhirnya sang murid menjadi murtad hanya gara-gara jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk. Peri Malam menjadi memberontak dan menentang segala keputusan gurunya. Hal itu sungguh menyakitkan buat Dayang Kesumat, ketika ia masih menjadi perempuan bungkuk bernama Mawar Hitam, ia tak ingin mengulangi pengalaman pahitnya itu, sehingga ia tak pernah punya niat untuk mempunyai seorang murid lagi.
"Kalau waktunya telah tiba aku akan cali kamu dan akan angkat kamu sebagai mulidku, Mahesa!"
"Nanti aku keburu mati, Dayang Kesumat!"
"Belalti memang bukan jodoh kita menjadi gulu dan mulid!"
Mahesa Lola berdecak dan semakin tampakkan rasa kekecewaannya. "Harapanku siang dan malam hanya ingin menjadi muridmu, Dayang Kesumat. Tapi sekarang harapan itu rasa-rasanya pudar dan meninggalkan luka di hatiku, Dayang Kesumat...!"
Wusss...!
Tiba-tiba melesat sinar merah membara berbentuk bola kecil. Sinar itu melesat dan menghantam punggung Dayang Kesumat. Jrubb!
"Ahhg...!"
"Dayang...?!" pekik Mahesa Lola dengan kaget, ia terbelalak melihat Dayang Kesumat mendelik dengan tubuh melengkung ke depan dan akhirnya rubuh. Punggungnya menjadi hangus dan kepulan asap tampak jelas dari luka hangus sebesar buah duku itu.
Mahesa Lola ingin membantu Dayang Kesumat, tapi perempuan itu mengibaskan tangan Mahesa Lola. Ia berdiri dengan sempoyongan. Lalu berbalik memandang ke belakang. Wajahnya telah pucat pasi, menandakan ia dalam keadaan luka berat. Dengan geram Dayang Kesumat sentakkan dua tangannya berturut-turut yang memancarkan sinar biru dan merah secara bergantian. Yang jadi sasaran adalah semak-semak, kerimbunan pohon, dan gundukan batu atau tanah yang bisa dipakai untuk bersembunyi.
Blarr.. blarrr... blarrr... blarrr..!
Lebih dari sepuluh pukulan hebat dilepaskan oleh Dayang Kesumat, ia bagaikan melepaskan serangan secara membabi buta. Pohon tumbang dan batu pecah terjadi beberapa kali, sehingga bumi bagai mengalami gempa yang begitu mengerikan. Sebagian tanaman semak terbakar dengan kobarkan api yang cukup besar. Apa yang dicarinya ternyata berhasil ditemukan. Seseorang melesat dari salah satu pohon terakhir yang mau dihantam dengan sinar biru. Orang itu berkelebat dalam gerakan salto yang ringan dan cepat. Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Dayang Kesumat dalam jarak antara lima tombak.
"Ratu Teluh Bumi...!" geram Dayang Kesumat dengan mata menyipit.
Mahesa Lola berseru, "Itu dia pencuri kitab pamanku yang dibantu oleh Campak Garang!"
Tapi Dayang Kesumat tidak melayani ucapan itu. Matanya menyipit dan sedikit cemas, karena Ratu Teluh Bumi yang dianggapnya telah mati di dasar Jurang Petaka itu, ternyata masih hidup dan segar bugar. Dayang Kesumat berpendapat, kalau bukan orang berilmu tinggi sekali, tak mungkin dapat lolos dari kematian Jurang Petaka. Wajah Dayang Kesumat makin pucat karena luka dalamnya itu.
Mahesa Lola memandang cemas kepada Dayang Kesumat, ia berbisik, "Kau makin pucat, Dayang! Pasti lukamu parah!"
"Hadapi dia, Mahesa. Aku akan menjauh untuk sementala. Aku pellu waktu untuk mengobati luka dalam ini! Kau akan segela kuangkat jadi mulidku setelah hadapi dia!"
"Sungguh?"
"Aku beljanji!"
"Baik. Pergilah sana! Biar kuhadapi dia, Dayang Kesumat!"
Zlapp...! Dayang Kesumat pergi dengan gerakan cepat. Ratu Teluh Bumi segera mengejarnya. Tapi Mahesa Lola cepat cabut pisaunya dan melemparkan pisau itu ke arah Ratu Teluh Bumi. Zingng...!
Jrubb...! Langkah Ratu Teluh Bumi terhambat oleh pisau yang menancap di betisnya. Ratu Teluh Bumi pun jatuh tersungkur. Pisau itu segera dicabut dengan cepat, kemudian dilemparkan kembali ke arah Mahesa Loia. Zingng...!
Mahesa Lola melompat tinggi-tinggi, dan pisau itu melesat di bawah kakinya dalam jarak kurang dari sejengkal. Kemudian pisau itu menancap kuat di dahan sebuah pohon yang rubuh akibat amukan Dayang Kesumat. Jrabb...!
"Keparat kau, Mahesa Lola!" geram Ratu Teluh Bumi dengan mata memandang angker.
Mahesa Lola justru merasa bangga karena bisa menghambat pengejaran Ratu Teluh Bumi, juga bisa melukai perempuan itu dengan senjatanya yang kini tinggal dua dipinggang. "Sakit?" ejek Mahesa Lola dengan sikap seakan sudah memperoleh kemenangan.
Ratu Teluh Bumi menggeram sebentar memandangi Mahesa Lola. Lalu ia menahan napas dan memandangi lukanya di betis sambil berkata, "Sembuh...!"
Blarrr...! Petir menyahut dengan satu sentakan kuat.
Mahesa Lola kerutkan dahi dan matanya memandang luka di betis Ratu Teluh Bumi tanpa berkedip sedikit pun. Mahesa Lola hampir tak percaya melihat luka itu bergerak-gerak dan darahnya menyebar hilang, lalu dalam kejap berikutnya luka tersebut sudah kembali mengatup, dan hilang bagai tak pernah ada luka sedikit pun. Bekas sebesar jarum pun tak terlihat lagi. Rasa sakit di betis pun tidak lagi terasa oleh Ratu Teluh Bumi. Mahesa Lola melangkah mundur tiga tindak sambil masih termangu-mangu melihat keajaiban yang di luar dugaan sama sekali itu.
Ratu Teluh Bumi berdiri tegak dengan mata tertuju tajam kepada Mahesa Lola. "Berani kau melukaiku, Mahesa? Apakah kau sudah bosan hidup menjadi manusia terburuk sejagat ini, hah?!"
Mahesa Lola tak berani menyahut atau menjawab apa pun. Ia ketakutan dan merasa sedang berhadapan dengan seorang siluman.
"Jangan kamu, Mahesa..., Dayang Kesumat pun lari terbirit-birit melihat kemunculanku! Karena dia tahu, aku mempunyai kesaktian yang lebih tinggi dari dirinya!" Kemudian, Ratu Teluh Bumi memperlihatkan kesaktiannya, ia pamerkan kehebatan ilmu barunya yang bisa menyebar kutuk ke mana-mana, dengan cara menuding sebatang pohon besar yang masih berdiri dengan kokohnya, kemudian dengan menahan napas ia ucapkan kata, "Rubuh...!"
Blarrr...! Petir menyambar di siang hari. Angin besar datang, dan pohon yang kokoh itu bagaikan diguncang gempa yang hebat pada bagian tanah di bawahnya. Lalu, tiba-tiba pohon itu pun rubuh dengan tidak tanggung-tanggung lagi. Brrukkk...! Akarnya terangkat naik, tanahnya memercik ke satu arah. Pohon itu kini dalam keadaan rebah di tanah bagai seorang ksatria tangguh yang lumpuh secara mendadak.
Mahesa Lola mulutnya ternganga bengong dengan mata besarnya yang melotot, lupa untuk berkedip. Ia berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun, menjadi patung hidup yang tak punya seni keindahan sedikitpun.
Plakk...! Tangan Ratu Teluh Bumi menampar kuat wajah Mahesa Lola. Menggeragap Mahesa Lola dibuatnya sambil terlempar jatuh kesamping karena kerasnya tamparan itu. Di pipi Mahesa Lola membekas empat jari Ratu Teluh Bumi yang habis menamparnya. Tentu saja tamparan itu disertai kekuatan tenaga dalam sehingga bisa membekas memar cap telapak tangan. Wajah Mahesa Lola bagai dibakar api dalam sekejap, terasa sangat panas dan perih di sekujur kepalanya.
"Ingat, kalau ku mau, sekarang juga kau bisa kubunuh seperti aku menumbangkan pohon itu, Mahesa! Tapi terlalu murah ilmuku jika membunuhmu! Tanpa kubunuh pun kau sebentar lagi akan mati sendiri!" Napas ditariknya, lalu ditahan di dada, Ratu Teluh Bumi pun ucapkan kata kutukan kepada Mahesa Lola. "Ingat, setelah kepergianku, kau akan mati bunuh diri!"
Blarrr...! Kembali sang petir terkejut mendengar kutukan itu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Ratu Teluh Bumi segera tinggalkan tempat itu, mengejar kearah kepergian Dayang Kesumat. Kebetulan arah itu adalah arah yang akan ditempuhnya menuju ke Jenggala.
Mahesa Lola hanya diam saja pandangi kepergian Ratu Teluh Bumi. Ia merasa sedih, sebagai manusia tak berilmu tinggi, sehingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh orang-orang seperti Ratu Teluh Bumi. Ia pun segera membatin dalam hatinya,
"Beginilah nasibnya jadi orang berwajah buruk. Tak pernah ada yang mau perhatikan aku. Untuk mengangkat murid saja tak ada yang mau. Bahkan pamanku sendiri menolak untuk mengangkat murid. Sampai kubela-bela mengabdi jadi pelayannya, mencuri-curi ilmunya mengejar pencuri kitabnya, tapi sampai sekarang paman tak mau mengangkatku sebagai muridnya! Ia lebih sayang kepada cucunya Sumping Rengganis! Mengapa aku dilahirkan jika menjadi bahan bencian manusia lain. Dayang Kesumat yang sudah kubantu sedemikian banyak, masih saja tak berminat menurunkan separo ilmunya untuk diriku. Sepertinya Dayang Kesumat malu mempunyai murid seburuk aku! Oh, apakah setiap orang pandai dan sakti selalu malu mempunyai murid seperti aku?"
Mahesa Lola melangkah pelan-pelan mendekati pohon berakar seperti rambut-rambut raksasa itu. Jenis pohon beringin tapi bercabang renggang dan mempunyai dahan yang besar, serta akar yang alot. Di sana Mahesa Lola diam, pandangi pohon itu dengan mata berkaca-kaca ingin menangis, dan hati terus berucap kata,
"Rupanya aku memang tak pantas hidup! Memalukan bagi orang lain! Jadi ada baiknya kalau aku mati saja, biar tak jadi beban orang lain. Karena memang sudah tak ada lagi orang yang punya rasa kasihan kepadaku selain kedua orangtuaku, Sedangkan kedua orang-tuaku telah meninggal dunia sejak dulu. Ada baiknya kalau aku menyusul mereka dan menemukan kasih sayang di sana! Aku yakin, mereka tak akan merasa malu hidup bersamaku...!"
Mahesa Lola segera memanjat pohon itu. Ia menarik satu akar gantung yang tidak terlalu besar, kemudian membuat jerat dan ia mengikat lehernya sendiri dengan akar itu. Dengan air mata meleleh di pipi, segera Mahesa Lola melompat dari dahan pohon itu, jregg...!
Kkkrrrk...! Tergantunglah Mahesa Lola dengan kaki berkelejotan meregang nyawa. Matanya terbeliak-beliak, mulutnya ternganga dengan lidah menjulur. Untuk beberapa saat kemudian, tubuh itu pun menjadi lemas. Diam tak bergerak. Tergantung-gantung tanpa napas sedikit pun. Biru wajahnya karena darah terputus di bagian leher.
Maka, seperti apa yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi dalam kutukannya, Mahesa Lola pun mati bunuh diri setelah Ratu Teluh Bumi pergi tinggalkan tempat itu. Sang petir di langit tertegun bengong memandangi mayat Mahesa Lola yang tergantung bukan akibat keinginannya sendiri.
Orang bersenjata kapak gagang panjang itu menggeram gemas karena pukulannya meleset terus. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam, ia berdiri dengan mata cekungnya yang memandang angker. Tubuhnya yang kurus dibiarkan dihempas angin lereng gunung, membuat rambutnya yang panjang terlepas disapu angin sampai meriap di depan matanya, ia masih menunggu kesempatan menyerang lagi. Orang itu dikenal dengan nama Campak Garang.
"Majulah kalau kau memang masih merasa tangguh di depanku, Mahesa Lola!" ujar Campak Garang kepada si wajah bulat yang bernama Mahesa Lola itu.
"Jangan merasa menang dulu, Campak Garang! Aku sedang pelajari jurus-jurusmu!"
"Kalau kau mau bertarung, bertarunglah dengan ksatria. Kalau mau pelajari jurus-jurusku, datanglah sebagai muridku!"
"Mana aku sudi menjadi murid pencuri sebusuk kamu!"
"Hei, jaga bicaramu kalau tak ingin kubelah kepalamu, Mahesa!"
"Nyatanya sejak tadi kau tak bisa lakukan angan-anganmu! Mana kau bisa membelah kepala orang sakti seperti aku!" ejek Mahesa Lola semakin tampak masih berani, walau nyalinya sudah ciut sebenarnya.
"Hiaaat...!" Campak Garang melompat bagaikan terbang.
Mahesa Lola hanya bersifat menunggu, untuk kemudian segera berguling ke samping dalam satu lompatan. Campak Garang kecele lagi. Kapaknya membelah udara kosong. Satu kesempatan bagus pada saat itu karena Campak Garang dalam posisi membelakangi Mahesa Lola. Maka segera Mahesa Lola melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang tak seberapa besar itu. Wutt...!
Beggh...! Campak Garang tersentak, namun tak sampai jatuh. Hanya melengkung sedikit tubuhnya, kemudian segera berbalik dengan pandangan mata angkernya. Tiba-tiba tangannya berkelebat dan kapak panjangnya itu terbang dengan cepat ke arah kepala Mahesa Lola.
Mahesa Lola terkesiap melihat kapak begitu cepat melayang ke arahnya, ia baru akan menghindar dengan harapan tipis, tapi tiba-tiba kapak itu berbelok arah dan tahu-tahu menancap ke sebuah pohon. Beloknya arah kapak itu sungguh tidak masuk akal. Kapak yang terbang datar itu tahu-tahu melesat naik dengan sendirinya. Tinggi sekali sampai menancap pada dahan pohon. Dan keadaannya sekarang jelas tak terjangkau lagi oleh pemiliknya. Campak Garang hanya bisa terbengong memandangi kapaknya karena tak tahu bagaimana cara mengambilnya lagi.
Campak Garang yakin ada orang yang membela Mahesa Lola dalam pertarungannya itu. Pembela Mahesa Lola, pasti orang berilmu tinggi. Jika bukan karena kekuatan orang berilmu tinggi, tak mungkin kapak bisa melesat ke atas dan menancap di dahan pohon yang begitu tinggi. Campak Garang segera menyusuri sekelilingnya dengan pandangan mata cekung yang angker itu. Lalu, ia temukan seraut wajah cantik yang berdiri di belakangnya dengan sikap tenang namun dingin. Campak Garang segera melompat ke samping, dan kini ia bisa memandang antara Mahesa Lola dan sang pembelanya yang berwajah dingin itu.
"Apa yang teljadi, Mahesa Lola?!" tanya orang itu yang agaknya sudah cukup kenal dengan Mahesa Lola.
"Dia pencuri! Dia yang bantu Ratu Teluh Bumi mencuri kitab pusaka milik pamanku, yaitu kakeknya Sumping Rengganis!"
"Aku hanya membantu menunjukkan arah rumah Ki Bayan saja! Bukan ikut mencuri kitab itu, Goblok!" sentak Campak Garang.
"Kalau tidak salah kau yang belnama Campak Galang!" kata Dayang Kesumat. "Aku kenal kau sebagai anggota kawanan Penculi Gua Maksiat! Kau teman Wilduto, bukan?!"
"Aku tidak punya urusan denganmu, Perempuan cadel!"
Terkesiap mata Dayang Kesumat. Marah hatinya dihina seperti itu. Maka dengan cepat ia meremas jari kelingkingnya. Srett...! Dan tiba-tiba Campak Garang mendelik. Kepalanya bergerak-gerak ke belakang dengan kedua tangan memegangi lehernya. Campak Garang tercekik kuat-kuat. Wajahnya menjadi merah. Mulutnya ternganga dengan lidah mulai terjulur keluar. Bahkan sekarang tubuhnya terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah lagi.
Mahesa Lola terbengong-bengong memandanginya, ia menatap Dayang Kesumat juga menatap Campak Garang, begitu terus bergantian karena ia bingung. Apa yang dilakukan Dayang Kesumat tak dapat dimengerti oleh Mahesa Lola. Ia hanya melihat Campak Garang terangkat tubuhnya dalam keadaan tercekik. Sampai akhirnya kaki Campak Garang tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi. Dan tubuh Campak Garang pun segera roboh ke tanah, seakan dilepaskan oleh pencekiknya. Sementara itu, Dayang Kesumat tampak hembuskan napas legadengan mengembangkan tangannya yang dari tadi menggenggam kuat-kuat.
Mahesa Lola semakin tertegun bingung melihat Campak Garang ternyata mati dalam keadaan mata mendelik dan mulut ternganga. Batin Mahesa pun berkata, "Pasti Dayang Kesumat yang mencekiknya dengan ilmu tinggi yang dimiliki! Ck ck ck...! Benar-benar hebat ilmu perempuan itu!"
Dayang Kesumat menghampiri Mahesa Lola, lalu ucapkan kata, "Kulasa ulusanmu dengan olang itu sudah selesai, Mahesa! Pulanglah dan aku akan teluskan peljalananku membulu musuh lamaku!"
"Eh, hmm... tunggu sebentar, Dayang Kesumat! Kau masih punya janji padaku yang belum kau penuhi!"
"Janji apa?"
"Aku sudah membantumu membangun istana di Pulau Hantu. Aku ikut membangun istana itu tanpa upah. Tapi kau berjanji akan mengangkatku menjadi muridmu, Dayang Kesumat! Lupakah kau?"
Dayang Kesumat diam sebantar. Ia memang pernah keluarkan janji seperti itu kepada Mahesa Lola. Tapi setelah dipikir-pikir hatinya merasa berat jika ada orang yang memiliki ilmu sama dengannya. Karena itu, Dayang Kesumat bermaksud membatalkan janjinya. Dayang Kesumat pun segera berkata kepada Mahesa Lola, "Aku belum punya waktu untuk angkat mulid, Mahesa!"
"Aku bersedia mendampingimu ke mana saja sambil kau menjadi guruku. Aku bersedia pelajari ilmu darimu sambil jalan ke mana saja, Dayang Kesumat"
"Tak bisa, Mahesa! Aku tak belsedia jadi gulumu sambil jalan ke mana-mana! Kalau aku tulunkan ilmu kepada mulidku, aku halus punya tempat dan diam di tempat itu, tanpa ada ulusan lain-lain!"
Mahesa Lola bersungut-sungut dengan nada kecewa. "Dari dulu kau selalu bilang belum ada waktu. Lantas kapan kau punya waktu untuk mengangkatku sebagai murid?"
"Aku tidak bisa pastikan, Mahesa!"
Mahesa Lola tundukkan kepala dengan wajah sedihnya, "Sudah lama aku mengagumi ilmu kesaktianmu. Sudah lama aku mengidam-idamkan untuk menjadi muridmu. Tapi sampai sekarang harapan itu bagaikan sebuah mimpi rakyat jelata saja!"
Kasihan wajah Mahesa Lola sebenarnya. Tapi Dayang Kesumat segera ingat pengalaman pahitnya, ia pernah punya murid tunggal, yaitu Peri Malam. Tetapi akhirnya sang murid menjadi murtad hanya gara-gara jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk. Peri Malam menjadi memberontak dan menentang segala keputusan gurunya. Hal itu sungguh menyakitkan buat Dayang Kesumat, ketika ia masih menjadi perempuan bungkuk bernama Mawar Hitam, ia tak ingin mengulangi pengalaman pahitnya itu, sehingga ia tak pernah punya niat untuk mempunyai seorang murid lagi.
"Kalau waktunya telah tiba aku akan cali kamu dan akan angkat kamu sebagai mulidku, Mahesa!"
"Nanti aku keburu mati, Dayang Kesumat!"
"Belalti memang bukan jodoh kita menjadi gulu dan mulid!"
Mahesa Lola berdecak dan semakin tampakkan rasa kekecewaannya. "Harapanku siang dan malam hanya ingin menjadi muridmu, Dayang Kesumat. Tapi sekarang harapan itu rasa-rasanya pudar dan meninggalkan luka di hatiku, Dayang Kesumat...!"
Wusss...!
Tiba-tiba melesat sinar merah membara berbentuk bola kecil. Sinar itu melesat dan menghantam punggung Dayang Kesumat. Jrubb!
"Ahhg...!"
"Dayang...?!" pekik Mahesa Lola dengan kaget, ia terbelalak melihat Dayang Kesumat mendelik dengan tubuh melengkung ke depan dan akhirnya rubuh. Punggungnya menjadi hangus dan kepulan asap tampak jelas dari luka hangus sebesar buah duku itu.
Mahesa Lola ingin membantu Dayang Kesumat, tapi perempuan itu mengibaskan tangan Mahesa Lola. Ia berdiri dengan sempoyongan. Lalu berbalik memandang ke belakang. Wajahnya telah pucat pasi, menandakan ia dalam keadaan luka berat. Dengan geram Dayang Kesumat sentakkan dua tangannya berturut-turut yang memancarkan sinar biru dan merah secara bergantian. Yang jadi sasaran adalah semak-semak, kerimbunan pohon, dan gundukan batu atau tanah yang bisa dipakai untuk bersembunyi.
Blarr.. blarrr... blarrr... blarrr..!
Lebih dari sepuluh pukulan hebat dilepaskan oleh Dayang Kesumat, ia bagaikan melepaskan serangan secara membabi buta. Pohon tumbang dan batu pecah terjadi beberapa kali, sehingga bumi bagai mengalami gempa yang begitu mengerikan. Sebagian tanaman semak terbakar dengan kobarkan api yang cukup besar. Apa yang dicarinya ternyata berhasil ditemukan. Seseorang melesat dari salah satu pohon terakhir yang mau dihantam dengan sinar biru. Orang itu berkelebat dalam gerakan salto yang ringan dan cepat. Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Dayang Kesumat dalam jarak antara lima tombak.
"Ratu Teluh Bumi...!" geram Dayang Kesumat dengan mata menyipit.
Mahesa Lola berseru, "Itu dia pencuri kitab pamanku yang dibantu oleh Campak Garang!"
Tapi Dayang Kesumat tidak melayani ucapan itu. Matanya menyipit dan sedikit cemas, karena Ratu Teluh Bumi yang dianggapnya telah mati di dasar Jurang Petaka itu, ternyata masih hidup dan segar bugar. Dayang Kesumat berpendapat, kalau bukan orang berilmu tinggi sekali, tak mungkin dapat lolos dari kematian Jurang Petaka. Wajah Dayang Kesumat makin pucat karena luka dalamnya itu.
Mahesa Lola memandang cemas kepada Dayang Kesumat, ia berbisik, "Kau makin pucat, Dayang! Pasti lukamu parah!"
"Hadapi dia, Mahesa. Aku akan menjauh untuk sementala. Aku pellu waktu untuk mengobati luka dalam ini! Kau akan segela kuangkat jadi mulidku setelah hadapi dia!"
"Sungguh?"
"Aku beljanji!"
"Baik. Pergilah sana! Biar kuhadapi dia, Dayang Kesumat!"
Zlapp...! Dayang Kesumat pergi dengan gerakan cepat. Ratu Teluh Bumi segera mengejarnya. Tapi Mahesa Lola cepat cabut pisaunya dan melemparkan pisau itu ke arah Ratu Teluh Bumi. Zingng...!
Jrubb...! Langkah Ratu Teluh Bumi terhambat oleh pisau yang menancap di betisnya. Ratu Teluh Bumi pun jatuh tersungkur. Pisau itu segera dicabut dengan cepat, kemudian dilemparkan kembali ke arah Mahesa Loia. Zingng...!
Mahesa Lola melompat tinggi-tinggi, dan pisau itu melesat di bawah kakinya dalam jarak kurang dari sejengkal. Kemudian pisau itu menancap kuat di dahan sebuah pohon yang rubuh akibat amukan Dayang Kesumat. Jrabb...!
"Keparat kau, Mahesa Lola!" geram Ratu Teluh Bumi dengan mata memandang angker.
Mahesa Lola justru merasa bangga karena bisa menghambat pengejaran Ratu Teluh Bumi, juga bisa melukai perempuan itu dengan senjatanya yang kini tinggal dua dipinggang. "Sakit?" ejek Mahesa Lola dengan sikap seakan sudah memperoleh kemenangan.
Ratu Teluh Bumi menggeram sebentar memandangi Mahesa Lola. Lalu ia menahan napas dan memandangi lukanya di betis sambil berkata, "Sembuh...!"
Blarrr...! Petir menyahut dengan satu sentakan kuat.
Mahesa Lola kerutkan dahi dan matanya memandang luka di betis Ratu Teluh Bumi tanpa berkedip sedikit pun. Mahesa Lola hampir tak percaya melihat luka itu bergerak-gerak dan darahnya menyebar hilang, lalu dalam kejap berikutnya luka tersebut sudah kembali mengatup, dan hilang bagai tak pernah ada luka sedikit pun. Bekas sebesar jarum pun tak terlihat lagi. Rasa sakit di betis pun tidak lagi terasa oleh Ratu Teluh Bumi. Mahesa Lola melangkah mundur tiga tindak sambil masih termangu-mangu melihat keajaiban yang di luar dugaan sama sekali itu.
Ratu Teluh Bumi berdiri tegak dengan mata tertuju tajam kepada Mahesa Lola. "Berani kau melukaiku, Mahesa? Apakah kau sudah bosan hidup menjadi manusia terburuk sejagat ini, hah?!"
Mahesa Lola tak berani menyahut atau menjawab apa pun. Ia ketakutan dan merasa sedang berhadapan dengan seorang siluman.
"Jangan kamu, Mahesa..., Dayang Kesumat pun lari terbirit-birit melihat kemunculanku! Karena dia tahu, aku mempunyai kesaktian yang lebih tinggi dari dirinya!" Kemudian, Ratu Teluh Bumi memperlihatkan kesaktiannya, ia pamerkan kehebatan ilmu barunya yang bisa menyebar kutuk ke mana-mana, dengan cara menuding sebatang pohon besar yang masih berdiri dengan kokohnya, kemudian dengan menahan napas ia ucapkan kata, "Rubuh...!"
Blarrr...! Petir menyambar di siang hari. Angin besar datang, dan pohon yang kokoh itu bagaikan diguncang gempa yang hebat pada bagian tanah di bawahnya. Lalu, tiba-tiba pohon itu pun rubuh dengan tidak tanggung-tanggung lagi. Brrukkk...! Akarnya terangkat naik, tanahnya memercik ke satu arah. Pohon itu kini dalam keadaan rebah di tanah bagai seorang ksatria tangguh yang lumpuh secara mendadak.
Mahesa Lola mulutnya ternganga bengong dengan mata besarnya yang melotot, lupa untuk berkedip. Ia berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun, menjadi patung hidup yang tak punya seni keindahan sedikitpun.
Plakk...! Tangan Ratu Teluh Bumi menampar kuat wajah Mahesa Lola. Menggeragap Mahesa Lola dibuatnya sambil terlempar jatuh kesamping karena kerasnya tamparan itu. Di pipi Mahesa Lola membekas empat jari Ratu Teluh Bumi yang habis menamparnya. Tentu saja tamparan itu disertai kekuatan tenaga dalam sehingga bisa membekas memar cap telapak tangan. Wajah Mahesa Lola bagai dibakar api dalam sekejap, terasa sangat panas dan perih di sekujur kepalanya.
"Ingat, kalau ku mau, sekarang juga kau bisa kubunuh seperti aku menumbangkan pohon itu, Mahesa! Tapi terlalu murah ilmuku jika membunuhmu! Tanpa kubunuh pun kau sebentar lagi akan mati sendiri!" Napas ditariknya, lalu ditahan di dada, Ratu Teluh Bumi pun ucapkan kata kutukan kepada Mahesa Lola. "Ingat, setelah kepergianku, kau akan mati bunuh diri!"
Blarrr...! Kembali sang petir terkejut mendengar kutukan itu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Ratu Teluh Bumi segera tinggalkan tempat itu, mengejar kearah kepergian Dayang Kesumat. Kebetulan arah itu adalah arah yang akan ditempuhnya menuju ke Jenggala.
Mahesa Lola hanya diam saja pandangi kepergian Ratu Teluh Bumi. Ia merasa sedih, sebagai manusia tak berilmu tinggi, sehingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh orang-orang seperti Ratu Teluh Bumi. Ia pun segera membatin dalam hatinya,
"Beginilah nasibnya jadi orang berwajah buruk. Tak pernah ada yang mau perhatikan aku. Untuk mengangkat murid saja tak ada yang mau. Bahkan pamanku sendiri menolak untuk mengangkat murid. Sampai kubela-bela mengabdi jadi pelayannya, mencuri-curi ilmunya mengejar pencuri kitabnya, tapi sampai sekarang paman tak mau mengangkatku sebagai muridnya! Ia lebih sayang kepada cucunya Sumping Rengganis! Mengapa aku dilahirkan jika menjadi bahan bencian manusia lain. Dayang Kesumat yang sudah kubantu sedemikian banyak, masih saja tak berminat menurunkan separo ilmunya untuk diriku. Sepertinya Dayang Kesumat malu mempunyai murid seburuk aku! Oh, apakah setiap orang pandai dan sakti selalu malu mempunyai murid seperti aku?"
Mahesa Lola melangkah pelan-pelan mendekati pohon berakar seperti rambut-rambut raksasa itu. Jenis pohon beringin tapi bercabang renggang dan mempunyai dahan yang besar, serta akar yang alot. Di sana Mahesa Lola diam, pandangi pohon itu dengan mata berkaca-kaca ingin menangis, dan hati terus berucap kata,
"Rupanya aku memang tak pantas hidup! Memalukan bagi orang lain! Jadi ada baiknya kalau aku mati saja, biar tak jadi beban orang lain. Karena memang sudah tak ada lagi orang yang punya rasa kasihan kepadaku selain kedua orangtuaku, Sedangkan kedua orang-tuaku telah meninggal dunia sejak dulu. Ada baiknya kalau aku menyusul mereka dan menemukan kasih sayang di sana! Aku yakin, mereka tak akan merasa malu hidup bersamaku...!"
Mahesa Lola segera memanjat pohon itu. Ia menarik satu akar gantung yang tidak terlalu besar, kemudian membuat jerat dan ia mengikat lehernya sendiri dengan akar itu. Dengan air mata meleleh di pipi, segera Mahesa Lola melompat dari dahan pohon itu, jregg...!
Kkkrrrk...! Tergantunglah Mahesa Lola dengan kaki berkelejotan meregang nyawa. Matanya terbeliak-beliak, mulutnya ternganga dengan lidah menjulur. Untuk beberapa saat kemudian, tubuh itu pun menjadi lemas. Diam tak bergerak. Tergantung-gantung tanpa napas sedikit pun. Biru wajahnya karena darah terputus di bagian leher.
Maka, seperti apa yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi dalam kutukannya, Mahesa Lola pun mati bunuh diri setelah Ratu Teluh Bumi pergi tinggalkan tempat itu. Sang petir di langit tertegun bengong memandangi mayat Mahesa Lola yang tergantung bukan akibat keinginannya sendiri.
* * *
SEMBILAN
PENDEKAR Mabuk berhenti dari langkahnya ketika melihat seorang lelaki pendek tergantung di pohon. Dihampirinya mayat Mahesa Lola yang tergantung itu, ia perhatikan dari bawah, sambil pandangi keadaan sekeliling di mana batuan hancur, semak terbakar, pohon-pohon tumbang.
"Jelas habis ada pertempuran hebat di tempat ini," pikir Suto Sinting. "Tapi siapa yang melakukan pertempuran hebat itu? Apa Dayang Kesumat? Siapa lawannya. Apa orang yang tergantung ini...?"
Suto hanya menduga apa yang terjadi di situ. Tapi yang menjadi sasaran pemikirannya adalah arah kepergian Dayang Kesumat, ia harus bisa menahan perempuan itu agar jangan sampai datang ke Jurang Lindu dan berhadapan dengan si Gila Tuak. Suto tak mau gurunya kerepotan menghadapi Dayang Kesumat.
Ketika Suto sedang tertegun, tiba-tiba seekor serigala berbulu hitam melompat ke arahnya. Suto terkejut dan ingin melepas serangan bertenaga dalam ke arah serigala bertelinga panjang itu. Tapi binatang tersebut segera rendahkan kepala, kakinya terlipat, kepalanya merapat dengan tanah, satu kaki depannya bagai menutup kepala. Serigala itu sepertinya merasa takut, bahkan seakan ia berkata, "Jangan serang saya, Tuan...!"
Pendekar Mabuk tak jadi lepaskan pukulan yang mematikan untuk serigala itu. Ia bahkan menaruh rasa iba hati ketika serigala itu menggeram-geram dengan suaranya yang kecil bagai menangis. Dan satu hal lagi yang membuat Suto terkejut, ternyata binatang itu memang melelehkan air mata. Mulanya binatang itu memandang mayat Mahesa Lola sebentar, lalu pandangi wajah Suto, setelah itu merendahkan kepala lagi hingga menempel di tanah, dan melelehkan air matanya.
"Serigala aneh," gumam Pendekar Mabuk. "Biasanya jenis serigala bertelinga panjang begini sangat buas dan galak, ia punya keberanian menyerang manusia, apalagi jika bersama rombongannya! Tapi serigala yang ini justru kelihatannya jinak, ia bisa melelehkan air mata! Mungkinkah dia mengalami kesedihan yang dalam? Atau merasa kasihan melihat orang yang digantung itu?" Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sejenak. Kemudian membatin lagi, "Kalau serigala saja tahu belas kasihan melihat orang digantung, mengapa sesama manusia tak punya belas kasihan, sehingga tega menggantung sesamanya?!"
"Aauuuu....!" Serigala itu meraung. Raut wajahnya terlihat memelas. Suara raungannya mengiris hati. Setelah ia melolong, ia kembali merundukkan kepala dan melelehkan air mata lagi.
"Apa maksud binatang ini?" pikir Suto mencoba menerka-nerka kemauan binatang tersebut. Suto pun jongkok dan memberanikan diri mengusap-usap kepala binatang itu. Ternyata tangan Suto tidak digigit atau dicakarnya. Binatang itu justru melelehkan air mata semakin banyak. Semakin sering tengkuknya diusap-usap oleh Suto sepertinya semakin terharu hati binatang itu.
Tiba-tiba terdengar derap suara langkah kuda yang berlari dengan cepat. Suto Sinting segera berpaling ke belakang. Ternyata seekor kuda tanpa penunggang sedang berlari ke arah sekitar tempat itu. Suto agak heran melihat kuda lari sendiri tanpa penunggang. Sementara tali kekang kuda juga tak kelihatan. Mungkinkah kuda liar itu sedang mengamuk mencari betinanya?
"Oh, sepertinya kuda itu... kuda itu...," Suto menjadi ragu meneruskan ucapannya, ia bergegas meninggalkan bawah pohon itu untuk melihat lebih jelas lagi kuda yang akan lewat. Sebab Suto mengalami penglihatan yang meragukan dirinya sendiri. Derap kaki kuda makin mendekat. Suto Sinting makin terperangah melihat keanehan pada kuda tersebut. Bahkan batinnya pun tak mampu ucapkan satu kata untuk keanehan yang dilihatnya itu.
Kuda itu berhenti di depan Suto. Makin jelas lagi apa yang membuatnya terpaku di tempat. Kuda itu ternyata berkepala manusia. Dan manusia itu dikenal oleh Suto. Tanpa sadar mulut Suto Sinting segera berucap kata menyebut nama orang itu, "Rakawuni...?!"
Ya. Kuda berkepala manusia itu adalah Rakawuni. Orang yang hampir membunuh Suto karena membela Dayang Kesumat. Segera Rakawuni menunduk sedih ketika sudah beradu pandang dengan Suto beberapa helaan napas. Suto pun segera mendekati kuda berbadan coklat dan berekor hitam itu. "Kaukah Rakawuni...?"
"Ya, aku Rakawuni...!" jawab kuda berkepala manusia itu. Suaranya sangat lirih, seakan bercampur dengan segumpal tangis yang dipendamnya kuat-kuat di dalam dadanya.
"Mengapa kau menjadi begini, Rakawuni? Bukankah saat kutinggalkan kau dalam keadaan luka oleh senjata rahasiamu sendiri?"
"Luka itu bisa kuatasi. Karena aku punya penawar racun tersebut. Tapi... aku segera bertemu dengan Ratu Teluh Bumi."
"Siapa? Ratu Teluh Bumi...?!" Suto segera teringat peristiwa di Kuil Swanalingga. Terbayang wajah tua yang masih cantik dan tampak kencang kulitnya itu. Ratu Teluh Bumi sempat dikenal Suto pada saat perempuan itu berhadapan dengan Raja Nujum almarhum. Itulah saat pertama Pendekar Mabuk mengenal Ratu Teluh Bumi. Tapi ia tidak tahu kalau perempuan itu bisa membuat seseorang berubah wujud menjadi seperti Rakawuni saat itu. Ia tak sangka kalau perempuan itu mempunyai ilmu teluh yang sebegitu tingginya, sehingga Rakawuni yang gagah dan tegap itu bisa menjadi Rakawuni yang berbadan kuda.
"Apa yang dilakukan oleh Ratu Teluh Bumi?"
"Dia sengaja menyiksaku dengan ilmu kutuknya! Dia bermaksud menyerang Jenggala. Padahal aku prajurit sandi praja dari Jenggala. Ia punya maksud, jika aku kembali ke Jenggala, maka orang-orang Jenggala akan jatuh nyalinya lebih dulu sebelum ia datang dengan melihat perubahanku seperti ini."
"Aku benar-benar tak sangka kalau dia bisa mengubah wujudmu menjadi seperti ini, Rakawuni!"
"Dia mempunyai ilmu kutuk, yang sekali diucapkan bisa menjadi kenyataan!"
"Setahuku dia mempunyai ilmu teluh saja!"
"Tidak. Dia juga mempunyai ilmu kutuk yang aku sendiri baru mengetahui belakangan ini! Entah belajar dari siapa, dia bisa mempunyai ilmu kutukan sedahsyat itu!"
Kemudian Rakawuni pun menceritakan bagaimana ia melihat Prahasto temannya berubah menjadi seekor ular berkepala dua. Karena ia menceritakan Prahasto, maka ia pun menuturkan kisah adu dombanya Prahasto antara Ratu Teluh Bumi dengan Dayang Kesumat, ia juga membeberkan siapa sebenarnya Ratu Teluh Bumi dan hubungannya dengan Kerajaan Jenggala.
"Maksudmu, Jenggala di tanah Jawa Wetan itu?"
"Bukan. Yang kumaksud Kerajaan Jenggala Medang! Dulu ayahnya Ajeng Prawesti adalah Raja Jenggala, yang terlalu banyak memeras keringat rakyat dengan meninggikan pajak dan terlalu menekan kehidupan rakyat jelata. Karena itu, ia ditumbangkan oleh kelompok kami. Sekarang ia sedang berusaha menuju ke Jenggala untuk menyerang dengan ilmu kutukannya itu. Aku merasa, Jenggala tidak bisa berbuat banyak jika diserang oleh kutukan itu. Karenanya, terus terang saja aku butuh pertolongan darimu, Suto!"
"Apa yang bisa kubantu, sehingga kau minta pertolongan padaku?"
"Aku tahu kau bukan orang sembarangan. Saat kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, aku bisa mengukur ilmumu dan kudengar semua percakapanmu. Aku percaya, kau punya kesaktian yang bisa kalahkan Ajeng Prawesti, Pendekar Mabuk!"
"Jangan terlalu berharap padaku, Rakawuni!"
"Sebagai prajurit sandi praja, aku sangat bertanggung jawab atas segala serangan dari pihak luar istana, Suto! Aku harus bisa menahan serangan itu. Tapi aku merasa tidak bisa mengalahkan Ratu Teluh Bumi, sehingga usaha yang kulakukan adalah mencari bantuan dari pihak yang mau membantuku!"
Pendekar Mabuk kembali menenggak tuaknya beberapa teguk. Kemudian ia diam termenung mempertimbangkan langkahnya, ia bayangkan kekuatan dahsyat dari ilmu kutukan yang dimiliki Ratu Teluh Bumi itu. Dalam waktu sekejap, perempuan itu bisa menjadi orang paling kejam di seluruh permukaan bumi. Bahkan dengan sekali ucap bisa jadi kenyataan, berarti Ratu Teluh Bumi bisa menjadi seorang pembunuh yang mendatangkan bencana alam dan malapetaka lainnya dari satu ucapannya saja. Sungguh membahayakan ilmu kutukan yang dimilikinya. Sebab itu, Suto Sinting pun akhirnya berkata, "Kau tahu ke mana arah perginya Ratu Teluh Bumi itu?!"
"Pasti ke arah Jenggala!"
"Baiklah, Raka, kita kejar dia!"
"Naiklah ke punggungku, Pendekar Mabuk!"
"Apakah tak terlalu memberatkan dirimu?"
"Tidak. Aku mempunyai kekuatan sebagaimana seekor kuda biasa! Yang membuat berat adalah hatiku. Tapi demi membawamu ke Jenggala, hatiku tak merasa keberatan jika kau menunggang ke punggungku!"
Rakawuni rendahkan kaki belakangnya, seakan mempersilakan Suto untuk menunggang ke atas punggungnya. Maka, Suto pun segera menunggang kuda tersebut tanpa berpegangan tali kekang kuda yang memang tidak ada itu. Suto mampu duduk di atas kuda tanpa merasa terganggu walau kuda berlari cepat dan ia tidak memegang tali kekang kuda sebagai keseimbangan. Dengan memegangi bumbung tuaknya, ia merasa sudah seperti mempunyai keseimbangan sendiri dalam menunggang kuda.
Seekor serigala yang tadi melelehkan air mata ternyata mengikuti lari kuda tersebut. Suto memandang kebelakang, memperhatikan serigala itu, ia merasa aneh dan tak enak hati diikuti serigala itu. Tapi akhirnya ia biarkan binatang tersebut mengikutinya selama tidak mengganggu kuda berkepala Rakawuni itu.
"Rakawuni!" seru Suto. "Cobalah membelok ke arah kanan, kulihat di sana ada seseorang yang sedang berkelebat bersembunyi di balik gundukan tanah!"
"Aku juga melihatnya. Tapi kurasa dia bukan Ratu Teluh Bumi, karena kelebatan sosok bayangannya bukan berwarna hitam!"
"Kita tengok dulu saja, Rakawuni!"
"Baik!" Kuda berkepala Rakawuni membelokkan arah kekanan. Kecepatan larinya dikurangi. Dan apa yang dikatakan Suto memang benar, ada seseorang yang tergolek di bawah pohon rindang, di balik gugusan tanah. Orang itu dalam keadaan pucat membiru wajahnya. Rakawuni tersentak kaget dan buru-buru palingkan wajah, tak berani memandang orang itu. Ia merasa malu dan makin sedih hatinya, karena orang itu adalah Dayang Kesumat. Perempuan tersebut dalam keadaan terengah-engah, matanya terpejam karena merasakan sakit yang hebat di sekujur tubuhnya akibat serangan Ratu Teluh Bumi tadi.
"Suto, kalau bisa tak usah menghampiri orang itu."
"Kenapa?"
"Aku malu, keadaanku seperti ini! Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita memburu Ajeng Prawesti!"
Suto mempertimbangkan keputusan sejenak. Agaknya usul Rakawuni memang benar. Toh seandainya ia datang dan menolong Dayang Kesumat, maka keselamatan bibi gurunya akan terancam. Setidaknya tempat tinggal gurunya si Gila Tuak, akan disambanginya dengan ketidaksopanan. Dengan menderita sakit begitu, setidaknya Pendekar Mabuk punya waktu luang untuk ke Jenggala dan tidak perlu cemaskan keadaan kedua gurunya.
Kuda berkepala Rakawuni pun kembali berlari dengan derap kakinya yang perkasa. Rakawuni membawa Pendekar Mabuk menyusuri jalan menuju Kerajaan Jenggala dengan harapan dapat temui Ratu Teluh Bumi diperjalanan. Tetapi keadaan justru sebaliknya. Ratu Teluh Bumi berpapasan dengan rombongan berkuda yang membawa panji-panji Kerajaan Jenggala Medang. Rombongan berkuda itu dipimpin oleh dua orang perwira istana yang usianya sama-sama sekitar lima puluh tahun. Dua orang perwira itu adalah Rumakso dan si Tangan Syiwa.
Rumakso berpakaian biru dengan rompi putih. Rambutnya pendek, berikat lempengan logam kuning emas sebagai tanda keperwiraannya. Badannya besar, kumisnya tebal. Tangan Syiwa juga mengenakan ikat kepala logam kuning emas seperti yang dikenakan Rumakso. Rambutnya panjang, berpakaian abu-abu tanpa rompi. Tangan Syiwa berbadan kurus, matanya cekung berkesan angker, kumisnya melengkung ke bawah, ia bersenjata pedang di punggung, sedangkan Rumakso bersenjata pedang di pinggangnya. Sementara itu, sejumlah lebih dari tiga puluh orang lainnya mengenakan pakaian campur-baur, karena mereka ada yang menjabat sebagai prajurit istana, ada yang menjadi masyarakat biasa.
Tangan Rumakso diangkat ke atas ketika melihat seorang perempuan berdiri menghadang di depan langkah mereka. Sekalipun jaraknya masih cukup jauh, tapi Rumakso menangkap adanya gelagat tak beres dengan perempuan itu. Melihat tangan Rumakso diangkat, kuda mereka pun diperlambat larinya, kemudian mereka berhenti tepat dalam jarak tujuh tombak dari tempat perempuan berpakaian hitam itu berdiri.
"Kalau tak salah lihat, dia adalah Ajeng Prawesti, Tangan Syiwa!"
"Ya. Kau tak salah lihat! Tapi apa maksudnya menghadang langkah kita! Coba kau yang ajukan tanya pada perempuan itu!"
Rumakso tetap di atas punggung kuda. Kudanya bergerak dua langkah, lalu terdengar suaranya berseru lantang dan besar, "Kaukah itu, Ajeng Prawesti...?!"
Ratu Teluh Bumi menjawab, "Kau tak salah lihat, Rumakso! Apa pangkatmu sekarang?!"
"Aku seorang perwira!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir. "Perwira penjilat, maksudmu?!"
"Hei, Perempuan Iblis...! Hati-hati kau bicara di depan kami!" seru Tangan Syiwa. Kemudian ia segera melompat turun dari kudanya dan menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan nafsu untuk menghajar.
Rumakso menyusulnya untuk menahan temannya yang tak bisa tersinggung sedikit pun. Tangan Syiwa adalah perwira istana yang paling galak dan kejam terhadap musuh. Tak boleh tersentuh sedikit perasaannya. "Tahan, Tangan Syiwa...!" ucap Rumakso sambil tangannya sendiri memegang pundak Tangan Syiwa.
"Aku akan hancurkan mulut perempuan itu, Rumakso!"
"Tahanlah! Ingat, kita sedang dalam keadaan berkabung, Tangan Syiwa. Jangan mengumbar nafsu murkamu!"
Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan itu, maka segera ia ajukan tanya dengan nada tetap sinis, "Apa yang terjadi, Rumakso? Mengapa kau pergi secara rombongan begitu?! Apakah ada bencana alam di Kerajaan Jenggala?"
"Ya. Ada bencana di negeri kami! Orang-orang Atas Angin menyerang. Raja tertawan, dan rakyat dibantai habis! Istana dikuasai oleh orang-orang Atas Angin! Kami melarikan diri untuk cari bantuan. Mungkin kau bisa membantu kami untuk mengusir orang-oraang Atas Angin itu, Ajeng Prawesti!"
Ratu Teluh Bumi lepaskan tawa terkikik-kikik. Lalu katanya, "Kalian dan orang-orang Atas Angin adalah sama. Artinya, sama-sama pihak yang akan kumusnahkan!"
"Keparat kau, Ajeng!" geram Tangan Syiwa. Srett...! Ia mencabut pedangnya dari punggung.
Tapi tangan Rumakso menghadang, pertanda tidak izinkan Tangan Syiwa menyerang Ajeng Prawesti. "Tahan dulu, Tangan Syiwa...!" kata Rumakso. "Ajeng, kau adalah orang Jenggala juga. Seharusnya kau tidak bicara begitu kepada kami!"
"Dalam keadaan terdesak lawan begini kalian mengakui aku sebagai orang Jenggala! Tapi ingatkah kalian saat mengusirku dari Jenggala, mengejar-ngejarku untuk dibunuh, hah?! Tidak! Aku bukan orang Jenggala yang ada dalam kekuasaan kalian! Aku orang Jenggala asli yang tidak mengenal kalian! Karena itu, kalian datang kemari adalah suatu hal yang sangat kebetulan, karena aku memang akan menyerang ke sana untuk melenyapkan kalian semua!"
"Kau seorang diri, kami cukup banyak, Ajeng! Kau cari mati kalau menentang kami!"
"Majulah semua, aku tak akan mundur setindak pun!" tantang Ratu Teluh Bumi.
Maka dengan geram Tangan Syiwa segera maju dengan memainkan pedangnya. Begitu cepat ia memainkan jurus pedang hingga tangannya seperti terlihat ada empat, dan suara gerakan pedangnya menggaung mengerikan. Kapan ia menebas lawan, tak bisa dipastikan. Karena dengan memainkan kibasan-kibasan cepat pedangnya yang berpindah tangan terus-terusan itu, lawan dibuat bingung dan tak bisa melihat gerakan pedang yang menyerang secara tiba-tiba itu.
Tetapi Ratu Teluh Bumi hanya diam, pandangi gerakan pedang Tangan Syiwa yang melangkah mengelilinginya. Napas segera ditarik dan ditahan di dada oleh Ratu Teluh Bumi, kemudian ia ucapkan kata, "Buntung tanganmu, Tangan Syiwa!"
Blarr...! Petir memekik mengagetkan mereka. Dan semakin kaget lagi setelah mereka melihat Tangan Syiwa tahu-tahu kehilangan tangannya. Kedua tangan itu bagai terpotong oleh kibasan pedangnya sendiri dan jatuh ke tanah tanpa darah sedikitpun.
"Tanganku...?! Tanganku?! Gggrrr...!" Tangan Syiwa menggeram dengan mata melotot tegang.
"Ilmu setan apa yang kau pakai, Jahanam!" geram Rumakso yang segera mendidih darahnya melihat Tangan Syiwa buntung kedua tangannya, ia segera mencabut pedang dari pinggangnya, lalu menyerang Ratu Teluh Bumi dengan satu lompatan murka. "Heaaah...!"
Ratu Teluh Bumi melompatkan diri, melenting di udara dan bersalto dua kali untuk jauhi lawan. Jleggg...! Ia mendaratkan kakinya di atas sebuah batu besar. Dari sana ia sebarkan kutuk kepada Rumakso dengan berseru, "Buntung pula tanganmu, Rumakso!"
Blarr...! Petir menjerit. Tangan Rumakso pun terpotong keduanya tinggal bagian pundaknya saja. Tangan itu tergeletak di sana dengan sangat menyedihkan.
Lalu, mata liar Ratu Teluh Bumi memandang ke arah para prajurit yang menggarang geram sambil cabut senjata masing-masing. Ratu Teluh sebarkan kutukannya, "Hancur semua kepala kalian!"
Blarrr...!
Kejap berikutnya, suatu pemandangan mengerikan terjadi. Kepala mereka, para prajurit dan orang-orang pengungsi, pecah secara bersamaan. Memercikkan darah ke mana-mana, sehingga jalanan itu menjadi kuburan masal yang amat mendirikan bulu roma. Hanya Tangan Syiwa dan Rumakso yang masih kelihatan berkepala utuh, tapi sudah tidak mempunyai tangan lagi. Mereka hanya tertegun bengong melihat apa yang terjadi di depan mata.
"Tangan Syiwa dan Rumakso...! Kalianlah yang dulu memerintahkan orang-orangmu untuk mengejarku dan membunuhku. Tapi aku bisa melarikan diri dengan cepat. Dan sekarang, kalian tak akan bisa melarikan diri seperti aku dulu!" Ratu Teluh Bumi menarik napas dan berkata, "Sekarang, buntung semua kaki kalian, dan kalian akan mati dimakan anjing!"
Blarrr...! Terdengar bunyi petir menggelegar, dan saat itu pula Rumakso dan Tangan Syiwa kehilangan kaki masing-masing. Makin terkejut mereka melihat keadaan diri yang begitu mengenaskan. Namun toh mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Derap suara kuda datang dari arah munculnya Ratu Teluh Bumi tadi. Dari kejauhan sana, seberkas sinar hijau telah melesat dengan cepatnya. Sinar hijau itu bukan hanya satu bias, namun memancar menjadi lebih dari sepuluh larik yang membentuk seperti kipas raksasa. Sinar hijau yang dahsyat itu keluar dari lengan kanan Suto yang ada di atas punggung kuda Rakawuni.
Brrrasss...! Melesatlah percikan sinar membentuk kipas besar itu, dan Ratu Teluh Bumi tak sanggup menghindarinya. Tiga sinar hijau mengenai tubuhnya. Menghantamnya dengan telak, membuat tubuh itu terlempar tinggi dan jauh sekali, membentur sebuah pohon di tepi mulut jurang, lalu tubuh itu pun jatuh ke jurang dengan suara jerit yang menggema panjang.
"Aaaa...!"
Kuda Rakawuni segera mendekati Rumakso dan Tangan Syiwa. Keduanya terkejut melihat kuda berkepala Rakawuni. "Rakawuni...! Tolonglah aku dan Tangan Syiwa ini!" kata Rumakso.
"Bagaimana aku mau menolong kalian. Aku sendiri dalam keadaan seperti ini! Perempuan itu telah mengutukku. Tapi aku telah membawa seorang penolong. Pendekar Mabuk, Suto Sinting namanya...! Dia orang berilmu tinggi!"
"Aku melihat serangannya yang dahsyat tadi, tapi.. apakah dia bisa pulihkan keadaan kita ini?!"
Saat itu, Pendekar Mabuk sedang memeriksa ke tepian jurang. Dari sana dia berseru, "Rakawuni...! Aku akan turun ke jurang untuk pastikan apakah Ajeng Prawesti mati atau melarikan diri!"
"Hati-hati, Suto...!" teriak kepala kuda itu.
Suto Sinting melesat turun ke jurang dengan lompatan tenaga peringan tubuhnya. Hilangnya Suto, muncul seekor serigala berbulu hitam. Serigala itu meraung, melolong panjang di tepi jurang, seakan mengkhawatirkan keadaan Pendekar Mabuk. Lalu, serigala itu nekat turun ke jurang dengan merayapi tanaman ditebingnya.
Tetapi lolongan serigala itu telah mendatangkan rombongan serigala lainnya. Jumlahnya lebih dari sepuluh serigala. Mereka tampak buas, rakus, dan ganas. Rombongan serigala itu langsung menyerang Rumakso dan Tangan Syiwa, sedangkan Rakawuni segera melarikan diri setelah ia tak herhasil menghalau rombongan serigala lapar itu.
Maka habislah Rumakso dan Tangan Syiwa dimakan dan dicabik-cabik oieh serigala liar dengan tanpa ampun lagi. Dengan begitu, genap sudah kutukan Ratu Teluh Bumi, bahwa mereka mati dimakan anjing.
Sungguh berbahaya mulut perempuan itu. Banyak orang yang akan bersyukur jika perempuan itu mati. Tapi apakah benar Ratu Teluh Bumi mati di dasar jurang? Bagaimana jika ia belum mati? Bagaimana jika Suto yang terkena kutukan seperti mereka? Apakah Suto mampu menghindari atau melawan ilmu 'Sabda Iblis'?
"Jelas habis ada pertempuran hebat di tempat ini," pikir Suto Sinting. "Tapi siapa yang melakukan pertempuran hebat itu? Apa Dayang Kesumat? Siapa lawannya. Apa orang yang tergantung ini...?"
Suto hanya menduga apa yang terjadi di situ. Tapi yang menjadi sasaran pemikirannya adalah arah kepergian Dayang Kesumat, ia harus bisa menahan perempuan itu agar jangan sampai datang ke Jurang Lindu dan berhadapan dengan si Gila Tuak. Suto tak mau gurunya kerepotan menghadapi Dayang Kesumat.
Ketika Suto sedang tertegun, tiba-tiba seekor serigala berbulu hitam melompat ke arahnya. Suto terkejut dan ingin melepas serangan bertenaga dalam ke arah serigala bertelinga panjang itu. Tapi binatang tersebut segera rendahkan kepala, kakinya terlipat, kepalanya merapat dengan tanah, satu kaki depannya bagai menutup kepala. Serigala itu sepertinya merasa takut, bahkan seakan ia berkata, "Jangan serang saya, Tuan...!"
Pendekar Mabuk tak jadi lepaskan pukulan yang mematikan untuk serigala itu. Ia bahkan menaruh rasa iba hati ketika serigala itu menggeram-geram dengan suaranya yang kecil bagai menangis. Dan satu hal lagi yang membuat Suto terkejut, ternyata binatang itu memang melelehkan air mata. Mulanya binatang itu memandang mayat Mahesa Lola sebentar, lalu pandangi wajah Suto, setelah itu merendahkan kepala lagi hingga menempel di tanah, dan melelehkan air matanya.
"Serigala aneh," gumam Pendekar Mabuk. "Biasanya jenis serigala bertelinga panjang begini sangat buas dan galak, ia punya keberanian menyerang manusia, apalagi jika bersama rombongannya! Tapi serigala yang ini justru kelihatannya jinak, ia bisa melelehkan air mata! Mungkinkah dia mengalami kesedihan yang dalam? Atau merasa kasihan melihat orang yang digantung itu?" Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sejenak. Kemudian membatin lagi, "Kalau serigala saja tahu belas kasihan melihat orang digantung, mengapa sesama manusia tak punya belas kasihan, sehingga tega menggantung sesamanya?!"
"Aauuuu....!" Serigala itu meraung. Raut wajahnya terlihat memelas. Suara raungannya mengiris hati. Setelah ia melolong, ia kembali merundukkan kepala dan melelehkan air mata lagi.
"Apa maksud binatang ini?" pikir Suto mencoba menerka-nerka kemauan binatang tersebut. Suto pun jongkok dan memberanikan diri mengusap-usap kepala binatang itu. Ternyata tangan Suto tidak digigit atau dicakarnya. Binatang itu justru melelehkan air mata semakin banyak. Semakin sering tengkuknya diusap-usap oleh Suto sepertinya semakin terharu hati binatang itu.
Tiba-tiba terdengar derap suara langkah kuda yang berlari dengan cepat. Suto Sinting segera berpaling ke belakang. Ternyata seekor kuda tanpa penunggang sedang berlari ke arah sekitar tempat itu. Suto agak heran melihat kuda lari sendiri tanpa penunggang. Sementara tali kekang kuda juga tak kelihatan. Mungkinkah kuda liar itu sedang mengamuk mencari betinanya?
"Oh, sepertinya kuda itu... kuda itu...," Suto menjadi ragu meneruskan ucapannya, ia bergegas meninggalkan bawah pohon itu untuk melihat lebih jelas lagi kuda yang akan lewat. Sebab Suto mengalami penglihatan yang meragukan dirinya sendiri. Derap kaki kuda makin mendekat. Suto Sinting makin terperangah melihat keanehan pada kuda tersebut. Bahkan batinnya pun tak mampu ucapkan satu kata untuk keanehan yang dilihatnya itu.
Kuda itu berhenti di depan Suto. Makin jelas lagi apa yang membuatnya terpaku di tempat. Kuda itu ternyata berkepala manusia. Dan manusia itu dikenal oleh Suto. Tanpa sadar mulut Suto Sinting segera berucap kata menyebut nama orang itu, "Rakawuni...?!"
Ya. Kuda berkepala manusia itu adalah Rakawuni. Orang yang hampir membunuh Suto karena membela Dayang Kesumat. Segera Rakawuni menunduk sedih ketika sudah beradu pandang dengan Suto beberapa helaan napas. Suto pun segera mendekati kuda berbadan coklat dan berekor hitam itu. "Kaukah Rakawuni...?"
"Ya, aku Rakawuni...!" jawab kuda berkepala manusia itu. Suaranya sangat lirih, seakan bercampur dengan segumpal tangis yang dipendamnya kuat-kuat di dalam dadanya.
"Mengapa kau menjadi begini, Rakawuni? Bukankah saat kutinggalkan kau dalam keadaan luka oleh senjata rahasiamu sendiri?"
"Luka itu bisa kuatasi. Karena aku punya penawar racun tersebut. Tapi... aku segera bertemu dengan Ratu Teluh Bumi."
"Siapa? Ratu Teluh Bumi...?!" Suto segera teringat peristiwa di Kuil Swanalingga. Terbayang wajah tua yang masih cantik dan tampak kencang kulitnya itu. Ratu Teluh Bumi sempat dikenal Suto pada saat perempuan itu berhadapan dengan Raja Nujum almarhum. Itulah saat pertama Pendekar Mabuk mengenal Ratu Teluh Bumi. Tapi ia tidak tahu kalau perempuan itu bisa membuat seseorang berubah wujud menjadi seperti Rakawuni saat itu. Ia tak sangka kalau perempuan itu mempunyai ilmu teluh yang sebegitu tingginya, sehingga Rakawuni yang gagah dan tegap itu bisa menjadi Rakawuni yang berbadan kuda.
"Apa yang dilakukan oleh Ratu Teluh Bumi?"
"Dia sengaja menyiksaku dengan ilmu kutuknya! Dia bermaksud menyerang Jenggala. Padahal aku prajurit sandi praja dari Jenggala. Ia punya maksud, jika aku kembali ke Jenggala, maka orang-orang Jenggala akan jatuh nyalinya lebih dulu sebelum ia datang dengan melihat perubahanku seperti ini."
"Aku benar-benar tak sangka kalau dia bisa mengubah wujudmu menjadi seperti ini, Rakawuni!"
"Dia mempunyai ilmu kutuk, yang sekali diucapkan bisa menjadi kenyataan!"
"Setahuku dia mempunyai ilmu teluh saja!"
"Tidak. Dia juga mempunyai ilmu kutuk yang aku sendiri baru mengetahui belakangan ini! Entah belajar dari siapa, dia bisa mempunyai ilmu kutukan sedahsyat itu!"
Kemudian Rakawuni pun menceritakan bagaimana ia melihat Prahasto temannya berubah menjadi seekor ular berkepala dua. Karena ia menceritakan Prahasto, maka ia pun menuturkan kisah adu dombanya Prahasto antara Ratu Teluh Bumi dengan Dayang Kesumat, ia juga membeberkan siapa sebenarnya Ratu Teluh Bumi dan hubungannya dengan Kerajaan Jenggala.
"Maksudmu, Jenggala di tanah Jawa Wetan itu?"
"Bukan. Yang kumaksud Kerajaan Jenggala Medang! Dulu ayahnya Ajeng Prawesti adalah Raja Jenggala, yang terlalu banyak memeras keringat rakyat dengan meninggikan pajak dan terlalu menekan kehidupan rakyat jelata. Karena itu, ia ditumbangkan oleh kelompok kami. Sekarang ia sedang berusaha menuju ke Jenggala untuk menyerang dengan ilmu kutukannya itu. Aku merasa, Jenggala tidak bisa berbuat banyak jika diserang oleh kutukan itu. Karenanya, terus terang saja aku butuh pertolongan darimu, Suto!"
"Apa yang bisa kubantu, sehingga kau minta pertolongan padaku?"
"Aku tahu kau bukan orang sembarangan. Saat kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, aku bisa mengukur ilmumu dan kudengar semua percakapanmu. Aku percaya, kau punya kesaktian yang bisa kalahkan Ajeng Prawesti, Pendekar Mabuk!"
"Jangan terlalu berharap padaku, Rakawuni!"
"Sebagai prajurit sandi praja, aku sangat bertanggung jawab atas segala serangan dari pihak luar istana, Suto! Aku harus bisa menahan serangan itu. Tapi aku merasa tidak bisa mengalahkan Ratu Teluh Bumi, sehingga usaha yang kulakukan adalah mencari bantuan dari pihak yang mau membantuku!"
Pendekar Mabuk kembali menenggak tuaknya beberapa teguk. Kemudian ia diam termenung mempertimbangkan langkahnya, ia bayangkan kekuatan dahsyat dari ilmu kutukan yang dimiliki Ratu Teluh Bumi itu. Dalam waktu sekejap, perempuan itu bisa menjadi orang paling kejam di seluruh permukaan bumi. Bahkan dengan sekali ucap bisa jadi kenyataan, berarti Ratu Teluh Bumi bisa menjadi seorang pembunuh yang mendatangkan bencana alam dan malapetaka lainnya dari satu ucapannya saja. Sungguh membahayakan ilmu kutukan yang dimilikinya. Sebab itu, Suto Sinting pun akhirnya berkata, "Kau tahu ke mana arah perginya Ratu Teluh Bumi itu?!"
"Pasti ke arah Jenggala!"
"Baiklah, Raka, kita kejar dia!"
"Naiklah ke punggungku, Pendekar Mabuk!"
"Apakah tak terlalu memberatkan dirimu?"
"Tidak. Aku mempunyai kekuatan sebagaimana seekor kuda biasa! Yang membuat berat adalah hatiku. Tapi demi membawamu ke Jenggala, hatiku tak merasa keberatan jika kau menunggang ke punggungku!"
Rakawuni rendahkan kaki belakangnya, seakan mempersilakan Suto untuk menunggang ke atas punggungnya. Maka, Suto pun segera menunggang kuda tersebut tanpa berpegangan tali kekang kuda yang memang tidak ada itu. Suto mampu duduk di atas kuda tanpa merasa terganggu walau kuda berlari cepat dan ia tidak memegang tali kekang kuda sebagai keseimbangan. Dengan memegangi bumbung tuaknya, ia merasa sudah seperti mempunyai keseimbangan sendiri dalam menunggang kuda.
Seekor serigala yang tadi melelehkan air mata ternyata mengikuti lari kuda tersebut. Suto memandang kebelakang, memperhatikan serigala itu, ia merasa aneh dan tak enak hati diikuti serigala itu. Tapi akhirnya ia biarkan binatang tersebut mengikutinya selama tidak mengganggu kuda berkepala Rakawuni itu.
"Rakawuni!" seru Suto. "Cobalah membelok ke arah kanan, kulihat di sana ada seseorang yang sedang berkelebat bersembunyi di balik gundukan tanah!"
"Aku juga melihatnya. Tapi kurasa dia bukan Ratu Teluh Bumi, karena kelebatan sosok bayangannya bukan berwarna hitam!"
"Kita tengok dulu saja, Rakawuni!"
"Baik!" Kuda berkepala Rakawuni membelokkan arah kekanan. Kecepatan larinya dikurangi. Dan apa yang dikatakan Suto memang benar, ada seseorang yang tergolek di bawah pohon rindang, di balik gugusan tanah. Orang itu dalam keadaan pucat membiru wajahnya. Rakawuni tersentak kaget dan buru-buru palingkan wajah, tak berani memandang orang itu. Ia merasa malu dan makin sedih hatinya, karena orang itu adalah Dayang Kesumat. Perempuan tersebut dalam keadaan terengah-engah, matanya terpejam karena merasakan sakit yang hebat di sekujur tubuhnya akibat serangan Ratu Teluh Bumi tadi.
"Suto, kalau bisa tak usah menghampiri orang itu."
"Kenapa?"
"Aku malu, keadaanku seperti ini! Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita memburu Ajeng Prawesti!"
Suto mempertimbangkan keputusan sejenak. Agaknya usul Rakawuni memang benar. Toh seandainya ia datang dan menolong Dayang Kesumat, maka keselamatan bibi gurunya akan terancam. Setidaknya tempat tinggal gurunya si Gila Tuak, akan disambanginya dengan ketidaksopanan. Dengan menderita sakit begitu, setidaknya Pendekar Mabuk punya waktu luang untuk ke Jenggala dan tidak perlu cemaskan keadaan kedua gurunya.
Kuda berkepala Rakawuni pun kembali berlari dengan derap kakinya yang perkasa. Rakawuni membawa Pendekar Mabuk menyusuri jalan menuju Kerajaan Jenggala dengan harapan dapat temui Ratu Teluh Bumi diperjalanan. Tetapi keadaan justru sebaliknya. Ratu Teluh Bumi berpapasan dengan rombongan berkuda yang membawa panji-panji Kerajaan Jenggala Medang. Rombongan berkuda itu dipimpin oleh dua orang perwira istana yang usianya sama-sama sekitar lima puluh tahun. Dua orang perwira itu adalah Rumakso dan si Tangan Syiwa.
Rumakso berpakaian biru dengan rompi putih. Rambutnya pendek, berikat lempengan logam kuning emas sebagai tanda keperwiraannya. Badannya besar, kumisnya tebal. Tangan Syiwa juga mengenakan ikat kepala logam kuning emas seperti yang dikenakan Rumakso. Rambutnya panjang, berpakaian abu-abu tanpa rompi. Tangan Syiwa berbadan kurus, matanya cekung berkesan angker, kumisnya melengkung ke bawah, ia bersenjata pedang di punggung, sedangkan Rumakso bersenjata pedang di pinggangnya. Sementara itu, sejumlah lebih dari tiga puluh orang lainnya mengenakan pakaian campur-baur, karena mereka ada yang menjabat sebagai prajurit istana, ada yang menjadi masyarakat biasa.
Tangan Rumakso diangkat ke atas ketika melihat seorang perempuan berdiri menghadang di depan langkah mereka. Sekalipun jaraknya masih cukup jauh, tapi Rumakso menangkap adanya gelagat tak beres dengan perempuan itu. Melihat tangan Rumakso diangkat, kuda mereka pun diperlambat larinya, kemudian mereka berhenti tepat dalam jarak tujuh tombak dari tempat perempuan berpakaian hitam itu berdiri.
"Kalau tak salah lihat, dia adalah Ajeng Prawesti, Tangan Syiwa!"
"Ya. Kau tak salah lihat! Tapi apa maksudnya menghadang langkah kita! Coba kau yang ajukan tanya pada perempuan itu!"
Rumakso tetap di atas punggung kuda. Kudanya bergerak dua langkah, lalu terdengar suaranya berseru lantang dan besar, "Kaukah itu, Ajeng Prawesti...?!"
Ratu Teluh Bumi menjawab, "Kau tak salah lihat, Rumakso! Apa pangkatmu sekarang?!"
"Aku seorang perwira!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir. "Perwira penjilat, maksudmu?!"
"Hei, Perempuan Iblis...! Hati-hati kau bicara di depan kami!" seru Tangan Syiwa. Kemudian ia segera melompat turun dari kudanya dan menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan nafsu untuk menghajar.
Rumakso menyusulnya untuk menahan temannya yang tak bisa tersinggung sedikit pun. Tangan Syiwa adalah perwira istana yang paling galak dan kejam terhadap musuh. Tak boleh tersentuh sedikit perasaannya. "Tahan, Tangan Syiwa...!" ucap Rumakso sambil tangannya sendiri memegang pundak Tangan Syiwa.
"Aku akan hancurkan mulut perempuan itu, Rumakso!"
"Tahanlah! Ingat, kita sedang dalam keadaan berkabung, Tangan Syiwa. Jangan mengumbar nafsu murkamu!"
Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan itu, maka segera ia ajukan tanya dengan nada tetap sinis, "Apa yang terjadi, Rumakso? Mengapa kau pergi secara rombongan begitu?! Apakah ada bencana alam di Kerajaan Jenggala?"
"Ya. Ada bencana di negeri kami! Orang-orang Atas Angin menyerang. Raja tertawan, dan rakyat dibantai habis! Istana dikuasai oleh orang-orang Atas Angin! Kami melarikan diri untuk cari bantuan. Mungkin kau bisa membantu kami untuk mengusir orang-oraang Atas Angin itu, Ajeng Prawesti!"
Ratu Teluh Bumi lepaskan tawa terkikik-kikik. Lalu katanya, "Kalian dan orang-orang Atas Angin adalah sama. Artinya, sama-sama pihak yang akan kumusnahkan!"
"Keparat kau, Ajeng!" geram Tangan Syiwa. Srett...! Ia mencabut pedangnya dari punggung.
Tapi tangan Rumakso menghadang, pertanda tidak izinkan Tangan Syiwa menyerang Ajeng Prawesti. "Tahan dulu, Tangan Syiwa...!" kata Rumakso. "Ajeng, kau adalah orang Jenggala juga. Seharusnya kau tidak bicara begitu kepada kami!"
"Dalam keadaan terdesak lawan begini kalian mengakui aku sebagai orang Jenggala! Tapi ingatkah kalian saat mengusirku dari Jenggala, mengejar-ngejarku untuk dibunuh, hah?! Tidak! Aku bukan orang Jenggala yang ada dalam kekuasaan kalian! Aku orang Jenggala asli yang tidak mengenal kalian! Karena itu, kalian datang kemari adalah suatu hal yang sangat kebetulan, karena aku memang akan menyerang ke sana untuk melenyapkan kalian semua!"
"Kau seorang diri, kami cukup banyak, Ajeng! Kau cari mati kalau menentang kami!"
"Majulah semua, aku tak akan mundur setindak pun!" tantang Ratu Teluh Bumi.
Maka dengan geram Tangan Syiwa segera maju dengan memainkan pedangnya. Begitu cepat ia memainkan jurus pedang hingga tangannya seperti terlihat ada empat, dan suara gerakan pedangnya menggaung mengerikan. Kapan ia menebas lawan, tak bisa dipastikan. Karena dengan memainkan kibasan-kibasan cepat pedangnya yang berpindah tangan terus-terusan itu, lawan dibuat bingung dan tak bisa melihat gerakan pedang yang menyerang secara tiba-tiba itu.
Tetapi Ratu Teluh Bumi hanya diam, pandangi gerakan pedang Tangan Syiwa yang melangkah mengelilinginya. Napas segera ditarik dan ditahan di dada oleh Ratu Teluh Bumi, kemudian ia ucapkan kata, "Buntung tanganmu, Tangan Syiwa!"
Blarr...! Petir memekik mengagetkan mereka. Dan semakin kaget lagi setelah mereka melihat Tangan Syiwa tahu-tahu kehilangan tangannya. Kedua tangan itu bagai terpotong oleh kibasan pedangnya sendiri dan jatuh ke tanah tanpa darah sedikitpun.
"Tanganku...?! Tanganku?! Gggrrr...!" Tangan Syiwa menggeram dengan mata melotot tegang.
"Ilmu setan apa yang kau pakai, Jahanam!" geram Rumakso yang segera mendidih darahnya melihat Tangan Syiwa buntung kedua tangannya, ia segera mencabut pedang dari pinggangnya, lalu menyerang Ratu Teluh Bumi dengan satu lompatan murka. "Heaaah...!"
Ratu Teluh Bumi melompatkan diri, melenting di udara dan bersalto dua kali untuk jauhi lawan. Jleggg...! Ia mendaratkan kakinya di atas sebuah batu besar. Dari sana ia sebarkan kutuk kepada Rumakso dengan berseru, "Buntung pula tanganmu, Rumakso!"
Blarr...! Petir menjerit. Tangan Rumakso pun terpotong keduanya tinggal bagian pundaknya saja. Tangan itu tergeletak di sana dengan sangat menyedihkan.
Lalu, mata liar Ratu Teluh Bumi memandang ke arah para prajurit yang menggarang geram sambil cabut senjata masing-masing. Ratu Teluh sebarkan kutukannya, "Hancur semua kepala kalian!"
Blarrr...!
Kejap berikutnya, suatu pemandangan mengerikan terjadi. Kepala mereka, para prajurit dan orang-orang pengungsi, pecah secara bersamaan. Memercikkan darah ke mana-mana, sehingga jalanan itu menjadi kuburan masal yang amat mendirikan bulu roma. Hanya Tangan Syiwa dan Rumakso yang masih kelihatan berkepala utuh, tapi sudah tidak mempunyai tangan lagi. Mereka hanya tertegun bengong melihat apa yang terjadi di depan mata.
"Tangan Syiwa dan Rumakso...! Kalianlah yang dulu memerintahkan orang-orangmu untuk mengejarku dan membunuhku. Tapi aku bisa melarikan diri dengan cepat. Dan sekarang, kalian tak akan bisa melarikan diri seperti aku dulu!" Ratu Teluh Bumi menarik napas dan berkata, "Sekarang, buntung semua kaki kalian, dan kalian akan mati dimakan anjing!"
Blarrr...! Terdengar bunyi petir menggelegar, dan saat itu pula Rumakso dan Tangan Syiwa kehilangan kaki masing-masing. Makin terkejut mereka melihat keadaan diri yang begitu mengenaskan. Namun toh mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Derap suara kuda datang dari arah munculnya Ratu Teluh Bumi tadi. Dari kejauhan sana, seberkas sinar hijau telah melesat dengan cepatnya. Sinar hijau itu bukan hanya satu bias, namun memancar menjadi lebih dari sepuluh larik yang membentuk seperti kipas raksasa. Sinar hijau yang dahsyat itu keluar dari lengan kanan Suto yang ada di atas punggung kuda Rakawuni.
Brrrasss...! Melesatlah percikan sinar membentuk kipas besar itu, dan Ratu Teluh Bumi tak sanggup menghindarinya. Tiga sinar hijau mengenai tubuhnya. Menghantamnya dengan telak, membuat tubuh itu terlempar tinggi dan jauh sekali, membentur sebuah pohon di tepi mulut jurang, lalu tubuh itu pun jatuh ke jurang dengan suara jerit yang menggema panjang.
"Aaaa...!"
Kuda Rakawuni segera mendekati Rumakso dan Tangan Syiwa. Keduanya terkejut melihat kuda berkepala Rakawuni. "Rakawuni...! Tolonglah aku dan Tangan Syiwa ini!" kata Rumakso.
"Bagaimana aku mau menolong kalian. Aku sendiri dalam keadaan seperti ini! Perempuan itu telah mengutukku. Tapi aku telah membawa seorang penolong. Pendekar Mabuk, Suto Sinting namanya...! Dia orang berilmu tinggi!"
"Aku melihat serangannya yang dahsyat tadi, tapi.. apakah dia bisa pulihkan keadaan kita ini?!"
Saat itu, Pendekar Mabuk sedang memeriksa ke tepian jurang. Dari sana dia berseru, "Rakawuni...! Aku akan turun ke jurang untuk pastikan apakah Ajeng Prawesti mati atau melarikan diri!"
"Hati-hati, Suto...!" teriak kepala kuda itu.
Suto Sinting melesat turun ke jurang dengan lompatan tenaga peringan tubuhnya. Hilangnya Suto, muncul seekor serigala berbulu hitam. Serigala itu meraung, melolong panjang di tepi jurang, seakan mengkhawatirkan keadaan Pendekar Mabuk. Lalu, serigala itu nekat turun ke jurang dengan merayapi tanaman ditebingnya.
Tetapi lolongan serigala itu telah mendatangkan rombongan serigala lainnya. Jumlahnya lebih dari sepuluh serigala. Mereka tampak buas, rakus, dan ganas. Rombongan serigala itu langsung menyerang Rumakso dan Tangan Syiwa, sedangkan Rakawuni segera melarikan diri setelah ia tak herhasil menghalau rombongan serigala lapar itu.
Maka habislah Rumakso dan Tangan Syiwa dimakan dan dicabik-cabik oieh serigala liar dengan tanpa ampun lagi. Dengan begitu, genap sudah kutukan Ratu Teluh Bumi, bahwa mereka mati dimakan anjing.
Sungguh berbahaya mulut perempuan itu. Banyak orang yang akan bersyukur jika perempuan itu mati. Tapi apakah benar Ratu Teluh Bumi mati di dasar jurang? Bagaimana jika ia belum mati? Bagaimana jika Suto yang terkena kutukan seperti mereka? Apakah Suto mampu menghindari atau melawan ilmu 'Sabda Iblis'?
SELESAI