Minyak Darah Malaikat

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode minyak darah malaikat karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Minyak Darah Malaikat
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

CAHAYA rembulan jatuh ke bumi, menerpa seraut wajah tampan yang sedang telanjang dada. Wajah tampan itu tak lain adalah milik seorang tokoh muda yang sudah dikenal kehebatan ilmunya, yaitu murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting; si Pendekar Mabuk.

Hembusan angin dingin tidak dihiraukan oleh Pendekar Mabuk. Wajahnya pun tetap dingin berpejam mata, ia duduk di atas sebuah batu datar, bersila dan bertegak dada. Kedua tangannya yang ada di paha tiba-tiba mengencang, urat-uratnya tampak bertonjolan, itu pertanda Suto Sinting sedang mengerahkan tenaganya dengan tarikan napas panjang perlahan-lahan.

Tangan itu bergerak naik ke dada keduanya. Gerakannya sangat pelan dan penuh getaran. Ketika kedua tangan itu sampai di dada, telapak tangannya saling merapat. Kedua telapak tangan itu seakan saling menekan kuat-kuat hingga getarannya bertambah nyata. Lalu tiba-tiba kedua telapak tangan itu disentakkan ke depan hingga kedua lengannya menjadi lurus. Suttt...!

Maka dari ujung perpaduan telapak tangan itu melesatlah selarik sinar sebesar lidi berwarna ungu. Zlappp...! Sinar itu menghantam sebatang pohon besar. Jrrubb...! Sinar itu tembus ke batang pohon besar, bahkan pada pohon di belakangnya juga tembus, jrubb...! Dan hingga empat pohon dalam satu barisan tertembus semua oleh sinar ungu sebesar lidi itu. Clubb...! Sinar itu pun padam setelah Pendekar Mabuk hembuskan napas dan kendorkan urat-uratnya.

"Jurus 'Surya Dewata' ternyata masih kukuasai!" pikir Pendekar Mabuk. "Berarti tenagaku tidak berkurang selama ini! Mungkin kekuatan tuak saktiku inilah yang menjaga keutuhan kekuatan tenaga dalamku! Jurus 'Surya Dewata' pemberian Bibi Bidadari Jalang tak akan kugunakan bila keadaan tidak sangat memaksa! Sebab, pesan Bibi Guru Bidadari Jalang memang aku harus menggunakan jurus ini jika lawan sudah tak mempan lagi dihantam dengan jurus-jurus lainnya! Hmm... sebaiknya kucoba ilmu 'Ambang Bayu' pemberian Kakek Guru Gila Tuak. Apakah masih ada pada diriku atau sudah menipis karena jarang kulatih selama ini...!"

Suto gerakkan tangannya dari atas ke bawah sambil menghirup napas. Kemudian tangan itu melemas di samping, napas pun terlepas pelan-pelan. Kejap berikutnya, tangan sudah berada di dada. Yang kanan telapak tangannya berdiri tegak, yang kiri telapak tangannya menyangga pergelangan tangan kanan.

Jika jurus yang dilatihnya tadi menggunakan kekuatan otot dan menahan napas kuat-kuat, kali ini keadaan Suto Sinting lebih kelihatan santai. Napasnya terhela dengan biasa, uratnya tidak mengeras. Matanya memandang redup ke depan. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak sendiri naik. Kakinya masih bersila, dan tangannya tetap di posisi dada.

Dalam keadaan bersila itu, perlahan-lahan tubuh Pendekar Mabuk bergerak naik, sedikit demi sedikit. Dari jarak satu jari, dua jari, tiga jari... sampai akhirnya jarak antara batu dengan pantatnya mencapai satu jengkal. Pelan-pelan tubuh itu bergerak turun dan kembali merapat di permukaan batu. Tapi Pendekar Mabuk masih pejamkan mata. Ia akan lakukan jurus 'Ambang Bayu' kedua yang dapat membawa dirinya melesat ke depan walau dalam keadaan duduk. Tetapi, tiba-tiba di depannya berkelebat sesosok bayangan yang melintas. Bayangan itu berhenti di kerimbunan semak, lalu kembali lagi dan berhenti di depan Suto.

Orang itu berpakaian biru tua, usianya sekitar empat puluh tahun, mengenakan rompi rangkap warna kuning. Orang itu berambut pendek dan mempunyai senjata, cambuk yang melilit di pinggang. Cambuk itu ujungnya tepat berada di pusar, berbentuk logam bintang segi enam. Rupanya orang yang tadi berlari cepat itu tertarik melihat Suto sedang berlatih sendirian di tengah siraman cahaya sinar bulan purnama. Orang itu dekati Pendekar Mabuk, dengan bertolak pinggang satu tangan ia berkata,

"Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?!"

"Saya sedang berlatih, Paman," jawab Suto Sinting dengan tetap duduk bersila, tapi melepaskan tangannya yang di dada.

"Berlatih apa? Lebih baik kau pergi ke Gua Sekat Sembilan sana! Tontonlah pertarungan hebat para tokoh sakti di sana!"

"Maaf, boleh saya tahu siapa Paman sebenarnya, sehingga berani menyuruh saya pergi ke gua itu?"

"Aku si Cambuk Guntur! Kalau aku menyuruhmu nonton pertarungan di sana, berarti aku ingin membagi pengalaman denganmu, Bodoh! Jangan merasa tersinggung!"

"Terima kasih atas niat Paman Cambuk Guntur untuk membagi pengalaman kepada saya. Tapi saya lebih suka duduk sendirian di sini menikmati malam terang bulan yang bermandikan kehangatan tersendiri di hati saya!"

"Kalau mau jadi pendekar, harus punya banyak pengalaman, melihat pertarungan para tokoh sakti! Jangan hanya belajar ilmu tapi tidak tahu seberapa tinggi ilmu yang sudah dimiliki para tokoh sakti itu! Kalau kau hanya perdalam ilmu sendiri, kau akan menjadi manusia yang pongah dan hanya mengenal ilmu sendiri!"

"Terima kasih lagi atas saran Paman Cambuk Guntur! Tetapi, bolehkah saya tahu, mengapa Paman bersemangat memberi saran pada saya?" Pendekar Mabuk tetap kalem dan tetap menghargai orang itu.

"Terus terang saja, aku tertarik dengan tubuh kekar dan gagah itu. Menurutku kau bisa menjadi seorang pendekar perkasa dan berilmu tinggi! Tapi, ah... sudahlah, itu urusanmu sendiri! Mau jadi pendekar atau jadi tukang jualan telur asin, itu bukan urusanku! Kenapa aku jadi bodoh sendiri?" gerutunya sambil melangkah meninggalkan Pendekar Mabuk. Dan tiba-tiba Cambuk Guntur berkelebat lari dengan cepat setelah ia memandang ke arah belakang, dan seperti melihat sesuatu yang menakutkan.

Pendekar Mabuk; Suto Sinting itu, hanya tersenyum memandangi kepergian Cambuk Guntur, ia kembali ingin berlatih jurus 'Ambang Bayu' kedua. Tetapi tak berapa lama kemudian, kembali ia didatangi seorang tokoh persilatan yang pernah dilihatnya dalam satu perjalanan pengembaraannya. Tokoh itu berhenti di depan Suto setelah menyadari bahwa ada orang duduk di atas batu dalam keadaan mengambang. Suto pun buru-buru menurunkan badannya, tak jadi melakukan latihan jurus 'Ambang Bayu' kedua.

Bau bangkai tercium, dan Suto Sinting menahannya, ia pernah mencium bau busuk seperti saat itu dan yang ditemuinya juga tokoh berpakaian kulit macan loreng. Rambutnya yang panjang diikat kain merah. Matanya lebar, alisnya tebal, kumisnya juga lebat. Orang bersenjata tombak trisula dan berbau busuk karena konon mandinya hanya setiap tanggal satu Suro itu, dikenal oleh para tokoh lainnya dengan nama si Macan Bangkai. Dia orang galak dan mudah tersinggung. Tapi Pendekar Mabuk belum pernah berselisih dengan orang bahkan baru sekarang Suto beradu muka untuk bicara.

"Hei, Bocah Hutan...!" sapanya kepada Suto dengan seenaknya. "Apakah kau melihat orang berpakaian biru lewat sini?"

"Ya. Dia tadi lewat di depanku," jawab Suto seenaknya juga.

"Ke mana arah tujuannya, apakah kau tahu?"

"Tidak. Yang kutahu dia ke arah depan! Dia menyuruhku ke gua! Nonton pertarungan orang sakti!"

"Hmmm... pasti ke sana dia!" gumamnya. "Kalau begitu, kususul dia ke sana!" dan Macan Bangkai pun pergi secepatnya.

Suto merasa heran, "Sedang apa mereka sebenarnya? Saling kejar-kejaran atau saling dulu-duluan? Cambuk Guntur menyebutkan sebuah gua! Hmmm... gua apa tadi dia bilang? Aku, aku lupa! Tapi ada apa di gua itu? Mengapa mereka sepertinya saling berebut mencapai gua tersebut?! Ah, jadi tertarik juga aku! Sebaiknya aku segera ke sana juga untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya! Tapi... ke mana arahnya?" Suto berkerut dahi, pertimbangkan langkah.

* * *

Langit malam tebarkan bintang dan rembulan di sudut mega. Warna cerahnya menggiurkan pasangan muda-mudi untuk taburkan kasih kemesraannya. Bahkan pasangan tua berhati muda pun tak segan-segan lepaskan rayu dan canda menggelitik di sela-sela hati mereka. Mendadak kabut berjingkat dari celah bongkahan tanah perbukitan. Kabut tipis itu merayap makin menebal, lalu membungkus setiap celah tanah berdaun rumput. Bukit mulai diselimuti kabut. Langit sedikit dipulas rona hitam awan.

Rupanya tadi telah melesat cahaya hijau berekor. Cahaya hijau di langit itu bagaikan berudu terbang yang melintasi perbatasan langit bermega hitam. Warna hijaunya terang dan mencolok mata para penghuni bumi.

Wuuuttt...!

Angin mulai menunjukkan keperkasaannya, hembusannya tiba-tiba saja menjadi cepat dan berat. Warna hijau cerah berekor panjang di langit bagai semakin dilemparkan dari sisi satu ke sisi lainnya. Gerakannya mengikuti lengkung langit hingga menuju perbatasannya yang tak pasti.

Para tokoh tua saling berlompatan dari tempat mereka. Muncul dari setiap sudut rimba persilatan. Mata mereka memandang tak berkedip pada warna hijau di langit. Sebagian dari para tokoh tua berilmu tinggi itu terkesiap tak bicara saat mata mereka memandang warna hijau yang melesat panjang itu. Seolah-olah para tokoh tua itu memberikan hormat menyambut datangnya sang dewa hijau. Wajah-wajah mereka terbagi dua antara tegang dan gembira. Sekalipun dari tempat yang berbeda dan berjauhan, namun hati mereka seakan serempak berkata,

"Saatnya telah tiba! Harus segera bertindak sebelum terlambat!"

Di sisi lain, pada lereng perbukitan bertebing curam, dua sosok tua saling bertaruh nyawa dari pagi hingga petang, bahkan malam yang melintas sepi itu dibiarkannya. Seakan tiada waktu untuk menghentikan pertarungan mereka. Seakan tiada saat yang mampu menciptakan perdamaian, walau untuk dua-tiga helaan napas. Dendam pribadi telah mengarang keras di hati dan jiwa mereka. Yang ada dalam keputusan naluri mereka hanya membunuh atau dibunuh. Tak peduli usia tua, semangat untuk menjatuhkan lawan masih meluap-luap dalam jiwa mereka.

Blaarrr...! Brukk!

Sosok tua berjubah abu-abu sunggingkan senyum melihat lawannya jatuh akibat beradu telapak tangan bertenaga tinggi. Sekejap saja cahaya merah membara memercik dari adu telapak tangan tadi. Kejap berikut lawannya yang berkain merah itu tumbang dua tindak ke belakang. Tetapi orang yang tumbang itu cepat bangkit dari jatuhnya. Kini berdiri tegak dan tegar bagai tak pernah alami sentakan kuat sedikit pun.

Lelaki berkain merah yang menutup dada kanan dengan membiarkan sebagian dada dan pundak kiri terbuka itu, mempunyai rambut panjang bergulung ke atas, warnanya abu-abu. Ia berbadan kurus dan bermata cekung. Tangannya masih menggenggam sebatang kayu penumbuk padi yang lazim disebut alu. Warnanya hitam, tingginya sebatas ketiak. Kayu itu sering pula dijadikan tongkat olehnya, tapi sebetulnya alu itu adalah senjata andalannya. Itulah sebabnya orang bersenjata alu itu mempunyai julukan si Alu Amah.

Sedangkan lawannya yang berjubah abu-abu itu bercelana kuning. Rambutnya abu-abu panjang sebatas punggung tak berikat kepala. Badannya agak gemuk, brewok dan kumisnya warna putih kelabu. Senjata kebanggaannya adalah tongkat berujung lengkung. Di dunia persilatan orang itu cukup dikenal, karena pernah menumbangkan tokoh sakti dari Mongolia. Orang itulah yang dikenal dengan nama Ki Cagar Nyawa. Perselisihannya dengan si Alu Amah merupakan persoalan kuno yang sampai setua itu belum tuntas. Usia mereka seimbang, sekitar enam puluh tahun, sementara persoalan yang mereka sedang selesaikan dengan beradu nyawa itu adalah persoalan semasa mereka berusia dua puluh lima tahun.

Ki Cagar Nyawa pernah dituduh menghamili kekasih si Alu Amah. Sementara itu Ki Cagar Nyawa sendiri tidak merasa pernah berbuat tak senonoh dengan perempuan bernama Nyai Sukmi Gading. Repotnya perempuan itu tidak mau membuka rahasia tentang siapa lelaki yang telah menanamkan benih dalam rahimnya dan tak mau bertanggung jawab itu. Sampai akhirnya Nyai Sukmi Gading bunuh diri dan mati dengan sangat menyedihkan. Si Alu Amah tetap menuding Ki Cagar Nyawa sebagai penyebab kematian Nyai Sukmi Gading.

Buat si Alu Amah, Nyai Sukmi Gading bukan hanya sebagai perempuan yang dicintai, melainkan juga sebagai perempuan yang dipuja dan dikagumi semenjak mereka berada dalam satu naungan perguruan yang sirna. Sebab itulah si Alu Amah sangat benci kepada Ki Cagar Nyawa. Kapan saja dan di mana saja mereka bertemu, pertarungan tak dapat dihindari lagi. Dan agaknya kali ini pertarungan mereka adalah pertarungan terakhir, sebab keduanya sudah sama-sama bosan hadapi hidup penuh bayangan dendam.

Ki Cagar Nyawa sendiri sudah tak mau lagi diburu tuntutan berdarah. Kebenciannya kepada si Alu Amah membuatnya tak pernah merasakan ketenangan dalam hidup. Setiap mendengar nama si Alu, dada Ki Cagar Nyawa selalu merasakan sakit yang amat dalam. Karena pada saat ia mendengar nama si Alu Amah disebutkan orang, pada saat itulah terbayang wajah adik perempuannya yang dibunuh oleh si Alu Amah berdasarkan dendam salah alamat itu.

Kali ini agaknya si Alu Aman benar-benar ingin dihabisi nyawanya. Ki Cagar Nyawa melepaskan jurus pukulan 'Bangau Neraka'-nya yang jarang dipakai itu. Sebuah sentakan tangan yang menguncup mengeluarkan cahaya biru yang menyala sekejap, lalu padam. Tapi sebenarnya nyala biru itu tetap melesat cepat ke arah lawan dan tak terlihat gerakannya.

Jika si Alu Amah tidak menggunakan indera keenamnya, maka ia tak dapat melihat adanya sinar biru yang melesat ke arahnya. Cepat-cepat si Alu Amah putarkan alunya yang bergerak cepat bagaikan baling-baling di depan dadanya. Suara gerakan alu berputar cepat itu sempat bikin gendang telinga menjadi sakit. Wungngngng...!

Jika Ki Cagar Nyawa tidak tinggi ilmunya, maka gendang telinga itu akan pecah mendengar suara gaung yang keras dan berkekuatan tenaga dalam. Dan ternyata suara gaung yang keras itu mampu menahan gerakan sinar biru yang tak terlihat. Sinar dan suara bertemu, maka timbullah ledakan dahsyat yang menggelegar.

Blarrrr...!

Si Alu Amah bagai kapas yang dilemparkan ke samping, ia terpental dan jatuh di bawah pohon berakar saling bertonjolan. Sedangkah Ki Cagar Nyawa juga terlempar bagaikan daun kering, lebih tinggi tubuhnya melayang dan jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan badannya. Brukk...! Lalu cepat berdiri lagi. Kejap berikut Ki Cagar Nyawa sudah kembali siap hadapi lawan seolah-olah tidak mengalami sentakan apa pun. Sedangkan si Alu Amah sendiri sedikit lebih cepat berdiri tegap ketimbang Ki Cagar Nyawa. Keduanya saling berhadapan dalam jarak delapan langkah.

"Rupanya kau pamer ilmu barumu, Cagar Nyawa?! Hm...! Belum ada sekuku hitamnya dibanding dengan ilmuku!" si Alu Amah mencibir sinis dan dingin. Tetapi dalam hatinya, si Alu Amah membatin, "Kurang ajar! Rupanya dia telah kuasai jurus 'Bangau Neraka'! Mestinya aku lebih dulu kuasai ilmu itu, tapi aku telat!"

Dari tempatnya berdiri memegang tongkat, si Cagar Nyawa ucapkan kata kepada si Alu Amah, juga dengan nada dingin dan sinis. "Kalau kau punya ilmu lebih tinggi dariku, tentunya sudah sejak tadi siang kau bisa bunuh aku, Alu Amah! Tapi karena ilmumu masih di bawah telapak kakiku, maka sampai malam begini kau masih belum bisa tumbangkan aku!"

Padahal di dalam hati Ki Cagar Nyawa membatin, "Sial betul! Dia makin tua makin tambah kekuatannya! Jurus 'Bangau Neraka-ku bisa ditahannya dengan 'Alu Kipas Naga'-nya! Agaknya cukup sulit tumbangkan dia, tak seperti lawan-lawanku yang lainnya."

Kemudian terdengar suara si Alu Amah lebih lantang lagi, "Cagar Nyawa! Jangan sangka hanya kau yang punya jurus andalan. Aku pun punya jurus andalan yang sudah waktunya kulepaskan untuk menjemput kematianmu! Terimalah jurus 'Siluman Kera Api' dariku! Heaaahh...!"

Pada saat itulah sesuatu yang telah membuat para tokoh dunia persilatan tertegun sambil dongakkan kepala ke langit, dialami pula oleh kedua tokoh sakti ini. Cahaya hijau berekor panjang melesat di langit atas kepala mereka. Ki Cagar Nyawa lebih dulu dongakkan kepala ke atas, disusul si Alu Amah yang juga ikut arahkan pandangan matanya ke langit. Mereka sama-sama diam, sama-sama bisu, sama-sama bagai terkesima melihat cahaya hijau tersebut. Bahkan setelah cahaya hijau lenyap dari pandang mata mereka, keduanya sama-sama saling pandang dengan curah perhatian mulai sama-sama kabur.

Kejap berikutnya terdengar suara si Alu Amah yang telah membatalkan memamerkan jurus baru andalannya, "Cagar Nyawa! Malam ini kau patut bersyukur, karena aku masih punya tenggang rasa untuk tidak mencabut nyawamu secara terburu-buru! Kuberi kau kebebasan beberapa saat untuk menikmati sisa hidupmu yang sudah bau tanah ini! Karena aku harus segera pergi untuk selesaikan janji pertarunganku dengan tokoh lain yang lebih tinggi ilmunya dari ilmumu!"

"Jangan tinggalkan tempatmu, Alu Amah!" sentak Cagar Nyawa, ia merasa kecewa jika pertarungan itu terhenti, tanpa tahu siapa yang mati.

Namun agaknya Alu Amah punya rencana tersendiri. Tanpa ucapkan kata apa pun lagi kecuali janji, "Kita pasti bertemu di lain kesempatan!," maka Alu Amah pun sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan pertarungannya.

"Alu Amah! Selesaikah dulu urusan pribadi kita ini!" sentak Ki Cagar Nyawa yang ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi pukulan itu tak jadi dilepaskan karena si Alu Amah cepat berkelebat pergi dan tak terjangkau oleh pandangan mata lagi.

"Hiiiah!" Ki Cagar Nyawa jengkel sendiri. Pukulannya akhirnya dilepaskan kepada sebatang pohon. Pukulan itu membuat pohon tersebut terpotong rapi menjadi lebih dari tiga puluh potongan dalam sekali gebrak. Kalau saja si Alu Amah melihat jurus yang terakhir ini, Ki Cagar Nyawa berani pastikan diri, si Alu Amah akan gentar dan takjub melihat kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Belut Penebar Maut' itu.

"Kurang ajar! Dia lari begitu saja! Tapi aku yakin bukan karena takut padaku dia melarikan diri, tapi karena ada sesuatu yang dia ketahui dan harus dikerjakan! Ke mana larinya, aku tahu! Pasti menuju Gua Sekat Sembilan! Ya, pasti tikus busuk itu menuju ke sana, karena dia tahu perlambang jatuhnya bintang hijau tadi! Hmm...! Rupanya bukan aku saja yang mengetahui perlambang dari bintang hijau yang jatuh tadi! Ada baiknya kalau kususul dia ke Gua Sekat Sembilan dan bikin perhitungan baru di sana!"

* * *

DUA
HUTAN bertanah kabut adalah tempat terdekat dengan Gua Sekat Sembilan. Sedekat-dekatnya tempat itu, punya waktu perjalanan setengah hari untuk mencapai Gua Sekat Sembilan. Tanah di hutan itu memang sering dibungkus kabut karena rembesan asap belerang sering muncul di sela-sela bongkahan tanahnya. Jadi bukan karena tempatnya tinggi, melainkan karena keadaan alam dari lapisan tanah tersebut.

Kabut belerang putih menurut beberapa tokoh tua punya khasiat menyegarkan tubuh. Barangkali, karena itulah, Ki Candak Sedo membangun persinggahannya di hutan kaki bukit tersebut. Mungkin karena belerang putih berbentuk kabut itu pula yang membuat Ki Candak Sedo tetap segar dan bagus tubuhnya walau sudah berusia delapan puluh lima tahun.

Ki Candak Sedo, pada masanya pernah merajai dunia persilatan untuk separo tanah Jawa. Ia bukan orang rakus, ia bukan tokoh sesat, ia sering mengadakan pertemuan dengan si Gila Tuak, guru dari Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang namanya terdaftar di urutan paling atas sebagai tokoh tua yang sukar ditumbangkan. Pada masanya dulu, Ki Candak Sedo sering bertukar ilmu 'Kaweruh Urip', yaitu sebuah ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan dengan si Gila Tuak.

Bagi Candak Sedo, si Gila Tuak dianggap seperti kakaknya sendiri. Dan ia mendengar kabar bahwa si Gila Tuak sudah turunkan ilmunya kepada seorang murid sinting yang diangkat dari bocah tanpa pusar sejak si bocah berusia delapan tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).

Candak Sedo pun kini telah mengangkat satu murid sejak berusia sepuluh tahun yang bernama Karang Wesi. Di persinggahannya yang penuh damai tanpa pernah terjadi kericuhan itu, Ki Candak Sedo menurunkan ilmunya kepada Karang Wesi, sebagai sarana menuju hidup sempurna dalam penyerahan diri kepada Hyang Widi. Karena dulu, guru dari Ki Candak Sedo pernah berpesan kepadanya, bahwa hidupnya tidak akan menjadi damai sebelum semua ilmu diturunkan kepada seorang murid pilihannya. Dan bahwa hidupnya tak akan menjadi bersih, sebelum ia bermandikan Minyak Darah Malaikat.

Menurut keterangan dari gurunya Ki Candak Sedo, hidup bersih dan menjadi pertapa suci bisa dicapai melalui dua tahapan itu, setelah menurunkan ilmu seluruhnya sebagai bekal bagi pewarisnya, lalu mandi Minyak Darah Malaikat untuk melenyapkan ilmu-ilmu yang mengarang keras dalam jiwa raganya. Konon menurut sang Guru, setiap manusia mempunyai kotoran batin yang tak pernah disadari telah menjadi keras bagaikan batu karang. Dan kotoran batin itu tidak bisa dihilangkan sebelum mandi Minyak Darah Malaikat, untuk kemudian melakukan semadi menyepi sebagai langkah menuju pusat hubungan dengan Yang Maha Kuasa.

Ki Candak Sedo kini telah turunkan semua ilmunya kepada Karang Wesi. Segala kebaikan dan hal-hal yang bersifat putih telah diberikan kepada sang murid tercinta. Tak heran jika Karang Wesi pun tumbuh sebagai pemuda yang dua tahun lebih tua dari Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, dengan bekal ilmu sakti setingkat dengan gurunya. Barangkali hanya ilmu pelebur kotoran batin saja yang belum diturunkan kepada Karang Wesi, karena ilmu itu adalah akhir dari ilmu yang akan dimiliki Ki Candak Sedo.

Karang Wesi, seorang bocah yatim-piatu dalam peristiwa bencana alam yang ditemukan oleh Ki Candak Sedo. Ilmu-ilmu yang diturunkan kepada Karang Wesi dalam usia tiga puluh tahunan ini, telah membuat Karang Wesi merasa tak pernah gentar menghadapi angkara murka dari mana saja. Bahkan sekalipun ia sudah mempunyai ilmu cukup tinggi, namun ia adalah pemuda yang tak pernah merasa puas dalam menuntut ilmu. Ia selalu ingin mendapatkan ilmu apa pun dari gurunya, sehingga satu saat sang Guru pun terpaksa berkata,

"Karang Wesi, kalau kau ingin mendapatkan ilmu lagi dariku, itu tak mungkin bisa. Karena semua ilmuku telah kuturunkan padamu. Tak ada ilmu yang kumiliki lagi yang bisa kuturunkan kepadamu kecuali ilmu hidup sejati."

"Mengapa aku tidak mendapat ilmu hidup sejati, Eyang Guru?!" tanya Karang Wesi seakan menuntut.

"Batas usiamu belum sampai untuk memiliki ilmu hidup sejati, karena batas pemikiranmu tidak bisa sama denganku! Kelak jika kau sudah punya banyak pengalaman dalam hidup, sudah punya banyak perjalanan dalam hidup, sudah pernah merasakan hitam-putihnya suatu kehidupan, maka kau akan temukan sendiri bagaimana menggali ilmu hidup sejati!" dengan sabar dan bijaksana Ki Candak Sedo menuturkan penjelasan itu kepada muridnya.

Lalu terdengar Karang Wesi berkata, "Apakah setelah aku bisa miliki ilmu hidup sejati, aku akan bisa hidup selamanya dan tak akan pernah mati, Guru?"

Ki Candak Sedo sunggingkan senyum geli, kemudian kembali paparkan maksud ucapannya tadi, "Hidup sejati bukan berarti hidup selamanya. Hidup sejati adalah hidup yang penuh pengabdian dan sujud kepada Hyang Widi Wasa. Selama ini hidup kita adalah hidup pengabdian, baik kepada diri sendiri, kepada sesama dan kepada Yang Maha Kuasa. Tetapi pengabdian kepada Yang Maha Kuasa adalah pengabdian yang harus lebih banyak kita lakukan daripada terhadap diri sendiri dan sesama manusia. Untuk mencapai titik tertinggi dari pengabdian kepada Yang Maha Kuasa, diperlukan ilmu hidup sejati, menemukan apa makna hidup dan kehidupan. Untuk menemukan makna itu sendiri dibutuhkan satu kesucian yang lebih putih dari busa-busa salju, yang lebih peka dari lapisan bola mata kita. Jadi tak bisa hal itu kau terima dalam usia mudamu yang masih butuh kehidupan dan pengabdian kepada diri sendiri!"

"Tapi aku ingin menjadi orang paling sakti, Guru! Apakah semua Ilmu yang Guru turunkan kepadaku ini bisa menjadikan aku sebagai manusia sakti?"

"Karang Wesi muridku!" kata Ki Candak Sedo dengan senyum kesabarannya, "Tidak ada orang paling sakti di dunia ini. Yang paling sakti hanya Yang Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi, serta seisinya! Kita hanya bisa menjadi orang berilmu, seberapa tinggi ilmu kita, tergantung seberapa rendah ilmu lawan kita! Jangan kamu merasa paling sakti, karena di atasnya yang paling sakti ada yang lebih paling sakti. Di atasnya yang lebih paling sakti ada yang sangat lebih paling sakti. Begitu dan begitu seterusnya! Merasa tidak puas dalam menempuh kesaktian pribadi itu tidak baik, tapi merasa tidak puas untuk berbuat baik terhadap sesama itu cukup terpuji di mata Hyang Widi Wasa!"

Karang Wesi diam-diam merasa heran melihat gurunya bicara sambil mengenakan pakaian kebesarannya, yaitu pakaian serba putih, dengan rambut putih digelung ke atas, kumis dan alis serta jenggotnya pun berwarna putih rata. Karang Wesi tahu, kebiasaan gurunya kenakan pakaian serba putih seperti itu pasti akan melakukan satu perjalanan jauh yang punya urusan penting. Maka Karang Wesi pun ajukan tanya, "Kelihatannya Eyang Guru mau mengadakan perjalanan jauh?"

"Benar, Muridku!"

"Kalau boleh aku tahu, ke mana Guru mau pergi? Aku ingin mendampingi Guru!"

Ki Candak Sedo menatap muridnya dan sunggingkan senyum kasih sayang. Lalu dengan polos ia katakan, "Sudah waktunya aku melakukan perjalanan terakhirku sebelum aku melakukan hidup sejati yang paling tinggi. Tentunya kau masih ingat peristiwa semalam, saat kau berlatih pukulan 'Angin Lahar'?"

Karang Wesi kerutkan kening, ia ingat-ingat peristiwa semalam saat ia melakukan latihan terakhir dari jurus pukulan 'Angin Lahar'. Pukulan itu memang dahsyat dan mengagumkan menurut Karang Wesi. Mula-mula ia hanya diperintahkan untuk menyalurkan pernapasannya melalui telapak tangan berulang kali. Ia tidak tahu apa maksud gurunya itu.

Setelah tenaga dalam bisa memantul balik dengan sendirinya dari ujung telapak tangan ke jantung, Karang Wesi diperintahkan untuk menguasai hawa murninya didalam pertengahan dada. Getaran hawa murni itu disuruh rasakan sampai ujung kakinya. Lalu, Ki Candak Sedo perintahkan agar getaran tersebut dikuasai dan disalurkan melalui urat-urat nadi yang ada di pergelangan tangan hingga terasa pergelangan tangan mau pecah.

Karang Wesi melakukan semua itu dengan pemusatan batin cukup tinggi. Sampai akhirnya sang Guru perintahkan untuk melepaskan getaran hawa murni itu hingga menguasai telapak tangannya tapi jangan sampai keluar. Dan Karang Wesi telah melakukannya walau agak susah, sebab getaran itu seakan mendesak ingin keluar dari telapak tangannya.

"Tahan dan biarkan menguasai setiap urat nadi telapak tangan!" ujar Ki Candak Sedo.

Setelah melalui upaya yang susah payah, yang membuat telapak tangan bagaikan ingin terbakar pecah, Ki Candak Sedo perintahkan Karang Wesi untuk meraba sebatang pohon beringin. "Usaplah pohon itu dengan lembut!" kata Ki Candak Sedo.

Karang Wesi melakukan apa yang diperintahkan gurunya. Tangannya mengusap pelan batang pohon beringin itu. Pertama-tama ditempelkan dengan pelan, lalu mengusapnya ke bawah dengan lembut. Setelah itu terjadi suatu keajaiban yang sungguh menakjubkan. Terdengar suara aneh seperti bara api masuk ke dalam air kolam secara pelan-pelan. Zzzrreessss...! Kejap berikut mata Karang Wesi terkesiap, karena ia melihat pohon beringin yang begitu besar dengan akarnya bergelantungan bagai rambut-rambut raksasa itu, kini menjadi hangus seketika dari akar sampai daunnya.

Karang Wesi cepat mundurkan langkah tiga tindak. Ia pandangi pohon yang menghitam hangus seluruhnya, tapi belum tumbang dari tempatnya. Daun-daunnya hitam kaku bagaikan daun arang. Ketika tertiup angin pelan, daun-daun itu tak lagi bisa bergoyang karena kakunya. Tapi ketika kaki Ki Candak Sedo menendangnya dengan pelan, pohon itu rubuh dan pecah menjadi serpihan arang.

"Ajaib sekali!" gumam Karang Wesi dengan sangat kagumnya, ia pandangi telapak tangannya sendiri yang ternyata masih tetap bersih dan putih.

"Itu namanya pukulan 'Angin Lahar'," kata Ki Candak Sedo. "Jika kau sering berlatih kendalikan getar hawa murni ke telapak tanganmu, maka dengan sekali tahan napas saja, kau bisa usap lawanmu atau pegang tangannya, maka dalam sekejap lawanmu akan menjadi arang keropos, seperti pohon beringin besar itu!"

"Oh, alangkah hebatnya ilmu ini, Eyang Guru!" Karang Wesi berseri-seri tanda amat gembira hatinya.

"Hanya dalam keadaan sangat terpaksa, gunakan ilmu itu! Tapi jika belum terpaksa sekali, hindari penggunaan ilmu itu! Sangat berbahaya dan keji menurut pertimbanganku setelah setua ini!"

"Baik, Guru! Aku mengerti maksud Eyang Guru!"

"Itulah sebabnya aku dijuluki oleh beberapa tokoh tua di rimba persilatan ini sebagai Candak Sedo. Candak artinya pegang, Sedo artinya mati! Ketika aku masih gemar berkelana, setiap lawan yang kupegang pasti mati. Baru kupegang atau kuajak salaman, dia sudah menjadi hangus dan keropos seperti pohon itu! Tapi..."

Pada malam itu, ucapan Ki Candak Sedo terhenti dengan wajah segera mendongak ke atas. Ki Candak Sedo memandang gerakan bintang jatuh berwarna hijau pijar bening.

Karang Wesi juga pandangi langit, bahkan sempat ucapkan kata, "Bintang timur jatuh, Guru! Indah sekali warnanya!"

"Itu bukan bintang sembarang bintang," jawab Ki Candak Sedo. "Bagi para tokoh tua, itu suatu pertanda akan terjadinya suatu peristiwa yang sekian lama ditunggu-tunggu."

"Peristiwa apa Guru?"

Ki Candak Sedo sedikit ragu untuk menjelaskan kepada muridnya. Lalu, cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan ke jurus 'Angin Lahar' tadi. "Jurus 'Angin Lahar', jangan sampai kau lepaskan kepada orang tak bersalah! Karena jika kau lepaskan kepada orang tak bersalah, maka perbuatanmu itu adalah perbuatan keji yang tak patut menjadi murid Candak Sedo. Pukulan 'Angin Lahar' kuciptakan sendiri untuk menghadapi tokoh sesat yang sulit dibunuh!"

"Ya. Aku mengerti. Guru! Semua pesan dan nasihat Guru, akan kujalankan!"

"Bagus. Karena kulihat kau sudah terlalu letih, sebaiknya segeralah beristirahat, Karang Wesi!"

"Baik, Guru!" Karang Wesi tunjukkan sikap penurut, sebagai murid patuh yang sangat menggembirakan hati gurunya. Itulah peristiwa yang dikenang Karang Wesi sebelum sang Guru melakukan perjalanannya.

Bungkamnya mulut Karang Wesi membuat sang Guru memandang dengan senyum kebanggaan, lalu ajukan tanya pelan, "Sudah ingatkah kau dengan peristiwa tadi malam?"

"Sudah, Guru. Tadi malam saya mempelajariilmu pukulan 'Angin Lahar'!"

"Bukan itu maksudku, Wesi! Kuingin kau mengingat tentang bintang jatuh warna hijau cerah berekor panjang itu."

"O, ya! Aku ingat, Guru! Lantas, apa hubungannya dengan rencana kepergian Guru ini?"

Ki Candak Sedo mendekati muridnya yang masih duduk, bahkan kini Candak Sedo ikut duduk di bangku sebelahnya, lalu ucapkan kata, "Bintang jatuh seperti itu, ada sembilan warna. Saat aku mengangkatmu menjadi murid yang pertama kali, terjadi pula peristiwa bintang jatuh berwarna kuning terang. Dan itu adalah bintang yang ke tujuh!"

Karang Wesi segera menjawab saat gurunya diam sejenak, "Seingatku, aku juga pernah melihat bintang jatuh tapi siang hari, warnanya hitam, seperti gugusan asap yang berkelebat cepat berekor panjang, Guru!"

"Ya. Waktu itu kau berusia dua puluh tahun. Dan bintang hitam yang jatuh di siang hari itu adalah bintang yang kedelapan. Sebelumnya ada bintang merah, biru, putih, ungu, jingga, dan nila. Sedangkan bintang hijau semalam itu adalah bintang jatuh yang kesembilan."

"Apa artinya, Guru?"

"Artinya, jika sudah ada sembilan bintang dengan sembilan warnanya masing-masing jatuh ke bumi, walau tak sampai menyentuh permukaan bumi, itu pertanda Gua Sekat Sembilan mulai terbuka dengan sendirinya. Pintu gua itu tidak akan bisa dibuka dan didobrak dengan senjata apa pun, selain menunggu jatuhnya kesembilan bintang."

Karang Wesi sangat memperhatikan tiap ucapan Guru karena ia sangat tertarik dengan misteri Gua Sekat Sembilan. Lalu, ia mendesak gurunya dengan pertanyaan. "Apa yang terjadi jika pintu Gua Sekat Sembilan telah terbuka, Guru? Apakah akan muncul seekor ular naga?"

"Tidak," jawab Ki Candak Sedo sambil sunggingkan senyum. "Saat ini, para tokoh tua yang tahu rahasia sembilan bintang pasti akan saling berebut untuk temukan Gua Sekat Sembilan. Karena di dalam gua itu terdapat Minyak Darah Malaikat!"

"Minyak Darah Malaikat...?! Maksud Guru, minyak yang bisa meleburkan kotoran di batin kita yang selama ini telah menjadi karang pengganjal kesejatian hidup?"

"Benar! Tapi para tokoh itu bermaksud memiliki Minyak Darah Malaikat bukan untuk sekadar membersihkan kotoran batin, namun untuk menambah kesaktian dirinya. Karena barang siapa mandi minyak keramat itu, maka tubuhnya akan menjadi kebal senjata apa pun dan tak bisa dihantam dengan ilmu tenaga dalam setinggi apapun!"

Karang Wesi manggut-manggut. "Ooo... begitu? Menurut dugaan Guru, mereka pasti akan berebut minyak tersebut, Guru!"

"Benar! Tapi mereka belum tentu bisa temukan Gua Sekat Sembilan. Mereka hanya tahu arahnya, tapi tidak tahu di mana letak gua itu secara persis."

Ki Candak Sedo melangkahkan kaki sampai di depan gubuk persinggahannya, kemudian dari sana dia berkata sambil palingkan wajah kepada Karang Wesi, "Hanya akulah yang tahu letak gua itu! Sebab dulu guruku pernah bertapa di depan pintu gua itu, dan aku pernah diajaknya ke sana! Karena itu aku memilih tempat persinggahan di hutan ini, supaya jika saatnya tiba, pintu gua terbuka, jarakku dengan gua itu tidaklah jauh!"

Karang Wesi bangkit dengan wajah ceria, lalu ucapkan kata, "Kalau begitu kita berangkat sekarang ke sana, Guru! Saya akan dampingi Guru, sampai mendapatkan Minyak Darah Malaikat itu, Guru!"

Ki Candak Sedo kembali sunggingkan senyum bangga terhadap kesetiaan muridnya, kemudian ia ucapkan kata sambil mendekati Karang Wesi, "Kesetiaan dan kepatuhanmu selama ini adalah sesuatu yang menghibur hati tuaku, Karang Wesi! Ternyata aku tak salah pilih murid!" sambil pundak Karang Wesi ditepuk-tepuknya.

"Guru, jangan sanjung saya nanti bisa lupa diri!"

Tawa tua dari Candak Sedo terdengar pelan. Kemudian ia melangkah lebih dulu tinggalkan persinggahannya. Karang Wesi segera menyusul dan mendampingi gurunya. Langkahnya penuh semangat, bahkan berkesan tak sabar, ingin segera sampai di Gua Sekat Sembilan. Sambil melangkah, Candak Sedo tuturkan kata kepada Karang Wesi,

"Genap sudah Gua Sekat Sembilan tertutup rapat tak dijamah makhluk apa pun selama sembilan puluh tahun. Karena jatuhnya bintang warna-warni itu hanya setiap sepuluh tahun sekali. Gua itu ada sebelum aku lahir, Karang Wesi!"

"Siapa yang menaruh Minyak Darah Malaikat di dalam gua itu, Guru?' tanya Karang Wesi.

"Goa Sekat Sembilan mempunyai kekuatan gaib yaitu dapat menyerap darah setiap pendekar sakti dari golongan putih. Walau hanya satu tetes darah, tapi pada saat tokoh sakti dari golongan putih mati, maka darahnya akan terserap ke dalam gua itu. Selama sembilan puluh tahun, gua itu menyerap satu tetes darah dari setiap pendekar golongan putih yang mati. Maka terkumpullah menjadi banyak. Dan konon, menurut cerita guruku sendiri darah itu sudah bukan merah lagi warnanya, sudah bukan amis lagi baunya. Darah itu berubah menjadi putih bening dan berbau harum. Darah itu ibarat zat kesaktian dari tokoh putih."

"Berarti Minyak Darah Malaikat itu adalah kumpulan zat kesaktian dari sekian banyak zat yang ada pada diri tokoh sakti, Guru?!"

"Benar! Sebab itulah Minyak Darah Malaikat bisa menolak senjata setajam apa pun, dan bisa menolak kekuatan tenaga dalam setinggi apa pun jika dipakai mandi oleh seseorang. Dan pesan guruku adalah menurunkan ilmuku kepada seorang murid hingga tuntas, lalu bermandi minyak itu sekujur tubuhku, setelah itu baru aku bisa menjadi pertapa yang hanya mengabdi kepada Hyang Widi Wasa, jauh dari duniawi, jauh dari keramaian, jauh dari nafsu angkara murka!"

"Saya akan dampingi Guru untuk mendapatkan minyak itu, kalau memang minyak itu adalah syarat yang dibutuhkan oleh Guru!"

"Terima kasih atas kesetiaanmu, Karang Wesi! Kuharap kau menjaga mulut gua selama aku masuk ke dalam dan mengambil Minyak Darah Malaikat itu!"

"Saya turut perintah, Guru!" jawab Karang Wesi dengan tegas dan penuh kepatuhan yang mengagumkan buat Ki Candak Sedo.

* * *

TIGA
PENDEKAR Mabuk tidak bisa menemukan tempat yang disebutkan oleh Cambuk Guntur. Melacak pelarian Cambuk Guntur dengan si Macan Bangkai pun mengalami salah arah. Dengan sedikit kecewa Suto akhirnya tidak mau peduli lagi terhadap keanehan kedua tokoh yang ditemuinya pada malam purnama itu. Tetapi ketika pagi telah berlalu, Pendekar Mabuk menangkap suara pekik seseorang dan ledakan yang bergemuruh. Suara itu sepertinya datang dari balik bukit. Rasa ingin tahunya membawa Pendekar Mabuk mendekati tempat itu. Melalui celah pepohonan rapat mata Suto mengintai apa yang terjadi di seberang sana.

Ternyata di sana sedang terjadi pertarungan yang membuat jantung Suto Sinting berdebar-debar antara tegang dan kegirangan. Seorang nenek bungkuk berbadan kurus sedang menebaskan tongkat lengkungnya dari akar rotan kuning ke arah lawannya. Nenek itu berjubah biru dengan rambut abu-abu, berwajah kempot, mata cekung dan giginya tinggal tiga. Usianya diperkirakan sudah lebih dari enam puluh tahun. Tapi gerakannya, masih gesit.

Hal yang membuat Pendekar Mabuk menjadi berdebar girang bukan nenek tersebut, melainkan lawan si nenek itu. Lawannya orang berjubah hitam dari atas sampai bawah berkerudung kain hitam, wajahnya putih berbibir biru, menggenggam senjata tongkat El Maut, yang ujungnya seperti sabit panjang. Orang berwajah dingin itulah yang diburu Pendekar Mabuk selama ini.

Dia adalah tokoh sesat yang tidak bisa tua walau usianya sudah dua ratus tahun lebih. Dia adalah Durmala Sanca yang lebih dikenal dengan julukan Siluman Tujuh Nyawa. Melihat musuh utamanya sedang bertarung dengan nenek tua itu, Pendekar Mabuk tidak langsung menyerangnya, ia justru memperhatikan pertarungan itu dari balik pepohonan. Di dalam hatinya, Suto Sinting berkata,

"Mungkinkah Durmala Sanca sudah mempunyai kemajuan baru dalam ilmunya? Aku harus mempelajari dulu sebentar dari sini! Jika aku langsung masuk ke pertarungan, barangkali hati nenek tua itu akan kecewa karena urusannya kucampuri! Hmmm...! Sebaiknya kutunggu saja bagaimana akhir pertarungan itu! Tapi yang jelas, kali ini Siluman Tujuh Nyawa tidak akan lolos dari incaranku!"

Nenek bungkuk berbadan kurus itu terpental saat ia melepaskan pukulan tenaga dalamnya bersinar kuning, karena oleh manusia berkerudung hitam itu pukulan kuningnya dihantam dengan sinar putih yang keluar dari ujung sabit panjangnya itu. Tapi agaknya si nenek masih bersemangat dan segera bangkit tanpa cedera apa pun.

Kejap berikutnya terdengar suara Durmala Sanca berkata kepada nenek itu, "Jangan harap kau bisa menang melawanku, Nyai Pungkur Maut! Sebaiknya urungkan saja niatmu membalas dendam atas kematian suamimu beberapa puluh tahun yang lalu!"

"Aku tidak akan biarkan kau lolos lagi, Manusia iblis! Apa pun yang terjadi, aku harus bisa membunuhmu sekarang juga. Karena baru sekarang kita bertemu lagi setelah sekian puluh tahun yang lalu kau membunuh suami dan anakku di depan mataku sendiri!" kala nenek yang ternyata bernama Nyai Pungkur Maut itu.

"Tidakkah kau sayang dengan sisa hidupmu yang tinggal beberapa hari ini? Sebaiknya jangan kau sia-siakan sisa hidupmu untuk memburuku, tapi gunakanlah untuk menyenangkan diri sebelum kau mati!"

"Tutup mulutmu, Iblis Keparat!" bentak Nyai Pungkur Maut. "Tak ada lagi kesenangan dalam hidupku sebelum aku bisa membalas kematian suami dan anakku! Tak ada lagi yang lebih berharga selain memenggal kepalamu dengan tongkatku ini! Hiaaah...!"

Nyai Pungkur Maut tampak menyentakkan tongkatnya kedepan dengan sentakan yang cukup kuat. Tangannya sampai lurus ke depan dan dari ujung tongkatnya itu keluar sekelebat sinar warna merah. Sinar itu menghantam dada Siluman Tujuh Nyawa. Wuttt...! Zlappp...!

Tapi tangan kiri Durmala Sanca yang tidak memegang tongkat El Maut itu menghadang di depan dada. Sinar merah itu membentur telapak tangan yang sudah membara kuning kemerahan itu. Duarrr...! Meledaklah benturan sinar merahnya Nyai Pungkur Maut dengan telapak tangan Siluman Tujuh Nyawa. Lalu dua jari tangan itu bergerak cepat menghentak ke depan dan keluarlah sinar merah berkelok-kelok bagai akar serabut dari percikan api yang membara.

Zrappp...! Kumpulan sinar merah berkelok-kelok itu menghantam dada Nyai Pungkur Maut dan tak dapat dihindari lagi karena kecepatan loncatnya luar biasa. Jrass...! Sinar merah itu masuk ke dalam dada dan membuat tubuh Nyai Pungkur Maut terpental hingga empat tombak jauhnya. Tubuh Nyai Pungkur Maut tersandar di bawah pohon dalam keadaan berasap. Matanya yang cekung itu mendelik dan lehernya bergerak-gerak dengan kepala terdongak, sepertinya sukar bernapas.

Siluman Tujuh Nyawa segera berkelebat mengayunkan tongkat bergagang panjang yang ujungnya mempunyai sabit lengkung panjang itu. Sabit itulah yang akan dihantamkan ke dada Nyai Pungkur Maut. Tetapi ketika tubuh Durmala Sanca melompat, Pendekar Mabuk segera melepaskan pukulan jarak jauhnya dan tepat mengenai punggung Durmala Sanca dengan telak sekali.

Wuttt...! Buhgg...!

Tubuh yang terbungkus kain hitam dari kepala sampai kaki itu terlempar ke samping dengan sangat kerasnya. Andai tidak ada pohon besar, maka tubuh itu akan terlempar sangat jauh dari tempat Nyai Pungkur Maut terkapar. Dengan gerak siluman yang cepatnya luar biasa itu, Pendekar Mabuk melesat ke arena pertempuran tersebut.

Zlappp...!

Pendekar Mabuk segera mengambil bumbung tuaknya dari punggung. Melihat kepala Nyai Pungkur Maut terdongak dengan mulut ternganga mencari napas, Suto segera mengucurkan tuaknya ke dalam mulut nenek itu. Tuak tertelan dan asap yang mengepul dari tubuh Nyai Pungkur Maut pun menjadi reda. Kejap berikutnya, Nyai Pungkur Maut kembali bisa bernapas dengan lega.

Tetapi pada saat itu, Siluman Tujuh Nyawa sudah siap melepaskan serangannya ke arah Pendekar Mabuk. Dengan cepat Pendekar Mabuk balikkan badan dan menghadap ke arah Durmala Sanca. Matanya memandang tajam ketika Durmala Sanca berkata dengan nada datar dan dingin, sedingin wajahnya yang tak pernah tersenyum ataupun menyeringai kesakitan itu,

"Apa urusanmu mencampuri urusanku, Pendekar Mabuk!"

"Kita punya urusan pribadi yang harus segera dituntaskan!" kata Suto sambil melangkah ke samping dan memegangi tali bumbung tuaknya. "Dan jangan coba-coba melarikan diri lagi kau, Durmala Sanca!"

"Aku tak pernah lari dari jiwamu! Kalau aku lari itu lantaran aku harus menunda pertarungan kita untuk sesaat, karena banyaknya urusan yang harus kulakukan!"

"Baik. Kuterima alasan apa pun yang kau ucapkan, Durmala Sanca! Tetapi kali ini kau tak akan bisa lari lagidari hadapanku! Sudah waktunya kematianmu tiba, dan orang sesat masuk neraka!"

"Tak keberatan aku melayanimu, Suto! Tapi minggirlah dulu, biar kuselesaikan dulu urusanku dengan Nyai Pungkur Maut itu! Aku tak ingin seseorang menjadi gila karena tak bisa membunuhku!"

"Urusan nenek itu akan ku wakili!"

"O, baik kalau begitu!"

Wuttt...! Tiba-tiba Durmala Sanca sentakkan telapak tangannya ke depan, dan Suto Sinting pun juga sentakkan telapak tangannya ke depan. Mereka saling adu kekuatan tenaga dalam dengan badan sedikit merendah.

Tratt tratt tarr... tarr...! Brarr... tam...!

Dua sinar berkelok-kelok bagaikan petir saling sambar di pertengahan jarak. Dari tangan Durmala Sanca keluar sinar hijau, dari tangan Pendekar Mabuk keluar sinar merahnya. Dua sinar yang berkelok-kelok itu bagaikan sepasang naga yang beradu saling lilit di pertengahan jarak mereka. Loncatan bunga api dan ledakan kecil terjadi beberapa kali.

Agaknya keduanya sama kuat. Durmala Sanca gemetar sekujur tubuhnya, dan keadaan berdirinya semakin merendah. Sedangkan Pendekar Mabuk masih tampak tegak dan tegar walau tangannya itu mulai mengucurkan keringat dan gemetar. Sinar merahnya masih berlompatan dari telapak tangannya, menghantam sinar hijau dari telapak tangan lawan.

Nyai Pungkur Maut merasa heran melihat penampilan anak muda yang menggenggam tali bumbung tuak itu. Ia merasa belum pernah mengenal anak muda yang berwajah tampan itu. Tetapi ia sudah merasakan kehebatan ilmunya, terutama ilmu Tuak Sakti-nya itu yang dapat membuat tubuh Nyai Pungkur Maut menjadi segar. Padahal menurut perkiraannya, ia akan mati karena terkena pukulan maut dari Durmala Sanca.

Melihat keadaan Siluman Tujuh Nyawa terdesak dan sedikit kewalahan menahan serangan tenaga dalam Pendekar Mabuk, Nyai Pungkur Maut menggunakan kesempatan untuk menyerang Siluman Tujuh Nyawa, ia segera melompat dengan tongkatnya ditebaskan ke leher Siluman Tujuh Nyawa dalam gerakan cepat. "Heeeaaah...!"

Wuttt...! Trakk! Duarrr...!

Tongkat itu ditangkis dengan ujung tongkatnya Siluman Tujuh Nyawa, sementara tangannya masih menahan pukulan tenaga dalam Suto. Tongkat Nyai Pungkur Maut terpental lepas dari tangannya, dan tiba-tiba tubuhnya tersodok bagian bawah dari tongkat El Maut itu. Duhggg...!

"Uuhg....!" Nyai Nyai Pungkur Maut tersentak dan terpekik, tubuhnya kembali terlempar dalam jarak antara tiga tombak.

Pendekar Mabuk segera kibaskan bumbung tuaknya ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Bumbung tuak yang berkelebat itu ditangkis dengan tongkat El Maut.

Blarrr...! Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan dua benda tersebut dan mereka berdua sama-sama terpental. Sinar dari telapak tangan padam. Pendekar Mabuk tersentak mundur tiga langkah, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terpental ke belakang kira-kira empat tombak jauhnya, ia hampir saja jatuh terkapar. Untung masih bisa menggunakan tongkatnya sebagai alat penahan tubuhnya agar tak sampai jatuh.

"Nyai," kata Suto, "Jangan ikut menyerang dulu! Biar kuhabisi nyawa si keparat itu!"

"Baiklah! Aku pun punya urusan sendiri yang harus kukerjakan sebelum orang lain mengerjakannya! Kuserahkan dia, Anak Muda. Bunuh dia dan jangan biarkan lolos darimu!"

Wusss...! Rupanya Nyai Pungkur Maut benar-benar punya urusan penting tersendiri, sehingga ia rela menyerahkan lawannya kepada Suto. Melihat kecepatan geraknya yang tampak terburu-buru itu, Suto dapat menduga bahwa Nyai Pungkur Maut merasa takut ketinggalan waktu. Dan jika bukan sesuatu yang teramat penting, tidak mungkin ia lepaskan musuhnya yang telah membunuh suami dan anaknya itu.

Kini, di situ tinggal Suto Sinting berhadapan dengan Durmala Sanca. Dua tokoh sama kuat dan sama berilmu tinggi saling mengadu kesaktian. Siluman Tujuh Nyawa bergerak sangat cepat bagai anak panah dilepaskan, ia menebas kepala Pendekar Mabuk dengan sabit panjangnya. Tapi, Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus gerak siluman yang mampu membuatnya seperti menghilang. Gerakan cepatnya yang melebihi hembusan badai mengamuk itu membuat Siluman Tujuh Nyawa selalu meleset menyabetkan senjatanya.

"Sudah kubilang, kau tak akan bisa mengalahkan aku, Pendekar Mabuk! Kau bukan lawanku! Mestinya kau melawan anak buahku, Suto!"

"Anak buahmu sudah kubabat habis semua! Tinggal kamu yang belum kulenyapkan!" kata Suto masih dengan penuh keberanian.

Dalam jarak empat tombak itu, Siluman Tujuh Nyawa segera memutar-mutar tongkatnya di atas kepala. Wukkk... wuukkk wukkk...! Lalu lompatan sinar biru bagaikan petir itu menyambar tubuh Pendekar Mabuk. Clappp...!

Blarrr...!

Pendekar Mabuk bersalto ke atas dua kali. Wuttt...! Dengan begitu sinar biru petir itu mengenai tempat kosong. Dan kini Pendekar Mabuk pun ganti memutar-mutarkan bumbung tuaknya di atas kepala. Wungngng... wungng... wungngng...! Dua sinar ungu melesat dari putaran bumbung tuak tersebut.

Clap... clapp...! Blarr...! Blarrr!

Satu sinar ungu bisa dihindari Siluman Tujuh Nyawa, tapi yang satu hanya sempat ditangkis dengan kilatan sinar putih dari ujung tongkatnya. Akibat benturan sinar putih itu, tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpental terbang, bagaikan daun kering dihempaskan badai. Cukup jauh ia terpental, sehingga Suto Sinting segera memburunya dengan berlari cepat. Ilmu gerak siluman-nya digunakan. Sehingga sebelum tubuh Siluman Tujuh Nyawa mendarat, ia sudah berada di belakang orang berkerudung hitam itu.

Brukk! Siluman Tujuh Nyawa jatuh terduduk dan cepat berdiri. Tapi ternyata Suto sudah ada di belakangnya dan cepat sodokkan bumbung tuaknya ke punggung dengan kuat.

Baahggg!

"Eeehgg...!" Sodokan bumbung bertenaga dalam cukup hebat membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa terhempas ke depan dengan darah menyembur dari mulutnya. Keadaan tubuh yang terhempas itu hampir sama cepatnya dengan yang tadi, sehingga Pendekar Mabuk kembali gunakan gerak silumannya dengan melesat cepat melebihi gerakan anak panah. Zlapp!

Tahu-tahu Pendekar Mabuk sudah ada di depan Siluman Tujuh Nyawa yang jatuh berlutut. Kaki Pendekar Mabuk bertenaga dalam tinggi itu dihempaskan ke depan menendang wajah lawan. Wuttt...!

Blakkk...! Terdongak kepala Siluman Tujuh Nyawa, terlempar kembali tubuh itu. Darah kembali tersembur dari mulut Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk mengejarnya. Tapi tiba-tiba tubuh lawannya itu menghilang dengan menggerakkan tangannya bagai membanting sesuatu di tanah dan letupan kecil pun terjadi saat itu juga.

Blupp...! Asap tebal membungkusnya. Ketika asap itu hilang, tubuh Siluman Tujuh Nyawa itu telah lenyap dari pandangan mata Suto Sinting.

"Jahanam! Jangan lari kau! Hadapi aku!" teriak Pendekar Mabuk dengan mata memandang ke sana-kemari. Dan tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada seraut wajah kurus, tulang-tulangnya bertonjolan, ia seorang lelaki berpakaian hitam, mengenakah ikat kepala merah dengan rambutnya yang putih rata. Kumisnya juga berwarna-putih, serupa dengan jenggotnya yang panjang, ia membawa tongkat pula sebagai pemandu, langkahnya yang sudah terbungkuk-bungkuk dan gemetaran jika berjalan. Usianya sekitar hampir seratus tahun. Matanya sipit, seakan sudah tak mampu lagi untuk dibuka kelopaknya. Kakek tua yang kulitnya sudah keriting dan tinggal tulang dibungkus kulit, itu berjalan mau melintasi Pendekar Mabuk.

Tentu saja mata Suto menjadi memandang penuh keheranan. "Orang ini agaknya orang sakti!" katanya dalam hati, sebab memang tahu-tahu dia muncul di situ dan memandangi Suto dalam langkahnya yang terhuyung-huyung itu. Bahkan ketika ia sudah berada dalam jarak dekat, kakek tua itu segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya yang gemetar,

"Mau cari burung ya, Nak?"

"Burung?!"

"Atau... mau cari madu hutan?"

"Tidak! Saya tidak cari burung atau madu hutan, Kek!"

"Kok bawa-bawa bumbung begitu?"

"Ini tempat tuak, Kek!"

"Ooo... kamu jualan tuak, ya?"

Pendekar Mabuk tersenyum setelah menghembuskan napas panjang, ia terpaksa melayani orang tua renta itu, karena merasa iba melihat keadaan serenta itu berjalan sendirian dengan susah payah. "Saya bukan jualan tuak, Kek. Saya memang senang minum tuak! Jadi ke mana-mana saya membawa bumbung tempat tuak ini!"

"Ooo...!" kakek itu manggut-manggut. "Maaf saja, ya? Maklum Kakek sudah tua, sudah tidak bisa membedakan mana penjual tuak, dan mana peminumnya! He he he...!"

Suto Sinting pun ikut tertawa walau tidak terlalu keras. Kemudian, Suto Sinting bertanya kepada kakek itu, "Kakek mau ke mana? Sudah jalannya susah kok bepergian?"

"Aku mau cari kekasih!" jawabnya polos, seperti tidak merasa ganjil terhadap perbandingan usianya.

Itu yang membuat Pendekar Mabuk akhirnya terkikik geli sendiri. "Sudah tua kok mau cari kekasih, Kek?"

"Habis semasa mudanya aku sibuk tarung ke sana-sini!"

"O, kakek bekas pendekar?"

"Ya. Dulu, sebelum usiaku dua ratus tahun lebih seperti sekarang ini!"

"Hah...?! Jadi usia kakek sudah dua ratus tahun lebih?"

"Ya. Tapi semasa mudaku, aku menjadi pendekar yang gagah seperti kamu, tapi lebih sakti dari kamu!"

"Sekarang apa masih sakti, Kek?" pancing Suto yang tertarik dengan percakapan itu.

"O, masih! Masih sakti! Benda apapun yang kupegang bisa dipakai untuk membunuh lawan! Seperti bumbung tuakmu itu, kalau aku yang memegangnya bisa menjadi sebuah pedang pusaka yang amat hebat!"

"Begitukah?"

"Ya! Kalau tidak percaya, coba kupinjam sebentar bumbung tuakmu itu! Kau akan melihat sendiri hasilnya!"

Lalu, Pendekar mabuk menyerahkan bumbung tuaknya kepada sang kakek. Setelah bumbung tuak diterima oleh sang kakek, tiba-tiba kakek itu bergerak cepat. Berlari meninggalkan Pendekar Mabuk dengan langkah tak selemah tadi.

Suto terkejut dan segera mengejarnya. "Hei, Kek...! Mau dibawa ke mana bumbung tuakku itu!"

"Tanpa bumbung ini kau tidak mempunyai kekuatan, Suto!"

"Hah...?! Suaranya seperti suara Siluman Tujuh Nyawa? Celaka! Berarti dia jelmaan Siluman Tujuh Nyawa!" Zlappp...! Pendekar Mabuk kembali gunakan gerak silumannya yang begitu cepatnya hingga tak bisa terlihat oleh mata orang biasa. Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan langkah sang kakek, dan pada saat itu sang kakek sudah berubah menjadi Siluman Tujuh Nyawa.

"Hiaat...!" Pendekar Mabuk hentakkan kedua tangannya dan melesatlah dua sinar merah dan biru ke dada Siluman Tujuh Nyawa. Blarrr...! Meledaklah sinar yang menghantam dada itu. Bumbung tuak terpental jatuh di tanah. Suto segera melompat dan meraihnya.

Blabb...! Kembali asap putih mengepul membungkus tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk tidak bisa memandang dengan jelas keadaan di dalam kepulan asap tebal itu. Tapi secara untung-untungan saja ia lepaskan kembali pukulan badai yang mampu menghembuskan angin kencang dari telapak tangannya.

Wuttt...! Wosssss...!

Kabut berupa asap tebal itu lenyap seketika, Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak ada di situ. Hanya saja, mata Suto sempat melihat sosok bayangan hitam lari mendaki bukit di seberang jauh sana.

"Setan kurap! Dia kabur ke bukit itu! Akan kukejar dia!" Zlappp...! Pendekar Mabuk pun mengejar lawannya kembali dengan geram kemarahan atas dirinya yang hampir saja tertipu dan kehilangan bumbung tuaknya.

* * *

EMPAT
LETAK Gua Sekat Sembilan ada di balik kerimbunan tanaman rambat yang melekat pada dinding tebing tak seberapa tinggi. Di depan gua itu mempunyai tanah datar kira-kira dua puluh langkah lebarnya dan tiga puluh langkah panjang ke depannya, lewat dari itu adalah jurang yang amat dalam. Mirip sebuah jurang tanpa dasar. Di tanah datar bertanaman rumput pendek itu terdapat banyak pohon menjulang tinggi, menyerupai tanaman pohon pinus yang mempunyai cabang dan dahan besar-besar. Jarak dahan satu dengan yang lainnya jauh-jauh. Ada juga pohon sejenis mahoni yang tumbuh di situ dengan daunnya yang berwarna kuning rata itu.

Pohon jati merah adalah sebagai ciri atau tanda adanya Gua Sekat Sembilan. Hanya ada satu pohon jati berdaun merah menyala itu. Konon, guru dari Ki Candak Sedo yang menanam pohon tersebut ketika pintu gua belum tertutup, ketika baru satu bintang yang jatuh ke bumi, yaitu bintang yang berwarna merah.

Ki Candak Sedo diam sebentar di bawah pohon jati berdaun merah terang itu. Agaknya ia sempat mengenang tanaman itu kala ia datang bersama gurunya ke situ, di mana tanaman pohon jati merah masih belum setinggi dan sebesar sekarang. Ia sempat berkata kepada muridnya, "Di sini, banyak tanaman aneh yang langka tidak terdapat di hutan lainnya. Seperti pohon beringin biru yang ada di sebelah sana!"

Karang Wesi memandang ke arah yang ditunjuk gurunya. Ternyata memang benar, di sebelah sana terdapat pohon beringin biru dari daun sampai kulit kayunya. Bahkan Karang Wesi juga melihat pohon kenari kuning seluruh daun dan batangnya. Tak heran jika hutan di situ disimpulkan sebagai hutan hias yang punya keindahan tersendiri. "Sebenarnya pemandangan di sini menyenangkan, Guru!"

"Ya. Tapi lebih menyenangkan kalau kita berada di dalam Gua Sekat Sembilan itu." Sambil berkata begitu, Ki Candak Sedo menunjuk ke satu arah yang diikuti pandangan mata muridnya.

Karang Wesi melihat sebuah mulut gua yang tak seberapa tinggi dan tak seberapa lebar. Tingginya hanya dua tombak lebih sedikit, lebarnya tak sampai dua tombak. Sebuah lempengan batu seperti cadas putih melekat di samping mulut gua dalam keadaan berlumut. Lempengan batu itulah yang menurut Ki Candak Sedo adalah pintu penutup gua.

"Batu ini tadi malam bergeser membuka sendiri," tambah Ki Candak Sedo. "Tak seorang pun bisa melihat pergeseran batu ini saat membuka pintu gua. Batu ini akan bergeser menutup sendiri apabila telah satu purnama dalam keadaan membuka begini."

Karang Wesi manggut-manggut. Ia segera pandangi keadaan di dalam gua yang gelap itu. Sepertinya sebuah lorong yang sempit dan tak berpenerangan sedikit pun itu mengundang gairah siapa pun untuk masuk ke dalamnya. Sekalipun terbayang kengerian di dalam sana karena gelapnya, tapi hati Karang Wesi sendiri berhasrat untuk masuk, sekadar ingin tahu keadaan di dalam gua.

"Karang Wesi, sepintas memang kelihatan keadaan di dalam gua ini menyeramkan dan gelap, tapi menurut guruku dulu, gua ini mempunyai lorong yang membelok ke kiri dan membawa kita ke arah sebuah ruangan. Ruangan itu sangat terang karena banyaknya tanaman lumut yang menyerap sinar matahari dan menampungnya dalam tiap dinding batu gua selama berpuluh-puluh tahun. Di sanalah terdapat sebuah tempat pertapaan yang damai dan teduh. Di sana pula terdapat guci Darah Malaikat. Tapi tidak setiap orang bisa menggunakan kesempatan yang sembilan puluh tahun sekali adanya ini."

"Mengapa tidak setiap orang bisa mendapatkan Minyak Darah Malaikat, Guru?"

"Karena di sana banyak jebakan yang mematikan, baik berbentuk senjata rahasia maupun semburan gas beracun. Gua ini mempunyai sembilan ruangan yang berbeda-beda jebakan mautnya. Sebab itulah, dikatakan Gua Sekat Sembilan, karena dinding gua dari masing-masing sekat pembatas bisa mengeluarkan jebakan maut yang sulit diatasi. Salah memasuki lorong ruangan satu kali, orang tak akan bisa keluar lagi. Semua lorong ruangan mempunyai cahaya yang berbeda, yaitu sembilan warna cahaya dari sembilan bintang yang telah jatuh kebumi."

"Lalu di ruangan yang bercahaya warna apa yang menyimpan Minyak Darah Malaikat, Guru?"

Ki Candak Sedo cepat memandang ke belakang, seperti merasa curiga terhadap hembusan angin yang baru saja dirasakan aneh itu. Maka ia pun segera berkata kepada muridnya. "Karang Wesi, aku akan segera masuk untuk mengambil Minyak Darah Malaikat itu sebelum orang lain mendahului kita!"

"Baik. Silakan, Guru! Saya akan menjaga di luar gua!" jawab Karang Wesi, walau hatinya sedikit kecewa karena tidak mendapat jawaban dari gurunya atas pertanyaan yang diajukan tadi.

Angin memang berhembus agak kencang. Dedaunan kering berjatuhan bagai menjauh dari depan gua tersebut. Karang Wesi memandang sekelilingnya dengan mata sedikit menyipit menahan hembusan angin. Hanya deru angin itu yang ada di sekeliling gua. Hanya deru angin itu yang meresap masuk di telinga Karang Wesi. Pemuda bersenjata kapak tiga mata itu kini duduk di atas sebuah batu yang melekat di bawah pohon samping gua. Pandang matanya yang mengitari keadaan sekeliling itu makin lama makin kosong. Akhirnya mata itu memancang ke arah mulut gua dalam terawang khayal batinnya. Terucap pula kecamuk di dalam hati Karang Wesi yang ternyata punya bayangan kasih terpendam sekian lama.

"Kalau saja aku bisa mandi Minyak Darah Malaikat, alangkah hebatnya aku bisa kebal senjata apa pun, tak bisa ditembus oleh pukulan tenaga dalam dari jenis ilmu apa pun! Dan itu berarti aku bisa kalahkan Siluman Tujuh Nyawa! Orang terkutuk itu memang sudah patut mati di tanganku. Sayang sekali Guru tak memberikan Minyak Darah Malaikat itu kepadaku, sehingga ilmuku masih belum seimbang dan tak bisa menandingi ilmunya Siluman Tujuh Nyawa! Ah...! Andai aku bisa membunuh Siluman Tujuh Nyawa, maka Gusti Mahkota Sejati yang bernama Dyah Sariningrum itu pasti akan mau kupersunting menjadi istriku! Oh, betapa cantik dan mempesonanya perempuan itu! Sungguh tak pernah akan bosan aku memandanginya sepanjang hari sambil memangkunya dengan mesra...! Hmmm...! Rasa-rasanya tak ada ruginya aku mengabdikan hidup dan matiku untuk perempuan secantik Dyah Sariningrum itu!"

Seraut wajah wanita cantik yang anggun dan bijaksana serta berkharisma tinggi itu menyelinap di relung hati Karang Wesi. Perempuan itu adalah seorang ratu, penguasa Pulau Serindu, di mana di pulau itu terdapat negeri yang bernama Puri Gerbang Surgawi. Dyah Sariningrum adalah putri dari Gusti Ratu Kartika Wangi, yang menjadi penguasa di negeri alam gaib, yang bernama Puri Gerbang Surgawi pula.

Karang Wesi mendapat kesempatan bertatap muka dengan perempuan anggun dan sangat menawan hati itu, ketika ia ikut Ki Candak Sedo berkunjung ke Pulau Serindu. Kunjungan Ki Candak Sedo ke negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu bukan sekadar bertandang atau tersesat dalam perjalanan, tetapi karena dimintai bantuan oleh kakak dari Dyah Sariningrum, yaitu Betari Ayu, yang sekarang menjadi bertapa di Gunung Kundalini.

Pada waktu itu, Dyah Sariningrum menderita sakit akibat pukulan 'Candra Badar' dari Siluman Tujuh Nyawa. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah dan Prahara Pulau Mayat). Ki Candak Sedo datang ke sana dengan maksud mengobati pukulan 'Candra Badar'. Tetapi ia tak berhasil. Bahkan sampai saat ini, Ki Candak Sedo maupun Karang Wesi belum mengetahui bahwa seseorang telah sembuhkan penyakit ratu ayu itu. Orang yang berhasil menyembuhkan dan melenyapkan pukulan 'Candra Badar' adalah murid si Gila Tuak dari Jurang Lindu, yaitu Suto Sinting, si Pendekar Mabuk.

Bahkan Ki Candak Sedo maupun Karang Wesi agaknya juga belum tahu, bahwa Dyah Sariningrum adalah kekasih dan calon istrinya Suto. Hanya saja pernikahan mereka belum sempat terjadi karena Pendekar Mabuk masih harus memburu musuh besarnya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, ia harus memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai mas kawin untuk melamar Dyah Sariningrum. Padahal tanpa penggalan kepala tokoh sesat yang amat jahat itu, sebenarnya Dyah Sariningrum tidak keberatan melangsungkan perkawinannya dengan Suto Sinting.

Namun penggalan kepala siluman itu bagaikan sebuah ikrar dan janji Suto untuk selamatkan kehidupan di permukaan bumi sebelum ia menginjak ke masa perkawinannya. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa masih berkeliaran di mana-mana, maka permukaan bumi ini akan menjadi bara api neraka, kehidupan menjadi saling baku hantam tak ada perdamaian. Dan kehidupan seperti itu jelas akan mengancam kelangsungan hidup keturunan Pendekar Mabuk dan Dyah Sariningrum nantinya.

Tanpa mau tahu siapa kekasih Dyah Sariningrum, pemuda tampan berkumis tipis ini makin jauh melantur dalam khayalannya tentang perasaan cinta dan kagumnya terhadap perempuan itu. Bahkan dalam hatinya ia membatin kata, "Harus kutundukkan Siluman Tujuh Nyawa itu agar aku bisa memiliki Dyah Sariningrum! Siapa pun akan kubunuh jika ingin merebut Dyah Sariningrum dari hatiku! Dan untuk menundukkan mereka, sudah tentu tidak cukup dengan ilmu yang kumiliki sekarang ini! Siluman Tujuh Nyawa dapat mengalahkan aku dengan kehebatan gerak tongkat El Maut itu. Jadi, kurasa ada baiknya jika aku merebut Minyak Darah Malaikat dari Eyang Guru. Kalau aku hanya memintanya saja, biar sampai merengek-rengek pasti tak akan diberikannya. Jadi aku harus merebutnya dari tangan Guru dengan cara apa pun!"

Mendadak Karang Wesi sentakkan kaki ke tanah dan melesat terbang, karena sekilas cahaya putih mengkilap terlihat oleh ekor matanya sedang menyerang ke arahnya. Wuttt...! Crakkk...! Sebuah senjata kecil berbentuk tusuk konde menancap di batu tempat Karang Wesi duduk. Batu itu kepulkan asap putih kebiruan dan menjadi serbuk sedikit demi sedikit. Serbuk itu dihembus angin sehingga makin lama batu itu menjadi habis bagai terkikis waktu.

Kilatan tusuk konde putih mengkilap dari bahan baja itu datang dari arah kanan Karang Wesi. Maka secepatnya Karang Wesi pandangi keadaan sekeliling hutan di sebelah kanannya. Ternyata tak jauh dari pohon beringin biru itu telah berdiri seorang nenek bongkok berjubah biru. Rambutnya abu-abu, usianya sepertinya lebih tua dari Ki Candak Sedo. Selain bongkok juga berbadan kurus, mata cekung dan giginya tinggal tiga. Ia bersenjata tongkat pendek lengkung dari rotan kuning.

Karang Wesi segera dapat mengenali perempuan kempot itu, yang dulu pernah tiga kali bertandang ke persinggahan Ki Candak Sedo, untuk membicarakan satu masalah yang tak diketahui Karang Wesi. Nenek itulah yang bernama Nyai Pungkur Maut. Kali ini bukan Karang Wesi yang menghampiri Nyai Pungkur Maut, tapi nenek itu yang mendekati Karang Wesi, sebab Karang Wesi sekarang sudah berdiri di depan pintu masuk gua. Nyai Pungkur Maut segera ucapkan kata dengan suara tuanya yang kecil dan serak itu,

"Apa yang kau lakukan di sini, Karang Wesi?"

"Apa pun yang kulakukan itu bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut!" jawab Karang Wesi sengaja tak ramah, karena ia merasa nenek yang baru datang itu bermaksud tidak baik. Serangannya yang dapat dihindari Karang Wesi itu bukan sapaan yang ramah. Jelas nenek itu punya maksud ingin membunuh Karang Wesi. Sebab itulah Karang Wesi tidak mau bersikap ramah kepada Nyai Pungkur Maut.

"Heh heh heh heh...! Aku tahu, pasti Ki Candak Sedo sudah masuk ke dalam gua itu, Karang Wesi!"

"Itu pun bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut! Tak sepatutnya kau datang dan menyerangku dengan cara begitu!" kata pemuda tampan berkumis tipis itu.

"Jika kau ingin selamat, minggir dari tempatmu! Aku akan masuk ke dalam gua untuk mengambil Minyak Darah Malaikat!"

Berdebar hati Karang Wesi ketika Nyai Pungkur Maut menyebutkan minyak itu. Karang Wesi segera pandangi nenek bungkuk itu dengan mata tajam. Tiap gerakannya tak lepas dari pandangan mata Karang Wesi. "Orang ini sangat membahayakan," pikir Karang Wesi. "Dia termasuk tokoh tua yang berilmu tinggi. Guru pernah menceritakan tentang Nyai Pungkur Maut padaku, yang konon jika bertarung selalu membelakangi lawannya! Dan jika ia sudah membelakangi lawannya, itu pertanda jurus-jurus mautnya siap dilepaskan! Aku harus hati-hati dalam berhadapan dengannya!"

Suara Nyai Pungkur Maut memekik keras, "Bocah budek! Kubilang minggirlah dari tempatmu, aku akan masuk!"

"Tak seorang pun kuizinkan masuk gua ini, Nyai!"

"Apa ini gua milik nenek moyangmu?! Sejak kapan nenek moyangmu membeli gua ini, sehingga kau berani-beraninya melarangku masuk ke dalamnya, hah?! Cepat menyingkir dari tempatmu!''

"Kau yang harus tinggalkan tempat ini!"

"Bocah Goblok! Jangan bikin kesabaranku habis, Nak. Nanti kau bisa kehilangan nyawamu!" geram Nyai Pungkur Maut.

"Kurasa akan terjadi kebalikannya, Nyai! Nyawamu sendiri yang akan hilang jika tidak segera pergi dari hadapanku, Nyai!"

"Bocah Bangsat! Hiaaat...!" Serta-merta Nyai Nyai Pungkur Maut sentakkan tongkat rotannya lurus ke depan. Dari ujung tongkat itu melesat jarum hitam lebih dari lima puluh jumlahnya.

Karang Wesi segera sentakkan tangannya, dan keluarlah asap merah bergulung-gulung. Asap merah itu membungkus puluhan jarum beracun. Lalu terdengar ledakan teredam, blapp...! Jarum-jarum itu pecah, asap merah seperti yang dimiliki Ki Candak Sedo itu mulai menipis dan hilang dihembus angin.

"Kau benar-benar menantangku jika sudah berani menggunakan jurus 'Kabut Berdarah' itu, Karang Wesi! Heaaah...!"

Nyai Pungkur Maut tak kelihatan sentakkan kakinya ke tanah, tapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang cepat ke arah Karang Wesi. Tongkatnya dikibaskan ke leher Karang Wesi. Wuttt...! Karang Wesi merundukkan kepala, dan tongkat itu mengenai sebongkah batu.

Prakk...! Batu pecah menjadi puluhan bagian kecil-kecil.

Karang Wesi cepat mencabut kapaknya, lalu dengan satu pekikan keras ia pun menyerang Nyai Pungkur Maut. "Hiaaat...!"

Wuttt wuttt wuttt...! Tiga kali Karang Wesi mengibaskan kapaknya ke arah dada dan pundak Nyai Pungkur Maut. Tapi kibasan itu selalu ditangkis dengan ringan menggunakan tongkat rotan tersebut,

Tak tak tak...!

"Beggk...!" Tangan kiri Nyai Pungkur Maut menghentak ke dada Karang Wesi. Terpental seketika tubuh Karang Wesi hingga lima langkah dari tempatnya berdiri tadi. Ia berguling-guling sebentar, lalu segera berdiri dengan napas ditarik dalam-dalam. Suatu penyembuhan terhadap luka dalam telah dilakukan dengan cepat oleh Karang Wesi, caranya dengan hanya menarik napas dalam-dalam, menyalurkan hawa murninya ke bagian yang terasa sakit. Dalam sekejap Karang Wesi siap menghadapi Nyai Pungkur Maut.

Tapi nenek bungkuk itu tiba-tiba membalikkan diri, memunggungi Karang Wesi. Seketika itu dari punggungnya yang bungkuk itu keluar sinar biru di luar dugaan Karang Wesi. Sinar biru itu sebesar genggaman tangan melesat cepat ke arah Karang Wesi. Jelas ini jurus yang berbahaya dan tak mungkin bisa dihadang dengan jurus tenaga dalam lainnya. Maka, Karang Wesi pun segera lompatkan diri menghindari sinar biru itu.

Zlapp zlapp zlapp zlapp zlappp...!

Sinar biru sebesar genggaman tangan itu menerjang lebih dari sepuluh pohon di belakang Karang Wesi. Pohon itu lenyap tak berbekas sedikit pun bagai ditelan bumi. Kurang dari dua kejap lebih dari sepuluh pohon yang lenyap dihantam sinar biru besar dari punggung Nyai Pungkur Maut. Barangkali karena jurus dahsyat yang keluar dari punggungnya itulah maka nenek kempot itu bergelar Nyai Pungkur Maut. Memang maut yang terjadi jika ia telah memunggungi lawan dan melepaskan sinar birunya itu.

Kepala Nyai Pungkur Maut berpaling sebentar ke belakang. Agaknya ia ingin melepaskan kembali sinar birunya. Karang Wesi segera berguling ke tanah menuju ke arahnya. Lalu, dengan cepat kapaknya dikibaskan ke betis Nyai Pungkur Maut.

Wutt...! Sattt...!

Dengan lincah Nyai Pungkur Maut mengangkat kakinya itu dan menendang wajah Karang Wesi dengan cepat. Wusss...! Tabb...! Karang Wesi berhasil menepak telapak kaki lawannya yang hampir mengenai wajah.

"Uhg...!" Nyai Pungkur Maut tersentak dengan suara tertahan. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekejap lalu hitam kelam. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, juga pakaiannya yang mengeras hitam, dan rambutnya pun keras berwarna hitam bagaikan kawat.

Karang Wesi menendangnya dengan pelan. Wuttt...!

Brusss...! Tubuh Nyai Pungkur Maut ternyata sudah menjadi arang karena Karang Wesi menggunakan pukulan 'Angin Lahar' yang cukup dahsyat itu. Hanya dengan menepak telapak kaki, maka tubuh lawannya bisa menjadi hangus dan menjadi arang, seperti pohon yang dipakai berlatih pada malam kemarinnya itu.

Karang Wesi segera menendang tumpukan arang itu hingga melayang jatuh ke jurang. Tetapi sisa rambut dan pakaiannya masih tertinggal sebagian di tempat pertarungan. Karang Wesi lalu menginjaknya menjadikan arang itu hancur lebur sambil ia menggeram gemas, "Habislah riwayat kesaktianmu, Nenek kempot! Hih...!"

Tapi tiba-tiba punggung Karang Wesi bagai dilempar dengan sebongkah batu besar dari belakang. Bukk! Wrutt...! Karang Wesi hampir tersungkur dengan menyakitkan jika tidak segera menggulingkan diri cepat-cepat.

"Uh, punggungku seperti jebol rasanya. Siapa yang menyerangku? Mungkinkah arwahnya Nyai Pungkur Maut yang kubuang ke jurang?"

Karang Wesi berdiri tegak kembali, ia segera mencabut kapaknya. Matanya melirik sekeliling. Ternyata sepi tak ada orang. Buru-buru ia melompatkan badan tinggi-tinggi dan bersalto satu kali. Jlegg! Ia berada di depan pintu mulut gua. Siap melepaskan serangan kepada siapa saja yang muncul di depannya. Serta-merta Karang Wesi sentakkan kapaknya ke samping kiri.

Wuttt...! Tring...!

Sebuah sinar merah sebesar uang logam melesat ke arahnya dan tertangkis oleh mata kapak itu, lalu sinar tersebut memantul balik ke arahnya semula.

Blarr...! Brusss...!

Dahan sebuah pohon yang jadi sasarannya langsung pecah. Dari pohon itu pula sesosok tubuh berkain merah melompat turun dengan sebatang kayu penumbuk padi di tangannya.

Jlegg...! Alu Amah telah berdiri di depan Karang Wesi. "Kuakui, hebat pula serangan tangkismu itu, Nak!"

"Siapa kau?!" Karang Wesi memandang dingin.

"Aku si Alu Amah. Gurumu pasti kenal aku! Kau murid Ki Candak Sedo, bukan?!"

"Apa perlumu datang kemari? Dan apa maksudmu menyerangku?!"

"Kau penjaga gua ini! Aku yakin, Ki Candak Sedo ada di dalam sana! Aku harus masuk ke dalam juga!"

"Boleh. Asal kau bisa bikin aku bersujud di hadapanmu!"

"Aih, kurang ajar betul kau. Anak Muda! Tak kau dengarkah kesaktian si Alu Amah yang begitu ganas itu?!"

"Tak ada orang sakti kecuali Karang Wesi!" Ia menepuk dadanya.

Panas hati si Alu Amah dikatakan begitu. Merasa disepelekan oleh anak semuda itu, Alu Amah pun segera menggeram dengan matanya yang cekung memandang penuh kemarahan. "Rupanya kau bocah yang patut diberi pelajaran, supaya tidak mudah tepuk dada di depan orang tua! Hiaaah...!"

Alu Amah melesat terbang dengan senjata alunya meluncur cepat bagai ingin menggempur wajah Karang Wesi. Dengan gerakan berputar cepat, Karang Wesi membabatkan kapaknya ke atas, tepat membelah kayu penumbuk padi itu.

Crakkk...! Kapak tiga mata menyala merah, dalam gerakan cepat telah membelah kayu itu sampai ke bagian yang dipegang tangan Alu Amah.

"Auh...!" Alu Amah terpekik karena pergelangan tangannya terpotong oleh kapak Karang Wesi.

Dengan cepat Karang Wesi sentakkan telapak tangan kirinya ke telinga Alu Amah.

Dess...!

Prakk...! Terdengar tulang kepala patah bagai tempurung buah kelapa yang dikeprak memakai senjata besi. Darah pun mengalir dari telinga dan hidung Alu Amah. Dalam keadaan limbung begitu, kapak Karang Wesi ditebaskan dari bawah ke atas dalam satu ayunan tangan yang kuat.

"Hiattt..!"

Crasss...! Kapak menebas leher dan leher itu pun putus. Kepala Alu Amah menggelinding di tanah. Pluk...! Dan raganya pun menyusul rubuh dalam kejap berikutnya. Kembali tubuh lawannya yang sudah tak berkepala itu ditendang dalam satu sentakan kuat dan menggelinding jatuh ke jurang depan gua. Sementara itu kepalanya pun diangkat rambutnya dan dilemparkan begitu saja sambil Karang Wesi menggeram,

"Jangan coba-coba melawan Karang Wesi jika ilmumu tak melebihi ilmu guruku!"

Wusss...! Kepala Alu Amah dilemparkan ke jurang. Tapi sebelum Karang Wesi membersihkan kapaknya, tiba-tiba kepala Alu Amah kembali menggelinding di depan kaki Karang Wesi.

Pluk...!

"Hahh...?!" Karang Wesi terkesiap dengan mulut terlongong. Segera ia lemparkan pandangan ke arah jurang depan, dan ia makin terkesiap lagi, karena di sana sudah berdiri seorang berjubah abu-abu yang menutup pakaian serba kuningnya itu. Orang itu sedikit agak gemuk, berkumis, brewok dan berjanggut putih. Karang Wesi menggumam, "Setan mana lagi yang muncul ini?!"

Dengan kalem orang brewok putih yang tak lain adalah Ki Cagar Nyawa maju tiga tindak. Kemudian dengan suaranya yang masih cukup lantang untuk orang seusia dia, berserulah Ki Cagar Nyawa dari tempatnya yang berjarak antara tujuh langkah dari Karang Wesi. "Kau telah memenggal musuh bebuyutanku, Anak Muda!"

"Apakah itu salahku?"

"Memang tidak. Dan aku berterima kasih padamu. Tapi aku sangsi apakah kau juga akan memenggalku jika aku ingin masuk ke dalam gua itu, Anak Muda?"

"Pandangilah kepala musuhmu ini, Pak Tua. Nasibmu akan seperti dia jika kau nekat mau masuk ke dalam gua ini!"

"O, ya?! Kau penjaga gua yang sakti tentunya! Tapi belum tentu kau bisa menahan pukulan tongkatku yang bernama 'Belut Penyebar Maut'! Hiaaah...!"

Wuttt...! Sinar merah melesat dari tongkat lengkung itu. Sinar merah ini yang dilepaskan untuk menyerang si Alu Amah kemarin malam, tapi akhirnya menghantam pohon, dan pohon itu menjadi terpotong-potong menjadi tiga puluh bagian lebih. Kali ini sinar merah dari jurus 'Belut Penyebar Maut' itu dilepaskan untuk menghantam tubuh Karang Wesi. Tetapi dengan cepat Karang Wesi menghadangkah kapak tiga mata itu ke depan, dan sinar merah tersebut menghantam kapak tiga mata, Trangngng...!

Zrrrubb...! Sinar merah padam seketika. Hilang entah ke mana. Sedangkan kapak tiga mata masih utuh dengan kilauan cahaya logamnya yang terkena pantulan sinar matahari.

"Edan bocah ini!" Ki Cagar Nyawa terbelalak matanya. "Kapaknya bisa menahan jurus 'Belut Penyebar Maut'-ku! Ini sungguh-sungguh mengagumkan bagiku! Tak pernah ada yang bisa menahan sinar merah itu, selain hanya menghindarinya! Tapi sekarang apa yang ku lihat ini bukanlah mimpi!" ucap Ki Cagar Nyawa dalam hatinya.

Kapak itu terbagi tiga mata, kanan-kiri dan tengah. Yang tengah sama lebarnya dengan mata kampak kanan-kiri. Dan sekarang Karang Wesi menebaskan kapaknya dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di depan dada. Zlappp...! Sinar hijau pijar melesat dari mata kapak yang tengah dan menyerang Ki Cagar Nyawa dengan cepatnya. "Hiaaat...!"

Ki Cagar Nyawa sentakkan kaki dan menghindari sinar hijau itu dengan tubuh melompat ke atas. Tapi ia sedikit terlambat sehingga, crass...! Sinar itu menyerempet bagian betisnya. Ki Cagar Nyawa segera memekik. "Aaahg...!" matanya terpejam kuat dan ia pun rubuh tak bisa berdiri. Betisnya koyak tanpa keluarkan darah merah, melainkan mengeluarkan lendir hitam yang berbau busuk.

"Sebaiknya kau minggat secepatnya dari sini, Pak Tua! Kuberi waktu kau tiga helaan napas, jika tidak kubunuh kau seperti si Alu Amah itu! Mengerti?!"

"Baiklah! Kau unggul sekarang, Anak Muda! Tapi sepergiku nanti, ingatlah... kau tak akan aman! Karena banyak tokoh sakti yang sedang menuju kemari untuk perebutkan Minyak Darah Malaikat di dalam gua itu! Ingatlah, lebih dari ratusan tokoh mungkin akan datang, dan kau tak akan sanggup menghadapi mereka satu persatu!"

Wuttt...! Setelah berkata demikian, Ki Cagar Nyawa berkelebat pergi, tanpa pedulikan diri Karang Wesi yang tertegun dan menggumam,

"Seratus tokoh sakti harus kuhadapi...?!"

* * *

LIMA
SUNGAI yang mengalir melewati relung celah dua tebing tinggi itu, konon berasal dari mata air di lereng Gunung Kundalini. Air itu bening dan menyegarkan. Kesegaran airnya sungguh menggiurkan para pengelana yang dipanggang terik matahari siang itu. Bebatuan yang timbul di sana-sini dalam ukuran besar, merupakan tempat nyaman untuk beristirahat.

Karena di pinggiran sungai bening itu banyak terdapat pohon berdaun rindang yang meliuk ke arah sungai. Bila angin datang menebarkan dedaunan, seakan angin telah mengaturnya agar dedaunan tidak jatuh di air sungai, melainkan di tepiannya. Bahkan lebih sering daun jatuh di dataran yang menyerupai tanggul berhutan itu.

Di atas salah satu batu hitam yang ada di pinggiran sungai, tampaklah seorang pemuda yang sedang mencuci wajahnya dengan air tersebut. Pemuda itu berambut panjang tanpa ikat kepala, wajahnya tampan mengagumkan setiap lawan jenisnya, ia menyandang bumbung tuak di punggung, dengan mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap dan tampak gagah jika berjalan.

Buat kalangan tokoh wanita di rimba persilatan, pemuda itu sudah tak asing lagi bagi mereka, karena daya pikatnya yang luar biasa sering membuat mereka terbuai oleh khayalan sendiri. Pemuda tampan itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak, yaitu Pendekar Mabuk, yang punya nama panggilan Suto Sinting.

Dalam perjalanan pengejarannya terhadap musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto agaknya merasa lelah dan butuh istirahat beberapa waktu. Tepian sungai yang teduh menjadi pilihannya, ia menenggak tuaknya beberapa kali. Lalu sandarkan duduknya ke batu datar. Hatinya pun membatin,

"Siluman Tujuh Nyawa kurasa tak jauh dari tempat ini! Kulihat ia tadi menghilang di ujung sungai sana. Mungkinkah di sekitar sini tempat persembunyiannya?! Ah, tak perlu terlalu memburu, nanti dia akan muncul sendiri atau akan kutemukan tempat persembunyian manusia terkutuk itu! Aku butuh istirahat dulu, menyegarkan diri agar tak terlalu tegang dalam pengejaranku nantinya!"

Tetapi tiba-tiba Suto memiringkan kepalanya, ia seperti mendengar suara orang membentak. Dahinya berkerut untuk menangkap suara itu. Hatinya kembali membatin, "Sepertinya ada suara orang di sekitar sini. Tak jauh dari tempat ini! Hmmm... seperti suara dua orang perempuan bertengkar saling debat dan saling bentak! Di sebelah mana kira-kira? Oh, di sebelah kiriku! Berarti arah menuju ke hulu sungai?! Sebaiknya aku ke sana untuk melihat kejadian itu! Apa yang sedang mereka pertengkarkan?"

Pendekar Mabuk memang sering punya keusilan kecil yang tak merugikan orang lain. Kadang ia sering menguping pertengkaran orang, lalu mengambil hikmahnya bagi hidupnya sendiri. Kadang ia juga menggoda hati perempuan dengan senyumnya, lalu menyadarkan perempuan itu agar tak mudah tergoda oleh ketampanan yang tidak semuanya mendatangkan bahagia di hati mereka. Seperti halnya kali ini, Suto bermaksud mencuri dengar pertengkaran dua perempuan yang sedang dicari sumbernya itu.

Kedua perempuan itu sebenarnya baru saja tiba di tepian sungai, arah ke hulu. Bahkan tak seberapa jauh dari Suto beristirahat. Tapi karena mereka berada di balik gugusan cadas tebing rendah, maka Pendekar Mabuk tak sempat melihat kedatangan mereka di tempat itu. Andai dinding tebing cadas itu tak ada, maka Suto bisa menyaksikan pertengkaran dua gadis itu dari tempat duduk semula.

Dua gadis itu agaknya berselisih dengan tegang. Yang berbaju ungu melepaskan serangan melalui pukulan jarak jauhnya. Tetapi pukulan itu bisa dihindari dengan kelincahan gerak salto gadis berpakaian hijau muda. Pakaian pinjung sebatas dada yang menampakkan kemontokan buah dadanya itu tanpa dilapisi jubah apa pun. Dengan berpakaian pinjung hijau sebatas dada dan celana ketat hijau bersabuk merah, gadis bersanggul tinggi itu tampak lebih ramping dan menantang lekuk-lekuk tubuhnya. Ia menyandang pedang di punggungnya. Usianya sekitar tiga puluh tahun, sedangkan yang berbaju ungu longgar itu berusia dua tahun lebih muda.

Kali ini yang berbaju ungu serukan kata, "Andini! Kalau kau nekat berangkat ke sana, terpaksa aku bertindak lebih kasar lagi padanku! Jangan kau salahkan aku jika aku lebih kasar bertindak padamu, Andini!"

"Apa hakmu melarangku pergi, Gayatri?! Kita sudah dewasa dan punya urusan masing-masing!"

Gayatri, si gadis berbaju ungu itu, memandang dengan wajah cemberut marah kepada Andini, yang menyandang pedang di punggungnya. Gayatri berambut panjang sebatas lewat punggung sedikit dan dilepas meriap begitu saja, sehingga sesekali rambut itu meriap di depan wajahnya, membuat kecantikannya tampak samar-samar. Gayatri mempunyai kecantikan lembut, berbeda dengan Andini yang berkesan cantik-cantik genit. Yang jelas ia tidak kelihatan lembut seperti Gayatri. Tetapi melihat gerak saltonya yang tadi menghindari pukulan lawan dapat dilihat bahwa ia berilmu tinggi.

"Ingat, Gayatri! Sekali lagi kau masih mengejarku, kuhabisi nyawamu di mana saja kita bertemu!"

"Aku tak takut dengan gertakanmu!"

"Kau akan menyesal kalau aku sudah melepaskan pukulan mautku!"

"Tak seberapa hebat pukulanmu itu, Andini! Lakukanlah kalau memang kau mampu melukaiku!"

"Anak tak tahu diuntung kau! Hiaaat...!" Andini melesat terbang ke arah Gayatri.

Dengan satu sentakan Gayatri melambung tinggi dan menyambut pukulan telapak tangan Andini dengan cepat.

Plak plak plak plak...!

Pukulan itu saling beradu, saling tangkis, cepat sekali kelebatan gerak tangan mereka, sehingga ketika keduanya sama-sama mendarat di tanah berpasir sungai itu, mereka sudah sama-sama menyelesaikan pertarungan satu jurus. Keduanya tak ada yang terluka. Keduanya sama-sama pandangi lawan masing-masing dengan mata tak berkedip.

Tetapi tiba-tiba tubuh Andini melesat lompat dan berputar cepat bagaikan pusaran angin beliung. Wuttt... plokk! Rupanya Andini mengirimkan tendangan kipasnya dengan sangat kuat dan tepat mengenai sasaran. Wajah Gayatri bagai tertampar kuat-kuat hingga ia terlempar ke samping dan berguling-guling. Kepalanya menjadi pusing, pandangan matanya gelap, ia berdiri dengan meraba-raba.

Serrt...! Pedang dihunus dari sarungnya, Andini segera lompatkan diri ke arah Gayatri yang buta sejenak itu dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi pada saat pedang ditebas ke depan, tiba-tiba sebuah kilatan sinar hijau melesat cepat dari arah samping dan menghantam mata pedang itu.

Trangng...! Pedang itu pun terpental jatuh ke air sungai.

Andini terkejut bukan kepalang. Lalu, cepat-cepat ia melompat dan mengambil pedangnya di dasar air yang dangkal itu. Tinggi air hanya sebatas mata kaki lewat sedikit.

Gayatri sendiri buru-buru meraba permukaan air dan mencuci matanya dengan air bening tersebut. Kebutaan akibat jurus 'Tendangan Gelap Sampar' itu memang bisa membutakan lawan, tapi setelah mata dicuci dengan air biasa, maka pengaruh 'Tendangan Gelap Sampar' sirna seketika, dan mata bisa kembali melihat dengan terang.

Sementara Andini masih bingung mencari-cari pemilik sinar hijau, tiba-tiba datang serangan dari Gayatri yang mencabut trisula dari pinggangnya. Trisula itu cepat ditusukkan ke dada Andini.

Trangng...!

Andini menahan trisula itu dengan pedangnya, Pedang masuk ke sela-sela trisula dan Gayatri mendorongnya lebih kuat lagi. Dalam kesempatan itu, Andini menggunakan kakinya untuk kembali menendang lawannya dengan sasaran ulu hati.

Bukk...!

"Ehhg...!" Gayatri terpekik tertahan. Tubuhnya terbuang ke belakang dan jatuh terkapar dengan susah bernapas.

Andini segera mengayunkan pedangnya untuk menusuk perut Gayatri. Tetapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar menghantam kuat lengan kanan Andini.

Buggh...!

Brusss...! Andini jatuh terpental, bahkan sempat melayang dulu beberapa saat. Cukup jauh jatuhnya, antara tujuh langkah dari tempat semula. Bahkan sekarang tubuh itu membentur batu besar dengan kuat. Beggh!

"Uuh...!" Andini mengeluh, meringis kesakitan. Tulang punggungnya bagai terasa patah, ia tak bisa bangkit dalam waktu cepat, ia menggeliat-geliat dulu dalam keadaan duduk sambil masih memegangi pedangnya.

Sementara itu, Gayatri memandangi Andini dengan dahi berkerut dan terheran-hefan. "Pasti ada orang ketiga!" pikir Gayatri. Lalu, ia berpaling ke belakang tempat diperkirakan datangnya serangan itu. Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda tampan berpakaian coklat dan putih celananya. Gayatri buru-buru bangkit setelah merasakan kesesakan napasnya terkuasai.

Suto Sinting sunggingkan senyum. Rambut Gayatri tersirat ke depan sebagian. Matanya jelas menatap tajam pada Suto dengan wajah sengit. Sedikit menyipit tanda bermusuhan. Pendekar Mabuk melebarkan senyum dan berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu kegembiraan bertarungmu, tapi aku hanya menyelamatkan pedang itu jangan sampai melukai tubuhmu, Nona!"

"Manusia lancang! Hiaaat...!" Gayatri bahkan menyerang Pendekar Mabuk dengan pukulan tenaga dalam yang bisa keluarkan cahaya ungu dari telapak tangannya itu.

Suto menjadi kaget, dan cepat sentakkan bumbung tuaknya ke depan dada untuk menghadang sinar ungu yang tidak disangka-sangka itu.

Wuttt...! Trasss...! Zlubb...!

Sinar ungu itu bagai benda keras menghantam sebidang karet yang sangat lentur. Sinar itu berbalik ke arah semula dengan ukuran lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Hal itu membuat Gayatri tercengang dalam sekejap, lalu cepat sentakkan kaki, tubuhnya tersentak terbang ke atas dan bersalto satu kali di udara. Sedangkan sinar ungu itu akhirnya menghantam sebuah batu besar.

Blarrr...! Batu itu pecah menjadi bongkahan-bongkahan sebesar genggaman tangan. Padahal sebelumnya batu itu berukuran sebesar kerbau gemuk.

Hal itu membuat Gayatri makin melebarkan matanya, tercengang-cengang, karena ia tidak merasa punya pukulan sinar ungu yang bisa bikin batu besar pecah menjadi kecil-kecil seperti kepalan tangannya. Biasanya jika sinar ungu itu menghantam batu, yang terjadi kemudian batu itu pecah menjadi dua atau tiga bagian. Tapi mengapa sekarang sinar ungunya itu menjadi lebih dahsyat dari biasanya?

Hal yang makin membuat Gayatri tak bergeming dari tempatnya itu, ternyata pecahan batu sekepalan manusia itu telah menjadi arang yang kropos. Mudah diremas, bahkan hancur begitu terbentur batu lainnya. Gumpalan-gumpalan batu itu mengambang di permukaan air sungai dan satu demi satu hanyut terbawa air sungai, bagaikan benda tanpa mempunyai berat sedikit.

Keadaan seperti itu membuat Andini juga mendelik, ia sama sekali tak menyangka bahwa Gayatri mempunyai ilmu sehebat itu. Sementara ilmu terhebatnya tidak bisa membuat batu besar pecah dan pecahannya menjadi arang yang terapung-apung di atas permukaan air. Melihat hal itu dalam hati Andini jadi bertanya, "Dari mana dia memiliki ilmu itu? Sejak kapan Gayatri memilikinya?!"

"Mengapa kau menyerangku, Nona Manis?!" tanya Pendekar Mabuk memecah kesunyian mereka bertiga.

Gayatri tidak menjawab, hanya memandang dengan wajah cemberut manis. Lalu, tiba-tiba ia sentakkan kakinya ke samping dengan tinggi, arah tendangan kaki itu menuju ke wajah Suto. Maka, dengan kibasan dua jari Suto menangkis tendangan itu. Mata kaki si gadis terkena jari Suto.

Takkk...!

"Auuhh...!" Gayatri pejamkan mata sambil meringis kesakitan.

Tiba-tiba sebelum Suto mendekat untuk menolongnya, Andini melompat tinggi-tinggi bagaikan terbang, dan pedangnya berkelebat untuk ditebaskan ke leher Suto Sinting.

Wuttt...!

Pendekar Mabuk sentakkan bumbung tuaknya naik ke atas. Trang...! Pedang Andini bagai menebas sebatang besi baja. Bahkan pedang itu terpental jatuh dari tangan Andini, karena pada saat itu tangan Andini merasa seperti kesemutan. Seolah-olah pedangnya menyentuh benda yang mempunyai getaran petir melumpuhkan persendian dan urat-uratnya.

Andini jatuh, dengan buru-buru pedangnya diambil oleh Gayatri, dan sekarang pedang itu ditodongkan ke leher Suto Sinting seraya Gayatri berseru, "Lepaskan bumbung keparat itu atau kurobek lehermu dengan pedang ini!"

"Sabar, Nona...!"

"Lepaskan bumbung keparat itu! Buang!" bentak Gayatri makin melotot matanya.

"Robeklah leherku kalau kau memang tega!"

Andini berseru, "Robek dia, Gayatri! Robek!"

"Diam...!" bentak Gayatri kepada Andini. Matanya mendelik kepada wanita berpakaian hijau muda itu.

Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya dari bawah ke atas. Tass...! Itulah jurus 'Jari Guntur'. Sebuah sentilan bertenaga dalam mengenai pergelangan tangan Gayatri dan pedang itu pun terlepas jatuh ketika tangan itu tersentak kesakitan.

Plukk...!

Pendekar Mabuk segera menendang pelan bagian ujung pedang, dan ternyata pedang melesat dengan cepat melewati atas kepala Andini yang masih terduduk lemas di tanah.

Zlappp...! Crusss...!

Sekali lagi kedua perempuan itu saling membelalakkan matanya. Pedang itu menancap hampir separo bagian pada sebuah batu besar. Batu itu sepertinya sebatang pohon pisang yang empuk, bisa ditancap dengan mata pedang mudah sekali. Dalam tiga helaan napas, mata kedua gadis itu tak berkedip.

Gayatri berkata dalam hatinya, "Hebat sekali tendangannya! Atau, barangkali pedang Andini telah menjadi pedang sakti yang bisa membelah batu?"

Sementara itu, Andini segera pula berucap dalam hatinya, "Sejak kapan pedangku bisa dipakai menembus batu sekeras itu?!"

Suto Sinting menenggak tuaknya dengan santai. Pada saat itu, Andini mulai pulih kekuatannya, ia segera bangkit dan melompat ke samping batu besar, lalu mencabut pedangnya dengan mengerahkan tenaga cukup besar. Breusss...! Tak disangka seberat itu mencabut pedang dari dalam batu.

"Urus orang itu!" katanya kepada Gayatri, lalu Andini melesat pergi tinggalkan Gayatri.

"Andini! Tahan...!" seru Gayatri, tapi dianggap angin lalu saja.

Pendekar Mabuk menyahut, "Apakah kau mau aku mengejarnya?!"

Gayatri bimbang memberi jawaban, ia pandangi pemuda tampan berwajah bersih itu. Suto jadi kikuk dipandangi dalam jarak hanya dua langkah, ia cuma tersenyum-senyum sambil mengalihkan pandangan mata. Lalu, untuk menutup kekikukannya, Suto bertanya,

"Aku membelamu, tapi mengapa kau menyerangku?"

"Karena kau mau mencelakakan dia!" jawab Gayatri dengan ketus.

"Bukankah dia musuhmu?"

"Dia kakakku!"

"Ooo... pantas!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu mengapa kau melarangnya pergi? Akan ke mana dia?"

Gayatri mendenguskan napas lewat hidungnya. Kejap berikutnya terdengar suaranya melemah, tak seketus tadi. Bahkan sekarang lebih bernada cemas. "Aku tak ingin dia terluka! Aku sayang kepadanya, dan takut ia celaka di sana!"

"Di mana maksudmu?"

"Di Gua Sekat Sembilan!"

Suto kerutkan dahi. Agaknya nama Gua Sekat Sembilan pernah didengarnya, tapi entah dari siapa dan kapan saat mendengarnya. Maka, Suto pun ajukan tanya, "Ada apa dengan Gua Sekat Sembilan?"

Gayatri berpaling memandang Suto, rambutnya sebagian meriap di wajari cantiknya, kemudian ia berkata, "Kau masih hijau di rimba persilatan, rupanya!"

"Anggap saja begitu, Tapi aku butuh jawabanmu, ada apa dengan Gua Sekat Sembilan?"

"Para tokoh rimba persilatan sekarang pasti sedang menuju ke sana untuk mengambil minyak keramat yang bernama Minyak Darah Malaikat! Minyak itu jika dipakai mandi bisa membuat tubuh kita kebal senjata dan pukulan tenaga dalam apa pun! Bahkan minum racun pun tak akan mati, sekalipun racun berkadar tinggi! Kakakku ingin mendapatkan Minyak Darah Malaikat, tapi aku ingin mencegahnya. Sebab dengan begitu ia pasti akan bertarung dengan tokoh sakti dari berbagai penjuru dunia. Dan aku tak mau kakakku celaka!"

"Oh, begitu?!" Suto manggut manggut. "Lalu, mengapa kau tidak mendampinginya saja supaya dia tidak celaka oleh pertarungan di sana? Bukankah kau bisa menjadi pelindungnya secara diam-diam?"

"Ilmu kami tak akan mampu mengalahkan para tokoh sakti. Sebab gua itu pasti akan dipenuhi orang berilmu tinggi, yang tidak tanggung-tanggung ilmunya."

"Hmmm...!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Bagaimana kalau kuantarkan kau pergi ke Gua Sekat Sembilan, untuk melindungi kakakmu itu?"

Gayatri tertegun. Tak menyangka Suto akan tawarkan diri begitu.

* * *

ENAM
SEPERTI yang dikatakan Gayatri, para tokoh sakti pasti akan datang ke gua itu. Dan memang benar. Mereka datang silih berganti. Mati satu, muncul satunya lagi. Pergi satu, datang yang lainnya lagi. Sampai-sampai Karang Wesi merasa muak menghadapi mereka secara berganti-gantian. Hampir-hampir Karang Wesi tak punya waktu untuk beristirahat.

Berulangkali Karang Wesi melontarkan keluh, "Mengapa jadi aku yang kerepotan sendiri menghadapi mereka? Kalau hanya jumlahnya dua-tiga orang mungkin tak seberapa. Tapi ini... mungkin sudah ada dua puluh orang yang kukalahkan, baik mati di tanganku atau lari karena luka! Lantas sampai kapan serangan mereka akan berhenti?! Kapan aku akan beristirahat?"

Mereka yang mati, langsung dibuang oleh Karang Wesi ke jurang. Bahkan ada yang belum mati, tapi masuk jurang karena terpeleset. Kapak bermata tiga itu tak pernah kering oleh darah. Baru saja mau dikeringkan sudah datang mangsa lagi yang mendesaknya untuk berkelebat merobek bagian tubuh lawan atau memenggal kepala lawan. Pada umumnya mereka yang datang bukan berilmu rendah. Tapi beruntung sekali Karang Wesi, karena semua ilmu milik Ki Candak Sedo telah diturunkan kepadanya, sehingga mereka yang datang sama saja bertarung melawan kesaktian Ki Candak Sedo. Bahkan kali ini kesaktian Ki Candak Sedo berada di tangan orang perkasa dan lebih kekar lagi dari pemilik aslinya.

"Lama sekali Guru berada di dalam? Jangan-jangan dia mati karena salah masuk ruang bercahaya sembilan itu?" pikir Karang Wesi. Maka, ia pun bergegas masuk ke dalam gua untuk menyusul gurunya.

Tapi baru saja ia melangkahkan kaki satu tindak, tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh telah melesat menghantam punggungnya.

Wuttt...! Buhgg...!

Karang Wesi terpelanting dan membentur tepian mulut gua. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi dengan menarik napas dalam-dalam rasa sakit itu terkuasai dengan segera. Itulah cara pengobatan yang dimiliki oleh Ki Candak Sedo. Cepat-cepat Karang Wesi membalikkan badan dan memandang ke arah depan. Ternyata seorang berpakaian loreng macan dan memegang senjata tombak trisula telah berdiri dengan sikap menantang Karang Wesi.

Sejenak hidung Karang Wesi dienduskan karena mencium bau busuk yang tadi tak ada, tapi sejak kemunculan tokoh berpakaian macan loreng itu hawa busuk menjadi tercium. Itulah tanda bahwa si Macan Bangkai hadir di situ. Setiap kehadiran si Macan Bangkai selalu didului oleh bau busuk dari tubuhnya. Selalu ada udara tak sedap jika Macan Bangkai ada di suatu tempat. Dan hal itu menggelisahkan orang-orang, termasuk Karang Wesi sendiri sekarang menjadi gelisah karena terganggu bau busuk itu.

"Mayat dari mana kau, datang-datang menyerangku, hah?!" bentak Karang Wesi sambil maju empat tindak dari mulut gua.

"Tak perlu kau tanyakan dari mana aku dan siapa aku! Yang jelas aku tahu kau adalah penjaga gua itu dan tidak akan izinkan aku masuk, terbukti dari banyaknya mayat yang kau lemparkan ke jurang itu, serta tanah yang berubah menjadi lembab karena darah!"

"Lantas apa maumu?" Karang Wesi bersikap menantang, ia masih menggenggam kapaknya yang belum dibersihkan dari darah itu.

"Sama seperti mereka, aku ingin membunuhmu untuk masuk ke dalam gua itu! Karena aku ingin mendapatkan Minyak Darah Malaikat!"

Karang Wesi menghempaskan napas lagi, seperti orang kesal, namun juga seperti orang membuang bau tak sedap yang terhirup hidungnya. "Sebenarnya aku sudah bosan membunuh orang," katanya. "Tapi kalau kau memaksaku, apa boleh buat! Mungkin terpaksa aku harus melakukannya demi kebanggaanmu!"

"Manusia sombong! Terimalah tombak 'Tiga Setan'-ku ini!Hiaah...!"

Wussst...!

Macan Bangkai melemparkan tombaknya dengan gerakan cepat. Tombak itu melayang dengan kecepatan sama dengan cepatnya anak panah yang melesat. Karang Wesi menghadangnya dengan kampak yang segera ditebaskan kedepan.

Wuttt...! Trangng...!

Kapak itu masuk di celah-celah tiga mata tombak. Tetapi tombak itu tak mau jatuh melainkan punya kekuatan dorong yang sangat besar. Karang Wesi segera kerahkan tenaganya untuk menahan dorongan tombak tersebut. Tubuhnya sampai gemetar. Ketiga mata tombak tepat ada di depan lehernya. Meleset sedikit pasti habislah leher Karang Wesi diterobos mata tombak berkekuatan besar itu. Kaki Karang Wesi merendah dan salah satunya dikebelakangkan. Ini untuk menahan daya dorong dari tombak 'Tiga Setan' itu. Tapi daya dorong yang ada seolah-olah semakin besar saja. Tubuh Karang Wesi sedikit mulai tergeser ke belakang.

Srekk... srekk...! Dengan kedua tangan ia bertahan memegangi gagang kapaknya. Tapi masih saja tombak itu makin berat dan makin kuat daya dorongnya. Sementara pemiliknya di seberang sana hanya terkekeh-kekeh menertawakan kepanikan Karang Wesi. Bahkan sekarang Macan Bangkai sentakkan tangan kirinya, ia melepaskan pukulan jarak jauh ke perut Karang Wesi.

Wuttt...! Buehgg!

"Ahg...!" Karang Wesi tersentak ke belakang, perutnya seperti ditendang banteng mengamuk. Akibatnya pegangan tangannya sedikit lemah. Tombak Tiga Setan makin mendesak dan sekarang ujungnya ada persis di depan dagu Karang Wesi. .

"Bangsaaat...!" Karang Wesi menggeram sambil kian kerahkan tenaganya, keringatnya membanjir di perlukaan wajah.

"Kau tak bisa menghindari Tombak Tiga Setan-ku, Kunyuk Bocah! Kau pasti mati, karena tombakku tak akan mau berhenti menyerang jika sudah lepas dari tanganku! He he he he...!" sambil berkata begitu, Macan Bangkai melangkahkan kaki mendekati Karang Wesi.

Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat melintas di depan Karang Wesi. Wuttt...! Sett! Tahu-tahu tombak itu telah hilang dari depan Karang Wesi. Bahkan daya dorong Karang Wesi yang bertahan tadi kini membuat Karang Wesi tersungkur jatuh ke depan. Burkk...! Sementara itu Karang Wesi segera mendengar suara orang memekik dengan suara tertahan. Jrubb...!

"Aaahg...!"

Cepat-cepat ia dongakkan kepala memandang ke depan dalam keadaan masih telungkup jatuh. Dan mata Karang Wesi pun terkesiap pandangi sesuatu yang di luar dugaan. Tombak itu ada di tangan seseorang yang telah dikenal oleh Karang Wesi, yaitu Cambuk Guntur. Tombak tersebut diambil oleh Cambuk Guntur, lalu dihujamkan langsung ke dada Macan Bangkai. Tentu saja Macan Bangkai tak mampu menghindar lagi karena hal itu terjadi sangat di luar dugaan dan tak pernah terpikirkan sama sekali olehnya. Akibatnya, ia terpaksa menerima ajal di ujung tombak senjatanya sendiri. Dan itulah yang dikatakan senjata makan tuan.

Macan Bangkai sempat mengerang ketika napasnya belum lepas dari raga. Bahkan ia masih berusaha ingin mencabut tombak mata tiga yang menembus dadanya itu. Tapi oleh Cambuk Guntur ujung tombak itu makin dihantam dengan telapak tangannya, membuat tombak makin masuk ke dalam tubuh dan tembus ke belakang. Cambuk Guntur pandangi lawannya dengan bengis, sementara sang lawan mendelik sambil muntahkan darah dan tak bisa ucapkan kata lagi, lalu rubuh tanpa nyawa.

Dua kali Karang Wesi bertemu dengan Cambuk Guntur, yaitu pada saat ia diajak pergi oleh Ki Candak Sedo ke sebuah pertemuan orang-orang sakti di Bukit Jagal, dan ketika Cambuk Guntur datang sendiri untuk satu keperluan dengan Ki Candak Sedo di persemayamannya. Karang Wesi mengenal Cambuk Guntur sebagai pengelana tanpa tujuan yang pasti.

"Bagaimana keadaanmu, Karang Wesi?" tanya Cambuk Guntur ketika Karang Wesi telah berdiri kembali.

"Tak apa! Aku hanya tersungkur karena tenagaku sendiri!"

"Kau memang melawan tenagamu sendiri sejak tadi."

"Apa maksudmu?" Karang Wesi kerutkan dahi.

"Tombak Tiga Setan itu kalau semakin dilawan semakin punya kekuatan dorong semakin besar. Karena sebenarnya yang keluar dari tombak itu bukan kekuatan tenaga dalam si Macan Bangkai, melainkan kekuatan kita sendiri yang memutar balik ke arah kita melalui tombak tersebut. Kalau kau tadi tidak mendorongnya, maka tombak itu tidak akan sampai kepadamu."

"Setan Belang! Berarti tadi aku telah bergelut melawan tenagaku sendiri?!"

"Benar!" Cambuk Guntur tertawa dalam gumam. "Tapi sudahlah, dia sudah kulenyapkan! Kebetulan aku juga punya masalah pribadi dengan manusia busuk itu! Cuih...!" Cambuk Guntur meludah. Segera ia membuang mayat si Macan Bangkai ke jurang dengan cara menyeretnya memakai ujung tombak yang masih menancap kuat itu. Setelah membuangnya ke jurang, ia pun segera menemui Karang Wesi di depan pintu gua yang sedang membersihkan kapaknya dari darah lawan sebelumnya.

"Bagaimana kabar Eyang Guru Candak Sedo, Karang Wesi?"

"Beliau dalam keadaan baik-baik saja!"

"Apakah beliau sekarang ada di dalam gua?"

"Ya."

"Apakah aku bisa menemui beliau, Karang Wesi?"

Dahi pemuda itu berkerut dengan mata mulai curiga. Kemudian ia ajukan tanya, "Untuk apa? Kau punya keperluan dengan guruku?"

"Ya. Ada kepentingan yang tak bisa kutunda karena sangat pentingnya! Aku pun tak mau berlama-lama menunggu di sini, aku harus segera pergi untuk selesaikan satu masalah lagi, Karang Wesi!"

Tertegun sejenak Karang Wesi mempertimbangkannya. Setelah itu ia bertanya dengan nada bimbang, "Kalau boleh aku ingin tahu keperluan itu, supaya aku yakin kau bukan orang seperti si Macan Bangkai itu!"

"Hmm... begini," kata lelaki berpakaian biru dengan dirangkap rompi kuning itu, ia sangat rapi dalam berpenampilan, sehingga timbulkan kesan meyakinkan. Bicaranya pun tidak kasar, bahkan bersikap penuh persaudaraan.

"Aku bertemu dengan Nyai Sirih Wangsit beberapa hari yang lalu, dan beliau titip pesan padaku supaya disampaikan kepada Eyang Candak Sedo. Soal isi pesannya, tak bisa kusebutkan, karena memang Nyai Sirih Wangsit melarangku bicara kepada siapa pun kecuali kepada Ki Candak Sedo. Jadi..., maaf saja, aku tak bisa sebutkan kepadamu mengenai isi pesan itu! Yang jelas sangat penting dan berbahaya, jadi harus secepatnya aku bertemu dengan Ki Candak Sedo dan berbicara langsung dengan beliau!"

"Begitu?"

"Ya. Kalau bukan pesan penting, aku tak akan mampir kemari! Karena aku harus segera temui seseorang di pesisir!" jawab Cambuk Guntur dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ia tambahkan kata, "Kalau memang sekiranya aku tak bisa temui beliau, ya sudahlah, aku pergi saja sekarang dan tak perlu sampaikan pesan itu!"

Bingung juga Karang Wesi mengambil keputusan. Nyai Sirih Wangsit adalah bekas kekasih Ki Candak Sedo semasa mudanya. Mereka berpisah karena Nyai Sirih Wangsit mempunyai penyakit yang sangat menular, dan perempuan itu tak mau Ki Candak Sedo menjadi tertular penyakit itu. Tetapi sampai sekarang, sebenarnya mereka masih saling mencintai, hanya saja Nyai Sirih Wangsit sudah tidak mau bertemu dengan Ki Candak Sedo, takut tersiksa batinnya. Tentang di mana persembunyian atau tempat tinggal Nyai Sirih Wangsit, tak seorang pun tahu, sehingga Ki Candak Sedo tak pernah bisa berkunjung menemui kekasihnya itu.

Mungkin saja sekarang keadaan sudah lain. Mungkin Nyai Sirih Wangsit ingin memberitahukan kepada Ki Candak Sedo tentang tempat tinggalnya melalui mulut Cambuk Guntur. Atau mungkin saja Nyai Sirih Wangsit rindu ingin berjumpa Ki Candak Sedo di suatu tempat, dan beliau menyuruh Cambuk Guntur merahasiakan pertemuan tersebut. Atau mungkin ada urusan pribadi lainnya yang tak bisa diduga siapa pun, kecuali Cambuk Guntur sebagai si pembawa dan penyampai berita itu.

Karang Wesi benar-benar dalam kebimbangan. Jika ia izinkan Cambuk Guntur masuk ke gua dan temui gurunya, nanti Karang Wesi disalahkan oleh sang Guru, mungkin kehadiran Cambuk Guntur justru mengganggu upayanya menemukan Minyak Darah Malaikat itu. Tapi jika tidak diizinkan, jangan-jangan Karang Wesi juga yang dimarahi oleh Ki Candak Sedo karena menahan pesan dari Nyai Sirih Wangsit? Sedangkan pesan itu tidak bisa disampaikan melalui murid Ki Candak Sedp, sehingga mau tak mau Cambuk Guntur harus bertemu langsung dengan Ki Candak Sedo dan bicara empat mata.

Dalam kebimbangannya itu, Cambuk Guntur segera memberi keputusan kepada Karang Wesi, "Begini saja! Aku akan segera tinggalkan tempat ini untuk mengurus kepentinganku sendiri! Tapi kuminta jangan sampai Ki Candak Sedo marah padaku karena pesan dari kekasihnya ini tidak kusampaikan! Kau harus bertanggung jawab, Karang Wesi!"

"Eh, jangan begitu!" sergah Karang Wesi. "Jangan kau limpahkan kesalahan kepadaku!"

"Habis kelihatannya kau keberatan jika aku masuk untuk temui Ki Candak Sedo! Sedangkan urusanku bukan soal pesan ini! Kalau toh tidak kusampaikan, bukan aku yang rugi!"

"Baiklah," Karang Wesi menghembuskan napas kesal. "Masuklah dan temui dia. Tapi kalau dia merasa terganggu dan marah, kau yang bertanggung jawab! Jangan aku yang menjadi pelampiasan kemarahan Guru!"

"Baik. Aku yang bertanggung jawab!"

"Masuklah!" Karang Wesi menyingkir dan mengizinkan Cambuk Guntur masuk ke dalam gua untuk menemui Ki Candak Sedo. Tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang membuat Karang Wesi tersentak kaget. Lekas-lekas ia menahan lengan Cambuk Guntur seraya berkata dengan nada pelan, "Cambuk Guntur, aku mau bicara sebentar tentang seseorang, kuharap kau tidak keberatan!"

"Tentang seseorang siapa maksudmu?" Cambuk Guntur kerutkan dahi.

Sambil menuntun lengan Cambuk Guntur, Karang Wesi berkata, "Kapan kau bertemu Nyai Sirih Wangsit?"

"Kira-kira satu bulan yang lalu, di Lembah Cupu Hasta?" Keadaan Cambuk Guntur sudah berada di luar gua, bahkan mereka bicara di bawah pohon berwarna kuning dari batang sampai daunnya.

"Apakah kau bisa temukan tempat tinggal Nyai Sirih Wangsit?"

"Tidak. Aku bertemu beliau di jalan."

"Benar satu bulan yang lalu?"

"Ya. Benar! Kira-kira satu bulan yang lalu. Ada apa?"

"Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu tempat tinggal beliau."

"Pesan ini tidak menyangkut masalah tempat tinggal beliau."

"Oo...!" Karang Wesi manggut-manggut. "Ya sudah, masuklah sana!"

Cambuk Guntur mulai melangkahkan kaki menuju pintu mulut gua., Tapi tiba-tiba Karang Wesi mencabut kapaknya dan ditebaskan ke punggung Cambuk Guntur. Crasss...!

"Heggh...!"

Terhenti dan terpekik Cambuk Guntur seketika itu juga. Punggungnya menjadi sasaran empuk bagi kapak tiga mata itu. Salah satu sisi mata kapak menancap masuk hampir seluruh bagian. Karang Wesi segera mencabutnya dengan satu sentakan kaki menjejak. Brukk..!! Tubuh Cambuk Guntur rubuh dengan mulut ternganga-nganga,

"Modarlah kau, Penipu! Hampir saja aku terkena tipu muslihatmu! Untung aku segera ingat bahwa Nyai Sirih Wangsit sudah meninggal enam bulan yang lalu!" geram Karang Wesi sambil pandangi wajah sekarat Cambuk Guntur.

Di sela napas terakhirnya Cambuk Guntur sempat ucapkan kata pelan, "Hampir saja kudapatkan minyak itu tapi sayang... kau cerdas dan... dan..."

"Dan tak mudah kau kelabuhi dengan bualanmu!" sentak Karang Wesi. Tapi pada saat itu Cambuk Guntur telah menghembuskan napas yang terakhir. Untuk selanjutnya ia diam tak berkutik sampai selama-lamanya.

* * *

TUJUH
DUA hari dua malam, Karang Wesi menjaga mulut gua itu dengan melayani pertarungan setiap orang yang datang kepadanya. Sementara dalam hatinya sendiri penuh kesangsian, apakah gurunya masih ada di dalam atau sudah pergi lewat jalan lain? Apakah sang Guru masih hidup atau mati terkena jebakan? Kesangsian itu toh tetap dipendamnya karena tak berani mengambil keputusan sendiri. Setiap Karang Wesi ingin menengok masuk kedalam gua, selalu saja ada tamu yang mengancam jiwanya. Mau tak mau Karang Wesi harus melayani mereka.

Lebih dari tujuh kali nyawa Karang Wesi hampir saja melayang karena menghadapi musuh yang tangguh. Empat kali sudah, Karang Wesi menghadapi tipuan yang nyaris membuatnya kebobolan. Anehnya dari mereka tak ada yang bersatu menyerangnya. Seandainya ada yang bersatu menyerangnya, Karang Wesi sendiri sudah perkirakan bahwa dirinya tidak akan mampu membendung kekuatan yang bersatu. Karena selama dua hari dua malam ia bertarung terus, kerahkan tenaga terus, sehingga ia merasakan kekuatannya mulai menurun. Apalagi selama dua malam ia tak tidur, rasa kantuknya mulai menyerang mata secara bertubi-tubi. Namun Karang Wesi tetap berusaha agar tidak jatuh tertidur.

Tapi pagi itu, wajah lesu dan kuyu yang ada pada Karang Wesi menjadi segar kembali. Rasa kantuknya pun menjadi hilang. Malahan hati Karang Wesi pun menjadi lega bercampur gembira, sebab Ki Candak Sedo sudah keluar dari dalam gua. Orang itu keluar sambil membawa sebuah guci hitam tak terlalu besar.

"Karang Wesi, lihatlah apa yang kubawa ini?!" katanya dengan tersenyum bangga.

"Guru...?! Bagaimana? Jadi Guru sudah mendapatkan minyak itu?"

"Sudah! Di dalam guci inilah Minyak Darah Malaikat tertampung."

"Oh, syukurlah...! Saya khawatirkan keadaan Guru di dalam sana. Mengapa sampai selama ini, Guru?"

"Aku harus menundukkan seekor ular sebesar pahamu! Ular itu tak bisa ditembus dengan pukulan tenaga dalamku. Bahkan kugunakan pukulan 'Angin Lahar', tapi ular itu tidak bisa hangus dan menjadi arang seperti yang lainnya."

"Lantas bagaimana cara Guru mengalahkannya?"

"Dengan kekuatan batin aku menundukkan dia, dan ternyata ular itu lenyap begitu saja. Kemudian aku dihadapkan pada pilihan yang membuatku bimbang."

"Pilihan apa itu, Guru?" desak Karang Wesi ingin tahu banyak tentang pengalaman memperoleh Minyak Darah Malaikat itu.

"Sebelumnya aku sudah tahu bahwa dari kesembilan ruang bersekat itu, hanya ruang yang memiliki cahaya hijau yang menyimpan minyak ini! Tetapi ternyata sembilan ruang itu memancarkan sinar hijau semuanya. Mau tak mau aku harus memilih mana yang punya sinar hijau asli. Aku hampir saja mati terjebak gas beracun yang ternyata ruangan itu adalah ruangan bersinar gelap alias tanpa sinar. Aku juga hampir mati dihujam seratus tombak, dan ternyata ruangan itu bersinar kuning. Sampai empat kali aku hampir mati di dalam sana, lalu akhirnya kutemukan ruangan hijau yang asli, maka aku harus melakukan semadi beberapa waktu sampai guci ini muncul sendiri di depanku!"

"Hebat sekali! Kalau bukan Guru yang mengambil minyak itu, tak mungkin orang lain bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Guru!" ujar Karang Wesi dengan pujian yang membanggakan hatinya sendiri.

"Mari kita pulang, Muridku! Aku akan mandi minyak ini!"

Belum lagi mereka sempat melangkahkan kaki, tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar tangan Ki Candak Sedo dengan cepat. Wutt! Guci Minyak Darah Malaikat hampir saja berpindah tangan. Untung dengan cepat Ki Candak Sedo segera kelebatkan tangannya yang memegang guci itu, sehingga terhindar dari sambaran 'maling' tak disangka-sangka.

"Bangsat!" suara besar terdengar dari arah bawah pohon jati merah itu. Suara tersebut milik orang berkumis tebal, bermata lebar, rambutnya panjang dibungkus kain merah, wajahnya angker dan hidungnya tergolong besar. Orang itu tidak memakai baju, celananya hitam dengan sabuk hitam besar mempunyai tempat keris sendiri. Orang itu berkulit hitam, dan kulitnya tampak tebal. Badannya tinggi, kekar dengan kuku jarinya runcing-runcing.

"O, kau rupanya, Warok Kober?!" ucap Ki Candak Sedo.

"Syukur kalau kau masih mengenaliku, Candak Sedo!" katanya dengan suara besar.

"Aku memang mengenalmu, tapi tak menyangka kau ingin merebut minyak ini dariku, Warok Kober!"

"Ha ha ha ha...! Kau memang perlu memperhitungkan kehadiranku, Candak Sedo. Memang selama ini kita berhubungan baik, tak pernah ada perselisihan apa pun. Tapi untuk kali ini, demi minyak yang sudah hampir seratus tahun itu, aku terpaksa buka perkara denganmu, Candak Sedo!"

Karang Wesi bergegas maju, tapi dicegah oleh Ki Candak Sedo. Karang Wesi menggeram. Setahu dia, Warok Kober memang tidak pernah berselisih dengan gurunya. Tapi sekarang Warok Kober merusak hubungan baik hanya gara-gara ingin memperebutkan pusaka Minyak Darah Malaikat itu. Karang Wesi jadi berpikir, alangkah amat berharganya minyak tersebut, sehingga seseorang sampai berani mengorbankan persahabatan demi mendapatkan minyak keramat itu. Jelas ini sebuah pengorbanan yang amat luar biasa.

"Candak Sedo! Kalau kau masih ingin menjaga persahabatan denganku, sebaiknya, serahkan saja minyak itu padaku. Jujur saja, aku ingin memiliki minyak itu! Aku ingin mandi minyak itu, Candak Sedo! Kuharap kau tidak keberatan menyerahkannya padaku, daripada persahabatan kita menjadi hancur karena berebut minyak!"

"Tak semudah itu, Warok Kober!" Ki Candak Sedo menggeleng-gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum tipis, ia masih kelihatan tenang, tapi muridnya sudah gusar sejak tadi. Sambung Ki Candak Sedo lagi, "Ingat-ingatlah, Warok... perkara minyak ini tetap akan menjadi perkara panjang selama manusia masih dikuasai oleh nafsu angkara murka. Perkara minyak tetap akan menjadi bahan pertarungan antara kedua belah pihak atau lebih. Tentunya minyak seperti yang kubawa ini jauh lebih berharga dari segala minyak, dan aku pun siap mati untuk minyak ini, Warok Kober!"

"Ggrrr...!" Warok Kober menggeram bagaikan seekor singa. Matanya melotot lebar menyeramkan. Kemudian ia berkata, "Jadi kau siap bertarung denganku untuk beradu nyawa, Candak Sedo?! Kau siap bela pati demi minyak?!"

"Aku yang siap!" sahut Karang Wesi.

"Ha ha ha ha...!" Warok Kober tertawa terbahak-bahak.

Ini membuat Karang Wesi semakin panas hati, karena merasa diremehkan. Apalagi Warok Kober segera ucapkan kata, "Kamu bocah yang masih hijau, Karang Wesi! Perkara ini bukan perkara bocah ingusan seperti kamu! Pergilah main sana, tak perlu ikut campur urusan orang tua!"

"Kalau kau menghadapiku sama saja dengan menghadapi guruku, Ki Warok! Kalau kau bisa menggulingkan aku, sama saja bisa menggulingkan Eyang Guru Candak Sedo ini! Tapi kalau melawanku saja kau lari terbirit-birit, bagaimana mungkin kau bisa kalahkan eyang guruku?!"

"Grrr...! Kurobek mulutmu jika sekali lagi omong besar, Karang Wesi!" mata Warok Kober semakin angker memandang.

"Sebelum merobek mulutku, tentunya aku lebih dulu merobek dadamu, Ki Warok!"

"Bangsat! Aku jadi bernafsu untuk memecahkan kepala sombongmu itu, Bocah Gendeng!" Warok Kober mulai mengangkat kedua tangannya untuk melakukan satu pukulan.

"Guru, sebaiknya Guru agak menjauh, biar saya hadapi orang ini!"

"Baiklah. Hati-hati, dia punya jurus maut pada kerisnya!"

"Terima kasih, Guru! Keris itu akan saya patahkan dengan kapak saya ini!" kata Karang Wesi dengan angkuhnya. Kemudian ia segera mencabut kapaknya dan berseru kepada Warok Kober, "Majulah kalau kau memang bisa merobek mulutku!"

"Setan! Hiaaah...!" Warok Kober tiba-tiba melesat tanpa terlihat sentakan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang besar itu siap melepaskan pukulan dalam keadaan terbang, sedangkan Karang Wesi melakukan hal yang sama. Tapi ia melompat tinggi menyerang maju sambil siap-siap menghantamkan kapak bermata tiga itu.

"Hiaaat...!' pekik Karang Wesi.

Dess...! Tiba-tiba belum sempat mereka saling berbenturan, tangan Warok Kober telah menyentak ke depan dan sebuah pukulan bertenaga dalam cukup tinggi dilepaskan.

Wuttt...! Nyala sinarnya biru kekuning-kuningan. Berpendar-pendar dalam bentuk seperti bunga atau bintang yang pecah. Sinar itu menghantam dada Karang Wesi, tapi dengan cepat kapak yang ingin dihantamkan itu menutup bagian dadanya, menangkis sinar biru kekuning-kuningan itu.

Zrang...! Sinar itu padam seketika membentur mata kapak. Tapi pada saat itu kaki Warok Kober menendang dengan sentakan kuat.

Dugg...!

"Uuah...!" Karang Wesi bagai diseruduk kerbau tujuh. Tubuhnya terlempar seketika, bahkan kapaknya pun jatuh sebelum kakinya berpijak pada bumi. Brukk...! Karang Wesi jatuh tersungkur setelah bersalto dua kali dan kehilangan keseimbangan badan. Buru-buru Warok Kober pijakkan kakinya ke tanah, dan mencabut kerisnya dengan ganas.

Sratt! Keris itu bagai dikelilingi oleh kilatan petir. Cahaya biru memercik-mercik ke sekeliling keris. Segera Warok Kober menghujamkan keris ke dada Karang Wesi yang baru saja berdiri. Tapi oleh Karang Wesi, pergelangan tangan Warok Kober lebih dulu mendapat tendangan kuat dari bawah ke atas.

Plokk...! Wuttt...!

Tangan itu tersentak kuat sekali, dan keris tersebut terlempar ke belakang dan masuk ke jurang. Dan tiba-tiba terdengar suatu ledakan dahsyat dari dalam jurang.

Jlegarrr...!

Rupanya keris itu telah timbulkan ledakan pada saat menyentuh bangkai manusia yang dikalahkan Karang Wesi sebelum peristiwa itu. Mayat orang tersebut tersangkut pada sebuah dahan pohon, lalu keris itu jatuh menancap di mayat tersebut dan timbulkan ledakan maut.

"Hiaaah...!"

Wuttt...! Plakkk...!

Zerrbb...! Kedua telapak tangan itu beradu. Karang Wesi telah menggunakan pukulan 'Angin Lahar'nya. Maka ketika beradu dengan telapak tangan Warok Kober, terjadilah percikan api sekejap berwarna merah. Beberapa saat kemudian, tubuh Warok Kober berdiri mematung tak bergeming lagi. Ia telah berubah menjadi seonggok arang keras. Semua yang ada padanya jadi terbakar dan membentuk onggokan arang. Tentu saja Warok Kober tak lagi bisa ucapkan sepatah kata pun karena sudah tak bernyawa lagi.

"Hiih...!"

Prasss...! Tubuh yang berubah menjadi arang itu ditendang oleh Karang Wesi, lalu tubuh itu terlempar ke jurang dalam keadaan sudah pecah tak karuan. Cepat-cepat Karang Wesi menghadap gurunya dan berucap kata,

"Maaf, Guru! Terpaksa jurus itu kugunakan, karena ia sangat tangguh menurut ukuranku!"

"Seharusnya kau bisa menggunakan jurus 'Salju Hitam' saja! Tak perlu menggunakan jurus itu! Dengan kamu lepaskan jurus 'Salju Hitam', Warok Kober tidak akan mampu menahan seranganmu!"

Karang Wesi berkata, "Maaf, saya tak sempat menggunakan jurus 'Salju Hitam', karena dia mendesak terus, Guru!"

"Seharusnya tak perlu membunuh, biar dia cedera dan lari sendiri, Karang Wesi!"

Karang Wesi diam menunduk, ia takut kena murka sang Guru. Tapi dalam hati Karang Wesi menggerutu berkepanjangan, "Dia memang enak, tinggal ngomong saja bisa! Aku ini yang merasakan tendangannya dan hampir mati, bisa lebih tahu bagaimana seharusnya mengalahkan dia! Sudah capek-capek melawan dan mengalahkan lawan, eh... masih saja dikecam salah! Uuh, sepertinya Guru tidak suka aku menggunakan ilmu andalan untuk mempercepat kerjaku!"

Kemudian, Ki Candak Sedo segera perintahkan Karang Wesi untuk cepat tinggalkan tempat tersebut. Karang Wesi pun melompat dengan gerakan jurus peringan tubuh, ia menyusul gurunya yang sudah melesat lebih dulu. Tak seberapa jauh dari gua itu, mereka sudah harus menghentikan langkah karena kemunculan seorang lelaki botak berpakaian longgar. Lelaki botak ini berpakaian hitam dan menggenggam pedang besar.

Ki Candak Sedo mengenal lelaki itu berjuluk Setan Gunung. Badannya juga besar, bahkan lebih besar lagi dari Warok Kober. Ki Candak Sedo dan muridnya sudah bisa menduga apa yang diinginkan oleh Setan Gunung. Maka dengan cepat Karang Wesi berdiri di depan gurunya dan segera hadapi Setan Gunung.

"Sebelum kau sebutkan niatmu, aku dan Guru sudah mengetahui maksudmu menghadang kami, Setan Gunung!" kata Karang Wesi.

"Ha ha ha ha...! Bagus, bagus! Itu berarti kalian akan serahkan minyak itu padaku, bukan?!"

"Ya, tapi dengan satu syarat, Setan Gunung!"

"Apa syaratnya?"

"Cabut dulu nyawaku, jika kau bisa, kau berhak mendapatkan minyak dalam guci yang dibawa Eyang Guruku!"

"Setan kurap kau! Hiaaah...!" Wuuut...! Pedang besar itu menebas leher Karang Wesi. Tapi kepala Karang Wesi seketika itu menunduk, dan ia berguling di rerumputan. Lalu betis Setan Gunung ditepak dengan tangannya.

Plakk...!

Sekali lagi jurus 'Angin Lahar' digunakan oleh Karang Wesi. Maka tak dapat disangkal lagi, Setan Gunung segera terbakar tanpa api dan tahu-tahu berubah menjadi arang hitam bersama-sama pedang besarnya itu. Zerrb...! Seluruh tubuhnya tak tertolong lagi. Hitam dan kaku. Namun jika ditendang pelan, tubuh itu akan rubuh sebagai onggokan arang yang hitam keling.

"Karang Wesi!" sentak Ki Candak Sedo, "Mengapa kau gunakan lagi jurus itu, sedangkan kulihat kau belum terdesak sekali!"

"Untuk mempercepat pekerjaan harus begitu, Guru!"

"Tidak! Aku tidak suka dengan caramu seperti itu! Kau terlalu mengumbar ilmu andalan! Nantinya kau akan celaka sendiri karena ulah seperti itu! Lain kali, jika belum terdesak jangan menggunakan jurus pukulan itu, tahu?!"

"Baik. Saya tahu, Guru!" Karang Wesi anggukkan kepala.

"Teruskan perjalanan pulang kita!" Ki Candak Sedo bersungut-sungut.

Karang Wesi membatin, "Orang tua ini memang banyak mulut tanpa bisa meresapi beratnya menjadi seorang penjaga keselamatan jiwa! Sudah dibela, tapi masih mengecam! Uuh...!"

Selain rasa jengkel yang bermukim di hati Karang Wesi, ada pula nafsu serakahnya yang sejak hari-hari kemarin disembunyikan rapat-rapat di dasar hatinya. Maka, dengan serta-merta Karang Wesi mencabut kapaknya dan menghantam kuat-kuat tubuh gurunya sendiri dari belakang.

Crasss...!

Ki Candak Sedo tak sempat terpekik. Bahkan untuk terkejut pun tak punya kesempatan. Tahu-tahu kepalanya tergelinding jatuh dari leher yang ditebas memakai kapak tiga mata oleh muridnya sendiri.

"Kalau tak begini, tak kudapatkan minyak itu! Aku hanya akan mendapatkan amarah dan hukuman darinya!"

Sekejap Karang Wesi terkesiap, mulutnya ternganga. Sekalipun hatinya pada saat itu juga timbul rasa sesal yang amat besar, karena ia telah membunuh gurunya sendiri dengan keji, tapi rasa sesal itu berusaha dilenyapkan dari lubuk hatinya. Namun hal yang membuat Karang Wesi terkesiap dan mematung di tempat setelah berhasil mengambil alih guci Minyak Darah Malaikat itu, adalah sesuatu yang sangat tidak disangka-sangka sebelumnya.

Tubuh Ki Candak Sedo tiba-tiba lenyap. Mengepul asap putih di bagian kepalanya yang terpenggal dan raganya yang rubuh tengkurap itu. Asap tersebut bagai membakar habis jasad sang Guru, tapi darahnya masih membekas dan membanjir di tanah itu. Darah tersebut bergerak-gerak bagaikan mendidih, kemudian Karang Wesi mendengar suara dari darah itu yang berkata,

"Muridku, sayang sekali kau dikuasai oleh nafsu setanmu. Tapi ketahuilah, tak sampai satu minggu, walau kau mandi minyak itu, kau tetap akan mati dan menyusulku ke alam kelanggengan! Kau tetap akan mati, Karang Wesi, muridku tersayang...!"

Tertegun Karang Wesi, gemetar sekujur tubuhnya mendengar kutuk yang keluar dari darah gurunya sendiri itu.

* * *

DELAPAN
KARANG Wesi kembali masuk ke gua tersebut. Kali ini ia masuk ke dalam gua bukan untuk mencari siapa-siapa, melainkan untuk melepas seluruh pakaiannya dan bermandi Minyak Darah Malaikat yang diidam-idamkan itu. Untuk melepas seluruh pakaiannya, Karang Wesi terpaksa memilih tempat yang lebih dalam sedikit, supaya jika ada yang datang sewaktu-waktu tidak melihat keberadaannya di situ.

Seperti yang pernah dikatakan Ki Candak Sedo, sebuah lorong yang menuju ke ruang sekat sembilan punya cahaya penerang dari sinar kesembilan sekat itu. Memang tak terlalu terang, tapi cukup untuk menjadi penuntun langkah manusia. Dan lorong itu kini ditemukan oleh Karang Wesi. Di lorong itulah Karang Wesi melepaskan seluruh pakaiannya, sampai pada cincin, perak penghias jari pun dilepaskan.

Setelah Karang Wesi berhasil polos seperti bayi baru lahir, ia segera membuka penutup guci. Guci hitam itu disumpal lubangnya memakai sepotong kayu randu. Karang Wesi pun mencabut kayu penyumbat mulut guci. Tetapi ternyata tidak semudah mencabut penyumbat tutup guci seperti biasanya. Penyumbat itu sangat kuat, seakan menjadi satu dengan mulut gucinya.

Dengan kerahkan tenaga Karang Wesi mencabut penyumbat itu, namun tetap tidak bisa terlepas. Bahkan kali ini dengan kerahkan tenaga dalamnya Karang Wesi mencabut kayu penutup itu, namun sampai tubuhnya gemetar dan menjadi merah, masih saja tutup itu tak bisa dilepaskan. Sementara itu, di luar gua terdengar suara percakapan dua-tiga orang yang agaknya mau masuk ke dalam gua namun merasa sangsi. Karang Wesi sedikit gugup karena keadaannya masih telanjang, sedangkan tutup guci masih belum bisa dibuka.

Terdengar suara gemuruh dari kedalaman lorong. Bias cahaya yang sampai di tempat Karang Wesi mulai surut. Terkesiap Karang Wesi memandang ke dalam. Mengapa bias cahaya menjadi surut, dan terdengar suara gemuruh? Apakah ada sesuatu yang terjadi di lorong bersekat sembilan itu?

Suara gemuruh kini disusul dengan guncangan kecil. Gempa kecil itu membuat batuan dan pasir di atap gua mulai berhamburan. Sementara itu, Karang Wesi masih belum berhasil mencabut penutup guci walau sudah mengerahkan tenaga dalamnya sebesar mungkin. Dari luar gua makin jelas percakapan yang dilakukan oleh dua-tiga orang yang bertekad mau masuk ke dalam gua itu.

"Celaka! Sulit sekali membuka penutup guci ini! Bagaimana kalau mereka masuk bersama dalam keadaan aku masih telanjang begini? Setidaknya aku harus melarikan diri untuk menghindarkan guci ini dari tangan mereka! Haruskah aku lari dalam keadaan telanjang begini! Hmm... barangkali cara membuka guci ini tidak melalui kayu penutupnya. Mungkin dari bagian pantat guci...?"

Karang Wesi memeriksa bagian guci itu dengan mata menyipit karena kurang mendapat cahaya, ia meraba-raba guci tersebut dan tidak menemukan lubang apa pun yang memungkinkan untuk keluarnya minyak tersebut

"O, ya...! Kenapa tidak kulubangi saja bagian bawah guci ini, biar bisa mengucur minyak di dalamnya, dan kurasa memang harus dengan cara begitu?!"

Karang Wesi segera mencari alat untuk melubangi guci. Disodok dengan gagang kapak, terlalu besar. Guci bisa pecah berantakan. Tak ada kayu, juga tak ada besi yang pas untuk melobangi guci tersebut.

"Ah, mengapa tidak kugunakan jurus 'Jari Baja'ku?!" pikirnya. Kemudian Karang Wesi mengeraskan jari tangannya yang tengah. Jari itu menjadi tegak keras dan membara merah bagian kukunya. Lalu dengan satu sentakan pelan, jari itu menyodok guci tersebut pada bagian bawahnya.

Tres...! Crubb...!

Gemuruh dari dalam gua semakin kuat, tanah berguncang bagai dilanda gempa. Guci itu bolong dan memancarkan cahaya terang, lalu mengalirlah cairan bening dari dalam guci. Cairan bening itu membuat suasana lorong menjadi semakin terang. Baunya harum menyertakan ke seluruh lorong.

Dengan tawa kegembiraan, Karang Wesi mengucurkan minyak bening itu ke sekujur tubuhnya. Dari atas kepala sampai kaki dimandikan dengan Minyak Darah Malaikat. Semua tempat, semua tekuk tubuhnya mendapat guyuran minyak tersebut. Tak ketinggalan bagian telapak kakinya juga diusapi dengan minyak tersebut.

Suara percakapan orang semakin terdengar jelas. Makin lama makin mendekati lorong tempat Karang Wesi bermandi Minyak Darah Malaikat. Sedangkan cahaya di ruangan itu semakin menjadi terang. Seolah- olah keharuman minyak tersebut pancarkan cahaya terang ke mana-mana. Hal ini membuat mata Karang Wesi semakin bisa melihat dengan jelas, bagian tubuh yang mana yang belum dimandikan dengan minyak tersebut.

Pada saat Karang Wesi sudah yakin semua tubuhnya sudah basah oleh Minyak Darah Malaikat itu, maka muncullah seseorang berpakaian serba putih dari arah mulut gua. Orang tersebut memandangi Karang Wesi dengan wajah dingin mata memandang datar. Karang Wesi tersentak kaget dan bingung dengan keadaannya yang masih telanjang, ia hanya menyapa dengan mulut gemetar,

"Hmm... oh... eh... Guru...?!" Karang Wesi menyapa orang itu dengan sebutan Guru, karena memang yang dilihatnya adalah Ki Candak Sedo. Pakaiannya, putih dalam bentuk jubah dari atas kepala sampai kaki. Bersih tanpa luka dan darah sedikit pun.

Kemudian muncul pula orang lain yang berpakaian seperti itu, kerudung jubah dari atas kepala sampai kaki, warnanya putih bersih tanpa kotoran sedikit pun. Wajah itu juga membuat Karang Wesi terperanjat kaget. Ia kenal betul wajah angker itu, yang tak lain adalah wajah Warok Kober.

"Ki Warok...?!" gumam Karang Wesi masih tertegun di tempat.

Setelah itu muncul dua sosok berpakaian kerudung putih dari kepala sampai kaki hingga kelihatan wajahnya saja. Di wajah mereka juga terbentang kebekuan dan sorot pandangan mata yang datar. Dan Karang Wesi pun mengenali wajah mereka itu, hingga tak sadar ia sebutkan kata,

"Setan Gunung...?! Cambuk Guntur...?! Oh, ada pula di belakangnya si Macan Bangkai...?! Oh, apa yang terjadi sebenarnya?"

Ternyata bukan hanya mereka yang muncul, melainkan semua korban yang mati dibunuh oleh Karang Wesi bermunculan dengan mengenakan kain kerudung dari kepala sampai kaki warna putih bersih. Mereka memenuhi lorong itu hingga Karang Wesi tak punya jalan untuk lari keluar dari gua tersebut.

Ia segera berpaling ke belakang untuk mencari jalan menuju Sekat Sembilan. Tetapi dari arah sana pun muncul sosok berpakaian putih dari kepala sampai kaki. Jumlah mereka pun cukup banyak. Satu di antara wajah yang sempat dikenali oleh Karang Wesi adalah wajah Nyai Sirih Wangsit, Kidung Sentanu, dan Eyang Danujaya, Talang Sukma, serta Permeswari Bayangan, yang semua itu adalah teman baik dari Ki Candak Sedo. Juga tokoh-tokoh lain yang tidak dikenali oleh Karang Wesi.

Tetapi anehnya, Ki Candak Sedo juga ada di rombongan orang-orang golongan putih yang telah tiada, jadi bukan hanya ada pada rombongan orang-orang yang menjadi korban pembunuhan Karang Wesi saja. Wajah Ki Candak Sedo yang ada dalam rombongan para tokoh putih itu dalam keadaan tersenyum berseri, bagai mencerminkan suatu keramahan dan keceriaan. Sama dengan wajah mereka yang berada di golongan tersebut.

Mereka mendekati Karang Wesi dengan langkah pelan. Karang Wesi jadi terkurung antara dua rombongan aneh berpakaian sama semua. Sedangkan suasana menegangkan itu membuat Karang Wesi tak sempat mengenakan pakaiannya. Belum lagi getaran tanah gua yang masih terus berguncang bagai mau runtuh atapnya itu, makin membuat Karang Wesi tak sempat berpikir lain kecuali meloloskan diri dari kepungan mereka, yang menurut hati Karang Wesi mereka bermaksud tak baik kepadanya, terutama rombongan si Macan Bangkai, Warok Kober dan yang lainnya itu.

Anehnya mereka tak ada yang bersuara satu pun. Mereka melangkah pelan juga tanpa timbulkan suara gaduh di lantai gua. Hanya pancaran mata dari rombongan Warok Kober saja yang seolah-olah berkesan menuntut balas atas kematiannya, sedangkan pandangan mata yang ada dalam rombongan Nyai Sirih Wangsit tidak berkesan menuntut apa-apa selain berkesan keramahan yang damai.

"Kalau aku tidak segera keluar dari gua ini, aku bisa mati terkubur di sini!" pikir Karang Wesi. "Aku harus cepat-cepat keluar dengan menerobos jalan yang ditutup oleh rombongan Warok Kober itu! Tapi mungkinkah akan bisa kuterobos?!"

Gemuruh dari dalam gua bertambah jelas suaranya, jelas pula guncangannya. Reruntuhan pasir dan kerikil makin berjatuhan dari langit-langit gua tersebut. Karang Wesi bertambah tegang. Maka, dengan segera ia sentakkan kedua tangannya ke depan.

Wussst...!

Sebuah pukulan tenaga dalam yang bernama 'Sapu Jagat' itu dilepaskan oleh Karang Wesi. Gulungan angin bagai topan menghempas lepas, membuat rombongan Warok Kober terhempas tanpa suara, masing-masing bagai terbawa arus angin kencang ke luar gua. Tak ada suara sakit, mengeluh, mencaci atau bahkan suara bergedebuk dari kaki dan tubuh mereka yang saling bersentuhan juga tak terdengar.

Karang Wesi tertegun di tempat. Orang-orang yang terkena sapuan jurus 'Sapu Jagat" itu bagai menembus dinding gua dan menghilang di sana, sebagian juga tampak ada yang terlempar membelok lorong menuju mulut gua. Sedangkan rombongan Nyai Sirih Wangsit itu diam tak bergerak maju lagi, namun juga tak segera lenyap. Wajah-wajah mereka tetap ramah berseri tanpa suara apa pun.

Glurrr...!

Terdengar suara menggelegar kecil di bagian dalam lorong ruang Sekat Sembilan itu. Tampak mulai ada debu di sana, seperti atap gua mulai runtuh. Suara itu semakin bertambah keras dan mengguncangkan tanah dengan kuat. Tubuh Karang Wesi pun terlempar di dinding kanan-kiri. Sementara orang-orang rombongan Nyai Sirih Wangsit segera terlihat melambaikan tangan kepada Karang Wesi. Mereka tokoh-tokoh sakti dari golongan putih yang darahnya dipakai mandi oleh Karang Wesi.

Sedangkan Karang Wesi sendiri tak mengerti apa maksud lambaian tangan mereka yang berkesan mengucapkan selamat tinggal itu. Karang Wesi hanya tahu, atap sebelah sana mulai runtuh, ia tak boleh terpaku di tempat, ia cepat melarikan diri ke arah luar dengan suara gemuruh tambah keras, guncangan tambah hebat, seakan suara gemuruh runtuhnya langit-langit gua itu semakin mengejar ke arahnya. Karang Wesi pun tak perlu memandang ke belakang lagi, ia percepat langkahnya hingga dalam waktu singkat sudah sampai di luar gua.

Gemuruh suara runtuhnya atap gua semakin jelas. Guncangan tanahnya kian memburu ke luar juga. Dan ketika Karang Wesi mulai melarikan diri menjauhi gua tersebut, keadaan pintu gua pun tertutup oleh runtuhnya atap gua. Debu asap, dan bebatuan kecil tersembur keluar bagai mulut seekor naga semburkan racun dari dalam badannya. Semburan itu cukup kuat dan keras sentakannya, hingga timbulkan suara yang merindingkan bulu kuduk manusia.

Wooosss...! Wooourrsss..!

Glegarrr...! Suara itu menggema bagai terbawa angin ke seluruh penjuru dunia. Karang Wesi sudah cukup jauh dalam pelariannya. Ketika ia berpaling sebentar ke belakang, ternyata ada batu putih sebesar seekor banteng yang menggelinding mengejarnya. Semakin lama batu itu menggelinding semakin bertambah besar wujudnya. Agaknya batu itu menggelinding mengikuti arah pelarian Karang Wesi.

"Batu setan! Pohon-pun diterjang habis! Aku harus lebih cepat melarikan diri agar tak bernasib seperti pohon itu!" pikir Karang Wesi. Ia menjadi ngeri karena melihat pepohonan besar diterjang habis oleh batu yang makin lama makin menjadi sebesar rumah itu. Tak ada tanaman yang selamat dan bisa menahan gulungan batu besar tersebut.

Karena panik, Karang Wesi tak pikirkan arah larinya, tak pikirkan keadaan dirinya, hingga akhirnya ia terjebak di mulut jurang, ia terhenti di sana tak bisa lari lagi, sementara batu itu menggelinding cepat ke arahnya dalam ukuran lebih besar dari sebuah rumah. Sedangkan untuk melompat ke jurang sudah tak mungkin bisa selamat, karena jurang itu bertebing licin tanpa tanaman apa pun selain rumput lumut.

"Mati aku kalau begini?! Kutukan darah Eyang Guru agaknya menjadi kenyataan!" pikir Karang Wesi.

Batu semakin dekat. Karang Wesi tak punya kesempatan lolos, akhirnya ia menggunakan pukulan tenaga dalam yang bersifat sebagai pukulan penghancur. Sinar merah, hijau, kuning melesat berulang kali silih berganti, menghantam batu yang masih menggelinding dalam jarak sepuluh langkah itu. Tapi batu tidak bisa hancur.

Akhirnya, ketika batu itu hampir menggilas tubuhnya, Karang Wesi segera kerahkan pukulan 'Angin Lahar'. Tepat pada saat batu besar mendekatinya, kedua tangannya yang telah mengandung pukulan 'Angin Lahar' itu digunakan untuk menahan gerakan batu.

Gluduk gluduk gluduk...! Plakk...! Gluduk gluduk..!

Ternyata batu tetap menggelinding dan menggilas tubuh Karang Wesi yang tak mampu menghindar lagi itu.

"Aaaa...!" suara jerit ketakutannya hilang seketika sewaktu batu menggilasnya tanpa ampun lagi. Kemudian alam pun menjadi sepi, bumi bagaikan mati. Hening tercipta panjang tanpa suara hembusan angin sekalipun. Matikah murid keji Ki Candak Sedo itu?

Tidak, ia tidak mati. Ia masih hidup dan membuka matanya pelan-pelan. Mengerjap-ngerjap sebentar sambil pulihkan kesadaran dan keyakinan dalam hatinya bahwa ia belum mati. Ia memang terkapar, namun masih bisa bernapas dan bergerak.

"Oh, di mana aku? Sepertinya aku tidak mati! Aku masih bisa bernapas dan... tulangku tidak remuk! Oh, tak ada luka sedikit pun pada tubuhku, padahal batu besar itu menggilas aku tanpa ampun lagi! Aneh...! Apakah ini semua akibat aku sudah mandi Minyak Darah Malaikat?!"

Karang Wesi memeriksa tubuhnya, ia sudah berdiri, dan ia mulai tersenyum gembira setelah yakin betul tak ada luka di tubuhnya. Goresan sekecil jarum pun tak ada. Tubuhnya masih berkilauan minyak, rambutnya pun masih basah, dan Karang Wesi tersentak sangat kaget setelah ia sadar, bahwa dirinya masih belum kenakan pakaian apa pun. Buru-buru ia menangkap seekor burung untuk melindungi rasa malu jika ada yang melihatnya. Kekhawatirannya itu ternyata menjadi kenyataan, ada yang melihatnya telanjang.

Seorang gadis berpakaian hijau muda sebatas dada, berdiri dibalik pohon. Gadis itu menyandang pedang dipunggung, matanya yang cantik berkesan nakal. Sesekali sengaja melirik Karang Wesi sambil menahan senyum dikulum. Gadis itu tak lain adalah Andini, yang lebih dulu tiba di pelataran gua sebelum Gayatri menyusulnya.

"Jangan memandangku! Pandang arah lain!" kata Karang Wesi membentak karena panik, tak ada pakaian siapapun yang bisa dipinjamnya, tak ada kain apapun yang bisa dipakai sebagai penutup tubuh. Mata Karang Wesi memandang jelalatan ke sana-sini, mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi tubuhnya. Lalu ia melangkah pada semak berdaun kecil sambil tetap menangkap seekor burung hingga jalannya mirip seekor bebek yang pantatnya melenggak-lenggok demi selamatkan rasa malunya. Daun-daun semak diambilnya beberapa helai dan dijadikan alat penutup sementara untuk bagian tertentu saja.

Sedangkan dari balik pohon itu terdengar suara Andini berseru di sela tawa yang mengikik geli, "Sayang sekali aku tidak mengenakan jubah. Kalau aku kenakan jubah akan kusembunyikan kau di dalam jubahku!"

"Diam!" bentak Karang Wesi marah sendiri karena kepergok bugil begitu dan tak mampu menghadapi rasa malu.

"Kalau kau mau, akan kucarikan selembar daun pisang untuk menutupi tongkat wasiatmu itu!" goda Andini.

"Tinggalkan aku! Pergi sana! Tak ada yang perlu kau tunggu dariku, Perempuan Nakal!"

"Ada yang kuharap darimu, Pendekar Cabul!" ejek Andini dengan menyebut Karang Wesi sebagai Pendekar Cabul. "Aku akan berdiri memandangmu terus di sini jika kau tidak serahkan Minyak Darah Malaikat padaku!"

Terkesiap mata Karang Wesi memandangi perempuan bandel itu keluar dari balik pohon. Matanya terang-terangan memandang ke arah Karang Wesi, membuat Karang Wesi bertambah gusar. "Pergilah! Aku tak memiliki Minyak Darah Malaikat!"

"Tak mungkin!" Andini sunggingkan senyum menggoda. "Kulihat kau keluar dari gua itu dalam keadaan bugil begitu! Kau berlari-lari seperti menggenggam sesuatu di bagian depanmu. Mungkin Minyak Darah Malaikat yang kau genggam sejak tadi!"

"Bukan! Aku menggenggam burung rajawali, dan bukan guci Minyak Darah Malaikat!"

"Ha ha ha ha...!" Andini tertawa lepas. "Jadi kau bukan menggenggam guci Minyak Rajawali, eh... guci Minyak Darah Malaikat?"

"Sudah kukatakan aku tidak tahu soal itu! Pergilah sana!"

"Aku tak akan pergi sebelum kau memberikan minyak itu. Aku yakin kau telah mendapatkan minyak itu. Jika kau belum mendapatkannya, tak mungkin kau lari sampai secepat itu tanpa ada yang mengejarmu!"

"Apakah kau tak melihat sebongkah batu menggelinding mengejarku sampai di sini?!"

"Tak ada batu, tak ada daun yang mengejarmu, Pendekar Cabul!" Andini memandang sambil geleng-geleng kepala, tetap sunggingkan senyum menggoda.

Karang Wesi kerutkan dahi. "Benarkah tak ada yang mengejarku?"

"Kau lari seperti pencuri yang kepergok, Pendekar Cabul!"

"Aneh...?!" lalu mata Karang Wesi memandang keadaan sekeliling, ternyata tak ada pohon tumbang sepanjang jalur pelariannya tadi, rumput rusak tergilas batu besar pun tak ada. Karang Wesi benar-benar bingung dan segera bertanya kepada Andini. "Apakah... apakah kau melihat gua itu semburkan reruntuhannya?"

"Reruntuhan apa?! Gua itu masih utuh tapi aku yakin minyaknya ada pada dirimu, Pendekar Cabul!"

"Masih utuh?! Lantas... apa yang kualami tadi?!" Karang Wesi terbengong-bengong semakin bingung. "Aneh semuanya! Dan... aduh, daun ini rupanya punya getah yang bikin gatal! Uuh... tak tahan aku dengan rasa gatalnya! Mau digaruk, malu. Tidak digaruk, gatal sekali?! Aduh, bagaimana ini!" Karang Wesi semakin salah tingkah, Andini bertambah nakal memandang.

* * *

SEMBILAN
KARANG Wesi penasaran, ia ingin membuktikan kata-kata gadis yang belum dikenalnya itu. Menurut pengakuan Andini, ia hanya melihat Karang Wesi keluar dari gua dengan berlari terbirit-birit dengan sangat ketakutan. Andini mengikuti larinya Karang Wesi dari tempat tersembunyi. Dan ia melihat Karang Wesi sering berpaling ke belakang dengan wajah makin cemas. Andini hanya melihat keadaan Karang Wesi yang lari sendirian tanpa melihat batu besar mengejar pria itu.

Bahkan Andini sempat merasa heran melihat Karang Wesi tiba di bibir jurang, lalu sentakkan tangannya melepas pukulan tenaga dalam, dan akhirnya menjatuhkan diri sampai beberapa saat baru bangkit, Andini menyangka orang yang telanjang itu adalah orang gila.

Pengakuan Andini itu didukung dengan keadaan pohon yang pernah dilewati Karang Wesi dalam keadaan utuh. Padahal tadi Karang Wesi melihat pohon itu tumbang lebih dari tiga puluh pohon jumlahnya yang terhantam batu besar. Ternyata pohon-pohon itu tetap utuh, dan yang lebih mengherankan, ternyata mulut gua itu pun tetap utuh, terbuka tanpa ada bekas reruntuhan sedikit pun. Maka timbullah pertanyaan-pertanyaan di dalam hati Karang Wesi tentang apa yang dialaminya sebenarnya.

"Suatu khayalan atau gangguan penglihatan karena aku mandi Minyak Darah Malaikat? Barangkali Minyak Darah Malaikat ingin membuktikan padaku, bahwa tubuhku telah menjadi kebal dan tak mampu digilas batu sebesar itu! Atau mungkin semua yang kualami ini hanya impian mata melek saja? Tapi bagaimana dengan wajah-wajah berkerudung kain putih dari kepala sampai kaki itu? Apakah itu juga mimpi?"

Karang Wesi termangu-mangu di depan gua, memikirkan keanehan itu sambil tak sadar menggaruk-garuk bagian yang ditutup daun itu. Ia juga tak sadar kalau daun itu rontok satu persatu akibat garukan tangannya. Sementara itu, Andini menunggu di belakang Karang Wesi di balik sebatang pohon jati merah. Perempuan yang kenakan pakaian pinjung hijau sebatas dada itu bukan menunggu untuk melihat kepolosan tubuh Karang Wesi, tapi menunggu untuk mendapatkan janjinya. Janji dari Karang Wesi, yang ingin membagi dua minyak tersebut, jika Andini mau palingkan wajah dan tidak sering memandangnya selama Karang Wesi berjalan kembali ke gua tersebut. Andini setuju untuk syarat ringan itu.

Bahkan sekarang Karang Wesi berkata, "Tunggulah di sini, aku akan masuk ke dalam gua!"

"Kau mau main licik?!"

"Bukan! Bukan itu maksudku! Pakaianku tertinggal di dalam gua! Minyak itu memang sudah kudapatkan, dan ingin kupakai untuk mandi, tapi kejadian-kejadian aneh itu terjadi menakutkan sekali, sehingga minyak dan pakaian tertinggal di dalam sana! Aku harus mengambilnya, lalu kita bagi dua!"

"Harus kuantar kau masuk untuk mengambil minyaknya!"

"Baiklah. Tapi jangan terlalu dekat, aku tak enak dengan pandangan matamu! Aku belum pernah dalam keadaan seperti ini di depan seorang perempuan!"

"Masuklah! Aku mengawalmu dari kejauhan. Kalau kau licik dan curang, aku menyerangmu untuk satu jurus saja, dan kau tak akan bisa bernapas lagi!"

Andini sengaja tidak mau masuk gua sendiri, ia bisa menduga di dalam gua banyak jebakan. Menurutnya lebih baik membiarkan Karang Wesi masuk dan mengambil minyak itu, sambil Andini memberi umpan kepada jebakan melalui diri pemuda itu. Jika terjadi sesuatu yang berbahaya, maka Karang Wesi-lah yang mati. Andini bisa mempelajari kelemahan jebakan tersebut, ia belum tahu bahwa minyak itu sebenarnya sudah dipakai mandi oleh Karang Wesi.

Karena itu di dalam hati Karang Wesi tertawa kegelian sendiri. Andini mudah ditipu, ia segera kenakan pakaian secepatnya dan ia mengambil guci kosong itu dengan menutup lubangnya agar tidak dilihat Andini. Semua yang dilakukan Karang Wesi itu dalam pengawasan Andini dari jarak jauh. Ketika Karang Wesi mengangkat tangan yang memegang guci dengan tersenyum, Andini pun sunggingkan senyum kegembiraan. Setidaknya ia bisa mendapatkan separo bagian dari minyak itu. Tetapi dalam hatinya ia berkata,

"Kalau perlu kutebas batang lehernya biar minyak itu menjadi milikku semua! Tapi kalau kelihatannya tidak memungkinkan, jangan kulakukan, karena itu akan membuat aku tak memiliki minyak sedikit pun nantinya!?"

Tetapi tiba-tiba hati Andini kembali bertanya-tanya tentang beberapa kejanggalan yang ditemuinya, dan hal itu membuatnya semakin curiga kepada Karang Wesi. "Mengapa ia lari dalam keadaan telanjang? Tubuhnya basah oleh cairan, dan cairan keringatkah itu? Mengapa sampai pada rambutnya juga basah? Mengapa dia berbau harum mempesona? Bukankah menurut cerita mendiang Guru, siapa pun yang memakai atau mandi Minyak Darah Malaikat, tubuhnya akan selalu berbau harum? Dan mengapa ia dengan mudah sepakati perjanjian untuk menyerahkan separo minyak padaku? Jangan-jangan dia sudah pakai itu minyak untuk mandi? Oh, celaka kalau begitu! Bisa kutebas tanpa ampun dia kalau benar telah menggunakan minyak itu dan mengelabuiku?"

Karang Wesi melangkah keluar dari gua tersebut sambil menggenggam guci tempat minyak yang tak seberapa besar itu. Sampai di depan gua, tiba-tiba suaranya dibuat menyentak kaget, "Wah, guci ini bocor berlubang...! Lihatlah...?!"

Andini diam memandang dengan dada semakin cemas.

"Celaka! Minyaknya habis dan tak ada setetes pun disini! Periksalah sendiri...! Periksalah...!" sambil Karang Wesi menunggingkan guci, menunjukkan bahwa tak ada setetes minyak yang keluar dari lubang dibawah guci itu. "Bagaimana ini? Tak ada minyak dalam guci ini. Andini?"

"Tentu saja, karena minyak itu telah kau pakai untuk mandi, Karang Wesi!"

Tak sadar tangan Karang Wesi menggaruk-garuk lagi tempat yang tadi dibungkus daun bagai lontong tanpa isi. Getah daun atau bulu daun itu timbulkan rasa gatal melebihi daun talas. Sambil menggaruk-garuk tempat yang gatal, Karang Wesi sunggingkan senyum dan berkata, "Syukurlah kalau kau sudah tahu semua itu! Tapi kau masih beruntung, karena kau bisa menikmati keadaanku tanpa selembar benang pun, dan kau bisa mendapatkan guci bekas tempat Minyak Darah Malaikat ini. Kuberikan padamu, siapa tahu suatu saat berguna untuk satu keperluan! Mungkin bisa kau gunakan sebagai celengan?!"

"Setan kau, Karang Wesi...!" geram Andini tak sabar lagi. Kemudian ia tebaskan pedangnya ke leher Karang Wesi dengan satu sentakan kebencian, "Heahh...!"

Bettt...! Wuttt...!

Pedang itu meleset dari sasaran. Kepala Karang Wesi lebih cepat bergerak merendah dan segera tegak lagi. Ia belum berani mengambil sikap untung-untungan dan mencoba-coba terhadap keampuhan minyak yang dipakainya mandi. Sebab jika ternyata keampuhan minyak itu cuma bohong, tidak memberikan kekebalan, maka lehernya pun pastikan putus jika ditebas oleh pedang Andini. Maka, Karang Wesi masih berusaha menghindar, namun belum lepaskan satu serangan pun.

"Hiaaat...!" Andini makin penasaran, dua kali serangannya meleset. Kali ini ia kibaskan pedangnya untuk memenggal lengan Karang Wesi. Kibasan itu sangat cepat dan kencang.

Bettt...! Trangngng...!

Mata Karang Wesi terkesiap melihat tangannya tetap utuh tanpa luka dan lecet sedikit pun. Ketika pedang tadi memenggal tangan, terjadi percikan api sekejap, seolah-olah pedang itu membentur besi baja yang amat keras. Berdebar bangga dan girang hati Karang Wesi melihatnya. Untuk selanjutnya, Karang Wesi sengaja tidak menghindari serangan jurus pedang Andini yang makin membabi buta itu.

Trang trang trang... sreng...! Trangngng...!

Andini semakin jengkel dan penasaran. Jurus pedangnya bukan sekadar jurus biasa, tapi mempunyai saluran tenaga dalam yang cukup tinggi. Bukan hanya percikan api saja yang keluar dari penggalan dan tebasan pedangnya, tapi sinar bertenaga dalam itu pun ikut keluar bersama tebasan pedangnya. Hanya saja, sinar-sinar itu pun tak bisa melukai kulit tubuh Karang Wesi. Bagian tangan, kaki, kepala, perut, punggung, semuanya sudah dicoba oleh Andini untuk dilukai, tapi tak berhasil. Bahkan untuk memotong daun telinga pun pedang itu tak mampu melakukannya.

"Ha ha ha ha...!" Karang Wesi tertawa kegirangan terbahak-bahak.

Sementara itu, Andini melesat mundur empat tindak. "Jangan merasa bangga dulu, Karang Wesi! Terimalah jurus 'Pedang Langit Pitu' ini! Hiaaah...!"

Pedang itu dibabatkan ke samping kanan-kiri dengan cepat, lalu tiba-tiba disentakkan ke depan dengan tangan kiri Andini ke atas lurus dan satu kakinya ke belakang lurus, kaki satunya sedikit merendah. Maka, zlappp...!

Seberkas sinar biru tanpa putus melesat cepat menembus dada Karang Wesi. Sinar itu jelas-jelas menghantam pertengahan dada, namun dada itu tak bisa bolong. Sinar itu hanya melesat mengitari tubuh Karang Wesi, berlarian ke sana-sini, tanpa bisa melukai. Padahal cukup lama sinar biru tanpa putus itu menerpa dada lawannya, bahkan berpindah ke pusar segala, tapi tetap tak bisa menembus atau membakar tubuh Karang Wesi. Bahkan pakaiannya pun tak bisa robek atau terbakar.

"'Pedang Sukma Matahari'! Hiaaah...!"

Zllubb...! Sinar merah melesat dari ujung pedang yang dipegang dua tangan itu. Sinar merah tersebut sedikit lebih besar ukurannya dari sinar biru tadi. Gerakannya juga lurus tanpa putus membentur tengah kening Karang Wesi. Tapi kepala itu tak merasakan panas sedikit pun, karena memang sinar merah hanya bisa berloncatan ke sana-sini tanpa bisa melukai sedikit saja.

"Ha ha ha ha ha...!'' makin terbahak-bahak Karang Wesi melihat kenyataan yang dialaminya. Semakin bangga dia akan dirinya sendiri yang tak mempan di tembus sinar bertenaga dalam ataupun senjata setajam pedangnya Andini.

"Aahg...!" Andini terpental jatuh terguling-guling. Pedangnya sendiri sampai lepas dari tangan dan terpisah jauh dari dirinya. Mata Andini terbeliak-beliak ketika dihampiri Karang Wesi. Mulutnya keluarkan darah kental, juga dari lubang hidungnya. Wajah Andini menjadi pucat pasi dalam waktu singkat.

"Ini hukuman bagi perempuan yang suka pandangi tubuhku dalam keadaan polos! Kau harusnya tahu, Andini, aku paling benci dipandangi perempuan dalam keadaan polos, sebab itu sama saja perempuan tersebut telah tahu seluruh rahasia hidupku! Kau layak untuk mati, Andini! Dan barangkali aku harus mempercepat kematianmu, sebelum aku meninggalkan kau untuk memburu Siluman Tujuh Nyawa! Heaaah...!"

Karang Wesi mengangkat kakinya untuk dihentakkan ke dada Andini. Hentakan kaki itu diperhitungkan akan mempercepat kematian Andini, karena Karang Wesi menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak kaki. Tapi sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke depan dan jatuh melompati tubuh Andini. Karang Wesi merasa mendapat dorongan tenaga yang cukup kuat dari belakang, sehingga kekokohan kakinya yang saat itu hanya satu yang dipakai berdiri itu menjadi berkurang. Maka ia pun terlempar ke depan.

Tenaga besar yang menyentaknya dari belakang itu tak lain adalah pukulan jarak jauh Gayatri yang datang tepat pada waktunya. Gayatri segera menghampiri kakaknya sambil berseru cemas, "Andini...?!"

Ia ingin merunduk untuk menolong kakaknya, tapi tiba-tiba Karang Wesi menghampirinya dengan langkah cepat, lalu menendang wajah perempuan yang rambutnya meriap ke depan itu.

Plokk...! Wutt!

Tubuh Gayatri terlempar ke belakang dan jatuh berguling. Tapi ia segera bangkit walaupun merasa sakit pada bagian dagunya, ia segera mencabut senjata trisulanya sambil menggeram, "Kau telah melukai kakakku, kau harus tebus dengan nyawamu!"

"Ha ha ha ha...! Kakakmu pakai pedang tadi! Dia tebas seluruh tubuhku, tapi tak ada yang bisa melukai tubuhku! Apalagi kau, hanya bersenjata trisula seperti itu, aah... pulang sajalah! Ambil pusaka milik bapakmu biar kau bisa melukai tubuhku, atau pusaka itu sendiri yang nantinya akan hancur?!"

"Setan jahanam kau! Hiaaah...!" Gayatri sentakkan trisulanya ke perut Karang Wesi dengan kuat.

Wuttt...! Trakk...! Trisula itu patah seketika, kulit dan baju Karang Wesi tidak luka atau robek sedikit pun. Gayatri makin panas hatinya. Kemudian ia menggunakah pukulan dari jurus 'Tapak Gledek'. Tangan kanannya menggenggam kuat-kuat dan disentakkan ke depan, begitu hampir tiba di dada lawan genggaman itu terbuka dan cahaya biru pendar-pendar melesat bersama hantaman telapak tangan di dada lawan.

Blarrr...!

Gayatri terlempar kebelakang, jatuh berguling-guling membentur pohon di belakangnya, ia sendiri yang segera muntahkan darah dari mulutnya walau tak banyak. Sedangkan Karang Wesi hanya tertawa terbahak-bahak, lalu menghampiri Gayatri. Rambut Gayatri dijambaknya, diangkat ke atas sehingga tubuh itu terpaksa ikut berdiri.

Terdengar suara Andini berseru dengan tertahan, "Lepaskan dia! Jangan lukai dia dan jangan sentuh dia lagi! Lawanlah aku...!"

Plakkk...! Karang Wesi menampar keras wajah Gayatri hingga gadis itu terlempar dengan sebagian rambut berodol di tangan Karang Wesi. Kemudian Karang Wesi membalikkan badan dan melihat Andini sedang berusaha untuk bangkit namun tak bisa.

"Kalau dia adikmu, maka sepantasnya dia menerima pelajaran itu, supaya dia tahu bahwa aku orang yang tidak boleh diremehkan! Dia dan kamu harus tunduk padaku!"

"Hiaaat...!" Gayatri bangkit dan menyerang dengan satu lompatan ke arah Karang Wesi.

Dengan cepat pula Karang Wesi melepaskan pukulan dalam sinar kuning. Sinar kuning itu melesat cepat sebelum Gayatri mendekatinya, tapi tiba-tiba sinar kuning itu pecah di udara karena berbenturan dengan sinar hijau yang datang dari arah samping.

Blarrr...!

Gayatri terpental lagi akibat gelombang ledakan dan angin kencang yang ditimbulkannya dari benturan dua sinar itu. Gayatri jatuh terpuruk dengan napas terengah-engah, sedangkan Karang Wesi hanya mundur satu tindak, sedikit guncang. Tapi ia segera palingkan pandang ke arah datangnya sinar hijau tadi. Dan ia terkesiap memandang seorang pemuda sebayanya sedang meneguk tuak dengan santainya tanpa hiraukan pandangan mata orang lain.

Pendekar Mabuk terlambat muncul. Ini karena ia sempat mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang dilihatnya melesat dalam satu jarak pandang saat bersama Gayatri di perjalanan. Suto mencoba mengejar Siluman Tujuh Nyawa, sementara Gayatri tak mau menunggu, ia langsung menuju ke Gua Sekat Sembilan. Andai ia mau menunggu Suto Sinting, maka kehadirannya akan membuat Andini terlambat mendapat pertolongan darinya, tapi ia sendiri tak akan lama terluka dalam akibat pukulannya sendiri tadi.

"Siapa kau?! Mengapa turut campur urusan kami, hah?!" gertak Karang Wesi dengan mata tajam memandang.

"Namaku Suto Sinting! Aku tidak ikut campur urusanmu yang sedang memperebutkan Minyak Darah Malaikat itu! Aku hanya ingin mengambil dua gadis itu untuk kubawa pulang! Mereka terluka!"

"Suto!" seru Gayatri. "Pergilah, tinggalkan kami! Minyak itu telah dibuat mandi oleh bangsat itu! Pergilah, jangan hadapi dia, Suto!"

Karang Wesi tertawa pelan kepada Suto, dengan angkuhnya ia berkata, "Kau dengar apa katanya? Kurasa ada baiknya kau pergi secepatnya dari sini, sebelum murkaku jatuh untukmu, Suto! Jangan coba-coba melawanku! Siluman Tujuh Nyawa saja akan lari kalau kuburu apa lagi kau! Kau kenal Siluman Tujuh Nyawa?"

"Sangat kenal," jawab Pendekar Mabuk kalem. "Dia tokoh sesat yang sakti dan berilmu sangat tinggi!"

"Itu pun akan kuhancurkan! Dia tak akan bisa melukaiku dengan senjata El Maut-nya atau tenaga dalamnya setinggi apa pun! Tak akan bisa! Tapi aku akan dengan mudah menghancurkan kepalanya!"

"Bagus!" ucap Suto sambil sunggingkan senyum tipis. "Tapi apa sebab kau ingin membunuh dia? Kau punya dendam?"

"Dendam pribadi, tidak! Tapi aku harus bisa membunuh dia, supaya lamaranku diterima oleh Dyah Sariningrum!"

Srappp...! Darah Pendekar Mabuk naik ke kepala dengan cepat dan dalam keadaan panas mendidih, karena ia mendengar nama kekasihnya disebut-sebut. Suto masih berusaha untuk tenang walaupun wajahnya menjadi merah. "Apakah kau ingin mempersunting Dyah Sariningrum?"

"Ya! Siapa pun yang menghalangi niatku akan kubunuh dan mereka tak akan bisa mengalahkan aku, karena aku sudah mandi Minyak Darah Malaikat! Siluman Tujuh Nyawa itu musuh utamaku, karena dia yang berulang kali ingin memperistri Dyah Sariningrum dengan berbagai cara kelicikannya! Jadi dialah musuh utamaku!"

"Bukan dia musuh utamamu, tapi aku!" kata Pendekar Mabuk dengan jelas dan tegas, membuat Karang Wesi terkesiap dengan mulut terbengong.

"Apakah kau murid Siluman Tujuh Nyawa?"

"Bukan. Tapi akulah calon suami Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota Sejati yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi, di Pulau Serindu! Jelas?! Nah, sekarang bersiaplah menghadapi musuh utamamu!"

"Edan!" geram Karang Wesi sambil melangkah pelan mengikuti gerakan kaki Suto Sinting. "Kau akan mati, dan harus mati kalau begitu. Hiaah...!"

Sinar kuning melesat, Suto menangkisnya dengan kibasan tabung bumbung tuaknya. Wuttt...! Tubuhnya menggeloyor bagai orang mabuk, tapi sebenarnya dia sedang memainkan jurus tipuan gerak.

Trass...! Wosss...!

Sinar kuning membalik, lebih besar dan lebih cepat. Dada Karang Wesi terhantam sinar kuning, ia hanya tersentak ke belakang tiga tindak, tapi tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia hanya tersenyum dan membuat Suto mengakui bahwa kali ini ia berhadapan dengan lawan yang kebal senjata. Maka, Pendekar Mabuk pun mencoba dengan melepaskan 'Guntur Perkasa' yang membuat lawan menjadi memar dan cepat membusuk. Class...! Sinar hijau melesat dari tangan kiri Pendekar Mabuk. Tapi ketika sinar membentur tubuh Karang Wesi, tubuh itu tetap utuh tanpa luka. Karang Wesi tersenyum menantang.

Pendekar Mabuk cepat menenggak tuaknya, lalu melompat ke arah Karang Wesi dan semburkan tuak itu ke badan Karang Wesi. Brusss..."! Semburan tuak menjadi percikan bunga api keluar dari mulut Pendekar Mabuk. Percikan itu biasanya langsung membakar benda atau orang yang terkena percikan walau setetes. Tapi nyatanya tubuh Karang Wesi tetap berdiri tegak tanpa terbakar sedikit pun. Bahkan ia melepaskan pukulan dari kedua telapak tangannya yang berwarna hijau pula dan menghantam bumbung tuak yang dikibaskan Pendekar Mabuk ke depan.

Bagggh...! Pendekar Mabuk terpental jatuh sedangkan sinar hijau itu memantul balik dan mengenai tubuh Karang Wesi. Tapi tubuh itu tidak hancur sedikit pun.

"Ha ha ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Suto Sinting! Aku siap menerimanya dengan dada terbuka!" ledek Karang Wesi.

Suto justru diam. Hatinya berucap kata, "Tidak! Tidak semua ilmuku harus kulepaskan untuk membunuhnya! Akan sia-sia saja rupanya, karena dia dilapisi kemukjizatan tersendiri! Agaknya aku harus menggunakan otot dan otak. Jika ia mandi Minyak Darah Malaikat, tentunya sampai ke bagian telapak kaki segala, Lalu, bagian mana yang tidak terkena minyak...?!"

Pendekar Mabuk melintangkan tali bumbung tuak ke dada, kini ia bertangan kosong. Masih bergerak memutar pelan-pelan membentuk lingkaran, untuk mencari kelengahan lawan yang juga ikut memutar itu. Tiba-tiba kaki Suto menyambar pedang milik Andini. Pedang itu segera diambilnya dengan satu gerakan kaki cepat, dan tiba-tiba pedang melayang lalu ditangkap tangan.

"Ha ha ha ha...! Pedang itu lagi?! Percuma, Suto! Itu bukan pedang pusaka! Buang saja!" ledek Karang Wesi, ia sempatkan diri untuk menggaruk-garuk bagian yang gatal itu.

Mata Suto memandang ke sana ke bagian yang digaruk itu, lalu timbul gagasan untuk menyerang bagian yang gatal itu. Suto tak tahu bahwa bagian yang gatal itu pun terkena minyak juga.

"Sebaiknya kita adu senjata!" kata Karang Wesi, lalu cepat ia mencabut kapaknya. Dan serta-merta ia melompat bagaikan terbang dengan kapak siap dihantamkan ke depan. Pendekar Mabuk pun berkelebat secepat kilat, tahu-tahu sudah melesat menyerang dengan pedang dikibaskan.

Wusss...! Trangng...!

Jlegg...! Pendekar Mabuk sudah berdiri di tanah dengan memunggungi lawannya. Gerakan secepat setan itu membuat Gayatri dan Andini yang hanya jadi penonton menjadi kian bengong. Tak menyangka Suto mampu bergerak secepat setan. Kalau saja Karang Wesi tidak kebal, pasti sudah terpenggal oleh jurus pedang Suto. Karang Wesi pun mengakui hal itu.

Pendekar Mabuk menggenggam pedang itu dengan dua tangan, tubuhnya sedikit merunduk, matanya tajam memandang dengan lincah. Dan tiba-tiba Karang Wesi melepaskan jurus maut dari kapaknya, Kapak itu ditebaskan dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di depan. Lalu kapak itu keluarkan cahaya merah seperti mata kapak itu sendiri.

Wussst...! Zlappp...! Suto pun melepaskan cahaya ungu berbintik-bintik putih dari ujung pedangnya. Cahaya ungu itu membentur cahaya merah dan terjadi ledakan yang amat dahsyat.

Jlegarrr...! Pendekar Mabuk terpental jatuh karena gelombang hawa ledakan tadi. Karang Wesi hanya tersentak mundur tiga tindak. Sedangkan Andini yang tak begitu jauh dari Pendekar Mabuk terguling-guling hampir masuk kejurang.

"Hieaat...!" Karang Wesi melompat untuk menghantamkan kapaknya, karena ia melihat Pendekar Mabuk masih terkapar. Karang Wesi punya kesempatan emas untuk menebaskan kapaknya di kepala Suto. Tetapi ketika tubuhnya sampai di atas Suto, si Pendekar Mabuk itu cepat berguling ke samping.

Wuttt...!

Jrabb...! Kapak menghantam tanah dengan kuat. Secepatnya Suto sentakkan pinggulnya dan bangkit setengah berdiri, lalu ia sentakkan pedang di tangannya ke arah depan.

Jrusss...!

"Aahhk...!" Karang Wesi memekik keras dengan mata mendelik.

Pendekar Mabuk telah menemukan titik rawan Karang Wesi sejak ia melihat tangan Karang Wesi sering menggaruk-garuk tempat di mana ia pelihara seekor burung perkutut itu. Di sekitar itulah pasti terdapat titik kerawanan Karang Wesi. Di sekitar itulah pasti tak terkena Minyak Darah Malaikat. Dan ternyata dugaan Suto memang benar, ia sengaja memancing agar diserang dalam keadaan terbaring begitu. Karena tanpa pancingan tersebut, Pendekar Mabuk sulit menusukkan pedang ke bagian dubur lawannya.

Pedang itu kini melesak masuk separo bagian di lubang dubur. Karang Wesi menggeliat ingin berbalik menghantamkan kapaknya. Tapi telapak tangan Suto menyentak ke depan, menghantam ujung gagang pedang itu dengan makin kuat.

Jrubbb...!

"Uhg...!" Karang Wesi terkulai, pedang itu masuk seluruhnya, hingga bagian gagangnya yang terlihat dari luar. Tak ayal lagi Karang Wesi pun rubuh dan tak bernyawa sedikit pun.

Maka terbuktilah bahwa apa yang diserukan oleh darah Ki Candak Sedo adalah benar. Kutukan itu mengatakan, sebelum purnama, Karang Wesi akan mati walau sudah mandi Minyak Darah Malaikat.

Pendekar Mabuk segera menolong Andani dan Gayatri dengan meminumkan tuak kepada mereka. Tuak itulah obat mujarab yang sering digunakan Pendekar Mabuk untuk menolong mereka yang terluka. Bahkan juga sebagai penolong racun yang cukup hebat.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Suto," ucap Andini yang mulai terasa segar setelah minum tuaknya Suto. "Kalau kau tak datang, aku pasti mati lebih dulu, setelah itu Gayatri, adikku, juga akan mati di tangan Karang Wesi!"

"Aku juga berterima kasih padamu," kata Suto. "Karena kau biarkan aku menggunakan pedangmu untuk membunuhnya. Apakah kau mau mengambil pedangmu itu untuk digunakan lagi?"

"Biar saja mendekam hangat di tempatnya sana!" jawab Andini sambil tertawa cekikikan.

Gayatri hanya tersenyum-senyum. "Jurus pedangmu sungguh hebat dan semuanya di luar dugaan!" kata Gayatri memuji Suto. Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Lalu Andani menyahut,

"Memang benar. Tapi..., apakah benar kau calon suami Dyah Sariningrum, orang yang diincar Karang Wesi itu?"

"Ya. Benar. Kenapa?" jawab Suto sambil sunggingkan senyum.

"Tak apa-apa. Kalau saja kau bukan calon suaminya, mungkin...!"

"Kau pikir hanya kau yang bisa bilang mungkin?!" sahut Gayatri.

Pendekar Mabuk jadi tertawa melihat keduanya saling bersungut cemberut. Kemudian ia meninggalkan keduanya untuk melanjutkan petualangannya.

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.