Pendekar Kelana merupakan episode terakhir dari Serial Pedang Kayu Harum karya Kho Ping Hoo yang terdiri dari 20 jilid. Pendekar Kelana merupakan lanjutan dari episode Jodoh Si Mata Keranjang
Pegunungan itu jelas menunjukkan sentuhan musim kering yang berkepanjangan. Pohon-pohon kehilangan banyak daunnya, bahkan banyak pohon yang nampak gundul. Cabang dan rantingnya mencuat kering ke sana sini. Sebatang pohon besar nampak menyendiri di antara pohon-pohon yang layu itu. Pohon ini terlihat masih hijau segar. Mungkin karena akar-akarnya sudah mencari air sampai jauh di bawah permukaan tanah yang kering kerontang itu.
Sawah dan ladang terpaksa dibiarkan menganggur setelah dicangkuli, nampak tergeletak dan dengan sabar menanti datangnya air hujan. Bila angin berhembus kuat nampak debu mengepul di permukaan tanah. Matahari bersinar terik, dan beberapa gumpalan-gumpalan awan putih tidak menjanjikan hujan yang ditunggu-tunggu itu. Anak-anak sungai tidak ada airnya dan dasarnya yang masih agak basah itu dipenuhi rumput-rumput.
Beberapa ekor kerbau yang ramping kurus mencoba untuk makan rumput yang tumbuh di tengah anak sungai. Seorang lelaki setengah tua yang sama kurusnya mencontoh usaha kerbau-kerbau itu, mencabuti rumput hijau untuk dimakan! Dari pada mati harus kelaparan maka diambilnya apa saja yang masih nampak hijau dan masih hidup untuk dimasak dan dimakan, terutama bagi anaknya yang masih kecil di rumah!
Jauh di atas nampak beberapa ekor burung beterbangan. Mereka lebih beruntung karena dengan sayapnya mereka dapat terbang jauh untuk mencari makanan. Banyak serangga terpaksa keluar dari sarang mereka di bawah tanah untuk mencari makanan yang sangat kurang bagi mereka sehingga serangga-serangga ini menjadi makanan burung. Musim kering yang panjang, mengeringkan segala yang berada di atas permukaan bumi, menjadi masa yang sengsara bagi para petani dusun.
Dusun Ki-ceng di kaki pegunungan itu dilanda malapetaka musim kering yang panjang. Banyak penduduk yang mati karena kelaparan. Satu-satunya sumber air yang terdapat di dusun itu masih mengeluarkan air, akan tetapi hanya tinggal sepersepuluh dari biasanya. Air yang mengucur kecil inilah yang setiap hari dibuat rebutan oleh para penduduk dusun, hanya sekedar untuk minum...