Serial Pendekar Mabuk
Rahasia Pedang Emas
Karya Suryadi
Rahasia Pedang Emas
Karya Suryadi
SATU
KUIL dikelilingi tembok tinggi itu hanya berwarna hitam keseluruhannya. Batu-batuan yang dipakai untuk bangunan kuil tersebut konon berasal dari letusan gunung berapi beberapa puluh tahun yang lalu. Batuan itu mulanya sebuah gumpalan lahar yang mengeras, membeku dari tahun ke tahun, dan membentuk warna hitam pada permukaannya.Batuan itu punya kekerasan yang menyerupai besi. Tak mudah dihancurkan dengan tangan kosong atau tenaga dalam yang sedang-sedang saja. Batuan itu pula yang membentengi kuil yang menjadi satu dengan pemukiman para murid Perguruan Elang Putih.
Tetapi pada satu kesempatan, seseorang memandang kuil itu sebagai bangunan mewah berwarna putih bersih. Baik bangunan kuilnya sendiri maupun pemukiman para murid dan tembok tinggi yang mengelilinginya, adalah berwarna putih bersih. Kuil itu tampak seperti suatu tempat yang berkharisma tinggi dan punya keagungan terpendam. Dua pemandangan yang berbeda sering membuat seseorang berdebat sengit mengenai Kuil Elang Putih itu.
Yang satu bersikeras mengatakan kuil itu berwarna hitam batu, yang satu mengatakan kuil itu berwarna putih bersih, bahkan jika ada tiga orang, maka yang ketiga akan ngotot mengatakan kuil itu berwarna abu-abu. Kadang kadang mereka sama-sama datang ke sebuah bukit, yang bisa dipakai memandang kearah Kuil Elang Putih untuk membuktikan pendapat mereka. Jika ada tiga orang, maka dua diantaranya akan terbengong karena merasa pendapatnya ternyata salah.
Ketua Perguruan Elang Putih adalah seorang guru yang punya kesaktian sejajar dengan para tokoh tua dikalangan rimba persilatan. Sebuah kekuatan yang dimilikinya bisa membuat pandangan mata tiap orang berbeda-beda tentang warna bebatuan yang dipakai membangun kuil tersebut. Guru besar itu berusia lebih dari delapan puluh tahun, tapi ia tampak masih muda dan cantik, seperti masih berusia sekitar empat puluh tahun kurang. Guru besar itu bernama Embun Salju. Hampir setiap tokoh tua rimba persilatan mengenal nama Embun Salju.
Tapi hanya beberapa yang mengenal nama asli Embun Salju. Dan pada umumnya, mereka yang mengetahui nama Embun Salju sebenarnya, tidak ada yang berani menyebutkannya. Karena sesuatu kekuatan ajaib akan datang pada saat orang menyebut nama Areswara Kandita. Badai mengamuk dan hujan petir datang pada saat orang menyebutkan nama Areswara Kandita. Sebab konon, Kandita adalah nama kecil Ratu Penguasa Laut Kidul yang tak boleh sembarangan menyebutkannya.
Menurut cerita silsilah Nyai Embun Salju, ibunya pernah mempunyai dua orang suami, dan dari suami yang pertama melahirkan Embun Salju, dari suami yang kedua melahirkan Ki Padmanaba. Ibu dari Embun Salju itu adalah prajurit setia dari Ratu Laut Kidul. Pada saat perempuan itu melahirkan Embun Salju, sang Ratu menitipkan nama Kandita pada bayi itu dan tak boleh disebutkan oleh siapa pun. Itulah sebabnya, setiap orang menyebut nama Areswara Kandita, keajaiban alam terjadi.
Embun Salju mewarisi ilmu-ilmu dan kesaktian yang dimiliki oleh ibunya. Bahkan dulu ia pernah terpilih sebagai pengganti ibunya menjadi prajurit Laut Selatan, tetapi sang ibu memohon kepada sang Ratu agar anaknya dibebaskan memilih tempat tinggal kehidupannya. Embun Salju memilih tinggal di alam kasatmata, menjadi manusia sejati yang mempunyai sisi kehidupan berbeda dengan kehidupan di dalam Kerajaan Laut Selatan.
Mengenai silsilah cerita hidup Areswara Kandita sudah banyak diketahui oleh para tokoh rimba persilatan. Dan hal itulah yang membuat para tokoh menjadi segan terhadap Nyai Guru Embun Salju. Bahkan beberapa tokoh sesat, seperti Logayo dari Perguruan Kobra Hitam, tak berani bikin persoalan dengan Embun Salju. Para tokoh sesat punya pendapat, lebih baik bentrok dengan tokoh sakti lainnya dari aliran putih, ketimbang harus bentrok dengan perempuan cantik yang menggairahkan itu.
Hanya orang-orang bodoh, orang orang nekat, dan orang-orang tak waras saja yang sengaja membuat persoalan dengan Embun Salju. Seperti halnya seorang perempuan tua yang sengaja mencegat langkah kedua murid Embun Salju itu. Perempuan tersebut berpakaian jubah hitam dengan pakaian dalamnya yang serba putih kusam. Rambutnya yang putih dikonde tengah, sisanya meriap ke mana-mana.
Perempuan tua yang layak dipanggil nenek itu membawa sebatang tongkat berujung lengkung dari kayu warna hitam. Tubuhnya yang kurus dan matanya yang cekung, membuat ia cepat dikenali oleh para tokoh tua di rimba persilatan. Nenek itu tak lain adalah saudara seperguruan mendiang Ki Padmanaba. Dia bernama Nini Pasung Jagat. Dialah yang berhasil membunuh Ki Padmanaba, yang dulu bergelar Dewa Pedang Pamungkas. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Lentera Kematian).
Nini Pasung Jagat memburu pusaka milik Ki Padmanaba. Tapi ia tak berhasil mendesak Ki Padmanaba untuk menyerahkan pusakanya itu, sampai akhirnya Ki Padmanaba dibunuhnya. Ia mencoba mendesak Ekayana, cucu Ki Padmanaba, tapi Ekayana juga tidak tahu menahu tentang pusaka Ki Padmanaba tersebut, bahkan sekarang Ekayana telah mati di tangan Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting.
Padahal Nini Pasung Jagat sangat berkeinginan untuk memiliki pusaka Ki Padmanaba yang bernama Pedang Wukir Kencana. Dengan pusaka itu, dia mempunyai kekuatan yang dapat dipakai untuk mengalahkan setiap orang yang melawannya, karena Pedang Wukir Kencana mempunyai keampuhan anatara lain, orang sebodoh apapun jika memegang Pedang Wukir Kencana, maka orang itu akan bisa bermain ilmu pedang dan mengeluarkan jurus jurus pedang maut yang sukar ditandingi.
Sayangnya, Nini Pasung Jagat sudah beberapa kali mencari Kuil Elang Putih tapi tak pernah ditemukannya. Untuk menemukan tempat kediaman Embun Salju, Nini Pasung Jagat membutuhkan waktu sudah mencapai hampir satu bulan lamanya, tapi kuil itu belum juga ditemukan. Nini Pasung Jagat merasa heran sekali, padahal beberapa waktu sebelumnya, ia pernah melihat kuil tersebut berada diseberang sebuah bukit gundul yang hanya bertanaman pohon sekitar sepuluh batang dan jaraknya berjauhan itu.
Karena gagal mencari Kuil Elang Putih, Nini Pasung Jagat menghadang dua anak buah Embun Salju. Ia mengenal kedua anak buah Embun Salju itu dari kalung yang dikenakan oleh kedua gadis itu. Kalung itu dari tali hitam, dengan liontin sepasang sayap terbentang yang bagian tengahnya berbentuk jantung atau hati, yang mirip daun waru itu. Liontin kecil itu terbuat dari logam putih mengkilat pada bagian sayap yang terbentang, dan bagian bentuk jantung terbuat dari logam emas kuning. Itulah ciri-ciri orang Elang Putih.
Wuttt...! Jlegg...!
Nini Pasung Jagat mendaratkan kakinya dari atas ketinggian pohon, tepat di depan dua gadis orang Elang Putih itu. Keduanya sama-sama terkejut melihat wajah nenek yang belum dikenalinya itu.
"Mahasi, kau mengenal dia?" bisik gadis berpakaian hijau muda itu kepada temannya yang berpakaian merah jambu.
Temannya yang bernama Mahesi itu menjawab dengan bisikan juga, "Aku tak kenal dia! Tapi aku kenal sikapnya yang ingin berbuat jahat kepada kita, Anjarwati!"
"Haruskah kita melawan?"
"Kita lihat saja nanti, bersiap-siaplah dan waspada selalu,” kata Mahasi yan usianya agaknya lebih tua dari Anjarwati. Jika Anjarwati berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, maka Mahasi berusia sekitar tiga puluh tahun.
Terdengar suara Nini Pasung Jagat tertawa cekikikan, lalu berkata sambil memandang Mahasi dan Anjarwati secara bergantian, "Kalau tak salah penglihatan mata tuaku, kalian adalah murid-murid dari Elang Putih!"
"Benar!" jawab Mahasi yang berdada lebih montok dari Anjarwati.
"Kalau begitu sangat kebetulan sekali aku bisa jumpa kalian!"
"Siapa kamu, Nenek Tua?"
"Gurumu pasti kenal aku"
"Tapi kami tidak kenal kamu!" balas Anjarwati.
"Namaku cukup dikenal di dunia persilatan sebagai tokoh sakti yang berbahaya jika dipancing kemarahannya. Aku adalah Nini Pasung Jagat!"
Anjarwati dan Mahasi berwajah biasa-biasa saja, tak ada rona kaget atau heran. keduanya tetap memandang Nini Pasung Jagat.
Kini justru nenek tua itu yang merasa heran dan berkata, "Kalian tidak terkejut mendengar namaku?"
"Kami tidak mengenal kehebatan namamu, Nini! Jadi kuanggap kau manusia biasa," jawab Anjarwati.
"Dasar murid-murid bodoh! Mau-maunya Embun salju mempunyai murid sebodoh kalian berdua!" kecam Nini Pasung Jagat dengan rasa dongkol karena dirinya dianggap orang biasa-biasa saja.
"Apa maumu menghadang kami, Nini?!" tanya Mahasi tanpa nada keras ataupun bermusuhan. Mahasi menjaga sikap supaya tetap tenang dan punya wibawa di depan orang yang belum dikenalnya itu.
"Aku ingin bertemu Embun Salju!" jawab Nini Pasung Jagat. "Tapi sejak beberapa hari bahkan beberapa minggu lamanya aku mencari Kuil Elang Putih, aku tak pernah menemukannya! Jadi kuharap kau mau membawaku menghadap gurumu, si Embun Salju itu!"
Mahasi dan Anjarwati saling pandang, mereka tahu, Guru sedang melakukan semadi. Dan biasanya jika Guru mereka sedang melakukan semadi, maka kuil itu lenyap dan tidak tampak di mata orang selain di mata orang-orangnya sendiri. Dalam keadaan semadi, Embun Salju merasa perlu menggunakan 'Ajian Halimun'nya, yang membuat kuil lenyap dari pandangan orang, dengan maksud supaya tidak ada orang datang untuk mengganggu masa semadinya.
"Nini Pasung Jagat'" kata Mahasi, "Kami tidak bisa membawamu ke tempat kami, karena guru sedang melakukan 'sepi jiwa' dan tak boleh diganggu oleh siapa pun!"
"Katakan aku yang datang. Nini Pasung Jagat, saudara seperguruan Ki Padmanaba, adik guru kalian itu!"
"Kami tetap tidak bisa mempertemukan kau dengan Guru!" jawab Anjarwati lebih tegas lagi.
"Harus bisa! Kepada orang lain, boleh saja ia tidak bisa diganggu dalam keadaan 'sepi jiwa' alias semadi. Tapi kepadaku ia tidak boleh bersikap begitu!"
"Siapa dirimu, Nini? Seorang ratu bukan, seorang saudara juga bukan, dewapun bukan! Mengapa Guru kau paksa tunduk dengan perintahmu?! Jangan terlalu menyombongkan diri didepan kami, Nini!"
"Dasar anak-anak dungu" geram Nini Pasung Jagat. "Aku bisa membuat kuil itu menjadi hancur dalam sekejab kalau kalian menentang keinginanku! Lekas, bawa aku kepada Guru kalian!"
"Kami tidak sanggup!" jawab Mahasi lebih lunak.
"Kalau begitu aku harus memaksa kalian dengan cara lain! Jangan salahkan aku jika kugunakan cara kasar untuk membuat kalian menghormat padaku!"
"Cara apa pun yang ingin kau lakukan, lakukanlah! Tapi kami tetap tak mau membawamu menghadap Guru!"
Nini Pasung Jagat mengangkat kedua tangannya, dalam keadaan kedua telapak tangan tengkurap dan mengembang membuka, tangan itu disentakkan pendek-pendek saja. Bett...! Lalu dari kedua tangan itu muncul sinar kuning yang melesat bagaikan dua mata pisau. Sinar kuning itu terbang dengan cepatnya menyerang Mahasi dan Anjarwati.
Seketika itu pula, Mahasi dan Anjarwati menundukkan kepalanya tanpa melakukan gerak apa pun. Dan tiba-tiba dalam jarak tiga jengkal di depannya, sinar kuning itu membelok arah masing-masing ke kanan dan ke kiri. Sinar kuning itu bagaikan membentur dinding transparan yang tak mudah ditembusnya. Sinar itu bagaikan dibuang oleh Anjarwati dan Mahasi. Akibatnya, dua buah pohon yang menjadi sasaran sinar kuning itu.
Duarr, duarrr...!
Kedua pohon itu tumbang dan menjadi hangus pada bagian yang terkena benturan sinar kuning. Sementara itu, Nini Pasung Jagat sedikit terkesiap melihat cara kedua lawannya menghindari serangan tenaga dalam berwarna kuning itu.
Kedua gadis cantik itu sama-sama kembali tegakkan kepala dan memandang Nini Pasung Jagat, Mahasi berkata, "Sebaiknya biarkan kami lewat, Nini! Jangan ganggu kami lagi!"
"Kalian harus kupaksa mau menuruti keinginanku! Heeaah...!” Nini Pasung Jagat melompat secara tiba-tiba, kaki tuanya itu begitu cepat menendang ke kanan-kiri secara serentak. Plak, bukk...! Kedua kaki yang tiba-tiba menendang dalam tendangan bersamaan itu mengenai wajah Anjarwati, yang satu bisa ditangkis dengan kelebatan tangan Mahasi. Akibat tendangan itu, Anjarwati terpelanting jatuh dalam jarak antara empat langkah dari tempatnya berdiri semula.
Nini Pasung Jagat segera melompat berguling sambil menyanggah tongkatnya yang tadi dilepaskan pada waktu ia melepaskan pukulan tenaga dalam berwarna kuning itu. Kini dengan tongkatnya ia menyabet kepala Anjarwati yang baru saja bangkit dari jatuhnya.
Wuttt!
Anjarwati tundukkan kepala seketika itu, dan tongkat tersebut terpental sendiri bagai memukul benda yang empuk seperti karet. Dalam kesempatan itu, Mahesi segera melompat dan mencabut pedangnya. Ia ingin menyerang Nini Pasung jagat yang membahayakan Anjarwati.
Namun tiba-tiba ujung tongkat yang bawah menyodok kebelakang dan hampir saja mengenai mata Mahasi. Untung Mahasi segera kelebatkan pedangnya menangkis sehingga ia terhindar dari sodokan tongkat yang berbahaya itu. Dikatakan tongkat berbahaya, karena ketika pedang Mahasi menepisnya, terjadi percikan api yang cukup terang dan suara letupan kecil menyertainya.
Tarrr…!
Nini Pasung Jagat segera membalik dan menendangkan kakinya yang kanan untuk menampar pipi Mahasi. Plokkk…! Telak sekali pipi Mahasi terkena tendangan bertenaga dalam itu, yang membuat Mahasi berjungkir balik di tanah karena terpental, nyaris membentur batok kepalanya.
Pada saat itu pula, Anjarwati mencabut pedangnya dan menyerang Nini Pasung Jagat dari belakang. Tetapi gerakan nenek tua itu cukup lincah, ia segera menyodokkan tongkatnya ke belakang dengan posisi satu kaki berlutut ditanah.
“Heaaaah…!” Pekiknya keras dan mantap.
Sodokan itu tepat mengenai uluhati Anjarwati. Sodokan itu membuat Anjarwati mendelik, lalu memuntahkan darah kental dimulutnya. Pedang di tangannya jatuh, mulut mengeluarkan asap biru samar-samar. Anjarwati pun segera rubuh, untuk beberapa kejap ia tak bernyawa lagi. Terkulai lemas di samping pedangnya.
”Anjar...!” seru Mahasi dengan mata membelalak kaget bercampur marah. Ia melihat temannya gugur dengan satu kali sodokan tongkat itu. Itu membuat Mahasi naik pitam dan segera menyerang Nini Pasung jagat yang terkekeh-kekeh menertawakan kematian Anjarwati.
"Kubalas kematian temanku itu., Nenek tua! Hiaaaaaat...!"
Trak Trak behgg...!
Nini Pasung Jagat berkelebat, tangannya bergerak cepat memainkan tongkat lengkungnya. Pedang Mahesi yang ditebaskan beberapa kali itu berhasil ditangkisnya, bahkan tongkat itu berhasil membuat gerakan menggebuk dengan kuat, mengenai pinggang belakang Mahasi, membuat tubuh Mahasi melengkung kesakitan, dan ia pun jatuh dalam keadaan berlutut.
"Bawa aku kepada gurumu, atau kubawa nyawamu keneraka?!" ancam Nini Pasung Jagat dengan membiarkan Mahasi mengerang lirih kesakitan.
Tulang punggung Mahasi terasa patah. Kulit pinggangnya bagaikan melepuh memar membiru, sakit sekali disentuh dengan pelan pun. Mahasi bagai kehilangan tenaga setelah digebuk pinggangnya, gebukan itu jelas gebukan bertenaga dalam cukup besar, sehingga membuat seluruh urat tubuh Mahasi bagaikan putus.
"Pukulan tongkatnya benar-benar maut" pikir Mahasi sambil memulihkan keadaannya. "Aku hampir saja dibuatnya lumpuh! Rasa-rasanya aku harus lakukan penyerangan mematikan! Tak boleh sekadar mengajarnya sebagai pelajaran saja! Jurus pedang maut harus kugunakan, karena sudah terpaksa!"
Terdengar suara Nini Pasung Jagat membentak, "Bangkit! Cepat bawa aku kepada gurumu, Bocah Bodoh!"
Mahasi pun segera berdiri. Pinggang yang terasa sakit itu ditahannya kuat-kuat. Jurus pedang maut segera digunakan. Mahasi memejamkan mata, dan pedangnya menjadi menyala merah membara.
Wusssst...!
Pedang yang seperti habis dipanggang di dalam api itu dikibaskan ke arah Nini Pasung Jagat. Hawa panas melebihi lahar gunung berapi mulai menyebar. daun-daun menjadi layu dan rontok, ranting dan dahan pun mengerut layu. Rumput menguning, lalu kering berwarna coklat. Seharusnya tubuh manusia akan melepuh dan merah matang karena hembusan hawa panas dari pedang Mahasi, tetapi Nini Pasung Jagat hanya berdiri dengan diam, mata memandang sayu, tangan menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Tubuhnya bergetar. Lalu, tiba-tiba kepala tongkat yang berbentuk lengkung itu disodokkan ke depan.
Wusss...!
Kepala tongkat itu menyemburkan asap putih, dan asap putih menggumpal bagaikan kabut, lalu melesat membungkus pedang Mahasi yang masih diangkat untuk ditebaskan kembali, begitu pedang berwarna merah membara itu dibungkus kabut putih, tiba-tiba terdengar seperti besi membara dimasukkan ke dalam air dingin.
Jrosss...!
Tiba-tiba pula pedang itu menjadi padam, kembali kewarna aslinya. tak ada nyala merah membara lagi dan gumpalan kabut itupun bagai terserap habis.
“Hiaaaah…!”
Zlappp…! Sinar biru melesat dari pangkal telapak tangan Nini Pasung Jagat. Sinar biru itu menghantam cepat, tapi pedang Mahasi berkelebat menangkisnya.
Trangng… blarrr…!
Tubuh Mahasi terpental akibat pedangnya dipakai menangkis sinar biru itu. Ledakan tersebut menimbulkan gelombang besar yang membuat tubuh Mahasi terbang ke belakang, lalu membentur pohon besar.
Begggh…!
“Hehggg…!” Mahasi tersentak napasnya, tersembur darah merah dari mulutnya. Ia terluka bagian dalam. Lukanya amat membahayakan, sehingga dengan cepat ia melarikan diri meninggalkan pertarungannya. Nini Pasung Jagat sengaja mengejar untuk mengikuti kepergian lawannya.
Tetapi pada satu kesempatan, seseorang memandang kuil itu sebagai bangunan mewah berwarna putih bersih. Baik bangunan kuilnya sendiri maupun pemukiman para murid dan tembok tinggi yang mengelilinginya, adalah berwarna putih bersih. Kuil itu tampak seperti suatu tempat yang berkharisma tinggi dan punya keagungan terpendam. Dua pemandangan yang berbeda sering membuat seseorang berdebat sengit mengenai Kuil Elang Putih itu.
Yang satu bersikeras mengatakan kuil itu berwarna hitam batu, yang satu mengatakan kuil itu berwarna putih bersih, bahkan jika ada tiga orang, maka yang ketiga akan ngotot mengatakan kuil itu berwarna abu-abu. Kadang kadang mereka sama-sama datang ke sebuah bukit, yang bisa dipakai memandang kearah Kuil Elang Putih untuk membuktikan pendapat mereka. Jika ada tiga orang, maka dua diantaranya akan terbengong karena merasa pendapatnya ternyata salah.
Ketua Perguruan Elang Putih adalah seorang guru yang punya kesaktian sejajar dengan para tokoh tua dikalangan rimba persilatan. Sebuah kekuatan yang dimilikinya bisa membuat pandangan mata tiap orang berbeda-beda tentang warna bebatuan yang dipakai membangun kuil tersebut. Guru besar itu berusia lebih dari delapan puluh tahun, tapi ia tampak masih muda dan cantik, seperti masih berusia sekitar empat puluh tahun kurang. Guru besar itu bernama Embun Salju. Hampir setiap tokoh tua rimba persilatan mengenal nama Embun Salju.
Tapi hanya beberapa yang mengenal nama asli Embun Salju. Dan pada umumnya, mereka yang mengetahui nama Embun Salju sebenarnya, tidak ada yang berani menyebutkannya. Karena sesuatu kekuatan ajaib akan datang pada saat orang menyebut nama Areswara Kandita. Badai mengamuk dan hujan petir datang pada saat orang menyebutkan nama Areswara Kandita. Sebab konon, Kandita adalah nama kecil Ratu Penguasa Laut Kidul yang tak boleh sembarangan menyebutkannya.
Menurut cerita silsilah Nyai Embun Salju, ibunya pernah mempunyai dua orang suami, dan dari suami yang pertama melahirkan Embun Salju, dari suami yang kedua melahirkan Ki Padmanaba. Ibu dari Embun Salju itu adalah prajurit setia dari Ratu Laut Kidul. Pada saat perempuan itu melahirkan Embun Salju, sang Ratu menitipkan nama Kandita pada bayi itu dan tak boleh disebutkan oleh siapa pun. Itulah sebabnya, setiap orang menyebut nama Areswara Kandita, keajaiban alam terjadi.
Embun Salju mewarisi ilmu-ilmu dan kesaktian yang dimiliki oleh ibunya. Bahkan dulu ia pernah terpilih sebagai pengganti ibunya menjadi prajurit Laut Selatan, tetapi sang ibu memohon kepada sang Ratu agar anaknya dibebaskan memilih tempat tinggal kehidupannya. Embun Salju memilih tinggal di alam kasatmata, menjadi manusia sejati yang mempunyai sisi kehidupan berbeda dengan kehidupan di dalam Kerajaan Laut Selatan.
Mengenai silsilah cerita hidup Areswara Kandita sudah banyak diketahui oleh para tokoh rimba persilatan. Dan hal itulah yang membuat para tokoh menjadi segan terhadap Nyai Guru Embun Salju. Bahkan beberapa tokoh sesat, seperti Logayo dari Perguruan Kobra Hitam, tak berani bikin persoalan dengan Embun Salju. Para tokoh sesat punya pendapat, lebih baik bentrok dengan tokoh sakti lainnya dari aliran putih, ketimbang harus bentrok dengan perempuan cantik yang menggairahkan itu.
Hanya orang-orang bodoh, orang orang nekat, dan orang-orang tak waras saja yang sengaja membuat persoalan dengan Embun Salju. Seperti halnya seorang perempuan tua yang sengaja mencegat langkah kedua murid Embun Salju itu. Perempuan tersebut berpakaian jubah hitam dengan pakaian dalamnya yang serba putih kusam. Rambutnya yang putih dikonde tengah, sisanya meriap ke mana-mana.
Perempuan tua yang layak dipanggil nenek itu membawa sebatang tongkat berujung lengkung dari kayu warna hitam. Tubuhnya yang kurus dan matanya yang cekung, membuat ia cepat dikenali oleh para tokoh tua di rimba persilatan. Nenek itu tak lain adalah saudara seperguruan mendiang Ki Padmanaba. Dia bernama Nini Pasung Jagat. Dialah yang berhasil membunuh Ki Padmanaba, yang dulu bergelar Dewa Pedang Pamungkas. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Lentera Kematian).
Nini Pasung Jagat memburu pusaka milik Ki Padmanaba. Tapi ia tak berhasil mendesak Ki Padmanaba untuk menyerahkan pusakanya itu, sampai akhirnya Ki Padmanaba dibunuhnya. Ia mencoba mendesak Ekayana, cucu Ki Padmanaba, tapi Ekayana juga tidak tahu menahu tentang pusaka Ki Padmanaba tersebut, bahkan sekarang Ekayana telah mati di tangan Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting.
Padahal Nini Pasung Jagat sangat berkeinginan untuk memiliki pusaka Ki Padmanaba yang bernama Pedang Wukir Kencana. Dengan pusaka itu, dia mempunyai kekuatan yang dapat dipakai untuk mengalahkan setiap orang yang melawannya, karena Pedang Wukir Kencana mempunyai keampuhan anatara lain, orang sebodoh apapun jika memegang Pedang Wukir Kencana, maka orang itu akan bisa bermain ilmu pedang dan mengeluarkan jurus jurus pedang maut yang sukar ditandingi.
Sayangnya, Nini Pasung Jagat sudah beberapa kali mencari Kuil Elang Putih tapi tak pernah ditemukannya. Untuk menemukan tempat kediaman Embun Salju, Nini Pasung Jagat membutuhkan waktu sudah mencapai hampir satu bulan lamanya, tapi kuil itu belum juga ditemukan. Nini Pasung Jagat merasa heran sekali, padahal beberapa waktu sebelumnya, ia pernah melihat kuil tersebut berada diseberang sebuah bukit gundul yang hanya bertanaman pohon sekitar sepuluh batang dan jaraknya berjauhan itu.
Karena gagal mencari Kuil Elang Putih, Nini Pasung Jagat menghadang dua anak buah Embun Salju. Ia mengenal kedua anak buah Embun Salju itu dari kalung yang dikenakan oleh kedua gadis itu. Kalung itu dari tali hitam, dengan liontin sepasang sayap terbentang yang bagian tengahnya berbentuk jantung atau hati, yang mirip daun waru itu. Liontin kecil itu terbuat dari logam putih mengkilat pada bagian sayap yang terbentang, dan bagian bentuk jantung terbuat dari logam emas kuning. Itulah ciri-ciri orang Elang Putih.
Wuttt...! Jlegg...!
Nini Pasung Jagat mendaratkan kakinya dari atas ketinggian pohon, tepat di depan dua gadis orang Elang Putih itu. Keduanya sama-sama terkejut melihat wajah nenek yang belum dikenalinya itu.
"Mahasi, kau mengenal dia?" bisik gadis berpakaian hijau muda itu kepada temannya yang berpakaian merah jambu.
Temannya yang bernama Mahesi itu menjawab dengan bisikan juga, "Aku tak kenal dia! Tapi aku kenal sikapnya yang ingin berbuat jahat kepada kita, Anjarwati!"
"Haruskah kita melawan?"
"Kita lihat saja nanti, bersiap-siaplah dan waspada selalu,” kata Mahasi yan usianya agaknya lebih tua dari Anjarwati. Jika Anjarwati berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, maka Mahasi berusia sekitar tiga puluh tahun.
Terdengar suara Nini Pasung Jagat tertawa cekikikan, lalu berkata sambil memandang Mahasi dan Anjarwati secara bergantian, "Kalau tak salah penglihatan mata tuaku, kalian adalah murid-murid dari Elang Putih!"
"Benar!" jawab Mahasi yang berdada lebih montok dari Anjarwati.
"Kalau begitu sangat kebetulan sekali aku bisa jumpa kalian!"
"Siapa kamu, Nenek Tua?"
"Gurumu pasti kenal aku"
"Tapi kami tidak kenal kamu!" balas Anjarwati.
"Namaku cukup dikenal di dunia persilatan sebagai tokoh sakti yang berbahaya jika dipancing kemarahannya. Aku adalah Nini Pasung Jagat!"
Anjarwati dan Mahasi berwajah biasa-biasa saja, tak ada rona kaget atau heran. keduanya tetap memandang Nini Pasung Jagat.
Kini justru nenek tua itu yang merasa heran dan berkata, "Kalian tidak terkejut mendengar namaku?"
"Kami tidak mengenal kehebatan namamu, Nini! Jadi kuanggap kau manusia biasa," jawab Anjarwati.
"Dasar murid-murid bodoh! Mau-maunya Embun salju mempunyai murid sebodoh kalian berdua!" kecam Nini Pasung Jagat dengan rasa dongkol karena dirinya dianggap orang biasa-biasa saja.
"Apa maumu menghadang kami, Nini?!" tanya Mahasi tanpa nada keras ataupun bermusuhan. Mahasi menjaga sikap supaya tetap tenang dan punya wibawa di depan orang yang belum dikenalnya itu.
"Aku ingin bertemu Embun Salju!" jawab Nini Pasung Jagat. "Tapi sejak beberapa hari bahkan beberapa minggu lamanya aku mencari Kuil Elang Putih, aku tak pernah menemukannya! Jadi kuharap kau mau membawaku menghadap gurumu, si Embun Salju itu!"
Mahasi dan Anjarwati saling pandang, mereka tahu, Guru sedang melakukan semadi. Dan biasanya jika Guru mereka sedang melakukan semadi, maka kuil itu lenyap dan tidak tampak di mata orang selain di mata orang-orangnya sendiri. Dalam keadaan semadi, Embun Salju merasa perlu menggunakan 'Ajian Halimun'nya, yang membuat kuil lenyap dari pandangan orang, dengan maksud supaya tidak ada orang datang untuk mengganggu masa semadinya.
"Nini Pasung Jagat'" kata Mahasi, "Kami tidak bisa membawamu ke tempat kami, karena guru sedang melakukan 'sepi jiwa' dan tak boleh diganggu oleh siapa pun!"
"Katakan aku yang datang. Nini Pasung Jagat, saudara seperguruan Ki Padmanaba, adik guru kalian itu!"
"Kami tetap tidak bisa mempertemukan kau dengan Guru!" jawab Anjarwati lebih tegas lagi.
"Harus bisa! Kepada orang lain, boleh saja ia tidak bisa diganggu dalam keadaan 'sepi jiwa' alias semadi. Tapi kepadaku ia tidak boleh bersikap begitu!"
"Siapa dirimu, Nini? Seorang ratu bukan, seorang saudara juga bukan, dewapun bukan! Mengapa Guru kau paksa tunduk dengan perintahmu?! Jangan terlalu menyombongkan diri didepan kami, Nini!"
"Dasar anak-anak dungu" geram Nini Pasung Jagat. "Aku bisa membuat kuil itu menjadi hancur dalam sekejab kalau kalian menentang keinginanku! Lekas, bawa aku kepada Guru kalian!"
"Kami tidak sanggup!" jawab Mahasi lebih lunak.
"Kalau begitu aku harus memaksa kalian dengan cara lain! Jangan salahkan aku jika kugunakan cara kasar untuk membuat kalian menghormat padaku!"
"Cara apa pun yang ingin kau lakukan, lakukanlah! Tapi kami tetap tak mau membawamu menghadap Guru!"
Nini Pasung Jagat mengangkat kedua tangannya, dalam keadaan kedua telapak tangan tengkurap dan mengembang membuka, tangan itu disentakkan pendek-pendek saja. Bett...! Lalu dari kedua tangan itu muncul sinar kuning yang melesat bagaikan dua mata pisau. Sinar kuning itu terbang dengan cepatnya menyerang Mahasi dan Anjarwati.
Seketika itu pula, Mahasi dan Anjarwati menundukkan kepalanya tanpa melakukan gerak apa pun. Dan tiba-tiba dalam jarak tiga jengkal di depannya, sinar kuning itu membelok arah masing-masing ke kanan dan ke kiri. Sinar kuning itu bagaikan membentur dinding transparan yang tak mudah ditembusnya. Sinar itu bagaikan dibuang oleh Anjarwati dan Mahasi. Akibatnya, dua buah pohon yang menjadi sasaran sinar kuning itu.
Duarr, duarrr...!
Kedua pohon itu tumbang dan menjadi hangus pada bagian yang terkena benturan sinar kuning. Sementara itu, Nini Pasung Jagat sedikit terkesiap melihat cara kedua lawannya menghindari serangan tenaga dalam berwarna kuning itu.
Kedua gadis cantik itu sama-sama kembali tegakkan kepala dan memandang Nini Pasung Jagat, Mahasi berkata, "Sebaiknya biarkan kami lewat, Nini! Jangan ganggu kami lagi!"
"Kalian harus kupaksa mau menuruti keinginanku! Heeaah...!” Nini Pasung Jagat melompat secara tiba-tiba, kaki tuanya itu begitu cepat menendang ke kanan-kiri secara serentak. Plak, bukk...! Kedua kaki yang tiba-tiba menendang dalam tendangan bersamaan itu mengenai wajah Anjarwati, yang satu bisa ditangkis dengan kelebatan tangan Mahasi. Akibat tendangan itu, Anjarwati terpelanting jatuh dalam jarak antara empat langkah dari tempatnya berdiri semula.
Nini Pasung Jagat segera melompat berguling sambil menyanggah tongkatnya yang tadi dilepaskan pada waktu ia melepaskan pukulan tenaga dalam berwarna kuning itu. Kini dengan tongkatnya ia menyabet kepala Anjarwati yang baru saja bangkit dari jatuhnya.
Wuttt!
Anjarwati tundukkan kepala seketika itu, dan tongkat tersebut terpental sendiri bagai memukul benda yang empuk seperti karet. Dalam kesempatan itu, Mahesi segera melompat dan mencabut pedangnya. Ia ingin menyerang Nini Pasung jagat yang membahayakan Anjarwati.
Namun tiba-tiba ujung tongkat yang bawah menyodok kebelakang dan hampir saja mengenai mata Mahasi. Untung Mahasi segera kelebatkan pedangnya menangkis sehingga ia terhindar dari sodokan tongkat yang berbahaya itu. Dikatakan tongkat berbahaya, karena ketika pedang Mahasi menepisnya, terjadi percikan api yang cukup terang dan suara letupan kecil menyertainya.
Tarrr…!
Nini Pasung Jagat segera membalik dan menendangkan kakinya yang kanan untuk menampar pipi Mahasi. Plokkk…! Telak sekali pipi Mahasi terkena tendangan bertenaga dalam itu, yang membuat Mahasi berjungkir balik di tanah karena terpental, nyaris membentur batok kepalanya.
Pada saat itu pula, Anjarwati mencabut pedangnya dan menyerang Nini Pasung Jagat dari belakang. Tetapi gerakan nenek tua itu cukup lincah, ia segera menyodokkan tongkatnya ke belakang dengan posisi satu kaki berlutut ditanah.
“Heaaaah…!” Pekiknya keras dan mantap.
Sodokan itu tepat mengenai uluhati Anjarwati. Sodokan itu membuat Anjarwati mendelik, lalu memuntahkan darah kental dimulutnya. Pedang di tangannya jatuh, mulut mengeluarkan asap biru samar-samar. Anjarwati pun segera rubuh, untuk beberapa kejap ia tak bernyawa lagi. Terkulai lemas di samping pedangnya.
”Anjar...!” seru Mahasi dengan mata membelalak kaget bercampur marah. Ia melihat temannya gugur dengan satu kali sodokan tongkat itu. Itu membuat Mahasi naik pitam dan segera menyerang Nini Pasung jagat yang terkekeh-kekeh menertawakan kematian Anjarwati.
"Kubalas kematian temanku itu., Nenek tua! Hiaaaaaat...!"
Trak Trak behgg...!
Nini Pasung Jagat berkelebat, tangannya bergerak cepat memainkan tongkat lengkungnya. Pedang Mahesi yang ditebaskan beberapa kali itu berhasil ditangkisnya, bahkan tongkat itu berhasil membuat gerakan menggebuk dengan kuat, mengenai pinggang belakang Mahasi, membuat tubuh Mahasi melengkung kesakitan, dan ia pun jatuh dalam keadaan berlutut.
"Bawa aku kepada gurumu, atau kubawa nyawamu keneraka?!" ancam Nini Pasung Jagat dengan membiarkan Mahasi mengerang lirih kesakitan.
Tulang punggung Mahasi terasa patah. Kulit pinggangnya bagaikan melepuh memar membiru, sakit sekali disentuh dengan pelan pun. Mahasi bagai kehilangan tenaga setelah digebuk pinggangnya, gebukan itu jelas gebukan bertenaga dalam cukup besar, sehingga membuat seluruh urat tubuh Mahasi bagaikan putus.
"Pukulan tongkatnya benar-benar maut" pikir Mahasi sambil memulihkan keadaannya. "Aku hampir saja dibuatnya lumpuh! Rasa-rasanya aku harus lakukan penyerangan mematikan! Tak boleh sekadar mengajarnya sebagai pelajaran saja! Jurus pedang maut harus kugunakan, karena sudah terpaksa!"
Terdengar suara Nini Pasung Jagat membentak, "Bangkit! Cepat bawa aku kepada gurumu, Bocah Bodoh!"
Mahasi pun segera berdiri. Pinggang yang terasa sakit itu ditahannya kuat-kuat. Jurus pedang maut segera digunakan. Mahasi memejamkan mata, dan pedangnya menjadi menyala merah membara.
Wusssst...!
Pedang yang seperti habis dipanggang di dalam api itu dikibaskan ke arah Nini Pasung Jagat. Hawa panas melebihi lahar gunung berapi mulai menyebar. daun-daun menjadi layu dan rontok, ranting dan dahan pun mengerut layu. Rumput menguning, lalu kering berwarna coklat. Seharusnya tubuh manusia akan melepuh dan merah matang karena hembusan hawa panas dari pedang Mahasi, tetapi Nini Pasung Jagat hanya berdiri dengan diam, mata memandang sayu, tangan menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Tubuhnya bergetar. Lalu, tiba-tiba kepala tongkat yang berbentuk lengkung itu disodokkan ke depan.
Wusss...!
Kepala tongkat itu menyemburkan asap putih, dan asap putih menggumpal bagaikan kabut, lalu melesat membungkus pedang Mahasi yang masih diangkat untuk ditebaskan kembali, begitu pedang berwarna merah membara itu dibungkus kabut putih, tiba-tiba terdengar seperti besi membara dimasukkan ke dalam air dingin.
Jrosss...!
Tiba-tiba pula pedang itu menjadi padam, kembali kewarna aslinya. tak ada nyala merah membara lagi dan gumpalan kabut itupun bagai terserap habis.
“Hiaaaah…!”
Zlappp…! Sinar biru melesat dari pangkal telapak tangan Nini Pasung Jagat. Sinar biru itu menghantam cepat, tapi pedang Mahasi berkelebat menangkisnya.
Trangng… blarrr…!
Tubuh Mahasi terpental akibat pedangnya dipakai menangkis sinar biru itu. Ledakan tersebut menimbulkan gelombang besar yang membuat tubuh Mahasi terbang ke belakang, lalu membentur pohon besar.
Begggh…!
“Hehggg…!” Mahasi tersentak napasnya, tersembur darah merah dari mulutnya. Ia terluka bagian dalam. Lukanya amat membahayakan, sehingga dengan cepat ia melarikan diri meninggalkan pertarungannya. Nini Pasung Jagat sengaja mengejar untuk mengikuti kepergian lawannya.
* * *
DUA
BUKIT gersang di depan Kuil Elang Putih itu dinamakan orang sebagai Bukit Perawan. Dikatakan demikian, karena bukit itu jika malam bulan purnama sering digunakan muda-mudi untuk saling memadu kasih. Kadang beberapa gadis yang belum punya pasangan, datang ke bukit itu untuk menikmati suasana terang bulan purnama, dan disana mereka mendapat teman bicara, mendapat kenalan, kemudian saling jatuh cinta.
Namun sejak orang-orang Kobra Hitam dalam pimpinan Dewa Murka yang bernama asli Logayo bercokol di lembah Kabut, Bukit Perawan itu menjadi sepi. Orang-orang perguruan Kobra Hitam yang beraliran sesat itu sering datang ke bukit tersebut mencari mangsa. Karena, letak lembah kabut tak seberapa jauh dari Bukit Perawan. Dengan menyebrangi Perkampungan Orang-orang Kate, mereka bisa mencapai Bukit Perawan, tetapi jika dari Kuil Elang Putih, hanya berjalan lurus menerobos hutan kecil, sudah bisa mencapai Bukit Perawan yang tak seberapa tinggi itu.
Kali ini, dua orang bertampang menyeramkan sedang duduk di atas sebuah batu di Bukit Perawan itu. Dua orang tersebut sudah lebih dari tiga hari berada disana, menunggu sesuatu yang sangat diharapkan. Mereka adalah Logayo dan Rangka Cula. Seperti telah dikisahkan dalam Lentera Kematian, Logayo mempunyai orang-orang kuat yang menjadi guru untuk masing-masing ilmu.
Mereka adalah Ekayana, guru pedang yang bergelar Malaikat Maha Pedang. Brajawisnu, guru ilmu racun yang bergelar Iblis Maha Racun, dan Pancakana, guru ilmu cambuk yang bergelar Hantu Naga Belah. Tiga orang kuat itu mati di tangan Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Pancakana sempat melaporkan pertarungannya dengan Suto Sinting, dan selesai melaporkan kematian kedua rekannya, Pancakana pun menghembuskan napas terkahirnya di depan Logayo.
Kini Logayo tinggal mempunyai satu orang kuat, yaitu Rangka Cula. Orang yang bertubuh kurus kering bermata cekung angker dan berambut kucal tanpa ikat kepala itu, adalah orang istimewa buat Logayo. Rangka Cula boleh dikatakan guru segala macam ilmu. Ia menguasai ilmu pedang, sejajar dengan Ekayana, ia menguasai ilmu racun sejajar dengan Brajawisnu, ia menguasai ilmu cambuk sejajar dengan Pancakana, bahkan ia juga menguasai ilmu toya dan ilmu panah yang cukup handal. Rangka Cula juga mempunyai kekuatan batin cukup tinggi, sehingga di kalangan orang-orang Kobra Hitam ia dikenal dengan julukan Manusia Maha Sihir.
Rangka Cula ditugaskan dalam keadaan sangat genting. Dia termasuk orang yang jarang bicara jika tidak perlu. Tak pernah tersenyum, tak pernah bercanda. Ia yang mendapat tugas menyelidiki kematian orang-orang Kobra Hitam yang mayatnya bergelimpangan di dekat jembatan bambu. Rangka Cula itu pula yang mengetahui adanya seseorang berpakaian serba hitam sampai kepala, dan hanya kelihatan bagian matanya saja. Rangka Cula melihat orang itu meletakkan lentera dan lentera itulah sumber racun ganas yang selama ini mematikan banyak orang Kobra Hitam.
Sayang sekali Rangka Cula tak berhasil menangkap manusia serba hitam itu. Tetapi lentera yang berlumur Racun Getah Tengkorak telah berhasil disita olehnya. Dan pada saat lentera itu ditemukan, orang-orang Kobra Hitam tinggal delapan orang termasuk Logayo sendiri dan Rangka Cula. Jumlah orangnya yang mati karena racun itu mencapai empat puluh lebih. Kobra Hitam kini kehabisan anggota, nyaris musnah semua dimakan Racun Getah Tengkorak.
Secara kejiwaan, Logayo kalah total dengan manusia serba hitam itu. Hatinya menjadi sangat penasaran, ingin mengetahui siapa sebenarnya orang serba hitam yang mempunyai Racun Getah tengkorak itu? Untuk menanyakan hal tersebut, Logayo perlu menemui Embun Salju. Pengalaman Logayo dirimba persilatan, belum seberapa jika disbanding Embun salju, karena memang Embun salju sebenarnya tokoh tua namun berwajah muda dan cantik.
Tetap rupanya Logayo tidak bisa langsung menemui Embun Salju, karena ia tidak bisa melihat Kuil Elang Salju. Kuil itu hilang, dan Logayo menunggu di Bukit Perawan sampai beberapa hari. Ia menunggu munculnya kuil tersebut dengan ditemani Rangka Cula. Repotnya, walaupun ia mempunyai teman di sana, tapi sama saja ia sendirian, karena Rangka Cula jarang mau bicara. Sekali bicara hanya sepatah dua patah kata saja.
Ilmu kekuatan batin Rangka Cula tak bisa dipakai menembus hilangnya Kuil Elang Putih. Berkali-kali Logayo memerintahkan Rangka Cula untuk melacak hilangnya kuil tersebut, berualng kali pula Rangka Cula meneropomng dengan kekuatan batinnya yang mampu menghadirkan ilmu sihir maut, tapi Rangka Cula tetap tidak berhasil.
Setelah beberapa hari, barulah mereka menemukan bentuk Kuil Elang Putih. Kuil tersebut muncul kembali, dan Logayo merasa lega. Maka, Logayo segera membawa Rangka Cula menuju Kuil Ealng Putih. Logayo tahu, jika Kuil Elang Putih sudah bisa dilihat mata telanjang, maka itu berarti Embun salju sudah siap menerima tamu siapa saja.
Kehadiran Logayo dan Rangka Cula disambut oleh perempuan cantik berpakaian ketat, dadanya terlihat mulus dari belahan yang tersumbul dibalik pakaian ketatnya itu. Rambut disanggul sebagian. Perempuan cantik itu semakin kelihatan cantik dengan pakaian warna ungunya. Namun Logayo dan Rangka Cula tak berani bersikap kurang ajar kepada perempuan yang dikenalnya bernama Dewi Anjani itu.
“Aku ingin bertemu dengan Embun Salju,” kata Logayo dengan sikap halus yang masih tampak kasar dan kampungan.
“Ada perlu apa?” Tanya Dewi Anjani dengan keramahan yang penuh wibawa, membuat lawan bicaranya sering merasasungkan.
“Aku punya kesulitan. Aku mau minta bantuan. Maksudku, minta saran dan pendapat kepada Embun Salju!”
“Tunggu sebentar, aku bicarakan dengan beliau!” Dewi Anjani pun pergi, sementara Logayo dan Rangka Cula belum diizinkan masuk pekarangan kuil tersebut. Mereka dibiarkan berdiri diluar pintu gerbang dengan dua penjaga bersenjatakan tombak.
Logayo tak sabar dan kelihatan gelisah. Ia tak suka diperlakukan seperti itu, tapi ia terpaksa dan setengah dipaksa untuk mau menerima perlakuan demikian. Iseng-iseng ia bertanya kepada Rangka Cula, “Bagaimana menurutmu?”
“Bertele-tele!” jawab Rangka Cula dengan datar dan dingin. Ia masih menenteng pedang panjangnya yang jarang diselipkan di pinggang. Pedang panjangnya itu mempunyai gagang runcing dari cula badak. Itu sebabnya ia dikenal di dunia persilatan sebagai Rangka Cula, manusia kurus tinggal kerangka, ibaratnya, dan bersenjata pedang bergagang cula badak. Wajahnya yang dingin tapi berkesan angker itu ditatap Logayo, kemudian Logayo bertanya lagi,
“Kita harus sabar menunggu, mengikuti aturan di sini!”
“Terjang saja!” ucap Rangka Cula, kemudian bergegas masuk dengan melompat mendobrak pintu.
Tapi Logayo buru-buru menahannya. “Jangan! Nanti bisa membuat rencana kita kacau! Kita harus tunjukkan sikap baik kepada Embun Salju, supaya Embun Salju mau membantu kita menangkap manusia serba hitam itu! Setidaknya kita bisa tahu, apakah orang dari sini atau bukan yang mempunyai Racun Getah tengkorak itu!”
“Baik!” jawab Rangka Cula dengan pandangan mata dingin.
Dalam beberapa saat kemudian, Logayo dan Rangka Cula diterima oleh Embun Salju disebuah ruang semacam bangsal pertemuan. Embun Salju sempat memukau Logayo dengan kecantikannya yang serupa dengan bidadari kayangan. Berpakaian serba putih, dengan jubah putihnya juga yang dari bahan lembut bagaikan sutera, dengan pinjung sebatas dada yang berwarna putih dan menampakkan gumpalan mulus tak bercacat sedikit pun.
Wajahnya sendiri begitu memukau, berhidung mancung, berbibir tak terlalu tebal namun menggairahkan, bermata sedikit besar namun berbentuk indah dan berbulu lentik, mengenakan kalung ciri Elang Putih yang berukuran lebih besar dari kalung-kalung yang dikenakan oleh anak buahnya.
Rambutnya diurai panjang sebatas pinggang dengan ikat kepala dari logam emas berukir membentuk mahkota berbatu indah. Di ujung mahkotanya membentuk hiasan sekor elang sedang membentangkan sayapnya dengan mata elang yang merah dari bebatuan merah delima kecil.
Logayo sempat berbisik kepada Rangka Cula, ”Kalau dia bukan orang sakti, mau rasaanya aku mengawininya!”
Tak ada senyum atau tawa di mulut Rangka Cula, ia hanya mengangguk tipis. Tapi Embun Salju segera berkata dan tersenyum tawar, ”Jangan berpikiran menyimpang, Logayo! Katakan saja apa maksud kedatanganmu menemuiku?”
Logayo menjadi tersipu malu karena bisik-bisiknya tertangkap oleh indera pendengaran Embun Salju. Kejap berikutnya, Logayopun segera berkata, “Aku mengalami musibah, Embun Salju.”
“Itu karena kau penyebar musibah,” jawab Embun Salju dengan penuh wibawa dan kharisma tinggi. “Lanjutkan…!”
Rangka Cula sudah menggenggamkan tangan mendengar ucapan Embun Salju tadi. Tapi Logayo segera memandang, memberi isyarat agar Rangka Cula tetap tenang. Logayo segera melanjutkan kata-katanya dengan suara berat, sesuai dengan badannya yang besar seperti raksasa, berwajah ganas, dan brewokan. “Ada seseorang yang membantai habis anak buahku. Ia menggunakan sebuah lentera!”
“Sebuah lentera?!” guman Embun Salju dengan dahi berkerut. “Bagaimana maksudmu? Sebuah lentera dipakai membunuh?”
“Benar. Lentera itu adalah jebakan. Lentera itu dilapisi racun ganas, siapa yang memegang lentera itu akan termakan racun ganas. Tak sampai lebih dari seratus helaan napas, orang itu akan mati. Dan mayatnya mengeluarkan banyak keringat berbau amis darah. Siapa menyentuh mayat itu, dia akan ketularan dan mati pula dalam keadaan sama seperti korban sebelumnya. Jadi racun itu adalah racun berantai, satu kali mengenai orang, bisa empat-lima orang yang mati bersamanya.”
“Racun Getah Tengkorak!” sebut Embun Salju, menunjukkan bahwa ia juga mengenal jenis racun.
”Racun itu sangat langka dan sukar didapat.”
“Memang benar! Lalu, apa maksudmu mengutarakan semua ini padaku, Logayo?!”
“Apakah kau mempunyai racun itu?”
“Tidak,” jawab Embun Salju. “Tapi kalau kau menginginkan Racun Getah Tengkorak, aku bisa menunjukkan dimana kau bisa memperoleh pohon tengkorak itu, lalu carilah sendiri getahnya!”
“Kau tahu di mana terdapat pohon tengkorak itu?”
“Tahu.”
“Kau pernah menunjukkan tempat itu kepada seseorang?”
“Belum, ” jawab Embun Salju. “Dan kalau kau mencurigai orangku yang berbuat begitu, kau salah alamat!Kalau orangku mau membunuh kalian, pasti akan datang dan bertarung sampai mati! Tidak ada yang menggunakan cara seperti itu!”
“Aku tidak menuduh dan mencurigai orang-orangmu, tapi…”
“Pertanyaanmu sudah mewakili kecurigaanmu terhadap kami!” sahut Embun Salju dengan cepat, membuat orang berperawakan seperti raksasa itu menjadi gelagapan sebentar.
“Baiklah,” akhirnya Logayo secara tak langsung mengakui kekeliruannya. “Sekarang aku ingin minta pendapatmu, siapa kira-kira orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu?”
“Yang kukenal disini hanya satu orang,” jawab Embun Salju.
“Siapa?!” desak Logayo dengan berdebar-debar.
”Manusia serba hitam!”
”Ya, memang kami memergoki manusia berpakaian serba hitam, tapi kami tak mengenali wajahnya dan tak berhasil menangkapnya. Siapa manusia serba hitam itu?”
”Jompo Keling.”
Logayo berkerut dahi karena merasa asing dengan nama itu, ”Jompo Keling...?!” Ia menggumam sambil menatap Rangka Cula. Orang yang ditatapnya juga memandangnya beberapa kejap, kemudian dengan bibir terkatup ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak mengenal nama Jompo Keling.
”Siapa Jompo Keling itu, Embun Salju?!”
”Tokoh tua, bekas seorang pengembara yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!”
”Aku aku tidak kenal dengan Jompo Keling. Mengapa dia menyerangku?”
”Pasti kau punya salah padanya!”
”Aku tidak kenal dengan dia!Bagaimana aku punya salah dengannya jika aku tidak mengenalnya dan belum pernah bertemu dengan dia!”
”Tidak mungkin!” Embun Salju geleng-geleng kepala. ”Kau pasti punya salah kepada orang itu.”
”Hmmm... bagaimana ciri-cirinya?!”
“Kulitnya serba hitam keling, sampai pada kuku jari tangan dan kakinya, bahkan sampai pada giginya juga berwarna hitam!”
Logayo memandang Rangka Cula lagi. Oang berjubah abu-abu itu mengeleng-geleng kepala pelan. Hampir tak terlihat. Kemudian Logayo menatap Embun Salju dan berkata,
“Tidak. Kami tidak pernah berjumpa orang seaneh itu! Hmmm… di mana tempat tinggalnya orang itu?!”
“Dia pengembara, aku tak tahu di mana ia tinggal. Tapi kalau kau mau menemui kuburannya, aku bisa menunjukkan di mana tempat ia dikuburkan!”
Terperanjat Logayo seketika itu juga. Berkerut keningnya memandang Rangka Cula. Tapi yang dipandang hanya dingin-dingin saja, tanpa rasa kaget dan heran. “Jadi, orang yang bernama Jompo keeling itu sudah meninggal?”
“Sudah lima tahun yang lalu!” jawab Embun Salju dengan tegas.
“Lima tahun…?!” Sudah lima tahun dia dikubur?! Aneh...!” ucap Logayo semakin dibuat bingung oleh jawaban-jawaban Embun Salju. Kemudian sambungnya lagi, “Peristiwanya baru beberapa hari yang lalu, Embun Salju! Rangka Cula ini yang melihat sendiri orang serba hitam membawa lentera. Baru beberapa hari yang lalu!” tegas Logayo dalam keheranannya.
“Kalau begitu, orang berpakaian serba hitam itu bukan Jompo Keling. Pasti orang lain!”
“Siapa?”
“Aku tidak tahu.”
“Dia punya murid?”
“Dia pengembara yang tak pernah punya murid, tapi tentunya dia punya banyak sahabat, karena dia orang baik!”
“Hmmm...!” Logayo berpikir sebentar. Kemudian bertanya lagi, “Apakah dia punya cucu atau ahli waris?”
“Dia hidup sebatang kara sampai saat matinya!” jawab Embun Salju.
“Hmmm...! Lalu, siapa orang berpakaian serba hitam dan menggunakan Racun Getah Tengkorak itu?”
“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu kali ini, Logayo. Yang jelas, orang itu pasti kenal kamu, pasti punya dendam padamu, dan pasti bukan Jompo Keling.”
Logayo menarik napas. Ia merasa menemukan jalan buntu walau sudah mendapat beberapa keterangan tentang racun itu. Kemudian, ia mencoba bicara lagi dengan Embun Salju, ”Apakah... apakah kau bisa membantuku menangkap orang itu?”
”Aku punya urusan sendiri. Tak baik aku ikut campur urusan orang lain, sementara aku belum becus mengurus diri sendiri!”
”Aku minta bantuan padamu! Bukan kau ikut campur, tapi aku meminta bantuanmu, Embun Salju! Bantuan untuk menangkap orang berpakaian serba hitam dan mempunyai Racun Getah Tengkorak!”
”Kobra Hitam sudah cukup banyak punya orang sakti dan berilmu tinggi. Kurasa bantuanku tak ada artinya!”
“O, tidak! Bukan begitu, Embun Salju…! Kami tidak punya orang sakti seperti kau.”
“Buktinya orang Kobra Hitam sudah berani cari gara-gara dan berbuat onar di mana-mana! Bukankah itu berarti orang Kobra Hitam sakti-sakti dan tidak ada yang mampu mengalahkannya?”
Kata-kata itu sangat tajam, bagaikan pisau cukur yang menggores hati Logayo dan Rangka Cula. Sebuah sindiran yang menyerang batin membuat darah Logayo mulai panas. Wajahnya kaku dan matanya tajam memandang Embun Salju. Begitu pula halnya dengan Rangka Cula. Tulang gerahamnya yang tampak menonjol di pipi itu bergerak-gerak menggeletuk mendengar sindiran menyakitkan itu. Tangan Rangka Cula sudah memegang gagang pedang. Matanya yang dingin juga menatap Embun Salju.
Tetapi Embun Salju dan Dewi Anjani yang mendampinginya tetap tenang. Tak sedikitpun kelihatan cemas melihat sikap memandang Logayo mengandung makna permusuhan. Bahkan Embun Salju berkata,
“Kalau kita menanam padi, kita pasti akan menuai padi. Kalau kau menanam maut, kau pun akan menuai maut!”
“Kau tak perlu mengguruiku, Embun Salju!“ suara Logayo sudah mulai bernada menggeram.
“Kalau kau tak memerlukan Guru, jangan datang kemari dan bertanya tentang racun itu!“ balas Embun Salju dengan sikap tenang.
Mata tajam dan angker itu melirik Rangka Cula. Sekilas Rangka Cula membalas, kemudian kembali memandang Embun Salju. Yang dipandang pun tak mau berkedip menatapnya. Embun Salju dan Rangka Cula saling pandang beberapa saat lamanya. Hening diantara mereka. Tiba-tiba dari mata Embun Salju yang indah itu mengeluarkan asap samar-samar seperti terbakar suatu kekuatan batin dari lawan yang dipandanginya. Asap itu makin jelas berwarna kehitam-hitaman. Mata Embun Salju masih belum berkedip.
Dewi Anjani mulai cemas, tangannya sudah berada digagang pedang, siap mencabut sewaktu-waktu. Tetapi asap tipis itu segera menghilang. Kini pusat perhatian Logayo dan Dewi Anjani beralih pada Rangka Cula. Logayo terkesiap melihat ada airmata yang keluar dari sudut mata Rangka Cula. Airmata itu berwarna merah. Dan Logayo tahu persis, itu bukan air mata, tapi darah! Merembes darah itu keluar dari kedua mata Rangka Cula. Tubuh Rangka Cula bergetar, berkeringat, dan keringat itu mulai berubah warnanya menjadi kotor, tidak bening lagi.
Makin lama keringat itu berubah abu-abu seperti nanah menyebarkan bau amis. Wajah Rangka Cula pun memucat, bibirnya yang gemetar membiru. Darah masih mengucur dari kelopak matanya. Kedua tangannya meremas kuat-kuat sampai sebagian kukunya ada yang menembus masuk ke dalam kulit telapak tangannya.
“Cukup! Cukup!” teriak Logayo dengan keras. Rangka Cula pun tertunduk kepalanya, lemas gerakannya. Ia hampir jatuh dan segera ditangkap tangan Logayo, sedangkan Embun Salju tetap sunggingkan senyum tipis, sebagai senyum kemenangan dalam beradu kekuatan batin.
Namun sejak orang-orang Kobra Hitam dalam pimpinan Dewa Murka yang bernama asli Logayo bercokol di lembah Kabut, Bukit Perawan itu menjadi sepi. Orang-orang perguruan Kobra Hitam yang beraliran sesat itu sering datang ke bukit tersebut mencari mangsa. Karena, letak lembah kabut tak seberapa jauh dari Bukit Perawan. Dengan menyebrangi Perkampungan Orang-orang Kate, mereka bisa mencapai Bukit Perawan, tetapi jika dari Kuil Elang Putih, hanya berjalan lurus menerobos hutan kecil, sudah bisa mencapai Bukit Perawan yang tak seberapa tinggi itu.
Kali ini, dua orang bertampang menyeramkan sedang duduk di atas sebuah batu di Bukit Perawan itu. Dua orang tersebut sudah lebih dari tiga hari berada disana, menunggu sesuatu yang sangat diharapkan. Mereka adalah Logayo dan Rangka Cula. Seperti telah dikisahkan dalam Lentera Kematian, Logayo mempunyai orang-orang kuat yang menjadi guru untuk masing-masing ilmu.
Mereka adalah Ekayana, guru pedang yang bergelar Malaikat Maha Pedang. Brajawisnu, guru ilmu racun yang bergelar Iblis Maha Racun, dan Pancakana, guru ilmu cambuk yang bergelar Hantu Naga Belah. Tiga orang kuat itu mati di tangan Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Pancakana sempat melaporkan pertarungannya dengan Suto Sinting, dan selesai melaporkan kematian kedua rekannya, Pancakana pun menghembuskan napas terkahirnya di depan Logayo.
Kini Logayo tinggal mempunyai satu orang kuat, yaitu Rangka Cula. Orang yang bertubuh kurus kering bermata cekung angker dan berambut kucal tanpa ikat kepala itu, adalah orang istimewa buat Logayo. Rangka Cula boleh dikatakan guru segala macam ilmu. Ia menguasai ilmu pedang, sejajar dengan Ekayana, ia menguasai ilmu racun sejajar dengan Brajawisnu, ia menguasai ilmu cambuk sejajar dengan Pancakana, bahkan ia juga menguasai ilmu toya dan ilmu panah yang cukup handal. Rangka Cula juga mempunyai kekuatan batin cukup tinggi, sehingga di kalangan orang-orang Kobra Hitam ia dikenal dengan julukan Manusia Maha Sihir.
Rangka Cula ditugaskan dalam keadaan sangat genting. Dia termasuk orang yang jarang bicara jika tidak perlu. Tak pernah tersenyum, tak pernah bercanda. Ia yang mendapat tugas menyelidiki kematian orang-orang Kobra Hitam yang mayatnya bergelimpangan di dekat jembatan bambu. Rangka Cula itu pula yang mengetahui adanya seseorang berpakaian serba hitam sampai kepala, dan hanya kelihatan bagian matanya saja. Rangka Cula melihat orang itu meletakkan lentera dan lentera itulah sumber racun ganas yang selama ini mematikan banyak orang Kobra Hitam.
Sayang sekali Rangka Cula tak berhasil menangkap manusia serba hitam itu. Tetapi lentera yang berlumur Racun Getah Tengkorak telah berhasil disita olehnya. Dan pada saat lentera itu ditemukan, orang-orang Kobra Hitam tinggal delapan orang termasuk Logayo sendiri dan Rangka Cula. Jumlah orangnya yang mati karena racun itu mencapai empat puluh lebih. Kobra Hitam kini kehabisan anggota, nyaris musnah semua dimakan Racun Getah Tengkorak.
Secara kejiwaan, Logayo kalah total dengan manusia serba hitam itu. Hatinya menjadi sangat penasaran, ingin mengetahui siapa sebenarnya orang serba hitam yang mempunyai Racun Getah tengkorak itu? Untuk menanyakan hal tersebut, Logayo perlu menemui Embun Salju. Pengalaman Logayo dirimba persilatan, belum seberapa jika disbanding Embun salju, karena memang Embun salju sebenarnya tokoh tua namun berwajah muda dan cantik.
Tetap rupanya Logayo tidak bisa langsung menemui Embun Salju, karena ia tidak bisa melihat Kuil Elang Salju. Kuil itu hilang, dan Logayo menunggu di Bukit Perawan sampai beberapa hari. Ia menunggu munculnya kuil tersebut dengan ditemani Rangka Cula. Repotnya, walaupun ia mempunyai teman di sana, tapi sama saja ia sendirian, karena Rangka Cula jarang mau bicara. Sekali bicara hanya sepatah dua patah kata saja.
Ilmu kekuatan batin Rangka Cula tak bisa dipakai menembus hilangnya Kuil Elang Putih. Berkali-kali Logayo memerintahkan Rangka Cula untuk melacak hilangnya kuil tersebut, berualng kali pula Rangka Cula meneropomng dengan kekuatan batinnya yang mampu menghadirkan ilmu sihir maut, tapi Rangka Cula tetap tidak berhasil.
Setelah beberapa hari, barulah mereka menemukan bentuk Kuil Elang Putih. Kuil tersebut muncul kembali, dan Logayo merasa lega. Maka, Logayo segera membawa Rangka Cula menuju Kuil Ealng Putih. Logayo tahu, jika Kuil Elang Putih sudah bisa dilihat mata telanjang, maka itu berarti Embun salju sudah siap menerima tamu siapa saja.
Kehadiran Logayo dan Rangka Cula disambut oleh perempuan cantik berpakaian ketat, dadanya terlihat mulus dari belahan yang tersumbul dibalik pakaian ketatnya itu. Rambut disanggul sebagian. Perempuan cantik itu semakin kelihatan cantik dengan pakaian warna ungunya. Namun Logayo dan Rangka Cula tak berani bersikap kurang ajar kepada perempuan yang dikenalnya bernama Dewi Anjani itu.
“Aku ingin bertemu dengan Embun Salju,” kata Logayo dengan sikap halus yang masih tampak kasar dan kampungan.
“Ada perlu apa?” Tanya Dewi Anjani dengan keramahan yang penuh wibawa, membuat lawan bicaranya sering merasasungkan.
“Aku punya kesulitan. Aku mau minta bantuan. Maksudku, minta saran dan pendapat kepada Embun Salju!”
“Tunggu sebentar, aku bicarakan dengan beliau!” Dewi Anjani pun pergi, sementara Logayo dan Rangka Cula belum diizinkan masuk pekarangan kuil tersebut. Mereka dibiarkan berdiri diluar pintu gerbang dengan dua penjaga bersenjatakan tombak.
Logayo tak sabar dan kelihatan gelisah. Ia tak suka diperlakukan seperti itu, tapi ia terpaksa dan setengah dipaksa untuk mau menerima perlakuan demikian. Iseng-iseng ia bertanya kepada Rangka Cula, “Bagaimana menurutmu?”
“Bertele-tele!” jawab Rangka Cula dengan datar dan dingin. Ia masih menenteng pedang panjangnya yang jarang diselipkan di pinggang. Pedang panjangnya itu mempunyai gagang runcing dari cula badak. Itu sebabnya ia dikenal di dunia persilatan sebagai Rangka Cula, manusia kurus tinggal kerangka, ibaratnya, dan bersenjata pedang bergagang cula badak. Wajahnya yang dingin tapi berkesan angker itu ditatap Logayo, kemudian Logayo bertanya lagi,
“Kita harus sabar menunggu, mengikuti aturan di sini!”
“Terjang saja!” ucap Rangka Cula, kemudian bergegas masuk dengan melompat mendobrak pintu.
Tapi Logayo buru-buru menahannya. “Jangan! Nanti bisa membuat rencana kita kacau! Kita harus tunjukkan sikap baik kepada Embun Salju, supaya Embun Salju mau membantu kita menangkap manusia serba hitam itu! Setidaknya kita bisa tahu, apakah orang dari sini atau bukan yang mempunyai Racun Getah tengkorak itu!”
“Baik!” jawab Rangka Cula dengan pandangan mata dingin.
Dalam beberapa saat kemudian, Logayo dan Rangka Cula diterima oleh Embun Salju disebuah ruang semacam bangsal pertemuan. Embun Salju sempat memukau Logayo dengan kecantikannya yang serupa dengan bidadari kayangan. Berpakaian serba putih, dengan jubah putihnya juga yang dari bahan lembut bagaikan sutera, dengan pinjung sebatas dada yang berwarna putih dan menampakkan gumpalan mulus tak bercacat sedikit pun.
Wajahnya sendiri begitu memukau, berhidung mancung, berbibir tak terlalu tebal namun menggairahkan, bermata sedikit besar namun berbentuk indah dan berbulu lentik, mengenakan kalung ciri Elang Putih yang berukuran lebih besar dari kalung-kalung yang dikenakan oleh anak buahnya.
Rambutnya diurai panjang sebatas pinggang dengan ikat kepala dari logam emas berukir membentuk mahkota berbatu indah. Di ujung mahkotanya membentuk hiasan sekor elang sedang membentangkan sayapnya dengan mata elang yang merah dari bebatuan merah delima kecil.
Logayo sempat berbisik kepada Rangka Cula, ”Kalau dia bukan orang sakti, mau rasaanya aku mengawininya!”
Tak ada senyum atau tawa di mulut Rangka Cula, ia hanya mengangguk tipis. Tapi Embun Salju segera berkata dan tersenyum tawar, ”Jangan berpikiran menyimpang, Logayo! Katakan saja apa maksud kedatanganmu menemuiku?”
Logayo menjadi tersipu malu karena bisik-bisiknya tertangkap oleh indera pendengaran Embun Salju. Kejap berikutnya, Logayopun segera berkata, “Aku mengalami musibah, Embun Salju.”
“Itu karena kau penyebar musibah,” jawab Embun Salju dengan penuh wibawa dan kharisma tinggi. “Lanjutkan…!”
Rangka Cula sudah menggenggamkan tangan mendengar ucapan Embun Salju tadi. Tapi Logayo segera memandang, memberi isyarat agar Rangka Cula tetap tenang. Logayo segera melanjutkan kata-katanya dengan suara berat, sesuai dengan badannya yang besar seperti raksasa, berwajah ganas, dan brewokan. “Ada seseorang yang membantai habis anak buahku. Ia menggunakan sebuah lentera!”
“Sebuah lentera?!” guman Embun Salju dengan dahi berkerut. “Bagaimana maksudmu? Sebuah lentera dipakai membunuh?”
“Benar. Lentera itu adalah jebakan. Lentera itu dilapisi racun ganas, siapa yang memegang lentera itu akan termakan racun ganas. Tak sampai lebih dari seratus helaan napas, orang itu akan mati. Dan mayatnya mengeluarkan banyak keringat berbau amis darah. Siapa menyentuh mayat itu, dia akan ketularan dan mati pula dalam keadaan sama seperti korban sebelumnya. Jadi racun itu adalah racun berantai, satu kali mengenai orang, bisa empat-lima orang yang mati bersamanya.”
“Racun Getah Tengkorak!” sebut Embun Salju, menunjukkan bahwa ia juga mengenal jenis racun.
”Racun itu sangat langka dan sukar didapat.”
“Memang benar! Lalu, apa maksudmu mengutarakan semua ini padaku, Logayo?!”
“Apakah kau mempunyai racun itu?”
“Tidak,” jawab Embun Salju. “Tapi kalau kau menginginkan Racun Getah Tengkorak, aku bisa menunjukkan dimana kau bisa memperoleh pohon tengkorak itu, lalu carilah sendiri getahnya!”
“Kau tahu di mana terdapat pohon tengkorak itu?”
“Tahu.”
“Kau pernah menunjukkan tempat itu kepada seseorang?”
“Belum, ” jawab Embun Salju. “Dan kalau kau mencurigai orangku yang berbuat begitu, kau salah alamat!Kalau orangku mau membunuh kalian, pasti akan datang dan bertarung sampai mati! Tidak ada yang menggunakan cara seperti itu!”
“Aku tidak menuduh dan mencurigai orang-orangmu, tapi…”
“Pertanyaanmu sudah mewakili kecurigaanmu terhadap kami!” sahut Embun Salju dengan cepat, membuat orang berperawakan seperti raksasa itu menjadi gelagapan sebentar.
“Baiklah,” akhirnya Logayo secara tak langsung mengakui kekeliruannya. “Sekarang aku ingin minta pendapatmu, siapa kira-kira orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu?”
“Yang kukenal disini hanya satu orang,” jawab Embun Salju.
“Siapa?!” desak Logayo dengan berdebar-debar.
”Manusia serba hitam!”
”Ya, memang kami memergoki manusia berpakaian serba hitam, tapi kami tak mengenali wajahnya dan tak berhasil menangkapnya. Siapa manusia serba hitam itu?”
”Jompo Keling.”
Logayo berkerut dahi karena merasa asing dengan nama itu, ”Jompo Keling...?!” Ia menggumam sambil menatap Rangka Cula. Orang yang ditatapnya juga memandangnya beberapa kejap, kemudian dengan bibir terkatup ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak mengenal nama Jompo Keling.
”Siapa Jompo Keling itu, Embun Salju?!”
”Tokoh tua, bekas seorang pengembara yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!”
”Aku aku tidak kenal dengan Jompo Keling. Mengapa dia menyerangku?”
”Pasti kau punya salah padanya!”
”Aku tidak kenal dengan dia!Bagaimana aku punya salah dengannya jika aku tidak mengenalnya dan belum pernah bertemu dengan dia!”
”Tidak mungkin!” Embun Salju geleng-geleng kepala. ”Kau pasti punya salah kepada orang itu.”
”Hmmm... bagaimana ciri-cirinya?!”
“Kulitnya serba hitam keling, sampai pada kuku jari tangan dan kakinya, bahkan sampai pada giginya juga berwarna hitam!”
Logayo memandang Rangka Cula lagi. Oang berjubah abu-abu itu mengeleng-geleng kepala pelan. Hampir tak terlihat. Kemudian Logayo menatap Embun Salju dan berkata,
“Tidak. Kami tidak pernah berjumpa orang seaneh itu! Hmmm… di mana tempat tinggalnya orang itu?!”
“Dia pengembara, aku tak tahu di mana ia tinggal. Tapi kalau kau mau menemui kuburannya, aku bisa menunjukkan di mana tempat ia dikuburkan!”
Terperanjat Logayo seketika itu juga. Berkerut keningnya memandang Rangka Cula. Tapi yang dipandang hanya dingin-dingin saja, tanpa rasa kaget dan heran. “Jadi, orang yang bernama Jompo keeling itu sudah meninggal?”
“Sudah lima tahun yang lalu!” jawab Embun Salju dengan tegas.
“Lima tahun…?!” Sudah lima tahun dia dikubur?! Aneh...!” ucap Logayo semakin dibuat bingung oleh jawaban-jawaban Embun Salju. Kemudian sambungnya lagi, “Peristiwanya baru beberapa hari yang lalu, Embun Salju! Rangka Cula ini yang melihat sendiri orang serba hitam membawa lentera. Baru beberapa hari yang lalu!” tegas Logayo dalam keheranannya.
“Kalau begitu, orang berpakaian serba hitam itu bukan Jompo Keling. Pasti orang lain!”
“Siapa?”
“Aku tidak tahu.”
“Dia punya murid?”
“Dia pengembara yang tak pernah punya murid, tapi tentunya dia punya banyak sahabat, karena dia orang baik!”
“Hmmm...!” Logayo berpikir sebentar. Kemudian bertanya lagi, “Apakah dia punya cucu atau ahli waris?”
“Dia hidup sebatang kara sampai saat matinya!” jawab Embun Salju.
“Hmmm...! Lalu, siapa orang berpakaian serba hitam dan menggunakan Racun Getah Tengkorak itu?”
“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu kali ini, Logayo. Yang jelas, orang itu pasti kenal kamu, pasti punya dendam padamu, dan pasti bukan Jompo Keling.”
Logayo menarik napas. Ia merasa menemukan jalan buntu walau sudah mendapat beberapa keterangan tentang racun itu. Kemudian, ia mencoba bicara lagi dengan Embun Salju, ”Apakah... apakah kau bisa membantuku menangkap orang itu?”
”Aku punya urusan sendiri. Tak baik aku ikut campur urusan orang lain, sementara aku belum becus mengurus diri sendiri!”
”Aku minta bantuan padamu! Bukan kau ikut campur, tapi aku meminta bantuanmu, Embun Salju! Bantuan untuk menangkap orang berpakaian serba hitam dan mempunyai Racun Getah Tengkorak!”
”Kobra Hitam sudah cukup banyak punya orang sakti dan berilmu tinggi. Kurasa bantuanku tak ada artinya!”
“O, tidak! Bukan begitu, Embun Salju…! Kami tidak punya orang sakti seperti kau.”
“Buktinya orang Kobra Hitam sudah berani cari gara-gara dan berbuat onar di mana-mana! Bukankah itu berarti orang Kobra Hitam sakti-sakti dan tidak ada yang mampu mengalahkannya?”
Kata-kata itu sangat tajam, bagaikan pisau cukur yang menggores hati Logayo dan Rangka Cula. Sebuah sindiran yang menyerang batin membuat darah Logayo mulai panas. Wajahnya kaku dan matanya tajam memandang Embun Salju. Begitu pula halnya dengan Rangka Cula. Tulang gerahamnya yang tampak menonjol di pipi itu bergerak-gerak menggeletuk mendengar sindiran menyakitkan itu. Tangan Rangka Cula sudah memegang gagang pedang. Matanya yang dingin juga menatap Embun Salju.
Tetapi Embun Salju dan Dewi Anjani yang mendampinginya tetap tenang. Tak sedikitpun kelihatan cemas melihat sikap memandang Logayo mengandung makna permusuhan. Bahkan Embun Salju berkata,
“Kalau kita menanam padi, kita pasti akan menuai padi. Kalau kau menanam maut, kau pun akan menuai maut!”
“Kau tak perlu mengguruiku, Embun Salju!“ suara Logayo sudah mulai bernada menggeram.
“Kalau kau tak memerlukan Guru, jangan datang kemari dan bertanya tentang racun itu!“ balas Embun Salju dengan sikap tenang.
Mata tajam dan angker itu melirik Rangka Cula. Sekilas Rangka Cula membalas, kemudian kembali memandang Embun Salju. Yang dipandang pun tak mau berkedip menatapnya. Embun Salju dan Rangka Cula saling pandang beberapa saat lamanya. Hening diantara mereka. Tiba-tiba dari mata Embun Salju yang indah itu mengeluarkan asap samar-samar seperti terbakar suatu kekuatan batin dari lawan yang dipandanginya. Asap itu makin jelas berwarna kehitam-hitaman. Mata Embun Salju masih belum berkedip.
Dewi Anjani mulai cemas, tangannya sudah berada digagang pedang, siap mencabut sewaktu-waktu. Tetapi asap tipis itu segera menghilang. Kini pusat perhatian Logayo dan Dewi Anjani beralih pada Rangka Cula. Logayo terkesiap melihat ada airmata yang keluar dari sudut mata Rangka Cula. Airmata itu berwarna merah. Dan Logayo tahu persis, itu bukan air mata, tapi darah! Merembes darah itu keluar dari kedua mata Rangka Cula. Tubuh Rangka Cula bergetar, berkeringat, dan keringat itu mulai berubah warnanya menjadi kotor, tidak bening lagi.
Makin lama keringat itu berubah abu-abu seperti nanah menyebarkan bau amis. Wajah Rangka Cula pun memucat, bibirnya yang gemetar membiru. Darah masih mengucur dari kelopak matanya. Kedua tangannya meremas kuat-kuat sampai sebagian kukunya ada yang menembus masuk ke dalam kulit telapak tangannya.
“Cukup! Cukup!” teriak Logayo dengan keras. Rangka Cula pun tertunduk kepalanya, lemas gerakannya. Ia hampir jatuh dan segera ditangkap tangan Logayo, sedangkan Embun Salju tetap sunggingkan senyum tipis, sebagai senyum kemenangan dalam beradu kekuatan batin.
* * *
TIGA
LEWAT tengah siang, penjaga pintu gerbang Kuil Elang Putih dikejutkan dengan munculnya Mahasi yang berwajah pucat pasi. Langkahnya gontai, namun berhasil mendekati pintu gerbang kuil dan segera ditolong oleh salah seorang penjaga pintu gerbang itu.
“Mahasi?! Ada apa…?!” seru orang yang menangkap tubuh Mahasi yang terkulai lemas itu. Ia segera berseru kepada rekannya yang ada di bagian dalam, di balik pintu gerbang itu, ”Panggil Dewi Anjani! Mahasi terluka!”
Orang yang menjaga bagian dalam itu terkejut melihat Mahasi mengeluarkan darah dari mulutnya, pakaiannya terkena bercak-bercak darah dan sangat mengkhawatirkan. Orang itu segera berlari menemui Dewi Anjani yang menjadi perantara antara Nyai Guru Embun Salju dengan para murid lainnya.
“Dewi Anjani! Mahasi terluka!”
“Hah?! Di mana dia sekarang?!”
“Ada di pintu gerbang!”
Waktu itu, Dewi Anjani sedang bicara dengan Embun Salju mengenai Racun Getah Tengkorak dan musibah yang melanda Perguruan Kobra Hitam. Mendengar Mahasi terluka, Dewi Anjani segera berlari ke pintu gerbang, sedangkan Embun Salju melangkah cepat sampai di depan balairung. Di sana ia berdiri dengan tangan dikebelakangkan, memandang kearah pintu gerbang yang menjadi gaduh karena kemunculan Mahasi.
Segera Dewi Anjani membawanya ke balairung itu, tapi Embun Salju memerintahkan Anjani untuk membawa Mahasi ke ruang penyembuhan. Hanya Embun Salju dan Dewi Anjani yang masuk ke ruang penyembuhan, yang lainnya berjaga-jaga di luar dan saling membicarakan. Embun Salju segera melakukan pengobatan terhadap diri Mahasi, yang saat itu sudah dibaringkan di atas sebuah ranjang dari batu plesteran yang dilapisi tikar tebal.
“Buka semua pakaian!” kata Embun Salju. ”Jangan sampai ada penghambat jalan darahnya! Ia terluka cukup parah. Tapi masih bisa diselamatkan!”
Setelah Dewi Anjani melepaskan semua pakaian Mahasi dengan cepat, maka Embun Salju segera menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Mahasi. Telapak tangannya menjadi bercahaya putih keperakan. Kedua telapak tangan itu ditempelkan terutama di bagian dada Mahasi yang masih kencang namun montok itu. Telapak tangan itu bukan menempel tepat di dua buah bukit Mahasi, melainkan di bagian atasnya.
Kejap berikutnya, Mahasi menjadi gemetar. Sekujur tubuhnya bergerak seperti orang menggigil. Telapak tangan Embun Salju yang menyala putih perak itu masih menempel di atas dada Mahasi. Telapak tangan itu berasap tipis. Dan ruangan yang tertutup itu menjadi dingin beberapa saat. Dewi Anjani sendiri sampai mendekap kedua lengannya sendiri.
Telapak tangan Embun Salju berpindah kebagian perut Mahasi. Menempel disana dan membuat Mahasi mengerang kecil sambil menggigil. Udara di kamar bertambah dingin bagaikan di dalam ruang es. Tubuh Dewi Anjani sendiri samapi menggigil juga menahan hawa dingin itu. Beberapa saat setelah itu, cahaya perak padam dari tangan Embun Salju. Kini Embun Salju memusatkan kekuatannya pada kedua jarinya, yaitu jari tangan kanan-kiri. Kedua jari itu menekan bagian pelipis Mahasi. Dan kedua jari itu pun menyala merah bagaikan besi terbakar.
Pada saat itu, ruangan yang dingin menjadi berkurang. Lalu, menjadi hangat. Dan Embun Salju berhenti melakukan pengobatan. Mahasi tersentak tiba-tiba dan segera memuntahkan darah hitam. Muntahnya darah hitam itu membuat Embun Salju tersenyum. Ia berkata kepada Anjani,
“Dia tertolong! Lekas ambilkan air hangat untuk diminumkan!” Menurut Embun Salju, terlambat sedikit saja, Mahasi akan mati. Pukulan yang diterimanya dari lawan telah membuat jantungnya merembaskan darah di luar saluran darah semestinya. Pukulan itu mempunyai hawa pembusuk, yang dapat membuat sekujur tubuh Mahasi menjadi busuk.
“Siapa yang melakukannya?” tanya Embun Salju setelah Mahasi agak segar dan sudah mengenakan pakaiannya kembali.
“Seorang perempuan tua yang mengaku bernama Nini Pasung Jagat!”
“O, dia…?!” Embun Salju mangut-mangut.
“Siapa Nini Pasung Jagat itu, Nyai Guru?” tanya Dewi Anjani.
“Saudara seperguruan adik tiriku, Padmanaba!”
“Dia memaksa saya untuk bertemu dengan Guru, tapi saya menolak membawanya kemari. Bahkan...bahkan Anjarwati...”
“O, iya! Bukankah kau pergi dengan adikku Anjarwati. Kemana dia sekarang?!” sergah Dewi Anjani.
”Dia tewas, dibunuh orang itu!”
”Hahh...?!” Dewi Anjani terpekik kaget.
Embun Salju terkesiap dan segera menarik napas dalam-dalam, menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dadanya, yaitu sebuah murka. Dewi Anjani merah mukanya. Terengah-engah napasnya. Matanya menyipit memancarkan duka dan dendam yang bergumul menjadi satu. Ia berkata kepada Embun Salju dengan suara gemetar menahan luapan marah,
”Guru, izinkan saya mencari dia dan membalas kematian Anjarwati!”
”Dia bukan lawanmu, Anjani!”
”Saya harus membalas kematian itu, Guru!”
”Silakan kalau kau nekat!” jawab Embun Salju.
Pada saat Dewi Anjani keluar dari kamar penyembuhan, seorang murid berusia muda, sekitar dua puluh dua tahun, segera datang dengan napas terengah-engah dan wajah tegang.
”Kakak, di luar ada seorang pengacau! Perempuan tua yang mengaku Nini Pasung Jagat mendesak masuk dan membunuh dua penjaga! Sekarang sedang dihadapi oleh Irandani dan Pujarini, Kak!”
Laporan itu didengar oleh Embun Salju. Langkah kaki perempuan berpakaian serba putih itu masih tetap tenang. Ia menyusuri lorong penghubung dari ruang penyembuhan kebalairung dengan langkah tidak terlalu tergesa-gesa, tapi hatinya membatin, “Apa maunya nenek itu datang dan mengamuk padaku? Seingatku tak ada salahku padanya! Haruskah aku turun tangan dan mengakhiri riwayat hidupnya? Lalu, bagaimana dengan Ki Padmanaba? Apakah dia tidak menuntut balas padaku jika aku membunuh Pasung Jagat?!”
Embun Salju masih belum tahu, bahwa Ki Padmanaba sudah dibunuh oleh Nini Pasung Jagat. Karenanya, Embun Salju merasa bimbang dan ragu-ragu untuk bertindak lebih tegas lagi. Karena pada dasarnya Embun Salju tidak mau bentrok dengan adiknya, walau hanya adik tiri, karena selama ini ia telah menjalin hubungan persaudaraan yang baik dan saling menolong.
Dewi Anjani sengaja menyuruh beberapa orangnya untuk mendesak Nini Pasung Jagat supaya menjauhi pintu gerbang. Penjagaan dipintu gerbang lebih diperketat lagi. Dewi Anjani sendiri segera keluar dari halaman kuil tersebut dan melihat dengan mata kepala sendiri si nenek tua itu membunuh Irandani dan Pujarini.
”Keji...!” geram Dewi Anjani, lalu dengan cepat ia menyentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh sebagai pendorong tubuh lawan.
Wukkk...!
Tenaga yang terkirim itu melesat menghantam Nini Pasung Jagat. Tenaga itu membuat Nini Pasung Jagat terlempar jauh bagai boneka kayu yang dibuang begitu saja.
Brukk…!
Nini Pasung Jagat jatuh di rerumputan beralang-alang lumayan tinggi. Tapi ia segera bangkit dalam satu sentakan pimggul, tahu-tahu ia sudah berdiri dan menggenggam tongkatnya dengan kuat. Matanya memandang seorang perempuan muda seusia Mahasi yang sedang menghampirinya.
Di tempat yang agak jauh dari pintu gerbang itulah, Dewi Anjani mulai siap menghadapi lawannya yang menurutnya berjiwa kejam. Terlihat dari caranya membunuh Irandani dan Pujarini bagai tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun. Bayangan yang ada di benak Dewi Anjani, seperti itulah adiknya dibunuh oleh nenek tua itu.
“Apakah kau orang andalan Elang Putih?!” sindir Nini Pasung Jagat.
Tetapi Dewi Anjani menjawab dengan suara keras, “Aku adalah orang utusan dari neraka untuk mencabut nyawamu!”
“Oho, he he he he…!” Nini Pasung Jagat terkekeh-kekeh mendapat gertakan seperti itu. “Rupanya kau lebih galak dari mereka yang telah melawanku, Nona Cantik!”
Srett…! Dewi Anjani mencabut pedangnya dengan wajah semakin kaku dan mata penuh hasrat membunuh.
“Oho, punya pedang juga kau, Nak? Apakah cukup mahir memainkannya? Jika tidak, sebaiknya biarkan aku masuk menemui Embun Salju untuk membicarakan sesuatu!”
”Kau harus melunasi hutangmu lebih dulu, NeNek iblis! Kau berhutang nyawa padaku, karena kau telah membunuh Anjarwati, adikku! Sekarang tiba saatnya kau harus menyusul roh adikku dan meminta maaf di sana! Heeeaaah…!"
Dewi Anjani tidak memberi kesempatan Nini Pasung Jagat untuk melontarkan kata-kata lagi. Ia langsung melompat dan menyerang dengan menebaskan paedangnya yang berkelebat simpang-siur membingungkan untuk ditangkis.
Wut wut wess wuttt wut wut wess… trak! Wut trak!
Nini Pasung Jagat sempat dibuat kewalahan menghadapi gerakan pedang yang bersimpang-siur tak jelas ke mana arahnya itu. Dan memang kehebatan jurus ’Elang Mengamuk Bintang’ adalah terletak pada kecepatan tebas yang sukar dipastikan ke mana arahnya. Hanya sesekali bisa ditangkis, hanya sesekali lolos terhindar, tapi beberapa kejap berikutnya, terdengar suara lembut yang mendirikan bulu kuduk tiap orang.
Cras cras cras...!
Buhgg...!
Dewi Anjani tahu-tahu terpental agak jauh. Tubuhnya melayang karena terkena sodokan tongkat Nini Pasung Jagat. Ia jatuh terkapar dalam jarak antara empat tombak dari tempatnya bertarung. Sementara itu, kedua paha Nini Pasung Jagat tampak terluka dan punggungnya terkena sabetan pedang. Sayangnya, tidak terlalu parah dan berbahaya. Hanya luka biasa dan tidak akan merenggut nyawa nenek tua itu. Bahkan yang menderita luka tidak menggubrisnya sama sekali. Hanya memandangnya sebentar, lalu terkekeh-kekeh sendiri, sebab ia tahu lukanya tidak berbahaya.
Napas Dewi Anjani menjadi sesak. Ia terkena sodokan tongkat pada bagian rusuk. Rusuk itu bagaikan patah salah satu tulangnya. Sakit jika dipakai untuk bergerak. Napas pun segera dipaksakan untuk bisa dihirup panjang-panjang lalu ditahannya beberapa saat di dalam rongga dada.
Pada saat itu, Nini Pasung Jagat berjalan dengan santainya mendekati Dewi Anjani. “Kalau kau mau menyusul adikmu, mari kubantu, Cah Ayu..!” seraya tongkatnya diangkat dan hendak dihantamkan ke kepala Anjani.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari arah pintu gerbang kuil tersebut, “Hentikan, Pasung Jagat!”
“Aha…! Akhirnya kau muncul juga, Embun Salju! Hik hik hik!” Nini Pasung Jagat memandang kehadiran Embun Salju yang melangkah dengan penuh wibawa mendekatinya. Nini Pasung Jagat tersenyum kegirangan.
Sementara itu, Dewi Anjani pun bangkit perlahan-lahan setelah mengumpulkan kekuatan kembali. Tiba-tiba, pedangnya berkelebat dari belakang Nini Pasung Jagat, Wuttt…!
Trak…! Tongkat Nini Pasung jagat menghadang gerakan pedang itu kearah pundak. Jika tidak terhalang tongkatnya, maka pedang Anjani akan menebas pundak dan membuat pundak itu terpotong. Secepatnya Nini Pasung Jagat membalik sambil mengibaskan tongkatnya. Tapi pada saat itu pula Dewi Anjani menundukkan kepala dan memejam. Tongkat itu bagai mengenai lapisan membal dan sukar terpecahkan.
Wutt…! Wungngng…!
Tongkat itu membalik dari arah pukulannya. Gerakan membalik itu menimbulkan kekuatan sendiri tanpa disengaja dan membuat Nini Pasung Jagat terhuyung-huyung kebelakang mau jatuh. Dewi Anjani cepat berkelebat utnuk membelah kepala Nini Pasung Jagat. Tetapi suara gurunya membuat ia berhenti dari segala gerakkannya.
“Anjani…!”
Hanya suara itu yang membuat Dewi Anjani tak berani teruskan niatnya. Karena nada suara itu sudah sangat dipahami oleh Dewi Anjani, bahwa Guru dalam keadaan marah dan tidak pernah mau bertimbang rasa jika sudah menghardik dengan suara berat begitu. Dewi Anjani akhirnya mundur dan segera mengambil tempat dibawah pohon. Disana ia bersiap melepaskan serangan kepada Nini Pasung Jagat jika sampai terjadi pertarungan dengan Embun Salju dan sang Guru itu terdesak. Dibawah pohon itulah, Dewi Anjani berjaga-jaga sambil menunggu kesempatan untuk melepaskan pembalasan atas kematian adiknya yang disayangi itu.
“Aku mau bicara padamu, Embun Salju!” kata Nini Pasung Jagat.
“Dengan mulut atau dengan pedang?!” tanya Embun Salju bagaikan menantang.
”Terserah padamu, dengan pedangpun aku siap!” jawab Nini Pasung Jagat menampakkan keberaniannya.
”Dengan pedang, aku tak bersedia! Aku bukan jagal, bukan pembunuh, dan bukan binatang! Aku manusia!”
”Apa kau menganggapku binatang?”
”Hanya seekor binatang yang tega membunuh manusia, karena ia merasa tidak sejenis dengan manusia!” jawab Embun Salju dengan sindiran tajam yang penuh kharisma.
”Terserahlah apa katamu, yang jelas aku ingin bicara padamu!”
”Bicaralah sekarang juga!”
"Kau tidak mengajakku masuk ke dalam?"
"Hanya tamu yang kuajak masuk ke dalam dan bicara disana!"
"Apakah aku bukan kau anggap tamu?!"
"Kalau kau tamu, kau tidak akan datang dengan tidak sopan dan menewaskan beberapa muridku!"
"Hik hik hik hik...! Kau marah padaku rupanya?! Oh, jangan! Jangan kau marah padaku, karena kau nanti akan kubunuh jika sampai hilang kesabaranku. Embun Salju!"
"Kalau begitu kita tidak perlu bicara! Kita tentukan saja siapa yang harus mati sekarang ini, kau atau aku!"
"O, tidak tidak tidak...! Bukan begitu maksudku! Hmmm...!"
"Jika tidak, bicaralah seperlunya dan setelah itu pergi dan tempat suciku ini!"
"Baiklah! Aku hanya ingin menanyakan tentang pusaka titipan dari adikmu, si Padmanaba!"
"Aku tidak tahu-menahu tentang pusaka itu!" ujar Embun Salju bernada jengkel.
"Padmanaba bilang pusaka itu dititipkan padamu dan dia menyuruhku mengambilnya!" pancing Nini Pasung Jagat.
"Padmanaba tidak pernah bilang begitu pada siapa pun!" kata Embun Salju. Wajahnya yang cantik memancarkan kemarahan.
"Tapi dia memang menitipkan pusakanya kepadamu, bukan?!"
"Kau tak perlu memancingku, Pasung Jagat! Kau tak akan memperoleh apa-apa dariku walau dengan cara memancing seribu tanya! Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku tidak tahu menahu tentang pusaka yang kau kejar-kejar itu!"
"Omong kosong! Sebagai kakaknya, pasti kau tahu!"
"Kenapa tidak kau tanyakan pada Ki Padmanaba sendiri?!"
"Dia sudah kubunuh!" sentak Nini Pasung Jagat karena jengkel, pancingannya diketahui Embun Salju.
Mendengar tentang Kematian Ki Padmanaba, Embun Salju hanya menyipitkan matanya memandang tajam kepada Nini Pasung Jagat. Kemudian dadanya tampak membusung sebentar, menahan napas, mengendalikan luapan amarahnya. "Jika begitu," kata Embun Salju dengan tenang, "Pergilah ke alam baka dan tanyakan kembali kepada Padmanaba, adikku itu!"
"Kau mengancamku, Embun Salju?!"
"Kunyatakan, aku tak tahu menahu tentang pusaka itu! Kalau kau menganggap aku menantangmu beradu nyawa, kulayani keinginanmu!" jawab Embun Salju dengan tegas dan selalu jelas.
"Baik! Aku punya cara sendiri untuk memaksa mulutmu agar mengatakan hal yang sebenarnya tentang pusaka itu! Hiaaah..."
Zlappp...!
Tangan yang memegang tongkat itu menyentak maju. Dari kepala tongkat keluar sinar merah sekecil buah buni. Jika bukan mata yang awas dan terlatih, tak mungkin bisa melihat gerakan sinar merah kecil itu, karena gerakannya begitu cepat, melebihi anak panah.
Embun Salju tetap di tempat, tak bergeser sedikit pun. Ia hanya mengelebatkan tangannya ke dada, seperti menangkap sesuatu yang digenggamnya. Ternyata sinar merah kecil itu yang ditangkapnya. Kemudian sinar itu dilemparkan ke arah pohon yang jauh dari mereka.
Wuttt..!
Blarrrr...! Pohon itu pecah seketika setelah dilempar dengan sinar kecil tersebut. Pecahan pohon itu menjadi kecil-kecil, sepertinya habis dipahat dalam waktu sangat singkat. Daunnya tak berbekas sedikit pun. Rantingnya menjadi serbuk. Dan hal itu mencengangkan setiap orang yang melihatnya. Termasuk Nini Pasung Jagat sendiri.
Yang membuat tercengang nenek haus pusaka itu adalah cara Embun Salju menangkap sinar merah kecil itu. Selamanya tak pernah ada orang yang berhasil menangkap sinar tersebut, kecuali hanya menangkis dan menghindarinya. Jelas caranya menangkap sinar dalam keadaan tetap utuh dan tidak meledak di tangan adalah cara yang hanya bisa dilakukan oleh orang berilmu tinggi.
Sekalipun begitu, Nini Pasung Jagat masih belum jera melawan Embun Salju. Ia segera melepaskan jurusnya yang bernama 'Darah Geni'. Tangan kanannya melepaskan tongkat dan menyentak ke depan, lalu melesatlah selarik sinar merah bagaikan bentuk pelangi melengkung. Sinar merah itu tidak patah, tetap mengalir deras dan menghantam Embun Salju.
Telapak tangan kiri Embun Salju hanya menadah di depan dada, menghadang sinar merah itu. Kini sinar tersebut melengkung dari tangan kanan Nini Pasung Jagat ke tangan kiri Embun Salju. Tetapi beberapa kejap berikutnya, sinar merah itu berubah sedikit demi sedikit menjadi keputih-putihan, berpijar-pijar bagai nyala matahari, sampai akhirnya sinar merah itu berubah putih keperakan. Tetap mengalir dari tangan Embun Salju ke tangan Nini Pasung Jagat.
Tubuh Nini Pasung Jagat gemetar. Kuda-kudanya semakin rendah bagai sedang menahan sesuatu yang amat berat. Keringatnya pun mulai bercucuran di bagian kening. Semakin lama tubuh itu semakin menggigil bagai orang kedinginan. Rupanya Embun Salju yang berdiri dengan tenang bagai tanpa tenaga itu telah melepaskan jurus 'Darah Kutub' yang amat dingin melebihi batu es. Makin lama semakin tampak menggigil tubuh nenek tua itu. Bahkan sebagai pengimbang kekuatannya, ia melepaskan satu pukulan mautnya lagi melalui tangan kiri.
Zlappp...! Sinar hijau melesat ke arah Embun Salju. Itulah jurus 'Jalur Baja' yang amat berbahaya dan bisa membuat orang menjadi meleleh jika terkena jurus itu karena kekuatan panasnya luar biasa.
Tetapi tangan kanan Embun Salju menyambutnya dengan tenang. Sinar hijau yang melesat lurus tanpa bengkok sedikit pun itu ditahan dengan telapak tangan kanan Embun Salju. Dan lama-kelamaan sinar hijau itu bagaikan dibungkus oleh sinar putih perak. Sinar putih perak itu merayap pelan-pelan sampai akhirnya masuk ke telapak tangan Nini Pasung Jagat. Sinar itu juga merupakan tenaga dalam yang sama, yaitu jurus 'Darah Kutub'.
Tiga jurus maut kini meresap masuk ke dalam tubuh Nini Pasung Jagat, yaitu jurus 'Darah Geni'nya sendiri, jurus 'Jalur Baja'-nya sendiri, dilawan dengan jurus 'Darah Kutub' yang amat dingin menggigilkan tiap persendian tubuhnya. Bahkan semakin lama Nini Pasung Jagat bertahan, semakin tampak busa-busa salju bertumbuhan di bagian rambut, alis, leher, pergelangan tangannya, dan hampir seluruh tubuh Nini Pasung Jagat menjadi putih, dibungkus busa salju.
Nenek yang ngotot tak mau kalah itu tiba-tiba bercahaya sekujur tubuhnya. Blappp...! Sinar merah memancar dari seluruh tubuh. Zlappp...! Embun Salju melepaskan tangannya, menjauhi tubuh lawan yang menyala memancarkan sinar merah itu. Tubuh tersebut mulai menyentak-nyentak tak bisa bersuara. Jatuh ke tanah dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Beberapa saat kemudian, tubuhnya diam tak bergerak. Cahaya merah surut, lalu padam dan wajah Nini Pasung Jagat kelihatan merah kehitaman seperti tembaga.
"Kuburkan dia!" kata Embun Salju kepada Dewi Anjani, dan ia pun segera meninggalkan tempat dengan tenang. Dewi Anjani menyuruh anak buahnya untuk menguburkan Nini Pasung Jagat.
“Mahasi?! Ada apa…?!” seru orang yang menangkap tubuh Mahasi yang terkulai lemas itu. Ia segera berseru kepada rekannya yang ada di bagian dalam, di balik pintu gerbang itu, ”Panggil Dewi Anjani! Mahasi terluka!”
Orang yang menjaga bagian dalam itu terkejut melihat Mahasi mengeluarkan darah dari mulutnya, pakaiannya terkena bercak-bercak darah dan sangat mengkhawatirkan. Orang itu segera berlari menemui Dewi Anjani yang menjadi perantara antara Nyai Guru Embun Salju dengan para murid lainnya.
“Dewi Anjani! Mahasi terluka!”
“Hah?! Di mana dia sekarang?!”
“Ada di pintu gerbang!”
Waktu itu, Dewi Anjani sedang bicara dengan Embun Salju mengenai Racun Getah Tengkorak dan musibah yang melanda Perguruan Kobra Hitam. Mendengar Mahasi terluka, Dewi Anjani segera berlari ke pintu gerbang, sedangkan Embun Salju melangkah cepat sampai di depan balairung. Di sana ia berdiri dengan tangan dikebelakangkan, memandang kearah pintu gerbang yang menjadi gaduh karena kemunculan Mahasi.
Segera Dewi Anjani membawanya ke balairung itu, tapi Embun Salju memerintahkan Anjani untuk membawa Mahasi ke ruang penyembuhan. Hanya Embun Salju dan Dewi Anjani yang masuk ke ruang penyembuhan, yang lainnya berjaga-jaga di luar dan saling membicarakan. Embun Salju segera melakukan pengobatan terhadap diri Mahasi, yang saat itu sudah dibaringkan di atas sebuah ranjang dari batu plesteran yang dilapisi tikar tebal.
“Buka semua pakaian!” kata Embun Salju. ”Jangan sampai ada penghambat jalan darahnya! Ia terluka cukup parah. Tapi masih bisa diselamatkan!”
Setelah Dewi Anjani melepaskan semua pakaian Mahasi dengan cepat, maka Embun Salju segera menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Mahasi. Telapak tangannya menjadi bercahaya putih keperakan. Kedua telapak tangan itu ditempelkan terutama di bagian dada Mahasi yang masih kencang namun montok itu. Telapak tangan itu bukan menempel tepat di dua buah bukit Mahasi, melainkan di bagian atasnya.
Kejap berikutnya, Mahasi menjadi gemetar. Sekujur tubuhnya bergerak seperti orang menggigil. Telapak tangan Embun Salju yang menyala putih perak itu masih menempel di atas dada Mahasi. Telapak tangan itu berasap tipis. Dan ruangan yang tertutup itu menjadi dingin beberapa saat. Dewi Anjani sendiri sampai mendekap kedua lengannya sendiri.
Telapak tangan Embun Salju berpindah kebagian perut Mahasi. Menempel disana dan membuat Mahasi mengerang kecil sambil menggigil. Udara di kamar bertambah dingin bagaikan di dalam ruang es. Tubuh Dewi Anjani sendiri samapi menggigil juga menahan hawa dingin itu. Beberapa saat setelah itu, cahaya perak padam dari tangan Embun Salju. Kini Embun Salju memusatkan kekuatannya pada kedua jarinya, yaitu jari tangan kanan-kiri. Kedua jari itu menekan bagian pelipis Mahasi. Dan kedua jari itu pun menyala merah bagaikan besi terbakar.
Pada saat itu, ruangan yang dingin menjadi berkurang. Lalu, menjadi hangat. Dan Embun Salju berhenti melakukan pengobatan. Mahasi tersentak tiba-tiba dan segera memuntahkan darah hitam. Muntahnya darah hitam itu membuat Embun Salju tersenyum. Ia berkata kepada Anjani,
“Dia tertolong! Lekas ambilkan air hangat untuk diminumkan!” Menurut Embun Salju, terlambat sedikit saja, Mahasi akan mati. Pukulan yang diterimanya dari lawan telah membuat jantungnya merembaskan darah di luar saluran darah semestinya. Pukulan itu mempunyai hawa pembusuk, yang dapat membuat sekujur tubuh Mahasi menjadi busuk.
“Siapa yang melakukannya?” tanya Embun Salju setelah Mahasi agak segar dan sudah mengenakan pakaiannya kembali.
“Seorang perempuan tua yang mengaku bernama Nini Pasung Jagat!”
“O, dia…?!” Embun Salju mangut-mangut.
“Siapa Nini Pasung Jagat itu, Nyai Guru?” tanya Dewi Anjani.
“Saudara seperguruan adik tiriku, Padmanaba!”
“Dia memaksa saya untuk bertemu dengan Guru, tapi saya menolak membawanya kemari. Bahkan...bahkan Anjarwati...”
“O, iya! Bukankah kau pergi dengan adikku Anjarwati. Kemana dia sekarang?!” sergah Dewi Anjani.
”Dia tewas, dibunuh orang itu!”
”Hahh...?!” Dewi Anjani terpekik kaget.
Embun Salju terkesiap dan segera menarik napas dalam-dalam, menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dadanya, yaitu sebuah murka. Dewi Anjani merah mukanya. Terengah-engah napasnya. Matanya menyipit memancarkan duka dan dendam yang bergumul menjadi satu. Ia berkata kepada Embun Salju dengan suara gemetar menahan luapan marah,
”Guru, izinkan saya mencari dia dan membalas kematian Anjarwati!”
”Dia bukan lawanmu, Anjani!”
”Saya harus membalas kematian itu, Guru!”
”Silakan kalau kau nekat!” jawab Embun Salju.
Pada saat Dewi Anjani keluar dari kamar penyembuhan, seorang murid berusia muda, sekitar dua puluh dua tahun, segera datang dengan napas terengah-engah dan wajah tegang.
”Kakak, di luar ada seorang pengacau! Perempuan tua yang mengaku Nini Pasung Jagat mendesak masuk dan membunuh dua penjaga! Sekarang sedang dihadapi oleh Irandani dan Pujarini, Kak!”
Laporan itu didengar oleh Embun Salju. Langkah kaki perempuan berpakaian serba putih itu masih tetap tenang. Ia menyusuri lorong penghubung dari ruang penyembuhan kebalairung dengan langkah tidak terlalu tergesa-gesa, tapi hatinya membatin, “Apa maunya nenek itu datang dan mengamuk padaku? Seingatku tak ada salahku padanya! Haruskah aku turun tangan dan mengakhiri riwayat hidupnya? Lalu, bagaimana dengan Ki Padmanaba? Apakah dia tidak menuntut balas padaku jika aku membunuh Pasung Jagat?!”
Embun Salju masih belum tahu, bahwa Ki Padmanaba sudah dibunuh oleh Nini Pasung Jagat. Karenanya, Embun Salju merasa bimbang dan ragu-ragu untuk bertindak lebih tegas lagi. Karena pada dasarnya Embun Salju tidak mau bentrok dengan adiknya, walau hanya adik tiri, karena selama ini ia telah menjalin hubungan persaudaraan yang baik dan saling menolong.
Dewi Anjani sengaja menyuruh beberapa orangnya untuk mendesak Nini Pasung Jagat supaya menjauhi pintu gerbang. Penjagaan dipintu gerbang lebih diperketat lagi. Dewi Anjani sendiri segera keluar dari halaman kuil tersebut dan melihat dengan mata kepala sendiri si nenek tua itu membunuh Irandani dan Pujarini.
”Keji...!” geram Dewi Anjani, lalu dengan cepat ia menyentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh sebagai pendorong tubuh lawan.
Wukkk...!
Tenaga yang terkirim itu melesat menghantam Nini Pasung Jagat. Tenaga itu membuat Nini Pasung Jagat terlempar jauh bagai boneka kayu yang dibuang begitu saja.
Brukk…!
Nini Pasung Jagat jatuh di rerumputan beralang-alang lumayan tinggi. Tapi ia segera bangkit dalam satu sentakan pimggul, tahu-tahu ia sudah berdiri dan menggenggam tongkatnya dengan kuat. Matanya memandang seorang perempuan muda seusia Mahasi yang sedang menghampirinya.
Di tempat yang agak jauh dari pintu gerbang itulah, Dewi Anjani mulai siap menghadapi lawannya yang menurutnya berjiwa kejam. Terlihat dari caranya membunuh Irandani dan Pujarini bagai tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun. Bayangan yang ada di benak Dewi Anjani, seperti itulah adiknya dibunuh oleh nenek tua itu.
“Apakah kau orang andalan Elang Putih?!” sindir Nini Pasung Jagat.
Tetapi Dewi Anjani menjawab dengan suara keras, “Aku adalah orang utusan dari neraka untuk mencabut nyawamu!”
“Oho, he he he he…!” Nini Pasung Jagat terkekeh-kekeh mendapat gertakan seperti itu. “Rupanya kau lebih galak dari mereka yang telah melawanku, Nona Cantik!”
Srett…! Dewi Anjani mencabut pedangnya dengan wajah semakin kaku dan mata penuh hasrat membunuh.
“Oho, punya pedang juga kau, Nak? Apakah cukup mahir memainkannya? Jika tidak, sebaiknya biarkan aku masuk menemui Embun Salju untuk membicarakan sesuatu!”
”Kau harus melunasi hutangmu lebih dulu, NeNek iblis! Kau berhutang nyawa padaku, karena kau telah membunuh Anjarwati, adikku! Sekarang tiba saatnya kau harus menyusul roh adikku dan meminta maaf di sana! Heeeaaah…!"
Dewi Anjani tidak memberi kesempatan Nini Pasung Jagat untuk melontarkan kata-kata lagi. Ia langsung melompat dan menyerang dengan menebaskan paedangnya yang berkelebat simpang-siur membingungkan untuk ditangkis.
Wut wut wess wuttt wut wut wess… trak! Wut trak!
Nini Pasung Jagat sempat dibuat kewalahan menghadapi gerakan pedang yang bersimpang-siur tak jelas ke mana arahnya itu. Dan memang kehebatan jurus ’Elang Mengamuk Bintang’ adalah terletak pada kecepatan tebas yang sukar dipastikan ke mana arahnya. Hanya sesekali bisa ditangkis, hanya sesekali lolos terhindar, tapi beberapa kejap berikutnya, terdengar suara lembut yang mendirikan bulu kuduk tiap orang.
Cras cras cras...!
Buhgg...!
Dewi Anjani tahu-tahu terpental agak jauh. Tubuhnya melayang karena terkena sodokan tongkat Nini Pasung Jagat. Ia jatuh terkapar dalam jarak antara empat tombak dari tempatnya bertarung. Sementara itu, kedua paha Nini Pasung Jagat tampak terluka dan punggungnya terkena sabetan pedang. Sayangnya, tidak terlalu parah dan berbahaya. Hanya luka biasa dan tidak akan merenggut nyawa nenek tua itu. Bahkan yang menderita luka tidak menggubrisnya sama sekali. Hanya memandangnya sebentar, lalu terkekeh-kekeh sendiri, sebab ia tahu lukanya tidak berbahaya.
Napas Dewi Anjani menjadi sesak. Ia terkena sodokan tongkat pada bagian rusuk. Rusuk itu bagaikan patah salah satu tulangnya. Sakit jika dipakai untuk bergerak. Napas pun segera dipaksakan untuk bisa dihirup panjang-panjang lalu ditahannya beberapa saat di dalam rongga dada.
Pada saat itu, Nini Pasung Jagat berjalan dengan santainya mendekati Dewi Anjani. “Kalau kau mau menyusul adikmu, mari kubantu, Cah Ayu..!” seraya tongkatnya diangkat dan hendak dihantamkan ke kepala Anjani.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari arah pintu gerbang kuil tersebut, “Hentikan, Pasung Jagat!”
“Aha…! Akhirnya kau muncul juga, Embun Salju! Hik hik hik!” Nini Pasung Jagat memandang kehadiran Embun Salju yang melangkah dengan penuh wibawa mendekatinya. Nini Pasung Jagat tersenyum kegirangan.
Sementara itu, Dewi Anjani pun bangkit perlahan-lahan setelah mengumpulkan kekuatan kembali. Tiba-tiba, pedangnya berkelebat dari belakang Nini Pasung Jagat, Wuttt…!
Trak…! Tongkat Nini Pasung jagat menghadang gerakan pedang itu kearah pundak. Jika tidak terhalang tongkatnya, maka pedang Anjani akan menebas pundak dan membuat pundak itu terpotong. Secepatnya Nini Pasung Jagat membalik sambil mengibaskan tongkatnya. Tapi pada saat itu pula Dewi Anjani menundukkan kepala dan memejam. Tongkat itu bagai mengenai lapisan membal dan sukar terpecahkan.
Wutt…! Wungngng…!
Tongkat itu membalik dari arah pukulannya. Gerakan membalik itu menimbulkan kekuatan sendiri tanpa disengaja dan membuat Nini Pasung Jagat terhuyung-huyung kebelakang mau jatuh. Dewi Anjani cepat berkelebat utnuk membelah kepala Nini Pasung Jagat. Tetapi suara gurunya membuat ia berhenti dari segala gerakkannya.
“Anjani…!”
Hanya suara itu yang membuat Dewi Anjani tak berani teruskan niatnya. Karena nada suara itu sudah sangat dipahami oleh Dewi Anjani, bahwa Guru dalam keadaan marah dan tidak pernah mau bertimbang rasa jika sudah menghardik dengan suara berat begitu. Dewi Anjani akhirnya mundur dan segera mengambil tempat dibawah pohon. Disana ia bersiap melepaskan serangan kepada Nini Pasung Jagat jika sampai terjadi pertarungan dengan Embun Salju dan sang Guru itu terdesak. Dibawah pohon itulah, Dewi Anjani berjaga-jaga sambil menunggu kesempatan untuk melepaskan pembalasan atas kematian adiknya yang disayangi itu.
“Aku mau bicara padamu, Embun Salju!” kata Nini Pasung Jagat.
“Dengan mulut atau dengan pedang?!” tanya Embun Salju bagaikan menantang.
”Terserah padamu, dengan pedangpun aku siap!” jawab Nini Pasung Jagat menampakkan keberaniannya.
”Dengan pedang, aku tak bersedia! Aku bukan jagal, bukan pembunuh, dan bukan binatang! Aku manusia!”
”Apa kau menganggapku binatang?”
”Hanya seekor binatang yang tega membunuh manusia, karena ia merasa tidak sejenis dengan manusia!” jawab Embun Salju dengan sindiran tajam yang penuh kharisma.
”Terserahlah apa katamu, yang jelas aku ingin bicara padamu!”
”Bicaralah sekarang juga!”
"Kau tidak mengajakku masuk ke dalam?"
"Hanya tamu yang kuajak masuk ke dalam dan bicara disana!"
"Apakah aku bukan kau anggap tamu?!"
"Kalau kau tamu, kau tidak akan datang dengan tidak sopan dan menewaskan beberapa muridku!"
"Hik hik hik hik...! Kau marah padaku rupanya?! Oh, jangan! Jangan kau marah padaku, karena kau nanti akan kubunuh jika sampai hilang kesabaranku. Embun Salju!"
"Kalau begitu kita tidak perlu bicara! Kita tentukan saja siapa yang harus mati sekarang ini, kau atau aku!"
"O, tidak tidak tidak...! Bukan begitu maksudku! Hmmm...!"
"Jika tidak, bicaralah seperlunya dan setelah itu pergi dan tempat suciku ini!"
"Baiklah! Aku hanya ingin menanyakan tentang pusaka titipan dari adikmu, si Padmanaba!"
"Aku tidak tahu-menahu tentang pusaka itu!" ujar Embun Salju bernada jengkel.
"Padmanaba bilang pusaka itu dititipkan padamu dan dia menyuruhku mengambilnya!" pancing Nini Pasung Jagat.
"Padmanaba tidak pernah bilang begitu pada siapa pun!" kata Embun Salju. Wajahnya yang cantik memancarkan kemarahan.
"Tapi dia memang menitipkan pusakanya kepadamu, bukan?!"
"Kau tak perlu memancingku, Pasung Jagat! Kau tak akan memperoleh apa-apa dariku walau dengan cara memancing seribu tanya! Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku tidak tahu menahu tentang pusaka yang kau kejar-kejar itu!"
"Omong kosong! Sebagai kakaknya, pasti kau tahu!"
"Kenapa tidak kau tanyakan pada Ki Padmanaba sendiri?!"
"Dia sudah kubunuh!" sentak Nini Pasung Jagat karena jengkel, pancingannya diketahui Embun Salju.
Mendengar tentang Kematian Ki Padmanaba, Embun Salju hanya menyipitkan matanya memandang tajam kepada Nini Pasung Jagat. Kemudian dadanya tampak membusung sebentar, menahan napas, mengendalikan luapan amarahnya. "Jika begitu," kata Embun Salju dengan tenang, "Pergilah ke alam baka dan tanyakan kembali kepada Padmanaba, adikku itu!"
"Kau mengancamku, Embun Salju?!"
"Kunyatakan, aku tak tahu menahu tentang pusaka itu! Kalau kau menganggap aku menantangmu beradu nyawa, kulayani keinginanmu!" jawab Embun Salju dengan tegas dan selalu jelas.
"Baik! Aku punya cara sendiri untuk memaksa mulutmu agar mengatakan hal yang sebenarnya tentang pusaka itu! Hiaaah..."
Zlappp...!
Tangan yang memegang tongkat itu menyentak maju. Dari kepala tongkat keluar sinar merah sekecil buah buni. Jika bukan mata yang awas dan terlatih, tak mungkin bisa melihat gerakan sinar merah kecil itu, karena gerakannya begitu cepat, melebihi anak panah.
Embun Salju tetap di tempat, tak bergeser sedikit pun. Ia hanya mengelebatkan tangannya ke dada, seperti menangkap sesuatu yang digenggamnya. Ternyata sinar merah kecil itu yang ditangkapnya. Kemudian sinar itu dilemparkan ke arah pohon yang jauh dari mereka.
Wuttt..!
Blarrrr...! Pohon itu pecah seketika setelah dilempar dengan sinar kecil tersebut. Pecahan pohon itu menjadi kecil-kecil, sepertinya habis dipahat dalam waktu sangat singkat. Daunnya tak berbekas sedikit pun. Rantingnya menjadi serbuk. Dan hal itu mencengangkan setiap orang yang melihatnya. Termasuk Nini Pasung Jagat sendiri.
Yang membuat tercengang nenek haus pusaka itu adalah cara Embun Salju menangkap sinar merah kecil itu. Selamanya tak pernah ada orang yang berhasil menangkap sinar tersebut, kecuali hanya menangkis dan menghindarinya. Jelas caranya menangkap sinar dalam keadaan tetap utuh dan tidak meledak di tangan adalah cara yang hanya bisa dilakukan oleh orang berilmu tinggi.
Sekalipun begitu, Nini Pasung Jagat masih belum jera melawan Embun Salju. Ia segera melepaskan jurusnya yang bernama 'Darah Geni'. Tangan kanannya melepaskan tongkat dan menyentak ke depan, lalu melesatlah selarik sinar merah bagaikan bentuk pelangi melengkung. Sinar merah itu tidak patah, tetap mengalir deras dan menghantam Embun Salju.
Telapak tangan kiri Embun Salju hanya menadah di depan dada, menghadang sinar merah itu. Kini sinar tersebut melengkung dari tangan kanan Nini Pasung Jagat ke tangan kiri Embun Salju. Tetapi beberapa kejap berikutnya, sinar merah itu berubah sedikit demi sedikit menjadi keputih-putihan, berpijar-pijar bagai nyala matahari, sampai akhirnya sinar merah itu berubah putih keperakan. Tetap mengalir dari tangan Embun Salju ke tangan Nini Pasung Jagat.
Tubuh Nini Pasung Jagat gemetar. Kuda-kudanya semakin rendah bagai sedang menahan sesuatu yang amat berat. Keringatnya pun mulai bercucuran di bagian kening. Semakin lama tubuh itu semakin menggigil bagai orang kedinginan. Rupanya Embun Salju yang berdiri dengan tenang bagai tanpa tenaga itu telah melepaskan jurus 'Darah Kutub' yang amat dingin melebihi batu es. Makin lama semakin tampak menggigil tubuh nenek tua itu. Bahkan sebagai pengimbang kekuatannya, ia melepaskan satu pukulan mautnya lagi melalui tangan kiri.
Zlappp...! Sinar hijau melesat ke arah Embun Salju. Itulah jurus 'Jalur Baja' yang amat berbahaya dan bisa membuat orang menjadi meleleh jika terkena jurus itu karena kekuatan panasnya luar biasa.
Tetapi tangan kanan Embun Salju menyambutnya dengan tenang. Sinar hijau yang melesat lurus tanpa bengkok sedikit pun itu ditahan dengan telapak tangan kanan Embun Salju. Dan lama-kelamaan sinar hijau itu bagaikan dibungkus oleh sinar putih perak. Sinar putih perak itu merayap pelan-pelan sampai akhirnya masuk ke telapak tangan Nini Pasung Jagat. Sinar itu juga merupakan tenaga dalam yang sama, yaitu jurus 'Darah Kutub'.
Tiga jurus maut kini meresap masuk ke dalam tubuh Nini Pasung Jagat, yaitu jurus 'Darah Geni'nya sendiri, jurus 'Jalur Baja'-nya sendiri, dilawan dengan jurus 'Darah Kutub' yang amat dingin menggigilkan tiap persendian tubuhnya. Bahkan semakin lama Nini Pasung Jagat bertahan, semakin tampak busa-busa salju bertumbuhan di bagian rambut, alis, leher, pergelangan tangannya, dan hampir seluruh tubuh Nini Pasung Jagat menjadi putih, dibungkus busa salju.
Nenek yang ngotot tak mau kalah itu tiba-tiba bercahaya sekujur tubuhnya. Blappp...! Sinar merah memancar dari seluruh tubuh. Zlappp...! Embun Salju melepaskan tangannya, menjauhi tubuh lawan yang menyala memancarkan sinar merah itu. Tubuh tersebut mulai menyentak-nyentak tak bisa bersuara. Jatuh ke tanah dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Beberapa saat kemudian, tubuhnya diam tak bergerak. Cahaya merah surut, lalu padam dan wajah Nini Pasung Jagat kelihatan merah kehitaman seperti tembaga.
"Kuburkan dia!" kata Embun Salju kepada Dewi Anjani, dan ia pun segera meninggalkan tempat dengan tenang. Dewi Anjani menyuruh anak buahnya untuk menguburkan Nini Pasung Jagat.
* * *
EMPAT
SEBENARNYA bisa saja mayat Nini Pasung Jagat dibuang ke laut. Atau bila perlu dibuang ke jurang curam. Tapi Embun Salju tidak sekejam itu. Kematian adalah sesuatu yang layak mendapat penghormatan sekalipun sekecil biji semangka. Dengan menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah merupakan suatu penghormatan kecil yang dilakukan oleh Embun Salju.
Hanya saja, Embun Salju tidak ingin mayat itu dimakamkan di Tanah Merah, tempat di mana Kuil Elang Putih berada. Mayat itu harus dimakamkan di luar perbatasan Tanah Merah. Karena itu, para pengubur membawa mayat Nini Pasung Jagat ke Pulau Kubangan, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Di sana ada delapan kuburan, yaitu kuburan para musuh yang mati di tangan Embun Salju dan matinya di Tanah Merah.
Hanya enam orang yang membawa mayat itu ke Pulau Kubangan, sedangkan yang memakamkan jenazah Irandani dan Pujarini hampir seluruh penghuni Kuil Elang Putih. Jenazah Anjarwati pun dimakamkan di tempat pemakaman khusus orang-orang Kuil Elang Putih.
Menjelang petang, ketika senja makin menua, Embun Salju kedatangan tiga orang tamu. Wajah Embun Salju yang masih dilapisi masa berkabung itu membuatnya seperti merasa enggan untuk menerima tamu. Tetapi demi mendengar nama Kirana, adalah salah satu dari ketiga tamu tersebut, mau tidak mau Embun Salju bergegas menyambutnya. Dan ternyata Kirana datang bersama Jongos Daki, yang sudah dikenal Embun Salju sebagal pelayan Tabib Cawan Maut. Tetapi satu orang tamunya lagi itu belum pernah dilihat oleh Embun Salju.
Karenanya Embun Salju menatap dengan dahi berkerut ke arah wajah pemuda tampan yang berbadan tinggi, tegap serta gagah. Dialah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang ketampanannya sering menggoda hati wanita. Tetapi karena Embun Salju belum mengenal wajah tampan itu, merasa baru pertama kali ini berjumpa, maka Embun Salju pun bertanya kepada Suto Sinting,
"Kalau boleh kutahu, siapa namamu dan dari mana asalmu?"
Kirana yang buru-buru memberi jawaban, seakan dia merasa bangga bisa mengenalkan nama pendekar yang sedang banyak menjadi bahan pembicaraan orang di rimba persilatan itu, "Dia bernama Suto Sinting, Nyai...!"
"Oh..?!" Embun Salju terperanjat. Cepat-cepat matanya beralih ke Suto Sinting tak berkedip, tapi mulutnya bicara kepada Kirana, "Maksudmu, dialah si Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dari Jurang Lindu itu?"
Kirana menjawab, "Benar. Agaknya kau banyak tahu tentang dia, Nyai! Apakah semua tokoh di rimba persilatan tahu banyak tentang orang sinting itu?!" canda Kirana.
"Entahlah," jawab Embun Salju sambil menyunggingkan senyum manis. Sungguh lebih manis dari senyuman Kirana atau senyuman Dewi Anjani saat jumpa di depan kuil pemujaan tadi.
Embun Salju melanjutkan ucapannya setelah melihat Suto pun membalas senyumannya, "Yang kutahu nama Suto Sinting selalu berdampingan dengan nama Pendekar Mabuk. Dan semua perempuan di rimba persilatan membicarakan tentang ketampanannya, kegagahannya, serta daya tariknya yang luar biasa. Tapi, menurutku... biasa-biasa saja!"
"Maksud Nyai, ketampanannya biasa-biasa saja?"
"Artinya, kalau perempuan bicara tentang ketampanan seorang pria, itu biasa-biasa saja!" jawab Embun Salju sambil matanya melirik sebentar ke arah Pendekar Mabuk yang sejak tadi masih diam saja. Setelah itu, ia kembali bicara kepada Kirana, "Agaknya ada sesuatu yang penting dengan kedatanganmu bersama Suto Sinting ini?!"
"Benar, Nyai! Banyak yang ingin kami bicarakan."
"Tentang apa, Kirana?"
Kirana melirik Suto, maksudnya menyuruh Suto menceritakan apa yang ingin diketahui olehnya tentang pusaka Ki Padmanaba itu. Tetapi Suto masih diam saja, dan Jongos Daki pun diam saja. Terjadilah masa hening beberapa kejap di antara mereka berempat. Kemudian, Kirana berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Ceritakanlah apa yang kau alami di pantai itu, Suto!"
Kirana dan Jongos Daki terperanjat setelah Suto bicara dengan suaranya yang menjadi serak dan sangat kecil kedengarannya, "Bagaimana aku mau bicara, ada seseorang yang menotok pita suaraku di tenggorokan! Aku tak bisa bicara!"
"Hei, kenapa suaramu jadi hilang begitu?!" kata Jongos Daki dengan wajah menegang.
Embun Salju tersenyum. Ia memandang Suto sekejap, kemudian berkata, "Bicaralah! Kau sudah bebas!"
"Hem...!" Suto mendehem. "Terima kasih," katanya dengan suara jelas. Rupanya Embun Salju yang punya keusilan mencoba ilmunya Pendekar Mabuk. Ia menotoknya lewat pandangan mata, sehingga suara Suto bagai tertahan tak bisa keluar karena jalan darah menyumbat pita suara ditenggorokan.
"Maaf, sekadar perkenalan saja," kata Embun Salju merasa menang karena orang yang kondang kesaktiannya saja masih bisa dipermainkan dengan jurus totok melalui pandangan matanya.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Ia mengusap-usap tenggorokannya sejenak, bahkan menenggak tuaknya beberapa teguk untuk membasahi kerongkongannya, setelah itu berkata kepada Embun Salju, "Ilmumu cukup tinggi, Nyai. Kau bisa menotokku lewat pandangan matamu. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bisa melakukannya."
"Sekali lagi aku minta maaf, itu hanya salam perkenalanku saja," jawab Embun Salju, sambil duduk dibangku bundar setinggi satu lutut.
"Tak apa, Nyai. Cuma aku sangsi apakah kau sekarang masih bisa berdiri di depan kami, Nyai?!"
"Apa maksudmu, Suto?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Kirana dengan wajah penuh keheranan.
"Tak apa," jawab Embun Salju. "Mungkin Suto punya cara perkenalan sendiri."
"Saya semakin tak jelas dengan pembicaraan ini!" kata Kirana.
"Suto menotokku dan membuatku tak bisa berdiri." jawab Embun Salju dengan menahan malu. Ia tak mau memperagakan sikapnya yang berusaha berdiri. Ia hanya menggerakkan pinggangnya sedikit, ternyata masih belum bisa dipakai untuk berdiri.
"Suto," kata Kirana dengan sedikit sewot "Aku mengajakmu kemari bukan untuk pamer ilmu! Lepaskan totokanmu pada Nyai Guru!"
"Aku tidak menotoknya!" kata Suto sambil menunjuk Embun Salju, "Justru dia yang menotokku!"
"Tapi Nyai Guru tidak bisa berdiri! Pasti sama dengan yang kau lakukan kepada Ekayana di pantai itu!"
"Tidak!" jawab Pendekar Mabuk agak ngotot.
Embun Salju tersenyum dan berkata, "Sudahlah, Kirana! Dia sudah melepaskannya pada saat dia menunjukkan tangannya padaku!" Maka, Embun Salju membuktikannya dengan berdiri tegak di depan tamu-tamunya. "Aku sudah dibebaskan oleh kenakalannya!"
Mata Kirana memandang tak berkedip kepada Embun Salju. Pada saat Embun Salju duduk kembali, Kirana berkata, "Bukankah Nyai Guru orang yang susah ditotok oleh lawan?"
"Hanya lawan yang berilmu tinggi yang bisa menotokku," jawab Embun Salju dengan jujur, dan secara tak langsung mengakui keunggulan ilmu Pendekar Mabuk.
Pemuda itu hanya tersenyum tipis, mengalihkan pandangan mata, karena tak sanggup menatap senyuman Embun Salju yang begitu indah. Luar biasa indahnya, sehingga setiap Embun Salju tersenyum, jantung Suto berdebar-debar, hatinya gemetar.
"Baiklah!" kata Embun Salju. "Ceritakanlah persoalanmu, Suto!"
"Aku mendapat tugas untuk mencari pusaka dan menyelamatkannya. Pusaka itu adalah milik Ki Padmanaba."
"Siapa yang menugaskan begitu?"
"Ki Padmanaba sendiri, sebelum ajalnya tiba, ia berbisik kepadaku! Pada waktu itu, aku segera menghadapi Nini Pasung Jagat, sebab Nini Pasung Jagat juga menghendaki pusaka itu sampai menewaskan Ki Padmanaba. Tetapi aku masih sangsi, apakah benar pusaka itu ada?"
Embun Salju diam sejenak, bibirnya sengaja menyunggingkan senyum dan membuat Suto Sinting salah tingkah. Kemudian Embun Salju berkata sambil bergantian menatap Kirana, Suto, dan Jongos Daki. "Mengenai Nini Pasung Jagat yang mengejar pusaka itu, memang benar! Tadi siang dia habis mengamuk di sini dan mendesakku untuk memberitahukan di mana pusaka Ki Padmanaba adikku di simpan. Bahkan aku kehilangan kesabaran melihat tiga muridku dibunuhnya, lalu dia kubunuh dan sekarang sedang dibawa ke Pulau Kubangan untuk dimakamkan sebagaimana mestinya..."
"Oh, jadi nenek tua itu sudah mati?" potong Suto dengan cepat.
"Sudah!" jawab Embun Salju sambil menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya lagi, "Mengenai pusaka itu ada atau tidak, kusarankan pada kalian atau siapa pun, tak perlu mencari pusaka itu!"
"Maksudnya?" desak Kirana.
"Pusaka itu tidak ada. Itu hanya omong kosong adikku saja!"
Jongos Daki menyahut, "Tapi bagaimana dengan cerita tentang istri Ki Padmanaba yang membunuh mertuanya sendiri dengan pedang pusaka itu? Bukankah cerita itu benar adanya dan Ki Padmanaba pun segera membunuh istrinya, lalu beliau berjanji agar tidak menggunakan pedang tersebut, sehingga pedang tersebut disimpannya?"
Sekali lagi Embun Salju menarik napas dan setelah itu baru berkata, "Soal istri Padmanaba yang membunu ayahnya Padmanaba, atau ayah tiriku, itu memang benar. Tapi tidak dengan pedang pusaka. Hanya dengan pedang biasa!"
"Bukankah istri Ki Padmanaba tidak bisa bermain pedang? Dan ayah Ki Padmanaba jago pedang juga? Mungkinkah jago pedang bisa dikalahkan dan dibunuh oleh seorang perempuan yang tidak mahir menggunakan pedang?" kata Jongos Daki, seakan mendesak supaya Embun Salju mengatakan yang sebenarnya.
"Seseorang jika memang sudah mencapai naasnya, yang tidak mungkin membunuhnya bisa menjadi mungkin membunuhnya!" jawab Embun Salju tak begitu jelas dalam pernyataannya.
Jongos Daki mendesak lagi, "Setahu saya, Nyai... Ki Padmanaba tidak pernah bohong kepada siapa pun. Mungkinkah dia menceritakan hal itu kepada saya sebagai cerita bohong belaka?"
"Seseorang perlu bersikap jujur, tapi kadangkala kebohongan pun dibutuhkan demi kebaikan bersama, bukan untuk menguntungkan diri pribadi!" sekali lagi jawaban Embun Salju kali ini terasa mengambang, seakan ia sengaja membuat tamu-tamunya menjadi penasaran mencari kepastian jawabannya masing-masing.
"Jadi tentang pusaka itu tidak ada, Nyai?" Kirana minta penegasan.
"Lupakan tentang pusaka itu!" jawab Nyai Guru Embun Salju. "Sekarang aku ingin menjamu kalian untuk makan malam bersama. Kalau tak salah lihat, Jongos Daki sudah lapar sekali malam ini!"
Jongos Daki tersenyum malu sambil mengusap-usap perutnya. "Dan Suto kelihatannya sudah terlalu lelah, butuh istirahat!"
"Kali ini tebakanmu salah, Nyai!" jawab Suto. "Aku hanya ingin menyendiri untuk beberapa saat!"
"O, ya... itu perlu untuk menenangkan pikiranmu yang gundah. Aku punya taman kecil di belakang sana...!" Embun Salju menunjuk kearah belakang yang dimaksud adalah halaman belakang kuil. Lalu, Embun Salju berkata lagi, "Di sana tempatnya nyaman, sepi, dan hening. Kalau kau mau menenangkan diri sekarang juga, kuantarkan kau ke sana!"
Embun Salju berdiri dan berseru memanggil Dewi Anjani. Setelah yang dipanggil muncul, Embun Salju berkata, "Bawa tamu kita bersantap malam. Nanti aku menyusul. Aku mau antarkan Pendekar Mabuk ini untuk ke taman belakang...!"
"Baik, Guru!"
"Sebaiknya kau makan bersama sekalian, Suto!" sahut Kirana dengan maksud supaya Suto tidak ke taman bersama Embun Salju.
Tapi Suto kurang tanggap akan hal itu, sehingga dia berkata, "Kalian berdua saja. Temani Paman Jongos Daki makan malam. Wajahnya telah pucat sejak tadi. Aku butuh ketenangan sebentar saja!"
Kirana mau tak mau pergi bersama Paman Jongos Daki. Hatinya menahan dongkol dan waswas. Rupanya ada benih-benih kecemburuan yang tumbuh di hati Kirana. Jongos Daki yang tahu persis hal itu segera berbisik kepada Kirana,
"Buanglah pikiranmu yang bukan bukan. Suto tidak akan melakukan apa yang kau cemaskan sekarang ini!"
"Ah, Paman...!" Kirana menepiskan tangan dan bersikap biasa-biasa saja, seakan tidak mempunyai benih kecemburuan.
Taman yang dimaksud adalah ladang bebatuan dengan aneka macam jenis batu hias. Ada yang berwarna ungu berbentuk seperti pohon kaktus, ada yang beerwarna putih mirip ikan melompat, ada pula yang berwarna hijau seperti bentuk pohon cemara, tingginya seukuran tinggi manusia dewasa. Yang namanya tanaman asli hanya rumput-rumput hias. Sisanya batu-batuan hias dengan bentuk dan warna yang mempesona.
Di sudut taman itu, ada batu yang berbentuk seperti kerbau sedang mengeram di kubangan lumpur. Warnanya kuning kehitaman. Batu itulah yang biasa dipakai duduk-duduk menikmati ketenangan di taman yang luasnya separo halaman depan. Di sanalah Embun Salju membawa Suto dan mempersilakan duduk.
"Di sini kau akan merasa tenang dan nyaman," katanya.
"Kurasa lebih tenang berada di dekat batu merah itu."
"Batu ini mempunyai kekuatan gaib. Bisa membuat hati yang gundah menjadi tenang, pikiran yang kusut memjadi tenang, jiwa yang guncang pun menjadi nyaman. Duduklah dan coba beberapa saat!"
Baru sekarang Suto mendengar ada batu yang punya pengaruh seperti itu jika diduduki. Karena ingin membuktikan kebenaran kata-kata orang sakti itu, maka Suto pun duduk di batu yang mirip kerbau mengeram di lumpur itu. Ternyata biasa-biasa saja menurut Suto. Yang membuat sedikit tenang adalah keberadaan Embun Salju, yang duduk di batu hitam seberangnya, dan wajahnya berhadap-hadapan dengan Pendekar Mabuk.
Wajah itulah yang memancarkan ketenangan, kedamaian, dan kenyamanan. Apalagi dibumbui dengan senyum tipis menggemaskan hati, sungguh sesuatu yang indah dan enak dinikmati. Tanpa ada wajah Embun Salju di depannya, mustahil batu yang diduduki Soto itu mempunyai pengaruh seperti yang dikatakan Embun Salju tadi.
"Apakah Kirana itu kekasihmu?"
"Bukan," jawab Suto Sinting.
"Lalu mengapa kau bersamanya?"
Suto diam sesaat dan memikirkan jawabannya, tapi Embun Salju sudah lebih dulu berkata, "Kau mencari pusaka adikku dengan membawa-bawa Kirana, apakah tak terpikirkan bahwa dia akan menjadi duri di dalam usahamu menyelamatkan pusaka itu?"
"Mulanya aku butuh dia, karena dia tahu letak Cemara Tunggal!"
"Ada apa dengan Cemara Tunggal? Aku tahu tempat itu, adanya di Bukit Canang."
"Pesan Ki Padmanaba menyebutkan Cemara Tunggal."
"Maksudmu, dia menyimpan pusaka itu di sana?"
"Aku tak tahu pasti, Nyai. Karena aku masih bingung, apakah pusaka itu memang ada atau tidak? Mana yang benar?"
Embun salju menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan-pelan, setelah itu berkata kepada Suto, "Kau benar-benar sanggup bertanggung jawab dengan pusaka itu?" tanpa memandang Embun Salju sudah merasa dirinya diperhatikan Pendekar Mabuk dangan dahi berkerut, pertanda Pendekar Mabuk curiga padanya.
"Aku akan bertanggung jawab! Nah, sekarang katakan yang sebenarnya, Nyai Embun Salju!Karena aku merasa seolah-olah aku punya hutang besar kepada arwah Ki Padmanaba jika aku tidak melaksanakan amanatnya itu. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku jadi punya perasaan seperti itu. Padahal aku merasa pusaka itu bukan pusaka warisanku, aku tak punya hak untuk memiliki pusaka itu, dan aku tak tahu, setelah kudapatkan pusaka itu lantas mau dikemanakan, aku tak tahu!"
"Kalau begitu, kekuatan batin Padmanaba menyertaimu terus saat ini ini, Suto Sinting!"
"Baiklah. Anggap saja memang begitu. Lalu, untuk apa kekuatan batin mendiang Ki Padmanaba menyertaiku jika pusaka itu tidak ada seperti yang kau katakan tadi?"
Embun Salju memandang tanpa senyum, kelihatan wajahnya bersungguh-sungguh menanggapi omongan Suto Sinting. Lalu dia berkata, "Sebenarnya pusaka itu memang ada!" Embun Salju sengaja berhenti sebentar untuk melihat perubahan wajah di muka Suto. Karena wajah itu tetap tenang dan tidak merasa kaget ataupun heran, tapi justru tampak bersunguh-sungguh menyimak tiap ucapan yang didengarnya, maka Embun Salju pun melanjutkan ucapannya, "Sengaja kukatakan kepada siapa pun bahwa pusaka itu tidak ada, supaya mereka tidak saling berebut dan akhirnya saling bunuh! Sampai sekarang aku tak tahu siapa yang berhak memiliki pusaka itu. Tapi dengan jujur kukatakan, aku tak mengerti dimana Padmanaba menyimpan Pedang Wukir Kencana itu."
"Dalam amanatnya," kata Suto. "Ki Padmanaba mengatakan padaku, 'Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama', begitu yang kudengar dari mulutnya yang kemudian menghembuskan napas terakhir. Aku tak mengerti persis apa maksudnya, tapi aku yakin pusaka itu ada di Cemara Tunggal. Hanya saja, aku sudah cari beberapa waktu bersama Jongos Daki dan Kirana, tapi tidak kutemukan pusaka itu."
"Dalam purnama...?!" Embun Salju menggumam dengan dahi berkerut. Ia merenung beberapa saat. Kemudian ia pun bicara dengan pelan, masih seperti orang menggumam, "Repotnya pusaka itu tidak bisa ditembus oleh mata hatiku, tak ada orang yang bisa meneropong pusaka itu, sehingga sampai sekarang tak ada yang menemukannya! Itulah kehebatan Pedang Wukir Kencana. Sulit ditemukan oleh orang yang bukan pemiliknya atau yang bukan diberi tugas merawatnya."
"Menurutmu apakah aku diberi tugas untuk merawat pusaka itu, Nyai? Sebab aku merasa..."
"Tunggu !" potong Nyai Guru Embun Salju dengan tiba-tiba, sepertinya ada yang penting dan mengagetkan hatinya.
Pendekar Mabuk segera berdiri dan memandang sekeliling, bersikap waspada karena menyangka ada bahaya yang mengancam keselamatan Embun Salju.
"Duduklah, tak ada bahaya apa-apa," kata Embun Salju. "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku telah menemukan kuncinya!"
"Kunci apa maksudmu, Nyai?"
"Kunci membuka jalan ke tempat penyimpanan pusaka itu!"
"Pembuka jalan?!" gumam Suto heran. "Apakah ada jalan menuju ke suatu tempat yang dipakai menyimpan pusaka itu?"
"Tidak begitu maksudku, Suto! Tapi kunci itu menunjukkan di mana pusaka tersimpan."
"Menurutmu di mana?"
"Dipurnama! Ya, seperti malam sekarang ini adalah malam bulan purnama, Suto!"
"Jadi kau menyuruhku terbang ke bulan untuk mengambil pusaka itu, Nyai?"
"Bukan itu maksudku?" kata Embun Salju, ia berdiri menandakan sangat gembira karena telah menemukan kunci tersebut. Ia berjalan mendekati tempat duduk Suto Sinting dan berdiri di depan pemuda tampan itu, sehingga pemuda tersebut sedikit mendongak memandangnya, "Coba ulangi pesan Padmanaba padamu!"
Suto mengulangi ucapan Ki Padmanaba, "Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama!" Suto termenung sebentar, ada sesuatu yang lupa. Lalu ia berkata lagi, "Eh, bukan... bukan begitu! Tapi begini, 'Selamatkan pusaka di pucuk Cemara Tunggal dalam purnama...' Kira-kira begitu kurang lebihnya, Nyai!"
"Nah, semakin jelas! Sekarang adalah malam purnama. Rembulan menampakkan diri secara utuh di langit. Tapi saat ini belum puncak purnama. Puncaknya nanti, di pertengahan malam."
"Jadi bagaimana maksudmu?"
"Cari bayangan pucuk cemara pada saat puncak purnama tiba. Di mana bayangan pucuk cemara itu ada di situlah pusaka itu tersimpan. Jika ia jatuh di tanah, maka galilah tanah itu, pasti Padmanaba menyimpan pusakanya di tanah itu!"
"Begitukah...?!" gumam Suto seperti bicara sendai, karena ia mengucapkan kata tanya dalam keadaan matanya merenung.
"Kalau kau sanggup melakukannya, berangkatlah mulai sekarang Pendekar Mabuk, bawalah peralatan gali seperlunya! Dan kusarankan jangan pergi bersama siapa pun! Sebab pusaka itu banyak yang mengincar!"
"Baiklah kalau kau yakin begitu, aku akan berangkat sekarang! Lalu, setelah itu aku harus ke mana membawa pusaka itu?"
"Bawalah kemari dulu, nanti kita bicarakan!"
Hanya saja, Embun Salju tidak ingin mayat itu dimakamkan di Tanah Merah, tempat di mana Kuil Elang Putih berada. Mayat itu harus dimakamkan di luar perbatasan Tanah Merah. Karena itu, para pengubur membawa mayat Nini Pasung Jagat ke Pulau Kubangan, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Di sana ada delapan kuburan, yaitu kuburan para musuh yang mati di tangan Embun Salju dan matinya di Tanah Merah.
Hanya enam orang yang membawa mayat itu ke Pulau Kubangan, sedangkan yang memakamkan jenazah Irandani dan Pujarini hampir seluruh penghuni Kuil Elang Putih. Jenazah Anjarwati pun dimakamkan di tempat pemakaman khusus orang-orang Kuil Elang Putih.
Menjelang petang, ketika senja makin menua, Embun Salju kedatangan tiga orang tamu. Wajah Embun Salju yang masih dilapisi masa berkabung itu membuatnya seperti merasa enggan untuk menerima tamu. Tetapi demi mendengar nama Kirana, adalah salah satu dari ketiga tamu tersebut, mau tidak mau Embun Salju bergegas menyambutnya. Dan ternyata Kirana datang bersama Jongos Daki, yang sudah dikenal Embun Salju sebagal pelayan Tabib Cawan Maut. Tetapi satu orang tamunya lagi itu belum pernah dilihat oleh Embun Salju.
Karenanya Embun Salju menatap dengan dahi berkerut ke arah wajah pemuda tampan yang berbadan tinggi, tegap serta gagah. Dialah Suto Sinting, Pendekar Mabuk yang ketampanannya sering menggoda hati wanita. Tetapi karena Embun Salju belum mengenal wajah tampan itu, merasa baru pertama kali ini berjumpa, maka Embun Salju pun bertanya kepada Suto Sinting,
"Kalau boleh kutahu, siapa namamu dan dari mana asalmu?"
Kirana yang buru-buru memberi jawaban, seakan dia merasa bangga bisa mengenalkan nama pendekar yang sedang banyak menjadi bahan pembicaraan orang di rimba persilatan itu, "Dia bernama Suto Sinting, Nyai...!"
"Oh..?!" Embun Salju terperanjat. Cepat-cepat matanya beralih ke Suto Sinting tak berkedip, tapi mulutnya bicara kepada Kirana, "Maksudmu, dialah si Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dari Jurang Lindu itu?"
Kirana menjawab, "Benar. Agaknya kau banyak tahu tentang dia, Nyai! Apakah semua tokoh di rimba persilatan tahu banyak tentang orang sinting itu?!" canda Kirana.
"Entahlah," jawab Embun Salju sambil menyunggingkan senyum manis. Sungguh lebih manis dari senyuman Kirana atau senyuman Dewi Anjani saat jumpa di depan kuil pemujaan tadi.
Embun Salju melanjutkan ucapannya setelah melihat Suto pun membalas senyumannya, "Yang kutahu nama Suto Sinting selalu berdampingan dengan nama Pendekar Mabuk. Dan semua perempuan di rimba persilatan membicarakan tentang ketampanannya, kegagahannya, serta daya tariknya yang luar biasa. Tapi, menurutku... biasa-biasa saja!"
"Maksud Nyai, ketampanannya biasa-biasa saja?"
"Artinya, kalau perempuan bicara tentang ketampanan seorang pria, itu biasa-biasa saja!" jawab Embun Salju sambil matanya melirik sebentar ke arah Pendekar Mabuk yang sejak tadi masih diam saja. Setelah itu, ia kembali bicara kepada Kirana, "Agaknya ada sesuatu yang penting dengan kedatanganmu bersama Suto Sinting ini?!"
"Benar, Nyai! Banyak yang ingin kami bicarakan."
"Tentang apa, Kirana?"
Kirana melirik Suto, maksudnya menyuruh Suto menceritakan apa yang ingin diketahui olehnya tentang pusaka Ki Padmanaba itu. Tetapi Suto masih diam saja, dan Jongos Daki pun diam saja. Terjadilah masa hening beberapa kejap di antara mereka berempat. Kemudian, Kirana berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Ceritakanlah apa yang kau alami di pantai itu, Suto!"
Kirana dan Jongos Daki terperanjat setelah Suto bicara dengan suaranya yang menjadi serak dan sangat kecil kedengarannya, "Bagaimana aku mau bicara, ada seseorang yang menotok pita suaraku di tenggorokan! Aku tak bisa bicara!"
"Hei, kenapa suaramu jadi hilang begitu?!" kata Jongos Daki dengan wajah menegang.
Embun Salju tersenyum. Ia memandang Suto sekejap, kemudian berkata, "Bicaralah! Kau sudah bebas!"
"Hem...!" Suto mendehem. "Terima kasih," katanya dengan suara jelas. Rupanya Embun Salju yang punya keusilan mencoba ilmunya Pendekar Mabuk. Ia menotoknya lewat pandangan mata, sehingga suara Suto bagai tertahan tak bisa keluar karena jalan darah menyumbat pita suara ditenggorokan.
"Maaf, sekadar perkenalan saja," kata Embun Salju merasa menang karena orang yang kondang kesaktiannya saja masih bisa dipermainkan dengan jurus totok melalui pandangan matanya.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Ia mengusap-usap tenggorokannya sejenak, bahkan menenggak tuaknya beberapa teguk untuk membasahi kerongkongannya, setelah itu berkata kepada Embun Salju, "Ilmumu cukup tinggi, Nyai. Kau bisa menotokku lewat pandangan matamu. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bisa melakukannya."
"Sekali lagi aku minta maaf, itu hanya salam perkenalanku saja," jawab Embun Salju, sambil duduk dibangku bundar setinggi satu lutut.
"Tak apa, Nyai. Cuma aku sangsi apakah kau sekarang masih bisa berdiri di depan kami, Nyai?!"
"Apa maksudmu, Suto?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Kirana dengan wajah penuh keheranan.
"Tak apa," jawab Embun Salju. "Mungkin Suto punya cara perkenalan sendiri."
"Saya semakin tak jelas dengan pembicaraan ini!" kata Kirana.
"Suto menotokku dan membuatku tak bisa berdiri." jawab Embun Salju dengan menahan malu. Ia tak mau memperagakan sikapnya yang berusaha berdiri. Ia hanya menggerakkan pinggangnya sedikit, ternyata masih belum bisa dipakai untuk berdiri.
"Suto," kata Kirana dengan sedikit sewot "Aku mengajakmu kemari bukan untuk pamer ilmu! Lepaskan totokanmu pada Nyai Guru!"
"Aku tidak menotoknya!" kata Suto sambil menunjuk Embun Salju, "Justru dia yang menotokku!"
"Tapi Nyai Guru tidak bisa berdiri! Pasti sama dengan yang kau lakukan kepada Ekayana di pantai itu!"
"Tidak!" jawab Pendekar Mabuk agak ngotot.
Embun Salju tersenyum dan berkata, "Sudahlah, Kirana! Dia sudah melepaskannya pada saat dia menunjukkan tangannya padaku!" Maka, Embun Salju membuktikannya dengan berdiri tegak di depan tamu-tamunya. "Aku sudah dibebaskan oleh kenakalannya!"
Mata Kirana memandang tak berkedip kepada Embun Salju. Pada saat Embun Salju duduk kembali, Kirana berkata, "Bukankah Nyai Guru orang yang susah ditotok oleh lawan?"
"Hanya lawan yang berilmu tinggi yang bisa menotokku," jawab Embun Salju dengan jujur, dan secara tak langsung mengakui keunggulan ilmu Pendekar Mabuk.
Pemuda itu hanya tersenyum tipis, mengalihkan pandangan mata, karena tak sanggup menatap senyuman Embun Salju yang begitu indah. Luar biasa indahnya, sehingga setiap Embun Salju tersenyum, jantung Suto berdebar-debar, hatinya gemetar.
"Baiklah!" kata Embun Salju. "Ceritakanlah persoalanmu, Suto!"
"Aku mendapat tugas untuk mencari pusaka dan menyelamatkannya. Pusaka itu adalah milik Ki Padmanaba."
"Siapa yang menugaskan begitu?"
"Ki Padmanaba sendiri, sebelum ajalnya tiba, ia berbisik kepadaku! Pada waktu itu, aku segera menghadapi Nini Pasung Jagat, sebab Nini Pasung Jagat juga menghendaki pusaka itu sampai menewaskan Ki Padmanaba. Tetapi aku masih sangsi, apakah benar pusaka itu ada?"
Embun Salju diam sejenak, bibirnya sengaja menyunggingkan senyum dan membuat Suto Sinting salah tingkah. Kemudian Embun Salju berkata sambil bergantian menatap Kirana, Suto, dan Jongos Daki. "Mengenai Nini Pasung Jagat yang mengejar pusaka itu, memang benar! Tadi siang dia habis mengamuk di sini dan mendesakku untuk memberitahukan di mana pusaka Ki Padmanaba adikku di simpan. Bahkan aku kehilangan kesabaran melihat tiga muridku dibunuhnya, lalu dia kubunuh dan sekarang sedang dibawa ke Pulau Kubangan untuk dimakamkan sebagaimana mestinya..."
"Oh, jadi nenek tua itu sudah mati?" potong Suto dengan cepat.
"Sudah!" jawab Embun Salju sambil menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya lagi, "Mengenai pusaka itu ada atau tidak, kusarankan pada kalian atau siapa pun, tak perlu mencari pusaka itu!"
"Maksudnya?" desak Kirana.
"Pusaka itu tidak ada. Itu hanya omong kosong adikku saja!"
Jongos Daki menyahut, "Tapi bagaimana dengan cerita tentang istri Ki Padmanaba yang membunuh mertuanya sendiri dengan pedang pusaka itu? Bukankah cerita itu benar adanya dan Ki Padmanaba pun segera membunuh istrinya, lalu beliau berjanji agar tidak menggunakan pedang tersebut, sehingga pedang tersebut disimpannya?"
Sekali lagi Embun Salju menarik napas dan setelah itu baru berkata, "Soal istri Padmanaba yang membunu ayahnya Padmanaba, atau ayah tiriku, itu memang benar. Tapi tidak dengan pedang pusaka. Hanya dengan pedang biasa!"
"Bukankah istri Ki Padmanaba tidak bisa bermain pedang? Dan ayah Ki Padmanaba jago pedang juga? Mungkinkah jago pedang bisa dikalahkan dan dibunuh oleh seorang perempuan yang tidak mahir menggunakan pedang?" kata Jongos Daki, seakan mendesak supaya Embun Salju mengatakan yang sebenarnya.
"Seseorang jika memang sudah mencapai naasnya, yang tidak mungkin membunuhnya bisa menjadi mungkin membunuhnya!" jawab Embun Salju tak begitu jelas dalam pernyataannya.
Jongos Daki mendesak lagi, "Setahu saya, Nyai... Ki Padmanaba tidak pernah bohong kepada siapa pun. Mungkinkah dia menceritakan hal itu kepada saya sebagai cerita bohong belaka?"
"Seseorang perlu bersikap jujur, tapi kadangkala kebohongan pun dibutuhkan demi kebaikan bersama, bukan untuk menguntungkan diri pribadi!" sekali lagi jawaban Embun Salju kali ini terasa mengambang, seakan ia sengaja membuat tamu-tamunya menjadi penasaran mencari kepastian jawabannya masing-masing.
"Jadi tentang pusaka itu tidak ada, Nyai?" Kirana minta penegasan.
"Lupakan tentang pusaka itu!" jawab Nyai Guru Embun Salju. "Sekarang aku ingin menjamu kalian untuk makan malam bersama. Kalau tak salah lihat, Jongos Daki sudah lapar sekali malam ini!"
Jongos Daki tersenyum malu sambil mengusap-usap perutnya. "Dan Suto kelihatannya sudah terlalu lelah, butuh istirahat!"
"Kali ini tebakanmu salah, Nyai!" jawab Suto. "Aku hanya ingin menyendiri untuk beberapa saat!"
"O, ya... itu perlu untuk menenangkan pikiranmu yang gundah. Aku punya taman kecil di belakang sana...!" Embun Salju menunjuk kearah belakang yang dimaksud adalah halaman belakang kuil. Lalu, Embun Salju berkata lagi, "Di sana tempatnya nyaman, sepi, dan hening. Kalau kau mau menenangkan diri sekarang juga, kuantarkan kau ke sana!"
Embun Salju berdiri dan berseru memanggil Dewi Anjani. Setelah yang dipanggil muncul, Embun Salju berkata, "Bawa tamu kita bersantap malam. Nanti aku menyusul. Aku mau antarkan Pendekar Mabuk ini untuk ke taman belakang...!"
"Baik, Guru!"
"Sebaiknya kau makan bersama sekalian, Suto!" sahut Kirana dengan maksud supaya Suto tidak ke taman bersama Embun Salju.
Tapi Suto kurang tanggap akan hal itu, sehingga dia berkata, "Kalian berdua saja. Temani Paman Jongos Daki makan malam. Wajahnya telah pucat sejak tadi. Aku butuh ketenangan sebentar saja!"
Kirana mau tak mau pergi bersama Paman Jongos Daki. Hatinya menahan dongkol dan waswas. Rupanya ada benih-benih kecemburuan yang tumbuh di hati Kirana. Jongos Daki yang tahu persis hal itu segera berbisik kepada Kirana,
"Buanglah pikiranmu yang bukan bukan. Suto tidak akan melakukan apa yang kau cemaskan sekarang ini!"
"Ah, Paman...!" Kirana menepiskan tangan dan bersikap biasa-biasa saja, seakan tidak mempunyai benih kecemburuan.
Taman yang dimaksud adalah ladang bebatuan dengan aneka macam jenis batu hias. Ada yang berwarna ungu berbentuk seperti pohon kaktus, ada yang beerwarna putih mirip ikan melompat, ada pula yang berwarna hijau seperti bentuk pohon cemara, tingginya seukuran tinggi manusia dewasa. Yang namanya tanaman asli hanya rumput-rumput hias. Sisanya batu-batuan hias dengan bentuk dan warna yang mempesona.
Di sudut taman itu, ada batu yang berbentuk seperti kerbau sedang mengeram di kubangan lumpur. Warnanya kuning kehitaman. Batu itulah yang biasa dipakai duduk-duduk menikmati ketenangan di taman yang luasnya separo halaman depan. Di sanalah Embun Salju membawa Suto dan mempersilakan duduk.
"Di sini kau akan merasa tenang dan nyaman," katanya.
"Kurasa lebih tenang berada di dekat batu merah itu."
"Batu ini mempunyai kekuatan gaib. Bisa membuat hati yang gundah menjadi tenang, pikiran yang kusut memjadi tenang, jiwa yang guncang pun menjadi nyaman. Duduklah dan coba beberapa saat!"
Baru sekarang Suto mendengar ada batu yang punya pengaruh seperti itu jika diduduki. Karena ingin membuktikan kebenaran kata-kata orang sakti itu, maka Suto pun duduk di batu yang mirip kerbau mengeram di lumpur itu. Ternyata biasa-biasa saja menurut Suto. Yang membuat sedikit tenang adalah keberadaan Embun Salju, yang duduk di batu hitam seberangnya, dan wajahnya berhadap-hadapan dengan Pendekar Mabuk.
Wajah itulah yang memancarkan ketenangan, kedamaian, dan kenyamanan. Apalagi dibumbui dengan senyum tipis menggemaskan hati, sungguh sesuatu yang indah dan enak dinikmati. Tanpa ada wajah Embun Salju di depannya, mustahil batu yang diduduki Soto itu mempunyai pengaruh seperti yang dikatakan Embun Salju tadi.
"Apakah Kirana itu kekasihmu?"
"Bukan," jawab Suto Sinting.
"Lalu mengapa kau bersamanya?"
Suto diam sesaat dan memikirkan jawabannya, tapi Embun Salju sudah lebih dulu berkata, "Kau mencari pusaka adikku dengan membawa-bawa Kirana, apakah tak terpikirkan bahwa dia akan menjadi duri di dalam usahamu menyelamatkan pusaka itu?"
"Mulanya aku butuh dia, karena dia tahu letak Cemara Tunggal!"
"Ada apa dengan Cemara Tunggal? Aku tahu tempat itu, adanya di Bukit Canang."
"Pesan Ki Padmanaba menyebutkan Cemara Tunggal."
"Maksudmu, dia menyimpan pusaka itu di sana?"
"Aku tak tahu pasti, Nyai. Karena aku masih bingung, apakah pusaka itu memang ada atau tidak? Mana yang benar?"
Embun salju menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan-pelan, setelah itu berkata kepada Suto, "Kau benar-benar sanggup bertanggung jawab dengan pusaka itu?" tanpa memandang Embun Salju sudah merasa dirinya diperhatikan Pendekar Mabuk dangan dahi berkerut, pertanda Pendekar Mabuk curiga padanya.
"Aku akan bertanggung jawab! Nah, sekarang katakan yang sebenarnya, Nyai Embun Salju!Karena aku merasa seolah-olah aku punya hutang besar kepada arwah Ki Padmanaba jika aku tidak melaksanakan amanatnya itu. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku jadi punya perasaan seperti itu. Padahal aku merasa pusaka itu bukan pusaka warisanku, aku tak punya hak untuk memiliki pusaka itu, dan aku tak tahu, setelah kudapatkan pusaka itu lantas mau dikemanakan, aku tak tahu!"
"Kalau begitu, kekuatan batin Padmanaba menyertaimu terus saat ini ini, Suto Sinting!"
"Baiklah. Anggap saja memang begitu. Lalu, untuk apa kekuatan batin mendiang Ki Padmanaba menyertaiku jika pusaka itu tidak ada seperti yang kau katakan tadi?"
Embun Salju memandang tanpa senyum, kelihatan wajahnya bersungguh-sungguh menanggapi omongan Suto Sinting. Lalu dia berkata, "Sebenarnya pusaka itu memang ada!" Embun Salju sengaja berhenti sebentar untuk melihat perubahan wajah di muka Suto. Karena wajah itu tetap tenang dan tidak merasa kaget ataupun heran, tapi justru tampak bersunguh-sungguh menyimak tiap ucapan yang didengarnya, maka Embun Salju pun melanjutkan ucapannya, "Sengaja kukatakan kepada siapa pun bahwa pusaka itu tidak ada, supaya mereka tidak saling berebut dan akhirnya saling bunuh! Sampai sekarang aku tak tahu siapa yang berhak memiliki pusaka itu. Tapi dengan jujur kukatakan, aku tak mengerti dimana Padmanaba menyimpan Pedang Wukir Kencana itu."
"Dalam amanatnya," kata Suto. "Ki Padmanaba mengatakan padaku, 'Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama', begitu yang kudengar dari mulutnya yang kemudian menghembuskan napas terakhir. Aku tak mengerti persis apa maksudnya, tapi aku yakin pusaka itu ada di Cemara Tunggal. Hanya saja, aku sudah cari beberapa waktu bersama Jongos Daki dan Kirana, tapi tidak kutemukan pusaka itu."
"Dalam purnama...?!" Embun Salju menggumam dengan dahi berkerut. Ia merenung beberapa saat. Kemudian ia pun bicara dengan pelan, masih seperti orang menggumam, "Repotnya pusaka itu tidak bisa ditembus oleh mata hatiku, tak ada orang yang bisa meneropong pusaka itu, sehingga sampai sekarang tak ada yang menemukannya! Itulah kehebatan Pedang Wukir Kencana. Sulit ditemukan oleh orang yang bukan pemiliknya atau yang bukan diberi tugas merawatnya."
"Menurutmu apakah aku diberi tugas untuk merawat pusaka itu, Nyai? Sebab aku merasa..."
"Tunggu !" potong Nyai Guru Embun Salju dengan tiba-tiba, sepertinya ada yang penting dan mengagetkan hatinya.
Pendekar Mabuk segera berdiri dan memandang sekeliling, bersikap waspada karena menyangka ada bahaya yang mengancam keselamatan Embun Salju.
"Duduklah, tak ada bahaya apa-apa," kata Embun Salju. "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku telah menemukan kuncinya!"
"Kunci apa maksudmu, Nyai?"
"Kunci membuka jalan ke tempat penyimpanan pusaka itu!"
"Pembuka jalan?!" gumam Suto heran. "Apakah ada jalan menuju ke suatu tempat yang dipakai menyimpan pusaka itu?"
"Tidak begitu maksudku, Suto! Tapi kunci itu menunjukkan di mana pusaka tersimpan."
"Menurutmu di mana?"
"Dipurnama! Ya, seperti malam sekarang ini adalah malam bulan purnama, Suto!"
"Jadi kau menyuruhku terbang ke bulan untuk mengambil pusaka itu, Nyai?"
"Bukan itu maksudku?" kata Embun Salju, ia berdiri menandakan sangat gembira karena telah menemukan kunci tersebut. Ia berjalan mendekati tempat duduk Suto Sinting dan berdiri di depan pemuda tampan itu, sehingga pemuda tersebut sedikit mendongak memandangnya, "Coba ulangi pesan Padmanaba padamu!"
Suto mengulangi ucapan Ki Padmanaba, "Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama!" Suto termenung sebentar, ada sesuatu yang lupa. Lalu ia berkata lagi, "Eh, bukan... bukan begitu! Tapi begini, 'Selamatkan pusaka di pucuk Cemara Tunggal dalam purnama...' Kira-kira begitu kurang lebihnya, Nyai!"
"Nah, semakin jelas! Sekarang adalah malam purnama. Rembulan menampakkan diri secara utuh di langit. Tapi saat ini belum puncak purnama. Puncaknya nanti, di pertengahan malam."
"Jadi bagaimana maksudmu?"
"Cari bayangan pucuk cemara pada saat puncak purnama tiba. Di mana bayangan pucuk cemara itu ada di situlah pusaka itu tersimpan. Jika ia jatuh di tanah, maka galilah tanah itu, pasti Padmanaba menyimpan pusakanya di tanah itu!"
"Begitukah...?!" gumam Suto seperti bicara sendai, karena ia mengucapkan kata tanya dalam keadaan matanya merenung.
"Kalau kau sanggup melakukannya, berangkatlah mulai sekarang Pendekar Mabuk, bawalah peralatan gali seperlunya! Dan kusarankan jangan pergi bersama siapa pun! Sebab pusaka itu banyak yang mengincar!"
"Baiklah kalau kau yakin begitu, aku akan berangkat sekarang! Lalu, setelah itu aku harus ke mana membawa pusaka itu?"
"Bawalah kemari dulu, nanti kita bicarakan!"
* * *
LIMA
REMBULAN tampak utuh di langit cerah. Warnanya kuning keperak-perakan. Cahayanya sangat terang menyorot ke bumi. Cahaya itu sangat dibutuhkan oleh sepucuk cemara yang tumbuh sendirian di sebuah bukit. Dan di bawah cemara itu, seseorang telah menunggu sejak tadi, memperhatikan bayangan pucuk cemara yang jatuh di tanah tak berbatu, juga tak bertanaman lain kecuali rumput. Orang itu menyandang sebuah cangkul yang tidak terlalu besar, berukuran sedang sehingga mudah di bawanya ke mana-mana.
Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, yang sejak tadi entah sudah berapa kali menenggak tuaknya, menunggu saat purnama tepat berada di pertengahan malam. Pucuk cemara yang bayangannya jatuh ke tanah itu diperhatikan terus sejak tadi. Dalam hati ia mengakui kebodohannya yang tak bisa menerjemahkan arti amanat mendiang Ki Padmanaba itu.
Pucuk cemara itu bayangannya bukan jatuh di tanah sekitar batu yang dipakai bersandar gurunya Kirana sebelum wafat, bukan di sekitar batu yang pernah dicoba didorong-dorong oleh Suto itu, melainkan di tanah seberangnya. Jika Pendekar Mabuk pada waktu itu menggali seluruh tanah di sekitar dua batu yang berdekatan itu, maka ia tidak akan menemukan apa-apa kecuali kekecewaan, sebab banyangan pucuk cemara tidak jatuh ke sana. Bukan ke arah timur, melainkan ke arah barat. Barangkali dulu banyak pemburu pusaka Ki Padmanaba itu yang terkecoh mencari di tanah sebelah timur pohon cemara tunggal itu, sehingga sampai sekarang pusaka itu belum ditemukan.
Hal yang dikhawatirkan Suto adalah, kalau-kalau dugaan Embun Salju itu salah. Maka Suto hanya akan menemukan kelelahan dan kekecewaan yang mendongkolkan hati. Tetapi menurut naluri Suto, dugaan Embun Salju tidak banyak salahnya. Seandainya Suto menggali tempat kosong, itu lantaran kurang tepat waktu purnamanya. Tetapi di antara garis sejajar dari bayangan pucuk cemara itulah kira-kira pusaka itu dipendam oleh Ki Padmanaba.
Dari sikapnya yang duduk dengan santai, tiba-tiba Suto terpaksa harus berdiri. Angin berhembus mulai kencang, hawa dingin datang di luar kewajaran. Ini sudah merupakan tanda-tanda ajaib pada alam sekeliling tempat penyimpanan pusaka tersebut. Mata Pendekar Mabuk segera terkesiap, karena ia menangkap ada kilatan cahaya bening yang muncul dari tanah.
Kilatan cahaya yang hanya sekejap itu berwarna putih, seperti logam terkena sinar, tapi kurang dari setengah helaan napas, cahaya itu sudah lenyap. Suto yakin, di sanalah pusaka itu dipendam oleh pemiliknya. Karena pucuk cemara mempunyai bayangan ke arah tanah yang memercikkan cahaya terang sekejap itu.
"Bayangan pucuk cemara itu jatuh di sana, ditempat cahaya terang sekejap tadi. Berarti aku harus segera menggali tanah tersebut. Agaknya cahaya terang sekejap tadi merupakan pertanda gaib yang muncul untuk menunjukkan bahwa di sanalah ditanam sebuah pusaka yang cukup dahsyat itu!" kata Suto dalam hatinya.
Maka ia pun bergegas menggali tanah di sekitar cahaya dan bayangan pucuk cemara berada. Suto menggalinya dengan cepat, menggunakan tenaga simpanannya yang mampu menggerakkan tangan melebihi anak panah kecepatannya. Sementara itu, angin semakin kencang bertiup. Dedaunan mulai berterbangan. Hawa dingin bertambah mencekam, seakan ingin membekukan darah. Langit masih terang, tapi gelegar guntur mulai terdengar bersahutan dari langit timur dan langit barat.
Trak...! Cangkul mengenai benda padat dan keras. Pendekar Mabuk mulai hati-hati dan memperlambat gerakan cangkulnya. Dalam beberapa saat kemudian, mulailah tampak sebuah benda berwarna hitam samar-samar karena masih bercampur dengan tanah. Semakin dibersihkan tanah di sekelilingnya dengan cangkul, semakin terlihat jelas bentuk benda hitam yang memancang itu. Ternyata adalah sebuah peti besi berukuran lebar antara dua jengkal, panjangnya seukuran sebuah pedang, tinggi kotak itu antara satu jengkal.
Kotak besi itu segera diangkat oleh Suto dari galiannya. Tidak terlalu berat, tapi sedikit licin karena kotak besi itu ditumbuhi lumut lumut tipis. Dengan sangat hati-hati Suto meletakkan kotak panjang itu di tepi liang galiannya. Napasnya terhempas lepas, menandakan cukup lega dengan apa yang ditemukannya itu.
Namun ketika Suto ingin membuka tutup kotak besi itu, tiba-tiba sekelebat benda mengkilat melesat ke arahnya. Zingng...! Benda itu melintas tepat didepan mata Pendekar Mabuk. Andai Pendekar Mabuk tidak menarik kepala ke belakang, maka ia akan menjadi sasaran senjata rahasia tersebut.
"Aaaa...!"
Suto terkejut mendengar suara pekik manusia di sebelah kanannya. Padahal benda itu muncul dan berkelebat dari samping kirinya. Rupanya benda itu mengenai orang yang sedang mengangkat pedangnya dan ingin menebaskan pedang itu kepunggung Suto. Jaraknya hanya tiga langkah dari tempat Suto membungkuk tadi.
Orang yang masih diam mengangkat pedang ke atas dalam keadaan tertancap senjata rahasia berbentuk bintang segi enam di tengah jidatnya itu, bukan orang yang dikenal oleh Suto Sinting. Usianya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh sedikit gemuk, berkumis tebal, berwajah sangar. Dari wajahnya dan keadaannya yang ingin membunuh Suto dari belakang itu sudah bisa disimpulkan, dia orang jahat yang layak menerima senjata rahasia itu.
Brukk...! Orang itu jatuh ke belakang dan tak bernyawa lagi. Suto baru saja mau memeriksa mayat orang itu, tiba-tiba ia melihat sekelebat cahaya terang yang melesat terbang seperti tadi. Arahnya juga dari tempat yang sama.
Zingng...!
Dan anehnya benda itu tidak melayang kearah Suto, namun ke arah lain. Suto mengikuti dengan kecepatan pandangan matanya. Tahu-tahu ia melihat seseorang yang berdiri di balik batu berongga setinggi manusia. Orang itu memekik seketika, karena senjata rahasia yang melesat itu tepat masuk ke dalam celah rongga batu yang digunakan orang itu mengintai kegiatan Suto.
Crabb...!
"Aahg...!" orang itu hanya memekik pendek, lalu terdengar tubuhnya jatuh ke tanah dan tak terdengar lagi gerakannya.
"Gila!" gumam Suto dalam hatinya, "Rupanya ada orang yang sejak tadi mengintaiku, menunggu aku menemukan benda pusaka itu. Tapi ada yang bermaksud untuk merebutnya dengan mencelakai aku, ada yang bermaksud melindungi diriku! Hmm...! Siapa orang yang melindungi dengan senjata rahasia bintang segi enam itu?!"
Mata Suto Sinting memandang ke arah semak yang ada di sebelah kirinya tadi. Ia berseru tak terlalu keras, "Keluarlah kalau kau mau membantuku!"
Kemudian muncul seraut wajah yang sudah tidak asing lagi bagi Suto Sinting, yaitu wajah berambut poni, bermata bulat bening, dan berhidung mancung. Siapa lagi kalau bukan si cantik Kirana. Dan kemunculannya itu membuat Suto sedikit terperangah lalu bertanya,
"Dari mana kau tahu kalau aku ada di sini?!"
"Aku tak melihatmu di Kuil Elang Putih. Aku melihat Nyai Guru Embun Salju sendirian termenung di taman. Waktu kutanyakan tentang kamu, ia menjawab bahwa kau sedang beristirahat di kamar. Aku tak percaya, karena aku tahu kau belum makan dan kau tidak mungkin masuk kamar tanpa menemuiku dulu. Aku merasa ada kejanggalan, lalu kusimpulkan bahwa kau telah diberitahu oleh Nyai Embun Salju mengenai rahasia pedang pusaka itu! Kau pasti kemari, karena kau tak bisa mengartikan pesan yang diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum ajalnya tiba. Tapi aku yakin, Nyai pasti bisa mengartikannya! Ternyata benar!"
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sambil nyengir. Kemudian ia memandang dua orang yang tumbang karena lemparan senjata rahasia Kirana itu. Dan Suto pun berkata, "Untung kau menyusulku, sehingga kedua orang itu tak sempat melenyapkan nyawaku!"
"Sejak tadi kuperiksa diam-diam keadaan di sekeliling tempat ini. Sengaja tak kutemui dirimu, takut mengganggu ketenangan berpikirmu. Dan..., yang kulihat tadi hanya dua orang itu, maka kusiapkan serangan untuk mereka jika sewaktu-waktu membahayakan dirimu!"
"Terima kasih! Kau telah menyelamatkan nyawaku!"
"Hutang kita impas! Aku tak punya hutang nyawa lagi padamu!" kata Kirana sambil memandangi kotak tersebut.
Suto berkata, "Kita lihat seperti apa isinya!" sambil Suto membungkuk dan hendak membuka penutup kotak itu.
Tapi tiba-tiba kaki Kirana menginjak kotak tersebut. Tabb...! Kaki itu tepat ada di antara kedua tangan Suto Sinting dan di depan wajah Suto. Pelan-pelan wajah Pendekar Mabuk mendongak memandang Kirana yang berdiri dengan satu kaki menginjak kotak. Lalu, Kirana pun mencabut pedangnya pelan-pelan dan diangkat ke atas pelan pelan pula. Mata Pendekar Mabuk memandangi pedang itu dengan tak berkedip.
"Apa maksudmu, Kirana?!"
"Jangan dari situ membukanya! Dari sebelah sini, sehingga kau tidak langsung berhadapan dengan lubang kotak!"
Sekalipun heran terhadap maksud Kirana, tapi Suto Sinting mengikuti saran Kirana. Ia berpindah tempat ke samping kanan Kirana. Kemudian kotak itu dibuka penutupnya dengan cara menariknya ke atas, bukan mengangkatnya ke atas. Dengan begitu penutup peti menjadi pelindung bagi perut dan dada Suto. Begitu kotak dibuka, melesatlah dua ekor ular putih sebesar jempol kaki. Dan pedang Kirana cepat menebas ular putih yang tampak ganas itu.
Wuttt, wuttt...! Cras cras...!
Ular putih itu terpotong keduanya mati tak berkutik lagi. Jika terlambat Kirana menebaskan pedangnya, maka ular putih itu akan lepas dan mungkin akan menyerang Suto dan Kirana sendiri, atau akan menyerang orang lain yang tidak tahu-menahu mengenai pusaka itu. Karenanya, Kirana sudah mempersiapkan pedangnya sejak tadi. Dan seandainya Suto membuka kotak tersebut ditempat semula, maka begitu tutup kotak dibuka, maka ia akan diserang dua ekor ular ganas tersebut. Beruntung Kirana mengingatkan Pendekar Mabuk untuk membuka kotak dari arah seberangnya.
"Namanya Ular Sanca Ratu," kata Kirana. "Jenis ular ganas yang langka, dan menjadi liar jika terkena udara malam. Ular Sanca Ratu mampu tidak bernapas sampai bertahun tahun, tidak bergerak sedikitpun, kecuali terkena udara malam! Sanca Ratu hanya terdapat di pegunungan es! Racun gigitannya luar biasa ganasnya. Tak usah sampai tergigit, tersentuh kulitnya pun bisa membuat seseorang mati dalam tiga helaan napas."
"Luar biasa...?!" gumam Suto merasa kagum dengan cara Ki Padmanaba memasang perangkap bagi orang yang ingin mencuri pedang pusakanya itu.
Kini kotak besi itu dalam keadaan terbuka. Ternyata di dalamnya berisi kotak lagi. Namun kali ini kotak tersebut terbuat dari kayu cendana yang menyebarkan aroma wangi semerbak. Apalagi angin berhembus pada saat itu, aroma wanginya menyebar kemana-mana. Kotak itu berwarna coklat muda, ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuran kotak besinya. Suto segera mengambil kotak kayu cendana itu. Namun tiba-tiba kaki Kirana segera menendangnya kuat-kuat.
Wuttt...!
Behgg...! Pendekar Mabuk terpental jatuh ke samping. Tendangan itu cukup kuat dan membuat Suto Sinting tak bisa bernapas sesaat. Setelah bisa bernapas, Pendekar Mabuk pun berdiri secepatnya dan memandang Kirana yang masih menggenggam pedang dengan kedua tangannya. Pedang itu menyilang didepan dada, sedikit miring kekanan.
"Mengapa kau menyerangku,Kirana?"
"Karena kau ceroboh, Suto!"
"Ceroboh bagaimana?!"
"Kotak kayu itu jangan sekali-kali kau sentuh!"
"Apa sebabnya?!"
Dengan nada pelan, Kirana menjawab, "Kotak itu dilumuri racun yang amat berbahaya! Siapa menyentuhnya dia akan mati dan mayatnya pun akan beracun. Siapa menyentuh mayatnya juga akan mati dan begitu seterusnya. Satu orang yang menyentuh kotak itu, bisa lima atau enam orang yang ikut mati. Bisa juga lebih dari enam orang!"
"Mengagumkan sekali!" gumam Suto Sinting sambil berdecak.
"Ambil pengait dan kita angkat kotak kayu itu dari dalam kotak besi ini! Kulihat di sisi kedua ujungnya ada tempat pegangan tangan. Hmmm...!"
"Bagaimana kalau pakai ranting?!"
"Bisa, bisa...!" jawab Kirana sambil memasukkan pedang ke sarungnya setelah dibersihkan dengan dedaunan, sehingga darah ular Sanca Ratu itu hilang dari mata pedang. Tapi sisanya akan membekas dan menjadikan racun ganas yang menambah kekuatan dan keganasan pedang tersebut. Siapa tergores, dia akan mati dengan cepat karena darah ular itu beracun.
Dengan bantuan ranting bertunas pendek, mereka berdua mengeluarkan kotak kayu cendana tersebut dari kotak besinya. Tetapi baru saja kotak kayu itu mereka letakkan di rerumputan, tiba-tiba sebuah serangan ganda datang secara bersamaan dari belakang Kirana dan Pendekar Mabuk. Pukulan tenaga dalam itu menghantam punggung mereka dan membuat mereka terlempar ke depan dan berjumpalitan di tanah.
Wuttt, wuttt...!
Gusrakkk... brrussss...!
Begitu Suto dan Kirana bergulingan ditanah akibat pukulan tenaga dalam itu, tiba-tiba sesosok bayangan berpakaian kuning melesat, menyambar kotak kayu itu.
Zlappp...! Wuttt...!
Kemudian bayangan kuning itu pun menjauh dan berhenti di bawah pohon cemara tunggal itu. "He he he he...! Akhirnya kudapatkan juga pedang pusaka ini! He he he he...!"
Suto bergegas mengejarnya, tapi Kirana menghadang dan mencegah. "Jangan! Biarkan saja dia menikmati kegembiraannya yang cuma sebentar itu!"
Suto memandang sosok berbaju kuning, seorang lelaki kurus, berambut pendek putih, mengenakan ikat kepala merah. Tubuhnya jangkung, namun kerutan dan kekurusan wajahnya menampakkan dirinya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Ia menggenggam tongkat warna putih, tangannya yang kiri memeluk kotak kayu cendana itu.
"Bumbung tuakku ada di punggung, tapi dia bisa menyerangku dari belakang! Biasanya pukulan tenaga dalam dari manapun bisa memantul balik jika mengenai bumbung tuakku! Tapi pukulan orang itu tidak! Siapa dia sebenarnya, Kirana?"
"Dia berjuluk Serigala Liar! Musuhnya Ki Padmanaba sejak semasa mudanya! Sudah lama ia mengincar pedang itu tapi tak pernah berhasil. Baru sekarang ia memperolehnya. Dan dia punya ilmu cukup tinggi yang tak bisa ditangkis dan dilawan oleh ilmu tenaga dalam dari mana pun juga! Kurasa gurumu kenal sama Serigala Liar itu!"
"Ya, ya... aku ingat dulu Guru pernah bercerita tentang tokoh sakti bernama Serigala Liar! Tapi bukankah sekarang dia sudah bertobat dan mengasingkan diri di Gunung Malabar?!"
"Dia menyebarkan kabar itu sendiri! Yang jelas dia bersembunyi di sekitar tempat ini entah di mana dan entah sudah berapa tahun! Dulu dia pernah mencari pusaka itu di sekitar sini sampai satu tahun penuh hanya untuk mencari, tapi tak pernah berhasil. Mungkin karena jengkelnya, dia tunggui tempat ini dari sisi mana kita tak tahu! Dan begitu ia mencium bau cendana, ia yakin pasti pedang pusaka itu ada yang menemukannya, karenanya ia segera datang kemari!"
"Kalau begitu, kita rebut pedang itu supaya..."
"Tak perlu...! Lihat dia sekarang ini!" kata Kirana memotong.
Orang berjuluk Serigala Liar itu tertawa kegirangan sambil menimang-nimang kotak kayu cendana itu. Tetapi tiba-tiba tawanya menjadi hilang, tubuhnya tersentak kejang, mulutnya ternganga. Ia menarik napas dengan susah payah. Megap-megap sebentar, lalu roboh dengan kelojotan beberapa saat. Keringatnya mulai mengucur dan berbau amis. Kejap berikutnya, Serigala Liar tak bergerak lagi untuk selama-lamanya, ia mati dalam keadaan mulut ternganga dan mata terbeliak tak berkedip lagi.
"Dia mati, Kirana!"
"Ya. Memang mati. Tapi jangan sentuh mayatnya, bisa-bisa kau ikut mati!"
"Apakah dia mati karena racun di kotak kayu tersebut?!"
"Betul! Sekarang kita tarik kotak itu dari pelukannya, lalu kita buka tutupnya. Ingat, jangan pakai tangan telanjang! Pakailah kayu pengait untuk menariknya, dan gunakan beberapa daun untuk membungkus tanganmu supaya saat kau membuka kotak itu tidak terkena racun yang ada di tutup kotak tersebut!"
Pendekar Mabuk melakukan apa yang disarankan Kirana. Ternyata ia selamat. Kotak bisa dibuka dan sebuah pedang yang terbuat dari logam emas murni tampak membujur panjang di dalam kotak kayu cendana itu. Suto Sinting segera mengambil pedang itu dengan pelan-pelan, tangannya berusaha jangan sampai menyentuh permukaan kotak kayu bagian luar.
"Woww...!" desah Suto penuh kekaguman. Ia tersenyum girang dan Kirana memperhatikan dengan rasa bangga dan gembira.
Pedang itu diperhatikan oleh mereka berdua, dari bentuknya yang mempunyai dua ujung runcing di kanan-kiri gagang, gambar ukiran naga di tengahnya, bagian tajamnya yang mengelilingi mata pedang itu, semuanya membuat kedua orang itu terkagum-kagum. Jika diberdirikan terbalik, panjang pedang setinggi bawah pinggul Suto. Bentuknya kelihatan besar dan berat, tapi sebenarnya ringan dijinjing, sarung pedangnya juga dari logam emas berukir gambar naga dengan seni ukir yang cukup tinggi. Mempunyai tali dari bahan kulit tebal, itu berarti pedang tersebut biasanya diletakkan di punggung pembawanya.
"Kau tampak gagah jika memegang pedang itu, Suto. Jauh lebih gagah dibanding jika tidak memegang pedang itu!" kata Kirana sambil memandangi Suto dengan senyum berseri seri, berhamburan rasa bangga dan kagum.
"Tapi ini bukan hak milikku! Pedang ini bukan warisan untukku!" kata Pendekar Mabuk kepada Kirana.
Tapi gadis itu berkata, "Sekarang sudah menjadi milikmu dan kau berhak memakainya kapan saja, Suto! Kaulah pemilik Pedang Wukir Kencana ini!"
"Mengapa begitu? Aku hanya menemukannya sesuai amanat Ki Padmanaba! Aku tidak punya hubungan saudara dengan Ki Padmanaba!"
"Memang. Tapi barang siapa yang bisa menemukan pedang ini, maka dialah yang berhak mewarisinya! Karena itu banyak orang berburu pedang ini di masa lalu! Tapi tak ada yang berhasil!"
"Siapa yang menemukan pedang ini, dialah yang berhak mewarisinya?!"
"Benar, Suto!"
"Dari mana kau tahu hal itu? Dan... kurasakan dari tadi kau banyak tahu tentang pedang ini?!"
"Aku anak angkat Ki Padmanaba!" jawab Kirana. "Sejak usia delapan tahun aku diasuh oleh beliau! Pada saat beliau ingin menyembunyikan pedang pusaka ini, aku mengetahuinya! Hanya saja tidak boleh ikut saat ia menyembunyikan pedang ini! Dan aku disumpah untuk tidak membocorkan rahasia pedang emas ini! Jika aku membocorkan begitu saja, aku akan mati dimakan sumpah dan kutukku sendiri! Karenanya aku takut ingin mengatakan yang sebesarnya kepadamu. Suto! Bahkan kepada guruku Nyai Punding Sunyi pun aku tak berani mengatakannya!"
"Kenapa kau tidak berguru kepada Ki Padmanaba?"
"Ki Padmanaba hanya menurunkan ilmu kepada cucunya, yaitu Ekayana! Ilmu itu tak diturunkan kepada orang lain, supaya ilmu yang dimiliki cucu kesayangannya itu tidak ada yang menyamai! Dan aku ditolong oleh Ki Padmanaba, menjadi anak angkatnya karena sesuatu hal. Bukan karena ingin dijadikan murid. Dia sayang kepadaku, karena itu dia hanya bisa memberi banyak wejangan kepadaku, dan menceritakan beberapa pengetahuannya tentang dunia persilatan!"
Suto menyarungkan pedang itu sambi berkata, "Pantas kau tahu tentang jebakan ular dan racun didalam kotak itu! Kau juga tahu tentang Ular Sanca Ratu sampai sekecil-kecilnya, juga tahu tentang racun maut yang merenggut nyawa Serigala Liar itu!"
"Namanya Racun Getah Tengkorak!"
Suto terkesiap memandang Kirana. Ia berkata, "Bukankah racun itu yang diributkan oleh orang-orang Kobra Hitam?Kau tahu tentang Racun Getah Tengkorak rupanya?!" Suto manggut-manggut.
"Karena akulah yang menggunakan racun itu pada sebuah lentera, untuk menjebak orang-orangnya Logayo!"
"Kau?!" Suto menegaskan keheranan dan rasa kagetnya. "Jadi, kau yang melakukan pembunuhan dipihak orang-orang Kobra Hitam itu?! Jadi kaulah orang yang dicari-cari mereka?!"
"Ya. Memang aku. Racun itu kudapatkan dari Ki Padmanaba. Ki Padmanaba mendapatkannya dari seorang sahabatnya yang bernama si Jompo Keling. Ketika mau meninggal, Jompo Keling menyerahkan racun itu kepada Ki Padmanaba. Ketika aku akan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, aku dibekali oleh Ki Padmanaba Racun Getah Tengkorak. Karena Ki Padmanaba tahu, aku akan membalas dendam kepada Logayo dan orang-orangnya!"
"Membalas dendam?! Ada salah apa mereka padamu, Kirana?!"
Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, yang sejak tadi entah sudah berapa kali menenggak tuaknya, menunggu saat purnama tepat berada di pertengahan malam. Pucuk cemara yang bayangannya jatuh ke tanah itu diperhatikan terus sejak tadi. Dalam hati ia mengakui kebodohannya yang tak bisa menerjemahkan arti amanat mendiang Ki Padmanaba itu.
Pucuk cemara itu bayangannya bukan jatuh di tanah sekitar batu yang dipakai bersandar gurunya Kirana sebelum wafat, bukan di sekitar batu yang pernah dicoba didorong-dorong oleh Suto itu, melainkan di tanah seberangnya. Jika Pendekar Mabuk pada waktu itu menggali seluruh tanah di sekitar dua batu yang berdekatan itu, maka ia tidak akan menemukan apa-apa kecuali kekecewaan, sebab banyangan pucuk cemara tidak jatuh ke sana. Bukan ke arah timur, melainkan ke arah barat. Barangkali dulu banyak pemburu pusaka Ki Padmanaba itu yang terkecoh mencari di tanah sebelah timur pohon cemara tunggal itu, sehingga sampai sekarang pusaka itu belum ditemukan.
Hal yang dikhawatirkan Suto adalah, kalau-kalau dugaan Embun Salju itu salah. Maka Suto hanya akan menemukan kelelahan dan kekecewaan yang mendongkolkan hati. Tetapi menurut naluri Suto, dugaan Embun Salju tidak banyak salahnya. Seandainya Suto menggali tempat kosong, itu lantaran kurang tepat waktu purnamanya. Tetapi di antara garis sejajar dari bayangan pucuk cemara itulah kira-kira pusaka itu dipendam oleh Ki Padmanaba.
Dari sikapnya yang duduk dengan santai, tiba-tiba Suto terpaksa harus berdiri. Angin berhembus mulai kencang, hawa dingin datang di luar kewajaran. Ini sudah merupakan tanda-tanda ajaib pada alam sekeliling tempat penyimpanan pusaka tersebut. Mata Pendekar Mabuk segera terkesiap, karena ia menangkap ada kilatan cahaya bening yang muncul dari tanah.
Kilatan cahaya yang hanya sekejap itu berwarna putih, seperti logam terkena sinar, tapi kurang dari setengah helaan napas, cahaya itu sudah lenyap. Suto yakin, di sanalah pusaka itu dipendam oleh pemiliknya. Karena pucuk cemara mempunyai bayangan ke arah tanah yang memercikkan cahaya terang sekejap itu.
"Bayangan pucuk cemara itu jatuh di sana, ditempat cahaya terang sekejap tadi. Berarti aku harus segera menggali tanah tersebut. Agaknya cahaya terang sekejap tadi merupakan pertanda gaib yang muncul untuk menunjukkan bahwa di sanalah ditanam sebuah pusaka yang cukup dahsyat itu!" kata Suto dalam hatinya.
Maka ia pun bergegas menggali tanah di sekitar cahaya dan bayangan pucuk cemara berada. Suto menggalinya dengan cepat, menggunakan tenaga simpanannya yang mampu menggerakkan tangan melebihi anak panah kecepatannya. Sementara itu, angin semakin kencang bertiup. Dedaunan mulai berterbangan. Hawa dingin bertambah mencekam, seakan ingin membekukan darah. Langit masih terang, tapi gelegar guntur mulai terdengar bersahutan dari langit timur dan langit barat.
Trak...! Cangkul mengenai benda padat dan keras. Pendekar Mabuk mulai hati-hati dan memperlambat gerakan cangkulnya. Dalam beberapa saat kemudian, mulailah tampak sebuah benda berwarna hitam samar-samar karena masih bercampur dengan tanah. Semakin dibersihkan tanah di sekelilingnya dengan cangkul, semakin terlihat jelas bentuk benda hitam yang memancang itu. Ternyata adalah sebuah peti besi berukuran lebar antara dua jengkal, panjangnya seukuran sebuah pedang, tinggi kotak itu antara satu jengkal.
Kotak besi itu segera diangkat oleh Suto dari galiannya. Tidak terlalu berat, tapi sedikit licin karena kotak besi itu ditumbuhi lumut lumut tipis. Dengan sangat hati-hati Suto meletakkan kotak panjang itu di tepi liang galiannya. Napasnya terhempas lepas, menandakan cukup lega dengan apa yang ditemukannya itu.
Namun ketika Suto ingin membuka tutup kotak besi itu, tiba-tiba sekelebat benda mengkilat melesat ke arahnya. Zingng...! Benda itu melintas tepat didepan mata Pendekar Mabuk. Andai Pendekar Mabuk tidak menarik kepala ke belakang, maka ia akan menjadi sasaran senjata rahasia tersebut.
"Aaaa...!"
Suto terkejut mendengar suara pekik manusia di sebelah kanannya. Padahal benda itu muncul dan berkelebat dari samping kirinya. Rupanya benda itu mengenai orang yang sedang mengangkat pedangnya dan ingin menebaskan pedang itu kepunggung Suto. Jaraknya hanya tiga langkah dari tempat Suto membungkuk tadi.
Orang yang masih diam mengangkat pedang ke atas dalam keadaan tertancap senjata rahasia berbentuk bintang segi enam di tengah jidatnya itu, bukan orang yang dikenal oleh Suto Sinting. Usianya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh sedikit gemuk, berkumis tebal, berwajah sangar. Dari wajahnya dan keadaannya yang ingin membunuh Suto dari belakang itu sudah bisa disimpulkan, dia orang jahat yang layak menerima senjata rahasia itu.
Brukk...! Orang itu jatuh ke belakang dan tak bernyawa lagi. Suto baru saja mau memeriksa mayat orang itu, tiba-tiba ia melihat sekelebat cahaya terang yang melesat terbang seperti tadi. Arahnya juga dari tempat yang sama.
Zingng...!
Dan anehnya benda itu tidak melayang kearah Suto, namun ke arah lain. Suto mengikuti dengan kecepatan pandangan matanya. Tahu-tahu ia melihat seseorang yang berdiri di balik batu berongga setinggi manusia. Orang itu memekik seketika, karena senjata rahasia yang melesat itu tepat masuk ke dalam celah rongga batu yang digunakan orang itu mengintai kegiatan Suto.
Crabb...!
"Aahg...!" orang itu hanya memekik pendek, lalu terdengar tubuhnya jatuh ke tanah dan tak terdengar lagi gerakannya.
"Gila!" gumam Suto dalam hatinya, "Rupanya ada orang yang sejak tadi mengintaiku, menunggu aku menemukan benda pusaka itu. Tapi ada yang bermaksud untuk merebutnya dengan mencelakai aku, ada yang bermaksud melindungi diriku! Hmm...! Siapa orang yang melindungi dengan senjata rahasia bintang segi enam itu?!"
Mata Suto Sinting memandang ke arah semak yang ada di sebelah kirinya tadi. Ia berseru tak terlalu keras, "Keluarlah kalau kau mau membantuku!"
Kemudian muncul seraut wajah yang sudah tidak asing lagi bagi Suto Sinting, yaitu wajah berambut poni, bermata bulat bening, dan berhidung mancung. Siapa lagi kalau bukan si cantik Kirana. Dan kemunculannya itu membuat Suto sedikit terperangah lalu bertanya,
"Dari mana kau tahu kalau aku ada di sini?!"
"Aku tak melihatmu di Kuil Elang Putih. Aku melihat Nyai Guru Embun Salju sendirian termenung di taman. Waktu kutanyakan tentang kamu, ia menjawab bahwa kau sedang beristirahat di kamar. Aku tak percaya, karena aku tahu kau belum makan dan kau tidak mungkin masuk kamar tanpa menemuiku dulu. Aku merasa ada kejanggalan, lalu kusimpulkan bahwa kau telah diberitahu oleh Nyai Embun Salju mengenai rahasia pedang pusaka itu! Kau pasti kemari, karena kau tak bisa mengartikan pesan yang diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum ajalnya tiba. Tapi aku yakin, Nyai pasti bisa mengartikannya! Ternyata benar!"
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sambil nyengir. Kemudian ia memandang dua orang yang tumbang karena lemparan senjata rahasia Kirana itu. Dan Suto pun berkata, "Untung kau menyusulku, sehingga kedua orang itu tak sempat melenyapkan nyawaku!"
"Sejak tadi kuperiksa diam-diam keadaan di sekeliling tempat ini. Sengaja tak kutemui dirimu, takut mengganggu ketenangan berpikirmu. Dan..., yang kulihat tadi hanya dua orang itu, maka kusiapkan serangan untuk mereka jika sewaktu-waktu membahayakan dirimu!"
"Terima kasih! Kau telah menyelamatkan nyawaku!"
"Hutang kita impas! Aku tak punya hutang nyawa lagi padamu!" kata Kirana sambil memandangi kotak tersebut.
Suto berkata, "Kita lihat seperti apa isinya!" sambil Suto membungkuk dan hendak membuka penutup kotak itu.
Tapi tiba-tiba kaki Kirana menginjak kotak tersebut. Tabb...! Kaki itu tepat ada di antara kedua tangan Suto Sinting dan di depan wajah Suto. Pelan-pelan wajah Pendekar Mabuk mendongak memandang Kirana yang berdiri dengan satu kaki menginjak kotak. Lalu, Kirana pun mencabut pedangnya pelan-pelan dan diangkat ke atas pelan pelan pula. Mata Pendekar Mabuk memandangi pedang itu dengan tak berkedip.
"Apa maksudmu, Kirana?!"
"Jangan dari situ membukanya! Dari sebelah sini, sehingga kau tidak langsung berhadapan dengan lubang kotak!"
Sekalipun heran terhadap maksud Kirana, tapi Suto Sinting mengikuti saran Kirana. Ia berpindah tempat ke samping kanan Kirana. Kemudian kotak itu dibuka penutupnya dengan cara menariknya ke atas, bukan mengangkatnya ke atas. Dengan begitu penutup peti menjadi pelindung bagi perut dan dada Suto. Begitu kotak dibuka, melesatlah dua ekor ular putih sebesar jempol kaki. Dan pedang Kirana cepat menebas ular putih yang tampak ganas itu.
Wuttt, wuttt...! Cras cras...!
Ular putih itu terpotong keduanya mati tak berkutik lagi. Jika terlambat Kirana menebaskan pedangnya, maka ular putih itu akan lepas dan mungkin akan menyerang Suto dan Kirana sendiri, atau akan menyerang orang lain yang tidak tahu-menahu mengenai pusaka itu. Karenanya, Kirana sudah mempersiapkan pedangnya sejak tadi. Dan seandainya Suto membuka kotak tersebut ditempat semula, maka begitu tutup kotak dibuka, maka ia akan diserang dua ekor ular ganas tersebut. Beruntung Kirana mengingatkan Pendekar Mabuk untuk membuka kotak dari arah seberangnya.
"Namanya Ular Sanca Ratu," kata Kirana. "Jenis ular ganas yang langka, dan menjadi liar jika terkena udara malam. Ular Sanca Ratu mampu tidak bernapas sampai bertahun tahun, tidak bergerak sedikitpun, kecuali terkena udara malam! Sanca Ratu hanya terdapat di pegunungan es! Racun gigitannya luar biasa ganasnya. Tak usah sampai tergigit, tersentuh kulitnya pun bisa membuat seseorang mati dalam tiga helaan napas."
"Luar biasa...?!" gumam Suto merasa kagum dengan cara Ki Padmanaba memasang perangkap bagi orang yang ingin mencuri pedang pusakanya itu.
Kini kotak besi itu dalam keadaan terbuka. Ternyata di dalamnya berisi kotak lagi. Namun kali ini kotak tersebut terbuat dari kayu cendana yang menyebarkan aroma wangi semerbak. Apalagi angin berhembus pada saat itu, aroma wanginya menyebar kemana-mana. Kotak itu berwarna coklat muda, ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuran kotak besinya. Suto segera mengambil kotak kayu cendana itu. Namun tiba-tiba kaki Kirana segera menendangnya kuat-kuat.
Wuttt...!
Behgg...! Pendekar Mabuk terpental jatuh ke samping. Tendangan itu cukup kuat dan membuat Suto Sinting tak bisa bernapas sesaat. Setelah bisa bernapas, Pendekar Mabuk pun berdiri secepatnya dan memandang Kirana yang masih menggenggam pedang dengan kedua tangannya. Pedang itu menyilang didepan dada, sedikit miring kekanan.
"Mengapa kau menyerangku,Kirana?"
"Karena kau ceroboh, Suto!"
"Ceroboh bagaimana?!"
"Kotak kayu itu jangan sekali-kali kau sentuh!"
"Apa sebabnya?!"
Dengan nada pelan, Kirana menjawab, "Kotak itu dilumuri racun yang amat berbahaya! Siapa menyentuhnya dia akan mati dan mayatnya pun akan beracun. Siapa menyentuh mayatnya juga akan mati dan begitu seterusnya. Satu orang yang menyentuh kotak itu, bisa lima atau enam orang yang ikut mati. Bisa juga lebih dari enam orang!"
"Mengagumkan sekali!" gumam Suto Sinting sambil berdecak.
"Ambil pengait dan kita angkat kotak kayu itu dari dalam kotak besi ini! Kulihat di sisi kedua ujungnya ada tempat pegangan tangan. Hmmm...!"
"Bagaimana kalau pakai ranting?!"
"Bisa, bisa...!" jawab Kirana sambil memasukkan pedang ke sarungnya setelah dibersihkan dengan dedaunan, sehingga darah ular Sanca Ratu itu hilang dari mata pedang. Tapi sisanya akan membekas dan menjadikan racun ganas yang menambah kekuatan dan keganasan pedang tersebut. Siapa tergores, dia akan mati dengan cepat karena darah ular itu beracun.
Dengan bantuan ranting bertunas pendek, mereka berdua mengeluarkan kotak kayu cendana tersebut dari kotak besinya. Tetapi baru saja kotak kayu itu mereka letakkan di rerumputan, tiba-tiba sebuah serangan ganda datang secara bersamaan dari belakang Kirana dan Pendekar Mabuk. Pukulan tenaga dalam itu menghantam punggung mereka dan membuat mereka terlempar ke depan dan berjumpalitan di tanah.
Wuttt, wuttt...!
Gusrakkk... brrussss...!
Begitu Suto dan Kirana bergulingan ditanah akibat pukulan tenaga dalam itu, tiba-tiba sesosok bayangan berpakaian kuning melesat, menyambar kotak kayu itu.
Zlappp...! Wuttt...!
Kemudian bayangan kuning itu pun menjauh dan berhenti di bawah pohon cemara tunggal itu. "He he he he...! Akhirnya kudapatkan juga pedang pusaka ini! He he he he...!"
Suto bergegas mengejarnya, tapi Kirana menghadang dan mencegah. "Jangan! Biarkan saja dia menikmati kegembiraannya yang cuma sebentar itu!"
Suto memandang sosok berbaju kuning, seorang lelaki kurus, berambut pendek putih, mengenakan ikat kepala merah. Tubuhnya jangkung, namun kerutan dan kekurusan wajahnya menampakkan dirinya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Ia menggenggam tongkat warna putih, tangannya yang kiri memeluk kotak kayu cendana itu.
"Bumbung tuakku ada di punggung, tapi dia bisa menyerangku dari belakang! Biasanya pukulan tenaga dalam dari manapun bisa memantul balik jika mengenai bumbung tuakku! Tapi pukulan orang itu tidak! Siapa dia sebenarnya, Kirana?"
"Dia berjuluk Serigala Liar! Musuhnya Ki Padmanaba sejak semasa mudanya! Sudah lama ia mengincar pedang itu tapi tak pernah berhasil. Baru sekarang ia memperolehnya. Dan dia punya ilmu cukup tinggi yang tak bisa ditangkis dan dilawan oleh ilmu tenaga dalam dari mana pun juga! Kurasa gurumu kenal sama Serigala Liar itu!"
"Ya, ya... aku ingat dulu Guru pernah bercerita tentang tokoh sakti bernama Serigala Liar! Tapi bukankah sekarang dia sudah bertobat dan mengasingkan diri di Gunung Malabar?!"
"Dia menyebarkan kabar itu sendiri! Yang jelas dia bersembunyi di sekitar tempat ini entah di mana dan entah sudah berapa tahun! Dulu dia pernah mencari pusaka itu di sekitar sini sampai satu tahun penuh hanya untuk mencari, tapi tak pernah berhasil. Mungkin karena jengkelnya, dia tunggui tempat ini dari sisi mana kita tak tahu! Dan begitu ia mencium bau cendana, ia yakin pasti pedang pusaka itu ada yang menemukannya, karenanya ia segera datang kemari!"
"Kalau begitu, kita rebut pedang itu supaya..."
"Tak perlu...! Lihat dia sekarang ini!" kata Kirana memotong.
Orang berjuluk Serigala Liar itu tertawa kegirangan sambil menimang-nimang kotak kayu cendana itu. Tetapi tiba-tiba tawanya menjadi hilang, tubuhnya tersentak kejang, mulutnya ternganga. Ia menarik napas dengan susah payah. Megap-megap sebentar, lalu roboh dengan kelojotan beberapa saat. Keringatnya mulai mengucur dan berbau amis. Kejap berikutnya, Serigala Liar tak bergerak lagi untuk selama-lamanya, ia mati dalam keadaan mulut ternganga dan mata terbeliak tak berkedip lagi.
"Dia mati, Kirana!"
"Ya. Memang mati. Tapi jangan sentuh mayatnya, bisa-bisa kau ikut mati!"
"Apakah dia mati karena racun di kotak kayu tersebut?!"
"Betul! Sekarang kita tarik kotak itu dari pelukannya, lalu kita buka tutupnya. Ingat, jangan pakai tangan telanjang! Pakailah kayu pengait untuk menariknya, dan gunakan beberapa daun untuk membungkus tanganmu supaya saat kau membuka kotak itu tidak terkena racun yang ada di tutup kotak tersebut!"
Pendekar Mabuk melakukan apa yang disarankan Kirana. Ternyata ia selamat. Kotak bisa dibuka dan sebuah pedang yang terbuat dari logam emas murni tampak membujur panjang di dalam kotak kayu cendana itu. Suto Sinting segera mengambil pedang itu dengan pelan-pelan, tangannya berusaha jangan sampai menyentuh permukaan kotak kayu bagian luar.
"Woww...!" desah Suto penuh kekaguman. Ia tersenyum girang dan Kirana memperhatikan dengan rasa bangga dan gembira.
Pedang itu diperhatikan oleh mereka berdua, dari bentuknya yang mempunyai dua ujung runcing di kanan-kiri gagang, gambar ukiran naga di tengahnya, bagian tajamnya yang mengelilingi mata pedang itu, semuanya membuat kedua orang itu terkagum-kagum. Jika diberdirikan terbalik, panjang pedang setinggi bawah pinggul Suto. Bentuknya kelihatan besar dan berat, tapi sebenarnya ringan dijinjing, sarung pedangnya juga dari logam emas berukir gambar naga dengan seni ukir yang cukup tinggi. Mempunyai tali dari bahan kulit tebal, itu berarti pedang tersebut biasanya diletakkan di punggung pembawanya.
"Kau tampak gagah jika memegang pedang itu, Suto. Jauh lebih gagah dibanding jika tidak memegang pedang itu!" kata Kirana sambil memandangi Suto dengan senyum berseri seri, berhamburan rasa bangga dan kagum.
"Tapi ini bukan hak milikku! Pedang ini bukan warisan untukku!" kata Pendekar Mabuk kepada Kirana.
Tapi gadis itu berkata, "Sekarang sudah menjadi milikmu dan kau berhak memakainya kapan saja, Suto! Kaulah pemilik Pedang Wukir Kencana ini!"
"Mengapa begitu? Aku hanya menemukannya sesuai amanat Ki Padmanaba! Aku tidak punya hubungan saudara dengan Ki Padmanaba!"
"Memang. Tapi barang siapa yang bisa menemukan pedang ini, maka dialah yang berhak mewarisinya! Karena itu banyak orang berburu pedang ini di masa lalu! Tapi tak ada yang berhasil!"
"Siapa yang menemukan pedang ini, dialah yang berhak mewarisinya?!"
"Benar, Suto!"
"Dari mana kau tahu hal itu? Dan... kurasakan dari tadi kau banyak tahu tentang pedang ini?!"
"Aku anak angkat Ki Padmanaba!" jawab Kirana. "Sejak usia delapan tahun aku diasuh oleh beliau! Pada saat beliau ingin menyembunyikan pedang pusaka ini, aku mengetahuinya! Hanya saja tidak boleh ikut saat ia menyembunyikan pedang ini! Dan aku disumpah untuk tidak membocorkan rahasia pedang emas ini! Jika aku membocorkan begitu saja, aku akan mati dimakan sumpah dan kutukku sendiri! Karenanya aku takut ingin mengatakan yang sebesarnya kepadamu. Suto! Bahkan kepada guruku Nyai Punding Sunyi pun aku tak berani mengatakannya!"
"Kenapa kau tidak berguru kepada Ki Padmanaba?"
"Ki Padmanaba hanya menurunkan ilmu kepada cucunya, yaitu Ekayana! Ilmu itu tak diturunkan kepada orang lain, supaya ilmu yang dimiliki cucu kesayangannya itu tidak ada yang menyamai! Dan aku ditolong oleh Ki Padmanaba, menjadi anak angkatnya karena sesuatu hal. Bukan karena ingin dijadikan murid. Dia sayang kepadaku, karena itu dia hanya bisa memberi banyak wejangan kepadaku, dan menceritakan beberapa pengetahuannya tentang dunia persilatan!"
Suto menyarungkan pedang itu sambi berkata, "Pantas kau tahu tentang jebakan ular dan racun didalam kotak itu! Kau juga tahu tentang Ular Sanca Ratu sampai sekecil-kecilnya, juga tahu tentang racun maut yang merenggut nyawa Serigala Liar itu!"
"Namanya Racun Getah Tengkorak!"
Suto terkesiap memandang Kirana. Ia berkata, "Bukankah racun itu yang diributkan oleh orang-orang Kobra Hitam?Kau tahu tentang Racun Getah Tengkorak rupanya?!" Suto manggut-manggut.
"Karena akulah yang menggunakan racun itu pada sebuah lentera, untuk menjebak orang-orangnya Logayo!"
"Kau?!" Suto menegaskan keheranan dan rasa kagetnya. "Jadi, kau yang melakukan pembunuhan dipihak orang-orang Kobra Hitam itu?! Jadi kaulah orang yang dicari-cari mereka?!"
"Ya. Memang aku. Racun itu kudapatkan dari Ki Padmanaba. Ki Padmanaba mendapatkannya dari seorang sahabatnya yang bernama si Jompo Keling. Ketika mau meninggal, Jompo Keling menyerahkan racun itu kepada Ki Padmanaba. Ketika aku akan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, aku dibekali oleh Ki Padmanaba Racun Getah Tengkorak. Karena Ki Padmanaba tahu, aku akan membalas dendam kepada Logayo dan orang-orangnya!"
"Membalas dendam?! Ada salah apa mereka padamu, Kirana?!"
* * *
ENAM
KETIKA berusia delapan tahun, gadis kecil yang bernama Kirana hidup bersama kedua orangtuanya dan lima kakak perempuannya. Sebetulnya ia mempunyai enam saudara, satu kakaknya laki-laki berusia sepuluh tahun. Tapi kakak lelakinya itu sejak bayi sudah dipungut oleh bibinya, sehingga gadis kecil Kirana hanya mengenal kelima kakak perempuannya.
Gadis ini tergolong gadis yang nakal dan bandel. Sering ia mengganggu kakak-kakaknya hingga mereka menangis, atau marah dan memukulnya. Dan jika sudah begitu, gadis kecil Kirana dihajar oleh orangtuanya. Kadang ia dihukum dengan tidak diberi makan sehari penuh, tapi kenakalannya membuat ia pandai mencuri makanan dan menghabiskan persediaan makanan, sehingga kakak-kakaknya tidak mendapat bagian makanan. Hukuman yang paling sering ia lakukan adalah dikurung diatas loteng, pintu loteng ditutup dari luar dan setelah matahari mau tenggelam, barulah ia dilepaskan.
Sekalipun ia sering dihukum oleh orangtuanya dengan dimasukkan ke dalam loteng dan tidak diberi makan seharian penuh, gadis kecil Kirana itu tidak ada jeranya. Kenakalannya semakin terasa bertambah, sampai-sampai kedua orang tuanya dan kelimam kakak perempuannya kewalahan menghadapinya.
Dan pada suatu hari, gadis kecil Kirana dihukum oleh orangtuanya karena melempar cangkir dan mengenai kening salah satu kakaknya, ia segera dimasukkan ke dalam loteng dan dikunci dari luar. Sampai petang tiba, ia masih belum dibebaskan. Tangisnya yang menjerit-jerit di atas loteng tak dihiraukan oleh mereka, hingga akhirnya gadis itu tertidur kelelahan di sana.
Kira-kira tengah malam, gadis kecil Kirana terbangun dari tidur nyenyaknya di atas loteng. Suara gaduh di bawah membuatnya terbangun, suara jeritan ibunya dan kakak kakak perempuannya membuat Kirana bertanya tanya dalam hati, apa yang terjadi di bawah. Mula mula Kirana justru kegirangan mendengar kakak-kakaknya jejeritan. Gara-gara mereka ia dihukum ayahnya di dalam loteng itu.
"Sekarang, biarlah mereka ganti dihajar oleh Ayah!" pikir gadis kecil ketika itu. Tetapi hatinya semakin bertanya tanya setelah ia mendengar suara orang lain yang bukan anggota keluarganya. Suara itu adalah suara orang lelaki yang terdengar kasar membentak-bentak, tapi sebagian ada yang tertawa terbahak-bahak.
Gadis kecil Kirana penasaran. Ia mencoba membuka pintu loteng dengan mendorongnya kuat kuat, tapi tidak berhasil. Ia menjadi ketakutan mendengar suara bentakan-bentakan kasar dan keras itu. Kemudian ia memutuskan diri agar tidak berusaha keluar dari loteng. Namun hatinya yang penasaran segera menemukan lubang loteng yang bolong akibat dua ekor kucing kawin di situ beberapa waktu yang lalu.
Melalui lubang sebesar telapak tangan itulah, Kirana kecil mengintai kejadian di bawah sana. Ternyata ada enam orang bertampang kasar dan ganas-ganas merampok rumahnya. Pada waktu itu, keluarga Kirana termasuk keluarga kaya dan terhormat. Kakeknya mantan seorang saudagar dan warisan hartanya jatuh ke anak tunggalnya, yaitu ayah Kirana. Harta itulah yang menjadikan para perampok tergiur dan segera menjarahnya. Kirana gemetar melihat enam orang itu. Mulutnya tak bisa dipakai untuk berteriak, matanya tak bisa berkedip, tulang-tulangnya terasa lemas.
Hal yang membuat Kirana kecil menjadi lebih ketakutan lagi adalah melihat ayahnya dibantai seperti seekor kambing. Ibunya diperkosa, dan kelima kakaknya juga diperkosa oleh keenam manusia kejam itu. Kirana menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak dan tak bisa bergerak. Kirana ingin menangis, tapi tak mampu sama sekali. Kakaknya yang nomor lima, yang masih berusia empat belas tahun itu, juga diperkosa oleh laki-laki bertubuh tinggi besar, seperti raksasa.
Kirana melihat jelas bagaimana kakak-kakaknya meronta, menjerit dan tidak kuasa menghadapi kekejaman para perampok itu. Dan yang paling membuat jiwa Kirana terguncang tat kala melihat harta mereka disikat habis, kehormatan mereka dirampas dengan keji. Kirana ingin menjerit sekeras-kerasnya, tapi lidahnya kelu dan tenggorokannya tak bisa dipakai untuk melontarkan suara, sepertinya tenggorokan itu tersumbat sesuatu yang menyesakkan pernapasan. Sejak itulah, gadis kecil Kirana menjadi bocah yatim-piatu. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara.
Satu-satunya saudara adalah kakak lelakinya yang ikut bibinya sejak kecil. Kakak lelakinya itu adalah Pranawijaya, yang kini telah tewas di tangan Ekayana. Tetapi apa yang bisa diperbuat oleh Pranawijaya kala itu? Tak ada yang bisa diperbuat, karena Pranawijaya masih berusia sekitar sepuluh tahun.
Akhirnya, gadis kecil Kirana bertemu dengan seorang tokoh sakti yang kala itu baru saja selesai mengalahkan lawannya dalam suatu pertarungan di tepi pantai. Gadis kecil Kirana yang berpakaian compang-camping dan seperti bocah liar itu, akhirnya diangkat anak oleh tokoh sakti tersebut, yang tak lain adalah Ki Padmanaba.
Sebenarnya ia ingin dirawat oleh bibinya. Tetapi tiga hari ia ikut bibinya, ia memergoki bibinya sedang berduaan mesra dengan salah satu anggota komplotan perampok itu. Gadis kecil Kirana segera menarik kesimpulan, bahwa perampokan di rumahnya itu ternyata didalangi oleh bibinya sendiri.
Terukir dendam di hati bocah kecil itu. Terbayang terus wajah enam perampok yang membunuh, dan memperkosa keluarganya. Wajah yang paling jelas melekat di ingatan Kirana adalah wajah brewok bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Wajah itu adalah wajah Logayo.
Ketika ia menginjak usia lima belas tahun, Ki Padmanaba menitipkan Kirana untuk belajar ilmu silat kepada seorang kenalannya yang berjuluk Punding Sunyi. Selain Ki Padmanaba tidak ingin menurunkan ilmunya kepada siapa pun kecuali kepada cucunya Ekayana, penitipan Kirana kepada Nyai Punding Sunyi itu juga dilakukan untuk menghindari perselisihan yang sering terjadi antara Kirana dengan Ekayana. Kedua anak itu sering bertengkar dan Ki Padmanaba dibuat kewalahan.
Sekalipun demikian, Kirana tetap merasa berhutang budi kepada Ki Padmanaba. Sesekali ia sering berkunjung kekediaman Ki Padmanaba untuk menerima wejangan tentang hidup di permukaan bumi ini. Atau kadang-kadang Ki Padmanaba yang menengok Kirana di Perguruan Mawar Seruni sambil membawa oleh-oleh cerita tentang orang-orang sakti dan pusaka-pusakanya.
Setelah ia berusia dua puluh lima tahun, dendam itu mulai meletup-letup lagi di dalam dadanya. Sepuluh tahun ia menempuh ilmu dan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, cukup sudah rasanya ia punya kekuatan untuk membalas orang-orang bengis yang merampok dan memperkosa ibu serta kakak-kakak perempuannya. Satu persatu mereka dicari oleh Kirana dan berhasil dibunuh. Dari enam perampok, hanya satu yang belum berhasil dibunuh oleh Kirana, yaitu Logayo. Sedangkan bibinya sendiri sudah terlanjur mati karena sebab lain sebelum Kirana berhasil membunuhnya pula.
Ketika memburu dendamnya itulah, Kirana bertemu kembali dengan Pranawijaya yang sudah sama-sama dewasa. Kirana menyarankan agar kakaknya ikut membantunya mencari pembunuh keluarganya. Tapi rupanya Pranawijaya sudah terlanjur termakan didikan bibinya, hingga membuat ia menolak ajakan Kirana.
"Biarlah masa lalu tenggelam bersama kenangannya sendiri, kita tak perlu memburu sesuatu yang sudah berlalu! Nanti hidupmu terikat oleh kenangan yang dapat menyusahkan dirimu sendiri!" kata Pranawijaya.
Mulanya ada kebencian di hati Kirana kepada kakaknya itu. Tapi setelah dipikir-pikirnya, rupanya sang kakak sudah banyak terpengaruh oleh didikan bibinya sehingga tidak mau melakukan balas dendam. Pranawijaya merasa menjadi anak bibinya, karena memang sejak bayi ia dididik dan dibesarkan oleh bibinya. Kadang Kirana menyalahkan ibunya, mengapa membiarkan anak lelaki satu-satunya itu dirawat oleh bibinya, sehingga sang anak kurang mempunyai rasa belapati terhadap sang ibu.
"Jika aku membencinya, maka aku semakin tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini! Pranawijaya adalah satu-satunya saudaraku yang masih hidup. Tak baik jika aku membencinya!" pikir Kirana kala itu.
Lima perampok yang menewaskan keluarganya itu telah dibunuh satu persatu. Kirana tinggal menyelesaikan satu orang lagi, dan agaknya itu bukan pekerjaan yang ringan. Logayo menjadi besar, makin bertambah sakti, makin punya anak buah yang jumlahnya cukup banyak. Kirana merasa tidak mampu mengalahkan Logayo. Karena itulah ia datang kepada Ki Padmanaba beberapa waktu sebelum Ki Padmanaba meninggal.
"Kalau kau nekat melawan orang besar itu, kau akan mati konyol," kata Ki Padmanaba. "Kau jangan melawannya dengan otot, tapi lawanlah dengan otak!"
"Sampai saat ini otak saya menjadi seperti tak berguna, Ki! Saya belum menemukan cara untuk mengalahkan Logayo, mengingat anak buahnya begitu banyak dan masing-masing mempunyai ilmu tinggi!"
"Kau ingat Racun Getah Tengkorak yang kuberikan dulu?"
"Ya. Saya ingat, Ki! Saya masih menyimpannya!" jawab Kirana.
"Gunakan racun itu untuk membasmi perguruan sesat itu! Mintalah bantuan kakakmu Ekayana! Cari dia dan kurasa dia mau membantumu!"
Selama ini Ki Padmanaba tidak tahu kalau cucu kesayangannya telah menjadi anggota perguruan sesat itu. Kirana ingin mengatakan bahwa Ekayana ada di pihak Logayo, tapi ia tak sampai hati. Jelas hal itu akan mengecewakan hati Ki Padmanaba dan membuatnya sedih. Karena itu, Kirana tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya. Ia hanya bilang,
"Baiklah, Ki! Saya akan gunakan racun itu untuk membunuh Logayo dan orang-orangnya! Rasa-rasanya, jika Logayo belum mati, hidup saya selalu dibayang-bayangi oleh arwah keluarga saya, Ki!"
"Aku bisa merasakan perasaanmu saat ini! Aku bisa memahami gejolak dendammu karena kau melihat sendiri peristiwa itu! Kalau toh aku sarankan agar tidak mengumbar dendam, maka dalam usiamu semuda ini, kau belum bisa memahami kata-kata dan saranku itu, Kirana! Jadi, berbuatlah sesuai dengan nalarmu yang bekerja saat ini! Asal demi satu kebaikan, memberantas kejahatan, menegakkan kebenaran, hal itu sah-sah saja, Kirana! Aku tidak ingin menjadi orangtua yang kolot, tapi sebisa mungkin aku berdiri sebagai sang bijak."
Kirana segera memutar otak untuk mencari cara menyebarkan racun maut tersebut. Jika melalui pengiriman makanan atau minuman, jelas akan mudah diketahui oleh orang-orangnya Logayo, sebab Logayo punya ahli racun, yaitu Brajawisnu dan Rangka Cula. Kirana memikirkan hal itu berhari-hari, sampai akhirnya ditemukanlah sebuah cara dengan menggunakan lentera. Dan ternyata caranya itu cukup berhasil. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Lentara Kematian)
Tetapi racun itu hanya membuat jiwa Logayo menjadi guncang, karena menghadapi kematian anak buahnya yang begitu banyak. Logayo sendiri masih hidup. Kirana belum tahu bagaimana harus mengalahkan Logayo sementara Racun Getah Tengkorak semakin menipis. Jika melalui lentera lagi jelas akan dicurigai. Ia harus menggunakan cara lain. Tapi cara lain itu belum ditemukan gagasannya. Kirana mengakhiri cerita hidupnya dengan air mata mengering dipipinya.
Terangnya sinar bulan malam itu membuat Suto Sinting melihat jelas bekas-bekas air mata yang mengering di pipi. Terharu juga hati Suto Sinting mendengar kisah hidup gadis cantik yang luput dari korban pemerkosaan orang-orang kejam itu.
"Sekarang, setelah kematian Pranawijaya, lengkap sudah aku hidup sebatang kara di muka bumi ini, Suto! Sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu, tanpa kakak, tanpa adik, tanpa saudara, juga tanpa kekasih!"
Suto Sinting meraih gadis itu dan memeluknya ke dada. Sikap itu membuat Kirana semakin trenyuh dan menghiba tangisnya. Pendekar Mabuk mengusap-usap rambut gadis itu seraya berkata,
"Hidup itu mahal, Kirana! Hidup itu harus ditebus dengan pengorbanan, bukan hanya pengorbanan harta dan nyawa, tapi juga jiwa dan perasaan! Kita satu nasib, Kirana! Kita sama-sama sebatangkara dipemukaan bumi ini. Pada usia delapan tahun pula aku kehilangan anggota keluargaku dan diselamatkan oleh guruku dari ancaman pembantaian seseorang. Aku dapat merasakan sebesar apa dendammu kepada Logayo itu. Tapi hidup ini tidak hanya memburu dendam! Hidup ini sebenarnya indah, kalau kita bisa menyingkirkan dendam dan kebencian di dalam hati sanubari kita. Itu pekerjaan yang paling sulit bagi tiap manusia, karenanya banyak manusia yang berpendapat, hidup ini kejam!"
Kirana mengisak dalam tangisnya. Semakin ingin ia menenggelamkan diri dalam pelukan Suto Sinting. Semakin ingin ia merengkuh kehangatan dan cinta kasih dari pemuda gagah itu. Tetapi, ia pernah mendengar dari Jongos Daki bahwa Suto sudah mempunyai kekasih di Pulau Serindu. Karenanya, gadis itu mulai merenggangkan hatinya dan merasa tak akan mampu menyisihkan kekasih hati Pendekar Mabuk. Namun hati kecil Kirana sendiri merasa sulit berpisah dari Pendekar Mabuk.
"Jika kau tak punya adik, aku juga tak punya adik. Jika kau tak punya kakak, aku juga tak punya kakak, juga tak punya orang tua, dan oleh sebab itu Kirana... tak ada jeleknya jika kita saling bersaudara dengan limpahan kasih sayang, bukan?Anggaplah aku kakakmu, maka akan kuanggap kau adikku yang paling cantik, tapi paling bandel..."
Ada tawa di bibir Kirana. Ada haru di mata gadis itu. Tapi tak ada ampun di dalam hati gadis itu untuk Logayo!
Gadis ini tergolong gadis yang nakal dan bandel. Sering ia mengganggu kakak-kakaknya hingga mereka menangis, atau marah dan memukulnya. Dan jika sudah begitu, gadis kecil Kirana dihajar oleh orangtuanya. Kadang ia dihukum dengan tidak diberi makan sehari penuh, tapi kenakalannya membuat ia pandai mencuri makanan dan menghabiskan persediaan makanan, sehingga kakak-kakaknya tidak mendapat bagian makanan. Hukuman yang paling sering ia lakukan adalah dikurung diatas loteng, pintu loteng ditutup dari luar dan setelah matahari mau tenggelam, barulah ia dilepaskan.
Sekalipun ia sering dihukum oleh orangtuanya dengan dimasukkan ke dalam loteng dan tidak diberi makan seharian penuh, gadis kecil Kirana itu tidak ada jeranya. Kenakalannya semakin terasa bertambah, sampai-sampai kedua orang tuanya dan kelimam kakak perempuannya kewalahan menghadapinya.
Dan pada suatu hari, gadis kecil Kirana dihukum oleh orangtuanya karena melempar cangkir dan mengenai kening salah satu kakaknya, ia segera dimasukkan ke dalam loteng dan dikunci dari luar. Sampai petang tiba, ia masih belum dibebaskan. Tangisnya yang menjerit-jerit di atas loteng tak dihiraukan oleh mereka, hingga akhirnya gadis itu tertidur kelelahan di sana.
Kira-kira tengah malam, gadis kecil Kirana terbangun dari tidur nyenyaknya di atas loteng. Suara gaduh di bawah membuatnya terbangun, suara jeritan ibunya dan kakak kakak perempuannya membuat Kirana bertanya tanya dalam hati, apa yang terjadi di bawah. Mula mula Kirana justru kegirangan mendengar kakak-kakaknya jejeritan. Gara-gara mereka ia dihukum ayahnya di dalam loteng itu.
"Sekarang, biarlah mereka ganti dihajar oleh Ayah!" pikir gadis kecil ketika itu. Tetapi hatinya semakin bertanya tanya setelah ia mendengar suara orang lain yang bukan anggota keluarganya. Suara itu adalah suara orang lelaki yang terdengar kasar membentak-bentak, tapi sebagian ada yang tertawa terbahak-bahak.
Gadis kecil Kirana penasaran. Ia mencoba membuka pintu loteng dengan mendorongnya kuat kuat, tapi tidak berhasil. Ia menjadi ketakutan mendengar suara bentakan-bentakan kasar dan keras itu. Kemudian ia memutuskan diri agar tidak berusaha keluar dari loteng. Namun hatinya yang penasaran segera menemukan lubang loteng yang bolong akibat dua ekor kucing kawin di situ beberapa waktu yang lalu.
Melalui lubang sebesar telapak tangan itulah, Kirana kecil mengintai kejadian di bawah sana. Ternyata ada enam orang bertampang kasar dan ganas-ganas merampok rumahnya. Pada waktu itu, keluarga Kirana termasuk keluarga kaya dan terhormat. Kakeknya mantan seorang saudagar dan warisan hartanya jatuh ke anak tunggalnya, yaitu ayah Kirana. Harta itulah yang menjadikan para perampok tergiur dan segera menjarahnya. Kirana gemetar melihat enam orang itu. Mulutnya tak bisa dipakai untuk berteriak, matanya tak bisa berkedip, tulang-tulangnya terasa lemas.
Hal yang membuat Kirana kecil menjadi lebih ketakutan lagi adalah melihat ayahnya dibantai seperti seekor kambing. Ibunya diperkosa, dan kelima kakaknya juga diperkosa oleh keenam manusia kejam itu. Kirana menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak dan tak bisa bergerak. Kirana ingin menangis, tapi tak mampu sama sekali. Kakaknya yang nomor lima, yang masih berusia empat belas tahun itu, juga diperkosa oleh laki-laki bertubuh tinggi besar, seperti raksasa.
Kirana melihat jelas bagaimana kakak-kakaknya meronta, menjerit dan tidak kuasa menghadapi kekejaman para perampok itu. Dan yang paling membuat jiwa Kirana terguncang tat kala melihat harta mereka disikat habis, kehormatan mereka dirampas dengan keji. Kirana ingin menjerit sekeras-kerasnya, tapi lidahnya kelu dan tenggorokannya tak bisa dipakai untuk melontarkan suara, sepertinya tenggorokan itu tersumbat sesuatu yang menyesakkan pernapasan. Sejak itulah, gadis kecil Kirana menjadi bocah yatim-piatu. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara.
Satu-satunya saudara adalah kakak lelakinya yang ikut bibinya sejak kecil. Kakak lelakinya itu adalah Pranawijaya, yang kini telah tewas di tangan Ekayana. Tetapi apa yang bisa diperbuat oleh Pranawijaya kala itu? Tak ada yang bisa diperbuat, karena Pranawijaya masih berusia sekitar sepuluh tahun.
Akhirnya, gadis kecil Kirana bertemu dengan seorang tokoh sakti yang kala itu baru saja selesai mengalahkan lawannya dalam suatu pertarungan di tepi pantai. Gadis kecil Kirana yang berpakaian compang-camping dan seperti bocah liar itu, akhirnya diangkat anak oleh tokoh sakti tersebut, yang tak lain adalah Ki Padmanaba.
Sebenarnya ia ingin dirawat oleh bibinya. Tetapi tiga hari ia ikut bibinya, ia memergoki bibinya sedang berduaan mesra dengan salah satu anggota komplotan perampok itu. Gadis kecil Kirana segera menarik kesimpulan, bahwa perampokan di rumahnya itu ternyata didalangi oleh bibinya sendiri.
Terukir dendam di hati bocah kecil itu. Terbayang terus wajah enam perampok yang membunuh, dan memperkosa keluarganya. Wajah yang paling jelas melekat di ingatan Kirana adalah wajah brewok bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Wajah itu adalah wajah Logayo.
Ketika ia menginjak usia lima belas tahun, Ki Padmanaba menitipkan Kirana untuk belajar ilmu silat kepada seorang kenalannya yang berjuluk Punding Sunyi. Selain Ki Padmanaba tidak ingin menurunkan ilmunya kepada siapa pun kecuali kepada cucunya Ekayana, penitipan Kirana kepada Nyai Punding Sunyi itu juga dilakukan untuk menghindari perselisihan yang sering terjadi antara Kirana dengan Ekayana. Kedua anak itu sering bertengkar dan Ki Padmanaba dibuat kewalahan.
Sekalipun demikian, Kirana tetap merasa berhutang budi kepada Ki Padmanaba. Sesekali ia sering berkunjung kekediaman Ki Padmanaba untuk menerima wejangan tentang hidup di permukaan bumi ini. Atau kadang-kadang Ki Padmanaba yang menengok Kirana di Perguruan Mawar Seruni sambil membawa oleh-oleh cerita tentang orang-orang sakti dan pusaka-pusakanya.
Setelah ia berusia dua puluh lima tahun, dendam itu mulai meletup-letup lagi di dalam dadanya. Sepuluh tahun ia menempuh ilmu dan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, cukup sudah rasanya ia punya kekuatan untuk membalas orang-orang bengis yang merampok dan memperkosa ibu serta kakak-kakak perempuannya. Satu persatu mereka dicari oleh Kirana dan berhasil dibunuh. Dari enam perampok, hanya satu yang belum berhasil dibunuh oleh Kirana, yaitu Logayo. Sedangkan bibinya sendiri sudah terlanjur mati karena sebab lain sebelum Kirana berhasil membunuhnya pula.
Ketika memburu dendamnya itulah, Kirana bertemu kembali dengan Pranawijaya yang sudah sama-sama dewasa. Kirana menyarankan agar kakaknya ikut membantunya mencari pembunuh keluarganya. Tapi rupanya Pranawijaya sudah terlanjur termakan didikan bibinya, hingga membuat ia menolak ajakan Kirana.
"Biarlah masa lalu tenggelam bersama kenangannya sendiri, kita tak perlu memburu sesuatu yang sudah berlalu! Nanti hidupmu terikat oleh kenangan yang dapat menyusahkan dirimu sendiri!" kata Pranawijaya.
Mulanya ada kebencian di hati Kirana kepada kakaknya itu. Tapi setelah dipikir-pikirnya, rupanya sang kakak sudah banyak terpengaruh oleh didikan bibinya sehingga tidak mau melakukan balas dendam. Pranawijaya merasa menjadi anak bibinya, karena memang sejak bayi ia dididik dan dibesarkan oleh bibinya. Kadang Kirana menyalahkan ibunya, mengapa membiarkan anak lelaki satu-satunya itu dirawat oleh bibinya, sehingga sang anak kurang mempunyai rasa belapati terhadap sang ibu.
"Jika aku membencinya, maka aku semakin tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini! Pranawijaya adalah satu-satunya saudaraku yang masih hidup. Tak baik jika aku membencinya!" pikir Kirana kala itu.
Lima perampok yang menewaskan keluarganya itu telah dibunuh satu persatu. Kirana tinggal menyelesaikan satu orang lagi, dan agaknya itu bukan pekerjaan yang ringan. Logayo menjadi besar, makin bertambah sakti, makin punya anak buah yang jumlahnya cukup banyak. Kirana merasa tidak mampu mengalahkan Logayo. Karena itulah ia datang kepada Ki Padmanaba beberapa waktu sebelum Ki Padmanaba meninggal.
"Kalau kau nekat melawan orang besar itu, kau akan mati konyol," kata Ki Padmanaba. "Kau jangan melawannya dengan otot, tapi lawanlah dengan otak!"
"Sampai saat ini otak saya menjadi seperti tak berguna, Ki! Saya belum menemukan cara untuk mengalahkan Logayo, mengingat anak buahnya begitu banyak dan masing-masing mempunyai ilmu tinggi!"
"Kau ingat Racun Getah Tengkorak yang kuberikan dulu?"
"Ya. Saya ingat, Ki! Saya masih menyimpannya!" jawab Kirana.
"Gunakan racun itu untuk membasmi perguruan sesat itu! Mintalah bantuan kakakmu Ekayana! Cari dia dan kurasa dia mau membantumu!"
Selama ini Ki Padmanaba tidak tahu kalau cucu kesayangannya telah menjadi anggota perguruan sesat itu. Kirana ingin mengatakan bahwa Ekayana ada di pihak Logayo, tapi ia tak sampai hati. Jelas hal itu akan mengecewakan hati Ki Padmanaba dan membuatnya sedih. Karena itu, Kirana tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya. Ia hanya bilang,
"Baiklah, Ki! Saya akan gunakan racun itu untuk membunuh Logayo dan orang-orangnya! Rasa-rasanya, jika Logayo belum mati, hidup saya selalu dibayang-bayangi oleh arwah keluarga saya, Ki!"
"Aku bisa merasakan perasaanmu saat ini! Aku bisa memahami gejolak dendammu karena kau melihat sendiri peristiwa itu! Kalau toh aku sarankan agar tidak mengumbar dendam, maka dalam usiamu semuda ini, kau belum bisa memahami kata-kata dan saranku itu, Kirana! Jadi, berbuatlah sesuai dengan nalarmu yang bekerja saat ini! Asal demi satu kebaikan, memberantas kejahatan, menegakkan kebenaran, hal itu sah-sah saja, Kirana! Aku tidak ingin menjadi orangtua yang kolot, tapi sebisa mungkin aku berdiri sebagai sang bijak."
Kirana segera memutar otak untuk mencari cara menyebarkan racun maut tersebut. Jika melalui pengiriman makanan atau minuman, jelas akan mudah diketahui oleh orang-orangnya Logayo, sebab Logayo punya ahli racun, yaitu Brajawisnu dan Rangka Cula. Kirana memikirkan hal itu berhari-hari, sampai akhirnya ditemukanlah sebuah cara dengan menggunakan lentera. Dan ternyata caranya itu cukup berhasil. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Lentara Kematian)
Tetapi racun itu hanya membuat jiwa Logayo menjadi guncang, karena menghadapi kematian anak buahnya yang begitu banyak. Logayo sendiri masih hidup. Kirana belum tahu bagaimana harus mengalahkan Logayo sementara Racun Getah Tengkorak semakin menipis. Jika melalui lentera lagi jelas akan dicurigai. Ia harus menggunakan cara lain. Tapi cara lain itu belum ditemukan gagasannya. Kirana mengakhiri cerita hidupnya dengan air mata mengering dipipinya.
Terangnya sinar bulan malam itu membuat Suto Sinting melihat jelas bekas-bekas air mata yang mengering di pipi. Terharu juga hati Suto Sinting mendengar kisah hidup gadis cantik yang luput dari korban pemerkosaan orang-orang kejam itu.
"Sekarang, setelah kematian Pranawijaya, lengkap sudah aku hidup sebatang kara di muka bumi ini, Suto! Sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu, tanpa kakak, tanpa adik, tanpa saudara, juga tanpa kekasih!"
Suto Sinting meraih gadis itu dan memeluknya ke dada. Sikap itu membuat Kirana semakin trenyuh dan menghiba tangisnya. Pendekar Mabuk mengusap-usap rambut gadis itu seraya berkata,
"Hidup itu mahal, Kirana! Hidup itu harus ditebus dengan pengorbanan, bukan hanya pengorbanan harta dan nyawa, tapi juga jiwa dan perasaan! Kita satu nasib, Kirana! Kita sama-sama sebatangkara dipemukaan bumi ini. Pada usia delapan tahun pula aku kehilangan anggota keluargaku dan diselamatkan oleh guruku dari ancaman pembantaian seseorang. Aku dapat merasakan sebesar apa dendammu kepada Logayo itu. Tapi hidup ini tidak hanya memburu dendam! Hidup ini sebenarnya indah, kalau kita bisa menyingkirkan dendam dan kebencian di dalam hati sanubari kita. Itu pekerjaan yang paling sulit bagi tiap manusia, karenanya banyak manusia yang berpendapat, hidup ini kejam!"
Kirana mengisak dalam tangisnya. Semakin ingin ia menenggelamkan diri dalam pelukan Suto Sinting. Semakin ingin ia merengkuh kehangatan dan cinta kasih dari pemuda gagah itu. Tetapi, ia pernah mendengar dari Jongos Daki bahwa Suto sudah mempunyai kekasih di Pulau Serindu. Karenanya, gadis itu mulai merenggangkan hatinya dan merasa tak akan mampu menyisihkan kekasih hati Pendekar Mabuk. Namun hati kecil Kirana sendiri merasa sulit berpisah dari Pendekar Mabuk.
"Jika kau tak punya adik, aku juga tak punya adik. Jika kau tak punya kakak, aku juga tak punya kakak, juga tak punya orang tua, dan oleh sebab itu Kirana... tak ada jeleknya jika kita saling bersaudara dengan limpahan kasih sayang, bukan?Anggaplah aku kakakmu, maka akan kuanggap kau adikku yang paling cantik, tapi paling bandel..."
Ada tawa di bibir Kirana. Ada haru di mata gadis itu. Tapi tak ada ampun di dalam hati gadis itu untuk Logayo!
* * *
TUJUH
SEBELUM fajar menyingsing di ufuk timur, kuil Elang Putih dihebohkan oleh datangnya seorang petugas penguburan mayat Nini Pasung Jagat. Orang itu bernama Minarsih, yang berangkat ke Pulau Kubangan bersama lima orang untuk menguburkan mayat Nini Pasung Jagat di sana. Minarsih datang dalam keadaan sendirian. Wajahnya menjadi memar membiru seperti habis dihajar olah seseorang memakai benda keras. Bibirnya berdarah, dan satu tulang rusuknya patah. Kehadirannya itu membuat seluruh penghuni Kuil Elang Putih menjadi terbangun dari tidur nyenyaknya.
Dewi Anjani segera membawa Minarsih ke ruang penyembuhan sebelum Nyai Guru Embun Salju datang keruang tersebut. Jongos Daki juga ada di sana dan menjadi kebingungan melihat keadaan yang menjadi serba tegang itu.
"Ada apa ini?" tanya Jongos Daki kepada salah seorang murid di situ.
Orang tersebut menjawab dengan nada tegang juga, "Nini Pasung Jagat bangkit kembali!"
"Apa dia sudah mati, sehingga dikatakan bangkit kembali!"
"Ya. Guru yang membunuh Nini Pasung Jagat kemarin siang. Mestinya sebelum tengah malam, Minarsih dan teman-teman yang bertugas menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah kembali pulang. Kami juga cemas karena sampai lewat tengah matan Minarsih dan teman-temannya belum pulang. Ternyata mereka mengalami suatu bencana!"
"Bencana...?!"
Minarsih sempat menuturkan bencana itu kepada gurunya diruang penyembuhan, "Ketika kami belum selesai menggali, mayat Nini Pasung Jagat mulai bergerak-gerak. Dan secara mengejutkan ia bangkit, duduk di usungan. Kami berenam menjadi takut dan segera melompat menjauhi mayat itu. Kami menyangka dia adalah hantu yang masuk ke dalam raga Nini Pasung Jagat. Ternyata bukan!" kata Minarsih.
"Jadi dia memang Nini Pasung Jagat?" tanya Dewi Anjani.
"Benar! Dia adalah Nini Pasung Jagat! Dia belum mati."
"Aneh," gumam Embun Salju. "Pukulan 'Darah Kutub'-ku masih bisa membuatnya bertahan hidup? Seharusnya tidak demikian! Memang aku tahu ia melepaskan pukulan 'Darah Geni' dan 'Jalur Baja', tapi pukulan 'Darah Kutub'-ku toh bisa melumpuhkannya!"
Minarsih diam, tak bisa mendebat namun tak berani mencabut pernyataannya bahwa Nini Pasung Jagat memang hidup kembali. Dewi Anjani pun berkerut heran, demikian pula Embun Salju. Ruangan menjadi sepi sejenak. Setelah itu, Embun Salju melakukan penyembuhan terhadap luka-luka yang diderita Minarsih. Selesai melakukan penyembuhan yang membuat keadaan Minarsih sedikit lebih segar dari semula datang, Embun Salju menyuruh Minarsih melanjut kan kisahnya.
"Kami berenam diserangnya, Guru! Ia tahu bahwa kami adalah murid Guru Embun Salju, tapi ia tak tahu di mana saat itu ia berada! Kami didesak untuk membawanya pulang ke sini! Kami berenam bersepakat untuk menolak desakan itu!"
"Apakah kalian tidak melawan?"
"Kami melawan. Guru! Nini Pasung Jagat kami keroyok berenam. Tapi dia tetap tegar dan semakin berbahaya setiap pukulan yang dilepaskannya. Pertama-tama Kurnia tewas dalam keadaan kepala hancur, menyusul kemudian Ambar Gati tewas dalam keadaan dadanya remuk dihantam oleh Nini Pasung Jaga..."
"Mengapa kalian tidak melepaskan pukulan 'Geprak Tulang'?!"
"Sudah, Guru! Tapi tak mempan!" jawab Minarsih.
"Tak mempan bagaimana? Meleset maksudmu?"
"Bukan meleset Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat tak hancur dihantam pukulan 'Geprak Tulang'."
"Aneh. Kuat sekali dia, Guru?" gumam Dewi Anjani dan bertanya kepada gurunya.
Embun Salju diam termenung memikirkan kehebatan Nini Pasung Jagat. Lalu, di dalam hatinya Embun Salju berkata, "Orang yang bisa bertahan menerima pukulan 'Geprak Tulang' adalah orang yang mempunyai jurus 'Sumsum Besi'. Apakah dia mempunyai jurus 'Sumsum Besi'?"
Kemudian Embun Salju bertanya kepada Minarsih, "Apakah kalian menggunakan 'Perisai Gaib'?"
"Ya. Kami menggunakan jurus 'Perisai Gaib'. Tapi dia masih bisa menembusnya. Korban orang yang menggunakan 'Perisai Gaib' adalah Kurnia, Guru!"
Dewi Anjani terkesiap matanya, memandang heran dan tegang, "Dia bisa menembus 'Perisai Gaib'?"
"Betul, Dewi! Aku sendiri hampir saja menjadi sasaran karena mengandalkan 'Perisai Gaib'!"
"Rasa-rasanya tak mungkin, Minarsih. Sebab, waktu ia bertarung melawanku di depan sana, aku juga menggunakan jurus 'Perisai Gaib', tapi ia tidak bisa menyentuhku!"
"Nyatanya ia bisa menerobos lapisan batin yang membungkus raga kita dalam jarak satu langkah berkeliling itu, Dewi!"
Embun Salju semakin dibuat penasaran dan terheran-heran. Ia berkata lirih dalam gumam, seolah-olah ditujukan pada diri sendiri, "'Perisai Gaib' bisa ditembusnya? Berarti dia mempunyai jurus 'Pukulan Tembus Jiwa'!"
"Sepertinya memang begitu, Guru!"
"Lalu mengapa ia tidak gunakan saat melawan Anjani di depan?"
"Saya tidak tahu, Guru! Yang jelas, ketika pedang kami menyerangnya bersamaan, pedang kami menjadi patah, kecuali pedang saya, Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat menjadi keras, sekeras baja!"
"Menjadi keras? Maksudmu kebal, begitu?!" tanya Dewi Anjani.
"Bukan hanya kebal, tapi keras! Keras seperti baja. Pedangku menebasnya dan tak bisa melukai kulit tubuhnya, tetapi justru menghadirkan percikan bunga api, terutama jika kami menebasnya kuat-kuat. Dan suara yang keluar dari tebasan pedang ke tubuhnya pun aneh. Seperti pedang menebas baja dengan sentakan kuat!"
"Itu tidak mungkin, Minarsih! Tidak mungkin!" bantah Dewi Anjani.
"Betul, Dewi! Betul!"
"Apa kau tak lihat waktu aku berhasil melukai bagian kakinya?!"
"Ya. Memang aku melihatnya sendiri, ia terluka tiga tempat karena sabetan pedangmu. Tapi bekas luka itu tak ada saat ia bangkit lagi, dan pedang kami tak bisa melukainya!"
Memang sulit dipercaya bagi Dewi Anjani. Sebab ia merasa pernah melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat di tiga tempat. Jika sekarang Minarsih mengatakan bahwa Nini Pasung Jagat kebal senjata, itu sungguh aneh. Dewi Anjani curiga. Minarsih mengarang cerita karena suatu hal yang dirahasiakan. Kemudian ia mendekati Embun Salju dan berbisik pelan sekali,
"Sepertinya ada yang tidak beres pada diri Minarsih, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut. Kemudian ia berkata kepada Minarsih, "Bagaimana luka-lukamu? Masih terasa sakit?"
"Hanya perih sedikit, Guru!"
"Itu berarti sebentar lagi lukamu akan sembuh, bibirmu yang robek akan mengering. Dan..., sebaiknya keluarlah dulu. Aku mau bicara berdua dengan Dewi Anjani."
"Baik, Guru!"
Di luar, Minarsih kembali bercerita dengan penuh semangat dan berapi-api. Beberapa temannya mengerumuni, termasuk Jongos Daki yang merasa tertarik dengan berita aneh tersebut. Jongos Daki menyimak tiap kata yang diucapkan Minarsih, seolah-olah mencatatnya dalam otak.
Sementara itu, di dalam ruang penyembuhan, Embun Salju bertanya kepada Dewi Anjani, "Apa yang kau maksud dengan ketidakberesan Minarsih tadi?"
"Dia mengarang sebuah cerita seru untuk menutupi sesuatu yang belum jelas kita ketahui!"
"Minarsih berbohong kepada kita?"
"Betul, Guru!"
"Tidak mungkin!" bantah Embun Salju. "Minarsih bicara apa adanya. Aku melihat jelas dari sorot matanya, ia tidak menyimpan kebohongan sedikit pun!"
"Tapi seperti yang kita ketahui bersama, Minarsih adalah seorang penakut. Guru! Mungkin ia dibayang-bayangi oleh rasa takutnya sendiri, sehingga sepertinya ia melihat adegan yang mengerikan di depan matanya. Bayangan itu bisa menjadi seperti nyala, seolah-olah memang benar-benar dilihatnya. Jadi, ia mengatakan sejujurnya apa yang terbayang di matanya itu. Guru!"
Kembali perempuan cantik yang anggun dan bijaksana itu merenung diri beberapa saat. Setelah itu ia berkata kepada Dewi Anjani, "Jika benar ia dihantui ketakutannya sendiri, sehingga apa yang terbayang itu menjadi seperti nyata lantas ke mana orang-orang lainnya? Mengapa mereka tidak kembali bersama Minarsih? Kemana Kurnia, Ambar Gati, Inriana, dan yang lainnya?"
Dewi Anjani menjawab dengan mata menera wang dalam renungannya, "Saya khawatir, jangan-jangan mereka dibunuh oleh Minarsih sendiri!"
"Dibunuh?! Atas dasar apa Minarsih membunuh kelima temannya itu?"
"Mungkin dendam pribadi," jawab Dewi Anjani dalam nada ragu.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Anjani...! Dari enam orang yang kutugaskan memakamkan mayat Nini Pasung Jagat, dua orang berilmu tinggi di dalamnya, yaitu Ambar Gati dan Sampur Welas. Ilmunya sejajar dangan Mahasi! Tak mungkin Minarsih bisa mengalahkan Ambar Gati dan Sampur Welas!"
"Mungkin dengan kelicikannya, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut pada akhirnya. Ia mengguman pelan. "Ya, mungkin dengan kelicikannya! Tapi aku tidak pernah mendidik murid-murid ku menjadi orang licik, Anjani!"
"Memang, Guru! Tapi jiwa seseorang siapa yang tahu. Jalan pikiran orang siapa yang bisa menerka."
"Berarti kau meremehkan kesanggupanku meneropong jiwa, batin, dan pikiran seseorang, Anjani?!"
"O, tidak begitu maksud saya. Guru! Hmm... maksud saya, setelah Minarsih ada di pulau itu, barangkali kelicikan-kelicikan itu timbul, lepas dari teropong Guru."
"Bisa saja begitu! Tapi kulihat tadi dia tidak mempunyai kelicikan! Kuteropong batinnya, dia tulus dan jujur mengatakan apa adanya, Anjani!"
Dewi Anjani menarik napas panjang-panjang. Ia merasa tak berani membantah dan mendebat lagi. Akhirnya ia berkata, "Baiklah. Anggap saja Minarsih benar. Lalu. apa yang membuat Nini Pasung Jagat menjadi kebal senjata dan keras kulitnya seperti baja? Kalau dia mau, pasti sudah ia keluarkan ilmu itu saat melawan saya dan melawan Guru sendiri kemarin siang!"
"Itu yang harus kuselidiki! Mungkin dia menjadi kebal jika berada di tanah kuburan? Mungkin kulitnya menjadi baja jika terkena sinar rembulan? Bisa saja kemungkinan kemungkinan itu terjadi, Anjani! Tapi alangkah baiknya jika kutugaskan kau untuk mencari tahu kebenaran cerita Minarsih! Pergilah ke Pulau Kubangan dan selidiki apa yang terjadi di sana sebenarnya!"
"Baik, Guru!" jawab Dewi Anjani dengan patuh. Dewi Anjani segera menemui Mahasi yang sudah sehat dan cepat pulih seperti sediakala itu. Kemudian ia berkata kepada Mahasi, "Ikut aku ke Pulau Kubangan, Mahasi!"
"Ke Pulau Kubangan?! Untuk apa ke sana?!" tanya Mahasi.
"Guru memberiku tugas untuk menyelidiki keadaan di sana, sekaligus mencari tahu kebenaran cerita Minarsih itu!"
"Kurasa itu hanya isapan jempol saja, Anjani! Bilanglah pada Guru agar jangan mempercayai cerita Minarsih!"
"Sudah kulakukan sampai berdebat seru dengan beliau, tapi Guru tidak mau percaya padaku! Dan sekarang untuk membuktikan mana yang benar, Guru menugaskan aku kesana! Kau ikut aku ke sana sambil mencari bukti-bukti bahwa Nini Pasung Jagat hidup kembali! Itu kalau memang dia hidup kembali! Dan Guru berpesan agar kepergian kita jangan diketahui oleh siapa pun, sehingga Minarsih tidak curiga dan tidak tahu bahwa ceritanya itu sedang kita selidiki!"
"Baiklah! Aku ikut berangkat sekarang juga! Aku siap!"
Pertama-tama yang mereka temukan adalah sebuah perahu dipantai yang biasa digunakan untuk bertolak ke Pulau Kubangan. Perahu itu adalah perahu milik orang-orang Kuil Elang Putih. Tampak ada simbol seekor elang di atas dasar papan lambung nya yang putih itu. Perahu tersebut kelihatan dilabuhkan dengan tergesa-gesa. Tali penambatnya hanya disangkutkan pada sebongkah batu yang sewaktu-waktu bisa lepas dan membuat perahu terbawa ombak.
Pada perahu itu juga ditemukan bercak-bercak darah, menandakan terjadi pertempuran juga di atas perahu itu. Siapa yang bertempur, tak bisa dipastikan secara jelas. Mungkin Minarsih dengan teman sendiri, atau Minarsih dengan Nini Pasung Jagat, jika memang nenek itu bangkit dari matinya.
"Apakah kita perlu melaporkan keadaan perahu ini kepada Guru lebih dulu, Anjani?"
"Tidak usah! Kita langsung bertolak ke Pulau Kubangan saja!"
Kedua perempuan itu naik ke atas perahu setelah melepaskan tambang penambatnya. Tetapi tiba-tiba Mahasi berteriak, “Anjani, awaaas…!”
Mahasi melompat sambil menedang Dewi Anjani. Tendangan itu hanya berupa jejakan kuat yang membuat Dewi Anjani terlempar jatuh ke laut, sementara itu Mahasi sendiri juga jatuh ke laut dangkal.
Byurrr…!
Dan tiba-tiba sinar merah itu melesat menghantam perahu putih.
Zlapppp…! Blubbb…! Zrrubbb…!
Mahasi dan Dewi Anjani sama-sama membelalakkan matanya lebar-lebar di dalam kekuyupan sekujur tubuh mereka. Betapa mereka tidak terkejut dan terbelalak jika mereka melihat perahu itu tiba-tiba menjadi setumpuk serbuk kayu yang segera terhempas buyar dibawa ombak pantai. Perahu itu bagaikan lenyap sewaktu dihantam oleh sinar merah dari arah hutan pantai.
“Apa yang terjadi?!” seru Dewi Anajani karena kagetnya.
“Ada yang menyerang kita dari hutan timur sana!” jawab Mahasi.
Mereka segera bergegas mencari tempat berlindung. Sebongkah batu karang besar menjadi sasaran berlindung mereka. Mata mereka memandang kearah sebatang pohon berdaun merah kehitaman. Dari bawah pohon itulah Mahasi melihat sinar merah tadi menyerang mereka. Jika ia tidak menendang Dewi Anjani, maka Dewi Ajani akan menjadi bubuk seperti perahu tersebut.
”Siapa yang menyerang kita?!” tanya Dewi Anjani dengan tegang karena amarahnya menjadi meluap namun tertahan di dalam dada.
”Entah! Tak kulihat manusianya. Aku hanya melihat sinar merah yang melesat dari bawah pohon itu!”
”Pancinglah dengan pukulan jarak jauhmu! Saran Dewi Anjani.
Mahasi segera berdiri dan melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan sinar kuning panjang berkelebat bagai bintang jatuh dari langit.
Wuuuttt...! Blarrr...!
Tanah di bawah pohon besar berdaun merah kehitaman itu menyembur ke atas dalam satu ledakan. Pohon besar itu berguncang, daunnya yang keringpun berguguran. Dan pada saat itu, sesosok tubuh berjubah hitam melesat dari balik pohon besar itu. Ia muncul menampakkan diri secara nyata, dan berjalan santai sambil terkekeh-kekeh.
”Anjani! Lihat orang itu! Bukankah dia Nini Pasung Jagat?!”
Dewi Anjani tertegun sebentar, nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Kemudian ia berkata, ”Kalau begitu apa yang diceritakan Minarsih itu memang benar. Nini Pasung Jagat memang bangkit lagi dari kematiannya! Edan! Punya ilmu apa dia sebenarnya?!”
“Dia mendekati kita, Anjani! Apa yang harus kita lakukan?!”
“Serang dia!” tegas Dewi Anjani, lalu dia mendului muncul dari persembunyian dan melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar putih keperakan yang tak begitu jelas karena sinar matahari menyamainya. Anehnya, nenek tua itu matanya lebih awas, dan ia melompat ke samping untuk menghindari sinar putih perak itu.
Wesss…!
Dalam sekejap nenek tua bertongkat lengkung itu sudah berada di depan Dewi Anjani dan Mahasi. Kedua gadis itu mulai bersikap waspada. Mereka tanpa disengaja mencabut pedang secara bersamaan. Serrtt…!
“Aha, kau mau membunuhku pakai pedang, bocah-bocah dungu?! He he he he…!” Nini Pasung Jagat melecehkan mereka berdua.
Dewi Anjani sempat berbisik kepada Mahasi, “Tebas dia! Gunakan jurus ‘Elang Mengamuk Bintang’. Kalau ternyata dia tidak mempan dilukai, cepat kabur dan jangan hadapi dia lagi! Lapor ke Guru secepatnya!”
“Ya, aku setuju!”
Nini Pasung Jagat berkata, “Hampir saja aku salah arah melacak tempat tinggal gurumu, Bocah-bocah dungu!Untung kulihat kalian muncul, sehingga bisa kujadikan patokan arah ku menuju Kuil Elang Putih! He he he he…!
“Setan Jahanam….!” Geram Dewi Anjani, “Saatnya sekarang kau mati untuk yang kedua kalinya! Heeah...!" Dewi Anjani menyerang dengan jurus ’Elang Mengamuk Bintang’. Mahasi puin ikut menyerang dengan jurus yang sama. Gerakan mereka sama cepatnya. Tapi Nini Pasung Jagat hanya terkekeh-kekeh membiarkan kedua musuhnya bertingkah seperti itu.
Trang cring cring trang tring cringng...!
Pedang mereka sebenarnya mengenai tubuh Nini Pasung Jagat lebih dari depalan kali. Tapi tubuh itu tetap utuh. Hanya percikan-percikan bunga api yang kelihatan dari tebasan pedang ke kulit tubuh nenek tua itu. Bahkan dalam satu kali gebrakan, Nini Pasung Jagat berhasil membuat tubuh kedua gadis itu terpental jauh.
Wuttt...! Brukk brruk...!
Dewi Anjani terpental ke barat, Mahasi terpental jatuh ke timur. Nini Pasung Jagat tertawa mengikik bagaikan kuntilanak. Tak ada bagian tubuhnya yang lecet atau terluka. Mahasi dan Dewi Anjani merasa bagaikan memenggal pilar baja yang merusak tepian pedang saja. Tanpa diberi aba-aba lagi, Mahasi segera melesat lari demikian juga Dewi Anjani. Melihat lawannya lari, Nini Pasung Jagat segera mengejarnya sambil berteriak-teriak tak karuan. Makian dan ancaman berhamburan keluar dari mulut nenek yang kini bertubuh aneh itu.
Dewi Anjani segera membawa Minarsih ke ruang penyembuhan sebelum Nyai Guru Embun Salju datang keruang tersebut. Jongos Daki juga ada di sana dan menjadi kebingungan melihat keadaan yang menjadi serba tegang itu.
"Ada apa ini?" tanya Jongos Daki kepada salah seorang murid di situ.
Orang tersebut menjawab dengan nada tegang juga, "Nini Pasung Jagat bangkit kembali!"
"Apa dia sudah mati, sehingga dikatakan bangkit kembali!"
"Ya. Guru yang membunuh Nini Pasung Jagat kemarin siang. Mestinya sebelum tengah malam, Minarsih dan teman-teman yang bertugas menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah kembali pulang. Kami juga cemas karena sampai lewat tengah matan Minarsih dan teman-temannya belum pulang. Ternyata mereka mengalami suatu bencana!"
"Bencana...?!"
Minarsih sempat menuturkan bencana itu kepada gurunya diruang penyembuhan, "Ketika kami belum selesai menggali, mayat Nini Pasung Jagat mulai bergerak-gerak. Dan secara mengejutkan ia bangkit, duduk di usungan. Kami berenam menjadi takut dan segera melompat menjauhi mayat itu. Kami menyangka dia adalah hantu yang masuk ke dalam raga Nini Pasung Jagat. Ternyata bukan!" kata Minarsih.
"Jadi dia memang Nini Pasung Jagat?" tanya Dewi Anjani.
"Benar! Dia adalah Nini Pasung Jagat! Dia belum mati."
"Aneh," gumam Embun Salju. "Pukulan 'Darah Kutub'-ku masih bisa membuatnya bertahan hidup? Seharusnya tidak demikian! Memang aku tahu ia melepaskan pukulan 'Darah Geni' dan 'Jalur Baja', tapi pukulan 'Darah Kutub'-ku toh bisa melumpuhkannya!"
Minarsih diam, tak bisa mendebat namun tak berani mencabut pernyataannya bahwa Nini Pasung Jagat memang hidup kembali. Dewi Anjani pun berkerut heran, demikian pula Embun Salju. Ruangan menjadi sepi sejenak. Setelah itu, Embun Salju melakukan penyembuhan terhadap luka-luka yang diderita Minarsih. Selesai melakukan penyembuhan yang membuat keadaan Minarsih sedikit lebih segar dari semula datang, Embun Salju menyuruh Minarsih melanjut kan kisahnya.
"Kami berenam diserangnya, Guru! Ia tahu bahwa kami adalah murid Guru Embun Salju, tapi ia tak tahu di mana saat itu ia berada! Kami didesak untuk membawanya pulang ke sini! Kami berenam bersepakat untuk menolak desakan itu!"
"Apakah kalian tidak melawan?"
"Kami melawan. Guru! Nini Pasung Jagat kami keroyok berenam. Tapi dia tetap tegar dan semakin berbahaya setiap pukulan yang dilepaskannya. Pertama-tama Kurnia tewas dalam keadaan kepala hancur, menyusul kemudian Ambar Gati tewas dalam keadaan dadanya remuk dihantam oleh Nini Pasung Jaga..."
"Mengapa kalian tidak melepaskan pukulan 'Geprak Tulang'?!"
"Sudah, Guru! Tapi tak mempan!" jawab Minarsih.
"Tak mempan bagaimana? Meleset maksudmu?"
"Bukan meleset Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat tak hancur dihantam pukulan 'Geprak Tulang'."
"Aneh. Kuat sekali dia, Guru?" gumam Dewi Anjani dan bertanya kepada gurunya.
Embun Salju diam termenung memikirkan kehebatan Nini Pasung Jagat. Lalu, di dalam hatinya Embun Salju berkata, "Orang yang bisa bertahan menerima pukulan 'Geprak Tulang' adalah orang yang mempunyai jurus 'Sumsum Besi'. Apakah dia mempunyai jurus 'Sumsum Besi'?"
Kemudian Embun Salju bertanya kepada Minarsih, "Apakah kalian menggunakan 'Perisai Gaib'?"
"Ya. Kami menggunakan jurus 'Perisai Gaib'. Tapi dia masih bisa menembusnya. Korban orang yang menggunakan 'Perisai Gaib' adalah Kurnia, Guru!"
Dewi Anjani terkesiap matanya, memandang heran dan tegang, "Dia bisa menembus 'Perisai Gaib'?"
"Betul, Dewi! Aku sendiri hampir saja menjadi sasaran karena mengandalkan 'Perisai Gaib'!"
"Rasa-rasanya tak mungkin, Minarsih. Sebab, waktu ia bertarung melawanku di depan sana, aku juga menggunakan jurus 'Perisai Gaib', tapi ia tidak bisa menyentuhku!"
"Nyatanya ia bisa menerobos lapisan batin yang membungkus raga kita dalam jarak satu langkah berkeliling itu, Dewi!"
Embun Salju semakin dibuat penasaran dan terheran-heran. Ia berkata lirih dalam gumam, seolah-olah ditujukan pada diri sendiri, "'Perisai Gaib' bisa ditembusnya? Berarti dia mempunyai jurus 'Pukulan Tembus Jiwa'!"
"Sepertinya memang begitu, Guru!"
"Lalu mengapa ia tidak gunakan saat melawan Anjani di depan?"
"Saya tidak tahu, Guru! Yang jelas, ketika pedang kami menyerangnya bersamaan, pedang kami menjadi patah, kecuali pedang saya, Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat menjadi keras, sekeras baja!"
"Menjadi keras? Maksudmu kebal, begitu?!" tanya Dewi Anjani.
"Bukan hanya kebal, tapi keras! Keras seperti baja. Pedangku menebasnya dan tak bisa melukai kulit tubuhnya, tetapi justru menghadirkan percikan bunga api, terutama jika kami menebasnya kuat-kuat. Dan suara yang keluar dari tebasan pedang ke tubuhnya pun aneh. Seperti pedang menebas baja dengan sentakan kuat!"
"Itu tidak mungkin, Minarsih! Tidak mungkin!" bantah Dewi Anjani.
"Betul, Dewi! Betul!"
"Apa kau tak lihat waktu aku berhasil melukai bagian kakinya?!"
"Ya. Memang aku melihatnya sendiri, ia terluka tiga tempat karena sabetan pedangmu. Tapi bekas luka itu tak ada saat ia bangkit lagi, dan pedang kami tak bisa melukainya!"
Memang sulit dipercaya bagi Dewi Anjani. Sebab ia merasa pernah melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat di tiga tempat. Jika sekarang Minarsih mengatakan bahwa Nini Pasung Jagat kebal senjata, itu sungguh aneh. Dewi Anjani curiga. Minarsih mengarang cerita karena suatu hal yang dirahasiakan. Kemudian ia mendekati Embun Salju dan berbisik pelan sekali,
"Sepertinya ada yang tidak beres pada diri Minarsih, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut. Kemudian ia berkata kepada Minarsih, "Bagaimana luka-lukamu? Masih terasa sakit?"
"Hanya perih sedikit, Guru!"
"Itu berarti sebentar lagi lukamu akan sembuh, bibirmu yang robek akan mengering. Dan..., sebaiknya keluarlah dulu. Aku mau bicara berdua dengan Dewi Anjani."
"Baik, Guru!"
Di luar, Minarsih kembali bercerita dengan penuh semangat dan berapi-api. Beberapa temannya mengerumuni, termasuk Jongos Daki yang merasa tertarik dengan berita aneh tersebut. Jongos Daki menyimak tiap kata yang diucapkan Minarsih, seolah-olah mencatatnya dalam otak.
Sementara itu, di dalam ruang penyembuhan, Embun Salju bertanya kepada Dewi Anjani, "Apa yang kau maksud dengan ketidakberesan Minarsih tadi?"
"Dia mengarang sebuah cerita seru untuk menutupi sesuatu yang belum jelas kita ketahui!"
"Minarsih berbohong kepada kita?"
"Betul, Guru!"
"Tidak mungkin!" bantah Embun Salju. "Minarsih bicara apa adanya. Aku melihat jelas dari sorot matanya, ia tidak menyimpan kebohongan sedikit pun!"
"Tapi seperti yang kita ketahui bersama, Minarsih adalah seorang penakut. Guru! Mungkin ia dibayang-bayangi oleh rasa takutnya sendiri, sehingga sepertinya ia melihat adegan yang mengerikan di depan matanya. Bayangan itu bisa menjadi seperti nyala, seolah-olah memang benar-benar dilihatnya. Jadi, ia mengatakan sejujurnya apa yang terbayang di matanya itu. Guru!"
Kembali perempuan cantik yang anggun dan bijaksana itu merenung diri beberapa saat. Setelah itu ia berkata kepada Dewi Anjani, "Jika benar ia dihantui ketakutannya sendiri, sehingga apa yang terbayang itu menjadi seperti nyata lantas ke mana orang-orang lainnya? Mengapa mereka tidak kembali bersama Minarsih? Kemana Kurnia, Ambar Gati, Inriana, dan yang lainnya?"
Dewi Anjani menjawab dengan mata menera wang dalam renungannya, "Saya khawatir, jangan-jangan mereka dibunuh oleh Minarsih sendiri!"
"Dibunuh?! Atas dasar apa Minarsih membunuh kelima temannya itu?"
"Mungkin dendam pribadi," jawab Dewi Anjani dalam nada ragu.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Anjani...! Dari enam orang yang kutugaskan memakamkan mayat Nini Pasung Jagat, dua orang berilmu tinggi di dalamnya, yaitu Ambar Gati dan Sampur Welas. Ilmunya sejajar dangan Mahasi! Tak mungkin Minarsih bisa mengalahkan Ambar Gati dan Sampur Welas!"
"Mungkin dengan kelicikannya, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut pada akhirnya. Ia mengguman pelan. "Ya, mungkin dengan kelicikannya! Tapi aku tidak pernah mendidik murid-murid ku menjadi orang licik, Anjani!"
"Memang, Guru! Tapi jiwa seseorang siapa yang tahu. Jalan pikiran orang siapa yang bisa menerka."
"Berarti kau meremehkan kesanggupanku meneropong jiwa, batin, dan pikiran seseorang, Anjani?!"
"O, tidak begitu maksud saya. Guru! Hmm... maksud saya, setelah Minarsih ada di pulau itu, barangkali kelicikan-kelicikan itu timbul, lepas dari teropong Guru."
"Bisa saja begitu! Tapi kulihat tadi dia tidak mempunyai kelicikan! Kuteropong batinnya, dia tulus dan jujur mengatakan apa adanya, Anjani!"
Dewi Anjani menarik napas panjang-panjang. Ia merasa tak berani membantah dan mendebat lagi. Akhirnya ia berkata, "Baiklah. Anggap saja Minarsih benar. Lalu. apa yang membuat Nini Pasung Jagat menjadi kebal senjata dan keras kulitnya seperti baja? Kalau dia mau, pasti sudah ia keluarkan ilmu itu saat melawan saya dan melawan Guru sendiri kemarin siang!"
"Itu yang harus kuselidiki! Mungkin dia menjadi kebal jika berada di tanah kuburan? Mungkin kulitnya menjadi baja jika terkena sinar rembulan? Bisa saja kemungkinan kemungkinan itu terjadi, Anjani! Tapi alangkah baiknya jika kutugaskan kau untuk mencari tahu kebenaran cerita Minarsih! Pergilah ke Pulau Kubangan dan selidiki apa yang terjadi di sana sebenarnya!"
"Baik, Guru!" jawab Dewi Anjani dengan patuh. Dewi Anjani segera menemui Mahasi yang sudah sehat dan cepat pulih seperti sediakala itu. Kemudian ia berkata kepada Mahasi, "Ikut aku ke Pulau Kubangan, Mahasi!"
"Ke Pulau Kubangan?! Untuk apa ke sana?!" tanya Mahasi.
"Guru memberiku tugas untuk menyelidiki keadaan di sana, sekaligus mencari tahu kebenaran cerita Minarsih itu!"
"Kurasa itu hanya isapan jempol saja, Anjani! Bilanglah pada Guru agar jangan mempercayai cerita Minarsih!"
"Sudah kulakukan sampai berdebat seru dengan beliau, tapi Guru tidak mau percaya padaku! Dan sekarang untuk membuktikan mana yang benar, Guru menugaskan aku kesana! Kau ikut aku ke sana sambil mencari bukti-bukti bahwa Nini Pasung Jagat hidup kembali! Itu kalau memang dia hidup kembali! Dan Guru berpesan agar kepergian kita jangan diketahui oleh siapa pun, sehingga Minarsih tidak curiga dan tidak tahu bahwa ceritanya itu sedang kita selidiki!"
"Baiklah! Aku ikut berangkat sekarang juga! Aku siap!"
Pertama-tama yang mereka temukan adalah sebuah perahu dipantai yang biasa digunakan untuk bertolak ke Pulau Kubangan. Perahu itu adalah perahu milik orang-orang Kuil Elang Putih. Tampak ada simbol seekor elang di atas dasar papan lambung nya yang putih itu. Perahu tersebut kelihatan dilabuhkan dengan tergesa-gesa. Tali penambatnya hanya disangkutkan pada sebongkah batu yang sewaktu-waktu bisa lepas dan membuat perahu terbawa ombak.
Pada perahu itu juga ditemukan bercak-bercak darah, menandakan terjadi pertempuran juga di atas perahu itu. Siapa yang bertempur, tak bisa dipastikan secara jelas. Mungkin Minarsih dengan teman sendiri, atau Minarsih dengan Nini Pasung Jagat, jika memang nenek itu bangkit dari matinya.
"Apakah kita perlu melaporkan keadaan perahu ini kepada Guru lebih dulu, Anjani?"
"Tidak usah! Kita langsung bertolak ke Pulau Kubangan saja!"
Kedua perempuan itu naik ke atas perahu setelah melepaskan tambang penambatnya. Tetapi tiba-tiba Mahasi berteriak, “Anjani, awaaas…!”
Mahasi melompat sambil menedang Dewi Anjani. Tendangan itu hanya berupa jejakan kuat yang membuat Dewi Anjani terlempar jatuh ke laut, sementara itu Mahasi sendiri juga jatuh ke laut dangkal.
Byurrr…!
Dan tiba-tiba sinar merah itu melesat menghantam perahu putih.
Zlapppp…! Blubbb…! Zrrubbb…!
Mahasi dan Dewi Anjani sama-sama membelalakkan matanya lebar-lebar di dalam kekuyupan sekujur tubuh mereka. Betapa mereka tidak terkejut dan terbelalak jika mereka melihat perahu itu tiba-tiba menjadi setumpuk serbuk kayu yang segera terhempas buyar dibawa ombak pantai. Perahu itu bagaikan lenyap sewaktu dihantam oleh sinar merah dari arah hutan pantai.
“Apa yang terjadi?!” seru Dewi Anajani karena kagetnya.
“Ada yang menyerang kita dari hutan timur sana!” jawab Mahasi.
Mereka segera bergegas mencari tempat berlindung. Sebongkah batu karang besar menjadi sasaran berlindung mereka. Mata mereka memandang kearah sebatang pohon berdaun merah kehitaman. Dari bawah pohon itulah Mahasi melihat sinar merah tadi menyerang mereka. Jika ia tidak menendang Dewi Anjani, maka Dewi Ajani akan menjadi bubuk seperti perahu tersebut.
”Siapa yang menyerang kita?!” tanya Dewi Anjani dengan tegang karena amarahnya menjadi meluap namun tertahan di dalam dada.
”Entah! Tak kulihat manusianya. Aku hanya melihat sinar merah yang melesat dari bawah pohon itu!”
”Pancinglah dengan pukulan jarak jauhmu! Saran Dewi Anjani.
Mahasi segera berdiri dan melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan sinar kuning panjang berkelebat bagai bintang jatuh dari langit.
Wuuuttt...! Blarrr...!
Tanah di bawah pohon besar berdaun merah kehitaman itu menyembur ke atas dalam satu ledakan. Pohon besar itu berguncang, daunnya yang keringpun berguguran. Dan pada saat itu, sesosok tubuh berjubah hitam melesat dari balik pohon besar itu. Ia muncul menampakkan diri secara nyata, dan berjalan santai sambil terkekeh-kekeh.
”Anjani! Lihat orang itu! Bukankah dia Nini Pasung Jagat?!”
Dewi Anjani tertegun sebentar, nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Kemudian ia berkata, ”Kalau begitu apa yang diceritakan Minarsih itu memang benar. Nini Pasung Jagat memang bangkit lagi dari kematiannya! Edan! Punya ilmu apa dia sebenarnya?!”
“Dia mendekati kita, Anjani! Apa yang harus kita lakukan?!”
“Serang dia!” tegas Dewi Anjani, lalu dia mendului muncul dari persembunyian dan melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar putih keperakan yang tak begitu jelas karena sinar matahari menyamainya. Anehnya, nenek tua itu matanya lebih awas, dan ia melompat ke samping untuk menghindari sinar putih perak itu.
Wesss…!
Dalam sekejap nenek tua bertongkat lengkung itu sudah berada di depan Dewi Anjani dan Mahasi. Kedua gadis itu mulai bersikap waspada. Mereka tanpa disengaja mencabut pedang secara bersamaan. Serrtt…!
“Aha, kau mau membunuhku pakai pedang, bocah-bocah dungu?! He he he he…!” Nini Pasung Jagat melecehkan mereka berdua.
Dewi Anjani sempat berbisik kepada Mahasi, “Tebas dia! Gunakan jurus ‘Elang Mengamuk Bintang’. Kalau ternyata dia tidak mempan dilukai, cepat kabur dan jangan hadapi dia lagi! Lapor ke Guru secepatnya!”
“Ya, aku setuju!”
Nini Pasung Jagat berkata, “Hampir saja aku salah arah melacak tempat tinggal gurumu, Bocah-bocah dungu!Untung kulihat kalian muncul, sehingga bisa kujadikan patokan arah ku menuju Kuil Elang Putih! He he he he…!
“Setan Jahanam….!” Geram Dewi Anjani, “Saatnya sekarang kau mati untuk yang kedua kalinya! Heeah...!" Dewi Anjani menyerang dengan jurus ’Elang Mengamuk Bintang’. Mahasi puin ikut menyerang dengan jurus yang sama. Gerakan mereka sama cepatnya. Tapi Nini Pasung Jagat hanya terkekeh-kekeh membiarkan kedua musuhnya bertingkah seperti itu.
Trang cring cring trang tring cringng...!
Pedang mereka sebenarnya mengenai tubuh Nini Pasung Jagat lebih dari depalan kali. Tapi tubuh itu tetap utuh. Hanya percikan-percikan bunga api yang kelihatan dari tebasan pedang ke kulit tubuh nenek tua itu. Bahkan dalam satu kali gebrakan, Nini Pasung Jagat berhasil membuat tubuh kedua gadis itu terpental jauh.
Wuttt...! Brukk brruk...!
Dewi Anjani terpental ke barat, Mahasi terpental jatuh ke timur. Nini Pasung Jagat tertawa mengikik bagaikan kuntilanak. Tak ada bagian tubuhnya yang lecet atau terluka. Mahasi dan Dewi Anjani merasa bagaikan memenggal pilar baja yang merusak tepian pedang saja. Tanpa diberi aba-aba lagi, Mahasi segera melesat lari demikian juga Dewi Anjani. Melihat lawannya lari, Nini Pasung Jagat segera mengejarnya sambil berteriak-teriak tak karuan. Makian dan ancaman berhamburan keluar dari mulut nenek yang kini bertubuh aneh itu.
* * *
DELAPAN
KALAU bukan karena ada halangan di perjalan, Pendekar Mabuk dan Kirana tiba di Kuil Elang Putih pada pagi hari. Tapi pada saat fajar, langkah mereka berdua dihadang oleh seorang perempuan cantik berambut uban rata dengan panjangnya melebihi pantat. Rambut putih itu dibiarkan meriap, bahkan sebagian ada yang bergerai di depan dadanya.
Perempuan itu mengenakan pakain biru muda dalam bentuk pakaian jubah berlengan longar. Sedangkan bagian dalamnya mengenakan pakaian penutup dada dari bahan satin warna merah tua, sama dengan warna celana ketatnya yang sebatas betis itu.
”Selamat pagi, Tuan Pendekar dan Putri Kirana...!” sapanya dalam senyum sinis.
Sapaan itu membuat Suto Sinting menjadi heran dan sebentar kemudian berbisik kepada Kirana, “Siapa dia, Kirana?”
“Ratu Fajar Garang! Musuh dari mendiang guruku yang juga bernafsu ingin memiliki pusaka Pedang Wukir Kencana itu!”
“Oo...! Jadi sekarang ia ingin merebut pedang ini?”
“Kurasa begitu! Lawan dia dengan lari cepatmu, Suto!”
”Mengapa harus pakai lari segala?”
“Mengulur waktu, supaya lewat dari fajar! Kesaktiannya hanya dalam cahaya fajar. Lewat dari fajar, ia sudah menjadi orang lemah yang hanya pandai mengelabui lawannya dengan segala macam tipu muslihat! Dia jago tipu, Suto!”
Terdengar Ratu Fajar Garang berkata kepada Suto, “Kalau tak salah lihat, kau Pendekar Mabuk yang mengalahkan Mahendra Soca dalam satu perjudian nyawa!” (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan)
“Benar. Dari mana kau tahu?”
“Aku hadir di Ladang Pertarungan itu! Aku melihat kehebatanmu, dan aku terkesan dengan ilmu pedangmu! Tapi untuk saat-saat fajar begini, kau tidak akan bisa menandingi ilmu pedangku, Pendekar Mabuk”
”Apa maksudmu berkata begitu?!”
”Serahkan pedang emas di tanganmu itu, atau kau kubantai seperti saat membantai Mahendra Soca, si Wajah Hitam itu?!”
”Boleh kau ambil pedang ini, asal kau bisa mengejarku!”
Zlapppp...! Pendekar Mabuk berlari melebihi hembusan badai. Tahu-tahu ia berada jauh di ujung sana. Ratu Fajar Garang terbegong memandang gerakan Suto Sinting yang begitu cepatnya. Dari sana terdengar Suto berseru,
“Fajar Garang! Ambillah pedang ini kalau kau mampu menjamahnya!”
“Keparat kau, Pendekar Mabuk! Aku tak akan terpancing oleh kelicikanmu! Hiaaah...!”
Wuttt…! Ratu Fajar Garang menyerang Kirana yang tersenyum-senyum melihat Suto melakukan rencana yang dibisikkan tadi.
Kirana tidak menyangka akan mendapat serangan tiba-tiba dari Ratu Fajar Garang. Ia berkelebat pula menghindari tendangan maut lawannya, tapi tangan Ratu Fajar Garang segera mengibas ke samping sambil mencabut pedangnya dari pinggang kiri.
Wuttt...! Brettt...!
”Aaauh...!” Kirana terpekik keras, punggungnya terkena kibasan pedang. Ia rubuh tak berkutik.
Ratu Fajar Garang segera menyergap Kirana dan menjambak rambut gadis itu. Pedangnya ditempelkan di leher Kirana, dan ia pun berseru, ”Pendekar Mabuk! Tukar pedang itu dengan nyawa gadis ini!”
”Sial!” sentak Suto Sinting dengan hati dongkol. ”Bodoh amat Kirana itu! Mengapa dia tetap di tempat, sementara aku sudah lari menjauhi si rambut putih itu?! Sekarang nyawanya terancam! Benar-benar bodoh kau, Kirana!”
Tak habis-habisnya Suto menggerutu dalam hati. Jelas ia tak bisa membiarkan Kirana dipenggal atau digorok lehernya begitu saja oleh Ratu Fajar Garang. Tetapi ia pun tak bisa menyerahkan pedang emas itu kepada perempuan berambut putih yang jelas berjiwa keji itu. Repotnya lagi, perempuan berambut putih tapi masih cantik itu tidak memberi kesempatan kepada Pendekar Mabuk memikirkan bagaimana menyelamatkan pedang emas dan nyawa Kirana.
Perempuan itu berseru kembali, ”Kuhitung tiga kali kalau kau tak mau serahkan pedang itu, kutarik pedangku ini dan putuslah leher kekasihmu, Pendekar Mabuk!"
"Persetan!" geram Suto Sinting "Kalau kuserang dari sini, bisa jadi tubuh Kirana yang akan dipakainya sebagai tameng! Rasa-rasanya tak mungkin aku bisa menyerangnya jika Kirana masih dalam ancamannya!"
"Satu...!" Ratu Fajar Garang mulai menghitung.
"Benar-benar sial!" geram Pendekar Mabuk lagi. Kemudian dengan gerakan cepatnya, tahu-tahu Suto sudah berada didepan RatuFajar Garang.
"Baru hitungan kesatu kau sudah kembali, itu tandanya kau sayang kepada kekasihmu ini, Pendekar Mabuk!"
"Lepaskan dia dan hadapilah aku jika kau memang punya kesaktian yang bisa menandingi jurus pedangku!" pancing Suto Sinting.
Ratu Fajar Garang yang berbibir memikat hati itu tertawa pelan, bernada melecehkan pancingan Pendekar Mabuk itu. Ia segera berkata, "Aku tak akan melawanmu sebelum aku memiliki pedang itu! Serahkan pusaka Ki Padmanaba itu, dan kulepaskan gadis ini!"
"Tinggalkan aku, Suto! pergilah! Cepat pergi...!" seru Kirana sambil menyeringai menahan rasa sakit di punggungnya.
Pendekar Mabuk dalam keadaan bimbang. Ratu Fajar Garang kembali berkata, "Aku tadi baru menghitung satu kali. Sekarang hitungan berikutnya. Dua!"
"Suto, jangan hiraukan nyawaku!Pikirkan nyawa orang banyak jika pedang itu jatuh ke tangan iblis berambut putih ini!"
"Diam kau, Kirana!" bentak Ratu Fajar Garang sambil mengencangkan jambakan tangannya ke rambut Kirana. Wajah Kirina makin menyeringai kesakitan dan ia tak berani berbuat apa apa karena pedang sudah mengiris sebagian kulit lehernya.
"Baiklah!" sentak Suto tiba tiba. Ia mulai nampak menyerah.
"Jangan. Suto! Pergi! Larilah!" seru Kirana.
Tapi Suto berkata, "Aku tak tega meninggalkan dirimu dalam keadaan seperti ini, Kirana! Kau harus kuselamatkan!"
"Bagus!" kata Ratu Fajar Garang, "Itu namanya seorang kekasih yang benar-benar mencintai gadisnya! Hi hi hi...! Aku jadi iri, kepingin punya kekasih setampan kamu, segagah kamu, dan sesetia kamu, Pendekar Mabuk!"
"Ratu Fajar Garang! Kuserahkan pedang ini padamu, tapi kau harus melepaskan gadis itu!"
"O. tentu, tentu...!"
"Kalau kau ingkar janji, kuhancurkan pedang itu dan kutunggu siang tiba baru menyiksamu sekeji mungkin!"
"Ratu Fajar Garang tak pernah bicara plin-plan, Pendekar Mabuk! Kau patut percaya padaku!"
"Baik. Aku percaya! Ambillah pedang ini!"
Wuttt...! Pendekar Mabuk melemparkan pedang itu ke arah sampingnya dalam jarak sekitar tujuh tombak. Ratu Fajar Garang terperanjat, Kirana sendiri sebenarnya juga kaget dan menyesal, mengapa Suto menyerahkan pedang itu begitu saja. Sedangkan Suto sendiri memandangi Ratu Fajar Garang dengan mata tajamnya.
"Mengapa kau lemparkan pedang itu ke sana?! Aku ada di sini, Goblok!" bentak Ratu Fajar Garang.
"Untuk menjamin keselamatan gadis itu, kau harus melepaskannya lebih dulu, baru bisa mengambil pedang itu! Kalau kau ingkar janji, aku bisa mengambilnya lebih cepat darimu, Ratu uban...!"
"He he he he...! Rupanya kau minta jaminan juga, Pendekar Mabuk! Akan kubuktikan bahwa Ratu Fajar Garang kalau bicara tidak pernah plin-plan! Nih, ambil gadismu!"
Wuttt...!
Brukk...! Kirana disentakkan hingga menabrak Pendekar Mabuk. Lehernya tidak jadi digorok oleh Ratu Fajar Garang. Perempuan beruban rata itu segera lari menuju ke pedang emas yang tergeletak di rerumputan. Tetapi, pada saat itu pula tangan kanan Suto bergerak menyentak ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka miring.
Sett...! Zlap zlappp...!
Jurus 'Manggala' dikeluarkan oleh Suto Sinting. Dari tangan yang disentakkan, meluncur dua pisau kecil yang tak terlihat oleh mata telanjang. Pisau itu melesat begitu cepatnya dan menancap masuk ke punggung Ratu Fajar Garang. Pada waktu itu, perempuan tersebut sedang mau mengambil pedang dalam gerakan membungkuk. Dan ketika ia terkena jurus 'Manggala', keadaannya menjadi tetap diam dan tak bergerak sebagaimana posisi mengambil pedang. Suaranya tak ada, gerakannya pun hilang.
Kirana memandangnya dengan rasa takjub. Ia membatin, "Lagi-lagi Pendekar Mabuk mengeluarkan ilmu totoknya yang sering membuatku kagum. Benar-benar dia laki-laki yang penuh daya kagum di benak dan hati setiap wanita!"
Dengan tenang Pendekar Mabuk mengambil pedang tersebut. Ratu Fajar Garangpun tidak mencegah ataupun menghalanginya lagi. Dengan tenang pula Suto Sinting segera menyelempangkan pedangnya itu di punggung, menjadi satu dengan bumbung tuak dan menyuruh Kirana segeta meneguk tuak beberapa kali.
"Untuk mengeringkan lukamu!" kata Suto.
Dan Kirana pun tidak menolak. Ketika ia selesai meneguk tuak, rasa perih di punggung mulai berkurang, lalu ia berkata kepada Suto sambil memandang Ratu Fajar Garang. "Jangan bebaskan dia sampai matahari meninggi. Biar orang menemukan dirinya dalam keadaan begitu!"
"Dia akan bebas sebentar lagi. Kalau ada angin datang, maka dia akan bebas dengan sendirinya!"
"Kalau begitu, lekas kita tinggalkan dia!"
"Tak perlu terburu-buru, Kirana! Aku ingin melihat dia bebas."
"Kau ini sinting betul, Suto! Orang orang...!"
"Ssst...! Ada angin datang! Perhatikan dia!" potong Suto.
Mata Kirana tertuju ke arah Ratu Fajar Garang yang masih dalam keadaan membungkuk. Anginpun berhembus dari selatan ke utara. Dan mata Kirana mulai terbelalak lebar. Apa yang dilihatnya hampir tak dipercayainya. Tubuh yang menjadi patung itu ternyata mulai ambrol. Bagian rambutnya berserakan dihembus angin. Lalu bagian betisnya juga berhamburan, dan ketika angin bertiup semakin kencang, tubuh Ratu Fajar Garang itu pun terbang berhamburan dalam keadaan sudah menjadi debu.
Rupanya saat ia terkena Jurus 'Manggala', seketika itu pula tubuhnya menjadi debu. Namun karena cepatnya perubahan dari manusia menjadi debu, keadaannya masih tetap menggumpal berbentuk sama seperti wujud aslinya. Setelah datang angin, baru kelihatan dan diketahui bahwa tubuh itu telah menjadi debu seluruhnya. Tak ada sisa tulang ataupun secabik pakaiannya.
"Ilmu apa yang kau pakai itu, Suto?!" gumam Kirana masih dengan mata terbelalak walau debu Ratu Fajar Garang telah lenyap habis sama sekali tanpa bekas sedikit pun.
"Itu yang dinamakan Jurus 'Manggala'! Kalau tidak dalam keadaan terpaksa dan harus mengambil kecepatan tertentu, jurus itu jarang kugunakan!"
"Luar biasa! Maukah kau mengajariku, Suto?!"
"Bisa kita bicarakan setelah kita berada di Kuil Elang Putih!" jawab Suto Sinting sambil mencubit dagu Kirana.
Bergegaslah mereka menuju Perguruan Elang Putih. Mereka harus membicarakan tentang pedang itu kepada kakak dari Ki Padmanaba, yaitu Embun Salju. Dalam perjalanan, Kirana sempat berkata kepada Suto Sinting yang baru saja meneguk tuaknya.
"Hati-hatilah dengan Nyai Guru Embun Salju!"
"Ada apa dengan dia?"
"Dia cantik, Suto!"
"Kurasa semua orang akan berkata begitu!"
"Dia sangat memikat hati buat setiap lelaki."
"Kuakui hal itu, Kirana!"
"Jangan kau terpikat dengannya, Suto!"
"Seandainya terpikat, mengapa?"
"Kau melukai hatiku!" jawab Kirana sambil bersungut-sungut.
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Kau tak perlu merasa terluka!"
"Itu hakku! Aku mau terluka atau tidak, itu urusanku! Kau tak berhak melarangku begitu."
"Yang kumaksud, kau tak perlu merasa sakit hati, karena aku tak akan terpikat oleh kecantikan Nyai Guru Embun Salju!"
"Sungguh?"
"Bisa kau percaya omonganku!" ucap Suto tegas.
Tapi tiba-tiba ketika matahari mulai merayap pada jalurnya, dari arah depan mereka terlihat sesosok bayangan berpakaian abu-abu mendekati arah mereka. Orang yang berlari dengan terburu-buru itu sangat dikenali oleh Suto dan Kirana. Sebab itulah Suto berkata kepada Kirana,
"Bukankah itu Paman Jongos Daki?"
"Benar! Pasti ada apa-apa lagi, sehingga ia menyusul kita!"
Mereka mempercepat langkah supaya lebih cepat bertemu dengan Jongos Daki. Orang bertubuh agak pendek itu semakin kelihaian tegang wajahnya. Ketika ia sudah berhadapan dengan Suto, napasnya terengah-engah dan keringatnya mengucur membasahi pakaian.
"Ada apa, Paman?" tanya Pendekar Mabuk.
"Nyai embun Salju diserang...!"
"Siapa yang menyerang?" Kirana terpenjarat.
"Nini Pasung Jagat!"
"Hah...?! Pasung Jagat?! Bukankah dia sudah mati dan dikuburkan di Pulau Kubangan?!"
"Benar, Kirana! Tapi dia bangkit lagi dan mengamuk di sana!"
Suto berkata dengan tenang. "Tak perlu cemas! Embun Salju pasti bisa mengatasinya!"
"Justru Nyai Embun Salju sekarang dalam keadaan terdesak!" kata Jongos Daki. "Aku diperintahkan menyusulmu, Suto!"
"Nyai terdesak ..?! Orang sakti seperti dia terdesak oleh kekuatan Nini Pasung Jagat?! Sungguh tidak masuk akal kedengarannya!" ujar Pendekar Mabuk sambil mengerutkan dahinya kuat kuat.
Jongos Daki memandang ke arah pedang emas. Wajahnya menjadi berseri-seri. Ia segera berkata dengan nada girang. "Kau telah berhasil menemukan pusaka pedang emas itu, Suto?!"
"Ya. Seperti yang kau lihat inilah, Paman!"
"Bagus, bagus...! Jongos Daki segera mangut-mangut. Kemudian ia berkata dengan penuh semangat. "Kalau begitu, cepatlah jalan duluan. Gunakan jurus larimu yang cepat melebihi setan ketakutan itu, Pendekar Mabuk. Biar aku dan Kirana menyusul dari belakang! Nyai Embun Salju sangat membutuhkan bantuanmu!"
"Kalau begitu, aku harus berangkat lebih dulu!"
"Berangkatlah, Suto! Lekas...! Jangan sampai kau terlambat tiba di sana! Kalahkan Pasung Jagat dengan pedang itu!"
Zlappp...! Suto pun pergi, tahu-tahu sudah ada di ujung sana. Kelihatan jauh dan kecil dari tempat Kirana dan Jongos Daki berada.
Embun Salju terdesak mundur oleh serangan Nini Pasung Jagat. Bahkan satu kali ia terkena pukulan bercahaya biru dari tangan Nini Pasung Jagat. Segera Mahasi dan Dewi Anjani memerintahkan beberapa murid lainnya untuk memagari Embun Salju.
"Nyai Guru harus beristirahat dulu! Jangan teruskan penyerangan ini!" kata Dewi Anjani.
"Siapa yang akan menahan amukan Nini Pasung Jagat itu kalau bukan aku? Kalian akan mati sia-sia kalau mencoba menyerangnya!"
"Kami akan pancing dia agar menjauh dari kuil ini!" kata Mahasi.
Lalu, Dewi Anjani menambahkan kata, "Kami ulur waktu sampai Pendekar Mabuk tiba di sini!"
"Apa Jongos Daki sudah berangkat?"
"Sudah sejak tadi, Guru!" jawab Dewi Anjani.
"Guru terluka dan harus disembuhkan dulu! Kami akan ulur waktu untuk menunggu kedatangan Pendekar Mabuk!"
"Baik, Baik...! Tapi lukaku ini tak seberapa. Tak perlu cemas!" kata Embun Salju sambil melangkah mundur. "Buat dia agar sibuk ke arah lain, sementara aku meredam luka dalamku ini!"
Dewi Anjani membawa beberapa orang untuk memancing serangan nenek gila itu kearah lain. Dewi Anjani memili horang-orang yang pandai berkelit dan lincah dalam bergerak. Mereka tidak akan melakukan serangan balas. Sekalipun mereka melepaskan pukulan, mereka tahu pukulan itu tidak akan dapat melukai tubuh Nini Pasung Jagat. Jadi serangan mereka hanya bersifat memancing gerakan saja.
Mahasi mendampingi gurunya dan membawa ke balairung. Embun Salju melakukan semedi beberapa saat. Penyembuhan terhadap luka di dalamnya dilakukan dengan cepat. Hanya beberapa waktu saja ia kembali dalam keadaan segar. Dan tepat pada waktu itu, sekelebat bayangan melompati tembok halaman kuil yang mirip benteng tingginya itu. Bayangan tersebut segera mendarat di depan balairung.
"Suto...! Syukurlah kau cepat datang!" Embun Salju menyambut dengan ceria. Lebih ceria lagi setelah ia melihat di tangan kanan Suto menggenggam sebilah pedang emas. Dan Embun Salju tahu, pedang itu adalah pusaka milik mendiang adiknya. "Kau berhasil rupanya!"
"Berkat petunjukmu, Nyai!" jawab Suto. "Apa yang terjadi didepan sana, Nyai?"
"Nini Pasung Jagat bangkit lagi!"
"Mengapa kau tak bisa atasi dia? Apakah dia mempunyai ilmu lebih tinggi darimu, Nyai?"
"Sesuatu telah terjadi di luar perkiraanku, Suto! Nini Pasung Jagat menjadi kebal senjata! Kulit tubuhnya keras bagaikan baja, dan tak bisa dilukai dengan senjata apa pun! Bahkan pukulan tenaga dalamku tak bisa melumpuhkan dia. Padahal terkena tepat di dadanya, dan meledak di sana, tapi tak membuat dia terluka kecuali hanya tersentak mundur atau terpental beberapa jarak saja."
"Mengapa dia bisa menjadi kebal begitu?"
"Saat dia melepaskan pukulan 'Darah Geni', aku melawannya dengan pukulan 'Darah Kutub' yang mempunyai hawa dingin serta titik beku paling tinggi. Dia pun melepaskan pukulan 'Jalur Baja', yang begitu panas dan dapat melelehkan tubuh manusia, bahkan besi pun bisa lumer jika dihantam pukulan 'Jalur Baja'-nya itu. Ternyata pukulan 'Darah Geni' dan 'Jalur Baja' sama-sama mempunyai titik panas yang luar biasa. Dan pukulan itu membeku di dalam darahnya karena kuhantam terus dengan hawa dingin yang bertitik beku tinggi. Dan akibat dari ketiga jurus itu menjadi satu di dalam darahnya, maka membentuk satu lapisan pelindung, membuat kulitnya, uratnya, tulang-tulangnya bahkan rambutnya jadi mempunyai lapisan baja yang tak bisa dilukai atau digores oleh senjata apa pun!"
"Hmmm...! Kalau begitu, pedang emas ini yang akan melukainya! Aku harus segera masuk ke pertarungan tu, Nyai! Permisi!" Zlappp! Pendekar Mabuk pun cepat tinggalkan tempat.
* * *
SEMBILAN
NINI Pasung Jagat gemas melihat tingkah Dewi Anjani dan teman-temannya yang hanya menyerang dan mundur, menyerang lalu mundur lagi, makin lama makin jauh dari tanah depan kuil. Tetapi karena rasa penasarannya terhadap Dewi Anjani yang tak bisa dibunuh dan mampu menghindar terus dengan lincahnya, Nini Pasung Jagat mengejar lawannya sampai di Bukit Perawan. Dari depan kuil bisa terlihat jelas pertarungan Nini Pasung Jagat dengan Dewi Anjani dan lima anak buahnya yang lincah-lincah itu.
Pada satu kesempatan, Dewi Anjani berhasil terpental dan hangus bagian punggungnya. Ia terluka kena pukulan telapak mautnya Nini Pasung Jagat. Dalam keadaan lemah Dewi Anjani merangkak mencari tempat aman. Tapi pada waktu itu, Nini Pasung Jagat sudah tiba di depannya.
Jlegg...!
"Serang dia supaya tidak mencelakakan Anjani!" kata temannya.
Maka mereka pun menyerangnya dengan pukulan jarak jauh secara bersamaan. Namun pukulan itu tidak ada yang melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat, dan karenanya tidak dihiraukan oleh nenek gila pusaka itu.
"Sudah saatnya tongkatku menghabisi nyawamu. Bocah Dungu! Hiaah!" Nini Pasung Jagat menancapkan tongkatnya ke punggung Dewi Anjani yang sudah tak sanggup melakukan apa-apa lagi itu. Tetapi tiba-tiba tubuh nenek tua itu terpental kesamping dan membentur sebatang pohon berakar pipih.
Brrukkk...!
"Monyeeeet...!" teriaknya dengan keras, ia pun segera bangkit. Suatu tenaga yang begitu besar telah dilepaskan oleh seseorang. Tenaga itu yang membuat Nini Pasung Jagat terpental jauh. Dan ketika ia bangkit memandang ke arah Dewi Anjani, rupanya di sana sudah berdiri lelaki berpakaian coklat dan celana putih, punggungnya menyandang bumbung tuak.
"Rupanya kau murid sinting si Gila Tuak itu! Hah...! Sangat kebetulan sekali kau hadir dalam keadaan tubuhku sudah menjadi sekeras baja begini! Kulampiaskan dendamku kepada si Gila Tuak di depanmu, Suto!"
"Hei," panggil Pendekar Mabuk kepada anak buah Dewi Anjani. "Bawa dia menjauhi! Sambil tangan kirinya menopang tubuh Dewi Anjani. Lalu, Dewi Anjani pun dibawa pergi menjauh oleh anak buahnya. Tapi mereka belum turun dari puncak bukit yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan di sisi lain pun muncul dua orang yang terengah-engah tegang. Mereka adalah Kirana dan Jongos Daki.
"Suto, habisi dia!" seru Kirana.
"Aku dengar!" seru Pendekar Mabuk tanpa menoleh pada Kirana. Ia berdiri dengan tegapnya. Tangan kiri memegang pedang emas dengan sarung pedangnya, tangan kanan siap melakukan gerakan secepat kilat.
Pada waktu itu, mata Nini Pasung Jagat tertuju pada pedang emas itu. Mata tua tersebut berbinar-binar. Bibirnya menyunggingkan senyum yang lebih cocok dikatakan sebagai seringai. "Aha...!Pedang Wukir Kencan ada ditanganmu, Suto?! Oooh...hoho ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu yang kucari-cari!"
"Barangkali kematian yang kau cari, bukan pedang ini, Nini!"
"Dengar Cah bagus kayak tikus...! Pedang itu adalah milik guruku, dan hanya murid-muridnya yang berhak memegang dan memiliki pedang emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena kau bukan murid Guru kami, Suto!"
"Tapi aku yang mendapat amanat dari Ki Padmanaba untuk menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti kamu, Nini!"
"Kalau kau nekat menggunakan pedang itu, maka kau akan mati termakan kutuk yang ada di dalam kekuatan pedang itu!"
Kirana berteriak dari jauh, "Jangan percaya,Suto!"
Pendekar Mabuk tersenyum memandangi Nini Pasung Jagat yang tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi Nini Pasung Jagat tidak menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil mengulurkan tangannya dengan pelan,
"Berikan padaku! Jika Ki Padmanaba sudah tiada, berarti akulah pewaris pedang emas itu!"
"Tak ada pesan dari Ki Padmanaba untuk menyerahkan pedang ini kepadamu, Nini!"
"Dia lupa menyebutkannya!"
"Kurasa tidak. Yang ada hanyalah pesan untuk menghabisi nyawamu, karena kau telah membunuhnya dengan keji, Nini!" kata Suto dengan tangan kanan mulai memegang pedang, tepat pada gagangnya.
Nini Pasung Jagat menjadi tegang, ia tahu kehebatan pedang itu, sehingga ia merasa cemas. Dalam batinnya ia berkata sendiri, "Pedang itu sangat berbahaya! Dipegang orang bodoh pun bisa membuat orang tersebut pandai memainkan jurus-jurus pedang maut, apalagi dipegang bocah sinting murid si Gila Tuak itu! Agaknya aku harus membujuknya dengan cara halus. Aku tak berani merebutnya dengan kasar. Tapi... sekarang tubuhku sudah menjadi sekeras baja! Kulitku tak bisa dilukai! Mengapa aku harus takut menyerangnya? Kurasa Pendekar Mabuk tak bisa dibujuk secara halus! Dia bukan orang bodoh. Jadi, aku memang harus merebutnya dengan pertarungan. Mudah-mudahan dia belum tahu kalau kulitku sudah sekeras baja dan tak mempan digores dengan senjata apa pun!"
Nini Pasung Jagat melangkah ke samping beberapa tindak, arahnya memutari Pendekar Mabuk. Tapi Sinting ikut bergerak memutar pelan-pelan. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang. Ia selalu mengambil posisi menyamping. Pedang terangkat di depan dada bersama sarungnya. Tapi belum dicabut. Karena sekali cabut, langsung akan berkelebat. Itu sebabnya Pendekar Mabuk mengambil posisi menyamping kanan dan bergerak terus supaya posisinya tetap sama dengan gerakan Nini Pasung Jagat.
"Kau memaksaku untuk merebutnya, Suto! Kau belum tahu siapa aku yang sekarang ini!"
"Kalau kau memang mampu merebutnya, Rebutlah! Itu berarti kau punya keberanian menghadapi anak sekecil aku, Nenek Kempot!"
"Jahanam kau..! Heaaah...!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk berkelebat bagai orang menyeberang jalan dengan cepatnya. Tak satu pun mata yang melihat gerakan Suto menyeberang melintasi tubuh Nini Pasung Jagat. Mereka tahu-tahu sudah melihat Suto berpindah posisi, pedangnya sudah dilepas dari sarung pedang, tapi sarung pedang tetap terangkat ke depan.
Nini Pasung Jagat diam di tempat. Berdiri agak membungkuk sedikit. Jari-jari tangannya begerak pelan. Ia masih memunggungi Suto. Suto sendiri tidak bergerak dari tempatnya. Namun matanya melirik tajam ke arah Nini Pasung Jagat.
"Habisi dia! Lekas habisi dia?" seru Kirana bagai tak sabar, karena ia melihat Pendekar Mabuk punya kesempatan untuk memenggal kepala Nini Pasung Jagat dari belakang. Kirana jadi geram dan gemas sendiri melihat Pendekar Mabuk tidak bergerak menebaskan pedangnya. Ia ingin maju, tapi tangannya ditahan oleh Jongos Daki.
"Biarkan dulu!" kata Jongos Daki mengingatkan.
Cukup lama kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama diam tak bergerak. Sementara orang-orang yang menonton dari depan pintu gerbang kuil mulai berteriak-teriak, sama dengan seruan Kirana. Mereka mendesak supaya Pendekar Mabuk cepat-cepat memenggal kepala Nini Pasung Jagat. Tetapi Pendekar Mabuk tidak menghiraukan teriakan mereka yang samar samar kedengarannya itu.
"Huuuhh...!" teriak mereka di sana setelah melihat Suto memasukkan pedang emas ke sarung pedang.
Sedangkan Kirana, Dewi Anjani, Jongos Daki, dan yang ada di bukit itu, memandang dengan mata tak berkedip. Mereka melihat cairan menetes dari bagian bawah perut Nini Pasung Jagat. Cairan itu bukan merah, melainkan kuning keemasan, seperti logam emas yang dipanaskan dan mencair. Tes... tes... tes...! Makin lama menjadi semakin banyak. Tubuh Nini Pasung Jagat masih diam mematung. Tangannya bergerak-gerak. Tetapi, kejap berikutnya, para penonton yang ada di belakang Suto itu menjadi terperangah kaget ketika tubuh Nini Pasung Jagat tumbang ke belakang.
Brukkk...!
Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, dari bagian bawah pusar sampai ke pertengahan kening Nini Pasung Jagat, ternyata terbelah tipis namun jelas dalam. Sabetan pedang Pendekar Mabuk membentuk garis lurus dari bawah pusar sampai ke pertengahan kening. Dan tak seorang pun yang melihat saat Pendekar Mabuk menyabetkan pedang emas itu ke tubuh Nini Pasung Jagat.
"Luar biasa...!" gumam Kirana semakin terkagum kagum kepada Suto.
Nini Pasung Jagat menghembuskan napas terakhir dalam keadaan mata terbuka lebar dan mulut ternganga sedikit. Rupanya kulit tubuh yang telah berubah menjadi sekeras baja itu hanya bisa dilukai oleh pedang emas tersebut. Nini Pasung Jagat lupa, selain pedang itu membuat seseorang bisa memainkan jurus pedang maut jika menggenggam pedang itu, pedang tersebut juga bisa memotong semua benda, sekalipun gunung baja yang menjulang tinggi. Dan setiap lawan yang terkena pedang tersebut, darahnya berubah kuning keemasan, namun cepat berbau busuk dan berubah menjadi hitam dalam setengah hari saja.
Rubuhnya Nini Pasung Jagat membuat orang-orang di depan gerbang kuil bersorak kegirangan. Sorak itu segera mereda dan hilang setelah seseorang muncul di tengah arena pertarungan tadi. Orang tersebut bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Dialah Logayo ketua perkumpulan atau perguruan sesat Kobra Hitam yang hampir gulung tikar. Kemunculan Logayo yang bergelar Dewa Murka, kali ini tidak didampingi oleh Rangka Cula. Mungkin karena tergesa-gesa dan bernafsu sekali melihat kelebatan pedang emas dari kejauhan, sehingga ia tidak sempat mengajak Rangka Cula.
Tetapi kemunculan itu membuat hati Kirana menjadi seperti ditusuk dengan seribu jarum berkarat. Dendam di dalam hatinya terbakar lagi. Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa ibu dan seorang kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana. Sekalipun waktu itu Logayo masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya, matanya yang lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang besar, suaranya yang berat dan besar itu juga, semuanya melekat erat dalam ingatan Kirana.
Pelan-pelan Kirana bangkit dengan jantung bergemuruh, berdebar-debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu orang itu yang belum dilenyapkan oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul di depan Pendekar Mabuk dan berkata dengan gaya memuakkan,
"Hebat sekali jurus pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat jurusmu yang luar biasa itu! Tapi kau menggunakan pedang emas milik Ki Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah mencuri pedang itu dari tangan bekas adik iparku, hah?!"
"Aku tak kenal siapa dirimu, Raksasa brewok!"
"O, kau belum mengenalku? Hua ha hahaha ! Kasihan betul kau ini! Aku adalah Logayo, si Dewa Murka, ketua Perguruan Kobra Hitam yang disegani banyak orang!"
"Tapi mengapa aku tidak merasa segan sedikitpun padamu?!"
Tawa itu lenyap seketika. Wajahnya menjadi bengis. Logayo memandang angker kepada Suto Sinting. Dengan melihat raut wajahnya yang begitu angker dan buas saja orang sudah bisa dibuat ketakutan, apalagi jika melihat murkanya. Logayo berkata dengan nada geram yang menyeramkan, "Jangan kau pancing nafsuku untuk membunuhmu. Anak Muda! Jangan lagi kau berkata begitu di depan orang-orang seperti saat ini! Kalau kau ucapkan lagi kata kata yang sama, kuremukkan kepalamu dengan kedua tanganku!" kedua tangannya saling meremas.
"Aneh. Kau bicara seperti itu, wajah dibuat seangker itu, tapi aku tak punya rasa takut sedikit pun padamu. Malah merasa geli!" Suto tertawa pendek dipaksakan.
"Ggrrr...! Kurang ajar betul kau!" geramnya semakin kuat. Tangannya menggenggam keras-keras dan mengepulkan asap putih bagai terbakar kedua genggamannya itu. Ia melangkah maju dua tindak. Jaraknya menjadi lebih dekat dengan Suto, sekitar tiga langkah. "Seharusnya kau kubunuh karena berkata begitu! Tapi sebagai jaminan dan tebusan, cukup kau serahkan pedang itu padaku! Karena aku adalah kakak ipar dari Ki Padmanaba!"
"Kalau kau menghendaki pedang ini, berarti kau menghendaki kematianmu, Logayo! Apakah kau belum jera dengan habisnya anak buahmu dengan Racun Getah Tengkorak itu?!"
Terperanjat Logayo mendengarnya. Merah wajahnya seketika itu. "Jadi kau yang menjadi manusia serba hitam dan memasang jerat melalui lentera kematian itu, hah?! Kau yang menyebar racun setan itu dan membuat matinya anak buahku itu, hah?!"
"Bukan aku, Logayo! Jangan salah duga!"
"Jika bukan kau, siapa?!" bentaknya.
"Aku...!" Tiba-tiba Kirana tampil sambil menyebutkan kata dengan keras. Ia menatap mata Logayo dengan beringas, seakan ingin menelan orang sebesar itu. Ia maju sampai berada di depan Pendekar Mabuk, seakan mengambil alih perkara itu dari Suto. "Akulah yang memasang lentera beracun itu, Logayo! Aku yang menghabisi anak buahmu! Karena kaulah yang membantai habis keluargaku, ketika kau dan kelima begundalmu itu menjadi perampok di rumahku atas perintah Lastri, bibiku sendiri itu!"
"Lastri Wiku...?! Ggrrr...! Rupanya kau anak Bantar Sogi yang paling bungsu itu, hah?!"
"Betul! Dan semua teman-temanmu sudah kubunuh untuk membayar hutang lamanya. Sekarang tinggal kau yang belum kulenyapkan, Logayo! Kau harus mati ditanganku!"
"Bocah dungu! Kumakan kau bulat-bulat sekarang juga! Grrr!" Logayo menggeram dan mengangkat kedua tangannya.
Tapi Kirana segera berkelebat ke belakang, tangan kanannya menyambar gagang pedang yang masih digenggam kuat oleh Suto. Pedang emas itu tercabut diluar dugaan Pendekar Mabuk. Bahkan kini Kirana dengan gerakan cepat berkelebat menerjang orang bertubuh besar seperti raksasa itu sambil menebaskan pedangnya dari bawah ke atas.
Brettt...!
"Ehhg...! gerakan Logayo terhenti seketika. Perutnya terbelah.
Semua orang melihat gerakan pedang itu membabat dari bawah ke atas. Kemudian dengan cepat pula, Kirana menghujamkan pedang itu, menusukkan ke arah jantung Logayo, "Hiaaahh...!"
Jrubbb...!
Pedang menghujam masuk ke jantung. Darah yang berubah menjadi kuning keemasan itu muncrat ke mana-mana. Logayo masih bisa mendelik dan bergerak-gerak ingin mencabut pedang itu. Tetapi tenaganya makin lemah. Tangannya menggapai ingin meraih rambut Kirana yang masih memengangi gagang pedang itu dengan kuat-kuat. Tapi tangan itu tak sempat menggapai rambut, jatuh lemas ke samping, mulutnya memuntahkan cairan kuning emas sebagai ganti warna merah pada darahnya. Kemudian tubuh dan kepalanya tampak terkulai lemas. Kirana menjejak tubuh besar itu dengan kuat untuk mencabut pedang yang tembus ke belakang punggung Logayo.
Dubb...! Wuttt...! Tubuh Logayo terpental ke belakang.
Slubb...! Pedang emaspun tercabut sudah. Kini digenggam oleh Kirana dengan dua tangan. Matanya memandang ganas ke mayat Logayo. Napasnya terengah-engah. Pedang masih berdiri tegak, siap disabetkan kapan saja.
"Kirana..." sapa Suto pelan dan hati-hati. "Kirana, sudah selesai sekarang...! Sudah cukup dendammu terlampiaskan..."
Kirana menatap Suto, mata gadis itu berkaca-kaca memandangnya. Kemudian, meleleh air matanya ketika ia terbayang wajah-wajah keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah kakak perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah menebuskan nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang terlibat dalam peristiwa perampokan di rumahnya itu.
Dengan matinya Logayo, pimpinan perampok dan pemerkosa kelima kakak serta ibunya itu, Kirana semakin menyadari bahwa sekarang hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia dalam pelukan Pendekar Mabuk, sementara Pendekar Mabuk pun berusaha menenangkan tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati Kirana.
Pedang emas telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Pendekar Mabuk pun segera menuntun Kirana untuk melangkah dalam rangkulan kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. Ketika menuruni bukit, mereka berpapasan dengan Embun Salju yang agaknya menyongsong kemenangan Pendekar Mabuk dalam melawan manusia berkulit baja itu. Buru-buru Kirana mengusap air matanya dan melepaskan rangkulan tangan Suto begitu ia melihat Embun Salju menjemputnya.
Sekejap, Embun Salju sempat berkata kepada Dewi Anjani dan kelima anak buahnya, "Suruh orang-orangnya Mahasi membuang mayat-mayat diatas bukit itu, Anjani!"
"Baik, Guru...!"
Kemudian, senyum menawan mekar di bibir Embun Salju ketika ia menatap ke arah Suto dan Kirana. Terucap kata olehnya, "Terima kasih, kau telah mengalahkan musuh kami yang paling berbahaya itu, Suto!"
"Berkat pedang pusaka milik adikmu, Nyai! Tanpa pedang ini mungkin aku belum bisa mengalahkannya!"
"Pedang itu memang dahsyat, Suto!" Embun Salju memandang kagum ke arah pedang pusaka itu. "Boleh kulihat bentuk ukirannya? Sepertinya punya arti tersendiri!"
"Kenapa tidak? Ini pedang adikmu, jadi kau punya hak untuk menyimpannya, Nyai! Aku bukan pewarisnya!" Pendekar Mabuk segera menyodorkan pedang itu dan diterima oleh Embun Salju.
"Tapi menurut pesan Ki Padmanaba," kata Kirana, "Siapa yan gbisa menemukan pedang emas itu, berarti dialah pewarisnya, Suto!"
"Kurasa itu perlu dibicarakan lebih lanjut dengan kakak Ki Padmanaba sendiri. Bukankah begitu, Nyai?!"
"Ya, memang perlu kita bicarakan! Tapi... tunggu!" tiba-tiba Nyai Guru Embun Salju menjadi tegang. Matanya melirik sekeliling. Lalu mata itu tertuju pada rimbunan pohon bambu yang ada di samping kaki Bukit Perawan itu.
"Ada apa, Nyai?" tanya Kirana.
"Seseorang sedang bersembunyi di sana kurasakan getaran batinnya, dia ingin merebut pedang ini! Sebentar, kucari dia!" Wuttt...! Embun Salju melesat pergi.
Suto tertegun memandang kearah rimbunan bambu. Kirana segera berkata, “Tak ingin kau kejar orang itu?!”
Suto menghembuskan napas. “Biarlah Nyai Embun Salju yang menanganinya! Kurasa ia tak akan celaka. Toh ia bersama pedang emas itu!”
Suto segera melangkah menuju ke kuil, Tetapi Kirana segara berkata, "Hatiku merasa tak enak dengan sikap Nyai Embun Salju tadi!”
“Tak enak bagaimana?"
Tiba-tiba Embun Salju datang dari arah kuil mendekati Suto dan Kirana. Mereka terkejut melihat Embun Salju tidak membawa pedang. "Suto...?! Jadi siapa yang yang mengubah diri menjadi Embun Salju?"
"Celaka! Mengapa Embun Salju bisa ada dua? Apakah dia mempunyai adik kembar atau mungkin kakak kembar?"
"Setahuku, dia tidak punya saudara kembar!" Kirana makin tegang. "Lalu... yang berkelebat ke rumpun bambu tadi siapa?"
Embun Salju mendekat dan memandang heran kepada Suto dan Kirana. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Suto?!"
"Nyai... apakah kau tadi menerima pedang emas dariku?!"
"Pedang emas? Oh, tidak! Aku baru saja mau mengucapkan selamat atas kemenanganmu dan terimakasih atas bantuanmu! Kami sudah menyiapkan pesta kecil untuk kalian!"
"Tapi... tapi tadi ada orang serupa dengan kau, Nyai!Dia meminjam pedang itu dan... dan berkelebat kearah rimbunan bambu! Kalau tak percaya, tanyakan kepada Dewi Anjani yang diberi perintah untuk membuang mayat-mayat di atas bukit itu!"
"Membuang mayat?! Aku tak pernah menyuruh anak buahku untuk membuang mayat! Setiap mayat yang mati di Tanah Merah ini pasti kusuruh menguburkannya baik-baik!" kata Embun Salju.
"Celaka! Celaka, Nyai! Pedang itu dibawa orang yang mirip kamu!"
"Persis...?"
"Persis sekali, Nyai!" jawab Kirana.
Embun Salju berkerut dahi dan termenung. Kemudian ia mengguman, "Hanya ilmu sihir yang bisa membuat seseorang bisa menirukan bentuk dan wajahku! Di sini orang yang bisa melakukan ilmu sihir seperti itu adalah Rangka Cula, anak buah Logayo yang kau bunuh itu, Kirana!"
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga, Nyai!" Pendekar Mabuk segera bergegas tapi Kirana menahannya,
"Aku ikut!"
Suto bingung menjawab. Haruskah ia membawa Kirana dalam mengejar pencuri pedang emas itu? Apakah tidak akan merepotkan dirinya nanti? Akan berhasilkah ia merebut pedang itu jika membawa Kirana?
Pada satu kesempatan, Dewi Anjani berhasil terpental dan hangus bagian punggungnya. Ia terluka kena pukulan telapak mautnya Nini Pasung Jagat. Dalam keadaan lemah Dewi Anjani merangkak mencari tempat aman. Tapi pada waktu itu, Nini Pasung Jagat sudah tiba di depannya.
Jlegg...!
"Serang dia supaya tidak mencelakakan Anjani!" kata temannya.
Maka mereka pun menyerangnya dengan pukulan jarak jauh secara bersamaan. Namun pukulan itu tidak ada yang melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat, dan karenanya tidak dihiraukan oleh nenek gila pusaka itu.
"Sudah saatnya tongkatku menghabisi nyawamu. Bocah Dungu! Hiaah!" Nini Pasung Jagat menancapkan tongkatnya ke punggung Dewi Anjani yang sudah tak sanggup melakukan apa-apa lagi itu. Tetapi tiba-tiba tubuh nenek tua itu terpental kesamping dan membentur sebatang pohon berakar pipih.
Brrukkk...!
"Monyeeeet...!" teriaknya dengan keras, ia pun segera bangkit. Suatu tenaga yang begitu besar telah dilepaskan oleh seseorang. Tenaga itu yang membuat Nini Pasung Jagat terpental jauh. Dan ketika ia bangkit memandang ke arah Dewi Anjani, rupanya di sana sudah berdiri lelaki berpakaian coklat dan celana putih, punggungnya menyandang bumbung tuak.
"Rupanya kau murid sinting si Gila Tuak itu! Hah...! Sangat kebetulan sekali kau hadir dalam keadaan tubuhku sudah menjadi sekeras baja begini! Kulampiaskan dendamku kepada si Gila Tuak di depanmu, Suto!"
"Hei," panggil Pendekar Mabuk kepada anak buah Dewi Anjani. "Bawa dia menjauhi! Sambil tangan kirinya menopang tubuh Dewi Anjani. Lalu, Dewi Anjani pun dibawa pergi menjauh oleh anak buahnya. Tapi mereka belum turun dari puncak bukit yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan di sisi lain pun muncul dua orang yang terengah-engah tegang. Mereka adalah Kirana dan Jongos Daki.
"Suto, habisi dia!" seru Kirana.
"Aku dengar!" seru Pendekar Mabuk tanpa menoleh pada Kirana. Ia berdiri dengan tegapnya. Tangan kiri memegang pedang emas dengan sarung pedangnya, tangan kanan siap melakukan gerakan secepat kilat.
Pada waktu itu, mata Nini Pasung Jagat tertuju pada pedang emas itu. Mata tua tersebut berbinar-binar. Bibirnya menyunggingkan senyum yang lebih cocok dikatakan sebagai seringai. "Aha...!Pedang Wukir Kencan ada ditanganmu, Suto?! Oooh...hoho ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu yang kucari-cari!"
"Barangkali kematian yang kau cari, bukan pedang ini, Nini!"
"Dengar Cah bagus kayak tikus...! Pedang itu adalah milik guruku, dan hanya murid-muridnya yang berhak memegang dan memiliki pedang emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena kau bukan murid Guru kami, Suto!"
"Tapi aku yang mendapat amanat dari Ki Padmanaba untuk menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti kamu, Nini!"
"Kalau kau nekat menggunakan pedang itu, maka kau akan mati termakan kutuk yang ada di dalam kekuatan pedang itu!"
Kirana berteriak dari jauh, "Jangan percaya,Suto!"
Pendekar Mabuk tersenyum memandangi Nini Pasung Jagat yang tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi Nini Pasung Jagat tidak menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil mengulurkan tangannya dengan pelan,
"Berikan padaku! Jika Ki Padmanaba sudah tiada, berarti akulah pewaris pedang emas itu!"
"Tak ada pesan dari Ki Padmanaba untuk menyerahkan pedang ini kepadamu, Nini!"
"Dia lupa menyebutkannya!"
"Kurasa tidak. Yang ada hanyalah pesan untuk menghabisi nyawamu, karena kau telah membunuhnya dengan keji, Nini!" kata Suto dengan tangan kanan mulai memegang pedang, tepat pada gagangnya.
Nini Pasung Jagat menjadi tegang, ia tahu kehebatan pedang itu, sehingga ia merasa cemas. Dalam batinnya ia berkata sendiri, "Pedang itu sangat berbahaya! Dipegang orang bodoh pun bisa membuat orang tersebut pandai memainkan jurus-jurus pedang maut, apalagi dipegang bocah sinting murid si Gila Tuak itu! Agaknya aku harus membujuknya dengan cara halus. Aku tak berani merebutnya dengan kasar. Tapi... sekarang tubuhku sudah menjadi sekeras baja! Kulitku tak bisa dilukai! Mengapa aku harus takut menyerangnya? Kurasa Pendekar Mabuk tak bisa dibujuk secara halus! Dia bukan orang bodoh. Jadi, aku memang harus merebutnya dengan pertarungan. Mudah-mudahan dia belum tahu kalau kulitku sudah sekeras baja dan tak mempan digores dengan senjata apa pun!"
Nini Pasung Jagat melangkah ke samping beberapa tindak, arahnya memutari Pendekar Mabuk. Tapi Sinting ikut bergerak memutar pelan-pelan. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang. Ia selalu mengambil posisi menyamping. Pedang terangkat di depan dada bersama sarungnya. Tapi belum dicabut. Karena sekali cabut, langsung akan berkelebat. Itu sebabnya Pendekar Mabuk mengambil posisi menyamping kanan dan bergerak terus supaya posisinya tetap sama dengan gerakan Nini Pasung Jagat.
"Kau memaksaku untuk merebutnya, Suto! Kau belum tahu siapa aku yang sekarang ini!"
"Kalau kau memang mampu merebutnya, Rebutlah! Itu berarti kau punya keberanian menghadapi anak sekecil aku, Nenek Kempot!"
"Jahanam kau..! Heaaah...!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk berkelebat bagai orang menyeberang jalan dengan cepatnya. Tak satu pun mata yang melihat gerakan Suto menyeberang melintasi tubuh Nini Pasung Jagat. Mereka tahu-tahu sudah melihat Suto berpindah posisi, pedangnya sudah dilepas dari sarung pedang, tapi sarung pedang tetap terangkat ke depan.
Nini Pasung Jagat diam di tempat. Berdiri agak membungkuk sedikit. Jari-jari tangannya begerak pelan. Ia masih memunggungi Suto. Suto sendiri tidak bergerak dari tempatnya. Namun matanya melirik tajam ke arah Nini Pasung Jagat.
"Habisi dia! Lekas habisi dia?" seru Kirana bagai tak sabar, karena ia melihat Pendekar Mabuk punya kesempatan untuk memenggal kepala Nini Pasung Jagat dari belakang. Kirana jadi geram dan gemas sendiri melihat Pendekar Mabuk tidak bergerak menebaskan pedangnya. Ia ingin maju, tapi tangannya ditahan oleh Jongos Daki.
"Biarkan dulu!" kata Jongos Daki mengingatkan.
Cukup lama kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama diam tak bergerak. Sementara orang-orang yang menonton dari depan pintu gerbang kuil mulai berteriak-teriak, sama dengan seruan Kirana. Mereka mendesak supaya Pendekar Mabuk cepat-cepat memenggal kepala Nini Pasung Jagat. Tetapi Pendekar Mabuk tidak menghiraukan teriakan mereka yang samar samar kedengarannya itu.
"Huuuhh...!" teriak mereka di sana setelah melihat Suto memasukkan pedang emas ke sarung pedang.
Sedangkan Kirana, Dewi Anjani, Jongos Daki, dan yang ada di bukit itu, memandang dengan mata tak berkedip. Mereka melihat cairan menetes dari bagian bawah perut Nini Pasung Jagat. Cairan itu bukan merah, melainkan kuning keemasan, seperti logam emas yang dipanaskan dan mencair. Tes... tes... tes...! Makin lama menjadi semakin banyak. Tubuh Nini Pasung Jagat masih diam mematung. Tangannya bergerak-gerak. Tetapi, kejap berikutnya, para penonton yang ada di belakang Suto itu menjadi terperangah kaget ketika tubuh Nini Pasung Jagat tumbang ke belakang.
Brukkk...!
Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, dari bagian bawah pusar sampai ke pertengahan kening Nini Pasung Jagat, ternyata terbelah tipis namun jelas dalam. Sabetan pedang Pendekar Mabuk membentuk garis lurus dari bawah pusar sampai ke pertengahan kening. Dan tak seorang pun yang melihat saat Pendekar Mabuk menyabetkan pedang emas itu ke tubuh Nini Pasung Jagat.
"Luar biasa...!" gumam Kirana semakin terkagum kagum kepada Suto.
Nini Pasung Jagat menghembuskan napas terakhir dalam keadaan mata terbuka lebar dan mulut ternganga sedikit. Rupanya kulit tubuh yang telah berubah menjadi sekeras baja itu hanya bisa dilukai oleh pedang emas tersebut. Nini Pasung Jagat lupa, selain pedang itu membuat seseorang bisa memainkan jurus pedang maut jika menggenggam pedang itu, pedang tersebut juga bisa memotong semua benda, sekalipun gunung baja yang menjulang tinggi. Dan setiap lawan yang terkena pedang tersebut, darahnya berubah kuning keemasan, namun cepat berbau busuk dan berubah menjadi hitam dalam setengah hari saja.
Rubuhnya Nini Pasung Jagat membuat orang-orang di depan gerbang kuil bersorak kegirangan. Sorak itu segera mereda dan hilang setelah seseorang muncul di tengah arena pertarungan tadi. Orang tersebut bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Dialah Logayo ketua perkumpulan atau perguruan sesat Kobra Hitam yang hampir gulung tikar. Kemunculan Logayo yang bergelar Dewa Murka, kali ini tidak didampingi oleh Rangka Cula. Mungkin karena tergesa-gesa dan bernafsu sekali melihat kelebatan pedang emas dari kejauhan, sehingga ia tidak sempat mengajak Rangka Cula.
Tetapi kemunculan itu membuat hati Kirana menjadi seperti ditusuk dengan seribu jarum berkarat. Dendam di dalam hatinya terbakar lagi. Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa ibu dan seorang kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana. Sekalipun waktu itu Logayo masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya, matanya yang lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang besar, suaranya yang berat dan besar itu juga, semuanya melekat erat dalam ingatan Kirana.
Pelan-pelan Kirana bangkit dengan jantung bergemuruh, berdebar-debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu orang itu yang belum dilenyapkan oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul di depan Pendekar Mabuk dan berkata dengan gaya memuakkan,
"Hebat sekali jurus pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat jurusmu yang luar biasa itu! Tapi kau menggunakan pedang emas milik Ki Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah mencuri pedang itu dari tangan bekas adik iparku, hah?!"
"Aku tak kenal siapa dirimu, Raksasa brewok!"
"O, kau belum mengenalku? Hua ha hahaha ! Kasihan betul kau ini! Aku adalah Logayo, si Dewa Murka, ketua Perguruan Kobra Hitam yang disegani banyak orang!"
"Tapi mengapa aku tidak merasa segan sedikitpun padamu?!"
Tawa itu lenyap seketika. Wajahnya menjadi bengis. Logayo memandang angker kepada Suto Sinting. Dengan melihat raut wajahnya yang begitu angker dan buas saja orang sudah bisa dibuat ketakutan, apalagi jika melihat murkanya. Logayo berkata dengan nada geram yang menyeramkan, "Jangan kau pancing nafsuku untuk membunuhmu. Anak Muda! Jangan lagi kau berkata begitu di depan orang-orang seperti saat ini! Kalau kau ucapkan lagi kata kata yang sama, kuremukkan kepalamu dengan kedua tanganku!" kedua tangannya saling meremas.
"Aneh. Kau bicara seperti itu, wajah dibuat seangker itu, tapi aku tak punya rasa takut sedikit pun padamu. Malah merasa geli!" Suto tertawa pendek dipaksakan.
"Ggrrr...! Kurang ajar betul kau!" geramnya semakin kuat. Tangannya menggenggam keras-keras dan mengepulkan asap putih bagai terbakar kedua genggamannya itu. Ia melangkah maju dua tindak. Jaraknya menjadi lebih dekat dengan Suto, sekitar tiga langkah. "Seharusnya kau kubunuh karena berkata begitu! Tapi sebagai jaminan dan tebusan, cukup kau serahkan pedang itu padaku! Karena aku adalah kakak ipar dari Ki Padmanaba!"
"Kalau kau menghendaki pedang ini, berarti kau menghendaki kematianmu, Logayo! Apakah kau belum jera dengan habisnya anak buahmu dengan Racun Getah Tengkorak itu?!"
Terperanjat Logayo mendengarnya. Merah wajahnya seketika itu. "Jadi kau yang menjadi manusia serba hitam dan memasang jerat melalui lentera kematian itu, hah?! Kau yang menyebar racun setan itu dan membuat matinya anak buahku itu, hah?!"
"Bukan aku, Logayo! Jangan salah duga!"
"Jika bukan kau, siapa?!" bentaknya.
"Aku...!" Tiba-tiba Kirana tampil sambil menyebutkan kata dengan keras. Ia menatap mata Logayo dengan beringas, seakan ingin menelan orang sebesar itu. Ia maju sampai berada di depan Pendekar Mabuk, seakan mengambil alih perkara itu dari Suto. "Akulah yang memasang lentera beracun itu, Logayo! Aku yang menghabisi anak buahmu! Karena kaulah yang membantai habis keluargaku, ketika kau dan kelima begundalmu itu menjadi perampok di rumahku atas perintah Lastri, bibiku sendiri itu!"
"Lastri Wiku...?! Ggrrr...! Rupanya kau anak Bantar Sogi yang paling bungsu itu, hah?!"
"Betul! Dan semua teman-temanmu sudah kubunuh untuk membayar hutang lamanya. Sekarang tinggal kau yang belum kulenyapkan, Logayo! Kau harus mati ditanganku!"
"Bocah dungu! Kumakan kau bulat-bulat sekarang juga! Grrr!" Logayo menggeram dan mengangkat kedua tangannya.
Tapi Kirana segera berkelebat ke belakang, tangan kanannya menyambar gagang pedang yang masih digenggam kuat oleh Suto. Pedang emas itu tercabut diluar dugaan Pendekar Mabuk. Bahkan kini Kirana dengan gerakan cepat berkelebat menerjang orang bertubuh besar seperti raksasa itu sambil menebaskan pedangnya dari bawah ke atas.
Brettt...!
"Ehhg...! gerakan Logayo terhenti seketika. Perutnya terbelah.
Semua orang melihat gerakan pedang itu membabat dari bawah ke atas. Kemudian dengan cepat pula, Kirana menghujamkan pedang itu, menusukkan ke arah jantung Logayo, "Hiaaahh...!"
Jrubbb...!
Pedang menghujam masuk ke jantung. Darah yang berubah menjadi kuning keemasan itu muncrat ke mana-mana. Logayo masih bisa mendelik dan bergerak-gerak ingin mencabut pedang itu. Tetapi tenaganya makin lemah. Tangannya menggapai ingin meraih rambut Kirana yang masih memengangi gagang pedang itu dengan kuat-kuat. Tapi tangan itu tak sempat menggapai rambut, jatuh lemas ke samping, mulutnya memuntahkan cairan kuning emas sebagai ganti warna merah pada darahnya. Kemudian tubuh dan kepalanya tampak terkulai lemas. Kirana menjejak tubuh besar itu dengan kuat untuk mencabut pedang yang tembus ke belakang punggung Logayo.
Dubb...! Wuttt...! Tubuh Logayo terpental ke belakang.
Slubb...! Pedang emaspun tercabut sudah. Kini digenggam oleh Kirana dengan dua tangan. Matanya memandang ganas ke mayat Logayo. Napasnya terengah-engah. Pedang masih berdiri tegak, siap disabetkan kapan saja.
"Kirana..." sapa Suto pelan dan hati-hati. "Kirana, sudah selesai sekarang...! Sudah cukup dendammu terlampiaskan..."
Kirana menatap Suto, mata gadis itu berkaca-kaca memandangnya. Kemudian, meleleh air matanya ketika ia terbayang wajah-wajah keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah kakak perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah menebuskan nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang terlibat dalam peristiwa perampokan di rumahnya itu.
Dengan matinya Logayo, pimpinan perampok dan pemerkosa kelima kakak serta ibunya itu, Kirana semakin menyadari bahwa sekarang hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan tujuan yang pasti. Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia dalam pelukan Pendekar Mabuk, sementara Pendekar Mabuk pun berusaha menenangkan tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati Kirana.
Pedang emas telah dimasukkan ke dalam sarungnya. Pendekar Mabuk pun segera menuntun Kirana untuk melangkah dalam rangkulan kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. Ketika menuruni bukit, mereka berpapasan dengan Embun Salju yang agaknya menyongsong kemenangan Pendekar Mabuk dalam melawan manusia berkulit baja itu. Buru-buru Kirana mengusap air matanya dan melepaskan rangkulan tangan Suto begitu ia melihat Embun Salju menjemputnya.
Sekejap, Embun Salju sempat berkata kepada Dewi Anjani dan kelima anak buahnya, "Suruh orang-orangnya Mahasi membuang mayat-mayat diatas bukit itu, Anjani!"
"Baik, Guru...!"
Kemudian, senyum menawan mekar di bibir Embun Salju ketika ia menatap ke arah Suto dan Kirana. Terucap kata olehnya, "Terima kasih, kau telah mengalahkan musuh kami yang paling berbahaya itu, Suto!"
"Berkat pedang pusaka milik adikmu, Nyai! Tanpa pedang ini mungkin aku belum bisa mengalahkannya!"
"Pedang itu memang dahsyat, Suto!" Embun Salju memandang kagum ke arah pedang pusaka itu. "Boleh kulihat bentuk ukirannya? Sepertinya punya arti tersendiri!"
"Kenapa tidak? Ini pedang adikmu, jadi kau punya hak untuk menyimpannya, Nyai! Aku bukan pewarisnya!" Pendekar Mabuk segera menyodorkan pedang itu dan diterima oleh Embun Salju.
"Tapi menurut pesan Ki Padmanaba," kata Kirana, "Siapa yan gbisa menemukan pedang emas itu, berarti dialah pewarisnya, Suto!"
"Kurasa itu perlu dibicarakan lebih lanjut dengan kakak Ki Padmanaba sendiri. Bukankah begitu, Nyai?!"
"Ya, memang perlu kita bicarakan! Tapi... tunggu!" tiba-tiba Nyai Guru Embun Salju menjadi tegang. Matanya melirik sekeliling. Lalu mata itu tertuju pada rimbunan pohon bambu yang ada di samping kaki Bukit Perawan itu.
"Ada apa, Nyai?" tanya Kirana.
"Seseorang sedang bersembunyi di sana kurasakan getaran batinnya, dia ingin merebut pedang ini! Sebentar, kucari dia!" Wuttt...! Embun Salju melesat pergi.
Suto tertegun memandang kearah rimbunan bambu. Kirana segera berkata, “Tak ingin kau kejar orang itu?!”
Suto menghembuskan napas. “Biarlah Nyai Embun Salju yang menanganinya! Kurasa ia tak akan celaka. Toh ia bersama pedang emas itu!”
Suto segera melangkah menuju ke kuil, Tetapi Kirana segara berkata, "Hatiku merasa tak enak dengan sikap Nyai Embun Salju tadi!”
“Tak enak bagaimana?"
Tiba-tiba Embun Salju datang dari arah kuil mendekati Suto dan Kirana. Mereka terkejut melihat Embun Salju tidak membawa pedang. "Suto...?! Jadi siapa yang yang mengubah diri menjadi Embun Salju?"
"Celaka! Mengapa Embun Salju bisa ada dua? Apakah dia mempunyai adik kembar atau mungkin kakak kembar?"
"Setahuku, dia tidak punya saudara kembar!" Kirana makin tegang. "Lalu... yang berkelebat ke rumpun bambu tadi siapa?"
Embun Salju mendekat dan memandang heran kepada Suto dan Kirana. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Suto?!"
"Nyai... apakah kau tadi menerima pedang emas dariku?!"
"Pedang emas? Oh, tidak! Aku baru saja mau mengucapkan selamat atas kemenanganmu dan terimakasih atas bantuanmu! Kami sudah menyiapkan pesta kecil untuk kalian!"
"Tapi... tapi tadi ada orang serupa dengan kau, Nyai!Dia meminjam pedang itu dan... dan berkelebat kearah rimbunan bambu! Kalau tak percaya, tanyakan kepada Dewi Anjani yang diberi perintah untuk membuang mayat-mayat di atas bukit itu!"
"Membuang mayat?! Aku tak pernah menyuruh anak buahku untuk membuang mayat! Setiap mayat yang mati di Tanah Merah ini pasti kusuruh menguburkannya baik-baik!" kata Embun Salju.
"Celaka! Celaka, Nyai! Pedang itu dibawa orang yang mirip kamu!"
"Persis...?"
"Persis sekali, Nyai!" jawab Kirana.
Embun Salju berkerut dahi dan termenung. Kemudian ia mengguman, "Hanya ilmu sihir yang bisa membuat seseorang bisa menirukan bentuk dan wajahku! Di sini orang yang bisa melakukan ilmu sihir seperti itu adalah Rangka Cula, anak buah Logayo yang kau bunuh itu, Kirana!"
"Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga, Nyai!" Pendekar Mabuk segera bergegas tapi Kirana menahannya,
"Aku ikut!"
Suto bingung menjawab. Haruskah ia membawa Kirana dalam mengejar pencuri pedang emas itu? Apakah tidak akan merepotkan dirinya nanti? Akan berhasilkah ia merebut pedang itu jika membawa Kirana?
SELESAI