Titisan Ilmu Setan

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Titisan Ilmu Setan karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Titisan Ilmu Setan
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
JERITAN yang melengking tinggi itu seakan menggema ke seluruh jagat raya. Begitu keras dan panjangnya, sehingga orang yang ada di balik bukit itu pun bisa tersentak mendengarnya. Begitu pula dengan seorang pemuda yang masih tergeletak malas, bangun dari pembaringannya di atas pohon. Pemuda itu terkejut ketika mendengar jeritan yang menandakan sebagai jerit kematian. Ia segera bangkit dari rebanannya, dan menempatkan bumbung tempat tuaknya ke punggung. Pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih itu melompat turun dari atas pohon berketinggian tujuh tombak.

Jlegg...! Dengan ringannya kedua kaki kekar itu menapak di tanah perbukitan. Matanya yang berbentuk indah tapi punya ketajaman yang mempesona itu segera memandang ke arah barat. Dahinya berkerut sebentar pertanda merasa aneh dengan jeritan yang cepat lenyap dari pendengarannya itu. Pemuda itu belum bergegas pergi. Ia masih memikirkan langkahnya untuk menengok ke arah barat, ke sumber jeritan tadi, atau membiarkannya saja.

Yang jelas, pemuda itu kembali meneguk tuaknya dengan mendongakkan kepala, menuangkan tuak dari bumbungnya, dan menelan air tuak itu beberapa teguk. Hanya satu orang yang punya kebiasaan meneguk tuak di sembarang tempat dan dalam suasana apa saja. Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak, yang mempunyai gelar tak asing lagi, yaitu Pendekar Mabuk.

Apa yang terjadi di sebelah barat adalah sesuatu yang tak diduga-duga oleh setiap orang. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, sedang berhadapan dengan seorang lelaki kurus, ceking, dan berkulit pucat. Wajahnya angker, matanya sipit tapi berkesan cekung dan bengis. Rambutnya panjang sebatas punggung, tapi tipis danacak-acakan.

Lelaki itu mengenakan jubah abu-abu dan celana merah, sedangkan bagian dalamnya tidak mengenakan baju, sehingga tulang iganya terlihat bertonjolan, sebab jubahnya sendiri tidak menutup bagian dada dan perut. Laki-laki itu menggenggam sebuah senjata berupa kapak bergagang panjang warna merah, mempunyai dua sisi tajam di kanan-kirinya. Kedua kapak itu mempunyai ukuran lebar dan tipis. Pada sisi kedua mata kapak yang tajam itu berbentuk sedikit lengkung ke dalam, seakan pas untuk sebatang leher manusia.

Perempuan muda itu masih tegar berdiri di depan si lelaki lawannya. Ia mempunyai rambut panjang yang disanggul membentuk kucir besar dan dililiti kain pengikat mirip tali. Sisa rambutnya dibiarkan meriap ke samping kanan-kirinya. Ia mengenakan pakaian biru muda dengan sabuk merah di pinggangnya. Tempat pedang masih terselempang di punggungnya yang berkulit kuning langsat.

Di tanah sekitar mereka, sudah ada tiga mayat terkapar berlumur darah. Perempuan muda yang berparas cantik jelita itu, telah menumbangkan ketiga mayat tersebut dengan menggunakan sebilah pedang berujung runcing bagaikan pisau panjang. Pedang itu mempunyai dua sisi yang ketajamannya melebihi sebuah pisau cukur.

Melihat tiga korban telah jatuh tak bernyawa, lelaki bermata bengis itu semakin tampak bernafsu untuk membunuh gadis di depannya. Dengan suaranya yang menggeram menahan kebencian, lelaki itu berkata kepada lawannya, "Dosamu kepadaku semakin bertambah, Arum Kafan! Sudah tak ada ampun lagi yang tersisa untukmu!"

Perempuan yang dipanggil Arum Kafan itu menjawab dengan wajah tanpa senyum sedikit pun, dengan mata memandang tajam dan dingin, seakan tak mau kalah bengis dengan mata lawannya. "Aku tak pernah mengharap ampunan darimu, Tulang Neraka! Apa yang ingin kau lakukan padaku, lakukanlah sepanjang kau mampu melakukannya! Tapi kau pun harus bersiap-siap kehilangan nyawamu seperti kedua adikmu dan satu kakakmu itu, Tulang Neraka!"

Lelaki yang berjuluk Tulang Neraka itu, ternyata adik dan kakak dari ketiga orang yang telah dibunuh oleh Arum Kafan di tempat itu juga. Rupanya mereka adalah empat bersaudara yang berhadapan dengan satu musuh mereka, yaitu perempuan cantik tersebut. Apa masalahnya, belum jelas. Yang sudah pasti, Tulang Neraka merasa sangat sakit hati melihat ketiga saudaranya mati di tangan Arum Kafan. Kapak dua mata yang berpenampang lebar itu digenggam kuat pada bagian pertengahan gagangnya! Tulang Neraka melangkah berkeliling pelan-pelan sambil berkata penuh geram,

"Bukan hanya tubuhmu yang akan kucacah-cacah di sini, Arum Kafan, tapi kedua tubuh adikmu pun akan kuburu dan kucacah-cacah sama seperti aku mencacah tubuhmu!"

"Jangan banyak bicara, Tulang Neraka! Kita selesaikan secepatnya dendam leluhur ini supaya jelas, siapa yang binasa di antara dua keluarga kita!" seru Arum Kafan tak mau kalah gertak.

Maka dengan gerakan cepat, Tulang Neraka melompat menerjang Arum Kafan. Kapaknya ditebaskan ke arah leher Arum Kafan. Tetapi perempuan berpedang runcing itu mengibaskan pedangnya sambil merendahkan tubuh, sehingga gerakan kapak tertahan di pertengahan jalan.

Trangng...!

Kaki perempuan cantik itu menendang ke perut Tulang Neraka. Wutt! Behgg...! Tubuh kurus ceking berusia sekitar empat puluh tahun itu terpental mundur lebih dari tiga tombak jauhnya. Ia jatuh menimpa semak-semak hingga terdengar suara gemeresak dengan jelas sekali. Tapi dengan sentakan pinggangnya, lelaki berjubah abu-abu itu bisa melentik bagai belalang, dan kembali berdiri dengan sigap. Wajahnya sedikit dimiringkan agar bisa memandang dengan melirik sadis.

"Heeaah...!" tiba-tiba ia menyentakkan tangan kirinya ke depan. Dari tangan kiri itu melesat seberkas sinar, warnanya kuning kemerahan, berbentuk seperti tongkat panjang satu hasta.

Wuttt...! Sinar kuning kemerahan itu melesat dengan cepat ke Arum Kafan. Tapi Arum Kafan tak kalah sigap. Dengan satu sentakan tangan kirinya pula ia melepaskan pukulan tenaga dalam yang mempunyai berkas sinar warna hijau. Kedua sinar itu bertemu di pertengahan jarak, dan saling membentur menimbulkan ledakan dahsyat.

Duarrr...!

Asap mengepul warna gelap. Kejap berikutnya menghilang lenyap. Tapi sinar hijau itu masih ada dan diam di tempat benturannya tadi. Sinar itu tidak ikut pecah dan bahkan kembali bergerak setelah berhenti di udara beberapa kejap tadi.

Tulang Neraka terbelalak kaget melihat sinar hijaunya Arum Kafan masih ada di tempat dan sekarang sedang menyerangnya dengan kecepatan tinggi. Maka, cepat-cepat Tulang Neraka melompat ke samping dan membuat sinar hijau itu lolos darinya, menghantam sebatang pohon dibelakangnya.

Blarrr...! Sinar itu menimbulkan ledakan kembali. Anehnya pohon itu tidak hancur dan masih utuh. Bahkan daunnya tak ada yang gugur satu helai pun.

Tulang Neraka memandang pohon itu sebentar, lalu tersenyum sinis meremehkan kekuatan sinar hijaunya Arum Kafan. Ia berkata dengan nada melecehkan jurus Arum Kafan, "Ternyata jurusmu hanya jurus untuk menipu anak kecil! Tak punya kekuatan apa pun, selain kekuatan menipu pandangan orang!"

"Sayang sekali tidak mengenai tubuhmu, Tulang Neraka!"

"Seandainya mengenai tubuhku pun tak akan menjadi masalah bagiku! Sama saja aku tersengat puntung tembakau, atau..."

Tulang Neraka tidak melanjutkan ucapannya. Karena tiba-tiba datang angin kencang dan pohon itu rusak terhembus angin, bagaikan gugusan abu yang membentuk sebuah pohon. Bahkan kurang dari satu helaan napas, pohon itu telah hilang dari wujud aslinya. Berubah menjadi debu yang beterbangan terbawa angin.

Mata bengis Tulang Neraka sempat tak berkedip. Ia meneguk ludahnya sendiri menyaksikan kehebatan sinar hijaunya Arum Kafan. Tak disangka ternyata sinar itu mampu membuat pohon itu tetap berbentuk sebagaimana aslinya, tapi sebenarnya sudah hangus menjadi debu yang lembut dan tak bisa dipegang lagi.

"Edan! Kalau tadi tubuhku yang kena pukulannya pasti aku sudah menjadi debu seperti pohon itu," kata Tulang Neraka dalam hatinya. "Rupanya dia sudah melepaskan jurus andalannya, sekarang giliran aku yang melepaskan jurus andalanku!"

Dengan suara keras, Tulang Neraka berseru, "Arum Kafan, kau boleh bangga dengan pamer ilmu seperti itu padaku. Tapi kau pun harus menerima akibatnya dari kesombonganmu tadi. Kukirimkan jurus 'Brajagina' ini untuk menyambut kematianmu, Arum Kafan! Heaah...!"

Tulang Neraka meluruskan kapaknya ke depan, mengarah kepada Arum Kafan. Kapak itu dipegang dengan tangan kiri, dan tangan kanannya menghantam ujung gagang kapak warna merah itu. Telapak tangan kanannya merapat lekat di ujung gagang kapak. Tubuhnya sedikit miring dan berdiri agak merendah. Tubuh itu gemetar bagai sedang mengerahkan satu kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat.

Bersamaan dengan sikapnya begitu, dari kedua mata kapak yang lebar itu terlepaslah dua sinar patah-patah warna merah bening. Sinar merah bening itu keluar dari mata kapak secara beruntun dan menerjang tubuh Arum Kafan. Kedua mata kapak pun menyala merah membara.

Sinar merah patah-patah yang beruntun menyerang itu salah satunya bisa dihadang oleh telapak tangan Arum Kafan yang menjadi menyala hijau sebatas pergelangan tangannya. Ia menahan sinar itu di depan dadanya dengan telapak tangan terbuka. Tapi seberkas sinar yang kiri tak bisa tertahan lagi karena pedangnya meleset ketika ingin menghadangnya. Seberkas sinar itu menembus bagian bawah pundak Arum Kafan.

Jrabbb...!

"Aaahg...!" Arum Kafan tersentak ke belakang, oleng dan akhirnya jatuh. Pundaknya menjadi hangus seketika. Hitam. Bahkan pakaiannya yang dikenakan itu mulai menyalakan api dan terbakar. Arum Kafan terguling-guling sambil menjerit kesakitan. Pedangnya sampai lepas dari genggaman tangan. Kehangusan itu ternyata berjalan terus sampai ke lengan batas siku. Arum Kafan seperti dibakar hidup-hidup. Tingkahnya yang kelabakan ditertawakan oleh Tulang Neraka.

"Ha ha ha ha...! Makanlah habis jurus Brajagina'-ku itu! Ha ha ha ha ha...! Arum Kafan, kuselesaikan tugas ku mencabut nyawamu saat ini juga! Hiaaat...!"

Tulang Neraka berkelebat melompat sambil mengangkat kapaknya untuk ditebaskan ke bawah begitu tiba di tanah samping Arum Kafan. Tapi sebentuk bayangan tak jelas telah membuatnya kalang kabut karena berkelebat cepat menabrak dirinya.

Bruss...!

Tulang Neraka seperti diseruduk tiga banteng yang mengamuk. Tubuh Tulang Neraka terpental lebih dari lima tombak jauhnya. Ketika ia jatuh dalam keadaan miring, ia sempat melihat sesosok manusia muda berbaju coklat dan celana putih. Pemuda itu segera menghampiri Arum Kafan. Mengangkat kepala Arum yang tersentak-sentak karena menahan rasa panas yang mulai menjalar sampai di perutnya.

Dalam keadaan mulut ternganga itu, Arum Kafan merasa ada yang menuangkan cairan ke mulutnya. Rasa panas membuat Arum Kafan menelan cepat-cepat cairan yang ternyata tuak itu. Beberapa teguk tuak di telannya, kemudian kepalanya diletakkan di rerumputan kembali oleh si pendatang tak dikenal itu.

Suto Sinting sudah berdiri di sana. Matanya memperhatikan si Tulang Neraka dengan tenang dan kalem. Tulang Neraka saat itu sedang berusaha bangkit dengan menyeringai kesakitan. Tapi matanya yang menyipit karena menahan sakit itu tiba-tiba jadi terbelalak terbuka cepat. Ada sesuatu yang mengejutkan dirinya. Ada sesuatu yang dicari-carinya. Tanpa sadar ia bicara sendiri,

"Mana kapakku...?! Mana senjataku?! Lho... mana...?!" Kapak itu telah lenyap dari tangan Tulang Neraka. Dicari ke mana-mana tetap tak ada. Tulang Neraka tak tahu, bahwa Suto Sinting telah menyemburkan tuaknya saat menabrakkan diri ke tubuhnya. Kapak itu terkena ilmu 'Sembur Siluman' si Pendekar Mabuk, yang dapat membuat benda menjadi lenyap setelah terkena semburannya.

Sedangkan keadaan Arum Kafan saat itu menjadi tenang kembali. Bukan hanya Tulang Neraka yang merasa terheran-heran melihat Arum Kafan berkulit kuning langsat itu sehat kembali, tapi Arum Kafan sendiri merasa heran dengan keadaannya yang lekas pulih itu. Rasa panas akibat hantaman sinar biru tadi telah hilang. Bahkan kulitnya yang hangus pun lenyap dan kembali mulus. Tapi luka bakar pada pakaiannya masih belum hilang dan menghitam robek, walau tidak panas dan tidak mengepulkan asap sedikit pun. Rupanya tuak yang diminumnya tadi adalah obat mujarab yang punya kekuatan sungguh ajaib.

"Jahanam kusut!" geram Tulang Neraka sambil matanya mendelik memandang Suto Sinting. "Kau pasti Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Benar, bukan?!"

"Benar! Tapi aku tidak kenal siapa dirimu, kalau tidak aku mendengar perempuan itu memanggilmu Tulang Neraka!"

"Bagus. Kau telah mengaku di depanku, sehingga aku lebih bangga jika bisa membunuhmu! Tapi aku ingin tahu, mengapa kau memihak Arum Kafan? Apakah karena dia cantik dan kau tertarik?!"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis berkesan sinis.

"Jika kau tertarik dengan perempuan itu, kau harus tahu, Pendekar Mabuk, bahwa perempuan itu adalah perempuan iblis yang tak pantas mendapat suami atau kekasih dari siapa pun! Kau akan mati dalam keadaan terhisap darahnya jika kau bercumbu dengannya! Dia adalah perempuan penghisap darah yang harus dilenyapkan! Sama seperti kakaknya yang bernama Dewi Taring Ayu!"

"Itu urusan dia, bukan urusanku! Aku menyelamatkan dia karena kau bertarung tidak dengan ksatria! Kau ingin menghancurkan orang yang telah terluka parah dan akan mati dengan sendirinya. Kedua, karena aku kenal namamu Tulang Neraka, maka aku ingat cerita yang dituturkan oleh para tamu di sebuah kedai tempat minum, bahwa Tulang Neraka adalah satu dari keempat bersaudara yang menamakan diri Empat Raja Sesat. Pekerjaan kalian merampok, memperkosa, mengganggu ketenangan orang lain, dan ingin menguasai rimba persilatan dengan mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Kalian berempatlah yang membawa orang-orang untuk berjalan di tempat yang sesat."

"Ini urusan antar keluarga, Pendekar Mabuk! Kau tak bisa ikut campur dalam hal ini!" bantah Tulang Neraka.

"Memang, mungkin saja perkaramu dengan Arum Kafan adalah perkara urusan keluarga. Tapi pada saat ini aku berdiri sebagai sang pembela kebenaran, pembasmi kejahatan, dan pembantai manusia-manusia sesat seperti dirimu!"

"Lagakmu benar-benar seperti jagoan, Pendekar Mabuk!"

"Terima kasih atas pengakuanmu secara tak langsung!"

"Rupanya kau pantas mendapat pelajaran berat dariku!Hiaaah...!" Serta-merta tangan kanan Tulang Neraka menyentak ke depan dengan curahan tenaga dalamnya. Dan dari tangan kanan itu melesatlah sinar biru bergumpal-gumpal bersamaan asap yang menebal. Sinar biru itu sebesar kepalan tangannya dan menghantam tubuh Suto Sinting.

Tetapi oleh Pendekar Mabuk sinar itu ditangkisnya menggunakan bumbung tuaknya. Debb!

Wukkk...!

Sinar biru bercampur asap itu membalik arah, menjadi lebih cepat gerakannya, lebih besar bentuknya, dan menghantam dada ceking Tulang Neraka. Dan begitu melihat pukulan sinar birunya membalik ke arahnya, Tulang Neraka cepat melompat dalam satu kelebatan kilat. Tapi tetap saja terlambat sedikit.

Sebuah pohon di belakangnya terhantam sinar biru sebesar buah kelapa itu. Dan pecahlah sinar biru serta pohon itu menjadi serpihan-serpihan tajam.

Blarrr...!

Sinar biru itu seperti kaca yang pecah dan pecahannya menerjang tubuh Tulang Neraka. Serpihan kaca itu masuk sebagian ke tubuh Tulang Neraka dan membuat tubuh itu segera menjadi hijau kebiru-biruan dengan mulut memuncratkan darah segar.

"Uhgg...!" Tulang Neraka terbungkuk-bungkuk dan sempoyongan. Sambil melelehkan darah dari mulutnya, ia memandang Suto Sinting dan berusaha menuding dengan mengucapkan kata, "Awas...! Tunggu pembalasanku...!"

Suto tidak bergeming. Memandang dengan bibir tersungging senyum ketenangan. Ia membiarkan Tulang Neraka pergi meninggalkan tempat itu dengan gerakan secepat mungkin.

Arum Kafan bangkit dan mengejarnya. Tapi kaki Pendekar Mabuk menjegal gerakan langkah Arum Kafan, sehingga perempuan itu jatuh tersungkur ke depan.

Gabrusss...!

"Monyet...!" rutuknya dengan geram dan gemas sekali.

"Biarkan dia pergi! Dia sudah terluka. Siapa tahu lukanya membuatnya jera untuk tidak melanjutkan perjalanan sesatnya lagi!"

Arum Kafam mendengus kesal sambil berdiri menatap Suto. Dengan nada ketus ia berkata, "Kau terlalu banyak ikut campur dalam perkara ini!"

"Kalau aku tak ikut campur kau telah mati dari tadi!"

"Tapi Tulang Neraka pun akan mati juga bersamaku! Aku sudah siapkan senjata rahasia untuknya! Sayang kau datang dan mengacaukan urusanku dengannya!"

"Sudahlah, jangan marah padaku! Aku hanya ingin menyelamatkan nyawamu dari tangan orang sesat itu!"

"Aku tidak butuh seorang penyelamat!" Arum Kafan semakin geram.

"Tapi aku butuh orang seperti kamu, yang tahu tentang Kitab Lontar Gegana!"

Terkesiap mata Arum Kafan begitu Pendekar Mabuk menyebutkan nama Kitab Lontar Gegana. Berkerut dahi Suto, berkerut juga dahi Arum Kafan menatap pemuda tampan itu. Ia heran kepada Suto, sedangkan Suto curiga dengan sesuatu suara yang ditangkap oleh pendengarannya. Suara yang dicurigai itu ada di belakangnya. Suara itu seperti suara langkah orang menginjak rumputpelan-pelan.

Maka dengan kelebat cepat Pendekar Mabuk melepaskan pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar dengan gerakan memutar balik dan menyentakkan tangan kirinya. Wuttt...!

Brasss...! Semak-semak diterjang pukulan jarak jauh itu, dan seseorang melompat keluar dari sana sambil menyerukan pekik yang tertahan.

"Uuhg...!" Orang itu melompat bukan karena menghindar, tapi karena terpental oleh kekuatan pukulan jarak jauh Pendekar Mabuk. Orang itu sempat melayang dan jatuh di bawah gugusan tanah cadas setinggi tiga tombak itu.

Breggh...!

Arum Kafan memandang dengan mata terbuka lebar dan mulutnya segera menyerukan suara, "Delima Ungu...?!"

"Siapa dia? Kudengar dia melangkah mendekati kita untuk mencuri dengar percakapan kita! Haruskah dia kulenyapkan juga?"

"Jangan! Dia adik bungsuku!" kata Arum Kafan. Lalu, tampak olehnya Suto menghembuskan napas lega, melepas ketegangannya. Arum Kafan pun segera menghampiri adik bungsunya, gadis muda yang punya tahi lalat di tepian sudut bibir bawahnya.

"Aih, gila! Yang itu cantik juga seperti Arum Kafan?!" gumam Pendekar Mabuk memuji kagum kecantikan kakak-beradik itu.

* * *

DUA
TERNYATA Arum Kafan masih mempunyai satu adik lagi yang kecantikannya sukar dibandingkan dengan Delima Ungu. Ketika Suto diajak singgah ke rumah keluarga Arum Kafan di lembah sunyi itu, Suto Sinting sempat tertegun memandangi ketiga perempuan muda yang punya kecantikan sama, walau wajah tak terlalu persis serupa. Masing-masing mempunyai kelebihan dalam kecantikannya, sehingga sulit bagi seorang lelaki jika harus memilih satu di antara ketiganya. Bahkan mungkin bagi lelaki yang rakus, ia akan memilih ketiga-tiganya daripada harus memilih salah satu dengan bingung.

Adik Arum Kafan yang satu itu bernama Kembang Darah. Tentu saja nama itu adalah nama julukan yang mereka pilih sendiri dengan alasan masing-masing. Kembang Darah adalah adik Arum Kafan dan kakak dari Delima Ungu. Jika pakaian Delima Ungu berwarna ungu muda, dengan rambut lurus sepunggung memakai poni di depannya, mata bulat bening bak mata boneka, hidung bangir, dan kulit sawo matang, tapi tampak mulus.

Maka pakaian Kembang Darah adalah warna merah darah. Rambutnya yang panjang dikepang satu. Di ujung kepangnya itu terikat pisau kecil yang amat tajam dan runcing. Rambut itu sering dililitkan di lehernya. Matanya sedikit lebar dan berbulu lentik. Kulitnya kuning langsat seperti kulit Arum Kafan. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, dua tahun lebih tua dari Delima Ungu, dan tiga tahun lebih muda dari Arum Kafan.

Suto sungguh tak menyangka kalau mereka tinggal di rumah besar berdinding rapuh dan sudah tua itu tanpa seorang ayah atau ibu. Rumah terpencil beratap tinggi itu kini kedatangan tamu pemuda tampan sedangkan penghuninya tiga gadis cantik.

"Kami masih mempunyai satu kakak lagi," kata Arum Kafan.

"Maksudmu, yang bernama Dewi Taring Ayu itu?" sela Suto.

"Dari mana kau tahu nama kakak kami? Apakah kau pernah bertemu dengannya?" tanya Kembang Darah.

"Belum," jawab Suto. "Tapi aku pernah mendengar Tulang Neraka menyebutkan nama itu."

"Oo...," Kembang Darah manggut-manggut. Matanya tak lepas memandang lembut pada Pendekar Mabuk. Demikian pula halnya dengan Delima Ungu, sejak tadi diam-diam tak berkedip memandangi Suto dari tempat duduknya yang menyudut, agak jauh dari kedua kakaknya.

Arum Kafan bersikap tenang, tidak setajam mata adik-adiknya dalam memandangi Suto. Hanya sesekali ia mencuri pandang ke arah wajah tampan Pendeka Mabuk. Setelah itu ia bersikap acuh tak acuh dengan ketampanan tersebut.

"Sengaja aku membawamu kemari, karena kau menyebutkan Kitab Lontar Gegana. Tahukah kau bahwa Kitab Lontar Gegana adalah kitab pusaka leluhur kami yang telah lama hilang?"

"Aku tidak tahu soal hilangnya kitab itu. Yang kutahu, ada seseorang mengutusku untuk mencari kitab tersebut dan menyerahkannya kepadanya."

"Kalau boleh kutahu, siapa orang yang menyuruhmu itu?!" tanya Kembang Darah.

"Seseorang yang tak perlu kusebutkan namanya!" jawab Suto. "Kelak kalian sendiri yang akan kuantar untuk menemui orang itu, jika Kitab Lontar Gegana sudah ada di tangan kalian! Yang jelas, dia bukan di pihak musuh kalian, melainkan di pihak kalian sendiri! Dia bukan tokoh sesat, menurutku!"

Arum Kafan memandang Kembang Darah. Kembang Darah sendiri segara menatap Arum Kafan bagai saling bicara lewat pandangan mata. Sedangkan Delima Ungu masih diam saja, mengunci mulutnya rapat-rapat. Tapi matanya masih tertuju pada Suto Sinting dan menyembunyikan kekaguman.

"Apa kau tahu mengapa orang itu membutuhkan Kitab Lontar Gegana?" tanya Arum Kafan.

"Menurut penjelasannya, di dalam kitab itu ada catatan ilmu dan jurus maut yang harus segera dilenyapkan! Berbahaya sekali jika jurus itu dimiliki orang yang langkahnya sesat. Bahkan jurus itu, katanya, bisa menggiring orang benar untuk berbuat salah setelah menguasai jurus tersebut."

Kali ini Delima Ungu angkat bicara dan berkata, "Mungkin yang kau maksud adalah 'Kidung Mantera Gaib'?!"

Pandangan mata Suto tertuju pada Delima Ungu, dan Suto berkata, "Aku tak tahu soal itu! Menurut orang yang menyuruhku, ada ilmu berbahaya di dalam kitab tersebut. Hanya itu yang kutahu."

Arum Kafan menjawab lirih, "Ya, kurasa memang 'Kidung Mantera Gaib' itulah yang dimaksud ilmu berbahaya. Tapi tidak semua orang bisa mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' itu! Bahkan mendiang kakekku, sampai ayahku sendiri tak bisa menyelesaikan jurus tersebut sampai saat meninggalnya. 'Kidung Mantera Gaib' hanya dimiliki oleh mendiang kakek buyutku yang bernama Ki Bayan Maruto, bergelar Manusia Tembus Raga. Setelah itu tak ada lagi pewarisnya yang mampu mempelajari jurus ilmu 'Kidung Mantera Gaib'."

Suto mengangguk-anggukkan kepala dan berkata seperti orang menggumam lirih, "Aku pernah mendengar nama itu...! Manusia Tembus Raga! Tepat seperti apa yang disebutkan oleh orang yang mengutusku ini!"

"Apakah orang yang mengutusmu itu kenal dengan kakek buyutku itu?" tanya Kembang Darah.

"Sangat kenal," jawab Suto dengan tersenyum.

"Jangan-jangan dari keluarga Nyai Pancung Layon!"

Suto berkerut dahi memandang Delima Ungu lagi yang baru saja memperdengarkan suaranya dari meja sudut itu. "Siapa itu Nyai Pancung Layon?"

Arum Kafan yang menjawab, "Nyai Pancung Layon adalah nenek dari Tulang Neraka. Perempuan keji itu sebenarnya adalah kakak dari eyang kami, yaitu Eyang Panjar Pitu. Antara Eyang Panjar Pitu dan Nyai Pancung Layon sama-sama mempunyai ayah Manusia Tembus Raga. Kakak-beradik ini dari sejak kecil sudah saling bermusuhan dan tak pernah akur. Kemudian, Eyang Panjar Pitu mempunyai tiga anak lelaki, satu di antaranya adalah Ayah kami. Dan Nyai Pancung Layon mempunyai anak lelaki dua orang. Kedua anak Nyai Pancung Layon membunuh kedua saudara Ayah kami. Tinggal Ayah kami yang masih hidup. Pada saat itu, Ayah mempelajari kitab pusaka dari gurunya sendiri, dan berhasil membunuh Nyai Pancung Layon dan kedua anaknya. Tapi salah satu anaknya Nyai Pancung Layon itu sudah sempat mempunyai keturunan empat orang, yaitu Tulang Neraka dan saudara-saudaranya. Sedangkan Ayah mempunyai anak kami berempat yang terdiri dari perempuan semua, sementara dari keluarga Tulang Neraka lelaki semua."

Kembang Darah menambahkan kata setelah Arum Kafan berhenti bicara, "Dan kami selalu bermusuhan. Tulang Neraka dan saudara-saudaranya selalu berusaha membunuh kami berempat, karena mereka sangat sakit hati atas perlakukan Ayah kami yang menewaskan ayah, paman, dan nenek mereka itu!"

"Agaknya permusuhan ini sudah mulai reda, karena ketiga saudara Tulang Neraka berhasil kubunuh di tempat kita bertemu kemarin," kata Arum Kafan. "Itu pun setelah aku berhasil mempelajari jurus-jurus maut yang kuperoleh dari sebuah kitab kecil milik Ayah. Sekarang pun Kembang Darah dan Delima Ungu sedang kusarankan untuk mempelajari kitab kecil peninggalan Ayah itu. Jika jurus-jurusnya digabungkan, menjadi satu jurus baru yang punya kekuatan dahsyat."

Kembang Darah berkata lagi menyambung ucapan kakaknya, "Dan perlu kamu ketahui, Suto... bahwa sejak dulu antara keluargaku dengan keluarganya Tulang Neraka selalu mempermasalahkan tentang hilangnya Kitab Lontar Gegana itu! Kami saling tuduh terus, sampai sekarang belum ada yang tahu secara pasti, siapa yang mencuri atau menyembunyikan Kitab Lontar Gegana itu. Tuduhan demi tuduhan sering menyulut api pertempuran diwarnai dengan dendam leluhur di antara keluarga kami ini!"

Suto Sinting menghela napas. Ia meminum tuaknya bukan dari bumbung tuak, melainkan dari secangkir minuman yang disuguhkan oleh ketiga gadis cantik itu. Sementara itu, di luar rumah cahaya sore sudah mulai makin menua, sorot matahari kian tertutup cakrawala. Ditambah lagi langit memang diselimuti mendung hitam yang menebal. Naga-naganya malam nanti akan turun hujan. Anginnya sudah hadir sejak tadi, berhembus kencang menyerupai anak badai. Bahkan semakin lama semakin kencang dan sang petir pun muncul sesekali. Menggelegar di langit hitam.

"Kusarankan menginaplah di sini," kata Arum Kafan. "Sebentar lagi lembah ini akan dilanda angin badai dan hujan lebat. Kalau kau pulang ataupun pergi dari sekarang, kau akan dihadang oleh badai dan hujan lebat di perjalanan! Jadi, seyogyanya bermalamlah di rumah kami."

Suto Sinting belum bisa menjawab karena hatinya masih bimbang. Ia hanya tersenyum lebar, seperti menelan rasa geli sendiri. Lalu, ia berkata sambil memegangi cangkir tuaknya, "Di sini perempuan semua. Dan hanya aku satu- satunya lelaki yang ada di rumah ini, jika aku bermalam di sini!"

Kembang Darah yang tersenyum lebih dulu, kemudian disusul oleh senyum malu Arum Kafan. Senyuman ini dibuang ke arah lain dengan maksud disembunyikan dari pandangan Suto Sinting. Dan tiba-tiba Delima Ungu yang sejak tadi tak pernah memamerkan senyumannya, segera berkata,

"Rasa-rasanya, berbicara tentang Kitab Lontar Gegana tak cukup memakan waktu sehari saja. Perlu waktu sehari semalam, baru jelas duduk persoalannya tentang kitab pusaka itu dan silsilahnya! Tanpa mempelajari silsilah, kau tak akan berhasil melacak kitab tersebut."

Tiba-tiba mereka dikejutkan datangnya sebaris tawa dari kejauhan. Tawa seorang perempuan yang melengking tinggi menyeruak di antara deru angin badai kecil itu. Suara tawa tersebut mengubah wajah ketiga perempuan cantik itu menjadi tegang. Bahkan Kembang Darah segera meraih pedangnya yang digantungkan pada dinding, lalu disandangnya di punggung.

"Ada apa?!" tanya Suto terheran-heran.

"Si nenek bertanduk itu kemari!" ucap Delima Ungu dengan nada penuh ketegangan.

"Siapa nenek bertanduk itu?" Pendekar Mabuk makin bingung.

Arum Kafan segera menjawab, "Istri dari si Urat Iblis!"

"Ah, siapa pula Urat Iblis itu?" desak Suto.

"Kakak sulung dari Tulang Neraka!" jawab Kembang Darah. "Ya. Nyai Tanduk Setan itu pasti ingin menuntut kematian suaminya yang kubunuh! Tulang Neraka pasti sudah menceritakan perihal kematian suaminya itu!"

Suara tawa itu makin terdengar jelas bagai jeritan kuntilanak di tengah deru angin membadai. Bahkan kini suaranya terdengar jelas, "Arum Kafan, keluar kau! Kita selesaikan perhitungan kita berdua sesama wanita!"

"Biar aku yang keluar!" kata Kembang Darah.

"Aku saja!" Delima Ungu menukas.

"Tidak. Harus tetap aku yang menghadapi si Tanduk Setan itu!" kata Arum Kafan sambil bergegas mau membuka pintu. Tapi gerakannya ditahan oleh Delima Ungu yang memandang ketus dan berkata,

"Kita hadapi bertiga! Tanduk Setan lebih ganas dan lebih sakti dari suaminya maupun si Tulang Neraka! Kau bisa dikalahkan dengan mudah jika tidak kita hadapi bertiga!"

"Benar," sahut Kembang Darah. "Sebaiknya kita keluar bersama dan menghadapi mereka!"

Suto diam saja, memperhatikan keributan mereka bertiga. Lalu, terdengar sekali lagi Nyai Tanduk Setanberteriak keras, berkesan kasar dan liar,

"Arum Kafan! Keluar dan hadapilah aku! Jangan kau mencoba lari dari perhitunganku! Aku datang untuk menuntut balas atas kematian suamiku, yang habis kau perkosa lalu kau bunuh dengan keji!"

"Edan!" geram Arum Kafan masih di dalam rumah. "Pasti Tulang Neraka mengarang cerita yang berlebihan!"

"Jangan pedulikan apa yang dikatakan Tulang Neraka, yang jelas perempuan itu pun harus ikut dilenyapkan jika ia menuntut kematian suaminya yang sesat dan jahat itu!" kata Kembang Darah.

Brakk...!

Tiba-tiba pintu rumah jebol karena dihantam dengan pukulan jarak jauh oleh Nyai Tanduk Setan. Daun pintu itu terhempas ke dalam dengan keadaan pecah. Hampir saja mengenai tubuh Kembang Darah.

Melihat rumahnya sudah diawali diserang oleh Nyai Tanduk Setan, maka Delima Ungu segera melompat keluar dengan cepat tanpa menghiraukan kedua kakaknya yang masih ada di dalam. Wuttt...! Jlegg...! Ia tiba di depan Nyai Tanduk Setan sambil mencabut kedua kipas kembar yang menjadi senjata di tangan kanan-kirinya.

Kembang Darah pun cepat melompat keluar karena mencemaskan keadaan adiknya, disusul kemudian Arum Kafan yang segara melesat ke luar rumah tanpa menghiraukan Pendekar Mabuk yang masih sibuk meneguk tuaknya.

"Bagus! Ada baiknya kalian bertiga menghadapi aku, biar mampus secara serentak! Sayang sekali kakak sulung kalian tidak ikut keluar dari rumah itu! Suruh dia keluar sekalian!" kata Nyai Tanduk Setan.

Delima Ungu berkata dengan tegas bernada dingin. "Hadapi aku dulu, si bungsu! Kalau kau bisa melangkahi mayatku, baru hadapi kakak-kakakku!"

"Hebat," gumam Suto Sinting mendengar ucapan Delima Ungu dari tempat duduknya. "Biar kecil dan muda, tapi nyalinya gede juga gadis itu!"

Pendekar Mabuk menampakkan diri, berdiri di ambang pintu yang jebol itu dengan sedikit bersandar pundaknya pada tepian kusen pintu. Ia memandang ke pelataran rumah tanpa pagar itu. Matanya sedikit menyipit ketika melihat Nyai Tanduk Setan. Ternyata menurut pandangan mata Suto, perempuan itu tak pantas di panggil nenek, karena usianya masih belum tua. Sekitar empat puluh tahunan. Masih kelihatan cantik, bertubuh sekal dan padat. Dadanya terlihat montok dari balik pakaian pinjung sebatas dadanya yang berwarna hitam dengan jubah merahnya. Rambutnya diurai lepas, tampak ada dua tanduk kecil di kanan-kiri kepalanya.

Ia berdiri dengan tegap tanpa membawa senjata di atas punggung atau di pinggang atau pula di tangannya. Bahkan tongkat pun tidak digenggamnya. Ketika Suto Sinting muncul, mata perempuan beralis tebal itu menatap dengan ganas. Ada senyum tersungging di bibirnya. Senyum nakal yang menandakan kejalangan sikapnya terhadap lelaki.

"Rupanya kalian sedang asyik dengan pemuda simpanan itu?! Pantas aku harus menunggu di luar sampai beberapa saat! Hmm... boleh juga dia menjadi pengganti si Urat Iblis! Kurasa dia jauh lebih tampan lebih tegap, lebih perkasa, dan tentu lebih hangat dari si Urat Iblis yang malang itu!"

"Dasar mulut perempuan liar!" geram Delima Ungu. Dengan cepat kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat maju menyerang. Wutt...! Kipasnya dikibaskan ke mulut perempuan bertanduk pendek itu. Tapi dengan cepat tangan perempuan itu berkelebat menangkis pergelangan tangan Delima Ungu.

Plakk...!

"Aaauh...!" Delima Ungu menjerit dengan mata terpejam. Ia segera mendapat tendangan kaki si Tanduk Setan. Sekalipun Delima Ungu masih sempat berkelit menghindari, namun hembusan angin dari kaki yang ditendangkan membuat Delima Ungu terpental dan berguling-guling di rerumputan pendek itu.

"Mundur kau, Delima!" sentak Arum Kafan.

Suto sedikit picingkan mata melihat tangan Delima Ungu menjadi bengkak dan membiru pada pergelangannya. Suto menyimpulkan, Nyai Tanduk Setan memang sangat berbahaya. Tangkisannya mampu membuat tangan lawan bisa patah atau putus sama sekali walau tidak memakai senjata tajam. Tangannya itu bisa mewakili sebagai tenaga baja, atau senjata tajam, atau gada besi sebesar pilar istana.

"Delima, masuklah dan minumlah tuakku ini!" kata Suto Sinting. Delima tertatih-tatih karena sekujur tubuhnya terasa lemas bagai tak bertulang lagi. Suto membantunya melangkah, dan sesampai di dalam tuaknya diberikan kepada Delima Ungu.

"Kalau hanya tuak, biar aku meminum dari tempat minumku sendiri!"

"Beda! Tuak dari dalam tabung ini punya khasiat penyembuhan. Percayalah! Kau terluka dalam, Delima!"

Akhirnya Delima Ungu mau meminum tuak dari tabung tuaknya Pendekar Mabuk. Beberapa saat kemudian, memang terasa ada perubahan pada rasa sakit yang mengelilingi pergelangan tangan sampai siku dan ketiaknya itu. Di luar, Arum Kafan maju bersama Kembang Darah menyerang Nyai Tanduk Setan. Keduanya sama-sama lincah dan hati-hati dalam melakukan penyerangan terhadap lawannya. Tak satu pun ada yang berani menyentuh tubuh Nyai Tanduk Setan, karena mereka tahu sekujur tubuh perempuan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang membahayakan jika sampai tersentuh.

Pedang di tangan Kembang Berdarah mempunyai gerigi pada setiap sisinya dari ujung sampai digagang. Pedang itu ketika dikibaskan mengeluarkan sinar merah yang bagai meloncat keluar dari tepian pedang dan berusaha memenggal kepala Nyai Tanduk Setan. Tapi oleh perempuan berjubah merah itu, sinar tersebut dihadang dengan tangan terbuka, kemudian dari telapak tangan itu keluar sinar perak yang berukuran sama besar dan sama bentuknya dengan sinar merah tersebut. Kedua sinar bertemu, dan menimbulkan ledakan dahsyat.

Blarrr...!

Membuat Kembang Darah terpental akibat terhempas gelombang angin dari ledakan tersebut. Sementara itu, Arum Kafan melompat tinggi-tinggi dan bersalto keatas kepala Nyai Tanduk Setan. Begitu sampai di atas kepala, tubuh Arum Kafan menukik lurus ke bawah dengan pedang siap menancap di kepala Nyai Tanduk Setan. "Hiaaat...!" pekiknya dengan penuh nafsu membunuh Tanduk Setan.

Tapi ternyata hal itu tidak mudah. Nyai Tanduk Setan mendongak ke atas, dengan merendahkan badan secepatnya ujung runcing pedang yang hendak menusuk kepalanya itu dihadang oleh telapak tangannya. Tapp...! Pedang itu tidak menancap, tapi tertahan oleh telapak tangan Nyai Tanduk Setan. Bahkan gerakan tubuh Arum Kafan menjadi kaku seketika, tak bergerak turun sedikit pun. Tetap menggenggam pedang yang ditusukkan itu.

"Kembang Darah...!" seru Arum Kafan dalam keadaan diam di udara. "Aku kena totok! Tak bisa bergerak lagi!"

Tiba-tiba ujung pedang yang ditahan dengan telapak tangan Nyai Tanduk Setan itu mulai menyala merah, membara bagai besi dipanggang api. Dan nyala merah membara itu bergerak sampai ke pertengahan mata pedang, lalu seluruh pedang itu menjadi merah membara, bahkan sampai pada pergelangan pedang antara mata pedang dengan gagangnya.

Suto melihat semacam kekuatan tenaga dalam pelebur jiwa sedang disalurkan oleh Nyai Tanduk Setan lewat telapak tangan yang menyangga ujung pedang, sekaligus menyangga tubuh Arum Kafan yang diam di udara itu. Tak lama lagi pasti kekuatan tenaga dalam itu akan membuat tubuh Arum Kafan bagai dilanda panas melebihi leburan baja.

Sementara itu, Kembang Darah baru saja bangkit tapi sudah jatuh lagi. Ia bagai tak memiliki tulang. Lemas dan tak berdaya. Napasnya tersengal-sengal sesak. Matanya menjadi semakin sayu. Ledakan tadi bukan hanya sekadar ledakan dua tenaga dalam yang beradu, melainkan juga ada kiriman tenaga dalam yang berbahaya dan dapat melumpuhkan semua urat saraf lawan. Nyai Tanduk Setan yang mengirimkannya tadi. Dan sekarang kekuatan tenaga dalam itu sedang berusaha membunuh lawan.

Melihat keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk segera menyentilkan jari telunjuknya yang kukunya sudah menyala hijau membara itu. Sentilan jurus 'Jari Guntur' melesat mengenai ketiak Nyai Tanduk Setan yang sedang menahan pedang dengan telapak tangannya itu. Dess...! Sentilan tenaga dalam itu menyetakkan tubuh Nyai Tanduk Setan. Tangan penahan ujung pedang terangkat kaget. Akibatnya pedang itu terlepas dari tahanan telapak tangannya.

Brrukk...! Tubuh Arum Kafan jatuh bersama pedangnya yang menancap di tanah. Tapi pedang itu sudah tidak menyala merah lagi. Tubuh Arum Kafan sudah tidak tertotok lagi. Sedangkan tubuh Nyai Tanduk Setan tersentak mundur tiga tindak akibat terkena sentilan jarak jauh dari Suto Sinting itu.

Pada waktu itu, Delima Ungu sudah berada di samping Pendekar Mabuk dan melihat gerakan jari Pendekar Mabuk saat menyentil dari jarak jauh. Karena Delima Ungu ada di samping Suto, mata Nyai Tanduk Setan memandang ke arah Delima Ungu. Lalu ia menggeram dengan wajah semakin kelihatan ganas dan liar,

"Kau mau membokongku, Delima Ungu?! Hmm...! Kurasa kau memang harus dimusnahkan lebih dulu!" Telapak tangan Nyai Tanduk Setan menyodok lurus ke depan dalam posisi telapak tangan terbuka dan miring.

Zuttt...! Clapp...! Seberkas sinar berbentuk semacam bintang berwarna biru tua itu melesat dengan cepatnya. Begitu cepat hingga Delima Ungu tak menangkap gerakan cahaya biru tersebut. Tapi karena di sampingnya ada Suto, maka Suto-lah yang bertindak menangkis sinar biru yang cepat melesat itu.

Trangng...! Sinar tersebut menghantam bumbung tuak, dan memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar lagi.

Wosss...!

"Gila...!" sentak Nyai Tanduk Setan dengan mata melotot sebentar, kemudian berusaha menghindari sinar biru yang datang memantul balik itu. Ia melompat ke samping dengan cepatnya.

Duarrr...! Sinar itu menghantam sebuah pohon jauh di seberang sana yang membuat pohon itu hancur berkeping-keping. Pecahannya sampai ada yang jatuh di depan Pendekar Mabuk.

"Keparat kau, Bocah Ganteng...! Kau mau ikut campur masalah ini biar dianggap jago dan semakin dikagumi oleh mereka?! Hmm...! Tidak bisa! Kau harus kubunuh juga jika begitu!"

"Arum, mundurlah... biar kuhadapi dia!" Pendekar Mabuk selesai berkata begitu, segera lenyap dari samping Delima Ungu. Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah berada di belakang Nyai Tanduk Setan. "Hadapilah aku, Nyai Tanduk Setan!" kata Suto yang membuat perempuan bertanduk itu berpaling dengan kagetnya.

Serta-merta ia menggeram, kemudian melompat dengan cepat ke arah Suto Sinting. "Hiaaahhh...!"

Ia menyerang dengan menyodokkan kepalanya mengandalkan tanduk pendek yang tumpul itu untuk menyodok perut Pendekar Mabuk. Tetapi dengan cepat Pendekar Mabuk kelebatkan kakinya ke depan dan menendang kepala itu dengan tendangan bertenaga kuat, Wuttt...! Plokkk...!

"Ahg...!" Nyai Tanduk Setan terdongak karena kepalanya bagian wajah bagai mendapat paksaan untuk mendongak melalui kaki yang menendang mengenainya itu. Dengan menggunakan tangan kanannya, Pendekar Mabuk segera menggebukkan bumbung tuak ke dada Nyai Tanduk Setan.

Buhgg...!

"Uuaahhg...!" Nyai Tanduk Setan tersentak kuat dengan suara tertahan. Ia langsung terkapar jatuh dengan kedua lutut melengkung ke dada serta wajah menyeringai menahan rasa sakit yang kuat. Mulutnya mulai memuntahkan darah kental dan hitam warnanya. Nyai Tanduk Setan terkejut dan menjadi cemas. Kemudian ia bergegas bangkit dan cepat-cepat pergi tanpa mengatakan sesuatu hal apa pun.

Pendekar Mabuk tersenyum tipis saat memandang pelarian Nyai Tanduk Setan. Sedangkan Arum Katai dan Delima Ungu hanya bisa memandang bengong. Secepat itu Nyai Tanduk Setan menjadi ketakutan dan itu berarti ia dikalahkan oleh Pendekar Mabuk. Kini, kedua perempuan itu sama-sama memandang Suto dengan dahi masing-masing berkerut dan hati masing-masing mengagumi kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk.

* * *

TIGA
MANUSIA bertanduk itu rupanya terluka bagian dalamnya. Berhari-hari ia terkapar di tepi pantai. Ia tidak berdaya untuk mengangkat kepalanya. Sekujur tubuhnya telah memar membiru, sampai pada kuku-kukunya pun menjadi biru kehitam-hitaman. Tak ada bagian tubuh yang tak terasa sakit bila disentuh. Semacam bisul yang mau pecah, sekujur tubuh Tanduk Setan nyut-nyutan. Sakitnya bukan main. Bahkan terkena angin pantai pun terasa perih sekali.

Berhari-hari dia ada di sana. Sasarannya adalah sebuah pulau kecil yang sudah terlihat oleh mata, namun tak bisa terjangkau oleh keinginannya, yaitu keinginan untuk datang ke pulau kecil itu.

"Kalau saja ada orang lewat, mungkin aku bisa minta tolong untuk mengantarkan ke pulau itu!" pikir Nyai Tanduk Setan dengan sedihnya.

Harapan adanya orang itu ternyata terkabul. Itu terjadi setelah beberapa saat lamanya ia berpikir seperti tadi. Orang yang lewat itu sayangnya adalah anak kecil, berusia sekitar sebelas tahun. Bocah itu berlari-lari dengan sangat tegangnya. Sepertinya ada seseorang yang mengejar bocah itu. Tanpa melihat adanya Nyai Tanduk Setan yang terkapar di pasir pantai, di bawah sebuah pohon kelapa lengkung, bocah itu berusaha bersembunyi dari pelariannya.

Ia segera naik ke atas pohon kelapa lengkung itu dan dalam waktu cepat sudah bisa mencapai bagian atas pelepah daun kelapa. Ia bersembunyi di sana. Menghindar dari pengejaran yang belum terlihat siapa pengejarnya itu. Tetapi celakanya, bocah itu tanpa sengaja menginjak buah kelapa yang sudah memerah. Kelapa itu jatuh dengan cepat dan menimpa perut Nyai Tanduk Setan.

Behgg...!

"Uaaaoww...!" teriak Nyai Tanduk Setan. Jeritannya itu sungguh keras. Karena ibarat bisul yang dijaga rapi-rapi jangan sampai terbentur benda keras, sekarang malahan kejatuhan kelapa dari suatu ketinggian. Kelapa keras dan berbentuk besar. Sungguh merupakan siksaan yang amat menyakitkan bagi Nyai Tanduk Setan.

"Dasar bocah monyet...!" umpatnya dengan menahan sakit yang tak bisa diatasi lagi itu. Dari kulitnya yang memar biru empuk itu keluar semacam darah kotor yang berbau busuk akibat ketiban kelapa tadi. Terutama bagian pusarnya, merembeskan cairan merah kehitam-hitaman. Nyai Tanduk Setan rasa-rasanya ingin menangis, rasa-rasanya ingin mencekik leher bocah itu sampai mati.

Sedangkan sang bocah yang tidak memandang ke bawah itu segara tersenyum begitu mendengar teriakan suara orang. Ia berpikir, "Pasti ibu tiriku jatuh ke lubang jebakan yang dibuat almarhum Ayah dulu. Pasti tubuhnya tertancap bambu-bambu runcing di dalam lubang tersebut. Hmm...! Rasakan! Jadi ibu tiri kalau jahat ya begitu nasibnya! Sebaiknya aku turun dan melihat seperti apa wujud ibu titiku saat ini...!"

Tass...! Kakinya menjejak buah kelapa, ia hampir jatuh karena kelapa itu lepas dari rangkainya, bahkan bergandengan dua buah. Kelapa hitam kering itu akhirnya meluncur kembali jatuh ke bawah dan menimpa kepala dan dada Nyai Tanduk Setan.

Prokk...!

"Uuaaaoow...!" teriaknya lagi sangat kesakitan. Kali ini rasanya lebih sakit dari kejatuhan kelapa yang pertama. Wajahnya jadi sasaran, juga bagian dadanya yang nyut-nyutan itu. Keadaan tubuh yang terkena angin pantai saja sakit, apalagi harus kejatuhan benda keras seperti itu. Tentu saja kemarahan di dadanya semakin menyala-nyala dan ia paksakan diri untuk berseru, "Kuremukkan kepalamu, Bocah Setaaan...!"

Bocah itu kaget setelah tahu ada orang dalam keadaan terluka parah di bawah pohon kelapa yang dipanjatnya. Bocah itu terbelalak matanya dan segera mengerti bahwa yang berteriak tadi bukan suara ibu tirinya, melainkan suara orang yang terkapar kejatuhan kelapa dari atas itu. "Wah, kalau begitu ibu tiriku belum mati! Aku harus lari lagi! Jangan bersembunyi di sini, sebab orang yang kejatuhan kelapa itu bisa memberitahukan tempatku bersembunyi...!"

Maka bocah tersebut segera berlari lagi meninggalkan tempat itu. Sementara Nyai Tanduk Setan masih terengah-engah dengan sangat menyedihkan. Telinganya mengeluarkan bau busuk akibat cairan hitam yang meleleh. Juga hidungnya yang tadi membiru bengkak itu sekarang menjadi melesak ke dalam dengan keadaan memuncratkan darah merah kehitam-hitaman yang berbau busuk.

Kejap berikutnya, lewatlah seorang perempuan berambut digulung ke atas dengan kebaya merah lusuh dan kain separo betis. Perempuan separo baya itu berlari-lari dengan kebingungan. Rupanya dia adalah ibu tiri dari bocah yang menjatuhkan kelapa tadi. Melihat ada orang terkapar dalam keadaan busuk dan menjijikkan itu, perempuan berkebaya merah itu memekik kaget dan ketakutan.

Kemudian ia memandanginya dengan jantung berdetak-detak dan sedikit demi sedikit mulai tenang setelah mengetahui orang itu masih hidup, masih bisa menggerakkan kepalanya miring ke kiri dengan sangat pelan sekali. Lalu, perempuan itu mendengar Nyai Tanduk Setan berkata dengan suara lirih,

"Tolong... tolonglah aku."

Sambil menutup hidungnya, perempuan berkebaya merah itu mendekat. Semakin dekat, semakin jelas suara yang didengarnya, "Tolonglah... aku...!"

"Ap... apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?"

"Pergilah ke... ke pulau itu, dan beri tahu saudaraku agar datang kemari menolongku!"

"Ke pulau mana...?"

"Pulau kecil itu... yang kelihatan dari sini! Temui seseorang yang bernama Tulang Neraka, dan katakan bawah aku si Tanduk Setan, dalam keadaan terluka di sini, minta dibawa ke pulau itu!"

'Maksudmu, aku harus pergi ke Pulau Dedemit itu? Oh, tidak! Aku tidak mau! Aku masih ingin hidup! Kalau aku pergi ke Pulau Dedemit, maka nyawaku akan hilang, dan jasadku tak akan ditemukan lagi, seperti yang dialami beberapa korban yang sudah-sudah!"

"Seb... sebut namaku di sana... tak akan ada yang mengganggumu!"

Perempuan itu geleng-geleng kepala sambil melangkah mundur dengan penuh ketakutan. Tanduk Setan waswas, takut perempuan itu pergi meninggalkannya sehingga ia tak bisa membujuknya.

"Tolonglah... nanti akan kuberi upah cukup banyak untukmu!"

"Sebanyak upah berapa pun aku tak akan mau di datang ke pulau itu! Aku tak mau mati! Biar aku janda tapi aku masih belum puas menikmati keindahan hidup mesra dengan lelaki, jadi aku tak mau mati terburu-buru! Maaf, aku tak bisa membantumu!"

"Hei, tunggu... tunggu dulu! Aku punya sesuatu untukmu!"

"Tidak! Tidak mau...!" Akhirnya perempuan itu melarikan diri pulang ke rumahnya, tak mau menolong Nyai Tanduk Setan, tak jadi mencari anak tirinya. Ia sangat ketakutan bila membayangkan Pulau Dedemit yang dari pantai itu tampak kecil.

Apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Dedemit itu sehingga perempuan berkebaya merah tadi sangat ketakutan? Pulau itu memang kecil, berhutan tak terlalu lebat, binatang buas tak ada. Tapi manusia buas ada di sana. Manusia buas itu dulu dikenal dengan nama Peri Pulau Dedemit, yaitu seorang perempuan yang gemar memakan daging manusia. Tapi konon, Peri Pulau Dedemit itu sudah dikalahkan oleh Empat Raja Sesat, satu di antaranya adalah Tulang Neraka. Kabarnya, Peri Pulau Dedemit itu sudah mati. Tapi ada pula yang bilang, Peri Pulau Dedemit itu sudah pergi dan menghilang entah kemana.

Semua kabar tak jelas. Bahkan termasuk kabar Peri Pulau Dedemit yang gemar makan daging manusia, itu juga belum jelas kebenarannya. Karena, yang mereka tahu setiap nelayan yang singgah ke Pulau Dedemit selalu tak pernah kembali selama-lamanya. Apakah dimakan, atau dikubur, atau bagaimana, tak ada jawaban pasti selain dugaan-dugaan ngeri saja. Karena tak pernah ada orang yang bisa keluar dari pulau itu setelah masuk di kedalaman hutannya.

Hanya Empat Raja Sesat itulah yang bisa keluar masuk pulau kecil tersebut. Itu pun tanpa diketahui oleh satu orang pun penduduk di sekitar pantai tersebut. Tapi ketika perempuan berkebaya merah itu mendengar nama Tulang Neraka, dan disuruh memanggilkan nama itu di Pulau Dedemit, maka tersebarlah kabar bahwa Pulau Dedemit dihuni oleh seseorang yang bernama Tulang Neraka.

Apa yang dilakukan oleh Tulang Neraka di sana, tak ada yang tahu. Kalau saja perempuan berkebaya merah itu mau datang ke sana, sudah pasti dia akan mengerti apa yang terjadi sebenarnya di Pulau Dedemit itu, dan sudah pasti pula dia merupakan satu-satunya manusia yang bisa lolos dengan selamat dari Pulau Dedemit tersebut.

Sayangnya ia tidak mau datang, justru malah menyebarkan berita tentang adanya manusia busuk di pinggir pantai. Maka, berbondong-bondong masyarakat desa nelayan itu menghampiri tempat terdapatnya manusia berbau busuk itu. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Mulanya mereka hanya ingin melihat dan bilamana perlu menolong, tapi tiba-tiba hati mereka menjadi geram setelah salah seorang berkata,

"O, dia si Tanduk Setan yang sering mencuri bayi tak berdosa itu!"

"Wah, benar! Dia bayi setan, eh... dia pencuri bayi yang berjuluk Nyai Tanduk Setan! Kalau begitu, habisi saja dia selagi sekarat!"

Tanpa banyak berembuk lagi, akhirnya rombongan penduduk desa yang sudah menaruh dendam dan kebencian cukup lama kepada Tanduk Setan itu, beramai-ramai menyerang Tanduk Setan. Keadaan Tanduk Setan yang tidak berdaya merupakan peluang emas bagi para orang tua yang bayinya pernah dicuri dan sampai sekarang tak pernah kembali itu. Maka, nasib Nyai Tanduk Setan yang sakti itu habis di tangan penduduk desa. Tubuhnya tak berbentuk lagi akibat amukan mereka yang membabi buta.

Sisa-sisa potongan tubuhnya dilemparkan oleh mereka ke laut sebagai umpan makanan ikan-ikan ganas. Tetapi tak satu pun dari mereka yang menyangka bahwa sisa-sisa potongan tubuh Nyai Tanduk Setan itu tidak digemari oleh ikan, karena berbau busuk. Akhirnya, sisa-sisa potongan tubuh Nyai Tanduk Setan itu terbawa ombak dan terdampar di pantai Pulau Dedemit! Terutama bagian kepala, kaki kanan, dan telapak tangan kirinya, jelas-jelas tergeletak di pantai berpasir putih kehitam-hitaman itu.

Seorang lelaki berusia muda, sekitar dua puluh delapan tahun, bertubuh pendek, berpakaian serba hitam, menemukan potongan anggota tubuh Nyai Tanduk Setan. Ia segera merangkumnya dan membawanya ke suatu tempat, memasuki kedalaman hutan pulau tersebut. Mendaki ke sebuah tebing cadas bertanaman lumut dan rumput. Kemudian, beberapa saat setelah melakukan perjalanan dari pantai, tibalah dia di sebuah gua yang mulut atau pintunya tidak terlalu lebar. Ia masuk ke gua itu sambil menenteng potongan anggota tubuh Nyai Tanduk Setan.

Dilihatnya, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun masih duduk di atas sebuah batu, bersila dengan mulutnya berkomat-kamit, matanya terpejam rapat. Lelaki itu bertubuh kurus kering dan ceking, wajahnya pucat berkesan angker. Rambutnya tipis panjang tak beraturan, jubahnya abu-abu tanpa mengenakan baju dalaman. Siapa lagi dia kalau bukan si Tulang Neraka.

Beberapa saat lamanya, pemuda berwajah amburadul, karena terdapat banyak codet bekas luka bacokan itu, diam berdiri tak jauh dari depan Tulang Neraka. Sampai pada akhirnya Tulang Neraka membuka matanya pelan-pelan, lalu menatapnya dengan mata berkesan dingin.

"Ada apa, Dogol...?!" tanyanya pelan kepada pemuda berwajah rusak dan yang ternyata bernama Dogolitu.

"Saya menemukan benda-benda ini di pantai, Guru," jawab Dogol yang ternyata murid dari Tulang Neraka.

Mata lelaki ceking itu terkesiap dan berdebar hatinya melihat 'barang-barang' bawaan Dogol. Wajahnya mulai tampak semakin pucat. Dogol tahu, jika wajah gurunya semakin pucat, itu pertanda Tulang Neraka mulai memuncak kemarahannya.

"Siapa yang melakukan hal ini?!"

"Saya tidak tahu, Guru! Saya hanya menemukannya dipantai!"

"Keparat!" geram Tulang Neraka. "Kau tahu kepala siapa itu?"

"Saya tahu, Guru! Ini kepala Nyai Tanduk Setan, bekas istri Paman Guru Urat Iblis!"

"Benar! Dan kau bisa menduga siapa yang membunuhnya?"

"Tidak bisa, Guru! Karena saya tidak ikut serta dalam pembunuhan itu, Guru!"

"Goblok! Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan keluarga si Arum Kafan dan adik-adiknya! Tempo hari kukabarkan kematian suaminya dan dia mengamuk, menuntut balas kematian suaminya, lalu menyerang ke rumah kediaman keluarga Arum Kafan! Rupanya Arum Kafan sekarang memang punya kesaktian yang tinggi. Nyai Tanduk Setan yang menjadi tokoh tua dalam dunia persilatan ini, yang usia sebenarnya sudah mencapai seratus delapan puluh tahun itu, ternyata masih bisa dikalahkan oleh mereka! Mengenaskan sekali! Tapi juga membuatku semakin bernafsu untuk membantai habis keturunan si Panjar Pitu tanpa ampun lagi! Tapi mereka harus menunggu.... Ya, menunggu sampai kuselesaikan pelajaran ini untuk melakukan pembalasan! Tanpa kuselesaikan pelajaran ini, tak mungkin aku bisa mengalahkan mereka."

"Apakah saya perlu maju, Guru?!" sela Dogol, yang sebenarnya adalah pengikut Empat Raja Sesat itu, dan berharap mendapatkan ilmu dari Empat Raja Sesat, namun hanya beberapa ilmu saja yang ia peroleh dari Tulang Neraka. Karena itu ia menganggap Tulang Neraka itulah gurunya.

"Dogol, kalau kau mau menyerang ke keluarga Panjar Pitu, kau akan mati sia-sia! Kau tak akan mampu menandingi kesaktian ilmu mereka. Tetapi kutugaskan padamu untuk menaburkan racun ganas di mata air yang mengalir melewati kediaman keluarga Arum Kafan itu. Karena di sana ada sungai bening yang airnya sering dipakai untuk minum atau memasak oleh keluarga Arum Kafan! Nah, jika racun itu kau sebar melalui mata airnya, maka apa yang diminum dan dimasak memakai air itu akan membuat mereka mati lemas sedikit demi sedikit. Tiba giliranku menyerang, maka aku akan lebih kuat daripada mereka!"

"Baik, Guru! Akan saya kerjakan tugas itu! Saya berangkat sekarang juga, Guru!" ucapnya dengan lugu dan polos.

"Berangkatlah dan hati-hati! Jangan sampai ada yang melihatmu saat menaburkan racun di mata air itu!"

"Baik, Guru!" sekali lagi Dogol menjawab dengan luara tegas, menampakkan kepatuhannya.

* * *

EMPAT
MENYUSURI sungai bening merupakan salah satu dari beberapa kegemaran Suto Sinting. Pendekar Mabuk sangat menyukai dengan kebeningan, terlebih kebeningan yang mengandung ketenangan. Karena jiwanya senantiasa merindukan sebentuk kehidupan yang tenang, damai, dan menyegarkan di antara sesama.

Tetapi kali ini Suto menyusuri sungai bening bukan dengan maksud semata-mata ingin menikmati kegemarannya saja, melainkan punya tujuan tertentu, yaitu mencari pondok Ki Darma Paksi. Karena setelah Suto menginap beberapa saat di rumah keluarga Arum Kafan itu, percakapan mengenai hilangnya Kitab Lontar Gegana menarik perhatiannya. Dari pembicaraan ke pembicaraan, akhirnya Suto Sinting menemukan langkah awal untuk melacak jejak hilangnya kitab pusaka itu.

Langkah itu diawali dari menemui Ki Darma Paksi yang pondoknya berada di tepian sungai bening tersebut. Sungai berair bening itulah yang mengalir di samping tempat tinggal tiga gadis cantik itu. Ki Darma Paksi adalah bekas pelayan Eyang Panjar Pitu. Diduga Ki Darma Paksi mengetahui ke mana larinya kitab pusaka tersebut. Semasa hidupnya Eyang Panjar Pitu, satu-satunya orang yang dipercaya untuk membersihkan kamarnya adalah Ki Darma Paksi. Dia dikenal sebagai orang jujur yang tak pernah bisa berbohong selama hidupnya.

Jika Suto beruntung, maka ia akan menemukan Ki Darma Paksi. Tapi jika tidak beruntung, maka ia hanya akan menemukan kuburannya saja. Menurut keterangan Arum Kafan, ia masih sempat bertemu dengan Ki Darma Paksi ketika ia berusia tujuh tahun, Kembang Darah masih berusia empat tahun dan Delima Ungu masih berusia dua tahun. Hanya Arum Kafan yang masih ingat samar-samar tentang Ki Darma Paksi itu.

Ciri-ciri yang diberikan oleh Arum Kafan, bahwa Ki Darma Paksi bertubuh kurus dan jangkung. Matanya cacat satu yang sebelah kiri. Selamanya ia tak pernah mengenakan ikat kepala. Bicaranya lembut, kalem, sering bertele-tele karena selalu berupaya mencapai keindahan dalam bicaranya, agar orang lain terkesan dengan keindahan tutur katanya.

Tentang pondok Ki Darma Paksi, Arum Kafan tak bisa memberi ciri-cirinya, karena selama ini ia tak pernah datang bersinggah ke pondok Ki Darma Paksi. Kabar terakhir yang didengar Arum Kafan sewaktu ia berusia enam belas tahun, bahwa Ki Darma Paksi sekarang menjadi seorang peramal sakti yang jarang muncul di permukaan bumi. Tentang benar dan tidaknya kabar itu, Arum Kafan tak bisa memastikan.

Pendekar Mabuk tiba-tiba menghentikan langkahnya. Bukan karena mendapat serangan dari musuh, atau terhadap seseorang, tapi karena ia tertarik dengan pemandangan di dalam air sungai yang bening itu. Seekor ikan berenang ke sana kemari di sela-sela rombongan ikan bersisik perak. Tetapi ikan yang satu itu sungguh menarik perhatian Suto, karena ikan itu tidak mempunyai kulit dan daging sedikit pun.

Ikan itu hanya berupa tulang berduri dengan kepala warna perak. Untuk bagian kepalanya, ikan itu mempunyai kulit dan daging, tapi untuk bagian tubuhnya sampai pada ekor, tak ada kulit dan daging sedikit pun. Ikan itu besarnya seukuran telapak tangan dan gerakannya cukup gesit. Suto sangat suka melihat gerak-gerik ikan aneh itu, sehingga ia tak mau mengganggu kehidupan sang ikan sedikit pun.

Tiba-tiba terdengar suara di belakang Suto yang mengatakan, "Sepat Dewata...!"

Suto berbalik, orang tua yang bicara itu menyunggingkan senyum dan melanjutkan kata-katanya, "Itu namanya ikan Sepat Dewata. Bukan ia tak memiliki kulit dan daging, tapi ia memiliki kulit dan daging yang tembus pandang seperti kaca! Hanya ada beberapa ekor saja yang masih hidup. Sisanya telah mati dimakan usia, dirusak kehidupan manusia, atau dimakan oleh hewan lainnya. Kadang kita merasakan duka jika ingat akan kematiannya, tapi kadang mengucapkan syukur kepadaYang Maha Kuasa, bahwa sebagian dari mereka masih ada yang tersisa dan hidup dalam kebebasan habitatnya."

Indah sekali tutur kata orang tua itu. Segera Pendekar Mabuk dapat mengenali si orang tua setelah memperhatikan mata kirinya yang lengket kelopaknya. Mata kiri yang cacat dan tak bisa dipakai untuk melihat itu sudah pasti milik Ki Darma Paksi. Maka, Suto pun menyapa dengan penuh kesopanan dan hormat, "Apakah Bapak yang bernama Ki Darma Paksi?"

"Orang cerdas yang mampu melihat dengan benar tak dapat dikelabui oleh siapa pun. Dan kurasa kau memang orang cerdas yang bisa mengetahui namaku, Anak Muda."

Suto Sinting merasa lega. Ternyata apa yang dikatakan Arum Kafan memang benar, bahwa Ki Darma Paksi jika bicara seperti orang yang bertele-tele hanya untuk menemukan keindahan dalam tutur katanya. Suto menyunggingkan senyum lebar kepada orang berjubah biru dan berpakaian dalam abu-abu, rambutnya panjang selewat punggung berwarna putih rata yang halus dan lembut. Kumis dan jenggotnya pun panjang dan berwarna putih halus dan lembut. Ia seorang yang punya tinggi badan cukup jangkung, sehingga dalam bicara agak sedikit membungkuk.

Tapi badannya yang kurus itu masih terlihat kekar, gerakan tangannya masih tegas, dan berdirinya masih kokoh, walau menurut Arum Kafan usia Ki Darma Paksi diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih. Tapi orang tua itu masih kelihatan gagah.

"Kalau boleh kutahu untuk menambah perbendaharaan nama dalam ingatan tuaku, siapakah namamu, Anak Muda?"

"Nama saya Suto Sinting, Ki Darma Paksi."

"Suto Sinting?" gumamnya sambil melangkah pelan-pelan menyusuri tepian sungai itu, dan Pendekar Mabuk mengikuti langkahnya.

Dengan tutur kata yang lembut dan berkesan sabar serta bijak itu, Ki Darma Paksi memperdengarkan suaranya lagi, "Kalau tidak salah ingatan tuaku yang sudah hampir berkarat ini, seseorang yang mempunyai nama Suto cukuplah banyak di permukaan bumi ini. Tapi hanya seorang yang bergelar megah sebagai Pendekar Mabuk, itulah yang mempunyai nama lengkap Suto Sinting."

"Benar, Ki Darma Paksi! Sayalah yang bergelar Pendekar Mabuk!"

Ki Darma Paksi memandang sambil tersenyum dan tertawa dalam gumam. Kemudian langkahnya tetap pelan dan pandangan matanya terlempar ke depan dengan teduhnya. "Aku mempunyai sebuah ingatan mengenai nama Suto Sinting itu, bahwasanya terlahir sebagai seorang pendekar gagah berani dan sakti dari tangan seorang berjiwa putih bagaikan bunga-bunga salju di pelataran bumi utara, dan orang itu mempunyai nama harum yang sempat mengguncangkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Orang itu tak lain adalah si Gila Tuak yang punya nama asli Sabawana. Barangkali dugaanku tak terlalu meleset jauh, bahwa kau adalah murid si Gila Tuak yang terhormat itu, Suto Sinting!"

"Tidak salah, Ki Darma Paksi! Saya adalah murid si Gila Tuak."

"Jujurnya hatimu membuat damai di dalam darahku, Suto. Datangnya dirimu membuat hangat di setiap pernapasanku, Pendekar Mabuk. Luangkan waktumu untuk singgah di pondokku yang hina itu, Suto Sinting!" sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah pondok yang tak seberapa jauh dari tempat mereka melangkah.

Pondok itu sangat sederhana. Dibangun dengan bebatuan kali tanpa diratakan permukaan dindingnya. Tersusun kokoh bebatuan itu, membentuk sebuah rumah sedikit besar namun beratap tinggi. Pondok itu dikelilingi oleh pagar sebatas tinggi dada manusia dewasa dan juga terbuat dari susunan batu kali tanpa diratakan sisinya. Mempunyai sebuah pintu gerbang setinggi tiga tombak dan beratap kecil. Untuk masuk ke halaman pondok itu sebenarnya seseorang bisa saja melompati pagar rendah tersebut, tanpa harus memutar jalan melewati pintu gerbang yang tak pernah ditutup dalam arti dikunci. Tetapi dari situlah sikap dan niat seseorang dapat diketahui oleh Ki Darma Paksi.

Hanya seorang berniat jelek atau berjiwa tak baik saja yang datang bertamu dengan melompati pagar, tanpa melewati pintu gerbang itu. Terhadap orang yang datangnya melompati pagar, Ki Darma Paksi sudah bersiap untuk waspada dan berhati-hati. Jika orang itu mengaku masuk lewat pintu gerbang, Ki Darma Paksi bisa mengetahui bahwa pengakuan itu adalah palsu. Karena setiap orang yang lewat pintu gerbang pasti mempunyai tanda.

Pintu berdaun dua itu jika dibuka mempunyai tanda berbunyinya logam-logam yang merentang di balik pintu. Gemerincingnya logam-logam yang menggema panjang itulah tanda bahwa seseorang datang melalui pintu gerbang. Demikian pula ketika Ki Darma Paksi membawa masuk Suto melalui pintu gerbang, maka terdengarlah suara gemerincing yang bening dan panjang gemanya. Pintu itu menutup balik sendiri dengan hanya dilepaskan karena mempunyai engsel penarik yang lentur.

Ki Darma Paksi mempersilakan Suto untuk duduk di ruang tamu, yang berupa panggung setinggi betis dilapisi dengan permadani tebal yang berwarna hijau muda. Di sana Suto duduk bersila sama seperti Ki Darma Paksi. Mereka duduk berhadapan arah. Bumbung tuak diletakkan oleh Suto di sampingnya. Sementara itu, Ki Darma Paksi menyuruh pelayannya yang bertubuh pendek dan bungkuk untuk menyiapkan sepoci arak buat tamunya.

"Setelah kuperhatikan sejak tadi," kata Ki Darma Paksi, "Aku tak bisa menahan diri untuk menanyakan tentang bagaimana kabar gurumu si Gila Tuak itu, Suto Sinting."

"Berkat doa kita bersama, Eyang Guru masih dalam keadaan sehat dan senantiasa dalam lindungan Hyang Widi, Ki Darma Paksi."

"Syukurlah bila keadaan Ki Sabawana begitu. Tenteram hatiku mendengar ucapan muridnya yang membawa kesejukan tersendiri untuk masa tuaku ini. Lalu, bagaimana kalau kutanyakan kabar seseorang, apakah kau mau menjawabnya, Pendekar Mabuk?"

"Kabar siapa maksud, Ki Darma Paksi?"

"Seseorang yang jauh di sana dalam penantian yang tabah dan panjang sabar. Tentunya kau tidak asing lagi dengan sebuah nama yang punya nilai keindahan dan keabadian di dalam hatimu, yaitu Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, Ratu Puri Gerbang Surgawi di alam nyata ini?"

Terkejut Pendekar Mabuk mendengar nama itu disebutkan secara lengkap. Benar-benar terkejut dia dan tak menyangka sama sekali pembicaraan akan lari ke arah itu. Dan keterkejutan itu ditertawakan oleh Ki Darma Paksi, sehingga Suto menjadi tersipu menahan rasa malu.

"Dyah Sariningrum dalam keadaan baik-baik saja, Ki Darma Paksi. Sama seperti keadaan Ki Sabawana atau Guru saya si Gila Tuak itu!"

"Bersyukur kembali hati tuaku yang sudah renta menanti ajal ini, Suto Sinting. Ada damai yang memercik dari jawabanmu, ada kesejukan tersendiri di lubuk kalbuku mendengar kekasihmu dalam keadaan baik-baik saja."

"Tapi kalau boleh saya tahu, dari mana Ki Darma Paksi mengetahui nama itu dan hubungannya dengan diriku?"

"Noda merah di keningmu kulihat jelas tanpa harus kuraba, Suto. Noda merah itu adalah pemberian Gusti Ratu Kartika Wangi, ratu negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang sungguh arif dan bijaksana itu. Noda merah di keningmu, Anak Muda, telah bicara banyak pada hati nuraniku mengenai rentetan kehidupanmu yang penuh tantangan itu."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam gumamnya yang lirih. Rupanya Ki Darma Paksi melihat noda merah di kening Suto yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, kecuali orang berilmu tinggi yang berada di jalur kehidupan putih, alias bukan orang sesat. Mengenai tanda merah di kening Suto Sinting, memang benar pemberian dari Gusti Ratu Kartika Wangi sebagai penghormatan tinggi yang dapat membuat Suto masuk ke alam gaib sewaktu-waktu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

"Atas pertimbangan hati nuraniku pun seyogya kutanyakan maksud kedatanganmu kemari, Suto. Barangkali kau tak punya keberatan untuk menuturkannya sebentar. Karena kulihat kedatanganmu bukanlah semata-mata ingin melihat ikan Sepat Dewata tadi, namun mempunyai maksud-maksud tertentu yang amat penting bagi kejelasan hatimu."

Singkatnya, Ki Darma Paksi menanyakan maksud kedatangan Suto. Dan karena Suto sudah paham dengan maksud pertanyaan itu, maka ia pun segera memberi jawaban sebagaimana mestinya. "Saya ingin melacak hilangnya Kitab Lontar Gegana itu, Ki! Sebab menurut Arum Kafan, cucu dari Eyang Panjar Pitu, Ki Darma bisa menolong saya untuk mencari jejak hilangnya Kitab Lontar Gegana, yang menjadi kitab pusaka keluarga Eyang Panjar Pitu."

"Sejujurnya kukatakan, di dalam kitab itu ada jurus yang membahayakan dan bisa membuat orang lurus menjadi sesat, orang sesat menjadi laknat. Barangkali atas dasar ingin memusnahkan salah satu bagian dari kitab tersebut, maka kau diutus untuk mencari hilangnya Kitab Lontar Gegana."

"Betul, Ki Darma. Bisakah Ki Darma Paksi menolong saya?"

"Tak mampu aku menjawab tidak, karena aku punya sedikit pengetahuan tentang kitab itu. Dan tak mampu kujawab bisa, karena aku memang tak mengerti ke mana larinya kitab itu sebenarnya. Tetapi setahuku kitab tersebut hilang sebelum Arum Kafan dan saudara-saudaranya lahir dan Nyai Pancung Layon sudah mencoba mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' beberapa kali, namun selalu gagal. Demikian juga Eyang Panjar Pitu, yang gagal mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut."

Suto tak ingin menyela kata ataupun tanya, karena ia ingin Ki Darma Paksi menceritakan apa saja yang diketahuinya, baru nanti Pendekar Mabuk bertugas menyimpulkannya. Maka, Ki Darma Paksi pun mulai berkata lagi,

"Kegagalan itu membuat antara Eyang Panjar Pitu dengan Nyai Pancung Layon semakin sering mengejek dan sering bermusuhan, sehingga Nyai Pancung Layon sesumbar, bahwa ia tidak akan punya keturunan sampai ketujuh jika ia tidak bisa mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut. Dalam sesumbar dan tekadnya, Nyai Pancung Layon mengatakan, bahwa ilmu 'Kidung Mantera Gaib' hanya pantas dimiliki dan dikuasai oleh keturunannya saja. Sedangkan keturunan dari Eyang Panjar Pitu tak punya kelayakan untuk memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib'."

Ki Darma Paksi menghentikan kisahnya sebentar. Pelayannya yang bungkuk itu sudah menghidangkan sepoci arak dan dua cangkir kosong. Ki Darma Paksi menuangkan secangkir arak untuk Suto dan secangkir lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian mereka sama-sama meminum arak tersebut, setelah itu Ki Darma Paksi berkata lagi,

"Di lain waktu, Ki Panjar Pitu pernah bicara padaku dengan sebuah kelembutan dan sentuhan batin yang hangat, bahwa ayahnya yang bergelar Manusia Tembus Raga itu kelak suatu saat akan menitiskan ilmu itu kepada salah satu keturunannya, tanpa perlu susah payah mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' apabila waktunya telah tiba. Tentang siapa yang mendapat titisan ilmu setan itu, tak seorang pun mengetahuinya, termasuk aku sendiri, Suto."

"Mengapa Ki Darma mengatakan ilmu setan?"

"Karena bagi orang yang tidak kuat jiwanya, memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' bisa menjadi setan berjiwa iblis! Godaan pada jiwa orang yang memiliki ilmu itu sangat besar. Hanya jika orang itu bisa mengendalikan jiwanya maka ilmu tersebut menjadi putih dan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan kejujuran."

Pendekar Mabuk kembali manggut-manggut dan setelah beberapa kejap membungkam mulut sendiri, kini ia mulai menarik kesimpulan, "Jadi Nyai Pancung Layon bertekad untuk menurunkan ilmu itu kepada salah satu keturunannya? Apakah itu berarti Nyai Pancung Layon yang mencuri dan menyembunyikan kitab tersebut, Ki Darma?"

"Secara benar aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, Suto Sinting. Tetapi dalam kaitan tekad dan kemauan keras Nyai Pancung Layon, kesimpulanmu itu mendekati kebenaran, namun bisa menjadi meleset jika ada pihak lain yang memanfaatkan tekad dan kemauan Nyai Pancung Layonitu!"

"Memang," kata Suto Sinting sambil menganggukkan kepala. "Tapi ditinjau dari nafsu sang Nyai, rasa-rasanya dia pantas mempunyai tindakan licik dan curang, seperti misalnya menyembunyikan kitab tersebut agar dipelajari oleh keturunannya kelak."

"Benar sekali pemikiran jernihmu itu, Suto."

"Kecuali memang ada pihak lain yang memanfaatkan nafsu Nyai Pancung Layon. Dan menurut Ki Darma Paksi sendiri, apakah ada pihak lain yang bernafsu untuk memiliki Kitab Lontar Gegana itu?"

"Banyak sekali," jawab Ki Darma Paksi. "Para tokoh persilatan pada masa itu sama-sama memburu kitab tersebut karena tergiur oleh kedahsyatan jurus ilmu 'Kidung Mantera Gaib' itu. Satu-satunya tokoh sesat yang pada waktu itu memburu terang-terangan kitab tersebut adalah Loh Pati, yang kini mempunyai sisa keturunannya seorang tabib hitam yang tinggal di lereng Gunung Batu Wulung. Tabib hitam itu punya jalan sesat tersendiri dan ia dikenal dengan nama Cakra Wulung. Usianya sekitar empat puluh atau lima puluh tahun."

"Jadi menurut Ki Darma Paksi, ada kemungkinan kitab itu jatuh ke tangan Cakra Wulung?"

"Benar itu hanya kemungkinan, tapi jangan kau jadikan suatu kepastian. Yang bisa dijadikan suatu kepastian, bahwa pada masa itu Loh Pati pernah masuk ke kamar pusaka peninggalan si Manusia Tembus Raga, namun segera melarikan diri setelah diketahui oleh Nyai Pancung Layon. Apakah pelarian Loh Pati berhasil membawa lari kitab itu, atau Nyai Pancung Layon memanfaatkan kesempatan itu untuk menyembunyikan Kitab Lontar Gegana. Yang jelas, sejak saat itu Kitab Lontar Gegana dinyatakan hilang. Sedangkan menurut indera keenam Ki Bayan Maruto atau Manusia Tembus Raga itu, tak satu pun ada barang yang disentuh oleh Loh Pati. Apakah pada saat itu indera keenam Ki Bayan Maruto telah tidak setajam dulu atau memang ucapannya itu benar. Yang jelas, pada waktu itu Ki Bayan Maruto dalam keadaan sudah tua sekali, bahkan berkesan pikun. Satu purnama sejak dinyatakannya kitab itu hilang, Ki Bayan Maruto meninggal, dan Nyai Pancung Layon saling tuduh dengan Ki Panjar Pitu."

"Apakah... apakah pada waktu lenyapnya kitab tersebut, Ki Panjar Pitu sudah menikah?"

"Sudah menikah," jawab Ki Darma Paksi. "Bahkan Ki Panjar Pitu sudah mempunyai anak pertama berusia delapan tahun, yaitu ayahnya Arum Kafan. Sedangkan Nyai Pancung Layon sudah mempunyai dua anak yang kemudian menurunkan si Urat Iblis dan keempat saudaranya yang bergelar Empat Raja Sesat itu."

Setelah kembali meneguk arak suguhannya, Suto Sinting mengajukan pertanyaan yang ia sendiri tak bisa menemukan jawabannya, "Jadi menurut Ki Darma Paksi, apa yang harus kulakukan sekarang untuk melacak hilangnya Kitab Lontar Gegana itu?"

"Sebagai manusia menjelang ajal, tak banyak yang bisa kusarankan kepadamu kecuali hiduplah dengan teratur dan baik bagi dirimu sendiri juga berguna bagi hidup orang lain. Kalau kau ingin sambangi Tabib Hitam Cakra Wulung itu, adalah langkah yang bukan merupakan suatu keharusan, tapi juga bukan hal yang salah semasa kau tidak main tuduh terhadapnya! Menyelidiki seseorang tanpa menyinggung perasaannya adalah tindakan yang tersulit dalam kehidupan ini, Suto."

Pada intinya Ki Darma Paksi sebenarnya menyarankan agar Pendekar Mabuk menyelidiki Cakra Wulung di lereng Gunung Batu Wulung itu. Tetapi karena bahasanya berputar-putar akhirnya Suto garuk-garuk kepala sendiri merasa pusing mengartikan kesimpulan bicara Ki Darma Paksi.

* * *

LIMA
PULANG dari pondok Ki Darma Paksi, Suto Sinting kembali menyusuri tepian sungai untuk melihat ikan Sepat Dewata yang bisa tembus pandang itu. Tetapi alangkah terkejutnya Suto setelah mengetahui dua ikan perak mati mengambang di tepian sungai tersangkut batu. Kemudian tak jauh dari situ, Suto jug menemui seekor ikan tembus pandang menggelepar mati di atas permukaan air. Dan beberapa ikan lainnya mengambang tak bernyawa, sebagian hanyut terbawa arus sungai yang tak seberapa deras itu.

"Racun...?!" gumam Suto ketika melihat ikan tembus pandang itu mempunyai warna kebiru-biruan bagai asap dalam dagingnya yang bening itu.

Jika bukan karena memandang ikan tembus pandang mirip kaca, Suto tak tahu penyebab kematian ikan-ikan di situ. Hati Pendekar Mabuk itu sempat merasa dongkol dan kecewa. Ia merasa kasihan terhadap ikan-ikan itu. Dan ketika ia memandang ke arah hulu sungai, tiba-tiba ia temukan seseorang yang sedang membuang guci kecil ke sungai. Guci itu hanyut terbawa arus air dan di tangkap oleh Suto. Hidung Suto mengendus mulut guci itu. Memeriksa kedalamannya, memeriksa bagian luarnya, ternyata masih tersisa serbuk hitam melekat di tepian mulut guci.

"Hmm...! Ini racunnya! Jadi orang pendek itu tadi yang menuang racun ke hulu sungai?! Apa maksudnya?! Bukankah... bukankah aliran sungai ini yang mengalir sampai di samping rumah Arum Kafan dan airnya biasa dipakai untuk minum atau memasak? Ini berarti Arum Kafan bisa mati keracunan jika minum air ini mulai dari sekarang! Ah, sebaiknya kukejar saja orang pendek berpakaian hitam tadi!"

Zlappp...! Pendekar Mabuk melesat melebihi gerakan angin. Dalam waktu sekejap ia sudah bisa menemukan orang bertubuh sedikit gemuk dan tergolong pendek, walau bukan cebol. Suto berdiri menghadang di depan langkah orang berpakaian hitam-hitam itu, yang tak lain adalah Dogol, murid Tulang Neraka yang ditugaskan meracuni air sungai tersebut untuk membunuh Arum Kafan dan adik-adiknya.

Si wajah rusak akibat bekas sabetan golok itu menjadi terkejut ketika melihat seseorang berdiri menghadangnya. Langkahnya pun terhenti seketika dengan matanya tajam memandang penuh curiga. "Mau apa kau menghadangku?" Dogol menggertak.

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis dan menjawab, "Mau bertanya padamu, benarkah kau telah menuang racun ke dalam air sungai itu?!"

"Ya. Benar!" jawab Dogol jujur-jujur saja. Menurutnya, kalau dia berani menjawab jujur begitu, berarti ia berani menghadapi tantangan siapa saja.

"Untuk maksud apa kau membuang racun ke sungai bening itu?"

"Untuk meracuni air sungai!"

"Apakah kau pencari ikan?"

"Bukan!"

"Lantas untuk apa kau meracuni air sungai?"

"Supaya mematikan jika diminum orang!"

"Apakah kau mempunyai dendam dengan orang orang sepanjang tepian sungai itu?"

"Tidak!"

"Lantas, untuk apa kau ingin mematikan orang yang meminum air sungai itu?"

"Karena tugas!" jawab Dogol tanpa tipuan sedikit pun.

"Tugas dari siapa?" desak Pendekar Mabuk semakin ingin tahu.

"Dari guruku!"

"Tugas yang bagaimana sebenarnya?"

"Tugas membunuh keluarga Arum Kafan!"

Terperanjat Suto mendengar jawaban polos yang sok jago itu. Matanya segera terkesiap memandang Dogol. Dilihat dari kemudaan usianya, Suto mulai curiga jangan-jangan guru pemuda itu adalah Tabib Hitam si Cakra Wulung itu? Maka, bertanyalah Suto kepada pemuda berwajah rusak itu, "Siapa gurumu yang agung itu?"

"Tulang Neraka!" jawab Dogol, merasa mantap menjawabnya setelah mendengar Suto mengagungkan gurunya.

"Ooo... jadi kamu orang suruhan Tulang Neraka?"

"Murid Tulang Neraka!" kembali Dogol menjawab dengan bangga. "Dan kalau aku sudah menamatkan belajarku dari guruku si Tulang Neraka, maka aku akan mengubah nama menjadi Pendekar Sumsum Neraka!"

Tak tahan Pendekar Mabuk mendengarnya, maka ia pun tertawa geli.

"Diam! Jangan meremehkan gelarku nanti!" bentak Dogol berlagak galak. Ia belum tahu siapa orang yang dihadapinya. Ia hanya menyangka yang dihadapi adalah seorang pemabuk, terbukti menenteng bumbung tuak terus sejak tadi.

"Tak mudah mendapat gelar pendekar, Sobat! Seorang pendekar harus punya jiwa ksatria, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, menolong banyak orang dan berani berjalan di jalur kebenaran, menegakkan keadilan dan..."

"Tutup mulutmu! Tak perlu kau berceloteh mengguruiku!" Srett...! Dogol mencabut goloknya dengan wajah garang. Lalu, ia berkata dengan menggertak, "Minggir kau dari jalanku, dan jangan ganggu aku kalau masih ingin melihat matahari esok pagi!"

Suto tertawa pendek. Tawanya Suto itu dianggap suatu penghinaan buat Dogol. Karena itu, Dogol tak bisa tahan diri lagi, maka ia pun melompat dengan goloknya siap dibacokkan ke arah kepala Pendekar Mabuk.

"Hiaaat.!"

Clapp...! Golok itu masuk di antara kedua jari Suto Sinting. Menjepit kuat sekali kedua jari itu di depan wajah Suto yang sedikit ditarik mundur. Kemudian dengan satu sentakan kecil ke kiri, golok itu pun patah seketika. Krakk...! Sisa patahannya masih terjepit di kedua jari Pendekar Mabuk. Sisa patahan terutama bagian ujung golok itu, segera dilemparkan oleh Suto dengan tangan berkelebat ke samping.

Zingngng...!

Jrubb...! Ujung golok itu menancap di sebuah batang pohon, dan bahkan lenyap masuk ke dalam batang yang keras.

Dogol semakin terbengong. Pertama terbengong melihat goloknya bisa ditangkap dengan dua jari, kedua terbengong karena melihat goloknya bisa dipatahkan dengan gerakan ringan dan mudah, ketiga terbengong karena patahan golok bisa menancap hilang ke batang pohon yang keras. Terbayang olehnya alangkah ngerinya jika patahan logam baja dari goloknya itu menancap ke dadanya. Jika batang pohon sekeras itu bisa tembus, apalagi dadanya yang empuk. Mungkin malahan bisa tembus bolong lewat punggungnya. Di dalam hati Dogol masih sempat berkata,

"Orang ini benar-benar sakti atau hanya kebetulan saja dia menjadi sakti? Mungkin memang golokku telah rapuh, dan gerakanku tadi kurang cepat!"

Itulah sebabnya, Dogol cepat melepaskan serangan lagi dengan sebuah tendangan yang melompat dan berputar cepat. Zlapp...! Tendangan Dogol mengenai tempat kosong. Ia bagaikan menendang angin, karena tiba-tiba Pendekar Mabuk sudah berpindah tempat, berada di belakangnya agak jauh, antara berjarak lima tombak.

"Edan orang itu!" katanya dalam hati. "Cepat sekali gerakannya. Tahu-tahu ada di sana! Atau... jangan-jangan ia terhempas terbang karena terkena kibasan angin tendanganku saja?! Hmmm...! Kalau begitu aku harus menyerangnya terus, supaya dia terdesak dan akhirnya merasa jera dengan sikapnya yang angkuh memandangku dan tersenyum padaku itu!"

"Manusia belut!" katanya kepada Suto, "Terimalah pukulan jurus 'Harimau Garang' ini, hiaaat...!" Dogol melompat maju seperti seekor harimau ingin menerkam mangsanya. Kedua telapak tangannya siap dihempaskan dalam satu gerakan bersamaan. Tetapi belum tercapai maksudnya itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan melintas di depannya.

Wuttt...!

"Aaauh...!" Tiba-tiba terdengar suara Dogol menjerit sebelum ia jatuh ke tanah. Dan ketika ia jatuh ke tanah, ternyata tangan kanannya dulu yang jatuh, setelah itu disusul dengan tubuhnya yang rada gemuk itu.

Pluk, bluggh...!

Pendekar Mabuk pun terkesiap melihat tangan kanan Dogol dalam keadaan putus terpotong. Dogol meraung kesakitan, darah mengucur ke sekujur tubuh, karena tangan itu putus dari batas pergelangan sikunya. Segera Suto berpaling memandang ke arah berlawanan dengan jatuhnya Dogol. Dan mata Suto kembali terkesiap melihat seraut wajah cantik jelita telah berdiri di sana dengan pedang panjang tergenggam memakai dua tangan. Wajah cantik itu berdiri agak miring, seakan siap tebaskan pedang panjangnya lagi jika Suto atau siapa pun maju menyerangnya.

Dogol segera bangkit dengan meratap-ratap. Melihat orang yang masih memegang pedang dengan berlumur darah pada bagian tepiannya, Dogol menjadi sangat gemetar, kemudian tanpa bicara apa-apa ia pun segera lari pergi dari tempat itu.

Wuttt...! Beberapa saat dia kembali lagi. Wuttt...! Potongan tangannya ketinggalan, dan kini diambilnya dengan rasa takut, kemudian pergi lagi dengan berlari secepat-cepatnya. Wuttt...!

"Kulaporkan kau pada guruku!" teriaknya sambil menjauh dan cepat menghilang di semak-semak belukar sana.

Kini tinggal Pendekar Mabuk dan perempuan cantik itu. Perempuan itu memandang Suto dengan wajah judes, mulutnya masih cemberut, itu lantaran tadi ia menebas tangan Dogol. Dan agaknya ia memang punya kejengkelan atau dendam kepada Dogol, sehingga cemberut di wajahnya belum hilang, walaupun kini yang dihadapi adalah seorang pemuda tampan berwajah menarik.

"Gerakan pedangmu cukup hebat! Kau pasti jago memainkan pedang, dan mungkin menguasai jurus pedang yang dahsyat! Caramu berkelebat bisa memilih mana yang tangan dan mana yang kepala. Dan aku yakin kau sengaja tidak membunuh orang tadi, namun hanya melukainya sebagai pelajaran bagi orang itu!"

Gadis cantik yang wajahnya sungguh mempesona itu diam saja, tapi sudah mulai mengendurkan ketegangannya. Bahkan mengambil beberapa helai daun semak, lalu membersihkan pedangnya, dan dimasukkan kembali ke dalam sarung pedang yang ada di punggungnya. Sarung pedang itu tersembul dari celah-celah rambutnya yang panjang sebatas lewat punggung dan diurai lepas. Ia mengenakan jubah tipis warna hijau muda dengan pakaian pinjung hitam sebatas dada. Tersembul jelas warna dada dalam belahan kulit kuning langsat yang mulus menggiurkan hati lelaki.

"Ini lebih cantik lagi," gumam Suto Sinting dalam hatinya yang berseri-seri memuji kecantikan perempuan itu. "Ia kelihatan lebih cantik dari Arum Kafan atau Kembang Darah, atau si Delima Ungu. Dan ia kelihatan lebih matang. Matanya pun menantang nakal, bibirnya berbentuk sangat indah. Bentuk wajahnya yang sedikit lonjong, sangat sesuai dengan bentuk hidungnya yang mancung. Wahai, siapa gerangan dia, ya Dewa? Mengapa ia amat mengagumkan dan menawan hatiku?"

Perempuan itu tergolong tinggi, tapi badannya sekal dan kencang, sehingga tidak tampak canggung. Ia mempunyai ketinggian tubuh sejajar dengan Pendekar Mabuk. Layak menjadi prajurit Srikandi. Jari-jarinya lentik berkuku panjang namun bukan runcing. Betisnya indah, dan sangat serasi mengenakan celana ketat bludru berhias benang perak.

"Aku tak pernah sekagum ini padamu, Perempuan," ucap Pendekar Mabuk tak sadarkan diri. "Aku tak pernah berdebar-debar seperti ini!" dalam hati Suto berkata, "Selamatkan aku dari godaan, ya Dewa...!"

Perempuan itu mulai berwajah manis. Tidak cemberut lagi. Suto makin berdesir-desir hatinya. Bahkan ketika perempuan itu tersenyum, jantung Suto berdetak cepat sekali. Namun di dalam hatinya Suto kembali berkata dengan mata tetap memandang kecantikan itu,

"Kurasa dia mempunyai ilmu pemikat hati lelaki! Tinggi juga ilmu pemikatnya itu, sehingga aku dibuat berdebar-debar begini!"

Perempuan itu tetap diam di tempat. Matanya memandang ke arah lain, bagai mencari sesuatu dengan sekejap, kemudian kembali menatap Suto Sinting lagi.

"Apakah kau sudah sejak tadi memperhatikan aku menghadang pemuda rusak wajah itu?!" tanya Pendekar Mabuk.

Perempuan itu hanya mengangguk. Kemudian memandangi tanaman liar yang berbunga. Sambil memunggungi Suto ia berkata, "Telah kudengar percakapanmu dengan si Dogol tadi. Dan aku merasa aneh, mengapa kau bernada marah dan curiga ketika Dogol mengatakan menuang racun ke dalam sungai!"

"Karena sungai itu mengalir di samping kediaman sahabatku, Arum Kafan dan kedua adiknya. Jika air itu diminum, maka Arum Kafan dan kedua adiknya bisa mati!"

"Kekasihmukah Arum Kafan itu?" tanyanya masih sambil memetik-metik bunga. Seakan acuh tak acuh pada Suto.

Terdengar suara Suto menjawab di sela tawanya yang mirip orang menggumam panjang itu, "Bukan. Dia bukan kekasihku. Tapi hubunganku cukup baik dengan ketiga saudara itu!"

"Cantikkah mereka itu menurutmu?"

"Lebih cantik kamu. Boleh kutahu siapa namamu?"

Gadis itu memandang. Bibirnya yang rapat menyunggingkan senyum kecil, membuat jantung Pendekar Mabuk semakin bergemuruh lagi. Kemudian ia kembali memetik-metik bunga, memunggungi Suto dengan lagak acuh-acuh butuh, dan terdengar lagi ia bersuara lembut,

"Yang penting adalah namamu. Namaku tak seberapa penting bagi siapa saja!"

"Namaku Suto Sinting."

Cepat-cepat wajah itu memandang bagai orang terkejut. Bibirnya tetap terkatup rapat tanpa senyum. Matanya tak berkedip walau bukan berarti membelalak lebar. Mata itu menatap lurus menembus Pendekar Mabuk dan menggetarkan hati kembali. Suto menggerutu terus di dalam benaknya, karena getaran itu membahayakan jiwanya. Suto tahu, getaran itu adalah daya pikat yang sukar dihindari. Untung perempuan itu kembali melangkah melemparkan pandangannya pada alam sekeliling, bersikap tak memandang Suto ketika Suto bertanya kepadanya,

"Kau sepertinya terkejut. Apakah kau pernah mendengar namaku?"

"Hanya mendengar," jawabnya sambil acuh tak acuh, tetap tak mau bicara memandang Pendekar Mabuk. Bahkan sekarang ia memperhatikan batang pohon yang tadi tertancap patahan ujung golok. Ia memegang, meraba-raba bagian yang ditancap patahan ujung golok itu sambil berkata, "Namamu cukup kondang. Hampir semua tokoh dunia persilatan mengetahui, bahwa Suto Sinting itu adalah Pendekar Mabuk. Tapi orang seperti aku hanya tahu nama saja, dan baru sekarang berhadapan langsung dengan orangnya. Itu pun masih tak kutahu, mengapa ia berjuluk Pendekar Mabuk. Mabuk apakah dia? Aku tak tahu, mungkin mabuk tuak, mungkin mabuk cinta, atau mungkin mabuk gandung... entahlah!" bahunya berguncang satu kali tanda tak mengerti dengan pertanyaannya sendiri.

Pendekar Mabuk tertawa pelan, setelah itu meneguk tuaknya beberapa kali. Perempuan itu tiba-tiba menghantam pohon tersebut dengan telapak tangannya. Degg...! Zlubb...! Patahan ujung golok yang menancap ke dalam batang pohon itu melesat keluar dari tempatnya dan jatuh di depan kaki Pendekar Mabuk.

Pluk...!

"Aih, unjuk ilmu juga dia rupanya?!" Suto membatin diam-diam. Lalu ia tersenyum ketika perempuan itu melangkah mendekatinya tanpa sunggingkan senyum lagi. Tapi wajahnya masih berkesan menawan.

Tiba di depan Suto, dalam jarak satu langkah, ia memandang dengan senyum tipis sengaja dibuat memikat dan mempercantik wajahnya. Suto tertegun memandangnya dalam sekejap. Ia tahu perempuan itu bukan sekadar mendekat untuk menatap wajahnya, namun juga ingin mengambil logam yang keluar dari batang pohon itu. Alasan tersebutlah yang digunakan untuk menatap wajah Suto dekat-dekat. Dan Suto sendiri segera sentakkan kakinya pelan ketanah.

Dugg...!

Tiba-tiba logam yang keluar dari pohon dan jatuh di depannya itu melesat naik bagai tersentak dari bawah tanah. Tabb...! Logam itu langsung ditangkap oleh Suto. Digenggam, kemudian genggamannya disodorkan ke depan, dan tangan itu pun membuka seakan menyerahkan logam itu biar diambil oleh perempuan tersebut.

Suto tetap sunggingkan senyum, seakan puas membalas pamer ilmu kecil-kecilan itu. Perempuan tersebut juga semakin nyata dalam sunggingkan senyumnya, kemudian mengambil logam tersebut dari tangan Suto. Caranya mengambil bukan hanya menyentuh logam itu, namun juga menyentuh tangan Suto, seakan meremasnya lembut lalu menariknya lolos. Dan kini logam berpindah ke tangannya, digenggam olehnya seakan ingin ditunjukkan, apa yang terjadi setelah logam itu dalam genggamannya.

Tetapi kejap berikutnya matanya sedikit terkesiap melihat telapak tangan Suto yang masih terbuka itu ternyata tidak kosong, melainkan masih terdapat logam tersebut di atasnya. Perempuan itu menatap mata Suto buru-buru, dan Suto berkata,

"Tak bisakah kau mengambilnya sekali lagi?"

Perempuan itu buru-buru pula membuka genggaman tangannya. Ternyata dalam genggaman tangannya itu kosong. Tak ada benda apa pun. Padahal dia tadi merasa telah mengambilnya dari tangan Suto.

"Ambillah seperti tadi lagi, rasa-rasanya begitu menyentuh sampai ke dasar kalbuku!" kata Suto Sinting dengan suara lembutnya.

Tapi kali ini perempuan itu mengambilnya pelan-pelan. Terlihat jelas jari-jemarinya yang lentik indah itu memungut benda tersebut. Hanya saja, secara tiba-tiba badannya bergerak memutar dan benda itu dilemparkan dalam satu kelebatan tangannya.

Wuttt...!

"Aauh...!" terdengar suara dari balik kerimbunan semak. Kejap berikutnya seorang perempuan berpakaian kuning melompat dari semak itu dengan pundaknya berdarah karena terserempet lemparan benda logam itu.

Suto sempat terkejut melihat munculnya perempuan tak dikenal itu. Ia mengakui kehebatan indera perempuan cantik berjubah hijau muda itu yang cukup peka, sehingga mengetahui ada orang yang mengintipnya dari balik semak.

"Perempuan lacur! Bersiaplah menerima kematianmu untuk menebus nyawa kakakku yang kau cabut seenaknya itu!" teriak perempuan berpakaian kuning itu. "Kau boleh bangga bisa membunuh Pramana, tapi jangan harap kau bisa lolos dari tanganku! Hiaaat...!"

Settt...! Perempuan cantik berjubah hijau muda itu mencabut pedangnya, sementara lawannya yang berbaju kuning sudah menggenggam pedang sejak tadi. Kini mereka beradu pedang dalam satu lompatan udara. Wrettt...! Dan tiba-tiba lengan si baju kuning berdarah. Lengan itu koyak tertebas pedang si jubah hijau.

"Hmm...! Tak seimbang!" kata Pendekar Mabuk dalam hati. "Bisa mampus itu si baju kuning! Jubah hijau bukan lawannya...! Dan... dan... oh, hampir aku lupa! Aku harus cepat-cepat memberitahukan Arum Kafan bahwa air sungai itu beracun! Aku harus segera mencegahnya supaya jangan ada yang minum atau memasak menggunakan air sungai itu!"

Suto memutuskan untuk meninggalkan pertarungan dua perempuan tersebut, ia segera melesat pergi dalam kecepatan tinggi, menuju ke rumah Arum Kafan. Tak peduli lagi ia dengan si wajah cantik yang mampu menggetarkan hatinya tadi.

* * *

ENAM
REMBULAN bertengger di pucuk awan. Cahaya purnama menyiram bumi, membias di celah-celah dedaunan, menghadirkan bunga-bunga kemesraan yang tumbuh sendiri di dalam hati setiap manusia yang sedang dilanda damai. Di sela-sela bias purnama itu, Suto Sinting berdiri memandang curahan air sungai dari ketinggian halaman rumah Arum Kafan. Hampir saja ia terlambat memberitahukan Arum Kafan tentang air sungai yang dicemari oleh racun si Dogol, utusan Tulang Neraka.

Untung pada waktu kemarin, Suto datang tepat ketika Arum Kafan mau mengambil air untuk mengisi tempayannya. Belum sempat air itu terambil, Pendekar Mabuk telah datang dan membawa kabar tentang racun tersebut. Selamatnya mereka dari ancaman air sungai beracun, tidak menjadi bahan pembicaraan yang panjang.

Sesuatu yang membuat lebih menarik dibicarakan adalah kemungkinan adanya kitab pusaka di tangan Cakra Wulung. Tetapi Arum Kafan dan kedua adiknya itu sependapat, bahwa Cakra Wulung telah mati di tangan kakak mereka, yaitu Dewi Taring Ayu. Dan sejak itu, Dewi Taring Ayu jarang sekali pulang ke rumah. Apakah itu berarti Dewi Taring Ayu berhasil membawa lari dan menyembunyikan kitab tersebut dari tangan Cakra Wulung?

Hal inilah yang menjadi bahan renungan Suto, ketika ia memandangi gemericik air sungai dari pinggir halaman rumah tua tersebut. Jika memang benar Kitab Lontar Gegana ada di tangan Dewi Taring Ayu, lantas apa tindakan Suto selanjutnya? Merebut kitab itu, ataukah membiarkannya? Bukankah Dewi Taring Ayu berhak memiliki kitab tersebut ketimbang Suto atau orang lain?

Sementara Pendekar Mabuk di luar, ketiga gadis cantik itu berkumpul di ruang atas, tempat mereka bisa memandang keadaan di sekeliling kediamannya itu. Arum Kafan memandang dari arah jendela ruang atas kediamannya. Ia memperhatikan Pendekar Mabuk yang merenung sendirian di sudut halaman rumah itu. Kembang Darah dan Delima Ungu sedang bicara pelan-pelan. Kembang Darah sedang memberi pengertian seluas-luasnya kepada adik bungsunya tentang perasaan hati, perbedaan cinta, dan kasih sayang, perbedaan kagum dan terkesan.

Tiba-tiba terdengar suara Arum Kafan agak datar berkata tanpa memandang ke arah kedua adiknya, "Kembang, jemput Suto dan bawa masuk dia!"

Delima Ungu segera berkata, "Mengapa terus Kembang yang kau suruh?"

"Siapa saja di antara kalian berdua, jemput Suto dan bawa masuk secepatnya! Lekas!" nada itu sedikit membentak, berkesan tegang.

Nada itu membuat Kembang Darah dan Delima Ungu saling memandang Arum Kafan dengan dahi berkerut. Kembang Darah segera bertanya, "Ada apa?!"

"Lekas kataku!" bentak Arum Kafan bernada datar dan keras.

"Iya, tapi ada apa kau perintahkan kami begitu?!" Delima Ungu ikut membela pendapat Kembang Darah.

"Seseorang sedang menuju kemari! Lihatlah sendiri!"

Keduanya segera bergegas ke jendela. Keduanya sama-sama terperanjat dan menjadi sedikit tegang. Yang jelas, kecemasan mulai menyelimuti hati mereka! Delima Ungu yang bertanya tanpa memandang siapa-siapa, kecuali memandang orang yang sedang menuju ke tempatnya,

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Sembunyikan Suto dan jangan bicara tentang Suto!"

"Bagaimana jika dia bertanya kepada kita tentang rencana menyembunyikannya?!" tanya Kembang Darah.

"Katakan saja ada bahaya!"

"Dia pasti ingin menghadapi bahaya itu!"

"Katakan ini bahaya yang tidak bisa dihadapinya!"

"Lalu dia minta dijelaskan! Bagaimana kalau begitu?"

Arum Kafan diam sebentar. Ia sembunyikan kegelisahan yang mencemaskan hatinya. Tapi akhirnya ia berkata, "Bawalah dia kemari, aku yang akan menjelaskannya!"

Tiba-tiba Delima Ungu yang masih berdiri di jendela segera berkata, "Terlambat!"

Kedua kakaknya berpaling menatapnya dengan mata terbuka tegang. "Apa maksudmu?"

"Suto telah melihat kehadirannya! Ia sedang mendekati Suto!"

Kedua kakaknya segera ke jendela. Arum Kafan menggeram, "Sial! Kita terlalu banyak bicara! Kita turun semua! Hadapi dia!"

Pada saat itu Suto Sinting diliputi keheranan, tapi juga mempunyai kelegaan yang aneh di dalam hatinya. Ia memandang kehadiran seorang perempuan yang wajahnya tak asing lagi baginya. Perempuan itu berjubah hijau muda dan berpakaian ketat hitam. Perempuan itulah yang dilihat Suto mempunyai gerak jurus pedang cukup bagus, dan berhasil memotong tangan utusan Tulang Neraka.

Perempuan itu kali ini mendekati Pendekar Mabuk dalam curahan cahaya rembulan terang. Suto lebih dulu sunggingkan senyum melihat kedatangan perempuan itu, dan si perempuan membalasnya dengan senyuman tipis, tapi pandangan matanya menggoda.

"Dari mana kau tahu aku ada di sini?!" tanya Suto dengan kalem.

Perempuan itu tidak langsung menjawab, tapi ia semakin mendekati Pendekar Mabuk, hingga kini jaraknya tinggal dua langkah dari depan Suto. Hati Suto semakin berdebar-debar digeluti rasa tertarik kepada perempuan itu. Semakin lama ia dipandangi perempuan cantik yang punya bibir indah itu, semakin cepat detak jantungnya.

"Maaf, kala itu kutinggalkan dirimu dengan si baju kuning, karena aku harus memberitahukan sahabat- sahabatku tentang air sungai yang beracun itu! Dan... dan aku tak tahu di mana kau berada, sehingga aku tak sempat mendatangi tempat tinggalmu!"

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang perempuan itu, "Jauhi dia! Kali ini jangan ganggu dia! Kami akan, melawanmu kalau kau menggangu dia!"

Ucapan itu jelas terdengar dari mulut Arum Kafan. Ucapan itu merupakan sebuah larangan sekaligus ancaman untuk perempuan cantik berjubah hijau itu. Suto Sinting berkerut dahi melihat Arum Kafan mendekati perempuan itu dengan wajah bermusuhan, juga Kembang Darah yang sudah menenteng pedangnya, dan Delima Ungu sudah mencabut salah satu kipasnya yang dikembangkan. Kembang Darah dan Delima Ungu segera mendampingi Suto, di sebelah kanan-kiri pemuda itu. Sementara Arum Kafan bicara dengan berdiri di samping perempuan berjubah hijau.

Perempuan itu diam saja. Kalem. Sepertinya ia anggap sepi ancaman Arum Kafan itu. Sepertinya ia anggap tak ada siapa-siapa di sekelilingnya, kecuali dirinya dan Suto Sinting.

"Suto, masuklah ke dalam! Jangan hadapi perempuan ini!"

"Kenapa? Dia tidak menggangguku!" kata Pendekar Mabuk setengah ngotot kepada Arum Kafan.

"Ikutlah kami, Suto! Nanti kami jelaskan," kata Kembang Darah.

Pendekar Mabuk agak bimbang karena bingung. Ia bahkan berkata kepada perempuan berjubah hijau itu, "Haruskah aku mengikuti saran dan ajakan mereka?"

Perempuan itu tersenyum lebar, makin lebar, dan kini bahkan tertawa pelan dengan mulut terbuka. Mata Suto terperanjat kaget, karena ia melihat bahwa ternyata perempuan cantik itu bertaring di kedua sisi mulutnya.

"Wow...! Menyeramkan sekali?!" gumam Suto di dalam hatinya. Ia bagai tak bisa mengedipkan matanya saat itu, karena masih terpaku di tempat, melihat perempuan cantik, menarik hati, namun mempunyai taring tajam dan runcing, walau tak terlalu panjang, namun kelihatan menonjol karena tidak sejajar dengan gigi lainnya.

Suto membatin, "Pantas...! Pantas dia tak mau bicara berhadapan muka denganku! Pantas senyumnya mahal sekali. Rupanya dia menyembunyikan taringnya itu dariku! Tak kusangka cantik-cantik tapi begitu membuka mulut bisa mendirikan bulu kuduk!"

"Kita bicara di dalam, Suto!" Delima Ungu sedikit memaksa sambil menarik lengan Pendekar Mabuk. Maka, tak ada pilihan lain buat Pendekar Mabuk kecuali mengikuti apa kata Delima Ungu itu.

Cahaya rembulan semakin menambah keseraman wajah perempuan itu, ketika si perempuan semakin keras melontarkan tawanya, memandangi Suto dibawa masuk oleh Delima Ungu dan Kembang Darah.

"Siapa dia?!" tanya Suto setelah berada atas.

"Kakak kami Dewi Taring Ayu!" jawab Delima Ungu.

"Ooo...!" Suto manggut-manggut. "Lalu, mengapa aku tak diizinkan menemuinya? Mengapa kalian kelihatannya mencemaskan diriku?"

Delima Ungu akhirnya menjelaskan permasalahan yang sejak tadi dicemaskan oleh ketiga gadis cantik itu, "Dia penghisap darah lelaki!"

"Apa maksudnya?"

"Dia mempunyai aji 'Candra Pamikat'. Setiap lelaki yang dipandangnya akan tunduk kepadanya dan menjadi bergairah, jatuh cinta, terpikat, atau apa lagi Yang jelas lelaki itu akan pasrah jika diajaknya bercumbu di mana saja dan kapan saja! Tetapi, setelah Dewi Taring Ayu merasa puas menikmati lelaki itu, ia akan menggigit leher lelaki itu dan menghisap darahnya sebanyak mungkin!"

Kembang Darah menambahkan kata, "Selama hidupnya sejak kecil, ia tak pernah makan dan minum, kecuali mereguk darah. Kadang darah hewan, tapi yang paling digemari adalah darah manusia lelaki. Menurutnya lebih manis dan lebih mengenyangkan perut."

"Itulah sebabnya," kata Delima Ungu, "Kami tak pernah sempat punya kekasih, sebab selalu diganggu olehnya, selalu mati di dalam pelukannya! Dan kami tidak bisa melawan Dewi Taring Ayu, karena kami terikat wasiat dari mendiang Ayah kami."

"Apa bunyi wasiat itu?!" tanya Pendekar Mabuk dengan berkerut dahi.

"Kami tak boleh membunuh Dewi, apa pun yang dilakukan olehnya. Kami hanya boleh mengusir dia atau menghindari dia, tapi tak boleh membunuh dia!"

"Mengapa?" desak Pendekar Mabuk lagi.

"Karena, sewaktu kami masih kecil-kecil, Ayah dalam keadaan sakit berat, parah sekali! Pada waktu itu, Ibu sudah tiada, kami diserang oleh keluarga Loh Pati, termasuk Cakra Wulung yang masih muda dan kekar itu. Kami semua terancam maut, dan hanya dia yang bisa menyelamatkan dengan ilmu 'Candra Pamikat'-nya. Satu persatu dari lawan kami diajaknya masuk ke kamar dan dibunuh di sana!"

Kembang Darah menambahkan kata, "Waktu itu, Dewi masih sangat remaja, masih berusia sekitar dua belas tahun, masih kelihatan segar dan cantik sekali, lebih cantik dari sekarang. Arum Kafan masih berusia sembilan tahun, dan belum bisa apa-apa! Kalau tidak ada dia, kami sekeluarga sudah dibantai habis oleh keluarga Loh Pati. Satu-satunya orang yang lolos dari maut Dewi Taring Ayu adalah Cakra Wulung!"

Suto manggut-manggut, sementara itu Delima Ungu kembali menambahkan kisahnya, "Kata Ayah, kami berhutang nyawa padanya. Sebab itu, sebelum Ayah menghembuskan napas yang terakhir kalinya, beliau sempat berpesan agar kami tidak boleh membunuh Dewi Taring Ayu, dan Dewi pun tidak boleh membunuh kami. Memang selama ini dia tidak pernah menyakiti kami "

"Tapi mengganggu kekasih kami," sahut Kembang Darah.

Delima Ungu berkata juga, "Itulah sebabnya, kami sepakat untuk pergi meninggalkan rumah ini jika kami mempunyai kekasih dan berusaha untuk tidak mempertemukan kekasih kami dengan Dewi!"

"Karenanya, semula kami ingin sembunyikan kamu, supaya kamu tidak jatuh dalam jeratan aji 'Candi Pamikat'-nya!"

Suto Sinting menyempatkan meneguk tuaknya berapa kali, setelah itu baru berkata, "Sudah terlambat sebenarnya."

"Terlambat bagaimana?" tanya Kembang Darah.

"Aku sudah terpikat dengannya, sejak bertemu di hulu sungai, saat aku melihat Dogol menuangkan racun kesungai itu!"

"Celaka !" gumam Delima Ungu.

"Tapi seperti kau ketahui, aku tidak terbujuk dalam pelukan mesranya! Aku masih hidup dan tidak mengalami luka apa pun! Kuakui, dia mempunyai kekuatan hebat saat menatapku. Hatiku berdebar dan gairahku terbakar. Tapi ia tak tahu siapa diriku. Suto Sinting tak mudah ditundukkan oleh kekuatan seperti 'Candra Pamikat'. Justru yang kukhawatirkan kalau dia yang jatuh terpikat padaku dan memilih mati daripada tak menjadi kekasihku! Itu yang kutakutkan!"

Lalu Arum Kafan muncul, dan semua menjadi diam. Karena di belakang Arum Kafan muncul juga Dewi Taring Ayu yang melangkah dengan angker namun punya kesan wibawa tersendiri di mata adik-adiknya. Ia langsung menemui Suto, membuat Delima Ungu dan Kembang Darah cemas. Arum Kafan memberikan isyarat agar mereka tenang, dan berbisik kepada mereka.

"Sudah kubicarakan dengannya saat di bawah tadi! Dia tak akan mengganggu Suto! Tenang saja!"

Terdengar Pendekar Mabuk yang beradu pandang dengan Dewi Taring Ayu itu berkata di sela senyum ketenangannya, "Tak kusangka kalau kau adalah kakak dari ketiga saudara ini!"

"Tak kusangka pula kau mencari Kitab Lontar Gegana!" kali ini Dewi Taring Ayu bicara dengan berhadapan muka dengan Pendekar Mabuk, tak malu lagi memperlihatkan giginya yang bertaring runcing itu.

"Rupanya Arum Kafan sudah bicara padamu siapa aku?"

"Ya. Dan aku tahu kau mencurigai aku sebagai si pembawa Kitab Lontar Gegana dari tangan Cakra Wulung!"

Suto tersenyum canggung jadinya. "Apakah kau merasa begitu?!"

"Aku hanya merasa dicurigai, tidak merasa memiliki kitab pusaka tersebut!" jawab Dewi Taring Ayu. "Yang ingin kutanyakan padamu, siapa yang menyuruhmu mengambil kitab pusaka itu?"

Rupanya saat itu Arum Kafan juga menunggu jawaban dari Suto Sinting. Demikian pula Kembang Darah dan Delima Ungu. Mereka sama-sama menunggu jawaban dan ingin tahu siapa yang mengutus Pendekar Mabuk melacak hilangnya jejak kitab pusaka tersebut. Kejap berikutnya, Suto pun akhirnya menjawab, "Guruku!"

"Siapa gurumu?" desak Dewi Taring Ayu. "Si Gila Tuak!"

Dewi Taring Ayu bergerak mundur bagai orang terkejut. Arum Kafan juga tersentak napasnya dengan mulut sedikit ternganga, sedangkan Kembang Darah dan Delima Ungu segera saling pandang dengan dahi berkerut.

"Mengapa kau terkejut mendengar nama guruku?" tanyanya kepada Dewi Taring Ayu.

"Ki Sabawana, atau si Gila Tuak, adalah kakak dari kakek buyut kami, yaitu Eyang Buyut Bayan Maruto alias Manusia Tembus Raga!"

"Kakak-beradik...? Tapi, Guru tidak pernah menceritakan hal itu padaku! Jangan-jangan kau salah menarik silsilah, Dewi!"

"Tidak. Cukup lama kupelajari silsilah itu, bahwa Eyang Buyut Manusia Tembus Raga itu adalah adik dari Ki Sabawana, tapi mereka hanya adik satu ayah lain ibu. Sekalipun hanya adik satu ayah dan lain ibu, namun persaudaraan beliau cukup erat dan baik. Jadi, aku memanggil gurumu dengan sebutan.... Eyang Buyut juga!"

Arum Kafan menambahkan kata, "Pantas kau punya tuak seampuh itu!"

Dewi Taring Ayu berkata, "Dan pantas pula kau mampu menahan aji 'Candra Pamikat'-ku! Pasti kau telah memiliki 'Sukma Pamikat' dari adik perguruan si Gila Tuak, yaitu Bidadari Jalang!"

Suto Sinting hanya tersenyum malu, tak berani memandang mereka. Ia melayangkan pandangannya melalui jendela, memandang malam bercahaya rembulan dan bertanya dalam hati, "Lalu, ke mana kitab itu? Siapa yang memilikinya?"

* * *

TUJUH
BAGAIMANA dengan Dogol yang buntung tangannya? Agaknya ia tidak ditanggapi oleh Tulang Neraka. Kehadirannya yang bermaksud ingin melaporkan keadaan dirinya, tertunda sampai beberapa waktu lamanya. Pintu gua ditutup dengan batu besar, Dogol tak bisa masuk, bahkan menggeser pintu itu pun tak berhasil. Berulang kali ia berteriak memanggil 'sang guru' Tulang Neraka, tapi tak pernah mendapat jawaban, sampai mulutnya terasa mau robek, tetap tak ada jawaban dari dalam gua.

Apa yang terjadi di dalam sebenarnya? Dogol hanya bisa memperkirakan, bahwa 'sang guru' sedang melakukan semadi. Tapi anehnya pada saat-saat tertentu, Dogol mendengar suara Tulang Neraka yang samar-samar seperti orang melagukan tembang. Tembang itu mempunyai irama kadang enak didengar, kadang tak teratur nadanya. Dogol hanya bisa membatin sambil menahan luka menyakitkan itu,

"Jangan-jangan Guru sedang kesurupan di dalam gua ini! Atau mungkin ada perempuan masuk, dan oleh Guru pintu gua segera ditutup dan Guru merayu perempuan itu dengan tembang? Apakah Guru tak mendengar teriakanku, keluh kesahku ini, dan rintihan sakitku ini? Atau mungkin Guru memang sudah menjadi tuli telinganya?!"

Sejak terluka oleh pukulan Pendekar Mabuk, saat bertarung dengan Arum Kafan, Tulang Neraka memang tak pernah keluar dari gua tersebut. Ada sesuatu yang dilakukan di dalam gua itu. Seperti yang diduga Dogol, Tulang Neraka memang melakukan semadi alias bertapa dengan satu maksud yang amat rahasia. Dogol tak pernah tahu maksud itu, karena ia hanya sebagai pelayan yang merasa diangkat menjadi murid.

Sebuah kitab terbuka di depan Tulang Neraka yang duduk bersila di atas batu besar berpermukaan datar. Kitab itu mempunyai barisan-barisan kalimat yang mengandung makna sastra tinggi. Tidak semua orang bisa menerjemahkan makna kalimat-kalimat yang menyerupai tembang itu. Di dalam kitab itu pun tertera keterangan bagaimana mengucapkan tiap kalimat bahkan tiap suku kata dari syair-syair yang ada. Juga dijelaskan bagaimana cara menarik napas pada kalimat tertentu, bagaimana menghembusan napas pada bait berikutnya, bagaimana menggerakkan jari tangan, mata, kepala, pundak, dan merasakan derasnya aliran darah yang terjadi akibat gerakan-gerakan tersebut.

Apa yang dipelajari oleh Tulang Neraka, sebenarnya merupakan sesuatu yang amat sulit. Selain dituntut suatu penghayatan gerak, juga pengertian menerjemahkan kata-kata keterangan di situ bisa menjadi salah arti. Jika cara menerjemahkannya sudah salah, saluran pada urat nadi bisa pecah di dalam kulit tubuhnya. Setidaknya akan membuat orang tersebut menjadi lumpuh seumur hidup. Tetapi agaknya Tulang Neraka berkemauan keras untuk mempelajari isi kitab tersebut.

Sekali ia gagal, sekali lagi ia mencoba. Gagal lagi, mencoba lagi, dan begitu seterusnya. Mungkin sudah seribu kali lebih ia gagal, namun masih tetap mencobanya terus. Tanpa makan, tanpa minum, tanpa tidur. Seluruh pikirannya dicurahkan kepada pelajaran tersebut. Bahkan buang air kecil maupun besar pun tak pernah dilakukan, sejak ia mengurung diri di dalam gua, di Pulau Dedemit itu.

Sebaris kidung dilagukan dalam ucapan seperti orang membaca mantera. Dari bait ke bait, baris ke baris, kata ke kata, semua mempunyai aturan pengucapannya, termasuk tekanan suaranya. Jika salah tekanannya, maka harus diulang dari awal lagi. Pengucapan dan tekanan harus sesuai dengan gerak yang diperintahkan dalam keterangan tersebut, jari melengkung, atau kepala miring, atau pundak berguncang ke depan atau apa lagi yang bersifat gerak.

Kelihatannya memang mudah, tapi sebenarnya sulit bukan main. Dan itulah yang dinamakan ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Tentu saja pelajaran ilmu tersebut diperoleh dari Kitab Lontar Gegana. Dan memang benar, kitab itu ada di tangan Tulang Neraka. Tak seorang pun tahu, bahwa saat terjadi pencurian yang dilakukan oleh Loh Pati, Nyai Pancung Layon memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mencuri Kitab Lontar Gegana. Tetapi ia sendiri berlagak mengamuk dan mencari kitab tersebut. Bahkan setiap saat ia selalu menyatakan kesedihannya atas hilangnya kitab yang sebenarnya dicurinya sendiri itu.

Hilangnya Kitab Lontar Gegana, merupakan alat juga buat Nyai Pancung Layon untuk menuduh Ki Panjar Pitu sebagai pencurinya, atau berlagak mencurigai keluarga Ki Panjar Pitu. Dengan alasan tersebut, Nyai Pancung Layon punya alasan menyerang keluarga Panjar Pitu yang memang bermaksud akan dimusnahkan dan tidak diberi kesempatan untuk berketurunan.

Bahkan dari kesekian cucu, hanya Tulang Neraka yang diberi tahu di mana letak Kitab Lontar Gegana disembunyikannya. Sebab Tulang Neraka adalah cucu kesayangan dari Nyai Pancung Layon. Kepada ketiga saudaranya pun Tulang Neraka tidak pernah menyebutkan tentang letak persembunyian kitab tersebut. Karena sifat-sifat yang ada pada Tulang Neraka, sama persis dengan sifat-sifat yang ada pada Nyai Pancung Layon. Karena itu, Nyai Pancung Layon sangat sayang kepada Tulang Neraka dan berharap agar Tulang Neraka bisa mewarisi ilmu-ilmu yang ada di dalam kitab tersebut, terutama ilmu 'Kidung Mantera Gaib'.

Tulang Neraka berani membuka kitab pusaka itu setelah ketiga saudaranya meninggal. Dulu, ia mempelajari secara sepintas saja, sebab hanya punya kesempatan sebentar untuk membuka dan mengambil kitab tersebut dari penyimpanan yang rahasia itu. Kini ia bebas membuka kitab itu dan menekuni ilmu 'Kidung Mantera Gaib'.

Itulah sebabnya Dogol mendengar suara Tulang Neraka bagaikan menembang kadang berirama enak didengar, kadang berirama sama sekali tak enak didengar. Karena sebenarnya yang dipelajari atau yang diucapkan itu bukanlah sebuah tembang, melainkan kidung beraturan rumit di dalamnya. Kidung itu terdiri dari sembilan puluh sembilan bait. Yang menjadi repot, setiap bait punya peraturan sendiri, dan walau sudah mencapai bait ketujuh puluh, misalnya, jika melakukan kesalahan harus diulang dari awal lagi.

Godaan mempelajari 'Kidung Mantera Gaib' adalah mudah terserang rasa kantuk, mudah merasa bosan, mudah buram penglihatannya, mudah jengkel, dan pikiran sering tiba-tiba lenyap tak tahu ke mana, ketika sadar kembali harus mengulang dari bait pertama. Hal itulah yang membuat gagalnya orang mempelajari 'Kidung Mantera Gaib'. Bukan kecerdasan saja yang dibutuhkan, tapi juga kekuatan batin untuk melawan godaan-godaan tersebut.

Pada satu ketika, Tulang Neraka sudah mencapai delapan puluh sembilan bait yang bisa diucapkan dengan benar, sesuai dengan peraturan di dalamnya. Tiba-tiba rasa kantuknya datang lagi. Ia sudah melawannya mati-matian, namun rasa kantuk itu semakin lama semakin berat sekali. Sampai pada mantera kesembilan puluh, Tulang Neraka jatuh tertidur. Padahal ia telah mengganjal kelopak matanya dengan sebatang lidi agar tetap melek. Tapi toh dia tertidur juga dalam keadaan mata melek.

Ketika ia sadar, batu yang dipakainya duduk tertidur itu telah menjadi panas. Sebagian bagian bawahnya membara merah bagai terpanggang lahar panas gunung berapi. Tetapi, Tulang Neraka bertekad mengulang kidung tersebut dari bait pertama lagi. Rasa bosan telah lama menghuni batinnya, namun selalu dilawan dengan tekad. Apabila rasa bosan itu datang, pikirannya segera dilayangkan pada Arum Kafan sebentar, lalu semangat itu timbul lagi. Yaitu semangat untuk membalas kematian saudara-saudaranya kepada keluarga Arum Kafan yang dibencinya itu.

Tetapi kali ini usaha untuk mengulang dari bait pertama menjadi gagal. Hal itu disebabkan, karena Tulang Neraka merasakan panas yang amat menyengat pada pantatnya. Batu yang dipakainya duduk itu semakin membara dan menjadi merah sampai di permukaan yang dipakai duduk.

Tulang Neraka berjuang keras mematikan rasa sakit dan panas padapantatnya. Tubuhnya gemetar menggigil bukan karena kedinginan, namun karena merasakan panas yang tak tertahan lagi. Dengan tubuh berkeringat deras, ia memusatkan perhatiannya dan menyadari bahwa batu membara itu hanya sebuah godaan belaka.

Tulang Neraka berjuang keras mempertahankan sikap duduknya. Semakin lama rasa panas itu memang semakin reda, tapi batu makin merah bagai bongkahan lahar gunung yang memadat. Dan ketika rasa panas itu tak terasa lagi, ia melihat kedua kakinya yang bersila menjadi merah membara, menyala terang.

Tulang Neraka hampir saja menjerit kaget dan ketakutan melihat kakinya menjadi merah membara. Tetapi ia berhasil menahan napasnya hingga semakin mengucur keringat yang keluar dari tubuhnya, sampai pada kulit kepalanya juga berkeringat. Rambutnya menjadi basah kuyup bagaikan orang habis tercebur ke selokan besar.

Ternyata sekarang warna merah membara seperti besi terpanggang api itu bukan hanya di bagian kaki saja, melainkan sampai sebatas perutnya juga menyala merah membara. Makin lama semakin naik, dan semakin mendekati leher. Tulang Neraka masih diam saja dan merasa pasrah kepada sang nasib. Pikirnya, biarlah ia mati sekalian di atas batu itu, ketimbang turun dari batu dan tidak mendapatkan ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut.

Kini, cahaya panas merah membara telah membungkus sekujur tubuhnya sampai ke bagian rambut. Anehnya rambut itu tidak terbakar sedikit pun. Kitab dari bahan kulit lontar itu juga tidak hangus sedikit pun. Ketika sekujur tubuh telah membara bagai besi terpanggang api, tiba-tiba memerciklah sinar merah dari tubuh tersebut, membias dan menyebar sekeliling tubuh. Tulang Neraka bagai gumpalan api yang memancarkan sinar merah ke segala arah. Dan pada saat itulah ia mendengar suara tua yang bernada tegas, penuh wibawa dan kharisma,

"Kutitiskan ilmu ini kepadamu, Tulang Neraka! Karena kulihat kau sangat berkemauan keras untuk memilikinya. Jika kau mempelajarinya, tak akan berhasil sebelum mencapai seribu hari. Tetapi, batinmu terbaca olehku, betapa ingin kau memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib', karenanya kutitiskan kepadamu dengan tanggung jawab pada dirimu sendiri! Apa yang akan terjadi di dalam jiwamu, adalah bukan tanggung jawabku, Tulang Neraka! Kau mau jadi sesat atau baik, itu pilihan jiwamu dan merupakan bagian dari pribadimu! Mulai saat ini, kau telah memiliki ilmuku, yaitu 'Kidung Mantera Gaib'. Kau akan menjadi seperti aku dan bergelar Manusia Tembus Raga...!"

"Ttteett... tteet... terima... ttee... terima kasih, Eyang.. !"

"Tetapi ingatlah, setinggi-tinggi ilmu ini, masih ada yang lebih tinggi lagi! Jadi, rendahkan dirimu, tundukkan kepalamu, jadilah bijak dan jangan sombong, Cucuku!"

"Ttee... teriima... terima kasih, Eyang...! Ssa... saya akan patuhi pesan Eyang...!"

Setelah suara itu menghilang, Tulang Neraka seperti ditimpa sesuatu yang hitam pekat tak bisa untuk melihat. Blapp...! Gelap sekali. Matanya dibuka, tak ada yang dilihatnya selain warna hitam. Napasnya pun terasa semakin sesak, dan sesak sekali. Tulang Neraka berusaha menghirup udara, namun ia seperti tidak berada di dalam ruangan yang mempunyai udara. Entah ada di mana dia saat itu. Yang jelas, tubuhnya terasa semakin lemas, tak mampu lagi tulang punggungnya menyangga tubuh yang duduk. Ia pun jatuh ke belakang, terkapar dan tak sadarkan diri, alias pingsan!

Entah untuk berapa lama Tulang Neraka pingsan. Ketika ia sadar, ia mendapatkan dirinya sudah berada di bawah batu tempatnya duduk semula. Ia terkapar di lantai gua yang kering itu. Kitab Lontar Gegana masih ada di atas batu tanpa berubah sedikit pun. Segera ia menyimpan kitab itu dengan mengangkat sebongkah batu.

"Hei, terasa enteng sekali batu ini kuangkat?" katanya dalam hati. "Seperti mengangkat tumpukan daun saja? Apakah ini akibat pengaruh ilmu titisan dari Eyang Buyut Bayan Maruto?"

Di bawah batu besar itu ada ruang khusus untuk menyimpan kitab yang selama ini disembunyikan. Disanalah kitab ditaruh kembali dan batu ditutupkan lagi. Sewaktu ia berbalik dan ingin melangkah, kakinya menyandung batu berukuran sebesar kepalanya sendiri!

Wuttt...!

"Hai...?!" Tulang Neraka tertegun sekaligus terkejut melihat kakinya bisa menyampar batu itu. Tapi anehnya batu itu tidak bergerak. Tulang Neraka mengulangi menyampar batu dengan mata memperhatikan jelas-jelas pada kakinya. Ternyata kakinya bukan menyampar tapi menembus masuk ke dalam batu.

Berbinar-binar mata Tulang Neraka memperhatikan keadaannya yang berubah itu. Ceria girang wajahnya. Berulang-ulang ia melakukan gerakan yang sama, ternyata ia benar-benar bisa menembus melalui pertengahan batu. Debar-debar jantungnya kian cepat karena menyambut kegirangan yang amat besar itu.

"Bagaimana jika aku menembus batu tempat bersemadi itu? Apakah bisa juga?" pikirnya. Lalu ia mencoba pelan-pelan mendekati batu tersebut.

Pertama-tama dijamahnya dengan tangan. Ia merasakan kepadatan batu tersebut. Tapi ketika tangannya makin menekan, ternyata ia seperti menekan air. Blesss...! Tangannya masuk ke dalam batu tersebut. Waktu ditarik kembali, tangannya masih utuh dan tidak kotor. Maka Tulang Neraka pun mencobanya dengan tubuh. Ia berjalan menembus batu itu. Blesss...! Ternyata ia hanya seperti menyentuh air. Ia bisa tembus batu itu bagaikan bayangan lewat.

"Ha ha ha ha...!" Tulang Neraka tertawa kegirangan. "Aku bisa menembus benda keras, berarti aku bisa menembus dinding! Ha ha ha ha...!"

Tulang Neraka berlari ke sana-sini menerabas bebatuan, apa saja yang ingin dilewati, diterabasnya begitu saja tanpa dihindari lagi. Blass...! Blasss...! Ploss...! Tulang Neraka berlari ke sana-sini sambil tertawa terbahak-bahak. Puasnya hati adalah bahagianya jiwa dan gembiranya batin. Ia masih memuaskan hatinya dengan berlari ke sana-sini, bahkan menembus dinding gua dan segera keluar kembali dengan kata, "Gelap, ah!"

Dengan berlari pula, Tulang Neraka menerobos pintu penutup gua yang dari batu besar itu. Plooss...! Tahu-tahu ia ada di luar gua, pada saat pagi mulai tiba.

"Hua ha ha ha...! Segar sekali! Segaaar...!" teriaknya dengan amat kegirangan. "Siapa sekarang yang ingin melawanku! Tak akan ada yang bisa menjatuhkan diriku jika aku bisa lari sana-sini tanpa ada penghalang lagi. Ha ha ha...!"

Mendengar suara tawa Tulang Neraka, Dogol yang ada di pantai segera berlari-lari menemuinya. Luka di tangannya yang buntung telah kering, itu menandakan sudah cukup lama ia menunggu Tulang Neraka keluar dari dalam gua. Ketika ia sudah berhadap-hadapan dengan Tulang Neraka, ditunjukkanlah tangan kanannya yang terpenggal putus dengan kalimat mengadu kesedihan,

"Guru... putus...!"

"Lho, kenapa bisa putus?! Aku tak pernah menyuruhmu memutuskan tangan sendiri, Tolol!"

"Dewi Taring Ayu memenggalnya, Guru!"

"Taring Ayu...?!" geram Tulang Neraka. Matanya mulai mendelik menampakkan keganasannya. "Keparat dia itu! Di mana dia sekarang?!"

"Bersama seorang pemuda tampan seperti pemabuk, tak tahu namanya!"

"Orangnya menyandang bumbung tuak?!"

"Betul, Guru!"

"Keparat! Dia juga yang membuatku luka tempo hari! Kalau begitu aku harus mencari mereka sekarang juga!"

"Tapi, tunggu sebentar, Guru...!" Dogol mengejar dan Tulang Neraka terhenti, berpaling dan membentak dengan mata melotot.

"Ada apa lagi?!"

"Sebaiknya... sebaiknya silakan Guru mengenakan pakaian kembali, baru pergi mencari mereka!"

"Maksudmu...?! Hahh...?!" Tulang Neraka terbelalak begitu melihat tubuhnya sendiri yang ternyata masih polos, tanpa selembar benang pun. Ia lupa, bahwa saat semadi ia melakukannya tanpa mengenakan pakaian, dan ketika siuman ia juga belum berpakaian. Karena itu, Tulang Neraka segera kembali masuk ke gua tanpa membuka batu penutup pintu gua itu. Plosss...! Ia tembus ke dalam bagaikan bayangan yang hilang entah kemana.

Dogol membelalakkan matanya. Mengucak-ngucak sebentar dan memandang lagi ke arah pintu gua yang masih tertutup. Ia masih kurang percaya dengan penglihatannya sendiri. Maka didekatinya pintu gua itu. Dirabanya dengan tangan pelan-pelan. Didorongnya pintu gua dari batu itu, ia bergumam sendiri, "Keras...?! Tapi kelihatannya tadi Guru masuk tanpa mendorong batu penutup ini?!" Dogol terheran-heran dan bimbang dengan keyakinan apa yang dilihatnya.

Bluss...! Tulang Neraka keluar lagi dari dalam gua dalam keadaan sudah berpakaian lengkap. Caranya keluar juga dengan menerabas batu penutup gua. Dan tubuh Dogol yang ada di depan pintu itu diterabasnya tembus. Ploss...!

Dogol celingak-celinguk kebingungan. Ia merasa dilewati bayangan, namun merasa juga diterjang gurunya. Tapi ia tidak jatuh, tidak tumbang dan hanya rambutnya yang sedikit tersingkap karena angin bayangan itu. Tapi ia masih belum yakin juga dengan peristiwa aneh yang di alaminya itu. Ia ingin tanyakan hal itu kepada gurunya, tapi Tulang Neraka dalam keadaan diam tertegun bengong.

Di dalam hati Tulang Neraka bertanya-tanya, "Dogol kuterabas tidak jatuh?! Berarti aku tidak bisa menendang lawan? Aku seperti bayangan menendang benda keras, tentunya tak akan mengakibatkan kerusakan pada benda itu. Lalu, bagaimana jika aku ingin melawan mereka, sedangkan aku tidak bisa menyentuh mereka dan mereka tidak bisa menyentuhku?! Wah, lantas buat apa aku punya ilmu seperti ini jika tak bisa digunakan untuk menyerang lawan?!"

Kemudian, Tulang Neraka ingat kalimat penjelasan di dalam kitab pusaka itu yang mengatakan, "Apabila hatimu berkehendak menjamah benda, maka terjamahlah benda itu. Apabila hatimu berkehendak tidak menjamah benda, maka benda itu pun bisa kau lalui dengan menembusnya. Dan untuk selamanya dirimu menjadi bayangan yang tidak bisa disentuh orang, tidak bisa dipegang orang, tapi kau bisa menyentuh dan memegangnya kapan saja kau punya keinginan di hatimu!"

Setelah memahami kalimat itu, maka Tulang Neraka pun segera pergi dengan meninggalkan pesan pada Dogol, "Jaga gua baik-baik!"

Dogol kembali terbelalak kaget melihat Tulang Neraka berlari menerabas pepohonan berbatang keras dan besar. Plos plos plosss...! Dogol geleng-geleng kepala dan berkatas endirian, "Gila! Rupanya Guru bisa menembus dinding sekarang ini?! Mungkinkah pengaruh suasana di sekitar gua ini, karena semalam datang kabut yang membungkus gua ini? Kalau begitu aku pun juga bisa menembus pohon itu?!" Kemudian Dogol berlari menerabas pohon terdekat. Duggh! Bruss...! Dogol memekik, wajahnya besot dan benjol keningnya, karena membentur pohon dengan keras.

* * *

DELAPAN
ANGIN pantai terasa kering di kulit. Kabut telah hilang dari keheningan pagi. Dan matahari mulai merayap naik menuju ketinggiannya. Dan saat itulah salah satu dari tiga orang yang sejak dini sudah mencapai pantai itu bergegas bangkit dari duduknya.

"Ada yang keluar dari Pulau Dedemit itu! Coba kalian perhatikan siapa orang itu?!" kata si baju kuning yang memakai nama Wadal, bertubuh sedang dan berkumis tipis.

Pria yang lainnya berdiri juga dan memandang ke arah Pulau Dedemit ketika mereka tiba masih terbungkus kabut. "Kurasa dialah yang akan kita susul ke Pulau Dedemit itu, Tambon! Perhatikanlah baik-baik, benar dia atau bukan?" kata yang berbaju serba putih, karenanya ia berjuluk Musang Putih.

Sementara itu, Tambon pun segera kerutkan dahinya, sipitkan matanya untuk menangkap sebentuk penglihatan jarak jauh. Lelaki berpakaian hijau tua itu segera perdengarkan suaranya, "Memang dia! Tak salah lagi, dialah si Tulang Neraka!"

"Aha, pucuk dicintai ulam pun tiba! Tak perlu kita susah-susah mencari perahu, yang dicari telah datang dengan sendirinya!"

Wadal pun tersenyum-senyum girang, "Sudah tak sabar golokku ini ingin memakannya habis-habisan!" Wadal mencabut goloknya dari pinggang kiri. Srett...!

"Biarkan dia merapat ke pantai, baru kita mencegat di depannya!" kata Tambon yang berbadan besar dan brewokan itu.

"Kalau begitu kita harus bergeser ke selatan, biar tidak terlalu jauh dari tempatnya mendarat nanti!" ujar Musang Putih.

Sambil mereka bergegas ke selatan, Musang Putih bertanya kepada Wadal, "Menurutmu, mengapa kali ini dia keluar sendirian? Bukankah mereka biasa ke mana-mana berempat sehingga orang cepat mengenali bahwa mereka adalah Empat Raja Sesat?"

"Mungkin dia punya tugas tersendiri dari ketiga saudaranya!" jawab Wadal. "Atau barangkali dia punya urusan pribadi!"

Kedua belah pihak sebenarnya sama-sama tak tahu apa yang terjadi nanti. Pihak Musang Putih dan kedua saudara perguruannya itu tidak tahu bahwa Tulang Neraka sudah mendapat titisan ilmu setan yang bernama ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Sedangkan pihak Tulang Neraka juga tidak tahu kalau kemunculannya kali ini sudah dihadang dan ditunggu-tunggu oleh Musang Putih dan yang lainnya.

Maka ketika Tulang Neraka melompat turun dari perahunya, cepat-cepat ketiga saudara seperguruan itu melesat menghadangnya. Serempak mereka bertiga mendaratkan kaki di pantai tepat berjarak tiga tombak dari tempat Tulang Neraka berdiri.

Tersentak Tulang Neraka, kaget melihat ketiga orang tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Ketiganya sudah mencabut senjata masing-masing, sedangkan Tulang Neraka baru ingat bahwa ia tidak memegang senjata apa pun.

"Sial! Aku tidak punya senjata apa-apa!" gerutu Tulang Neraka di dalam hatinya. "Hmm... mereka bertiga, masing-masing memegang senjata! Aku harus bisa merebut senjata yang berbaju putih itu. Kurasa pedangnya itu cukup lumayan untuk menebas lehernya sendiri! Tapi, siapa mereka sebenarnya?"

Tulang Neraka masih diam, memandangi tiap wajah mereka. Segera terdengar suara Musang Putih berseru dari tempatnya,

"Tulang Neraka! Seharusnya kau muncul bersama ketiga saudaramu, jadi mempermudah pekerjaan kami membantai kalian berempat!"

"Ke mana saudaramu yang tiga lagi? Sedang mulas perutnya?!" Wadal tersenyum-senyum sinis mengejek Tulang Neraka.

Tetapi orang berjubah abu-abu tanpa mengenakan baju dalaman itu masih diam saja dan mempelajari sifat ketiga lawannya melalui wajah mereka. Mana yang paling galak, itulah yang diserang lebih dulu nantinya.

"Tulang Neraka! Kuizinkan kau pulang kembali ke pulau itu untuk memanggil ketiga saudaramu, setelah itu datanglah kemari dan kami tetap menunggu kalian! Kami siap mencabut nyawa kalian kapan saja!"

"Jangan membawa-bawa ketiga saudaraku yang telah tiada!" geram Tulang Neraka.

Mereka menggumam dan manggut-manggut dengan senyum disertai tawa melecehkan. Tulang Neraka kembali memperdengarkan suaranya yang berkesan angker itu,

"Siapa kalian bertiga? Ada urusan apa menghadangku disini?"

"Kami murid-murid dari Pendita Wilo yang kau bunuh dengan keji bersama ketiga saudaramu itu! Masih ingatkah kau dengan Pendita Wilo, yang tinggal di Lembah Berhala itu?!"

"Hah ha ha ha...!" Tulang Neraka tertawa keras begitu ingat Pendita Wilo. Beberapa waktu lalu, ketika Urat Iblis dan kedua saudara lainnya masih hidup, mereka berempat pernah mendatangi Lembah Berhala dan bertemu dengan Pendita Wilo di kuilnya. Karena satu masalah, Empat Raja Sesat menyerang Pendita Wilo yang sedang melakukan semadi itu. Dan sang Pendita pun tewas di tangan mereka berempat secara mengenaskan. Nasibnya serupa dengan nasib Nyai Tanduk Setan. Tapi pada waktu itu, ketiga murid Pendita Wilo itu tidak ada di tempat, sehingga tidak mengetahui perbuatan mereka secara persis. Hanya satu pelayan pendita itu yang melihatnya dan segera melarikan diri mencari ketiga murid Pendita Wilo.

"Kalian bertiga mau bertingkah bagaimana? Kalau guru kalian saja bisa kami bunuh dengan mudahnya, apalagi kalian yang hanya sebagai murid! Kurasa kalian kemari bermaksud menyerahkan nyawa kalian agar cepat menyusul arwah guru kalian!" kata Tulang Neraka tak mau kalah gertak. Dan ucapannya itu membuat geram ketiga lawannya.

"Guru hanya satu orang dan kalian berempat pada waktu itu. Wajar kalau Guru kalah. Sekarang kau yang sendirian dan kami bertiga, tibalah saat pembalasan yang setimpal dengan perbuatan!" kata Musang Putih.

Kemudian Tulang Neraka berkata dengan tetap tenang, "Majulah kalau begitu! Serang aku! Serang!"

"Jurus 'Sergap Lebah'...!" seru Musang Putih. Serentak Wadal dan Tambon bergerak ke kanan dan kiri Tulang Neraka. Musang Putih segera memekik sebagai isyarat bagi yanglain, "Heaaah...!"

Tiga manusia itu melompat dan bersalto dalam satu arah, yaitu ke arah Tulang Neraka. Senjata mereka pun segera berkelebat. Tapi Tulang Neraka berhasil memukul dada Musang Putih dengan kedua telapak tangannya. Pukulan itu mengena telak dan cukup kuat, membuat Musang Putih terpental dan pedangnya terlepas dari tangannya.

Wuttt...! Wess...!

Golok Wadal dan Tambon berkelebat menebas punggung serta leher Tulang Neraka. Jelas-jelas benda tajam itu menembus masuk ke tubuh Tulang Neraka, namun segera lolos keluar tanpa menyentuh apa pun. Bahkan ketika keduanya kembali mendarat ke bumi dan menyentakkan kakinya dengan tendangan miring ke arah kepala Tulang Neraka, tendangan mereka tepat mengenai kepalanya, tapi yang terasa adalah perpaduan kaki mereka sendiri, sehingga keduanya pun sama-sama terpental ke sisi masing-masing.

Tulang Neraka tertawa terbahak-bahak, merasa bangga melihat tubuhnya tak bisa dilukai. Ia segera melompat dan memungut pedang Musang Putih yang tergeletak ke tanah. Pada waktu itu, Musang Putih sedang berusaha mencapai pedangnya dengan berguling-guling dua kali. Tapi pedang sudah telanjur berada di tangan Tulang Neraka. Menggelindingnya tubuh Musang Putih bagai ular menghampiri gebukan. Dengan enaknya Tulang Neraka menebaskan pedang ke arah tubuh Musang Putih.

Crapp...!

"Aahg...!" Musang Putih memekik dalam keadaan mendekap luka di bagian pundaknya. Lalu ia segera sentakkan punggung dan berdiri cepat. Kakinya menendang ke samping, sasaran dada lawannya.

Wuttt...! Ploss....!

Kaki Musang Putih masuk dan menembus punggung Tulang Neraka. Kejadian itu dilihat jelas-jelas oleh Wadal dan Tambon dengan mata melotot terheran-heran. Tulang Neraka tertawa melihat kaki lawannya tembus dari dada sampai ke punggung. Musang Putih terperanjat kaget melihat keanehan tersebut. Karena ia tersentak kaget dan terpukau, maka ia tak menyadari datangnya bahaya dalam sekejap. Tulang Neraka segera kibaskan pedang ditangannya itu ke arah leher Musang Putih.

Crass!

Tulang Neraka melompat mundur dua tindak, lalu memandangi lawannya dengan tertawa terbahak-bahak. Kepala lawannya itu tiba-tiba jatuh menggelinding disusul oleh bagian tubuhnya yang bergedebuk seperti karung beras dijatuhkan.

Bluggh...!

"Musang Putih...!" teriak Tambon dengan segera mendekati tubuh dan kepala Musang Putih.

Tetapi, tiba-tiba Wadal menyerang Tulang Neraka dengan melepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam berbahaya. Sinar hijau menggumpal mirip gumpalan serabut kelapa itu melesat ke arah Tulang Neraka, keluar dari telapak tangan Wadal. Sinar hijau sebesar separo genggaman tangan itu dibiarkan oleh Tulang Neraka dan menghantam tepat di pinggang kirinya, namun sama dengan peristiwa tadi, sinar hijau itu bagai menembus bayang-bayang dan lolos melalui pinggang kanan.

Plosss...!

Sedangkan pada waktu itu, Tambon sedang tersentak duka melihat kepala Musang Putih terpisah dari raganya. Ia tidak tahu bahwa sinar hijau yang lolos dari tubuh Tulang Neraka itu mengarah kepadanya. Ketika ia terkejut dan ingin menghindar, ternyata sudah terlambat. Sinar hijau itu tepat mengenai lehernya dan leher itu pun pecah tak tertolong lagi.

Blarrr...!

"Tambooon...!" teriak Wadal kaget dan menyesal, tapi juga bingung melakukan gerakan selanjutnya.

Sementara itu, Tulang Neraka makin keras tawanya, semakin terbahak-bahak gelaknya. Penyesalan atas kematian Tambon membuat Wadal menjadi ciut nyali dan panik. Apalagi ketika itu Tulang Neraka segera berkata kepadanya di sela tawa kepuasannya,

"Kau lihat sendiri, Bocah Dungu! Aku tak akan bisa dibunuh oleh siapa pun! Tapi aku bisa membunuhmu sekarang juga! Kurasa memang kau harus dilenyapkan sekalian, biar tidak menjadikan ganjalan dalam hidupku selanjutnya. Hah ha ha ha"

Wadal membatin dalam hatinya, "Celaka! Bagaimanapun tingginya ilmuku, tak mungkin aku bisa melawan dia! Dia seperti angin, tak bisa disentuh dan dilukai! Kalau begini caranya aku bisa mati di tangannya! Sebaiknya aku melarikan diri saja sebelum kutemukan jurus maut untuk menandingi ilmunya itu!"

Blasss...! Wadal segera melompat meninggalkan tempat itu dengan cepatnya. Ia ditertawakan oleh Tulang Neraka. Bahkan ia mendengar suara Tulang Neraka berseru dari tempatnya,

"Ke mana pun larimu, kukejar kau sampai dapat, Tikus Busuk! Hah ha ha ha !"

Pelarian Wadal semakin kencang dan cepat. Api saja diterabasnya selagi masih bisa dipakai untuk lewat. Ia benar-benar ketakutan sekali, ketika dilihatnya ke belakang, ternyata Tulang Neraka benar-benar mengejarnya. Kecepatan lari mereka seimbang, sehingga jarak mereka pun selalu sama.

Tapi ketika Wadal tersungkur jatuh dan segera bangkit lagi, jarak mereka menjadi lebih pendek. Ini membuat Wadal makin mempercepat larinya. Bahkan ia meleset naik ke atas pohon dan berlari dengan melompati dahan-dahan pohon. Rupanya hal itu pun dilakukan oleh Tulang Neraka yang masih menggenggam pedangnya Musang Putih. Melihat Tulang Neraka ikut mengejar melalui dahan demi dahan, Wadal semakin ngeri dan panik.

Hal yang membuat Wadal menjadi lebih panik adalah melihat Tulang Neraka berlari menerabas pohon besar atau gugusan batu. Tulang Neraka benar-benar seperti bayangan yang tak bisa terbentur dan terhalang benda sekeras apa pun. Sementara Wadal harus menghindari benda-benda keras, sehingga pelariannya makin lama semakin lemah.

Srott...!

"Hahh...?!" Wadal terpekik, ia jatuh terpeleset pada kemiringan sebuah lereng. Tubuhnya menggelinding dan terbentur-bentur batu maupun semak berduri. Ia tak bisa menghindari keadaan itu dan hanya mengikuti ke mana arah menggelindingnya tubuh.

Brukk...!

Akhirnya Wadal jatuh di tanah cadas yang rata. Sekujur tubuhnya penuh luka. Tapi luka itu tak dihiraukan, karena ia melihat Tulang Neraka berdiri di ujung tebing itu, siap mengejarnya lagi sambil menghamburkan tawa di sana. Mau tak mau Wadal pun cepat melarikan diri ke arah utara.

Ya. Ia memilih arah utara, karena di sana ia punya seorang sahabat yang dikenalnya dengan baik. Di sana ada rumah sahabatnya dan Wadal berharap bisa mendapat pertolongan dari sahabatnya itu. Orang yang dimaksud Wadal adalah Kembang Darah, yang selama ini membina hubungan baik sebatas seorang sahabat. Dengan cepat, Wadal berhasil menemukan kediaman Kembang Darah yang tampak berbangunan kuno itu. Dari kejauhan ia sudah berteriak,

"Kembang...! Kembang Darah, tolong akuuu...!"

Pada saat itu, di rumah kuno berlantai dua itu, penghuninya sedang bersiap-siap untuk melakukan suatu penyerangan ke Pulau Dedemit. Karena menurut penyelidikan yang dilakukan oleh Dewi Taring Ayu, ia sering melihat Tulang Neraka dan ketiga saudaranya keluar masuk Pulau Dedemit. Mereka ingin memeriksa apakah Kitab Lontar Gegana itu disembunyikan oleh kelompoknya Tulang Neraka di Pulau Dedemit itu, atau mungkin dari sana mereka bisa memperoleh petunjuk ke tempat lain.

Yang jelas mereka harus berangkat bersama, karena mereka menyangka Nyai Tanduk Setan juga bermukim di sana dan menghimpun beberapa kekuatan baru bersama Tulang Neraka. Pendekar Mabuk pun disarankan turut serta oleh Dewi Taring Ayu, dan Suto Sinting tak bisa menolak tawaran itu. Karena firasatnya mengatakan, bahwa keempat perempuan cantik itu dapat mudah dikalahkan jika menyerang ke sarang orang-orang sesat itu.

"Kembang Daraaah...!" suara itu jelas sekali didengar orang-orang penghuni rumah tua tersebut. Mereka terkejut dan semakin kaget setelah Wadal memasuki halaman rumah dalam keadaan sekujur tubuhnya penuh luka.

"Wadal...!" teriak Kembang Darah. Ia bergegas keluar dari rumah lebih dulu dan segera menolong Wadal. "Apa yang terjadi...?! Katakan, apa yang terjadi pada dirimu, Wadal...?!" desak Kembang Darah mulai panik.

Wadal tak bisa menjawab untuk beberapa saat. Pendekar Mabuk segera menolong, memberikan minum tuaknya beberapa teguk. Kejap berikutnya, Wadal mulai menarik napasnya, dan ia mencoba menjelaskan! "Tulang Neraka mengejarku...!"

"Apa...?!" Delima Ungu dan Kembang Darah sama-sama terkejut.

Arum Kafan saling pandang dengan Dewi Taring Ayu. Suto hanya diam saja dan memperhatikan ke arah luar lewat jendela yang masih terbuka.

"Dia muncul dari Pulau Dedemit. Aku menyerangnya bersama Musang Putih dan Tambon. Tetapi, mereka berdua mati dan... dan...!"

"Mengapa kalian menghadang dan menyerangnya?!" tanya Arum Kafan.

"Kami menuntut balas atas kematian Guru kami Pendita Wilo!"

"Oh, jadi beliau telah dibunuh oleh Tulang Neraka?" sahut Kembang Darah yang pernah bertemu Pendita Wilo beberapa kali.

"Ya. Dan... dan kami tak bisa melawan Tulang Neraka! Dia tidak bisa dibacok ataupun dipukul!"

Suto menyahut, "Maksudmu, dia kebal senjata apa pun?!"

"Bukan hanya kebal tapi... tapi dia seperti bayangan. Golokku seperti membabat angin ketika memenggal lehernya. Pukulan tenaga dalamku seperti menembus kabut ketika menghantam lambungnya! Ia mengejarku dengan menembus pohon besar dan batuan besar. Ia benar-benar seperti angin yang bisa menembus benda sekeras apa pun, Kembang! Aku... aku tak sanggup menghadapinya!"

Hening tercipta sejurus. Keempat perempuan cantik itu saling beradu pandang satu dengan lainnya. Pendekar Mabuk masih kelihatan tenang-tenang saja, sesekali matanya memandang keluar melalui jendela yang terbuka itu. Dan tiba-tiba terdengar Dewi Taring Ayu keluarkan geramannya, lalu menggebrak meja dengan keras. Brakk...! Semua terkejut, termasuk Pendekar Mabuk. Semua memandang ke arah wanita cantik bertaring runcing itu.

"'Kidung Mantera Gaib'!" katanya dengan tegas. "Dia sudah menguasai ilmu 'Kidung Mantera Gaib', dan menjadi Manusia Tembus Raga!"

Sekali lagi ketiga adiknya itu terperanjat, tapi Suto hanya kerutkan dahinya menatap Dewi Taring Ayu. Kemudian Suto ajukan tanya kepada Dewi,

"Kau tidak salah duga, Dewi?!"

"Tidak! Ciri-ciri orang yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' adalah bisa menembus benda apa pun tapi tak bisa dilukai karena tubuhnya bagaikan angin atau bayangan!"

Arum Kafan terdengar berkata, "Tak mungkin semudah itu ia bisa mempelajari ilmu tersebut?! Belum lama dia bertarung denganku, dia masih bisa kupukul dan kutendang! Jarak antara pertarunganku dengan sekarang hanya sekitar satu bulan. Mana mungkin dia bisa selesaikan pelajaran ilmu itu dalam satu bulan?!"

Dewi Taring Ayu diam, seakan membenarkan kesimpulan adiknya. Tetapi Pendekar Mabuk segera berkata, "Ki Darma Paksi pernah mengatakan padaku, bahwa eyang buyut kalian pernah mengeluarkan semacam wasiat, bahwa kelak pada suatu saat, ia akan menitiskan ilmu itu kepada salah satu keturunannya."

"Menitiskan...?" gumam Arum Kafan sambil memandang Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut.

"Ya. Itu yang kudengar dari mulut Ki Darma Paksi."

Dewi Taring Ayu segera berkata, "Jelas sudah sekarang! Kitab itu pasti ada pada Tulang Neraka, mungkin disimpan di Pulau Dedemit. Selama ini ia mendekam di sana hanya dengan alasan mencari titisan ilmu setan itu, jelas tak mungkin! Dari mana dia tahu bahwa Eyang Buyut Bayan Maruto ingin menitiskan ilmunya kepada dia? Pasti ia tekuni ilmu itu, sampai tiba ilmu itu menitis dengan sendirinya di luar rencana sebenarnya."

Delima Ungu segera berkata, "Yang perlu kita pikirkan sekarang, apa yang harus kita lakukan?! Menyerangnya dengan cara bagaimana?"

"Aku yang akan menghadapinya!" kata Pendekar Mabuk. Tapi Arum Kafan segera menyergah,

"Jangan, Suto! Dia sangat berbahaya!"

Wadal mengajukan usul dari tempatnya terkulai di sebuah kursi bersandar dinding, "Kalau boleh kuusulkan agar mencari tempat berlindung yang aman saja! Aku yakin dari kalian tak akan ada yang bisa melawannya, tapi mati karenanya malah bisa terjadi!"

"Sembunyi...?!" gumam Kembang Darah. "Sembunyi ke mana?"

Suto tiba-tiba ajukan usul, "Bagaimana jika ke pondoknya Ki Darma Paksi?"

Baru saja selesai bicara begitu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara dan tawa Tulang Neraka dikejauhan. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Tulang Neraka keluarkan ancaman,

"Arum Kafan...! Habis sudah riwayat keturunan leluhurmu hari ini juga, Arum...! Ha ha ha ha...!"

Dewi Taring Ayu berkata, "Suto, bawa mereka pondok Ki Darma Paksi! Aku akan hadapi dia!"

"Kau jangan gila, Dewi!" sentak Arum Kafan.

"Aku hanya menghambatnya supaya tidak mengejar kalian!"

* * *

SEMBILAN
SEKALIPUN Dewi Taring Ayu adalah manusia penghisap darah dan telah menewaskan kekasih kedua adiknya, yaitu Arum Kafan dan Kembang Darah, tapi sikapnya sebagai kakak masih terlihat jelas. Ia tetap melindungi adik-adiknya dan siap mengorbankan diri, menentang bahaya demi keselamatan adik-adiknya.

Sekalipun menghambat adalah tugasnya, tapi punya bahaya tinggi bagi keselamatan Dewi Taring Ayu sendiri. Agaknya perempuan bertaring itu tidak menghiraukan lagi keselamatan dirinya dan ia berani keluar lebih dulu untuk mencegat Tulang Neraka sebelum memasuki halaman rumah tanpa pagar tinggi itu. Mereka yang di dalam rumah masih bimbang untuk lari atau membantu Dewi Taring Ayu.

Sementara itu, Wadal segera keluar setelah berseru kepada Kembang Darah, "Cepat kau pergi, Kembang! Aku akan membantu kakakmu menghambat Tulang Neraka agar tak mengejar kalian!"

Arum Kafan masih tak bisa meninggalkan tempat. Delima Ungu bahkan mulai merah matanya karena bimbang untuk meninggalkan Dewi Taring Ayu atau membantunya. Sementara itu, Suto memandang dari jendela ke arah pertemuan antara Dewi Taring Ayu dengan Tulang Neraka. Dewi Taring Ayu tampak telah mencabut pedangnya, membuat langkah Tulang Neraka terhenti dan bertolak pinggang menertawakan sikap Dewi Taring Ayu.

"Kau yang paling sulung, memang layak mati lebih awal!" kata Tulang Neraka.

Dewi Taring Ayu hanya menjawab, "Lakukan!"

Tulang Neraka tidak main-main dengan ancamannya. Ia segara melompat dan menyerang Dewi Taring Ayu dengan pedangnya. Tapi gerakan Dewi Taring Ayu begitu cepat dan lincah. Pedang yang ditebaskan Tulang Neraka meleset dari sasaran. Sementara itu, Dewi Taring Ayu sudah berhasil menebaskan pedangnya beberapa kali dengan cepat ke tubuh Tulang Neraka.

Wut wut wut wesss...!

Pendekar Mabuk terkesiap matanya melihat pedang Dewi Taring Ayu tak bisa memotong tubuh lawannya. Padahal mata Suto melihat jelas pedang itu memenggal pundak, pinggang, dan bagian punggung Tulang Neraka. Namun si jubah abu-abu itu masih tegar berdiri tak mampu terpotong sedikit pun. Pedang Dewi Taring Ayu benar-benar seperti menebas bayangan.

"Gawat keadaannya!" kata Suto di dalam hati. "Tulang Neraka benar-benar tak bisa dilukai sedikit pun! Tak ada cara lain untuk mengalahkannya kecuali bersembunyi dan memikirkannya beberapa waktu! Tuakku pun kalau kusemburkan hanya seperti menyembur bayangan dan angin saja! Kalau kupakai Napas Tuak Setan, ia hanya bisa melayang pergi, tapi tak akan bisa mati! Karena ia tidak akan terbentur-bentur benda sekeras apa pun! Hmmm...! Pasti ada caranya untuk mengalahkan dia, tapi sekarang belum kutemukan cara itu! Dan... sebaiknya aku memang harus membawa mereka bertiga ke pondok Ki Darma Paksi untuk bersembunyi, jika tidak maka akan habislah keluarga Arum Kafan ini!"

Sempat dilihat oleh Pendekar Mabuk, Wadal mengirimkan pukulan jarak jauhnya berupa sinar Jingga melesat dari dua jarinya. Tapi ketika sinar itu tembus di kepala Tulang Neraka, bagaikan lewat begitu saja tanpa terasa sakit sedikit pun bagi si Tulang Neraka. Sementara itu, Dewi Taring Ayu berusaha memancing kemarahan dan serangan lawannya dengan mengandalkan kegesitannya menghindari.

"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Suto kepada Arum Kafan.

"Bagaimana dengan kakakku itu?!" Delima Ungu tampak sedih sekali.

"Dewi sedang mengulur waktu dan mengandalkan kegesitan gerak menghindarnya. Kurasa Dewi Taring Ayu akan menyusul setelah kita terlihat selamat dari incaran Tulang Neraka!"

Tak ada pilihan lain bagi ketiga gadis cantik itu. Maka dengan melalui pintu belakang, mereka pun segera bergegas pergi meninggalkan rumah kediaman mereka, yang termasuk rumah warisan leluhur mereka itu. Suto Sinting yang menuntun langkah mereka menuju ke pondok Ki Darma Paksi sambil menjaga mereka dari bahaya yang sewaktu-waktu datang.

Sementara itu, Dewi Taring Ayu sendiri memperhitungkan gerakannya agar tak mengalami nasib seperti Wadal. Karena tadi, Wadal mencoba menyerang Tulang Neraka dari belakang. Serangannya itu hampir saja mengenai diri Dewi Taring Ayu, seperti yang dialami oleh Tambon di pantai. Untung Dewi Taring Ayu segera berkelit dan mampu menghindari sinar hijau dari tangan Wadal.

Tetapi sejurus kemudian, Wadal memekik dengan kepala terdongak. Dewi Taring Ayu tak sempat menarik gerakan serang Tulang Neraka karena ia sibuk menghindari sinar hijau itu. Tubuh Wadal mengejang kaku setelah tersabet pedang dari dada sampai di permukaan wajahnya.

"Ahg...!" cukup pendek pekikan Wadal, setelah itu ia roboh tak bernyawa lagi.

Dewi Taring Ayu sempat berpikir untuk memancing gerakan lawan agar semakin menjauhi rumahnya. Walaupun Dewi Taring Ayu tadi sempat melihat kelebatan ketiga adiknya lewat pintu belakang, tapi ia khawatir Tulang Neraka mengetahui dan segera mengejarnya. Karena itu, Dewi Taring Ayu pun segera berlagak menyerangnya dengan jurus pukulan jarak jauhnya. Sekalipun ia tahu tak akan mengenai sasaran tapi pancingan menjauhnya itu membuat Tulang Neraka semakin geram semakin penasaran untuk membunuh Dewi Taring Ayu.

"Percuma kau mempunyai ilmu 'Kidung Mantei Gaib' jika membunuhku saja tak mampu!" seru Dewi Taring Ayu. "Mana kehebatanmu sebagai Manusia Tembus Raga, hah?! Mana...?!"

"Bangsat kau, Dewi! Ke mana pun kau lari akan ku buru nyawamu!" teriak Tulang Neraka yang merasa terhina oleh ucapan Dewi Taring Ayu. Maka ia pun mengejar perempuan itu. Bertarung mengalahkan kegesitan gerakan Dewi Taring Ayu. Kemudian Dewi berlari lagi, dan berhenti untuk bertarung kembali, saling serang dan saling kejar terus-menerus. Semakin menjauh jarak mereka dari arah kediaman Ki Darma Paksi.

Padahal di tempat kediaman Ki Darma Paksi, sudah tersusun rencana untuk mengalahkan Tulang Neraka setelah antara Suto dan Ki Darma Paksi terjalin pembicaraan mengenai ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Ki Darma Paksi pada mulanya berkata,

"Pada masa kejayaan Ki Bayan Maruto, tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya itu. Mereka memandang Ki Bayan Maruto sebagai seorang tokoh yang bermegah atas kesaktiannya. Namun Ki Bayan Maruto atau si Manusia Tembus Raga itu, tetap tundukkan kepala dan merendahkan diri di depan siapa saja. Tak ada kesombongan yang terlontar dari mulutnya maupun sikapnya, bagai padi di hamparan sawah yang menguning, menunduk ia walau seekor kerbau pun mampu di robohkannya!"

"Apakah memang begitu kodratnya manusia memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib', Ki Darma?" tanya Suto.

"Bicara soal kodrat, adalah bicara tentang garis kekuasaan yang mencipta langit, bumi, dan seisinya. Tak dapat orang menentukan kapan sang kodrat melangkah melintasi bayang-bayang kehidupan kita. Tetapi, begitulah kenyataan yang pernah terjadi pada diri seseorang yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Seperti mendiang Ki Bayan Maruto, beliau wafat bukan karena serangan musuh, melainkan karena ketuaannya dan jemputan kodrat ataupun takdir tadi."

"Mengapa ilmu itu bisa membuat orang bagaikan bayangan, Ki?" tanya Arum Kafan yang saat itu ikut mendengarkan percakapan antara Ki Darma Paksi dan Suto Sinting.

Ki Darma Paksi diam sebentar, memandang hampa ke arah depan. Sepertinya ada sesuatu yang dipertimbangkan dalam benak orang tua berkumis dan berjenggot putih halus itu. Mereka menunggu dengan sabar, lalu kejap berikutnya terdengar Ki Darma Paksi menjawab pertanyaan Arum Kafan tadi,

"Alam ini terbagi menjadi dua, nyata dan tidak nyata. Yang nyata kita namakan kehidupan di muka bumi, yang tidak nyata dinyatakan sebagai alam gaib. Ilmu 'Kidung Mantera Gaib' adalah ilmu yang datangnya dari alam gaib. Manusia yang memiliki ilmu seperti itu, raganya telah masuk ke alam gaib. Raga di alam gaib, tapi bayangan dan kekuatan tenaganya ada di alam nyata. Jadi yang kita tebas dengan pedang adalah bayangan si Tulang Neraka, yang menghantam kita adalah tenaga Tulang Neraka, tapi sumber tenaga dan kekuatannya ada di dalam raga, dan raga itu ada di alam gaib. Tentu saja sangat sukar bagi seseorang melawan pemilik ilmu 'Kidung Mantera Gaib'! Tapi baru saja tadi ketika aku diam sejenak, kurasakan datangnya firasat aneh yang mengatakan, Tulang Neraka akan mati terbunuh walau ia mendapat titisan ilmu setan itu!"

Arum Kafan dan kedua adiknya saling berpandangan. Di dalam hati mereka timbul pertanyaan, "Mungkinkah Dewi Taring Ayu berhasil membunuh Tulang Neraka?!"

Pendekar Mabuk diam dengan dahi berkerut dan matanya memandang ke arah luar. Batinnya pun berkecamuk sendiri kala itu, "Jika ia benar berada di alam gaib, maka untuk membunuhnya harus masuk ke alam gaib juga! Dari sana aku bisa melukainya dan membunuhnya! Kalau begitu, agaknya aku harus segera mencari Tulang Neraka dan menantangnya bertarung! Aku harus bergerak cepat sebelum Dewi Taring Ayu terbunuh oleh kesaktiannya!"

Secara diam-diam dalam keadaan terpisah, Ki Darma Paksi berkata kepada ketiga gadis cantik itu, "Murid si Gila Tuak, bukan sembarang murid! Mata batinku melihat tubuhnya bercahaya, memancarkan kesaktian putih yang mengagumkan! Dialah orang yang bisa menandingi Tulang Neraka!"

"Tapi... tapi saya takut dia terluka, Ki Darma!" kata Delima Ungu dengan wajah sedih, penuh kecemasan. Agaknya ia menyimpan perasaan kasih dan sayang kepada Suto Sinting, sehingga merasa tak rela jika Suto terluka kulitnya.

Hal itu membuat Ki Darma Paksi tertawa seperti orang menggumam dan berkata, "Kalau aku boleh katakan kepadamu, Cah Ayu, kau menyimpan cinta kepadanya, dan lebih besar daripada cinta yang tersimpan di kedua kakakmu ini!"

Arum Kafan tersipu, sementara Kembang Darah mengalihkan pandang menutupi senyum malunya. Delima Ungu hanya memandangi kedua kakaknya itu dan segera berkata,

"Tapi saya hanya bisa menyimpannya saja, Ki. Tak bisa mencurahkan cinta ini untuk Suto!"

"Menyimpan segenggam cinta adalah lebih abadi daripada mencurahkannya, Cah Ayu. Barangkali kalian belum mengetahui, bahwa Pendekar Mabuk itu telah terikat hatinya oleh perempuan lain yang anggun dai bijaksana."

"Siapa perempuan itu, Ki Darma?" sergah Kembang Darah ingin tahu.

Tersenyum Ki Darma Paksi memandangi Kembang Darah, lalu ia menjawab, "Aku tak punya wewenang untuk menyebutkannya, sekalipun aku tahu siapa orangnya! Jadi menurut naluri tuaku ini, sebaiknya simpan saja cinta kalian kepada Pendekar Mabuk itu, karena Suto tak akan jatuh hati lagi kepada perempuan lain. Cintanya telah menjadi karang abadi dan hanya perempuan itulah yang merasuk dalam jiwa, darah, dan sukmanya. Tetapi sebagai seorang sahabat, Suto Sinting bisa lebih hangat dari seorang kekasih dalam batas-batas tertentu. Tak ada ruginya kalian bersahabat dengan murid si Gila Tuak yang sebenarnya adalah kakak dari eyang buyutmu itu!"

"Barangkali memang kita harus begitu, Delima," kata Kembang Darah kepada adiknya yang bungsu. Delima Ungu hanya diam, tundukkan kepala.

Suto mendekati Ki Darma Paksi dan ketiga gadis itu. Dengan tegasnya ia berkata, "Ki Darma, saya harus menyusul Dewi Taring Ayu sebelum ia terbunuh oleh kekuatan Tulang Neraka!"

"Itu lebih baik, Suto! Karena pertolongan kita hanya akan menjadi tinggi nilainya jika kita datang tepat pada saat orang itu membutuhkannya!"

"Saya titip mereka bertiga, Ki Darma!"

"Sebagai bekas pelayan kakeknya, aku berkewajiban melindungi mereka, karena mereka adalah cucu-cucuku juga dalam anggapan batinku. Jangan cemaskan mereka, Suto. Dan... tunggu!"

Ki Darma Paksi diam sebentar, seperti sedang merasakan sesuatu yang membuatnya terpatung, memandang lurus ke depan dengan dada tegak. Sementara itu Arum Kafan sempat membisikkan kata,

"Hati-hati, Suto...! Jangan sampai kau menjadi korban ilmu setan itu! Ingatlah akan tugasmu, yaitu membawa Kitab Lontar Gegana kepada gurumu. Jadi kau harus bisa selamatkan diri dari kekuatan ilmu setan itu, Suto! Kami tak ingin kecewa dengan sikap ksatriaan mu!"

Kembang Darah ikut berbisik, "Jika terdesak lebih baik mundur untuk menyusun siasat baru, Suto. Jangan memaksakan diri hanya karena menjaga harga diri."

Delima Ungu tak mau ketinggalan, juga membisikkan kata yang hanya pendek tapi bermakna dalam, "Kalau kau mati, aku ikut mati melawan dia!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum ketika matanya beradu pandang dengan Delima Ungu. Gadis itu tak henti-hentinya menatap, bagai memuaskan diri menikmati sebentuk ketampanan yang mengagumkan hati.

Dan tiba-tiba terdengar suara Ki Darma Paksi berkata, "Aku mendengar tangis tertahan. Aku merasakan luka terpendam. Aku juga mendengar langkah-langkah gontai sedang menuju kemari! Kusarankan padamu, Pendekar Mabuk, jangan pergi sebelum datang si langkah gontai itu. Jangan pergi, Suto!"

Apa maksud kata-kata itu, tak begitu jelas bagi mereka bertiga. Tapi Pendekar Mabuk cepat tanggap dan bisa mengartikannya. Itu tandanya akan datang seseorang dalam keadaan terluka, menahan tangis, dan menahan sakit. Siapa orang itu? Tak jelas jawabnya. Tapi mereka segera terkesiap melihat Ki Darma Paksi melompat keluar dan tahu-tahu sudah berada di halaman pondoknya. Seakan ia berdiri di sana untuk menunggu seseorang yang akan datang. Dan sikap itu membuat mereka berempat segera keluar juga dan berada di pelataran.

Kejap berikutnya, sesosok tubuh melangkah dengan gontai, terhuyung-huyung dalam keadaan berlumur darah. Mata mereka sama-sama terperanjat memandang ke arah orang yang terhuyung-huyung itu, dan mulut Arum Kafan lebih dulu memekik,

"Dewi...!"

Dengan tenang Ki Darma Paksi berkata, "Sambutlah awal keturunan kalian itu! Bawalah berlindung di pondokku untuk menyelamatkan jiwanya. Ia terluka parah pada bagian punggungnya!"

Apa yang diucapkan oleh Ki Darma Paksi memang benar. Hanya selintas memandang Dewi Taring Ayu yang terhuyung-huyung gontai itu, Ki Darma Paksi sudah bisa mengetahui bahwa luka parah itu ada di bagian punggung. Luka parah itu akibat sabetan sebuah pedang tajam, sementara pedangnya sendiri masih digenggam dengan tangan kanan.

"Dewi, apa yang terjadi?! Oh, lukamu besar sekali, Dewi...!" Arum Kafan sedikit panik menghadapi kakaknya terluka parah begitu.

"Tulang Neraka mengejarku...! Dia tahu aku terluka parah, sekarang masih memburuku...!" tutur Dewi Taring Ayu sambil terengah-engah, wajahnya pucat pasi karena kekurangan darah.

"Minumlah tuakku dulu, baru kau bercerita banyak-banyak," kata Suto yang tadi sempat tegang sebentar, tapi sekarang sudah bisa tenang kembali. Ia membantu Dewi Taring Ayu untuk menenggak tuaknya beberapa teguk. Tuak itu mempercepat keringnya luka dan lenyapnya rasa sakit.

"Dewi Taring Ayu...!" terdengar suara berteriak kasar dan keras dari pekarangan. "Aku tahu kau lari kemari, karena darahmu yang menetes di bumi menunjukkan kepadaku! Kau tak akan bisa lari dari kematianmu, Dewi Taring Ayu! Ha ha ha ha...!"

"Keparat si Tulang Neraka itu!" Delima Ungu menggeram, lalu segera bergegas keluar.

Tapi tangan Ki Darma Paksi menghadang, menghalanginya dan berkata, "Bukan dia tandinganmu, dan bukan kamu tandingannya, Delima Manis! Biarkan Suto yang menghadapi angkara murka, si setan sesat berjiwa laknat itu!"

Suto selesai menutup bumbung tuaknya. Saat itu terdengar suara Ki Darma Paksi, "Saat inilah kejahatan akan dikalahkan oleh kebaikan, yang hitam akan dihancurkan oleh yang putih, dan sudah saatnya kau turun tangan mengatasi kesesatan jiwa ini sebagai murid si Gila Tuak!"

"Jangan, Suto! Jangan menghadapi dia!" kata Dewi Taring Ayu. "Dia benar-benar tak bisa dilawan!" tambah Dewi Taring Ayu setelah Suto menyunggingkan senyum. Dan dengan pelan ia berkata,

"Boleh aku meminjam pedangmu, Dewi?"

Perempuan bertaring itu tidak menjawab, Pendekar Mabuk pelan-pelan mengambil pedang itu dengan mata tetap menatap Dewi Taring Ayu. Ia berkata pelan setelah menggenggam pedang itu, "Kau cantik, Dewi...!" setelah itu Pendekar Mabuk pun melesat keluar diikuti oleh ketiga adik Dewi Taring Ayu. Tapi mereka hanya sampai di batas serambi saja, tak berani ikut ke pelataran. Ki Darma Paksi membantu Dewi Taring Ayu untuk ikut ke serambi melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Tulang Neraka.

"Aha, rupanya kau juga ada di sini, Pemuda Tampan! Kau yang mengalahkan aku tempo hari, dan sekarang mau serahkan nyawa padaku? Bagus sekali! Bagus sekali!"

Sett...! Suto Sinting menggenggam pedang kuat-kuat dengan kedua tangannya. Pedang ada di depan ketiak kanan, kedua kaki rapat merendah. Matanya tajam melirik gerakan Tulang Neraka.

"Hiaaat...!" Tulang Neraka maju menyerang dengan mengibaskan pedangnya dari atas ke bawah.

Zlapp...! Pendekar Mabuk tiba-tiba sudah berada di belakang Tulang Neraka dan menebaskan pedangnya dua kali. Wuttt, wwuttt...! Pedang bagai mengenai bayangan. Suto sendiri ditertawakan oleh Tulang Neraka. Tetapi, segera Suto mengusap dahinya memakai tangan kanan.

Clapp...! Pendekar Mabuk menghilang, masuk ke alam gaib. Hanya Pendekar Mabuk dan Ki Darma Paksi yang tahu, bahwa Suto berada di alam gaib, tak bisa terlihat oleh mata Arum Kafan, Dewi Taring Ayu, dan kedua adik mereka itu. Tetapi buat Tulang Neraka, ia tetap melihat gerakan Suto, bahkan tak tahu bahwa Suto ada di alam gaib, sejajar dengan raganya.

"Ke mana dia...?!" gumam Delima Ungu dengan tegang. Mereka hanya memandang Tulang Neraka bagai sedang bertarung dengan tempat kosong. Kadang ia melompat sendiri, kadang ia menebas sendiri.

Trang, trang...!

Mereka terkejut mendengar suara benturan pedang dua kali, sedangkan di mata mereka tetap tidak melihat Suto bersama pedangnya. Arum Kafan berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,

"Dia ada! Dia ada di sana, tapi tidak terlihat oleh kita!"

"Luar biasa kesaktian si tampan itu," gumam Dewi Taring Ayu.

Ki Darma Paksi berkata, "Suto masuk ke alam gaib dan menemui raga Tulang Neraka! Matilah orang sesat itu sebentar lagi!"

Ucapan itu memang benar. Baru saja berhenti ucapan Ki Darma Paksi, tiba-tiba ia dan yang lainnya melihat Tulang Neraka tersentak mundur dan terpekik tertahan,

"Ahk...!" Ia mulai tampak kebingungan, dadanya sempat digores oleh pedang Pendekar Mabuk. Ia benar-benar heran dan tak menyangka akan bisa dilukai. Ia memegang luka itu, memandang darah di tangannya. "Kau bisa melukaiku, Jahanam...?!" geram Tulang Neraka. Ia tampak semakin bengis dan buas.

Wuttt wuttt wuttt...!

Pedang Suto berkelebat cepat saat melompat menyerang. Tapi Tulang Neraka tidak melihat gerakan Suto karena cepatnya. Hanya tahu-tahu ia tersentak bagai terpaku di tempat. Mereka yang menyaksikan juga melihat Tulang Neraka terpaku di tempat. Tangan kanannya tiba-tiba putus, jatuh ke tanah. Pluk...! Disusul kemudian daun telinganya jatuh karena terpotong. Pluk...! Kejap berikutnya, mata yang membelalak dan mulut yang ternganga itu jatuh menggelinding bersama kepalanya, sedangkan raganya masih berdiri bagai tertancap di tanah. Diam tak bergerak.

Mata mereka yang menyaksikan pertarungan itu menjadi terbelalak dengan mulut melongo tanpa bisa berkata apa-apa. Ternyata Suto Sinting-lah orang yang bisa mengalahkan ilmu 'Kidung Mantera Gaib' itu. Rasa kagum dan takjub mereka terhadap kesaktian Suto sampai membuat mereka sulit bicara, bahkan ketika Suto sudah menampakkan diri lagi dengan cara mengusap kembali keningnya memakai tangan kiri, perempuan-perempuan cantik itu masih terpaku tak bisa bicara.

Kepala, tubuh, dan bagian tubuh dari manusia sesat Tulang Neraka itu segera mengeluarkan cahaya merah membara seperti besi terpanggang api. Cahaya itu makin memancar menyilaukan, lalu redup dalam seketika. Blapp...!

Dan Ki Darma Paksi berkata, "Lenyap sudah ilmu titisan itu!"

Ucapan itu memang benar. Tubuh dan kepala Tulang Neraka kembali dapat disentuh walau dengan kaki. Itu berarti ia bukan lagi menjadi bayangan seperti saat ilmu setan itu menitis dalam dirinya.

Pendekar Mabuk mendekati Dewi Tarung Ayu, menyerahkan pedang Dewi Taring Ayu dengan kedua tangan. Dewi Taring Ayu tersenyum, lalu pedang diangkatnya ke atas oleh Dewi Taring Ayu. Tapi ternyata di tangan Suto masih ada pedang, dan di tangan Dewi Taring Ayu yang terangkat ke atas itu tidak memegang pedang. Dewi Taring Ayu tertawa, ingat masa pertemuannya dengan Suto ketika mereka pamer ilmu dengan logam ujung golok yang menancap di pohon.

"Jangan melecehkan aku lagi. Aku hormat pada ilmumu yang tinggi itu, Suto! Tak akan kupamerkan ilmuku di depanmu lagi," kata Dewi Taring Ayu yang mulai mengering lukanya.

Pendekar Mabuk hanya memandangi Dewi Taring Ayu dengan senyum menawan setiap mata yang memandangnya kala itu. Dan Suto berucap kata kepada Dewi, "Kau cantik, Dewi...!"

Perempuan bertaring itu tersipu malu. Cepat-cepat Delima Ungu mendekat dengan cemberut dan berkata, "Aku...?!"

"Kau... lebih cantik dari yang tercantik," jawab Suto Sinting, membuat Delima Ungu merah wajahnya, dikulum senyumnya, dan ia biarkan Dewi Taring Ayu merangkulnya.

"Kita geledah Pulau Dedemit untuk mendapatkan kitab itu dan harus segera kuserahkan kepada guruku!" kata Suto.

"Aku setuju," jawab Dewi Taring Ayu mewakili adik-adiknya.

Kemudian mereka pun pergi ke Pulau Dedemit, dan berhasil menemukan kitab pusaka tersebut dalam gua setelah mengalahkan Dogol lebih dulu. Dogol dibuat kabur terbirit-birit oleh Delima Ungu. Maka, Suto pun terpaksa harus meninggalkan mereka, karena ia harus segera menemui gurunya untuk menyerahkan kitab tersebut. Mereka terpaksa harus rela melepas kepergian Pendekar Mabuk, walau Dewi Taring Ayu sempat membisikkan kata kepada Suto Sinting,

"Baru sekarang aku menelan cairan lain yang bukan darah, yaitu tuak Suto! Rasa-rasanya, lebih nikmat dari darah manusia!"

"Tuak lain pun lebih nikmat! Percayalah, Dewi!" Pendekar Mabuk menepuk pundak Dewi dengan mantap, lalu melangkah pergi dalam gerakan secepat angin badai. Zlappp...!

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.