Tandu Terbang

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Tandu Terbang karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Tandu Terbang
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
WAJAH gadis itu tampak tegang. Matanya yang bundar indah kelihatan lebar dan bergerak-gerak liar. Gadis berpakaian kebaya biru kusam dan kain batik coklat tua itu berlari menerobos kerimbunan semak kayu kering. Suara gemersik terdengar sebagai tanda ke mana arah pelariannya.

Gadis itu berusia sekitar dua puluh dua tahun. Tapi jika diperhatikan agak lama, ia tampak sudah matang sebagai gadis dewasa. Kulitnya yang kuning langsat itu berdada sekal dan montok. Tak heran jika tubuhnya itu mengundang minat setiap lelaki. Apalagi ia berkebaya robek bagian pundak sampai hampir sebatas dada, tentunya kekuningan kulit mulusnya itu kian menambah semangat bagi seorang lelaki. Rambutnya yang panjang terurai lepas itu bagaikan lambaian tangan untuk bercumbu mesra.

Tetapi gadis itu kini dalam ketakutan. Wajahnya yang tegang menyelusup di antara kerimbunan tanaman hutan, ia bersembunyi di balik pohon, memandang ke belakang, melongok ke sana-sini, kemudian berlari lagi sambil menghamburkan tawa yang cekikikan. Gerakan larinya berkesan liar, perubahan air mukanya takmenentu; kadang tampak takut, kadang tampak sedih, kadang pula ia tampak ceria hingga tawanya terlepas di sela-sela pohon hutan.

"Mereka tak bisa mengejarku. Hi, hi, hi...! Mereka kehilangan jejakku?! Oooh... alangkah dungunya mereka. Hi, hi, hi...!" gadis itu berkata dengan suara jelas, tapi seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Napasnya yang terengah-engah kini diredakan sambil tubuhnya bersandar di bawah pohon. Tawanya masih berderai-derai diselingi wajah tegang sepintas. Tiba-tiba dari kerimbunan semak di sampingnya muncul dua lelaki yang melompat dengan gesit dan lincah.

Wuuurt...! Jleeeg...!

"Aaauh...!" gadis itu memekik kaget dengan suara melengking tinggi. Dua lelaki yang masing-masing berusia sekitar tiga puluhan tahun itu melepaskan tawa bersamaan.

"Sekarang kau tak dapat lari lagi, Cah Ayu...! He, he, he, he...!" goda lelaki berpakaian hitam dengan ikat kepala dan ikat pinggang kain hitam pula. Kumisnya sedikit tebal dan matanya tampak liar, bernafsu sekali memandang gadis yang kini sedang mundur ke arah kerimbunan semak lainnya.

"Aku tidak mau! Pergi kalian! Pergi! Aku tidak suka sama kalian. Kalian terlalu nakal!" gadis itu mencoba mengusir dengan sebaris kecaman.

Tapi si baju hitam semakin mendekatinya. Gadis itu lari ke balik pohon, tapi kepalanya nongol memandang si baju hitam. Senyum si baju hitam adalah seringai seorang lelaki yang kegirangan mendapatkan perempuan mulus di tengah hutan.

Sedangkan temannya, yang mengenakan pakaian hijau tua dengan rambut panjang sepundak tak diikat itu juga menyeringai kegirangan, ia melangkah melalui sisi lain, membentuk gerakan mengepung gadis itu.

"Kami tidak nakal kepadamu, Anak Manis! Kami tidak akan menyakitimu. Justru kami ingin memberikan keindahan padamu, Anak Manis," bujuk si baju hijau.

"Keindahan apa?!" sentak gadis itu dari balik pohon.

"Kehangatan dan cinta, Anak Manis."

Gadis itu tersenyum-senyum nakal dengan mata memandangi si baju hijau yang bernama Kobar, sementara si baju hitam yang bernama Raseta makin mendekat mengambil arah dari belakang gadis itu. Sementara Kobar sibuk membujuk, Raseta kian mendekat dan melebarkan kedua tangannya bersiap untuk memeluk dari belakang.

"Namamu siapa, Anak Manis?" Kobar memancing perhatian gadis itu supaya tidak menengok ke belakang, sehingga ia tidak tahu kalau akan diterkam oleh Raseta dari belakang.

"Namaku Palupi," jawab gadis itu sambil tersenyum-senyum memainkan ujung rambutnya yang meriap ke dada kanan.

"Namamu cantik sekali, seperti orangnya. Nama itu hangat didengar, pasti sehangat tubuh orangnya. He, he, he, he...!"

"Kumismu juga hangat, Kang. Sehangat jagung bakar. Hi, hi, hi...!"

Kobar bangga, mengusap kumisnya yang lebat, lebih lebat dari kumis Raseta. Tapi gadis itu tiba-tiba memekik dengan suara lengking manakala Raseta berhasil menyergapnya dari belakang.

"Aaaa...!" Gadis itu meronta ketika tengkuk dan punggungnya diciumi oleh Raseta dengan buas. Jeritannya terlontar berulang-ulang bahkan terdengar kasar.

"Tolooong...! Tolooong, aku mau diperkosa. Hii... tolong! Aku malu...! Aku malu sekali. Oouhh...! Tolooong... aku mau diperkosa. Hiii... geli! Geliii.... Tidak mau. Tidak mau! Lepaskan aku! Jangan pegang tubuhku. Oh, lepaskan tangan kananmu, Kang."

Tetapi Raseta makin buas menciumi punggung Palupi. Karena kepala Palupi bergerak meronta tak karuan, maka Raseta tak berhasil mencium pipi gadis itu. Kesempatan itu dimiliki oleh Kobar yang ada di depan Palupi dan langsung ikut memeluk penuh gairah yang berkobar-kobar. Wajah Palupi pun segera disosornya.

Bruuus...! Cruuup...!

Tapi pada waktu itu Palupi berhasil meloloskan diri dengan menarik badan ke bawah sambil mengerang penuh ketakutan. Pada waktu tubuh Palupi lolos ke bawah, kedua tangan Kobar memeluk tubuh Raseta. Karena mata mereka saling terpejam untuk menikmati dan meresapi kehangatan sang dara, maka mereka sempat kecele sebentar. Bukan Palupi yang dicium Kobar, melainkan wajah Raseta yang terkena sosoran mulut Kobar. Sedangkan Raseta menyangka Palupi berbalik arah dan wajahnya menghadap ke mukanya. Maka ketika bibirnya menyentuh bibir Kobar, Raseta sempat kaget dan buru-buru membuka mata.

"Hah...?! Bangsat kau!"

Plook...!

"Kau yang bangsat!" bentak Kobar lalu membalas tamparan itu.

Plook...!

Palupi telah lolos dengan cara merangkak menerobos kaki kedua ielaki itu. Ia berlari ke pohon seberang, dan dari sana ia tertawa kegelian melihat dua lelaki itu saling berciuman dan berpelukan. "Hi, hi, hi...! Ayo, berciumanlah sepuas hatimu! Aku akan menjadi penonton yang setia dan tidak akan mengganggu kalian. Hi, hi, hi Kumis bertemu dengan kumis alangkah lucunya?! Hi, hi, hi!"

"Monyet liar kau, Palupi!" geram Kobar.

"Kamu juga monyet liar!" geram Raseta kepada teman sendiri. "Kusangka mulutnya Palupi. Setelah kurasakan mulut itu berbulu, eh... tak tahunya kumisnya yang menggelitik lubang hidungku! Kampret busuk!"

Kobar akhirnya tertawa geli menyadari salah ciumnya tadi. Raseta pun ikut terbahak-bahak hingga tubuhnya oleng karena terbungkuk-bungkuk. Air matanya sempat keluar pertanda ia benar-benar geli membayangkan kejadian tadi.

"Hei, gadis itu lari! Ayo, kejar lagi dia! Jangan sampai lolos!" teriak Kobar dengan sentakan nada tinggi. Sambil bergegas mengejar, Raseta berseru, "Jangan berebut! Sebaiknya kalau nanti tertangkap kita antri saja! Gantian. Jadi kita tidak salah kumis lagi!"

Palupi yang kebayanya bertambah robek karena tarikan tangan Raseta tadi, berusaha melarikan diri menuju ke arah sungai, ia mendengar suara gemuruh aliran arus sungai yang jatuh dari ketinggian tempat, ia yakin di depannya ada air terjun, berarti ada sungai, dan ia bisa menyeberang sungai secepatnya sebelum terkejar oleh dua lelaki bernafsu jalang itu. Namun angan-angannya itu tak terlaksana, karena sebelum ia mencapai tepian sungai, tubuhnya telah tersungkur jatuh karena diterkam Kobar dari belakang. Terkaman itu mengejutkan hingga suara kagetnya melengking tinggi.

"Aaaauh...! Jangaaan...! Lepaskan aku! Lepaskan...! Aku tidak mau! Tidak mau! Tidak mau di sini! Lepaskaaan...!" Palupi mencoba mengamuk, meronta, mendorong tubuh Kobar yang mulai menindih dirinya. Dengan mengerahkan tenaga wanitanya, tubuh Kobar yang kurus berhasil disentakkan dan orang itu terlempar ke samping. Palupi berusaha bangkit dengan merangkak, tapi tubuhnya tersungkur lagi karena segera diterkam oleh Raseta.

"Kena kau...!" teriak Raseta.

"Aaauh...! Jangan! Jangan! Jangan sekarang! Aauuuh...! Aku tidak mau. Tolooong...! Tolooong...! Aaauh...!" Palupi meronta terus.

"Pegang kuat-kuat, jangan sampai lepas!" seru Kobar kepada Raseta. Lalu Kobar pun ikut menerkam, memegangi kaki Palupi. Tapi kaki itu menjejak-jejak. Akhirnya Kobar ikut menerkam Palupi.

"Tidak mau! Pokoknya aku tidak mauuu...! Aaauh...! Kurang ajar kalian! Lepaskan aku! Lepaskan...!"

Ternyata Palupi tetap meronta menguras tenaga. Ketiganya saling bergelut di rerumputan. Saling berusaha mencapai keinginan batinnya, saling berusaha mencari pemenuhan hasratnya. Tanpa sadar, ternyata justru gadis itu telah berhasil lolos dari pelukan mereka, dan kedua lelaki itu justru sibuk saling peluk sendiri.

Begitu Raseta sadar, ia berteriak membentak, "Bangsat! Kau lagi!"

Plook...! Wajah Kobar ditamparnya penuh kejengkelan.

Kobar pun memaki serupa dan memukul wajah Raseta dengan kedua tangannya yang hinggap memenuhi wajah temannya itu.

Prook...!

Dari jarak lima tombak Palupi tertawa terkikik-kikik kegelian melihat dua lelaki yang saling bergelut direrumputan. Tapi kedua orang itu segera berjingkat bangkit, lalu mengejar ke arah Palupi. Gadis itu berlari lagi menuju sungai. Tapi sebelum tiba di tepian sungai, lagi-lagi langkahnya terhenti total. Kali ini bukan karena diterkam Kobar atau Raseta, melainkan karena kemunculan seseorang di depan langkahnya.

Jleeg...!

"Ooh?!" Palupi terbelalak, matanya melebar, mulutnya melongo. Mata itu tak bisa berkedip lagi Sepertinya, karena kali ini yang dipandang bukan wajah berkumis dan berbadan kurus, melainkan wajah tampan punya senyum menawan.

Seorang pemuda bertubuh tegap, kekar, dan gagah, berdiri sambil menyandang bumbung tuak dari bambu di pundak kanannya. Pemuda itu bercelana putih kusam, dengan baju tanpa lengan warna coklat. Ikat pinggangnya dari kain merah dan rambutnya lemas, lurus sebatas lewat pundak sedikit. Matanya memancarkan kelembutan yang menenangkan jiwa seresah apa pun. Seakan di kedua mata pemuda tampan itu terdapat dua sendang bening yang menyejukkan hati setiap wanita.

"Menyingkirlah ke balik pohon di belakangku, biar kuhadapi kedua lelaki itu," kata pemuda tampan tersebut yang tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, yang kini namanya kesohor sebagai Pendekar Mabuk.

"Ak... aku... aku mau diperkosa," kata Palupi dengan gugup, kepalanya mengangguk.

Tapi Suto menjawab, "Aku tidak mau memperkosamu. Jangan menyuruhku memperkosamu."

"Aku... aku tidak menyuruhmu, aku memberitahukan padamu bahwa aku mau diperkosa."

"Terserah kau mau atau tidak, tapi jangan memohon begitu padaku."

"Aku tidak memohon!" bentak Palupi jengkel. "Aku memberi tahu padamu, ada dua lelaki yang mau memperkosaku!"

"Ooo... begitu maksudmu? Kalau soal itu aku tak perlu kau beri tahu. Aku sudah tahu sendiri. Aku sudah melihat pengejaran mereka dan usaha mereka saat menggelutimu tadi. Karena itu, menyingkirlah biar aku yang hadapi mereka, Nona!"

Tentu saja kemunculan Suto Sinting merupakan penghalang besar yang memuakkan bagi Raseta dan Kobar. Mereka memandang benci ketika berhadapan dengan Suto Sinting. Yang membuat mereka semakin memendam kemarahan adalah sikap Suto Sinting yang tenang dan kalem-kalem saja, malah sempat menenggak tuak dari bumbung bambu yang ditentengnya ke mana-mana itu.

"Apa maksudmu menghadang kami, Bocah Ingusan?!" sentak Kobar kepada Suto.

"Dia pasti berlagak menjadi pahlawan! Hajar saja dia. Habisi nyawanya!" ujar Raseta dengan mata memandang penuh permusuhan.

Maka, Kobar pun mencabut goloknya. Sreet...! Disusul kemudian golok Raseta juga dicabut dari sarungnya. Seeet...! Mereka saling memisah jarak, ke kiri dan ke kanan, siap mengepung si tampan berhidung bangir dan berkulit sawo matang itu.

Palupi yang sudah bersembunyi di balik pohon belakang Suto, segera berlari menghampiri Suto, mencolek-colek punggung Suto, setelah Suto berpaling memandangnya, gadis itu berkata, "Kang, yang mereka cabut itu golok! Goloknya tajam lho! Apa kamu tidak takut sama golok tajam?"

"Kembalilah ketempatmu!" kata Suto agak jengkel.

Palupi menurut, kembali ke balik pohon dan menonton cara Suto menghadapi dua orang berbadan kurus itu.

"Bocah ingusan!" seru Kobar, "Kuingatkan padamu, jangan mau mati sia-sia untuk gadis gila seperti si Palupi itu! Tak ada hebatnya kau membela kesucian gadis gila. Karena mungkin dia sudah tidak perawan lagi sejak beberapa waktu yang lalu! Jadi sebaiknya, menyingkirlah dan jangan berlagak sebagai pendekar!"

"Justru aku yang ingin sarankan pada kalian agar jangan mengganggu gadis seperti dia! Entah gila atau tidak, tapi memaksa kehendak seorang gadis untuk melayani hasrat kelelakian kalian itu adalah tindakan yang tak terpuji!"

"Ha, ha, ha...! Kau berlagak menjadi seorang resi atau pendeta, hah?!" seru Raseta sambil makin mendekat, bersiap lakukan serangan dadakan, ia berkata lagi, "Aku dan Kobar tidak butuh nasihatmu! Kau tak perlu menasihati kami, karena kau bukan calon mertua kami. Ha, ha, ha...!"

"Memberi nasihat bukan tugas calon mertua saja, tetapi di antara kita perlu saling bertegur sapa, saling memberi nasihat, mengingatkan kepada siapa yang lupa akan langkahnya," kata Suto dengan nada tenang.

Palupi maju lagi dekati Suto dan berkata, "Kang, kok ngobrol terus? Kapan tarungnya?! Sudah, bres, bres, bres... begitu!" sambil mulutnya bersungut-sungut dan kembali ke balik pohon.

Suto Sinting membatin, "Gadis ini sepertinya lebih sinting dariku. Jangan-jangan apa yang dikatakan dua orang itu memang benar, bahwa gadis itu memang gila. Hmmm... rasa-rasanya aku tak perlu gunakan kekerasan untuk mencegah tindakan tak terpuji dari mereka. Cukup dengan saran dan ucapan saja, aku yakin mereka sadar dengan apa yang ingin mereka lakukan itu tadi."

"Hei, Bocah Ingusan!" seru Kobar, "Kau telah berbuat lancang dengan menghadang langkah kami! Kau harus menerima pelajaran dari kami. Hiaaaah...!" Kobar menyeranga lebih dulu dengan sebuah lompatan.

Suto Sinting terkesiap sejenak, lalu badannya limbung bagai mau jatuh seperti orang mabuk. Tetapi gerakan limbung ke kiri itu ternyata hasilkan tendangan ke kanan, dan tendangan itu kenai siku tangan kanan Kobar yang hendak menebaskan goloknya ke pundak Suto.

Dees...! Krek...!

"Auh...!" Kobar memekik tertahan, tulang sikunya bagaikan lepas dari engsel.

Gerakan itu di luar rencana Suto. Gerakan itu adalah gerakan naluri dari jurus-jurus silatnya, yaitu jurus silat Pendekar Mabuk. Tak heran jika tubuh Suto segera meliuk ke depan bagaikan limbung, kakinya saling berlilit dan tersendat dalam langkahnya. Ketika tangannya seakan ingin mencari sesuatu untuk pegangan agar tubuh tak jatuh, tiba-tiba tangan itu berkelebat. Duug...! Tepat kenai ulu hati Kobar. Akibatnya, Kobar mendelik, napasnya tertahan dan sulit dihela, ia terdorong ke belakang hampir jatuh terkapar kalau tak ditahan tangan Raseta.

"Monyet buruk!" geram Raseta. "Terlalu lancang kau melakukan serangan terhadap temanku ini! Jangan bangga dulu kau, Bocah liar! Jangan merasa jadi pendekar walau bisa memukul Kobar. Tapi cobalah dulu hadapi jurus golokku ini! Heaaah...!"

Wut, wut, wuuuut...!

Golok itu berkelebat cepat bagai ingin menerjang wajah Suto Sinting. Tapi tubuh Pendekar Mabuk itu justru meliuk ke belakang bagaikan ingin tumbang dan terkapar terkena angin tebasan tersebut. Namun sebenarnya itulah gaya jurus Pendekar Mabuk dalam menghadapi serangan senjata tajam lawannya. Dengan keadaan meliuk kebelakang, ternyata kedua kakinya mampu menendang cepat ke arah lawan.

Des, des...! Dug, dug, dug...!

Wuuut...! Suto Sinting bersalto ke belakang. Jleeg...! Ia telah berdiri tegak kembali ketika lawannya sedang terhuyung-huyung karena tendangan beruntunnya tadi kenai lengan, dada, dan dagu.

"Terpaksa aku bersikap agak kasar, karena serangan mereka tak mau ditunda," pikir Suto agak menyesal sampai keluarkan jurus mabuknya. Padahal ia merasa tak perlu gunakan jurus apa pun untuk hadapi kedua orang itu.

Melihat Suto berhasil bikin mundur dua lelaki itu, Palupi tepuk tangan dari samping pohon, seakan merasa bangga melihat perlawanan Suto yang sempoyongan mirip orang mabuk itu. "Terus, Kang! Hajar terus, Kang...! Tendang lagi mereka biar seluruh giginya rontok seperti daun kesamber petir. Hi, hi, hi...!"

Suara Palupi tak dihiraukan Suto, karena tiba-tiba kedua lawannya itu menyerang secara bersamaan dengan jurus golok kembar yang beda gerakan tapi sama-sama berkecepatan tinggi.

Wuuut...! Wees, wees, wees, wwwuuut...! Trang!

Golok mereka akhirnya dihadang oleh bambu tempat tuak Suto yang kerasnya menyamai baja itu. Dan ketika golok itu menghantam bambu tuak, tiba-tiba kedua mata mereka sama-sama terbelalak kaget.

"Rompal...?!" gumam Kobar dengan mata menatap goloknya yangnyaris patah.

"Edan!" gumam Raseta, juga terheran-heran melihat goloknya geripis separo bagian.

Sedangkan Suto Sinting menarik diri, mundur dua langkah dan berdiri tegak dengan senyum tipis menambah ketampanannya. "Pergilah dan jangan ganggu gadis itu lagi. Kuharap selamanya kalian tak akan berbuat sehina itu lagi!" kata Suto dengan suara tenang.

"Persetan dengan nasihatmu! Kobar, serang dia dengan jurus 'Sinar Mega' kita bersama-sama!"

"Heaaaat...!" Kobar segera bersiap lepaskan pukulan tenaga dalam yang dinamakan jurus 'Sinar Mega' itu.

Raseta pun lakukan hal yang sama, sehingga dari telapak tangan kiri mereka sama-sama keluarkan selarik sinar putih meliuk-liuk bagaikan mata bor besar. Claaap...! Kedua sinar itu menghantam dada Suto. Tapi sebelum tiba di sasarannya, kedua sinar itu telah pecah lebih dulu karena dihantam oleh sinar merah menyerupai piringan lebar.

Blaaar...!

Ledakan itu menyentak kuat, membuat kedua orang yang mau memperkosa Palupi terpental ke belakang tiga tindak jauhnya, dan Suto Sinting hanya mundur setindak, ia terkejut dan heran, sebab ia merasa tidak memberikan serangan balasan. Dalam hatinya menanyakan tentang datangnya sinar merah itu. Tapi pertanyaan batinnya itu segera terjawab setelah kemunculan seorang lelaki tua, berusia sekitar empat puluh tahun lebih, mengenakan baju abu-abu dengan selempang pita kuning yang menyilang di dada dan punggung.

"Kobar dan Raseta!" sentak orang yang baru muncul dari atas pohon itu. "Tugas kalian bukan untuk memperkosa perempuan! Apakah kalian lupa?!"

Raseta dan Kobar bergegas bangkit dengan perasaan takut kepada orang berselempang pita lebar itu. Mereka tundukkan wajah, seakan siap menerima hukuman dari orang yang lebih punya kharisma ketimbang keduanya itu.

Suto Sinting berkerut dahi memandangi lelaki berjenggot tipis warna hitam, dan berambut sedikit panjang namun diikat dengan kain satin, sama dengan warna selempangnya. Dalam hati Suto bertanya-tanya, "Siapa orang ini? Agaknya ia adalah atasan dari Raseta dan Kobar."

Orang tersebut menghardik Raseta, "Apakah sang Ketua menugaskan kau untuk mengejar-ngejar perempuan?!"

"Tidak, Ki Wirogo!"

"Kobar, kau sadar siapa orang yang baru saja kau hadapi itu?"

"Bocah ingusan, yang berlagak ingin menjadi pendekar pembela gadis gila itu, Ki Wirogo!"

Plook...! Ki Wirogo menampar dengan kelebatan kaki kanannya. Wajah Kobar menjadi merah matang karena tamparan kaki tersebut. Kobar tak berani lakukan apa-apa kecuali segera bangkit dari jatuhnya dan kembali tundukkan kepala.

"Bodoh!" bentak Ki Wirogo. "Dia adalah seorang pendekar! Bumbung tuaknya itu sudah mewakili gelarnya sebagai Pendekar Mabuk!"

"Hahh...?!" Kobar dan Raseta tersentak kaget, wajah mereka terangkat, mata mereka melebar menatap Suto Sinting yang tetap tenang berdiri di bawah pohon, di belakangnya ada Palupi yang cekikikan sambil mengusap-usap punggung atau lengan Suto.

"Orang itu mengenalku. Hmmm... pasti dia cukup punya nama di rimba persilatan. Sayang aku kurang mengenalinya. Namanya Ki Wirogo... ah, nama itu masih asing bagiku," pikir Suto dala mmasa bungkamnya.

Ki Wirogo segera berkata kepada Suto dengan sikap tegas namun berkesan hormat, "Pendekar Mabuk, maafkan kelancangan dan kebodohan anak buahku itu! Tapi kurasa ada baiknya jika kau tidak lanjutkan permusuhan ini. Cukuplah sampai di sini saja."

"Terima kasih atas peringatanmu, Ki Wirogo. Perlu kau ketahui, aku tak punya niat bermusuhan dengan orang-orangmu, sebab aku tidak tahu siapa kalian."

"Kami adalah utusan dari Lumpur Maut, mempunyai keperluan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pribadimu, Pendekar Mabuk."

Palupi berbisik, "Pak tua itu juga pasti mau ikut-ikutan memperkosaku, Kang. Sikat saja dia! Biar usianya cepat tua dan cepat habis!"

Bisikan itu tak dihiraukan oleh Suto Sinting, sebab Ki Wirogo segera mohon pamit dan membawa kedua orangnya itu untuk pergi. Suto dapat menangkap adanya pemaksaan sikap di balik ketegasan Ki Wirogo. Sepertinya orang berpakaian abu-abu itu memaksakan diri untuk menjadi orang bijak di depan Suto, entah dengan maksud supaya dipuji atau supaya disegani. Yang jelas, Suto segera berusaha melupakan apa yang baru terjadi. Tapi Palupi menjadi cemberut dan tampak kesal.

"Kenapa mereka tidak kau bunuh saja, Kang? Mereka itu berbahaya! Apalagi yang tua tadi, dia punya pusaka maut yang saat ini tidak dibawanya."

"Pusaka apa?" tanya Suto enggan.

"Pusaka pedang. Namanya Pedang Kayu Petir, dan..."

"Apa...?!" Suto terkejut mendengar nama Pedang Kayu Petir disebut-sebut. Sebab pedang itulah yang sedang dicarinya untuk mengalahkan musuh utamanya, Siluman Tujuh Nyawa. Karena menurut keterangan seorang tokoh sakti, Siluman Tujuh Nyawa hanya bisa dikalahkan dengan Pedang Kayu Petir, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bandar Hantu Malam). Sedangkan tokoh sesat yang paling keji itu, sedang diburu oleh Suto untuk dipenggal kepalanya sebagai hadiah mas kawin kepada calon istrinya, Dyah Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Prahara Pulau Mayat)

Maka tak heran jika hati Suto menjadi berdebar-debar begitu Palupi menyebut-nyebut nama Pedang Kayu Petir. Sebab menurut keterangan Resi Wulung Gading, pedang itu sudah lama hilang dari tangannya dan sampai sekarang tak tahu ada di mana. Sang Resi sendiri telah melacaknya melalui semadi beberapa kali tapi tidak pernah berhasil menemukan di mana pedang itu sekarang berada, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cambuk Getar Bumi)

"Apa benar Ki Wirogo punya Pedang Kayu Petir?"

"Benar!" jawab gadis gila itu.

"Dari mana kau tahu kalau dia punya pusaka Pedang Kayu Petir!"

"Dari dugaanku," jawab Palupi seenaknya saja.

Suto terpaksa berkerut dahi dengan menanam rasa kecewa dan kebimbangan. Hatinya pun berkata, "Gadis ini gila, tapi dia bisa sebutkan Pedang Kayu Petir. Apakah dia punya hubungan dengan pemilik Pedang Kayu Petir?!"

* * *

DUA
MENURUT keterangan Resi Wulung Gading, orang sesakti apa pun tak akan bisa hindari kekuatan pusaka Pedang Kayu Petir. Konon kekuatan sakti yang ada dalam Pedang Kayu Petir dapat kenai tubuh orang berilmu sangat tinggi. Sekalipun orang tersebut dapat lenyap karena raganya masuk ke alam gaib, tapi Pedang Kayu Petir tetap dapat lukai tubuh orang tersebut. Bahkan Resi Wulung Gading pernah katakan, Pedang Kayu Petir adalah pusaka yang ditakuti oleh semua orang sakti di rimba persilatan.

Banyak orang berminat memiliki Pedang Kayu Petir. Tetapi karena pedang itu bertahun-tahun telah hilang dan tak pernah ada yang menemukan, maka heboh tentang pusaka Pedang Kayu Petir itu hilang dengan sendirinya. Para pemburu pedang tersebut lama-lama bosan mencarinya dan tak pernah lagi pusaka itu disebut-sebut oleh mereka. Pedang tersebut dianggap musnah secara gaib, sehingga mereka merasa tak perlu lagi memburunya.

Sebab itulah Suto Sinting merasa heran jika Palupi si gadis gila itu bisa sebutkan Pedang Kayu Petir. Suto Sinting tertarik dengan Palupi bukan lantaran Palupi punya wajah cantik dan tak terurus, melainkan karena gadis gila itu diharapkan dapat menjadi penunjuk jalan menuju tempat pedang tersebut berada.

"Palupi, apakah kau tahu di mana Pedang Kayu Petir itu berada?"

"Di sana. Jauh...!" jawab Palupi sambil memainkan rambut Suto dari samping.

"Sebutkan letaknya, Palupi," desak Suto.

Palupi tersenyum-senyum. Matanya memandangi Suto penuh ungkapan rasa kagum dan tertarik. Desakan Suto itu tidak dijawab, tapi gadis itu berkata, "Kamu tampan sekali. Ganteng, iiih...! Aku gemas sekali padamu!" sambil Palupi mencubit pipi Suto.

Pendekar Mabuk diam saja, karena memaklumi tingkah si gadis gila. Seandainya Palupi tak gila, tentunya ia malu mencubit-cubit pipi pemuda tampan yang baru saja dikenalnya. "Agaknya aku harus membujuk dengan sabar," pikir Suto. "Sepertinya dia tahu rahasia pedang itu. Tapi karena otaknya terganggu, maka ia tak bisa jelaskan sebaik mungkin. Aku yakin, lama-lama gadis ini dapat berikan keterangan yang kuharapkan melalui mulutnya yang kadang bicara tidak sesuai dengan kehendak otaknya, melainkan sesuai dengan hati kecilnya, ia melebihi orang mabuk, dapat bicara tanpa disadari apa yang diucapkannya."

Palupi masih tersenyum-senyum sambil memperhatikan kekarnya lengan dan tubuh Suto. Bahkan dada Suto sempat dirabanya dengan penuh rasa bangga dan girang hati. Suto berlagak jinak-jinak merpati, seolah-olah pasrah dengan desakan Palupi yang bergairah ingin mencumbu dan dicumbu. Tetapi dengan secara tak kelihatan Suto selalu menghindari hasrat Palupi yang ingin mencumbunya.

"Ciumlah aku, Kang, atau kau yang kucium. Pilih salah satu. Keduanya juga boleh," kata Palupi sambil terkikik geli dengan suara membisik.

"Aku tak ingin memilihnya," kata Suto. "Sekarang aku tahu di mana pedang itu berada," pancing Pendekar Mabuk yang membuat gerayangan tubuh Palupi berhenti sejenak.

"Hmmm...!" Palupi mencibir. "Mana mungkin kau tahu di mana pedang itu berada."

"Tahu saja!"

"Di mana?" tanya Palupi menantang.

"Di dasar laut, tersembunyi di celah batu karang."

"Hmmm! Salah!" Palupi mencibir lagi, tapi wajahnya cerminkan rasa menang. "Pedang itu bukan di dasar laut."

"Iya. Di dasar laut!" Suto berlagak ngotot.

"Bukan, Kang! Pedang itu bukan di dasar laut tapi di dalam gua."

"Lha iya, di dalam gua yang ada di dasar laut!"

"Bukan!" Palupi mulai jengkel dan cemberut.

"Iya. Gua itu ada di dasar laut dan pedang itu ada di dalam gua tersebut."

"Bukan! Bukan! Bukan!" Palupi merengek bagai orang mau menangis. Bahkan berdirinya menghadap ke arah lain, memunggungi Suto Sinting. Mulutnya kian cemberut, seolah-olah sakit hati atau jengkel karena jawabannya tidak dipercaya.

Hal itu makin dimanfaatkan oleh Pendekar Mabuk untuk membujuk, "Habis kalau bukan didasar laut, lantas di mana? Setahuku gua itu ada di dasar laut utara."

"Tidak! Bukan di sana! Gua itu ada di Bukit Tungkai!" jawab Palupi sewot.

"Ah, bohong!"

"Iya. Sungguh! Gua itu ada di Bukit Tungkai, dan pedang itu ada di sana!"

"Kok kamu bisa tahu? Apa kamu pernah ke gua itu?"

"Pernah saja!" jawab Palupi tak mau kalah. "Aku yang menyimpannya di sana!"

"Hmmm...!" Suto mencibir menampakkan sikapnya yang tidak mau percaya. "Tak mungkin kau yang menyimpannya."

"Iya!" teriak Palupi. "Aku yang simpan pedang itu. Kalau tak percaya, ayo ikut aku. Kutunjukkan di mana aku menyimpan pedang tersebut!"

"Baik! Mari kita buktikan mana yang benar di antara kita berdua!"

Pancingan Pendekar Mabuk akhirnya berhasil. Palupi membawa Suto ke Bukit Tungkai. Nama bukit itu masih asing bagi Suto. Tentu saja Suto tak tahu di mana letak Bukit Tungkai. Sepanjang perjalanan Suto selalu bicara tentang pedang itu dengan sikap seolah-olah tidak percaya dengan ucapan Palupi. Hal itu membuat Palupi semakin penasaran dan ingin buktikan kebenaran kata- katanya.

Dalam hati Suto merasa girang, karena Palupi bisa ditundukkan dengan cara beradu debat. Seandainya Palupi tidak gila, tentu saja Suto sulit lakukan pancingan seperti itu. Pasti Palupi akan tutup mulut dan jaga ketat rahasia penyimpanan pedangyang pernah menghebohkan para tokoh di rimba persilatan sekian puluh tahun yang lalu itu.

Sayang sekali langkah mereka menuju Bukit Tungkai terpaksa terhenti karena kemunculan dua lelaki yang menghadang di depan mereka. Dua lelaki itu muncul dari balik bebatuan besar, melompat mengejutkan Palupi hingga gadis itu menjadi kaget dan langsung memeluk Suto. Wajahnya disembunyikan di sela leher Suto sambil ia meratap gemetar,

"Takut, Kang...!"

Dua orang yang muncul secara mengejutkan itu berpakaian serba biru. Tapi yang satu berikat kepala kuning, yang satu lagi berikat kepala putih. Keduanya sama-sama bersenjatakan kapak di pinggang masing- masing. Kapak mereka punya ukuran yang sama dan bentuk yang sama pula, tapi warna gagangnya berbeda. Yang berikat kepala putih kapaknya bergagang putih, yang berikat kepala kuning gagang kapaknya berwarna kuning pula.

"Siapakah kalian sebenarnya, dan mengapa menghadang langkahku, Sobat?" tegur Suto secara baik-baik ketika Palupi sudah melepaskan pelukannya.

"Kami utusan dari Muara Singa untuk membawa pulang gadis gila itu!" jawab lelaki berikat kepala putih, ia mempunyai kumis tipis, usianya sejajar dengan si ikat kepala kuning, sekitar tiga puluh tahun lewat sedikit. Keduanya sama-sama berbadan tegap, tidak gemuk, tidak pula kurus.

Melihat cara memandang mereka yang tajam, Suto dapat menduga keduanya mempunyai ilmu yang lumayan. "Apakah gadis ini keluarga kalian?"

"Kau tak perlu tahu," jawab orang berikat kepala kuning. "Yang jelas, jangan halangi niat kami membawa pulang gadis itu ke Muara Singa!"

"Muara Singa?" gumam Suto sambil berkerut dahi pertanda merasa asing dengan nama tersebut. Lalu, Suto bertanya kepada Palupi, "Apakah kau orang Muara Singa, Palupi?"

"Enak saja! Aku bukan keturunan seekor singa!" sentak Palupi dengan cemberut.

Suto kembali bicara kepada dua orang utusan dari Muara Singa itu, "Kelihatannya gadis ini tak mau dibawa pulang ke Muara Singa, Sobat."

"Kami akan memaksanya!" kata si ikat kepala kuning dengan tegas.

"Kalau kalian memaksa, mungkin dengan terpaksa aku akan melindunginya."

"Apa hakmu melindungi dan mempertahankan gadis itu, hah?" gertak si ikat kepala putih.

"Aku punya keperluan sendiri dengan Palupi," jawab Suto dengan tetap kalem.

Yang kenakan ikat kepala kuning segera bicara dengan yang pakai ikat kepala putih, "Paksa saja dia! Rebut dari tangan pemuda itu!"

"Baik. Kurasa memang tak ada jalan lain, Kisworo!"

"Seranglah dulu dia, Marjan!"

"Kau sajalah yang duluan. Aku ingin lihat seberapa tinggi ilmu silatnya!"

"Aku justru mau pelajari jurus-jurusnya. Ayo, seranglah dulud ia!"

"Setiap kali pasti aku dulu yang bertindak," Marjan bersungut-sungut. "Kau duluan sana!"

"Pancinglah lebih dulu, biar kuperhatikan kelemahannya!"

"Kau ini bagaimana? Dari dulu selalu mengandalkan pancinganku. Nanti giliran aku terdesak, kau lari?!"

"Eh, jangan sembarangan kalau bicara ya? Aku tak pernah lari melawan siapa pun, tahu?!"

"Tempo hari kau tinggalkan aku ketika aku melawan musuh kita di tepi sungai!"

"Aku bukan lari, tapi cari tempat yang enak buat pertarungan!"

"Nyatanya kau tidak bertarung melawan orang itu, kan?"

"Itu salahnya dia, kenapa tidak mengejarku...!"

Palupi berseru, "Hoi, hoi... ini bagaimana kok malah cekcok sendiri? Apa sebenarnya kalian tidak berani melawan calon suamiku ini?"

Kedua utusan Muara Singa itu sama-sama terhenti berdebat dan memandangi Suto dan Palupi. Keduanya menggumam bersama tanpa disengaja, "Calon suaminya?"

Pendekar Mabuk melirik Palupi dengan dongkol. "Seenaknya saja bilang calon suami," gerutu Pendekar Mabuk, lalu ia buka tutup tabung bambunya dan ditenggaknya tuak beberapa teguk. Saat itu Palupi bicara lantang kepada kedua orang yang mengaku utusan dari Muara Singa.

"Kalau kalian ingin selamat, jangan melawan calon suamiku. Sebaiknya pergilah kalian dan biarkan calon suamiku ini memperkosaku dulu!"

"Husy!" bentak Suto dengan rasa malu.

"Tak apa, Kang. Jangan takut. Mereka pasti kalah melawanmu."

"Iya, tapi kau jangan sebut-sebut soal perkosa! Siapa yang mau perkosa kau?" geram Suto berbisik di dekat telinga Palupi. Gadis itu malah cekikikan.

"Siapa namamu, Pemuda Dusun?!"

"Namaku Suto Sinting!" jawab Suto yang membuat Kisworo dan Marjan saling pandang dengan dahi berkerut.

"Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, tapi kapan dan di mana, siapa yang sebutkan nama itu di depanku, ya?" ujar Kisworo kepada temannya.

"Ya, aku juga pernah dengar nama itu, tapi entah siapa yang sebutkannya."

"Persetan dengan nama itu, kalau kau tak mau serang dia, ya sudah kuserang lebih dulu untuk dapatkan gadis gila itu!" Kisworo segera tampil lebih dekati Suto, lalu ia membuka jurus pertama tanpa cabut senjata.

Suto Sinting bisikkan kata kepada Palupi agar jauhi dirinya. Tapi Palupi justru pegangi baju Suto sambil berkata, "Aku takut, Kang. Aku takut kau kena pukul. Sebaiknya kita lari saja, Kang!"

Pegangan tangan Palupi pada baju Suto membuat Suto sulit bergerak. Akhirnya ketika ia dapat serangan jurus pertama dari Kisworo, ia terpaksa gunakan jurus 'Jari Guntur', yaitu dengan sentilan kecil jari tangannya, sebuah pukulan bertenaga dalam terlepas dan kenai dada Kisworo.

Wuuut...! Duuuhg...!

"Hegh...!" Kisworo terpekik dengan sendirinya. Tubuhnya terpental ke belakang. Napasnya menjadi berat, dadanya terasa nyeri, ia segera ditolong Marjan untuk bangkit. Wajah yang menyeringai itu sempat berkata, "Aku seperti ditendang kuda," dengan suara berat mirip orang tua.

"Percayalah, di sini tidak ada kuda. Itu hanya bayanganmu saja, karena kau masih memikirkan kuda pamanmu yang masuk jurang tempo hari itu, Kisworo. Tenang dan tabahlah. Hadapi dia lagi. Aku belum lihat dia mainkan jurusnya!"

Tentu saja Marjan tak bisa melihatnya, karena sentilan jari kanan Suto itu dilakukan dari samping, tersembunyi di balik bumbung tuak yang menggantung di pundak kanannya.

"Heaaat...!" Kisworo terpaksa maju lagi dengan mencabut kapaknya karena Marjan mendorongnya ke depan membuat Kisworo tersentak mendekati Suto di luar keinginannya. Dengan begitu, mau tak tak mau Kisworo lakukan serangan lagi sementara Marjan seolah-olah lakukan pengamatan terhadap jurus lawan.

Tass...! Duuhg...!

"Huehg...!" Kisworo kembali terpental ke belakang, kali ini jatuhnya terguling-guling tanpa bisa kendalikan keseimbangan tubuh.

"Kau ini bagaimana? Belum apa-apa sudah mundur lagi?!" kecam Marjan.

Kisworo yang ditolong bangkit oleh Marjan segera menggerutu dengan suara berat mirip kakek berusia seratus tahun. "Matamu budeg! Dadaku mau jebol lagi, seperti ditendang kuda liar!"

"Tidak ada kuda!" bantah Marjan.

Kini Kisworo yang mendorong tubuh Marjan hingga Marjan terpelanting mendekati Suto. Jaraknya yang cukup dekat itu membuat Marjan cemas, takut dihantam Suto. Karenanya, Marjan segera lepaskan serangan tangan kosongnya ke arah rahang kiri Suto. Wuuut...! Kepala Suto mundur dan pukulan itu tak kenai sasaran. Tapi Marjan segera tarik diri, lompat mundur dua langkah untuk atur jarak, ia segera lepaskan serangan dengan gunakan kakinya, tapi sebelum hal itu dilakukan, baru satu kaki diangkat, tiba-tiba Suto sentilkan jarinya dan tenaga seperti kuda terlepas melalui sentilan 'Jari Guntur' itu, tepat kenai dada Marjan.

Duuhg...! "Ehhg...!"

Wuuuss...! Bruuk...!

Marjan terpental bagaikan terbang terhembus badai kencang, ia jatuh terkapar di dekati kaki Kisworo. Matanya sempat terbeliak-beliak sebentar karena rasakan dada sakit dan napas tersumbat seketika. Mulutnya ternganga mencari udara. Kisworo segera menolongnya untuk bangkit tanpa mengetahui gerakan jari Suto yang menyentil temannya tadi.

"Belum-belum sudah mundur. Kau ini bagaimana, Jan?!" kecam Kisworo membalas.

"Mundur dengkulmu!" suara Marjan berat. "Dadaku bagaikan diseruduk banteng!"

"Tak ada banteng di sini. Percayalah itu hanya bayanganmu saja, karena sejak kecil kau memang takut dengan banteng!"

"Tutup mulutmu! Lihat, dadaku membekas biru begini!" ia menunjukkan kulit dadanya yang memar sebesar telapak tangan.

Kisworo berkata, "Ah, itu memang tompel sejak lahir! Aku tahu kau punya tompel sebesar itu sejak lahir. Jangan gunakan alasan takut melawan pemuda itu!"

Marjan menggerutu jengkel, "Gundulmu itu yang tompel semua!" ia bersungut-sungut. Kini matanya memandang Suto Sinting yang masih tampak tenang, bicara pelan dengan Palupi yang tersenyum-senyum penuh bayangan kemesraan. "Suto Sinting!" sapa Marjan mulai terpancing kemarahan yang sebenarnya. "Rupanya kau punya teman lain yang bersembunyi di sekitar sini dan melepaskan pukulan jarak jauh kepada kami! Suruh keluar dia! Kalau kau tak mau, kau sendiri yang akan terima serangan balasan dari kami!"

"Sudahlah, Sobat," kata Suto kalem. "Jangan timbulkan permusuhan di antara kita. Jujur saja kalian katakan, mengapa kalian kehendaki gadis ini untuk dibawa pulang ke Muara Singa? Jika jawaban kalian jujur, mungkin aku bisa pertimbangkan dan bisa anggap keperluan kalian memang penting laiu aku akan bantu kalian untuk bujuk gadis ini."

Kisworo maju selangkah dengan sikap berdiri masih sedikit gemetar akibat rasa sakit yang masih membekas di dadanya itu. "Terus terang saja, Suto Sinting, kami perlukan gadis itu. Karena gadis itu tadi mengoceh di depan gerbang kami dan menyebut-nyebut Pedang Kayu Petir!"

Suto terkesiap sejenak, tapi tidak bicara apa-apa. Kisworo teruskan kata, "Ratu kami ingin dapatkan pedang pusaka itu, karena kami ingin desak gadis gila itu untuk katakan di mana pedang pusaka itu berada!"

Kini kepala pendekar tampan itu manggut-manggut. Suasana menjadi hening sesaat ketika Suto sedang pertimbangkan iangkah berikutnya. Tapi Palupi segera berkata kepada Suto dengan suara keras, "Dia bohong, Kang! Dia bohong sekali! Aku tidak tahu tentang pedang itu! Sama sekali tidak tahu!"

Kisworo menyahut, "Tapi kau sebut-sebutkan pedang itu, bukan?!"

"Aku asal sebut saja! Aku sebutkan pedang itu biar orang sangka aku sakti!" jawaban Palupi membuat hati Suto bimbang kembali. Jangan-jangan kepadanyapun Palupi asal sebut biar membuat Suto penasaran padanya? Suto segera alihkan pembicaraan sebentar kepada Kisworo, "Siapa ratu di Muara Singa itu?!"

"Gusti Purnama Laras!" jawab Kisworo dengan mantap seakan bangga dengan ratu gustinya. Suto hanya menggumam lirih menyebutkan nama Gusti Purnama Laras. Tetapi tiba-tiba Palupi mengacaukan pikiran Suto kembali dengan berkata,

"Dia bohong, Kang! Purnama Laras bukan nama seorang ratu, tapi nama seekor burung beo!"

"Kurang ajar! Berani betul kau menghina Ratu gusti kami, hah?!" Marjan marah, langsung saja ia sentakkan tangannya untuk kirimkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Palupi.

Wuuut...!

Pukulan itu tidak bersinar, tapi Suto Sinting bisa rasakan hembusan hawa panas yang mendekati dirinya, sebab Palupi ada di belakang Suto sebelah kanan. Maka dengan cepat Suto Sinting hadangkan bumbung tuaknya di depan tubuh Palupi dan tubuhnya sendiri. Pukulan hawa panas itu membalik arah.

Buuurss...! Weess...!

Kini sasarannya ke tubuh Marjan sendiri, dan Marjan tidak tahu kalau pukulannya membalik arah. Akibatnya ketika ia mau bertolak pinggang, tahu-tahu tubuhnya itu tersentak dan terpental ke belakang.

Wuuut...! Buuhg...! ia jatuh tujuh langkah jauhnya dari tempatnya berdiri.

"Marjan?! Kenapa kau pakai terbang-terbangan segala?!" Kisworo segera menghampirinya.

Marjan menyeringai dan mengerang sambil berdiri dengan bantuan sebatang pohon yang nyaris berbenturan dengan tubuhnya tadi.

"Kau ini unjuk ilmu terbang atau kenapa, Marjan?"

"Matamu buta!" maki Marjan. "Tidak tahukah kau tenaga dalamku membalik sendiri dengan lebih besar dan lebih cepat dari semula?!"

"Membalik sendiri?!" Kisworo heran, matanya memandang Suto yang masih tampak tenang, bahkan kini sedang meneguk tuaknya. Lalu, Kisworo berbisik, "Kalau begitu kita coba lepaskan pukulan jarak jauh kita bersama-sama!"

Keduanya bersiap lepaskan pukulan jarak jauh secara bersamaan, tapi niat itu tertunda karena kemunculan seseorang berjubah biru tua dengan pakaian dalamnya warna putih bersih.

Orang itu muncul sambil berseru, "Tahan! Dia bukan tandingan kalian!"

"Dungu Dipo?! Oh, syukurlah kau lekas datang membantu kami!" ujar Marjan.

Suto membatin, "Siapa lagi orang yang dipanggil Dungu Dipo ini? Melihat keakraban mereka, agaknya Dungu Dipo ini juga orang Muara Singa. Tapi kelihatannya ia punya ilmu lebih tinggi dari Kisworo dan Marjan?! Aku harus lebih waspada lagi dengan orang tua itu!"

Dungu Dipo memang pantas dikatakan sebagai orang tua, karena rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban walau belum begitu banyak. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Tubuhnya agak kurus, tulang pipinya bertonjolan, matanya cekung, tapi mempunyai sorot pandangan mata lebih tajam lagi dari Marjan dan Kisworo. Ia tidak berkumis, namun berjenggot tipis. Rambutnya panjang, diikat dengan kain warna merah. Di pinggangnya terselip senjata golok panjang bergagang hitam melengkung.

Orang yang beraut muka antara seram dan lucu itu mendekati Suto dari arah samping, sehingga ia masih bisa berpaling ke arah Marjan dan Kisworo, namun juga bisa memandang Suto dengan jelas-jelas. Pusat perhatiannya sempat terarah pada Palupi, namun segera beralih kepada Kisworo dan berkata, "Jika hanya menangkap gadis dungu saja tak mampu, sebaiknya kau pulang ke desa dan menggembala kerbau saja, Kisworo!"

Kecaman dan hinaan itu tak berani dibantah oleh Kisworo. Marjan pun diam tak berkutik, seakan takut kepada Dungu Dipo. Sementara itu Pendekar Mabuk sejak tadi tersenyum-senyum dikulum memandangi wajah runcing Dungu Dipo yang menurutnya sangat lucu jika sedang marah begitu. Kali ini Dungu Dipo sengaja pandangi wajah Suto agak lama.

Waktu itu Palupi berbisik kepada Suto, "Aku tak tega memandangi wajahnya, Kang."

"Kenapa?"

"Dia mirip kakekku yang sudah meninggal."

"Kapan kakekmu meningga?"

"Rencananya bulan depan, tapi sampai sekarang aku tidak tahu apakah dia sudah meninggal atau belum."

"Ah, ngacau saja omonganmu, Palupi. Carilah tempat bersembunyi sana! Agaknya aku harus bertarung hadapi tokoh yang satu ini!"

Suto terpaksa harus maklum jika Palupi bicara mengacau, karena sakit gilanya membuat si gadis seakan tak sadar dengan apa yang dikatakannya. Sebab itu, Suto lebih baik menyuruh Palupi untuk bersembunyi, karena ia punya dugaan keras bahwa Dungu Dipo pasti akan merebut Palupi juga. Dungu Dipo ini tampak lebih berani daripada Marjan dan Kisworo. Suto Sinting sedikit lega melihat Palupi bersembunyi di balik pohon dibelakangnya.

"Anak muda, kau telah mencampuri urusan negeri kami," kata Dungu Dipo. "Biarkan kami bawa pulang gadis itu, karena Ratu Gusti kami membutuhkan keterangan dari gadis itu! Jangan kau halangi maksud kami, kalau kau ingin kami tidak selamat!"

"Bukan kami yang tidak selamat, tapi dia yang tidak selamat!" Kisworo membetulkan maksud Dungu Dipo.

"Aku tahu! Memang itu maksudku!" bentak Dungu Dipo.

Suto Sinting tersenyum dan membatin, "Mungkin karena selalu salah mengutarakan maksudnya itu maka ia dijuluki Dungu Dipo. Hi, hi, hi... aneh juga orang ini. Galak tapi lucu."

"Hei," sentak Dungu Dipo. "Kenapa ribut saja?!"

"Kenapa diam saja!" Marjan membetulkan lagi.

"Iya. Aku tadi sudah bilang begitu, Tolol!" bentak Dungu Dipo tak suka dianggap salah ucap. Ia membentak kepada Suto, "Kenapa diam saja?! Apakah kau sedang mempertimbangkan untuk mati atau modar?!"

"Hidup atau mati!" ralat Marjan iagi.

"Diam kau!" bentak Dungu Dipo.

Suto Sinting tertawa lalu berkata, "Dungu Dipo, ketahuilah bahwa aku tidak semata-mata menahan gadis gila itu. Tapi aku juga butuh gadis itu untuk suatu maksud, jadi aku terpaksa mempertahankannya. Kecuali gadis itu dengan rela mau ikut bersamamu menghadap Ratu Gustimu, maka aku pun akan melepaskannya dan tidak akan menahannya."

"Persetan mau atau tidak, tugasku adalah membawa gadis itu menghadap Ratu Gustiku. Kalau kau menghalangi niatku ini, maka aku tak segan-segan mencabut nyawaku sendiri!"

Kisworo berbisik pada Marjan, "Dia kalau mengancam orang tidak pernah bisa menakutkan lawan. Maksudnya mencabut nyawamu, jadi mencabut nyawaku. Mana bisa menakutkan lawan?!"

"Diamkan saja, nanti kita kena sembur napasnya bisa hangus!" bisik Marjan.

Kepada Suto, Dungu Dipo berkata, "Menyingkirlah dari kami atau aku terpaksa bertindak nanti saja?!"

"Silakan bertindak jika kau ingin bertindak!"

"Kurang ajar! Tak ada takutnya kau kepadaku, hah?! Hiaaat...!"

Dungu Dipo melompat ke samping, menjejakkan kakinya dan melenting di udara, tapi arahnya justru jauh dari Suto Sinting. Ketika ia mendaratkan kakinya, ia sempat bingung mencari Suto. Selain tempatnya jauh dari lawan, berdirinya pun jadi memunggungi lawan. Karena itu ia bingung mencari lawannya yang dianggap bisa menghilang.

"Hebat?! Dia bisa menghilang?!"

Marjan berseru, "Lawanmu ada di belakang, Dungu Dipo! Kau salah berdiri!"

"Hiaaat...!" Dungu Dipo berbalik arah, lalu memandang Suto yang masih diam saja. Kini ia melangkah dengan langkah biasa karena merasa jaraknya terlalu jauh dengan lawan. Setelah kurang lebih berjarak enam tindak di depan Suto, Dungu Dipo berhenti dan membentak, "Mengapa kau menjauhiku, hah?! Kau takut padaku?!"

Palupi yang menongolkan kepala dari baiik pohon berseru, "Dasar wong edan! Dia sendiri yang menjauh kok dikatakan orang lain yang menjauh!"

"Diam kau gadis gila! Hiaaah...!"

Claaap...!

Dungu Dipo lepaskan pukulan pelumpuh urat berwarna kuning dari telapak tangannya. Sasarannya ke arah Palupi. Tapi selarik sinar kuning itu dihadang oleh Suto Sinting dengan bumbung tuaknya.

Traaap...! Sinarkuning itu membentur bumbung tuak,dan membias balik ke arah penyerangnya. Dungu Dipo kaget dan segera lompat bersalto ke belakang. Sinar kuning itu menghantam pohon. Duur...! Pohon berguncang, daunnya banyak yang gugur, tapi tidak mengalami perubahan apa-apa. Dungu Dipo segera berkelebat dalam satu lompatan ke arah Suto. Lalu dari mulutnya disemburkan napas yang menghentak kuat.

Wuuuss...!

Hawa panas yang mampu melelehkan besi mendekati Suto. Dengan cepat Pendekar Mabuk ayunkan tali bambu tuaknya ke depan. Wuuuss...! Angin deras keluar dari kelebatan bambu tuak itu, membuat angin panas menyebar balik ke arah Dungu Dipo.

"Hiaaah...!" Dungu Dipo sentakkan kedua tangannya ke samping, dan hawa dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Dengan begitu, hawa panasnya yang membalik ingin menyergap sekujur tubuh itu menjadi padam karena keluarnya hawa dingin itu.

Syorrrb...!

Asap mengepul bagaikan panas masuk ke air dingin. Pada saat itu, Suto Sinting kirimkan pukulan jarinya dengan menyentil pelan tanpa kelihatan. Tess...! Duuhg...! Jurus 'Jari Guntur' lepaskan tenaga sebesar tendangan kuda, dan tepat kenai pinggang Dungu Dipo. Akibatnya Dungu Dipo pun terpekik sambii terpelanting jatuh ke kanan, terkapar di dekat kaki Marjan.

Bruuus...!

"Uuhg...! Monyet juling!" makinya dengan suara berat. Wajahnya memerah, ia lekas bangkit dan membentak Marjan serta Kisworo. "Kenapa kalian diam saja?! Ayo, lekas bantu aku melawan dirimu!"

"Melawan dia, maksudnya?"

"Lha iya! Masa' mau melawanku?!" bentak Dungu Dipo.

Kedua orang itu takut dengan bentakan tersebut, sehingga cepat-cepat melompat lakukan serangan bersama ke arah Suto Sinting. Tapi pada waktu itu Suto Sinting cepat jejakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat naik, hinggap di atas pohon.

Namun hal yang amat mengejutkan Dungu Dipo dan kedua orangnya itu adalah keberadaan Suto yang juga ada di depannya. Di bawah pohon lain juga ada Suto. Di atas pohon lain ada juga Pendekar Mabuk. Di belakang mereka ada dua Pendekar Mabuk. Mereka jadi kebingungan dan tidak tahu bahwa Suto sengaja pergunakan jurus 'Sapta Tingal', yaitu memecah diri menjadi kembar tujuh rupa. Hal itu semata-mata untuk menakuti mereka saja, supaya tidak timbul korban dalam pertarungan tersebut.

Ternyata Dungu Dipo dan kedua orangnya menjadi tegang, sangat ketakutan. Lalu mereka segera larikan diri setelah Dungu Dipo berseru, "Lariii...!"

Tentunya mereka punya pertimbangan, jika Suto dapat berubah menjadi tujuh sosok kembar, maka tentunya ilmu mereka tidak sebanding dan tak akan menang melawan Pendekar Mabuk itu. Tak salah jika mereka lari mencari selamat. Tapi Suto sendiri jadi kebingungan karena Palupi pun ikut menghilang dari tempat itu.

* * *

TIGA
ANGIN gunung berhembus ke barat. Kecepatan hembusnya cukup tinggi, karena pucuk-pucuk cemara hutan itu meliuk-liuk dengan tajam, seakan hampir patah pada bagian tengah batang. Hembusan angin cepat itu ternyata tetap saja diterobos oleh pelarian Suto Sinting yang mengejar Palupi.

"Aku jangan sampai kehilangan gadis gila itu! Dia satu-satunya penunjuk jalan bagiku untuk menuju Bukit Tungkai. Tapi... apakah benar Pedang Kayu Petir ada di Bukit Tungkai? Apakah benar Palupi yang menyimpannya di sana? Siapa dia sebenarnya hingga menyimpan pedang pusaka itu di Bukit Tungkai? Atau, jangan-jangan bicaranya itu hanya mengacau saja karena kegilaannya itu? Ah, benar dan tidaknya aku ingin buktikan, karenanya aku harus temukan gadis itu sebelum orang lain temukan dia!"

Hati Suto Sinting memang bimbang; antara percaya dan tidak dengan penjelasan Palupi. Mau percaya, takut ternyata semua itu hanya celoteh orang gila belaka. Mau tidak percaya, nanti jangan-jangan celoteh itu memang benar? Maka Suto memutuskan lebih baik percaya saja, ketimbang tidak percaya ternyata pedang itu memang benar-benar ada di gua Bukit Tungkai?

"Kalau toh aku tertipu, tak apalah. Maklum saja yang bicara orang gila. Lebih baik aku tertipu daripada pedang pusaka itu ternyata berhasil dimiliki oleh orang-orang Muara Singa. Tapi... ngomong-ngomong untuk apa ratu Muara Singa menghendaki pedang itu? Apa kah juga untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa?" pikir Suto dalam masa pencarian diri Palupi.

"Jika memang ratu Muara Singa ingin lawan Siluman Tujuh Nyawa dengan pedang itu, seharusnya aku bergabung dengan mereka dan membantu Ratu Purnama Laras untuk kalahkan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi... apakah orang-orang Muara Singa bisa kuajak bersahabat?"

Sehari semalam pencarian itu dilakukan, tapi Palupi tidak ditemukan jejaknya. Suto Sinting hampir kehilangan kesabarannya, ia hampir-hampir berniat tidak mau mengejar Palupi lagi. Namun jika ia ingat Pedang Kayu Petir yang amat dibutuhkannya itu, semangatnya mencari Palupi kambuh lagi dengan membara. Pencariannya pun dilanjutkan kembali.

Tetapi alangkah kagetnya Pendekar Mabuk ketika tiba di sebuah lembah berpohon hutan jarang itu, ternyata ia temukan keadaan yang menyedihkan. Beberapa orang terkapar di lembah itu dalam keadaan wajah membiru legam. Mulut mereka berbusa warna darah. Jumlah mereka setelah dihitung oleh Suto ada delapan orang. Mereka berpakaian sama, dan sewarna dengan pakaian Kisworo serta Marjan, yaitu biru.

"Agaknya mereka orang-orang Muara Singa," pikir Suto sambil memperhatikan semua orang di situ menggenggam senjata dalam keadaan lemas. Mereka menggeliat-geliat pelan bagaikan ular keberatan badan. Mata mereka ada yang terpejam, ada yang terbuka sayu. Erangan mereka sangat lirih, bagaikan sedang menunggu ajal tiba.

"Jika hanya dengan pukulan, tak mungkin mereka mempunyai ciri luka yang sama: wajah membiru, mulut berbusa darah, rambut mereka sebagian rontok. Pasti mereka habis lakukan pertarungan dan terkena racun. Entah racun apa dan bagaimana cara kerjanya," pikir Pendekar Mabuk setelah menenggak tuaknya. "Tapi agaknya aku belum terlambat. Masih bisa sembuhkan mereka dari racun itu dengan menggunakan tuakku ini."

Maka, Suto Sinting pun segera meminumkan tuaknya sedikit kepada orang yang bertubuh gemuk dan matanya sedang terbeliak-beliak bagaikan sekarat. Orang muda yang bertubuh agak gemuk itu meneguk tuak Suto dengan gelagapan. Dari mulutnya sempat keluar suara lirih,

"Tandu.... Terbang..."

"Apa maksudmu?" tanya Suto. "Kami... diserang.... Tandu Terbang"

"Tandu Terbang?!" Suto berkerut dahi dalam keadaan masih jongkok di samping orang agak gemuk itu. Ia merasa aneh dengan julukan Tandu Terbang, ia bahkan tak tahu apakah Tandu Terbang adalah nama seseorang atau benda berupa tandu yang bisa terbang ke sana-sini?

Suto Sinting belum temukan kepastian tentang hal itu, tiba-tiba sebeberkas sinar merah bagaikan piringan melayang cepat menuju ke punggungnya. Wuuut...! Ekor mata Suto melihat kerliapan sinar datang dari belakang. Dengan cepat Suto Sinting gulingkan badan lompati orang gemuk itu, dan sinar merah tersebut melintas dengan cepat di tempat Suto jongkok tadi. Sinar itu akhirnya menghantam sebongkah batu setinggi perut manusia dewasa.

Blaaar...!

Batu pun pecah menjadi kerikil-kerikil tajam. Suto Sinting segera bangkit dan perhatikan arah datangnya pukulan jarak jauh itu. Ternyata di sana ada seorang lelaki berpakaian sama dengan para korban di situ. Suto segera mengerti bahwa orang berikat kepala dari kain benang perak itu adalah orang Muara Singa. Tapi apa persoalannya orang itu menyerang, Suto sendiri belum bisa memastikan. Ketika orang itu mendekat dengan mata tajam dan berkesan dingin, Suto Sinting segera menyapanya dengan sikap tenang.

"Mengapa kau menyerangku?!"

Orang berusia sekitar empat puluh tahun kurang sedikit itu menjawab dengan nada ketus dan berkesan bermusuhan. "Kau harus menerima ganjaran yang setimpal atas perlakuanmu ini, Sobat!"

"Apa maksudmu?"

"Kau telah membantai orang-orangku hingga terkapar begini!"

"Tunggu dulu! Kau salah paham! Ini bukan pekerjaanku."

"Omong kosong! Batu Sampang tak bisa ditipu oleh siapa pun!" sambil ia menepuk dada menyatakan dirinya sebagai Batu Sampang. Pedang yang menyilang di punggungnya menandakan ia punya kedudukan lebih tinggi dari orang-orang yang terkapar itu.

"Apakah kau orang Muara Singa, Batu Sampang?!"

"Benar! Kurasa kau pun tahu kalau orang-orang yang terkapar ini adalah prajurit negeri Muara Singa! Kau tak perlu berlagak bodoh, Bocah Kunyuk!"

"Aku baru saja mau sembuhkan luka-luka temanmu ini, Batu Sampang! Kau jangan menuduhku sebagai pelakunya!" Suto membela diri dengan tenang.

"Tak ada tampang tabib di wajahmu, Bocah Kunyuk! Sebaiknya terimalah pembalasan dari Batu Sampang, Tamtama Muara Singa ini! Hiaaat...!"

Orang itu langsung saja lakukan lompatan secepat kilat dan menerjang wajah Suto Sinting dengan tendangan kakinya yang sempat mengecohkan gerakan menghindari dari Suto. Duuuhg...! Plok...! Kaki kiri menendang pundak, kaki kanan masuk ke wajah Suto bagaikan tamparan cepat dan kuat.

Suto Sinting terpelanting dan hampir saja jatuh, karena ia memang tidak bermaksud menangkis tendangan itu. Hanya ingin menghindari, tapi salah gerak. Suto Sinting akhirnya kibaskan kepalanya sendiri untuk membuang rasa pusing yang begitu kuat, bahkan sempat membuat pandangan matanya menjadi kabur.

"Cepat sekali gerakannya, jurus tipuannya kuakui begitu hebat," pikir Suto Sinting dalam keadaan sudah berdiri tegak lagi. "Rupanya orang ini perlu diberi pelajaran sedikit supaya mau percayai omonganku!"

Batu Sampang yang berwajah dingin itu segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat punggung telapak tangan yang disentakkan ke depan dalam keadaan menguncup tertekuk itu. Wuuut...! Claaap...! Dengan cepat sinar kuning berbentuk bola kecil itu melesat ke arah tubuh Pendekar Mabuk.

Dengan menggunakan bumbung tuaknya, Suto menangkis sinar kuning tersebut. Deeb...! Sinar itu mengenai bumbung tuak, langsung memantul balik ke arah pemiliknya. Tentu saja Batu Sampang kaget dan tak menduga kalau sinar kuningnya berhasil memantul balik dalam bentuk bulatan lebih besar lagi dan kecepatan lebih tinggi lagi.

Wuuuusss...!

"Hiaaah...!" Batu Sampang segera melenting di udara dan hinggap di gugusan tanah yang lebih tinggi. Sinar kuningnya temukan tempat kosong dan masuk ke semak-semak sana.

Jraass...! Zraaakk...!

Suto Sinting terkesiap melihat semak-semak itu kontan menjadi kering setelah kepulan asap yang membungkusnya saat sinar itu mengenai semak-semak hilang. Ternyata sinar kuning itu cukup berbahaya bagi manusia. Mungkin kulit dan daging manusia akan menjadi kering jika terkena sinar kuning tersebut.

"Tahanlah dulu seranganmu, Batu Sampang! Kita bicara baik-baik saja!"

"Tak ada waktu untuk bicara dengan orang sepertimu, Setan Bagus! Sekarang saat pembalasan, bukan saat bicara. Hiaaah...!" Batu Sampang lompat tinggi-tinggi dan bersalto dua kali.

Wut, wuuut...! Trang...!

Ternyata Batu Sampang sudah cabut pedangnya pada saat bersalto tadi. Pedang itu ditebaskan untuk membelah kepala Pendekar Mabuk. Tapi dengan cepat Suto Sinting silangkan bambu tuaknya ke atas kepala dengan disangga dua tangannya. Akibatnya pedang itu menghantam bumbung yang seperti menghantam besi baja.

"Pedang itu punya isi juga rupanya," pikir Suto. "Pedang itu tidak rusak atau rompal seperti pedang lainnya. Pedang itu masih utuh dan tubuhku tadi seperti disiram air panas dalam sekejap ketika bumbung tuak beradu dengan pedangnya. Hmm...! Agaknya ia seorang prajurit negeri Muara Singa yang diandalkan untuk lakukan penyerangan terhadap lawan siapa saja. Aku tak boleh lengah sedikit pun. Ia mempunyai jurus-jurus yang dibarengi oleh gerakan sangat cepat. Hampir saja aku tadi mati terbelah oleh pedangnya!"

"Hiaaaah...!" Batu Sampang tampak buas. Ia menyerang lagi dengan satu lompatan pendek, namun pedangnya segera berkelebat membabat sekujur tubuh Suto Sinting.

Wut, wut, wut, wut, wut... weess...!

"Kunyuk bunting!" geram Batu Sampang. "Tebasan pedangku mampu dihindari olehnya. Padahal selama ini tak ada lawan yang berhasil hindari jurus 'Pedang Kilat' yang kumiliki?! Rupanya anak muda ini punya ilmu cukup tinggi. Pantas ia bisa tumbangkan delapan orangku dalam waktu singkat. Baru kutinggal memeriksa di balik bukit ini, mereka sudah terkapar tak berdaya begini! Aku harus gunakan jurus pedang lainnya!"

Suto Sinting segera berseru, "Batu Sampang, aku tak ingin ada yang celaka di antara kita. Hentikan seranganmu dan biarkan kusembuhkan luka parah pada delapan orangmu ini!"

"Jangan banyak mulut kau! Hadapilah jurus 'Pedang Sekarat' ini! Hiaaah...!"

"Batu Sampang!" teriak seseorang, ternyata orang agak gemuk tadi yang minum tuaknya Suto itulah yang berseru memanggil Batu Sampang. Orang itu lanjutkan seruannya, "Bukan dia yang menyerang kami, Batu Sampang! Bukan dia!"

"Lantas siapa, Prasogo?!" suara Batu Sampang menyentak tegas.

"Tandu Terbang!" jawab Prasogo tegas dan jelas. Agaknya pengaruh racun yang merusak bagian dalam tubuhnya mulai hilang setelah ia meminum tuak tadi.

Batu Sampang tertegun memandangi Prasogo begitu mendengar nama Tandu Terbang. Perubahan wajah itu diperhatikan oleh Suto secara diam-diam. Dalam hati Suto pun berkata, "Agaknya nama Tandu Terbang sudah dikenal oleh mereka dan termasuk nama yang diperhitungkan oleh Batu Sampang, ia kelihatan cemas walau disimpannya dalam sikap diam dan berlagak tenang. Hmm... pasti ia punya urusan sendiri dengan Tandu Terbang yang mungkin pernah membuatnya jera. Terbukti amarahnya tidak langsung meluap begitu mengetahui siapa penyerangnya, ia pun tidak keluarkan sangkalan dan langsung percaya dengan pengakuan Prasogo."

Kejap berikut terdengar suara Batu Sampang bertanya tegas kepada Prasogo, "Ke mana larinya si Tandu Terbang itu?"

"Tidak tahu. Kami diserang dengan uap beracun yang menyebar bersama gerakannya!" jawab Prasogo, kini ia malahan berdiri sebagai tanda bebas dari pengaruh racun.

"Apakah pemuda itu adalah orangnya Tandu Terbang?" Batu Sampang menuding Suto Sinting sambil pandangi Prasogo, dan orang agak gemuk itu gelengkan kepala sambil menjawab,

"Tidak. Dia datang beberapa saat setelah Tandu Terbang, malahan dia obati aku dengan tuaknya itu! Kurasa jika yang lain minum tuaknya, juga akan selamat dari racun mautnya Tandu Terbang!"

Batu Sampang tarik napas, ia pandangi Suto sesaat, kemudian berkata kepada Prasogo, "Kalau begitu, suruh dia obati yang lainnya juga."

Prasogo berkata kepada Suto, "Maukah kau mengobati teman-temanku ini?"

"Tidak!" jawab Suto tegas. "Kujamin dalam beberapa saat lagi teman-temanmu akan kehilangan nyawa, karena kulihat racun itu sangat ganas."

"Tolonglah, Tuan Pendekar yang budiman. Tolong sembuhkan mereka," Prasogo memohon penuh harap. Tapi Batu Sampang bersikap sinis dan diam saja.

"Tuakku bukan untuk umum, Prasogo. Tapi kalau memang kau berharap semua temanmu selamat sepertimu, suruh orang angkuh itu memohon sendiri padaku!"

Batu Sampang tersentak dan cepat berpaling kepada Suto dengan sorot mata kian dingin. Suto hanya tersenyum, bahkan dengan santainya menenggak tuak tanpa ragu-ragu. Sedangkan Prasogo tidak berani menyuruh Batu Sampang, melainkan hanya memandangnya dalam keraguan. Terdengar lagi suara Pendekar Mabuk berkata,

"Prasogo, waktunya hanya sebentar, aku harus segera pergi untuk selesaikan urusanku! Selamat tinggal!"

"Tunggu!" Batu Sampang segera mencegah dengan seruan. Rupanya ia tak punya pilihan lain. Demi keselamatan jiwa anak buahnya ia terpaksa harus tunduk dan memohon sendiri kepada Suto Sinting, ia pun segera dekati Suto Sinting, berhadap-hadapan dalam jarak tiga langkah, berpandangan sama tajamnya. Tapi kemudian Batu Sampang tundukkan wajah bungkukkan badan, menghormat dan berkata, "Tolong, selamatkan mereka dari racun itu!"

"Mengapa kau harus memohon padaku?"

"Karena aku yang bertanggung jawab atas delapan jiwa yang kubawa dari Muara Singa itu!" suara Batu Sampang menjadi lunak.

"Untuk apa kau membawa delapan jiwa dari asalmu itu?"

"Mencari gadis gila yang bernama Palupi."

Suto terkejut, tapisegera sembunyikan keterkejutannya itu dengan sikap tenang. Matanya sedikit terkesiap mendengar jawaban tersebut. Tapi ia masih ingin ajukan tanya sekali lagi sebelum ia lakukan penyembuhan. "Untuk apa gadis gila itu kau cari?"

"Karena dia tahu di mana Pedang Kayu Petir berada! Ratu Gusti kami sangat membutuhkan pusaka tersebut."

Suto manggut-manggut, lalu bergegas memberikan tuak ke mulut mereka yang terkapar menunggu ajal. Namun dalam hati Suto Sinting segera berkata, "Setelah kuperhatikan, ternyata racun ini bukan untuk mematikan, namun untuk melukai saja. Sebenarnya tanpa meminum tuakku, mereka dapat sembuh walau agak lama. Kulihat warna biru diwajah beberapa orang sudah tampak memudar. Agaknya orang yang memiliki racun ini bermaksud melukai saja, tidak punya niat mematikan mereka. Hmm... kenapa begitu? Apakah karena Tandu Terbang hanya punya racun seperti itu, dan tak punya racun jenis lain yang mematikan lawannya?"

Sedikit demi sedikit mereka mulai sadar, tapi rambut mereka sudah telanjur banyak yang berguguran. Bahkan kepala mereka ada yang sudah menjadi botak di bagian tengahnya. Keganasan racun itu hanya berakibat merontokkan rambut dan melemahkan peredaran darah, termasuk jantung dan paru-paru mereka. Tapi tidak sampai merusak separah dugaan semula.

"Kasihan, kepalamu sampai botak selicin ini, Teman," kata Suto kepada orang yang kepalanya botak licin di bagian tengah.

Orang itu justru bersungut-sungut dan berkata, "Ini memang botak dari lahir, Kang!"

"Oo...," Suto tertawa geli namun tak berani terlepas keras, ia segera temui Batu Sampang yang agaknya kian mengurangi sikap dinginnya kepada Suto. Dalam hati Batu Sampang ternyata menaruh kekaguman terharap cara penyembuhan Suto, juga mengakui keunggulan ilmu Suto melalui pertarungan singkat tadi.

"Terima kasih atas bantuanmu, Pendekar Mabuk," katanya setelah mengenal siapa Suto sebenarnya.

"Buatku ucapan itu tidak terlalu berharga. Lebih berharga hati yang mau bersahabat denganku, Batu Sampang."

Lelaki itu mengangguk-angguk dengan mata memandang ke arah rumput di samping kaki Suto. Lalu, terdengar suara Suto ajukan tanya,

"Kalau boleh kutahu, mengapa Ratu gustimu membutuhkan Pedang Kayu Petir?"

"Aku tak bisa sebutkan. Tapi jika kau ingin mengetahuinya, kau bisa datang ke negeri kami dan bicara langsung dengan Gusti Purnama Laras."

"Apakah beliau mau menerimaku?"

"Pasti mau. Karena...," Batu Sampang diam sesaat. Matanya memperhatikan tiga anak buahnya yang sempat cekcok gara-gara saling ledek kebotakannya.

Ketiga anak buahnya itu hentikan percekcokan karena mereka tahu dipandangi oleh Batu Sampang. Agaknya Batu Sampang punya wibawa yang besar di depan anak buahnya itu, sehingga dengan memandang saja mereka menjadi takut dan segera perbaiki sikap masing-masing.

"Karena apa, Batu Sampang? Lanjutkanlah kata-katamu tadi," desak Suto.

"Karena... namamu pernah dibicarakan dalam sidang para pejabat istana."

"Namaku...!" Suto berkerut dahi dengan heran.

"Maksudnya, mereka membicarakan diriku sebagai pemilik Pedang Kayu Petir?"

"Bukan begitu," jawab Batu Sampang tetap bersikap tegas dan wibawa. "Namamu dibicarakan sebagai tamu yang ingin diundang ke negeri kami. Tapi tak satu pun dari kami yang mengetahui di mana kau berada."

Pendekar Mabuk terbungkam mendengar jawaban tersebut. Agaknya ada sesuatu yang penting sehingga namanya dibicarakan oleh orang-orang Muara Singa. Padahal Suto Sinting merasa belum pernah berkenalan dengan satu pun orang Muara Singa. Tapi Suto segera tidak merasa heran sebab banyak tokoh yang mengatakan namanya sudah kondang di rimba persilatan, dan hampir setiap tokoh berilmu tinggi aliran putih mengenal nama Pendekar Mabuk.

Batu Sampang berkata, "Kalau kutahu sejak tadi bahwa kau adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting, tentunya aku tak akan berani menyerangmu, Suto."

"Mengapa?"

"Karena aku sering mendengar para tokoh tua berbicara tentang kesaktianmu. Terutama kesaktian gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."

Suto Sinting sunggingkan senyum sederhana. "Kesaktianku belum seberapa. Jangan terlalu terpengaruh oleh dongeng mereka yang melebih-lebihkan kenyataan yang ada."

"Tapi Ratu Gusti Purnama Laras sangat tertarik dan kagum dengan kesaktianmu, sehingga beliau sangat berharap dapat jumpa denganmu, Suto."

"Apakah menurutmu aku memang harus datang ke sana?"

"Sebaiknya begitu, dan aku akan menyertaimu sampai menghadap Ratu Gustiku!"

Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. "Sayang sekali ada urusan yang harus kuselesaikan secepatnya. Sebaiknya berikan arah negerimu agar aku dapat datang sendiri ke sana jika urusanku telah selesai."

"Muara Singa ada di sebelah barat, di bawah kaki Bukit Tungkai."

Wajah Suto terkesiap mendengar nama Bukit Tungkai, karena ia ingat nama bukit itu disebut-sebut oleh Palupi sebagai bukit penyimpanan Pedang Kayu Petir. Untuk menutupi kecurigaan Batu Sampang, Suto buru-buru sembunyikan rasa terperanjatnya itu dengan berkata,

"Apa ciri-ciri Bukit Tungkai yang bisa kuketahui?"

Batu Sampang diam sebentar, seakan berpikir tentang ciri-ciri yang mudah diingat oleh calon tamunya itu. Sesaat kemudian barulah ia menjawab, "Bukit Tungkai tak jauh dari laut. Kaki bukit itu menyatu dengan pantai Pasir Merah, pasirnya memang berwarna merah kecoklatan. Bukit itu tidak terlalu tinggi, juga tidak begitu lebar. Dulu bukit itu adalah sarang singa, tapi sekarang sudah tidak lagi. Di ujungnya, maksudku di puncak bukit, terdapat batu tanpa lumut warna hitam, menjulang berbentuk seperti sepotong telapak kaki raksasa yang kelihatan bagian tungkai atau tumitnya."

"Baiklah. Aku paham. Setelah urusanku selesai aku akan menuju ke arah barat sampai menemukan bukit berciri-ciri seperti itu," kata Suto Sinting.

"Kalau begitu, kita berpisah dulu sampai di sini?"

"Hmmm... sebentar, ada satu yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau tahu dan kenal dengan orang yang menyerang anak buahmu itu?"

"Tandu Terbang maksudmu?"

Suto anggukkan kepala.

"Aku hanya pernah dengar julukan itu, dan pernah dengar cerita kehebatan si Tandu Terbang dari mulut orang-orang di kedai. Tapi aku belum pernah jumpa dengan si Tandu Terbang sendiri. Kusarankan, hati-hatilah jika jumpa dengannya. Karena Tandu Terbang orang berilmu tinggi. Konon ia muridnya Pendita Arak Merah berasal dari Tibet."

Kembali sang Pendekar Mabuk terperanjat, ia pernah mendengar nama Pendita Arak Merah dari Tibet, sehingga ia pun berkata, "Kalau begitu, Tandu Terbang adalah saudara seperguruan dengan Sri Maharatu dari Pulau Dadap?!"

"Mungkin saja! Aku pernah dengar nama Sri Maharatu, tapi tidak tahu dari mana asal-usulnya dan siapa gurunya."

Suto hanya manggut-manggut. Ia tak mau katakan bahwa Sri Maharatu, yang kondang sebagai murid Pendita Arak Merah dari Tibet itu sudah mati di tangannya dengan jurus 'Yudha', (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Cambuk Getar Bumi). Suto sengaja sembunyikan cerita itu agar tidak berkesan sombong di hadapan siapa saja. Setelah berpisah dengan rombongan Batu Sampang, Suto jadi berpikir tentang Palupi dan Bukit Tungkai.

"Jangan-jangan Palupi memang orang Muara Singa yang menyimpan rahasia Pedang Kayu Petir, atau terlibat sesuatu yang bersangkutan dengan Pedang Kayu Petir? Buktinya nama Bukit Tungkai yang disebut-sebut Palupi itu adalah nama bukit tempat Muara Singa berada."

Sambil mencari ke mana kira-kira arah kepergian Palupi, Pendekar Mabuk bertanya-tanya dalam hati tentang pedang tersebut dan hubungannya antara Palupi dengan orang-orang Muara Singa.

"Aku jadi curiga, jangan-jangan orang-orang Muara Singa mau tangkap Palupi bukan untuk mengorek keterangan tapi untuk membunuhnya? Mungkin Palupi terlalu banyak tahu tentang pedang pusaka itu dan Ratu Purnama Laras tidak ingin rahasia pedang pusaka itu bocor dari mulut gadis gila itu, sehingga Palupi perlu dimusnahkan? Oh, kalau begitu aku harus segera dapat menemukan Palupi sebelum mereka lebih dulu membunuh Palupi! Tapi jika orang-orang Muara Singa ingin membunuh Palupi, mengapa Dungu Dipo saat itu melepaskan pukulan sinar kuningnya yang tidak membahayakan bagi keselamatan jiwa Palupi?"

Tak ada kepastian jawaban, sehingga Suto dibuat gelisah dan menerka-nerka menjengkelkan. Tetapi kejengkelannya itu terhibur oleh suara teriakan seorang wanita di kejauhan saja.

"Hiaaaah...!" Suara itu lengking, kecil, meninggi, dan berkesan liar.

"Itu pasti suara si gadis gila!" pikir Suto seketika itu juga. Maka ia pun segera melesat ke arah datangnya teriakan wanita.

* * *

EMPAT
TERNYATA tak jauh dari tempat itu ada sebuah sungai dangkal berair bening. Di tepi sungai itu tanahnya datar, berbatu-batu namun ada sebagian yang lega. Di tepian sungai itulah Suto melihat sekelebat sosok perempuan melompat menyambar kepala seorang lelaki dengan trisulanya. Untung lelaki itu cepat gulingkan tubuh ke tanah walau ia harus meringis karena punggungnya terganjal sebongkah batu agak runcing.

Wanita itu bukan Palupi. Tapi jelas suara jeritan tadi datangnya dari mulut wanita berbibir agak tebal dan memancing gairah kaum lelaki itu. Wanita tersebut punya wajah cantik. Kulitnya kuning langsat, seperti kulit Palupi, rambutnya pendek sebatas pundak lewat sedikit, namun tampak tebal dan hitam mengkilat, ia tidak kenakan ikat kepala, sehingga rambutnya meriap ke sana-sini ketika digunakan untuk bergerak dengan gesit dan lincah.

Menurut dugaan Suto, wanita berpakaian kuning gading itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Dengan pinggul yang meliuk indah dan pantat montok kencang Suto dapat pastikan perempuan itu pasti sering membuat lelaki tergila-gila. Tapi bagi Suto bukan perawakan perempuan yang menggairahkan itu yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan gerakan silatnya yang aneh dalam menghadapi pertarungan. Lelaki yang diajaknya bertarung sudah dikenal Suto belum lama ini. Dialah lelaki berusia lima puluh tahunan yang bernama Dungu Dipo.

"Persoalan apa yang dihadapi Dungu Dipo, sehingga perempuan itu agaknya bernafsu sekali ingin membunuh Dungu Dipo?" pikir Suto dari tempatnya.

Hentakan napas Dungu Dipo yang hadirkan napas sepanas lahar itu selalu dapat dihindari oleh perempuan tersebut dengan bersalto di udara atau melompat dengan gesit. Tetapi menurut penilaian Suto, Dungu Dipo akan terpojok dengan serangan perempuan tersebut. Kibasan golok panjang Dungu Dipo sering menemui tempat kosong karena terkecoh oleh gerakan lincah si perempuan.

Pada satu kesempatan mereka sama-sama hentikan penyerangan. Perempuan itu ada di depan Dungu Dipo dalam jarak lima tindak, ia masih sigap dan tak punya rasa gentar sedikit pun. Trisulanya yang berwarna kuning emas, entah emas asli atau emas palsu, masih digenggam dengan erat-erat. Dungu Dipo sendiri memandang perempuan itu dengan mata tajam, seakan juga bernafsu untuk membabat habis tubuh mulus yang bahenol itu.

"Kuingatkan sekali lagi padamu, Hantu Tari," seru Dungu Dipo."... jangan paksakan diri untuk melawanku, jika kau ingin berumur pendek."

"Mungkin maksudnya, jika ingin berumur panjang jangan melawannya," gumam Suto dalam hati membenarkan kata-kata Dungu Dipo yang selalu salah maksud itu.

"Kalau tak becus ngomong, jangan buka mulut, Dungu Dipo! Hadapi saja dendamku ini, karena hari ini adalah hari pembalasan tiba! Jika dulu kau berhasil membakar tubuhku dengan napas laharmu itu, sekarang tubuhmu yang akan kubuat lumer oleh jurus 'Api Lebur Baja' yang tak ada tandingannya!"

"O, jadi selama lima tahun kau menghilang karena kau belajar lagi perdalam ilmu silatmu?! Hmm...! Kau tak tahu kalau aku pun perdalam ilmu silatku, sehingga tak mudah merobohkan orang lain!"

Suto geleng-geleng kepala. "Dirobohkan orang lain, diganti merobohkan orang lain. Padahal artinya jauh berbeda!" pikirnya sambil santai setelah meneguk tuak.

Suto ada di atas pohon, duduk di sebuah dahan kekar dalam satu sisi sungai yang sama dengan mereka, ia sengaja tidak ikut campur, karena ingin melihat seberapa tinggi ilmu perempuan yang tadi dipanggil Dungu Dipo dengan nama julukan Hantu Tari itu.

Perempuan itu perdengarkan suaranya, "Sekalipun tubuhku sudah kembali mulus berkat ramuan dari guruku, tapi dendamku masih belum mulus dan tetap menuntut pembalasan padamu. Tak peduli kau sekarang menjadi orang penting di negeri Muara Singa, persoalan kita tetap persoalan pribadi!"

"Kulayani apa maumu. Tapi jangan salahkan diriku jika nyawamu tercabut oleh tanganku. Sebab aku orang yang tak pernah mau menyisakan nyawaku sendiri, Hantu Tari."

Hantu Tari hanya sunggingkan senyum sinis, ia tahu maksud kata-kata Dungu Dipo adalah, 'tidak mau menyisakan nyawa musuhku sendiri', tapi karena salah ucap, maka artinya menjadi lain. Dan itu sebuah ancaman yang lucu bagi siapa pun yang mendengarnya.

Perempuan itu tidak mau membuang waktu lagi. Ia segera bergerak dengan merentangkan kedua tangannya ke samping, lalu berputar-putar pelan bagai orang sedang menari. Trisula emas masih tergenggam di tangan kirinya merapat dengan lengan. Jurus tarian itu ternyata punya kekuatan sendiri. Pertama dapat memukau lawan melihat tarian yang indah dan liukan pinggul bagaikan menantang gairah lelaki. Kedua, pengumpulan tenaga dalam ternyata lebih diutamakan pada tangan dan kaki, sehingga ketika gerakan lamban yang mirip tarian itu menyentak cepat, sentakan itu cukup mengejutkan dan membuat lawan menggeragap. Tapi dari tangan kiri Hantu Tari telanjur melesat seberkas sinar merah mirip bintang berekor.

Claap...! Wuuus...!

Dungu Dipo sentakkan kaki dan melenting ke atas, ia bersalto satu kali, kemudian tangan kirinya melepaskan pukulan sinar hijau bening berbentuk seperti cahaya petir.

Claap...! Duaaar...!

Blaaar...! Kedua sinar membentur batu di lain tempat. Batu-batu itu pecah berhamburan. Tapi batu yang dihantam sinar merahnya Hantu Tari menjadi lumer dan meleleh bagaikan bubur. Itulah jurus 'Api Lebur Baja' yang menjadi andalannya. Batu bisa menjadi lumer padahal lain bahan dengan besi atau baja. Jika batu saja bisa lumer, apalagi tubuh Dungu Dipo, tentu lebih mudah membusuk dan mencair.

Wuuut...!

Keduanya saling terjang dengan senjata masing-masing beradu. Trang, trang! Tapi gerakan kaki Hantu Tari yang mirip orang menari itu berhasil menendang tengkuk kepala Dungu Dipo.

Duuuhg...!

Bruusss...! Dungu Dipo tersungkur mencium tanah. Goloknya hampir saja mengenai dada sendiri, ia segera berbalik dan bermaksud untuk bangkit. Namun tiba-tiba dari ujung trisula itu keluar sinar biru bagaikan kawat baja.

Claaap...! Sinar itu tepat menembus dada Dungu Dipo.

"Ahhg...!" Dungu Dipo menengadahkan wajah dan terpekik. Matanya terpejam kuat-kuat. Namun ia masih berusaha untuk bangkit dan menyerang lawannya.

"Racun Murka' sedang bersarang di hatimu, Dungu Dipo! Tapi sebaiknya memang kuselesaikan saja dengan jurus 'Surya Pemunah Bangkai' ini! Hiaaah...!"

Hantu Tari menyentakkan trisulanya ke depan dengan gerakan mirip orang menari kejang. Tiga mata trisula itu melesatkan sinar hijau kusam. Arahnya ke dada Dungu Dipo. Tetapi tiba-tiba tiga larik sinar hijau tua itu dihantam oleh sinar merah yang melesat lebih cepat bagaikan kilat, membentang tepat di depan Dungu Dipo seakan sebuah perisai penangkis serangan.

Blaaar...! Glegaarrrr...!

Ledakan dahsyat membuat tubuh Hantu Tari terpental ke belakang bagaikan terbang, ia jatuh tersungkur di samping batu besar. Ledakan yang terjadi karena benturan kedua sinar itu memercikkan nyala sinar biru terang menyilaukan. Gelombang panas yang menyentak dari ledakan itu berhasil membuat sebongkah batu menjadi rompal separo bagian. Tubuh Dungu Dipo sendiri terseret ke tepian air sungai dan terpuruk di sana dengan erangan lirih.

Hantu Tari bangkit, ia limbung dan hampir jatuh jika tidak berpegangan pada sebongkah batu yang tingginya sebatas dada. Mulutnya memuntahkan darah. Wajahnya menjadi pucat. Napasnya sesak sekali, sehingga ia bersandar di batu tersebut sambil mencari kelegaan untuk napasnya, ia memegangi dadanya yang terasa sakit bagaikan dihunjam tombak dari jarak dekat.

"Kurang ajar! Siapa yang membantumu Dungu Dipo?! Kulihat sinar merah itu bukan datang dari tubuh Dungu Dipo!" Pandangan mata Hantu Tari tertuju ke atas tanggul.

Suto Sinting sudah berdiri di sana. Ia segera melompat turun dekati Dungu Dipo. Tapi matanya memandang ke arah Hantu Tari dengan senyum tipis. Mata Hantu Tari tak berkedip memandang pendekar tampan yang baru kali itu dilihatnya. Terdengar suara Suto berkata dengan nada ramah, tanpa permusuhan, bahkan berkesan penuh sesal.

"Maaf, aku hanya mencegah agar jangan terjadi korban nyawa. Aku tidak tahu kalau sinar hijaumu itu berkekuatan amat tinggi. Semestinya ledakan itu tak begitu keras dan dahsyat. Tapi ternyata aku salah duga. Sekali lagi aku mohon maaf jika sampai melukaimu, Hantu Tari. Tapi aku bersedia sembuhkan lukamu sekarang juga jika kau mau!"

"Persetan dengan permintaan maafmu!" geram Hantu Tari dengan suara berat. "Kau berhutang satu jurus padaku! Akan kubalas kalau luka ini telah sembuh! Tunggu, tak akan lama kita pasti bertemu dan kau harus bayar hutangmu ini!" Weess...! Setelah bicara begitu, Hantu Tari larikan diri dengan menahan luka di dadanya.

Pendekar Mabuk tak sempat menahan gerakan Hantu Tari. Tapi pikirnya, memang tak ada perlunya menahan Hantu Tari, sebab ia tak punya persoalan dengan perempuan itu. Namun kepada Dungu Dipo, ia punya persoalan sendiri, yaitu sebagai calon tamu di tempat Dungu Dipo mengabdikan dirinya. Jika Suto lakukan penyelamatan terhadap Dungu Dipo, hal itu disebabkan karena ia ingin menjalin persahabatan dengan pihak Dungu Dipo, terutama dengan ratu gustinya. Sebab dengan menjalin persahabatan itulah, Suto Sinting berharap dapat mengetahui rahasia pedang pusaka yang konon disimpan oleh gadis gila di sebuah gua di Bukit Tungkai.

"Dungu Dipo, minumlah tuakku ini sedikit saja untuk penyembuhkan lukamu!" kata Suto Sinting, ia sudah berhasil membawa Dungu Dipo ke tempat kering, dan lelaki itu didudukkan dalam keadaan bersandar pada sebuah batu.

Wajah Dungu Dipo pucat pasi. Luka itu diduga menjadi parah akibat ledakan dua sinar tersebut. Tapi sebelumnya pasti sinar biru dari ujung trisula Hantu Tari telah melukai bagian dalam tubuh Dungu Dipo cukup parah.

"Minumlah tuakku, jangan diam saja!" kata Suto Sinting.

Tapi Dungu Dipo masih diam. Anehnya engahan napasnya sudah terkendali dan mulutnya tak mau terbuka, tapi matanya menatap dengan tajam ke arah Suto Sinting. Pandangan mata itu terasa makin lama semakin tajam dan semakin liar, sampai akhirnya tangan Dungu Dipo yang masih memegangi golok panjangnya itu berkelebat membabat wajah Suto Sinting.

Wuuus...!

Untung wajah yang hampir terbabat golok itu ditarik mundur dengan gerakan naluri yang amat cepat, sehingga golok itu tidak kenai wajah tersebut. Bahkan tubuh Suto yang jongkok berhasil melompat mundur tiga langkah jauhnya.

"Kenapa kau jadi menyerangku?!" sentak Suto kepada Dungu Dipo.

Tapi orang tersebut justru bangkit berdiri dengan menggeram, matanya menjadi liar dan ganas, ia ingin sekali membunuh Suto Sinting, bahkan kalau mungkin merajang-rajang tubuhnya dengan golok panjang itu. "Ggrrr...!"

Suto Sinting berkerut dahi mendengar erangan menyeramkan dari mulut Dungu Dipo. Matanya memandang penuh waspada dan kecurigaan Suto membuat hatinya mengatakan, "Ada yang tak beres pada dirinya."

Tiba-tiba tubuh Dungu Dipo melayang dengan cepat dan membabatkan goloknya. Wuuut...! Wwwess...! Gerakan golok itu sangat kuat dan cepat. Hampir saja pundak Suto terpotong karena gerakan golok tersebut. Suto tidak melawan, kecuali hanya menangkis dengan bumbung tuaknya.

Traang...! Kraak...!

Golok panjang itu patah menjadi dua bagian. Sisanya yang masih menancap di gagang golok hanya sedikit, kurang dari setengah jengkal. Tetapi Dungu Dipo masih menggeram. Kini golok patah itu dibuang, dan ia menerkam Suto Sinting dengan mata kian buas dan liar.

Wuuut...! Praaasss...!

Suto Sinting menghindar, akibatnya seonggok batu yang menjadi sasaran serangan Dungu Dipo. Batu itu pecah karena tendangan kuat bertenaga dalam dari kedua kaki Dungu Dipo. Bahkan batu besar itu hampir saja terguling dari tempatnya ketika dua kaki itu menjejak bersamaan. Kekuatan yang ditimbulkan sempat membuat tanah terguncang sedikit bagai dilanda gempa selintas.

"Besar sekali tenaganya?!" pikir Suto. "Tapi mengapa dia jadi seganas itu terhadapku?! Ia menjadi buas dan liar. Sepertinya bukan kehendak hati nuraninya untuk bersikap seganas itu!"

Dungu Dipo berbalik arah, menggeram dengan kedua tangan merenggang bagai ingin mencakar, lalu salah satu tangan disentakkan ke depan. Wuuut...! Claap! Sinar hijau besar melesat menghantam Suto Sinting. Tapi pemuda tampan itu bagai menghilang dari tempatnya. Zlaap...! Ternyata bergerak cepat dan berpindah tempat di samping kanan Dungu Dipo. Sinar hijau itu menghantam pepohonan di seberang sungai.

Blegaaar...!

Buuurrrrkk...! Dua pohon tumbang seketika, terbelah dari atas ke bawah. Itu pertanda pukulan dahsyat yang dilepaskan Dungu Dipo benar-benar ingin menghancurkan Suto Sinting.

Tetapi Pendekar Mabuk tidak mau berikan balasan, ia sempat berkata dalam hatinya, "Kudengar tadi Hantu Tari lepaskan pukulan 'Racun Murka' yang berwarna biru dari ujung trisulanya. Apakah dengan begitu muka Dungu Dipo menjadi ganas akibat terkena 'Racun Murka' dari Hantu Tari tadi?!"

Clap, clap...! Wuuut...!

Dungu Dipo semakin membabi buta melepaskan pukulan-pukulan dahsyatnya. Suto Sinting hanya menghindar dan menghindar terus sambil berpikir harus bagaimana mengatasi 'Racun Murka' yang berpengaruh dalam jiwa Dungu Dipo itu. Jelas apa yang dilakukan Dungu Dipo adalah perbuatan yang tidak disadarinya.

Bebatuan banyak yang hancur lebur oleh pukulan dahsyatnya. Sinar yang melesat tak tanggung-tanggung banyaknya itu menghancurkan pepohonan juga di sekeliling tempat itu. Gemuruh suara ledakan selalu sambung-menyambung membuat bumi bagaikan sedang diguncang kiamat. Suto Sinting tak punya pilihan lain kecuali segera larikan diri menghindari pertemuan dengan Dungu Dipo.

"Aku harus melumpuhkannya dari belakang, supaya ia pingsan dan buru-buru kuberi minuman tuakku!" pikir Suto Sinting dalam pelariannya. Tapi ternyata pelarian itu tidak dibiarkan oleh Dungu Dipo.

"Ggrrrraaw...!" Suara geramnya makin keras dan menyeramkan. Dungu Dipo melesat mengejar Suto Sinting, sehingga mereka saling kejar. Kecepatan geraknya pun lebih tinggi dari kecepatan aslinya. Rupanya pengaruh 'Racun Murka' bukan hanya dalam jiwa yang menjadi buas saja, melainkan kekuatan tenaga dalamnya pun menjadi berlipat ganda. Buktinya sambil mengejar Suto, Dungu Dipo melepaskan pukulan tenaga dalamnya berulang- ulang dari jenis pukulan-pukulan dahsyat. Tak heran jika pepohonan banyak yang hancur dan tumbang diamuk pengaruh 'Racun Murka' yang membuat Dungu Dipo bagaikan orang gila.

"Apakah Palupi menjadi gila juga karena pukulan beracunnya Hantu Tari?!" pikir Suto Sinting kala ia bersembunyi di balik pohon besar berbatang pipih, menyerupai bilik-bilik dinding.

"Tak ada salahnya jika ia kulumpuhkan dulu walaupun terluka, tapi harus segera kutolong agar nyawanya tak telanjur melayang. Hmm... sebaiknya kugunakan jurus 'Mabuk Pelebur Gunung', setelah itu harus buru-buru kuberi tuak. Tapi... apakah itu tidak berbahaya? Oh, jangan! Jurus itu berbahaya. Selain dapat membuatnya biru legam dengan rambut rontok semua, dalam waktu singkat ia akan mati. Tuakku belum tentu bisa bekerja lebih cepat melawan kekuatan jurus itu dan 'Racun Murka' didalamnya."

Selagi Suto berpikir, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan seorang wanita. "Aaaah...!"

Suto tersentak kaget. "Itu suara Palupi! Ya, pasti Palupi!" Dan Suto pun segera sentakkan kaki, pergunakan ilmu peringan tubuhnya untuk melesat dengan cepat melebihi anak panah. Zlaaap...! Dalam sekejap ia sudah berada di tempat yang datar, di sana ia melihat Palupi sedang dikejar-kejar Dungu Dipo. Bahkan sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi dilepaskan oleh Dungu Dipo ke arah punggung Palupi yang berlari-lari ketakutan itu.

Claap...!

Sinar merah dari tangan kiri Dungu Dipo melesat cepat menghantam Palupi. Tapi Pendekar Mabuk bergerak lebih cepat lagi dengan menghantam sinar ungunya yang keluar dari dua jari. Kedua jari itu mengeras, ditempelkan di dahi, lalu disentakkan ke depan dan keluarlah sinar ungu yang menghantam sinar merah dari tangan Dungu Dipo.

Zlaaap...! Duaaar...! Jurus 'Turangga Laga' telah mematahkan jurus mautnya Dungu Dipo yang hampir-hampir mencelakakan Palupi.

Gadis gila itu hanya menjerit ketakutan dengan tubuh terlempar jatuh di semak-semak ketika ledakan itu terjadi dengan keluarkan gelombang hentakan cukup kuat. Sedangkan Dungu Dipo sendiri terkapar karena terjengkang ke belakang disentakkan oleh angin ledakan tersebut. Suto Sinting buru-buru menyambar Palupi yang sedang berdiri dari jatuhnya sambil mencaci Dungu Dipo,

"Dasar orang tua kampret!"

Wuuut...! Tubuh gadis itu terasa terbang dalam sekejap, ia sempat gelagapan dan terbengong-bengong ketika sudah berada di balik pohon besar.

"Diam! Jangan bicara apa pun! Orang itu sedang mencarimu!" sambil telunjuk Suto dirapatkan di bibir gadis gila yang sebenarnya berbentuk indah menawan hati itu.

Tapi si gadis gila mengangguk-angguk, seakan memahami kata-kata Suto sambil berseru, "Orang itu harus dibunuh biar tak bisa jalan lagi!"

"Ssst...!" bentak Suto mendesis. "Disuruh diam kok malah bicara dengan suara keras."

"O, Iya. Aku lupa!" kata Palupi dengan berbisik. "Eh, Kang... ke mana saja kau? Aku mencarimu ke mana-mana ingin mengajakmu bercumbu. Akhirnya aku bercumbu dengan pohon! Tapi... tak ada enaknya."

Kata-kata itu tak dihiraukan oleh Suto, dianggap kata-kata gadis gila yang tidak muncul dari lubuk hatinya. Suto memaklumi kata-kata itu, walau sebenarnya tak pantas jika diucapkan gadis seusia Palupi seandainya ia waras.

Rupanya suara Palupi tadi didengar oleh Dungu Dipo, sehingga pohon besar itu pun diserangnya dengan pukulan tenaga dalamnya yang dahsyat.

Wuus...! Blegaaar...! Pohon itu hancur. Tapi tubuh Palupi sudah disambar Suto untuk pindah tempat dengan kecepatan tinggi. Seandainya tidak, sudah pasti tubuh mereka hancur berkeping-keping seperti pohon besar itu yang juga hancur berkeping-keping tak berbentuk bekas pohon sama sekali.

Gerakan pindah Suto membawa Palupi diketahui oleh mata Dungu Dipo. Maka Dungu Dipo mengerang kuat-kuat dengan suara mirip manusia hutan yang liar, lalu kedua tangannya disentakkan ke depan dan melesatlah dua sinar hijau besar dari kedua tangan itu.

Wooos...!

Suto Sinting sentakkan kakinya dengan tangan kanan menyambar pinggang Palupi yang menjerit-jerit ketakutan. Tahu-tahu tubuh Palupi sudah ada diatas pohon bersama dengan Suto. Dan dari sana Suto lepaskan pukulan bersinar hijau pula yang langsung kenai tubuh Dungu Dipo dan membuat orang tersebut terpental, memuntahkan darah segar dari mulutnya, lalu terkapar tak berkutik. Sedangkan sinar hijaunya tadi menumbangkan empat pohon dalam keadaan terpotong- potong menjadi beberapa, bagian.

"Aaa...!" Palupi jatuh dari pegangan Suto, tergelincir saat mencoba berdiri sendiri di atas dahan. Suto Sinting segera turun menyambarnya kembali. Tapi ia segera terkejut ketika melihat tubuh Dungu Dipo ada yang menyambarnya pergi.

* * *

LIMA
SEKELEBAT bayangan yang sempat dilihat Suto menyambar tubuh Dungu Dipo tampak seperti seseorang yang pernah dikenalnya. Rasa penasaran Suto membuatnya terpaksa mengejar orang tersebut.

"Pakaian hitam seluruhnya, sepertinya pakaian Siluman Tujuh Nyawa!" pikir Suto setelah tiba di suatu tempat dan merasa kehilangan jejak. "Apakah benar orang yang menyambar tubuh Dungu Dipo adalah Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa?! Jika benar, untuk apa dia membawa pergi Dungu Dipo dalam keadaan terluka parah? Ya, Dungu Dipo pasti terluka parah, selain oleh 'Racun Murka' juga oleh pukulanku tadi. Tapi jika yang menyambarnya Siluman Tujuh Nyawa, mengapa aku tidak melihat sekilas tongkat El Mautnya?"

Suto Sinting berkelebat ke utara, kembali ke selatan, lalu ke timur dan segera ke barat. Tapi bayangan hitam yang menyambar Dungu Dipo tidak terlihat. Tubuh Dungu Dipo sendiri juga tidak tampak jejaknya. Tak ada tetesan darah. Padahal semestinya Dungu Dipo memuntahkan darah segar karena terkena pukulan bertenaga dalam cukup besar. Tidak cukup satu kali Dungu Dipo memuntahkan darah, pasti akan berulang kali. Tapi ternyata darah itu tak kelihatan tercecer di beberapa tempat yang dilacak Suto.

"Sial! Cepat sekali gerakan si bayangan hitam tadi. Jangan-jangan memang benar, Siluman Tujuh Nyawa yang membawanya pergi dan masuk ke alam gaib?! Ah, sudahlah! Biarkan dulu si Dungu Dipo. Aku perlu menanyakan beberapa hal kepada Palupi! Gadis itu hampir saja cedera karena tingkahnya yang membuatnya jatuh dari pohon. Untung segera berhasil kusambar kembali!" sambil menggumam begitu, Suto Sinting bergegas kembali ke tempat di mana ia tinggalkan si gadis gila itu.

Tetapi alangkah kecewanya hati Pendekar Mabuk setelah sampai tempat semula, ternyata Palupi sudah tidak ada di tempat. Matanya memandang sekeliliing, bahkan sempat naik ke atas pohon dan memeriksa alam sekitar dari sana. Gadis gila itu tidak terlihat sedang melarikan diri ke suatu tempat. Suto Sinting menjadi cemas dan berkata dalam hatinya,

"Jangan-jangan dia ikut dibawa lari oleh Siluman Tujuh Nyawa? Ah, kacau sekali pikiranku. Mereka lenyap begitu saja, seperti ditelan bumi. Apakah benar orang berpakaian serba hitam tadi adalah Siluman Tujuh Nyawa? Belum tentu juga! Siapa tahu orang lain. Tapi apakah orang lain itu yang membawa pergi gadis gila? Atau... atau gadis gila itu pergi sendiri entah ke arah mana? Apakah ia menyusulku? Ah... dasar gila!" Suto Sinting mendesah jengkel sendiri. Lalu untuk menahan rasa jengkelnya, ia meneguk tuak beberapa kali.

Sambil melangkah mencari Palupi, Suto Sinting menggerutu dalam hatinya, "Benar-benar sial nasibku hari ini! Belum mengorek keterangan tentang rahasia Pedang Kayu Petir dari Palupi, eh... sudah lenyap lagi. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis itu. Pasti dia memegang kunci rahasia pedang pusaka tersebut. Sayang saja dia tidak waras, jadi tak bisa dikendalikan gerakan dan terutama otaknya. Kalau saja dia gadis yang waras, sudah pasti bisa kuajak kerja sama menemukan Pedang Kayu Petir."

Angin berhembus ke arah barat. Ke arah itu pula Suto Sinting bergerak, karena ia membayangkan Bukit Tungkai dan gua tempat menyimpan Pedang Kayu Petir. Tetapi tujuan utamanya saat itu adalah mencari Palupi, dan dugaannya mengatakan bahwa Palupi tinggal dan bersembunyi di gua yang ada di Bukit Tungkai itu. Besar kemungkinan Palupi ketakutan menghadapi serangan dahsyat dari Dungu Dipo, sehingga ia melarikan diri kegua di Bukit Tungkai untuk bersembunyi.

Ternyata perjalanan ke Bukit Tungkai pun memakan waktu tidak sebentar. Sampai malam tiba, Suto belum menemukan ciri-ciri Bukit Tungkai. Akhirnya ia bermalam di sebuah desa, menumpang di rumah seorang pemilik kedai yang ternyata masih punya hubungan saudara dengan Ki Rosowelas, pemilik kedai yang pernah menampungnya ketika dalam perjalanan ke Gunung Keong Langit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bandar Hantu Malam).

Esoknya, perjalanan diteruskan dengan bumbung tuak telah kembali terisi penuh tuak pilihan. Bumbung itu agak berat, tapi bukan masalah buat Suto karena ia sudah terbiasa membawa bumbung berisi penuh tuak. Jika bumbung penuh tuak, hati Suto menjadi tenang dan gembira, karena ia bisa menikmati tuak kapan saja ia inginkan. Salah satu kehebatan Suto Sinting adalah tidak pernah merasa mabuk walaupun meminum tuak dua bumbung sekaligus. Bagi Suto Sinting, lebih baik ia terlambat makan daripada terlambat minum tuak. Tanpa meminum tuak setengah hari saja tubuh Suto akan merasa lemas dan pegal-pegal.

"Seharusnya," pikir Suto sambil melangkah, "Jika Palupi pulang atau bersembunyi di Bukit Tungkai, ia pasti akan bermalam di desa itu tadi. Ia pasti akan kemalaman di perjalanan. Tapi ternyata gadis gila itu tak ada di sana, dan beberapa penduduk yang kutanyai merasa tidak melihat gadis gila masuk desa itu. Lantas lewat mana Palupi pergi ke Bukit Tungkai? Atau barangkali ia pergi ke arah lain yang justru berbeda arah denganku?"

Melewati kaki bukti cadas yang tak seberapa tinggi, langkah Suto menjadi terhenti dan matanya memandang ke atas bukit. Pendekar Mabuk sedikit terperangah melihat seseorang sedang bertarung di atas bukit bertanaman jarang itu.

"Sepertinya itu Hantu Tari?! Apakah ia telah berhasil sembuhkan lukanya? Lalu siapa yang diajaknya bertarung kali ini?"

Pendekar Mabuk kerutkan dahi, merasa heran dengan lawan yang diserang oleh Hantu Tari. Dengan cepat Suto Sinting naik ke atas bukit dan mencari tempat berlindung bagi dirinya. Karena kali ini ia melihat sesuatu yang aneh, Hantu Tari bertarung melawan seseorang yang ada di dalam tandu. Tandu itu bisa bergerak ke sana-sini dan keluarkan pukulan atau lepaskan senjata rahasia.

"Itukah yang dimaksud Tandu Terbang?!" pikir Suto dari persembunyiannya.

Tandu itu berukuran kecil. Tertutup kain merah satin yang mengkilap dengan hiasan rumbai-rumbai benang kuning pada tepiannya. Tandu itu mempunyai empat tiang pemanggul, depan dua belakang dua. Kayu pemanggul itu berwarna hitam dengan ukuran gambar badan dan kepala naga. Jadi tandu yang pantasnya milik seorang ratu itu seperti disangga oleh empat ekor naga. Atapnya berbentuk lengkung tapi mempunyai lubang sebesar buah sawo. Ada enam lubang yang mengelilingi atap berlapis kain satin mengkilap warna merah itu.

"Kurasa yang ada di dalamnya hanya satu orang, karena tandu itu tak akan cukup untuk dua orang," pikir Suto. "Pasti orang itu dalam keadaan duduk, karena atapnya tidak begitu tinggi. Jika orang di dalam tandu itu berdiri, pasti orang itu bertubuh cebol. Hmmm... raja mana yang ada di dalam tandu itu? Bangsawan mana yang mempergunakan tandu tanpa pemikul itu? Pintu tak ada, jendela tak ada, tapi orang di dalam tandu agaknya bisa melihat gerakan Hantu Tari, sehingga bisa hindari serangannya. Hebat juga ilmu orang tersebut. Oh, ya... apa benar dia yang ada dalam tandu itu murid Pendita Arak Merah dari Tibet? Jangan-jangan Pendita Arak Merah sendiri yang duduk di dalam tandu itu?"

Hantu Tari mulai terdesak oleh gerakan Tandu Terbang yang mampu melesat dengan cepat menerjang lawannya. Sebilah pedang tiba-tiba keluar dari dalam ukiran kepala naga. Sraak...! Pedang itu bagaikan muncul dari mulut naga, yaitu kayu pemikul sebelah kanan depan. Seolah-olah kayu itu sebagai pengganti tangan kanan si penghuni tandu. Kayu pemikul itu bisa bergerak sendiri ke atas atau ke bawah, bahkan agaknya bisa pula bergerak ke samping kanan-kiri. Gerakannya itu memungkinkan pedang tersebut mampu menebas lawan kapan saja.

Ketika Tandu Terbang melayang dengan pedangnya, Hantu Tari menangkis menggunakan trisula emasnya. Trang...! Lalu kakinya menendang bagian bawah kayu pemikul. Daahg...! Tendangan bertenaga dalam tinggi itu membuat tandu berjungkir balik di udara, tapi tak membuat rusak keadaan penutupnya. Penghuni tandu pun tidak terlempar keluar dan, ketika diam di tempat, tandu itu sudah dalam keadaan seperti semula. Kedua kayu pemikulnya menghadap ke arah Hantu Tari. Keadaan tandu itu tidak menyentuh tanah, mengambang di udara tanpa bergerak, seakan menunggu serangan lawan selanjutnya.

"Jika bukan orang berilmu tinggi yang ada dalam tandu itu, tak mungkin ia bisa gerakkan tandu itu dan diam dalam keadaan melayang di udara," pikir Pendekar Mabuk. "Benar-benar tinggi ilmu si penghuni tandu itu. Sri Maharatu pun kalah tinggi ilmunya dengan orang dalam tandu. Aku yakin, pasti Pendita Arak Merah sendiri yang menghuni tandu tersebut."

Tiba-tiba terdengar suara Hantu Tari berseru, "Aku tak peduli dengan ancamanmu, Tandu Terbang! Apa pun tuduhanmu tak akan kubantah untuk memohon ampun darimu! Apa keinginanmu akan kulayani sekarang juga, Tandu Terbang! Memang dulu aku punya kekasih orang Lumpur Maut, tapi bukan berarti aku orang Lumpur Maut! Dan percintaan usangku itu tak pernah kuingat-ingat lagi, walaupun kau bernada cemburu kepada bekas kekasihku itu!"

Hantu Tari diam, masih dalam keadaan sigap, kuda-kudanya kokoh dan trisulanya terangkat di atas kepala dengan arah ujung tiga mata trisula lurus ke depan. Kapan saja siap lepaskan serangan kepadalawannya. Setelah diam beberapa saat, Hantu Tari kembali berkata, "Itu bukan urusanku! Urusanku dengan Windu Jati adalah urusan cinta, bukan urusan perguruan, bukan pula urusan kekuasaan di Lumpur Maut! Tapi kalau kau masih penasaran denganku, kutunggu seranganmu sekarang juga, Tandu Terbang! Jangan sangka aku merasa jera dan takut menghadapimu!"

Suto Sinting berucap dalam hatinya, "Sepertinya Hantu Tari berbicara dengan seseorang. Tapi tak kudengar percakapan lawan bicaranya itu?! Apakah orang yang ada di dalam tandu merah itu yang bicara pelan kepadanya? Begitu pelannya, sampai-sampai hanya dia yang mendengar perkataan orang dalam tandu?"

Terdengar lagi suara Hantu Tari berseru, "Windu Jati telah mati! Mengapa kau persoalkan lagi dengan diriku? Aku sudah bukan kekasihnya orang Lumpur Maut! Kala aku tadi menyerangmu, karena dulu kau pernah lukai punggungku dengan pedangmu itu, Tandu Terbang. Sekarang luka itu harus kau bayar dengan kehancuran tandumu!"

Hantu Tari mulai meliuk-liuk memainkan jurus mirip orang menari. Sesekali ia berseru bagai menjawab sebuah pertanyaan atau membantah sebuah tuduhan. "Ya. Akan kuhancurkan tandumu itu supaya kutahu persis wajah pengecut yang selalu bersembunyi di balik tandu yang mirip kandang ayam itu!"

Wuuut...! Tiba-tiba tandu merah itu melayang terbang dengan cepat. Pedang di kayu pengusungnya itu bergerak menoreh dada Hantu Tari. Tetapi dengan lincah, Hantu Tari sentakkan kaki dan melenting di udara, bergerak membabatkan ujung trisulanya yang telah membara seperti besi terpanggang api. Gerakannya itu bagaikan menukik, kepala di bawah dan trisula terarah ke atap tandu. Namun belum sempat trisula itu menyentuh atap tandu, tiba-tiba dari lubang sebesar buah sawo yang ada di atap tandu itu keluar seberkas sinar putih perak.

Claaap...! Salah satu dari enam lubang di atas tandu telah berhasil menghentakkan tubuh Hantu Tari melalui sinar putih peraknya. Tubuh tersebut terlempar dengan kuat, berjumpalitan di udara, lalu jatuh terpuruk bagaikan kehilangan tenaga.

Brruk...! Wuuusss...! Taab...!

Tandu merah hinggap di pucuk gugusan batu cadas. Bagian depannya yang masih mengeluarkan pedang itu menghadap ke arah Hantu Tari. Rupanya sinar putih itu membuat luka cukup berat di dalam tubuh Hantu Tari yang tepat mengenai bagian bawah pundak kiri. Luka itu membiru, bahkan cepat membuat wajah menjadi pucat bagaikan mayat. Rupanya Tandu Terbang tak cukup lukai bagian dalam lawannya. Dari ujung kayu pengusung sebelah kiri depan melesat kilatan cahaya logam yang mengarah ke tubuh Hantu Tari. Kilatan cahaya logam itu jelas senjata rahasia yang membahayakan. Mungkin pula mengandung racun ganas. Hantu Tari akan mati, atau cedera berat seumur hidupnya jika terkena logam berkilat itu.

Untunglah sebuah sinar biru bagaikan bintang melesat dari balik gugusan batu cadas sebelah kanan, dan sinar biru itu menghantam logam putih tersebut.

Duaaar...!

Logam putih itu berhasil dihancurkan oleh sinar biru. Tandu Terbang bergerak ke kanan, lalu dari kain penutup yang berwarna merah itu melesat sinar hijau pendar-pendar berbentuk bola. Wuuut...! Sinar itu mengarah ke gugusan batu dan ketika menyentuh gugusan batu besar itu seketika terdengar suara menggelegar bagaikan guntur menyambar batu tersebut.

Glegaaar...!

Gugusan batu sebesar anak gajah itu hancur lebur menyebar ke berbagai arah dalam bentuk serpihan kecil menyerupai pasir. Sedangkan orang yang diperkirakan bersembunyi di balik gugusan batu itu tidak kelihatan. Entah kapan ia pergi dari sana, tapi Suto Sinting tak melihat adanya gerakan yang berpindah tempat dari balik batu itu ke tempat lain. Suto pun mencari-cari dengan matanya yang bergerak nanar.

Jleeg...!

Tiba-tiba sesosok tubuh kurus sudah berdiri di belakang tandu. Sesosok tubuh kurus itu milik seorang nenek berambut putih dengan rambut disanggul sebagian. Wajahnya kempot, kulitnya keriput, matanya cekung, namun mempunyai pandangan yang tajam. Nenek itu kenakan jubah merah muda yang sudah kusam dengan pakaian dalam warna hitam. Nenek itu masih tegak walau usianya diperkirakan sekitar sembilan puluh tahun lebih, ia mengipas-ngipas diri dengan kipas warna hitam bertepian garis kuning emas. Di bagian tengah kipasnya terdapat lukisan seekor burung murai.

Rupanya nenek itu mendengar suara lawan bicaranya sehingga tahu-tahu ia menjawab, "Benar! Tak salah dugaanmu, Tandu Terbang. Akulah yang bernama Nyai Paras Murai, guru dari Hantu Tari!"

Lalu, nenek itu diam beberapa saat bagai mendengar suara, setelah itu terdengar berkata bagaikan menjawab sebuah pertanyaan, "Tak peduli apa urusanmu dengan muridku, tapi aku tak rela jika muridku kau lukai begitu! Aku berhak membelanya, Tandu Terbang!"

Tandu merah itu bergerak memutar, kini bagian depannya terarah kepada Nyai Paras Murai. Sang nenek masih tampak tenang, tak ada kesan gugup atau cemas sedikit pun dalam wajah tuanya itu. Gerakan mengipasnya berhenti, kipasnya terkatup dan digunakan untuk menunjuk lawannya.

"Kau sendiri yang akan hancur jika melawanku, Tandu Terbang! Sekalipun muridku mudah kau tumbangkan, tapi jangan harap kau bisa menumbangkan gurunya pula, Tandu Terbang!"

Claaap...! Tiba-tiba dari mulut naga kayu itu keluar sinar merah lurus menghantam tubuh Nyai Paras Murai. Dengan cepat kipas hitam dibentangkan dan menjadi penangkis sinar merah tersebut. Daaar...! Letupannya tak begitu dahsyat, namun cukup membuat Nyai Paras Murai terlonjak mundur dua tindak. Tandu Terbang segera melesat menyerang nenek itu dengan gerakan cepat. Sang nenek bersalto di udara dan menendang bagian atap tandu.

Braak...! Tendangan itu mengguncangkan tandu, namun juga membuat sang nenek terpental lebih tinggi, ia bagaikan beradu tenaga dalam dengan lawannya.

Tiba-tiba Tandu Terbang berputar sambil keluarkan sinar warna-warni dari keenam lubang di bagian atapnya. Clap, clap, clap, clap...! Sinar itu pun ikut memutar seolah-olah menyapu tubuh Nyai Paras Murai yang baru saja jatuh terhentak dari suatu ketinggian.

Nyai Paras Murai tidak diberi kesempatan menyerang kembali, ia berusaha menghindari sinar-sinar warna-warni itu dan dibuat terteter oleh serangan Tandu Terbang. Karena di samping sinar yang keluar dari enam lubang di bagian atap, Tandu Terbang juga keluarkan sinar biru berasap tebal dari kedua kayu pengusung bagian belakang. Sinar biru itu melesat ke arah Nyai Paras Murai, akibatnya sang nenek berjumpalitan dengan kebingungan menghindari serangan yang beruntun dan bersifat mengepungnya itu.

Maka dengan hentakkan kaki di tanah, Nyai Paras Murai kibaskan kipasnya dari samping kiri ke kanan, wuuusss...! Tandu Terbang terpental berjungkir balik karena kibasan kipas itu hadirkan angin kencang yang menyerupai badai. Dua gugusan batu terlempar ke arah Tandu Terbang. Jika tandu itu tidak kuasai diri dan mampu melesat tinggi bagaikan menghindari gelombang badai yang ada di bagian bawahnya, maka tandu itu akan hancur dihantam dua gugusan batu besar.

Sementara itu, di sisi lain dua pohon tumbang, patah bagian tengahnya bagaikan dihempas badai berkekuatan melebihi dua ekor banteng menyeruduk pohon tersebut. Suto Sinting sendiri hampir saja terpental dari tempat persembunyiannya jika ia tidak segera berpegangan akar pohon. Untung keadaannya tidak tepat berhadapan dengan arah berdirinya Nyai Paras Murai. Keadaannya sedikit menyamping, sehingga hempasan badai yang melanda tubuh Suto tidak sekuat badai yang menerbangkan tandu merah itu.

Dalam keadaan terbang tinggi pun tandu merah itu masih lepaskan pukulan bersinar. Empat sinar merah melesat bagaikan besi baja yang mengarah kepada Nyai Paras Murai dan Hantu Tari. Dengan cepat Nyai Paras Murai selamatkan diri, karena agaknya ia bisa mengukur kekuatan lawannya yang lebih tinggi dari ilmunya sendiri. Namun sambil berkelebat menghindari dari serangan empat larik sinar merah itu, Nyai Paras Murai menyambar muridnya dan membawanya pergi dengan kecepatan tinggi. Tandu Terbang merendah, lalu melesat bagaikan seekor burung mengejar mangsanya.

Pendekar Mabuk keluar dari persembunyian, memandang ke arah kepergian mereka sambil geleng-gelengkan kepala. Mulutnya berucap lirih, "Gila! Tandu Terbang memang berilmu tinggi. Seharusnya ia tumbang dan jebol karena kipas badai tadi. Tapi ia mampu melesat terbang tinggi menghindarinya?! Luar biasa ilmu itu. Aku jadi penasaran, bagaimana kelanjutan pertarungan itu. Kulihat Tandu Terbang masih penasaran mengejar lawannya. Apakah Nyai Paras Murai mampu mengimbangi kekuatan itu? Andai tidak, lantas bagaimana caranya menyelamatkan diri dari ancaman ganas Tandu Terbang? Ah, sebaiknya kuikuti langkah mereka ke arah sana!"

Suto Sinting pun segera berkelebat, menggunakan ilmu peringan tubuh dan jurus gerak siluman yang mampu berlari dengan kecepatan melebihi badai tadi.

Zlaap...! Zlaaap...!

Tetapi gerakan Suto terhenti oleh sebuah pertarungan yang terjadi di lereng sebuah bukit. Suto terkejut, perhatiannya lebih tertarik ke arah pertarungan tersebut, ia bergegas menghampiri lereng bukit itu dan memperjelas penglihatannya.

"Dungu Dipo ada di sana? Hmm... siapa orang yang sedang diserangnya itu?" pikir Suto Sinting sambil kian mendekati tempat pertarungan Dungu Dipo melawan tokoh tua berpakaian serba hitam.

Rambutnya masih tampak hitam pekat walau wajahnya mencerminkan usia di atas sembilan puluh tahun. Tubuh kurus yang terbungkus baju jubah hitam itu masih mampu bergerak lincah, walau pada akhirnya terjungkal karena tendangan kaki Dungu Dipo yang mempunyai hentakan tenaga dalam dan membuat tubuh lawannya terpental sebelum kaki menyentuh tubuh itu.

"Bahaya! Dungu Dipo masih ganas saja. Pengaruh 'Racun Murka' belum hilang dari jiwanya, ia masih kelihatan bernafsu membunuh siapa saja, termasuk lawannya itu. Tapi... bukankah lawannya itu yang tadi kulihat berkelebat menyambarnya? Pakaiannya hitam, rambutnya panjang dan hitam, kulitnya pun tergolong hitam. Jangan-jangan memang orang itu yang tadi menyambar Dungu Dipo?"

Dalam satu kesempatan, Dungu Dipo melihat lawannya yang tua terkulai lemas dan memuntahkan darah dari mulutnya walau tak banyak. Ketika lawan sedang menunduk terengah-engah dalam keadaan merangkak mau bangkit, Dungu Dipo lepaskan pukulan bersinar hijau dari kedua tangannya.

Suto ingat, pukulan bersinar hijau keruh itu sangat berbahaya jika mengenai lawan, karena pohon besar pun bisa dibuatnya hancur berkeping-keping. "'Racun Murka' itu jangan sampai membawa korban nyawa!" pikir Suto Sinting. Kemudian dengan cepat, Pendekar Mabuk rapatkan kedua telapak tangan di dada, lalu kedua tangan itu dalam keadaan tetap merapat disentakkan ke depan dan dari ujung tangan melesat selarik sinar ungu yang menghantam kedua sinar hijaunya Dungu Dipo di pertengahan jarak dengan lawannya.

Claaap...! Blegaaarrrr...!

Kedua sinar itu pecah menjadi satu cahaya putih menyilaukan yang berkerilap lebar. Asap hitam mengepul, membumbung tinggi di udara, lalu lenyap bersama hembusan angin yang bergerak menuju barat. Karena sinar hijau tadi masih menyatu dengan kedua telapak tangan Dungu Dipo, maka ketika terjadi ledakan dahsyat yang mengguncangkan beberapa pohon di sekitarnya, tubuh Dungu Dipo terpental ke belakang dan berguling-guling. Telapak tangannya menjadi hitam bagaikan terkena sengatan tajam sinar ungunya Pendekar Mabuk.

Kekuatan gelombang sinar ungu tadi mampu menembus peredaran darah Dungu Dipo melalui jalur sinar hijau yang belum putus dari telapak tangannya. Akibatnya, darah dalam tubuh Dungu Dipo bagaikan tersontak keluar dari mulut, hidung, dan telinganya, ia jatuh terkapar sambil menggeram, mengerang-erang seperti singa sedang sekarat.

"Harus segera kujejali tuak ini supaya nyawanya tidak copot dari raga!" pikir Suto sambil berkelebat menuju tempat Dungu Dipo terkapar. Tapi di luar dugaan, sinar biru datang menghantam betis Suto dari arah belakang.

Claap...! Dess...!

Brruk...! Suto Sinting jatuh tersungkur karena kakinya bagaikan hilang seketika itu. Tak ada urat yang mampu digunakan untuk berdiri. Kaki kiri itu bagaikan lumpuh, tapi kaki kanannya tidak. Dengan menggunakan kaki kanan Suto Sinting berusaha bangkit dan memandang ke belakang, ternyata pukulan sinar biru itu datang dari si tokoh tua berpakaian serba hitam yang tadi nyawanya diselamatkan Suto dari ancaman sinar hijaunya Dungu Dipo. Tentu saja Suto Sinting menjadi geram dan jengkel, karena orang itu bukannya berterima kasih padanya, melainkan justru menyerangnya.

"Mengapa kau menyerangku, Pak Tua?!" sentak Suto ketika orang berpakaian serba hitam itu bergegas mendekatinya dan ingin lepaskan satu pukulan mautnya lagi ke tubuh Suto.

Mendengar seruan Suto, orang tersebut menahan diri untuk tidak melepaskan pukulannya. Namun ia menjawab pertanyaan Suto itu dengan pandangan angkernya, "Kau membunuh muridku! Dan aku tak rela orang lain membunuhnya!"

"O, jadi Dungu Dipo ini muridmu?"

"Ya! Dan akulah yang menyambarnya saat ia bertarung denganmu!"

"Pak Tua..., percayalah, aku tidak bermaksud membunuh muridmu. Justru aku ingin menolongnya dari pengaruh 'Racun Murka' kiriman Hantu Tari itu!"

Pak Tua yang sudah angkat tangannya untuk disentakkan ke depan itu menjadi diam sesaat. Tangannya bergerak turun pelan-pelan sambil terdengar suaranya bagai orang menggumam, "'Racun Murka'...?! Jadi, Hantu Tari telah pergunakan racun itu untuk serang muridku?!"

"Periksalah sendiri!"

"Ya, ya...!" orang itu manggut-manggut. "Pantas ketika kusembuhkan lukanya akibat seranganmu tadi, tahu-tahu dia menyerangku dengan ganas bagai tak mengenaliku lagi!"

"Itulah sebabnya aku banyak menghindar, dan terpaksa melumpuhkannya untuk mengobati racun tersebut dari jiwanya. Tapi kau lebih dulu membawanya pergi!"

'"Racun Murka' tak ada obatnya!" gertak Pak Tua itu. "Selama racun itu bermukim dalam jiwa seseorang, maka orang tersebut akan selamanya menjadi liar, ganas, dan tak mengenal siapa-siapa lagi. Selama ini tak pernah kudengar ada orang sembuh dari 'Racun Murka'. Yang kudengar orang itu mati karena dikalahkan lawannya, kadang saudara sendiri atau teman sendiri yang membunuhnya!"

Suto Sinting sempat tertegun dan bertanya dalam hati, "Benarkah 'Racun Murka' tak dapat ditawarkan sekalipun menggunakan tuakku?"

* * *

ENAM
TOKOH tua yang ternyata memang gurunya Dungu Dipo itu mengaku bernama Ki Palaran. Tokoh itu juga mengenal si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting. Tapi rupanya baru kali ini ia berhadapan langsung dengan murid sinting si Gila Tuak itu. Ki Palaran sendiri tidak menyangka kalau Suto ternyata orang yang namanya sedang menjadi buah bibir kalangan rimba persilatan sebagai Pendekar Mabuk beraliran putih.

Ketika Suto berhasil sembuhkan diri sendiri dari sinar birunya Ki Palaran dengan meminum tuaknya, Ki Palaran sempat merasa heran, karena baru kali ini melihat seorang lawan yang dapat sembuh dengan cepat setelah terkena pukulan jurus 'Pelumpuh Jagat' itu. Bahkan Ki Palaran kian terheran-heran melihat Suto berhasil lenyapkan 'Racun Murka' dalam jiwa Dungu Dipo setelah meminumkan tuaknya ke mulut Dungu Dipo. Ketika orang tua itu mendengar nama Suto Sinting dan gelarnya; Pendekar Mabuk, maka rasa heran itu pun lenyap dari hatinya.

"Pantas kalau kau bisa lakukan hal-hal seperti itu, ternyata kau si Pendekar Mabuk, muridnya Gila Tuak!" katanya ketika itu, dan Suto Sinting hanya tersenyum ramah, tanpa kelihatan membusungkan dada atas kesaktiannya. Hubungan mereka bertiga menjadi baik. Bahkan Ki Palaran sempat menceritakan siapa Hantu Tari dan Nyai Paras Murai itu.

"Paras Murai adalah bekas kekasihku," kata Ki Palaran agak malu-malu, namun masih kelihatan ketegasan dan kewibawaannya. "Kami tak jadi melanjutkan hubungan cinta karena orangtua kami saling bermusuhan. Walau sekarang aku dan Paras Murai sudah sama-sama tidak mempunyai orangtua, namun hubungan cinta sudah telanjur putus dan sepertinya kami sama-sama enggan menyambung kembali di usia setua ini."

Dungu Dipo masih bersandar di pohon sambil duduk melonjor seakan menunggu pulihnya tenaga yang terkuras habis karena amukannya itu. Sementara Suto Sinting sendiri masih tampak diam, mengikuti cerita Ki Palaran yang tentunya punya pengetahuan cukup banyak di rimba persilatan.

"Paras Murai mempunyai murid Windari, yang kemudian bergelar Hantu Tari, karena jurus-jurus yang diajarkan Paras Murai menyerupai sebuah tarian. Hantu Tari sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan penguasa Muara Singa. Dia adalah adik sepupu Ratu Purnama Laras, anak dari adik ayahnya Ratu Purnama Laras, ia diangkat murid oleh Paras Murai sejak berusia sebelas tahun."

Setelah Ki Palaran berhenti bicara, Suto segera ajukan tanya, "Lantas, persoalan apa yang membuat Hantu Tari mendendam kepada Dungu Dipo?"

"Persoalannya berkait," jawab Ki Paiaran. "Hantu Tari mempunyai kekasih bernama Windu Jati, orang Lumpur Maut. Windu Jati diutus oleh penguasa tanah Lumpur Maut untuk membunuh Ratu Purnama Laras. Waktu itu, Dungu Dipo sebagai pengawal terdepan sang Ratu. Dungu Dipo berhasil membunuh Windu Jati yang kala itu datang bersama rombongannya berjumlah tujuh orang, di luar rombongannya itu ikut pula Hantu Tari sebagai pendamping sang kekasih. Melihat kekasihnya mati di tangan Dungu Dipo, Hantu Tari mengamuk, lalu berhasil dicederai oleh Dungu Dipo. Sekujur tubuhnya terbakar dan kecantikannya hilang, kemulusannya pun rusak, hal itu membuat Hantu Tari sangat sakit hati. Namun berkat perawatan gurunya, Hantu Tari bisa kembali seperti sediakala. Kini saatnya ia menuntut balas atas kekalahannya tempo hari."

"Aku tak tahu kalau dia sudah dibekali 'Racun Murka' oleh gurunya," sahut Dungu Dipo dengan suara parau, masih malas bicara namun dipaksakan.

Ki Palaran melanjutkan kata, "Tetapi sejak terputusnya hubungan cinta antara Hantu Tari dan Windu Jati, tak ada lagi hubungan Hantu Tari dengan orang-orang Lumpur Maut. Tetapi pada umumnya, orang-orang Muara Singa masih menyangka bahwa Hantu Tari di pihak orang-orang Lumpur Maut."

"Tapi," kata Suto, "Sebelum aku tiba di sini, kulihat Nyai Paras Murai dan Hantu Tari terlibat pertarungan dengan Tandu Terbang."

Ki Palaran cepat pandangkan mata ke arah Suto, demikian pula Dungu Dipo, seakan terkejut mendengar nama Tandu Terbang disebutkan. Bahkan Dungu Dipo menyatakan sikap tertariknya dengan bertanya, "Lantas bagaimana?"

"Hantu Tari terluka, dibawa lari oleh Nyai Paras Murai. Tapi pihak Tandu Terbang masih mengejarnya."

Dungu Dipo yang tampak tegang memandang gurunya, seakan ia ingin mendengar pendapat sang Guru tentang Tandu Terbang itu. Tetapi karena keduanya sama-sama diam, Suto pun kembali ceritakan pertemuannya dengan Batu Sampang.

"Kala itu kutemukan delapan orangnya Batu Sampang terkapar karena terkena racun dari Tandu Terbang. Tapi aku berhasil menolong mereka, dan Batu Sampang mengharapkan kedatanganku ke Muara Singa."

Dungu Dipo menyahut, "Kalau saja kutahu waktu itu kau adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting, maka aku tak akan gegabah melawanmu. Karena memang Ratu Gustiku sangat mengharapkan bisa jumpa denganmu. Tentunya kalau beliau mendengar aku menyerangmu, aku akan kena hukum cambuk entah berapa puluh kali. Sejujurnya kukatakan padamu, bahwa kau sangat ditunggu-tunggu oleh Ratu Gusti Purnama Laras."

"Apa persoalannya?"

"Tak bisa kuceritakan," jawab Dungu Dipo yang sejak tadi bicaranya lancar tanpa salah arti. Mungkin pengaruh dari luapan murkanya yang sudah tercurah habis tadi, sehingga pikirannya mulai bisa berpikir dengan benar, mampu menyusun kalimat dengan tepat. Itu pun tidak disadari oleh Dungu Dipo. Sampai kapan ia dapat berbicara sesuai dengan arti sebenarnya, tak ada yang tahu. Yang jelas, bila ia dalam keadaan kelelahan ia mampu bicara dengan arti yang benar. Tapi jika tak mengalami kelelahan, sepertinya ia tak mampu menyusun kalimat sesuai dengan maksud hatinya.

Dungu Dipo berkata lagi, "Ada baiknya jika kau menghadap Ratu Gustiku. Kau akan dihormati sebagai tamu agung oleh beliau."

"Itu soal gampang," kata Suto. "Tapi aku ingin tahu lebih dulu, apa hubungan Ratu Gustimu dengan gadis gila yang bernama Palupi?"

"Bisa kutanyakan, eh... bisa kau tanyakan setelah kau bertemu dengan Ratu Gustiku."

"Mengapa kau tak berani menjawab pertanyaanku itu?"

"Takut kurang jelas bagimu. Tapi setahumu..., eh... setahuku, gadis gila itu tak ada hubungannya dengan Ratu Gustiku, sebab kami mengetahui gadis itu baru beberapa hari yang lalu, yaitu ketika ia berteriak-teriak didepan pintu gerbang mengatakan akan menjual Pedang Kayu Petir kepada siapa saja yang mau membelinya. Gadis itu segera diusir oleh penjaga pintu gerbang. Penjaga pintu gerbang sempat bocor kepalanya karena dilempar batu oleh gadis gila itu. Ratu Gusti Purnama Laras mendengar teriakan gadis gila yang menawarkan Pedang Kayu Petir, lalu menyuruh kami untuk menghadapkan gadis itu. Tapi... gadis itu malah lari sehabis melukai kepala si penjaga pintu gerbang. Kami ditugaskan mencari dan membawanya pulang ke Muara Singa. Hanya itu yang kau tahu, eh... yang kutahu tentang gadis tersebut."

"Apakah ceritamu itu bisa kupercaya?"

Dungu Dipo diam sejenak, lalu angkat bahu, "Terserah padamu. Aku tidak memaksamu untuk mempercayai ceritaku. Karenanya kusarankan agar kau temui saja Ratu Gustiku supaya dapat penjelasan lebih lengkap lagi tentang gadis itu dan Pedang Kayu Petir."

Ki Palaran menimpali, "Tak ada jeleknya jika kau mau menghadap Ratu Purnama Laras. Mungkin banyak hal yang dapat kau ketahui dari beliau."

"Apakah menurutmu," kata Suto kepada Dungu Dipo, "Gadis gila itu benar-benar mempunyai Pedang Kayu Petir?"

Ki Palaran yang menjawab, "Namanya saja orang gila, tentunya celotehnya tidak selalu benar. Lebih banyak mengacau bagai orang mengigau. Pedang Kayu Petir sudah bertahun-tahun dinyatakan hilang dari permukaan bumi. Beberapa orang tokoh sakti tak ada yang berhasil menemukan pedang itu dalam teropong indera keenamnya. Kurasa gadis gila itu tak mempunyai Pedang Kayu Petir. Sebab jika dia mempunyai pedang pusaka tersebut, maka ia sudah menjadi orang terkenal di kalangan rimba persilatan. Orang setinggi apa pun jika melawannya akan tumbang. Kenyataannya sampai sekarang tak pernah ada berita lagi tentang pedang pusaka tersebut."

Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala, ia diam sesaat, setelah itu memandang Ki Palaran dan bertanya, "Apakah Ki Palaran tahu siapa orang yang ada dalam Tandu Terbang itu?"

KI Palaran tarik napas panjang-panjang, setelah itu baru menjawab dengan suara pelan tapi terdengar jelas oleh Suto dan Dungu Dipo. "Tandu Terbang dulu pernah mengamuk dan membunuh orang-orang yang berpihak kepada Gandar Soca, penguasa daerah Lumpur Maut yang berjuluk Raja Tumbal. Menurut kabar, Raja Tumbal pernah berselisih dengan Pendita Arak Merah dan berhasil membunuh adik Pendita Arak Merah dari Tibet itu. Padahal Pendita Arak Merah mempunyai murid Tandu Terbang dan Sri Maharatu dari pulau Dadap. Kedua murid ini punya tugas membalaskan kematian adik Pendita Arak Merah, sehingga perselisihan pun terjadi antara Raja Tumbal dengan Tandu Terbang dan Sri Maharatu. Tapi yang tampak getol menyerang adalah Tandu Terbang. Untuk beberapa saat Raja Tumbal sempat menghilang dari rimba persilatan, sehingga Tandu Terbang pun tidak tampakkan gerakannya. Ternyata Raja Tumbal menghilang untuk pelajari beberapa ilmu kesaktian yang dapat mengungguli Pendita Arak Merah. Mungkin sekarang Tandu Terbang mendengar Raja Tumbal bangkit kembali, sehingga tugas dari sang Guru pun harus dikerjakan sebaik-baiknya."

"Tapi mengapa dia punya urusan dengan Hantu Tari juga?"

"Kurasa itu urusan pribadi, atau karena Tandu Terbang masih menyangka Hantu Tari ada di pihak Raja Tumbal," jawab Ki Palaran dengan nada bijaknya.

Suto manggut-manggut sebentar, setelah itu berkata lagi, "Sri Maharatu pernah kulihat wajahnya, tapi Tandu Terbang tidak kulihat wajahnya saat bertarung melawan Hantu Tari."

"Tak seorang pun yang pernah melihat wajah orangdalam tandu merah itu."

"Bagaimana kalau aku menduga, bahwa orang dalam tandu itu adalah Pendita Arak Merah sendiri?"

Ki Palaran terkesiap memandang Suto. Ia sedikit tegang namun bercampur rasa bangga dalam hati yang disembunyikan. Dalam gumam lirihnya ia terdengar berkata datar, "Baru sekarang ada orang yang punya dugaan seperti itu. Selama ini aku sendiri tak membayangkan hal tersebut yang menurutku sangat besar kemungkinannya. Karena semangat menghancurkan Raja Tumbal begitu besar dan semangat biasanya ada di dalam jiwa orang yang merasa dirugikan pribadinya, misalnya orang yang kehilangan sanak-saudaranya karena dibunuh Raja Tumbal."

Dungu Dipo ikut terbengong mendengar dugaan Suto. Ia berkata, "Itu sebuah pemikiran yang bagus sekali. Tak pernah kudengar ada orang yang mempunyai dugaan seperti itu. Aku jadi yakin, di dalam Tandu Terbang itu terdapat sosok seorang guru berilmu tinggi dari Tibet yang bernama Arak Merah."

"Aku jadi ingin membongkar tandu itu," ujar Suto Sinting setelah diam dan menerawang beberapa saat.

"Jika tak ada urusan, jangan sekali-sekali mengganggu Tandu Terbang," kata Ki Palaran. "Ilmunya sangat tinggi. Kurasa jika aku harus berhadapan dengannya, belum tentu aku bisa menumbangkan si Tandu Terbang itu. Sebaiknya jangan bikin perkara dengannya, hindari bentrokan dengan si Tandu Terbang."

Dungu Dipo segera menimpali, "Lupakan tentang Tandu Terbang. Sekarang sebaiknya kau datang ke Muara Singa. Ratu Gusti Purnama Laras pasti akan senang hatinya menerima kedatanganmu. Setidaknya aku akan mendapat penghormatan dari beliau, mungkin sebuah hadiah, jika aku datang bersamamu."

Rasa ingin tahu yang ada di dalam hati Suto Sinting semakin besar, terutama tentang Palupi dan Pedang Kayu Petir itu. Karenanya, Suto Sinting segera bergegas mengikuti Dungu Dipo menuju ke negeri Muara Singa setelah Ki Palaran kembali ke pondoknya di lereng Gunung Cemara Putih. Harapan Suto, setelah bertemu dengan Ratu Purnama Laras ia bisa peroleh keterangan tentang Pedang Kayu Petir yang sebenarnya.

"Jangan katakan bahwa kau pernah bertemu dengan gadis gila itu," kata Dungu Dipo.

Kata-kata itu membuat Suto Sinting menjadi heran dan menaruh curiga, sehingga meluncurlah pertanyaan dari mulutnya, "Mengapa begitu? Apa akibatnya jika kuceritakan tentang hal yang sebenarnya kualami bersama Palupi?"

"Pokoknya jangan ceritakan soal Palupi. Berlagaklah pura-pura tidak bertemu dengan gadis gila itu. Aku takut Ratu Gustiku akan menaruh curiga padamu, Suto. Dikiranya kau telah berhasil memiliki Pedang Kayu Petir."

Suto hanya tersenyum dan manggut-manggut. Sebenarnya jika Pendekar Mabuk tidak berbelok arah untuk saksikan pertarungan Dungu Dipo dengan Palupi, ia dapat jumpai pertarungan hebat antara Nyai Paras Murai. Tandu Terbang berhasil mendesak Nyai Paras Murai, sehingga hampir-hampir Hantu Tari hancur menjadi sasaran pukulan tenaga dalam yang dilancarkan dari dalam tandu. Untung Nyai Paras Murai cepat-cepat lindungi muridnya, hingga punggungnya menjadi sasaran telak sinar putih dari salah satu keenam lubang di bagian atap tandu.

Jika Hantu Tari menjadi lemas dan tak berdaya karena terkena sinar putih perak, maka Nyai Paras Murai pun hampir-hampir mengalami nasib serupa. Untung ia segera mampu kendalikan hawa murni dalam tubuhnya, sehingga darah dan napasnya membaur dengan hawa murni itu, lalu melawan luka yang ditimbulkan dari sinar putih perak tersebut. Dalam beberapa saat saja, kekuatan Nyai Paras Murai sudah pulih kembali.

"Keparat kau, Tandu Terbang!" geram Nyai Paras Murai, lalu ia meletakkan tubuh muridnya yang lemas itu. Wajah sang murid yang kian memucat dengan bibir semakin membiru tidak dihiraukan. Nyai Paras Murai segera bentangkan kipasnya lalu melompat ke arah Tandu Terbang dengan gerakan bersalto cepat beberapa kali.

Wuuurt...!

Kipas dikibaskan, dari kibasan itu terpancar sinar biru menyebar bagaikan kilatan bintang jatuh di waktu malam. Slaaap...! Sinar itu bagaikan ingin membelah tandu merah dari atas ke bawah. Biasanya sinar seperti itu dapat membelah gunung atau pohon sebesar apa pun. Tetapi kali ini agaknya sinar biru itu gagal menunjukkan kehebatannya.

Dari dalam selubung tandu keluar sinar kuning yang segera pecah dan menyelubungi seluruh tandu. Akibatnya sinar biru itu tak dapat membelah tandu bahkan hanya menimbulkan dentuman dahsyat.

Blegaar...!

Tubuh kurus Nyai Paras Murai pun terpelanting jauh bagaikan kapas terhempas topan, ia berguling-guling di kejauhan sana. Tandu Terbang melihat keadaan Hantu Tari tanpa penjagaan. Maka dengan cepat tandu itu melayang tinggi dan dari ujung kayu pengusungnya yang kiri keluar logam putih seperti saat di puncak bukit cadas itu.

Claaap...!

Pantulan sinar matahari menyilaukan, melesat dari logam putih itu, membuat Nyai Paras Murai mengetahui muridnya dalam bahaya. Maka ia segera menyentakkan kipasnya dalam keadaan tertutup. Suuut...! Dan logam putih itu berhenti di udara dalam jarak dua jengkal sebelum menyentuh dada Hantu Tari. Logam putih itu berbelok arah, lalu melesat ke arah Nyai Paras Murai.

Kipas hitam yang ditutupkan itu mempunyai daya tarik pada logam yang mampu menyedot benda putih berbahaya tersebut. Senjata berbentuk menyerupai ujung anak panah itu melesat cepat ke arah Nyai Paras Murai, namun kipasnya segera dikibaskan ke samping ketika benda itu mendekatinya. Wuuut...! Benda tajam itu terlempar ke arah lain dan menancap di sebuah pohon.

Jraab...!

Blaaar...! Ledakan dahsyat kembali terdengar. Benda putih berkilap itu menghancurkan pohon tersebut menjadi serbuk coklat yang menyerupai pasir menggunung di tempat di mana pohon itu tumbuh. Dapat dibayangkan seandainya tubuh Hantu Tari yang terkena senjata, logam seperti pucuk panah itu, mungkin mayatnya tak akan bisa dimakamkan karena menjadi serbuk halus seperti pohon tersebut.

Clap, clap, clap, clap...!

Nyai Paras Murai menghujani sinar biru kilat dari ujung kipasnya ke arah Tandu Terbang. Dengan begitu, Tandu Terbang dibuat terdesak dan kebingungan menghindari serta menangkis hujan petir dari ujung kipas tersebut. Tandu Terbang sempat dibuat mundur beberapa langkah jauhnya. Kemudian tiba-tiba tandu itu melepaskan sinar hijau dari dua kayu pengusung bagian depannya.

Slaaap...!

Nyai Paras Murai segera membentangkan kipasnya, lalu kipas itu dilemparkan ke arah dua sinar tersebut. Kipas terbang dengan berputar cepat dan memercikkan bunga api warna merah. Kipas itu menghantam dua sinar hijau tersebut, sehingga dua kali terjadi guncangan hebat karena ledakan yang ditimbulkannya.

Blaar...! Blegaaarrr...!

Ledakan itu membuat Tandu Terbang tersentak dan melesat mundur. Nyai Paras Murai terpental tiga langkah, lalu bangkit berlutut dan menangkap kipasnya yang terbang bagaikan bumerang. Taab...! Dengan cepat ia bergerak menyambar muridnya dan membawanya lari lagi. Tetapi Tandu Terbang masih mengejarnya juga.

* * *

TUJUH
KABUT sore membantu Nyai Paras Murai menghilangkan jejak. Tandu Terbang kebingungan mengikuti arah pelarian Nyai Paras Murai karena kabut sore menebal dan mengganggu pandangannya. Akibatnya, Tandu Terbang bergerak berbeda arah dengan orang yang dikejarnya. Nyai Paras Murai berlari kearah barat, sedangkan Tandu Terbang kearah selatan. Langkah sang Guru yang menyelamatkan jiwa muridnya terhenti di suatu tempat. Wajahnya tampak tegang memandang kanan-kiri dan sekitarnya. Lalu terdengar ia bergumam seorang diri,

"Ini perbatasan negeri Muara Singa?!" Mata tuanya memandang ke arah puncak bukit, samar-samar terlihat olehnya batu hitam berbentuk seperti tungkai kaki manusia yang sebagian tertutup kabut sore. Hatinya yakin betul bahwa ia sudah mendekati wilayah Muara Singa. Gemuruh ombak samar-samar terdengar di sebelah utara.

"Kurasa ada baiknya kutemui Ratu Purnama Laras untuk meminta perlindungan! Di sana aku bisa sembuhkan luka Hantu Tari sebelum ajal menyambutnya lebih dulu. Aku yakin, penguasa Muara Singa tak keberatan jika aku dan Hantu Tari memohon perlindungan dari kejaran Tandu Terbang, toh Hantu Tari masih punya hubungan keluarga dengan penguasa Muara Singa itu!"

Tanpa rasa ragu sedikit pun, Nyai Paras Murai bergegas lanjutkan perjalanannya ke arah barat sambil memanggul Hantu Tari di pundak kirinya. Gerakan cepat itu tiba-tiba terhenti karena kemunculan dua orang berpakaian biru dengan ikat kepala merah dan hijau. Dua orang berbadan tegap itu muncul dari balik kerimbunan semak ilalang yang tumbuh di bawah pohon beringin putih.

"Penjaga tapal batas!" gumam Nyai Paras Murai pelan sekali, tak terdengar oleh dua orang tersebut, karena jaraknya masih tujuh langkah kedepan.

Keduanya kini melangkah tiga tindak, lalu yang seorang menyapa dengan sikap tegas, "Nyai Paras Murai! Aku hapal sekali dengan wajahmu, Nyai!"

"Benar. Aku Paras Murai. Aku ingin menghadap Ratu Gustimu!"

"Siapa yang kau panggul di pundak Itu?"

"Hantu Tari, muridku sendiri," jawab Nyai Paras Murai dengan nada tegas pula. "Izinkan aku lewat dan menemui Ratu Purnama Laras!"

"Tidak bisa!" jawab orang yang satunya, yang memiliki kumis tebal.

"Mengapa tak bisa?! Apakah kalian tak tahu bahwa Hantu Tari adalah adik sepupu Ratu Gusti kailan?"

"Hantu Tari adalah orang Lumpur Maut!"

"Itu dulu, ketika dia berpasangan dengan Windu Jati. Tapi sekarang ia tak punya hubungan apa-apa lagi dengan orang Lumpur Maut! Dia bukan kaki tangannya Raja Tumbal."

"Maaf, Nyai. Saat ini Muara Singa tertutup untuk tamu asing mana pun juga! Dengan menyesal kusarankan kembalilah, Nyai!"

"Aku akan menghadap ratumu apa pun yang ingin kau lakukan padaku!"

"Kalau begitu jangan menyesal jika kami lakukan kekerasan untuk mengusirmu, Nyai Paras Murai!"

"Jika itu kehendakmu, aku siap hadapi kalian berdua!"

"Heaaat...!" orang berkumis tebal melompat lebih dulu sambil cabut goloknya. Lompatannya cukup tinggi dan kakinya berkelebat menendang wajah Nyai Paras Mural. Kaki itu segera ditangkis dengan menyilangkan tangan yang sudah menggenggam kipas dalam keadaan tertutup. Dees...! Lalu, golok si kumis tebal pun menebas ke samping tanpa ragu-ragu lagi.

Wuuut...! Trak...!

Kecepatan gerak membuat kipas itu mampu menahan tebasan golok si kumis tebal. Kipas itu segera memilin cepat dan menyodok pergelangan tangan pemegang golok.

Slaap...! Dees...!

"Auh...!" orang itu memekik, goloknya lepas dari genggaman. Tangannya terasa ngilu dan sulit digerakkan. Seakan tulangnya remuk dan uratnya putus semua akibat sodokan ujung kipas bertenaga dalam tinggi itu. Dalam keadaan orang tersebut menyeringai, kaki Nyai Paras Mural bergerak memutar dan menendang wajah orang tersebut dengan kuat.

Plook...!

"Auu...!" orang berkumis tebal memekik lagi dua kali. Hidungnya langsung berdarah. Tubuhnya terjengkang karena terpental oleh hentakan kaki Nyai Paras Murai itu.

Melihat temannya tergeletak dengan hidung berdarah, orang tanpa kumis segera lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh. Wuuut...! Pukulan tanpa sinar itu hanya bisa dirasakan gelombang tekanannya begitu besar. Nyai Paras Murai segera sentakkan kaki dan tubuh pun melesat ke atas dengan tetap memanggul muridnya. Wuuuk...! Pukulan tenaga dalam tanpa sinar lolos dari tubuh Nyai Paras Murai. Orang tersebut menjadi penasaran, sehingga ia terpaksa mencabut goloknya juga dan menerjang Nyai Paras Murai dengan gerakan golok menebas ke kanan kiri dengan kecepatan tinggi.

Wuung, wuung, wuung...! Suara angin tebasan golok mendengung beberapa kali.

Nyai Paras Murai sengaja undurkan diri beberapa tindak untuk mengatur jarak dengan lawannya. Ketika lawannya daratkan kaki ke tanah, Nyai Paras Murai segera sentakkan kipasnya dalam keadaan masih tertutup. Suuut...! Sodokan kipas itu hasilkan pukulan jarak jauh yang mengarah ke perut lawannya. Pukulan tanpa sinar ternyata tepat kenai sasaran, menghantam keras perut lawannya yang membuat orang tanpa kumis itu terlempar ke belakang dan jatuh berjungkir balik tak karuan gerakannya.

"Uuhgg...!" orang itu mengerang sambil pegangi perutnya yang membekas merah karena dihantam gelombang tenaga dalam dari ujung kipas, ia akhirnya muntah di tempat.

Agaknya Nyai Paras Murai sengaja tidak celakai kedua penjaga perbatasan itu. Ia hanya ingin melumpuhkan kedua orang tersebut dalam beberapa saat saja. Ketika kedua orang itu tak memungkinkan bisa mengejarnya dalam waktu singkat, Nyai Paras Murai segera berkelebat ke arah benteng Muara Singa. Jaraknya yang masih jauh dari perbatasan membuat Nyai Paras Murai terpaksa gunakan ilmu peringan tubuhnya kembali agar mampu bergerak cepat dan lekas tiba di tempat.

"Sebaiknya jangan lewat pintu gerbang," pikirnya. "Di sana aku hanya akan menemui kesulitan yang ditimbulkan oleh para penjaga gerbang. Itu akan membuang waktu saja. Sebaiknya aku melewati tembok benteng agar lekas tiba di depan istana Muara Singa!"

Wuuut...! Tubuh Nyai Paras Murai begitu ringannya melesat ke atas dan hinggap di salah satu pohon dekat dengan bagian atas benteng berwarna hitam abu-abu itu. Dari atas pohon tersebut, Nyai Paras Murai melompat ke tembok benteng, Wuuus...! Dan dalam sekejap ia sudah berada di pelataran istana. Tapi kehadirannya itu dilihat oleh seorang pemanah yang ada di atas benteng.

Zlaaap...!

Sebatang anak panah diarahkan padanya, dan bergerak cepat menuju punggung sang nyai. Namun gerak nalurinya cukup tinggi. Tangannya cepat menyambar kipas dari pinggang, lalu tubuhnya berputar sambil kibaskan kipas ke samping dalam keadaan terbuka.

Wuuuut...! Weeesss...!

Hembusan angin kencang membuat anak panah yang sedang menuju ke arahnya menjadi berbelok arah dan mengenai dinding bangunan lain. Traak...! Anak panah itu patah bagian ujungnya karena menghantam dinding.

"Pencuri! Pencuri masuk! Awaaas...! Pencuri masuk!" teriak penjaga di atas benteng yang gagal memanah Nyai Paras Murai. Teriakan itu segera diteruskan oleh penjaga lainnya, lalu beberapa penjaga segera berhamburan mengepung Nyai Paras Murai dengan senjata terhunus.

Batu Sampang segera muncul dari serambi Istana. Dengan berdiri di anak tangga keenam, Batu Sampang pandangi Nyai Paras Murai yang tampak tak pedulikan kepungan para pengawal istana itu. Mata Nyai Paras Murai segera beradu pandang dengan Batu Sampang, lalu suaranya terlontar lantang,

"Aku mau bertemu dengan Ratu Gusti Purnama Laras!"

"Apa maksudmu mau menemui beliau?"

"Mohon perlindungan!" jawabnya tanpa ragu-ragu. "Muridku; Hantu Tari, dalam keadaan luka parah karena pertarungannya dengan Tandu Terbang. Aku tak berhasil kalahkan Tandu Terbang, ia mengejar kami, dan aku butuh perlindungan dari ratumu! Yang kubawa ini adalah adik sepupu dari ratumu!"

"Kau ingin mengecohkan kami, Nyai Paras Murai?! Kau ingin lakukan penyerangan terhadap Ratu bersama-sama dengan muridmu itu?!"

"Leherku sebagai jaminannya jika aku mendustai kalian!"

Batu Sampang diam sebentar, lalu berseru pada seorang pengawal, "Prasogo! Periksa keadaan Hantu Tari itu, apakah benar dia terluka parah?!"

"Baik!" jawab Prasogo, lalu Nyai Paras Murai meletakkan tubuh muridnya di lantai tangga. Prasogo dibiarkan memeriksa keadaan Hantu Tari. Kejap berikutnya Prasogo berseru kepada Batu Sampang, "Benar! Dia terluka parah bagian dalamnya!"

Batu Sampang kembali diam mempertimbangkan keputusannya. Karena dalam ingatannya, Hantu Tari pernah bertarung melawan Dungu Dipo demi membela Windu Jati, orang Lumpur Maut. Sekarang pun Batu Sampang belum mengetahui nasib Dungu Dipo, karena kedua orang yang berangkat bersama Dungu Dipo sudah pulang ke istana, sedangkan Dungu Dipo belum kembali. Batu Sampang curiga, jangan-jangan Dungu Dipo telah dibunuh oleh Hantu Tari yang dibantu oleh Nyai Paras Murai. Karena itu, Batu Sampang segera ajukan tanya kepada Nyai Paras Murai,

"Di mana mayat Dungu Dipo kau buang, Nyai?!"

"Aku tak tahu tentang mayat itu! Aku tak jumpa dengan Dungu Dipo. Jangan menuduhku membunuh Dungu Dipo! Karena yang kuhadapi adalah Tandu Terbang. Tak menutup kemungkinan Tandu Terbang akan mengejarku sampai kemari!"

Batu Sampang bimbang sesaat. Pancingannya tidak berhasil menjebak Nyai Paras Murai. Kelihatannya ucapan itu memang polos. Batu Sampang melihat keadaan pakaian Nyai Paras Murai yang acak-acakan seperti rambutnya, pertanda habis lakukan pertarungan sengit dengan seseorang. Jika nenek berilmu tinggi itu lari dan sampai meminta bantuan kepada pihak Muara Singa, tentunya musuh yang dihadapi bukan orang sembarangan. Dan orang yang dulu dikenal bikin para tokoh berilmu tinggi pontang-panting adalah Tandu Terbang. Batu Sampang dapat bayangkan keadaan Nyai Paras Murai yang terdesak dan terpaksa tanpa malu-malu menyatakan permohonan perlindungannya.

"Baiklah. Kau dan muridmu kuizinkan temu Ratu Gustiku. Tapi tinggalkan semua senjata, termasuk kipas saktimu itu, Nyai! Jika kau keberatan, tak kuizinkan bertemu dengan Ratu Gustiku!"

"Aku tidak keberatan, asal senjata kami tidak hilang dicuri anak buahmu!"

"Aku yang menjamin keamanan senjata-senjata kalian!"

Setelah dilucuti, Nyai Paras Murai segera dibawa menghadap Ratu Purnama Laras. Mereka bertemu di ruang paseban, tempat pertemuan para tamu dengan sang Ratu yang gemar menghiasi sanggulnya dengan roncean bunga melati. Batu Sampang kerahkan beberapa orangnya untuk memagari ruang pertemuan itu, sebagian ada yang berjaga-jaga di pinggiran ruang pertemuan tersebut. Agaknya Batu Sampang tak mau kehilangan kewaspadaan. Demi keselamatan ratunya ia sendiri ikut berdiri di belakang sang Ratu sebagai penjaga setia.

Ratu Purnama Laras adakah sosok wanita cantik yang tenang dan berwajah manis, selalu tampak ramah kepada siapa pun. Sikapnya tak terlihat angkuh ataupun dingin. Tapi di balik senyum keramahan tersebut, tersembunyi mata hati yang penuh waspada terhadap apa pun yang menimbulkan kecurigaannya. Termasuk berhadapan dengan Nyai Paras Murai, sang Ratu yang kenakan pakaian berjubah hijau muda dari kain sutera transparan itu selalu memperhatikan tiap gerakan sekecil apa pun yang dilakukan oleh tamunya. Bahkan sosok tubuh Hantu Tari yangdigeletakkan di lantai depan gurunya itu juga ikut diperhatikan dengan ekor matanya.

Sambil dengarkan cerita Nyai Paras Murai tentang serangan Tandu Terbang, sang Ratu yang mengenakan perhiasan lengkap dan tampak anggun itu mempertimbangkan kehadiran Hantu Tari. Orang itu sekalipun saudara sepupu tapi pernah dianggap memihak Lumpur Maut, sehingga bagi sang Ratu tidak bisa percaya begitu saja dengan pengakuan Nyai Paras Murai yang mengatakan bahwa muridnya tak punya hubungan dengan Lumpur Maut.

"Alasannya apa kau berkata begitu, Nyai Paras Murai?" tanya sang Ratu.

Maka, Nyai Paras Murai menceritakan tentang hubungan pribadi antara muridnya dengan Windu Jati. Persoalan cinta sang murid diungkapkan di situ, hingga pada akhirnya sang murid merasa harus menjauhi orang-orangnya Raja Tumbal, karena banyak lelaki yang berlomba-lomba ingin menggantikan kedudukan Windu Jati di hati Hantu Tari.

"Raja Tumbal sendiri pernah utarakan ingin peristri Hantu Tari, tanpa peduli istrinya sudah tiga. Tapi Hantu Tari tidak beri jawaban apa-apa kecuali menghilang dari orang-orang Lumpur Maut."

"Tapi mengapa ia masih dimusuhi oleh Tandu Terbang?"

"Karena Tandu Terbang tak mau percaya dengan kenyataan yang ada," jawab Nyai Paras Murai. "Di samping itu, Tandu Terbang memang liar dan ganas!"

Persoalan yang belum ditemukan oleh sang Ratu adalah penyerangan Tandu Terbang terhadap anak buah Batu Sampang. Ratu Purnama Laras mengetahui cerita tentang amukan Tandu Terbang di masa lalu. Tetapi sasarannya bukan kepada orang-orang Muara Singa, sedangkan sang Ratu merasa tidak mempunyai persoalan dengan Tandu Terbang. Sejak menerima laporan dari Batu Sampang, Ratu Purnama Laras selalu memikirkan alasan penyerangan Tandu Terbang terhadap orang- orangnya dengan menggunakan racun itu.

Sang Ratu akhirnya setuju memberikan perlindungan kepada Hantu Tari dan gurunya. Ketika sang Guru telah lakukan penyembuhan terhadap muridnya, Ratu Purnama Laras sempat mengajak Nyai Paras Murai untuk bicarakan tentang penyerangan Tandu Terbang kepada orang-orangnya itu.

"Dendam Tandu Terbang adalah dendam utusan dari sang Guru yang adiknya mati terbunuh oleh kekejaman Raja Tumbal," kata Nyai Paras Murai. "Kebuasan Tandu Terbang tentunya tercurah bagi siapa saja yang dianggap memihak orang-orang Lumpur Maut di bawah pimpinan Raja Tumbal."

"Apakah Tandu Terbang menyangka aku memihak Raja Tumbal?"

"Barangkali saja begitu. Sebab perlu kau ingat, Purnama Laras, bahwa Raja Tumbal adalah Gandar Soca, dan orang yang bernama Gandar Soca adalah kakak dari Raden Ayu Indriakara, ibumu! Tak heran jika Tandu Terbang menyangka orang-orangmu ada di pihak Raja Tumbal karena antara kau dan Raja Tumbal masih punya hubungan darah yang mungkin dikenalinya."

"Apakah Tandu Terbang orang buta, tak bisa bedakan mana yang jahat dan mana yang tidak punya hubungan darah keturunan?"

"Tandu Terbang sudah dicetak menjadi pembunuh berdarah dingin oleh gurunya, sehingga tak peduli keadaanmu bebas dari kekejian Raja Tumbal, tapi karena masih ada hubungan darah, maka ia pun menyerangmu. Penyerang itu pun bisa diartikan sebagai peringatan agar kau tidak turut campur dalam urusannya dengan pamanmu itu; si Raja Tumbal."

"Mestinya tidak dengan cara begitu. Dia bisa datang dan temui diriku secara baik-baik."

"Darah dingin Tandu Terbang tak mengenal bicara baik-baik, Purnama Laras," jawab sang nyai bertindak sebagai orang yang dituakan.

Sementara Nyai Paras Murai berunding dengan Ratu Purnama Laras, di tempat lain Suto Sinting dan Dungu Dipo kebingungan mencari tempat untuk bermalam. Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok di tepi sebuah telaga yang tidak begitu luas. Telaga itu ada di dalam hutan yang banyak ditumbuhi pohon berakar gantung sejenis beringin. Akar-akarnya yang berjuntai dari atas ke bawah menyerupai rambut-rambut raksasa yang cukup menyeramkan pada malam hari. Dungu Dipo mengatakan hutan ini adalah hutan hantu, karena nyaris menyerupai wilayah yang dihuni para hantu.

Pondok di tepi telaga itu ternyata milik seorang petapa berusia sekitar seratus tahun lewat sedikit. Kedatangan Suto dan Dungu Dipo seolah-olah sudah diketahui oleh petapa tersebut, sehingga sang petapa yang berpakaian kain putih lusuh melilit badan itu sejak tadi sudah berada di luar pondoknya. Petapa itu seorang lelaki berbadan kurus, berkepala gundul, namun berwajah teduh, ia menyiapkan lentera di depan pondoknya sebagai penerang jalan, seakan ia tak ingin tamunya terperosok masuk ke telaga di depan pondoknya.

Dengan penuh hormat dan kelembutan petapa itu menyambut kedatangan Suto Sinting dan Dungu Dipo. Ia lebih dulu memperkenalkan diri kepada tamunya. "Nama saya Demang Buwana, Tuan-tuan. Jika Tuan-tuan berkenan, saya persilakan singgah di pondok saya."

"Demang Buwana...?!" gumam Dungu Dipo. "Apakah kau yang dikenal dengan nama Begawan Demang Buwana, Eyang?"

"Tidak salah lagi, memang itulah nama saya."

Dungu Dipo langsung berlutut di depan petapa kurus itu dengan kepalatertunduk penuh hormat. "Maafkan saya, Eyang. Saya tidak tahu kalau Eyanglah yang bergelar Begawan Demang Buwana. Hormat saya haturkan kepada Eyang Begawan."

"Terima kasih, hormatku pun kuhaturkan kembali untukmu, Nak Mas Dungu Dipo," kata sang Begawan yang kemudian memanggil Dungu Dipo dengan sebutan 'Nak Mas' sebagai panggilan hormat untuk orang yang lebih muda darinya.

Suto Sinting sendiri merasa tidak mengenal nama tersebut. Tetapi melihat Dungu Dipo berlutut dan memberi hormat, Suto pun segera ikut-ikut berlutut di depan Begawan Demang Buwana. "Saya pun menghaturkan hormat kepada Eyang Begawan."

Tetapi Begawan Demang Buwana justru segera ikut berlutut dan membungkuk lebih rendah di depan Suto Sinting sambil berkata, "Sayalah yang patut memberi hormat dan sembah kepada Gusti Manggala Yudha Kinasih, Pendekar Mabuk Suto Sinting."

Terkejut Dungu Dipo melihat Begawan Demang Buwana lebih menghormat di depan Suto Sinting. Padahal Suto sendiri juga kaget mendengar sang Begawan menyebutnya Gusti Manggala Yudha Kinasih, sebab sebutan itu hanya dilakukan oleh orang-orang negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib, khususnya para bawahan Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya.

Suto segera sadar, buat orang berilmu tinggi, tanda merah di keningnya itu tidak dapat disembunyikan lagi. Hanya orang yang punya kesaktian tinggi yang bisa melihat bahwa di tengah kening Suto terdapat noda merah kecil, yaitu sebuah tanda yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi sebagai penghormatan tertinggi dan gelar Manggala Yudha Kinasih di kalangan orang-orang alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

Jika petapa tua itu dapat melihat noda di kening Suto, maka Suto pun tahu bahwa petapa itu adalah seseorang yang berilmu tinggi yang kesaktiannya melebihi dirinya sendiri. Terbukti, sebelum Suto dan Dungu Dipo memperkenalkan diri, Begawan Demang Buwana sudah bisa menyebutkan nama mereka masing-masing, padahal mereka merasa baru pertama jumpa dengan sang Begawan.

Hal yang menarik lainnya adalah keajaiban pondok tersebut. Dari luar Suto dan Dungu Dipo melihat pondok itu kecil, sangat sederhana. Mungkin hanya muat untuk ditempati satu orang. Tapi ketika mereka berdua masuk ke dalam, ternyata pondok itu tampak lebar dan bisa digunakan bermalam empat atau lima orang. Itulah yang membuat kedua tamu sang Begawan tertegun kagum.

"Apakah Begawan Demang Buwana masih ada hubungannya dengan nama Nyai Demang Ronggeng?" tanya Suto kepada sang Begawan.

"Demang Ronggeng adalah adik bungsu saya, Gusti Manggala," jawab sang Begawan tetap menghormat kepada Suto.

Sementara itu, Dungu Dipo sempat berbisik kepada Pendekar Mabuk pada kesempatan di mana sang Begawan tidak memperhatikan mereka. "Kau gila, Suto! Begawan Demang Buwana ini orang yang amat disegani di rimba persilatan khususnya oleh golongan hitam, dan ia sangat dihormati oleh aliran putih. Dia itu tokoh sakti yang sudah lama menghilang dari rimba persilatan. Setiap orang ingin jumpa dengan tokoh yang termasuk dikeramatkan oleh para tokoh golongan putih. Tapi kau justru bicara dengan seenaknya dan membiarkan dirimu dihormati setinggi itu oleh beliau. Seharusnya kau yang bersikap sehormat itu kepadanya, bukan terbalik begitu."

"Aku sudah menghormat tapi ia lebih menghormat lagi," jawab Suto dengan kalem, tanpa mau menceritakan mengapa ia dipanggil 'Gusti' oleh sang Begawan.

"Jangan mau dipanggil 'Gusti' olehnya. Kau ini sepertinya merasa lebih tinggi derajatmu ketimbang dia! Kau bisa kena kutuk tujuh turunan kalau tak mau hormat kepadanya, Suto! Ratu Gustiku sendiri tak berani sembarangan sebut nama beliau, karena sangat hormat dan takut. Tidak semua orang bisa bertemu dengan beliau, termasuk Ratu gusti ku sendiri yang sudah bertahun-tahun mencari tapi tidak pernah jumpa dengan beliau. Jadi, kusarankan jangan terlalu ngelunjak dan membiarkan dirimu dipanggil 'Gusti' oleh beliau, siapa tahu beliau hanya menguji rasa hormatmu kepadanya."

Suto Sinting hanya tersenyum geli ditahan. Percakapan kasak-kusuk mereka terhenti karena sang Begawan menghampiri Suto sambil berkata, "Sudah cukup lama saya menunggu kedatangan Gusti Manggala untuk suatu keperluan. Rupanya baru sekarang Hyang Widi mengizinkan kita saling bertemu."

"Apa keperluanmu, Eyang Begawan?"

Sang Begawan menunjukkan sebuah mangkok yang sedang dibawa dengan dua tangan itu. Mangkok tersebut ternyata berisi tuak. Sang Begawan berkata, "Saya ingin meminum tuak ini, tapi menunggu sisa dari Gusti Manggala; Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Silakan Gusti Manggala meminumnya sebagian, baru sisanya saya habiskan."

Dungu Dipo terbelalak bengong. Suto Sinting mulai paham maksud sang Begawan. Meminum tuak sisa dari seorang Manggala Yudha Kinasih merupakan kebanggaan tersendiri bagi para tokoh sakti yang mengenal Ratu Kartika Wangi. Dengan sikap hormat seperti itu, ia akan dapat penghormatan tinggi juga dari Ratu Kartika Wangi dan dianggap sebagai warga Puri Gerbang Surgawi yang akan mendapat bantuan gaib dari sang Ratu jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Maka Suto Sinting pun meminum tuak dalam mangkok itu sebagian, sisanya segera dihabiskan oleh sang Begawan dengan penuh rasa hormat dan berterima kasih sebesar-besarnya. Sedangkan Dungu Dipo meminum tuak dengan mangkok lain yang hanya sedikit dan boleh dihabiskan. Tetapi di dalam hati Dungu Dipo terkagum-kagum melihat Suto Sinting berani memberikan sisa minumannya kepada sang Begawan yang diagung-agungkan oleh gusti ratunya itu.

"Jika Gusti Manggala ingin beristirahat silakan berbaring di ranjang sebelah dalam itu, dan Nak Mas Dungu Dipo silakan berbaring di ranjang sebelah kiri itu. Saya akan berjaga-jaga di depan pintu demi keselamatan Gusti Manggala dan Nak Mas Dungu Dipo."

Jika dilihat dari luar, pondok itu tidak memungkinkan dipakai menempatkan dua ranjang berkasur jerami dengan seprei putih lembut. Tetapi kenyataannya di dalam gubuk yang tampak kecil itu bukan hanya ada dua ranjang, melainkan tiga ranjang dengan satu ranjang berukuran kecil dan layak disebut dipan. Tempat itu kosong. Dipan itulah yang akan digunakan tidur oleh sang Begawan. Dipan itu jauh lebih buruk keadaannya daripada dua ranjang mewah tersebut.

Dungu Dipo sempat heran, dari mana sang Begawan dapatkan dua ranjang bagus itu. Tapi rasa lelahnya lebih mencekam pikiran, sehingga Dungu Dipo lebih mementingkan merebahkan diri untuk melepas lelah ketimbang memikirkan keanehan tersebut.

Pendekar Mabuk tak semudah itu untuk berbaring dan tertidur. Ketika Dungu Dipo mulai terdengar suara dengkurannya, Suto Sinting sengaja dekati sang Begawan untuk memancing percakapan tentang Pedang Kayu Petir.

"Mohon ampun, Gusti Manggala. Sampai sekarang saya masih belum bisa meneropong di mana pedang itu berada. Jika benar apa yang diceritakan oleh Gusti Manggala tentang gadis gila itu, maka besar kemungkinan memang dialah yang memiliki pedang tersebut."

"Siapa sebenarnya Palupi itu sehingga memiliki pedang tersebut, Eyang?"

Sang Begawan tersenyum, "Dalam teropong batin dan jalur lacak sukma, gadis itu tidak bisa diketahui dari mana asalnya. Dia mempunyai pelapis jiwa yang membuat seseorang tak bisa melacak sukmanya dan meneropong batinnya. Mungkin karena dia memiliki pedang pusaka itu maka jati dirinya tak bisa diketahui oleh siapa pun, Gusti."

Suto Sinting sempat berdebar-debar. Agaknya memang benar, Palupi mempunyai Pedang Kayu Petir. Terbukti tokoh sesakti Begawan Demang Buwana sampai tak bisa melacak jati diri gadis itu. Jika demikian halnya, maka besar kemungkinan Ratu Purnama Laras punya maksud tertentu dengan memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Palupi. Barangkali sang Ratu menginginkan agar hanya dialah yang mengetahui di mana pedang maha sakti itu tersimpan aman di tempatnya. Sang Ratu tak ingin gadis itu bicara kepada siapa pun, sehingga perlu mengamankan atau menyembunyikan Palupi dari pergaulan di rimba persilatan. Jika Palupi lebih dulu tertangkap Ratu Purnama Laras, maka akan sulit bagi Suto untuk mendapatkan keterangan langsung dari mulut si gadis gila itu. Jadi Suto harus bisa lebih dulu menemukan Palupi ketimbang Ratu Purnama Laras.

"Lalu bagaimana dengan Tandu Terbang, Eyang Begawan? Apakah bisa diketahui siapa orang yang ada di dalam Tandu Terbang itu?"

"Tandu Terbang itu dilapisi kekuatan yang sukar ditembus mata hati siapa saja, Gusti Manggala. Saya tak mampu memandang ke dalam karena kekuatan batin yang melapisi tandu merah itu sangat kuat!" ujar Eyang Begawan Demang Buwana memberi penjelasan pada Pendekar Mabuk. "Orang di dalam tandu itu mempunyai ilmu yang bukan saja berasal dari tanah Jawa, melainkan dari manca negara pun dimilikinya!"

"Maksud Eyang ilmu dari Tibet juga dimilikinya?"

"Benar. Dan sebagian besar saya rasakan getaran ilmu dari Tibet ada di dalam tandu merah itu, Gusti Manggala."

Tak salah dugaan Suto, pasti si Pendita Arak Merah itu yang ada di dalam Tandu Terbang tersebut. Hati Suto gelisah karena menjadi sangat penasaran ingin menyingkap siapa orang yang ada dalam tandu tersebut, ia tak sabar ingin membuktikan kebenaran dugaannya itu, bahkan kalau bisa dilakukan di depan umum. Masalahnya sekarang adalah, mampukah Suto menyingkap rahasia di dalam tandu tersebut jika ilmu yang dimiliki penghuni tandu itu sangat tinggi, bahkan tak bisa ditembus oleh mata batin sang Begawan?

* * *

DELAPAN
PERJALANAN Suto dan Dungu Dipo dilanjutkan pagi hari. Seandainya saat itu Suto Sinting sendirian tanpa Dungu Dipo dan sudah tahu persis arah Muara Singa, ia akan tiba di sana sebelum malam tiba. Tentunya ia akan gunakan gerak silumannya yang mampu bergerak melebihi kecepatan badai itu. Tetapi karena Dungu Dipo tak mampu bergerak secepat Suto, maka terpaksa perjalanan itu memakan waktu lama, sampai bermalam di pondok Begawan Demang Buwana segala, belum lagi siang harinya masih menempuh jarak yang cukup jauh. Menurut dugaan Dungu Dipo, mereka akan tiba di Muara Singa menjelang petang.

"Itu jika tidak ada halangan. Jika kita ada halangan maka bisa jadi kita akan sampai di tempat pada waktu tengah siang."

"Tengah malam!" Suto membetulkan maksud ucapan Dungu Dipo.

"Lha iya, maksudku tengah malam!" Dungu Dipo yang mulai tak bisa bicara tepat sesuai arti dan maksud hatinya itu tampak ngotot jika mendapat pembetulan ucapan. "Tapi jika kita bisa dapatkan kuda, maka perjalanan kita akan lebih lambat lagi," katanya salah arti.

"Maksudnya lebih cepat lagi, begitu?"

"Memang aku tadi bilang lebih cepat lagi!" Dungu Dipo bersungut-sungut, sedangkan Suto Sinting tersenyum geli sambil buang muka, takut rekannya itu tersinggung jika melihat senyumnya.

"Bagaimana caranya supaya kita bisa dapatkan kuda? Lebih enak jika perjalanan ini ditempuh dengan naik kuda. Kita tak akan capek jika kuda naik kita."

"Kita naik kuda!"

"Iya, maksudku begitu! Jangan menyalahkan aku terus, ah!"

Suto Sinting tak mau melayani kedunguan murid Ki Palaran itu. Suto pun berpikir bagaimana caranya agar secepatnya tiba di Muara Singa tanpa banyak membuang waktu. Namun harapan itu agaknya tidak bisa terlaksana, karena ditengah perjalanan tiba-tiba mereka mendengar suara tangis seorang wanita. Suto dan Dungu Dipo sama-sama saling pandang dan merasa heran mendengar suara tangis seorang perempuan. Mereka segera mendekati sumber suara tangis itu dengan langkah hati-hati dan sedikit tegang.

"Ya, ampuun...?!" Suto Sinting terperanjat demikian pula Dungu Dipo. Ternyata suara tangis itu milik Palupi yang duduk di atas batu bawah pohon.

"Palupi...?!" sapa Suto sambil bergegas mendekati gadis gila itu.

Sang gadis segera hentikan rintih tangisnya. "Kang...!" panggilnya manja, lalu ia berdiri dan memeluk Suto Sinting.

"Ada apa, Palupi?! Mengapa kau menangis di sini?"

"Aku diperkosa orang, Kang," rengek Palupi.

"Hah...?! Siapa yang memperkosamu? Mana orangnya?!"

"Dia... dia pergi! Dia jahat sekali, Kang."

Dungu Dipo menyela tanya, "Orang itu pergi setelah memperkosamu?"

"Tidak. Orang itu justru pergi sebelum memperkosaku! Aku benci padanya!"

Dungu Dipo tarik napas dan dihempaskan panjang-panjang pertanda membuang perasaan jengkelnya. Suto Sinting pun juga menghela napas. Ternyata omongan Palupi tidak harus dipercaya semuanya. Tapi Suto Sinting masih bisa memaklumi karena otak Palupi tak waras sehingga bicaranya melantur tak karuan.

"Ke mana saja kau, Kang? Kucari-cari sampai di lubang semut, kupanggil-panggil dari depan lubang semut itu, tapi kau tidak menjawabnya. Kau kejam, Kang Suto. Kau pergi tanpa meninggalkan pesan padaku."

Sebenarnya Suto ingin membantah bahwa bukan dia yang pergi tapi Palupi yang pergi meninggalkannya. Tapi setelah dipikir-pikir, bantahan itu tak ada artinya bagi gadis gila seperti Palupi. Karenanya Suto Sinting hanya tertawa dalam gumam dan segera memandang Dungu Dipo. Hatinya bimbang, apa yang harus dikatakan kepada Dungu Dipo tentang gadis itu. Suto ingin mengorek keterangan dari Palupi tentang Pedang Kayu Petir, tapi Dungu Dipo pasti mendengarnya. Mau membiarkan Palupi dibawa Dungu Dipo, hati kecil Suto tak rela.

"Kang, ke mana kau akan pergi? Aku ikut, ya Kang?" Palupi bernada manja.

Dungu Dipo menyahut, "Bawa saja dia, Suto. Kebetulan sang Ratu Gustiku ingin sekali berpisah dengan gadis gila itu."

"Berpisah? Maksudmu ingin bertemu, begitu?"

"Memang aku tadi bilang begitu!" sentak Dungu Dipo.

Suto Sinting diam mempertimbangkan langkahnya. Masa bungkam yang sepi itu tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya sinar merah dari balik pohon. Sinar merah itu melesat hendak menghantam punggung Dungu Dipo. Kelebatan cahaya sinar tertangkap oleh ekor mata Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat, Pendekar Mabuk menarik tangan Dungu Dipo ke arahnya.

Wuuut! Bruss...!

Dungu Dipo terlempar ke samping, tersungkur di semak ilalang pendek. Suara makiannya terdengar selintas, namun segera diam dan bungkam. Tawa gadis gila itu terdengar lepas terkikik-kikik, namun juga segera diam dan bungkam, setelah mereka mendengar suara ledakan yang mengguncangkan tanah tempat mereka berpijak.

Blegaaar...! Sinar merah itu menghantam pohon besar di kejauhan sana, membuat pohon tersebut tumbang dengan akarnya mencuat ke atas, jebol dari tanah. Dungu Dipo dan Palupi memandang ke arah pohon itu dengan mata melebar dan mulut melongo bengong.

"Seseorang melepaskan pukulan jarak jauh padamu, Dungu Dipo. Bersiaplah lindungi Palupi, aku akan hadapi penyerang gelap itu."

Dungu Dipo segera membawa Palupi ke bawah pohon untuk berlindung, sementara Suto Sinting berdiri dalam jarak tujuh langkah darinya, mencari tempat persembunyian si penyerang gelap. Telinga batin Suto mendengar suara detak jantung di balik pohon berkulit putih itu. Hatinya menggumam,

"Hmm... ada lebih dari satu orang yang bersembunyi disana! Sebaiknya kupaksa mereka untuk segera tampakkan diri!"

Jurus ' Surya Dewata' digunakan oleh Suto. Dari dua jari tangannya yang menempel di dahi segera disentakkan kedepan. Wuuut...! Dan ujung jari itu melepaskan selarik sinar ungu menghantam pohon tersebut bagian atasnya. Duaaar! Pohon itu langsung bolong, bahkan tiga pohon di belakangnya pun ikut bolong, padahal jarak antara pohon-pohon itu sekitar delapan sampai sepuluh langkah. Kekuatan jurus 'Surya Dewata' memang mampu menembus sampai sekian jauh yang tak akan disangka-sangka oleh siapa pun.

Ledakan keras yang mengguncangkan pohon putih itu membuat tiga orang yang bersembunyi di balik pohon tersebut berlarian melompat ke berbagai arah. Kalau saja Suto tadi arahkan sinar ungunya ke bagian bawah pohon, pasti tiga orang itu mati ditembus sinar ungu tersebut. Namun Suto sengaja hanya ingin memancing keluar orang-orang itu, sehingga sinar ungunya dikenakan ke batang pohon agak ke atas, yang sekiranya jika tembus tak akan kenai tubuh para penyerang gelap itu.

Tiga orang yang muncul dari sana segera berjumpalitan mendekati Suto dengan memperagakan jurus-jurus silat tercepatnya. Mereka tak lain adalah Raseta, Kobar, dan Ki Wirogo. Mereka orang-orang Lumpur Maut yang tempo hari dua di antaranya mau perkosa Palupi.

Melihat wajah Raseta dan Kobar, Palupi menjadi bersungut-sungut jengkel sambil menggerutu keras, "Huuh...! Mereka lagi! Percuma dari dulu tak bisa memperkosaku, mau apa mereka datang kemari? Usir saja mereka, Kang Suto!"

Ki Wirogo tampil lebih ke depan. Raseta dan Kobar ada di samping belakang, masing-masing berjarak tiga langkah dari Ki Wirogo. Mata ketiga utusan Lumpur Maut itu tertuju kepada Dungu Dipo. Sedangkan mata Dungu Dipo pun memancarkan permusuhan dalam memandang ketiga orang Lumpur Maut itu. Bahkan Dungu Dipo lepaskan Palupi dan maju sampai di samping Suto, lalu dengan bertolak pinggang dan berwajah berani, terlontarlah kalimat yang bernada tantangan.

"Wirogo! Apa maksudmu menyerangku dari belakang, hah?! Apakah orang-orang Lumpur Maut sudah takpunya nyali untuk berhadapan denganku secara jantan?!"

Tampak Ki Wirogo menggeletukkan gigi gerahamnya dengan pandangan mata semakin dingin, semakin penuh permusuhan. Kedua tangannya telah menggenggam bagaikan menahan luapan murka yang tidak ingin dilepaskan saat itu. Kejap berikut terdengar suara Ki Wirogo bernada dingin, "Dungu Dipo... berkoarlah sesuka hatimu, karena ajalmu sebentar lagi akan tiba!"

"Biadab kau!" geram Dungu Dipo, tiba-tiba ia sentakkan kedua tangannya ke depan dan melesatlah dua sinar hijau kusam ke arah Ki Wirogo dan Raseta.

Claaap...!

Ki Wirogo yang berdiri tegak itu hanya diam dengan kedua tangan bersedekap di dada. Tapi dari tubuhnya tiba-tiba memancar sinar putih berkilauan, makin lama cepat menjadi lebar, lalu sinar hijaunya Dungu Dipo itu menghantam sinar putih menyilaukan tersebut.

Blaaar...! Ledakan hebat terjadi mengguncang bumi.

Dungu Dipo tersentak ke belakang hingga jatuh terduduk, sedangkan Ki Wirogo tetap di tempat tak bergeming sedikit pun. Sinar putih menyilaukan itu segera redup, mengumpul menjadi satu di tengah dahi, lalu sinar itu melesat ke arah Dungu Dipo yang baru saja bangkit. Sinar putih menyilaukan itu membentuk satu garis lurus dan bergerak dengan cepatnya.

Claaap...!

Saat itu, Suto sedang membujuk Palupi, "Cepat sembunyikan dirimu di balik semak-semak seberang sana. Orang-orang itu berbahaya bagimu. Mereka dapat lukai dirimu seenaknya saja. Cepat sembunyi ke semak sana, ya?"

"Ya, ya...!" jawab Palupi dengan mengangguk-angguk tegang. Maka ia pun segera lari ke semak-semak seberang.

Suto Sinting segera berbalik arah untuk membantu Dungu Dipo menghadapi ketiga utusan Lumpur Maut. Tetapi tak disangka-sangka sinar yang dihindari Dungu Dipo itu melesat lurus dan mengenai pinggang kiri Suto.

Deesss...!

"Ahg...!" Suto Sinting terpental lemas dan jatuh terkulai di bawah pohon. Punggungnya sempat membentur keras batang pohon itu. Ia menyeringai merasakan panas di sekujur tubuhnya terutama bagian dalam. Wajah Suto pun cepat menjadi sepucat mayat. Tubuhnya menggigil dan bagian yang terkena sinar putih itu menjadi hitam hangus sebesar jeruk nipis.

"Suto?! Kau kena?!" Dungu Dipo terkejut melihat Suto menggeliat dengan memeluk bumbung tuaknya.

Ketika Dungu Dipo hendak menolong Suto, tiba-tiba sinar putih dari tengah dahi Ki Wirogo kembali melesat lurus. Claap...! Sasaran empuk jatuh di punggung Dungu Dipo.

Deess...!

"Aaahg...!" Dungu Dipo mengejang dengan tubuh melengkung ke belakang. Lalu ia pun jatuh terkulai di samping Suto Sinting.

Terdengar suara Ki Wirogo berseru, "Kobar, Raseta...! Habisi orang Muara Singa itu, tapi biarkan si Pendekar Mabuk. Jangan usik dia lagi!"

"Baik!" jawab Raseta dan Kobar sambil bergegas maju mencabut senjatanya.

Tetapi tiba-tiba jari tangan Suto masih bisa menyentil ke depan dalam keadaan tubuh setengah berbaring. Taas...! Jurus 'Jari Guntur' ditujukan ke arah Raseta dan Kobar. Rupanya kekuatan tenaga dalam yang terlepas sangat besar, sehingga kedua tubuh yang berjalan dalam jarak satu langkah kurang itu segera terpental kebelakang dan berguling-guling. Kemudian keduanya sama-sama memuntahkan darah segar ketika Dungu Dipo roboh ke depan, nyaris menjatuhi tubuh Suto Sinting. Bruuk...!

"Hoeeek...!"

Melihat kedua anak buahnya berlutut sambil terbungkuk merasakan sakit, Ki Wirogo mencengkeram baju belakang mereka dan menarik mereka hingga berdiri. "Bodoh!" sentaknya. "Habisi sekalian si Pendekar Mabuk itu. Ia sudah tak berdaya karena darahnya sudah dicemari 'Racun Sinar Iblis' tadi! Jangan takut, lenyapkan sekalian Pendekar Mabuk itu!"

"Bba... baik...," jawab Raseta, lalu berjalan terhuyung-huyung dan saling berbenturan dengan tubuh Kobar yang juga berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Di tangan mereka sudah tergenggam golok tajam yang siap dipakai untuk menghabisi nyawa Suto dan Dungu Dipo.

Tiba-tiba sangat di luar dugaan siapa pun, sebentuk bayangan merah menyambar Raseta dan Kobar dengan kecepatan tinggi.

Wuuuut...! Braaak...!

"Aaaahg...!"

"Uuhg...!"

Bayangan merah besar itu membuat Raseta memekik panjang dalam keadaan terjungkal ke belakang dan Kobar mengerang dengan suara tertahan, tubuhnya terkapar berlumur darah. Mata mereka terbeliak dengan mulut ternganga bagai ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya. Raseta sendiri dadanya bolong sampai ke belakang, ia tak mampu bertahan satu helaan napas, lalu roboh tanpa nyawa. Kobar sendiri masih bisa berusaha bertahan sampai dua helaan napas, kemudian roboh dengan dada memar dan leher robek.

Ki Wirogo terperanjat bukan kepalang melihat dua anak buahnya sudah tak bernyawa lagi. Matanya tak berkedip memandang bayangan merah yang menyambar secepat kilat itu adalah Tandu Terbang. Kini benda ganas masih diam di udara dalam ketinggian sebatas manusia berdiri. Tandu Terbang berhadapan dengan Ki Wirogo yang tampak tegang dan menyimpan kecemasan. "Tak kusangka ia muncul juga dalam keadaan seperti ini?" pikir Ki Wirogo.

Sementara itu, kesempatan tersebut dipergunakan oleh Suto untuk membuka tutup bumbung tuaknya, lalu ia meneguk tuak dengan terburu-buru, hingga tuak berceceran membasahi wajah dan dadanya, ia meneguknya lebih banyak dari biasanya, karena jika tidak begitu, maka luka bakar pada bagian dalam tubuhnya akan merenggut nyawa secepat mungkin.

Dengan meneguk tuak, terasa bagian dalam yang panas luar biasa itu menjadi sejuk. Napas pun dapat dihela dengan longgar. Suto segera meminumkan tuak ke mulut Dungu Dipo. Kebetulan mulut itu ternganga-nganga, seperti ikan kekurangan air, karena merasakan sakit. Tak sulit bagi Suto untuk menuangkan tuaknya walau sebagian besar menyiram wajah Dungu Dipo hingga gelagapan.

Melihat Pendekar Mabuk tampak mulai segar lagi, Ki Wirogo semakin menyembunyikan kecemasan yang bertambah besar. Pikirnya, "Melawan Tandu Terbang saja aku belum tentu menang, apalagi jika Pendekar Mabuk ikut turun tangan membalas seranganku tadi. Matilah aku jika begini keadaannya."

Niat untuk melarikan diri timbul dalam benak Ki Wirogo. Tetapi lebih dulu ia akan membuat Tandu Terbang terdesak agar tak mudah menyerang. Maka dengan gerakan kedua tangan merapat di dada, lalu berkelebat ke kanan-kiri secara bersamaan, tangan tersebut segera menyentak ke depan secara bersamaan pula.

Wuuuuk...!

Telapak tangan keduanya menyemburkan api yang cukup besar. Wooosss...! Api itu menyerang Tandu Terbang dalam bentuk dua gumpalan besar yang segera menjadi satu. Api sebesar kerbau menerjang tandu tersebut, tapi terhenti di pertengahan jarak karena munculnya uap putih yang menyembur dari ujung dua kayu pengusung tandu itu. Uap putih itu menjadi satu dan saling menahan gerakan dengan gumpalan api besar. Uap putih itu ternyata uap salju, terbukti rumput di bawahnya menjadi putih dan udara di sekitar tempat itu menjadi dingin sekali, menggigilkan tubuh.

Ki Wirogo memberi bantuan tenaga dorong kepada gumpalan apinya dari jarak empat langkah. Kedua tangannya masih terangkat ke depan, tenaga dalam keluar dari telapak tangan tanpa bentuk dan warna. Tenaga itulah yang digunakan mendorong gumpalan apinya agar maju terus menerjang gumpalan uap salju. Kedua kaki Ki Wirogo tampak gemetar dan tanah yang dipijaknya pun mulai amblas sedikit demi sedikit. Telapak kaki itu sebentar lagi pasti akan terbenam di tanah yang dipijaknya.

Dungu Dipo masih lemas walau sudah tidak merasakan sakit. Suto Sinting segera menariknya agar berdiri, ia lebih segar, lebih cepat kuat kembali ketimbang Dungu Dipo.

"Lihat, Tandu Terbang membantu kita menyerang orang Lumpur Maut!"

"Tap... tapi... sebaiknya kita tinggalkan saja mereka. Jangan sampai kita berhadapan dengan Tandu Terbang!" bisik Dungu Dipo dalam kelemasannya.

"Baik. Kita tinggalkan mereka. Cari si Palupi dulu. Tadi bersembunyi di semak-semak sebelah sana!"

Mereka berdua sibuk mencari Palupi, karena gadis gila itu tak kelihatan di balik semak-semak tempatnya bersembunyi tadi.

"Tadi kusuruh dia bersembunyi di sini! Rupanya karena ketakutan dia bersembunyi di tempat yang lebih aman dan mungkin agak jauh ke sana! Ayo, kita cari dia ke sana!"

Dungu Dipo berlari lamban karena masih lemas, ia mengikuti Suto Sinting yang segera memanggil-manggil gadis gila itu.

"Palupiii...! Palupiii...! Hoi, Palupi di mana kau?! Jawab...!"

"Ah, sudahlah. Tinggalkan saja gadis gila itu. Jangan ceritakan hal ini kepada Ratu. Ayo, lekas kita pergi dari sini."

"Tunggu! Lihat orang Lumpur Maut itu, ia terdesak!"

Ki Wirogo memang terdesak. Tubuhnya terbenam sebatas mata kaki. Tapi ia masih berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong gumpalan api yang berkobar-kobar tiada kunjung padam itu. Sedangkan uap putih pun masih bertahan di depan gumpalan api dalam jarak satu depa. Bahkan secara tiba-tiba, dari gumpalan uap putih itu melesat lima sinar biru bagaikan lidi yang segera menerjang tubuh Ki Wirogo menembus gumpalan apitersebut.

Craap...!

Blegaaar...! Ledakan dahsyat terjadi manakala lima sinar biru menembus gumpalan api. Api itu pecah dan padam seketika. Tapi lima sinar itu masih utuh dan melesat mengenal tubuh Ki Wirogo.

Zraaab...!

"Aagh...!" Ki Wirogo terpekik, tubuhnya mengepulkan asap putih samar-samar bagaikan terbakar bagian dalamnya. Kulitnya tampak mulai mengelupas. Sekalipun demikian ia masih kelihatan berusaha untuk melarikan diri. Tubuhnya melesat ke atas dalam satu hentakan kaki yang terpendam, ia hinggap di atas pohon dalam keadaan limbung. Tandu Terbang berkelebat mengejar sambil melepaskan senjata logam putih mengkilap dari ujung kayu pengusungnya.

Ziiing!

Tapi Ki Wirogo masih bisa berusaha menghindari logam berbahaya yang mirip ujung anak panah itu. Ia melompat dari dahan ke dahan, sengaja berlari melintasi pohon-pohon supaya Tandu Terbang tak bisa mengejarnya dengan bebas. Keadaan lukanya makin lama semakin parah, tapi Ki Wirogo masih bertahan terus sekuat sisa tenaga yang digunakan untuk melarikan diri.

Suto segera membawa Dungu Dipo pergi. "Aku tak bisa berlari cepat," kata Dungu Dipo.

Suto Sinting segera berkata, "Ke mana arah yang harus kita tuju, katakan saja!"

"Lurus ke sana, nanti kita akan menemukan lembah berbunga, dari sana belok ke kiri dan lurus saja maka kita akan sampai ke batas wilayah Muara Singa. Di sana pasti ada dua penjaga yang mengenakan pakaian biru. Lalu..."

Teeeb...! Gerakan tangan Suto sangat cepat menotok samping leher Dungu Dipo. Tubuh orang itu langsung terkulai lemas bagai tanpa urat dan tulang. Suto Sinting segera memanggul tubuh itu di pundak kirinya.

"Maaf, Dungu Dipo... terpaksa kulakukan cara ini supaya kau bisa bergerak secepat gerakanku!"

Zlaaap! Suto Sinting bagaikan menghilang, padahal berlari sangat cepat menggunakan gerak silumannya yang tak mudah dilihat mata telanjang. Dalam waktu singkat ia sudah sampai di lembah berbunga, lalu membelok kekiri.

Zlaaap!

Seperti apa kata Dungu Dipo, di perbatasan ada dua penjaga berseragam biru. Suto Sinting berhasil melewati dua penjaga yang sedang saling berbincang-bincang. Gerakan cepat dari Pendekar Mabuk membuat rambut mereka yang panjang tersentak meriap, tapi mereka tidak melihat sekelebat bayangan yang melintasi depan mereka.

"Angin apa itu tadi?" tanya seorang penjaga kepada temannya.

"Biasa, angin bukit!" jawab yang satunya dengan kalem.

"Sepertinya ada yang melintas di depan kita."

"Ya angin itu tadi yang melintas, kok bingung kamu ini?!"

Lalu mereka kembali ke percakapan semula, sedangkan Suto Sinting menuju titik hitam yang tak lain adalah tembok benteng batu. Beberapa rumah penduduk dilewati begitu saja, dan satu pun dari mereka tak ada yang melihat gerakan Suto Sinting yang memanggul Dungu Dipo. Orang bisa melihat kehadiran Suto Sinting setelah Pendekar Mabuk itu berhenti di depan pintu gerbang dan melepaskan totokan Dungu Dipo.

Tees...!

"Hei, lihat...! Ki Dungu Dipo datang bersama orang tampan!" seru salah satu dari empat penjaga gerbang.

Dungu Dipo yang merasa jengkel terpaksa memendam kejengkelannya, ia hanya melirik Suto dengan cemberut, lalu berseru kepada penjaga gerbang, "Buka pintu! Kami akan menghadap Ratu!"

Pintu gerbang pun dibuka, Dungu Dipo membawa Suto Sinting masuk. Tapi di luar dugaan siapa pun, ternyata pelarian Suto Sinting tadi diikuti oleh Tandu Terbang secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika Suto dan Dungu Dipo masuk melalui pintu gerbang yang dibuka lebar, Tandu Terbang melesat dengan cepat ke dalam benteng, seperti kilatan cahaya merah tak berbentuk.

Zlaaap...! Ketika pintu gerbang sudah ditutup, barulah wujud Tandu Terbang yang merah terlihat oleh mata beberapa pengawal Istana. Tandu itu diam di udara tepat di belakang Suto dan Dungu Dipo.

Seseorang yang melihat kehadiran Tandu Terbang segera berseru dengan tegang, "Tandu Terbang! Tandu Terbang...!"

Yang lain ikut berseru demikian dan saling berlari berhamburan, ada yang segera mencari senjata, ada yang segera mencari tempat untuk bersembunyi. Sedangkan Suto dan Dungu Dipo yang berpaling ke belakang segera tertegun bengong melihat Tandu Terbang diam di udara menghadap mereka.

"Sial! Rupanya kita tadi diikuti olehnya!" gumam Suto Sinting kepada Dungu Dipo yang matanya terbelalak tak bisa bilang apa-apa.

Batu Sampang keluar dari istana begitu mendengar suara gaduh tentang Tandu Terbang. Bahkan NyaiParas Murai dan Hantu Tari yang telah sembuh dari lukanya ikut keluar mendampingi Ratu Purnama Laras. Mereka berdiri di teras istana, sementara Tandu Terbang dan yang lainnya ada di tengah pelataran istana.

"Kepung dia! Jangan sampai lolos!" teriak Batu Sampang memberi perintah kepada para pengawal, dan mereka pun segera mengepung tempat itu serapat mungkin dengan senjata terhunus.

Suto Sinting dan Dungu Dipo ikut terkepung juga karena jaraknya dengan Tandu Terbang hanya lima langkah. Dungu Dipo berseru kepada Batu Sampang, "Aku membawa Pendekar Mabuk!"

Batu Sampang tampak sedikit lega, lalu menyampaikan hal itu kepada sang Ratu. Sementara itu, Suto membisik di telinga Dungu Dipo menyuruhnya bicara dengan sang Ratu.

"Biar kutahan Tandu Terbang di sini, jika ia ingin membuat ulah, aku yang akan menghadapinya. Suruh orang-orangmu menjauh agar tak timbul korban sasaran. Lekas!"

Dungu Dipo segera menghadap sang Ratu dan menyampaikan pesan Suto Sinting. Sang Ratu memandang dengan senyum berseri, pertanda hatinya tenang, bahkan berbunga indah melihat wajah Pendekar Mabuk yang terkenal tampan itu. Ia hanya berkata kepada Dungu Dipo dan Batu Sampang, "Lakukan apa pun perintah Pendekar Mabuk!"

Hantu Tari menyahut, "Lebih baik kita serang bersama-sama saja! Tandu Terbang berilmu tinggi dan sangat berbahaya jika hanya dihadapi oleh satu orang saja, Purnama Laras!"

"Kerjakan apa pun yang diperintahkan Pendekar Mabuk!" ulang sang Ratu dengan tegas.

Maka Dungu Dipo dan Batu Sampang pun memberi isyarat kepada para pengawal agar menyingkir jauh-jauh dan membuka kepungan mereka. Mereka justru menjadi penonton pertarungan yang menegangkan antara Pendekar Mabuk yang namanya sedang kondang itu dengan Tandu Terbang yang dikenal sebagai sosok tokoh misterius beriimu tinggi. Suto Sinting mencoba menatap tandu itu mencari celah untuk dapat membongkar kain penutup tandu. Namun pada saat itu ia mendengar suara serak berbisik yang tak jelas suara lelaki atau perempuan.

"Jangan ikut campur urusanku. Ini bukan kejahatan, tapi menegakkan keadilan. Pergilah, biarkan aku berhadapan dengan Purnama Laras!"

Suto Sinting kaget, lalu segera berkata dalam hatinya, "Rupanya orang di dalam tandu itu berbicara lewat batin, ia mampu mengirimkan suara batinnya ke gendang telingaku. Hebat juga orang ini!"

Tandu Terbang ingin bergerak ke teras istana, tapi Suto Sinting segera mengibaskan bumbung tuaknya dengan kecepatan tinggi. Bumbung tuak itu dihantamkan pada salah satu sisi kayu pengusung tandu. Trak...!

Wuuusss...! Tandu merah itu berputar cepat dalam keadaan di tempat. Pukulan itu bertenaga dalam tinggi dan membuat tandu terpelanting memutar bagaikan gangsing.

Seet...! Tapi Tandu Terbang pun tunjukkan kebolehannya yang mampu berhenti dengan mendadak walau masih berputar cepat, ia berhenti tepat pada keadaan semula, yaitu menghadap ke arah Suto Sinting.

Pendekar Mabuk mendengar kiriman suara dari dalam tandu, "Aku tak mau melawanmu. Jangan bodoh, Pendekar Mabuk. Urusanku dengan Purnama Laras adalah urusan pribadi, jangan melibatkan diri."

"Jelaskan persoalannya!" seru Suto yang didengar oleh yang lain. Tapi mereka yang berada dalam jarak terdekat dengan Suto pun tidak dapat mendengar suara orang yang ada di dalam tandu merah itu. Agaknya suara itu khusus dikirimkan untuk Suto Sinting.

"Istana ini adalah istanaku, Pendekar Mabuk. Aku berhak merebutnya dari kekuasaan Purnama Laras. Ayahku, raja di sini. Ketika aku lahir, ibuku yang bernama sang Paramita meninggal dunia. Beliau adalah rakyat negeri Puri Gerbang Surgawi di bawah kekuasaan Gusti Ratu Kartika Wangi. Kau pasti kenal!"

Bagai kilat menyambar di depan Suto, mata pendekar tampan itu terbelalak seketika. Wajah tegangnya tak bisa disembunyikan, bahkan jantungnya menjadi berdetak-detak kencang. Lidah Suto kelu hingga tak bisa bilang apa-apa.

Tandu Terbang kirimkan suara lagi, "Dalam usia masih bayi, ayahku menikah lagi dengan Raden Ayu Indriakara. Ia seorang ibu tiri yang keji. Ia tak suka denganku. Dalam usia satu tahun, aku dibuang ke hutan Pulau Peri. Tapi inang pengasuh yang disuruh membuangku justru membawaku pergi berlayar. Inang pengasuhku kawin dengan nahkoda kapal dan menganggapku sebagai anak sendiri. Sampai di Tibet aku diserahkan kepada Pendita Arak Merah. Lalu jadilah aku murid sang Pendita yang pertama sebelum kehadiran Sri Maharatu."

Sepi sejenak, Suto memandang orang-orang sekeliling yang juga diam dengan wajah tegang dan hati mereka pun pasti berdebar-debar. Suto menyempatkan diri meneguk tuaknya, lalu menyuruh Tandu Terbang teruskan cerita.

"Raden Ayu Indriakara tak bisa punya keturunan, ia tidak menyesali tindakannya yang membuangku, justru ia lebih suka mengangkat anak. Maka diangkatlah anak seorang petani miskin yang baru saja ditinggal mati kedua orangtuanya karena bencana alam. Anak itu diberi nama Purnama Laras. Ketika Ayah meninggal, negeri ini dikuasai oleh ibu tiriku; Indriakara. Ketika ibu tiriku meninggal, negeri ini diserahkan kepada Purnama Laras. Tapi sebagai anak kandung pewaris negeri ini, aku merasa berhak merebut hak warisku dan menjadi penguasa di Muara Singa. Sebab itu, aku akan berhadapan dengan Purnama Laras!"

Suto berkata, "Aku sanggup selesaikan masalah ini tanpa pertumpahan darah!" suara itu pun didengar oleh mereka yang berdiri tegang memperhatikan Suto, termasuk sang Ratu sendiri. Suto sengaja bicara dengan nada keras, "Hentikan murkamu kepada sang Ratu. Masih ada jalan lain mengembalikan hak warismu atas negeri ini tanpa gunakan kekerasan!"

Sang Ratu menjadi tegang dan heran, ia memandang Hantu Tari dan Nyai Paras Murai. Mereka saling pandang mendengar suara Suto. Tapi tak satu pun ada yang berani bicara. Bahkan yang ingin batuk pun ditahannya mati-matian hingga wajahnya memerah. Terdengar suara Suto berkata jelas-jelas,

"Jika memang kau anak dari permaisuri yang bernama Sang Paramita, keluarlah dari tandu dan perkenalkan wajahmu kepada mereka! Tunjukkan kebenaran dan keadilan yang kau miliki tanpa harus bersembunyi di dalam tandu!"

"Kau bertaruh apa atas kesanggupanmu menyelesaikan persoalan ini tanpa kekerasan?"

Kata Suto, "Jika kau benar anak Sang Paramita yang dibuang oieh ibu tirimu; Raden Ayu Indriakara, sehingga ibu tirimu akhirnya memungut anak petani yang diasuh menjadi anak sendiri itu, maka aku akan bertaruh nyawa untukmu. Aku ada di pihakmu! Apa pun kesulitanmu untuk merebut negeri ini akan kupertaruhkan nyawaku untuk membelamu. Maka, keluarlah dari tandu dan perlihatkan kebenaranmu!"

Hening mencekam, semua memandang Ratu Purnama Laras. Nyai Paras Murai diam dan tampak kepalanya manggut-manggut memandangi tandu merah itu. Ia tahu persis persoalan tersebut, sehingga dalam hatinya membenarkan ucapan Suto. Bahkan Nyai Paras Murai tiba-tiba melangkah turun tangga dua baris dan berseru,

"Jika benar kau anak dari Sang Paramita, aku pun akan berpihak padamu!"

Kasak-kusuk mulai terdengar bergemuruh seperti suara lebah. Suara kasak-kusuk itu diam seketika setelah Nyai Paras Murai berseru lagi,

"Jika kau anak Sang Paramita, kau pasti bisa tunjukkan noda hitam pada bagian tubuhmu yang menjadi tanda sejak lahir. Aku tahu persis noda hitam itu, karena dulu aku adalah dukun bayi yang membantu melahirkan anak Sang Paramita!"

Suasana hening mencekam sesaat. Tiba-tiba Ratu Purnama Laras berseru dari tempatnya, "Jika benar kau punya tanda hitam sebagai anak Sang Paramita, maka kaulah orang yang kutunggu-tunggu untuk kuserahi kekuasaan ini. Karena aku sadar bahwa aku hanyalah anak angkat dari Raden Ayu Indriakara. Aku sadar ada orang yang lebih berhak mewarisi negeri ini ketimbang diriku. Aku hanya mempertahankan agar negeri ini tidak jatuh di tangan orang yang bukan pewaris sebenarnya! Buktikan bahwa kau anak Sang Paramita!"

Wuuut...!

Sekelebat bayangan melompat dari dalam tandu merah, menerobos kain penutup namun tidak membuat kain itu robek atau terbuka, ia bagaikan menembus kain penutup itu dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Suto.

"Palupi...?!" pekik Suto karena kagetnya melihat orang yang muncul dari dalam tandu ternyata adalah Palupi yang kini mengenakan pakaian jubah ungu, rambut lebih tertata rapi, wajah lebih bersih, dan kecantikannya lebih menonjol.

Bukan hanya Suto yang terkejut, tetapi beberapa orang yang pernah melihat gadis gila menawar-nawarkan Pedang Kayu Petir juga ikut terkejut dan tak menyangka bahwa tandu merah itu ternyata adalah Palupi si gadis gila. Tanpa bicara sepatah kata pun, Palupi segera berbalik arah memunggungi Suto Sinting, lalu menyingkapkan sisa rambutnya yang tergerai itu, ia menunjukkan noda hitam yang ada di tengkuk kepala.

Nyai Paras Murai memeriksanya sebentar dan menjadi yakin bahwa Palupi adalah anak Sang Paramita, istri pertama penguasa negeri Muara Singa. Sengaja Nyai Paras Murai tadi tidak menyebutkan di mana letak noda hitam itu, sebab jika disebutkan bisa dibikin secepatnya di dalam tandu pada tempat yang sama. Tapi ternyata tanpa disebutkan tempat noda itu, Palupi dapat tunjukkan tempatnya yang tepat, sehingga Nyai Paras Murai tidak sangsi lagi.

"Benar! Dia memang anak Sang Paramita!" kata Nyai Paras Murai kepada Ratu Purnama Laras.

Sang Ratu pun menjawab, "Jika begitu, memang dialah orang yang kutunggu selama ini! Dialah yang mempunyai hak atas negeri ini!"

Palupi segera mengibaskan tangannya sekelebat, tandu merah pun lenyap dengan meninggalkan kepulan asap tipis setelah menyala terang sekejap. Rupanya dengan kibasan tangan seperti itulah ia memunculkan dan menghilangkan tandu selama ini. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin hal itu bisa dilakukan Palupi yang nama kecilnya adalah Galuh Puspanagari.

Ratu Purnama Laras menerima kedatangan Palupi dengan bijak dan berjiwa besar, ia pun bersedia undurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Palupi tanpa harus melalui banjir darah lebih dulu. Justru orang-orang menaruh rasa hormat dan salut atas sikap yang diambil oleh Ratu Purnama Laras. Sekalipun kini ia tidak menjadi ratu lagi, namun Palupi tetap memohon agar Purnama Laras mau mendampinginya sebagai penasihat dalam memimpin negeri tersebut.

Kepada Suto, Palupi sempat berbisik, "Sayang orangtua angkatku sudah meninggal karena wabah penyakit di tengah lautan, sehingga aku diserahkan pada guru Pendita Arak Merah. Jika tidak, akan kubanggakan kau di depan orangtua angkatku itu. Tapi... terlepas dari semua ini, aku mengucapkan terima kasih atas caramu menyelesaikan persoalanku ini, dan... aku tak ingin mendesakmu untuk memperkosaku, karena semua itu sebenarnya hanya kepura-puraanku guna menyelidiki kekuatan lawan-lawanku."

Suto Sinting tersenyum, "Lalu bagaimana dengan Pedang Kayu Petir itu?"

Palupi hanya memandangi Suto dengan senyum manis yang sukar diartikan.

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.