Serial Pendekar Mabuk
Asmara Berdarah Biru
Karya Suryadi
Asmara Berdarah Biru
Karya Suryadi
SATU
CAHAYA langit senja berwarna tembaga. Seolah-olah atap bumi itu sedang dipanggang api raksasa yang menebarkan panas kemana-mana. Namun nyatanya warna merah tembaga di langit tidak membuat pemuda tampan berbadan kekar itu menjadi hangus. Padahal sudah sejak tadi ia berada di tempat terbuka, ia bertelanjang dada, duduk bersila di atas sebongkah batu datar warna hitam. Kedua tangannya menengadah ke kanan-kiri. Kedua tangan itu masing-masing menyangga dua bongkahan batu yang masing-masing ukurannya sebesar gentong.Otot-ototnya saling bertonjolan, membuat dadanya tampak keras bagaikan baja. Lengannya pun membengkak karena otot yang dikeraskan sejak tadi. Tapi tak setetes keringat pun yang keluar dari pori-pori kulit tubuhnya.
"Pengerasan otot dan pengerahan tenaga untuk jurus ini tidak boleh menggunakan kekuatan luar. Tetapi kekuatan batinmu yang harus bekerja untuk mengeluarkan tenaga sebesar gunung."
Seorang lelaki tua berkata begitu kepada si pemuda tampan tersebut. Lelaki tua berjubah kuning dengan pakaian dalamnya berwarna hijau itu mempunyai rambut sepundak. Rambut, jenggot, dan kumisnya berwarna putih uban. Wajahnya berkesan bijak, tegas, dan berkharisma tinggi. Lelaki tua itulah yang dikenal dengan nama si Gila Tuak. Dia adalah gurunya Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Dan tentu saja pemuda tampan yang bersila di atas batu dengan telanjang baju itu tak lain adalah murid si Gila Tuak sendiri.
Rupanya kali ini Pendekar Mabuk sempatkan diri 'pulang kandang' untuk beberapa saat. Perjalanannya keliling rimba persilatan dalam memburu Siluman Tujuh Nyawa telah membuat Suto perlu berkunjung ke kediaman gurunya, sekalian beristirahat menyusun langkah barunya. Dan pada saat itulah Gila Tuak merasa perlu menurunkan satu ilmu lagi kepada muridnya sebagai tambahan bekal untuk sang murid.
"Sebenarnya jurus 'Sentuh Sentak' ini harus sudah kau pelajari dari dulu. Tapi aku lupa memberikannya, karena banyaknya ilmu yang kuturunkan padamu," kata si Giia Tuak sebelum jurus 'Sentuh Sentak' diturunkan kepada Pendekar Mabuk.
Hati sang murid sinting berdebar girang. Sekalipun ia sadar jurus yang akan diturunkan oleh gurunya itu adalah jurus yang tersisa, alias jurus yang ketinggalan, tapi Suto merasa cukup gembira. Setidaknya jurus itu akan menjadi pelengkap dari sekian banyak jurus sakti yang sudah dimilikinya. Maka dengan wajah berseri-seri penuh semangat, ia mengikuti langkah sang Guru saat membawanya ke tempat yang berbatu-batu. Pepohonan mengitarinya dalam jarak dua puluh tombak berkeliling. Tempat itu menjadi suatu tempat yang menyerupai arena berlatih dengan pagar dikelilingi pepohonan hidup berdaun lebat.
"Jurus yang ini lain dari yang lain, Suto."
"Maksudnya bagaimana, Guru?"
"Kekuatan batin yang disalurkan melalui kekuatan otot dapat menghasilkan sebentuk kekuatan tenaga yang mampu menghancurkan bagian dalam tubuh lawanmu. Tanpa menggunakan kekerasan. Seakan tidak membutuhkan gerakan cepat, namun cukup dengan sekali sentuh lawanmu bisa terluka bagian dalamnya. Karena itu dalam latihan nanti kau tidak boleh menggunakan napas keras. Tapi gunakan kekuatan batin untuk mengencangkan otot-ototmu, sedangkan napasmu harus bisa tetap teratur. Seakan kau sedang tidur."
"Aneh juga ilmu ini, Guru. Aku sangat ingin segera bisa menguasainya."
"Tidak boleh dengan nafsu," potong sang Guru. "Untuk menguasai jurus 'Sentuh Sentak' hati kita harus tenang dan bersih, tidak boleh dikuasai oleh nafsu atau keinginan yang menggebu-gebu. Sebab keinginan yang menggebu-gebu hanya akan membuat pancaran kekuatan batinmu tidak terarah."
Itulah sebabnya sebelum mengawali berlatih jurus 'Sentuh Sentak', Pendekar Mabuk diperintahkan untuk lakukan semadi sehari-semalam. Pendekar Mabuk lakukan perintah itu tanpa ada rasa kesal atau gerutu dalam hati, sebab hal-hal seperti itu memang sering dialaminya jika ingin menerima pelajaran dari si Gila Tuak.
Latihan itu dimulai dari terbitnya matahari sampai tenggelamnya sang surya. Pada mulanya Pendekar Mabuk hanya duduk bersila, kedua tangannya menengadah ke samping dan masing-masing dibebani batu sebesar kepalan tangannya.
Menyangga batu sebesar kepalan tangan tanpa menggunakan tenaga otot merupakan hal yang mudah bagi siapa saja. Tetapi jika tiap hari ganti hari ganti pula ukuran besar batu di tangannya, siapa orangnya yang akan sanggup menyangga tanpa menggunakan kekuatan otot? Namun toh Pendekar Mabuk mampu lakukan itu; menyangga batu yang makin lama makin besar dengan kekuatan batin dan pemusatan pikiran sangat tajam.
"Tujuh hari sudah kau lakukan latihan beban. Sekarang kau harus lakukan latihan tanpa beban, tapi rasanya seperti menyangga beban paling berat, melebihi berat batu terakhir yang kau gunakan kemarin," kata Gila Tuak kepada sang murid di pagi hari berikutnya.
Latihan tanpa beban tapi menggunakan kekuatan tenaga batin merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Dari pagi hingga sore, Suto harus duduk bersila dengan kedua tangan menengadah ke samping dan mengerahkan tenaga batin, seakan sedang menyangga batu sebesar bukit. Pada hari pertama latihan tanpa beban, Suto mengalami kegagalan. Sampai matahari mau tenggelam, ia masih belum merasakan menyangga beban berat. Akibatnya yang diperoleh hanyalah rasa pegal pada kedua sikunya.
"Ke mana pikiranmu? Aku tidak melihat kekuatan batin tersalur dari batinmu!" Giia Tuak menegur dengan sikap memarahi sang murid. "Sekalipun aku ada di tempat jauh, memandangimu dari tepian sungai sana, tapi aku melihat semburan tenaga batinmu sama sekali tidak ada. Pikiranmu tidak terpusat pada satu titik kekuatan batin, Suto!"
Pendekar Mabuk tundukkan kepala, "Memang, Guru." ia tak bisa menyangkal kata-kata sang Guru.
"Mengapa justru pancaran dendam yang kulihat memancar dari dalam batinmu! Mengapa begitu, Suto?!"
"Tiba-tiba aku terbayang wajah musuhku, Guru!"
"Durmala Sanca, maksudmu?"
"Benar, Guru. Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa membayang terus dalam ingatanku, sehingga batinku memancarkan dendam dan kejengkelan. Aku gemas sekali dan ingin buru-buru mencarinya lagi, Guru!"
Gila Tuak menarik napas, mencoba memaklumi perasaan muridnya yang sudah lama mengejar-ngejar Siluman Tujuh Nyawa, sang tokoh aliran hitam yang sering dijuluki manusia paling sesat itu. Si Gila Tuak pun berkata kepada muridnya dengan memunggungi sang murid.
"Itu memang tugasmu; menghancurkan kelaliman, meleburkan manusia sesat demi menyelamatkan umat manusia di bumi. Tetapi seharusnya kau bisa mengendalikan pikiranmu dan bisa menempatkan kapan saatnya kau berpikir tentang Siluman Tujuh Nyawa, kapan saatnya kau memusatkan pikiranmu dan pelajaran ini! Kelak jika jurus 'Sentuh Sentak' ini mampu kau kuasai dengan baik, Durmala Sanca pun bisa kau tumbangkan dengan jurus ini! Tanpa harus menggunakan gerak pukulan keras, cukup kau tepuk pelan saja dia akan hancur dari dalam."
Dalam dada Suto Sinting terasa ada yang bergolak. Sesuatu yang bergolak itu adalah semangat yang secara tak sadar telah dibakar oleh penjelasan Gila Tuak. Semangat untuk menghancurkan Siluman Tujuh Nyawa membuat Suto Sinting akhirnya berlatih kembali dengan lebih tekun dan lebih keras, ia bahkan minta waktu satu hari khusus untuk bersemadi menenangkan pikirannya agar terpusat pada kekuatan batinnya.
Gila Tuak sudah menduga, "Kalau dia tidak diganggu oleh pikiran dendamnya, dia dapat selasaikan pekerjaan ini dalam waktu singkat. Mudah-mudahan saja sekarang dia sudah mampu mengendalikan daya pikirnya."
Dugaan sang Guru memang benar. Jika bukan Suto Sinting, tak mungkin dapat selesaikan pelajaran jurus 'Sentuh Sentak' dalam waktu satu bulan. Kekuatan batin Suto yang sudah terlatih sejak dulu mempercepat selesainya pelajaran tersebut, sehingga Gila Tuak merasa bahwa jurus itu sudah merasuk dalam jiwa muridnya.
"Tepuklah batu itu!" perintahnya untuk menguji kemampuan sang murid.
Pendekar Mabuk segera menepuk batu sebesar anak sapi dengan gerakan pelan. Sebelumnya Gila Tuak sempat berkata, "Pusatkan batin dan pikiranmu untuk menghancurkan batu itu menjadi beberapa bagian, terserah kehendakmu mau menjadi berapa bagian!"
"Aku paham, Guru!"
Maka, bagaikan melakukan gerakan menepuk dengan malas-malasan, batu itu pun dijadikan kelinci percobaan. Pluk...! Pendekar mabuk menepuknya dan batu itu pun retak dalam waktu dua helaan napas kemudian.
Kraaak...!
Ternyata batu itu terbelah menjadi empat bagian, sehingga Suto pun membatin, "Jumlah belahan-nya sama dengan keinginan batinku! Gila! Ini ilmu ringan yang mengandung bahaya sangat besar!"
Pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu tersenyum bangga. Tapi sang Guru tetap memandangi batu tanpa senyum, kemudian menatap Suto dan berkata dengan penuh wibawa,
"Masih kurang!"
Tentu saja sang murid terbengong dan memendam rasa kecewa. Menurutnya gerakan tepuk pelan pada batu dan bisa batu terbelah menjadi empat bagian seperti yang dikehendaki batinnya, adalah suatu gerakan jurus yang sudah hebat. Tapi nyatanya sang Guru mengatakan: masih kurang.
"Lalu bagaimana seharusnya, Guru?" tanya Suto setelah menarik napas menyimpan rasa kecewanya.
"Seharusnya batu itu pecah atau terbelah setelah hatimu mengatakan: 'harus terbelah'. Sebelum hatimu mengatakan: 'sekaranglah saatnya terbelah', batu itu tak boleh terbelah lebih dulu."
"Jadi... jadi harus bisa diatur kapan saatnya batu itu terbelah setelah kutepuk. Guru?!"
"Benar! Dan kau harus mengikat batu itu dengan kekuatan batinmu setelah kau menepuknya. Ikatan batin itu kau lepaskan jika sudah waktunya kau kehendaki batu itu terbelah."
"Alangkah sukarnya?"
"Karena kau belum melakukan dan belum mencoba maka kau bilang sukar! Bukankah sejak kecil kau kudidik untuk tidak bilang 'sukar' terhadap suatu pekerjaan sebelum kau mencobanya dan menemui kegagalan sampai tiga kali?!"
Pendekar Mabuk nyengir dan garuk-garuk kepala, ia membenarkan kata-kata gurunya. Memang seharusnya ia tidak mengatakan hal itu adalah sesuatu yang sukar sebelum ia mencoba dan menemui kegagalan sampai tiga kali. Karena itu, Suto Sinting pun mulai mencoba apa yang seharusnya dilakukan dalam penggunaan jurus 'Sentuh Sentak' itu.
Dengan tambahan waktu lima hari, jurus 'Sentuh Sentak' itu akhirnya benar-benar dikuasai oleh si murid sinting itu. Sekalipun demikian, senyum Gila Tuak nyaris tak terlihat, padahal Suto berharap sang Guru tersenyum dan merasa bangga terhadap kemampuan sang murid. Gila Tuak hanya tersenyum sangat tipis dan manggut-manggut samar.
"Bagus. Kau sudah berhasil. Tetapi ingat, jangan gunakan jurus itu untuk melawan orang yang tidak punya salah padamu. Jurus itu hanya bisa digunakan untuk orang yang bersalah padamu atau diam-diam mempunyai kesalahan padamu. Jika orang tak punya salah padamu, lalu kau gunakan jurus itu untuk mencelakai orang itu, maka jurus itu tidak akan berguna sedikit pun. Tepukanmu hanya sebatas tepukan tangan tanpa kekuatan tenaga batin! Mengertikah kau, Muridku?!"
"Mengerti, Guru!" jawab Suto Sinting dengan sikap lebih dewasa dari hari-hari sebelumnya.
"Tahukah apa yang harus kau lakukan sekarang ini, Suto?"
"Makan, Guru!"
"Makan melulu pikiranmu!" gerutu sang Guru dengan bersungut-sungut.
Suto Sinting nyengir sambil mengusap-usap perutnya yang melilit lapar. Gila Tuak berkata, "Sekarang yang harus kau...."
Zuuubbb...!
Sesuatu berkelebat ke arah Gila Tuak, membuat ucapan Gila Tuak terhenti. Benda yang bergerak cepat dari arah belakangnya itu segera dihindari dengan gerakan kepala membungkuk ke depan sambil berseru, "Awas...!"
Dengan membungkuknya Gila Tuak, benda yang meluncur cepat itu menjadi mengarah ke dada Pendekar Mabuk. Gila Tuak bagaikan menyerahkan urusan itu kepada sang murid, sehingga dengan gerak tangkasnya Suto Sinting segera memiringkan badan dan mengelebatkan tangannya ke depan.
Teeb...!
Sesuatu yang bergerak itu kini terjepit di antara dua jari tangan Suto. Dengan wajah tegang Suto Sinting memandangi benda tersebut yang ternyata sebatang paku berwarna hitam baja. Panjang paku itu seukuran sekelingking orang dewasa. Ujungnya runcing dan memancarkan sinar hijau kecil mirip kunang-kunang.
"Suto, kejar orang yang menyerang kita dari kerimbunan seberang sungai itu! Dia adalah lawan utamamu!"
"Maksud Guru... dia adalah Siluman Tujuh Nyawa?"
"Benar. Karena hanya Siluman Tujuh Nyawa yang mempunyai senjata 'Pasak Iblis' itu! Dan ia menggunakannya hanya dalam keadaan terpaksa, jika lawannya sukar ditumbangkan."
Dada Suto Sinting lebih berdetak dari semula. Melihat gurunya diserang orang saja sudah cukup membuat dada terasa panas, apalagi mendengar si penyerangnya adalah Siluman Tujuh Nyawa, tentu saja dada Suto Sinting terasa ingin pecah karena memendam kemarahan besar.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk pun segera melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kilat itu. Sungai lebar diseberangi dengan lompatan dari batu ke batu yang nyaris tak bisa terlihat mata siapa pun.
Sementara itu, di seberang sungai ada bayangan hitam yang bergerak dengan kecepatan sama seperti kecepatan Suto Sinting, itulah gerakan jubah hitamnya Siluman Tujuh Nyawa, karena hanya tokoh sesat itu yang mempunyai gerakan cepat nyaris sama dengan gerakan Pendekar Mabuk.
"Durmala Sanca! Tunggu aku...! Hadapi aku, Keparat!" teriak Suto Sinting menggema kemana-mana.
Zaaab...! Bayangan hitam itu tiba-tiba bergerak bagaikan menghilang. Suto tahu, Siluman Tujuh Nyawa mempunyai kemampuan masuk ke alam gaib, sehingga saat itu sang tokoh sesat itu dapat dipastikan berlari menghindari kejaran Suto Sinting, masuk ke alam gaib.
Pendekar Mabuk segera mengusap keningnya. Noda merah pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu, dapat digunakan untuk masuk ke alam gaib. Tetapi di alam gaib pun Suto kehilangan jejak lawannya lagi. Yang ditemui bukan Siluman Tujuh Nyawa, tapi Iblis dan setan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut. Suto Sinting penasaran, melesat keluar dari alam gaib dan mencari lawannya yang diduga sudah keluar dari alam gaib saat ia menyusul masuk ke alam tersebut.
Itulah saatnya Pendekar Mabuk mulai mengembara lagi. Sasarannya adalah sang tokoh sesat itu, tapi yang ditemuinya lebih sering orang sesat tanggung. Tapi dengan munculnya bayangan Siluman Tujuh Nyawa dalam ingatan Suto selama mempelajari jurus 'Sentuh Sentak' itu, apakah itu suatu pertanda bahwa kali ini ia akan berhasil berhadapan lagi dengan Siluman Tujuh Nyawa dan melakukan pertarungannya yang terakhir? Mungkinkah bayangan yang muncul dalam ingatan Suto kemarin itu adalah perlambang bahwa kali ini pertarungannya dengan Durmala Sanca akan menghasilkan suatu keputusan; siapa yang mati di antara mereka berdua?
"Celaka! Aku akan menghadapi kesulitan cukup berbahaya jika bumbung tuakku kosong begini! Ah, sayang sekali waktu aku pergi tidak sempat mengisi bumbung tuak ini. Padahal kulihat Guru masih menyimpan tuak di sudut belakang. Dan lagi... uh, perutku lapar sekali. Kalau tiba-tiba ada musuh bagaimana? Kalau aku terpaksa mati di tangan musuh, alangkah menderitanya mati dalam keadaan lapar dan kekurangan tuak?!"
Pemuda tampan berdada bidang itu membatin dalam perjalanannya.
* * *
DUA
PERUT kosong masih bisa ditahan, tapi bumbung tuak kosong tak bisa lagi dibiarkan. Karena bumbung tuaknya sudah kosong, maka Pendekar Mabuk sempatkan diri singgah di sebuah kedai. Pemuda berambut lurus lewat pundak itu masuk ke kedai tersebut dengan tenang. Ada lima bangku kosong lengkap dengan mejanya. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih berikat pinggang merah itu mengambil tempat duduk agak ke tengah. Beberapa pasang mata para pembeli yang sudah lebih dulu ada di kedai itu saling memandangi si pemuda yang datang membawa bumbung tuak.Beberapa orang saling berbisik, "Itu yang namanya Suto Sinting, kan?"
"Mungkin saja. Tapi kok dia nggak sinting kayak si Parmin, ya?"
"Parmin itu bukan sinting, tapi memang gila sejak dalam kandungan. Eh, ternyata orangnya biasa-biasa saja, ya? Kupikir yang namanya Suto Sinting itu berbadan besar, punya otot saling bertonjolan, wajahnya sangar dan... pokoknya menyeramkan. Eh, ternyata malah seperti anak kemarin sore, ya?"
"Biar begitu muda tapi ilmunya tinggi lho. Hampir sama dengan tingginya ilmu Ki Wuyung Rabi! Kalau dipikir-pikir, Ki Wuyung Rabi itu usianya sudah mencapai tujuh puluh delapan tahun. Tapi bocah muda itu punya ilmu bisa menyamai Ki Wuyung Rabi. Berarti dia kan lebih hebat dari Ki Wuyung Rabi. Iya, toh?!"
Di meja lain ada yang berkasak-kusuk sambil sesekali melirik ke arah Pendekar Mabuk. Yang berbaju kuning berkata kepada yang berbaju hitam, "Sepertinya aku pernah melihat anak muda itu. Siapa dia, ya?"
"Apa kau tak ingat bahwa ciri-ciri pemuda yang membawa bumbung tuak itu tak lain adalah Pendekar Mabuk?!"
"O, iya! Dia yang namanya Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu, ya?" orang berbaju kuning tampak ceria. "Aku mau berkenalan, ah!"
"E, e, eh...! Jangan berani-berani dekati dia lho! Bisa kena kepret modar kau!"
"Memangnya kepalaku ini tungku, kok mau dikepret?! Aku cuma mau kenalan sama dia. Soalnya aku sering mendengar cerita kependekarannya dan aku sangat mengagumi tokoh muda itu!"
Sebenarnya Suto Sinting mendengar kasak-kusuk orang berbaju kuning itu, tapi Suto diam saja dan berlagak tidak mendengarnya, ia memesan tuak dalam cangkir, lalu menyuruh pemilik kedai mengisi bumbung bambu tuaknya sampai penuh.
"Diisi tuak apa air teh, Nak?" tanya si pemilik kedai berusia lima puluh tahun.
"Diisi tuak, Paman. Saya tidak terbiasa minum teh."
"O, ya...! Baik. Sabar sebentar, ya Nak? Tidak terburu-buru pergi toh?"
Dengan senyum ramahnya Suto menjawab, "Sekalian saya istirahat kok, Paman. Saya tidak terburu-buru."
"O, baiklah kalau begitu. Hmmm... apa Kisanak mau menikmati nasi pecel?"
"Kalau ada... boleh!" jawab Suto Sinting bersemangat.
Orang berbaju kuning tadi akhirnya benar-benar mendekati Suto dan menyapa dengan keramahan dan kesopanan seorang pengagum. "Maaf, apakah kau yang bernama Suto Sinting, Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto dengan senyum tipis. "Kau siapa?"
"Aku pengagummu. Namaku; Panurata."
Suto Sinting menyambut uluran tangan si Panurata, mereka bersalaman. Panurata tampak senang sekali menerima sikap ramah Suto Sinting, karena semula ia menyangka Suto Sinting orang yang sombong karena pengaruh namanya yang kondang itu.
"Boleh aku duduk di sini?"
"O, silakan! Aku senang kalau ada teman yang mau kuajak ngobrol."
"Aku tidak mengganggumu, bukan?"
"O, tidak!" Suto tepuk-tepuk pundak Panurata sebagai ungkapan kegembiraan hatinya menerima persahabatan itu.
"Kau mau minum tuak?"
"Terima kasih. Aku memang suka minum tuak."
"Wah, kalau begitu kita bisa semalam suntuk duduk di sini, ya? Aku paling betah ngobrol kalau ada teman minumnya!"
Pendekar Mabuk segera melambaikan tangan kepada pemilik kedai, ia memesan sepoci tuak untuk diminum berdua. Melihat keadaan menyenangkan begitu, teman Panurata yang berbaju hitam jadi ikut bergabung. Suto menerima teman Panurata dengan senang hati pula. Orang itu bernama Kadasiman. Mengaku seorang nelayan yang kehilangan perahunya karena disapu gelombang ombak yang membadai beberapa waktu yang lalu. Panurata pun bernasib serupa dengan Kadasiman; kehilangan perahunya hingga tak bisa bekerja lagi sebagai nelayan pencari ikan.
Tiba-tiba saja Suto merasakan ada perubahan pada dirinya. "Panas sekali badanku?" pikir Suto Sinting. "Wah, bahaya ini! Ulu hatiku rasanya seperti ditusuk-tusuk duri. Sejak berjabat tangan dengan Panurata hawanya panas sekali. Sejak berjabat tangan dengan Kadasiman ulu hatiku seperti ditusuk-tusuk duri. Agaknya kedua orang ini punya cara berkenalan yang berbeda dengan yang lain. Hmm... boleh, boleh!" Suto manggut-manggut sendiri, ia meneguk tuak. Kali ini tuak yang diteguk adalah tuak dari dalam bumbung bawaannya yang baru saja diserahkan oleh pemilik kedai, dan sudah terisi penuh itu.
"Di poci masih ada tuak, kenapa ambil tuak dari bumbung, Suto?" ujar Kadasiman.
"Bau tuak bercampur bambu lebih sedap bagiku," jawab Suto dengan ramah. Padahal ia melakukan pengobatan untuk dirinya sendiri. Terbukti setelah ia menenggak tuak dari bumbung rasa sakit di ulu hati hilang, rasa panas di dalam dada pun lenyap.
"Kudengar namamu makin lama semakin kondang saja, Suto. Tentunya kau sangat bangga punya nama yang dikenal oleh hampir seluruh tokoh rimba persilatan!" kata Panurata.
Suto Sinting tertawa pelan sambil menepuk pundak Panurata. "Jangan punya anggapan seperti itu. Jadi orang terkenal itu malah susah."
"Susahnya?"
"Segala ruang gerak kita diperhatikan oleh masyarakat. Kita mau buang air di pinggir jalan saja pasti dikecam orang. Misalnya aku buang air di pinggir jalan, orang akan bilang; 'Wah, Pendekar Mabuk kok buang airnya sembarangan? Memalukan': Nah, kebebasan kita terganggu, bukan? Coba kalau orang tidak banyak yang mengenalku sebagai Pendekar Mabuk, aku buang air di tengah jalan sekalipun, tidak ada yang mau memberi tanggapan seperti itu. Iya, toh?"
"Ha, ha, ha...! Ceritamu ada-ada saja, Suto!" ujar Kadasiman sambil tertawa seperti halnya Panurata. Tambahnya lagi, "Tapi yang jelas, satu kali lirik delapan gadis yang kau buat jungkir balik, kan?"
Suto menepuk lengan Kasdiman sambil tertawa dan berkata, "Bukan hanya delapan gadis, tapi tiga nenek ikut jungkir balik dan langsung pingsan!"
"Hua, hah, hah, hah, hah...!" Panurata meledakkan tawa yang membuat orang di sekitar situ memandang ke arah mereka.
Kata Suto lagi, "Jadi orang terkenal juga repot. Apalagi terkenal karena kesaktiannya, hhmmm... tak ada amannya!"
"Apa benar begitu?"
"Iya. Di mana-mana selalu dicoba orang. Ilmu kita dicoba oleh mereka baik secara terang-terangan maupun diam-diam!"
Panurata agak salah tingkah walau masih tertawa pelan. Kadasiman tampak sedikit gelisah juga Pendekar Mabuk justru meneguk tuak dari cangkirnya.
"Ada yang berlagak baik, tapi sebenarnya mencoba ilmuku. Ada pula yang berlagak jahat, tapi sebenarnya... memang jahat! Tapi itu semua kuhadapi sebagai latihan sehari-hari. Latihan mempertajam tingkat kewaspadaan."
"Apa benar pernah ada yang mencobamu secara diam-diam?" tanya Kadasiman berlagak tak berdosa.
"O, pernah! Tidak hanya satu kali dua kali, tapi sering. Biasanya aku tidak melayani cobaan itu. Kadang-kadang aku sedikit memberi pelajaran kepada mereka dengan menyalurkan salah satu jurusku yang membuat telinganya berdarah. Namanya jurus 'Sentuh Sentak". Satu sentuhan saja menimbulkan satu sentakan kuat yang tak dirasakan oleh lawanku. Hanya saja, tahu-tahu telinganya berdarah, atau hidungnya yang berdarah."
"Aneh sekali ilmu seperti itu," ujar Kadasiman. Tapi Pendekar Mabuk melihat gelagat Panurata semakin tidak tenang. Ada sesuatu yang ingin diperiksanya, tapi ia ragu-ragu melakukannya.
Suto berkata, "Jurus 'Sentuh Sentak' itu hanya bisa diderita oleh orang yang memang merasa bersalah padaku, atau yang melakukan kesalahan secara diam-diam. Kalau orang itu tidak punya salah padaku, jurus 'Sentuh Sentak' tidak akan bikin ia terluka sedikit pun."
"Apakah itu jurus warisan dari gurumu; si Gila Tuak itu?"
"Ya. Dan itu jarang kupakai kalau aku tidak dicobai orang lebih dulu," jawab Suto dengan tenang sambil memperhatikan perubahan air muka kedua kenalan barunya itu.
Kadasiman tampak lebih tenang dari Panurata. Ia ajukan tanya lagi pada Suto, "Kalau misalnya...!" tapi pertanyaan itu tidak jadi diteruskan. Mata Kadasiman melebar manakala ia melihat ada cairan merah mengalir lamban dari telinga Panurata.
"Panurata, kenapa telingamu berdarah...?!"
Panurata berlagak kaget. Memeriksa telinganya, dan ternyata memang berdarah. Panurata bingung menjawab, hanya senyum-senyum kikuk salah tingkah. Tapi ia segera berkata pula dengan wajah terperanjat, "Kadasiman, telingamu juga berdarah!"
Kadasiman ikut salah tingkah dan beralasan, "Mungkin aku menderita panas dalam!"
Suto Sinting tersenyum lebar, langsung berkata pada pokok masalah sebenarnya. "Kurasa kalian tak perlu mencobai diriku. Akibatnya akan buruk bagi kalian sendiri."
"Hmmm... anu... sebenarnya... anu...." Panurata tak bisa bicara.
Kata Suto lagi, "Kalau mau kenalan denganku tak perlu pakai cara begitu. Nanti malah memperburuk persahabatan. Betul kan, Kadasiman?"
"Iyy... Iya, betul!" jawab Kadasiman yang secara tak langsung mengakui perbuatannya.
"Itu baru kubalas dengan ilmu ringan. Kalau kubalas dengan yang berat dan secara diam-diam, bagaimana? Kalau kusalurkan kekuatanku yang membuatmu jatuh tak bernyawa setelah sampai rumah, kan yang rugi keluarga kalian juga? Benar kan, Panurata?"
"Hmmm... iya, benar juga. Hmmm... maafkan aku, Suto. Aku cuma sekadar ingin menguji apakah aku masih punya ilmu atau tidak."
"Aku juga hanya ingin tahu, seberapa kekuatan ilmuku untuk melukai orang yang terkenal sakti itu," timpal Kadasiman.
Rupanya mereka saling menyadari bahwa sentuhan Suto yang dilakukan sambil bercanda tadi adalah penggunaan jurus 'Sentuh Sentak' yang dilakukan akibat merasa dirinya dicobai. Di dalam hati mereka secara jujur mengakui kelebihan Pendekar Mabuk yang merasa tenang dan tak mengalami luka apa pun. Padahal ilmu yang disalurkan melalui berjabat tangan itu termasuk ilmu cukup tinggi di perguruan mereka; Perguruan Banteng Kedaton.
Setelah mereka meminta maaf kepada Pendekar Mabuk, suasana akrab pun kembali dimiliki oleh mereka. Canda mereka menghadirkan tawa, sampai dua-tiga orang ikut nimbrung. Makin seru canda mereka, makin banyak yang ikut bergabung. Suasana kedai menjadi lebih ramai lagi. Pembeli yang baru datang pun berani ikut nimbrung dalam kelakar mereka.
Sampai akhirnya muncul seorang tamu berperawakan tinggi, tegap, berdada bidang, dan kekar. Lelaki itu mengenakan pakaian biru tua dengan ikat kepala merah. Usianya sekitar tiga puluh tahun, berkumis sedang, bersenjatakan kapak. Ujung kapak itu berbentuk mata pisau yang sedikit melengkung namun tajam sekali. Orang berbaju biru itu langsung menggebrak meja dan berkata dengan lantang,
"Mana yang namanya Suto Sinting?! Kamu...?!" Ia menuding Suto.
"Ya, aku Suto Sinting. Ada apa, Kawan?!"
Orang berbaju biru itu menggeram, matanya memandang penuh permusuhan. Beberapa orang yang ada di situ saling bungkam. Sebagian yang ada di dekat orang tersebut segera menyingkir, takut jadi tempat pelampiasan amarahnya. Bahkan sebagian yang sudah mengenal orang itu segera menjauh seakan tak pernah ikut berkelakar dengan Pendekar Mabuk.
"Hari ini aku minta kepastian darimu, Suto Sinting! Kau atau aku yang mati!"
Pendekar Mabuk justru tersenyum geli, tetap berpenampilan tenang. "Apa masalahnya, Kawan? Mengapa kau langsung tentukan demikian, sedangkan kita belum saling kenal? Kau memang mengenal namaku, tapi aku tidak tahu siapa dirimu, Kawan!"
Sambil menepuk dada mirip menabuh bedug, orang itu menyebutkan namanya keras-keras. "Ini yang bernama Karto Dupak, kalau kau ingin tahu! Akulah orangnya!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu apa urusannya denganku? Mengapa datang-datang kau menantangku begitu?"
"Jelas aku menantangmu, karena kaulah yang menjadi penghalangku untuk mempersunting Muria Wardani!"
Dahi si tampan Suto itu berkerut tajam dengan masih menyimpan sejuta gelinya. Kejadian itu dianggap peristiwa aneh tapi lucu. Tak kenal siapa yang datang, tahu-tahu ditantang adu tanding. Tak kenal siapa Muria Wardani, tahu-tahu dianggap sebagai penghalang orang yang ingin mempersunting perempuan itu. Pendekar Mabuk jadi geleng-geleng kepala sendiri saking herannya.
"Aku tidak kenal dengan nama wanita itu, Karto Dupak," ucap Suto dengan tenang dan suara tetap ramah.
"Tak perlu berlagak bodoh kau, Suto Sinting! Sekarang juga keluar dari kedai ini dan hadapi aku! Kalau kau tak berani menghadapi aku, berarti kau pendekar palsu yang punya nyali seujung kutil! Sekarang juga kutunggu kau diluar!"
"Tunggu dulu. Aku..."
"Keluar kau! Aku menunggu sekarang juga!" bentaknya sambil melangkah pergi.
Suto Sinting terbengong dalam senyuman geli yang tiada surutnya. Semua mata memperhatikan ke arah Suto, seakan menuggu keputusan dan ingin tahu keberanian sang pendekar tampan itu. Tantangan di depan umum sungguh suatu hal yang sulit ditolak buat Pendekar Mabuk. Kalau saja tidak terjadi di depan umum, barangkali Suto Sinting berusaha untuk tidak melayani tantangan Karto Dupak.
Tapi karena terjadinya di depan umum, dan mereka memandang penuh tuntutan atas sikap kesatrianya Suto, mau tak mau Suto pun melangkah keluar menemui Karto Dupak. Mereka pun tampak girang dan setengah bersorak. Masing-masing berlarian keluar dengan penuh harap dapat menyaksikan pertarungan tokoh muda yang sedang kondang itu.
"Apa maunya sebenarnya? Hanya menguji ilmu, atau memang punya unsur dendam pribadi padaku? Tapi aku tak pernah jumpa dengannya dan tak pernah kenal nama Muria Wardani?! Jangan-jangan ini sebuah kesalahpahaman?"
Karto Dupak memilih tempat di luar batas desa. Di sana ada sebuah bukit yang pantas dikatakan sebagai gundukan tanah tinggi. Karena ketinggiannya dapat dicapai dengan sekitar tiga puluh langkah. Kelihatannya Karto Dupak bersungguh-sungguh menghendaki pertarungan tersebut. Repotnya bagi Suto, ia benar-benar tak bisa menghindari tantangan itu. Sebab Panurata dan beberapa orang lainnya berteriak-teriak mengumumkan pertarungan tersebut. Para penduduk desa keluar dari rumah mereka karena tertarik ingin saksikan pertarungan antara Karto Dupak dengan pendekar terkenal; Suto Sinting.
"Hoi, hoi... mau nonton pertarungan apa tidak?! Pendekar Mabuk mau bertarung melawan Karto Dupak!" seru Panurata.
Yang lain ikut-ikutan berlari sambil berseru, "Saksikanlah! Banjirilah! Pertarungan hebat antara Karto Dupak melawan Pendekar Mabuk! Ayo, jangan lewatkan! Kesempatan yang jarang terjadi ini akan menimbulkan kesan tersendiri bagi kehidupan Anda! Saksikanlah beramai-ramai, pertarungan hebat yang akan menggemparkan dunia persilatan! Ayo, ayo... mumpung gratis!"
"Konyol orang itu!" gerutu Suto Sinting, tapi ia tak bisa mencegah sebab orang itu berlari terus keluar masuk gang di antara rumah-rumah penduduk.
Mereka yang tertarik menyaksikan pertarungan itu segera meninggalkan kesibukan masing-masing. Yang sedang mandi, buru-buru handukan dan pakai pakaiannya lalu berkelebat mengikuti rombongan Suto Sinting. Yang sedang menanak nasi, langsung dimatikan apinya. Yang sedang menggendong bayi, langsung dimatikan bayinya, eh... langsung diletakkan bayinya. Akibat banyaknya para peminat, Suto Sinting berjalan menuju tempat yang ditentukan Karto Dupak dengan diarak oleh masyarakat penggemarnya. Tua, muda, kecil... semua ikut mengarak Suto Sinting sambil berseru:
"Suto, Suto, Suto,Suto...!"
"Suto Babat!"
"Husy! Itu soto babat! Plesetan terus kau ini kalau bicara!" tegur seseorang pada temannya yang konyol.
Suto Sinting sendiri membatin, "Wah, kok malah jadi begini?! Pertarungan ini bisa menyebar ke mana-mana dan aku bingung mengambil sikap kalau begini!"
"Kang Suto... Kang... minta cap jempolnya, Kang!" seru seorang gadis remaja yang cantik imut-imut itu.
"Untuk apa cap jempol?"
"Untuk kenang-kenangan, Kang! Aku pengagum beratmu lho, Kang!"
Ada-ada saja. Sempat-sempatnya mereka berpikir mengabadikan cap jempolnya Pendekar Mabuk. Rupanya masyarakat desa tersebut sudah banyak mendengar cerita tentang kehebatan Pendekar Mabuk, sehingga mereka banyak yang mengagumi kehebatan sang pendekar. Suto Sinting menjadi buah pujaan masyarakat desa tersebut, baik yang perempuan ataupun yang lelaki, baik yang muda ataupun yang tua.
Desa itu adalah desa persinggahan yang terletak antara Bandar Pantai dengan wilayah pedalaman. Siapa pun yang mendarat di pantai atau ingin berlayar, selalu singgah di desa tersebut untuk bermalam. Karenanya desa itu cukup padat penduduknya, banyak yang membangun rumah petak untuk disewa-sewakan.
Tak heran jika di desa itu pun ada seorang tokoh tua yang punya nama di rimba persilatan. Tokoh tua itu bernama Ki Wuyung Rabi, dari golongan pengelana yang kini menetap di desa persinggahan itu. Tokoh tua yang usianya hampir mencapai delapan puluh tahun itu berusaha menerabas arak-arakan dan menemui Suto Sinting sambil tetap berjalan.
"Suto Sinting! Aku Ki Wuyung Rabi, pernah ditolong oleh gurumu, Ki Sabawana alias si Gila Tuak!"
"O, salam hormatku untukmu, Ki Wuyung Rabi!"
"Terima kasih. Tapi ngomong-ngomong apa benar kau mau bertarung sama Karto Dupak?"
"Dia menantangku, Ki! Aku sendiri tidak jelas persoalannya! Tapi ia mendesakku agar melayani tantangannya."
"Hati-hati saja! Dia muridnya Nyai Kucir Setan."
"Siapa itu Nyai Kucir Setan?!"
"Tokoh sesat yang baru bangkit dari kuburnya setahun yang lalu. Kabarnya di alam kubur sana ia memperoleh ilmu kesaktian yang amat tinggi, hingga mampu bangkit dari kematiannya yang sudah sepuluh tahun itu."
"Wah, seram juga, Kang!" ujar seorang anak remaja yang mengikuti percakapan itu di belakang Suto.
"Sebaiknya urungkan saja pertarungan ini," kata Ki Wuyung Babi. "Jangan sampai kau berurusan dengan Nyai Kucir Setan. Ilmunya sangat tinggi. Sudah bukan ilmu manusia lagi yang digunakan, namun semuanya serba ilmu setan!"
"Diurungkan...?!" Suto hentikan langkah dan menggumam. Mulai merenungkan usul Ki Wuyung Rabi. Tapi beberapa orang yang mengikutinya saling berseru,
"Ayo, cepatlah! Kau sudah ditunggu Karto Dupak di Bukit Bogel itu, Suto!"
"Iya! Jangan takut. Maju terus pantang mundur, kecuali kepepet!"
"Jangan ragu, Suto! Jangan kecewakan kami. Kami mendukungmu! Hancurkan murid Nyai Kucir Setan yang sering semena-mena terhadap penduduk desa kami ini!"
"Iya, Suto! Habisi saja dia. Kalau perlu dibuat rujak tumbuk sekalian!"
Suto Sinting bingung, seakan masyarakat menuntutnya untuk tetap melangsungkan pertarungan. Malahan ada yang mengejek dari jauh,
"Yeaah... baru mendengar nama Nyai Kucir Setan saja sudah ciut nyalimu! Percuma punya gelar Pendekar Mabuk! Kalau takut, mabuklah dulu, Suto!"
"Iya. Mabuk lagi saja! Mabuk lagi, Suto!"
Serombongan orang berseru dalam lagu, "Mabuk lagiii, ah...! Mabuk lagi...! Tarung lagiii... ah! Tarung lagi!"
Suto Sinting hanya bisa geleng-geleng kepala.
* * *
TIGA
KARTO DUPAK tampak tak sabar. Matanya memandang tajam dan bengis ketika Suto Sinting tiba di depannya. Orang-orang berkerumun mengelilingi mereka membentuk satu arena. Ki Wuyung Rabi juga ada di antara orang-orang itu. Matanya memandang tajam kepada Karto Dupak, memancarkan kebencian yang terpendam. Sedangkan Suto Sinting masih tetap tenang, bersikap tak tegang sedikit pun. Malahan ia sempatkan diri menenggak tuaknya.Glek, glek, glek...!
Orang-orang berseru, "Nah, begitu! Mabuk dulu!" lalu mereka tepuk tangan bersama. Suto Sinting jadi semakin tak enak hati. Ia ingin jelaskan bahwa sekalipun ia minum tuak satu tabung penuh dihabiskan, ia tidak akan mabuk, karena tuak baginya bukan alat untuk mabuk namun obat untuk kesehatan badannya. Kesempatan untuk menjelaskan hal itu tak ada, sebab Karto Dupak sudah mulai bicara dengan nada geram.
"Kalau kau bisa unggul melawanku, aku akan mundur dari pinanganku. Tapi kalau aku unggul melawanmu, aku akan tetap melamar Muria Wardani. Kau mati atau cacat, tak boleh menghalangi lamaranku lagi!"
"Muria Wardani itu siapa? Jelaskan dulu, Karto Dupak!"
"Banyak omong kau! Tentukan saja siapa yang mati. Beres!"
"Tidak. Aku tidak mau awali pertarungan ini jika kau tidak mau jelaskan siapa Muria Wardani itu, sebab aku memang tidak kenal dengannya!"
"Cuih! Lagakmu memang memuakkan. Bikin hatiku makin cemburu dan ingin membunuhmu! Terima saja jurus 'Elang Seribu' ini! Heaaah...!"
Karto Dupak angkat kedua tangannya melewat batas kepala, lalu kedua tangan yang melebar mirip seekor elang ingin menyambar mangsa itu dihentakkan dalam satu hentakan pendek. Deeb...! Dan dari kedua telapak tangan yang membentuk cakar itu keluar serpihan serbuk warna biru mengkilap, mirip percikan bunga api. Zrraaaab...! Serpihan serbuk biru itu menjadi satu dan mengarah pada Suto Sinting, seolah-olah ribuan serbuk beling ingin menerjang pori-pori tubuh Suto. Tapi dengan tenang Suto Sinting memegang tali bumbung tuaknya, lalu bumbung tuak itu diputar ke atas kepala.
Wuuung...! Wuuung...! Wuuung...!
Angin putaran bumbung menyebar, membuyarkan serbuk biru, menerbangkan tiap butiran serbuk hingga menempel pada daun-daun pohon sekeliling mereka. Sementara itu, Karto Dupak sendiri tanpa sadar tubuhnya ikut berputar bagaikan terbawa angin putaran bumbung tuak. Semakin cepat putaran bumbung tuak, semakin cepat pula tubuh Karto Dupak berputar, ia berusaha menghentikannya, tapi sulit sekali mengendalikan gelombang putaran yang terasa amat kuat itu.
Orang-orang tertawa dan bertepuk tangan melihat Karto Dupak berputar-putar seirama dengan ayunan putar bumbung tuak. Mereka tampak kegirangan melihat Karto Dupak dipermainkan Suto Sinting. Bahkan ada yang berseru dengan lantang,
"Putar terus sampai pagiii...!"
Suto Sinting segera hentikan permainan jurus 'Pusar Pusing' itu. Ketika bumbung tuak sudah berada dalam genggaman Suto, tubuh Karto Dupak masih berputar bagaikan masih hanyut terbawa gelombang putaran di sekelilingnya. Orang-orang tertawa sambil menuding-nuding Karto Dupak. Salah seorang berseru,
"Hoi...! Berhenti! Bambunya sudah tidak diputar lagi kok masih mutar terus? Ngigau kali tuh orang, ya?"
Brruk...! Karto Dupak jatuh terpuruk dalam keadaan duduk, ia menggeram karena merasa pusing sekali. Sementara itu, beberapa mata penonton tertuju pada daun-daun pohon di sekeliling mereka. Daun-daun yang terkena serbuk biru tadi saling mengering dan berkeriputan bagai tak pernah kena sinar matahari. Bahkan beberapa helai daun ada yang langsung rontok, seakan sudah lama menjadi kering di atas sana. Berarti jika tadi serbuk biru itu ada yang mengenai kulit manusia, maka kulit orang itu akan berkeriput kering seperti nasib daun-daun pohon tersebut.
"Ayo, bangun! Baru begitu kok sudah loyo?! Bangun, Karto...!' teriak beberapa orang penonton.
Karto Dupak malu sekali dipermainkan seperti itu didepan umum. Ia paksakan diri untuk bangkit dan wajahnya dibuat kian angker, ia menuding salah seorang penonton yang berbaju coklat. "Jangan bangga dulu dengan permainan konyolmu, Suto! Kubalas kau dengan permainan mautku!"
"Hoi, yang dituding kok aku?!" kata orang itu. "Suto Sinting di sana! Di belakangmu!"
"Huah, ha, ha, ha, ha...!" para penonton tertawa geli melihat Karto Dupak salah tuding. Rupanya pengaruh pusing membuat Karto Dupak memandang seseorang dengan mata buram. Begitu dilihatnya baju warna coklat, langsung orang itu disangka Suto Sinting.
Pendekar Mabuk sendiri tersenyum karena tak kuat menahan geli. Pikirnya, "Sebaiknya tak perlu kutanggapi serius. Cukup kuberi berbagai pelajaran konyol saja biar dia jera sendiri dan tak mau menantangku lagi!"
Karto Dupak kejap-kejapkan matanya. Setelah bisa melihat dengan lebih terang lagi, barulah ia menghadap Suto Sinting dan berkata, "Hmm...! Cepat sekali kau pindah tempat. Kau pikir aku heran dengan ilmumu itu?!"
Yang menjawab penonton di belakang Suto, "Siapa yang pindah tempat, orang dari tadi dia di sini kok. Weeee...!"
"Diam kau!" bentak Karto Dupak pada orang yang berani bicara itu. Sebagai pelampiasan rasa malunya, orang itu dihantam dengan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wuuuut...!
Suto Sinting merasakan ada hawa panas melesat menuju orang di belakangnya. Langsung saja Suto ayunkan bumbung tuaknya berkelebat. Wuuus...! Angin dari ayunan bumbung tuak itu bertabrakan dengan gelombang hawa panas yang dilepaskan Karto Dupak.
Duaar...!
"Eh, kuda, kambing, ayam, kalkun, monyet, bagong, petruk, iih... bikin kaget saja!"
Terjadi ledakan tak seberapa kuat namun suaranya cukup mengejutkan, membuat salah seorang penonton yang latah mengoceh tak karuan. Orang itu akhirnya malu sendiri. Karto Dupak semakin jengkel, ia segera melompat menerjang Suto dengan gerakan cepat bagaikan angin berkelebat.
"Heaaat...!" Wuuut...!
Buuuhk...! Pendekar Mabuk tersentak mundur dua tindak ketika tangannya menangkis tendangan telapak kaki Karto Dupak yang menjejak. Rupanya jejakan kaki itu punya tenaga dalam besar, sehingga tangan Suto yang menangkisnya terasa ngilu sekali. Seakan tulang-tulangnya dicekam hawa dingin melebihi dinginnya es balok. Para pengagumnya sempat cemas melihat Suto tersentak mundur.
"Lumayan juga tenaga dalamnya! Kalau aku bertahan untuk tetap di tempat, bisa patah tulang tanganku ini!" pikir Suto Sinting dengan menarik napas untuk menghilangkan rasa ngilu di tulang tangannya itu.
Sementara itu, Karto Dupak bagaikan mendapat semangat untuk menyerang lebih gesit lagi, sehingga kapaknya pun segera dicabut dari pinggang. Wuuut...!
"Sudah bukan saatnya untuk main-main, Bangsat!" geramnya penuh nafsu untuk membunuh.
Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Seorang penonton ada yang berkata, "Lho, mau dibunuh kok malah minum dulu? Benar-benar sinting anak itu!"
Tentu saja kesempatan tersebut dipergunakan oleh Karto Dupak untuk menyerang Suto Sinting yang dianggap lengah.
"Heaaat...!"
Satu lompatan menerjang Suto Sinting. Kapak besar berujung pisau ditebaskan ke arah Pendekar Mabuk, membelah kepala sang pendekar. Wuuung...! Tapi dengan kaki merendah Suto melintangkan bumbung tuak yang buru-buru ditutup itu. Bumbung tuak dipegang dua tangan, lalu kapak itu menghantam bumbung tuak.
Traaang...! Kapak itu bagai menghantam besi baja. Kepala Suto mundur satu sentakan, kalau tidak akan terkena pisau di ujung kapak itu. Dan pada saat itu juga mulut Suto yang masih menampung air tuak belum ditelan segera disemburkan.
Bruuusss...!
"Ha, ha, ha, ha, ha...!" para penonton tertawa, dianggapnya itu sudah kekonyolan Suto Sinting. Kesannya memang seperti meremehkan lawan, tapi sebetulnya semburan tuak itu adalah jurus maut juga yang dinamakan jurus 'Sembur Siluman'.
Karto Dupak terpaku di tempat saat ia menyadari tangannya sudah tidak menggenggam kapak lagi. Matanya membelalak lebar, celingak-celinguk mencari senjatanya. Orang-orang pun ikut mencari dengan pandangan mata keheranan. Tapi Ki Wuyung Rabi tampak tersenyum-senyum saja, karena ia tahu jurus 'Sembur Siluman' bisa melenyapkan senjata atau barang yang terkena semburan tuak tersebut.
"Bangsat kurap! Kau kemanakan kapakku, hah?!" sentak Karto Dupak dengan sangat berang.
"Kapakmu ada di alam gaib. Kupindahkan ke sana karena membahayakan keselamatan orang banyak!"
"Setan cingur! Kembalikan kapakku atau kuhabisi nyawamu dengan jurus andalanku yang kali ini! Kembalikan!"
"Tidak!" jawab Suto sambil menggeleng dan tersenyum tipis.
Tentu saja hati Karto Dupak dongkol sekali, karena merasa dipermainkan untuk bahan tertawaan para penonton. Maka, Karto Dupak tidak mau tanggung-tanggung lagi. Jurus andalannya dilepaskan berupa dua sinar biru yang melesat dari matanya. Claaap...!
Suto Sinting menangkis sinar biru itu dengan bumbung tuak. Sifat kesaktian bumbung tuak itu adalah memantulkan serangan lawan membuat serangan itu dua kali lebih besar dari aslinya dan bergerak lebih cepat. Maka sepasang sinar biru itu pun memantul balik setelah menghantam bumbung tuak tersebut.
Zraaab...! Blaaar...!
Karto Dupak terkejut melihat sinar birunya memantul balik dalam keadaan lebih besar dari aslinya. Keadaan kaget Karto Dupak membuatnya tak sempat menghindar atau menangkis dengan jurus lain. Akibatnya dia menjadi korban senjatanya sendiri. Terhempas melambung tinggi dan jatuh bagaikan nangka busuk dibanting dari pohon setelah terdengar ledakan menggelegar tadi.
Bruukk...! Prook..!
"Aaaa...!"
Bukan Karto Dupak yang menjerit, tapi beberapa penonton wanita yang tidak tega melihat keadaan Karto Dupak. Sebagian penonton memalingkan wajah, tak berani memandang Karto Dupak, karena tubuh Karto Dupak langsung terpotong-potong menjadi beberapa bagian akibat terkena sinarnya sendiri. Potongan tubuhnya bukan dalam keadaan utuh, melainkan dalam keadaan hangus. Barangkali saja sinar biru itu sebenarnya membuat lawannya menjadi hangus. Tapi karena memantul balik lebih besar, akhirnya si korban bukan saja hangus melainkan juga terpotong-potong menjadi beberapa bagian.
"Senjata makan tuan itu namanya!" kata salah seorang kepada temannya. Mereka saling berkasak-kusuk, menggaung seperti ratusan lebah. Sedangkan Suto Sinting diam tertegun dengan wajah penuh sesal. Bahkan sampai Ki Wuyung Rabi mendekatinya, Suto masih diam saja.
"Sudahlah, jangan kau sesali, karena ini sudah kehendak Karto Dupak sendiri."
"Seharusnya tidak perlu sampai begini!" ujar Suto dengan nada pelan, penuh rasa sesal yang amat dalam. "Dia bukan musuh beratku. Dia bukan orang paling berbahaya. Tak perlu pertarungan ini harus memakan korban jiwanya. Seharusnya cukup kuberi pelajaran saja biar ia jera. Tapi..."
"Tinggalkan tempat ini sebelum Nyai Kucir Setan mengetahui kabar kematian muridnya."
"Aku malah ingin temui dia untuk jelaskan perkara kematian muridnya ini!"
"Apakah kau sudah siap menghadapi murkanya?" tanya Ki Wuyung Rabi. "Perempuan itu bukan orang yang mudah diajak bicara, sulit diberi pengertian. Kalau ia murka padamu, kau bisa kewalahan menghadapinya. Salah-salah nyawamu bisa melayang di tangannya! Dia mempunyai beberapa jurus maut yang amat dahsyat dan sukar ditandingi."
"Apa pun jadinya, akan kuhadapi sebagai akibat dari keteledoranku dalam pertarungan ini!"
Ki Wuyung Rabi menarik napas dalam-dalam. Seseorang yang sengaja mendengarkan percakapan itu berkata kepada temannya, "Yang unggul dia kok malah dia yang merasa teledor?"
"Iya. Padahal kita sangat bangga melihat kemenangannya, tapi dia malah tampak menyesal atas kemenangan ini, ya? Aneh sekali dia itu!"
Ki Wuyung Rabi berkata kepada Suto Sinting, "Kalau memang kau ingin temui Nyai Kucir Setan, kau bisa berjalan dari sini ke arah timur. Nanti kau akan jumpai Bukit Kelabang. Di dalam hutan Bukit Kelabang itu kau akan temukan sebuah pondok. Di situlah Nyai Kucir Setan bermukim."
"Kalau begitu aku harus ke sana sekarang. Kubatalkan perjalananku untuk sowan ke pondoknya Resi Wulung Gading."
"Pertimbangkan mana yang lebih penting menurutmu. Yang jelas, aku ingin pergi ke Jurang Lindu untuk temui gurumu, sekadar silaturahmi. Sudah sangat lama aku tidak jumpa gurumu!"
"Guru dalam keadaan baik-baik saja, Ki. Kurasa beliau bisa kau temui di Jurang Lindu. Jika tak ada di sana, mungkin beilau ada di tempat Bibi Guru Bidadari Jalang, di Lembah Badai!"
Pendekar Mabuk berpisah dengan Ki Wuyung Rabi. Ia bergegas menuju ke arah timur, mencari Bukit Kelabang. Tetapi perjalanan itu rupanya ada yang mengikuti dari belakang. Seseorang mengikuti Suto secara diam-diam dengan sesekali menyelinap di balik pohon. Setiap Suto menengok ke belakang, orang itu lebih dulu lenyap di balik persembunyiannya. Gerakannya cepat sekali, sehingga Pendekar Mabuk tak bisa memergoki keberadaan orang tersebut.
"Ilmunya lumayan tinggi," gumam Suto Sinting dalam hati. "Entah apa maksudnya, tapi sejauh ini kulihat ia hanya mengikutiku saja. Mungkin ia akan menjebakku di suatu tempat. Tapi mungkin saja ia sekadar ingin tahu perjumpaanku dengan Nyai Kucir Setan. Yang jelas, orang itu pasti tadi ada di antara para penonton. Hmmm... sebaiknya kujebak dia di balik tikungan itu saja!"
Suto Sinting segera membelokkan arah langkahnya ke tikungan gugusan cadas yang membukit. Orang yang mengikutinya tampak bergegas lebih cepat lagi karena takut kehilangan jejak. Pendekar Mabuk bersembunyi di atas sebuah pohon berdaun lebat. Ia berdiri di antara ranting-ranting kecil, yang jika diinjak manusia biasa akan roboh dan patah. Tapi karena Suto menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka ranting dan daun itu bagai tak mengalami tekanan apapun.
Ternyata yang mengikuti Suto adalah seorang perempuan berjubah hijau tua. Jubahnya dari bahan kain mengkilap dengan hiasan bunga putih kecil-kecil. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, berwajah cantik, berkulit putih mulus. Ia mengenakan pinjung kain jenis sutera transparan warna merah jambu.
Suto Sinting tersenyum geli melihat gadis bertubuh sekal dan berdada montok itu kebingungan mencari mangsanya. Sudah lari ke sana, kembali lagi ke sini. Lari ke tempat datangnya tadi, kembali lagi ke bawah pohon, ia seperti seorang ibu kehilangan anak susuannya. Akhirnya Suto Sinting menampakkan diri ketika gadis itu duduk termenung di atas batu setinggi lutut. Wajahnya tampak sedih dan Suto Sinting tak tega melihat kemurungan di wajah cantik itu. Dengan gerakan cepat menerabas dedaunan tapi dedaunan tidak merasa diterabas, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di belakang gadis itu, agak menyamping. Suto berlagak batuk-batuk kecil membuat gadis itu kaget dan cepat berpaling.
"Kau mencariku, Nona?" sapa Suto dengan senyum keramahan. Gadis itu terperangah sesaat memandangi ketampanan yang menggetarkan hati itu. Namun ia buru-buru kuasai diri dengan menarik napas dan menyunggingkan senyum sinis.
"Aku tidak mencarimu!" katanya. "Kebetulan saja aku kehilangan arah jadi bingung sendiri."
"O, kehilangan arah," kata Suto berpura-pura mempercayai jawaban itu, tapi senyumnya makin lebar pertanda merasa kian geli dengan sikap si gadis yang serba salah. "Kalau begitu aku mengganggu ketenanganmu, ya? Sebaiknya aku permisi saja, Nona! Maafkan kehadiranku ini!"
"Tunggu...!" gadis itu menahan ketika Suto Sinting ingin pergi. Padahal Suto hanya berpura-pura untuk memancing perasaan si gadis.
"Apakah kau tak ingin menolongku?"
"Menolong dalam hal apa?" tanya Suto Sinting dengan nada suara yang lembut dan selalu menyejukkan hati para gadis itu.
"Aku... aku kehilangan arah menuju pulang ke rumah."
"Kau tinggal di mana?"
Sambil menunggu jawaban si gadis, Suto Sinting meneguk tuaknya sedikit sebagai pembasuh mulut dan bibir. Dengan begitu bibirnya tampak ranum segar karena basah. Tentu saja mata si gadis semakin terpana tak berkedip. Ketika Suto tertawa tanpa suara, si gadis baru sadar kalau dirinya telah hanyut dalam kekaguman hatinya sendiri.
"Kutanyakan tadi, kau tinggal di mana, Nona Cantik?"
"Lereng gunung."
"Gunung apa? Di sini banyak gunung. Bahkan gunung yang paling dekat denganku pun ada!"
Wajah gadis itu menjadi semburat merah dadu. Mata pendekar tampan itu nakal. Si gadia jadi malu. Untuk menutup perasaan kikuknya, si gadis buru-buru menjawab, "Aku tinggal di lereng Gunung Siwalan."
"Gunung Siwalan?!" Suto Sinting kerutkan dahi. "Aku baru dengar nama gunung itu. Gunung Siwalan atau Gunung Sialan?"
"Hmmm... yang mana saja, terserah kau!" jawabnya membuat Suto kian perpanjang tawa. Kali ini terdengar seperti gumam memanjang. Gadis itu tundukkan wajah tanda malu perlihatkan senyumnya.
Mata Suto Sinting belum mau lepas pandangi kecantikan yang ada di depannya. Hidung bangir, mata bulat indah, bibir mungil menggairahkan, dada membusung, rambut disanggul kecil di tengah sisanya meriap sepanjang punggung. Ah, semua itu benar-benar rangkaian dari sebentuk kecantikan yang memukau hati. Gadis itu mengenakan gelang hijau giok dan kalung berbandul batuan hijau giok juga dikelilingi oleh butiran mutiara kecil. Perhiasan itu menambah kecantikan yang berkesan mahal bagi mata setiap lelaki.
"Aku tak mengerti di mana letak Gunung Siwalan itu. Barangkali kau bisa kasih tahu ciri-cirinya?"
"Ciri-cirinya... ada pohon, ada batunya, ada..."
"Ada monyetnya?" sahut Suto.
"Tidak ada. Sebab sekarang sedang berada di depanku!" jawabnya sambil tersenyum geli.
Suto perdengarkan tawa sedikit keras namun tampak sopan dan menawan. "Kalau begitu akulah monyet Gunung Siwalan!" kata Suto menambah kelakar di bawah pohon peneduh itu. Tapi dalam hati Suto punya kata-kata sendiri, "Dia ingin mengakrabkan diri denganku. Dia mencoba berkelakar, agaknya suka dengan kelakar seperti itu. Hmm... anak siapa dia sebenarnya kok cantiknya seperti ini? Aku jadi ingat calon istriku: Dyah Sariningrum. Dia juga punya kecantikan seperti ini. Tapi, ah.... rasa-rasanya janggal sekali gadis secantik dia tersesat di tempat seperti ini. Pasti dia punya keperluan denganku."
Kemudian Pendekar Mabuk bertanya, "Siapa namamu, Nona?"
"Menurutmu siapa?"
"Konyol juga si cantik ini!" gumam Suto dalam hatinya. Tawa Suto yang mengguncangkan pundak itu membuat si gadis semakin berani sunggingkan senyum melebar.
"Namaku. Telaga Sunyi."
"Wow! Nama julukan yang cantik sekali. Pas untuk gadis secantik kau!"
Hati sang gadis berkata dalam hati, "Ah, dia selalu bikin jantungku berdebar-debar. Dia pandai memikat hati. Mungkin seribu gadis sudah pernah jatuh dalam pelukannya. Tapi... biarlah, semuanya biar berlalu, dan aku pun barangkali akan berlalu."
Lalu terdengar suara Suto Sinting berkata, "Seandainya aku punya nama seperti itu, akan kuukir pada setiap pohon sepanjang Tanah Jawa ini. Sayangnya namaku tak seindah namamu. O, ya... kau perlu tahu namaku?"
"Sudah tahu! Namamu Suto Sinting, bukan? Kau murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, bukan? Kau punya gelar Pendekar Mabuk, bukan?"
"Rupanya kau lebih banyak tahu tentang diriku. Pasti kau ada di antara penonton yang mengelilingi pertarunganku dengan Karto Dupak tadi!"
"Memang."
"Lalu apa maksudmu mengikutiku? Aku yakin kau punya maksud tertentu! Katakan saja, barangkali aku bisa membantumu!"
"Ayahku sakit. Aku butuh seorang tabib. Kudengar kau juga dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak. Aku ingin mengundangmu datang ke rumah untuk mengobati ayahku. Tapi aku tak berani mendekatimu."
"Kenapa tak berani?"
"Takut kau sangka aku terpikat olehmu dan mengada-ada!"
"Kalau toh benar begitu aku tak akan marah!"
"Ah, tidak sebenar itu! Aku hanya butuh bantuanmu sebagai tabib."
"Sakit apa ayahmu?"
"Kata beberapa orang pintar, beliau terkena Ilmu 'Teluh Cakar Buntung'. Sudah tiga belas tabib yang menanganinya, tapi tak ada yang mampu membereskan ilmu teluh itu."
"Teluh Cakar Buntung'...!" gumam Suto. Lalu tersenyum tipis setelah berkerut dahi, "Aneh sekali namanya. Umumnya kalau tangan buntung itu tidak bisa dipakai untuk mencakar. Tapi ini malah 'cakar buntung'?!"
Telaga Sunyi angkat pundak tanda tak mengerti maunya si pemilik ilmu hingga memberi nama seperti itu. Gadis itu akhirnya setengah mendesak Suto dengan pertanyaan halus, "Sudikah kau menolong ayahku?"
Setelah menghempaskan napas panjang Pendekar Mabuk pun menjawab. "Demi menyelamatkan jiwa seseorang, aku tak pernah keberatan memberikan pertolongan."
"Berapa upah yang harus kuberikan padamu sebagai tabib?"
"Terlalu mahal untuk dibayar, terlalu murah untuk diremehkan. Yang jelas aku bukan tabib. Aku seorang pendekar! Kalau toh ada yang mengatakan aku tabib, itu hak mereka sebagai manusia yang bebas berpendapat."
"Enak sekali bicaranya," pikirnya si gadis. "Barangkali yang bikin menarik adalah senyumannya. Senyum kejantanan yang sering kuimpikan, namun tidak untuk kumiliki! Karena tak mungkin dia mau kumiliki. Jadi lebih baik aku tidak perlu berharap untuk bisa memiliki dia!"
Begitulah hati Telaga Sunyi yang menentang perasaannya sendiri. Sebab itu ia tak berani berjalan terlalu dekat dengan Suto Sinting, ia selalu jaga jarak, karena jika terlalu dekat hasrat hatinya selalu ingin menggandeng lengan sang pendekar tampan itu. Ia membatasi diri demi menyelamatkan hatinya agar tak timbul luka oleh harapannya sendiri.
Pendekar Mabuk tak merasa kecewa menunda niatnya bertemu Nyai Kucir Setan, karena menurutnya ada hal yang lebih perlu lagi untuk dilakukan. Bertamu dengan ayahnya Telaga Sunyi merupakan suatu pengalaman baru baginya. Karena ia akan bertemu dengan orang yang menderita Ilmu 'Teluh Cakar Buntung', ia sangat penasaran, seperti apa korban 'Teluh Cakar Buntung' itu? Apakah ia mampu menyembuhkannya, atau malah membuat si penderita semakin parah? Secara jujur diakui hati Suto, bahwa ia ingin menjajal kemampuannya dalam melawan ilmu teluh semacam itu. ia pun ingin mengukur, sebesar apa kekuatan ilmu teluh tersebut.
Sayang sekali mereka tak bisa cepat tiba di rumah Telaga Sunyi, karena tiba-tiba sebatang anak panah melesat dari arah samping Suto Sinting.
Zlaaap...!
Tangan Suto berkelebat ke samping dengan sedikit gerak pundak serong ke arah datangnya anak panah. Teeb...! Dalam waktu sekejap, dengan gerak yang nyaris tak terlihat, anak panah itu sudah tertangkap dalam genggaman Pendekar Mabuk.
Telaga Sunyi kaget melihat anak panah bermata emas itu. Ia mulai gusar, dan Suto menangkap kegusaran itu sebagai kecemasan yang amat dalam. Suto pun berbisik,
"Bersembunyilah! Akan kuhadapi sendiri orang ini!"
* * *
EMPAT
MUNCULNYA seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun membuat Pendekar Mabuk berkerut dahi. Tentu saja Suto heran dengan pemuda berkumis tipis yang punya ketampanan lumayan itu. Ia belum pernah jumpa dengan pemuda berambut pendek yang mengenakan ikat kepala dari logam emas, tengahnya berhias batu merah bening.Penampilannya cukup memukau, ia berpakaian merah, baju panjang warna putih berkancing emas, rompi merah dan celana merah bersulam benang emas pada tepiannya. Tangan kirinya menggenggam busur panah yang terbuat dari kayu berlapis emas pada ujung-ujungnya. Sedangkan anak panah ada di dalam kantong kulit yang bertali, dan talinya diselempangkan di dada. Tempat anak panah itu ada di sebelah kiri.
"Gagah sekali dia. Berkesan mewah. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Bukan seorang pengelana dan bukan pula seorang dari rimba persilatan," pikir Suto Sinting dengan sikap memandang penuh selidik.
Pemuda itu kalem-kalem saja. Caranya memandang juga kalem, tapi punya kesan bermusuhan dengan Suto Sinting. Ia berhenti tepat di depan Suto dalam jarak lima langkah. Keduanya sama-sama berdiri tegak, kedua kaki sedikit merenggang. Tingginya sama, besar badannya juga sama. Yang beda cuma ketampanannya dan pakaiannya. Suto Sinting lebih kumuh dari pemuda itu. Tangan Suto masih menggenggam anak panah yang tadi ditangkapnya. Dengan alasan itu Suto Sinting mengawali percakapannya.
"Kau pemilik anak panah ini?"
"Benar!" jawabnya tegas, sama tegasnya dengan nada suara Suto Sinting.
"Kau sengaja membidikkan anak panah ini kepadaku?"
"Sengaja!"
"Apa alasanmu? Kita belum pernah saling kenal."
"Namaku Pangeran Kertapaksi dan kau Pendekar Mabuk; Suto Sinting! Sekarang kita sudah saling kenal!"
"Dari mana kau tahu namaku?"
"Ciri-cirimu sangat jelas dan kucatat dalam otakku!"
"Syukurlah kalau kau masih punya otak," ujar Suto sambil tersenyum bernada melecehkan. Pangeran Kertapaksi tersenyum sinis. Hanya ujung bibir kanannya yang ditarik naik sedikit. Matanya tetap menatap tajam berkesan dingin.
"Mengapa kau ingin membunuhku, Kertapaksi?"
"Syarat untuk meminang Putri Muria Wardani adalah menyingkirkan kau dalam hidupnya!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi. "Tadi Karto Dupak juga menyinggung-nyinggung nama perempuan itu, sekarang Kertapaksi juga menyinggung nama itu. Siapa pemilik nama itu sebenarnya? Mengapa dihubungkan dengan diriku?!" pikir Suto Sinting bingung sendiri. Kala ia berpikir, Kertapaksi berucap kata dengan nada ketus.
"Buatku adalah hal yang paling mudah menyingkirkan dirimu. Tapi aku akan beri kebijaksanaan padamu. Jika kau mau menyingkir dari kehidupan Muria Wardani, aku tak akan memusuhimu. Bahkan aku ingin bersaudara denganmu. Tapi jika kau tak mau mundur, aku terpaksa menyatakan perang padamu, Suto Sinting!"
"Nanti dulu!" sergah Suto. "Sejujurnya kukatakan padamu, aku tidak kenal siapa Muria Wardani itu!"
Kertapaksi sunggingkan senyum sinis lagi sebagai tanda tak percaya. Sekali lagi Pendekar Mabuk dibuat heran melihat senyum tidak percaya itu, sebab Karto Dupak pun tidak mau percaya dengan pernyataannya itu.
"Ada apa sebenarnya?" gumam murid sinting si Gila Tuak, seakan bicara pada dirinya sendiri.
Tapi Kertapaksi menanggapinya dengan nada ketus, "Apa maksudmu berpura-pura bingung? Apakah kau takut melawanku? Kalau kau takut, kau mundur saja. Putuskan hubungan cintamu dengan Muria Wardani!"
"Ini lebih edan lagi!" gerutunya dalam hati. Lalu, Suto berkata dengan suara jelas, "Aku tidak punya hubungan cinta dengan Muria Wardani. Jangan libatkan aku dalam urusan ini!"
Senyum Kertapaksi kian lebar, kian berkesan sinis dan melecehkan. "Kalau saja Muria Wardani mendengar sendiri ucapanmu, pasti kau akan ditamparnya dan mungkin dia akan sakit hati padamu seumur hidup!"
"Kau orang yang sulit diberi penjelasan, Kertapaksi!"
"Karena aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan gayamu itu, Pendekar Mabuk!" Kali ini ucapan Kertapaksi agak keras, sebagai tanda bahwa ia mulai jengkel kepada lawan bicaranya. "Barangkali memang sudah menjadi gayamu, karena kau memegang gelar pendekar, maka kau selalu merendahkan diri di depan siapa saja. Tapi sikapmu itu semata-mata untuk menghindari pertarungan denganku. Sikapmu itu termasuk suatu kelicikan, Suto! Tak pantas seorang pendekar kondang bersikap licik seperti itu!" Kertapaksi berjalan memutari Suto Sinting. Sambungnya lagi, "Aku bisa meraba siasatmu. Kau berlagak tak kenal dengan Muria Wardani supaya terhindar dari permusuhan denganku. Tapi diam-diam kau telah punya rencana untuk membawa lari Muria Wardani di saat aku lengah dan tak menduga begitu!"
Kertapaksi tiba di tempat semula dan berhenti, menghadap Suto Sinting dengan tegap lagi. Ia menuding menggunakan busurnya, "Kau pengecut! Tak pantas jadi seorang pendekar! Kalau kau takut bertarung, jangan menyandang gelar pendekar!"
"Bukan pertarungan yang kutakuti, tapi kekalahanmu itu yang kucemaskan, Kertapaksi!" kata Suto dengan nada balas mengejek lawannya.
"Kalau begitu kita buktikan siapa yang unggul di antara kita!"
"Apakah itu perlu?" ujar Suto dengan maksud menghindari pertarungan seperti menghadapi Karto Dupak tadi.
"Kurasa itu memang perlu," ujar Kertapaksi sedikit mendesak. "Kita perlu saling membuktikan, siapa yang unggul di antara kita, dan siapa yang berhak mengawini Murla Wardani."
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sambil tersenyum tenang. Bukan berarti dia tak mau menerima tantangan itu, tapi merasa heran mengapa Kertapaksi sengotot itu kepadanya. Kertapaksi diam tak bergerak, tapi dari kedua matanya memancarkan sinar kebencian yang begitu kuat. Suto Sinting merasakan kebencian itu menembus sampai ke dasar hatinya, ia hanya menarik napas sebagai rasa iba melihat sikap Kertapaksi yang dianggap keliru itu.
"Cobalah dinginkan kepalamu, Kertapaksi. Kau salah sasaran. Barangkali bukan aku orang yang patut kau benci!"
"Kau...!" jawab Kertapaksi dengan tegas sekali.
Pendekar Mabuk sengaja tertawa dalam gumam. Kemudian ia membuka bumbung tuaknya untuk meneguk tuak. Namun baru saja ia mau melepas tutup bumbung itu, tiba-tiba tangan Kertapaksi yang kanan menghentak ke depan.
Wuuut...! Wuuus...! Deeb!
Pukulan tenaga dalam padat menghantam pinggang Suto Sinting. Pukulan itu sebenarnya dapat membuat tubuh Suto mental sekitar lima langkah ke belakang, karena cukup besar dan berat. Hanya saja, Suto Sinting masih bisa menahan dengan mengencangkan perutnya saat menerima pukulan itu, sehingga ia hanya menggeloyor ke belakang dua tindak. Tapi napasnya terasa sesak dan berat untuk dihela. Bumbung tuaknya masih dalam keadaan terangkat mau dibuka tutupnya. Bumbung tuak itu akhirnya berkelebat ke samping kiri ketika Kertapaksi lepaskan pukulan bercahaya merah dari ujung busur yang disodokkan ke depan.
Claap...! Draak!
Wuuus....! Sinar merah itu membentur bumbung tuak dan berbalik arah. Wuuut! Kertapaksi tersentak kaget dan gerakkan nalurinya menghentakkan kaki hingga ia melesat ke atas dalam gerakan salto. Wuk, wuk...! Dan sinar merah yang berubah lebih besar itu menghantam sebuah pohon dengan kerasnya. Blegaar...!
Kraaak...! Bruuussk...!
Pohon itu tumbang seketika, pecah dalam keadaan terbelah menjadi lima bagian memanjang. Mata pemuda berkumis tipis itu sempat terperanjat melihat pohon itu menjadi terbelah begitu dalam keadaan keluarkan asap yang menghanguskan bagian kulitnya.
"Edan! Jurusnya siapa itu? Jurusku tidak sedahsyat itu. Jurusku hanya bisa membakar kulit tubuh lawan, tidak sampai memecahkan pohon sebesar itu," pikir Kertapaksi dengan menelan ludahnya sendiri, merasa ngeri membayangkan seandainya yang terkena sinar merah itu adalah manusia, entah seperti apa jadinya.
Namun pemuda beralas kaki sandai lilit itu tetap tunjukkan sikap tenangnya, ia tak mau dilihat keheranannya oleh lawan. Bahkan ia sempat tersenyum sinis, seakan memamerkan kekuatan ilmunya yang bisa memecahkan pohon sebesar itu.
"Kurasa kau sudah cukup mengenali ilmuku, Suto Sinting. Seperti itulah kira-kira ilmuku. Untung kau tadi bisa menangkisnya dengan bumbung tuakmu, jika tidak kau akan bernasib seperti pohon itu, tahu?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis. Kemudian segera meneguk tuaknya, ia lebih kalem dan lebih tenang dari Kertapaksi. Setelah meneguk tuaknya, suaranya segera terdengar dengan jelas. "Kuakui kau punya ilmu yang hebat, dan pasti lebih tinggi dariku. Jadi, kurasa kau bukan lawan tandingku. Kuakui kehebatanmu, Kertapaksi. Puas?!"
"Apakah kau ingin halangi niatku mempersunting Muria Wardani?"
"Oh, tidak! Silakan saja!"
"Kau mau memutuskan hubungan cintamu dengannya?"
"Dengan senang hati, karena memang aku tak punya hubungan apa-apa!"
"Hmm...!" Kertapaksi mencibir sinis. Setelah diam sesaat dalam beradu pandang, Kertapaksi akhirnya berkata, "Rasa-rasanya belum puas hatiku mendengar jawaban dan pernyataanmu! Kubaca hatimu, kau punya siasat licik untuk mengecohkan diriku!"
"Percayalah! Aku tak akan menemui Muria Wardani lagi!"
"Kupandangi matamu dan kutemukan sorot kebohongan yang amat besar! Rupanya kau perlu dibuat jera dengan membuatmu terluka dulu!"
"Kertapaksi, kumohon jangan menyerangku!"
"Tidak bisa! Kau harus menerima pukulan 'Racun Gempur Tulang' ini, heeah...!"
Rupanya pemuda berkulit tipis itu penasaran sekali melihat Suto Sinting masih segar bugar, ia ingin melukai Suto sebagai tindakan yang lebih nyata lagi atas kesaktian ilmunya. Maka dilepaskanlah pukulan bersinar kuning memutar seperti angin puting beliung dari telapak tangan kanannya. Wusss...! Sinar kuning memutar itu menghantam Suto Sinting.
Tetapi keadaan Suto Sinting cukup siap. Tangan kirinya segera mengembang dengan jari merapat. Lalu tangan itu menghentak ke depan dan keluarlah sinar ungu sebesar lidi. Sinar itu melesat lurus membentur sinar kuning besar. Tapi sinar kuning itu tertahan di pertengahan jarak. Makin lama gerakannya semakin mundur karena terdesak oleh sinar ungunya Suto.
Kertapaksi menahan sinar kuningnya agar tetap memancar hingga tubuhnya bergetar. Suto Sinting hanya bergetar bagian tangan yang memancarkan sinar ungu itu. Lalu, kaki Suto menghentak ke tanah satu kali, seakan melepaskan tenaga dalam jurus itu secara tuntas. Duuuk...!
Wuuut...! Sinar kuning terdesak mundur dengan cepat dan menghantam tangan pemiliknya sendiri. Blaam...! Keadaan sinar itu sudah bercampur dengan sinar ungunya Suto, sehingga Kertapaksi pun memekik kesakitan.
"Aaahg...!" tubuhnya terlempar ke belakang manakala sinar-sinar itu padam, seakan telah menghantam tubuh Kertapaksi. Kejap berikutnya Kertapaksi mengejang dan menggeliat-geliat dengan mata mendelik dan mulut ternganga-nganga. Dari mulutnya keluar asap, juga dari hidung dan telinga. Asap itu berwarna kuning, sebagai pertanda jurus 'Racun Gempur Tulang' telah mengenai pemiliknya sendiri.
Pada saat itu terdengar suara langkah kaki kuda mendekati tempat tersebut. Dari deru irama langkahnya, Suto yakin ada dua ekor kuda yang menuju ke tempat itu. Untuk melihat siapa yang datang, Suto Sinting segera hentakkan napas ke bawah, perut menjadi keras dan tubuh pun melesat naik dalam keadaan seperti berdiri tegak. Lalu menerabas dedaunan dan hinggap di salah satu ranting sebesar pensil tulis.
Wuuut! Wruus...!
Suto diam di sana sambil memperhatikan ke arah bawah. Ternyata dugaannya memang benar. Dua orang penunggang kuda datang bersama kuda mereka masing- masing. Kedua orang itu mengenakan pakaian seragam yang warna dan potongannya sama. Hanya senjata mereka yang berbeda.
"Sepertinya mereka prajurit sebuah negeri?!" pikir Suto Sinting dari atas pohon.
Kedua orang itu terkejut melihat keadaan Kertapaksi kejang-kejang dengan asap kuning tipis masih mengepul dari lubang mulut, hidung, dan telinganya. Salah satu ada yang berseru sambil melompat turun dari punggung kuda,
"Gusti Pangeran...?!"
Yang satunya ikut turun dengan tegang dan berkata, "'Racun Gempur Tulang'?! Ya, aku tahu persis asap kuning itu pasti kekuatan 'Racun Gempur Tulang'!"
"Bukankah yang mempunyai racun itu Gusti Kertapaksi sendiri?!"
"Memang. Tapi... kok bisa mengenai diri sendiri, ya?"
"Sudahlah dibicarakan nanti saja. Sekarang angkut Gusti Kertapaksi ini dan bawa pulang. Jangan sampai terlambat, nanti racun itu terlanjur mencapai jantung, habislah riwayatnya!"
"Wah, wah, wah... dikasih tahu jangan berburu di daerah hutan sini kok masih nekat! Gusti Kertapaksi tidak mau percaya omonganku, bahwa hutan sini itu angker! Tak baik untuk berburu. Tapi, ah... dasar bandel!"
"Sudah, angkat dan naikkan ke kudamu!" sentak temannya yang bersenjata trisula kembar di pinggangnya.
Pendekar Mabuk menggumam sendiri, "Kurang apa aku mengalah padanya? Tapi dasar orang bodoh, sudah diakui kehebatannya masih saja mau lukai diriku! Yah, akibatnya tanggung sendirilah! Bukan salahku, kan?!"
Suto Sinting lompat turun dari atas pohon tanpa timbulkan suara. Ia memandang ke arah kepergian lawannya yang sudah tidak kelihatan itu. Ia membatin kata, "Ternyata pecahan dari jurus 'Surya Dewata'-ku tadi cukup lumayan jika digunakan sewaktu-waktu. Dapat kalahkan kekuatan tenaga dalam lawan. Padahal itu hanya pecahan jurus 'Surya Dewata', apalagi kalau jurus itu kugunakan secara utuh, wah... kasihan si Kertapaksi, bisa tak bernyawa seketika tadi. Eh, tapi... ngomong-ngomong si Telaga Sunyi tadi ke mana?!"
Suto Sinting celangak-celinguk mencarinya. Tiba-tiba yang dicari sudah muncul di belakangnya dan langsung menyapa mengagetkan Suto,
"Apakah kau mencariku, Pendekar Tampan?"
"Ah, kau...! Kukira kau diculik setan hutan sini!"
"Setannya takut sama kamu!" jawab Telaga Sunyi sambil tersenyum. Kejap berikut senyuman itu hilang. Telaga Sunyi mengajak teruskan langkah menuju ke rumahnya. Sambil meneruskan langkah, Telaga Sunyi bicara tentang kejadian tadi.
"Kertapaksi memang seorang pangeran. Aku kenal dengannya. Dia anak Raja Digdayuda Kerajaan Bumiloka. Kegemarannya berburu, ia seorang jago panah. Kabarnya jika berburu ia selalu menggunakan panah berujung emas untuk menghargai kematian hewan buruannya. Negeri Bumiloka memang kaya akan hasil tambang emas dan perak."
"Tapi aku baru kali ini jumpa dengannya," ujar Suto. "Bahkan aku tidak menyangka sama sekali kalau ia benar-benar bernafsu untuk mencelakaiku."
"Aku sendiri tidak menduga kalau dia akhirnya tumbang oleh kekuatannya sendiri. Padahal 'Racun Gempur Tulang' itu merupakan ilmu tinggi yang menjadi salah satu ilmu andalannya. Orang yang terkena 'Racun Gempur Tulang' akan mengalami kelumpuhan sekujur tubuh selamanya. Obatnya hanya dimiliki oleh gurunya sendiri."
"Siapa gurunya Kertapaksi itu?"
"Hmmm...," gadis cantik itu berkerut dahi mengingat sebentar. "Kalau tak salah gurunya berjuluk Resi Pakar Pantun."
"Hei...?!" Suto hentikan langkah karena kaget mendengar nama itu. Ia segera berkata penuh semangat, "Aku kenal dengan Resi Pakar Pantun. Tapi setahuku, Resi Pakar Pantun hanya mempunyai murid Tuanku Nanpongoh."
"Siapa bilang? Resi Pakar Pantun punya murid lebih dari lima. Kalau tak salah ada tujuh murid. Tapi mereka tidak bersatu. Artinya tidak berkumpul dalam satu perguruan. Resi Pakar Pantun itu menurunkan ilmunya kepada orang-orang tertentu, terutama orang-orang keturunan bangsawan."
Pendekar Mabuk teruskan langkah setelah menggumam dan manggut-manggut. Bayangannya segera tertuju pada seraut wajah tua berambut uban tipis, nyaris botak. Tokoh tua berjenggot putih yang gemar bermain pantun dalam bicaranya itu pernah diselamatkan oleh Suto Sinting ketika melakukan pertarungan melawan Maling Sakti beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pisau Tanduk Hantu). Dan Suto sama sekali tidak menduga kalau Kertapaksi adalah murid si tua Pakar Pantun itu.
Namun hal yang paling mengganjal hati Pendekar Mabuk bukan nama sang Resi, melainkan nama seorang gadis yang dianggap sebagai kekasihnya. Kedua lawannya sama-sama menyebutkan nama itu sedangkan Suto merasa asing sekali dengan nama Murla Wardani.
"Sebetulnya aku tidak punya persoalan dengan Pangeran Kertapaksi itu," katanya kepada Telaga Sunyi bersifat meluruskan anggapan sang gadis. Karena Suto yakin sang gadis mengikuti percakapan dan pertarungannya dengan Kertapaksi. Sambungnya lagi, "Sebenarnya aku tidak ingin melawan dia. Pertama, karena aku belum tahu siapa dia sebenarnya, kalau kutahu dia murid Resi Pakar Pantun aku tambah sungkan. Karena hubunganku dengan Resi Pakar Pantun sangat baik. Kedua, karena aku tidak merasa menjadi kekasihnya gadis bernama Muria Wardani."
"Betulkah? Jangan-jangan kau dusta?" Telaga Sunyi tersenyum menggoda.
"Sungguh. Aku tidak dusta. Aku belum pernah bertemu dengan yang bernama Muria Wardani. Malahan mendengar namanya saja baru hari ini melalui Karto Dupak dan Kertapaksi itu."
Telaga Sunyi senyum-senyum saja walau kepalanya manggut-manggut. Ada kesan tidak percaya, tapi juga ada kesan geli mendengar masalah yang dihadapi Pendekar Mabuk itu.
"Apakah kau kenal dengan gadis yang dimaksud Kertapaksi tadi?"
"Setahuku Kertapaksi memang naksir berat pada Muria Wardani. Dia pernah melamar Muria Wardani tapi ditolak. Aku tak tahu apa sebabnya, yang jelas sejak itu Kertapaksi tak mau keluar dari Istananya. Hidupnya murung terus, sampai akhirnya sang ayah sendiri, yaitu Prabu Digdayuda menemui orangtua Muria Wardani dan melamarnya untuk yang kedua kali. Tapi... tapi juga ditolak atau, entah bagaimana aku tak jelas soal lamaran yang kedua itu."
"Apakah kau tahu siapa Muria Wardani itu?"
Telaga Sunyi diam sejenak walau masih tetap melangkah. Sesaat kemudian ia berkata tanpa memandang Suto Sinting, "Aku memang kenal dengan Muria Wardani."
Baru sampai di situ, ucapan Telaga Sunyi terputus karena tiba-tiba sebuah sinar melesat ke arahnya, dan Suto Sinting berkelebat menghadang sinar itu. Wuuut...! Sinar yang datang dari arah belakang itu berwarna hijau muda seperti bintang berekor. Saat Pendekar Mabuk mengetahui kelebatan sinar tersebut, ia buru-buru berbalik arah dan bergeser menutupi punggung Telaga Sunyi. Maksudnya ingin menghantam sinar itu dengan jurus 'Surya Dewata' juga, tetapi gerakannya terlambat. Sinar hijau itu justru mengenai dadanya dengan telak. Dees...!
"Aaahg...!" Pendekar Mabuk tersentak dan mengejang, kemudian limbung ke kiri dan jatuh. Bruuk...!
"Sutooo...?!" pekik Telaga Sunyi yang terlambat menyambar tubuh Pendekar Mabuk. Gadis itu menjadi tegang melihat Pendekar Mabuk mengerang dengan wajah mulai membiru. Napas ditahan kuat-kuat untuk imbangi rasa panas yang membakar bagian dalam tubuhnya, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika diseret ke bawah pohon oleh Telaga Sunyi.
"Sutooo...?! Ada apa? Kenapa kau?!"
Tentu saja Telaga Sunyi bertanya demikian karena ia tidak melihat datangnya sinar hijau. Tahu-tahu ia dikejutkan dengan gerakan Suto yang berkelebat ke arah belakangnya dan sebelum rasa kaget itu lenyap ia sudah temukan Suto Sinting jatuh terhempas ke tanah.
"Ad... ada orang yang... yang ingin menyerangmu!" ucap Suto Sinting dengan suara berat dan susah karena tenggorokannya mulai terasa panas, terlalu sakit untuk keluarkan suara.
Telaga Sunyi makin membelalakkan mata ketika melihat kulit tubuh Suto kian membiru. Bintik-bintik merah mulai keluar dari pori-pori tubuh si pendekar tampan. Telaga Sunyi segera berucap dengan nada tegang, "Pukulan 'Inti Bara'...?! Oh, celaka! Kulitmu akan terkelupas dalam waktu beberapa saat lagi, Suto! Kau tak boleh terkena sinar matahari! Sinar itu akan membakar bagian dalam tubuhmu, dan..."
Sebuah suara menyahut dari arah belakang Telaga Sunyi, "Dan dia akan mati dalam keadaan tanpa kulit, lalu bagian dalam tubuhnya akan mengering hangus secara perlahan-lahan!"
Telaga Sunyi cepat palingkan wajah dan menggeram marah melihat orang yang bicara itu. Sudah pasti orang itulah yang mempunyai jurus 'Inti Bara' yang dikenali oleh Telaga Sunyi itu. Dengan gigi menggeletuk Telaga Sunyi bangkit berdiri dan menggeram penuh kebencian,
"Kaaauu. ! Sudah kuduga kaulah orangnya!"
Orang itu hanya tersenyum sinis bersikap menantang.
* * *
LIMA
PEMILIK pukulan 'Inti Bara' itu adalah seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengenakan jubah tanpa lengan warna ungu. Pinjung penutup dadanya berwarna merah menyala, sangat ketat hingga tampak tersumbul belahan dadanya yang membengkak kencang berkulit kuning langsat itu. Perempuan tersebut mempunyai senjata cakra, bentuknya seperti anak panah dengan ujung bergerigi. Senjata itu lebih menyerupai bentuk kilatan petir yang terbuat dari besi putih anti karat.Dengan rambut disanggul seluruhnya, jatuh ke tengkuk bagaikan ekor kuda gemulai ia tampil dalam kecantikan yang matang. Matanya bening dengan tepian mata berwarna hitam, mengesankan kejalangannya. Hidungnya mancung kecil, sesuai dengan bibirnya yang sedikit tebal namun berbentuk indah menggairahkan. Perempuan bertahi lalat kecil di dagu kiri itu dikenal oleh Telaga Sunyi sebagai kakak seperguruannya yang berhati sirik. Perempuan itu berjuluk Dewi Gapit Mesra. Perempuan berkalung batuan hijau giok sama seperti Telaga Sunyi itu dikenal pula sebagai murid yang liar, bahkan ia dianggap sebagai murid murtad oleh sang Guru, sehingga tak diizinkan masuk ke wilayah perguruannya lagi.
"Apa maksudmu mencelakai pemuda ini dengan pukulan 'Inti Bara', Aryani?!" sentak Telaga Sunyi dengan menyebut nama asli Dewi Gapit Mesra.
"Seharusnya kau yang terkena pukulan itu. Sayang sekali di tampan bodoh berlagak menjadi pelindungmu, akhirnya ia sendiri kena batunya!"
Pendekar Mabuk saat itu dalam keadaan sadar, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena merasakan sekujur tubuhnya bagaikan sedang dibeset-beset untuk dikuliti. Namun pikiran dan pendengarannya masih tertuju pada percakapan tersebut. Matanya sempat memandang samar-samar wajah cantik yang penuh gairah untuk bercinta itu.
"Rupanya kau masih ingin lanjutkan persoalan masa lalu kita, Dewi Gapit Mesra?!"
"Itu persoalan usang yang sudah kulupakan. Persoalan baru adalah lebih penting daripada persoalan lama."
"Persoalan baru apa maksudmu?"
"Kau telah membunuh Ranu Palwa. Padahal kau tahu bahwa Ranu Palwa adalah kekasihku!"
"Ranu Palwa ingin memperkosaku dan selalu mengejarku ke mana saja aku pergi. Mau tak mau aku membereskannya setelah ia berhasil menodai adikku yang membuat adikku akhirnya bunuh diri karena merasa malu telah ternoda!"
"Omong kosong! Ranu Palwa tidak akan serakus itu, karena ia telah mendapatkan kemesraan dariku lebih dari cukup!"
"Anggapanmu selama ini tentang Ranu Palwa adalah keliru! Dia bukan lelaki yang setia kepada kekasihnya. Dia adalah lelaki buaya, yang tak pernah puas mempermainkan cinta satu wanita saja."
"Persetan dengan alasanmu! Aku menuntut kematiannya, dan kau harus menebusnya dengan nyawa, Telaga Sunyi!"
"Kalau itu maumu, aku siap melayanimu, Dewi Gapit Mesra! Tapi perlu kau ketahui, bahwa kau dan Ranu Palwa sebenarnya sama-sama makhluk yang rakus cinta. Tak pernah ada puasnya walau selalu berganti-ganti pasangan!"
"Tutup mulutmu!" bentak Dewi Gapit Mesra. "Terima saja ajalmu sekarang juga! Hiaaat...!" Dewi Gapit Mesra langsung cabut senjata cakranya dan ia melompat menerjang Telaga Sunyi. Wuuus...!
Sedangkan Telaga Sunyi tak kalah sigap menghadapi serangan kakak seperguruannya. Kakinya menyentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara sambil mencabut pedangnya. Sreeet...!
Trang, trang, blaaar...!
Kedua senjata beradu di udara, yang akhirnya saling lepaskan sinar sama-sama berwarna merah. Kedua sinar dari senjata masing-masing itu saling membentur dan menimbulkan ledakan yang lumayan kuatnya. Kedua perempuan itu saling terpental mundur. Tapi Telaga Sunyi terpental lebih jauh hingga jatuh ke semak-semak. Gusraak...! Ia buru-buru bangkit karena mendengar seruan Dewi Gapit Mesra yang bergegas menyerangnya kembali.
"Hiaaat...!" Lompatannya kali ini menyerupai seekor singa betina yang buas dan sangat bernafsu terhadap mangsanya. Senjata cakra bergerigi itu dikibaskan kearah dada Telaga Sunyi yang baru saja berdiri. Namun pedang Telaga Sunyi menangkisnya dengan cepat.
Trang... duaaar...!
Tubuh Telaga Sunyi terpelanting hingga memutar. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk melayangkan tendangannya hingga kepala Dewi Gapit Mesra tersabet kaki Telaga Sunyi dengan keras. Plook...! Wuuut...! Tubuh Dewi Gapit Mesra terlempar ke samping. Jatuh dengan pundak membentur pohon cukup keras. Duurr...! Pohon pun bergetar sebagai tanda bahwa benturan itu mempunyai tenaga dalam cukup tinggi.
Tab, tab, tab, tab...!
Telaga Sunyi berjungkir balik di tanah dengan lincah dan cepat, tahu-tahu tubuhnya melayang dan mendarat di tanah datar tak jauh dari samping Suto Sinting. Jaraknya dengan Dewi Gapit Mesra sekitar tujuh langkah. Mata gadis itu melirik Suto Sinting, ia menjadi cemas melihat keadaan Suto semakin parah. Sebagian kulitnya sudah mulai tersayat dan ingin mengelupas. Telaga Sunyi segera berpikir,
"Aku harus segera menyelamatkan dia, membawanya ketempat yang tidak terkena sinar matahari!"
Dewi Gapit Mesra mengibaskan kepalanya membuang kunang-kunang di mata akibat tendangan Telaga Sunyi tadi. Kini ia berdiri dengan kaki merentang dan senjata cakranya disentakkan ke depan. Craang...! Gerigi di ujung senjata itu berputar cepat memercikkan bunga api. Lalu dengan gerakan cepat senjata itu dikibaskan dari kanan ke kiri.
Craaang...! Slaaap...!
Sinar merah keluar dari putaran gerigi tersebut. Sinar itu berbentuk biasan cahaya yang mengarah kepada lawan. Telaga Sunyi tahu bahwa bias sinar merah itu tak boleh ditangkis karena tak ada kekuatan yang bisa untuk menangkis biasan sinar merah lebar itu. Maka Telaga Sunyi sentakkan kakinya lagi dan melambung di udara dengan cepat. Wuuut...! Dalam sekejap ia sudah berada di atas dahan sebuah pohon. Dari sana ia lepaskan pukulan bersinar biru yang melesat melalui telapak tangan kirinya. Claaap...!
Blaaar...! Sinar merahnya Aryani tadi menghantam sebongkah batu, dan batu itu langsung hancur tak tahu menyebar ke mana serpihannya. Sedangkan sinar birunya Telaga Sunyi segera ditangkis dengan gerakan lurus senjata cakra tersebut. Gerakan lurus itu menghasilkan sinar merah sama besar dan sama lurusnya dengan sinar biru. Lalu keduanya saling bertabrakan dalam jarak lebih dekat ke arah Dewi Gapit Mesra.
Blegaaar...!
Dahsyat sekali bunyi ledakan yang timbul dari bentrokan dua sinar tersebut. Dewi Gapit Mesra terjungkal ke belakang bagaikan terbang, dan jatuh dalam keadaan telungkup dengan keras, seakan terbanting dari sebuah ketinggian. Bruuus...!
"Aaahg...!" Dewi Gapit Mesra memekik. Sebatang tonggak kayu runcing berukuran satu jengkal, menancap di bagian tepi pinggang kanannya. Jruuus...! Tonggak kayu kering itu memang tidak sampai merobek lambung, namun cukup parah melukai kulit pinggang. Dewi Gapit Mesra menyeringai sambil menyentakkan tubuh untuk bangit. Srrub...! Ia pun lolos dari tonggak kayu runcing itu.
Pada saat itu ia menjadi kebingungan melihat Telaga Sunyi sudah tak ada di tempat. Pemuda yang tadi dilihatnya terkapar terkena pukulan 'Inti Bara' itu juga hilang dari tempatnya. Padahal Dewi Gapit Mesra akan melepaskan pukulan berbahaya itu lagi untuk menumbangkan Telaga Sunyi. Sayangnya sang lawan sudah lebih dulu menghilang entah ke mana arah perginya.
"Setan licik! Ke mana kau, Telaga Sunyiii...!" teriaknya dengan murka. Tangannya masih menggenggam luka berdarah yang membasahi jubah ungunya itu. Dengan kegeraman yang meluap, Dewi Gapit Mesra akhirnya melesat pergi mencari Telaga Sunyi yang diduga belum jauh dari tempat itu.
Telaga Sunyi sendiri merasa sedang dikejar oleh Dewi Gapit Mesra. Maka ia segera mencari tempat bersembunyi yang aman dari lawannya dan aman dari sinar matahari. Sebab tubuh yang dipanggul di pundak kirinya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam itu membutuhkan tempat yang tak boleh kena sinar matahari. Dan satu-satunya tempat yang layak untuk menyelamatkan Suto Sinting dari ancaman maut pukulan 'Inti Bara' itu adalah sebuah gua. Maka dengan memanggul tubuh Suto Sinting dan menenteng bumbung tuak sang pendekar tampan, Telaga Sunyi menujuke lereng perbukitan untuk mencari sebuah gua.
Sebuah gua ditemukan oleh Telaga Sunyi di lereng sebuah bukit. Gua itu bermulut kecil. Untuk masuk ke dalam gua itu dalam keadaan tidak membawa beban saja harus dengan merundukkan kepala agak rendah, apalagi sambil memanggul beban tubuh Pendekar Mabuk. Mau tak mau Telaga Sunyi harus meletakkan tubuh Suto dulu ke tanah, lalu menariknya pelan-pelan agar masuk ke dalam gua. Sesampai di dalam gua, ternyata atap gua tidak serendah bagian mulutnya. Di situ Suto Sinting dibaringkan dalam keremangan cahaya.
Telaga Sunyi berusaha sembuhkan Suto Sinting dengan hawa murninya yang disalurkan berulang kali. Tetapi keadaan luka Suto belum juga membaik. Kesadaran Suto masih tersisa sedikit walau ia sudah tak mampu menggerakkan anggota badannya sekalipun untuk menggerakkan jari.
"Jurus pukulan keparat! Memang benar apa kata Guru, jurus pukulan 'Inti Bara' sulit dijinakkan, sulit disembuhkan, dan karenanya Guru berpesan agar aku pun tidak sembarangan dalam menggunakan jurus pukulan 'Inti Bara'. Tetapi si keparat Aryani itu mengumbar jurus ini seenaknya saja! Pantas kalau dia dinyatakan sebagai murid murtad yang tak pernah mau ikuti peraturan perguruan," ucap Telaga Sunyi sebagai ungkapan rasa kesalnya, ia tampak kebingungan menghadapi luka-luka Pendekar Mabuk. Duduknya di atas batu samping Suto yang tingginya hanya sebetis kurang itu tampak loyo. Suaranya sering bercampur dengan desah penyesalan dan kesedihan.
"Sayang sekali Guru belum turunkan Ilmu 'Penyerap Luka' seperti yang sudah diajarkan kepada Dewi Gapit Mesra itu. Kalau saja Ilmu 'Penyerap Luka' sudah kumiliki, maka menghadapi keadaan Suto seperti ini bukan hal yang sulit lagi bagiku."
Ucapan lirih itu masih sempat didengar oleh Pendekar Mabuk secara samar-samar. Dengan susah payah Pendekar Mabuk akhirnya berusaha bicara kepada Telaga Sunyi. "Tu... tuak...! Tuuak...!"
"Kau dalam keadaan terluka separah ini, jangan pikirkan tuak dulu!"
Suto Sinting mengeluh lirih dan tipis sekali. Telaga Sunyi tak tahu khasiat tuak dari dalam bumbung itu. Gadis itu malahan memarahi Suto yang dianggap lebih mementingkan tuak daripada lukanya. Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin jelaskan khasiat tuaknya itu, tapi ia tidak mempunyai tenaga untuk bicara panjang lebar, ia hanya mengucap kata terpatah-patah lagi,
"Tu... tuak...! Tooo... tolong, tuuak...!"
"Pikirkan dulu bagaimana cara menyembuhkan dirimu, setelah itu mau minum tuak sampai mabuk nungging terserah situ!" omel Telaga Sunyi, seperti seorang istri mengomel kepada suaminya.
Suto makin jengkel. Kalau saja ia punya kekuatan untuk membentak, ia akan membentak. Karena dalam keadaan terluka seperti itu justru tuaklah yang dibutuhkannya. Sekali lagi Suto mencoba bicara, "Toloong... tuuak... tuakku!"
"Aaah, dasar bandel kau ini!" gerutu Telaga Sunyi, kemudian ia mengambil bumbung tuak itu dan menuangkan pelan-pelan ke mulut Suto yang ternganga kecil itu. Cuuurr...! Gleek, glek, glek...!
"Sudah. Cukup begitu saja. Jangan banyak-banyak!" kata Telaga Sunyi. Sekalipun masih belum puas, namun hati Suto sudah agak lega.
Telaga Sunyi memeriksa keadaan dalam gua yang agaknya mempunyai lorong gelap menjauh kedalam. Gua itu mempunyai bebatuan jenis batu pualam. Warna hitam dan ada yang sebesar anak sapi. Lantai bagian dalam lembab. Demikian pula dindingnya. Tapi didalam lorong yang gelap itu, yang arahnya membelok kekiri dari tempatnya menaruh Suto Sinting, Telaga Sunyi seperti melihat titik putih di kejauhan sana. Titik putih itu mirip cahaya matahari yang ada di sebuah mulut gua.
"Barangkali gua ini punya jalan tembus menuju kesuatu tempat?" pikir Telaga Sunyi. Kemudian ia segera berbalik menemui Suto Sinting untuk memberitahukan adanya kemungkinan tersebut.
Tapi ketika ia mendekati Suto, ia sangat terkejut melihat kulit tubuh Suto yang tadi retak tersayat telah banyak yang merapat kembali. Wajah Suto sendiri tidak kelihatan sebiru tadi. Semakin penasaran lagi gadis itu setelah melihat bagian kulit lengan yang tadi sudah terkoyak hampir terkelupas, kini menempel lekat kembali. Bahkan ada bagian luka yang memar-memar pulih seperti sediakala. Napas Suto Sinting tidak terlalu berat dihelanya. Suaranya mulai terdengar sedikit lebih keras dari yang tadi.
"Tolong... tuakku! Aku harus meminumnya agak banyak."
"Apakah... apakah tak akan tambah memperburuk keadaan kesehatanmu?"
"Tidak. Tuak itulah... obat yang akan kuberikan kepada ayahmu juga. Buktikan keampuhannya dengan meminumkannya padaku."
Sayang sekali Pendekar Mabuk belum punya tenaga untuk mengangkat bumbung tuak sendiri, ia masih berbaring tak peduli tempat itu agak lembab. Telaga Sunyi menuangkan tuak pelan-pelan ke mulut Suto Sinting. Tangannya sedikit gemetar karena ingin membuktikan kata-kata Suto yang sempat menegangkan hati itu. Getaran tangan membuat tuak tertuang kadang di mulut, kadang di hidung. Telaga Sunyi tertawa tertahan melihat Suto gelagapan tersiram tuak wajahnya. Cukup banyak tuak yang diminum oleh Suto Sinting.
Telaga Sunyi duduk di batu yang tadi sambil memperhatikan perubahan pada luka-luka tersebut. Beberapa saat kemudian, ia melihat sendiri bukti kata-kata Suto Sinting tadi. Luka sayat dan bagian yang koyak mulai bergerak-gerak merapat secara ajaib. Semakin lama semakin jelas gerakannya. Warna biru legam pun kian menyusut dan sekarang tinggal menipis. Telaga Sunyi tersenyum girang bercampur kagum.
"Luar biasa. Ternyata tuakmu itu benar-benar tuak sakti. Rupanya tuak itulah yang membuatmu dapat julukan dari beberapa orang sebagai Tabib Darah Tuak."
"Mungkin," jawab Suto pendek. Kini pendekar tampan itu sudah mulai bisa tersenyum. Telaga Sunyi benar-benar merasa lega melihat perubahan yang begitu pesat itu. Ketika Suto Sinting merasakan tubuhnya mulai segar, ia pun berusaha bangkit. Tapi ia berlagak tak kuat mengangkat kepala. Telaga Sunyi buru-buru menopang kepala Suto Sinting dengan lengannya. Hal itu membuat tubuh Suto bagai terpeluk oleh si gadis beraroma wangi cendana itu. Jarak mata dengan dada si gadis cukup dekat, sehingga mata Suto sempat melirik nakal dan geli dalam hatinya.
"Terima kasih atas bantuanmu," kata Suto setelah berhasil didudukkan. Padahal dia bisa bangkit duduk sendiri. Bahkan kalau mau melonjak-lonjak pun sudah bisa. Tapi dasar murid sintingnya si Gila Tuak, keadaan seperti itu dimanfaatkan untuk memperoleh beberapa sentuhan dari Telaga Sunyi.
Si gadis sendiri tidak menduga kalau kelemahan Suto yang kali ini adalah kepura-puraan. Bahkan dengan penuh kelembutan ia memeriksa bekas luka di kening Suto. Mengusapnya pelan-pelan sambil berkata, "Masih sakit?"
"Hmmm... sedikit," jawab Suto tetap membiarkan keningnya diusap oleh jari-jari lentik itu.
Telaga Sunyi memeriksa lebih teliti lagi dengan cara memandang lebih dekat karena cahaya kurang terang. Keadaan itu membuat Suto Sinting dapat memperhatikan kehalusan kulit wajah dan kecantikan yang alami lebih jelas lagi.
"Cepat sekali pulihnya?" ucap Telaga Sunyi lirih, saat berkata begitu wajahnya tepat di depan Suto Sinting.
"Berkat pertolonganmu, luka separah apa pun dapat sembuh dengan cepat."
"Aku tak banyak membantu dalam hal ini," kata Telaga Sunyi sambil matanya menatap Suto Sinting. Jari-jari tangannya masih merayapi pipi pemuda tampan itu, tapi bukan untuk memeriksa luka yang pulih kembali. Jari-jari itu bergerak pelan merayap ke bibir Suto, kemudian mulut Suto pun menangkap jari itu. Menggigitnya pelan, dan sang gadis gemetar sekujur tubuhnya.
"Jangan. Jangan, Suto...," ucapnya lirih sekali ketika jari itu tak mau dilepaskan oleh mulut Suto Sinting. Wajah cantik pun berubah menjadi bentangan kegelisahan yang menggundah di dada.
Suto Sinting dapat rasakan getaran tangan si gadis saat bibir si gadis digigitnya sendiri. Suto tahu apa yang timbul di hati gadis itu. Siksaan batin. Itulah yang dirasakan si gadis. Karenanya, Pendekar Mabuk tak mau menyiksa terlalu lama. Gigitannya segera dilepaskan pelan-pelan, Telaga Sunyi menariknya dengan perlahan sekali. Seakan setiap sentuhan jari yang bergerak keluar itu dirasakan betul desirannya. Ada rasa malu dan girang di dalam dada Telaga Sunyi. Kedua rasa yang mendebarkan hati itu segera dibuang dengan cara menjauhi Suto dan menuju mulut gua. Pada saat itu Suto Sinting pun segera merubah suasana mesra menjadi suasana lebih serius. Ia perdengarkan suaranya sambil bangkit berdiri.
"Siapa Dewi Gapit Mesra tadi, Telaga Sunyi?"
"Kakak seperguruanku," jawab Telaga Sunyi, kemudian baru bergerak mendekati Suto Sinting, ia melanjutkan penjelasannya di depan Suto dalam jarak satu langkah. Persoalan yang sebenarnya dibeberkan kepada Suto, sehingga sang pendekar tampan itu manggut-manggut memahami persoalan tersebut.
"Apakah dia ada hubungannya dengan Muria Wardani?" tanya Suto setelah ingat pertanyaannya soal Muria Wardani tadi belum terjawab tuntas. Padahal Suto yakin, Telaga Sunyi pasti bisa menjelaskan siapa Muria Wardani itu, karena tadi Telaga Sunyi menyatakan diri mengenal Muria Wardani.
Maka, gadis berdada indah itu pun menjawab ulang pertanyaan Pendekar Mabuk, "Aku memang kenal dengannya. Tapi... kurasa Dewi Gapit Mesra tak ada hubungannya dengan masalahmu itu."
"Maksudmu, Muria Wardani bukan Dewi Gapit Mesra?"
"O, bukan! Aku berani pastikan, dia bukan Muria Wardani. Gadis yang bernama Muria Wardani ada sendiri. Dia putri seorang adipati di Kadipaten Madusuri. Ayahnya bernama Adipati Jayengrana. Kalau tak salah dia putri tunggal dari sang Adipati Jayengrana."
"Apakah dia cantik?"
"Kalau cantik kau mau apa?" Telaga Sunyi ganti bertanya tanpa senyum.
Justru Suto Sinting yang tersenyum geli. "Aku hanya bertanya. Tak punya maksud apa-apa."
Barulah Telaga Sunyi tersenyum sambil menghembuskan napas panjang. Setelah itu ia berkata lagi dengan mengambil sikap duduk di batu setinggi pahanya itu. Ia biarkan mata si tampan Suto Sinting mengikutinya terus, sementara ia sendiri tak mau terlalu lama memandang mata yang penuh daya pesona itu.
"Menurut penilaian para lelaki, Muria Wardani itu cantik sekali. Makanya banyak lelaki yang ingin mempersunting dirinya."
"Cantik mana sama kamu?" potong Suto nakal.
Telaga Sunyi melirik ketus, kemudian bersikap biasa lagi dan melanjutkan kata-katanya tanpa menjawab pertanyaan Suto yang dianggap iseng itu. "Salah satu pria yang tergila-gila dengan kecantikan Muria Wardani adalah Pangeran Kertapaksi. Menurut kabar yang kuterima, Muria Wardani sudah dilamar lebih dari sepuluh lelaki, tapi tak satu pun ada yang diterima, termasuk Karto Dupak. Tapi lelaki yang paling penasaran ingin memperistri Muria Wardani adalah Penguasa Teluk Neraka."
"Apakah dia tokoh sesat?"
"Benar! Tapi kesaktiannya luar biasa. Dia mampu masuk ke istana kadipaten tanpa melewati pintu gerbang."
"Lalu lewat mana? Lewat genteng?"
"Menembus dinding benteng istana."
"Aih, Gila! Yang begini yang seru. Teruskan, teruskan...!" Suto Sinting bersemangat sekali.
"Setahuku hanya itu. Tak ada yang bisa kuteruskan. Yang jelas, ancaman terberat bagi Muria Wardani adalah si Penguasa Teluk Neraka. Kabarnya ayah Muria Wardani pernah diancam akan dibuat sengsara seumur hidup apabila lamaran Penguasa Teluk Neraka ditolak. Sedangkan sang Ayah tak bisa berbuat banyak karena memang putri tunggalnya tak mau menikah dengan Penguasa Teluk Neraka. Kudengar juga, Penguasa Teluk Neraka mengancam siapa saja yang mendekati Muria Wardani akan dibunuhnya. Terbukti sudah ada dua pemuda yang mati di tangan Penguasa Teluk Neraka."
"Kenapa Kertapaksi dan Karto Dupak tidak mati di tangan Penguasa Teluk Neraka?"
"Mereka belum bertemu Penguasa Teluk Neraka. Coba kalau Kertapaksi bertemu dengan Penguasa Teluk Neraka, pasti dihajar habis oleh Penguasa Teluk Neraka itu."
"Lalu, apa hubungannya denganku? Mengapa Kertapaksi dan Karto Dupak menyangka aku adalah kekasihnya Muria Wardani?"
"Mungkin kau memang kekasihnya? Mana kutahu?!"
"Sumpah setan tujuh warna, aku bukan kekasihnya! Aku tidak kenal sama Muria Wardani."
"Betul?"
"Yaah... masa' kau belum percaya juga. Aku toh sudah bersumpah! Mau sumpah apalagi? Sumpah biar mati disambar lalat? Boleh!"
Telaga Sunyi tertawa kecil. "Lelaki mana saja memang paling berani kalau disuruh bersumpah. Buat lelaki, sumpah adalah bunga bibir."
"Terserah apa katamu, yang jelas aku tidak kenal dengan Muria Wardani."
"Bagaimana kalau kutemukan dengan Muria Wardani? Berani?"
"Berani!" jawab Suto bersemangat.
"Berani tidak ikut-ikutan tertarik padanya?"
"Berani... maksudnya berani tidak tertarik untuk ikut-ikutan jadi perempuan, begitu kan?"
"Hmmm...!" Telaga Sunyi mencibir menahan geli.
"Pertemukan aku dengan Muria Wardani. Akan kutanyakan pula mengapa mereka menuduhku punya hubungan cinta dengannya? Ini merepotkan diriku!"
"Akan kupertemukan setelah kau sembuhkan sakit ayahku!"
"Baik! Kalau begitu..."
Tiba-tiba terdengar suara menggema yang mengagetkan. Blaaam...! Gelap seketika datang. Mereka menjadi tegang.
Telaga Sunyi berseru, "Pintu gua ada yang menutup dengan batu!"
Mereka mulai mendekati pintu gua. Dirabanya benda yang menghalangi pintu gua itu. Ternyata sebongkah batu besar memancarkan hawa panas yang makin lama makin menyengat. Tapi batu itu sendiri tidak mempunyai sinar apa-apa. Bau sesuatu yang hangus mulai tercium oleh mereka. Pasti hawa panas dari batu besar itu.
"Celaka! Ada orang yang usil dan ingin mengurung kita dalam gua ini, Telaga Sunyi!" ucap Pendekar Mabuk.
"Kurasa memang begitu. Tapi siapa orangnya?"
"Mungkin kakak seperguruanmu itu; Dewi Gapit Mesra."
"Tidak mungkin. Dia tidak punya ilmu yang bisa membuat batu sebesar itu memancarkan panas yang, aduuuh... makin menyengat kulit saja rasanya," Telaga Sunyi melangkah mundur.
"Akan kucoba untuk menghancurkan batu itu!" Pendekar Mabuk mulai meneguk tuaknya. Sebagian ditelan, sebagian disisakan di muiut untuk disemburkan.
* * *
ENAM
JURUS 'Sembur Siluman' tak bisa membuat batu itu lenyap seperti benda-benda lain yang terkena semburan tuak Suto itu. Ini menandakan bahwa batu penutup pintu gua itu dilapisi tenaga gaib yang cukup tinggi. Bahkan ketika Suto ingin mencoba menggunakan jurus 'Sembur Siluman' untuk yang kedua kalinya, tahu-tahu ia terpental ke belakang dengan kuat hingga membentur sebongkah batu yang ada di belakangnya. Suto terbatuk-batuk karena tersedak tuak dalam mulutnya sendiri."Sutooo...?!" seru Telaga Sunyi dalam kegelapan itu. "Suto kau di mana?"
"Di sini!" seru Suto dengan suara berat.
"Kau jatuh?"
"Ya. Sepertinya batu itu mengeluarkan tenaga dalam cukup besar. Aku terlempar keras sekali. Dadaku terasa panas!"
"Kita keluar lewat jalan lain saja, Suto! Aku seperti melihat titik terang di arah kiri kita. Tapi kita harus masuk lebih dalam sedikit. Suto, di mana kamu?"
"Aku di sini," jawab Suto segera menyentuh pundak Telaga Sunyi tanpa disengaja. Telaga Sunyi pun segera memegangi lengan Suto.
"Jangan jauh dariku, Suto. Aku takut!"
"Aku juga," jawab Suto seenaknya sambil menghempaskan napas, memperlega jalannya pernapasan. "Aku akan mencoba menghancurkan batu itu dengan jurus lain!"
"Tapi...," Telaga Sunyi ingin menyatakan kecemasannya, ingin melarang rencana itu, namun ia sangsi tak jadi melakukannya.
"Mundurlah ke arah belakangku, biar aku bisa mencarimu sewaktu-waktu. Agak jauh sedikit, ya?"
Hawa di dalam gua semakin panas, mengucurkan keringat. Tapi Pendekar Mabuk tak mau menyerah, ia mulai bersiap-siap pergunakan jurus penggempurnya yang dinamakan jurus 'Pecah Raga', yang biasanya membuat raga lawan pecah menjadi serpihan kecil. Tapi sebelum tangan Suto bergerak, tiba-tiba hempasan tenaga kuat datang menerjangnya kembali.
Wuuut...! Blaaam...!
Kali ini tubuh Suto memancarkan cahaya merah dalam sekejap. Tubuh itu tampak terbang terpelanting tak tentu arah. Telaga Sunyi sempat melihat sendiri saat sinar merah berkerliap dalam sekejap. Maka gadis itu pun kembali serukan kecemasannya.
"Suto...?! Sutooo...?!" ia mulai melangkah meraba dalam gelap. Kakinya terantuk batu. Dug, brruk...! "Auh...!" Telaga Sunyi memekik kesakitan karena jatuh tersungkur, ia segera bangkit ketika mendengar suara erangan memberat dari mulut Suto Sinting, ia meraba semakin hati-hati menuju suara erangan itu.
"Suto, kau terluka...?!"
"Iiiya...! Dadaku... sakit sekali!"
"Bumbung tuakmu di mana?!"
"Jat... jatuh dii...dii..."
"Oh, ini kutemukan!" seru Telaga Sunyi dengan girang. Kemudian dengan hati-hati sekali ia mendekati Suto dan menyerahkan bumbung tuak itu. Pendekar Mabuk segera menenggaknya, dan lambat laun rasa sakit di dada mulai mereda.
"Kurang ajar! Batu apa itu sebenarnya?! Belum diserang sudah menyerang lebih dulu!"
"Sepertinya kekuatan itu datang dari tokoh sakti yang ada di sekitar gua ini. Mungkin dia ada di luar gua sana!"
Pendekar Mabuk diam berpikir. Beberapa saat kemudian ia berkata pelan, seperti bicara pada diri sendiri. "Baru niat mau menyerang saja dia sudah tahu. Gawat! Pasti ilmunya lebih tinggi dariku!"
"Kita lewat jalan lain saja. Jangan memaksakan diri menghancurkan batu itu, nanti malah kepalamu sendiri yang hancur. Kalau kepalamu hancur mau diganti pakai apa?"
"Pakai kepala ayam juga bisa!" jawab Suto Sinting membuat suasana agar tak terlalu dicekam ketegangan.
Tak ada cara lain kecuali mengikuti saran Telaga Sunyi. Titik putih yang tadi dilihat Telaga Sunyi saat Suto masih terkapar itu sekarang masih ada. Titik putih itu bagaikan ada di ujung lorong. Dan mereka pun bergerak menyusuri lorong tersebut dengan saling bergandengan, karena suasana gelap membuat mereka sulit saling berhubungan jika terjadi bahaya secara mendadak. Tetapi anehnya titik putih itu semakin lama bukan semakin dekat, namun semakin terasa menjauh. Pendekar Mabuk segera hentikan langkah dan berkata kepada Telaga Sunyi,
"Kita terjebak. Itu bukan titik sinar mulut gua! Perhatikan saja, sejak tadi jaraknya masih tetap jauh dan bahkan lebih jauh dari yang pertama kita lihat, bukan?"
"Benar juga. Jadi, kita tersesat di mana ini, Suto?"
"Akan kucoba untuk melihat alam lain. Mungkin ada yang mengganggu kita, sehingga kita terkurung di sini tanpa jalan keluar."
Pendekar Mabuk segera mengusap keningnya dengan tangan kiri. Kening Suto mempunyai titik merah, suatu tanda gaib pemberian dari Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum yang menjadi ratu di alam gaib itu. Jika titik merah yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu diusap dengan tangan kiri, maka Suto dapat melihat kehidupan di alam gaib. Makhluk yang tak tampak menjadi tampak bagi matanya.
Dan ketika Suto mengusap titik merah itu dengan tangan kirinya, maka pandangan matanya segera melihat di dalam kegelapan yang bercahaya merah samar-samar. Seolah-olah lorong itu memancarkan cahaya merah sehingga dapat melihat bentuk batu dan keadaan sekeliling.
"Apa yang kau lihat, Suto?" tanya Telaga Sunyi setelah sebelumnya mendapat penjelasan tentang kekuatan titik merah di kening Suto.
"Aku tidak melihat apa-apa kecuali lorong bercahaya merah," jawab Suto Sinting sambil memandang kesana-sini. "Tak ada bentuk aneh yang bisa kulihat. Mungkin karena memang tak ada apa-apa. Tapi... tapi kelihatannya di depan sana keadaan lorong ini menjadi melebar. Coba kita ke arah sana, Telaga Sunyi!"
Apa yang dikatakan Pendekar Mabuk memang benar. Lorong itu makin jauh makin melebar sampai membentuk suatu ruangan besar dengan tiga lorong di tiga arah. Dengan menggunakan kekuatan gaib dari pandangan matanya itu, Pendekar Mabuk masih bisa melihat seluruh ruangan besar itu sampai pada lekuk-lekuk bebatuan pada dindingnya.
"Di sini tidak ada apa-apa juga, Telaga Sunyi. Tapi aku melihat ada tiga pintu lorong, depan, kiri, dan kanan. Dan... oh, tunggu!"
"Ada apa?!" Telaga Sunyi ikut tegang, karena nada suara Suto pun terdengar menegang. Telaga Sunyi menggunakan firasatnya, ia merasa ada bahaya datang yang dilihat oleh Suto Sinting.
"Suto, ada apa?" bisiknya dengan tetap berpegangan baju Suto.
"Seseorang muncul dari lorong depan. Mundurlah."
"Mundur ke mana? Aku tak bisa melihat apa-apa, Suto!"
"Oh, dia mendekati kita, Telaga!"
"Jin atau raksasa?"
"Manusia biasa," jawab Suto Sinting, "Ikuti perintahku supaya kau tidak tersandung batu. Mundur dua langkah. Ya, terus... terus...." Suto jadi seperti tukang parkir memberi aba-aba Telaga Sunyi agar langkahnya tidak tersandung batu. Telaga Sunyi mengikuti saja apa kata Suto karena dalam keadaan seperti itu tak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti Suto.
"Ke kiri sedikit. Awas ada batu di kananmu. Geser, geser lagi, ya cukup! Mundur terus, terus, terus... ya, cukup. Di situ saja, ya? Aku akan temui orang yang baru muncul dari lorong depan itu."
"Bicaralah terus supaya aku tahu di mana kau berada. Jangan diam kalau kupanggil, Suto!"
Kata-kata itu tak ditanggapi oleh Pendekar Mabuk, karena murid si Gila Tuak itu semakin tertarik dengan orang yang ada dalam penglihatannya itu. Orang tersebut adalah perempuan berbusana pinjung ungu dengan kain bawah longgar berwarna ungu berbunga-bunga emas. Rambutnya terurai panjang mencapai bagian pantatnya yang menonjol sekal itu.
Perempuan tersebut berhenti melangkah, matanya yang memancarkan keindahan itu memandangi Suto Sinting dengan sedikit sayu dan bersifat menantang. Semakin Suto mendekat, semakin jelas bibirnya menyunggingkan senyum nakal. Pendekar Mabuk melangkah terus hingga akhirnya berdiri dalam jarak tiga langkah di depan si cantik berdada besar itu.
"Oh, gila betul! Matanya memandang penuh pancaran gairah. Hatiku guncang dan napasku menjadi sesak. Haruskah aku mendekat lebih rapat lagi?"
Tangan perempuan itu terulur. Gelang kerincingnya berdenting-denting. Jarinya yang lentik dengan kuku runcing rapi bercat ungu muda itu bergerak-gerak memberi isyarat agar Suto lebih mendekat lagi. Napas Pendekar Mabuk ditahan beberapa saat untuk meredakan gejolak yang akan menggelora jika berada lebih dekat lagi dari perempuan itu. Hanya satu langkah Suto bergerak maju, lalu ia menyapa lebih dulu dengan suara lembutnya,
"Siapakah kau sebenarnya?"
"Aku orang yang kau cari pada mula perjalananmu menuju ke timur."
Suto Sinting kerutkan dahi karena tak jelas maksud jawaban tersebut. Lalu dengan suara makin pelan ia bertanya, "Maukah kau sebutkan namamu?"
"Nyai Kucir Setan!"
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat, suaranya tak sadar menjadi keras, membuat Telaga Sunyi cemas di tempatnya.
"Sutooo...?! Ada apa di sana, Suto?!"
"Hmm... eh... tak ada apa-apa. Aku baik-baik saja!" jawab Suto Sinting dengan menggeragap kikuk.
Perempuan yang mengaku bernama Nyai Kucir Setan itu tersenyum sinis dan berkata, "Gadismu sangat mengkhawatirkan kau, Suto. Tapi jangan hiraukan dia! Ikutlah aku masuk ke lorong itu!"
"Tidak. Aku... aku mau keluar dari gua ini, Nyai."
"Bukankah kau ingin menemuiku?"
"Ya, tapi bukan untuk hal-hal lain. Aku hanya ingin meminta maaf atas... atas peristiwa yang menimpa muridmu, si Karto Dupak itu! Aku tak sengaja membunuhnya. Dia sendiri yang menantangku dan melepaskan jurus mautnya itu. Aku hanya menangkis dan... dan..."
"Dan dia sekarang mati. Aku sudah memakamkannya begitu kau melangkah meninggalkan desa itu!"
"Oh. ?" Suto bernada heran.
"Itu memang kesalahan muridku sendiri. Sekalipun begitu, seharusnya kau tetap harus menebusnya dengan nyawa. Tapi jika kau mau melayaniku, kau akan kuangkat sebagai murid baru, Suto!"
"Hmmm... maksudmu... maksudmu melayani bagaimana, Nyai?"
"Ah, kau berlagak bodoh. Aku tahu kau punya gairah begitu memandangku. Sekarang pun gairahmu meluap-luap! Ayolah, ikut aku ke lorong itu!"
"Hmmm... eeh... anu... tidak. Aku hanya ingin meminta maaf padamu, Nyai. Terserah kau mau memaafkan atau tidak, yang penting aku sudah meminta maaf padamu."
"Peluklah aku, maka segala kesalahanmu akan kumaafkan, Suto!"
"Tid... tidak...," Suto geleng-geleng kepala. "Aku... aku sudah punya istri, walaupun belum resmi menjadi pengantin. Tapi... tapi aku sudah berjanji akan mengawininya dan aku tak mau menodai cinta kami. Aku tak mau berkhianat padanya!"
"Dyah Sariningrum itu maksudmu? Oh, kau bodoh sekali, Suto. Dyah Sariningrum di sana juga berbuat serong dengan pria lain. Hanya saja karena dia ratu, maka segala tingkah lakunya tak ada yang berani membicarakannya. Dyah Sariningrum saat ini sedang bercumbu dengan seorang ksatria dari sebuah negeri!"
"Ooh...?! Ben... benarkah?!"
"Apakah kau tak bisa merasakan getaran cemburumu? Manakala hatimu dan pikiranmu dilintasi oleh kecemburuan walau hanya sekejap, maka pada saat itulah Dyah Sariningrum sedang bercumbu dengan pria lain."
Darah Suto terasa mendidih. Panas di bagian dada terasa naik sampai ke kepala. Pendekar Mabuk mulai dibakar oleh kecemburuan yang amat menyiksa batin. Tubuhnya sempat gemetar dan hasratnya untuk segera pergi justru menjadi kuat. Dengan tegas ia berkata, "Kau yang membuat pintu gua ini tertutup! Sekarang kuminta buka pintu gua ini, aku akan keluar dan pergi menemui dia!"
"Kau harus melayaniku dulu, Suto. Kau harus menebus kematian muridku itu, dan menebus kunci pembuka gua!"
"Iblis betina kau!" geram Pendekar Mabuk yang telah dibakar kecemburuan begitu besar, sehingga murkanya mencari tempat untuk pelampiasan.
"Kalau kau tak mau melayaniku, maka kau harus menebus kematian muridku dengan nyawamu, Suto!"
"Lakukanlah kalau memang kau mampu!"
Suto membentak keras karena luapan amarahnya, ia lupa bahwa napasnya mengandung Napas Tuak Setan. Jika sedang marah, hembusan napasnya bisa keluarkan angin badai yang mengerikan. Dan pada saat ia membentak tadi, angin badai pun keluar dari mulutnya. Wuusss...! Gua itu berguncang.
Telaga Sunyi ketakutan. "Sutooo...! Suto ada gempa bumi, Suto! Cepat kita keluar dari sini!"
Rambut Nyai Kucir Setan meriap ke belakang bersama jubahnya. Tapi tubuhnya tetap di tempat dan tak bergerak. Sementara itu gelombang badai menghantam dinding gua dan membuat salah satu lorong menjadi runtuh tertimbun atapnya.
Glegeer...! Buuurrk...!
"Sutooo...! Ada yang roboh di sana!" seru Telaga Sunyi dicekam rasa takut karena tak bisa melihat apa-apa tapi mendengar suara yang menyeramkan.
Suto tidak peduli seruan itu. Matanya memandang tajam penuh kemarahan kepada Nyai Kucir Setan yang tidak berkuncir sedikit pun itu.
"Kau berani menyerangku dengan napas badaimu. Sekarang giliranku menyerangmu dengan napas apiku! Hiaaah...!"
Wuuusss...!
Api menyembur besar dari mulut perempuan cantik itu. Pendekar Mabuk tak punya waktu untuk menghindar. Terpaksa ia pun gunakan Napas Tuak Setan-nya lagi. "Haahhh...!"
Wuuutt...! Badai menerjang kuat, membalikkan kobaran api dari mulut Nyai Kucir Setan. Kobaran api itu justru membungkus tubuh Nyai Kucir Setan, sedangkan tubuh sang Nyai sendiri kali ini terhempas kuat membentur dinding berbatu runcing. Jraab...! Tubuh itu menancap dalam keadaan terbungkus api. Dari ulu hatinya muncul batu runcing yang menembus punggung. Nyai Kucir Setan menggeliat-geliat dengan gerakan liarnya. Tapi yang terlihat hanya kobaran api dan sesekali tangan atau kakinya keluar dari kobaran api tersebut.
Akibat sentakan Napas Tuak Setan Suto, dinding gua itu bergetar hebat. Batu-batu berjatuhan, langit gua nyaris roboh menimpa Telaga Sunyi dan Suto sendiri. Sedangkan dinding gua yang lainnya mulai retak, bahkan sisi kanan tumbang dalam keadaan hancur bagai diterjang seribu banteng.
Keadaan di dalam gua nyaris seperti mau kiamat. Hanya Suto Sinting yang melihat kejadian yang mengerikan itu. Ia segera sadar dari cekaman amarahnya. Melihat Telaga Sunyi menjerit-jerit sambil menghindari reruntuhan atap gua, Suto segera berkelebat menyambarnya. Wuuut...! Gadis itu segera dibawa lari ke lorong semula.
Gemuruh suara atap gua runtuh semakin mengerikan. Di sana-sini bagaikan hujan batu paling kecil seukuran kepala Suto. Dan keadaan itu dapat membuat mereka berdua mati tertimbun reruntuhan gua jika tak segera keluar. Suto masih gunakan pandangan gaibnya. Jika tidak begitu ia tak bisa berlari cepat sambil memanggul Telaga Sunyi yang menjerit-jerit dalam kengerian.
Ketika mereka tiba di tempat semula, mulut gua masih tertutup batu besar. Suto Sinting menggunakan napas tuaknya karena dadanya masih diliputi oleh gemuruh kecemburuan atas kata-kata Nyai Kucir Setan itu. Dalam sekali sentakan napas, batu besar itu pun terbang dan terbelah menjadi tiga bagian.
Blaar...!
Wuuus...! Cahaya matahari pagi masuk ke dalam gua, sementara dinding gua semakin bergetar. Langit-langit gua pun bertambah hancur karena badai dari mulut Pendekar Mabuk itu. Dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk melesat keluar dari mulut gua yang menjadi lebar akibat sebagian dindingnya jebol oleh badai Napas Tuak Setan itu.
Sampai di luar gua, ternyata hari sudah pagi. Embun masih ada di daun-daun yang hancur akibat terhempas badai. Beberapa pohon tumbang saling silang, bahkan ada yang pecah menjadi beberapa bagian. Badai dari Napas Tuak Setan kembali menelan korban kehidupan alam sekeliling gua itu, sementara gua itu sendiri segera bergemuruh menggelegar. Runtuh dan menimbulkan getaran hebat, seakan bukit tersebut ingin amblas ke bumi. Suto Sinting tak mau berhenti terlalu lama. Dengan masih memanggul tubuh Telaga Sunyi, ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah, bahkan nyaris melebihi kecepatan hembusan angin badai dari mulutnya sendiri itu.
Zlaaap...!
Ketika tiba di tempat yang aman, jauh dari bukit itu, Suto Sinting segera menurunkan tubuh Telaga Sunyi, ia mengendalikan napasnya, menahan gejolak kecemburuannya. Dan akhirnya ia terkejut melihat kepala Telaga Sunyi berlumur darah.
"Oh, kenapa kau, Telaga Sunyi? Hei... Telaga Sunyi...?! Telaga!"
Gadis yang kepalanya tertimpa bongkahan batu itu diam saja. Suto Sinting menjadi tegang. Buru-buru memeriksa denyut nadi dan jantungnya.
"Celaka! Jangan-jangan dia mati kena batu kepalanya?!" pikir Suto Sinting saat ingin memeriksa denyut nadinya.
* * *
TUJUH
BERUNTUNG sekali bumbung tuak Suto tidak tertinggal. Dengan tuak dalam bumbung itu, akhirnya Telaga Sunyi dapat disembuhkan dari lukanya. Gadis itu diam termenung mengenang kiamat di dalam gua yang mengerikan. Seakan bayangan mengerikan itu masih belum bisa terhapus dari ingatannya. Pagi kembali cerah. Telaga Sunyi memandang alam sekeliling. Gua tersebut sudah tidak kelihatan karena jauhnya jarak pandang. Tetapi ada keheranan yang masih menyertai Telaga Sunyi.
"Mengapa hari sudah pagi? Berapa lama kita ada di dalam gua itu sebenarnya?"
"Perbedaan waktu antara di dalam gua dan di luar gua ternyata sangat menyolok. Di dalam gua mungkin waktu bergerak dengan lambat. Tetapi di luar gua waktu bergerak cepat seperti biasanya. Jadi mungkin kita berada di dalam gua sehari semalan, walau rasanya hanya beberapa saat saja."
"Sebuah pengalaman yang baru pertama kali kujalani," gumam Telaga Sunyi. "Apa yang sebenarnya terjadi, Suto?"
"Aku bertemu dengan Nyai Kucir Setan dalam keadaan cantik jelita."
"Apakah dia memang tokoh sesat yang cantik?"
"Aslinya barangkali tidak secantik itu. Tapi mungkin dia pergunakan semacam ilmu siluman yang mampu membuatnya tampak cantik, padahal tua, kempot, peot, dan rambutnya berkuncir, itu bayanganku saja. Yang jelas, aku bertarung melawannya. Untung aku punya penglihatan gaib, jika tidak mungkin aku tak tahu apa yang bakal kita alami di dalam gua itu."
"Apakah sekarang kau masih menggunakan penglihatan gaib?"
Pendekar Mabuk tersenyum. "Tidak. Tapi aku tetap melihat sesuatu yang gaib."
"Apa yang kau lihat gaib itu?"
"Kecantikanmu!" jawab Suto Sinting dengan senyum kian melebar.
Telaga Sunyi melengos, bukan benci, bukan muak, tapi tak berani menanggung akibatnya jika terlalu lama menikmati senyuman itu. Ia hanya berkata, "Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita. Aku yakin Ayah sudah mencemaskan keadaanku."
"Baik. Kita menemui ayahmu dulu, tapi jangan lupa janjimu. Setelah itu kau harus antarkan aku untuk bertemu dengan Muria Wardani!"
"Janjiku tak akan kuingkari! Asal janjimu pun tak akan kau ingkari."
"Janji apa?"
"Tidak akan tertarik kepada Muria Wardani."
Suto Sinting tertawa sambil meneruskan langkah. "Memangnya kenapa kalau aku tertarik kepada Muria Wardani?" pancing Suto.
"Tidak apa-apa. Itu hakmu. Tapi aku akan kecewa.""Oleh sebab apa kecewa?"
"Kau tak perlu tahu!" jawabnya bernada ketus, tapi lucu bagi Pendekar Mabuk.
Perjalanan menuju rumah Telaga Sunyi melewati tiga desa. Sepanjang perjalanan desa, mata para penduduk tertuju kepada Suto dan Telaga Sunyi. Mereka memandang dengan kagum dan senang. Bahkan ada yang berkasak-kusuk sampai di telinga Suto dan Telaga Sunyi.
"Cocok sekali pasangan itu, ya? Yang pria ganteng, yang wanita cantik. Hmmm... anak-anak mereka seperti apa nantinya, ya?"
"Kau dengar bisikan mereka?" tanya Suto Sinting kepada Telaga Sunyi.
"Itu bukan bisikan tapi igauan!"
"Aneh. Orang-orang di sini belum tidur banyak yang sudah mengigau, ya?" canda Suto menghadirkan tawa kecil Telaga Sunyi. Gadis itu mencubit lengan Suto sambil tetap teruskan langkah.
Setelah mereka melintasi desa ketiga, perjalanan terhenti kembali karena munculnya seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang menghadang langkah mereka. Lelaki itu bertubuh sedikit gemuk, mempunyai kumis lebat. Tampak gagah namun berwajah culas, ia mengenakan pakaian merah berlengan tanggung sampai lewat siku. Senjata yang dibawanya adalah golok lebar bergelang-gelang tiga buah pada bagian sisinya. Rambutnya yang panjang dijepit dengan ikat kepala warna merah juga.
"O, ini orangnya?!" kata lelaki berkumis. "Ha, ha, ha, ha... rupanya hanya seorang bocah kemarin sore yang belum bisa buang ingus!"
"Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?" tanya Suto dengan heran.
"Apakah si manis itu belum sebutkan namaku?" sambil orang itu menuding Telaga Sunyi. "Sayang, ayo perkenalkan diriku kepada bocah ingusan itu!"
"Siapa dia, Telaga?" bisik Suto Sinting kepada Telaga Sunyi. Gadis itu agak gugup, tapi akhirnya menjawab pertanyaan tadi.
"Dia yang bernama Sulang Dongo, bekas pengawalnya sang Adipati yang juga jatuh cinta pada Putri Muria Wardani."
Suara bisikan pelan dari mulut Telaga Sunyi itu membuat Suto manggut-manggut dan mulai bisa meraba apa alasan Sulang Dongo menghadangnya. Maka Pendekar Mabuk pun langsung berkata kepada Sulang Dongo,
"Kau pasti menyangka aku menjadi penghalang cintamu kepada Putri Muria Wardani!"
"Tepat sekali! Karena memang demikianlah keadaannya!"
"Kujelaskan satu kali saja, aku sudah bosan mendengar alasan seperti itu! Ketahuilah, aku tidak kenal dengan Muria Wardani! Aku bukan kekasihnya!"
"Huah, hah, hah, hah...!" Sulang Dongo tertawa keras. Perutnya terguncang-guncang.
Suto Sinting berkerut dahi sambil memendam rasa dongkol, ia berbisik kepada Telaga Sunyi yang ada disampingnya. "Kenapa dia tak percaya?"
"Karena dia orang dungu!" jawab Telaga Sunyi.
Sulang Dongo berseru, "Bocah ingusan, kau pikir mataku buta dan telingaku tuli? Kau pikir aku bayi yang baru lahir sehingga mudah kau kelabui?"
"Kalau kau bayi baru lahir, siapa yang mau menjadi dukun beranaknya? Ngeri melihat gigimu yang sebesar kapak itu!" kata Suto dengan hati kesal. "Minggirlah, jangan halangi langkahku. Aku tak punya hubungan dengan Muria Wardani!"
"Tak mudah berlalu begitu saja! Aku sakit hati atas penolakan lamaranku, dan aku akan buktikan bahwa aku bisa memenggal kepalamu, Pendekar Mabuk!"
Suto sedikit heran mendengar namanya disebutkan, tapi segera ingat bahwa ciri-cirinya sebagai Pendekar Mabuk tentunya sudah dikenal orang banyak. Terutama orang-orang yang punya minat melamar Muria Wardani pasti sudah memegang ciri-ciri sosok Pendekar Mabuk. Hanya saja, mengapa mereka bisa memburu Suto dan dianggap sebagai kekasih Muria Wardani? Ini yang masih menjengkelkan hati Pendekar Mabuk.
"Sulang Dongo, aku tak ingin terlibat apa pun denganmu. Tapi kalau kau bermaksud tak baik padaku, aku akan melayanimu dengan sangat terpaksa!"
"Tak perlu banyak mulut! Terima saja penggalan golokku ini, heeaaah...!"
Wuuut...! Wuuung...!
Golok besar itu lewat di atas kepala Suto Sinting pada saat Suto Sinting merendahkan badan, menghindari tebasan ke arah lehernya. Rupanya Suto Sinting tak mau buang-buang waktu, ia segera menghantamkan bumbung tuaknya ke kaki lawannya.
Wuuut...! Prrrok...! Tepat mengenai tempurung lutut.
"Aaow...!" Sulang Dongo menjerit sekuat tenaga. Tempurung lututnya remuk bagaikan dihantam gada besi. Ia tak tahu kalau bumbung tuak itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang mampu untuk menebang pohon, tergantung penyaluran tenaga dari Suto saat itu.
Melihat lawannya terbungkuk-bungkuk sambil memegangi tempurung lututnya, Pendekar Mabuk segera kasih peringatan lagi, "Sekali lagi kau menggangguku, kuremukkan kakimu yang satunya lagi!"
"Bangsat kau, heaaat...!"
Sinar kuning melesat dari tangan Sulang Dongo. Claaap...! Arahnya ke punggung Suto Sinting. Tetapi kelebatan sinar itu diketahui oleh Telaga Sunyi. Dengan cepat Telaga Sunyi bergerak lepaskan pukulan bersinar merah yang menghantam sinar kuning tersebut. Slaap...!
Blaarr...!
Ledakan cukup keras terjadi di depan wajah Sulang Dongo yang sedang merunduk memegangi lutut dengan satu tangan itu. Cahaya ledakan itu menghantam wajah Sulang Dongo dan membuat orang berkumis itu terpental berjungkir balik sambil meraungkan suara kesakitan dengan keras.
"Aaaaa...!" ia berguling-guling kelojotan, wajahnya hitam hangus, karena ledakan yang terjadi tadi mempunyai kekuatan menyamai kilatan cahaya petir. Rambut Sulang Dongo menjadi keriting karena terbakar hawa panas. Matanya menjadi merah, bibirnya pun pecah, ia menggelepar dalam keadaan sekarat. Namun agaknya semangat cintanya kepada Muria Wardani masih menyala-nyala sehingga ia merintih memanggil-manggil nama putri adipati itu sambil berusaha merangkak.
"Muria...! Muria, tolong aku...! Muriaaa...!" sambil tangannya terulur ke arah Telaga Sunyi.
Gadis itu tercekam dalam kebingungan. Pendekar Mabuk segera mendekati Sulang Dongo dan berkata, "Aku akan obati kau, tapi jangan memusuhiku lagi. Setuju?"
"Aku... aku tidak butuh kau, Bang... sat! Aku butuh dia... Muria Wardani!" sambil menuding Telaga Sunyi. Dan hal itu membuat Suto menjadi bingung sesaat. Dipandangi wajah cantik Telaga Sunyi itu. Tapi tak bisa lama-lama karena kejap berikutnya Suto harus berpaling memandang keadaan Sulang Dongo yang mengerang panjang, kemudian menghembuskan napas terakhir dalam keadaan telungkup. "Muri... ooohh...!" Habis sudah napas Sulang Dongo. Ia tak bernyawa lagi.
Suto Sinting menyesalkan kekerasan hati Sulang Dongo yang tak mau ditolong itu. Seandainya ia mau ditolong dan menyetujui perjanjiannya dengan Pendekar Mabuk, setidaknya sampai saat ini pun Sulang Dongo masih bisa menyebutkan nama Muria Wardani. Suto Sinting segera mendekati Telaga Sunyi yang tundukkan kepala di bawah pohon. Dengan mata memandang tak berkedip suara Pendekar Mabuk pun terdengar jelas di telinga gadis itu.
"Mengapa dia mengulurkan tangan padamu, Telaga Sunyi? Mengapa dia memanggilmu Muria...?"
Telaga Sunyi pun akhirnya tarik napas panjang-panjang dan berkata, "Memang akulah Muria Wardani!"
Kini Pendekar Mabuk yang terperangah dengan pandangan mata tak berkedip sedikit pun. Mulut berbibir basah oleh tuak itu tak bergerak juga. Seakan ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan Pendekar Mabuk.
"Akulah Muria Wardani, dan akulah putri sang Adipati itu!"
"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting. "Ajaib sekali, mengapa otakku bisa menjadi sebodoh ini selama bersamamu?!"
"Itulah sebabnya aku banyak tahu tentang Kertapaksi dan kehidupan Muria Wardani, karena sebenarnya akulah orangnya. Tapi di kalangan perguruan aku memang dikenal sebagai Telaga Sunyi. Guruku sendiri juga memanggilku Telaga Sunyi."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. Bahkan sempatkan diri menenggak tuaknya beberapa teguk sebagai penenang jiwa. Apa yang dirasakan Suto adalah campuran dari rasa malu, kecewa, senang, marah, dan geli. Ternyata sejak kemarin ia bersama putri adipati, sementara sang Putri Adipati sendiri tidak mau menyebutkan siapa dirinya sehingga Suto sempat berkata agak kasar, menyatakan tidak kenal dengan Muria Wardani, tidak cinta, dan menyuruh Kertapaksi mengambil Muria Wardani.
"Pantas kalau Sulang Dongo merasa tertawa terbahak-bahak ketika kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan Muria Wardani. Tentu saja pernyataanku ini dianggap suatu lelucon yang paling konyol, sebab pada saat itu aku bersama Muria Wardani."
"Maafkan aku, Suto. Aku sendiri tak bermaksud memasukkan dirimu dalam lingkaran dendam dan kebencian. Kupikir dengan mengaku sebagai kekasihmu dan sebentar lagi akan menikah denganmu, orang-orang itu tak ada yang berani melamarku lagi"
"Jadi... jadi kau mengaku kekasihnya Pendekar Mabuk dan akan menikah dengan Suto Sinting, begitu?"
Muria Wardani alias Telaga Sunyi menganggukkan kepala. "Aku hanya menakut-nakuti mereka. Tapi ternyata mereka bukannya takut, melainkan justru memburumu karena dianggap penghalang niat."
"Kenapa tak kau katakan sejak tadi?"
"Aku malu. Malu sekali!"
Sekali lagi napas Suto ditarik dalam-dalam. Kemudian ia berkata sambil meraih tangan Muria Wardani, "Kau benar-benar tak mau menikah dengan mereka?"
"Benar!"
"Agaknya kau pun takut berhadapan dengan Penguasa Teluk Neraka?"
"Ya, memang aku takut. Ilmuku kalah tinggi dengannya."
"Baiklah! Akan kuhadapi mereka. Tapi, jujurlah padaku... apakah ayahmu memang sakit?"
"Memang. Dia memang terkena ilmu 'Teluh Cakar Buntung'. Aku tak bohong untuk yang satu ini!"
"Kalau begitu, cepat kita temui ayahmu dan ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan beliau."
Pendekar Mabuk menganggap peristiwa itu suatu keusilan seorang gadis cantik putri seorang adipati. Tentu saja gadis tidak memikirkan akibatnya akan parah bagi Suto Sinting. Tetapi sang pendekar tampan itu tidak terlalu sakit hati. Justru kadang merasa geli membayangkan gagasan konyol si gadis putri adipati itu.
"Banyak dari mereka yang kutolak, akhirnya meninggalkan ancaman. Maka siasatku dengan mengaku sebagai kekasihmu, membuat mereka tidak akan sembarangan meninggalkan ancaman pada keluargaku. Setidaknya mereka berpikir seratus kali jika ingin mencelakai keluargaku, karena calon menantunya adalah pendekar kondang yang terkenal kesaktiannya itu," tutur Telaga Sunyi dalam perjalanan, dan Suto Sinting hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Mereka disambut dengan hormat oleh para punggawa kadipaten. Wajah-wajah berseri tampak menyebar di lingkungan istana kadipaten. Mereka merasa gembira dan bangga setelah melihat sosok pendekar kondang datang bersama sang putri. Bahkan seorang inang pengasuh sempat berkata kepada Telaga Sunyi,
"Mudah-mudahan memang inilah jodoh Tuan Putri! Pegang erat-erat, jangan sampai terbang ke mana-mana. Nanti hinggap di sembarang tempat, Tuan Putri sendiri yang akan sakit hatinya."
"Kamu ini ngomong apa, Mbok! Sudah ke belakang sana!" ujar Telaga Sunyi yang merasa malu kepada Pendekar Mabuk. Sang pendekar hanya senyum-senyum saja.
Suto Sinting dipertemukan dengan Adipati Jayengrana. Sang Adipati memang sakit. Bagian kedua kakinya menderita luka semacam cakar berbisa. Baunya busuk dan memualkan perut. Luka membusuk seperti bekas cakaran itu terdapat sampai batas lutut. Padahal, sebelum itu luka tersebut hanya di bagian kedua jempol kakinya, tapi makin lama semakin merayap sebanyak itu. Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan mencapai bagian leher dan kepala, akhirnya mati tanpa bisa dimandikan jenazahnya.
"Penyakit ini datang setelah aku mencoba menolak lamaran si Penguasa Teluk Neraka, ia mengancam akan membuatku menderita kalau tak mau menikahkan Muria dengannya. Ternyata inilah ancaman itu," ujar sang Adipati.
"Kanjeng Adipati mau minum tuak?"
"Jika memang itu syarat untuk sembuh, akan kulakukan!"
"Kita coba saja. Barangkali tuak saya ini dapat mengusir kekuatan jahat dari Ilmu 'Teluh Cakar Buntung' itu," kata Suto dengan hormat, penuh kelembutan dalam bicaranya.
Sang Adipati pun menenggak tuak dari bumbung. Hanya beberapa teguk saja tuak itu ditelannya, lalu ia berkata, "Cukup sajalah. Aku tak berani banyak-banyak karena takut mabuk!"
Luka memborok yang akan membuntungkan kedua kaki sang Adipati itu ternyata tidak langsung sembuh. Pendekar Mabuk sedikit cemas. Sampai beberapa waktu lamanya mereka menunggu ternyata luka itu belum tampak tanda-tanda akan mengering. Terpaksa Suto membujuk sang Adipati agar mau minum tuak lebih banyak lagi.
"Demi kesembuhan, tak apalah ayahmu minum tuak terlalu banyak. Yang penting kedua kakinya tidak menjadi buntung karena penyakit teluh itu," ujar sang Ibu kepada Telaga Sunyi.
"Baru sekarang ada adipati disuruh minum tuak dari bumbung," ujar seorang pelayan kepada sesama pelayan. Mereka menertawakan kejadian aneh itu.
"Barangkali tabib ganteng ini punya cara penyembuhan tersendiri. Siapa tahu ampuh!" kata pelayan satunya lagi.
Terlalu banyak minum tuak sang Adipati akhirnya menderita pusing kepala. Puyeng. Namun sejauh ini luka memborok itu masih belum kelihatan akan sembuh. Sampai akhirnya sang Adipati pun tertidur karena puyengnya. Pendekar Mabuk dan Telaga Sunyi cemas. Mereka ada di taman belakang sambil membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan lain. Menurut Suto, hanya Penguasa Teluk Neraka yang bisa sembuhkan luka seperti itu, karena ia yakin 'Teluh Cakar Buntung' adalah kiriman dari Penguasa Teluk Neraka.
"Kalau ia diminta menyembuhkan, pasti bersedia asal upahnya dikawinkan denganmu."
"Upah itulah yang berat bagiku!" kata Telaga Sunyi.
"Jika begitu, aku harus memaksanya agar sembuhkan ayahmu dengan cara keras! Barangkali aku harus bertarung dengannya!"
"Jangan. Aku takut kau celaka. Dia berilmu tinggi, Suto!"
"Kita coba saja dulu. Kalau ternyata aku kalah, aku akan mengakui kekalahanku sebelum ia membunuhku!"
Telaga Sunyi diam mempertimbangkan langkah itu. Ketika itu, sore mulai datang, senja mulai menjelang. Sebentar lagi petang akan tiba. Dan seorang pelayan berlari-lari menghampiri mereka di taman sambil berkata,
"Tuan Putri... Tuan Putri..., Kanjeng Adipati sudah bangun!"
"Biar saja! Memangnya kenapa kalau sudah bangun? Apakah aku dipanggil beliau?"
"Anu... maksud saya... begitu bangun tidur ternyata lukanya itu sudah hilang. Lenyap tak berbekas!"
"Hahh...?!" Telaga Sunyi terbelalak girang. Maka mereka segera menghambur ke kamar sang Adipati, dan ternyata memang benar. Luka itu hilang, tanpa bekas apa pun. Bahkan bau busuk yang mestinya menempel di selimut pun tak ada. Kedaan itu amat menggembirakan keluarga sang Adipati.
"Terima kasih, Suto! Terima kasih!" Telaga Sunyi girang sekali sampai memeluk Suto Sinting. Yang dipeluk hanya cengar-cengir dengan hati berdebar-debar. Keceriaan mereka menjadi surut ketika seorang penjaga gerbang menyerahkan sepucuk surat yang dibawa oleh utusan dari Penguasa Teluk Neraka. Surat dari Penguasa Teluk Neraka itu mengatakan:
Ada yang ikut campur urusanku. Bagaimanapun juga aku harus dapatkan putrimu, Kanjeng Adipati. Muria Wardani harus kawin denganku. Nyawa keluargamu sebagai penggantinya jika sampai perkawinan ini gagal.
"Suto, bagaimana ini?!" Telaga Sunyi cemas membaca surat itu.
Suto Sinting diam sesaat lalu berkata, "Akan kuselesaikan besok siang!"
Mereka yang mendengar ketegasan itu menjadi tertegun diam, antara lega dan sangsi. Benarkah besok siang masalah Penguasa Teluk Neraka dapat diselesaikan Suto dengan secepat itu?
Sang pendekar tampan berkata, "Maukah kau pura-pura jadi pengantin denganku, Telaga Sunyi?!"
"Hahhh...?!" Telaga Sunyi atau Muria Wardani justru semakin terbengong mendengar pertanyaan itu. Sang Ayah pun terbengong, sedangkan sang Ibu hanya menggumam,
"Mengapa hanya pura-pura?"
"Mengapa hari sudah pagi? Berapa lama kita ada di dalam gua itu sebenarnya?"
"Perbedaan waktu antara di dalam gua dan di luar gua ternyata sangat menyolok. Di dalam gua mungkin waktu bergerak dengan lambat. Tetapi di luar gua waktu bergerak cepat seperti biasanya. Jadi mungkin kita berada di dalam gua sehari semalan, walau rasanya hanya beberapa saat saja."
"Sebuah pengalaman yang baru pertama kali kujalani," gumam Telaga Sunyi. "Apa yang sebenarnya terjadi, Suto?"
"Aku bertemu dengan Nyai Kucir Setan dalam keadaan cantik jelita."
"Apakah dia memang tokoh sesat yang cantik?"
"Aslinya barangkali tidak secantik itu. Tapi mungkin dia pergunakan semacam ilmu siluman yang mampu membuatnya tampak cantik, padahal tua, kempot, peot, dan rambutnya berkuncir, itu bayanganku saja. Yang jelas, aku bertarung melawannya. Untung aku punya penglihatan gaib, jika tidak mungkin aku tak tahu apa yang bakal kita alami di dalam gua itu."
"Apakah sekarang kau masih menggunakan penglihatan gaib?"
Pendekar Mabuk tersenyum. "Tidak. Tapi aku tetap melihat sesuatu yang gaib."
"Apa yang kau lihat gaib itu?"
"Kecantikanmu!" jawab Suto Sinting dengan senyum kian melebar.
Telaga Sunyi melengos, bukan benci, bukan muak, tapi tak berani menanggung akibatnya jika terlalu lama menikmati senyuman itu. Ia hanya berkata, "Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita. Aku yakin Ayah sudah mencemaskan keadaanku."
"Baik. Kita menemui ayahmu dulu, tapi jangan lupa janjimu. Setelah itu kau harus antarkan aku untuk bertemu dengan Muria Wardani!"
"Janjiku tak akan kuingkari! Asal janjimu pun tak akan kau ingkari."
"Janji apa?"
"Tidak akan tertarik kepada Muria Wardani."
Suto Sinting tertawa sambil meneruskan langkah. "Memangnya kenapa kalau aku tertarik kepada Muria Wardani?" pancing Suto.
"Tidak apa-apa. Itu hakmu. Tapi aku akan kecewa.""Oleh sebab apa kecewa?"
"Kau tak perlu tahu!" jawabnya bernada ketus, tapi lucu bagi Pendekar Mabuk.
Perjalanan menuju rumah Telaga Sunyi melewati tiga desa. Sepanjang perjalanan desa, mata para penduduk tertuju kepada Suto dan Telaga Sunyi. Mereka memandang dengan kagum dan senang. Bahkan ada yang berkasak-kusuk sampai di telinga Suto dan Telaga Sunyi.
"Cocok sekali pasangan itu, ya? Yang pria ganteng, yang wanita cantik. Hmmm... anak-anak mereka seperti apa nantinya, ya?"
"Kau dengar bisikan mereka?" tanya Suto Sinting kepada Telaga Sunyi.
"Itu bukan bisikan tapi igauan!"
"Aneh. Orang-orang di sini belum tidur banyak yang sudah mengigau, ya?" canda Suto menghadirkan tawa kecil Telaga Sunyi. Gadis itu mencubit lengan Suto sambil tetap teruskan langkah.
Setelah mereka melintasi desa ketiga, perjalanan terhenti kembali karena munculnya seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang menghadang langkah mereka. Lelaki itu bertubuh sedikit gemuk, mempunyai kumis lebat. Tampak gagah namun berwajah culas, ia mengenakan pakaian merah berlengan tanggung sampai lewat siku. Senjata yang dibawanya adalah golok lebar bergelang-gelang tiga buah pada bagian sisinya. Rambutnya yang panjang dijepit dengan ikat kepala warna merah juga.
"O, ini orangnya?!" kata lelaki berkumis. "Ha, ha, ha, ha... rupanya hanya seorang bocah kemarin sore yang belum bisa buang ingus!"
"Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?" tanya Suto dengan heran.
"Apakah si manis itu belum sebutkan namaku?" sambil orang itu menuding Telaga Sunyi. "Sayang, ayo perkenalkan diriku kepada bocah ingusan itu!"
"Siapa dia, Telaga?" bisik Suto Sinting kepada Telaga Sunyi. Gadis itu agak gugup, tapi akhirnya menjawab pertanyaan tadi.
"Dia yang bernama Sulang Dongo, bekas pengawalnya sang Adipati yang juga jatuh cinta pada Putri Muria Wardani."
Suara bisikan pelan dari mulut Telaga Sunyi itu membuat Suto manggut-manggut dan mulai bisa meraba apa alasan Sulang Dongo menghadangnya. Maka Pendekar Mabuk pun langsung berkata kepada Sulang Dongo,
"Kau pasti menyangka aku menjadi penghalang cintamu kepada Putri Muria Wardani!"
"Tepat sekali! Karena memang demikianlah keadaannya!"
"Kujelaskan satu kali saja, aku sudah bosan mendengar alasan seperti itu! Ketahuilah, aku tidak kenal dengan Muria Wardani! Aku bukan kekasihnya!"
"Huah, hah, hah, hah...!" Sulang Dongo tertawa keras. Perutnya terguncang-guncang.
Suto Sinting berkerut dahi sambil memendam rasa dongkol, ia berbisik kepada Telaga Sunyi yang ada disampingnya. "Kenapa dia tak percaya?"
"Karena dia orang dungu!" jawab Telaga Sunyi.
Sulang Dongo berseru, "Bocah ingusan, kau pikir mataku buta dan telingaku tuli? Kau pikir aku bayi yang baru lahir sehingga mudah kau kelabui?"
"Kalau kau bayi baru lahir, siapa yang mau menjadi dukun beranaknya? Ngeri melihat gigimu yang sebesar kapak itu!" kata Suto dengan hati kesal. "Minggirlah, jangan halangi langkahku. Aku tak punya hubungan dengan Muria Wardani!"
"Tak mudah berlalu begitu saja! Aku sakit hati atas penolakan lamaranku, dan aku akan buktikan bahwa aku bisa memenggal kepalamu, Pendekar Mabuk!"
Suto sedikit heran mendengar namanya disebutkan, tapi segera ingat bahwa ciri-cirinya sebagai Pendekar Mabuk tentunya sudah dikenal orang banyak. Terutama orang-orang yang punya minat melamar Muria Wardani pasti sudah memegang ciri-ciri sosok Pendekar Mabuk. Hanya saja, mengapa mereka bisa memburu Suto dan dianggap sebagai kekasih Muria Wardani? Ini yang masih menjengkelkan hati Pendekar Mabuk.
"Sulang Dongo, aku tak ingin terlibat apa pun denganmu. Tapi kalau kau bermaksud tak baik padaku, aku akan melayanimu dengan sangat terpaksa!"
"Tak perlu banyak mulut! Terima saja penggalan golokku ini, heeaaah...!"
Wuuut...! Wuuung...!
Golok besar itu lewat di atas kepala Suto Sinting pada saat Suto Sinting merendahkan badan, menghindari tebasan ke arah lehernya. Rupanya Suto Sinting tak mau buang-buang waktu, ia segera menghantamkan bumbung tuaknya ke kaki lawannya.
Wuuut...! Prrrok...! Tepat mengenai tempurung lutut.
"Aaow...!" Sulang Dongo menjerit sekuat tenaga. Tempurung lututnya remuk bagaikan dihantam gada besi. Ia tak tahu kalau bumbung tuak itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang mampu untuk menebang pohon, tergantung penyaluran tenaga dari Suto saat itu.
Melihat lawannya terbungkuk-bungkuk sambil memegangi tempurung lututnya, Pendekar Mabuk segera kasih peringatan lagi, "Sekali lagi kau menggangguku, kuremukkan kakimu yang satunya lagi!"
"Bangsat kau, heaaat...!"
Sinar kuning melesat dari tangan Sulang Dongo. Claaap...! Arahnya ke punggung Suto Sinting. Tetapi kelebatan sinar itu diketahui oleh Telaga Sunyi. Dengan cepat Telaga Sunyi bergerak lepaskan pukulan bersinar merah yang menghantam sinar kuning tersebut. Slaap...!
Blaarr...!
Ledakan cukup keras terjadi di depan wajah Sulang Dongo yang sedang merunduk memegangi lutut dengan satu tangan itu. Cahaya ledakan itu menghantam wajah Sulang Dongo dan membuat orang berkumis itu terpental berjungkir balik sambil meraungkan suara kesakitan dengan keras.
"Aaaaa...!" ia berguling-guling kelojotan, wajahnya hitam hangus, karena ledakan yang terjadi tadi mempunyai kekuatan menyamai kilatan cahaya petir. Rambut Sulang Dongo menjadi keriting karena terbakar hawa panas. Matanya menjadi merah, bibirnya pun pecah, ia menggelepar dalam keadaan sekarat. Namun agaknya semangat cintanya kepada Muria Wardani masih menyala-nyala sehingga ia merintih memanggil-manggil nama putri adipati itu sambil berusaha merangkak.
"Muria...! Muria, tolong aku...! Muriaaa...!" sambil tangannya terulur ke arah Telaga Sunyi.
Gadis itu tercekam dalam kebingungan. Pendekar Mabuk segera mendekati Sulang Dongo dan berkata, "Aku akan obati kau, tapi jangan memusuhiku lagi. Setuju?"
"Aku... aku tidak butuh kau, Bang... sat! Aku butuh dia... Muria Wardani!" sambil menuding Telaga Sunyi. Dan hal itu membuat Suto menjadi bingung sesaat. Dipandangi wajah cantik Telaga Sunyi itu. Tapi tak bisa lama-lama karena kejap berikutnya Suto harus berpaling memandang keadaan Sulang Dongo yang mengerang panjang, kemudian menghembuskan napas terakhir dalam keadaan telungkup. "Muri... ooohh...!" Habis sudah napas Sulang Dongo. Ia tak bernyawa lagi.
Suto Sinting menyesalkan kekerasan hati Sulang Dongo yang tak mau ditolong itu. Seandainya ia mau ditolong dan menyetujui perjanjiannya dengan Pendekar Mabuk, setidaknya sampai saat ini pun Sulang Dongo masih bisa menyebutkan nama Muria Wardani. Suto Sinting segera mendekati Telaga Sunyi yang tundukkan kepala di bawah pohon. Dengan mata memandang tak berkedip suara Pendekar Mabuk pun terdengar jelas di telinga gadis itu.
"Mengapa dia mengulurkan tangan padamu, Telaga Sunyi? Mengapa dia memanggilmu Muria...?"
Telaga Sunyi pun akhirnya tarik napas panjang-panjang dan berkata, "Memang akulah Muria Wardani!"
Kini Pendekar Mabuk yang terperangah dengan pandangan mata tak berkedip sedikit pun. Mulut berbibir basah oleh tuak itu tak bergerak juga. Seakan ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan Pendekar Mabuk.
"Akulah Muria Wardani, dan akulah putri sang Adipati itu!"
"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting. "Ajaib sekali, mengapa otakku bisa menjadi sebodoh ini selama bersamamu?!"
"Itulah sebabnya aku banyak tahu tentang Kertapaksi dan kehidupan Muria Wardani, karena sebenarnya akulah orangnya. Tapi di kalangan perguruan aku memang dikenal sebagai Telaga Sunyi. Guruku sendiri juga memanggilku Telaga Sunyi."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. Bahkan sempatkan diri menenggak tuaknya beberapa teguk sebagai penenang jiwa. Apa yang dirasakan Suto adalah campuran dari rasa malu, kecewa, senang, marah, dan geli. Ternyata sejak kemarin ia bersama putri adipati, sementara sang Putri Adipati sendiri tidak mau menyebutkan siapa dirinya sehingga Suto sempat berkata agak kasar, menyatakan tidak kenal dengan Muria Wardani, tidak cinta, dan menyuruh Kertapaksi mengambil Muria Wardani.
"Pantas kalau Sulang Dongo merasa tertawa terbahak-bahak ketika kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan Muria Wardani. Tentu saja pernyataanku ini dianggap suatu lelucon yang paling konyol, sebab pada saat itu aku bersama Muria Wardani."
"Maafkan aku, Suto. Aku sendiri tak bermaksud memasukkan dirimu dalam lingkaran dendam dan kebencian. Kupikir dengan mengaku sebagai kekasihmu dan sebentar lagi akan menikah denganmu, orang-orang itu tak ada yang berani melamarku lagi"
"Jadi... jadi kau mengaku kekasihnya Pendekar Mabuk dan akan menikah dengan Suto Sinting, begitu?"
Muria Wardani alias Telaga Sunyi menganggukkan kepala. "Aku hanya menakut-nakuti mereka. Tapi ternyata mereka bukannya takut, melainkan justru memburumu karena dianggap penghalang niat."
"Kenapa tak kau katakan sejak tadi?"
"Aku malu. Malu sekali!"
Sekali lagi napas Suto ditarik dalam-dalam. Kemudian ia berkata sambil meraih tangan Muria Wardani, "Kau benar-benar tak mau menikah dengan mereka?"
"Benar!"
"Agaknya kau pun takut berhadapan dengan Penguasa Teluk Neraka?"
"Ya, memang aku takut. Ilmuku kalah tinggi dengannya."
"Baiklah! Akan kuhadapi mereka. Tapi, jujurlah padaku... apakah ayahmu memang sakit?"
"Memang. Dia memang terkena ilmu 'Teluh Cakar Buntung'. Aku tak bohong untuk yang satu ini!"
"Kalau begitu, cepat kita temui ayahmu dan ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan beliau."
Pendekar Mabuk menganggap peristiwa itu suatu keusilan seorang gadis cantik putri seorang adipati. Tentu saja gadis tidak memikirkan akibatnya akan parah bagi Suto Sinting. Tetapi sang pendekar tampan itu tidak terlalu sakit hati. Justru kadang merasa geli membayangkan gagasan konyol si gadis putri adipati itu.
"Banyak dari mereka yang kutolak, akhirnya meninggalkan ancaman. Maka siasatku dengan mengaku sebagai kekasihmu, membuat mereka tidak akan sembarangan meninggalkan ancaman pada keluargaku. Setidaknya mereka berpikir seratus kali jika ingin mencelakai keluargaku, karena calon menantunya adalah pendekar kondang yang terkenal kesaktiannya itu," tutur Telaga Sunyi dalam perjalanan, dan Suto Sinting hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Mereka disambut dengan hormat oleh para punggawa kadipaten. Wajah-wajah berseri tampak menyebar di lingkungan istana kadipaten. Mereka merasa gembira dan bangga setelah melihat sosok pendekar kondang datang bersama sang putri. Bahkan seorang inang pengasuh sempat berkata kepada Telaga Sunyi,
"Mudah-mudahan memang inilah jodoh Tuan Putri! Pegang erat-erat, jangan sampai terbang ke mana-mana. Nanti hinggap di sembarang tempat, Tuan Putri sendiri yang akan sakit hatinya."
"Kamu ini ngomong apa, Mbok! Sudah ke belakang sana!" ujar Telaga Sunyi yang merasa malu kepada Pendekar Mabuk. Sang pendekar hanya senyum-senyum saja.
Suto Sinting dipertemukan dengan Adipati Jayengrana. Sang Adipati memang sakit. Bagian kedua kakinya menderita luka semacam cakar berbisa. Baunya busuk dan memualkan perut. Luka membusuk seperti bekas cakaran itu terdapat sampai batas lutut. Padahal, sebelum itu luka tersebut hanya di bagian kedua jempol kakinya, tapi makin lama semakin merayap sebanyak itu. Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan mencapai bagian leher dan kepala, akhirnya mati tanpa bisa dimandikan jenazahnya.
"Penyakit ini datang setelah aku mencoba menolak lamaran si Penguasa Teluk Neraka, ia mengancam akan membuatku menderita kalau tak mau menikahkan Muria dengannya. Ternyata inilah ancaman itu," ujar sang Adipati.
"Kanjeng Adipati mau minum tuak?"
"Jika memang itu syarat untuk sembuh, akan kulakukan!"
"Kita coba saja. Barangkali tuak saya ini dapat mengusir kekuatan jahat dari Ilmu 'Teluh Cakar Buntung' itu," kata Suto dengan hormat, penuh kelembutan dalam bicaranya.
Sang Adipati pun menenggak tuak dari bumbung. Hanya beberapa teguk saja tuak itu ditelannya, lalu ia berkata, "Cukup sajalah. Aku tak berani banyak-banyak karena takut mabuk!"
Luka memborok yang akan membuntungkan kedua kaki sang Adipati itu ternyata tidak langsung sembuh. Pendekar Mabuk sedikit cemas. Sampai beberapa waktu lamanya mereka menunggu ternyata luka itu belum tampak tanda-tanda akan mengering. Terpaksa Suto membujuk sang Adipati agar mau minum tuak lebih banyak lagi.
"Demi kesembuhan, tak apalah ayahmu minum tuak terlalu banyak. Yang penting kedua kakinya tidak menjadi buntung karena penyakit teluh itu," ujar sang Ibu kepada Telaga Sunyi.
"Baru sekarang ada adipati disuruh minum tuak dari bumbung," ujar seorang pelayan kepada sesama pelayan. Mereka menertawakan kejadian aneh itu.
"Barangkali tabib ganteng ini punya cara penyembuhan tersendiri. Siapa tahu ampuh!" kata pelayan satunya lagi.
Terlalu banyak minum tuak sang Adipati akhirnya menderita pusing kepala. Puyeng. Namun sejauh ini luka memborok itu masih belum kelihatan akan sembuh. Sampai akhirnya sang Adipati pun tertidur karena puyengnya. Pendekar Mabuk dan Telaga Sunyi cemas. Mereka ada di taman belakang sambil membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan lain. Menurut Suto, hanya Penguasa Teluk Neraka yang bisa sembuhkan luka seperti itu, karena ia yakin 'Teluh Cakar Buntung' adalah kiriman dari Penguasa Teluk Neraka.
"Kalau ia diminta menyembuhkan, pasti bersedia asal upahnya dikawinkan denganmu."
"Upah itulah yang berat bagiku!" kata Telaga Sunyi.
"Jika begitu, aku harus memaksanya agar sembuhkan ayahmu dengan cara keras! Barangkali aku harus bertarung dengannya!"
"Jangan. Aku takut kau celaka. Dia berilmu tinggi, Suto!"
"Kita coba saja dulu. Kalau ternyata aku kalah, aku akan mengakui kekalahanku sebelum ia membunuhku!"
Telaga Sunyi diam mempertimbangkan langkah itu. Ketika itu, sore mulai datang, senja mulai menjelang. Sebentar lagi petang akan tiba. Dan seorang pelayan berlari-lari menghampiri mereka di taman sambil berkata,
"Tuan Putri... Tuan Putri..., Kanjeng Adipati sudah bangun!"
"Biar saja! Memangnya kenapa kalau sudah bangun? Apakah aku dipanggil beliau?"
"Anu... maksud saya... begitu bangun tidur ternyata lukanya itu sudah hilang. Lenyap tak berbekas!"
"Hahh...?!" Telaga Sunyi terbelalak girang. Maka mereka segera menghambur ke kamar sang Adipati, dan ternyata memang benar. Luka itu hilang, tanpa bekas apa pun. Bahkan bau busuk yang mestinya menempel di selimut pun tak ada. Kedaan itu amat menggembirakan keluarga sang Adipati.
"Terima kasih, Suto! Terima kasih!" Telaga Sunyi girang sekali sampai memeluk Suto Sinting. Yang dipeluk hanya cengar-cengir dengan hati berdebar-debar. Keceriaan mereka menjadi surut ketika seorang penjaga gerbang menyerahkan sepucuk surat yang dibawa oleh utusan dari Penguasa Teluk Neraka. Surat dari Penguasa Teluk Neraka itu mengatakan:
Ada yang ikut campur urusanku. Bagaimanapun juga aku harus dapatkan putrimu, Kanjeng Adipati. Muria Wardani harus kawin denganku. Nyawa keluargamu sebagai penggantinya jika sampai perkawinan ini gagal.
"Suto, bagaimana ini?!" Telaga Sunyi cemas membaca surat itu.
Suto Sinting diam sesaat lalu berkata, "Akan kuselesaikan besok siang!"
Mereka yang mendengar ketegasan itu menjadi tertegun diam, antara lega dan sangsi. Benarkah besok siang masalah Penguasa Teluk Neraka dapat diselesaikan Suto dengan secepat itu?
Sang pendekar tampan berkata, "Maukah kau pura-pura jadi pengantin denganku, Telaga Sunyi?!"
"Hahhh...?!" Telaga Sunyi atau Muria Wardani justru semakin terbengong mendengar pertanyaan itu. Sang Ayah pun terbengong, sedangkan sang Ibu hanya menggumam,
"Mengapa hanya pura-pura?"
SELESAI