Keranda Hitam

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Keranda Hitam karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Keranda Hitam
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
LANGKAH kaki pemuda tampan itu terhenti karena seorang lelaki tua berjenggot abu-abu memanggil beberapa kali dari belakang.

"Kisanak... Kisanak...! Berhentilah sebentar. Kisanak... Ki...!"

Suara itulah yang menahan langkah kaki pemuda tampan yang menyandang bumbung tempat tuak di punggungnya. Lelaki berjenggot abu-abu dengan mengenakan jubah putih itu mendekat. Usianya yang diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih itu membuat langkahnya tertatih-tatih, ia mendekati anak muda itu dengan napas ngos-ngosan.

"Ada apa kau memanggilku, Pak Tua?"

"Bisakah kau menolongku, Kisanak?"

"Apa yang harus kulakukan untukmu?"

Orang bertongkat hitam itu diam sebentar, mengatur pernapasannya. Matanya yang kecil sempat memandangi anak muda yang gagah perkasa itu. "Aku ingin pergi mengunjungi seorang sahabat lama, tapi aku tak tahu arahnya kemana. Bisakah kau menunjukkan arahnya?"

"Yang ingin kau tuju daerah mana namanya, Pak Tua?" tanya Suto mulai heran sendiri.

"Aku mau menemui sahabat lamaku. Tokoh sakti yang disegani tiap orang sesat. Ilmunya tinggi, sulit dikalahkan."

"Siapa nama tokoh sakti itu, Pak Tua?"

"Sabawana. Hmmm... nama kondangnya si Gila Tuak!"

Anak muda berbaju coklat itu terkejut. Matanya makin tajam memandang Pak Tua yang sedikit terbungkuk-bungkuk itu.

"Apakah kau kenal nama sahabat lamaku itu, Nak? Kalau kau mengenalnya dan tahu tempatnya, tolong bantu aku tunjukkan di mana ia berada. Nanti aku akan bantu kamu juga memberitahukan apa yang belum kamu tahu."

Dengan nada heran Suto bertanya, "Bapak siapa?"

"Namaku Wiryasinder, dikenal dengan julukan si Arak Bayangan. Dulu aku dan sahabatku itu sering berkelana bersama."

"Kebetulan aku muridnya si Gila Tuak, Eyang!"

"Hahh...? Kalau begitu dugaanku tidak salah? Berarti ilmu nujumku masih berlaku walau usiaku sudah setua ini. He, he, he"

Suto Sinting pun tersenyum ramah dan segera membungkuk memberi hormat, ia ingat cerita gurunya tentang sahabat sang Guru yang sudah lama menghilang dari peredaran. Nama si Arak Bayangan pernah didengar Suto Sinting dari mulut gurunya, sehingga ia perlu memberi hormat kepada Pak Tua itu.

"Bagaimana kabarnya gurumu? Pasti baik-baik saja."

"Benar, Eyang. Guru dalam keadaan baik."

"Pasti kau murid tunggalnya yang bergelar Pendekar Mabuk?"

"Benar, Eyang. Saya bergelar Pendekar Mabuk. Kok Eyang tahu?"

"Arak Bayangan juga ahli nujum, jadi jangan heran kalau aku bisa mengetahui bahwa kau adalah anak yang tidak punya pusar."

Suto Sinting tersenyum malu. "Memang benar, Eyang. Sayalah bocah tanpa pusar yang kemudian diangkat murid oleh si Gila Tuak"

"Dan Bidadari Jalang. Benar, bukan?"

"Benar, Eyang. Kok Eyang kenal dengan Bibi Guru saya?"

"He, he, he... aku kan ahli nujum. Masa' begitu saja tidak tahu? Bidadari Jalang dulu juga temanku, tapi dia nakal dan aku malas berteman dengannya. Eh, dulu aku pernah dicium sama si Bidadari Jalang. Aku malu sekali. Maklum waktu itu aku seganteng kamu, jadi bahan rebutan gadis-gadis, ditarik sana, ditarik sini sampai akhirnya kulitku kendur begini dan..."

"Sudah, sudah... kalau Eyang Arak Bayangan ingin menemui Guru, jangan melantur-lantur nanti malah tersesat lagi. Sebaiknya mari saya antar ke Jurang Lindu."

"O, jadi gurumu tinggal di Jurang Lindu? Ooo... kalau daerah Jurang Lindu aku sudah hafal. Kalau begitu, aku akan pergi beranjangsana ke Jurang Lindu sekarang juga. Sampai jumpa lagi, Pendekar Mabuk"

"Tapi Eyang bisa tersesat ke pemukiman para janda kalau tidak saya antarkan ke sana. Tempat itu jauh dari sini."

"Kalau aku tersesat, wajar. Tapi kalau jadi orang sesat, itu kurangajar. He,he,he...! Sudah, sudah... teruskan perjalananmu. Aku akan ke Jurang Lindu sendiri."

"Baiklah kalau Eyang maunya begitu. Saya permisi dulu, Eyang."

"Jaga dirimu baik-baik. Nak. Salam buat gurumu si Gila Tuak dan..."

"Lho, katanya Eyang mau bertemu guru saya, kenapa masih titip salam segala?"

"O, iya. Aku lupa. Maklum sudah tua. Eh, ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Pendekar Mabuk."

Suto Sinting tak jadi memisahkan diri justru mendekat kembali. "Ada apa, Eyang?"

"Perjalananmu nanti akan menemui kejutan besar yang belum pernah kau alami selama hidupmu."

"Maksud Eyang saya akan bertemu bidadari cantik?"

"Hampir mirip itu. Tapi kejutan besar itu akan membuatmu lebih cerdas dan lebih dewasa lagi. Jangan kaget dan jangan cepat gusar. Terimalah kejutan besar itu dengan hati sabar. Sebab orang sabar disayang Tuhan."

Suto Sinting tersenyum ramah. "Apakah masih ada yang ingin kau katakan, Eyang?"

"Hmmm... tidak ada. Hanya itu. O, ya... hati-hati dengan Keranda Hitam. Dia akan jadi lawanmu."

"Keranda Hitam?" Suto memandang heran.

"Ah, sudah, sudah... lupakan saja. Keranda Hitam tak perlu dibicarakan. Itu ramalan yang kuhafalkan. Nah, kita berpisah, sampai di sini dulu. Lain waktu kita bertemu lagi, Pendekar Mabuk."

Zlappp...! Tiba-tiba Pak Tua itu lenyap bagai ditelan bumi. Suto Sinting terperanjat dan terheran-heran. "Apa maksud pertemuanku dengan si Arak Bayangan ini? Apakah punya arti dalam langkahku mendatang?"

Suto Sinting sempat memikirkan ramalan si Arak Bayangan, ia menduga-duga kejutan apa yang akan dialaminya. Tapi sampai jauh melangkah ia hanya menemukan renungan kosong tanpa makna. Hanya saja dalam hatinya masih timbul keyakinan bahwa ramalan itu akan menjadi kenyataan, entah kapan dan dimana.

* * *

Gumpalan awan hitam berarak-arak bagai menaungi langkah serombongan manusia yang melintasi kaki bukit cadas. Di atas guguaan cadas lainnya, berdiri seorang pemuda gagah dan tampan yang mengenakan baju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam. Pemuda itu barusaja menenggak tuak dari bumbung yang kini melintang di punggung. Siapa lagi dia kalau bukan murid sintingnya si Gila Tuak. Dan siapa lagi murid sintingnya si Gila Tuak kalau bukan Pendekar Mabuk; Suto Sinting.

Mata tajam yang berkesan lembut dan menawan hati lawan jenisnya itu sejak tadi memperhatikan serombongan orang yang melintasi kaki bukit. Rombongan orang yang bergerak itu bukan barisan prajurit kadipaten yang sedang pamer kegagahan, melainkan iring-iringan para pelayat yang hendak memakamkan sesosok jenazah dalam keranda hitam. Iring-iringan jenazah itu makin menjauh, hati Pendekar Mabuk semakin penasaran. Maka iapun segera menyusul rombongan pengantar jenazah itu dengan menggunakan 'Gerak Siluman' yang mampu membuatnya bergerak melebihi kecepatan anak panah.

Zlappp...!

Tahu-tahu sudah sampai di belakang orang yang ada paling akhir dari barisan pengiring jenazah itu. Orang yang paling akhir itu berbadan agak gemuk, berpakaian serba hijau dan tubuhnya tergolong pendek. Umurnya sekitar empat puluh tahun, sehingga Suto Sinting menyapanya dengan sebutan 'paman'.

"Maaf, Paman. Boleh saya mengganggu sebentar?"

"Kalau ada orang sedang mengiringi jenazah itu jangan diganggu!" hardik orang tersebut dengan suara tertahan.

"Maksud saya, mengganggu untuk menanyakan siapa yang ada dalam keranda hitam itu, Paman."

"Bocah bodoh! Yang ada dalam keranda hitam kok ditanyakan? Tentu saja mayat! Masa' batu koral?!" Orang berkumis rimbun itu bersungut-sungut.

Suto Sinting menahan diri untuk tidak menunjukkan kejengkelannya. Sebab apa yang dimaksud dalam pertanyaannya tidak dipahami oleh orang berbaju hijau itu. Maka dengan sabar Suto Sinting yang ikut berjalan beriringan itu menjelaskan apa maksud pertanyaannya tadi. "Maksud saya, mayat siapa yang ada di dalam keranda hitam itu, Paman?"

"Ya mayat orang yang sudah mati! Mana mungkin orang masih hidup kok dimasukkan ke dalam keranda dan dianggap mayat?!"

Karena jengkel, Suto Sinting akhirnya berkata, "Barangkali saja Paman kepingin tiduran di dalam keranda, kan bisa saja!"

"Kamu menghinaku?! Jangan bikin perkara lho, ini sedang mengiringi jenazah. Harus hikmat dan penuh curahan ikut berbelasungkawa."

Suto Sinting sunggingkan senyum supaya ketegangan orang itu mengendur. "Habis Paman ditanya kok jawabannya seenaknya begitu."

"Seenaknya bagaimana? Apa jawabanku tidak sesuai dengan pertanyaanmu?"

"Ya memang sesuai, tapi tidak tepat dengan maksud saya."

"Maksudmu itu bagaimana sih?!"

Salah seorang menghardik. "Ssstt...! Kalian ini kok malah berisik sendiri?! Nanti kalau mayatnya bangun karena keberisikan, bagaimana?! Dicucup ubun-ubunmu baru tahu rasa!"

Orang itu hanya menggerutu tak jelas, kemudian ia mendekati Suto dan berkata dengan nada pelan, "Tuh, dengar kan? Belum jadi mayat saja dia sudah galak, apalagi kalau jadi mayat. Makanya kamu jangan bikin ribut denganku, Anak Muda! Kalau mau ikut melayat ya ikut saja. Tidak perlu pakai berdebat segala."

Sebenarnya Suto ingin tertawa, tapi ia menahan mati-matian sampai akhirnya ia hanya bisa berkata pelan juga, "Yang mengajak ribut itu siapa?"

"Lha kamu tadi...?"

"Saya hanya ingin menanyakan jenazah siapa yang ada di dalam keranda hitam itu?"

"Apa maksudmu bertanya begitu?"

"Karena kulihat jumlah pelayatnya cukup banyak. Aku menduga jenazah itu adalah jenazah orang terpandang, setidaknya orang punya nama, dan aku ingin tahu siapa orang itu. Paham?"

"Ya jelas paham! Pertanyaan seperti itu saja kok dianggap tidak bisa kupahami!" Orang itu bersungut-sungut lagi.

"Jadi, jenazahnya siapa itu, Paman?"

"Jenazahnya seorang pendekar sakti. Kata orang-orang, bagi siapa saja yang ikut memakamkan jenazah pendekar sakti itu, banyak atau sedikit akan mendapat titisan ilmu sang almarhum. Maka aku ikut mengiringi pemakaman ini, supaya dapat titisan ilmunya walau dua-tiga jurus."

"Pendekar sakti siapa, Paman?" Suto berkerut dahi sambil melangkah mengikuti iring-iringan itu.

"Masa kamu belum bisa menduga siapa nama pendekar sakti itu? Pendekar tersebut sangat kondang seantero jagat. Di rimba persilatan namanya sangat ditakuti oleh banyak tokoh, terutama tokoh sesat yang ilmunya tanggung-tanggung. Malah tokoh sesat yang ilmunya tinggi saja sering gemetar kalau mendengar nama pendekar almarhum itu."

"O, jadi jenazah itu adalah jenazah Pendekar Almarhum?" tanya Suto dengan bingung.

Orang berambut ikal itu tertawa dengan mulut dibekap pakai tangan sendiri. "Mana ada julukan Pendekar Almarhum?!" katanya kepada Suto. "Namanya bukan Pendekar Almarhum, tapi Pendekar Mabuk!"

Degg...!

Jantung Suto Sinting bagaikan dibetot ke dalam saking kagetnya. Tanpa sadar langkahnya terhenti, tangannya mencekal lengan orang berbaju hijau itu. Orang tersebut pun terpaksa hentikan langkah dan memandang heran kepada Suto.

"Apa maksudmu menahan langkahku, Anak Muda?"

"Aku belum jelas maksudmu, Paman. Kau tadi menyebutkan nama Pendekar Mabuk, sedangkan..."

"Memang nama jenazah itu semasa hidupnya adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, muridnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Setelah mati julukannya ditambah menjadi 'Almarhum Pendekar Mabuk'. Sudah jelas, bukan?! Kalau sudah jelas ayo kita jalan lagi nanti ketinggalan rombongan!"

"Nanti dulu, Paman. Nanti dulu...." Suto Sinting masih menahan orang tersebut. "Coba Paman bicara yang betul. Jangan asal bicara begitu," kata Suto sedikit tunjukkan rasa tersinggungnya, karena orang itu menyebutkan nama dan gelarnya.

"Lho, apa kau anggap aku tadi bicaranya ngawur? Aku bicara yang sebenarnya, Anak Muda! Jenazah itu adalah jenazah Pendekar Mabuk. Nama aslinya Suto Sinting. Dia itu muridnya si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Begitulah keterangan yang kudengar dari mulut orang-orang yang ikut melayat di sini. Kalau tidak percaya tanyakan saja kepada mereka."

Suto Sinting gemetar, matanya memandang tajam kepada orang berbaju hijau itu. "Paman tahu siapa aku ini?"

"Mana aku mengenalmu, habis kau datang-datang bukan memperkenalkan diri malah mengajak berdebat begini?!"

"Akulah yang bernama Suto Sinting, Paman!"

"Aah... bercanda kamu!" Orang itu tertawa meremehkan dengan wajah melengos.

"Paman, aku ini Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Akulah murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" sambil Suto tepuk dada sendiri.

Orang itu geleng-geleng kepala sambil mencibir. "Jangan mengaku-aku Pendekar Mabuk. Apa kau pikir aku akan kabur tunggang-langgang karena menganggapmu sebagai hantu jika kau mengaku Pendeksr Mabuk? Oh, tidak bisa, Anak Muda. Aku tidak bisa kau tipu, Nak!"

Pengusung keranda hitam makin menjauh, demikian pula para pengiringnya. Orang berbaju hijau itu kaget melihat dirinya tertinggal jauh oleh rombongan, ia segera bergegas menyusul rombongan dengan mulutnya menghamburkan makian dan gerutuan kepada Suto. Sementara itu Suto Sinting sendiri diam termenung dalam keadaan masih berdiri di tempat. Matanya memandang ke arah rombongan yang menjauh dengan hati berkecamuk penuh keheranan.

"Orang itu gila atau goblok? Kata-katanya seperti orang mengigau? Ah, aku jadi sangat penasaran sekali. Apa benar orang-orang itu menganggap mayat dalam keranda hitam adalah mayatku? Apa iya Pendekar Mabuk sudah mati? Lalu aku ini siapa kalau begitu?! Bisa benar-benar sinting kalau kupikirkan terus tanpa kucari kebenarannya. Sebaiknya kutanyakan saja kepada para pengusung jenazah itu!"

Zlapp...!

Dalam waktu dua kejap, Suto Sinting sudah ada di depan rombongan pengusung jenazah, ia berdiri dengan sikap menghadang jalannya iring-iringan tersebut. Tentu saja langkah para pengusung jenazah menjadi terhenti tiba-tiba.

"Hahh...?!" Delapan pengusung jenazah sama-sama terbelalak dengan mata mendelik bagai ingin loncat keluar dari rongganya.

"Maaf, aku mengganggu perjalanan Saudara-saudara yang terhormat...," kata Suto menunjukkan sikap sopannya.

Tapi para pengiring jenazah itu saling terpekik dengan suara tertahan. Yang memanggul keranda gemetaran bagai diserang hawa salju hingga menggigil.

"Aaaaa...!" salah seorang berteriak menjerit lengking, keras sekali. Yang lainnya ikut menjerit pula hingga suasana menjadi gaduh.

"Hantuuuu...!!" teriak salah seorang pengusung jenazah yang baru saja terlepas dari rasa tercekamnya.

Maka rombongan pengiring jenazah itu pun buyar seketika. Mereka saling berteriak dan menjerit tak karuan. Ada yang bersuara jelas, ada yang hanya terdengar suaranya saja tak jelas ucapannya.

"Settaaaann...!"

"Aaannn...!"

"Hantuuu...!"

Sejumlah empat puluh pengiring saling berlarian kesana-sini tak tentu arah, saling mencari tempat berlindung, saling berusaha berlari secepat mungkin dan sejauh mungkin. Malah ada yang tersungkur jatuh dan diinjak beberapa orang.

"Wuadoow...! Matii aku, Maaakk...!"

Ada pula yang saking paniknya berlari menabrak pohon hingga batang hidungnya pecah. Salah seorang pingsan karena kejatuhan keranda mayat. Sedangkan yang sangat ketakutan hingga menggigil dengan wajah pucat tetap diam di tempat tak bisa melangkah. Tahu- tahu celananya basah.

Tentu saja Suto Sinting menjadi sangat menyesal, namun juga sangat sedih melihat ketakutan mereka. Karena ketakutan itu bagaikan sebuah musibah yang membuat beberapa orang cedera. Setelah orang yang pingsan ditolong oleh Suto dari tindihan keranda hitam, orang itu pun dicekoki dengan tuak. Tuak saktinya Suto membuat orang itu lekas siuman. Namun begitu siuman, orang itu kaget melihat wajah Suto ada di hadapannya.

"Haahh..." Orang itu pun akhirnya pingsan lagi. Sedangkan orang yang tak bisa lari itu masih menggigil di tempat, tubuhnya limbung ke kiri, kanan, depan, belakang, tapi tidak jatuh-jatuh sejak tadi.

"Uugggrr... uuhhg... uuhhgg... takut... takut...!" terdengar suara lirih orang yang menggigil tak bisa lari itu.

"Mereka benar-benar menganggapku sudah mati?!" pikir Pendekar Mabuk dengan sedih. "Mereka menganggap bertemu dengan hantu. Berati aku dianggap hantunya mayat yang ada dalam keranda hitam itu. Penasaran sekali aku jadinya. Seperti apa mayat dalam keranda itu?"

Pendekar Mabuk dekati keranda yang tutupnya sedikit terbuka itu. Tapi sebelum terlalu dekat, tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melintas di depan Suto Sinting, arahnya dari belakang Suto.

Wuttt...!

Brrrakkk...! Tutup keranda hitam itu diterjangnya hingga terpental. Keranda hitam bukan saja terbuka tutupnya namun juga rusak karena terjangan orang yang melintas cepat tadi. Mayat yang ada di dalamnya terlempar dua langkah dari pecahan tutup keranda. Bukan mayat yang jadi sasaran pandangan mata Suto, melainkan wujud sesosok tubuh yang tadi menerjang keranda hitam itu.

Sosok itu adalah sosok wanita cantik bergincu merah. Mengenakan pinjung sebatas dada warna merah bersulam benang emas. Celananya sebatas lutut warna merah beludru, sama dengan bahan pinjungnya itu. Sebuah pedang disandang di pinggangnya, tak terlalu panjang namun berkesan mewah, karena gagangnya terbuat dari kuningan emas mengkilap yang berukir indah. Sarung pedangnya pun tampak dari lempengan logam kuning emas berukir. Entah emas asli atau palsu.

Perempuan itu sungguh cantik. Bulu matanya lentik, hidungnya bangir, sesuai dengan bentuk bibirnya yang mirip kuncup mawar. Kecil, menggemaskan. Rambutnya disanggul, tapi masih ada sisa sedikit yang dibiarkan jatuh berjuntai di kanan-kirinya.

"Mundur kau, Iblis!" hardik wanita cantik berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu. Suto Sinting hanya berkerut dahi memandang dengan sikap tenang. Sedangkan mata si wanita berkulit kuning langsat itu menatap tajam penuh sikap menantang.

"Berani mendekati jenazah itu, pedangku akan mengusirmu dengan paksa!"

Sett...! Pedang pun dicabut dari sarungnya. Kaki kanannya mundur selangkah, kedua tangan mulai bersiap menyerang dengan pedang. Cukup gagah dan tegap. Kelihatan kalau wanita itu berilmu pedang lumayan. Pandangan mata dan ujung pedang sama-sama tertuju ke satu arah.

Pendekar Mabuk menarik bumbung tuaknya dari punggung, kemudian menenggak beberapa teguk. Sementara itu satu-dua orang memperhatikan dari jarak jauh penuh rasa takut. Bahkan orang yang menggigil itu kini jatuh lemas dan masih tak bisa bicara apa-apa. Pendekar Mabuk melangkah menjauhi orang yang pingsan, mendekati tempat yang lega dan agak dekat lagi dengan si wanita, sehingga dapat melihat bentuk kecantikannya lebih jelas lagi.

"Siapa kau, Nona cantik?"

"Aku yang akan bertanya begitu padamu. Siapa kau dan Iblis dari mana asalmu?!"

"Aku Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Aku dari..."

"Bohong! Kau hanya menyamar sebagai Pendekar Mabuk! Kau Suto Sinting palsu!"

"Kau yang keliru, Nona. Aku Suto yang asli!"

"Yang asli sudah tewas! Lihat itu...!" ia menuding dengan pedangnya.

Suto Sinting baru menyadari kalau mayat yang terlempar keluar dari dalam keranda itu adalah mayat dirinya. Badannya gempal berotot, dadanya bidang dan kekar. Bajunya coklat tanpa lengan, celananya putih lusuh berlumur darah, ikat pinggangnya merah. Sayang mayat itu tanpa kepala alias buntung. Tetapi di sisi keranda terdapat bumbung bambu tuak, persis sekali dengan bumbung tuak yang sedang dibawanya di pundak.

"Itu bukan aku," ucap Suto datar, seperti bicara sendiri.

"Memang itu bukan kau! Karena kau bukan Suto Sinting!"

Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala. "Kau keliru...," ucapnya pelan sambil melangkah mendekati mayat tanpa kepala itu. Hatinya membatin, "Ternyata inilah kejutan besar yang dimaksud si Arak Bayangan."

"Jangan mendekat!" bentak perempuan itu.

Bentakan tersebut tak dihiraukan oleh Suto. Akibatnya, sebelum Suto lebih dekat dengan mayat itu, si cantik, berkelebat menyerang dengan pedangnya. Wuttt...! Tubuh si cantik melayang sebatas kepala Suto. Pedangnya berkelebat mengibas bagai ingin membuntungi kepala Suto. Dengan cekatan Pendekar Mabuk putar badan sambil menyambar bumbung tuaknya untuk digunakan menangkis pedang itu.

Traanng...!

Benturan pedang dengan benturan bumbung bambu seperti benturan baja dengan baja. Ayunan pedang yang begitu keras memental balik hingga membuat tubuh si cantik yang melayang itu oleng ke belakang terbawa tenaga baliknya. Akibat yang diterima si cantik adalah mendaratkan kaki tak sempurna. Pendekar Mabuk pun segera merendah dan menyapu kaki perempuan itu dengan kaki kanannya.

Wuuss...! Plak...! Bluhgg...!

Perempuan itu jatuh telentang. Tapi dengan serta-merta pinggulnya dihentakkan sehingga tubuhnya melesat naik dan tahu-tahu kedua kakinya sudah memijak tanah dengan kuda-kuda yang kokoh. Wajahnya segera berpaling ke kanan. Wett...! Matanya memandang tajam pada Suto Sinting. Yang dipandang hanya diam, berdiri dengan mata memandang kalem. Tapi hatinya berkata dengan penuh keheranan.

"Mestinya kakinya patah. Tapi ternyata ia masih bisa berdiri tegak. Berarti sapuan kakiku yang penuh tenaga tadi dapat ditahan dengan tenaga dalamnya yang disalurkan melalui betis indahnya itu. Hebat. Dia punya ilmu yang cukup hebat. Salah besar kalau aku menyepelekannya. Aku harus hati-hati."

Tetapi perempuan yang mempunyai mata indah sedang memandang tajam berkesan galak itu juga berucap kata dalam hatinya. "Boleh juga jurus si monyet ini?! Tenaganya cukup besar! Sabetan pedangku yang penuh tenaga itu justru memantul balik lebih besar lagi. Tak kusangka dia bisa membalikkan tenagaku dua kali lipat besarnya. Aku harus waspada melawannya. Hanya saja, apa kemauan si monyet ganteng ini?"

Mata bertemu mata. Senyum Suto mengembang penuh pesona. Mestinya perempuan itu luluh hatinya karena Suto melepaskan jurus 'Senyuman Iblis' yang dapat membuat lawan jenis kasmaran dan pasrah. Tetapi jika lawan jenisnya berilmu tinggi, jurus 'Senyuman Iblis' memang tidak berguna sama sekali.

Jika, ternyata perempuan itu masih menampakkan wajah ketus dan matanya memandang galak, maka berarti perempuan itu berilmu tinggi. Suto Sinting mencatat ketinggian ilmu perempuan cantik itu di dalam hatinya, sehingga ia tak mau menggantungkan bumbung tuaknya. Bumbung itu masih dipegang dengan tangan, talinya melilit di telapak tangan, sehingga dapat digerakkan kemana-mana.

"Apa maumu menghadang kami, hah?!" hardik perempuan itu.

"Hanya membuktikan bahwa mayat itu bukan aku. Pendekar Mabuk adalah aku, Nona. Harap kau percaya."

"Aku tak mau percaya!" katanya dengan sikap menantang.

"Lalu apa maumu jika tak percaya?"

"Aku akan membawa mayat itu!"

"Mau kau bawa ke mana?"

"Kuserahkan kepada gurunya Pendekar Mabuk agar dimakamkan dengan penghormatan tinggi!"

"Apakah kau tahu di mana kediaman gurunya Pendekar Mabuk?"

"Di Jurang Lindu! Di sanalah si Gila Tuak bersemayam, sedangkan Bidadari Jalang mengasingkan diri di Lembah Badai!"

"Dia tahu semua tempat tinggal Guru," pikir Suto. "Berarti dia bukan perempuan liar yang hanya bisa bicara secara ngawur."

Kemudian Suto bertanya, "Dari mana kau tahu letak kediaman guru-guruku itu, Nona?"

"Dari siapa lagi kalau bukan dari gusti ratuku sendiri."

"Siapa gusti ratumu, Nona?"

"Untuk apa kau bertanya? Sebaiknya kau menyingkir saja dan jangan halangi kami membawa jenazah Pendekar Mabuk ini ke Jurang Lindu!"

"Tak kuizinkan kau membawa jenazah ini, karena dapat menggegerkan rimba persilatan!"

"Kalau begitu kau harus bertarung denganku sampai mati!"

"Jangan sampai mati. Sampai ada yang kalah saja. Setuju?!"

"Aku tak akan merasa kalah jika nyawaku masih belum bisa kau cabut!"

Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik celah dua gugusan cadas setinggi rumah itu. Clappp...! Sinar merah itu bergerak dengan cepat seperti bintang berekor. Nyala sinarnya sangat terang. Arahnya jelas ke punggung perempuan cantik itu.

Suto Sinting melompat ke depan sambil berseru, "Awasss...!"

Zlapp...! Tahu-tahu ia sudah beradu punggung dengan perempuan itu. Tepat ketika perempuan itu menengok ke belakang, sinar merah sedang dihadang oleh bumbung tuak Suto. Sinar itu menghantam telak bambu tuak tersebut.

Duarrrr...!

Ledakan keras terjadi. Daya ledaknya membuat tubuh Suto Sinting terpental ke belakang berjungkir balik menabrak perempuan tersebut.

"Keparat...! Mau membokongku kau hah?! Terima pembalasanku ini! Hiaaat...!" geram perempuan itu. Kemudian si cantik melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari telapak tangan kiri. Seberkas sinar hijau melesat dari telapak tangan kirinya itu. Clapp...! Arahnya ke celah dua gugusan cadas.

Blegarr...!

Dua gugusan cadas itu pecah seketika dihantam sinar hijau. Tapi tak ada seorang pun di balik gugusan cadas tersebut, sehingga perempuan itu tak bisa mengetahui siapa orang yang hendak menyerangnya dari belakang tadi.

"Untung iblis ganteng itu bergerak cepat menghadang sinar merah tadi. Kalau tidak, bisa hancur tubuhku dihantam sinar merah." Perempuan itu memandang ke arah pemuda tampan yang dianggap Suto palsu itu. Ia terperanjat namun tak diperlihatkan.

"Dia pingsan?! Oh, harus kuapakan sekarang? Kutebas dengan pedangku atau kuselamatkann dulu? Dia menghalangi langkahku membawa jenazah Suto ke Jurang Lindu, tapi dia menyelamatkan nyawaku."

Perempuan itu menggeram jengkel sendiri dililit kebimbangan. Sedangkan Suto Sinting benar-benar pingsan. Sangat cocok jika kepalanya dipakai untuk menggantikan kepala mayat yang terpenggal itu.

* * *

DUA

REMBULAN muncul di ujung malam. Bayang-bayang pohon jatuh menghitam di tanah berumput tipis. Di tanah itulah Suto Sinting terkapar dan baru saja sadar dari pingsannya. Rupanya ia pingsan sejak siang dan tak ada yang menolongnya.

"Sial! Perempuan itu ternyata tidak mau menolongku, sehingga aku dibiarkan pingsan sampai malam begini?!" gerutu Suto Sinting dalam hati. Bumbung tuak yang tergeletak di sampingnya segera diraih, kemudian ia menenggak beberapa teguk tuaknya sebagai penguat badan, mengembalikan kekuatannya yang sempat lenyap karena serangan sinar merah tadi siang.

"Rupanya orang yang melepaskan pukulan bersinar merah itu cukup sakti. Terbukti sinar merahnya tak bisa kukembalikan dengan menangkisnya memakai bumbung tuak ini. Padahal biasanya kekuatan sebesar apa pun bisa kukembalikan jika kutangkis memakai bumbung tuakku ini! Hmm.... Siapa orang yang telah menyerang perempuan cantik itu? Dan di mana perempuan itu sekarang? Atau dia..."

Ada suara mengerang samar-samar. Suara orang mengerang lirih itu datang dari balik sebuah pohon yang bayangannya jatuh menutupi Suto. Maka pemuda tampan yang sudah merasa sehat kembali karena sudah meminum tuak saktinya itu segera menuju ke balik pohon.

"Oh, dia...?!" Suto terkejut melihat perempuan cantik itu ternyata masih ada di situ dalam keadaan luka memar di wajahnya.

Rupanya perempuan itu baru saja siuman, entah sejak kapan ia jatuh pingsan di balik pohon. Yang dapat diketahui Suto adalah keadaan memar di wajah dan tubuhnya. Cahaya rembulan membuat luka memar itu terlihat jelas. Bahkan sebagian tulang pipinya tampak membengkak dan kulit bagian bawah leher hampir mencapai dada itu bagaikan luka terbakar.

Ada darah lembab yang membekas dari sudut mulutnya sampai ke rahang. Sedangkan lengannya yang kanan bagaikan habis digores dengan benda tajam sejenis ujung pedang. Lengan itu terluka dan lukanya berwarna merah kehitam-hitaman. Luka itu beracun, sebab yang keluar dari luka bukan saja darah melainkan juga busa putih seperti getah.

"Kenapa kau?! Siapa yang menyerangmu sedemikian parahnya?!"

Tentu saja pertanyaan Suto tidak bisa dijawab, karena keadaan perempuan itu sangat lemah. Matanya memandang sayu, karena di sudut mata kirinya ada luka memar membiru sampai di bagian pelipis. Mata kirinya itu bengkak, sangat menyedihkan. Kecantikannya nyaris hilang karena luka parahnya itu. Rambut acak-acakan, sanggulnya tak tertata rapi lagi.

Akhirnya justru perempuan itu yang ditolong oleh Suto, bukan Suto yang ditolong perempuan itu dari pingsannya. Dengan meminumkan tuak saktinya, Suto Sinting berhasil mengobati luka parah si cantik. Tubuh yang penuh luka itu menjadi segar kembali. Luka terkoyak terkatup rapat lagi setelah minum tuaknya Suto. Warna biru memar pun lenyap, berganti warna kulit asli. Tulang yang bengkak pun mengempes dan kembali ke wujud semula.

Kini kecantikan perempuan itu terlihat nyata lagi, bahkan badannya makin lama terasa semakin segar. Rasa perih di bagian dalam tubuhnya pun tak ada yang membekas. Hal itu sungguh mengagumkan bagi si perempuan. Dalam hatinya ia hanya berkata,

"Luar biasa kehebatan tuaknya. Hampir sama dengan kehebatan tuak Suto Sinting. Apakah dia muridnya Suto Sinting? Kabar yang kudengar, Suto tidak mempunyai murid. Kabar yang kudengar juga mengatakan bahwa Suto dikenal pula dengan julukan Tabib Darah Tuak, karena ia mampu menyembuhkan penyakit dan luka melalui tuaknya. Apakah pemuda ini juga mempunyai kesaktian yang setara dengan tuaknya Pendekar Mabuk itu?"

Perempuan itu bergegas bangkit ketika Suto Sinting memungut pedangnya. Pedang itu tergeletak dalam jarak empat langkah dari tempatnya terkapar tadi. Pedang itu diambil Suto dan diserahkan kepada pemiliknya.

"Siapa orang yang menyerangmu, Nona?"

Dalam keadaan sudah berdiri, perempuan itu menarik napas panjang-panjang. Merasakan kelegaan yang enak sekali, sepertinya ia tak pernah mengalami luka apa pun. Matanya memandang Suto sebentar. Tapi segera ingat sesuatu sehingga pandangan matanya beralih ke arah lain. Kemudian ia tampak sedikit tegang. Ia berlari ke arah keranda yang berantakan. Wajahnya semakin kelihatan kecewa dan memendam marah. Sinar rembulan menampakkan perubahan wajah itu begitu jelas. Mata indah itu segera memandang ke sana-sini, ternyata keadaan telah sepi.

Suto pun tidak melihat orang yang tadi siang menggigil ketakutan itu. Bahkan orang yang pingsan karena kejatuhan keranda juga sudah tidak ada. Satu pun manusia tak ada di sana kecuali Suto dan perempuan itu. Bukan hanya para pelayat yang hilang, tapi mayat tanpa kepala itu juga hilang. Dan hilangnya mayat itulah yang membuat perempuan cantik itu menggeram penuh kejengkelan. Ketika Suto mendekat, ia mendengar suara perempuan cantik itu menggeram penuh dendam.

"Pasti dia yang mencuri jenazah itu!"

"Maksudmu dia siapa?" tanya Suto sambil memandang ke arah sekeliling, seakan ia bertanya dengan acuh tak acuh.

"Siapa lagi kalau bukan si keparat itu!"

"Iya. Maksudku, siapa nama si keparat itu?" desak Suto kali ini sambil memandang.

"Anak Petir."

Pendekar Mabuk kerutkan dahi sambil menggumam heran, "Anak Petir...?! Aneh sekali namanya?"

"Kau baru sekarang mendengar nama itu?"

Suto Sinting mengangguk menandakan kejujurannya. Tapi perempuan itu justru tersenyum sinis melecehkan Suto. "Berarti kau bukan tokoh penting dalam dunia persilatan. Kau boleh saja punya perawakan menyerupai mendiang Pendekar Mabuk, tapi pengetahuanmu sangat cetek. Tertinggal jauh dengan Pendekar Mabuk. Pantas kalau kau tidak mengenal nama Anak Petir."

Perempuan itu bergegas meninggalkan Suto. Maka buru-buru Suto mencegahnya dengan mengejar langkah si perempuan.

"Hel, tunggu...! Apakah kau tak ingin menyebutkan namamu?"

Perempuan itu hentikan langkah, menatap Suto dalam linangan cahaya rembulan, ia menatap agak lama, sepertinya sedang mempertimbangkan jawabannya. Rupanya ia ragu-ragu untuk memperkenalkan diri. Tapi setelah teringat bahwa pemuda yang dihadapinya itu telah menyelamatkan nyawanya dan mengobati lukanya, akhirnya ia putuskan untuk memperkenalkan diri.

"Namaku... Bulan Sekuntum!"

Ia masih memandang ketika Suto manggut-manggut. Senyum Pendekar Mabuk yang membias tipis itu dibiarkan saja, tanpa tanggapan apa pun, tanpa balasan senyum yang serupa. Lalu ia menyarungkan pedangnya yang dari tadi digenggam. Srekk...! Klak...! Mantap sekali caranya memasukkan pedang. Melambangkan sebagai perempuan pemberani.

"Apa lagi yang ingin kau tanyakan?" ujarnya dengan nada angkuh.

"Apakah orang yang melukaimu sampai babak belur itu adalah Anak Petir juga?"

"Ya. Sejak kau pingsan aku bertarung dengannya, karena dia ingin mencuri mayat Pendekar Mabuk. Aku bertarung sampai sore, selewat dari sore aku tak tahu lagi."

"Boleh aku tahu apa urusanmu dengan si Anak Petir itu? Agaknya dia ingin membunuhmu secara pelan-pelan."

"Yang jelas dia musuh kami," jawab Bulan Sekuntum sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Mau tak mau Suto Sinting mengikutinya.

"Kau mau ke mana, Bulan?"

"Menemui Ki Sabawana!" langkahnya terhenti dan berpaling memandang Suto. "Pasti kau tidak tahu juga, siapa Ki Sabawana itu?"

Suto Sinting tersenyum meremehkan, sebab itu nama asli gurunya. "Aku lebih banyak tahu tentang Ki Sabawana daripada kau, Bulan Sekuntum!"

"Hem...!" Bulan Sekuntum mencibir dan melangkah lagi.

Suto mengiringinya dari samping kanan. "Kalau kau tahu, coba sebutkan siapa orang yang bernama Ki Sabawana itu?"

"Dia adalah tokoh sakti yang namanya tertera di urutan paling atas dari nama tokoh-tokoh sakti aliran putih. Nama Ki Sabawana dikenali orang sebagai tokoh yang paling ditakuti yang berjuluk si Gila Tuak. Nama tokoh sakti kedua adalah Bidadari Jalang yang bernama asli Nawang Tresni. Dulu perempuan cantik itu adalah tokoh sesat. Tapi sekarang ia sudah bertobat dan menjadi tokoh aliran putih. Mereka mempunyai guru suami-istri. Gila Tuak adalah murid Eyang Purbapati dan Bidadari Jalang adalah murid istrinya Purbapati yang bernama Eyang Nini Galih. Keduanya mempunyai murid tunggal bernama Suto Sinting yang akhirnya bergelar Pendekar Mabuk."

Bulan Sekuntum hentikan langkahnya, ia memandangi Suto lagi. Kali ini pandangan matanya tidak berkesan meremehkan, melainkan berkesan memuji, ia memanggut-manggut sesast sambil berkata pelan. "Boleh juga pengetahuanmu. Sama persis dengan apa yang diceritakan ratu gustiku."

"Siapa ratu gustimu itu?"

"Gusti Dewi Giok."

Suto termenung sebentar dengan dahi berkerut tipis.

"Pasti kau tidak mengenalnya, bukan?"

"Ya, aku tidak mengenalnya. Bahkan baru sekarang aku mendengar namanya," jawab Suto jujur sambil mengikuti langkah Bulan Sekuntum lagi.

"Kalau begitu kau hanya secara kebetulan saja mendengar cerita tentang pribadi si Gila Tuak dan Bidadari Jalang," kata Bulan Sekuntum. "Kalau kau tahu banyak tentang mereka, tentunya kau mengenal nama gusti ratuku itu. Sebab Gusti Dewi Giok adalah adik sepupu Bidadari Jalang. Usianya sudah banyak tapi masih awet muda dan..."

"Kalau begitu," potong Suto. "Dewi Giok adalah saudara dari Ratu Ringgit Kencana yang bernama Asmaradani?!"

Bulan Sekuntum kaget lagi. Langkahnya pun mau tak mau terhenti. Kali ini dahinya tampak berkerut saat menatap Suto tanpa berkedip. "Itu nama yang jarang bisa dikenal orang," kata Bulan Sekuntum. "Bagaimana kau bisa mengenal nama kakak gusti ratuku?"

Kini Suto Sinting tersenyum tipis berkesan sombong, ia sengaja tersenyum begitu untuk membalas senyuman sombong Bulan Sekuntum yang sejak tadi dipamerkan untuk meremehkan Suto. Bahkan kini Suto yang melangkah lebih dulu, hingga Bulan Sekuntum mengikutinya.

"Asmaradani adalah Ratu Negeri Ringgit Kencana, Negeri itu ada di dasar laut. Untuk masuk ke pulau itu harus melalui Pulau Bayang. Asmaradani juga memiliki kesaktian tinggi, ia mempunyai ilmu yang jarang dimiliki orang, yaitu ilmu 'Rambah Batin'. Dengan ilmu itu ia bisa hadir dalam mimpi seseorang. Selain itu ia juga mempunyai ilmu langka yang bernama 'Latar Bayang', bisa membuat suasana pemandangan di dasar laut seperti di atas bumi, tapi tak punya matahari dan rembulan."

Seketika itu juga lengan Suto dicekal oleh Bulan Sekuntum agar langkahnya terhenti. Perempuan cantik yang sudah menata rambutnya kembali itu memandang semakin heran dan menggumam lirih. "Bagaimana kau bisa tahu hal itu?!"

"Karena aku pernah datang berkunjung ke Negeri Ringgit Kencana," jawab Suto dengan bangga. "Aku pernah menyelamatkan Asmaradani, juga pernah menyelamatkan Pendeta Agung Dewi Rembulan yang waktu itu terkena kutuk 'Birahi Salju', dan..."

"Tunggu dulu!" sergah Bulan Sekuntum. "Pendeta Agung Dewi Rembulan itu bibiku. Jangan sembarangan bicara kau!"

Suto tersenyum kalem. "Aku tidak bicara sembarangan, Nona cantik. Aku memang pernah menyelamatkan beliau dari kutukan itu. Aku memang kenal beliau, juga kenal Rindu Malam, Kelana Cinta, dan... aku juga kenal dengan bekas panglima Negeri Ringgit Kencana yang berjuluk Pelangi Sutera. Nama aslinya adalah Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang punya anak jin bernama Logo." (Baca serial Pendekar Mabuk episode; Seruling Malaikat).

Wajah cantik berbibir menggemaskan itu semakin tampak tegang, ia menarik napas dan menghembuskan panjang-panjang untuk menutupi ketegangannya, ia berjalan bertolak pinggang tiga langkah lalu kembali mendekati Suto dan berhenti dalam jarak satu langkah di depan Pendekar Mabuk.

"Begitu banyak kau tahu tentang negeri dari kakak gusti ratuku itu. Siapa kau sebenarnya?"

"Akulah Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"

"Mustahil!"

"Mustajab!" sahut Suto dengan jengkel karena masih tidak dipercaya.

"Pendekar Mabuk sudah tewas dalam keadaan kepalanya terpenggal. Kau lihat sendiri tadi siang jenazahnya terlempar dari keranda hitam!"

"Itu bukan jenazahnya Pendekar Mabuk, karena Pendekar Mabuk adalah aku ini! Masih hidup. Siapa bilang sudah mati?!"

Bulan Sekuntum makin bingung. Langkahnya tetap terayun sampai tiba di sebuah desa. Mereka masuk ke dalam sebuah kedai yang masih buka. Ternyata ke kedai itu juga menyediakan kamar untuk penginapan dengan biaya murah. Mereka memesan dua kamar untuk bermalam.

"Kenapa tidak satu kamar saja?" kata Suto Sinting.

"Kalau hanya satu kamar, lantas kau mau tidur dimana?"

"Ya di kamar itu juga," jawabnya sambil nyengir nakal, sekadar untuk bercanda.

Tapi tangan perempuan itu melayang cepat menampar pipi Suto. Plakk...! "Kau pikir aku wanita murahan yang bisa kau ajak tidur bersama?!"

"Lho, siapa yang mengajak tidur bersama?" Suto mengusap pipinya dengan wajah sedih.

"Kenapa kau punya maksud mau tidur sekamar denganku?!"

"Aku tidak mengajakmu tidur. Aku mengajakmu melek bersama! Apakah kalau sudah di dalam kamar lantas kita harus tidur berdua? Belum tentu!"

Untung saat itu kedai sudah sepi pembeli, sehingga yang melihat Suto ditampar hanya si pemilik kedai. Orang tua itu pun tidak mau ikut campur dan segera menyingkir ke dapur.

Akhirnya Bulan Sekuntum menyetujui untuk memesan satu kamar. Tapi Suto Sinting digelarkan tikar dan disuruh tidur di lantai, sedangkan si cantik itu tidur di dipan beralaskan jerami lembut. Sekalipun aturan sudah ditetapkan demikian, toh nyatanya Bulan Sekuntum tidak mau berbaring di atas dipan, ia hanya duduk di tepian dipan karena Suto Sinting masih duduk di tikar bersandar dinding. Mereka masih membicarakan tentang mayat yang dianggap Bulan Sekuntum adalah mayat Pendekar Mabuk.

"Banyak orang di negeriku yang sudah pernah melihat Pendekar Mabuk. Ada juga yang belum pernah melihat langsung, termasuk aku," kata Bulan Sekuntum. "Dan menurut mereka yang pernah melihat sosok Pendekar Mabuk, mayat yang ditemukan di perbatasan negeriku; Negeri Tanjung Samudera, adalah mayat Pendekar Mabuk tanpa kepala. Ciri-ciri pakaiannya dan badannya tidak disangsikan lagi. Terlebih setelah mereka menemukan bumbung tuak yang kesohor sebagai wadah tuak saktinya itu. Gusti Ratu segera mengutusku mengantarkan jenazah Pendekar Mabuk ke Jurang Lindu untuk diserahkan kepada si Gila Tuak."

Suto Sinting termenung sejenak. Batinnya mengakui kesamaan sosok tubuh mayat yang sempat dilihatnya itu. Menurutnya memang pantas jika orang menduga mayat tanpa kepala itu adalah dirinya. Tetapi jika seandainya mayat itu berkepala, tentunya orang yang pernah mengenalnya tidak akan mengatakan bahwa mayat itu adalah mayat Pendekar Mabuk. Jadi agaknya ada korban pertarungan yang mati terpenggal dan korban itu mempunyai ciri-ciri serupa dengan Pendekar Mabuk. Entah tidak sengaja atau memang sengaja berpakaian serupa dengan Pendekar Mabuk, yang jelas orang itu adalah orang yang bernasib malang.

"Siapa yang memenggal mayat itu?" tanya Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.

Perempuan yang punya tubuh sekal dan dada padat tak begitu montok itu angkat bahu sambilmenjawab, "Tak ada yang tahu. Pengawas perbatasan negeri kami yang menemukan mayat tersebut."

"Lalu, apa hubungannya dengan Anak Petir?"

"Itu pun aku tak tahu."

"Kenapa kau menyangka mayat yang terlempar dari keranda itu dicuri oleh Anak Petir?"

"Sebab sebelum aku bertarung melawannya, Anak Petir menyuruhku meninggalkan mayat itu. Pasti dia punya maksud tertentu dengan mayat tersebut."

Suto Sinting manggut-manggut dan menggumam lirih, kemudian diam karena termenung memikirkan hal itu. Bulan Sekuntum memperhatikan Suto sejak tadi. Dalam hatinya timbul percakapan batin yang tak didengar oleh siapa pun.

"Apa benar pemuda ini yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk? Sekalipun ia mampu menceritakan tentang si Gila Tuak, Bidadari Jalang, dan Gusti Ratu Asmaradani bersama seluruh pejabat istananya, namun aku masih ragu. Jangan-jangan ia hanya mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk untuk maksud-maksud tertentu? Aku harus tetap waspada terhadapnya."

Melihat Suto menenggak tuak, hati Bulan Sekuntum pun berkata, "Gayanya memang seperti Pendekar Mabuk, yang menurut mereka, sebentar-sebentar minum tuak dari bumbungnya. Tapi belum tentu kesaktiannya sama dengan Pendekar Mabuk. Jika benar dia adalah murid si Gila Tuak, pasti dia bisa membuat pedangku hilang. Sebab menurut cerita Gusti Ratu, hanya murid si Gila Tuak yang bisa melenyapkan benda dengan menggunakan jurus 'Sembur Siluman' memakai tuaknya. Kurasa ada baiknya dia kuuji dengan cara begitu."

Suto Sinting hanya tersenyum ketika Bulan Sekuntum menantangnya menggunakan jurus 'Sembur Siluman'. "Kau ini memang keras kepala. Sudah kubuktikan dengan berbagai ceritaku tapi masih sangsi dengan kebenaranku," kata Suto bersikap malas-malasan.

"Demi membuktikan kebenaranmu, kau harus sanggup melakukan hal itu. Jika kau beralasan macam-macam, aku terpaksa menyerangmu karena kau telah menipuku! Aku paling benci dengan lelaki yang suka menipu. Karena lelaki begitu akan menjadi pengkhianat bagi kaum wanita, terutama bagi istrinya sendiri."

"Hei, apa hubungannya dengan istri? Yang kita bicarakan ini soal mayat, bukan soal istri!"

Bulan Sekuntum meletakkan pedangnya di atas tikar, ia bagaikan tidak peduli dengan sikap malasnya Suto Sinting. "Gunakan jurus 'Sembur Siluman'-mu itu, atau aku akan menyerangmu dengan anggapan kau bukan murid si Gila Tuak?!"

Ancaman itu sulit ditolak oleh Suto. Akhirnya dengan cengar-cengir yang membuat Bulan Sekuntum tak yakin, Suto Sinting menuruti keinginan perempuan itu. Ia menenggak tuaknya, kemudian tuak disemburkan dari mulutnya ke arah pedang tersebut.

Brrusss...!

Slabb...! Pedang itu lenyap tak tersisa walau hanya ujungnya saja. Lenyapnya pedang karena semburan Suto membuat Bulan Sekuntum terbelalak kaget. Kemudian mata bundarnya yang terbelalak itu menatap ke arah Suto.

"Rupanya kau seorang tukang sihir?!"

Oh, jengkel sekali hati Suto. Sudah dibuktikan sedemikian rupa masih saja perempuan itu tidak mau mengakui Suto sebagai murid si Gila Tuak. Rasa-rasanya ingin sekali Suto menabok kepala perempuan itu biar sadar akan apa yang terjadi dengannya.

"Coba sekarang munculkan kembali pedangku tadi!" perintahnya dengan wajah penuh keraguan.

"Aku tak bisa!" kata Suto.

"Apaa ..?!" Bulan Sekuntum kaget. "Kau tak bisa membuat pedangku muncul kembali?! Tak mungkin! Jelas tak mungkin. Sebab menurut cerita ratu gustiku, murid Gila Tuak selalu bisa melenyapkan benda dengan semburan tuaknya, juga bisa memunculkan benda itu kembali dengan jurus 'Jelma Siluman'. Kenapa kau tak bisa?!"

"Bukankah menurutmu aku tukang sihir, bukan Pendekar Mabuk?! Kalau aku bukan Pendekar Mabuk, tentunya aku tak bisa membuat pedangmu muncul kembali."

"Jangan bercanda kau!" hardik Bulan Sekuntum. "Lalu bagaimana dengan pedangku? Itu pedang warisan orangtuaku! Apakah harus hilang selamanya?"

"Yah, itulah nasibmu. Salah sendiri mengapa menyuruhku menghilangkan pedang itu?" kata Suto membuat Bulan Sekuntum menggeram jengkel, kedua tangannya mulai menggenggam kuat-kuat.

Tiba-tiba pintu kamar digedor seseorang dengan kasar. Suara gedoran pintu itu mengagetkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum.

"Siapa yang menggedor pintu itu?!" bentak Bulan Sekuntum.

"Aku...! Utusan dari Ki Lurah Tunggoro!" seru suara di luar kamar.

"Apa maksudmu menggedor kamarku?!"

"Cepat buka pintunya, atau kujebol dengan paksa?!" ancam orang bersuara besar itu.

Suto Sinting berdiri, melangkah mendekati pintu bermaksud membukanya. Tetapi pundaknya segera dicekal kuat oleh Bulan Sekuntum. "Jangan buka pintunya!"

"Dia akan bikin gaduh tempat ini. Kalau pintu rusak kasihan pemilik kedai ini!"

"Biarkan dia bertindak. Aku ingin tahu, seberapa kehebatannya. Apakah ia mampu menjebol pintu jika kulapisi dengan jurus 'Perisai Matahari'-ku ini!"

Tiba-tiba Bulan Sekuntum menyentakkan kedua tangannya ke depan. Ujung-ujung jari tangan lurus ke arah depan dan memancarkan sebaris sinar putih menyilaukan. Sinar putih itu menghantam pintu tanpa suara dan segera menyebar memenuhi dinding dan pintu. Kini dinding tempat pintu itu berada menjadi bercahaya pendar-pendar warna putih.

"Buka pintunya!" teriak orang bersuara besar itu.

Bluk, bluk, bluk...! Pintu itu bagaikan tak bergeming ketika ditendang-tendang oleh orang tersebut. Suara gaduh akibat tendangan atau gebrakan bagai teredam masuk ke dalam bias sinar putih tersebut.

"Buka pintunya! Atau kuhancurkan kamar ini sekarang juga!!" teriak orang tersebut. Tapi suaranya seperti ada di kejauhan.

* * *

TIGA

UTUSAN Ki Lurah Tunggoro bernama Gaung Cablak. Mulutnya besar, suaranya juga besar. Berbadan tinggi besar berotot, kepalanya juga besar, gundul tanpa sehelai rambut pun. Tapi kepala itu diikat pakai pita merah berbintik-bintik hitam. Pakaiannya serba merah, mengenakan gelang bahar besar warna hitam. Ia menyandang goiok lebar yang diselipkan di pinggang kirinya.

Ia didampingi seorang anak buah yang bertubuh kurus kerempeng agak pendek, tapi tengil sekali. Usianya lebih muda dari Gaung Cablak yang berumur empat puluh tahun itu. Orang kerempeng itu berpakaian serba hitam, rambutnya lurus, tipis, panjang, diikat dengan kain warna coklat muda. Ia seorang pengawas buruh perkebunan milik Ki Lurah Tunggoro yang kerjanya berkeliling terus, sehingga dikenal dengan Mandor Gangsing.

Pintu kamar yang tidak bisa dijebol Gaung Cablak membuat mereka penasaran, lalu menunggu di luar kedai. Sedangkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum malam itu akhirnya tertidur dengan sendirinya dalam keadaan berbeda tempat. Pendekar Mabuk sendiri capek memikirkan masalah mayat tanpa kepala itu, hingga tak terasa lelap di atas lantai bertikar. Ketika mereka keluar dari kedai, hari sudah agak siang. Bulan Sekuntum lupa bahwa pedangnya belum dikembalikan oleh Suto. Maka ketika ia tahu di luar sedang ditunggu oleh utusan Ki Lurah Tunggoro, ia segera mendekati Pendekar Mabuk dan mendesak agar pedangnya dikembalikan.

"Aku hanya seorang tukang sihir. Bisa menghilangkan benda tapi tak bisa memunculkan kembali," sindir Suto Sinting.

"Keparat kau! Kalau kesabaranku hilang kau kuhajar lebih dulu sebelum mereka berdua!" geram Bulan Sekuntum.

Suto Sinting hanya tersenyum tenang. "Siapa mereka sebenarnya?"

"Utusan Lurah Turonggo. Aku kenal mereka; yang besar bernama Gaung Cablak, yang kurus bernama Mandor Gangsing."

"Mengapa orang yang bernama Lurah Tunggoro mengirim utusan kemari? Siapa yang mereka cari?"

"Sudah pasti aku! Karena Lurah Tunggoro adalah satu dari sekian lelaki yang tergila-gila padaku. Lamarannya kutolak, maskawinnya kubuang di depan hidungnya. Pasti dia sakit hati padaku dan mengirim kedua orang itu untuk menyeretku menghadapnya!"

"Kalau begitu ini persoalanmu. Aku tidak akan ikut campur."

"Aku tidak butuh campurtanganmu!" ujarnya dengan ketus, kemudian segera menemui Gaung Cablak. Sementara itu, Suto Sinting tertawa pelan sambil memperhatikan dari emperan kedai.

"Mengapa hanya kau yang maju, Bulan Sekuntum! Mengapa pemuda itu tidak ikut maju? Apakah dia takut padaku?!" sambil Gaung Cablak menuding Suto terang-terangan.

"Ini bukan urusannya!" kata Bulan Sekuntum. "Kalian datang untuk berurusan denganku bukan dengan dia!"

"Tapi perintah Ki Lurah Tunggoro kami harus menyeret pemuda itu, karena telah berani bermalam satu kamar denganmu, Bulan Sekuntum!" kata Mandor Gangsing.

"Siapa yang memberi tahu aku ada di sini?"

"Mata-mata kami!" jawab Gaung Cablak. "Tetapi pesan dari Ki Lurah Tunggoro, jika kau bersedia menghadap beliau sekarang juga, maka pemuda itu kami bebaskan dari ancaman kecemburuan!"

"Apakah kau sudah mampu melangkahi mayatku sehingga ingin membawaku menghadap lurah sinting itu?!"

Ucapan Bulan Sekuntum membuat kedua utusan itu saling menggeram. Merasa atasannya dihina, Gaung Cablak yang bertampang sangar itu segera memerintahkan Mandor Gangsing untuk menyerang Bulan Sekuntum.

"Mandor Gangsing, lumpuhkan si mulut angkuh itu!"

"Itu soal kecil," kata Mandor Gangsing sambilmencibir meremehkan. "Kau saja yang maju dulu, kalau kau tak sanggup baru aku yang merampungkan!"

"Kau di bawah perintahku, Goblok!" bentak Gaung Cablak. Plakk...! Kepala Mandor Gangsing dikeplak. Si kurus kerempeng itu hanya bisa nyengir sambil mengusap- usap kepalanya.

"Serang perempuan angkuh itu!"

"Hiaaaaat...!" Mandor Gangsing berteriak cempreng.

"Hiaaaat..! Hiiiaah...!"

Ia meloncat ke sana-sini tanpa ada gerakan maju menyerang. Hanya suaranya yang makin lama makin melengking tinggi mengundang perhatian orang dari kejauhan. Tangannya berkelit mencak sana-sini, tapi jaraknya makin jauh dari Bulan Sekuntum. Gaung Cablak merasa dongkol hatinya, ia hampiri Mandor Gangsing yang bagai sedang memamerkan jurus itu, lalu kakinya ditendang kuat-kuat oleh Gaung Cablak.

Bukk...! Wuuttt, brukk...!

Mandor Gangsing terpental sejauh tujuh jangkah, ia jatuh terjungkir tanpa ampun lagi. Wajahnya mencium tanah hingga bibirnya besot.

"Minggat saja kau!" hardik Gaung Cablak. Kemudian orang tinggi besar itu menghampiri Bulan Sekuntum.

"Kuperingatkan sekali lagi, Bulan Sekuntum... sebaiknya kau menghadap Ki Lurah Tunggoro sekarang juga, supaya pemuda itu tidak menjadi bahan bantalanku!"

"Aku akan menghadap lurahmu kalau sudah tanpa nyawa, jangan harapkan aku sudi menghadap lurahmu!"

"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika tulangmu remuk sebagian! Heeaaah...!"

Gaung Cablak menyerang dengan satu lompatan tak seberapa tinggi. Kakinya menerjang wajah Bulan Sekuntum. Tapi kaki besar itu mampu ditangkis oleh Bulan Sekuntum dengan tangan kiri sambil bergeser ke samping berubah arah, lalu memutar dan menendangkan kakinya ke belakang.

Wuttt...! Plokk...!

Tendangan telak itu mengenai wajah Gaung Cablak. Tentu saja tendangan kaki itu bukan sekadar tendangan tanpa tenaga dalam. Begitu besar curahan tenaga dalam pada kaki, sehingga hidung Gaung Cablak pun menjadi berdarah, tulang hidungnya sempat retak.

"Bangsat...!!" geram Gaung Cablak. Ia segera mencabut golok besarnya. Wusss...! "Kubedah perutmu, Setan!! Heeeaah...!"

Gaung Cablak menebaskan golok besarnya dengan gerakan cepat ke sekelilingnya bagaikan membabi buta. Suara gerakan golok besar menggaung di sekeliling tempat itu.

Wuung, wuung, wuung, wuung...!

Bulan Sekuntum hanya melompat mundur satu langkah. Kemudian tangan kirinya menyangga telapak tangan kanan yang berdiri tegak mengeras. Penyatuan tenaga dari kedua belah sisi disalurkan melalui ujung jari tengah tangan kanannya. Maka ketika Gaung Cablak menerjang maju, Bulan Sekuntum menyentakkan tangannya lurus ke depan. Dari ujung jari melesat sinar biru lurus menerjang kibasan golok besar yang sulit ditembus pukulan lawan itu.

Clappp...! Prrangng...! Jrubb...!

"Aaaahg...!!" Gaung Cablak memekik keras dan panjang. Sinar biru lurus itu mampu mematahkan golok besar menjadi empat bagian, juga mampu menembus mengenai dada Gaung Cablak. Akibatnya orang tinggi besar berkulit hitam itu terpental ke belakang sejauh delapanlangkah. Buhhgg...! Ia jatuh berdebam bagaikan pohon rubuh. Dari tiap lubang keluar asap putih. Sebagian kulit tubuhnya mengelupas hangus, terutama bagian dada sampai leher. Wajahnya sendiri menjadi melepuh dan tampak membendung cairan dari dalam tubuh.

"Wah, gawat! Gaung Cablak mati dalam dua jurus?! Apa lagi aku?!" pikir Mandor Gangsing. Dengan ketakutan yang begitu besar, Mandor Gangsing segera melarikan diri secepat-cepatnya. Tanpa sadar ia berlari lewat di depan Suto Sinting, sehingga secara iseng Suto Sinting menggertaknya sambil menghentakkan kaki.

"Heeaah...!!"

"Wuaaaw..! Ampuuunn..!" Mandor Gangsing menjerit kaget dan tambah ketakutan. Larinya salah sasaran hingga menerobos pagar rumah orang. Brakk.. ! Ia tambah menjerit lagi antara takut dan sakit.

"Aaaaoow...!" Lalu buru-buru bangkit dan lari lagi bagai dikejar setan. Beberapa orang yang melihat dari kejauhan, termasuk Suto sendiri, menertawakan kejadian itu. Tapi bagi Mandor Gangsing lebih baik ditertawakan daripada dibuat seperti Gaung Cablak. Orang bersuara besar itu tak berkutik, tubuhnya meringkuk di tanah pekarangan rumah orang. Dilihat dari gerakan jari kakinya, Suto Sinting tahu orang bertubuh besar itu belum menghembuskan nyawa.

"Dia masih hidup. Walaupun tinggal sisa nyawa sejengkal, tapi sepertinya aku masih bisa menolongnya!"

Ziapp...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat, tahu-tahu sudah ada di samping Gaung Cablak. Ia memandangi korban serangan Bulan Sekuntum sambil geleng-geleng kepala. Hatinya sempat membatin,

"Luar biasa. Satu jurus saja membuat lawan seperti ini. Jika Bulan Sekuntum bisa babak belur melawan Anak Petir, berarti Anak Petir lebih ganas dan lebih berbahaya ilmunya ketimbang Bulan Sekuntum?! Setidaknya orang yang berjuluk Anak Petir itu bisa menghadapi jurus sinar birunya Bulan Sekuntum tadi."

Keadaan Gaung Cablak terlalu parah. Mulutnya ternganga-nganga mencari sisa napasnya. Suto Sinting menuangkan tuak dari bumbungnya hingga mengucur masuk ke mulut lebar itu. Beberapa saat kemudian, Gaung Cablak terbatuk-batuk. Luka bakar yang membuat kulitnya melepuh itu mulai mengempis.

Saat itu Bulan Sekuntum memandang dengan mata memancarkan rasa tak suka terhadap perbuatan Suto Sinting. Tapi ia tak berani menyerang atau melarang, karena ingat bahwa pedangnya belum dikembalikan, ia hanya menggeram jengkel, lalu masuk ke dalam kedai. Duduk di sana dengan napas terengah-engah dan wajah cemberut kesal.

Gaung Cablak mulai merasakan kesembuhannya, ia mengerang bagai membuang napas. Pelan-pelan matanya dibuka dan wajah tampan yang tadi ingin dilawannya itu terlihat jelas di hadapannya. Bahkan kini pemuda tampan itu menarik tangan Gaung Cablak, membantunya berdiri.

"Kaau... kau... yang menyelamatkan aku?!" Gaung Cablak bicara pelan dengan sikap salah tingkah.

"Pulanglah dan katakan kepada lurahmu agar tak perlu mengusik si macan betina itu!" kata Suto pelan juga, takut didengar Bulan Sekuntum.

"Tapi... tapi aku harus berhasil menyeretmu dan..."

"Dan kau kehilangan kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya!" sahut Suto Sinting.

Gaung Cablak tak bisa bicara. Akhirnya ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu dengan berbagai perasaan; malu, sedih, senang, takut, dan sebagainya.

Bulan Sekuntum hanya memandangi kepergian Gaung Cablak dengan mulut meruncing, ia berdiri di pintu kedai dengan bertolakpinggang dan tampak masih gusar. Namun di sisi lain hatinya menggumam penuh keheranan.

"Baru sekarang kulihat ada orang yang bisa menyelamatkan korban jurus 'Racun Baja'-ku. Yang sudah-sudah tak satu pun ada orang yang berhasil selamat jika sudah terkena jurus 'Racun Baja' tadi. Jurus itu hanya bisa dihindari atau ditangkis dengan senjata khusus. Tapi jika sudah telanjur mengenai kulit tubuh seseorang, maka orang itu tak akan mampu bertahan hidup lebih dari setengahhari." Bulan Sekuntum geleng-geleng kepala tipis, takut terlihat Suto Sinting yang sedang melangkah mendekati kedai.

"Hanya dengan tuak saja dia bisa menyembuhkan Gaung Cablak dari 'Racun Baja'-ku?! Benar-benar tak masuk akal bagiku. Kalau begitu, dia memang si Tabib Darah Tuak alias Suto Sinting?! Jika dia memang si Pendekar Mabuk, lantas yang mati terpenggal itu siapa?" Wajah ketus itu semakin berang ketika Suto Sinting sudah ada di depannya.

"Untuk apa kau menyelamatkannya?! Kau bersekongkol dengan Lurah Tunggoro?! Kau komplotannya?!"

Pendekar Mabuk hanya nyengir sambil angkat bahu. "Aku hanya memberi pelajaran padanya, supaya ia bercerita kepada Lurah Tunggoro dan selanjutnya Lurah Tunggoro tak akan berani menganggumu lagi!"

"Bagaimanapun juga ia tetap akan mengusikku jika masih bernyawa, ia pasti akan mengajukan keponakannya."

"Siapa keponakannya itu?!"

"Anak Petir!"

"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Jadi ada hubungannya dengan Anak Petir?!"

"Kalau dia tak punya keponakan Anak Petir, mana mungkin dia berani melamarku dengan mengandalkan kesaktiannya yang masih jauh di bawahku itu?!"

"Kalau begitu, apakah menurutmu Ki Lurah Tunggoro juga ada kaitannya dengan hilangnya mayat tanpa kepala yang kau anggap diriku itu?!"

"Entah!" jawabnya masih bernada ketus. "Aku ingin kembali ke Tanjung Samudera untuk membicarakan hal ini kepada Gusti Ratu Dewi Giok. Kurasa beliau bisa memberikan jawaban tentang mayat tanpa kepala yang mirip denganmu itu!"

Suto Sinting tersenyum. Dengan mengatakan 'mayat yang mirip denganmu' Suto merasa sudah diakui sebagai Pendekar Mabuk yang sebenarnya. "Akhirnya keras kepalanya menjadi lunak kepala," pikir Suto. "Ia tidak bersikeras mengatakan mayat itu adalah Pendekar Mabuk, ia sudah mengakui dirikulah Pendekar Mabuk sebenarnya. Kurasa sudah waktunya pedang itu kumunculkan kembali. Biar dia semakin yakin bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak."

Pedang itu dimunculkan kembali dengan jurus 'Jelma Siluman'. Saat Suto Sinting menyerahkan pedang itulah kecemberutan Bulan Sekuntum menjadi pudar. Tapi tetap saja wanita cantik berdada sekal itu tak mau sunggingkan senyum yang manis.

"Aku mau pulang ke negeriku. Apakah kau ingin ikut menghadap gusti ratuku?" Ia berlagak bertanya, walau Suto tahu maksudnya adalah mengajak Suto untuk menemui sang penguasa Tanjung Samudera. Caranya mengajak sungguh unik dan lucu, sehingga Suto Sinting menertawakannya beberapa saat.

Setelah itu, Suto berkata dengan gayanya sendiri, "Aku tidak ingin menghadap ratumu. Untuk apa? Tapi tak ada salahnya kalau aku mengantarmu pulang. Siapa tahu di tengah jalan kau butuh bantuanku lagi."

"Aku tidak butuh seorang pengawal, sebab aku sendiri pengawal Ratu! Kalau kau tak ingin bertemu dengan gusti ratuku, pergilah sana jangan ikut aku!"

"Baiklah. Kalau begitu kita berpisah dari sini. Aku akan ke barat dan kau ke mana?"

Setelah diam sesaat perempuan yang masih ketus itu menjawab pelan, "Aku juga ke arah barat."

"Kalau begitu aku yang ke timur."

"Baiklah, kita ke timur bersama!"

Suto Sinting tertawa geli. Bulan Sekuntum memalingkan wajah. Agaknya ia menyembunyikan senyum dan tawa yang tak ingin dilihat Suto. Hal itu membuat Suto penasaran sehingga memutar tubuh Bulan Sekuntum hingga berhadapan.

"Aku ikut denganmu!" kata Suto.

"Terserah...!" ucapnya sambil melengos.

Perjalanan menuju Negeri Tanjung Samudera ditempuh dengan jalan kaki. Mulanya Suto Sinting mengajaknya adu kecepatan berlari, supaya mempersingkat waktu di perjalanan. Tetapi ternyata Bulan Sekuntum selalu tertinggal oleh gerakan Suto, sehingga wanita yang mengaku masih belum mempunyai kekasih itu tak mau diajak adu lari lagi.

"Nanti aku kehilangan kau, dan kau kehilangan aku. Akhirnya kau tak akan sampai ke negeriku!" kata Bulan Sekuntum yang sudah mulai ramah walau senyumnya masih setipis kulit bawang. Namun senyum itu sangat indah dan menambah kecantikan wajahnya. Suto suka memandangi senyuman setipis kulit bawang itu.

Perjalanan yang sudah memakan waktu setengah hari itu terpaksa harus berhenti. Bukan karena mereka ingin beristirahat, meiainkan karena tiga orang menghadang langkah mereka. Ketiga orang itu turun dari sebuah bukit, langsung melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Suto dan Bulan Sekuntum.

Untung keduanya mampu menghindari dengan satu lompatan bersalto ke atas, sehingga pukulan jarak jauh itu menghantam batu dan batang pohon. Hantaman itu membuat alam sekitar mereka bagai mengalami gempa kecil-kecilan. Itu menandakan pukulan mereka bukan bertenaga ringan, namun cukup mempunyai kekuatan menghancurkan alam sekitarnya.

"Siapa tiga orang berwajah kembar itu?!" bisik Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.

"Mereka yang berjuluk Malaikat Tiga Wajah."

"Apa masalahnya sehingga menyerang kita?"

"Entahlah. Tapi menurut perkiraanku, mereka sangka aku telah menghidupkan mayat yang buntung kepalanya itu. Kaulah yang dianggap mayat yang buntung itu."

"Kurang ajar. Kasih tahu pada mereka, bahwa aku bukan mayat yang buntung kepalanya. Beri tahu pula bahwa Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak masih hidup. Jika ia macam-macam denganmu, aku yang akan hadapi mereka bertiga."

Tiga orang berwajah sama dengan potongan rambut sama pula itu semakin dekat. Dalam satu lompatan terakhir mereka sudah berada dalam jarak tujuh langkah di depan Suto dan Bulan Sekuntum. Mereka berdiri tegak, tegar, dan tampak siap melepaskan serangan sewaktu-waktu.

Mereka mempunyai segala sesuatu serba kembar tiga, termasuk jenis pedang yang mereka gunakan juga bentuk dan ukurannya sama persis satu dengan lainnya. Yang membedakan mereka adalah pakaiannya. Yang satu berpakaian merah, satu lagi kuning, dan yang satunya lagi berpakaian biru. Tapi rambut mereka sepanjang punggung sama-sama lurus dan diikat memakai kain yang warnanya sesuai dengan pakaian mereka.

Tak sedikit pun wajah mereka ada kelainan. Dari hidung, mata, dagu, kumis yang tipis tapi panjang ke bawah, semuanya sama. Ukuran tinggi badan dan kurusnya badan juga sama persis. Wajah mereka pun sama-sama memancarkan kebengisan dalam usia yang sama-sama sekitar lima puluh tahun.

"Apa yang kalian kehendaki dariku?! Mengapa tahu-tahu menyerangku, hah?!" ketus Bulan Sekuntum, tak kelihatan rasa takut dan gentar sedikit pun. Padahal tiga wajah kembar itu memancarkan kebengisan, bagai orang-orang tak mengenal rasa kasihan sedikit pun terhadap lawannya.

"Kalau kau ingin tahu alasan kami menyerang kalian, jawablah dulu pertanyaanku; mengapa kau hidupkan kembali mayat Pendekar Mabuk itu?" kata Maiaikat Merah.

Malaikat Kuning menimpali kata, "Apakah kau bermaksud ingin memperkuat negerimu untuk menguasai wilayah kami dengan menggunakan kekuatan Pendekar Mabuk?"

"Kalian salah paham!" kata Bulan Sekuntum. "Yang ada bersamaku ini bukan mayat hidup kembali, tapi memang manusia utuh yang belum punya pengalaman menjadi mayat!"

"He, he, he...! Kau tak bisa menipu kami, Bulan Sekuntum!" Maiaikat Biru terkekeh dengan nada menghina. "Mata kami bertiga lebih awas daripada matamu yang hanya sepasang itu."

"Sebaiknya katakan saja, siapa yang telah menghidupkan mayat Pendekar Mabuk itu!" suara Maiaikat Kuning agak menyentak.

"Yang menghidupkan adalah Yang Maha Kuasa!" sahut Suto setelah meneguk arak satu kali.

"Bocah ingusan, sebaiknya kau tutup mulut saja dan jangan memancing kemarahan Malaikat Tiga Wajah! Kau akan menyesal selamanya jika memancing kemarahan kami!" ancam Maiaikat Merah.

"Terus terang saja, apa maksud kalian sebenarnya?!" hardik Bulan Sekuntum tak peduli dengan ancaman apa pun.

"Maksud kami adalah tidak setuju kalau Pendekar Mabuk dihidupkan kembali! Biarkan dia mati dalam keadaan terpancang kepalanya, seperti kala ditemukan oleh orang-orangmu, Bulan Sekuntum! Dan jangan paksakan dia melibatkan diri dengan urusan negerimu, karena kami akan menyerang negerimu sebelum kalian merebut wilayah kekuasaan kami di Bukit Rempoa!"

Melaikat Biru menyambung, "Benar! Untuk itu kalau kau tak mau mengembalikan dia dalam keadaan tanpa kepala seperti saat ditemukan oleh orang-orangmu, maka kami yang akan mengembalikan keadaannya sekarang juga!"

"Kalian bertiga belum ada apa-apanya jika bertarung melawannya," kata Bulan Sekuntum dengan senyum sinis.

"Laknat! Jangan meremehkan Maiaikat Tiga Wajah! Terimalah salam perkenalan kami ini. Heeeaah...!"

Tiga wajah kembar sama-sama melompat ke atas, tapi tangan mereka yang kanan sama-sama melepaskan pukulan sinar merah besar seperti sorot cahaya penerang jalan.

Wuuttt...!

Tiga sinar merah yang mengepung dari tiga arah itu sama-sama menghantam ke arah Pendekar Mabuk. Bukan ke arah Bulan Sekuntum. Tetapi, merasa berhutang budi dan menjadi sahabat, Bulan Sekuntum berkelebat menerjang tiga sinar merah itu dengan melepaskan sinar putih dari ujung-ujung jarinya.

Slabbb...!

Sinar putih dari jurus 'Perisai Matahari' itu menyebar membentuk lapisan penahan serangan lawan. Dan tiga sinar merah itu menghantam lapisan 'Perisai Matahari'.

Blegarrr...!!

Ledakannya sungguh mengguncang alam sekeliling. Tiga pohon langsung rubuh karena terkena daya hentak ledakan yang menimbulkan angin panas berkecepatan tinggi. Hentakan itu bukan saja mengguncang alam sekeliling, namun juga membuat tubuh Bulan Sekuntum terpental ke belakang dan jatuh persis di samping Suto Sinting dalam keadaan terkapar.

"Uuhg...!" Bulan Sekuntum mengerang tertahan. Ketika hendak bangkit, darah kental menyembur dari mulutnya.

Wuuurrss...!

"Bulan...?!" Suto Sinting terkejut, ia segera menolong Bulan Sekuntum sambil membatin, "Gawat! Ia terkena getaran beracun dari ledakan sinar merah tadi?! Wah bisa mampus dalam beberapa saat anak ini! Aku harus menyelamatkan dia lebih dulu!"

Zlappp...! Suto Sinting tak mau banyak urusan dulu. Ia membawa lari perempuan cantik tersebut dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Gerakan yang kecepatannya melebihi anak panah itu membuat Malaikat Tiga Wajah kebingungan mencari di mana lawan berada.

"Keparat busuk! Itu dia ke arah barat! Kejaaar...!"

Wuurrrsss...! Manusia kembar tiga itu segera mengejar Suto Sinting dengan menggunakan ilmu peringan tubuh hingga mampu bergerak cepat pula.

* * *

EMPAT

GEMERICIK suara aliran arus sungai seperti irama pengantar hening. Dalam hening itu Pendekar Mabuk mulai menemukan satu titik kesimpulan tentang misteri mayat tanpa kepala itu.

"Ternyata ada pihak yang tidak menghendaki aku hidup lebih lama lagi. Malaikat Tiga Wajah itu terang-terangan menyatakan tidak setuju jika aku hidup. Tapi, kupikir wajar saja kalau mereka bertiga menghendaki begitu, sama seperti para musuhku juga tidak suka melihat aku masih hidup. Mereka menghendaki aku mati. Sebab jika aku mati, sepak terjang mereka tidak ada yang menghalangi lagi. Jadi aku ini sebenarnya dipandang sebagai lawan berat bagi mereka. Baru sadar kalau aku ini ternyata sakti juga, ya? He, he, he,he...!"

Pemuda tampan itu cengar-cengir sendiri di pinggir sungai bernaung pohon rindang. Kakinya yang kiri dibiarkan disampar aliran air sungai yang dingin dan bening itu. Sementara itu angin yang berhembus bagaikah meninabobokan siapa saja yang menikmati kesejukan dan keteduhan di pinggir sungai itu.

"Malaikat Tiga Wajah menyangka aku sudah mati, dan menjadi berang melihat aku dalam keadaan hidup. Mereka menduga aku ingin memperkuat Negeri Tanjung Samudera. Mengapa mereka menjadi waswas begitu? Alasannya karena mereka takut kalau Negeri Tanjung Samudera merebut wilayahnya? Apa benar Ratu Dewi Giok punya rencana mau merebut Bukit Rempoa, wilayah mereka? Lalu, apakah Malaikat Tiga Wajah ada hubungannya dengan Anak Petir yang diduga mencuri mayat mirip aku itu?"

Suto belum menemukan kebenaran dugaan itu. Bahkan ia sendiri belum yakin betul bahwa mayat tanpa kepala itu dicuri oleh Anak Petir. Tetapi secara jujur Suto Sinting mengakui kehebatan ilmu Malaikat Tiga Wajah. Jurus maut yang dikatakan sebagai jurus perkenalan itu hampir saja merenggut nyawa Bulan Sekuntum jika perawan itu tidak segera diselamatkan memakai tuak sakti. Padahal luka yang diderita Bulan Sekuntum hanya akibat sentakan gelombang ledak perpaduan tenaga dalam mereka. Apalagi jika Bulan Sekuntum sampai terkena langsung ketiga sinar orang kembar itu, seperti apa jadinya?

"Orang kembar itu memang perlu diwaspadai dan tak boleh dianggap enteng," ujar Suto membatin sambil berpaling menengok ke bawah pohon. Rupanya si cantik Bulan Sekuntum sudah mulai bangun dari tidurnya. Setelah Suto berhasil meminumkan tuaknya ke mulut Bulan Sekuntum, perempuan itu segera tertidur. Dengan demikian bagian dalam tubuhnya yang terkena racun benar-benar beristirahat dan saat bangun nanti kekuatan dan tenaganya sudah pulih kembali.

Buktinya sekarang gadis itu tampak segar bugar. Bahkan ia merasa lebih segar dari saat sebelum bertemu dengan Malaikat Tiga Wajah. Rasa lelah akibat perjalanan dan adu lari dengan Suto itu pun sirna tak berbekas sedikit pun. Ia segera mendekati Suto Sinting yang masih duduk di atas sebuah batu dengan satu kaki menyentuh air sungai. Pedangnya ditenteng dengan tangan kiri, matanya yang bening indah itu memandang sekeliling penuh waspada. Sampai di dekat Suto, ia berhenti dan tetap berdiri memandangi tanggul berhutan ilalang.

"Mengapa kau tenang-tenang saja? Apakah kau yakin betul bahwa Malaikat Tiga Wajah tidak akan menemukan tempat kita ini?" tanyanya sambil tetap memandang ke arah lain.

"Setahuku mereka mengejar salah arah. Aku sudah berhasil mengecohkan mereka dengan berlagak ke barat, padahal aku lari ke utara."

"Hmm...!" Bulan Sekuntum menggumam pendek sambil senyum sinis. "Kau memang punya banyak kelicikan rupanya."

"Tapi bukan untuk kejahatan."

Bulan Sekuntum sunggingkan senyum tipis lagi, berkesan dingin dan kaku. Suto Sinting memandangnya dengan mendongak, karena ia masih dalam keadaan duduk di atas batu.

"Tempat ini sudah dekat dengan perbatasan Tanjung Samudera, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita. Selagi tak ada yang menghalangi langkah kita."

Barulah Suto Sinting berdiri dan berkata, "Baik. Tapi bagaimana menurutmu tentang Malaikat Tiga Wajah itu? Haruskah mereka kulumpuhkan jika menghalangi kita lagi?"

"Lumpuhkan saja! Habisi riwayat mereka biar tidak menjadi duri bagi negeri yang damai, seperti negeriku."

"Menjadi duri? Apakah mereka sering mengganggu negeri yang damai? Bukankah mereka justru khawatir wilayahnya akan direbut oleh orang-orangmu?"

"Itu hanya alasan saja. Sebenarnya Malaikat Tiga Wajah sudah lama mengincar kelengahan kami. Mereka ingin menguasai wilayah Tanjung Samudera. Mereka khawatir jika kekuatanmu disatukan dengan kekuatan Gusti Ratu Dewi Giok, maka usaha mereka merebut Tanjung Samudera akan semakin sulit."

Bulan Sekuntum mendului melangkah, sehingga Suto mengikutinya. "Tiga manusia kembar itu haus kekuasaan. Mereka ingin melebarkan sayap. Setiap negeri berusaha ditaklukkan untuk mendapatkan pengikut. Mereka ingin Perguruan Tiga Malaikat menjadi besar dan tersebar di mana-mana. Tetapi sampai sekarang mereka masih mencari-cari negeri mana yang mudah mereka taklukkan. Caranya mempelajari kelemahan sebuah negeri dengan melakuan gangguan-gangguan kecil, sehingga kekuatan negeri itu dapat diperkirakan besar-kecilnya. Salah satu negeri yang diincarnya adalah Tanjung Samudera."

"Mengapa mereka mengincar Tanjung Samudera?"

"Tanahnya subur, dekat pantai, kekayaan alamnya dapat menjadi modal mendirikan perguruan terbesar di Tanah Jawa."

"Kalau begitu...," ucapan Suto Sinting tidak dilanjutkan karena ia terperanjat dengan munculnya seorang perempuan berjubah jingga. Bulan Sekuntum juga kaget melihat perempuan itu muncul dari balik pohon besar dan melangkah ke pertengahan jalan yang akan dilalui mereka berdua.

"Siapa lagi ini?" bisik Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.

Bisikan itu belum mendapat jawaban, karena Bulan Sekuntum sedang adu pandang dengan perempuan berjubah jingga. Usia perempuan itu sekitar tiga puluh lima tahun. Punya kecantikan yang menantang gairah lelaki. Bibir dan matanya berkesan jalang. Rambutnya dibiarkan meriap lepas, berikat kepala dari bahan logam emas berhias batuan putih intan. Jubahnya yang terbuka bagian depan menampakkah bentuk dadanya yang sekal montok, lebih besar dari milik Bulan Sekuntum.

Dada itu terlihat lebih jelas karena ia tidak mengenakan pinjung rapat, melainkan mengenakan penutup dada dari bahan sutera tipis warna biru tua, dan hanya bagian tertentu yang ditutupnya. Sedangkan bagian bawahnya mengenakan kain sutera tipis warna biru muda juga yang hanya dililitkan asal-asalan sebatas paha. Sesekali kainnya menyingkap ke mana-mana jika dihembus angin, membuat bagian dalamnya sempat tertangkap oleh mata Pendekar Mabuk.

"Gila! Tubuhnya menantang gairah sekali. Kalau tak kuat hati, bisa luluh aku di depannya. Untung aku ingat calon istriku Dyah Sariningrum, sehingga hatiku tak mudah tergoda oleh penampilannya," pikir Suto Sinting sebelum Bulan Sekuntum akhirnya menjawab bisikannya tadi.

"Dia yang punya nama Ratu Kelabang Setan, alias Untari."

"Punya urusan juga denganmu pribadi?"

"Dengan negeriku. Bukan denganku pribadi," jawab Bulan Sekuntum semakin pelan. Matanya tak lepas dari Ratu Kelabang Setan. Sedangkan mata perempuan berjubah jingga itu tak mau berkedip memandang Pendekar Mabuk dengan seulas senyum jalang memancing gairah sang pendekar.

"Kalau tak salah ingatanku, ciri-ciri ketampanan seperti itu adalah ciri ketampanan muridnya Gila Tuak; Pendekar Mabuk," katanya dengan suara agak serak. "Benarkah kau murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk itu?"

"Benar!" jawab Suto tegas dan jelas. "Aku murid Gila Tuak. Apa perlumu menghentikan langkahku?"

"Bukankah kau sudah mati?" Ratu Kelabang Setan justru balik bertanya.

"Dari mana kau mendapat kabar itu?"

"Kabar itu sudah menyebar ke mana-mana. Anak Petir membawa jenazahmu dalam perjalanan ke tempat persinggahan gurumu; Gila Tuak."

"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Berita itu bisa menyesatkan alam pikiran Guru. Seharusnya aku mengejar Anak Petir dan mencegah agar mayat orang yang mempunyai ciri seperti aku itu tidak sampai ke tangan Guru!" Suto Sinting tampak gelisah.

Kegelisahannya itu dipandangi terus oleh Ratu Kelabang Setan dengan senyum menggoda. Bulan Sekuntum menyipitkan mata pertanda benci dengan sikap genitnya Ratu Kelabang Setan.

"Untari!" sapa Bulan Sekuntum dengan tak ramah. "Sebutkan keperluanmu menghadang perjalananku, atau kusingkirkan kau dengan caraku sendiri?!"

Gadis cantik yang tak pernah punya rasa takut dan sulit bersikap ramah kepada lawan itu menampakkan sikap menantang, ia bagaikan tak sabar menunggu pertarungan. Baginya, tak ada lawan yang harus disingkirkan secara halus. Pertarungan merupakan bagian dari darahnya, sehingga tiap kata yang dilontarkan selalu bernada menantang murka lawan.

Tetapi Ratu Kelabang Setan masih bisa menahan diri untuk bersikap tenang, kalem, dan murah senyum. Hal itu lantaran Bulan Sekuntum bersebelahan dengan pria tampan yang baginya amat menggairahkan, ia harus menunjukkan sikap manis di depan pria tampan yang membuat hatinya bergetar karena tak sabar ingin lebih dekat lagi.

"Apakah dia kekasihmu, Bulan Sekuntum?" Mata jelinya melirik Suto sekejap.

"Bukan!" jawab Bulan Sekuntum dengan tegas. "Tapi kau tetap tak kuizinkan mengganggu sahabatku ini!"

"Sahabat...?!" Suto Sinting menggumam lirih, ia dilirik Bulan Sekuntum dengan cemberut. Ketika mau melangkah maju, ia dihadang tubuh Bulan Sekuntum yang bergeser tepat di depannya dengan mata tetap terarah pada Untari.

"Biarkan dia bicara dulu padaku," bisik Suto Sinting.

"Ini urusanku! Akan kuselesaikan sendiri dengan caraku!" kata Bulan Sekuntum dengan nada ketus dan wajah cemberut.

"Untari! Apa maumu sekarang?!"

"Memenggal kepalamu sebagai bukti pada ratumu bahwa aku tidak bisa diremehkan olehnya. Jika Dewi Giok tidak mau menyerahkan Pusaka Gelang Naga Dewa, maka orang-orangnya akan kuhabisi satu persatu!"

"Keparat busuk kau! Kalau begitu mari kita tentukan siapa yang berhak kehilangan kepala sekarang juga. Hiaaat...!"

Bulan Sekuntum melesat maju dengan satu lompatan yang membawanya bagaikan terbang. Tentu saja sentakan kakinya ke bumi tadi menggunakan kekuatan tenaga dalam yang sudah terkendali.

Wuttt...! Wesss...!

Ratu Kelabang Setan pun bergerak maju dengan satu lompatan yang membuatnya bagaikan terbang. Sampai di pertengahan jarak, mereka saling melepaskan pukulan dan tendangan dengan gerakan cepat sekali.

Plak, plak, plok, dugg, prak, blarrr...!

Pertarungan di udara yang hanya sekejap itu telah menghasilkan berbagai serangan melalui kaki dan tangan. Namun semua pukulan dan tendangan Bulan Sekuntum berhasil ditangkis oleh Ratu Kelabang Setan. Yang terakhir mereka saling mengadu kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui telapak tangan.

Benturan kedua telapak tangan mereka itu menghasilkan ledakan yang cukup dahsyat bersamaan dengan memerciknya sinar merah terang dari pertemuan telapak tangan mereka. Akibatnya, Bulan Sekuntum terpental ke arah balik dengan tubuh terjungkal, sedangkan Ratu Kelabang Setan hanya terpental mundur dan jatuh dalam posisi kedua kaki menapak di tanah dengan tegak.

Bruss...! Bulan Sekuntum jatuh di semak-semak. Pendekar Mabuk terperanjat, lalu segera menghampirinya untuk memberi pertolongan. "Bulan, kau tak apa-apa?!" tanyanya cemas.

Bulan Sekuntum menarik napas setelah berdiri, ia menyentakkan tangan yang dipegang Suto, seakan tak mau ditolong untuk bangkit. "Minggirlah, Suto! Perempuan itu harus kuhabisi dengan pedangku!"

Srekk...! Pedang dicabut, Bulan Sekuntum segera maju menyerang dengan memainkan jurus-jurus pedang yang menurut penglihatan Suto cukup aneh. Gerakannya pelan seperti orang menari, tapi mendadak menjadi cepat dan ganas, lalu berhenti dan pelan kembali, setelah itu bergerak cepat lagi bagai tak bisa diikuti oleh pandangan mata.

Ratu Kelabang Setan juga mencabut pedangnya. Wertt..! Pedang yang lurus runcing dan tajam di kedua sisinya itu digenggam tegak di depan wajahnya. Ketika Bulan Sekuntum menebaskan pedangnya ke arah leher Ratu Kelabang Setan, pedang tegak lurus itu tiba-tiba meliuk dengan cepat, menangkis kuat, trang...! Kemudian memutar cepat dan dihunjamkan ke dada Bulan Sekuntum.

Wuttt...!

Plakk...! Ujung pedang ditahan dengan telapak tangan Bulan Sekuntum yang mengeras di depan dadanya. Sementara itu, pedang Bulan Sekuntum pun segera menebas lengan kanan Ratu Kelabang Setan.

Wuttt...! Plakkk...!

Gerakan pedang itu tak sampai menyentuh lengan, karena kaki kiri Ratu Kelabang Setan bergerak cepat menendang ke atas, ujung telapak kakinya diadu dengan mata pedang Bulan Sekuntum.

Tentu saja Ratu Kelabang Setan mengerahkan tenaga dalamnya di ujung kaki, seperti Bulan Sekuntum mengerahkan tenaga dalamnya di telapak tangan. Akibatnya, pedang yang tertendang itu terpental lepas dari genggaman pemiliknya.

Wess...!

Bulan Sekuntum terperanjat sekejap, lalu tak menghiraukan pedangnya lagi. Telapak tangan kirinya masih menahan ujung runcing pedang lawan yang makin disentakkan maju dengan penuh curahan tenaga dalam. Lalu, dengan mengeraskan tangan kanannya yang sudah tak bersenjata lagi itu, pedang lawan dihantamnya dalam satu gerakan cepat. Wuttt...!

Duarrr...!

Ternyata perpaduan tenaga dalam pada pedang dan tenaga dalam pada tangan membuat satu ledakan yang menyentakkan tubuh Bulan Sekuntum terpental ke samping dan jatuh terpelanting di bawah pohon.

"Mampus kau, Monyet betina...! Hiaaat...!" Ratu Kelabang Setan menerjang Bulan Sekuntum dengan tebasan pedangnya pada saat Bulan Sekuntum bangkit dari kejatuhannya.

"Hiaah...!" Bulan Sekuntum melompat hingga pedang lawan lewat bagian bawah kakinya. Kaki itu segera menjejak batang pohon, dan tubuh Bulan Sekuntum melayang di udara dengan bersalto melintasi kepala lawan. Begitu ia mencapai bagian belakang Ratu Kelabang Setan, kedua tangannya menghantam punggung lawan menggunakan telapak tangan.

Des, dess...!

"Aahg...!" Ratu Kelabang Setan tersedak, dari mulutnya keluar segumpal darah merah. Tubuhnya segera berbalik sambil menebaskan pedangnya. Wuttt...!

Bulan Sekuntum melompat mundur, tapi terlambat. Ujung pedang telah merobek perut Bulan Sekuntum. Brett...!

"Aaahhg...!" pekiknya sambil meyeringai kesakitan.

"Bulan...!" pekik Suto secara tak sadar. Pendekar tampan itu menjadi tegang.

Pada saat itu Ratu Kelabang Setan semakin ganas melihat lawannya terluka. Tangan kirinya segera mengeras, lalu menyentak ke depan. Dari ujung jarinya melesat sinar merah sebesar lidi yang lurus ke arah kepala Bulan Sekuntum.

Melihat bahaya seperti itu, Pendekar Mabuk segera melesat menerjang perbatasan jarak kedua perempuan itu. Zlappp...! Bumbung tuaknya digunakan menghadang kecepatan sinar merah.

Debbb...! Wusss...!

Sinar merah menghantam bumbung tuak, lalu membias balik membentuk satu sinar merah besar yang melesat ke arah dada Ratu Kelabang Setan.

"Hiiaat...!" Ratu Kelabang Setan menghindari sinar merah yang lebih besar dari aslinya itu dengan melesat ke atas dan bersalto ke samping. Akibatnya sinar merah besar itu menghantam sebatang pohon besar di kejauhan sana.

Blarrr...!

Werrr...! Seluruh pohon berguncang, tanah pun ikut bergetar bagai ingin retak. Pohon yang dihantam sinar merah itu menjadi serpihan lembut, tak berbentuk sepotong kayu pun. Hal itu membuat Ratu Kelabang Setan terbelalak heran dan takjub.

"Gila! Biasanya jurus 'Lidah Kelabang' hanya bisa membuat pohon pecah menjadi delapan bagian, sekarang malah membuat pohon pecah menjadi serpihan selembut itu?! Untung aku segera menghindari, bukan menahan dengan jurus lain. Seandainya aku menahannya memakai jurus 'Tameng Candra', pasti akan jebol juga."

Sementara Ratu Kelabang Setan masih terkagum-kagum dengan kedahsyatan sinar merahnya tadi, Suto Sinting buru-buru meminumkan tuak ke dalam mulut Bulan Sekuntum. "Lekas minum! Minum sebanyak-banyaknya!"

Walaupun tuak menghambur membasahi wajah dan bagian tubuh lainnya, tapi Bulan Sekuntum berhasil meneguk beberapa kali. Rasa sakit akibat perutnya robek lebar mulai berkurang.

"Kau ikut campur urusanku, Pendekar Mabuk! Itu sama saja mambuatku semakin bernafsu untuk menghancurkan tubuh gadismu! Hiaaah...!"

Clapp...!

Dari telapak tangan kiri Ratu Kelabang Setan melesat sinar biru berpijar-pijar bagaikan bola bekel. Sinar biru itu hendak menghantam punggung Bulan Sekuntum yang sedang ditopang tangan Suto Sinting untuk meminum tuak. Suto tak sempat bertindak karena keadaannya yang tak memungkinkan, ia hanya bisa bergeser ke belakang dan menyediakan punggungnya sendiri yang dijadikan perisai tubuh Bulan Sekuntum.

Desss...! Zrrabb...!

"Aaaahg...!" Suto terpekik dengan tubuh mengejang. Sinar biru mengenal punggungnya dengan telak.

"Bodoh! Kenapa kau tutup punggungnya dengan tubuhmu! Bodoh kau!" bentak Ratu Kelabang Setan dengan nada sesal dan jengkel.

Suto Sinting segera berpaling dengan menyeringai menahan sakit. Kemudian sebuah pukulan jarak jauh sempat dilepaskan. Jurus itu bernama 'Pukulan Gegana' berupa sinar kuning patah-patah yang melesat dari kedua jarinya yang dikeraskan.

Clap, clap, clap...!

Ratu Kelabang Setan kaget, dan segera menahan sinar kuning itu dengan pedangnya. Sinar kuning patah-patah itu pun menghantam pertengahan pedang yang disaluri tenaga dalam tinggi.

Blegarrr...!

Ratu Kelabang Setan terlempar bagaikan terbang. Tubuhnya menghantam sebuah pohon dengan keras. Buhkk ! Durrr...! Pohon itu berguncang hebat. Hampir sebagian besar daunnya rontok akibat ditabrak tubuh Ratu Kelabang Setan. Bisa dibayangkan betapa kerasnya tubuh itu melayang dan membentur pohon tersebut.

"Uuhg...!" Ratu Kelabang Setan menyeringai, mulutnya berdarah, hidungnya juga mengeluarkan darah, termasuk dari lubang telinganya. Tapi pedangnya masih utuh, hanya hangus pada bagian tengahnya.

"Mati aku! Tulangku remuk semua. Kalau tidak kutahan pakai pedang, bisa hancur sekujur tubuh-ku! Ooh... celaka! Kalau tak segera berusaha lari dari sini bisa-bisa nyawaku dihabisi oleh si Pendekar Mabuk itu!"

Wuttt...! Ratu Kelabang Setan bekelebat ke balik pohon, ia sempat berseru dengn suara tertahan, "Tunggu saat pertemuan berikutnya, Pendekar Mabuk! Kau akan lebih dekat lagi dari pelukanku!" Selesai bicara begitu, Ratu Kelabang Setan melesat masuk ke semak-semak ilalang dan gemerisik gerakannya terdengar makin lama semakin menjauh.

Suto Sinting tak sanggup mengejarnya karena tubuhnya segera terkulai lemas berlutut di tanah. Bumbung tuaknya digunakan untuk menyangga tubuhnya hingga tak sempat roboh akibat sinar birunya lawan tadi. Sementara itu, Bulan Sekuntum yang sudah menenggak tuak beberapa kali tadi semakin tidak merasakan sakit lagi. Perutnya yang robek perlahan-lahan bergerak mengering dan mengatup sendiri.

"Suto...?! Suto...?!" ia memekik dengan napas masih terasa sesak, ia segera meraih kepala Suto Sinting, namun tubuh Suto sudah semakin lemas dan akhirnya jatuh terkulai. Bumbung tuaknya yang belum sempat ditutup itu pun jatuh terlempar ke samping. Tuak di dalamnya tumpah keluar dan nyaris habis semua.

"Suto...?! Oh, kau terkena jurus beracun! Racun itu berbahaya sekali!" Bulan Sekuntum berusaha menolong Suto dengan tenaga yang belum pulih betul, ia tampak sangat cemas dan sedikit panik setelah mengetahui bahwa Suto terkena jurus pukulan beracun yang berbahaya.

* * *

LIMA

BUMBUNG tuak sempat diselamatkan oleh Bulan Sekuntum, tapi air tuak sudah habis. Bulan Sekuntum penasaran, bumbung tuak dijungkirbalikkan dengan harapan mendapatkan setetes dua tetes tuak untuk diminum Suto. Tapi yang keluar dari dalam bumbung hanyalah sebuah cincin.

Bulan Sekuntum tidak tahu bahwa cincin itu adalah Cincin Manik Intan, sebuah pusaka yang mempunyai kedahsyatan dapat mengeluarkan tenaga dalam seratus kali lipat dari tenaga pemakainya, bisa memancarkan sinar tenaga dalam tanpa disadari pemakainya kalau si pemakai memendam kemarahan besar, (Baca serial Pendekar Mabuk episode Murka Sang Nyai).

Hanya karena melihat bentuk batu cincinnya yang berwarna putih intan, Bulan Sekuntum merasa tertarik dan segera memakainya di jari tangan kanannya. Sementara itu, Pendekar Mabuk yang tak mampu bergerak karena pingsan itu mulai mengalami perubahan akibat pukulan beracun tadi.

"Suto dalam keadaan bahaya sekali. Pukulan itu kukenal sebagai pukulan yang mengandung racun 'Siksa Kubur'. Bintik-bintik hitam yang keluar dari kulitnya merupakan ciri dari penderitaan pukulan racun 'Siksa Kubur'. Dulu temanku juga pernah mengalami nasib seperti ini, dan akhirnya mati dalam keadaan tubuhnya hancur membusuk. Mengerikan sekali."

Dalam keadaan tegang Bulan Sekuntum sempat berpikir mencari obat penyembuhnya. Namun ia juga sempat merasa heran karena kulit tubuh Suto mulai mengeluarkan gelembung-gelembung seperti bisul.

"Dulu temanku tidak mengeluarkan gelembung seperti ini, tapi mengalami keretakan pada kulit tubuhnya, akhirnya robek bagai tercabik-cabik sedikit demi sedikit dan akhirnya membusuk dalam waktu kurang dari sehari. Tapi kenapa sekarang tubuh Suto tidak mengalami keretakan dan tidak seperti tercabik- cabik? Apakah hal ini dikarenakan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya? Dulu temanku juga tak sampai pingsan, sehingga ia mengerang dan merintih kesakitan. Barangkali kekuatan tenaga dalam Suto yang membuat ia jatuh pingsan."

Tanpa banyak pertimbangan lagi, Bulan Sekuntum segera memanggul tubuh Pendekar Mabuk ke pundaknya. Dalam hatinya masih berkata penuh ungkapan rasa sedih.

"Aku harus segera membawanya kepada Gusti Ratu. Walaupun aku tahu obat penawar racun hanya dimiliki oleh Ratu Kelabang Setan, tapi siapa tahu Gusti Ratu dapat memberi pertolongan sekadarnya!"

Racun 'Siksa Kubur' memang tak bisa disembuhkan oleh orang lain kecuali oleh pemiliknya sendiri; Ratu Kelabang Setan. Itulah sebabnya racun tersebut dianggap racun paling berbahaya karena jika pemiliknya tidak mau memberikan obat penawarnya maka korbannya tak akan bisa selamat lagi. Bulan Sekuntum berharap ratunya dapat memberi pertolongan alakadarnya, setidaknya dapat memperpanjang usia pendekar tampan itu hingga tidak bernasib seperti temannya dulu.

Namun lagi-lagi langkahnya terhalang oleh kemunculan Malaikat Tiga Wajah yang sengaja mencarinya ke berbagai arah, terutama ke arah perbatasan Tanjung Samudera. Manusia berwajah kembar tiga itu melompat turun dari arah bukit cadas tak seberapa tinggi itu. Bukit cadas tersebut masih di luar batas wilayah Tanjung Samudera, sehingga seseorang dapat bertindak sekehendak hatinya tanpa mengikuti undang-undang yang berlaku di dalam wilayah Tanjung Samudera.

Melihat kemunculan Malaikat Tiga Wajah, perempuan cantik yang lukanya telah lenyap tanpa bekas itu segera meletakkan tubuh Suto Sinting dan bumbungnya di bawah sebuah pohon.

"Tiga keparat ini memang harus kulenyapkan dulu agar tak merintangi langkahku berikutnya!" geram Bulan Sekuntum sambil melangkah maju mendekati tiga orang berwajah sama Itu.

"Rupanya bumi ini sempit sekali bagimu, Bulan Sekuntum. He, he, he...," Malaikat Biru mengejek dengan tawanya yang jelek.

"Tak seorang pun bisa lari dan bersembunyi dari incaran Malaikat Tiga Wajah," timpal Malaikat Kuning. "Mau ke mana saja kau pasti akan terkejar oleh kami, Bulan Sekuntum!"

"Memang dunia ini sempit. Karenanya nasib kalian sangat malang, karena ke mana saja akan jumpa denganku, dan itu artinya umur kalian tak akan pernah bisa lebih panjang lagi!" kata Bulan Sekuntum tanpa rasa takut, ia bicara dengan tolak pinggang, sehingga Malaikat Merah yang mudah terpancing kemarahannya menjadi geram dan segera melepaskan serangan pertamanya.

"Mulut perempuan kotor seperti kau memang harus dihancurkan, Bulan Sekuntum! Terimalah pukulan 'Raja Karang'-ku ini! Heeeahh...!"

Claap...! Sinar merah lurus sebesar kelingking melesat dari kepalan tangan Malaikat Merah yang dihantamkan ke depan dalam jarak lima langkah itu.

Dengan gesit Bulan Sekuntum melompat ke samping sehingga sinar merah itu menghantam pohon di kejauhan sana. Blaarr...! Pohon itu tumbang, pecah menjadi dua bagian. Bisa dibayangkan, seandainya sinar merah itu tepat mengenai mulut Bulan Sekuntum, entah apa jadinya. Lompatan perempuan itu disambut oleh serangan Malaikat Biru yang menghempaskan telapak tangannya ke depan dan mengeluarkan gelombang hawa panas berasap putih.

Wuusss...!

Tetapi pada saat itu Bulan Sekuntum sudah mendaratkan kakinya ke tanah, sehingga dengan merendahkan badan, satu kaki berlutut ke tanah, ia melepaskan pukulan jurus 'Racun Baja' yang berupa seberkas sinar biru itu.

Claappp...! Blaarrr...!

Terjadi ledakan cukup besar akibat sinar biru menghantam gelombang hawa panas tersebut. Ledakan itu membuat Bulan Sekuntum terjungkal ke belakang dua kali. Namun ia cepat bangkit dan pasang kuda-kuda kembali.

"Keparat busuk kalian semua!" geramnya penuh kemarahan. Saat itu tanpa disadari dari tangan Bulan Sekuntum melesat seberkas sinar berkecepatan tinggi. Zlaapp...! Kecepatan sinar itu tak dapat ditahan dan dihindari. Sinar tersebut langsung menembus tubuh Malaikat Kuning. Brruuss...! Jebol sampai menembus bagian punggung.

"Malaikat Kuning...?!" sentak Malaikat Merah dengan mendelik melihat saudara kembarnya bolong ulu hatinya sampai ke bagian punggung.

Sedangkan Malaikat Biru yang berdiri di belakang Malaikat Kuning juga ikut terbengong melompong. Karena sinar putih itu setelah menembus dan menjebolkan tubuh Malaikat Kuning, ternyata masih memancar terang dan bergerak lurus hingga mengenai dada Malaikat Biru. Bruuss...! Jebol juga sampai menembus punggung dan keluar masih melesat lalu menghantam sebongkah batu besar di kaki bukit cadas. Blegaarr...! Batu itu tampaknya lenyap seketika, padahal menjadi debu yang beterbangan kemana-mana.

Bruk...! Malaikat Kuning roboh tak bernyawa. Disusul oleh robohnya Malaikat Biru yang berwajah tegang itu. Bruuk...!

"Bangsaaat...!" Malaikat Merah kian murka melihat kedua saudara kembarnya sudah tak bernyawa. Sedangkan Bulan Sekuntum masih bingung dengan sinar putih yang keluar dari tangannya itu. Ia merasa tidak memiliki jurus sedahsyat itu.

Sebelum Malaikat Merah mencabut senjatanya, Bulan Sekuntum mulai sadar bahwa sinar putih dahsyat itu ternyata berasal dari cincin yang dipakainya: Cincin Manik Intan.

"Luar biasa?! Rasanya cincin ini berkekuatan dahsyat sekali?!" gumam hati Bulan Sekuntum.

Saat ia tertegun memandangi cincin tersebut, Malaikat Merah segera melepaskan murkanya dengan menerjang membabatkan goloknya. Wuuuss...! Golok itu nyaris memenggal kepala Bulan Sekuntum. Kalau saja ia tak segera melompat mundur, maka lehernya akan menjadi sasaran senjata lawan. Sekali tebas kepala akan menggelinding ke tanah. Dengan melompat mundur menjaga jarak, Bulan Sekuntum bukan saja berhasil menghindari maut namun juga berhasil melepaskan tendangan ke arah pinggang lawan.

"Hiaaah...!"

Buuk! Krrak...!

"Uuah...!" Malaikat Merah terpental empat langkah ke belakang, ia sempat jatuh terduduk, namun cepat-cepat sigap kembali. Dengan satu sentakan pinggang yang terasa patah salah satu tulang rusuknya itu, tubuh Malaikat Merah melesat bagaikan terbang ke arah pepohonan.

Bulan Sekuntum mengeraskan tangannya yang mengenakan cincin pusaka itu. Tangan tersebut segera disentakkan ke arah tubuh Malaikat Merah yang sedang melambung di udara. Dan tak ayal lagi Cincin Manik Intan keluarkan kesaktiannya; sinar putih melesat lurus dan cepat menghantam tubuh Malaikat Merah.

Claapp...! Brruus...! Blegaarr...!

"Aaahg...!" Malaikat Merah memekik dengan suara serak tertahan di tenggorokannya. Perutnya jebol diterjang sinar Cincin Manik Intan itu. Sisa sinar yang lolos lewat punggung Malaikat Merah menghantam pepohonan dan membuat pepohonan itu berhamburan selembut pasir. Brrukkk...! Tubuh Malaikat Merah roboh ke tanah dalam keadaan telentang. Matanya mendelik, mulutnya terperangah, napasnya sudah tidak ada lagi setelah mengalami kejang-kejang sesaat.

Alam menjadi sepi. Angin berhembus bagai tak berani mengguncangkan pepohonan, seolah-olah takut dengan kedahsyatan Cincin Manik Intan itu. Si cantik Bulan Sekuntum memandangi cincin itu hingga beberapa saat lamanya. Hatinya dipenuhi oleh kebanggaan dan rasa keberanian yang klan bertambah besar.

"Tak kusangka aku dapat merobohkan Malaikat Tiga Wajah dalam waktu sesingkat ini. Padahal mereka mempunyai jurus-jurus sakti yang belum sempat dikeluarkan. Oh, kalau begini caranya, Anak Petir pun bisa kutumbangkan seperti ketiga wajah kembar itu. Cincin ini akan kupakai untuk melawan si Anak Petir! Aku akan meminjamnya kepada Suto dan... oh, ke mana Suto?!"

Perempuan berhidung bangir Itu terkejut sekali melihat Suto tidak ada di tempat. Tapi bumbung tuaknya masih ada di sana. Hati Bulan Sekuntum pun berdebar-debar penuh ketegangan, ia segera berlari ke berbagai arah dengan mata memandang liar sekelilingnya. Tapi Pendekar Mabuk yang tadi dalam keadaan pingsan itu tidak ditemukan juga.

"Sutooo...!" teriak Bulan Sekuntum. "Suto Sinting...! Di mana kau...?!"

Wajah perempuan itu kelihatan sekali kalau sedang ketakutan. Takut kehilangan Pendekar Mabuk. Dan rasa takutnya itu membuatnya mulai panik, ia berlari naik ke bukit cadas dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Tiga kali sentakan kaki ia sudah sampai di puncak bukit cadas. Tab, tab, tab...!

"Ke mana dia? Pergi sendiri atau ada yang mencurinya?" pikir Bulan Sekuntum dengan napas terengah-engah, ia tak sadar bahwa kepanikannya itu menghadirkan amarah dalam dada. Amarah itu memancar melalui mata Cincin Manik Intan sehingga sesekali cincin itu mengeluarkan sinar dan menghantam bebatuan atau pepohonan yang sejajar dengan arah mata cincin tersebut.

Blaar.... Duaarr...! Blaarr...!

"Oh, cincin ini mengeluarkan tenaga sendiri?! Rupanya jika hatiku diliputi kejengkelan atau kemarahan, maka ia dapat mengeluarkan kekuatan tanpa terkendali? Oh, bahaya sekali. Kalau begitu aku harus memakainya dalam keadaan kubalik saja, biar mata cincinnya selalu ada dalam genggamanku!" ucap hati Bulan Sekuntum.

Setelah memutar mata cincin menjadi ada dalam telapak tangannya, Bulan Sekuntum berpikir kembali kepada hilangnya Suto Sinting. Bahkan ia segera turun lagi dari atas bukit cadas itu, menuju ke tempat di mana Suto diletakkan bersama bumbung tuaknya, ia memeriksa tempat itu dengan lebih teliti lagi.

"Bumbung tuaknya tidak ikut pergi? Berarti ada orang yang mencuri tubuh Suto dan tidak peduli dengan bumbung tuak ini?! Hmmm..., sebaiknya aku harus segera mencari Suto Sinting dan bumbung tuak ini harus tetap kubawa. Kulihat Suto bisa menggunakan bumbung ini untuk menangkis serangan lawan. Siapa tahu berguna bagiku juga."

Sebelum langkah pencarian diawali, Bulan Sekuntum memandang penuh curiga pada tanah di balik pohon tersebut. Tanah berumput tipis itu mempunyai kejanggalan. Rumputnya rebah pada bagian tertentu, menandakan habis diinjak oleh seseorang. Rumput yang merebah membentuk telapak kaki itu menuju ke arah kerimbunan semak. Tak ada pilihan lain bagi Bulan Sekuntum kecuali mengikuti jejak tapak kaki tersebut.

"Arahnya ke utara, menuju ke perbataaan negeriku. Apakah mungkin yang membawa lari Suto adalah orang dari negeriku sendiri?" kata Bulan Sekuntum dalam hatinya, ia mulai menerabas masuk ke semak ilalang yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya itu. Bumbung tuak disilangkan ke punggung, kedua tangannya siap siaga menghadapi serangan atau bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu.

Langit mulai kusam. Cahaya mentari kian memudar.Senja sebentar lagi akan beralih menjadi petang.Pandangan mata kian terbatas karena kere-mangan senja.Bulan Sekuntum masih terus melangkah mencariSuto karena ia belum menemukan gagasan baru tentangapa yang harus dilakukannya. Yang ada dalam hatinya adalah rasa tanggung jawab atas hilangnya Suto Sinting, ia harus bisa menemukan pria tampan itu untuk dibawa menghadap kepada ratunya sebagai pernyataan bahwa Pendekar Mabuk belum mati.

Tiba di sebuah lembah yang menjadi ujung dari perbatasan negeri Tanjung Samudera, langkah Bulan Sekuntum terpaksa terhenti karena kepekaan nalurinya mengatakan ada sesuatu yang berbahaya datang dari arah belakangnya. Bulan Sekuntum segera sentakkan kaki. Tubuhnya melayang di udara dan bersalto satu kali. Pada saat itu seberkas sinar kuning berbentuk seperti bintang melesat menghantam tempat berdirinya tadi.

Duaaar...!

Sinar itu meledak ketika mengenai sebongkah batu. Batu tersebut pecah dan memercik ke udara hingga sebagian percikannya mengenai kaki Bulan Sekuntum.

"Auh...!" perempuan itu memekik karena mata kakinya bagaikan dilempar dengan batu kerikil. Tak seberapa sakit tapi cukup mengejutkan. Jleeg...! Kedua kaki Bulan Sekuntum mendarat ke bumi dengan sigap. Matanya memandang ke arah datangnya sinar kuning tadi.

"Keluar kau, Setan! Jangan hanya berani membokong saja! Hadapi aku kalau kau memang merasa berilmu lebih tinggi dariku!" seru Bulan Sekuntum dengan wajah memancarkan kemarahannya. Tangan kanannya menggenggam kuat, merasakan hawa panas yang bisa diduga datangnya dari cincin yang dikenakan. Genggaman itu siap dilepaskan untuk menghantam lawan yang menyerangnya dari belakang tadi. Namun ketika dari kerimbunan semak di balik pohon besar itu muncul sesosok tubuh berjubah sutera ungu tua, Bulan Sekuntum menahan gerakan tangannya, ia justru terperanjat dan memandang dengan dahi berkerut.

Si jubah ungu itu adalah seorang perempuan cantik yang tampak masih muda tapi sebenarnya usianya sudah puluhan tahun, ia mengenakan pakaian dalam berupa pinjung ketat warna ungu muda dan celana ketat beludru ungu muda juga dengan hiasan benang emasnya. Kecantikannya senilai dengan Bulan Sekuntum, hanya saja perempuan yang pedangnya dilapisi kain beludru ungu pula itu sedikit berkesan lebih nakal dan lebih menggoda, matanya berkesan lebih galak lagi.

Keheranan di hati Bulan Sekuntum membuat mulutnya berucap kata dalam gumam yang tak seberapa jelas didengar dari jarak tujuh langkah. "Pelangi Sutera...?!"

Perempuan cantik yang saat ini berwajah sama angkuhnya dengan Bulan Sekuntum itu melangkah lebih dekat lagi. Ia adalah Pelangi Sutera, mantan panglima Negeri Ringgit Kencana yang akrab dikenal dengan nama aslinya; Sumbaruni. Bekas istri jin yang berilmu tinggi itu sengaja menampakkan sikap permusuhannya di depan Bulan Sekuntum, sehingga Bulan Sekuntum menjadi ragu-ragu untuk melayani sikap permusuhan itu. Hawa panas dalam genggaman Bulan Sekuntum segera dilemparkan kearah pepohonan dibelakangnya.

Blaarrr...! Pohon itupun hancur menjadi debu. Hal itu dilakukan Bulan Sekuntum untuk membuang tenaga dalam yang sudah telanjur tertahan dalam genggaman akibat rasa marahnya tadi. Namun diartikan oleh Sumbaruni sebagai tindakan pamer kehebatan, sehingga Sumbaruni mencibir sinis dan berkata dengan ketus.

"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa menghancurkan sebatang pohon?!" Sumbaruni segera menyentakkan jari tengahnya. Claapp .! Seberkas sinar merah terang melesat dari ujung jari itu dan menghantam sebatang pohon. Begitu sinar itu menyentuh pohon tersebut, tiba-tiba pohon itu bagaikan lenyap.

Blaap...!

Hilang tak berbekas. Yang tersisa hanya bau kayu bakar tanpa asap sedikit pun. Sumbaruni mencibir sinis memandang ke arah Bulan Sekuntum yang sedang tertegun kagum.

"Aku pun bisa melakukannya dengan mudah, Bulan Sekuntum!" kata Sumbaruni sambil melangkah kalem mendekati Bulan Sekuntum.

"Sumbaruni, aku tidak bermaksud pamer ilmu di depanmu!" ujar Bulan Sekuntum karena ia tahu bahwa Sumbaruni mempunyai ilmu lebih tinggi darinya. Bulan Sekuntum selalu hormat kepada Sumbaruni, sebab ia tahu bahwa Sumbaruni bekas panglima yang menurut kedudukan punya jabatan lebih tinggi dari jabatan yang disandang Bulan Sekuntum di Negeri Tanjung Samudera.

Dalam keremangan cahaya senja, Bulan Sekuntum dapat melihat kedua mata indah Sumbaruni saat itu sedang dalam keadaan bengkak. Bukan karena suatu pertarungan, melainkan karena suatu tangis. Namun tangis karena apa, Bulan Sekuntum tak berani menanyakan.

"Sumbaruni, apa maksudmu menyerangku tadi? Apakah aku punya dosa kepadamu?!"

"Entah kau atau ratumu, harus berhadapan denganku dan bertarung sampai mati!" geram Sumbaruni denganmata kian memancarkan permusuhan. Sambungnya lagi,"Bila perlu semua orang Tanjung Samudera akan kupenggal habis tanpa terkecuali, termasuk kau juga, Bulan Sekuntum!"

Dahi yang berkerut semakin tajam menandakan keheranan Bulan Sekuntum kian meninggi, ia benar-benar tak menyangka kata-kata itu akan terlontar dari mulut Sumbaruni. Seingatnya, selama ini antara pihak Tanjung Samudera dan pihak Ringgit Kencana tak terjadi permusuhan apa-apa. Kedua ratu kakak-beradik itu justru saling membantu dan bukan saling bermusuhan. Sumbaruni sendiri, sekalipun sudah keluar dari Negeri Ringgit Kencana, tidak pernah bikin masalah dengan orang-orang Tanjung Samudera, demikian pula sebaliknya.

Karenanya, Bulan Sekuntum segera bertanya dengan suara pelan, bagaikan tak percaya mendengar kata-kata Sumbaruni tadi. "Mengapa kau berkata begitu? Ada persoalan apa sebenarnya?"

"Persoalannya sudah jelas, kau pasti sudah mengetahuinya! Aku menuntut kematian murid si Gila Tuak, Suto Sinting!"

Seketika itu pula wajah Bulan Sekuntum terperangah tegang, ia belum tahu bahwa Sumbaruni sangat mencintai Pendekar Mabuk. Walaupun ia tahu Suto Sinting sudah mempunyai calon Istri di Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum, tapi Sumbaruni tidak pernah mau peduli akan hal itu. Sekalipun Suto Sinting pernah menolak cintanya secara halus, namun Sumbaruni tidak bisa menghentikan rasa cintanya itu kepada sang murid Gila Tuak tersebut.

Kabar kematian Pendekar Mabuk agaknya mengguncang hati Sumbaruni dan menimbulkan murka yang terpendam. Melacak arah datangnya kabar itu, Sumbaruni segera menuju ke Negeri Tanjung Samudera untuk mengadakan perhitungan nyawa.

"Kudengar pihak Tanjung Samudera yang membawa mayat Suto Sinting ke Jurang Lindu. Firasatku mengatakan, pihakmulah yang menewaskan Pendekar Mabuk, orang yang amat kucintai itu!"

"Sumbaruni, kau salah paham! Tenangkan dulu hatimu. Dengarkan keteranganku."

Air mata Sumbaruni mulai menggenang di pelupuk matanya. Sikapnya semakin dingin. Kedua tangannya mengeras dengan gigi menggeletuk. "Aku tak butuh alasan apa pun. Aku hanya butuh membalas kematian Suto Sinting pada Dewi Giok dan orang-orangnya. Kaulah orang pertama yang kujumpai, Bulan Sekuntum! Maka terimalah kematianmu sebelum matahari lenyap dari permukaan bumi!"

"Tunggu...! Tunggu dulu, Sumbaruni...!" Bulan Sekuntum menahan gerakan Sumbaruni, namun agaknya gerakan itu tak bisa ditahan lagi.

Sumbaruni melepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi dari telapak tangannya. "Heeeaaahh...!" ia berteriak liar dan buas sekali.

Wuuusss...! Sinar biru yang amat berbahaya itu dihantamkan ke arah Bulan Sekuntum. Yang diserang ragu-ragu untuk melayaninya. Tapi karena sinar biru itu sudah telanjur menuju ke arahnya, mau tak mau Bulan Sekuntum menyentakkan telapak tangan kanannya yang terbuka ke depan. Maka sinar putih dari Cincin Manik Intan pun melesat, diadu dengan sinar biru tersebut.

Zlaapp...!

Blaarr... blegaarrr...!

Dentuman itu bagaikan bunyi langit runtuh di hari kiamat. Bumi berguncang hebat. Pohon-pohon saling tumbang. Batu-batuan pecah dan menggelinding ke berbagai arah, bahkan ada yang beterbangan. Tanah di sekeliling mereka menjadi retak dan membentuk jurang kecil. Langit senja yang merah tiba-tiba menjadi hitam dengan awan yang bergulung-gulung mengerikan. Angin berhembus bagaikan badai musim penghujan. Kedua tubuh perempuan itu saling terpental, terbang ke mana-mana tak tentu arah. Mereka berpisah jarak dan saling berusaha menyelamatkan diri dari amukan alam.

* * *

ENAM

PERTARUNGAN itu agaknya memang menuntut harus ada korban. Tetapi Bulan Sekuntum tidak mau hal itu terjadi, karena ia tahu persis duduk perkaranya. Kesalahpahaman akan membawa kematian sia-sia dan kemenangan tanpa arti. Sebab itulah Bulan Sekuntum berseru ketika Sumbaruni yang murka itu ingin melepaskan jurus andalannya lagi.

"Tahan seranganmu, Sumbaruni! Suto tidak mati! Suto masih hidup!"

Seruan itu membuat Sumbaruni hentikan gerakannya. Matanya memandang tajam kepada Bulan Sekuntum. "Pendekar Mabuk masih hidup! Kau dan aku sama-sama tertipu oleh suatu tindakan yang sengaja atau tidak sengaja!"

Bulan Sekuntum maju mendekati Sumbaruni yang siap lepaskan jurus andalannya itu. Dalam jarak lima langkah ia berhenti dan berkata dengan kedua tangan membuka. "Bunuhlah aku jika aku berbohong padamu. Aku berani bersumpah, Suto masih hidup! Lihatlah bumbung tuaknya ada padaku!"

"Lalu di mana dia sekarang?!" Sumbaruni berdebar-debar tegang mendengar pengakuan itu.

"Aku sendiri sedang mencarinya, karena ia hilang dalam keadaan pingsan dan terluka oleh pukulan racun 'Siksa Kubur'."

"Hahhh...?! Racun 'Siksa Kubur'...?! Bukankah itu racunnya Ratu Kelabang Setan alias si Untari?!"

"Benar!" jawab Bulan Sekuntum, kemudian ia menceritakan seluruh peristiwa yang dialaminya bersama Pendekar Mabuk. Dari sejak bertemu dalam iring-iringan jenazah sampai terakhir kali melawan Malaikat Tiga Wajah.

"Begitukah kejadian yang sebenarnya?!"

"Betul, Sumbaruni! Aku tak keberatan jika harus bertarung denganmu, tapi kalau hanya karena kesalahpahaman itu lebih baik mengalah. Pertarungan kita hanya akan memakan korban sia-sia. Kau atau aku nantinya akan kecewa jika salah satu ada yang korban."

Sumbaruni merenung dengan punggung bersandar pada sebuah pohon, ia tampak letih karena menahan duka danmurka. "Kalau begitu, mayat siapa yang dibawa ke Jurang Lindu itu?!"

"Apakah kau melihat mayat tanpa kepala itu?"

"Ya. Dan kubiarkan seseorang membawanya kepada Gila Tuak. Aku lebih mementingkan mengejar dendamku ke Tanjung Samudera, karena kupikir orangmu yang membunuh Suto Sinting!"

"Siapa yang membawa mayat itu ke Jurang Lindu?"

"Serombongan orang pengagum Pendekar Mabuk. Di antara mereka kulihat juga Kelana Cinta dan beberapa orang lainnya yang pernah terlibat peristiwa dengan Suto. Yang jelas berita kematian Pendekar Mabuk telah menyebar ke seluruh rimba persilatan dalam waktu yang amat cepat. Dan nama Tanjung Samudera dibawa-bawa dalam berita tersebut. Banyak orang menyangka pihakmulah yang membunuh Pendekar Mabuk."

"Celaka!" gumam Bulan Sekuntum dengan mata menerawang. "Sebaiknya kita bicarakan dengan gusti ratuku saja."

"Tidak. Aku mau mencari Suto. Aku akan menemui Ratu Kelabang Setan. Dugaanku mengatakan, bahwa dialah orang yang mencuri tubuh Suto, karena dia bisa memanfaatkan Suto untuk memuaskan hasratnya dengan terlebih dulu memberikan obat penawar racun 'Siksa Kubur' itu!"

"Kalau begitu aku ikut denganmu!"

Ratu Kelabang Setan menempati perbukitan yang bernama Lembah Ladang Racun, karena di sana banyak tanaman, akar dan binatang yang beracun ganas. Mulanya ia memang seorang ratu dari sebuah negeri. Tapi karena negeri itu dilanda bencana alam, pulau tempat negeri itu berada tenggelam ke dasar laut, maka Untari menyelamatkan diri dengan beberapa anak buahnya ke perbukitan tersebut. Di sana ia mendirikan sebuah perguruan, namun tak bisa bertahan lama karena para muridnya enggan mengikuti jejak sang guru yang gemar bercumbu dengan lawan jenisnya itu.

Untari hidup sebagai ratu tanpa rakyat. Namun kesaktiannya cukup diperhitungkan oleh orang-orang rimba persilatan, terutama ilmu racunnya yang ditakuti oleh beberapa orang berilmu tanggung. Sumbaruni sudah lama mengenal Untari, sejak belum menempati Lembah Ladang Racun. Karenanya Sumbaruni tahu persis seberapa kekuatan Ratu Kelabang Setan.

Namun sebelum mereka bergegas pergi menuju Lembah Ladang Racun, tiba-tiba mata mereka tertuju ke arah utara dengan masing-masing dahi berkerut. Gumpalan asap hitam membubung tinggi, mengepul dari balik gundukan sebuah bukit. Asap itu menandakan adanya kebakaran di daerah seberang bukit.

"Hatiku jadi tak enak, Sumbaruni," ujar Bulan Sekuntum.

Tapi tidak mendapat tanggapan dari Sumbaruni, sebab Sumbaruni sendiri diam-diam menyimpan perasaan tak enak dalam hatinya. Seperti ada firasat yang mengatakan bahwa kepulan asap hitam itu adalah sesuatu hal yang perlu diketahui.

Sebelum mereka memutuskan untuk peduli atau tidak peduli dengan kepulan asap tersebut, tiba-tiba dari arah depan mereka tampak sekelebat bayangan menerjang semak melintasi celah-celah pepohonan. Sosok bayangan itu tampak sedang berusaha mendaki lereng tempat mereka berada.

"Bulan Sekuntum...! Bulaaan...!" teriak orang yang berlari mendekati mereka itu.

"Astaga?! Wanasida...?!"

"Siapa itu Wanasida?" tanya Sumbaruni.

"Penjaga wilayah perbatasan negeriku!" jawab Bulan Sekuntum.

Lelaki bernama Wanasida itu bertubuh kurus tapi bukan kerempeng, ia mengenakan rompi hijau dan celana hitam. Ikat kepalanya dari kain warna hijau pula.

"Ada apa, Wanasida?!"

Pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu terengah- engah dan berwajah tegang. Setelah napasnya mampu dikendalikan sedikit, ia pun mulai bicara kepada Bulan Sekuntum. "Istana diserang, menara sudut dibakar!"

"Siapa yang melakukan?!"

"Entah. Mereka menuntut kematian Pendekar Mabuk kepada pihak kita. Mereka sangka kitalah yang membunuh Pendekar Mabuk secara keji. Jadi menurut dugaanku, mereka adalah para pengagum Pendekar Mabuk."

"Celaka!" geram Bulan Sekuntum, ia memandang ke arah Sumbaruni. Yang dipandang jadi tak enak hati.

"Bukan aku yang menggerakkan mereka. Jangan menuduhku menjadi penyulut api permusuhan itu!" kata Sumbaruni dengan sedikit gusar. "Sebaiknya segeralah temui mereka. Jelaskan bahwa Pendekar Mabuk belum mati. Tunjukkan bumbung tuak dan ceritakan segalanya kepada mereka!"

"Bagaimana jika kau ikut membantu meredam kemarahan mereka?"

"Aku akan menemui Ratu Kelabang Setan! Secepatnya aku akan membawa Suto ke Tanjung Samudera sebagai bukti kepada mereka bahwa Pendekar Mabuk masih hidup!"

"Baik! Kita berpisah dulu sekarang!"

Sumbaruni yang yakin betul bahwa orang yang mencuri Suto Sinting itu adalah Ratu Kelabang Setan, segera melesat pergi ke Lembah Ladang Racun. Tak peduli hari menjadi malam, ia menerabas hutan dan melewati lereng pegunungan untuk mempersingkat waktu. Sekalipun malam, tapi suasana alam cukup cerah karena rembulan menyinari bumi penuh keindahan.

Pintu pesanggrahan yang terbuat dari balok-balok kayu itu ditendang oleh Sumbaruni. Gubraaak...! Satu kali tendangan membuat pintu gerbang itu menjadi hancur berantakan. Sumbaruni sudah tak sabar lagi, takut Suto Sinting terperangkap cinta dalam pengaruh racun asmaranya Ratu Kelabang Setan.

Pada waktu Sumbaruni tiba di pesanggrahan Lembah Ladang Racun, keadaan Ratu Kelabang Setan sudah mengurai rambutnya, melepas perhiasannya. Bahkan ia hanya mengenakan jubah tipis tanpa pelapis apa pun di dalamnya. Sumbaruni semakin yakin bahwa Ratu Kelabai.g Setan yang dikabarkan terluka oleh serangan Suto itu sudah berhasil sembuhkan lukanya, dan segera mencuri Suto dalam keadaan tak berdaya.

Maka begitu Untari menyambut kedatangan Sumbaruni di pelataran, Sumbaruni langsung membentak dengan berang. "Serahkan Pendekar Mabuk padaku, atau kuhancurkan tempat ini bersama tubuhmu!"

Ratu Kelabang Setan tertawa sinis. "Sumbaruni... ada persoalan apa sehingga kau datang-datang marah padaku, Sobat?!"

"Tak perlu banyak bicara!" bentak Sumbaruni. "Mana murid si Gila Tuak itu?!"

"O, aku tidak membawanya!" Untari berlagak polos.

"Kalau kupaksa kau pasti akan mengatakannya! Hiaaah...!"

Sumbaruni bagaikan terbang. Tubuhnya melesat cepat ke arah Ratu Kelabang Setan. Kedua tangannya diluruskan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Dari kedua telapak tangan itu memancar sinar merah bagai semburan api mengganas.

Wuuusss...!

Ratu Kelabang Setan mengadu kekuatan tenaga dalamnya dengan melepaskan sinar biru dari telapak tangannya.

Wuuusss...!

Kedua sinar itu akhirnya saling berbenturan di pertengahan jarak. Blaarrr...! Ledakan besar membuat Untari terlempar dan jatuh membentur pilar serambi.

"Uuhg...!" Untari memekik tertahan. Wajahnya menjadi pucat pasi.

Kesempatan itu digunakan oleh Sumbaruni untuk melepaskan jurus 'Anak Rembulan' yang berupa sinar kuning seperti bintang dalam satu gerakan tangan melempar cepat.

Claap...! Deeessb...!

"Aauh...!" Sinar kuning itu tepat kenai lambung Ratu Kelabang Setan. Akibatnya, perempuan berambut panjang meriap itu tak bisa bangkit lagi. Ia terpuruk lemas di tempat bagaikan kehilangan seluruh urat dan tulangnya. Jurus 'Anak Rembulan' telah membuat Untari lumpuh, sehingga ketika Sumbaruni menerjang masuk ke dalam rumah, memeriksa kamar demi kamar, Untari tak bisa mencegahnya lagi. Bahkan untuk berteriak keras pun tak mampu.

"Sutooo...! Sutooo...!" teriak Sumbaruni tak sabar, ia berharap mendapat jawaban dari Suto Sinting, namun jawaban itu tidak kunjung tiba. Hampir-hampir Sumbaruni sangsi dan menduga Suto tidak ada di situ. Namun ketika ia masuk ke ruang semadi, hatinya menjadi lega, karena Suto Sinting ada di dalam ruang semadi. Mungkin ia memang disembunyikan di situ oleh Ratu Kelabang Setan.

"Sutooo...?!" Sumbaruni segera kaget melihat keadaan Suto yang menyedihkan. Tubuh Suto dipenuhi oleh benjolan seperti bisul. Ada yang kecil, ada yang berukuran besar. Bahkan tulang pipi sebelah kanan dan rahang kiri membengkak besar, dagunya pun menggelembung ke bawah, keningnya juga bengkak ke samping, sehingga wajah Suto Sinting sudah tidak kelihatan tampan lagi. Kepalanya membengkak ke kiri cukup besar, sebagian rambutnya ada yang rontok.

"Keparat! Kubunuh kau Untari! Racunmu telah membuat pemuda ini menjadi berubah dan sangat menderita!" seru Sumbaruni sambil mencoba memapah Suto Sinting. Keadaan Suto sudah siuman, tapi masih lemas. Rupanya Untari telah melakukan penyembuhan, namun belum sepenuhnya.

"Keparat! Sembuhkan dia secepatnya! Hei, Untari... ke mana kau?!"

Sumbaruni kebingungan mencari Untari. Di serambi depan tempatnya jatuh terkulai karena lumpuh ternyata sudah kosong. Untari tak ada di sana. Gerutu dan makian Sumbaruni menyertai pencariannya. Tapi ternyata orang yang dicarinya memang tak ada di sekitar tempat itu.

"Persetan dengan dia! Yang penting aku harus membawa Suto keluar dari sini lebih dulu! Urusan dia bisa kutangani belakangan saja kalau Suto sudah sembuh!" pikir Sumbaruni.

"Suto, kau kuat berjalan?!"

Suto Sinting yang masih lemas itu menggelengkan kepala. Sumbaruni menangis dalam hatinya melihat keadaan Suto Sinting semenderita itu.

"Dia... sedang pulihkan... kekuatanku, belum... sembuhkan... racun," kata Suto Sinting dengan suara lemah dan lamban.

Sumbaruni menarik napas menahan kesedihan, ia tahu maksudnya, bahwa Ratu Kelabang Setan baru memulihkan kekuatan Suto tapi belum menawarkan racun 'Siksa Kubur'. Itulah sebabnya keadaan Suto masih bengkak-bengkak tak karuan bentuknya. Bukan di kepala saja, tapi di bagian tangan, lengan, dada, sampai ke kaki.

Sumbaruni tidak mau banyak bicara lagi, ia segera memanggul Suto Sinting dengan kekuatan tenaga dalamnya dan melesat pergi tinggalkan tempat itu. Ia menerobos cahaya rembulan, bagai seorang pencuri menggendong hasil curiannya. Arah pelarian Sumbaruni ke Tanjung Samudera. Karena ia pun memikirkan nasib Tanjung Samudera yang mendapat tuduhan dari para pengagum Pendekar Mabuk sebagai pembunuh sang pendekar. Sumbaruni sempat bicara tentang hal itu dalam perjalanan malamnya kepada Suto Sinting, tetapi Suto tidak bisa memberikan jalan keluar. Keadaannya yang masih lemah dengan pembengkakan yang semakin terkena angin semakin membesar itu membuat Suto hanya punya satu keinginan.

"Tuak... tolong bumbung tuak..."

"Bumbung itu ada pada Bulan Sekuntum."

"Aku... butuh tuak dari... dari bumbungku.... Itu... kekuatanku."

Sumbaruni mengerti maksudnya, ia pun jadi ingat bahwa tuak dari bumbung itu pasti dapat memulihkan kekuatan Suto. Bahkan mungkin bukan saja memulihkan kekuatan, tapi juga menawarkan racun yang bekerja dalam tubuh Suto.

Berpikir tentang bumbung tuak, langkah Sumbaruni semakin cepat walau masih tetap memanggul Suto Sinting. Sampai di Istana Tanjung Samudera hari sudah pagi. Tapi matahari di ambang cakrawala. Keadaan Istana Tanjung Samudera bagian depannya porak poranda. Para prajurit berkeliaran menjaga setiap sisi Istana. Dua menara pengawas tampak menghitam, menandakan sebagai sisa pembakaran. Bahkan pintu gerbang pun tampak habis dibakar, namun tidak habis seluruhnya. Asap masih mengepul di sana-sini.

"Sumbaruni...?!" seru Bulan Sekuntum menyambut kedatangan Sumbaruni yang memanggul Suto Sinting.

"Ke mana mereka? Sudah berhasil kalian usir semua?"

"Mereka pergi untuk sementara. Tengah malam mereka meninggalkan tempat ini dengan ancaman masih ingin kembali lagi sebelum kami menyerahkan Gusti Ratu Dewi Giok. Sebab mereka menuntut kematian Gusti Ratu sebagai ganti kematian Pendekar Mabuk."

"Apakah kau tak bisa memberi penjelasan kepada mereka?" tanya Sumbaruni.

"Aku kehabisan cara. Mereka tetap tidak percaya dan menuduh pihakku yang membunuh Pendekar Mabuk dengan cara memenggalnya."

"Sekarang ratumu di mana?"

"Kami sembunyikan di suatu tempat. Kami tidak ingin Gusti Ratu melawan, karena semua ini hanya kesalahpahaman."

Bulan Sekuntum trenyuh hatinya melihat keadaan Suto Sinting separah itu. Wajahnya sudah tak kelihatan sebagai pendekar tampan yang dikagumi para wanita itu. Suto cenderung mirip orang cacat.

"Isi bumbung itu dengan tuak, biar diminum olehnya!" perintah Sumbaruni kepada Bulan Sekuntum.

"Di sini sulit mencari tuak. Kami melarang penduduk meminum tuak. Ini terjadi sejak dulu."

"Pokoknya cari tuak ke mana saja! Suruh orangmu mencari keluar dari wilayah ini! Tanpa tuak, Suto tidak akan bisa bertindak menolong kalian!"

Tiga orang prajurit berkuda berangkat mencari tuak. Tapi sampai pagi kian berubah siang, mereka belum pulang juga. Sedangkan keadaan Suto Sinting semakin membengkak. Kepalanya menjadi besar, bentuk matanya sudah tidak karuan. Tapi kekuatannya bertambah sedikit. Bicaranya agak lancar dan suaranya agak keras, walau belum seperti biasanya.

"Bulan Sekuntum...! Mereka datang lagi dengan jumlah lebih banyak!" seru seorang pengawal istana. Sumbaruni dan Bulan Sekuntum segera bergegas ke luar benteng untuk menghadapi mereka. Ternyata jumlahnya memang lebih banyak.

Sekitar lima puluh orang lebih. Beberapa orang ada yang dikenal oleh Sumbaruni, di antaranya: Citradani, Kirana, Putri Kunang, Delima Gusti, Batu Sampang, Palupi atau si Tandu Terbang, Hantu Tari, Camar Sembilu, Teratai Kipas. Dewa Angora dan beberapa orang lainnya yang pada umumnya adalah wanita pengagum Pendekar Mabuk. Bahkan Jelita Bule utusan dari Ratu Rangsang Madu pun tampak hadir disitu.

Menurut Sumbaruni, peristiwa ini bisa menjadikan perang antar negeri jika tidak segera dikendalikan. Karena di situ tampak pula Muria Wardani yang dikenal dengan nama Telaga Sunyi dan beberapa prajurit dari Kadipaten Madusari yang siap menyerang istana Tanjung Samudera.

"Kita serang saja mereka jika ratunya tidak mau bertanggung jawab atas kematian Suto!" seru salah seorang dengan suara keras. Orang itu tak lain adalah Kirana, yang pernah menjadi sahabat akrab Suto Sinting.

"Kirana! Apa maksudmu mengerahkan orang sebanyak ini?!" bentak Sumbaruni dengan berani.

"Jadi kau sekarang memihak Ratu Dewi Giok?! Aku tidak takut, Sumbaruni! Kematian Suto harus ditebus dengan nyawa Dewi Giok!"

"Suto tidak mati! Suto ada di sini!"

"Suruh dia keluar kalau memang tidak mati!" teriak yang lain saling bersahutan.

Sumbaruni menyuruh Bulan Sekuntum untuk membawa Suto. Namun ketika Suto hadir di depan mereka, ternyata mereka tidak mau percaya.

"Omong kosong! Itu bukan Pendekar Mabuk! Lihat saja, wajahnya begitu buruk! Suto Sinting bukan pendekar berwajah buruk!"

"Ini sama saja penghinaan terhadap Pendekar Mabuk!" teriak yang lain.

"Dia bukan Suto! Singkirkan dia! Singkirkan...!" Mereka melempari Suto dan Sumbaruni.

Bulan Sekuntum tak luput pula dari lemparan batu. Walaupun Suto berkata, "Akulah murid Gila Tuak! Aku Suto Sinting...."

Tapi mereka tetap tidak percaya karena setahu mereka Suto tidak seburuk itu, kepalanya tidak sebesar itu. Repotnya mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Sumbaruni tentang mengapa Suto jadi begitu.

Mereka nyaris menyerang habis istana Tanjung Samudera. Untung pembawa tuak datang, tuak segera dimasukkan dalam bumbung bambu. Kemudian diminum oleh Suto Sinting. Dalam beberapa waktu kemudian, bengkak-bengkak di tubuh Suto mengempes secara berangsur-angsur. Kekuatan Suto pulih kembali. Racun 'Siksa Kubur' telah lenyap. Keributan di depan istana masih berlangsung. Suto Sinting segera tampil dalam keadaan aslinya; tampan, gagah, segar dan menawan.

"Hentikaaan...!" seru Suto dengan suara lantang. Tiba-tiba semua gerakan terhenti. Semua mata memandang ke arah Suto yang ada di atas tembok benteng.

"Ooohh...?!" mereka sama-sama menggumam kagum."Jangan teruskan tindakan kalian! Kalian hanyaterpancing siasat seseorang yang punya maksud tertentu. Mayat yang tanpa kepala itu hanya mayat seseorang yang tubuhnya serupa denganku. Tapi wajahnya tidak sama dengan wajahku."

"Oh, dia masih hidup! Dia masih hiduuup...!" seru mereka kegirangan.

Suto menenggak tuak dari bumbung bambu itu, kemudian berkata lagi kepada mereka. "Siapa yang membawa mayat itu kepada guruku?!"

"Aku...!" seru seseorang sambil mengacungkan pedangnya. Ternyata orang itu adalah Intan Selaksa, gadis cantik berpakaian kuning gading dengan rompi ungu. Intan Selaksa adalah juru kunci Kuil Swanalingga, murid mendiang Begawan Sangga Mega yang pernah terlibat dalam satu peristiwa bersama Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

"Dari mana kau memperoleh mayat tanpa kepala itu, Intan Selaksa?!"

"Dari sahabatku: Anak Petir!" jawab Intan Selaksa.

Bulan Sekuntum berkata pelan, hanya bisa didengar oleh Suto dan Sumbaruni, "Berarti biang keladi huru-hara ini adalah Anak Petir."

"Apa maksudnya bikin huru-hara ini?!"

Bulan Sekuntum diam sesaat untuk berpikir, lalu berkata, "Mungkin karena dia tak bisa mengalahkan kekuatan kami, maka dia memancing murka orang-orang pengagum Pendekar Mabuk dengan memasang mayat tanpa kepala. Tentunya ia mencari orang yang perawakannya serupa dengan Suto. Lalu ia dandani dan ia lengkapi dengan bumbung tuak. Untuk menghilangkan kesan bahwa mayat itu bukan Suto, kepala korban dipenggal dan dibuang di suatu tempat yang tersembunyi. Dengan meletakkan mayat di wilayah Tanjung Samudera, Anak Petir punya perkiraan bahwa orang-orang itu akan mencurigai dan menuduh pihak Tanjung Samudera yang membunuh Pendekar Mabuk. Sudah tentu ia punya perhitungan, para pengagum Pendekar Mabuk akan menyerang negeri ini, dan kami akan dihancurkan oleh orang-orang Itu!"

"Licik sekali dia!" geram Suto Sinting. "Intan Selaksa, benarkah Anak Petir yang menyerahkan mayat orang tanpa kepala yang mirip aku itu?"

"Benar, Suto!"

"Kalau begitu, cari Anak Petir dan katakan bahwa aku menantang pertarungan dengannya!"

"Hancurkan dia! Penggal kepala si Anak Petir yang bikin kita hampir tersesat!" teriak mereka penuh kemarahan kepada Anak Petir.

"Suto, maaf ada sesuatu yang harus kukembalikan padamu. Kutemukan dari dalam bumbung tuakmu saat bumbung itu kosong tanpa tuak!" kata Bulan Sekuntum.

Suto Sinting kaget dan baru sadar bahwa Cincin Manik Intan ternyata ada di tangan Bulan Sekuntum. Untung si cantik pemberani itu punya kejujuran yang terpuji, jika tidak... lenyap sudah cincin pusaka maha sakti itu.

"Bulan, sekarang masalahnya sudah beres. Aku ingin bertemu dengan gusti ratumu itu."

Tapi Sumbaruni menyahut agak ketus dengan nada cemburu, "Tak perlu. Lain kali saja. Cari saja si Anak Petir itu!"

Suto Sinting hanya tertawa pelan. Bulan Sekuntum mencibir sinis, lalu meninggalkan mereka.

"Aku hanya ingin berkenalan dengan sang Ratu."

"Itu soal gampang. Cari dulu si Anak Petir dan selesaikan urusanmu dengannya. Bukankah kau tadi sesumbar ingin menantang pertarungan dengan si Anak Petir?"

"Bagiku itu bukan suatu keharusan. Kalau memang aku bisa bertemu, dan terpaksa harus lakukan pertarungan, aku bersedia. Tapi jika ia meminta maaf kepadaku, apakah aku harus tetap menantang pertarungan dengannya?"

"Seorang pendekar harus setia pada janjinya, terutama janji pertarungan!" gumam Sumbaruni.

"Kalau yang ditantang takut, bagaimana? Apakah harus tetap menyerang orang yang sudah merasa tak berdaya? Jadi sekarang yang penting aku ingin bertemu dengan Ratu Dewi Giok dan berkenalan dengannya."

"Kusarankan kapan-kapan saja!"

"Kenapa kau cemburu kepadanya?" kata Suto apa adanya membuat wajah Sumbaruni merah dadu menahan malu.

Dengan mata memandang dingin, Sumbaruni berkata, "Aku bukan cemburu padanya, hanya malas mengantarmu bertemu dengan Ratu Dewi Giok."

"Ada masalah apa kau dengan Ratu Dewi Giok? Tampaknya kau sungkan padanya?" desak Pendekar Mabuk.

Setelah diam sesaat Sumbaruni berkata, "Aku pernah bentrok dengannya perkara Pusaka Gelang Naga Dewa. Tapi akhirnya aku malu sendiri karena memang itu salahku."

"O, ya... aku ingat. Ratu Kelabang Setan juga ingin merebut Pusaka Gelang Naga Dewa! Mungkinkah dia sekarang sedang menyusun kekuatan untuk menyerang Ratu Dewi Giok?"

"Aku akan di pihak Ratu Dewi Giok kalau memang benar Untari mau merebut pusaka Gelang Naga Dewa!"

"Kenapa begitu?"

"Karena Ratu Dewi Giok-lah yang berhak memiliki pusaka itu."

Esok harinya, Suto dan Sumbaruni mendengar kabar bahwa seorang ibu mengaku kehilangan anak sulungnya yang kerjanya menebang pohon. Potongan tubuh anak sulungnya itu serupa dengan Suto Sinting.

"Mungkinkah anak ibu itu yang menjadi korbannya Anak Petir?" tanya Bulan Sekuntum kepada Sumbaruni.

"Belum tentu. Bisa saja ibu itu hanya mengaku-aku supaya namanya menjadi dikenal karena terkait dalam peristiwa ini."

"Agaknya perlu diselidiki lebih teliti lagi. Jika memang benar korban tanpa kepala itu adalah anak dari ibu itu tadi, tentu saja ia bisa mengenali pembunuhnya. Mungkin dengan menanyakan tentang Anak Petir, ia bisa memberi kesaksian memang si Anak Petir yang layak dicurigai sebagai pembunuh orang yang mirip aku itu," ujar Suto sebelum meninggalkan Istana Tanjung Samudera.

Tapi pada sore harinya, seorang nelayan menemukan potongan kepala manusia di pantai, di antara sela-sela bebatuan karang. Penemuan itu sempat bikin geger penduduk pantai. Setelah ditanyakan kepada ibu yang mengaku kehilangan anaknya, ternyata kepala itu memang milik anak sulungnya.

"Kini yang kupikirkan," kata Sumbaruni. "Kemana perginya Ratu Kelabang Setan pada malam itu? Tak mungkin ia bisa lari cepat karena terkena jurus 'Anak Rembulan' yang melumpuhkan seluruh syaraf manusia."

"Pasti ada yang menyelamatkan dan membawanya lagi," kata Suto.

"Siapa orang itu?"

"Entahlah. Kita cari saja siapa orangnya!" ujar Pendekar Mabuk dengan rasa penasaran.

SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.