Serial Pendekar Mabuk
Telur Mata Setan
Karya Suryadi
Telur Mata Setan
Karya Suryadi
SATU
PONDOK kayu dikelilingi pepohonan rindang itu roboh. Keadaannya hancur bagaikan habis dilanda gempa dan badai. Warna hitam arang menghiasi reruntuhan pondok kayu itu. Asap tipis masih mengepul sebagai tanda bahwa penghancuran pondok kayu itu terjadi belum lama ini. Serat-serat kayu yang berserakan menandakan adanya tenaga dalam tinggi dipergunakan untuk menghancurkan pondok tersebut.Pemuda berambut hitam lurus dan lemas, panjangnya sebatas lewat pundak, memandangi reruntuhan pondok tersebut, ia geleng-gelengkan kepala melihat tak satu pun tiang yang masih tersisa tegak berdiri sebagai tanda bekas penopang atap. Karena atap pondok itu sendiri nyaris rata dengan tanah. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam itu masih diam memandang sekeliling tempat itu. Bumbung tuak dari bambu berukuran tak begitu panjang masih ditentang dengan tangan kanannya. Tadi ia habis menenggak tuak dua teguk sebelum memandangi sisa reruntuhan dengan lebih teliti lagi.
"Kurasa ia masih ada di sekitar sini," katanya membatin, lalu kembali melangkah mengelilingi reruntuhan pondok sambil memeriksa kanan-kirinya. Pemuda itu agaknya sudah dapat menduga siapa orang yang menghancurkan pondok milik mendiang Nyai Sapu Lanang itu. Bahkan hatinya merasa yakin.
"Pasti ia masih mencariku setelah mengetahui di dalam pondok ini tak terdapat satu orang pun. Sebaiknya kutunggu beberapa saat di sini. Aku merasa yakin ia akan datang kembali melihat hasil murkanya ini!"
Angin berhembus dari utara ke selatan. Asap sisa pembakaran itu kian menipis. Tapi bara yang tersisa di tumpukan kayu masih menyala. Pemuda tampan yang tak lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu sengaja jongkok tak jauh dari bara. Sesuatu yang tergeletak di sana dipungutnya.
Benda bulat seperti telur burung diperhatikan dengan mata tak berkedip. Benda yang menurutnya adalah telur aneh itu berwarna kemerah-merahan dan berkulit bening. Cairan di dalamnya tampak berwarna merah seperti darah. Pendekar Mabuk mendekatkan telur itu ke wajahnya agar lebih jelas lagi dalam meyakinkan isi telur itu.
"Hmmm... telur apa ini? Agaknya warna merahnya bukan karena terpanggang bara api tapi karena cairan di dalamnya," katanya membatin, ia berdiri sambil memperhatikan telur aneh itu. "Kulitnya sangat tipis, mudah pecah, sepertinya hanya terbungkus oleh kulit ari. Telur burung apakah ini? Mengapa berada di reruntuhan pondoknya Nyai Sapu Lanang?"
Pendekar Mabuk jauhi reruntuhan, ia ingin meneduh di bawah pohon beringin gajah yang besar itu. Ia merasa lebih tenang memperhatikan benda itu di sana ketimbang di dekat reruntuhan. Namun ketika sedang tekun memperhatikan jenis telur tersebut, tiba-tiba terdengar sebuah suara berseru,
"Itu dia orangnya. Serang!"
Tentu saja Suto Sinting terkejut mendengar seruan tersebut. Lebih terkejut lagi ketika tahu-tahu tiga sosok tubuh melayang hendak menerjangnya dari tiga arah; depan, kanan, dan kiri. Wuusss...! Pendekar Mabuk terpaksa bergerak cepat. Gerakan nalurinya membuat ia memutar dengan bumbung tuak di tangan dikibaskan berkeliling cepat. Wuungg...! Kibasan bumbung tuak dari bambu itu ternyata menimbulkan gelombang hawa panas yang menyebar dalam satu hentakan bersama. Akibatnya ketiga orang yang ingin menyerangnya itu terpental dan melayang ke belakang bagaikan helai-helai daun yang ditebarkan.
Guzzrrak...! Bruuss...! Buuhg...!
Pendekar Mabuk berdiri tegak kembali dengan kedua kaki kekarnya sedikit merenggang, ia juga menghadap ke arah semula, dan di depannya berdiri seorang gadis cantik yang tadi memberi perintah serang kepada ketiga lelaki berbadan agak gemuk dengan tinggi tubuh sama rata. Gadis yang berdiri di depan Suto Sinting dalam jarak sekitar lima langkah itu mengenakan pakaian biru, rambutnya panjang diikat ke belakang, bagian depannya di poni, dan sikap berdirinya tak bisa tenang; bergerak ke sana-sini tanpa tujuan yang pasti.
"Menak Goyang...!" sapa Suto Sinting pelan seakan tertuju untuk diri sendiri. Pandangan matanya memang tak salah, gadis itu adalah Menak Goyang, murid Malaikat Miskin dari Perguruan Tongkat Sakti, (Baca serial Pendekar Mabuk episode Racun Gugah Jantan).
Tiga orangnya yang menyerang Suto Sinting tadi sedang berusaha bangkit dari jatuhnya. Salah seorang ada yang mengerang karena tulang punggungnya bagaikan patah. Seorang lagi luka kepalanya, membentur batu dan berdarah. Sedangkan yang satu lagi sehat, hanya merasa ngilu pada tulang kaki yang tadi sempat beradu dengan sebatang pohon kecil.
Salah seorang yang sehat itu akan menyerang Suto Sinting dengan mencabut goloknya, tapi Menak Goyang memberi isyarat dengan tangan untuk menahan gerakan orang tersebut. Tapi mata Menak Goyang masih tertuju tajam kearah Suto Sinting. Barangkali ia masih menyimpan dendam kekalahannya ketika dilumpuhkan Suto dengan cara ditotok peredaran darahnya. Untung Malaikat Miskin mampu melepaskan totokan tersebut.
"Mana anak itu?!" hardik Menak Goyang tanpa senyum sedikit pun.
Suto Sinting berkerut dahi. "Anak yang mana?" Ia ganti bertanya karena benar-benar merasa bingung dengan pertanyaan gadis itu.
"Jangan berlagak bodoh! Kau telah berhasil menculik anak itu!"
"Anak siapa?!"
"Adikmu!" sentak Menak Goyang.
"Adikku...? Oh, Sum... eh, anu.... Maksudmu gadis kecil yang bernama Runi, adikku itu?!"
"Ia!" jawab Menak Goyang dengan tegas.
"Lalu... lalu apa yang kau tanyakan padaku?" Suto Sinting benar-benar bingung jika benar gadis itu menanyakan Sumbaruni yang berubah menjadi anak kecil karena terkena Racun Ludah Naga itu. Sebab setahunya Sumbaruni sedang dijadikan sandera oleh orang-orang Perguruan Tongkat Sakti dan minta tebusan Pisau Tanduk Hantu.
Sebab dalam perkara hilangnya pisau pusaka milik Malaikat Miskin itu, Pendekar Mabuk menjadi pihak yang dituduh sebagai pelaku pencurian benda pusaka tersebut. Tapi anehnya sekarang Menak Goyang menanyakan di mana Sumbaruni kepada Suto Sinting. Padahal Suto Sinting yang semula menjadi tua dan sekarang sudah berubah menjadi muda lagi itu sedang mempersiapkan rancangan untuk merebut kembali bocah Sumbaruni.
"Suto, kami sudah kehilangan kesabaran dengan tingkahmu, terutama aku! Sebaiknya jangan pancing kesabaranku habis dengan cara merebut dan membawa lari bocah kecil yang menjadi adikmu itu."
Pendekar Mabuk memandang dengan dahi berkerut tajam. Kini ia dapat menduga; Sumbaruni hilang dari tangan mereka dan Suto Sinting dianggap sebagai orang yang berhasil membawa lari Sumbaruni. Pikiran itu sempat membuat hati Suto Sinting berdebar-debar diliputi kecemasan. Padahal tujuannya berada di kaki Gunung Kundalini itu untuk mencari Telur Mata Setan yang dapat menawarkan Racun Ludah Naga dalam diri Sumbaruni. Jika wanita bekas istri jin yang sudah berubah menjadi bocah cilik itu hilang dari mereka, lalu mereka tidak mengetahui ke mana perginya dan siapa pencurinya, itu akan membuat Suto Sinting menjadi kalang kabut lagi.
"Jika benar anak itu hilang dari tangan kalian, kalian harus bertanggung jawab. Jangan memaksa diriku untuk melampiaskan kemarahan kepada kalian!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas-tegas, tanpa wajah ceria sedikit pun. Walau masih berkesan kalem, tapi pandangan mata maupun kata-katanya terasa 'dingin' dan nyaris membekukan darah mereka berempat.
Menak Goyang tampaknya tak tergoyahkan oleh ancaman halus Pendekar Mabuk itu. Sekalipun pinggulnya bergerak-gerak dengan satu tangan menopang di batang pohon dan satunya lagi bertolak pinggang, tapi Menak Goyang kelihatan tetap tenang dan mampu bersuara lantang,
"Kau ingin memutarbalikkan tuduhan dan tanggung jawab kepada kami! Oh, kurasa itu tak bisa, Suto! Kami tahu kaulah orang yang merebut gadis itu dari tangan Jumala dan Reksita!"
"Aku tidak tahu tentang kedua orangmu itu. Aku tidak berlagak bodoh. Karenanya kalau sampai adikku itu tidak segera kalian temukan, maka aku akan menuntut guru kalian dengan caraku sendiri!" kata Suto dengan suara bernada tegas, tak ada kesan cengar-cengir kalem seperti biasanya. Untuk menahan kegelisahan, Suto Sinting menenggak tuaknya sambil memasukkan telur aneh yang menarik perhatiannya itu ke dalam bumbung tuak. Telur itu menyatu dengan tuak dalam bumbung bambu itu.
Pluung...!
Melihat Suto Sinting sedang tengadah menenggak tuak, tiba-tiba orang yang tulang kakinya terasa ngilu tadi segera lepaskan serangannya dengan sebuah tebasan goloknya melalui samping kiri Suto Sinting. Orang itu bergerak sambil lakukan lompatan maju menerjang Suto. Tetapi dengan tetap menenggak tuaknya, tangan kiri Suto Sinting menyentak ke arah kirinya. Pukulan bergelombang panas dari telapak tangan Suto itu menghantam tubuh lawan yang diam-diam mau menyerangnya secara mendadak.
Wuusstt...! Buuhg...
"Uuhg...!" orang itu terpekik ketika perutnya terkena pukulan tenaga dalam Suto yang kali ini tidak menggunakan sinar seperti biasanya.
Brrussk...! Orang itu terlempar jatuh ke semak-semak ilalang yang berjarak tujuh langkah dari tempatnya berdiri semula. Tentu saja gerakan orang tersebut membuat dua temannya terbengong-bengong sambil menahan sakit. Orang itu seperti benda ringan yang disapu angin begitu saja. Jatuhnya pun kali ini tampak telak karena membentur akar tua beringin gajah itu, memantul ke depan dan masuk ke semak-semak ilalang.
"Kau benar-benar cari penyakit dengan pihakku, Suto Sinting!" sentak Menak Goyang dengan marah, ia segera mencabut pedangnya yang ada di pinggang.
Srreett...!
Dengan satu lompatan lurus bagaikan seekor burung sedang terbang, Menak Goyang mengarahkan pedangnya ke dada Suto Sinting. Tapi tiba-tiba pedang itu berkelebat merobek wajah Pendekar Mabuk.
Wuutt...! Trrakk...!
Pendekar Mabuk dengan cepat mampu menangkis pedang itu dengan bumbung tuaknya. Tangan kirinya menyentak ke samping kanan, telapak tangan itu mengenai rahang si gadis cantik.
Desas...! Brrukk...!
Menak Goyang menyeringai dalam keadaan telentang. Rahangnya terasa pecah karena hantaman pangkal telapak tangan kiri Pendekar Mabuk. Menak Goyang tak mampu berdiri lagi. Kulit wajahnya pucat pasi, napasnya tersendat-sendat. Rupanya pukulan tangan kiri Suto tadi dialiri tenaga dalam yang lumayan tinggi sehingga hentakannya terasa sampai di seluruh tubuh, bahkan sampai di bagian dalam tubuh.
Tiga orang pengikut Menak Goyang menjadi gentar melihat Menak Goyang roboh dalam satu jurus. Tapi peduli apa kata Menak Goyang nanti, mereka bertiga segera angkat kaki dan tinggalkan tempat itu cepat-cepat. Sebenarnya Menak Goyang tahu bahwa ia ditinggalkan mereka, semestinya ia marah kepada mereka, tetapi karena dalam keadaan seperti remuk sekujur tubuhnya, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya mengerang lirih.
Pendekar Mabuk memang tidak bermaksud membunuh Menak Goyang, ia bahkan merasa kasihan dan punya rasa menyesal juga dalam hatinya. Maka Menak Goyang segera ditolongnya, diobati dengan meminumkan tuak ke mulut gadis cantik itu. Pendekar Mabuk membantu Menak Goyang untuk bangkit, duduk di rerumputan itu. Napas si gadis masih terengah-engah, namun beberapa kejap berikutnya mulai mereda,
"Pedangku...?!" Menak Goyang memandang sedih melihat pedangnya patah karena beradu dengan bumbung tuak tadi.
"Masih banyak pedang lain yang lebih hebat dari pedangmu. Jangan pikirkan lagi pedang itu. Pikirkanlah tentang adikku yang kau bilang telah dibawa lari seseorang. Bagaimana bisa terjadi begitu?" Suto Sinting jongkok di depan Menak Goyang, menatap tanpa senyum tapi juga tak bersikap bermusuhan lagi.
"Kami ingin menyembunyikan adikmu ke Lembah Timur, disana ada sahabat Guru, dan anak itu bermaksud kami titipkan ke sana. Jadi sewaktu-waktu kau datang dan ingin merebutnya tanpa membawa Pisau Tanduk Hantu, kau akan kecele. Tak bisa temukan anak itu."
"Kalian sudah mulai main licik-licikan, rupanya."
Menak Goyang diam sesaat bagai tak membantah tuduhan itu. Lalu ia berkata lagi dengan suara lebih ringan, tidak seberat tadi, "Guru yang mempunyai siasat itu. Bukan aku. Guru yang perintahkan Jumala dan Reksita membawa gadis kecil itu ke Lembah Timur. Tapi di perjalanan mereka diserang seseorang yang tak terlihat. Mereka dibuat pingsan dan ketika sadar bocah itu sudah tidak ada."
Suto Sinting tarik napas sambil berdiri, menahan kesedihan, kekecewaan dan rasa dongkol yang ingin meledak tercurahkan kepada Menak Goyang. Perasaan itu ternyata masih mampu ditahan dan dipendam, walau dadanya sempat bergemuruh membayangkan Sumbaruni kecil dibawa lari seseorang. Suto merasa bertanggung jawab atas hidup-matinya Sumbaruni, karena Sumbaruni yang pura-pura diaku sebagai adiknya itu menjadi susut dan mengecil hanya gara-gara membela pertarungannya dengan Syakuntala. Sumbaruni ingin unjuk kesetiaan, karena wanita itu mencintai Suto dan ingin menjadi istrinya.
Tentunya malapetaka yang dialami Sumbaruni secara tak langsung menjadi beban Suto Sinting untuk ganti menolong menyembuhkannya dari Racun Ludah Naga. Jika sekarang Suto Sinting kehilangan jejak kemana perginya orang yang membawa Sumbaruni itu, maka adalah tugasnya untuk mendapatkan Sumbaruni kembali. Padahal wanita itu makin hari akan menjadi semakin kecil dan bisa berubah menjadi bayi karena pengaruh Racun Ludah Naga tersebut. Hal yang dicemaskan oleh Pendekar Mabuk adalah jika Telur Mata Setan tidak segera ditemukan, atau jika Telur Mata Setan ditemukan tapi Sumbaruni tidak ditemukan, maka perempuan bekas Panglima Negeri Kencana Ringgit itu akan kembali menjadi janin dan akhirnya mati tak tertolong lagi.
"Ke mana arah kepergian orang yang membawa adikku itu?"
"Tak ada yang tahu karena kedua utusan itu dalam keadaan pingsan."
Pendekar Mabuk menggerutu dalam hati, "Sial! Ada-ada saja masalahnya. Yang satu belum bisa kuselesaikan, timbul lagi masalah yang baru. Percuma saja kalau aku menuntut Menak Goyang dan Perguruan Tongkat Sakti, yang akan terjadi hanya pertentangan membuang waktu. Sebaiknya harus kucari sendiri kemana perginya Sumbaruni! Para tokoh akan mengecamku jika Sumbaruni tak bisa kutemukan kembali."
Tanpa berkata sepatah kata lagi, Pendekar Mabuk segera pergi tinggalkan tempat itu. Tetapi tiba-tiba Menak Goyang berseru, "Mau ke mana kau?!"
"Mencari adikku!"
"Akan kubantu. Aku ikut denganmu!" Menak Goyang bergegas mendekati Suto.
"Kau pulang saja ke perguruanmu. Aku tak ingin kau ikut campur lagi dalam urusanku, Menak Goyang!"
"Aku akan membantumu!"
"Terima kasih. Aku bisa menjaga diri sendiri. Pulanglah sana!"
"Lalu... lalu bagaimana dengan pisau pusaka itu?"
"Kalau aku mempunyai pisau itu, sudah kutikamkan ke dadamu sejak tadi. Mungkin gurumu pun akan kulawan dengan pisau itu. Paham maksudku?"
Menak Goyang membungkam mulut, tapi badannya masih bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan bagai naik perahu. Mata mereka beradu pandang sejenak. Setelah itu Suto Sinting cepat-cepat tinggalkan si gadis yang masih tertegun di tempatnya mencari keputusan langkahnya sendiri.
Mencari sesuatu yang tak diketahui arah dan tujuannya memang hal yang paling sulit. Pendekar Mabuk sendiri sempat bingung, mana arah yang harus ditujunya. Tak ada tanda-tanda, tak ada jejak yang bisa diikuti. Satu-satunya jalan ia mengikuti apa kata hati nuraninya sendiri. Naluri yang bekerja dengan peka membuat Suto Sinting terpaksa hentikan langkah. Ia merasakan ada hembusan angin aneh melintas di samping kirinya, menyelusup di sela-sela pepohonan. Suto Sinting segera perhatikan arah tersebut. Karena ia yakin bahwa angin yang melintas itu tak lain adalah sesosok bayangan yang bergerak cepat menduluinya.
"Siapa yang bersembunyi di situ, keluarlah dan perkenalkan dirimu!" seru Suto Sinting sambil membuka tutup bumbung tuak, setelah itu menenggak tuak beberapa teguk. Selesai menenggak tuak, Pendekar Mabuk merasa harus cepat sentakkan napas tertahan di perut sehingga tubuhnya dapat melesat naik ke atas bagai ada yang menariknya dengan cepat.
Suutt...!
Hal itu dilakukan karena ia melihat kilatan cahaya merah kecil yang menyerang ke arahnya dengan gerakan cepat. Cahaya merah kecil itu melesat di bawah kaki Suto Sinting saat tubuh Suto melenting di udara. Sinar merah itu menghantam pepohonan di seberang sana.
Duaar...! Pohon yang terhantam menjadi pecah sebagian batangnya, tapi tidak sampai terbelah atau tumbang.
Pendekar Mabuk kembali daratkan kakinya tanpa suara menghentak seperti yang dilakukan kebanyakan para tokoh berilmu sedang itu. Pandangan mata masih tertuju ke arah datangnya sinar merah tadi.
"Aku tahu kau ada di balik pohon berjajar dua itu. Keluarlah!" seru Suto.
Agaknya orang yang bersembunyi di balik dua pohon berjajar rapat itu merasa malu karena tempat persembunyiannya diketahui, ia merasa percuma jika tetap bertahan di balik pohon itu. Maka orang tersebut pun segera melompat keluar menerabas semak ilalang dan dalam kejap berikutnya sudah berdiri di depan Suto Sinting, ia memegang kipas emas dengan gambar bunga teratai. Melihat bentuk kipasnya yang kini sedang dibentangkan dan dikipas-kipaskan, Suto Sinting ataupun orang lain dapat menyimpulkan bahwa gadis cantik itu pasti yang berjuluk Teratai Kipas, ia mengenakan jubah tanpa lengan berwarna kuning kunyit. Pinjung dada serta celana ketat dari beludru berwarna hijau muda berhias benang emas. Rambutnya lepas meriap sepunggung diberi hiasan ikat kepala dari lempengan logam seperti emas berukir.
Wanita cantik itu sebenarnya sudah pernah bersama Suto saling bantu dan saling selamatkan jiwa. Tapi pada waktu itu Suto Sinting dalam keadaan menjadi tua, setua kakeknya. Sekarang Racun Gugah Jantan yang membuat Suto Sinting berpenampilan tua itu sudah lenyap, wajah dan tubuh Suto sudah berubah seperti aslinya. Tak aneh lagi jika Teratai Kipas memandang kagum dan terpesona beberapa saat dengan mata tak mau berkedip, ia tidak mengenali wajah tampan rupawan itu. Tapi ia mengenali baju coklat tanpa lengan dan celana putih lusuh itu adalah milik Suto Sinting, ia juga mengenali bumbung tuak tersebut adalah bambu bumbung tuak milik Suto Sinting. Hanya saja ia tak menyangka bahwa ketampanan Suto ternyata melebihi ketampanan bekas kekasihnya yang kini telah tiada.
"Kau... kau yang bernama Suto Sinting?"
"Kau tak salah pandang, Teratai Kipas," jawab Suto Sinting, ia yang maju lebih mendekat dan berkata lagi, "Mengapa kau menyerangku? Sekadar mengujiku atau memang bermaksud membunuhku?"
Sebenarnya dalam hati Teratai Kipas mengatakan bahwa ia sekadar menguji ketinggian ilmu orang yang masih asing baginya. Tapi di mulutnya terlontar jawaban yang berbeda. "Aku sengaja ingin melukaimu, Suto Sinting. Aku ingin buktikan bahwa kemarahanku kepadamu tak bisa dibendung lagi, sebab kau melarikan musuhku pada saat aku seharusnya mengakhiri hidupnya sebagai tindakan balas dendamku kepada Nyai Sapu Lanang."
"Kau tak perlu berpikir tentang Nyai Sapu Lanang lagi. Ia telah mati!"
"Omong kosong!" sergah Teratai Kipas. "Kau pasti telah bercumbu dengannya untuk merengek obat penawar Racun Gugah Jantan, dan kau tak mungkin tega membunuhnya karena ia telah memberikan segenggam kehangatan yang indah dan akan terasa membekas dalam jiwamu sepanjang hidup."
Suto Sinting hanya tersenyum dan tak lanjutkan kata. Tetapi Teratai Kipas melanjutkan ucapannya dalam hati, "Setan alas! Ternyata dia benar-benar tampan dan sangat menawan. Dia memancarkan daya tarik yang tinggi, sehingga aku dibuatnya berdebar-debar sejak tadi. Rasa-rasanya sangat disayangkan jika kulit tubuhnya terluka atau memar karena hantamanku nanti. Ah, kenapa aku menjadi resah sekali? Terasa sulit melupakan rasa kagumku kepadanya."
"Teratai Kipas, kuharap kau jangan berpikiran jelek lagi tentang diriku. Kalau kutahu ada orang lain yang mempunyai kemampuan melenyapkan Racun Gugah Jantan itu, aku tak akan menyambar Nyai Sapu Lanang saat ingin kau tikam dengan pisau di ujung kipasmu itu. Tapi karena ada tokoh lain yang bersedia melenyapkan Racun Gugah Jantan dari tubuhku, maka aku sendiri yang mengakhiri hidup Nyai Sapu Lanang. Memang sangat disayangkan, kejadian itu tidak terjadi di depan matamu, sehingga kau tak bisa menyaksikan kebenaran ucapanku ini."
"Aku tak peduli dengan celotehmu! Yang penting serahkan Nyai Sapu Lanang padaku dan biarkan dendamku tercurah kepadanya!"
"Aku tidak bisa membawa mayatnya karena sudah telanjur menjadi debu!"
"Rupanya kau ingin agar aku memaksamu mengatakan yang sebenarnya! Hiaah!" Teratai Kipas mengebutkan kipasnya ke arah Suto Sinting. Lima larik sinar hijau melesat dari ujung-ujung kipas. Claap...!
Tetapi baru saja terlepas dari ujung kipas, lima larik sinar hijau itu telah padam bersama melesatnya uap putih menggumpal dan menyebar di depan Teratai Kipas. Bukan hanya wanita itu saja yang terkejut, melainkan Suto Sinting pun kaget. Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah kemunculan seorang wanita yang tidak diketahui dari mana datangnya, tahu-tahu sudah berada di tempat itu.
"Guru...!" sebut Teratai Kipas dengan kaget, kemudian ia buru-buru memberi hormat kepada wanita itu.
Namun wanita yang dipanggil sebagai Guru oleh Teratai Kipas itu justru memberi hormat kepada Suto Sinting dengan membungkuk rendah. "Selamat datang di tempat kami, Suto!"
* * *
DUA
TERATAI KIPAS tampak nyata-nyata heran melihat gurunya menghormat kepada Suto Sinting. Bahkan ketika kedua mata gurunya bertatap pandang dengan mata Suto Sinting sampai beberapa saat lamanya, Teratai Kipas menjadi salah tingkah sendiri. Rasa ingin tahunya menggumpal di dada, mendesak tenggorokan ingin dikeluarkan dalam bentuk tanya, tapi Teratai Kipas tak berani melontarkannya.Pendekar Mabuk mengenal gurunya Teratai Kipas jauh sebelum ia mengenal Sumbaruni, bahkan sebelum ia mengenal Embun Salju atau yang lainnya. Pendekar Mabuk mengenal perempuan cantik itu ketika perempuan tersebut gemar mengenakan pakaian merah dadu atau warna pink, ikat pinggangnya dari selendang putih tipis. Tetapi sekarang agaknya pakaian merah dadunya itu dirangkapi baju jubah longgar warna hijau tua dari kain sedikit tebal. Walau sekarang rambutnya disanggul sebagian di bagian tengah, tapi paras cantiknya masih terlihat jelas, sebab perempuan itu memang masih berusia muda, sebaya dengan Suto Sinting.
"Tak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Selendang Kubur," ucap Suto lirih membuat Teratai Kipas semakin yakin dan heran bahwa gurunya dikenali betul oleh Suto Sinting. Sikap sang pendekar tampan sendiri tak ada hormat sedikit pun kecuali hanya sikap bersahabat dengan akrab.
"Barangkali kau lupa, Suto... Gunung Kundalini adalah tempatku mendampingi Guru menjadi seorang petapa."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam senyum cerianya, "Ya, ya... sekarang aku ingat, kau dan Nyai Betari Ayu mengasingkan diri ke gunung ini! Bagaimana kabar beliau, Larasati?" Suto menggunakan nama asli Selendang Kubur yang kian menambah kerutan dahi Teratai Kipas semakin tajam.
Teratai Kipas membatin, "Orang ini memang edan! Kepada Guru dia kenal, bahkan kepada Eyang Guru Betari Ayu juga kenal. Malahan nama asli Guru juga dikenalnya. Tokoh dari mana sebenarnya Suto Sinting ini? Bukannya dia menghormat kepada guruku malah guruku yang menghormatinya?"
Terdengar percakapan lirih antara Suto dan Selendang Kubur mengenai keadaan Nyai Betari Ayu. Bahkan mereka sempat mengupas masa lalu mereka sebelum Selendang Kubur dan Betari Ayu mengasingkan diri di Gunung Kundalini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sesat).
"Guru, siapa sebenarnya pemuda yang mengaku bernama Suto Sinting itu? Kelihatannya dia sudah kenal baik dengan Guru bahkan tahu tentang Eyang Guru Betari Ayu?" tanya Teratai Kipas yang tak bisa menahan raaa herannya lagi.
"Eyang gurumu; Betari Ayu, adalah calon kakak ipar Suto Sinting," kata Selendang Kubur yang membuat Teratai Kipas terperangah. "Seharusnya kau memberi hormat kepada Pendekar Mabuk; Suto Sinting ini!"
"Pendekar Mabuk?!" Teratai Kipas mendelik, ia pernah mendengar nama itu, malah pernah menjadikan nama Pendekar Mabuk sebagai nama kebanggaan hatinya, tapi ia sama sekali tak menyangka bahwa lelaki yang bergelar Pendekar Mabuk itu ternyata adalah lelaki yang dianggapnya menyembunyikan Nyai Sapu Lanang. Teratai Kipas sempat berdebar-debar dan gemetar setelah mengetahui orang yang tadi di ajaknya bertarung itu tak lain adalah Pendekar Mabuk yang kesohor ketinggian ilmunya itu.
"Bukankah aku sudah cerita banyak-banyak padamu tentang siapa Pendekar Mabuk dan seberapa ketinggian ilmunya?"
"Benar, Guru," Teratai Kipas menunduk penuh rasa takut dan hormat.
"Tapi mengapa kau masih mau coba-coba melawannya? Apakah kau ingin pindah ke alam baka?"
"Ampun, Guru. Saya tidak tahu kalau dia adalah Pendekar Mabuk, sang Manggala Yudha Kinasih dari Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib. Saya benar-benar tidak tahu, karena dia hanya menyebutkan nama Suto Sinting saja tanpa menyebutkan gelar kependekarannya, Guru!"
"Bukankah aku pernah ingatkan padamu agar memandang seseorang bukan hanya dengan mata kepala saja melainkan juga dengan mata batinmu?"
"Ampun, Guru. Ampun... saya memang khilaf, Guru!" Semakin menunduk semakin geli Suto melihat sikap Teratai Kipas yang amat ketakutan kepada Selendang Kubur. Gadis itu tak berani memandangi Suto lagi, bahkan melirik pun takut. Kakinya merapat, kedua tangannya juga merapat di depan paha. Suatu sikap yang melambangkan rasa hormat dan takut seorang murid kepada gurunya itu sering dipandangi Suto sebagai sikap yang menggelikan, karena ia membandingkan dengan sikap mencak-mencaknya Teratai Kipas sebelum mengetahui siapa diri Suto sebenarnya.
"Apakah Teratai Kipas itu sungguh-sungguh muridmu, Selendang Kubur?"
"Benar, Suto. Dia muridku, dan hanya dialah yang menjadi muridku atas perintah Nyai Guru Betari Ayu."
"Muridmu itu memang nakal dan bandel. Perlu dijewer kupingnya!"
"Ampun, Tuan Pendekar!" sergah Teratai Kipas. "Saya mohon ampun dan benar-benar tidak tahu siapa Tuan Pendekar sebenarnya," Teratai Kipas kian membungkuk di depan Suto Sinting dengan kedua telapak tangan merapat di dada.
Suto menahan geli karena ia hanya menakut-nakuti Teratai Kipas. Melihat Suto Sinting tertawa tanpa suara. Selendang Kubur pun memahami maksud kata-kata itu. Ia segera alihkan pembicaraan sambil melangkah didampingi Suto Sinting dan diikuti oleh Teratai Kipas. Di dalam hatinya Teratai Kipas membatin serangkaian kata yang berkecamuk dalam benak,
"Kalau kutahu dia Pendekar Mabuk, ih... amit-amit, tak akan berani aku coba-coba menyerangnya. Untung ia tidak gunakan jurus-jurus mautnya. Kalau saja ia gunakan jurus mautnya, waaah... habis sudah riwayat hidupku! Pantas kalau dia tampan dalam wujud begini. Dalam keadaan tua pun masih terlihat sisa ketampanannya. Pantas pula kalau ia mengaku telah membunuh Nyai Sapu Lanang, sebab menurutku ilmunya Nyai Sapu Lanang masih dibawah jauh dari ilmunya Pendekar Mabuk."
Teratai Kipas mendengarkan cerita Suto Sinting tentang alasannya datang ke Gunung Kundalini sampai pertarungannya dengan Nyai Sapu Lanang. Nama Teratai Kipas ikut dibawa-bawa sebagai saksi bahwa Suto pernah terkena Racun Gugah Jantan dan menjadi tua seperti seorang kakek berusia tujuh puluh tahun. Suto pun menyinggung-nyinggung soal Telur Mata Setan dan hilangnya Sumbaruni.
"Telur Mata Setan hanya ada dalam dongeng," kata Selendang Kubur yang dulu pernah terpikat oleh ketampanan Suto Sinting.
"Tetapi para tokoh tua mengatakan Racun Ludah Naga hanya bisa disembuhkan dengan Telur Mata Setan. Apakah para tokoh tua hanya terpengaruh oleh dongeng juga atau mereka memang yakin bahwa Telur Mata Setan ada di Gunung Kundalini?"
"Itulah yang mengherankan hatiku. Mengapa para tokoh tua seolah-olah yakin betul bahwa Telur Mata Setan itu memang ada dan bukan sekadar pelengkap dari sebuah dongeng kanak-kanak?"
"Anehnya di dalam hatiku tumbuh suatu keyakinan bahwa Telur Mata Setan itu memang ada. Tapi di mana tempatnya yang pasti, aku tidak tahu."
"Kusarankan untuk dibicarakan dengan calon kakak iparmu itu."
"Nyai Betari Ayu maksudmu?"
Selendang Kubur anggukkan kepala. "Dia dapat meneropong seluruh tempat di Gunung Kundalini. Tadi pun aku diperintahkan turun gunung karena ada tamu agung yang datang ke gunung ini. Tanda-tandanya sudah diawali dari turunnya hujan dan badai pada beberapa malam sebelum ini."
"Akukah yang dimaksud tamu agung itu?"
Selendang Kubur hanya tersenyum. "Seorang yang tinggi ilmunya dan beraliran putih selalu disebut sebagai tamu agung. Siapa lagi kalau bukan kaulah orang yang dimaksud itu."
"Baiklah. Aku akan menemui beliau di puncak. Tapi aku ingin mencari Sumbaruni dulu. Percuma saja kudapatkan Telur Mata Setan itu jika Sumbaruni tidak ada, karena telur itu untuknya. Bukan untukku."
"Akan kusuruh muridku membantumu mencari Sumbaruni. Tapi aku harus segera menghadap Nyai Guru Betari Ayu untuk memberitahukan kedatanganmu ke gunung ini, Pendekar Mabuk."
Kemudian Selendang Kubur bicara kepada muridnya, "Teratai..., dampingi Pendekar Mabuk ini! Bantu dia sampai dapatkan bocah kecil yang bernama Sumbaruni. Setelah itu ajak mereka ke puncak untuk temui Eyang Guru Betari Ayu!"
"Baik, Guru!" jawab Teratai Kipas bersikap patuh. Kemudian mereka berpisah. Selendang Kubur menuju ke puncak Gunung Kundalini, Suto Sinting pergi ke arah lain bersama Teratai Kipas.
Betari Ayu adalah kakak dari Dyah Sariningrum, calon istrinya Suto yang menjadi Ratu di Negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Sedangkan ibu mereka adalah penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib, bernama Ratu Kartika Wangi. Dulu, ketika sama-sama belum tahu, Betari Ayu pernah jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk. Bahkan sampai sekarang pun ia masih menyimpan cinta untuk sang pendekar tampan itu. Namun mengetahui Suto adalah kekasih adiknya, Betari Ayu berusaha menjauhi Suto Sinting dan tak mau mengganggu kebahagiaan pasangan tersebut, sehingga ia pun akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri, menjadi petapa di puncak Gunung Kundalini.
"Nyai Betari Ayu adalah wanita yang bijak dan berjiwa besar. Jika tidak begitu, maka dia tidak akan serahkan padaku sebuah kitab pusaka sebagai pelengkap syarat melamar Dyah Sariningrum."
"Maksudmu Kitab Wedar Kesuma?"
"Benar. Sekarang tinggal satu syarat lagi yang harus kupenuhi, tapi sampai sekarang permintaan itu belum juga bisa kupenuhi. Aku belum mendapatkan syarat terakhir untuk meminang Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti Mahkota Sejati itu."
"Apa syarat itu?"
"Kepala tokoh sesat tertinggi; Siluman Tujuh Nyawa."
Serentak kedua mata Teratai Kipas terbelalak. "Aku pernah mendengar nama itu! Aku sering mendengar ceritanya dari Guru Selendang Kubur. Itu tokoh yang berbahaya."
"Memang berbahaya dan menjadi racun dari segala racun kehidupan di muka bumi. Sebab itu ia harus dikalahkan secepatnya. Sebab ia telah menjadi orang terkutuk. Siluman Tujuh Nyawa memang dikutuk oleh neneknya untuk menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun. Kita harus bisa melenyapkannya sebelum genap tiga ratus tahun Siluman Tujuh Nyawa menjadi orang sesat. Bisa kau bayangkan berapa ribu korban yang akan terjadi jika ia hidup sampai tiga ratus tahun menjadi tokoh tersesat di dunia?"
"Banyak," jawab Teratai Kipas dengan suara gemetar. Rupanya nyalinya menjadi ciut begitu Suto menceritakan tentang Siluman Tujuh Nyawa. Ciutnya nyali Teratai Kipas dapat dilihat oleh Suto dan membuatnya bertanya,
"Mengapa kau menjadi takut, Teratai Kipas?"
"Hmm... eeh... karena... karena dulu aku mempunyai guru bernama Ki Selo Gantung. Beliau belum turunkan semua ilmunya pada kami, para muridnya, tapi sudah lebih dulu dibunuh oleh Siluman Tujuh Nyawa dalam sebuah pertarungan yang terjadi secara mendadak."
"O, jadi sebelumnya kau pernah menjadi murid Ki Selo Gantung?"
"Benar. Setelah Ki Selo Gantung tewas, perguruan kami bubar. Masing-masing mencari guru lain, dan aku bertemu dengan Guru Selendang Kubur lalu berguru kepada beliau."
"Mengapa Siluman Tujuh Nyawa membunuh gurumu?"
"Mempertahankan sebuah pusaka."
"Pusaka apa?"
"Tongkat Tulang Barong!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi memandang Teratai Kipas yang kini tak berani beradu pandang secara terang-terangan itu. Langkah Suto terhenti gara-gara mendengar nama pusaka yang menurutnnya aneh.
"Tongkat Tulang Barong...? Apakah Barong itu ada tulangnya? Bukankah Barong itu artinya kepala singa tanpa badan? Atau kalau di negeri seberang, Barong adalah kepala naga raksasa. Apakah Ki Selo Gantung pernah membedah tubuh seekor naga raksasa dan mengambil tulangnya?"
Teratai Kipas hanya mesem saja. Menahan geli yang tak berani dilontarkan seperti biasanya, ia menjadi canggung sejak mengetahui bahwa Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk yang kondang berilmu tinggi itu.
"Tongkat Tulang Barong hanya sebuah nama tongkat pusaka," katanya menjelaskan kepada Suto, "Tongkat itu jika diusap dari kepala sampai ujung bawahnya bisa berubah menjadi senjata hebat tergantung kehendak hati pemegangnya. Bisa berubah menjadi pedang panjang, bisa berubah menjadi tombak, gada, golok, kapak atau yang lainnya. Senjata-senjata jelmaannya mempunyai kekuatan dapat menembus atau memotong pilar baja. Bentuk tongkat itu biasa-biasa saja. Tingginya sekitar satu pundak, kepala tongkat berbentuk kepala binatang aneh, seperti perpaduan antara naga dengan singa, mempunyai rambut meriap warna kuning berukuran satu jengkal."
"Apakah sekarang masih ada atau sudah diambil oleh Siluman Tujuh Nyawa?" tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahu.
"Siluman Tujuh Nyawa tidak berhasil membawa tongkat itu. Tapi Tongkat Tulang Barong sendiri tak tahu ada di mana. Waktu kami memakamkan jenazah Ki Selo Gantung, kami tidak menemukan tongkat itu di kamar beliau. Entah disimpan di mana. Malahan banyak dari murid Ki Selo Gantung dibunuh oleh Siluman Tujuh Nyawa karena disangka mengetahui di mana tongkat pusaka itu berada. Mereka terancam, termasuk aku sendiri. Karenanya aku sempat berdebar-debar begitu kau menyebutkan nama Siluman Tujuh Nyawa, karena aku masih takut jika kepergok dia dijalan. Pasti aku akan mati jika tak sebutkan tempat penyimpanan Tongkat Tulang Barong itu."
"Apakah dia bisa mengenalimu sebagai murid Ki Selo Gantung?"
"Kipas inilah ciri-ciri murid Ki Selo Gantung," sambil Teratai Kipas menunjukkan kipasnya. "Setiap murid Ki Selo Gantung diberi senjata kipas, tapi berbeda ukuran, bentuk dan warnanya. Sebab kami memang dari Perguruan Kipas Bumi. Jurus-jurus memainkan senjata kipas sangat dikuasai oleh para murid Perguruan Kipas Bumi."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil menggumam pelan. Tapi sebelum ia mengajukan tanya lagi, tiba-tiba langkahnya terhenti dan tangannya cepat mencekal lengan Teratai Kipas.
"Ada apa?" bisik Teratai Kipas.
"Aku mendengar detak jantung orang lain di sekitar sini."
"Mungkin detak jantungku?"
"Bukan," jawab Suto dalam bisikan. "Detakannya agak cepat, seperti sedang berdebar-debar. Pasti ia bermaksud tidak baik kepada kita."
"Di mana orang itu?"
"Sepertinya ada di atas pohon belakang kita."
Teratai Kipas segera menengok ke belakang dan memandang ke atas. Ia terperanjat dan segera berbisik. "Benar. Ada detak jantung lebih dari satu orang."
Baru saja selesai berbisik demikian, tiba-tiba tiga orang turun dari atas pohon sambil masing-masing lepaskan pisau terbangnya ke arah Suto dan Teratai Kipas. Wut, wut, wut...! Teratai Kipas cepat cabut senjatanya. Kipas disentakkan dan langsung terbuka. Kipasnya menimbulkan angin kencang yang membalikkan arah pisau-pisau itu hingga beterbangan. Wuuusss...! Jreb! Satu pisau menancap di ulu hati salah seorang yang baru saja daratkan kakinya ke tanah. Orang tersebut tak menyangka akan mendapat kembalian pisau karena matanya terpejam saat angin yang keluar dari kibasan kipas menerpa keras ke wajahnya.
"Hebat juga dia," pikir Suto sambil tersenyum tipis. "Baru satu gebrakan sudah mampu membunuh satu lawan."
"Jeprak Kurap...?!" seru lelaki berkumis lebat dan berpakaian hitam itu. Ia segera memeriksa orang yang kena tancap dadanya. Setelah mengetahui orang itu tak bernyawa lagi, si Baju Hitam menggeram dengan mata memandang buas, menatap ke arah Teratai Kipas. Sedangkan orang kurus berpakaian merah ikut menggeram marah karena mengetahui bahwa temannya yang bernama Jeprak Kurap itu sudah tak bisa bernapas lagi.
"Jahanam kau, Teratai Kipas! Belum-belum kau sudah bikin persoalan dengan kami! Kau telah membunuh sahabat kami; Jeprak Kurap! Maka kau harus menebusnya dengan nyawa. Tapi jika kau mau tunjukkan di mana Tongkat Tulang Barong itu disimpan mendiang gurumu; Selo Gantung, maka kumaafkan perbuatanmu ini."
"Siapa mereka?" bisik Pendekar Mabuk mendekati Teratai Kipas.
"Orang-orang Bukit Kopong. Mereka yang menamakan diri Tiga Pengawal Iblis!" Teratai Kipas bicara pelan. "Pekerjaan mereka memburu pusaka untuk dijual dengan harga tinggi kepada peminatnya."
"Hanya mereka bertiga?"
"Tidak. Masih banyak yang lain. Tapi kali ini agaknya hanya mereka bertiga yang berhasrat memiliki Tongkat Tulang Barong. Pasti ada pemesan yang ingin membelinya." Teratai Kipas agak mendekatkan wajah ke pundak Suto Sinting. "Yang berbaju hitam itu yang bernama Roh Seribu Dewa, yang berbaju merah menamakan dirinya Neraka Berjalan."
Suto tersenyum geli. "Lucu-lucu nama mereka."
"Biar kuatasi sendiri. Aku masih mampu melawan mereka berdua."
Suto Sinting tersenyum dan angkat bahu, lalu melangkah menepi, seakan menyerahkan urusan itu kepada Teratai Kipas. Sementara Suto menepi, mata baju hitam yang bernama Roh Seribu Dewa itu memperhatikan dengan buas. Roh Seribu Dewa berkumis lebat seperti sayap kelelawar, sedangkan Neraka Berjalan berkumis tipis tapi panjang hingga melengkung ke dagu. Ikat kepalanya berwarna merah, rambutnya tipis tapi panjang selewat punggung, ia bersenjatakan cambuk warna merah. Matanya cekung dan berkesan dingin. Sedangkan Roh Seribu Dewa bersenjata trisula gagang panjang, kira-kira sepanjang satu ukuran pergelangan tangan sampai ketiak.
"Bicaralah, Teratai Kipas; di mana pusaka mendiang gurumu itu tersimpan?!" kata Roh Seribu Dewa dengan suaranya yang besar, sebab badannya juga besar.
"Aku tidak tahu! Aku tidak diserahi untuk menyimpan pusaka itu!"
"Bohong!" bentak Roh Seribu Dewa dengan mata melotot bagaikan mau lompat dari rongganya. Neraka Berjalan segera mendekati Roh Seribu Dewa. Dengan mata pandangi Teratai Kipas, ia berkata datar tertuju kepada Roh Seribu Dewa.
"Kalau tak dipaksa tak akan bicara! Biar kubeset saja mulutnya. Siapa tahu semakin lebar semakin mudah dipakai untuk bicara!"
Neraka Berjalan melangkah tiga tindak, lalu berhenti dalam jarak empat langkah dari Teratai Kipas. Wanita muda itu diam saja, tapi dalam keadaan siap diserang dan siap menyerang pula. Kipasnya hanya dipakai untuk mengipas-ngipas bagian dadanya yang sekal itu.
"Kau mau bicara tentang pusaka itu atau mau kubeset dulu di bagian mulut?!"
Teratai Kipas menjawab dengan senyuman sinis. "Aku mau kau beset dulu dadamu, baru aku akan bicara!"
"Kurang ajar! Hiaaah...!" Weees...!
Tubuh Neraka Berjalan bagaikan anak menjangan yang keluar dari sarang serigala. Melompat dengan cepat menerjang Teratai Kipas. Gerakannya sangat tiba-tiba, sehingga Teratai Kipas terperanjat kaget dan terpental karena saat menghindari gerakan itu pundaknya terkena tendangan kaki lawan. Wuutt!
Bruugh...! Teratai Kipas jatuh dalam jarak empat langkah ke samping. Tapi dengan satu kali gerakan berjungkir balik di tanah ia sudah dalam keadaan berdiri dengan sigap kembali.
Pada saat itu, Roh Seribu Dewa lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Teratai Kipas. Pukulan itu berupa sinar merah kecil seperti tutup gelas. Claap...! Wrrrbb...! Kipas emas terbentang dan menghadang sinar merah. Kipas itu disentakkan sedikit dalam gerakan mengibas. Wuutt...! Sinar merah yang menyentuh kipas emas terbang kembali ke arah semula, bagaikan bola yang dipukul balik oleh lawan yang diserangnya.
Wuuss...!
"Monyet...!" teriak Roh Seribu Dewa sambil melompat ke atas hindari sinar merahnya sendiri itu.
Duuaaar...! Sinar merah menghantam pohon dan pohon itu terbelah menjadi tiga bagian dalam keadaan masih berdiri tegak. Baru saja Teratai Kipas selesai mengembalikan sinar merahnya Roh Seribu Dewa, tiba-tiba dari arah kirinya datang serangan dari Neraka Berjalan. Sebuah lecutan cambuk yang berkelebat dengan mengeluarkan cahaya biru terang.
Taarr...!
Sinar biru itu melesat dan melingkari tubuh Teratai Kipas lalu mengecil dalam gerakan menjerat. Teratai Kipas tahu bahwa sinar biru penjerat tubuh itu dapat mengakibatkan tubuhnya terpotong menjadi dua bagian, sebab dulu seorang sahabatnya pun mati karena sinar biru tersebut. Maka kaki Teratai Kipas segera menyentak ke bumi dan tubuh pun melesat ke atas dengan bersalto satu kali ke arah belakang. Jleeg....! Ia mendarat di samping kiri Suto Sinting. Sedangkan sinar biru itu mengecil dan melakukan jeratan di udara kosong.
Duuaaar...! Sinar itu meledak sendiri, memercikkan bunga api kemerahan. Teratai Kipas membalas dengan menyentakkan kipas yang dikatupkan, lalu dari ujung kipas keluar selarik sinar hijau yang mengarah ke dada Neraka Berjalan. Slaap...! Sinar hijau itu segera dihantam dengan lecutan cambuk.
Taarr...!
Blegaarr...! Maka meledaklah pertemuan ujung cambuk dengan sinar hijau. Gelombang ledakannya cukup hebat, dapat merontokkan dedaunan di sekeliling mereka. Sedangkan Neraka Berjalan sendiri tersentak mundur tiga langkah dan jatuh terduduk bagai tak kuat menahan gelombang sentakkan dari depan.
Suto Sinting hanya manggut-manggut dengan tersenyum tenang, ia bagaikan benar-benar menikmati permainan jurus orang-orang Bukit Kopong itu. Bahkan ketika Roh Seribu Dewa mencabut trisula gagang panjang dengan gerakan melompat ke arah Teratai Kipas, Suto Sinting justru membuka tutup bumbungnya dan menenggak tuaknya yang tinggal sedikit itu. Gerakan menenggaknya pelan-pelan sekali, karena ia ingat di dalam bumbung tuak itu ia menyimpan benda merah seperti telur burung.
"Heeaaah...!"
"Hiaaat...!" Teratai Kipas bukan menghindari trisula yang ingin menghujam ke tubuhnya tapi justru menyongsong trisula itu dengan satu lompatan seperti terbang tengkurap.
Traakk...! Kipas itu masuk ke sela-sela trisula, menahan gerakan menghujam tubuh. Karena kipas pada waktu itu dipegang tangan kiri, maka tangan kanannya segera menghantam ke dada Roh Seribu Dewa, sedangkan tangan orang berbadan besar itu juga menghantam ke depan.
Plaaakk...! Blaarr...! Pertemuan telapak tangan mereka hasilkan ledakan besar dan seberkas sinar merah berkerilap sesaat.
Teratai Kipas terjungkal ke belakang dan jatuh berlutut. Tapi Roh Seribu Dewa terpental kehilangan keseimbangan badan dan jatuh ke tanah dalam keadaan tertekuk kepalanya. Buuhg...!
"Nggek...!"
Kreekk...! Terdengar ada suara tulang patah. Disusul dengan suara orang mengerang dengan suara berat. Roh Seribu Dewa segera bangkit tapi lehernya masih tak bisa tegak, ia menyeringai sambil menunduk dalam.
"Neraka Berjalan...! Tolong kepalaku!" teriaknya dengan susah payah.
Neraka Berjalan segera mendekatinya. Kepala itu disentakkan mendongak dengan gerakan cepat. Kleek...!
"Waaoww...!" Roh Seribu Dewa menjerit kesakitan. Mulutnya ternganga lebar.
"Istirahatlah, biar kuhabisi sekalian nyawa perempuan itu!" kata Neraka Berjalan. Lalu, ia segera menyerang dengan maju dua langkah dan menyabetkan cambuknya ke arah Teratai Kipas yang baru saja berdiri tegak kembali.
Cetaaarr!
Cambuk bersinar biru menyabet ke arah kiri, dan Teratai Kipas menghindar ke kanan. Cambuk itu mengenai batu setinggi betis. Batu itu langsung terbelah dengan bekas belahannya menyala merah membara.
Suto Sinting memandangnya dengan rasa kagum dan senang. Hatinya berkata, "Benar-benar pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi! Buktinya batu itu bisa terbelah dan belahannya menyala bagaikan bara batuan lahar! Boleh juga ilmunya si Neraka Berjalan itu. Pantas kalau dia berjuluk Neraka Berjalan. Cambuknya bisa menghadirkan kekuatan api neraka yang membahayakan lawan. Teratai Kipas kalau tak hati-hati bisa habis riwayatnya di ujung cambuk merah itu."
Kini cambuk itu melecut lagi setelah diputar-putarkan di atas kepala beberapa saat. Teratai Kipas sempat terperanjat, karena lecutan cambuk itu kali ini melepaskan sinar biru lima larik bagai menyerang secara menyergap ke berbagai arah.
Taaarr...! Srraap...!
Teratai Kipas tak punya cara lain kecuali dengan menangkis. Maka kipasnya cepat-cepat dibentangkan dan dikibaskan ke samping kanan. Wuuuk...!
Claapp...! Sinar hijau keluar lagi dari kibasan kipas tersebut. Kali ini melebar bagai membentuk perisai tembus pandang. Sinar hijau itulah yang menangkis gerakan sinar biru lima larik dan akibatnya terjadi lagi ledakan dahsyat yang sempat membuat beberapa pohon patah di bagian dahannya.
Blegaarr...!.Krrakk...! Brrruuuk...!
Tubuh kurus bermata cekung itu terlempar ke belakang karena gelombang ledakan tersebut menyentak amat kuat. Tubuh kurus itu menghantam pohon yang tadi terbelah tiga bagian dari atas ke bawah itu. Kepalanya masuk di sela-sela belahan dan terjepit di sana.
Jlaaab...!
"Aauh...!" pekiknya seketika. Tapi kepala itu segera dipaksakan untuk keluar hingga lecet dan berdarah.
Sementara itu, Teratai Kipas jatuh terkapar dengan mulut semburkan darah segar akibat terhantam gelombang ledakan tadi. Wajahnya menjadi pucat pasi, tenaganya bagaikan terkuras habis untuk menahan gelombang ledakan tersebut
"Hiaaah...!" Neraka Berjalan berteriak sambil melompat ke depan begitu melihat Teratai Kipas terkapar. Cambuknya siap dilecutkan ke arah tubuh yang terkapar. Dapat diduga tubuh itu akan terbelah menjadi dua bagian jika ujungnya menyentuh dada Teratai Kipas. Gadis itu pun tak mungkin bisa menghindar lagi.
Melihat keadaan berbahaya, Suto Sinting segera melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya. Traaat...! Cambuk itu melingkar di bumbung tuak, menjerat kuat. Pendekar Mabuk menahan ketika Neraka Berjalan berusaha menarik cambuk tersebut. Percikan api masih terjadi, melompat-lompat mengelilingi tali cambuk yang melingkar di bumbung tuak. Dengan mengerahkan tenaga. Neraka Berjalan berusaha menarik cambuk tapi tak pernah berhasil.
Pendekar Mabuk mempertahankan dengan memegangi bumbung itu menggunakan satu tangan. Mereka saling adu kekuatan menarik, tentunya tenaga dalam mereka pun terkuras untuk saling menarik. Tapi akhirnya tenaga Pendekar Mabuk lebh kuat, bumbung bambu itu disentakkan ke belakang dan cambuk itu terlepas dari tangan Neraka Berjalan sambil tubuh pemilik cambuk jatuh tersungkur ke depan.
Wuuttt...! Teebb...!
Kini cambuk berada di tangan Suto Sinting. Bumbung tuak masih di tangan kanan, sementara cambuk itu dilecutkan oleh Suto Sinting menggunakan tangan kiri. Disabetkan di udara ke sana-sini dan dari ujung cambuk keluarkan sinar merah berkelok-kelok sebagai pelepasan tenaga dalamnya Suto Sinting.
Tar, tar, tar, tar, tar, tar, taar...!
Cambuk yang bagaikan mengamuk ke mana-mana dengan sinar merah menjilat dahan-dahan pohon besar itu membuat Neraka Berjalan bangkit dan terbengong-bengong memandanginya.
"Gila! Gerakannya begitu cepat, hampir tak bisa kulihat lagi? Rupanya anak muda itu pandai memainkan jurus cambuk?! Sinarnya pun berbeda dengan sinar yang kumiliki. Suaranya pun menggema panjang. Oh, angin panas hadir di sini dan melayukan dedaunan? Setan dari mana anak muda itu?!"
Setelah Pendekar Mabuk hentikan amukan cambuknya, suasana menjadi hening. Neraka Berjalan adu pandang dengan si pendekar tampan. Roh Seribu Dewa berusaha menatap pula walau kepalanya sedikit terdongak dan masih sakit. Tak berapa lama, muncul suara gemeretak, disusul dengan dahan-dahan pohon berjatuhan ke tanah.
Brruk, bruk, brrruuuk ..! Kraaak...! Buurukk...! Braas...!
"Edan...!" gumam Neraka Berjalan dengan mata memandang ke sana-sini memperhatikan dahan-dahan pohon yang terpotong rapi akibat sabetan cambuk yang dimainkan Suto Sinting tadi.
Teratai Kipas yang kini berhasil duduk dengan napas sesak itu juga memandang sekelilingnya dengan heran dan terkagum-kagum. Sedangkan Roh Seribu Dewa hanya diam terpaku di tempat setelah melihat dahan-dahan pohon berjatuhan.
Pendekar Mabuk tersenyum tipis. Cambuk itu dilemparkan kembali ke arah Neraka Berjalan. Prrukk...! Cambuk jatuh tepat di depan kaki Neraka Berjalan. Lalu terdengar suara Suto Sinting berkata, "Ambillah cambukmu dan belajarlah jurus cambuk yang lebih baik lagi!"
Neraka Berjalan yang berusia sekitar lima puluh tahun sama seperti Roh Seribu Dewa itu hanya terbengong-bengong walau sambil memungut cambuknya. Matanya tak berkedip pandangi Suto Sinting penuh keheranan, ia mundur selangkah demi selangkah sampai tiba di samping Roh Seribu Dewa.
"Dia cukup berbahaya!" bisiknya dalam geram.
Roh Seribu Dewa menjawab dalam bisikan pula, "Dia bukan tandinganmu. Sebaiknya kita pulang dulu. Kita perlu minta bantuan si Kumis Tengkorak!"
"Aku setuju!"
"Bawa mayat Jeprak Kurap itu!"
Teratai Kipas berusaha berdiri dan hendak mengejar lawannya, tapi ia terhempas ke depan nyaris jatuh tersungkur. Untung segera ditangkap oleh kedua tangan Pendekar Mabuk.
"Mereka mau lari...!"
"Biarkan! Jangan hiraukan mereka. Kau terluka dalam. Sembuhkan dulu lukamu. Minum tuak ini! Ayo, minumlah...!"
"Ak... aku... akku... uuhg...!"
Werrrss...! Darah segar muncrat lagi dari mulut Teratai Kipas. Tubuhnya melemas. Dingin sekali. Matanya mulai terbeliak memutih.
"Teratai...! Teratai...!" seru Suto Sinting sambil mengguncang-guncang tubuh gadis itu. "Teratai... bertahanlah! Minumlah tuak ini! Lekas! Lekas!"
* * *
TIGA
PERTEMUAN dengan Tiga Pengawal iblis membuat Pendekar Mabuk mempunyai pemikiran baru. Jika benar kata Teratai Kipas bahwa Tiga Pengawal iblis adalah orang-orang Bukit Kopong, dan orang-orang Bukit Kopong adalah para pemburu pusaka untuk diperjual belikan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa si penculik Pisau Tanduk Hantu milik Malaikat Miskin adalah orang-orang Bukit Kopong. Tentunya pusaka itu dicuri untuk dijual kepada peminatnya. Bisa jadi penjualnya adalah orang berilmu tinggi, yang dapat menyusup masuk ke benteng Perguruan Tongkat Sakti.Teratai Kipas yang akhirnya tertolong dari luka berbahaya karena dipaksakan meminum tuak Suto Sinting itu, membenarkan kesimpulan tersebut, ia berkata di ujung pagi, setelah mereka bermalam di atas pohon pada dahan yang terpisah,
"Malaikat Miskin tak akan mau percaya jika kita katakan pencurinya adalah orang-orang Bukit Kopong."
"Mengapa begitu?"
"Penguasa Bukit Kopong adalah Cukak Tumbila. Menurut cerita yang kudengar dari guruku yang dulu; Cukak Tumbila, Malaikat Miskin, dan Ki Selo Gantung adalah saudara seperguruan seangkatan. Konon mereka sepakat untuk hidup sendiri-sendiri membentuk perguruan dan tidak mau saling mengganggu. Jadi jika kita katakan pencuri Pisau Tanduk Hantu adalah orang Bukit Kopong, pasti Malaikat Miskin akan menyanggahnya. Bisa-bisa kita dianggap mengadu domba antara Perguruan Tongkat Sakti dengan orang- orangnya Cukak Tumbila."
"Tapi buktinya orang Bukit Kopong juga menghendaki pusaka milik mendiang gurumu, bahkan menyerangmu. Apakah itu namanya tidak saling mengganggu?"
"Aku sependapat. Tapi bagaimana menjelaskannya kepada Malaikat Miskin?"
Suto Sinting tarik napas panjang-panjang bagaikan ingin mengisi paru-parunya dengan udara pagi yang segar. Kejap berikutnya ia berkata, "Tak perlu pikirkan tentang pusakanya Malaikat Miskin. Toh Sumbaruni sudah tidak di tangannya, tidak harus kutebus dengan pusaka tersebut. Yang perlu kita pikirkan, siapa kira-kira orang yang membawa lari bocah Sumbaruni itu? Untuk apa dibawa lari atau direbut dari tangan orang-orangnya Malaikat Miskin?"
"Bagiku kemungkinan menuduh orang-orang Bukit Kopong masih ada."
Pendekar Mabuk cepat palingkan wajah ke arah Teratai Kipas. "Apa maksudmu?"
"Mungkin yang merebut Sumbaruni juga orang-orang Bukit Kopong!"
Suto berkerut dahi. "Untuk apa kira-kira?"
"Tebusan!" Teratai Kipas angkat dua pundaknya. "Mungkin ia inginkan tebusan dari Malaikat Miskin, entah berupa pusaka atau berupa uang, yang jelas tak mungkin tak ada tujuannya merebut bocah itu dari tangan Malaikat Miskin!"
Setelah merenungkan kata-kata itu, Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. Mereka masih ada di atas pohon, tempat tidur mereka yang paling alami. Suara kicau burung telah sirna dari tadi. Tapi masih tersisa satu dua ekor yang berkicau di kejauhan, mungkin itu adalah burung yang terlambat bangun karena malam harinya begadang dengan temannya.
"Siapa orang terkuat di Bukit Kopong selain Cukak Tumbila?" tanya Suto.
"Setahuku... orang terkuat di sana adalah Durjana Belang. Dia punya ilmu paling tinggi dari yang lainnya. Bahkan beberapa orang yang pernah menjadi korbannya sering menjulukinya dengan nama si Maling Sakti."
"Seberapa tinggi ilmunya?"
"Entah. Aku belum pernah mencoba melawannya. Yang jelas, Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan takut kepada Durjana Belang."
"Aku jadi penasaran," kata Suto Sinting setelah merenung. "Aku ingin datang ke Bukit Kopong. Apakah kau bersedia membawaku ke sana?"
"Kau sama saja mencari mati jika datang ke sana. Mereka ganas-ganas dan tidak suka melihat lelaki tampan. Mereka merasa dikalahkan dan iri, sebab wajah mereka tak ada yang tampan; simpang siur semuanya."
Suto Sinting tertawa pelan. "Wajah kok simpang siur? Apa wajah mereka serupa dengan aliran arus sungai?"
Sambil melompat turun dari pohon Teratai Kipas menjawab, "Pokoknya wajah mereka kusut semua! Tak ada yang tampan sepertimu!"
"Hei, mau ke mana kau?"
"Ke sungai!" jawabnya sambil berlari ke arah sungai. Tak jauh dari tempat mereka bermalam memang ada sungai. Gemericik suara aliran air sungai terdengar samar-samar bila malam tiba. Suto Sinting tak mau menyusul, karena ia tahu apa kepentingan perempuan jika pergi ke sungai. Di atas pohon itu Suto Sinting masih merenungi nasib Sumbaruni.
Namun mendadak ia dikejutkan dengan kelebatan sesosok bayangan hitam-merah. Atas hitam, bawah merah. Seseorang yang mengenakan pakaian warna itu sedang berlari menerabas semak. Disusul kemudian gerakan cepat seorang berpakaian hitam dari atas sampai bawah. Gerakan lari orang berpakaian hitam itu lebih cepat. Kalau yang dikejar tidak berbelok-belok membingungkan, orang itu pasti akan tertangkap oleh pengejarnya.
"Siapa mereka?" pikir Suto. Rasa penasaran timbul di hatinya. Rasa ingin tahu mendesak hasratnya untuk turun dari pohon dan mengikuti pelarian mereka. Karena dalam hati Suto Sinting membatin, "Aku curiga! Sepertinya orang yang mengejar itu adalah Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa?!"
Blaarr...!
Tiba-tiba Suto Sinting mendengar suara ledakan. Bahkan tanah tempatnya berpijak menjadi bergetar. Suto Sinting kian penasaran dan berlari dengan menggunakan ilmu 'Gerak Siluman' yang mampu membuatnya melesat melebihi anak panah itu. Dalam waktu sekejap ia sudah sampai di sebuah lereng berpohon jarang, berumput tipis dan bersemak renggang.
Di sana apa yang terjadi adalah suatu pemandangan yang sudah terbayang di benak Pendekar Mabuk. Orang berpakaian serba hitam itu memang Siluman Tujuh Nyawa. Tubuhnya berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Wajah tampannya terlihat pucat memutih bagai mengenakan bedak. Tapi bibirnya biru dan matanya dingin mirip mata mayat. Di tangannya tergenggam senjata pusaka tongkat El Maut yang ujungnya membentuk sabit panjang untuk memancung leher lawan.
Seperti biasa, Siluman Tujuh Nyawa adalah manusia sesat yang tak pernah punya perubahan wajah. Kaku, dingin, datar, seakan tak pernah mencerminkan perasaannya. Marah ya datar, sedih ya datar, tertawa ya datar, bahkan mungkin buang air besar pun berwajah datar. Tak pernah menyeringai, itulah ciri Siluman Tujuh Nyawa, tokoh sesat tertinggi untuk masa itu.
"Siapa orang yang sedang dihajarnya itu?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan orang berbaju hitam dan bercelana merah.
Orang itu mempunyai rambut kelabu, botak bagian depannya, tapi sisanya di bagian belakang dan samping masih panjang sepundak kurang. Orang itu agak pendek, badannya sedang-sedang saja. Wajahnya bagaikan wajah polos tanpa dosa, bahkan berkesan menyedihkan. Suto Sinting tak tega melihat orang itu ditendang ke sana-sini oleh Siluman Tujuh Nyawa. Saat tendangan itu berhenti, orang bercelana merah itu mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya. Terdengar pula suara Siluman Tujuh Nyawa berkata,
"Kuberi kesempatan sekali lagi untuk menyerah. Kalau kau masih berkeras kepala, sebaiknya cepat-cepat kukirim ke neraka!"
"Ak... aku... aku benar-benar tidak tahu...!"
"Kesempatan sudah habis! Pergilah ke neraka!"
Wuutt...! Siluman Tujuh Nyawa tebaskan tongkatnya. Bagian ujungnya yang berupa lempengan besi tajam bagaikan paruh burung bangau itu memenggal leher orang berpakaian hitam-merah. Tetapi sebelum senjata itu mencabut nyawa dan memisahkan kepala dengan leher lawannya, tiba-tiba tongkat El Maut terpental ke samping sehingga tubuh Siluman Tujuh Nyawa terdorong dan hampir jatuh karena terpelanting memutar.
Wuuussstt...!
Tentu saja ada tenaga penghantam yang diarahkan ke tongkat El Maut itu. Dan tenaga itu tak lain datang dari tangan Pendekar Mabuk. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa sinar telah dilepaskan demi menyelamatkan nyawa orang bercelana merah.
Zlaaap...! Suto Sinting tahu-tahu sudah berada disamping orang bercelana merah yang merangkak-rangkak mencari tempat aman. Orang itu berhenti dari gerakannya, kaget melihat kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya. Ia bahkan sempat berkata dengan suara terpatah-patah,
"Pergi... lekas! Dia... dia berilmu tinggi! Jangan lawan dia!"
Tetapi anjuran itu tak dihiraukan, karena mata Pendekar Mabuk tertuju pada Siluman Tujuh Nyawa. Mata itu memandang tajam dan Siluman Tujuh Nyawa memandang dengan dingin.
"Rupanya kau yang berani mencampuri urusanku, Bocah ingusan?!" katanya dengan nada datar. Bibirnya yang biru bagaikan enggan bergerak jika sedang bicara. Berbeda dengan Pendekar Mabuk yang menggerakkan bibir dengan seenaknya dalam bicara, bahkan punya senyum sinis yang bisa membakar kemarahan Siluman Tujuh Nyawa.
"Kau terkejut melihatku, Durmala Sanca! Apakah kau berniat lari lagi dari hadapanku?"
Orang bercelana merah membatin, "Wah, bocah ini cari penyakit! Dia belum tahu kekejaman Siluman Tujuh Nyawa. Bisa-bisa jadi pepes mayat kalau kau bicara sembarangan, Nak!"
Durmala Sanca melangkah ke kiri sedikit hingga jaraknya tak terhalang sebatang kayu kering. "Kali ini aku tak akan lari sebelum memenggal kepalamu, Bocah Dungu!"
"Kita buktikan saja siapa yang terpenggal kepalanya!" tantang Suto tak merasa gentar sedikitpun.
Wuuutt...! Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa bergerak bagaikan kilat menerjang Suto Sinting. Dan yang diterjang pun bukan menghindar atau diam di tempat, melainkan justru melesat cepat dengan 'Gerak Silumannya yang nyaris tak terlihat mata orang bercelana merah itu. Gerakan cepat menyongsong lompatan Siluman Tujuh Nyawa itu menghasilkan suatu ledakan besar yang menggelegar.
Blegaaarr...!
Rupanya perpaduan tongkat El Maut dengan bumbung tuak menghasilkan daya ledak yang tinggi. Pendekar Mabuk terpental tujuh langkah jauhnya, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terpental lebih dari tujuh langkah. Tubuhnya membentur pohon besar. Bleess...! Tubuh itu lenyap bagaikan bayangan menembus pohon. Untuk selanjutnya tak terlihat lagi oleh mata siapa pun. Ia masuk ke alam gaib dalam keadaan terluka. Tentunya ia melarikan diri lagi karena memang belum siap melawan Suto Sinting.
Padahal waktu itu Suto Sinting sendiri mengalami luka lumayan parahnya. Dadanya terbakar hangus karena gelombang ledak yang panas dan berkekuatan daya hentak tinggi itu. Mulut Suto Sinting sempat keluarkan darah kental. Tapi ia buru-buru meminum tuaknya, sehingga keadaan seperti itu dapat teratasi secara cepat. Bahkan ia bisa segera menolong orang bercelana merah dengan meminumkan tuaknya pula.
"Aneh," pikir orang itu. "Badanku cepat menjadi segar setelah meminum tuaknya. Padahal hanya dua teguk, tapi... tapi rasa sakitku bagaikan hilang semua. Dan... oh, kurasa anak muda ini bukan anak muda sembarangan. Siluman Tujuh Nyawa bisa dibuatnya lenyap tak berbekas?!"
Belum selesai batinnya berkecamuk, Suto Sinting sudah memberi pertanyaan lebih dulu, "Mengapa kau berurusan dengan Siluman Tujuh Nyawa, Paman?"
Orang bercelana merah itu sengaja dipanggil 'Paman' karena menurut Suto orang itu berusia sekitar lima puluh lima tahun. Dan yang dipanggil ternyata tidak keberatan, ia menjawab dengan senyum nyengir dan lucu, sebab wajahnya memang berkesan lucu; hidungnya agak bengkok, matanya kecil, alisnya tipis, nyaris tanpa alis, kumis tak ada, guratan ketuaan membekas tajam dari cuping hidung ke arah sisi kanan-kiri mulut.
"Namaku... Tosidana."
"Yang kutanyakan, ada urusan apa dengan Siluman Tujuh Nyawa!" ulang Suto.
"Oo... anu, yaah... urusan sepele saja. Tak perlu kujelaskan. Tapi kurasa kau tahu sendiri, Siluman Tujuh Nyawa tak suka melihat orang senang."
"Di mana kau bertemu dengannya, Paman?"
"Yah, lumayan. Sudah agak sehat, terutama setelah minum tuakmu tadi."
Pendekar Mabuk menghempaskan napas jengkel. "Aku bertanya, di mana kau bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa itu?"
"Ooo... ya di sana! Jauh dari sini!" jawabnya sambil nyengir. "Aku ucapkan banyak-banyak terima kasih kepadamu, Anak Muda. Kalau tak ada kau, aku pasti sudah tak punya kepala lagi. Pasti akan bingung bagaimana cara menggosok gigi jika aku tanpa kepala lagi. He he he...! Kau memang hebat. Siapa namamu?"
"Namaku Suto!"
"Nama yang bagus. Pantas untuk nama sebuah pusaka agung," orang itu menepuk-nepuk punggung Suto Sinting, karena hanya punggung tengah saja yang bisa dicapai oleh tangannya. Tinggi orang itu kurang dari sebatas pundak Suto Sinting. Tak heran jika ia hanya menepuk-nepuk punggung tengah Suto untuk menyatakan rasa bangga dan pujiannya terhadap nama Suto.
"Lain kali jangan bikin masalah dengan Siluman Tujuh Nyawa, Paman. Dia orang berbahaya dan berdarah dingin. Tak segan-segan membunuh lawannya!" Suto Sinting berujar pelan.
"Sebenarnya bukan aku yang cari masalah, tapi dia sendiri yang bikin masalah. Perkaranya sepele saja. Dia ingin meminta anak gadisku yang masih kecil. Entah mau untuk apa, usia anak itu saja baru dua tahun kurang. Lalu aku mempertahankan anakku itu. Eh, dia marah! Waktu kuserang, dia tak bergeming. Tentu saja aku segera kabur dan cari selamat. Eh, malah yang kutemukan bukan si Selamat melainkan si Suto! He he he he...!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum geli melihat gaya bicara orang itu. Lucu tapi menjengkelkan. "Sekarang anakmu ada di mana?"
"Ibunya sudah meninggal. Jadi anak itu kurawat sendiri."
"Paman, yang kutanyakan anak itu ada di mana?!" tandas Suto dengan jengkel.
"Ooo... anak itu sekarang ya ada di.... Wah, iya?!" orang itu terkejut dan menepak jidatnya sendiri. Plak...! Lalu menyambung kata, "Anakku kutinggalkan di bawah pohon sana?! Ya, ampuuun... aku sampai lupa membawanya lari kemari? Waaah... bisa dimakan macan anak itu kalau kelamaan ditinggal pergi! Sebentar, Suto... aku akan ambil anakku dulu!" Brebeett...! Orang itu langsung lari ke arah semula dengan terburu-buru.
Suto Sinting tertawa kecil sendirian. "Sama anaknya sendiri kok sampai lupa tidak dibawa lari? Hmm... dasar penakut! Begitu tahu kekuatan Siluman Tujuh Nyawa, ia lari sendiri tanpa pedulikan anaknya. Benar-benar potongan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab kepada anaknya sendiri. Ia takut mati demi membela anak."
Senyum Suto disertai geleng-geleng kepala. Tapi senyum itu segera pudar dan dahi segera berkerut ketika batin berkata, "Jangan-jangan bukan anaknya sendiri? Jangan-jangan anak itu adalah Sumbaruni yang kian mengecil?!"
Seketika itu juga Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya untuk mengejar orang yang mengaku bernama Tosidana itu. Pengejaran itu sempat salah arah sebentar, karena ia tertipu oleh sekelebat bayangan yang melintas ke arah timur. Ketika bayangan yang berkelebat itu berhasil disusulnya, ternyata orang tersebut bukan Tosidana, melainkan Menak Goyang.
"Sial! Dunia ini sempit sekali sepertinya. Lagi-lagi yang kutemui kau, Menak Goyang!"
Gadis berambut panjang yang diikat ke belakang dengan bagian depannya berponi itu mulai salah tingkah. Badannya tak bisa diam, bergerak terus. Kadang mondar-mandir, kadang diam dengan kaki bergerak- gerak atau pinggul bergoyang-goyang.
"Kurasa kau mengikutiku sejak kemarin sore, Menak Goyang."
Menak Goyang hanya tersenyum. Semakin salah tingkah setelah dipandangi oleh Suto tak berkedip. Akhirnya ia berkata, "Memang aku mengikutimu. Tapi sayang aku tak bisa mendekat, sehingga tak kudengar apa saja yang kau bicarakan dengan Teratai Kipas dan gurunya itu. Tapi kulihat kau dan gurunya Teratai Kipas sudah saling mengenal akrab."
"Kami hanya membicarakan tentang orang-orang Bukit Kopong yang punya kemungkinan sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu milik gurumu itu!" kata Suto sengaja memancing pendapat.
Tapi Menak Goyang agaknya kurang tertarik dengan kata-kata Suto Sinting, sehingga ia berkata sambil gelengkan kepala, "Itu hanya tipuanmu saja. Mungkin kau memang bekerja sama dengan Teratai Kipas, dan sepakat mengalihkan pandangan kami kepada orang-orang Bukit Kopong. Tapi kami tahu mereka tak mungkin berani mengusik kami."
"Apakah kau juga melihat pertarungan Teratai Kipas dengan Tiga Pengawai Iblis?" pancing Suto, dan setelah Menak Goyang mengangguk, Suto berkata lagi,
"Mereka menghendaki Tongkat Tulang Barong milik mendiang Ki Selo Gantung. Padahal ketua Bukit Kopong; Cukak Tumbila adalah saudara seperguruan Ki Selo Gantung dan Maiaikat Miskin. Jika mereka sekarang sudah berani mengusik pusaka Ki Selo Gantung, tentunya mereka juga mulai berani mengusik pusakanya Malaikat Miskin."
Menak Goyang mulai berpikir ke arah pembicaraan Suto. Ia mondar-mandir ke kanan-kiri tiga langkah-tiga langkah. Akhirnya terdengar ia berkata, "Selama ini Cukak Tumbila sungkan dengan guruku!"
"Perbuatan anak buah Cukak Tumbila tentunya diluar sepengetahuan Cukak Tumbila sendiri. Barangkali saja jika Cukak Tumbila tahu, orang itu akan dihajarnya. Tapi pernahkah kau dan gurumu mencoba bicara dengan Cukak Tumbila? Pernahkah kau menyelidik kesana?"
Ada kecemasan yang dipendam di hati Menak Goyang, ada kegelisahan yang semakin membuat gerak-gerak tubuhnya kian tak beraturan. Suto Sinting tambahkan kata untuk pengaruhi keyakinan Menak Goyang.
"Barangkali kau memang tak harus percaya dengan dugaanku ini, tapi setidaknya kau punya bahan untuk diperhitungkan dan dibicarakan dengan Malaikat Miskin."
"Jika benar yang mencuri pusaka Pisau Tanduk Hantu adalah orang-orang Bukit Kopong, berarti mereka pula yang merebut adik kecilmu itu!"
"Mungkin juga!" sambil Suto Sinting bentangkan kedua tangan dan angkat pundaknya. Sikapnya tenang dan meyakinkan.
"Jika begitu," kata Menak Goyang, "Mengapa tak kau desak si Maling Sakti tadi? Mengapa kau biarkan dia pergi meninggalkan dirimu?"
"Maling Sakti?!" Suto Sinting kerutkan dahi. "Aku tak mengerti maksudmu."
"Orang yang kau selamatkan dari tangan Siluman Tujuh Nyawa itu adalah Durjana Belang alias si Maling Sakti."
Suto terperanjat dan menatap gadis itu dengan sedikit curiga. "Bukankah dia bernama Tosidana?"
"Hmm...," Menak Goyang tersenyum tipis. "Kau telah terkecoh. Seharusnya kau desak si Maling Sakti itu untuk mengaku perbuatan yang sebenarnya. Jika benar dia yang mencuri pusaka itu dan merebut adikmu, berarti kau harus memaksanya pula untuk mengembalikan adikmu yang lucu itu! Tapi hati-hati, dia punya ilmu tinggi tersembunyi di balik kebodohan dan keluguan wajahnya.
Pendekar Mabuk terbungkam sesaat. Menak Goyang segera pergi tanpa pamit. Tapi Suto Sinting sempat berseru, "Mau ke mana kau?!"
"Bicarakan kesimpulanmu dengan Guru!" seru Menak Goyang, setelah itu melesat tak terlihat lagi.
Teratai Kipas yang pulang dari sungai habis melepaskan hasrat kotornya dan cuci muka alakadarnya, sempat kebingungan mencari Suto Sinting di sekitar pohon tempat mereka tidur semalam. Namun begitu melihat sekelebat bayangan yang berlari melintas di kejauhan sana, Teratai Kipas segera mengejarnya sebab ia kenali wajah orang yang berlari itu adalah wajah si Maling Sakti. Teratai Kipas curiga dan mengikutinya, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah lembah berkabut tipis. Maling Sakti berhenti, clingak-clinguk bagai orang penuh kecemasan dan takut dilihat orang lain. Kemudian ia menyusup masuk ke celah-celah bebatuan besar setinggi rumah.
Gerakannya itu hanya diperhatikan Teratai Kipas dari balik semak. Tak berapa lama kemudian Maling Sakti keluar dari celah-celah bebatuan yang menyerupai bilik-bilik kamar itu. Di tangannya telah tergendong seorang bocah berusia sekitar dua tahun kurang. Bocah itu tak lain adalah gadis kecil Sumbaruni yang kini menjadi lebih kecil dari saat dilihat Teratai Kipas di Perguruan Tongkat Sakti itu. Teratai Kipas sempat heran melihat perubahan Sumbaruni, tapi rasa heran itu segera disingkirkan karena ia harus menghadang langkah Maling Sakti yang hendak tinggaikan tempat itu.
Jleegg...!
"Teratai Kipas...?!" Maling Sakti kaget, lalu buru-buru nyengir.
"Anak siapa itu?" pancing Teratai Kipas.
"Anak... anak pamanku."
Bocah kecil yang digendong Maling Sakti berkata, "Bukan! Aku Sumbaruni, kekasihnya Suto Sinting!"
Maling Sakti tertawa mendengar bocah kecil itu bisa bicara lancar seperti orang dewasa, ia tidak tahu siapa sebenarnya bocah itu. Ia mengambilnya dari tangan orangnya Malaikat Miskin karena suatu maksud tertentu, dan ketika diambilnya keadaan Sumbaruni sudah lebih kecil dari saat di tangan Malaikat Miskin. Sebenarnya tubuh Sumbaruni kian menyusut, tapi perubahan itu kurang diperhatikan oleh Maling Sakti.
"Durjana Belang, untuk apa kau rebut anak itu dari tangan orangnya si Malaikat Miskin?"
Maling Sakti hanya cengar-cengir. "Rupanya kau tahu tentang anak ini, lebih tahu kau daripada diriku, Teratai Kipas!"
"Karena aku pernah melihat anak itu dalam keadaan lebih besar dari sekarang! Sebaiknya serahkan anak itu padaku supaya aku tidak bersikap kasar padamu, Maling Sakti!"
"He he he he...!" Maling Sakti tertawa meremehkan. "Siluman Tujuh Nyawa saja menghendaki bocah ini dan aku mempertahankan dengan bertaruh nyawa, apalagi kau yang memintanya. Jelas tak akan kuberikan!"
"Mengapa tidak kau berikan?"
"Seseorang membutuhkan bocah ini, dan ia berani membayarku mahal jika bisa serahkan bocah ini ketangannya."
"Siapa orang itu?"
"Gerhana Mandrasakti!"
Teratai Kipas berkerut dahi, merasa asing dengan nama itu. Tapi bocah Sumbaruni tampak terkejut, ia segera berseru dengan gerakan meronta yang lemah karena kebocahannya.
"Aku tidak mau! Aku tidak mau diserahkan pada Gerhana Mandrasakti! Dia pasti akan membunuhku, karena dia punya dendam padaku! Aku tidak mau!"
Gerakan meronta itu membuat Maling Sakti sedikit kewalahan karena wajahnya dipukul-pukul oleh tangan kecilnya si bocah Sumbaruni. Kesempatan itu dipergunakan oleh Teratai Kipas untuk menghantam pinggang kiri Maling Sakti. Pukulan telapak tangan yang menghentak kuat pada pinggang membuat tulang rusuk Maling Sakti bagaikan retak.
Buuk...! Krek...!
"Uuhg...!" Maling Sakti terpental namun tak sampai jatuh. Bocah itu masih ada dalam gendongannya. Wajah Maling Sakti mulai merah sebelah kiri. Wajah itu menjadi belang jika ia dilanda kemarahan. Itulah sebabnya ia bernama Durjana Belang. Dan melihat wajah Maling Sakti sudah merah sebelah, Teratai Kipas mulai mencabut senjata kipasnya. Karena ia tahu jika wajah Maling Sakti berubah Belang, maka ilmu-ilmu mautnya akan segera dilancarkan.
"Kau memancing kemarahanku, Teratai Kipas! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut sekarang juga! Hiaaah...!"
Tangan kiri memegangi Sumbaruni, tangan kanannya menyentak ke depan. Dari tengah telapak tangan itu melesat butiran-butiran kecil seperti kacang hijau tapi berwarna putih logam mengkilat.
Srrruub...!
Butiran kecil itu berjumlah cukup banyak, menyerang Teratai Kipas dengan gerakan menyebar. Teratai Kipas sempat terperangah kaget, batinnya menyebut kata, "Mutiara Lahar?!" Dengan serentak kedua kakinya menghentak ke tanah dan tubuh Teratai Kipas melayang naik bersalto satu kali. Gerakan turunnya menukik, dan kipasnya dikibaskan ke arah butiran-butiran yang disebut 'Mutiara Lahar' itu.
Wuuurrt...! Angin kibasan kipas menderu, menyebarkan butiran 'Mutiara Lahar' yang segera menghantam batu, pohon dan apa saja yang ada di sekeliling mereka.
Taar, trarrt, taar... blaarr...!
Batu, pohon dan apa saja yang terkena satu butir dari sekian banyak 'Mutiara Lahar' itu akan meledak dan mengobarkan nyala api yang sulit padam, itulah kehebatan jurus 'Mutiara Lahar' milik si Maling Sakti. Kini hutan itu bagikan terbakar. Asap mengepul di sana- sini, kabut kian menebal karena bercampur asap kebakaran tersebut.
"Siapa orang yang sedang dihajarnya itu?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan orang berbaju hitam dan bercelana merah.
Orang itu mempunyai rambut kelabu, botak bagian depannya, tapi sisanya di bagian belakang dan samping masih panjang sepundak kurang. Orang itu agak pendek, badannya sedang-sedang saja. Wajahnya bagaikan wajah polos tanpa dosa, bahkan berkesan menyedihkan. Suto Sinting tak tega melihat orang itu ditendang ke sana-sini oleh Siluman Tujuh Nyawa. Saat tendangan itu berhenti, orang bercelana merah itu mengerang kesakitan sambil memegangi dadanya. Terdengar pula suara Siluman Tujuh Nyawa berkata,
"Kuberi kesempatan sekali lagi untuk menyerah. Kalau kau masih berkeras kepala, sebaiknya cepat-cepat kukirim ke neraka!"
"Ak... aku... aku benar-benar tidak tahu...!"
"Kesempatan sudah habis! Pergilah ke neraka!"
Wuutt...! Siluman Tujuh Nyawa tebaskan tongkatnya. Bagian ujungnya yang berupa lempengan besi tajam bagaikan paruh burung bangau itu memenggal leher orang berpakaian hitam-merah. Tetapi sebelum senjata itu mencabut nyawa dan memisahkan kepala dengan leher lawannya, tiba-tiba tongkat El Maut terpental ke samping sehingga tubuh Siluman Tujuh Nyawa terdorong dan hampir jatuh karena terpelanting memutar.
Wuuussstt...!
Tentu saja ada tenaga penghantam yang diarahkan ke tongkat El Maut itu. Dan tenaga itu tak lain datang dari tangan Pendekar Mabuk. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa sinar telah dilepaskan demi menyelamatkan nyawa orang bercelana merah.
Zlaaap...! Suto Sinting tahu-tahu sudah berada disamping orang bercelana merah yang merangkak-rangkak mencari tempat aman. Orang itu berhenti dari gerakannya, kaget melihat kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya. Ia bahkan sempat berkata dengan suara terpatah-patah,
"Pergi... lekas! Dia... dia berilmu tinggi! Jangan lawan dia!"
Tetapi anjuran itu tak dihiraukan, karena mata Pendekar Mabuk tertuju pada Siluman Tujuh Nyawa. Mata itu memandang tajam dan Siluman Tujuh Nyawa memandang dengan dingin.
"Rupanya kau yang berani mencampuri urusanku, Bocah ingusan?!" katanya dengan nada datar. Bibirnya yang biru bagaikan enggan bergerak jika sedang bicara. Berbeda dengan Pendekar Mabuk yang menggerakkan bibir dengan seenaknya dalam bicara, bahkan punya senyum sinis yang bisa membakar kemarahan Siluman Tujuh Nyawa.
"Kau terkejut melihatku, Durmala Sanca! Apakah kau berniat lari lagi dari hadapanku?"
Orang bercelana merah membatin, "Wah, bocah ini cari penyakit! Dia belum tahu kekejaman Siluman Tujuh Nyawa. Bisa-bisa jadi pepes mayat kalau kau bicara sembarangan, Nak!"
Durmala Sanca melangkah ke kiri sedikit hingga jaraknya tak terhalang sebatang kayu kering. "Kali ini aku tak akan lari sebelum memenggal kepalamu, Bocah Dungu!"
"Kita buktikan saja siapa yang terpenggal kepalanya!" tantang Suto tak merasa gentar sedikitpun.
Wuuutt...! Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa bergerak bagaikan kilat menerjang Suto Sinting. Dan yang diterjang pun bukan menghindar atau diam di tempat, melainkan justru melesat cepat dengan 'Gerak Silumannya yang nyaris tak terlihat mata orang bercelana merah itu. Gerakan cepat menyongsong lompatan Siluman Tujuh Nyawa itu menghasilkan suatu ledakan besar yang menggelegar.
Blegaaarr...!
Rupanya perpaduan tongkat El Maut dengan bumbung tuak menghasilkan daya ledak yang tinggi. Pendekar Mabuk terpental tujuh langkah jauhnya, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terpental lebih dari tujuh langkah. Tubuhnya membentur pohon besar. Bleess...! Tubuh itu lenyap bagaikan bayangan menembus pohon. Untuk selanjutnya tak terlihat lagi oleh mata siapa pun. Ia masuk ke alam gaib dalam keadaan terluka. Tentunya ia melarikan diri lagi karena memang belum siap melawan Suto Sinting.
Padahal waktu itu Suto Sinting sendiri mengalami luka lumayan parahnya. Dadanya terbakar hangus karena gelombang ledak yang panas dan berkekuatan daya hentak tinggi itu. Mulut Suto Sinting sempat keluarkan darah kental. Tapi ia buru-buru meminum tuaknya, sehingga keadaan seperti itu dapat teratasi secara cepat. Bahkan ia bisa segera menolong orang bercelana merah dengan meminumkan tuaknya pula.
"Aneh," pikir orang itu. "Badanku cepat menjadi segar setelah meminum tuaknya. Padahal hanya dua teguk, tapi... tapi rasa sakitku bagaikan hilang semua. Dan... oh, kurasa anak muda ini bukan anak muda sembarangan. Siluman Tujuh Nyawa bisa dibuatnya lenyap tak berbekas?!"
Belum selesai batinnya berkecamuk, Suto Sinting sudah memberi pertanyaan lebih dulu, "Mengapa kau berurusan dengan Siluman Tujuh Nyawa, Paman?"
Orang bercelana merah itu sengaja dipanggil 'Paman' karena menurut Suto orang itu berusia sekitar lima puluh lima tahun. Dan yang dipanggil ternyata tidak keberatan, ia menjawab dengan senyum nyengir dan lucu, sebab wajahnya memang berkesan lucu; hidungnya agak bengkok, matanya kecil, alisnya tipis, nyaris tanpa alis, kumis tak ada, guratan ketuaan membekas tajam dari cuping hidung ke arah sisi kanan-kiri mulut.
"Namaku... Tosidana."
"Yang kutanyakan, ada urusan apa dengan Siluman Tujuh Nyawa!" ulang Suto.
"Oo... anu, yaah... urusan sepele saja. Tak perlu kujelaskan. Tapi kurasa kau tahu sendiri, Siluman Tujuh Nyawa tak suka melihat orang senang."
"Di mana kau bertemu dengannya, Paman?"
"Yah, lumayan. Sudah agak sehat, terutama setelah minum tuakmu tadi."
Pendekar Mabuk menghempaskan napas jengkel. "Aku bertanya, di mana kau bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa itu?"
"Ooo... ya di sana! Jauh dari sini!" jawabnya sambil nyengir. "Aku ucapkan banyak-banyak terima kasih kepadamu, Anak Muda. Kalau tak ada kau, aku pasti sudah tak punya kepala lagi. Pasti akan bingung bagaimana cara menggosok gigi jika aku tanpa kepala lagi. He he he...! Kau memang hebat. Siapa namamu?"
"Namaku Suto!"
"Nama yang bagus. Pantas untuk nama sebuah pusaka agung," orang itu menepuk-nepuk punggung Suto Sinting, karena hanya punggung tengah saja yang bisa dicapai oleh tangannya. Tinggi orang itu kurang dari sebatas pundak Suto Sinting. Tak heran jika ia hanya menepuk-nepuk punggung tengah Suto untuk menyatakan rasa bangga dan pujiannya terhadap nama Suto.
"Lain kali jangan bikin masalah dengan Siluman Tujuh Nyawa, Paman. Dia orang berbahaya dan berdarah dingin. Tak segan-segan membunuh lawannya!" Suto Sinting berujar pelan.
"Sebenarnya bukan aku yang cari masalah, tapi dia sendiri yang bikin masalah. Perkaranya sepele saja. Dia ingin meminta anak gadisku yang masih kecil. Entah mau untuk apa, usia anak itu saja baru dua tahun kurang. Lalu aku mempertahankan anakku itu. Eh, dia marah! Waktu kuserang, dia tak bergeming. Tentu saja aku segera kabur dan cari selamat. Eh, malah yang kutemukan bukan si Selamat melainkan si Suto! He he he he...!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum geli melihat gaya bicara orang itu. Lucu tapi menjengkelkan. "Sekarang anakmu ada di mana?"
"Ibunya sudah meninggal. Jadi anak itu kurawat sendiri."
"Paman, yang kutanyakan anak itu ada di mana?!" tandas Suto dengan jengkel.
"Ooo... anak itu sekarang ya ada di.... Wah, iya?!" orang itu terkejut dan menepak jidatnya sendiri. Plak...! Lalu menyambung kata, "Anakku kutinggalkan di bawah pohon sana?! Ya, ampuuun... aku sampai lupa membawanya lari kemari? Waaah... bisa dimakan macan anak itu kalau kelamaan ditinggal pergi! Sebentar, Suto... aku akan ambil anakku dulu!" Brebeett...! Orang itu langsung lari ke arah semula dengan terburu-buru.
Suto Sinting tertawa kecil sendirian. "Sama anaknya sendiri kok sampai lupa tidak dibawa lari? Hmm... dasar penakut! Begitu tahu kekuatan Siluman Tujuh Nyawa, ia lari sendiri tanpa pedulikan anaknya. Benar-benar potongan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab kepada anaknya sendiri. Ia takut mati demi membela anak."
Senyum Suto disertai geleng-geleng kepala. Tapi senyum itu segera pudar dan dahi segera berkerut ketika batin berkata, "Jangan-jangan bukan anaknya sendiri? Jangan-jangan anak itu adalah Sumbaruni yang kian mengecil?!"
Seketika itu juga Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya untuk mengejar orang yang mengaku bernama Tosidana itu. Pengejaran itu sempat salah arah sebentar, karena ia tertipu oleh sekelebat bayangan yang melintas ke arah timur. Ketika bayangan yang berkelebat itu berhasil disusulnya, ternyata orang tersebut bukan Tosidana, melainkan Menak Goyang.
"Sial! Dunia ini sempit sekali sepertinya. Lagi-lagi yang kutemui kau, Menak Goyang!"
Gadis berambut panjang yang diikat ke belakang dengan bagian depannya berponi itu mulai salah tingkah. Badannya tak bisa diam, bergerak terus. Kadang mondar-mandir, kadang diam dengan kaki bergerak- gerak atau pinggul bergoyang-goyang.
"Kurasa kau mengikutiku sejak kemarin sore, Menak Goyang."
Menak Goyang hanya tersenyum. Semakin salah tingkah setelah dipandangi oleh Suto tak berkedip. Akhirnya ia berkata, "Memang aku mengikutimu. Tapi sayang aku tak bisa mendekat, sehingga tak kudengar apa saja yang kau bicarakan dengan Teratai Kipas dan gurunya itu. Tapi kulihat kau dan gurunya Teratai Kipas sudah saling mengenal akrab."
"Kami hanya membicarakan tentang orang-orang Bukit Kopong yang punya kemungkinan sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu milik gurumu itu!" kata Suto sengaja memancing pendapat.
Tapi Menak Goyang agaknya kurang tertarik dengan kata-kata Suto Sinting, sehingga ia berkata sambil gelengkan kepala, "Itu hanya tipuanmu saja. Mungkin kau memang bekerja sama dengan Teratai Kipas, dan sepakat mengalihkan pandangan kami kepada orang-orang Bukit Kopong. Tapi kami tahu mereka tak mungkin berani mengusik kami."
"Apakah kau juga melihat pertarungan Teratai Kipas dengan Tiga Pengawai Iblis?" pancing Suto, dan setelah Menak Goyang mengangguk, Suto berkata lagi,
"Mereka menghendaki Tongkat Tulang Barong milik mendiang Ki Selo Gantung. Padahal ketua Bukit Kopong; Cukak Tumbila adalah saudara seperguruan Ki Selo Gantung dan Maiaikat Miskin. Jika mereka sekarang sudah berani mengusik pusaka Ki Selo Gantung, tentunya mereka juga mulai berani mengusik pusakanya Malaikat Miskin."
Menak Goyang mulai berpikir ke arah pembicaraan Suto. Ia mondar-mandir ke kanan-kiri tiga langkah-tiga langkah. Akhirnya terdengar ia berkata, "Selama ini Cukak Tumbila sungkan dengan guruku!"
"Perbuatan anak buah Cukak Tumbila tentunya diluar sepengetahuan Cukak Tumbila sendiri. Barangkali saja jika Cukak Tumbila tahu, orang itu akan dihajarnya. Tapi pernahkah kau dan gurumu mencoba bicara dengan Cukak Tumbila? Pernahkah kau menyelidik kesana?"
Ada kecemasan yang dipendam di hati Menak Goyang, ada kegelisahan yang semakin membuat gerak-gerak tubuhnya kian tak beraturan. Suto Sinting tambahkan kata untuk pengaruhi keyakinan Menak Goyang.
"Barangkali kau memang tak harus percaya dengan dugaanku ini, tapi setidaknya kau punya bahan untuk diperhitungkan dan dibicarakan dengan Malaikat Miskin."
"Jika benar yang mencuri pusaka Pisau Tanduk Hantu adalah orang-orang Bukit Kopong, berarti mereka pula yang merebut adik kecilmu itu!"
"Mungkin juga!" sambil Suto Sinting bentangkan kedua tangan dan angkat pundaknya. Sikapnya tenang dan meyakinkan.
"Jika begitu," kata Menak Goyang, "Mengapa tak kau desak si Maling Sakti tadi? Mengapa kau biarkan dia pergi meninggalkan dirimu?"
"Maling Sakti?!" Suto Sinting kerutkan dahi. "Aku tak mengerti maksudmu."
"Orang yang kau selamatkan dari tangan Siluman Tujuh Nyawa itu adalah Durjana Belang alias si Maling Sakti."
Suto terperanjat dan menatap gadis itu dengan sedikit curiga. "Bukankah dia bernama Tosidana?"
"Hmm...," Menak Goyang tersenyum tipis. "Kau telah terkecoh. Seharusnya kau desak si Maling Sakti itu untuk mengaku perbuatan yang sebenarnya. Jika benar dia yang mencuri pusaka itu dan merebut adikmu, berarti kau harus memaksanya pula untuk mengembalikan adikmu yang lucu itu! Tapi hati-hati, dia punya ilmu tinggi tersembunyi di balik kebodohan dan keluguan wajahnya.
Pendekar Mabuk terbungkam sesaat. Menak Goyang segera pergi tanpa pamit. Tapi Suto Sinting sempat berseru, "Mau ke mana kau?!"
"Bicarakan kesimpulanmu dengan Guru!" seru Menak Goyang, setelah itu melesat tak terlihat lagi.
* * *
EMPAT
KALAU saja kala itu Pendekar Mabuk bersama-sama Teratai Kipas, maka ia akan diberitahu bahwa orang yang mengaku bernama Tosidana itu sebenarnya adalah Durjana Belang alias si Maling Sakti. Teratai Kipas kenal betul dengan wajah si Maling Sakti, karena ia pernah berhadapan dalam satu pertemuan setelah Ki Selo Gantung dimakamkan.Teratai Kipas yang pulang dari sungai habis melepaskan hasrat kotornya dan cuci muka alakadarnya, sempat kebingungan mencari Suto Sinting di sekitar pohon tempat mereka tidur semalam. Namun begitu melihat sekelebat bayangan yang berlari melintas di kejauhan sana, Teratai Kipas segera mengejarnya sebab ia kenali wajah orang yang berlari itu adalah wajah si Maling Sakti. Teratai Kipas curiga dan mengikutinya, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah lembah berkabut tipis. Maling Sakti berhenti, clingak-clinguk bagai orang penuh kecemasan dan takut dilihat orang lain. Kemudian ia menyusup masuk ke celah-celah bebatuan besar setinggi rumah.
Gerakannya itu hanya diperhatikan Teratai Kipas dari balik semak. Tak berapa lama kemudian Maling Sakti keluar dari celah-celah bebatuan yang menyerupai bilik-bilik kamar itu. Di tangannya telah tergendong seorang bocah berusia sekitar dua tahun kurang. Bocah itu tak lain adalah gadis kecil Sumbaruni yang kini menjadi lebih kecil dari saat dilihat Teratai Kipas di Perguruan Tongkat Sakti itu. Teratai Kipas sempat heran melihat perubahan Sumbaruni, tapi rasa heran itu segera disingkirkan karena ia harus menghadang langkah Maling Sakti yang hendak tinggaikan tempat itu.
Jleegg...!
"Teratai Kipas...?!" Maling Sakti kaget, lalu buru-buru nyengir.
"Anak siapa itu?" pancing Teratai Kipas.
"Anak... anak pamanku."
Bocah kecil yang digendong Maling Sakti berkata, "Bukan! Aku Sumbaruni, kekasihnya Suto Sinting!"
Maling Sakti tertawa mendengar bocah kecil itu bisa bicara lancar seperti orang dewasa, ia tidak tahu siapa sebenarnya bocah itu. Ia mengambilnya dari tangan orangnya Malaikat Miskin karena suatu maksud tertentu, dan ketika diambilnya keadaan Sumbaruni sudah lebih kecil dari saat di tangan Malaikat Miskin. Sebenarnya tubuh Sumbaruni kian menyusut, tapi perubahan itu kurang diperhatikan oleh Maling Sakti.
"Durjana Belang, untuk apa kau rebut anak itu dari tangan orangnya si Malaikat Miskin?"
Maling Sakti hanya cengar-cengir. "Rupanya kau tahu tentang anak ini, lebih tahu kau daripada diriku, Teratai Kipas!"
"Karena aku pernah melihat anak itu dalam keadaan lebih besar dari sekarang! Sebaiknya serahkan anak itu padaku supaya aku tidak bersikap kasar padamu, Maling Sakti!"
"He he he he...!" Maling Sakti tertawa meremehkan. "Siluman Tujuh Nyawa saja menghendaki bocah ini dan aku mempertahankan dengan bertaruh nyawa, apalagi kau yang memintanya. Jelas tak akan kuberikan!"
"Mengapa tidak kau berikan?"
"Seseorang membutuhkan bocah ini, dan ia berani membayarku mahal jika bisa serahkan bocah ini ketangannya."
"Siapa orang itu?"
"Gerhana Mandrasakti!"
Teratai Kipas berkerut dahi, merasa asing dengan nama itu. Tapi bocah Sumbaruni tampak terkejut, ia segera berseru dengan gerakan meronta yang lemah karena kebocahannya.
"Aku tidak mau! Aku tidak mau diserahkan pada Gerhana Mandrasakti! Dia pasti akan membunuhku, karena dia punya dendam padaku! Aku tidak mau!"
Gerakan meronta itu membuat Maling Sakti sedikit kewalahan karena wajahnya dipukul-pukul oleh tangan kecilnya si bocah Sumbaruni. Kesempatan itu dipergunakan oleh Teratai Kipas untuk menghantam pinggang kiri Maling Sakti. Pukulan telapak tangan yang menghentak kuat pada pinggang membuat tulang rusuk Maling Sakti bagaikan retak.
Buuk...! Krek...!
"Uuhg...!" Maling Sakti terpental namun tak sampai jatuh. Bocah itu masih ada dalam gendongannya. Wajah Maling Sakti mulai merah sebelah kiri. Wajah itu menjadi belang jika ia dilanda kemarahan. Itulah sebabnya ia bernama Durjana Belang. Dan melihat wajah Maling Sakti sudah merah sebelah, Teratai Kipas mulai mencabut senjata kipasnya. Karena ia tahu jika wajah Maling Sakti berubah Belang, maka ilmu-ilmu mautnya akan segera dilancarkan.
"Kau memancing kemarahanku, Teratai Kipas! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut sekarang juga! Hiaaah...!"
Tangan kiri memegangi Sumbaruni, tangan kanannya menyentak ke depan. Dari tengah telapak tangan itu melesat butiran-butiran kecil seperti kacang hijau tapi berwarna putih logam mengkilat.
Srrruub...!
Butiran kecil itu berjumlah cukup banyak, menyerang Teratai Kipas dengan gerakan menyebar. Teratai Kipas sempat terperangah kaget, batinnya menyebut kata, "Mutiara Lahar?!" Dengan serentak kedua kakinya menghentak ke tanah dan tubuh Teratai Kipas melayang naik bersalto satu kali. Gerakan turunnya menukik, dan kipasnya dikibaskan ke arah butiran-butiran yang disebut 'Mutiara Lahar' itu.
Wuuurrt...! Angin kibasan kipas menderu, menyebarkan butiran 'Mutiara Lahar' yang segera menghantam batu, pohon dan apa saja yang ada di sekeliling mereka.
Taar, trarrt, taar... blaarr...!
Batu, pohon dan apa saja yang terkena satu butir dari sekian banyak 'Mutiara Lahar' itu akan meledak dan mengobarkan nyala api yang sulit padam, itulah kehebatan jurus 'Mutiara Lahar' milik si Maling Sakti. Kini hutan itu bagikan terbakar. Asap mengepul di sana- sini, kabut kian menebal karena bercampur asap kebakaran tersebut.
Namun hal itu tidak dipedulikan oleh Teratai Kipas. Begitu kakinya mendarat di atas bongkahan batu yang tidak ikut terkena butiran 'Mutiara Lahar' ia segera sentakkan kipasnya dalam keadaan terkatup. Wuuuttt...! Claapp...!
"Aaaa...!" bocah Sumbaruni menjerit ketakutan melihat sinar hijau melesat dari ujung kipas mengarah ke tubuh Maling Sakti. Bocah itu merasa takut kalau-kalau tubuhnya digunakan sebagai perisai menghadang sinar hijau tersebut.
Tapi agaknya Maling Sakti tak mau kehilangan bocah tersebut, sehingga sinar hijau itu hanya ditahan dengan telapak tangan kanannya saja.
Deeb...! Telapak tangan itu tak mampu ditembus sinar hijau karena menyala merah bagaikan batuan lahar membara. Sinar hijau itu padam seketika dan mengepulkan asap hitam keputih-putihan. Jroosss...! Tiba-tiba tangan yang masih menyala merah itu menggenggam, lalu melemparkan sesuatu yang digenggamnya itu ke arah Teratai Kipas.
Wuuusss...!
Bola hitam bagai terbuat dari gumpalan asap hitam keputih-putihan melesat cepat ke arah Teratai Kipas. Dengan cekatan kipas emas dibentangkan. Breet...! Bola asap dihantam dengan kipas tersebut.
Blegaarr...!
Ternyata bola asap itu berbahaya. Ledakannya timbulkan gelombang panas yang menghentak kuat dan membuat tubuh Teratai Kipas terpental jauh ke belakang sana. Jatuhnya pun terkapar tak bisa jaga keseimbangan tubuh.
Brruk!
"Uhg...!" ia mengerang ketika berusaha untuk bangkit. Dadanya dipegangi. Dada itu terasa mau jebol karena sentakan gelombang ledak tadi. Teratai Kipas keluarkan darah kental dari mulutnya. Ketika mencoba berdiri ia terhuyung-huyung karena persendiannya terasa rapuh dan tak berurat lagi. Ia jatuh tersandar pada sebuah pohon, masih berusaha untuk berdiri walau hanya menggunakan satulututnya.
"Janjiku kutepati! Sekaranglah saatnya mencabut nyawamu, Teratai Kipas!" seru Maling Sakti, lalu ia berlari dan melompat sambil bersalto dua kali.
"Aaaauuh...!" bocah Sumbaruni menjerit ketakutan dibawa melayang dan berguling-guling di udara. Gerakan tubuh yang melayang itu bagaikan sang maut yang mendatangi Teratai Kipas.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, Teratai Kipas segera sentakkan kipasnya dalam keadaan terbuka. Wuuuttt...! Claapp...! Sinar putih perak keluar dari kipas itu dalam bentuk lingkaran bergelombang-gelombang.
Sinar itu menyongsong tubuh Maling Sakti yang bergerak turun.
Blaarrr...!
"Aaaa...!" bocah Sumbaruni terpentallepas daripelukan Maling Sakti. Bocah itu melayang-layang diudara, sementara Maling Sakti sendiri rubuh dalam keadaan tubuhnya keluarkan asap tipis, pakaiannya menjadi comping-camping bagai habis disambar petir. Namun ia masih sadar, masih bisa melihat tubuh kecil yang melayang karena terpental oleh ledakan tadi.
Maling Sakti yang terluka dalam dan keluarkan darah dari lubang hidung, telinga dan mulut itu segera bangkit untuk menangkap tubuh kecil yang mulai bergerak turun. Tetapi sebelum Maling Sakti berhasil menangkapnya, sesosok bayangan berkelebat menyambar bocah Sumbaruni ketika masih diudara. Wuuuttt...! Bocah itu pingsan, tak terdengar lagi suaranya. Kini ia berada dalam pelukan seorang pemuda tampan berpakaian coklat putih. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
"Syukurlah dia datang," pikir Teratai Kipas dengan merasa lega, namun rasa sakit di dadanya masih belum tersembuhkan walau sudah menyalurkan hawa murninya ke bagian dada.
"Kkau...?!" Maling Sakti pandangi Pendekar Mabuk dengan wajah tegang. Terbayang dalam ingatannya tentang Siluman Tujuh Nyawa yang menurut anggapannya telah berhasil dilenyapkan oleh Suto Sinting, ia mulai ciut nyali dan tak berani lepaskan serangan ke arah Pendekar Mabuk.
Sementara itu, Suto Sinting bergegas mendekati Teratai Kipas dan memberikan bumbung tuaknya. "Minum sedikit saja...!" Teratai Kipas tak menolak dan segera meneguk tuak tersebut.
Suto Sinting bicara kepada Maling Sakti, "Sudah kuduga kau adalah si Maling Sakti yang membawa lari bocah ini! Apakah kau juga yang mencuri pisau pusaka Malaikat Miskin?"
"Aku tak melukai bocah itu. Tidak. Lihat dan periksalah!"
"Yang kutanyakan, apakah kau yang mencuri pisau pusakanya Malaikat Miskin?"
"Oo... tid... tid... tidak...!" Maling Sakti jatuh lagi saat berusaha berdiri, ia menyeringai kesakitan! Sementara itu ia pun melihat Teratai Kipas sudah bisa berdiri dan tampak mulai sehat.
"Suto, tinggalkan dia dan cepat menuju ke puncak temui Eyang Guru Betari Ayu!" kata Teratai Kipas dengan suara pelan. Ketika mereka hendak bergegas pergi, Maling Sakti berusaha serukan kata,
"Suto... tolonglah aku! Tu... tuakmu membuat Teratai sembuh. Tolong berikan tuakmu itu!"
"Jangan hiraukan dia!" kata Teratai Kipas sambil menarik lengan Suto agar teruskan langkah.
"Sutooo...! Tolonglah...!" ratap Maling Sakti yang badannya mulai menghitam karena hangus dihantam sinar perak dari kipas emas itu.
"Kasihan dia," bisik Pendekar Mabuk.
"Dia licik. Dia bisa celakakan dirimu kalau dia tertolong jiwanya!"
"Anggap saja ini sebagai peringatan baginya. Sekali lagi dia berani mengusik kita, tak ada ampun lagi baginya!" Sambil masih tetap menggendong bocah Sumbaruni di tangan kiri, Suto Sinting dekati Maling Sakti, bumbung tuak dituang ketika mulut Maling Sakti membuka ternganga.
Krucuk, krucuk, krucuk... pluk! Glek!
Maling Sakti mendelik seperti merasakan sesak tanggorokannya. Lalu ia pejamkan mata untuk menelan sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya itu. Setelah itu ia berseru, "Kurang ajar!"
"Kenapa?" tanya Suto Sinting sedikit curiga. "Apa yang kau jejalkan masuk ke mulutku?"
"Hanya... hanya tuak! Air tuak!"
"Aku telah menelan sesuatu. Seperti bulatan kecil berkulit halus!"
Tiba-tiba Pendekar Mabuk ingat dengan telur aneh yang ditemukan di reruntuhan pondok Nyai Sapu Lanang. Terkejutlah sang pendekar setelah ingat hal itu. Ia tidak tahu apa benda itu sebenarnya, tapi ia membayangkan alangkah sesaknya benda itu masuk ke tenggorokan Maling Sakti.
"Ada apa?" tanya Teratai Kipas yang kian segar badannya. Suto Sinting melangkah jauhi Maling Sakti dan berkata pelan, "Ia telah menelan telur aneh yang kutemukan di reruntuhan pondok Nyai Sapu Lanang."
"Telur aneh apa? Saat kuhancurkan pondok itu, tak ada telur aneh di situ!"
"Mungkin kau tidak melihatnya. Tapi aku menemukannya. Bentuknya seperti telur burung puyuh, warnanya merah, berkulit tipis seperti kulit ari. Cairan di dalamnya seperti darah."
"Celaka!" mata Teratai Kipas terbelalak tegang, ia diam terpaku di tempat.
"Apakah... apakah tTelur itu yang dinamakan Telur Mata Setan?" tanya Suto dengan nada curiga.
Tapi gadis itu hanya mendesah menyimpan keresahannya, ia tak mau menjelaskan maksud ketegangannya itu. Ia bahkan berkata, "Cepat kita ke puncak!"
"Tunggu dulu!" sergah Suto Sinting. "Jelaskan dulu benda apa sebenarnya yang kutemukan dan ditelan oleh Maling Sakti itu!"
Mereka beradu pandang sesaat. Teratai Kipas tak berani menyembunyikan ketegangannya lagi, karena ia tahu dengan siapa ia berhadapan saat itu. Maka dengan suara sangat pelan tak didengar Maling Sakti, Teratai Kipas menjawab, "Kalau tak salah dugaanku... benda itu adalah Batu Sembur Getih."
"Apa kehebatan Batu Sembur Getih?"
"Seseorang yang menelan Batu Sembur Getih hidupnya akan tergantung dari darah manusia lain. Ia tak akan pernah bisa menerima makanan lain; nasi, jagung, ketan dan sebagainya. Makanannya hanyalah darah. Dan setiap ia habis meminum darah manusia, maka kesaktiannya akan berlipat ganda. Badannya akan kebal oleh senjata apa pun. Bahkan sinar tenaga dalam sukar menembus tubuhnya."
"Gawat!" Suto Sinting memandang ke arah Maling Sakti.
Ternyata orang tersebut telah lenyap, melarikan diri jauh di seberang sana. Bayangan sosok tubuhnya hanya terlihat bagai sebuah titik yang kian menjauh.
"Maling Sakti pergi! Dia pasti akan semakin gila dengan kedurjanaannya!" gumam Suto Sinting kepada dirinya sendiri.
"Mestinya batu itu kau telan saja, karena batu itu berasal dari gumpalan darah dewa."
"Aku tidak tahu kesaktian benda itu. Sebelum kupelajari, kusimpan dulu dalam bumbung tuakku. Ternyata tuak yang tinggal sedikit ini membut batu itu menggelincir masuk ke mulut si Maling Sakti! Celaka betul keadaan ini!"
"Lupakan dulu urusan itu. Kita harus segera temui Eyang Guru Betari Ayu dan membawa Sumbaruni yang pingsan itu," Teratai Kipas mengingatkan.
Sambil melangkah menuju puncak, Suto Sinting sempat bertanya, "Mengapa Nyai Sapu Lanang tidak menelan batu itu saja? Bukankah kalau dia menelan batu itu ia menjadi orang yang lebih sakti lagi dan mungkin sukar kukalahkan? Apakah ia sendiri tak tahu manfaat Batu Sembur Getih itu?"
"Kurasa Nyai Sapu Lanang mengetahui kehebatan batu itu. Barangkali ia menunggu seseorang yang akan mendapat hadiah Batu Sembur Getih, terutama seorang lelaki. Sebab Batu Sembur Getih hanya bisa dipergunakan untuk seorang lelaki dan tidak berlaku bagi wanita."
Suto Sinting manggut-manggut, "Pantas waktu Nyai Sapu Lanang merayuku agar mau melayaninya, ia sempat berkata bahwa aku akan diberi hadiah yang sangat berharga jika mau melayaninya sampai ia mempunyai keturunan. Hanya sampai batas ia bisa hamil saja, maka aku akan diberi hadiah sebuah pusaka yang tiada tandingannya. Mungkin Batu Sembur Getih itulah yang dimaksud sebagai hadiah untukku."
"Mengapa kau tak mau?"
"Mendapat Batu Sembur Getih adalah hal yang menyenangkan, tapi tebusannya itu yang membuatku keberatan!"
Teratai Kipas tertawa kecil. "Tebusannya tak seberapa berat, kan? Capeknya tak melebihi orang berlari dari sini ke puncak gunung!"
Suto Sinting tertawa malu. "Siapa bilang? Justru capeknya melebihi kita berlari dari sini ke matahari!"
Tawa mereka berderai, namun segera terputus karena rasakan ada getaran pada tanah yang diinjaknya. Batu- batu mulai bergerak, sebagian ada yang menggelinding bagaikan terjadi gempa setempat. Wajah Suto dan Teratai Kipas sama-sama menegang. Getaran bumi kian kuat, pohon-pohon kecil mulai tumbang.
"Ada apa ini...?!" Teratai Kipas memandang tegang kesekelilingnya.
"Jangan jauh dariku. Mendekatlah!" kata Suto pelan. "Sepertinya ada pihak lain yang ingin mengganggu perjalanan kita ke puncak!"
Suto Sinting yakin bahwa gempa itu adalah gempa kiriman. Tapi siapa orangnya yang mengirimkan gempa masih belum diketahui mereka.
Perempuan itu tak lain adalah Nyai Guru Betari Ayu, dan murid setianya adalah Selendang Kubur. Kedatangan Suto Sinting membuat Nyai Guru Betari Ayu berwajah cerah ceria, walau ia menyimpan keharuan atas cinta yang terpendam dan sampai saat itu tak bisa dihancurkan. Sekalipun demikian, cinta itu hanya bisa diendapkan di dasar hati dan tak ingin dicurahkannya seperti dulu, karena Nyai Guru Betari Ayu sadar bahwa Suto Sinting adalah calon suami adiknya; Dyah Sariningrum.
Untuk sesaat Nyai Guru Betari Ayu termenung melamunkan masa-masa perpisahannya dengan Pendekar Mabuk, setelah ia serahkan Kitab Wedar Kesuma sebagai pelengkap mas kawin yang diminta Dyah Sarinigrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Siluman Tujuh Nyawa).
Betari Ayu adalah sosok perempuan yang bijak dan lembut. Penampilannya masih belum berubah. Tetap cantik, anggun dan berkharisma tinggi. Jubahnya kuning, pakaian dalamnya biru. Rambutnya panjang, dengan ikat kepala dari tali merah bintik-bintik kuning emas. Ujung tali itu ada logam kuning seperti mata tombak, dan memang bisa digunakan sebagai senjata di kala itu.
Ia tak berani menatap Pendekar Mabuk terlalu lama, sebab jika memandang terlalu lama dadanya bergemuruh dan hatinya berdebar-debar nyeri. Ada cinta yang dibuang dan dilupakan. Rasa cinta itulah yang sering membuatnya nyeri. Betari Ayu tak mau mengenangnya. Sebab itu ia tak mau hanyut dalam lamunan yang terlalu dalam.
Teratai Kipas duduk bersila jauh di belakang Suto, sedangkan Selendang Kubur ada di samping kanan Pendekar Mabuk. Bocah Sumbaruni yang telah siuman ikut duduk di samping kiri Suto Sinting, ia seperti bocah baru bisa berjalan, lucu dan menggemaskan. Tapi caranya duduk bersila menunjukkan sikap kedewasaannya yang tidak ikut susut termakan Racun Ludah Naga.
"Kudengar kau mencari Telur Mata Setan untuk pulihkan keadaan Sumbaruni?"
"Benar, Nyai. Petunjuk itu kuperoleh dari Bongkok Sepuh dan Nyai Paras Murai!" jawab Suto Sinting dengan kalem. "Tapi menurut keterangan Teratai Kipas dan Selendang Kubur, telur itu hanya ada dalam dongeng anak-anak saja. Aku tak tahu mana yang benar dari kenyataan itu."
"Selama itu Telur Mata Setan memang hanya ada dalam dongeng. Artinya, dongeng tentang Telur Mata Setan menjadi dongeng ciri khas rakyat di sekitar Gunung Kundalini."
"Tetapi ketika kami menuju kemari, kami dihadang oleh Resi Pakar Pantun yang juga menghendaki Telur Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun?!" Nyai Guru Betari Ayu kerutkan dahi, diam sebentar bagai meneropong seseorang di kejauhan sana, setelah itu menatap Suto lagi. "Resi Pakar Pantun adalah gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan."
"Benar. Menurut pengakuannya, Tuan Nanpongah sempat bentrok dengan Syakuntala dan ia terkena Racun Ludah Naga juga. Kabarnya sampai sekarang Tuanku Nanpongoh sudah menjadi bayi yang hanya bisa ngompol dan menangis."
Nyai Guru Betari Ayu manggut-manggut. Suto Sinting menceritakan pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun. Orang berusia sekitar delapan puluh tahun itu hadir bersama gempa kirimannya. Untung Suto Sinting segera dapat melacak keberadaan tokoh sakti itu melalui Ilmu 'Lacak Jantung'-nya, sehingga ia bisa kirimkan pukulan tenaga dalam dan membuat Resi Pakar Pantun hentikan gangguannya dan muncul dari persembunyiannya.
Orang berjenggot putih panjang dengan mengenakan pakaian model biksu yang berupa kain abu-abu membungkus badan dan melilit pundak kanannya itu tampak malu ketika persembunyiannya dibongkar Pendekar Mabuk. Orang berkepala botak dengan rambut uban tipis itu tidak datang sendirian, tetapi mengajak pelayannya yang bertubuh agak pendek, kurus, berwajah tua, namun tak punya kumis dan jenggot. Usianya sekitar empat puluh tahun. Mengenakan pakaian hijau tua dan ikat kepala kain putih. Pelayannya itu mengaku punya julukan si Kadal Glnting.
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Resi Pakar Pantun?" tanya Suto setelah memperkenalkan diri masing-masing.
"Tikar rombeng ditambal dengan ketan. Bau sedikit tapi berkesan. Tak ada lain kupunya tujuan. Kecuali mencari si Telur Mata Setan." Resi Pakar Pantun yang jarang mau lepas dari syair pantunnya menjawab pertanyaan Suto itu dengan santai.
"Apa hubungannya dengan mengganggu perjalananku?" tanya Suto lagi.
"Tikar rombeng dibakar nyebar. Ambil sabuk buat bantalan. Telah kudengar kabar tersebar. Pendekar Mabuk pun cari Telur Mata Setan."
"Lalu, kau sangka aku sudah mendapatkannya?"
"Tikar rombeng dibuat bendera. Jatuh ke bumi bikin sengsara. Jika betul kau belum mendapatkannya. Kumohon jangan lanjutkan pencariannya."
Suto Sinting tersenyum tipis sambil pandangi Teratai Kipas yang masih kaku menerima kehadiran Resi Pakar Pantun dan pelayannya itu. Suto sempat berbisik kepada Teratai Kipas, "Kita punya saingan, agaknya cukup berbahaya juga."
"Aku yakin kau sanggup kalahkan si tua pantun itu."
"Akan kucoba untuk berembuk saja. Jangan biasakan diri dengan kekerasan." Kemudian Suto Sinting memandang Resi Pakar Pantun yang tampak tenang, namun sebenarnya sedang pelajari ketinggian ilmu Pendekar Mabuk melalui teropong batinnya. Suto Sinting berkata dengan sikap tidak bermusuhan. "Resi Pakar Pantun, ternyata di antara kita punya tujuan yang sama, yaitu mencari Telur Mata Setan. Kurasa kita harus berlomba dan beradu kecepatan mendapatkan benda tersebut. Kau tak perlu mengusirku, tak perlu memusuhiku. Toh belum tentu kau sendiri bisa temukan Telur Mata Setan itu. Aku pun belum tentu berhasil mendapatkannya. Jadi kurasa tantangan halusmu itu harus kau cabut lagi agar hubungan kita tidak saling bermusuhan dalam hati."
"Tikar rombeng di..."
"Maaf Eyang Resi...," potong Kadal Ginting yang suaranya cempreng. "Lainnya tikar rombeng apa tidak ada?"
"Apa maksudmu?"
"Dari tadi pantunnya tikar rombeeeng terus! Sekali-sekali muka rombeng atau apa, gitu!"
"Mukamu itu yang muka rombeng!" hardik Resi Pakar Pantun sambil bersungut-sungut.
Suto Sinting dan Teratai Kipas sempat menutup mulut karena menahan tawa geli. Lalu terdengar lagi Resi Pakar Pantun bicara kepada Suto, "Muka rombeng dibuat gilasan. Rompal sedikit asin rasanya...."
"Kik, kik, kik, kik, kik...!" Kadal Ginting tertawa cekikikan membuat pantun itu terhenti.
Sang Resi menghardik lagi, "Kenapa tertawa?!"
"Saya geli, Eyang Resi! Yang benar sajalah. Masa muka rombeng dipakai gilasan? Sudah itu, rompal sedikit rasanya asin. Siapa yang mau cicipi rompalan papan penggilasan, Eyang Resi? Kok sepertinya kurang kerjaan saja itu orang?"
"Ini pantun, Bodoh!" bentaknya menggeram.
"Iya, iya... teruskan sajalah!" sambil Kadal Ginting geleng-geleng kepala dan agak menjauh dalam senyum geli yang masih tersisa.
Teratai Kipas sendiri sempat mengikik tertahan mati-matian dan ia sembunyikan wajah di punggung Pendekar Mabuk yang juga terguncang-guncang karena tawa tanpa suara itu. Sedangkan sang Resi masih tetap tenang, serius, tanpa senyum sedikit pun.
"Muka rombeng tak jadi dibuat gilesan. Rompal sedikit dibiarkan saja. Jika memang kau punya nyali tak beralasan. Ada baiknya kita berlomba saja!"
"Baik. Aku setuju!" kata Suto Sinting dengan tegas.
Kadal Ginting menyela kata, "Tikar rombeng dimakan pakai sambal"
"Apa artinya?" tanya sang Resi.
"Rakus!" jawab Kadal Ginting dengan tertawa dan menjauh.
Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun menghentak. Wuuuttt..! Pukulan jarak jauh dihantamkan ke punggung Kadal Ginting. Orang pendek kurus itu terbang dan wajahnya membentur pohon. Bruuuss !
"Aoouuh. !" pekik Kadal Ginting kesakitan.
Resi Pakar Pantun segera pergi tinggalkan Suto Sinting dan Kadal Ginting mengikutinya sambil mengusap-usap wajahnya yang merah itu.
Mendengar cerita Pendekar Mabuk tadi, Nyai Guru Betari Ayu tersenyum tipis. Senyumnya sungguh manis menawan. Suto memandanginya karena senyum itu mengingatkan dirinya pada senyuman milik Dyah Sariningrum. Berdebar hati Suto dibuatnya. Berdebar pula hati Betari Ayu ketika melihat Suto tersipu, karena ia ingat peristiwa yang pernah dialami Suto Sinting ketika sang pendekar tampan itu mengobati dirinya yang terkena pukulan Regang Pati dari Bidadari Jalang. Cara pengobatan yang menggunakan semadi cumbu itulah yang sampai sekarang masih berkesan di hati Nyai Guru Betari Ayu. Cara pengobatan itu dinamakan ilmu Kamajiwa, dan baru kepada Nyai Guru Betari Ayu ilmu itu digunakan oleh Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sesat)
Betari Ayu membuang bayangan itu dengan berkata, "Aku mendengar detak jantung yang bergemuruh, seperti jantung orang yang sedang cemburu."
Sumbaruni kecil segera membuang pandangan ke arah lain. Suto Sinting melirik Sumbaruni dan tersenyum geli. Betari Ayu ikut tersenyum dan melirik Sumbaruni. Merasa dilirik tak enak. Sumbaruni kecil berkata dengan suara bocahnya yang bernada dewasa.
"Bicarakan saja tentang Telur Mata Setan, tak perlu menyindir diriku!"
"Aku tak salahkan dirimu kalau kau menyimpan kecemburuan, karena memang pria yang satu ini sinting! Imunya sinting, ketampanannya sinting dan sikapnya juga sinting!"
"Aku hanya ingin kepastian apakah Telur Mata Setan itu benar-benar tidak ada atau memang ada di suatu tempat yang tersembunyi?" tanya Sumbaruni mendesak.
Betari Ayu tarik napas dalam-dalam, termenung beberapa saat bagai orang melamun. Suto Sinting sempat melirik gadis kecil yang imut-imut lucu dan sebenarnya bekas istri jin itu. Sang gadis kecil bersungut-sungutdan melengos tak mau pandangi Suto Sinting. Hal itu membuat Suto geli lalu mencubit pipi gadis kecil tanpa nafsu dan hasrat tak senonoh. Cubitan itu adalah cubitan canda terhadap seorang bocah yang menggemaskan.
"Ah...!" Sumbaruni menepiskan tangan Suto yang menggoda dan masih tetap bersungut-sungut buang muka. Menggelikan sekali sikapnya.
Agaknya suatu teropong batin telah dilakukan oleh Betari Ayu. Sikapnya yang merenung tadi kini dilepaskan dan ia memandang Suto Sinting seraya berkata pelan, penuh kharisma. "Telur Mata Setan memang ada!"
Kalimat itu membuat Selendang Kubur terperanjat. Wajahnya terangkat memandangi Nyai Guru Betari Ayu. Sementara di belakang sana, Teratai Kipas juga merasa kaget dan mengangkat wajahnya menatap wanita anggun dan bijaksana itu. Suto Sinting diam tak berucap kata, sedangkan Sumbaruni menatap pula penuh harap.
"Aku melihat Telur Mata Setan ada di sebelah timur dari tempat ini. Bentuknya sedikit lebih besar dari telur puyuh, kulitnya berwarna kuning emas. Keras bagaikan besi. Telur itu hanya bisa dilubangi dengan suatu kekuatan tenaga dalam yang bersumber dari napas putih."
"Apakah napas putih bisa diartikan hawa murni, Guru?" tanya Selendang Kubur, kali ini memberanikan bicara karena yang dibicarakan bukan soal pribadi.
"Pengertiannya bisa begitu. Napas putih bisa berarti hawa murni, bisa juga berarti napas tuak," tutur Betari Ayu langsung memandang Suto Sinting.
"Lalu di mana aku harus mengambil Telur Mata Setan itu?"
"Lereng sebelah timur. Di sana ada gua yang sedang dipergunakan untuk bertapa oleh seorang raja. Di dalam gua itulah terdapat Telur Mata Setan. Tersembunyi dalam batu berongga."
Suto Sinting pandangi Sumbaruni yang memancarkan cahaya berbinar-binar karena punya harapan akan pulih seperti sediakala. Sebelum Suto berkata, Betari Ayu bicara lebih dulu,
"Cari gua itu sebelum Resi Pakar Pantun mendapatkannya lebih dulu!"
"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga."
"Itu lebih baik."
"Aku titip Sumbaruni."
"Baik. Tapi biarkan Teratai Kipas mendampingimu untuk pemandu jalan."
Sumbaruni berseru, "Tidak. Aku harus ikut!"
"Sumbaruni," kata Suto Sinting. "Pikiranmu memang dewasa, tapi sosokmu berbeda. Sadarilah itu dan tetaplah di sini sampai aku mendapatkan obat itu untukmu. Jangan mempersulit keadaan. Kalau aku gagal, yang celaka kau sendiri, Sumbaruni!"
Sumbaruni tak bisa membantah, karena ia segera menyadari bahwa ia tidak bisa banyak berbuat dalam keadaan sekecil itu. Ia takut keikutsertaannya justru akan menggagalkan rencana tersebut. Akhirnya ia hanya berkata pelan kepada Suto, terutama setelah melirik Teratai Kipas sebentar. "Baiklah, aku tinggal di sini. Tapi jangan macam-macam dengan gadis itu!"
Suto Sinting berbisik di telinga bocah kecil itu, "Kurangi perasaan burukmu dan kecemburuanmu. Yang ada dalam hatiku hanya Dyah Sariningrum, bukan Teratai Kipas!"
"Aah...!"
Plok...!
Tangan bocah kecil itu menabok wajah Suto sambil cemberut dan buang muka. Rupanya hati Sumbaruni tak suka mendengar nama Dyah Sariningrum. Tapi Suto hanya tertawa, karena suatu saat Sumbaruni pasti bisa diberi pengertian tentang hubungan cinta Suto Sinting dengan Dyah Sariningrum.
Betari Ayu ikut melepas kepergian Suto Sinting. Sumbaruni kecil digendong oleh Selendang Kubur. Perasaan yang ada pada Selendang Kubur adalah menggendong anak kecil yang masih polos. Karena ia belum pernah bertemu Sumbaruni dalam keadaan besar, maka ia tak terbayang akan keadaan yang sebenarnya. Bahkan Sumbaruni pun melambaikan tangan kepada Pendekar Mabuk ketika sang pendekar melangkah melintasi pintu batas pesanggrahan.
Selama Sumbaruni menjadi bocah kecil, pakaiannya masih tetap seperti semula. Pedangnya mengecil pula, tetap ada di punggung. Seperti pedang mainan. Seandainya dicabut atau dihunus dari sarungnya pun tidak menimbulkan kesan berbahaya. Bahkan ketika di Perguruan Tongkat Sakti, Sumbaruni sempat memainkan pedang itu. Tapi tanpa jurus dan tanpa kesaktian apa pun, sehingga terlihat seperti seorang anak kecil sedang bermain pedang-pedangan.
Betari Ayu mengetahui bahwa Sumbaruni punya rasa cinta kepada Suto Sinting, tapi ia tidak mau melarang Sumbaruni. Menurutnya, Suto Sinting bukan pria yang mudah terbujuk dan terayu. Betari Ayu tetap yakin, hati pendekar tanpa pusar itu hanya tertuju kepada adiknya; Dyah Sariningrum. Siapa pun akan kecele jika mengharapkan balasan cinta dari murid si Gila Tuak itu.
Sepeninggalan Pendekar Mabuk, beberapa saat kemudian pesanggrahan itu kedatangan dua orang tamu yang tadi diceritakan oleh Suto Sinting. Orang itu adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya; Kadal Ginting. Sebelum Resi Pakar Pantun bicara, Betari Ayu sudah mengetahui maksud kedatangannya. Tapi tamu tersebut tetap saja disambut dengan baik dan dipersilakan duduk di ruang pertemuan khusus untuk para tamu yang singgah di puncak gunung itu.
"Tikar rombeng disangka sabuk kain. Digulung-gulung dipakai untuk selamatan. Aku datang tak punya maksud lain. Kecuali ingin tahu di mana tempat Telur Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun," kata Betari Ayu dengan kalem dan ramah. "Mengapa kau datang menemuiku untuk menanyakan tentang Telur Mata Setan?"
"Tikar rombeng dipakai untuk membungkus peti. Burung perkutut hinggap di pucuk-pucuk daun singkong. Aku tahu kau seorang petapa sakti. Sekali kutanya kau tak mungkin berbohong."
Selendang Kubur memperhatikan kedua tamunya penuh curiga. Sumbaruni berbisik kepada Selendang Kubur, "Orang inilah yang diceritakan Suto tadi! Jangan beri tahukan padanya di mana benda itu berada. Nanti direbut olehnya."
"Nyai Guru tak bisa berbohong. Apa yang dia tahu, dia jawab tahu. Yang tidak tahu ya dijawab tidak tahu."
"Celaka! Kalau Betari Ayu kasih tahu tempatnya, bisa-bisa aku menjadi bayi dan tak bisa apa-apa lagi. Resi ini ilmunya cukup tinggi. Aku cemas, takut kalau Suto Sinting tak bisa mengalahkannya."
"Kita lihat saja apa kebijakan guruku dalam menjawab pertanyaannya."
Terdengar pula Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Resi Pakar Pantun... aku memang tahu di mana letak Telur Mata Setan itu, tapi itu sudah menjadi haknya seseorang. Aku tak mungkin memberitahukan tempatnya karena menghindari pertikaian antara kau dengan orang tersebut."
"Tikar rombeng berlumur ribuan paku. Merebus kentang di mulut sang tamu. Jika kau tak mau menolongku. Bagaimana kalau aku menantangmu?"
"Aku tak mau lakukan pertarungan lagi, Resi Pakar Pantun. Tapi jika kau ingin mengadu kesaktian denganku, aku punya satu permainan...!" kata Betari Ayu dengan tetap tenang. Kemudian ia melangkah ke bawah pohon, mengambil sehelai daun kuning yang jatuh karena layu. Daun itu lebarnya sedikit lebih besar dari daun telinga manusia dewasa. Betari Ayu mendekati gugusan batu hitam yang ada di sudut pekarangan. Batu itu tingginya melebihi tinggi manusia dewasa. Dengan gerakan lemah lembut, daun itu ditancapkan ke batu hitam tersebut. Sleep...! Seperti ia menancapkan lidi ke atas agar-agar.
"Resi Pakar Pantun, tantanganmu kuterima dengan cara mencabut daun ini."
"Apa maksudmu, Betari Ayu?"
"Jika kau bisa mencabut daun ini, maka akan kuberitahukan tempat Telur Mata Setan itu. Tapi jika kau tak mampu mencabut daun ini, berarti ilmumu masih rendah, tak akan mampu melawan orang yang sudah lebih dulu kuberitahu tempat Telur Mata Setan itu."
"Tikar rombeng dicabik-cabik lalu ditenun. Banteng di lumpur sering disangka barisan keluarga kutu. Jangan remehkan ilmu si Pakar Pantun. Gunung ini pun mampu kucabut dengan tangan satu."
Nyai Betari Ayu tersenyum lagi dan manggut-manggut, lalu tangannya memberi isyarat dan mulutnya berkata sopan, "Silakan, Resi...!"
"Kadal Ginting!"
"Saya di sini, Eyang Resi!"
"Cabut daun itu dari batu tersebut!"
"Baik, Eyang Resi. Bolehkah memakai 'tikar rombeng' segala, Eyang Resi!"
"Terserah! Yang penting cabut daun itu!"
Kadal Ginting berjalan limbung seperti orang mabuk, ia dekati batuan besar itu. Ia pejamkan mata beberapa saat, lalu tangannya bergerak lamban naik ke atas dan mulutnya berkata, "Tikar rombeng dipakai membuat baju... miskin namanya! Hiaaat...!"
Wuuutt...! Tangan menyambar daun itu, tapi daun bagaikan terpatri kuat dan tak mampu dicabut. Bahkan dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tangan dan tubuh bergetar semua, tapi daun tetap menancap di batu itu. Akhirnya Kadal Ginting terengah-engah dan jatuh duduk terkulai.
"Bagaimana, Kadal Ginting? Mengapa daunnya masih menancap di batu?" tegur Resi Pakar Pantun.
"Maaf, Eyang Resi... mungkin mantera tikar rombeng tidak mempan buat cabut daun itu. Ganti pakai tikar yang tidak rombeng saja, ya?"
Plakkk...! Kadal Ginting disepak pelan. Sepakan pelan di bagian paha itu membuat tubuh Kadal Ginting bergeser sejauh dua tombak. Tentu saja sepakan kaki itu sudah disertai dorongan tenaga dalam yang lumayan besar.
"Betari Ayu..., tikar rombeng digondol kucing ke sana-sini. Menyimpan pusaka jangan di dalam saku. Kalau memang aku tak bisa mencabut daun ini. Kuakui ilmumu lebih tinggi dari ilmuku."
Kemudian Resi Pakar Pantun pun pejamkan mata sebentar, lalu daun itu diusapnya pelan-pelan bagaikan dibelai-belai. Dan tiba-tiba tangan itu mencabut daun tersebut dalam satu sentakkan mengagetkan. Suuutt...!
"Nah, kena...! Dan... dan...," Resi Pakar Pantun terbengong, karena yang ada di tangannya bukan daun melainkan rumput hijau yang entah di peroleh dari mana. Sedangkan daun itu masih melekat di batu tersebut, menyelip bagian ujungnya saja.
"Kurang ajar! Kenapa yang kudapatkan hanya sehelai rumput?!" gerutunya. Lalu ia mengulangi lagi dengan kerahkan tenaga dalam hingga tangannya bergetar, danbia pun lakukan gerakan menyambar daun itu. Wuuuttt...! "Nah, kena... ken... ken...?!" mata Resi Pakar Pantun terbelalak, ia jadi terbengong, karena yang ada ditangannya bukan daun melainkan beberapa helai rambut pendek, ia bertanya pada diri sendiri, "Rambutnya siapa ini?!"
"Ram... rambut saya, Eyang! Tadi Eyang Resi mencabutnya," kata Kadal Ginting sambil meringis, mengusap-usap kepalanya.
Betari Ayu, Selendang Kubur, dan Sumbaruni hanya tersenyum-senyum geli. Perlahan-lahan tokoh tua itu mendekati Betari Ayu dan menggeram jengkel.
"Kau memang unggul! Sekarang aku kalah. Tapi kelak aku akan datang untuk menebus kekalahanku ini dengan cara lain! Permisi!"
Resi Pakar Pantun segera pergi, Kadal Ginting mengikutinya sambil masih mengusap-usap kepalanya yang tadi terasa sakit karena rambutnya dicabut dari jarak jauh.
"Jangan-jangan orang yang kita temui di kedai tadi?" bisik Teratai Kipas. "Orang berbaju putih yang duduk di meja seberang kita itu tampaknya tertarik sekali dengan percakapan kita tentang Telur Mata Setan."
"Kurasa bukan dia," jawab Suto Sinting dalam bisik sambil membayangkan seorang pembeli yang ditemuinya di dalam sebuah kedai, ketika Suto mengisi bumbung tuaknya.
"Kau yakin bukan dia?"
"Ya, sebab kurasakan tak ada getaran tenaga dalam pada dirinya. Dia penduduk desa lerang yang biasa-biasa saja. Hanya tertarik dengan cerita Telur Mata Setan, tapi tidak bermaksud memilikinya," tutur Suto menjelaskan. Mata pendekar tampan itu melirik ke sana-sini mencari siapa orang yang mengganggu perjalanannya dengan menumbangkan pohon-pohon itu.
"Kita lewat arah kiri saja," bisik Teratai Kipas.
Maka mereka pun sedikit memutar arah melalui jaian kiri. Tetapi beberapa saat kemudian, jalan itu pun tertutup lagi oleh tumbangnya empat pohon; dua dari kiri dan dua lagi dari kanan. Buuurrkk...! Keempat pohon itu tumbang bersamaan. Langkah mereka pun terhenti kembali dan kewaspadaan terpasang tajam-tajam. Ilmu 'Lacak Jantung' dipergunakan oleh Suto Sinting. Detak jantung orang lain terdengar ada di arah selatan. Suto Sinting berbisik pelan,
"Arahnya ada di selatan, jumlahnya lebih dari satu orang!"
"Geser ke kanan sedikit. Kita pancing di tempat yang lega itu,"
Teratai Kipas melangkah lebih dulu dan Suto Sinting mengikutinya dengan sikap santai, seolah-olah tidak merasa terganggu apa pun juga. Sampai di tempat yang lebih lega, mereka mulai diserang dengan cahaya merah berlarik-larik bagaikan menyergap secara bersamaan. Suto Sinting yang berjalan di belakang Teratai Kipas segera berseru,
"Teratai...! Awas!"
Wuuutt, wuuttt...! Mereka saling melesat tinggi dan hinggap di dahan pohon secara bersamaan. Sinar-sinar merah yang jumlahnya lebih dari tiga larik itu menghantam bumi dan menimbulkan ledakan dahsyat yang mengguncang alam sekitarnya. Blegaarr...! Tanah menyembur ke atas, lubang besar menganga bagaikan tempat pembuangan sampah untuk satu desa.
"Gila! Dahsyat juga pukulannya?!"
"Tetaplah di sini," kata Suto Sinting. "Aku akan memancing mereka keluar dari persembunyiannya!"
Setelah berkata begitu, Pendekar Mabuk melompat turun dari pohon dan sengaja berdiri di tempat yang mudah terlihat dari berbagai arah. Kejap berikutnya melesat kembali satu sinar merah berbentuk seperti bola api sebesar genggaman manusia dewasa. Wuuusss...! Suto Sinting segera menggerakkan bumbung tuaknya ke depan dada, dan sinar merah itu menghantam bumbung tuak. Deess...! Sinar itu membalik arah dengan gerakan lebih cepat dan wujud lebih besar lagi. Wuuusss...!
Blegaaarrr...!
Dari balik dua pohon berjajar yang hancur dihantam sinar merah itu muncul sesosok tubuh yang bersalto ke atas. Kaki orang itu menjejak pohon besar, dan tubuhnya berbelok arah, melesat ke tempat lega itu. Wuuutt! Jleeg...! Orang itu mendarat dengan kaki tegak. Ternyata ia adalah orang bertubuh kurus kering dengan wajah cekung, tulangnya bertonjolan. Tapi ia mempunyai kumis panjang, sedangkan rambutnya juga panjang sepunggung tapi tidak begitu lebat.
Orang itu mengenakan pakaian loreng hitam-merah, celana dan bajunya sama. Bajunya berlengan tanggung, longgar, tidak dikancingkan, sehingga tulang iganya yang bertonjolan keluar karena kekurusannya itu terlihat jelas bagi orang yang berdiri di depannya. Orang itu diperkirakan Suto berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya ditumbuhi uban tidak merata. Pinggangnya bersabuk hitam, dan di sabuknya itu terselip sebuah senjata; cambuk hitam-putih yang cukup panjang, digulung dalam satu bentuk gulungan longgar, ujungnya tampak diberi logam runcing warna putih mengkilap.
Belum sempat Suto Sinting menyapa, dua sosok lagi muncul dalam satu lompatan bersama. Dua sosok itu tak lain adalah Neraka Berjalan dan Roh Seribu Dewa. Maka seketika itu pula Pendekar Mabuk dapat mengerti bahwa mereka adalah orang-orang Bukit Kopong.
Melihat kemunculan Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, gadis di atas pohon tidak mau tinggal diam. Tak tega jika harus melihat Suto Sinting menghadapi mereka sendirian. Teratai Kipas segera berdiri dua langkah di samping kiri Suto Sinting, siap menghadapi mereka bertiga.
"Kita bertemu lagi, Teratai Kipas!" kata Roh Seribu Dewa dengan suaranya yang berat. Kumisnya yang mirip sayap kelelawar itu diusap-usap, satu tangannya lagi bertolak pinggang.
"Apakah Tiga Pengawal Iblis sudah ganti anggota satu orang?" kata Teratai Kipas sambil melirik orang berpakaian loreng hitam-merah itu.
"Si Kumis Tengkorak memang menggantikan Japrak Kurap yang kau bunuh ketika itu. Dan kini dia datang untuk membalas dendam atas kematian iparnya!" ucap Neraka Berjalan dengan rasa bangga dapat menghadirkan si Kumis Tengkorak yang ilmunya lebih tinggi dari mereka berdua.
"Mana yang tempo hari kau bilang unjuk gigi atas kebolehannya bermain jurus cambuk itu, Neraka Berjalan?" tanya Kumis Tengkorak dengan suara sedikit serak dan besar.
"Si tampan itulah yang pamer ilmu cambuknya!" jawab Neraka Berjalan sambil melirik Pendekar Mabuk yang tampak tenang-tenang saja.
Kumis Tengkorak berkata, "Kalau begitu, mundurlah kalian berdua, biar kuhadapi anak ingusan itu!" Setelah bicara begitu ia pun maju dua langkah. "Siapa namamu, Bocah Ingusan?!"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis, matanya memandang tajam namun tak berkesan ganas. Si Kumis Tengkorak yang bermata cekung dan dingin berkesan bengis itu tampak tak sabar menunggu jawaban dari Suto Sinting, ia segera membentak dengan mata menjadi lebar.
"Kutanya siapa namamu, mengapa kau diam saja, hah?! Apakah kau tuli?!"
Suto Sinting kian melebarkan senyum berkesan geli. Matanya memandang Teratai Kipas sebentar, dan Teratai Kipas yang menjawab pertanyaan itu.
"Namanya Suto Sinting! Apakah kau belum pernah mendengar nama itu, Kumis Tengkorak?!"
"Tutup mulutmu, Gadis borokan! Aku bertanya kepada bocah tolol itu! Bukan kepadamu!" bentak si Kumis Tengkorak sambil maju selangkah.
"Sebelum menuju kepadanya, harus melalui aku. Karena akulah pengawalnya!" Teratai Kipaa sengaja memancing kemarahan.
Kumis Tengkorak menggeram jengkel. "Mulut lancang! Berani-beraninya kau menjadi pengawal bocah tolol itu. Kau akan mati terbelah oleh cambukku, Teratai Kipas!"
"Tak jadi soal. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepada Suto Sinting? Ada persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu! Yang jelas kau telah membunuh iparku dan aku berhak menuntut balas kepadamu. Hanya satu syarat yang bisa membebaskan tuntutanku padamu, yaitu menukarnya dengan Tongkat Tulang Barong milik mendiang gurumu; Ki Selo Gantung!"
"Siapa pun tak akan mendapatkan tongkat itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas dan berani. Kedua tangannya bertolak pinggang, wajahnya terangkat tegak.
Si Kumis Tengkorak menggeram lagi. Setelah menatap tajam-tajam, Kumis Tengkorak berkata dengan kasar, tangannya menuding-nuding Teratai Kipas. "Hati-hati...! Kupecahkan batok kepalamu tanpa ampun lagi, Betina tolol! Heaaah...!" Tangannya bergerak cepat menghempas ke depan.
Wuuttt...! Gelombang tenaga dalam tak bersinar dilepaskan sebagai uji coba kekuatan Teratai Kipas. Tapi gadis itu pun tak kalah sigap, ia pun melepaskan pukulan jarak jauh tak bersinar. Bueeng...! Dua pukulan tenaga dalam beradu di pertengahan jarak.
Teratai Kipas tersentak mundur dua langkah, sedangkan Kumis Tengkorak hanya oleng ke kiri sedikit, tapi tidak bergeser dari tempatnya. Saat ia bergerak oleng itulah tiba-tiba jari tangan Suto menyentil dari jarak jauh secara diam-diam. Dees...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan. Jurus itu mempunyai kekuatan dua kali tenaga kuda. Ternyata sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai rusuk si Kumis Tengkorak.
Wuuutt...! Brrruk...!
Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan terperanjat melihat tubuh si Kumis Tengkorak terlempar terbang dan membentur sebuah pohon dengan kerasnya. Tubuh itu bagaikan sesuatu yang tidak terpakai lagi dan dicampakkan begitu saja. Padahal Roh Seribu Dewa tahu bahwa si Kumis Tengkorak adalah orang Bukit Kopong yang tersulit ditumbangkan. Jarang jatuh dalam pertarungan melawan siapa pun. Tetapi kali ini Kumis Tengkorak dengan mudahnya dapat ditumbangkan, bahkan dilemparkan dengan ringan sekali.
"Bangsaaatt...!" geram Kumis Tengkorak dengan mata mendelik dan kedua tangan mengejang kuat-kuat. Ia melangkah dekati Suto Sinting sambil mencabut cambuknya.
"Biar kuhadapi dia," kata Teratai Kipas.
"Mundurlah, ini bagianku," kata Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. Teratai Kipas menurut dan ia menepi ke bawah sebuah pohon di belakang Suto.
Kumis Tengkorak kibaskan cambuknya ke udara sebagai gertakkan dan unjuk kepandaian. Satu kali sabetan cambuk, suaranya menggelegar ke mana-mana. Duaaarr...! Ujung cambuk itu memercikkan bunga api warna merah. Daun-daun banyak yang berjatuhan karena getaran suara cambuk tadi. Tapi hal itu justru membuat Suto Sinting tersenyum lebar. Matanya melirik ke arah Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, sebentar kemudian memandang Kumis Tengkorak lagi.
"Aku tahu kau yang menyerangku!" kata Kumis Tengkorak dengan tangan kiri menuding ke arah Pendekar Mabuk. "Kau mau main licik rupanya! Menyerang secara diam-diam sungguh perbuatan yang amat memalukan, Bocah tolol! Jika kau jantan, lakukan serangan secara terang-terangan sepertiku ini, hweeeah...!"
Duaar...! Cambuk dilecutkan tepat ke arah pundak Suto Sinting. Dengan jelas sekali Teratai Kipas melihat cambuk yang memercikkan bunga api itu menyabet pundak kiri Suto Sinting. Tetapi yang disabet diam saja dan tidak memberi perlawanan, juga tidak menghindar atau menangkisnya. Hal itu membuat Kumis Tengkorak semakin penasaran dan amarahnya berkobar.
"O, kau mau unjuk kesaktian sebagai orang kebal? Baik! Terimaiah jurus 'Cambuk Gagak Biru' ini! Hiaaah...!"
Duaar...! Cambuk itu memercikkan sinar biru dari ujung sampai pangkalnya. Tampak cepat gerakan lecutnya, jelas sekali menghantam dada Suto Sinting. Tapi sang pendekar tampan itu tetap diam dalam senyum lembut, tak bergeming sedikit pun. Tetapi di sisi sana, Neraka Berjalan tersentak dan terpekik tertahan,
"Aahg...!" ia memegangi dadanya yang mulai luka bagai terkoyak kuku-kuku beruang ganas. Roh Seribu Dewa menjadi heran dan kebingungan. Sementara itu, si Kumis Tengkorak semakin jengkel. Maka cambuknya pun melesat berulangkali, menghantam tubuh Suto bagai menghujani dengan ledakan-ledakan bersinar biru itu.
Duar, duar, duar, duarrr...!
Pundak, punggung, perut, paha, sampai kaki Suto Sinting dijelajahi dengan sabetan cambuk. Suaranya saja sempat membuat tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergetar. Tapi sang Pendekar Mabuk hanya diam saja, tak bergeming sedikit pun. Hanya saja, di sisi belakang Kumis Tengkorak terdengar raung pekikan beberapa kali.
"Aahhg...! Uuhg...! Aaahg...! Oooggh...! Uuhg...!" Neraka Berjalan tersentak ke sana-sini dalam keadaan koyak dan berdarah. Hal itu membuat Roh Seribu Dewa berteriak yang membuat lecutan si Kumis Tengkorak berhenti seketika.
"Hentikan! Hentikaaan...!"
Si Kumis Tengkorak terperangah memandang dua arah bolak-balik; ke Neraka Berjalan dan kepada Suto. Hatinya pun segera membatin, "Edan! Yang kuhajar bocah ingusan itu, tapi kenapa yang kelojotan temanku sendiri?! Luka-lukanya tepat di tempat yang kucambukkan ke tubuh bocah ingusan itu?!"
Suto Sinting menenggak tuaknya. Tenang dan kalem, seakan tak terjadi apa-apa pada dirinya. Mereka tak tahu bahwa Suto telah pergunakan jurua ilmu 'Alih Raga', yang membuat seluruh luka diderita orang yang mendapat pindahan raga dan rasa dari Pendekar Mabuk. Dengan menggunakan pandangan mata yang tadi dilakukan sebelum dicambuk Kumis Tengkorak, Suto Sinting telah memindahkan rasa dan raganya kepada Neraka Berjalan, sehingga yang merasakan sakit dan luka parah adalah Neraka Berjalan, walau yang dicambuk adalah raganya sendiri.
"Kau telah melukai teman sendiri, Kumis Tengkorak!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bingung. Sementara itu Neraka Berjalan jatuh terkapar. Pakaiannya tercabik-cabik.
Kumis Tengkorak berang, tak mau dituduh melukai teman sendiri. "Aku memukul bocah bodoh itu! Bukan memukulkan cambuk kepada Neraka Berjalan! Kalau tak percaya, lihat... kuhancurkan kepala bocah itu!"
Wuutt...! Duaaar...!
"Jangaaan...!" teriak Roh Seribu Dewa panjang sekali. Tapi teriakan itu terlambat. Kumis Tengkorak sudah lebih dulu mencambukkan cambuknya ke arah kepala Suto Sinting. Ujung cambuk itu menyala biru terang dan kepala Neraka Berjalan pun hancur seketika dalam keadaan yang amat mengerikan.
Teratai Kipas tertegun di tempat bagaikan patung. Jurus yang digunakan Pendekar Mabuk telah membuat matanya tak bisa berkedip karena kagumnya. Jurus itu dulu pernah diceritakan oleh gurunya; Selendang Kubur, dan baru sekarang menjadi kenyataan di depan hidungnya. Tak heran jika Teratai Kipas terbengong melompong tak bisa bilang apa-apa ketika kepala Neraka Berjalan hancur bagaikan mewakili kepala Suto Sinting yang dicambuk dengan kekuatan tenaga dalam itu.
Tentu saja Neraka Berjalan tak mau bernyawa lagi karena kepalanya hancur. Seandainya bernyawa pun percuma, karena ia tak akan bisa cuci mata lagi dalam keadaan sudah hancur remuk begitu. Dan keadaan tersebut makin membuat Kumis Tengkorak murka, Roh Seribu Dewa cemas, takut kalau berikutnya giliran kepalanya yang dihancurkan teman sendiri.
"Jangan serang dia! Jangan...!" teriak Roh Seribu Dewa. Tapi seruan itu tidak dihiraukan oleh Kumis Tengkorak yang sudah terselubung murka.
Cambuk diputar-putar di atas kepala. Makin lama semakin menimbulkan suara menggaung. Lalu busa-busa salju bertebaran seirama dengan arah putaran cambuk loreng hitam-putih itu. Jelas yang akan terjadi adalah lecutan bertenaga salju pembeku darah dan penghenti detak jantung manuaia.
Sayangnya sebelum cambuk itu dilecutkan, tiba-tiba seberkas sinar kuning menyerupai bintang melesat dari balik semak dan menghantam dada Kumis Tengkorak. Wuuttt...! Kumis Tengkorak dengan cepat mengarahkan lecutan cambuk ke arah gerakan sinar kuning tersebut. Tepat mendekati dirinya, ujung cambuk menghantam sinar kuning.
Blaaammm...!
Gelegar dentuman sungguh dahsyat. Sinar kuning kemerahan memercik lebar ketika ujung cambuk menghantam sinar tersebut. Hentakan daya ledak sangat kuat. Tubuh si Kumis Tengkorak terlempar lima tombak jauhnya, melayang bagaikan sampah kering tersapu badai. Sedangkan tubuh Roh Seribu Dewa juga terlempar hingga membentur seonggok batuan cadas.
Bruusss...!
Tubuh itu terasa remuk. Seluruh tulangnya bagaikan patah-patah. Sedangkan tubuh Kumis Tengkorak mengepulkan asap tipis, pakaiannya tercabik-cabik, rusak berat. Rambutnya menjadi keriting sebagian karena terbakar. Rupanya sinar kuning tadi menyemburkan gelombang hawa panas yang tinggi pada waktu meledak dihantam cambuk. Beberapa pohon menjadi berkulit keriput karena dilanda hawa panas menyerupai panasnya lahar gunungberapi. Suto Sinting dan Teratai Kipas juga tersentak mundur walau jaraknya tak terlalu dekat dari tempat terjadinya ledakan dahsyat tadi. Hawa panas sempat dirasakan oleh mereka, namun tak begitu parah. Mereka segera saling berdekatan, dan Teratai Kipas berbisik,
"Ada yang memihak kita."
"Ya, aku tahu. Tahu siapa orangnya?" balas Suto Sinting dalam bisikan.
Kejap berikut dari arah datangnya sinar kuning tadi melesat dua sosok manusia yang sama-sama telah dikenal pihak Suto serta pihak Kumis Tengkorak. Dua orang itu tak lain adalah Menak Goyang bersama gurunya; si Malaikat Miskin yang memegangi tongkat bercabang tiga pada ujungnya.
Menak Goyang berdiri di samping gurunya, agak kebelakang. Pinggulnya bergerak-gerak tak mau diam sebentar pun. Tapi senyum dan pandangan matanya tampak sedikit angkuh, seakan merasa bangga atas serangan dari gurunya terhadap Kumis Tengkorak yang dapat membuat alam sekitarnya menjadi layu dan berkeriput kering.
"Malaikat Miskin...!" bisik Teratai Kipas. "Mengapa dia memihak kita?"
"Kita lihat saja apa yang terjadi," kata Suto Sinting dengan pelan.
Malaikat Miskin yang berusia sekitar delapan puluh tahun dengan rambut putih dan jubah abu-abu itu memandangi Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa. Saat itu, keadaan Roh Seribu Dewa masih bisa bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Kumis Tengkorak terhuyung-huyung dengan wajah hangus sebagian dan berdirinya berpegangan pada pohon.
Roh Seribu Dewa berseru, "Paman Malaikat Miskin...! Mengapa Paman ikut mencampuri urusan kami?! Mengapa Paman Malaikat Miskin memihak mereka?!"
Malaikat Miskin menjawab dengan suara dingin, "Haruskah aku memihak para pencuri pusaka?!"
"Hati-hati dalam bicara, Paman! Jika Guru kami Cukak Tumbila mendengar ucapan Paman, bisa-bisa beliau murka kepada Paman Malaikat Miskin!"
"Bilang pada gurumu, aku akan datang mengobrak-abrik Bukit Kopong!" tegas Malaikat Miskin dengan berwibawa. Orang yang gemar memakai pakaian bertambal-tambal walau tampak warna aslinya, segera mendekati Roh Seribu Dewa dalam keadaan wajah tak bersahabat.
"Kuperintahkan kepada kalian untuk pulang sekarang juga dan bilang kepada Cukak Tumbila, bahwa aku akan mengobrak-abrik tempatmu itu! Lekas!"
Roh Seribu Dewa kebingungan dan gemetaran kakinya. Tetapi si Kumis Tengkorak yang masih memegangi cambuknya itu segera mencoba melawan dengan melecutkan cambuk ke arah Malaikat Miskin.
Duaaar...!
Tongkat bercabang tiga pada ujungnya diangkat, cambut melilit di bawah cabang tongkat. Kemudian tongkat itu disentakkan mundur. Wuuuttt...! Treess...! Cambuk loreng hitam-putih itu putus menjadi beberapa bagian. Kumis Tengkorak terbengong melompong. Kemudian dengan gerakan bagaikan terbang miring, wajah Kumis Tengkorak menjadi sasaran telak tendangan kaki Malaikat Miskin yang punya gerakan secepat kilat itu.
Bruuuss...!
"Auuffh...!" Gigi orang itu langsung rontok, mulutnya berdarah, bibirnya pecah. Jelas tendangan itu bertenaga dalam tinggi, karena jika tidak bertenaga dalam tinggi, mulut Kumis Tengkorak tak akan sampai serontok itu.
Tentu saja Kumis Tengkorak mengerang sambil memaki tapi tak jelas ucapan makiannya itu. "Fuh, ahf... fuu, fah... uah, uah, hufiih...!"
"Bahasa mana yang dipakainya?" bisik Suto kepada Teratai Kipas.
Gadis itu menjawab, "Bahasa monyet purba," lalu tawanya terdengar mendesis.
Sementara itu, Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak segera larikan diri sambil membawa pergi mayat Neraka Berjalan. Malaikat Miskin tidak mengejarnya, melainkan berbalik arah dan melangkah dengan penuh wibawa menuju tempat Suto Sinting dan Teratai Kipas berkasak-kusuk.
"Mereka bukan lawan kalian!" katanya berkesan mengecilkan ilmu Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas. "Lain kali jangan coba-coba melawan orang-orang seperti itu tanpa ada diriku bersama kalian. Mereka tak segan-segan mencabut nyawa orang dan tak pernah pandang bulu dalam membantai siapapun!"
"Terima kasih atas pertolonganmu, Malaikat Miskin," kata Suto Sinting bersikap merendah. "Tapi jika boleh aku ingin tahu apa gerangan yang membuatmu mau menolong kami, sampai-sampai melepaskan jurus mautmu untuk mengusir mereka itu?"
Sebenarnya Teratai Kipas ingin membantah pernyataan Malaikat Miskin tadi. Ia merasa diremehkan dengan ucapan seperti itu, ia ingin unjuk kekuatan dan memamerkan ilmunya Suto Sinting. Tetapi melihat sikap Suto merendah, Teratai Kipas urung melakukan bantahan apa pun di depan Malaikat Miskin.
Menak Goyang masih menggerak-gerakkan kaki kirinya dalam bertolak pinggang satu tangan, ia menjawab pertanyaan Suto tadi sebelum gurunya bicara lebih banyak lagi.
"Jika bukan karena budi baik Guru, kalian tak akan ditolong dari ancaman maut Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa itu!"
"Gurumu baik sekali, Menak Goyang," ujar Suto. "Cuma sayang belum bisa menangkap pencuri pisau pusakanya sendiri."
Malaikat Miskin segera menyahut kata, "Justru itu aku menyingkirkan mereka berdua agar tak mengusik nyawa kalian, karena aku bermaksud mengajak kalian bergabung menangkap pencuri Pisau Tanduk Hantu!"
"Lho, bukankah selama ini sayalah yang dicurigai sebagai pencurinya?" kata Suto Sinting dengan berpura-pura heran.
"Setelah kupertimbangkan baik-baik, ternyata apa yang kau katakan kepada muridku; Menak Goyang itu memang benar. Bukit Kopong adalah pusat Maling! Jadi kurasa memang orang-orang Bukit Kopong itulah yang mencuri Pisau Tanduk Hantu-ku itu."
"Jika kau menyerang Bukit Kopong berarti kau akan berhadapan dengan Cukak Tumbila, saudara seperguruanmu sendiri, Malaikat Miskin!" kata Teratai Kipas tanpa basa-basi lagi.
"Itu sudah kuperhitungkan. Karenanya aku tak perlu membawa sepasukan muridku untuk menyerang ke Bukit Kopong. Cukup kita berempat, mereka akan kita buat morat-marit tak bernyawa lagi."
"Kita berempat?" sahut Suto Sinting bernada heran. "Maksudmu aku dan Teratai Kipas harus ikut menyerang orang-orangnya Cukak Tumbila?!"
"Kejahatan dibalas dengan kejahatan, dan kebaikan pun dibalas dengan kebaikan. Jika aku tadi telah menolong kalian dari ancaman maut si Kumis Tengkorak, apa salahnya jika kalian membalas pertolonganku itu dengan membantuku menyerang Bukit Kopong?"
Teratai Kipas mencibir dan membatin, "Hmmm... licik sekali dia! Padahal tanpa bantuannya, sebenarnya Suto Sinting dapat menyingkirkan Kumis Tengkorak dengan mudah sekali! Malaikat Miskin hanya sekadar cari dukungan, dan agaknya ia tahu bahwa Suto Sinting punya ilmu cukup tinggi yang bisa diandalkan untuk menghadapi Cukak Tumbila."
Tetapi Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya menjawab dengan bahasa yang rendah. "Apakah kau tak salah pilih, Malaikat Miskin? Kami melawan Kumis Tengkorak saja tak mampu, apalagi harus melawan orang-orang Bukit Kopong?"
Malaikat Miskin merasa terpojok oleh kata-katanya sendiri, ia menarik napas sambil mencari alasan kuat untuk membujuk Suto Sinting. Akhirnya ia berkata dengan jarak lebih dekat lagi, "Kau dan Teratai Kipas memang tak seberapa tinggi ilmunya, tapi jika kekuatan kalian digabungkan dengan kekuatanku, maka akan menjadi kekuatan besar yang maha dahsyat! Cukak Tumbila dan orang-orangnya tak akan bisa menandingi kekuatan kita!"
Suto Sinting tertawa kecil seperti mereka tersipu malu. "Kau hanya membesarkan hatiku saja, Malaikat Miskin. Seperti anggapanmu sendiri, aku bukan orang hebat yang punya ilmu tinggi, ilmuku tidak ada sekuku hitam dari ilmumu. Penggabungan ini hanya akan sia-sia saja, Malaikat Miskin. Kurasa kau bisa menempuhnya dengan cara lain, yaitu berunding baik-baik dengan Cukak Tumbila, meminta pisaumu dikembalikan, mendesaknya agar memaksa salah satu orangnya untuk mengaku sebagai pencuri pisau pusaka itu."
Wajah tokoh tua yang licik itu tampak gelisah. Agaknya bujukannya nyaris menemui jalan buntu. Bahkan di hatinya sempat timbul niat untuk memaksa dengan sebuah ancaman baru; menyandera Teratai Kipas agar Suto mau ikut menyerang ke Bukit Kopong. Namun sebelum niat itu dijalankan, tiba-tiba Malaikat Miskin terpaksa membalikkan badan seketika dan menyentakkan tangan kirinya. Ternyata ada kilatan cahaya hijau bening yang menyambar ke arahnya dari belakang. Cahaya hijau bening itu dihantam dengan cahaya merah yang keluar dari tengah telapak tangan kanannya.
Wuuutt...! Blegaaar...!
Pepohonan bergetar karena gelombang ledakan yang besar. Asap hitam mengepul dari hasil ledakan tadi. Ketika asap hitam lenyap, tampaklah dua sosok tubuh berdiri di seberang sana memandang ke arah Malaikat Miskin. Mereka adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya, Kadal Ginting.
Teratai Kipas mengeluh di samping Suto, "Yaaah... si tikar rombeng lagi!"
Suto Sinting hanya tertawa geli tanpa suara. Matanya melirik Teratai Kipas yang juga menahan tawa dalam senyum dan geleng-gelengkan kepala.
Terdengar suara Resi Pakar Pantun mengawali sapaannya, "Tikar rombeng dibuat alas bertapa. Sekali bertapa mudah tertawa Cukup lama kita tidak berjumpa. Sekali berjumpa harus mengadu nyawa."
Di sisi lain Teratai Kipas kembali berbisik kepadaS uto, "Benar apa kataku, bukan?! Tikar rombeng lagi...!"
"Ssst...! Diamlah. Kita ingin tahu apa masalah yang membuat sang Resi ingin mengadu nyawa dengan Malaikat Miskin. Setelah tahu masalahnya kita pergi diam-diam, tak perlu ikut campur urusan ini."
Suara Malaikat Miskin menggelegar lantang, "Apa maksudmu berpantun demikian, Resi Pakar Pantun?! Kau menantangku beradu nyawa?!"
"Tikar rombeng terpaksa harus disewa. Robek sedikit tak akan ada pembeli. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Hutang pusaka harus direbut kembali!"
Kemudian Resi Pakar Pantun melangkah lebih dekat lagi dan berkata, "Kau telah membunuh adikku beberapa tahun yang silam dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Pusaka itu adalah pusaka warisan dari leluhur kami. Cukup lama aku mencarimu, Malaikat Miskin, baru sekarang tiba saatnya kita bertemu. Maka jangan heran jika aku ingin mengadu nyawa denganmu demi membalas kematian adikku dan merebut pusaka leluhur kami itu!"
"Pusaka itu telah hilang, tidak di tanganku lagi!" bentak Malaikat Miskin dengan garang.
"Tikar rombeng hanyut di air berbusa. Burung camar lupa akan induknya. Tampang miskinmu memang harus dipaksa. Agar pusaka kembali ke tangan pemiliknya!"
Malaikat Miskin menggeram penuh kemarahan, lalu berseru, "Menak Goyang, habisi mereka!"
Resi Pakar Pantun pun berkata, "Kadal Ginting, hadapi dia!"
"Tikar rombeng dipakai..."
"Hadapi diaaa. !" bentak sang Resi.
"Baik, Eyang! Hiaaatt...!" Kadal Ginting melompat bersalto dua kali. Begitu mendaratkan kakinya ke tanah di sambut tendangan berputar oleh Menak Goyang.
Wuuukk...! Kadal Ginting merendah dan merunduk sehingga kaki itu lolos dari kepalanya. Kedua tangan segera bertumpu di tanah, dan kakinya menyabet berputar ke depan. Wuuutt...! Plak...! Kaki Kadal Ginting menyambar kaki Menak Goyang.
Brruus...! Menak Goyang jatuh terpelanting, dan Kadal Ginting segera melompat berdiri tegak dengan satu kaki diangkat dan dua tangan yang menguncupkan jari-jarinya itu merentang ke samping bagaikan sayap burung perkasa.
"Jurus tikar rombeng...!" serunya, lalu tangannya berkelebat sibuk sendiri memainkan gerakan jurus yang tak dimengerti lawan. "Heeaaat...!"
Selebihnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tak mengetahui, siapa yang unggul dalam pertarungan itu. Karena kejap berikutnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas telah jauh dari mereka, meninggalkan tempat itu menuju sebuah gua yang menjadi tempat penyimpanan Telur Mata Setan.
Teratai Kipas tak tahu persis, gua yang mana yang dimaksud oleh Nyai Guru Betari Ayu itu. Tetapi ia tahu bahwa di lereng timur gunung tersebut memang terdapat banyak gua yang biasa digunakan untuk bertapa.
"Kita harus menemukan gua itu dan mendapatkan Telurnya sebelum si Tikar Rombeng selesai bertarung dengan Malaikat Miskin," kata Suto kepada Teratai Kipas.
Gadis itu hanya menggumam, dan segera hentikan langkahnya dengan merentangkan tangan sebagai tanda bahwa Suto pun diperintahkan untuk berhenti.
"Ada apa?" tanya Suto dengan heran.
"Semak di depan sana bergerak-gerak aneh. Aku curiga di semak-semak itu ada seseorang yang menunggu kedatangan kita!"
Pendekar Mabuk pandangi semak-semak yang dimaksud, dan ia hanya menggumam lirih sambil manggut-manggut. Lalu ia berkata pelan, "Dugaanmu memang benar. Aku mendengar detak jantung lebih dari dua orang!"
"Siapa mereka dan apa maunya menghadang kita? Padahal kita sudah dekat dengan lereng gua-gua yang akan kita tuju itu."
"Apakah kau tahu siapa mereka?" bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas.
"Hmm... eh... tidak," jawab Teratai Kipas dengan cemas dan gelisah. "Tapi dilihat dari pakaian seragamnya, mereka pasti prajurit dari sebuah negeri yang... yang... entahlah dari negeri mana. Coba kau tanyakan saja padanya!"
Si kumis lebat yang bersenjatakan pedang dipinggang itu menyapa dengan suara tegas dan lantang. "Maaf, Tuan muda...! Siapakah Tuan dan ada keperluan apa datang ke wilayah ini? Mohon Tuan sudi menjelaskannya."
"Namaku Suto, aku mau mencari gua untuk bertapa," jawab Suto Sinting sekadar melegakan hati si penanya.
"Kumohon Tuan jangan melintasi wilayah ini, karena wilayah ini tertutup untuk sementara. Raja kami sedang bertapa. Silakan Tuan muda mencari tempat lain yang diperlukan."
Suto Sinting berbisik kepada Teratai Kipas, tapi agak terkejut melihat Teratai Kipas ada di bawah pohon, bagai menyembunyikan diri di sana. Suto Sinting terpaksa mendekatinya, memandangi wajah cemas si gadis cantik itu.
"Teratai..., kenapa kau? Takut menghadapi mereka?"
"Tid... tidak. Aku tidak takut."
"Mengapa kau gelisah dan sedikit pucat?"
"Hmm... anu... terus terang saja, prajurit yang memegang tombak berujung pedang itu mirip sekali dengan bekas kekasihku. Aku tak mau melihatnya. Kau saja yang berhadapan dengan mereka."
Suto Sinting tersenyum geli. "Hatimu terlalu lembut untuk sebuah kenangan lama, Teratai Kipas. Tapi... baiklah akan kuhadapi sendiri. Hmmm... o, ya... bukankah Nyai Guru Betari Ayu menyebut-nyebut gua yang dipakai untuk bertapa seorang raja?"
"Hmm... iya, benar. Di dalam gua itulah Telur Mata Setan berada."
"Tapi mereka melarang kita ke sana! Apakah aku harus menerjang larangan itu? Menurutmu bagaimana, Teratai Kipas?"
"Menurutku ya... ya terjang saja. Terserah kamu," Teratai Kipas menjawab tanpa pertimbangan apa-apa hanya sekadar menutupi keadaan dirinya yang dicekam kegelisahan.
Sebelum kembali menemui prajurit berkumis lebat, Suto Sinting menenggak tuaknya dulu. Tiga tegukan sudah cukup baginya. Badan terasa segar dan wajahnya berseri-seri. Dengan senyum tipis ia berkata kepada prajurit itu. "Aku harus menemui rajamu."
Prajurit itu terkejut. "Apa maksudmu sebenarnya, Tuan muda?"
"Ada yang ingin kuambil dari gua tempat rajamu bertapa!"
"Oh, itu sangat tidak mungkin, Tuan muda. Tugas kami adalah menjaga Prabu Wiloka yang sedang bertapa agar tidak terganggu. Sekarang Tuan muda justru datang ingin bertemu Prabu Wiloka, itu tidak mungkin, Tuan muda!"
Prajurit itu sekalipun berkumis lebat namun tergolong prajurit yang sopan dalam tutur katanya. Karena itu Suto Sinting tak berani bersikap kasar sedikit pun, ia bahkan bersikap lebih merendahkan diri dan hati-hati. "Barangkali jika Prabu Wiloka mengetahui keperluanku, beliau akan memaklumi, mengapa aku datang mengunjungi beliau dan mengganggu bertapanya. Aku butuh pertolongan Prabu Wiloka, karena aku manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan, masih membutuhkan bantuan pihak lain. Jadi izinkan aku menemui Prabu Wiloka. Ini sangat penting!"
Prajurit itu gelengkan kepala dengan senyum tipis. "Tetap tidak bisa, Tuan muda. Jangan memaksa!"
"Bagaimana jika aku nekat menemui beliau?"
"Dengan penuh sesal kami akan bertindak sedikit keras, Tuan muda!"
"Kalau begitu, baiklah. Aku akan nekat menemui beliau."
Suto Sinting melangkah maju, prajurit itu segera bergerak cepat menendangkan kakinya ke arah samping. Wuuut...! Plaak...! Suto Sinting menangkisnya dengan kibasan tangan ke belakang. Kaki itu terbuang, sentakannya keras sekali hingga orang berkumis lebat itu terpelanting. Brrukk...! ia jatuh dan dibiarkan oleh Suto, tidak diserang lagi. Padahal jika Suto mau, sekali serangan saja orang itu bisa lumpuh selamanya. Tiga prajurit bersenjata tombak segera menyerang Suto Sinting dari belakang. Mereka melompat dan berteriak bersama-sama.
"Heeeaah...!"
"Hentikan!" bentak Suto Sinting.
Buurrrtk...! Mereka hentikan lompatan dan saling berjatuhan sendiri-sendiri. Suto Sinting dipandang oleh mereka, termasuk si kumis lebat.
"Jangan ada yang melarangku! Mengerti?!"
"Mengerti!" jawab mereka serentak, termasuk kumis lebat.
Di balik pohon, Teratai Kipas memandang penuh keheranan. Hatinya berkecamuk membatin keanehan yang dilakukan Suto Sinting itu. "Ilmu apa lagi yang digunakan Suto? Prajurit-prajurit itu menjadi takut, menunduk dan menurut dengan perintahnya? Ini benar-benar aneh. Padahal mereka dididik pantang menyerah. Tapi hanya dengan satu kali bentakan, mereka menjadi seperti dikebiri, tak punya keberanian menyerang sedikit pun?"
Teratai Kipas tak tahu bahwa Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu mempunyai ilmu yang aneh-aneh, sehingga disebutnya 'sinting'. Di sinilah salah satu letak dari kesintingan Suto. Ia menguasai ilmu 'Sentak Bidadari'. Dengan getaran gelombang suara yang menyerang jiwa seseorang, Suto Sinting bisa membuat orang itu tunduk, keberaniannya menjadi surut. Ilmu itu hanya bisa digunakan untuk orang-orang yang tidak berilmu tinggi. Jika para prajurit bisa dibuat tunduk dan menurut, berarti mereka tidak berilmu tinggi.
"Antarkan aku menemui Raja! Katakan bahwa aku punya masalah penting dan sangat membutuhkan bantuannya demi menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Baik, Tuan muda!" jawab prajurit berkumis lebat.
Suto Sinting melambaikan tangan kepada Teratai Kipas, tapi gadis itu tak mau jalan. Suto terpaksa mendekatinya dan berkata pelan, "Jiwa mereka sudah kukuasai. Mereka akan antarkan kita ke goa itu!"
"Pergilah sendiri."
"Teratai...?! Mengapa kau jadi begini?"
"Aku... aku akan melintasi jalan lain. Kalau sewaktu-waktu kau dalam bahaya, aku bisa datang membantumu. Kalau kita bersama-sama, kita akan terperangkap dan tersergap bersama pula. Kita berpencar, tapi aku tak akan jauh-jauh darimu. Percayalah! Aku tak akan lari meninggalkan dirimu, Suto!"
"Suatu pemikiran yang bagus," kata Suto Sinting sambil tersenyum. Tapi batinnya berkata lain, "Aku tahu, kau menderita batin jika berjalan dengan prajurit yang mirip kekasihmu itu. Aku tak mau menyiksamu. Aku tahu betul rasanya derita batin yang timbul karena kenangan masa lalu. Baiklah, Teratai... jaga dirimu juga agar jangan sampai terperangkap hal-hal yang tidak kita inginkan bersama."
Teratai Kipas segera pergi tinggalkan tempat itu ketika Suto Sinting berjalan didampingi keempat prajurit tadi. Ilmu 'Sentak Bidadari' membuat Suto seperti seorang tamu agung yang dikawal ketat dan dijaga keselamatannya. Sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah gua yang rupanya punya penjagaan lebih ketat lagi. Sejumlah prajurit berkeliaran di sana, malah ada yang mendirikan tenda untuk giliran tugas jaga. Jumlah prajurit yang ada di sana lebih dari dua puluh orang.
Melihat kedatangan Suto Sinting didampingi empat prajurit, mereka menyangka keempat prajurit menemukan seorang mata-mata. Para prajurit lainnya segera bergerak cepat. Dalam waktu singkat mereka sudah mengurung Suto Sinting dan keempat prajurit itu. Dua orang berbadan tinggi besar yang menjaga pintu gua memandang ke arah kepungan tersebut. Salah satu yang berbadan kekar, berkepala gundul dan mengenakan rompi hitam, celana hitam, segera datang mendekati kepungan. Orang itu menyandang pedang besar tanpa sarung yang diselipkan di sabuk hitamnya. Wajah orang itu tampak menyeramkan. Alisnya tebal, matanya lebar. Barangkali dia adalah pengawal Prabu Wiloka yang terpercaya dan berilmu tinggi.
"Gutomo!" seru si gundul berkumis lebat juga itu. "Mata-mata dari mana yang kalian tangkap itu?"
Gutomo, prajurit yang berkumis lebat dan tadi sempat dijatuhkan oleh Suto Sinting itu berkata dengan sedikit cemas. "Dia bukan mata-mata. Tuan muda ini bermaksud baik, Mugowira! Tuan muda ini bernama Suto Sinting dan ingin bertemu dengan Prabu Wiloka."
"Goblok!"
Glepoook...! Gutomo ditampar keras oleh Mugowira yang berbadan kekar itu. Sekali tampar ditanggung melintir tiga kali. Wajah Gutomo merah bagaikan buah yang matang di pohon.
"Sudah kuingatkan, jangan sampai ada orang yang mendekati gua ini! Mengapa kau malah membawa orang?! Goblok sekali kau, Gutomo!"
"Mak... maksudnya... Tuan muda ini ingin minta bantuan kepada Prabu Wiloka untuk menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Tak peduli apa pun alasannya, pulangkan dia!" bentak Mugowira.
"Ak... aku... aku tidak berani menyuruhnya pulang, Mugowira."
"Pengecut! Prajurit macam kau pantasnya digites saja! Huhh...!" tangan Mugowira menghantamkan tinjunya ke wajah Gutomo. Namun sebelum tinju itu menyentuh wajah, Suto Sinting kirimkan sentilan 'Jari Guntur'-nya yang tepat kenai pergelangan tangan Mugowira.
Tees...! Duub...!
"Aauh...!" pekiknya kaget sampai melonjak dengan wajah menyeringai. Tangan itu bagaikan ditendang kuda dan bengkak sampai ujung siku. "Jahanam kau!" geram Mugowira penuh dendam, ia segera tarik napas dalam-dalam dan menggerakkan tangan kirinya menjadi keras, menyalurkan hawa murni untuk kurangi rasa sakit pada tangan kanannya itu.
Sementara para prajurit lainnya sudah bersiap-siap melepaskan tombak dan senjata apa pun yang bisa dilemparkan ke arah Suto Sinting. Namun kali ini, ilmu 'Sentak Bidadari' digunakan lagi oleh Suto untuk mengurangi pertikaian yang akan membawa korban.
"Letakkan semua senjata kalian! Letakkan!" bentak Suto Sinting.
Satu demi satu mereka mundur. Perlahan-lahan senjata mereka diletakkan di tanah bagaikan dalam keraguan. Mugowira memandang dengan heran, ia mencoba memberi semangat kepada para prajurit dengan berseru,
"Serang dia, Seraaang...!"
Para prajurit segera ambil senjata masing-masing yang sudah telanjur ditaruh di tanah. Tapi begitu mereka mau mengambilnya, suara Suto Sinting terdengar lagi berseru membentak,
"Mundur semua!"
Wuuurrt...! Dengan serentak mereka mundur tinggalkan senjata maaing-masing. Mugowira mulai paham siapa yang dihadapi. Pasti bukan pemuda sembarangan. Dan Suto Sinting pun mulai menyadari bahwa orang gundul bertubuh kekar itu tentunya orang berilmu tinggi, buktinya ilmu 'Sentak Bidadari' tidak berhasil mempengaruhi jiwanya menjadi takut dan penurut seperti para prajurit lainnya itu.
"Apa maksudmu bikin keributan di sini?!" sentak Mugowira kepada Suto.
"Seperti kata Gutomo tadi, aku butuh bantuan Prabu Wiloka."
"Tidak seorang pun boleh menemui Prabu Wiloka!"
"Aku sangat butuh bantuan sang Prabu."
"Apa pun alasanmu, sebaiknya kau pulang saja!"
"Aku tidak mau pulang sebelum bertemu sang Prabu Wiloka!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu dengan cara kasar!"
"Aku menerima caramu, Mugowira!"
Mugowira melangkah ke samping mencari kelengahan Suto Sinting. Dengan tenang Suto Sinting sengaja menenggak tuak memancing kelengahan supaya diserang. Pancingannya berhasil, Mugowira melepaskan pukulan jarak jauh dengan sinar putih berkerilap dari tangan kanannya. Claaap...! Suto Sinting segera berlutut. Bumbung tuak dihadangkan ke arah lajunya sinar putih itu. Maka sinar tersebut menghantam bumbung tuak. Deeb...! Ternyata sinar itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar lagi. Wuuuutt...! Mugowira kaget. Kaki segera menyentak ke tanah, tubuh melayang naik. Wuuss...! Sinar putih menghantam dinding tebing berjarak lima tombak dari pintu gua.
Blegaaaarr...!
Beberapa prajurit terpental karena sentakan daya ledak yang menggema dahsyat itu. Mugowira terbengong melihat sinar putihnya nyaris meruntuhkan dinding batu tebing. Sebagian bebatuan di atas sana bergulir longsor. Seorang penjaga yang tinggal di mulut gua sendirian memandang kagum pada apa yang terjadi. Penjaga itu semula berdua dengan Mugowira, tapi ketika mendengar gelegar yang dahayat, ia menjadi ragu-ragu untuk datang membantu Mugowira. Jika ia ke sana berarti ia meninggalkan mulut gua. Padahal mulut gua harus tetap dijaga supaya tidak dimasuki pihak lain yang akan mengganggu tapa sang Prabu Wiloka. Orang itu jadi gelisah dan salah tingkah, mondar-mandir di depan pintu gua dengan tubuhnya yang juga kekar sudah siap mencabut pedang dipunggungnya.
"Edan! Pukulanku bisa berbalik arah dan menjadi sedahsyat itu?! Padahal pukulan tadi hanya akan membuatnya lumpuh, tak bisa menghancurkan benda apa pun. Tapi... kenyataannya pukulanku tadi hampir saja membelah dinding batuan sekeras itu?!" pikir Mugowira dengan terheran-heran.
Suara dentuman tadi ternyata membangunkan masa bertapa sang Prabu Wiloka, raja Negeri Majageni. Melihat sang Prabu keluar dari gua, semua prajurit menunduk dalam ketakutan dan penuh hormat. Wajah sang Prabu yang berpakaian putih mirip pendita itu kelihatan sedang menahan marah, ia melangkah didampingi penjaga pintu gua yang berpakaian merah dengan hiasan rompi biru tua, rambut panjang sepundak diikat dengan ikat kepala kain biru pula.
"Mugowira! Apa yang terjadi hingga membatalkan tapaku?!"
Mugowira membungkukkan badan penuh hormat, "Ampun, Prabu... seorang anak muda memaksa ingin bertemu Kanjeng Prabu dan membuat keonaran di sini!"
Prabu Wiloka memandang tajam kepada Suto, yang dipandang justru membungkukkan badan memberi hormat sebagai tanda kesopanannya juga. Setelah Suto Sinting berdiri dengan tegak lagi, Prabu Wiloka menyapa dengan suara tegas, bernada geram sebagai tanda kemarahan yang terpendam.
"Siapa dirimu, sehingga berani mengganggu mas bertapaku?!"
"Namaku Suto Sinting, sang Prabu! Aku..."
"Tunggu!" sergah Prabu Wiloka tanpa mahkota. "Sepertinya nama itu pernah kudengar dari mulut para tokoh sakti yang berkunjung ke Negeri Majageni!"
"Mungkin hanya kesamaan nama yang secara kebetulan saja, Prabu. Yang jelas, kedatangan saya kemari ingin masuk ke gua itu untuk mengambil sesuatu yang amat berharga bagi jiwa orang lain."
"Lancang betul maksudmu?!"
"Maafkan saya, Prabu Wiloka. Saya terpaksa lakukan demi menolong jiwa seorang sahabat yang terkena Racun Ludah Naga!"
Prabu Wiloka tersentak kaget. Cepat-cepat ia sentakkan tangannya ke arah mulut gua. Dan tiba-tiba sinar kuning melesat dari tangan itu, menghantam tepian pintu gua, lalu menyebar membentuk seperti jala. Craaab...! Sinar kuning itu tetap menyala sebagai penghalang masuk ke dalam gua.
"Kalau kau berani masuk ke dalam gua, maka tubuhmu akan hangus seketika oleh sinar kuning penjerat sukma itu!" kata Prabu Wiloka.
"Apa maksud Prabu Wiloka memasang sinar penjerat sukma itu?!"
"Tak kuizinkan siapa pun memasuki gua yang sedang kugunakan untuk bertapa itu! Jika ia nekat masuk, berarti ia nekat bertaruh nyawa!"
"Rasa-rasanya saya memang terpaksa mempertaruhkan nyawa demi sahabat yang menderita Racun Ludah Naga itu, Prabu!"
"Racun Ludah Naga hanya dimiliki oleh Syakuntala, Panglima dari tanah Hindus!" katanya mencoba membeberkan pengetahuannya.
"Memang benar. Syakuntala itulah yang membuat tubuh sahabat saya menyusut dan kian lama kian menjadi seperti bocah cilik, Prabu. Tetapi di dalam gua itu ada obat yang harus kuambil dan diminumkan kepada sahabat saya itu!"
Prabu Wiloka diam sesaat, ia mulai bimbang. Setelah berjalan mondar-mandir beberapa saat, Prabu Wiloka berkata, "Tidak! Siapa pun tetap tidak kuizinkan masuk. Kalau kau nekat, kau akan berhadapan dengan Mugowira dan Mahesa Sulung," sambil menunjuk penjaga berpedang di punggung dan berpakaian merah dengan rambutnya yang panjang itu.
"Kalau memang saya harus diadu dengan mereka, saya tidak keberatan, Prabu. Tapi saya mohon kerelaan Prabu jika sampai kedua pengawal Prabu cedera atau bahkan tewas di tangan saya!"
"Jangan sesumbar dulu, Suto Sinting!" geram Prabu Wiloka. "Mahesa Sulung, Mugowira... hadapi dia!"
Mugowira maju lebih dulu. Ia melompat dari sisi kanan ke tengah lingkaran pengepung, karena para prajurit masih mengelilingi Suto Sinting membentuk pagar betis berlingkaran lebar. Prabu Wiloka sendiri undurkan diri, memberi tempat lega untuk pertarungan Suto dan Mugowira. Tangan Mugowira mengeras membentuk cakar. Lalu jurus-jurus cakar harimau dimainkan dengan gesit. Sementara itu Suto Sinting diam saja dengan bumbung tuaknya ada di tangan kanan, melilit talinya di tangan itu.
"Hiaaat...!" Mugowira menyerang dengan pukulan bercakar secara beruntun. Tapi Suto Sinting tetap diam di tempat, menghindar dengan cara meliuk-liukkan tubuhnya seperti gerakan orang mabuk. Kadang ia menangkis dengan kibasan tangan seperti orang mau jatuh. Dan pada satu kesempatan, tangan kiri Suto menghantam masuk ke dada Mugowira.
Buuehg...!
"Huuhgg...!" Mugowira terpekik berat, tubuhnya yang besar terpental terbang hingga ke tepian garis lingkar, nyaris menjatuhi seorang prajurit. Tubuh besar itu bagaikan terbanting dengan telak. Suara jatuhnya pun menimbulkan bunyi berdebum yang membuat tengkuk para prajurit merinding. Darah keluar dari mulut. Tak seberapa banyak, namun memancing kemarahan Mugowira lebih besar lagi. Maka ia pun segera bangkit dan mencabut pedang besarnya yang bergagang ukir dengan rumbai-rumbai benang merah.
"Hiaaatt...!" teriakannya memanjang, ia berlari sambil siap-siap menebaskan pedangnya. Dan dalam jarak tertentu ia melompat cepat, wuuuttt...! Pedangnya ditebaskan ke leher Suto Sinting.
Wuuung...! Duaaar...!
Terdengar bunyi ledakan yang mengejutkan Prabu Wiloka. Ledakan itu timbul akibat gerakan pedang besar dihadang oleh bumbung tuak. Pedang besar itu langsung patah menjadi dua bagian. Mugowira terbelalak bengong. Saat itulah kaki Suto Sinting menendang ulu hati Mugowira dengan telak.
Duuuss...!
"Nggekkk...!" tubuh besar itu melengkung ke depan, punggungnya ke belakang. Tubuhnya melayang lagi sambil memuntahkan darah merah. Brrukk...! ia jatuh dalam keadaan terkulai lemas.
"Prabu Wiloka!" seru Suto. "Kumohon jangan timbulkan korban lagi. Kedatanganku bukan untuk membuat kematian di antara para pengawalmu!"
"Mahesa Sulung, maju...!" teriak Prabu Wiloka yang agaknya semakin marah melihat salah satu dari dua pengawal andalannya dirobohkan oleh Suto.
Mahesa Sulung segera mencabut pedangnya dari punggung, ia tampak lebih kalem dari Mugowira. Jurus pedang segera dimainkan di depan Suto Sinting. Tetapi agaknya Suto Sinting ingin perlihatkan tingkatan ilmunya yang lebih tinggi lagi dari jurus yang sudah digunakan untuk melawan Mugowira tadi. Suto Sinting sengaja menenggak tuaknya, memancing kelengahan agar segera diserang lawan. Kali ini ia menyisakan tuak di dalam mulut, dikumur-kumurnya sebelum akhirnya ia terpaksa harus melompat bersalto mundur ketika Mahesa Sulung menebaskan pedangnya yang bergerak bagaikan kilat itu.
Wut, wut, wut, wut, slaap...!
Beberapa tebasan berhasil dihindari Suto Sinting, dan satu kesempatan bagus diperoleh sang pendekar tampan. Tuak dalam mulutnya disemburkan ke arah pedang Mahesa Sulung.
Bwweerrsss...! Claap...!
Mahesa Sulung terbengong seketika, diam bagaikan patung dengan tangan hampa, tanpa pedang tanpa senjata apa pun. Pedang itu lenyap setelah disembur oleh Suto menggunakan tuak dalam mulutnya. Jurus 'Sembur Siluman' digunakan Suto Sinting untuk memberi peringatan kepada pihak Prabu Wiloka bahwa pertarungan tak perlu terjadi dan saling menolong sangat dibutuhkan.
Prabu Wiloka sendiri diam tak bergerak ketika melihat pedang Mahesa Sulung bisa lenyap dalam sekali sembur. Hatinya segera membatin, "Luar biasa hebatnya dia! Mahesa Sulung akan sia-sia jika tetap melawannya. Setidaknya kucoba dengan jurus 'Pancasurya', apakah ia masih bisa menandingi jurus andalanku ini?!"
Lalu sang Prabu berseru, "Mahesa Sulung, minggirlah! Biar kuhadapi sendiri orang ini!"
Mahesa Sulung segera menyingkir walau masih dengan wajah seperti orang pikun yang habis kehilangan pedangnya. Prabu Wiloka maju empat tindak, dan Suto Sinting tetap berdiri tegak menenteng bumbung tuaknya. "Suto Sinting, terimalah jurus 'Pancasurya' ini, hiaaah...!"
Wuuutt...! Kedua tangan Prabu Wiloka berjari lurus dan rapat, disentakkan ke tanah. Dari tanah di depannya keluar lima larik sinar biru sebesar lidi.
Craaip...!
Lima larik sinar merah menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat bumbung tuak melintang di depan dada, dipegang ujung-ujungnya dengan dua telapak tangan saling menekan. Drrrub...! Sinar itu menghantam bumbung dan lima-limanya berbalik dengan cepat dan lebih besar ragi. Lima sinar biru besar itu menghantam tanah tempat Prabu Wiloka berpijak.
Blegaaarr...!
Prabu Wiloka tersentak melesat ke atas. Hampir saja kakinya buntung jika Suto Sinting tidak sedikit mengarahkan lebih ke bawah, dengan begitu sinar biru tersebut menghantam tanah di depan kaki sang Prabu, bukan tepat pada kedua kakinya.
Semua orang yang ada di situ terkejut. Terbengong, terperangah dan berdebar-debar melihat sang Prabu bersalto di udara satu kali, lalu berhasil mendarat lagi, sedikit terkilir dan jatuh bersimpuh. Mahesa Sulung segera menolongnya bangkit.
"Ouh... kakiku...!" rintih sang Prabu dengan terpincang-pincang.
"Biar saya hadapi lagi orang itu, Kanjeng Prabu!"
"Jangan! Dia bukan orang sembarangan! Biar aku saja yang hadapi dia!" kata sang Prabu, lalu matanya memandang lurus ke arah Suto Sinting. Sebelum ia bicara, Pendekar Mabuk yang tampak tetap tenang itu berkata,
"Prabu, jangan mendesakku untuk membuat korban nyawa di sini! Kumohon kerelaanmu untuk mengizinkan diriku masuk ke gua itu dan mengambil Telur Mata Setan yang ada disana!"
Prabu Wiloka terperanjat. Mulutnya membungkam, matanya tak berkedip. Rupanya ia mempertimbangkan keputusannya. Kejap berikut barulah terdengar suaranya berkata dengan nada tak segarang tadi. "Jauh-jauh aku menemukan tempat bertapa yang paling baik dan berkekuatan gaib cukup tinggi. Haruskah kubiarkan tempat itu kau acak-acak, Anak Muda?! Terus terang, aku sendiri tidak tahu kalau di dalam gua itu ada Telur Mata Setan yang setahuku hanya ada dalam dongeng belaka. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak ingin tempat itu kau acak-acak sebelum tapaku rampung."
"Apa yang Prabu cari dalam bertapa itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku bertapa bukan untuk mencari Telur Mata Setan. Perlu kau ketahui, aku hanya mempunyai dua orang anak, satu lelaki, satu lagi perempuan. Dan anak lelakiku sudah mati bunuh diri karena gila cinta. Tinggal anak perempuanku yang kuharapkan menjadi pewaris tahta Negeri Majageni. Tetapi sejak kecil anak itu telah minggat dan tak pernah pulang karena aku menikah lagi. ia tidak setuju dengan pernikahanku yang baru. ia tidak mau mempunyai seorang ibu tiri. Ia pergi dan hatiku pun selama sepuluh tahun ini menjadi kosong tanpa kebahagiaan."
Sang Prabu menarik napas, bagaikan menekan perasaan duka. Lalu ucapannya dilanjutkan lagi setelah ia melihat Suto Sinting selesai menenggak tuaknya. "Aku bertapa hanya untuk mendapatkan anakku kembali. Tapi kau mengacau kehadiran dewa yang ingin memberikan petunjuk padaku tentang di mana anak gadisku itu. Kau akan kuizinkan masuk ke gua dan mengambil Telur itu jika kau bisa menemukan anakku yang hilang sepuluh tahun lamanya, bahkan lebih dari sepuluh tahun."
"Siapa nama anak itu?"
"Roro Padmi!"
Tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang segera mendarat dari gerakan saltonya ke depan Suto Sinting. Orang itu adalah Teratai Kipas, langsung bersujud di kaki Prabu Wiloka sambil menghamburkan tangis, "Ayah... ampunilah aku!"
Prabu Wiloka dan Suto sama-sama kaget serta terheran-heran. Teratai Kipas dibimbing berdiri oleh sang Prabu dan dipandangi beberapa saat, lalu terucaplah kata mengharu dari mulut sang Prabu, "Kaukah putriku; Roro Padmi...?!"
"Be... benar. Benar, Ayah! Akulah Roro Padmi Wulinting!"
"Anakku...! Anakku...?!"
Brrruk...! Teratai Kipas dipeluknya. Sang Prabu menitikkan air mata ketika putrinya yang selama ini pergi dari istana menangis terisak-isak dalam pelukannya. Pendekar Mabuk buru-buru buang muka, karena tak tahan melihat keharuan itu. Ia tak mau ikut menangis seperti beberapa prajurit yang ada di kanan kiri sang Prabu.
"Selama ini aku memang tidak pulang, tapi aku sebenarnya sering kembali tanpa setahu siapa pun, Ayah. Karenanya aku tahu kalau Arya Wuka, adikku, mati bunuh diri karena dibuat gila asmara oleh Nyai Sapu Lanang!" tutur Roro Padmi Wulintang alias Teratai Kipas.
Suto Sinting tertegun setelah tahu bahwa Teratai Kipas ternyata putri seorang raja. Pantas jika Teratai Kipas merasa cemas dan gelisah ketika bertemu dengan keempat prajurit. Ternyata bukan karena salah satu prajurit mirip kekasihnya, melainkan karena ia tahu akan berhadapan dengan para prajurit ayahnya sendiri, itu sebabnya Teratai Kipas memisahkan diri dari Suto dengan alasan yang kuat karena ia sebenarnya tak ingin berhadapan dengan ayahnya sendiri. Namun demi mendapatkan Telur Mata Setan yang dicari-cari Suto Sinting, akhirnya Teratai Kipas tampakkan diri dan berlutut di kaki orangtuanya.
Telur Mata Setan kini benar-benar didapatkan oleh Suto Sinting. Seperti apa kata Nyai Guru Betari Ayu, Telur itu memang ada di dalam batu berongga di antara salah satu batu dalam gua tersebut. Pantas saja kalau gua itu mempunyai pengaruh kekuatan gaib cukup tinggi dan cocok untuk dipakai bertapa karena ada kekuatan gaib Telur Mata Setan. Telur itu berwarna emas, kulitnya keras seperti dari besi, besarnya sedikit lebih besar dari Telur burung puyuh. Ternyata bukan setiap orang bisa memegang Telur itu kecuali yang mempunyai tenaga dalam cukup tinggi. Bagi yang tidak, Telur itu beratnya bagaikan melebihi berat sebatang pilar baja sebuah istana.
Teratai Kipas diizinkan oleh Prabu Wiloka untuk mengantarkan Suto Sinting ke Puncak Gunung Kundalini, menyelesaikan masalah Telur Mata Setan yang akan diminumkan kepada Sumbaruni. Sang Prabu bahkan berbisik kepada Teratai Kipas,
"Apakah dia kekasihmu? Jika benar, Ayah akan segera nikahkan kalian! Ayah sangat setuju dan gembira sekali jika mempunyai menantu sesakti dia!"
Teratai Kipas tersenyum, "Tidak, Ayah. Dia hanya sahabatku. Dia sudah mempunyai calon istri sendiri, tahukah Ayah siapa dia sebenarnya?"
"Siapa?"
"Dia adalah muridnya si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?!" Prabu Wiloka membelalak kaget dan merinding seketika.
"Syukurlah dia datang," pikir Teratai Kipas dengan merasa lega, namun rasa sakit di dadanya masih belum tersembuhkan walau sudah menyalurkan hawa murninya ke bagian dada.
"Kkau...?!" Maling Sakti pandangi Pendekar Mabuk dengan wajah tegang. Terbayang dalam ingatannya tentang Siluman Tujuh Nyawa yang menurut anggapannya telah berhasil dilenyapkan oleh Suto Sinting, ia mulai ciut nyali dan tak berani lepaskan serangan ke arah Pendekar Mabuk.
Sementara itu, Suto Sinting bergegas mendekati Teratai Kipas dan memberikan bumbung tuaknya. "Minum sedikit saja...!" Teratai Kipas tak menolak dan segera meneguk tuak tersebut.
Suto Sinting bicara kepada Maling Sakti, "Sudah kuduga kau adalah si Maling Sakti yang membawa lari bocah ini! Apakah kau juga yang mencuri pisau pusaka Malaikat Miskin?"
"Aku tak melukai bocah itu. Tidak. Lihat dan periksalah!"
"Yang kutanyakan, apakah kau yang mencuri pisau pusakanya Malaikat Miskin?"
"Oo... tid... tid... tidak...!" Maling Sakti jatuh lagi saat berusaha berdiri, ia menyeringai kesakitan! Sementara itu ia pun melihat Teratai Kipas sudah bisa berdiri dan tampak mulai sehat.
"Suto, tinggalkan dia dan cepat menuju ke puncak temui Eyang Guru Betari Ayu!" kata Teratai Kipas dengan suara pelan. Ketika mereka hendak bergegas pergi, Maling Sakti berusaha serukan kata,
"Suto... tolonglah aku! Tu... tuakmu membuat Teratai sembuh. Tolong berikan tuakmu itu!"
"Jangan hiraukan dia!" kata Teratai Kipas sambil menarik lengan Suto agar teruskan langkah.
"Sutooo...! Tolonglah...!" ratap Maling Sakti yang badannya mulai menghitam karena hangus dihantam sinar perak dari kipas emas itu.
"Kasihan dia," bisik Pendekar Mabuk.
"Dia licik. Dia bisa celakakan dirimu kalau dia tertolong jiwanya!"
"Anggap saja ini sebagai peringatan baginya. Sekali lagi dia berani mengusik kita, tak ada ampun lagi baginya!" Sambil masih tetap menggendong bocah Sumbaruni di tangan kiri, Suto Sinting dekati Maling Sakti, bumbung tuak dituang ketika mulut Maling Sakti membuka ternganga.
Krucuk, krucuk, krucuk... pluk! Glek!
Maling Sakti mendelik seperti merasakan sesak tanggorokannya. Lalu ia pejamkan mata untuk menelan sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya itu. Setelah itu ia berseru, "Kurang ajar!"
"Kenapa?" tanya Suto Sinting sedikit curiga. "Apa yang kau jejalkan masuk ke mulutku?"
"Hanya... hanya tuak! Air tuak!"
"Aku telah menelan sesuatu. Seperti bulatan kecil berkulit halus!"
Tiba-tiba Pendekar Mabuk ingat dengan telur aneh yang ditemukan di reruntuhan pondok Nyai Sapu Lanang. Terkejutlah sang pendekar setelah ingat hal itu. Ia tidak tahu apa benda itu sebenarnya, tapi ia membayangkan alangkah sesaknya benda itu masuk ke tenggorokan Maling Sakti.
"Ada apa?" tanya Teratai Kipas yang kian segar badannya. Suto Sinting melangkah jauhi Maling Sakti dan berkata pelan, "Ia telah menelan telur aneh yang kutemukan di reruntuhan pondok Nyai Sapu Lanang."
"Telur aneh apa? Saat kuhancurkan pondok itu, tak ada telur aneh di situ!"
"Mungkin kau tidak melihatnya. Tapi aku menemukannya. Bentuknya seperti telur burung puyuh, warnanya merah, berkulit tipis seperti kulit ari. Cairan di dalamnya seperti darah."
"Celaka!" mata Teratai Kipas terbelalak tegang, ia diam terpaku di tempat.
"Apakah... apakah tTelur itu yang dinamakan Telur Mata Setan?" tanya Suto dengan nada curiga.
Tapi gadis itu hanya mendesah menyimpan keresahannya, ia tak mau menjelaskan maksud ketegangannya itu. Ia bahkan berkata, "Cepat kita ke puncak!"
"Tunggu dulu!" sergah Suto Sinting. "Jelaskan dulu benda apa sebenarnya yang kutemukan dan ditelan oleh Maling Sakti itu!"
Mereka beradu pandang sesaat. Teratai Kipas tak berani menyembunyikan ketegangannya lagi, karena ia tahu dengan siapa ia berhadapan saat itu. Maka dengan suara sangat pelan tak didengar Maling Sakti, Teratai Kipas menjawab, "Kalau tak salah dugaanku... benda itu adalah Batu Sembur Getih."
"Apa kehebatan Batu Sembur Getih?"
"Seseorang yang menelan Batu Sembur Getih hidupnya akan tergantung dari darah manusia lain. Ia tak akan pernah bisa menerima makanan lain; nasi, jagung, ketan dan sebagainya. Makanannya hanyalah darah. Dan setiap ia habis meminum darah manusia, maka kesaktiannya akan berlipat ganda. Badannya akan kebal oleh senjata apa pun. Bahkan sinar tenaga dalam sukar menembus tubuhnya."
"Gawat!" Suto Sinting memandang ke arah Maling Sakti.
Ternyata orang tersebut telah lenyap, melarikan diri jauh di seberang sana. Bayangan sosok tubuhnya hanya terlihat bagai sebuah titik yang kian menjauh.
"Maling Sakti pergi! Dia pasti akan semakin gila dengan kedurjanaannya!" gumam Suto Sinting kepada dirinya sendiri.
"Mestinya batu itu kau telan saja, karena batu itu berasal dari gumpalan darah dewa."
"Aku tidak tahu kesaktian benda itu. Sebelum kupelajari, kusimpan dulu dalam bumbung tuakku. Ternyata tuak yang tinggal sedikit ini membut batu itu menggelincir masuk ke mulut si Maling Sakti! Celaka betul keadaan ini!"
"Lupakan dulu urusan itu. Kita harus segera temui Eyang Guru Betari Ayu dan membawa Sumbaruni yang pingsan itu," Teratai Kipas mengingatkan.
Sambil melangkah menuju puncak, Suto Sinting sempat bertanya, "Mengapa Nyai Sapu Lanang tidak menelan batu itu saja? Bukankah kalau dia menelan batu itu ia menjadi orang yang lebih sakti lagi dan mungkin sukar kukalahkan? Apakah ia sendiri tak tahu manfaat Batu Sembur Getih itu?"
"Kurasa Nyai Sapu Lanang mengetahui kehebatan batu itu. Barangkali ia menunggu seseorang yang akan mendapat hadiah Batu Sembur Getih, terutama seorang lelaki. Sebab Batu Sembur Getih hanya bisa dipergunakan untuk seorang lelaki dan tidak berlaku bagi wanita."
Suto Sinting manggut-manggut, "Pantas waktu Nyai Sapu Lanang merayuku agar mau melayaninya, ia sempat berkata bahwa aku akan diberi hadiah yang sangat berharga jika mau melayaninya sampai ia mempunyai keturunan. Hanya sampai batas ia bisa hamil saja, maka aku akan diberi hadiah sebuah pusaka yang tiada tandingannya. Mungkin Batu Sembur Getih itulah yang dimaksud sebagai hadiah untukku."
"Mengapa kau tak mau?"
"Mendapat Batu Sembur Getih adalah hal yang menyenangkan, tapi tebusannya itu yang membuatku keberatan!"
Teratai Kipas tertawa kecil. "Tebusannya tak seberapa berat, kan? Capeknya tak melebihi orang berlari dari sini ke puncak gunung!"
Suto Sinting tertawa malu. "Siapa bilang? Justru capeknya melebihi kita berlari dari sini ke matahari!"
Tawa mereka berderai, namun segera terputus karena rasakan ada getaran pada tanah yang diinjaknya. Batu- batu mulai bergerak, sebagian ada yang menggelinding bagaikan terjadi gempa setempat. Wajah Suto dan Teratai Kipas sama-sama menegang. Getaran bumi kian kuat, pohon-pohon kecil mulai tumbang.
"Ada apa ini...?!" Teratai Kipas memandang tegang kesekelilingnya.
"Jangan jauh dariku. Mendekatlah!" kata Suto pelan. "Sepertinya ada pihak lain yang ingin mengganggu perjalanan kita ke puncak!"
Suto Sinting yakin bahwa gempa itu adalah gempa kiriman. Tapi siapa orangnya yang mengirimkan gempa masih belum diketahui mereka.
* * *
LIMA
KABUT menebal di puncak Gunung Kundalini. Kabut putih membawa hawa salju itu merambah di permukaan tanah sebatas mata kaki, di sisi lain ada yang tinggi ketebalannya sampai sebatas betis. Pesanggrahan yang dibangun di puncak gunung itu dalam ukuran kecil dan sangat sederhana. Di pesanggrahan itulah seorang wanita cantik mengasingkan diri ditemani oleh bekas muridnya dari Perguruan Merpati Wingit.Perempuan itu tak lain adalah Nyai Guru Betari Ayu, dan murid setianya adalah Selendang Kubur. Kedatangan Suto Sinting membuat Nyai Guru Betari Ayu berwajah cerah ceria, walau ia menyimpan keharuan atas cinta yang terpendam dan sampai saat itu tak bisa dihancurkan. Sekalipun demikian, cinta itu hanya bisa diendapkan di dasar hati dan tak ingin dicurahkannya seperti dulu, karena Nyai Guru Betari Ayu sadar bahwa Suto Sinting adalah calon suami adiknya; Dyah Sariningrum.
Untuk sesaat Nyai Guru Betari Ayu termenung melamunkan masa-masa perpisahannya dengan Pendekar Mabuk, setelah ia serahkan Kitab Wedar Kesuma sebagai pelengkap mas kawin yang diminta Dyah Sarinigrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Siluman Tujuh Nyawa).
Betari Ayu adalah sosok perempuan yang bijak dan lembut. Penampilannya masih belum berubah. Tetap cantik, anggun dan berkharisma tinggi. Jubahnya kuning, pakaian dalamnya biru. Rambutnya panjang, dengan ikat kepala dari tali merah bintik-bintik kuning emas. Ujung tali itu ada logam kuning seperti mata tombak, dan memang bisa digunakan sebagai senjata di kala itu.
Ia tak berani menatap Pendekar Mabuk terlalu lama, sebab jika memandang terlalu lama dadanya bergemuruh dan hatinya berdebar-debar nyeri. Ada cinta yang dibuang dan dilupakan. Rasa cinta itulah yang sering membuatnya nyeri. Betari Ayu tak mau mengenangnya. Sebab itu ia tak mau hanyut dalam lamunan yang terlalu dalam.
Teratai Kipas duduk bersila jauh di belakang Suto, sedangkan Selendang Kubur ada di samping kanan Pendekar Mabuk. Bocah Sumbaruni yang telah siuman ikut duduk di samping kiri Suto Sinting, ia seperti bocah baru bisa berjalan, lucu dan menggemaskan. Tapi caranya duduk bersila menunjukkan sikap kedewasaannya yang tidak ikut susut termakan Racun Ludah Naga.
"Kudengar kau mencari Telur Mata Setan untuk pulihkan keadaan Sumbaruni?"
"Benar, Nyai. Petunjuk itu kuperoleh dari Bongkok Sepuh dan Nyai Paras Murai!" jawab Suto Sinting dengan kalem. "Tapi menurut keterangan Teratai Kipas dan Selendang Kubur, telur itu hanya ada dalam dongeng anak-anak saja. Aku tak tahu mana yang benar dari kenyataan itu."
"Selama itu Telur Mata Setan memang hanya ada dalam dongeng. Artinya, dongeng tentang Telur Mata Setan menjadi dongeng ciri khas rakyat di sekitar Gunung Kundalini."
"Tetapi ketika kami menuju kemari, kami dihadang oleh Resi Pakar Pantun yang juga menghendaki Telur Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun?!" Nyai Guru Betari Ayu kerutkan dahi, diam sebentar bagai meneropong seseorang di kejauhan sana, setelah itu menatap Suto lagi. "Resi Pakar Pantun adalah gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan."
"Benar. Menurut pengakuannya, Tuan Nanpongah sempat bentrok dengan Syakuntala dan ia terkena Racun Ludah Naga juga. Kabarnya sampai sekarang Tuanku Nanpongoh sudah menjadi bayi yang hanya bisa ngompol dan menangis."
Nyai Guru Betari Ayu manggut-manggut. Suto Sinting menceritakan pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun. Orang berusia sekitar delapan puluh tahun itu hadir bersama gempa kirimannya. Untung Suto Sinting segera dapat melacak keberadaan tokoh sakti itu melalui Ilmu 'Lacak Jantung'-nya, sehingga ia bisa kirimkan pukulan tenaga dalam dan membuat Resi Pakar Pantun hentikan gangguannya dan muncul dari persembunyiannya.
Orang berjenggot putih panjang dengan mengenakan pakaian model biksu yang berupa kain abu-abu membungkus badan dan melilit pundak kanannya itu tampak malu ketika persembunyiannya dibongkar Pendekar Mabuk. Orang berkepala botak dengan rambut uban tipis itu tidak datang sendirian, tetapi mengajak pelayannya yang bertubuh agak pendek, kurus, berwajah tua, namun tak punya kumis dan jenggot. Usianya sekitar empat puluh tahun. Mengenakan pakaian hijau tua dan ikat kepala kain putih. Pelayannya itu mengaku punya julukan si Kadal Glnting.
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Resi Pakar Pantun?" tanya Suto setelah memperkenalkan diri masing-masing.
"Tikar rombeng ditambal dengan ketan. Bau sedikit tapi berkesan. Tak ada lain kupunya tujuan. Kecuali mencari si Telur Mata Setan." Resi Pakar Pantun yang jarang mau lepas dari syair pantunnya menjawab pertanyaan Suto itu dengan santai.
"Apa hubungannya dengan mengganggu perjalananku?" tanya Suto lagi.
"Tikar rombeng dibakar nyebar. Ambil sabuk buat bantalan. Telah kudengar kabar tersebar. Pendekar Mabuk pun cari Telur Mata Setan."
"Lalu, kau sangka aku sudah mendapatkannya?"
"Tikar rombeng dibuat bendera. Jatuh ke bumi bikin sengsara. Jika betul kau belum mendapatkannya. Kumohon jangan lanjutkan pencariannya."
Suto Sinting tersenyum tipis sambil pandangi Teratai Kipas yang masih kaku menerima kehadiran Resi Pakar Pantun dan pelayannya itu. Suto sempat berbisik kepada Teratai Kipas, "Kita punya saingan, agaknya cukup berbahaya juga."
"Aku yakin kau sanggup kalahkan si tua pantun itu."
"Akan kucoba untuk berembuk saja. Jangan biasakan diri dengan kekerasan." Kemudian Suto Sinting memandang Resi Pakar Pantun yang tampak tenang, namun sebenarnya sedang pelajari ketinggian ilmu Pendekar Mabuk melalui teropong batinnya. Suto Sinting berkata dengan sikap tidak bermusuhan. "Resi Pakar Pantun, ternyata di antara kita punya tujuan yang sama, yaitu mencari Telur Mata Setan. Kurasa kita harus berlomba dan beradu kecepatan mendapatkan benda tersebut. Kau tak perlu mengusirku, tak perlu memusuhiku. Toh belum tentu kau sendiri bisa temukan Telur Mata Setan itu. Aku pun belum tentu berhasil mendapatkannya. Jadi kurasa tantangan halusmu itu harus kau cabut lagi agar hubungan kita tidak saling bermusuhan dalam hati."
"Tikar rombeng di..."
"Maaf Eyang Resi...," potong Kadal Ginting yang suaranya cempreng. "Lainnya tikar rombeng apa tidak ada?"
"Apa maksudmu?"
"Dari tadi pantunnya tikar rombeeeng terus! Sekali-sekali muka rombeng atau apa, gitu!"
"Mukamu itu yang muka rombeng!" hardik Resi Pakar Pantun sambil bersungut-sungut.
Suto Sinting dan Teratai Kipas sempat menutup mulut karena menahan tawa geli. Lalu terdengar lagi Resi Pakar Pantun bicara kepada Suto, "Muka rombeng dibuat gilasan. Rompal sedikit asin rasanya...."
"Kik, kik, kik, kik, kik...!" Kadal Ginting tertawa cekikikan membuat pantun itu terhenti.
Sang Resi menghardik lagi, "Kenapa tertawa?!"
"Saya geli, Eyang Resi! Yang benar sajalah. Masa muka rombeng dipakai gilasan? Sudah itu, rompal sedikit rasanya asin. Siapa yang mau cicipi rompalan papan penggilasan, Eyang Resi? Kok sepertinya kurang kerjaan saja itu orang?"
"Ini pantun, Bodoh!" bentaknya menggeram.
"Iya, iya... teruskan sajalah!" sambil Kadal Ginting geleng-geleng kepala dan agak menjauh dalam senyum geli yang masih tersisa.
Teratai Kipas sendiri sempat mengikik tertahan mati-matian dan ia sembunyikan wajah di punggung Pendekar Mabuk yang juga terguncang-guncang karena tawa tanpa suara itu. Sedangkan sang Resi masih tetap tenang, serius, tanpa senyum sedikit pun.
"Muka rombeng tak jadi dibuat gilesan. Rompal sedikit dibiarkan saja. Jika memang kau punya nyali tak beralasan. Ada baiknya kita berlomba saja!"
"Baik. Aku setuju!" kata Suto Sinting dengan tegas.
Kadal Ginting menyela kata, "Tikar rombeng dimakan pakai sambal"
"Apa artinya?" tanya sang Resi.
"Rakus!" jawab Kadal Ginting dengan tertawa dan menjauh.
Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun menghentak. Wuuuttt..! Pukulan jarak jauh dihantamkan ke punggung Kadal Ginting. Orang pendek kurus itu terbang dan wajahnya membentur pohon. Bruuuss !
"Aoouuh. !" pekik Kadal Ginting kesakitan.
Resi Pakar Pantun segera pergi tinggalkan Suto Sinting dan Kadal Ginting mengikutinya sambil mengusap-usap wajahnya yang merah itu.
Mendengar cerita Pendekar Mabuk tadi, Nyai Guru Betari Ayu tersenyum tipis. Senyumnya sungguh manis menawan. Suto memandanginya karena senyum itu mengingatkan dirinya pada senyuman milik Dyah Sariningrum. Berdebar hati Suto dibuatnya. Berdebar pula hati Betari Ayu ketika melihat Suto tersipu, karena ia ingat peristiwa yang pernah dialami Suto Sinting ketika sang pendekar tampan itu mengobati dirinya yang terkena pukulan Regang Pati dari Bidadari Jalang. Cara pengobatan yang menggunakan semadi cumbu itulah yang sampai sekarang masih berkesan di hati Nyai Guru Betari Ayu. Cara pengobatan itu dinamakan ilmu Kamajiwa, dan baru kepada Nyai Guru Betari Ayu ilmu itu digunakan oleh Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sesat)
Betari Ayu membuang bayangan itu dengan berkata, "Aku mendengar detak jantung yang bergemuruh, seperti jantung orang yang sedang cemburu."
Sumbaruni kecil segera membuang pandangan ke arah lain. Suto Sinting melirik Sumbaruni dan tersenyum geli. Betari Ayu ikut tersenyum dan melirik Sumbaruni. Merasa dilirik tak enak. Sumbaruni kecil berkata dengan suara bocahnya yang bernada dewasa.
"Bicarakan saja tentang Telur Mata Setan, tak perlu menyindir diriku!"
"Aku tak salahkan dirimu kalau kau menyimpan kecemburuan, karena memang pria yang satu ini sinting! Imunya sinting, ketampanannya sinting dan sikapnya juga sinting!"
"Aku hanya ingin kepastian apakah Telur Mata Setan itu benar-benar tidak ada atau memang ada di suatu tempat yang tersembunyi?" tanya Sumbaruni mendesak.
Betari Ayu tarik napas dalam-dalam, termenung beberapa saat bagai orang melamun. Suto Sinting sempat melirik gadis kecil yang imut-imut lucu dan sebenarnya bekas istri jin itu. Sang gadis kecil bersungut-sungutdan melengos tak mau pandangi Suto Sinting. Hal itu membuat Suto geli lalu mencubit pipi gadis kecil tanpa nafsu dan hasrat tak senonoh. Cubitan itu adalah cubitan canda terhadap seorang bocah yang menggemaskan.
"Ah...!" Sumbaruni menepiskan tangan Suto yang menggoda dan masih tetap bersungut-sungut buang muka. Menggelikan sekali sikapnya.
Agaknya suatu teropong batin telah dilakukan oleh Betari Ayu. Sikapnya yang merenung tadi kini dilepaskan dan ia memandang Suto Sinting seraya berkata pelan, penuh kharisma. "Telur Mata Setan memang ada!"
Kalimat itu membuat Selendang Kubur terperanjat. Wajahnya terangkat memandangi Nyai Guru Betari Ayu. Sementara di belakang sana, Teratai Kipas juga merasa kaget dan mengangkat wajahnya menatap wanita anggun dan bijaksana itu. Suto Sinting diam tak berucap kata, sedangkan Sumbaruni menatap pula penuh harap.
"Aku melihat Telur Mata Setan ada di sebelah timur dari tempat ini. Bentuknya sedikit lebih besar dari telur puyuh, kulitnya berwarna kuning emas. Keras bagaikan besi. Telur itu hanya bisa dilubangi dengan suatu kekuatan tenaga dalam yang bersumber dari napas putih."
"Apakah napas putih bisa diartikan hawa murni, Guru?" tanya Selendang Kubur, kali ini memberanikan bicara karena yang dibicarakan bukan soal pribadi.
"Pengertiannya bisa begitu. Napas putih bisa berarti hawa murni, bisa juga berarti napas tuak," tutur Betari Ayu langsung memandang Suto Sinting.
"Lalu di mana aku harus mengambil Telur Mata Setan itu?"
"Lereng sebelah timur. Di sana ada gua yang sedang dipergunakan untuk bertapa oleh seorang raja. Di dalam gua itulah terdapat Telur Mata Setan. Tersembunyi dalam batu berongga."
Suto Sinting pandangi Sumbaruni yang memancarkan cahaya berbinar-binar karena punya harapan akan pulih seperti sediakala. Sebelum Suto berkata, Betari Ayu bicara lebih dulu,
"Cari gua itu sebelum Resi Pakar Pantun mendapatkannya lebih dulu!"
"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga."
"Itu lebih baik."
"Aku titip Sumbaruni."
"Baik. Tapi biarkan Teratai Kipas mendampingimu untuk pemandu jalan."
Sumbaruni berseru, "Tidak. Aku harus ikut!"
"Sumbaruni," kata Suto Sinting. "Pikiranmu memang dewasa, tapi sosokmu berbeda. Sadarilah itu dan tetaplah di sini sampai aku mendapatkan obat itu untukmu. Jangan mempersulit keadaan. Kalau aku gagal, yang celaka kau sendiri, Sumbaruni!"
Sumbaruni tak bisa membantah, karena ia segera menyadari bahwa ia tidak bisa banyak berbuat dalam keadaan sekecil itu. Ia takut keikutsertaannya justru akan menggagalkan rencana tersebut. Akhirnya ia hanya berkata pelan kepada Suto, terutama setelah melirik Teratai Kipas sebentar. "Baiklah, aku tinggal di sini. Tapi jangan macam-macam dengan gadis itu!"
Suto Sinting berbisik di telinga bocah kecil itu, "Kurangi perasaan burukmu dan kecemburuanmu. Yang ada dalam hatiku hanya Dyah Sariningrum, bukan Teratai Kipas!"
"Aah...!"
Plok...!
Tangan bocah kecil itu menabok wajah Suto sambil cemberut dan buang muka. Rupanya hati Sumbaruni tak suka mendengar nama Dyah Sariningrum. Tapi Suto hanya tertawa, karena suatu saat Sumbaruni pasti bisa diberi pengertian tentang hubungan cinta Suto Sinting dengan Dyah Sariningrum.
Betari Ayu ikut melepas kepergian Suto Sinting. Sumbaruni kecil digendong oleh Selendang Kubur. Perasaan yang ada pada Selendang Kubur adalah menggendong anak kecil yang masih polos. Karena ia belum pernah bertemu Sumbaruni dalam keadaan besar, maka ia tak terbayang akan keadaan yang sebenarnya. Bahkan Sumbaruni pun melambaikan tangan kepada Pendekar Mabuk ketika sang pendekar melangkah melintasi pintu batas pesanggrahan.
Selama Sumbaruni menjadi bocah kecil, pakaiannya masih tetap seperti semula. Pedangnya mengecil pula, tetap ada di punggung. Seperti pedang mainan. Seandainya dicabut atau dihunus dari sarungnya pun tidak menimbulkan kesan berbahaya. Bahkan ketika di Perguruan Tongkat Sakti, Sumbaruni sempat memainkan pedang itu. Tapi tanpa jurus dan tanpa kesaktian apa pun, sehingga terlihat seperti seorang anak kecil sedang bermain pedang-pedangan.
Betari Ayu mengetahui bahwa Sumbaruni punya rasa cinta kepada Suto Sinting, tapi ia tidak mau melarang Sumbaruni. Menurutnya, Suto Sinting bukan pria yang mudah terbujuk dan terayu. Betari Ayu tetap yakin, hati pendekar tanpa pusar itu hanya tertuju kepada adiknya; Dyah Sariningrum. Siapa pun akan kecele jika mengharapkan balasan cinta dari murid si Gila Tuak itu.
Sepeninggalan Pendekar Mabuk, beberapa saat kemudian pesanggrahan itu kedatangan dua orang tamu yang tadi diceritakan oleh Suto Sinting. Orang itu adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya; Kadal Ginting. Sebelum Resi Pakar Pantun bicara, Betari Ayu sudah mengetahui maksud kedatangannya. Tapi tamu tersebut tetap saja disambut dengan baik dan dipersilakan duduk di ruang pertemuan khusus untuk para tamu yang singgah di puncak gunung itu.
"Tikar rombeng disangka sabuk kain. Digulung-gulung dipakai untuk selamatan. Aku datang tak punya maksud lain. Kecuali ingin tahu di mana tempat Telur Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun," kata Betari Ayu dengan kalem dan ramah. "Mengapa kau datang menemuiku untuk menanyakan tentang Telur Mata Setan?"
"Tikar rombeng dipakai untuk membungkus peti. Burung perkutut hinggap di pucuk-pucuk daun singkong. Aku tahu kau seorang petapa sakti. Sekali kutanya kau tak mungkin berbohong."
Selendang Kubur memperhatikan kedua tamunya penuh curiga. Sumbaruni berbisik kepada Selendang Kubur, "Orang inilah yang diceritakan Suto tadi! Jangan beri tahukan padanya di mana benda itu berada. Nanti direbut olehnya."
"Nyai Guru tak bisa berbohong. Apa yang dia tahu, dia jawab tahu. Yang tidak tahu ya dijawab tidak tahu."
"Celaka! Kalau Betari Ayu kasih tahu tempatnya, bisa-bisa aku menjadi bayi dan tak bisa apa-apa lagi. Resi ini ilmunya cukup tinggi. Aku cemas, takut kalau Suto Sinting tak bisa mengalahkannya."
"Kita lihat saja apa kebijakan guruku dalam menjawab pertanyaannya."
Terdengar pula Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Resi Pakar Pantun... aku memang tahu di mana letak Telur Mata Setan itu, tapi itu sudah menjadi haknya seseorang. Aku tak mungkin memberitahukan tempatnya karena menghindari pertikaian antara kau dengan orang tersebut."
"Tikar rombeng berlumur ribuan paku. Merebus kentang di mulut sang tamu. Jika kau tak mau menolongku. Bagaimana kalau aku menantangmu?"
"Aku tak mau lakukan pertarungan lagi, Resi Pakar Pantun. Tapi jika kau ingin mengadu kesaktian denganku, aku punya satu permainan...!" kata Betari Ayu dengan tetap tenang. Kemudian ia melangkah ke bawah pohon, mengambil sehelai daun kuning yang jatuh karena layu. Daun itu lebarnya sedikit lebih besar dari daun telinga manusia dewasa. Betari Ayu mendekati gugusan batu hitam yang ada di sudut pekarangan. Batu itu tingginya melebihi tinggi manusia dewasa. Dengan gerakan lemah lembut, daun itu ditancapkan ke batu hitam tersebut. Sleep...! Seperti ia menancapkan lidi ke atas agar-agar.
"Resi Pakar Pantun, tantanganmu kuterima dengan cara mencabut daun ini."
"Apa maksudmu, Betari Ayu?"
"Jika kau bisa mencabut daun ini, maka akan kuberitahukan tempat Telur Mata Setan itu. Tapi jika kau tak mampu mencabut daun ini, berarti ilmumu masih rendah, tak akan mampu melawan orang yang sudah lebih dulu kuberitahu tempat Telur Mata Setan itu."
"Tikar rombeng dicabik-cabik lalu ditenun. Banteng di lumpur sering disangka barisan keluarga kutu. Jangan remehkan ilmu si Pakar Pantun. Gunung ini pun mampu kucabut dengan tangan satu."
Nyai Betari Ayu tersenyum lagi dan manggut-manggut, lalu tangannya memberi isyarat dan mulutnya berkata sopan, "Silakan, Resi...!"
"Kadal Ginting!"
"Saya di sini, Eyang Resi!"
"Cabut daun itu dari batu tersebut!"
"Baik, Eyang Resi. Bolehkah memakai 'tikar rombeng' segala, Eyang Resi!"
"Terserah! Yang penting cabut daun itu!"
Kadal Ginting berjalan limbung seperti orang mabuk, ia dekati batuan besar itu. Ia pejamkan mata beberapa saat, lalu tangannya bergerak lamban naik ke atas dan mulutnya berkata, "Tikar rombeng dipakai membuat baju... miskin namanya! Hiaaat...!"
Wuuutt...! Tangan menyambar daun itu, tapi daun bagaikan terpatri kuat dan tak mampu dicabut. Bahkan dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tangan dan tubuh bergetar semua, tapi daun tetap menancap di batu itu. Akhirnya Kadal Ginting terengah-engah dan jatuh duduk terkulai.
"Bagaimana, Kadal Ginting? Mengapa daunnya masih menancap di batu?" tegur Resi Pakar Pantun.
"Maaf, Eyang Resi... mungkin mantera tikar rombeng tidak mempan buat cabut daun itu. Ganti pakai tikar yang tidak rombeng saja, ya?"
Plakkk...! Kadal Ginting disepak pelan. Sepakan pelan di bagian paha itu membuat tubuh Kadal Ginting bergeser sejauh dua tombak. Tentu saja sepakan kaki itu sudah disertai dorongan tenaga dalam yang lumayan besar.
"Betari Ayu..., tikar rombeng digondol kucing ke sana-sini. Menyimpan pusaka jangan di dalam saku. Kalau memang aku tak bisa mencabut daun ini. Kuakui ilmumu lebih tinggi dari ilmuku."
Kemudian Resi Pakar Pantun pun pejamkan mata sebentar, lalu daun itu diusapnya pelan-pelan bagaikan dibelai-belai. Dan tiba-tiba tangan itu mencabut daun tersebut dalam satu sentakkan mengagetkan. Suuutt...!
"Nah, kena...! Dan... dan...," Resi Pakar Pantun terbengong, karena yang ada di tangannya bukan daun melainkan rumput hijau yang entah di peroleh dari mana. Sedangkan daun itu masih melekat di batu tersebut, menyelip bagian ujungnya saja.
"Kurang ajar! Kenapa yang kudapatkan hanya sehelai rumput?!" gerutunya. Lalu ia mengulangi lagi dengan kerahkan tenaga dalam hingga tangannya bergetar, danbia pun lakukan gerakan menyambar daun itu. Wuuuttt...! "Nah, kena... ken... ken...?!" mata Resi Pakar Pantun terbelalak, ia jadi terbengong, karena yang ada ditangannya bukan daun melainkan beberapa helai rambut pendek, ia bertanya pada diri sendiri, "Rambutnya siapa ini?!"
"Ram... rambut saya, Eyang! Tadi Eyang Resi mencabutnya," kata Kadal Ginting sambil meringis, mengusap-usap kepalanya.
Betari Ayu, Selendang Kubur, dan Sumbaruni hanya tersenyum-senyum geli. Perlahan-lahan tokoh tua itu mendekati Betari Ayu dan menggeram jengkel.
"Kau memang unggul! Sekarang aku kalah. Tapi kelak aku akan datang untuk menebus kekalahanku ini dengan cara lain! Permisi!"
Resi Pakar Pantun segera pergi, Kadal Ginting mengikutinya sambil masih mengusap-usap kepalanya yang tadi terasa sakit karena rambutnya dicabut dari jarak jauh.
* * *
ENAM
PERJALANAN menuju ke arah timur terhalang oleh tumbangnya beberapa pohon yang saling rubuh menutup jalan. Langkah Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas terhenti seketika. Mereka sama-sama berpendapat, tak mungkin pohon itu tumbang dengan sendirinya dan arahnya pun sama. Pasti ada orang berilmu tinggi yang menumbangkannya dari kejauhan dan sengaja menahan langkah Suto dan Teratai Kipas."Jangan-jangan orang yang kita temui di kedai tadi?" bisik Teratai Kipas. "Orang berbaju putih yang duduk di meja seberang kita itu tampaknya tertarik sekali dengan percakapan kita tentang Telur Mata Setan."
"Kurasa bukan dia," jawab Suto Sinting dalam bisik sambil membayangkan seorang pembeli yang ditemuinya di dalam sebuah kedai, ketika Suto mengisi bumbung tuaknya.
"Kau yakin bukan dia?"
"Ya, sebab kurasakan tak ada getaran tenaga dalam pada dirinya. Dia penduduk desa lerang yang biasa-biasa saja. Hanya tertarik dengan cerita Telur Mata Setan, tapi tidak bermaksud memilikinya," tutur Suto menjelaskan. Mata pendekar tampan itu melirik ke sana-sini mencari siapa orang yang mengganggu perjalanannya dengan menumbangkan pohon-pohon itu.
"Kita lewat arah kiri saja," bisik Teratai Kipas.
Maka mereka pun sedikit memutar arah melalui jaian kiri. Tetapi beberapa saat kemudian, jalan itu pun tertutup lagi oleh tumbangnya empat pohon; dua dari kiri dan dua lagi dari kanan. Buuurrkk...! Keempat pohon itu tumbang bersamaan. Langkah mereka pun terhenti kembali dan kewaspadaan terpasang tajam-tajam. Ilmu 'Lacak Jantung' dipergunakan oleh Suto Sinting. Detak jantung orang lain terdengar ada di arah selatan. Suto Sinting berbisik pelan,
"Arahnya ada di selatan, jumlahnya lebih dari satu orang!"
"Geser ke kanan sedikit. Kita pancing di tempat yang lega itu,"
Teratai Kipas melangkah lebih dulu dan Suto Sinting mengikutinya dengan sikap santai, seolah-olah tidak merasa terganggu apa pun juga. Sampai di tempat yang lebih lega, mereka mulai diserang dengan cahaya merah berlarik-larik bagaikan menyergap secara bersamaan. Suto Sinting yang berjalan di belakang Teratai Kipas segera berseru,
"Teratai...! Awas!"
Wuuutt, wuuttt...! Mereka saling melesat tinggi dan hinggap di dahan pohon secara bersamaan. Sinar-sinar merah yang jumlahnya lebih dari tiga larik itu menghantam bumi dan menimbulkan ledakan dahsyat yang mengguncang alam sekitarnya. Blegaarr...! Tanah menyembur ke atas, lubang besar menganga bagaikan tempat pembuangan sampah untuk satu desa.
"Gila! Dahsyat juga pukulannya?!"
"Tetaplah di sini," kata Suto Sinting. "Aku akan memancing mereka keluar dari persembunyiannya!"
Setelah berkata begitu, Pendekar Mabuk melompat turun dari pohon dan sengaja berdiri di tempat yang mudah terlihat dari berbagai arah. Kejap berikutnya melesat kembali satu sinar merah berbentuk seperti bola api sebesar genggaman manusia dewasa. Wuuusss...! Suto Sinting segera menggerakkan bumbung tuaknya ke depan dada, dan sinar merah itu menghantam bumbung tuak. Deess...! Sinar itu membalik arah dengan gerakan lebih cepat dan wujud lebih besar lagi. Wuuusss...!
Blegaaarrr...!
Dari balik dua pohon berjajar yang hancur dihantam sinar merah itu muncul sesosok tubuh yang bersalto ke atas. Kaki orang itu menjejak pohon besar, dan tubuhnya berbelok arah, melesat ke tempat lega itu. Wuuutt! Jleeg...! Orang itu mendarat dengan kaki tegak. Ternyata ia adalah orang bertubuh kurus kering dengan wajah cekung, tulangnya bertonjolan. Tapi ia mempunyai kumis panjang, sedangkan rambutnya juga panjang sepunggung tapi tidak begitu lebat.
Orang itu mengenakan pakaian loreng hitam-merah, celana dan bajunya sama. Bajunya berlengan tanggung, longgar, tidak dikancingkan, sehingga tulang iganya yang bertonjolan keluar karena kekurusannya itu terlihat jelas bagi orang yang berdiri di depannya. Orang itu diperkirakan Suto berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya ditumbuhi uban tidak merata. Pinggangnya bersabuk hitam, dan di sabuknya itu terselip sebuah senjata; cambuk hitam-putih yang cukup panjang, digulung dalam satu bentuk gulungan longgar, ujungnya tampak diberi logam runcing warna putih mengkilap.
Belum sempat Suto Sinting menyapa, dua sosok lagi muncul dalam satu lompatan bersama. Dua sosok itu tak lain adalah Neraka Berjalan dan Roh Seribu Dewa. Maka seketika itu pula Pendekar Mabuk dapat mengerti bahwa mereka adalah orang-orang Bukit Kopong.
Melihat kemunculan Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, gadis di atas pohon tidak mau tinggal diam. Tak tega jika harus melihat Suto Sinting menghadapi mereka sendirian. Teratai Kipas segera berdiri dua langkah di samping kiri Suto Sinting, siap menghadapi mereka bertiga.
"Kita bertemu lagi, Teratai Kipas!" kata Roh Seribu Dewa dengan suaranya yang berat. Kumisnya yang mirip sayap kelelawar itu diusap-usap, satu tangannya lagi bertolak pinggang.
"Apakah Tiga Pengawal Iblis sudah ganti anggota satu orang?" kata Teratai Kipas sambil melirik orang berpakaian loreng hitam-merah itu.
"Si Kumis Tengkorak memang menggantikan Japrak Kurap yang kau bunuh ketika itu. Dan kini dia datang untuk membalas dendam atas kematian iparnya!" ucap Neraka Berjalan dengan rasa bangga dapat menghadirkan si Kumis Tengkorak yang ilmunya lebih tinggi dari mereka berdua.
"Mana yang tempo hari kau bilang unjuk gigi atas kebolehannya bermain jurus cambuk itu, Neraka Berjalan?" tanya Kumis Tengkorak dengan suara sedikit serak dan besar.
"Si tampan itulah yang pamer ilmu cambuknya!" jawab Neraka Berjalan sambil melirik Pendekar Mabuk yang tampak tenang-tenang saja.
Kumis Tengkorak berkata, "Kalau begitu, mundurlah kalian berdua, biar kuhadapi anak ingusan itu!" Setelah bicara begitu ia pun maju dua langkah. "Siapa namamu, Bocah Ingusan?!"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis, matanya memandang tajam namun tak berkesan ganas. Si Kumis Tengkorak yang bermata cekung dan dingin berkesan bengis itu tampak tak sabar menunggu jawaban dari Suto Sinting, ia segera membentak dengan mata menjadi lebar.
"Kutanya siapa namamu, mengapa kau diam saja, hah?! Apakah kau tuli?!"
Suto Sinting kian melebarkan senyum berkesan geli. Matanya memandang Teratai Kipas sebentar, dan Teratai Kipas yang menjawab pertanyaan itu.
"Namanya Suto Sinting! Apakah kau belum pernah mendengar nama itu, Kumis Tengkorak?!"
"Tutup mulutmu, Gadis borokan! Aku bertanya kepada bocah tolol itu! Bukan kepadamu!" bentak si Kumis Tengkorak sambil maju selangkah.
"Sebelum menuju kepadanya, harus melalui aku. Karena akulah pengawalnya!" Teratai Kipaa sengaja memancing kemarahan.
Kumis Tengkorak menggeram jengkel. "Mulut lancang! Berani-beraninya kau menjadi pengawal bocah tolol itu. Kau akan mati terbelah oleh cambukku, Teratai Kipas!"
"Tak jadi soal. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepada Suto Sinting? Ada persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu! Yang jelas kau telah membunuh iparku dan aku berhak menuntut balas kepadamu. Hanya satu syarat yang bisa membebaskan tuntutanku padamu, yaitu menukarnya dengan Tongkat Tulang Barong milik mendiang gurumu; Ki Selo Gantung!"
"Siapa pun tak akan mendapatkan tongkat itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas dan berani. Kedua tangannya bertolak pinggang, wajahnya terangkat tegak.
Si Kumis Tengkorak menggeram lagi. Setelah menatap tajam-tajam, Kumis Tengkorak berkata dengan kasar, tangannya menuding-nuding Teratai Kipas. "Hati-hati...! Kupecahkan batok kepalamu tanpa ampun lagi, Betina tolol! Heaaah...!" Tangannya bergerak cepat menghempas ke depan.
Wuuttt...! Gelombang tenaga dalam tak bersinar dilepaskan sebagai uji coba kekuatan Teratai Kipas. Tapi gadis itu pun tak kalah sigap, ia pun melepaskan pukulan jarak jauh tak bersinar. Bueeng...! Dua pukulan tenaga dalam beradu di pertengahan jarak.
Teratai Kipas tersentak mundur dua langkah, sedangkan Kumis Tengkorak hanya oleng ke kiri sedikit, tapi tidak bergeser dari tempatnya. Saat ia bergerak oleng itulah tiba-tiba jari tangan Suto menyentil dari jarak jauh secara diam-diam. Dees...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan. Jurus itu mempunyai kekuatan dua kali tenaga kuda. Ternyata sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai rusuk si Kumis Tengkorak.
Wuuutt...! Brrruk...!
Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan terperanjat melihat tubuh si Kumis Tengkorak terlempar terbang dan membentur sebuah pohon dengan kerasnya. Tubuh itu bagaikan sesuatu yang tidak terpakai lagi dan dicampakkan begitu saja. Padahal Roh Seribu Dewa tahu bahwa si Kumis Tengkorak adalah orang Bukit Kopong yang tersulit ditumbangkan. Jarang jatuh dalam pertarungan melawan siapa pun. Tetapi kali ini Kumis Tengkorak dengan mudahnya dapat ditumbangkan, bahkan dilemparkan dengan ringan sekali.
"Bangsaaatt...!" geram Kumis Tengkorak dengan mata mendelik dan kedua tangan mengejang kuat-kuat. Ia melangkah dekati Suto Sinting sambil mencabut cambuknya.
"Biar kuhadapi dia," kata Teratai Kipas.
"Mundurlah, ini bagianku," kata Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. Teratai Kipas menurut dan ia menepi ke bawah sebuah pohon di belakang Suto.
Kumis Tengkorak kibaskan cambuknya ke udara sebagai gertakkan dan unjuk kepandaian. Satu kali sabetan cambuk, suaranya menggelegar ke mana-mana. Duaaarr...! Ujung cambuk itu memercikkan bunga api warna merah. Daun-daun banyak yang berjatuhan karena getaran suara cambuk tadi. Tapi hal itu justru membuat Suto Sinting tersenyum lebar. Matanya melirik ke arah Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, sebentar kemudian memandang Kumis Tengkorak lagi.
"Aku tahu kau yang menyerangku!" kata Kumis Tengkorak dengan tangan kiri menuding ke arah Pendekar Mabuk. "Kau mau main licik rupanya! Menyerang secara diam-diam sungguh perbuatan yang amat memalukan, Bocah tolol! Jika kau jantan, lakukan serangan secara terang-terangan sepertiku ini, hweeeah...!"
Duaar...! Cambuk dilecutkan tepat ke arah pundak Suto Sinting. Dengan jelas sekali Teratai Kipas melihat cambuk yang memercikkan bunga api itu menyabet pundak kiri Suto Sinting. Tetapi yang disabet diam saja dan tidak memberi perlawanan, juga tidak menghindar atau menangkisnya. Hal itu membuat Kumis Tengkorak semakin penasaran dan amarahnya berkobar.
"O, kau mau unjuk kesaktian sebagai orang kebal? Baik! Terimaiah jurus 'Cambuk Gagak Biru' ini! Hiaaah...!"
Duaar...! Cambuk itu memercikkan sinar biru dari ujung sampai pangkalnya. Tampak cepat gerakan lecutnya, jelas sekali menghantam dada Suto Sinting. Tapi sang pendekar tampan itu tetap diam dalam senyum lembut, tak bergeming sedikit pun. Tetapi di sisi sana, Neraka Berjalan tersentak dan terpekik tertahan,
"Aahg...!" ia memegangi dadanya yang mulai luka bagai terkoyak kuku-kuku beruang ganas. Roh Seribu Dewa menjadi heran dan kebingungan. Sementara itu, si Kumis Tengkorak semakin jengkel. Maka cambuknya pun melesat berulangkali, menghantam tubuh Suto bagai menghujani dengan ledakan-ledakan bersinar biru itu.
Duar, duar, duar, duarrr...!
Pundak, punggung, perut, paha, sampai kaki Suto Sinting dijelajahi dengan sabetan cambuk. Suaranya saja sempat membuat tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergetar. Tapi sang Pendekar Mabuk hanya diam saja, tak bergeming sedikit pun. Hanya saja, di sisi belakang Kumis Tengkorak terdengar raung pekikan beberapa kali.
"Aahhg...! Uuhg...! Aaahg...! Oooggh...! Uuhg...!" Neraka Berjalan tersentak ke sana-sini dalam keadaan koyak dan berdarah. Hal itu membuat Roh Seribu Dewa berteriak yang membuat lecutan si Kumis Tengkorak berhenti seketika.
"Hentikan! Hentikaaan...!"
Si Kumis Tengkorak terperangah memandang dua arah bolak-balik; ke Neraka Berjalan dan kepada Suto. Hatinya pun segera membatin, "Edan! Yang kuhajar bocah ingusan itu, tapi kenapa yang kelojotan temanku sendiri?! Luka-lukanya tepat di tempat yang kucambukkan ke tubuh bocah ingusan itu?!"
Suto Sinting menenggak tuaknya. Tenang dan kalem, seakan tak terjadi apa-apa pada dirinya. Mereka tak tahu bahwa Suto telah pergunakan jurua ilmu 'Alih Raga', yang membuat seluruh luka diderita orang yang mendapat pindahan raga dan rasa dari Pendekar Mabuk. Dengan menggunakan pandangan mata yang tadi dilakukan sebelum dicambuk Kumis Tengkorak, Suto Sinting telah memindahkan rasa dan raganya kepada Neraka Berjalan, sehingga yang merasakan sakit dan luka parah adalah Neraka Berjalan, walau yang dicambuk adalah raganya sendiri.
"Kau telah melukai teman sendiri, Kumis Tengkorak!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bingung. Sementara itu Neraka Berjalan jatuh terkapar. Pakaiannya tercabik-cabik.
Kumis Tengkorak berang, tak mau dituduh melukai teman sendiri. "Aku memukul bocah bodoh itu! Bukan memukulkan cambuk kepada Neraka Berjalan! Kalau tak percaya, lihat... kuhancurkan kepala bocah itu!"
Wuutt...! Duaaar...!
"Jangaaan...!" teriak Roh Seribu Dewa panjang sekali. Tapi teriakan itu terlambat. Kumis Tengkorak sudah lebih dulu mencambukkan cambuknya ke arah kepala Suto Sinting. Ujung cambuk itu menyala biru terang dan kepala Neraka Berjalan pun hancur seketika dalam keadaan yang amat mengerikan.
Teratai Kipas tertegun di tempat bagaikan patung. Jurus yang digunakan Pendekar Mabuk telah membuat matanya tak bisa berkedip karena kagumnya. Jurus itu dulu pernah diceritakan oleh gurunya; Selendang Kubur, dan baru sekarang menjadi kenyataan di depan hidungnya. Tak heran jika Teratai Kipas terbengong melompong tak bisa bilang apa-apa ketika kepala Neraka Berjalan hancur bagaikan mewakili kepala Suto Sinting yang dicambuk dengan kekuatan tenaga dalam itu.
Tentu saja Neraka Berjalan tak mau bernyawa lagi karena kepalanya hancur. Seandainya bernyawa pun percuma, karena ia tak akan bisa cuci mata lagi dalam keadaan sudah hancur remuk begitu. Dan keadaan tersebut makin membuat Kumis Tengkorak murka, Roh Seribu Dewa cemas, takut kalau berikutnya giliran kepalanya yang dihancurkan teman sendiri.
"Jangan serang dia! Jangan...!" teriak Roh Seribu Dewa. Tapi seruan itu tidak dihiraukan oleh Kumis Tengkorak yang sudah terselubung murka.
Cambuk diputar-putar di atas kepala. Makin lama semakin menimbulkan suara menggaung. Lalu busa-busa salju bertebaran seirama dengan arah putaran cambuk loreng hitam-putih itu. Jelas yang akan terjadi adalah lecutan bertenaga salju pembeku darah dan penghenti detak jantung manuaia.
Sayangnya sebelum cambuk itu dilecutkan, tiba-tiba seberkas sinar kuning menyerupai bintang melesat dari balik semak dan menghantam dada Kumis Tengkorak. Wuuttt...! Kumis Tengkorak dengan cepat mengarahkan lecutan cambuk ke arah gerakan sinar kuning tersebut. Tepat mendekati dirinya, ujung cambuk menghantam sinar kuning.
Blaaammm...!
Gelegar dentuman sungguh dahsyat. Sinar kuning kemerahan memercik lebar ketika ujung cambuk menghantam sinar tersebut. Hentakan daya ledak sangat kuat. Tubuh si Kumis Tengkorak terlempar lima tombak jauhnya, melayang bagaikan sampah kering tersapu badai. Sedangkan tubuh Roh Seribu Dewa juga terlempar hingga membentur seonggok batuan cadas.
Bruusss...!
Tubuh itu terasa remuk. Seluruh tulangnya bagaikan patah-patah. Sedangkan tubuh Kumis Tengkorak mengepulkan asap tipis, pakaiannya tercabik-cabik, rusak berat. Rambutnya menjadi keriting sebagian karena terbakar. Rupanya sinar kuning tadi menyemburkan gelombang hawa panas yang tinggi pada waktu meledak dihantam cambuk. Beberapa pohon menjadi berkulit keriput karena dilanda hawa panas menyerupai panasnya lahar gunungberapi. Suto Sinting dan Teratai Kipas juga tersentak mundur walau jaraknya tak terlalu dekat dari tempat terjadinya ledakan dahsyat tadi. Hawa panas sempat dirasakan oleh mereka, namun tak begitu parah. Mereka segera saling berdekatan, dan Teratai Kipas berbisik,
"Ada yang memihak kita."
"Ya, aku tahu. Tahu siapa orangnya?" balas Suto Sinting dalam bisikan.
Kejap berikut dari arah datangnya sinar kuning tadi melesat dua sosok manusia yang sama-sama telah dikenal pihak Suto serta pihak Kumis Tengkorak. Dua orang itu tak lain adalah Menak Goyang bersama gurunya; si Malaikat Miskin yang memegangi tongkat bercabang tiga pada ujungnya.
Menak Goyang berdiri di samping gurunya, agak kebelakang. Pinggulnya bergerak-gerak tak mau diam sebentar pun. Tapi senyum dan pandangan matanya tampak sedikit angkuh, seakan merasa bangga atas serangan dari gurunya terhadap Kumis Tengkorak yang dapat membuat alam sekitarnya menjadi layu dan berkeriput kering.
"Malaikat Miskin...!" bisik Teratai Kipas. "Mengapa dia memihak kita?"
"Kita lihat saja apa yang terjadi," kata Suto Sinting dengan pelan.
Malaikat Miskin yang berusia sekitar delapan puluh tahun dengan rambut putih dan jubah abu-abu itu memandangi Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa. Saat itu, keadaan Roh Seribu Dewa masih bisa bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Kumis Tengkorak terhuyung-huyung dengan wajah hangus sebagian dan berdirinya berpegangan pada pohon.
Roh Seribu Dewa berseru, "Paman Malaikat Miskin...! Mengapa Paman ikut mencampuri urusan kami?! Mengapa Paman Malaikat Miskin memihak mereka?!"
Malaikat Miskin menjawab dengan suara dingin, "Haruskah aku memihak para pencuri pusaka?!"
"Hati-hati dalam bicara, Paman! Jika Guru kami Cukak Tumbila mendengar ucapan Paman, bisa-bisa beliau murka kepada Paman Malaikat Miskin!"
"Bilang pada gurumu, aku akan datang mengobrak-abrik Bukit Kopong!" tegas Malaikat Miskin dengan berwibawa. Orang yang gemar memakai pakaian bertambal-tambal walau tampak warna aslinya, segera mendekati Roh Seribu Dewa dalam keadaan wajah tak bersahabat.
"Kuperintahkan kepada kalian untuk pulang sekarang juga dan bilang kepada Cukak Tumbila, bahwa aku akan mengobrak-abrik tempatmu itu! Lekas!"
Roh Seribu Dewa kebingungan dan gemetaran kakinya. Tetapi si Kumis Tengkorak yang masih memegangi cambuknya itu segera mencoba melawan dengan melecutkan cambuk ke arah Malaikat Miskin.
Duaaar...!
Tongkat bercabang tiga pada ujungnya diangkat, cambut melilit di bawah cabang tongkat. Kemudian tongkat itu disentakkan mundur. Wuuuttt...! Treess...! Cambuk loreng hitam-putih itu putus menjadi beberapa bagian. Kumis Tengkorak terbengong melompong. Kemudian dengan gerakan bagaikan terbang miring, wajah Kumis Tengkorak menjadi sasaran telak tendangan kaki Malaikat Miskin yang punya gerakan secepat kilat itu.
Bruuuss...!
"Auuffh...!" Gigi orang itu langsung rontok, mulutnya berdarah, bibirnya pecah. Jelas tendangan itu bertenaga dalam tinggi, karena jika tidak bertenaga dalam tinggi, mulut Kumis Tengkorak tak akan sampai serontok itu.
Tentu saja Kumis Tengkorak mengerang sambil memaki tapi tak jelas ucapan makiannya itu. "Fuh, ahf... fuu, fah... uah, uah, hufiih...!"
"Bahasa mana yang dipakainya?" bisik Suto kepada Teratai Kipas.
Gadis itu menjawab, "Bahasa monyet purba," lalu tawanya terdengar mendesis.
Sementara itu, Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak segera larikan diri sambil membawa pergi mayat Neraka Berjalan. Malaikat Miskin tidak mengejarnya, melainkan berbalik arah dan melangkah dengan penuh wibawa menuju tempat Suto Sinting dan Teratai Kipas berkasak-kusuk.
"Mereka bukan lawan kalian!" katanya berkesan mengecilkan ilmu Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas. "Lain kali jangan coba-coba melawan orang-orang seperti itu tanpa ada diriku bersama kalian. Mereka tak segan-segan mencabut nyawa orang dan tak pernah pandang bulu dalam membantai siapapun!"
"Terima kasih atas pertolonganmu, Malaikat Miskin," kata Suto Sinting bersikap merendah. "Tapi jika boleh aku ingin tahu apa gerangan yang membuatmu mau menolong kami, sampai-sampai melepaskan jurus mautmu untuk mengusir mereka itu?"
Sebenarnya Teratai Kipas ingin membantah pernyataan Malaikat Miskin tadi. Ia merasa diremehkan dengan ucapan seperti itu, ia ingin unjuk kekuatan dan memamerkan ilmunya Suto Sinting. Tetapi melihat sikap Suto merendah, Teratai Kipas urung melakukan bantahan apa pun di depan Malaikat Miskin.
Menak Goyang masih menggerak-gerakkan kaki kirinya dalam bertolak pinggang satu tangan, ia menjawab pertanyaan Suto tadi sebelum gurunya bicara lebih banyak lagi.
"Jika bukan karena budi baik Guru, kalian tak akan ditolong dari ancaman maut Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa itu!"
"Gurumu baik sekali, Menak Goyang," ujar Suto. "Cuma sayang belum bisa menangkap pencuri pisau pusakanya sendiri."
Malaikat Miskin segera menyahut kata, "Justru itu aku menyingkirkan mereka berdua agar tak mengusik nyawa kalian, karena aku bermaksud mengajak kalian bergabung menangkap pencuri Pisau Tanduk Hantu!"
"Lho, bukankah selama ini sayalah yang dicurigai sebagai pencurinya?" kata Suto Sinting dengan berpura-pura heran.
"Setelah kupertimbangkan baik-baik, ternyata apa yang kau katakan kepada muridku; Menak Goyang itu memang benar. Bukit Kopong adalah pusat Maling! Jadi kurasa memang orang-orang Bukit Kopong itulah yang mencuri Pisau Tanduk Hantu-ku itu."
"Jika kau menyerang Bukit Kopong berarti kau akan berhadapan dengan Cukak Tumbila, saudara seperguruanmu sendiri, Malaikat Miskin!" kata Teratai Kipas tanpa basa-basi lagi.
"Itu sudah kuperhitungkan. Karenanya aku tak perlu membawa sepasukan muridku untuk menyerang ke Bukit Kopong. Cukup kita berempat, mereka akan kita buat morat-marit tak bernyawa lagi."
"Kita berempat?" sahut Suto Sinting bernada heran. "Maksudmu aku dan Teratai Kipas harus ikut menyerang orang-orangnya Cukak Tumbila?!"
"Kejahatan dibalas dengan kejahatan, dan kebaikan pun dibalas dengan kebaikan. Jika aku tadi telah menolong kalian dari ancaman maut si Kumis Tengkorak, apa salahnya jika kalian membalas pertolonganku itu dengan membantuku menyerang Bukit Kopong?"
Teratai Kipas mencibir dan membatin, "Hmmm... licik sekali dia! Padahal tanpa bantuannya, sebenarnya Suto Sinting dapat menyingkirkan Kumis Tengkorak dengan mudah sekali! Malaikat Miskin hanya sekadar cari dukungan, dan agaknya ia tahu bahwa Suto Sinting punya ilmu cukup tinggi yang bisa diandalkan untuk menghadapi Cukak Tumbila."
Tetapi Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya menjawab dengan bahasa yang rendah. "Apakah kau tak salah pilih, Malaikat Miskin? Kami melawan Kumis Tengkorak saja tak mampu, apalagi harus melawan orang-orang Bukit Kopong?"
Malaikat Miskin merasa terpojok oleh kata-katanya sendiri, ia menarik napas sambil mencari alasan kuat untuk membujuk Suto Sinting. Akhirnya ia berkata dengan jarak lebih dekat lagi, "Kau dan Teratai Kipas memang tak seberapa tinggi ilmunya, tapi jika kekuatan kalian digabungkan dengan kekuatanku, maka akan menjadi kekuatan besar yang maha dahsyat! Cukak Tumbila dan orang-orangnya tak akan bisa menandingi kekuatan kita!"
Suto Sinting tertawa kecil seperti mereka tersipu malu. "Kau hanya membesarkan hatiku saja, Malaikat Miskin. Seperti anggapanmu sendiri, aku bukan orang hebat yang punya ilmu tinggi, ilmuku tidak ada sekuku hitam dari ilmumu. Penggabungan ini hanya akan sia-sia saja, Malaikat Miskin. Kurasa kau bisa menempuhnya dengan cara lain, yaitu berunding baik-baik dengan Cukak Tumbila, meminta pisaumu dikembalikan, mendesaknya agar memaksa salah satu orangnya untuk mengaku sebagai pencuri pisau pusaka itu."
Wajah tokoh tua yang licik itu tampak gelisah. Agaknya bujukannya nyaris menemui jalan buntu. Bahkan di hatinya sempat timbul niat untuk memaksa dengan sebuah ancaman baru; menyandera Teratai Kipas agar Suto mau ikut menyerang ke Bukit Kopong. Namun sebelum niat itu dijalankan, tiba-tiba Malaikat Miskin terpaksa membalikkan badan seketika dan menyentakkan tangan kirinya. Ternyata ada kilatan cahaya hijau bening yang menyambar ke arahnya dari belakang. Cahaya hijau bening itu dihantam dengan cahaya merah yang keluar dari tengah telapak tangan kanannya.
Wuuutt...! Blegaaar...!
Pepohonan bergetar karena gelombang ledakan yang besar. Asap hitam mengepul dari hasil ledakan tadi. Ketika asap hitam lenyap, tampaklah dua sosok tubuh berdiri di seberang sana memandang ke arah Malaikat Miskin. Mereka adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya, Kadal Ginting.
Teratai Kipas mengeluh di samping Suto, "Yaaah... si tikar rombeng lagi!"
Suto Sinting hanya tertawa geli tanpa suara. Matanya melirik Teratai Kipas yang juga menahan tawa dalam senyum dan geleng-gelengkan kepala.
Terdengar suara Resi Pakar Pantun mengawali sapaannya, "Tikar rombeng dibuat alas bertapa. Sekali bertapa mudah tertawa Cukup lama kita tidak berjumpa. Sekali berjumpa harus mengadu nyawa."
Di sisi lain Teratai Kipas kembali berbisik kepadaS uto, "Benar apa kataku, bukan?! Tikar rombeng lagi...!"
"Ssst...! Diamlah. Kita ingin tahu apa masalah yang membuat sang Resi ingin mengadu nyawa dengan Malaikat Miskin. Setelah tahu masalahnya kita pergi diam-diam, tak perlu ikut campur urusan ini."
Suara Malaikat Miskin menggelegar lantang, "Apa maksudmu berpantun demikian, Resi Pakar Pantun?! Kau menantangku beradu nyawa?!"
"Tikar rombeng terpaksa harus disewa. Robek sedikit tak akan ada pembeli. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Hutang pusaka harus direbut kembali!"
Kemudian Resi Pakar Pantun melangkah lebih dekat lagi dan berkata, "Kau telah membunuh adikku beberapa tahun yang silam dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Pusaka itu adalah pusaka warisan dari leluhur kami. Cukup lama aku mencarimu, Malaikat Miskin, baru sekarang tiba saatnya kita bertemu. Maka jangan heran jika aku ingin mengadu nyawa denganmu demi membalas kematian adikku dan merebut pusaka leluhur kami itu!"
"Pusaka itu telah hilang, tidak di tanganku lagi!" bentak Malaikat Miskin dengan garang.
"Tikar rombeng hanyut di air berbusa. Burung camar lupa akan induknya. Tampang miskinmu memang harus dipaksa. Agar pusaka kembali ke tangan pemiliknya!"
Malaikat Miskin menggeram penuh kemarahan, lalu berseru, "Menak Goyang, habisi mereka!"
Resi Pakar Pantun pun berkata, "Kadal Ginting, hadapi dia!"
"Tikar rombeng dipakai..."
"Hadapi diaaa. !" bentak sang Resi.
"Baik, Eyang! Hiaaatt...!" Kadal Ginting melompat bersalto dua kali. Begitu mendaratkan kakinya ke tanah di sambut tendangan berputar oleh Menak Goyang.
Wuuukk...! Kadal Ginting merendah dan merunduk sehingga kaki itu lolos dari kepalanya. Kedua tangan segera bertumpu di tanah, dan kakinya menyabet berputar ke depan. Wuuutt...! Plak...! Kaki Kadal Ginting menyambar kaki Menak Goyang.
Brruus...! Menak Goyang jatuh terpelanting, dan Kadal Ginting segera melompat berdiri tegak dengan satu kaki diangkat dan dua tangan yang menguncupkan jari-jarinya itu merentang ke samping bagaikan sayap burung perkasa.
"Jurus tikar rombeng...!" serunya, lalu tangannya berkelebat sibuk sendiri memainkan gerakan jurus yang tak dimengerti lawan. "Heeaaat...!"
Selebihnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tak mengetahui, siapa yang unggul dalam pertarungan itu. Karena kejap berikutnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas telah jauh dari mereka, meninggalkan tempat itu menuju sebuah gua yang menjadi tempat penyimpanan Telur Mata Setan.
Teratai Kipas tak tahu persis, gua yang mana yang dimaksud oleh Nyai Guru Betari Ayu itu. Tetapi ia tahu bahwa di lereng timur gunung tersebut memang terdapat banyak gua yang biasa digunakan untuk bertapa.
"Kita harus menemukan gua itu dan mendapatkan Telurnya sebelum si Tikar Rombeng selesai bertarung dengan Malaikat Miskin," kata Suto kepada Teratai Kipas.
Gadis itu hanya menggumam, dan segera hentikan langkahnya dengan merentangkan tangan sebagai tanda bahwa Suto pun diperintahkan untuk berhenti.
"Ada apa?" tanya Suto dengan heran.
"Semak di depan sana bergerak-gerak aneh. Aku curiga di semak-semak itu ada seseorang yang menunggu kedatangan kita!"
Pendekar Mabuk pandangi semak-semak yang dimaksud, dan ia hanya menggumam lirih sambil manggut-manggut. Lalu ia berkata pelan, "Dugaanmu memang benar. Aku mendengar detak jantung lebih dari dua orang!"
"Siapa mereka dan apa maunya menghadang kita? Padahal kita sudah dekat dengan lereng gua-gua yang akan kita tuju itu."
* * *
TUJUH
EMPAT orang berpakaian sama muncul dari balik semak belukar itu. Empat orang tersebut agaknya empat prajurit yang mempunyai tugas tersendiri di tempat itu. Mereka mengenakan celana kuning bergaris merah dengan rompi kuning bertepian benang berenda merah. Masing-masing berusia sekitar dua puluh lima tahun. Hanya satu yang agak tua dan berkumis tebal, usianya sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Si kumis tebal itulah yang mendekati Pendekar Mabuk dan bicara mewakili ketiga rekannya."Apakah kau tahu siapa mereka?" bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas.
"Hmm... eh... tidak," jawab Teratai Kipas dengan cemas dan gelisah. "Tapi dilihat dari pakaian seragamnya, mereka pasti prajurit dari sebuah negeri yang... yang... entahlah dari negeri mana. Coba kau tanyakan saja padanya!"
Si kumis lebat yang bersenjatakan pedang dipinggang itu menyapa dengan suara tegas dan lantang. "Maaf, Tuan muda...! Siapakah Tuan dan ada keperluan apa datang ke wilayah ini? Mohon Tuan sudi menjelaskannya."
"Namaku Suto, aku mau mencari gua untuk bertapa," jawab Suto Sinting sekadar melegakan hati si penanya.
"Kumohon Tuan jangan melintasi wilayah ini, karena wilayah ini tertutup untuk sementara. Raja kami sedang bertapa. Silakan Tuan muda mencari tempat lain yang diperlukan."
Suto Sinting berbisik kepada Teratai Kipas, tapi agak terkejut melihat Teratai Kipas ada di bawah pohon, bagai menyembunyikan diri di sana. Suto Sinting terpaksa mendekatinya, memandangi wajah cemas si gadis cantik itu.
"Teratai..., kenapa kau? Takut menghadapi mereka?"
"Tid... tidak. Aku tidak takut."
"Mengapa kau gelisah dan sedikit pucat?"
"Hmm... anu... terus terang saja, prajurit yang memegang tombak berujung pedang itu mirip sekali dengan bekas kekasihku. Aku tak mau melihatnya. Kau saja yang berhadapan dengan mereka."
Suto Sinting tersenyum geli. "Hatimu terlalu lembut untuk sebuah kenangan lama, Teratai Kipas. Tapi... baiklah akan kuhadapi sendiri. Hmmm... o, ya... bukankah Nyai Guru Betari Ayu menyebut-nyebut gua yang dipakai untuk bertapa seorang raja?"
"Hmm... iya, benar. Di dalam gua itulah Telur Mata Setan berada."
"Tapi mereka melarang kita ke sana! Apakah aku harus menerjang larangan itu? Menurutmu bagaimana, Teratai Kipas?"
"Menurutku ya... ya terjang saja. Terserah kamu," Teratai Kipas menjawab tanpa pertimbangan apa-apa hanya sekadar menutupi keadaan dirinya yang dicekam kegelisahan.
Sebelum kembali menemui prajurit berkumis lebat, Suto Sinting menenggak tuaknya dulu. Tiga tegukan sudah cukup baginya. Badan terasa segar dan wajahnya berseri-seri. Dengan senyum tipis ia berkata kepada prajurit itu. "Aku harus menemui rajamu."
Prajurit itu terkejut. "Apa maksudmu sebenarnya, Tuan muda?"
"Ada yang ingin kuambil dari gua tempat rajamu bertapa!"
"Oh, itu sangat tidak mungkin, Tuan muda. Tugas kami adalah menjaga Prabu Wiloka yang sedang bertapa agar tidak terganggu. Sekarang Tuan muda justru datang ingin bertemu Prabu Wiloka, itu tidak mungkin, Tuan muda!"
Prajurit itu sekalipun berkumis lebat namun tergolong prajurit yang sopan dalam tutur katanya. Karena itu Suto Sinting tak berani bersikap kasar sedikit pun, ia bahkan bersikap lebih merendahkan diri dan hati-hati. "Barangkali jika Prabu Wiloka mengetahui keperluanku, beliau akan memaklumi, mengapa aku datang mengunjungi beliau dan mengganggu bertapanya. Aku butuh pertolongan Prabu Wiloka, karena aku manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan, masih membutuhkan bantuan pihak lain. Jadi izinkan aku menemui Prabu Wiloka. Ini sangat penting!"
Prajurit itu gelengkan kepala dengan senyum tipis. "Tetap tidak bisa, Tuan muda. Jangan memaksa!"
"Bagaimana jika aku nekat menemui beliau?"
"Dengan penuh sesal kami akan bertindak sedikit keras, Tuan muda!"
"Kalau begitu, baiklah. Aku akan nekat menemui beliau."
Suto Sinting melangkah maju, prajurit itu segera bergerak cepat menendangkan kakinya ke arah samping. Wuuut...! Plaak...! Suto Sinting menangkisnya dengan kibasan tangan ke belakang. Kaki itu terbuang, sentakannya keras sekali hingga orang berkumis lebat itu terpelanting. Brrukk...! ia jatuh dan dibiarkan oleh Suto, tidak diserang lagi. Padahal jika Suto mau, sekali serangan saja orang itu bisa lumpuh selamanya. Tiga prajurit bersenjata tombak segera menyerang Suto Sinting dari belakang. Mereka melompat dan berteriak bersama-sama.
"Heeeaah...!"
"Hentikan!" bentak Suto Sinting.
Buurrrtk...! Mereka hentikan lompatan dan saling berjatuhan sendiri-sendiri. Suto Sinting dipandang oleh mereka, termasuk si kumis lebat.
"Jangan ada yang melarangku! Mengerti?!"
"Mengerti!" jawab mereka serentak, termasuk kumis lebat.
Di balik pohon, Teratai Kipas memandang penuh keheranan. Hatinya berkecamuk membatin keanehan yang dilakukan Suto Sinting itu. "Ilmu apa lagi yang digunakan Suto? Prajurit-prajurit itu menjadi takut, menunduk dan menurut dengan perintahnya? Ini benar-benar aneh. Padahal mereka dididik pantang menyerah. Tapi hanya dengan satu kali bentakan, mereka menjadi seperti dikebiri, tak punya keberanian menyerang sedikit pun?"
Teratai Kipas tak tahu bahwa Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu mempunyai ilmu yang aneh-aneh, sehingga disebutnya 'sinting'. Di sinilah salah satu letak dari kesintingan Suto. Ia menguasai ilmu 'Sentak Bidadari'. Dengan getaran gelombang suara yang menyerang jiwa seseorang, Suto Sinting bisa membuat orang itu tunduk, keberaniannya menjadi surut. Ilmu itu hanya bisa digunakan untuk orang-orang yang tidak berilmu tinggi. Jika para prajurit bisa dibuat tunduk dan menurut, berarti mereka tidak berilmu tinggi.
"Antarkan aku menemui Raja! Katakan bahwa aku punya masalah penting dan sangat membutuhkan bantuannya demi menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Baik, Tuan muda!" jawab prajurit berkumis lebat.
Suto Sinting melambaikan tangan kepada Teratai Kipas, tapi gadis itu tak mau jalan. Suto terpaksa mendekatinya dan berkata pelan, "Jiwa mereka sudah kukuasai. Mereka akan antarkan kita ke goa itu!"
"Pergilah sendiri."
"Teratai...?! Mengapa kau jadi begini?"
"Aku... aku akan melintasi jalan lain. Kalau sewaktu-waktu kau dalam bahaya, aku bisa datang membantumu. Kalau kita bersama-sama, kita akan terperangkap dan tersergap bersama pula. Kita berpencar, tapi aku tak akan jauh-jauh darimu. Percayalah! Aku tak akan lari meninggalkan dirimu, Suto!"
"Suatu pemikiran yang bagus," kata Suto Sinting sambil tersenyum. Tapi batinnya berkata lain, "Aku tahu, kau menderita batin jika berjalan dengan prajurit yang mirip kekasihmu itu. Aku tak mau menyiksamu. Aku tahu betul rasanya derita batin yang timbul karena kenangan masa lalu. Baiklah, Teratai... jaga dirimu juga agar jangan sampai terperangkap hal-hal yang tidak kita inginkan bersama."
Teratai Kipas segera pergi tinggalkan tempat itu ketika Suto Sinting berjalan didampingi keempat prajurit tadi. Ilmu 'Sentak Bidadari' membuat Suto seperti seorang tamu agung yang dikawal ketat dan dijaga keselamatannya. Sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah gua yang rupanya punya penjagaan lebih ketat lagi. Sejumlah prajurit berkeliaran di sana, malah ada yang mendirikan tenda untuk giliran tugas jaga. Jumlah prajurit yang ada di sana lebih dari dua puluh orang.
Melihat kedatangan Suto Sinting didampingi empat prajurit, mereka menyangka keempat prajurit menemukan seorang mata-mata. Para prajurit lainnya segera bergerak cepat. Dalam waktu singkat mereka sudah mengurung Suto Sinting dan keempat prajurit itu. Dua orang berbadan tinggi besar yang menjaga pintu gua memandang ke arah kepungan tersebut. Salah satu yang berbadan kekar, berkepala gundul dan mengenakan rompi hitam, celana hitam, segera datang mendekati kepungan. Orang itu menyandang pedang besar tanpa sarung yang diselipkan di sabuk hitamnya. Wajah orang itu tampak menyeramkan. Alisnya tebal, matanya lebar. Barangkali dia adalah pengawal Prabu Wiloka yang terpercaya dan berilmu tinggi.
"Gutomo!" seru si gundul berkumis lebat juga itu. "Mata-mata dari mana yang kalian tangkap itu?"
Gutomo, prajurit yang berkumis lebat dan tadi sempat dijatuhkan oleh Suto Sinting itu berkata dengan sedikit cemas. "Dia bukan mata-mata. Tuan muda ini bermaksud baik, Mugowira! Tuan muda ini bernama Suto Sinting dan ingin bertemu dengan Prabu Wiloka."
"Goblok!"
Glepoook...! Gutomo ditampar keras oleh Mugowira yang berbadan kekar itu. Sekali tampar ditanggung melintir tiga kali. Wajah Gutomo merah bagaikan buah yang matang di pohon.
"Sudah kuingatkan, jangan sampai ada orang yang mendekati gua ini! Mengapa kau malah membawa orang?! Goblok sekali kau, Gutomo!"
"Mak... maksudnya... Tuan muda ini ingin minta bantuan kepada Prabu Wiloka untuk menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Tak peduli apa pun alasannya, pulangkan dia!" bentak Mugowira.
"Ak... aku... aku tidak berani menyuruhnya pulang, Mugowira."
"Pengecut! Prajurit macam kau pantasnya digites saja! Huhh...!" tangan Mugowira menghantamkan tinjunya ke wajah Gutomo. Namun sebelum tinju itu menyentuh wajah, Suto Sinting kirimkan sentilan 'Jari Guntur'-nya yang tepat kenai pergelangan tangan Mugowira.
Tees...! Duub...!
"Aauh...!" pekiknya kaget sampai melonjak dengan wajah menyeringai. Tangan itu bagaikan ditendang kuda dan bengkak sampai ujung siku. "Jahanam kau!" geram Mugowira penuh dendam, ia segera tarik napas dalam-dalam dan menggerakkan tangan kirinya menjadi keras, menyalurkan hawa murni untuk kurangi rasa sakit pada tangan kanannya itu.
Sementara para prajurit lainnya sudah bersiap-siap melepaskan tombak dan senjata apa pun yang bisa dilemparkan ke arah Suto Sinting. Namun kali ini, ilmu 'Sentak Bidadari' digunakan lagi oleh Suto untuk mengurangi pertikaian yang akan membawa korban.
"Letakkan semua senjata kalian! Letakkan!" bentak Suto Sinting.
Satu demi satu mereka mundur. Perlahan-lahan senjata mereka diletakkan di tanah bagaikan dalam keraguan. Mugowira memandang dengan heran, ia mencoba memberi semangat kepada para prajurit dengan berseru,
"Serang dia, Seraaang...!"
Para prajurit segera ambil senjata masing-masing yang sudah telanjur ditaruh di tanah. Tapi begitu mereka mau mengambilnya, suara Suto Sinting terdengar lagi berseru membentak,
"Mundur semua!"
Wuuurrt...! Dengan serentak mereka mundur tinggalkan senjata maaing-masing. Mugowira mulai paham siapa yang dihadapi. Pasti bukan pemuda sembarangan. Dan Suto Sinting pun mulai menyadari bahwa orang gundul bertubuh kekar itu tentunya orang berilmu tinggi, buktinya ilmu 'Sentak Bidadari' tidak berhasil mempengaruhi jiwanya menjadi takut dan penurut seperti para prajurit lainnya itu.
"Apa maksudmu bikin keributan di sini?!" sentak Mugowira kepada Suto.
"Seperti kata Gutomo tadi, aku butuh bantuan Prabu Wiloka."
"Tidak seorang pun boleh menemui Prabu Wiloka!"
"Aku sangat butuh bantuan sang Prabu."
"Apa pun alasanmu, sebaiknya kau pulang saja!"
"Aku tidak mau pulang sebelum bertemu sang Prabu Wiloka!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu dengan cara kasar!"
"Aku menerima caramu, Mugowira!"
Mugowira melangkah ke samping mencari kelengahan Suto Sinting. Dengan tenang Suto Sinting sengaja menenggak tuak memancing kelengahan supaya diserang. Pancingannya berhasil, Mugowira melepaskan pukulan jarak jauh dengan sinar putih berkerilap dari tangan kanannya. Claaap...! Suto Sinting segera berlutut. Bumbung tuak dihadangkan ke arah lajunya sinar putih itu. Maka sinar tersebut menghantam bumbung tuak. Deeb...! Ternyata sinar itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar lagi. Wuuuutt...! Mugowira kaget. Kaki segera menyentak ke tanah, tubuh melayang naik. Wuuss...! Sinar putih menghantam dinding tebing berjarak lima tombak dari pintu gua.
Blegaaaarr...!
Beberapa prajurit terpental karena sentakan daya ledak yang menggema dahsyat itu. Mugowira terbengong melihat sinar putihnya nyaris meruntuhkan dinding batu tebing. Sebagian bebatuan di atas sana bergulir longsor. Seorang penjaga yang tinggal di mulut gua sendirian memandang kagum pada apa yang terjadi. Penjaga itu semula berdua dengan Mugowira, tapi ketika mendengar gelegar yang dahayat, ia menjadi ragu-ragu untuk datang membantu Mugowira. Jika ia ke sana berarti ia meninggalkan mulut gua. Padahal mulut gua harus tetap dijaga supaya tidak dimasuki pihak lain yang akan mengganggu tapa sang Prabu Wiloka. Orang itu jadi gelisah dan salah tingkah, mondar-mandir di depan pintu gua dengan tubuhnya yang juga kekar sudah siap mencabut pedang dipunggungnya.
"Edan! Pukulanku bisa berbalik arah dan menjadi sedahsyat itu?! Padahal pukulan tadi hanya akan membuatnya lumpuh, tak bisa menghancurkan benda apa pun. Tapi... kenyataannya pukulanku tadi hampir saja membelah dinding batuan sekeras itu?!" pikir Mugowira dengan terheran-heran.
Suara dentuman tadi ternyata membangunkan masa bertapa sang Prabu Wiloka, raja Negeri Majageni. Melihat sang Prabu keluar dari gua, semua prajurit menunduk dalam ketakutan dan penuh hormat. Wajah sang Prabu yang berpakaian putih mirip pendita itu kelihatan sedang menahan marah, ia melangkah didampingi penjaga pintu gua yang berpakaian merah dengan hiasan rompi biru tua, rambut panjang sepundak diikat dengan ikat kepala kain biru pula.
"Mugowira! Apa yang terjadi hingga membatalkan tapaku?!"
Mugowira membungkukkan badan penuh hormat, "Ampun, Prabu... seorang anak muda memaksa ingin bertemu Kanjeng Prabu dan membuat keonaran di sini!"
Prabu Wiloka memandang tajam kepada Suto, yang dipandang justru membungkukkan badan memberi hormat sebagai tanda kesopanannya juga. Setelah Suto Sinting berdiri dengan tegak lagi, Prabu Wiloka menyapa dengan suara tegas, bernada geram sebagai tanda kemarahan yang terpendam.
"Siapa dirimu, sehingga berani mengganggu mas bertapaku?!"
"Namaku Suto Sinting, sang Prabu! Aku..."
"Tunggu!" sergah Prabu Wiloka tanpa mahkota. "Sepertinya nama itu pernah kudengar dari mulut para tokoh sakti yang berkunjung ke Negeri Majageni!"
"Mungkin hanya kesamaan nama yang secara kebetulan saja, Prabu. Yang jelas, kedatangan saya kemari ingin masuk ke gua itu untuk mengambil sesuatu yang amat berharga bagi jiwa orang lain."
"Lancang betul maksudmu?!"
"Maafkan saya, Prabu Wiloka. Saya terpaksa lakukan demi menolong jiwa seorang sahabat yang terkena Racun Ludah Naga!"
Prabu Wiloka tersentak kaget. Cepat-cepat ia sentakkan tangannya ke arah mulut gua. Dan tiba-tiba sinar kuning melesat dari tangan itu, menghantam tepian pintu gua, lalu menyebar membentuk seperti jala. Craaab...! Sinar kuning itu tetap menyala sebagai penghalang masuk ke dalam gua.
"Kalau kau berani masuk ke dalam gua, maka tubuhmu akan hangus seketika oleh sinar kuning penjerat sukma itu!" kata Prabu Wiloka.
"Apa maksud Prabu Wiloka memasang sinar penjerat sukma itu?!"
"Tak kuizinkan siapa pun memasuki gua yang sedang kugunakan untuk bertapa itu! Jika ia nekat masuk, berarti ia nekat bertaruh nyawa!"
"Rasa-rasanya saya memang terpaksa mempertaruhkan nyawa demi sahabat yang menderita Racun Ludah Naga itu, Prabu!"
"Racun Ludah Naga hanya dimiliki oleh Syakuntala, Panglima dari tanah Hindus!" katanya mencoba membeberkan pengetahuannya.
"Memang benar. Syakuntala itulah yang membuat tubuh sahabat saya menyusut dan kian lama kian menjadi seperti bocah cilik, Prabu. Tetapi di dalam gua itu ada obat yang harus kuambil dan diminumkan kepada sahabat saya itu!"
Prabu Wiloka diam sesaat, ia mulai bimbang. Setelah berjalan mondar-mandir beberapa saat, Prabu Wiloka berkata, "Tidak! Siapa pun tetap tidak kuizinkan masuk. Kalau kau nekat, kau akan berhadapan dengan Mugowira dan Mahesa Sulung," sambil menunjuk penjaga berpedang di punggung dan berpakaian merah dengan rambutnya yang panjang itu.
"Kalau memang saya harus diadu dengan mereka, saya tidak keberatan, Prabu. Tapi saya mohon kerelaan Prabu jika sampai kedua pengawal Prabu cedera atau bahkan tewas di tangan saya!"
"Jangan sesumbar dulu, Suto Sinting!" geram Prabu Wiloka. "Mahesa Sulung, Mugowira... hadapi dia!"
Mugowira maju lebih dulu. Ia melompat dari sisi kanan ke tengah lingkaran pengepung, karena para prajurit masih mengelilingi Suto Sinting membentuk pagar betis berlingkaran lebar. Prabu Wiloka sendiri undurkan diri, memberi tempat lega untuk pertarungan Suto dan Mugowira. Tangan Mugowira mengeras membentuk cakar. Lalu jurus-jurus cakar harimau dimainkan dengan gesit. Sementara itu Suto Sinting diam saja dengan bumbung tuaknya ada di tangan kanan, melilit talinya di tangan itu.
"Hiaaat...!" Mugowira menyerang dengan pukulan bercakar secara beruntun. Tapi Suto Sinting tetap diam di tempat, menghindar dengan cara meliuk-liukkan tubuhnya seperti gerakan orang mabuk. Kadang ia menangkis dengan kibasan tangan seperti orang mau jatuh. Dan pada satu kesempatan, tangan kiri Suto menghantam masuk ke dada Mugowira.
Buuehg...!
"Huuhgg...!" Mugowira terpekik berat, tubuhnya yang besar terpental terbang hingga ke tepian garis lingkar, nyaris menjatuhi seorang prajurit. Tubuh besar itu bagaikan terbanting dengan telak. Suara jatuhnya pun menimbulkan bunyi berdebum yang membuat tengkuk para prajurit merinding. Darah keluar dari mulut. Tak seberapa banyak, namun memancing kemarahan Mugowira lebih besar lagi. Maka ia pun segera bangkit dan mencabut pedang besarnya yang bergagang ukir dengan rumbai-rumbai benang merah.
"Hiaaatt...!" teriakannya memanjang, ia berlari sambil siap-siap menebaskan pedangnya. Dan dalam jarak tertentu ia melompat cepat, wuuuttt...! Pedangnya ditebaskan ke leher Suto Sinting.
Wuuung...! Duaaar...!
Terdengar bunyi ledakan yang mengejutkan Prabu Wiloka. Ledakan itu timbul akibat gerakan pedang besar dihadang oleh bumbung tuak. Pedang besar itu langsung patah menjadi dua bagian. Mugowira terbelalak bengong. Saat itulah kaki Suto Sinting menendang ulu hati Mugowira dengan telak.
Duuuss...!
"Nggekkk...!" tubuh besar itu melengkung ke depan, punggungnya ke belakang. Tubuhnya melayang lagi sambil memuntahkan darah merah. Brrukk...! ia jatuh dalam keadaan terkulai lemas.
"Prabu Wiloka!" seru Suto. "Kumohon jangan timbulkan korban lagi. Kedatanganku bukan untuk membuat kematian di antara para pengawalmu!"
"Mahesa Sulung, maju...!" teriak Prabu Wiloka yang agaknya semakin marah melihat salah satu dari dua pengawal andalannya dirobohkan oleh Suto.
Mahesa Sulung segera mencabut pedangnya dari punggung, ia tampak lebih kalem dari Mugowira. Jurus pedang segera dimainkan di depan Suto Sinting. Tetapi agaknya Suto Sinting ingin perlihatkan tingkatan ilmunya yang lebih tinggi lagi dari jurus yang sudah digunakan untuk melawan Mugowira tadi. Suto Sinting sengaja menenggak tuaknya, memancing kelengahan agar segera diserang lawan. Kali ini ia menyisakan tuak di dalam mulut, dikumur-kumurnya sebelum akhirnya ia terpaksa harus melompat bersalto mundur ketika Mahesa Sulung menebaskan pedangnya yang bergerak bagaikan kilat itu.
Wut, wut, wut, wut, slaap...!
Beberapa tebasan berhasil dihindari Suto Sinting, dan satu kesempatan bagus diperoleh sang pendekar tampan. Tuak dalam mulutnya disemburkan ke arah pedang Mahesa Sulung.
Bwweerrsss...! Claap...!
Mahesa Sulung terbengong seketika, diam bagaikan patung dengan tangan hampa, tanpa pedang tanpa senjata apa pun. Pedang itu lenyap setelah disembur oleh Suto menggunakan tuak dalam mulutnya. Jurus 'Sembur Siluman' digunakan Suto Sinting untuk memberi peringatan kepada pihak Prabu Wiloka bahwa pertarungan tak perlu terjadi dan saling menolong sangat dibutuhkan.
Prabu Wiloka sendiri diam tak bergerak ketika melihat pedang Mahesa Sulung bisa lenyap dalam sekali sembur. Hatinya segera membatin, "Luar biasa hebatnya dia! Mahesa Sulung akan sia-sia jika tetap melawannya. Setidaknya kucoba dengan jurus 'Pancasurya', apakah ia masih bisa menandingi jurus andalanku ini?!"
Lalu sang Prabu berseru, "Mahesa Sulung, minggirlah! Biar kuhadapi sendiri orang ini!"
Mahesa Sulung segera menyingkir walau masih dengan wajah seperti orang pikun yang habis kehilangan pedangnya. Prabu Wiloka maju empat tindak, dan Suto Sinting tetap berdiri tegak menenteng bumbung tuaknya. "Suto Sinting, terimalah jurus 'Pancasurya' ini, hiaaah...!"
Wuuutt...! Kedua tangan Prabu Wiloka berjari lurus dan rapat, disentakkan ke tanah. Dari tanah di depannya keluar lima larik sinar biru sebesar lidi.
Craaip...!
Lima larik sinar merah menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat bumbung tuak melintang di depan dada, dipegang ujung-ujungnya dengan dua telapak tangan saling menekan. Drrrub...! Sinar itu menghantam bumbung dan lima-limanya berbalik dengan cepat dan lebih besar ragi. Lima sinar biru besar itu menghantam tanah tempat Prabu Wiloka berpijak.
Blegaaarr...!
Prabu Wiloka tersentak melesat ke atas. Hampir saja kakinya buntung jika Suto Sinting tidak sedikit mengarahkan lebih ke bawah, dengan begitu sinar biru tersebut menghantam tanah di depan kaki sang Prabu, bukan tepat pada kedua kakinya.
Semua orang yang ada di situ terkejut. Terbengong, terperangah dan berdebar-debar melihat sang Prabu bersalto di udara satu kali, lalu berhasil mendarat lagi, sedikit terkilir dan jatuh bersimpuh. Mahesa Sulung segera menolongnya bangkit.
"Ouh... kakiku...!" rintih sang Prabu dengan terpincang-pincang.
"Biar saya hadapi lagi orang itu, Kanjeng Prabu!"
"Jangan! Dia bukan orang sembarangan! Biar aku saja yang hadapi dia!" kata sang Prabu, lalu matanya memandang lurus ke arah Suto Sinting. Sebelum ia bicara, Pendekar Mabuk yang tampak tetap tenang itu berkata,
"Prabu, jangan mendesakku untuk membuat korban nyawa di sini! Kumohon kerelaanmu untuk mengizinkan diriku masuk ke gua itu dan mengambil Telur Mata Setan yang ada disana!"
Prabu Wiloka terperanjat. Mulutnya membungkam, matanya tak berkedip. Rupanya ia mempertimbangkan keputusannya. Kejap berikut barulah terdengar suaranya berkata dengan nada tak segarang tadi. "Jauh-jauh aku menemukan tempat bertapa yang paling baik dan berkekuatan gaib cukup tinggi. Haruskah kubiarkan tempat itu kau acak-acak, Anak Muda?! Terus terang, aku sendiri tidak tahu kalau di dalam gua itu ada Telur Mata Setan yang setahuku hanya ada dalam dongeng belaka. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak ingin tempat itu kau acak-acak sebelum tapaku rampung."
"Apa yang Prabu cari dalam bertapa itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku bertapa bukan untuk mencari Telur Mata Setan. Perlu kau ketahui, aku hanya mempunyai dua orang anak, satu lelaki, satu lagi perempuan. Dan anak lelakiku sudah mati bunuh diri karena gila cinta. Tinggal anak perempuanku yang kuharapkan menjadi pewaris tahta Negeri Majageni. Tetapi sejak kecil anak itu telah minggat dan tak pernah pulang karena aku menikah lagi. ia tidak setuju dengan pernikahanku yang baru. ia tidak mau mempunyai seorang ibu tiri. Ia pergi dan hatiku pun selama sepuluh tahun ini menjadi kosong tanpa kebahagiaan."
Sang Prabu menarik napas, bagaikan menekan perasaan duka. Lalu ucapannya dilanjutkan lagi setelah ia melihat Suto Sinting selesai menenggak tuaknya. "Aku bertapa hanya untuk mendapatkan anakku kembali. Tapi kau mengacau kehadiran dewa yang ingin memberikan petunjuk padaku tentang di mana anak gadisku itu. Kau akan kuizinkan masuk ke gua dan mengambil Telur itu jika kau bisa menemukan anakku yang hilang sepuluh tahun lamanya, bahkan lebih dari sepuluh tahun."
"Siapa nama anak itu?"
"Roro Padmi!"
Tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang segera mendarat dari gerakan saltonya ke depan Suto Sinting. Orang itu adalah Teratai Kipas, langsung bersujud di kaki Prabu Wiloka sambil menghamburkan tangis, "Ayah... ampunilah aku!"
Prabu Wiloka dan Suto sama-sama kaget serta terheran-heran. Teratai Kipas dibimbing berdiri oleh sang Prabu dan dipandangi beberapa saat, lalu terucaplah kata mengharu dari mulut sang Prabu, "Kaukah putriku; Roro Padmi...?!"
"Be... benar. Benar, Ayah! Akulah Roro Padmi Wulinting!"
"Anakku...! Anakku...?!"
Brrruk...! Teratai Kipas dipeluknya. Sang Prabu menitikkan air mata ketika putrinya yang selama ini pergi dari istana menangis terisak-isak dalam pelukannya. Pendekar Mabuk buru-buru buang muka, karena tak tahan melihat keharuan itu. Ia tak mau ikut menangis seperti beberapa prajurit yang ada di kanan kiri sang Prabu.
"Selama ini aku memang tidak pulang, tapi aku sebenarnya sering kembali tanpa setahu siapa pun, Ayah. Karenanya aku tahu kalau Arya Wuka, adikku, mati bunuh diri karena dibuat gila asmara oleh Nyai Sapu Lanang!" tutur Roro Padmi Wulintang alias Teratai Kipas.
Suto Sinting tertegun setelah tahu bahwa Teratai Kipas ternyata putri seorang raja. Pantas jika Teratai Kipas merasa cemas dan gelisah ketika bertemu dengan keempat prajurit. Ternyata bukan karena salah satu prajurit mirip kekasihnya, melainkan karena ia tahu akan berhadapan dengan para prajurit ayahnya sendiri, itu sebabnya Teratai Kipas memisahkan diri dari Suto dengan alasan yang kuat karena ia sebenarnya tak ingin berhadapan dengan ayahnya sendiri. Namun demi mendapatkan Telur Mata Setan yang dicari-cari Suto Sinting, akhirnya Teratai Kipas tampakkan diri dan berlutut di kaki orangtuanya.
Telur Mata Setan kini benar-benar didapatkan oleh Suto Sinting. Seperti apa kata Nyai Guru Betari Ayu, Telur itu memang ada di dalam batu berongga di antara salah satu batu dalam gua tersebut. Pantas saja kalau gua itu mempunyai pengaruh kekuatan gaib cukup tinggi dan cocok untuk dipakai bertapa karena ada kekuatan gaib Telur Mata Setan. Telur itu berwarna emas, kulitnya keras seperti dari besi, besarnya sedikit lebih besar dari Telur burung puyuh. Ternyata bukan setiap orang bisa memegang Telur itu kecuali yang mempunyai tenaga dalam cukup tinggi. Bagi yang tidak, Telur itu beratnya bagaikan melebihi berat sebatang pilar baja sebuah istana.
Teratai Kipas diizinkan oleh Prabu Wiloka untuk mengantarkan Suto Sinting ke Puncak Gunung Kundalini, menyelesaikan masalah Telur Mata Setan yang akan diminumkan kepada Sumbaruni. Sang Prabu bahkan berbisik kepada Teratai Kipas,
"Apakah dia kekasihmu? Jika benar, Ayah akan segera nikahkan kalian! Ayah sangat setuju dan gembira sekali jika mempunyai menantu sesakti dia!"
Teratai Kipas tersenyum, "Tidak, Ayah. Dia hanya sahabatku. Dia sudah mempunyai calon istri sendiri, tahukah Ayah siapa dia sebenarnya?"
"Siapa?"
"Dia adalah muridnya si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?!" Prabu Wiloka membelalak kaget dan merinding seketika.
SELESAI