Misteri Bayangan Ungu

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Misteri Bayangan Ungu karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Misteri Bayangan Ungu
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

NYANYIAN burung pagi telah menggugah hati sejak tadi. Hati yang tergugah itu tak lain milik seorang pemuda tampan berambut panjang digulung dengan sisanya meriap sampai pundak. Pemuda itu mengenakan rompi dan celana hijau berhias benang emas dengan sabuk hitam yang dipakai untuk menyelipkan sebilah pedang sarung perak. Murid dari Resi Badranaya itu dikenal dengan nama Darah Prabu, yang baru saja terbebas dari keganasan racun 'Tapak Ungu'-nya Nyi Mas Gandrung Arum.

Hanya pemilik racun 'Tapak Ungu' yang bisa mengobati Darah Prabu. Namun berkat pengetahuan luas tokoh tua yang sering dipanggil dengan julukan si Tua Bangka, racun itu bisa ditawarkan sebelum merenggut jiwa Darah Prabu. Penawarnya adalah air 'Sendang Ketuban' yang ada di Gunung Purwa.

Dan karena air itulah maka murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk; Suto Sinting, berkunjung ke negeri Wilwatikta yang ada di punggung Gunung Purwa dan bertemu dengan penguasa negeri yang luasnya hanya satu desa itu; Ratu Dewa Cumbutari.

Air 'Sendang Ketuban' itu berhasil diperoleh Suto Sinting, kemudian segera digunakan sebagai obat penawar racun 'Tapak Ungu' yang membahayakan itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pembantai Raksasa).

"Aku merasa senang sekali melihat kamu sehat kembali, Darah Prabu. Mulanya aku sangat cemas dan takut kalau sampai kau mati. Seandainya kau mati, aku sudah menyusun rencana untuk bunuh diri, biar bisa bertemu denganmu di alam kelanggengan sana. Tapi kupikir-pikir, mati itu tidak enak, karena tidak bisa garuk-garuk punggung sebab tidak punya raga. Maka aku hanya bisa berdoa kepada Hyang Widi Wasa agar kau diselamatkan melalui perantara siapa saja. Dan ternyata Pendekar Mabuk itulah yang dipakai sebagai perantara Hyang Widi Wasa untuk mengobati lukamu dan menyelamatkan jiwamu. Aku gembira sekali, hampir lupa ucapkan terima kasih kepada Hyang Widi Wasa. Sekarang aku mau berdoa dulu, ya?"

Kata-kata panjang bertele-tele itu diucapkan oleh seorang gadis berbaju kuning terang dengan belahan dadanya agak lebar. Gadis itu berwajah mungil tapi cantik, matanya bundar indah berbinar-binar dengan bulu mata yang lentik, bibir yang mungil, hidung yang bangir, serta kulit yang kuning mulus.

Dengan rambut sepundak yang lurus lemas diponi depan, gadis penyandang pisau tiga jengkal berkalung batu hijau sebesar kemiri itu tak lain adalah Dewi Kejora, yang dikenal dengan nama Kejora saja. Dia anak keempat dari lima bersaudara keturunan tokoh putih; Jalma Dupi dan Sang Ratri. Dua kakaknya telah tewas di tangan orang-orang Candi Bangkai, sekarang yang masih hidup hanya seorang kakak dan seorang adik kecil; Dewi Hening dan Dewi Menik. Tapi mereka saat itu sedang pergi ke Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading dan akan menanyakan sebuah pusaka kuno warisan leluhur mereka.

Pusaka itu bernama Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung. Sebagian orang mengenalnya pula dengan nama Panji-panji Dewa. Panji-panji itu sampai sekarang belum diketahui ada di mana. Seandainya dititipkan kepada seseorang, lalu siapa orang yang dipercaya oleh Nyai Parisupit untuk menyimpan pusaka tersebut? Dan persoalan ini ternyata telah melibatkan Suto Sinting untuk membantu keluarga Kejora memperoleh pusaka itu kembali, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Raja Iblis).

Mendengar ucapan si mungil Kejora, murid Resi Badranaya itu hanya tersenyum dengan memandang penuh pesona. Senyum itu bukan senyum murahan, namun cukup mahal bagi Kejora dan jarang dilakukan oleh Darah Prabu, sebab baru kali itu hatinya merasa berdesir-desir indah mendengar sebaris ucapan yang bertele-tele namun enak didengar itu.

"Mengapa kau ingin ikut mati kalau nyawaku tak tertolong lagi?" tanya Darah Prabu memancing desiran hati agar lebih indah lagi.

"Karena jika nyawamu tak tertolong, berarti kau mati. Jika kau mati, ragamu tak punya nyawa. Jika ragamu tak punya nyawa kau tak akan bisa kuajak bicara," jawab Kejora yang berwatak lugu, polos dan berotak kurang cerdas. Jawaban itu membuat Darah Prabu tertawa bagai orang menggumam. Tawanya seperti bulu ayam masuk ke telinga Kejora, menggelitik geli namun memancarkan keindahan di sekujur tubuhnya.

"Jadi kau berdoa untuk keselamatanku hanya supaya kau bisa bicara denganku?"

"Iya," jawab Kejora dengan anggukkan kepala dan senyum malu tersembunyi di balik bibir mungilnya.

"Mengapa kau suka bicara padaku?"

"Karena aku punya sesuatu yang hanya ingin kubicarakan padamu."

"Sesuatu apa itu, Kejora? Katakan sekarang juga, mumpung napasku masih ada," seraya Darah Prabu berlagak acuh tak acuh, memandang ke arah lain dengan hati berdebar-debar.

Tetapi Kejora tidak segera menjawab karena diliputi perasaan malu. Gadis itu hanya senyum-senyum sambil sesekali menunduk walau matanya sebentar-sebentar melirik ke arah Darah Prabu. Namun beberapa saat kemudian terdengar suaranya yang sedikit bergetar,

"Ak... aku... aku malu mau mengatakannya, Darah Prabu."

"Jangan malu kepadaku, karena aku tak akan menghinamu. Katakan saja apa yang ingin kau katakan," sambil Darah Prabu pandangi daun-daun berembun di seberang sana.

Karena tak ada jawaban dari Kejora, Darah Prabu mengulang pertanyaannya dengan masih memandang ke arah dedaunan dan bernada sedikit memaksa, "Bukankah kau ingin mengatakan sesuatu padaku?"

"Benar, Darah Prabu."

"Cepat katakan sekarang juga aku siap mendengarmu."

"Heegh...!"

Darah Prabu berkerut dahi. "Apa artinya 'heegh' itu, Kejora?"

Tentu saja Darah Prabu heran, karena ia tidak berpaling memandang gadis itu. Namun ia tetap bertahan memunggungi gadis itu agar si gadis semakin memburunya dan penasaran padanya, ia berkata sambil tangannya memainkan embun di atas permukaan daun di depannya persis.

"Katakanlah dengan bahasa yang wajar saja supaya mudah kumengerti maksudmu. Jika kau mengatakan isi hatimu dengan bahasa sandi, bisa-bisa aku salah menyimpulkan dan akan berakibat tak enak di hatimu. Hati gadis secantik kau seharusnya selalu dijaga agar tak pernah terluka dan tergores nyeri. Barangkali akulah yang akan menjadi penjaga hatimu, Kejora."

Suara gadis cantik itu tidak terdengar. Alam menjadi sepi sejenak, yang ada hanya sisa nyanyian burung pagi. Darah Prabu tersenyum tipis menertawakan perasaan Kejora yang pasti berdebar-debar salah tingkah sendiri. Namun setelah masa sepi itu terlalu panjang, tangan Darah Prabu terasa capek memainkan embun dalam penantiannya, ia pun segera perdengarkan suaranya lagi.

"Tak maukah kau menjelaskan maksud bahasa sandimu tadi, Kejora?" Kemudian dengan gerakan kalem Darah Prabu berpaling ke belakang.

"Lho...?! Kejora...?!" ia terperanjat kaget, matanya mendelik seketika, napasnya tertahan dan mulutnya ternganga.

Ternyata Kejora sudah tak ada di tempat. Gadis itu hilang bagai ditelan bumi. Sehelai rambutnya pun tak tertinggal. "Ke mana dia?! Mengapa hilang begitu saja?!" pikir Darah Prabu. "Apakah dia bersembunyi dan ingin bercanda denganku?"

Tapi hati kecil Darah Prabu menolak kemungkinan itu. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres yang telah terjadi menimpa diri Kejora. Suara 'heegh' tadi dipahami sebagai suara sentakan napas yang tertahan akibat satu tekanan; mungkin rasa sakit, atau mungkin sebuah totokan jalan darah yang membuat jalur pernapasannya tersentak. Wuuuttt...! Darah Prabu segera mencari di sekitar tempat itu. Ia juga mempunyai gerakan peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu melesat ke atas pohon. Clingak-clinguk sebentar, lalu melesat dari pohon ke pohon sambil memandang jeli ke arah sekelilingnya.

"Prabu...!" terdengar suara orang memanggil dari arah timur.

Darah Prabu segera berpaling dengan satu sentakan hati penuh harap. Ternyata orang yang memanggilnya itu adalah pemuda berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih lusuh dan menyandang bumbung tuak di punggungnya.

"Kebetulan Suto Sinting sudah bangun," gumam hati Darah Prabu begitu mengetahui pemuda berbaju coklat tanpa lengan itu tak lain adalah murid si Gila Tuak; Suto Sinting.

Zlaaap...!

Pendekar Mabuk bergerak lebih dulu sebelum Darah Prabu mendekatinya. Mereka berjumpa dalam satu pohon lain dahan. Keduanya sama-sama berdiri kokoh dengan keseimbangan tubuh yang terjaga, seakan mereka berdiri di atas sebuah batu datar.

"Suto, Kejora hilang secara tiba-tiba!" ujar Darah Prabu bernada tegang.

"Ya, aku melihatnya!" kata Suto Sinting yang membuat Darah Prabu sedikit berkerut dahi.

"Sekelebat bayangan ungu menyambarnya," tambah Suto. "Aku terlambat mengejar karena tutup bumbung tuakku tadi jatuh menggelinding dan aku kerepotan mengambilnya. Namun setelah kukejar ke arah timur, ternyata bayangan ungu itu tak terlihat lagi."

"Bagaimana kau bisa melihat kejadian itu? Bukankah waktu aku dan Kejora keluar dari gua, kau dan Ki Sanupati masih tertidur?!"

"Aku baru saja bangun, lalu buang air kecil. Kudengar percakapanmu di sebelah sana tadi, kuintip kalian berdua dan kudengar pembicaraan kalian dari balik semak-semak."

"Oh, kau memang pendekar konyol, Suto!" gerutu Darah Prabu sambil bersungut-sungut.

"Ketika kutenggak tuakku, kudengar suara Kejora terkikik tertahan. Rupanya ia terkena totokan dari jarak jauh. Orang yang menotoknya itu segera menyambarnya dan... seperti apa yang kuceritakan tadi."

"Kalau begitu aku harus segera mengejarnya ke arah timur!" geram Darah Prabu mulai tampak kedongkolannya.

"Ada apa ini?!" tiba-tiba sebuah suara tua menyahut dari dahan yang lebih tinggi di atas kedua pemuda itu. Oh, ternyata si Tua Bangka sudah ada di atas sana. Tokoh tua berpakaian abu-abu yang gigi depannya tinggal dua itu ternyata mampu bergerak dengan ilmu peringan tubuh cukup tinggi, hingga kehadirannya di atas kedua pemuda itu tidak menimbulkan suara yang mencurigakan, ia datang ke pohon tersebut bagaikan daun kering yang terbang melayang dihembus angin pagi.

"Tua Bangka, Kejora hilang!" seru Darah Prabu dengan sedikit mendongak.

Wuuutt...! Tua Bangka turun dari tempat ketinggiannya bagaikan seekor burung gagak terbang merendah. Kakinya berpijak pada dahan yang dipakai berdiri Suto Sinting, namun tak terasa timbul getaran pada dahan itu.

"Oooaahhhmmm...!" Tua Bangka menguap, lalu matanya mengerjap-ngerjap sebentar, dan dikucal-kucalnya memakai lengan baju. Bekas ilernya hilang tersapu lengan baju juga. Ia memandang Darah Prabu dan segera ajukan tanya dengan suara sedikit parau karena baru saja bangun tidur. "Siapa yang hilang?"

"Kejora...!" Darah Prabu agak menyentak, kemudian Suto Sinting menimpali dengan menceritakan tentang bayangan ungu yang dilihatnya berkelebat kearah timur.

"Bayangan ungu...?!" gumam Tua Bangka sambil dahinya yang keriput makin berkerut. "Bayangannya siapa yang warnanya ungu?! Semua bayangan biasanya berwarna hitam. Lihat, bayanganku saja berwarna hitam," sambil menuding kepada bayangannya yang menempel pada batang pohon di sampingnya.

"Maksudku," ujar Suto Sinting menjelaskan, "Orang yang menyambar Kejora bergerak cepat bagaikan sebuah bayangan berwarna ungu."

"Pasti warna ungu adalah warna pakaiannya," timbal Darah Prabu.

"O, iya! Pasti pakaiannya, mana mungkin ada yang ungu itu giginya," ujar Tua Bangka menanggapi dengan agak tenang, berkesan seenaknya saja. Baginya peristiwa seperti itu sudah bukan hal yang mengherankan lagi. Bertahun-tahun berkelana di rimba persilatan, Tua Bangka sudah terlalu sering menghadapi masalah seperti itu. Yang menjadi masalah baginya adalah; siapa bayangan ungu itu?

"Sumbaruni memakai jubah ungu, dan ia menyukai warna ungu," ujar Pendekar Mabuk yang cukup kenal dengan tokoh perempuan sakti mantan istri jin itu, (Baca serial Pendekar Mabuk episode Ratu Tanpa Tapak).

"Hmmm... ya, aku pun kenal dengan si Pelangi Sutera alias Sumbaruni itu," ujar Tua Bangka. "Dia memang penggemar warna ungu, sampai pedangnya saja dililit kain ungu. Tapi apakah mungkin si Sumbaruni yang membawa pergi Kejora?"

"Aku belum kenal dengan perempuan bernama Sumbaruni," kata Darah Prabu.

"Nanti kalau bertemu dengannya akan kukenalkan," sahut Tua Bangka, kemudian ia memandang Pendekar Mabuk. "Urusan apa Sumbaruni hingga membawa pergi Kejora?"

"Bukan dibawa pergi, tapi diculik! Kejora pasti diculik oleh seseorang!" sergah Darah Prabu.

"Iya, ya! Diculik!" sentak Tua Bangka sambil bersungut-sungut. "Masalahnya, mengapa Sumbaruni menculik Kejora? Mengapa bukan aku saja yang diculik Sumbaruni?!"

"Karena kau sudah tua!" ketus Darah Prabu yang agak dongkol karena merasa ditanggapi dengan kalem oleh Tua Bangka yang bernama asli Ki Sanupati itu.

"Aku sendiri belum berani memastikan, apakah benar Kejora diculik oleh Sumbaruni," ujar Pendekar Mabuk sambil memandang dalam terawangnya. Kemudian ia menatap Tua Bangka dan berkata lagi dengan suara tenang namun berkesan tegas dan sungguh-sungguh.

"Bukan hanya Sumbaruni orang yang berjubah ungu. Tembang Selayang juga berjubah ungu."

"Hmmm... ya, Tembang Selayang anak di Empu Tapak Rengat itu memang berjubah ungu, tapi untuk apa Tembang Selayang menculik Kejora?" ujar Tua Bangka sambil mengusap-usap dagunya yang tanpa jenggot itu.

"Lalu... Inupaksi, murid si Jubah Kapur, juga berpakaian serba ungu," kata Suto Sinting lagi.

"Puspa Jingga, murid si Nini Kalong, juga berpakaian serba ungu," Tua Bangka menimpali lagi.

Suto Sinting menambahkan kata, "Dewa Sengat, gurunya

Putri Kunang, berjubah ungu pula. Tapi dia sudah mati."

Tua Bangka mengangguk, "Iya. Terong yang kumakan dua hari yang lalu juga kulitnya berwarna ungu."

"Sudah!" hardik Darah Prabu tambah jengkel mendengar kata-kata terakhir Tua Bangka, sedangkan Suto Sinting sembunyikan geli dengan membuang muka sebentar ke arah lain.

"Mengapa kalian berdua hanya mengumpulkan orang-orang berjubah ungu?! Masalahnya sekarang bukan jubah ungunya, tapi bagaimana menyelamatkan Kejora dari tangan orang itu?!"

Tua Bangka menarik napas, "Kita harus selamatkan Kejora. Itu memang benar. Tapi kita harus menentukan arah terlebih dulu. Ke mana kita akan mengejar orang yang menculik Kejora?"

"Ya, ke arah timur!" Darah Prabu agak menyentak karena jengkelnya dengan sikap konyol si Tua Bangka.

"Timur...?! O, ya... aku baru ingat," kata Tua Bangka bernada menyentak. "Kalau kalian berjalan ke arah timur, maka kalian akan menemukan sebuah biara ungu. Dalam biara ungu itulah Nyi Mas Gandrung Arum menjadi pendeta sesat."

"Apakah dengan begitu berarti Nyi Mas Gandrung Arum yang menculik Kejora?!" gumam Suto Sinting sambil merenung.

* * *

DUA

BAGAIMANAPUN juga, Kejora adalah tanggung jawab Pendekar Mabuk, karena Dewi Hening sang kakak sulung Kejora telah percayakan adiknya dalam lindungan Suto. Maka lenyapnya Kejora merupakan beban tanggung jawab Suto Sinting yang harus bisa membebaskan kembali gadis lugu itu.

"Yang pacaran dia, yang berdesir-desir indah dia, giliran diculik orang, aku jadi ikut repot juga!" gerutu Suto Sinting dengan suara lirih saat mereka bertiga melangkah menuju ke timur.

Suara gerutuan itu didengar oleh Darah Prabu, sehingga pemuda tampan murid Resi Badranaya itu menjadi sewot dengan hentikan langkahnya seketika. "Kalau kau tak mau bantu mencari Kejora, pergilah sana dan tak perlu ikut ke Biara Ungu!"

"Hei, hei, hei...," sapa Pendekar Mabuk sambil senyum-senyum kalem. "Mengapa kau jadi seberang itu, Prabu?! Ada apa sebenarnya di hatimu, hmm...?!"

"Kau tak perlu tahu!" jawabnya ketus dan cemberut.

Tua Bangka ikut menimpali dengan kekonyolannya, "Pukul sajalah... jangan berang saja!"

Darah Prabu merasa dikipas hatinya yang panas, maka serta merta ia putarkan tubuh dan menghantam Pendekar Mabuk yang dipunggunginya. Wuuutt...! Plaakk...! Pukulan itu ditahan dengan telapak tangan Suto Sinting, tapi tidak digenggam sehingga bisa segera ditarik mundur dan kini kaki Darah Prabu berkelebat menendang dada Suto.

Wuuuttt...? Deesss...!

Tangan kanan Suto berkelebat menghantam mata kaki Darah Prabu sambii membuang tendangan ke arah kirinya. Hantaman yang dilakukan dengan kedua jari separo terlipat itu membuat tubuh Darah Prabu terpelanting berputar tiga kali lalu jatuh terjungkal di tanah.

Brrruukkk...!

"Kurang ajar kau! Hiaaah...!" Darah Prabu lepaskan pukulan bertenaga dalam melalui dua jarinya yang mengeras lurus. Dari dua jari itu keluar selarik sinar kuning bening yang melesat menuju ke perut Suto Sinting.

Pendekar Mabuk cepat berlutut satu kaki sambil lepaskan pukulan 'Turangga Laga' yang memancarkan seberkas sinar ungu dari kedua jarinya pula. Claaappp...!

Blaarrr...!

Keduanya sama-sama terjungkal ke belakang karena ledakan yang cukup keras itu. Tapi dalam waktu singkat keduanya sudah melambung ke atas dan bersalto satu kali diudara.

"Heeeaaah...!" Darah Prabu siap menghantamkan pukulannya dengan wajah berang saat tubuhnya melesat ke arah Suto Sinting, demikian pula Suto Sinting siap menghantam telapak tangannya ke arah Darah Prabu saat tubuhnya masih meluncur maju ke udara.

Tetapi tiba-tiba Tua Bangka sentakkan kakinya dan tubuhnya melenting di udara, ia bersalto satu kali, wuutt...! Tahu-tahu sudah berada di pertengahan jarak antara Darah Prabu dan Suto Sinting. Kedua tangannya direntangkan dengan telapak tangan terbuka. Telapak tangan itu memancarkan cahaya merah membara berpijar-pijar. Telapak tangan itulah yang akhirnya menjadi sasaran pukulan Darah Prabu dan hantaman telapak tangan Suto Sinting.

Blegaarr...!

Dua ledakan menjadi satu, suaranya menggema kemana-mana. Empat pohon tumbang dalam keadaan patah di pertengahan batang akibat sentakan daya ledak tersebut. Kedua pemuda itu pun terjungkal ke belakang bagaikan terlempar tanpa keseimbangan badan. Sedangkan Tua Bangka meluncur turun dan dapat berdiri dengan tegak tanpa luka serta tanpa rasakan sakit apa pun.

Jleeggg...!

Napasnya terhempas panjang. Matanya melirik ke kanan-kiri, memperhatikan dua pemuda tampan yang sedang bangkit dari tempat jatuhnya. Kedua pemuda itu juga masih dalam keadaan segar bugar tanpa luka dalam sedikit pun. Hanya saja, Darah Prabu merasakan linu-linu di sekitar tulangnya, namun ia masih bisa bersikap gagah seakan tak merasakan apa pun. Pendekar Mabuk cepat menenggak tuak, karena tangan dan dadanya merasa kesemutan.

"Apa-apaan kalian ini?!" Tua Bangka menghardik kedua pemuda itu. "Bodoh semua! Tadi aku hanya bercanda saja, mengapa benar-benar kau lakukan, Darah Prabu?!"

Keduanya berdiri di samping Tua Bangka dalam jarak tiga langkah dari si Tua Bangka itu. Napas mereka dihempaskan panjang-panjang, kemudian saling mengendalikan gemuruh dalam dada masing-masing. Darah Prabu tampak tenang, Pendekar Mabuk pun kelihatan kalem.

"Kalian bisa saling bunuh kalau tidak kutengahi!" sentak Tua Bangka bersungut-sungut. "Dasar bocah-bocah darah muda, disulut sedikit mudah terbakar! Untung tadi ada aku, kalau tidak ada bagaimana, hah?!"

"Tidak akan terjadi pertarungan," jawab Suto Sinting dengan cepat tapi tetap tenang.

"Kalian pasti akan bertarung sampai ada yang mati atau setidaknya ada yang luka!"

"Tidak mungkin, karena hatiku tidak dikipas oleh ucapanmu, Ki Sanupati!" ujar Darah Prabu. Rupanya murid Resi Badranaya tak boleh dikipas hatinya jika sedang berang seperti tadi. Sedikit kipas meniup hati yang sedang panas, nalurinya bergerak mengikuti perintah yang didengar secara di luar kesadaran.

"Lain kali...," kata Tua Bangka terhenti, tahu-tahu tubuhnya jatuh terkulai. Brrrukk...!

"Lho...?!" Darah Prabu dan Suto Sinting sama-sama terkejut melongo melihat Tua Bangka jatuh terkulai seperti sarung kumal.

"Kenapa dia?!" tanya Darah Prabu.

"Mungkin tak kuat menahan kedua pukulan kita tadi!"

"Kenapa baru sekarang jatuhnya?"

"Karena tadi ia ingin menahannya, tapi lama-lama tak kuat dan akhirnya jatuh juga."

Untung tuak yang ada dalam bumbung bambu bawaan Pendekar Mabuk adalah tuak sakti. Tuak itu mempunyai khasiat penyembuhan yang cukup mujarab. Tak heran jika Tua Bangka yang jatuh pingsan itu segera dibuka mulutnya oleh Darah Prabu, kemudian Suto Sinting menuangkan tuak ke dalam mulut itu. Krucuk, krucuk, krucuk...!

"Jangan banyak-banyak, nanti dia mabuk!" kata Darah Prabu yang merasa tidak bermusuhan lagi dengan Suto Sinting.

Namun begitu Suto Sinting menutup bumbung tuaknya, tiba-tiba sekelebat bayangan datang menerjangnya. Sebuah tendangan mendarat di pelipisnya, dan sebuah tendangan lagi mendarat di pipi Darah Prabu. Bruuss...!

"Aaauh...!" kedua pemuda itu terpelanting jatuh, tiga langkah jaraknya dari tempat Tua Bangka dibaringkan. Darah Prabu membentur pohon, Suto Sinting jatuh di semak-semak. Kedua pemuda itu cepat bangkit dengan menyentakkan tangannya ke tanah.

Wuuttt...! Jleg, jleg...!

"Kambing busuk! Siapa orang yang berani menendangku hingga rahangku terasa mau pecah?!" gerutu Darah Prabu sambil mencari orang yang menerjangnya.

Pendekar Mabuk pun membatin dalam hatinya, "Lumayan juga tendangan tadi, kepalaku terasa berputar sendiri. Hmmm... siapa yang punya tenaga dalam tanggung-tanggung itu?!"

Kini keduanya sama-sama memandang seraut wajah cantik imut-imut berkonde dua sebesar kepalan tangan bayi. Sisa rambutnya meriap sampai menutupi kedua belahan dadanya. Seorang gadis cantik berbaju hijau dan berkulit kuning langsat berdiri dengan memasang kuda- kuda, pertanda siap menerima serangan dari mana saja. Matanya melirik dengan lincah.

Pendekar Mabuk picingkan mata untuk menatap lekat-lekat gadis itu. Hati sang pendekar pun berkata, "Sepertinya aku pernah bertemu dengannya?! Kapan dan di mana aku jumpa dia?!"

Darah Prabu melirik Suto Sinting sebentar setelah tahu siapa orang yang telah membuat tulang rahangnya terasa mau pecah itu. Hatinya pun membatin kata, "Hmmm... melihat cara Suto memandang, agaknya ia sudah mengenal gadis cantik itu. Sebaiknya kudekati Suto dan kutanyakan padanya." Wuuutt...! Darah Prabu pindah tempat dengan gerakan melambung cepat.

Gadis itu bergegas mengubah kuda-kudanya dengan satu lompatan kecil kesamping, karena ia menyangka Darah Prabu ingin menyerangnya. Kini si gadis sedikit gentar karena kedua pemuda tampan itu berdiri bersebelahan dan sama-sama memandang ke arahnya. Gentarnya hati si gadis akibat rasa kikuk dan salah tingkah mendapat pandangan mata kedua pemuda tampan.

"Sial, mereka sama-sama memancarkan pandangan mata yang mengagumkan. Uuh...! Persetan dulu dengan pandangan matanya itu!" pikir si gadis dengan wajah tetap cemberut dan hal itu menambah kecantikannya secara tak disadari.

"Kau kenal dia?" bisik Darah Prabu dengan menampakkan sikap sombong dalam memandang, dagunya sedikit terangkat, matanya tertuju dingin kepada gadis itu. Lagaknya seperti pemuda yang tak mau kenal gadis secantik itu.

"Aku pernah jumpa dengannya, tapi aku lupa di mana kami saling bertemu," balas Suto dalam bisikan sambil sunggingkan senyum tipis dan matanya memandang tak berkedip bagai menembus dasar hati si gadis yang kira-kira berusia dua puluh satu tahun itu.

"Sapalah dia," bisik Darah Prabu bernada mendesak.

"Mengapa bukan kau saja yang menyapanya?"

"Pikiranku masih tertuju pada Kejora."

Pendekar Mabuk semakin lebarkan senyum dengan mata tetap tertuju pada si gadis. Senyum itu adalah senyum geli atas jawaban Darah Prabu, karena jawaban itu mempunyai kesimpulan bahwa Darah Prabu mulai kasmaran kepada Kejora. Kasmaran itu terasa lucu jika terjadi dalam keadaan tak diduga-duga. Tetapi sekarang si gadis yang habis menendang mereka itu menghardik dengan wajah digalak-galakkan, walau sebenarnya tak pernah ada orang yang bisa takut dengan kegalakannya itu.

"Apa maksudmu senyum-senyum padaku?! Kau pikir aku tertarik dengan tampangmu?!"

Tentu saja kedua pemuda itu menjadi lebih geli lagi, karena Darah Prabu pun tahu bahwa senyuman Suto itu hanya untuk menertawakan jawabannya tadi. Si gadis semakin cemberut dan berang karena merasa ditertawakan ramai-ramai. Sebilah pedang di pinggang dicabutnya. Sreeet...!

"Puaskan tawa kalian sebelum pedangku menghampiri leher kalian!" geram si gadis sambil mulai membuka jurus pedang.

"Tunggu, Nona...!" sergah Pendekar Mabuk dengan mengangkat tangannya, kemudian mendekat dua langkah. Darah Prabu mengikuti langkah Suto seperti malas-malasan.

"Kami bukan menertawakan dirimu, Nona. Kami punya masalah lucu sendiri yang patut kami tertawakan."

Dalam hati gadis itu berkata, "Sepertinya aku pernah bertemu dengan pemuda yang bicara ini. Hmmm... kalau tak salah dialah si Pendekar Mabuk yang kesohor itu."

Lalu terdengar suara Suto Sinting dengan nada cukup bersahabat, "Mengapa kau menyerang kami, sedangkan aku merasa pernah bertemu denganmu. Sepertinya kau bukan musuh kami, Nona."

"Siapa pun juga orangnya jika ia mencelakai kakekku si Tua Bangka ini, dia akan kuanggap musuhku!" ketus si gadis.

"Kakekmu...?!" Suto Sinting berkerut dahi, lalu berpaling memandang Darah Prabu, "Kakeknya...?!"

"Hmmm Berarti dia adalah cucu si Tua Bangka?!"

"Benar, dan kalau begitu dia adalah...," Pendekar Mabuk segera memandang ke arah gadis itu. "Oh, ya... aku baru ingat sekarang! Kau adalah Cawan Pamujan, yang pernah diculik seseorang dalam peristiwa perebutan pusaka si Tua Bangka itu?" sambil Suto Sinting sempat membayangkan kala terlibat peristiwa perebutan sebuah pusaka yang ternyata Tua Bangka itulah pemilik pusaka tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kapak Setan Kubur).

"Aku memang Cawan Pamujan, dan aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk. Tapi mengapa kau mencelakai kakekku?!"

Pada saat itulah Tua Bangka menggeliat, sadar dari pingsannya, kemudian segera dibantu oleh Cawan Pamujan. Tua Bangka terkejut melihat Cawan Pamujan sudah ada di sampingnya. "Kapan kau datang kemari, Cucuku?!"

"Saat kedua orang itu mencelakakan dirimu, Kek!" jawabnya dengan ketus-ketus manja.

Darah Prabu segera menceritakan apa yang dilakukan oleh Cawan Pamujan ketika mereka sedang berusaha mengobati Tua Bangka. Kemudian, Tua Bangka yang badannya telah menjadi sehat dan merasa lebih segar dari sebelumnya segera menjelaskan duduk perkaranya kepada sang cucu kesayangan, yang merupakan satu-satu cucu calon pewaris ilmu-ilmunya itu. Salah paham itu segera dapat diselesaikan, dan Cawan Pamujan menjadi malu sendiri kepada kedua pemuda tampan, ia sering menunduk jika kedua pemuda itu atau salah satu dari mereka mencuri pandang ke arahnya.

"Aku mencarimu sudah berhari-hari, Kek. Tapi kau seperti nyamuk yang sulit dilihat batang hidungnya!" kata Cawan Pamujan dengan nada manjanya.

"Kau ini bagaimana, Cawan Pamujan... katanya mencariku tapi setelah bertemu mengatakan kakekmu ini seperti nyamuk? Kalau nyamuk segini gedenya lalu yang digigit apa?"

"Leher...," sahut Pendekar Mabuk sambil buang muka ke arah Darah Prabu dan Darah Prabu tersenyum-senyum.

"Kalau yang jadi nyamuk kalian ya yang digigit leher!" cetus Cawan Pamujan dengan bersungut-sungut.

Darah Prabu menimpali, "Lehernya siapa yang mau digigit nyamuk sebesar kami ini?!"

"Siapa saja," ujar Cawan Pamujan berlagak acuh tak acuh.

"Sudah, sudah... jangan bicara soal nyamuk, aku mulai tersinggung," potong Tua Bangka, lalu ia bicara pada sang cucu sambil mengusap-usap rambut indah itu. "Mengapa kau mencariku, Cantik?! Bukankah kau kuberi tugas menyelesaikan semadi jingkat supaya tubuhmu bisa melayang terbang seperti seekor camar laut?!"

"Kakek," si gadis merengek. "Pondok kita diserang oleh orang-orang Balekubang!"

Tua Bangka terperanjat dengan gigi depannya yang tinggal dua itu seolah-olah mencuat ke atas karena mulutnya ternganga lebar. "Orang-orang Balekubang menyerang pondok kita?! Mau apa mereka bikin ulah lagi?!"

"Mereka ingin memboyongku ke Pulau Tangkal dan aku akan dikawini oleh Penguasa Pulau Tangkal! Aku tidak mau, Kek. Tidak mau...!" gadis itu bagai anak kecil mau menangis. Kedua kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. Sentakan kaki itu punya getaran tenaga dalam yang membuat daun-daun pohon tempat mereka bernaung itu berguguran walau tak begitu banyak.

Melihat gugurnya daun-daun itu, Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut dan membatin, "Rupanya sejak peristiwa Kapak Setan Kubur itu, Tua Bangka menambah ilmu cucunya hingga sentakan kaki si cucu dapat merontokkan dedaunan."

Tua Bangka menggeram menahan kemarahan, matanya sedikit menyipit membayangkan pondoknya diacak-acak oleh orang-orang Balekubang. Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya kepada Cawan Pamujan,

"Siapa orang-orang Balekubang itu?!"

"Balekubang adalah Penguasa Pulau Tangkal yang setiap tahun ganti istri. Tapi tak satu pun dari para istrinya ada yang mempunyai keturunan darinya."

"Dia tokoh aliran hitam," gumam Tua Bangka tanpa memandang Suto Sinting.

Setelah Darah Prabu manggut-manggut dan Suto Sinting menarik napas panjang-panjang, Tua Bangka lanjutkan ucapannya, "Balekubang ilmunya cukup tinggi, dan ia mempunyai pusaka yang cukup berbahaya; 'Sepasang Perisai Guntur', ia hidup berlimpah kekayaan di Pulau Tangkal, karena ia menemukan timbunan harta karun di pulau itu."

"Apakah kekuasaannya cukup kuat?!" tanya Darah Prabu.

"Sangat kuat, karena ia bisa mengupah jago-jago bayaran dari mana saja dengan kekayaannya itu. Aku pernah bertarung dengannya dan nyaris mati. Pertarungan itu terjadi kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Jadi sekarang tentunya semakin tua semakin tambah kesaktiannya. Tapi jika pondokku diacak-acak dan cucuku terancam, itu tandanya ia membuka pintu lebar-lebar bagiku untuk melanjutkan pertarungan sepuluh tahun yang silam!"

"Lalu, apa rencanamu, Ki Sanupati?!" tanya Pendekar Mabuk.

"Kalian terus saja menuju ke Biara Ungu, aku akan selesaikan urusanku dengan Balekubang. Jika tokoh lalim itu belum tewas, hidup cucuku akan selalu terancam. Sudah dua kali ini ia kirimkan orangnya untuk memboyong cucuku ke Pulau Tangkal. Rasa rasanya aku perlu bikin perhitungan dengannya sekarang juga."

"Apakah kau perlu bantuan?!" tanya Pendekar Mabuk.

"Tidak perlu. Urusan ini masih mampu kuselesaikan sendiri, Suto. Uruslah Kejora dan pusaka yang harus dikembalikan kepada pihak keluarganya itu!"

Darah Prabu sedikit terperanjat, ingin bicara dengan Suto Sinting, namun telanjur Tua Bangka bicara lebih dulu.

"Kita berpisah di sini dulu. Suatu saat pasti akan jumpa lagi."

"Boleh aku berpesan padamu, Ki?" ujar Suto Sinting.

"Apa pesanmu, Suto?"

"Jangan sampai kau dan cucumu mati di tangan Balekubang!"

Tua Bangka tarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku tak berani jamin apakah pesanmu itu bisa kupenuhi atau tidak. Yang jelas aku sudah pesan tanah kuburan sendiri untuk memakamkan diriku kapan saja."

Pendekar Mabuk hanya angkat bahu sambil tersenyum lesu, Darah Prabu tertawa kecil dan pendek seperti orang mendengus kesal. Tapi ia segera ditegur oleh Cawan Pamujan,

"Apakah kau tak ingin berpesan pada kakekku juga?"

"Oh, hmm... iy... iya, aku ingin berpesan padamu, Ki Sanupati."

"Apa pesanmu, Darah Prabu?"

"Kalau kau tewas, jangan ajak-ajak aku. Karena aku sekarang sedang kasmaran dengan seorang gadis."

Cawan Pamujan menyahut, "Hmmm... baru saja kita bertemu kau sudah kasmaran? Mana mungkin suci cintamu itu nantinya?"

"Maksudku bukan kasmaran padamu, Nona cerewet! Aku kasmaran pada gadis lain."

"Ooh...?!" Cawan Pamujan terperangah malu, wajahnya menjadi merah dadu.

* * *

TIGA

KEPERGIAN Tua Bangka bersama cucu manjanya itu tidak membuat semangat kedua pemuda tampan itu berkurang. Terutama Pendekar Mabuk yang merasa punya beban berat atas penculikan diri Kejora itu, merasa tak sabar ingin lekas sampai ke Biara Ungu dan bertemu dengan Nyi Mas Gandrung Arum. Bila perlu, Suto Sinting sudah siap beradu nyawa dengan Nyi Mas Gandrung Arum atau siapa saja demi membebaskan Kejora.

Darah Prabu mengalami perubahan begitu pesat dan sukar diterima oleh akal sehat. Perubahan itu ada di lubuk hatinya yang paling dalam. Rasa simpatinya terhadap Kejora telah berubah menjadi rasa ingin memiliki gadis itu. Kuncup-kuncup cinta mekar dan tumbuh semakin subur dalam setiap kali khayalannya terbang membayangi wajah cantik yang lugu milik Kejora. Setiap tarikan napas seakan denyut nadi untuk memburu asmaranya yang tertunda. Sebab itulah Darah Prabu pun penuh semangat dalam perjalanannya menuju Biara Ungu.

"Tapi apakah benar Nyi Mas Gandrung Arum yang menculik Kejora?!" ujarnya kepada Suto Sinting saat mereka menuruni sebuah lembah.

Langkah Suto Sinting pun terhenti bagai sadar akan adanya sesuatu yang perlu dipikirkan lebih dalam lagi. "Iya, ya...?! Belum tentu Nyi Mas Gandrung Arum yang menculik Kejora. Seandainya orang lain yang menculiknya, berarti kita membuang-buang waktu dan tenaga menuju ke Biara Ungu ini."

Darah Prabu memandang ke arah timur sambil menarik napas dalam-dalam. Di seberang sana sudah terlihat gugusan tanah berhutan renggang yang membukit tak seberapa tinggi, itulah yang dinamakan Bukit Esa, tempat berdirinya sebuah bangunan yang dikenal dengan nama Biara Ungu. Di seberang bukit itu tampak genangan air membiru sebagai tanda bahwa bukit itu terletak tak jauh dari sebuah pantai yang bernama Pantai Tawar.

"Kurang dari setengah hari kita akan sampai ke bukit itu," ujar Darah Prabu seperti bicara pada diri sendiri. "Kita akan bertemu dengan orang-orangnya Nyi Mas Gandrung Arum dan bertarung melawan mereka sampai bisa menembus masuk ke Biara Ungu. Tentunya untuk menembus masuk ke sana tidak mudah, karena murid-murid Biara Ungu pasti rata-rata berilmu lumayan tinggi. Salah satu contoh, si Peluh Setanggi yang licin bagai belut sehingga selalu lolos dari buruanku. Dan jika ternyata di sana tidak ada Kejora, lalu untuk apa kita melabrak dan menyerang orang-orang Biara Ungu dengan pertaruhkan nyawa?!"

"Setidaknya kau dapat bertemu-dengan gadis buronanmu; Peluh Setanggi," kata Suto Sinting mirip orang menggumam. Mata si Pendekar Mabuk juga memandang ke arah Bukit Esa, beberapa saat kemudian ia menenggak tuaknya beberapa teguk.

"Hmmm... Peluh Setanggi!" Darah Prabu bagaikan menggeram penuh dendam kepada gadis buronannya itu. Tak disangka pengejarannya terhadap diri Peluh Setanggi membuatnya kenal dengan Kejora, padahal sebelumnya ia tak pernah tahu ada gadis cantik yang bersifat polos dan lugu bernama Dewi Kejora. Di hati Darah Prabu masih tersimpan perasaan bangga kala ia menyelamatkan Kejora dari ancaman pedang Peluh Setanggi. Tapi sayang Peluh Setanggi disambar seseorang dan dibawanya lari setelah berhasil dilumpuhkan dengan totokan jarak jauh, sehingga gadis buronan itu tak sempat tertangkap oleh Darah Prabu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pembantai Raksasa)

Pengejaran itulah yang semula membuat Pendekar Mabuk dan Tua Bangka merasa heran serta bertanya-tanya; apa alasan Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi. Padahal menurut keterangan Tua Bangka, Nyi Mas Gandrung Arum adalah kakaknya Resi Badranaya, dan Resi Badranaya guru Darah Prabu. Semestinya Darah Prabu tidak berani mengusik para murid Nyi Mas Gandrung Arum karena gurunya sendiri tak berani mencampuri urusan Nyi Mas Gandrung Arum. Jika sampai Darah Prabu berani mengejar-ngejar Peluh Setanggi, berarti akan ada masalah besar antara kedua belah pihak; Nyi Mas Gandrung Arum dengan Resi Badranaya.

"Menurut keterangan Tua Bangka, gurumu adalah adik dari Nyi Mas Gandrung Arum. Apa benar itu?"

"Ya, memang benar. Dan selama ini aku dilarang mengusik apa pun urusan Nyi Mas Gandrung Arum, karena Guru tak mau berurusan dengan kakak perempuannya itu."

"Lalu, apa yang membuatmu berani mengejar-ngejar Peluh Setanggi sebagai murid Nyi Mas Gandrung Arum?"

"Guru yang perintahkan menangkap gadis itu."

"O, berarti pihakmu sudah mulai berani mencampuri urusan Nyi Mas Gandrung Arum?!"

"Ya, karena pihak Nyi Mas Gandrung Arum sendiri sudah mulai berani mengusik ketenangan kami."

Pendekar Mabuk palingkan pandang ke arah Darah Prabu dengan dahi sedikit berkerut "Ada persoalan apa sebenarnya dengan si Peluh Setanggi itu?!"

Darah Prabu menarik, napas panjang, dadanya membusung kekar, pandangan matanya yang tertuju ke Bukit Esa tampak dingin. Kejap berikut terdengar suaranya menjawab pertanyaan Suto Sinting tadi. "Sebuah pusaka telah dicuri oleh si Peluh Setanggi."

"Pusaka apa?!" Pendekar Mabuk semakin penasaran.

"Pusaka seorang sahabat yang dititipkan kepada Guru. Sudah lama Guru mempertaruhkan nyawanya untuk pertahankan pusaka itu agar jangan jatuh ke tangan orang lain, karena Guru tahu persis siapa orang yang berhak mewarisi pusaka Panji-panji Mayat."

"Oh...?!" Pendekar Mabuk tersentak kaget. Tubuhnya sampai merinding ketika Darah Prabu menyebutkan nama pusaka Panji-panji Mayat. Padahal Suto pun tahu banyak tentang Panji-panji Mayat yang sering disebutnya sebagai Panji-panji Agung.

Justru karena masalah pusaka Panji-panji Agung itulah Suto menjadi kenal Kejora, Dewi Hening dan Menik. Karena mereka bertiga adalah pewaris pusaka Panji-panji Agung yang beberapa waktu sebelumnya selalu menjadi bahan incaran si Raja Iblis; Barakoak. Pusaka itu adalah pusaka warisan leluhur keluarga Kejora. Ayah, ibu, dan kedua kakak Kejora mati gara- gara pusaka tersebut.

Rupanya nenek mereka, Nyai Parisupit, telah menitipkan pusaka itu kepada sahabatnya; Resi Badranaya demi keselamatan pusaka itu agar tak jatuh ditangan keturunan Eyang Kurupati. Keturunan Eyang Kurupati yang terakhir adalah Barakoak; si Raja iblis yang dulu bercokol di Candi Bangkai, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Raja Iblis)

Candi Bangkai dan si Raja Iblis sendiri sekarang sudah tiada, dibabat habis oleh Pendekar Mabuk dalam kisah Pembantai Raksasa itu. Pada mulanya Pendekar Mabuk masih bertanya-tanya, di mana pusaka Panji-panji Agung itu tersimpan. Siapa orang yang mendapat titipan pusaka itu: Batuk Maragam, Resi Badranaya, Galak Gantung, atau Guru Suto sendiri yang dikenal dengan nama si Gila Tuak itu? Dan ternyata pertanyaan tersebut kini telah terjawab, bahwa pusaka itu dititipkan kepada Resi Badranaya.

Sekarang justru pusaka itu dicuri oleh Peluh Setanggi dari pihak Nyi Mas Gandrung Arum yang beraliran sesat. Padahal, barang siapa memegang pusaka Panji-panji Agung, maka aliran silatnya tak akan punah sampai akhir zaman Di samping itu, Panji-panji Agung juga bisa dipakai untuk membangkitkan mayat orang yang telah mati hanya dengan cara dibawa melewati dekat orang yang telah mati itu, sehingga pusaka tersebut dinamakan pula Panji- panji Mayat.

Mendengar cerita Suto Sinting tentang keluarga Kejora dan pusaka warisannya itu, Darah Prabu semakin bertambah bersemangat untuk melabrak ke Biara Ungu. Rasa-rasanya tak salah lagi firasat batinnya bahwa Kejora memang ada di dalam Biara Ungu. Bahkan timbul kecemasan di hati Darah Prabu, bahwa Kejora akan dibunuh oleh Nyi Mas Gandrung Arum yang beraliran hitam itu untuk melenyapkan pewaris pusaka tersebut. Dengan demikian maka Nyi Mas Gandrung Arum akan bebas dan merasa aman memiliki pusaka Panji-panji Agung.

"Kita tidak boleh terlambat, Suto! Sebelum mereka membunuh Kejora, kita harus sudah sampai ke Biara Ungu dan membebaskannya. Aku akan berusaha merebut pusaka itu, dan kau bertugas membebaskan Kejora!"

"Aku setuju!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas. "Bahkan bila perlu kau tak perlu ikut masuk ke dalam biara, biar aku sendiri yang merampungkan dua persoalan itu; merebut kembali pusaka Panji-panji Mayat dan membebaskan Kejora"

"O, tak bisa begitu! Itu namanya kau meremehkan kemampuanku melawan orang-orang Biara Ungu. Aku tak suka dengan caramu itu, Suto!" Darah Prabu tersinggung.

Suto Sinting segera sunggingkan senyum sebagai pertanda rasa tersinggungnya Darah Prabu itu.

"Kalau perlu kau yang menunggu di luar dan aku yang menerobos masuk ke dalam biara menyelamatkan dua pusaka itu."

"Dua pusaka?!" Suto Sinting tertawa pendek.

"Panji-panji Mayat dan Kejora. Gadis itu kuanggap sebagai pusaka pribadiku!" ujar Darah Prabu terang-terangan yang membuat Pendekar Mabuk kian lebarkan senyum geli.

"Kita masuk bersama saja. Kita kerjakan apa yang bisa kita lakukan saat nanti!" Suto Sinting memutuskan demikian, dan agaknya Darah Prabu tak keberatan.

Namun sebelum mereka bergegas menuju Biara Ungu, tiba-tiba mereka melihat sekelebat bayangan orang yang berlari di sela-sela hutan di kaki lembah. Orang itu berlari tak seberapa cepat, namun dari kejauhan tampak seperti kiasan bayangan warna ungu.

"Siapa orang itu?!" sentak Darah Prabu sambil menuding ke arah kaki lembah.

Pendekar Mabuk pun cepat lemparkan pandangannya ke arah yang dituding Darah Prabu itu. "Bayangan Ungu...?!" gumam Suto Sinting "Apakah dia yang menyambar Kejora?"

"Kejar dia!" sentak Darah Prabu dengan suara tertahan, lalu ia mendahului bergerak dengan menggunakan jurus peringan tubuhnya yang mampu berlari secepat kilat. Wuuttt...!

Zlaaap...! Suto Sinting berlari lebih cepat karena ia mempunyai jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah terlepas dari busurnya. Bahkan Pendekar Mabuk mampu berlari menyamai kecepatan badai yang mengamuk menerjang pepohonan besar. Darah Prabu sempat tertinggal karena tak mampu menyamai kecepatan 'Gerak Siluman' si Pendekar Mabuk.

Rupanya bayangan ungu yang berkelebat itu menuju ke arah pantai sebelah utara. Bagi kedua pemuda itu, menuju ke mana pun tak jadi soal yang penting mereka bisa selamatkan Kejora lebih dulu, setidaknya bisa mengorek keterangan dari mulut si bayangan ungu itu tentang keberadaan Kejora.

"Sssttt...!" Pendekar Mabuk menahan gerakan Darah Prabu yang baru saja tiba di baiik pohon tempat perlindungan. Rupanya Suto Sinting sudah sejak tadi tiba di balik pohon besar itu dan mengintai ke arah pantai.

Duaaarr...! Sebongkah batu karang pecah menyebar karena terkena pukulan jarak jauh dalam bentuk seberkas sinar merah sebesar jeruk peras. Pukulan itu dilepaskan oleh orang berjubah ungu, sasarannya seorang lawan yang sedang dalam pengejarannya. Agaknya sang lawan cukup lincah dalam menghadapi serangan, sehingga dengan satu lompatan ke samping dan melambung tinggi, ia dapat selamat dari sinar merah penghancur karang itu.

Ternyata orang yang mampu hindari serangan sinar merah itu adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun, hanya mengenakan kutang hijau bersulam benang emas dengan tali pengikat kutang dari rantai emas melilit ke belakang. Gadis itu cukup montok, di atas gumpalan dada kirinya terdapat tato gambar naga berukuran sejengkal, ia mengenakan pakaian bawah berupa kain hijau berbelahan empat lapis, yang mudah menyingkap dengan sedikit angkat kaki. Ia menyandang pedang di pinggang. Sedangkan rambutnya tampak lebat, ikal dan terurai mekar sebatas punggung. Gadis itu tak lain adalah si Peluh Setanggi.

"Itu dia gadis buronanku!" bisik Darah Prabu mulai tampak berang, ia ingin berkelebat ke arah pantai, tapi segera ditahan oleh genggaman tangan Suto Sinting pada bajunya.

"Tahan dulu gerakanmu!"

"Aku tak mau kehilangan gadis buronanku lagi!"

"Iya, tapi lihat dulu pertarungan itu."

Darah Prabu menarik napas untuk meredam nafsu memburu gadis yang diserang oleh orang berjubah ungu itu. "Kau kenal siapa perempuan berjubah ungu itu?" tanyanya dalam bisik.

"Sangat kenal!" jawab Suto Sinting tegas sekali. "Perempuan berjubah ungu itulah yang tadi kusebutkan namanya; Sumbaruni alias Pelangi Sutera."

Kedua pemuda tampan mengarahkan pandangannya kepada perempuan awet muda yang punya kecantikan mengundang gairah bercumbu bagi lawan jenisnya. Pelangi Sutera atau Sumbaruni memang berpakaian serba ungu, rambutnya disanggul sebagian, pedangnya dililit kain beludru warna ungu masih tersandang di punggungnya.

"Kau temui Sumbaruni, Suto. Minta kembalikan Kejora baik secara halus maupun kasar. Aku akan tangkap si Peluh Setanggi dan memaksanya agar menyerahkan pusaka itu!"

"Iya, iya... tapi sabar dulu!" sentak Pendekar Mabuk dengan suara berbisik. "Kita lihat dulu siapa yang unggul dalam pertarungan ini dan apa persoalan yang mereka pertarungkan sebenarnya?!"

Kedua perempuan itu saling mencabut pedang masing-masing. Sraaang...! Kemudian keduanya sama-sama lakukan lompatan menyerang, dan tubuh mereka saiing bertemu di udara.

"Heeaaat...!"

Trang, trang, trang, trang...! Weess...! Craass...!

Sumbaruni berhasil menyambar lambung Peluh Setanggi dengan pedangnya. Lambung itu pun robek dan Peluh Setanggi mendaratkan kakinya saling memunggungi dengan mendekap luka menggunakan tangan kirinya. Darah merembes basah dari sela-sela jari yang digunakan mendekap luka.

Sumbaruni segera balikkan badan dan berseru, "Jemputlah ajalmu sekarang juga, Peluh Setanggi. Heeeaaat...!" Perempuan cantik yang galak itu segera lakukan satu lompatan dengan pedang siap menebas leher Peluh Setanggi. Tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menerjangnya dari samping kiri.

Wuuut...! Brrruusss...!

Sumbaruni tak menduga datangnya sekelebat bayangan itu, sehingga tubuhnya yang terkena tendangan kedua kaki bayangan itu terpental jungkir balik di tepian hutan pinggir pantai. Brruk...!

"Keparat kauu...!" geram Sumbaruni sambil segera bangkit dalam satu sentakan pinggul, wuuutt...! Tubuhnya melambung dan berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang, pedang terangkat ke atas siap untuk lakukan serangan lagi.

Tapi sebuah suara segera memanggilnya, "Sumbaruni!"

Gerakan Sumbaruni terhenti, matanya melirik ke samping karena saat itu Suto Sinting segera mendekatinya. "Tahan dulu amarahmu, Sumbaruni!"

"Jangan campuri urusanku dulu, Suto!" ujar Sumbaruni menggeram sambil matanya memandang ke arah Darah Prabu. Rupanya orang yang menerjangnya tadi adalah Darah Prabu. Pemuda itu tak menghendaki kematian Peluh Setanggi sebelum gadis buronannya serahkan kembali pusaka Panji-panji Mayat yang tentunya sudah disembunyikan di suatu tempat.

Darah Prabu sedang hampiri Peluh Setanggi yang berlutut sambil mendekap luka. Namun tiba-tiba Sumbaruni melesat dalam satu sentakan kaki ke tanah. Gerakannya seperti seekor burung terbang yang segera menebaskan pedangnya ke arah leher Darah Prabu.

Wuuttt...!

Darah Prabu cukup cekatan. Melihat kelebatan logam panjang mengkilat datang dari arah sampingnya, ia segera rundukkan kepala dan gulingkan badan ke pasir pantai. Wuuusss...! Dalam sekejap ia telah bangkit lagi dan lepaskan pukulan bercahaya kuning seperti telur ayam. Claappp...! Sinar kuning itu meluncur cepat ke punggung Sumbaruni. Perempuan itu cepat balikkan badan, begitu melihat sinar kuning mendekatinya ia pun segera lepaskan jurus pedang bersinarnya. Claaapp...! Dari ujung pedangnya keluar selarik sinar biru lurus bagaikan besi. Sinar biru itu menghantam sinar kuning dan terjadilah ledakan cukup dahsyat yang melepaskan gelombang panas menghentak kuat.

Jlegaaar...!

Wuusss...! Hawa panas menyebar dan kekuatan sentakannya membuat Darah Prabu terjungkal berjungkir balik ke arah belakang, Sumbaruni sendiri segera terlempar ke arah perairan pantai. Byuurr...!

Pendekar Mabuk yang tak bersalah pun terkena sentakan gelombang panas itu hingga tubuhnya terpelanting dan membentur sebatang pohon kelapa. Bruukkk...! Duuurrr...! Pohon kelapa itu bergetar hingga merontokkan dua buah kelapa kering. Wuuutt...! Pletok...!

"Aaaauuh...!" Pendekar Mabuk memekik kesakitan, kepalanya kejatuhan kelapa kering. Tidak berbahaya tapi sakitnya sangat menjengkelkan.

Gelombang hawa panas itu tak sampai membuat kulit melepuh, hanya merasa perih dalam beberapa kejap. Rasa perih itu tak dihiraukan oleh mereka, sebab perhatian mereka tercurah kembali kepada Peluh Setanggi, terutama setelah Pendekar Mabuk berseru,

"Peluh Setanggi, mau ke mana kau?! Berhenti!"

Peluh Setanggi melarikan diri dalam keadaan terluka. Darah Prabu sangat terkejut melihat Peluh Setanggi sudah sampai jauh. Ia pun segera menggeram dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. "Setan! Mau lari ke mana lagi perempuan itu!" Wuuutt...! Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi setelah berseru, "Suto, ambil Kejora dari si jubah ungu itu!"

Sementara itu, Sumbaruni pun berteriak dari tempatnya berdiri, "Berhenti kalian, atau kuhancurkan keduanya dari sini!"

Sumbaruni tampak bersiap melepaskan jurus mautnya yang dapat menjangkau lawan dalam jarak jauh. Tapi Suto Sinting yang paham maksud tindakan Darah Prabu tadi segera melompat dan bersalto di udara satu kali. Wuuukkk...! Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Sumbaruni, menghalangi serangan perempuan galak namun beraliran putih itu.

Sumbaruni tak berani lepaskan pukulannya, takut mengenai Suto Sinting, sedangkan di hati Sumbaruni masih menyimpan rasa cinta kepada Suto Sinting sampai kapan pun juga. "Menyingkirlah, Suto! Kau bisa mati oleh pukulanku ini kalau tak segera menyingkir!"

"Coba lepaskan pukulanmu, aku ingin tahu apakah kau tega membunuhku, Sumbaruni?!"

"Keparat kau! Aku harus mengejar Peluh Setanggi yang telah melukai anakku dengan pukulan beracun! Hampir saja, Logo, anakku tak tertolong jiwanya jika tidak segera kutemukan terkapar di lereng bukit! Dan pemuda sahabatmu itu pun harus kuhajar biar tahu adat, tidak sembarangan main terjang orang yang sedang lakukan pertarungan!"

"Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya. Kurasa kau mengenal nama Resi Badranaya. Darah Prabu punya urusan sendiri dengan Peluh Setanggi, karenanya ia tak ingin kau membunuh gadis itu sebelum pada akhirnya nanti mungkin gadis itu akan dibunuhnya pula!"

Mendengar Darah Prabu sendiri mengancam jiwa Peluh Setanggi, akhirnya Sumbaruni mulai meredakan amarah dengan hempasan napas kedongkolannya. Pedang pun dimasukkan kembali ke sarungnya sambil wajah galak itu cemberut dan berkata dalam gerutuan.

"Untung kau yang menghalangiku, kalau bukan kau sudah kuhancurkan juga orang yang menjadi penghalangku!"

"Sudah kuizinkan kau melepaskan pukulanmu padaku, kenapa tidak kaulakukan?"

"Terlalu sulit bagiku memukul seorang kekasih yang tak tahu diri dan muka tembok!"

Pendekar Mabuk tertawa dalam gumam mendengar ucapan itu. Ia mengikuti langkah kaki Sumbaruni menuju ke tempat teduh. Di sana ada batu setinggi betis. Sumbaruni berdiri dengan menaikkan kaki kanannya keatas batu itu, sedangkan kaki kirinya tetap berdiri tegak di pasir pantai, ia bertolak pinggang sebelah saat memandangi kehadiran Suto Sinting yang mendekatinya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Sumbaruni dengan nada masih ketus dan wajah masih cemberut.

"Aku baik-baik saja, Sumbaruni. Kurasa kau pun tahu apa yang sedang kulakukan saat ini."

"Aku tak mengerti maksudmu. Bagaimana aku tahu apa yang sedang kau lakukan saat ini jika kau tak menceritakannya padaku?!" alis Sumbaruni berkerut tajam.

Suto Sinting lebih dekat lagi dan berkata dengan lembut namun punya ketegasan tersendiri. "Kembalikan gadis itu, Sumbaruni. Dia dalam tanggung jawabku."

Kerutan alis perempuan bekas panglima Ratu Asmaradani dari negeri bawah laut itu semakin tajam. Tatapan matanya menampakkan perasaan heran mendengar ucapan Suto Sinting tadi.

"Sumbaruni," Suto membujuk,"... bisa ataupun tak bisa, kuminta kau melepaskan gadis itu. Barangkali kita bisa bicarakan persoalanmu dengan gadis itu secara baik-baik."

"Kau bicara soal apa?! Aku tak tahu arah pembicaraanmu, Suto! Apa kau benar-benar telah sinting?!"

"Aku bicara tentang Kejora!" tegas Suto Sinting.

"Kejora...?! Siapa itu Kejora?!"

"Gadis yang kau culik itu!"

Sumbaruni menatap Suto Sinting lebih tajam lagi. "Tanda-tandanya kau ingin menantang pertarungan denganku, Suto. Tak ada hujan tak ada mendung, tahu-tahu kau menuduhku menculik seorang gadis bernama Kejora. Apa-apaan kau ini?!"

"Sudahlah, tak perlu pakai hujan dan mendung, gadis itu dalam tanggung jawabku, Sumbaruni. Kumohon jangan kau persulit tanggung jawabku terhadap gadis itu."

"Aku tidak menculik siapa pun!" bentak Sumbaruni tiba-tiba. "Kalau aku mau menculik, mendingan kau saja yang kuculik!"

Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Kau akan dimarahi guruku jika menculikku, Manis!" Suto Sinting ingin mencubit dagu Sumbaruni, tapi perempuan itu menepiskan tangan Suto dan berpindah tempat berdiri.

"Tak perlu pakai merayu segala! Aku sedang marah! Dan kau menambah kemarahanku dengan menuduhku menculik seorang gadis. Aku tak suka dengan caramu itu! Bila perlu kita bertarung sampai mati untuk membuktikan bahwa aku tidak menculik gadis itu!"

"Jika bukan kau, lalu siapa si bayangan ungu itu?!"

* * *

EMPAT

SETELAH mendengar cerita dari Suto Sinting tentang Kejora dan pusaka Panji-panji Agung, akhirnya Sumbaruni dapat memaklumi tuduhan Suto Sinting terhadap dirinya. Dengan kesungguhan sikap, Sumbaruni mengaku bahwa dia sama sekali tidak mengenal Kejora dan bukan penculik gadisitu.

"Setelah kau ceritakan tentang Nyai Parisupit, barulah aku ingat bahwa Jaima Dupi mempunyai lima anak perempuan semua. Tapi aku tak hafal nama mereka satu persatu."

"Dan tentunya kau juga tahu banyak tentang Panji-panji Agung itu, bukan?"

"Mungkin tak terlalu banyak," jawab Sumbaruni merendah diri. "Yang kutahu hanyalah, Panji-panji Mayat adalah sebuah bendera pusaka milik Eyang Resi Demang Sudra. Almarhum adalah guru dari Sabang Wirata dan Kurupati. Panji-panji itu bisa bangkitkan orang mati. Pemiliknya bisa sedot ilmu yang dimiliki mayat semasa hidupnya jika orang tersebut tahu cara menggunakan panji-panji itu. Semua mayat tunduk kepada pemegang pusaka Panji-panji Agung, sehingga ia bisa memiliki sejumlah prajurit yang terdiri dari para mayat hidup."

"Cukup sakti juga pusaka itu," gumam Suto Sinting.

"Tapi tidak semua orang yang memegang atau memiliki Panji-panji Mayat dapat pergunakan panji-panji itu untuk menyedot ilmu para mayat semasa hidupnya. Hanya beberapa orang saja yang tahu tentang cara tersebut. Bahkan Jalma Dupi dan Sang Ratri sendiri tak mendapat penjelasan dari Nyai Parisupit tentang cara menggunakan panji-panji untuk menyedot ilmu mayat semasa hidupnya."

"Apakah kau tahu caranya?"

"Tidak. Tapi aku tahu beberapa orang yang mengetahui tentang cara menyedot ilmu mayat dengan menggunakan panji-panji itu. Orang-orang yang mengetahuinya antara lain; Ki Gendeng Sekarat serta kedua gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."

"Ki Gendeng Sekarat...?! Hmmm... pantas ia pernah punya pasukan mayat sebelum ia kembali menjadi pelayan calon istriku; Dyah Sariningrum, Ratu Negeri Gerbang Surgawi di Putau Serindu?!" pikir Suto Sinting sambil membayangkan sesosok tubuh agak gemuk yang gemar mengenakan pakaian merah dan bisa bertarung dalam keadaan tertidur nyenyak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Prahara Pulau Mayat).

"Tapi perlu kau ingat, Suto...," ujar Sumbaruni, si tokoh tua yang masih tampak muda dan cantik itu. "Beberapa waktu yang lalu, pernah terjadi heboh pusaka Panji-panji Agung yang sampai membuat beberapa tokoh kalangan atas turun tangan. Peristiwa itu terjadi sekitar tiga puluh tahun yang lalu"

"Aku belum lahir," sela Suto Sinting

Sumbaruni lanjutkan ucapannya, "Nyai Parisupit segera bersekongkol dengan seseorang untuk membuat tiruan bendera Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung itu. Jadi yang perlu kau pertimbangkan, apakah Panji-panji Mayat yang dititipkan kepada Resi Badranaya itu adalah yang asli? Siapa tahu Nyai Parisupit kala itu menitipkan Panji-panji Mayat yang palsu kepada Resi Badranaya?!"

"Wah, semakin rumit masalahnya jika begitu," ujar Suto Sinting. "Paling tidak aku harus mempelajari Panji-panji Mayat yang asli dan mengetahui yang palsu adalah yang bagaimana."

"Itulah kesulitanmu. Karenanya aku ingin sarankan padamu agar mundur dari persoalan itu. Kau akan dibuat pusing sendiri oleh keaslian pusaka tersebut. Lebih baik kau mengurus masalah lain, sebab masalah itu sudah dianggap masalah kuno oleh para tokoh persilatan kalangan atas."

"Tapi bagaimana dengan Kejora?! Kejora diculik orang, dan Kejora adalah keturunan dari Sang Ratri. Padahal perempuan yang bernama Sang Ratri adalah mantan prajurit Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang dikuasai oleh calon mertuaku; Ratu Kartika Wangi. Sedangkan aku adalah Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib itu. Lalu apa kata ibu Ratu Kartika Wangi jika aku hanya tinggal diam menghadapi kematian mantan prajuritku itu? Bisa-bisa aku dipecat tak jadi calon menantunya!"

"Bicaralah yang baik, jangan singgung-singgung soal kekasihmu; Dyah Sariningrum dan keluarganya. Bisa-bisa kalau aku tak sabar mulutmu akan kurobek dengan pedangku, Suto!" ujar Sumbaruni dengan nada cemburu.

Pendekar Mabuk nyengir takut, ia sadar bahwa Sumbaruni adalah lawan berat bagi Dyah Sariningrum dalam urusan cinta. Sumbaruni mencintai Suto Sinting, dan Suto Sinting sudah menjadi calon suami dari anak Ratu Kartika Wangi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah Sariningrum. Tentu saja kecemburuan Sumbaruni akan terbakar jika Suto Sinting banyak bicara tentang kekasihnya.

Cinta Sumbaruni kepada Pendekar Mabuk sungguh besar, sehingga perempuan itu sempat punya rencana untuk menantang pertarungan nyawa dengan Dyah Sariningrum. Namun rencana itu sampai sekarang belum sempat terlaksana karena Sumbaruni terlalu banyak punya urusan di rimba persilatan.

"Suatu saat aku pasti akan menantang Dyah Sariningrum untuk menentukan siapa yang berhak memilikimu, Suto!" ujar Sumbaruni yang tidak terlalu ditanggapi oleh Pendekar Mabuk.

"Kalau begitu aku harus tetap menuju ke Biara Ungu untuk bebaskan Kejora."

"Apakah kau yakin bahwa Kejora ada di Biara Ungu?! Buktinya kau sudah salah duga dengan menyangkaku sebagai penculik Kejora, hanya gara-gara aku mengenakan pakaian serba ungu. Padahal yang namanya Nyi Mas Gandrung Arum itu tidak mengenakan pakaian ungu, walaupun biaranya adalah Biara Ungu."

"Kalau begitu, aku harus bagaimana menghadapi masalah ini, Sumbaruni?!"

"Temuilah gurumu dan tanyakan ciri-ciri pusaka Panji-panji Mayat yang asli, dan tanyakan di mana letak perbedaannya antara yang asli dengan yang tiruan!"

"Baiklah, tapi setidaknya aku perlu menemui Nyi Mas Gandrung Arum untuk membicarakan tentang Kejora. Setelah itu aku akan temui Guru untuk membicarakan pusaka pembangkit mayat itu."

"Terserah langkahmu. Yang jelas aku akan merawat anakku; Logo, yang habis terkena racunnya si Peluh Setanggi. Untung aku bisa menyedot keluar racun itu, jika tidak maka anakku bukan saja akan menderita luka namun juga akan mati direnggut racun 'Lidah Malaikat' milik si Peluh Setanggi!"

Sumbaruni mendekati Suto Sinting, berdiri di depannya persis dalam jarak kurang dari satu langkah. Pemuda tampan itu dipandanginya dengan sorot pandangan mata penuh pribadi. Guratan kedongkolannya mulai sirna, berubah rona lembut bermata sayu. Pendekar Mabuk juga menatapnya dengan sunggingkan senyum tipis menawan.

"Apakah kau kecewa jika aku tak membantumu dalam membebaskan Kejora?!"

Pendekar Mabuk gelengkan kepala dengan lembut. Lalu berucap dengan lirih, "Aku mampu tangani sendiri masalah ini, Sumbaruni."

"Kalau begitu aku harus segera pergi, kita berpisah dulu, Suto," ucap Sumbaruni bersuara bisik, tangannya meraba pipi Suto Sinting dengan mesra. Pemuda tampan itu hanya anggukkan kepala samar-samar. "Kau tak ingin... tak ingin menciumku?"

Pendekar Mabuk lebarkan senyum geli dan gelengkan kepala. Sumbaruni menarik napas menyimpan rasa kecewa. Tapi ia segera berkata dengan suara lirihnya, "Baiklah, kalau memang kau tak mau menciumku tak apa, aku yang akan menciummu."

Cuup...! Dengan gerakan cepat bibir Sumbaruni mengecup pipi Suto Sinting. Gerakan cepat itu sukar dihindari oleh Suto Sinting, bahkan ditangkis pun sulit. Mau tak mau pipi itu terkena jurus kasmaran Sumbaruni yang menghangat sampai ke dasar hati. Sumbaruni pun menarik diri secepatnya, kemudian melesat pergi tanpa pamit lagi. Weeess...!

Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala pandangi kepergian Sumbaruni sambil mengusap-usap pipi yang habis terkena jurus ciuman itu. Suaranya terdengar menggumam lirih dengan senyum masih mengembang samar-samar. "Dasar perempuan... tidak diberi malah nyolong! Hmmm... awas kau, lain waktu akan kubalas dengan lebih nakal lagi!"

Sinar matahari menyorot tajam ke permukaan bumi. Pendekar Mabuk bergegas menyusuri pantai, karena dari situ tampak jelas Bukit Esa yang tak jauh dari pantai. Setidaknya jarak itu lebih mudah ditempuh ketimbang melewati hutan belantara. Gugusan karang yang membukit di pantai itu membentang bagai menghalangi langkah Pendekar Mabuk, ia terpaksa harus mendaki bukit karang yang tak seberapa tinggi untuk pencapai dataran pantai seberangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya yang ingin mendaki tertahan oleh suara ledakan menggelegar di dalam hutan.

Blegerrr...!

Getaran daya ledak itu sampai terasa ke tanah yang dipijak Pendekar Mabuk. Rasa ingin tahu membuat Pendekar Mabuk akhirnya belokkan arah dan menerabas hutan belantara untuk melihat pertarungan yang terjadi disana.

"Pasti pertarungan itu sangat seru, suara ledakannya sampai terasa menggetarkan tanah sekitar sini! Hmmm... siapa kira-kira yang lakukan pertarungan itu?!" pikir Suto sambil memperhatikan kepulan asap di kejauhan sana dan ia segera memburu ke arah kepulan asap itu.

Zlappp, zlappp..!

Dalam sekejap saja Pendekar Mabuk telah sampai di suatu tempat menyerupai danau yang cukup lebar. Danau itu berair hijau buram dengan garis tengah lingkaran lebih dari dua puluh langkah. Di bagian tengah danau terdapat beberapa tonjolan batu yang mencuat dari kedalaman air danau. Seseorang yang ingin mencapai ke pertengahan danau harus mampu melakukan lompatan- lompatan yang tepat pada pucuk-pucuk bebatuan. Jarak dari batu ke batu cukup lebar, tak bisa dilakukan hanya sekedar dengan melangkah biasa.

Dan di atas batu-batu di pertengahan danau itu, tampak tiga orang sedang mengadu kesaktian mereka. Pendekar Mabuk mengintai dari atas pohon, dan merasa kaget melihat salah satu dari ketiga orang tersebut. Orang itu berpakaian model biksu warna putih, rambut putih tipis berkesan botak, jenggotnya agak panjang berwarna putih, menandakan usianya sekitar delapan puluh tahun. Tubuhnya agak gemuk, namun gerakannya masih kelihatan lincah. Pendekar Mabuk tak asing lagi dengan tokoh tua yang dikenal dengan nama Resi Pakar Pantun itu.

Tetapi yang membuat Pendekar Mabuk lebih heran lagi adalah kedua lawan Resi Pakar Pantun. Tokoh tua itu bertarung melawan dua gadis berjubah ungu mengenakan kutang hijau bersulam benang emas, talinya dari rantai kuning emas yang melingkar ke belakang. Pakaian bawahnya hijau berbelahan empat yang mudah tersingkap sampai batas pinggang jika dipakai untuk menendang, sehingga kemulusan kulit paha kedua gadis itu akan terlihat jelas. Keduanya sama-sama menyandang pedang di pinggang. Keduanya sama-sama berambut lebat ikal terurai mekar. Keduanya sama-sama pula mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi.

"Jangan-jangan salah satu dari kedua gadis itu adalah Peluh Setanggi?!" pikir Suto Sinting, namun ia segera merasa kewalahan membedakan yang mana Peluh Setanggi dan yang mana saudara kembarnya.

Resi Pakar Pantun tampak mulai terdesak karena kedua gadis itu sama-sama mencabut pedangnya. Mereka menyerang bersama dalam satu lompatan menyerupai dua pasang burung terbang. Wuuuttt...! Pedang mereka dikibaskan dari kanan-kiri ke arah dada Resi Pakar Pantun. Weesss...!

Hampir saja Resi Pakar Pantun terkena tebasan pedang mereka kalau tak cepat menghindar dengan bersaito ke belakang dan kakinya tepat menapak pada sebuah batu runcing. Tebb...! ia pergunakan ilmu peringan tubuhnya hingga dapat berdiri di atas batu seruncing tombak itu. Hanya dengan satu kaki menapak, Resi Pakar Pantun segera lepaskan pukulan bertenaga dalam dari kedua tangan yang disentakkan ke depan. Wuuttt...!

Clap, clap...! Dua sinar merah berbentuk piringan melayang cepat menghantam dua gadis yang sedang turun dari lompatannya. Yang sebelah kiri sempat menahan sinar merah itu dengan melepaskan sinar biru lebar dari tangan kirinya. Blaaarrr...! Tapi yang sebelah kanan masih mampu berkelit dengan meliukkan tubuhnya, hingga sinar merah Resi Pakar Pantun melesat jauh dan menghantam pohon di daratan. Jlegarrr...!

Gadis yang lolos dari serangan sinar merah segera menapakkan kakinya di atas sebongkah batu lebih rendah dari batu yang dipakai berpijak Resi Pakar Pantun. Tetapi gadis yang mengadu kekuatan tenaga dalamnya dengan melepas sinar biru itu terpental ke belakang, hilang keseimbangan badannya. Akhirnya ketika kakinya ingin berpijak pada salah satu batu, ia tergelincir jatuh.

"Aaahh...!"

"Ambar...?!" seru gadis yang satunya dengan tegang sekali.

Byuurr...! Gadis yang rupanya bernama Ambar itu jatuh ke danau. Pendekar Mabuk memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Tubuh yang jatuh ke danau segera hangus seketika, seperti besi panas masuk ke dalam air.

Jrrooss...! Wuuusss...!

Asap mengepul putih membubung tinggi, lenyap dalam sekejap. Tubuh yang jatuh ke perairan danau itu segera menjadi tulang belulang yang berwarna hitam arang. Kemudian tenggelam perlahan-lahan dengan sisa asap yang semakin menipis dan segera lenyap.

"Gila!" gumam Suto Sinting berwajah tegang. "Rupanya air danau itu sangat berbahaya. Ganasnya melebihi lahar panas sebuah gunung berapi?! Uuh... untung aku tidak gegabah bermain air itu!"

Gadis itu memekik dengan berang. "Jahanaaam...! Kau bunuh adikku dengan keji, Manusia bejat! Kubalas kau sekarang juga, hheeeaaah...!"

Wuuut...! Tubuh gadis itu berkelebat cepat menerjang Resi Pakar Pantun dengan pedang ditebas-tebaskan membabi buta. Resi Pakar Pantun sentakkan kaki dan tahu-tahu sudah ada di batu lainnya. Wees...! Si gadis tak sempat berhenti bergerak. Kakinya menyentak ujung batu dan tubuhnya melesat ke arah Resi Pakar Pantun berada.

"Hiaaah...!"

Wuuuss...! Bet, bet, bet, bet...!

Pedang ditebas-tebaskan hingga memancarkan kilatan-kilatan sinar biru bagaikan lidah petir. Resi Pakar Pantun hanya diam saja. Kedua tangannya saling bertemu di dada. Mata terpejam, kepala tetap tegak. Kilatan cahaya biru itu menyambarnya secara bertubi-tubi.

Duaar, duaar... blaaarr...!

Tubuh sang Resi masih utuh. Seakan sinar-sinar biru itu meledak dengan sendirinya sebelum menyentuh tubuh sang Resi. Namun ketika tubuh si gadis mendekatinya dengan pedang menebas berserabutan, kedua tangan sang Resi menyentak membuka dengan suara pekik terlontar dari mulutnya.

"Heeeah...!"

Claaap...! Sinar merah menyebar lebar menghantam tubuh gadis yang melayang. Zeebb...!

"Uuhhg...!" gadis itu memekik tertahan, tubuhnya terlempar dan berguling-guling di udara bagai segumpal kapas disapu badai. Tubuh itu akhirnya jatuh di daratan tepi danau, tepat di bawah pohon yang dipakai Suto Sinting untuk mengintai pertarungan itu. Brrrukkk...!

"Ooaaahg...!" mulut si gadis langsung semburkan darah segar dengan tubuh kelojotan bagai dipanggang api.

Suto Sinting yang tepat ada di dahan atas gadis itu melihat jelas keadaan si gadis yang amat menyedihkan. Rasa tak tega membuat Suto Sinting akhirnya turun dari atas pohon. Wuuutt...! Tepat pada saat itu Resi Pakar Pantun melompat dari tengah danau dengan kaki menyentak di ujung-ujung batu. Teb, teb, teb...! Wuuttt, jleeg...!

"Suto...?!" tegurnya penuh keheranan.

Suto Sinting tak sempat membalas teguran sang Resi karena ia ingin buru-buru menolong gadis itu. Namun baru saja ia merunduk, gadis itu telah hembuskan napas terakhir dan tak berkutik selamanya. "Yaaah... lewat!" keluh Suto Sinting bernada kecewa. Matanya terpaku memandangi dada si gadis yang bertato gambar mawar. Dalam hatinya pun segera berkata, "Kalau begitu dia bukan si Peluh Setanggi, karena tatonya bukan bergambar naga. Tapi... wajahnya serupa betul dengan Peluh Setanggi?!"

Resi Pakar Pantun melangkah lebih mendekat lagi. Saat itulah Pendekar Mabuk bangkit dari jongkoknya dan memandang sang Resi yang cengar-cengir kepadanya. "Badak bunting rambutnya poni, badak jantan enggak dikebiri. Tak kusangka bertemu di sini, melihat gadis mati berseri." Sang Resi langsung berpantun karena memang kesukaannya bertutur lewat pantun, ia mampu menyusun dalam waktu singkat, sehingga layak menamakan diri sebagai Resi Pakar Pantun.

"Mengapa kau bunuh kedua gadis kembar ini, Resi?!" tanya Suto Sinting bernada kurang setuju atas tingkah sang Resi sebagai tokoh aliran putih yang sudah cukup akrab dengannya itu. Bahkan si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting, kenal baik dengan Resi Pakar Pantun. Semestinya sang Resi tidak mudah mencabut nyawa dua gadis itu mengingat ilmu mereka masih jauh di bawah kesaktian sang Resi.

Tapi rupanya sang Resi punya alasan tersendiri atas tindakannya yang sepintas tampak kejam itu. "Badak bunting minum tuak segentong penuh, penyakit panu dan kadas langsung sembuh. Tak sengaja hasrat hati ingin membunuh, semata-mata hanya lindungi jiwa dan tubuh."

Pendekar Mabuk tarik napas satu kali, pandangi danau berair hijau buram yang menyerupai sang maut menanti tumbal itu. Kejap berikutnya ia ajukan tanya kembali kepada Resi Pakar Pantun, "Persoalan apakah yang membuat mereka menyerangmu seganas itu? Kulihat mereka sangat bernafsu ingin membunuhmu."

"Badak bunting disangka buah delima, hinggap di pohon disangka buaya. Pembalasan menjadi pangkal dendam lama, ayahnya mati kugempur kepalanya."

Sang Resi menyeringai bagai banggakan diri, tapi Pendekar Mabuk gelengkan kepala berkali-kali. Merasa heran melihat sang Resi bicara tentang pembunuhannya dengan ringan bagai merasa tak berdosa. Hal itu membuat Pendekar Mabuk semakin ingin tahu.

"Mengapa kau membunuh ayah mereka?"

Kini sang Resi menjawab tanpa pantun, "Dumpak Roga, ayah mereka adalah pembunuh bayaran yang tak kenal teman, tak kenal saudara. Siapa pun yang mengupahnya untuk membunuh seseorang, biar adik kandung sendiri tetap akan dibunuhnya asal besar upah sesuai keinginannya. Dumpak Roga adalah tokoh aliran hitam yang dibenci sesama aliran hitam, namun tidak disukai oleh tokoh aliran putih. Aku bertarung dengannya untuk mempertahankan sebuah pusaka titipan, dan dalam pertarungan itu Dumpak Roga nyaris membunuhku. Untung aku punya sisa kesaktian yang nyaris kulupakan, maka kuhantam ia dengan jurus lamaku itu, dan... kepalanya hancur tak sempat kupunguti lagi."

Pendekar Mabuk pandangi wajah mayat si gadis. Kemudian terlontar pertanyaan yang sejak tadi mengusik batinnya, "Apakah mereka ada hubungan saudara dengan seorang gadis yang bernama Peluh Setanggi?!"

"Tentu ada, sebab Peluh Setanggi adalah kakak tertua dari kesembilan adik kembarnya."

"Hahh...?! Sembilan kembar?!" Suto Sinting terkejut.

"Sepuluh," ulang Resi Pakar Pantun. "Dumpak Roga mempunyai istri perempuan Pulau Godot yang rata-rata bertubuh tinggi besar itu. Ia melahirkan anak kembar sepuluh, yang dianggap anak sulung adalah Peluh Setanggi, karena ia bayi yang lahir pertama. Habis melahirkan bayi kembar sepuluh sang Ibu langsung tak mau bernapas lagi sampai sekarang, alias mati."

"Hmmm...." Pendekar Mabuk manggut-manggut penuh perasaan kagum mendengar perempuan melahirkan bayi kembar sepuluh.

"Kini anak Dumpak Roga selalu memburuku. Kapan saja kami bertemu mereka selalu berusaha membunuhku sebagai curahan dendam, membalas kematian ayah mereka. Selama ini aku selalu menghindar, karena gadis-gadis itu tidak berdosa dan tidak tahu mengapa aku harus membunuh ayah mereka. Tapi kali ini, agaknya aku tak bisa menghindar diri dan terpaksa bertahan. Kalau aku tak menyerang mereka, aku bisa mati jatuh ke dalam air Danau Maut."

"Air danau itu tampaknya tenang namun mampu membakar tubuh manusia secepat itu? Baru sekarang kulihat ada danau pemakan manusia."

"Namanya Danau Maut, airnya adalah air beracun yang tak bisa disentuh dengan benda apa pun. Kau lihat ketika gadis itu melayang kemari dan pedangnya jatuh ke permukaan air danau, pedang itu langsung menjadi arang, bukan?! Hanya batu dan tanah yang tak bisa hangus terkena air Danau Maut."

"Mengapa kau sampai bertarung di atas bebatuan tengah danau itu?!"

"Tak sengaja. Aku hanya menghindari mereka, tapi mereka mengejarku. Padahal tujuanku hanya mencari pelayanku; si Kadal Ginting."

"Oh, ya... aku bertemu dengan Kadal Ginting. Dia kusuruh menemuimu di Hutan Rawa Kotek, karena kusangka kau masih ada di pondok Nini Kalong, Resi."

"Aku hanya sebentar di sana, tak boleh bermalam," ujar sang Resi dengan wajah melentur kecewa.

"Mengapa tak diizinkan bermalam di sana?"

"Nini Kolong takut hamil."

Suto Sinting tertawa agak keras.

"Padahal... padahal aku sudah tidak mampu lakukan kewajibanku sebagai lelaki. Tapi dia masih curiga, kusuruh membuktikan tak mau juga. Akhirnya aku harus pergi dari pondoknya sebelum malam tiba."

"Kasihan..,," gumam Suto Sinting sambil tertawa cekikikan.

Wajah sendu sang Resi tampak lucu, jenggotnya diusap-usap dengan gerakan lamban. "Badak bunting main yoyo di bawah mega."

Suto Sinting bertanya sambil tersenyum geli, "Apa artinya, Resi?"

"Sudah tahu semangatku loyo, eh... masih dicurigai juga."

Tawa pun terlepas walau tak keras. Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sendiri pada saat tawanya mereda, ia segera menenggak tuak beberapa teguk, setelah itu baru teringat sesuatu dan segera ditanyakan kepada sang Resi.

"Katamu tadi, kau bertarung dengan Dumpak Roga karena mempertahankan pusaka titipan?"

"Benar. Seorang sahabat lama menitipkan pusaka itu padaku agar terhindar dari jamahan tangan-tangan murka. Mau tak mau harus kupertahankan walau terpaksa bertaruh nyawa dengan si Dumpak Roga!"

Hati Suto Sinting berdebar-debar, dahinya berkerut tajam memandangi Resi Pakar Pantun yang agaknya berbicara dengan sungguh-sungguh. "Pusaka apa itu,Resi?!"

"Pusaka kuno," jawab sang Resi mulai tampak malas melanjutkan percakapan tentang masa lalunya. Tapi Pendekar Mabuk menjadi sangat penasaran dan jantungnya berdetak-detak.

"Apa nama pusaka itu, Resi? Katakanlah namanya!" cecar Pendekar Mabuk tampak tak sabar lagi.

"Namanya... namanya Panji-panji Mayat."

"Oooh...?!" Suto terpekik tegang. "Ja... jadi pusaka itu ada padamu, Resi?!"

Resi Pakar Pantun hanya menatap dengan mata sedikit mengecil menampakkan keheranannya melihat Suto Sinting setegang itu.

* * *

LIMA

PENDEKAR Mabuk terpaksa menceritakan segala sesuatunya tentang persoalan pusaka Panji-panji Agung itu. Resi Pakar Pantun baru paham apa yang dimaksud Suto Sinting setelah mendengar cerita perjalanan anak muda itu dari awal sampai akhir. Tokoh tua tersebut akhirnya manggut-manggut sambil menggumam panjang. Mereka bicara sambil meninggalkan Danau Maut, setelah memakamkan Jenazah gadis bertato mawar secara ala kadarnya.

"Peristiwa pertarunganku dengan Dumpak Roga adalah peristiwa beberapa tahun yang lalu," ujar Resi Pakar Pantun. "Jadi sekarang Panji-panji Mayat sudah tidak ada di tanganku lagi."

"Ada di mana sekarang?"

"Kuserahkan kembali kepada Nyai Parisupit. Barangkali setelah itu pusaka dititipkan oleh Nyai Parisupit kepada si Resi Badranaya."

Suto diam sejenak. Hatinya sedikit kecewa mendengar pusaka itu sudah tidak di tangan Resi Pakar Pantun. Padahal ia berharap pusaka itu tetap ada di tangan Resi Pakar Pantun, sehingga tidak sulit-sulit lagi menentukan di mana sebenarnya pusaka itu tersimpan.

"Kalau begitu, benar apa kata Darah Prabu, bahwa pusaka itu telah dicuri oleh Peluh Setanggi atas perintah Nyi Mas Gandrung Arum," ujar Suto Sinting seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Tapi mestinya Nyi Mas Gandrung Arum tidak berani melakukan hal itu."

"Mengapa mestinya tidak berani?"

"Karena Nyi Mas Gandrung Arum adalah satu-satunya tokoh perempuan sakti yang tidak boleh memegang atau memiliki pusaka orang lain. Dia telah disumpah oleh gurunya untuk tidak memiliki pusaka orang lain, kecuali pusaka warisan dari leluhurnya dan dari gurunya sendiri."

"Hmmm...." Suto Sinting manggut-manggut lagi. "Mungkin... mungkin Nyi Mas Gandrung Arum adalah murid dari Eyang Resi Demang Sudra? Atau mungkin juga Nyi Mas Gandrung Arum muridnya Eyang Sabang Wirata?!"

Ahli Pantun itu menggeleng. "Nyi Mas Gandrung Arum bukan muridnya Resi Demang Sudra, juga bukan muridnya Sabang Wirata. Dia mempunyai seorang guru yang dikenal cukup sakti dan disegani di dunia persilatan, namanya: Begawan Banjar Toya. Mendiang Begawan Banjar Toya itu pamanku sendiri, dan beberapa ilmunya diturunkan padaku, tapi aku bukan muridnya. Aku punya guru sendiri."

"Ooo...," sekali lagi Suto Sinting menggumam sambil manggut-manggut.

"Dulu aku pernah mau diangkat murid Paman Banjar Toya, tapi aku tidak mau disuruh agar tidak memegang atau memiliki pusaka orang lain; kecuali pusaka dari leluhurku dan dari Paman sendiri. Aku tidak mau disumpah begitu, sebab kalau aku melanggar sumpah, maka aku akan menemui ajal dalam tujuh hari setelah memegang atau memiliki pusaka orang lain. Tiga orang murid Paman Banjar Toya bersedia menerima sumpah itu, salah satunya adalah Nyi Mas Gandrung Arum yang usianya memang lebih tua dariku. Dulu aku dibujuk olehnya agar mau menjadi murid Paman, tapi aku tetap tidak mau, sebab waktu itu aku masih punya keinginan besar untuk mencari pusaka Pedang Kayu Petir. Pedang terdahsyat di seluruh rimba persilatan! Tapi setelah Paman meninggal, barulah kusadari bahwa Pedang Kayu Petir itu milik sahabat dari guruku, yaitu Resi Wulung Gading, aku tak berani merebutnya, lalu kulupakan hasratku ingin memiliki Pedang Kayu Petir itu."

Suto Sinting sempat sunggingkan senyum tipis, karena ia tahu persis kedahsyatan Pedang Kayu Petir. Dulu pedang yang dianggap pusaka maha sakti ini pernah hilang, dan Suto Sinting-lah yang menemukannya, bahkan sempat digunakan bertarung melawan Raja Tumbal yang mempunyai pusaka maut bernama Seruling Malaikat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: Pedang Kayu Petir dan Seruling Malaikat).

"Kalau begitu, Rasi Wutung Gading itu sebenarnya sudah berusia cukup banyak, lebih tinggi dari usiamu sendiri, Resi?"

"Iya. Walaupun sekarang ia kelihatan tua, tapi sebenarnya ia awet muda. Kalau dibandingkan dengan usia sebenarnya, seharusnya ia lebih tua lagi dari keadaan yang sekarang."

Suto Sinting lebih tertarik dengan penjelasan mengenai Nyi Mas Gandrung Arum, sehingga ia segera mengembalikan pembicaraan ke alur semula. "Menurutmu, apa yang mendorong Nyi Mas Gandrung Arum berani mengutus Peluh Setanggi untuk mencuri pusaka Panji-panji Mayat itu, Resi?!"

Sang Resi hanya angkat bahu pertanda tidak mengerti jawabannya, ia hanya berkata sambil tetap melangkah seiring dengan Pendekar Mabuk. "Barangkali ia kepingin cepat mati dalam tujuh hari setelah memiliki pusaka orang lain itu, sesuai dengan sumpahnya di depan gurunya."

"Kurasa alasan itu tak masuk akal."

"Kalau begitu, kita datangi saja Biara Ungu dan biarkan aku yang bicara dengan Nyi Mas Gandrung Arum."

"Kau pikir kita sekarang sedang berjalan ke arah mana?"

"Oh, Jadi sekarang ini kita sedang mengarah ke Biara Ungu?! Ya, ampuuun... mengapa baru sekarang kusadari hal itu?!" Resi Pakar Pantun sempat tertegun bengong dan garuk-garuk kepala, langkahnya pun terhenti dengan mata memandang ke arah Bukit Esa yang ada di depannya.

Suto hanya tersenyum-senyum melihat kepikunan sang Resi. Ketika mereka mencapai perbatasan wilayah Biara Ungu, langkah mereka terhenti karena menemukan sesosok mayat tergeletak di rerumputan. Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun sama-sama terkejut saat menemukan mayat itu.

"Peluh Setanggi...?!" gumam Suto dengan tegang. "Rupanya ia telah dibunuh oleh Darah Prabu."

Resi Pakar Pantun mengendurkan ketegangan di wajahnya. "Bukan, ini bukan mayat Peluh Setanggi."

"Aku masih ingat warna kutang dan pakaian bawahnya, Resi. Wajahnya pun wajah si Peluh Setanggi."

"Bukan!" sang Resi agak ngotot. "Lihat tato di atas payudaranya. Tato itu bergambar pedang bersilang, sedangkan tatonya Peluh Setanggi bergambar seekor naga."

"O, Iya...?! Rupanya kau sangat hafal dengan gambar tato itu, Resi?"

"Karena letaknya di tempat yang patut dihafalkan," jawab sang Resi agak ngeres.

"Lalu, siapa gadis yang mati dalam keadaan bolong lehernya ini?"

"Adik kembarnya Peluh Setanggi yang berjuluk si Pedang Gunting."

"Bagaimana kau bisa mengenalinya sebagai si Pedang Gunting?"

"Tatonya bergambar pedang bersilang, dan tempat yang ditato... agak kecil sedikit dari milik Peluh Setanggi," Jawab sang Resi sambil cengar-cengir malu.

Suto Sinting sunggingkan senyum tipis berkesan hambar. "Lalu... siapa yang membunuhnya? Jangan-jangan Darah Prabu salah bunuh, ia menyangka si Pedang Gunting ini adalah Peluh Setanggi?!"

"Kurasa bukan Darah Prabu yang membunuhnya, sebab dilihat dari luka berlubang di lehernya jelas ini bukan perbuatan Darah Prabu."

"Lalu, perbuatan siapa jika bukan perbuatan Darah Prabu?!"

Tiba-tiba ada suara yang menyahut dari belakang mereka, "Perbuatanku...!"

Kedua lelaki itu menengok ke belakang secara serentak, dan mereka temukan seorang perempuan berdiri dengan tegak menggenggam sebuah busur dan menyandang anak panah dipunggungnya.

"Dewi Geladak Ayu...?!" ucap Pendekar Mabuk dengan suara datar dan pelan. Matanya tak mau lepas dari wajah cantik berhidung mancung itu. Wajah itu tampak segar, dan masih terbayang jelas dalam ingatan Suto ketika wajah itu diinjak-injak lawan hampir hancur, hati Suto kala itu sungguh iba memandang kekalahan perempuan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pembantai Raksasa).

Resi Pakar Pantun sedikit gelisah, sebab ia tahu siapa perempuan berjubah biru laut dengan penutup dadanya warna kuning tipis itu. Ketika Dewi Geladak Ayu membantu mendiang Ratu Sangkar Mesum menyerang negeri Bumiloka, sang Resi tampil sebagai pembela pihak negeri Bumiloka, sebab negeri itu milik leluhur murid Resi yang bernama Kertapaksi. Tentunya beberapa anak buah Dewi Geladak Ayu yang dikenal sebagai bajak laut wanita itu banyak yang tumbang di tangan Resi Pakar Pantun. Kendati akhirnya sang Resi sendiri lari dari pertarungannya melawan Ratu Sangkar Mesum.

Kini pancaran mata tajam perempuan bertusuk konde sumpit emas itu terang-terangan ditujukan kepada Resi Pakar Pantun. Pancaran pandangan mata itu nyata-nyata mengandung permusuhan. Namun sebelum Dewi Geladak Ayu bicara, Suto Sinting sudah lebih dulu perdengarkan suaranya dengan nada kalem dan bersikap tenang.

"Mengapa kau bunuh gadis itu, Geladak Ayu?"

"Persoalanku bukanlah persoalanmu, untuk apa kau ingin mengetahui alasanku membunuhnya?!"

"Sekadar ingin tahu saja. Kalau kau keberatan menjelaskannya, ya tak usah dijelaskanlah...!" jawabnya sambil bersungut-sungut dan bersikap acuh tak acuh.

Tapi perempuan bermata galak itu rupanya mempunyai pertimbangan pribadi, mengingat dulu jiwanya pernah diselamatkan oleh si tampan Suto Sinting itu. Karenanya, ia pun segera berkata sambil memperhatikan Suto yang buang muka ke arah lain.

"Kapalku ditenggelamkan oleh anak buah si Nyi Mas Gandrung Arum dengan alasan tak diizinkan berlabuh di perairan wilayah Biara Ungu. Maka sebagai imbalannya, akan kubantai habis orang-orang Biara Ungu satu demi satu!"

Melihat sikap tenangnya Suto Sinting, Resi Pakar Pantun menjadi ikut tenang, ia tersenyum geli mendengar kapal Dewi Geladak Ayu ditenggelamkan gara-gara tak boleh parkir di batas wilayah Biara Ungu. Bagi sang Resi itu suatu hal yang lucu, sehingga ia pun segera lontarkan pantun Jenakanya.

"Badak bunting badak yang nakal, bercanda dengan lintah di pinggir danau. Jika bajak laut tak lagi punya kapal, jadilah ia bajak sawah penunggang kerbau."

Resi Pakar Pantun bagaikan bicara kepada Pendekar Mabuk, tapi sasaran pantunnya ditujukan kepada Dewi Geladak Ayu. Maka perempuan itu pun mulai berang dan melangkah lebih dekat lagi sambil berkata dalam geram.

"Berpantunlah sepuas hatimu, Jahanam! Sebentar lagi nyawamu pun akan kukirim ke dasar neraka!"

"Mengapa marah padaku? Aku berpantun kepada Pendekar Mabuk," sangkal Resi Pakar Pantun. Bahkan ia kembali lontarkan pantunnya sambil berhadapan dengan Suto Sinting. "Badak bunting karena telan biji salak, sekali lompat kandungan melorot ke kaki. Boleh saja perempuan berwajah galak, namun kesukaannya tetap saja di bawah lelaki."

Pendekar Mabuk menahan tawa gelinya dengan buang muka dan tersenyum-senyum. Sang Resi seolah-olah mengajak Suto Sinting tertawa hingga terkekeh-kekeh. Tapi Dewi Geladak Ayu semakin berang, sehingga tangan kanannya segera menyentak kedepan. Wuuttt..! Dan seberkas sinar kuning seperti telur ayam melesat ke arah Resi Pakar Pantun. Claappp...!

Sang Resi sigap dengan keadaan itu. Ia cepat sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke atas, wuuttt...! Sinar kuning itu lolos dari tubuhnya, menghantam pohon di belakangnya. Duaarrr...! Sang pohon rompal dalam keadaan daunnya berguguran, beberapa dahannya patah dan jatuh ke tanah. Suto Sinting segera hentikan senyuman gelinya dan berdiri menghadang langkah Dewi Geladak Ayu yang ingin hampiri Resi Pakar Pantun.

"Hentikan murkamu, Geladak Ayu!"

"Tidak bisa!" bentaknya. "Monyet tua itu harus kubunuh, karena tiga anak buahku mati di tangannya saat terjadi pertempuran di Bumiloka!"

Mata si tampan Suto tertuju ke wajah Dewi Geladak Ayu tanpa berkedip. Ketajaman pandangannya mempunyai kelembutan tersendiri yang membuat resah hati Dewi Geladak Ayu. Dalam hati perempuan itu pun berkata,

"Setan belang! Tiap aku bertemu dengan pemuda yang satu ini, selalu berdebar-debar jika menerima tatapan matanya! Hatiku menjadi gundah tak tentu arah jika ia berdiri dan memandangku begitu. Setan alas betul dia! Kemarahanku selalu dibuat surut oleh sikapnya yang menawan. Dasar pemuda sial!" geramnya jengkel pada diri sendiri.

Dewi Geladak Ayu bermaksud nekat menyerang Resi Pakar Pantun dengan menggunakan jurus 'Geledek Jalang', yaitu sebuah sentakan dua jari tangan kanan ke arah samping, lalu dari ujung kedua jari itu melesat sinar biru kecil sepanjang satu depa, besarnya seukuran dengan bambu seruling. Slapppp...! Sinar biru itu melesat menghantam pohon di samping kanannya. Ternyata sinar biru itu memantul ke pohon sebelahnya, terus memantul-mantul dari pohon ke pohon dengan gerakan sangat cepat.

Crap, crap, crap, crap...!

Tahu-tahu sinar biru itu memantul ke arah punggung Resi Pakar Pantun. Classs...! Pendekar Mabuk yang mengikuti gerakan sinar dengan pandangan matanya segera memutar tubuhnya dan kakinya berkelebat menendang lengan Resi Pakar Pantun. Wuuttt...! Deess...! Sang Resi terjungkal ke samping tepat pada saat sinar biru ingin menghantam punggungnya. Bruusss...! Dan bumbung tuak Suto Sinting yang tergantung di pundak itu segera digeser ke dada, lalu sinar biru yang ganti melesat lurus ke dada Suto Sinting itu menghantam bumbung bambu itu.

Deeb...! Wuusss...!

Sinar itu berbalik arah dengan gerakan lebih cepat dan lebih besar dari ukuran semula. Tiap pohon yang tadi dilewati sebagai tempat pantulannya, kini dilewati kembali sampai akhirnya sinar biru besar itu menuju ke arah Dewi Geladak Ayu. Weesss...!

"Setan laknat!" teriak Dewi Geladak Ayu antara kaget dan berang, ia segera sentakkan kakinya dan tubuh sekal itu pun terbang ke atas, wuuttt...! Sinar besar lewat di bawah kakinya. Ketika tubuh berkulit kuning langsat itu mendarat lagi ke bumi, sinar biru besar itu menghantam sebuah pohon besar di kejauhan sana.

Blegaarrr...!

Resi Pakar Pantun yang baru saja mau bangkit berdiri menjadi tumbang kembali karena getaran gelombang ledak yang cukup kuat. Tanah pun berguncang bagai dilanda gempa. Pohon besar itu hancur menjadi serpihan-serpihan kayu sebesar kelingking. Bahkan tiga pohon di sekitarnya tumbang seketika dengan keadaan akarnya mencuat keluar dari kedalaman tanah.

Dewi Geladak Ayu yang tadi sempat oleng karena getaran gelombang ledak itu, kini memandang bengong ke arah pecahan pohon besar. Dalam hatinya perempuan bajak laut itu menggumam kagum, "Edan! Jurus 'Geledek Jalang'-ku menjadi lebih dahsyat dari aslinya?! Padahal hanya memantul akibat kenai bumbung tuak itu, tapi mengapa bisa menjadi sedahsyat itu?! Benar-benar sinting ilmu si tampan itu. Pantas kalau dia bernama Suto Sinting! Mengagumkan sekali. Tapi biar bagaimanapun aku harus tetap kelihatan acuh tak acuh, seakan tak merasa kagum terhadap kehebatan ilmunya. Biar dia tidak ngelunjak padaku!"

Pada saat terperangah bengong itulah Dewi Geladak Ayu mengalami kelengahan. Sebilah pisau garpu berukuran sangat kecil melesat dari arah belakangnya. Pisau garpu mata dua itu dengan enaknya menancap ditengkuk Dewi Geladak Ayu. Wuuusst...! Jebb...! "Aaahg...!" Dewi Geladak Ayu terlambat kesadarannya, ia hanya bisa terpekik dan segera oleng beberapa saat, kemudian tumbang dalam keadaan tengkurap di tanah. Brrruk...! Setelah itu si bajak laut perempuan tak berkutik lagi. Namun kepalanya yang tergeletak miring itu memperlihatkan bola matanya yang hanya bisa kedip-kedip lemah dan sayu tanpa suara dan rintih apa pun.

Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun terperanjat juga melihat kejadian yang amat tak terduga-duga itu. Pandangan mata mereka segera terpusat pada pisau kecil berbentuk garpu dua mata berukuran setengah jengkal.

"Kucing Hutan...!" ucap Resi Pakar Pantun menegang sambil clingak-clinguk kebingungan. "Kucing Hutan...! Ada Kucing Hutan di sini...!"

"Untuk apa mencari kucing hutan?!" sentak Suto Sinting sambil menepuk lengan sang Resi.

"Aku bukan mencari binatang kucing hutan! Maksudku... maksudku si Kucing Hutan yang membuat Dewi Geladak Ayu roboh!"

Pendekar Mabuk kerutkan dahi, "Siapa itu Kucing Hutan?!"

"Perawan titisan peri!" jawab Resi Pakar Pantun terburu-buru, setengah gugup. "Dia perempuan peminum darah lelaki. Ilmunya cukup tinggi, lebih tinggi dari ilmuku! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, Suto!"

"Tunggu dulu...!" cegah Suto Sinting sambil meraih lengan Resi Pakar Pantun. "Dari mana kau tahu kalau di sini ada Kucing Hutan?!"

"Pisau garpu tala itu kukenali sebagai senjata gaibnya yang beracun ganas. Menyentuh kulit kita saja bisa bengkak dan memborok apalagi sampai menancap di tengkuk begitu. Pasti... seluruh saraf si Dewi Geladak Ayu terhenti kecuali saraf pada matanya itu! Lekas kita pergi dari sini sebelum ia melihat kita."

"Aku ingin bertemu dengannya."

"Gila kau! Darahmu bisa dihisap habis oleh si Kucing Hutan kalau nekat menemuinya!" sambil Resi Pakar Pantun menarik lengan Pendekar Mabuk dalam satu sentakan. Tapi agaknya Pendekar Mabuk justru penasaran dan ingin menunggu kemunculan si Kucing Hutan itu. "

* * *

ENAM

YANG disebut-sebut 'Kucing Hutan' oleh Resi Pakar Pantun ternyata seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun, bertubuh ramping dengan tinggi badan sejajar dengan Suto Sinting, ia berwajah cantik, hidungnya mancung kecil dan bibirnya mungil warna merah segar. Matanya sungguh tajam dalam memandang berwarna biru bening. Alisnya tebal namun tumbuh dengan rapi. Bulu matanya lentik dan lebat. Tak ada kemiripan sedikit pun dengan seekor kucing. Rambutnya terurai sepanjang punggung berwarna hitam rada ungu sedikit, bening dan mengkilap, ia tidak mengenakan ikat kepala, sehingga rambutnya sering meriap ke depan terhempas angin.

"Cantik sekali?!" gumam hati Pendekar Mabuk mengagumi kecantikan si Kucing Hutan yang hanya mengenakan penutup dada warna ungu tua berukuran kecil, seakan hanya menutupi bagian ujungnya saja.

Tetapi sebagai pelapis tubuhnya yang kuning langsat berbulu halus cukup lebat itu, ia mengenakan jubah lengan panjang warna ungu muda yang tipis terbuat dari kain sutera. Pakaian bawahnya berupa kain ungu tipis yang seolah-olah hanya dililitkan secara asal-asalan saja, sehingga paha kirinya sering tampak dari luar karena kain itu sering tersingkap terhembus angin.

Di pinggangnya terdapat sabuk merah tua yang digunakan untuk menyelipkan pisau-pisau kecil berbentuk garpu mata dua. Gadis berkuku panjang dan runcing itu sejak tadi memandangi Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan mata yang tajam tak berkedip. Menyeramkan namun juga mengagumkan.

Pendekar Mabuk hanya diam dalam ketenangan dan seulas senyum tipis selalu mekar di bibirnya. Pandangan mata sang pendekar tampan juga tertuju lurus ke mata Kucing Hutan, antara tajam dan lembut.

Resi Pakar Pantun sedikit gelisah. Namun karena melihat Suto Sinting kalem-kalem saja, maka sang Resi pun paksakan diri untuk kalem juga. Bahkan sebagai sapaan pertama sang Resi berani lontarkan pantunnya kepada si Kucing Hutan.

"Badak bunting tidur di pangkuan itik, membeli sorban berkain batik. Gadis mana yang punya wajah cantik, selain si Kucing Hutan berdada lentik."

Gadis itu sunggingkan senyum, bibirnya terbuka sedikit. Suto kontan terkejut, ternyata gadis itu mempunyai sepasang taring kecil pada gigi atasnya. Bulu kuduk Pendekar Mabuk langsung merinding walau ia ikut-ikutan lebarkan senyum sigadis. Senyum si Kucing Hutan mendadak hilang, lalu terdengar suaranya yang kecil merdu itu berseru kepada Resi Pakar Pantun,

"Pandai nian kau buat pantun untukku, Pak Tua. Tapi ketahuilah, dengan sejujurnya kunyatakan padamu; aku tak suka dengan pantunmu!"

Wajah sang Resi tampak kecewa. Senyuman tuanya mengendur dan lenyap dengan pandangan mata waswas tertuju ke arah kanan-kirinya, seakan tak mau dipandang oleh si Kucing Hutan, ia cenderung pandangi Suto Sinting, karena agaknya Suto Sinting ingin menarik perhatian si Kucing Hutan dengan bermain pantun juga.

"Badak bunting, bunting sendiri, mungkin bunting karena tertusuk duri. Lebih baik aku mati berdiri, daripada tak diundang ikut kenduri."

Senyum si Kucing Hutan tampak tersipu dan ditutup tangan kirinya. Kemudian ia bertanya kepada Pendekar Mabuk dengan mata memancarkan persahabatan. "Apa maksud pantunmu, Paman?"

"Paman...?!" Suto Sinting nyaris tertawa ngakak dipanggil 'paman' oleh gadis cantik itu. Tawa pun terpaksa ditahan karena si gadis maju dua langkah dan mengulang pertanyaannya dengan tanpa malu-malu lagi.

"Apa maksud pantunmu itu?!"

"Mmm... maksudku... maksudku ingin bertanya, siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

"Hmmm... tak ada hubungannya dengan pantun," gerutu sang Resi dengan bersungut-sungut.

"Namaku Kucing Hutan, tinggalku ya di dalam hutan."

"Lalu tujuanmu kemari untuk menemui Resi Pakar Pantun atau ingin membunuh Dewi Geladak Ayu?"

"Ingin menemuimu," jawab Kucing Hutan dengan suara lebih kecil lagi seperti berbisik, tapi didengar pula oleh Resi Pakar Pantun, sehingga sang Resi menimpali dengan suara pelan bernada takut,

"Mampuslah kau, Suto... siap-siap kehabisan darah saja kau!"

"Kurobek mulutmu jika bicara seenaknya sekali lagi, Pakar Pantun. Kurobek dan kujadikan bendera kematian, baru tahu rasa kau!" hardik Kucing Hutan dengan pandangan mata tajam dan mulai cemberut dan membuat Resi bergidik merinding, lalu segera bergeser ke belakang Suto Sinting.

Tiba-tiba wajah cemberut itu berubah cerah, mata tajam berubah berseri, si gadis bertanya kepada Pendekar Mabuk yang masih tetap tenang walau menahan rasa waswas dalam hatinya. "Siapa namamu?"

Suto Sinting diam sebentar, setelah itu berpikir baru perdengarkan suaranya yang lembut seakan penuh kesungguhan. "Namaku... Suto Sayang. Aku biasa dipanggil nama belakangku."

"O, jadi tak salah jika aku memanggilmu Sayang, bukan?"

"Itu panggilan penghormatanku."

"Uuh...!" sang Resi menggerutu lagi. "Panggilan penghormatan: Sayang. Kalau panggilan penghinaan apa? Sapi?"

"Ssstt...!" Suto Sinting terang-terangan menyuruh Resi Pakar Pantun untuk diam sambil melirik ke belakang. Setelah pandangan matanya kembali ke depan, menatap seraut wajah cantik mencemaskan itu, ia segera mendengar suara si Kucing Hutan berkata lagi.

"Aku mencium bau wangi darah pendekar pada tubuhmu."

"Yaah... apes juga akhirnya kau, Suto!" gerutu sang Resi dalam bisikan.

"Maukah kau datang ke istanaku, Sayang?"

"Di mana istanamu berada?"

"Di Lembah Meong, sebelah utara dari tempat ini. Kusiapkan jamuan istimewa untuk kedatanganmu nanti malam."

"Akan kuusahakan untuk datang."

"Kau memang pria penuh pesona. Sekarang aku harus pergi membawa Dewi Geladak Ayu itu!"

"Mau kau bawa ke mana dia?"

"Ke Istanaku, Sayang."

"Mau kau apakan dia?"

Kucing Hutan tidak langsung menjawab, namun segera mencabut pisau garpunya dari tengkuk Dewi Geladak Ayu, kemudian mengangkat tubuh itu, memanggulnya di pundak kiri. Sebelum melangkah pergi ia sempat menjawab pertanyaan Suto Sinting tadi. "Aku terpaksa harus memotong-motongnya menjadi beberapa bagian, kecuali jika ia mau serahkan sebuah pusaka kuno yang kuincar dari dulu."

"Pusaka apa?!" sergah Pendekar Mabuk.

"Jangan lupa jamuan istimewa nanti malam. Jangan sampai kau tak datang, Sayang. Tapi ingat, jangan bawa pak tua peot itu. Darahnya pahit dan bikin gatal tenggorokan."

"Tunggu, kau belum jawab pertanyaanku. Pusaka kuno apa maksudmu tadi?"

"Mungkin kau akan mendengar jawabannya setelah menikmati Jamuan Istimewa nanti malam. Sampai jumpa di istanaku, Sayang!"

Wuuusss...!

"Hei, tunggu...!" seru Pendekar Mabuk, tetapi si Kucing Hutan telah lenyap bagaikan ditelan bumi. Caranya pergi menunjukkan tingginya ilmu yang dimilikinya, sehingga Pendekar Mabuk merasa tak berani bertindak gegabah terhadap gadis itu.

"Lupakan tentang tawarannya tadi," ujar Resi Pakar Pantun sambil menarik lengan Suto Sinting untuk lanjutkan perjalanan ke Biara Ungu.

"Rasa-rasanya aku perlu datang ke Lembah Meong nanti malam, Resi. Ada sesuatu yang ingin kudengar darinya."

"Kubilang, lupakan saja! Itu hanya sebuah siasat licik si betina buas tadi. Kau hanya akan dihisap darahnya dan lama-lama mati tanpa darah. Sudah kubilang, dia itu penghisap darah lelaki!"

Pendekar Mabuk ingin ucapkan kata lagi, namun niatnya itu tertahan dengan kemunculan dua orang dari arah depan mereka. Dua gadis berpakaian ungu dengan pedang terhunus sedang mendekati arah Suto Sinting dan Resi Pakar Pantun.

"Tunggu dulu...! Siapa dua gadis itu, Resi?!"

Belum sempat Resi Pakar Pantun menjawab, dari arah kiri mereka muncul tiga gadis berpakaian ungu berambut panjang dan mengenakan ikat kepala merah. Ketiga gadis itu menggenggam tombak berujung pedang lebar berumbai-rumbai benang merah. Langkah mereka tampak tergesa-gesa. Salah seorang berseru kepada dua gadis yang datang dari arah depan Suto Sinting.

"Jangan sampai lolos! Mereka telah bunuh si Pedang Gunting!"

"Celaka!" bisik Suto Sinting. "Kita dituduh telah membunuh si Pedang Gunting!"

"Tenang dulu, jangan lakukan sesuatu. Biar kujelaskan pada mereka siapa yang membunuh si Pedang Gunting."

Ketika Resi Pakar Pantun menengok ke arah kanan, ternyata dari semak-semak telah muncul empat orang gadis berpakaian ungu dengan senjata tak sama; pedang, tombak, cambuk, dan trisula. Sedangkan dari arah belakang terdengar suara orang berlari menuju ke arah Suto Sinting. Sang pendekar tampan dan Resi Pakar Pantun segera menengok ke arah belakang. Oh, ternyata dari arah belakang mereka tampak delapan gadis berpakaian ungu sedang berlari mendekati Suto dan Resi Pakar Pantun.

Dari atas pohon segera berlompatan gadis-gadis jelita berkutang ungu tanpa baju. Mereka tampak siap tempur karena senjata mereka sudah terhunus semua. Lebih dari lima orang yang berlompatan dari atas pohon, salah satunya melepaskan pukulan jarak jauh bersinar biru tua berbentuk cakram. Wuuuttt...!

"Awas...!" seru Resi Pakar Pantun sambil menarik pundak kanan Suto Sinting. Akibatnya tubuh Suto Sinting miring ke kanan dan bumbung tuaknya segera berkelebat menghadang sinar biru yang menuju ke wajahnya. Tuubs...! Wooosss...!

Sinar biru membalik arah setelah membentur bumbung tuak. Kecepatan geraknya lebih tinggi dari semula dan bentuknya pun lebih besar dari bentuk aslinya. Tapi si pemilik sinar biru yang sudah mendarat di tanah, sehingga sinar biru yang sudah berubah bentuk dan kecepatannya itu menghantam pohon tempat mereka melompat tadi.

Jegaarrr...! Ledakan menggelegar cukup dahsyat menggema kemana-mana. Dalam jarak lingkar empat puluh langkah setiap tanaman bergetar, bahkan ada yang tumbang atau patah dahannya akibat gelombang getar ledakan tadi. Semua gadis berpakaian ungu itu memandang dengan terkesima pada saat pohon yang terhantam pantulan sinar biru itu pecah menyebar tinggi ke angkasa.

"Ck, ck, ck, ck...!" salah seorang geleng-geleng kepala sambil berdecak penuh rasa kagum. Katanya lagi, "Jurus kiamat siapa itu tadi? Hanya memantul dari bumbung tuak saja daya ledaknya bisa sedahsyat itu, apalagi kalau memantul dari jidat si tampan itu?!"

"Ya, tak akan memantul, karena kepala si tampan itu pasti akan pecah oleh jurus 'Brajawuda'-nya si Mirasuti tadi!" ujar temannya sambil teruskan langkah mengepung kedua lelaki tua dan muda itu.

"Salah satu ada yang bawa mayat Pedang Gunting ke Biara laporkan kepada sang Ketua keadaan di sini!" seru seorang gadis berikat kepala putih. Lalu, salah seorang dari mereka benar-benar memanggul mayat Pedang Gunting dan lari ke arah biara. Kepergian satu orang itu tidak mengurangi kekuatan mereka. Menurut Suto Sinting, mereka masih berkekuatan penuh dalam membentuk kepungan melingkar.

"Mengapa mereka mengenakan pakaian ungu semua, Resi?"

"Karena memang seragam orang-orang Biara Ungu begitu. Bentuk pakaian boleh apa saja, tapi warna harus tetap ungu."

"Apa yang harus kita lakukan jika sudah terkepung sebegini banyaknya, Resi?! Kalau kita bertindak, mereka pasti ada yang korban nyawa. Kasihan mereka, kesalahpahaman membuat mereka harus korban nyawa, itu tidak bijak namanya, Resi."

"Sebab itulah aku akan bicara kepada Putik Linang yang berikat kepala putih itu! Kalau tak salah dia menjabat sebagai kepala keamanan Biara Ungu, termasuk tiga pengawal Nyi Mas Gandrung Arum."

Senjata sudah arahkan ke tengah lingkaran, wajah-wajah penuh nafsu membunuh mulai terpampang jelas di setiap kecantikan mereka. Pendekar Mabuk memandang dengan kebingungan, karena tak bisa menilai mana yang paling cantik dari mereka. Semuanya cantik-cantik dan bertubuh sintal menggoda iman.

"Putik Linang," sapa Resi Pakar Pantun. "Apa maksudmu mengurung kami begini?! Kau anggap kami ini apa, hah?!"

"Jangan berlagak bodoh, Resi Pakar Pantun!" jawab gadis berikat kepala putih bersulam benang emas. "Kau tak bisa cuci tangan begitu saja setelah membunuh Pedang Gunting! Kau boleh memilih, kami tangkap dan adili di dalam biara atau kami bunuh dan kepala kalian kami serahkan kepada Nyi sang Ketua; Nyi Mas Gandrung Arum?!"

"Pedang Gunting bukan mati di tangan kami!" sangkal Resi Pakar Pantun agak ngotot. "Perhatikanlah luka berlubang di lehernya, itu bukan luka ciri khas kami jika terpaksa membunuh lawan! Kalian salah paham semua."

"Buktikan pembelaanmu di depan sang Ketua nanti. Jika kalian tak mau kami tangkap dan kami bawa menghadap sang Ketua, berarti kalian ingin mati di sini!"

"Hajar saja!" teriak salah seorang gadis bersenjata pedang di belakang Suto Sinting.

Tentu saja seruan itu membuat Suto Sinting berpaling memandang gadis itu dengan tenang. Sang gadis segera berkata, "Yang satu jangan dihajar pakai pedang, tapi pakai bibir saja!"

Teman di sebelahnya menyahut, "Yang tua direbus saja biar tambah empuk!"

"Kau kira singkong!" bentak Resi Pakar Pantun dengan perasaan tersinggung. Lalu ia mulai bermain pantun di depan para pengepungnya. "Badak bunting bergincu arang, masuk ke pasar duduk di atas bubur. Jangankan hanya sekian orang, seribu orang maju bersama tak akan membuatku mundur! Paling-paling lari," tambahnya dengan pelan.

Pendekar Mabuk menahan tawa matanya masih memandang tajam penuh waspada, seakan semua indera dipertajam agar tahu gerakan lawan dan datangnya bahaya.

"Kalau begitu kau memang menghendaki mati di tangan kami, Resi Pakar Pantun!"

"Demi membela kebenaran, terpaksa kulakukan pertarungan dengan kalian!"

"Serrbuuu...!"

Zlaaap...! Wuuurrsss...! Semua maju menyerang dengan senjata dihujamkan. Senjata-senjata itu saling beradu satu dengan yang lainnya, sambil mereka lontarkan seruan-seruan murka.

"Heeeaaatt...! Claaahhh...! Heeittt...!" Trang, trang, tring, prak, prang, tring...!

"Aauh, Jangan nyodok perutku, Tolol!"

"Maaf, agak sengaja! Heeeaaat...!"

Gaduh sekali suara mereka. Sebegitu banyak gadis tanpa pertarungan saja sudah berisiknya seperti geger kiamat, apalagi menghadapi pertarungan penuh murka, seolah-olah suara berisiknya menembus langit tingkat tujuh membuat para dewa menjadi panik.

"Hentikan! Hentiiikaaan...!" teriak Putik Linang dengan keras. Teriakan itu benar-benar membuat mereka berhenti lakukan serangan. Mereka saling mundur pelan-pelan pandangi Putik Linang. Si gadis berikat kepala putih itu membentak dengan mata melotot. "Lihat, apa yang kalian serang?! Tak ada apa-apa di situ!"

"Lho... ke mana dua orang lelaki tadi?!" gumam salah seorang dengan heran. Yang lain pun memandang dengan penuh keheranan. Tempat berdiri Suto Sinting dan Resi Pakar Pantun telah kosong. Tanahnya hancur diserang senjata mereka.

"Kok mereka bisa lenyap? Ke mana perginya? Kapan bergeraknya?!"

Mereka segera clingak-clinguk penuh kebingungan. Putik Linang segera berseru keluarkan perintah dengan wibawa.

"Cari mereka sekarang juga! Jangan bengong saja! Carlii...!"

Wuuurrsss...! Mereka mencari dengan penuh semangat.

"Hoi, mengapa mencari secara berbondong-bondong begitu?! Menyebar, Goblok! Menyebaaarr...!"

Mereka yang sudah berlari berbondong-bondong ke arah barat segera menyebar ke berbagai arah. Gerakan mereka sebenarnya lincah-lincah dan cepat-cepat, tapi ternyata belum ada sekuku hitamnya dibanding gerakan Suto Sinting yang menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.

Mereka tak tahu bahwa sebelum serbuan datang Suto Sinting sudah berkelebat lebih dulu sambil menyambar tubuh Resi Pakar Pantun dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' andalannya itu. Pada saat senjata mereka ditebaskan beramai-ramai, bekas bayangan Suto Sinting masih terlihat di mata mereka. Padahal orangnya sudah kabur entah ke mana bersama sang Resi.

"Mereka tidak ada, Putik Linang! Mereka ditelan bumi!" seru salah seorang dari kejauhan.

"Kau kira bumi ini nenekmu yang suka menelan apa saja?!" gerutu Putik Linang dengan suara pelan, wajahnya bersungut-sungut penuh kedongkolan dan rasa heran. Hatinya pun bertanya-tanya, "Ke mana kedua lelaki itu sebenarnya?!"

* * *

TUJUH

BANGUNAN berwarna ungu di lereng bukit itulah yang dinamakan Biara Ungu. Dibangun dengan susunan batu bertangga seratus baris. Bangunan itu sendiri mempunyai tiga tingkat, bergenteng warna ungu yang tampaknya cukup kekar bagaikan lempengan batu kali. Benteng biara itu pun tampak cocok dengan ketinggian sekitar empat tombak. Setiap sudut mempunyai menara pengawas yang dilengkapi dengan panah api berkaki tiga untuk menyerang lawan yang hendak menyerang biara.

Bangunan utama biara itu mempunyai serambi luas dan lebar, hampir separo dari luasnya halaman depan yang berlantai marmer itu. Di sanalah sang Ketua yang mengangkat diri sebagai pendeta melakukan pembicaraan dengan para tamunya, atau mengajar mantra hitam kepada para muridnya.

Ketika Putik Linang bersama anak buahnya datang tanpa berhasil membawa pulang Suto Sinting dan Resi Pakar Pantun, ia langsung menemui Nyi Mas Gandrung Arum di ruang utama. Putik Linang sempat heran sejenak melihat pelataran kotor, banyak potongan kayu dan serpihan logam pedang yang berserakan. Ciri-ciri itu menandakan telah terjadi pertarungan sengit di pelataran yang tak diketahui siapa pelakunya.

"Ah, persetan dengan keadaan kotor ini! Aku harus segera melapor kepada sang Ketua; Gusti Pendeta Nyi Mas Gandrung Arum tentang keterlibatan Resi Pakar Pantun dan si pemuda tampan berbumbung tuak."

Langkah Putik Linang tampak terburu-buru mendekati ruang pertemuan. Langkah itu segera terhenti dengan wajah terperanjat karena ia melihat Gusti Pendeta Nyi Mas Gandrung Arum sedang bicara dengan dua orang tamu yang ada di samping kanan, sementara di samping kiri tampak beberapa murid dan dua pengawal berjaga-jaga. Hal yang membuat Putik Linang terbelalak adalah keberadaan dua orang tamu itu. Hatinya sempat menggerutu dalam kedongkolan.

"Setan kurap tujuh tempat! Rupanya si tua Resi Pakar Pantun dan pemuda sombong itu sudah ada di sini?! Aneh. Bagaimana caranya lolos dari sergapan orang sebanyak itu?!"

Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun memang sudah berada di Biara Ungu. Kecepatan 'Gerak Siluman' membuat mereka berdua segera sampai dan disambut dengan pertarungan para murid yang menolak kehadiran mereka. Suto Sinting-lah yang merampungkan pertarungan itu tanpa menimbulkan korban nyawa saat mereka ada di pelataran.

Melihat pertarungan itu begitu seru dan bisa membahayakan keselamatan para murid Biara Ungu, maka Nyi Maa Gandrung Arum segera menghentikannya. Mau tak mau ia terpaksa menerima kehadiran kedua tamunya yang kurang disukai itu. Sebab mereka hadir tepat pada saat Nyi Mas Gandrung Arum ingin istirahat siang.

"Kami ingin bicara denganmu, Gandrung Arum!" kata Resi Pakar Pantun seolah-olah menjadi wakil dari kunjungan itu. Suto Sinting belum mau banyak bicara, bahkan bersikap seperti pengawalnya sang Resi.

"Aku tak suka menerima tamu dalam keadaan aku ingin istirahat, Pakar Pantun. Tapi karena anak muda itu menunjukkan kebolehannya di depanku tadi, maka dengan sangat terpaksa kalian kuterima."

"Anak muda ini bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak!"

Nyi Mas Gandrung Arum terkesiap memandang Suto Sinting. Yang dipandang justru menatap ke arah lain dengan lagak acuh tak acuh. Tapi telinganya menyimak tiap ucapan perempuan cantik berjubah ungu berbintik-bintik warna emas dari bahan kain mahal.

Sebenarnya Suto Sinting sejak tadi mencuri pandang ke arah Nyi Mas Gandrung Arum, karena perempuan itu berpakaian seronok, hanya mengenakan jubah panjang sampai betis dari kain tipis sejenis sutera. Kain itu sangat tipis sedangkan bagian dalamnya hanya mengenakan penutup secukupnya dari kain kuning mengkilat seperti rajutan benang emas. Kemontokan dada Nyi Mas Gandrung Arum dan kemulusan kulitnya tampak jelas. Lekak-lekuk tubuhnya pun begitu menggiurkan. Ditambah dengan perhiasan yang lengkap dan rambut tersanggul rapi diberi penghias seperti mahkota, Nyi Mas Gandrung Arum layak dikatakan sebagai perempuan cantik yang punya seribu daya tarik bagi lelaki.

Jantung Suto Sinting sempat berdebar-debar karena menahan rasa kagumnya terhadap keindahan yang dimiliki Nyi Mas Gandrung Arum itu. Dengan lagak acuh tak acuh dan seperti orang angkuh itulah ia berhasil mengendalikan debar-debar indah yang semula menggelisahkan hati.

"Pantas dia mampu melumpuhkan kedua pengawal tadi. Rupanya kau datang dengan membawa si Pendekar Mabuk, Pakar Pantun."

"Benar, Gandrung Arum. Badak bunting menelan pedang, tembus di leher seperti cupang. Tak sudi aku datang, jika tanpa urusan yang menantang."

Sambil tetap duduk di sebuah kursi berbentuk singgasana, Nyi Mas Gandrung Arum sunggingkan senyum sinis begitu mendengar pantun sang Resi. Sikapnya yang penuh wibawa dan berkharisma tinggi itu membuat Suto Sinting menggodanya dengan Jurus 'Senyuman Iblis' yang mampu membuat lawan jenisnya kasmaran. Jurus itu tidak digunakan sepenuhnya, hanya sekadar sebagai penggoda hati sang pendeta aliran hitam itu.

Ternyata Nyi Mas Gandrung Arum mulai gelisah saat memperhatikan senyuman Pendekar Mabuk. Duduknya menjadi tak tenang, akhirnya ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan singgasananya, kedua tangan dikebelakangkan.

"Bocah setan!" geramnya dalam hati. "Senyumnya membuat gairahku mulai panas dan jantungku berdetak cepat. Kurang ajar! Aku harus bisa melawan hasratku dengan mantra pembantai gairah."

Lalu, dalam hati Nyi Mas Gandrung Arum membaca sebaris mantra pembunuh rasa ingin bercumbu. Mantra itu tak mampu mengalahkan daya pikat yang ada dalam senyuman Suto Sinting, sekalipun memang bisa mengurangi rasa ingin bercumbu, namun tak bisa lenyap tuntas seperti biasanya dalam menghadapi hasrat bercumbu yang harus dibunuh. Usaha itu sudah cukup membuat hati Nyi Mas Gandrung Arum sedikit tenang dan bisa bicara lagi dengan Resi Pakar Pantun, yang menjadi ponakan dari gurunya itu.

Namun sebelum Nyi Mas Gandrung Arum teruskan pembicaraan yang terhenti karena kenakalan Suto Sinting itu, tiba-tiba Putik Linang datang menghadap dan langsung memberi hormat dengan kaki berlutut satu, badan membungkuk ke depan dan kedua tangan saling genggam didada.

"Ada apa kau menghadap dalam keadaan sedang ada tamu begini, Putik Linang?!"

"Saya mau melaporkan tentang kematian Pedang Gunting, Guru!"

"Nanti saja! Menyingkirlah dulu, karena ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan kedua tamuku ini. Tahukah kau, pemuda gagah itu ternyata murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk. Pembicaraanku dengan tokoh kondang ini tak bisa disela sedikit pun dengan masalah lain."

"Maaf, Gusti Pendeta...." Putik Linang terpaksa mundur dengan hati dongkol, ia berdiri di jajaran para pengawal lainnya, ikut menyimak percakapan tersebut.

Nyi Mas Gandrung Arum segera ajukan tanya kepada Resi Pakar Pantun yang sejak tadi berdecak-decak dalam hati memandangi kecantikan para murid dan para pengawal di situ.

"Terangkan persoalanmu datang kemari membawa Pendekar Mabuk segala?! Apakah kau tak berani datang sendiri? Takut ditumbangkan murid-muridku?!"

Resi Pakar Pantun merasa tersinggung, namun ia segera menelan perasaan itu dan tidak mau membahasnya, ia langsung bicara tentang persoalan sebenarnya. "Tentunya kau masih ingat tentang pusaka Panji-panji Mayat."

"Hmmm..., ya, aku masih ingat pusaka itu milik keturunan si Parisupit. Ada apa dengan pusaka itu?"

"Apakah kau merasa keturunan dari Parisupit atau Sabang Wirata?!"

Nyi Mas Gandrung Arum kerutkan dahi memandang Resi Pakar Pantun. "Ke mana arah pembicaraanmu sebenarnya, Pakar pikun?! Bicaralah yang searah!"

Pendekar Mabuk sendiri tak sabar dengan basa-basinya Resi Pakar Pantun, maka ia segera perdengarkan suaranya yang lembut namun punya kharisma tersendiri. "Kami datang untuk meminta pusaka itu dari tanganmu, Nyi Mas Gandrung Arum! Kami akan serahkan kembali pusaka itu kepada pewarisnya, yaitu anak-anak dari Jalma Dupi dan Sang Ratri."

Kerutan dahi Nyi Mas Gandrung Arum saat itu semakin tajam, setajam matanya dalam memandangi wajah Pendekar Mabuk. "Kau menuduhku menyembunyikan pusaka itu, bocah tampan?! Apakah otakmu lebih dungu daripada seekor kerbau?!"

"Setahuku, kerbau dengan diriku masih pintar diriku."

"Mengapa kau menganggap pusaka itu ada ditanganku? Apakah kau tak tahu bahwa aku bukan keturunan dari Sabang Wirata?"

"Justru karena aku tahu kau bukan keturunan Eyang Sabang Wirata, maka kau tidak berhak memiliki pusaka Panji-panji Mayat itu, Nyi Mas!"

"Setan belang tujuh rupa kau ini!" geram Nyi Mas Gandrung Arum tampak mulai marah. "Serendah itu kau tuduh diriku sebagai pencuri pusaka milik orang lain?!" Nyi Mas Gandrung Arum geleng-geleng kepala. "Untung kau murid si Gila Tuak, jika bukan sudah kutumbuk mulutmu sekarang juga!"

Rupanya Nyi Mas Gandrung Arum masih memandang sungkan kepada si Gila Tuak, sehingga ia tak berani bertindak gegabah kepada murid sinting si Gila Tuak itu. Berarti, sekalipun Nyi Mas Gandrung Arum berilmu tinggi dan dikenal sebagai pendeta sakti aliran hitam, namun ia masih merasa ilmunya di bawah Gila Tuak.

Tapi tuduhan itu dirasakan amat menjengkelkan hatinya, hingga bara murka mulai mengepul memanasi darahnya. Dengan suara lantang, perempuan cantik yang menjadi tambah cantik dalam keadaan galak begitu, segera berkata kepada Resi Pakar Patun. "Pakar Pantun... apakah kau tak pernah ceritakan kepada bocah sinting ini tentang sumpah dan perjanjian selama menjadi murid pamanmu; Eyang Guru Begawan Banjar Toya?!"

"Bisa saja kau melanggar sumpah itu, karena Paman Banjar Toya sudah tiada.""

"Mana mungkin aku berani melanggarnya, sumpah itu merupakan pedang pengintai kelemahanku sepanjang masa. Badar Pagetan terbukti mati dalam tujuh hari setelah ia merebut dan menguasai pusaka Tombak Belalang-nya Sinduraja, padahal saat itu Eyang Guru Banjar Toya juga sudah tiada. Apakah kau pikir aku ingin meniru kematian Nyai Badar Pagetan?! Alangkah tololnya aku jika mau menyimpan atau memiliki pusaka Panji-panji Mayat. Sama saja aku mempersiapkan diri untuk mati dalam tujuh hari mendatang!"

Kedua tamu beda usia itu sama-sama diam tertegun merenungi kata-kata Nyi Mas Gandrung Arum. Penjelasan itu sangat masuk akal, terlebih setelah Nyi Mas Gandrung Arum memberi contoh kematian saudara seperguruannya: Nyai Badar Pagetan itu. Resi Pakar Pantun sendiri tahu persis tentang kematian Nyai Badar Pagetan yang sudah diramalkan oleh batinnya karena mendengar kabar Nyai Badar Pagetan berhasil merebut pusaka orang lain. Resi Pakar Pantun tak berani menyanggah pengakuan Nyi Mas Gandrung Arum. Tetapi Suto Sinting mencoba ajukan alasan atas tuduhan tersebut.

"Muridmu, Peluh Setanggi telah ketahuan mencuri pusaka itu dari tangan Resi Badranaya!"

Nyi Mas Gandrung Arum terkejut mendengarnya, matanya terbuka dan mulutnya ternganga sejenak. Kemudian segera berkata sambil melangkah dekati Suto Sinting dan berhenti di depan pemuda tampan itu dalam jarak tiga langkah.

"Aku tak pernah menyuruh Peluh Setanggi menemui Badranaya, adikku itu!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum berlagak tidak percaya terhadap pengakuan itu. Ia berkata dengan nada tenang namun menjengkelkan bagi Nyi Mas Gandrung Arum. "Jika kau tidak mengutusnya, lantas mengapa kau menyelamatkan Peluh Setanggi dari buruan murid Resi Badranaya; si Darah Prabu?!"

"Kau memfitnahku, Nak! Aku tak pernah menyelamatkan murid murtad itu!"

"Mengapa kau sampai tega melukai Darah Prabu dengan racun 'Tapak Ungu'-mu itu, Nyi Mas? Apakah luka racun berbahaya pada diri Darah Prabu bukan dari tanganmu? Apakah ada tokoh lain yang punya jurus 'Tapak Ungu' selain dirimu?"

"Darah Prabu memang kuhantam dengan 'Tapak Ungu'-ku, karena dia berusaha menyerangku ketika aku dan beberapa muridku dalam perjalanan pulang dari Lereng Pelung. Dia menyerangku lebih dulu saat kami ingin menyeberangi sungai. Dua muridku terluka parah oleh serangannya, aku terpaksa menghentikan serangannya itu dengan mengirimkan pukulan 'Tapak Ungu' kepadanya. Tapi itu bukan karena aku membela atau ingin menyelamatkan Peluh Setanggi!"

Sangkalan Nyi Mas Gandrung Arum membuat Suto Sinting terdiam kembali. Benaknya berpikir menilai kebenaran dari apa yang dikatakan Nyi Mas Gandrung Arum. "Lalu... bagaimana dengan Kejora?"

"Kejora siapa?!" sergah Nyi Mas Gandrung Arum.

Resi Pakar Pantun yang menjawab, "Kejora gadis anak Jalma Dupi yang kau culik saat berduaan dengan Darah Prabu."

"Pakar Pantun...!" geram Nyi Mas Gandrung Arum sambil menghampiri sang Resi. "Lama-lama mulutmu kuberangus agar tak bisa bicara selama hidupmu! Apa maksudmu menuduhku menculik Kejora?! Apa alasanmu mengatakan begitu, hah?!"

Suto Sinting yang menjawab, "Karena kulihat bayangan ungu yang berkelebat menyambar Kejora setelah gadis itu ditotok dari jarak jauh!"

"Bayangan ungu...?! Apakah bayangan ungu itu aku?"

"Kau memakai jubah ungu, Nyi Mas?"

"Memang. Tapi apakah hanya aku perempuan yang memakai jubah ungu?! Kau lihat sendiri, murid-muridku pun pada umumnya memakai pakaian serba ungu! Tokoh lain yang memakai pakaian ungu pun banyak. Mengapa harus aku yang menjadi sasaran kecurigaanmu, Bocah ganteng?!" seraya Nyi Mas Gandrung Arum dekati Suto lebih rapat lagi. Matanya memandang tak berkedip bagai ingin menembus ke dalam hati Pendekar Mabuk.

"Perlu kau ketahui," sambung Nyi Mas Gandrung Arum. "Peluh Setanggi sudah bukan muridku lagi. Ia telah murtad karena bekerja sama dengan orang lain demi mendapatkan upah. Empat adik kembarnya ikut angkat kaki dari biara ini bersamanya, sedangkan lima adiknya yang lain masih punya kesetiaan padaku. Sayang baru-baru ini tiga adik kembarnya hilang, satu ditemukan mati dengan leher berlubang"

"Dewi Geladak Ayu yang memanahnya!" sahut Resi Pakar Pantun.

"Hmmm... jadi Geladak Ayu mau menuntut balas padaku?! Kalau begitu, aku harus menghancurkannya sekarang juga!" sambil Nyi Mas Gandrung Arum manggut-manggut menggeram amarahnya.

"Geladak Ayu sudah menjadi tawanan si Kucing Hutan," kata Resi Pakar Pantun.

"Kucing Hutan...?! Si perawan titisan peri itu?! Hmmm...!" Nyi Mas Gandrung Arum mencibir sinis. Tapi dari sorot matanya tampak memancarkan kebencian, ia duduk di singgasananya dan berkata kepada Pendekar Mabuk, "Kalau kau ingin mencari pusaka Panji-panji Mayat, temuilah si Kucing Hutan dan carilah padanya. Peluh Setanggi adalah orang upahannya, dan sekarang ia menjadi orangnya si Perawan Titisan Peri itu. Hancurkan mereka kalau memang kau ingin menegakkan kebenaran, Pendekar Mabuk!"

Suto Sinting beradu pandang dengan Resi Pakar Pantun. Mereka saling berkerut dahi menampakkan keheranan yang bercampur keragu-raguan. Nyi Mas Gandrung Arum berkata kembali,

"Hei, Pendekar Mabuk...! Apakah kau takut melawan Perawan Titisan Peri itu?! Kalau kau takut, akan kukirim bantuan untuk memperkuat kesaktianmu!"

Pendekar Mabuk panas hatinya. "Jangankan si Perawan Titisan Peri, perawan titisan belatung pun aku tak akan takut berhadapan dengannya!"

"Kalau begitu untuk apa kau berlama-lama di sini! Pergilah ke Lembah Meong dan hancurkan si Perawan Titisan Peri itu. Kujamin kau akan dapatkan pusaka itu dan gadis bernama Kejora juga pasti ada bersamanya!"

Ingatan si murid Gila Tuak segera kembali pada sekelebat bayangan ungu yang menyambar Kejora dan menculiknya hingga saat itu. Dalam hati Suto Sinting segera berkata, "Kucing Hutan berpakaian serba ungu! Berarti dialah yang menyambar Kejora saat itu!"

Maka tanpa menunggu pertimbangan lebih bertele-tele lagi, Suto Sinting segera melesat pergi ke Lembah Meong, Resi Pakar Pantun terpaksa mengikuti gerakan langkah si Pendekar Mabuk, karena ia pun merasa penasaran dengan batin bertanya-tanya, "Benarkah pusaka itu telah berhasil dicuri Peluh Setanggi, dan sekarang berada di tangan Kucing Hutan?!"

Pendekar Mabuk sendiri membutuhkan pemandu menuju Lembah Meong, karenanya ia sangat setuju Resi Pakar Pantun mendampinginya. Melalui panduan Resi Pakar Pantun, Lembah Meong dapat dengan mudah ditemukan oleh Pendekar Mabuk. Di lembah itu terdapat bangunan tua yang dindingnya mulai berjamur.

Menurut sang Resi, bangunan itu bekas sebuah perguruan yang seluruh anggota perguruan mati karena racun, termasuk gurunya. Sampai sekarang rahasia kematian mereka belum pernah ada yang mengungkapnya, tak pernah ada yang tahu, siapa yang meracuni mereka hingga mati semua tanpa sisa sepotong pun.

Remang senja mulai datang. Bangunan kuno di dalam hutan itu menjadi tampak angker oleh keremangan cahaya senja. Pendekar Mabuk mengintai dari atas pohon, sementara Resi Pakar Pantun ada di bawahnya, mengintai dari semak belukar.

"Oh, ada seorang lelaki yang berjaga-jaga di depan bangunan itu. Hmmm... siapa mereka? Dan mengapa tempat itu tampaknya sepi-sepi saja? Apakah Kucing Hutan sedang tinggalkan istananya?" pikir Suto Sinting sambil memperhatikan seorang lelaki berbadan tinggi besar, namun berdandan seperti wanita; mengenakan giwang, memakai bedak dan gincu, gerak-geriknya pun seperti wanita. Pendekar Mabuk segera turun dari atas pohon dan mendekati Resi Pakar Pantun.

"Siapa lelaki yang berdandan wanita itu?"

"Dia orang Perguruan Pedang Iblis yang dikenal dengan nama Banci Wadak. Ilmu pedangnya cukup tinggi. Agaknya dia membelot dari perguruannya karena pengaruh bujukan si Kucing Hutan, sehingga kini ia menjadi pengikut Kucing Hutan."

"Kau masuk ke dalam bangunan itu sementara aku akan menghadapi si Banci Wadak!"

"Pancing dia agak menjauh dari pintu gerbang agar aku bisa masuk dengan bebas!"

Zlaaapp ..! Suto Sinting segera melesat ke arah bangunan kuno Itu. Tiba-tiba ia muncul di bagian samping bangunan dan bersuit memancing perhatian si Banci Wadak. "Suiiit...!"

Banci Wadak menengok ke belakang dan terkejut, tapi segera menjadi girang, ia berseru tanpa sadar. "Eh, ada lelaki lho...! Aduuuh... gantengnya bocah itu!"

Suto Sinting menggoda dengan lambaian tangan, karena ia segera tanggap bahwa Banci Wadak suka dengan lelaki. Melihat lambaian tangan itu, Banci Wadak semakin kegirangan dan segera berlari ke arah samping bangunan yang berpohon jarang.

"Hai, Ganteng...," sapanya dengan suara perempuan. "Kok ada di sini sendirian? Masuk ke dalam, yuk?" sambil ia semakin dekati Suto Sinting.

"Tidak, aku tidak mau masuk ke dalam, takut kena marah si Kucing Hutan."

"Tak perlu takut, Kucing Hutan sedang pergi. Pasti pulangnya agak malam. Kita bicara di dalam saja," rayu si Banci Wadak sambil mengusap-usap punggung Suto Sinting, ia tak tahu kalau saat itu tengkuk Suto Sinting menjadi merinding karena jijik diraba lelaki bertubuh besar itu. Bahkan rabaan si Banci Wadak makin lama semakin nakal, Suto Sinting segera sentakkan tangan berbulu itu. Tapi Banci Wadak mencobanya lagi menggapai bagian terlarang di tubuh Suto Sinting.

"Jangan malu-malu begitu, ah! Mumpung tak ada orang kecuali seorang tawanan perempuan di dalam sana!"

Tiba-tiba ketika tangan Banci Wadak membandel ke arah tertentu, Suto Sinting menghantamnya dengan kepalan tinjunya. Plookk...! Krrraakk...!

"Aaauh...!" Banci Wadak menjerit sambil berjingkat-jingkat mundur. Tulang pergelangan tangannya terasa patah.

"Bangsat jelek kau, Cah Bagus! Hiaaatt..!" Banci Wadak segera menyerang Suto Sinting dengan sebuah tendangan, tapi Suto Sinting dapat merundukkan kepala dengan gesit, sehingga tendangan itu lolos dari kepalanya. Tubuh Suto Sinting yang menggeloyor seperti orang mabuk itu segera tegak dalam satu sentakan di mana bumbung tuaknya menyodok perut Banci Wadak. Buuhg...!

"Uuhhg...!"

Brrrruuss...! Banci Wadak jatuh ke semak-semak, terlempar lima langkah jauhnya, ia langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya. Namun agaknya luka dalam yang cukup parah tak dihiraukan, ia segera bangkit dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan yang masih sehat itu. Srrang...! "Bocah panuan! Kubunuh kau sekarang juga. Hiaaattt...!"

Wut, wut, wut, wut...!

Pedang berkelebat dengan cepat bagai sukar diterobos dengan pukulan apa pun. Kecepatan gerakan pedang membuat Banci Wadak bagaikan dilapisi cahaya kemilau pedang besar itu. Suto Sinting agak bingung mencari kesempatan menyerang. Tiba-tiba seberkas sinar merah keluar dari tebasan pedang lawan. Claaap...! Suto menangkis dengan bumbung tuaknya. Teuub...! Sinar merah tidak membalik arah, berarti kekuatan tenaga dalam sinar itu sangat besar. Yang terjadi hanyalah sebuah ledakan menggelegar membuat tubuh Suto Sinting terlempar jauh kebelakang.

Blegaarrr...!

Wuuuss...! Brruukkk...!

"Uuhg...!" Suto Sinting menggeliat kesakitan.

"Heeaaahh...!" Wuuusss...! Banci Wadak bagaikan terbang ke arah Pendekar Mabuk dengan pedang siap ditebaskan. Pada saat itu, Suto Sinting sempat melihat sekelebat bayangan melompati tembok bangunan kuno itu dari dalam keluar. Lalu, sebuah suara memanggilnya.

"Sutoo...!" Ternyata Resi Pakar Pantun telah berhasil keluar dari bangunan kuno itu dengan memanggul gadis berbaju kuning. Gadis itu tak lain adalah Kejora.

Semangat Pendekar Mabuk menjadi tambah tinggi setelah mengetahui Kejora dapat diselamatkan oleh Resi Pakar Pantun, sekarang sedang dibawa lari ke arah selatan. Pada saat itu, Suto Sinting hampir tertebas lehernya oleh gerakan pedangnya Banci Wadak. Wuuutt...! Untung kakinya tersandung akar rumput hingga ia jatuh kembali. Dengan begitu pedang tersebut tak jadi mengenai lehernya.

Tetapi ia segera bangkit dengan satu kaki. Tubuhnya meliuk ke samping bagai orang mabuk mau jatuh, lalu bumbung tuaknya disodokkan ke atas depan. Beeegh...! Sodokan kali ini adalah sodokan dari jurus 'Mabuk Lebur Gunung' yang mempunyai kekuatan tenaga dalam tersendiri.

"Uuhhg...!" Banci Wadak tak bisa berteriak. Tubuhnya terlempar ke belakang dan rubuh dalam keadaan kejang-kejang. Sodokan yang mengenai perutnya itu membuat sekujur badan segera menjadi memar membiru, rambutnya rontok bagai terkelupas dari kulit kepala, beberapa kejap kemudian Banci Wadak hembuskan napas terakhir dalam keadaan terkapar mengerikan.

Pendekar Mabuk segera tinggalkan lawannya dan berlari mengejar Resi Pakar Pantun. Zlaaap...! Dalam waktu sangat singkat, ia sudah berhasil menyusul sang Resi, kemudian mereka berhenti sejenak di tempat yang aman.

"Sutooo...?!" sapa Kejora yang diturunkan dari pundak sang Resi. Kemudian gadis itu berlari memeluk Suto Sinting dengan wajah penuh ketakutan.

"Kau sudah aman, Kejora! Tenanglah...!"

"Aku tak mau kembali ke rumah kotor itu, Suto!"

"Aku juga tak mau," sahut sang Resi. "Di sana sepi, ada bangkai manusia di lantai bawah. Tapi tak kutemukan si Geladak Ayu maupun Peluh Setanggi!"

"Mungkin si Kucing Hutan punya rencana sendiri untuk si Geladak Ayu! Sebaiknya kita segera pergi ke tempat yang lebih aman, Resi!"

Kejora bertanya, "Darah Prabu bagaimana?! Di mana dia sekarang?!"

Suto Sinting bingung memberi penjelasan, karena terakhir kali ia melihat Darah Prabu berhasil mengejar Peluh Setanggi, sampai senja itu belum pernah jumpa lagi. Suto pun tak tahu, bagaimana nasib Darah Prabu saat itu. Tapi yang jelas, gadis yang dalam tanggung jawabnya itu sudah bisa diselamatkan dari tangan si penculik, yang rupanya ingin mendesak Kejora untuk menunjukkan di mana Panji-panji Mayat disembunyikan oleh keluarganya. Suto Sinting merasa heran mendengar cerita Kejora tentang desakan Kucing Hutan, sehingga ia pun berkata kepada Resi Pakar Pantun,

"Kalau begitu, Peluh Setanggi tak berhasil membawa lari Panji-panji Mayat dari tempat kediaman Resi Badranaya?! Lalu siapa yang memegang pusaka itu sebenarnya?"

Sang Resi angkat bahu sambil menjawab, "Yang jelas bukan aku. Sumpah!"

Suto Sinting menatap curiga, sang Resi buang muka karena tak enak hati dipandang demikian.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.