Serial Pendekar Mabuk
Seruling Malaikat
Karya Suryadi
Seruling Malaikat
Karya Suryadi
SATU
MEREKA baru saja mendarat di pantai dengan gunakan sebuah sampan. Tiga wanita berambut cepak, seperti potongan rambut lelaki itu mempunyai paras ayu yang berbeda nilai kecantikan-nya. Namun ketiganya sama-sama menggiurkan seorang lelaki yang memandang dari sisi kemesuman. Karena ketiganya mempunyai bentuk tubuh nan elok, bak lambaian perawan menunggu pelukan.
“Ingat ciri-cirinya!” kata wanita muda yang berpakaian putih bertepian benang emas. “Tampan, rambut lurus lemas selewat bahu, pakaian cokelat muda tanpa lengan, celananya putih kusam, menyandang bumbung bambu tuak”.
Si cantik berpakaian putih yang mempunyai pedang di punggung bergagang balutan kain beludru merah itu menyebutkan cirri-ciri seorang pendekar tampan yang tak lain adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Si cantik berdada seksi dan berkulit kuning langsung memberi isyarat dengan tangan agar kedua gadis se-usianya itu bergerak mengikuti langkahnya jauh ke dalam hutan. Sesekali ia berpaling kepada kedua rekannya yang telah dipercaya sebagai anak buahnya itu sambil berkata…
“Siapapun tidak boleh terpikat kepada Pendekar Mabuk. Tahan hati kalian jika rasa terpikat itu muncul dan meremas jiwa. Karena Gusti Ratu sudah wanti-wanti agar urusan ini dipisahkan dari urusan pribadi. Paham?”
Yang berpakaian hijau muda berkata... “Kalau hatiku nyut-nyutan melihat ketampanan-nya bagaimana? Apa tak boleh jatuh lemas?”
“Lebih baik tikam hatimu dengan pedang, biar nyut-nyutan-nya hilang!” jawab si cantik berbibir mungil dan berhidung kecil bangir itu. Si cantik ini tak lain adalah Rindu Malam, prajurit pilihan dari negeri bawah laut Ringgit Kencana yang dipimpin oleh seorang ratu cantik, adik sepupu Bidadari Jalang, yang bernama Ratu Asmaradani.
Ratu ini pernah ditolong Suto Sinting ketika tubuhnya hilang separuh karena terkena “Racun Siluman”. Ilmu Racun Siluman dimiliki oleh Dampu Sabang. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam judul Bandar Hantu Malam)
Sebenarnya Ratu Asmaradani mempunyai ilmu Rambah Bathin yang membuatnya bisa hadir dalam mimpi seseorang, seperti halnya yang dialami Pendekar Mabuk ketika menemui peristiwa Keris Setan Kobra. Tetapi agaknya kali ini Suto Sinting tidak bisa segera datang menemui sang Ratu yang memanggil-nya liwat mimpi. Sehingga dikirimlah pasukan kecilnya berjumlah tiga orang untuk mencari Pendekar Mabuk dan membawanya ke Negeri Dasar Laut.
Tiga utusan itu dipimpin oleh Rindu Malam yang sudah hafal betul dengan ciri-ciri Pendekar Mabuk. Sebab hatinya pernah terpikat, namun segera dipendam dalam-dalam setelah sang Ratu melarang-nya jatuh cinta kepada Suto. Dua anak buah Rindu Malam adalah Kusuma Sumi dan Pita Biru. Salah satu berambut cepak seperti lelaki, tanpa ikat kepala, kecuali Pita Biru. Pedang di punggung warna gagang-nya berbeda-beda.
Pita Biru mempunyai gagang pedang berwarna kuning ke-emasan, tapi bukan emas tulen. Pakaian-nya serba biru muda. Rambutnya disanggul dua bagian dengan masing-maasing sanggul diberi pita biru yang panjang. Sehingga jika tertiup angin seperti ekor cenderawasih. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, sama dengan usia Rindu Malam.
Kusuma Sumi lebih muda satu tahun. Mengenakan pakaian hijau muda yang berwarna cerah. Warna Hijau Muda itu diberi bintik-bintik kuning emas. Sehingga seperti ditaburi emas dari batas leher sampai betis. Sebab celananya hanya sampai betis. Kusuma Sumi mempunyai rambut cepak juga. Tapi wajahnya sedikit lebih lonjong dari Pita Biru. Soal kecantikan-nya tak disangsikan lagi. Gagang pedang-nya berwarna cokelat muda, dililit tali putih teranyam. Dadanya lebih sekal dari Pita Biru dan Rindu Malam.
Perjalanan menyusuri hutan pantai terpaksa dihentikan. Sebenarnya mereka ingin berpencar dalam mencari Pendekar Mabuk. Tetapi sebelum niat itu terlaksana, mereka harus berhadapan dengan dua orang lelaki berwajah memuakkan. Dua orang lelaki tersebut berpakaian sama hitamnya. Tapi ikat kepala mereka berbeda warna. Yang agak gemuk berikat kepala warna merah, sedangkan yang agak kurus berikat kepala warna kuning.
“Siapa kalian?” hardik Rindu Malam kepada kedua lelaki yang cengar-cengir menampakkan sikap binalnya itu.
“Namaku Roh Gepuk, dan ini temanku bernama lebih jelek, yaitu Cucur Sangit”, jawab yang berikat kepala kuning, agak kurus. Wajahnya lancip, mirip seterikaan.
“Kalau tak salah dugaanku, kalian orang Lumpur Maut?!”
“Benar sayang”, jawab Cucur Sangit yang berwajah hitam, pakai gelang bahar, rambut-nya ikal, hidung-nya besar, senyum-nya berantakan kemana-mana.
Sambung Cucur Sangit Lagi, “dan kami tahu kalian pasti orang Ringgit Kencana, karena rambut kalian pendek seperti rambut lelaki”.
“Ya, memang kami orang Ringgit Kencana, apa maumu sekarang ?” Rindu Malam bersikap tak ramah. Sebab ia tahu orang Lumpur Maut tak pernah ada yang beres. Brengsek semua.
Cucur Sangit yang usianya lima tahun lebih muda dari Roh Gepuk itu segera berkatadengan senyum kalang kabut-nya “Ketua kami memerintahkan kami untuk mencari letak Teluk Sumbing. Kami bingung, tak tahu dimana letak Teluk Sumbing. Kalau orang berbibir sumbing, kami tahu dimana rumah-nya. Tapi letak Teluk Sumbing, kami tak tahu. Waktu kalian mendarat di pantai, kami sepakat untuk menghadang kalian, dan menanyakan letak Teluk Sumbing”.
“Teluk Sumbing bukan wilayah kami!” jawab Rindu Malam. “Teluk Sumbing wilayah kekuasaan Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu”.
“Ya, kami tahu. Tapi Nila Cendani sudah mati, kabarnya dibunuh Pendekar Mabuk. Entah benar atau tidak, kami tidak ikut terbunuh waktu itu. Tapi kami tahu, Ratu Ringgit Kencana pernah terlibat bentrokan dengan Nila Cendani dan mengejarnya sampai ke Teluk Sumbing. Tentunya ratumu tahu dimana Teluk itu berada. Tentu ratumu pun tahu bahwa disana terpendam harta karun rampasan Nila Cendani semasa menjadi ketua Rompak Samudera. Dan tentunya sebagai anak buah Ratu Asmaradani, kalian juga diberitahu letak Teluk itu, untuk sewaktu-waktu menggali harta karun disana”.
“Ratu kami tidak pernah memikirkan harta yang bukan miliknya. Kami sudah cukup kaya tanpa merampas harta yang bukan milik kami!” Kata Rindu Malam.
Roh Gepuk segera menyahut, “Begini saja nona-nona cantik. Aku akan membuka sayembara. Barang siapa di antara kalian ada yang bisa menyebutkan dimana letak Teluk Sumbing. Akan mendapat hadiah dikawinkan dengan temanku ini, si Cucur Sangit!”
“Puih….!” Kusuma Sumi meludah benci. “Siapa yang sudi dikawinkan dengan wajah hangus begitu?! Mending kalau cakep!”
Roh Gepuk berbisik kepada Cucur Sangit, “Nasibmu memang apes. Dilelang pun tak ada yang mau sama kamu, Cur!”
“Lagi pula kenapa pakai sayembara begitu segala, malah aku jadi terhina!” Cucur Sangit bersungut-sungut. Untuk membalas rasa terhina-nya, ia berkata… “Begini saja nona-nona cantik… aku punya sayembara lain. Barang siapa dalam tiga hitungan tidak mau sebutkan dimana letak Teluk Sumbing, maka ia akan mendapat hadiah mati tanpa nyawa!”
“Itu namanya kalian menantang kami!” cetus Rindu Malam dengan mata mulai sedikit menyipit karena benci.
Pita Biru segera maju dan berkata kepada Rindu Malam, “Biar kutangani sendiri dua ekor cacing ini! Menepilah kalian!” Kemudian dengan memandang tajam melalui bola matanya yang bundar itu, Pita Biru berkata kepada kedua lawan-nya setelah Rindu Malam dan Kusuma Sumi menepi beberapa tindak. “Hitunglah mulai sekarang, langsung dengan hitungan tiga! Tak perlu memakai satu dan dua!”
Inilah gaya tantangan si Pita Biru yang memang pemberani. Tentu saja tantangan itu menggeramkan hati Cucur Sangit. Tapi temannya masih cengar-cengir saja mentertawakan Cucur Sangit yang menantang tapi justru mendapat balasan tantangan. Roh Gepuk pun menepi, memberi tempat untuk Cucur Sangit membuktikan tantangan-nya. Ia pun berkata pelan sebagai pesan seorang teman...
”Hati-hati! Lembut wajahnya, halus kulitya, mulus dadanya, tapi tajam pedangnya.”
Cucur Sangit tidak memperdulikan pesan murahan itu. Ia segera mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Lalu tubuhnya menyentak membentuk kuda-kuda. Matanya memandang tajam kepada Pita Biru, sedangkan yang dipandang hanya berdiri tenang dengan kedua kaki sedikit merenggang dan kedua tangan lurus kesamping, seakan siap menunggu serangan lawan.
“Jangan menyesal kalau wajah cantikmu rusak karena pukulanku, sayang!” geram Cucur Sangit, si wajah hitam.
Pita Biru berkata pelan... ”Majulah kalau ingin hidup tanpa jantung!”
Cucur Sangit melompat menerjang tubuh sintal itu. Tiba-tiba tubuh Pita Biru berputar cepat dengan kaki kanan berkelebat. Tendangan putar yang sukar dilihat itu membuat tubuh Cucur Sangit terpental ke belakang, jatuh berdebum bagaikan karung beras rontok dari pohon.
“Ha..ha..ha..ha…!” Roh Gepuk tertawa geli, mentertawakan temannya sendiri.
Cucur Sangit kian marah. Ia segera bangkit, tapi sempat mengusap pipinya yang terasa perih. Dan ia terkejut mendapatkan pipinya berdarah. Ternyata kulit pipi yang hitam itu robek akibat tendangan tamparan kaki Pita Biru yang amat cepat itu. Melihat darah di tangan-nya, Cucur Sangit menatap Pita Biru lebih buas lagi. Geram-nya terdengar samar-samar. “Kubalas kelancangan kakimu itu nona busuk!"
Cucur Sangit sentakkan kaki dan bersalto ke atas. Kakinya terarah ke kepala Pita Biru. Tapi dengan cepat Pita Biru sentakkan kaki, dan tubuhnya melesat naik tegak lurus. Kedua kakinya masuk dipertengahan jarak kaki lawan, lalu menyentak ke kiri dan kanan dengan cepat. Terdengar ada sesuatu yang robek. Entah celana Cucur Sangit atau apanya. Yang jelas kaki Cucur Sangit bagai dipaksakan merentang ke kiri dan kanan. Sedangkan Pita Biru segera sodokkan dua jari kanan-nya ke ulu hati Cucur Sangit. Tangan kirinya menyodokkan pangkal telapak tangan ke wajah lawan.
Pita Biru mendarat dengan tegak. Gerakan cepat pada saat melesat di udara itu tak bisa dilihat oleh mata Roh Gepuk. Tahu-tahu si muka lancip itu melihat temannya tumbang, terkapar dengan mulut remuk, bagian bawah perutnya robek lebar dan telinga, hidung serta mulut, bahkan matanya mengeluarkan darah segar. Akibat sodokan dua jari Pita Biru. Jurus tersebut ternyata sangat berbahaya. Terbukti dalam sepuluh hitungan kemudian, Cucur Sangit tidak pernah mau berkutik lagi, karena kehilangan nyawa.
“Edan..!” Geram Roh Gepuk tak bisa bertepuk tangan. Kini wajahnya menjadi berang karena temannya mati di tangan gadis muda secantik itu. Sungguh suatu pertarungan singkat yang tak pernah diduga akan merenggut jiwa temannya. “Setan Jalang, hantu siang!” maki Roh Gepuk. "Kau benar-benar lancang nona buruk! Berani-beraninya kau menghilangkan nyawa teman ku dengan tidak main-main, hah?!”
“Aku hanya mengikuti sayembaranya tadi!”
“Kubalas kematian ini! kubalas dengan mencabut nyawamu dengan kapakku ini!" Kapak bergagang panjang dicabut dari selipan sabuk, lalu tubuh Roh Gepuk berkelebat menerjang Pita Biru. Tapi mendadak tubuh itu terpental ke samping. Baru saja melompat belum jauh dari tempat, sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar dilepaskan dari tangan Kusuma Sumi. Roh Gepuk terpekik pendek. Lalu jatuh tak tentu keseimbangan.
Pita Biru memandang Kusuma Sumi dengan sikap masih berdiri tegak dan kedua kaki sedikit merenggang. Saat itu Kusuma Sumi segera melangkah maju dan berkata dengan tegas. “yang ini biar kutangani, mundurlah!”
Pita Biru segera melompat ke samping. Kejap berikut sudah berdiri tak jauh dari Rindu Malam, yang bersidekap dengan tenang di bawah pohon. Dan ketika Roh Gepuk bangkit kembali, ia terkesiap melihat lawannya sudah berganti pakaian. Tapi segera sadar, bahwa lawannya bukan berganti pakaian, tetapi berganti orang.
“Kau yang akan menggantikan nyawa temanmu itu untuk menebus nyawa temanku, ha?!”
Kusuma Sumi diam tak banyak bicara. Rindu Malam perdengarkan suara, “Jangan buang waktu, kerjakan secepatnya, Kusuma Sumi!”
Suara itu pun masih tak dihiraukan oleh Kusuma Sumi. Mulutnya tetap terkatup rapat. Matanya menatap tak berkedip ke arah lawannya yang sudah memutar-mutarkan kapaknya. Roh Gepuk melepaskan kapaknya yang terbang memutar-mutar.
Wuukk…! Wweeng…weeeng…weeng…weeng…!
Kapak itu nyaris menyambar leher Kusuma Sumi. Tapi wanita cantik itu segera bersalto ke belakang dan lepaskan satu pukulan tenaga dalam tanpa sinar melalui telapak tangannya seperti tadi. Pukulan itu kenai kapak yang sedang terbang dengan cepat. Kapak itu terlempar jauh dan jatuh kesemak-semak. Sedangkan tubuh Roh Gepuk segera melompat cepat menerjang Kusuma Sumi dengan liar. Kusuma Sumi pun segera sentakkan kaki dan menyogsong lompatan itu, mengadu kecepatan tangan di udara.
Plak, plak, plak…! Dug, dug…!
“Aaghh…!” terdengar suara pekikan Roh Gepuk tertahan. Tubuh lelaki itu melengkung ke belakang terbang berbeda arah, dan jatuh dengan tubuh kian melengkung. Kepalanya tertekuk menghantam tanah. Roh Gepuk mengerang dengan mendelik. Lehernya patah, dadanya merah karena pukulan lawan yang mengenainya dua kali. Pukulan itu bertenaga dalam tinggi. Sehingga darah keluar dari mulut Roh Gepuk yang tak bisa bernafas dengan lancar itu.
Ia tersengal-sengal sambil keluarkan darah. Beberapa saat kemudian, tubuh yg tersentak-sentak sekarat itu berhenti, lemas terkulai di rerumputan. Saat itulah sebenarnya Roh Gepuk telah kehilangan nyawa dengan bagian dada kian membiru, pakaiannya yang hitam dipenuhi debu pada bagian dadanya. Kusuma Sumi segera lepaskan nafas, merasa tugasnya telah selesai.
Dua orang Lumpur Maut mati di tangan utusan Ringgit Kencana. Jelas hal itu akan jadi masalah bagi para utusan. Karena tanpa setahu mereka, pertarungan itu ternyata ada yang mengintai-nya dari tempat yang jauh. Orang yang mengintai itu segera pergi larikan diri dengan tergesa-gesa. Ia adalah orang Lumpur Maut juga, yang pada awalnya bersama-sama dengan Roh Gepuk dan Cucur Sangit. Tetapi ketika kedua temannya itu menghadang langkah tiga utusan dari Ringgit Kencana, ia sedang buang air besar di semak-semak pantai. Begitu kembali lagi untuk temui kedua temannya. Ternyata Cucur Sangit telah terkapar tanpa nyawa dan Rog Gepuk terlempar, jatuh lalu mati.
“Mereka orang-orang Ringgit Kencana! Aku harus laporkan kepada sang Ketua, biar sang Ketua bertindak terhadap mereka!”
Sementara itu, Rindu Malam berkata kepada kedua anak buahnya yang mempunyai ilmu lebih rendah satu tingkat darinya. “Kita berpencar dari sini saja! Aku ke selatan, Kusuma Sumi ke barat dan Pita Biru ke timur!”
“Bagaimana dengan kedua mayat ini?”
“Biarkan mereka dimakan binatang buas penghuni hutan pantai ini!”
“Tapi kita berarti bikin masalah dengan orang-orang Lumpur Maut!”
“Mereka yang bikin masalah lebih dulu. Kita hanya melayaninya, tak perlu kalian risaukan hal itu. Yang penting temukan Pendekar Mabuk dan katakan bahwa Gusti Ratu kita ingin bertemu dengannya”.
Ratu Asmaradani ingin bertemu dengan Suto Sinting, bukan sekadar karena kangen ingin jumpa dengan pendekar tampan itu, tetapi karena ada suatu kepentingan yang ingin dibicarakan. Pendeta Agung Dewi Rembulan, pemimpin upacara sakral di negeri itu, telah terkena kutuk sang Dewata. Tubuhnya terselubungi balok es di dalam kuil pemujaan karena ang Pendeta cantik itu jatuh cinta kepada putra dewa dalam bayangan. Putra dewa itu menurut penglihatan indera keenamnya adalah pemuda tampan yang satu tingkat lebih tinggi nilai ketampanannya dari Suto Sinting. Sang pendeta kasmaran dengan putra dewa yang sebenarnya asmara itu tidak boleh ada di dalam hati seorang pendeta sepertinya.
Akibat tumbuhnya cinta, tubuh sang Pendeta perempuan itu terbungkus balok es dan tak bisa dihancurkan dengan benda apapun, tak bisa dilumerkan dengan pusaka apapun. Ratu Asmaradani terpaksa lakukan semedi di kuilnya. Lalu di peroleh wangsit sang dewa yang mengatakan, bahwa pendeta agung Dewi Rembulan akan bisa bebas dari kutuk 'Birahi Salju' jika lapisan es itu dihancurkan oleh seorang pemuda yang tidak mempunyai pusar di perutnya.
Ratu Asmaradani pernah dengar cerita dari saudara sepupunya; Bidadari Jalang, bahwa seorang bocah tanpa pusar telah tumbuh menjadi dewasa dan bergelar Pendekar Mabuk. Siapa lagi orang yang bergelar Pendekar Mabuk selain Suto Sinting murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.
Maka, Ratu Asmaradani pun mengirim ilmu 'merambah bhatin' untuk hadir ke alam mimpi Suto Sinting. Tetapi sudah beberapa kali hal itu dilakukan, ternyata Suto Sinting belum datang juga. Terpaksa tiga utusan diperintahkan mencari Pendekar tampan yang namanya sering menjadi bahan pembicaraan para toko rimba persilatan itu. Sebab Ratu Asmaradani curiga, pasti ada kesulitan yang di alami Suto sehingga pemuda itu tidak bisa datang ke negeri Rinngit Kencana. Karenanya, sang Ratu berpesan kepada Rindu Malam, jika ada sesuatu yang menyulitkan sang Pendekar Mabuk, Rindu Malam bergegas membantu melepaskan si Pendekar tampan itu dari kesulitan tersebut. Kesulitan apa yang dihadapi Suto Sinting sebenarnya?
Titik pangkal kesulitan itu terletak pada hilangnya Pedang Kayu Petir yang sebenarnya sudah ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu namun pedang tersebut jatuh ke Sumur Tembus Jagat di Bukit Mata Langit. Padahal sumur itu tidak mempunyai dasar, sudah tentu tak terukur lagi kedalamanya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir)
Di depan Resi Wulung Gading, pemegang hak atas pedang pusaka tersebut, hal itu diceritakan oleh Suto Sinting. Hadir pula di situ bocah yang menemukan pedang tersebut, Angon Luwak, juga Ki Gendeng Sekarat dan dua Pendeta kakak-beradik yang nasib biaranya terancam oleh kemurkaan Raja Tumbal, si penguasa Lumpur Maut.
"Angan Luwak tak bisa disalahkan karena ia hanya seorang bocah lugu tak tahu apa-apa tentang pedang dari kayu itu,” Ki Gendeng Sekarat membela anak berusia sepuluh tahun itu dalam keadaan kepala tertunduk, mata terpejam dan dengkur kecilnya terdengar samar-samar.
"Kita tidak membicarakan siapa yang salah, tapi bagaimana cara mengambil Pedang Kayu Petir itu dari kedalaman Sumur Tembus Jagat," kata Resi Wulung Gading, keponakan Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang yang sudah berusia banyak itu.
Pendeta Jantung Dewa dari Biara Genta berkata, “Bagaimana jika kita mengambilnya dengan menceburkankan sukma ke dalam sumur itu?"
“Bisa saja," kata Resi Wulung Gading, "Tapi tahukah kau, Jantung Dewa, di dalam sumur itu bukan berisi udara beracun saja? Didalam sumur Tembus Jagat itu terdapat sekian banyak roh yang terjebak disana dan tak bisa keluar sebelum garis kematiannya tiba. Roh-roh yang belum waktunya temui garis kematiannya mempunyai ulah sendiri di dalam sumur tersebut. Jika kita gunakan ilmu 'Lepas Jasad' dan menceburkan sukma ke dalam Sumur Tembus Jagat, maka sukma kita pasti akan bertarung melawan roh-roh liar yang ada disana"
"Aku sanggup melakukannya!" tiba-tiba Pendekar Mabuk membuka kata setelah meneguk tuaknya, Mereka saling pandangi pemuda tampan itu.
"Kau benar-benar sanggup melepas sukmamu untuk masuk ke sumur itu?" tanya Ki Gendeng Sekarat dengan suara parau karena sedang tidur.
"Sanggup, Ki. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya? Aku belum belajar Ilmu "Lepas Jasad" yang dimilliki oleh para tokoh sakti itu, Ki."
Resi Wulung Gading segera berkata, “Akan kuajarkan ilmu itu padamu melalui semadi dalam Gua Getah Tumbal."
"Kanapa harus ke gua itu?" tanya Pendeta Mata LiMa, kakak Pendeta Jantung Dewa.
Dengan suara tenang, pertanyaan itu dijawab oleh sang Resi. “Gua Getah Tumbal merupakan gua yang mempunyai kekuatan mempercepat terbukanya lubang sukma dalam diri kita! Jadi semadi itu dapat ditempuh dalam singkat dan cepat. Tergantung upaya sukma Suto dalam mengambil pedang pusaka itu."
"Aku akan lakukan, Eyang Resi!" kata Suto tegas.
"Tapi jika kau gagal lakukan 'Lepss Jasad', kau a8kan menderita sakit memar sekujur tubuh selama lima hari."
"Aku berani menempuh akibat itu!"
Maka Guto Sinting pun segera dibawa oleh Resi Wulung Gading di Gua Getah Tumbal dan bersemadi di sana dibawah bayangan sang Resi sebagai penuntunnya. Itulah sebabnya Suto tak bisa datang menemui Ratu Asmaradani, Bahkan kemunculan Ratu Asmaradani sangat mengganggu pemusatan pikiran Suto, hingga semadi itu menjadi sering terganggu.
* * *
DUA
TIGA hari lamanya Rindu Malam mencari Suto tapi belum berhasil. Semertara Pendekar Mabuk sudah tiga hari pula terkapar di Gua Getah Tumbal dalam keadaan memar dan tak sadarkan diri karena gagal mencapai ilmu 'Lepas Jasad'. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa gunakan limu pemberian dari Ratu Kartika Wangi, yang membuatnya bisa masuk ke alam gaib. Tetapi pada saat ia akan gunakan iimu itu, ada suara sang Ratu yang mengingatkannya,
"Jangan gunakan kekuatanmu untuk masuk ke Sumur Tembus Jagat! Kekuatan itu akan hilang jika kau menggunakannya masuk ke sana. Carilah cara lain jika ingin masuk ke Sumur Tembus Jagat."
Suara itulah yang membuat Suto Sinting si Pendekar Mabuk tak berani nekat menggunakan titik merah dikeningnya untuk masuk ke Sumur Tembus Jagat. Karenanya ditempuhlah semadi 'Lepas Jasad' yang akhirnya gagal pula, dan membuatnya pingsan. Tentu saja Suto tidak mengetahui kalau dirinya sedang dicari-cari Rindu Malam. Yang diketahui adalah panggilan dari Ratu Asmaradani melalui semadinya, namun Suto tidak bisa menjawab. Ketiga utusan dari Ringgit Kencana saling bertemu pada hari keempat. Mereka sama-sama merasa kecewa karena tidak menemukan Pendekar Mabuk. Namun hal itu bukanlah kegagalan bagi Rindu Malam.
"Ada seseorang pembawa tuak yang berhasil ketemu dengan ku. Tetapi seteiah kupaksa berkali-kal! Ia tetap tidak mau mengaku sebagai Suto. la mengaku sebagai Hanomsuka," kata Pita Biru.
"Apakah dia tampan?" tanya Rindu Malam.
“Tidak begitu tampan. Usianya berkisar lima puluh tahun."
“Goblok!" sentak Rindu Malam sedikit geli. "Suto usianya masih muda. Tidak setua itu."
Kesuma Sumi menimpali, "Sayang sekali sewaktu Suto Sinting ada di tempat kita, aku dan Pita Biru sedang menjalankan tugas ke Pulau Gayung, sehingga aku dan Pita Biru tidak melihat seperti apa ketampannya.”
"Sudah, sudah..., jangan bicara soal ketampanannya. Nanti kalian terkulai lemas membayangkannya!" sergah Rindu Malam. "Sebaiknya kita pergi temui Sumbaruni di pantai semberani!"
"Apakah Sumbaruni alias Pelangi Sutera itu mengenal Pendekar Mabuk?!"
Rindu Malam menjawab dengan mulut runcing, "Bukan hanya kenal, tapi juga jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk!"
Kesuma Sumi menyahut. "Kalau begitu, ku rasa Pendekar tampan itu sedang terlena dalam pelukan Sumbaruni!?"
Rindu Malam tarik napas dalam-dalam, karena masih ada sisa kecemburuan yang bikin dia deg-deg-an. Betapa pun juga ia harus bisa sisa kecemburuan itu karena takut melanggar peringatan dari ratunya.
"Jangan bayangkan dia ada dalam pelukan Sumbaruni. Bayangkan saja dia ada dalam kesulitan, misalkan separo badannya sudah masuk mulut singa, tapi kepalanya masih diluar mulut!" kata bhatin Rindu Malam, dan benak pun membayangkan hal itu, sehingga sisa kerinduan itu cepat mereda lalu lenyap. Kini Rindu Malam berkata kepada Kusuma Sumi, "Kau tahu Pantai Semberani?"
"Ya, tahu!"
"Pergilah ke sana melalui jalan hutan bersama Pita Biru, aku akan melalui jalan pantai. Kita bertemu di kaki Bukit Semberani sebelum matahari tenggelam."
“Baik. Tapi bagaimana jika aku dan Pita Biru tersesat?"
Pita Biru menyahut "Tak mungkin. Kecuali kami terseeat di mulut singa!"
“Jangan berpikiran yang bukan-bukan!" hardik Rindu Malam, karena ia segera ingat bayangannya tentang Suto di mulut singa. "Sebaiknya kerjakan saja perintahku itu mulai sekarang juga!"
"Bagaimana jika kita bertemu dengan orang Lumpur Maut?"
"Cegah mereka agar tidak bikin perselisihan dengan kita, Tapi jika mereka nekat dan memaksa, apa boleh buat. Lawan mereka dan jangan mau mati karena takut mereka! Kau akan menyesal jika mati sebelum melihat ketampanan Suto."
Kusuma Sumi dan Pita Biru tersenyum. Namun senyum itu tak bisa berkepanjangan karena tiba-tiba sebuah benda berkliat dengan ekor merah melesat kearah Rindu Malam melewati depan mata Pita Biru.
wuutt!
Kalau saja Pita Biru tidak mempunyai gerak naluri yang cukup peka, maka ia akan menjadi sasaran benda berkilat itu. Untunglah Pita Biru cepat sentakkan kepala mundur hingga badannya melengkung, maka benda tak di undang itu melesat kearah Rindu Malam, dan secepatnya tangan Rindu Malam berkelebat ke depan sambil melompat ke samping.
Wuuttt...! Taabb...!
Sebilah pisau kecil terjepit disela jemari Rindu Malam. Pisau bergagang hitam dengan hiasan benang-benang merah di ujung gagangnya itu segera dilemparkan oleh Rindu Malam ke arah semak-semak di balik dua pohon berjajar.
Wesss...! Zraakk...!
Trangng...!
Terdengar pisau itu ditangkis dengan benda tajam sejenis pedang, Tapi mungkinkah memang pedang? Siapa tahu piring logam atau yang lainnya? Dan untuk mengetahui lebih jelas, Kusuma Sumi segera lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa sinar itu. Tangan kanan disentakkan ke depan dan gelombang panas melesat menghantam semak-semak tersebut.
Gusraakk...! Brsass...!
Seseorang melompat keluar dari kerimbunan semak. Jleeg...! Ia berdiri dengan sigap berhadapan dengan ketiga utusan Ringgit Kencana. Orang itu ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya lumayan ganteng. Kumisnya tipis dan menggoda hati wanita. Hidungnya mancung, matanya jeli. Pakaiannya dari kain mengkilap, salin ungu. Rambutnya yang agak panjang itu bergelombang, diikat dengan lempengan logam perak berhias batu-batuan warna merah dan hijau.
Sebilah pedang pendek di tangan kanan, tampak habis digunakan untuk menangkis pisau terbangnya tadi. Kini pedang itu dimasukkan kembali ke sarungnya yang terbuat dari logam Kuningan.
Terkesiap mata tiga utusan dari Ringgit Kencana itu. Untuk sekejap mereka bertiga diam tak bergerak bagai memandang sesuatu yang amat mendebarkan hati. Bahkan sampai pemuda itu melangkah dengan gagah dan berhenti di depan mereka dalam jarak empat langkah, ketiga wanita cantik itu masih terbungkam mulutnya, Matanya baru berkedip setelah senyum tampan itu berubah menjadi batuk kecil, sengaja menggugah kebisuan.
"Mengapa kau menyerangku?!" tegur Rindu Malam sengaja ketuskan nada.
"Melihat kecantikan kalian bertiga, aku curiga, jangan-jangan kalian adalah orang Ringgit Kencana."
“Kecurigaanmu tak salah! Lalu apa yang kau inginkan dari kami setelah kau tahu kami orang Ringgit Kencana?!"
Senyum pemuda itu masih menghiasi wajah berkulit kuning langsat dan menawan. la melangkah ke samping satu kali dengan mata melirik, kemudian berhenti dalam posisi berhadapan lurus dengan Rindu Malam.
“Orang Ringgit Kencana terkenal cantik-cantik dan ilmunya tinngg-tinggi. Maka kucoba dengan lemparan pisau terbangku, ternyata kau bisa mengembalikan dengan baik. Hampir saja pisau itu menggores leherku."
"Ooh...?!" pekik Pita Biru dengan cemas bagai tak sadar telah menunjukkan rasa tak rela jika pisau tadi benar-benar menggoreskan leher sang pemuda. Pita Biru cepat-cepat alihkan pandangan dengan malu, karena Kesuma Sumi melirik dengan cemberut. Pita Biru sampai salah tingkah, lalu ambil tempat dibelakang Kusuma Sumi. Mata pemuda itu masih mengawasinya. Pita Biru kian sembunyikan wajahnya di balik punggung Kusuma Sumi.
“Siapa kau sebenarnya?" tanya Rindu Malam dengan menahan hati berdebar-debar.
"Aku yang berjuluk Dewa Rayu!"
"Dewa Rayu?!" gumam lirih Kusuma Sumi yang tak berbarengan dengan gumam Pita Biru. Akibatnya Rindu Malam melirik ke arah mereka. Keduanya sama-sama malu ditahan karena gumaman tadi bernada kagum.
“Namaku sebenarnya adalah Aryawinuda, Putra Raja Pengging yang dibuang oleh Ibu tiriku sejak usia delapan tahun."
“Kasihan!" desah Pita Biru. Karena jaraknya amat dekat dengan Kusuma Sumi, maka tulang kakinya terkena tendangan kecil Kusuma Sumi yang menyuruhnya diam dengan isyarat kaki. Pita Biru menggerutu sambil mendesis sakit.
Dewa Rayu kembali berkata dengan Suaranya yang berkharisma, “Aku dirawat oleh Paman Patih Janursulung, dan kemudian minggat dari Istana bersamaku dan akhirnya menjadi seorang resi di Bukit Karangapus"
Tiga wajah cantik bungkam, bagaikan terkesima oleh cerita si tampan bermata bening itu. Rindu Malam tetap bersikap tenang, seakan santai sekali, padahal hatinya bergolak memuji ketampanan tersebut sebagai pelampiasan rasa cinta yang tertunda kepada Pendekar Mabuk.
Setelah memandangi ketiga wajah secara bergantian, Dewa Rayu kembali perdengarkan suaranya yang lembut dan merdu. "Ki Patih Janursulung mempunyai kakak bernama Dwipajati. Selama ini aku memang murid Ki Janursulung, tapi juga disarankan berguru kepada Paman Dwipajati. Banyak Ilmu yang kuperolah dari Paman Dwlpajati. Walaupun kudapatkan secara tidak langsung. Bagaimanapun juga aku adalah murid Ki Janursulung, tapi punya hutang budi kepada Paman Dwlpajati. Karena sejak guruku itu meninggal, aku ikut dengan Paman Dwipajati selama dua tahun menetap di perguruannya. Aku membantu melatih murid-muridnya. Akhirnya paman Dwipajat meninggal karena suatu pertarungan belum lama ini. Kami semua berkabung, aku pun pantas menuntut balas atas kematian Paman Dwipajati. Lalu ku cari kabar siapa pembunuhnya dan ketemukan kabar itu. Paman Dwipajati dibunuh oleh seorang gadis cantik yang menawan hati dari negeri Ringgit Kencana yang bernama Rindu Malam!"
Tersentak hati Rindu Malam mendengar kata-kata terakhir itu. Matanya tak sadar terbelalak. Sikap santainya menjadi tegang. Kedua anak buahnya saling menatapnya dengan sedikit tegang. Rindu Malam segera menyanggah tuduhan. “Aku tidak pernah membunuh lawan yang bernama Dwwipajati!"
"Barangkali kau yang bernama Rindu Malam?"
"Benar!" jawab Rindu Malam tegas.
"Kalau begitu kau yang membunuh Paman Dwipajati alias si Jejak Iblis dari Perguruan Pasir Tawu!"
Sekali lagi Rindu Malam terkejut. Karena ia tak menyangka bahwa Jejak Ibis yang dibunuhnya itu bernama Dwipajati, dan pemuda itu ada di plhak Jejak Iblis. Rindu Malam teringat saat bertarung melawan Jejak Iblis demi membela Pendekar Mabuk, (Baca serlal Pendekar Mabuk dalam episode Keris Setan Kobra).
Tindakan itu tidak diingkari oleh Rindu Malam, sebab pada akhirnya, Ia ada di pihak yang benar, menyelamatkan Suto dari tuduhan mencuri Keris Setan Kobra dan dari keganasan Jejak Iblis. Maka dengan berani Rindu Malam akhirnya berkata, "Memang aku yang membunuh Jejak Iblis. Sekarang kau ingin menuntut balas?"
"Dengan sanngat terpaksa, Nona cantik. Karena aku punya hutang budi pada paman Dwipajati. Jadi aku harus punya sikap bela pati terhadapnya!" kata Dewa Rayu berkata kelem dan tersenyum menawan, seakan tidak ada dendam dan bermusuhan dengan Rindu Malam.
“Kubereskan dia!" kata Kusuma Sumi yang mulai berwajah sinis.
"Jangan! Ini urusan pribadiku. Kuselesaikan sendiri secara pribadi juga!" cegah Rindu Malam. Lalu ia memberi isyarat kepada kedua anak buahnya agar mundur dan memberi tempat untuk pertarungan.
Pita Buru sempat berbisik kepada Rindu Malam. "Jangan sampai terluka kulitnya. Syukur bisa tidak kehilangan nyawa!"
Rindu Malam menatap tajam dengan wajah geram. Pita Biru tahu bisikan itu membuat Rindu Malam berang. Ia buru-buru menyingkir sebelum kena tampar kemarahan Rindu Malam.
Kini Dewa Rayu berhadapan satu lawan satu dengan Rindu Malam. Penampilannya masih tenang-tenang saja. Bahkan senyumnya masih menghiasi wajah tampan dan membuat debar-debar indah di hati Pita Biru.
"Kita bermain satu jurus saja," kata Dewa Rayu. Jika tidak ada yang tumbang, berarti kita sama kuat. Jika kau tidak bisa membunuhku, berarti aku yang akan membunuhmu. Cukup satu jurus saja. Setuju?"
"Aku hanya melayani tantanganmu, Dewa Rayu!"
“Baik. Bersiaplah untuk mati dengan cepat, Rindu Malam!" sambil berkata begitu, Dewa Racun mencabut pedangnya. Srang...! Rindu Malam pun mencabut pedang dari punggung. Sraak...!
Mereka mulai melangkah saling membentuk lingkaran. Rindu Malam menggenggam pedangnya dengan kedua tangan, berdiri tegak disamping gumpalan dada montoknya sebelah kanan. Dewa Rayu memainkan pedang dengan satu tangan dan gerakan-gerakan dimainkan sangat lamban. Seakan ia sedang memaksa tangannya untuk menebas leher si cantik dan merobek dada yang sekal itu.
"Heeaat...!" Dewa Rayu mengawali serangannya dengan melompat di udara dalam gerakan menerjang Rindu Malam. Pedangnya siap ditebaskan ke berbagai arah yang penting mengenai tubuh lawan. Tapi Rindu Malam sebagai jago pedang nomor tiga di Ringgit Kencana itu juga sentakkan kaki ketanah dan tubuhnya melayang maju menerjang lawan. Maka beradulah kecepatan menggunakan pedang dari dua orang itu di udara.
Trangg, Trangg, Trangg...! Wuutt! Wuutt! Trangg...! Breett...!
Selama perpaduan pedang di udara, percikan bunga api terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan pertarungan itu. Tapi kecepatan gerak pedang keduanya tak bisa dilihat jelas oleh setiap orang. Hanya mereka yang terbiasa melihat kecepatan gerak pedang seperti itu saja yang bisa menyaksikannya, seperti Kusuma Sumi dan Pita Biru.
Dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat saat kaki mendarat. Tapi keduanya masih tegak berdiri dengan kaki merenggang kokoh. Rlndu Malam menggenggam pedangnya dengan satu tangan, tubuhnya tetap tanpa luka dan cidera apapun. Tapi Dewa Rayu yang juga tanpa luka sedikit pun itu sempat merasa malu karena sabuk kain pengikat celana dan tali celananya putus oleh sabetan pedang Rindu Malam. Celana itu sempat melorot sedikit ketika ia menapakkan kaki ditanah, lalu buru-buru dicekal dengan tangan kirinya.
"Ih...!" Dewa Rayu celingukan, malu sekali. Suara yang mengikik datang dari arah Pita Biru dan Kusuma Sumi. Kedua gadis itu buang muka, karena tak enak hati harus memandang celana itu lepas sampai kebawah dan melihat apa yang tersembunyi dibalik celana itu. Padahal celana tak sempat melorot sampai kebawah. Disebelahnya, Rindu Malam masih tegak berdiri memandang tajam pada lawannya yang kebingungan.
“Kelihatan apa tidak?" bisik Pita Biru.
"Tidak!" jawab Kusuma Sumi.
“Sial! Rindu Malam bodoh!" sambil Pita Biru mengikik.
Sementara itu, Dewa Rayu cepat betulkan celananya, menggulung bagian talinya hingga sedikit kencang walau tak serapi semula. Kemudian tangan kirinya di masukkan ke mulut dan Ia bersuit panjang satu kali. Suiiittt...! Tubuhnya pun melompat ke atas, bersalto ke belakang dua kali. Gerakan itu tentu saja menimbulkan perasaan heran dihati Rindu Malam.
Tapi keheranan tersebut segera dipahami, karena kejap berikutnya setelah suitan itu hilang berlompatanlah beberapa sosok manusia dari balik kerimbunan semak disana sini. Rindu Malam segera sadar bahwa ternyata Ia dan kedua anak buahnya itu sudah terkepung sejak tadi.
"Kau curang, Dewa Rayu!" teriak Rindu Malam.
Tapi tak dijawab karena di bawah pohon seberang sana, Dewa Rayu sedang sibuk membetulkan tali celana. Menggantinya dengan akar pohon yang lemas, mengikatnya kuat-kuat, lalu menghempaskan napas dengan lega. Yakin bahwa celananya tak akan melorot segingga 'jimatnya' tak akan dilirik seenaknya oleh ke tiga perempuan cantik itu.
Kusuma Sumi dan Pita Biru juga terperangah mulai menyadari bahwa mereka sudah terkepung oleh orang bawaan Dewa Rayu. Jumlah mereka yang menngepung ada sepuluh orang. Tentu saja mereka adalah murid-murid perguruan Pasir Tawu yang ingln ikut balas dendam atas kematian gurunya ditangan Rindu Malam. Karena itu mereka menggenggam senjata masing dan berwajah bengis, seakan sangat bernafsu untuk membunuh Rindu Malam.
Kusuma Sumi dan Pita Biru segera lompat ke depan beberapa kali dan bergabung dengan Rindu Malam. Kusuma Sumi sempat berkata, "Urusan pribadiimu sekarang sudah menjadi urusan perguruan. Jangan menolak uluran tangan kami, Rindu Malam!"
"Lakukan apa yang kalian anggap layak dilakukan dalam keadaan seperti ini!" kata Rindu Malam dengan badan berputar pelan-pelan memandangi masing-masing wajah pengepungnya.
Ketiga perempuan itu pun segera membentuk kesatuan yang saling memunggungi dan menghadap ketiga arah. Pedang Kusuma Sumi di cabut pelan-pelan dari punggungnya. Demikian pula pedang Pita Biru.
"Merekalah murid asli Jejak Iblis, nona-nona! Merekalah yang mempunyai dendam asli kepada Rindu Malam!" seru Dewa Rayu yang ternyata sudah bertengger diatas pohon, duduk santai bagai penonton terhormat.
Ketiga perempuan cantik itu sudah tidak pedulikan keberadaan si tampan anak Raja. Rindu Malam dan ketiga anak buahnya sudah mulai pusatkan perhatian kepada gerakan orang-orang Perguruan Pasir Tawu itu.
"Serang mereka!" seru salah seorang pengepungnya. Maka yang lainnya pun segera maju menyerang tiga wanita cantik dalam lingkaran maut itu.
"Hiaaaah...!"
Trangg, trangg, bruss... Trangg, bruss, Plookk, plaakk...! Trang, trang...!
"Aaaah...!"
"Aaaah...!"
"Wadaw...!"
Suaranya ramai sekali. Seru dan gaduh pertarungan itu tak bisa dinikmati, tak enak ditonton karena orang-orang Perguruan Pasir Tawu membabi buta dalam menyerang. Kecepatan gerak tiga wanita cantik itu semakin sulit diperhatikan keindahan silatnya. Mereka sempat kebingungan menghadapi sepuluh orang Pasir Tawu yang pandai menangkis serangan dan pandai berkelit. Orang-orang itu licin bagaikan belut dan lincah bagaikan cacing kepanasan.
Karena sudah terlalu lama, Rindu Malam dan dua anak buahnya merasa tak ada yang bisa melukai orang Pasir Tawu, maka Rindu Malam pun berseru, "Topan Angkasa!"
Rupanya itu sebuah perintah bagi kedua anak buahnya untuk menggunakan jurus 'Topan Angkasa'. Maka ketiga perempuan muda yang cantik-cantik itu pun segera memutar tubuh dengan cepat. Wuurtt...! Putarannya begitu cepat, menghadirkan angin kencang yang menghentakkan tubuh-tubuh lawan yang ingin menyerang. Kencangnya putaran tubuh membuat ketiga wanita cantik itu seperti tiga puting angin beliung yang ingin menyapu alam sekitarnya.
Dewa Rayu hanya bisa terbengong diatas pohon. Matanya mendelik namun tak bisa melihat kecantikan tiga wanita itu. Bahkan dia terombang ambing nyaris jatuh kalau tidak segera memeluk dahan yang di dudukinya. Karena pepohonan berguncang semua. Daun-daun terhempas rusak oleh deru angin kencang dari tiga putaran angin. Dahan-dahan kecil ada yang patah beberapa pohon, ranting-ranting berserakan. Tentu saja banyak daun yang berterbangan terutama yang tumbuh sebesar telapak tangan.
Pemuda tampan itu semakin tercengang saat melihat putaran tiga wanita cantik yang mirip tiga putaran angin itu bergerak naik bersamaan, tapi segera bergerak kearah timur dan ketiganya hinggap di pohon. Dengan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, ketiga perempuan itu berada di pucuk pohon dalam keadaan berdiri tanpa pusing sedikit pun. Jika tanpa Ilmu peringan tubuh, tentunya mereka akan jatuh berdiri di atas daun-daun pohon setipis itu.
Dari tempat mereka bertiga berdiri, tampak orang-orang Pasir Tawu yang tunggang langgang terpental kesana sini itu sedang menggeliat untuk bangkit kembali. Beberapa suara erangan kesakitan terdengar silih berganti. Maki-makian pun berhamburan dari mulut mereka. Ada yang sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang bocor karena membentur pohon, ada yang hanya bengong bagaikan kehilangan jati dirinya. Ada masih nungging memegangi akar pohon tanpa menyadari bahwa hembusan angin kencang itu sudah berhenti sejak tadi, Orang yang nungging itu segera ditendang pantatnya oleh teman sendiri,
"Auuw...! Ampun dewa...! Itu pantat saya, bukan kelapa!" teriak orang itu.
"Hei, bangun! Sudah tak ada badai lagi, Tolol!"
"Apa, sudah tak ada?!" orang itu clingak-clinguk bingung.
Tiga wanita cantik di atas pohon tertawa tanpa Suara, Pedang mereka sudah dimasukkan kesarung pedang. Rindu Malam berkata kepada anak buahnya dengan suara sangat pelan, seperti orang berbisik, "Jangan serang mereka dengan pedang jika dari sini, tapi serang dengan pukulan bersinar saja!"
Orang-orang Pasir Tawu sibuk mencari kemana hilangnya tiga wanita cantik lawan mereka tadi. Mereka bergerombol ditengah sambil saking berbicara. Suaranya mereka tak jelas, karena berisik bagai lebah. Keadaan menggerombol itu di manfaatkan oleh Rindu Malam untuk lepaskan pukulan kearah mereka. Tetapi niat itu tertunda, karena kemunculan sesosok bayangan yang datang dengan kelebatan gerak yang cukup cepat.
Semak berduri di seberang sana diterabas oleh mereka. Orang-orang Pasir Tawu sangat terkejut dan langsung pasang kuda-kuda, karena mereka sangka yang datang adalah tiga wanita cantik lawan mereka itu. Gerakan siap serang membuat tamu-tamu itu pun mulai pasang kewaspadaan walau masih tetap berdiri dengan tenang.
“Apakah kau kenal dengan lelaki berkumis tebal dan kelihatan gagah serta jantan itu?" bisik Pita Biru Kapada Rindu Malam.
"Ya. Setahu ku, dialah yang berjuluk Raja Tumbal!"
Benar kata Rindu Malam itu. Lelaki yang berkumis tebal dan tampak gagah serta jantan itu berjuluk Raja Tumbal, penguasa Lumpur Maut. Rupanya kali ini Raja Tumbal terpaksa turun tangan sendiri, terutama setelah kematian beberapa orang pilihannya ditangan Pendekar Mabuk atau yang lain.
Raja Tumbal berpakaian serba merah. Bahan pakaiannya anti kumal. Sekalipun tidak mengkilap seperti bahan pakaian yang dikenakan Dewa Rayu, tapi jelas bahan pakaian Raja Tumbal berharga mahal. Di punggung dan depan dada terdapat sulaman benang hitam berbentuk gambar tengkorak ditusuk seruling dari atas sampai bawah. Itu menandakan ia adalah tokoh maut yang bersenjatakan Seruling Malaikat. Tampak seruling itu ada dipinggang kanannya.
Seruling itu panjangnya hampir satu depa, terbuat dari logam emas berukiran dihiasai manik-manik batuan warna-warni. Indah sekali. Bagian ujung yang ditiup itu berukir hiasan wajah bidadari berambut panjang. Berarti seruling itu harus ditiup dalam keadaan tegak lurus, bukan miring. Seruling tersebut hanya punya empat lubang nada.
"Seruling Malaikat itu ada padanya!" gumam Rindu Malam. "Jika Ia bermaksud menuntut balas atas kematian orangnya kepada kita, itu sangat berbahaya! Kita tak akan menang melawan Serullng Malaikat itu."
"Tapi rupanya dia punya urusan sendiri dengan orang-orang Pasir Tawu! Coba dengar percakapannya dengan para pengepung kita tadi!" bisik Kusuma Sumi.
Rupanya Dewa Rayu punya pikiran seperti Rindu Malam. Tak akan bisa menang melawan Raja Tumbal yang bersenjatakan Seruling Malaikat itu, Karenanya, Dewa Rayu tidak segera turut membantu orang-orang Pasir Tawu, melainkan justru berpindah tempat persembunylan yang lebih aman lagi. la pun membatin,
"Kalau tak salah cir-ciri yang kuketahui dari Guru, orang berbaju merah itulah yang bernama Raja Tumbal. Hem... Benar! Dia menyelipkan Seruling emas dipinggang kanannya. Seruling itu pasti Seruling Malaikat. Celaka! Aku tak mungkin unggul jika melawan Seruling Malaikat. Bisa pecah ragaku jika getaran suaranya ditujukan kepadaku."
Terdengar pula suara Raja Tumbal yang tampak belum seberapa tua namun sebenarnya usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu. "Kalian orang-orang Pasir Tawu! Kalian pasti murid-murid Jejak Iblis yang pernah membantai murid-muridku pada masa beberapa waktu yang silam. Sekarang saatnya aku membalaskan kematian murid-muddku dengan nyawa-nyawa kalian!"
Salah seorang dari orang Pasir Tawu itu ada yang berseru keras, menampakkan keberaniannya, membuat semangat bertarung yang lain tumbuh membara, "Raja Tumbal! Tolong perhitungkan dulu nyawamu! Apakah sudah tidak terpakai atau masih kau gunakan untuk keperluan hidupmu. Jika memang sudah tidak terpakai, kami siap merajang habis tubuhmu dan membuang nyawamu ke jamban!"
Kata-kata itu sangat mendidihkan darah Raja Tumbal, yang mempunyai ilmu awet muda itu, sehingga ia tampak masih berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya yang beralis tebal mulai tampak memerah karena ucapan orang tadi. Bahkan kedua orang di kanan-kirinya Gali Sampluk dan Karto Serong bergegas mencabut golok lebarnya yang terselip di perut mereka. Tapi gerakan itu tertahan oleh rentangan tangan Raja Tumbal, sehingga mereka hanya sempat menggenggam gagang senjata masing-masing.
Sedangkan pelayan Raja Tumbal yang bernama Landak Boreh hanya diam saja dibelakang, matanya memandang ke sana-sini dengan waspada, karena tugasnya adalah melindungi Raja Tumbal dari serangan-serangan yang bersifat membokong dari belakang, Tapi tangan Landak Boreh pegangi gagang goloknya juga. Sewaktu-waktu siap dicabut.
"Siapa yang sesumbar tadi? Maju ke depan!" kata Raja Tumbal.
Yang lain menyahut, "Majulah sendiri kalau kau berani!"
"Bangsat!" geramnya lirih sekali. Dan tiba-tiba tubuh Raja Tumbal melesat mundur, bersalto dua kali melintasi kepala Landak Boreh yang berambut lurus dan tegak mirip kawat itu. Wuutt...! Jleg...! Ia menapak di tanah, lalu tangannya mengambil seruling dari pinggang kanannya. Seettt...!
"Jangan gunakan kekuatanmu untuk masuk ke Sumur Tembus Jagat! Kekuatan itu akan hilang jika kau menggunakannya masuk ke sana. Carilah cara lain jika ingin masuk ke Sumur Tembus Jagat."
Suara itulah yang membuat Suto Sinting si Pendekar Mabuk tak berani nekat menggunakan titik merah dikeningnya untuk masuk ke Sumur Tembus Jagat. Karenanya ditempuhlah semadi 'Lepas Jasad' yang akhirnya gagal pula, dan membuatnya pingsan. Tentu saja Suto tidak mengetahui kalau dirinya sedang dicari-cari Rindu Malam. Yang diketahui adalah panggilan dari Ratu Asmaradani melalui semadinya, namun Suto tidak bisa menjawab. Ketiga utusan dari Ringgit Kencana saling bertemu pada hari keempat. Mereka sama-sama merasa kecewa karena tidak menemukan Pendekar Mabuk. Namun hal itu bukanlah kegagalan bagi Rindu Malam.
"Ada seseorang pembawa tuak yang berhasil ketemu dengan ku. Tetapi seteiah kupaksa berkali-kal! Ia tetap tidak mau mengaku sebagai Suto. la mengaku sebagai Hanomsuka," kata Pita Biru.
"Apakah dia tampan?" tanya Rindu Malam.
“Tidak begitu tampan. Usianya berkisar lima puluh tahun."
“Goblok!" sentak Rindu Malam sedikit geli. "Suto usianya masih muda. Tidak setua itu."
Kesuma Sumi menimpali, "Sayang sekali sewaktu Suto Sinting ada di tempat kita, aku dan Pita Biru sedang menjalankan tugas ke Pulau Gayung, sehingga aku dan Pita Biru tidak melihat seperti apa ketampannya.”
"Sudah, sudah..., jangan bicara soal ketampanannya. Nanti kalian terkulai lemas membayangkannya!" sergah Rindu Malam. "Sebaiknya kita pergi temui Sumbaruni di pantai semberani!"
"Apakah Sumbaruni alias Pelangi Sutera itu mengenal Pendekar Mabuk?!"
Rindu Malam menjawab dengan mulut runcing, "Bukan hanya kenal, tapi juga jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk!"
Kesuma Sumi menyahut. "Kalau begitu, ku rasa Pendekar tampan itu sedang terlena dalam pelukan Sumbaruni!?"
Rindu Malam tarik napas dalam-dalam, karena masih ada sisa kecemburuan yang bikin dia deg-deg-an. Betapa pun juga ia harus bisa sisa kecemburuan itu karena takut melanggar peringatan dari ratunya.
"Jangan bayangkan dia ada dalam pelukan Sumbaruni. Bayangkan saja dia ada dalam kesulitan, misalkan separo badannya sudah masuk mulut singa, tapi kepalanya masih diluar mulut!" kata bhatin Rindu Malam, dan benak pun membayangkan hal itu, sehingga sisa kerinduan itu cepat mereda lalu lenyap. Kini Rindu Malam berkata kepada Kusuma Sumi, "Kau tahu Pantai Semberani?"
"Ya, tahu!"
"Pergilah ke sana melalui jalan hutan bersama Pita Biru, aku akan melalui jalan pantai. Kita bertemu di kaki Bukit Semberani sebelum matahari tenggelam."
“Baik. Tapi bagaimana jika aku dan Pita Biru tersesat?"
Pita Biru menyahut "Tak mungkin. Kecuali kami terseeat di mulut singa!"
“Jangan berpikiran yang bukan-bukan!" hardik Rindu Malam, karena ia segera ingat bayangannya tentang Suto di mulut singa. "Sebaiknya kerjakan saja perintahku itu mulai sekarang juga!"
"Bagaimana jika kita bertemu dengan orang Lumpur Maut?"
"Cegah mereka agar tidak bikin perselisihan dengan kita, Tapi jika mereka nekat dan memaksa, apa boleh buat. Lawan mereka dan jangan mau mati karena takut mereka! Kau akan menyesal jika mati sebelum melihat ketampanan Suto."
Kusuma Sumi dan Pita Biru tersenyum. Namun senyum itu tak bisa berkepanjangan karena tiba-tiba sebuah benda berkliat dengan ekor merah melesat kearah Rindu Malam melewati depan mata Pita Biru.
wuutt!
Kalau saja Pita Biru tidak mempunyai gerak naluri yang cukup peka, maka ia akan menjadi sasaran benda berkilat itu. Untunglah Pita Biru cepat sentakkan kepala mundur hingga badannya melengkung, maka benda tak di undang itu melesat kearah Rindu Malam, dan secepatnya tangan Rindu Malam berkelebat ke depan sambil melompat ke samping.
Wuuttt...! Taabb...!
Sebilah pisau kecil terjepit disela jemari Rindu Malam. Pisau bergagang hitam dengan hiasan benang-benang merah di ujung gagangnya itu segera dilemparkan oleh Rindu Malam ke arah semak-semak di balik dua pohon berjajar.
Wesss...! Zraakk...!
Trangng...!
Terdengar pisau itu ditangkis dengan benda tajam sejenis pedang, Tapi mungkinkah memang pedang? Siapa tahu piring logam atau yang lainnya? Dan untuk mengetahui lebih jelas, Kusuma Sumi segera lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa sinar itu. Tangan kanan disentakkan ke depan dan gelombang panas melesat menghantam semak-semak tersebut.
Gusraakk...! Brsass...!
Seseorang melompat keluar dari kerimbunan semak. Jleeg...! Ia berdiri dengan sigap berhadapan dengan ketiga utusan Ringgit Kencana. Orang itu ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya lumayan ganteng. Kumisnya tipis dan menggoda hati wanita. Hidungnya mancung, matanya jeli. Pakaiannya dari kain mengkilap, salin ungu. Rambutnya yang agak panjang itu bergelombang, diikat dengan lempengan logam perak berhias batu-batuan warna merah dan hijau.
Sebilah pedang pendek di tangan kanan, tampak habis digunakan untuk menangkis pisau terbangnya tadi. Kini pedang itu dimasukkan kembali ke sarungnya yang terbuat dari logam Kuningan.
Terkesiap mata tiga utusan dari Ringgit Kencana itu. Untuk sekejap mereka bertiga diam tak bergerak bagai memandang sesuatu yang amat mendebarkan hati. Bahkan sampai pemuda itu melangkah dengan gagah dan berhenti di depan mereka dalam jarak empat langkah, ketiga wanita cantik itu masih terbungkam mulutnya, Matanya baru berkedip setelah senyum tampan itu berubah menjadi batuk kecil, sengaja menggugah kebisuan.
"Mengapa kau menyerangku?!" tegur Rindu Malam sengaja ketuskan nada.
"Melihat kecantikan kalian bertiga, aku curiga, jangan-jangan kalian adalah orang Ringgit Kencana."
“Kecurigaanmu tak salah! Lalu apa yang kau inginkan dari kami setelah kau tahu kami orang Ringgit Kencana?!"
Senyum pemuda itu masih menghiasi wajah berkulit kuning langsat dan menawan. la melangkah ke samping satu kali dengan mata melirik, kemudian berhenti dalam posisi berhadapan lurus dengan Rindu Malam.
“Orang Ringgit Kencana terkenal cantik-cantik dan ilmunya tinngg-tinggi. Maka kucoba dengan lemparan pisau terbangku, ternyata kau bisa mengembalikan dengan baik. Hampir saja pisau itu menggores leherku."
"Ooh...?!" pekik Pita Biru dengan cemas bagai tak sadar telah menunjukkan rasa tak rela jika pisau tadi benar-benar menggoreskan leher sang pemuda. Pita Biru cepat-cepat alihkan pandangan dengan malu, karena Kesuma Sumi melirik dengan cemberut. Pita Biru sampai salah tingkah, lalu ambil tempat dibelakang Kusuma Sumi. Mata pemuda itu masih mengawasinya. Pita Biru kian sembunyikan wajahnya di balik punggung Kusuma Sumi.
“Siapa kau sebenarnya?" tanya Rindu Malam dengan menahan hati berdebar-debar.
"Aku yang berjuluk Dewa Rayu!"
"Dewa Rayu?!" gumam lirih Kusuma Sumi yang tak berbarengan dengan gumam Pita Biru. Akibatnya Rindu Malam melirik ke arah mereka. Keduanya sama-sama malu ditahan karena gumaman tadi bernada kagum.
“Namaku sebenarnya adalah Aryawinuda, Putra Raja Pengging yang dibuang oleh Ibu tiriku sejak usia delapan tahun."
“Kasihan!" desah Pita Biru. Karena jaraknya amat dekat dengan Kusuma Sumi, maka tulang kakinya terkena tendangan kecil Kusuma Sumi yang menyuruhnya diam dengan isyarat kaki. Pita Biru menggerutu sambil mendesis sakit.
Dewa Rayu kembali berkata dengan Suaranya yang berkharisma, “Aku dirawat oleh Paman Patih Janursulung, dan kemudian minggat dari Istana bersamaku dan akhirnya menjadi seorang resi di Bukit Karangapus"
Tiga wajah cantik bungkam, bagaikan terkesima oleh cerita si tampan bermata bening itu. Rindu Malam tetap bersikap tenang, seakan santai sekali, padahal hatinya bergolak memuji ketampanan tersebut sebagai pelampiasan rasa cinta yang tertunda kepada Pendekar Mabuk.
Setelah memandangi ketiga wajah secara bergantian, Dewa Rayu kembali perdengarkan suaranya yang lembut dan merdu. "Ki Patih Janursulung mempunyai kakak bernama Dwipajati. Selama ini aku memang murid Ki Janursulung, tapi juga disarankan berguru kepada Paman Dwipajati. Banyak Ilmu yang kuperolah dari Paman Dwlpajati. Walaupun kudapatkan secara tidak langsung. Bagaimanapun juga aku adalah murid Ki Janursulung, tapi punya hutang budi kepada Paman Dwlpajati. Karena sejak guruku itu meninggal, aku ikut dengan Paman Dwipajati selama dua tahun menetap di perguruannya. Aku membantu melatih murid-muridnya. Akhirnya paman Dwipajat meninggal karena suatu pertarungan belum lama ini. Kami semua berkabung, aku pun pantas menuntut balas atas kematian Paman Dwipajati. Lalu ku cari kabar siapa pembunuhnya dan ketemukan kabar itu. Paman Dwipajati dibunuh oleh seorang gadis cantik yang menawan hati dari negeri Ringgit Kencana yang bernama Rindu Malam!"
Tersentak hati Rindu Malam mendengar kata-kata terakhir itu. Matanya tak sadar terbelalak. Sikap santainya menjadi tegang. Kedua anak buahnya saling menatapnya dengan sedikit tegang. Rindu Malam segera menyanggah tuduhan. “Aku tidak pernah membunuh lawan yang bernama Dwwipajati!"
"Barangkali kau yang bernama Rindu Malam?"
"Benar!" jawab Rindu Malam tegas.
"Kalau begitu kau yang membunuh Paman Dwipajati alias si Jejak Iblis dari Perguruan Pasir Tawu!"
Sekali lagi Rindu Malam terkejut. Karena ia tak menyangka bahwa Jejak Ibis yang dibunuhnya itu bernama Dwipajati, dan pemuda itu ada di plhak Jejak Iblis. Rindu Malam teringat saat bertarung melawan Jejak Iblis demi membela Pendekar Mabuk, (Baca serlal Pendekar Mabuk dalam episode Keris Setan Kobra).
Tindakan itu tidak diingkari oleh Rindu Malam, sebab pada akhirnya, Ia ada di pihak yang benar, menyelamatkan Suto dari tuduhan mencuri Keris Setan Kobra dan dari keganasan Jejak Iblis. Maka dengan berani Rindu Malam akhirnya berkata, "Memang aku yang membunuh Jejak Iblis. Sekarang kau ingin menuntut balas?"
"Dengan sanngat terpaksa, Nona cantik. Karena aku punya hutang budi pada paman Dwipajati. Jadi aku harus punya sikap bela pati terhadapnya!" kata Dewa Rayu berkata kelem dan tersenyum menawan, seakan tidak ada dendam dan bermusuhan dengan Rindu Malam.
“Kubereskan dia!" kata Kusuma Sumi yang mulai berwajah sinis.
"Jangan! Ini urusan pribadiku. Kuselesaikan sendiri secara pribadi juga!" cegah Rindu Malam. Lalu ia memberi isyarat kepada kedua anak buahnya agar mundur dan memberi tempat untuk pertarungan.
Pita Buru sempat berbisik kepada Rindu Malam. "Jangan sampai terluka kulitnya. Syukur bisa tidak kehilangan nyawa!"
Rindu Malam menatap tajam dengan wajah geram. Pita Biru tahu bisikan itu membuat Rindu Malam berang. Ia buru-buru menyingkir sebelum kena tampar kemarahan Rindu Malam.
Kini Dewa Rayu berhadapan satu lawan satu dengan Rindu Malam. Penampilannya masih tenang-tenang saja. Bahkan senyumnya masih menghiasi wajah tampan dan membuat debar-debar indah di hati Pita Biru.
"Kita bermain satu jurus saja," kata Dewa Rayu. Jika tidak ada yang tumbang, berarti kita sama kuat. Jika kau tidak bisa membunuhku, berarti aku yang akan membunuhmu. Cukup satu jurus saja. Setuju?"
"Aku hanya melayani tantanganmu, Dewa Rayu!"
“Baik. Bersiaplah untuk mati dengan cepat, Rindu Malam!" sambil berkata begitu, Dewa Racun mencabut pedangnya. Srang...! Rindu Malam pun mencabut pedang dari punggung. Sraak...!
Mereka mulai melangkah saling membentuk lingkaran. Rindu Malam menggenggam pedangnya dengan kedua tangan, berdiri tegak disamping gumpalan dada montoknya sebelah kanan. Dewa Rayu memainkan pedang dengan satu tangan dan gerakan-gerakan dimainkan sangat lamban. Seakan ia sedang memaksa tangannya untuk menebas leher si cantik dan merobek dada yang sekal itu.
"Heeaat...!" Dewa Rayu mengawali serangannya dengan melompat di udara dalam gerakan menerjang Rindu Malam. Pedangnya siap ditebaskan ke berbagai arah yang penting mengenai tubuh lawan. Tapi Rindu Malam sebagai jago pedang nomor tiga di Ringgit Kencana itu juga sentakkan kaki ketanah dan tubuhnya melayang maju menerjang lawan. Maka beradulah kecepatan menggunakan pedang dari dua orang itu di udara.
Trangg, Trangg, Trangg...! Wuutt! Wuutt! Trangg...! Breett...!
Selama perpaduan pedang di udara, percikan bunga api terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan pertarungan itu. Tapi kecepatan gerak pedang keduanya tak bisa dilihat jelas oleh setiap orang. Hanya mereka yang terbiasa melihat kecepatan gerak pedang seperti itu saja yang bisa menyaksikannya, seperti Kusuma Sumi dan Pita Biru.
Dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat saat kaki mendarat. Tapi keduanya masih tegak berdiri dengan kaki merenggang kokoh. Rlndu Malam menggenggam pedangnya dengan satu tangan, tubuhnya tetap tanpa luka dan cidera apapun. Tapi Dewa Rayu yang juga tanpa luka sedikit pun itu sempat merasa malu karena sabuk kain pengikat celana dan tali celananya putus oleh sabetan pedang Rindu Malam. Celana itu sempat melorot sedikit ketika ia menapakkan kaki ditanah, lalu buru-buru dicekal dengan tangan kirinya.
"Ih...!" Dewa Rayu celingukan, malu sekali. Suara yang mengikik datang dari arah Pita Biru dan Kusuma Sumi. Kedua gadis itu buang muka, karena tak enak hati harus memandang celana itu lepas sampai kebawah dan melihat apa yang tersembunyi dibalik celana itu. Padahal celana tak sempat melorot sampai kebawah. Disebelahnya, Rindu Malam masih tegak berdiri memandang tajam pada lawannya yang kebingungan.
“Kelihatan apa tidak?" bisik Pita Biru.
"Tidak!" jawab Kusuma Sumi.
“Sial! Rindu Malam bodoh!" sambil Pita Biru mengikik.
Sementara itu, Dewa Rayu cepat betulkan celananya, menggulung bagian talinya hingga sedikit kencang walau tak serapi semula. Kemudian tangan kirinya di masukkan ke mulut dan Ia bersuit panjang satu kali. Suiiittt...! Tubuhnya pun melompat ke atas, bersalto ke belakang dua kali. Gerakan itu tentu saja menimbulkan perasaan heran dihati Rindu Malam.
Tapi keheranan tersebut segera dipahami, karena kejap berikutnya setelah suitan itu hilang berlompatanlah beberapa sosok manusia dari balik kerimbunan semak disana sini. Rindu Malam segera sadar bahwa ternyata Ia dan kedua anak buahnya itu sudah terkepung sejak tadi.
"Kau curang, Dewa Rayu!" teriak Rindu Malam.
Tapi tak dijawab karena di bawah pohon seberang sana, Dewa Rayu sedang sibuk membetulkan tali celana. Menggantinya dengan akar pohon yang lemas, mengikatnya kuat-kuat, lalu menghempaskan napas dengan lega. Yakin bahwa celananya tak akan melorot segingga 'jimatnya' tak akan dilirik seenaknya oleh ke tiga perempuan cantik itu.
Kusuma Sumi dan Pita Biru juga terperangah mulai menyadari bahwa mereka sudah terkepung oleh orang bawaan Dewa Rayu. Jumlah mereka yang menngepung ada sepuluh orang. Tentu saja mereka adalah murid-murid perguruan Pasir Tawu yang ingln ikut balas dendam atas kematian gurunya ditangan Rindu Malam. Karena itu mereka menggenggam senjata masing dan berwajah bengis, seakan sangat bernafsu untuk membunuh Rindu Malam.
Kusuma Sumi dan Pita Biru segera lompat ke depan beberapa kali dan bergabung dengan Rindu Malam. Kusuma Sumi sempat berkata, "Urusan pribadiimu sekarang sudah menjadi urusan perguruan. Jangan menolak uluran tangan kami, Rindu Malam!"
"Lakukan apa yang kalian anggap layak dilakukan dalam keadaan seperti ini!" kata Rindu Malam dengan badan berputar pelan-pelan memandangi masing-masing wajah pengepungnya.
Ketiga perempuan itu pun segera membentuk kesatuan yang saling memunggungi dan menghadap ketiga arah. Pedang Kusuma Sumi di cabut pelan-pelan dari punggungnya. Demikian pula pedang Pita Biru.
"Merekalah murid asli Jejak Iblis, nona-nona! Merekalah yang mempunyai dendam asli kepada Rindu Malam!" seru Dewa Rayu yang ternyata sudah bertengger diatas pohon, duduk santai bagai penonton terhormat.
Ketiga perempuan cantik itu sudah tidak pedulikan keberadaan si tampan anak Raja. Rindu Malam dan ketiga anak buahnya sudah mulai pusatkan perhatian kepada gerakan orang-orang Perguruan Pasir Tawu itu.
"Serang mereka!" seru salah seorang pengepungnya. Maka yang lainnya pun segera maju menyerang tiga wanita cantik dalam lingkaran maut itu.
"Hiaaaah...!"
Trangg, trangg, bruss... Trangg, bruss, Plookk, plaakk...! Trang, trang...!
"Aaaah...!"
"Aaaah...!"
"Wadaw...!"
Suaranya ramai sekali. Seru dan gaduh pertarungan itu tak bisa dinikmati, tak enak ditonton karena orang-orang Perguruan Pasir Tawu membabi buta dalam menyerang. Kecepatan gerak tiga wanita cantik itu semakin sulit diperhatikan keindahan silatnya. Mereka sempat kebingungan menghadapi sepuluh orang Pasir Tawu yang pandai menangkis serangan dan pandai berkelit. Orang-orang itu licin bagaikan belut dan lincah bagaikan cacing kepanasan.
Karena sudah terlalu lama, Rindu Malam dan dua anak buahnya merasa tak ada yang bisa melukai orang Pasir Tawu, maka Rindu Malam pun berseru, "Topan Angkasa!"
Rupanya itu sebuah perintah bagi kedua anak buahnya untuk menggunakan jurus 'Topan Angkasa'. Maka ketiga perempuan muda yang cantik-cantik itu pun segera memutar tubuh dengan cepat. Wuurtt...! Putarannya begitu cepat, menghadirkan angin kencang yang menghentakkan tubuh-tubuh lawan yang ingin menyerang. Kencangnya putaran tubuh membuat ketiga wanita cantik itu seperti tiga puting angin beliung yang ingin menyapu alam sekitarnya.
Dewa Rayu hanya bisa terbengong diatas pohon. Matanya mendelik namun tak bisa melihat kecantikan tiga wanita itu. Bahkan dia terombang ambing nyaris jatuh kalau tidak segera memeluk dahan yang di dudukinya. Karena pepohonan berguncang semua. Daun-daun terhempas rusak oleh deru angin kencang dari tiga putaran angin. Dahan-dahan kecil ada yang patah beberapa pohon, ranting-ranting berserakan. Tentu saja banyak daun yang berterbangan terutama yang tumbuh sebesar telapak tangan.
Pemuda tampan itu semakin tercengang saat melihat putaran tiga wanita cantik yang mirip tiga putaran angin itu bergerak naik bersamaan, tapi segera bergerak kearah timur dan ketiganya hinggap di pohon. Dengan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, ketiga perempuan itu berada di pucuk pohon dalam keadaan berdiri tanpa pusing sedikit pun. Jika tanpa Ilmu peringan tubuh, tentunya mereka akan jatuh berdiri di atas daun-daun pohon setipis itu.
Dari tempat mereka bertiga berdiri, tampak orang-orang Pasir Tawu yang tunggang langgang terpental kesana sini itu sedang menggeliat untuk bangkit kembali. Beberapa suara erangan kesakitan terdengar silih berganti. Maki-makian pun berhamburan dari mulut mereka. Ada yang sempoyongan sambil memegangi kepalanya yang bocor karena membentur pohon, ada yang hanya bengong bagaikan kehilangan jati dirinya. Ada masih nungging memegangi akar pohon tanpa menyadari bahwa hembusan angin kencang itu sudah berhenti sejak tadi, Orang yang nungging itu segera ditendang pantatnya oleh teman sendiri,
"Auuw...! Ampun dewa...! Itu pantat saya, bukan kelapa!" teriak orang itu.
"Hei, bangun! Sudah tak ada badai lagi, Tolol!"
"Apa, sudah tak ada?!" orang itu clingak-clinguk bingung.
Tiga wanita cantik di atas pohon tertawa tanpa Suara, Pedang mereka sudah dimasukkan kesarung pedang. Rindu Malam berkata kepada anak buahnya dengan suara sangat pelan, seperti orang berbisik, "Jangan serang mereka dengan pedang jika dari sini, tapi serang dengan pukulan bersinar saja!"
Orang-orang Pasir Tawu sibuk mencari kemana hilangnya tiga wanita cantik lawan mereka tadi. Mereka bergerombol ditengah sambil saking berbicara. Suaranya mereka tak jelas, karena berisik bagai lebah. Keadaan menggerombol itu di manfaatkan oleh Rindu Malam untuk lepaskan pukulan kearah mereka. Tetapi niat itu tertunda, karena kemunculan sesosok bayangan yang datang dengan kelebatan gerak yang cukup cepat.
Semak berduri di seberang sana diterabas oleh mereka. Orang-orang Pasir Tawu sangat terkejut dan langsung pasang kuda-kuda, karena mereka sangka yang datang adalah tiga wanita cantik lawan mereka itu. Gerakan siap serang membuat tamu-tamu itu pun mulai pasang kewaspadaan walau masih tetap berdiri dengan tenang.
“Apakah kau kenal dengan lelaki berkumis tebal dan kelihatan gagah serta jantan itu?" bisik Pita Biru Kapada Rindu Malam.
"Ya. Setahu ku, dialah yang berjuluk Raja Tumbal!"
Benar kata Rindu Malam itu. Lelaki yang berkumis tebal dan tampak gagah serta jantan itu berjuluk Raja Tumbal, penguasa Lumpur Maut. Rupanya kali ini Raja Tumbal terpaksa turun tangan sendiri, terutama setelah kematian beberapa orang pilihannya ditangan Pendekar Mabuk atau yang lain.
Raja Tumbal berpakaian serba merah. Bahan pakaiannya anti kumal. Sekalipun tidak mengkilap seperti bahan pakaian yang dikenakan Dewa Rayu, tapi jelas bahan pakaian Raja Tumbal berharga mahal. Di punggung dan depan dada terdapat sulaman benang hitam berbentuk gambar tengkorak ditusuk seruling dari atas sampai bawah. Itu menandakan ia adalah tokoh maut yang bersenjatakan Seruling Malaikat. Tampak seruling itu ada dipinggang kanannya.
Seruling itu panjangnya hampir satu depa, terbuat dari logam emas berukiran dihiasai manik-manik batuan warna-warni. Indah sekali. Bagian ujung yang ditiup itu berukir hiasan wajah bidadari berambut panjang. Berarti seruling itu harus ditiup dalam keadaan tegak lurus, bukan miring. Seruling tersebut hanya punya empat lubang nada.
"Seruling Malaikat itu ada padanya!" gumam Rindu Malam. "Jika Ia bermaksud menuntut balas atas kematian orangnya kepada kita, itu sangat berbahaya! Kita tak akan menang melawan Serullng Malaikat itu."
"Tapi rupanya dia punya urusan sendiri dengan orang-orang Pasir Tawu! Coba dengar percakapannya dengan para pengepung kita tadi!" bisik Kusuma Sumi.
Rupanya Dewa Rayu punya pikiran seperti Rindu Malam. Tak akan bisa menang melawan Raja Tumbal yang bersenjatakan Seruling Malaikat itu, Karenanya, Dewa Rayu tidak segera turut membantu orang-orang Pasir Tawu, melainkan justru berpindah tempat persembunylan yang lebih aman lagi. la pun membatin,
"Kalau tak salah cir-ciri yang kuketahui dari Guru, orang berbaju merah itulah yang bernama Raja Tumbal. Hem... Benar! Dia menyelipkan Seruling emas dipinggang kanannya. Seruling itu pasti Seruling Malaikat. Celaka! Aku tak mungkin unggul jika melawan Seruling Malaikat. Bisa pecah ragaku jika getaran suaranya ditujukan kepadaku."
Terdengar pula suara Raja Tumbal yang tampak belum seberapa tua namun sebenarnya usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun itu. "Kalian orang-orang Pasir Tawu! Kalian pasti murid-murid Jejak Iblis yang pernah membantai murid-muridku pada masa beberapa waktu yang silam. Sekarang saatnya aku membalaskan kematian murid-muddku dengan nyawa-nyawa kalian!"
Salah seorang dari orang Pasir Tawu itu ada yang berseru keras, menampakkan keberaniannya, membuat semangat bertarung yang lain tumbuh membara, "Raja Tumbal! Tolong perhitungkan dulu nyawamu! Apakah sudah tidak terpakai atau masih kau gunakan untuk keperluan hidupmu. Jika memang sudah tidak terpakai, kami siap merajang habis tubuhmu dan membuang nyawamu ke jamban!"
Kata-kata itu sangat mendidihkan darah Raja Tumbal, yang mempunyai ilmu awet muda itu, sehingga ia tampak masih berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya yang beralis tebal mulai tampak memerah karena ucapan orang tadi. Bahkan kedua orang di kanan-kirinya Gali Sampluk dan Karto Serong bergegas mencabut golok lebarnya yang terselip di perut mereka. Tapi gerakan itu tertahan oleh rentangan tangan Raja Tumbal, sehingga mereka hanya sempat menggenggam gagang senjata masing-masing.
Sedangkan pelayan Raja Tumbal yang bernama Landak Boreh hanya diam saja dibelakang, matanya memandang ke sana-sini dengan waspada, karena tugasnya adalah melindungi Raja Tumbal dari serangan-serangan yang bersifat membokong dari belakang, Tapi tangan Landak Boreh pegangi gagang goloknya juga. Sewaktu-waktu siap dicabut.
"Siapa yang sesumbar tadi? Maju ke depan!" kata Raja Tumbal.
Yang lain menyahut, "Majulah sendiri kalau kau berani!"
"Bangsat!" geramnya lirih sekali. Dan tiba-tiba tubuh Raja Tumbal melesat mundur, bersalto dua kali melintasi kepala Landak Boreh yang berambut lurus dan tegak mirip kawat itu. Wuutt...! Jleg...! Ia menapak di tanah, lalu tangannya mengambil seruling dari pinggang kanannya. Seettt...!
* * *
TIGA
GENAP lima hari Suto Sinting sadar dari pingsannya, memar ditubuhnya karena gagal lakukan semadi 'Lepas Jasad" itu pun sembuh dengan sendiri.
Saat itu terjadi percakapan antara Ki Gendeng Sekarat dengan Resi Wulung Gading. Angon Luwak membantu Sukat membersihkan taman, sedangkan Pendeta Lima dan Pendeta Jantung Dewa sudah pergi meninggalkan pondok Resi Wulung Gading, kembali ke Biara meraka masing-masing sambil menunggu hasil keputusan rapat Suto dengan para tokoh tua itu.
"Sekarang tak ada kesempatan cegah angkara murka si Raja Tumbal dengan gunakan Pedang Kayu Petir!" kata Resi Wulung Gading. "Satu-satunya cara adalah menghadapi Raja Tumbal dan adu kecepatan menyerang. Jangan beri kesempatan Raja Tumbal cabut serulingnya. Sebelum Ia gunakan seruling itu. Harus bisa menumbangkan lebih dulu."
Ki Gendeng Sekarat berkata dalam keadaan tidak tidur. "Bagaimana kalau kupancing dengan pasukan mayat!?"
"Kau akan gunakan pembangkit mayat? Oh, jangan, jangan mengusik mereka yang telah tenang, Ki Gendeng Sekarat!"
"Hanya untuk memancing perhatian Raja Tumbal saja!"
"Dia bukan orang bodoh. Tentunya dia tak akan kena pancingan itu. Bisa-bisa dia akan lekas cabut serulingnya dan kau tak punya kesempatan menyerangnya, Gendeng Sekarat!"
"Sebaiknya," kata Suto menengahi pembicara tersebut, "... biar aku saja yang maju menyerangnya. Akan kugunakan jurus 'Sembur Siluman' untuk melenyapkan Seruling Malaikat dari tangannya!"
Jurus 'Sembur Siluman' adalah jurus yang menggunakan tuak. Dengan satu kali tuak disemburkan dari mulut Suto Sinting, maka benda yang terkena semburan itu akan lenyap tak berbekas. Biasanya digunakan oleh Suto Sinting untuk melenyapkan senjata lawan yang berbahaya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sesat). Benda yang lenyap itu bisa ditimbulkan kembali dengan Ilmu 'Jelma Siluman' yang di miliki oleh Pendekar Mabuk. Jurus-jurus tersebut adalah pemberian dari gurunya Pendekar Mabuk, si Glla Tuak.
Dalam renungannya yang terakhir, Resi Wulung Gading, berkata kepada Suto, "Jurus itu mllik gurumu; Sabawana atau si! Gila Tuak. Kali ini kau berhadapan dengan pusaka yang ampuh, Tanyakan dulu kepada Gila Tuak, apa jurus 'Sembur Siluman' dapat digunakan untuk melenyapkan Seruling Malaikat? Jangan bersifat untung-untungan, Suto. Sebab jika kau belum tahu dengan pasti, apakah jurus itu mampu melenyapkan Seruling Malaikat, maka kau akan menjadi korban yang sia-sia. Sekali tiup seruling itu, tubuhmu akan hancur berkeping-keping. Kalau memang ternyata jurus itu bisa melenyapkan Seruling Malaikat kau memang akan menang. Tapi jika ternyata gagal?!"
Ki Gendeng Sekarat berkata pula kepada Suto Sinting, “Saran itu sangat baik, Tanyakanlah dulu kepada Ki Sabawana, gurumu itu. Pastikan kehebatan jurus 'Sembur Siluman'. Berangkatlah dari sekarang. Aku akan disini bersama Resi Wulung Gading untuk memikirkan bagaimana mengambil pedang itu dari Sumur Tembus Jagat!"
"Baiklah, Ki! Saya akan menghadap Guru lebih dulu!" kata Suto tegas.
"Sebab begini, Suto...!" tambah Resi Wulung Gading. "Jurus 'Sembur Siluman' itu memang hebat. Mampu melenyapkan benda yang kau semburkan. Tapi Pedang Kayu Petir tidak akan bisa kau sembur dan menjadi lenyap seperti benda lainnya. Yang kita pertanyakan adalah, apakah kekuatan sakti Seruling Maialkat itu sama dengan kekuatan sakti Pedang Kayu Petir?!"
"Ya. Aku mengerti persoalannya Eyang Resi. Sebaiknya aku pamit sekarang juga untuk menuju ke Jurang Lindu!"
"Salamku untuk gurumu, Suto; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" kata sang Resi.
Suto Sinting segera tinggalkan Lembah Sunyi, untuk menuju ke Jurang Lindu, tempat kediaman gurunya Gila Tuak. Namun perjalanannya selalu tak pernah mulus. Ada-ada saja yang terjadi di perjalanan sang Pendekar. Hanya saja kali ini Pendekar Mabuk terhenti karena melihat kelebatan Delima Gusti, anak sang Adipati Suralaya. Perempuan cantik itu pun rupanya sempat melihat Suto Sinting, maka arah pelariannya di belokkan menuju Suto.
"Beruntung sekali aku bisa temui kau disini!" kata Delima Gusti dengan wajah merah karena ketegangan.
"Apa yang membuatmu berkata begitu Delima Gusti?!" sambil mata Suto melirik ke sana kesini. Hatinya merasakan kekhawatiran kecil, yaitu kekhawatiran dilihat Angin Betina.
Sebab tampaknya Angin Betina yang sudah terang-terangan menyatakan tertarik kepadanya. Dia pasti akan marah dan cemburu jika melihat Suto bersama dengan Delima Gusti. Karena pada awal pertemuan Suto dengan Angin Betina adalah pada saat Angin Betina bertarung melawan Delima Gusti. Lalu kemunculan Suto saat itu membuat Angin Betina terpukul mundur. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir)
Tapi agaknya di sekeliling tempat itu tak ada manusia, tak ada Angin Betina. Gadis itu pergi begitu saja sejak Suto selesaikan pertarungan dengan ke empat tokoh berilmu tinggi yang mengejar-ngejar Angon Luwak menghendaki Pedang Kayu Petir. Perempuan berambut acak-acakan dan berpakaian ketat hitam itu hanya menepuk-nepuk pundak Suto tak jelas maksudnya, lalu melesat pergi tanpa pamit dan pesan apa pun. Entah dimana sekarang perempuan yang menyatakan diri ingin melindungi Suto dari segala bahaya itu.
Pandangan mata Suto yang menatap sekellilng di artikan lain oleh Delima Gusti, sehingga perempuan yang konon mau dilamar oleh Raja Tumbal dan mendapatkan mas kawinkem Pedang Kayu Petir itu segera berkata dengan menenangkan napasnya, "Tidak ada yang mengikutiku. Jangan khawatir. Perjalananku dari kediaman gurumu tidak diketahui oleh siapa pun!"
"Apakah kau sudah bertemu dengan guruku?"
"Ya, dan kini aku tahu bahwa Pedang Kayu Petir tidak ada di tangan Raja Tumbal. Gurumu menceritakan ciri-ciri pedang yang mirip pedang mainan anak-anak dari kayu itu. Bahkan...," Delima Gusti menelan ludahnya seperti habis terguncangkan hatinya. Suto Sinting hanya memperhatikan dan menunggu kelanjutan ucapan itu dengan dahi sedikit berkerut.
"Bahkan aku baru kemarin memergoki keadaan yang sungguh mengerikan!" lanjut Delima Gusti. "Tadi pun aku melihat kejadian itu lagi yang membuatku punya gagasan untuk temui Resi Wulung Gading untuk meminta pendapat beliau."
"Apa yang kau lihat?"
"Seruling Malaikat itu digunakan oleh Raja Tumbal."
"Oh...?!" Suto Sinfing mulal menegang.
"Kemarin lusa aku melihat pertarungan antara orang-orang Pasir Tawu dengan Raja Tumbal. Sepuluh orang murid Pasir Tawu hancur berkeping-keping begitu mendengar suara seruling maut itu. Anehnya, orang yang ada di dekatnya persis tidak terluka sedikit pun! Padahal menurut perhitunganku, orang yang berdiri di dekat Raja Tumbal jelas mendengar denging seruling lebih tajam dari mereka yang berjarak delapan langkah dari Raja Tumbal."
“Gelombang getaran suara seruling itu bekerja sama dengan mata dan hati peniupnya, Delima Gusti. Biar pun ada didepannya persis, tapi kalau mata hati peniupnya tidak kehendaki kehancuranmu, maka kau tetap hidup dan tak merasa berisik sedikit pun mendengar suara seruling tersebut!"
"Hmm...," Delima Gusti manggut-manggut. "Ditempat itu kulihat orang lain bersembunyi menyaksikan keganasan suara Seruling Malaikat. Orang tersebut tak ku tahu namanya; pemuda tampan berpakaian bagus dan tiga wanita cantik yang berlimu tinggi, berdiri di atas pohon dengan pergunakan ilmu peringan tubuh yang cukup baik."
"Apakah mereka ikut menjadi korban?!"
"Pemuda tampan itu tidak." jawab Delima Gusti.
Tetapi ketika Raja Tumbal sebutkan nama sebuah negeri, ketiga wanita cantik berambut cepak seperti lelaki itu segera melesat pergi dan..."
"Berambut cepak?!" Suto Sinting bergumam karena merasakan kecurigaan dihati. "Apa kata Raja Tumbal yang membuat ketiga perempuan cantik itu pergi?"
"Raja Tumbal menyuruh tiga anak buahnya untuk bergegas mencari orang-orang negeri Ringgit Kencana. Ia jugaku dengar sebutkan nama Rindu Malam!"
"Tak salah dugaan hatiku!" gumam Suto pelan sekali. Ia semakin cemas. "Sewaktu ketiga perempuan cantik itu larikan diri, agaknya Raja Tumbal melihat gerakan mereka. Sehingga Raja Tumbal bersama tiga anak buahnya berlari mengejar tiga perempuan cantik itu."
"Rindu Malam dalam bahaya!" gumam hati Suto Sinting dalam termenungnya. "Ada persoalan apa dengan Raja Tumbal? Mungkinkah karena persoalan itu sehingga dalam semadiku selalu terganggu oleh kemunculan bayangan wajah Ratu Asmaradani? Gawat! Rindu Malam pasti akan hancur jika berhadapan dengan Raja Tumbal."
Delima Gusti bicara lagi bagai tak mau tau renungan Suto. "Tadi pun kulihat lagi Raja Tumbal berhadapan dengan tiga orang Muara Singa...!"
"Hah...?!" Suto kaget sekali, karena ia segera ingat bahwa kepergiannya dari Muara Singa adalah dalam rangka mencari petunjuk bagaimana mengalahkan Seruling Malaikat itu.
“Terus, terus...?! Terus bagaimana? Siapa yang berhadapan dengan Raja Tumbal itu? Lelaki atau perempuan? Mati atau hidup?!" Suto memberondong pertanyaan yang membuat Delima Gusti tarik nafas dalm memendam kejengkelan.
“Aku tak tahu siapa nama-nama mereka, yang jelas mereka adalah tiga lelaki, dan yang satu kudengar dipanggil Dungu Dipo!"
"Ya. Dungu Dipo memang orang Muara Singa." sahut Suto. "Lantas bagaimana nasibnya?"
"Dungu Dipo hancur karena getaran maut suara seruling itu, juga satu orang lagi yang berbadan gemuk, entah siapa namanya!"
Ooh...," Suto mengeluh lirih, hatinya sedih membayangkan kematian Dungu Dipo, murid Ki Palaran itu.
"Satu orang lagi lolos dan melarikan diri dengan kecepatan tinggi." sambung Delima Gusti.
Suto Sinting termenung dengan wajah tertunduk. Ia ingat pesan Palupi, yang kini jadi Ratu di Muara Singa, bahwa kepergian Suto tak bisa lama-lama. Karena Raja Tumbal akan merebut kekuasaan di Muara Singa hanya dalam purnama mendatang. Sedangkan Purnama itu sudah terjadi tadi malam. Berarti sudah saatnya bagi Raja Tumbal untuk lakukan pembantaian di Muara Singa, merebut negeri itu.
"Ku dengar pula percakapan Raja Tumbal dengan anak buahnya yang gemuk, cepat atau lambat mereka harus temukan Pendekar Mabuk untuk bikin perhitungan sendiri atas kematian anak buahnya yang katanya meledak oleh ilmu mautnya itu. Raja Tumbal merasa di tantang adu kesaktian dengan keikutsertaanmu dalam membela dua orang pendeta, entah pendeta siapa namanya?!"
Kembali dalam benak Pendekar Mabuk terbayang saat ia berhadapan dengan dua anak buah Raja Tumbal yang menyerang Pendeta Jantung Dewa dan Pendeta Jari Lima. Ia memang menghancurkan tubuh Rajang Lebong. Sementara Pangkas Caling yang terpotong kakinya dibiarkan lari. Mungkin Pangkas Caling itulah yang memberi laporan kepada Raja Tumbal tentang campur tangan Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir)
"Kemana Raja Tumbal bergerak?!" kata Suto.
"Ke Barat!"
"Celaka! Pasti sasarannya negeri Muara Singa!"
"Kadipatenku juga ada di arah barat. Mungkin saja dia menuju je kadipaten dan menemui ayahku untuk memastikan apakah lamarannya di terima atau tidak. Jika ayah tidak mau lekas-lekas pastikan lamarannya diterima, tentu dia akan bikin ulah di kadipaten. Apalagi jika ayah bersikeras menolak lamarannya sebelum terbukti ada Pedang Kayu Petir itu, pasti dia akan marah dan Seruling Malaikat akan merenggut korban di kadipaten. Itulah yang kucemaskan dan ingin kubicarakan dengan Resi Wulung Gading."
"Memang ada banyak kemungkinan" kata Suto pelan, bagai bicara pada diri sendiri. "Bisa saja mereka menuju ke Biara Genta dan Biara Damai. Bisa pula ia masih mengejar Rindu Malam dan... oh, ya, apakah kau melihat orang Ringgit Kencana itu mati oleh seruling maut itu?!"
"Tidak. Aku tidak melihat saat Raja Tumbal membunuh mereka. Mungkin juga mereka mampu meloloskan diri, mungkin pula sudah hancur sejak kemarin. Aku tak sempat ikuti pelarian dan pengejaran itu" jawab Delima Gusti sejelas-jelasnya.
Jawaban itu yang membuat Suto tertegun kembali, memandang kearah jauh, menerawang lamunannya tentang keganasan Raja Tumbal.
Tiba-tiba sekelebat sinar merah melesat dari balik gugusan batu yang tingginya menyamai sebuah rumah. Sinar merah itu mirip bintang berekor dan bergerak cepat menuju ke punggung Delima Gusti. Melihat kelebatan sinar merah itu, Delima Gusti segera ditarik Suto secepatnya. Tarikan itu membuat Delima Gusti bagaikan jatuh dalam pelukan Pendekar Mabuk. Kemudian gerak cepat Suto membuat bambu tuaknya menghadang di depan punggung Delima Gusti. Sinar merah itu akhirnya menghantam bambu bumbung tuak.
Daaab...!
Bumbung itu bagaikan karet membai, memantulkan sinar merah yang semula sebesar buah duku kini menjadi lebih besar jagi, sekitar berukuran sama dengan buah kedondong. Gerakkan membaliknya pun lebih cepat lagi dari saat kedatangannya. Ziaaapp...!
Blegaarr...!
Ledakan dahsyat Itulah membuat Delima Gustl segera tahu mengapa Suto tiba-tiba memeluknya. Delima Gusti ikut memandang kearah ledakan yang melambumbungkan asap tebal warna hitam keputih-putihan itu. Sebuah pohon pecah dalam keadaan menyedihkan. Dua pohon disekitarnya segera tumbang beberapa helaan nafas kemudian. Kalau saja sinar merah tadi menghantam persis di gugusan batu sebesar rumah, jelas batu tersebut akan hancur berkeping-keping.
Tak ada orang yang muncul dari balik gugusan batu besar itu. Suto dan Delima Gusti tetap waspada, mata mereka memandang tajam kearah Batu besar. Untuk sesaat suasana menjadi sepi seakan tak ada manusia lain disitu kecuali mereka berdua. Tetapi Suto yakin, ada manusia di sekitar mereka, karena ia mendengar detak jantung orang lain yang bukan jantung Delima Gusti dan jantungnya sendiri. Karenanya Suto berbisik pelan kepada Delima Gusti,
"Bersiaplah! Dia masih ada di sini. Mungkin di balik batu besar itu! Aku akan memeriksanya kesana!"
"Hati-hati, agaknya dia berbahaya. Jurus yang ia gunakan langsung jurus mematikan!" bisik Delima Gusti dengan mata melirik ke kanan-kiri. Ia biarkan Pendekar Mabuk itu berkelebat dengan gerak silumannya menuju batu besar itu.
Zlaaap...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah berdiri diatas batu besar itu, memeriksa ke balik batu tersebut, lalu menghempaskan napas dan memandang sekeliling. Berarti dibalik batu itu tidak ada manusia yang bersembunyi.
Tiba-tiba dari atas pohon melesat sinar merah seperti tadi menuju kearah Delima Gusti. Slaaap...! Perempuan dengan pakaian hijau muda dengan halus merah jambu itu tidak melihat kelebatan sinar tersebut. Padahal gerakan sinar terarah ke kepala Delima Gusti dari arah belakang.
Untuk menghindari ancaman maut sinar merah tersebut, Suto Sinting terpaksa segera sentakkan kedua tangannya yang merapat didada. Sentakkan kedepan dari kedua tangan itu keluarkan sinar ungu dari ujung jarinya. Claappp...! Cepat sekali gerakannya, dan tepat sekali arahnya. Sinar merah itu dihantam sinar ungu dengan telak sebelum mencapai kepala Delima Gusti.
Blegaarrr...!
Jurus 'Surya Dewata' akhirnya dipergunakan oleh Suto demi menyelamatkan nyawa Delima Gusti. Tetapi akibatnya cukup parah bagi alam sekitar. Tanaman besar-besar menjadi korban pula; pecah terbelah menjadi beberapa bagian karena sentakkan gelombang ledakannya yang dahsyat itu. Bahkan tubuh Delima Gusti juga tahu-tahu sudah terkapar dengan wajah membiru dalam jarak lima langkah dari tempatnya berdiri tadi. Suto Sinting menyesal melihat keadaan Delima Gusti, tetapi menurutnya tak ada jalan lain untuk seelamatkan nyawa perempuan itu. Lebih baik terkapar daripada hancur terhantam sinar merah berbahaya itu.
Kedua tangan Suto pun di sentakkan ke depan. Wuttt! Lalu melesatlah sinar biru besar yang menghantam kerimbunan pohon tempat keluar sinar merah tadi.
Bruuss...! Blegaarr...!
Dentuman kali ini tidak sampai melemparkan tubuh Delima Gusti lagi, tapi membuat hancur pohon berdaun rindang itu, juga keempat pohon lainnya ikut hancur bertebaran. Jurus 'Tangan Guntur' telah dipergunakan oleh Pendekar Mabuk untuk memaksa keluar penyerang yang bersembunyi dibalik pohon berdaun rapat itu.
Tetapi beberapa saat ternyata penyerangnya tidak menampakkan diri. Suto Sinting jadi jengkel sendiri. Matanya mengitari tempat itu dengan sangat teliti, tapi tak terlihat gerakan seseorang dari balik persembunyiannya.
"Delima Gusti harus segera ditolong sebelum nyawanya lenyap gara-gara ledakan sinarku tadi!" pikir Suto dan Ia pun berkelebat ketempat Delima Gusti terkapar.
Tuak dari bumbung dituangkan ke mulut Delima Gusti. Mau tak mau perempuan itu menelan tuak tersebut beberapa teguk. Tuak itulah obat mujarab untuk segala luka dan penyakit, mampu sembuhkan luka dengan cepat, sehingga Delima Gusti mulai rasakan panas didalam kepala dan dadanya setelah meneguk tuak sakti itu.
Suto masih membiarkan Delima Gusti terbaring, Ia segera berseru memancing keluar penyerang gelap yang agaknya sangat mendendam kepada Delima Gusti. "Siapa pun orangnya kau, hadapilah Delima Gusti secara kesatria! Kau, kau tak akan menang melawannya jika harus berhadapan langsung dalam pertarungan!"
Kata-kata itu sengaja dibuat meremehkan si penyerap agar hati orang itu semakin panas dan merasa malu dianggap tak akan unggul melawan Delima Gusti.
Tantangan Suto Sinting ternyata cukup berhasil. Orang Itu mampu bergerak cepat dengan berpindah-pindah tempat persembunyian itu tak lain adalah seorang lelaki berpakaian serba hitam. Rambutnya masih hitam walaupun tampangnya sudah tua, kira-kira berusia delapan puluh tahun, tubuhnya kurus, tapi matanya masih tajam.
"Ki Palaran!" gumam Suto dengan heran. Tokoh tersebut bagaikan hantu hitam. Sikapnya bermusuhan pada Suto Sinting, padahal dulu bersahabat baik ketika Suto Sinting berhasil sembuhkan murid Ki Palaran dari 'Racun Murka'. Ki Palaran adalah guru Dungu Dipo yang agaknya sangat sayang kepada sang murid.
"Sekarang kau berhadapan denganku Suto Sinting. Aku tak peduli murid siapa kau, tapi kulihat kau memihak Delima Gusti, putri Adipati itu!"
"Sabarlah, Ki Palaran! Jelaskan dulu persoalannya" bujuk Suto dengan kalem.
"Dungu Dipo telah mati! Kutemukan pecahan raganya menyebar kesana-kesini. Dan kulihat perempuan itu melarikan diri dari persembunyiannya. Pasti dia menyerang muridku secara sembunyi!"
Delima Gusti segera bangkit, suaranya masih lemas. "Bukan aku pembunuhnya, tapi Raja Tumbal yang melakukan kekejaman itu!"
"Benar Ki! Seruling Malaikat yang membuat muridmu mati menyedihkan!" tambah Suto meyakinkan Ki Palaran.
Toko tua itu diam terbungkam, menatap Delima Gusti dan Suto secara bergantian, seakan mencari kejujuran di mata kedua orang itu.
AKHIRNYA Ki Palaran bisa mempercayai pengakuan Delima Gusti, karena pada saat itu Pendekar Mabuk berkata, “Nyawaku sebagai jaminan kebenaran ucapan Delima Gusti, Ki Palaran!"
Setelah kemarahan Ki Palaran mereda, tokoh tua berkata, "Kalau begitu aku harus mencari Raja Tumbal. Dia pasti menuju ke Muara Singa!"
"Jika memang begitu, aku akan menemanimu, Ki Palaran"
"Tak perlu, Pendekar Mabuk. Aku sudah tua, tak perlu kau temani. Lakukan rencanamu semula, temui dulu gurumu dan tanyakan tentang ilmu 'Sembur Siluman' itu seperti saran Resi Wulung Gading dan Gendeng Sekarat. Aku akan menuju ke barat, mendahului Raja Tumbal mencapai Muara Singa! Sampai bertemu lagi, Suto"
Wuusss...! Bagaikan kilat, Ki Palaran berkelebat meninggalkan Suto Sinting dan Delima Gusti. Belum ada satu kedipan mata, tokoh tua itu sudah tidak terlihat mata. Gerakannya sungguh cepat, menyamai gerak silumannya Suto Sinting.
Delima Gusti segera perdengarkan suaranya. "Aku akan segera pulang ke kadipaten memberitahukan bahaya kepada ayahandaku"
"Aku akan mendampingimu Delima!"
"Tak perlu! Aku cukup bisa menjaga keselamatanku. Lakukan saja seperti pesan Ki Palaran tadi, lanjutkan perjalananmu ke Jurang Lindu, karena keperluan mu disana penting!"
"Tapi..."
"Kita pasti jumpa lagi, Suto!" potong Delima Gusti lalu tubuhnya bergerak cepat meninggalkan Suto, namun tak secepat Ki Palaran tadi.
Suto Sinting tidak mempunyai pilihan lain. Karena mereka berdua tidak mau didampingi Suto, maka ia segera bergegas temui gurunya di Jurang Lindu. "Menurut dugaan hatiku," katanya membatin, "Raja Tumbal tidak mungkin menuju ke kadipaten Suralaya dulu. Pasti ia lebih mementingkan Muara Singa. Negeri itu sangat diharapkan jatuh ketangannya. Jadi nanti sepulangnya dari menghadap guru, aku harus segera menuju ke Muara Singa. Dan agaknya hal ini tidak bisa di tunda-tunda lagi. Meleset sedikit, terlambat sedikit, keselamatan Purnama Laras dan Galuh Puspanagari tidak akan tertolong lagi."
Langkah Pendekar Mabuk sengaja berhenti untuk menenggak tuaknya sesaat. Tiga tenggak tuak diteguknya. Badannya terasa segar sekali. Langkahpun dilanjutkan lagi menuju ke Jurang Lindu. Tapi kali ini langkah tersebut terpaksa tertunda, karena dari atas perbukitan itu Suto Sinting melihat sekelebatan pantulan cahaya matahari dari bawah bukit. Pantulan itu menyilaukan, dan di duga datang dari kilatan pedang putih.
"Oh, ada pertarungan dibawah sana?" pikirnya. Ia mencoba menembus belantara hutan dikaki bukit tersebut, tapi matanya tak mampu menembus semak dan kerimbunan pohon. Hanya saja, suara beradu pedang dengan benda keras sesekali terdengar mendenting bergema. Rasa penasaran pun timbul dihati Suto. Tak bisa tidak, Pendekar Mabuk segera meluncur ke kaki bukit untuk melihat siapa yang bertarung di sana.
Bagi Suto, kedua tokoh yang bertarung itu belum saling dikenalnya. Mereka adalah Dewa Rayu dan musuh lamanya dari perguruan Lumbung Darah, murid Tengkorak Liar yang bernamaBale Kembang. bertubuhkekar, berotot, gerakannya cukup buas. Senjata yang ada ditangannya adalah tombak dengan berujung pedang dihiasi rumbai-rumbai benang hijau. Tapi ketika ditebaskan kearah Dewa Rayu, rumbai-rumbai benang hijau itu tidak kelihatan karena cepatnya gerakan.
Bale Kembang mengenakan rompi hitam dan celana merah. Sabuknya kain selendang berwarna hijau. Dengan mengenakan rompi tersebut, Bale kembang kelihatan gagah dan kekar. Otot-otot dilengannya terlihat kekar. Dadanya pun membusung bak batuan gunung yang keras dan sukar di gores. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya memang angker walau ada kumis. Matanya lebar alisnya tebal, kepalanya licin tanpa rambut, mirip kentang dikupas.
Jurus-jurus yang digunakan Bale Kembang sangat berbahaya bagi Dewa Rayu. Selain cepat juga penuh gerak tipuan. Tiga kali Suto melihat pemuda tampan itu nyaris mati terpancung tombak pedang itu. Sedangkan Dewa Rayu selalu berhasil mengimbangi gerak cepatnya lawan. sehingga pancungan-pancungan maut itu selalu berhasil dihindari.
"Apakah jurusmu sudah kau keluarkan, tapi tak sedikitpun kulitku tergores oleh senjatamu!" kata Dewa Rayu ketika ia sengaja menjauh untuk hentikan pertarungan sejenak.
"Monyet edan!" geram Bale Kembang. "Aku masih tenggang rasa padamu! Yang kuharapkan adalah bertanya lebih dulu, bahwa kau memang membunuh ketua Lumbung Darah; sang Tengkorak Liar!"
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak! Tetapi jika kau memaksaku untuk menjawab ya, maka akan ku jawab; ya memang aku yang membunuh gurumu!"
"Bangsat kau, Dewa Rayu!" sentak Bale Kembang dengan berang sekali.
"Kau pikir mengaku sebagai orang yang membunuh Tengkorak Liar bukan hal yang membanggakan! Oh, sangat membanggakan! Sangat besar hatiku jika bisa memenggal kepala gurumu dan menggelindingkannya didepanmu, Bale Kembang!"
"Kalau begitu kau harus menebus kematian guruku!"
"Akan ku tebus!" jawab Dewa Rayu seenaknya saja seakan tak merasa gentar sedikitpun terhadap lawannya yang lebih besar darinya itu.
"Serang aku kalau kau memang mau menebus kematian guruku. Jangan hanya menghindar dan menangkis, melonjak sana, meloncat sini, mirip kutu loncat!"
"Apakah kau sudah siap mati, sehingga kau paksa aku menyerangmu?" ucap Dewa Rayu dengan angkuhnya.
"Lebih baik aku yang mati ditangan mu menyusul kematian adikku lima tahun yang lalu itu, daripada aku tak bisa membunuhmu, Dewa Rayu!"
"Oh, baik kalau begitu! Akan ku akhiri riwayat hidupmu dengan pedangku, seperti aku mengakhiri riwayat hidup adikmu beberapa tahun yang lalu! Bersiap ambil napas panjang supaya hembusannya mempercepat lepasnya nyawamu, Bale Kembang!"
Suto Sinting masih dipersembunyiannya. Salah satu kebiasaan Suto Sinting adalah menyaksikan pertarungan secara diam-diam dan mempelajari jurus-jurus mereka yang perlu dicatat dalam benak. Jika sudah begitu, Pendekar Mabuk tak pernah bisa dari tempatnya sedikit pun sebelum pertarungan itu berhenti, entah berhenti dengan sendirinya atau dihentikan oleh Suto sendiri. Sebab itulah ia rela menunda perjalanannya ke Jurang Lindu.
Dewa Rayu menggerakan pedangnya dengan lambat sambil melangkah ke samping.membentuk gerakan melingkar. Bale Kembang pun bergerak serupa sambil mempermainkan jurus kembangan bersama senjata panjangnya itu. Mereka saling mencuri kesempatan, mencari kelengahan, sampai akhirnya Bale Kembang melompat dalam satu sentakkan kaki dan sentakkan suara, "Heaaah...!"
Pemuda berkumis tipis itu pun menyambut lompatan lawan dengan satu sentakan kaki yang melesatkan tubuh kedepan, seakan siap menerjang tombak pedang lawannya.Sedangkan Bale Kembang merasa memperoleh peluang bagus, sehingga ia segera menebaskan tombak pedangnya dengan ganas.
Wuukkk...! Wuuukkk...! Trang, trang, wuuss...! Beehg...!
Tubuh besar berotot itu terpental mundur, bagaikan terbuang ke tempat sampah.Jatuhnya ketanah itu berdebam mengerikan. Buuook...! Setidaknya tulang punggungnya seperti patah karena ia jatuh dalam keadaan seperti di banting kuat-kuat.
Hal itu dikarenakan Dewa Rayu secara mendadak menggunakan kekuatan tenaga dalamnya dengan tangan kiri setelah pedang menangkis senjata lawan beberapa kali. Pukulan tenaga dalam tanpa sinar itu ternyata amat besar. Kalau tidak besar, tidak mungkin tubuh seperti badak itu bisa terbanting dengan kerasnya.
"Benar-benar manusia badak si Bale Kambang itu!" kata Suto dari persembunyiannya. "Dibanting sekeras itu dia sudah bisa cepat berdiri lagi tanpa menyeringai kesakitan. Jangan-jangan orang itu bukan makan nasi tapi makan batu setiap harinya!"
Bale Kambang memang bangkit lagi, masih segar dan kekar. Wajahnya kian buas, merasa di hina oleh senyuman sinis Dewa Rayu. Ia berseru dari tempatnya yang berjarak lima tindak dari tempat berdiri Dewa Rayu.
"Aryawinuda! Terimalah ajalmu kali ini! Hiaaah...!" Tahu-tahu tombak itu dilemparkan oleh Bale Kambang kearah Aryawinuda alias Dewa Rayu. Wuuusss...! Bersamaan terlepasnya tombak itu, terlepas pula pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi dari kedua telapak tangan yang disentakkan kedepan. Wooss...! Pukulan itu berubah asap yang menyembur cepat berwarna kuning kemerah-merahan.
Rupanya ini termasuk jurus tipuan Bale Kambang. Lemparan tombaknya membuat perhatian Dewa Rayu sibuk menghindar dan menangkis tombak itu. Akibatnya pukulan yang datang berasap kuning kemerahan itu tidak dihindarkan lagi.
Trangg...! Wuttt...!
Kurang dari sekejap saja tubuh Dewa Rayu akan hancur dan lumer oleh pukulan berasap itu. Untunglah ia sangat sigap dan lincah, sehingga ketika asap kuning kemerahan itu hampir menyambar tubuhnya, Dewa Rayu cepat sentakkan kaki dan melenting keatas, bersalto dua kali di udara sana.
Asap tersebut lewat dibawah kakinya dan menghantam pohon, lalu pohon itu hancur dalam sekejap, berubah bentuk menjadi seperti gedebong pisang yang membusuk.
"Pukulan beracun tinggi!" gumam hati Suto kagum dengan jurus itu.
Jleg...! Dewa Rayu mendarat dengan tegak dan sigap. Melihat pukulannya meleset dan tombaknya telah terlanjur menancap dipohon seberang, Bale Kambang segera mainkan jurus tangan kosong dengan gerakan-gerakan yang sukar di ikuti pandangan mata.
"Heaaah...!"
Bale Kambang baru saja akan lepaskan pukulan dengan kedua tangan berputar cepat kedepan wajah, tiba-tiba dua berkas sinar hijau melesat dari samping. Bentuknya seperti bintang berputar. Zlaap, zlaap...! Sinar itu langsung menghantam rusuk dan pinggang Bale Kambang. Jraaab...!
"Uuhg...!" tubuh manusia badak itu mengejang dengan kepala terdongak. Mata lebarnya mendelik bagai memandang langit. Tubuh itu pun tampak berbintik-bintik merah. Ternyata bintik-bintik itu segera berubah menjadi gelembung merah. Gelembung merah itu memenuhi seluruh tubuh sampai ke wajahnya. Lalu, pecah satu persatu. Setiap gelembung yang pecah selalu memercikkan darah.
Bale Kambang tak mampu berdiri lebih lama. Tubuhnya penuh gelembung itu pun roboh ketanah. Bruukk...! Suaranya seperti batang pisang yang amat banyak jatuh dari suatu ketinggian. Darah memercik kian banyak, karena gelembung-gelembung itu pecah nampak dibagian kiri. Sisanya masih seperti gelembung sabun yang belum pecah dengan sendirinya. Tentu saja manusia yang berkepala mirip kentang rebus itu segera hembuskan napas, dan nyawanya pun melayang entah kemana.
"Siapa yang membantu si Dewa Rayu itu?" kata Suto dalam hati. Pertanyaan itu pun di miliki oleh Dewa Rayu, sehingga si kumis tipis memandang sekeliling mencari orang yang telah membantunya.
"Siapa yang ikut campur pertarunganku ini hah?!" Dewa Rayu marah, hatinya separo kecewa karena sebenarnya ia ingin tumbangkan sendiri lawan berat seperti Bale Kambang itu. Tapi pemilik sinar hijau tadi belum mau tampakkan diri. Dewa Rayu membentak dengan wajah kian garang. "Siapa yang membunuhnya? keluar!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar menjawab dengan keras. "Akuuuu...!" Lalu muncul seraut wajah berambut cepak seperti potongan lelaki, mengenakan pakaian warna hijau muda, ditaburi bintik-bintik kuning emas. Cantik montok, tapi sayang dia buta huruf. Wanita itu tak luain adalah Kusuma Sumi.
Bagi Dewa Rayu wajah itu tak asing lagi, tapi bagi Suto Sinting yang belum pernah melihat Kusuma Sumi, wajah itu bikin mulutnya berdecak pelan, matanya tak berkedip. "Cantiknya...! Hem, hem...?! Ia geleng-geleng kepala. "Untung aku sudah punya Dyah Sariningrum, seandainya belum... Seandainya belum akan aku cari Dyah Sariningrum kemana saja!"
Suto Sinting sedikit bergeser agar pandangan matanya terhadap Kusuma Sumi yang bertubuh menggairahkan itu tidak terhalang daun-daun semak. Dalam hatinya Suto bertanya lagi, "Siapa perempuan cantik itu? Mengapa dadanya sebesar itu? Apakah didadanya itu terdapat senjata rahasia yang amat berat?"
Kemarahan Dewa Rayu lenyap seketika setelah tahu orang yang menolongnya adalah Kusuma Sumi. Seraut wajah berang segera pudar berganti senyum ceria. Mata tak berkedip memandangi langkah Kusuma Sumi yang mendekatinya. Mata wanita itu sendiri juga tak berkedip walaupun tampak galak, namun kendaraan sekali menyimpan kekaguman dibalik kegalakan dimata tersebut.
"Aku yang membunuhnya! Mau apa kau?!" kata Kusuma Sumi sambil bertolak pinggang didepan Dewa Rayu. "Mau apa kau, hah?!" ulangnya dengan galak.
"Mau... mau... mau mengucapkan terimakasih," jawab Dewa Rayu sambil senyum-senyum malu. Pedangnya sudah dimasukkan ke dalam sarung pedang.
"Terima kasih ku tak perlu! Bale Kambang punya persoalan sendiri denganku. Aku hanya sekedar membalaskan kematian nenekku yang di seret-seret olehnya dan dilemparkan ke jurang sebelum ia menjadi orang Lumbung Darah! Jadi apa yang kulakukan tidak dengan maksud membantumu!"
"Oh, ya sudah... permisi!" Dewa Rayu berpamit pergi. Ia melangkah memunggungi Kusuma Sumi. Mulanya perempuan itu diam saja, hanya memandangi kepergian Dewa Rayu yang mirip pemuda desa yang terusir itu. Tapi tiba-tiba ia bergerak cepat dan bersalto melintasi kepala Dewa Rayu.
Wuukk, wuukk! Jleeg...!
Kusuma Sumi berdiri tepat didepan Dewa Rayu. Satu tangannya langsung bertolak pinggang. Matanya memandang tak segalak tadi. Dewa Rayu hentikan langkah dan mulai sunggingkan senyum menawannya.
"Mengapa kau menahan langkah ku?!"
"Ada sesuatu yang lupa ku katakan padamu."
"Tentang apa itu, Nona?!"
"Namaku Kusuma Sumi."
"Oh, ya! Kusuma Sumi. Bagus sekali, seperti nama bunga ditahan Bidadari."
Kusuma Sumi mulai sunggingkan senyum walau agak canggung dan berkesan malu. Suaranya terdengar pelan. "Aku berada satu tingkat dibawah Rindu Malam."
"Kau sudah punya kekasih?"
"Aku... aku belum punya kekasih."
"Bagus sekali."
"Ingin segera menikah, tapi tak ada yang cocok."
"Ambil paku pasti tercocok!" jawab Dewa Rayu dalam gurau.
Kusuma Sumi tertawa kecil. Suto Sinting mencibir dibalik persembunyiannya. Hatinya membatin, Hmmm...! Ganjen! Tadi berlagak marah dan galak, sekarang malah menawarkan diri. Dasar perempuan, kalau sedang kasmaran sering lupa kodratnya! Eh, tapi tunggu dulu...! Dia tadi menyebut-nyebut nama Rindu Malam?! Ooo... ya, ya aku mengerti sekarang, dia adalah orang Ringgit Kencana. Potongan rambut yang pendek merupakan ciri orangnya Ratu Asmaradani. Hemmm... tapi, kenapa ia tidak bersama Rindu Malam? Apakah ia termasuk tiga perempuan cantik yang dilihat Delima Gusti?"
"Apakah kau sudah punya kekasih, Dewa Rayu?!"
"Nyaris!" jawab Dewa Rayu dengan candanya yang memancing tawa Kusuma Sumi.
Mereka melangkah ke bawah sebuah pohon rindang seiring sejalan. Langkah pelannya menimbulkan kesan mereka sedang mengawali paduan kasih. Suto Sinting sempat kebingungan karena arah mereka menuju pohon yang digunakan bersembunyi. Kalau ia bergegas pergi pasti akan ketahuan dan di curiga sebagai orang berniat jelek. Kalau ia diam saja, takut sampai ketahuan.
Akhirnya pelan-pelan ia bujurkan tubuhnya kebawah semak-semak disamping pohon itu. Ia berlagak menjadi mayat yang terkapar disitu. Matanya terpejam dengan memeluk bumbung tuak. Dan agaknya Dewa Rayu serta Kusuma Sumi tidak menengok kebawah semak-semak itu. Karena jaraknya amat dekat, mau tak mau Suto Sinting mendengar kasak-kusuk mereka yang jengkelkan hatinya.
"Sejak pertemuan pertama kita itu, sebenarnya aku menyimpan bunga indah yang mekar dan ingin kuberikan padamu," kata Dewa Rayu. "Tapi sayang, dua temanmu termasuk Rindu Malam membuatku tak bisa lebih dekat denganmu, seperti saat ini, Kusuma Sumi."
"Kalau sudah dekat begini mau apa?" pancing Kusuma Sumi, entah sambil tangannya berbuat apa dan bersikap bagaimana.
Suto tak bisa melihatnya. Bahkan percakapan berikutnya sulit didengar karena kasak-kusuk mereka kian pelan. Yang bisa ditangkap telinga Suto hanyalah cekikikan tawa sang wanita, dan desahan-desahan panjang yang beriring suara erangan manja.
"Setan alas! menyesal aku bersembunyi disini sejak tadi!" geram Pendekar Mabuk dalam hati. Jantungnya berdetak-detak karena suara erangan manja itu semakin menjadi-jadi. Malah Suto dikejutkan dengan jatuhnya selembar kain di wajahnya. Pluk...! Matanya terpicing sedikit untuk mengetahui apa yang menutupi wajahnya itu.
"Jabang bayi! Kain ikat pinggang Iini milik Kusuma Sumi!"
Rupanya Dewa Rayu kian nekat, ia melepas kain ikat pinggang Kusuma Sumi, lalu melemparkannya ke semak-semak seenaknya saja. Tak sengaja lemparan itu jatuh diwajah seseorang yang sedang bersembunyi dua langkah. Bau harum kain itu membuat hati Suto gelisah. Dongkol, malu, dan penasaran, membuat Suto Sinting berdebar-debar kian besar.
"Jangan, ah...!" suara Kusuma Sumi merengek manja. "Jangan...!"
"Jadi apa yang dilakukan Dewa Rayu itu?" Bayangan Suto yang bukan-bukan, tapi sebenarnya Dewa Rayu membujuk Kusuma Sumi agar melepaskan pedang dipunggungnya. Kusuma Sumi tak mau pedangnya dilepas.
Tiba-tiba terdengar suara memanggil dari tempat yang jauh, "Kusuma Sumi!"
"Ooh...?!" pekik tertahan Kusuma Sumi adalah pekik kekagetan yang bisa dibayangkan Suto diiringi gerakan-gerakan menggeragap. Buktinya suara dibalik pohon itu terdengar gaduh, seperti orang tergesa-gesa. Bahkan Dewa Rayu terdengar berbisik keras,
"Taliku tadi mana? Tali akar ku tadi mana?!"
"Mana aku tahu! Kau sendiri yang melepasnya!" suara Kusuma Sumi terdengar panik dan terburu-buru. Bahkan ketika Kusuma Sumi menyambar kain pengikat pinggangnya yang menutupi wajah Pendekar Mabuk ia tak sempat melihat bahwa disitu ada seraut wajah tampan. Kain itu disambar dengan cepat. Rambut Suto terjambak sebagian. Tapi Suto menahan diri untuk diam saja walau wajahnya meringis karena kesakitan.
"Wah, jebol sudah rambutku!" pikirnya dalam gerutu di batin.
Rupanya Rindu Malam muncul bersama Pita Biru. Tapi Pendekar Mabuk tak tahu. Rindu Malam bisa melihat apa yang hendak dilakukan Kusuma Sumi dengan Dewa Rayu. Sebagai anak buah, Kusuma Sumi takut dengan bentakan Rindu Malam.
"Nista sekali kelakuanmu, Kusuma Sumi!"
"Be... lum. Belum nista kok! Eh, anu... iya, memang belum!" Kusuma Sumi salah tingkah.
"Tugasmu adalah mencari Suto Sinting, Pendekar Mabuk! Bukan disuruh mabuk asmara sendiri!"
Barulah Suto terkejut dengan bebas. Namanya disebut-sebut, dan memaksa keberaniannya untuk bangkit, mengintip siapa yang menyebutnya. "Rindu Malam?! Oh, syukurlah ia belum menjadi korban Seruling Malaikat!" pikir Pendekar Mabuk dari persembunyiannya.
Terdengar Rindu Malam memarahi Kusuma Sumi dengan aneka macam omelan. Kusuma Sumi hanya tundukkan kepala dan merasa bersalah. Sementara itu, Dewa Rayu tak berani mencampuri omelan tersebut, ia hanya berjalan pelan-pelan sampai akhirnya berada di bawah pohon, tujuh langkah dibelakang Rindu Malam. Ia bersandar disana dengan tenang.
"Berulang kali Ratu berpesan kepada kita agar menjaga diri supaya tidak dianggap wanita murahan! Tapi kau malah mengobral diri didepan pemuda itu!"
Sementara Rindu Malam memarahi Kusuma Sumi, diam-diam Pita Biru mendekati Dewa Rayu. Mulanya berwajah ketus, tapi lama-lama tersenyum Juga karena Dewa Rayu sunggingkan senyum yang menawan hati terus menerus.
"Sudah kau apakan dia?" tanya Pita Biru bisik.
"Belum ku apa-apakan! Sumpah!" jawab Dewa rayu pelan.
"Bohong!"
"Demi Petir menyambar, belum kuapa-apakan dia!" Kami hanya sekedar mengadakan rapat untuk..."
"Justru yang makin rapat itu yang makin berbahaya!" sentak Pita Biru tak sadar telah membuat Rindu Malam berpaling kebelakang dan segera geleng-geleng kepala melihat Pita Biru memunggunginya, namun jaraknya dekat dengan Dewa Rayu, kontan saja Rindu Malam berseru memanggil,
"Pita Biru!"
"Iya, hemm... iya...!" Pita Biru bergegas hampiri Rindu Malam dengan takut.
"Cari Pendekar Mabuk! Jangan cari penyakit pada pemuda itu!"
"Cari Pendekar sakit, eh... Pendekar Mabuk. Aku tahu kok!"
"Kalau tahu, kenapa kau justru dekati pemuda desa itu pada saat aku mengingatkan Kusuma Sumi?! Bodoh!"
"Memang bodoh pemuda itu"
"Kau yang bodoh!"
"Maksudku, aku dan dia sama-sama bodog," kata Puta Biru yang tumbuh sebagai gadis cantik namun lucu itu. Sikapnya membuat Suto Sinting tertawa geli tanpa suara dari persembunyiannya.
"Konyol juga si Pita Biru itu!" katanya membatin. Kata-kata itu ingin dilanjutkan, namun wajah Suto sudah lebih dulu menjadi tegang, karena matamenangkap bayangan seseorang diatas pohon. Orang itu sedang membidikkan anak panah kearah Rindu Malam. Orang itu bertubuh kurus, berpakaian hitam, ikat kepalanya juga hitam berbintik-bintik putih. Wajahnya berkesan licik.
"Bahaya!" gumam Suto, lalu dengan cepat ia sentakkan jari tangannya kearah orang yang mau melepaskan anak panahnya itu Tass...! Wuuut...! Buuuhg!
Tenaga dalam yang tersalur melalui 'Jari Guntur' membuat orang diatas pohon itu terjungkal jatuh.
"Aaa...!"
Boohg...! Tubuhnya Jatuh menghentak bumi. Anak panahnya lepas ke arah atas. Suara orang jatuh membuat Rindu Malam dan yang lainnya menjadi tegang dan hentikan suara mereka. Semua mata tertuju kearah jatuhnya orang berpakaian hitam itu. Rindu Malam bergegas menghampiri orang tersebut., diikuti oleh Dewa Rayu. Kusuma Sumi dan Pita Biru ditempat tapi saling berkasak-kusuk bertengkar mulut dengan suara lirih.
"Siapa kau?! Mengapa kau mau membunuhku?!" sentak Rindu Malam sambil mencengkeram baju orang kurus itu.
"Aku bukan mau membunuhmu! Aku mau... mau membunuh pemuda itu!" ia menunjuk Dewa Rayu. Yang ditunjuk ganti mencengkeram baju orang tersebut, setelah Rindu Malam melepaskan dan meninggalkan pergi.
"Mengapa kau ingin membunuhku?!"
"Aku... aku hanya orang upahan!"
"Siapa yang mengupahmu?!"
"Ra... Raja Tumbal! Dia menghendaki nyawamu, Pendekar Mabuk!"
Langkah Rindu Malam terhenti begitu mendengar orang itu memanggil Dewa Rayu dengan nama Pendekar Mabuk. Rindu Malam pun berbalik arah. Saat itu Dewa Rayu menghardik,
"Aku bukan Pendekar Mabuk!"
"Tap... tapi... kau tampan! Raja Tumbal memberi ciri-ciri kepadaku, Pendekar Mabuk pemuda yang tampan dan gagah," kata orang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Aku bukan Pendekar Mabuk tahu?!"
Rindu Malam menyahut, "Ya, kau salah duga! Dia adalah Dewa Rayu, bukan Pendekar Mabuk. Kalau Pendekar Mabuk lebih tampan lagi dan lebih sakti dari pemuda ini!"
Dewa Rayu menoleh cepat kearah Rindu Malam. Ia tersinggung dengan ucapan Rindu Malam. Tapi tampaknya Rindu Malam yang terlanjur muak dengan kelakuan Dewa Rayu terhadap Kusuma Sumi tadi, segera berkata semakin menyindir lagi.
"Ketahuilah orang dungu...! Pendekar Mabuk tidak seperti orang ini!" Rindu Malam menuding Dewa Rayu. Seandainya dia Pendekar Mabuk, sebelum kau menarik tali busurmu, kau sudah menjadi abu karena Jurus-jurus mautnya!" Aku marah besar kalau pemuda Ini kau samakan dengan Pendekar Mabuk, karena ketampanannya, kesaktiannya, semuanya tak ada sekuku hitam dibandingkan apa yang ada pada Pendekar Mabuk. Paham?!"
Orang itu mengangguk takut, tapi Dewa Rayu berkata, "Aku yang tak paham!"
Rindu Malam hanya berpaling menatap dan mendengus kesal.
"Aku tak paham mengapa kau merendahkan aku? Kau belum tahu seberapa tinggi ilmuku. Kalau saja bisa datangkan Pendekar Mabuk sekarang juga, akan ku buktikan bahwa aku mampu membuat Pendekar Mabuk bertekuk lutut didepanku dalam dua gebrakan saja!"
"Hemmm...! Sesumbarmu sama saja membuka lubang nyawamu jika sampai didengar oleh Pendekar Mabuk!"
"Sesumbarku hanya akan mempersempit nyawanya!" sentak Dewa Rayu yang merasa tak rela direndah-rendahkan begitu saja. Ia pun perlu unjuk gigi. Maka dengan cepat tangannya berkelebat ke depan dan sebuah pisau terbang keluar dari sentakan tangan itu. Wuusss...! Pisau itu melayang dengan cepat dan menancap pada sebuah pohon.
Jruub...! Bruus...! Jeeb!
Pisau itu ternyata menembus pohon pertama dan berhenti menancap dipohon kedua. Tentu saja lemparan seperti itu disertai saluran tenaga dalam yang sangat tinggi, yang mampu membuat pohon pertama berlubang nyata.
"Lihat!" katanya. "Bisakah Pendekar Mabuk lakukan lemparan pisau seperti itu?!" Dewa Rayu banggakan kebolehannya. Rindu Malam diam saja, sebab dalam hatinya membatin,
"Boleh juga mainan orang ini?! Dia bisa membunuh lawan yang bersembunyi dibalik pohon dengan pisau terbangnya itu."
Tiba-tiba Dewa Rayu dan Rindu Malam sama-sama rundukkan kepala ketika dilihatnya bayangan hijau melesat diatas kepala mereka. Bayangan hijau Itu ternyata sebatang ilalang yang dilemparkan oleh Suto Sinting. Ilalang tersebut menancap kepohon samping Rindu Malam. Jruuubbb, bluss...! Jaab...! Lalu menancap dipohon kedua. Ujung ilalang itu melambai-lambai.
Mata mereka sama-sama terbelalak kaget menyadari benda yang melayang ternyata adalah sehelai ilalang. Bukan sebilah pisau baja seperti yang dilemparkan Dewa Rayu tadi. Hal itu membuat Dewa Rayu tak sadar bicara sendiri,
"Gila! Ilalang....?! Pasti pelemparnya orang yang lebih tinggi ilmunya dariku!"
"Kau ditantang oleh orang yang melemparkan ilalang itu! Kau diremehkan!"
Dewa Rayu diam menggeletukkan gigi. Mau menantang, tapi hatinya mulai ciut. Tidak menantang, malu kepada Rindu Malam. Akhirnya ia berteriak keras, "Siapa yang mau menyaingi ilmuku?! Keluar...!"
"Kraakkk...! Wuuuttt...!
Pendekar Mabuk melompat dari persembunyiannya. Jleegg...! Ia berdiri dengan tegap dan gagah, tangan kanannya menggenggam tali bumbung tuaknya. Semua mata tertuju padanya, terperangah dan tercekat tenggorokan mereka hingga tak bersuara. Angin berhembus menyingkapkan rambut panjang Suto Sinting dengan wajah dan ketampanannya tampak samar-samar dari sela-sela helai rambutnya.
"Pendekar Mabuk!" gumam Rindu Malam dengan ceri. Sedangkan Dewa Rayu tampak cemas. Ia segera menarik si pemanah tadi dan mengajaknya jalan sambil berlagak marah ke orang tersebut, lama-lama ia lari menghilang tak berani berhadapan dengan Suto, karena ilalang itu sudah merupakan ukuran ketinggian ilmu Pendekar Mabuk.
Wajah ketiga utusan Ringgit Kencana itu berbinar-binar ceria. Pertemuan dengan Pendekar Mabuk membuat Kusuma Sumi dan Pita Biru sering ber kasak-kusuk dan saling cekikikan. Mereka mengakui kebenaran kata-kata Rindu Malam, bahwa Dewa Rayu mempunyai ketampanan di bawah Suto Sinting. Tetapi sekalipun hati mereka berdebar-debar indah jika beradu pandang dengan Suto Sinting, tak berani tunjukkan sikap lebih menyolok lagi, karena takut dengan ancaman Rindu Malam. Akibatnya Kusuma Sumi berkata kepada Pita Biru,
"Aku lebih baik mengincar Dewa Rayu!"
"Kenapa? Apakah matamu mulai rusak?"
"Mengincar Dewa Rayu lebih aman daripada mengincar Suto Sinting!" jawabnya dengan menelan kedongkolannya sendiri.
Mereka bicara sambil melangkah menuju ke pantai karena Rindu Malam yang berjalan berdampingan dengan Suto didepan kedua anak buahnya itu telah pergi. "Kami sangat membutuhkan bantuanmu lagi. Datanglah ke istana!"
"Apa yang terjadi disana?"
"Pendeta Agung Dewi Rembulan terkena kutukan Dewa. Tubuhnya terbungkus balok es yang tak bisa dihancurkan oleh senjata dan pusaka apa pun, tapi hanya bisa dilenyapkan oleh orang yang tanpa pusar. Ratu Asmaradani ingat cerita kakak sepupunya, yaitu Bidadari Jalang, gurumu itu, tentang bocah tanpa pusar yang tumbuh menjadi Suto Sinting. Maka kami di perintahkan mencarimu dan membawamu pulang ke Ringgit Kencana."
Pita Biru berkata dari belakang Rindu Malam, "Jangan-jangan kita salah bawa. Apa benar dia tanpa pusar? Boleh dibuktikan dulu keadaannya? Hi hi hi...!"
Suto Sinting hanya tertawa mirip orang menggumam dengan perasaan malu.
Rindu Malam berbisik, "Maafkan anak buahku. Pita Biru memang konyol!"
"Bukan dia yang kupikirkan, tapi nasib Pendeta Agung Dewi Rembulan itu," kata Suto mengalihkan pembicaraan. "Kasihan sekali nasibnya."
"Itulah sebabnya kau harus segera datang dan menolongnya."
"Memang. Tapi sepertinya aku tak bisa lakukan secepat ini!" Suto pun segera hentikan langkah ketika melihat wajah Rindu Malam mulai kecewa. "Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu demi selamatnya orang banyak."
"Pekerjaan apa itu?"
"Melawan Raja Tumbal!"
"Oh...?!" Rindu Malam terkejut, begitu pula Kusuma Sumi dan Pita Biru yang ikut berhenti tak jauh dari Rindu Malam. Wajah ketiga utusan Ringgit Kencana itu jadi tegang.
"Kusarankan, jangan bikin perkara dengan Raja Tumbal! Ia mempunyai pusaka yang bernama Seruling Malaikat," kata Kusuma Sumi kepada Pendekar Mabuk.
Rindu Malam menimpali, "Kami lihat sendiri kehebatan dan keganasan Seruling Malaikat itu! Kuduga, pusaka itu tiada tandingannya."
"Tidak ada yang terbaik dan terkuat di dunia. Tentu saja ada kelemahan dan kekurangannya. Hanya mungkin kita belum temukan kelemahan dan kekurangan dari Seruling Malaikat," kata Suto. "Karenanya, sebenarnya aku sedang dalam perjalanan menuju Jurang Lindu untuk temui guruku; si Gila Tuak itu!"
"Jadi..., kau ingin selesaikan urusan Raja Tumbal lebih dulu baru pergi ke Ringgit Kencana" tanya Pita Biru dengan sedikit sedih karena harus menunda kesembuhan Pendeta Agung Dewi Rembulan.
"Urusan Ini menyangkut keselamatan orang banyak Pita Biru," Kata Suto, kemudian menceritakan masalahnya dengan negeri Muara Singa. Suto juga ceritakan tentang Biara Genta dan Biara Damai, dan bahkan menceritakan pula tentang kecemasan Delima Gusti dan rakyat kadipaten Suralaya.
"Kunci keselamatan mereka terletak pada Raja Tumbal, jika orang itu lenyap maka nasib mereka dari kekejaman pembantaian keji itu akan terhindar. Setidaknya aku harus bisa menghancurkan Seruling Malaikat, sebelum suara seruling itu menelan korban lebih banyak lagi!"
"Ya, ya... aku mengerti maksudmu. Tapi...," kata-kata Rindu Malam itu terhenti karena sebelum mencapai akhir, ternyata mereka sudah lebih dulu melihat sekelebatan bayangan berlari. Bayangan itu berlari menuju kearah mereka dan menimbulkan kecurigaan bagi Kusuma Sumi dan Pita Biru. Mereka berdua segera maju dan menghadang langkah orang tersebut dalam jarak tiga langkah di depan Rindu Malam.
Kusuma Sumi dan Pita Biru bersiap lepaskan serangan, tapi Suto Sinting segera berkata, "Tahan gerakan kalian. Aku mengenali orang itu!"
Maka ketika orang yang berlari cepat itu mendekat, Kusuma Sumi dan Pita Biru segera menyingkir membuat Suto Sinting maju dua tindak dan menyapa dengan tegang.
"Batu Sampang...?!" Ada apa kau tampaknya tegang sekali?!"
Batu Sampang adalah Tamtama prajurit Muara Singa yang setia kepada ratunya. Batu Sampang berpakaian biru dengan Ikat kepala rajutan benang perak mengikat rambutnya yang lurus panjang sebatas punggung. Di punggungnya itu pula terdapat pedang bergagang hitam dengan tepian kuning emas. Wajahnya memang dingin, sepertinya seorang pembunuh yang keji, tapi sebenarnya Ia seorang prajurit yang taat, tegas, tangkas dan penuh rasa pengabdian.
"Raja Tumbal kulihat mulai mendekati bukit Tungkal sebelah utara. Sebentar lagi pasti akan tiba di Muara Singa!" kata Batu Sampang dengan tegas walaupun napasnya sedikit ngos-ngosan.
Berita itu mencemaskan bagi Suto Sinting. Tentu pertimbangan-pertimbangan yang tidak mudah diputuskan. "Langsung kesana atau menemui Guru dan kalau harus menemui Guru,takut terlambat. Raja Tumbal pasti akan tiba di Muara Singa lebih dulu.Tapi kalau aku arus langsung ke Muara Singa dan berhadapan dengan Raja Tumbal, aku belum tahu kelemahan Seruling Malaikat itu?!"
Terdengar suara Batu Sampang berkata, "Ratu Galuh Puspanagari sangat cemas dan menunggu kedatanganmu."
Sepertinya Rindu Malam mengetahui keresahan hati Suto, sehingga ia pun berkata kepada Suto, "Kami akan bantu memperkuat Muara Singa! Kita tak punya waktu untuk mencari kelemahan pusaka itu. Kita harus lakukan sesuatu dengan naluri Kita, Suto. Biarkan naluri yang bergerak diatas segalanya!"
"Benar katamu, Rindu Malam!" ucap Suto, mereka pun segera bergerak menuju Muara Singa. Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Mabuk kecuali mengandalkan nalurinya yang sudah terlatih mencari kelemahan lawan. Walau kali ini yang di hadapi adalah lawan bersenjata pusaka sangat ampuh, tapi Suto tetap harus mengandalkan naluri perlawanannya.
Kecemasan Batu Sampang itu memang benar. Raja Tumbal sebentar lagi akan tiba di wilayah Muara Singa, tetapi itu terjadi seandainya Raja Tumbal tidak tertahan oleh serangan Ki Palaran.
Tokoh tua ini mempunyai cara sendiri untuk membalaskan dendamnya kepada sang pembunuh muridnya. Ia melepaskan pukulan jarak jauh dari suatu tempat yang tersembunyi. Ketika Raja Tumbal berjalan di dampingi Gali Sampluk dan Karto Serong, tiba-tiba Landak Boreh yang selalu menjaga bagian belakang itu berteriak keras, "Awaaaass...!"
Pemuda kecil, kurus dan berwajah maling itu segera melompat kesamping dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang keluarkan cahaya kuning dari genggaman tangan kanannya. Claap...! Sinar kuning itu menghantam sinar merah yang mirip bintang berekor, yang dilepaskan dari tangan Ki Palaran.
Blaaarrr...! Ledakan yang timbul memang tak sebagian dahsyat, namun di anggap cukup lumayan karena gagal kenai punggung Raja Tumbal. Demi mendengar suara ledakan dan teriakan Landak Boreh, Gali Sampluk dan Karto Serong segera cabut golok mereka masing-masing. Secepatnya mereka bertolak belakang mrmbentengi Raja Tumbal. Mata mereka jelalatan kemana-mana mencari penyerang gelap yang tak terlihat gerakannya. Mata Raja Tumbal pun demikian, namun ia segera cabut Seruling Malaikat-nya.
"Landak Boreh, geledah semak-semak disekitar itu, cepat!" perintah Raja Tumbal. Perintah seperti itu tak pernah terlontar dua kali, karena, Landak Boreh yang kakinya gudikan itu segera melesat berkeliling tempat itu menerabaa tiap semak, mengibaskan goloknya membabat ilalang dan semak. Hal itu dilakukan cukup lama sehingga Karto Serong tak sabar, dan bertanya dalam seruan,
"Bagaimana?! Ada tanda-tandanya apa tidak?!"
"Belum semua ku cari!" seru Landak Boreh sambil membawa tiap semak.
"Kau mencari musuh atau ngarit rumput buat makanan ternak?!" bentak Raja Tumbal kemudian. Teguran itu membuat Landak Boreh mempercepat pencariannya, sementara Raja Tumbal dan kedua pengawalnya belum berani teruskan langkah demi menjaga keselamatan.
"Tidak ada siapa-siapa, Ketua!" Landak Boreh memberi laporan setelah memeriksa sekeliling mereka.
"Kau yakin tidak ada siapa-siapa disini?!"
"Tidak ada ketua!"
Plookk...! Landak Boreh ditabok mulutnya. Ia gelagapan sambil berusaha tetap menghadap Raja Tumbal.
"Kalau tidak ada siapa-siapa disini, lantas tadi apa?! Nyamuk?!" Raja Tumbal melotot, kedua biji matanya bagaikan mau loncat dan menerkam Landak Boreh. Anak Muda berwajah maling itu ketakutan.
"Jika tak ada musuh di sekitar kita, lantas siapa yang kirimkan sinar merah menurut katamu tadi, hah?!"
"Mung... mungkin... mungkin hanya seekor kunang-kunang lewat, Ketua!"
Ploook...! Wajah maling itu di tabok lagi. Panasnya kulit wajah kena tabok dua kali. Bibirnya terasa bengkak dan sedikit perih, nyut-nyutan.
"Jika hanya seekor kunang-kunang, kenapa menimbulkan ledakan sekeras itu, hah?! Kunang-kunang apa maksudmu?!"
"Kunang-kunang... kunang-kunang hamil, Ketua," jawab Landak Boreh sekenanya karena saking takut kena tabok lag. Tapi justru karena asal jawab itulah maka tangan Raja Tumbal yang lalim itu melayang ke wajah Landak Boreh. Ploookk...!
Raja Tumbal memandang sekeliling lagi dengan cermat. Kemudian berkata kepada Karto Serong yang usianya sekitar lima puluh tahun itu. "Gunakan ilmu 'Pengganda Arum' dan lacak disekitar sini, Karto Serong!"
"Baik, Ketua!" jawab Karto Serong, karena hanya dialah yang mempunyai ilmu 'Pengganda Arum', yaitu ilmu mencium jejak lawan melalui bau keringatnya. Karto Serong sudah hafal betul bau keringat teman-temannya dan bau keringat Raja Tumbal. Jika ada jenis bau keringat lain, pasti itu bau keringat lawan.
Sementara Karto Serong mendengus-dengus bagai hidung anjing, Raja Tumbal kepada Landak Boreh, "Dari mana datangnya sinar merah tadi?"
Landak Boreh menjawab, "Dari... dari sebelah kiri belakang. Ketua.!" Setelah menjawab ia tabok sendiri wajahnya dengan keras. Ploookk...!
"Kenapa kau tampar sendiri mulutmu?" tanya Gali Sampluk.
"Supaya tidak merepotkan tangan sang ketua," jawab Landak Boreh yang merasa yakin bahwa setelah memberi jawaban pasti akan kena tabok seperti tadi. Hal itu justru membuat Raja Tumbal tertawa seperti orang menggumam.
Tawa itu tiba-tiba lenyap karena Karto Serong yang mendengus bau keringat itu tahu-tahu terpental kebelakang sampai jatuh kesamping kiri Gali Sampluk. Bruukkk...!
Kenapa kau Karto?!" sentak Raja Tumbal yang menjadi berang karena kaget.
"Uuh...!" Karto Serong menyeringai sambil bangkit. "Ada tenaga dalam cukup besar menghantamku, ketua!"
"Dari mana arahnya?!"
"Kira-kira dari dua pohon beringin putih di seberang sana!" Karto Serong yang wajahnya sempat memar bagai habis kena tampar tujuh kali itu menuding kearah pohon beringin putih, letaknya sekitar sepuluh tombak dari tempat mereka berdiri. Raja Tumbal memandang tempat itu dengan mata menyipit. Tapi tak dilihatnya ada gerakan yang mencurigakan.
"Gali Sampluk, periksa tempat itu!"
"Baik, Ketua!"
Wesss...! Gali Sampluk yang berbadan gemuk itu ternyata mampu bergerak seringan kapas. Melesat dengan cepat, menerabas semak ilalang menuju pohon yang di maksud Karto Serong tadi. Sementara itu Raja Tumbal bertanya kepada Karto Serong,
"Seberapa besar tenaga dalam yang menyerangmu?!"
"Setingkat dengan ilmu 'Karang Gempur' kita Ketua!"
"Hemmm... masih belum seberapa tinggi ilmu orang itu. Tapi kau yakin disana ada orang?"
"Yakin, ketua. Bau keringat lain arahnya dari sana. Semakin mendekat kesana semakin tajam."
"Aaaa...!" tiba-tiba terdengar suara Gali Sampluk memekik agak panjang. Semua perhatian tertuju ke pohon beringin putih itu. Suara teriakan itu kini berganti suara orang berlari cepat kearah mereka. Hati mereka menunggu kemunculan Gali Sampluk dengan.
Kejap berikut, Gali Sampluk muncul dari ketinggian semak. Ia terengah-engah. Wajahnya pucat bagaikan mayat. Matanya terbelalak lebar. Raja tumbal segera bertanya, "Ada apa, hah?!"
"Besar atau kecil orangnya?" tanya Karto Serong. Gali Sampluk gelengkan kepala.
Landak Boreh ajukan tanya, "Lelaki atau perempuan?!"
"Kau kira aku habis melahirkan?!"
Raja Tumbal mendesak, "Seperti apa orangnya. Katakan!"
"Tidak ada orang, tidak ada siapa-siapa disana, ketua!"
"Lalu kenapa kau berteriak dan menjadi sepucat itu?!"
"Aku kaget, ketua. Ada seekor kelinci disana!"
Ploookk...! Kini wajah pucat itu menjadi merah karena terkena tamparan keras dari tangan Raja Tumbal.
"Dasar gentong kempos! Sama kelinci saja takut?!"
"Ke... kelinci itu sedang dimakan seekor ular sebesar paha kita, Ketua!"
"Hah...?!" Raja Tumbal mendelik, demikian pula yang lain.
"Kalau begitu yang ku cium tadi bau keringat ular," kata Karto Serong. "Pantas baunya langu, seperti bau ketiak basah."
"Teruskn perjalanan!" sentak Raja Tumbal dengan jengkel sekali. Maka mereka bergegas untuk lanjutkan perjalanan.
Baru mendapat tiga langkah tiba-tiba mereka diserang seberkas sinar merah yang menuju kearah Raja Tumbal, Karto Serong dan Gali Sampluk. Slaapp! Sinar itu datang dari depan mereka. Karuan saja Raja Tumbal segera sentakkan tangan kirinya, dan melesetlah sinar kuning menghantam sinar merah yang mengarah kepadanya. Duaaar...! Demikian pula Karto Serong dan Gali Sampluk, melepaskan sinar kuning yang sama dengan sinarnya Raja Tumbal, sehingga meledaklah bentur masing-masing sinar dengan gelombang hentakan yang tak seberapa kuat, seperti tadi juga.
Dueerr...! Duaarr...!
"Bangsat! Aku dibuat mainan! Tak bisa kugunakan seruling ini karena tak kulihat seperti apa wujud orangnya!" geram Raja Tumbal dengan menahan murka.
Claapp...! Drrubb...!
"Aaahg...!" Karto Serong tiba-tiba mendelik dengan tubuh mengejang. Landak Boreh yang melihat persis datangnya sinar merah seperti tongkat kecil yang menghantam tubuh Karto Serong dari belakang.
Tubuh itu menjadi hitam keling seketika. Pakaiannya hangus dan menjadi abu. Rambutnya keriting memendek, akhirnya menggunduli kepalanya. Karto Serong pun tumbang dengan tubuh hangus tanpa nyawa lagi.
"Kenapa dia?" bentak Raja Tumbal dengan marah.
"Sinar...!" jawab Landak Boreh dengan gugup menusuk-nusuk pinggang belakang dengan jari. "Sinar...!" Maksudnya ada sinar menghantam Karto Serong dari belakang. Karena gugup ia hanya bisa berkata 'sinar, sinar' saja.
Plaakkk...! Raja Tumbal gemas sekali dengan kegugupan Landak Boreh, maka pemuda ikal itu ditampar keras-keras. Ia memekik sambil berkata,
"Bukan aku, Ketua! Bukan aku yang menyebabkan. Eh, yang menyerangnya. Bukan aku, sumpah!" matanya sambil mundur pelan-pelan karena Raja Tumbal maju pelan-pelan. Matanya menatap tajam sekali kearah Landak Boreh.
"Kau yang bertugas menjaga keadaan belakang kami! Seharusnya kau tahu kalau ada sinar yang menyerang Karto Serong dari belakang!"
"Sa... saya terlambat, ketua!"
"Itu kebodohanmu!" bentak Raja Tumbal, karena kemarahannya kepada si penyerang tak bisa dicurahkan, akhirnya Landak Boreh yang menjadi pelampiasan kemarahan itu.
Raja Tumbal segera cabut serulingnya. Landak Boreh kian ketakutan, karena ia tahu itu pertanda ia akan dibunuh dengan suara seruling. Landak Boreh sangat ketakutan sampai jatuh berlutut dan menyembah-nyembah penuh permohonan ampun. Wajahnya menyentuh sampai ditanah tak berani memandang Raja Tumbal.
"Ampun, Ketua. Ampun...! Aku tak sempat mencegah sinar itu. Aku tak ingin mati kelip-kelip karena hancur seperti sate tanpa bumbu. Ampun, Ketua...! Ingatlah kalau aku pernah punya jasa, yaitu menemukan celana ketua yang sedang dijemur dan hilang dicuri orang. Ampun... jangan bunuh aku, Ketua!"
Karena wajahnya menempel ditanah, Landak Boreh tidak tahu kalau Raja Tumbal sudah pergi dari tadi mengikuti bisikan Gali Sampluk.
"Keadaan kita terlalu ditempat terbuka. Cari tempat berlindung biar tak bisa di serang dari berbagai arah!"
"Kau punya tempat berlindung?"
"Di balik gugusan cadas seberang sana kurasa aman, Ketua! Kita bisa selidiki dari sana, siapa penyerangnya dan ada dimana letaknya. Biarkan Landak Boreh menjadi umpan disini."
"Gagasan yang bagus!" kata Raja Tumbal dalam bisik. Keduanya melesat pergi kebalik gugusan cadas tanpa lumut yang membukit itu. Landak Boreh tidak tahu karena telinganya sendiri dipenuhi suara ratapan dan permohonan ampunnya, sehingga ia masih nungging disitu sementara yang lain telah pergi.
"Demi sumpah apa saja ketua... aku tidak sengaja membiarkan sinar merah itu menghantam punggung Karto Serong! Tolong, Ketua... tolong selamatkan nyawaku dari kedahsyatan seruling pusakamu itu, Ketua! Jangan tiup seruling itu. Hematlah napas agar tak cepat habis, Ketua."
Ratapan dan permohonan ampun itu berhenti. Landak Boreh ingin mendengar ucapan Raja Tumbal. Tapi lama sekali tak terdengar suara sang ketuanya itu. Ia masih nungging menyembah, merapatkan dahi dengan tanah. Ia masih menunggu sampai beberapa saat lamanya hingga kesepian terjadi disekitarnya.
"Ketua...," panggilnya pelan. Tapi tak ada jawaban.
"Sang ketua...? panggilnya lagi dengan tetap menyembah. Tapi yang ada hanya sepi dan hening mencekam jiwa. Maka pelan-pelan wajah Landak Boreh ditegakkan.
Tampak kaki tua yang beralas karet samak dengan tali melilit betis. Landak Boreh merasa heran. Pandangannya kian dinaikkan, terlihatlah jubah hitam daan celana hitam. Ia mulai heran, "Kok pakaian ketua berganti?" pikirnya. Ia penasaran sekali. Sehingga pandangannya kian dinaikkan dan menjadi terperangah kaget setelah mengetahui orang yang berdiri didepannya bukan Raja Tumbal.
"Amit-amit? Kenapa kau menjadi setua ini,"
Maka sambil Landak Boreh. bangkit berdiri dengan dahi berkerut tajam. Mata malingnya memandang penuh keheranan tiada habis. Dari rambut sampai kaki, pandangannya tanpa berkedip sedikitnyapun. Orang yang dipandangi diam saja.
Jubah hitamnya yang menutupi pakaian hitam itu berkelebat dihembus angin. Rambut panjangnya yang masih hitam itu juga meriap-riap diterpa angin. Tubuh kurusnya berdiri tegak, masih gagah, walau wajahnya menampakkan usia tua yang lewat dari delapan puluh tahun itu. Orang tersebut tak lain adalah Ki Palaran, gurunya Dungu Dipo. Kemampuan gerak berpindah tempat persembunyian memang hebat, sehingga tak menimbulkan suara gemerisik, tak menimbulkan gerak dedaunan yang dilewatinya. Itulah sebabnya Raja Tumbal dan anak buahnya sulit mencari dimana ia bersembunyi.
"Ketua... wajahmu berubah, Ketua! Mungkin kau kena kutuk Peri hutan ini!" kata Landak Boreh dengan ragu-ragu.
"Aku bukan ketuamu! Aku Palaran, guru dari Dungu Dipo yang kau bunuh bersama orang-orang Muara Singa lainnya!"
"Hah...?! Jadi kau... kau..."
"Akulah El Maut yang akan menjemput nyawamu, dan nyawa ketuamu dan seorang temanmu yang gendut itu!" geram Ki Palaran dengan mata dingin. Tangannya mulai bergerak pelan-pelan.
Landak Boreh mundur dengan wajah tegang, sangat ketakutan. Namun sebelum Ki Palaran sentakkan tangannya, ia mendengar suara seruling berkumandang. Tulit, tuliiiiittt... tit, tit.... tulit...! Ki Palaran pun mengejang. Tubuhnya gemetar. Telinganya mulai berdarah. Ia segera menutup kedua telinganya dengan tangannya. Tapi suara seruling itu kian melengking tinggi tanpa irama tak enak didengar. Akhirnya tubuh Ki Palaran mengejang kuat-kuat. Braaasss...! Tubuh itu meledak, hancur tanpa sempat berteriak sedikit pun.
Ia telah terpantau oleh Raja Tumbal, sehingga sosoknya dapat dilihat dari gugusan tanah cadas diseberang sana. Jika mata Raja Tumbal bisa melihat lawannya, maka Seruling Malaikat pun bisa diperintah menghancurkan tubuh lawan.
Perbuatan itu ternyata ada yang mengintainya dari kejauhan. Pendekar Mabuk dan utusan dari Ringgit Kencana serta Batu Sampang.
Saat itu terjadi percakapan antara Ki Gendeng Sekarat dengan Resi Wulung Gading. Angon Luwak membantu Sukat membersihkan taman, sedangkan Pendeta Lima dan Pendeta Jantung Dewa sudah pergi meninggalkan pondok Resi Wulung Gading, kembali ke Biara meraka masing-masing sambil menunggu hasil keputusan rapat Suto dengan para tokoh tua itu.
"Sekarang tak ada kesempatan cegah angkara murka si Raja Tumbal dengan gunakan Pedang Kayu Petir!" kata Resi Wulung Gading. "Satu-satunya cara adalah menghadapi Raja Tumbal dan adu kecepatan menyerang. Jangan beri kesempatan Raja Tumbal cabut serulingnya. Sebelum Ia gunakan seruling itu. Harus bisa menumbangkan lebih dulu."
Ki Gendeng Sekarat berkata dalam keadaan tidak tidur. "Bagaimana kalau kupancing dengan pasukan mayat!?"
"Kau akan gunakan pembangkit mayat? Oh, jangan, jangan mengusik mereka yang telah tenang, Ki Gendeng Sekarat!"
"Hanya untuk memancing perhatian Raja Tumbal saja!"
"Dia bukan orang bodoh. Tentunya dia tak akan kena pancingan itu. Bisa-bisa dia akan lekas cabut serulingnya dan kau tak punya kesempatan menyerangnya, Gendeng Sekarat!"
"Sebaiknya," kata Suto menengahi pembicara tersebut, "... biar aku saja yang maju menyerangnya. Akan kugunakan jurus 'Sembur Siluman' untuk melenyapkan Seruling Malaikat dari tangannya!"
Jurus 'Sembur Siluman' adalah jurus yang menggunakan tuak. Dengan satu kali tuak disemburkan dari mulut Suto Sinting, maka benda yang terkena semburan itu akan lenyap tak berbekas. Biasanya digunakan oleh Suto Sinting untuk melenyapkan senjata lawan yang berbahaya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sesat). Benda yang lenyap itu bisa ditimbulkan kembali dengan Ilmu 'Jelma Siluman' yang di miliki oleh Pendekar Mabuk. Jurus-jurus tersebut adalah pemberian dari gurunya Pendekar Mabuk, si Glla Tuak.
Dalam renungannya yang terakhir, Resi Wulung Gading, berkata kepada Suto, "Jurus itu mllik gurumu; Sabawana atau si! Gila Tuak. Kali ini kau berhadapan dengan pusaka yang ampuh, Tanyakan dulu kepada Gila Tuak, apa jurus 'Sembur Siluman' dapat digunakan untuk melenyapkan Seruling Malaikat? Jangan bersifat untung-untungan, Suto. Sebab jika kau belum tahu dengan pasti, apakah jurus itu mampu melenyapkan Seruling Malaikat, maka kau akan menjadi korban yang sia-sia. Sekali tiup seruling itu, tubuhmu akan hancur berkeping-keping. Kalau memang ternyata jurus itu bisa melenyapkan Seruling Malaikat kau memang akan menang. Tapi jika ternyata gagal?!"
Ki Gendeng Sekarat berkata pula kepada Suto Sinting, “Saran itu sangat baik, Tanyakanlah dulu kepada Ki Sabawana, gurumu itu. Pastikan kehebatan jurus 'Sembur Siluman'. Berangkatlah dari sekarang. Aku akan disini bersama Resi Wulung Gading untuk memikirkan bagaimana mengambil pedang itu dari Sumur Tembus Jagat!"
"Baiklah, Ki! Saya akan menghadap Guru lebih dulu!" kata Suto tegas.
"Sebab begini, Suto...!" tambah Resi Wulung Gading. "Jurus 'Sembur Siluman' itu memang hebat. Mampu melenyapkan benda yang kau semburkan. Tapi Pedang Kayu Petir tidak akan bisa kau sembur dan menjadi lenyap seperti benda lainnya. Yang kita pertanyakan adalah, apakah kekuatan sakti Seruling Maialkat itu sama dengan kekuatan sakti Pedang Kayu Petir?!"
"Ya. Aku mengerti persoalannya Eyang Resi. Sebaiknya aku pamit sekarang juga untuk menuju ke Jurang Lindu!"
"Salamku untuk gurumu, Suto; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" kata sang Resi.
Suto Sinting segera tinggalkan Lembah Sunyi, untuk menuju ke Jurang Lindu, tempat kediaman gurunya Gila Tuak. Namun perjalanannya selalu tak pernah mulus. Ada-ada saja yang terjadi di perjalanan sang Pendekar. Hanya saja kali ini Pendekar Mabuk terhenti karena melihat kelebatan Delima Gusti, anak sang Adipati Suralaya. Perempuan cantik itu pun rupanya sempat melihat Suto Sinting, maka arah pelariannya di belokkan menuju Suto.
"Beruntung sekali aku bisa temui kau disini!" kata Delima Gusti dengan wajah merah karena ketegangan.
"Apa yang membuatmu berkata begitu Delima Gusti?!" sambil mata Suto melirik ke sana kesini. Hatinya merasakan kekhawatiran kecil, yaitu kekhawatiran dilihat Angin Betina.
Sebab tampaknya Angin Betina yang sudah terang-terangan menyatakan tertarik kepadanya. Dia pasti akan marah dan cemburu jika melihat Suto bersama dengan Delima Gusti. Karena pada awal pertemuan Suto dengan Angin Betina adalah pada saat Angin Betina bertarung melawan Delima Gusti. Lalu kemunculan Suto saat itu membuat Angin Betina terpukul mundur. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir)
Tapi agaknya di sekeliling tempat itu tak ada manusia, tak ada Angin Betina. Gadis itu pergi begitu saja sejak Suto selesaikan pertarungan dengan ke empat tokoh berilmu tinggi yang mengejar-ngejar Angon Luwak menghendaki Pedang Kayu Petir. Perempuan berambut acak-acakan dan berpakaian ketat hitam itu hanya menepuk-nepuk pundak Suto tak jelas maksudnya, lalu melesat pergi tanpa pamit dan pesan apa pun. Entah dimana sekarang perempuan yang menyatakan diri ingin melindungi Suto dari segala bahaya itu.
Pandangan mata Suto yang menatap sekellilng di artikan lain oleh Delima Gusti, sehingga perempuan yang konon mau dilamar oleh Raja Tumbal dan mendapatkan mas kawinkem Pedang Kayu Petir itu segera berkata dengan menenangkan napasnya, "Tidak ada yang mengikutiku. Jangan khawatir. Perjalananku dari kediaman gurumu tidak diketahui oleh siapa pun!"
"Apakah kau sudah bertemu dengan guruku?"
"Ya, dan kini aku tahu bahwa Pedang Kayu Petir tidak ada di tangan Raja Tumbal. Gurumu menceritakan ciri-ciri pedang yang mirip pedang mainan anak-anak dari kayu itu. Bahkan...," Delima Gusti menelan ludahnya seperti habis terguncangkan hatinya. Suto Sinting hanya memperhatikan dan menunggu kelanjutan ucapan itu dengan dahi sedikit berkerut.
"Bahkan aku baru kemarin memergoki keadaan yang sungguh mengerikan!" lanjut Delima Gusti. "Tadi pun aku melihat kejadian itu lagi yang membuatku punya gagasan untuk temui Resi Wulung Gading untuk meminta pendapat beliau."
"Apa yang kau lihat?"
"Seruling Malaikat itu digunakan oleh Raja Tumbal."
"Oh...?!" Suto Sinfing mulal menegang.
"Kemarin lusa aku melihat pertarungan antara orang-orang Pasir Tawu dengan Raja Tumbal. Sepuluh orang murid Pasir Tawu hancur berkeping-keping begitu mendengar suara seruling maut itu. Anehnya, orang yang ada di dekatnya persis tidak terluka sedikit pun! Padahal menurut perhitunganku, orang yang berdiri di dekat Raja Tumbal jelas mendengar denging seruling lebih tajam dari mereka yang berjarak delapan langkah dari Raja Tumbal."
“Gelombang getaran suara seruling itu bekerja sama dengan mata dan hati peniupnya, Delima Gusti. Biar pun ada didepannya persis, tapi kalau mata hati peniupnya tidak kehendaki kehancuranmu, maka kau tetap hidup dan tak merasa berisik sedikit pun mendengar suara seruling tersebut!"
"Hmm...," Delima Gusti manggut-manggut. "Ditempat itu kulihat orang lain bersembunyi menyaksikan keganasan suara Seruling Malaikat. Orang tersebut tak ku tahu namanya; pemuda tampan berpakaian bagus dan tiga wanita cantik yang berlimu tinggi, berdiri di atas pohon dengan pergunakan ilmu peringan tubuh yang cukup baik."
"Apakah mereka ikut menjadi korban?!"
"Pemuda tampan itu tidak." jawab Delima Gusti.
Tetapi ketika Raja Tumbal sebutkan nama sebuah negeri, ketiga wanita cantik berambut cepak seperti lelaki itu segera melesat pergi dan..."
"Berambut cepak?!" Suto Sinting bergumam karena merasakan kecurigaan dihati. "Apa kata Raja Tumbal yang membuat ketiga perempuan cantik itu pergi?"
"Raja Tumbal menyuruh tiga anak buahnya untuk bergegas mencari orang-orang negeri Ringgit Kencana. Ia jugaku dengar sebutkan nama Rindu Malam!"
"Tak salah dugaan hatiku!" gumam Suto pelan sekali. Ia semakin cemas. "Sewaktu ketiga perempuan cantik itu larikan diri, agaknya Raja Tumbal melihat gerakan mereka. Sehingga Raja Tumbal bersama tiga anak buahnya berlari mengejar tiga perempuan cantik itu."
"Rindu Malam dalam bahaya!" gumam hati Suto Sinting dalam termenungnya. "Ada persoalan apa dengan Raja Tumbal? Mungkinkah karena persoalan itu sehingga dalam semadiku selalu terganggu oleh kemunculan bayangan wajah Ratu Asmaradani? Gawat! Rindu Malam pasti akan hancur jika berhadapan dengan Raja Tumbal."
Delima Gusti bicara lagi bagai tak mau tau renungan Suto. "Tadi pun kulihat lagi Raja Tumbal berhadapan dengan tiga orang Muara Singa...!"
"Hah...?!" Suto kaget sekali, karena ia segera ingat bahwa kepergiannya dari Muara Singa adalah dalam rangka mencari petunjuk bagaimana mengalahkan Seruling Malaikat itu.
“Terus, terus...?! Terus bagaimana? Siapa yang berhadapan dengan Raja Tumbal itu? Lelaki atau perempuan? Mati atau hidup?!" Suto memberondong pertanyaan yang membuat Delima Gusti tarik nafas dalm memendam kejengkelan.
“Aku tak tahu siapa nama-nama mereka, yang jelas mereka adalah tiga lelaki, dan yang satu kudengar dipanggil Dungu Dipo!"
"Ya. Dungu Dipo memang orang Muara Singa." sahut Suto. "Lantas bagaimana nasibnya?"
"Dungu Dipo hancur karena getaran maut suara seruling itu, juga satu orang lagi yang berbadan gemuk, entah siapa namanya!"
Ooh...," Suto mengeluh lirih, hatinya sedih membayangkan kematian Dungu Dipo, murid Ki Palaran itu.
"Satu orang lagi lolos dan melarikan diri dengan kecepatan tinggi." sambung Delima Gusti.
Suto Sinting termenung dengan wajah tertunduk. Ia ingat pesan Palupi, yang kini jadi Ratu di Muara Singa, bahwa kepergian Suto tak bisa lama-lama. Karena Raja Tumbal akan merebut kekuasaan di Muara Singa hanya dalam purnama mendatang. Sedangkan Purnama itu sudah terjadi tadi malam. Berarti sudah saatnya bagi Raja Tumbal untuk lakukan pembantaian di Muara Singa, merebut negeri itu.
"Ku dengar pula percakapan Raja Tumbal dengan anak buahnya yang gemuk, cepat atau lambat mereka harus temukan Pendekar Mabuk untuk bikin perhitungan sendiri atas kematian anak buahnya yang katanya meledak oleh ilmu mautnya itu. Raja Tumbal merasa di tantang adu kesaktian dengan keikutsertaanmu dalam membela dua orang pendeta, entah pendeta siapa namanya?!"
Kembali dalam benak Pendekar Mabuk terbayang saat ia berhadapan dengan dua anak buah Raja Tumbal yang menyerang Pendeta Jantung Dewa dan Pendeta Jari Lima. Ia memang menghancurkan tubuh Rajang Lebong. Sementara Pangkas Caling yang terpotong kakinya dibiarkan lari. Mungkin Pangkas Caling itulah yang memberi laporan kepada Raja Tumbal tentang campur tangan Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir)
"Kemana Raja Tumbal bergerak?!" kata Suto.
"Ke Barat!"
"Celaka! Pasti sasarannya negeri Muara Singa!"
"Kadipatenku juga ada di arah barat. Mungkin saja dia menuju je kadipaten dan menemui ayahku untuk memastikan apakah lamarannya di terima atau tidak. Jika ayah tidak mau lekas-lekas pastikan lamarannya diterima, tentu dia akan bikin ulah di kadipaten. Apalagi jika ayah bersikeras menolak lamarannya sebelum terbukti ada Pedang Kayu Petir itu, pasti dia akan marah dan Seruling Malaikat akan merenggut korban di kadipaten. Itulah yang kucemaskan dan ingin kubicarakan dengan Resi Wulung Gading."
"Memang ada banyak kemungkinan" kata Suto pelan, bagai bicara pada diri sendiri. "Bisa saja mereka menuju ke Biara Genta dan Biara Damai. Bisa pula ia masih mengejar Rindu Malam dan... oh, ya, apakah kau melihat orang Ringgit Kencana itu mati oleh seruling maut itu?!"
"Tidak. Aku tidak melihat saat Raja Tumbal membunuh mereka. Mungkin juga mereka mampu meloloskan diri, mungkin pula sudah hancur sejak kemarin. Aku tak sempat ikuti pelarian dan pengejaran itu" jawab Delima Gusti sejelas-jelasnya.
Jawaban itu yang membuat Suto tertegun kembali, memandang kearah jauh, menerawang lamunannya tentang keganasan Raja Tumbal.
Tiba-tiba sekelebat sinar merah melesat dari balik gugusan batu yang tingginya menyamai sebuah rumah. Sinar merah itu mirip bintang berekor dan bergerak cepat menuju ke punggung Delima Gusti. Melihat kelebatan sinar merah itu, Delima Gusti segera ditarik Suto secepatnya. Tarikan itu membuat Delima Gusti bagaikan jatuh dalam pelukan Pendekar Mabuk. Kemudian gerak cepat Suto membuat bambu tuaknya menghadang di depan punggung Delima Gusti. Sinar merah itu akhirnya menghantam bambu bumbung tuak.
Daaab...!
Bumbung itu bagaikan karet membai, memantulkan sinar merah yang semula sebesar buah duku kini menjadi lebih besar jagi, sekitar berukuran sama dengan buah kedondong. Gerakkan membaliknya pun lebih cepat lagi dari saat kedatangannya. Ziaaapp...!
Blegaarr...!
Ledakan dahsyat Itulah membuat Delima Gustl segera tahu mengapa Suto tiba-tiba memeluknya. Delima Gusti ikut memandang kearah ledakan yang melambumbungkan asap tebal warna hitam keputih-putihan itu. Sebuah pohon pecah dalam keadaan menyedihkan. Dua pohon disekitarnya segera tumbang beberapa helaan nafas kemudian. Kalau saja sinar merah tadi menghantam persis di gugusan batu sebesar rumah, jelas batu tersebut akan hancur berkeping-keping.
Tak ada orang yang muncul dari balik gugusan batu besar itu. Suto dan Delima Gusti tetap waspada, mata mereka memandang tajam kearah Batu besar. Untuk sesaat suasana menjadi sepi seakan tak ada manusia lain disitu kecuali mereka berdua. Tetapi Suto yakin, ada manusia di sekitar mereka, karena ia mendengar detak jantung orang lain yang bukan jantung Delima Gusti dan jantungnya sendiri. Karenanya Suto berbisik pelan kepada Delima Gusti,
"Bersiaplah! Dia masih ada di sini. Mungkin di balik batu besar itu! Aku akan memeriksanya kesana!"
"Hati-hati, agaknya dia berbahaya. Jurus yang ia gunakan langsung jurus mematikan!" bisik Delima Gusti dengan mata melirik ke kanan-kiri. Ia biarkan Pendekar Mabuk itu berkelebat dengan gerak silumannya menuju batu besar itu.
Zlaaap...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah berdiri diatas batu besar itu, memeriksa ke balik batu tersebut, lalu menghempaskan napas dan memandang sekeliling. Berarti dibalik batu itu tidak ada manusia yang bersembunyi.
Tiba-tiba dari atas pohon melesat sinar merah seperti tadi menuju kearah Delima Gusti. Slaaap...! Perempuan dengan pakaian hijau muda dengan halus merah jambu itu tidak melihat kelebatan sinar tersebut. Padahal gerakan sinar terarah ke kepala Delima Gusti dari arah belakang.
Untuk menghindari ancaman maut sinar merah tersebut, Suto Sinting terpaksa segera sentakkan kedua tangannya yang merapat didada. Sentakkan kedepan dari kedua tangan itu keluarkan sinar ungu dari ujung jarinya. Claappp...! Cepat sekali gerakannya, dan tepat sekali arahnya. Sinar merah itu dihantam sinar ungu dengan telak sebelum mencapai kepala Delima Gusti.
Blegaarrr...!
Jurus 'Surya Dewata' akhirnya dipergunakan oleh Suto demi menyelamatkan nyawa Delima Gusti. Tetapi akibatnya cukup parah bagi alam sekitar. Tanaman besar-besar menjadi korban pula; pecah terbelah menjadi beberapa bagian karena sentakkan gelombang ledakannya yang dahsyat itu. Bahkan tubuh Delima Gusti juga tahu-tahu sudah terkapar dengan wajah membiru dalam jarak lima langkah dari tempatnya berdiri tadi. Suto Sinting menyesal melihat keadaan Delima Gusti, tetapi menurutnya tak ada jalan lain untuk seelamatkan nyawa perempuan itu. Lebih baik terkapar daripada hancur terhantam sinar merah berbahaya itu.
Kedua tangan Suto pun di sentakkan ke depan. Wuttt! Lalu melesatlah sinar biru besar yang menghantam kerimbunan pohon tempat keluar sinar merah tadi.
Bruuss...! Blegaarr...!
Dentuman kali ini tidak sampai melemparkan tubuh Delima Gusti lagi, tapi membuat hancur pohon berdaun rindang itu, juga keempat pohon lainnya ikut hancur bertebaran. Jurus 'Tangan Guntur' telah dipergunakan oleh Pendekar Mabuk untuk memaksa keluar penyerang yang bersembunyi dibalik pohon berdaun rapat itu.
Tetapi beberapa saat ternyata penyerangnya tidak menampakkan diri. Suto Sinting jadi jengkel sendiri. Matanya mengitari tempat itu dengan sangat teliti, tapi tak terlihat gerakan seseorang dari balik persembunyiannya.
"Delima Gusti harus segera ditolong sebelum nyawanya lenyap gara-gara ledakan sinarku tadi!" pikir Suto dan Ia pun berkelebat ketempat Delima Gusti terkapar.
Tuak dari bumbung dituangkan ke mulut Delima Gusti. Mau tak mau perempuan itu menelan tuak tersebut beberapa teguk. Tuak itulah obat mujarab untuk segala luka dan penyakit, mampu sembuhkan luka dengan cepat, sehingga Delima Gusti mulai rasakan panas didalam kepala dan dadanya setelah meneguk tuak sakti itu.
Suto masih membiarkan Delima Gusti terbaring, Ia segera berseru memancing keluar penyerang gelap yang agaknya sangat mendendam kepada Delima Gusti. "Siapa pun orangnya kau, hadapilah Delima Gusti secara kesatria! Kau, kau tak akan menang melawannya jika harus berhadapan langsung dalam pertarungan!"
Kata-kata itu sengaja dibuat meremehkan si penyerap agar hati orang itu semakin panas dan merasa malu dianggap tak akan unggul melawan Delima Gusti.
Tantangan Suto Sinting ternyata cukup berhasil. Orang Itu mampu bergerak cepat dengan berpindah-pindah tempat persembunyian itu tak lain adalah seorang lelaki berpakaian serba hitam. Rambutnya masih hitam walaupun tampangnya sudah tua, kira-kira berusia delapan puluh tahun, tubuhnya kurus, tapi matanya masih tajam.
"Ki Palaran!" gumam Suto dengan heran. Tokoh tersebut bagaikan hantu hitam. Sikapnya bermusuhan pada Suto Sinting, padahal dulu bersahabat baik ketika Suto Sinting berhasil sembuhkan murid Ki Palaran dari 'Racun Murka'. Ki Palaran adalah guru Dungu Dipo yang agaknya sangat sayang kepada sang murid.
"Sekarang kau berhadapan denganku Suto Sinting. Aku tak peduli murid siapa kau, tapi kulihat kau memihak Delima Gusti, putri Adipati itu!"
"Sabarlah, Ki Palaran! Jelaskan dulu persoalannya" bujuk Suto dengan kalem.
"Dungu Dipo telah mati! Kutemukan pecahan raganya menyebar kesana-kesini. Dan kulihat perempuan itu melarikan diri dari persembunyiannya. Pasti dia menyerang muridku secara sembunyi!"
Delima Gusti segera bangkit, suaranya masih lemas. "Bukan aku pembunuhnya, tapi Raja Tumbal yang melakukan kekejaman itu!"
"Benar Ki! Seruling Malaikat yang membuat muridmu mati menyedihkan!" tambah Suto meyakinkan Ki Palaran.
Toko tua itu diam terbungkam, menatap Delima Gusti dan Suto secara bergantian, seakan mencari kejujuran di mata kedua orang itu.
* * *
EMPAT
AKHIRNYA Ki Palaran bisa mempercayai pengakuan Delima Gusti, karena pada saat itu Pendekar Mabuk berkata, “Nyawaku sebagai jaminan kebenaran ucapan Delima Gusti, Ki Palaran!"
Setelah kemarahan Ki Palaran mereda, tokoh tua berkata, "Kalau begitu aku harus mencari Raja Tumbal. Dia pasti menuju ke Muara Singa!"
"Jika memang begitu, aku akan menemanimu, Ki Palaran"
"Tak perlu, Pendekar Mabuk. Aku sudah tua, tak perlu kau temani. Lakukan rencanamu semula, temui dulu gurumu dan tanyakan tentang ilmu 'Sembur Siluman' itu seperti saran Resi Wulung Gading dan Gendeng Sekarat. Aku akan menuju ke barat, mendahului Raja Tumbal mencapai Muara Singa! Sampai bertemu lagi, Suto"
Wuusss...! Bagaikan kilat, Ki Palaran berkelebat meninggalkan Suto Sinting dan Delima Gusti. Belum ada satu kedipan mata, tokoh tua itu sudah tidak terlihat mata. Gerakannya sungguh cepat, menyamai gerak silumannya Suto Sinting.
Delima Gusti segera perdengarkan suaranya. "Aku akan segera pulang ke kadipaten memberitahukan bahaya kepada ayahandaku"
"Aku akan mendampingimu Delima!"
"Tak perlu! Aku cukup bisa menjaga keselamatanku. Lakukan saja seperti pesan Ki Palaran tadi, lanjutkan perjalananmu ke Jurang Lindu, karena keperluan mu disana penting!"
"Tapi..."
"Kita pasti jumpa lagi, Suto!" potong Delima Gusti lalu tubuhnya bergerak cepat meninggalkan Suto, namun tak secepat Ki Palaran tadi.
Suto Sinting tidak mempunyai pilihan lain. Karena mereka berdua tidak mau didampingi Suto, maka ia segera bergegas temui gurunya di Jurang Lindu. "Menurut dugaan hatiku," katanya membatin, "Raja Tumbal tidak mungkin menuju ke kadipaten Suralaya dulu. Pasti ia lebih mementingkan Muara Singa. Negeri itu sangat diharapkan jatuh ketangannya. Jadi nanti sepulangnya dari menghadap guru, aku harus segera menuju ke Muara Singa. Dan agaknya hal ini tidak bisa di tunda-tunda lagi. Meleset sedikit, terlambat sedikit, keselamatan Purnama Laras dan Galuh Puspanagari tidak akan tertolong lagi."
Langkah Pendekar Mabuk sengaja berhenti untuk menenggak tuaknya sesaat. Tiga tenggak tuak diteguknya. Badannya terasa segar sekali. Langkahpun dilanjutkan lagi menuju ke Jurang Lindu. Tapi kali ini langkah tersebut terpaksa tertunda, karena dari atas perbukitan itu Suto Sinting melihat sekelebatan pantulan cahaya matahari dari bawah bukit. Pantulan itu menyilaukan, dan di duga datang dari kilatan pedang putih.
"Oh, ada pertarungan dibawah sana?" pikirnya. Ia mencoba menembus belantara hutan dikaki bukit tersebut, tapi matanya tak mampu menembus semak dan kerimbunan pohon. Hanya saja, suara beradu pedang dengan benda keras sesekali terdengar mendenting bergema. Rasa penasaran pun timbul dihati Suto. Tak bisa tidak, Pendekar Mabuk segera meluncur ke kaki bukit untuk melihat siapa yang bertarung di sana.
Bagi Suto, kedua tokoh yang bertarung itu belum saling dikenalnya. Mereka adalah Dewa Rayu dan musuh lamanya dari perguruan Lumbung Darah, murid Tengkorak Liar yang bernamaBale Kembang. bertubuhkekar, berotot, gerakannya cukup buas. Senjata yang ada ditangannya adalah tombak dengan berujung pedang dihiasi rumbai-rumbai benang hijau. Tapi ketika ditebaskan kearah Dewa Rayu, rumbai-rumbai benang hijau itu tidak kelihatan karena cepatnya gerakan.
Bale Kembang mengenakan rompi hitam dan celana merah. Sabuknya kain selendang berwarna hijau. Dengan mengenakan rompi tersebut, Bale kembang kelihatan gagah dan kekar. Otot-otot dilengannya terlihat kekar. Dadanya pun membusung bak batuan gunung yang keras dan sukar di gores. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya memang angker walau ada kumis. Matanya lebar alisnya tebal, kepalanya licin tanpa rambut, mirip kentang dikupas.
Jurus-jurus yang digunakan Bale Kembang sangat berbahaya bagi Dewa Rayu. Selain cepat juga penuh gerak tipuan. Tiga kali Suto melihat pemuda tampan itu nyaris mati terpancung tombak pedang itu. Sedangkan Dewa Rayu selalu berhasil mengimbangi gerak cepatnya lawan. sehingga pancungan-pancungan maut itu selalu berhasil dihindari.
"Apakah jurusmu sudah kau keluarkan, tapi tak sedikitpun kulitku tergores oleh senjatamu!" kata Dewa Rayu ketika ia sengaja menjauh untuk hentikan pertarungan sejenak.
"Monyet edan!" geram Bale Kembang. "Aku masih tenggang rasa padamu! Yang kuharapkan adalah bertanya lebih dulu, bahwa kau memang membunuh ketua Lumbung Darah; sang Tengkorak Liar!"
"Sekali kukatakan tidak, tetap tidak! Tetapi jika kau memaksaku untuk menjawab ya, maka akan ku jawab; ya memang aku yang membunuh gurumu!"
"Bangsat kau, Dewa Rayu!" sentak Bale Kembang dengan berang sekali.
"Kau pikir mengaku sebagai orang yang membunuh Tengkorak Liar bukan hal yang membanggakan! Oh, sangat membanggakan! Sangat besar hatiku jika bisa memenggal kepala gurumu dan menggelindingkannya didepanmu, Bale Kembang!"
"Kalau begitu kau harus menebus kematian guruku!"
"Akan ku tebus!" jawab Dewa Rayu seenaknya saja seakan tak merasa gentar sedikitpun terhadap lawannya yang lebih besar darinya itu.
"Serang aku kalau kau memang mau menebus kematian guruku. Jangan hanya menghindar dan menangkis, melonjak sana, meloncat sini, mirip kutu loncat!"
"Apakah kau sudah siap mati, sehingga kau paksa aku menyerangmu?" ucap Dewa Rayu dengan angkuhnya.
"Lebih baik aku yang mati ditangan mu menyusul kematian adikku lima tahun yang lalu itu, daripada aku tak bisa membunuhmu, Dewa Rayu!"
"Oh, baik kalau begitu! Akan ku akhiri riwayat hidupmu dengan pedangku, seperti aku mengakhiri riwayat hidup adikmu beberapa tahun yang lalu! Bersiap ambil napas panjang supaya hembusannya mempercepat lepasnya nyawamu, Bale Kembang!"
Suto Sinting masih dipersembunyiannya. Salah satu kebiasaan Suto Sinting adalah menyaksikan pertarungan secara diam-diam dan mempelajari jurus-jurus mereka yang perlu dicatat dalam benak. Jika sudah begitu, Pendekar Mabuk tak pernah bisa dari tempatnya sedikit pun sebelum pertarungan itu berhenti, entah berhenti dengan sendirinya atau dihentikan oleh Suto sendiri. Sebab itulah ia rela menunda perjalanannya ke Jurang Lindu.
Dewa Rayu menggerakan pedangnya dengan lambat sambil melangkah ke samping.membentuk gerakan melingkar. Bale Kembang pun bergerak serupa sambil mempermainkan jurus kembangan bersama senjata panjangnya itu. Mereka saling mencuri kesempatan, mencari kelengahan, sampai akhirnya Bale Kembang melompat dalam satu sentakkan kaki dan sentakkan suara, "Heaaah...!"
Pemuda berkumis tipis itu pun menyambut lompatan lawan dengan satu sentakan kaki yang melesatkan tubuh kedepan, seakan siap menerjang tombak pedang lawannya.Sedangkan Bale Kembang merasa memperoleh peluang bagus, sehingga ia segera menebaskan tombak pedangnya dengan ganas.
Wuukkk...! Wuuukkk...! Trang, trang, wuuss...! Beehg...!
Tubuh besar berotot itu terpental mundur, bagaikan terbuang ke tempat sampah.Jatuhnya ketanah itu berdebam mengerikan. Buuook...! Setidaknya tulang punggungnya seperti patah karena ia jatuh dalam keadaan seperti di banting kuat-kuat.
Hal itu dikarenakan Dewa Rayu secara mendadak menggunakan kekuatan tenaga dalamnya dengan tangan kiri setelah pedang menangkis senjata lawan beberapa kali. Pukulan tenaga dalam tanpa sinar itu ternyata amat besar. Kalau tidak besar, tidak mungkin tubuh seperti badak itu bisa terbanting dengan kerasnya.
"Benar-benar manusia badak si Bale Kambang itu!" kata Suto dari persembunyiannya. "Dibanting sekeras itu dia sudah bisa cepat berdiri lagi tanpa menyeringai kesakitan. Jangan-jangan orang itu bukan makan nasi tapi makan batu setiap harinya!"
Bale Kambang memang bangkit lagi, masih segar dan kekar. Wajahnya kian buas, merasa di hina oleh senyuman sinis Dewa Rayu. Ia berseru dari tempatnya yang berjarak lima tindak dari tempat berdiri Dewa Rayu.
"Aryawinuda! Terimalah ajalmu kali ini! Hiaaah...!" Tahu-tahu tombak itu dilemparkan oleh Bale Kambang kearah Aryawinuda alias Dewa Rayu. Wuuusss...! Bersamaan terlepasnya tombak itu, terlepas pula pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi dari kedua telapak tangan yang disentakkan kedepan. Wooss...! Pukulan itu berubah asap yang menyembur cepat berwarna kuning kemerah-merahan.
Rupanya ini termasuk jurus tipuan Bale Kambang. Lemparan tombaknya membuat perhatian Dewa Rayu sibuk menghindar dan menangkis tombak itu. Akibatnya pukulan yang datang berasap kuning kemerahan itu tidak dihindarkan lagi.
Trangg...! Wuttt...!
Kurang dari sekejap saja tubuh Dewa Rayu akan hancur dan lumer oleh pukulan berasap itu. Untunglah ia sangat sigap dan lincah, sehingga ketika asap kuning kemerahan itu hampir menyambar tubuhnya, Dewa Rayu cepat sentakkan kaki dan melenting keatas, bersalto dua kali di udara sana.
Asap tersebut lewat dibawah kakinya dan menghantam pohon, lalu pohon itu hancur dalam sekejap, berubah bentuk menjadi seperti gedebong pisang yang membusuk.
"Pukulan beracun tinggi!" gumam hati Suto kagum dengan jurus itu.
Jleg...! Dewa Rayu mendarat dengan tegak dan sigap. Melihat pukulannya meleset dan tombaknya telah terlanjur menancap dipohon seberang, Bale Kambang segera mainkan jurus tangan kosong dengan gerakan-gerakan yang sukar di ikuti pandangan mata.
"Heaaah...!"
Bale Kambang baru saja akan lepaskan pukulan dengan kedua tangan berputar cepat kedepan wajah, tiba-tiba dua berkas sinar hijau melesat dari samping. Bentuknya seperti bintang berputar. Zlaap, zlaap...! Sinar itu langsung menghantam rusuk dan pinggang Bale Kambang. Jraaab...!
"Uuhg...!" tubuh manusia badak itu mengejang dengan kepala terdongak. Mata lebarnya mendelik bagai memandang langit. Tubuh itu pun tampak berbintik-bintik merah. Ternyata bintik-bintik itu segera berubah menjadi gelembung merah. Gelembung merah itu memenuhi seluruh tubuh sampai ke wajahnya. Lalu, pecah satu persatu. Setiap gelembung yang pecah selalu memercikkan darah.
Bale Kambang tak mampu berdiri lebih lama. Tubuhnya penuh gelembung itu pun roboh ketanah. Bruukk...! Suaranya seperti batang pisang yang amat banyak jatuh dari suatu ketinggian. Darah memercik kian banyak, karena gelembung-gelembung itu pecah nampak dibagian kiri. Sisanya masih seperti gelembung sabun yang belum pecah dengan sendirinya. Tentu saja manusia yang berkepala mirip kentang rebus itu segera hembuskan napas, dan nyawanya pun melayang entah kemana.
"Siapa yang membantu si Dewa Rayu itu?" kata Suto dalam hati. Pertanyaan itu pun di miliki oleh Dewa Rayu, sehingga si kumis tipis memandang sekeliling mencari orang yang telah membantunya.
"Siapa yang ikut campur pertarunganku ini hah?!" Dewa Rayu marah, hatinya separo kecewa karena sebenarnya ia ingin tumbangkan sendiri lawan berat seperti Bale Kambang itu. Tapi pemilik sinar hijau tadi belum mau tampakkan diri. Dewa Rayu membentak dengan wajah kian garang. "Siapa yang membunuhnya? keluar!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar menjawab dengan keras. "Akuuuu...!" Lalu muncul seraut wajah berambut cepak seperti potongan lelaki, mengenakan pakaian warna hijau muda, ditaburi bintik-bintik kuning emas. Cantik montok, tapi sayang dia buta huruf. Wanita itu tak luain adalah Kusuma Sumi.
Bagi Dewa Rayu wajah itu tak asing lagi, tapi bagi Suto Sinting yang belum pernah melihat Kusuma Sumi, wajah itu bikin mulutnya berdecak pelan, matanya tak berkedip. "Cantiknya...! Hem, hem...?! Ia geleng-geleng kepala. "Untung aku sudah punya Dyah Sariningrum, seandainya belum... Seandainya belum akan aku cari Dyah Sariningrum kemana saja!"
Suto Sinting sedikit bergeser agar pandangan matanya terhadap Kusuma Sumi yang bertubuh menggairahkan itu tidak terhalang daun-daun semak. Dalam hatinya Suto bertanya lagi, "Siapa perempuan cantik itu? Mengapa dadanya sebesar itu? Apakah didadanya itu terdapat senjata rahasia yang amat berat?"
Kemarahan Dewa Rayu lenyap seketika setelah tahu orang yang menolongnya adalah Kusuma Sumi. Seraut wajah berang segera pudar berganti senyum ceria. Mata tak berkedip memandangi langkah Kusuma Sumi yang mendekatinya. Mata wanita itu sendiri juga tak berkedip walaupun tampak galak, namun kendaraan sekali menyimpan kekaguman dibalik kegalakan dimata tersebut.
"Aku yang membunuhnya! Mau apa kau?!" kata Kusuma Sumi sambil bertolak pinggang didepan Dewa Rayu. "Mau apa kau, hah?!" ulangnya dengan galak.
"Mau... mau... mau mengucapkan terimakasih," jawab Dewa Rayu sambil senyum-senyum malu. Pedangnya sudah dimasukkan ke dalam sarung pedang.
"Terima kasih ku tak perlu! Bale Kambang punya persoalan sendiri denganku. Aku hanya sekedar membalaskan kematian nenekku yang di seret-seret olehnya dan dilemparkan ke jurang sebelum ia menjadi orang Lumbung Darah! Jadi apa yang kulakukan tidak dengan maksud membantumu!"
"Oh, ya sudah... permisi!" Dewa Rayu berpamit pergi. Ia melangkah memunggungi Kusuma Sumi. Mulanya perempuan itu diam saja, hanya memandangi kepergian Dewa Rayu yang mirip pemuda desa yang terusir itu. Tapi tiba-tiba ia bergerak cepat dan bersalto melintasi kepala Dewa Rayu.
Wuukk, wuukk! Jleeg...!
Kusuma Sumi berdiri tepat didepan Dewa Rayu. Satu tangannya langsung bertolak pinggang. Matanya memandang tak segalak tadi. Dewa Rayu hentikan langkah dan mulai sunggingkan senyum menawannya.
"Mengapa kau menahan langkah ku?!"
"Ada sesuatu yang lupa ku katakan padamu."
"Tentang apa itu, Nona?!"
"Namaku Kusuma Sumi."
"Oh, ya! Kusuma Sumi. Bagus sekali, seperti nama bunga ditahan Bidadari."
Kusuma Sumi mulai sunggingkan senyum walau agak canggung dan berkesan malu. Suaranya terdengar pelan. "Aku berada satu tingkat dibawah Rindu Malam."
"Kau sudah punya kekasih?"
"Aku... aku belum punya kekasih."
"Bagus sekali."
"Ingin segera menikah, tapi tak ada yang cocok."
"Ambil paku pasti tercocok!" jawab Dewa Rayu dalam gurau.
Kusuma Sumi tertawa kecil. Suto Sinting mencibir dibalik persembunyiannya. Hatinya membatin, Hmmm...! Ganjen! Tadi berlagak marah dan galak, sekarang malah menawarkan diri. Dasar perempuan, kalau sedang kasmaran sering lupa kodratnya! Eh, tapi tunggu dulu...! Dia tadi menyebut-nyebut nama Rindu Malam?! Ooo... ya, ya aku mengerti sekarang, dia adalah orang Ringgit Kencana. Potongan rambut yang pendek merupakan ciri orangnya Ratu Asmaradani. Hemmm... tapi, kenapa ia tidak bersama Rindu Malam? Apakah ia termasuk tiga perempuan cantik yang dilihat Delima Gusti?"
"Apakah kau sudah punya kekasih, Dewa Rayu?!"
"Nyaris!" jawab Dewa Rayu dengan candanya yang memancing tawa Kusuma Sumi.
Mereka melangkah ke bawah sebuah pohon rindang seiring sejalan. Langkah pelannya menimbulkan kesan mereka sedang mengawali paduan kasih. Suto Sinting sempat kebingungan karena arah mereka menuju pohon yang digunakan bersembunyi. Kalau ia bergegas pergi pasti akan ketahuan dan di curiga sebagai orang berniat jelek. Kalau ia diam saja, takut sampai ketahuan.
Akhirnya pelan-pelan ia bujurkan tubuhnya kebawah semak-semak disamping pohon itu. Ia berlagak menjadi mayat yang terkapar disitu. Matanya terpejam dengan memeluk bumbung tuak. Dan agaknya Dewa Rayu serta Kusuma Sumi tidak menengok kebawah semak-semak itu. Karena jaraknya amat dekat, mau tak mau Suto Sinting mendengar kasak-kusuk mereka yang jengkelkan hatinya.
"Sejak pertemuan pertama kita itu, sebenarnya aku menyimpan bunga indah yang mekar dan ingin kuberikan padamu," kata Dewa Rayu. "Tapi sayang, dua temanmu termasuk Rindu Malam membuatku tak bisa lebih dekat denganmu, seperti saat ini, Kusuma Sumi."
"Kalau sudah dekat begini mau apa?" pancing Kusuma Sumi, entah sambil tangannya berbuat apa dan bersikap bagaimana.
Suto tak bisa melihatnya. Bahkan percakapan berikutnya sulit didengar karena kasak-kusuk mereka kian pelan. Yang bisa ditangkap telinga Suto hanyalah cekikikan tawa sang wanita, dan desahan-desahan panjang yang beriring suara erangan manja.
"Setan alas! menyesal aku bersembunyi disini sejak tadi!" geram Pendekar Mabuk dalam hati. Jantungnya berdetak-detak karena suara erangan manja itu semakin menjadi-jadi. Malah Suto dikejutkan dengan jatuhnya selembar kain di wajahnya. Pluk...! Matanya terpicing sedikit untuk mengetahui apa yang menutupi wajahnya itu.
"Jabang bayi! Kain ikat pinggang Iini milik Kusuma Sumi!"
Rupanya Dewa Rayu kian nekat, ia melepas kain ikat pinggang Kusuma Sumi, lalu melemparkannya ke semak-semak seenaknya saja. Tak sengaja lemparan itu jatuh diwajah seseorang yang sedang bersembunyi dua langkah. Bau harum kain itu membuat hati Suto gelisah. Dongkol, malu, dan penasaran, membuat Suto Sinting berdebar-debar kian besar.
"Jangan, ah...!" suara Kusuma Sumi merengek manja. "Jangan...!"
"Jadi apa yang dilakukan Dewa Rayu itu?" Bayangan Suto yang bukan-bukan, tapi sebenarnya Dewa Rayu membujuk Kusuma Sumi agar melepaskan pedang dipunggungnya. Kusuma Sumi tak mau pedangnya dilepas.
Tiba-tiba terdengar suara memanggil dari tempat yang jauh, "Kusuma Sumi!"
"Ooh...?!" pekik tertahan Kusuma Sumi adalah pekik kekagetan yang bisa dibayangkan Suto diiringi gerakan-gerakan menggeragap. Buktinya suara dibalik pohon itu terdengar gaduh, seperti orang tergesa-gesa. Bahkan Dewa Rayu terdengar berbisik keras,
"Taliku tadi mana? Tali akar ku tadi mana?!"
"Mana aku tahu! Kau sendiri yang melepasnya!" suara Kusuma Sumi terdengar panik dan terburu-buru. Bahkan ketika Kusuma Sumi menyambar kain pengikat pinggangnya yang menutupi wajah Pendekar Mabuk ia tak sempat melihat bahwa disitu ada seraut wajah tampan. Kain itu disambar dengan cepat. Rambut Suto terjambak sebagian. Tapi Suto menahan diri untuk diam saja walau wajahnya meringis karena kesakitan.
"Wah, jebol sudah rambutku!" pikirnya dalam gerutu di batin.
Rupanya Rindu Malam muncul bersama Pita Biru. Tapi Pendekar Mabuk tak tahu. Rindu Malam bisa melihat apa yang hendak dilakukan Kusuma Sumi dengan Dewa Rayu. Sebagai anak buah, Kusuma Sumi takut dengan bentakan Rindu Malam.
"Nista sekali kelakuanmu, Kusuma Sumi!"
"Be... lum. Belum nista kok! Eh, anu... iya, memang belum!" Kusuma Sumi salah tingkah.
"Tugasmu adalah mencari Suto Sinting, Pendekar Mabuk! Bukan disuruh mabuk asmara sendiri!"
Barulah Suto terkejut dengan bebas. Namanya disebut-sebut, dan memaksa keberaniannya untuk bangkit, mengintip siapa yang menyebutnya. "Rindu Malam?! Oh, syukurlah ia belum menjadi korban Seruling Malaikat!" pikir Pendekar Mabuk dari persembunyiannya.
Terdengar Rindu Malam memarahi Kusuma Sumi dengan aneka macam omelan. Kusuma Sumi hanya tundukkan kepala dan merasa bersalah. Sementara itu, Dewa Rayu tak berani mencampuri omelan tersebut, ia hanya berjalan pelan-pelan sampai akhirnya berada di bawah pohon, tujuh langkah dibelakang Rindu Malam. Ia bersandar disana dengan tenang.
"Berulang kali Ratu berpesan kepada kita agar menjaga diri supaya tidak dianggap wanita murahan! Tapi kau malah mengobral diri didepan pemuda itu!"
Sementara Rindu Malam memarahi Kusuma Sumi, diam-diam Pita Biru mendekati Dewa Rayu. Mulanya berwajah ketus, tapi lama-lama tersenyum Juga karena Dewa Rayu sunggingkan senyum yang menawan hati terus menerus.
"Sudah kau apakan dia?" tanya Pita Biru bisik.
"Belum ku apa-apakan! Sumpah!" jawab Dewa rayu pelan.
"Bohong!"
"Demi Petir menyambar, belum kuapa-apakan dia!" Kami hanya sekedar mengadakan rapat untuk..."
"Justru yang makin rapat itu yang makin berbahaya!" sentak Pita Biru tak sadar telah membuat Rindu Malam berpaling kebelakang dan segera geleng-geleng kepala melihat Pita Biru memunggunginya, namun jaraknya dekat dengan Dewa Rayu, kontan saja Rindu Malam berseru memanggil,
"Pita Biru!"
"Iya, hemm... iya...!" Pita Biru bergegas hampiri Rindu Malam dengan takut.
"Cari Pendekar Mabuk! Jangan cari penyakit pada pemuda itu!"
"Cari Pendekar sakit, eh... Pendekar Mabuk. Aku tahu kok!"
"Kalau tahu, kenapa kau justru dekati pemuda desa itu pada saat aku mengingatkan Kusuma Sumi?! Bodoh!"
"Memang bodoh pemuda itu"
"Kau yang bodoh!"
"Maksudku, aku dan dia sama-sama bodog," kata Puta Biru yang tumbuh sebagai gadis cantik namun lucu itu. Sikapnya membuat Suto Sinting tertawa geli tanpa suara dari persembunyiannya.
"Konyol juga si Pita Biru itu!" katanya membatin. Kata-kata itu ingin dilanjutkan, namun wajah Suto sudah lebih dulu menjadi tegang, karena matamenangkap bayangan seseorang diatas pohon. Orang itu sedang membidikkan anak panah kearah Rindu Malam. Orang itu bertubuh kurus, berpakaian hitam, ikat kepalanya juga hitam berbintik-bintik putih. Wajahnya berkesan licik.
"Bahaya!" gumam Suto, lalu dengan cepat ia sentakkan jari tangannya kearah orang yang mau melepaskan anak panahnya itu Tass...! Wuuut...! Buuuhg!
Tenaga dalam yang tersalur melalui 'Jari Guntur' membuat orang diatas pohon itu terjungkal jatuh.
"Aaa...!"
Boohg...! Tubuhnya Jatuh menghentak bumi. Anak panahnya lepas ke arah atas. Suara orang jatuh membuat Rindu Malam dan yang lainnya menjadi tegang dan hentikan suara mereka. Semua mata tertuju kearah jatuhnya orang berpakaian hitam itu. Rindu Malam bergegas menghampiri orang tersebut., diikuti oleh Dewa Rayu. Kusuma Sumi dan Pita Biru ditempat tapi saling berkasak-kusuk bertengkar mulut dengan suara lirih.
"Siapa kau?! Mengapa kau mau membunuhku?!" sentak Rindu Malam sambil mencengkeram baju orang kurus itu.
"Aku bukan mau membunuhmu! Aku mau... mau membunuh pemuda itu!" ia menunjuk Dewa Rayu. Yang ditunjuk ganti mencengkeram baju orang tersebut, setelah Rindu Malam melepaskan dan meninggalkan pergi.
"Mengapa kau ingin membunuhku?!"
"Aku... aku hanya orang upahan!"
"Siapa yang mengupahmu?!"
"Ra... Raja Tumbal! Dia menghendaki nyawamu, Pendekar Mabuk!"
Langkah Rindu Malam terhenti begitu mendengar orang itu memanggil Dewa Rayu dengan nama Pendekar Mabuk. Rindu Malam pun berbalik arah. Saat itu Dewa Rayu menghardik,
"Aku bukan Pendekar Mabuk!"
"Tap... tapi... kau tampan! Raja Tumbal memberi ciri-ciri kepadaku, Pendekar Mabuk pemuda yang tampan dan gagah," kata orang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Aku bukan Pendekar Mabuk tahu?!"
Rindu Malam menyahut, "Ya, kau salah duga! Dia adalah Dewa Rayu, bukan Pendekar Mabuk. Kalau Pendekar Mabuk lebih tampan lagi dan lebih sakti dari pemuda ini!"
Dewa Rayu menoleh cepat kearah Rindu Malam. Ia tersinggung dengan ucapan Rindu Malam. Tapi tampaknya Rindu Malam yang terlanjur muak dengan kelakuan Dewa Rayu terhadap Kusuma Sumi tadi, segera berkata semakin menyindir lagi.
"Ketahuilah orang dungu...! Pendekar Mabuk tidak seperti orang ini!" Rindu Malam menuding Dewa Rayu. Seandainya dia Pendekar Mabuk, sebelum kau menarik tali busurmu, kau sudah menjadi abu karena Jurus-jurus mautnya!" Aku marah besar kalau pemuda Ini kau samakan dengan Pendekar Mabuk, karena ketampanannya, kesaktiannya, semuanya tak ada sekuku hitam dibandingkan apa yang ada pada Pendekar Mabuk. Paham?!"
Orang itu mengangguk takut, tapi Dewa Rayu berkata, "Aku yang tak paham!"
Rindu Malam hanya berpaling menatap dan mendengus kesal.
"Aku tak paham mengapa kau merendahkan aku? Kau belum tahu seberapa tinggi ilmuku. Kalau saja bisa datangkan Pendekar Mabuk sekarang juga, akan ku buktikan bahwa aku mampu membuat Pendekar Mabuk bertekuk lutut didepanku dalam dua gebrakan saja!"
"Hemmm...! Sesumbarmu sama saja membuka lubang nyawamu jika sampai didengar oleh Pendekar Mabuk!"
"Sesumbarku hanya akan mempersempit nyawanya!" sentak Dewa Rayu yang merasa tak rela direndah-rendahkan begitu saja. Ia pun perlu unjuk gigi. Maka dengan cepat tangannya berkelebat ke depan dan sebuah pisau terbang keluar dari sentakan tangan itu. Wuusss...! Pisau itu melayang dengan cepat dan menancap pada sebuah pohon.
Jruub...! Bruus...! Jeeb!
Pisau itu ternyata menembus pohon pertama dan berhenti menancap dipohon kedua. Tentu saja lemparan seperti itu disertai saluran tenaga dalam yang sangat tinggi, yang mampu membuat pohon pertama berlubang nyata.
"Lihat!" katanya. "Bisakah Pendekar Mabuk lakukan lemparan pisau seperti itu?!" Dewa Rayu banggakan kebolehannya. Rindu Malam diam saja, sebab dalam hatinya membatin,
"Boleh juga mainan orang ini?! Dia bisa membunuh lawan yang bersembunyi dibalik pohon dengan pisau terbangnya itu."
Tiba-tiba Dewa Rayu dan Rindu Malam sama-sama rundukkan kepala ketika dilihatnya bayangan hijau melesat diatas kepala mereka. Bayangan hijau Itu ternyata sebatang ilalang yang dilemparkan oleh Suto Sinting. Ilalang tersebut menancap kepohon samping Rindu Malam. Jruuubbb, bluss...! Jaab...! Lalu menancap dipohon kedua. Ujung ilalang itu melambai-lambai.
Mata mereka sama-sama terbelalak kaget menyadari benda yang melayang ternyata adalah sehelai ilalang. Bukan sebilah pisau baja seperti yang dilemparkan Dewa Rayu tadi. Hal itu membuat Dewa Rayu tak sadar bicara sendiri,
"Gila! Ilalang....?! Pasti pelemparnya orang yang lebih tinggi ilmunya dariku!"
"Kau ditantang oleh orang yang melemparkan ilalang itu! Kau diremehkan!"
Dewa Rayu diam menggeletukkan gigi. Mau menantang, tapi hatinya mulai ciut. Tidak menantang, malu kepada Rindu Malam. Akhirnya ia berteriak keras, "Siapa yang mau menyaingi ilmuku?! Keluar...!"
"Kraakkk...! Wuuuttt...!
Pendekar Mabuk melompat dari persembunyiannya. Jleegg...! Ia berdiri dengan tegap dan gagah, tangan kanannya menggenggam tali bumbung tuaknya. Semua mata tertuju padanya, terperangah dan tercekat tenggorokan mereka hingga tak bersuara. Angin berhembus menyingkapkan rambut panjang Suto Sinting dengan wajah dan ketampanannya tampak samar-samar dari sela-sela helai rambutnya.
"Pendekar Mabuk!" gumam Rindu Malam dengan ceri. Sedangkan Dewa Rayu tampak cemas. Ia segera menarik si pemanah tadi dan mengajaknya jalan sambil berlagak marah ke orang tersebut, lama-lama ia lari menghilang tak berani berhadapan dengan Suto, karena ilalang itu sudah merupakan ukuran ketinggian ilmu Pendekar Mabuk.
* * *
LIMA
Wajah ketiga utusan Ringgit Kencana itu berbinar-binar ceria. Pertemuan dengan Pendekar Mabuk membuat Kusuma Sumi dan Pita Biru sering ber kasak-kusuk dan saling cekikikan. Mereka mengakui kebenaran kata-kata Rindu Malam, bahwa Dewa Rayu mempunyai ketampanan di bawah Suto Sinting. Tetapi sekalipun hati mereka berdebar-debar indah jika beradu pandang dengan Suto Sinting, tak berani tunjukkan sikap lebih menyolok lagi, karena takut dengan ancaman Rindu Malam. Akibatnya Kusuma Sumi berkata kepada Pita Biru,
"Aku lebih baik mengincar Dewa Rayu!"
"Kenapa? Apakah matamu mulai rusak?"
"Mengincar Dewa Rayu lebih aman daripada mengincar Suto Sinting!" jawabnya dengan menelan kedongkolannya sendiri.
Mereka bicara sambil melangkah menuju ke pantai karena Rindu Malam yang berjalan berdampingan dengan Suto didepan kedua anak buahnya itu telah pergi. "Kami sangat membutuhkan bantuanmu lagi. Datanglah ke istana!"
"Apa yang terjadi disana?"
"Pendeta Agung Dewi Rembulan terkena kutukan Dewa. Tubuhnya terbungkus balok es yang tak bisa dihancurkan oleh senjata dan pusaka apa pun, tapi hanya bisa dilenyapkan oleh orang yang tanpa pusar. Ratu Asmaradani ingat cerita kakak sepupunya, yaitu Bidadari Jalang, gurumu itu, tentang bocah tanpa pusar yang tumbuh menjadi Suto Sinting. Maka kami di perintahkan mencarimu dan membawamu pulang ke Ringgit Kencana."
Pita Biru berkata dari belakang Rindu Malam, "Jangan-jangan kita salah bawa. Apa benar dia tanpa pusar? Boleh dibuktikan dulu keadaannya? Hi hi hi...!"
Suto Sinting hanya tertawa mirip orang menggumam dengan perasaan malu.
Rindu Malam berbisik, "Maafkan anak buahku. Pita Biru memang konyol!"
"Bukan dia yang kupikirkan, tapi nasib Pendeta Agung Dewi Rembulan itu," kata Suto mengalihkan pembicaraan. "Kasihan sekali nasibnya."
"Itulah sebabnya kau harus segera datang dan menolongnya."
"Memang. Tapi sepertinya aku tak bisa lakukan secepat ini!" Suto pun segera hentikan langkah ketika melihat wajah Rindu Malam mulai kecewa. "Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dulu demi selamatnya orang banyak."
"Pekerjaan apa itu?"
"Melawan Raja Tumbal!"
"Oh...?!" Rindu Malam terkejut, begitu pula Kusuma Sumi dan Pita Biru yang ikut berhenti tak jauh dari Rindu Malam. Wajah ketiga utusan Ringgit Kencana itu jadi tegang.
"Kusarankan, jangan bikin perkara dengan Raja Tumbal! Ia mempunyai pusaka yang bernama Seruling Malaikat," kata Kusuma Sumi kepada Pendekar Mabuk.
Rindu Malam menimpali, "Kami lihat sendiri kehebatan dan keganasan Seruling Malaikat itu! Kuduga, pusaka itu tiada tandingannya."
"Tidak ada yang terbaik dan terkuat di dunia. Tentu saja ada kelemahan dan kekurangannya. Hanya mungkin kita belum temukan kelemahan dan kekurangan dari Seruling Malaikat," kata Suto. "Karenanya, sebenarnya aku sedang dalam perjalanan menuju Jurang Lindu untuk temui guruku; si Gila Tuak itu!"
"Jadi..., kau ingin selesaikan urusan Raja Tumbal lebih dulu baru pergi ke Ringgit Kencana" tanya Pita Biru dengan sedikit sedih karena harus menunda kesembuhan Pendeta Agung Dewi Rembulan.
"Urusan Ini menyangkut keselamatan orang banyak Pita Biru," Kata Suto, kemudian menceritakan masalahnya dengan negeri Muara Singa. Suto juga ceritakan tentang Biara Genta dan Biara Damai, dan bahkan menceritakan pula tentang kecemasan Delima Gusti dan rakyat kadipaten Suralaya.
"Kunci keselamatan mereka terletak pada Raja Tumbal, jika orang itu lenyap maka nasib mereka dari kekejaman pembantaian keji itu akan terhindar. Setidaknya aku harus bisa menghancurkan Seruling Malaikat, sebelum suara seruling itu menelan korban lebih banyak lagi!"
"Ya, ya... aku mengerti maksudmu. Tapi...," kata-kata Rindu Malam itu terhenti karena sebelum mencapai akhir, ternyata mereka sudah lebih dulu melihat sekelebatan bayangan berlari. Bayangan itu berlari menuju kearah mereka dan menimbulkan kecurigaan bagi Kusuma Sumi dan Pita Biru. Mereka berdua segera maju dan menghadang langkah orang tersebut dalam jarak tiga langkah di depan Rindu Malam.
Kusuma Sumi dan Pita Biru bersiap lepaskan serangan, tapi Suto Sinting segera berkata, "Tahan gerakan kalian. Aku mengenali orang itu!"
Maka ketika orang yang berlari cepat itu mendekat, Kusuma Sumi dan Pita Biru segera menyingkir membuat Suto Sinting maju dua tindak dan menyapa dengan tegang.
"Batu Sampang...?!" Ada apa kau tampaknya tegang sekali?!"
Batu Sampang adalah Tamtama prajurit Muara Singa yang setia kepada ratunya. Batu Sampang berpakaian biru dengan Ikat kepala rajutan benang perak mengikat rambutnya yang lurus panjang sebatas punggung. Di punggungnya itu pula terdapat pedang bergagang hitam dengan tepian kuning emas. Wajahnya memang dingin, sepertinya seorang pembunuh yang keji, tapi sebenarnya Ia seorang prajurit yang taat, tegas, tangkas dan penuh rasa pengabdian.
"Raja Tumbal kulihat mulai mendekati bukit Tungkal sebelah utara. Sebentar lagi pasti akan tiba di Muara Singa!" kata Batu Sampang dengan tegas walaupun napasnya sedikit ngos-ngosan.
Berita itu mencemaskan bagi Suto Sinting. Tentu pertimbangan-pertimbangan yang tidak mudah diputuskan. "Langsung kesana atau menemui Guru dan kalau harus menemui Guru,takut terlambat. Raja Tumbal pasti akan tiba di Muara Singa lebih dulu.Tapi kalau aku arus langsung ke Muara Singa dan berhadapan dengan Raja Tumbal, aku belum tahu kelemahan Seruling Malaikat itu?!"
Terdengar suara Batu Sampang berkata, "Ratu Galuh Puspanagari sangat cemas dan menunggu kedatanganmu."
Sepertinya Rindu Malam mengetahui keresahan hati Suto, sehingga ia pun berkata kepada Suto, "Kami akan bantu memperkuat Muara Singa! Kita tak punya waktu untuk mencari kelemahan pusaka itu. Kita harus lakukan sesuatu dengan naluri Kita, Suto. Biarkan naluri yang bergerak diatas segalanya!"
"Benar katamu, Rindu Malam!" ucap Suto, mereka pun segera bergerak menuju Muara Singa. Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Mabuk kecuali mengandalkan nalurinya yang sudah terlatih mencari kelemahan lawan. Walau kali ini yang di hadapi adalah lawan bersenjata pusaka sangat ampuh, tapi Suto tetap harus mengandalkan naluri perlawanannya.
Kecemasan Batu Sampang itu memang benar. Raja Tumbal sebentar lagi akan tiba di wilayah Muara Singa, tetapi itu terjadi seandainya Raja Tumbal tidak tertahan oleh serangan Ki Palaran.
Tokoh tua ini mempunyai cara sendiri untuk membalaskan dendamnya kepada sang pembunuh muridnya. Ia melepaskan pukulan jarak jauh dari suatu tempat yang tersembunyi. Ketika Raja Tumbal berjalan di dampingi Gali Sampluk dan Karto Serong, tiba-tiba Landak Boreh yang selalu menjaga bagian belakang itu berteriak keras, "Awaaaass...!"
Pemuda kecil, kurus dan berwajah maling itu segera melompat kesamping dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang keluarkan cahaya kuning dari genggaman tangan kanannya. Claap...! Sinar kuning itu menghantam sinar merah yang mirip bintang berekor, yang dilepaskan dari tangan Ki Palaran.
Blaaarrr...! Ledakan yang timbul memang tak sebagian dahsyat, namun di anggap cukup lumayan karena gagal kenai punggung Raja Tumbal. Demi mendengar suara ledakan dan teriakan Landak Boreh, Gali Sampluk dan Karto Serong segera cabut golok mereka masing-masing. Secepatnya mereka bertolak belakang mrmbentengi Raja Tumbal. Mata mereka jelalatan kemana-mana mencari penyerang gelap yang tak terlihat gerakannya. Mata Raja Tumbal pun demikian, namun ia segera cabut Seruling Malaikat-nya.
"Landak Boreh, geledah semak-semak disekitar itu, cepat!" perintah Raja Tumbal. Perintah seperti itu tak pernah terlontar dua kali, karena, Landak Boreh yang kakinya gudikan itu segera melesat berkeliling tempat itu menerabaa tiap semak, mengibaskan goloknya membabat ilalang dan semak. Hal itu dilakukan cukup lama sehingga Karto Serong tak sabar, dan bertanya dalam seruan,
"Bagaimana?! Ada tanda-tandanya apa tidak?!"
"Belum semua ku cari!" seru Landak Boreh sambil membawa tiap semak.
"Kau mencari musuh atau ngarit rumput buat makanan ternak?!" bentak Raja Tumbal kemudian. Teguran itu membuat Landak Boreh mempercepat pencariannya, sementara Raja Tumbal dan kedua pengawalnya belum berani teruskan langkah demi menjaga keselamatan.
"Tidak ada siapa-siapa, Ketua!" Landak Boreh memberi laporan setelah memeriksa sekeliling mereka.
"Kau yakin tidak ada siapa-siapa disini?!"
"Tidak ada ketua!"
Plookk...! Landak Boreh ditabok mulutnya. Ia gelagapan sambil berusaha tetap menghadap Raja Tumbal.
"Kalau tidak ada siapa-siapa disini, lantas tadi apa?! Nyamuk?!" Raja Tumbal melotot, kedua biji matanya bagaikan mau loncat dan menerkam Landak Boreh. Anak Muda berwajah maling itu ketakutan.
"Jika tak ada musuh di sekitar kita, lantas siapa yang kirimkan sinar merah menurut katamu tadi, hah?!"
"Mung... mungkin... mungkin hanya seekor kunang-kunang lewat, Ketua!"
Ploook...! Wajah maling itu di tabok lagi. Panasnya kulit wajah kena tabok dua kali. Bibirnya terasa bengkak dan sedikit perih, nyut-nyutan.
"Jika hanya seekor kunang-kunang, kenapa menimbulkan ledakan sekeras itu, hah?! Kunang-kunang apa maksudmu?!"
"Kunang-kunang... kunang-kunang hamil, Ketua," jawab Landak Boreh sekenanya karena saking takut kena tabok lag. Tapi justru karena asal jawab itulah maka tangan Raja Tumbal yang lalim itu melayang ke wajah Landak Boreh. Ploookk...!
Raja Tumbal memandang sekeliling lagi dengan cermat. Kemudian berkata kepada Karto Serong yang usianya sekitar lima puluh tahun itu. "Gunakan ilmu 'Pengganda Arum' dan lacak disekitar sini, Karto Serong!"
"Baik, Ketua!" jawab Karto Serong, karena hanya dialah yang mempunyai ilmu 'Pengganda Arum', yaitu ilmu mencium jejak lawan melalui bau keringatnya. Karto Serong sudah hafal betul bau keringat teman-temannya dan bau keringat Raja Tumbal. Jika ada jenis bau keringat lain, pasti itu bau keringat lawan.
Sementara Karto Serong mendengus-dengus bagai hidung anjing, Raja Tumbal kepada Landak Boreh, "Dari mana datangnya sinar merah tadi?"
Landak Boreh menjawab, "Dari... dari sebelah kiri belakang. Ketua.!" Setelah menjawab ia tabok sendiri wajahnya dengan keras. Ploookk...!
"Kenapa kau tampar sendiri mulutmu?" tanya Gali Sampluk.
"Supaya tidak merepotkan tangan sang ketua," jawab Landak Boreh yang merasa yakin bahwa setelah memberi jawaban pasti akan kena tabok seperti tadi. Hal itu justru membuat Raja Tumbal tertawa seperti orang menggumam.
Tawa itu tiba-tiba lenyap karena Karto Serong yang mendengus bau keringat itu tahu-tahu terpental kebelakang sampai jatuh kesamping kiri Gali Sampluk. Bruukkk...!
Kenapa kau Karto?!" sentak Raja Tumbal yang menjadi berang karena kaget.
"Uuh...!" Karto Serong menyeringai sambil bangkit. "Ada tenaga dalam cukup besar menghantamku, ketua!"
"Dari mana arahnya?!"
"Kira-kira dari dua pohon beringin putih di seberang sana!" Karto Serong yang wajahnya sempat memar bagai habis kena tampar tujuh kali itu menuding kearah pohon beringin putih, letaknya sekitar sepuluh tombak dari tempat mereka berdiri. Raja Tumbal memandang tempat itu dengan mata menyipit. Tapi tak dilihatnya ada gerakan yang mencurigakan.
"Gali Sampluk, periksa tempat itu!"
"Baik, Ketua!"
Wesss...! Gali Sampluk yang berbadan gemuk itu ternyata mampu bergerak seringan kapas. Melesat dengan cepat, menerabas semak ilalang menuju pohon yang di maksud Karto Serong tadi. Sementara itu Raja Tumbal bertanya kepada Karto Serong,
"Seberapa besar tenaga dalam yang menyerangmu?!"
"Setingkat dengan ilmu 'Karang Gempur' kita Ketua!"
"Hemmm... masih belum seberapa tinggi ilmu orang itu. Tapi kau yakin disana ada orang?"
"Yakin, ketua. Bau keringat lain arahnya dari sana. Semakin mendekat kesana semakin tajam."
"Aaaa...!" tiba-tiba terdengar suara Gali Sampluk memekik agak panjang. Semua perhatian tertuju ke pohon beringin putih itu. Suara teriakan itu kini berganti suara orang berlari cepat kearah mereka. Hati mereka menunggu kemunculan Gali Sampluk dengan.
Kejap berikut, Gali Sampluk muncul dari ketinggian semak. Ia terengah-engah. Wajahnya pucat bagaikan mayat. Matanya terbelalak lebar. Raja tumbal segera bertanya, "Ada apa, hah?!"
"Besar atau kecil orangnya?" tanya Karto Serong. Gali Sampluk gelengkan kepala.
Landak Boreh ajukan tanya, "Lelaki atau perempuan?!"
"Kau kira aku habis melahirkan?!"
Raja Tumbal mendesak, "Seperti apa orangnya. Katakan!"
"Tidak ada orang, tidak ada siapa-siapa disana, ketua!"
"Lalu kenapa kau berteriak dan menjadi sepucat itu?!"
"Aku kaget, ketua. Ada seekor kelinci disana!"
Ploookk...! Kini wajah pucat itu menjadi merah karena terkena tamparan keras dari tangan Raja Tumbal.
"Dasar gentong kempos! Sama kelinci saja takut?!"
"Ke... kelinci itu sedang dimakan seekor ular sebesar paha kita, Ketua!"
"Hah...?!" Raja Tumbal mendelik, demikian pula yang lain.
"Kalau begitu yang ku cium tadi bau keringat ular," kata Karto Serong. "Pantas baunya langu, seperti bau ketiak basah."
"Teruskn perjalanan!" sentak Raja Tumbal dengan jengkel sekali. Maka mereka bergegas untuk lanjutkan perjalanan.
Baru mendapat tiga langkah tiba-tiba mereka diserang seberkas sinar merah yang menuju kearah Raja Tumbal, Karto Serong dan Gali Sampluk. Slaapp! Sinar itu datang dari depan mereka. Karuan saja Raja Tumbal segera sentakkan tangan kirinya, dan melesetlah sinar kuning menghantam sinar merah yang mengarah kepadanya. Duaaar...! Demikian pula Karto Serong dan Gali Sampluk, melepaskan sinar kuning yang sama dengan sinarnya Raja Tumbal, sehingga meledaklah bentur masing-masing sinar dengan gelombang hentakan yang tak seberapa kuat, seperti tadi juga.
Dueerr...! Duaarr...!
"Bangsat! Aku dibuat mainan! Tak bisa kugunakan seruling ini karena tak kulihat seperti apa wujud orangnya!" geram Raja Tumbal dengan menahan murka.
Claapp...! Drrubb...!
"Aaahg...!" Karto Serong tiba-tiba mendelik dengan tubuh mengejang. Landak Boreh yang melihat persis datangnya sinar merah seperti tongkat kecil yang menghantam tubuh Karto Serong dari belakang.
Tubuh itu menjadi hitam keling seketika. Pakaiannya hangus dan menjadi abu. Rambutnya keriting memendek, akhirnya menggunduli kepalanya. Karto Serong pun tumbang dengan tubuh hangus tanpa nyawa lagi.
"Kenapa dia?" bentak Raja Tumbal dengan marah.
"Sinar...!" jawab Landak Boreh dengan gugup menusuk-nusuk pinggang belakang dengan jari. "Sinar...!" Maksudnya ada sinar menghantam Karto Serong dari belakang. Karena gugup ia hanya bisa berkata 'sinar, sinar' saja.
Plaakkk...! Raja Tumbal gemas sekali dengan kegugupan Landak Boreh, maka pemuda ikal itu ditampar keras-keras. Ia memekik sambil berkata,
"Bukan aku, Ketua! Bukan aku yang menyebabkan. Eh, yang menyerangnya. Bukan aku, sumpah!" matanya sambil mundur pelan-pelan karena Raja Tumbal maju pelan-pelan. Matanya menatap tajam sekali kearah Landak Boreh.
"Kau yang bertugas menjaga keadaan belakang kami! Seharusnya kau tahu kalau ada sinar yang menyerang Karto Serong dari belakang!"
"Sa... saya terlambat, ketua!"
"Itu kebodohanmu!" bentak Raja Tumbal, karena kemarahannya kepada si penyerang tak bisa dicurahkan, akhirnya Landak Boreh yang menjadi pelampiasan kemarahan itu.
Raja Tumbal segera cabut serulingnya. Landak Boreh kian ketakutan, karena ia tahu itu pertanda ia akan dibunuh dengan suara seruling. Landak Boreh sangat ketakutan sampai jatuh berlutut dan menyembah-nyembah penuh permohonan ampun. Wajahnya menyentuh sampai ditanah tak berani memandang Raja Tumbal.
"Ampun, Ketua. Ampun...! Aku tak sempat mencegah sinar itu. Aku tak ingin mati kelip-kelip karena hancur seperti sate tanpa bumbu. Ampun, Ketua...! Ingatlah kalau aku pernah punya jasa, yaitu menemukan celana ketua yang sedang dijemur dan hilang dicuri orang. Ampun... jangan bunuh aku, Ketua!"
Karena wajahnya menempel ditanah, Landak Boreh tidak tahu kalau Raja Tumbal sudah pergi dari tadi mengikuti bisikan Gali Sampluk.
"Keadaan kita terlalu ditempat terbuka. Cari tempat berlindung biar tak bisa di serang dari berbagai arah!"
"Kau punya tempat berlindung?"
"Di balik gugusan cadas seberang sana kurasa aman, Ketua! Kita bisa selidiki dari sana, siapa penyerangnya dan ada dimana letaknya. Biarkan Landak Boreh menjadi umpan disini."
"Gagasan yang bagus!" kata Raja Tumbal dalam bisik. Keduanya melesat pergi kebalik gugusan cadas tanpa lumut yang membukit itu. Landak Boreh tidak tahu karena telinganya sendiri dipenuhi suara ratapan dan permohonan ampunnya, sehingga ia masih nungging disitu sementara yang lain telah pergi.
"Demi sumpah apa saja ketua... aku tidak sengaja membiarkan sinar merah itu menghantam punggung Karto Serong! Tolong, Ketua... tolong selamatkan nyawaku dari kedahsyatan seruling pusakamu itu, Ketua! Jangan tiup seruling itu. Hematlah napas agar tak cepat habis, Ketua."
Ratapan dan permohonan ampun itu berhenti. Landak Boreh ingin mendengar ucapan Raja Tumbal. Tapi lama sekali tak terdengar suara sang ketuanya itu. Ia masih nungging menyembah, merapatkan dahi dengan tanah. Ia masih menunggu sampai beberapa saat lamanya hingga kesepian terjadi disekitarnya.
"Ketua...," panggilnya pelan. Tapi tak ada jawaban.
"Sang ketua...? panggilnya lagi dengan tetap menyembah. Tapi yang ada hanya sepi dan hening mencekam jiwa. Maka pelan-pelan wajah Landak Boreh ditegakkan.
Tampak kaki tua yang beralas karet samak dengan tali melilit betis. Landak Boreh merasa heran. Pandangannya kian dinaikkan, terlihatlah jubah hitam daan celana hitam. Ia mulai heran, "Kok pakaian ketua berganti?" pikirnya. Ia penasaran sekali. Sehingga pandangannya kian dinaikkan dan menjadi terperangah kaget setelah mengetahui orang yang berdiri didepannya bukan Raja Tumbal.
"Amit-amit? Kenapa kau menjadi setua ini,"
Maka sambil Landak Boreh. bangkit berdiri dengan dahi berkerut tajam. Mata malingnya memandang penuh keheranan tiada habis. Dari rambut sampai kaki, pandangannya tanpa berkedip sedikitnyapun. Orang yang dipandangi diam saja.
Jubah hitamnya yang menutupi pakaian hitam itu berkelebat dihembus angin. Rambut panjangnya yang masih hitam itu juga meriap-riap diterpa angin. Tubuh kurusnya berdiri tegak, masih gagah, walau wajahnya menampakkan usia tua yang lewat dari delapan puluh tahun itu. Orang tersebut tak lain adalah Ki Palaran, gurunya Dungu Dipo. Kemampuan gerak berpindah tempat persembunyian memang hebat, sehingga tak menimbulkan suara gemerisik, tak menimbulkan gerak dedaunan yang dilewatinya. Itulah sebabnya Raja Tumbal dan anak buahnya sulit mencari dimana ia bersembunyi.
"Ketua... wajahmu berubah, Ketua! Mungkin kau kena kutuk Peri hutan ini!" kata Landak Boreh dengan ragu-ragu.
"Aku bukan ketuamu! Aku Palaran, guru dari Dungu Dipo yang kau bunuh bersama orang-orang Muara Singa lainnya!"
"Hah...?! Jadi kau... kau..."
"Akulah El Maut yang akan menjemput nyawamu, dan nyawa ketuamu dan seorang temanmu yang gendut itu!" geram Ki Palaran dengan mata dingin. Tangannya mulai bergerak pelan-pelan.
Landak Boreh mundur dengan wajah tegang, sangat ketakutan. Namun sebelum Ki Palaran sentakkan tangannya, ia mendengar suara seruling berkumandang. Tulit, tuliiiiittt... tit, tit.... tulit...! Ki Palaran pun mengejang. Tubuhnya gemetar. Telinganya mulai berdarah. Ia segera menutup kedua telinganya dengan tangannya. Tapi suara seruling itu kian melengking tinggi tanpa irama tak enak didengar. Akhirnya tubuh Ki Palaran mengejang kuat-kuat. Braaasss...! Tubuh itu meledak, hancur tanpa sempat berteriak sedikit pun.
Ia telah terpantau oleh Raja Tumbal, sehingga sosoknya dapat dilihat dari gugusan tanah cadas diseberang sana. Jika mata Raja Tumbal bisa melihat lawannya, maka Seruling Malaikat pun bisa diperintah menghancurkan tubuh lawan.
Perbuatan itu ternyata ada yang mengintainya dari kejauhan. Pendekar Mabuk dan utusan dari Ringgit Kencana serta Batu Sampang.
* * *
ENAM
Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri keganasan Seruling Malaikat, Pendekar Mabuk segera berkata kepada Rindu Malam. "Kalian bertiga pulanglah ke Ringgit Kencana. Nanti aku akan menyusul!"
"Mengapa kau berkata begitu?" tanya Rindu Malam.
"Telah kulihat betapa ganasnya getaran gelombang suara seruling pusaka itu. Aku tak ingin kalian menjadi korban."
Rindu Malam diam memandangi Suto, sementara Kusuma Sumi dan Pita Biru hanya bisa saling pandang dengan sikap tak pasti. Ia tak berani mengajukan usul kepada Rindu Malam, karena segala langkah mereka ditentukan Rindu Malam. Tetapi mereka tahu, Rindu Malam keberatan mendengar saran Suto.
Beberapa saat kemudian terdengar Rindu Malam berkata, "Kau terlalu meremehkan ilmu kami, Suto!"
"Tidak! Sama sekali tak ada maksud untuk meremehkan ilmu kalian, Rindu Malam. Aku hanya tak ingin kau menempuh bahaya yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negeri kalian atau pribadi kalian."
"Urusan pribadimu menjadi urusan negeri kami, sebab Ratu Asmaradani memerintahkan kami untuk membantu segala kesulitanmu!"
"Aku paham dan sangat berterima kasih kepada Ratu. Sampaikan ucapan ku itu kepada beliau dan sampaikan pula alasanku tadi. Sekarang pergilah ke Ringgit Kencana, jangan menunda waktu."
"Tidak. Kami tetap harus dampingi dirimu, Suto!" Rindu Malam ngotot tapi dengan suara lembut, sehingga tidak terlalu menjengkelkan hati Pendekar Mabuk.
"Rindu Malam, kau tidak ada hubungan apa-apa dengan negeri Muara Singa. Jangan mau menjadi korban sia-sia tanpa ada maksud yang jelas dari pengorbanan kalian nanti!"
Kusuma Sumi menyahut, "Kami tak akan menjadi korban!"
Suto Sinting Sunggingkan senyum, sementara Batu Sampang diam ditempatnya mendengarkan percakapan itu tanpa mau ikut campur. Dalam hati Batu Sampang memuji kesanggupan dan niat baik Rindu Malam yang ingin membela negerinya. Kalau saja Batu Sampang tidak menjaga kesopanan, tentunya ia sudah mendukung keputusan Rindu Malam. Sebab ia pun sadar bahwa negerinya membutuhkan beberapa orang sakti untuk membendung keganasan Raja Tumbal.
"Rindu Malam," kata Suto dengan lembut, suaranya ingin menjinakkan kekerasan hati perempuan itu agar mau pulang ke negerinya. "Pembalasanku terhadap negeri Muara Singa adalah karena maksud pribadi yang tak bisa kau mengerti."
"Sebutkan maksudmu itu, karena pribadimu juga menjadi tanggungan Ratu kami!"
"Aku... aku harus membela kekasihku."
Rindu Malam terperanjat,Kusuma Sumi dan Pita Biru juga kaget. Wajah Rindu Malam mulai berubah warna kecewa yang belum jelas. Rindu Malam segera menarik napas, menekan perasaan karena tak ingin membias lewat sorot pandangan matanya.
"Siapa kekasihmu sebenarnya?"
"Ratu Galuh Puspanagari," jawab Suto Sinting. "Diam-diam aku mencintainya, dan aku ingin menjadi perisai keselamatannya. Sebab itu aku akan tanding laga dengan Raja Tumbal. Kalau aku mati, aku berkorban demi kekasihku. Kalau kau mati, kau berkorban untuk siapa dan untuk apa?"
Rupanya kata-kata itu sangat menyentuh hati Rindu Malam. Gadis itu tundukkan kepala beberapa saat. Setelah itu mengangkatnya kembali dengan sorot pandangan mata yang mulai sendu. Ucapannya terdengar lirih sekali, seakan penuh dengan kesedihan yang terpendam jauh didasar hatinya.
"Baiklah kalau niatmu begitu. Barangkali kami memang harus pergi dan membiarkan kau unjuk kesetiaan didepan Ratu Puspanagari. Aku dan kedua anak buahku ini bukan berarti apa-apa bagi dirimu. Pesanku jaga dirimu baik-baik, dan setelah urusan ini selesai tolonglah Pendeta Agung kami itu."
"Aku berjanji akan tolong Pendeta Agung Dewi Rembulan jika aku selamat dari pertarungan ku nanti."
Kusuma Sumi jadi ikut-ikutan sedih. Ia berkata kepada Suto, "Semoga kau bahagia bersamanya. Pertahankan jiwamu jangan sampai hancur ditangan manusia sesat itu!"
"Terimakasih atas saranmu, Kusuma Sumi. Aku akan berusaha memenuhi saranmu itu," ujar Suto dengan kalem, seakan merasa berat dengan perpisahan yang sebentar lagi akan terjadi itu.
Pita Biru giliran bicara. Ia tidak terlalu tampak sedih. Bahkan ada senyum kecil di bibirnya yang mungil menggemaskan itu. "Selamat bertarung, Suto. Jika kau dengar suara seruling mulai ditiup berjogetlah sebagai tanda kau memberi kebahagiaan di saat-saat menjelang kehancuranmu!"
Suto Sinting menepuk pundak Pita Biru dengan senyum lebar. "Aku tak pandai berjoget, Pita Biru. Tapi akan ku usahakan sebisa mungkin!"
"Kalau kau selamat dan datang ke negeri ku, akan kuajarkan bagaimana cara berjoget yang baik. Aku dulu seorang penari," katanya mengunggulkan diri.
"Penari apa?"
"Penari topeng."
"Ooo... topeng apa?"
"Topeng Monyet!" jawabnya sambil mengikik geli sendiri.
"Sudah, sudah...!" sentak Rindu Malam merasa kurang suka terhadap sikap Pita Biru yang tidak ikut bersedih itu. "Kami berangkat sekarang, Suto!"
"Ya. Selamat jalan. Salamku buat Ratu Asmaradani."
"Salamku juga untuk Ratu Galuh Puspanagari, pujaan hatimu itu!"
Senyum Suto tipis-tipis saja. Ia melambaikan tangan ketika Rindu Malam dan kedua anak buahnya meninggalkan tempat itu. Memang berat hati Suto, memang sedih sebenarnya. Tapi hanya itu cara yang bisa digunakan untuk membujuk mereka agar mau tidak melibatkan diri dalam perkara maut itu. Tanpa berpura-pura jatuh cinta pada Ratu Galuh Puspanagari, tak mungkin Rindu Malam mau disuruh pulang. Padahal Suto hanya ingin agar orang Ringgit Kencana tidak terlibat urusan dengan pihak lain hanya gara-gara membantu Pendekar Mabuk.
Namun tipuan Suto didengar oleh Batu Sampang itu diterima lain oleh sang Tamtama negeri Muara Singa itu. Batu Sampang menyangka kata-kata Suto adalah kata-kata yang benar, tulus keluar dari dalam hatinya, sehingga Batu Sampang diam-diam pun membatin,
"Ternyata dugaan teman-teman memang benar, Pendekar Mabuk jatuh cinta kepada Ratu Galuh Puspanagari. Hatiku ikut senang mendengar pernyataan yang belum didengar oleh Ratu ku itu. Pasti sang Ratu juga akan bahagia dan gembira hatinya jika kusampaikan kabar ini kepadanya. Memang pantas dan serasi sekali. Ratu berdampingan dengan Pendekar Mabuk merupakan pasangan yang enak dipandang mata dan pasti akan membuat kharisma negeri Muara Singa menjadi lebih besar lagi, lebih di segani pihak lain, dan setidaknya gajiku pun bisa dinaikkan jika hati sang Ratu dalam keadaan gembira setiap harinya."
Sekalipun hatinya gembira, tapi Batu Sampang tak berani cengengesan. Ia tetap bersikap tenang, bahkan terkesan dingin, sampai akhirnya Suto Sinting mengajaknya bicara.
"Batu Sampang, boleh aku minta tolong padamu?"
"Akan ku kerjakan apa pun perintahmu, Pendekar!"
"Pulanglah dengan cara memotong jalan. Sembunyikan Ratu Galuh Puspanagari dan Purnama Laras, serta beberapa orang penting lainnya. Sembunyikan ditempat yang aman. Jangan sampai Raja Tumbal mengetahuinya. Aku akan mengikuti arah kepergian Raja Tumbal tadi untuk mempelajari kelemahannya."
"Baik. Aku akan mendaki ke bukit biar lekas sampai."
"Silahkan. Kau boleh naik ke Bukit atau kemana saja asal jangan naik ke atas pohon kelapa. Itu tak akan sampai ke negeri Muara Singa," ujar Suto Sinting dengan canda ringan agar Batu Sampang tak menjadi tegang.
Satu kelemahan telah ditemukan Suto Sinting, Raja Tumbal tidak bisa melawan orang yang bersembunyi disekitarnya, ia tidak mempunyai ilmu pendengar detak jantung., seperti ilmu 'Lacak Jantung' yang dimiliki Suto Sinting. Ini memberi peluang bagus buat Suto agar tetap berada dalam persembunyiannya dan melepaskan serangan-serangan yang mematikan. Tetapi Suto Sinting juga mengakui kecepatan gerak Raja Tumbal dalam menangkis serangan lawan. Kecepatan gerak itu yang membuat Raja Tumbal tidak mudah ditumbangkan dari tempat persembunyian.
"Aku harus selalu gunakan gerak siluman jika ingin menerjangnya," pikir Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya beberapa kali. "Gerak siluman membuat ia tidak bisa mengenali wajah dan wujudku, sehingga dalam tiupan serulingnya ia tidak mempunyai sasaran pandangan mata batin yang jelas."
Perhitungan demi perhitungan direnungkan baik-baik oleh Suto Sinting. Kelemahan gerak siluman juga dicari untuk dihindari. Seluruh ilmu yang dimiliki di ingat-ingat dengan baik, lalu dipilih dalam benak, mana yang bisa digunakan untuk melawan Seruling Malaikat itu.
Renungan Pendekar Mabuk terhenti bersama langkahnya. Matanya memandang kearah tiga orang yang terhadang lawan. Tiga orang itu tak lain adalah Raja Tumbal dan dua orang anak buahnya; Gali Sampluk dan Landak Boreh. Sedangkan orang yang menghadang langkah mereka itu seorang nenek tua renta sedikit bungkuk. Rambutnya yang putih rata di gelung ditengahnya. Bibirnya bagai masuk ke mulut karena giginya telah ompong semua.
Nenek itu mengenakan pakaian hitam dirangkap jubah biru tua. Ia menggenggam tongkat yang ujungnya tengkorak kepala bayi. Ciri-ciri itu mengingatkan Suto pada perhitungannya dengan empat tokoh sakti yang menghendaki diri Angon Luwak. Suto sangat kenal dengan nenek keriput itu, yang tak lain adalah si Tongkat Bayi, penguasa Teluk Dukun, penghasil banyak dukun santet. Entah apa maksud si Tongkat Bayi menghadang Raja Tumbal, sebab menurut perkiraan Suto, si Tongkat Bayi akan tumbang dan tak berdaya jika melawan Raja Tumbal. Melawan Suto saja lari, apalagi melawan Raja Tumbal dengan Seruling Malaikatnya?
Untuk mendengar percakapan mereka, Suto Sinting lebih mendekat, namun masih tetap menjaga diri agar tidak terlihat siapapun. Landak Boreh tampak memandang sekelilingnya dengan mata malingnya, seakan mengawasi tiap gerakan dan tempat yang mencurigakan. Suto Sinting sangat berhati-hati terhadap mata malingnya si Landak Boreh itu.
"Ku rasa kita tidak punya persoalan apa-apa, Tongkat Bayi. Lantas apa maksudmu menghadang langkahku ini?!"
"Aku tak ingin bikin persoalan dengan mu. Kita satu aliran," kata Tongkat Bayi dengan suara tuanya. Kemudian ia menyambung lagi, "Kulihat kau menggenggam Seruling Malaikat, Gandar Saka."
Raja Tumbal tak keberatan disebutkan nama aslinya, tapi ia berkata dengan nada sinis dan angkuh, "Memang benar, aku menggenggam Seruling Malaikat. Apakah kau ingin mencoba mendengarkan suaranya?"
"Aku bukan orang bodoh! Aku tahu getaran suara seruling mu bisa membuat tubuhku pecah dalam sekejap. Tapi bukan itu maksudku, Gandar Saka."
"Lalu apa maksudmu?!"
"Kudengar sudah lama kau mengincar negeri Muara Singa?"
"Memang benar. Sekaranglah saatnya merebut negeri yang sebenarnya milik leluhurku itu. Kau mau apa Tongkat Bayi?"
"Sekedar mengingatkan bahwa, disana ada adikku; Paras Murai!"
"Apa benar Paras Murai itu adik kandungmu?"
"Benar. Usiaku terpaut dua tahun lebih tua dari Paras Murai. Tapi agaknya langkah kami sedikit berbeda. Aku menjadi dukun santet dan Paras Murai menjadi dukun bayi. Keduanya sama-sama menjadi dukun, tapi lain manteranya!"
Terdengar suara Gali Sampluk tertawa dalam gumam. Tapi tawa itu segera lenyap seketika begitu ia dilirik Raja Tumbal. Maka terdengar kembali ucapan Tongkat Bayi yang sedikit cadel dan bergetar karena ketuaannya itu.
"Paras Murai yang menolong kelahiran bayi, dan bayi itu sekarang yang menjadi ratu di Muara Singa. Tentunya Paras Murai berada di pihak Galuh Puspanagari!"
"Aku tak butuh silsilah, karena aku lebih tahu tentang silsilah penguasa negeri Muara Singa! Sebutkan saja apa maksudmu sebenarnya."
"Jika kau ingin mengobrak-abrik negeri itu, kuharap kau tidak melukai adikku, Gandar Saka! Yang lain boleh kau bunuh, kau ledakan dengan serulingmu, tapi Paras Murai jangan!" "Kau tak bisa mengaturku, Nenek tua! Kalau Paras Murai membahayakan jiwaku, bersikeras membela Galuh Puspanagari, mau tak mau aku harus menghancurkannya juga dengan Seruling Malaikatku ini!"
"O, itu sama saja kau membuat permusuhan denganku, Gandar Saka!"
"Aku tak peduli! Siapa yang menghalangi langkahku untuk menguasai Muara Singa, dia harus kuhancurkan tanpa pandang bulu!"
Tongkat Bayi mengerutu tak jelas, pandangan matanya kemana-mana. Akhirnya berpaling kearah Raja Tumbal dan berkata tegas, "Kalau adikku sampai mati ditanganmu, aku akan menuntut balas padamu!"
"Tuntutlah sekarang juga sebelum adikmu mati kubunuh!" tantang Raja Tumbal.
"Kau benar-benar keras kepala, Gandar Saka! Jika memang begitu kehendakmu, kulayani tantanganmu ini!"
Tiba-tiba Gali Sampluk melesat menerjang Tongkat Bayi tanpa diduga-duga.
Wuuttt...! Bruusss...!
Tongkat Bayi tahu-tahu terpental diterjang badan segemuk Gali Sampluk. Nenek tua itu jatuh terjengkang ditempatnya. Tendangan kaki Gali Sampluk sempat membuat mata Tongkat Bayi berkedip, karenanya ia terlambat menangkis ataupun menghindar. Ketika ia bangkit kembali dalam satu sentakan pinggang, yang membuat tubuhnya bagai meloncat ke atas, ternyata Gali Sampluk sudah menghunus goloknya.
"Bocah budek!" maki Tongkat Bayi. "Yang ku tantang adalah Gandar Saka, bukan cecungukmu!"
"Kalau kau bisa tumbangkan diriku, baru kau boleh melawan ketuaku!" kata Gali Sampluk dengan keras, menunjukkan dharma baktinya kepada sang ketua.
"Aku tak tega kalau harus melawanmu, bocah dungu! Kau seperti ubi rebus seminggu yang lalu. Terlalu empuk untuk diremas-remas dan dibikin getuk!"
"Jaga mulut tuamu, jangan sampai golokku merobeknya!" sambil Gali Sampluk menuding dengan tangan.
"Robeklah kalau kau bisa!" sentak Tongkat Bayi.
Sentakkan itu membangkitkan kemarahan Gali Sampluk semakin tinggi. Maka, dengan gertakkan gigi Gali Sampluk segera menerjang lawannya hanya satu kali sentakkan kaki. Wuutt...! Tubuh yang melayang itu segera menebaskan goloknya dengan cepat. Bet, bet, bet, bet, bet...!
Jleeg...! Gali Sampluk mendaratkan kakinya. Terbengong melompong melihat tempat yang dibabat berulang kali itu ternyata kosong. Gali Sampluk clingak-clinguk. Pandangan matanya terhenti saat mengarah kepada Landak Boreh. Mata itu memandang tajam penuh gairah untuk membunuh. Tentu saja Landak Boreh merasa heran dan takut. Sebab ia sangka Gali Sampluk mengancam nyawanya.
"Jangan marah padaku, Gali Sampluk! Aku tidak menculik nenek itu! Aku sendiri tidak tahu dimana nenek itu!"
Gali Sampluk melangkah dengan penuh nafsu mendekati Landak Boreh. Sikapnya membuat Landak Boreh kian ketakutan, sebab ia merasa kalah ilmu jika harus melawan si gendut. Tak heran jika Landak Boreh pun melangkah mundur dengan menghadangkan kedua tangannya kedepan.
"Sabar, sabar...! Jangan menyerangku dulu. Sabar! Aku benar-benar..."
Duuugh....
Punggung Landak Boreh membentur sesuatu. Ia segera berpaling kebelakang. Ternyata nenek kurus itu ada di belakangnya dengan mata angker menatap Gali Sampluk. Rupanya Tongkat Bayi itu yang dihampiri Gali Sampluk dan dipandang dengan nafsu membunuh.
Landak Boreh segera menyingkir dengan terbungkuk-bungkuk dan cengar-cengir memaksakan diri untuk ramah. "Maaf, Nyai... maaf. Permisi ah...!"
Terbukalah jarak antara Tongkat Bayi dengan Gali Sampluk. Mereka berhadapan dan saling pandang sama-sama buasnya. Gali Sampluk membuka jurus dengan rendahkan kaki dan angkat goloknya keatas kepala. Tetapi Tongkat Bayi hanya diam saja. Entah apa yang di ucapkan, mulutnya bergerak-gerak bagaikan membaca sebaris mantera. Tiba-tiba sebelum Gali Sampluk melompat lakukan serangan dengan goloknya, Tongkat berkepala Bayi itu disentakkan ketanah satu kali.
Duuhg...!
Dari dalam tanah menyembur puluhan jarum berkarat yang berwarna hitam kecoklat-coklatan. Zraabb...! Jruubb...! Jarum-jarum itu langsung menghujam ketubuh Gali Sampluk dari bawah. Tentu saja Gali Sampluk tidak dapat menghindar karena jarum-jarum sebegitu banyaknya bagaikan menyerangnya dari berbagai arah.
Tapi jika ia cekatan, ia dapat sentakkan kaki dan melenting keatas dengan bersalto dua atau tiga kali, maka jarum-jarum itu tidak akan menancap ditubuhnya. Sayangnya Gali Sampluk tak punya gerak naluri seperti itu, sehingga puluhan jarum banyaknya sekarang bermukim didalam tubuh gendutnya.
"Ggggrrr...!" Gali Sampluk mengerang dengan mata mendelik dan tubuh tak bergerak sedikitpun. Mulutnya melelehkan darah hitam. Tubuhnya mulai bergetar. Darah meleleh lagi dari lubang hidungnya. Tubuhnya sangat bergetar tak mampu dikendalikan. Buuhg...! Dan tubuh itu masih bergetar hingga kulitnya terkelupas, retak-retak sampai akhirnya Gali Sampluk tak mampu bernapas lagi. Ia mati dalam keadaan menyedihkan sekali.
Rupanya sejak tadi Raja Tumbal pelajari jurus mautnya Tongkat Bayi. Ketika Gali Sampluk terbaring tanpa nyawa, darahnya mendidih dan kemarahannya pun meluap. Ia tak menyangka Gali Sampluk akan kalah melawan Tongkat Bayi.
"Keparat kau, Tongkat Bayi!" geramnya dengan mata melotot.
Seruling Malaikat sejak tadi sudah ada ditangannya. Tongkat Bayi segera bergerak sebelum seruling itu si tiup. Sebuah sodokan Tongkat kedepan menghasilkan kilatan sinar biru yang menyambar tubuh Raja Tumbal tanpa sempat dihindari. Claap...! Deesss...!
Kilat Biru itu memang tidak bisa di hindari, tapi tangan Raja Tumbal yang memegang seruling itu segera berkelebat. Dalam posisi berdiri tegak didepan dadanya seruling itu berhasil menangkis kilatan sinar biru. Tak ada dentum tak ada suara. Kilat Biru itu bagai diserap oleh Seruling Malaikat hingga lenyap tanpa hasilkan apa-apa.
Tapi secepatnya seruling itu ganti disodokkan kedepan oleh Raja Tumbal. Wuutt...! Dan dari ujung seruling keluar sinar merah kecil sekali seperti lidi. Sinar merah itu melesat dengan cepat nyaris tak terlihat. Claap...! Langsung menghantam kepala Tongkat si nenek kempot. Duueeerrr...!
Ledakannya tak seberapa besar, juga tidak menggelegar. Namun akibat dari benturan sinar merah itu sungguh mencengangkan mata Suto Sinting dari persembunyiannya. Tongkat kepala bayi itu hancur menjadi abu. Tongkat yang digenggam kuat oleh tangan si Tongkat Bayi juga ikut hancur menjadi abu. Dan ketika sinar merah tadi menghantam ujung tongkat, tubuh nenek tua itu terlonjak-lonjak dengan memancarkan sinar biru.
Hanya sekejap hal itu terjadi. Sinar biru padam dari tubuh Tongkat Bayi, tapi tubuh sang nenek menjadi hangus dan kering keranjang tanpa setetes darah pun. Asap yang mengepul menyebarkan bau sangit kemana-mana, seperti bau sate hangus. Tentu saja tubuh Tongkat Bayi tidak bisa bergerak lincah lagi karena langsung kehilangan nyawa. Tubuh itu tumbang bagaikan seonggok arang yang dijatuhkan dari gendongan. Praaakkkk...! Hancur menjadi serpihan keras tak berbentuk lagi.
Melihat kejadian itu, Suto Sinting segera memperoleh satu pengetahuan penting dari Seruling Malaikat. Hatinya pun membatin,
"Ternyata bahaya seruling itu bukan terletak pada suaranya saja, melainkan juga terletak dibagian ujungnya. Sinar merah kecil itu sepertinya memang tidak seberapa hebat. Tapi sebenarnya mempunyai kekuatan dahsyat yang harus hati-hati dalam menangkisnya. Mungkinkah sinar merah itu tadi tak akan mempan jika ditangkis dengan bumbung tuakku? Dapatkah melubangi atau menghancurkan bumbung tuakku? Hmmm... agaknya demi keselamatan, lebih baik jika ia lepaskan sinar seperti itu dihindari saja. Kecepatan gerak sinar harus kuperhatikan betul. Agaknya sinar itu bukan sembarang sinar yang mudah dihindari. Buktinya Tongkat Bayi tak mampu menghindarinya."
Suto juga mencatat dalam benaknya bahwa seruling itu dapat menyerap atau menangkis pukulan jarak jauh seorang lawan. Nanti jika Suto harus berhadapan dengan Raja Tumbal, ia harus menyerang dari sisi yang sulit ditangkis oleh gerakan seruling maut itu.
Pendekar Mabuk melihat Raja Tumbal membiarkan mayat Gali Sampluk terkapar disitu. Tanpa ada niat memekamkan mayat tersebut. Raja Tumbal segera melangkah pergi dan diikuti oleh Landak Boreh yang tampak lega karena nyawanya masih ada. Pendekar Mabuk sempatkan meneguk tuaknya beberapa kali, kemudian bergegas mengikuti langkah Raja Tumbal.
Namun ia tersentak kaget dan hampir saja memekik karena dari arah belakangnya tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundaknya dengan pelan. Suto Sinting buru-buru berpaling dengan wajah tegang karena kagetnya itu.
Oh, kau...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil lepaskan napas lega.
* * *
TUJUH
Tangan yang menepuk pelan punggung Suto itu adalah tangan berjari lentik. Seraut wajah ayu tapi berambut cepak terpampang dengan senyumnya yang manis. Wanita yang berusia dua puluh tujuh tahun itu tampak seperti lelaki, tegar, sigap, dan berani. Ilmunya cukup tinggi, sehingga ia diangkat menjadi mata-mata kepercayaan Ratu Asmaradani.
Wanita cantik berjubah ungu tua itu tak lain adalah Kelana Cinta. Kedudukannya dan ilmunya lebih tinggi dibanding Rindu Malam. Hanya saja, Pendekar menjadi kesal hati, karena Rindu Malam sudah berhasil di bujuk untuk pulang, sekarang malah muncul yang lebih sakti lagi. Padahal Suto Sinting sama sekali tak ingin orang Ringgit Kencana terlibat dalam urusannya dengan Ratu Galuh Puspanagari yang dulu disebut sebagai gadis Gila bernama Palupi dan berjuluk Tandu Terbang itu. Jelas kedatangan Kelana Cinta pasti ada hubungannya dengan tugas perlindungan dari Ratu Asmaradani, sebab Kelana Cinta berkata,
"Aku jumpa Rindu Malam diperjalanan tadi. Benarkah kau menolak perlindungan dari kami? Jika benar, maka tugasku sia-sia, dan kedatangan ku kemari akan percuma. Apakah kau sudah yakin akan menang melawan Raja Tumbal?!"
Sambil mengikuti langkah Raja Tumbal dari kejauhan, Suto terpaksa jelaskan sekali lagi alasan penolakannya. Ia pun mengaku semua ini dilakukan demi cintanya kepada Ratu Galuh Puspanagari. Tapi agaknya Kelana Cinta tidak sebodoh Rindu Malam. Ia sunggingkan senyum meremehkan Suto, lalu berkata dengan suara pelan dan tegas.
"Setahuku kekasihmu adalah Ratu Puri Gerbang Surgawi yang bergelar Mahkota Sejati nama aslinya Dyah Sariningrum. Putri dari Ratu Kartika Wangi yang berkuasa dialam gaib!"
Suto bagai tercekat mulutnya. Kali ini ternyata Ia tak bisa membohongi utusan Ringgit Kencana. Pengetahuan Kelana Cinta lebih luas daripada Rindu Malam. Pendekar Mabuk tak bisa menyanggah. Ia hanya tersenyum-senyum sambil sesekali memandang kearah perjalanan Raja Tumbal di kejauhan sana.
"Apakah kau ingin mempunyai dua istri; Dyah Sariningrum dan Galuh Puspanagari?!"
Masih belum ada jawaban dari Suto Sinting kecuali senyuman tersipu malu. Kelana Cinta berkata, "Rindu Malam bisa kau bohongi, tapi aku tidak. Tugasku untuk membayang-bayangimu, membantu kesulitanmu agar lekas teratasi, lalu kau ikut denganku ke Ringgit Kencana untuk menolong Pendeta Agung Dewi Rembulan."
"Tidak, Kelana Cinta. Apapun alasannya, aku tak ingin melibatkan dirimu atau orang-orang Ringgit Kencana. Sebab musuh yang kuhadapi kali ini bukan orang sembarangan. Pusakanya itu membahayakan dan membuatku takut mengorbankan pihakmu!"
"Orang yang diutus mendampingimu adalah orang yang harus sudah siap untuk mati dalam keadaan bagaimana pun!" kata Kelana Cinta dengan tegas. "Kalau toh pihakku ada yang menjadi korban, Ratu tak akan menuntutmu. Justru kalau kami pulang membawa kabar bahwakau tewas dalam pertarungan, Ratu akan menuntut kami dan menganggap kami sebagaiutusan yang tak becus mengatasi masalahdan tak patut lagi diandalkan. Jadi, izinkan aku mendampingimu!"
Suto Sinting sengaja hentikan langkah sejenak, sambil mengurangi jarak agar tak terlalu dekat dengan perjalanan Raja Tumbal. Dengan lembut dan penuh kesabaran Suto memberi penjelasan lagi kepada Kelana Cinta. Tapi agaknya Kelana Cinta tetap ngotot ingin dampingi Suto demi tugas dari ratunya.
"Tampaknya kau benar-benar tak merasa takut hadapi Raja Tumbal dan pusakanya itu? Apa yang kau andaikan untuk melawannya nanti?!"
"Sebuah jurus yang tak dimiliki oleh orang lain, bahkan di Ringgit Kencana hanya akulah yang memiliki jurus itu."
"Jurus apa?" Suto Sinting menjadi ingin tahu.
Kelana Cinta hanya tersenyum sedikit mencibir. "Tak akan kukatakan padamu sebelum aku berhadapan dengan Raja Tumbal. Jurus ini kulakukan dalam keadaan sangat terdesak dan tak bisa dipakai sebagai bahan percobaan atau dipamerkan!"
Jawaban seperti itu membuat Pendekar Mabuk menjadi kian penasaran. Ia hanya mudah tergoda oleh sesuatu yang bersifat teka-teki. Hatinya tak bisa tenang sebelum mengetahui jawaban dari apa yang ingin diketahuinya itu.
"Sebutkan kekuatan jurus itu! Dimana letak keunggulannya jika melawan Seruling Malaikat?"
"Tak akan kukatakan juga, karena ini merupakan rahasia pribadiku. Kau hanya boleh mengetahuinya jika keadaan ku sudah terdesak sekali."
Suto menarik napas. "Baiklah, kalau kau memang yakin jurus andalanmu itu bisa kalahkan Seruling Malaikat, kuizinkan kau mendampingiku. Gunakan demi keselamatanmu. Itu yang utama, setelah menyelamatkan dirimu baru menyelamatkan diriku."
Dengan senyum ceria, Kelana Cinta berkata, "Luhat saja nanti. Atau... apakah perlu kita serang sekarang saja?!"
Sebenarnya ini kesempatan Suto untuk melihat jurus andalan Kelana Cinta itu. Tetapi jiwanya masih bimbang, hatinya ragu, sehingga ia terpaksa melarang Kelana Cinta menyerang Raja Tumbal saat itu juga.
"Jangan sekarang! Aku yakin ada saat yang paling baik untuk melakukannya!"
"Terserah kau!" Kelana Cinta angkat bahu. "Diam-diam aku sempat merasa heran padamu, Suto!"
"Apa yang kau herankan?"
"Kenapa kau sangat tertarik untuk selamatkan kedudukan Ratu Galuh Puspanagari?!"
"Ratu Galuh Puspanagari adalah anak kandung dari permaisuri Raja di Muara Singa. Permaisuri itu bernama Sang Paramitha. Hubungannya denganku adalah... Sang Paramitha warga Puri Gerbang Surgawi dialam gaib, yaitu pengawal Ratu Kartika Wangi, sedangkan aku adalah Manggala Yuhda Kinasih di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib. Berarti aku berhak melindungi keturunan bawahanku. Karena Ratu Galuh Puspanagari adalah keturunan Sang Paramitha, maka aku pun berhak melindunginya semasa tabiat dan tingkahnya ada dijalan yang benar!"
Kelana Cinta malah tertawa kecil, "Yang kumaksud bukan itu."
"Sial! Jadi maksudmu bagaimana?"
"Mengapa kau tidak lebih tertarik dengan keadaan ditimur?"
"Ditimur? Keadaan apa yang kau maksud?"
"Rupanya kau ketinggalan zaman," ejek Kelana Cinta sambil tertawa kecil. "Dalam perjalananku kemari, sudah lebih dari sepuluh mulut yang mempergunjingkan tentang Pedang Kayu Petir!"
"Ooo..., Suto manggut-manggut. Ia merasa menang, karena ia lebih tahu banyak tentang pedang itu dan ia terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Kelana Cinta hanya mendengar kabarnya saja. tapi Suto merasa menjadi pelakunya.
"Mengapa kau tidak ikut memperebutkan Pedang Kayu Petir itu? Setahuku, pedang tersebut bisa untuk kalahkan kekuatan sakti Seruling Malaikat. Sebab menurut kabar yang kudengar sejak dulu kala, Pedang Kayu Petir dapat membuat kesaktian seseorang menjadi lenyap seketika jika melihat pedang itu atau berada disekitar pedang itu. Tapi bagi pemegang pedang itu, kesaktiannya tidak hilang melainkan justru bertambah. Karenanya pedang tersebut sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh sakti manapun juga. Biar dia sudah tingkat Resi atau begawan, jika berhadapan dengan pemegang Pedang Kayu Petir, ia akan menjerit seandainya ada anak kecil menusukkan jarum dipantatnya!"
Suto Sinting tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Aku tahu... aku tahu...!" gumamnya dengan bangga, karena ia merasa lebih dulu mengetahui hal itu daripada Kelana Cinta. Bahkan ia tambahkan kata, "Lebih dari itu aku tahu. Seluruh kesaktian yang ada pada pedang tersebut sudah kuketahui. Aku juga tahu kalau pedang itu dapat membuat rembulan dilangit menjadi merah, dan matahari bisa tidak bersinar selama sehari jika pedang itu disentakkan ke langit dengan satu kekuatan tenaga dalam si pemegang pedang."
"O, bisa begitu segala?!" Kini Kelana Cinta menjadi tampak kagum dan heran.
Suto Sinting kian sunggingkan senyum kemenangannya. Langkahnya tetap seirama, pandangan matanya tetap sesekali mengawasi Raja Tumbal dikejauhan. Tambahnya lagi dengan bangga, "Pedang itu jika disentakkan kelangit, tidak mengarah ke mataharinya, maka akan keluar puluhan Petir dari ujung pedang kesegala arah, langit pun kontan menjadi merah menggelegar bagaikan terbakar dan mau pecah!"
"Luar biasa! Ck, ck, ck...!" decak kagum Kelana Cinta makin jelas.
"Pedang itu jika digoreskan ketubuh, maka lukanya akan menyala Biru. Eh... bukan, bukan Biru. Tapi akan menyala hijau!" Suto membayangkan saat bocah bernama Saladi tergores pedang itu. Sambungnya lagi.
"Jika ditusukkan akan keluar sinar ungu yang bisa Tembus empat atau lima pohon sekaligus!"
"Hebat sekali kesaktian pedang itu. Mengapa kau tidak memperebutkan?"
"Pedang itu sekarang sudah jatuh ke Sumur Tembus Jagat! Kau tahu sendiri Sumur Tembus Jagat itu tidak punya dasar, jadi tidak bisa diukur kedalamanya. Konon, kata para ahli nujum dan orang pintar, sumur itu kalau disusuri akan tembus sampai kebelahan bumi lainnya. Dari belahan bumi utara, Tembus ke belahan bumi selatan. Bisa dibayangkan betapa dalamnya sumur itu?!"
"Iya. Aku tahu soal Sumur Tembus Jagat itu, justru keributan tentang Pedang Kayu Petir terjadi di lereng gunung tempat adanya Sumur Tembus Jagat itu. Namanya Gunung Mata Langit!"
Suto Sinting sendiri curiga hingga dahinya berkerut waktu memandang Kelana Cinta. "Maksudmu bagaimana?"
"Geger di gunung itu baru saja terjadi. Orang-orang sakti memperebutkan pedang tersebut yang konon telah dapat diambil oleh seorang perempuan. Perempuan itu sedang dikejar-kejar oleh para tokoh sakti dengan perangkat dan bujukan aneka macam."
"Tunggu, tunggu...!" Suto hentikan langkah karena merasa butuh kejelasan yang lebih tepat lagi. "Sumur itu... eh, Pedang Kayu Petir ditemukan oleh seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun! Lalu, pedang itu jatuh ke Sumur Tembus Jagat dan belum ada yang bisa mengambilnya!"
"Sudah!" Kelana Cinta agak ngotot. "Baru saja berita ini menyebar. Pedang Kayu Petir sudah bisa diambil dari Sumur Tembus Jagat!"
"Ah...! Mana mungkin?!" Suto sangat tak percaya.
"Kabarnya, pedang itu tidak jatuh ke tengah sumur tapi hanya di pinggirannya, tersangkut akar pepohonan yang tembus didinding sumur itu. Lalu seorang perempuan mengambilnya dengan meniti akar-akar pohon itu!"
"Siapa nama perempuan itu?" tanya Suto dengan tegang.
"Aku tidak tahu. Aku tidak berminat mengikuti keributan itu, karena tugasku mendampingimu yang akan melawan Raja Tumbal!"
"Darimana kau tahu aku akan melawan Raja Tumbal?"
"Ratu Asmaradani telah meneropongmu dan mengetahui kesulitanmu!"
Suto Sinting diam, termenung sambil melangkah kembali. Ia masih sangsi dengan apa yang si dengar dari Kelana Cinta. Tapi penjelasan itu sangat masuk akal. Pedang tidak jatuh ke tengah sumur melainkan tersangkut diantara akar-akar pohon. Tentu saja Angon Luwak tidak mengetahui hal itu, karena bocah itu tak akan berani melongok atau memeriksa sumur itu. Setahunya pedang sudah terjatuh ke sumur dan hilang tak bisa diambilnya lagi. Tapi jika kenyataannya pedang itu hanya tersangkut diantara pohon yang menembus dinding sumur, sangat memungkinkan seseorang bisa mengambil pedang itu.
"Apakah... apakah kau tak mendengar ciri-ciri perempuan yang menemukan pedang tersebut? Misalnya dari perguruan mana atau murid siapa?"
Kelana Cinta gelengkan kepala. "Aku hanya mendengar dengan selintas saja. Yang kutahu, perempuan itu sekarang sedang dikejar-kejar oleh para tokoh berilmu tinggi. Tentu saja mereka tidak menggunakan kekasaran karena jika perempuan itu melawan mereka akan kalah. Mereka berlomba menggunakan siasat untuk menggaet perempuan itu dan memiliki pedangnya."
"Celaka!" gumam Suto tampak kian tegang. Tentu saja ia sangat tegang karena kini ia diliputi kebimbangan.
Jika Ia pergi kearah timur, kelereng Gunung Mata Langit, ikut mengejar perempuan itu, maka keadaan Muara Singa sangat berbahaya. Bisa-bisa Raja Tumbal bertindak seenaknya sendiri, membantai kesana-kesini dengan Seruling Malaikat-nya. Tapi jika hadapi Raja Tumbal tanpa Pedang Kayu Petir, kemungkinan mati ditangan Raja Tumbal sangat besar.
Sekarang pun seandainya Pendekar Mabuk melesat kearah timur untuk temui perempuan si penemu pedang maha sakti itu, tak akan cukup waktu untuk kembali lagi ke Muara Singa. Secepatnya esok pagi ia baru tiba di Muara Singa, dan itu berarti Suto Sinting harus sudah persiapkan diri untuk bentengi negeri tersebut.
Repotnya lagi, Ratu Galuh Puspanagari ternyata menolak saran Suto melalui Batu Sampang. Dengan tegas, wanita muda yang dulu dijuluki sebagai Tandu Terbang murid Pendeta Arak Merah dari Tibet, berkata didepan para pengawal dan pejabat istana,
"Apapun yang terjadi aku tak akan lari bersembunyi! Kalau aku harus mati, biarlah aku mati di istana ini! Dimana letak harga diriku sebagai seorang Ratu jika harus lari terbirit-birit dan bersembunyi ketika musuh datang?! Aku tidak bisa menerima saran Pendekar Mabuk itu! Kalau dia tak mau membantuku, aku akan hadapi sendiri Raja Tumbal dengan segala akibat yang akan kutanggung!"
Purnama Laras yang dulu pernah menjabat sebagai Ratu di negeri itu, tapi segera undurkan diri setelah pewaris negeri itu datang, segera berkata dengan tenang, tanpa nada tinggi.
"Kurasa yang dipertimbangkan Suto Sinting adalah keselamatannu, Galuh!" Purnama Laras berani memanggil nama Galuh, karena mereka sebenarnya kakak beradik hanya saja bukan saudara kandung. Purnama Laras adalah anak angkat dari ayah Galuh Puspanagari yang menikah lagi dengan perempuan lain setelah kematian Sang Paramitha, ibu kandung Galuh Puspanagari.
"Ini bulan soal mempertahankan harga diri" kata Purnama Laras lagi. "Ini sebuah siasat. Perang bukan saja membutuhkan otot dan senjata, tapi juga membutuhkan otak dan cara!"
Nyai Paras Murai yang sejak mendapat suaka dari pengejaran Tandu Terbang telah menjadi sesepuh istana, juga memberi pandangan serupa dengan Purnama Laras. Bahkan Nyai Paras Murai berkata,
"Mati mempertahankan negeri memang terhormat. Tapi mati konyol karena kebodohan adalah mati yang sia-sia! Pendekar Mabuk mempunyai gagasan yang baik. Dia pasti akan mempertahankan negeri ini selama kita dalam persembunyian. Ini bukan hal yang tabu bagi seorang penguasa!"
Hantu Tari, murid dari Nyai Paras Murai yang juga merupakan saudara sepupu Galuh Puspanagari itu, segera keluarkan pendapatnya dalam perundingan orang-orang istana,
"Tak jauh dari sini ada sebuah gua yang tidak mudah ditemukan orang. Gua itu terletak di balik gugusan batu. Mulut gua kecil, tapi bagian dalamnya sangat lebar. Aku pernah bersembunyi disana ketika dikejar-kejar orang lereng neraka itu. Kurasa gua itu cukup aman sebagai tempat persembunyian."
Ratu Galuh Puspanagari berpikir beberapa saat. Mungkin jiwanya yang sudah terlanjur ditempa sang guru dari Tibet itu menjadikan ia sebagai wanita berjiwa baja yang pantang menyerah, sehingga gagasan Suto untuk bersembunyi dinilainya sebagai langkah seorang pengecut. Ratu Galuh Puspanagari merasa malu pada diri sendiri jika sampai bersembunyi. Akhirnya ia mempunyai gagasan lain dalam benaknya yang segera dibeberkan dalam perundingan itu.
"Begini saja..., aku tidak akan bersembunyi! Aku akan menyamar sebagai juru masak istana! Raja Tumbal tidak mengenali wajahku. Mungkin dalam keadaan berkumpul begini ia tidak akan tahu yang mana yang bernama Galuh Puspanagari. Karena itu, kalian bersembunyilah didalam gua yang ditemukan Hantu Tari itu. Aku akan menyamar sebagai juru masak bersama juru masak lainnya. Dengan begitu aku masih punya peluang untuk menumbangkan Raja Tumbal jika keadaan sangat memungkinkan."
"Kalau begitu aku akan menyamar sebagai perawat taman!" kata Purnama Laras.
"Jangan! Kau harus bersembunyi! Karena Raja Tumbal mengenali wajahmu!"
"Aku harus mendampingimu dan menjagamu, Galuh!" tegas Purnama Laras. "Aku bisa merias diri sedemikian rupa hingga tak mudah dikenali oleh Paman kita!"
Akhirnya semua sepakat untuk menyamar, tidak bersembunyi. Hantu Tari akan menyamar sebagai seorang lelaki gemuk bertudung hitam dan bekerja di istana, merawat kuda-kuda istana. Nyai Paras Murai akan merubah wajahnya dengan coreng-moreng sebagai pelayan para prajurit. Tinggal Batu Sampang yang segera bertanya kepada mereka,
"Saya harus menyamar sebagai apa?"
"Sebagai kuda!" jawab Hantu Tari dalam godaannya. "Jika kau menyamar sebagai kuda, maka aku akan selalu merawat dan..."
"Sudah, sudah...!" hardik Nyai Paras Murai. "Batu Sampang tetap saja menjadi Batu Sampang. Tapi bersikaplah tunduk dan takut kepada Raja Tumbal. Jika ia menanyakan kita, katakan kita bersembunyi di gua. Jika Ia masuk, kita tutup gua itu dengan batu besar sampai akhirnya ia mati disana."
* * *
DELAPAN
Tangan berjari lentik itu kembali menahan lengan Suto Sinting. Kelana Cinta memandang jauh kearah Raja Tumbal dan Landak Boreh. Tanpa bertanya Suto mengarahkan pandangan matanya kearah yang sama dengan tatapan mata Kelana Cinta.
Oh, rupanya Kelana Cinta ingin memberitahukan ada orang yang melintas tak jauh darinya mengendap-endap. Orang itu agaknya ingin menyerang Raja Tumbal dari belakang. Suto Sinting segera membawa Kelana Cinta lebih mendekat tapi ditempat yang lebih terlindung.
"Apakah kau kenal dengan orang itu?" tanya Kelana Cinta berbisik.
"Ya, aku kenal!" Jawab Suto sambil memandang tokoh tua berjubah merah. Rambutnya pendek, putih, tapi bagian tengahnya botak. Tokoh tua itu menggenggam tongkat yang ujungnya membentuk anak panah.
"Siapa orang itu?"
"Ki Parandito alias si Juru Bungkam," jawab Suto sambil membayangkan masa pertemuan pertama dipantai dengan Ki Parandito yang waktu itu dampingi saudara seperguruannya yang bergelar Pawang Gempa. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Hantu Tanpa Tapak).
"Rupanya dia punya dendam kepada Raja Tumbal!"
"Entahlah. Kita lihat saja apa sebenarnya yang ingin dilakukan olehnya."
"Atau mungkin dia berniat mau bergabung dengan Raja Tumbal?" duga Kelana Cinta, Suto diam sejenak lalu berkata,
"Yang jelas kalau dia ingin bertarung dengan Raja Tumbal, aku khawatir kalau ia tumbang walau mungkin ia mengandalkan ilmu bungkamnya. Tapi apakah ilmu bungkamnya itu dapat membunngkam suara seruling maut itu?"
Ki Parandito semakin mendekat, dan Raja Tumbal tidak terhalang tubuh Landak Boreh, tiba-tiba Ki Parandito lepaskan jurus tongkat saktinya itu dengan melemparkan tongkat tersebut kearah Raja Tumbal.
Wuuut...! Tongkat yang ujungnya runcing seperti panah itu meluncur dengan bagian depannya berapi. Kobaran api semakin besar dan semakin mendekati lawan kobaran api itu semakin berkobar lebih besar lagi.
Deeg...!
"Heaaah...!" Landak Boreh menghantamnya dengan sinar dari tangannya. Tongkat itu hanya terpental dan apinya padam. Tapi sebelum Landak Boreh menghantam tongkat dengan sinar, lebih dulu ujung tongkat yang berapi itu telah menghantam punggung Raja Tumbal dengan telak.
Jelas-jelas terlihat oleh mata Pendekar Mabuk dan Kelana Cinta bahwa tongkat itu menghujam punggung Raja Tumbal, tapi hujaman itu tidak membuat Raja Tumbal cidera sedikitpun. Raja Tumbal hanya terdorong kedepan satu langkah, kemudian segera berpaling dan pada saat itulah tongkat dihantam Landak Boreh.
Kelana Cinta berbisik, "Rupanya ia tak mempan senjata?! Ia kebal!"
"Ya, ia memang kebal. Mestinya tubuhnya hancur dihujam tongkat berkekuatan tenaga dalam yang tinggi itu, setidaknya terbakar. Tapi nyatanya ia hanya seperti didorong oleh tangan lemah yang membuatnya tersentak maju setindak. Satu lagi rahasia kekuatan keketahui, ia kebal senjata!"
Inilah keberuntungan Pendekar Mabuk membuntuti perjalanan Raja Tumbal, dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan calon lawannya nanti. Semua dicatat dalam benak Suto sehingga ia punya perhitungan sendiri pada saat berhadapan dengan Raja Tumbal.
Ki Parandito tidak sembunyikan diri. Ia segera tampil dalam satu lompatan kearah samping Raja Tumbal. Tampak wajah Raja Tumbal mulai diliputi kemarahan yang tertahan. Landak Boreh segera tarik diri kebelakang pada saat menyadari siapa lawannya yang baru datang itu.
"Juru Bungkam!" geram Raja Tumbal. "Apa maksudmu menyerangku dari belakang?!"
Orang berusia enam puluh tahun itu berkata, "Lima muridku hancur ditanganmu. Apakah kau ingat, Gandar Saka?!"
"Mengapa harus kulupakan? Itu saat yang menyenangkan bagiku, melihat lima muridmu terbelah tanpa ampun lagi oleh jurus pedangku. Lantas mau apa kau?"
"Lima nyawa muridku selayaknya jika kau tebus dengan Seruling Malaikat itu, Gandar Saka!"
Landak Boreh menyahut, "Oh, jadi kau ingin merebut pusaka milik sang Ketua? Hemmm...! Itu berarti kau harus..."
Juru Bungkam langsung menyambar sesuatu di depannya, seperti menangkap seekor nyamuk yang sedang terbang. Tangan yang menggenggam itu masih didepan dada, dan pada saat itu mulut Landak Boreh ternganga-nganga tak bisa bicara. Ketika dipaksakan yang keluar hanya kata-kata yang tanpa arti.
"Ahhgg... bah, buh, bah... abbb... nyak, nyuk, nyik... kang, kaing...!"
Plookk...! Raja Tumbal menampar wajah Landak Boreh. "Kau mau bicara apa menirukan suara anak anjing?!" sentak Raja Tumbal.
Landak Boreh menjawab sambil menuding-nuding mulutnya, "Buub... babb... uus... uus... ngik, ngik, ngik, guuukk...!"
Ploookkk...! Sekali lagi tamparan keras mendarat diwajah Landak Boreh. "Minggir sana! Tak perlu ikut campur!" sentak Raja Tumbal.
Ki Parandito melemparkan genggamannya kearah Landak Boreh. Wuttt...! Ternyata seberkas sinar melesat dari genggaman dan menerpa wajah Landak Boreh. Sinar itu tidak meledak, tidak mematikan lawan, hanya membuat Landak Boreh gelagapan sebentar, tapi ia tetap sehat tanpa cidera apapun.
"Apa maksudnya?" bisik Kelana Cinta.
"Entahlah. Lihat saja! Raja Tumbal tampaknya terkejut melihat hal itu dan kemarahannya makin tinggi lagi."
Memang Raja Tumbal terkejut melihat sinar itu menerpa Landak Boreh. Ia segera membentak Ki Parandito. "Iblis kau Parandito! Landak Boreh kau buat bisu selamanya dengan sinarmu itu! Aku tahu hanya kau yang bisa mengembalikan suaranya, tapi tidak harus ku tebus dengan menyerahkan Seruling Malaikat ini! Akan ku desak nyawamu sebagai ganti rugi cacat suara yang akan dideritanya seumur hidup itu!"
Mendengar ucapan Raja Tumbal, wajah Landak Boreh menjadi tegang. Ia mencoba suaranya, "Aahg... aab... buub... nyuk... nyuk...!" Dan wajah itu menjadi sedih setelah mengetahui dirinya tak bisa bicara lagi.
"Gandar Saka," kata Ki Parandito dengan wibawa. "Cacat yang di derita anak buahmu itu belum seimbang dengan kematian lima murid pilihanku itu. Kau masih harus menebusnya dengan Seruling Malaikat atau dengan nyawamu!"
Sambil mengeraskan genggaman tangannya yang memegang seruling, Raja Tumbal menggeram dengan luapan amarah. "Kuhancurkan kau sekarang juga, Parandito!"
Raja Tumbal segera memasukkan ujung seruling ketepian mulutnya. Tapi Ki Parandito segera menerjang dengan gerakan amat cepat. Wuuut...! Bruuusss...! Raja Tumbal terpental dan berguling-guling tak jadi meniup seruling. Ki Parandito tak mau beri kesempatan kepada Raja Tumbal untuk meniup serulingnya.
Claap...! Claapp...!
Dua sinar menghujam didada Raja Tumbal Dua sinar lurus itu melesat dari ujung dua jari Ki Parandito yang disentakkan ke depan. Maksudnya dengan menghujani pukulan bersinar mera, Raja Tumbal akan kewalahan dan tak sempat meniup seruling. Setidaknya ia harus menghindar atau menangkis.
Tapi rupanya sinar itu dibiarkan menghantam dadanya. Deb, deb...! sinar itu padam. Tidak timbulkan suara ledakan, tidak tampak menembus dada. Sedangkan tangan Raja Tumbal tetap memegang suling, menutup empat lubang nada dengan kedua tangannya itu.
"Rupanya ia juga kebal sinar tenaga dalam!" bisik Kelana Cinta.
"Ya. Selagi ia sempat menangkis atau menghindar. Ia akan melakukannya. Tapi jika ia tidak sempat lagi, sinar itu dibiarkan menghantam tubuhnya tanpa rasa takut celaka dan kedua tangannya tetap bersiap meniup seruling. Hemmm... berarti jika aku melawannya tak boleh sembarangan lepaskan sinar. Itu sia-sia akhirnya!"
Seruling itu mulai berkumandang, "Tuliiit, tulit, tuliiit... tiut, tiut...!"
Ki Parandito segera mengambil sikap berdiri tegak dan menyambar sesuatu didepan wajahnya, seperti menangkap nyamuk terbang. Tangannya menggenggam kuat-kuat hingga gemetar.
Kelana Cinta berbisiik, "Menurutmu apakah dia sedang berusaha membungkam suara seruling itu?"
"Ya. Ia sedang lakukan hal yang sama seperti ia membungkam mulut Landak Boreh itu. Tapi... lihat saja, apakah ia berhasil atau gagal?"
Seruling Malaikat masih mendenging-denging. Raja Tumbal memainkan lubang nada dengan tidak beraturan. Ki Parandito bertahan membungkam seruling itu dengan genggaman tangan makin kencang. Kini bahkan dilakukan dengan dua tangan. Genggaman itu berada didepan dada, bergetar hebat dengan mata terpejam kuat. Suara seruling sempat terdengar parau dan tersendat-sendat. Raja Tumbal tampak cemas dalam meniupnya. Tapi tiupan itu tidak dihentikan sebentar pun. Bahkan napasnya kian disentakkan agar suara seruling melengking tinggi lagi.
"Tuliiiit....!"
Nada suara seruling begitu tinggi. Sangat jelas diterima oleh telinga Pendekar Mabuk dan Kelana Cinta. Tapi gendang telinga mereka tidak merasa sakit. Hanya saja, lengking suara seruling itu mrmbuat kepala Ki Parandito bergetar hebat, juga sekujur tubuhnya. Darah mulai menyembur dari telinga kanan-kiri. Ki Parandito masih berusaha mengerahkan tenaga bungkamnya. Sampai akhirnya, craakkk...! Bruusss...!
"Ooh...?!" Kelana Cinta nyaris terpekik kuat-kuat kalau tidak mulutnya cepat dibungkam dengan Pendekar Mabuk. Mata wanita itu membeliak bundar manakala melihat tubuh Ki Parandito menyebar ke berbagai arah, hanya arah seruling berada yang tidak terkena serpihan daging dan tulang tubuh Ki Parandito.
Tiupan seruling dihentikan. Raja Tumbal tertawa terkekeh-kekeh melihat serpihan tubuh lawannya. Sama sekali tak ada yang bisa dikenali oleh siapapun bahwa serpihan itu adalah serpihan tubuh Ki Parandito, karena tak ada ciri sedikit pun yang dimiliki oleh serpihan tersebut. Jika tongkatnya tidak tergeletak ditanah dan tak dihiraukan oleh Raja Tumbal, maka siapa pun orang yang menemukan serpihan itu tidak bisa mengetahui nama korban.
Wajah Kelana Cinta sempat menjadi pias, sedikit pucat. Suto Sinting memandang dengan berkerut dahi. Lalu memberanikan diri bertanya, "Kenapa? Kau takut? Ngeri melihat akibat melawan Seruling Malaikat?"
"Ak... aku... aku hanya merasa tak pernah melihat kematian sekeji itu," jawab Kelana Cinta.
"Bukankah kau punya jurus penangkalnya?!"
"Hemmm... eeh... iya. Memang punya," jawabnya agak gugup.
"Kalau begitu kau tak perlu merasa takut dan ngeri. Kau mau melawannya sekarang juga?" pancing Pendekar Mabuk yang mulai curiga.
"Hemmm... tidak. Jangan sekarang. Ada waktu yang tepat untuk melawannya!"
Suto Sinting kian curiga "Kau harus melawannya sekarang juga, selagi ia mendekati perbatasan wilayah Muara Singa."
Kelana Cinta semakin salah tingkah, "Hemmm, hemmm... ee... begini, eh...!"
Suto Sinting hempaskan napas menahan kesal dihati. "Katakan, apa jurus andalanmu itu, Kelana Cinta?!"
"Hemmm...," wanita cantik itu tersenyum malu. "Hemmm... ya, jurus andalanku itu adalah... melarikan diri secepat mungkin sebelum seruling ditiup!"
"Sial!" gerutu Suto Sinting sambil berpaling kearah pohon. Tangannya disandarkan ke pohon itu dengan napas menghembus panjang.
Kelana Cinta tundukkan kepala dengan malu dan salah tingkah. "Aku hanya berusaha agar tetap kau izinkan mendampingimu, karena ini merupakan tugas dari Gusti Ratuku!" kata Kelana Cinta dengan pelan.
Akhirnya Suto Sinting terpaksa harus memaklumi siasat Kelana Cinta. Jika ia marah dan merasa tertipu, itu menandakan ia tak bisa bersikap bijak dan berjiwa besar.
"Baiklah!" katanya sambil menepuk pundak Kelana Cinta. "Kusuruh pulang pun percuma, sudah dekat dengan wilayah Muara Singa, bahkan sudah diimbangi pintu negeri. Sekarang aku hanya berpesan kepadamu, kau tak boleh ikut dalam pertarungan nanti!"
"Kalau kau dalam bahaya bagaimana?"
"Carilah jalan terbai, tapi kau harus punya keyakinan bahwa kau tidak boleh mati konyol demi membelaku. Camkan pesanku ini agar aku tak membencimu!"
Sekelebat bayangan berpakaian biru terlihat menuju ketempat mereka berada. Kelana Cinta segera persiapkan diri, siap cabut pedang di punggung sewaktu-waktu. Tapi tangan Suto memberi isyarat agar niat itu dibatalkan. Karena semakin dekat semakin jelas siapa orang yang datang.
"Ada apa Batu Sampang?!" tegur Pendekar Mabuk kepada Tamtama negeri itu.
"Ratu Galuh Puspanagari tidak mau bersembunyi."
"Bodoh sekali dia!" geram Suto Sinting. "Lalu apa yang dilakukannya?"
"Menyamar sebagai juru masak istana!"
Pendekar Mabuk hembuskan napas, tertawa pendek sekali. "Yang lain bagaimana?"
"Tetap tak ada yang mau tinggalkan Ratu. Mereka juga menyamar sebagai pegawai istana, termasuk Nyai Paras Murai!"
Kelana Cinta hanya diam saja, tapi mengikuti percakapan itu. Otaknya pun ikut berpikir mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang melemahkan pihak Ratu. Sesaat kemudian Suto Sinting berkata kepada Batu Sampang.
"Dari mana kau tahu aku berada disini?!"
"Seorang anak buahku menjagamu terus dikejauhan sana. Ia punya tanda khusus yang ku kenali. Jadi aku mudah mencarimu. Tapi kurasa itu tak penting, ada yang lebih penting lagi."
"Tentang apa?!"
"Seorang wanita cantik hendak mengamuk didepan istana. Ia ingin bertemu denganmu!"
Suto dan Kelana Cinta terperanjat dan saling pandang. Lalu Suto bertanya, "Siapa nama wanita itu?!"
"Pelangi Sutera!"
Sekali lagi mereka berdua sama-sama terkejut dan saling pandang. Kelana Cinta menggumamkan nama asli Pelangi Sutera. "Sumbaruni...?!"
Suto Sinting menggenggam lirih, "Mau apa dia mencariku?!" tanyanya kepada Batu Sampang.
"Entah. Dia hanya mencarimu dan ingin temui Ratu. Kami tidak izinkan dia masuk istana. Dia mengancam akan mengamuk jika tak di izinkan bertemu denganmu."
Sumbaruni adalah tokoh sakti yang usianya sudah cukup banyak tapi masih awet muda seperti gadis berusia dua puluh lima tahun. Sumbaruni pernah menjadi panglima negeri Ringgit Kencana dan tentunya sangat kenal dengan Kelana Cinta, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).
Wanita bekas istri jin Kazmat itu merindukan seorang suami manusia yang baik. Dan ia telah jatuh cinta kepada Suto Sinting secara terang-terangan. Tapi Pendekar Mabuk tidak mau layani cintanya karena sudah terikat tali asmara dengan penguasa negeri Gerbang Surgawi, Dyah Sariningrum.
Renungan Suto Sinting digugah oleh suara Batu Sampang yang pelan dan berwajah dingin itu. "Sebaiknya tak perlu mengikuti jalur perjalanan Raja Tumbal. Kita bisa potong jalan lewat tenggara."
"Sebaiknya begitu, Suto!" usul Kelana Cinta dengan hati-hati. "Bereskan dulu masalah Sumbaruni itu sebelum Raja Tumbal datang dan harus berhadapan denganmu. Atau... biar kubereskan sendiri Sumbaruni itu?"
"Jangan!" sergah Pendekar Mabuk. "Akan kubereskan sendiri urusan itu."
Kemudian Suto Sinting berkata kepada Batu Sampang. "Apakah kedatangan Sumbaruni diketahui Ratu?"
"Tidsk. Ia masih diluar benteng istana dan belum memancing keonaran. Karena aku segera mencarimu untuk minta keputusan, apakah harus ku usia dengan caraku sendiri atau akan kau tangani!"
"Baik. Kita berangkat lewat jalan pintas!"
MATAHARI hampir tenggelam. Cahayanya menerpa jubah sutera ungu tua. Jubah itu membungkus sebagian pakaian ketat ungu muda berhias benang emas. Pedang di punggung pun berwarna ungu tua, terutama pada bagian gagangnya. Rambut yang disanggul sebagian itu membuat kecantikannya yang ada tampak mencolok, mata indah berkesan galak, hidung mancung, kulit kuning langsat.
Itulah sosok penampilan Pelangi Sutera yang lebih dikenal dengan nama aslinya; Sumbaruni. Ia berdiri didepan pintu gerbang istana Muara Singa yang mempunyai hiasan gambar dua kepala singa pada sisi kanan kiri pintu. Empat orang prajurit berdiri berjajar membentang jalan masuk ke pintu gerbang, sementara dua penjaga pintu bersenjata tombak tetap ada di samping pintu.
Mata indah berkesan galak menawan itu sedikit menyipit ketika dilihatnya seorang pendekar tampan datang membawa bumbung tuaknya. Wajah cantik itu berparas cemberut, terutama pandangan matanya sering melirik kearah Kelana Cinta. Dengan ketus Sumbaruni perdengarkan suaranya kepada Suto Sinting.
"Ada yang harus ku bicarakan kepadamu!"
"Seharusnya tidak disini, Sumbaruni!"
"Karena kudengar kau akan melawan Raja Tumbal untuk selamatkan negeri ini, maka aku selekasnya datang dan tak mau terlambat."
"Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan?!" tanya Suto dengan tegas.
Mata Sumbaruni melirik kearah Kelana Cinta yang berdiri tak berapa jauh dari belakang Suto. Dengan keketusannta Sumbaruni berkata, "Pergilah Kelana Cinta! Kau tak layak mendengar pembicaraanku dengan Pendekar Mabuk ini!"
"Aku ditugaskan melindunginya!" kata Kelana Cinta tak mau kalah gertak. Nada bicaranya pun tak mau kalah ketus.
"Aku lebih bisa melindunginya daripada kau!"
"Tapi kau tidak mendapat tugas dari Ratu Asmaradani! Akulah yang mendapat tugas melindunginya!"
"Kalau aku yang menyerangnya apakah kau mampu melindunginya?!"
"Kalau kau ingin mencoba, aku siap melayanimu!"
Sumbaruni mendengus kesal, ia bergegas maju hendak menyerang Kelana Cinta, tapi tangan Suto Sinting segera menahannya. Mata Suto segera diarahkan dengan tajam kepanjangan mata Sumbaruni.
"Bicaralah padaku jika aku orang yang kau cari disini! Jangan bicara dengan yang lain!"
Sumbaruni menghembuskan napas kekesalan hati. Ia pun berkata, "Aku perlu bicara dibawah pohon beringin kurung itu. Hanya kau dan aku, yang lainnya tak boleh ikut!"
"Baik!" Suto Sinting segera berkata kepada Kelana Cinta. "Tetap disini dan jangan mendekatiku untuk sementara!"
Kelana Cinta hanya memandang kesal, kemudian melangkah mendekati Batu Sampang dan berbicara bisik-bisik dengan mulut bersungut-sungut. Sementara itu, Suto Sinting dan Sumbaruni menuju kebawah pohon beringin kurung yang ada dijalur tengah alun-alun depan istana. Batu Sampang dan Kelana Cinta hanya memandangi dari kejauhan, tak berani mendekat.
Sumbaruni berkata, "Aku bertemu dengan Gendeng Sekarat ditempatnya Wulung Gading. Kudapatkan keterangan kau sedang berusaha untuk kalahkan Raja Tumbal alias Gandar Saka!"
"Benar. Aku akan menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman keserakahan dan keangkaramurkaannya!"
Sumbaruni geleng-geleng kepala, "Dia bukan lawanmu", ucapnya pelan dengan melipatkan tangan didada. "Dia adalah tandinganku!"
"Apakah kau mampu kalahkan Seruling Malaikatnya?!"
"Tergantung kesempatan yang kudapatkan pada saat berhadapan dengannya."
"Tapi kau nyaris mati ketika melawan Nila Cendani, Ratu Tanpa Tapak itu. Apalagi melawan Raja Tumbal dengan Seruling Malaikatnya!"
Sumbaruni diam sesaat, dia mengakui Kekalahannya saat melawan Ratu Tanpa Tapak. Ia juga mengakui bahwa Ratu Tanpa Tapak masih belum ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang tersimpan pada diri Raja Tumbal. Namun sebisa mungkin Sumbaruni harus gagalkan niat Suto yang ingin melawan Raja Tumbal.
"Apapun alasanmu, kusarankan gagalkan niatmu itu! Belum saatnya kau melawan Raja Tumbal dalam keadaan ia memiliki pusaka Seruling Malaikat. Seandainya ia tidak memiliki pusaka itu, mungkin aku tak mencemaskan dirimu, Suto. Tapi aku tahu kekuatan dan keganasan pusaka tersebut. Tuakmu tidak akan bisa diandalkan untuk mengalahkan kesaktian Seruling Malaikat."
"Dari mana kau tahu?"
"Gurumu telah bicara padaku, Gila Tuak menyuruhku menahan gerakanmu! Ilmu 'Sembur Siluman' tak akan bisa melenyapkan Seruling Malaikat. Seruling itu adalah milik dewa, bukan milik orang sakti seperti kita kita ini!"
Pendekar Mabuk sempat gelisah mendengar Sumbaruni dititipi pesan oleh Gila Tuak. Tapi Suto Sinting juga merasa bimbang, "Benarkah Sumbaruni sudah bertemu guru dan bicara soal ilmu 'Sembur Siluman' itu?"
Terdengar Sumbaruni berkata lagi, "Suto, apakah kau lupa bahwa aku mempunyai ilmu 'Getar Sukma' yang dapat mengukur tinggi rendahnya ilmu seseorang?"
"Aku ingat!" jawab Suto pendek.
"Menurut 'Getar Sukma', ilmumu memang lebih tinggi dari Raja Tumbal, tapi seandainya Raja Tumbal tidak memiliki pusaka Seruling Malaikat. Dengan memiliki pusaka itu, kau kalah tinggi dibandingkan Raja Tumbal. Kau akan tumbang jika melawannya, Suto. Dan aku tak ingin kau hancur seperti korban lainnya!"
Mata Suto ditatap terus, suara Sumbaruni kian pelan. "Aku tak ingin kau hancur, Suto. Kau dengar itu?"
Suto Sinting hanya mendesah tipis dan mengangguk. Ia kian gelisah. Untuk mengatasi kegelisahannya ia terpaksa menenggak tuaknya lagi beberapa teguk. Sumbaruni masih membujuk terus dengan kata-kata pelan.
"Kalau kau hancur, terus terang saja, aku sendiri pasti akan ikut hancur, sebab aku akan membelamu."
"Kau tak perlu membelaku."
"Kau tak bisa melarang hatiku membela orang-orang yang ku cintai, Suto!"
"Lupakan soal cinta. Kadang aku muak dengan ucapan-ucapan seperti itu!"
"Kau boleh muak, tapi aku tidak akan muak."
Pendekar Mabuk akhirnya mendesah jengkel. Gerakan mata dan badannya kelihatan sekali kalau ia sangat jengkel dan gelisah. Gerakan itu diperhatikan oleh Kelana Cinta, dan perempuan itupun tahu apa yang sedang meresahkan hati Pendekar Mabuk. Firasatnya mengatakan, Suto pasti sedang dibujuk oleh Sumbaruni agar membatalkan pertarungannya dengan Raja Tumbal. Tapi Kelana Cinta sengaja diam saja, karena ia sungkan berhadapan dengan Sumbaruni yang istilah sekarang, termasuk seniornya itu.
"Percayalah, hal yang lebih baik adalah membatalkan pertarunganmu dengan Gandar Saka!" ujar Sumbaruni lagi.
"Lantas siapa yang akan membasmi kejahatannya? Apakah kita harus biarkan orang seperti dia mengacaukan kehidupan dim muka bumi ini dengan menggunakan Seruling Malaikat? Apakah kita akan biarkan bumi dihancurkan oleh keangkaramurkaannya itu? Dimana letak kependekaranku kalau harus diam dan hanya menjadi penonton serangkaian tindak kekejaman yang lalim itu?"
Sumbaruni mulai sadar, jiwa yang tertempa dalam diri Suto Sinting adalah jiwa pembela kebenaran dan keadilan. Sebagai seorang Pendekar yang sudah ditempa seperti itu, sangat sulit untuk bersikap diam melihat kekejaman Raja Tumbal yang berusaha ingin menaklukkan semua negeri dengan Seruling Malaikatnya. Dilubuk hatinya, Sumbaruni menyimpan segunung kekaguman terhadap jiwa ksatria Pendekar Mabuk itu. Tapi disebagian hatinya, Sumbaruni menyimpan kecemasan terhadap keselamatan Suto Sinting.
"Aku tak ingin melihat kau mati," ucapnya lirih. "Dari dulu kukatakan aku tak ingin melihat kau mati, Suto. Jika memang niatmu sudah tidak bisa ditundukkan lagi, ada baiknya kalau aku yang melawannya lebih dulu. Seandainya kau kalah dan hancur melawannya, aku tak melihat kehancuranmu!"
"Sumbaruni, berpikirlah dengan bijak. Langkahmu itu suatu pengorbanan yang sia-sia dan amat bodoh!" kata Suto yang ganti membujuk. "Kalau kau mati lebih dulu, kau tak akan bisa membalaskan kematianku nanti. Kalau aku kalah melawan dia, dan kau masih hidup, kau bisa pelajari ilmu apapun yang bisa dipakai untuk menumbangkan Raja Tumbal. Dengan begitu kau punya kesempatan untuk membalaskan kematianku nanti!"
Sumbaruni diam tak berucap sepatah kata pun. Agaknya ia merenungi apa yang dikatakan Suto Sinting. Separo hatinya membenarkan, separonya lagi tidak bisa menerima bujukan itu. Pertimbangan didalam benak Sumbaruni membuat ia tak menghiraukan matahari yang kian surut itu. Pandangan mereka yang ada didepan pintu gerbang juga tak dihiraukan sama sekali oleh Sumbaruni walau jaraknya tidak seberapa jauh darinya.
Masa bungkam mereka tiba-tiba berubah menjadi masa tegang. Seorang prajurit penjaga perbatasan berlari-lari dengan sangat terburu-buru. Dari beberapa langkah sebelum mencapai tempat Batu Sampang berdiri, prajurit kelas rendah itu berseru kepada Batu Sampang.
"Dia datang! Dua datang!"
"Siapa?"
"Raja Tumbal! Dua sedang menuju kemari dengan seorang anak buahnya!"
Semua menjadi tegang, termasuk Kelana Cinta. Bahkan wanita berambut cepak yang mempunyai rantai hias dikepalanya dari logam emas yang berbatu merah itu segera berlari temui Suto dan Sumbaruni. Mereka berdua sebenarnya juga sudah mendengar seruan prajurit kelas rendah tadi, namun Kelana Cinta menyakinkan pendengarannya seakan minta pertimbangan apa yang harus dilakukan.
"Dia sudah datang menuju kemari!"
Suto Sinting masih diam ditempat. Sumbaruni tampak tegang, walaupun napasnya tetap teratur. Pandangan matanya tertuju pada arah datangnya si prajurit kelas rendah itu.
Batu Sampang melangkah tegap dan cepat, menghampiri Suto Sinting dibawah beringin kurung itu. Ia juga memberitahukan hal yang sama dengan maksud yang sama pula dengan pemberitahuan Kelana Cinta tadi. Bahkan ia menambahkan kata, "Apa yang harus kulakukan, Suto?"
"Ambil seorang anak buahmu. Kau dan dia menjaga Ratu Galuh Puspanagari dan Purnama Laras. Aku akan menghadapinya. Jika aku hancur, cepat larikan Ratu dan Purnama Laras tanpa banyak berunding. Totok mereka lalu bawa lari lewat tempat yang aman jauh dari pandangan mata Raja Tumbal!"
"Baik, akan kulakukan!" kata Batu Sampang. Sebelum pergi, ia mendengar suara Suto Sinting berkata,
"Suruh yang lain berjaga-jaga. Nyai Paras Murai, Hantu Tari dan yang lainnya suruh berjaga-jaga. Jangan ada yang lakukan penyerangan semasa ditangan Raja Tumbal masih menggenggam seruling maut itu. Dan jika terjadi sesuatu yang amat parah, larikan Ratu dan Purnama Laras kearah timur, temui seorang resi di Lembah Sunyi, Resi Wulung Gading namanya!"
"Baik. Aku mengerti semua perintahmu!" kata Batu Sampang tegas. Ia pun segera pergi. Namun kembali disusul Suto Sinting karena ada gagasan lagi yang terlintas di benak Pendekar Mabuk itu.
"Batu Sampang, suruh semua prajurit dan pengawal masuk kedalam benteng. Jangan ada yang berdiri didepan pintu gerbang. Aku bertiga yang akan berada disana menyambut kedatangannya. Lakukan secepatnya agar tak ada korban sia-sia dari kekuatan Seruling Malaikat itu."
"Akan kuperhatikan sesuai kata-kata mu, Suto!" jawabnya lagi dengan tegas, penuh ketaatan.
Setelah Batu Sampang pergi, semua prajurit masuk ke benteng istana, keadaan diluar menjadi sepi. Tinggal mereka bertiga; Kelana Cinta, Sumbaruni dan Suto Sinting yang sesekali meneguk tuaknya sedikit-sedikit. Penampilan sikap Suto Sinting yang tenang, berpengaruh pada sikap kedua wanita itu. Mereka tak terlalu panik, juga tak begitu tegang. Hal ini memberi peluang bagi mereka untuk dapat memikirkan sesuatu yang benar dan tepat pada sasaran.
"Kita harus berlomba dengan kecepatannya meniup seruling," kata Suto.
"Bukankah kau mempunyai 'Siulan Peri'?" kata Sumbaruni.
"Apakah kau pikir 'Siulan Peri' mampu imbang suara seruling itu?"
"Aku mempunyai jurus 'Siulan Hantu', bagaimana jika dipadukan. Apakah masih belum bisa menandingi suara seruling itu?" kata Sumbaruni.
"Aku tak tahu seberapa besar kekuatan 'Siulan Hantu'mu itu?"
"Mampu menumbangkan pohon dan menghancurkan batu!"
Suto Sinting diam sejenak. Mereka sudah berada didepan pintu gerbang. Tiba-tiba Kelana Cinta berkata, "Aku mempunyai jurus 'Tepuk Geledek'. Bagaimana kalau kita pasukan tiga kekuatan itu?"
"Bisa saja kita mencobanya, tapi bagaimana kalau kita gagal? Kita bertiga bisa mati karena seruling itu!" kata Sumbaruni.
Suto Sinting segera mempunyai kesimpulan, "Kita padukan tiga jurus itu. Tapi kumohon kalian jangan kelihatan olehnya. Kelana Cinta bisa bersembunyi dipohon sebelah barat itu. Sumbaruni bisa bersembunyi dipohon sebelah timur. Kalian naik diatas pohon, sehingga wajah kalian tertutup kerimbunan pohon. Aku akan hadapi dia disini. Jika aku bersuit, lepaskan jurus-jurus kalian. Jika aku gagal dan akhirnya hancur, kalian harus cepat selamatkan diri. Bergerak bagai angin agar tak terlihat wujud kalian!"
Kedua perempuan itu patuh pada perintah dan rencana Pendekar Mabuk. Mereka sudah berada di pohon masing-masing. Suto Sinting menenggak tuaknya agak banyak. Ia sendirian didepan pintu gerbang benteng itu. Seandainya tubuh Raja Tumbal tidak kebal terhadap senjata dan sinar apapun, Suto pasti akan lawan dengan jurus 'Manggala' atau jurus 'Yudha' yang mempunyai kecepatan tak terlihat mata biasa itu. Tetapi mengingat tubuh Raja Tumbal tak bisa ditembus senjata dan jurus-jurus bersinar semacam itu, maka sasaran Suto terletak pada serulingnya.
Beberapa saat setelah matahari kian dekat cakrawala, sosok berpakaian merah dari bahan kain mahal itu kelihatan mendekai pintu gerbang benteng. Raja Tumbal datang dengan diikuti oleh Landak Boreh yang sudah menjadi cacat tak bisa bicara itu. Sumbaruni dan Kelana Cinta memperhatikan dari celah dedaunan. Perhatian mereka tertuju kepada Raja Tumbal.
Dengan memukul-mukulkan serulingnya ketelapak tangan kiri secara pelan, Raja Tumbal pandangi wajah Pendekar Mabuk yang kini sudah berhadapan. Matanya memandang dengan tajam, senyumnya tipis penuh keangkuhan. Raut wajah yang ada padanya adalah raut wajah pembunuh berdarah dingin, yang tak kenal belas kasihan kepada siapapun.
"Rupanya ada prajurit baru disini?!" sindir Raja Tumbal. "Kalau tak salah lihat ciri-cirimu, kau adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting itu?!"
"Benar. Aku Suto Sinting, murid Gila Tuak!" jawab Suto dengan tegas.
"Sudah lama menjadi prajurit disini?"
"Selama kau masih berdiri, aku akan menjadi prajurit disini!" jawab Suto tak kalah tenang. Bumbung tuaknya menggantung dipundak kanan.
"oh, jadi Purnama Laras dan Galuh Puspanagari menyewamu untuk menghadapiku?"
"Tidak. Aku disini atas kemauanku sendiri!"
"Kalau begitu aku berhak mengusirmu, karena negeri ini milik leluhurku, dan akulah pewaris penguasa negeri ini!"
"Kalau kau mampu mengusirku, lakukanlah!" tantang Suto dengan senyum tipis.
Tantangan itu memancing darah Raja Tumbal menjadi panas. Ia menggeram dengan pandangan mata kian tajam. Tak ada lagi senyum sinis dibibirnya. "Bocah kemarin sore sok menjadi pahlawan kau! Hiaaah....!"
Satu telapak tangan disentakkan kedepan. Telapak tangan kiri itu segera diadu dengan telapak tangan kanan Suto Sinting. Plaakkk...! Blaaarrr...!
Memercik warna sinar merah terang bersama ledakan yang menggelegar. Gelombang ledakan itu membuat Raja Tumbal tersentak mundur tiga tindak, tapi membuat Suto Sinting terpental hampir membentur pintu gerbang.
"Gila! Tenaga yang keluar dari tangannya besar sekali!" pikir Suto sambil cepat-cepat berdiri.
"Kuhancurkan kau, Bocah Lancang!" sentak Raja Tumbal. Ia siap-siap meniup Seruling Malaikat. Tapi Suto Sinting segera pergunakan gerak silumannya yang mampu berlari melebihi kecepatan anak panah itu.
Zlaapp...! Bruuss...! Tubuh Raja Tumbal diterjangnya. Plaakk...! Seruling Malaikat terpental dari tangan RajaTumbal, jatuh ketanah.
Suto Sinting melihat kesempatan emas itu ada didepan matanya. Ia segera berkelebat menyambar seruling itu. Tapi seseorang telah menduluinya. Wuutt...! Seruling itu sudah berada ditangan Landak Boreh. Suto tertegun dongkol.
"Lemparkan!" sentak Raja Tumbal, dan Landak Boreh melemparkan seruling itu kearah Raja Tumbal. Weesss...!
Suto Sinting baru akan bergerak, menyambar seruling itu dengan gerak silumannya. Tapi Raja Tumbal lebih dulu melompat dan menangkap seruling tersebut. Taab...! Seruling sudah ada ditangannya kembali. Pendekar Mabuk menahan gerakan untuk mencari arah yang tepat.
Plak, plak, plak...! Tiba-tiba Raja Tumbal bersalto kebelakang tiga kali. Rupanya ia memperpanjang jarak sehingga tidak mudah disambar seperti tadi. Seruling pun akhirnya ditiup oleh Raja Tumbal.
"Tullit...!"
Suto segera pergunakan jurus 'Siulan Peri' dengan bersuit memanjang. "Cuuuiittt...! Cuuuiitt...!"
Sumbaruni segera melepaskan jurus 'Siulan Hantu'-nya. "Sliluut...! Slut...!"
Seruling masih berbunyi. "Tullit...! Tullit...! Tullit...!"
Tubuh Suto Sinting bergetar. Mendadak terdengar suara gemuruh seperti pasukan geledek datang. Suara itu dibarengi dengan suara tepukan dari atas pohon. Plak, plak, plak, plak...!
Gleeerr... gleer... geleeerr...geleerr...!
Perpaduan empat suara itu membuat tanah ditempat itu berguncang. Tembok benteng mulai gemetar pula, satu dua susunan batunya ada yang pecah atau gompal, bahkan bagian tepi atasnya berguguran. Getaran yang ditimbulkan pertarungan satu suara melawan tiga jenis suara itu mengguncang pohon dengan hebatnya. Beringin kurung yang tadi dipakai tempat berdebat Sumbaruni dan Suto menjadi tumbang, akar-akarnya yang ada ditanah mencuat keatas. Angin badai muncul dalam bentuk pusaran angin disekitar jarak antara Suto dan Raja Tumbal. Langit berkerlip menghadirkan guntur sambung-meyambung. Awan hitam kian menebal di angkasa. Cahaya senja semakin redup.
Getaran gelombang suara itu membuat Landak Boreh menggelepar-gelepar tak ada yang menolongnya sampai akhirnya pemuda mata maling itu menghembuskan napas tanpa dilihat siapa pun. Di dalam istana sendiri, semua orang menutup telinga rapat-rapat dan menahan rasa sakit.
Suto Sinting sendiri mulai berdarah telinganya, demikian pula Sumbaruni dan Kelana Cinta. Hidungnya pun mengucurkan darah segar. Agaknya kekuatan mereka bertiga masih kalah dengan seruling mautnya si Raja Tumbal. Tetapi tiga suara itupun ternyata mampu menghancurkan gendang telinga Raja Tumbal. Terbukti telinga Raja Tumbal juga mengucurkan darah. Tubuhnya juga gemetar sampai akhirnya ia tersentak kebelakang oleh satu kekuatan yang menghantam dari tiga arah, yaitu gelombang tiga suara mereka itu.
Wuuutt...! Buuukk...!
Bruuusss...! Gedebuk! Kelana Cinta jatuh dari atas pohon, Suto Sinting pun terkulai sempoyongan. Buru-buru ia menenggak tuaknya dan menjadi segar kembali. Sumbaruni tak tahan, ia melompat turun dari atas pohon dengan darah membasah disekitar pundak dan punggung karena cucuran dari telinganya. Ia terengah-engah dan terbatuk-batuk tak mampu berdiri tegak, hanya bersandar di batang pohon tersebut. Wajahnya pucat pasi. Sama dengan wajah Kelana Cinta yang sedang merangkak lemas, lalu duduk bersandar terkulai dibawah pohon tempatnya bersembunyi.
Raja Tumbal segera bangkit dan bersiap untuk meniup serulingnya lagi. Tapi pada saat itu melesat sesosok bayangan hitam dan tahu-tahu sudah berada dipertengahan jarak antara Suto dan Raja Tumbal. Jleeg...!
"Suto! Lawan dia!" seru suara yang baru datang itu sambil melemparkan sesuatu yang segera ditangkap oleh Suto Sinting. Taab...!
"Hahh...!" Suto Sinting terkejut melihat benda yang baru ditangkapnya.
Raja Tumbal mendelik dan mendesah takut, "Ped... Pedang Kayu Petir...?!"
Angin Betina muncul benar-benar seperti angin. Rupanya dialah orang yang berhasil temukan Pedang Kayu Petir dari sela-sela akar ditepi Sumur Temvus Jagat itu. Ketika ia mendengar kabar dari Angon Luwak tentang jatuhnya pedang itu, secara diam-diam ia mencari pedang tersebut walau tak yakin apakah berhasil atau tidak. Tetapi tekadnya sangat bulat, ia akan berusaha menemukan kembali pedang itu untuk Suto, demi ungkapan rasa cintanya kepada Pendekar Mabuk. Dan ternyata Ia sangat beruntung dapat melihat pedang terselip di sela-sela akar, lalu memberanikan turun dengan memanjat akar-akar disana. Jika ia gagal dan tergelincir, sudah tentu akan lenyap dan tak terdengar lagi kabar beritanya.
Di kejauhan sana, tampak Ki Gendeng Sekarat dan Resi Wulung Gading berdiri dengan tenang. Rupanya mereka berdualah yang mengantarkan Angin Betina menemui Suto dan menyerahkan pedang itu. Mereka berdua sudah tidak berilmu pada saat itu karena melihat bentuk pedang pusaka maha sakti.
Sumbaruni dan Kelana Cinta juga tidak berilmu lagi karena berada disekitar pedang itu. Bahkan Angin Betina yang tadi mampu bergerak bagaikan angin, sekarang hanya bisa berjalan biasa atau berlari seperti orang tanpa ilmu. Gerakannya menjadi gerakan seorang wanita. Tidak setegar semula. Tapi Suto Sinting masih berilmu tinggi, karena sebagai pihak pemegang pedang.
Bagaimana dengan Raja Tumbal? Ia menggigil dengan wajah pucat pasi, ia mencoba meniup serulingnya, tapi seperti meniup pipa kosong tanpa isi, tanpa bisa bersuara seperti tadi. Tangannya gemetar ketika dihampiri Suto Sinting yang menggenggam pedang maha sakti itu.
"Kuberi kesempatan padamu untuk merubah perilaku mu, Raja Tumbal! Jangan lagi bersuara merebut negeri yang bukan hakmu!" kata Suto Sinting tak mau gegabah menggunakan pedang itu untuk membunuh lawannya.
Tetapi lawannya memang keras kepala. Ia masih menggeram, dan serulingnya yang merasa tidak berguna lagi itu dilemparkan sambil berkata, "Persetan dengan kata-kata mu, Bocah Sial! Hiih...!"
Weess...! Seruling dilemparkan melayang kewajah Suto. Tapi dengan cepat Pedang Kayu Petir berkelebat menghantamnya. Praakkk...! Seruling Malaikat itu hancur berkeping-keping tak berbentuk lagi.
Melihat serulingnya hancur, Raja Tumbal semakin panas hati. Ia nekat menyerang Suto Sinting dengan satu lompatan. "Hiaaat...!" tapi ia tak bisa melompat cepat, tak bisa berkelebat seperti angin. Bahkan gerakannya seperti anak kecil yang memukul dan menendang membabi buta.
"Habisi dia!" seru Ki Gendeng Sekarat dari kejauhan.
Suara itu tak didengar Suto, karena sibuk menghindari amukan tanpa ilmu. Namun Angin Betina berseru, "Habisi dia, Suto!"
Wuuutt...! Craakk...!
"Uuuhg...!" Raja Tumbal mendelik. Luka panjang dari perut sampai leher menyala hijau. Ia pun tumbang. Tubuhnya menjadi hijau semua. Beberapa saat kemudian nyala hijau itu redup dan padam. Saat itulah Raja Tumbal sudah tidak bernyawa lagi. Hancurnya Seruling Malaikat ternyata bersamaan dengan hancurnya kehidupan si angkara murka itu.
Pedang Kayu Petir akhirnya diserahkan oleh Suto kepada pemiliknya; Resi Wulung Gading, untuk sewaktu-waktu akan dipinjamnya kembali guna melawan tokoh sesat nomor wahid; Siluman Tujuh Nyawa.
Atas jasa Angin Betina, sejak itu ia diangkat sebagai perwira istana dan mendapat jaminan hidup yang memuaskan. Suto dan yang lainnya hanya bisa ikut merasakan kegembiraan dan kelegaan seperti yang dialami rakyat Muara Singa.
Renungan Suto Sinting digugah oleh suara Batu Sampang yang pelan dan berwajah dingin itu. "Sebaiknya tak perlu mengikuti jalur perjalanan Raja Tumbal. Kita bisa potong jalan lewat tenggara."
"Sebaiknya begitu, Suto!" usul Kelana Cinta dengan hati-hati. "Bereskan dulu masalah Sumbaruni itu sebelum Raja Tumbal datang dan harus berhadapan denganmu. Atau... biar kubereskan sendiri Sumbaruni itu?"
"Jangan!" sergah Pendekar Mabuk. "Akan kubereskan sendiri urusan itu."
Kemudian Suto Sinting berkata kepada Batu Sampang. "Apakah kedatangan Sumbaruni diketahui Ratu?"
"Tidsk. Ia masih diluar benteng istana dan belum memancing keonaran. Karena aku segera mencarimu untuk minta keputusan, apakah harus ku usia dengan caraku sendiri atau akan kau tangani!"
"Baik. Kita berangkat lewat jalan pintas!"
* * *
SEMBILAN
MATAHARI hampir tenggelam. Cahayanya menerpa jubah sutera ungu tua. Jubah itu membungkus sebagian pakaian ketat ungu muda berhias benang emas. Pedang di punggung pun berwarna ungu tua, terutama pada bagian gagangnya. Rambut yang disanggul sebagian itu membuat kecantikannya yang ada tampak mencolok, mata indah berkesan galak, hidung mancung, kulit kuning langsat.
Itulah sosok penampilan Pelangi Sutera yang lebih dikenal dengan nama aslinya; Sumbaruni. Ia berdiri didepan pintu gerbang istana Muara Singa yang mempunyai hiasan gambar dua kepala singa pada sisi kanan kiri pintu. Empat orang prajurit berdiri berjajar membentang jalan masuk ke pintu gerbang, sementara dua penjaga pintu bersenjata tombak tetap ada di samping pintu.
Mata indah berkesan galak menawan itu sedikit menyipit ketika dilihatnya seorang pendekar tampan datang membawa bumbung tuaknya. Wajah cantik itu berparas cemberut, terutama pandangan matanya sering melirik kearah Kelana Cinta. Dengan ketus Sumbaruni perdengarkan suaranya kepada Suto Sinting.
"Ada yang harus ku bicarakan kepadamu!"
"Seharusnya tidak disini, Sumbaruni!"
"Karena kudengar kau akan melawan Raja Tumbal untuk selamatkan negeri ini, maka aku selekasnya datang dan tak mau terlambat."
"Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan?!" tanya Suto dengan tegas.
Mata Sumbaruni melirik kearah Kelana Cinta yang berdiri tak berapa jauh dari belakang Suto. Dengan keketusannta Sumbaruni berkata, "Pergilah Kelana Cinta! Kau tak layak mendengar pembicaraanku dengan Pendekar Mabuk ini!"
"Aku ditugaskan melindunginya!" kata Kelana Cinta tak mau kalah gertak. Nada bicaranya pun tak mau kalah ketus.
"Aku lebih bisa melindunginya daripada kau!"
"Tapi kau tidak mendapat tugas dari Ratu Asmaradani! Akulah yang mendapat tugas melindunginya!"
"Kalau aku yang menyerangnya apakah kau mampu melindunginya?!"
"Kalau kau ingin mencoba, aku siap melayanimu!"
Sumbaruni mendengus kesal, ia bergegas maju hendak menyerang Kelana Cinta, tapi tangan Suto Sinting segera menahannya. Mata Suto segera diarahkan dengan tajam kepanjangan mata Sumbaruni.
"Bicaralah padaku jika aku orang yang kau cari disini! Jangan bicara dengan yang lain!"
Sumbaruni menghembuskan napas kekesalan hati. Ia pun berkata, "Aku perlu bicara dibawah pohon beringin kurung itu. Hanya kau dan aku, yang lainnya tak boleh ikut!"
"Baik!" Suto Sinting segera berkata kepada Kelana Cinta. "Tetap disini dan jangan mendekatiku untuk sementara!"
Kelana Cinta hanya memandang kesal, kemudian melangkah mendekati Batu Sampang dan berbicara bisik-bisik dengan mulut bersungut-sungut. Sementara itu, Suto Sinting dan Sumbaruni menuju kebawah pohon beringin kurung yang ada dijalur tengah alun-alun depan istana. Batu Sampang dan Kelana Cinta hanya memandangi dari kejauhan, tak berani mendekat.
Sumbaruni berkata, "Aku bertemu dengan Gendeng Sekarat ditempatnya Wulung Gading. Kudapatkan keterangan kau sedang berusaha untuk kalahkan Raja Tumbal alias Gandar Saka!"
"Benar. Aku akan menyelamatkan negeri ini dari cengkeraman keserakahan dan keangkaramurkaannya!"
Sumbaruni geleng-geleng kepala, "Dia bukan lawanmu", ucapnya pelan dengan melipatkan tangan didada. "Dia adalah tandinganku!"
"Apakah kau mampu kalahkan Seruling Malaikatnya?!"
"Tergantung kesempatan yang kudapatkan pada saat berhadapan dengannya."
"Tapi kau nyaris mati ketika melawan Nila Cendani, Ratu Tanpa Tapak itu. Apalagi melawan Raja Tumbal dengan Seruling Malaikatnya!"
Sumbaruni diam sesaat, dia mengakui Kekalahannya saat melawan Ratu Tanpa Tapak. Ia juga mengakui bahwa Ratu Tanpa Tapak masih belum ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang tersimpan pada diri Raja Tumbal. Namun sebisa mungkin Sumbaruni harus gagalkan niat Suto yang ingin melawan Raja Tumbal.
"Apapun alasanmu, kusarankan gagalkan niatmu itu! Belum saatnya kau melawan Raja Tumbal dalam keadaan ia memiliki pusaka Seruling Malaikat. Seandainya ia tidak memiliki pusaka itu, mungkin aku tak mencemaskan dirimu, Suto. Tapi aku tahu kekuatan dan keganasan pusaka tersebut. Tuakmu tidak akan bisa diandalkan untuk mengalahkan kesaktian Seruling Malaikat."
"Dari mana kau tahu?"
"Gurumu telah bicara padaku, Gila Tuak menyuruhku menahan gerakanmu! Ilmu 'Sembur Siluman' tak akan bisa melenyapkan Seruling Malaikat. Seruling itu adalah milik dewa, bukan milik orang sakti seperti kita kita ini!"
Pendekar Mabuk sempat gelisah mendengar Sumbaruni dititipi pesan oleh Gila Tuak. Tapi Suto Sinting juga merasa bimbang, "Benarkah Sumbaruni sudah bertemu guru dan bicara soal ilmu 'Sembur Siluman' itu?"
Terdengar Sumbaruni berkata lagi, "Suto, apakah kau lupa bahwa aku mempunyai ilmu 'Getar Sukma' yang dapat mengukur tinggi rendahnya ilmu seseorang?"
"Aku ingat!" jawab Suto pendek.
"Menurut 'Getar Sukma', ilmumu memang lebih tinggi dari Raja Tumbal, tapi seandainya Raja Tumbal tidak memiliki pusaka Seruling Malaikat. Dengan memiliki pusaka itu, kau kalah tinggi dibandingkan Raja Tumbal. Kau akan tumbang jika melawannya, Suto. Dan aku tak ingin kau hancur seperti korban lainnya!"
Mata Suto ditatap terus, suara Sumbaruni kian pelan. "Aku tak ingin kau hancur, Suto. Kau dengar itu?"
Suto Sinting hanya mendesah tipis dan mengangguk. Ia kian gelisah. Untuk mengatasi kegelisahannya ia terpaksa menenggak tuaknya lagi beberapa teguk. Sumbaruni masih membujuk terus dengan kata-kata pelan.
"Kalau kau hancur, terus terang saja, aku sendiri pasti akan ikut hancur, sebab aku akan membelamu."
"Kau tak perlu membelaku."
"Kau tak bisa melarang hatiku membela orang-orang yang ku cintai, Suto!"
"Lupakan soal cinta. Kadang aku muak dengan ucapan-ucapan seperti itu!"
"Kau boleh muak, tapi aku tidak akan muak."
Pendekar Mabuk akhirnya mendesah jengkel. Gerakan mata dan badannya kelihatan sekali kalau ia sangat jengkel dan gelisah. Gerakan itu diperhatikan oleh Kelana Cinta, dan perempuan itupun tahu apa yang sedang meresahkan hati Pendekar Mabuk. Firasatnya mengatakan, Suto pasti sedang dibujuk oleh Sumbaruni agar membatalkan pertarungannya dengan Raja Tumbal. Tapi Kelana Cinta sengaja diam saja, karena ia sungkan berhadapan dengan Sumbaruni yang istilah sekarang, termasuk seniornya itu.
"Percayalah, hal yang lebih baik adalah membatalkan pertarunganmu dengan Gandar Saka!" ujar Sumbaruni lagi.
"Lantas siapa yang akan membasmi kejahatannya? Apakah kita harus biarkan orang seperti dia mengacaukan kehidupan dim muka bumi ini dengan menggunakan Seruling Malaikat? Apakah kita akan biarkan bumi dihancurkan oleh keangkaramurkaannya itu? Dimana letak kependekaranku kalau harus diam dan hanya menjadi penonton serangkaian tindak kekejaman yang lalim itu?"
Sumbaruni mulai sadar, jiwa yang tertempa dalam diri Suto Sinting adalah jiwa pembela kebenaran dan keadilan. Sebagai seorang Pendekar yang sudah ditempa seperti itu, sangat sulit untuk bersikap diam melihat kekejaman Raja Tumbal yang berusaha ingin menaklukkan semua negeri dengan Seruling Malaikatnya. Dilubuk hatinya, Sumbaruni menyimpan segunung kekaguman terhadap jiwa ksatria Pendekar Mabuk itu. Tapi disebagian hatinya, Sumbaruni menyimpan kecemasan terhadap keselamatan Suto Sinting.
"Aku tak ingin melihat kau mati," ucapnya lirih. "Dari dulu kukatakan aku tak ingin melihat kau mati, Suto. Jika memang niatmu sudah tidak bisa ditundukkan lagi, ada baiknya kalau aku yang melawannya lebih dulu. Seandainya kau kalah dan hancur melawannya, aku tak melihat kehancuranmu!"
"Sumbaruni, berpikirlah dengan bijak. Langkahmu itu suatu pengorbanan yang sia-sia dan amat bodoh!" kata Suto yang ganti membujuk. "Kalau kau mati lebih dulu, kau tak akan bisa membalaskan kematianku nanti. Kalau aku kalah melawan dia, dan kau masih hidup, kau bisa pelajari ilmu apapun yang bisa dipakai untuk menumbangkan Raja Tumbal. Dengan begitu kau punya kesempatan untuk membalaskan kematianku nanti!"
Sumbaruni diam tak berucap sepatah kata pun. Agaknya ia merenungi apa yang dikatakan Suto Sinting. Separo hatinya membenarkan, separonya lagi tidak bisa menerima bujukan itu. Pertimbangan didalam benak Sumbaruni membuat ia tak menghiraukan matahari yang kian surut itu. Pandangan mereka yang ada didepan pintu gerbang juga tak dihiraukan sama sekali oleh Sumbaruni walau jaraknya tidak seberapa jauh darinya.
Masa bungkam mereka tiba-tiba berubah menjadi masa tegang. Seorang prajurit penjaga perbatasan berlari-lari dengan sangat terburu-buru. Dari beberapa langkah sebelum mencapai tempat Batu Sampang berdiri, prajurit kelas rendah itu berseru kepada Batu Sampang.
"Dia datang! Dua datang!"
"Siapa?"
"Raja Tumbal! Dua sedang menuju kemari dengan seorang anak buahnya!"
Semua menjadi tegang, termasuk Kelana Cinta. Bahkan wanita berambut cepak yang mempunyai rantai hias dikepalanya dari logam emas yang berbatu merah itu segera berlari temui Suto dan Sumbaruni. Mereka berdua sebenarnya juga sudah mendengar seruan prajurit kelas rendah tadi, namun Kelana Cinta menyakinkan pendengarannya seakan minta pertimbangan apa yang harus dilakukan.
"Dia sudah datang menuju kemari!"
Suto Sinting masih diam ditempat. Sumbaruni tampak tegang, walaupun napasnya tetap teratur. Pandangan matanya tertuju pada arah datangnya si prajurit kelas rendah itu.
Batu Sampang melangkah tegap dan cepat, menghampiri Suto Sinting dibawah beringin kurung itu. Ia juga memberitahukan hal yang sama dengan maksud yang sama pula dengan pemberitahuan Kelana Cinta tadi. Bahkan ia menambahkan kata, "Apa yang harus kulakukan, Suto?"
"Ambil seorang anak buahmu. Kau dan dia menjaga Ratu Galuh Puspanagari dan Purnama Laras. Aku akan menghadapinya. Jika aku hancur, cepat larikan Ratu dan Purnama Laras tanpa banyak berunding. Totok mereka lalu bawa lari lewat tempat yang aman jauh dari pandangan mata Raja Tumbal!"
"Baik, akan kulakukan!" kata Batu Sampang. Sebelum pergi, ia mendengar suara Suto Sinting berkata,
"Suruh yang lain berjaga-jaga. Nyai Paras Murai, Hantu Tari dan yang lainnya suruh berjaga-jaga. Jangan ada yang lakukan penyerangan semasa ditangan Raja Tumbal masih menggenggam seruling maut itu. Dan jika terjadi sesuatu yang amat parah, larikan Ratu dan Purnama Laras kearah timur, temui seorang resi di Lembah Sunyi, Resi Wulung Gading namanya!"
"Baik. Aku mengerti semua perintahmu!" kata Batu Sampang tegas. Ia pun segera pergi. Namun kembali disusul Suto Sinting karena ada gagasan lagi yang terlintas di benak Pendekar Mabuk itu.
"Batu Sampang, suruh semua prajurit dan pengawal masuk kedalam benteng. Jangan ada yang berdiri didepan pintu gerbang. Aku bertiga yang akan berada disana menyambut kedatangannya. Lakukan secepatnya agar tak ada korban sia-sia dari kekuatan Seruling Malaikat itu."
"Akan kuperhatikan sesuai kata-kata mu, Suto!" jawabnya lagi dengan tegas, penuh ketaatan.
Setelah Batu Sampang pergi, semua prajurit masuk ke benteng istana, keadaan diluar menjadi sepi. Tinggal mereka bertiga; Kelana Cinta, Sumbaruni dan Suto Sinting yang sesekali meneguk tuaknya sedikit-sedikit. Penampilan sikap Suto Sinting yang tenang, berpengaruh pada sikap kedua wanita itu. Mereka tak terlalu panik, juga tak begitu tegang. Hal ini memberi peluang bagi mereka untuk dapat memikirkan sesuatu yang benar dan tepat pada sasaran.
"Kita harus berlomba dengan kecepatannya meniup seruling," kata Suto.
"Bukankah kau mempunyai 'Siulan Peri'?" kata Sumbaruni.
"Apakah kau pikir 'Siulan Peri' mampu imbang suara seruling itu?"
"Aku mempunyai jurus 'Siulan Hantu', bagaimana jika dipadukan. Apakah masih belum bisa menandingi suara seruling itu?" kata Sumbaruni.
"Aku tak tahu seberapa besar kekuatan 'Siulan Hantu'mu itu?"
"Mampu menumbangkan pohon dan menghancurkan batu!"
Suto Sinting diam sejenak. Mereka sudah berada didepan pintu gerbang. Tiba-tiba Kelana Cinta berkata, "Aku mempunyai jurus 'Tepuk Geledek'. Bagaimana kalau kita pasukan tiga kekuatan itu?"
"Bisa saja kita mencobanya, tapi bagaimana kalau kita gagal? Kita bertiga bisa mati karena seruling itu!" kata Sumbaruni.
Suto Sinting segera mempunyai kesimpulan, "Kita padukan tiga jurus itu. Tapi kumohon kalian jangan kelihatan olehnya. Kelana Cinta bisa bersembunyi dipohon sebelah barat itu. Sumbaruni bisa bersembunyi dipohon sebelah timur. Kalian naik diatas pohon, sehingga wajah kalian tertutup kerimbunan pohon. Aku akan hadapi dia disini. Jika aku bersuit, lepaskan jurus-jurus kalian. Jika aku gagal dan akhirnya hancur, kalian harus cepat selamatkan diri. Bergerak bagai angin agar tak terlihat wujud kalian!"
Kedua perempuan itu patuh pada perintah dan rencana Pendekar Mabuk. Mereka sudah berada di pohon masing-masing. Suto Sinting menenggak tuaknya agak banyak. Ia sendirian didepan pintu gerbang benteng itu. Seandainya tubuh Raja Tumbal tidak kebal terhadap senjata dan sinar apapun, Suto pasti akan lawan dengan jurus 'Manggala' atau jurus 'Yudha' yang mempunyai kecepatan tak terlihat mata biasa itu. Tetapi mengingat tubuh Raja Tumbal tak bisa ditembus senjata dan jurus-jurus bersinar semacam itu, maka sasaran Suto terletak pada serulingnya.
Beberapa saat setelah matahari kian dekat cakrawala, sosok berpakaian merah dari bahan kain mahal itu kelihatan mendekai pintu gerbang benteng. Raja Tumbal datang dengan diikuti oleh Landak Boreh yang sudah menjadi cacat tak bisa bicara itu. Sumbaruni dan Kelana Cinta memperhatikan dari celah dedaunan. Perhatian mereka tertuju kepada Raja Tumbal.
Dengan memukul-mukulkan serulingnya ketelapak tangan kiri secara pelan, Raja Tumbal pandangi wajah Pendekar Mabuk yang kini sudah berhadapan. Matanya memandang dengan tajam, senyumnya tipis penuh keangkuhan. Raut wajah yang ada padanya adalah raut wajah pembunuh berdarah dingin, yang tak kenal belas kasihan kepada siapapun.
"Rupanya ada prajurit baru disini?!" sindir Raja Tumbal. "Kalau tak salah lihat ciri-cirimu, kau adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting itu?!"
"Benar. Aku Suto Sinting, murid Gila Tuak!" jawab Suto dengan tegas.
"Sudah lama menjadi prajurit disini?"
"Selama kau masih berdiri, aku akan menjadi prajurit disini!" jawab Suto tak kalah tenang. Bumbung tuaknya menggantung dipundak kanan.
"oh, jadi Purnama Laras dan Galuh Puspanagari menyewamu untuk menghadapiku?"
"Tidak. Aku disini atas kemauanku sendiri!"
"Kalau begitu aku berhak mengusirmu, karena negeri ini milik leluhurku, dan akulah pewaris penguasa negeri ini!"
"Kalau kau mampu mengusirku, lakukanlah!" tantang Suto dengan senyum tipis.
Tantangan itu memancing darah Raja Tumbal menjadi panas. Ia menggeram dengan pandangan mata kian tajam. Tak ada lagi senyum sinis dibibirnya. "Bocah kemarin sore sok menjadi pahlawan kau! Hiaaah....!"
Satu telapak tangan disentakkan kedepan. Telapak tangan kiri itu segera diadu dengan telapak tangan kanan Suto Sinting. Plaakkk...! Blaaarrr...!
Memercik warna sinar merah terang bersama ledakan yang menggelegar. Gelombang ledakan itu membuat Raja Tumbal tersentak mundur tiga tindak, tapi membuat Suto Sinting terpental hampir membentur pintu gerbang.
"Gila! Tenaga yang keluar dari tangannya besar sekali!" pikir Suto sambil cepat-cepat berdiri.
"Kuhancurkan kau, Bocah Lancang!" sentak Raja Tumbal. Ia siap-siap meniup Seruling Malaikat. Tapi Suto Sinting segera pergunakan gerak silumannya yang mampu berlari melebihi kecepatan anak panah itu.
Zlaapp...! Bruuss...! Tubuh Raja Tumbal diterjangnya. Plaakk...! Seruling Malaikat terpental dari tangan RajaTumbal, jatuh ketanah.
Suto Sinting melihat kesempatan emas itu ada didepan matanya. Ia segera berkelebat menyambar seruling itu. Tapi seseorang telah menduluinya. Wuutt...! Seruling itu sudah berada ditangan Landak Boreh. Suto tertegun dongkol.
"Lemparkan!" sentak Raja Tumbal, dan Landak Boreh melemparkan seruling itu kearah Raja Tumbal. Weesss...!
Suto Sinting baru akan bergerak, menyambar seruling itu dengan gerak silumannya. Tapi Raja Tumbal lebih dulu melompat dan menangkap seruling tersebut. Taab...! Seruling sudah ada ditangannya kembali. Pendekar Mabuk menahan gerakan untuk mencari arah yang tepat.
Plak, plak, plak...! Tiba-tiba Raja Tumbal bersalto kebelakang tiga kali. Rupanya ia memperpanjang jarak sehingga tidak mudah disambar seperti tadi. Seruling pun akhirnya ditiup oleh Raja Tumbal.
"Tullit...!"
Suto segera pergunakan jurus 'Siulan Peri' dengan bersuit memanjang. "Cuuuiittt...! Cuuuiitt...!"
Sumbaruni segera melepaskan jurus 'Siulan Hantu'-nya. "Sliluut...! Slut...!"
Seruling masih berbunyi. "Tullit...! Tullit...! Tullit...!"
Tubuh Suto Sinting bergetar. Mendadak terdengar suara gemuruh seperti pasukan geledek datang. Suara itu dibarengi dengan suara tepukan dari atas pohon. Plak, plak, plak, plak...!
Gleeerr... gleer... geleeerr...geleerr...!
Perpaduan empat suara itu membuat tanah ditempat itu berguncang. Tembok benteng mulai gemetar pula, satu dua susunan batunya ada yang pecah atau gompal, bahkan bagian tepi atasnya berguguran. Getaran yang ditimbulkan pertarungan satu suara melawan tiga jenis suara itu mengguncang pohon dengan hebatnya. Beringin kurung yang tadi dipakai tempat berdebat Sumbaruni dan Suto menjadi tumbang, akar-akarnya yang ada ditanah mencuat keatas. Angin badai muncul dalam bentuk pusaran angin disekitar jarak antara Suto dan Raja Tumbal. Langit berkerlip menghadirkan guntur sambung-meyambung. Awan hitam kian menebal di angkasa. Cahaya senja semakin redup.
Getaran gelombang suara itu membuat Landak Boreh menggelepar-gelepar tak ada yang menolongnya sampai akhirnya pemuda mata maling itu menghembuskan napas tanpa dilihat siapa pun. Di dalam istana sendiri, semua orang menutup telinga rapat-rapat dan menahan rasa sakit.
Suto Sinting sendiri mulai berdarah telinganya, demikian pula Sumbaruni dan Kelana Cinta. Hidungnya pun mengucurkan darah segar. Agaknya kekuatan mereka bertiga masih kalah dengan seruling mautnya si Raja Tumbal. Tetapi tiga suara itupun ternyata mampu menghancurkan gendang telinga Raja Tumbal. Terbukti telinga Raja Tumbal juga mengucurkan darah. Tubuhnya juga gemetar sampai akhirnya ia tersentak kebelakang oleh satu kekuatan yang menghantam dari tiga arah, yaitu gelombang tiga suara mereka itu.
Wuuutt...! Buuukk...!
Bruuusss...! Gedebuk! Kelana Cinta jatuh dari atas pohon, Suto Sinting pun terkulai sempoyongan. Buru-buru ia menenggak tuaknya dan menjadi segar kembali. Sumbaruni tak tahan, ia melompat turun dari atas pohon dengan darah membasah disekitar pundak dan punggung karena cucuran dari telinganya. Ia terengah-engah dan terbatuk-batuk tak mampu berdiri tegak, hanya bersandar di batang pohon tersebut. Wajahnya pucat pasi. Sama dengan wajah Kelana Cinta yang sedang merangkak lemas, lalu duduk bersandar terkulai dibawah pohon tempatnya bersembunyi.
Raja Tumbal segera bangkit dan bersiap untuk meniup serulingnya lagi. Tapi pada saat itu melesat sesosok bayangan hitam dan tahu-tahu sudah berada dipertengahan jarak antara Suto dan Raja Tumbal. Jleeg...!
"Suto! Lawan dia!" seru suara yang baru datang itu sambil melemparkan sesuatu yang segera ditangkap oleh Suto Sinting. Taab...!
"Hahh...!" Suto Sinting terkejut melihat benda yang baru ditangkapnya.
Raja Tumbal mendelik dan mendesah takut, "Ped... Pedang Kayu Petir...?!"
Angin Betina muncul benar-benar seperti angin. Rupanya dialah orang yang berhasil temukan Pedang Kayu Petir dari sela-sela akar ditepi Sumur Temvus Jagat itu. Ketika ia mendengar kabar dari Angon Luwak tentang jatuhnya pedang itu, secara diam-diam ia mencari pedang tersebut walau tak yakin apakah berhasil atau tidak. Tetapi tekadnya sangat bulat, ia akan berusaha menemukan kembali pedang itu untuk Suto, demi ungkapan rasa cintanya kepada Pendekar Mabuk. Dan ternyata Ia sangat beruntung dapat melihat pedang terselip di sela-sela akar, lalu memberanikan turun dengan memanjat akar-akar disana. Jika ia gagal dan tergelincir, sudah tentu akan lenyap dan tak terdengar lagi kabar beritanya.
Di kejauhan sana, tampak Ki Gendeng Sekarat dan Resi Wulung Gading berdiri dengan tenang. Rupanya mereka berdualah yang mengantarkan Angin Betina menemui Suto dan menyerahkan pedang itu. Mereka berdua sudah tidak berilmu pada saat itu karena melihat bentuk pedang pusaka maha sakti.
Sumbaruni dan Kelana Cinta juga tidak berilmu lagi karena berada disekitar pedang itu. Bahkan Angin Betina yang tadi mampu bergerak bagaikan angin, sekarang hanya bisa berjalan biasa atau berlari seperti orang tanpa ilmu. Gerakannya menjadi gerakan seorang wanita. Tidak setegar semula. Tapi Suto Sinting masih berilmu tinggi, karena sebagai pihak pemegang pedang.
Bagaimana dengan Raja Tumbal? Ia menggigil dengan wajah pucat pasi, ia mencoba meniup serulingnya, tapi seperti meniup pipa kosong tanpa isi, tanpa bisa bersuara seperti tadi. Tangannya gemetar ketika dihampiri Suto Sinting yang menggenggam pedang maha sakti itu.
"Kuberi kesempatan padamu untuk merubah perilaku mu, Raja Tumbal! Jangan lagi bersuara merebut negeri yang bukan hakmu!" kata Suto Sinting tak mau gegabah menggunakan pedang itu untuk membunuh lawannya.
Tetapi lawannya memang keras kepala. Ia masih menggeram, dan serulingnya yang merasa tidak berguna lagi itu dilemparkan sambil berkata, "Persetan dengan kata-kata mu, Bocah Sial! Hiih...!"
Weess...! Seruling dilemparkan melayang kewajah Suto. Tapi dengan cepat Pedang Kayu Petir berkelebat menghantamnya. Praakkk...! Seruling Malaikat itu hancur berkeping-keping tak berbentuk lagi.
Melihat serulingnya hancur, Raja Tumbal semakin panas hati. Ia nekat menyerang Suto Sinting dengan satu lompatan. "Hiaaat...!" tapi ia tak bisa melompat cepat, tak bisa berkelebat seperti angin. Bahkan gerakannya seperti anak kecil yang memukul dan menendang membabi buta.
"Habisi dia!" seru Ki Gendeng Sekarat dari kejauhan.
Suara itu tak didengar Suto, karena sibuk menghindari amukan tanpa ilmu. Namun Angin Betina berseru, "Habisi dia, Suto!"
Wuuutt...! Craakk...!
"Uuuhg...!" Raja Tumbal mendelik. Luka panjang dari perut sampai leher menyala hijau. Ia pun tumbang. Tubuhnya menjadi hijau semua. Beberapa saat kemudian nyala hijau itu redup dan padam. Saat itulah Raja Tumbal sudah tidak bernyawa lagi. Hancurnya Seruling Malaikat ternyata bersamaan dengan hancurnya kehidupan si angkara murka itu.
Pedang Kayu Petir akhirnya diserahkan oleh Suto kepada pemiliknya; Resi Wulung Gading, untuk sewaktu-waktu akan dipinjamnya kembali guna melawan tokoh sesat nomor wahid; Siluman Tujuh Nyawa.
Atas jasa Angin Betina, sejak itu ia diangkat sebagai perwira istana dan mendapat jaminan hidup yang memuaskan. Suto dan yang lainnya hanya bisa ikut merasakan kegembiraan dan kelegaan seperti yang dialami rakyat Muara Singa.
SELESAI