Serial Pendekar Mabuk
Misteri Malaikat Palsu
Karya Suryadi
Misteri Malaikat Palsu
Karya Suryadi
SATU
SEMILIR angin pegunungan di siang hari memang mirip racun pengantar tidur. Pemuda tampan bercelana putih lusuh dengan baju coklat tak berlengan semula hanya beristirahat dari perjalanannya, ia duduk di rerumputan, bersandar pada pohon berbatang besar yang mempunyai akar pipih. Dedaunan yang menaunginya membuat suasana teduh menyegarkan.
Pemuda tampan berambut lurus sepanjang pundak itu sengaja duduk melonjor sambil menyanding bumbung bambu tempat tuak. Pemuda itu tak lain adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, murid dari tokoh sakti tertinggi: Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Keteduhan yang nyaman bersama hembusan angin semilir itulah yang membuat Suto Sinting tertidur tanpa disengaja. Mungkin karena ia mimpi bertemu bidadari mandi, maka ia tidur dengan nyenyak sekali. Suara dengkurnya terdengar tipis samar-samar bagai gemerisik suara ilalang.
Kalau saja tak ada suara mengikik geli, mungkin Suto Sinting masih tertidur dengan nyenyak. Tapi karena ia mendengar suara mengikik geli, maka kesadarannya pun pulih kembali, ia terbangun dengan sedikit menggeragap. Betapa terkejutnya Pandekar Mabuk begitu membuka mata, ternyata di depannya sudah berdiri seorang gadis memegang pedang yang diacungkan ke dadanya. Jika pedang itu ditekan sedikit saja, maka akan menembus dada tepat di bagian jantung.
Tentu saja Suto Sinting tak ingin jantungnya menjadi bocor gara-gara ditembus pedang runcing. Karenanya ia tak mau banyak bergerak dan tak mau lakukan perlawanan apa pun. Tapi ia sadar bahwa dirinya telah terancam maut di ujung pedang si gadis berjubah biru tua tanpa lengan.
"Hik, hik, hik, hik...!" Gadis itu tertawa lagi dengan wajah melengos dan mata melirik ke arah Suto Sinting!
Yang dilirik hanya bengong saja, merasa heran namun juga merasa kagum melihat kecantikan si gadis berjubah biru. Rambut gadis itu meriap sepundak lewat sedikit, ia mengenakan ikat kepala kain merah yang simpulnya membentuk bunga mawar. Pakaian dalamnya hanya kutang kuning dan celana kuning dililit kain merah. Dadanya kelihatan sekal walau tak begitu montok, namun cukup menggetarkan hati seorang lelaki.
"Mmm... mengapa... mengapa kau tertawa, Nona?" tanya Suto Sinting sedikit menggeragap karena kebingungan, ia tidak memperhatikan ujung pedang yang mengarah ke jantungnya, tapi memperhatikan wajah gadis yang berdiri di depannya. Kepalanya sedikit mendongak, sehingga mulutnya tampak melongo mirip lubang belut.
"Apakah kau tak menyadari keadaan dirimu saat ini?!"
Mendengar ucapan gadis itu, Suto Sinting menjadi tambah bingung. Dahinya berkerut dengan pandangan mata semakin tajam. "Apa maksudmu?" tanya Suto Sinting tetap mendongak.
Gadis itu menahan tawa, kemudian berkata dengan nada dipaksakan untuk tegas dan dibuat agar berkesan galak. "Kau yang bernama Suto Sinting, bukan?!"
"Benar. Kau sendiri bernama siapa?"
"Hmmm... namaku Payung Serambi. Kau tak perlu banyak tahu tentang siapa diriku. Kau hanya perlu menjawab; Ingin berumur panjang atau pendek?"
"Apakah kau dewa pemberi umur?"
"Jangan banyak tanya!" bentak Payung Serambi sambil menekan ujung pedang, membuat Suto Sinting berdesir hatinya, karena keruncingan ujung pedang itu terasa menekan kulit dadanya. Mau tak mau ia segera menjawab dengan kikuk.
"Hmmm... anu... ya, tentu saja aku ingin umur panjang, Nona Cantik!"
"Hari ini aku menjadi dewa bagi kelestarian hidupmu, Pendekar Mabuk. Mati dan hidupmu ada di ujung pedangku."
"Apakah aku sedang bermimpi?" gumam Suto Sinting.
"Anggap saja ini sebuah mimpi! Tetapi jika kau tak mau menjawab pertanyaanku dengan benar, kau tidak akan bisa lepas dari mimpi lagi. Kau akan tidur selama-lamanya alias mati!"
"Apa yang ingin kau tanyakan?" ujar Suto Sinting setelah hatinya berkata, "Gadis ini tidak main-main, ia benar-benar mengancamku."
"Pendekar Mabuk, kau kenal dengan Nini Kalong?"
"Tentu saja aku kenal. Hubunganku dengan Nini Kalong cukup baik."
"Jika begitu, kau tahu di mana tempat tinggal Nini Kalong?"
"O, tentu saja aku tahu. Nini Kalong tinggal di Hutan Rawa Kotek."
"Aku tahu soal itu!" bentak Payung Serambi dengan mata mendelik. "Tapi di mana letak Hutan Rawa Kotek itu?!"
"Di sebelah selatan, di balik Bukit Kembar," jawab Suto Sinting polos-polos saja. "Apakah kau sedang menguji pengetahuanku tentang Hutan Rawa Kotek?"
Gadis itu tak menghiraukan pertanyaan Pendekar Mabuk, ia hanya menggumam lirih dan manggut-manggut tipis. Matanya memandang angkuh pada Suto Sinting. Sebentar-sebentar mata itu melirik ke bagian bawah Suto, membuat murid si Gila Tuak itu semakin terheran heran.
"Kurasa kau telah menjawab pertanyaanku dengan benar, ilmu 'Tembus Batin'-ku mengenali kejujuranmu. Sayang kita harus berpisah sekarang, Pendekar Mabuk."
"Tunggu dulu, apakah maksudmu bertanya tentang Nini Kalong?"
"Sampai jumpa di lain kesempatan, Pendekar Cabul!" Weees...! Gadis itu memutar tubuhnya dengan pedang terangkat ke atas. Kecepatan putarannya membuat pedangnya menjadi seperti payung. Dalam sekejap saja gadis itu telah menghilang bagaikan terbang menembus langit siang.
Suto Sinting semakin terperangah kaget dan heran melihat jurus yang digunakan Payung Serambi. Tetapi lebih kaget lagi setelah Suto Sinting menyadari keadaan dirinya, ia sempat terpekik dan menjadi sangat tegang setelah memperhatikan ke bawah, ternyata saat itu ia dalam keadaan tanpa busana selembar benang pun. Telanjang polos bagai bayi baru lahir.
"Celaka...?!!" wajah tampan itu menjadi sangat tegang, matanya membelalak lebar, kulit wajahnya menjadi pucat pasi. "Pantas gadis itu dari tadi menertawakan diriku. Pantas dia sering melirik ke bawah. Pantas pula kurasakan dingin ujung pedangnya di kulitku. Rupanya sejak tadi aku seperti bayi baru lahir. Ooh..?! Perbuatan siapa ini? Si Payung Serambi itukah yang melakukannya? Lalu... lalu di mana pakaianku? Aduh, celaka tujuh belas turunan kalau begini!"
Suto Sinting menggerutu tiada berkesudahan sambil mencari-cari pakaiannya. Namun di sekitar tempat itu tak ada selembar pakaian pun. Suto Sinting penasaran, segera memeriksa setiap semak-semak, siapa tahu pakaiannya disembunyikan disemak-semak.
Gusrak, grusuk, zrrak, zrraak, gusrak...!
"Mati aku! Pakaianku tak ada di mana-mana. Aduh, tubuhku jadi gatal semua terkena daun ilalang. Ya, ampun... kalau sudah begini aku harus bagaimana?!"
Gerutuannya sering bernada sedih. Rasa dongkolnya bercampur dengan rasa duka. Ia berjalan ke sana-sini sambil menutupi 'jimat lelaki'-nya menggunakan bumbung tuak. Akibatnya ia seperti berjalan menunggang bambu tempat tuak, mirip anak kecil main kuda-kudaan.
Jantung Suto Sinting berdebar-debar, karena ia takut dilihat orang, terutama seorang perempuan, ia akan malu sekali jika ada yang melihatnya dalam keadaan polos begitu. Seandainya tadi ia sadar akan keadaan dirinya, tentu ia sangat malu berhadapan dengan gadis cantik itu. Bahkan mungkin ia tak akan bisa bicara karena sibuk menyembunyikan 'jimatnya.
Tiba-tiba pandangan mata Suto Sinting melihat sekelebat bayangan berlari di sela-sela pepohonan seberang. Kecepatan pandang mengikuti gerak bayangan itu membuat Suto Sinting tahu siapa orang yang sedang berlari cepat itu.
"Gawat! itu si Pakis Ratu...?! Oh, dia berlari membelok ke arah sini?! Celaka! Aku harus segera bersembunyi jika begini!"
Wuuut...! Guzraaak...!
Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya terlempar masuk ke semak-semak. Dalam keadaan polos dan bersembunyi di semak-semak, mata Suto Sinting mengintip pelarian Pakis Ratu, murid Nyai Kidung Laras yang pernah diselamatkan dari kekejaman Dewa Tengkorak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Setan Rawa Bangkai). Tapi ternyata semak-semak itu tidak aman bagi tubuh yang polos tanpa selembar benangpun.
"Wah, kacau sekali! Sial betul nasibku hari ini! Aduh, aduh... banyak semutnya! Maling kurap betul keadaan ini!" maki Pendekar Mabuk dengan sibuk menyingkirkan semut-semut yang merayap di kakinya.
Dalam keadaan jongkok sambil pegangi bumbung tuak, Suto Sinting sangat kebingungan mengatasi semut-semut yang merayap dari telapak tangan naik ke betis dan terus naik kemana-mana. Hati sang Pendekar Mabuk merasa sedih-sedih jengkel.
Sementara itu, di seberang sana ia sempat melihat Pakis Ratu terhenti pelariannya, karena berhasil disusul oleh seorang lelaki berkumis lebat. Lelaki berwajah menyeramkan itu tiba-tiba menghadang langkah Pakis Ratu dengan memotong jalan.
"Kau tak mungkin lolos lagi, Tikus Cantik! Heeeah...!" Orang berwajah seram yang badannya besar itu melayangkan pukulannya ke wajah Pakis Ratu.
Wuuut...! Pakis Ratu menghindar ke samping dengan tangan berkelebat menangkis pukulan lawan. Tetapi tanpa diduga-duga kaki lawan segera melayang cepat dan tepat mengenai pinggang gadis yang memakai rompi serta celana hijau muda. Beehg...!
"Uuhg...!" Pakis Ratu terjungkal ke samping. Tendangan itu bertenaga dalam cukup besar sehingga Pakis Ratu bagai terlempar lima langkah jauhnya dari tempat semula. Brruuk...!
Lelaki berpakaian hitam dengan rambut sepanjang pundak diikat kain biru itu menerjang Pakis Ratu lagi pada saat gadis itu berusaha untuk bangkit.
Wuuut...! Brruss...!
"Aauh...!" Pakis Ratu memekik sambil tubuhnya terpental empat langkah ke belakang. Mulutnya sempat terlihat semburkan darah segar karena rupanya dada Pakis Ratu terkena tendangan kuat dari si baju hitam itu.
Pendekar Mabuk salah tingkah sendiri di dalam semak-semak itu. Bahkan ia hampir saja terpekik kaget sebelum Pakis Ratu terkena terjangan lawannya.
"Aduh! Sialan!" tangannya segera menyambar 'jimat lelaki' dan memencet seekor semut yang menggigit tempat terlarang itu. Pendekar Mabuk tak sadar telah menginjak sarang semut, sehingga semut-semut itu marah.
"Rupanya di sini banyak semut perempuan!" gerutunya dengan dongkol sekali. "Kurang ajar betul! Hih, huh, matilah kau! Aduuh...! Ada lagi yang menggigit bagian belakangku. Brengsek!"
Akibat sibuk dengan semut-semut, akhirnya Suto Sinting tak bisa memusatkan perhatiannya kepada Pakis Ratu. Ketika ia memandang kembali ke arah pertarungan itu, Pakis Ratu telah terkapar bersandar ke batang pohon dalam keadaan berlumur darah. Gadis itu tampak sedang sekarat karena dihajar habis oleh orang berkumis lebat.
"Kau telah mengecewakan hatiku, Pakis Ratu! Kecewa berat aku padamu, sehingga terpaksa aku harus membunuhmu demi menebus kekecewaanku ini!"
Srrang...! Sebilah golok tajam berkilauan dicabut dari tempatnya. Golok itu segera diangkat dan hendak diayunkan untuk memenggal leher Pakis Ratu.
Suto Sinting menahan diri dari serangan semut-semut tersebut, ia lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' melalui dua jari tangannya yang disentakkan ke depan. Wuuut...! Dari kedua jari yang merapat itu melesatlah sinar patah-patah warna kuning. Clap, clap,clap...!
Dess...! Sinar kuning patah-patah itu tepat kenai dada orang berkumis tebal. Golok yang sudah terangkat terlempar bersama tubuh orang tersebut. Kejap berikutnya, orang itu terkapar tak berdaya. Tubuhnya kepulkan asap samar-samar, dan menjadi kering karena terbakar kekuatan tenaga dalam dari jurus 'Pukulan Gegana' tadi. Pakaiannya pun menjadi abu, rambutnya juga menjadi abu, tapi nyawanya tidak menjadi abu, melainkan pergi meninggalkan raga tanpa pamit.
"Oh, kelewatan! Seharusnya aku tak perlu menggunakan 'Pukulan Gegana', sehingga tak sampai menewaskan orang itu. Ah, tapi apa boleh buat, semuanya sudah telanjur. Habis semut-semut ini bikin aku panik dan tak bisa berpikir tenang."
Zlaaap...! Suto Sinting segera keluar dari semak-semak celaka itu. Kedua kakinya menghentak-hentak di tanah untuk merontokkan semut-semut yang bergelayutan di tempat terlarang. Tangannya mengibas-ngibas membersihkan badan dari sarang semut. Mulutnya keluarkan gerutuan yang mirip orang menggumam.
"Dasar semut-semut perempuan! Melihat makanan empuk sedikit main sergap saja! Aduh, bentol semua badanku kalau begini dan, oooh...? Kok iniku jadi besar sekali? Hiii... mengerikan sekali. Digigit semut bisa jadi sebesar ini?"
Suto Sinting segera menggaruk-garuk jempol kakinya yang menjadi besar karena gigitan semut itu. Ia buru-buru meneguk tuaknya, dan dalam sekejap saja rasa gatal serta nyeri karena gigitan semut itu hilang. Bentol-bentol di badannya pun mengempis. Kini tubuh Suto Sinting menjadi mulus kembali. Tapi karena perhatiannya tertuju pada Pakis Ratu yang sedang sekarat dengan napas tersendat-sendat, ia jadi lupa pada keadaan dirinya yang polos tanpa pakaian.
"Celaka! Kalau tak segera kuberi tuak dia bisa mati menyedihkan!" pikir Suto Sinting, kemudian ia segera dekati Pakis Ratu yang mulutnya ternganga karena susah menarik napas.
Cuuur...! Tuak dituangkan ke mulut itu. Sebagian ada yang tertelan, sebagian lagi ada yang tumpah ke kanan-kiri. Pakis Ratu tersedak, lalu terbatuk-batuk sambil menggeliat miring, ia gelagapan seperti orang tenggelam karena menelan tuak tanpa disadari. Tapi akibatnya, luka-luka di tubuh Pakis Ratu segera mengering. Dalam kejap berikutnya, seluruh luka dan rasa sakitnya hilang akibat menelan tuak saktinya Pendekar Mabuk. Bahkan darah yang semula tampak berlumuran di tubuhnya cepat mengering, lalu hilang bagaikan menguap karena angin. Gadis itu menjadi segar dan sehat tanpa noda darah dan luka sedikit pun.
"Ah, syukurlah aku belum terlambat. Dia tertolong," pikir Suto Sinting dengan girang. Tapi tiba-tiba ia terkejut karena sadar keadaan tubuhnya yang polos. "Wah, bisa kacau kalau aku diam saja di sini? Dia akah melihat keadaanku tanpa pakaian dan... dan... cari selamat dulu, ah!"
Weess...! Suto Sinting melompat ke balik semak yang lainnya sebelum Pakis Ratu melihatnya. Brruss...! Suto Sinting menghilang di balik semak. Tapi hatinya segera menggerutu sambil menutup hidung. "Konyol! Siapa yang buang hajat di sini?! Uuh... baunya!"
Pakis Ratu sudah berdiri dan memandang ke sana-sini. Terdengar suaranya yang bicara sendiri dalam kebingungan. "Sepertinya aku tadi melihat wajah Suto Sinting?! Tapi di mana dia sekarang?! Oh... itu si Kebo Wirang sudah tak bernyawa? Pasti ada orang yang membantuku. Seingatku, tadi aku dihajar oleh Kebo Wirang dan... dan entah bagaimana lagi. Hanya saja...." Pakis Ratu memeriksa keadaan tubuhnya.
"Oh, sekarang aku dalam keadaan tanpa luka? Hmmm... mulutku terasa agak getir, seperti ada aroma tuak yang... yang.... Ah, kurasa aku memang menelan tuak saktinya Suto Sinting. Tapi di mana pemuda tampan itu?!" Lalu Pakis Ratu mencoba berseru memanggilnya, "Sutoo...! Suto Sinting! Sutooo...?!"
Suto Sinting diam saja menutup mulut dan hidungnya sambil bergeser sedikit demi sedikit menjauhi setumpuk kotoran manusia yang tepat ada di depannya.
* * *
DUA
SEORANG perempuan berusia sekitar lima puluh tahun muncul setelah Pakis Ratu kebingungan mencari Suto Sinting. Perempuan yang baru saja muncul itu masih tampak cantik dan badannya cukup sekal, ia mengenakan jubah ungu, rambut disanggul, dan tampak berkharisma. Penampilannya cukup kalem, tapi berwibawa, ia adalah Nyai Kidung Laras, guru si Pakis Ratu.
"Guru...!" sapa Pakis Ratu begitu melihat kedatangan gurunya.
Nyai Pakis Ratu memandang sekeliling sebentar, kemudian pandangannya tertuju pada mayat Kebo Wirang yang telah hangus dan mengering itu. "Apakah itu mayat Kebo Wirang?"
"Benar, Guru! Senjata golok yang tak jauh darinya adalah senjata milik Kebo Wirang. Tak salah lagi, itu pasti mayat si Kebo Wirang."
"Hmmm... siapa yang lakukan ini? Kau sendiri?"
"Bukan, Guru! Kurasa... kurasa Pendekar Mabuk yang lakukan pada saat aku tak sadar karena terluka parah oleh serangan Kebo Wirang."
"Pendekar Mabuk...?! Hmmm... di mana dia sekarang?!"
"Itu dia, Guru... aku sendiri dari tadi sedang mencari-carinya. Mulutku beraroma tuak, pasti ia menuang tuak ke dalam mulutku pada saat itu terluka parah. Hanya saja, dari tadi aku tidak menemukan batang hidungnya."
Diam-diam Suto Sinting berkata dalam hatinya dengan cemas, "Wah, gurunya Pakis Ratu datang. Gawat! Lebih malu lagi kalau sampai Nyai Kidung Laras mengetahui keadaanku seperti ini. Tapi... tapi sebenarnya aku butuh bantuan mereka. Hanya saja, bagaimana caraku bisa menemui mereka dan meminta bantuan tentang pakaian?!"
Nyai Kidung Laras terdengar bicara kepada muridnya, "Pakis Ratu, apakah kau tetap mampu mempertahankan kesucianmu dari kebuasan si Kebo Wirang?!"
"Masih, Guru! Aku masih suci, belum ternoda sedikit pun olehnya!"
"Syukurlah kalau begitu. Sebaiknya kita lekas pulang ke Lembah Hijau."
"Tapi bagaimana dengan kakak si Kebo Wirang yang ingin perkosa Guru itu?"
"Kebo Jamak sudah kuhabisi riwayatnya. Karenanya aku segera mengejarmu kemari, karena kulihat kau berlari dikejar Kebo Wirang. Ah, sudahlah! Kita lupakan saja sepak terjang kakak-beradik yang memang doyan memperkosa perempuan itu! Kita punya urusan yang lebih penting dari masalah ini. Kita bicarakan di Lembah Hijau saja!"
"Baik, Guru!" jawab Pakis Ratu dengan patuh.
Kedua perempuan itu segera pergi meninggalkan mayat Kebo Wirang. Kini tinggal Suto Sinting sendirian di balik semak memikirkan jalan keluar bagi kesulitannya sendiri.
"Kurasa aku harus minta bantuan kepada Nyai Kidung Laras atau Pakis Ratu! Seharusnya aku tadi bicara tanpa menampakkan diri dan menceritakan keadaanku yang terpaksa bersembunyi ini. Ah, bodohnya aku ini! Tadi ada kesempatan kenapa tidak dimanfaatkan? Kalau begitu, aku harus menghadang langkah mereka dan bicara di balik persembunyian!"
Weess...! Suto Sinting pun melesat mengejar Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu. Ia sengaja menerabas tempat-tempat rimbun agar tidak semata-mata tampak polos. Akibatnya, beberapa duri menggores kulit tubuhnya dan membuatnya menggerutu tiada habisnya. Tapi dengan sebentar-sebentar meneguk tuak, rasa sakit dan luka goresan itu lenyap sendiri.
Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' Pendekar Mabuk mampu bergerak cepat sekali, melebihi kecepatan anak panah yang terlepas dari busurnya. Hal itu dilakukan agar ia bisa mendahului langkah Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu. Tetapi di luar dugaan, kedua perempuan itu membelok ke arah kiri saat hendak mencapai tanggul sungai, sedangkan Suto Sinting bergerak lurus dan segera mencapai tepian sungai.
Melihat dua batu setinggi kuda berjajar merapat, Suto Sinting segera bersembunyi di sana. Celah dua batu itu dapat digunakan untuk mengintai kedatangan Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu, juga bisa dipakai sebagai lubang suaranya nanti, ia tidak tahu kalau kedua perempuan tersebut tidak akan melewati sungai itu. Setelah menunggu beberapa saat lamanya, Pendekar Mabuk baru menyadari bahwa ia salah hadang. Dalam hatinya segera menggerutu dengan wajah bersungut-sungut.
"Sial! Rupanya mereka tidak lewat daerah ini! Kalau begitu aku harus segera mengejar mereka lewat jalan yang ke kiri tadi."
Baru saja Suto Sinting ingin tinggalkan tempat itu, tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mengambang hanyut di perairan sungai. Matanya menatap tajam ke arah benda yang hanyut itu.
"Oh, sesosok mayat...?! Mayat seorang perempuan?!"
Rasa ingin tahu membuat Pendekar Mabuk akhirnya nekat keluar dari persembunyian dan segera menyambar sesosok mayat perempuan berkebaya dan berkain batik coklat itu. Weess...! Mayat agak gemuk itu dibawanya ke daratan, di balik gugusan batu setinggi pundaknya, ia memperhatikan mayat tersebut beberapa saat lamanya.
"Aku tidak mengenali perempuan ini," katanya dalam hati. "Tapi sepertinya ia korban pembunuhan. Lehernya terluka, tampak bekas sabetan senjata tajam. Hmmm... kasihan perempuan ini. Siapa yang membunuhnya? Padahal menurutku ia masih tergolong muda. Usianya sekitar tiga puluh tahun, wajahnya manis, berkesan lugu. Sepertinya ia seorang gadis desa yang polos. Tapi mengapa ia mati dengan cara menyedihkan begini?"
Kebaya merah jambu yang dikenakan mayat itu masih utuh. Juga kain batik yang membalut tubuh sekal mayat perempuan itu pun masih utuh. Timbul gagasan di benak Suto Sinting untuk memanfaatkan pakaian si mayat untuk menutupi tubuhnya sendiri.
"Bukan aku merampok barang milik orang lain, tapi ini semua kulakukan agar aku bebas bergerak dan tidak dipandang jorok di mata orang. Yah... sayang dia pakai kebaya. Tapi tak apalah. Biar kebaya yang penting aku tidak polos. Toh pakaian ini sudah tidak dibutuhkan oleh raga pemiliknya."
Dengan sangat terpaksa sekali, Pendekar Mabuk melepasi pakaian mayat perempuan itu. Kain batik coklat muda dililitkan menutup bagian bawahnya, sedangkan kebayanya dipakai tanpa dikancingkan. Untung ukuran tubuh mayat itu pas dengan badan Suto Sinting, sehingga kebaya itu tak terlalu sesak dipakainya.
"Wah... tak berani terlalu lama memandang mayat itu tanpa busana. Bisa merinding sendiri bulu kudukku," ujarnya pelan sambil melengos, tak mau pandangi mayat perempuan yang polos itu.
Sebagai imbalan atas 'diberikannya' pakaian si mayat, Suto Sinting memakamkan mayat itu di bawah tanggul sungai. Selesai memakamkan ia mencuci tangan dan kakinya di tepian sungai. Air sungai yang bening ini memantulkan bayangan dirinya ba gai sedang berdiri di bawah sebuah cermin.
"Ha, ha, ha...!" Suto Sinting tertawa geli melihat bayangannya di permukaan air sungai. "Ini benar-benar konyol! Pendekar Mabuk menjadi banci, pakaian kebaya dan kain. Ha, ha, ha...! Mudah-mudahan aku tidak bertemu Guru, supaya Guru tidak marah melihat aku berpakaian perempuan begini. Tapi, aih... cantik juga aku kalau begini, ya? Apalagi kalau ditambah sepasang giwang, hmmm... pasti aku akan jadi rebutan para lelaki, dan iih... amit-amit!"
Baru sekarang Suto Sinting tertawa geli hingga terpingkal-pingkal. Apalagi ia mencoba berlenggak-lenggok seperti seorang perempuan, ia semakin terpingkal-pingkal sendiri hingga perutnya terasa sakit.
"Ya, ampun... mimpi apa aku semalam kok sekarang berubah menjadi Banci Mabuk?! Rasa-rasanya dengan pakaian seperti ini aku tak pantas bergelar Pendekar Mabuk. Sangat lucu dan bisa bikin orang tak percaya bahwa aku adalah Pendekar Mabuk."
Sambil menghabiskan tawa ia geleng-geleng kepala memandangi bayangannya di permukaan air sungai. Bahkan ketika ia membasuh tangan dan kakinya, tawa itu masih sesekali mengguncang badannya mirip perempuan genit. Rupanya di atas tanggul ada sepasang mata yang memperhatikan keadaan Suto Sinting. Sepasang mata yang bersembunyi itu memergoki Suto dalam keadaan sedang bercermin di permukaan air sungai, ia tidak tahu bahwa pakaian basah itu milik mayat yang sudah dimakamkan oleh Suto Sinting.
"Ya, ampuuun ..?! Mengapa dia sekarang menjadi begitu? Terkena racun apa dia, hingga menjadi gila begitu? Oh, kasihan sekali! Agaknya seorang lawan telah berhasil melukainya dengan racun dan membuatnya ingin tampil menjadi wanita!"
Sepasang mata itu milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun, mengenakan jubah kuning gading, pinjung, dan celananya yang warna hijau tua. Rambut panjangnya disanggul sebagian, sisanya dilepas meriap sepanjang punggung, ia menyelipkan pedang di pinggangnya yang berhias rumbai-rumbai benang merah pada gagangnya. Gadis itu tak lain adalah Kinanti, orang kepercayaan Ratu Jiwandani, Penguasa Lembah Birawa. Ia mengenal Suto Sinting dalam perkara menghadapi ancaman maut dari Demit Lanang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Pelebur Raga).
Hati Kinanti menjadi iba melihat Suto Sinting berpakaian kebaya merah jambu, ia menyangka Suto Sinting tidak waras lagi, sehingga ia bermaksud menemui pemuda tampan yang kini mirip seorang banci itu.
"Sebaiknya ia kubawa ke Lembah Birawa biar disembuhkan oleh Gusti Ratu Jiwandani, sebab jika benar ia terkena racun yang mempengaruhi otak dan jalan pikirannya, kurasa Gusti Ratu Jiwandani sanggup mengobatinya, karena beliau mahir dalam pengobatan racun yang berpengaruh pada jalan pikiran manusia," ujar Kinanti dalam hatinya. Tetapi baru saja ia ingin bergerak keluar dari persembunyian, tiba-tiba seberkas sinar merah berbentuk bintang melesat menghantam punggungnya dengan telak.
Claap...! Deess...!
"Aaahg...!" Kinanti sempat memekik keras sambil tubuhnya terjungkal dan menggelinding menuruni tebing tanggul.
Kejadian itu membuat Pendekar Mabuk terperanjat dan cepat lemparkan pandangan mata ke arah Kinanti, ia pun melebarkan mata dan terkejut sekali melihat Kinanti terkulai di bawah tanggul dalam keadaan tengkurap. Punggungnya berlubang hitam sebesar tutup botol. Lubang itu mengepulkan asap samar-samar yang membuat Suto Sinting menjadi cemas.
Zlaaap...! Dalam sekejap saja Suto Sinting sudah berada di samping Kinanti, ia mencoba membalikkan tubuh Kinanti yang wajahnya telah memucat bagaikan mayat, matanya terbeliak memutih dengan mulut menganga kesulitan bernapas.
"Kinanti...?! Kinanti, apa yang terjadi padadirimu?! Katakan, Kinanti! Siapa yang melukaimu?!"
Tentu saja Kinanti tak bisa ucapkan sepatah kata pun. Nyawanya sudah di ubun-ubun. Sebentar lagi ia akan hembuskan napas yang terakhir. Melihat keadaan Kinanti separah itu, Pendekar Mabuk tidak mau banyak tanya lagi. Ia cepat-cepat menuangkan tuaknya ke mulut Kinanti. Sebagian tuak tertelan gadis itu, sebagian lagi tumpah meluber ke mana-mana. Pendekar Mabuk tidak pedulikan tuak yang tumpah, yang penting ia cukup lega melihat Kinanti tersedak dan menjadi terbatuk-batuk karena tuak itu tertelan bersama tarikan napas pendeknya.
Claap...! Seberkas sinar merah berbentuk bintang datang lagi. Kali ini yang menjadi sasaran adalah punggung Suto Sinting. Namun pada waktu itu Suto Sinting kebetulan sedang berpaling memandang ke atas tanggul, ingin mengetahui siapa orang yang menyerang Kinanti. Tepat ia menengok ke belakang, sinar merah itu datang ke arahnya. Dengan cepat bumbung tuaknya berkelebat menghadang sinar merah itu. Kakinya berlutut satu, dan salah satu tangannya mengembang ke samping atas.
Deeeb...! Sinar merah itu menghantam bumbung tuak, bukan meledak atau menghancurkan bambu bumbung, tapi memantul balik ke arah pemiliknya yang bersembunyi dari balik pohon kapuk randu liar. Sinar itumenjadi lebih besar dari aslinya dan gerakannya lebih cepat lagi. Pemiliknya terperanjat melihat sinar merahnya kembali arah, lalu menghilang dari persembunyiannya.
Blegaaarr...! Pohon kapuk randu liar itu menjadi sasaran sinar merah tersebut. Pohon itu hancur seketika pada bagian tengahnya. Sisa bagian atasnya tumbang ke arah berlawanan dengan Suto Sinting, sedangkan sisa bagian bawahnya tetap berdiri dalam keadaan berserat-serat dan mengepulkan asap.
Pendekar Mabuk tidak pedulikan lagi keadaan Kinanti, karena gadis itu sudah menelan tuak saktinya, ia segera mengejar orang yang berkelebat dari balik pohon kapuk randu tadi. Zlaaap...!
Jleeg...! Wreeek...!
Suto Sinting berdiri di atas gundukan tanah setinggi lutut. Orang yang melarikan diri itu tercekat seketika dan hentikan langkahnya melihat Suto Sinting ada di depannya. Tapi hati Suto Sinting menjadi gelisah, karena kain yang membalut tubuhnya sebatas lutut lewat sedikit itu telah robek akibat gerakan cepatnya tadi. Kain itu robek sampai sebatas paha, membuat paha itu sering terbuka apabila robekan kain menyingkap karena angin. Orang yang terhadang langkahnya itu cepat-cepat lemparkan senjata rahasia berbentuk piringan bergerigi mirip bunga mawar dari logam putih mengkilat. Zing, zing...!
Dua senjata rahasia itu segera ditangkis oleh Suto Sinting menggunakan kibasan bumbung tuaknya, sambil ia lakukan lompatan ke samping dengan gesit. Wuut...! Trang, traang...!
Kedua senjata rahasia itu terpental ke arah lain bagai ditangkis dengan besi baja. Pendekar Mabuk cepat lakukan serangan dengan menjejakkan kakinya pada sebuah batu sebesar anak sapi. Deess...! Wuuut...! Tubuhnya melayang cepat menerjang lawannya. Tapi sang lawan pun tak kalah lincah, mampu menghindar dengan gerakan bersalto plik-plak ke belakang dua kali. Wut, wut...!
Punggung Suto Sinting menjadi ada di depannya. Maka orang itu pun menghantamkan telapak tangannya dengan kuat ke punggung Suto Sinting. Wuuut...! Beehg...!
"Uuuhg...!" Suto Sinting terjungkal ke depan berguling dua kali sambil masih tetap pegangi bumbung tuaknya. Begitu gerakan tergulingnya berhenti, secepat kilat tubuhnya melenting di udara dan melepaskan sentilan yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu.
Des, des..!
Sentilan bertenaga dalam cukup besar mirip tendangan kuda jantan itu tepat kenai dada lawan. Beehg, beehg! Bruus...!
Orang itu terpental dan jatuh di semak-semak pinggir tanggul. Hampir saja ia tercebur ke sungai kalau tidak ada semak-semak berakar alot itu. Dengan menahan rasa sakit, orang itu segera bangkit dan melompat ke depan sedikit terbungkuk. Sesaat kemudian ia tegakkan badan sambil tarik napas dalam-dalam.
Pendekar Mabuk sengaja tidak lakukan serangan lagi, karena ia sibuk menenggak tuak untuk obati luka dalam akibat pukulan berbahaya pada punggungnya tadi. Ketika ia selesai menenggak tuaknya, sang lawan selesai menarik napas dan mereka saling beradu pandang mata.
"Siapa dia sebenarnya?" pikir Suto Sinting karena lawannya kali ini terbungkus kain hitam. Alas kakinya dari kulit hitam, dililit tali hitam sampai ke betis, sehingga celana hitamnya ikut terikat rapi. Ia mengenakan sabuk seperti angkin warna hitam. Bajunya lengan panjang warna hitam tanpa belahan dada. Tangannya mengenakan sarung tangan dari kain tebal warna hitam. Kepalanya juga dibungkus kain hitam dan hanya terlihat bagian matanya saja. Itu pun hanya sedikit, sehingga wajah orang berselubung kain hitam itu tidak bisa dikenali.
Sebuah pedang samurai ada di punggungnya, melintang panjang dan mempunyai gagang serta sarung pedang warna hitam pula. Dari jarak tujuh langkah, Suto Sinting tak bisa mengenali apakah lawannya itu seorang lelaki atau seorang perempuan. Tapi melihat kecepatan geraknya dan pukulannya yang berat sekali tadi, Suto Sinting punya dugaan sementara bahwa lawannya adalah seorang lelaki bertubuh kekar.
"Siapa kau sebenarnya, Sobat!" tanya Suto Sinting dengan mencoba sedikit ramah.
Orang berpakaian hitam itu tidak menjawab. Tapi kakinya tiba-tiba menyentak hingga tubuhnya melambung ke atas. Sebatang pohon dijejaknya, lalu tubuh pun melesat ke arah lain. Pohon berikutnya dijejak kembali, dees...! Wuuut...! Ia melayang bagaikan terbang dan mendaratkan kakinya di gundukan tanah tempat Suto Sinting menghadangnya tadi. Jleeg...!
Tangannya berkelebat secara tiba-tiba seperti membanting sesuatu. Buuusss...! Segumpal asap tebal muncul membungkus tubuhnya. Suto Sinting segera bergerak ingin menerjang orang itu. Tetapi ketika asap menipis, ternyata tak ada bayangan apa-apa di dalam asap tersebut. Suto Sinting hentikan langkah, tak jadi menerjang gumpalan asap tadi.
"Hilang...?!." gumamnya lirih dengan bingung. Matanya pun segera memandang nanar ke sana-sini. Tapi sang lawan tidak kelihatan bayangannya. Orang itu lenyap bagai ditelan bumi bersama kepulan asap tebal tadi. "Kurang ajar! Lari ke mana dia?!" geram Suto Sinting sambil masih mencoba mencari ke sana-sini.
* * *
TIGA
LUKA di punggung Kinanti telah merapat, bahkan kain pakaiannya yang berlubang pun menjadi rapat kembali seperti sediakala. Keadaan Kinanti sangat segar, sehat, seperti tak pernah mengalami luka apa pun. Ia bertemu Suto Sinting pada saat Suto Sinting mencari lawannya sampai ke tepian sungai. Hal pertama yang dilakukan Kinanti adalah memandangi Suto Sinting dengan kesan ragu-ragu.
Pendekar Mabuk paham arti pandangan mata itu, maka ia pun segera jelaskan tentang pakaian kebaya dan kain yang dikenakannyaitu. "Terus terang, ini pakaian sesosok mayat yang kutemukan hanyut di sungai. Entah mayat siapa, aku tak kenal dan memang kami tidak punya kesempatan untuk berkenalan."
Kinanti sunggingkan senyum kecil sekali. Lalu ia ajukan tanya dengan mata masih memperhatikan Suto Sinting dari atas ke bawah berulang-ulang. "Jadi, siapa orang yang mencuri pakaianmu pada saat kau tidur?"
Pendekar Mabuk angkat bahu. "Mana aku tahu? Kalau aku tahu sudah kukejar orang itu dan kupaksa mengembalikan pakaianku."
"Tunggu dulu...," sergah Kinanti ketika Pendekar Mabuk Ingin bicara lagi. "Kau bilang pakaian itu adalah pakaian mayat wanita?"
"Benar. Ada apa?" Suto berkerut dahi.
"Apakah mayat itu agak gemuk dan wajahnya berkesan wanita yang polos?"
"Benar. Apakah kau kenal dengan perempuan itu?"
"Hmmm...," Kinanti manggut-manggut. "Kurasa ia pelayannya Ki Lurah Gontang dari Desa Rejamukki. Kebetulan tadi pagi aku melewati desa itu, dan desa itu sedang mengalami musibah pada malam harinya. Seluruh keluarga Ki Lurah Gontang dibantai habis oleh seorang pemuda yang tak diketahui siapa pelakunya. Tapi ada seorang penduduk desa yang melihat sekelebat orang berpakaian serba hitam keluar dari dapur rumah Ki Lurah Gontang sambil memanggul sesosok tubuh. Dan ternyata dari seluruh penghuni rumah itu hanya mayat si pelayan yang tidak diketemukan penduduk desa. Mungkin mayat itu dibuang ke sungai karena alasan tertentu bagi sipelaku."
"Orang berpakaian hitam?! Berarti orang yang bertarung denganku tadi?"
"Apakah kau tadi bertarung dengan..."
"Orang itu mengenakan pakaian serba hitam. Kepalanya terbungkus kain hitam. Hanya bagian mata saja yang kelihatan. Kurasa orang itulah yang menyerangmu hingga kau jatuh dari atas tanggul."
Kinanti diam sejenak, dahinya berkerut dengan pandangan mata tertuju ke rerumputan. Suto Sinting sempatkan diri menenggak tuaknya dua tegukan. Kejap berikut terdengar suara Kinanti bagai bicara dengan diri sendiri, "Kalau begitu, si Malaikat Malam itu juga yang membantai keluarga Ki Lurah Gontang dan yang menyerangku?"
"Malaikat Malam...?! Siapa Malaikat Malam itu?!" Suto Sinting mulai diusik oleh rasa ingin tahunya, ia mendekat selangkah lagi. Wajah mereka saling berhadapan sama tingginya, pandangan mata saling beradu sama tajamnya. Jarak mereka hanya satu langkah kurang, dan Kinanti maupun Suto Sinting dapat rasakan hembusan napas lawan jenisnya. Tapi tak ada kemesraan dalam benak mereka. Yang terbayang di benak mereka hanya sosok manusia terbungkus kain serba hitam.
"Malaikat Malam adalah orang yang membunuh Eyang Poci Dewa"
"Apa...?!" Suto Sinting terpekik kaget sebelum Kinanti selesaikan kata-katanya. "Eyang Poci Dewa terbunuh?! Maksudmu.... Poci Dewa yang punya murid bernama Rangga Pura itu?!"
"Benar! Justru aku baru saja pulang dari pemakaman jenazah Eyang Poci Dewa, sebagai wakil dari Lembah Birawa!"
Pendekar Mabuk terbungkam tegang bagaikan patung bernyawa, ia tak mendengar kabar tentang kematian Eyang Poci Dewa yang dikenalnya dalam peristiwa fitnah Ayunda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan Tanpa Ajal). Karenanya ia sangat kaget ketika mendengar Eyang Poci Dewa telah dibunuh oleh seseorang.
"Sebelum Eyang Poci Dewa hembuskan napas terakhir," kata Kinanti,"... ia sempat bertemu dengan saudara seperguruannya, yaitu Ki Buyut Gerang. Sayangnya, Ki Buyut Gerang tak sempat menolongnya. Tapi beliau sempat mendengar pesan terakhir dari Eyang Poci Dewa, agar Ki Buyut Gerang lindungi dirinya sendiri dari ancaman maut Malaikat Malam. Berarti yang membunuh Eyang Poci Dewa adalah Malaikat Malam."
"Apakah... apakah Ki Buyut Gerang mengetahui siapa si Malaikat Malam itu?!"
"Aku tak banyak tanya, sebab beliau sedang berkabung. Tapi Ki Buyut Gerang sempat berkata kepada muridnya sendiri: Cumbu Bayangan, bahwa Malaikat Malam pasti orang berilmu tinggi."
"Kalau begitu aku harus menemui Ki Buyut Gerang untuk menanyakan siapa Malaikat Malam itu sebenarnya."
"Aku sempat bicara dengan sahabat tuamu yang mengaku mengenalmu sangat akrab."
"Siapa orang itu?"
"Si Tua Bangka alias Ki Sanupati."
"O, ya...! Beliau memang sahabat tuaku yang cukup akrab. Lalu, apa kata beliau?"
"Malaikat Malam dulu memang pernah muncul dan menggegerkan rimba persilatan, ia ksatria dari Pegunungan Sojiyama, pembela kebenaran dan pembela rakyat yang lemah, ia selalu tampil dengan pakaian hitam yang membungkus dirinya sampai hanya tinggal bagian mata saja. Tapi itu cerita masa lalu, beberapa puluh tahun yang silam. Sekarang ksatria yang berjuluk Malaikat Malam sudah tiada. Gugur dalam pertempuran di tengah samudera. Jika sekarang muncul lagi orang yang mengaku Malaikat Malam, berarti orang itu adalah Malaikat Malam yang palsu."
"Pegunungan Sojiyama...?!" Suto Sinting menggumam bagai teringat sesuatu. "Rasa-rasanya ada tokoh yang lebih tahu tentang Pegunungan Sojiyama. Dia memang berguru di Pegunungan Sojiyama. Kurasa dia tahu banyak tentang ksatria Malaikat Malam itu."
Dalam benak Suto Sinting terbayang seraut wajah tua yang sering terbatuk-batuk. Tokoh tua ini mempunyai kesaktian tersendiri. Suara batuknya bisa beraneka ragam, dan tiap ragam suara batuknya dapat menghadirkan kekuatan tenaga dalam yang mampu melumpuhkan lawan. Tokoh tua yang pernah berguru di Pegunungan Sojiyama itu tak lain adalah Batuk Maragam, termasuk tokoh aliran putih yang menjadi sahabat si Gila Tuak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Peri Sendang Keramat).
Kinanti segera berkata, "Kusarankan sebelum temui Ki Buyut Gerang, sebaiknya carilah dulu pakaian yang layak untukmu! Jangan mengenakan pakaian perempuan begini, nanti orang sangka kau sudah tak waras lagi, seperti dugaanku semula!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sedikit masam. Lalu ia terbayang wajah cantik si Payung Serambi. "Gadis itu harus kutemukan! Pasti gadis itu yang telah menelanjangiku seenaknya dan menyimpan pakaianku entah di mana."
"Gadis mana?! Kau habis bercinta dengan seorang pelacur?"
"Husy! Sembarangan saja kau bicara. Payung Serambi bukan seorang pelacur dan aku tidak bercinta dengannya...," lalu Suto Sinting menceritakan tentang Payung Serambi yang menodongkan pedangnya ketika Suto bangun tidur.
"Kalau begitu, ia pasti ada di Hutan Rawa Kotek!"
"Kurasa memang begitu," sambil Suto Sinting anggukkan kepala.
"Kejarlah dia ke sana sebelum pergi dan sulit kau temukan kembali!"
"Ya, aku memang harus ke Hutan Rawa Kotek untuk temui si Payung Serambi. Tetapi... apakah kau tak ingin ikut denganku?"
Kinanti sunggingkan senyum tipis. "Aku malu berjalan dengan seorang banci."
"Ah, kau...!" Pendekar Mabuk cemberut dan tampak kecewa dengan ucapan itu. Wajahnya sedikit merah karena menahan rasa malu. Tapi akhirnya ia tertawa juga setelah Kinanti melengos sambil sembunyikan tawa candanya.
"Sayang sekali aku hanya diutus oleh sang Ratu untuk mewakili orang-orang Lembah Birawa dalam menghadiri pemakaman Eyang Poci Dewa, sahabat baik sang Ratu itu. Kalau aku terlalu lama meninggalkan Lembah Birawa, pasti akan membuat sang Ratu cemas."
Pendekar Mabuk hembuskan napas panjang-panjang. "Baiklah jika kau tak ingin ikut. Sampaikan salamku kepada Ratu Jiwandani. Tapi jangan ceritakan keadaanku yang memakai pakaian perempuan ini!"
Kinanti hanya tertawa kecil, nyaris tak terdengar. Tapi dari sorot matanya yang memandang kearah Suto itu tampak sekali hatinya riang dan merasa iba juga terhadap nasib si tampan Suto yang kehilangan pakaian itu. Suto Sinting pun akhirnya pergi lebih dulu, sementara Kinanti masih memandangi dengan segumpal kekaguman tetap tersimpan dalam lubuk hatinya.
Jurus 'Gerak Siluman' digunakan lagi dalam perjalanan menuju Hutan Rawa Kotek. Sepanjang perjalanan benak Suto Sinting berkecamuk terus memikirkan siapa lawannya yang terbungkus kain hitam itu. Benarkah dia si Malaikat Malam? Apa alasannya menyerang Poci Dewa hingga menewaskan tokoh tua itu? Setidaknya orang yang mengaku si Malaikat Malam itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari Poci Dewa. Kinanti adalah lawan yang bukan tandingannya. Pantas Kinanti tadi hampir mati karena jurus yang digunakan si Malaikat Malam itu adalah jurus berbahaya yang sukar dihindari dan ditangkis oleh orang seperti Kinanti.
"Sialnya, mengapa dalam menghadapi masalah ini aku harus kehilangan pakaian, sehingga aku bisa terlambat mengetahui siapa si Malaikat Malam itu," katanya dengan suara pelan. "Sebenarnya siapa yang mencuri pakaianku? Apakah si Payung Serambi yang melakukannya? Dengan cara bagaimana ia melucuti pakaianku sampai aku tak terbangun sedikit pun dari tidurku? Jika benar si Payung Serambi yang lakukan, berarti ia termasuk orang berilmu tinggi juga! O, ya... ada masalah apa ia mencari Nini Kalong sampai mengancam nyawaku segala? Apakah ia bermusuhan dengan Nini Kalong? Seandainya..."
Tiba-tiba ucapan Suto Sinting terhenti, demikian pula langkahnya yang cepat itu terpaksa dihentikan secara mendadak. Karena tak jauh di depannya ia melihat sebuah pertarungan yang menggunakan senjata pedang. Hal yang mengejutkan Suto Sinting adalah sosok manusia berpakaian serba hitam, sedang menebas pedang samurainya ke arah seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun berjubah tanpa lengan warna hijau, pakaian dalam berwarna kuning tipis, rambut depan diponi sedangkan rambut belakang meriap sebatas punggung. Pendekar Mabuk kenal betul dengan gadis yang menjadi Perwira Pulau Sangon itu. Dia tak lain adalah Dewi Cintani, murid Pendeta Kembang Ayu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam).
Dewi Cintani yang dulu berbentuk manusia setengah hewan karena kutukan Selir Dewani itu tampak beringas sekali menyerang lawannya. Pedangnya menyala biru membara dan ditebaskan dengan bertubi-tubi ke arah orang berpakaian serba hitam itu. Tebasan itu menghadirkan sinar biru yang mengikuti gerak pedang, dan sinar biru tersebut ternyata memancarkan hawa panas hingga beberapa daun yang berada di dekatnya menjadi layu dan keriput.
Wung, wuung, wuung, wuung...!
Lawannya tampak tenang sekali, menghindar dengan lincah tanpa kesan terdesak oleh serangan Dewi Cintani. Samurai panjang tetap digenggam dengan dua tangan, dan matanya yang tampak bagaikan sebaris itu mengikuti tiap gerakan pedang lawan.
Trang, trang... tring...!
Pedang beradu dengan kuat, memercikkan cahaya merah yang berasap putih kusam. Tiba-tiba si Malaikat Malam bergerak cepat memutar tubuhnya dan weess...! Lenyap sekejap, tahu-tahu muncul di belakang Dewi Cintani. Samurai itu disabetkan dari kiri ke kanan.
Beet...! Crass...!
"Aaahh...!" Dewi Cintani terpekik sambil tubuhnya mengejang. Pinggangnya robek besar karena tebasan samurai yang agaknya sukar dipatahkan itu.
Clap, clap, clap, clap...!
Suto Sinting lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' seperti saat ia menyelamatkan Pakis Ratu dari ancaman maut Kebo Wirang. Sinar kuning patah-patah itu menghantam pinggang si Malaikat Malam. Tetapi agaknya Malaikat Malam bukan lawan yang mudah dilukai. Hawa panas yang mendekatinya segera disadari, dan tanpa banyak perhitungan ia sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung tinggi. Samurainya diacungkan ke bawah, dan dari ujung samurai itu keluar selarik sinar merah mirip baja membara.
Claaap...! Duar, duar, duaaar...!
Ledakan beruntun terjadi akibat benturan sinar kuning patah-patah dengan sinar merah dari ujung samurai. Tetapi ledakan itu membuat si Malaikat Malam jatuh terpelanting hingga samurainya hampir terlepas dari tangannya.
Zlaaap...! Suto Sinting tiba di tempat pertarungan dengan mata memandang penuh kegeraman, karena teringat cerita Kinanti tentang kematian si Poci Dewa. Orang berpakaian serba hitam itu mundur dua tindak, tapi masih menggenggam samurai dan pasang kuda-kuda untuk lakukan penyerangan. Perhatian Suto Sinting sempat lengah karena terpancing suara rintihan kecil dari Dewi Cintani yang terluka pinggang cukup dalam. Pada saat Pendekar Mabuk perhatikan Dewi Cintani itulah, sebuah benda melayang ke arahnya. Ziing...!
Senjata rahasia berbentuk bunga mawar dilemparkan oleh Malaikat Malam. Suto Sinting terkejut dan berusaha menangkisnya dengan bumbung tuak. Tetapi tangkisannya meleset, sehingga lempengan logam bergerigi itu menancap di pangkal lengan kirinya. Jrrub...!
"Aaahg...!" Suto Sinting terpekik dan mundur selangkah dengan sedikit membungkuk. Seketika itu si Malaikat Malam membanting sesuatu ke tanah. Buuusss...! Asap tebal membungkus dirinya dan kejap berikutnya sosok manusia berpakaian serba hitam itu lenyap dari pandangan mata. Asap putih itu membubung tinggi dan hilang terhembus angin bersama hilangnya si Malaikat Malam.
Suto Sinting gemetar karena senjata rahasia lawan yang mengenai pangkal lengannya itu ternyata beracun ganas. Sekujur tubuh Suto menjadi panas dan lemas. Pandangan matanya mulai berkunang-kunang sehingga ia tak dapat melihat keadaan Dewi Cintani dengan jelas. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mencabut senjata rahasia itu dari lengannya. Seet...! Cuuur...! Darah mengucur dari luka. Darah itu bukan berwarna merah segar, melainkan merah kehitam-hitaman penuh racun.
* * *
EMPAT
SEBUAH gua tak seberapa besar menjadi tempat mereka beristirahat. Justru Dewi Cintani yang memapah Suto Sinting mencari tempat aman dan menemukan gua tersebut. Luka beracun yang diderita Suto Sinting sudah dilawan dengan menenggak tuak beberapa teguk. Tapi luka itu belum juga sembuh, hanya rasa sakitnya sedikit berkurang, pandangan mata sedikit jelas, tenaganya agak lumayan walau masih tergolong lemah. Dalam keadaan yang serba sedikit itu, Pendekar Mabuk paksakan diri dekati Dewi Cintani. Ia berhasil menuang tuaknya ke mulut Dewi Cintani walau dengan berceceran ke mana-mana.
Luka di pinggang Dewi Cintani menjadi kering dan merapat, akhirnya hilang bersama lenyapnya ceceran darah di sekitar luka. Dewi Cintani menjadi sehat, tetapi Suto Sinting masih menderita sakit dan lemah. Karena itulah Dewi Cintani bisa memapah Suto Sinting mencari tempat aman sampai akhirnya mereka temukan gua tersebut ketika matahari hampir tenggelam. Dewi Cintani pula yang membuat api unggun kecil untuk penerangan di dalam gua tersebut. Sedangkan Suto Sinting berbaring empat langkah dari gugusan api unggun itu. Lukanya memang sudah tidak mengucurkan darah, namun belum mengering dan masih tampak terkuak mengerikan.
"Mulanya kupikir kau bukan Pendekar Mabuk, karena kau mengenakan kebaya dan kain," ujar Dewi Cintani yang bersimpuh di samping Suto Sinting. "Tapi setelah kesadaranku pulih betul, aku baru yakin bahwa kau adalah Pendekar Mabuk yang pernah selamatkan aku dari kutukan Selir Malam."
Gadis cantik berlesung pipit manis sekali itu sunggingkan senyum kecil yang tak bisa ditahan lagi. Suto Sinting menahan rasa malu dan membiarkan kancing kebayanya terlepas hingga dada bidangnya terlihat jelas. Gadis itu mengusap dada bidang tersebut dengan lembut, membersihkan tanah yang mengotori kulit dada kekar bercampur keringat.
"Lukaku bisa hilang dalam waktu yang tergolong cepat, aku pun menjadi sehat, bahkan kurasakan badanku lebih segar dari sebelumnya. Tetapi mengapa lukamu sendiri tak bisa sembuh, Suto? Padahal kau minum tuak lebih banyak ketimbang diriku."
Pendekar Mabuk mengeluh pelan, tangannya meraih senjata rahasia lawan yang tadi menancap di pangkal lengan kirinya. Senjata itu masih dibawanya, dan kini sedang diperhatikan sambil perdengarkan suaranya dengan lirih. "Racun pada senjata rahasia ini adalah racun ganas yang sukar ditangkal. Tuak saktiku bisa saja melawan racun yang mengenai tubuhku, tetapi tak secepat mengobati lukamu. Kurasakan makin lama rasa perihnya makin berkurang, itu pertanda tuak saktiku mampu melawan kekuatan racun ini."
"Syukurlah jika begitu, yang penting kau pun harus sembuh dan sehat kembali seperti diriku, Suto. Aku takut kau akan menderita terlalu lama. Itu berarti kau akan tersiksa dan aku tak bisa melihat kau tersiksa begini terus-terusan."
Wajah cantik itu dipandanginya dengan lembut. Tangan yang terluka bisa dipakai untuk bergerak. Tangan itu terangkat pelan-pelan, kemudian mengusap pipi berkulit halus milik sang Perwira Pulau Sangon itu. "Cintani, percayalah... aku pasti akan sembuh. Hanya saja, butuh waktu beberapa saat untuk menunggu kesembuhanku. Kumohon, jangan cemaskan hatimu, Cintani."
Usapan lembut dan kata-kata merdu itu bagai mengusik hati Dewi Cintani. Berdebar pula hati gadis itu bagai menyebar bunga-bunga indah yang sukar dilukiskan lewat kata. Rasa kagum dan terpikatnya semakin membara di dalam hati Dewi Cintani. Padahal rasa kagum dan terpikat itu dulu telah disembunyikan rapat-rapat di dasar hati ketika ia pulang ke Pulau Sangon bersama adik lelakinya; Elang Samudera.
Dewi Cintani tahu, bahwa Suto Sinting sudah mempunyai kekasih sendiri, seorang calon istri yang menjadi penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi berjuluk Gusti Mahkota Sejati alias Dyah Sariningrum. Karenanya, Dewi Cintani bertekad untuk melupakan kesan indah yang amat pribadi kepada Pendekar Mabuk. Namun kesan indah yang amat pribadi itu kali ini bagaikan tumbuh kembali dan kian merimbun, menimbulkan kecemasan dan kegelisahan lain bagi si Perwira Pulau Sangon itu.
"Cintani, apakah kau kenal dengan si Malaikat Malam yang bertarung denganmu tadi?"
"Aku sengaja mengejarnya sampai ke pulaumu ini," jawab Dewi Cintani. Kesan sendunya berubah menjadi bias-bias dendam, sehingga sorot pandangan matanya tak selembut tadi.
"Apakah kau memang punya persoalan dengan orang berpakaian serba hitam itu?"
"Ya. Persoalannya sangat besar!" jawab Dewi Cintani bernada geram. "Dia telah membunuh guruku; Pendeta Kembang Ayu, penasihat Ratu Remaslega."
"Ya, ampun...?!" Suto Sinting terkesiap dengan mata memandang tegang.
"Aku berjanji tak akan kembali menjadi Perwira Pulau Sangon sebelum dapat membalas kematian Guru!" geram Dewi Cintani dengan pandangan mata lurus dan berkesan dingin sekali. "Sebelum mendiang guruku menghembuskan napas terakhir, beliau sempat berpesan padaku agar jangan coba-coba mendekati Malaikat Malam. Tetapi pesan itu tak kuhiraukan, karena hatiku sangat terluka melihat kematian Guru yang diawali dengan kematian beberapa pengawal Ratu Remaslega, teman-temanku sendiri itu. Bahkan sang Ratu pun terluka oleh pukulannya yang sampai sekarang membuatnya lumpuh tak mampu berjalan lagi." Kelopak mata gadis cantik itu mulai mengecil penuh pancaran dendam, ia menyambung kata-katanya dengan gigi menggeletuk. "Apa pun yang terjadi, aku sudah siap mati dalam pertarunganku dengan si Malaikat Malam itu!"
Dalam hati Suto Sinting membatin, "Jika Pendeta Kembang Ayu pun tumbang di tangan Malaikat Malam, dan ia bisa menembus pertahanan istana Pulau Sangon, berarti Malaikat Malam memang bukan orang sembarangan. Ilmunya cukup tinggi dan sukar ditandingi. Ah, tapi apakah benar aku tak bisa menandinginya? Aku jadi penasaran ingin berhadapan secara ksatria dengannya!"
Dewi Cintani hembuskan napas sebagai peredam dendam kesumatnya kepada Malaikat Malam. Pandangan matanya tertuju kembali kepada Suto Sinting walau masih terlihat samar-samar bias-bias kemarahannya. Pendekar Mabuk menenangkan kegusaran hati gadis itu dengan ucapan-ucapan lembut yang meneduhkan jiwa.
"Kematian adalah bagian dari kehidupan kita. Jangan terlalu mengumbar murka jika ingin membalas dendam kepada lawan. Pada saatnya nanti kita pun akan menyaksikan kematian lawan secara langsung maupun tak langsung. Dalam hal ini, aku tidak akan tinggal diam, Cintani. Aku tidak ingin kau terbunuh oleh Malaikat Malam. Kudampingi kau sampai kita lihat sendiri kematian si Malaikat Malam yang agaknya telah menjadi biang bencana bagi beberapa tokoh aliran putih di rimba persilatan ini. Sebab Eyang Poci Dewa, sahabat guruku sendiri itu, juga mati di tangan Malaikat Malam."
Mata indah itu kini berkaca-kaca karena menahan air mata duka. Ucapan itu mengharu biru di hati Dewi Cintani. Tetapi agaknya gadis yang menjadi Perwira Pulau Sangon itu tidak mau menangis di depan seorang lelaki. Jiwa keperwiraannya mengalahkan naluri kewanitaannya, sehingga ia bersikeras menahan air mata untuk tangis sebuah kematian.
"Jadi, kau tidak tahu siapa orang di balik pakaian hitamnya itu?"
Dewi Cintani gelengkan kepala. "Yang kutahu dia berjuluk Malaikat Malam, itu pun aku tak tahu dari mana asalnya dan ada persoalan apa dengan guruku, sehingga ia menyerang Pulau Sangon dan sasaran utama adalah Eyang Pendeta Kembang Ayu. Guru tak sempat jelaskan perkara itu, napasnya telah terhembus untuk terakhir kalinya."
"Misterius sekali Malaikat Malam itu. Siapa dia dan mengapa melakukan tindakan seperti itu, sukar diduga-duga."
"Satu-satunya jalan dengan merobek dadanya kita bisa membuka kedoknya dan mengetahui siapa dia sebenarnya," geram Dewi Cintani diiringi pancaran dendam yang tak setajam tadi. Ia memandangi Suto Sinting, mengusap keringat di kening sang pemuda tampan itu. Lalu sebaris kata lirih diucapkan dalam kelembutan tersendiri. "Lekaslah sembuh, agar kita bisa bersama-sama memburu biang bencana itu, Suto."
Pendekar Mabuk hanya anggukkan kepala dengan sunggingkan senyum tipis. Dua helaan napas lamanya ia tak bicara kecuali memandang Dewi Cintani dengan penuh keindahan yang mendebarkan hati gadis itu. Kejap berikutnya barulah suaranya terdengar dengan lembut pula. "Aku pasti akan lekas sembuh jika kau menemaniku di sini."
"Akan kutemani sampai kapan pun, Suto," ucap Dewi Cintani bernada bisik. Gadis itu menunduk, mendekatkan wajah ke wajah Suto Sinting.
Tangan Suto yang kanan meraih kepala gadis itu dengan lembut, kemudian wajah cantik itu diciumnya. Bibirnya dikecup dengan sangat lembut sekali, dan dilepaskan pelan-pelan bagai penuh penghayatan batin. Hanya itu keindahan yang berani mereka lakukan. Walau semalam suntuk mereka berdua di dalam gua, walau sang gadis berbaring di samping Pendekar Mabuk, namun tak ada yang berani mereka lakukan lebih dari itu, karena keduanya saling menjaga harga diri dan kehormatan. Mereka tidur dengan tangan saling menggenggam. Seakan kemesraan itu lebih agung ketimbang cumbuan penuh nafsu birahi. Toh kehangatan tangan yang saling menggenggam membuat tidur mereka nyenyak dan mimpi mereka menjadi indah.
Ketika mereka sama-sama terbangun pada esok paginya, luka-luka yang diderita Pendekar Mabuk telah lenyap tanpa bekas sedikit pun. Murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu telah sehat, seluruh tenaganya telah pulih, badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. Gadis yang mendampinginya tampak ceria dan lega melihat luka Suto Sinting telah lenyap tanpa bekas.
"Boleh aku menciummu sebagai hadiah kesembuhanmu?" tanya Dewi Cintani, kali ini diiringi sikap genitnya sebagai seorang gadis yang masih menyukai kemanjaan.
Suto Sinting hanya anggukkan kepala sambil sunggingkan senyum yang amat menawan. Maka, Dewi Cintani pun menempelkan bibirnya di pipi Suto Sinting dengan cepat. Cup...! Kemudian keduanya sama-sama mengikik geli.
Pendekar Mabuk mencubit pipi si gadis sambil berkata, "Kau perwira yang nakal!"
"Begitukah menurutmu?"
"Ya. Tapi aku suka kenakalanmu. Jangan buang kenakalan itu dan simpanlah hanya untukku."
"Tapi tak mungkin untukmu selamanya, bukan?"
Suto Sinting tak bisa menjawab karena menyadari keberadaan hatinya yang telah terisi oleh kenakalan wanita lain yang anggun dan bijaksana. Wanita itu tak lain adalah Dyah Sariningrum, calon istri yang amat dicintainya itu. Karenanya, Suto Sinting pun segera alihkan pembicaraan ke masalah pakaiannya yang hilang itu.
"Aku harus ke Hutan Rawa Kotek untuk temui Nini Kalong. Sebab gadis yang mencuri pakaianku itu ada di sana."
"Gadis...? Gadis cantikkah dia?" nada cemburu bagai mulai tersirat dari nada pertanyaan Dewi Cintani.
"Memang cantik, tapi tak secantik dirimu," ujar Suto Sinting mengeluarkan jurus kunonya yang bernama 'rayuan gombal', dan jurus itu hanya mendapat cibiran dari Dewi Cintani.
"Siapa gadis itu sebenarnya?" tanya Dewi Cintani sambil melangkah meninggalkan gua tersebut menuju Hutan Rawa Kotek.
Pendekar Mabuk pun segera menceritakan peristiwa hilangnya pakaian secara lengkap. Di akhir ceritanya, ia berkata, "Dan gadis yang mengancam nyawaku itu mengaku bernama Payung Serambi. Dia memang..."
"Siapa...?!" potong Dewi Cintani dengan wajah tegang karena terperanjat. Langkah kakinya pun terhenti sambil tangannya mencekal lengan Pendekar Mabuk. "Siapa nama gadis itu?! Payung Serambi?!"
"Ya, Payung Serambi. Kenapa...?!" Suto Sinting memandang penuh keheranan. "Apakah kau mengenalnya?"
"Payung Serambi atau Ratih Kumala itu orang Istana Laut Kidul."
Kini wajah Pendekar Mabuk tampak semakin terheran-heran. "Istana Laut Kidul...?! Aku baru mendengar nama itu sekarang. Apa yang kau ketahui tentang Istana Laut Kidul?"
Sambil melangkah kembali Dewi Cintani menjelaskan apa yang diketahuinya tentang orang-orang Istana Laut Kidul. Suto Sinting menyimak baik-baik dengan dahi sebentar-sebentar berkerut.
"Orang-orang Istana Laut Kidul adalah orang-orang berilmu tinggi. Nenek moyang mereka adalah keturunan siluman. Jurus-jurus silatnya sukar ditandingi."
"Siapa Penguasa Istana Laut Kidul itu?"
"Nyai Kandita adalah Ratu Laut Kidul. Beliau memang asli siluman yang bisa hidup di darat maupun di dasar laut."
Buat Suto Sinting sebenarnya kehidupan di dasar laut bukan hal aneh lagi, karena calon mertuanya: Ratu Kartika Wangi, juga penguasa negeri Putri Gerbang Surgawi di alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah). Juga, Ratu Asmaradani, penguasa negeri Ringgit Kencana yang ada di dasar laut utara, mempunyai hubungan akrab dengan Suto Sinting. Negeri di dasar laut itu pernah didatangi Suto Sinting dua kali, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bandar Hantu Malam dan Tabib Darah Tuak).
Tetapi sesuatu yang membuat Suto Sinting penasaran adalah jati diri gadis cantik yang mengaku bernama Payung Serambi itu. Untuk mengetahui siapa Payung Serambi sebenarnya, Suto Sinting sengaja tidak mau banyak tanya agar Dewi Cintani menceritakan segala apa yang diketahuinya tentang Istana Laut Kidul.
"Ratu Remaslega masih ada keturunan dari Istana Laut Kidul. Kakeknya dulu bekas 'abdi dalem' di Istana Laut Kidul. Karenanya pihakku menjalin hubungan baik dengan orang-orang Istana Laut Kidul. Payung Serambi alias Ratih Kumala itu adalah salah satu dari tiga duta Istana Laut Kidul. Kesaktiannya sangat tinggi, karena sebagai duta ia dibekali berbagai ilmu gaib dari Nyai Kandita, sang Ratu Laut Kidul."
"Ooo... dia seorang duta?!" gumam Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut.
"Biasanya orang-orang Istana Laut Kidul tak mau campuri urusan orang lain. Mereka hanya bertindak jika ada pihak luar yang ingin membuat onar suasana Istana Laut Kidul."
"Lalu, untuk apa dia menemui Nini Kalong?"
"Tentunya Nini Kalong punya urusan dengan orang-orang Istana Laut Kidul. Dan... perlu kuingatkan padamu, agar berhati-hatilah menghadapi perempuan dari Laut Kidul."
"Kenapa begitu?"
"Perempuan dari Istana Laut Kidul, jika jatuh cinta pada seorang pria, tak mungkin gagal mendapatkan pria itu. Ia akan menundukkan pria itu sampai sang pria menjadi budak cintanya. Kurasa jika Payung Serambi terpikat padamu, maka kau akan dibuat berlutut di hadapannya. Para wanita Istana Laut Kidul rata-rata mempunyai kekuatan gaib pemikat sangat tinggi."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tawar. Kesan tidak percaya terlihat jelas di wajah pemuda tampan yang memakai kain dan kebaya mirip banci konyol.
"Prajurit Istana Laut Kidul yang setingkat dengan tamtama saja ilmunya cukup tinggi, sukar ditandingi. Apalagi ia seorang utusan terhormat bagi sang Ratu, tentu saja kau tak mampu melawannya. Mendiang guruku sendiri selalu memberi hormat jika bertemu dengan tiga utusan Nyai Kandita. Mungkin demikian juga halnya dengan gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
Suto hanya membatin, "Benarkah ilmuku di bawah mereka?!"
* * *
LIMA
PADA pertengahan siang mereka baru sampai di Bukit Kembar. Untuk menuruni Bukit Kembar dan mencapai wilayah Hutan Rawa Kotek dibutuhkan waktu tak sampai setengah hari, bahkan kurang dari seperempat hari. Jika ditempuh dengan kecepatan 'Gerak Siluman' mungkin hanya beberapa saat saja. Tetapi ternyata perjalanan itu tak bisa semulus dugaan Dewi Cintani. Di puncak Bukit Kembar mereka melihat kepulan asap membubung tinggi. Kepulan asap itu ada di puncak sebelah barat. Pendekar Mabuk ingin tahu apa yang terjadi di puncak bukit sebelah barat itu.
"Sudahlah, tak perlu hiraukan kepulan asap itu. Kita langsung saja menuju kediaman Nini Kalong," kata Dewi Cintani.
"Aku tak bisa tenang jika sudah diburu rasa penasaran begini. Aku harus melihat apa yang terjadi di sebelah barat itu, Cintani. Kalau kau merasa lelah, beristirahatlah di sini dan biarlah aku datang ke sana sebentar. Sekadar ingin mengetahui apa yang terjadi saja, setelah itu aku akan cepat-cepat kembali menemuimu di sini."
Tentu saja Dewi Cintani tak mau menjadi seorang penunggu, ia lebih baik mengalah dan ikut menuju ke puncak bukit sebelah barat. Kali ini mereka bergerak cepat, jurus 'Gerak Siluman' digunakan tidak sepenuhnya agar Dewi Cintani tidak tertinggal jauh di belakang Suto Sinting. Karena gadis cantik itu tidak mempunyai kecepatan gerak yang menyamai jurus 'Gerak Siluman', dan memang jarang ada yang bisa menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siluman', kecuali hanya beberapa orang tokoh tua sahabat si Gila Tuak.
Sampai di puncak sebelah barat, Pendekar Mabuk dan Dewi Cintani sama-sama terperanjat. Ternyata kepulan asap yang membubung tinggi itu adalah upacara pembakaran mayat yang dihadiri oleh beberapa tokoh tua yang sudah dikenal Suto Sinting. Di antara mereka yang hadir adalah Galak Gantung, Batuk Maragam, Resi Pakar Pantun, Ki Madang Wengi, Nyai Mas Gandrung Arum, dan yang lainnya. Tampak pula hadir disekitar tumpukan kayu pembakar jenazah Nyai Kidung Laras dan muridnya; Pakis Ratu, juga tokoh gemuk berpakaian putih; si Jubah Kapur dan muridnya; Inupaksi.
Pendekar Mabuk hentikan langkah dan berlindung di balik sebatang pohon besar. Wajahnya sempat tegang saat ia tahu di sana ada beberapa gadis yang dikenalnya, antara lain Puspa Jingga; murid Nini Kalong, Gadis Dungu dan gurunya; Nyai Serat Biru, tampak pula Rara Santika yang pernah disangka sebagai si Gundik Sakti itu, dan beberapa gadis lainnya yang tentu akan memandang aneh kepada Suto.
Keadaan Suto Sinting yang mengenakan pakaian dan kebaya itulah yang membuatnya tak berani muncul begitu saja. Tentu saja ia akan malu jika mereka menertawakan dirinya yang mirip banci konyol itu. Akibatnya, Suto Sinting menjadi salah tingkah dan bingung sendiri.
"Jika begitu, lepaskan saja kain dan kebayamu itu, lalu datanglah menemui mereka ke sana," ujar Dewi Cintani.
"Itu lebih gila lagi!" sergah Suto Sinting. "Kalau aku datang ke sana dalam keadaan tanpa pakaian bisa-bisa semua orang yang sedang menghadiri jenazah itu bubar semua, lari pontang-panting karena menganggapku telah glia."
Dewi Cintani tertawa tertahan. "Kurasa hanya yang lelaki yang lari pontang-panting. Tapi para gadis yang kau kenal itu akan lari berebut menubrukmu."
"Ah, kau...!" Pendekar Mabuk mendesah agak jengkel mendengar canda tersebut, ia benar-benar bingung mengatasi keadaannya. Jika mereka yang ada di sana mengetahui dirinya berkebaya, tentu saja wibawanya sebagai seorang pendekar akan turun dan diperolok-olok. Suto Sinting tak mau hal itu terjadi. "Sebaiknya kau saja yang datang ke sana, dan cari tahu jenazah siapa yang dibakar itu?" katanya kepada Dewi Cintani.
Sang gadis hanya angkat bahu, pertanda menerima begitu saja gagasan tersebut. Kemudian ia segera pergi mendekati upacara pembakaran jenazah.
Suto Sinting mengawasi dari balik pohon besar. "Mengapa mereka datang semua ke pembakaran jenazah itu?" ujarnya membatin. "Pasti orang yang meninggal adalah orang yang dikenal di rimba persilatan. Setidaknya tokoh tua yang pernah bersahabat dengan mereka-mereka itu. Dan... oh, kelihatannya Resi Pakar Pantun mencucurkan air mata dan berwajah duka. Hmm... tampaknya si Puspa Jingga pun menangis, dan beberapa orang berwajah murung menahan duka. Siapa sebenarnya yang meninggal itu? Ah, Cintani lama sekali. Padahal maksudku ia tak perlu mengikuti upacara pembakaran jenazah, ia hanya menanyakan siapa yang mati, setelah itu kembali kemari. Tapi... tapi agaknya ia justru ikut hadir dalam upacara itu sampai selesai nanti. Uuh..! Bodoh sekali gadis itu!"
Beberapa saat lamanya Suto Sinting terpaksa bersembunyi di balik pohon besar Itu. Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan biru yang berlari menuruni kaki bukit. Kecepatan gerak bayangan itu cukup tinggi, tapi penglihatan Suto Sinting masih mampu mengikuti kecepatan gerak tersebut, sehingga ia dapat mengetahui siapa orang yang berlari menuju kaki bukit itu.
"Payung Serambi...?! Ya, itu dia si Payung Serambi! Mengapa ia lari meninggalkan bukit ini? Apakah ia tak jadi menemui Nini Kalong atau... atau karena apa? Ah, sebaiknya kukejar dia dan kudesak untuk mengembalikan pakaianku!"
Sayang sekali ketika Suto Sinting ingin bergerak mengejar Payung Serambi, dari arah pembakaran jenazah tampak Dewi Cintani berlari menghampirinya. Mau tak mau Suto Sinting menahan diri sebentar untuk menunggu kedatangan Dewi Cintani, lalu akan diajak mengejar Payung Serambi bersama-sama.
"Bagaimana, Cintani? Siapa yang meninggal dan jenazahnya dibakar itu?"
Dewi Cintani menarik napas lalu menghembuskannya panjang-panjang, ia menenangkan diri sebentar, memandang ke arah pembakaran jenazah, di mana orang-orang yang hadir di situ mulai bergegas meninggalkan tempat.
"Cintani, lekas jawab siapa yang meninggal itu?" desak Suto Sinting dengan tak sabar lagi, karena ia ingin buru-buru mengejar Payung Serambi.
Dewi Cintani memandangnya dan menjawab pelan, "Nini Kalong"
"Siapa...?! Nini Kalong?! Dia yang meninggal?!" Suto Sinting nyaris terpekik karena kagetnya.
Gadis bermata bening itu anggukkan kepala, lalu berkata, "Aku sempat bicara dengan si Jubah Kapur. Menurut keterangannya, Nini Kalong tewas karena serangan dari belakang yang dilakukan oleh orang berpakaian serba hitam; Malaikat Malam. Kejadian itu dilihat sendiri oleh muridnya; Puspa Jingga. Tapi sang murid waktu itu tak berdaya karena terkena totokan si Malaikat Malam."
"Ka... ka... kapan peristiwa itu terjadi?"
"Kemarin siang!"
"Kemarin siang...?! Oh, kurasa... kurasa bukan si Malaikat Malam yang menyerang Nini Kalong. Gadis itulah yang menyerangnya; si Payung Serambi! Sebab setahuku Payung Serambi kemarin siang bernafsu sekali ingin bertemu Nini Kalong sampai ia mengancam nyawaku dengan pedangnya."
"Atau...," Dewi Cintani perdengarkan suaranya setelah bungkam selama dua helaan napas.
"Atau... mungkin Malaikat Malam adalah orang suruhan Payung Serambi untuk lakukan pembunuhan terhadap..."
"Bukan begitu!" sergah Suto Sinting. "Payung Serambi itulah si Malaikat Malam!"
Dewi Cintani termenung sesaat. Dahinya berkerut memikirkan kemungkinan tersebut. Suto Sinting tampak murung karena membayangkan masa-masa pertemuannya dengan Nini Kalong, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Titisan Dewa Pelebur Teluh dan Kipas Dewi Murka). Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewi Cintani lebih dulu perdengarkan suaranya. "Tapi menurut ceritamu tadi, Payung Serambi mengenakan jubah tanpa lengan warna biru dan..."
"Apa sulitnya ia berganti pakaian atau mengubah diri menjadi Malaikat Malam? Bukankah katamu tadi, orang Istana Laut Kidul mempunyai kesaktian tinggi, termasuk kekuatan ilmu gaib pemberian sang Ratu Laut Kidul?!"
Perwira Pulau Sangon itu diam kembali dalam kebimbangan hati. Pendekar Mabuk teringat bayangan Payung Serambi yang berlari menuju kaki bukit. Maka ia pun segera mengajak Dewi Cintani untuk mengejarnya.
"Kulihat utusan sang Nyai berlari menuju ke kaki bukit, belum lama ini! Sebaiknya kita kejar dia!"
"Tapi... hei, tunggu...! Dia belum tentu bersalah, Suto!"
"Setidaknya dia harus kembalikan pakaianku!" seru Suto Sinting yang sudah lebih dulu berkelebat menuruni bukit itu. Dewi Cintani akhirnya menyusul juga karena tak ingin biarkan Suto Sinting berhadapan dengan orang istana Laut Kidul itu. Ia tahu jika Payung Serambi tersinggung perasaannya, maka ia akan mengamuk dan Suto Sinting bisa kehilangan nyawa bila berhadapan dengan murka orang-orang Istana Laut Kidul.
"Setidaknya kehadiranku dapat meredakan kemarahan Payung Serambi, karena ia tahu pihakku bersahabat dengan pihaknya," pikir Dewi Cintani sambil berusaha menyusul Suto Sinting walau terasa semakin tertinggal jauh, karena Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya yang punya kecepatan melebihi anak panah terlepas dari busurnya. Zlaap, zlaap, zlaap, zlaap...!
Rupanya Payung Serambi sendiri punya kecepatan gerak yang menyamai jurus 'Gerak Siluman', sehingga Suto Sinting sempat kehilangan jejak dan bingung mengambil arah. Suto Sinting tak tahu bahwa Payung Serambi mempunyai jurus yang dinamakan 'Halimun Gaib', dapat menyatu dengan udara hingga tak mudah terlihat mata manusia biasa. Gerakannya pun seperti hembusan angin yang mampu menerabas pepohonan atau benda apapun.
Kecepatan Suto Sinting membuat Dewi Cintani pun kehilangan jejak, akhirnya menempuh arah yang salah. Akhirnya ia hentikan pengejarannya dengan sebaris gerutu dan makian untuk Pendekar Mabuk. Hati gadis itu sangat dongkol karena tak dapat menyusul Pendekar Mabuk dan tak bisa mempunyai perkiraan ke mana arah yang ditempuh si tampan berkebaya merah jambu itu.
"Setan belang! Memang sinting ilmu si Pendekar Mabuk itu! Aku jadi repot sendiri mencari jejaknya," gerutu Dewi Cintani. "Biar bagaimanapun harus tetap kucari, ia dalam bahaya besar jika berhadapan dengan Payung Serambi. Aku tak ingin ia terluka seperti kemarin sore. Kasihan sekali. Aku sayang kepadanya dan tak rela ia menderita sakit apapun!"
Pendekar Mabuk tak pedulikan lagi tentang Dewi Cintani yang ketinggalan di belakangnya itu. Pikirannya hanya satu; mengejar Payung Serambi untuk dapatkan kembali pakaiannya. Setelah itu baru berhitung tentang pembunuhan atas diri Nini Kalong. Langkah Suto Sinting pun akhirnya dihentikan secara mendadak, ia terkejut ketika menyadari dirinya sudah berada di perbatasan sebuah desa.
"Wah, kacau...! Aku bisa ditertawakan orang kalau sampai masuk ke desa ini! Pasti dianggap orang gila atau banci konyol! Sebaiknya kuhindari saja desa ini, dan... oh, ya, aku butuh mengisi bumbung tuakku. Bagaimana caranya menuju ke kedelai tanpa ditertawakan orang?" Otak pun berputar sesaat, lalu hati berkecamuk menyusun rencana. "Ah, sebaiknya aku benar-benar berlagak menjadi perempuan saja. Biar disangka benar-benar perempuan, jadi tidak ditertawakan sebagai banci gila! Hmmm... daun jati muda bisa kupakai untuk gincu!"
Suto Sinting segera memetik sehelai daun jati muda. Daun itu dikunyahnya, walau terasa sepet dan kasar, tapi tetap dipaksakan agar menimbulkan warna merah untuk mengolesi bibirnya.
"Hooek..! Puih, puih...!" Suto Sinting hampir muntah karena menelan getah daun jati muda yang berwarna merah. Tapi dengan begitu bibirnya menjadi merah bagai mengenakan gincu dan mirip wanita. Suto Sinting memetik setangkai bunga kuning mirip bunga kamboja. Bunga itu disematkan di telinga kirinya. Kebaya dikancingkan rapat-rapat. Kain pun dibenahi agar tampak sedikit rapi dan menyembunyikan bagian yang robek untuk bagian dalam. Rambut pun disisir dengan lima jari, yang penting sedikit rapi tidak kelihatan seperti lelaki.
"Demi tuak yang sudah sangat menipis, aku terpaksa berpenampilan seperti ini. Ya, Dewa... semoga saja kejadian seperti ini jangan terulang untuk yang kedua kalinya! Samber geledek betul orang yang mencuri pakaianku itu!" keluhnya dalam hati sambil memasukkan dua gumpalan jerami untuk mengisi dada kanan dan kiri. Dada itu menjadi tampak montok, walau jika diremas bisa bikin orang pingsan tertawa atau terkencing-kencing menahan geli.
Dengan langkah melenggak-lenggok mirip perempuan genit, Pendekar Mabuk memasuki desa tersebut. Beberapa penduduk desa yang berpapasan dengannya ada yang memperhatikan, ada pula yang acuh tak acuh dan tidak merasa tertarik. Yang merasa tidak tertarik adalah kaum wanitanya, yang memperhatikan dan merasa tertarik adalah kaum lelakinya. Karena dalam keadaan bergincu merah, pemuda tampan itu tampak seperti gadis yang cantik dan menggairahkan di mata pria. Badannya kelihatan sekal dan matanya mengundang selera untuk bercumbu. Bibirnya yang memang berbentuk indah itu membuat jantung setiap lelaki berdebar-debar, seakan ingin segera mencaploknya dan tak akan dilepaskan selama sehari semalam.
"Sial! Justru menjadi bahan perhatian kaum lelakinya. Apakah memang kelihatan cantik aku ini?" pikirnya sambil melangkah gemulai mendekati sebuah kedai. Kebetulan di kedai itu tidak banyak pengunjung, hanya ada empat orang yang sedang makan dan minum di kedai tersebut. Suto Sinting langsung memesan tuak, menyuruh pemilik kedai memenuhi bumbung bambu dengan air tuak. Tentu saja dalam memesan tuak Suto Sinting menggunakan suara kecil yang dibuat mirip suara perempuan genit.
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang sedang menikmati santapannya terpaksa diam tertegun memandangi kehadiran Pendekar Mabuk. Lelaki berkumis tipis itu sempat iseng dengan teguran nakalnya. "Hai, Manis... sendirian saja, ya?"
Suto Sinting diam tak mau layani teguran iseng itu. Tetapi pria berbaju hitam yang badannya agak gemuk dengan kumis lebat dan wajah beringas, segera meninggalkan seorang teman yang duduk bersamanya. Orang itu mendekati Suto Sinting yang masih berdiri menghadap meja dagangan. Tiba-tiba orang berbaju hitam itu menepuk pantat Suto Sinting sambil menyapa nakal.
Plak...!
"Eh, kambing...!" Suto Sinting berlagak latah, tapi hatinya dongkol sekali.
"Ha, ha, ha, ha...! Badanmu bagus sekali, Sayang! Kau pasti seorang tamu yang menyempatkan diri singgah ke desaku ini. Hmmm... manisnya! Siapa namamu, Sayang?"
Suto Sinting diam saja, berusaha sembunyikan wajah dengan melengos ke arah berlawanan dengan datangnya orang berkumis tebai itu. Ia sengaja tidak menjawab supaya tidak terjadi percakapan yang panjang. Tapi si baju hitam justru mengusap-usap Suto Sinting sambil tertawa nakal.
Plak...! Suto Sinting menepiskan tangan lelaki itu dengan kasar. Wajahnya benar-benar cemberut dongkol, tapi dianggap oleh si lelaki sebagai cemberut gadis yang malu-malu kucing.
"Kakang punya rumah tak jauh dari sini. Kau bisa bermalam di rumahku saja. Kebetulan aku seorang duda tanpa anak. Sudah tiga bulan yang lalu aku bercerai dengan istriku. Temani aku ya, Sayang?"
Orang itu justru meremas-remas pinggul Suto Sinting dengan senyum dan mata memancarkan kemesuman. Pendekar Mabuk menghindari remasan tangan lelaki itu, dan teman si lelaki menertawakan dari tempat duduknya.
"Lembut sedikit, Soglo! Jangan kasar-kasar begitu nanti dia jijik padamu! Ha,ha,ha,ha...!" teman orang berbaju hitam itu berseru dari tempatnya. Rupanya orang berbaju hitam itu bernama Soglo dan memang tabiatnya genit-genit memuakkan, selayaknya seorang mata keranjang yang kampungan.
"Kau membeli tuak banyak sekali, Sayang? Untuk siapa, hmm...?! Untuk kakekmu atau untuk nenekmu?"
"Untukku sendiri!" ketus Suto Sinting dengan suara dan lagak wanita judes.
Soglo justru tertawa kegirangan. "Kalau cemberut begitu kau tampak manis sekati, Iiih... gemas sekali aku!" Soglo mencubit pipi Suto.
Tanpa disadari, gerak naluri Suto Sinting keluar. Tangan itu segera ditepiskan dengan sentakan cepat, dan kepalan tangan Suto segera menyodok ke mulut Soglo.
Wuut.... Plak, plook...!
"Uuuhf...!" Soglo tersentak mundur tiga langkah, terhuyung-huyung sambil sedikit membungkuk dan pegangi mulutnya yang kena jotos itu. Ternyata mulut tersebut berdarah karena bibirnya pecah. Soglo mengerang kesakitan, yang lain pun menjadi tegang. Pada waktu itu, si pemilik kedai segera menyerahkan bumbung yang sudah penuh tuak dengan rasa takut dan waswas.
"Perempuan liar!" geram teman si Soglo sambil segera bangkit berdiri dan melompat ke arah Suto Sinting. Jleeg...! Ia berdiri di depan Suto Sinting ketika murid si Gila Tuak itu membalikkan badan sambil menenteng bumbung tuaknya.
"Marung, hajar setan betina itu!" seru Soglo sambil kebingungan menghentikan kucuran darah dari mulutnya, karena ternyata bukan bibir saja yang pecah akibat hantaman tangan Suto, melainkan gigi depan pun menjadi rompal dua biji.
Marung, teman si Soglo itu, segera maju dan menghantamkan pukulannya ke arah wajah Pendekar Mabuk. "Dasar perempuan keparat! Kau belum tahu siapa kami berdua ini, hah?! Heeah...!"
Wuuut...! Plak...!
Suto Sinting menangkap pukulan itu dengan tangan kirinya. Lalu genggaman tangan Marung diremasnya kuat-kuat. Krrrak...!
"Aaauuh...!" Marung menjerit kesakitan, tapi genggamannya belum dilepaskan oleh Suto Sinting. Suara tulang jari patah serempak terdengar mengerikan bagi pengunjung yang lain. Mereka cepat-cepat keluar dari kedai dengan wajah ketakutan.
"Aaauh...! Ampuun... ampuun...!" seru Marung sambil menyeringai menahan rasa sakit yang luar biasa itu.
"Bangsat kau! Hiaah...!" Soglo menyerang dengan tendangan. Tapi kaki Suto Sinting segera berkelebat lebih cepat sehingga tulang kering kaki Soglo berhasil ditendangnya lebih dulu. Buuk, prak...!
"Aaauuh...!" Soglo menjerit panjang karena tulang keringnya bagaikan remuk, ia langsung jatuh terduduk dan memegangi kakinya seperti anak kecil yang kakinya membentur meja makan.
"Aam... ampun... ampuni aku. Lepaskan tanganku, Nona. Aduuh... sakit sekali. Aku tak tahan sakitnya, Nona. Aaaadduuh... ampun, Dik. Ampun...!" Marung memohon-mohon dengan wajah tetap menyeringai karena rematan tangan Suto Sinting semakin lama semakin kencang, dan tulang jari yang patah terasa semakin sakit.
"Kulepaskan tanganmu tapi tebus kelancangan temanmu itu yang berani-beraninya menggerayangi tubuhku!" kata Suto Sinting dengan suara perempuan.
"Iiya... iya... iya akan kutebus. Bagaimana caranya?"
"Bayar harga tuak yang telah kubeli ini!"
"Iiya... iya akan kubayar. Lepaskanlah aku, Nona."
"Bayar dulu!"
"Bbba... baik... baik akan kubayar sekarang!" Marung keluarkan uang dari sabuk hitamnya, uang itu dilemparkan kepada pemilik kedai dan ditangkap dengan gesit oleh si pemilik kedai.
"Cukup uang itu, Pak Tua?" tanya Suto Sinting.
"Cu... cukup, Nona! Malahan sisa banyak."
"Baik!" Suto Sinting melepaskan rematan tangannya. "Ingat, kalau kalian menggangguku lagi, atau mengganggu kaum sejenisku, kepala kalian yang akan kuremat hingga tulang-tulangnya remuk!"
Setelah meninggalkan ancaman yang ditakuti oleh Marung dan Soglo, Pendekar Mabuk segera langkahkan kaki keluar dari kedai. Di depan kedai ia sempat menenggak tuak dua teguk, tapi buru-buru dihentikan, karena ingat dirinya tampil sebagai wanita. Tak layak seorang wanita menenggak tuak di depan kedai seperti itu. Dengan langkah dipercepat dan melupakan lenggak-lenggoknya, Suto Sinting segera meninggalkan desa itu. Bumbung tuaknya digantungkan di pundak, sebagai kesiapsiagaan jika datang bahaya sewaktu-waktu kepadanya. Bertepatan dengan keluarnya Suto Sinting dari desa itu, terdengar pula suara dentuman menggema dari balik bukit kecil yang ada di depan langkah Suto. Dentuman itu sempat menggetarkan bumi, getarannya terasa sampai di tanah yang dipijak Suto Sinting.
"Sebuah pertarungan...?!" sentak hati Pendekar Mabuk. "Pasti ada pertarungan di balik -bukit kecil itu. Kulihat pendar cahaya merah berkerilap di sebelah sana! Aku harus segera ke sana, siapa tahu si Malaikat Malam sedang berusaha membunuh seseorang yang kukenal!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk melesat ke arah bukit kecil yang tak seberapa tinggi itu. Ia sengaja memanjat bukit itu dengan gerakan yang lincah, walau untuk itu kain penutup bagian bawahnya robek lagi. Wreeek...!
"Sial! Robek lagi, jadi seperti gelandangan saja kalau begini!" gerutu Suto Sinting sambil tetap menuju ke puncak bukit kecil itu.
Pendekar Mabuk segera tercengang begitu melihat siapa yang mengadu ilmu di bawah bukit kecil itu. Ternyata mereka adalah seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun, berpakaian serba merah, rambut panjang lurus sepundak dengan ikat kepala kuning. Lelaki muda yang bersenjata kapak dua mata itu bertubuh tinggi, tegap dan ganteng. Suto Sinting mengenalnya sebagai Ranggu Pura, murid mendiang si Poci Dewa. Sedangkan lawannya adalah seorang gadis berambut acak-acakan. Gadis itu mengenakan pakaian ketat seperti dari karet berwarna hitam dengan pedang di punggung bergagang hitam. Wajahnya cantik tapi berkesan liar dan ganas.
Gadis berpakaian ketat warna hitam yang montok dadanya itu tak lain adalah Angin Betina, gadis yang sangat mencintai Suto Sinting danbertekadmenjadiperisai bagi sang Pendekar Mabuk. Sedangkan Ranggu Pura adalah sahabat Suto yang pernah ditolong dari kelicikan Ayunda, sampai Ranggu Pura berhasil mengawini Cumbu Bayangan, murid paman gurunya itu.
"Ranggu Pura pasti salah paham," pikir Suto Sinting. "Tapi bagaimana aku harus bertindak melerai pertarungan itu? Aku malu muncul didepan Angin Betina dalam keadaan seperti banci gila begini! Tapi... haruskah kubiarkan mereka mengadu nyawa?"
Suto Sinting hanya bisa memendam kedongkolan. Gara-gara ia kehilangan pakaian, maka ruang geraknya menjadi tak bebas. Lebih-lebih dengan mengenakan kebaya dan kain perempuan, ia benar-benar tersiksa menghadapi kenyataan itu. Gerutunya pun terucap kembali sambil sembunyikan diri di balik batu besar.
"Huuh...! Dapat mayat saja mayat perempuan, akibatnya aku jadi serba salah kalau begini. Lebih baik tanpa pakaian sama sekali, tidak disiksa perasaan bimbang dan salah tingkah begini! Uuh... nasib, nasib...!"
Pendekar Mabuk akhirnya garuk-garuk kepala dengan jengkelnya, tapi pandangan mata tetap tertuju pada pertarungan antara Ranggu Pura dengan Angin Betina.
* * *
ENAM
SEJAK tadi Angin Betina tidak bergeser dari tempatnya berdiri. Tak ada lompatan yang dilakukan olehnya saat menerima serangan dari Ranggu Pura. Tebasan kapak yang diarahkan ke lehernya hanya dihindari dengan meliukkan badan ke belakang dan mengayun ke kiri, kemudian tangan pemegang kapak yang telah lewat di depannya itu ditendang kuat dengan gerak tendangan yang sulit dilihat lawannya. Bet, Plaak...! Weees...!
Kapak dua mata itu terpental ke samping. Ranggu Pura rasakan tangannya bagaikan hilang. Tendangan bertenaga dalam itu telah mematikan rasa pada urat tangan tersebut. Akibatnya tangan itu tak bisa dipakai untuk memegang sesuatu dan tak bisa digunakan untuk merasakan rabaan apa pun.
"Setan alas! Tanganku seperti kesemutan rasanya. Lebih dari kesemutan! Kalau tak segera kusalurkan hawa murni ke tangan, bisa-bisa aku mati separo," pikir Ranggu Pura sambil berjongkok di samping kapaknya yang masih tergeletak di tanah. Angin Betina hanya pandangi dengan mata tajam seakan ingin menembus ulu hati Ranggu Pura.
"Sebetulnya kalau Angin Betina mau lakukan serangan balasan, Ranggu Pura akan mengalami luka parah. Tapi Angin Betina yang kecepatan geraknya seperti angin itu tak mau lakukan serangan balasan. Sebab ia tahu bahwa lelaki tampan itu bukan lawan tandingnya. Ilmunya masih jauh di bawahnya. Tapi ia bermaksud memberi pelajaran kepada lawannya agar lain kali tidak bertindak ceroboh lagi.
Sesaat kemudian, Ranggu Pura mulai peroleh kekuatan kembali. Tangan kanannya sudah bisa digunakan sebagaimana mestinya. Hanya saja, kali ini Ranggu Pura tidak langsung lakukan serangan, ia mencari celah dan kelengahan sang lawan.
"Hentikan tindakan bodohmu! Kau hanya akan mencari penyakit jika melawanku!" hardik Angin Betina dengan sorot pandangan mata dan raut muka tampak angker-angker cantik.
"Tak akan kuhentikan tindakanku sebelum menebus kematian guruku dengan nyawamu!"
"Aku tidak kenal siapa gurumu!"
"Omong kosong! Eyang Poci Dewa telah kau bunuh secara licik. Luka di punggungnya akibat tebasan pedangmu menandakan bahwa kau melawan guruku secara licik!"
"Sekali lagi kutegaskan; aku tidak membunuh Poci Dewa. Tanyakanlah pada arwah gurumu sendiri!"
"Kau tak perlu mengelak, Iblis Jalang! Semua orang tahu, kaulah si Malaikat Malam yang berpakaian serba hitam itu!"
"Aku bukan Malaikat Malam! Orang memanggilku Angin Betina!" kata wanita berambut acak-acakan berkesan angker itu. Suaranya datar dan dingin membuat tiap kata yang dilontarkan bagai mempunyai kekuatan gaib yang menggetarkan nyali lawannya.
Tetapi agaknya Ranggu Pura tidak peduli dengan getaran tersebut. Api dendam kesumat makin berkobar dari pancaran sinar matanya. "Aku tak peduli! Kau mau mengaku Angin Betina atau Setan Betina, tetapi hutang nyawa tetap harus dibalas nyawa! Kematian guruku tak bisa ditebus dengan tipuan nama dan pengakuan palsu! Sekaranglah kau harus menghadap guruku di alam baka sana! Heeeeaat...!"
Ranggu Pura memutar kapaknya satu kali dari belakang ke depan. Wuuut...! Lalu kapak itu memercikkan sinar yang menyerupai mata tombak panjang. Claaap...! Sinar biru melesat cepat ke arah dada Angin Betina.
Gadis berwajah liar namun mengagumkan itu tetap berdiri di tempatnya. Kedatangan sinar biru itu ditahan dengan telapak tangan kirinya. Teeeb...! Sinar itu bagaikan tak bisa menembus telapak tangan yang sudah menyala kuning itu. Dalam satu gerakan telapak tangan memutar balik, sinar biru panjang itu pun berkelebat kembali ke arah pemiliknya. Weess...!
Ranggu Pura terkejut, lalu sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke atas cukup tinggi. Sinar itu menghantam sebatang pohon di belakang Ranggu Pura. Blegaaarr...! Ranggu Pura tak pedulikan pohon itu hancur menjadi serpihan yang berhamburan ke mana-mana. Dari tempatnya melayang ia lepaskan kembali sinar serupa dari kapaknya. Claap...! Namun kali ini di belakang sinar itu tampak selarik sinar merah patah-patah mengikuti gerakan sinar biru. Sinar patah-patah itu keluar dari telapak tangan kiri Ranggu Pura. Weeess...!
Angin Betina tidak bergeser dari tempat, namun ia sedikit rendahkan badan dari dengan kedua tangannya yang masing-masing mengeraskan kedua jari itu ia menolak datangnya kedua sinar tersebut. Masing-masing ujung kedua jari saling bertemu di depan mata, dan dari ujung jari itu mengeluarkan sinar putih perak membias lebar bagai membentengi dirinya. Slaaap...!
Blagaaarr...! Benturan sinar biru-merah pada sinar putih perak menghasilkan ledakan yang amat dahsyat. Gelombang ledakan itu sangat kuat, sehingga Angin Betina sendiri tersentak mundur tiga langkah dan hampir saja jatuh terpelanting. Tetapi Ranggu Pura terpental delapan tombak jauhnya. Weees...! Ranggu Pura bagai dilemparkan oleh tenaga yang amat besar, ia melayang-layang di udara kehilangan keseimbangan badan. Kemudian jatuh terbanting dalam posisi miring. Brrruk...!
"Aaauh...!" pekiknya menahan sakit. Kapak di tangannya sempat terlepas dan jatuh dua langkah dari kepalanya. Tulang pundaknya terasa seperti patah dan tulang lehernya pun terkilir nyeri, sehingga Ranggu Pura terpaksa mengerang panjang saat membetulkan letak sendi tulang lehernya dengan paksa. Klaak...! "Aoww...!" pekiknya sendiri. Kemudian ia paksakan untuk berguling ke samping. Satu gulingan ia sudah berhasil menyambar senjatanya kembali, ia mencoba untuk bangkit walau sempoyongan. Saat itulah ia baru sadar bahwa hidungnya telah mengucurkan darah segar dan tangan kirinya bagaikan lumpuh, tak bisa digerakkan lagi akibat kejatuhannya tadi.
"Keparat kau, Iblis Betina!" geramnya penuh pancaran nafsu untuk membunuh. Sedangkan Angin Betina justru kelihatan tenang-tenang saja, namun pandangan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia tetap waspada.
Dari atas bukit kecil itu Pendekar Mabuk berkata pada diri sendiri, "Matilah si Ranggu Pura kalau masih nekat melawan Angin Betina! Aku harus bisa menghentikannya agar kesalahpahaman ini tidak menimbulkan korban jiwa. Hmmm... bagaimana caranya? Kusambar saja si Ranggu Pura sambil melepaskan totokan dari jarak jauh, atau kutotok keduanya dari sini agar Angin Betina tak melihat kehadiranku dalam pakaian perempuan begini?!"
Ranggu Pura melangkah dengan sempoyongan. Napasnya terengah-engah diburu dendam. Sambil menggeram-geram ia mulai memutar-mutar kapaknya di samping. Putaran kapak itu keluarkan bunyi mendengung yang makin lama semakin menyakitkan gendang telinga. Jelaslah bahwa Ranggu Pura ingin pergunakan jurus lain berupa bunyi gaung dari senjatanya untuk memecahkan gendang teiinga lawan.
"Hentikan...!" Tiba-tiba terdengar suara keras yang mampu mengungguli bunyi gaung itu. Suara bentakan keras itu datang dari arah timur mereka. Seorang gadis cantik muncul begitu saja, tak diketahui dari mana asal kedatangannya. Seperti jatuh dari langit.
Mata murid si Gila Tuak itu terbeialak kaget. "Payung Serambi...?!" ucapnya dengan nada menggeram. Kedongkolannya mulai mengusik hati teringat pakaiannya yang lenyap itu. Kemudian hatinya pun berkata, "Kalau kutemui sekarang, ah... masih ada Angin Betina. Aku malu kalau Angin Betina melihatku pakai kebaya begini. Amit-amit betul kalau sampai dilihat dia! Jangan sampailah yauw...!"
Angin Betina melirik tajam kepada Payung Serambi. Hatinya bertanya, "Siapa perempuan itu dan apa hubungannya dengan murid si Poci Dewa itu?!"
Sementara di pihak Ranggu Pura pun melirik sinis dengan gerakan tangan memutar kapak terhenti dengan sendirinya. Hatinya membatin, "Siapa perempuan cantik itu? Mengapa tiba-tiba tanganku tak bisa kupakai untuk memutar kapak lagi? Uh... kaku sekali tangan kananku ini? Kekuatan apa yang digunakan oleh perempuan cantik itu, sehingga tanganku jadi tak bisa digerakkan memutar. Tapi anehnya... anehnya rasa sakit di tulang pundak kiriku menjadi hilang?! Gila! Apakah semua ini pengaruh dari pandangan matanya yang lebih sering tertuju padaku itu?!"
Payung Serambi melangkah lebih mendekati pertengahan jarak antara Ranggu Pura dan Angin Betina. Tetapi pandangan matanya lebih sering tertuju kepada Ranggu Pura. Penampilannya yang punya kesan wibawa aneh itu membuat Angin Betina diam saja, seakan membiarkan apa pun yang akan dilakukan gadis cantik itu. Terdengar suara bernada tegas dari Payung Serambi yang ditujukan kepada Ranggu Pura.
"Kau bisa mati konyol kalau harus melawan perempuan itu! Kematianmu tidak akan menebus kematian gurumu, karena kau telah salah tuduh dan bertindak dengan gegabah!"
"Apa urusanmu terhadap persoalanku dengan perempuan itu?!" sentak Ranggu Pura.
"Aku hanya meluruskan anggapanmu dan merasa sayang kalau di balik ketampananmu itu tersimpan otak yang dungu serta segunung kebodohan! Malaikat Malam bukan perempuan itu!"
"Hmmm...!" Ranggu Pura mencibir. "Berapa besar kau diupah olehnya, sehingga kau mau mendukung kebohongannya?! Kurasa kau, bersekongkol dengan perempuan jahanam itu! Jika benar begitu, berarti kau pun termasuk orang yang harus kukirim ke neraka untuk menebus kematian guruku!"
Payung Serambi sunggingkan senyum tipis bernada sinis. "Apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku? Apakah kau bisa menjamahku, sehingga kau berani bicara selancang itu?!"
"Keparat! Kurobek perutmu dengan kapakku ini! Hiaah...!"
Payung Serambi cepat acungkan jarinya ke depan. Teeb...! Seperti ada tenaga yang keluar dari ujung jari dan menghantam ulu hati Ranggu Pura dengan sangat cepat. Kurang dari satu kedipan mata.
"Uuhg...!" Ranggu Pura terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya melengkung ke depan dan menyeringai kesakitan, ia tak dapat bergerak lagi selain menghela napas dengan berat sekali. Kepalanya sedikit miring memandang Payung Serambi, tapi oleh Payung Serambi segera ditinggalkan. Payung Serambi segera temui Angin Betina, sedangkan Ranggu Pura tetap seperti patung bongkok.
"Dia bukan tandinganmu. Kurasa tak pantas kau melawannya!" kata Payung Serambi kepada Angin Betina.
"Aku tidak melawan, hanya mempertahankan diri. Apakah kau ingin memihak kepadanya? Silakan buka jurusmu dan aku akan membeli dengan jurusku!" ucap Angin Betina dengan tegas, berdiri dengan kaki merenggang, kedua jempol tangannya digantungkan pada ikat pinggang di depan perut, ia tampak gagah dan penuh keberanian. Pandangan mata tak berkedip sedikit pun saat beradu dengan sorot mata Payung Serambi.
"Kuhargai, kau cukup berani dalam bicara di depanku. Kau belum tahu siapa diriku, Sobat!"
"Kau utusan dari Istana Laut Kidul! Kau prajurit pilihan Nyai Kandita! Itu yang kutahu tentangmu!"
Payung Serambi terperanjat mendengar ucapan tegas Angin Betina. "Aku tidak mengenalimu. Dari mana kau tahu tentang diriku? Biasanya setiap orang yang tahu tentang diriku, aku selalu tahu tentang dirinya. Tapi... tapi aku tidak bisa menembus batinmu. Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku harus segera pergi mencari kakakku, ada urusan penting yang akan kami bicarakan! Sampai jumpa di lain kesempatan, Payung Serambi!"
Blaaass...! Angin Betina melesat begitu saja bagaikan hembusan sang bayu. Payung Serambi dibuat terbengong-bengong memandanginya, ia tak tahu bahwa Angin Betina sudah mempelajari Kitab Lorong Zaman, sehingga ia bisa masuk ke alam mana saja, bahkan bisa berada di zaman akan datang atau zaman yang telah lalu. Dari kitab tersebut pun ia peroleh pelajaran menembus batin orang lain dan menutup batinnya sendiri agar tidak dibaca oleh indera ketujuh orang lain, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kita Lorong Zaman).
Pendekar Mabuk menggunakan ilmu 'Sadap Suara' dari tempat persembunyiannya, sehingga ia bisa mendengar percakapan mereka, ia juga terkejut mendengar Angin Betina bisa menyebutkan siapa diri Payung Serambi sebenarnya.
"Rupanya apa yang dikatakan oleh Dewi Cintani tentang perempuan berjubah biru itu memang benar. Keterangan Cintani sama dengan apa yang diucapkan oleh Angin Betina tadi. Kelihatannya Payung Serambi cukup terkejut, karena tak menyangka kalau Angin Betina mengetahui siapa dirinya. Tapi... dari mana Angin Betina mengetahui tentang Payung Serambi? Apakah ia pernah datang ke Istana Laut Kidul?"
Suto Sinting pun ternyata tak tahu bahwa ilmu Angin Betina sudah bertambah sejak berpisah lama dengannya. Angin Betina memang pernah bertemu Suto beberapa waktu belakangan ini, tapi ia tidak banyak bicara tentang penambahan ilmunya. Pertemuannya dengan Angin Betina tidak terlalu lama, sehingga Suto Sinting belum sempat bicara panjang-lebar tentang diri mereka.
Kini perhatian Pendekar Mabuk ditujukan kembali kepada Payung Serambi yang mendekati Ranggu Pura. Dengan satu kali sentakan tangan menunjuk, totokan pada diri Ranggu Pura telah terlepas. Ranggu Pura dapat bergerak seperti biasa. Tapi pandangan matanya masih memancarkan permusuhan, terlebih setelah ia tahu bahwa Angin Betina sudah tidak ada di tempat itu.
"Keparat kau! Ke mana perginya si Malaikat Malam itu?! Dia belum menebus nyawa guruku!"
"Sudah kukatakan, dia bukan Malaikat Malam!" sentak Payung Serambi. "Kalau dia Malaikat Malam, kau sudah tidak bernapas sejak tadi!"
"Jangan menutupi kebusukannya!"
"Aku bisa lumpuhkan kau sekarang juga kalau kau masih membandel!" gertak Payung Serambi dengan mata sedikit melotot.
Ranggu Pura pu nmenjadi tak berani membantah lagi, lidahnya bagai kelu.
"Pulanglah dan jangan coba-coba melawan perempuan itu tadi. Kalau dia bertindak dengan sesungguhnya, saat ini kau sudah tidak punya nyawa lagi! Yang jelas, dia bukan Malaikat Malam. Dia adalah Angin Betina, seperti pengakuannya yang kudengar dari tempat tersembunyi tadi. Ilmu 'Tembus Batin'-ku menangkap getar kejujuran pada saat ia menyebutkan namanya."
"Lalu... lalu siapa Malaikat Malam itu sebenarnya?!"
"Malaikat Malam sudah tidak ada. Yang muncul sekarang ini adalah Malaikat Palsu! Tanyakan kepada arwah gurumu, maka ia akan menjawab bahwa Malaikat Malam dari Pegunungan Sojiyama sudah lama meninggal karena ketuaannya. Jika sekarang muncul orang yang berpenampilan seperti Malaikat Malam, itu adalah Malaikat Palsu. Orang itu sedang diburu oleh beberapa pihak. Kau tak perlu ikut memburunya, karena ilmu yang kau miliki belum ada sekuku hitam dengan ilmu yang dimiliki si Malaikat Palsu."
Ranggu Pura terbungkam bagai tak bisa berkata lagi.
"Sekarang pulanglah dan biarkan musuhmu itu diburu orang lain. Kau tinggal menunggu kabar kematiannya saja!"
"Baik, aku akan pulang!" ucap Ranggu Pura menjadi patuh. Mungkin sorot mata Payung Serambi mempunyai kekuatan gaib yang dapat membuat seseorang menjadi patuh terhadap perintahnya. Ranggu Pura pergi tinggalkan tempat itu.
Payung Serambi pun bergegas tinggalkan tempat itu. Namun sebelum ia bergerak, sebuah suara menyapanya dengan keras, "Payung Serambi...! Tunggu!"
Gadis itu menoleh ke belakang, tampak Pendekar Mabuk sedang berkelebat secepat kilat dari atas bukit kecil ke tempatnya. Zlaaap...! Jleeg...! Tahu-tahu pemuda tampan berkebaya merah jambu dengan bibir bergincu merah itu sudah berdiri di depan Payung Serambi. Gadis itu hanya sunggingkan senyum tipis dengan tubuh bergerak-gerak karena geli melihat penampilan Suto Sinting.
"Aku tahu kau adalah Pendekar Mabuk, tapi aku tak tahu dari mana kau peroleh pakaian itu dan sejak kapan kau berubah menjadi banci."
"Sejak pakaianku kau curi!" jawab Pendekar Mabuk dengan ketus, karena hatinya menyimpan kedongkolan, ia berkata lagi dengan tegas. "Kembalikan pakaianku yang kau curi saat aku tertidur itu. Jika tidak, aku akan bertindak kasar yang mungkin akan mengecewakan hatimu, Payung Serambi."
"Aku tidak mencuri pakaianmu, Pendekar Tampan!" jawab Payung Serambi dengan senyum dikulum.
"Agaknya kau perlu dipaksa dengan kekerasan, Payung Serambi."
"Silakan kalau kau ingin mencoba memaksa orang tak bersalah!" jawab Payung Serambi dengan tenang, membentangkan kedua tangannya sambil melangkah ke samping mencari tempat lega untuk mengadu kesaktian.
Pendekar Mabuk pun segera melangkah ke samping, bumbung tuaknya mulai digenggam dengan tangan kanan. Matanya tak berkedip pandangi si Payung Serambi yang punya bibir legit menggiurkan itu. Payung Serambi justru sunggingkan senyum dan hati Pendekar Mabuk mulai gelisah diguncang oleh getaran lembut yang mengusik ketenangan batinnya.
"Seranglah aku!" tantang Payung Serambi dengan iringan senyum tipis. "Ayo, seranglah aku dan kau akan kutangkap dalam pelukan, tak akan kulepas selamanya!"
Pendekar Mabuk hentikan gerakan dan menggerutu dalam batinnya, "Sial! Kenapa tantangannya jadi seperti itu? Wah, bahaya kalau kulayani. Bisa-bisa aku jatuh dalam pelukan dan tak mau dilepaskan lagi olehnya. Celaka tujuh puluh kalau begitu jadinya nanti!" Pendekar Mabuk masih diam dihinggapi keragu-raguan, ia seperti banci yang sedang bingung menentukan arah langkahnya.
* * *
TUJUH
KEDUA orang yang ingin bertarung mengadu kesaktian itu akhirnya sama-sama diam bagai patung bisu. Tetapi pandangan mata mereka saling beradu dalam kelembutan tersendiri. Hati mereka saling memancarkan sinar terang, seakan ditaburi bunga-bunga indah yang tiada pernah layu.
"Agaknya dia ingin menjeratku dengan kekuatan gaib pemikatnya," pikir Pendekar Mabuk. "Akan kulawan dengan jurus 'Senyuman Iblis' yang tak pernah ada tandingnya itu. Jika ia bermaksud menundukkan hatiku, maka ia akan menjadi bertekuk lutut sendiri di hadapanku!"
Jurus 'Senyuman Iblis' adalah jurus berbahaya bagi lawan jenis Suto Sinting. Perempuan mana pun, segalak apa pun, seangkuh apa pun jika terkena pengaruh gaib jurus 'Senyuman Iblis', maka ia akan kasmaran kepada Pendekar Mabuk dan hasrat ingin bercumbunya membakar gairah mendesak jiwa. Jurus 'Senyuman Iblis' ibarat racun cinta yang sukar ditangkal dan dihindari oleh setiap perempuan yang berhadapan dengan Suto Sinting.
"Hmmm... dia ingin main-main padaku dengan jurus kacangan itu?! Celaka sendiri dia jadinya jika ingin mengadu kekuatan pemikat denganku. Rasa-rasanya memang perlu diberi pelajaran biar tidak terlalu angkuh dengan jurus kacangan itu!" gumam Payung Serambi dalam batinnya.
Maka adu pandangan mata pun makin berlangsung lama. Bibir Suto Sinting sunggingkan senyum berkekuatan gaib, penunduk hati seorang wanita. Sedangkan sorot pandangan mata Payung Serambi mengandung kekuatan gaib, penakluk hati setiap pria.
"Oh, hatiku berdesir indah. Ada apa ini? Jangan-jangan aku terkena panah asmara buatan? Oh, tidak. Aku tidak boleh terpikat olehnya!" ujar Pendekar Mabuk dalam hatinya.
Payung Serambi pun membatin, "Aduh, mengapa aku jadi deg-degan? Hatiku berdebar-debar aneh. Mungkinkah aku terpikat oleh kekuatan gaibnya? Ah, jangan sampai begitu. Aku tidak boleh terpikat oleh pemuda ini walaupun... walaupun sebenarnya dia memang tampan, gagah, menggairahkan, dan. Oooh, celaka! Aku semakin gemetar?!"
Dua kekuatan gaib pemikat saling beradu sama kuat. Hati mereka akhirnya saling terjerat bayangan asmara. Darah mereka saling berdesir diburu harapan untuk saling bercumbu. Pendekar Mabuk maju selangkah bersamaan dengan langkah pertama Payung Serambi. Langkah itu terhenti sesaat, bagai sedang diperjuangkan untuk ditahan mati-matian. Namun kian lama kaki mereka bagai mempunyai kemauan sendiri untuk melangkah maju.
Selangkah, selangkah, selangkah! Akhirnya mereka berhenti saling berhadapan kurang dari satu langkah. Pandangan mata mereka tetap saling beradu. Senyum mereka saling bermekaran tipis, namun berkesan mesra. Pendekar Mabuk meraih anak rambut gadis itu yang meriap dipundak, tepat pada saat tangan Payung Serambi menggeraikan rambut Suto Sinting yang melintang dilehernya.
"Kau cantik sekali, Payung Serambi," bisik Suto Sinting.
"Kau pun menawan sekali, Pendekar Mabuk," balas Payung Serambi dalam bisikan yang amat lembut.
"Boleh aku menyentuh pipimu?"
"Sentuhlah mana yang kau suka, Suto. Suto Sayang."
Debar-debar di dalam dada semakin keras. Mereka rasakan debar-debar itu begitu indahnya, hingga akhirnya mereka saling bersentuhan wajah. Makin lama semakin indah, sehingga mereka saling bersentuhan bibir. Mereka bagai terbuai oleh keindahan yang luar biasa besarnya, sampai tak ingat siapa diri mereka dan di mana mereka berada. Pendekar Mabuk biarkan gadis itu melumat bibirnya penuh kelembutan. Payung Serambi biarkan pemuda tampan itu memeluknya penuh kemesraan.
Di pojok sana ada dua orang yang memergoki kejadian tersebut. Yang seorang berkata seperti bicara pada diri sendiri, "Manusia sesat! Sama-sama perempuan kok saling berciuman!"
Tapi yang satunya lagi, lebih tua dari yang bicara tadi, segera mengernyitkan dahi dan mengecilkan matanya untuk memandang lebih jelas lagi raut wajah kedua orang yang berciuman sambil berdiri itu. "Celaka! Itu si Pendekar Mabuk dengan... dengan... oh, gawat kalau begitu!"
Orang tua itu menjadi tegang, ia berpakaian seperti biksu, kain abu-abu dililitkan di tubuhnya yang agak gemuk itu. Rambut si orang tua beruban rata tapi tidak begitu lebat, bahkan berkesan botak. Jenggotnya panjang dan berwarna putih. Orang itu tak lain adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya; si Kadal Ginting.
Mereka dari menghadiri pembakaran jenazah Nini Kalong, mantan kekasih Resi Pakar Pantun. Untuk membuang kesedihannya, Resi Pakar Pantun segera tinggalkan Hutan Rawa Kotek sambil mencari orang berpakaian serba hitam yang dikenal sebagai Malaikat Malam itu. Sang Resi menyimpan dendam sendiri di hatinya, karena bagaimanapun juga ia masih mempunyai cinta masa mudanya kepada Nini kalong, ia merasa perlu menuntut balas kepada si Malaikat Malam, sehingga sejak melangkah meninggalkan tempat pembakaran jenazah itu ia sudah bertekad pertaruhkan nyawanya daiam melawan Malaikat Malam.
Tetapi ketika ia jumpai dua sosok manusia lain jenis berpelukan, tiba-tiba saja dendam dan kemarahannya itu buyar seketika. Perhatiannya tertuju kepada Pendekar Mabuk yang tampak sedang kasmaran. Padahal Resi Pakar Pantun tahu, bahwa Pendekar Mabuk adalah kekasih Dyah Sariningrum. Sang rasi pun tahu, siapa perempuan yang sedang dipeluk oleh Pendekar Mabuk itu.
"Wah, wah, wah... kalau sedang begitu, ia memang pantas berjuluk Pendekar Mabuk.... Mabuk Cinta! Sampai-sampai ia lupa daratan begitu."
Kadal Ginting menyahut, "Lupa daratan bagaimana, Eyang? Bukankah mereka sama-sama berdiri di daratan?"
"Maksudnya lupa daratan adalah lupa segala-galanya. Dirinya bagai terbawa terbang bersama khayalan indahnya. Tapi... oh, Suto tidak boleh terlibat asmara sebegitu jauh dengan perempuan cantik itu. Ia dalam bahaya jika sampai 'mabuk cinta' dengan perempuan tersebut!"
Resi Pakar Pantun kembangkan kedua tangannya. Kakinya yang kiri ditarik mundur sedikit, lalu ia merendah. Satu tangannya menyilang di depan dada, tangan yang satunya mengembang di atas kepala, ia sempat lepaskan pantun yang didengar oleh Kadal Ginting, pelayannya.
"Kerupuk bantat pusaka sebuah biara, kecoa nungging memang cari perkara. Biar asmara sama-sama membara, tapi jangan pamerkan di depan orang tua."
Lalu tangan yang di atas kepala itu menyentak ke depan dan seberkas sinar hijau berekor kecil melesat dari tengah telapak tangan Resi Pakar Pantun. Weeesss...! Sinar hijau berekor kecil itu melesat menghantam pertengahan kedua insan yang sedang mengadu mulut dan saling pagut itu. Sinar itu seakan ingin memisahkan sepasang asmara yang sedang saling terbuai.
Tetapi kedua orang tersebut tiba-tiba melesat naik, tubuh mereka melambung dalam keadaan masih tetap berpelukan dan berpagut bibir. Wuuut...! Mereka melambung cukup tinggi dalam keadaan tubuh tetap tegak lurus seperti orang berdiri. Sinar hijau itu melintas di bawah telapak kaki mereka. Weess...!
Duaarrr...! Sebatang pohon rompal dihantam sinar hijau itu. Daunnya berguguran, terbang mengikuti arah angin. Ledakan itu cukup keras, walau tak sampai mengguncangkan bumi. Tapi setidaknya akan mengejutkan seseorang yang berada tak jauh dari tempat itu.
Anehnya, Pendekar Mabuk dan Payung Serambi tak merasa kaget sedikit pun. Dalam keadaan tubuh mereka saling peluk di udara, mereka masih saling pagut bibir dengan mesra sekali. Bahkan ketika gema ledakan itu telah menghilang, tubuh mereka bergerak turun pelan dan pelaaan... sekali. Sedangkan keadaan tubuh mereka tetap lurus bagai orang berdiri di udara. Akhirnya telapak kaki mereka sama-sama mendarat ke tanah tanpa suara apa pun kecuali suara kecupan mereka.
Rupanya mereka sama-sama menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu melayang di udara dengan cepat dan turun dengan pelan- pelan. Keduanya sama-sama mempunyai ilmu peringan tubuh yang setara dan setingkat, sehingga tak satu pun ada yang merasa kewalahan menghadapi keadaan seperti itu.
Resi Pakar Pantun geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka yang mampu menghindari sinar hijaunya. Niat memisahkan mereka berdua semakin membuatnya penasaran. Maka sang Resi pun segera bertindak dengan lakukan lompatan beberapa kali. Wut, wut, wut...! Kemudian ia pun menerjang kedua insan yang sedang berkasih-kasihan itu dengan kedua kaki menendang ke samping kanan-kiri.
Wuuut...! Brrruss...!
"Oouh...!" Pendekar Mabuk dan Payung Serambi terpental dalam keadaan terpisah. Mereka sama-sama terpekik seakan baru menyadari adanya bahaya yang ingin merusak kebahagiaan kasih mereka. Pendekar Mabuk dan Payung Serambi sama-sama jatuh terpelanting, namun sama-sama cepat bangkit dan berdiri sigap memandang tajam pada Resi Pakar Pantun.
"Lancang betul kau, Tua Keropos!" gertak Payung Serambi dengan wajah memancarkan kemarahan.
"Resi Pakar Pantun! Apa maksudmu menyerang kami?!" bentak Suto Sinting dengan dada bergemuruh karena menahan marah. Napasnya mulai menyemburkan kekuatan 'Napas Tuak Setan' yang sempat membuat tanah di depannya menyebar ke sana-sini bagai dihembus oleh cerobong angin.
"Suto, kau dalam bahaya!" ujar Resi Pakar Pantun sambil melangkah dekati Suto Sinting. "Sadarlah, Suto...! Kau tak boleh bercinta dengan dia, karena ketahuilah bahwa dia adalah orang Istana Laut Kidul. Kau bisa celaka jika menjalin hubungan cinta dengannya!"
Kadal Ginting ikut dekati Suto dan berkata, "Turutilah saran Eyang Resi, Suto!"
Napas ditarik panjang-panjang sebagai penahan gejolak kemarahan. Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya, sementara Payung Serambi yang sudah mengenal siapa Resi Pakar Pantun itu segera berkata dengan nada menggeram jengkel.
"Kau tak berhak memisahkan kemesraan kami, Pakar Pantun! Kuhajar kau kalau sekali lagi lakukan hal itu!"
"Payung Serambi... kalau kau bercinta dengan Pendekar Mabuk, alangkah nistanya? Kau orang terhormat di Istana Laut Kidul, sedangkan Pendekar Mabuk hanya seorang bocah ingusan. Nyai Kandita pun dapat murka kepadamu jika kau terlibat cinta dengan Suto Sinting. Dia bukan keturunan darah biru," ujar Resi Pakar Pantun dengan suara pelan, seakan sedang mempengaruhi pikiran Payung Serambi.
Gadis itu menjadi diam, memandang lurus ke arah Pendekar Mabuk, namun tampak sedang lakukan pertimbangan dalam pikirannya. Pendekar Mabuk pun tampak mulai sadar dengan apa yang ia lakukan tadi. Ia melangkah mendekati Payung Serambi sambil berucap dalam batinnya.
"Sepertinya aku telah terkena jurus pemikatnya. Oh, bahaya sekali kalau sampai aku tak bisa lepaskan diri dari pemikat itu."
Sedangkan dalam batin Payung Serambi pun berkata, "Aneh. Mengapa aku jadi mau berciuman dengannya? Apakah aku telah terperangkap oleh gaib kasmarannya? Oh, aku tidak boleh sampai terperangkap begitu. Aku harus segera lepaskan diri dari pengaruh kekuatan pemikatnya. Tapi... tapi bagaimana mungkin hal itu bisa kulakukan jika ternyata sangat indah dan sangat berkesan di hatiku. Oh, kacau sekali kalau begini jadinya!"
Keduanya sama-sama ingin membatasi diri, namun jiwa mereka bicara, batin mereka tetap mengharap kemesraan yang indah. Akibatnya mereka hanya bisa berusaha menutupi gejolak tuntutan batin mereka dengan mengalihkan pembicaraan pada masalah kematian Nini Kalong.
"Resi Pakar Pantun, apakah benar kematian Nini Kalong akibat ulah si Malaikat Malam?"
"Malaikat Malam sudah tiada," jawab Resi Pakar Pantun. "Kalau sekarang ada yang menyamar sebagai Malaikat Malam, berarti ada pihak lain yang ingin gunakan nama besar itu untuk kepentingan pribadi. Aku tak dapat mengira-ngira siapa sebenarnya orang berpakaian serba hitam itu. Tetapi jika aku bertemu dengannya, barangkali hanya ada dua pilihan; nyawaku atau nyawanya yang melayang."
Pendekar Mabuk melirik Payung Serambi, lalu berkata kepada gadis itu, "Kuingat kau pernah mengancamku dengan pedang hanya untuk mengetahui di mana letak Hutan Rawa Kotek. Kau ingin menemui Nini Kalong dan tampak bernafsu sekali."
"Memang. Apakah itu berarti kau menuduhku sebagai Malaikat Malam?!"
"Bukan salahku jika aku menaruh curiga padamu, karena kau memaksaku menunjukkan tempat kediaman Nini Kalong."
"Jadi, kaulah orangnya yang mampu tumbangkan Poci Dewa dan Nini Kalong?!" Hardik Resi Pakar Pantun dengan mengepalkan tangannya, ia tampak ingin lakukan serangan kepada Payung Serambi.
"Tunggu!" sergah Payung Serambi. "Jangan dengarkan fitnah si tampan sinting itu!"
Suto pun segera berkata, "Untuk apa kau bernafsu sekali ingin menemui Nini Kalong kalau bukan untuk membunuhnya?!"
"Otak bodohmu keterlaluan, Suto! Aku datang justru ingin memberitahukan bahwa Nini Kalong terancam bahaya! Aku ingin mencegat bahaya itu, namun ternyata aku terlambat. Demikian juga halnya dengan Poci Dewa dan Pendeta Kembang Ayu. Aku terlambat mencegat bahaya itu sehingga akhirnya mereka menjadi korban. Keterlambatanku itu karena aku tak tahu persis di mana letak kediaman mereka."
"Kau pandai memutar lidah rupanya!" kata Suto Sinting.
"Kau sendiri menyukainya, bukan?"
"Maksudku, pandai bermain kata-kata. Bukan memutar lidah dalam arti sebenarnya!" sentak Suto Sinting menutupi rasa malunya, sambil berusaha membuang bayangan saat mereka berciuman tadi.
"Payung Serambi," ujar Resi Pakar Pantun. "Apakah maksud kedatanganmu ke tanah Jawa ini sebenarnya?"
"Nyai Kandita mengutusku untuk lakukan penyelamatan terhadap beberapa tokoh yang terancam bahaya."
"Apakah bisa kupercaya kata-katamu itu?"
"Aku tak memaksamu untuk percaya, tapi aku akan berkata apa adanya," ujar Payung Serambi, ia menatap Suto Sinting sebentar, kemudian kembali memandang Resi Pakar Pantun dan berkata dengan tegas. "Delapan tokoh aliran putih yang tinggal di tanah Jawa ini terancam bahaya. Wajah-wajah mereka tampak menguning dalam penglihatan Nyai Kandita."
"Siapa saja?!" sergah sang Resi.
"Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa, Nini Kalong, Sumbaruni"
"Siapa?! Sumbaruni?!" potong Resi Pakar Pantun sebelum Pendekar Mabuk terpekik kaget juga.
"Celaka! Sumbaruni terancam kematian pula rupanya?!" gumam Suto Sinting dengan tegang, sebab ia tahu Sumbaruni adalah wanita yang amat mencintainya dan bersikap baik padanya selama ini.
"Sumbaruni...?! Gawat!" kata sang Resi. "Baru saja Sumbaruni menuju ke Lembah Hijau bersama Kidung Laras dan muridnya; Pakis Ratu. Aku harus mengabarkan hal ini kepada Sumbaruni!"
"Sebaiknya begini saja, Eyang Resi...," kata Suto, namun terpotong oleh ucapan sang Resi sendiri.
"Pikirkan saja keadaanmu, Suto. Jangan seperti pendekar konyol, pakai kebaya segala! Gantilah pakaianmu sebelum Sumbaruni pun tahu kau menjadi banci kesiangan! Aku akan berangkat temui Sumbaruni sekarang juga!" Weeess!
"Tunggu dulu, Pakar Pantun...!" sergah Payung Serambi.
Tetapi sang Resi sudah lebih dulu berkelebat pergi dengan kecepatan tinggi. Pelayannya yang sejak tadi memendam perasaan heran melihat Suto Sinting mengenakan kain dan kebaya, sempat tertinggal walau tetap berlari-lari sambil berseru, "Eyang...! Eyang, Resi...! Tunggu saya, Eyang...!"
Pendekar Mabuk masih terpaku di tempat dengan mulut terbengong melompong karena kaget mendengar kabar itu. Payung Serambi pun tertegun di tempat karena tak berhasil cegah kepergian Resi Pakar Pantun. Kejap berikutnya mereka bagaikan baru sadar dari lamunan.
Payung Serambi berkata, "Bodoh amat si tua Pakar Pantun itu!"
"Dia kenal baik dengan Sumbaruni dan..."
"Memang. Tapi sebetulnya aku ingin katakan bahwa delapan orang yang akan terancam maut itu termasuk dirinya sendiri."
"Hahh.. ?! Maksudmu... maksudmu, Resi Pakar Pantun juga termasuk delapan orang yang terancam kematian menurut penglihatan Nyai Kandita?"
"Benar!"
"Celaka!" Pendekar Mabuk ingin bergerak, tetapi tangannya ditahan oleh Payung Serambi.
"Dengarkan dulu penjelasanku! Jangan menjadi bodoh seperti si tua Pakar Pantun itu!"
Payung Serambi anggukkan kepala. "Kuulangi lagi; Pendeta Kembang Ayu, Poci Dewa, Nini Kalong, Sumbaruni, Pakar Pantun, Pendeta Darah Api, Resi Wulung Gading, dan. Gila Tuak!"
Bagai petir menyambar wajah, Pendekar Mabuk tersentak kaget, matanya mendelik dan kulit wajahnya menjadi merah. Nama gurunya masuk dalam urutan orang-orang yang terancam maut, hal itu sama saja sebatang tombak menghujam di jantungnya. Tak heran jika tubuh Suto Sinting pun akhirnya gemetar membayangkan kematian gurunya. Darah bagaikan mendidih karena bangkitnya sang murka dan duka yang bergumul menjadi satu, sampai akhirnya membentuk suatu kegelisahan yang tak pasti.
"Delapan nama itu adalah orang-orang yang pernah datang ke Istana Laut Kidul dan bertemu dengan Nyai Ratu."
Pendekar Mabuk sempat terbungkam beberapa waktu lamanya, ia sendiri tak tahu kalau Gila Tuak, sang Guru, pernah datang ke Istana Laut Kidul, karena hal itu tak pernah diceritakan oleh sang Guru. Detak jantung yang menjadi cepat membuatnya menenggak tuaknya kembali untuk mengurangi perasaan gelisah yang mendebarkan itu.
"Bagaimana dengan Ki Lurah Gontang, yang keluarganya dibantai oleh Malaikat Malam dan..."
"Itu bukan pekerjaan si Malaikat Malam," sahut Payung Serambi. "Kudengar kabar itu dan kuselidiki sendiri, ternyata yang melakukan adalah perampok tunggal yang punya kegemaran memperkosa perawan. Jika ada yang melihat si pelaku berpakaian hitam, itu hanyalah suatu hal yang kebetulan saja."
Suto Sinting hembuskan napas panjang-panjang agar kian peroleh ketenangan batinnya. "Lalu... siapa sebenarnya orang yang meniru penampilan Malaikat Malam itu?"
Payung Serambi gelengkan kepala.
"Mengapa orang itu yang menjadi El Maut bagi nyawa para korban?"
"Itu tugas keduaku," jawab Payung Serambi. "Tugas pertama adalah menahan datangnya sang maut pada diri delapan orang itu. Tugas kedua menyelidiki, siapa sebenarnya yang biang petaka dalam perkara ini? Tugas ketiga, menghancurkan si biang petaka itu!"
"Kalau begitu," kata Suto Sinting setelah menenggak tuaknya kembali. "Kita harus segera temui mereka dan memberitahukan hal ini. Aku akan membantumu menemui mereka, karena aku tahu tempat tinggal mereka, kecuali Pendeta Darah Api. Aku belum pernah ke Teluk Merah. Tapi aku tahu orang yang bisa antar kita ke Teluk Merah."
"Kurasa memang tak ada waktu lagi, sekarang juga kita harus bergerak, karena aku sudah gagal selamatkan tiga nyawa."
"Baik. Tapi bagaimana aku bisa bergerak bebas jika pakaianku tak kau kembalikan."
"Kau gila! Sudah kubilang, aku tidak mencuri pakaianmu!"
"Lalu, siapa jika bukan kau?!" sentak Suto Sinting dengan jengkel dan cemas.
"Sudahlah, pakai pakaian begitu saja. Kau tampak semakin menggoda hatiku jika begitu," ujar Payung Serambi sambil sunggingkan senyum. "Untuk apa kau butuh pakaian, toh aku sudah melihat seluruhnya saat kau tertidur di bawah pohon."
"Sial!" Pendekar Mabuk bersungut-sungut.
* * *
DELAPAN
LANGKAH pertama yang dilakukan Suto Sinting adalah mengejar Resi Pakar Pantun yang menuju ke Lembah Hijau. Tokoh tua jago berpantun itu perlu mengetahui, bahwa dirinya sendiri terancam oleh kematian, seperti halnya Sumbaruni dan yang lainnya. Alangkah bodohnya jika ia bersusah payah mengabarkan bencana itu kepada Sumbaruni, sementara dirinya sendiri menghadapi bencana yang sama dan mungkin malahan lebih dulu merenggut jiwanya. Sungguh suatu peristiwa yang amat menyedihkan bagi orang yang mengetahui siapa sasaran si Malaikat Palsu itu.
Payung Serambi tak mau biarkan Suto Sinting menempuh bahaya sendirian, ia mendampingi Suto Sinting sambil memasang kewaspadaan demi keselamatan si pendekar tampan itu. Sementara di pihak Suto Sinting sendiri merasa bangga dan hatinya berbunga kala menyadari Payung Serambi tetap mendampinginya. Barangkali pengaruh kekuatan gaib pemikat yang mereka lepaskan masih saling menjerat hati, sehingga keduanya sama-sama merasa berat jika harus berpisah. Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sempat mengguncangkan bumi dan pepohonan sekitarnya.
Blegaaarrr...!
Pendekar Mabuk cepat-cepat hentikan langkahnya. Payung Serambi ikut-ikutan hentikan langkah, ia mendengar suara batin Suto Sinting yang berkata pada diri sendiri, "Ada pertarungan seru di sebelah utara sana! Hmmm... jangan-jangan di sana Guru sedang bertarung dengan Malaikat Palsu itu!"
Kata hati yang mampu didengar oleh Payung Serambi itu segera mendapat jawaban lewat suara tegas perempuan itu. "Sebaiknya kita tengok saja, daripada kau menerka-nerka penuh kecemasan!"
"Saran yang sangat bagus bagiku!" ujar Suto Sinting, kemudian mereka berkelebat ke arah utara.
Di sebuah lembah berhutan renggang, memang terjadi pertarungan seru. Mula-mula dilakukan oleh dua orang yang saling kerahkan tenaga untuk tumbangkan lawan. Mereka adalah Dewi Cintani yang memergoki si Malaikat Palsu sedang menguntit perjalanan Sumbaruni bersama Nyai Kidung Laras dan Pakis Ratu. Manusia berselubung kain hitam dari kepala sampai kaki kecuali bagian mata saja itu tidak menduga kalau akan datang serangan dari arah belakangnya. Seberkas sinar kuning lurus telah melesat menghantam punggungnya. Claap...!
Tetapi sebelum sinar kuning itu kenai punggung, Malaikat Palsu telah balikkan badan karena gerak naluri adanya bahaya datang. Sambil berbalik badan tangannya berkelebat. Kedatangan sinar kuning lurus itu segera ditahan dengan telapak tangannya. Zrruub...! Tangan itu cepat-cepat menggenggam, membuat sinar kuning itu bagai ditampung dalam telapak tangan itu.
Buuusss...! Asap kuning samar-samar keluar dari genggaman tangan si Malaikat Palsu, pertanda kekuatan sinar kuning itu telah dijinakkan, tak ada ledakan, tak ada luka, lenyap begitu saja.
Dewi Cintani sempat terperanjat melihat kejadian itu. Saat ia terperanjat itulah si Malaikat Palsu menyerangnya dengan senjata rahasia yang bentuk dan ukurannya sama dengan senjata rahasia yang pernah lukai Suto Sinting itu.
Ziiing...! "
"Hiaaat...!" Dewi Cintani sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas sambil cabut pedangnya. Pedang itu berkelebat cepat menangkis sanjata rahasia tersebut. Triiing...!
Senjata rahasia itu melesat ke arah lain, tak diketahui apakah menancap pada batang pohon atau jatuh di semak yang ada di kejauhan sana. Yang jelas, Malaikat Palsu segera lakukan serangan dengan sentakkan tangan kirinya dalam keadaan seperti melemparkan pisau.
Wuuuurrrsss...!
Dari tangan itu menyembur serbuk putih bagai serpihan besi mengkilat. Kelembutan serbuk itu menyerupai kelembutan pasir pantai putih. Serbuk putih itu menyebar ke arah wajah Dewi Cintani. Zrraaak...!
"Aaauh...!" Dewi Cintani terpekik, wajahnya menjadi merah berbintik-bintik hitam. Rasa panas dan perih menjadi satu, hingga ia hanya bisa mengerang sambil berusaha meraup wajahnya. Tetapi serbuk beracun itu kian menyerang kulit dan daging hingga wajah itu menjadi memborok dalam beberapa kejap saja. Wajah cantik itu menjadi hancur dan mengerikan.
Sraang...! Samurai di punggung si Malaikat Palsu dicabutnya. Kemudian samurai itu segera dibabatkan untuk membuntungi kedua lengan Dewi Cintani.
Wuuusss...! Traaang...!
Tiba-tiba gerakan samurai itu tertahan oleh sebatang ranting yang tahu-tahu menghadang di depannya. Ranting itu telah dialiri tenaga dalam, sehingga menyerupai besi baja yang tak bisa mudah patah walau ditebas samurai setajam mata silet. Justru benturan samurai dengan ranting sempat memercikkan bunga api yang mengejutkan si Malaikat Palsu.
Ternyata pada saat yang sangat rawan bagi Dewi Cintani itulah, Resi Pakar Pantun lewat lembah tersebut dan memergoki pertarungan tak seimbang, ia mengenali Dewi Cintani sebagai perwira Pulau Sangon, karenanya ia segera bertindak menyambar ranting kering yang tergeletak di tanah, lalu menghadang gerakan samurai tersebut. Begitu samurai tertahan, Resi Pakar Pantun segera kelebatkan ranting bertenaga dalam itu ke arah dagu si Malaikat Palsu.
Wuuut...!
Orang berselubung kain hitam itu dongakkan kepala sambil melengkung ke belakang, sehingga dagunya lolos dari sabetan ranting sang Resi. Tapi sebelum ia tegak kembali, sang Resi sudah lebih dulu menyabetkan rantingnya ke arah dada orang tersebut.
Wuuut..! Trrang...!
Ranting itu ditahan dengan samurai. Begitu berhasil menahan sabetan ranting, samurai itu berkelebat dari atas ke bawah, sasarannya membelah kepala Resi Pakar Pantun.
Wuuut...! Weeess...! Sang Resi tahu-tahu sudah tidak ada di tempat. Ternyata ia sudah berada di belakang lawannya dan segera lepaskan pukulan telapak tangan bercahaya biru membara.
Wuuut...! Malaikat Palsu balikkan badan dan hantamkan telapak tangan kirinya, sehingga kedua telapak tangan itu beradu. Plak...!
Blegaaarrr...!
Dua tenaga dalam tinggi beradu melalui pertemuan dua telapak tangan. Akibatnya ledakan dahsyat terjadi saat itu pula, dan tanah serta pepohonan pun berguncang bagai dilanda gempa. Sedangkan dua tubuh tersebut saling terpental ke belakang, masing-masing berjarak lima langkah dari tempat mereka semula. Sedangkan gadis perwira Pulau Sangon itu masih merintih kesakitan sambil berlutut di bawah sebatang pohon rindang. Wajahnya semakin membusuk dan amat buruk.
Gelegar ledakan itulah yang ditangkap pendengaran Suto Sinting, sehingga Pendekar Mabuk dan Payung Serambi bergegas hampiri tempat tersebut. Mereka sedikit terperanjat melihat Resi Pakar Pantun sedang lakukan pertarungan dengan Malaikat Palsu.
"Cintani...?!" gumam Suto Sinting dengan mata terbelalak tegang. "Payung Serambi, kau bantu Resi Pakar Pantun, aku akan tolong si murid Pendeta Kembang Ayu itu!" ujar Suto Sinting yang segera bergegas temui Dewi Cintani.
Payung Serambi tak bisa tolak perintah itu karena keadaan tidak memungkinkan untuk berdebat. Maka gadis itu segera lepaskan pukulan tanpa sinar. Deeeb...!
Bruuuss...! Malaikat Palsu terjungkal ke depan bagai mendapat tendangan cukup kuat. Namun ia cepat bersalto dengan menancapkan samurai di tanah dan gagang samurai dipakai sebagai tumpuan tangannya. Wuut...! Gerakan saltonya itu begitu lincah dan cepat, membuat Resi Pakar Pantun yang hendak lepaskan pukulan tenaga dalam itu terperanjat. Karena tiba-tiba kedua kaki si Malaikat Palsu itu lakukan tendangan beruntun yang tepat kenai dada sang Resi.
Duhg, duhg, duhg...!
"Aaahg...!" Resi Pakar Pantun terlempar ke belakang sambil semburkan darah segar dari mulutnya. Dadanya terasa seperti jebol akibat tendangan beruntun yang tak diduga-duga itu.
Wuuut, jleeeg...! Si Malaikat Palsu telah berdiri tegak kembali dengan samurai tercabut dari tanah dan kini berada di tangan kanannya, ia memasang kuda-kuda rendah, samurainya diangkat sebatas telinga, tangan kirinya melintang ke depan dagu.
"Akulah lawanmu, Keparat!" geram Payung Serambi sambil melangkah dekati lawannya. Dalam jarak lima langkah ia berhenti dan mencabut pedangnya. Sraaang...!
Pada waktu itu, Suto Sinting telah berhasil meminumkan tuak kepada Dewi Cintani. Tetapi ia segera berkelebat menolong Resi Pakar Pantun yang tampaknya nyaris tak bisa bernapas lagi itu. Sang Resi pun dipaksakan untuk meneguk tuaknya.
Terdengar suara Payung Serambi menghardik si Malaikat Palsu, "Buka penutup kepalamu, atau kupaksa dengan pedangku?!"
Malaikat Palsu diam saja, matanya tampak memandang dengan tajam. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi saat memperhatikan sepasang mata di balik penutup wajah dari kain hitam itu. Ada kecurigaan yang disembunyikan Suto Sinting pada saat itu. Namun ia sengaja diam dulu, memberi kesempatan pada Payung Serambi untuk selesaikan tugasnya, menghancurkan si biang bencana bagi kedelapan tokoh yang pernah datang ke Istana Ratu Kidul itu.
"Sebutkan siapa dirimu, atau pedangku akan merobek mulutmu agar bicara keras-keras?" ancam Payung Serambi.
Tetapi lawannya tak bergeming sedikit pun. Agaknya sang lawan tidak merasa gentar mendengar ancaman tersebut. Payung Serambi geram dan merasa ditantang. Maka dengan gerakan secepat kilat ia menerjang lawannya bersama pedang runcing ditebaskan ke sana-sini. Weees...!
Wut, wut, wut, trang...!
Malaikat Palsu pun lakukan lompatan menyambut gerakan melayang Payung Serambi. Akibatnya mereka beradu kecepatan memainkan pedang di udara. Hanya sekejap mereka mengadu kecepatan memainkan pedang itu, kemudian keduanya sudah sama-sama daratkan kaki ke bumi dan saling memunggungi dalam keadaan bertukar tempat.
Trang, tring, wuus, breeet, breet, crass...!
Keduanya sama-sama diam sesaat. Malaikat Palsu sedikit menekuk kedua kakinya yang berdiri merapat dengan samurai di samping kanan, digenggam dengan dua tangan. Sedangkan Payung Serambi juga diam sesaat. Tapi pinggangnya tampak melelehkan darah.
Pendekar Mabuk terperanjat dan berkata dalam hatinya dengan cemas, "Oh, dia terluka?!"
Baru saja Suto Sinting akan bergerak mengobati Payung Serambi, tiba-tiba tangan gadis itu menangkap lukanya sendiri. Plaaak...! Tangannya diusapkan pada luka, dan ternyata luka itu lenyap dengan sangat ajaib. Hilang tak berbekas sedikit pun. Kain yang robek pun kembali rapat seperti sediakala. Pendekar Mabuk yang melebarkan matanya itu segera memandang ke arah Malaikat Palsu.
Ternyata kain hitam penutup kepala dan wajah itu telah terbelah menjadi empat bagian. Kain itu terkelupas dengan sendirinya, sehingga kepala dan wajah si Malaikat Palsu itu terlihat dengan jelas. Kepala itu tetap utuh, tak satu pun rambut yang ikut terpotong. Ini menandakan jurus pedang yang digunakan Payung Serambi benar-benar hebat.
Payung Serambi dan Malaikat Palsu sama-sama membalik badan hingga mereka saling berhadapan bertatap muka kembali. Tapi mata indah Payung Serambi tampak terbelalak kaget begitu mengetahui siapa orang yang seiama ini berkerudung kain hitam itu.
"Galih Rembulan...?!" gumam Payung Serambi, ia terkejut karena mengenal betul wajah di balik pakaian hitam itu, sedangkan Pendekar Mabuk terkejut karena ternyata si Malaikat Palsu itu seorang wanita cantik yang mempunyai kemiripan wajah dengan Payung Serambi.
Pendekar Mabuk sempatkan berbisik kepada Payung Serambi, "Siapa dia?!"
"Galih Rembulan, kakak tiriku yang pernah menjadi panglima Istana Laut Kidul. Tapi karena ia melakukan suatu kesalahan yang membuat Nyai Kandita murka, maka ia diusir dari Istana Laut Kidul. Ah, Suto... minggirlah dulu, ini sudah menyangkut urusan pribadi antara aku dan dia."
"Agaknya memang harus begitu," ujar Suto Sinting sambil menyingkir ke arah Resi Pakar Pantu yang mulai sehat kembali, seperti halnya Dewi Cintani.
"Galih Rembulan, mengapa hal ini kau lakukan?" ujar Payung Serambi dengan wajah duka. Ia melangkah dekati kakak tirinya.
"Aku telah terbuang dari wilayah Laut Kidul. Aku ingin kuasai tanah Jawa. Untuk itu aku harus bunuh orang-orang yang pernah melihatku sebagai panglima Istana Laut Kidul. Kelak jika aku sudah berkuasa di tanah Jawa dan menghimpun kekuatan besar, maka akan kubalas sakit hatiku terhadap Nyai Kandita."
"Galih Rembulan, langkahmu salah. Sadarlah bahwa kau tak akan mampu tumbangkan Nyai Ratu, siapa pun tak akan mampu! Hentikan tindakanmu ini, Galih Rembulan. Hentikanlah, kakakku!"
Galih Rembulan yang berparas cantik jelita itu diam terbungkam. Sepertinya ia sedang dihinggapi kebimbangan yang menghadirkan berbagai pertimbangan.
Sementara itu, Pendekar Mabuk sempat berbisik kepada Resi Pakar Pantun. "Cantik sekali dia. Bagaimana menurutmu, Eyang Resi?"
"Setahuku, dia memang cantik tapi ganas terhadap lelaki. Dulu dia dikenal sebagai panglima yang binal dan jalang."
"Kalau begitu, kurasa dia itulah orangnya yang menelanjangiku sewaktu aku tidur."
"Bisa jadi memang dia, karena dia memang gemar melihat lelaki tanpa busana."
"Tentunya hanya lelaki tampan sepertiku, bukan?"
"Ya, kalau lelaki sepertiku, dia akan suka melihatnya dalam keadaan tidak berkulit lagi."
Pendekar Mabuk ingin tertawa, tapi tawanya segera hilang karena melihat Galih Rembulan membuang samurainya dengan wajah lesu. Perempuan cantik seperti berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah dekati Payung Serambi dengan tangan terbentang tanda menyerah.
"Tangkaplah aku daripada aku harus melawan adik tiriku sendiri, Payung Serambi."
Payung Serambi menjadi semakin iba dan ragu. Ia diam saja saat kakak tirinya mendekati dengan tangan terbuka. Tetapi di luar dugaan, ketika mereka berhadapan dalam jarak kurang dari satu langkah, tiba-tiba dari sarung tangan yang dikenakan Galih Rembulan keluar beberapa jarum beracun. Craak, craak ..! Jarum-jarum itu muncul di masing-masing telapak tangan, jumlahnya sekitar dua puluh jarum untuk tiap telapak tangan. Payung Serambi terperanjat tegang.
Belum habis rasa kagetnya Payung Serambi, tiba-tiba Galih Rembulan sentakkan kedua tangannya ke depan, jarum-jarum di telapak tangannya menancap di dada montok Payung Serambi. Kedua tangan itu pun menyentak ke samping kanan-kiri. Breeet...!
"Aaahg...!" Payung Serambi memekik keras. Dadanya robek seketika. Pedangnya sempat terpental dan jatuh di depan Suto Sinting. Galih Rembulan membabi-buta mengoyak habis tubuh dan wajah Payung Serambi dengan jarum-jarum beracun itu.
Bret, bret, bret, bret...!
Payung Serambi memekik panjang sambil melangkah mundur dengan limbung, ia masih dicecar serangan Galih Rembulan yang merobek tiap kulit dan daging adik tirinya itu. Pendekar Mabuk, Resi Pakar Pantun, Dewi Cintani sama-sama terkesima tegang melihat tindakan ganas yang di luar dugaan itu. Kadal Ginting yang dari tadi sudah ada di balik pohon juga tercengang tegang dengan lutut gemetar. Galih Rembulan bagai tak pedulikan lagi jeritan Payung Serambi yang telah bermandi darah dan terpojok pada sebatang pohon.
"Aaaa...!!"
Pendekar Mabuk cepat bertindak di luar kesadarannya. Kakinya menendang gagang pedang yang tergeletak di tanah depannya. Duus...! Pedang pun melayang cepat karena tendangan itu bertenaga dalam.
Weeet...! Jrrrub...!
"Aaahg...!" Galih Rembulan mengejang dengan keluarkan suara pekik tertahan. Pedang runcing itu menancap tembus di leher Galih Rembulan dari arah samping kiri tembus ke kanan.
Zlaaap...! Brrrus...! Pendekar Mabuk menerjang Galih Rembulan hingga tubuh yang telah tertusuk pedang lehernya itu terpental sejauh lima langkah, kemudian roboh tak berkutik selamanya.
"Oouh...!" Payung Serambi merintih dan dalam keadaan tubuhnya hancur tercabik-cabik.
Dewi Cintani berseru sambil dekati Payung Serambi, "Suto... lekas selamatkan dia dengan tuakmu!"
Dewi Cintani yang wajahnya sudah ayu kembali sejak meneguk tuaknya Suto itu tampak lega begitu tuak tersebut dituang ke mulut Payung Serambi. Beberapa saat kemudian luka cabikan yang beracun itu menjadi lenyap, Payung Serambi lolos dari maut.
Resi Pakar Pantun hembuskan napas lega lalu berkata kepada mereka, "Jadi aku pun sebenarnya telah lolos dari dendam si panglima binal itu?"
"Benar, Turangga," jawab Payung Serambi dengan menyebutkan nama asli Resi Pakar Pantun. "Galih Rembulan tak ingin kau dan yang lainnya tahu bahwa ia bekas panglima Istana Laut Kidul yang jalang dan binal. Tapi... sekarang segalanya sudah berakhir. Kakak tiriku itu telah menerima hukuman yang setimpal dari Pendekar Mabuk. Dengan begitu, lima nyawa yang seharusnya melayang menjadi terselamatkan."
Payung Serambi menatap Suto Sinting dengan senyum memikat hati. "Dan kaulah penyelamat kelima nyawa itu, Suto."
Pendekar Mabuk berlagak acuh tak acuh, namun segera berkata penuh sindiran. "Ya, nyawa mereka memang selamat, tapi bagaimana dengan pakaianku? Apakah masih selamat juga? Lihat, kain ini menjadi robek semakin panjang gara-gara kupakai untuk menendang pedangmu tadi."
Dewi Cintani dan Payung Serambi cekikikan sambil buang muka, karena mereka segera menyadari bahwa kain yang dikenakan Suto Sinting itu telah robek panjang, dari bawah sampai ke perut, membuat sesuatu yang tersembuyi itu dapat terlihat sewaktu-waktu, terutama jika belahan kain yang robek tersingkap oleh hembusan angin.
"Suto," ujar Payung Serambi, "ikutlah aku, kita cari pakaianmu di tempatmu tertidur waktu itu. Kurasa Galih Rembulan yang menelanjangimu dan menyembunyikan pakaianmu di lapisan alam gaib; antara alam nyata dan alam tak nyata. Aku bisa menemukannya!"
Pendekar Mabuk pun akhirnya pergi bersama Payung Serambi, dan ternyata apa yang dikatakan gadis utusan Istana Laut Kidul itu memang benar, pakaian itu disembunyikan di lapisan gaib, antara alam nyata dan alam tak nyata.
"Kurasa Galih Rembulan sengaja membuatmu tanpa busana dengan cara gaib untuk menghambat gerakanmu agar tak bisa ikut campur dalam urusannya itu," kata Payung Serambi sambil menunggu Suto Sinting ganti pakaian di balik semak. Sesekali matanya melirik mencoba mengintip dengan hati berdebar-debar karena masih ada pengaruh gaib pemikat dari jurus 'Senyuman iblis' itu.
SELESAI