Ratu Cendana Sutera

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Episode Ratu Cendana Sutera karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Ratu Cendana Sutera
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

PANTAI Karang Hantu masih berlangit cerah. Beberapa orang tampak sedang menyusuri tepian pantai yang mempunyai gugusan-gugusan batu karang dalam bentuk menyerupai beraneka ragam hantu. Mereka yang menyusuri pantai adalah Resi Pakar Pantun, tokoh tua yang berpakaian abu-abu dengan badan sedikit gemuk, didampingi pelayannya si Kadal Ginting, dan seorang gadis muda berpinjung penutup dada warna merah beludru bersulam benang emas.

Di tangan Bulan Sekuntum tampak gadis kecil bagai manusia liliput, ia adalah Awan Setangkai yang terkena 'Aji Surut Raga' dari lawannya; Lantang Suri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Geger di Selat Bantai).

Mereka menyusuri pantai Karang Hantu untuk menemukan Suto Sinting. Karena dalam perjalanan yang lalu dikisahkan bahwa Suto Sinting sedang menjadi buronan Ratu Cendana Sutera, si Penguasa Selat Bantai, untuk dijadikan pria pembenih pada bulan kesuburan. Kala itu Suto Sinting dilarikan oleh Angin Betina untuk hindari serangan Lantang Suri yang sedang berhadapan dengan Merpati Liar, kakak Angin Betina.

Mereka belum tahu bahwa Suto Sinting sekarang sudah berpisah dengan Angin Betina. Bahkan Suto Sinting yang kala itu menjadi kecil seperti Awan Setangkai, sekarang sudah menjadi besar seperti aslinya. Mereka masih menyangka Suto Sinting bersama Angin Betina yang diperkirakan bersembunyi di Pantai Karang Hantu.

"Jangan-jangan Suto diajak tenggelam oleh si Angin Betina," ujar Kadal Ginting yang berjalan di samping Bulan Sekuntum.

Resi Pakar Pantun menyahut dalam pantun, "Monyet pikun minum tuak luber, main kecapi tangan kepintir. Punya mulut jangan seperti ember, salah ucap bisa disampar petir."

Kadal Ginting hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala. Bulan Sekuntum meliriknya dan sedikit sunggingkan senyum. Tapi si Awan Setangkai yang tingginya kurang dari sejengkal itu segera berkata,

"Aku pernah dibawa Pendekar Mabuk ke gua di sebelah sana. Mungkin dia bersembunyi di sana bersama Angin Betina. Bagaimana kalau kita periksa tebing sebelah sana, Bulan Sekuntum?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pemburu Darah Satria).

"Semua kemungkinan ada baiknya kita coba," ujar Bulan Sekuntum.

Maka mereka bergegas ke gua yang dimaksud Awan Setangkai. Tapi langkah mereka terpaksa terhenti karena kemunculan seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya berwarna merah seperti rambut jagung. Badannya kurus, agak pendek seperti Kadal Ginting. Ia tidak punya kumis, tapi punya jenggot pendek yang warnanya juga seperti rambut jagung.

Tokoh itu mengenakan celana hitam dan baju tanpa lengan warna biru. Ikat pinggangnya dari sabuk besar yang biasa dipakai oleh seorang kusir dan berwarna hitam. Disabuknya itu terselip sebuah cambuk yang saat itu dalam keadaan digulung. Cambuknya berwarna abu-abu dan mempunyai ujung dari serat tali merah. Panjang sabuk itu tak lebih dari empat jengkal, jadi termasuk jenis cambuk pendek.

Mereka memandang heran kepada tokoh berambut merah itu. Tapi Resi Pakar Pantun tidak merasa asing lagi dengannya. Rupanya sang Resi sudah mengenal tokoh bermata kecil dan alisnya turun itu. Karenanya, sang Resi menyapa lebih dulu ketika tokoh tersebut langsung cengar-cengir di depan mereka.

"Pujasera, si Kusir Hantu... Monyet pikun beranak cumi-cumi, hamil semalam beranak pagi. Apa maumu menghadang langkah kami, Jika hanya sekadar pamer gigi"

Bulan Sekuntum, Awan Setangkai dan Kadal Ginting sama-sama membatin dalam hatinya, "Ooo.. dia punya nama Pujasera alias si Kusir Hantu?"

Tokoh berwajah lucu itu nyengir kembali, "Kakang Resi, pepatah mengatakan: 'Jauh di mata dekat di hati. Biar lama tak jumpa sekali jumpa tak lagi di udara!"

"Kau bicara apa sebenarnya Pujasera?" potong sang Resi.

"Aku ingin meminta bantuanmu, Kakang Resi Pakar Pantun."

Bulan Sekuntum berbisik, "Siapa dia, Resi?"

"Dia yang bernama Pujasera alias si Kusir Hantu. Dia sahabat lamaku yang tinggal di Lembah Seram."

Kadal Ginting menimpali bisikan, "Dia orang jahat atau baik, Eyang?"

"Kadang jahat kadang baik. Kalau sedang tidak punya uang bisa jadi jahat. Kalau sedang banyak uang sering berbuat baik. Memang begitulah watak manusia secara umumnya."

"Pepatah mengatakan," seru si Kusir Hantu tiba-tiba, "'Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, tidur sama siapa?'. Untuk apa berunding terlalu lama dan kasak-kusuk, Kakang Resi? Jika ingin membantuku, berilah bantuan secara apa adanya saja. Tak perlu dirundingkan seperti mau membangun sebuah negeri."

"Dia memang ngomongnya begitu. Suka ngaco!" bisik sang Resi kepada Bulan Sekuntum. Si kecil Awan Setangkai manggut-manggut.

"Bantuan apa yang kau harapkan dariku, Kusir Hantu?"

"Aku mencari seorang pemuda bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk. Jika kau tahu, tolong tunjukkan di mana dia. Jika tidak tahu, tolong harus tahu."

Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai sedikit terkejut mendengar Kusir Hantu mencari Suto Sinting. Resi Pakar Pantun hanya nyengir sinis dan berkata dalam sajak pantunnya,

"Monyet pikun berbiji jeruk, jeruk dibuka berisi handuk, Bicaramu memang terlalu empuk, tapi sebenarnya pantas dikutuk."

Kusir Hantu tertawa seenaknya, "He, he, he, he...! Aku hanya minta bantuanmu ala kadarnya."

"Ala kadarnya kok memaksa; harus tahu!" sang Resi bersungut-sungut. "Kalau kutahu di mana Pendekar Mabuk, barangkali sekarang aku sudah tidak bertemu denganmu. Karena kami sebenarnya sedang mencari di mana murid sintingnya si Gila Tuak itu."

"Jangan berbohong padaku, Kakang Resi. Pepatah mengatakan, 'Seberat mata memandang lebih berat ketiban gajah', jadi sebaiknya tolong beri tahukan padaku di mana Pendekar Mabuk."

Bulan Sekuntum menjadi dongkol mendengar nada bicara Kusir Hantu yang bersifat memaksa itu. Maka ia pun menyapanya dengan menyerahkan Awan Setangkai lebih dulu kepada si Kadal Ginting. "Kusir Hantu...!"

"Hai, manis...!" balas si Kusir Hantu sambil nyengir dan melambai sekejap.

"Kau jangan cari perkara dengan kami. Kami sedang pusing mencari di mana si Pendekar Mabuk. Kalau kau cari perkara dengan kami, maka aku yang akan membungkam mulutmu, Kusir Hantu!"

"Sabar, nona manis. Tanpa kau bungkam pun aku sudah pintar membungkam mulut orang," ujarnya sambil nyengir, lalu jarinya berbunyi: klik..., seperti memanggil ayam. "Siapa namamu, Nona manis?!" tanyanya kepada Bulan Sekuntum.

"Ehhmm... uuh, uuh... eeh, uuh...!" Bulan Sekuntum terkejut bukan kepalang. Ternyata ia tak bisa bicara lagi. Tenggorokannya terasa tersumbat sesuatu, hingga sukar keluarkan suara, ia menjadi bisu dan membuat Awan Setangkai serta Kadal Ginting terperanjat kaget.

"Bulan... Bulan Sekuntum, bicaralah padaku, Bulan!" sambil Kadal Ginting mengguncang-guncang lengan Bulan Sekuntum.

"Ah, uuh, huk, hak, puih, puah, puh, puh...!" Bulan Sekuntum benar-benar menjadi bisu. Gadis itu menjadi marah. Serta-merta tubuhnya melayang menerjang Kusir Hantu. Weess...! Kakinya menendang ke arah wajah si Kusir Hantu dengan cepat.

Ploook...! Kusir Hantu jatuh terjengkang ke belakang dan berguling-guling dua kali. Ia segera bangkit lagi, tapi baru separo berdiri sudah diserang Bulan Sekuntum dengan tendangan memutar balik. Wuees...!

Plook...! Wajah Kusir Hantu disabet kibasan kaki dengan telak sekali. Ujung kaki Bulan Sekuntum kenai pelipis tokoh tua itu, dan tubuh kurus si Kusir Hantu terlempar ke samping hingga membentur seonggok karang. Beehk...! Kusir Hantu menyeringai kesakitan, ia duduk bersimpuh sambil mengusap-usap wajahnya yang terkena tendangan dua kali.

"Tendanganmu cukup lumayan, Nona," ujarnya dengan wajah dibuat memelas. "Tapi sayang sekali kau belum tahu siapa aku."

Bulan Sekuntum ingin menyerang dengan suara geram. Tiba-tiba langkah dan gerakannya terhenti. Bahkan mendadak kedua tangannya pegangi wajah dan ia mundur sambil mengaduh tertahan. "Uuh...! Uuuuaaah...!" Bulan Sekuntum terlempar dengan sendirinya. Ketika ingin bangkit, tiba-tiba terpelanting ke samping dan berguling-guling, seperti ada sebuah tenaga tak terlihat yang melemparkannya. Pada waktu itu, Kusir Hantu sedang bangkit berdiri dan cengar-cengir memperhatikan Bulan Sekuntum.

"Pujasera! Hentikan permainanmu!" sentak Resi Pakar Pantun. Sang Resi buru-buru hampiri Bulan Sekuntum dan membantunya untuk berdiri. Bulan Sekuntum mengerang kesakitan sambil pegangi wajahnya. "Bulan, kau belum tahu bahwa Kusir Hantu mempunyai ilmu 'Timpal Rasa' yang jarang dimiliki orang. Jika kau menendang wajahnya, maka kau yang akan merasakan sakitnya. Jika kau memukul dadanya, kau yang akan merasakan sakit di dada. Jangan serang dia, Bulan Sekuntum. Nanti kau bisa celaka sendiri. Ilmu 'Timpal Rasa' tidak bisa dilawan dengan cara seperti tadi."

"Puh, puh, uah, au, au...!" sambil Bulan Sekuntum menuding-nuding mulutnya.

Resi Pakar Pantun paham akan maksud ucapan gagunya itu, maka ia segera berkata kepada si Kusir Hantu, "Lepaskan kebisuannya! Dia minta kau kembalikan suaranya!"

Klik...! Jari tangan Kusir Hantu menjentik bagai memanggil ayam.

"Setan...!" langsung suara Bulan Sekuntum membentak keras dengan mata melotot. "Aku tak takut kau punya ilmu apa pun!"

"Sss... sudah, sudah," bujuk Resi Pakar Pantun.

Gadis itu pun bersungut-sungut sambil mundur, hampiri Kadal Ginting yang memegangi tubuh kecil si Awan Setangkai. Awan Setangkai berkata, "Jangan lawan dia dulu untuk sementara. Kita harus curi kelemahannya dulu kalau mau melawannya."

Bulan Sekuntum hanya mendengus sambil membersihkan tubuhnya yang kotor oleh pasir pantai itu. Matanya memandang tajam penuh permusuhan kepada si Kusir Hantu. Tapi yang dipandang hanya cengar-cengir bagai tak merasa bersalah sedikitpun.

"Pujasera...," ujar sang Resi. "Aku berkata yang sebenarnya, bahwa aku tak tahu di mana Pendekar Mabuk berada. Justru sekarang aku ganti bertanya padamu, mengapa kau mencari Pendekar Mabuk?"

"Aku disewa oleh Cendana Sutera untuk menangkap dan membawa Pendekar Mabuk ke istana Selat Bantai. Pepatah mengatakan: 'Ada uang abang sayang, tak ada uang abang mencuri'. Oleh sebab itu aku harus bisa menemukan Pendekar Mabuk, Kakang Resi."

"O, jadi hanya demi upah kau mencari Pendekar Mabuk? Serendah itukah harga dirimu sebagai sahabatku, Pujasera?"

"Lho, aku kepepet!" sangkalnya. "Kalau tidak kepepet ya tentunya tidak serendah itu harga diriku. Biarpun Cendana Sutera pernah menyelamatkan cucuku, walaupun sekarang akhirnya cucuku mati juga akhirnya, tapi aku ingin menebus budi baiknya. Karena itu aku tidak keberatan ketika Cendana Sutera menyuruhku menangkap pencuri itu. Pepatah mengatakan: 'Setinggi-tinggi terbang bangau akhirnya akan hinggap ke pelaminan juga'."

"Tunggu dulu...!" sergah Resi Pakar Pantun. "Kau bilang tadi, kau disuruh menangkap pencuri?"

"Memang begitulah perintahnya."

"Siapa yang kau sebut sebagai pencuri itu?"

"Siapa lagi kalau bukan Pendekar Mabuk."

Resi Pakar Pantun dan yang lainnya terperanjat. Sang Resi sempat memandang Bulan Sekuntum, kemudian kembali menatap Kusir Hantu saat si Kusir Hantu berkata,

"Pepatah mengatakan: 'Jauh di mata dekat di dosa', itulah pencuri!"

"Suto bukan pencuri!" seru Awan Setangkai dengan suara kecilnya.

"Aih, aih... adik kecil ikut bicara juga rupanya. Sudah umur berapa kau, Dik?" Kusir Hantu mendekati Kadal Ginting. "Aduh manisnya... kalau tidur masih ngompol apa tidak, Dik?"

"Cuih...!" Awan Setangkai meludah. Tapi ludahnya hanya sedikit dan tak sampai kena wajah Kusir Hantu. Ludah itu jatuh di tangan Kadal Ginting, lalu Kadal Ginting mendengus kesal sambil menggerutu,

"Tak usah main ludah, malah bikin kotor tanganku saja!"

Bulan Sekuntum maju menghadang di depan Kusir Hantu. "Pendekar Mabuk bukan pencuri! Jangan bicara seenak gigimu saja, ya?"

"Lho, menurut penjelasan yang kuterima dari Cendana Sutera memang begitu; Suto Sinting alias Pendekar Mabuk telah mencuri sebuah kitab pusaka milik istana Selat Bantai. Lalu, aku dimintai bantuannya untuk menangkap Pendekar Mabuk! Pepatah mengatakan. "

"Pepatah, pepatah...! Lehermu itu yang patah!" sergah Resi Pakar Pantun dengan bersungut-sungut.

Kusir Hantu nyengir sambil mengusap lehernya seakan takut kalau benar-benar patah.

"Kau termakan fitnah, Kusir Hantu! Pendekar Mabuk memang dicari-cari oleh Ratu Cendana Sutera, tapi bukan karena mencuri kitab pusaka, melainkan karena ingin dijadikan penabur benih bagi perempuan-perempuan di sana selama masa sebulan kesuburan datang. Bulan kesuburan itu datangnya seratus tahun sekali. Selama sebulan kesuburan tidak datang, maka perempuan Selat Bantal tak bisa mempunyai keturunan alias mandul. Jadi karena sekarang bulan kesuburan telah datang, maka Ratu Cendana Sutera mencari darah seorang ksatria untuk menaburkan benih di rahim mereka sebagal cikal bakal keturunan mereka."

Bulan Sekuntum menimpali, "Dan pria penabur benih yang dipilih mereka adalah Pendekar Mabuk!"

Awan Setangkai ikut bicara, "Setelah itu Pendekar Mabuk akan dibunuh. Sebab dengan membunuh pria yang telah memberi benih keturunan maka anak-anak mereka akan menjadi lebih perkasa dan menurut kepercayaan, mereka akan panjang umur. Kesaktian si penabur benih akan mengalir pada darah keturunan yang mereka kandung jika si penabur benih dibunuh."

Kusir Hantu mengernyit dahi, "Kalau begitu, itu namanya fitnah!"

"Memang fitnah!" sentak Resi Pakar Pantun.

"Padahal pepatah mengatakan: 'Fitnah itu lebih kejam daripada tidak difitnah', iya toh?!"

"Memang iya!"

"Lalu, mengapa kalian memfitnah Ratu Cendana Sutera seperti itu?"

"Lho!..?!" sang Resi bingung, yang lain juga ikut bingung.

Kusir Hantu jelaskan maksudnya, "Sudah tahu kalau fitnah itu tidak baik, mengapa Kakang Resi memfitnah Cendana Sutera dengan cerita yang kalian karang bersama itu?"

"Yang memfitnah itu Cendana Sutera! Bukan kami!"

"Cendana Sutera itu seorang Ratu. Masa' Ratu kok memfitnah yang bukan Ratu? Mana mungkinlah yaow...!"

"Kau percaya padaku atau pada Cendana Sutera?!"

"Pepatah mengatakan."

"Tak usah pakai patah-patahan!" sentak Resi Pakar Pantun dengan jengkel. "Yang penting, aku tidak tahu di mana Pendekar Mabuk, dan Pendekar Mabuk tidak mencuri kitab apa-apa dari Selat Bantai! Titik!"

Kusir Hantu garuk-garuk kepala, clingak-clinguk ke sana-sini.

"Kalau kami temukan Pendekar Mabuk dan kau akan menangkapnya, maka kami akan bertindak menghalangimu, Kusir Hantu!" tegas Bulan Sekuntum bagai tak punya rasa takut sedikit pun walau kepalanya masih terasa sakit.

"Baiklah," kata si Kusir Hantu kepada Resi Pakar Pantun. "... agaknya aku memang harus mencari Pendekar Mabuk sendiri. Mana yang lebih dulu dapat: kau atau aku. Kalau aku lebih dulu mendapatkan si Pendekar Mabuk, maka aku akan menangkap dan membawanya ke istana Selat Bantai. Tapi kalau kau yang lebih dulu menemukan Pendekar Mabuk, maka aku akan merebutnya dari tanganmu, Kang Resi!"

"Berarti kau menantang beradu nyawa denganku, Pujasera?!"

"Demi membalas kebaikan si Cendana Sutera, mungkin memang aku harus pertaruhkan nyawaku dalam hal ini."

"Manusia picik!" geram sang Resi.

"Pepatah mengatakan: 'Gajah mati meninggalkan belang, harimau mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan hutang'. Karenanya, aku harus menebus hutangku kepada Cendana Sutera dengan menangkap Pendekar Mabuk. Permisi!" Weeesss...! Kusir Hantu lenyap begitu saja, berkelebat secepat setan lewat. Mereka sama-sama tertegun dalam kecemasan.

"Agaknya Kusir Hantu lebih mempercayai kata-kata Ratu Cendana Sutera, Eyang Resi," kata Kadal Ginting.

"Memang, dan aku tak sangka kalau dia sebegitu bodohnya."

"Mungkin kebanyakan pepatah, membuatnya menjadi bodoh!" Kadal Ginting geleng-gelengkan kepala.

* * *

DUA

SUDAH dua malam lewat, Suto Sinting masih belum tertangkap Ratu Cendana Sutera, ia berada di pondok Ki Palang Renggo yang beristri cantik serta muda: Nyai Sedap Malam, ia di sana karena membawa Elang Samudera, sahabatnya, yang terluka dari pelariannya. Sejak Suto Sinting berhasil selamatkan Elang Samudera yang melarikan diri dari Istana Selat Bantai, ia tinggal di pondok Ki Palang Renggo.

Elang Samudera terluka parah dan penyembuhannya cukup lambat. Seandainya saat itu bumbung tuak Suto ada di tangannya, maka Elang Samudera dapat disembuhkan dalam waktu beberapa kejap saja dengan cara meminum tuak dari dalam bumbung sakti tersebut. Tapi sayang bumbung tuak itu ada di tangan rombongan Resi Pakar Pantun, dibawa oleh Kadal Ginting. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan bumbung tuak tersebut yang terpental jatuh pada saat Suto dan Awan Setangkai melawan Lantang Suri.

Selama dua malam bulan kesuburan, pihak Ratu Cendana Sutera kebingungan mencari Pendekar Mabuk. Padahal Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai Ilmu yang dinamakan 'Kelana Iblis', yang dapat mengetahui di mana orang yang dicari-carinya berada. Tapi anehnya selama dua malam kesuburan ini, Nyai Ratu bagaikan kehilangan jejak Suto Sinting.

"Ilmu 'Kelana Iblis' membuat buronan Cendana Sutera selalu tertangkap atau diketahui tempat persembunyiannya," ujar Nyai Sedap Malam, istri Ki Palang Renggo itu. "Tetapi jika kau mengenakan kalung 'Akar Minang', maka ilmu 'Kelana Iblis' tidak bisa temukan di mana kau bersembunyi."

Pendekar Mabuk saat itu memang mengenakan kalung dari 'Akar Minang', sebuah akar dari pepohonan yang tumbuh di hutan liar. Akar tersebut berpengaruh dapat membingungkan langkah orang jika orang tersebut melangkahinya secara tak sadar. Nyai Sedap Malam yang memberikan akar itu kepada Suto Sinting, sebab Nyai Sedap Malam mengetahui kelemahan ilmu 'Kelana Iblis' tersebut.

Perempuan muda dan cantik serta montok itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, ia bekas prajurit Istana Selat Bantai. Tapi ia telah keluar secara terusir dari wilayah Selat Bantai karena bersedia menikah dengan Ki Palang Renggo yang usianya sudah mencapai enam puluh tahun. Ki Palang Renggo adalah orang yang tidak setuju dengan pemerintahan Ratu Cendana Sutera, sehingga ia dianggap musuh bagi pihak Istana Selat Bantai. Sedangkan Ki Palang Renggo adalah sahabat dari gurunya Elang Samudera, yaitu, Pendeta Darah Api, dan sahabat gurunya Suto Sinting; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.

Nyai Sedap Malam sendiri baru saja sembuh dari luka pertarungan dengan Lantang Suri. Ki Palang Renggo yang selamatkan dirinya itu, sehingga sekarang Nyai Sedap Malam dan Ki Palang Renggo bekerja sama mengobati Elang Samudera.

"Kalau saja bumbung tuakku ada dan tuaknya belum habis, pasti Elang Samudera cepat sembuh, Nyai."

"Aku percaya, kau mempunyai bumbung tuak yang sakti, sehingga beberapa orang ada yang menjulukimu Tabib Darah Tuak. Tapi jika bumbung tuak itu tidak ada di tanganmu, apakah Elang Samudera harus dibiarkan mati? Biar pelan tapi lukanya akan sembuh dan kesehatannya akan pulih kembali," ujar Nyai Sedap Malam.

"Rasa-rasanya aku perlu pergi mencari bumbung tuakku dulu, Nyai. Setelah kutemukan bumbung tuakku, aku akan mencari Awan Setangkai yang juga menjadi kecil sepertiku dulu. Dengan tuak dari bumbung itu aku yakin Awan Setangkai dapat pulih menjadi gadis dewasa seperti sediakala."

"Jika itu kemauanmu, aku tak bisa melarang. Hanya pesanku, berhati-hatilah... terutama terhadap wanita cantik."

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum malu. "Mengapa Nyai bilang begitu?"

"Karena ketampananmu begitu sering membuat setiap perempuan lupa daratan," sambil mata Nyai Sedap Malam melirik suaminya yang sedang lakukan kesibukan di pojok rumah. Lalu matanya melirik ke arah Suto Sinting dengan senyum berkesan genit. "Kusarankan, sebaiknya kau bersembunyi sampai tujuh hari dan tak perlu menghadapi orang-orang Selat Bantai. Karena masa bulan kesuburan berlaku hanya sampai tujuh hari saja. lewat dari tujuh hari mereka akan menjadi perempuan-perempuan mandul lagi. Tak akan bisa punya keturunan sebelum seratus tahun kemudian, di mana masa Bulan Kesuburan datang kembali."

"Aku akan berusaha menuruti saranmu. Nyai," ujar Suto, sebelum akhirnya ia pamit pergi mencari bumbung tuaknya. Pemuda gagah berbadan tegap yang memakai baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih kusam itu pergi sendirian menuju tempat pertarungannya dulu. Pendekar Mabuk masih ingat tempat itu, yaitu di sebuah lembah yang menuju ke istana Selat Bantai. Kalung dari 'Akar Minang' masih dikenakannya dan membuat ia tak bisa dipantau oleh Ratu Cendana Sutera. Sekelebat bayangan tampak melintas, di depan Suto.

"Rasa-rasanya aku pernah kenal orang itu?" pikir Suto Sinting sambil hentikan langkah dan pandangan matanya ikuti gerakan lari orang tersebut. "Mengapa ia lari seperti dikejar setan? Apa gerangan yang membuatnya lari ketakutan begitu?! Hmmm... sebaiknya kuikuti saja dia. Aku jadi penasaran ingin tahu apa yang terjadi pada dirinya."

Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya, Pendekar Mabuk segera memotong jalan menghadang orang tersebut. Tetapi ternyata sudah ada orang lain yang menghadang orang itu, sehingga Suto Sinting buru-buru bersembunyi di balik gerumbulan semak. Orang yang menghadang itu adalah si Kusir Hantu. Tetapi Suto masih merasa asing dengan si Kusir Hantu sebab memang ia belum mengenalnya dan baru kali ini melihat penampilan si Kusir Hantu.

Orang yang dihadang Kusir Hantu itu adalah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, celananya hitam dan memakai sabuk hitam pula, tanpa mengenakan baju. Sekujur badannya penuh dengan tato. Orang bertubuh kekar dan berotot itu tak lain adalah si Raja Tato yang punya nama asli Ogawa dari negeri Sakurata, Pendekar Mabuk pernah berhadapan dengan si Raja Tato ketika ia harus membela Resi Pakar Pantun dalam perkara gadis puteri Adipati yang bernama Muria Wardani alias di Telaga Sunyi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Penguasa Teluk Neraka).

Melihat langkahnya dihadang oleh si Kusir Hantu, Raja Tato terpaksa hentikan jangkah dan tangannya mulai pegangi gagang samurai dan siap mencabutnya. Matanya yang kecil tampak memandang tajam namun juga berkesan bingung, seakan mencari tempat untuk larikan diri. Agaknya Raja Tato sudah dihajar lebih dulu oleh si Kusir Hantu, karena mata kirinya tampak biru lebam, dan bagian sudut bibir tampak berdarah.

"Siapa lawan si Raja Tato itu? Kelihatannya Raja Tato ketakutan berhadapan dengan orang kurus yang tak punya tampang galak itu," Suto Sinting membantin dari persembunyiannya. Telinganya dipasang baik-baik untuk menyimak percakapan mereka.

"Mau lari ke mana lagi kau, Bocah bagus?!" Kusir Hantu tampak kalem, seakan menghadapi teman sendiri.

Tapi si Raja Tato bagai tak ingin lengah sedikit pun. Ia melangkah ke samping pelan-pelan mencari kesempatan untuk menyerang, tapi mungkin juga mencari kesempatan untuk kabur. Yang jelas ia lebih tegang daripada si Kusir Hantu.

"Ke mana pun kau pergi akhirnya akan bertemu denganku juga, Raja Tato. Selama hutang nyawa belum kau balas, kau tetap akan diburu oleh dosamu sendiri. Bagaimanapun juga cucuku yang tewas di tanganmu tetap menuntutku agar membalaskan kematiannya. Pepatah mengatakan: 'Hutang beras bayar beras, hutang nyawa bayar nyawa'. Tidak ada hutang nyawa bayar ubi!"

"Nyawamu sendiri yang akan menjadi bayarannya, Kusir Hantu! Jangan kau sangka aku lari karena takut padamu, tapi aku lari karena mencari tempat yang lega."

"Itu alasan kuno!" sambil si Kusir Hantu nyengir seperti kuda kepang. "Pepatah mengatakan: 'Tak ada tali akar pun berguna, tak ada nyali akal pun berguna'. Jadi, tali dan akar itu seperti nyali dan akal!"

"Jangan banyak bicara!" bentak Raja Tato menampakkan murkanya. "Sekarang apa maumu, lakukanlah! Aku telah siap menyambut nyawamu!"

"He, he, he... jangan buru-buru, kita ngobrol-ngobrol dululah, Cing!" ujarnya berseloroh, sangat meremehkan lawannya.

Sang lawan menjadi semakin berang, akhirnya Raja Tato menyerang lebih dulu dengan mencabut samurainya begitu cepat.

Seeett...! Wuuutt, wuuutt...!

Samurai ditebaskan dua kali tapi tak pernah kenai sasaran. Kusir Hantu hanya menghindar dengan cara miring ke kiri atau ke kanan. Kakinya tetap tegak di tempat tanpa bergeser sedikit pun. Itu menandakan Kusir Hantu punya gerakan lebih gesit dan lebin cepat dari tebasan samurai.

Ketika Raja Tato hujamkan samurainya ke perut Kusir Hantu, ujung samurai itu hanya dihindari dengan melengkungkan badan ke belakang dan sedikit lakukan lompatan. Wuutt...! Raja Tato maju selangkah dan menusukkan samurainya lagi, Kusir Hantu melengkung ke belakang dan sedikit lompat, wuuttt...!

Suut, wuut...! Suuut, wuutt...! Suuutt, wuuutt...!

Suto menutup mulutnya yang hampir saja tertawa geli karena melihat Kusir Hantu seperti kodong kungkong yang melompat mundur. Wajah si Kusir Hantu tak kelihatan cemas atau gentar sedikit pun, bahkan tusukan samurai itu dihindari dengan bibir tersenyum-senyum bagai mainan.

Tiba-tiba Raja Tato bergerak lebih cepat lagi. "Heeeaat...!" Samurainya dikibaskan beberapa kali ke kanan-kiri, atas-bawah, sambil mendesak si Kusir Hantu. Weess...! Raja Tato tetap lakukan tebasan kilat membabi buta, padahal lawannya sudah tidak ada di tempat, ia tak sempat melihat si Kusir Hantu pergi tinggalkan tempat dan kini berada di belakangnya dalam jarak enam langkah.

"Perpindahan tempat dilakukan sangat cepat. Itu berarti orang yang bernama Kusir Hantu mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi dan gerakan yang menyerupai jurus 'Gerak Siluman-ku," pikir Suto sambil masih menjadi penonton yang baik dan tak mau berbisik sedikit pun.

"Hei, Bocah bagus...! Mau menebas lalat atau menebas nyamuk kau, Nak?" ejek si Kusir Hantu sambil cengar-cengir.

Raja Tato semakin marah karena merasa dipermainkan. Begitu ia berbalik, langsung lakukan lompatan cepat sambil menebaskan samurai seakan ingin membelah kepala si Kusir Hantu. Wuuss...! Weeett...!

Graakk...!

"Iih...!" Suto bergidik sambil pejamkan mata. Ia melihat jelas kepala si Kusir Hantu terbelah oleh samurai. Padahal ia sudah sering melakukan perlawanan hingga menewaskan lawannya, tapi baru sekarang ia bergidik merinding melihat kepala terbelah bagai semangka tanpa biji.

"Lho... kenapa begitu?! Lho... lho...?! Wah, edan betul orang itu?!" Suto Sinting lebarkan mata dengan rasa heran dan terkagum-kagum. Ketika ia membuka matanya tadi, ternyata kepala Kusir Hantu dalam keadaan utuh. Tanpa darah tanpa luka sedikit pun. Bahkan tergores pun tidak.

Tapi sebaliknya, si Raja Tato mulai sempoyongan dengan lemas. Samurainya jatuh dari genggaman. Kepalanya berlumur darah dan tampak terbelah. Akhirnya dengan mata mendelik si Raja Tato tumbang tak bernyawa.

"Kurasa yang bernama si Kusir Hantu mempunyai jurus atau ilmu seperti jurus 'Alih Raga' seperti yang kumiliki. Buktinya, dia yang dibelah kepalanya dengan samurai, tapi kepala lawan yang terbelah sendiri. Diam-diam hebat juga ilmunya, nyaris seperti orang tak berilmu," ucap Suto Sinting dalam hatinya. Pandangan mata masih tertuju pada si Kusir Hantu yang sedang geleng-geleng kepala pandangi mayat Raja Tato.

"Ogawa, Ogawa... ilmu masih seupil saja pakai bunuh cucuku. Apa kau tak tahu kalau si Manis Jembatan Reot itu cucu kesayanganku? Mengapa kau bunuh? Akibatnya, yaah... beginilah, kau harus kehilangan nyawa untuk membayarnya. Pepatah mengatakan: 'Buruk cermin di muka, buruk pula orangnya', artinya biar bagaimanapun banyaknya tatomu, tetap saja kau berwajah buruk!"

Pendekar Mabuk tertawa tertahan. "Konyol juga dia orangnya." Tapi tawa itu segera hilang dari batin Suto Sinting. Wajah berseri pun tak ada lagi di permukaan rupa sang Pendekar Mabuk yang sebenarnya sangat tampan itu. Alis dan kulit keningnya menjadi berkeriput karena mengerut. Hal itu disebabkan karena ia melihat si Kusir Hantu tiba-tiba terpental oleh sebuah tendangan yang datangnya dari belakang.

Agaknya tendangan itu bertenaga dalam cukup tinggi, karena Kusir Hantu bukan saja terlempar sejauh delapan langkah dan terbanting dengan kerasnya, namun juga membuat mulut si Kusir Hantu semburkan darah segar dan hidungnya pun mengucurkan darah pula. Kusir Hantu segera terkapar bagai tak berdaya lagi. Wajahnya menjadi biru, matanya terbeliak-beliak. Tapi ia masih berusaha untuk bertahan, menyalurkan hawa murninya untuk menahan luka dalam yang cukup parah.

Pendekar Mabuk yang semula jongkok, kini berdiri karena melihat jelas siapa orang yang menyerang si Kusir Hantu. Orang tersebut mengenakan kain kerudung hitam dar kepala sampai kaki. Menggenggam sebuah tongkat berujung pisau pemenggal berbentuk lengkung mirip paruh bangau. Wajah orang di balik kerudung hitam itu memancarkan kebekuan; dingin dan pucat memutih, bibirnya berwarna biru. Kesan angkernya tak kentara, tapi melalui pandangan matanya yang dingin ia tampak berhati bengis.

Orang tersebut tak lain adalah Siluman Tujuh Nyawa yang bernama asli Durmala Sanca. Dia adalah musuh utama Pendekar Mabuk, karena pengembaraan si Pendekar Mabuk bertujuan memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh sesat yang paling kejam dan ditakuti oleh para tokoh golongan hitam itu bukan hanya berilmu tinggi, namun juga licin bagaikan belut dan licik bagaikan ular.

Pendekar Mabuk menyipitkan mata pertanda mulai bangkit nafsu pertarungannya melihat kehadiran Siluman Tujuh Nyawa. Sayangnya ia tidak membawa bumbung tuak saktinya. Namun haruskah ia takut menghadapi tokoh sesat itu dalam keadaan tanpa bumbung tuaknya?

* * *

TIGA

KUSIR Hantu mempunyai cara penyembuhan sendiri yang cepat melenyapkan luka dalamnya. Hanya saja, Siluman Tujuh Nyawa ternyata tak mau membiarkan si Kusir Hantu hidup sampai hari esok. Tokoh terkutuk itu segera menyabetkan senjatanya yang diberi nama Tongkat El Maut. Weeess...! Tongkat itu bagaikan ingin membongkar seluruh isi dada Kusir Hantu. Pada saat itu Kusir Hantu sedang bergerak untuk bangkit dengan lemah. Ketika datang sabetan tongkat tajam itu, ia nyaris tak bisa lakukan apa-apa.

Wuutt...! Tiba-tiba tubuh Kusir Hantu melayang karena ada yang menyambarnya. Dalam sekejap si Kusir Hantu sudah berada di seberang jauh dari Siluman Tujuh Nyawa.

"Keparat!" gumam Siluman Tujub Nyawa dengan nada datar bagai tak berperasaan. Namun hatinya segera terperanjat setelah mengetahui siapa orang yang menyambar Kusir Hantu. Tak lain adalah pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala. Dia adalah Pendekar Mabuk, lawan yang selalu membuatnya nyaris mati itu.

Pendekar Mabuk segera letakkan tubuh Kusir Hantu di bawah pohon belakangnya. Kemudian ia berdiri tegak dan sedikit busungkan dada menghadap ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Mereka saling pandang dengan penuh keberanian dalam jarak delapan langkah.

"Kau...!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan pelan namun bernada benci.

"Ya, aku! Kenapa? Terkejut?"

Kusir Hantu sempat berkata dengan nada berat, "Nak, jangan layani dia. Kau akan celaka dibuatnya. Minggirlah."

Pendekar Mabuk tak hiraukan anjuran si Kusir Hantu, ia justru maju dua langkah sementara Siluman Tujuh Nyawa tetap di tempatnya. Tongkatnya berkelebat memutar dengan cepat, lalu diam di samping kirinya.

"Kita tentukan saatnya siapa yang tumbang sekarang!" ujar Siluman Tujuh Nyawa.

"Berjanjilah untuk tidak melarikan diri lagi," balas Suto dengan nada tegas, tapi tetap tenang.

Siluman Tujuh Nyawa sentakkan tongkat ke tanah. Duuuhk...! Wuuurrrh...! Bumi berguncang, pohon-pohon bergetar, daun-daun beterbangan. Bahkan ada beberapa pohon yang kehilangan semua daunnya karena rontok. Batu-batu besar pun tampak bergetar dan menghamburkan serpihan kecil.

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis walau tadi ia sempat sempoyongan karena mau jatuh akibat tanah yang dipijaknya berguncang. Sebagian tanah di dekatnya menjadi retak walau tak seberapa parah.

"Apa maksudmu pamer ilmu seperti itu di depanku, Durmala Sanca?!"

"Supaya kau tahu bahwa saat ini aku sedang selesaikan urusan dengan si Kusir Hantu! Dia harus serahkan nyawanya karena menghancurkan kuil semadiku!"

"Ak.. aku tak sengaja menghancurkannya. Aku tak bermaksud melepaskan pukulan ke arah kuilmu!" ujar Kusir Hantu dengan suara lemah dan terengah-engah.

"Selesaikan dulu urusanmu denganku, baru kau berurusan dengan Pak Tua ini!" sambil Suto Sinting menuding si Kusir Hantu yang masih ada di belakangnya, duduk bersandar pada pohon bagai orang kecakepan. Darah masih keluar dari mulutnya dan sesekali diusap dengan telapak tangan.

"Nak, pergilah cepat. Jangan layani orang gila itu!" Kusir Hantu mencoba mengingatkan Suto lagi, tapi pemuda tampan itu tetap tidak hiraukan kata-kata si Kusir Hantu. Karena pada saat itu Siluman Tujuh Nyawa segera berkata,

"Kalau itu maumu, terimalah ajalmu sekarang juga!" Buuss...! Asap mengepul dalam satu sentakan, membungkus tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Dalam sekejap saja sosok manusia berkerudung hitam itu sudah berubah menjadi seberkas sinar merah yang berpijar-pijar bagaikan bola berduri. Sinar merah itu segera melayang cepat menerjang Suto Sinting. Weeess...!

Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk berpindah tempat dalam waktu yang amat singkat. Zlaaapp...! Sinar merah berpijar-pijar akhirnya menghantam sebuah pohon sepuluh langkah dari tempat si Kusir Hantu berada.

Blegaaarr...! Pohon itu hancur menjadi serpihan kayu yang menyebar ke atas dan jatuh berhamburan bagaikan hujan. Kusir Hantu pandangi kejadian itu dengan mata tak berkedip. Tapi sinar merah berpijar-pijar itu masih melayang-layang di udara seakan mencari kesempatan untuk menyerang Pendekar Mabuk lagi.

"Hmmm... rupanya dia punya ilmu baru," ujar si Pendekar Mabuk dalam hatinya. "Aku pun akan mencoba ilmu baruku pemberian dari Payung Serambi."

Buusss...! Asap menyembur dari tanah membungkus tubuh Suto Sinting. Dalam sekejap asap itu lenyap dan Suto Sinting berubah menjadi seberkas sinar hijau muda berekor panjang. Ilmu pemberian Payung Serambi yang bernama ilmu "Dewatakara' itulah yang membuat Suto Sinting bisa berubah menjadi sinar hijau, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Geger di Selat Bantai).

Sinar hijau itu segera melesat pada saat sinar merah menyerangnya. Kedua sinar tersebut akhirnya saling bertabrakan di pertengahan jarak.

Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi kembali. Benturan kedua sinar itu juga memancarkan kilatan cahaya biru yang menyebar ke langit, membuat langit terang menjadi redup. Kedua sinar tersebut sama-sama terpental dan jatuh ke tanah. Buuusss...! Dua asap mengepul dari tanah tempat jatuhnya sinar, lalu tampaklah wujud mereka masing-masing dalam keadaan sama-sama berdiri saling berhadapan. Pendekar Mabuk keluarkan darah dari hidungnya. Wajah pun menjadi sedikit pucat.

Tetapi di pihak Siluman Tujuh Nyawa ternyata keadaannya lebih parah sedikit dari Suto Sinting. Darah keluar dari hidung dan kedua mata Siluman Tujuh Nyawa. Darah itu kental dan mengalir perlahan-lahan. Sedangkan kain kerudung hitamnya terbakar pada bagian tepi hingga kepulkah asap samar-samar. Bau kain terbakar menyebar ke mana-mana.

Pendekar Mabuk menghapus darah dengan kain ujung bajunya seperti anak kecil ingusan. Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa menggeloyor sendiri ke belakang nyaris jatuh. Rupanya ia terluka cukup parah, tapi ditahannya mati-matian, ia malu untuk jatuh di depan Pendekar Mabuk, maka buru-buru menggunakan tongkatnya untuk bertahan.

Melihat keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk semakin bersemangat untuk lakukan serangan berikutnya. Dalam hati sang pendekar tampan itu berkata, "Dia sudah mulai rapuh! Sekaranglah saatnya menghabisi riwayat hidupnya!"

Tetapi baru saja Pendekar Mabuk mengangkat tangannya untuk menggunakan jurus 'Manggala', tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa lakukan lompatan ke samping. Blaass...! Tahu-tahu ia menghilang bagi masuk ke dalam lapisan udara. Sluub...!

"Keparat!" geram Suto Sinting, "Ia lari ke alam gaib! Aku harus mengejarnya selagi ia rapuh!"

Tapi ketika Suto Sinting mau mengejar ke alam gaib, tiba-tiba Kusir Hantu sentakkan tangannya ke tanah dan tubuhnya melayang di udara. Wuuuss...! Brruukkk...! ia jatuh bersimpuh di depan Suto Sinting, buru-buru mengangkat kedua tangannya dan berkata,

"Cukup, cukup...! Jangan kejar dia, Nak. Jangan kejar dia! Dia masuk ke alam gaib dan kau tak akan bisa mengejarnya."

Suto Sinting nekat mengejar lawannya dengan lompati kepala Kusir Hantu. Tapi tangan Kusir Hantu segera berkelebat melepas pukulan tanpa sinar. Wuuutt...!Deesss...!

"Uuhk...!" Suto Sinting tersentak dengan tubuh melengkung ke depan, lalu jatuh berlutut. Pinggangnya bagai disodok dengan bambu keras. Sekujur tubuhnya nyeri, tulangnya linu, dan sodokan itu bagai terasa sampai ke ulu hati. Pendekar Mabuk akhirnya terengah-engah setelah bisa bernapas kembali dengan lega.

"Maaf," kata Kusir Hantu, "Terpaksa kulakukan demi keselamatanmu, Nak. Orang yang kau hadapi itu iblis yang paling iblis. Tak mungkin kau bisa mengalahkannya. Kalau ia kabur melarikan diri, bukan karena dia takut padamu, tapi karena dia mengatur siasat membuka jebakan untukmu. Kau bisa celaka tujuh turunan jika mengejarnya. Pepatah mengatakan: 'Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketinggalan', artinya lebih baik naik rakit pergi ke rumah penghulu, daripada cari penyakit ketinggalan nyawa."

"Sial! Percuma saja kukejar, dia pasti sudah jauh dariku," gerutu hati Pendekar Mabuk. Akhirnya ia menarik napas untuk meredakan rasa nyeri akibat sodokan tenaga dalam tadi.

Mereka berdua pindah ke tempat teduh. Suto Sinting masih biarkan Kusir Hantu mengatasi luka dalamnya dengan pengobatan pernapasannya. Sedangkan rasa sakit Suto sendiri tinggal bekas memar di pinggang belakang, sebentar lagi akan hilang dengan sendirinya. Suto tak hiraukan memar tersebut. Beberapa saat setelah Kusir Hantu selesai lakukan penyembuhan melalui napas murninya, Suto segera menegurnya dengan memandangi beberapa saat.

"Mengapa kau punya urusan dengan iblis terkutuk tadi, Pak Tua?"

Kusir Hantu sunggingkan senyum sedikit sambil mata memandang lurus bagai melamun. Lalu, terdengar suaranya yang bernada rendah itu. "Sebetulnya itu bukan salahku, tapi salah lawanku. Ceritanya begini...," Kusir Hantu terbatuk sebentar, kemudian lanjutkan kata, "Aku melepaskan pukulan kepada lawanku, pukulanku melesat, lalu mengenai kuil tempat semadinya. Kuil itu hancur dan dia terpaksa pindah tempat. Berarti yang salah lawanku, bukan? Coba kalau dia tidak hindari pukulanku, tentunya kuil si iblis laknat itu tidak hancur toh? Atau mungkin salahnya sendiri yang langsung menyangka aku bermaksud hancurkan kuilnya. Mestinya dia tanya dulu padaku, mengapa kuilnya hancur! Tapi, yah... pepatah mengatakan: 'Malu bertanya sesat di kamar'. Mau tak mau dia jadi seteruku!"

Suto Sinting sedikit sunggingkan senyum geli. "Agaknya Pak Tua ini gemar bermain pepatah walau kadang tak ada sangkut pautnya dengan apa yang dikatakannya. Tapi... ada seninya juga bersahabat dengan si Kusir Hantu ini!"

Kusir Hantu segera berkata, "Kau sendiri mengapa sampai berani menghadapi Siluman Tujuh Nyawa? Apakah kau tak sengaja menghadapi tokoh paling sesat itu atau memang kau ingin coba-coba ilmumu? Sebab kulihat, ilmumu boleh juga!" lalu ia manggut-manggut bagai membanggakan ilmu Suto yang dilihatnya tadi.

"Aku... ah, aku kebetulan saja berhadapan dengannya," ujar Suto Sinting, karena merasa tak perlu membeberkan masalah sebenarnya kepada Pak Tua itu. Menurutnya, terlalu lama jika bercerita tentang sejarah permusuhan dengan Siluman Tujuh Nyawa. Apalagi jika ia katakan bahwa kepala Siluman Tujuh Nyawa merupakan mas kawin yang harus diserahkan untuk melamar calon istrinya: Dyah Sariningrum, sang Ratu Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu, pasti Pak Tua itu semakin bingung.

"Dan kalau tadi aku menyambarmu, itu lantaran aku tahu kau tak berdaya dan aku harus lindungi orang lemah tak berdaya dari tangan kotor Siluman Tujuh Nyawa," sambung Suto Sinting.

"Terima kasih atas penyelamatanmu. Kupikir tadi aku sudah mati. Tapi, seandainya ia tidak menyerangku dari belakang, belum tentu ia mudah menumbangkan diriku lho, Nak,"

Suto Sinting tersenyum melihat Kusir Hantu sombongkan diri. Ia hanya manggut-manggut di sela senyumannya. Kusir Hantu sedikit kikuk dipandang demikian, karena ia merasa bahwa ucapannya belum tentu dipercaya oleh si anak muda tampan itu.

"Terus terang, aku kagum pada ilmu yang kau gunakan untuk melawan sinar merahnya Siluman Tujuh Nyawa tadi. Kusangka kau akan hancur saat bertabrakan di udara mirip bintang nyasar itu," ujar Kusir Hantu.

"Hanya sekecil itu ilmu yang kumiliki, Pak Tua."

"Ah, ilmu segitu sudah termasuk tinggi, Nak, Kurasa kau bisa membantu kesulitanku dengan ilmu seperti itu."

"Apa kesulitanmu, Pak Tua?"

"Aku harus melawan Pendekar Mabuk!" jawab Kusir Hantu polos sekali, ia tak perhatikan bahwa anak muda yang diajak bicara itu terperanjat sepintas walau segera berubah menjadi tenang kembali. "Aku ingin membalas budi baik seseorang dengan cara menangkap Pendekar Mabuk yang nama aslinya Suto Sinting. Kudengar, yang namanya Pendekar Mabuk itu orangnya ampuh, sakti, ilmunya gila-gilaan, makanya dinamakan Suto Sinting. Tapi biar bagaimanapun, aku harus bisa menangkap Pendekar Mabuk itu, walau terpaksa meminta bantuan seseorang untuk menandingi ilmunya. Itu seandainya ilmuku kalah sakti. Kalau ilmuku tidak kalah sakti, ya kutangani sendiri. Pepatah mengatakan: 'Hemat pangkal kaya, rajin pangkal pandai'. Bukankah begitu, Nak? Iya, toh?"

Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut dengan wajah tetap tenang dan ramah. "Apa kesalahan Pendekar Mabuk hingga kau ingin menangkapnya?"

"O, dia itu pencuri lho! Betul kok. Pencuri berani nekat ya dia itulah orangnya. Kitab pusaka milik Ratu Cendana Sutera dicurinya. Itu kan nekat namanya! Dia belum tahu kalau Ratu Cendana Sutera itu perempuan cantik yang berbahaya. Tindakannya bisa melebihi El Maut sang pencabut nyawa."

Kusir Hantu berapi-api menceritakannya membuat Suto Sinting gemas, ingin mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Tapi ia masih bisa menahan kedongkolan dan kegemasan hati, bahkan berlagak menjadi pendengar yang baik dengan memperhatikan setiap ucapan Kusir Hantu.

"Ratu Cendana Sutera itu penguasa Selat Bangkai, Nak. Aku punya hutang budi padanya, karena ia pernah menyelamatkan nyawa cucuku; si Manis Jembatan Reot, yang kemudian akhirnya mati di tangan Raja Tato," sambil melirik ke mayat Raja Tato di seberang sana. Sambungnya lagi, "Cendana Sutera memanggilku dan meminta bantuanku untuk menangkap Pendekar Mabuk agar kitab pusakanya kembali ke tangannya. Kusanggupi permohonannya itu demi membayar hutang budi baikku kepadanya. Walaupun aku tahu. Pendekar Mabuk itu berilmu tinggi, tapi aku yakin bisa menumbangkannya. Tidak sekarang, ya besok, tidak besok, ya lusa, tidak lusa ya besoknya lagi. Pepatah Jawa mengatakan: 'Alon- alon waton kelakon, gremat-gremet anunya Pak Slamet'. Artinya: biar pelan-pelan asal selamat, daripada cepat-cepat sampainya ke akhirat! Iya, kan?"

"Kurasa," kata Suto Sinting setelah diam sesaat, "Batalkan saja niatmu menangkap Pendekar Mabuk itu, Pak Tua."

"Lho, Pendekar Mabuk itu sekarang sudah jadi maling, Nak!" Kusir Hantu ngotot seakan anggapannya sendiri telah benar. "Kalau tidak buru-buru ditangkap, nanti kebiasaan; bisa-bisa kau punya ayam dicurinya. Itu kan memalukan rimba persilatan namanya. Seorang pendekar kok mencuri, jijik kan!"

Lama-lama panas juga hati Pendekar Mabuk. Tapi ia masih bisa menahan kesabaran. Setidaknya ia tahu ulah apa lagi yang dilakukan Ratu Cendana Sutera dalam upaya menangkapnya. Ternyata kali ini Nyai Ratu Cendana Sutera meminjam tangan Kusir Hantu dengan alasan jasa yang pernah dilakukannya. Si Kusir Hantu sendiri agaknya bodoh-bodoh pintar, sehingga dengan mudah mau mempercayai fitnah sang Ratu Cendana Sutera.

"Pencuri itu merugikan rakyat, Nak. Maka ia harus segera ditangkap dan diberi hukuman. Pepatah mengatakan: 'Kecil menjadi kawan, besar menjadi lawan'. Artinya, kalau pencurinya hanya satu, ya harus kita tangkap. Kalau pencurinya rombongan, kira-kira berjumlah lima puluh orang, naah... barulah kita kabur saja!"

Gaya bicara yang jenaka itu membuat rasa dongkol Suto Sinting bisa diredam baik-baik. Ia Ingin mengawali penjelasannya dengan lebih dulu ajukan tanya, "Kau sendiri sudah pernah bertemu dengan Pendekar Mabuk, Pak Tua?"

"Belum," Kusir Hantu menggeleng dengan wajah bego. "Tapi aku sudah tahu ciri-cirinya yang kudengar dari Ratu Cendana Sutera maupun dari mulut para tokoh kenalanku. Pokoknya yang namanya Pendekar Mabuk itu hanya punya satu ciri utama, yaitu ke mana saja perginya tak pernah ketinggalan selalu membawa bumbung tuaknya. Jika tidak membawa bumbung tuak, berarti dia bukan Pendekar Mabuk."

Dalam hati, si murid sinting Gila Tuak itu berkata, "Ooo... pantas ia tidak mencurigaiku sebagai Pendekar Mabuk, karena aku tak membawa bumbung tuak. Rasa-rasanya biar aku ngotot sampai uratku keluar semua, dia tidak akan percaya kalau aku memperkenalkan diri sebagai Pendekar Mabuk."

"Ciri-ciri yang lainnya, biasa saja. Yaaah... seperti pemuda umumnya; ganteng, tegap, gagah, lincah, pokoknya seperti kau itulah! Namanya saja pemuda, penampilannya pasti seperti kau, Nak. Pepatah mengatakan."

"Nasi telah menjadi bubur," ucap Suto Sinting bagai menyambar ucapan Kusir Hantu, tapi sebenarnya menyesali anggapan dan kepercayaan si Kusir Hantu yang sudah telanjur percaya dengan fitnah Ratu Cendana Sutera. Tapi Kusir Hantu menyangka Suto meneruskan kata-katanya, sehingga ia pun tampak berseri saat berkata,

"Ya, begitu! Nasi telah menjadi bubur. Maksudnya, kalau masih muda sudah menjadi pencuri maka tuanya nanti ya tetap akan menjadi pencuri."

Pendekar Mabuk menarik napas. Agak sakit juga dikatakan sebagai pencuri dan diramalkan sampai tua tetap menjadi pencuri. Hanya saja, sekali lagi benak Suto mengingat kepolosan dan kebodohan si Kusir Hantu, sehingga ia mampu untuk tidak melampiaskan kedongkolannya dengan kemarahan.

"Nak; bagaimana? Kau bersedia membantuku kalau seandainya aku kalah melawan Pendekar Mabuk?" bisik Kusir Hantu dengan hati-hati dan cengar-cengir.

"Tidak, Pak Tua. Aku tidak sanggup membantumu."

"Kenapa? Apakah perlu tawar-tawaran upah?"

"Tidak perlu," jawab Suto tegas. "Sebab setahuku Pendekar Mabuk itu bukan pencuri kitab pusaka Ratu Cendana Sutera. Pendekar Mabuk diburu oleh Ratu Cendana Sutera karena ingin dijadikan penabur benih bagi orang-orang Selat Bantai, supaya mereka punya keturunan, termasuk sang Ratu sendiri biar bisa beranak!"

"Lho, kok malah kau memfitnah Ratu Cendana Sutera?" ujar Kusir Hantu dengan wajah kecewa.

"Ini bukan fitnah, tapi kenyataan, Pak Tua!"

Kusir Hantu geleng-geleng kepala dengan wajah sedih, lalu menggumam, "Kasihan. Rupanya banyak orang tak suka kepada Cendana Sutera, sehingga banyak yang memfitnahnya. Memang benar apa kata pepatah: Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak punya uang'. Apakah..."

Kata-kata itu terhenti, karena tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara letusan kecil di sebelah timur. Mereka berdiri serempak, karena semula mereka sama-sama duduk di atas akar besar. Saat mereka berdiri, muncul seorang gadis yang berlari dengan ketakutan. Weess...! Gadis itu melintasi mereka, tapi segera hentikan langkah dan kembali menghampiri mereka.

"Kakek !" seru si gadis berwajah tegang.

Kusir Hantu yang disapanya juga ikut tegang. "Cucuku...?! Ada apa kau lari-lari begitu, Pematang Hati?!"

"Kakek aku dikejar-kejar oleh Hulubalang Iblis."

"Kurang ajar! Sini, sembunyi di belakangku!"

Suto Sinting masih diam dengan mulut melongo dan mata tak berkedip pandangi si gadis berpakaian hijau. Bajunya berpundak keras, panjang lengannya tak sampai siku, hanya separo kurang dari siku ke pundak. Belahan depan baju hijau bergaris emas itu terbuka dan hanya dikatupkan dengan kain penyambung di bagian dada. Baju itu panjangnya sebatas perut, pusar si gadis tampak terbuka. Celananya hijau ketat sebatas betis, juga bergaris-garis benang emas di bagian depan dan belakang, ia mengenakan sabuk hitam bermanik-manik putih intan. Di sabuknya tergantung pedang perak berukir.

Gadis itu memang cantik. Wajahnya mungil menggemaskan. Bibirnya kecil bikin lelaki geregetan, seraya ingin menggigitnya. Hidungnya bangir, matanya bundar bening berbulu lentik. Rambutnya berpotongan pendek seperti lelaki, bagian depannya meriap tipis sebatas kening. Gadis itu mengenakan anting merah delima tak seberapa besar, ia juga mengenakan kalung dari tali hitam, tapi bandulnya berupa ukiran perak berbentuk bunga dengan tiga batu merah delima kecil sebagai penghias bandul, ia mengenakan gelang emas berukir ular melingkar. Mata ularnya terbuat dari batuan merah delima.

Tentu saja mata Pendekar Mabuk sukar berkedip, karena selain wajah gadis itu amat cantik, dadanya juga montok walau tak terlalu besar. Tubuhnya padat berisi, pinggulnya meliuk sekali seakan enak untuk diremas. Gadis itu mempunyai betis indah yang dililit tali sandal kulitnya berwarna coklat kehitaman.

"Nak, kenalkan... ini cucuku yang kedua, ia bernama si Manis Pematang Hati."

"Aad... ada... ada berapa cucumu, Pak Tua?"

"Delapan," jawab Kusir Hantu.

"See... se... seperti ini semua?" tanya Suto bagai orang pikun sambil menuding Pematang Hati.

"Masing-masing punya kecantikan yang berbeda," jawab Kusir Hantu sambil cengar-cengir karena tahu maksud hati anak muda yang baru dikenalnya itu. "Cucuku memang ada delapan, tapi sekarang tinggal dua. Yang lainnya tewas dengan terhormat. Seperti misalnya kakak si Pematang Hati ini, yaitu si Manis Jembatan Reot."

Gadis cantik bermata bening itu akhirnya berbisik kepada kakeknya setelah lama pandangi Suto Sinting dengan kekaguman yang tersimpan dalam hati. "Kek, siapa pemuda ini? Kalau tak salah aku pernah melihatnya saat ia bertarung melawan Peri Sendang Keramat. Kalau tak salah dia yang bernama Suto Sinting, Kek!"

"Husy! Jangan semberono kau, Pematang Hati!' hardik Kusir Hantu. "Dia lebih sakti dari Suto Sinting. Namanya... ah, tanyakanlah sendiri. Aku lupa menanyakannya sejak tadi."

"Iya, Kek. Dia itu yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Aku masih ingat wajahnya saat melawan Peri Sendang Keramat dulu!"

"Bukan! Jangan ngotot kau, nanti dia tersinggung," bisik Kusir Hantu, dan bisikan itu sempat terdengar di telinga Pendekar Mabuk. Tapi sang pendekar diam saja, hanya sunggingkan senyum tipis yang menawan hati si gadis.

Rupanya Pematang Hati ikut hadir ketika mendengar kabar Pendekar Mabuk akan digantung oleh Peri Sendang Keramat, ia terselip di antara orang-orang yang hadir di situ, hanya saja Suto tidak sempat melihat kehadirannya, (Baca serial Pendekar Mabuk episode Peri Sendang Keramat).

Sebenarnya Suto Sinting ingin membenarkan pendapat si gadis berkulit kuning langsat mulus dan berusia sekitar dua puluh dua tahun itu. Tetapi, niatnya membenarkan pendapat si gadis terpaksa diurungkan sebab tiba-tiba seberkas sinar datang menyerang mereka. Sinar biru itu terdiri dari beberapa larik membentuk jala dan berkelebat dengan sangat cepat.

Weersss...!

Wuuttt...! Suto Sinting sudah lebih dulu sentakkan kakinya dan tubuh pun melesat tinggi, naik ke atas pohon dan bertengger di sana. Sementara itu, Kusir Hantu dan sang cucu cantiknya terkena sinar biru mirip jala itu.

Zuuurrb...!

"Aaauh...! Uuhk...!"

"Kakk... kakek...! Aaaakh...!"

Kakek dan cucu mengalami nasib sial. Mereka tak bisa bergerak bagai terjerat tali-tali kuat. Sinar biru itu mengelilingi mereka tanpa menyentuh tubuh, namun kekuatannya mampu melumpuhkan tenaga mereka berdua. Suto Sinting memandang tegang keadaan Pematang Hati yang mulai berwajah pucat pasi.

* * *

EMPAT

BEBERAPA saat setelah Kusir Hantu dan Pematang Hati terperangkap sinar biru, muncullah sesosok tubuh tinggi-besar. Namun tak sebesar raksasa. Badannya kekar, kulitnya agak hitam, ia mengenakan rompi merah bertepian benang emas, dan celana merah juga bertepian benang emas. Wajah orang itu cukup sangar. Kepalanya gundul licin, matanya lebar, hidungnya besar, ia berkumis tipis melengkung sampai ke dagu yang tak berjenggot selembar pun itu.

Pada telinga kirinya menggantung anting bundar berwarna putih mengkilat berbentuk cincin. Sabuknya yang hitam terbuat dari kulit ular, berukuran besar yang dipakai menyelipkan kapak dua mata berujung mata tombak dan bergagang pendek.

Dari atas pohon Suto Sinting pandangi kemunculan orang tersebut, ia yakin, bahwa orang itulah yang mengejar-ngejar Pematang Hati dan yang disebut-sebut sebagai Hulubalang Iblis. Orang yang kedua tangan kekarnya dililit gelang kulit warna hitam bermanik-manik logam putih runcing bagaikan duri itu memancarkan pandangan matanya begitu tajam ke arah Kusir Hantu dan Pematang Hati.

Suaranya terdengar besar, seakan menggetarkan hati bagi lawan yang bernyali kecil. "Kalian tak akan bisa lepas dari jurus 'Jalasuma'-ku. Tak sampai tengah hari, kalian akan mati terpotong-potong dengan sendirinya. Tapi jika kau, Pematang Hati, mau tunduk kepadaku dan menikah denganku, maka kau dan kakekmu akan selamat. Jurus 'Jalasuma' akan kutarik kembali!"

Kusir Hantu dan Pematang Hati semakin tak berkutik, mereka seperti sedang menikmati masa-masa sekarat. Pendekar Mabuk merasa tak bisa tinggal diam begitu saja. Maka ia segera turun dari atas pohon dengan satu lompatan bersalto. Wut, wuutt...!

Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Hulubalang Iblis tanpa suara sedikit pun ketika kakinya berpijak ke tanah. Hulubalang Iblis terperanjat dan mulai mundur satu langkah dengan wajah kian menyeramkan. Pandangan matanya yang beralis tebal naik itu tertuju tajam pada wajah Pendekar Mabuk.

Untuk sementara Suto Sinting tidak layani dulu si Hulubalang Iblis Itu. Ia segera lakukan sesuatu untuk selamatkan nyawa si Kusir Hantu dan Pematang Hati, Ia melepaskan 'Pukulan Gegana' untuk menghantam sinar-sinar biru itu. Kedua jarinya disabetkan ke depan dan melesatlah sinar kuning dalam keadaan patah-patah.

Slap, slap, slap, slap...! Blaarr...!

Sinar-sinar biru pecah bersama bunyi ledakan cukup keras. Gelombang ledakan itu melemparkan tubuh Kusir Hantu dan cucunya ke semak-semak. Wuutt, brruuss...!

"Aaauh...!" Pematang Hati memekik kesakitan, namun agaknya mereka berdua segera bisa bernapas walau harus menyeringai menahan sakit.

Melihat sinar-sinar birunya dihancurkan oleh Suto Sinting, maka Hulubalang Iblis segera menggeram dengan gigi menggeletuk penuh kemarahan. "Biadab kau! Berani-beraninya kau menghancurkan Jurus 'Jalasuma'-ku hah?! Sudah rangkap berapakah nyawamu hei, bocah ingusan?!"

Dengan kalem, Pendekar Mabuk menjawab, "Aku tak punya nyawa rangkap. Nyawaku hanya satu, yaitu sebagai penggerak hidupku. Tapi hidupku tak sekeji dirimu. Hidupku tak bisa dibiarkan melihat orang tak berdaya dalam keadaan sekarat seperti tadi. Aku terpaksa harus menolong mereka, walau antara kami tak punya hubungan apa-apa, Tuan perkasa!"

"Gggrrrhh...!" Hulubalang Iblis menggeram kembali, kedua tangannya sudah mengepak kuat-kuat hingga urat kekar di lengannya saling bertonjolan. "Keparat busuk kau! Mencampuri urusanku sama saja mempercepat kematian, tahu?! Hulubalang Iblis tak pernah biarkan orang usil sepertimu hidup lebih dari setengah hari!" katanya sambil menepuk dada sendiri.

Suto Sinting sunggingkan senyum tipis berkesan menyepelekan sesumbar si Hulubalang iblis itu.

"Pergi kau dan jangan campuri urusanku lagi!" sentak si Hulubalang Iblis dengan mata melotot.

"Aku melindungi yang lemah. Jadi aku tak bisa pergi jika kau bermaksud mencelakai mereka."

"Keparat! Heeeaaah...!" Hulubalang Iblis sentakkan kakinya ke bumi. Duhkk...!

Tubuh Suto Sinting tersentak ke atas bagaikan lompat dengan sendirinya, ia segera bersalto di udara sebagai tanda masih bisa kuasai keseimbangan tubuhnya. Kejap berikutnya, ia turun dan mendaratkan kakinya kembali ke tanah tanpa suara sedikitpun.

"Aneh...?!" gumam hati si Hulubalang Iblis dengan rasa heran. "Biasanya lawan yang kubegitukan akan terpental tinggi dan melambung jauh hingga jatuh di tempat yang jauh pula. Tapi mengapa anak muda ini hanya melambung sebentar dan tegak kembali di tempatnya semula?!"

Saat Hulubalang Iblis berkecamuk begitu di dalam hatinya, tiba-tiba Suto Sinting segera sentakkan kakinya ke bumi. Duhkk...!

Bleess...! Tubuh si Hulubalang Iblis terbenam di tanah sebatas mata kaki. Orang itu terbelalak bingung dan kaget. Sebelum rasa kagetnya hilang, Suto Sinting hentakkan kaki kembali ke tanah. Jurus 'Telan Bumi' yang jarang dimiliki orang, itu membuat Hulubalang Iblis terbenam ke dalam tanah sebatas betis. Dukh, bless...!

"Grrrh...!" Orang besar itu hanya menggeram penuh murka. Matanya memandang lebar-lebar ke arah Suto Sinting. Agaknya ia ingin lepaskan pukulan jarak enam langkah itu. Tapi si Pendekar Mabuk sudah lebih dulu sentakkan kaki ke tanah lagi.

Duuhk, bless...! Duuhk, duhkk...! Blees, blees...!

Hulubalang Iblis makin terbenam. Kini keadaannya terbenam ke dalam tanah sebatas dada. Suto Sinting tetap tenang. Bahkan ia gedukkan kakinya ke tanah sekali lagi dengan agak keras.

Duuhhhkk...! Bleeesss...!

Tubuh si Hulubalang Iblis terbenam sampai batas ketiak, ia menjadi tambah tegang dan kebingungan. Kedua tangannya tetap terangkat supaya tidak ikut terbenam. Dan tangan kirinya segera menyentak ke depan dalam keadaan jari-jarinya membentuk cakar yang keras dan kaku. "Hhhgggrr...!"

Wuuusss...! Sinar merah terang sebesar genggaman orang dewasa melesat menghantam dada Pendekar Mabuk. Tapi dengan gerakan seperti orang limbung, Suto Sinting tiba-tiba juga sentakkan tangan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuutt...! Clapp...!

Sinar hijau keluar dari tangan Suto Sinting sebagai perwujudan dari jurus 'Pecah Raga' yang cukup dahsyat itu. Sinar hijau tersebut berbenturan dengan sinar merahnya si Hulubalang Iblis, lalu meledak keras di pertengahan jarak.

Jlegaaarrr...! Gelombang ledakan itu hasilkan sentakan cukup kuat ke berbagai penjuru, sehingga tubuh Pendekar Mabuk pun terlempar hingga delapan langkah jauhnya.

Weerr...! Brruuukk...!

Ia jatuh di semak-semak tanpa bisa menjaga keseimbangan lagi. Sedangkan si Hulubalang Iblis terpental pula akibat gelombang sentakan tersebut. Tubuhnya terlempar menjebol tanah yang menguburnya sebatas ketiak.

Brruuulll...! Weeerrs...!

"Aaakh..!" Hulubalang Iblis berteriak kesakitan karena tubuhnya bagaikan dipaksa dibetot dari dalam tanah. Sedangkan tanah yang tadi membenamkan tubuh besar itu menyebar ke mana-mana. Brrul...!

Kusir Hantu sudah bisa bangkit meski harus dengan pegangi pinggangnya yang mirip terserang encok itu. Pendekar Mabuk sendiri sempat kibaskan kepalanya karena terasa pusing dan pandangan matanya agak kabur, kemudian baru menggeliat bangkit. Tapi langkahnya yang keluar dari semak-semak segera ditahan oleh Kusir Hantu.

"Cukup, Nak. Biar aku saja yang menanganinya."

"Kau tidak apa-apa, Pak Tua?"

"Masih mampu tumbangkan sepuluh orang seperti si Hulubalang Iblis itu. Istirahatlah dulu, dari tadi kau bertarung membelaku, lama-lama malu hati sendiri aku, Nak."

Kusir Hantu segera maju sambil masih bungkuk sedikit. Setelah Hulubalang Iblis berdiri dengan pakaian kotor dan wajah penuh tanah, Kusir Hantu segera tegakkan badan, seakan tak mau dipandang lemah oleh lawannya.

"Masih bisa bernapas, Dik?" ejek Kusir Hantu kepada Hulubalang Iblis.

Orang gundul bagaikan gundu raksasa itu menggeram penuh kebencian, ia melangkah cepat dan berhenti setelah mencapai jarak lima langkah dari Kusir Hantu. Kapak dua mata segera dicabut dari pinggangnya, gagangnya ditarik ke belakang, sraakk...! Ternyata kapak itu bisa bertangkai panjang menyerupai tombak. "Saatnya untuk memenggal kepalamu, Tua peot!"

Dengan tenang Kusir Hantu berkata, "Weeh..., sudah hampir mati kok masih mau berlagak sakti. Pepatah mengatakan: 'Jauh di mata dekat di hati', artinya, jauh di cinta dekat dengan mati. Maksud hati memeluk gunung apa daya gunungnya ada dua. Kalau kau mau kawini cucuku si Manis Pematang Hati, berarti kau harus bisa mengirimku ke lembah neraka, Dik!"

"Ggrrrhhhmm...!" Hulubalang Iblis menggeram sebentar, lalu melompat sambil menebaskan kapaknya dari kanan ke kiri. "Heeeahh...!"

Klik, klik...! Kusir Hantu menjentikkan jarinya seperti memanggil ayam. Tiba-tiba Hulubalang Iblis terjungkal ke belakang dalam gerakan melambung jungkir balik. Wuuut...! Jlegg...! Ia bisa menapakkan kaki dengan tegak di tanah. Tapi segera tersentak mundur bagai ada tenaga pendorong yang sangat kuat. Wut, wut, wut, wut...! Bheek...! Punggungnya menabrak pohon besar. Kepalanya pun terbentur pohon tersebut. Duuhk...!

Bruuurrr...! Daun-daun berguguran, pertanda benturan itu cukup keras dan bertenaga dalam besar. Hulubalang Iblis tersentak mendelik, mulutnya ternganga dan semburkan darah segar. Buuuwwrrss...! Tubuh itu menggeloyor bagai orang mabuk hingga berputar satu kali. Tampak kepala bagian belakang mengucurkan darah akibat benturan dengan pohon tadi. Ia ditaburi daun-daun kecil bagai ditimpa hujan.

"Bocorlah sudah kepalamu yang mulus itu, Hulubalang Iblis,' ujar Kusir Hantu. "Kurasa sebagai pelajaran sudah cukup sampai bocor kepala saja. Pelajaran tambahan akan kuberikan jika kau masih nekat mengganggu cucu kesayanganku. Pepatah mengatakan...."

Belum sampai Kusir Hantu ucapkan pepatahnya, Hulubalang Iblis sudah melesat kabur lebih dulu. Wuuusss...!

Kusir Hantu terpaksa berkata, "Pepatah mengatakan... 'Lebih baik kabur daripada babak belur', artinya..."

Ucapan itu terhenti setelah ia menengok ke belakang melihat cucunya sedang dibantu berdiri oleh Suto Sinting dengan cara memegang tubuh si gadis dari belakang. Pendekar Mabuk segera menebah daun-daun kering yang masih lekat di bagian punggung si gadis.

"Terima kasih atas bantuanmu," ujar Pematang Hati dengan suara pelan.

"Aku hanya sekadar melakukan kewajibanku saja, menolong yang lemah. O, ya bagaimana pernapasanmu?"

"Masih... masih ada. Eh, maksudku... masih agak sesak sedikit."

"Tariklah napas panjang-panjang, lalu tahan di dada sampai sepuluh hitungan, dan hembuskan lewat mulut pelan-pelan. Cara itu akan melonggarkan pernapasan berikutnya," sambil mereka saling bertatap pandang.

"Bisakah kau menolong menarikkannya, Kanda?" sambil gadis itu sunggingkan senyum menggoda.

"Jangan panggil aku Kanda. Aku malu mendapat panggilan semesra itu. Panggil saja namaku: Suto."

"Suto Sinting, bukan?"

"Benar. Tapi... sayang sekali kakekmu tidak mau percaya."

"Itulah yang membuatku sedih, ia terpengaruh oleh cerita palsu si Ratu Cendana Sutera tentang Pendekar Mabuk yang mencuri kitab pusaka. Sudah kubilang, itu tidak mungkin. Tapi dia masih ngotot, dan aku tak berani membantahnya lagi. Karenanya saat ia pergi mencari Pendekar Mabuk, kuikuti dari belakang agar jika terjadi sesuatu aku bisa membantunya," gadis itu bicara dalam bisik-bisik, dan Suto Sinting pun menimpali dalam bisikan sehingga mereka membutuhkan jarak cukup dekat, tak ada satu langkah.

"Apakah kau percaya betul bahwa aku Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"

"Sangat percaya, karena aku ingat betul wajahmu saat di Bukit Sendang Keramat itu. Sampai sekarang aku tak bisa lupakan."

"Tapi aku tak membawa bumbung tuak, dan itulah yang membuat kakekmu tidak percaya."

"Tapi aku percaya, dan biarlah kakek tidak percaya. Justru kalau dia percaya nanti kau ditangkapnya. Aku tak ingin hal itu terjadi. Sebab aku tahu, Ratu Cendana Sutera itu sebenarnya bukan orang baik-baik. Dia licik dan keji. Kakek pun sebenarnya tak suka, tapi karena merasa berhutang budi, mau tak mau ia bersikap baik kepada Ratu Cendana Sutera. Kumohon kau jangan marah kepada kakekku. Jangan lawan ia walau nantinya dia tahu kau adalah Pendekar Mabuk."

"Jika aku melawannya, apa yang kau lakukan?"

"Entahlah. Yang jelas aku akan sedih. Kau nanti akan celaka, karena kakekku berilmu tinggi."

Kusir Hantu berhenti dekati mereka dalam jarak tiga langkah, ia bertolak pinggang sebelah sambil geleng-geleng kepala dan berkata, "Weeeh... ada orang tua tarung kok malah ngobrol berduaan! Dasar anak muda, tak kenal masa prihatin sedikit pun."

Mereka cengar-cengir tersipu, sang Pendekar Mabuk cepat buang pandangan sembunyikan senyum malunya. Sang cucu cantik segera berkata, "Kek, mengapa kau tak mau percaya bahwa dia adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"

"Ah, itu jelas tak mungkin. Pendekar Mabuk tidak setinggi dia ilmunya. Pepatah mengatakan: 'Bagaikan bumi dengan langit', tak mungkin Pendekar Mabuk menjadi satu dengan dia sebelum ada kiamat datang."

Pematang Hati hempaskan napas membuang rasa jengkelnya sambil kedua tangannya melemas. Kusir Hantu segera berkata, "Aku akan mencarinya ke selatan. Mungkin disana akan kutemukan Pendekar Mabuk. Kuharap kau pulang saja ke Lembah Seram, Cucuku. Karena..."

"Aku akan mengantarkannya pulang," sahut Suto Sinting.

"Oh, itu gagasan yang bagus!" ujar Kusir Hantu sambil menyeringai lucu. "Tolong jaga cucuku baik-baik, Nak. Jangan boleh seekor semut pun menggigitnya."

"Bagaimana jika aku yang menggigitnya?" tanya Suto berseloroh.

"Kau akan kugantung kalau sampai berani menggigit cucuku!"

"Aku akan ikut dalam satu gantungan," sahut sang cucu.

Kini sang Kakek bersungut-sungut sambil melengos. "Dasar bocah-bocah puber!" gerutunya sambil melangkah, lalu berhenti setelah tiga langkah dan berkata, "Aku pergi sekarang, Pematang Hati. Doakan supaya kakek bisa cepat bertemu dengan Pendekar Mabuk, ya?"

"Sampaikan salamku untuk Pendekar Mabuk palsu, Kek."

Agaknya ucapan terakhir sang cucu tidak didengarnya. Kusir Hantu segera mencabut cambuknya. Cambuk pendek dilecutkan ke depan dengan sentakan pelan. Tarrr...! Asap mengepul bersama percikan bunga api kecil di ujung lecutannya. Tiba-tiba tubuh Kusir Hantu naik sedikit, kakinya tidak menyentuh tanah. Kemudian tubuh itu melayang bagai terseret sesuatu dengan cepat. Wuuusss...! Dalam keadaan berdiri setengah merendahkan badan, Kusir Hantu pun pergi seakan menunggang seekor kuda yang tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Tar, tarr...!

Suto Sinting geleng-gelengkan kepala. "Benar-benar tinggi ilmu kakekmu itu," ujarnya kepada Pematang Hati sambil pandangi kepergian si Kusir Hantu yang tak menyentuh tanah itu.

"Memang begitulah keadaan dirinya. Karena itu aku tak boleh mencari guru lain, sebab seluruh ilmunya kelak akan diturunkan kepadaku dan kepada adikku; si Manis Mahligai Sukma."

"Sayang sekali dia keras kepala, tetap tak maupercaya bahwa akulah Pendekar Mabuk yang dicarinya."

"Yahh... sifat kakekku memang begitu. Kalau sudah percaya kepada satu orang, sulit untuk mempercayai orang lain. Hanya ada satu orang yang bisa mengubah apa yang sudah dipercayainya."

"Siapa orang yang kau maksud itu?"

"Kakaknya sendiri; Eyang Sanupati."

Pendekar Mabuk kerutkan dahi karena merasa pernah mendengar nama Sanupati. Lalu, ia bertanya dengan nada sedikit ragu, "Maksudmu, Ki Sanupati yang dikenal dengan nama si Tua Bangka itu?"

"Betul!" jawab Pematang Hati dengan bersemangat dan tampak girang. "Kau kenal dengan beliau?"

Suto Sinting tersenyum geli. "Bukan hanya kenal sepintas, tapi kenal baik! Dulu aku pernah membantunya dalam perkara sebuah pusaka yang sempat menggegerkan rimba persilatan," kata Suto menjelaskan, sambil terbayang wajah si Tua Bangka yang juga bernada konyol seperti Kusir Hantu tadi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kapak Setan Kubur). Suto menjadi geli dalam hatinya setelah tahu si Kusir Hantu adalah adik dari si Tua Bangka.

"Jika kau ingin kakekku percaya tentang dirimu yang sebenarnya, temuilah Eyang Sanupati, biar beliau yang jelaskan siapa dirimu kepada kakekku."

"Baik. Tapi aku tak tahu di mana beliau sekarang. Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, yang terpenting bagiku saat ini adalah mencari bumbung tuakku yang terpental jatuh pada saat aku lakukan pertarungan dengan Lantang Suri."

"Oh, kau bertarung dengan Lantang Suri, orangnya Ratu Cendana Sutera itu?"

"Ya, tapi dia telah dikirim ke neraka oleh sahabatku; si Merpati Liar."

"Ooh... kalau begitu, orang-orang Selat Bantai memang memusuhimu," gumam si gadis sambil termenung sedih. "Mengapa mereka memusuhimu, Suto?"

"Sebaiknya kujelaskan sambil mencari bumbung tuakku. Kau setuju, Pematang Hati?!"

Gadis itu buru-buru sunggingkan senyum. "Sangat setuju!" Ia tampak bersemangat, ceria dan cukup lincah.

Hal itu membuat Suto Sinting merasa lebih bersemangat dalam menyusuri hutan menuju tempat pertarungannya dengan Lantang Suri dulu. Suto Sinting pun bersemangat menceritakan perkara sebenarnya yang membuatnya diburu oleh Ratu Cendana Sutera.

Hati yang riang, mata yang sering beradu lirikan cukup mendebarkan, semua itu membuat Suto Sinting lupa pada kelesuannya yang tak menemukan tuak dalam beberapa waktu lamanya. Pematang Hati yang cantik ibarat tuak kedua bagi Suto Sinting.

Sayang sekali langkah mereka dan keceriaan mereka harus terhenti karena kemunculan seseorang yang menghadang di pertengahan jalan. Pendekar Mabuk sedikit terperanjat melihat orang tersebut berdiri menghadang langkah, dan Pematang Hati kerutkan dahi karena merasa heran melihat orang itu sengaja berdiri menghadang langkahnya.

* * *

LIMA

TERNYATA bukan hanya satu orang yang menghadang perjalanan Suto dan Pematang Hati, melainkan dua orang. Hanya saja, yang satu ada di atas pohon membidikkan anak panahnya yang siap dilepaskan ke arah Suto. Mata si Pendekar Mabuk hanya melirik sebentar orang yang ada di atas pohon, lalu berlagak tidak melihatnya.

Mereka adalah dua wanita muda berambut sama panjang, sama-sama dikepang kuda. Yang di atas pohon mengenakan pakaian biru gelap, dengan sabuk merah mengikat bajunya yang tanpa lengan itu. Ia mengenakan ikat kepala dari rantai emas tiruan berbandul batu merah bening sebesar melinjo di tengah keningnya.

Sedangkan yang di bawah pohon mengenakan baju tanpa lengan berwarna kuning gading, sama dengan warna celananya. Kepalanya mengenakan ikat dari lempengan logam perak berhias batu-batuan warna-warni. Mereka sama-sama punya wajah cantik dan mata nakal. Tubuh mereka sama-sama sekal dengan belahan dada seakan sengaja dipamerkan bagian atasnya, tampak menggunduk sekal. Sebuah pedang terselip di punggung si baju kuning gading itu.

"Mengapa dia menghadang kita?" bisik Pematang Hati.

"Entahlah. Apakah kau kenal dengan mereka?"

"Mereka orang Selat Bantai."

"Juga yang di atas pohon itu?" bisik Suto, dan Pematang Hati melirik ke atas sebentar lalu menjawab dalam bisikan,

"Ya. Yang di atas kukenal bernama si Bunga Ranjang, dan yang berbaju kuning di depan kita itu kukenal bernama Mawar Rimba. Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi Ratu Cendana Sutera yang hanya ditugaskan keluar istana jika dalam keadaan sangat terpaksa."

"Kalau begitu, biarlah kuhadapi sendiri mereka. Kau bersiaga saja, jangan sampai kena sasaran," bisik Suto Sinting kemudian maju selangkah dengan tetap tenang, walau dalam hatinya sempat mengeluh, "Sayang sekali tak ada bumbung tuak di tanganku. Badanku sedikit lemas karena lama tak minum tuak. Hmmm... tapi biarlah, kucoba hadapi dengan tidak berpikir tentang tuak dulu!"

Mawar Rimba menyapa lebih dulu karena merasa risi dikasak-kusuki oleh kedua orang yang dihadangnya. "Kalau tak salah pandang, kau adalah cucu si Kusir Hantu yang bernama Pematang Hati!"

"Ya, benar! Aku cucunya Kusir Hantu!" jawab Pematang Hati dengan ketus, ia menampakkan sikap beraninya, seakan ia ingin perlihatkan sikap memihak kepada Suto Sinting.

Mawar Rimba berkata dengan tenang lagi, "Kalau begitu kaulah orang yang berhasil menangkap Pendekar Mabuk, si pencuri kitab pusaka itu, Pematang Hati. Kakekmu pasti akan bangga padamu."

"Tidak. Pendekar Mabuk bukan pencuri. Aku tak percaya, karenanya aku tak akan menangkap Pendekar Mabuk untuk diserahkan kepada ratumu, Mawar Rimba!"

Sungging senyum tipis di bibir elok Mawar Rimba merupakan senyum sinis yang meremehkan ketegasan Pematang Hati. Si cucu Kusir Hantu itu tambahkan kata setelah melirik Suto sebentar,

"Mungkin aku akan menangkap pemuda ini untuk diriku sendiri."

Suto Sinting agak terperanjat dan menggerutu dalam hatinya, "Gila ini anak. Ngomongnya asal nyeplos saja?!"

Senyum sinis si Mawar Rimba semakin mekar, ia melangkah ke kiri sedikit sambil ucapkan kata bernada dingin. "Kau kelewat berani Pematang Hati."

"Kenapa takut?" ujar Pematang Hati dengan tengil.

"Kuingatkan padamu agar jangan coba-coba berusaha memiliki Pendekar Mabuk! Jika kau masih bertujuan demikian, maka itu berarti kau berhadapan dengan Ratu Cendana Sutera. Sama saja kau serahkan nyawa padaku, sebab aku diutus untuk membawa pulang Pendekar Mabuk ke Istana Selat Bantai!"

Sambil maju dua langkah dan berlagak tengil, Pematang Hati berkata ketus, "Enak saja! Yang mendapatkan aku kok yang mau memiliki Ratu Cendana Sutera?! Apa kau tak bayangkan betapa sulitnya menundukkan dia?" sambil matanya melirik sekejap ke arah Suto Sinting sebagai ganti menuding pemuda tampan di sebelah kanannya itu.

Diam-diam Suto Sinting melirik ke atas pohon, tampak anak panah geser sedikit, diarahkan kepada Pematang Hati. "Gawat!" gumam Suto dalam hatinya, ia semakin pertinggi kewaspadaannya.

Mawar Rimba masih bicara kepada Pematang Hati, dan kali ini nadanya agak keras. "Pematang Hati! Jangan keraskan kepalamu agar kau tak kehilangan nyawa saat ini juga!"

"Biar saja. Kepalaku memang dari batu!"

"Keparat kau!" geram Mawar Rimba. Tangannya segera bergerak menuding dengan sentakan cepat. Wuuutt...! Bukan sinar yang keluar dari tangan yang menuding ke arah Pematang Hati itu, melainkan anak panah yang ada di atas pohon itu segera melesat ke dada Pematang Hati.

Zeeeb...! Taabb...!

Tangan Suto Sinting berkelebat cepat dan tahu-tahu anak panah itu sudah terjepit di sela jari-jarinya. Tangan yang kanan segera lepaskan sentilan yang merupakan jurus 'Jari Guntur' itu. Teess...! Sentilan mengarah ke atas pohon.

Bunga Ranjang yang sedang memasang anak panahnya lagi itu tahu-tahu tersentak dan jatuh dari atas pohon. "Aaah...!"

Wuk, wuk...! Untung ia bisa segera kuasai keseimbangan dengan lakukan salto dua kali, sehingga ketika tiba di tanah kakinya lebih dulu berpijak dengan setengah berjongkok. Tapi ia terpaksa menahan napas karena ulu hatinya bagai ditendang oleh tenaga sangat kuat yang tak sempat dilihat kehadirannya itu. Jurus 'Jari Guntur' memang mempunyai kekuatan tenaga dalam melebihi tendangan seekor kuda jantan, tak heran jika wajah Bunga Ranjang menjadi pucat seketika.

Mawar Rimba hanya melirik sebentar ke arah temannya, kemudian pandangi Suto Sinting dengan tajam. Suto masih menjepit anak panah itu dan ia sengaja sunggingkan senyum ramah yang menawan hati kepada Mawar Rimba. Seakan ia menertawakan serangan yang disembunyikan di atas pohon tadi.

Klaakk...! Dengan sekali sentakkan jari, anak panah itu patah. Suto Sinting agak terperanjat ketika tahu bagian yang patah dari anak panah itu kepulkan asap biru samar-samar. Hal itu dapat dipastikan bahwa anak panah tersebut mengandung kekuatan tenaga dalam yang beracun berbahaya. Suto Sinting segera membuangnya karena tak mau menghirup asap tersebut.

Tetapi karena angin berhembus ke arah kirinya, maka asap itu terhirup oleh Pematang Hati secara tak sengaja. Gadis cantik itu tiba-tiba menggeloyor sambil terbatuk-batuk. Tubuhnya limbung dan buru-buru ditangkap oleh Suto Sinting yang berwajah tegang seketika.

"Pematang Hati...?! Hei, sadar, sadar...!"

Pematang Hati hentikan batuknya, matanya mulai sayu, wajahnya mulai membiru, dan dari pori-pori kulitnya keluarkan bintik-bintik hitam yang berupa cairan membusuk.

"Celaka! Dia menghirup asap anak panah tadi? Oh... pasti darahnya telah menjadi busuk seketika!"

Mawar Rimba segera berkata, "Dia akan mati dalam keadaan berlumur darah hitam yang busuk. Tak ada seorang pun yang pernah selamat dari ancaman racun 'Asap Kubur'-nya si Bunga Ranjang!"

"Keji kalian!" geram Suto sambil tangan kirinya masih memeluk Pematang Hati.

"Pendekar Mabuk, tinggalkan gadis itu dan ikutlah kami ke Istana Selat Bantai. Kedatanganmu sangat dirindukan oleh orang-orang Selat Bantai. Kau sangat dibangga-banggakan sebagai pahlawan besar bagi kami. Ikutlah kami, Pendekar Mabuk," bujuk Bunga Ranjang dengan mata sayunya sengaja memancarkan pandangan menggoda gairah bercinta.

"Aku tidak sudi menjadi penabur benih keturunan pada kalian! Katakan kepada ratumu, aku menantang pertarungan pribadi di Bukit Perawan Laut! Jika dia bisa mengalahkan diriku, aku akan bersedia memberikan benihku kepada kalian semua, orang-orang Selat Bantai!"

"Tidak ada waktu lagi untuk berlagak seperti itu, Pendekar Mabuk!" ujar Mawar Rimba.

"Waktunya tak akan lama. Esok malam, kutunggu kedatangan ratu kalian untuk menentukan apakah perempuan-perempuan Selat Bantai layak mendapat keturunan dariku atau tidak!"

"Pendekar Mabuk, jangan paksa kami gunakan kekerasan!" sentak Mawar Rimba

Tapi Sang Pendekar Mabuk tidak mau hiraukan seruan itu. Ia bergegas ingin membawa pergi Permatang Hati. Namun tiba-tiba tangan Mawar Rimba berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar hijau lurus ke arah punggung Suto Sinting. Clapp...!

Pendekar Mabuk cepat berbalik dan sentakkan tangan kanannya hingga keluarlah sinar ungu dari jarinya sebagai jurus 'Turangga Laga' yang cukup berbahaya itu. Kedua sinar beradu dan meledaklah di pertengahan jarak.

Blegaarrr...!

Pendekar Mabuk terpental sendiri, terpisah dari Pematang Hati. Gadis itu terlempar ke arah lain hingga tak bisa terjangkau oleh Pendekar Mabuk. "Uuhkk...!" Pendekar Mabuk mencoba untuk bangkit, tapi dadanya terasa sesak, seakan mau jebol. Gelombang ledakan tadi sangat kuat karena jarak ledaknya lebih dekat ke arahnya ketimbang ke arah Mawar Rimba. "Uhuk, uhuk...!" Pendekar Mabuk terbatuk-batuk, dan mengeluarkan dahak darah. "Ooh... panas sekali dadaku, seperti dipanggang api pelebur besi!" keluhnya dalam hati sambil pegangi dadanya.

Mawar Rimba hanya tersentak tiga langkah ke belakang, tapi tak sampai terjatuh, ia segera maju untuk lakukan serangan lagi setelah melihat Pendekar Mabuk masih bisa berdiri. Tapi gerakannya tertahan oleh tangan Bunga Ranjang yang merentang menghalanginya.

"Apa maksudmu?" hardik Mawar Rimba. "Jangan serang lagi dia. Kasihan nanti dia sakit!"

"Dia harus kita lumpuhkan dulu, baru kita sembuhkan di istana."

"Tapi... tapi aku tak tega. Dia... dia tak pantas untuk disakiti. Terlalu sayang jika sampai menderita."

"Aaah...! Minggir kau!" Tangan itu disingkirkan dengan kasar oleh si Mawar Rimba, ia segera maju, namun pundaknya dicekal kembali oleh Bunga Ranjang.

"Mawar, jangan lukai dia!"

"Kau ini apa-apaan, hah?!" bentak Mawar Rimba.

"Aku... aku tak tega melihat dia terluka, Mawar! Jangan lukai dia lagi. Kasihan dia, Mawar!"

Plakk...! Tamparan keras pun dilayangkan ke wajah Bunga Ranjang. Wajah itu sampai tersentak kuat ke samping. Bunga Ranjang menjadi geram. Maka dihantamnya dada Mawar Rimba dengan pukulan telapak tangan. Buuhk...!

"Heegh...!" Mawar Rimba tersentak mundur dengan mendelik karena pukulan itu bertenaga dalam cukup tinggi. Bekas pukulan mengepulkan asap tipis walau tidak meninggalkan noda hangus selain hanya warna biru memar samar-samar. "Keparat kau, Bunga...! Hiaaah...!"

Tendangan cepat melayang ke arah wajah Bunga Ranjang. Dengan gerakan lincah Bunga Ranjang miringkan badan dan merendah sehingga ia luput dari tendangan yang mempunyai tenaga dalam besar juga itu. Hembusan angin tendangan itu akhirnya menghantam sebatang pohon yang tumbuh di belakang Bunga Ranjang.

Duuurrr...! Pohon itu bergetar kuat, daun-daunnya berguguran. Bahkan kulit pohon itu terkelupas sebagian bagai dihantam dengan besi besar. Bunga Ranjang tak mau celaka oleh serangan Mawar Rimba, ia segera menyapu kaki temannya itu dengan tendangan putar bawah. Wuuut...! Tapi Mawar Rimba melenting ke atas dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar ke arah pundak Bunga Ranjang.

Beet...! Brruukkk...! Bunga Ranjang pun jatuh dengan memekik tertahan sampai tak terdengar suaranya. Pundaknya seperti dihantam memakai kayu balok dengan kuat sekali. Hampir saja tulang di pundaknya itu patah seketika.

Melihat dua perempuan cantik yang rata-rata berusia sekitar dua puluh tiga-dua puluh empat tahun itu bertarung sendiri, Suto Sinting memanfaatkan kesempatan untuk larikan diri. Tentu saja ia menyambar Pematang Hati lebih dulu, wuuuss...! Gadis yang sudah tak berdaya dan semakin banyak ditumbuhi cairan hitam kental yang busuk itu segera dipanggulnya, lalu Pendekar Mabuk melesat tinggalkan tempat tersebut dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman-nya. Zlaaapp...!

Kedua perempuan itu lanjutkan perkelahiannya, hingga keduanya sama-sama menderita luka yang cukup berbahaya. Akhirnya mereka sama-sama hentikan pertarungan setelah Bunga Ranjang berseru,

"Cukup! Lihat, buronan kita telah lenyap!"

"Jahanam!" geram Mawar Rimba memandang kearah tempat kosong yang tadi dipakai berdiri Suto Sinting. "Ini semua gara-gara kau, Bunga!" bentak Mawar Rimba dengan sesekali menarik napas karena pukulan Bunga Ranjang membuat ulu hatinya sakit sekali.

"Jangan salahkan diriku! Kau terlalu kasar membujuknya. Seharusnya pria seperti dia diperlakukan dengan lembut, maka semua keinginan kita akan diturutinya, ia akan bertekuk lutut jika kita sedikit manja dan merengek mesra!" bantah Bunga Ranjang dengan menahan rasa sakit di punggung dan pundak.

"Pria berilmu seperti dia tidak bisa dirayu dengan kemesraan, ia tak suka perempuan manja dan cengeng, ia akan tertarik kepada perempuan yang tegar, tegas dan sedikit galak! Bodoh amat kau ini, Bunga!"

"Kita berdua sama-sama bodoh!" balas Bunga Ranjang.

Mawar Rimba menarik napas dalam-dalam, sembuhkan luka dengan hawa murninya. Kemudian ia hembuskan napas itu lepas-lepas. "Ke mana arah kepergiannya?" tanya Mawar Rimba tanpa memandangi Bunga Ranjang.

"Entah ke mana. Aku tak sempat melihatnya!"

"Sial! Susah-susah mencarinya begitu ditemukan malahan kita bertarung sendiri?!"

"Kita minta bantuan Nyai Ratu saja untuk mengetahui di mana dia berada."

"Nyai Ratu sudah panik, karena dia tak bisa di lacak dengan Ilmu 'Kelana Iblis', apa kau tak tahu hal itu?!" sentak Mawar Rimba. "Karena itulah kita yang ditugaskan mencari Pendekar Mabuk! Kalau masih bisa dilacak dengan ilmu, 'Kelana Iblis', Nyai Ratu tidak akan menugaskan kita, tahu?!"

"Maksudku, kita menghadap Nyai Ratu dan sampaikan tantangannya tadi. Dia menantang Nyai Ratu untuk pertarungan esok malam di Bukit Perawan Laut!"

"Nyai Ratu justru bisa penggal kepala kita kalau kita pulang dengan tangan hampa."

"Tak mungkin," sanggah Bunga Ranjang. "Kita datang membawa kabar baik. Aku yakin Nyai Ratu akan unggul dalam pertarungan nanti!"

"Kalau begitu, kau saja yang menghadap Nyai Ratu dan aku akan mengejarnya!" perintah Mawar Rimba, akhirnya mereka pun berpisah.

* * *

ENAM

LUKA dalam yang diderita Pendekar Mabuk makin terasa nyeri, pernapasannya pun sangat sesak, ia terpaksa hentikan langkah dan menurunkan Pematang Hati dari pundaknya. Gadis Itu semakin menyebarkan bau busuk, kulitnya dipenuhi bercak-bercak cairan hitam dari darahnya yang membusuk. Bau busuk itulah yang dijadikan bahan lacakan bagi pengejaran Mawar Rimba.

"Oh, sial betul keadaanku ini! Tak ada bumbung tuak, tak bisa diatasi lukanya Pematang Hati," keluhnya dalam hati sambil susah payah menghela napas. "Lukaku sendiri terasa makin memberat. Walau aku bisa bertahan sampai beberapa saat, namun keadaan Pematang Hati sangat mencemaskan. Nyawanya bisa hilang jika tak segera terobati. Tadi sudah kucoba salurkah hawa murniku, namun tak bisa dipakai untuk menawarkan racun tersebut. Gila! Kalau sampai dia mati, si Kusir Hantu bisa murka padaku. Uuh...! Menyesal juga aku dititipi cucu si Kusir Hantu. Kalau tahu akan begini jadinya lebih baik aku pergi sendiri tanpa gadis ini. Tapi... gadis ini bisa membangkitkan semangatku. Sayang kalau kutinggalkan begitu saja dan..."

Ucapan batin Pendekar Mabuk terhenti, karena tiba-tiba ia melihat beberapa orang melintas di sebelah timur, ingin mendaki bukit tanpa nama itu. Pendekar Mabuk cepat berdiri dari duduknya, memandang penuh harap ke arah beberapa orang itu. Hatinya berdebar-debar setelah mengetahui mereka adalah Resi Pakar Pantun dan rombongannya.

"Mereka... mereka ada di sana! Oh, itu dia bumbung tuakku dibawa oleh si Kadal Ginting! Dan... oh, rupanya, si Awan Setangkai sudah menjadi besar seperti sediakala?! Apakah... apakah dia disembuhkan oleh Resi Pakar Pantun? Aku harus segera ke sana! Aku harus bergabung dengan mereka. Tampaknya di sana juga ada si Bulan Sekuntum dan..."

Wuuutt, buhkk!

"Heeeggh. !" Suto Sinting terpental ke depan karena sebuah tendangan kuat bertenaga tinggi. Tubuhnya terlempar dan jatuh berguling-guling. Seseorang telah menyerangnya dari belakang, dan orang itu tak lain adalah si Mawar Rimba.

"Uuhk, uuhk, hooeek...!" Pendekar Mabuk memuntahkan darah kental. Tendangan Mawar Rimba yang mengenai punggungnya itu ternyata membuat luka dalam yang dideritanya semakin parah. Dengan pandangan mata mulai berkunang-kunang, Suto Sinting mencoba tegakkan kepala, ia memang tak berdiri, karena lututnya bagai tak bertulang lagi. Ia hanya bisa berlutut satu kaki, itupun dilakukan dengan gemetar. Wajah cantik si Mawar Rimba dipandangnya dalam keadaan buram.

"Oh, dia...?" Suto membatin begitu mengenali siapa penyerangnya.

"Tantanganmu kepada Nyai Ratu hanya sesumbar tanpa arti, Pendekar Mabuk! Melawanku saja kau tak mampu, apalagi melawan Nyai Ratu," ujar Mawar Rimba dengan bertolak pinggang di depan Suto Sinting, memunggungi Pematang Hati yang dalam keadaan dibaringkan di bawah pohon.

"Dengan sangat terpaksa aku memperlakukan dirimu seperti ini, karena kau membangkang bujukan halusku, Pendekar Mabuk! Sekarang kau mau apa lagi, hah? Tak ada lagi dayamu untuk bertingkah di depanku! Kau harus kubawa ke Istana Selat Bantai!"

Mawar Rimba hendak lepaskan totokan agar mempermudah membawa tubuh Suto Sinting. Tapi baru saja ia membungkuk, tiba-tiba terdengar suara yang menyapanya dengan keras.

"Jangan sentuh dia!"

Seruan itu cukup mengejutkan Mawar Rimba, ia segera palingkan pandang kepada si pemilik suara. Ternyata seorang perempuan cantik bermata dingin dan berhidung mancung. Rambutnya terurai lepas sepunggung, tanpa diikat sedikit pun. Ia mengenakan pakaian ketat terusan dari atas ke bawah berwarna biru terang. Lengannya pun tertutup pakaian ketat itu, hingga karena ketatnya maka bentuk tubuhnya yang sekal dan montok itu terlihat jelas. Di lengan perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun itu terdapat sepasang pisau kembar, diikat dengan tali karet.

Dari wajah cantiknya yang berkesan sedingin salju itu, Pendekar Mabuk masih bisa mengenali perempuan itu sebagai orang yang pernah bekerjasama dengannya dalam peristiwa gegernya pusaka kuno; Panji-panji Mayat. Perempuan itu tak lain adalah Merpati Liar, yang mempunyai kekuatan pada matanya.

Rupanya si Mawar Rimba mengenal sosok Merpati Liar, sehingga dengan ketusnya ia berseru kepada Merpati Liar, "Perempuan liar..., apa maksudmu melarangku menyentuhnya?!"

"Tak perlu kau tahu maksudku. Tinggalkan dia dan jangan sekali-kali mencoba menyentuhnya sebelum kau mampu mencabut nyawaku, Mawar Rimba!"

"Laknat kau, Merpati Liar! Rupanya kau masih suka ikut campur urusanku, hah?!" Mawar Rimba melangkah dekati Merpati Liar. Ia segera mencabut pedangnya yang ada di punggung. Sreettt..! "Aku tak punya waktu untuk bermain-main. Kucabut nyawamu secepat mungkin, Merpati Liar!"

Seet, weerrr...!

Merpati Liar kibaskan kepalanya ke kiri. Tiba-tiba pedang Mawar Rimba terlempar dan menancap di salah satu batang pohon. Jrrub...! Mawar Rimba sempat terbengong sesaat, ia segera sadar bahwa Merpati Liar mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa menggerakkan benda apa pun yang dipandangnya. Jurus 'Kendali Netra' merupakan jurus yang selalu digunakan pertama menghadapi lawan. Mawar Rimba tenang kembali, ia biarkan pedangnya menancap di pohon, tapi ia segera mengibaskan kedua tangannya bagaikan menghalau burung di sawah. Wuuuss...! Asap beracun menyebar ke mana-mana.

Merpati Liar segera tutup hidung dengan tangan kiri dan lakukan lompatan ke arah samping, ia sempat berseru kepada Suto Sinting, "Jangan bernapas!"

Suto Sinting cepat tanggap terhadap seruan tersebut, ia menahan napas sambil mencoba merangkak dekati tubuh Pematang Hati yang tak bergerak dari tadi itu. Ketika sampai di samping Pematang Hati, ia melihat tubuh Mawar Rimba melayang ke samping dan membentur pohon dengan kuatnya. Brruuss...! Terdengar pula pekik tertahan dari si Mawar Rimba yang pundaknya membentur pohon dengan telak.

"Ouh...!" Gadis itu cepat gulingkan badan beberapa kali untuk hindari serangan mata Merpati Liar. Saat gerakan bergulingan berhenti, tangannya menyentak ke depan dengan dua jari mengeras lurus dan salah satu kaki berlutut. Suuttt...! Claaapp...! Selarik sinar biru melesat dari ujung kedua jari itu. Sinar biru tersebut menyebar menjadi bunga api yang menyergap tubuh Merpati Liar. Tetapi kedua jari Merpati Liar juga segera berkelebat melepas sinar merah yang merupakan jurus 'Aji Brangaspati' itu. Clappp...! Percikan bunga api diterjang sinar merahnya Merpati Liar, maka terjadilah sebuah ledakan yang menggelegar dengan dahsyatnya.

Blegaaarr...! Gelombang hentakan begitu kuatnya, sehingga dua pohon besar di dekat terjadinya ledakan itu menjadi tumbang seketika. Gemuruh suara tumbangnya pohon menggema memenuhi hutan tersebut. Tanah pun terguncang beberapa saat lamanya, sebagian ada yang terbelah retak. Sedangkan daun-daun di sekitar tempat itu berhamburan kemana-mana.

Ledakan keras yang mengguncangkan bumi itu menjadi pusat perhatian rombongan Resi Pakar Pantun. Tetapi ada pihak lain yang juga tertarik dengan ledakan dahsyat itu. Maka beberapa orang pun segera menghambur berlarian menuju pusat terjadinya ledakan tadi.

Pada saat itu, tubuh Mawar Rimba terpelanting kebelakang, ia berusaha untuk tidak jatuh, tetapi kekuatan mata dari Merpati Liar telah membuatnya terangkat dan terlempar ke samping kiri. Wuuuss...! Tubuh itu menghantam pohon besar yang tadi nyaris ikut tumbang. Bruukkk...!

"Huaahkk...!" Mawar Rimba terpekik dengan mata terpejam kuat-kuat menahan rasa sakit. Kerasnya benturan itu membuat tubuh Mawar Rimba memantul dan jatuh tepat di atas pohon yang patah dan tumbang tadi. Patahan pohon itu mencuatkan tonggak-tonggak kayu runcing, sehingga ketika tubuh Mawar Rimba jatuh di atasnya, kayu-kayu runcing itu pun menembus iga, ulu hati, dada serta bagian bawah perutnya. Jruusss...!

"Oh...?!" Suto Sinting palingkan wajah dengan memejam, karena ngeri menyaksikan tubuh Mawar Rimba yang dihujam kayu-kayu runcing itu.

"Heaah..!" Mawar Rimba masih berusaha untuk tetap bangkit walau keadaannya sudah sangat parah. Sentakan tangannya membuat tubuhnya melesat ke atas dan terlepas dari kayu-kayu runcing itu. Wuuuss...! Dalam keadaan melambung di udara dan darah bercucuran, Mawar Rimba mencoba lakukan serangan tenaga dalamnya dengan melepaskan sinar kuning besar ke arah Merpati Liar. Weeess...!

Merpati Liar sentakkan ujung jari kakinya, maka tubuh pun metesat ke samping dengan cepat sekali. Weeess...! Sinar kuning itu menghantam pepohonan di sebelah barat. Jlegaarrr...! Lima pohon pecah seketika dihantam sinar kuning besar itu.

Tetapi sebelum Mawar Rimba mendaratkan kakinya ke tanah, Merpati Liar telah lakukan serangan lagi menggunakan kekuatan matanya. Wesss...! Tubuh gadis berpakaian kuning itu terlempar kembali ke belakang dengan sangat kuatnya. Bahkan tubuh itu bagai melambung naik sampai akhirnya menghantam sebatang pohon yang patah dahannya akibat ledakan pertama tadi. Jrruubb...!

Sisa patahan dahan membentuk kayu runcing sebesar lengan. Tubuh yang melayang cepat itu akhirnya tertancap pada kayu runcing tersebut tanpa ampun lagi. Kayu itu menembus dari punggung sampai ke dada, sehingga tubuh Mawar Rimba tergantung di sana. Ia tak bisa memekik lagi, hanya berusaha untuk melepaskan diri dari kayu runcing tersebut. Namun tenaganya semakin lemah, darahnya semakin mengucur banyak, dan akhirnya ia terkulai lemas. Kejap berikutnya ia tampak hembuskan napas terakhir dalam keadaan tetap tertancap di atas pohon tersebut.

Merpati Liar masih tampak segar ketika seorang lelaki tua berambut putih pendek, mengenakan pakaian abu-abu muncul di tempat itu. Tokoh tua yang berusia sekitar tujuh puluh tahun itu segera terperanjat melihat kematian Mawar Rimba. Lebih terperangah lagi saat memandangi Suto Sinting yang duduk terkulai di samping seorang gadis yang terbaring tanpa gerakan sedikit punitu. Tokoh tua bertubuh kurus, dengan gigi depan tinggal dua itu segera dekati Suto Sinting setelah pandangi Merpati Liar sesaat, ia bukan menyapa Suto Sinting, melainkan menyapa gadis yang terbaring karena terkena racun 'Asap Kubur'-nya si Bunga Ranjang tadi.

"Pematang Hati...?! Oh, kenapa kau, Manis...?!" Lelaki itu hanya dipandangi oleh Suto Sinting dengan sorot pandangan mata sayu. Tapi akhirnya Suto pun menyapa tokoh berpakaian abu-abu yang tak berkumis dan tak berjenggot itu.

"Tua Bangka... syukurlah kau datang," suara Suto Sinting lemah sekali.

Merpati Liar tampak cemas dan segera mendekati Pendekar Mabuk. Tokoh tua itu tak lain adalah kakak si Kusir Hantu yang sering dipanggil Pematang Hati dengan sebutan Eyang Sanupati alias si Tua Bangka.

"Apa yang terjadi dengan cucu adikku ini?!" tanyanya kepada Suto Sinting.

"Racun 'Asap Kubur'-nya si Bunga Ranjang terhirup olehnya saat si Bunga Ranjang dan Mawar Rimba ingin menangkapku! Uuhkk...!"

"Baringkan tubuhmu, biar kusalurkan hawa murniku!" ucap Merpati Liar dengan cepat, seakan sangat takut kehilangan nyawa Suto.

"Celaka! Apa yang kukhawatirkan benar-benar terjadi!" kata Tua Bangka. "Lalu di mana si Kusir Hantu, adikku itu?!"

"Entah! Dia... dia pergi mencari Pendekar Mabuk. Dia tak percaya kalau aku adalah Pendekar Mabuk. Dia ingin tangkap aku, Tua Bangka! Tapi dia tak tahu siapa aku. Bodoh sekali adikmu itu."

"Memang dia bodoh!" gerutu Tua Bangka. "Tapi kakaknya tidak bodoh!"

Merpati Liar salurkan hawa murninya melalui telapak tangan yang ditempelkan ke dada Suto. Telapak tangan itu lama-lama berasap dan Suto menyeringai karena dadanya terasa ditekan oleh balok es yang dinginnya bukan main.

"Hei, kalau tak salah kau si Merpati Liar, bukan?" ujar Tua Bangka, tapi tak mendapat jawaban dari Merpati Liar maupun dari Suto Sinting, ia berkata lagi kepada Merpati Liar dengan nada panik.

"Hei, Sembuhkan si Pematang Hati ini lebih dulu! Lukanya lebih parah dari luka si Suto Sinting!"

Merpati Liar hentikan pengobatan sebentar, kemudian berkata dengan nada dingin, "Racun 'Asap Kubur' tak ada obatnya! Yang mempunyai obat penawar racun itu hanya si Bunga Ranjang sendiri."

"Memang benar, aku sudah menduga kau akan berpendapat begitu."

"Mengapa kau masih menyuruhku mengobati gadis itu?"

"Yah kupikir... kupikir setahuku dulu kau pernah bersahabat dengan Ratu Cendana Sutera. Siapa tahu kau tahu cara melumpuhkan racun 'Asap Kubur' itu!" ujar si Tua Bangka dengan pandangan mata serba bingung.

"Persahabatan kami putus karena dia mengambil aliran sesat!" kata Merpati Liar, kemudian lakukan penyembuhan lagi terhadap diri Pendekar Mabuk.

Dalam keadaan si Tua Bangka cemas itu, tiba-tiba ia terperanjat melihat kedatangan Resi Pakar Pantun dan rombongan. Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai sama-sama bergegas hampiri Suto Sinting.

"Suto...?!" mereka menyapa tegang secara bersamaan tanpa disengaja.

"Awan... Awan Setangkai... kau sudah menjadi besar lagi rupanya. Siapa yang memulihkan keadaanmu, Awan?!"

"Ak... aku... aku pulih karena kami tadi singgah di sebuah desa. Kami mengisi bumbung tuakmu dengan tuak dari kedai yang kami singgahi. Aku haus dan minum tuak bumbungmu itu, ternyata tuak itu membuatku berubah bentuk semula. Tidak sekecil kemarin."

"Ooh... tuak? Mana bumbung tuakku? Mana...?!" Suto Sinting bersemangat, bahkan ia paksakan diri untuk bangkit.

Kadal Ginting segera mendekat dan sodorkan bumbung tuak itu. "Ini bumbung tuakmu, Suto! Percayalah, tak ada seorang pun yang mau percaya bahwa aku adalah Pendekar Mabuk, walau aku membawa-bawa bumbung tuakmu," kata Kadal Ginting, lalu kepalanya disodok tangan Resi Pakar Pantun dari belakang hingga terantuk ke depan.

"Hanya orang gila yang percaya kau Pendekar Mabuk! Ada-ada saja bicaramu!"

Kadal Ginting menyingkir sambil nyengir. Pendekar-Mabuk segera menenggak tuaknya beberapa kali. Ia merasa segar dan tenaganya mulai pulih kembali. Pematang Hati segera diberi minum tuak itu dengan cara paksa. Mulut gadis itu dibuka oleh Tua Bangka, lalu tuak dikucurkan oleh Suto Sinting. Sebagian tuak tertelan, sebagian lagi meluber ke sekitar wajah Pematang Hati. Gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk. Tapi hal itu justru membuat Tua Bangka menjadi ceria, karena ia yakin jika Pematang Hati bisa terbatuk-batuk, berarti tuak sudah tertelan dan racun 'Asap Kubur' akan dapat ditawarkan.

"Aku mendapat kabar dari Mahligai Sukma, adik si Pematang Hati ini, tentang apa yang akan dilakukan oleh Kusir Hantu," ujar Tua Bangka. "Aku menjadi cemas sekali, sebab aku tahu si Kusir Hantu pasti salah sangka dan menjadi bermusuhan dengan Pendekar Mabuk."

"Kelihatannya memang begitu," ujar Resi Pakar Pantun. "Aku sudah jelaskan duduk persoalannya, tapi ia tidak mau percaya dengan omonganku, juga tak mau percaya dengan penjelasan mereka ini."

Merpati Liar diam saja, pandangi si Pematang Hati yang mulai sadar. Cairan hitam yang keluar dari pori- porinya dan berbau busuk itu mulai mengering, bagai meresap atau menguap dihembus angin. Akhirnya gadis itu menjadi sehat dan bersih, seperti tak pernah mengalami luka racun apa pun.

Awan Setangkai melirik Merpati Liar. Agaknya keduanya pernah terjadi permusuhan sebelum Awan Setangkai berpihak kepada Suto Sinting. Pandangan mata mereka memancarkan dendam lama, sehingga Awan Setangkai segera menyapa dengan ketus kepada Merpati Liar.

"Apa lihat-lihat?! Mau teruskan perkara lama?!"

"Kalau aku mau teruskan perkara lama sudah kuhancurkan tubuhmu waktu kau jumpa denganku dalam keadaan menjadi kecil," ujar Merpati Liar membatin.

Merpati Liar yang dulu pernah bertarung dengan Awan Setangkai gara-gara tak diizinkan temui Ratu Cendana Sutera, kini hanya sunggingkan senyum tipis dan berkesan dingin sekali. Pada waktu itu, Pematang Hati sedang ceritakan keadaan kakeknya kepada Eyang Sanupati alias si Tua Bangka.

Awan Setangkai melirik lagi kepada Merpati Liar. Tiba-tiba kepala Merpati Liar mengibas cepat, dan tubuh Awan Setangkai terpelanting ke belakang, jatuh berjumpalitan di tanah.

"Setan kau!" bentak Awan Setangkai dengan berang.

Merpati Liar siap lepaskan serangannya lagi. Tapi Resi Pakar Pantun segera melerai dengan berdiri dipertengahan jarak mereka.

"Hei, hei... apa-apaan kailan ini? Seperti anak kecil saja!"

"Dia masih ingin teruskan pertarungan lama kami," kata Awan Setangkai dengan menuding ketus kepada Merpati Liar.

"Kau yang menghendakinya, dan aku hanya menuruti keinginan batinmu!"

"Majulah kalau kau ingin hancur di tanganku!" sentak Awan Setangkai.

"Ssst... ssstt...!" Tua Bangka ikut melerai. "Kalau mau lanjutkan pertarungan lama, nanti saja jika urusan ini sudah selesai!"

"Minggir kau, Pak Tua!" sentak Awan Setangkai kepada Tua Bangka, ia ingin lakukan serangan kepada Merpati Liar.

Tapi sang Pendekar Mabuk cepat berseru dari tempatnya, "Siapa ingin lakukan pertarungan di sini?! Lawanlah aku dulu. Kalau bisa tumbangkan aku, kalian boleh adu kesaktian!" Suara bernada menghardik itu membuat Awan Setangkai kendorkan urat tangannya dan bersungut-sungut dalam gerutuan tak tentu.

Bulan Sekuntum menepuk-nepuk pundak Awan Setangkai agar kemarahan gadis itu mereda, sedangkan Kadal Ginting mencoba membujuk Merpati Liar dengan ucapan tak jelas dan tak dipedulikan oleh Merpati Liar sendiri. Tapi perempuan cantik bermata dingin itu segera menyingkir ke samping Pematang Hati.

Cucu si Kusir Hantu itu ajukan tanya kepada Tua Bangka, "Eyang, sekarang si Mahligai Sukma ada di mana?"

"Mahligai kusuruh mencari kakekmu dan menyampaikan pesanku agar ia tidak bertindak gegabah sebelum bertemu denganku!" jawab Tua Bangka agak wibawa, walaupun biasanya bersifat sedikit konyol.

Resi Pakar Pantun segera berkata kepada Tua Bangka. "Bagaimana kalau kita temui si Cendana Sutera?! Kita berdua yang menemuinya dan mendesaknya agar membatalkan niatnya untuk menggunakan Suto Sinting sebagai pria penabur benih ke turunan itu!"

"Tak perlu," sahut Suto yang tampak lebih gagah dari sebelum meminum tuaknya. "Aku sudah lontarkan tantangan kepada Ratu Cendana Sutera. Kami akan bertarung secara pribadi di Bukit Perawan esok malam."

"Gila kau!" gumam Resi Pakar Pantun.

"Bukit Perawan yang mana? Yang di darat atau yang di laut?" tanya Tua Bangka.

"Bukit Perawan Laut!" jawab Suto tegas dan jelas. "Aku yakin Ratu Cendana Sutera akan datang dan menyukai tantanganku itu. Sebab jika aku kalah, aku bersedia menjadi budaknya, dan jika dia yang kalah maka dia harus batalkan niatnya mengambilku sebagai pria pembenih!"

"Kalau begitu, biar aku yang maju melawannya!" sahut Merpati Liar.

"Tidak! Ini urusan pribadiku!" sergah Pendekar Mabuk.

Awan Setangkai menimpali, "Sebaiknya, biarkan aku yang menghadapi ratu-ku sendiri. Aku tahu bagaimana cara menumbangkannya!"

"Kuharap kau beristirahat saja, Awan Setangkai. Aku tak ingin melibatkan siapa pun, karena aku pribadi yang menantang Ratu Cendana Sutera secara pribadi pula!"

"Agaknya pertarungan ini adalah pertarungan terhormat bagimu, Suto!" ujar Resi Pakar Pantun.

"Setidaknya untuk menunjukkan kepada Ratu Cendana Sutera, bahwa aku bukanlah seekor babi hutan yang harus dikejar-kejar ke sana-sini, Resi!"

Kadal Ginting ikut menyahut, "Hebat!" ia acungkan jempolnya.

"Apanya yang hebat?!" sergah sang Resi.

"Watak ksatria Suto mirip saya, Eyang."

"Apanya yang mirip?" Bulan Sekuntum bersungut-sungut dalam gerutuan.

"Setidaknya, aku pernah membawakan bumbung tuaknya. Jadi antara aku dan Suto punya sedikit kesamaan, yaitu sama-sama pernah membawa bumbung sakti itu."

Suto Sinting sunggingkan senyum bersama senyum yang lain. Ia menepuk pundak Kadal Ginting dan berkata, "Terima kasih atas jasamu membawakan bumbung tuakku. Tapi ketahuilah, seandainya bumbung tuak ini tidak kau bawa, ia akan datang sendiri padaku, karena bumbung ini adalah jelmaan dari Eyang Guru-ku!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

"Kalau begitu," kata Tua Bangka kembalikan suasana ke masalah semula, "...kau perlu istirahat dulu, Suto. Kau butuh tenaga dan kesiapan menghadapi pertarunganmu dengan Ratu Cendana Sutera esok malam!"

Bulan Sekuntum segera berkata, "Tak jauh dari sini ada sebuah pondok milik kenalanku; seorang tabib yang pernah gagal mengobati Ratu-ku; Ratu Dewi Giok! Tapi kami tetap berhubungan baik. Kurasa, beliau bersedia menampung kita untuk beristirahat, sampai esok malam kita akan antar Suto ke Bukit Perawan Laut."

"Baik. Itu gagasan yang baik!" kata Tua Bangka. "Kita ke sana sekarang saja, selagi masih ada sisa matahari senja!"

"Aku tak ikut!" cetus Merpati Liar.

Semua memandang Merpati Liar. Sebelum ada yang bertanya penyebabnya, Merpati Liar berkata lebih dulu, "Aku akan mencari adikku, si Angin Betina!"

"O, iya...!" Suto Sinting teringat Angin Betina. "Aku berpisah dengannya ketika aku akan membebaskan Elang Samudera. Kurasa ia juga sedang mencarimu!"

Suto Sinting sengaja tidak menceritakan tentang kepergian Angin Betina karena cemburu terhadap si Payung Serambi, takut membangkitkan kecemburuan di pihak lain.

* * *

TUJUH

MALAM itu, Pendekar Mabuk dan rombongan tinggal di rumah tabib kenalan Bulan Sekuntum yang dikenal dengan nama Tabib Pualam. Ia seorang tabib lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, berbadan kurus, berjenggot panjang sedada warna abu-abu, sama seperti rambutnya yang berwarna abu-abu panjang sepundak tanpa ikat kepala. Tabib Pualam termasuk orang bertubuh jangkung, dan gemar mengenakan jubah coklat tua.

Ia menerima Suto dengan penuh hormat, bahkan di depan beberapa orang yang hadir di pondoknya itu, Tabib Pualam terang-terangan mengatakan, "Ilmu ketabibanku belum seberapa jika dibandingkan Pendekar Mabuk. Biar masih muda, tapi keampuhan tuak saktinya sering menjadi bahan percakapan para tabib lainnya. Sebab itulah, hari ini aku merasa mendapat kehormatan besar kedatangan tamu agung yang dikenal dengan nama Tabib Darah Tuak"

Suto Sinting sunggingkan senyum ramah namun tampak tetap rendah hati. Ia berkata kepada Tabib Pualam, "Bagaimanapun juga ilmuku masih lebih rendah dari ilmu ketabibanmu, Ki Pualam. Sudah seharusnya akulah yang merasa menaruh hormat setinggi-tingginya kepada Ki Pualam yang jauh lebih tua, lebih berpengalaman, dibandingkan diriku. Aku sangat berterima kasih mendapat kesempatan singgah di kediamanmu yang teduh dan damai ini, Ki Pualam."

Kadal Ginting menyahut, "Sesama tabib dilarang saling mencontek ilmu, ya?"

Canda si Kadal Ginting membuat suasana menjadi semakin akrab. Tabib Pualam menjamu mereka hingga larut malam. Pada akhirnya, tinggal tiga orang yang melanjutkan percakapan hangatnya, yaitu Tabib Pualam, Resi Pakar Pantun, dan si Tua Bangka yang ternyata juga mengenal si Tabib Pualam sejak muda itu.

Esoknya mereka berangkat ke Bukit Perawan secara rombongan. Mereka yang mengiringi Suto Sinting menuju ke medan pertarungan adalah, Resi Pakar Pantun, Tua Bangka, Awan Setangkai, Bulan Sekuntum, Pematang Hati dan Kadal Ginting. Tak lupa Tabib Pualam ikut juga dalam rombongan ini, karena menurutnya saat itu adalah kesempatan emas baginya, dapat menyaksikan pertarungan seorang pendekar kondang yang selama ini menjadi buah bibir para tokoh di rimba persilatan. Tabib Pualam tak mau menyia-nyiakan kesempatan emasnya itu, sehingga ia ikut dalam rombongan menuju Bukit Perawan.

Kadal Ginting sempat berseru dalam selorohnya, "Seperti iring-iringan prajurit kadipaten mau ke medan perang!"

Tapi Resi Pakar Pantun menyahut, "Mending kalau disangka begitu, kalau disangka kita mau menguburkan jenazah, bagaimana?!"

Sepanjang perjalanan mereka ditaburi tawa. Tapi Pendekar Mabuk tidak seriang hati mereka. Ada keharuan yang terselip di hati pemuda tampan itu melihat banyaknya orang yang mendukungnya. Dan satu hal yang membuatnya haru adalah ketiadaan Payung Serambi di antara mereka. Sebenarnya ia ingin pertarungan ini disaksikan oleh Payung Serambi, karena secara tak sabar di hati Suto mulai hadir kerinduan yang meletup-letup terhadap gadis cantik prajurit pilihan dari Istana Laut Kidul itu.

"Kenapa kau tak seceria biasanya?" tegur Bulan Sekuntum dalam bisikan.

Suto buru-buru sunggingkan senyum yang dipaksakan. "Aku memikirkan seseorang," jawabnya polos-polos saja.

"Dyah Sariningrum, maksudmu?"

Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. "Ya...," jawabnya pelan karena hatinya segera diliputi kebimbangan. Hati sang pendekar tampan itu pun akhirnya berkata, "Iya, ya... mengapa yang kurindukan adalah Payung Serambi? Mengapa bukan Dyah Sariningrum, calon istriku tercinta itu? Aneh...! Aku jadi heran, mengapa sejak aku memakan daun sirih dari Payung Serambi, hatiku lebih tertarik kepadanya ketimbang kepada Dyah Sariningrum? Adakah sesuatu yang berubah dalam hatiku ini?"

"Suto, apakah kau jadi kawin dengannya?"

"Dengan Payung Serambi, maksudmu?"

"Payung Serambi?!" Bulan Sekuntum terkejut dan berkerut dahi. "Bukankah yang kau pikirkan Dyah Sariningrum, calon istrimu itu?"

"O, Iya...! Hmmm, eeh, hmm... iya, maksudku memang Dyah Sariningrum." Suto Sinting tersipu malu karena salah sebut nama orang yang dipikirkan.

Hal itu menimbulkan kecurigaan di hati Bulan Sekuntum. "Sepertinya aku memang pernah mendengar nama Payung Serambi, tapi kapan dan di mana? Siapa dia sebenarnya? Ah, aku lupa tentang nama itu," kata Bulan Sekuntum.

"Lupakan tentang nama itu," kata Suto sambil menepiskan tangannya seakan ingin membuang bayangan Payung Serambi.

"Lalu..., bagaimana dengan si Pematang Hati?" desak Bulan Sekuntum.

"Pematang Hati?! Oh, aku tak ada hubungan apa-apa dengan si Pematang Hati."

"Betulkah? Tapi semalam saat ia tidur bersamaku, kudengar ia mengigau memanggil-manggil namamu dan cekikikan."

"Wah, gawat!" Suto Sinting terperanjat dan menjadi tak enak hati.

Bulan Sekuntum sunggingkan senyum tipis bersifat mengejek. Tiba-tiba terdengar suara Pematang Hati dari belakang, gadis itu semula sedang bicara dengan Awan Setangkai dan agak tertinggal.

"Eyang...! Eyang aku capek! istirahatlah dulu, Eyang!" serunya bernada manja.

Tua Bangka menggerutu, "Kolokan! Dasar cucunya si Kusir Hantu!" Lalu, Tua Bangka berkata kepada Suto Sinting, "Bagaimana menurutmu, Suto? Perlukah kita beristirahat dulu sesaat?"

"Demi menuruti keinginan cucu adikmu itu, aku tak keberatan untuk beristirahat asal jangan lama-lama, Tua Bangka. Sebab perjalanan kita masih jauh dan kita menempuhnya dengan jalan kaki biasa."

Maka mereka pun beristirahat ketika mereka berada dikaki sebuah bukit tanpa nama. Kadal Ginting memanjat pohon kelapa dan memetiknya beberapa buah kelapa lalu diambil airnya. Tentunya mereka tidak sulit- sulit melubangi buah kelapa itu. Cukup dengan satu kali sodokan jari tangan si Awan Setangkai, buah kelapa itu telah berlubang dan airnya bisa diminum.

Suto sengaja tidak meminum air kelapa muda. Ia lebih baik menenggak tuaknya, karena dengan sering menenggak tuak ia merasa semakin kuat dan semakin bersemangat. Sambil menunggu mereka beristirahat, Suto Sinting lakukan pemanasan gerak bersama Bulan Sekuntum. Namun Awan Setangkai segera ikut ambil bagian dalam latihan itu. Awan Setangkai menguji ketangkasan Pendekar Mabuk dengan lakukan pukulan cepat secara bertubi-tubi, dan ternyata Pendekar Mabuk mampu menangkis atau menghindari hingga tak satu pun pukulan dan tendangan Awan Setangkai yang mengenai tubuh Suto Sinting.

"Bagus," kata Awan Setangkai. "Tapi perlu kau ketahui, mata kanan Ratu Cendana Sutera lebih awas dan lebih jeli ketimbang yang kiri. Jadi lakukan serangan ke arah kiri terus. Sebaliknya, tangan kanan sang Ratu kurang tangkas, tapi tangan kiri lebih tangkas. Sebab sang Ratu termasuk orang bertangan kidal."

"Terima kasih atas pemberitahuanmu. Aku akan perhatikan sekali keteranganmu ini, Awan Setangkai."

"Jangan lakukan pertarungan dari jarak jauh, karena sang Ratu mempunyai pukulan-pukulan jarak jauh berbahaya. Jadi, jangan beri kesempatan sedikit pun baginya untuk lepaskan pukulan jarak jauhnya."

"Baik, akan kulakukan gerakan cepat yang langsung melumpuhkannya."

"Jika ia keluarkan asap dan berubah bentuk, hantam mata kakinya. Semuanya akan buyar dan untuk menjelma dalam bentuk lain ia butuh waktu agak lama."

Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. Segala yang dikatakan Awan Setangkai diperhatikan betul oleh Suto, karena ia tak ingin tumbang dalam pertarungan nanti. Dapat dibayangkan jika ia kalah melawan Ratu Cendana Sutera, alangkah capeknya ia menghadapi perempuan-perempuan Selat Bantai.

Perjalanan dilanjutkan lagi. Mereka menuju pantai menyusuri daerah tersebut, sebab Bukit Perawan Laut ada di daerah perairan pantai. Bukit itu sebenarnya sebuah gugusan batu karang tanpa pepohonan yang cukup besar dengan permukaannya yang datar. Untuk mencapai Bukit Perawan itu seseorang harus lakukan lompatan-lompatan cepat dari karang-karang kecil yang satu ke yang satunya lagi. 

Karang-karang kecil itu merupakan jembatan bagi siapa pun yang ingin menuju ke Bukit Perawan. Mereka yang ingin menuju ke sana harus mempunyai ilmu peringan tubuh, sebab ujung-ujung karang kecil itu mempunyai keruncingan yang dapat menembus telapak kaki manusia.

Mereka tiba di pantai seberang Bukit Perawan ketika matahari hampir tenggelam. Sang rembulan mulai tampak di langit timur, bersiap memancarkan sinar purnamanya ketika sang petang tiba. Dari pantai tampak Bukit Perawan membentang besar dengan jelas. Karenanya, Suto Sinting berkata kepada mereka,

"Kalian tetap di sini saja. Biar aku sendirian menunggu lawanku di atas bukit itu."

Mereka saling menyadari maksud Suto. Demi menjaga harga diri sang pendekar tampan, mau tak mau mereka tetap di pantai dan membiarkan Suto Sinting bergegas ke Bukit Perawan. Lompatan-lompatan yang dilakukan Suto Sinting tampak ringan dan cepat. Kakinya bagai tak menyentuh karang-karang kecil. Dalam sekejap saja Suto sudah ada di puncak bukit datar tersebut, ia mengangkat tangannya yang menggenggam sebagai lambaian kependekarannya, mereka membalas dengan tangan tergenggam pula.

"Hancurkan dia!" teriak Awan Setangkai yang tampak lebih banyak memberi semangat kepada Suto dalam pertarungan itu.

Petang pun datang, cahaya purnama menyinari bumi. Permukaan Bukit Perawan menjadi terang, tampak Suto Sinting berdiri tegak menunggu lawannya. Rambutnya meriap-riap disapu angin lautan. Bumbung tuaknya tergantung di pundak, karena sesekali ia menenggak tuak walau seteguk dua teguk. Claap, buuss...!

Seberkas cahaya kuning terang melesat dan jatuh di atas Bukit Perawan. Jatuhnya sinar kuning itu menyemburkan asap tebal yang dalam sekejap menjadi lenyap. Lalu, tampaklah sesosok tubuh langsing berparas cantik dengan rambut disanggul sebagian, sisanya jatuh terjuntai bagai ekor kuda. Perempuan cantik itu mengenakan jubah kuning emas berlengan panjang, tanpa pakaian dalam lagi kecuali selembar kain tipis warna merah jambu sebagai penutup dada montoknya dan bagian bawahnya.

"Cendana Sutera sudah datang!" gumam Tua Bangka. "Agaknya pertarungan akan segera dimulai."

Wees, wes, wuuut...! Seseorang melompati karang-karang kecil dan dalam sekejap sudah sampai di Bukit Perawan. Mereka sempat terperanjat, lalu memandang ke arah pantai bagian barat, ternyata rombongan Ratu Cendana Sutera telah tiba.

"Tapi siapa orang yang menyeberang ke sana itu?" tanya Tabib Pualam, entah ditujukan kepada siapa.

"Wah, kacau kalau begini!" gumam Tua Bangka seperti menggerutu.

Orang yang melesat bagaikan terbang tadi telah berada di samping Ratu Cendana Sutera. Ternyata orang berbaju biru dan celana hitam itu tak lain adalah si Kusir Hantu. "Maaf, aku terlambat, Cendana Sutera. Anak buahmu baru saja menemukan dan memberitahukan padaku tentang panggilanmu ketika senja hampir tiba. Sekarang aku datang memenuhi panggilanmu."

"Lawan si Pendekar Mabuk itu!" perintah sang Ratu dengan tegas walau bersuara kecil dan lembut.

Kusir Hantu memandang ke arah Suto, ia terperangah dan menjadi bingung sendiri. "Lho, kok ternyata kau sendiri, Nak?"

"Sudah kubilang, akulah Pendekar Mabuk. Tapi kau tak percaya, Pak Tua."

Sang Ratu berkata, "Kau berani melawannya, Pujasera?! Kalau kau berhasil mengalahkannya, berarti kau benar-benar membalas budi baikku selama ini. Lumpuhkan dia, tapi jangan sampai cedera!"

"Pepatah mengatakan: 'Tak ada gading yang tak retak'. Artinya, tak ada tanding untuk kutolak." Lalu ia memandang Suto Sinting lagi dan berkata, "Nak, aku terpaksa melawanmu. Maaf, ya...?!"

"Silakan, Pak Tua!" Suto Sinting tautkan kedua tangan di dada dan sedikit membungkuk memberi hormat kepada si Kusir Hantu.

Weeess...! Jleeg...!

Tokoh lain muncul di pertengahan jarak antara Kusir Hantu dengan Pendekar Mabuk. Tokoh yang baru datang dan mengejutkan Ratu Cendana Sutera itu tak lain adalah si Tua Bangka.

"Lho, kau ikut datang juga, Kang?" sapa Kusir Hantu.

"Kau ingin bertarung melawan Pendekar Mabuk itu?" sambil Tua Bangka menuding Suto. "Aku setuju sekali, tapi dengan syarat, kau harus melawanku lebih dulu dan harus bisa melenyapkan nyawaku!"

"Kang...," Kusir Hantu menjadi bimbang. "Jangan begitu, Kang. Ini urusan pribadiku."

"Persetan dengan urusan pribadimu! Kau manusia berotak bodoh! Kau akan celakai pemuda yang telah selamatkan nyawa cucumu; si Pematang Hati, dari ancaman maut racun milik anak buah si Cendana Sutera itu?! Hmmm...! Piciknya adikku yang satu ini! Menyesal aku punya adik sepicik kau, Pujasera! Kalau tahu kau akan sepicik dan sebodoh ini, lebih baik dulu ketika kau lahir kusuruh masuk kembali ke perut Ibu kita!"

"Pepatah mengatakan, Kang..."

"Gigimu itu yang harus kupatah-patahkan!" bentak Tua Bangka.

Kusir Hantu lemas dan menunduk, ia tak berani melawan kakaknya. Melihat keadaan seperti itu. Ratu Cendana Sutera tidak banyak bicara lagi, ia langsung berkelebat bagaikan angin berhembus. Weeess...! Suto Sinting diterjangnya dengan seberkas cahaya merah memancar dari sekujur tubuhnya. Pendekar Mabuk berputar tubuh, wees ..! Bumbung tuaknya berkelebat menghantam tubuh sang Ratu yang bercahaya merah.

Buuhk...! Blaaarr...! Ledakan dahsyat terjadi dan menggetarkan Bukit Perawan.

Sang Ratu terpental, lalu jatuh dalam keadaan mengucur darah dari mulut dan hidungnya. Tapi ia masih nekat maju tanpa banyak bicara. Agaknya apa kata Awan Setangkai memang benar, bahwa sang Ratu jangan diberi kesempatan menyerang karena pukulan jarak jauhnya sangat berbahaya. Maka sebelum tangan sang Ratu bergerak, Suto Sinting lebih dulu lepaskan jurus 'Pecah Raga' yang berupa sinar hijau dari telapak tangannya. Claap...! Jlegaar...!

Sang Ratu menangkisnya dengan sinar biru yang menyala di telapak tangannya. Tapi ia terpental dan kulitnya menjadi terkelupas, darah mengalir dari tiap kupasan kulit tersebut. Sang Ratu tetap bangkit, ia tak mau menyerah begitu saja.

"Heiaaah...!" Ratu Cendana Sutera memekik panjang dan lakukan lompatan cepat bagaikan hembusan badai. Wuuus...! Suto Sinting menyambutnya dengan lompatan cepat pula. Zlaaap...! Tubuh sang Ratu memancarkan cahaya merah dalam keadaan melayang di udara, dan Suto Sinting segera bersalto cepat satu kali. Keadaannya menjadi berada di bawah sang Ratu. Maka telapak tangan kanan Pendekar Mabuk pun menyentak ke atas menghantam ulu hati sang Ratu. Bertepatan dengan pukulan itu, melesatlah sinar hijau sekejap sebelum telapak tangan menyentuh tubuh sang Ratu.

Wuuutt...! Buuhk...!

Weeess...! Tubuh sang Ratu tersentak ke atas lebih tinggi lagi. Sinar kuning emas yang memancar dari tubuhnya berubah menjadi sinar hijau bening akibat jurus pukulan 'Pecah Raga' dari Suto Sinting tadi. Dan sebelum tubuh itu bergerak melayang turun, tubuh itu sudah pecah lebih dulu.

Blaaarrr...! Ratu Cendana Sutera hancur karena pukulan 'Pecah Raga' dalam jarak dekat. Darah menghambur kemana-mana bagaikan hujan turun dari langit. Sisa bagian tubuhnya hanya pada bagian kepala dan kaki sebatas betis saja. Mereka yang memandang kejadian itu sama-sama menyeringai dan bergidik. Bukit Perawan kini bersimbah darah, warna putih karang berubah menjadi merah. Sementara itu sang Pendekar Mabuk berdiri di sisi lain dalam keadaan tegak, gagah dan tampak perkasa.

Awan Setangkai geleng-geleng kepala sambil membatin, "Pendekar Mabuk kalau sudah punya niat membunuh lawan, tindakannya sangat cepat dan sepertinya tak mau buang-buang waktu. Sang Ratu yang ilmunya lebih tinggi dariku dapat ditumbangkan dengan cepat. Berarti waktu melawanku dulu ia tidak sungguh-sungguh."

Orang-orang Selat Bantai segera larikan diri setelah mereka melihat ratunya hancur dan darahnya membanjir di Bukit Perawan. Awan Setangkai bergegas mengejar mereka, namun segera disambar lengannya oleh Resi Pakar Pantun.

"Aku tahu maksudmu, tapi jangan lakukan sekarang. Redakan suasana ini dulu, baru kau gantikan kedudukan Ratu Cendana Sutera. Aku akan membantumu dalam hal itu, asal kau meninggalkan jalan sesat yang menjadi tradisi orang Selat Bantai."

"Akan kutinggalkan noda hitam Selat Bantai, dan kuganti dengan warna putih sesuai dengan aliran si Pendekar Mabuk," ujar Awan Setangkai.

Tiga sosok bayangan melesat tinggalkan Bukit Perawan. Mereka tiba di depan rombongan Resi Pakar Pantun. Suto Sinting tiba lebih cepat, lalu disusul oleh Tua Bangka dan Kusir Hantu.

"Kakek...?!" sapa Pematang Hati sambil hampari kakeknya lalu memeluknya. "Hampir saja aku turun tangan mencampuri urusan itu, Kek!"

"Mengapa kau punya niat begitu, cucuku?"

"Karena jika tadi kakek benar-benar bertarung melawan Pendekar Mabuk, maka akulah yang akan tampil lebih dulu menghadapimu, Kek!"

"Jika itu kau lakukan, maka aku lebih baik merajang tubuh si Cendana Sutera, Cucuku! Untung tidak kau lakukan, karena aku pun bingung bagaimana cara merajangnya."

Yang lain cekikikan digelitik rasa geli mendengar ucapan si Kusir Hantu. Suto Sinting segera ditepuk pundaknya oleh Tua Bangka yang berkata, "Maafkan kebodohan adikku tadi."

"Semua sudah kulupakan, Ki!" jawab Suto Sinting sambil tersenyum, tapi si Kusir Hantu segera menyahut,

"Semuanya boleh kau lupakan, tapi cucuku ini jangan sekali-kali kau lupakan. Baru saja dia berbisik padaku, dia kagum padamu, Nak!"

Suto Sinting hanya palingkan wajah, sembunyikan senyum salah tingkahnya. Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai hanya sunggingkan senyum berkesan sinis, namun bukan berarti benci.

"Mereka tak tahu, aku sedang berpikir tentang si Payung Serambi," ujar Pendekar Mabuk dalam hatinya, lalu pandangan matanya ditujukan ke cakrawala. Cahaya rembulan yang menyebar ke sana seakan menampilkan seraut wajah pemilik Istana Laut Kidul, yaitu wajah Ratih Kumala alias si Payung Serambi.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.