Setan Rawa Bangkai

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Setan Rawa Bangkai Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Setan Rawa Bangkai
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

SETAN Rawa Bangkai adalah julukan bagi tokoh aliran hitam yang berusia delapan puluh tahun, ia bertapa di sebuah rawa dengan cara merendam tubuhnya sampai batas leher, tinggal kepalanya saja yang tampak di permukaan air rawa. Tapa rendam itu dilakukan olehnya selama tujuh belas tahun.

Kemunculannya kembali ke dunia persilatan sempat menjadi bahan percakapan para tokoh tua kalangan atas, baik yang beraliran hitam maupun putih. Mereka mengatakan, "Setan Rawa Bangkai mulai bergentayangan kembali." Tak heran jika beberapa tokoh tua aliran putih mengadakan pertemuan di puncak Bukit Sekal.

"Delapan belas tahun yang lalu, Marundang atau si Setan Rawa Bangkai pernah hampir menghancurkan dunia dengan ilmu 'Cakrabumi'-nya. Untung bisa ditumbangkan oleh jurus 'Petak Sembilan'-nya si Raja Maut," ujar Ki Argapura, tokoh yang kesohor sebagai jago pedang kawakan, pernah menurunkan Ilmu pedangnya kepada Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ladang Pertarungan).

"Memang benar! Tapi sekarang si Raja Maut telah tiada, haruskah kita tangani bersama-sama agar Setan Rawa Bangkai tidak mengumbar keganasannya kembali?" timpal tokoh gemuk berjenggot putih yang dikenal dengan nama si Jubah Kapur. Ketua Partai Gelandangan itu sangat peduli sekali dengan bahaya yang mengancam kedamaian serta keutuhan dunia persilatan, karenanya dalam pertemuan di Bukit Sekal itu ia paksakan diri untuk hadir dan ikut membahasnya.

"Kurasa saat ini Marundang punya ilmu baru yang lebih berbahaya dan sepertinya kekuatan kita tidak cukup untuk menandingi kekuatan Marundang," kata tokoh tua berambut belakang panjang depannya botak, tanpa kumis dan tanpa jenggot. Tokoh yang mengenakan jubah abu-abu itu dikenal dengan nama Buyung Gerang, saudara seperguruan dengan Poci Dewa yang kala itu ada di sampingnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan Tanpa Ajal).

Galak Gantung, orang yang tempo hari lakukan pertarungan dengan Suto Sinting karena salah paham itu, segera ikut angkat bicara dengan sikap wibawanya. "Sebenarnya ada satu orang yang bisa menandingi si Setan Rawa Bangkai itu. Tapi entah dia mau turun tangan atau tidak dalam perkara ini."

"Siapa maksudmu, Galak Gantung?!" tanya Ki Argapura.

"Kurasa aku belum tentu sanggup. Jangan berharap padaku," sahut si Tua Bangka, tokoh berilmu tinggi yang memiliki pusaka Kapak Setan Kubur.

"Jangan gede rasa dulu, Tua Bangka! Yang kumaksud bukan dirimu!" ujar Galak Gantung.

"O, maaf. Kukira akulah orang yang kau anggap sakti itu, he, he, he...." Tua Bangka cengar-cengir sambil garuk-garuk kepalanya.

"Orang yang mampu tumbangkan kekuatan si Setan Rawa Bangkai tak lain adalah Sabawana alias si Gila Tuak!"

"Menurutku, Bidadari Jalang, saudara seperguruannya si Gila Tuak juga mampu melawan kekuatan Setan Rawa Bangkai," sela Sumbaruni, tokoh perempuan cantik yang sudah berusia banyak tapi masih tampak muda. Perempuan mantan istri jin dan punya kesaktian cukup tinggi. Tapi toh ia masih merasa akan kalah tanding jika melawan Setan Rawa Bangkai.

Poci Dewa menimpali sambil manggut-manggut, "Ya, ya... kurasa si Gila Tuak atau Bidadari Jalang yang mampu lumpuhkan Setan Rawa Bangkai."

"Tapi mereka sudah tidak mau ikut libatkan diri dalam bentrokan dengan siapa pun. Mereka sudah mengasingkan diri dan enggan ikut campur di rimba persilatan," ujar Ki Tumbang Laga yang usianya sudah mencapai tujuh puluh lima tahun tapi masih tampak gagah, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kutukan Pelacur Tua).

"Tapi kudengar mereka berdua akan datang menghadiri pertemuan ini!" sahut Sumbaruni.

Wuuus...! Buuubb...!

Tiba-tiba segumpal asap mengepul di samping Sumbaruni. Perempuan sakti yang menyimpan cinta kepada Pendekar Mabuk itu sempat terkejut sesaat. Asap itu pun lenyap dan muncullah sesosok tubuh gemuk berkepala gundul mengenakan pakaian model biksu warna kuning, berkalung tasbih sebesar kelereng sepanjang perut, ia tokoh yang kumis dan brewoknya berwarna putih rata namun berkesan lembut. Tokoh aliran putih itu tak lain adalah Resi Badranaya, guru dari si Darah Prabu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").

"Maaf aku terlambat datang," ujarnya sambil mendekapkan kedua telapak tangan di dada dan badan sedikit membungkuk pertanda memberi hormat kepada sahabat-sahabatnya yang sudah ada di tempat.

"Badranaya, kusangka kau tak akan datang karena sibuk dengan urusan kakakmu; Nyi Mas Gandrung Arum."

"Urusanku sudah selesai, dan telinga tuaku mendengar kabar tentang kemunculan si Setan Rawa Bangkai. Firasatku mengatakan, bahwa Setan Rawa Bangkai pasti mempunyai kekuatan lebih ampuh lagi, ilmu yang lebih dahsyat lagi, sehingga ia akan memporakporandakan isi dunia untuk yang kedua kalinya. Kudengar kabar pula bahwa kalian berkumpul di Bukit Sekal ini, sehingga kusempatkan untuk hadir di antara kalian."

Tua Bangka yang juga kenal dengan Resi Badranaya itu segera berkata, "Sebaiknya tugas melumpuhkan Setan Rawa Bangkai kami percayakan padamu saja, Badranaya. Apakah kau punya kesanggupan untuk mengungguli kekuatan barunya Marundang?"

"Mengungguli atau tidak, itu persoalan nanti. Yang penting jika kalian percayakan hal ini kepadaku, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk menumbangkan si Setan Rawa Bangkai itu! Sekalipun nyawaku menjadi korban, aku telah siap dengan hati rela. Toh semua ini demi selamatkan bumi yang kita pijak agar jangan hancur sebelum kiamat tiba."

"Aku tidak setuju!" celetuk Galak Gantung. "Aku keberatan jika Badranaya yang berhadapan dengan Marundang. Sama saja kita membuang satu nyawa secara sia-sia. Setan Rawa Bangkai tidak bisa ditandingi secara coba-coba. Harus ada lawan yang sekali serang bisa bikin ia binasa!"

"Kalau kau tidak bersedia, aku pun tidak akan memaksakan diri untuk menghadapi Marundang," kata Resi Badranaya dengan nada bijaksana. "Barangkali pertimbanganmu memang benar, Galak Gantung. Hanya saja, siapa orang yang mampu tumbangkan Marundang dalam sekali serang?"

"Gila Tuak atau BidadariJalang. Tapi mereka..."

Tiba-tiba terdengar sebuah seruan di samping Galak Gantung, "Mengapa harus aku?!"

Semua mata tertuju pada si pemilik suara tersebut. Ternyata orang yang bicara itu adalah tokoh beralis tebal putih yang memakai pakalan hijau di bungkus jubah kuning lengan panjang bukaan depan. Tokoh berambut putih rata sepanjang pundak dengan ikat kepala hitam dan tongkat hitam setinggi dada itu tak lain adalah Ki Sabawana, atau si Gila Tuak.

Sedangkan perempuan cantik yang tampak masih muda namun sudah berusia banyak yang berdiri di samping Gila Tuak adalah perempuan sakti nomor dua setelah si Gila Tuak. Dia adalah Bidadari Jalang, mantan tokoh hitam yang sudah berpindah ke aliran putih. Keduanya itu adalah guru dari Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Keduanya muncul tanpa suara dan tanpa tanda.

Bagi mereka kemunculan itu sudah tidak mengherankan. Mereka tahu, Gila Tuak dan Bidadari Jalang adalah nama tokoh sakti yang tercantum dalam daftar paling atas dari deretan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Nama yang ada pada deretan ketiga setelah dua tokoh itu adalah Siluman Tujuh Nyawa, manusia yang dikutuk menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun. Tapi dalam pertemuan di Bukit Sekal itu, Siluman Tujuh Nyawa tidak hadir, karena memang pertemuan itu bukan dari aliran hitam.

Bidadari Jalang segera angkat bicara setelah semua tercekam hening beberapa helaan napas, "Kami dengar apa yang sedang terjadi di rimba persilatan. Setan Rawa Bangkai bergentayangan kembali. Kami sengaja diam karena kami punya sahabat cukup banyak yang ilmunya mampu menyamai Setan Rawa Bangkai. Kalian-kalian inilah yang sebenarnya kurang percaya diri, sehingga tidak mau bertindak secepatnya."

"Bidadari Jalang," ujar Galak Gantung. "Kabar terakhir yang kudengar sebelum hadir dalam pertemuan ini ialah tentang ilmu baru yang dimiliki si Setan Rawa Bangkai. Ada dua ilmu yang sudah ia coba untuk mengacaukan suatu daerah tanpa belas kasihan sesama manusia. Kedua ilmu itu adalah 'Sukma Sakti' dan satu lagi 'Cakar Belah Jagat'. Seseorang yang sudah kuasai ilmu 'Sukma Sakti' berarti ia hampir mencapai tingkat puncak ilmu tertinggi. Kau dan Gila Tuak sudah ada di tingkat yang sama, tapi kami masih jauh di bawah kalian. Jadi sia-sia saja jika kami bertindak melawan Setan Rawa Bangkai. Satu-satunya jalan hanya kalian berdua yang mampu hentikan kekejian Setan Rawa Bangkai."

Tua Bangka menyahut, "Kami tidak ingin buang-buang waktu, buang-buang tenaga dan yang terpenting kami tidak ingin buang-buang nyawa. Perlu diingat, bahwa kami hanya punya satu nyawa. Jadi tak bisa dipakai untuk coba-coba melawan keganasan Setan Rawa Bangkai."

"Lalu untuk apa kau punya pusaka Kapak Setan Kubur kalau masih merasa kecil di hadapan Setan Rawa Bangkai?"

"Nawang Tresni," kata Tua Bangka menyebut nama asli Bidadari Jalang. "Pusaka yang kumiliki sudah hancur kala aku melawan Balekubang, Penguasa Pulau Tangkal yang ingin mengawini cucuku itu. Kukorbankan pusaka Kapak Setan Kubur demi keselamatan cucuku dan kehancuran si Balekubang. Jadi, sekarang apa yang kupunya hanya kapak tebang pohon yang tak punya kekuatan apa-apa untuk melawan Setan Rawa Bangkai."

Mereka terdiam sebentar, karena baru sekarang mendengar Kapak Setan Kubur ternyata telah hancur bersama hancurnya orang-orang Pulau Tangkal. Sayang sekali mereka tak menyaksikan pertarungan Tua Bangka dengan orang-orang Pulau Tangkal, sehingga peristiwa hancurnya Kapak Setan Kubur itu tidak bisa disaksikan dengan mata kepala mereka masing-masing. Jika pada waktu itu Tua Bangka tidak harus melawan orang-orang Pulau Tangkal, maka ia akan membantu Pendekar Mabuk dalam mencari pusaka Panji-panji Mayat milik keluarga Dewi Hening itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Bayangan Ungu).

Perundingan itu berlangsung hampir sehari penuh. Pada dasarnya mereka menaruh harap kepada Gila Tuak atau Bidadari Jalang untuk menghancurkan kekejian si Setan Rawa Bangkai. Tapi agaknya kedua tokoh sakti yang namanya cukup disegani di kalangan sejajarnya itu merasa keberatan untuk lakukan permintaan mereka. Akhirnya Gila Tuak berkata kepada mereka,

"Jika kalian merasa tak ada yang sanggup tumbangkan si Marundang, maka aku akan mengutus muridku untuk melawan Setan Rawa Bangkai."

"Hah...?! Maksudmu si bocah tanpa pusar; Suto Sinting itu?" cetus Tua Bangka agak kaget.

"Tidak. Aku tidak setuju jika Suto Sinting yang harus berhadapan dengan Setan Rawa Bangkai. Aku sangat tidak setuju!" ujar Sumbaruni dengan nada keras, ia tampak gusar mendengar Suto Sinting akan mendapat perintah dari sang Guru untuk melawan Setan Rawa Bangkai, sebab ia tak ingin Suto Sinting sebagai pemuda yang dicintai walau bertepuk sebelah tangan itu celaka dan hancur di tangan Setan Rawa Bangkai.

"Mengapa kau tampak berang sekali setelah mendengar rencanaku, Sumbaruni?!" tanya Gila Tuak dengan kalem.

"Suto Sinting bocah kemarin sore. Bukan tandingannya jika harus melawan Setan Rawa Bangkai, itu sama saja kau ingin mencelakakan muridmu sendiri, Gila Tuak!"

"Kami tidak khawatirkan hal itu," kata Bidadari Jalang. "Kami tidak cemaskan keselamatan Suto, sebab kami tahu seberapa tinggi kekuatannya, sehingga menurut kami ia cukup mampu mengatasi kekejian Setan Rawa Bangkai itu, Sumbaruni!"

"Bidadari Jalang dan Gila Tuak," sela Ki Argapura, "Kumohon perkara ini jangan dianggap remeh dan jangan dipakai buat main-main. Benar apa kata Sumbaruni, bahwa muridmu; si Pendekar Mabuk, adalah bukan tandingannya Setan Rawa Bangkai. Bisa-bisa anak itu akan mati dalam sekali gebrak saja. Kuingatkan sekali lagi, jika Setan Rawa Bangkai berani bergentayangan lagi, maka itu adalah tanda bahwa ia sudah mempunyai ilmu yang lebih dahsyat dari delapan belas tahun yang lalu."

'Dan itu sama saja menyuruh murid untuk bunuh diri!" timpal Poci Dewa.

Dalam pertemuan itu ada pula tokoh yang selama ini sering dampingi Suto Sinting dengan kekonyolannya maupun dengan kesungguhannya. Dia adalah Resi Pakar Pantun bersama pelayannya; si Kadal Ginting. Resi Pakar Pantun segera hentikan bisik-bisiknya kepada Resi Badranaya, dan kini ia bicara kepada si Gila Tuak dan Bidadari Jalang dengan pantunnya.

"Bunga kecubung memakai selendang, menanak nasi di dalam kerang. Jangan anggap remeh usia orang, sekali gebrak nyawa pun akan hilang."

Pantunnya itu bersifat membela keputusan Gila Tuak, sehingga, dengan lancar ia bicara kepada mereka, "Aku yakin Pendekar Mabuk mampu lumpuhkan si Setan Rawa Bangkai, asal pada saat ia bertarung melawan si Setan Rawa Bangkai, ia didampingi perempuan cantik."

"Kekuatan Suto tidak pada perempuan cantik, Pakar Pantun. Jangan bicara sembarangan!" hardik Gila Tuak. Hardikan itu membuat Resi Pakar Pantun nyengir malu karena merasa salah duga.

Bidadari Jalang menimpali, "Bocah tanpa pusar mempunyai kekuatan yang sulit ditandingi atau dikalahkan oleh seseorang. Itulah kehebatan Suto Sinting, dan karenanya kalian tak perlu khawatir tentang keselamatannya, ia akan menghancurkan kekejian dan keganasan si Setan Rawa Bangkai."

Akhirnya mereka melepaskan desah kepasrahan sambil angkat bahu. Bahkan Buyut Gerang sempat berkata mirip orang menggumam, "Terserah kalian saja, Gila Tuak! Jika memang kau dan Bidadari Jalang yakin akan kekuatan seimbang pada diri murid kalian, lakukan saja sesuai keyakinan kalian!"

"Masalahnya sekarang aku belum tahu, Suto Sinting ada di mana? Tolong carikan dia dan ceritakan rencanaku ini kepadanya."

"Tapi... tapi bagaimana jika Suto kalah dan nyawanya loncat dari raganya?!" ujar Sumbaruni yang tampak gelisah sekali.

* * *

DUA

PEMUDA tanpa pusar yang bernama Suto Sinting kala itu sedang berhadapan dengan Jagal Neraka. Orang brewok berambut ikal yang mempunyai mata besar, bibir tebal dan perawakan tinggi besar itu sengaja menghadang langkah Suto Sinting ketika pemuda tampan yang membawa-bawa bumbung tuak itu melewati pantai. Jagal Neraka adalah Ketua Perampok Lembah Hantu yang tempo hari nyaris mati di tangan Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam).

Rupanya kekalahannya telah membuat Jagal Neraka menaruh dendam kepada Suto Sinting, sehingga ia sengaja mencari pendekar berbaju coklat tanpa lengan baju itu. Jagal Neraka sengaja tidak sendirian, melainkan bersama dua saudaranya, yaitu seorang adik yang bernama Kerak Singa dan seorang kakak yang bernama Iblis Bujangan.

"Seperti janjiku semula, kita akan bertemu lagi dan aku akan menebus kekalahanku tempo hari, Pendekar Mabuk!" ujar Jagal Neraka dengan mata lebarnya membelalak penuh pancaran dendam.

Pendekar Mabuk hanya diam saja, berdiri tegak dengan tenang. Bahkan sempat membuka bumbung tuaknya untuk ditenggak. Namun sebelumnya ia berkata kepada Jagal Neraka. "Dendam tidak akan membawa kedamaian, Jagal Neraka. Dendam justru dapat menyeret orang ke liang kubur."

"Persetan dengan nasihatmu, Bocah Sinting!" bentak Jagal Neraka, maksudnya ingin menjatuhkan nyali Pendekar Mabuk agar merasa takut dan gentar kepadanya, namun bentakan keras itu bagai tidak didengar oleh si tampan bercelana putih kusam itu. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sejenak, kemudian menenggak tuaknya dengan kalem. Seakan ia tidak sedang berhadapan dengan musuh. Sikapnya itu dianggap meremehkan sekali oleh Jagal Neraka dan memancing kemarahan Jagal Neraka lebih berkobar lagi.

Kerak Singa berkata pelan seperti menggumam, "Dia menganggap ringan kehadiran kita ini, Jagal Neraka. Hantam saja sekarang juga biar bocah itu tahu sopan sedikit!"

"Memang harus kuhancurkan wajah gentengnya itu. Hheeeaah...!" Jagal Neraka menggeram jengkel sekali. Tubuhnya melompat maju dengan kaki kanan yang besar mengarah ke wajah Pendekar Mabuk. Weeesss...!

Suto Sinting yang sedang menenggak tuak dengan tengadah itu bagai tak peduli akan kehadiran serangan dari lawan. Tapi ketika kaki besar itu hampir menyentuh kepalanya, tiba-tiba tubuh Suto Sinting bagaikan lenyap. Zlaaap...! ia bergerak sangat cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' hingga mirip menghilang. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Kerak Singa dan Iblis Bujangan.

"Bangsat tengik! Lari ke mana dia?!" geram Iblis Bujangan yang bertubuh besar dengan perut buncit dan mengenakan baju merah tak dikancingkan bagian depannya. Kumisnya lebat, rambutnya panjang sepundak mengenakan ikat kepala merah juga.

"Apakah dia keturunan hantu, sehingga bisa menghilang begitu saja?!" Kerak Singa juga menggeram jengkel dengan mata kecilnya yang mencari ke arah depan. Orang kurus berkumis tipis dan berdagu runcing itu sempat terkejut ketika Suto Sinting perdengarkan suaranya di belakang kedua orang tersebut.

"Aku tidak lari ke mana-mana!"

Weeet...! Kedua kakak-beradik itu segera palingkan wajah ke belakang. Suto Sinting tersenyum tenang saat mereka lebarkan mata pertanda kaget mengetahui lawannya sudah ada di belakang mereka.

"Monyet sungsang! Kau sengaja mempermainkan kami, hah?!" bentak Iblis Bujangan, ia segera mencabut senjata kapak dua mata yang tadi terselip di sabuknya. Wuuut...! Kapak itu digenggam kuat-kuat, siap untuk dihantamkan dalam satu kali lompat saja. Tetapi Suto Sinting masih tetap tenang, tak ada kesan takut sedikit pun. Tali bumbung tuaknya dililitkan di tangan kanan hingga bambu sakti itu bagaikan sedang ditenteng dengan ringan.

"Maaf, aku tidak mempermainkan kalian. Aku hanya menghindari bentrokan yang dapat membahayakan jiwa kita bersama. Persoalanku dengan Jagal Neraka adalah bukan persoalan kalian berdua," kata Suto Sinting sambil matanya memandang lurus ke arah Jagal Neraka yang sedang melangkah mendekati mereka.

"Tapi Jagal Neraka adalah adikku! Jika ia sakit aku ikut sakit. Jika ia dendam padamu, maka aku pun dendam padamu!"

"O, begitukah tali persaudaraan kalian?!"

"Iya!" sentak Iblis Bujangan.

Kerak Singa menimpali, "Jangan harap kau bisa lolos jika kami bertiga sudah bersatu begini! Kesatuan kami merupakan kekuatan yang tiada tandingnya. Kuharap kau bersujud dan memohon ampun kepada kakakku; si Jagal Neraka!"

Pendekar Mabuk justru sunggingkan senyum. Pandangan matanya sudah tidak tertuju kepada Jagal Neraka lagi, melainkan kepada si Kerak Singa. Dengan suara kalem, Pendekar Mabuk berkata, "Aku tak pernah dididik oleh guruku untuk meminta ampun kepada orang sesat seperti kalian! Jadi aku tidak tahu bagaimana caranya bersujud dan meminta ampun. Tolong berikan contohnya!"

"Bodoh! Begini caranya...," kata Kerak Singa, lalu ia berlutut di depan Suto Sinting dan mencium tanah sambil berseru, "Ampunilah kesalahanku, dan aku berjanji tidak akan berani melawanmu lagi serta..."

Beeeg...! Tiba-tiba kaki Jagal Neraka menendang pinggang Kerak Singa. "Goblok! Kenapa kau yang bersujud di depannya?! Bangun!"

"Sial! Aku terpedaya oleh omongannya!" Kerak Singa berdiri dengan menggeram jengkel. Lalu ia berkata kepada Jagal Neraka, "Diamlah di sini, akan kuhajar sendiri bocah sinting itu!"

Iblis Bujangan juga berkata, "Benar, Jagal Neraka! Diamlah di tempat, biar aku dan adikmu yang membereskan pemuda dungu itu! Kerak Singa, serang dia!"

"Keeeeaahhh.!"

Pendekar Mabuk hanya memandang Jagal Neraka dengan seulas senyum kalem mekar di bibirnya. Ketika serangan dari Kerak Singa datang, ia berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan badan ke kanan. Tetapi ternyata tendangan dari Iblis Bujangan datang dari kanan dan akibatnya rahang Suto Sinting menjadi sasaran telak tendangan kaki besar itu.

Wuuuut...! Ploook...! Krrrak..!

"Aaaaow...!"

Suto Sinting tersentak mundur tiga langkah. Tapi yang berteriak keras-keras adalah Jagal Neraka. Orang berperawakan besar itu menjerit sambil memegangi rahangnya. Suto Sinting tidak bersuara sedikitpun.

Kerak Singa penasaran melihat Suto Sinting bagai kebal tendangan. Karenanya, Kerak Singa segera melesat dalam satu lompatan dan tubuhnya berputar tepat di depan Suto Sinting. Putaran tubuh itu membuat kakinya menyabet wajah Suto Sinting dengan telak sekali.

Ploookk...!

"Aaauhg...!" terdengar suara Jagal Neraka memekik tertahan bersama tubuhnya terpelanting melintir ke kiri.

"Habisi saja dia!" seru Iblis Bujangan. "Heeeah...!"

"Hiaaah...!"

Kedua kakak-beradik itu maju bersama menerjang Suto Sinting. Pukulan telak meluncur beberapa kali mengenai wajah tampan Pendekar Mabuk. Keduanya menghajar Suto Sinting bagai orang kesurupan.

Bed, bed, plok, plak, buuhg, plak, cprot...! Crrraasss...!

Kapak dua mata diayunkan dari atas ke bawah dan tepat membelah dada Suto Sinting.

"Aaaaahg...!" Jeritan memilukan itu datang dari Jagal Neraka, sedangkan Suto Sinting hanya tersentak mundur tiga langkah lagi. Kulit tubuhnya masih utuh tanpa luka sedikit pun. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Iblis Bujangan dan Kerak Singa. Mereka sama-sama berpaling memandang Jagal Neraka yang ada di belakang mereka.

"Haaah...?!"

"Lhoo...?!"

Mereka sama-sama terkejut melihat Jagal Neraka terkapar berlumur darah. Bukan saja wajahnya menjadi babak belur tapi juga dadanya robek terbelah sampai batas pusar. Keadaan Jagal Neraka sangat menyedihkan, ia tak bisa berteriak lagi, bahkan bernapas pun tampak sulit sekali.

Pendekar Mabuk berkata dengan suara kalem, "Ada rahasia yang belum kalian ketahui, bahwa orang yang tersengal-sengal begitu namanya orang sekarat! Lekas bawa pergi dan carikan obat penyambung nyawanya. Jika tidak, maka ia akan mati oleh senjata kakaknya sendiri."

"Bangsat! Yang kubelah si bocah sinting itu, yang celaka malah Jagal Neraka! Ilmu macam apa yang ia miliki sebenarnya?!"

"Jangan bicara saja! Cepat bawa pergi Jagal Neraka dan selamatkan dia!" seru Kerak Singa dengan wajah panik.

Mereka tidak tahu bahwa Suto Sinting telah menggunakan ilmu 'Alih Raga', yaitu mengalihkan rasa ke raga orang lain. Ilmu itu dilepaskan pada saat mata Suto Sinting memandangi Jagal Neraka sebelum ia diserang Iblis Bujangan dan Kerak Singa tadi. Ilmu 'Alih Raga' membuat dirinya mudah dipukul tapi orang lain yang merasakan sakitnya.

Iblis Bujangan dan Kerak Singa bergegas mengangkat tubuh besar Jagal Neraka yang dalam keadaan sekarat itu. Tetapi sebelum tubuh itu sempat terangkat, Jagal Neraka telah menghembuskan napas yang terakhir, karena jantungnya robek akibat tebasan kapak tajam Iblis Bujangan.

"Bangsaaaat...! Dia sudah tak bernyawa lagi! Ini gara-gara bocah sinting itu! Kubunuh kau, Sapi Lanang! heeeahh...!" Kerak Singa berlari dan lakukan lompatan bersalto ke arah Pendekar Mabuk. Namun tiba-tiba di pertengahan jarak tubuh Kerak Singa terpental dan melayang bagaikan terbuang jauh dari tempat tersebut. Sepertinya ada badai besar yang hanya bisa menghempaskan tubuh kurus si Kerak Singa.

Melihat keadaan itu Suto Sinting menjadi heran dan mulai berkecamuk dalam batinnya, "Pasti ada pihak lain yang memihakku.... Hmmm... siapa orang itu dan di mana ia berada?!" Sambil mata Suto Sinting melirik sekeliling dengan teliti.

"Aaaah...!" di sebelah sana Kerak Singa menjerit keras-keras karena tubuhnya terbanting di atas gugusan batu karang. Punggungnya terluka babak belur akibat goresan ujung runcing gugusan batu karang itu.

"Celaka! Kalau kuterus-teruskan bisa berbahaya. Mampus semua saudaraku!" pikir Iblis Bujangan setelah menyadari tingginya ilmu pemuda yang dihadapi itu.

"Kerak Singa, tinggalkan tempat ini! Cepaaat...!" Iblis Bujangan berteriak serukan perintah, ia sudah memanggul mayat Jagal Neraka. Setelah serukan perintah ia pun segera berkelebat pergi sambil membawa mayat adiknya. Kerak Singa akhirnya ikuti saran sang kakak, namun sebelumnya sempat berseru tinggalkan ancaman kepada Suto Sinting.

"Awas! Suatu saat aku akan membeset sekujur tubuhmu, Bocah Gila!"

Pendekar Mabuk hanya angkat bahu dan kembangkan kedua tangan pertanda pasrah dengan ancaman itu. Tapi di bibirnya sunggingkan senyum sebagai imbang bahwa ia tak merasa gentar mendengar ancaman tersebut. Tuak pun ditenggaknya kembali tiga teguk. Tiba-tiba telinganya menangkap suara jerit di kejauhan. Jerit itu adalah jerit seorang wanita yang tak bisa ditebak muda dan tuanya.

"Aaaaa...!"

Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan berkata dalam hati, "Suara jeritan perempuan. Hmmm... arahnya dari timur. Siapa dia dan ada apa dengan dirinya? Aku harus segera ke sana untuk mengetahui rahasia jeritan itu?"

Zlaaap...! Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah terlepas dari busur, Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke arah timur, ia tinggalkan daerah pasir pantai demi mengikuti rasa penasarannya.

Zlaaaap...! Wuuut, Jleeg.„.!

Ia tiba di atas pohon tinggi dalam sekejap. Kerimbunan daun pohon membuatnya tak terlihat jelas dari bawah. Tapi dalam keadaan di atas pohon itu ia dapat memandang suasana di bawah dan sekitarnya.

"Oh, Itu dia...?!" mata Pendekar Mabuk terarah pada gerakan seorang gadis yang berlari menerabas semak bagai dikejar setan. Pendekar Mabuk cepat-cepat berkelebat ke arah gadis tersebut.

Zlaaap...! Wuuut...!

"Aaaaooff...!" Gadis itu disambarnya dari belakang, lalu dibawa melayang ke atas pohon bagaikan terbang. Mulutnya segera disekap dengan tangan agar tak menimbulkan suara jeritan yang dapat diketahui oleh pengejarnya. Setelah sampai di atas pohon, di sebuah dahan besar bercabang tiga, tangan Suto Sinting melepaskan bekapannya sehingga mulut gadis itu mampu mengeluarkan engahan beruntun.

"Jangan berteriak. Aku bukan lawanmu. Aku seorang teman, Nona!"

"Ooh, oooh... ooh, siapa... siapa kau?!" Gadis itu memandang dengan rasa takut. Tapi setelah agak lama, ia mulai sadar bahwa orang yang menyambarnya itu berwajah tampan dan memikat hati. Gadis yang memakai rompi hijau muda sama dengan warna celananya itu segera hentikan rasa takutnya. Namun pandangan matanya masih menyorot penuh keheranan karena merasa asing, belum pernah jumpa dengan Suto Sinting.

Sementara itu Suto Sinting sendiri sempat menatap penuh rasa kagum, karena gadis berambut pendek yang memakai ikat kepala hijau muda juga itu ternyata berparas cantik. Mungil tapi menarik. Hidungnya bangir dan matanya membelalak indah. Ketika pandangan mata Suto Sinting terarah ke dada si gadis, ia buru-buru buang pandangan karena berdebar-debar melihat dada si gadis yang montok dan mengenakan penutup dada warna merah jambu sangat tipis. Sebagian belahan dada bagian atas tampak menantang dalam kepolosan kulit lembutnya yang berwarna kuning langsat. Pandangan mata Suto saat itu ke arah pinggang, ternyata gadis itu mempunyai dua pisau di pinggang kanan kirinya.

Gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan bertubuh sekal itu segera mengulang pertanyaannya dengan suara masih gemetar akibat rasa takutnya tadi. "Kaaau... kau siapa?"

"Aku seorang sahabat. Bukan musuhmu, Nona."

"Hmmm.,. eeh... tapi namamu siapa?"

"Kau bisa memanggilku: Suto," jawab si Pendekar Mabuk tanpa mau menjelaskan siapa nama dan gelarnya yang sebenarnya. "Terus terang, Nona... baru sekarang aku jumpa denganmu, sehingga aku tak tahu siapa namamu."

"Hmmmm... hmmm... namaku... namaku Pakis Ratu."

"Pakis Ratu...?! Oh,indah sekali. Seperti nama tanaman hias."

"Iiih...!" gadis itu mencubit lengan Suto Sinting. Yang dicubit hanya tertawa kecil tanpa suara. "Apakah kau benar-benar bukan berpihak pada si Dewa Tengkorak?!"

"Siapa ..?! Dewa Tengkorak?! Oh, aku malah baru sekarang mendengar nama Dewa Tengkorak. Siapa itu Dewa Tengkorak?!"

Pakis Ratu tampak ragu untuk menjelaskannya. Matanya melirik ke alam sekitarnya dengan perasaan cemas. Rupanya gadis itu masih merasa takut menjelaskan siapa Dewa Tengkorak itu. Kecemasan dan keraguan Pakis Ratu membuat Pendekar Mabuk menjadi semakin penasaranlagi. "Katakan saja siapa Dewa Tengkorak itu. Jangan takut, aku melindungimu dari bahaya apa pun, Pakis Ratu!"

* * *

TIGA

SETELAH beberapa saat ditunggu tak ada orang berkelebat di sekitar pohon itu, maka Pendekar Mabuk berani memastikan si pengejar Pakis Ratu telah kehilangan arah. Gadis itu segera dibawa turun dan mereka bicara di bawah pohon. Kebetulan di bawah pohon itu ada sebatang pohon kering yang tumbang beberapa waktu yang lalu. Suto Sinting membiarkan Pakis Ratu duduk di atas batang pohon kering itu sambil menuturkan kisahnya.

"Ayahku seorang lurah di Dewa Balongan. Tapi... tapi sekarang desa itu sudah tidak memiliki kepala desa lagi. Ayahku telah dibunuh oleh Dewa Tengkorak, ibuku dan keempat saudaraku juga dibunuh oleh Dewa Tengkorak. Kami sekeluarga dihabisi, nyaris tak tersisa seorang pun. Bahkan pelayan-pelayan kami pun dibantai habis oleh Dewa Tengkorak."

Pakis Ratu mulai menitikkan air matanya. Wajahnya tertunduk dengan napas tersengal-sengal karena isak tangis kesedihannya. Pendekar Mabuk hanya menarik napas untuk menutupi rasa harunya, ia bangkit berdiri dan melangkah ke depan, kemudian berpaling kembali memandangi Pakis Ratu.

"Mengapa Dewa Tengkorak membantai keluargamu?"

Gadis itu menelan ludahnya satu kali, kemudian mencoba untuk menenangkan tangis. Sesaat kemudian barulah terdengar suaranya yang sedikit parau itu. "Dewa Tengkorak adalah anak tunggal Ki Gadalumo. Dulu, Ki Gadalumo adalah lurah di Desa Balongan. Tapi karena Ki Gadalumo lakukan kesalahan, maka Kanjeng Adipati tidak mau memilih Ki Gadalumo sebagai lurah. Bahkan ia dipecat dari jajaran punggawa kadipaten. Sebagai gantinya, ayahku diangkat oleh Kanjeng Adipati untuk menjadi lurah di Desa Balongan."

"Lalu, Ki Gadalumo benci kepada ayahmu dan memusuhinya?!"

"Ki Gadalumo mati bunuh diri karena malu kepada masyarakat desa. Dewa Tengkorak yang selama ini pergi berguru mendengar kabar tersebut dan menyangka penyebab kematian ayahnya adalah ayahku. Maka ia memusuhi keluargaku. Tetapi pada waktu itu, Dewa Tengkorak tak pernah berhasil melukai ayahku, karena ayahku mempunyai seorang pengawal yang bernama Paman Wiradipa. Ilmu si Dewa Tengkorak kalah dengan Ilmu Paman Wiradipa."

"Lalu, mengapa sekarang keluargamu bisa dibantai oleh Dewa Tengkorak?!"

"Dia dibantu oleh seseorang yang ilmunya lebih tinggi dari Paman Wiradipa. Dalam sekali gebrak saja Paman Wiradipa tumbang tak bernyawa. Ayahku tak sanggup menghadapi Dewa Tengkorak. Dengan keganasannya yang mengerikan, Dewa Tengkorak membantai habis seluruh penghuni rumahku."

"Kau sendiri berhasil lolos dari pembantaiannya?"

Pakis Ratu mengangguk sambil masih menahan isak tangisnya, ia bicara dengan nada lebih parau lagi karena bercampur tangis kesedihan. "Aku sedang berada di pondok Guru. Ketika tiba di rumah, Dewa Tengkorak sedang mencari-cariku. Maka aku pun segera melarikan diri dan mengadu kepada Guru."

"Apa tindakan gurumu?"

"Guru terluka parah oleh serangan Dewa Tengkorak dan orang yang membantunya. Guru sempat berseru agar aku melarikan diri dan tidak menghadapi Dewa Tengkorak yang bersekutu dengan seorang tokoh sakti itu. Maka, Dewa Tengkorak pun mengejarku tanpa orang yang membantunya. Aku berlari dan berlari untuk selamatkan diri. Kelak aku harus bikin perhitungan dengan Dewa Tengkorak jika aku sudah menambah ilmuku."

Pendekar Mabuk diam beberapa saat lamanya, ia membiarkan gadis itu menangis terisak-isak membayangkan kematian keluarganya. Dalam benak Suto Sinting terlintas kenangan lama saat keluarganya dibantai habis oleh si Kombang Hitam pada saat ia masih berusia bocah. Terasa betul luka kepedihan di hati Suto Sinting bila mengenang peristiwa tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode perdana Bocah Tanpa Pusar).

"Biarkan ia menangisi kengerian itu, supaya lega hatinya dan kebal terhadap bayangan duka itu," pikir Suto Sinting." Setelah puas mencurahkan duka lewat air mata, ia pun akan berhenti menangis sendiri. Kalau sekarang ia kubujuk, kubelai atau kupeluk, tangisnya akan kian meraung dan dukanya akan semakin menjadi-jadi. Tapi agaknya aku perlu lakukan sesuatu untuk lindungi gadis ini. Dewa Tengkorak pasti tetap mengincar Pakis Ratu, dan belum akan berhenti memburu keturunan Lurah Desa Balongan itu sebelum Pakis Ratu dilenyapkan juga."

Tuak dalam bumbung sakti diteguk kembali oleh Suto Sinting. Tiba-tiba teringat dalam benaknya bahwa tuaknya itu bukan saja bisa dipakai untuk penyembuhan, namun bisa juga digunakan untuk menenangkan hati yang resah atau sedih. Maka, ia pun segera menyuruh Pakis Ratu meneguk tuaknya.

"Minumlah sebagai penenang jiwamu, Pakis Ratu. Seteguk saja sudah cukup."

Ternyata apa kata Suto Sinting dalam bujukannya itu memang benar. Dua teguk tuak diminum oleh Pakis Ratu. Lambat laun rasa dukanya menjadi sirna, kecemasannya pun pudar. Pakis Ratu menjadi tenang, jiwanya yang guncang akibat kematian keluarganya kini telah menjadi kokoh kembali.

"Aku harus mencari seorang guru lagi untuk memperdalam ilmuku dan kelak akan kupakai untuk membalas dendam kepada Dewa Tengkorak," ujar si gadis dengan nada geram menahan dendam. Matanya sempat memandang lurus dengan sedikit mengecil, seakan memancarkan cahaya dendam kesumat yang sangat membara.

"Kalau kau..." Kata-kata Suto Sinting terhenti seketika karena ia melihat cahaya merah bergerak cepat ke arah punggung Pakis Ratu. Claaap...! Dengan kecepatan tinggi tangan Pendekar Mabuk menyambar tubuh Pakis Ratu. Weees.!

Gadis itu jatuh dalam dekapan Suto Sinting sambil terpekik kaget. Cahaya merah itu kenai sebatang pohon dan timbulkan ledakan cukup keras.

Duaaar...! Pohon tersebut menjadi koyak, sebagian kulit batangnya terkelupas. Daun-daunnya pun berguguran walau tak seluruhnya. Tapi batang pohon itu menjadi seperti habis diseruduk cula badak.

"Ada yang mau membunuhku?!" ujar Pakis Ratu dengan tegang setelah memandang nasib pohon tersebut.

"Tenanglah. Biar aku yang menghadapi orang itu," bisik Suto Sinting sambil menarik tubuh Pakis Ratu agar berdiri di belakangnya.

Gadis itu menurut sambil matanya melirik ke sana-sini penuh waspada. Suto Sinting bagaikan bicara sendiri sambil memandang ke arah semak belukar yang berada dalam jarak sepuluh langkah lebih darinya.

"Keluarlah, Sobat! Jangan bersembunyi di balik semak itu. Aku tahu kau ada di sana dan aku dapat lepaskan pukulan jarak jauhku jika kau tak mau keluar dari semak-semak!"

Alam menjadi sepi sesaat. Pendekar Mabuk menunggu orang yang bersembunyi di balik semak-semak itu. Namun yang ditunggu tak kunjung muncul. Suto Sinting sudah mau lepaskan jurus pukulan jarak jauhnya. Namun tiba-tiba seberkas sinar merah melesat lagi dari arah samping dan sasarannya adalah tubuh Pakis Ratu.

Claaap...! Wuuusss...! Blaaarrr...!

Pendekar Mabuk kaget dan menjadi heran. Sinar merah itu meledak di pertengahan jarak. Sinar merah itu meledak setelah munculnya seberkas cahaya putih sebesar lidi. Cahaya putih itu menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan cukup besar, sempat membuat pepohonan bergetar hingga daun-daun pun berguguran.

"Hmmm... ada yang memihakku secara sembunyi-sembunyi," pikir Suto Sinting. "Siapa orang yang memihakku itu? Mengapa ia tak menampakkan diri?"

Rupanya ledakan tadi menyemburkan gelombang hawa panas kearah pengirim sinar merah tersebut. Hawa panas itu segera dihindari dan mau tak mau si pemilik sinar merah segera melompat keluar dari persembunyiannya, ia melambung bagaikan terbang dan bersalto dua kali. Dalam sekejap saja sudah mendaratkan kakinya didepan Suto Sinting dan Pakis Ratu.

Jleeeeg...!

"Ooh...?!" Pakis Ratu terpekik dengan wajah tegang memandang tokoh yang baru datang.

Tokoh tersebut seorang lelaki bertubuh kurus berbaju abu-abu dan celana merah. Bajunya tidak dikancingkan sehingga tampak tulang iganya saling bertonjolan keluar karena kekurusan badannya. Tangannya kecil, bagai tulang terbungkus kulit tanpa daging sedikit pun. Rambutnya kucal, sepanjang tengkuk dengan ikat kepala warna merah tua. Matanya melotot lebar seakan ingin lepas dari rongganya, ia mempunyai alis tebal yang hampir beradu di pertengahan kening.

"Di... dialah yang bernama Dewa Tengkorak!" bisik Pakis Ratu dengan agak gugup, namun ia masih dapat lebih tenang dari sebelum meminum tuaknya Suto Sinting.

Mendengar bisikan itu, Pendekar Mabuk hanya menggumam lirih dengan mata tetap memandang lelaki kurus bersenjata pedang lebar yang masih berlumur darahkering. Wajah menyeramkan bermata melotot itu memandang Suto Sinting tanpa berkedip. Yang dipandang hanya tenang- tenang saja, namun segala gerak-gerik lawannya tertangkap oleh indera penglihatannya.

"Menyingkirlah dari gadis itu agar panjang umurmu, Bocah Tolol!" geram Dewa Tengkorak yang berusia sekitar lima puluh tahun.

"Menyingkir atau tidak nyawaku sudah punya batas usia sendiri," kata Suto Sinting dengan suara kalem. "Apa pedulimu jika aku tak mau menyingkir dari gadis ini?"

"Kau akan kujadikan korban terakhir setelah keluarga Lurah Deksana kuhabisi tanpa sisa sepotong pun!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, bahkan tertawa kecil tanpa suara bagai orang mendengus. Sikapnya yang kalem membuat hati Dewa Tengkorak menjadi semakin panas.

"Kuhitung tiga kali kalau kau masih melindungi gadis itu, aku terpaksa mencabut nyawamu lebih dulu, Bocah Tolol!"

"Gadis ini tidak berdaya dan bukan tandinganmu, Dewa Tengkorak."

"Aku tidak peduli! Dia harus mati sebagai keturunan Lurah Deksana yang tercecer dari pembantaianku!"

"Aku hanya melindungi kaum yang lemah dan orang yang benar! Biasanya aku sulit disuruh menyingkir jika yang kulindungi adalah orang yang tak berdaya."

"Setan alas! Tak sabar aku berceloteh denganmu. Heeeah...!" Dewa Tengkorak berkelebat cepat sekali bagaikan angin menerjang tubuh Pendekar Mabuk. Pedang besarnya itu ditebaskan dari atas samping ke bawah. Wuuung...!

Pendekar Mabuk justru sentakkan kaki hingga tubuhnya naik ke atas dan berputar cepat. Wuuut...! Dalam putaran itu, bumbung bambu tuak dipergunakan untuk menahan tebasan pedang besar, sementara tangan kirinya berkelebat cepat menghantam dagu Dewa Tengkorak.

Duuug...! Krrrak...! Traaang...!

"Aaauh...!" Dewa Tengkorak terpental mundur bagai terbuang begitu saja. Pukulan menggunakan pangkal telapak tangan kiri itu ternyata bertenaga dalam cukup besar. Dagu si Dewa Tengkorak terdengar gemeretak patah. Sementara itu pedangnya beradu dengan bumbung tuak. Suaranya seperti pedang beradu dengan besi baja yang sukar dipatahkan atau digores sedikit pun.

Brrruk...! Dewa Tengkorak jatuh terjungkal dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Ia segera berjungkir balik dan, wuut...! Jleeeg...! Tahu-tahu sudah berdiri lagi dengan dagu menjadi biru.

"Gggrrrmm...!" ia menggeram sambil memainkan pedangnya kesisi kanan-kiri. Wut, wut wut..!

Sedangkan Pendekar Mabuk masih berdiri tegak dan tenang, seperti tidak habis lakukan perlawanan apa pun.

"Keparat busuk kau! Tak boleh dianggap enteng rupanya. Terima jurus 'Malaikat Penggal Hantu' ini! Hheeeeaahh...!"

Wung, wung, wung, wung, wung...!

Pedang besar itu bergerak cepat menebas ke sana-sini sambil bergerak maju. Tebasannya begitu cepat hingga timbulkan suara dengung. Gerakan Dewa Tengkorak sukar dilihat oleh mata orang awam, namun Pendekar Mabuk masih bisa mengikuti tiap gerakan dengan pandangan mata yang terlatih melihat benda berkelebat cepat itu. Pendekar Mabuk segera memutar bumbung tuaknya. Tali bumbung digenggam dan bumbung itu melayang berputar mengelilingi kepalanya, menimbulkan suara menggaung lebih keras dari suara pedang besar itu.

Wuuung, wuuung, wuuung, wuuung...!

Traaang, duaaar...! Ledakan cukup keras timbul akibat bumbung tuak beradu dengan tebasan pedang bertenaga dalam itu. Ledakan tersebut membuat Dewa Tengkorak terpelanting ke belakang dan jatuh terduduk. Sementara itu Suto Sinting masih tetap diam di tempat, hanya bergeser ke kiri sedikit setelah terjadi benturan pedang dengan bumbung, tapi keadaannya masih berada di depan Pakis Ratu.

"Keparat laknat kau!" geram Dewa Tengkorak, ia segera bangkit dan mengangkat pedang besarnya lagi. Tapi tiba-tiba pedang itu hancur menjadi serpihan seperti garam kristal.

Prrruusss...!

"Hahhh...?!" Dewa Tengkorak terbelalak. Mata yang sudah melotot semakin melotot lagi hingga wajahnya tampak menyeramkan, ia tak menyangka kalau pedangnya ternyata sudah hancur begitu membentur bumbung tuak tersebut.

Rupanya perpaduan tenaga dalam dari pedang dan bumbung tuak mengakibatkan kehancuran bagi sang pedang. Kehancuran itu tidak terjadi secara seketika, namun selang beberapa kejap setelah tenaga dalam yang semula disalurkan ke pedang itu ditarik kembali oleh pemiliknya. Dengan wajah terbengong memandangi gagang pedangnya yang sudah tidak bermata pedang lagi itu, Dewa Tengkorak menggeletukkan giginya hingga terdengar gemeretuk dari tempat Pakis Ratu berdiri.

Gadis itu menggumam kagum dalam hatinya. "Hebat sekali ilmunya Suto. Pedang baja sebesar itu diadu dengan bumbung bambu saja bisa remuk sedemikian rupa. Jangan-jangan Suto punya ilmu lebih tinggi dari ilmunya Paman Wiradipa?! Hmmm... alangkah hebatnya dia; sudah tampan, berilmu tinggi lagi. Sungguh luar biasa mengagumkannya."

Pendekar Mabuk bicara kepada Dewa Tengkorak, "Kusarankan hentikanlah pembantaianmu! Kurasa sudah cukup ayah Pakis Ratu kau bunuh, bahkan seluruh keluarganya yang kau bantai. Biarkan gadis ini hidup dengan tenang tanpa gangguan dendammu, Dewa Tengkorak!"

"Tutup bacotmu!" bentak Dewa Tengkorak semakin murka. "Kurasa kau memang layak dihancurkan seperti kau menghancurkan senjataku ini! Hiaaah...!" Dewa Tengkorak mengangkat kedua tangannya membentuk cakar. Kedua tangan itu menyala merah membara. Namun sebelum ia bergerak, tiba-tiba seberkas sinar putih perak sebesar lidi melesat menghantam dadanya.

Claaap...! Duuus...!

"Aaahg...!" Dewa Tengkorak tumbang ke belakang bagai ditendang kuda. Wajahnya menjadi pucat pasi dengan mulut memuntahkan darah merah segar.

Pendekar Mabuk merasa heran dan segera memandang sekeliling sambil membatin, "Siapa orang yang membantuku sejak dari pantai tadi?! Mengapa ia tidak menampakkan diri terang-terangan?!"

Dewa Tengkorak mengerang dengan merangkak rangkak mencari tempat untuk rambatan. Tetapi berulang kali ia gagal berdiri karena tubuhnya terasa lemas, ia terpaksa menahan napas dengan mengeraskan seluruh urat tubuhnya menggunakan sisa tenaga yang ada. Asap tipis mulai mengepul dari pori-pori kulitnya, dan tubuh kurus itu mulai bergetar dengan suara mendesah panjang. Rupanya ia lakukan penyembuhan secara sederhana. Dan hal itu tidak dipedulikan oleh Suto Sinting.

Pandangan Pendekar Mabuk kearah belakangnya, karena ia menjadi penasaran ingin mengetahui siapa orang yang membantu menyerang Dewa Tengkorak itu. Pakis Ratu sendiri merasa bingung melihat Suto Sinting celingak-celinguk mirip pemuda dungu.

"Apa yang kau cari, Suto?!"

"Orang yang melepaskan sinar putihnya tadi."

"Sinar putih apa? Aku tidak melihat ada sinar putih."

Pendekar Mabuk makin bingung menjelaskannya.

* * *

EMPAT

LANGIT sore memancarkan warna merah tembaga, seakan mengisyaratkan kepada manusia akan datangnya bencana. Kematian akan terjadi di mana-mana, jerit tangis anak manusia akan menggema di seluruh pelosok dunia. Bencana yang akan timbul itu tak lain datang dari keganasan tokoh aliran hitam yang dikenal dengan nama Setan Rawa Bangkai.

Pendekar Mabuk belum mengetahui kemunculan Setan Rawa Bangkai, sehingga ia masih menganggap suasana berjalan sebagaimana mestinya. Yang ada dalam benak Pendekar Mabuk adalah mencari tempat untuk bermalam sang gadis cantik yang sudah kehilangan seluruh anggota keluarganya itu. Namun agaknya Pakis Ratu masih meributkan soal pelarian Dewa Tengkorak yang dibiarkan Suto Sinting.

"Seharusnya manusia terkutuk itu jangan diberi kesempatan hidup lagi! Seharusnya kau tidak membiarkan Dewa Tengkorak melarikan diri walau dalam keadaan terluka, ia bisa saja meminta bantuan penyembuhan kepada temannya yang ilmunya lebih tinggi itu. Jika lukanya sembuh, maka ia akan mengumbar kekejian lagi, setidaknya ia akan memburuku kembali!"

Gadis itu bicara dengan bersungut-sungut Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum kecil melihat raut muka si cantik mungil itu. Dengan sabar Pendekar Mabuk pun jelaskan maksud dirinya membiarkan Dewa Tengkorak melarikan diri.

"Kalau dia mati sekarang juga, berarti dia tidak menebus kekejiannya dengan kehidupan yang sengsara. Ingat, Pakis Ratu... hidup itu lebih sengsara daripada mati. Orang yang mati tidak akan menemukan kesulitan lagi, tidak akan merasakan penderitaan lagi. Tetapi orang yang hidup akan merasakan semua itu. Jika ia menanam kejahatan, maka hidup selanjutnya akan menuai penderitaan. Jika ia menanam kebaikan, maka hidup selanjutnya akan menuai keindahan. Jadi kalau Dewa Tengkorak kita biarkan hidup, berarti kita biarkan dia menuai penderitaan, diburu musuhnya, dikejar dendam, dihantui kegelisahan dan lain sebagainya."

"Bilang saja kalau kau tak bisa membunuh Dewa Tengkorak, karena ilmumu lebih rendah darinya!" potong Pakis Ratu dengan nada ketus dan wajah cemberut.

"Ya, anggap saja begitu," balas Suto Sinting dengan diiringi senyum kesabaran.

"Kelak kalau aku sudah berguru lagi pada orang yang lebih sakti darinya, akan kubunuh sendiri si tengkorak busuk itu!"

Suto Sinting tertawa geli, namun tawanya tak sampai keluarkan suara keras. Mirip orang menggumam. "Kau ingin berguru kepada siapa?"

"Siapa saja!" jawabnya tetap berwajah cemberut. "Aku pernah dengar cerita tentang kesaktian seorang pendekar yang bernama Pendekar Mabuk. Aku akan berguru padanya. Aku akan meminta ilmu dan kesaktian yang dapat untuk hancurkan kepala si Dewa Tengkorak itu."

Semakin geli hati Suto Sinting mendengarnya. Rupanya gadis itu benar-benar belum mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Bagi Suto, hal itu semakin membuatnya serba salah. Jika ia mengaku bahwa dirinyalah Pendekar Mabuk yang diceritakan Pakis Ratu, belum tentu si gadis akan mempercayainya. Jika Suto diam saja, maka alangkah kasihannya si gadis yang tidak tahu di mana Pendekar Mabuk berada.

"Yang penting sekarang mencari tempat untuk bermalam. Kau butuh istirahat, Pakis Ratu."

Ucapan itu disertai belaian lembut di rambut Pakis Ratu. Si gadis merasakan debaran aneh di hatinya yang membuat ia tak mampu menepiskan tangan yang membelai rambut pendeknya itu. Ia hanya berlagak acuh tak acuh, seakan tidak menghiraukan usapan lembut dari tangan pemuda tampan itu.

"Aku ingin menemui guruku lagi. Mungkin Guru butuh bantuan karena luka-lukanya. Di pondoknya itu aku bisa bermalam dan beristirahat."

"Siapa gurumu sebenarnya, Pakis Ratu?"

"Nyai Kidung Laras."

Pendekar Mabuk kerutkan dahi, merasa asing dengan nama Nyai Kidung Laras. Baru kali ini ia mendengar nama tersebut, sehingga hasrat hati pun ingin bisa bertemu dengan tokoh tersebut. Terlebih setelah Suto Sinting ingat bahwa Nyai Kidung Laras sedang menderita luka seperti yang diceritakan Pakis Ratu, keinginan untuk bertemu Nyai Kidung Laras semakin besar, sebab ia ingin mencoba mengobati perempuan itu dengan menggunakan tuak saktinya.

Untuk mempersingkat waktu, Pendekar Mabuk menggunakan jurus 'Gerak Siluman' dalam perjalanannya menuju ke tempat tinggal Nyai Kidung Laras. Kecepatan lari dari jurus 'Gerak Siluman' tak mungkin bisa diikuti atau diimbangi oleh Pakis Ratu. Mau tak mau Pakis Ratu digendongnya dengan dua tangan. Gadis itu tidak keberatan, karena hatinya merasa senang jika berada dalam pelukan pemuda tampan itu.

"Mana arah yang harus kutuju?"

"Ke selatan!" jawab Pakis Ratu, padahal arah yang sebenarnya adalah ke barat. Pakis Ratu sengaja memperjauh jarak supaya ia lebih lama berada dalam gendongan Pendekar Mabuk. Dari selatan, ia segera menuju ke arah barat, dan Suto Sinting tidak menyadari kalau diperdaya oleh Pakis Ratu.

"Edan! Kecepatan geraknya seperti terbang. Ternyata arah selatan sangat pendek bagi perjalanan 'terbang' seperti ini," pikir Pakis Ratu. "Seharusnya aku tadi menunjuk ke arah timur lebih dulu, baru ke selatan, setelah itu ke barat. Jadi aku bisa berada dalam gendongannya lebih lama lagi."

Semua perjalanan yang ditempuh dengan menggunakan jurus Gerak Siluman' memakan waktu pendek. Sepertinya baru sekejap Pakis Ratu berada dalam gendongan Suto Sinting, tahu-tahu mereka sudah sampai di Lembah Hijau, tempat kediaman Nyai Kidung Laras.

Ternyata keadaan Nyai Kidung Laras memang menyedihkan. Sekujur tubuhnya menjadi hitam hangus akibat luka bakar yang sulit disembuhkan. Luka bakar itu tidak menyerang pada rambut atau pakaian, namun hanya mengenai kulit dan daging tubuh sang Nyai. Perempuan berusia lima puluh tahun itu terkapar di depan pondoknya tanpa bisa lakukan apa-apa.,ia bagaikan sedang menunggu saatnya ajal tiba.

Namun ketika Pendekar Mabuk tiba di tempat, sang Nyai dipaksa untuk meminum tuak sakti beberapa teguk. Dengan menelan tuak tersebut, luka bakar di tubuh Nyai Kidung Laras menjadi sembuh secara berangsur-angsur. Bahkan sebelum petang tiba, keadaan Nyai Kidung Laras telah menjadi sehat melebihi sebelum lakukan pertarungan dengan Dewa Tengkorak.

Perempuan berjubah ungu yang rambutnya disanggul asal-asalan itu ternyata dulunya bekas perempuan cantik. Terbukti sampai sekarang rona kecantikannya masih membekas di wajah sang Nyai. Badannya tidak terlalu kurus, namun juga tidak gemuk. Badan itu masih terawat dengan rapi dan tampak sekal berisi. Dalam hati Suto Sinting mengakui, perempuan separo baya itu masih punya daya pikat sendiri bagi seorang lelaki, hanya saja tidak terlalu ditonjolkan.

Nyai Kidung Latas bukan perempuan jalang yang yang melirik nakal. Ia justru tampak berkharisma dengan ketenangannya yang kadang membuat Suto Sinting kikuk bicara. "Luka yang kuterima ini bukan dari ilmunya Dewa Tengkorak," kata sang Nyai saat menyalakan pelita.

"Jika bukan Dewa Tengkorak, lantas siapa yang menyerangmu, Nyai?" tanya Suto Sinting dengan tutur kata yang ramah dan lembut.

"Dewa Tengkorak sekarang bersekutu dengan Setan Rawa Bangkai yang baru selesai lakukan semadi rendam di rawa busuk itu. Agaknya Dewa Tengkorak sekarang sudah menjadi pelayan Setan Rawa Bangkai, karena ia ingin memanfaatkan kesaktian Setan Rawa Bangkai untuk kepentingan pribadinya. Salah satu kepentingan pribadi yang sudah dibantu oleh Setan Rawa Bangkai adalah membantai keluarganya Pakis Ratu."

Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut. Petang dibiarkan lewat, karena ia sudah sepakat dengan Pakis Ratu untuk bermalam di pondok Nyai Kidung Laras.

"Siapa yang dimaksud Setan Rawa Bangkai itu, Guru?" tanya Pakis Ratu yang rupanya baru kali itu mendengar nama Setan Rawa Bangkai.

Sang Nyai pun menjelaskan kepada muridnya, tapi Pendekar Mabuk menyimak betul tiap ucapan sang Nyai sebagi bekal pengetahuannya tentang tokoh beraliran hitam tersebut.

"Setan Rawa Bangkai mempunyai nama asli Marundang. Usianya sudah sangat tua tapi kekuatannya masih seperti anak muda. Dia bekas ketua Perguruan Leak Garang. Semasa jayanya perguruan itu ditakuti oleh perguruan lain. Jurus-jurusnya sangat mematikan dan tidak kenal belas kasihan kepada lawan."

Suto Sinting menyempatkan meneguk tuaknya ketika Nyai Kidung Laras hentikan cerita sebentar karena terbatuk-batuk. Batuk itu adalah sisa gatal di tenggorokan karena tak pernah meminum air tuak. Sang Nyai pun lanjutkan ceritanya,

"Perguruan Leak Garang menyediakan tenaga-tenaga pembunuh bayaran, pengawal bayaran dan orang-orang upahan yang siap menerima perintah dari siapa saja yang berani memberi upah tinggi kepada mereka. Tetapi pada suatu hari, Perguruan Leak Garang diserang oleh orang-orang Pulau Kelabang yang diketuai Medangsula,"

"Siapa yang unggul, Guru?"

"Perguruan Leak Garang disapu habis oleh orang-orang Pulau Kelabang. Tinggal si Marundang seorang diri. Ia mengamuk dan membabat habis orang Pulau Kelabang, sampai ketua mereka pun dibinasakan tanpa ampun oleh Marundang. Sejak itu ia tinggal seorang diri di dalam hutan, ditepi rawa busuk yang disebut Rawa Bangkai. Hatinya menyimpan dendam kepada orang-orang rimba persilatan, karena saat perguruannya diserang oleh orang-orang Pulau Kelabang, tak ada satu pun orang yang mau memihaknya. Maka timbullah dendam di hati Marundang untuk membantai habis seluruh tokoh rimba persilatan. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia menyebarkan kematian secara membabi buta. Tapi akhirnya ia nyaris binasa oleh lawannya yang dikenal dengan nama si Raja Maut."

"Raja Maut?! Oh, saya kenal betul dengan mendiang Raja Maut, Nyai!" ujar Suto Sinting memotong pembicaraan sang Nyai, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

"Aku pun kenal dengan Raja Maut, tapi... kau sebut tadi 'mendiang' padanya? Jadi, Raja Maut sekarang sudah meninggal?"

"Sudah, Nyai. Beliau tewas di tangan Rara Sumina," jawab Suto Sinting dengan nada duka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gundik Sakti).

Setelah diam sesaat, Nyai Kidung Laras perdengarkan suaranya kembali. "Kekalahannya dalam melawan Raja Maut membuat Marundang perdalam lagi ilmunya dengan melakukan tapa rendam di rawa busuk itu. Selama delapan belas tahun ia tidak tampakkan diri di rimba persilatan. Sebulan yang lalu kudengar kabar bahwa Marundang yang berjuluk Setan Rawa Bangkai itu sudah bergentayangan kembali. Kabar yang kudengar pula, bahwa Setan Rawa Bangkai telah kuasai dua ilmu baru yang bernama 'Sukma Sakti' dan Cakar Belah Jagat'. Kedua ilmu itu sama-sama berbahaya karena hampir mencapai tingkat tertinggi dari segala ilmu."

Pendekar Mabuk menjadi sangat tertarik mendengar nama dua ilmu barunya Setan Rawa Bangkai itu. Ia pun segera ajukan tanya kepada Nyai Kidung Laras, "Apa kehebatan kedua ilmu itu, Nyai?"

"Yang dinamakan ilmu 'Sukma Sakti' itu adalah menyerang lawan tanpa gerakan namun dapat membuat lawan terluka parah, bahkan bisa meremukkan kepala lawan. Sedangkan ilmu atau jurus 'Cakar Belah Jagat' itu tak lain adalah kecepatan gerak tangan yang mempunyai kuku beracun dan bertenaga dalam tinggi, hingga tanah pun dapat terbelah jika dicakarnya dengan jurus 'Cakar Belah Jagat'. Dan kedua ilmu itu sukar ditandingi, Suto. Barangkali hanya si Gila Tuak saja yang bisa menandingi ilmunya Setan Rawa Bangkai."

Pendekar Mabuk sempat terperanjat mendengar nama gurunya disebutkan. Suto Sinting sendiri masih belum tahu apakah Nyai Kidung Laras tidak tahu bahwa Suto adalah si Pendekar Mabuk, muridnya Gila Tuak? Atau, jangan-jangan Nyai Kidung Laras berlagak tidak tahu tentang jati diri Suto Sinting. Hal itu akhirnya tidak dipedulikan oleh Suto. Yang ada dalam benak Suto adalah ingin mengetahui seberapa hebat kedua ilmu barunya Setan Rawa Bangkai itu. Karenanya ia pun segera ajukan tanya kepada Nyai Kidung Laras.

"Di mana aku dapat temui Setan Rawa Bangkai itu, Nyai?"

"Jangan!" sergah Pakis Ratu secara tiba-tiba.

Nyai Kidung Laras sunggingkan senyum kecil, kemudian bertanya kepada Pendekar Mabuk, "Untuk apa kau ingin tahu tempat tinggal Setan Rawa Bangkai?"

"Saya ingin melihat kehebatan kedua ilmu itu, Nyai."

"Jangan, Suto! Nanti kau akan mati jika bertemu muka dengannya. Guruku saja tak bisa tandingi Setan Rawa Bangkai, apalagi dirimu, Suto!"

Gadis itu menampakkan kecemasannya. Agaknya ia tak ingin Suto Sinting menderita celaka sekecil apa pun. Entah perasaan apa yang mendasari rasa tidak rela jika Suto celaka, yang jelas kala itu Pakis Ratu pandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata bernada memohon pengertian dari Suto. Bahkan ia mengulang bujukannya yang bernada larangan itu.

"Kumohon, jangan coba-coba temui dia. Lebih baik kau tidak perlu tahu kehebatan dua ilmu barunya itu, ketimbang kau sendiri menjadi korban nantinya!"

Nyai Kidung Laras menimpali, "Kurasa saran dari muridku itu memang benar, Suto. Aku tahu arah perasaannya saat ini, tapi sebaiknya biar kau sendiri yang menarik kesimpulan."

Pendekar Mabuk tersenyum malu-malu.

* * *

LIMA

KAKI Gunung Babat diselimuti kabut tipis yang merayap bagai ribuan roh bergentayangan. Kabut tipis itu berada satu mata kaki dari tanah, membuat akar pepohonan tampak samar-samar. Hutan di kaki gunung itu banyak ditumbuhi pohon jati liar yang menjulang tinggi bagai ingin mencakar langit. Hutan itu jarang dilintasi manusia karena keadaannya yang cukup liar. Binatang buas dan rawa-rawa menyebar bak penghuni tetap hutan tersebut.

Seekor ular sebesar batang kelapa yang panjangnya lebih dari tujuh tombak sedang merayap pelan menuju semak belukar. Di balik semak itu ada sebuah gua bermulut lebar. Rupanya sang ular ingin masuk ke dalam gua tersebut sebagai tempat tinggalnya selama ini.

Tetapi tiba-tiba ular besar itu tersentak kaget dan mengibaskan ekornya hingga menghantam sebatang pohon ketika terdengar suara ledakan yang menggelegar dan mengguncangkan tanah sekitarnya.

Rupanya ledakan itu berasal dari arah timur kaki gunung tersebut. Ledakan dahsyat itu terjadi akibat benturan cahaya berlainan warna. Dan kedua cahaya itu datang dari tangan dua tokoh sakti yang sedang melakukan pertarungan bertaruh nyawa. Dua tokoh sakti yang mengadu ilmu itu sama-sama berusia di atas tujuh puluh tahun.

Salah satu dari kedua tokoh itu mengenakan jubah kuning tanpa lengan, Rambutnya panjang diikat ke belakang, ubannya masih tipis namun kentara kalau sudah berusia lanjut. Sekalipun sudah berusia tujuh puluh tahun lebih namun tokoh berjubah kuning itu masih kelihatan gagah dan lincah. Wajahnya yang jenaka kelihatan tak dibebani perasaan gentar sedikit pun.

Tokoh itu pernah muncul dalam suatu peristiwa yang melibatkan Pendekar Mabuk dalam mengatasi keganasan gadis bernama Seroja Putih yang terkena kutuk dari tokoh beraliran hitam bernama Nyai Pegat Raga. Gadis itu adalah murid dari ketua Perguruan Tapak Dewa yang bernama Eyang Darah Guntur. Dan tokoh yang berjubah kuning itu adalah adik dari Eyang Darah Guntur yang dikenal dengan nama Ki Tumbang Laga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kutukan Pelacur Tua).

Sedangkan lawan yang dihadapi Ki Tumbang Laga kali itu adalah tokoh yang sedang menjadi bahan pembicaraan orang-orang rimba persilatan, ia tak lain adalah Setan Rawa Bangkai yang mempunyai nama asli Marundang. Setan Rawa Bangkai bertubuh lebih kurus dari Ki Tumbang Laga. Bahkan lebih kurus lagi dari si Dewa Tengkorak. Badannya yang kurus bagai hanya mempunyai tulang itu tampak berwarna hitam tapi bersisik busik, ia mempunyai sepasang mata cekung dengan tulang rongga mata tampak menonjol dan tepian matanya berwarna merah. Rambut panjang sepunggung dibiarkan meriap lepas berwarna abu-abu. Bibirnya tampak pecah-pecah bagai orang menderita sakit panas dalam atau sariawan.

Tokoh berjubah hitam itu mempunyai kuku runcing-runcing, panjang dan berwarna hitam kelabu. Ketajaman kukunya itu sempat merobek sebatang pohon jati ketika ia menyabet perut Ki Tumbang Laga dengan gerakan mencakar. Untung Ki Tumbang Laga cepat menghindar dengan lakukan sentakan yang membuat tubuhnya melambung ke atas dan berjungkir balik satu kali di udara, kemudian kakinya menyentak pada batang pohon, sehingga tubuh Ki Tumbang Laga bagaikan meluncur terbang pindah ke tempat lain.

Wuuut...! Craaak...!

Lima kuku panjang dan runcing itu menyebat batang pohon dan batang pohon besar itu menjadi koyak berserat-serat bagai terbabat lima mata pedang. Sedangkan pohon di kanan kirinya menjadi hangus pada tempat-tempat tertentu karena terkena angin sabetan cakar tersebut.

Setan Rawa Bangkai diam di tempat dan pandangi lawannya dengan mata cekung yang cukup tajam. Rambutnya tertutup angin hingga sebagian merintangi permukaan wajahnya. Kedua tangan di samping masih berjari keras seakan siap-siap lakukan cakaran berikutnya. Ki Tumbang Laga sudah berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah. Tokoh tua berwajah jenaka itu tersenyum bagai menyepelekan perlawanan Setan Rawa Bangkai. Dari tempatnya cengar-cengir, Ki Tumbang Laga lontarkan kata dengan suara lepas.

"Sampai kapan pun kau tak akan bisa mengungguli ilmuku, Marundang! Sebaiknya kau menyerah saja dan merelakan nyawamu melayang sebagai penebus kematian murid kakakku, si Seroja Putih itu!"

"Kau datang kemari untuk antarkan nyawamu, Tumbang Laga!"

"O, tidak. Jangan salah paham. Aku tidak mengantarkan nyawa, melainkan diutus oleh kakakku; si Darah Guntur untuk menebus kematian Seroja Putih. Sebab murid kakakku itu telah kau bunuh melalui tangan pelayanmu si Dewa Tengkorak. Seandainya sekarang pun aku dapat jumpa dengan Dewa Tengkorak, maka kalian berdua akan kuantarkan ke neraka tanpa dipungut biaya sedikit pun, Marundang!"

"Kematian Seroja Putih bukan atas perintahku, tapi tindakan si Dewa Tengkorak sendiri. Mengapa kau menuntut padaku, Tumbang Laga?!"

"Atas perintahmu atau bukan, yang jelas kau bertanggung jawab atas segala perbuatan Dewa Tengkorak. Sebab ia berani bertindak semena-mena karena merasa mendapat perlindungan darimu. Mustahil sekali Dewa Tengkorak berani bertindak semena-mena jika tidak atas dukungan darimu, Marundang."

Dengan mata cekung memancarkan kebencian, Setan Rawa Bangkai berkata bagai tanpa irama dan nada. Datar sekali. "Tak ada pilihan lain, bersiaplah untuk mati lebih dulu!"

Tiba-tiba tubuh Ki Tumbang Laga terlempar ke samping dengan kuat sekali. Wuuut...! Brruuusss...! Tubuh itu menghantam pohon besar tanpa dapat menjaga keseimbangannya. Kepala Ki Tumbang Laga membentur batang pohon dengan keras sekali hingga terdengar suara seperti tulang meretak. Prraakk...!

"Aaahg...!" pekik pendek Ki Tumbang Laga mengawali cucuran darah yang keluar dari kepalanya.

Setan Rawa Bangkai masih diam di tempat dan hanya memandang dengan sorot mata semakin tajam. Tanpa gerakan sedikit pun, ia telah dapat membuat tubuh Ki Tumbang Laga yang baru saja terpuruk di bawah pohon tersebut telah melayang lagi ke arah lain, bagai dilemparkan ke suatu tempat dengan gerakan layang sangat cepat.

Weesss...! Brruusss...! Praaak...!

"Aaauh...!" pekikan Ki Tumbang Laga terdengar kembali setelah tubuhnya menabrak sebongkah batu sebesar kerbau berdiri. Ki Tumbang Laga tidak tahu bahwa Setan Rawa Bangkai telah pergunakan ilmu 'Sukma Sakti', yang bisa menghantam atau menyerang lawannya dengan kekuatan batin. Karena itu, Ki Tumbang Laga yang masih mencoba untuk bisa berdiri lagi, tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kepala mendongak ke atas. Ia seperti mendapat pukulan dahsyat pada dadanya. Padahal saat itu Setan Rawa Bangkai hanya diam di tempat tanpa lakukan gerakan sedikit pun.

"Huuugh...!" Ki Tumbang Laga pejamkan mata kuat-kuat dengan tubuh melengkung ke belakang. Dadanya menjadi berasap dan membekas hitam berbentuk telapak tangan. Bekas hitam itu mengepulkan asap putih samar-samar, disusul dengan muntahnya darah kental berwarna merah kehitaman dari mulutnya.

Dalam keadaan separah itu, tubuh Ki Tumbang Laga melayang kembali. Kali ini ia melambung tinggi tanpa mendapat pukulan atau tendangan dari lawannya. Tubuh yang melambung tinggi itu segera bergerak turun dalam keadaan kepala di bawah. Darah makin tersontak banyak dari mulutnya. Kepala Ki Tumbang Laga bergerak ke arah sebongkah batu yang ujungnya runcing. Kepala itu akan menancap pada keruncingan batu tersebut.

Zlaaap...! Wuuut...!

Tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar tubuh Ki Tumbang Laga. Dalam sekejap saja bayangan itu sudah berhasil memanggul tubuh Ki Tumbang Laga dan menampakkan diri dalam jarak sepuluh langkah dari Setan Rawa Bangkai.

Pandangan mata Marundang sempat terkesiap sejenak dengan mata cekungnya yang mengecil, ia merasa asing terhadap kemunculan tokoh muda yang berani menyambar tubuh Ki Tumbang Laga. Tokoh muda itu tak lain adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang kali ini menyilangkan bumbung tuaknya di punggung. Dengan tangan kiri memegangi tubuh Ki Tumbang Laga yang dipanggulnya, Suto Sinting sempat beradu pandangan mata dengan Setan Rawa Bangkai.

"Siapa kau...?!" gertak Setan Rawa Bangkai tanpa bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri.

Suto Sinting tidak memberi jawaban, bahkan melepaskan serangan pun tidak, ia hanya berkelebat sambil membatin dalam hatinya, "Menyeramkan sekali tokoh itu. Pasti dia itulah yang dikenal Setan Rawa Bangkai. Rupanya kedatanganku nyaris terlambat. Ki Tumbang Laga hampir saja mati di tangannya. Hmmm... rupanya arah yang ditunjukkan oleh Nyai Kidung Laras tak membuatku salah jalan. Kurasa di hutan inilah terdapat rawa busuk yang baunya menyebar sampai di tempat ini. Sebaiknya tidak kulayani sekarang, aku harus selamatkan jiwa Ki Tumbang Laga dulu!"

Zlaaap...!

"Hei, jangan pergi! Jawab dulu pertanyaanku, Monyet!" sentak Setan Rawa Bangkai dengan suara seraknya.

Tetapi Pendekar Mabuk tetap pergi dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu bergerak dengan kecepatan sangat tinggi bagai menghilang dari pandangan mata itu. Namun agaknya Setan Rawa Bangkai tidak mau melepaskan lawannya begitu saja. Pandangan matanya masih mampu melihat gerakan secepat anak panah, sehingga dengan kekuatan batin dari ilmu 'Sukma Sakti', ia menyerang Suto Sinting dan membuat Pendekar Mabuk tiba-tiba terjungkal bagai dibanting oleh tenaga gaib yang tak kelihatan.

Wuuuut...! Brrruukk...!

"Aahhg...!" Suara rintihan itu datang dari mulut Ki Tumbang Laga yang sudah terluka sangat parah itu, sebab keadaan Ki Tumbang Laga tertindih tubuh Suto Sinting yang tak bisa kendalikan keseimbangan badannya.

"Celaka! Dia menggunakan kekuatan batinnya untuk menyerangku!" geram Suto Sinting dalam hati. "Aku tak bisa melawannya karena serangan itu tak bisa dilihat mata. Uuuh... hidungku... sial betul! Hidungku jadi berdarah akibat bantingan keras tadi. Uuuh... tulangku pun terasa remuk semua kalau begini!"

Zaaap...! Setan Rawa Bangkai tiba-tiba sudah berada di depan Suto Sinting dalam jarak enam langkah. Namun sebagai seorang pendekar, Suto Sinting tak mau menyerah begitu saja, ia berusaha bangkit dan membiarkan Ki Tumbang Laga terkapar ditanah.

Sayangnya, baru saja ia bangkit dengan satu kaki berlutut, tiba-tiba datang serangan tenaga besar tanpa terlihat bentuknya. Tahu-tahu saja dagu Suto Sinting bagai ditendang oleh kaki bertenaga dalam cukup besar. Serangan pada dagu membuat kepala Pendekar Mabuk tersentak ke belakang dalam keadaan terdongak dan rasa sakit menyerang dari ubun-ubun sampai telapak kaki.

Wuuuut...! Brrrus...!

Suto Sinting terpental ke belakang lima langkah jauhnya dari tubuh Ki Tumbang Laga. Mulutnya menyemburkan darah segar karena tenggorokannya pun terasa seperti terkena tendangan bertenaga besar. Suto Sinting nyaris tak bisa bicara lagi, bahkan pernapasannya menjadi sesak sekali.

"Tuak... mana tuakku...?! Tuak...!" pikir Suto Sinting sambil berusaha meraih bumbung tuaknya yang masih menyilang di punggung.

Wuuut... Beeeegh...!

"Heeegh...!" Suto Sinting tersentak mendelik karena perutnya terasa mendapat pukulan besar yang makin membuat napasnya sulit dihela lagi. Serangan itu tetap datang dari si Setan Rawa Bangkai dengan menggunakan ilmu 'Sukma Sakti'-nya. Serangan tersebut membuat Suto Sinting terpuruk lemas bagai kehilangan seluruh tenaga. Hanya ada sisa tenaga sedikit yang dapat digunakan untuk meraih bumbung tuaknya.

Pada saat Pendekar Mabuk berhasil meraih bumbung tuak, tiba-tiba ia sempat melihat tubuh Setan Rawa Bangkai terpelanting ke samping dan berguling-guling menerabas semak berduri. Guzraak...! ia bagaikan tersapu badai yang sulit dihindar! lagi. Bahkan semak yang diterabasnya menjadi rusak, akar-akarnya berhamburan keluar dari tanah.

"Siapa yang menyerangnya?!" pikir Suto Sinting sambil berusaha memandang keadaan sekeliling. Tapi tak ada bayangan manusia yang berdiri di sekitar tempat itu. "Ah, persetan dengan penyerangnya itu! Tuak harus kuminum lebih dulu supaya mengembalikan tenagaku!"

Glek, glek, glek...!

Tiga teguk tuak sudah cukup menyegarkan tubuh Pendekar Mabuk. Tenaganya yang pulih secara sedikit demi sedikit itu membuatnya lekas bangkit berdiri dan memandang ke arah jatuhnya Setan Rawa Bangkai. Tampak kepala Setan Rawa Bangkai tersumbul dari ketinggian semak ilalang. Agaknya tokoh berilmu tinggi itu ingin lakukan serangan kembali kepada Suto Sinting. Zaaap...! ia muncul dalam gerakan secepat kilat, dan tahu-tahu sudah berada di depan Suto Sinting. Namun lagi-lagi sebuah serangan yang tak berbentuk dan tak berwarna itu datang kepadanya membuat tubuhnya tumbang ke belakang dan berguling-guling bagai dilanda badai.

Wut, brruuus...! Wes, wes,wes...! Guzraaak...!

"Siapa orang yang menyerangnya?!" pikir Suto Sinting dengan rasa heran. "Sepertinya serangan itu ditujukan untuk membelaku. Hmmm... kurasa dia adalah orang yang membantuku menghindari bahaya saat aku ada di pantai dan saat aku bertarung melawan Dewa Tengkorak. Oh, ya... sebaiknya kuselamatkan dulu Ki Tumbang Laga yang sedang sekarat itu!"

Weeess...! Suto Sinting menyambar tubuh Ki Tumbang Laga. Zlaaap...! Ia pun segera membawa pergi Ki Tumbang Laga yang sekarat itu dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Ia tinggalkan Setan Rawa Bangkai demi menyelamatkan Ki Tumbang Laga dan tidak mempedulikan siapa orang yang membelanya itu.

Jauh dari kaki Gunung Babat, Pendekar Mabuk meletakkan tubuh Ki Tumbang Laga yang sudah seperti kertas putih itu, ia paksakan mulut Ki Tumbang Laga untuk menerima kucuran tuaknya. Beberapa teguk tuak masuk ke tenggorokan Ki Tumbang Laga, hingga akhirnya Ki Tumbang Laga tersedak dan terbatuk-batuk. Darah kental keluar dari mulut itu bercampur dahak. Tapi beberapa saat kemudian, napas Ki Tumbang Laga menjadi lega dan wajah pucatnya berangsur-angsur pudar. Tokoh tua itu pun membuka mata pelan-pelan.

* * *

ENAM

NODA hitam di dada Ki Tumbang Laga yang membentuk telapak tangan itu, telah lenyap sejak Ki Tumbang Laga meneguk tuak saktinya Pendekar Mabuk. Bahkan rada sakit disekujur tubuhnya pun telah hilang sama sekali. Ki Tumbang Laga merasa lebih segar dan lebih sehat dari sebelum tarungn pertarungan dengan Setan Rawa Bangkai.

"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Ki Tumbang Laga dengan pandangi Suto Sinting penuh rasa kagum.

"Aku hanya menuangkan tuak ke mulutmu, Ki. Tak ada lain yang kulakukan kecuali itu."

"Itulah sebabnya aku berterima kasih padamu, karena kau tidak menyiramkan tuak ke mukaku," ujar Ki Tumbang Laga dalam nada kelakar. "Seandainya kau tidak datang dan membawaku pergi dari sana, mungkin saat ini aku hanya bisa melambaikan tangan padamu dari pintu neraka."

Pendekar Mabuk hanya tertawa kecil tanpa suara.

"Tadi aku sudah sempat melihat pintu neraka, tapi masih tertutup. Aku tak berani mengetuk, takut dipaksa masuk ke sana oleh penjaganya."

Tawa Pendekar Mabuk kian melebar dan kali ini disertai suara seperti orang menggumam. Ki Tumbang Laga pun tampak tidak seperti memendam dendam kepada lawannya, ia justru seperti orang yang tidak pernah lakukan pertarungan maut dengan siapa pun.

"Mengapa sampai terlibat bentrokan dengan Setan Rawa Bangkai, Ki?"

"Dari mana kau tahu kalau lawanku tadi adalah Setan Rawa Bangkai?"

"Ciri-cirinya kudengar dari penjelasan Nyai Kidung Laras."

"O, si cantik dari Lembah Hijau itu?" ujar Ki Tumbang Laga yang rupanya kenal dengan Nyai Kidung Laras. Tokoh tua itu manggut-manggut dalam senyumnya yang membuat wajahnya tampak lucu. "Dia memang pernah bertemu dan beradu ilmu dengan Marundang, tapi ia hampir mati kalau tak segera larikan diri. Aku kenal baik dengannya. Dulu aku pernah naksir dia, tapi karena dia tidak naksir diriku, akhirnya aku terusir dari hatinya. Kasihan, ya?"

"Siapa yang kasihan?"

"Diriku ini!" jawabnya sambil tertawa kecil. "O, ya... boleh aku minta tuakmu sedikit lagi, Suto?"

"Mengapa tidak, Ki? Silakan minum sepuas hatimu! Tuakku masih tersedia cukup banyak, separuh bumbung lebih." Pendekar Mabuk serahkan bumbung tuaknya, kemudian Ki Tumbang Laga menenggaknya beberapa teguk, ia menghembuskan napas kelegaan melalui mulutnya dan sempat bertahak panjang tanda kekenyangan minum tuak.

"Seroja Putih, adiknya Kenanga Pilu, dibunuhnya saat Dewa Tengkorak menyerang Perguruan Tapak Dewa," ujarnya membuat Suto Sinting terkejut.

"Jadi Kenanga Pilu punya adik bernama Seroja Putih?"

Ki Tumbang Laga anggukkan kepala dengan wajah duka sebentar. "Kala itu aku dan kakakku; gurunya Seroja Putih, sedang tidak ada di tempat. Dewa Tengkorak dibantu Setan Rawa Bangkai lakukan pembantaian di Perguruan Tapak Dewa."

"Mengapa sampai terjadi begitu?"

"Seroja Putih pernah hampir membuat Dewa Tengkorak mati hangus. Rupanya dendam itu masih membekas di hati Dewa Tengkorak. Tanpa dukungan Setan Rawa Bangkai, Dewa Tengkorak tak akan berani menyerang Perguruan Tapak Dewa."

Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala. "Agaknya kemunculan Setan Rawa Bangkai benar-benar dimanfaatkan oleh Dewa Tengkorak untuk membalas dendam terhadap musuh-musuhnya," pikir Suto Sinting. "Keganasan Dewa Tengkorak timbul secara liar karena merasa mendapat dukungan kuat dari Setan Rawa Bangkai. Seandainya si Setan Rawa Bangkai dapat dilenyapkan, maka Dewa Tengkorak akan kehilangan nyali dan tak berani bertindak seenak bodongnya begitu!"

Ki Tumbang Laga berkata dengan memandang ke arah lain, "Tentu saja sepak terjang Dewa Tengkorak disambut baik dan didukung penuh oleh Setan Rawa Bangkai, sebab orang terkutuk berbau busuk itu memang kehendaki agar tokoh-tokoh aliran putih hancur semua. Ia ingin tampil sebagai tokoh tertinggi di rimba persilatan yang kelak akan mempunyai pengikut dalam jumlah banyak."

"Jika boleh kusimpulkan, kunci kekejaman Dewa Tengkorak itu terletak pada kesaktian Setan Rawa Bangkai, Ki?"

"Benar. Sedangkan si Setan Rawa Bangkai sendiri sebenarnya lebih kejam dan lebih ganas dari Dewa Tengkorak. Jika tokoh sesat itu tidak dilenyapkan dengan segera, maka dunia persilatan kita akan diselimuti kabut hitam. Setiap perguruan akan mengalami masa berkabung yang tiada habisnya."

"Jika begitu, kusarankan agar Ki Tumbang Laga kembali menghadap Eyang Darah Guntur dan jangan pergi ke mana-mana. Serahkan persoalan ini padaku. Aku akan mengatasi kekejian Setan Rawa Bangkai dan Dewa Tengkorak."

Ki Tumbang Laga tertawa terkekeh-kekeh, membuat Suto Sinting memandang dengan berkerut dahi karena merasa heran. Rasa penasaran terhadap tawa itu membuat Suto Sinting akhirnya ajukan tanya,

"Mengapa kau menertawakan kata-kataku, Ki?"

"Karena aku tak yakin bahwa kau bisa mengungguli ilmunya Setan Rawa Bangkai. Orang itu bukan tandinganmu, Nak. Satu-satunya orang yang bisa ungguli kesaktian Setan Rawa Bangkai adalah gurumu sendiri: si Gila Tuak."

"Tidak mungkin!" sergah Pendekar Mabuk. "Guru tidak akan turun tangan lagi di rimba persilatan! Seandainya harus turun tangan lagi, maka aku adalah orang pertama yang akan mengawali pertarungan dengan Setan Rawa Bangkai. Aku tak ingin bertumpang tangan sementara Guru lakukan pertarungan dengan lawannya. Siapa pun yang menjadi musuh Guru harus berhadapan denganku lebih dulu."

"Dan kau akan mati konyol di tangan Setan Rawa Bangkai!"

"Itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawabku!" sahut Suto Sinting dengan tegas. "Mati konyol ataupun mati tidak konyol bagiku sama saja."

"Jiwa kependekaranmu begitu kuat," kata Ki Tumbang Laga sambil menepuk-nepuk pundak Pendekar Mabuk. "Kuakui nyalimu sangat besar, tak ubahnya seperti gurumu: si Tua Bangka dan Bidadari Jalang. Tetapi perlu diingat, Suto... melawan kekejian itu tidak harus dengan modal keberanian belaka. Otak pun harus ikut bekerja agar kita tidak mati konyol tapi kekejaman itu bisa tersingkirkan."

"Melawan orang seperti Setan Rawa Bangkai tak perlu harus menggunakan siasat yang memeras otak, Ki. Keberanian dan kecepatan gerak merupakan modal utama untuk tumbangkan Setan Rawa Bangkai dan pengikutnya, seperti si Dewa Tengkorak itu."

Ki Tumbang Laga manggut-manggut sambil tertawa terkekeh. "Boleh, boleh... kau boleh saja bilang begitu. Tapi percayalah, ilmu yang kau miliki belum cukup untuk melawan Setan Rawa Bangkai, apalagi sekarang ia mempunyai ilmu 'Sukma Sakti' dan 'Cakar Belah Jagat' yang berbahaya itu. Kau harus punya ilmu tandingannya, Suto. Kau bisa memintanya dari gurumu; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Kurasa mereka punya ilmu tandingan tersebut."

Tiba-tiba sebuah suara terdengar menyahut dari belakang mereka, "Mereka tidak punya ilmu tandingan!"

Suto Sinting dan Ki Tumbang Laga sama-sama terkejut, keduanya sama-sama segera menengok ke belakang. Ternyata seseorang telah berdiri di sana dalam jarak lima langkah dari tempat mereka berdiri.

Orang yang kini berhadapan dengan mereka itu mengenakan pakaian serba putih; jubah dan celana putih, sabuk putih, tanpa baju. Kulit wajahnya pucat dan tampak sekali ketuaannya, ia berusia sekitar sembilan puluh tahun. Rambutnya yang panjang acak-acakan itu berwarna putih rata. Alisnyapun putih rata. Matanya sedikit cekung, tanpa kumis dan jenggot. Tapi ia mempunyai kuku-kuku yang panjang. Saat melangkah tiga tindak, ia tampak tertatih-tatih. Tokoh tua serba putih ini dikenal Suto Sinting sebagai tokoh sakti dari Gunung Kemuning, ia mempunyai nama asli: Murdawira, tapi lebih dikenal dengan nama Setan Merakyat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Tabib Darah Tuak).

"Bapa Guru...?!" sapa Suto Sinting, karena memang dari dulu Suto Sinting selalu memanggil dengan sebutan 'Bapa Guru'. Hal itu dilakukan Suto sebagai penghormatan tinggi kepada tokoh sakti yang menjadi sahabat si Gila Tuak. Tak heran jika Suto Sinting saat itu sedikit bungkukkan badan sebagai tanda memberi hormat kepada Setan Merakyat. "Bagaimana kabar Bapa Guru Murdawira?"

"Aku sehat-sehat saja. Kalau aku tak sehat aku tak bisa mengikutimu sejak dari pantai sampai kemari," jawab Setan Merakyat dengan suara tuanya.

"Salam hormatku untuk kedatanganmu, Kakang Setan Merakyat!" Ki Tumbang Laga pun memberi salam dan hormat kepada tokoh serba putih yang selalu berpenampilan kalem.

"Tumbang Laga, salam hormatmu kuterima. Tapi aku ikut berbela sungkawa atas kematian murid dari kakakmu, si Darah Guntur."

Pendekar Mabuk membatin, "Rupanya Bapa Guru Setan Merakyat ini yang selalu membelaku dalam pertarungan di pantai, dan dalam menghadapi Dewa Tengkorak, serta sampai saat aku menghadapi Setan Rawa Bangkai tadi. Hmmm...! Tak disangka dialah orangnya."

Ki Tumbang Laga tak merasa heran lagi jika Setan Merakyat mengetahui kematian Seroja Putih, karena tokoh yang satu ini memang mempunyai ketajaman indera ketujuh cukup luar biasa. Namun Ki Tumbang Laga segera bicarakan tentang kemunculan Setan Rawa Bangkai.

"Apakah kehadiranmu di sini ada hubungannya dengan kemunculan Setan Rawa Bangkai?!"

"Bisa dikatakan ya dan tidak," jawab Setan Merakyat.

"Sekarang baru kuingat," kata Ki Tumbang Laga, "Bahwa ada orang lain yang dapat ungguli kehebatan ilmunya Setan Rawa Bangkai, yaitu kau sendiri, Kakang Murdawira. Kau dan Marundang adalah tokoh berilmu tinggi yang sama-sama punya julukan 'Setan', jadi kurasa..."

"Jadi maksudmu 'setan' bertarung melawan 'setan', begitu?!"

Ki Tumbang Laga tertawa kecil sambil garuk-garuk kepala. Suto Sinting hanya tersenyum-senyum saja. Tetapi si Setan Merakyat hanya diam tanpa senyum, namun wajahnya tidak tampak tersinggung atau memendam kedongkolan. Setan Merakyat justru tampak kalem bagai tak pedulikan ucapannya sendiri tadi.

"Kehadiranku memang ada hubungannya dengan kemunculan Setan Rawa Bangkai. Tetapi aku tidak akan melawan dia, Tumbang Laga. Aku punya jago sendiri yang akan kuandalkan, yaitu Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak."

Ki Tumbang Laga dan Suto Sinting sama-sama terperanjat. Keduanya saling beradu pandangan mata. Tetapi Ki Tumbang Laga segera berkata kepada Setan Merakyat. "Apakah kau tidak salah pilih jago, Kakang Murdawira?! Pendekar Mabuk masih muda dan ilmunya..."

"Aku sudah bicarakan dengan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang," sahut Setan Merakyat.

"Lalu, apa kata mereka?" desak Ki Tumbang Laga.

"Mereka setuju jika kita, para tokoh aliran putih, mengajukan Pendekar Mabuk sebagai lawan tandingnya si Marundang. Tetapi tentu saja aku berada di belakang Pendekar Mabuk."

"Apa maksudnya 'berada di belakang' Pendekar Mabuk?"

Setan Merakyat melangkah ke samping, memperhatikan serumpun tanaman liar yang sedang berbunga. Bunganya berwarna merah segar dan enak dipandang mata. Setan Merakyat menghampirinya dan memetik sekuntum bunga yang mirip terompet kecil itu. Sambil memperhatikan bunga tersebut, Setan Merakyat bicara kepada Pendekar Mabuk, "Suto, masih ingatkah kau pada pertemuan kita sebelum ini?"

"Tentu saja masih, Bapa Guru."

"Aku pernah mengatakan bahwa salah satu ilmuku yang akan kuturunkan padamu, dan ilmu itu tidak bisa kuturunkan kepada orang lain kecuali orang yang tanpa pusar. Dan kebetulan saja orang tanpa pusar itu adalah kau sendiri. Jadi, ilmu itu akan kuturunkan padamu atas seizin kedua gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."

Hati pemuda itu berdebar-debar dalam kegirangan. Wajahnya tampak berseri dan senyumnya begitu indah menawan menyambut kabar gembira tersebut. Ki Tumbang Laga masih bingung pandangi Suto yang menurutnya seperti mendapat durian runtuh.

"Beruntung sekali kau, seperti dapat durian runtuh. Tahu-tahu akan diberi ilmu dari tokoh sesakti beliau itu, Suto. Kalau aku masih muda, tentunya aku iri dengan keberuntunganmu."

Suto Sinting hanya tertawa pelan namun memanjang. Ki Tumbang Laga bicara kepada Setan Merakyat, "Bagaimana mungkin kau mempunyai ilmu yang hanya bisa diturunkan kepada orang tanpa pusar, Kang? Bukankah kau sendiri manusia yang mempunyai pusar?"

"Coba kulihat dulu...." Setan Merakyat segera menyingkapkan kain penutup perutnya. "O, iya... aku sendiri punya pusar. Tapi... Suto Sinting jelas tak punya pusar. Kalau kau tak percaya, cobalah kau periksa sendiri dia."

"Bukan soal tak percaya tentang punya pusar atau tidak, tapi yang kuherankan adalah syarat penurunan ilmu itu. Mengapa hanya bisa diterima oleh orang yang tanpa pusar? Padahal kau sendiri sebagai pemilik ilmu itu mempunyai pusar?"

"Tumbang Laga," kata Setan Merakyat sambil jarinya memainkan bunga kecil yang diputar-putar dalam gerak memelintir. ".... Ilmu itu adalah ilmu temuanku sendiri. Sebenarnya siapa saja bisa memiliki ilmu itu, namun harus melalui cara berlatih selama tiga puluh tahun lebih. Karena ilmu itu kudapatkan setelah berlatih selama tiga puluh tahun lebih. Dan sekarang tinggal diwariskan kepada seseorang, anggaplah orang itu adalah muridku. Tetapi selama ini kucoba memasukkan ilmu itu ke raga seseorang yang mempunyai pusar, ternyata tidak sedikit pun bagian dari kekuatan ilmu itu dapat masuk ke dalam raga orang tersebut. Pilihanku adalah seseorang yang tanpa pusar. Sebab dengan tanpa pusar maka ketahanan tubuh seseorang dapat menerima dengan kokoh kehadiran ilmu itu dalam sukma dan raganya."

Ki Tumbang Laga manggut-manggut pertanda memahami maksud Setan Merakyat. Kejap berikutnya terdengar suara Suto Sinting yang tampak tak sabar lagi,

"Bapa Guru, kapan saja saya akan siap menerima warisan ilmu itu darimu."

"Bagus. Aku tahu bahwa kau sejak dulu telah menunggu penurunan ilmuku ini kepadamu. Tapi pada waktu itu aku belum bertemu dengan gurumu. Sekarang setelah bertemu dengan gurumu, serta meminta izin menurunkan ilmu padamu, apakah kau mau menerimanya, Suto?"

"Dengan senang hati saya menerimanya."

* * *

TUJUH

SETAN Rawa Bangkai kebingungan mencari lawan yang menyerangnya, ia tak tahu bahwa lawannya telah pergi meninggalkan dirinya untuk menemui Suto Sinting dan Ki Tumbang Laga. Rasa penasaran yang memancing murkanya membuat Setan Rawa Bangkai mengamuk di hutan itu, melepaskan pukulan tenaga dalam ke segala arah. Ledakan yang menggelegar sambung-menyambung itu membuat Gunung Babat bergetar bagai ingin meletus.

"Marundang sedang mengamuk," ujar Ki Tumbang Laga kepada Setan Merakyat.

"Biarkan saja," jawab Setan Merakyat dengan santainya. "Aku butuh tempat yang sunyi untuk menurunkan ilmuku kepada Suto Sinting. Dapatkah kau membantuku, Tumbang Laga?"

Ki Tumbang Laga diam sebentar, memikirkan sebuah tempat yang diinginkan Setan Merakyat. Kejap berikutnya Ki Tumbang Laga pun berkata, "Bagaimana kalau kita pergi ke Lembah Celaka?"

"Jangan. Aku takut kita bertiga malah celaka sendiri," kata Setan Merakyat.

"Bapa Guru," ujar Suto Sinting menyela pembicaraan, "Mengapa kita tidak pergi ke Gunung Kemuning saja? Bukankah tempat kediaman Bapa Guru adalah tempat yang tenang dan sunyi?"

"O, iya! Hampir saja aku lupa kalau aku punya tempat yang tenang dan sunyi di puncak Kemuning." Setan Merakyat garuk-garuk kepala.

Ki Tumbang Laga berkata kepada Suto Sinting, "Kalau tempat yang lebih sunyi dan tenang lagi ya masuk ke liang kubur saja."

Setan Merakyat menyahut, "Kalau kau masuk ke sana lebih dulu, silakan saja. Aku belum ingin ke sana, Tumbang Laga."

Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama tertawa. Kemudian mereka bertiga bergegas pergi tinggalkan tempat itu menuju puncak Gunung Kemuning yang selalu diselimuti kabut tebal itu. Ki Tumbang Laga sebenarnya ingin pulang ke Perguruan Tapak Dewa untuk menemui Eyang Darah Guntur, kakaknya. Tetapi niatnya dicegah Setan Merakyat.

"Aku butuh bantuanmu, Tumbang Laga. Ikutlah bersamaku ke puncak Kemuning. Soal menghadap kakakmu, biar nanti aku yang menjelaskan alasannya, mengapa kau ikut aku. Jangan takut kalau kakakmu marah, nanti aku yang akan meredakan amarahnya."

Tentu saja Setan Merakyat berani bilang begitu, karena Eyang Darah Guntur sangat hormat kepadanya. Kesaktian Setan Merakyat lebih tinggi dari kesaktian Eyang Darah Guntur, sehingga Eyang Darah Guntur tak berani menentang segala keputusan Setan Merakyat.

Pendekar Mabuk merasa hari itu adalah hari keberuntungannya. Seandainya ia tidak nekat menentang larangan Pakis Ratu, mungkin ia tidak akan segera pergi ke puncak Gunung Kemuning. Seandainya ia tidak pergi secara diam-diam dari Lembah Hijau tanpa diketahui Pakis Ratu dan Nyai Kidung Laras, mungkin Setan Merakyat tidak segera muncul dan menurunkan ilmunya.

"Biarlah Pakis Ratu tinggal di pondok gurunya sendiri. Nanti jika urusanku sudah selesai akan kuhampiri lagi untuk pererat persahabatan," pikir Suto Sinting dalam perjalanan menuju puncak Gunung Kemuning.

Sesuatu yang sangat tidak diduga-duga ternyata terjadi di pertengahan jalan. Mereka melihat pertarungan antara Dewa Tengkorak melawan seorang gadis cantik berusia dua puluh enam tahun, mengenakan jubah kuning dalaman merah. Rambutnya dikonde dua tempat, sisanya meriap ke bawah dengan gemulai. Gadis itu berwajah mungil, bermata bundar indah, dan berkulit kuning langsat, ia menggunakan seruling sebagai senjata yang dapat menyemburkan cahaya merah api ke tubuh lawannya. Gadis itu tak lain adalah Dinada, mantan orang Bukit Kasmaran, murid dari Mendiang Nyai Guntur Ayu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gelang Naga Dewa).

"Bapa Guru, saya kenal dengan gadis itu!" kata Suto Sinting. Mereka ada di ketinggian bukit cadas yang dapat melihat bebas ke arah bawah. "Saya kenal sekali dengannya, Bapa Guru."

"Gadis mana yang tidak kau kenal? Semua gadis pasti kau kenal. Matamu memang mata keranjang," kata Setan Merakyat yang membuat Suto Sinting malu. "Ingat, kau adalah calon jodohnya Dyah Sariningrum. Jangan sembarang melotot kalau melihat perempuan."

"Maksud saya, gadis itu adalah Dinada, sahabat saya, Bapa Guru. Bolehkah saya membantunya? Sebab menurut saya, Dinada bukan tandingannya Dewa Tengkorak."

Ki Tumbang Laga menyahut, "Nyawa Dewa Tengkorak adalah jatahku. Jangan kau serobot seenaknya saja, Suto! Aku yang akan menghadapi Dewa Tengkorak untuk bikin perhitungan."

"Tidak bisa! Dinada adalah sahabatku, Ki. Aku wajib membantunya. Sebab..."

"Dinada memang sahabatmu, tapi Dewa Tengkorak itu jatahku!" sahut Ki Tumbang Laga agak ngotot.

Setan Merakyat akhirnya berkata, "Apa yang kalian perebutkan? Nyawa si Dewa Tengkorak?! Hmm...!"

Claaap...! Tiba-tiba jari tangan Setan Merakyat menunjuk ke depan. Dari jari itu melesat seberkas sinar putih perak bagaikan cahaya bintang. Sinar kecil itu menghantam dada Dewa Tengkorak pada saat si Dewa Tengkorak sedang lakukan lompatan untuk menerjang Dinada yang sempoyongan terkena pukulannya.

Zeeeb...! Sinar itu menghantam dada Dewa Tengkorak dengan jelas sekali. Orang kurus itu segera terpental ke belakang bagai dilemparkan begitu saja dan jatuh terpuruk tak berkutik lagi. Pekikan suaranya pun tak ada.

Dinada terkejut melihat keadaan lawannya tahu-tahu jatuh terpuruk tak berkutik. Lebih terkejut lagi melihat lawannya berasap, semakin lama semakin tebal, dan ketika angin berhembus asap pun pudar.

"Ooh...?!" Dinada semakin melebarkan matanya karena terkejut melihat tubuh Dewa Tengkorak benar-benar menjadi tengkorak berjubah abu-abu dan bercelana merah. "Ajaib sekali?! Mengapa dia tiba-tiba tinggal tulang-belulang tanpa rambut dan tanpa daging sedikit pun? Oh, siapa orang yang telah membantuku dalam pertarungan ini?!"

Dinada segera lemparkan pandangan matanya ke atas perbukitan, ia terperanjat lagi melihat tiga orang berdiri di sana, satu di antaranya adalah pemuda tampan yang dikenalnya dengan nama Suto Sinting. "Oooh, ternyata si Pendekar Mabuk itu yang telah menolongku?!" pikir Dinada. Lalu, dalam keadaan masih menahan luka di pundaknya yang terasa mau patah itu, ia pergi ke puncak perbukitan tersebut.

Sementara itu, di puncak perbukitan yang tak seberapa tinggi itu, Ki Tumbang Laga melontarkan gerutuan yang cukup menggelikan bagi Pendekar Mabuk. "Sial! Pembalasanku belum sempat kulampiaskan, eeeh... sudah kabur lebih dulu nyawa si Dewa Tengkorak."

Setan Merakyat berkata, "Sekarang apa kalian mau berebut tulang-belulangnya?! Berebutlah sana, biar sama-sama seperti serigala!"

Suto Sinting hanya tertawa pendek dan berkata, "Mengapa waktu Dewa Tengkorak melawanku, Bapa Guru tidak lakukan hal seperti tadi?"

"Dewa Tengkorak masih punya jatah untuk hidup setengah hari lagi dari sananya. Jadi aku tak berani mendahului kehendak sang takdir. Sekarang jatah untuk hidup baginya sudah habis, maka aku berani melepaskan jurus pencabut nyawa."

"Hmm... mentang-mentang yang bisa mengetahui takdir manusia!" Ki Tumbang Laga bersungut-sungut dengan dongkol, Suto Sinting menertawakan sampai datangnya Dinada ke tempat itu.

"Suto, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak segera bertindak, mungkin aku sudah mati di tangan Dewa Tengkorak. Aku sudah hampir tak berdaya menghadapi serangannya yang serba cepat tadi."

Suto Sinting jadi tak enak hati. Matanya melirik ke arah Setan Merakyat. Ternyata tokoh sakti itu sedang bicara kepada Ki Tumbang Laga dengan suara seperti orang menggumam.

"Jadi anak muda itu enak, ya? Selalu menjadi bahan pujaan para gadis. Walaupun tidak lakukan apa-apa, tetap saja dianggap sebagal orang berjasa."

"Kita dulu juga pernah muda dan pernah mengalami hal seperti itu, Kang."

Mendengar percakapan itu, Pendekar Mabuk makin tak enak hati, lalu berkata kepada Dinada, "Sebenarnya tadi yang..."

Setan Merakyat segera menyahut, "Nona cantik, barangkali memang belum waktumu untuk mati pada hari ini. Karena kebetulan saja kami lewat dan Suto melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memang dahsyat itu. Kurasa tidak ada sesuatu yang perlu dibanggakan, walaupun sebenarnya jurus maut Suto tadi memang sangat mengagumkan."

"Iya, Eyang... saya memang sangat kagum dengan jurus-jurusnya Suto Sinting."

"Ya, ya... silakan mengagumi sepuas hatimu, karena sebentar lagi aku harus membawanya pergi dan kau tak boleh ikut."

"Lho, kau akan pergi ke mana, Suto?"

Suto Sinting belum menjawab, Setan Merakyat sudah menyahut lebih dulu, "Mau membasmi kejahatan lagi, seperti tadi!"

"Ah, Bapa Guru jangan begitu...," bisik Suto Sinting.

"Biar saja. Biar gadis itu makin terkagum-kagum padamu," bisik Setan Merakyat membuat Suto Sinting menjadi salah tingkah.

"Dinada, mengapa kau terlibat pertarungan dengan Dewa Tengkorak?"

"Dulu, semasa mendiang guruku masih hidup, perguruanku pernah bentrok dengan perguruannya. Tapi pihakku lebih unggul, dan sekarang agaknya ia masih mengenaliku, lalu ingin membalas dendam atas kekalahan pihaknya dulu," tutur Dinada dengan pandangan mata tak lepas dari wajah Pendekar Mabuk yang rupawan itu.

Setelah terdengar suara gumam dari Suto Sinting yang manggut-manggut itu, Dinada ganti ajukan pertanyaan. "Kau sendiri mau pergi ke mana sebenarnya?"

"Aku harus mengikuti Bapa Guru Setan Merakyat ini ke puncak Gunung Kemuning."

"Apakah aku boleh ikut denganmu, Suto? Kita sudah lama tidak jumpa, bukan?"

"Hmmm... iya, memang sudah lama kita tidak jumpa. Tetapi keputusan boleh dan tidaknya ada di tangan Bapa Guru Setan Merakyat."

Karena Pendekar Mabuk segera melempar pandangan mata kepada Setan Merakyat, mau tak mau Setan Merakyat segera memberi jawaban bagi Dinada.

"Nona, perjalanan kami bukan untuk berlibur dan bersenang-senang. Jadi kurasa kali ini kami tak bisa mengajakmu. Mungkin di lain waktu kau boleh ikut kami pergi ke pantai, mengail ikan atau belajar mendayung. Kuharap kau tidak kecewa, Nona Cantik."

Dinada tampak kecewa, namun segera disembunyikan dengan senyum manisnya, ia segera berkata kepada Suto Sinting, "Maukah kau datang padaku jika urusanmu sudah selesai nanti? Aku... aku rindu bercanda denganmu, Suto."

Ki Tumbang Laga menyahut, "Itu soal gampang, Nona. Kalau Suto tak menemuimu untuk bercanda, biar aku saja yang menemuimu. Aku pun punya canda yang lebih menarik dari Suto."

Setan Merakyat menyenggol pinggang Ki Tumbang Laga dengan sikunya, "Tua-tua masih iri juga kau!"

"He,he,he... Aku hanya sekadar bercanda kok, Kang."

Pendekar Mabuk tersenyum geli, kemudian berkata kepada Dinada, "Jika sudah selesai urusanku, aku akan menemuimu secepatnya Dinada. Maaf, sekarang aku tak bisa mengajakmu pergi karena Bapa Guru tidak izinkan siapa pun ikut kecuali hanya kami bertiga."

Gadis cantik itu mencoba untuk memahami keadaan Suto Sinting, walau sebenarnya ia ingin tahu persoalan sebenarnya dan Suto tak mau menceritakan, tetapi ia tetap mencoba untuk tidak penasaran. Rasa kecewanya dipendam dalam-dalam bersama lambaian tangan mengiringi kepergian Suto Sinting bersama dua tokoh tua itu.

Perjalanan menuju puncak Gunung Kemuning terpaksa dilakukan dengan menggunakan jurus peringan tubuh yang membuat mereka berkelebat bagaikan badai. Ternyata jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting mampu menyamai jurus serupa yang dimiliki oleh Setan Merakyat. Sedangkan gerakan Ki Tumbang Laga tertinggal tak seberapa jauh di belakang mereka. Ki Tumbang Laga tak sampai kehilangan jejak, sehingga ketika mereka tiba di puncak Gunung Kemuning, Ki Tumbang Laga menyusul beberapa saat kemudian.

Puncak gunung itu cukup dingin. Jika seseorang tidak mempunyai jurus pemanas tubuh, maka darah mereka akan membeku tinggal di puncak gunung itu selama seperempat hari. Dedaunan maupun batang tumbuh-tumbuhan dilapisi busa salju hingga sampai pada tanah tempat mereka berpijak. Jika mereka bicara uap dingin keluar bersama hembusan napas mereka. Suto Sinting sudah terlatih hidup di tempat dingin, sehingga ia tidak kaget lagi menghadapi cuaca seperti itu.

"Tumbang Laga," ujar Setan Merakyat, "Aku butuh tempat yang tidak berhubungan dengan tanah. Bisakah kau mencarikan tempat seperti itu di sini?"

"Kakang Murdawira, wilayah ini adalah wilayahmu. Tentunya yang tahu seluk-beluk tempat ini adalah kau sendiri, Kakang. Bagaimana mungkin aku bisa mencarikan tempat yang tidak berhubungan dengan tanah daerah ini?"

"Betul juga kata-katamu, Tumbang Laga. Tetapi aku lupa, di mana tempat yang tidak menyentuh tanah di daerah ini? Seingatku memang ada, tapi di mana tempat itu? Aku benar-benar lupa. Maklum usia sudah sangat tua membuat ingatanku makin hari semakin rapuh, Tumbang Laga."

Ki Tumbang Laga diam sejenak, berpikir tentang tempat yang tidak menyentuh tanah. Tiba-tiba Suto Sinting ajukan tanya kepada Setan Merakyat, "Untuk apa tempat yang tidak menyentuh tanah itu, Bapa Guru?"

"Akan kau gunakan sebagai alas berpijak. Karena nanti pada saat kau menerima jurus warisanku itu, tubuhmu tak boleh berhubungan dengan tanah. Jika kau berhubungan dengan tanah, maka seluruh bumi ini akan mengalami getaran gelombangnya yang dapat mengeringkan darah mereka."

"Saya mempunyai jurus 'Layang Raga" Bapa Guru. Dapatkah kita gunakan jurus itu?"

"O, ya... aku ingat si Gila Tuak mempunyai jurus 'Layang Raga', tapi... tapi benarkah kau sudah mewarisi jurus itu pula? Coba tunjukkan padaku, Suto."

Maka Pendekar Mabuk pun menarik napasnya pelan-pelan dengan mata sedikit terpejam. Tiba-tiba tubuhnya terangkat ke atas sedikit, telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Makin lama makin tinggi, sampai sebatas pinggang si Setan Merakyat.

"Bagus, bagus...." Setan Merakyat angguk-anggukkan kepala. "Sekarang turunlah dulu, jangan mengambang di udara begitu. Kurang sopan kelihatannya, Suto."

Setelah Pendekar Mabuk menapakkan kakinya kembali ke tanah, Setan Merakyat bicara kepada Ki Tumbang Laga.

"Tumbang Laga, kumohon bantuanmu untuk menjaga keamanan kami berdua pada saat ilmu itu kuturunkan."

"Maksudmu bagaimana, Kakang?!"

"Selama kusalurkan inti ilmu 'Pranasukma', baik aku maupun Suto Sinting tak boleh diganggu oleh apa pun, tak boleh disentuh oleh siapa pun. Bahkan lebih bagus lagi jika kami tak diganggu oleh hembusan angin maupun suara desah apa pun. Jadi kuharap kau bisa menjaga ketenangan dan keamanan kami."

Ki Tumbang Laga diam sebentar merenungi kata-kata Setan Merakyat. Pendekar Mabuk pun ikut bungkam, seakan menurut saja apa perintah si tokoh sakti yang dipanggilnya Bapa Guru itu.

"Kakang Murdawira," ujar Ki Tumbang Laga, "Kalau yang kau butuhkan adalah keamanan seperti itu, berarti aku harus bisa melindungi kalian dari hembusan angin segala. Satu-satunya cara aku harus menggunakan jurus 'Surya Perisai', yang nantinya akan membuat kalian berdua terselubungi lapisan seperti kaca. Keadaannya sangat rapat dan kokoh. Tetapi waktunya tak bisa lama-lama karena tak ada udara di dalam lapisan kaca nanti."

"Aku tak membutuhkan waktu terlalu lama. Setelah Inti 'Pranasukma' kusalurkan habis ke dalam galih napas dan pusat roh dalam diri Suto, selanjutnya kami tak butuh lagi keheningan yang murni. Kau bisa melepaskan lapisan kaca itu."

"Tunggu dulu," sergah Suto Sinting. "Bapa Guru, kalau boleh saya ingin tahu, apa kegunaan jurus 'Pranasukma' itu?"

Setelah menarik napas satu kali, Setan Merakyat pun segera menjelaskan kegunaan dan kehebatan jurus atau ilmu 'Pranasukma' itu kepada Suto Sinting. Tetapi Ki Tumbang Laga ikut mendengarkannya. Sebab dari semula sebenarnya ia ingin menanyakan tentang ilmu apa yang akan diturunkan Setan Merakyat kepada Pendekar Mabuk itu, tetapi ia tak pernah punya keberanian untuk ajukan pertanyaan tersebut.

Sebelum mulai bicara, Setan Merakyat berbalik badan hingga berhadapan dengan Ki Tumbang Laga. Suto Sinting ada di samping Ki Tumbang Laga menunggu jawaban dari rasa ingin tahunya tadi. "Suto, kau melihat batu putih sebesar anak kuda di belakangku itu?"

"Ya, saya melihatnya, Bapa Guru," jawab Suto Sinting setelah memperhatikan sebongkah batu yang dilapisi salju, ukurannya sebesar anak kuda yang sedang berdiri.

"Perhatikan terus batu itu, dan jangan heran jika ia pindah ke bawah pohon berjajar tiga yang ada di belakangmu sana!"

Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama menoleh memandang pohon yang ditunjuk Setan Merakyat. Tetapi dalam benak mereka masih diliputi kebingungan tentang apa maksud ucapan Setan Merakyat tadi. Keduanya kembali pandangi batu sebesar anak kuda yang ada dalam jarak tujuh langkah di belakang Setan Merakyat. Batu itu tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi. Zaaab...!

Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama terperanjat dengan mata melebar. Kini keduanya sama-sama berpaling ke belakang, memandang ke arah pohon yang tadi ditunjuk Setan Merakyat. Mereka sama-sama terkejut dalam hati melihat batu tadi ternyata sudah berpindah tempat, berada di bawah pohon tersebut dalam keadaan tidak pecah atau retak sedikit pun. Bahkan busa-busa saljunya masih utuh tak bergeser sedikit pun.

"Luar biasa...!" gumam Ki Tumbang Laga bagai bicara pada diri sendiri.

Setan Merakyat pun segera menyahut, "Itulah ilmu 'Pranasukma' yang akan kau terima. Batinmu bisa memindahkan benda apa pun dari tempatnya semula. Bahkan menghancurkan benda itu pun bisa kau lakukan tanpa menyentuh sedikit pun. Tetapi ilmu 'Pranasukma' ini hanya dipakai dalam keadaan terpaksa sekali. Jika tidak terpaksa, jika masih ada cara lain, pergunakan cara lain dulu. Sebab ilmu 'Pranasukma' hanya bisa digunakan seratus kali. Sedangkan aku baru menggunakan empat kali. Jadi masih ada kesempatan sembilan puluh enam kali untuk menggunakan kekuatan ilmu 'Pranasukma' itu."

Pendekar Mabuk dan Ki Tumbang Laga sama-sama manggut-manggut. Dalam hati mereka tetap menyimpan kekaguman, tapi dalam hati Suto Sinting ditambah rasa girang yang tiada habis-habisnya. Ilmu kekuatan batin seperti itu jarang dimiliki orang. Bahkan mungkin Gila Tuak dan Bidadari Jalang tidak memiliki ilmu seperti 'Pranasukma' itu.

"Sebelum matahari tenggelam, kuharap pekerjaan ini sudah selesai. Jadi kita harus mulai dari sekarang, Suto."

"Baik Bapa Guru. Saya sudah siapkan diri untuk menerima ilmu tersebut."

"Jangan minum tuak dulu,Suto. Kosongkan raga dan pikiranmu."

"Baik, Bapa Guru!"

"Duduklah bersila tapi jangan sampai menempel di tanah."

Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan sikap patuhnya. Namun ketika ia ingin duduk di tanah, Setan Merakyat menahan lengannya dan berkata,

"Sebelumnya, buka seluruh pakaianmu. Jangan sampai ada benda lain yang menempel pada tubuhmu."

"Bu... buka...?! Maksudnya, buka semuanya, Bapa Guru?"

"Tenang saja, di sini tak ada perempuan. Seorang pun tak ada."

Sebenarnya Pendekar Mabuk agak malu, tapi demi mendapatkan ilmu dan kesaktian seperti yang dicontohkan tadi, Suto Sinting akhirnya melepas seluruh pakaiannya. Bahkan bumbung tuaknya dilepaskan pula, disandarkan di bawah pohon tak jauh dari Ki Tumbang Laga berdiri. Setelah melepaskan pakaiannya, Suto Sinting segera duduk bersila. Jurus 'Layang Raga' dipergunakan oleh Suto, membuat tubuhnya terangkat mengambang di udara dalam keadaan tetap duduk bersila. Ketinggian duduknya itu tak lebih dari batas perut si Setan Merakyat.

"Pejamkan matamu," perintah Setan Merakyat, dan pemuda yang tidak mempunyai pusar sedikit pun itu segera turuti perintah tersebut, ia memejamkan mata dengan tenang.

"Pusatkan perhatian benak pada gerakan napasmu," perintah si Setan Merakyat. "Selama belum selesai jangan bicara apa-apa dulu."

"Baik, Bapa Guru!"

"Tumbang Laga, lakukan seperti yang kuperintahkan tadi."

"Baik, Kakang...!" jawab Ki Tumbang Laga dengan tegas dan patuh. Kedua jari tengah Ki Tumbang Laga sama-sama berdiri mengeras. Kemudian ujung-ujung jari tengah itu dipertemukan di depan dada: Lama kelamaan kedua tangan yang saling bertemu itu bergerak pelan ke atas, hingga kini keberadaannya melebihi ketinggian kepala si Tumbang Laga.

Claaap...! Wuuurrrsss...!

Pertemuan dua jari tengah itu akhirnya memancarkan sinar merah bening. Sinar itu meluncur ke atas dan berhenti di atas kepala Suto Sinting dan Setan Merakyat. Sinar merah itu akhirnya menyebar ke bawah dalam keadaan melebar, sehingga tubuh Suto Sinting dan Setan Merakyat dilapisi oleh cahaya merah yang turun dari atas kepala mereka itu. Lama kelamaan cahaya merah itu menjadi bening, membentuk seperti kurungan besar, dan warna merahnya pun punah menjadi warna putih yang kian lama menjadi kian bening.

Sinar merah di atas kepala mereka telah lenyap. Kedua tubuh mereka menjadi seperti berada dalam tabung berkaca putih bening. Pada saat itulah tubuh Setan Merakyat pun terangkat naik dengan sendirinya dan mengambang di udara, sama seperti yang dilakukan Suto Sinting, ia segera keraskan kedua jari pada tiang tangannya.

Classs, claasss...!

Dari masing-masing kedua jari keluar sinar ungu bening. Satu sinar ungu mengarah pada perut Suto Sinting tempat biasanya seseorang berpusar. Satu sinar ungu lagi mengarah pada ulu hati Suto Sinting. Kedua sinar ungu itu membuat tubuh Suto Sinting menjadi menyala ungu bening bagai terbuat dari beling kristal ungu. Tubuh tersebut diam mengejang kaku bagaikan patung.

Zuuub, zuuub...!

Kedua sinar ungu itu pun segera padam setelah lebih dari dua puluh helaan napas memancar ke tubuh Suto Sinting. Tapi sayang mereka yang ada di dalam tabung kaca itu tidak bernapas, sehingga tidak bisa menghitung berapa helaan lamanya kedua sinar ungu itu terpancar dari kedua tangan Setan Merakyat. Tetapi walaupun kedua sinar ungu itu telah padam dari ujung jari Setan Merakyat, keadaan Suto Sinting masih seperti patung dari batuan bening warna ungu. Tubuh tersebut tetap mengambang di udara dan tidak bergerak sedikitpun.

Setan Merakyat memberikan isyarat kepada Ki Tumbang Laga agar melepaskan jurus 'Surya Perisai' yang menyelubunginya. Ki Tumbang Laga yang sejak tadi menempelkan kedua jari tengahnya di atas kepala itu segera bergerak mundur satu langkah, kemudian telapak tangannya dihentakkan ke depan. Selarik sinar merah menghantam lapisan dinding kaca tersebut.

Claaap...! Pyaaar...!

Lapisan dinding kaca itu hancur seketika dihantam sinar merah dari telapak tangan. Tetapi sisa kehancuran itu tidak berserakan di tanah. Tak satu pun terlihat pecahan beling tergeletak di tanah. Pecahan beling itu bagaikan lenyap begitu hendak menyentuh tanah.

Setan Merakyat menghirup udara segar panjang-panjang. Tetapi keadaan Suto Sinting tetap menjadi patung ungu bening dalam keadaan mengambang di udara. Ki Tumbang Laga memandang dengan heran, kemudian ketika Setan Merakyat mendekatinya untuk memandang Suto Sinting dari jarak tujuh langkah, Ki Tumbang Laga pun segera ajukan tanya bernada cemas.

"Mengapa ia masih dalam keadaan seperti patung batu bening begitu, Kakang?!"

"Peresapan dari cahaya sakti 'Pranasukma' membutuhkan waktu beberapa saat lamanya. Tapi usaha ini termasuk cepat dan lancar. Aku yakin jika bukan Suto Sinting yang menerima cahaya sakti itu, tubuhnya akan pecah menjadi serpihan-serpihan daging yang layak dijadikan sate."

"Lalu, sampai berapa lama ia akan menjadi seperti patung bening begitu, Kakang?"

"Tergantung, kekuatan tubuhnya. Bisa tujuh hari, bisa empat belas hari lamanya. Dan selama itu ia tak boleh disentuh oleh siapa pun, kecuali oleh angin. Bahkan ia tak boleh terkena percikan air walau setetes pun, karena hal itu dapat membuat tubuhnya menjadi pecah. Karenanya kita harus menjaganya terus sampai ia sadar dan wujudnya berubah seperti sedia kala."

Glegaaar...! Tiba-tiba terdengar suara guntur menggelegar pertanda hujan akan turun di puncak Gunung Kemuning.

Ki Tumbang Laga mulai cemas, matanya memandang ke arah langit yang hanya bisa dilakukan melalui celah-celah dedaunan. Langit bersih dan putih tiba-tiba mulai diselimuti mega hitam. Mendung menggantung di langit, pertanda tak lama lagi hujan pun akan turun dengan deras. "Celaka! Hujan akan turun, Kakang! Berbahaya sekali untuk keselamatan Suto Sinting, ia akan pecah jika terkena rintik gerimis sekalipun."

Setan Merakyat pun tampak gelisah. Matanya memandang kelangit dengan tegang. Tetapi ia segera berkata kepada Ki Tumbang Laga, "Bantu aku menolak hujan, Tumbang Laga!"

"Aduh, maaf sekali, Kakang. Sungguh aku tak bisa lakukan hal itu. Aku belum pernah menjadi pawang hujan."

"Bantulah dengan sebisa-bisamu!" Setan Merakyat agak membentak.

* * *

DELAPAN

EMBUN pagi belum sempat kering sudah harus digenangi oleh darah korban ilmu 'Sukma Sakti' yang cukup ganas itu. Kali ini korban ilmu 'Sukma Sakti' adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun yang mengenakan pinjung penutup dada warna merah dengan celana sebetis dibungkus kain putih. Gadis itu mengenakan rompi panjang berwarna kuning emas, rambutnya dikuncir tinggi sisanya berjuntai seperti ekor kuda. Gadis itu adalah Syair Kusumi, murid dari Nini Kalong, si Penjaga Hutan Rawa Kotek. Kepala gadis itu pecah ketika tiba-tiba tubuhnya terbanting membentur dinding tebing karena kekuatan ilmu 'Sukma Sakti’nya si Setan Rawa Bangkai.

Rupanya pertarungan Syair Kusumi dengan Setan Rawa Bangkai terjadi di ujung pagi, ketika Syair Kusumi dalam perjalanan pulang dari suatu tempat menuju kediaman gurunya di Hutan Rawa Kotek. Ia kepergok Setan Rawa Bangkai yang menaruh dendam kepada Nini Kalong karena persoalan masa muda mereka. Mengetahui Syair Kusumi adalah murid pertama dari Nini Kalong, maka Setan Rawa Bangkai pun segera menyerangnya.

Syair Kusumi mencoba lakukan perlawanan dengan jurus 'Pedang Gangsing', yaitu kibasan pedang beruntun yang timbulkan dengung yang biasanya bisa bikin darah lawan muncrat dari lubang-lubang di bagian kepalanya. Tetapi kali ini jurus 'Pedang Gangsing' tidak mempan bagi Setan Rawa Bangkai. Justru Syair Kusumi yang dibanting ke sana-sini sampai akhirnya dibenturkan dinding tebing dengan keras dan kepala pun pecah tak berbentuk lagi.

Pertarungan itu dilihat oleh seseorang dari tempat yang tersembunyi. Orang tersebut mengenal Syair Kusumi sebagai murid Nini Kalong. Tetapi orang itu tidak berani bertindak lakukan pembelaan, sebab ia hanya mempunyai ilmu pas-pasan. Karenanya, ia hanya segera larikan diri ke arah Hutan Rawa Kotek yang tak jauh dari tempat pertarungan tersebut.

Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, berambut pendek, ikat kepala berwarna putih, ia mengenakan baju hijau tua yang membungkus badannya yang kurus dan agak pendek, ia tak lain adalah Kadal Ginting, pelayannya Resi Pakar Pantun.

Sebenarnya Kadal Ginting tidak bermaksud memergoki pertarungan tersebut, ia diutus oleh Resi Pakar Pantun untuk mencari Kertapaksi, murid Resi Pakar Pantun, dan mengingatkan agar menghindari bentrokan dengan tokoh yang berjuluk Setan Rawa Bangkai. Sebab sang Resi khawatir jika muridnya yang mudah terpancing kemarahan itu akan berhadapan dengan Setan Rawa Bangkai, dan tentu saja Setan Rawa Bangkai bukan tandingannya Kertapaksi.

Dalam perjalanan mencari Kertapaksi itulah, Kadal Ginting melihat pertarungan Syair Kusumi dengan Setan Rawa Bangkai, sehingga ia sempatkan diri untuk mengabarkan hal itu kepada Nini Kalong.

"Kadal buntung!" geram Nini Kalong. "Apa maksudmu pagi-pagi begini membangunkan tidurku, hah?! Bocah tak tahu sopan! Begitukah ajaran dari tuanmu, si Pakar Pantun?!"

"Sabar, Nini... kumohon simpanlah dulu omelanmu!"

"Tidak bisa! Aku harus ngomel karena kau mengganggu tidurku. Biasanya aku bangun bila matahari sudah di tengah langit, tapi sekarang matahari baru menggeliat tapi aku harus sudah terbangun oleh seruanmu yang urakan itu! Dasar kadal kurang kerjaan!"

"Nini, aku membawa berita penting untukmu. Berita tentang kematian."

"Kematian siapa? Si Pakar Pantun tuanmu itu? Aku tak pedulikan dia lagi, Kadal! dia mau mati atau hidup, atau mau setengah mati setengah hidup, itu urusannya! Dia sudah cukup tua, sudah pasti bisa membedakan mana yang lebih enak; hidup atau mati!"

Kadal Ginting menarik napas menahan kejengkelan. Tapi Nini Kalong segera berkata lagi dengan sisa berangnya. "Kenapa dia mati? Bunuh diri atau keracunan pantun?!"

"Bukan Eyang Resi yang meninggal, Nini!" sergah Kadal Ginting dengan jengkel.

"Lalu, siapa yang meninggal jika bukan dia? Sebab menurutku sudah waktunya dia meninggal, mengapa masih ngotot hidup terus?! Siapa yang mati maksudmu?"

"Muridmu sendiri; si Syair Kusumi!"

"Apaa...?!" Nini Kalong terpekik dengan mata melotot.

Kadal Ginting takut hingga mundur dua langkah.

"Jangan bicara seenak mulutmu yang bau comberan itu, Kadal Ginting! Bisa kurobek mulutmu menjadi delapan lembar kalau kau bicara seenaknya di depanku!"

"Ak... aku... aku tidak... tidak bohong, Nini," Kadal Ginting gugup sekali sambil pegangi mulutnya yang takut dirobek menjadi delapan lembar itu. "Ak... aku melihat sendiri. Melihat dengan mata kepala sendiri, bukan dengan mata kaki! Syair Kusumi kepalanya pecah dibenturkan dinding tebing oleh... oleh..."

"Oleh siapa?!" bentak Nini Kalong dengan berangnya.

"Oleh... Setan... Setan Rawa Bangkai!"

"Keparat! Maksudmu si Marundang yang membunuh muridku itu, hah?!"

Kadal Ginting menganggukkan kepala dengan perasaan takut sambil melangkah mundur karena Nini Kalong maju mendekatinya. Wajah perempuan kurus bermata cekung itu menjadi menyeramkan. Rambutnya yang putih meriap membuat wajahnya tampak semakin angker. Ketika menggeram penuh kemarahan, perempuan tua berusia sekitar sembilan puluh tahun itu mengeluarkan asap dari hidungnya. Asap tipis tersebut adalah lambang kemurkaan darahnya yang menjadi mendidih mendengar kematian murid pertamanya.

"Di mana dia sekarang?"

"Terakhir kali kulihat dia... dia di... di sekitar Tanah Tebing Tebas," jawab Kadal Ginting dengan grogi.

Blaaasss...! Tanpa diduga-duga, Nini Kalong melesat pergi dengan kecepatan tinggi, nyaris menabrak tubuh Kadal Ginting. Untung lelaki bernyali ciut itu segera menghindar ke kiri, jika tidak pasti akan terpental diterjang lompatan Nini Kalong. Sekalipun ia sudah menghindar, tetap saja tubuhnya jatuh terpelanting ke belakang karena hembusan angin kepergian Nini Kalong.

Dalam beberapa kejap saja, Nini Kalong sudah sampai di Tanah Tebing Tebas, ia buktikan dengan mata kepala sendiri salah seorang dari keempat muridnya itu telah tak bernyawa dalam keadaan kepala hancur nyaris tak berbentuk lagi. Darah perempuan tua itu makin mendidih, kulit wajahnya kian memerah.

"Keparat!" geramnya penuh murka. Lalu ia berseru, "Di mana kau, Manusia Bangkaaaiii...!"

Jlegaaar...! Sebuah pukulan tenaga dalam dilepaskan sebagai pelampiasan dari murkanya. Pukulan itu menghantam dinding tebing dan menimbulkan ledakan cukup keras, hingga menggema ke mana-mana bersama reruntuhan batu dinding yang hancur sebagian itu.

Blaaas...! Nini Kalong pergi tinggalkan mayat muridnya demi memburu dendam yang telah dibakar murka, ia menggunakan getaran batin untuk menemukan di mana Setan Rawa Bangkai berada saat itu.

Ternyata pencarian tersebut sampai mendekati tengah hari bolong belum juga berhasil. Nini Kalong tak tahu kalau Setan Rawa Bangkai kala itu sedang berhadapan dengan seorang lawan yang sengaja mencarinya juga. Orang tersebut adalah seorang perempuan cantik berjubah ungu bintik-bintik emas. Kutang dan pakaian penutup bawahnya berwarna kuning emas.

Perempuan cantik itu mengenakan perhiasan lengkap, termasuk mahkota kecil di kepalanya. Kesan wibawa terlihat jelas di wajah yang berkulit putih mulus itu, karena ia adalah penguasa Bukit Esa yang menobatkan diri sebagai pendeta aliran hitam, dikenal dengan nama Nyi Mas Gandrung Arum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Bayangan Ungu).

Nyi Mas Gandrung Arum lakukan lompatan bagai terbang dengan kedua telapak tangan terbuka dan mengarah ke depan. Dari telapak tangan itu keluar sepasang sinar hijau yang masing-masing berukuran sebesar tongkat gembala.

Wuuut, wuuuut...!

Tetapi Setan Rawa Bangkai tetap berdiri di tempatnya. Kedua tangannya juga disentakkan ke depan, dan dari tengah kedua telapak tangan itu melesat sepasang sinar merah terang sebesar lidi. Sinar sebesar lidi itu menghantam sinar hijau di pertengahan jarak.

Clap, claap...!

Jegaaarrr...! Ledakan amat dahsyat menggema bagai ingin memecahkan langit.

Ledakan itu membuat tubuh Nyi Mas Gandrung Arum terpental tanpa keseimbangan tubuh, ia jatuh terbanting di kaki sebatang pohon beringin liar. Brrrus...!

Sedangkan Setan Rawa Bangkai hanya terdorong mundur tiga tindak. Hampir saja jatuh kalau tak buru-buru berpegangan pada batang pohon yang kemudian pohon itu roboh ke arah berlawanan. Brrruk...! Tiga pohon lainnya tumbang pula akibat getaran gelombang ledak yang sangat kuat tadi. Bahkan di tempat lain ada empat pohon yang ikut tumbang tak tentu arah, ada pula yang patah dipertengahan batangnya.

Nyi Mas Gandrung Arum segera bangkit berdiri karena khawatir diserang lawannya dalam keadaan belum siap kembali. Dengan berdiri tegak Nyi Mas Gandrung Arum menghirup udara panjang-panjang, menyalurkan hawa murni pada bagian dalam tubuhnya yang terasa sakit. Sedangkan Setan Rawa Bangkai segera berkelebat mendekati Nyi Mas Gandrung Arum. Kini keduanya saling berhadapan kembali dalam jarak kurang dari tujuh langkah. Mata mereka saling pandang dengan tajam, penuh pancaran hasrat membunuh.

"Sia-sia saja kau melawanku, Gandrung Arum! Kau akan kehilangan nyawa jika masih nekat ingin membalas dendam padaku!" geram Setan Rawa Bangkai.

"Aku tak akan pergi dalam keadaan bernyawa jika tak bisa membalaskan kematian dua puluh tiga anak buahku yang kau bunuh dengan keji dua hari yang lalu itu! Lebih baik aku kehilangan nyawa daripada pulang ke Bukit Esa tanpa menenteng kepalamu, Setan Busuk!" ucap Nyi Mas Gandrung Arum dengan penuh kebencian.

"Mereka layak mati, karena telah lancang, berani melarangku melewati batas wilayah kekuasaanmu. Mereka belum tahu siapa si Marundang ini! Jadi mereka perlu mendapat pelajaran ala kadarnya, Gandrung Arum!"

"Kau memang keparat, Marundang! Seenaknya saja bicara dan bertindak, maka aku pun akan memperlakukan hal yang sama terhadap dirimu, Marundang!"

Blluuk..! Tiba-tiba Nyi Mas Gandrung Arum memukul dadanya sendiri. Jurus 'Tapak Ungu' dipergunakan, membuat kulit mulusnya membekas telapak tangan warna kebiru-biruan. Biasanya jurus 'Tapak Ungu' akan membekas didada lawan walau Nyi Mas Gandrung Arum memukul dadanya sendiri. Dan jurus itu mempunyai racun yang amat berbahaya, sukar disembuhkan jika bukan dengan air Sendang Ketuban.

Tetapi agaknya kali ini lawan Nyi Mas Gandrung Arum orang yang cukup paham dengan jurus 'Tapak Ungu' tersebut. Maka ketika Nyi Mas Gandrung Arum memukul dadanya sendiri, Setan Rawa Bangkai segera menempelkan telapak tangan ke dadanya sendiri. Tangan itu menyala biru, lalu berubah menjadi hijau. Secepatnya tangan itu disentakkan ke depan, dan sinar hijau yang menyala di telapak tangan Setan Rawa Bangkai melesat bagai terbuang. Weeess...! Sasaran sinar hijau itu adalah dada Nyi Mas Gandrung Arum.

Wuuuut, weees...!

Nyi Mas Gandrung Arum tahu bahwa pukulan 'Tapak Ungu'-nya sedang dikembalikan oleh lawan. Maka ia segera melenting ke atas, bersalto satu kali dan sinar hijau itu lolos dari tubuhnya, menghantam sebatang pohon yang segera kering dan menjadi keropos. Jleeg...! Nyi Mas Gandrung Arum mendaratkan kakinya ke tanah. Tapi sebelum ia melepaskan pukulan berbahaya lagi, tiba-tiba tubuhnya terlempar ke samping dan berputar-putar di udara bagaikan baling-baling.

Wut, wut, wut, wut, wut, wut...!

Weeeerr...! Brrrruk, praaak...!

Nyi Mas Gandrung Arum dilemparkan dengan kekuatan ilmu 'Sukma Sakti' hingga kepalanya membentur batang pohon dengan kuatnya. Batang pohon itu sempat hancur sebagian bagai ditumbuk oleh gada besi. Jika batang itu saja sampai hancur sebagian, tentunya kepala Nyi Mas Gandrung Arum pun menjadi ikut hancur.

Tapi karena pengaruh lapisan tenaga dalam yang menyelimuti sekujur tubuhnya, maka Nyi Mas Gandrung Arum hanya mengalami luka kecil pada pelipisnya. Hanya saja, pandangan mata menjadi berkunang-kunang dan sekujur tulangnya seperti remuk setelah tubuhnya jatuh terkulai di tanah.

Setan Rawa Bangkai masih tetap diam di tempat. Tiba-tiba kedua tangannya diangkat dan kesepuluh kukunya yang runcing itu menyala merah bagaikan bara. Kuku yang menyala merah itu memancarkan kilatan cahaya seperti lidah petir yang berkerliap dari kuku yang satu ke kuku yang lain. Kemudian lidah petir itu menjadi panjang bagaikan sepuluh cambuk membara. Setan Rawa Bangkai mengibaskan tangannya dengan gerakan mencakar, maka lidah-lidah petir itu berkelebat bagaikan mencambuk tubuh Nyi Mas Gandrung Arum.

Cralaaap...! Blegaarrr...!

Tubuh Nyi Mas Gandrung Arum disambar seseorang, sehingga lidah-lidah petir itu mengenai tempat kosong. Akibatnya tanah di tempat itu menjadi retak panjang dan sebagian sisi bongkahan tanah itu longsor masuk ke dalam bumi. Sedangkan pohon-pohon di sekitar tanah yang terbelah itu menjadi tumbang tak karuan bagai dilanda kiamat kecil. Itulah kedahsyatan jurus 'Cakar Belah Jagat' yang menjadi jurus andalan nomor dua bagi Setan Rawa Bangkai.

Sosok bayangan hitam yang menyambar tubuh Nyi Mas Gandrung Arum itu ternyata adalah sosok tua berambut putih, yang tak lain adalah Nini Kalong. Melihat kehadiran Nini Kalong yang baru saja letakkan tubuh Nyi Mas Gandrung Arum di tempat yang aman, Setan Rawa Bangkai menjadi menggeram diliputi cahaya murka dari sorot sepasang mata cekungnya itu.

"Gggrrrmmm...!" geramnya dengan sangar. "Kau muncul juga akhirnya, Nini Kalong!"

"Aku datang bukan sekadar untuk selamatkan si Gandrung Arum, tapi untuk membalas kematian muridku; Syair Kusumi!" seru Nini Kalong yang bisa sampai di tempat itu karena suara ledakan dahsyat tadi.

"Sebenarnya kau adalah orang terakhir yang ingin kuhancurkan, Nini Kalong. Tapi karena kau muncul lebih dulu dari yang lain, maka aku terpaksa mengakhiri hidupmu sekarang juga!"

"Gandrung Arum boleh kau anggap ringan, tapi Nini Kalong jangan kau samakan dengan Gandrung Arum, Marundang! Jangan anggap aku tak bisa menandingi kesaktianmu. Terimalah jurus pertamaku ini! Heeeaaah...!"

Jurus 'Tolak Tujuh' dilepaskan oleh Nini Kalong. Sinar hijau sebesar jeruk nipis keluar dari tangannya, melesat cepat hendak menghantam kepala Setan Rawa Bangkai.

Claaap...! Weeess...!

Namun Setan Rawa Bangkai hanya diam saja, sunggingkan senyum sinis yang benar-benar tak sedap dipandang mata. Sinar hijau yang melesat ke arahnya itu segera ditangkap dengan tangannya. Sinar itu segera dilemparkan kembali ke arah Nini Kalong.

Wuuuut...! Blegaaarr...!

Nini Kalong loncat ke atas dan melambung di udara beberapa saat. Sinar hijau yang dikembalikan itu menghantam tanah di belakangnya. Tanah itu menjadi hancur dan berlubang cukup besar, asap mengepul bagai keluar dari dalam tanah yang telah menjadi hangus itu. Ketika tubuh Nini Kalong hendak mendarat ke bumi, tiba-tiba ia merasa mendapat pukulan di ulu hatinya dengan sangat keras. Beeehg...! Maka tubuhnya pun terdorong ke belakang dengan suara pekik tertahan menyertainya,

"Heeegh...?!" mata Nini Kalong mendelik dengan mulut ternganga. Mulutnya itu mulai mengepulkan asap tipis bagai ada sesuatu yang terbakar di dalam tubuhnya.

Setan Rawa Bangkai sejak tadi hanya diam saja, ia menghantam ulu hati lawannya dengan menggunakan kekuatan batin dari ilmu 'Sukma Sakti'-nya itu. Tentu saja Nini Kalong tak bisa menghindar atau menangkis karena tak dapat melihat datangnya pukulan tersebut. Wajah Nini Kalong mulai membiru agak kemerah-merahan, sepertinya sekujur kepala itu menjadi bisul yang amat menyakitkan. Sekalipun demikian, Nini Kalong masih memaksakan diri untuk bangkit dan lakukan penyerangan kembali.

Sedangkan Setan Rawa Bangkai mulai mengangkat tangannya yang berjari keras membentuk cakar. Kilatan cahaya merah berkerilap dari kuku-kuku hitamnya. Begitu tangan dikibaskan bagai mencakar udara kosong di depannya, sinar merah yang menyerupai lidah petir itu berkerilap menyambar tubuh Nini Kalong. Jurus 'Cakar Belah Jagat' digunakan lagi untuk hancurkan tubuh Nini Kalong.

Dalam keadaan sempoyongan sambil menahan rasa sakit, Nini Kalong tak mampu hindari lima sinar merah itu. Tetapi tiba-tiba sekelebat sinar biru besar memotong jalannya lima sinar merah tersebut. Akibatnya kelima sinar merah yang mirip cambuk lidah petir itu menghantam sinar biru besar tersebut.

Blegaaarrr...! Gleeerrr...!

Tanah berguncang walau tak sempat retak terbelah seperti tadi. Pepohonan ikut bergetar dan sebagian dahan ada yang patah akibat gelombang ledakan yang menghentak kuat itu. Setan Rawa Bangkai sendiri terpental ke belakang dan jatuh berguling satu kali, lalu cepat sentakkan tangan ke bumi dan tubuhnya melambung ke atas dengan ringannya.

Wuuuus...! Jleeeeg...!

Ketika ia menapakkan kakinya ke tanah, wajahnya tampak terkejut karena ternyata di tempat itu sudah hadir tokoh lain. Seorang anak muda berpakalan coklat-putih, menyilangkan bumbung tuak di punggungnya, ia berdiri membelakangi Nini Kalong yang terpental akibat ledakan tadi dan sekarang sedang mengerang menahan sakit dalam keadaan terkapar.

"Siapa kau...?!" hardik Setan Rawa Bangkai.

"Aku adalah orang yang akan menjadi tandinganmu, Setan Rawa Bangkai!"

"Sebutkan namamu!" bentak Setan Rawa Bangkai.

Bukan pemuda itu yang menjawab, tetapi seseorang yang muncul dari balik semak di samping kanan Marundang. "Dia bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"

Dengan gerakan cepat kepala Setan Rawa Bangkai berpaling memandang orang yang menjawab itu. Ternyata di sana telah berdiri tokoh berpakaian serba putih yang tak lain adalah Setan Merakyat. Di belakang Setan Merakyat tampak Ki Tumbang Laga berdiri dengan tenang dan berlagak acuh tak acuh.

"Murdawira..., ternyata kau pun tak sabar menunggu kematianmu tiba!" ucap Setan Rawa Bangkai.

Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari samping lain, "Justru kau yang tak sabar menunggu kematianmu tiba, Marundang!"

Kepala berambut panjang warna abu-abu itu berpaling cepat ke arah lain. Ternyata di sana sudah berdiri dua tokoh tua lainnya: Resi Pakar Pantun dan si Tua Bangka. Rupanya bunyi ledakan menggelegar yang pertama tadi dijadikan tanda bagi mereka untuk mencari tahu di mana Setan Rawa Bangkai berada. Bahkan kali ini segumpal asap pun muncul di depan Setan Rawa Bangkai.

Buuusss...! Ketika asap itu hilang, tampaklah sesosok tubuh gemuk berkepala gundul, mengenakan pakalan biksu warna kuning dan berkalung tasbih putih sepanjang perut. Kemunculan tokoh itu membuat Setan Rawa Bangkai menggeram dengan memancarkan pandangan tajam.

"Ggrrmm...! Kau pun hadir juga, Badranaya?!"

Setelah melirik Nyi Mas Gandrung Arum yang terkapar menahan luka itu, Resi Badranaya pun berkata kepada Marundang, "Kau telah melukai kakakku, Marundang! Kau harus menerima pembalasan dariku!"

"Tidak! Bukan kau lawan yang pantas untuknya, tapi dia... Pendekar Mabuk. Itulah lawan yang imbang baginya, Badranaya!" sahut Setan Merakyat dengan nada tegas.

Resi Badranaya menjadi ragu, sebab ia menaruh hormat kepada Setan Merakyat. Tetapi bagi Marundang, keadaan itu justru semakin memancing murkanya, ia menggeram dengan pandangi mereka satu persatu.

"Siapa pun kalian yang ingin mati lebih dulu silakan maju!" ujarnya menantang.

Pendekar Mabuk segera berkelebat menerjang tanpa banyak bicara lagi. Zlaaap...! Brrus...! Tubuhnya menabrak Setan Rawa Bangkai, tapi justru ia sendiri yang terpental mundur dan jatuh terjungkal ke belakang. Setan Rawa Bangkai tetap berdiri tegak dengan menarik kedua tangan yang tadi digunakan menghadang terjangan Pendekar Mabuk.

"Cepat bangkit, Suto!" seru Ki Tumbang Laga memberi semangat.

Wuuuut...! Suto Sinting sentakkan badan dan tubuhnya melambung ke atas, lalu berdiri tegak menapakkan kakinya di tanah. Setan Rawa Bangkai pergunakan jurus 'Sukma Sakti'-nya untuk melemparkan Suto Sinting ke arah samping. Wuuut...! Tubuh anak muda itu terlempar dengan ringannya dan pundaknya membentur batang pohon dengan keras. Buuuhg...!

"Auh...!" pekiknya pendek.

"Ayo, hajar dia, Suto!" seru Ki Tumbang Laga dengan gemas. "Percuma lima hari aku dan Kakang Murdawira menjagamu selama menjadi patung kristal ungu kalau akhirnya kau akan tumbang juga, Suto!"

Pendekar Mabuk bangkit kembali. Saat itu Setan Rawa Bangkai menghantam dada Suto Sinting dengan keadaan tetap diam tak bergerak. Batinnya memukul keras pemuda tampan itu menggunakan ilmu 'Sukma Sakti'-nya. Tetapi Suto Sinting cepat-cepat pergunakan jurus 'Pranasukma' untuk menahan gelombang naluri yang menghantamnya.

Zeeebb...! Pukulan keras itu tertahan di pertengahan jarak. Setan Rawa Bangkai terperanjat karena merasakan pukulan batinnya ditahan oleh suatu kekuatan yang sukar dikalahkan. Beehg...! Setan Rawa Bangkai terjengkang ke belakang sendiri. Pukulan batinnya bagaikan membalik arah mengenai dirinya. Suto Sinting berdiri tak bergerak memandangi lawannya.

Tiba-tiba lawannya terlempar ke atas dan membentur dahan pohon besar. Brruk...! Krrrak...! Dahan itu patah akibat benturan keras kepala Setan Rawa Bangkai.

Wuuut...! Brrrak...! Wuuuss...! Prraak...!

Setan Rawa Bangkai dilempar-lemparkan oleh kekuatan 'Pranasukma'-nya Suto Sinting. Tubuh kurus kering itu dibanting-banting lebih dari sepuluh kali, hingga tulang-tulangnya menjadi patah. Walau memekik berkali-kali, tapi Suto Sinting tetap membanting-banting tubuh itu dengan jurus 'Pranasukma'-nya.

"Aaahgg...!" Setan Rawa Bangkai memekik panjang ketika tubuhnya melayang ke arah Suto Sinting. Tangan Suto berkelebat menyambar bumbung tuak, dan bumbung tuak itu segera dihantamkan ke tubuh yang melayang itu.

Wuuut, praak! Duaaar...!

Hantaman bumbung tuak itu timbulkan ledakan cukup keras. Ternyata ledakan itulah yang mengakhiri riwayat hidup Setan Rawa Bangkai. Tubuh kurus itu terkulai di tanah dalam keadaan seluruh tulangnya patah, dan tentu saja nyawanya pun melayang bersama kepulan asap pada pinggangnya yang terhantam bumbung tuaktersebut. Beberapa tokoh tua menampakkan kelegaannya, sebagian ada yang bertepuk tangan pelan sebagai tanda pujian bagi sang Pendekar Mabuk.

"Kuhitung sudah tujuh belas kali kau menggunakan jurus 'Pranasukma' tadi. Ingat-ingatlah sisanya, jangan sampai kau kehabisan kekuatan 'Pranasukma' itu, Suto," ujar Setan Merakyat sambil menepuk-nepuk pundak Suto Sinting.

"Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya Bapa Guru bisa lakukan sendiri perlawanan seperti tadi, karena Bapa Guru memiliki ilmu 'Pranasukma'. Tapi mengapa justru Bapa Guru turunkan kepada saya ilmu itu, sehingga sayalah yang melawan kekuatan si Setan Rawa Bangkai itu?"

"Kalau ilmu itu tak segera kuturunkan, maka aku akan mengalami susah mati. Padahal aku sudah jenuh hidup dan ingin segera mencapai alam keabadian. Kupilih waktu yang tepat untuk turunkan ilmu itu padamu, dan saat sekarang inilah saat yang tepat karena ada alasan bagimu untuk mencoba kedahsyatan ilmu 'Pranasukma' itu."

Resi Pakar Pantun sibuk menolong Nini Kalong, karena perempuan tua itu memang bekas kekasihnya. Resi Badranaya sibuk menolong Nyi Mas Gandrung Arum yang sebenarnya adalah kakaknya sendiri. Tapi semua pertolongan mereka sia-sia. Hanya tuak Suto yang bisa sembuhkan segala luka pada tubuh kedua perempuan itu.

Selesai sembuhkan mereka, Suto Sinting segera dibawa menghadap Gila Tuak bersama-sama para tokoh tua itu. Kebetulan hari itu adalah hari yang sudah disepakati oleh para tokoh tua aliran putih untuk mengadakan pertemuan yang kedua di Bukit Sekal, dalam rangka membahas masalah kemunculan Setan Rawa Bangkai.

Satu- satunya orang yang tak mau ikut ke Bukit Sekal adalah Nyi Mas Gandrung Arum, karena ia merasa bukan tokoh aliran putih, tapi karena bujukan Suto Sinting, akhirnya perempuan cantik dan berdada montok itu akhirnya pergi juga ke Bukit Sekal, untuk selanjutnya ia masuk ke dalam golongan putih.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.