Gerbang Siluman

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Gerbang Siluman Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Gerbang Siluman
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

LEMBAH tandus tanpa tanaman sebatang pun itu diselimuti oleh kabut yang membayang. Kabut tipis bergerak berarak-arak dengan lamban. Wilayah yang dilapisi kabut itu cukup luas dan tinggi. Sepasang bukit kembar tampak membayang jauh di belakang wilayah berkabut itu. Dengan lain perkataan, lembah tandus itu adalah lembah yang sepi, kosong, tanpa makhluk yang menghuninya. Bahkan Pendekar Mabuk cenderung mengatakan lembah itu sebagai padang kabut berhawa sejuk.

Tapi anehnya Sang Tiara mengatakan, "Kita sudah sampai di depan Gerbang Siluman. Berjalanlah lebih dulu karena kau yang punya kepentingan temui Eyang Putri Batari!"

Pemuda tampan berperawakan tinggi, gagah, dan kekar itu memandangi gadis berpakaian serba merah yang bernama Sang Tiara itu. Tentu saja pandangan mata si murid sinting Gila Tuak terhadap gadis itu bukan pandangan nakal atau berbau mesum, melainkan bernada penuh keheranan terhadap ucapan si gadis tersebut.

Pendekar Mabuk yang akrab pula dipanggil dengan nama Suto Sinting itu mengakui bahwa ia memang punya keperluan dengan Eyang Putri Batari sehubungan dengan obat yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit sang Guru; si Gila Tuak. Obat itu adalah 'Tuak Dewata', sesuai dengan perkataan roh sejati si Gila Tuak yang bicara tentang 'Tuak Dewata' sebagai penyembuh sakitnya nanti.

Pendekar Mabuk juga membenarkan Sang Tiara tentang keperluan menemui Eyang Putri Batari adalah keperluan pribadinya atas saran Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu. Menurut sang Ratu, kemungkinan besar Eyang Putri Betari yang sebagai ibunya sang Ratu itu mengetahui tentang 'Tuak Dewata', sehingga ada baiknya jika Suto Sinting mencoba menanyakan hal itu kepada Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman.

Untuk menunjukkan kesungguhannya, Pendekar Mabuk yang sebagai panglima atau Manggala Yudha Kinasihnya Ratu Kartika Wangi itu diperintahkan untuk melawan raja jin yang bernama Raja Barong. Raja Barong ingin membebaskan para siluman yang ditawan di Gerbang Siluman atas bujukan Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa, musuh utama sang Pendekar Mabuk. Dan ternyata dalam usahanya menggagalkan penyerangan Raja Barong, Pendekar Mabuk bukan hanya berhasil menundukkan saja, namun juga berhasil membunuh si raja para jin itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Tuak Dewata).

Sang Tiara yang ditunjuk oleh Ratu Kartika Wangi untuk menjadi pemandu Suto dalam perjalanan ke Gerbang Siluman, ternyata telah keluarkan ucapan yang janggal di hati Suto. Dari semua perkataan Sang Tiara tadi, hanya satu hal yang membuat Suto Sinting merasa janggal serta heran.

"Kita sudah tiba di depan Gerbang Siluman?!" Pendekar Mabuk mempertegas ucapan itu dengan nada tak percaya.

"Di depan kita itulah Gerbang Siluman," ujar Sang Tiara sambil memandang daerah yang dinamakan oleh Suto sebagai padang kabut.

"Candamu lucu juga, Tiara. Padang kabut kau katakan Gerbang Siluman. He, he, he...! Aku merasa seperti orang buta mendadak jika kau bilang begitu."

"Rupanya kau belum diberi tahu oleh Gusti Kartika Wangi."

"Diberi tahu tentang apa?!"

"Cara memandang Gerbang Siluman."

Suto membetulkan letak bumbung tuak yang digantungkan di pundak kanannya. "Caranya bagaimana, maksudmu?"

"Tarik napas dalam-dalam, tahan di dada, pejamkan mata sebentar, lalu buka mata bersama hembusan napas memanjang," Sang Tiara menjelaskan, dan Pendekar Mabuk semakin memandang aneh, karena merasa baru kali itu mendengar aturan tersebut.

Tetapi rasa penasaran Suto membuatnya ingin mencoba apa yang diajarkan Sang Tiara itu. Ia menarik napas panjang, ditahan di rongga dada, matanya dipejamkan sebentar, kemudian mata dibuka lagi bersama napas dihembuskan lewat mulut. "Huuuufh...!"

Deg! Suto Sinting kaget. Matanya kian melebar. Pandangannya tertuju ke arah depan, tempat yang dikatakan sebagai ladang kabut itu ternyata berubah dalam sekejap. Kabut memang masih ada, tapi kabut itu kini membungkus bangunan bertembok tinggi bagaikan benteng batu yang kekar dan besar. Tapi anehnya lagi, bangunan itu tidak mempunyai pintu. Temboknya rata bagai tak berlubang seujung jarum pun. Hanya saja, tepat di depan Suto Sinting dan Sang Tiara itu terdapat sebuah gapura dari batu hitam bersusun-susun sedemikian rupa membentuk tiang gawang, seperti gapura-gapura model Jepang.

Letak gapura batu itu dengan dinding tinggi-hitam sekitar dua puluh tombak. Jadi masih jauh dari dinding tersebut. Seolah-olah gapura batu hitam itu hanya sebagai tanda bahwa seseorang yang berada di depan gapura tersebut sama saja sudah berada di wilayah Gerbang Siluman.

"Aneh...," Suto Sinting menggumam dengan mata memandang bangunan di depannya, dahi berkerut dan mulut masih sedikit ternganga. Sementara itu, Sang Tiara masih belum mau melangkah mendahului Suto. Ia hanya berdiri di samping Suto, menyelipkan kedua jempol tangannya ke dalam sabuk dan sikap berdirinya tampak tegar, penuh keberanian, namun juga berkesan cuek dengan kebingungan Suto Sinting.

"Benarkah bangunan batu hitam itu adalah Gerbang Siluman?" tanya Suto Sinting masih kurang yakin dengan penglihatannya sendiri. Maklum, kali ini ia berada di alam gaib, bukan di alam nyata, jadi cukup banyak keanehan-keanehan yang sering membuatnya tercengang atau bingung sendiri.

Sang Tiara menanggapi kesangsian Suto tadi dengan dagu sedikit diangkat, sehingga kecantikannya tampak mengandung kadar keangkuhan, walau hanya sekilas dua kilas. "Kau pikir yang di depan kita itu kandang kebo?"

Suto tersenyum geli-geli malu.

"Masuklah, aku tak berani mendahuluimu masuk ke Gerbang Siluman," tambah Sang Tiara yang berambut cepak dan kepalanya dililit logam emas berukuran kecil.

"Apakah... apakah kita berada di bagian belakang Gerbang Siluman?" tanya Suto sambil melayangkan pandangannya ke tembok batu besar itu.

"Tidak. Kita berada di depan Gerbang Siluman. Kita tinggal masuk saja."

"Mana pintunya? Aku tidak melihat ada pintu pada tembok batu yang mirip benteng raksasa itu."

"Namanya saja Gerbang Siluman, tentu saja pintunya juga pintu siluman yang tak mudah dilihat oleh sembarang mata," ujar Sang Tiara sambil membetulkan letak pedangnya di punggung.

"Jadi, bagaimana caranya masuk ke Gerbang Siluman dan menemui Eyang Putri Batari?!"

"Usaplah wajahmu tiga kali dengan tangan kiri, maka kau akan melihat pintu masuk ke bangunan tersebut!"

Walau hati merasa heran, tapi Pendekar Mabuk mencoba saran Sang Tiara, ia mengusap wajahnya tiga kali memakai tangan kiri. Dan begitu selesai mengusap wajah tiga kali, matanya segera menemukan pintu masuk ke bangunan besar itu.

"Oh, benar apa katamu, Tiara," gumam Suto Sinting.

Pintu tersebut berbentuk lengkung bagian atasnya. Daun pintunya terbuat dari lempengan batu besar yang tidak sembarang orang mampu menggeser atau membuka pintu tersebut. Di depan pintu ada jembatan kayu, karena bangunan itu bagai berada di tengah danau tak berair, namun berkabut tebal. Langkah Pendekar Mabuk tampak tegap. Tetapi langkah itu segera terhenti karena Sang Tiara mencekal lengan pemuda tampan berambut panjang lurus sepundak itu.

"Ada apa lagi?" tanya Suto sambil memandang Sang Tiara.

"Lewatlah tengah gapura ini!"

"Apa bedanya jika kita melangkah melalui samping gapura, toh tidak ada pagar dan batasan lainnya?"

"Kau tidak akan sampai ke pintu gerbang itu jika tidak melalui jalan tengah gapura ini, Suto! Siapa pun yang tidak melalui jalan gapura akan tersesat dan tak akan dapat temukan jalan keluarnya. Kau akan hilang lenyap tak berbekas!"

Pendekar Mabuk menggumam dan manggut-manggut. "Gadis ini benar-benar menjadi pemandu yang baik," pikirnya, "Ia bukan saja menunjukkan jalan yang benar, tapi juga menjelaskan akibat-akibatnya. Tak salah Ibu Ratu membekaliku pemandu secantik Tiara ini."

Tanpa panduan dari Sang Tiara, mungkin Suto akan sampai di tempat lain dan menemukan masalah yang lebih banyak lagi. Sang Tiara bukan saja sebagai pemandu, namun juga termasuk sebagai kunci masuk ke Gerbang Siluman. Karena dua penjaga Gerbang Siluman yang terdiri dari dua pemuda tampan berpakaian serba putih dan masing-masing memegang tombak berujung trisula itu, tak jadi banyak tanya kepada Suto begitu melihat Sang Tiara ada bersama Pendekar Mabuk. Sebab wajah dan nama Sang Tiara sudah bukan asing lagi bagi para penjaga Gerbang Siluman.

Bahkan tegur sapa mereka menampakkan sikap persahabatan yang tinggi antara orang-orang Gerbang Siluman dengan pihak Puri Gerbang Surgawi. Namun biar bagaimanapun juga, Sang Tiara dan Pendekar Mabuk tetap harus mengisi buku tamu, dan masing-masing mendapat lempengan logam merah tembaga berbentuk segi tiga. Logam merah tembaga yang ketiga sisinya berukuran setengah kelingking itu disematkan di dada kiri sebagai lencana pengganti kartu nama.

"Lencana ini dapat dipakai untuk bicara dengan Eyang Putri Batari," ujar Sang Tiara kepada Suto Sinting.

"O, ya? Caranya bagaimana?"

"Tempelkan tangan kanan kita menutup segi tiga ini, lalu bicaralah apa saja kepada Eyang Putri maka kau akan mendengar jawabannya."

Hati pemuda tampan berbaju tanpa lengan warna coklat serta celana putih lusuh itu mulai digelitik rasa penasaran. Maka ia pun mencoba apa kata Sang Tiara itu. Ia menempelkan telapak tangan kanannya sambil memandang ke arah kedua penjaga yang tetap memberikan senyum keramahan.

"Hallo, di sini Suto Sinting, di situ siapa? Ganti."

Tiba-tiba telinga Suto bagaikan menangkap suara orang yang bicara dalam jarak satu langkah dari sampingnya.

"Manggala Yudha utusan putriku, cepat temui aku dan jangan bercanda dulu."

"Tiara... aku mendengar suara merdu seorang perempuan," ucap Suto dalam bisikan.

"Itulah suara Eyang Putri!" Sang Tiara balas berbisik dengan nada sedikit tegang. "Kau jangan ngomong sembarangan lho!"

Suto pun menjadi takut, ia segera berkata sambil tetap memegang lencana merah tembaga itu. "Maaf, Eyang... saya tidak tahu kalau tanda tamu ini benar-benar bisa dipakai bicara kepada Eyang Putri."

"Masuklah dan segera temui aku, Manggala perkasa!"

"Eh, Tiara... sekarang julukanku di sini diganti. Bukan Manggala Yudha tapi Manggala Perkasa."

"Perkasa itu kata sanjungan, Tolol!" Sang Tiara mengulum senyum geli.

Di dalam tembok hitam yang tinggi dan panjang itu, ternyata terdapat sebuah istana kecil dengan bangunan-bangunan beratap candi. Keadaan di dalam Gerbang Siluman sangat berbeda dengan di luar. Di situ tanah tampak subur dan tanaman jenis rumput serta pepohonan tumbuh menghijau tertata rapi. Rumput menghampar bagaikan bentangan permadani yang amat luas.

Ternyata di situ pun ada petugas khusus penyambut tamu. Dua petugas itu terdiri dari dua gadis berambut panjang dan hanya mengenakan pinjung penutup dada serta kain pembungkus pinggul yang meliuk indah. Para petugas itu membawa gulungan kain seperti angkin warna merah. Gulungan kain itu dibentangkan, ternyata gulungan itu bergerak sendiri dari tempat Suto berdiri sampai ke ruang pertemuan di dalam istana kecil itu. Pendekar Mabuk dipersilakan melangkah mengikuti jalur merah itu, sementara Sang Tiara mengikutinya dari belakang.

Pendekar Mabuk sangat terkejut ketika mengetahui bahwa ternyata Eyang Putri Batari bukan sosok perempuan tua bungkuk dan berkulit keriput serta berpipi kempot. Eyang Putri Batari mempunyai wajah cantik, muda, seperti berusia dua puluh lima tahun. Bahkan sangat tak pantas jika dikatakan sebagai ibu dari Ratu Kartika Wangi. Karena kecantikan Ratu Kartika Wangi itu sendiri seperti berusia dua puluh delapan tahun, padahal usia sebenarnya lebih dari delapan puluh dua tahun.

Pendekar Mabuk nyaris tak mau percaya bahwa perempuan muda dan cantik itu adalah nenek dari Dyah Sariningrum, calon istrinya kelak. Jika Suto Sinting sudah menikah dengan Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam nyata yang berkedudukan di Pulau Serindu itu, maka berarti perempuan cantik yang kini ada di depannya itu adalah neneknya pula. Janggal dan lucu sekali kedengarannya jika Suto memanggilnya nenek atau eyang.

Tetapi agaknya Eyang Putri Batari dapat membaca pikiran Suto Sinting, sehingga dengan sunggingkan senyum manis yang anggun, perempuan berambut putih rata bagaikan bulu kelinci itu berkata dengan mata indahnya yang bundar memandang tak berkedip ke wajah Suto Sinting.

"Seharusnya kau merasa beruntung bertemu denganku dalam keadaan seperti ini, Suto. Kalau kau bertemu denganku dalam keadaan sesuai dengan usiaku yang melebihi usia Gila Tuak, maka kau akan lari terbirit-birit dan merasa jijik melihat tulangku terbungkus kulit yang keriput."

"Maaf, Eyang Putri...," Suto jadi malu sendiri dan untuk sesaat tak berani memandang Eyang Putri Batari.

Perempuan yang menurut Suto wajahnya lebih mirip Betari Ayu, kakak Dyah Sariningrum yang kini mengasingkan diri di Gunung Kundalini itu, mempunyai bentuk dada yang sangat bagus. Tidak terlalu montok, namun penuh daya pikat tersendiri. Padat dan berisi. Kulitnya yang putih mulus itu dibungkus dengan jubah sutera warna hijau muda bertabur butiran intan. Rambut putihnya dibiarkan lepas tergerai sepanjang punggung, tapi bagian atasnya bersanggul kecil dengan sanggul dililiti logam emas berbatuan mirah delima.

Perempuan itu mempunyai mata bundar berbulu lentik yang jika beradu pandang menghadirkan hawa sejuk di hati, membuat jiwa yang resah menjadi tenteram dan membuat hati selalu merasa damai. Anehnya, sekalipun seluruh kecantikan dan keelokan tubuhnya sempat membayang di benak Suto, tetapi sedikit pun tak ada debar-debar kemesraan yang tumbuh di hati Pendekar Mabuk. Pemuda yang biasanya sering berkhayal ngeres itu kali ini hanya merasa sangat kagum terhadap kecantikan dan keelokan tubuh Eyang Putri Batari, tak ada hasrat untuk menciumnya. Bahkan khayalan untuk menggenggam tangan perempuan itu sama sekali tidak ada di benak Suto.

Tetapi agaknya sang nenek cantik itu merasa kagum dengan ketampanan Suto yang berpenampilan sederhana, ia sempat berkata di depan dua pengawalnya dan di depan Sang Tiara juga. "Pemuda segagah dirimu sangat serasi bila perjodohan dengan cucuku; Dyah Sariningrum. Tak kusangka aku akan mendapatkan seorang cucu menantu yang begitu tampan, kekar, dan perkasa. Ilmunya gila-gilaan, tak ada duanya di permukaan bumi maupun di alam gaib ini."

Pendekar Mabuk hanya tertunduk dengan tersipu malu.

"Ketangkasanmu dalam bertarung melawan Raja Barong, kulihat dari sini dengan jelas melalui mata batinku. Kukenali gerakan jurus-jurusmu sebagai gerakan jurus-jurus milik seseorang yang sangat dekat dengan hatiku."

Sebenarnya Suto ingin ajukan tanya tentang siapa orang yang sangat dekat dengan hati Eyang Putri Batari itu. Tetapi ia tak punya keberanian memotong pembicaraan perempuan cantik yang anggun dan tampak sangat berkharisma itu. Maka, Suto pun hanya bungkamkan mulut dalam keadaan tetap duduk bersila di depan Eyang Putri Batari.

"Hanya saja, sangat disayangkan sekarang darahmu telah tercemar oleh darah siluman tulen."

Kata-kata ini membuat Pendekar Mabuk menjadi deg-degan dan segera teringat tentang ilmu 'Dewatakara' pemberian Payung Serambi, sang prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Geger Selat Bantai). Suto tidak tahu bahwa masuknya ilmu 'Dewatakara' dalam dirinya membuat ia menjadi berdarah siluman dan hanya bisa kawin dengan rakyat Laut Kidul.

Eyang Putri Batari berkata lagi, "Tetapi aku maklum, keterbatasan manusia kadang tak bisa disalahkan begitu saja. Barangkali memang sudah menjadi takdir bahwa kau menjadi pemuda berdarah siluman."

"Maaf, Eyang Putri....," kini Suto berani menyela kata karena Eyang Putri Batari diam beberapa saat lamanya. "Apakah selamanya saya akan menjadi manusia berdarah siluman?"

Dengan senyum wibawa yang memancarkan kecantikan lebih tinggi lagi itu, Eyang Putri Batari geleng-gelengkan kepala sangat pelan. "Semua ini adalah perjalanan hidupmu, Suto Sinting. Perjalanan hidup yang sudah digariskan harus begitu tak bisa dihindari oleh siapa pun. Seseorang yang berusaha menghindari garis hidupnya maka ia akan menemukan penderitaan, sakit, dan kecewa. Tetapi orang pandai akan mengikuti alur kehidupannya sesuai dengan garis, sehingga tidak terasakan sakit, kecewa, dan duka."

"Jadi... saya masih punya harapan untuk tetap berjodohan dengan Dyah Sariningrum, Eyang?!"

"Lihat saja nanti. Tergantung bagaimana keadaan gurumu; si Gila Tuak itu."

Pendekar Mabuk termenung sebentar. Hatinya membatin, "Sepertinya Kakek Guru punya peranan penting dalam memulihkan keadaanku yang berdarah siluman ini. Tetapi bagaimana mungkin Kakek Guru itu bisa menyempurnakan kembali darahku, jika beliau sakit dan aku tak berhasil dapatkan 'Tuak Dewata' itu? Bukankah jika 'Tuak Dewata' tak berhasil kudapatkan, berarti Guru kehilangan nyawanya?"

"O, kau bicara tentang 'Tuak Dewata' rupanya?" tegur Eyang Putri Batari yang membaca pikiran Suto dan mendengar kata batin sang pendekar tampan itu.

"Benar, Eyang Putri.... Ibu Kartika Wangi mengutus saya untuk menemui Eyang Putri dan menanyakan tentang Tuak Dewata' itu."

"Putri ragilku memang selalu melimpahkan kesulitan kepadaku," kata Eyang Putri Batari sambil mengenang wajah putri ragilnya: Sang Ratu Kartika Wangi. "Apa yang kau cari itu sebenarnya tidak ada, Suto."

Deeeg..! Jantung Suto bagai disentakkan dari dalam. Harapan untuk dapatkan 'Tuak Dewata' agaknya semakin jauh. Walau ia sudah memburu ke alam gaib dan bertanya pada tokoh sakti kelas tinggi di alam tersebut. Pendekar Mabuk menjadi resah. Tapi begitu memandang sorot mata Eyang Putri Batari, keresahannya lenyap seketika dan kedamaian muncul bersama ketenangannya.

"Lebih tepatnya, aku tidak tahu tentang 'Tuak Dewata' itu," sambung Eyang Putri Batari. "Penyakit yang diderita gurumu adalah penyakit hukuman. Gurumu mempunyai satu ilmu yang belum diturunkan kepada muridnya. Padahal dalam batas usianya yang sekarang, seharusnya ilmu itu sudah diturunkan atau dibuang. Gurumu lupa menurunkannya padamu, sehingga ia termakan hukuman dari kelalaiannya itu."

"O, begitu ya. Eyang?!" Suto Sinting jadi tampak serius, karena baru sekarang ia mengetahui bahwa gurunya masih punya satu ilmu yang belum diturunkan padanya. "Bagaimana kalau Guru menurunkan ilmu itu sekarang juga pada saya, apakah bisa menyembuhkan sakitnya. Eyang Putri?"

Calon nenek mertua itu menggelengkan kepala. "Tak mungkin Gila Tuak dapat turunkan ilmu itu kepadamu sekarang, sebab ia dalam keadaan sakit parah. Satu-satunya cara harus sembuhkan dulu si Gila Tuak dan ingatkan padanya bahwa ia punya satu ilmu yang harus diturunkan atau dibuang."

"Tapi menurut roh sejati Kakek Guru, kesembuhan itu akan datang jika saya sudah dapatkan 'Tuak Dewata'. Sedangkan Ibu Ratu dan Eyang Putri mengatakan 'Tuak Dewata' itu tidak ada. Lalu, saya harus berbuat apa jika begini, Eyang Putri?!"

"Ada cara yang mungkin bisa kau tempuh untuk mengetahui rahasia 'Tuak Dewata' itu. Kusarankan agar kau bertapa dan meminta petunjuk Hyang Maha Dewa tentang tuak tersebut."

Pendekar Mabuk manggut-manggut renungi kata-kata Eyang Putri Batari.

"Sucikan dirimu, bersihkan batinmu, lakukanlah semadi yang dinamakan 'Tapa Layang' selama empat puluh hari," tambah Eyang Putri Batari dengan menampakkan sikap ingin membantu kesulitan Suto Sinting.

"Tapa Layang itu bagaimana, Eyang?"

"Jika duduk atau berdiri jangan menyentuh tanah, jika menggantung jangan berpegangan pada benda apa pun," jawab Eyang Putri Batari. "Syukur kurang dari empat puluh hari kau sudah mendapat wangsit dari Hyang Maha Dewa tentang 'Tuak Dewata' itu. Seandainya tidak, aku yakin pada hari keempat puluh dari bertapamu itu kau akan mendapatkan petunjuk dari Hyang Maha Dewa tentang kesulitanmu itu. Apakah kau sanggup, calon mantu cucuku?"

"Sanggup sekali, Eyang Putri."

"Tapi ingat, kau bertapa di alam gaib, maka godaanmu akan sangat besar dibanding bertapa di alam nyata. Para siluman yang masih berkeliaran dan tidak terperangkap dalam tawananku, pasti akan datang mengganggumu. Untuk itu, akan kuutus Sang Tiara mendampingi tapamu di Gua Pedupan, tak jauh dari tempat ini."

Kemudian Eyang Putri Batari bicara kepada Sang Tiara. "Tiara, sanggupkah kau mendampingi Manggala Yudha-mu dalam lakukan Tapa Layang nanti?"

"Dengan senang hati, saya tak akan tinggalkan Gusti Manggala Yudha, Eyang Putri," jawab Sang Tiara dengan tegas sambil memberi hormat.

"Aku percaya padamu. Kartika tak pernah salah memilih prajurit unggulan sepertimu. Aku senang sekali mendengar kesanggupanmu. Tiara. Bantulah calon suami cucuku ini, maka akan kusiapkan penghargaan khusus untukmu."

"Terima kasih, Eyang Putri!" sambil Sang Tiara tundukkan kepala penuh hormat.

"Berangkatlah kalian ke Gua Pedupan sekarang juga. Karena kurasakan sakitnya si Gila Tuak semakan parah. Lewat dari empat puluh hari lagi nyawanya tak akan dapat tertolong."

Pendekar Mabuk tersentak kaget dan menjadi tegang.

* * *

DUA

ALAM gaib itu sepertinya tak pernah ada siang dan tak pernah ada malam. Suasananya seperti menjelang sore pada saat langit mendung. Agaknya suasana seperti itu akan abadi sepanjang masa. Pendekar Mabuk tak tahu apakah ia berangkat ke Gua Pedupan menjelang sore hari atau tengah malam. Dalam perjalanannya yang didampingi Sang Tiara itu, Suto tidak mempersoalkan tentang siang atau malam. Hal itu hanya terlontar dalam gumam lirihnya saja. Tetapi yang menjadi persoalan yang perlu dibicarakan oleh Suto adalah tentang keadaannya yang telah tercemar oleh darah siluman itu.

"Mengapa Eyang Putri dan Ibu Ratu, termasuk dirimu juga agaknya, selalu mempersoalkan tentang diriku yang telah berdarah siluman?! Bukankah kalian juga termasuk siluman?!"

"O, jangan salah! Kami bukan siluman. Kami manusia sepertimu, tapi punya keabadian dan kesaktian melebihi manusia sepertimu."

"Melebihi...?!" kata-kata itu sengaja ditekankan oleh Suto membuat Sang Tiara segera sadar dan tak enak hati.

"Maksudku, punya banyak kelebihan dibanding manusia yang hidup di alam nyata. Di sini kami tinggal bersama keabadian, termasuk keabadian usia, keabadian raga, keabadian kecantikan, keabadian batin dan sebagainya. Orang-orang yang mati moksa atau lenyap tanpa bekas, sebenarnya punya kehidupan sendiri di alam kami ini, Suto. Mungkin suatu saat kau akan bertemu dengan mereka yang moksa dari alam nyata."

"O, jadi kalian sebenarnya bukan roh yang bergentayangan?"

"Bukan," tegas Sang Tiara. "Roh yang bergentayangan atau dzat orang yang telah mati, dia menjelma dan hidup kembali di alam kelanggengan. Hampir sama dengan alam keabadian ini. Bedanya, alam kelanggengan dihuni oleh para roh yang menunggu saat penghakiman di hari akhir tiba. Alam kelanggengan itu ada di sebelah sana," sambil Sang Tiara menunjuk ke arah kirinya.

"Di sana mereka bercampur baur dengan jin, siluman, hantu atau hal-hal lain yang bersifat gelap. Karena itu alam kelanggengan mereka sering kita beri sebutan alam kegelapan."

"Apakah dengan begitu maka alam kita sekarang ini adalah alam surga?"

"Bukan juga alam surga. Kehidupan surgawi masih ada di atas kita, seakan tingggal satu jangkauan lagi. Sebab itulah, maka negeriku dinamakan Puri Gerbang Surgawi. Artinya, sebentar lagi memasuki gerbang surgawi jika kami benar-benar telah mencapai kesempurnaan dalam hidup. Tetapi untuk mencapai kesempurnaan itu ternyata bukan hal yang mudah. Tidak semua orang mampu mencapainya ke sana."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dan merasa tertarik sekali dengan penjelasan tersebut. Sayang percakapan mereka harus dihentikan, pengupasan tentang kedua alam itu harus ditangguhkan, karena mereka sudah mencapai sebuah lembah bertebing tinggi. Di sana tampak sebuah mulut gua yang menganga lebar dengan bebatuan menyerupai bambu-bambu berdiri sebagai pagar mulut gua tersebut.

"Tunggu sebentar," cegah Sang Tiara sambil mencekal lengan Pendekar Mabuk.

"Ada apa, Tiara? Kau selalu mengejutkan hatiku."

"Kita salah alamat," ujar Sang Tiara dengan suara berbisik. "Yang di depan kita pasti bukan Gua Pedupan asli. Tempat itu pasti jebakan maut yang akan mencelakakan diri kita, Suto."

"Dari mana kau tahu?"

"Biasanya sebelum mencapai lembah ini, kita akan berhadapan dengan Kalabolong."

Pendekar Mabuk kerutkan dahinya. "Siapa itu Kalabolong?"

"Penjaga Lembah Pedupan. Hanya orang yang mampu kalahkan Kalabolong boleh bertapa di Gua Pedupan. Sebab Gua Pedupan bukan gua sembarangan, melainkan gua yang sering digunakan untuk bertapa para tokoh tingkat tinggi. Untuk membuktikan bahwa tokoh yang mau bertapa itu berilmu tinggi, maka Kalabolong selalu hadir untuk merintanginya. Tak jarang orang yang mau bertapa terpaksa lari pulang karena tak sanggup hadapi kekuatan Kalabolong."

"Hmmm...," Pendekar Mabuk manggut-manggut. Sementara gadis cantik berbibir ranum itu memandang sekeliling dengan jeli, Suto sempatkan diri untuk meneguk tuaknya dari bumbung bambu yang ke mana-mana selalu dibawanya itu.

"Gila!" suara Sang Tiara terdengar menggumam. "Disebelah kanan kita juga ada gua yang serupa dengan gua depan kita!"

Suto memandang arah kanan. "Hmmm... benar juga. Susunan batu dan bentuk mulut gua itu sama persis dengan...."

"Di belakang kita juga ada gua serupa."

Pendekar Mabuk berpaling ke belakang. "Benar-benar gila ini!" gumamnya setelah mengetahui di belakangnya juga ada gua yang serupa dengan gua di depannya.

"Hmmm... lihat, di sebelah kiri kita juga ada gua yang sama!"

Dua orang itu dibuat bingung oleh persamaan dari keempat gua tersebut. Bahkan bukan saja bentuk dan susunan bebatuannya yang sama, melainkan suasana sekelilingnya juga sama, sehingga mereka merasa berhadapan dengan cermin empat sisi.

"Pasti ini ulah si Kalabolong yang ingin menjerumuskan kita!" geram Sang Tiara dengan mata melirik tajam penuh waspada.

"Bagaimana cara membedakan gua yang asli dan yang jebakan?" tanya Suto Sinting yang agaknya menjadi bingung sendiri itu.

Setelah diam sesaat, Sang Tiara perdengarkan suara. "Seingatku, Gua Pedupan yang asli berlapis udara baja."

"Maksudnya udara baja?"

"Tidak mudah dihancurkan karena udaranya mengandung kekuatan baja gaib."

"Kalau begitu, akan kucoba menghantamnya dengan pukulan jarak jauh bertenaga tinggi!" kata Suto, lalu tangannya segera menyentak ke depan dan seberkas sinar biru melesat dari tangan itu. Claaap...!

Jegaaarrr...! Jurus 'Tangan Guntur' menghantam gua yang ada di depan mereka. Gua itu langsung hancur dengan bunyi gemuruh yang menggetarkan tempat mereka berdiri.

Sang Tiara tak mau kalah, ia pun lepaskan jurus aneh dari telunjuknya. Hanya dengan satu jari menuding dan menyodok ke depan maka sinar merah lurus melesat dari ujung jari dan menghantam gua sebelah kiri mereka. Claaap...!

"Jegaaarrr...! Gua sebelah kiri hancur. Pada saat itu, Suto Sinting lepaskan kembali jurus 'Tangan Guntur'-nya. Claaap...! Sinar biru menghantam gua sebelah kanan. Jegaaarrr...!

Kini tiga dari empat gua kembar sudah dihancurkan oleh mereka. Tinggal gua yang ada di belakang mereka dalam jarak sekitar tiga puluh tombak.

"Berarti gua di belakang kita itu yang asli. Tiara!" ujar Suto Sinting.

"Aku masih sangsi juga."

Claaap...! Tiba-tiba sinar merah dari telunjuk Sang Tiara melesat lagi dan menghantam dinding mulut gua tersebut. Jegaaarrr...!

Ternyata gua belakang mereka itu juga hancur. Pendekar Mabuk menjadi terbengong dan clingak-clinguk kebingungan. "Kau bilang Gua Pedupan yang asli mempunyai udara berlapis baja. Tapi kenapa sekarang gua itu juga hancur?"

"Berarti gua itu juga gua palsu ciptaan Kalabolong."

"Lalu mana gua yang asli?!"

Tiba-tiba ada suara yang menjawab dari belakang mereka, "Gua yang asli ada di tanganku! Huah, hah, hah, hah...!"

Mereka berpaling cepat dan segera temukan sesosok tubuh berkepala empat.

"Itu dia Kalabolong!" bisik Sang Tiara kepada Suto.

Suto memandang dengan mata sedikit mengecil, tapi ia tampak tenang dan tali bumbung tuaknya mulai melilit pada genggamannya.

Kalabolong memang mempunyai empat kepala yang menghadap ke empat arah; depan, belakang, dan samping kanan-kiri. Tapi ia mempunyai satu badan, bagian depan dan belakang. Perut itu mempunyai pusar yang bolong, berlubang sebesar kelereng dan tembus sampai belakang. Seseorang bisa saja mengintip dari lubang tersebut jika iseng dan diizinkan oleh si Kalabolong.

Makhluk aneh tanpa rambut selembar pun itu mempunyai empat tangan dan empat kaki; sepasang menghadap ke depan, sepasang lagi menghadap ke belakang. Tubuh kelingnya yang besar walau tak sebesar Raja Barong, hanya mengenakan cawat dari bahan semacam kulit binatang berwarna merah kecoklatan. Kulitnya itu tampak berminyak dan menyebarkan bau langu tak sedap.

Dari keempat kepala, masing-masing mempunyai sepasang mata yang lebar tanpa bulu mata maupun alis. Hidungnya bundar tapi pipi mirip telur ceplok. Mulutnya berbibir tebal, warna bibirnya putih bintik-bintik hitam. Mulut itu lebar, namun tak cukup untuk memakan manusia. Masing-masing kepala mempunyai gigi bertaring tak panjang namun kelihatan runcing dan menyeramkan. Warnanya kuning kehijauan.

"Tak pernah gosok gigi anak ini," gumam Suto dalam hatinya. "Yang kubingungkan, bagaimana jongkoknya jika kakinya ada empat begitu? Orang bisa dibuat bingung melihat dia berjalan; maju atau mundur. Hmmm... kurasa inilah yang dinamakan maju kena mundur kena. Agaknya aku harus hati-hati melawan dia. Sebaiknya yang kuserang pusat kelemahannya saja."

Sang Tiara serukan kata kepada makhluk aneh itu. "Kalabolong, kali ini kau akan celaka jika halangi niat kami. Keluarkan Gua Pedupan dari genggamanmu, karena Manggala Yudha-ku akan bertapa di gua itu!"

"Huah, hah, hah, hah, hah, haaaaaah... capek!" Kalabolong melangkah mengitari Pendekar Mabuk sambil tubuhnya sendiri berputar pelan supaya semua mata pada kepalanya bisa memandang jelas ke arah Pendekar Mabuk.

"Aku tak percaya kalau bocah ingusan ini adalah Manggala Yudha-mu, Tiara! Terlalu ingusan dia. Buang ingus saja belum bisa sudah mau berlagak bertapa segala!"

"Kalabolong, kuingatkan sekali lagi, jangan halangi niat Manggala Yudha-ku kalau kau tak ingin celaka!"

Salah satu tangan yang menggenggam diacungkan ke atas. Kalabolong berseru dengan suaranya yang serak itu. "Kalau bocah ingusan ini bisa tumbangkan diriku, akan kuserahkan Gua Pedupan kepadanya!"

Dalam hati Suto hanya menggumam, "Gila! Gua bisa berada dalam genggamannya. Sakti juga makhluk berkepala empat ini?!"

Saat itu, Sang Tiara segera berbisik kepada Suto. "Gua itu ada dalam genggamannya. Paksa dia agar keluarkan gua tersebut. Tapi hati-hati, ludahnya mengandung racun yang amat ganas. Hindari ludahnya dan kuku-kuku di tangannya itu."

"Bagaimana kalau kutinggal lari saja?"

"Ah, masa seorang Manggala Yudha tak berani hadapi makhluk macam dia?!" kecam Sang Tiara.

Suto hanya sunggingkan senyum kecil. "Maksudku, akan kuajak adu kecepatan berlari. Jika dia kalah harus serahkan gua itu dan jika aku kalah aku tak jadi pakai gua itu."

"Cobalah bicara padanya!"

"Kalabolong!" suara Suto terdengar lantang dan tegas.

"Apa maumu. Bocah umbelan?!"

"Daripada kita adu jotos, bagaimana jika lebih baik kita adu kecepatan berlari. Siapa menang berhak menggunakan gua itu untuk keperluannya apa saja, yang kalah harus rela meninggalkan gua tersebut."

"Huah, hah, hah, hah, hah...! Kau pikir aku anak kecil yang masih suka adu lari?"

"Kau mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya dua. Masa' kau kalah cepat dariku?!" pancing Suto. "Kalau memang kau tak mampu lari dengan empat kaki, potonglah keempatnya dan larilah pakai keempat tanganmu. Kalau keempat tanganmu masih kalah juga adu lari denganku, potonglah keempat tanganmu itu...."

"Lalu aku lari pakai apa?!"

"Larilah pakai lidahmu," jawab Pendekar Mabuk bernada seenaknya, tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Merasa mempunyai empat kaki, Kalabolong malu jika dikatakan kalah adu cepat dengan Pendekar Mabuk. Maka ia pun menyanggupi perlombaan adu lari itu. "Baik. Kuturuti tantanganmu. Tapi dengan satu syarat, kau harus kuludahi dulu! Cuuuih...!"

Tiba-tiba Kalabolong meludah menggunakan mulut bagian depannya. Ludah itu berwarna biru kental dan melayang cepat ke wajah Suto. Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan lenyap seketika dan ludah itu tidak mengenai sasaran. Padahal Suto tadi bergerak cepat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya, melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya.

Ludah itu jatuh ke tanah dan tanah tersebut segera mengepulkan asap, lalu menjadi hangus dalam sekejap. Untung pada waktu itu Sang Tiara sudah menjauh lebih dulu, karena ia khawatir terkena ludah salah sasaran. Pendekar Mabuk kini berdiri di belakang Kalabolong, tapi tetap saja berhadapan dengan kepala bermulut lebar yang segera meludah seperti tadi. Cuiiih...!

Zlaaap...! Pendekar Mabuk menghindar kembali. Ludah kenai sebongkah batu dan batu itu mengepulkan asap. Bagian yang terkena ludah biru bukan menjadi hangus saja, melainkan juga segera menjadi serbuk hitam.

"Rupanya kau tak bisa diajak damai, Kalabolong! Aku terpaksa merampas gua ini dengan kasar, Sobat! Hiaaah...!"

Pendekar Mabuk sentakkan kaki dan tubuhnya melesat di udara, ia bersalto maju satu kali melintasi keempat kepala Kalabolong. Kemudian bumbung tuaknya disodokkan ke bawah mengarah kepada pertengahan keempat kepala dempet itu.

Wuuut...! Plaaak...! Sodokan bumbung tuak ditahan dengan kedua telapak tangan Kalabolong dalam keadaan keempat kakinya merendah. Sementara kedua tangan menahan bumbung tuak, tangan yang satunya lagi, yang tidak menggenggam, segera berkelebat ke atas. Wuuut, breeet...!

"Aaaauh...!" Suto Sinting memekik kesakitan karena terkena cakaran kuku setajam pisau itu. Betis pemuda tampan itu menjadi koyak dan berdarah. Dalam waktu singkat, luka koyak itu melebar sampai ke lutut.

"Cepat minum tuakmu!" seru Sang Tiara dengan cemas ketika melihat betis Suto Sinting koyak.

"Aaauh...! Aku tak bisa gerakkan uratku lagi. Uuuh...!" Pendekar Mabuk merintih sambil pandangi lukanya yang bergerak bagaikan kerupuk mekar di penggorengan. Luka beracun itu membuat kedua tangan Suto terasa sulit dipakai untuk mengangkat bumbung tuak. Padahal waktu itu, Kalabolong sedang mendekatinya dengan terburu-buru.

"Kubuat modar saja kau, hah?! Hiaaaaah...!" Kalabolong lakukan lompatan seperti terbang. Weeess...! Tiga dari keempat tangannya siap lakukan cakaran ke tubuh Suto.

Melihat bahaya datang dalam keadaan dirinya terdesak begitu, Pendekar Mabuk akhirnya gunakan kekuatan jurus 'Pranasukma' pemberian dari si Setan Merakyat, sahabat Gila Tuak. Dengan kekuatan pandangan mata, kepala Pendekar Mabuk sedikit mengibas ke samping, seeet...!

Weesss...! Tubuh besar Kalabolong terlempar ke samping dan membentur batu sebesar kerbau bunting. Bruuuk, kraaak...! "Aaaaooww...!" keempat kepala itu berteriak bersamaan. Kalabolong terpuruk di bawah batu besar yang kini retak akibat benturan dengan tubuh Kalabolong.

Kini jurus 'Pranasukma' telah digunakan Suto satu kali lagi. Berarti kekutan jurus itu hanya bisa dipakai untuk tujuh puluh tujuh kali lagi. Sebab sisa kekuatan jurus itu semula tinggal tujuh puluh delapan kali lagi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pemburu Darah Satria).

Kalabolong mengerang kesakitan. Kesempatan itu digunakan Sang Tiara untuk bantu Suto meminum tuaknya. Beberapa teguk tuak telah berhasil percepat sembuhkan lukanya. Suto menjadi segar kembali. Kalabolong bangkit dengan menggeram. Tiga tangannya mulai bergerak-gerak membentuk cakar, seperti tangan-tangan binatang gurita. Tetapi Pendekar Mabuk sudah siap hadapi serangan lawan kembali.

Makhluk berpusar bolong itu segera melesat bagai daun terbang terhembus badai. Weesss...! Keempat kaki dan keempat tangannya berserabutan sukar ditangkis, sehingga Suto memilih lompat ke samping dalam gerakan cepat ketimbang menghadapi terjangan lawan.

Zlaaaap...! Sambil lakukan lompatan, Suto lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya berupa sentilan bertubi-tubi ke arah Kalabolong. Tes, tes, tes, tes...!

Buuukh, buuukh, buukh, buukh...! Sentilan yang bertenaga dalam yang mirip tendangan kuda jantan mengamuk itu kenai tubuh Kalabolong berkali-kali.

Tubuh besar itu terlempar berguling-guling sambil lepaskan suara kesakitan yang memanjang. Tubuh berkulit keling itu akhirnya menghantam sebongkah batu sebesar gajah. Bruuuk...! Batu itu bergetar, bagian ujung tepiannya rompal. Kalabolong jatuh terpuruk sambil serukan suara mengerang yang memekakkan gendang telinga.

"Aaaaahhhrr...!"

Sang Tiara menutup kedua telinganya, ia tetap menjadi penonton yang baik dengan sesekali ikut melompat ke sana-sini untuk hindari serangan nyasar. Tetapi begitu Kalabolong keluarkan suara serak yang mirip tombak mengorek-ngorek lubang telinga, Sang Tiara segera sembunyikan diri di balik gundukan batu sambil mendekap kedua telinganya kuat-kuat.

Suto Sinting sempat tersentak ke belakang dan membentur batu besar. Suara erangan Kalabolong ternyata mempunyai tenaga dalam yang memancar ke mana-mana. karena suara erangan itu keluar dari keempat mulut Kalabolong.

"Aaaaahhhrrr...!" Kalabolong masih lepaskan erangan berbahaya sambil bangkit berdiri dengan keempat kakinya. Getaran gelombang suara yang bertenaga dalam itu telah membuat beberapa bongkahan batu menjadi pecah ataupun retak. Tanah di sekitar tempat itu bergetar, sehingga tempat itu bagaikan ingin dilanda gempa yang akan menenggelamkan mereka ke dasar bumi.

Pendekar Mabuk ikut menutup telinganya dengan kedua tangan, di mana salah satu tangan masih menggenggam tali bumbung tuak. Suara itu menusuk-nusuk gendang telinga, hingga Suto akhirnya berlutut sambil gemetar menahan rasa sakit di bagian kepala, terutama pada telinganya.

Melihat Suto Sinting lemah dan kesakitan, Kalabolong segera lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar-sinar merah dari ketiga tangannya. Claaap...! Sinar-sinar merah itu bergerak serabutan ke sana-sini, sukar untuk diketahui secara pasti ke mana arahnya. Gerakan sinar yang zigzag tak beraturan itu membuat Suto Sinting merasa sedang diincar kelengangannya. Maka dengan cepat dan mengerahkan tenaga di sela rasa sakit, ia lakukan lompatan ke sana-sini dalam gerakan cepat.

Zlaap, zlaap, zlaap, weeees...!

Bruuuuss...! Pendekar Mabuk menabrak batu besar, ia jatuh bersama pecahnya batu tersebut. Pecahan batu menimbun tubuhnya tepat ketika tiga ujung sinar merah melesat menghantam tempatnya berkelebat tadi. Seandainya ia tidak menabrak batu dan jatuh tertimbun pecahan batu tersebut, maka tubuhnya akan menjadi sasaran telak bagi ketiga sinar merah liar tersebut.

Karena sinar itu tak menemukan sasarannya, akhirnya mereka menghantam tiga gugusan batu tinggi yang membuat ketiga batu tersebut menjadi hitam bagaikan arang keropos yang masih tegak di tempatnya.

"Jahanaaaamm...!" Kalabolong berteriak murka karena tiga sinarnya tak mengenai Suto Sinting. Namun ia segera lakukan lompatan menyerang dengan lebih ganas lagi begitu menyadari Suto Sinting sedang tertimbun pecahan batu. Ia lakukan lompatan tinggi yang akan jatuh di atas timbunan batu tersebut.

Namun mata Pendekar Mabuk masih sempat mengintai dari balik bongkahan batu yang menimbuni wajahnya, ia melihat tubuh Kalabolong melambung tinggi di atasnya. "Celaka! Habislah riwayatku kalau tubuh itu jatuh menindihku dalam keadaan seperti ini!" pikir Suto Sinting.

Maka dengan mengerahkan tenaganya dan menyentakkan kaki berkekuatan 'Gerak Siluman', batu-batu itu terbang serentak bersama melesatnya tubuh sang pendekar. Braaakkk...! Wuuurss...! Batu-batu itu terbang ke atas secara bersamaan dan menerjang tubuh besar Kalabolong yang masih melambung turun di udara. Prrookk...!

Tubuh itu tak jadi bergerak turun karena diserang batu-batu itu dengan kuat, akhirnya melambung lagi naik dan bergulir ke arah lain. Sementara itu Suto Sinting melesat ke samping, lalu dengan bambu tuaknya yang disentakkan ke bumi, tubuhnya melambung lebih tinggi lagi, bersalto satu kali dan hinggap di atas gugusan batu setinggi rumah. Wuuut...! Jleeeg...!

"Ooh...?!" Sang Tiara terkejut melihat Suto Sinting berlumuran darah pada bagian kepalanya. Tetapi pendekar gagah perkasa itu segera menenggak tuaknya untuk lenyapkan luka dan rasa sakit yang diderita. Sementara itu, Kalabolong jatuh terhempas dengan tetap hujani batu-batu sebesar genggaman orang dewasa itu.

Blaaam...! Brrooook...!

"Aaaaahhhrrr...!" Suaranya semakin keras di bawah tumpukan batu-batu tersebut. Dalam sekejap saja ia sentakkan keempat kaki dan tangannya, dan batu-batu itu buyar beterbangan ke sana-sini, tubuh besar itu pun bangkit kembali bagai tak mau menyerah. Zrraaak...! Weerrs...! Jleeg...! Kalabolong berdiri dengan tegak dengan setiap wajah pancarkan seringai keganasan yang menyeramkan.

Tapi kebangkitan Kalabolong itu segera disambut dengan jurus 'Bangau Mabuk'-nya Suto, yaitu sodokan bumbung tuak yang membuat bumbung tuak itu terbang dengan cepat dan tubuh Suto yang memegangi talinya ikut terbawa terbang pula. Wuut, weeesss...!

"Keparat kaaauuu...!" geram Kalabolong, namun suaranya terhenti seketika karena pusarnya yang bolong tersodok bumbung tuak.

"Huaaaakkrr...!" Empat mulut dari empat kepala gencet itu memekik keras bersamaan. Tubuh Kalabolong terlempar cukup jauh, dan jatuh berdebam di seberang sana. Bluumm...! Hempasan tubuh ke tanah tak berumput itu membuat gugusan batu besar di sampingnya bergetar, kemudian batu itu patah di pertengahannya. Krraakss...! Brruuukk...!

"Uuuahhk...!" Kalabolong memekik lagi. Tubuhnya tergencet bongkahan batu besar sebesar kuda nil.

"Hiaaahh...!" Suto Sinting segera menendang batu besar yang berdiri menjulang di samping Kalabolong. Daaakh, brruuuk...!

"Aaaakkhhrr...!" Kalabolong semakin berteriak dengan suara berat, karena kini tubuhnya dijatuhi batu besar lagi, hingga menumpuk bagaikan bukit.

"Heeeaaah...!"

Zlaaaap...! Brrruuuk...!

Batu sebesar kerbau ditendang oleh Suto dengan kekuatan tenaga dalamnya. Batu itu melayang dan jatuh menimpa bagian keempat kaki Kalabolong. Praaak...!

"Huaaahhrr...!"

"Gila! Suto kalau sudah mengamuk, tak kira-kira menghajar lawannya," ujar Sang Tiara dalam hatinya. "Kalabolong dibuat tak berkutik seperti itu. Yang kelihatan hanya keempat kepalanya, itu pun kepala yang belakang mencium tanah dan tak bisa bergerak lagi."

Namun agaknya Kalabolong masih tidak mau menyerah sampai di situ saja. Ia berusaha mendorong batu-batuan besar yang menimbuni tubuhnya. "Hiiiaaahhrr...!"

Saat itu Pendekar Mabuk melesat dan hinggap di atas sebongkah batu setinggi kepalanya, ia sempatkan diri meneguk tuaknya kembali untuk hilangkan rasa sakit dan beberapa luka akibat amukannya tadi.

Batu-batu penimbun tubuh Kalabolong mulai bergetar pertanda sebentar lagi akan pecah karena sentakan tenaga orang yang ditimbuninya itu. Hanya saja, Pendekar Mabuk dan Sang Tiara sama-sama terperanjat melihat seberkas sinar merah seperti bintang jatuh melayang di udara. Sinar merah itu melesat dan jatuh di atas batu-batu penimbun tubuh Kalabolong.

Slaaap...! Duuubs...! Buuull...!

Asap mengepul tebal dari sinar merah tersebut. Asap itu segera sirna dan sesosok tubuh tinggi-besar berkulit putih bagai mengenakan bedak itu tahu-tahu telah duduk di atas batu penimbun tubuh Kalabolong. Makhluk berperut besar itu tingginya tiga kali tinggi tubuh Pendekar Mabuk. Kulitnya retak-retak, berbulu mirip tanaman rambat. Kakinya sebesar pilar, kedua tangannya juga sebesar tiang penyangga atap pendopo. Makhluk berkepala gundul tapi mempunyai daun telinga lebar, mulut besar, dan sepasang lubang hidung mirip gorong-gorong itu sangat dikenali oleh Pendekar Mabuk, sehingga pemuda tampan itu pun segera berseru kepada makhluk pendatang baru itu.

"Jin Koplo...?!"

"Hai, Kawan...! Kau dapat kesulitan rupanya?! Huah, hah, hah, hah...!"

"Koplooo...!" geram salah satu mulut Kalabolong. "Minggir kau! Jangan menambah beban di atasku! Minggiirr...!"

"Huah, hah, hah, hah...! Kau tak akan bisa keluar dari himpitan bebatuan ini, Kalabolong! Huaaah...!"

Jin Koplo berdiri seketika, kedua tangannya menyentak ke bawah, memancarkan sinar merah bara. Sinar itu merayap dan membungkus batu-batu penimbun tubuh Kalabolong, hingga batu-batu tersebut seakan menyatu dengan tanah dan sukar diangkat lagi.

"Keparat kaauuu...!" geram Kalabolong kepada Jin Koplo. "Dasar jin bodoh! Mengapa kau semakin membuatku tak bisa bergerak?!"

"Karena kau mengganggu kawanku, Kalabolong! Pendekar muda itu adalah kawanku, dan kuingatkan padamu bahwa kau tak akan bisa mengalahkannya, karena ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang kau miliki, Kalabolong. Kepalamu bisa pecah menjadi enam belas bagian jika masih tetap melawan kawanku itu!"

Sang Tiara segera dekati Pendekar Mabuk dan berbisik, "Apa benar dia kawanmu?"

"Jin Koplo itu? Oh, ya... benar. Kami bersahabat setelah Jin Koplo kukalahkan saat ia menghadangku di perbatasan menuju Jalur Hijau," jawab Suto Sinting sambil membayangkan saat pertarungan dengan Jin Koplo, si Penjaga Perbatasan Alam Gaib itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Tuak Dewata).

"Kawan Suto...!" seru Jin Koplo dengan suaranya yang besar, ia berdiri di atas bebatuan penimbun tubuh Kalabolong. "Apa yang kau inginkan darinya, Kawan Suto?!"

"Aku mau bertapa di Gua Pedupan, tapi gua itu tak ada!"

"Berada dalam genggaman salah satu tangannya," seru Sang Tiara menimpali ucapan Suto.

"Jangan takut. Kawan Suto.... Gua itu pasti akan diberikan padamu!" Kemudian Jin Koplo berkata kepada Kalabolong. "Hei, Gusi Kerbau...! Serahkan gua itu atau kuperberat tekanan batu ini biar menguburkan tubuhmu selama-lamanya?!"

"Persetan dengan ancamanmu. Koplo! Kalau kau memang merasa sakti, mari kita adu kekuatan ilmu secara jantan!"

"Ogah...!" Jin Koplo melengos. "Aku tak mau bertarung denganmu, karena kau selalu main ludah kalau sedang bertarung, seperti anak kecil! Kalau kau tetap tak mau serahkan gua itu kepada sahabatku Suto Sinting, baiklah... akan kuhamili istrimu: si Kiprat Kiprit itu!"

"Jangaaaan...!" sergah Kalabolong dengan ketiga wajahnya tampak tegang dan ketakutan sekali.

"Kiprat Kiprit sudah bilang padaku bahwa kau tidak bisa bertugas lagi sebagai seorang suami, disamping itu kau memang tidak bisa memberinya keturunan. Kiprat Kiprit memohon padaku agar aku mau menghamilinya demi mendapatkan keturunan di masa depannya...."

Suto berbisik geli, "Ternyata bangsa jin juga memikirkan masa depan segala, ya?"

Sang Tiara hanya tersenyum, seakan sembunyikan kecantikannya yang bertambah di dalam senyuman itu. Pendekar Mabuk segera memperhatikan Jin Koplo lagi yang sedang mengancam Kalabolong. Agaknya ancaman itu membuat Kalabolong sedih dan menjadi lemah. Akhirnya ia menyerah dan mengaku kalah.

"Bocah muda, kalau Jin Koplo saja bisa kau kalahkan, maka aku terpaksa menyerah kalah. Bebaskanlah aku dari himpitan ini. Bocah Muda!"

"Koplo... bebaskan dia!"

"Dengan senang hati, Kawan! Huah, hah, hah, hah...!"

Jlegaaar...!

Jin Koplo menendang bebatuan itu, dan bebatuan pun pecah menjadi serbuk halus seperti butiran pasir pantai. Kalabolong akhirnya bebas dan menepati janjinya. Tangan yang sejak tadi menggenggam itu kini bagai melemparkan sesuatu ke arah depan mereka. Weeess...! Claaap...! Sinar putih perak menyilaukan memancar dalam sekejap. Kemudian sinar itu lenyap dan Gua Pedupan muncul di depan mereka dalam jarak sekitar lima belas tombak. Buuussss...!

"Satu hal kuminta padamu, Bocah Muda!" kata Kalabolong.

"Tidak. Aku tidak setuju," sahut Jin Koplo. "Sejak kapan kau jadi jin pengemis yang kerjanya minta-minta?!"

"Aku meminta syarat, bukan meminta makanan!" bentak Kalabolong.

"Ooo... kalau syarat, boleh-boleh saja," gumam Jin Koplo sambil manggut-manggut.

"Syarat apa yang kau minta dariku?!"

"Jika kau berada di dalam gua harap jagalah kebersihan dan patuhi peraturan yang sudah tertera pada dinding gua itu!"

"Baik. Kusanggupi!" kata Suto Sinting dengan tegas. "Kau mau bertapa sendirian atau berdua dengan Sang Tiara?!" tanya Kalabolong.

"Berdua!" jawab Suto pendek.

"Jangan-jangan kalian hanya mau mojok berdua, bukan bertapa?!" ujar Jin Koplo.

"Jaga mulutmu! Kau sangka perempuan macam apa aku ini!" gertak Sang Tiara.

Jin Koplo takut dan berbisik kepada Kalabolong. "Galak juga babon satu ini, ya?!"

"Tutup mulutmu!" bentak Kalabolong. "Babon itu nama bibiku! Jangan dibawa-bawa!"

Jin Koplo dan Suto tertawa, Sang Tiara sembunyikan rasa gelinya dengan bergegas melangkah lebih dulu menuju Gua Pedupan. Suto Sinting pun akhirnya mengikuti langkah Sang Tiara setelah mendapat ucapan, 'Selamat bertapa, semoga berhasil cita-cita,' dari kedua jin yang sebenarnya saling bersahabat itu.

* * *

TIGA

TERNYATA Gua Pedupan merupakan sebuah ruangan besar berlangit-langit kristal. Batuan kristal bening itu menggantung tak beraturan bentuknya namun membuat keindahan yang menakjubkan bagi siapa pun yang baru saja masuk ke gua tersebut.

Lantai gua bergelembung-gelembung tak rata, namun seperti terbuat dari batuan marmer warna putih kusam. Demikian pula dinding gua tersebut, bentuknya memang bertonjolan tak rata, tapi batuannya tampak seperti batuan jenis marmer kusam.

"Mengapa Eyang Putri menyuruhku bertapa di sini, Tiara?"

"Karena Gua Pedupan adalah tempat persinggahan para Dewa-Dewi jika ingin berkunjung ke alam gaib ini."

"Ooo..., kalau begitu Eyang Putri Batari menyuruhku menghadang lewatnya para Dewa-Dewi, begitu?"

"Mungkin begitu," jawab Sang Tiara sambil mendekati salah satu dinding gua. Suto Sinting pun segera ikut dekati dinding tersebut, karena di sana terdapat lempengan batu yang diberdirikan bersandar dinding.

Lempengan batu pualam itu memuat tata tertib yang dikatakan Kalabolong tadi. Di situ tertera dengan jelas beberapa peraturan yang harus ditaati oleh para pertapa yang ingin gunakan gua tersebut.

Bertapalah dengan baik dan benar.

Tidak dibenarkan membawa makanan di dalam gua.

Sesama pertapa dilarang saling meludahi.

Yang tidak berkepentingan dilarang ikut bertapa.

Barang hilang, rusak, tanggung jawab pertapa sendiri.

Selama bertapa dilarang mengeluarkan anggota badan.

Selesai bertapa harap mengisi kotak sumbangan seikhlasnya.


Sang Tiara mendengus kesal, lalu kakinya menjejak lempengan batu itu dengan tendangan menyamping. Bet, praak...! Lempengan batu itu patah menjadi tiga bagian.

"Mengapa kau hancurkan tata tertib itu?"

"Itu bukan tata tertib, hanya keusilan tangan si Kalabolong saja! Jangan hiraukan tulisan tadi. Sebaiknya lekaslah ambil tempat untuk lakukan semadi. Aku akan ada di belakangmu!"

Gua Pedupan juga mempunyai keunikan lain. Gua itu menyebarkan aroma wangi dupa walau tak ada tempat pembakaran dupa atau setanggi. Gua itu benar-benar bersih, sehingga tak mungkin seseorang membakar dupa atau setanggi di tempat tersebut. Tetapi bebatuan kristal yang menggantung di langit-langit itu bagaikan menyebarkan wewangian dupa yang harum dan lembut, menimbulkan suasana mistik cukup kuat.

Sementara sang Pendekar Mabuk lakukan Tapa Layang, yaitu duduk bersila tanpa menyentuh lantai karena gunakan ilmu peringan tubuh, di Gerbang Siluman kedatangan tamu yang menghadap Eyang Putri Batari.

Tamu yang datang ke Gerbang Siluman adalah seorang gadis cantik berjubah tanpa lengan warna biru tua. Ia mengenakan kutang dan celana ketat warna kuning dilapisi kain merah. Gadis cantik berusia sekitar dua puluh tiga itu menyandang pedang di punggungnya. Rambutnya yang panjang sepundak lewat mengenakan ikat kepala warna merah lebar bersimpul membentuk bunga mawar.

Dengan giwang putih berlian kecil dan kalung emas berbatu merah sebesar kacang, gadis itu tampak sangat menawan. Tubuhnya sekal, tak terlalu montok, namun punya bentuk dada yang indah. Hidungnya bangir, bulu matanya lentik, bibirnya ranum mungil menggemaskan.

Gadis cantik bergaya tengil itu tak lain adalah Payung Serambi yang punya nama asli Ratih Kumala. Ia adalah salah satu dari tiga duta pilihan, termasuk prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul di bawah pemerintahan Nyai Kandita. Payung Serambi bisa sampai ke Gerbang Siluman, karena ia memang berdarah siluman, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Malaikat Palsu). Menghadapi tamu yang berlagak tengil itu, Eyang Putri Batari memberi sambutan dengan kalem dan penuh wibawa. Payung Serambi diterima secara baik, karena Eyang Putri Batari tidak punya maksud bermusuhan dengan pihak Istana Laut Kidul. Teguran dan bicaranya bernada ramah walau Payung Serambi membalas dengan sedikit ketus dan agak angkuh.

"Bagaimana kabar Ratumu: Nyai Kandita?"

"Baik-baik saja," jawab Payung Serambi tak mau tampak lemah di depan penguasa lain.

"Syukurlah jika Kandita baik-baik saja. Lalu, ada perlu apa dia mengutusmu kemari, Ratih Kumala?"

"Kami mendengar Suto Sinting mencari 'Tuak Dewata'."

"Memang benar. Dia mencari 'Tuak Dewata' untuk sembuhkan penyakit gurunya; si Gila Tuak itu."

"Sehubungan dengan itulah Nyai Gusti Kandita mengutusku kemari, karena kami tahu Suto mencari 'Tuak Dewata' sampai ke Gerbang Siluman ini."

"Selanjutnya...?" pancing Eyang Putri Batari.

"Aku diutus membawa Suto Sinting pulang ke Istana Laut Kidul dan menghadap Nyai Gusti Kandita."

"Mengapa Kandita ingin campuri urusan Pendekar Mabuk itu?"

"Hanya sekadar ingin membantu mencarikan 'Tuak Dewata' dan menyembuhkan si Gila Tuak."

"Hanya itulah tujuannya?" tanya Eyang Putri Batari bernada menyindir, karena penguasa Gerbang Siluman itu yakin di balik niat itu tersembunyi maksud lain bagi pihak Istana Laut Kidul.

"Apakah kau keberatan jika Suto Sinting kubawa ke Istana Laut Kidul?" Payung Serambi justru ganti bertanya.

"Jika aku keberatan apa yang akan dilakukan oleh pihakmu?"

Payung Serambi tersenyum sinis. "Jangan salahkan diriku jika aku sampai menggunakan kekerasan untuk membawa Suto Sinting ke Istana Laut Kidul."

"Kau mulai membuka pintu pertempuran dengan pihakku jika begitu caranya, Payung Serambi."

"Salahkah jika hal itu kulakukan demi tugasku membawa pulang Pendekar Mabuk?"

Eyang Putri Batari tersenyum manis. Namun pandangan matanya mulai memancarkan permusuhan yang samar-samar. "Tahukah kau bahwa Suto Sinting sudah digariskan oleh nasib hidupnya harus berjodohan dengan cucuku; Dyah Sariningrum?!"

"Pembicaraan ini mulai melantur, Putri Batari!" kata Ratih Kumala yang tampaknya tak mau terlalu banyak bicara. "Sebaiknya sekarang biarkan aku pulang bersama Pendekar Mabuk. Kumohon kau tidak menghalangi niatku membawa Suto ke Istana Laut Kidul!"

"Suto tidak ada di sini!" tegas Eyang Putri Batari. "Dia sedang mencari 'Tuak Dewata' di tempat lain."

"Omong kosong, Batari! Pasti kau tahu di mana Suto berada."

Senyum tipis Eyang Putri Batari mekar kembali di wajah cantiknya. "Nada bicaramu mulai mengarah ke permusuhan, Ratih Kumala."

"Tergantung bagaimana sikapmu terhadapku. Jika kau tetap sembunyikan Suto Sinting, maka berarti kau membuka permusuhan denganku, Putri Batari."

"Oh, sepertinya aku enggan bermusuhan dengan anak kemarin sore, Ratih Kumala. Sebaiknya kita tak perlu saling berselisih hanya karena seorang lelaki muda bernama Suto Sinting itu."

"Jika begitu, keluarkan Suto dari tempat persembunyianmu, Putri Batari!"

"Kalau kau menyangka aku sembunyikan Suto, cobalah ambil sendiri dengan kekuatan ilmu yang ada pada dirimu! Kurasa kau bisa meneropong dengan kekuatan batinmu apakah Suto kusembunyikan atau tidak."

"Kau licik!" geram Payung Serambi. "Sebelum aku melewati gapura depan, kau telah melumpuhkan ilmu 'Tembus Batin'-ku lebih dulu, sehingga aku tak bisa menggunakannya!"

"Aku hanya menjaga kewaspadaan saja. Tak ingin orang lain mengetahui isi hatiku. Jika kau bermaksud baik datang kemari, maka kau harus melepaskan ilmu 'Tembus Batin-mu itu."

"Sekarang kuminta kembali ilmu 'Tembus Batin'-ku itu!" tegas Payung Serambi.

"Tinggalkan dulu tempat ini dan kau akan memperoleh ilmu itu di perjalanan nanti."

"Serahkan dulu Pendekar Mabuk, baru akan kutinggalkan tempat ini!"

"Tak ada yang bisa kuserahkan padamu, Ratih Kumala! Jangan memaksaku untuk bersikap kasar kepadamu."

"Sudah kepersiapkan diriku untuk menerima perlakuan kasar darimu, Batari! Karena aku pun sudah mempersiapkan kekasaran tersendiri untukmu!"

"Bicaramu terlalu besar bagiku. Sebaiknya kurangilah agar kau tak menjadi gagu di depanku!"

Payung Serambi sunggingkan senyum sinis. "Kau pikil ak... ak... uuh, ahh... uah, uah...!"

Payung Serambi menjadi tegang setelah tahu ternyata suaranya pun dikacaukan oleh kekuatan batin Eyang Putri Batari. Ia telah menjadi gagu sejak Eyang Putri Batari mengatakan 'gagu' di depannya tadi.

"Uuh, eeha... eha... uuah, uuh..,!" Payung Serambi mulai tampak berang, tangannya menuding-nuding Eyang Putri Batari. Gerakan tangannya itu menandakan kemarahan yang dalam, bahkan kini bergerak-gerak sebagai isyarat menantang pertarungan kepada Eyang Putri Batari di luar gerbang.

Senyum penguasa Gerbang Siluman itu semakin lebar dan tetap berpenampilan kalem. "Jangan menantangku. Kumohon jangan menantangku. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dan diantara kita jangan ada saling mengganggu."

"Uuaah, ah, ah, uuuuh... ueeh. Aaah, uh, ua, ua...!"

"Ah, kau ini memang gadis yang suka penasaran," ujar Eyang Putri Batari sambil geleng-geleng kepala tanda menyimpan kekesalan hati. "Baiklah. Sekarang kita sudah ada di luar Gerbang Siluman, apakah kau tetap ingin menantang pertarungan denganku?"

Payung Serambi sedikit terperanjat setelah menyadari bahwa diri mereka sudah tidak berada di dalam istana kecil tadi. Tahu-tahu saja mereka sudah berada di tanah tandus datar di depan gapura yang menjadi jalan utama masuk ke Gerbang Siluman. Tapi rasa heran dan terkejut itu disembunyikan Payung Serambi rapat-rapat. Kini yang dipikirkan adalah menghadapi Eyang Putri Batari dan memaksa perempuan itu tunjukkan di mana Suto berada.

Sreet...! Payung Serambi segera cabut pedangnya tanpa tanggung-tanggung lagi. Pedang itu menyala merah bagai terpanggang api.

Eyang Putri Batari masih tetap tenang, kedua tangan bersedekap di dada dan pandangi Payung Serambi bersama senyum tipisnya. Payung Serambi sudah membuka kuda-kuda dan mulai bersuara. Tapi agaknya kali ini suaranya sudah normal kembali, hingga ia dapat mengungkapkan maksud hatinya.

"Kau sudah keterlaluan, Batari! Jangan sangka aku mundur dari hadapanmu, walau kau telah gunakan kesaktianmu yang bisa mencuri serta mengembalikan suaraku itu. Bersiaplah untuk hadapi seranganku, Batari!"

Wuuus...! Brrukkk...!

Payung Serambi merasa disambar kegelapan sekejap. Hanya sekejap saja, dan ia telah dapatkan dirinya terkapar di tanah dalam keadaan sekujur tubuhnya terasa perih. Sementara itu, dilihatnya Eyang Putri Batari sudah pindah tempat, namun tetap berdiri dengan kalem dan kedua tangannya bersedekap di dada.

"Kurang ajar! Diam-diam kau telah menerjangku tadi, hah?!" gertak Payung Serambi sambil bangkit kembali dan melupakan rasa perih di sekujur tubuhnya.

"Kuingatkan lagi padamu, jangan menantangku bertarung, Ratih Kumala. Sayangilah jiwa dan ragamu."

"Persetan! Kubalas seranganmu tadi, Batari!"

Pedang menyala merah bara itu segera dikibaskan ke samping kanan-kiri sambil memainkan jurus berkaki rendah. Blaaab...! Alam menjadi gelap seketika. Untung hanya sekejap, setelah itu menjadi terang lagi, walau tak berarti seterang siang tadi.

Tetapi lagi-lagi Payung Serambi dibuat heran oleh keadaannya yang sudah terkapar di tanah dalam keadaan sekujur tubuhnya memar biru-biru bagai habis dicubiti puluhan kali.

"Edan! Tak kulihat dia bergerak, tahu-tahu aku sudah tumbang kembali!" gumam hati Payung Serambi dengan napas tertahan untuk menahan rasa sakitnya.

Tiba-tiba ada suara yang berkata, "Tinggalkan dia, Eyang Putri! Biar saya yang hadapi!"

"Oh, kau sudah sampai di sini, Sang Duli?!" ujar Eyang Putri Batari tak menampakkan rasa kagetnya begitu melihat kemunculan Sang Duli, anak buah Ratu Kartika Wangi itu.

"Gusti Ratu Kartika Wangi mengutus saya untuk memulangkan gadis itu ke Laut Kidul, agar tak membuat onar di Gerbang Siluman!"

"Kalau begitu, hadapilah dia dan jangan ragu-ragu untuk bertindak!" ujar Eyang Putri Batari, lalu tiba-tiba saja tempat itu menjadi kosong. Sang Duli ingin mengatakan sesuatu tak jadi, sebab Eyang Putri Batari telah tiada tanpa tinggalkan angin dan suara. Kini yang ada hanyalah Payung Serambi yang sedang menarik napas murni untuk obati luka dalamnya akibat terjangan Eyang Putri Batari yang mirip datangnya kegelapan tadi.

Sang Duli adalah prajurit unggulan dari Puri Gerbang Surgawi, pengawal tangguh Ratu Kartika Wangi. Pakaiannya serupa dengan Sang Tiara; serba merah, rambut cepak, pedang di punggung. Sang Duli memang satu kelompok dengan Sang Tiara yang selalu tampil sendirian dalam menghadapi musuh dari mana pun.

Perbedaan Sang Duli dengan Sang Tiara hanya pada wajahnya. Wajah Sang Duli sedikit lonjong dan tampak lebih matang dalam hidupnya dibanding Sang Tiara. Di sudut dagu kirinya terdapat tahi lalat kecil seperti sebutir pasir, sedangkan Sang Tiara tanpa tahi lalat di wajahnya.

Sang Duli memandang dingin kepada Payung Serambi, sedangkan yang dipandang pun membalas dengan sorot tatapan mata lebih dingin lagi. Pedang membara merah masih di tangan Payung Serambi, sementara Sang Duli masih belum mau mencabut pedangnya dari punggung.

"Perlukah kita mengadu pedang hanya untuk memperebutkan orang yang tidak ada?" ujar Sang Duli dengan tenang.

"Cabut pedangmu, akan kucoba setinggi apa kau memiliki ilmu pedang!" tantang Payung Serambi.

"Baik kalau itu maumu!"

Sreeet...! Sang Duli mencabut pedangnya. Pedang itu memancarkan cahaya hijau bening bagai lumut-lumut di dalam gua menuju istana Puri Gerbang Surgawi itu. Bahkan ujung gagang pedangnya yang berbentuk bunga sedang mekar itu juga memancarkan cahaya hijau bagai mengandung fosfor.

"Hiaaah...!" Payung Serambi melemparkan pedangnya. Wuuuut...!

Sang Duli juga melemparkan pedangnya. Weees...! Lalu, kedua pedang itu bertarung sendiri di udara tanpa dipegangi oleh para pemiliknya. Trang, trang, trang, duaaar...!

Wut, wut...! Kedua pedang terpental setelah terjadi ledakan kecil yang ditimbulkan dari kekuatan adu tenaga dalam dari kedua pedang tersebut.

Wut, taab...! Wuuus, taaab...!

Payung Serambi melompat dan menyambar pedang. Dalam sekejap pedang sudah berada di genggamannya. Demikian pula Sang Duli: segera melompat menyambar pedang. Pedang itu kini sudah berada di genggamannya.

"Ooh...?!" Kedua wanita cantik itu sama-sama terkejut, karena ternyata mereka salah menyambar pedang. Pedang si Payung Serambi di tangan Sang Duli, sedangkan pedang Sang Duli di tangan Payung Serambi. Keduanya pun sama-sama menggeram gemas.

Wuuut, wuuus...!

Keduanya sama-sama melemparkan pedang. Pedang itu dilemparkan ke arah lawan, bergerak lurus bagaikan tombak. Dan di pertengahan jarak, kedua ujung pedang itu saling berbenturan dan timbulkan daya ledak cukup besar.

Blaaarrr...! Cahaya merah kehijauannya membias terang, melebar menutupi pandangan mata mereka. Namun kejap berikutnya, mereka sama-sama melihat pedang masing-masing telah tak memancarkan sinar lagi dan kembali kepada pemiliknya.

Teb, teeeb...! Mereka sama-sama cekatan dalam menangkap pedang masing-masing dengan satu lompatan ke atas. Weees...!

"Aaaouh...!" tiba-tiba Payung Serambi terpekik dan segera melepaskan pedangnya. Ternyata telapak tangan Payung Serambi menjadi melepuh dan kemerah-merahan bagai habis menggenggam besi membara. Sedangkan Sang Duli tampak tenang-tenang saja setelah menangkap pedangnya dan memasukkan ke dalam sarung pedang di punggung.

Tetapi dalam hati Sang Duli segera menggerutu, "Sial! Darahku terasa mau membeku setelah menyambar pedang sendiri. Rupanya Payung Serambi telah salurkan hawa saljunya saat melemparkan pedangku kemari!"

Payung Serambi pun membatin hal serupa, tapi ia tambahkan dalam ucapan batinnya, "Ini hanya buang-buang waktu saja. Lawanku masih kuanggap kelas rendah. Sebaiknya aku segera melaporkan hal ini kepada Gusti Ratu Kandita agar Gerbang Siluman diserang habis jika Putri Batari masih tetap sembunyikan Suto Sinting!"

Gagang pedang sudah dingin kembali. Payung Serambi mengambilnya dari tanah. Kemudian ia berkata kepada Sang Duli. "Tunggu saatnya tiba! Gerbang Siluman akan kuhancurkan bersama segenap kekuatan dari Istana Laut Kidul!"

Setelah berkata begitu. Payung Serambi pun pergi bagai menghilang dari pandangan Sang Duli. Laaaab...!

* * *

EMPAT

PEMUDA berambut lurus tanpa ikat kepala itu masih duduk bersila tanpa menyentuh tanah. Sudah beberapa hari ini Suto Sinting duduk melayang setinggi dua jengkal. Sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena Suto mempunyai ilmu 'Layang Raga', tetapi yang diperlukan hanya duduk tanpa menyentuh bumi, tak perlu tinggi-tinggi.

"Untuk apa tinggi-tinggi, nanti malah kesamber petir!" ujarnya dalam hati saat ingin mengawali semadinya.

"Jangan menengok ke belakang selama bertapa," Sang Tiara mengingatkan. Gadis itu ikut lakukan duduk bersila tak menyentuh bumi. Rupanya ia juga mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan.

Tugasnya duduk mengambang di belakang Suto Sinting adalah membantu kekuatan batin sang pendekar tampan itu agar segera sampai pada tujuan, bertemu dengan Hyang Maha Dewa untuk meminta petunjuk tentang 'Tuak Dewata' itu. Tentu saja selama bertapa, mereka tak saling bertegur sapa. Bahkan mereka juga tidak bicara dalam batin, hingga suasana sepi dan hening selalu menyertai mereka berdua. Dalam selimut keheningan selama beberapa hari, tiba-tiba Pendekar Mabuk mendengar seseorang bicara di depannya dengan suara lirih.

"Bukalah matamu, hentikan semadimu, Suto."

"Suara perempuan?!" batin Suto tergugah. "Suara siapa itu, ya?"

Suara tersebut terdengar lagi, "Bukalah matamu dan pandanglah siapa yang datang padamu kali ini. Aku ingin bicara tentang 'Tuak Dewata', Suto."

Mendengar 'Tuak Dewata' disebut-sebut, Pendekar Mabuk segera membuka matanya dan nyaris terpekik kaget, karena yang ada di depannya ternyata adalah seorang perempuan awet muda yang kecantikannya seperti gadis berusia dua puluh lima tahun. Perempuan itu berpakaian ketat ungu muda dengan jubah ungu tua. Rambutnya disanggul sebagian sisanya diriap sampai pundak.

Perempuan itu bukan saja cantik, tapi juga bertubuh sekal, padat berisi, dan dadanya tampak montok serta kencang. Matanya indah, namun memancarkan kegalakan dalam bercumbu,

"Sumbaruni...?!" ucap Suto Sinting dalam nada berbisik heran.

"Ya, aku memang Sumbaruni, orang yang selama ini mencintaimu tapi tak pernah kau balas."

Pendekar Mabuk merasa hatinya digores oleh keharuan, ia ingat, bahwa Sumbaruni alias Pelangi Sutera selama ini memang sangat mencintainya. Janda bekas istri Jin Kazmat itu sering menunjukkan pembelaannya dalam membantu Suto menghadapi maut. Rasa cintanya membuat Sumbaruni rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan Suto Sinting. Sekalipun ia tahu Suto sudah punya calon istri Dyah Sariningrum, tapi Sumbaruni tetap nekat mencintai Pendekar Mabuk, dan bila perlu siap bertarung melawan Dyah Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Tanpa Tapak).

Sekalipun sekarang Suto merasa berhadapan dengan Sumbaruni yang berilmu tinggi itu, tapi ia tetap duduk bersila di udara dalam posisi kedua tangannya berada di pangkuan. Suto memandang haru melihat Sumbaruni tampak memendam duka akibat cintanya yang tak pernah terbahas itu.

"Mengapa kau datang ke tempat ini, Sumbaruni?"

"Aku rindu padamu, Suto," ucap Sumbaruni lirih sekali dengan mata jalangnya menjadi sayu. "Kudengar kau mencari 'Tuak Dewata' untuk obati gurumu; si Gila Tuak itu."

"Memang benar, Sumbaruni. Apakah kau tahu di mana 'Tuak Dewata' itu bisa kudapatkan?!"

"Ya, aku memang tahu. Tapi... tapi aku tak mau memberitahukan padamu begitu saja."

"Mengapa begitu, Sumbaruni?"

"Karena... karena kau membiarkan hatiku merana selama ini. Kau membiarkan aku menderita batin, sementara kau tahu betapa aku sangat mencintaimu, Suto."

"Maafkan aku, Sumbaruni," ucapan Suto semakin pelan. Ia tetap duduk bersila di udara.

"Kau pun tahu bahwa aku seorang janda yang tak mau menerima kehangatan dari pria mana pun kecuali dari dirimu, Suto. Aku selama ini kesepian dan kau pergi tak pernah mau menengokku."

"Aku akan bersamamu jika 'Tuak Dewata' sudah kudapatkan dan Guru sudah bisa sembuh seperti sediakala. Untuk itu, katakanlah di mana aku bisa dapatkan 'Tuak Dewata' itu, Sumbaruni?"

Perempuan yang masih tampak muda itu gelengkan kepala. Pandangan matanya semakin sayu, bahkan kini ia mendekati Suto dan berhenti dalam jarak dua langkah di depan Suto. "Aku mau mengatakannya setelah kau mau mengisi kesepian hatiku dengan kehangatan asmaramu, Suto."

"Sumbaruni, ini bukan pada tempatnya...."

"Aku tak peduli lagi, karena selama ini aku sudah menunggu dan aku lelah menunggu sambil menderita batin, Suto. Sekarang aku tak bisa menahan gairahku lagi. Karenanya kucari kau dan aku inginkan cumbuanmu, Suto."

"Oh, Sumbaruri... kuharap kau bisa memahami kesulitanku saat ini."

"Tidak, Suto!" ucap Sumbaruni sambil melepas jubah ungu tuanya. Jubah itu dilepas dengan pelan-pelan dengan pandangan mata lembut sayu memancing gairah Pendekar Mabuk.

"Aku tak bisa mengerti lagi tentang dirimu, karena dirimu tak pernah mau mengerti kebutuhan batinku, Suto. Ooh... hentikan dulu semadimu itu dan bercumbulah denganku walau sekejap saja, Suto."

Sumbaruni kian mendekat. Kini ia berada dalam satu jangkauan tangan Suto. Wajahnya tampak dibungkus oleh hasrat bercumbu yang meletup-letup dalam hati. Bibirnya sesekali dijilat sendiri, namun kini digigit sendiri sambil tangannya melepas pengait penutup dadanya. Begitu penutup dada terlepas, tampak jelas di depan mata Suto dua gumpalan daging yang berkulit mulus dan membengkak kenyal bagai menantang untuk dipagut.

"Lihatlah, selama ini dadaku menunggu sentuhan bibirmu, Suto. Ooh... tak ada buruknya jika kau hentikan semadimu sebentar dan sentuhlah ujung-ujung dadaku ini. Sebentar saja, Suto...," pinta Sumbaruni sambil tangannya merayapi tubuhnya sendiri, pinggulnya meliuk-liuk dan pandangan matanya kian sayu.

Jantung Suto dibuat berdebar-debar karena mulai terbakar gairah begitu melihat dada yang terlepas bebas tanpa penghalang itu. Bahkan kini Sumbaruni juga melepaskan celana ketatnya pelan-pelan dengan suara mendesah-desah penuh ajakan bercumbu.

"Suto, dekaplah aku sebentar saja agar aku dapat hidup tenang kembali, Suto...! Oouh... ambillah ini! Ambillah, Sayangku...."

Pendekar Mabuk hanya bisa menelan ludah sendiri dan tetap duduk bersila tanpa menyentuh tanah ketika Sumbaruni mulai berani menyodorkan dadanya mendekati mulut Suto Sinting. Tantangan itu makin lama semakin membuat keringat dingin Suto mencucur di sekujur tubuhnya.

Apalagi sekarang Sumbaruni meliuk-liuk dengan gemulainya sambil matanya terbeliak dan tangannya meraba bagian terpeka bagi seorang wanita, Suto Sinting menjadi semakin sesak napas dan sulit dilontarkan kata apa pun. Napasnya pun mulai terdengar memburu, walau ia masih bertahan untuk duduk bersila tanpa menyentuh bumi.

"Suto, ayolah... peluklah aku. Aku sudah siap menerima amukan asmaramu, Sayang. Cumbulah aku sekarang juga, Suto...," sambil Sumbaruni duduk bersandar pada dinding, ia meliuk-liuk dengan gerakan pinggul yang membuat lelaki mana pun akan panas dingin jika melihatnya.

Gua itu dipenuhi oleh suara desah dan erangan Sumbaruni yang menyerupai tangis pengharapan. Hati Pendekar Mabuk bukan saja tergugah untuk memberikan cumbuan ala kadarnya, namun juga merasa kasihan melihat Sumbaruni menggelepar-gelepar seperti cacing kepanasan itu. Namun tiba-tiba ia mendengar suara berbisik lembut di telinga kirinya,

"Pejamkan mata. Dia hanya iblis penggoda!"

Suara itu dikenali Suto sebagai suara Sang Tiara. Tetapi bagi Suto, memejamkan mata dalam keadaan seperti itu adalah hal yang paling sulit dilakukan. Sebab Sumbaruni kini semakin menjadi-jadi. Ia bagaikan bercumbu dengan tangannya sendiri. Suaranya memanggil-manggil Suto Sinting penuh daya tarik yang semakin membakar gairah Suto.

"Kedipkan matamu sekarang juga, Suto! Kedipkan matamu!" bujuk suara Sang Tiara yang rupanya telah mengirimkan bisikannya melalui kekuatan batin.

"Sutooo... lekaslah datang kemari, Sayang...," rengek Sumbaruni bagai tak tahu malu lagi.

Pada saat itu, Suto segera memejamkan mata sekejap, ia bagaikan berkedip satu kali, dan ketika mata itu terbuka kembali, ternyata Sumbaruni tak ada. Jubah dan pakaian gadis itu yang tadi berserakan di depan Suto juga telah hilang tanpa bekas. Suasana gua menjadi hening, tak ada suara Sumbaruni yang merengek-rengek minta dicumbu.

"Ternyata tadi benar-benar hanya godaan." pikir Suto Sinting, kemudian ia memejamkan mata kembali sambil menenangkan jantungnya yang tadi sudah nyaris pecah karena dibakar tuntutan gairah.

Hari berikutnya, keheningan bertapa sang Pendekar Mabuk diganggu lagi oleh kedatangan suara yang menyuruh Suto menghentikan bertapanya.

"Hentikan bertapamu dan katakan apa yang kau inginkan sebenarnya Suto."

Mata sang pendekar muda segera dibuka. Byaaak...! Ia terkejut melihat seorang pemuda berusia sekitar sembilan belas tahun berdiri di depan pintu gua. Pemuda yang mengenakan pakaian rompi dan celana hijau muda itu telah berada di dalam gua dan sedang berdiri memperhatikan Suto dengan sikap meremehkan apa yang dilakukan Suto saat itu.

Pemuda tersebut mempunyai rambut panjang digulung di tengah kepalanya sisanya meriap sepundak, ia berkulit kuning dan berwajah tampan. Dengan pedang sarung perak di pinggangnya, pemuda itu tampak gagah dan perkasa.

"Darah Prabu...?!" ucap Suto pelan sekali.

"Syukur kau masih mengingatku, Suto," kata Darah Prabu sambil dekati Suto.

"Kusarankan hentikan saja usahamu mencari 'Tuak Dewata' itu."

"Mengapa kau memberiku saran begitu, Darah Prabu?"

"Karena 'Tuak Dewata' sudah diminum habis oleh guruku: Resi Badranaya!"

Deeeg...! Jantung Suto seperti ditendang keras saat mendengar ucapan tersebut.

"Ternyata kau masih bodoh dan tidak secerdas diriku, Suto. Guruku juga sakit, sama seperti Eyang Gila Tuak. Tetapi aku segera bisa dapatkan 'Tuak Dewata' dari seorang pendeta di pegunungan Tibet. Tuak itu segera diminum habis oleh guruku, lalu dalam waktu sangat singkat, guruku menjadi sehat dan sekarang justru sedang mempersiapkan liang kubur untuk Gila Tuak. Sebab gurumu saat ini dalam keadaan tinggal menunggu lepasnya nyawa saja."

Pendekar Mabuk gemetar walau masih tetap bersila tanpa menyentuh bumi. Darahnya mulai seperti dibakar, panas sekali dan menggetarkan seluruh urat dan persendiannya. Hatinya diserang oleh rasa malu, kecewa, sedih, dan cemas. Pandangan matanya mulai memancarkan kebencian kepada Darah Prabu.

"Dengar, aku datang bukan sebagai penggoda, tapi benar-benar sosok yang nyata. Kau bisa menyentuhku!" ujar Darah Prabu sambil sodorkan tangannya. "Peganglah tanganku."

Tapi Pendekar Mabuk hanya diam saja dan tak mau menyentuh tangan itu. Darah Prabu tersenyum sinis dan berkata dengan wajah didekatkan, sekitar dua jengkal dari depan Suto.

"Pulanglah! Gurumu ingin bertemu denganmu yang terakhir kalinya. Aku disuruh menyusulmu!"

Gigi Suto menggeletuk. Ingin rasanya segera menghantam wajah Darah Prabu tanpa peduli mereka sebenarnya bersahabat. Tetapi tiba-tiba Sang Tiara kirimkan suara bisikannya lagi melalui kekuatan batinnya.

"Pejamkan mata, dan jangan lagi layani godaan itu!"

Pendekar Mabuk memejamkan mata sebentar. Hanya satu helaan napas, ia segera membuka mata kembali. Ternyata Darah Prabu sudah tak ada. Tempat itu tetap sepi, seperti tak pernah dimasuki orang lain kecuali mereka berdua.

"Berarti yang hadir tadi benar-benar godaan. Bukan sosok Darah Prabu yang sebenarnya. Ooh... hampir saja murkaku terlepas dan 'Napas Tuak Setan'-ku keluar memporak-porandakan tempat ini!" pikir Suto Sinting. Lalu, ia memejamkan matanya kembali. Namun baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki masuk ke gua itu dan seseorang berseru memanggilnya dengan nada gugup.

"Suto, Sutooo... oh, tolong aku, Suto...!"

Mata pemuda itu terbuka kembali. Hatinya tersentak melihat seorang perempuan muda yang cantik dan menjadi buah khayalannya selama ini. Perempuan itu mengenakan jubah kuning sutera dengan pakaian dalam biru lembut. Rambutnya yang disanggul itu bermahkota indah. Mengenakan kalung 'sangsangan susun' sebagai tanda masih gadis suci. Perempuan cantik itu tak lain adalah orang yang bergelar Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli Dyah Sariningrum.

"Dyah...?!" Suto bersuara sedikit menyentak.

"Suto, hentikan dulu semadimu. Aku dikejar-kejar oleh seseorang dan...," belum selesai Dyah Sariningrum bicara, tiba-tiba muncul si pengejar yang berkerudung hitam dari atas kepala sampai kaki.

Lelaki berkerudung hitam memegang tombak pusaka yang dinamakan pusaka El Maut. Wajah dingin di balik kerudung hitam itu sangat dikenali oleh Suto sebagai wajah manusia sesat yang menjadi musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa alias Durmala Sanca.

Gemetar seluruh tubuh Suto Sinting ketika melihat Siluman Tujuh Nyawa masuk ke gua tersebut dan segera mendekati Dyah Sariningrum. Suto Sinting masih diam bersila tanpa menyentuh bumi dengan hati mulai diguncang kebimbangan untuk hentikan bertapanya atau melanjutkannya. Sementara itu, Dyah Sariningrum berusaha menghindari kejaran Siluman Tujuh Nyawa, namun ia terpelanting dan hampir jatuh kalau tidak segera disambar oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa itu.

"Sutooo... Sutooo...! Oh, tolong aku, Sutooo...!" Dyah Sariningrum meronta keras, tapi Siluman Tujuh Nyawa berhasil mendekapnya. Wajah perempuan itu segera diciuminya dengan kasar dan liar. Kain kerudung hitam terlepas dari kepala, sehingga rambut Siluman Tujuh Nyawa yang panjang itu meriap ke sana-sini diamuk tangan Dyah Sariningrum. Perempuan itu terdesak di dinding dan tangan Siluman Tujuh Nyawa dengan kasar menarik kain penutup dada. Breeet...! Tees...!

"Aaauw...!" jerit Dyah Sariningrum sambil meronta, namun agaknya tenaganya tak mampu mengungguli kekuatan Siluman Tujuh Nyawa, sehingga wajah Durmala Sanca itu segera berhasil mendusal di dada Dyah Sariningrum. Dua gumpalan lembut yang tampak sekal dan kencang itu menjadi santapan lezat bagi Durmala Sanca.

Dada Suto Sinting terasa mau jebol melihat kekasihnya diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa. Napasnya mulai terasa menggetarkan seluruh dinding gua, karena napas kemarahan Suto adalah 'Napas Tuak Setan' yang dapat hadirkan bencana besar bagi alam yang ada di depannya, ia sudah pejamkan mata dua kali, namun pemandangan itu masih terlihat jelas di depan matanya.

"Pejamkan sekali lagi, itu hanya godaan!" bisik suara Sang Tiara. Namun hati Suto ragu dengan bisikan tersebut.

* * *

LIMA

SANG TIARA benar-benar sangat membantu kelangsungan semadi Pendekar Mabuk. Tanpa bisikan batin Sang Tiara, Suto sudah mengalami kegagalan berulang kali karena tak tahan menghadapi godaan. Untung ia mengikuti saran Sang Tiara untuk mengedipkan mata yang ketiga kalinya, sehingga pemandangan yang mendidihkan darah dan menjebolkan dada itu sirna tanpa bekas. Ternyata pemandangan Dyah Sariningrum diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa itu hanya godaan iblis belaka. Bayangan semu yang sangat menyiksa jiwa, telah lenyap tanpa bekas apa pun, kecuali bekas luka memar di hati Suto membayangkan seandainya Dyah Sariningrum benar-benar diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa.

Tujuh hari lamanya Suto menghadapi gangguan yang beraneka ragam. Selama ia mengikuti bisikan Sang Tiara, maka ia tetap selamat dalam semadinya itu. Sampai akhirnya, sebuah suara datang dan bicara kepadanya dengan jelas dan lantang.

"Edan! Sekarang gangguannya datang dalam bentuk suara tanpa rupa!" Suto membatin dalam kebungkamannya.

"Suto, tetaplah di tempatmu dan dengarkan saja suaraku ini," ujar suara tersebut yang masih dianggap sebagai godaan bagi Suto.

"Setelah aku selesai bicara nanti, cepatlah pergi ke Gerbang Siluman. Atasi keributan di sana dan jangan biarkan Gerbang Siluman dihancurkan oleh orang-orang Istana Laut Kidul."

Mendengar ucapan itu, Suto Sinting mulai sangsi dengan anggapannya tadi. Bahkan hatinya pun berkata, "Sepertinya kali ini aku tidak sedang berhadapan dengan godaan seperti hari-hari kemarin. Suara itu agaknya bicara padaku dengan sungguh-sungguh."

Suara Sang Tiara pun terdengar berbisik melalui batinnya, "Ini memang suara asli, bukan godaan! Bicaralah padanya dan haturkan sembah serta hormat kepada pemilik suara itu, Suto."

Hati Suto pun tergugah untuk segera mengakui bahwa ia sedang bicara dengan tokoh tingkat tinggi yang tak mau menampakkan wajahnya. Suto juga merasakan hadirnya suasana hormat yang berkharisma pada saat itu.

Angin yang selama ini tak dirasakan berhembus, kali ini terasa menerpa tubuh Suto, hingga helai-helai rambutnya tersingkap ke belakang. Angin sejuk itu mengawali datangnya suara tanpa rupa yang segera disambut oleh Suto dengan kepala menunduk dan tubuh yang mengambang turun ke bumi. Kini ia duduk bersila dengan menyentuh bumi.

"Kumohon penjelasan sejujurnya, siapa yang sedang bicara denganku ini?!" ujar Suto Sinting dengan nada tegas dan bersungguh-sungguh.

"Aku adalah yang selama ini berada dalam bumbung tuakmu, Suto!"

Pendekar Mabuk kerutkan dahinya kuat-kuat, karena ia tak paham maksud kata-kata itu. Walaupun ia akhirnya mempunyai kesimpulan tentang suara tersebut, tapi ia sangsi dengan kesimpulannya sendiri. Tak heran jika Suto pun mendesak suara tersebut untuk mengaku dengan jelas siapa dirinya.

"Jika kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, aku tak mau mendengarkan kata-katamu!"

"Kurasa kau telah menyimpulkan dalam hatimu siapa diriku sebenarnya," ujar suara itu bernada tegas dan berwibawa. "Jangan kau bantah sendiri kesimpulan batinmu itu, Suto. Memang akulah yang bicara padamu saat ini. Aku adalah yang selalu menyertaimu ke mana pun kau pergi, karena aku selalu kau bawa-bawa dalam keadaan senang maupun susah."

"Apakah... apakah kau adalah jelmaan dari bumbung tuakku?"

"Benar! Kau tak perlu sangsikan diriku."

"Ooh...? Jadi... jadi kau adalah Eyang Buyut Guru...."

"Jangan kau sebut namaku jika kau tak ingin Gua Pedupan ini hancur karena badai!"

"Ampun. Eyang Buyut Guru...!" Suto Sinting langsung bersujud menyembah hingga wajahnya mencium tanah. Sang Tiara pun ikut-ikutan bersujud memberi hormat tinggi-tinggi.

Suto segera mengetahui bahwa suara itu adalah milik seorang tokoh lama yang menjadi gurunya Eyang Purbapati dan Nini Galih. Sedangkan Nini Galih dan Purbapati adalah guru dari Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Suto tahu, siapa yang menjelma menjadi bumbung tuaknya. Suto juga tahu, siapa yang namanya tak boleh disebut, sebab jika disebutkan akan datang badai petir mengerikan. Tokoh sakti itu tak lain adalah Wijayasura yang dalam silsilahnya sebagai Eyang Buyut Guru dari Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru). "Suto, kusarankan padamu, hentikanlah semadimu ini, Nak. Kau sudah menjadi seorang pemuda yang sarat dengan kesaktian, ilmu yang kau miliki sudah termasuk ilmu gila-gilaan, sampai-sampai kau dijuluki Suto Sinting. Kurasa sudah tak perlu harus lakukan semadi. Apakah kau masih merasa kekurangan ilmu?"

"Tidak, Eyang Buyut Guru!"

"Ya, kurasa kau memang tidak kekurangan ilmu. Apalagi kau sudah memiliki 'Dewatakara' yang sangat ampuh dan sakti itu! Kau sudah menjadi orang yang hebat, Cucu buyutku! Hebat sekali. Sampai-sampai karena terlalu hebat, kau tak bisa membedakan mana ilmu yang termasuk aliran silatmu dan mana yang bukan. Buktinya, kau merasa bangga dan gembira menerima ilmu 'Dewatakara' dari pengikutnya Ratu Laut Kidul itu!"

Pendekar Mabuk diam sesaat, ia merasa disindir dan menjadi semakin tak enak hati menerima sindiran itu. Rasa sesal semakin membengkak dalam jiwa Pendekar Mabuk, ia mengakui telah lakukan kecerobohan pada saat bertemu dengan Payung Serambi dan menerima titisan ilmu 'Dewatakara' itu.

"Maaf, Eyang Buyut Guru. Saya mengakui telah lakukan kesalahan yang tidak patut dilakukan oleh seorang murid aliran si Gila Tuak," ujar Suto akhirnya mengakui kebodohannya. "Tetapi semua itu sangat di luar dugaan saya, Eyang. Saya tidak tahu kalau ilmu itu tidak boleh saya miliki karena berbeda aliran. Terus terang, saya terlalu silau dengan kecantikan Payung Serambi, sehingga apa pun yang dilakukan dan dimilikinya membuat hati saya terkagum-kagum, kemudian timbul rasa ingin menjadi seperti dirinya."

"Itulah sifat manusia yang harus dikendalikan dengan pikiran bersih. Cucu buyutku. Setiap manusia mempunyai keinginan. Tetapi keinginan itu bukan merupakan jaminan dari kebenaran langkahnya. Kau harus bisa membedakan, mana keinginan yang dapat membuat langkahmu menjadi benar. Nak!"

"Sekali lagi, saya mohon ampun. Eyang! Saya berjanji tidak akan sembarangan menerima ilmu dari orang lain, tanpa seizin Kakek Guru; si Gila Tuak atau Bibi Guru; Bidadari Jalang."

Hening sejurus, Pendekar Mabuk mempertajam pendengarannya, termasuk pendengaran batinnya. Tapi agaknya suara Eyang Wijayasura masih menunggu ucapan berikut dari sang cucu buyut. Maka Suto Sinting pun perdengarkan kembali suaranya dengan penuh hormat dan kesopanan yang tinggi.

"Apakah kesalahan saya ini tidak bisa diampuni lagi, Eyang Buyut Guru?"

"Tentu saja bisa," jawab suara sakti itu. "Karena sebetulnya letak kesalahan ini bukan hanya padamu. Gila Tuak juga ikut bersalah. Mengapa sampai tak mengetahui bahwa muridnya tersusupi ilmu aliran lain?"

"Saya mohon. Eyang Buyut Guru jangan menyalahkan Kakek Gila Tuak. Beliau sama sekali tidak tahu menahu tentang Ilmu 'Dewatakara' yang telah saya miliki ini. Saya sendiri belum pernah menceritakan kepada Kakek Gila Tuak, Eyang!"

"Sekalipun begitu, mestinya Sabawana mengetahui keberadaan ilmu asing di dalam diri muridnya! Untuk apa namanya ada di deretan teratas dari daftar orang-orang sakti itu jika persoalan begini saja tidak mengetahuinya?"

Pendekar Mabuk merasa tak patut melibatkan si Gila Tuak. Ia ingin menanggung kesalahan itu tanpa melibatkan siapa pun. Karenanya, ia segera ajukan alasan demi membela si Gila Tuak.

"Eyang Buyut Guru. saya rasa Kakek Guru Gila Tuak adalah manusia. Selama beliau menjadi manusia, tentunya tidak akan bebas dari kesalahan sekecil apa pun. Apalagi dalam usianya yang telah cukup banyak ini. Jadi, wajar jika Kakek Guru lakukan kesalahan karena khilaf dan sebagainya. Tetapi pada dasarnya, sayalah yang bersalah dan siap menerima hukuman, Eyang."

Lalu terdengar suara orang menggerutu, "Kau ini selalu saja membela si Gila Tuak. Ya, sudah! Kumaafkan kalian, tapi segera buang ilmu itu."

"Baik, Eyang!"

"Hentikan bertapamu itu. Kau melakukan sesuatu yang sia-sia. Lebih baik kau segera pergi ke Gerbang Siluman dan mengatasi keributan di sana. Istana Laut Kidul menyerang istriku karena mereka ingin membawamu pulang ke Istana Laut Kidul!"

"Saya tidak akan pergi ke mana-mana sebelum mendapatkan 'Tuak Dewata', Eyang Buyut Guru! Kakek Gila Tuak sedang sakit dan butuh obat 'Tuak Dewata'."

"Tuak yang kau cari itu tidak ada!"

"Harus ada, Eyang!"

"Tidak ada! Biar sampai seratus turunan kau mencarinya, tidak akan berhasil kau temukan. 'Tuak Dewata' tidak ada yang punya."

"Lalu bagaimana harus mengobati sakitnya Kakek Guru; si Gila Tuak itu, jika 'Tuak Dewata' tidak saya temukan, Eyang Buyut Guru?!"

"Biarkan si Gila Tuak menjalani garis hidupnya sendiri. Kau tak bisa mencegah kematian seseorang yang sudah menjadi garis kehidupan terakhirnya itu!"

"Tidak! Firasat saya mengatakan, Kakek Guru Gila Tuak belum tiba pada akhir kehidupannya. Kakek Guru masih bisa tertolong dengan kesaktian 'Tuak Dewata' itu!"

"Jangan membangkang di depanku, Suto! Pergi dan tinggalkan tempat ini. Kembalilah pada si Gila Tuak dan terimalah kenyataan yang ada. Sebelumnya, redakan dulu geger di depan Gerbang Siluman itu, karena hanya kaulah yang bisa membendung amukan dari Istana Laut Kidul."

Dalam keadaan duduk bersimpuh tegak, Suto Sinting tetap tundukkan kepala dan bicara dengan suara tegar. "Firasat saya tetap mengatakan bahwa 'Tuak Dewata' itu memang ada. Jika Eyang Buyut Guru tidak mau sebutkan di mana 'Tuak Dewata' itu berada, saya tidak akan ikut campur dalam keributan di Gerbang Siluman itu!"

Suasana menjadi hening beberapa saat. Suara Eyang Wijayasura tidak terdengar sampai beberapa helaan napas. Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar karena cemas. Namun setelah Pendekar Mabuk menarik napas panjang, suara Eyang Wijayasura terdengar kembali, cukup melegakan hati sang cucu buyut.

"Rupanya kau benar-benar ingin berbakti kepada gurumu itu, Suto."

"Tidak ada kebahagiaan lain bagi saya tanpa kesembuhan Kakek Guru, Eyang Buyut!" tegas Suto.

"Kau memang murid yang patut dibanggakan. Aku tadi hanya menguji kesungguhanmu dalam mengupayakan kesembuhan si Gila Tuak. Ternyata kemauanmu begitu keras dan benar-benar murni tanpa maksud-maksud tertentu!"

"Saya merasa satu napas dengan Kakek Guru Gila Tuak, Eyang Buyut!"

"Ya, ya, ya.... Aku tahu maksudmu," ujar suara Eyang Wijayasura. Dapat dibayangkan saat itu sang Eyang sedang manggut-manggut dan tersenyum bangga sambil pandangi Suto Sinting. "Baiklah, akan kutunjukkan padamu di mana kau bisa dapatkan 'Tuak Dewata' itu. Tapi berjanjilah bahwa kau akan mengusir mereka yang ingin menghancurkan Gerbang Siluman itu!"

"Saya berjanji, Eyang!"

"Bagus." Suara itu kini bergerak menjadi tepat disamping telinga Suto Sinting.

"Sebenarnya, 'Tuak Dewata' itu adalah sebuah kata kiasan, Tuak adalah pengganti kata air, Dewata mewakili kata hidup, karena hidup kita adalah milik Hyang Maha Dewa. Jadi 'Tuak Dewata' adalah air kehidupan. Kau bisa mencari air kehidupan itu jika kau menemui Guru Sejati."

"Di mana saya bisa menemui Guru Sejati itu, Eyang?!"

"Di dalam sepanjang kehidupanmu sendiri. Cepat atau lambat, kau akan dapat bertemu dengan Guru Sejati. Mintalah padanya, karena dialah pemilik air kehidupan itu."

Suto Sinting diam berpikir, ia mencoba memahami kata-kata tersebut. Tapi hanya sebagian kecil saja yang diketahuinya. "Eyang Buyut Guru, sekali lagi saya mohon diberi pandangan ke mana langkah yang harus saya tempuh untuk bertemu dengan seseorang yang berjuluk Guru Sejati itu?"

Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban dari suara Eyang Wijayasura. Bahkan ketika Suto mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali, jawaban yang diharapkan hadir ternyata tetap tidak ada.

"Eyang Buyut Guru...?!" Suto sengaja berseru. Tapi yang didengar adalah suara si pemandu cantik; Sang Tiara.

"Beliau telah pergi, Suto."

"Oh, tidak! Dia harus menjawab pertanyaanku!" ucap Suto dengan nada penuh kecewa, ia semakin tampak resah, sehingga Sang Tiara mencoba untuk menenangkannya.

"Minumlah tuakmu agar kau tenang kembali, Suto," sambil Sang Tiara mengambil bumbung tuak dan menyodorkannya.

Pendekar Mabuk terperanjat melihat bumbung tuak itu ternyata sudah menampakkan diri lagi. Berarti suara Eyang Wijayasura benar-benar telah tiada dan berubah menjadi wujud bambu tempat tuak. Setelah menenggak tuaknya dan sebagai tanda berakhirnya masa semadi, Pendekar Mabuk hempaskan napas sambil berdiri. Sang Tiara yang juga telah berdiri segera perdengarkan suaranya.

"Agaknya kita harus segera ke Gerbang Siluman."

"Tapi aku harus mencari tahu di mana tokoh yang menamakan dirinya Guru Sejati itu berada?!"

"Kurasa bisa ditanyakan kepada istri Eyang Buyut Gurumu itu, Suto."

Maka ingatan Suto pun kembali ke percakapan gaib tadi. Ia ingat bahwa suara Eyang Wijayasura tadi menyebut-nyebut tentang 'istriku'. Suto harus membantu istrinya Eyang Wijayasura. "Siapa yang dimaksud sebagai istri Eyang Buyut Guru tadi?!"

"Siapa lagi kalau bukan Eyang Putri Batari?!"

"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut. "Ja... jadi... jadi Eyang Putri Batari itu istrinya Eyang Buyut Guru?!"

"Kudengar Gusti Kartika Wangi pernah menceritakan silsilah itu di depan kedua putrinya; Dyah Sariningrum dan Betari Ayu."

"Gila!" gumam Suto Sinting menegang, bulu kuduknya menjadi merinding. "Tak kusangka aku juga berjumpa dengan Istri Eyang Buyut Guru. Tak kusangka masih semuda itu istri Eyang Buyut Guru?!"

"Alam keabadian yang membuat kami tetap awet muda, usia kami tak pernah bertambah, wajah kami tak pernah berubah. Seperti kau ketahui sendiri, di sini tak ada siang tak ada malam. Tak ada terang tak ada gelap. Semuanya serba abadi. Demikian pula halnya dengan kecantikan dan usia kami."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan pandangan mata terbengong-bengong, ia tak pernah mendengar cerita tentang istri Eyang Wijayasura dari si Gila Tuak. Karenanya, peristiwa yang dialami saat itu dianggapnya sebagai peristiwa yang sangat penting dan tak akan bisa dilupakan sepanjang hidupnya.

"Suto, bertindaklah sekarang sebelum segalanya terlambat," ujar Sang Tiara mengingatkan Suto pada janjinya tadi. Pendekar Mabuk segera sadar dari lamunannya, kemudian bergegas keluar dari Gua Pedupan.

* * *

ENAM

DENGAN menggunakan ilmu 'Pusar Badai' milik Sang Tiara, mereka berdua tiba-tiba sudah berada di tengah pertempuran yang cukup seru. Pertempuran itu terjadi di depan gapura batu yang menjadi jalan utama menuju Gerbang Siluman. Denting suara pedang beradu terjadi di sekeliling Suto Sinting dan Sang Tiara. Suara pekik kematian pun menggema silih berganti. Ledakan demi ledakan membuat tanah tempat mereka berpijak tiada hentinya dari guncangan.

"Mengapa bisa jadi begini, Tiara?!"

"Entahlah! Yang jelas aku tak mungkin tinggal diam melihat rekan-rekanku bertempur begini!" Sreet...! Sang Tiara pun segera mencabut pedangnya, lalu menghambur ke dalam pertarungan yang sedang terjadi di depan matanya.

Pendekar Mabuk menjadi kebingungan sendiri. Pertempuran itu terjadi antara prajurit berseragam merah seperti Sang Tiara dengan orang-orang berseragam hijau muda. Baik yang berseragam hijau maupun yang berseragam merah terdiri dari perempuan semua. Tak saju pun ada lelaki di antara mereka, kecuali Suto Sinting sendiri.

Melihat seragam merah seperti yang dikenakan Sang Tiara, Suto segera tahu bahwa mereka adalah prajurit dari Puri Gerbang Surgawi, pasukan tempurnya Ratu Kartika Wangi. Sedangkan mereka yang berseragam hijau adalah prajurit dari Istana Laut Kidul, terlihat dari jurus-jurus yang mereka gunakan banyak kemiripan dengan jurus-jurusnya Payung Serambi.

"Celaka kalau begini. Bagaimana aku harus mengambil sikap? Aku seorang Manggala Yudha dari Puri Gerbang Surgawi, seharusnya aku segera turun tangan membereskan tentara perangnya Istana Laut Kidul. Tetapi di sisi lain, aku punya ikatan moral dengan pihak Istana Laut Kidul, terutama terhadap Payung Serambi yang telah banyak menolongku, menyelamatkan nyawaku dan memberiku ilmu 'Dewataraka' itu."

Pendekar Mabuk melesat jauhi pertempuran untuk sementara. Di atas gundukan batu yang membukit, Pendekar Mabuk merenung sambil pandangi pertempuran yang membuat debu-debu beterbangan. Mayat bergelimpangan di sana-sini, sementara sang Manggala Yudha masih belum bisa mengambil kepastian harus memihak mana dirinya saat itu.

Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat melintasi kepala mereka yang sedang bertempur. Sinar merah besar itu terbang dengan cepat menuju ke satu arah. Tapi dari arah yang dituju sinar itu muncul pula seberkas sinar biru besar yang juga melambung melintasi kepala prajurit yang sedang bertempur itu. Kedua sinar itu saling bertabrakan di udara, dan terjadilah ledakan yang sungguh dahsyat pada saat itu juga.

Blegaaaarrrrr....! Gwwwuuurrr...!

Ledakan itu menyebarkan sinar ungu, membuat langit menjadi bercahaya ungu dalam sekejap. Cahaya ungu itu mempunyai gelombang hentakan yang sungguh dahsyat. Para prajurit yang bertarung terpisah menjadi dua bagian dengan sendirinya. Yang berseragam merah terpental ke sisi kiri, yang berseragam hijau terpental di sisi kanan.

Selain alam sekitar menjadi guncang hebat, batu-batu beterbangan atau pecah menjadi bongkahan-bongkahan kecil, langit pun mulai turunkan kabut ungu samar-samar yang menyelimuti alam sekiling Gerbang Siluman. Pendekar Mabuk terpental jatuh dari berdirinya, tapi tak sampai turun dari atas bongkahan batu. Walau demikian, batu yang dipijaknya sempat mengalami keretakan di beberapa tempat, namun masih bisa berdiri kokoh.

"Luar biasa! Kekuatan tenaga dalam siapa tadi yang saling beradu di udara itu?!" ucap Suto Sinting dengan suara lirih, menyerupai sebuah gumam keheranan.

Rupanya ledakan dahsyat yang memisahkan kedua pihak yang sedang bertarung itu telah membentuk jalur khusus di antara prajuritnya Ratu Kartika Wangi dan prajuritnya Ratu Nyai Kandita alias Ratu Nyai Roro Kidul.

Jalur itu menjadi lega, dan sekarang dipakai untuk melesatnya sesosok bayangan berwarna biru-kuning. Bayangan biru-kuning itu datang dari arah munculnya sinar merah tadi. Sedangkan dari arah munculnya sinar biru tampak sekelebat bayangan melesat pula berwarna kuning emas. Kedua bayangan itu saling menerjang dalam keadaan melayang di udara. Lalu seberkas cahaya hijau kemerah-merahan pecah membias dalam sekejap bersama ledakan menggelegar kembali.

Jegaaaarr...!

Kedua bayangan saling terpental mundur, tapi agaknya keduanya sama-sama sigap sehingga dapat menapakkan kaki ke tanah dengan tegak. Jleeg, jleeg...!

"Oh, si Payung Serambi...?!" tanpa sadar Suto Sinting menyebutkan nama dari bayangan yang tadi tampak berkelebat warna biru-kuning itu. Lalu, pandangan mata Suto beralih kepada lawan Payung Serambi yang tadi tampak sebagai bayangan berwarna kuning emas itu.

"Ooh... Cendana Wilis?!" nada suara ini terdengar lebih ditekankan lagi, menandakan Suto Sinting merasa lebih heran dan terkejut melihat kemunculan Cendana Wilis, orang kepercayaan pertama Dyah Sariningrum.

Cendana Wilis adalah pengawal pribadi Dyah Sariningrum yang berpakaian ketat warna kuning emas dengan rompi putih melapisi bagian dada dan punggung. Rambutnya diponi depan, matanya bulat indah, dadanya cukup montok. Cendana Wilis gadis berusia dua puluh empat tahun yang cantik dan mempunyai bentuk tubuh sama eloknya dengan Payung Serambi. Suto Sinting kenal betul dengan gadis yang mempunyai pusaka 'Pedang Cendana' itu, sebab selain Suto pernah meminjam pedang tersebut untuk kalahkan seorang lawan, juga sering bertemu dengan si pengawal pribadi kekasihnya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Prahara Pulau Mayat).

"Apa yang membuat Dyah mengirimkan pengawal pribadinya dalam pertarungan ini?!" pikir Suto sambil matanya memperhatikan ke arah pertemuan kedua perempuan cantik dan sama-sama mempunyai keberanian tinggi itu. Pendekar Mabuk segera gunakan jurus 'Sadap Suara' yang dapat mendengarkan pembicaraan dari jarak jauh. Tak heran jika ia dapat mendengar perdebatan antara Payung Serambi dengan Cendana Wilis yang sama-sama ketus itu.

"Panggil ratumu dan suruh ia berhadapan denganku!" ujar Payung Serambi alias Ratih Kumala.

Cendana Wilis tak mau kalah ketus. "Ratuku; Gusti Mahkota Sejati, tak mau kotori tangannya dengan melawan cecunguk macam kau! Cukup aku saja yang harus membuang bangkaimu ke wajah penguasa Laut Kidul itu!"

"Biadab kau!" geram Payung Serambi. "Kulumat habis seluruh tubuhmu hingga tak tersisa setetes darah pun! Hiaaah...!" Payung Serambi segera sentakkan kedua tangan yang saling merapat itu. Tangan tersebut disentakkan ke samping, dan dalam sentakan itu melesatlah sinar besar warna merah api menerjang Cendana Wilis. Weeees...!

Blegaaar...! Ledakan terjadi dengan dahsyat lagi karena Cendana Wilis sentakkan kedua tangannya ke depan dengan kedua kaki merendah. Sentakan kedua tangan Cendana Wilis itu keluarkan cahaya biru bintik-bintik yang segera menghantam cahaya merahnya Payung Serambi. Akibatnya, kedua gadis itu saling terpental dan jatuh terbanting ke tanah.

"Dahsyat sekali! Ck, ck, ck...!" Suto menggumam kagum melihat adu tenaga dalam itu.

Sementara itu, para prajurit dari kedua belah pihak tidak ada yang berani ikut campur dalam pertarungan tersebut. Mereka justru bertindak sebagai penonton yang selalu siap siaga hadapi bahaya sewaktu-waktu.

Rupanya adu tenaga dalam itu membuat Cendana Wilis mengalami luka dalam. Dari mulutnya keluar darah kental walau tak seberapa banyak. Tetapi di pihak Payung Serambi juga keluarkan darah dari hidungnya yang tidak begitu banyak pula. Sekalipun demikian, keduanya masih sama-sama belum mau menyerah, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah berhadapan kembali dan siap lakukan serangan berikutnya.

Sreeet...! Payung Serambi mencabut pedangnya yang menyala merah membara.

Cendana Wilis pun mencabut senjata dengan garang. Sreeet...! Pedang cendana itu tidak memancarkan cahaya merah seperti milik Payung Serambi, tapi memercikkan bunga api di bagian sekeliling tepiannya.

"Hiaaah...!" pekik Payung Serambi yang segera terbang menyerang lawannya.

Cendana Wiiis tidak banyak suara, namun menyambut serangan Payung Serambi dengan lakukan lompatan cepat menyerupai kilatan cahaya yang ingin membelah pinggang Payung Serambi.

Wuuut, weesss...!

Traaang, blaaar...!

Bet, bet, bet, traaaang...! Blaaar, blaar...!

Pertarungan kedua pedang itu selalu membiaskan cahaya merah kekuning-kuningan bersama bunyi ledakan yang memekakkan gendang telinga. Kedua perempuan itu segera daratkan kakinya dalam posisi bertukar tempat. Payung Serambi jatuh berlutut dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang, memunggungi Cendana Wilis. Sementara itu, Cendana Wilis masih tetap berdiri dengan kedua kaki sedikit ditekuk dan memunggungi Payung Serambi.

Ketika Cendana Wilis berbalik arah, ternyata mulutnya semakin keluarkan darah lebih banyak lagi. Tetapi Payung Serambi mengalami luka pada pundak kirinya. Luka sabetan pedang Cendana Wilis membuatnya gemetar dan berlumuran darah. Sekalipun terluka, Payung Serambi masih sanggup hadapi Cendana Wilis. Bahkan ia sempat berseru dengan matanya yang menjadi nanar dan liar.

"Kau tak mungkin bisa kalahkan diriku, Cendana Wilis! Ilmumu masih belum ada sekuku hitam dibanding dengan ilmuku! Tekadku mati untuk mendapatkan Pendekar Mabuk telah mendarah daging dalam diriku. Aku merasa bangga jika bisa mati karena memperebutkan pemuda itu! Kebanggaan apa yang kau miliki jika sampai mati di tanganku? Menang atau kalah, kau tidak akan mendapatkan Suto Sinting, dan dia akan menjadi milik ratumu yang pengecut itu!"

Kata-kata 'pengecut' yang ditujukan kepada Dyah Sariningrum membuat hati Suto Sinting tak bisa menerima begitu saja. Pendekar Mabuk menggeram, namun tetap tak tega melepaskan kemarahannya kepada Payung Serambi karena teringat jasa-jasa gadis itu.

Rupanya hinaan yang dilontarkan Payung Serambi berhasil memancing kemunculan seorang wanita cantik berjubah kuning sutera dengan pakaian dalamnya biru muda. Wanita itu mengenakan mahkota pada sanggulnya dan memakai kalung susun tiga sebagai tanda bahwa keperawanannya masih tetap suci. Wanita cantik berpenampilan kalem itu tak lain adalah Dyah Sariningrum.

"Hahh...?! Dia muncul...?!" Suto Sinting terbelalak tegang. "Dari mana dia muncul? Tak kulihat kemunculannya, tahu-tahu sudah ada di depan Cendana Wilis?!"

Jantung Suto Sinting berdetak-detak melihat calon istrinya tampil di pertempuran. Darah mulai mengalir deras, dan napasnya pun mulai memberat karena memendam murka. Jika Payung Serambi sampai melukai Dyah Sariningrum, maka Suto tak akan dapat tertahan lagi. Sebelum Suto lakukan sesuatu, Dyah Sariningrum sudah lebih dulu perdengarkan suaranya yang lembut dan merdu, namun punya nada-nada ketegasan yang berwibawa.

"Cendana Wilis, mundurlah! Biar kuhadapi sendiri dia."

"Bagus! Akhirnya kau muncul juga dari persembunyianmu, Mahkota Sejati!" ujar Payung Serambi ketika Cendana Wilis undurkan sambil sembuhkan luka dengan hawa murninya.

"Apa yang kau kehendaki sebenarnya, sehingga kau menyerang Gerbang Siluman dan mengusik ketenangan nenekku, Ratih Kumala?!"

"Jangan berlagak bodoh! Kau sudah tahu kalau aku mencintai Suto Sinting, bukan?! Dia sekarang dalam kesulitan mencari 'Tuak Dewata', dan aku akan membawanya ke Istana Laut Kidul, karena Gusti Ratu Nyai Kandita mempunyai 'Tuak Dewata'. Tetapi tuak itu harus diserahkan langsung kepada orang yang mencarinya, tak boleh melalui tanganku. Dan agaknya nenekmu; si Putri Batari itu, tetap bersikeras sembunyikan Suto Sinting serta tak rela jika aku membawa pemuda itu ke Istana Laut Kidul! Kuanggap tindakan nenekmu itu sengaja ingin menyusahkan Suto dan membuat gurunya Suto tewas karena penyakitnya!"

"Kau tak berhak ikut campur dalam kehidupan Suto Sinting," ujar Dyah Sariningrum dengan tetap kalem. "Pihakku yang punya urusan dengan pemuda itu, sehingga kami merasa layak jika tak rela Suto kau bawa ke Istana Laut Kidul!"

"Aku merasa berhak ikut campur, karena darah Suto sudah sejenis dengan darahku! Sejak kutanamkan ilmu 'Dewatakara', Suto telah menjadi pendekar berdarah siluman. Jangan bermimpi lagi menjadi istrinya. Mahkota Sejati! Dia tak akan bisa menikah denganmu, atau dengan siapa saja, kecuali dengan perempuan yang juga berdarah siluman, seperti diriku!"

"Aku tidak keberatan jika memang harus terjadi begitu. Semua kuserahkan kepada Hyang Maha Dewa, pengatur kehidupan manusia. Tetapi aku jelas akan bertindak jika kau mengusik ketenangan nenekku: Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman ini!"

"Selama dia belum serahkan Suto kepadaku, akan kuhancurkan Gerbang Siluman ini! Kanjeng Ratu Kidul telah izinkan padaku untuk hancurkan Gerbang Siluman jika tak mendapatkan Suto Sinting!"

Dyah Sariningrum diam sebentar, kemudian terdengar suaranya berkata dengan tegas. "Baiklah kalau memang begitu keinginanmu. Demi mempertahankan Pendekar Mabuk dan demi membela ketenangan eyang putriku, kulayani apa pun kemauanmu, Ratih Kumala!"

"Bersiaplah untuk mati jika begitu, Sariningrum!" Weeesss...! Tiba-tiba sekali Payung Serambi memutar tubuhnya bersama pedang diputar di atas kepala menyerupai payung, lalu tubuh itu melesat tak terlihat lagi.

Sedangkan Dyah Sariningrum sendiri tahu-tahu lenyap dari penglihatan siapa pun. Kedua perempuan itu lenyap dalam satu helaan napas. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan menggelegar menggetarkan alam sekitar mereka. Blaaarrr...!

Dyah Sariningrum tahu-tahu sudah berada di samping Cendana Wilis. Mata para prajurit dari kedua belah pihak sama-sama terperanjat, karena mereka tiba-tiba melihat Payung Serambi terkapar dalam keadaan separuh tubuhnya menjadi hitam hangus. Rupanya mereka bertempur dengan kecepatan tinggi hingga gerakan mereka tak dapat dilihat lagi. Dan dalam pertarungan maha kilat itu, Dyah Sariningrum berhasil melukai Payung Serambi dengan tapak tangannya dan membuat Payung Serambi hangus separuh tubuhnya.

Namun dalam keadaan bagian kirinya hangus dari kepala sampai kaki, Payung Serambi masih belum mau menyerah. Luka pedang Cendana Wilis semakin merambah menjadi lebar. Luka itu pun tidak dihiraukan oleh Payung Serambi, ia segera bangkit dengan suara menggeram dan pandangan mata penuh kebencian.

"Sudah waktunya menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati!" geram Payung Serambi. "Bagi yang hidup ia berhak mendapatkan Suto Sinting dengan menunjukkan cinta kasih dan kesetiaannya melalui 'Tuak Dewata' itu!"

"Tuak Dewata' tidak ada!" ucap Dyah Sariningrum dengan tegas.

"Kau perempuan bodoh, sehingga kau beranggapan seperti itu! Yang dinamakan 'Tuak Dewata' hanya ada di tangan Gusti Ratuku; Nyai Kandita!"

Pendekar Mabuk sempat bergumam dalam hati, "Benarkah 'Tuak Dewata' ada di tangan Nyai Kandita?! Bukankah suara Eyang Buyut Guru mengatakan bahwa 'Tuak Dewata' ada di tangan Guru Sejati? Hmmm... tapi siapa Guru Sejati sebenarnya? Apakah Dyah Sariningrum itulah si Guru Sejati, karena dia bergelar Gusti Mahkota Sejati?!"

Kecamuk batin Suto tiba-tiba terhenti karena ia melihat tubuh Payung Serambi mulai memancarkan cahaya merah samar-samar. Cahaya merah itu dibarengi oleh kepulan asap tipis yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari kaki sampai kepala.

Bluuubb...! Asap itu meletup cepat dan menjadi tebal membungkus tubuh Payung Serambi. Ketika asap tebal itu sirna, tampaklah sesosok tubuh tinggi, besar dan bersisik tebal seperti baja. Warna kulit dan sisiknya seperti warna tembaga.

"Celaka! Dia menggunakan ilmu 'Dewatakara' untuk menyerang Dyah Sariningrum?!" Suto Sinting menjadi tegang sekali begitu melihat Payung Serambi berubah menjadi makhluk bertanduk dengan wajah mirip wajah naga. Baik wajah maupun tubuhnya sangat menyeramkan, membuat para prajurit dari kedua belah pihak saling berdesak mundur.

Tetapi Dyah Sariningrum dan Cendana Wilis masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka pandangi perubahan wujud Payung Serambi yang menjadi makhluk berekor panjang. Ekor itu berduri menyerupai mata pisau. Tinggi makhluk itu sekitar empat kali lipat tinggi Suto Sinting. Dengan kedua tangan berkuku tajam bak mata pedang, makhluk itu mulai melangkah dekati Dyah Sariningrum, kedua tangannya diangkat ke atas seakan siap menerkam tubuh halus mulus di depannya.

"Menjauhlah, ini bukan bagianmu juga, Cendana Wilis," bisik Dyah Sariningrum.

Sang pengawal pribadi itu menurut, ia segera mundur menjauh. Tinggal Dyah Sariningrum yang berhadapan langsung dengan makhluk menyeramkan itu.

"Grrraaoww...!" Makhluk itu keluarkan suara menyeramkan juga, seakan setiap jantung pendengarnya diguncang dan diremas oleh suara tersebut. Tapi Dyah Sariningrum masih tampak tenang, tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Zlaaap...! Suto Sinting tak bisa tinggal diam hadapi kekasihnya dalam ancaman bahaya menyeramkan itu. Ia segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' dan tahu-tahu sudah berada di samping Dyah Sariningrum.

"Biar kuhadapi dia!" kata Suto Sinting sambil menatap Dyah Sariningrum yang tidak terkejut sedikit pun melihat kemunculan Suto Sinting itu. Rupanya sejak tadi ia sudah mengetahui Suto ada di kejauhan jarak, memandangi pertempuran tersebut. Namun Dyah Sariningrum berlagak tidak tahu-menahu tentang Suto, sehingga kemunculan pemuda itu tidak membuatnya heran dan kaget.

"Akhirnya kau mau turun membelaku juga, Suto," ujar Dyah Sariningrum dengan pelan. "Kusangka kau akan memihak Payung Serambi."

"Aku mencintaimu, Dyah," bisik Suto Sinting, lalu sempatkan diri mencium pipi Dyah Sariningrum dengan lembut.

"Grrrraaooww...!" Makhluk mengerikan itu semakin berang melihat Suto Sinting mencium pipi Dyah Sariningrum. Ekornya berkelebat menghantam tubuh Suto. Weess...!

Tetapi Suto Sinting segera memeluk Dyah Sariningrum dan melesat dengan gerakan yang tak dapat dilihat mata telanjang itu. Zlaaap...! Pendekar Mabuk membawa pindah calon istrinya ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, kibasan ekor makhluk berkaki lebar telah kenai tiga prajurit dari Istana Laut Kidul. Brruusss...!

"Aaaa...!" mereka menjerit keras-keras dalam keadaan tubuh koyak dan mengucurkan darah segar. Dua dari ketiga prajurit yang menjadi salah sasaran itu tewas seketika, yang satu masih sempat kelojotan dalam keadaan sekarat.

Zlaaaap...! Suto Sinting kembali hadapi makhluk ganas itu setelah menempatkan Dyah Sariningrum di tempat yang aman. Kini ia berdiri menantang makhluk itu dengan bumbung tuak di tangan kanan. "Hentikan tindakanmu, Ratih Kumala!" seru Suto Sinting kepada makhluk ganas itu.

"Grraaaooww...! Ggrrraaooww...!" sambil makhluk itu geleng-gelengkan kepala. Matanya yang merah sebesar jeruk peras itu memandang ke arah Dyah Sariningrum. Agaknya makhluk jelmaan Payung Serambi masih mengancam nyawa Dyah Sariningrum. Tetapi sebelum makhluk itu bergerak ke arah putri bungsunya Ratu Kartika Wangi itu, Pendekar Mabuk segera serukan kata sebagai pengalih perhatian Payung Serambi.

"Ratih Kumala..., jika kau tetap ingin mencelakai Dyah Sariningrum, aku akan tega melawanmu sekarang juga!"

"Ggrraaaooww...!" Makhluk itu angguk-anggukkan kepala. Rupanya gertakan Suto disambut dengan berani. Payung Serambi tidak keberatan jika harus menghadapi Suto Sinting.

Maka dalam kejap berikutnya, tubuh Suto Sinting pun kepulkan asap tebal. Buuuss...! Asap itu membubung tinggi dan tubuh Suto tidak kelihatan lagi. Namun ketika asap itu mulai lenyap, ternyata yang muncul dari gumpalan asap tersebut adalah sesosok makhluk berkepala dua yang wajahnya mirip wajah leak, berambut kuning memanjang ke samping. Tubuh makhluk jelmaan Suto Sinting itu berlendir dan berduri-duri. Makhluk itu juga berekor panjang dan mempunyai dua ekor yang setiap ujung ekornya mempunyai duri runcing bagaikan mata tombak. Tinggi makhluk jelmaan Suto itu melebihi tinggi makhluk jelmaan Payung Serambi.

Rupanya Suto Sinting ingin menaklukkan makhluk jelmaan Payung Serambi dengan menggunakan ilmu 'Dewatakara' pemberian Payung Serambi sendiri. Ilmu itu membuat tubuh Suto berubah menjadi makhluk menyeramkan yang mempunyai sepasang taring tajam dan panjang.

"Hoookkrr...! Hoookkrr...!"

Makhluk jelmaan Suto Sinting itu maju, demikian pula makhluk jelmaan Payung Serambi. Di pertengahan jarak mereka saling bertemu dan saling bergulat dengan serunya. Suara-suara erangan mereka menggelegar dan berkumandang ke mana-mana. Hentakan-hentakan kaki mereka membuat alam sekitarnya menjadi bergetar beberapa kali. Suara pertarungan itu memancing orang-orang Gerbang Siluman muncul untuk menyaksikannya. Tetapi Eyang Putri Batari tidak tampak di antara mereka.

Kedua makhluk itu berusaha saling gigit dan saling menggulingkan. Suaranya gaduh sekali. Tampaknya keduanya sama-sama kuat. Sekalipun makhluk jelmaan Suto Sinting berkepala dua, tetapi ternyata tidak mudah menggigit makhluk jelmaan Payung Serambi. Tiba-tiba seberkas sinar hijau melayang dengan ekornya yang panjang. Weess...! Sinar hijau itu menghantam kedua makhluk itu.

Zeebs...! Blaaarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi begitu kuat dan mengguncangkan Gerbang Siluman. Beberapa prajurit saling jatuh bertindihan karena guncangan yang hebat itu. Ledakan sinar hijau tadi ternyata membuat kedua makhluk itu lenyap dan berubah menjadi sosok Pendekar Mabuk dan Payung Serambi.

Dari arah datangnya sinar hijau tadi terdengar suara gemuruh seperti datangnya banjir besar. Suara gemuruh itu makin lama semakin jelas dan bayang-bayang kehadiran sebuah kereta berkuda enam tampak samar-samar. Rupanya suara gemuruh itu adalah suara derap kaki kuda yang menarik sebuah kereta berlapiskan emas permata.

Di atas kereta itu, tampak seorang perempuan berdiri dengan rambut terurai meriap-riap yang dihiasi mahkota pada bagian depannya. Perempuan cantik yang menunggang kereta berkuda enam berbulu hitam itu mengenakan jubah lengan panjang warna hijau muda seperti daun baru bersemi. Jubah hijau itu dibuka bagian depannya dan tampaklah pakaian dalam penutup dada warna hitam berhias benang emas yang membungkus separuh gumpalan dada montok menyegarkan itu.

Melihat sosok penampilan perempuan berkuda enam itu, Pendekar Mabuk segera kerutkan dahi dan bersiap siaga untuk hadapi serangan, karena ia belum mengenal perempuan cantik berambut panjang itu. Melihat langkah kudanya yang ternyata tidak menapak tanah dan setiap derapnya mengepulkan asap putih membungkus sebagian roda kereta, Pendekar Mabuk dapat memastikan bahwa perempuan itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari Payung Serambi.

Sinar hijau tadi bisa dipastikan datang dari perempuan berjubah hijau muda tersebut. Dan rupanya di belakang kereta itu tampak beberapa kuda berbulu coklat mengiringinya dengan para penunggangnya berseragam warna Jingga. Pendekar Mabuk sempat menyangka munculnya pihak ketiga dalam perkara di Gerbang Siluman itu.

Tetapi secara tiba-tiba, Dyah Sariningrum muncul disamping Suto Sinting tanpa suara dan langkah yang diketahui oleh siapa pun. Suto sempat terkejut ketika Dyah Sariningrum berbisik pelan padanya.

"Nyai Kandita datang! Bersiaplah untuk hadapi dia."

"Oh...?! Jadi yang berada di atas kereta berkuda enam itu adalah Nyai Kandita, si Ratu Laut Kidul itu?!"

"Benar! Agaknya dia merasa perlu turun tangan dalam upaya membawamu ke Istana Laut Kidul! Hati-hati dengan bujukannya. Tuak yang kau cari tidak ada di tangannya!"

Pendekar Mabuk diam sambil tetap memandangi kedatangan Ratu Laut Kidul itu yang tampak semakin dekat, semakin pelan pula langkah kudanya. Sebenarnya Suto ingin berbisik kepada Dyah Sariningrum, tetapi niatnya urung dikarenakan munculnya suara gemuruh lagi dari arah yang berlawanan.

Mereka memandang ke arah datangnya suara gemuruh dan seruan ringkikan kuda secara bersahutan. Rupanya dari arah itu muncul seorang perempuan menunggang kereta terbuka seperti yang dikendarai Nyai Kandita itu. Kereta tersebut juga dilapisi emas murni dan batuan permata. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda putih berjambul lebat. Dan perempuan yang ada di atasnya mengenakan jubah ungu dengan rambut disanggul sebagian sisanya meriap lepas. Di sanggulnya itu terdapat mahkota yang memancarkan cahaya kemilau batuan intan berlian.

"Ibu Ratu datang...?!" sentak Suto Sinting dengan mata terbelalak tegang.

Dyah Sariningrum berkata setelah menghempaskan napas panjangnya. "Pasti Ibu tahu kalau Nyai Kandita akan ikut campur urusan ini, sehingga beliau sempatkan diri datang ke sini untuk hadapi Nyai Kandita!"

Kini kedua kereta berhenti, dan para penunggangnya masih belum turun dari atas kereta yang tanpa atap itu. Kuda-kuda mereka saling melonjak dengan ringkik bersahutan. Seakan kuda-kuda mereka juga saling melontarkan tantangan permusuhan. Sementara itu, sorot pandangan mata Nyai Ratu Laut Kidul tertuju tajam ke arah Ratu Kartika Wangi. Sang Ratu Kartika Wangi menampakkan sikap tenang dan berwibawa, namun penuh keberanian.

Kedua tokoh ratu berilmu tinggi itu saling pandang dalam kebisuan beberapa saat. Tak satu pun dari mereka yang ada di sekitar tempat itu bersuara sekecil apa pun. Suasana menjadi hening, senyap, dan kuda-kuda pun ikut terbungkam tanpa ringkik maupun dengan napas hewaninya.

* * *

TUJUH

KEDUA ratu itu masih berdiri di atas keretanya. Nyai Kandita lontarkan kata lebih dulu kepada Ratu Kartika Wangi, sementara yang lain tetap membisu bagai tak terbungkam ilmu yang membisukan mereka.

"Apa maksudmu menghalangi pihakku membantu Suto Sinting, Kartika Wangi?!"

"Karena kami tahu kau licik dan tak punya 'Tuak Dewata'," jawab Ratu Kartika Wangi dengan tegas.

"Kalau aku licik, berarti kau bodoh, Kartika! Karena kau tak pernah mengerti apa sebenarnya 'Tuak Dewata' dan siapa pemiliknya!"

"Kau pun sebenarnya tak tahu siapa pemilik tuak itu. Jika kau memang memilikinya, tunjukkan pada kami sekarang juga!"

Nyai Ratu Kandita diam, tapi sorot matanya masih tertuju ke wajah Ratu Kartika Wangi. "Aku bukan orang yang gemar pujian. Untuk apa tunjukkan tuak itu di depan kalian? Pendekar Mabuk yang membutuhkannya, jadi selayaknya tuak itu kutunjukkan di depan Pendekar Mabuk! Sekarang juga aku akan membawa Pendekar Mabuk ke Istana Laut Kidul!"

"Aku melarangnya!"

"Apa hakmu melarang pemuda itu kubawa pergi?!"

"Dia calon menantuku!"

"Itu hanya impian semata. Suto Sinting sudah berdarah siluman dan tak bisa kawin dengan putrimu itu!"

"Aku akan berusaha melenyapkan ilmu 'Dewatakara' dari tubuhnya, dan akan mencuci bersih darahnya agar tidak tercemar oleh darah siluman darimu!"

"Apakah kau mampu melakukannya?!"

"Gila Tuak lebih mampu dari diriku dalam hal ini!"

"Hmmm...!" Ratu Laut Kidul mencibir sinis. "Gila Tuak sebentar lagi akan mati jika tak segera ditolong dengan 'Tuak Dewata'. Dengan begitu, tak ada lagi orang yang bisa membersihkan darah Suto Sinting dari kekuatan gaib silumanku!"

"Kita buktikan saja nanti!" ujar sang Ratu Kartika Wangi dengan tetap tenang.

Kemudian, Nyai Ratu Kandita berkata kepada Pendekar Mabuk. "Suto Sinting, maukah kau mendapatkan 'Tuak Dewata' itu untuk sembuhkan sakit gurumu?!"

"Tentu saja aku mau, Nyai!" jawab Suto dengan suara tegas dan berwibawa.

"Jika kau ingin dapatkan tuak itu, ikutlah kami ke Istana Laut Kidul.

"Aku tak akan mengikutimu sebelum kau tunjukkan wujud 'Tuak Dewata' itu!" kata Suto sebagai bukti keragu-raguannya terhadap pengakuan Nyai Ratu Laut Kidul itu.

"Aku tak bisa tunjukkan padamu sekarang. Tapi akan kutunjukkan padamu jika kau sudah berada di istanaku!"

"Aku tak mau tertipu, Nyai!"

Perempuan berjubah hijau itu menggeram lirih pertanda menahan kejengkelan atas ucapan Suto Sinting. Namun sikapnya masih tetap dibuat tenang, dan sorot pandangan matanya tertuju tajam kepada Suto Sinting. Beberapa kejap kemudian, Nyai Ratu Laut Kidul berkata lagi kepada Suto.

"Baiklah, agaknya kau tidak percaya pada maksud baikku! Jangan menyesal jika gurumu tewas karena terlambat meminum 'Tuak Dewata' itu! Satu kali kau menyangsikan kebaikanku, selamanya aku tak akan berikan 'Tuak Dewata' itu padamu!"

Pendekar Mabuk menjadi gundah, pertimbangan otaknya menjadi semakin kacau. Di satu sisi ia sangat membutuhkan 'Tuak Dewata', di sisi lain ia sadar akan mengecewakan Dyah Sariningrum jika ia ikut ke Istana Laut Kidul.

"Pendekar Mabuk, kuberi kesempatan terakhir padamu, mau ikut aku untuk mengambil 'Tuak Dewata' atau tetap setia pada calon istrimu yang berarti harus mengorbankan nyawa gurumu. Sedangkan kau sendiri kelak juga akan mengorbankan istrimu itu, karena darahmu tak bisa bercampur dengan darahnya calon istrimu itu!"

Pendekar Mabuk masih diam dalam kebimbangan. Tapi tiba-tiba Dyah Sariningrum berbisik menggunakan bisikan batin yang hanya didengar oleh Suto Sinting seorang. "Jangan tinggalkan aku, Suto. Apa pun yang terjadi aku siap mati demi kasih kita berdua...."

Bisikan itu menggugah semangat Pendekar Mabuk untuk segera lontarkan jawaban kepada Ratu Laut Kidul. "Aku tidak mau ikut denganmu. Nyai Ratu! Aku tahu kau akan mengawinkan diriku dengan Payung Serambi!"

"Karena dia sangat mencintaimu. Suto!" sahut Nyai Ratu Kandita.

"Tapi aku tidak bisa menerima cintanya, Nyai! Aku akan tetap menikah dengan Dyah Sariningrum, apa pun yang terjadi dari sekarang sampai kelak di kemudian hari!"

Ucapan tegas itu menyentakkan hati Payung Serambi yang sudah berada tak jauh dari keretanya Nyai Ratu Kandita. Pancaran mata Payung Serambi berubah menjadi tajam dan penuh permusuhan terhadap Suto Sinting. Bahkan kini ia berseru dengan suara lantangnya. "Manusia keji kau! Kembalikan ilmu 'Dewatakara'-ku itu!"

"Ambillah!" jawab Suto Sinting tegas sekali. "Aku tak merasa rugi kehilangan ilmu 'Dewatakara'-mu ini, Ratih Kumala. Tapi aku akan merasa rugi besar jika kehilangan Dyah Sariningrum!"

"Keparat! Hiaaaah...!" Payung Serambi segera ulurkan tangannya dengan telapak tangan mengembang, ia berusaha menarik kekuatan gaib dari ilmu 'Dewatakara' hingga tubuhnya mulai bergetar.

Tetapi tiba-tiba sang Nyai berseru kepadanya. "Hentikan Ratih!"

"Dia akan melawan kita dengan ilmu 'Dewatakara' jika tak diambil, Nyai Gusti!"

"Biarkan ilmu itu ada padanya. Tak akan ada yang bisa mencabutnya. Dia akan tetap berdarah siluman dan hanya akan bisa menikah denganmu! Suatu saat dia akan datang merangkak-rangkak menciumi kakimu dan meminta kesediaanmu menikah dengannya. Sekarang, kita pulang! Semuanya pulaaaang...!"

Seruan Nyai Ratu Kandita itu tak pernah diabaikan oleh para pengikutnya. Maka kereta berkuda enam itu segera tinggalkan tempat tersebut dengan langkah kaki kudanya yang tidak menyentuh tanah. Para prajurit dan Payung Serambi pun segera pergi tinggalkan tempat itu. Pendekar Mabuk tertegun bengong setelah mengetahui bahwa dirinya sengaja diikat dengan darah siluman agar mau dikawinkan dengan Payung Serambi.

Ratu Kartika Wangi segera berseru kepada para prajuritnya. "Kembali ke istana!"

"Ibu... bagaimana dengan Suto?!" seru Dyah Sariningrum sambil hampiri ibunya di atas kereta yang sudah berbalik arah itu. Wajah sang putri bungsu itu tampak cemas, membuat sang ibu tarik napas panjang-panjang.

Tiba-tiba seraut wajah cantik berambut putih panjang itu muncul tanpa suara dan tanpa angin. Eyang Putri Batari tahu-tahu sudah berada di samping Suto Sinting dan berseru kepada Ratu Kartika Wangi serta Dyah Sariningrum.

"Pulanglah kalian dan biarkan Suto bersamaku sejenak!"

"Tapi, Eyang... saya tidak ingin kehilangan dia!" rengek sang cucu, membuat dada Suto terasa membengkak seketika karena dihujani rasa bangga dan bahagia mendengar pernyataan Dyah Sariningrum itu.

"Cucuku, percayalah padaku, kau tak akan kehilangan pemuda nakal ini! Nenek akan turun tangan sendiri ikut membantu sembuhkan si Gila Tuak. Karena hanya Gila Tuak yang bisa lenyapkan ilmu 'Dewatakara' dan membersihkan darah Suto dari darah siluman!"

Ratu Kartika Wangi berkata kepada putri bungsunya. "Serahkan perkara ini kepada nenekmu, Ningrum. Karena bagaimanapun juga, kakekmu adalah Eyang Buyut Guru bagi Suto Sinting. Tentunya kakekmu tidak akan tinggal diam dalam hal ini, Ningrum!"

Dyah Sariningrum akhirnya pasrah kepada janji para sesepuhnya. Namun ia tetap dekati Suto Sinting dan berkata penuh kelembutan. "Jangan menyerah! Cari terus 'Tuak Dewata' itu dan sembuhkan gurumu. Aku menunggumu di Pulau Serindu, Suto!"

"Aku akan selalu hadir dalam mimpimu. Sayang."

Sang nenek cantik menggoda dengan menembangkan sebuah kidung masa kecilnya. "Selamat jalan, duhai kekasih...."

"Ah, Eyang...!" Dyah Sariningrum tersipu malu, lesung pipitnya tampak menggoda hati Suto.

Namun pemuda itu hanya tundukkan kepala dan ikut tersipu-sipu juga. Tetapi ketika Suto Sinting mengangkat wajah kembali, ia menjadi terkejut bukan kepalang, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di depannya. Dyah Sariningrum tidak ada, para prajurit berseragam merah, termasuk Sang Tiara, juga tidak ada. Bahkan Ratu Kartika Wangi pun lenyap begitu saja tanpa terdengar derap kaki kudanya.

Sedangkan Eyang Putri Batari yang tadi ada disampingnya, kini hilang entah ke mana. Tempat itu menjadi sunyi, bagaikan tanpa kehidupan sama sekali. Yang ada hanya gapura batu hitam yang masih berdiri kokoh sebagai jalan masuk menuju Gerbang Siluman.

"Aneh. Tanah di sekitar sini juga tak ada bekas tapak kaki satu pun. Padahal tadi sewaktu kupakai bertarung melawan makhluk besar jelmaan Payung Serambi, tanahnya sampai gompal dan acak-acakan. Kenapa sekarang menjadi bersih, rapi, dan lengang sekali?!"

Pandangan mata Suto Sinting menyapu alam sekitarnya. Tembok yang besar menjadi benteng istana Gerbang Siluman masih tampak jelas tanpa harus mengusap wajahnya. Tetapi di sana pun tidak ada satu orang pun yang tampak berdiri sebagai penjaga gerbang. Sementara itu, alam tetap teduh, tanpa siang dan tanpa malam.

"Aku akan masuk ke Gerbang Siluman dan menanyakan hal ini kepada Eyang Putri Batari! Siapa tahu Eyang Putri juga bisa tunjukkan padaku ke mana aku harus pergi menemui orang yang bergelar Guru Sejati itu," pikirnya, kemudian ia bergegas melangkah melalui jalan di tengah gapura batu hitam itu.

Belum sampai dekati pintu gerbang, langkah Suto Sinting terhenti karena kemunculan wajah Eyang Putri Batari. Wajah itu muncul dalam bayang-bayang di udara dan hanya separuh bagian. Namun suaranya yang masih merdu itu terdengar jelas di telinga sang Pendekar Mabuk.

"Ada apa lagi, Bocah Ganteng?!"

"Oh, hmmm...," Suto agak gugup sedikit karena kaget melihat bayangan itu muncul di depannya. "Ada yang ingin saya tanyakan, Eyang Putri. Kemana orang-orang yang tadi ada di sekitar saya itu?!"

"Mereka pulang ke tempatnya masing-masing. Dan memang begitulah cara mereka pergi, tidak perlu harus berjalan kaki."

"Ooo...," Suto menggumam lirih.

"Sepertinya ada yang mengganjal di hatimu, Bocah Tampan?!" pancing Eyang Putri Batari yang agaknya sudah mengetahui maksud hati Suto.

"Benar, Eyang," Suto tersenyum malu namun tetap penuh hormat. "Saya ingin menanyakan sesuatu yang saya peroleh dari hasil semadi saya di Gua Pedupan, Eyang. Hmmm... anu, saya disuruh mencari orang yang berjuluk Guru Sejati jika ingin dapatkan 'Tuak Dewata'. Tetapi saya tidak tahu, di mana saya bisa temukan si Guru Sejati itu, Eyang Putri."

"Di sini," jawab Eyang Putri Batari pendek saja, tapi sempat bikin Suto kebingungan dan terheran-heran.

"Maksudnya... di sini bagaimana, Eyang? Maaf, saya kurang paham."

"Sebab itulah, jangan terlalu banyak berpikir tentang perempuan, nanti otakmu menjadi tumpul. Pendekar gagah!" goda Eyang Putri Batari yang membuat Suto makin tersipu. Sambungnya lagi, "Jika kau mau mencari Guru Sejati, temuilah dirimu sendiri, Suto. Di dalam dirimu itulah letak persinggahan sang Guru Sejati. Karena setiap manusia mempunyai Guru Sejati sendiri-sendiri yang wajahnya serupa dengan wajahmu."

Pendekar Mabuk melongo menerima penjelasan itu. Dahinya berkerut, matanya tak berkedip pandangi bayangan sang Eyang Putri yang tampak ramah dan ceria.

"Tiap manusia begitu lahir mempunyai empat saudara pribadi yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Empat saudara pribadi itu mempunyai sifat sendiri-sendiri, dan sifat itu adalah sifatmu juga. Lalu satu lagi yang tak bisa ditinggalkan oleh manusia adalah Guru Sejati, yaitu kehakikian dari jati dirimu sendiri."

"Apa hubungannya dengan 'Tuak Dewata' itu, Eyang?"

"'Tuak Dewata' adalah air kehidupan. Jati dirimu sendiri yang mempunyai air kehidupan tersebut, Suto. Tuakmu tidak bisa menjadi penyembuh luka dan sakit apa pun jika jati dirimu tidak ikut serta menyembuhkannya!"

"Apakah... apakah yang dimaksud jati diri itu hampir sama dengan keyakinan atau kepercayaan, Eyang?!"

"Benar! Seseorang yang kurang percaya diri, tidak yakin dengan kemampuannya, maka ia akan gagal melakukan apa pun! Sebaliknya, orang itu akan berhasil dalam melakukan pekerjaan sesulit apa pun, jika ia yakin dan percaya bahwa dirinya mampu!"

Suto Sinting termenung beberapa kejap. Lalu ia memandang bayangan Eyang Putri Batari lagi. "Jadi, pada waktu Kakek Guru Gila Tuak kuberi minum tuak dan ternyata sakitnya tidak sembuh, itu lantaran pada waktu itu saya ragu-ragu alias kurang percaya diri. Eyang?!"

"Tepat sekali! Sebenarnya kau tak perlu mencari 'Tuak Dewata' ke mana-mana. Tuak itu ada pada dirimu, yaitu sebentuk keyakinan atau kepercayaan dari sang jati diri alias sang Guru Sejati. Karena itu, aku berpesan padamu, Bocah Ganteng... minumkan tuakmu kepada si Gila Tuak dengan rasa percaya diri bahwa tuak itu akan menyembuhkannya, maka ia pun benar-benar akan sembuh! Tapi jika kau ragu-ragu alias tak yakin akan dapat menyembuhkan si Gila Tuak, jangan kau minumkan tuak itu, karena itu akan sia-sia belaka!"

Pendekar Mabuk semakin tertegun mendengar penjelasan tersebut, bahwa ternyata 'Tuak Dewata' sejak dulu sudah ada pada dirinya. Yang hilang dari dirinya saat menyembuhkan si Gila Tuak adalah keyakinan dan kepercayaan dari sang Guru Sejati.

"Pulanglah, sembuhkan Kakek Gurumu itu dengan tuakmu. Tuak itulah yang disebut 'Tuak Dewata'!"

Slaaap...! Bayangan Eyang Putri Batari hilang begitu saja, membuat Suto Sinting tercengang dan masih terpaku di tempat hingga beberapa saat.

"Rupanya saat aku meminumkan tuak kepada Kakek Guru, hatiku diliputi rasa kurang percaya diri. Maklum saja, karena beberapa tokoh sakti tidak berhasil mengobati Guru, maka aku merasa diriku lebih tidak berhasil lagi. Sebenarnya aku tak boleh merasa seperti itu, dan harus tetap percaya pada kemampuanku sendiri," pikir Suto Sinting dalam mencerna kata-kata Eyang Putri Batari tadi.

Ia pun segera pulang ke alam nyata, dan meminumkan tuak itu kepada sang Guru. Rasa percaya diri yang tumbuh membara dalam hati dan sanubari Suto ternyata benar-benar mampu sembuhkan penyakit si Gila Tuak. Tokoh tertinggi di rimba persilatan alam nyata itu pun akhirnya berkata kepada murid tunggalnya.

"Aku sendiri tak sadar kalau aku bicara tentang 'Tuak Dewata' itu. Tetapi semua ini mempunyai arti yang besar bagi kehidupan kita bersama, Suto. Perjalananmu ke Gerbang Siluman ternyata adalah perjalanan mencari jati dirimu yang sempat hilang sebentar itu."

"Benar, Kakek Guru! Aku pun tak menyangka akan mendapat pelajaran tentang saudara pribadiku dan Guru Sejatiku."

"Catat dalam ingatanmu semua hikmah dari peristiwa ini. Dan yang perlu kita lakukan lagi adalah menyirnakan ilmu 'Dewatakara' agar darahmu bukan darah siluman lagi. Kau sudah siap, Muridku?!"

"Aku sudah siap, Guru!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas dan penuh rasa percaya diri.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.