Misteri Tuak Dewata

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Misteri Tuak Dewata Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Misteri Tuak Dewata
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

WAJAH tua berpakaian serba hijau itu terbaring dengan lemas. Warna wajah yang pucat menandakan bahwa tokoh tua berambut putih sepundak itu sedang menderita sakit. Jubah kuningnya sengaja dilepas dan digantungkan pada sebatang pilar batu dalam gua tersebut. Tokoh tua yang biasanya mengenakan ikat kepala hitam dengan kumis dan jenggot putih rata dan membawa tongkat hitam sedada itu tak lain adalah Ki Sabawana, yang dikenal dengan nama si Gila Tuak.

"Gila Tuak sakit?! Ah, yang benar saja kau bicara?! Masa' tokoh tertinggi di dunia persilatan itu bisa sakit?!"

"Buktinya saudara seperguruannya yang dikenal dengan nama Bidadari Jalang itu sedang kebingungan mencari murid si Gila Tuak."

"Murid si Gila Tuak itu kan yang dikenal dengan nama Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk?!"

"Iya. Memang benar. Tapi sampai sekarang si Pendekar Mabuk belum tahu kalau gurunya sedang sakit parah."

"Apa penyebab sakitnya si Gila Tuak itu."

"Mana kutahu?! Aku bukan tabib!"

"Maksudku, siapa tahu kau mendengar kabar tentang penyebab sakitnya si Gila Tuak."

"Menurut ucapan Bidadari Jalang yang kudengar secara sembunyi-sembunyi, Gila Tuak sakit karena kebanyakan umur."

"Husy! Mana ada orang sakit kok kebanyakan umur?!"

"Lho, iya... bayangkan saja, usianya sekarang sudah mencapai dua ratus lima belas tahun, tapi masih awet hidup dan sering mengadakan pertemuan dengan para tokoh silat aliran putih membahas ini-itu yang seharusnya tidak dipikirkan olehnya. Mungkin akibat boros pikiran, maka kesehatannya yang sudah tua itu makin merapuh dan jatuh sakitlah dia...."

Tak heran jika sakitnya Gila Tuak menjadi bahan pembicaraan para tokoh di rimba persilatan. Sebab guru utama sang Pendekar Mabuk itu adalah tokoh tertinggi di rimba persilatan yang dulu pernah melalang buana dan mencapai masa kejayaannya sebagai tokoh sakti tak terkalahkan. Namanya tercantum dalam deretan teratas para tokoh sakti aliran putih. Setelah itu baru menyusul nama saudara seperguruannya yang bernama Nawang Tresni.

Dulu perempuan cantik bermata jalang yang punya ilmu awet muda itu dikenal sebagai tokoh aliran hitam dengan nama Bidadari Jalang. Namun sejak ia ikut mengangkat Suto Sinting sebagai muridnya, ia berubah sikap dan kini masuk dalam aliran putih, sejalan dengan saudara seperguruannya; si Gila Tuak itu.

Tidak semua orang tahu secara pasti, apa penyebab sakitnya si Gila Tuak itu. Yang jelas, sudah dua purnama Gila Tuak tak dapat bangun dari pembaringannya. Bahkan ia tak dapat bicara selancar biasanya. Sesekali ia memang bicara kepada Bidadari Jalang, tetapi dengan suara cadel dan lemah sekali. Bahkan pandangan matanya menjadi rabun, tak bisa memandang dengan jelas.

"Ssi... siafa entu...?" Gila Tuak mencoba bicara saat pandangan matanya yang buram menangkap bayang-bayang sosok manusia mendekatinya.

"Siia... siafa entu...?" ulangnya lagi, karena tak mendapat jawaban.

"Aku...!"

"Siafa...?"

"Bidadari Jalang!"

"Oooh... anu ya?"

Bidadari Jalang menjadi iba, hampir menitikkan air mata melihat Gila Tuak yang dulu dianggap musuh dan sekarang sudah dianggap kakak kandung sendiri menderita sakit separah itu. Tetapi agaknya perempuan berjubah ungu muda yang masih punya tubuh semok dan dada montok menggiurkan tiap lelaki itu tak mau mudah menitikkan air mata. Sekalipun hatinya teriris pilu melihat keadaan Gila Tuak, ternyata Bidadari Jalang masih bisa mengendalikan gejolak dukanya dengan satu tarikan napas panjang sehingga tetap tenang.

"Uto ana...? Uto ana, Awang?" Maksudnya, "Suto mana? Suto maha, Nawang?!"

Bidadari Jalang paham maksud bahasa cadel si Gila Tuak itu. la segera menjawab dengan mengusap kepala si Gila Tuak untuk menyingkirkan rambut putih dari keningnya. "Aku belum bisa bertemu dengan Suto, Sabawana."

"Ooh, ooh... dasal mulit songong...!" Ki Sabawana menggerutu di sela engahan napasnya yang memberat. "Kalo dia atang, pukul saza kepalanya, biar bocol!"

"Sabarlah, Sabawana.... Murid kita memang tak tahu kalau keadaanmu begini. Tapi sudah kusebar kabar kepada para sahabat kita tentang sakitmu, dan Resi Pakar Pantun serta beberapa sahabat kita lainnya sedang mencari di mana Suto Sinting berada. Mereka akan memberi kabar dan menyuruh Suto pulang ke Jurang Lindu ini secepatnya."

"Uuh, uuh, uuuh... usahakan cemat-cemat Uto datang..."

"Siapa yang menjadi camat?"

"Cemat...! Oblok amu! Cemat itu altinya cefat!"

"Ooo, usahakan agar Suto cepat datang?!"

"Iya, gitu. Oblok...!" maki si Gila Tuak. Wibawanya sudah hilang, kharismanya pun lenyap. Penyakit itu seakan melenyapkan jati diri si Gila Tuak yang biasanya tampil gagah, wibawa dan berkharisma sekali itu.

Bidadari Jalang memaklumi keadaan tersebut, sehingga ia tak merasa tersinggung dikatakan 'goblok' dan tak mengecam sikap seperti anak kecil yang ada pada Ki Sabawana. Bidadari Jalang cukup sabar melayani si Gila Tuak, karena tak ada orang lain yang bisa melayani dan merawat si Gila Tuak kecuali dirinya.

Betapapun dulu Bidadari Jalang merasa bersaing dengan Gila Tuak, namun sekarang ia merasa sedih jika harus kehilangan Gila Tuak. Memang, mereka sebenarnya mempunyai guru masing-masing. Gila Tuak mempunyai guru yang bernama Eyang Purbapati, dan Bidadari Jalang mempunyai guru Nini Galih. Tetapi antara Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih menjalin hubungan cinta hingga mereka hidup sebagai suami istri.

Sedangkan Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih itu mempunyai satu guru yang bernama Eyang Wijayasura, tokoh sakti yang menjelma menjadi pohon bambu dan bambu itu sekarang menjadi bumbung tuaknya Suto Sinting. Ada pun Eyang Wijayasura adalah cucu dari tokoh kuno yang kesohor sangat sakti dan dikenal dengan nama Eyang Agung Cipta Mangkurat, dan sekarang menjelma menjadi sebuah pedang pusaka bernama Pedang Kayu Petir, (Baca silsilah guru Suto Sinting dalam serial Pendekar Mabuk, episode Pedang Guntur Biru dan Pedang Kayu Petir).

Eyang Agung Cipta Mangkurat menurunkan seluruh ilmunya kepada sang cucu, Wijayasura. Sedangkan Wijayasura menurunkan seluruh ilmunya kepada kedua muridnya, yaitu Purbapati dan Nini Galih. Suami-istri ini sebenarnya mempunyai tiga anak: Durgawati, Begawan Sangga Mega dan Raja Nujum. Tetapi ternyata dari ketiga anak itu tak ada yang kuat menerima seluruh ilmu Purbapati dan Nini Galih, sebab ilmu itu sudah berkembang menjadi lebih dahsyat lagi. Akhirnya, Purbapati punya murid Ki Sabawana alias Gila Tuak, yang kuat menerima seluruh ilmu warisan Purbapati. Sedangkan Nini Galih mempunyai murid Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, yang ternyata kuat juga menerima seluruh ilmu Nini Galih itu.

Kini seluruh ilmu yang ada pada Gila Tuak dan Bidadari Jalang diturunkan kepada pemuda tanpa pusar yang punya wajah ganteng dan menawan hati setiap wanita, yaitu Suto Sinting alias Pendekar Mabuk. Ternyata Suto Sinting mampu menerima dua warisan ilmu yang sudah dikembangkan sebegitu dahsyatnya. Kekuatan Suto menerima seluruh ilmu itu dikarenakan ia terlahir tanpa pusar. Manusia tanpa pusar ditakdirkan mempunyai kekuatan yang luar biasa dibanding manusia yang punya pusar.

Kesempatan menurunkan seluruh ilmunya itu sangat sulit didapatkan oleh Gila Tuak maupun Bidadari Jalang. Hanya bocah tanpa pusar yang sanggup menerima kedahsyatan ilmu mereka. Lalu, mereka pun berebut bocah tanpa pusar ketika mereka menemukan Suto Sinting ketika diketahui bahwa perut Suto ternyata datar tanpa lubang pusar sedikit pun. Akhirnya mereka sepakat untuk sama-sama menurunkan ilmu mereka kepada Suto, dan saat itulah Bidadari Jalang masuk dalam aliran putih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalami episode Bocah Tanpa Pusar).

Suto Sinting menganggap Gila Tuak bukan saja sebagai guru, dan Bidadari Jalang bukan saja sebagai Bibi Guru, tetapi kedua tokoh sakti itu sudah dianggap sebagai ayah dan ibunya sendiri. Sebab sejak berusia sekitar tujuh tahun, Suto Sinting sudah tidak mempunyai ayah-ibu dan keluarga lain. Seluruh keluarganya dibantai habis oleh si Kombang Hitam, tokoh sesat yang menjadi Ketua Begal Cinta. Di tangan si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, Suto dirawat dan diasuh, lalu dibesarkan menjadi seorang pemuda yang mempunyai kesaktian gila-gilaan. Karena ilmunya yang gila-gilaan itulah, maka nama asli Suto Wijaya, diganti dengan nama Suto Sinting. Yang sinting bukan orangnya, tapi ilmunya.

Kabar sakitnya Gila Tuak diterima Suto Sinting dari seorang tokoh tua aliran putih yang dikenal dengan nama Ki Sanupati, atau lebih dikenal dengan julukan si Tua Bangka. Waktu itu, Tua Bangka sedang berkunjung ke rumah adiknya yang bernama si Kusir Hantu. Pondok kediaman Kusir Hantu ada di Lembah Seram. Kala itu, Suto Sinting sedang berada di semak-semak bersama gadis yang telah diselamatkan dari kutukan Nyai Ronggeng Iblis itu.

Andai saja saat itu Suto gagal merebut Bunga Kecubung Dadar, tentunya gadis cantik yang bernama Tenda Biru itu tetap menjadi gadis tanpa raga. la hanya akan mempunyai suara tanpa dapat dinikmati kecantikannya. Karenanya, gadis cantik berambut pendek depan dan belakangnya panjang sepinggang sangat berterima kasih kepada Pendekar Mabuk.

"Seandainya aku tak bertemu denganmu, barangkali sampai sekarang aku masih seperti hantu yang bergentayangan," ujar Tenda Biru yang mengenakan jubah tanpa lengan warna biru itu.

"Seandainya kau hantu, kau adalah hantu yang paling cantik di antara para hantu dan setan gentayangan," puji Pendekar Mabuk membuat si gadis berdada montok itu mencibir.

"Hmm...! Rupanya kau bukan saja berilmu tinggi namun juga pandai merayu wanita, Bocah Sinting."

"Aku tidak merayu, Tenda Biru. Dengan setulus hati kukatakan, kau memang cantik. Matamu membelalak indah, bibirmu ranum menggemaskan, hidungmu mancung, dadamu juga mancung...."

"Ih, kau ini!" Tenda Biru tersipu, ia menyenggol lengan Suto dengan pundaknya.

Pendekar Mabuk tertawa lirih, lalu merangkul si gadis dari samping kiri. Saat itu mereka masih duduk di bawah pohon bersemak rapat, menikmati cahaya rembulan yang menyinari ke bumi bagai menaburkan suasana romantis.

"Dingin sekali malam ini," ucap Tenda Biru pelan. "Kau dingin juga?"

"Ya. Tapi sekarang agak hangat."

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena tubuhku rapat dengan tubuhmu," sambil Suto mempererat pelukannya.

"Ya, memang agak hangat. Sayang kehangatan ini tak bisa kumiliki selamanya. Aku punya firasat, bahwa keindahan seperti saat ini akan pergi dariku, cepat atau lambat."

"Mengapa kau tak menikah saja, Tenda Biru. Kau akan memiliki kehangatan dan keindahan seperti ini jika kau menikah."

"Belum ada lelaki yang mampu meluluhkan kekerasan hatiku, menyinari di bumi bagai menaburkan suasana romantis kecuali kau, Bocah Sinting. Pendekar mana pun tak pernah ada yang mampu membuatku sebahagia ini. Seandainya ada, mungkin sudah sejak dulu aku menjadi seorang istri."

"Kau harus berusaha melunakkan hatimu sendiri agar tidak menjadi kendala dalam perjalanan cintamu mendatang."

"Tidak bisa, Bocah Sinting. Pria yang kuidam-idamkan adalah pria sepertimu. Sedangkan di dunia ini, pria yang sepertimu tidak ada kecuali kau seorang, Bocah Sinting," ucap Tenda Biru lirih, sambil matanya memandangi wajah tampan Suto hingga hembusan napasnya dari hidung terasa menghangat di sekujur wajah pemuda itu.

Akhirnya pemuda itu pun memandang Tenda Biru dengan lembut. Tutur katanya pun bernada bisik, seakan terlontar dari getaran hatinya yang berbunga-bunga. "Kau akan menjadi seorang istri yang membuat suami betah tinggal di rumah, Tenda Biru."

"Kenapa begitu?"

"Kau tidak membosankan. Kecantikanmu selalu segar dan membangkitkan gairah hidup."

"Yang mana yang hidup?" pancing Tenda Biru dalam candanya. la tersenyum nakal. "Apakah sekarang pun ada sesuatu yang hidup dalam dirimu, Bocah Sinting?"

"Entahlah, aku tak memeriksanya."

"Bagaimana jika aku yang memeriksanya?" sambil tangan gadis itu mulai merayap nakal. Pendekar Mabuk sengaja membiarkan, sampai akhirnya gadis itu menemukan apa yang dicari dalam debar-debar hatinya.

"Oh, benar apa katamu, Bocah Sinting. Hangat sekali."

"Apanya yang hangat?"

"Genggaman tanganmu di pundakku."

"Ada yang lebih hangat lagi, apakah kau mau?"

"Berikanlah, Bocah Sinting. Berikan yang lebih hangat lagi," suara Tenda Biru mulai mendesah dengan tangan meremas sesuatu yang mendebarkan hati itu.

Suto pun memberikan yang lebih hangat. la mendekatkan bibirnya ke bibir Tenda Biru, kemudian bibir itu dikecup pelan-pelan. Bibir itu dipagut dengan gerakan sangat pelan, dan ditarik lepas dengan gerakan lebih pelan lagi. Hati Tenda Biru berdesir. Rohnya bagai melayang sampai ke ubun-ubun dan kembali lagi dalam kelegaan yang dalam. Mereka saling tatap kembali. Suto tersenyum lembut, tapi mata Tenda Biru mulai sayu. Bibirnya yang ranum masih merekah, dan akhirnya ia berkata dalam bisikan.

"Lagi, Bocah Sinting.... Aku suka kecupan bibirmu...."

Maka pendekar tampan itu pun memagut bibir ranum itu dengan pagutan sangat pelan. Kali ini pagutan itu dilakukan berulang-ulang, sehingga gairah Tenda Biru semakin terbakar. Akibatnya bibir si gadis melawan, memberikan reaksi balasan. Maka habislah bibir Suto Sinting dilumatnya. Tangan kiri Tenda Biru pun semakin meremas, tangan kanannya menelusup di balik baju Suto, merayapi dada hingga menelusup ke punggung, mencipta kehangatan yang semakin menggelora.

Kecupan Suto sempat lepas dari bibir Tenda Biru, namun kini kecupan itu merayap hingga ke leher si gadis. Pagutan-pagutan hangat menyerang seluruh leher Tenda Biru, sehingga kenikmatan yang hadir membuat Tenda Biru mengerang bersama desah napas yang memburu.

"Oouh, Bocah Sinting... teruskan ke bawah. Teruskan ke bawah, Bocah Sinting. Uuuh...."

Kecupan itu pun merayap sampai ke bawah leher. Tenda Biru menarik penutup dadanya hingga dada itu menjadi bebas tanpa hambatan. Kecupan Suto akhirnya memasuki jalur bebas hambatan, membuat Tenda Biru memekik ditikam kenikmatan sambil kedua tangannya yang sudah berpindah ke punggung Suto meremas kuat bagai menahan sebentuk keindahan yang ingin meledak.

"Oohh... nikmat sekali, Bocah Sinting! Aoow...! Tanganmu nakal, Bocah Sinting... tapi... ooh, tapi teruskan kenakalan tanganmu itu. Ooh... ambillah ini, ambil... oh, yaah... yaah...."

Tenda Biru semakin melebar, memberi kesempatan untuk tangan Suto agar semakin nakal dan semakin leluasa dalam kelincahannya. Tenda Biru kini berlutut supaya tangan Suto mudah mencapai sasaran keindahannya. Pinggul pun mulai meliuk-liuk mengikuti irama kemesraan yang ada di antara jemari Suto. Sementara itu, mulut Suto masih berkeliaran di jalur bebas hambatan itu, memagut-magut dengan kehangatan yang membuat jiwa Tenda Biru bagai terbang ke langit-langit ketujuh.

Kemesraan itu tiba-tiba harus berhenti dan mereka sembunyikan diri sesaat. Karena mendadak mereka mendengar suara Panji Klobot yang memanggil dari kejauhan.

"Tenda Biru..! Sutoo...! Di mana kalian?! Hoii... Tenda Biru, Suto Sinting...! Menjawablah kalian sekalipun kalian sibuk! Di mana kalian, sahabatku?!"

"Sial! Panji Klobot menuju kemari!" bisik Tenda Biru dengan nada dongkol sambil merapikan pakaiannya. "Cepat bersikaplah wajar-wajar saja!"

"Iya, tapi tanganmu lepaskan dulu!"

"Ooh... maaf, aku sampai lupa melepaskannya..."

"Hi, hi. hi. hi...!" Tenda Biru tertawa geli melihat kegugupan Suto sampai lupa menarik tangannya. Ketika Panji Klobot menemukan mereka berdua keadaan mereka sudah lain. Mereka sama-sama duduk bersila, berhadapan, pejamkan mata, persis orang sedang semadi. Panji Klobot tak berani berseru lagi ketika melihat mereka begitu.

"Ooh... kalian sedang lakukan semadi? Aduh, maaf... aku tak mengerti." Panji Klobot mundur dua langkah dengan rasa takut kena marah.

Pendekar Mabuk berlagak hembuskan napas, lalu membuka mata, demikian pula dengan Tenda Biru. Mereka sama-sama memandang Panji Klobot.

"Ada apa, Panji?" tanya Suto sambil berdiri.

Panji Klobot agak gugup karena takut kena marah. "Maaf, aku tak tahu kalau kalian sedang lakukan semadi. Sumpah mampus tujuh kali, aku tak sengaja mengganggu semadi kalian."

"Tak apa. Semadi kami sudah selesai."

"Hmmm.... Pestanya akan dimulai, tapi mereka menunggu kalian!"

"Baik, kami akan ke sana!" Mereka pun bergegas ke pondok untuk merayakan pesta kemenangan.

Dalam pesta kemenangan yang dimeriahkan dengan puluhan jagung bakar itu, hadir pula si Kapas Mayat dan cucunya; Kelambu Petang. Kehadiran si Tua Bangka membuat Suto Sinting terkejut dan menjadi tegang setelah mendengar kabar sakitnya sang Guru. Tanpa menunggu pesta kemenangan itu berakhir, Pendekar Mabuk segera mohon pamit kepada para tokoh tua dan para gadis cucu-cucu mereka itu.

"Sebaiknya kau berangkat besok pagi saja, Suto. Malam ini beristirahatlah dulu di sini," ujar Pematang Hati, cucu dari si Kusir Hantu.

"Aku tidak bisa pejamkan mata jika mendengar Guru sedang sakit," kata Suto Sinting. "Bagiku tak ada waktu yang tak bisa ditangguhkan jika kudengar Guru sedang sakit, sekarang juga aku harus berangkat ke Jurang Lindu."

Tenda Biru segera menimpali, "Kalau begitu kita berangkat berdua sekarang juga, Suto. Aku sudah siap!"

"Tidak, Tenda Biru! Aku tak ingin merepotkan dirimu. Tetaplah tinggal di sini bersama Kusir Hantu, Pematang Hati, Mahligai Sukma serta Panji Klobot."

"Tapi aku sudah berjanji ingin mengabdi padamu karena kau sudah berhasil pulihkan keadaanku, Suto." Tenda Biru agak ngotot.

"Kau punya janji dengan mengajarkan sejurus dua jurus ilmu kepada Panji Klobot. Penuhi dulu janjimu kepada Panji Klobot, setelah itu jadilah abdiku sesuai keinginanmu!"

Tenda Biru tak bisa memaksa diri. Walau ia merasa masih berhutang budi kepada Suto atas keberhasilan Suto membebaskan dirinya dari kutukan Nyai Ronggeng Iblis itu, tetapi Tenda Biru kali ini terpaksa harus menangguhkan balas jasanya untuk sementara waktu. la harus bisa menganggap dirinya tak pernah dibebaskan dari kutukan ilmu hitamnya Nyai Ronggeng Iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

Zlaap...! Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu, Pendekar Mabuk akhirnya tinggalkan Lembah Seram dan segera menuju ke Jurang Lindu, tempat kediaman Gila Tuak dalam mengasingkan diri dari kancah dunia persilatan itu. Gelap malam ditembusnya, hutan lebat diterjangnya, gerakan yang begitu cepat seakan mampu menembus gunung batu dan menyeberangi jurang selebar dan sedalam apa pun. Gerakan cepat itu menunjukkan bahwa Suto Sinting sangat mencemaskan keselamatan jiwa sang Guru yang sedang sakit.

Tiba di Jurang Lindu, ternyata hari sudah menjadi pagi, matahari sudah menggeliat bangkit dari peraduannya. Tetapi dalam diri Suto tak ada rasa kantuk dan lelah sedikit pun. Pusat perhatian dan kecemasannya tertuju pada sakitnya sang Guru, sehingga Suto Sinting langsung saja menerabas curahan air terjun yang masih membawa uap dingin bagai gunung es yang mencair.

Zrraab...! Curahan air terjun itu ditembus dengan cepat, dan di balik curahan air terjun berngarai cukup tinggi itulah terdapat gua yang digunakan sebagai tempat kediaman si Gila Tuak dalam pengasingannya.

"Ke mana saja kau?!"

"Bibi Guru...," Suto segera memberi hormat kepada Bidadari Jalang. Setelah itu ia melepas bumbung tuaknya yang ada di punggung.

"Susah payah aku mencarimu, tapi tak pernah kudengar kabarmu."

"Bibi Guru, aku baru saja menolong melepaskan kutukan yang menimpa diri seorang gadis, murid sahabat Guru sendiri..."

"Kau tolong orang lain tapi kau biarkan kakek gurumu terkapar tanpa daya begitu. Apakah itu murid yang baik dan berbudi luhur?!"

"Maaf, Bibi Guru...." Suto Sinting agak takut dimarahi Bidadari Jalang, bahkan memandang wajah Bidadari Jalang pun tak berani. la menunduk, bermainkan tali bumbung tuaknya.

"Kakek Guru dalam keadaan koma."

"Apa artinya koma, Bibi Guru?"

"Nyawanya cekak!" jawab Bidadari Jalang tanpa senyum, tegas dan berkharisma tinggi. "Beliau menderita sakit sudah lama. Kau selalu ditanyakan, dan aku selalu gagal mencarimu."

Pendekar Mabuk segera mengangkat wajah, memandang ke arah pembaringan. Di sana tampak si Gila Tuak dalam keadaan berbaring berselimut tebal dari kulit binatang. Wajahnya tampak cekung dan pucat pasi.

"Kakek...?!" Suto Sinting bergegas hampiri pembaringan itu. la segera berlutut dan mencium kaki si Gila Tuak. "Kakek Guru, ampunilah aku. Aku tidak tahu kalau kau sakit, Kakek Guru. Kalau aku tahu, tak mungkin aku mengutamakan keselamatan si Tenda Biru daripada keselamatanmu, Kakek!"

Sebutan 'Kakek' memang sudah sejak kecil dilakukan oleh Suto terhadap Gila Tuak. Karena ketika itu, Suto belum tahu bahwa orang yang menyelamatkan dirinya dan memungutnya itu akan menjadi guru dalam seluruh hidupnya. Karenanya, sampai sekarang Suto sering memanggil Gila Tuak dengan sebutan 'Kakek Guru' atau kadang 'Guru' saja, atau juga kadang 'Kakek' saja. Sedangkan kepada Bidadari Jalang yang dulu dianggap sebagai bibinya sampai sekarang dipanggilnya 'Bibi Guru'. Tiba-tiba lengan Suto digenggam seseorang. Ternyata Bidadari Jalang yang menggenggam dan menariknya agar berdiri jauhi pembaringan.

"Jangan ganggu dulu kakek gurumu itu. Sudah beberapa malam beberapa hari tak bisa tidur. Sekarang biarkan beliau tidur dulu."

"Baik, Bibi Guru. Tapi bolehkah aku tahu apa penyebab sakitnya Kakek Guru ini?"

"Aku tak tahu. Yang jelas sudah kucoba untuk sembuhkan dia, tapi tak berhasil. Bahkan Tabib Awan Putih sudah kupanggil, lalu mencoba sembuhkan dia, tapi juga tak berhasil. Resi Wulung Gading baru kemarin datang dan mencoba salurkan hawa saktinya, namun tak membuat kakek gurumu sehat kembali."

Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil pandangi wajah sang Guru yang sangat menyedihkan itu. Hati Suto Sinting seakan ingin meratap dalam tangis melihat Gila Tuak sepucat dan sekurus itu. Hatinya bagai diiris-iris memakai pedang pemenggal kepala, jantungnya nyeri bagai dicongkel-congkel memakai ujung clurit. Dalam wajah dukanya, Suto pun akhirnya bicara dengan batinnya sendiri.

"Jika para tokoh sakti dan tabib berilmu tinggi tak mampu sembuhkan sakitnya Kakek Guru, apalagi aku? Pasti sakitnya Kakek Guru ini bukan sembarang penyakit, sehingga tidak sembarang obat bisa dipakai untuk mengusir penyakitnya. Jangankan mengusir penyakit, menggertak penyakit pun belum tentu bisa dilakukan oleh sembarang obat. Tuakku sendiri rasa-rasanya tak akan bisa menolongnya."

Agaknya Bidadari Jalang dapat membaca jalan pikiran Suto Sinting. Maka ia segera bicara kepada muridnya yang gagah perkasa itu dengan suara berbisik pelan. "Tak ada salahnya jika kau coba sembuhkan penyakit Kakek Guru dengan tuak saktimu itu."

"Ah, Bibi Guru... mana mungkin tuakku bisa sembuhkan beliau?! Bukankah Resi Wulung Gading yang sakti itu pun tak mampu sembuhkan beliau?"

"Coba saja, siapa tahu bisa."

"Aah...," Suto mendesah dengan hati ciut.

Waktu itu, Gila Tuak segera terbatuk-batuk. Ia terbangun dari tidurnya. Batuk-batuknya itu berkepanjangan sehingga dibantu bangun oleh sang murid. "Uhuk, uhuk, uhuk.... hoeek...!" Gila Tuak muntah.

Bidadari Jalang dan Suto Sinting tidak ikut muntah, namun justru terbelalak kaget melihat darah kental keluar dari mulut si Gila Tuak. Darah itu berwarna merah kehitam-hitaman.

"Celaka! Dia sudah memuntahkan darah penjemput ajal!" ucap Bidadari Jalang pelan sekali di samping Suto Sinting.

Pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam itu menjadi semakin tegang dan diliputi kecemasan sangat kuat. "Kakek Guru, aku datang, Kek...."

"Hmmm... masa bodoh," ujar Gila Tuak tanpa wibawa lagi. "Aku mau bobo saza...." Lalu ia berbaring kembali, seakan acuh tak acuh kepada muridnya. Hal itu membuat hati Pendekar Mabuk menjadi sedih dan wajahnya pun tampak sayu sekali.

"Jangan sakit hati, memang begitulah sikap kakekmu belakangan ini. Seperti anak kecil," bujuk Bidadari Jalang. "Berikan tuakmu padanya. Minumkan tuak ke mulutnya."

"Sia-sia saja, Bi...," gumam Suto Sinting, walau akhirnya ia mencoba meminumkan tuak ke mulut sang Guru yang melongo itu.

Tetapi ketika tuak tertelan oleh sang Guru, ternyata tuak itu justru membuat sang Guru terbatuk-batuk lagi, "Uhuk, uhuk, uhuuuueeek...!"

Pyoook...! Darah kental menghitam semakin banyak dimuntahkan oleh si Gila Tuak. Napas tokoh tua itu semakin terengah-engah. Pendekar Mabuk dan Bidadari Jalang bertambah tegang.

"Apa-apaan kau ini, hah?! Olang tua alit malah di suluh inum uak! Anti aku abuk, Olol!"

Gila Tuak mengomel dengan napas ngos-ngosan. la menyeringai sambil pegangi dadanya sebagai tanda bahwa dadanya terasa sakit sekali. Pendekar Mabuk tak bisa berkata apa pun kecuali meminta maaf atas tindakannya tadi.

"Maafkan aku, Kakek Guru...."

Lalu ia berbisik kepada Bidadari Jalang. "Apa kubilang tadi, Bi? Sia-sia saja pengobatan menggunakan tuakku ini, bukan?!"

Bidadari Jalang hanya tarik napas pertanda sangat prihatin melihat kenyataan itu. Lalu, ia berkata dengan suara datar dan pelan. "Setidaknya, sebagai murid kau sudah mencoba menolong sembuhkan Guru."

"Oh, Bibi Guru... lihat, Kakek Guru telah tertidur lagi?! Cepat sekali ia tertidur dengan nyenyak, sepertinya tak pedulikan kehadiranku di sini. Atau... mungkin Kakek Guru sudah tidak membutuhkan kehadiranku lagi?"

"Jangan beranggapan seperti itu. Besarlah permaklumanmu untuk orang yang sakit dan kembali menjadi seperti anak kecil begitu, Suto."

Tiba-tiba seberkas bayangan melesat masuk dari pintu gua yang tertutup curahan air terjun itu. Slaaab...! Jleeg...! Sosok bayangan itu kini menampakkan diri. Ternyata ia seorang lelaki tua berbadan kurus, mengenakan jubah kuning dan celana biru. la mempunyai rambut putih panjang sepundak tanpa ikat kepala, seperti potongan rambut Suto Sinting.

"Uhuk, uhuk, ahak, ahak, ohoooek...!" tokoh yang baru datang itu langsung batuk dengan berbagai irama begitu menampakkan diri.

Dari irama batuknya, Suto Sinting dan Bidadari Jalang segera mengenali bahwa tamu yang berusia sekitar sembilan puluh tahun itu tak lain adalah tokoh aliran putih yang bernama Brajamusti alias Batuk Maragam.

"Selamat datang ke Jurang Lindu, Brajamusti!" sapa Bidadari Jalang dengan tegas dan berwibawa.

"Kudengar si Gila Tuak sakit, uhuk, uhuk, uhuk, eheeek... cuih!" Batuk Maragam terengah-engah bagaikan kecapekan menyentakkan suara batuknya tadi. la melirik ke arah pembaringan, memandangi si Gila Tuak yang tetap tertidur bagai tak merasa terganggu oleh suara batuk tadi.

"Aku sendiri baru saja datang dan gagal mengobatinya, Eyang Brajamusti," kata Suto Sinting yang memang sudah kenal dengan si Batuk Maragam itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Peri Sendang Keramat).

"Eyang...? Sejak kapan kau panggil aku Eyang. Biasanya kalau panggil cuma Batuk Maragam, Batuk Maragam... eh, sekarang pakai Eyang segala," gerutu Batuk Maragam membuat Suto Sinting hanya bisa tundukkan kepala, tak berani tersenyum atau menimpali dengan kata-kata.

"Aku cuma mau coba obati sakitnya si Gila Tuak!"

"Kuharap kau berhasil!" ujar Bidadari Jalang.

Weeess...! Muncul lagi tokoh lain yang datangnya bagaikan angin, tahu-tahu muncul dalam bentuk letupan asap, dan ketika asap sirna, tampak sosok tubuhnya yang gemuk, berpakaian kain kuning pula dengan corak pakaian seorang biksu. Tamu gemuk itu berkepala gundul, mengenakan kalung tasbih putih sebesar kelereng sepanjang perut. Tamu itu mempunyai jenggot panjang, kumis dan brewok warna putih uban merata.

"Selamat datang, Badranaya!" sapa Bidadari Jalang mewakili tuan rumah di situ.

"Selamat datang, Eyang Resi Badranaya!" Suto pun menyambutnya penuh hormat.

Tokoh itu ternyata adalah Resi Badranaya, yang mengasingkan diri di puncak Gunung Wakas, gurunya seorang pemuda sebaya Suto bernama Darah Prabu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Buronan).

"Tabib Awan Putih singgah ke tempatku dan mengabarkan sakitnya si Gila Tuak. Jika tak ada yang mampu sembuhkan, maka aku akan mencoba menyembuhkannya dengan tasbih pusakaku ini!" seraya Resi Badranaya melepaskan kalung tasbihnya itu.

"Nanti dulu...!" cegah Batuk Maragam. "Aku datang lebih dulu, jadi kau boleh coba sembuhkan Gila Tuak jika aku gagal sembuhkan dia! Uhuk, uhuk, ohooeek...!"

"Hmm...! Kau sendiri tak bisa sembuhkan penyakit bengekmu itu, mana mungkin bisa sembuhkan sakitnya si Gila Tuak?"

"Jangan menghinaku, Badranaya. Nanti kutampar mulutmu!"

"Cobalah kalau kau mampu!"

"Hei, hei... kalian ke sini mau numpang bertarung apa mau coba sembuhkan saudaraku?!" sergah Bidadari Jalang melerai ketegangan di antara kedua tamunya itu.

Tiba-tiba terdengar suara Gila Tuak dalam keadaan tetap tidur. "Jangan berisik, ada orang sakit!"

Semua memandang kaget ke arah Gila Tuak. "Dia bisa bicara lancar dan jelas?!" bisik Bidadari Jalang dengan wajah tegang.

Mereka pun mendekat, tapi saling berkerut dahi setelah tahu bahwa si Gila Tuak ternyata sedang tertidur nyenyak. Lalu, siapa yang bicara tadi? Pikir mereka masing-masing.

"Apakah kau mendengar suaraku, Kakang Gila Tuak?" Resi Badranaya coba menyapa, tapi tak ada jawaban.

Beberapa saat kemudian, ketika semua orang memandang mulut Gila Tuak yang terkatup rapat, mereka mendengar suara Gila Tuak bicara tanpa gerakan mulutnya. Suara itu bagai suara Gila Tuak dalam keadaan sehat, seperti biasa.

"Muridku, cepat pergi dan carilah 'Tuak Dewata' sebagai penyembuh sakitku. Hanya 'Tuak Dewata' yang bisa menyambung nyawaku nantinya. Tapi jika kau gagal dapatkan 'Tuak Dewata', maka aku pun akan kembali ke pangkuan Hyang Maha Suci!"

Bidadari Jalang dan yang lainnya saling pandang penuh keheranan. Batin mereka saling berkata, "Aneh Gila Tuak bicara tanpa gerakan bibirnya dan tanpa buka mulut sedikit pun?! Ilmu apa yang dimilikinya! Suaranya bisa terdengar nyata melalui gendang telinga, bukan melalui batin."

Tiba-tiba sebuah suara segera terdengar di belakang mereka. Rupanya ada seorang tamu baru yang datang tanpa permisi maupun tanpa memberi perlambang. Tamu itu juga seorang tokoh tua berpakaian serba putih. Rambutnya putih panjang acak-acakan. Kulit dan wajahnya berwarna pucat. Kukunya panjang berwarna putih juga. Usia tamu itu sebaya dengan Resi Badranaya dan Batuk Maragam, yaitu sekitar sembilan puluh tahun.

Suto dan yang lainnya mengenali tamu yang munculnya tak diketahui itu sebagai tokoh tua yang berjuluk Setan Merakyat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Tabib Darah Tuak). Tokoh inilah yang memberikan ilmunya kepada Suto Sinting bernama ilmu atau jurus 'Pranasukma' yang membuat Suto Sinting dapat memindahkan benda atau melemparkan musuh, atau pula menghancurkan sesuatu dengan kekuatan batin, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Setan Rawa Bangkai).

Setan Merakyat tiba-tiba saja berkata, "Roh sejatinya si Sabawana telah bicara kepada kita. Jadi jangan heran jika mulut dan bibir Sabawana tidak bergerak namun kalian mendengar suara aslinya, karena yang bicara adalah roh sejati si Sabawana sendiri!"

"Bapa Guru Murdawira...?!" Suto segera menyambut dengan sebentuk hormat sederhana namun cukup menyenangkan hati si Setan Merakyat.

"Kebiasaanmu nyelonong masih saja kau pelihara, Murdawira!" gerutu Batuk Maragam, setelah itu terbatuk-batuk sesaat.

"Sebenarnya aku tadi ingin memberi salam kepada kalian. Tapi berhubung tiba-tiba kudengar suara roh sejatinya si Sabawana, jadi aku diam dulu sampai roh sejati itu selesai bicara."

Bidadari Jalang yang merasa tak asing lagi dengan wajah si Setan Merakyat karena memang sudah mengenal sejak dulu, kini segera dekati sang tamu yang baru datang itu. "Kau dengar dia menyebutkan nama 'Tuak Dewata' tadi?"

"Ya, aku dengar!" jawab Setan Merakyat. "Tapi jangan tanyakan di mana 'Tuak Dewata' itu berada, aku sungguh tak tahu, Nawang Tresni. Berani dipeluk seribu janda bahenol, aku tetap tidak tahu-menahu tentang 'Tuak Dewata' itu."

"Aku sendiri tak tahu," ujar Bidadari Jalang. "Tapi barangkali Badranaya atau Brajamusti mengetahui tentang 'Tuak Dewata' itu."

Resi Badranaya menyahut, "Aku juga tidak tahu. Kalau aku tahu, sudah kubimbing Suto pergi ke tempat di mana 'Tuak Dewata' itu berada."

Batuk Maragam segera menimpali. "Aku, sendiri baru sekarang mendengar kata 'Tuak Dewata'. Oh, aku jadi malas mau mencoba-coba sembuhkan si Gila Tuak, karena sepertinya tak ada obat lain yang bisa sembuhkan sakitnya kecuali 'Tuak Dewata' itu."

"Dan, murid angkatku itulah yang diwajibkan mencarinya," timpal Setan Merakyat sambil berjalan tertatih-tatih mendekati Suto Sinting.

"Tapi... tapi ke mana aku harus mencari 'Tuak Dewata' itu, Bibi Guru?"

Bidadari Jalang tarik napas dalam-dalam, kemudian mendekati pembaringan dan bertanya kepada Gila Tuak yang masih tertidur. "Dapatkah kau sebutkan nama tempat untuk dapatkan Tuak Dewata' itu, Sabawana?!"

Ternyata pertanyaan itu tak mendapat jawaban apa pun. Bahkan bunyi dengkurnya Gila Tuak pun tak ada. Bidadari Jalang menghempaskan napas lagi sambil kembali dekati Suto Sinting.

"Aku sendiri baru sekarang mendengar dia sebutkan nama 'Tuak Dewata' itu."

Setan Merakyat menimpali, "Kurasa ini sebuah tantangan bagi seorang murid sepertimu, Suto. Kalau kau bisa menolong orang lain dengan kesulitan apa pun, sekarang kau ditantang, mampukah kau menolong gurumu dengan kesulitan seperti ini?!"

"Kurasa ini bukan sekadar tantangan," sahut Resi Badranaya, "Tapi merupakan bencana bagi Pendekar Mabuk yang akan kehilangan guru utamanya jika tak dapat mencari 'Tuak Dewata' itu."

"Tenang saja," ujar si Batuk Maragam. "Aku akan membantumu berpikir memecahkan teka-teki ini, Suto Sin... uhuk, uhuk, ehek, ehek, uhuuu, hoaaaiak...!"

"Sssttt...! Berisik!" sentak Resi Badranaya kepada Batuk Maragam.

Yang dibentak bersungut-sungut, "Namanya orang batuk, ya berisik. Kalau yang tidak berisik orang mati!"

Pendekar Mabuk, Bidadari Jalang, dan yang lainnya akhirnya sama-sama termenung memikirkan tentang 'Tuak Dewata' itu. Pendekar Mabuk mulai merasa dihadapkan oleh tantangan yang seakan melecehkan dirinya. Baru saja dia dibuat pusing mencari Bunga Kecubung Dadar untuk menolong si Gadis Tanpa Raga itu, sekarang dia harus mencari sesuatu yang tak diketahui tempatnya. Bahkan tanggung jawabnya di dalam perkara ini lebih besar daripada mencari Bunga Kecubung Dadar.

"Benar kata Bapa Guru Murdawira, ini sebuah tantangan bagiku. Kalau biasanya aku berhasil mencarikan sesuatu yang amat keramat untuk menolong jiwa seseorang, sekarang aku ditantang untuk mencari sesuatu yang amat keramat untuk selamatkan jiwa guruku sendiri. Aku yakin, 'Tuak Dewata' itu sesuatu yang amat keramat, sampai-sampai beberapa tokoh sakti di sini tidak mengetahuinya," kata Suto membatin.

Lalu ia berkata kepada bibi gurunya, "Bibi Guru, apa pun yang terjadi, di mana pun letaknya, aku tetap akan mencari 'Tuak Dewata' itu! Akan kuhadapi tantangan ini, untuk buktikan kepada mereka bahwa aku bukan saja bisa selamatkan jiwa orang lain, tapi juga bisa selamatkan jiwa guruku sendiri!"

"Aku bangga dengan tekadmu!"

"Kapan-kapan kalau Bibi Guru sakit, aku juga akan berusaha selamatkan jiwa Bibi Guru."

"Kau menyumpahiku, Bocah nakal?!" Bidadari Jalang segera menjewer telinga Suto Sinting.

Suto ketakutan. "Ampun, Bibi... maksudku... maksudku... aku pun punya rasa bakti dan hormat kepadamu, Bibi Guru!"

Tokoh tua yang lain hanya tersenyum-senyum sambil palingkan wajah, seakan tak mau melihat pendekar sakti dimarahi gurunya.

"Berangkat dan cari sekarang juga 'Tuak Dewata' itu," perintah Bidadari Jalang dengan tegas. "Jika kau berhasil dapatkan 'Tuak Dewata', maka pantaslah jika kau mendapat gelar 'Murid Maha Sujud' dan jurus 'Candra Geni'-ku patut kuturunkan padamu!"

"Mohon pamit sekarang juga, Bibi Guru!" kata Suto dengan tegas dan berapi-api. "Mohon doa restu, Bapa Guru Murdawira, Eyang Brajamusti, Eyang Resi Badranaya dan... aku pun mohon doa restu juga kepadamu, Bibi Guru nan cantik jelita pelumpuh hati semua pria serta...."

"Cukup!" hardik Bidadari Jalang dengan mata melebar, membuat Suto Sinting sadar dengan ucapannya yang telah berlebihan dan melantur itu. "Kau akan kehilangan kepala jika punya kebiasaan melantur seperti itu!"

"Ampun, Bibi Guru...!"

* * *

DUA

BARU saja keluar dari gua di balik curahan air terjun itu, tiba-tiba Pendekar Mabuk terpental oleh sebuah pukulan tenaga dalam jarak jauh yang cukup berbahaya. Gerakan Suto Sinting yang sedang melayang menuju ke daratan itu bagaikan dihempas angin badai yang padat, punggungnya terasa disodok dengan sebatang pohon besar. Buuuhk...! Sodokan itu seperti ingin mematahkan tulang punggung dan menyumbat jalan pernapasan.

"Heegh...!" Suto Sinting tak bisa berteriak ataupun memekik kesakitan. Suaranya tertahan ditenggorokan bersama napas yang sukar dihembuskan. Tubuhnya, sendiri melayang cepat dan membentur pohon kering yang sudah tak berdaun lagi itu. Brruukk, kraakk...! Pohon itu hampir patah total. Bagian yang ditabrak tubuh Suto Sinting menjadi retak separo bagian. Ini menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang menghempaskan tubuh Suto Sinting hingga pohon pun nyaris tumbang seketika.

Pendekar Mabuk yang menyandang bumbung tuaknya di punggung terpaksa jatuh tengkurap dengan wajah mencium tanah dan tubuh menggeliat pelan sekali. "Dadaku... ooh, dadaku bagaikan mau jebol, padahal yang terkena serangan adalah punggungku! Ouh, gila...! Tenaganya siapa ini yang membuatku sukar bernapas begini?! Jurus apa ini yang membuat jantungku bagai mau pecah rasanya! Uuuhk...!" Pendekar Mabuk mencoba untuk bangkit dengan hati menggerutu penuh kemarahan yang terpendam.

Dalam keadaan setengah merangkak, pandangan matanya berhasil menangkap sesosok tubuh kurus berjubah hitam. Tepian kain jubah hitam itu dilapisi kain kuning emas yang sama dengan warna kain celananya. "Ouh...! Siapa orang itu? Aku baru melihatnya kali ini?!" pikir Suto Sinting sambil tetap mencoba untuk bangkit.

"Heh, heh, heh, heh...! Kusangka kau si Gila Tuak, tidak tahunya hanya bocah ingusan! Wah, tekor kalau begini caranya. Jurus 'Serap Getih'-ku sia-sia kenai tubuh bocah ingusan begini! Kalau tahu kau masih ingusan, lebih baik kutendang saja tadi biar terjungkal ke sungai itu, Nak!"

Orang tua itu tidak menyerang Suto Sinting lagi. la hanya memandangi sambil geleng-geleng kepala dengan cengar-cengir bersikap meremehkan Suto. Sementara itu, Suto Sinting berusaha meraih bumbung tuaknya, lalu menenggaknya beberapa teguk dalam keadaan satu kaki berlutut. Orang berkumis dan berjenggot abu-abu itu membiarkan Suto Sinting menenggak tuak, sepertinya dia tak tahu kehebatan tuak dari bumbung bambu itu yang mampu sembuhkan luka dan hilangkan rasa sakit dalam waktu sangat singkat.

Setelah menenggak tuaknya, badan Suto menjadi enteng dan terasa segar. Rasa sakit di dada dan punggung berangsur-angsur hilang, ia berdiri memandangi lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Lelaki itu berambut sepundak warna abu-abu, tapi kepala bagian depannya botak licin. Tubuhnya yang kurus itu di sangga dengan tongkat hitam berkepala kobra kembar. Dilihat dari tampangnya yang menyeringai, ia tampil sebagai tokoh yang tidak mementingkan wibawa dan suka meremehkan orang lain.

"Mengapa kau menyerangku. Pak Tua?! Siapa kau sebenarnya?" tegur Pendekar Mabuk dengan mata menatap penuh waspada.

"Kusangka kau si Gila Tuak, sebab kau membawa bumbung tuak. Kalau saja kau si Gila Tuak, maka saat ini juga nyawamu akan kucabut! Untung saja kau bukan si Gila Tuak."

Hati pemuda tampan berdada kekar dan bidang itu menjadi panas mendengar ucapan tokoh beralis tipis itu. Namun rasa panasnya hati masih bisa disembunyikan, sehingga Suto Sinting kelihatan tetap tenang menghadapi orang setua itu.

"Yang kutanyakan tadi, siapa dirimu, Pak Tua?!"

"Kau pasti orang baru di rimba persilatan, sehingga tidak mengenali ciri-ciriku ini!" ujar si jubah hitam. "Ketahuilah, Nak... aku inilah yang bernama Pendeta Amor alias Anti Modar. Aku berasal dari Selat Darah, sengaja datang kemari karena mendengar si sombong Gila Tuak dalam keadaan sakit parah."

"Apa maksudmu datang kemari?"

"O, jelas mau membunuh si Gila Tuak. He, he, he...! Mumpung dia sakit, aku harus segera membunuhnya. Bukan saja karena aku menyimpan dendam kepada si Gila Tuak, karena dia telah menewaskan kakakku pada masa empat puluh lima tahun yang lalu, tapi juga karena menggunakan aji mumpung! He, he, he, he...."

Orang itu tertawa sambil garuk-garuk kepala. Sikapnya sangat memuakkan bagi Suto Sinting, namun untuk sementara ini Suto hanya bisa menahan rasa muak dan membiarkan Pendeta Amor berceloteh lagi.

"Aji mumpung itu maksudku, mumpung Gila Tuak sakit parah, berarti kekuatan saktinya berkurang. Kalau aku berhasil membunuhnya, maka namaku akan berada di urutan teratas dalam daftar nama-nama tokoh sakti di rimba persilatan. Berarti aku menggantikan kedudukan si Gila Tuak. Itu yang dinamakan siasat jitu dari orang berotak cerdas sepertiku ini, Anak muda. Heh, heh, heh, hiiieeh...!" tawanya semakin memerahkan telinga Suto Sinting.

"Pendeta Amor, ketahuilah, biarpun Gila Tuak dalam keadaan sakit, kau tetap tak mungkin bisa membunuhnya. Jangankan membunuhnya, menjamahnya pun tak mungkin bisa!"

"Lho, kenapa begitu?"

"Karena muridnya tak akan izinkan siapa pun mendekati Gila Tuak dengan maksud jahat seperti maksudmu!"

"O, jadi Gila Tuak itu punya murid toh? Lha, kok aku baru tahu sekarang, ya? Heh, heh. heh...!" ia garuk-garuk kepala lagi. "Kalau begitu selama ini aku sudah terlalu lama mengasingkan diri mempertinggi ilmu dan cukup lama juga mempelajari jurus sakti dari kitab pusaka peninggalan moyangku. Wah, wah, wah.... Kurang ajar juga si Gila Tuak, sudah berani punya murid segala. Hmmm... ngomong-ngomong, siapa muridnya si Gila Tuak itu, Nak? Kalau perlu kuhabisi juga nyawa si murid itu!"

"Kalau kau ingin tahu siapa muridnya si Gila Tuak, akulah muridnya si Gila Tuak!" sambil Suto menepuk dada dengan geram sendiri.

Pendeta Amor terkejut. "Lho, jadi kau sendiri yang diangkat sebagai murid si Gila Tuak?! Ah, mana mungkin...?!" Pendeta Amor mencibir. "Murid Gila Tuak tidak akan setangguh itu. Kau tadi telah menerima jurus 'Serap Getih'-ku. Jika kau muridnya si Gila Tuak, pasti tubuhmu akan segera menjadi hangus dan darahmu kering, lalu kau modar! Tapi karena kau sekarang masih hidup dan bahkan tampak segar, maka aku tak yakin bahwa kau adalah murid si Gila Tuak!"

"Terserah pendapatmu, Pendeta Amor! Tapi kusarankan padamu, sebaiknya pulanglah ke Selat Darah dan batalkan niatmu untuk menggantikan kedudukan si Gila Tuak sebagai tokoh tertinggi di rimba persilatan ini! Usahamu akan sia-sia, bahkan bisa jadi akan membuat nyawamu melayang di tangan murid si Gila Tuak ini!"

Buukk...! Suto Sinting menepuk dadanya lagi. Tetapi tepukan dada dan saran itu justru ditertawakan oleh Pendeta Amor. Tawanya jelas-jelas tawa yang meremehkan kesaktian Suto Sinting.

"Heh, heh, heh, hiieh...! Bocah kemarin sore kok mau coba-coba menggertakku. Apakah kau pikir aku langsung mengkerut dan merasa takut...? Ooo... sama sekali tidak, Anak muda! Sama sekali tidak! Itu mimpi namanya."

Pendeta Amor maju dua tindak, kini jaraknya dengan Pendekar Mabuk hanya lima langkah. Pandangan mata si Pendeta Amor tampak menyepelekan sekali orang yang dihadapinya, seakan sangat melecehkan usia muda yang dimiliki Pendekar Mabuk itu. Bahkan dengan jumawanya ia berkata kepada Suto.

"Gila Tuak sebetulnya tidak punya nyali. Ilmunya tidak seberapa tinggi. Tapi ia punya keberuntungan besar dalam hidupnya. Keberuntungan itulah yang membuat Giia Tuak kelihatannya sakti, selalu unggul dalam pertarungan, dan selalu terhindar bahaya yang datang. Padahal jika keberuntungannya itu sudah tidak ada, maka ilmu yang dimiliki Gila Tuak itu belum ada sekuku hitamnya dengan ilmu yang kumiliki, Nak!"

"Hentikan celotehmu, Pendeta Amor!" sergah Pendekar Mabuk dengan suara makin tegas, menandakan hatinya semakin panas mendengar ocehan tokoh tua bermata kecil itu.

"Anak muda, kau seorang pemuda yang tampan, gagah, tubuhmu kekar, gerakanmu tadi kulihat sepintas cukup lincah. Kutawarkan jika kau mau menjadi muridku, aku tak keberatan menerimamu dan menurunkan semua ilmuku padamu. Aku senang punya murid segagah dan sekekar dirimu, Anak muda!"

Karena dongkolnya mendengar celoteh si Pendeta Amor akhirnya Pendekar Mabuk sengaja berkata dengan nada sombong, walau hati kecilnya menentang kesombongan itu. "Jika kau bermaksud menjadi guruku, mampukah kau mengalahkan diriku, Pak Tua?!"

"Wweeeh..., heh, heh, heh, heh! Kecil-kecil kok nantang orang tua kau ini!"

"Untuk memberi pelajaran mulut tuamu yang angkuh itu, rasa-rasanya aku perlu bersikap sedikit kurang ajar padamu, Pendeta Amor!"

"Jadi...," Pendeta Amor manggut-manggut sambil berjalan ke samping, lalu kembali lagi ke tempat semula, "... jadi kau ingin menguji kemampuan ilmuku?! Kau ingin tahu seberapa tingginya ilmuku dan kehebatan jurus-jurusku?!"

"Dengan sangat terpaksa, kutantang kehebatan mu, Pendeta Amor! Jika kau bisa tumbangkan diriku kau boleh menjamah guruku yang sedang sakit itu!"

"Weeh..., celaka ini anak! Mau cari mampus apa cari penyakit kau ini, Nak?!"

Pendeta Amor hentikan langkah menghadap ke arah Suto, sementara Suto Sinting sendiri sudah siap hadapi serangan lawan walau hanya dengan berdiri tegak, dada membusung, kaki merenggang sedikit dan bumbung tuak tergenggam di tangan kanannya.

"Kita main-main saja dulu," kata Pendeta Amor. "Bagaimana kalau kau menerima jurus 'Tongkat Gempa' ku ini, Nak?!"

Tiba-tiba tongkat yang bagian atasnya berhias dua kepala ular kobra itu disentakkan ke bumi. Duuhk...! Sentakan tongkat itu cukup pelan. Tetapi akibatnya sungguh mengejutkan Pendekar Mabuk. Duuurr...! Tanah bergetar, lalu dari tempat tongkat disentakkan ke bumi itu membentuk celah lebar. Tanah, itu retak ke samping kanan kiri, dan garis retaknya melewati pertengahan kaki Suto Sinting. Makin lama gerakan tanah itu semakin melebar sehingga Suto Sinting pun semakin merentangkan kakinya.

Zrraakkk...! Tanah yang retak menjadi dua bagian, kiri dan kanan. Jaraknya menjadi semakin lebar. Tetapi kaki Suto Sinting tetap menapak pada kedua bagian tanah yang retak itu. Makin lama kerenggangan kaki Suto pun makin lebar, sampai akhirnya ketika gerakan tanah retak itu berhenti, keadaan Suto Sinting menjadi rendah, karena kedua kakinya merentang lebar hingga pantatnya sejajar dengan permukaan tanah kanan-kirinya.

Tubuh pemuda itu justru bergerak lamban menyamping. Kini tangan kirinya mengeras dengan telunjuk tegak. Tangan itu tiba-tiba menyentak ke bawah. Suuttt...! Jurus "Dewatakara' pemberian Payung Serambi segera digunakan Pendekar Mabuk. Jurus itu mempunyai kunci pada napas. Dengan menahan napas, timbulkan daya cipta, maka apa yang diciptakan dalam batin akan menjadi kenyataan. Dan pada saat itu, batin Suto menciptakan satu kekuatan dahsyat mengalir pada kedua kakinya. Kekuatan dahsyat itu menarik tanah yang retak, sehingga pelan-pelan tanah yang telah terpisah itu bergerak menyatu lagi, sampai akhirnya menjadi rapat kembali, dan kerenggangan kaki Suto Sinting menjadi seperti semula.

Duurrr...! Getaran tanah yang merapat kembali dapat dirasakan sampai ke dalam gua tempat kediaman Gila Tuak. Getaran itu memancing perhatikan para tokoh tingkat tinggi yang masih bicara dengan Bidadari Jalang di dalam gua. Akibatnya, rasa ingin tahu mereka mendorong mereka untuk melesat keluar dari gua tersebut.

Sementara itu, Pendeta Amor menjadi terbengong dengan mata lebar dan mulut melompong, la tak menyangka sama sekali kalau anak muda itu ternyata mampu imbangi kekuatan jurus 'Tongkat Gempa'-nya. Tanah yang semula retak, kini rapat kembali dan tidak ada tanda-tanda bekas keretakan sedikit pun.

"Edan kau, Nak!" geram Pendeta Amor masih dengan mata terbelalak kagum. Tapi hati sang pendeta masih merasa penasaran dan ingin membuat anak muda itu menjadi tunduk serta mengakui kehebatan ilmunya.

"Jangan bangga dulu, Nak!" ujarnya setelah melihat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis, sebagai senyum kemenangan. "Kau boleh bangga jika dapat kalahkan jurus 'Kobra Gancet'-ku ini!"

Wuuutt...! Tongkat hitam itu dilemparkan ke arah Suto. Mendadak tongkat itu berubah menjadi seekor ular kobra berkepala dua. Ular tersebut tampak ganas dan liar. Gerakannya begitu cepat saat ingin mematuk kepala Suto Sinting.

Wuuttt...! Suto Sinting tiba-tiba sudah berada diatas pohon hanya dengan satu sentakan napas perut cukup pelan. "Dia menggunakan ilmu sihirnya!" pikir Suto saat itu. Namun sebelum ia bertindak lebih jauh, dengan terpaksa ia harus gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya untuk pindah ke tempat lain, sebab ular kobra berkepala dua itu ternyata mengejarnya bagaikan terbang dengan ganas ke atas pohon. Zlaappp...!

Ular kobra berkepala dua itu menabrak dahan yang tadi dipakai berpijak kaki Pendekar Mabuk. Crrook...! Pohon itu langsung kering karena dipatuk kedua kepala ular kobra gancet itu. Sedangkan Suto Sinting sudah ada di tempat lain, di atas sebuah batu tepi sungai.

Pendeta Amor sempat clingak-clinguk mencari Suto Sinting. Begitu matanya memandang ke arah Suto Sinting, ular kobra berkepala dua itu segera melesat terbang dengan cepat memburu Suto Sinting. Weeeesss...!

Kali ini Pendekar Mabuk tidak menghindar, karena ia punya kesempatan untuk menyerang. Bumbung tuaknya segera dikibaskan dari bawah ke atas pada saat dua kepala ular kobra itu mendekatinya.

Weees...! Prrook...!

Pendeta Amor tidak tahu kalau bumbung tuak itu mempunyai kesaktian tersendiri. Hanya sekali kibas, dua kepala ular kobra gancet itu hancur tak berbentuk lagi. Tinggal bagian badannya yang bercucuran darah menjijikkan.

"Celaka!" geram Pendeta Amor dengan mata kian membelalak bagai mau copot dari rongganya. Mata itu mengikuti jatuhnya badan ular yang terbanting ke tanah. Ploook...!

Zluub...! Tiba-tiba badan ular itu berubah menjadi tongkat kembali dengan hiasan dua kepala ular kobra. Tapi kali ini tongkat itu naik sendiri dan mengambang diam di udara. Posisi tongkat yang menghadap ke arah Suto Sinting, membuat hati Suto mulai menangkap adanya firasat buruk yang akan ditimbulkan dari tongkat itu. Ternyata tongkat tersebut tiba-tiba menyala memancarkan sinar merah bara. Dari kepala tongkat itu melesat jarum-jarum merah bara menuju ke dada Pendekar Mabuk. Srrraap...!

Pendekar Mabuk sudah tak begitu kaget lagi menghadapi puluhan jarum yang menyala merah bagaikan percikan bunga api itu. Namun di sisi lain, Datuk Maragam yang berdiri menyaksikan pertarungn itu bersama Bidadari Jalang, Resi Badranaya dan Setan Merakyat, segera mengangkat tangannya untuk menghantam tongkat milik Pendeta Amor itu.

"Keparat si Pendeta Selat Darah itu! Dia pergunakan jurus berbahaya untuk melawan bocah semuda Suto! Kuhancurkan tongkat itu biar hancur pula kedua biji matanya!" geram Batuk Maragaram. Tetapi tiba-tiba tangannya yang terangkat ditahan oleh Bidadari Jalang.

"Biarkan muridku menghadapinya!"

"Tapi itu berbahaya bagi Suto! Uhuk, uhuk, ehek, ihiik...!"

"Muridku pasti bisa mengatasi bahaya itu!" ujar Bidadari Jalang penuh percaya diri terhadap kemampuan Suto Sinting.

Resi Bradanaya menggerutu sambil melirik Batuk Maragam, "Sudah tua 'mbok ya' yang tenang, jangan banyak tingkah!"

Batuk Maragam akhirnya tak jadi ikut campur, karena ia melihat Suto Sinting melepaskan jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' pemberian Bidadari Jalang. Pukulan itu mengeluarkan sinar hijau dari tangan kiri Suto dan sinar itu menerjang jarum-jarum merah bara hingga akibatnya terjadilah ledakan yang cukup dahsyat dan mengguncangkan alam sekitarnya.

Claaap....! Blegeeerrr...!

Tongkat merah itu terpental, diikuti oleh pandangan mata Pendeta Amor. Gerakan tongkat itu terhenti seketika sebelum jatuh menyentuh tanah. Lalu tongkat itu berdiri tegak, makin lama semakin tinggi, akhirnya mengepulkan asap tebal yang menyelubungi tongkat tersebut.

Buuusss...! Tiba-tiba wujud tongkat itu sirna dan berganti sesosok tubuh besar bermulut lebar dengan mata sebesar tatakan gelas. Tongkat itu berubah menjadi raksasa yang menyeramkan, dengan taring panjang dan runcing serta kuku-kuku tangannya seperti mata pisau yang sangat tajam.

"Ggrrr...!" raksasa berambut gimbal itu menggeram menggetarkan dedaunan di sekelilingnya. Tingginya hampir tiga kali lipat tinggi tubuh Suto Sinting. Badannya gemuk dan berkulit tebal bagai kulit buaya.

"Heh, heh, heh, heh...! Lawanlah dia dan tumbangkan dia kalau memang kau murid si Gila Tuak keparat itu!" seru Pendeta Amor yang membuat Bidadari Jalang dan lainnya mengerti bahwa Suto sedang melawan orang yang memusuhi Gila Tuak. Tapi Bidadari Jalang dan yang lainnya tetap diam sebagai penonton yang berdiri agak jauh di belakang Pendeta Amor.

Suto Sinting sengaja dibiarkan menghadapi raksasa berwajah mirip segumpal batu cadas itu. Para tokoh tingkat tinggi merasa kagum melihat ketenangan Suto dalam menghadapi raksasa jelmaan tongkat tadi. Rupanya Suto Sinting tahu, bahwa ia harus berhadapan dengan kekuatan sihir si Pendeta Amor dari Selat Darah. Maka, untuk yang kedua kalinya Pendekar Mabuk gunakan ilmu 'Dewatakara' dengan menahan napas dan mencipta dalam batinnya. Bumbung tuaknya dilemparkan ke depan. Wuuss...! Bumbung itu jatuh dalam keadaan berdiri. Plek...!

Kekuatan batin dari ilmu 'Dewatakara' membuat bumbung tuak itu tiba-tiba berubah menjadi tinggi bagaikan tiang bendera. Tingginya melebihi tinggi raksasa jelmaan tongkat si Pendeta Amor. Tiba-tiba raksasa itu menerkam bambu tinggi tersebut dengan suaranya yang menggeram menyeramkan.

"Ggrrraaaow...!"

Bambu tinggi tiba-tiba berasap tebal. Raksasa jelmaan tongkat bergelut dengan asap tebal itu hingga tubuhnya terbungkus asap dan tak dapat dilihat. Tetapi suaranya terdengar mengerang-ngerang dan meraung-raung dengan menimbulkan getaran pada ranting dan daun di sekitarnya. Pendeta Amor kebingungan tak bisa melihat raksasa ciptaannya. Tetapi tahu-tahu terdengar kraaakk...! Dan sesuatu keluar dari gumpalan asap tinggi itu.

Wuuutt...! Brrruk...!

"Hahh...?!" Pendeta Amor terpekik dan terlonjak mundur dengan mata mendelik. Benda yang jatuh dari keluar dari gumpalan asap itu tak lain adalah kepala raksasa berwajah mirip batu cadas tadi. "Celaka! Asap apa itu, sehingga bisa mematahkan kepala si Brojong Boros?" ujarnya dengan suara menggumam penuh keheranan.

Wuuut...! Bluukkk...! Sesuatu terlempar lagi dari gumpalan asap tebal itu. Ternyata tangan raksasa yang berkuku seperti mata pisau itu.

Wuuutt...! Bluukk...! Wees...! Brruukk...! Plook...! Bluuk...! Bluuummm!

Raksasa itu terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Semua bagian tubuh yang mengucurkan darah hitam itu jatuh di depan Pendeta Amor, membuat tokoh dari Selat Darah itu terbengong-bengong tanpa bisa bergerak dan berucap sepatah kata pun. Wuuusss...! Angin kencang datang. Asap tebal yang tinggi itu pun lenyap. Kini tampaklah sosok tubuh yang tadi terbungkus asap tebal itu.

"Edaaan...!!" Pendeta Amor terpekik keras, matanya melotot bagai mau copot. Karena sosok yang terbungkus asap dan mematah-matahkan raksasanya itu adalah wujud manusia tinggi-besar yang menyerupai Pendeta Amor sendiri.

Rupanya cipta batin Suto Sinting tadi telah membentuk tiruan wajah dan potongan tubuh Pendeta Amor dalam bentuk raksasa yang tingginya melebihi raksasa jelmaan tongkat tadi. Kini raksasa yang seperti saudara kembarnya Pendeta Amor memandang dengan mata lebar ke arah Pendeta Amor sendiri. Kakinya diangkat dan menginjak kepala Pendeta Amor.

"Hahh...?! Haaaah...?!" Pendeta Amor ketakutan. Ujung jarinya segera keluarkan sinar biru lurus yang menghantam telapak kaki raksasa tersebut. Claaap...! Blegaarrr...!

Raksasa yang menyerupai dirinya meledak bersama munculnya gumpalan asap tebal lagi. Asap itu hilang dan raksasa itu berubah menjadi bumbung tuak seperti semula. Pendekar Mabuk segera menyambut bumbung tuak itu. Wuuutt...! Lalu berdiri sambil tersenyum pandangi Pendeta Amor. Sementara potongan anggota tubuh raksasa ciptaan Pendeta Amor berubah menjadi potongan tongkat kayu tanpa arti lagi.

"Keparat kau, Nak!" geram Pendeta Amor. "Rupanya kau benar-benar tak takut mati demi membela guru mu, si Gila Tuak itu?!"

"Sekali lagi kuingatkan padamu, Pendeta Amor... urungkan niatmu ingin membunuh guruku dan menggantikan kedudukannya sebagai tokoh tertinggi di rimba persilatan! Jika kau tak mau segera pulang ke Selat Darah, kali ini aku tak mau main-main denganmu, kau akan kehilangan nyawa dalam satu gebrakan! Karena aku tak punya waktu lebih banyak lagi. Aku harus segera mencari 'Tuak Dewata' untuk mengobati sakit guruku!"

"Bocah goblok!" sentak Pendeta Amor. "Yang namanya 'Tuak Dewata' itu tidak ada! Kau hanya bisa dapatkan 'Tuak Dewata' kalau kau bisa menembus alam kayangan dan bertemu dengan para dewa asli! Tapi untuk mengirimmu ke kayangan, lebih dulu aku harus mengirimkan nyawamu ke neraka!"

Pendeta Amor segera memainkan jurusnya dengan merentangkan kedua tangan dan mengangkat kaki kirinya hingga lutut kiri hampir menyentuh perut. Pendekar Mabuk masih diam dengan sikap siaga. Bumbung tuaknya digenggam dengan tangan kanan yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan sebagai senjata menghadapi lawannya. Sedangkan kedua telapak tangan Pendeta Amor sudah mulai memancarkan warna biru pijar.

Tetapi tiba-tiba Setan Merakyat bergerak bagai menghilang dari tempatnya. Tahu-tahu dia sudah berada di samping Pendeta Amor dalam jarak dua langkah. Setan Merakyat segera perdengarkan suaranya pada saat Pendeta Amor serukan pekik pertarungannya.

"Hiaaahh...!"

"Kau ini mau apa, Pendeta edan?! Mau melawan anak muda itu?! Ooh... seperti si cebol ingin menghancurkan rembulan saja kau ini!"

Gerakan dan suara Pendeta Amorterhenti seketika. Wajahnya berpaling memandang ke arah Setan Merakyat, matanya terbuka bagaikan terkejut melihat kemunculan tokoh serba putih itu.

"Kkau... kau ada di sini, Setan Merakyat?!"

"Kami menengok sahabat yang sakit!"

"Kami...?! Maksudmu, kami siapa saja?!"

Wuuut...! Buuus...! Jleeeg...!

Pendeta Amor semakin terkejut begitu melihat beberapa wajah muncul di depannya; Batuk Maragam, Resi Badranaya dan Bidadari Jalang. Kontan kaki yang terangkat tadi diturunkan, tangan yang terentang pun diturunkan. Nyala pijar biru di kedua telapak tangan itu menjadi padam seketika. Pendeta Amor merasa telah dikurung oleh tokoh-tokoh tua yang usianya lebih tinggi darinya.

"Kau tak akan mampu mengalahkan muridku, Pendeta Anti Modar!" ujar Bidadari Jalang dengan nada tegas dan berwibawa.

"Maksudmu... maksudmu anak ingusan itu murid mu? Lho, dia tadi mengaku muridnya Gila Tuak!"

"Sama saja! Yang mengalir dalam dirinya adalah iImuku dan ilmunya Gila Tuak! Jika kau dari dulu tak pernah berhasil mengalahkan diriku dan Gila Tuak, apalagi sekarang kau ingin mengalahkan Suto, murid kami itu, hmmm...! Kuanggap kau sedang bermimpi di siang bolong, Pendeta Amor!"

"Kau punya niat menggantikan kedudukan Gila Tuak?! Oh, kalau begitu kau patut dihajar, Pendeta sesat!"

Ploook...! Sebuah tamparan dari tangan Batuk Maragam melayang ke wajah Pendeta Amor. Tamparan itu memercikkan cahaya merah api saat kenai pipi si Pendeta Amor. Kontan tokoh dari Selat Darah itu jatuh terpelanting dan wajahnya menjadi hitam separo bagian.

"Kaa... kalian... kalian mengeroyokku! Kalian tidak adil! Tidak ada yang berani melawanku secara ksatria!" ucap Pendeta Amor dengan suara tertahan karena memendam rasa sakit di bagian wajahnya.

Resi Badranaya berkata, "Jadi kau ingin bertarung secara ksatria?! Hmmm... demi seorang sahabat yang sedang sakit dan ingin kau bunuh, baiklah... aku akan turun sebagai ksatria tandinganmu! Bangun dan hadapilah aku secara jantan, Amoroso Kumbaya!"

Mendengar nama aslinya disebutkan Resi Badranaya, Pendeta Amor segera berdiri dan memicingkah mata sebagai tanda bermusuhan dengan Resi Badranaya. Giginya menggeletuk, kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Lalu, suaranya terdengar bernada geram. "Tunggu saatnya tiba, Badranaya!"

Wuuutt...! Blaaass...!

Tubuh kurus berjubah hitam itu melesat ke atas, hinggap di dahan pohon, kemudian melesat pergi dengan cepatnya. Hembusan angin gerakan kepergiannya itu membuat beberapa daun berguguran bagai diterjang angin kencang. Pendekar Mabuk ingin mengejarnya, tapi Bidadari Jalang segera berseru melarangnya.

"Biarkan pergi...!!"

Pendekar Mabuk tak berani melanggar seruan bibi gurunya itu. Sementara itu, Setan Merakyat hanya pandangi kepergian Pendeta Amor dengan tawa pelan bagai orang menggumam, lalu suaranya pun terdengar entah bicara kepada siapa.

"Dia pikir kita-kita orang ini sudah pada mati apa? Kok mau menggantikan kedudukan si Gila Tuak?! Dasar pendeta kebanyakan ubi!"

"Kau tadi terlalu berlebihan, Brajamusti!" tegur Resi Badranaya. "Seharusnya kau tak perlu pergunakan 'Tamparan Geledek'-mu. Cukup dengan gertakan kita saja dia akan lagi terbirit-birit!"

"Aku jengkel sekali melihat lagaknya yang selalu merasa paling sakti dan... uhuk, uhuk, uhiiik, ihik, ahak, uhuk, ehek... huuaaak...!"

"Sudah, sudah... jangan bicara," ujar Setan Merakyat, "Nanti tenggorokanmu mengkerut jadi sebesar lidi!"

Ketiga tokoh sakti akhirnya memusatkan perhatian kepada Pendekar Mabuk, karena mereka mendengar Bidadari Jalang berkata kepada muridnya,

"Ilmu apa yang kau pakai tadi, hah?!"

"Hmmm... anu, Bibi Guru... ilmu itu bernama ilmu 'Dewatakara' dan..."

"Siapa yang memberimu ilmu itu?!"

"Hmmm... orang sana, Bibi."

"Orang sana mana?! Siapa namanya?!" hardik Bidadari Jalang.

"Hmmm... ehh... ilmu itu pemberian dari Payung Serambi...."

"O, gawat!" gumam Batuk Maragam, wajahnya pun tampak mulai menegang, demikian pula wajah kedua tokoh sakti di kanan-kirinya itu. Sedangkan Bidadari Jalang juga tampak terperanjat ketika Suto Sinting sebutkan nama Payung Serambi.

"Maksudmu, Payung Serambi yang bernama asli Ratih Kumala itu?!" tanya Bidadari Jalang.

"Betul, Bibi Guru...!"

"Celaka!" gumam Resi Badranaya. Kalau kakek gurumu tahu, ia pasti akan marah padamu. Ratih Kumala adalah prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul. Dia orangnya Ratu Kandita, sang Penguasa Laut Kidul, Suto!"

"Betul sekali Eyang Resi!" jawab Suto dengan wajah girang karena merasa tak perlu menjelaskan siapa Payung Serambi itu.

Tapi pendekar muda itu menjadi berkerut dahi dan mulai terheran-heran begitu melihat wajah-wajah para tokoh yang dihormati itu tampak murung dan menyimpan kecemasan. Bidadari Jalang menjauhkan diri, bahkan berdiri membelakangi mereka dengan kedua tangan bersidekap di dada.

"Ada apa sebenarnya, Bapa Guru Murdawira?!"

"Semuanya sudah telanjur."

"Apa yang telanjur, tolong jelaskan, Bapa Guru!" pinta Suto dengan rasa penasaran sekali.

"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Suto? Mengapa kau mau saja menerima ilmu itu?"

"Saya disuruh memakan daun sirih pemberian Payung Serambi, Bapa Guru. Daun sirih itu saya makan sampai habis, lalu Payung Serambi jelaskan bahwa ilmu 'Dewatakara' sudah menyatu dalam diri saya."

Resi Badranaya menyahut, "Itu berarti kau sudah berdarah siluman!"

"Ber... berdarah siluman?!"

Batuk Maragam menimpali, "Ilmu itu hanya dimiliki oleh prajurit unggulan Nyai Ratu Kandita. Jika orang sudah menguasai ilmu itu, maka dia sudah berdarah siluman, Dan dia hanya bisa kawin dengan rakyat Istana Laut Kidul."

"Ooh... bbee... benarkah begitu, Bapa Guru?!" Pendekar Mabuk menjadi tegang, segera lari mendekati Bidadari Jalang. "Benarkah aku hanya bisa kawin dengan rakyat Istana Laut Kidul, Bibi Guru?!"

"Kau lancang!" geram Bidadari Jalang. Dari sorot matanya tampak sedang menahan amarahnya yang besar.

Suto Sinting menjadi sangat tegang dan ketakutan. Dalam ingatannya sempat terbayang saat ia mendapatkan ilmu 'Dewatakara' itu dari Payung Serambi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Geger di Selat Bantai).

"Lupakan dulu soal itu! Kita urus belakangan saja! Cari 'Tuak Dewata' agar kakek gurumu bisa lekas sembuh dan bisa diajak bicara tentang kelancanganmu itu!"

"Baik, Bibi Guru...," jawab Suto dengan lemah, lalu ia pun pergi tinggalkan mereka yang berwajah cemas. Sementara batin Suto pun bertanya pada diri sendiri. "Benarkah untuk dapatkan 'Tuak Dewata' harus bisa menembus alam kayangan, seperti kata Pendeta Amor tadi?! Mengapa hanya dia yang tahu, sedangkan Bibi Guru dan Bapa Guru Murdawira tidak bicara tentang kayangan?!"

* * *

TIGA

SETIAP orang yang dikenal, setiap tokoh yang dijumpai selalu ditanya tentang 'Tuak Dewata'. Tetapi sebagian besar dari mereka menjawab, "Tuak Dewata' tidak ada, dan baru kali ini kudengar ada obat yang bernama 'Tuak Dewata'." Sedangkan sebagian lagi menjawab, "Aku tidak tahu. Mungkin memang ada, tapi aku tidak tahu tempatnya. Atau mungkin memang tidak akan pernah ada 'Tuak Dewata', aku juga tidak tahu secara persis."

Pendekar Mabuk sempat termenung di puncak bukit berpohon jarang. Di atas sebuah batu ia duduk merenung sambil sesekali meneguk tuaknya yang baru diisi dari kedai di sebuah desa yang dilaluinya.

"Jika 'Tuak Dewata' tidak ada dan tidak akan pernah ada, lantas apa maksudnya roh sejati Guru mengutusku mencari 'Tuak Dewata' itu?" pikir Suto Sinting dalam renungannya.

"Ke mana lagi aku harus mencari? Ke mana lagi aku harus bertanya? Rasa-rasanya dari semua orang yang telah kutanya, tak satu pun yang menyinggung-nyinggung tentang kayangan. Kalau begitu, Pendeta Amor itu hanya asal cuap saja?! Hmmm... mengapa sempat menjadi bahan renunganku juga, ya? Oh, tololnya aku ini!" Tiba-tiba renungan Pendekar Mabuk dibuyarkan oleh suara jerit di kejauhan.

"Tolooong...!"

Hati sang Pendekar Mabuk tergugah, tubuhnya tersentak bangkit. "Suara anak kecil minta tolong?!"

"Toloooong...!"

"Oh, kedengarannya ada di kaki bukit ini sebelah barat sana! Sebaiknya kuperiksa siapa yang berteriak minta tolong itu!"

Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat menuruni bukit. Dalam waktu sangat singkat ia sudah tiba di atas sebuah pohon tak jauh dari datangnya suara minta tolong itu. Suara itu ternyata datang dari seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun.

Bocah lelaki itu berambut tipis kucai, rnengenakan celana hitam dan rompi merah. Badannya kurus dan hidungnya pesek dengan kulit hitam walau bukan berarti hitam keling. Suto sangat mengenali bocah itu, karena ia pernah diperdaya oleh bocah tersebut dan dipanggil sebagai Pangeran Ranggawita yang membuat Suto nyaris gila betulan. Bocah itu tak lain adalah Congor, yang menjadi penasihat Ratu Dewi Kasmaran karena kecerdasan otaknya dan kepandaiannya bicara melebihi orang dewasa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Siasat Dewi Kasmaran).

Tak heran jika Pendekar Mabuk sangat terkejut melihat Congor dalam keadaan terbenam separo tubuhnya. Tanah yang menelan tubuhnya sampai sebatas dada itu tetap dalam keadaan padat dan tidak berlumpur. Tubuh Congor seakan tertanam di tanah kering berumput tipis itu. Kedua tangannya tak bisa digunakan karena ikut tertanam sampai batas atas siku. Congor hanya bisa berteriak dan berpaling ke kanan-kiri dengan wajah tegang.

"Kenapa anak itu?! Mengapa bisa terbenam di tanah sekeras itu?!" pikir Pendekar Mabuk. "Hmmm... pasti ada sesuatu yang telah terjadi dan menimpa nasib si Congor!"

Baru saja Suto Sinting ingin melesat menghampiri Congor, tiba-tiba seluruh gerakan uratnya dihentikan, karena ia melihat sekelebat bayangan hitam menghampiri Congor. la ingin tahu siapa orang yang menghampiri Congor itu. "Oh, celaka...?!" Pendekar Mabuk tersentak kaget dalam hatinya.

Orang yang menghampiri Congor itu mengenakan kerudung kain hitam dari kepala hingga kaki, yang tampak hanya bagian wajahnya saja. Wajah itu adalah wajah putih bagai mengenakan bedak, pucat, dan berkesan sangat dingin. Bibirnya biru bagai mayat baru bangkit dari kuburnya. Namun sebenarnya wajah itu masih tampak muda dan tampan, karena ia mempunyai hidung kecil yang bangir dan mata bening berbulu lentik untuk ukuran seorang lelaki. Tetapi bola mata itu tampak datar, tak berperasaan, tajam bagaikan salju-salju runcing.

Di tangan orang berkerudung hitam itu tergenggam sebuah senjata berupa tongkat dengan ujung semacam mata pedang berbentuk paruh burung. Logam itu sangat tajam dan berkilat. Tongkat berujung logam paruh burung besar itu dinamakan senjata pusaka El Maut. Dan siapa lagi tokoh yang bersenjatakan tongkat El Maut kalau bukan Siluman Tujuh Nyawa alias di Durmala Sanca.

Melihat kehadiran Siluman Tujuh Nyawa, hati Suto Sinting bergetar dan jantung pun berdetak-detak. Darahnya mulai bergolak bukan karena takut, namun karena dibakar oleh api murka yang makin lama semakin membesar. Pengembaraan Pendekar Mabuk selama ini adalah dalam rangka memburu musuh utamanya itu; Siluman Tujuh Nyawa. la harus memenggal tokoh paling sesat, yang ditakuti oleh para tokoh aliran hitam.

Siluman Tujuh Nyawa dicap sebagai manusia paling terkutuk di dunia, karena memang ia dikutuk oleh leluhurnya untuk menjadi manusia sesat dan dibenci orang banyak, sebab ia pernah mencoba memperkosa neneknya sendiri walau akhirnya digagalkan oleh sang kakek. Dan neneknya itu tak lain adalah guru dari Bidadari Jalang yang bernama Eyang Nini Galih. la adalah anak dari Durmagati, yang membunuh kakak kembarnya sendiri, juga membunuh orangtuanya sendiri.

Selama tiga ratus tahun ia dikutuk menjadi manusia paling sesat dan bejat. Padahal sekarang usianya baru dua ratus lima belas tahun, sama dengan usia si Gila Tuak. Kutukan itu membuat tak satu pun ilmu dari kakek atau neneknya diturunkan kepadanya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru).

Manusia terkutuk itu pernah melamar penguasa Puri Gerbang Surgawi yang dikenal dengan nama Dyah Sariningrum dan bergelar Gusti Mahkota Sejati. Hampir saja ratu cantik yang menjadi calon istrinya Pendekar Mabuk itu celaka oleh ulah si anak durhaka itu. Beruntung Suto Sinting segera datang membebaskan Dyah Sariningrum, namun tak berhasil tumbangkan Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk bersumpah akan memberikan mas kawin kepada Dyah Sariningrum berupa potongan kepala Siluman Tujuh Nyawa, sehingga selama ini Suto selalu mengejar-ngejar tokoh terkutuk itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam dalam episode Prahara Pulau Mayat).

Kini si manusia terkutuk itu bikin ulah yang lebih memuakkan lagi di depan Suto Sinting. la mendekati Congor dengan wajahnya yang kaku tanpa senyum, pandangan matanya yang dingin tanpa kesan bersahabat atau bermusuhan. Namun dilihat dari caranya mengangkat dagu Congor dengan menggunakan ujung tongkat El Maut-nya, Pendekar Mabuk dapat simpulkan bahwa Siluman Tujuh Nyawa bersikap keji terhadap bocah sekecil Congor.

"Kau telah membohongiku, Bocah babi!" ucapnya dengan kasar kepada Congor. "Ratumu tidak ada di Lembah Kesumban! Kau telah sembunyikan dia serapi mungkin, lalu menjebakku agar terperangkap di sarang harimau yang ada di hutan Lembah Kesumban! Kalau kau tidak kubenamkan di tanah ini, kau sudah kabur dan sulit kuhukum pancung atas keberanianmu menipuku, Bocah babi!"

"Lepaskan aku dulu dari tanah ini, baru kuberitahukan di mana Gusti Ratu Dewi Kasmaran berada!" seru Congor dengan suara lantang, seakan tak punya rasa takut terhadap ancaman si Durmala Sanca itu.

"Kau tidak akan kulepas selama-lamanya dari tanah ini. Kau akan menjadi bangkai tanpa kepala ditempat ini. Dan kepala mu akan kubawa ke Pulau Selintang sebagai bukti bahwa aku tak mau dipermainkan lagi oleh orang Pulau Selintang. Siapa yang tak mau tunjukkan di mana Ratu Dewi Kasmaran berada, maka nasibnya akan seperti dirimu; kehilangan kepala!" Ujung senjata El Maut sudah merayap ke leher Congor. Sekali sentak, pasti kepala bocah cerdas itu akan terpotong lepas dari badannya.

Pendekar Mabuk tak berani bertindak gegabah. Jika ia muncul, maka Congor akan dijadikan sandera oleh Siluman Tujuh Nyawa dan nyawa bocah itu semakin terancam. Karenanya, dalam waktu singkat otak Suto telah berputar dan menemukan cara terbaik untuk selamatkan nyawa Congor.

Ilmu 'Dewatakara' dipergunakan lagi oleh Pendekar Mabuk. Cipta batinnya kali ini ditujukan ke arah gugusan batu yang ada di belakang Siluman Tujuh Nyawa. Jarak gugusan batu itu sekitar sepuluh tombak dari tempat Congor ditanam oleh si tokoh terkutuk itu. Dengan memejamkan mata menyatukan batin dan pikiran tiba-tiba gugusan batu meninggi itu telah berubah dalam sekejap menjadi sesosok wanita cantik dan berdada montok. Blaab...!

Batu itu telah berubah menjadi Ratu Dewi Kasmaran yang bertubuh sekal, berhidung mancung dan bermata membelalak indah. Ratu Dewi Kasmaran mengenakan jubah merah muda bintik-bintik emas dari bahan kain sutera tipis. Pinjung penutup dadanya dan kain bawahnya berwarna hijau tipis. Rambutnya diriap sebagian, sisanya digulung ke atas dan mengenakan mahkota kecil.

"Lepaskan anak itu!" terdengar suara Ratu Dewi Kasmaran yang membuat Siluman Tujuh Nyawa segera palingkan wajah.

"O, kau muncul dengan sendirinya. Syukurlah, itu berarti kau telah selamatkan nyawa bocah ini!" ujar Siluman Tujuh Nyawa tanpa senyum sedikit pun, namun juga tidak tampak cemberut atau berkerut dahi. Wajah pucat berbibir biru itu tampak datar-datar saja, dingin dan memancarkan kekejian yang amat dalam.

"Dekatlah padaku dan jangan lakukan tindakan yang bodoh demi keselamatan nyawa bocahmu ini, Dewi Kasmaran!"

Dengan langkah tenang, Ratu Dewi Kasmaran melangkah mendekati Durmala Sanca.

"Tinggalkan saya, Gusti Ratu! Jangan hiraukan nyawa saya, Gusti!" seru Congor seakan tak rela jika gusti ratunya jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa.

Tetapi Suto Sinting sengaja membuat seolah-olah Ratu Dewi Kasmaran membodohkan ucapan Congor tadi. Sang Ratu terdengar berkata kepada Congor sambil tetap melangkah pelan dekati Siluman Tujuh Nyawa.

"Gunakan otakmu yang cerdas itu, Congor! Pandanglah siapa orang yang kita hadapi. Aku baru sadar kalau orang yang kita hadapi adalah tokoh sakti yang sukar dicari tandingannya. Menyerah kepadanya bukan sesuatu yang merugikan, Congor. Sebab aku tahu, bahwa kita yang lemah ini memang sudah selayaknya mengabdi kepadanya, Congor!"

"Bagus. Pikiranmu sekarang telah terbuka, rupanya!" sambil Siluman Tujuh Nyawa melepaskan ancaman tongkat El Maut-nya dari leher Congor. Kini ia justru melangkah menyambut kedatangan Ratu Dewi Kasmaran yang menyunggingkan senyum manis dan manja, dengan sorot pandangan mata berkesan nakal.

"Sudah begitu lama aku tidak menikmati keindahan cinta seorang wanita, karena dikejar-kejar oleh murid sintingnya Gila Tuak itu. Sekarang gairahku datang dan membakar hasrat kejantananku begitu aku melihatmu mendarat dari kapalmu di Pantai Utara kemarin."

"Mengapa kau tidak segera menemuiku pada saat itu, selagi dekat dengan kapalku, selagi ada kamar untuk kencan kita berdua."

"Aku masih belum mengetahui siapa dirimu, Dewi Kasmaran. Setelah kusadap percakapanmu dengan beberapa anak buahmu, aku baru tahu bahwa kau adalah Ratu yang kesepian dan mengharapkan belaian kasih sayang serta cumbuan hangat seorang lelaki. Seketika itu pula aku merasa mampu memenuhi harapanmu, Dewi Kasmaran!"

Mereka semakin dekat. Siluman Tujuh Nyawa hanya sunggingkan senyum sangat tipis dan pandangan matanya masih datar berkesan dingin. Tetapi Ratu Dewi Kasmaran menyambut pandangan mata itu dengan nyala api berpijar-pijar di permukaan kedua bola matanya yang indah itu. Bahkan ketika mereka sama-sama hentikan langkah dan saling berdekatan, Ratu Dewi Kasmaran membiarkan rambutnya dibelai oleh Siluman Tujuh Nyawa, pipinya diusap dengan jemari tangan yang berkuku runcing, dan usapan itu merayap hingga belahan dada sang Ratu.

"Benarkah kau mampu memberikan kepuasan bagi diriku yang kesepian ini, Siluman Tujuh Nyawa?"

"Akan kubuktikan sekarang juga."

"O, jangan! Maksudku, jangan di sini. Aku tak ingin kemesraan kita dilihat bocah kecil itu. Bawalah aku pergi ke tempat yang aman dan hangat, Siluman Tujuh Nyawa," ucap sang Ratu Dewi Kasmaran dengan suara bernada manja dan penuh tantangan bercumbu.

"Di balik bukit kecil itu ada gua! Kita ke sana saja!"

"Ooh... bawalah aku pergi dengan cepat, aku sudah tak tahan memendam hasratku yang membara ini!" Ratu Dewi Kasmaran menjatuhkan kepala di dada Siluman Tujuh Nyawa.

"Gusti Ratu...! Gusti Ratu, sadarlah...!" seru Congor dalam keadaan masih terbenam separo bagian.

Tetapi Ratu Dewi Kasmaran tetap melangkah dalam pelukan Siluman Tujuh Nyawa. Mereka meninggalkan Congor dan tak hiraukan sedikit pun seruan bocah itu.

"Gusti...," tiba-tiba seruan Congor terhenti, karena ia melihat kehadiran Pendekar Mabuk yang mendekatinya. "Suto...?!"

"Ssstt...!" Pendekar Mabuk beri isyarat dengan telunjuknya agar Congor diam saja. Pendekar muda dan tampan itu tersenyum geli memandangi langkah Siluman Tujuh Nyawa yang tampak mesra berdampingan dengan Ratu Dewi Kasmaran.

"Tolong bebaskan aku dari penjara bumi ini!" bisik Congor.

"Tenang saja. Tak perlu kau meminta tolong aku memang datang untuk selamatkan nyawamu."

"Aku dan kakakku mendampingi Ratu Dewi Kasmaran. Dia memaksa kami untuk mencarimu."

"Ada apa dia mencariku?"

"Gusti Ratu sangat rindu padamu dan ingin jumpai denganmu walau hanya sebatas pandangan mata saja."

"Sial! Itu penyakit yang berbahaya, Congor!"

"Berbahaya memang berbahaya, tapi bagaimana dengan nasibku ini? Mengapa kau hanya pandangi kepergian mereka?"

"O, ya... hampir saja aku lupa kalau kau tertanam kuat-kuat."

"Si manusia terkutuk itulah yang menanamku dengan jurus aneh, membuatku bagai terpenjara oleh sang bumi!"

"Bersiaplah...! Jangan banyak buka mulut biar tanah tak masuk ke tenggorokanmu!" ujar Suto Sinting, kemudian kakinya menghentak ke tanah satu kali. Duhkk...! Bless...!

"Lho, bagaimana ini?! Kok aku semakin tertanam ke dalam?!" ujar Congor dengan tegang, karena sekarang tubuhnya lebih tenggelam ke bumi hampir mendekati lehernya.

"Ooh, maaf... aku salah pakai jurus. Yang kupakai baru saja tadi adalah jurus 'Telan Bumi". Sekarang akan kugunakan jurus imbangannya, jurus 'Jebol Bumi', Hiaaah...!"

Duuhkkk...! Bruss...!

Tubuh bocah cilik itu terlempar naik bagaikan terbang. Tanah yang menjepitnya ikut tersembur ke atas dan berhamburan ke mana-mana. Congor segera berjungkir balik ke udara beberapa kali. Jika tidak begitu, tubuhnya yang kecil akan terlempar dan terbanting tanpa keseimbangan badan.

Wuk, wuk, wuk...! Jlegg...! Congor mendaratkan kakinya ke tanah dengan sigap dalam jarak empat langkah di samping kiri Suto Sinting.

Pada waktu itu, langkah Siluman Tujuh Nyawa dengan Ratu Dewi Kasmaran melewati tempat berdirinya gugusan batu yang dicipta dalam batin Suto sebagai Ratu Dewi Kasmaran. Tetapi sebelum segalanya berubah, semburan tanah saat tubuh Congor terlempar ke atas tadi menimbulkan suara yang mencurigakan bagi Siluman Tujuh Nyawa. Maka sang tokoh sesat itu segera berpaling ke belakang.

"Biadab...!" geramnya tiba-tiba sambil berbalik tubuh secara total. Matanya memandang dingin ke arah Pendekar Mabuk dan Congor yang tampak telah bebas dari 'penjara bumi'-nya itu. "Kau sudah bosan hidup, rupanya!" ucapnya agak lirih kepada Suto. Suara itu hampir saja tak terdengar karena jaraknya cukup jauh untuk suara bernada serendah itu.

"Dewi Kasmaran, sebaiknya kau...," kata Siluman Tujuh Nyawa itu terhenti karena mendadak hatinya tersentak kaget melihat Ratu Dewi Kasmaran yang ada di sampingnya telah berubah menjadi gugusan batu hitam menjulang setinggi manusia dewasa. Siluman Tujuh Nyawa tersentak kaget, namun raut wajahnya tetap dingin dan tanpa perubahan air muka sama sekali. Sebagai tanda kemarahannya, batu itu segera disodok dengan sikunya.

Dess...! Brrooll...!

Sodokan siku pelan telah membuat gugusan batu hitam itu hancur menjadi bongkahan-bongkahan sebesar genggaman bayi. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa tahu bahwa Ratu Dewi Kasmaran yang tadi mendekatinya adalah jelmaan dari batu tersebut. Dan ia pun tahu ulah siapa lagi yang seperti itu jika bukan ulah Pendekar Mabuk yang dibencinya itu.

"Kau mau adu sihir denganku, Suto? Boleh saja!" ucapnya dengan suara datar bagai tanpa irama.

Pendekar Mabuk berbisik kepada Congor. "Pergilah, cepat! Bawa Ratu Dewi Kasmaran pulang. Nanti kalau urusanku sudah selesai aku sendiri yang akan bertandang ke Pulau Selintang!"

"Baik! Tapi... bagaimana urusanmu dengan tokoh sesat yang berilmu tinggi itu? Aku harus membantumu, Suto!"

"Pergilah dan jangan banyak bicara lagi!" Suto Sinting setengah menggertak dengan suara ditekan dan bibir berusaha tak tampak bicara.

Congor segera pergi. Tak berani membantah perintah sang pendekar yang dikagumi itu. Tetapi setibanya di balik pohon agak jauh dari tempat itu, Congor berbalik arah. Kini ia bersembunyi di balik pohon itu, karena hatinya penasaran ingin melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Siluman Tujuh Nyawa.

Tokoh yang sebenarnya berambut panjang tapi tak pernah kelihatan karena ditutup kain kerudung hitam itu, kini menghentakkan tongkatnya ke tanah dengan pelan. Duhkk...! Tiba-tiba dari tanah yang terkena sentakan tongkat itu keluar nyala api yang bergerak memanjang bagaikan lari ke arah Pendekar Mabuk.

Wuurrsss...! Gerakan api itu sangat cepat, dan tahu-tahu telah mengurung Suto Sinting dalam sebuah lingkaran berkobar-kobar. Lingkaran api yang keluar dari tanah itu makin lama semakin bergerak menyempit, seakan ingin menjerat tubuh Suto Sinting. Dengan cepat bumbung tuak diraihnya, lalu ditenggak sebagian. Tuak itu segera disemburkan lewat mulut dengan gerakan tubuh memutar cepat bagaikan gangsing.

Bruusss...! Blaabbb...!

Lingkaran api padam seketika. Sisa asapnya mengepul dan hilang di udara. Tanah yang bekas dipakai untuk menyemburkan api tadi tampak menghitam hangus. Tanah itu makin lama semakin bergerak turun bagai potongan papan bundar. Wuuttt...! Suto Sinting segera lakukan lompatan ke atas sebelum tanah yang berbentuk lingkaran itu melesak lebih ke dalam lagi. Dalam sekejap saja Pendekar Mabuk sudah berada di atas pohon. Dari sana ia bergerak menggunakan jurus 'Gerak Siluman' ke arah lain.

Zlaappp...! Tahu-tahu sudah berada di samping kanan Siluman Tujuh Nyawa dalam jarak sekitar tujuh langkah. Tokoh berkerudung kain hitam itu cepat-cepat ikuti dengan pandangan matanya yang tetap dingin dan datar.

"Sudah waktunya kau mati, Bocah ingusan!" Claappp...! Tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa melompat ke arah Suto. Baru saja kakinya terangkat dari tanah, tubuhnya telah lenyap dan berubah menjadi seberkas sinar biru berekor panjang. Clapp...! Zrrraabbb...! Sinar biru itu pecah menjadi delapan larik yang semuanya menyerang Suto Sinting secara serempak dari delapan penjuru.

Pendekar Mabuk nyaris terjebak dan tak bisa hindarkan diri. Tetapi ia segera memutar bumbung tuaknya di atas kepala dalam keadaan tubuhnya oleng sana-sini bagaikan orang sedang mabuk. Dengan menggenggam tali bumbung dan memutarkannya, maka angin besar pun hadir di sekeliling Suto Sinting. Angin itu mengandung busa-busa salju, dan akhirnya membuat delapan sinar dari delapan penuru itu pecah dengan timbulkan suara ledakan yang cukup keras.

Blegaarrr...!

Jurus itu sebenarnya sudah dimiliki Suto sejak dulu, tapi jarang digunakan karena baru sekarang ia merasa membutuhkan jurus yang dinamakan 'Kipas Malaikat' itu. Pecahnya delapan sinar itu menimbulkan kepulan asap putih kehitam-hitaman dalam satu gugusan. Asap itu segera sirna dan sosok Siluman Tujuh Nyawa tampak kembali. Begitu tokoh sesat itu muncul, sebuah lompatan segera dilakukan ke arah Suto Sinting dengan tongkat berujung pedang lengkung itu menyambar kepala Suto Sinting. Wuuttt...!

Suto Sinting berlutut dan segera berguling ke tanah hindari tebasan tongkat El Maut. la berguling maju ke depan, sehingga begitu tubuhnya tegak dalam posisi berlutut satu kaki, bumbung tuaknya segera menyambar kaki Siluman Tujuh Nyawa yang berkelebat ke atas kepalanya.

Wees...! Prraaakk...!

"Oouhk...!" pekik Siluman Tujuh Nyawa, lalu tubuhnya limbung dan jatuh tersungkur. Brruukkk...!

"Sekarang saat kematianmu tiba, Manusia terkutuk!" geram Suto Sinting sambil mengangkat bumbung tuaknya yang ingin dihantam ke punggung lawan.

Tetapi tiba-tiba tangan kiri Siluman Tujuh Nyawa menepuk tanah satu kali. Pluukkk...! Lapp...! Tiba-tiba tubuh berkerudung kain hitam itu lenyap bagai ditelan bumi. Tak ada bekas sedikit pun yang tertinggal di tempat jatuhnya Siluman Tujuh Nyawa itu.

"Jahanam! Kau pasti lari ke alam gaib, Keparat! Keluarlah kau, dan hadapi aku secara jantan!" seru Suto Sinting dengan hati dongkol. Tetapi seruan itu bagai tidak mendapat tanggapan apa pun dari lawannya. Hati Suto menjadi semakin marah.

"Kukejar kau ke sana. Pengecut!" Tangan kanan Suto segera mengusap keningnya. Di kening itu ada tanda merah kecil sebesar biji jagung, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya. Dengan mengusap tanda merah kecil di kening, maka Suto Sinting dapat menerabas masuk ke alam gaib dan segera memburu musuh bebuyutannya. Blaass...!

Congor terperanjat bengong dengan mata mendelik. "Edan! Lenyap begitu saja?! Benar-benar sakti si tampan itu! Aku harus segera menemui Gusti Ratu di tempat persembunyiannya dan menceritakan hal ini kepada kakakku; Manis Madu, yang menjaga Gusti Ratu!"

Congor pun segera berkelebat pergi dengan gerakan cepat. Sementara itu, Pendekar Mabuk berkeliaran di alam gaib memburu lawannya yang selalu melarikan diri jika dalam keadaan terdesak.

* * *

EMPAT

CUKUP lama Pendekar Mabuk berkeliaran di alam gaib. Tekadnya sudah bulat, bahwa saat itu ia harus berhasil temukan Siluman Tujuh Nyawa dan menyelesaikan urusan lamanya yang tertunda-tunda. Tetapi ternyata hingga beberapa waktu lamanya Suto menjelajahi alam gaib, Siluman Tujuh Nyawa tak kelihatan batang hidungnya. Yang ditemukannya hanya sosok makhluk-makhluk aneh penghuni alam gaib.

"Pada umumnya wajah mereka buruk-buruk! Kasihan, mana ada gadis cantik di tempat seperti ini?" ujar Suto membatin dalam hatinya. "Oh, mengapa aku jadi bernafsu sekali untuk dapatkan Siluman Tujuh Nyawa?! Bukankah hal yang lebih penting kukerjakan adalah mencari 'Tuak Dewata' dan membawanya pulang untuk segera sembuhkan sakitnya Kakek Guru?! Oh, hampir saja aku melantur lagi. Aku harus mencari 'Tuak Dewata' itu dulu. Tak akan kulakukan pekerjaan lain sebelum 'Tuak Dewata' kudapatkan!"

Pendekar Mabuk segera tarik napas, kemudian menenggak tuaknya tiga teguk. Tuak itu mempengaruhi keberanian Suto, sehingga tidak merasa takut dan jijik melihat makhluk-makhluk alam gaib yang punya bentuk dan ukuran berbeda-beda. la justru menertawakan sesosok makhluk yang menghampirinya.

"Heh, heh, heh... wajah makhluk ini kok mirip dengan bakul nasi? Eh, tapi siapa tahu dia bisa diajak bicara dan bisa menunjukkan di mana adanya 'Tuak Dewata' itu? Hmmm... sebaiknya kucoba untuk bertanya kepadanya."

Makhluk yang mirip bakul nasi itu semakin mendekat. Mulutnya yang lebar mirip dompet penjual jamu gendong segera terbuka. Lidahnya terjulur memanjang dengan wajah didekatkan pada Suto.

Plokk...!

Suto Sinting menabok wajah makhluk itu. Mata bundar makhluk itu berkedip-kedip seperti kelilipan. "Kurang ajar! Ditakut-takuti malah nabok!" gerutunya dengan suara seperti kaset kendor.

"Hei, kau tahu di mana bisa kudapatkan 'Tuak Dewata'?" sapa Suto Sinting dengan bertolak pinggang, menampakkan keberaniannya yang membuat makhluk itu sendiri menjadi ciut nyali.

"Kau tanya apa tadi?"

"Tuak Dewata!"

"Tuak Dewata' itu jenis makanan apa minuman?"

"Uuh...! Belum-belum sudah tanya begitu, berarti kau tidak tahu di mana adanya 'Tuak Dewata'. Dasar makhluk tolol!"

"Apakah kau mencari Tuak Dewata'?"

"Budek, tuli, congekan!" gerutu Suto Sinting bersungut-sungut.

"Sebaiknya kau carilah Tuak Dewata', siapa tahu itu nama pusaka yang ampuh. Kau manusia apa jenis hantu?!"

"Mau apa tanya-tanya begitu?!"

"Kalau kau hantu, atau sejenis jin seperti aku, kau akan kubantu. Tapi kalau kau manusia, aku tak mau membantu."

"Mengapa kau tak mau membantu manusia?!"

"Manusia sering menipuku. Berlagak siapkan makanan untukku, darah segar. Begitu kuminum, tidak tahunya air sepuhan merah! Rasa manis tak kudapat, rasa pahit telanjur ketelan. Ngepet juga manusia itu!" mulut lebar itu berkecamuk-kecamuk dalam bicaranya seperti mengunyah permen karet.

Suara yang meliuk-liuk bernada besar membuat Suto Sinting ingin tertawa, namun ditahannya kuat-kuat. "Carikan aku 'Tuak Dewata' untuk obati guruku!"

"Ooo... jadi 'Tuak Dewata' sejenis obat? Obat cacing apa obat nyamuk?!"

Plakk...! Suto Sinting menampar wajah lebar mirip bakpao raksasa itu. "Kau pikir guruku sejenis cacing atau nyamuk?!"

Makhluk aneh berwarna putih lendir itu bersungut-sungut sambil pegangi pipinya yang kena tampar. "Manusia kok galak! Seharusnya jin lebih galak dari manusia!"

"Omong kosong! Jin mana yang mau menggangguku, akan kulawan dia!"

"Tanyakan saja pada mereka satu persatu, siapa yang mau mengganggumu. Kurasa tak ada yang berani, karena kau galak sekali. Mirip ibuku kalau sedang hamil, selalu galak sekali!"

"Sudah, jangan banyak omong! Buang-buang waktu saja. Kau tahu tentang 'Tuak Dewata' atau tidak sebenarnya?"

"Tidak tahu!" sentak makhluk itu. "Tanyakan pada yang lain saja. Aku tak mau bicara lagi denganmu. Belum genap sehari wajahku sudah bonyok, ketampanan ku bisa hilang!"

"Begitu saja tampan, yang jelek seperti apa?!" gerutu Suto Sinting sambil melangkah tinggalkan tempat itu.

"Hei, Manusia... jangan pergi ke sana. Itu perbatasan alam gaib yang tak boleh dimasuki manusia. Nanti kau dihajar oleh penjaga perbatasan alam gaib!"

Seruan itu tak dihiraukan Suto Sinting, karena di dalam benak Suto tiba-tiba terbetik gagasan untuk menemui calon mertuanya yang menjadi penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib.

Jalanan di depan sana tampak menyala hijau. Suto Sinting jadi ingat tentang lumpur menyala hijau seperti fosfor yang ada di lorong gua menuju istana Ratu Kartika Wangi. Oleh sebab itu, gagasan untuk menghadap Ratu Kartika Wangi terbit di benak Suto dan hatinya berharap agar sang calon mertua nantinya dapat menjelaskan apa dan bagaimana sebenarnya 'Tuak Dewata' itu.

Alam di sekeliling tempat itu tampak redup. Tidak terang dan tidak gelap. Seperti mendung di siang hari. Tetapi langit yang tampak dari tempat itu dalam keadaan putih bersih tanpa mega mendung sedikit pun. Hanya saja, matahari tak kelihatan muncul di langit sebelah mana pun. Rembulan juga tak ada. Entah cahaya terang yang redup itu datang dari mana, yang jelas hawa udara di tempat itu juga tidak panas dan tidak dingin.

Pendekar Mabuk bulatkan tekad mendekati jalur yang menyala hijau pijar-pijar itu. Untuk mencapai jalur hijau di seberang sana, ia harus melewati padang pasir tanpa tanaman sedikit pun. Pasir yang menghampar bukan berwarna putih, melainkan berwarna merah kecoklatan. Bentuknya halus seperti tepung, namun mempunyai kepadatan tersendiri bagai tanah lapangan berdebu merah kecoklatan.

"Inikah yang dimaksud perbatasan alam gaib itu?!" pikir Suto Sinting sambil melangkah dengan menenteng bumbung tuaknya di pundak kanan.

Tiba-tiba langkahnya terhenti karena seberkas cahaya merah mirip bintang berekor terbang mendekatinya. Wuuttt...! Suto Sinting segera meraih tali bumbung tuaknya. Cahaya merah yang mendekatinya segera dihantam dengan bumbung tuak tersebut. Wuuutt...!

Blangng...! Hantaman itu timbulkan ledakan yang menggema. Seakan langit putih itu mulai menjadi merah saga akibat percikan cahaya merah dari ledakan tadi. Gema ledakan masih terdengar sampai tiga helaan napas, sepertinya gema itu sukar hilang dari gendang telinga Pendekar Mabuk.

Terjadinya ledakan itu membuat sinar merah seperti bintang jatuh lenyap. Lenyapnya sinar merah mengepulkan asap tipis warna putih. Asap itu pun lenyap sedikit demi sedikit, dan sesosok tubuh tinggi besar keluar dari gumpalan asap yang memudar itu.

"Gila! Makhluk apa lagi ini?!" pikir Suto Sinting dengan mundur selangkah dan wajahnya mendongak pandangi wajah makhluk menyeramkan itu.

Kedua kaki makhluk itu besarnya seukuran pilar istana, panjang dan berbulu mirip tanaman rambat. Perutnya membusung besar dan hanya mengenakan cawat dari kain tebal, entah bahan apa yang digunakan. Makhluk itu tingginya tiga kali tinggi Suto Sinting dan mempunyai dada berkulit retak-retak.

Sekujur tubuhnya yang berwarna abu-abu itu berdebu putih sampai di bagian kepala. Makhluk itu seperti mengenakan bedak yang menyebarkan bau apek, tak sedap dihirup hidung. la berkepala gundul polos, daun telinganya lebar melambai-lambai, mempunyai mata dan mulut besar, hidungnya pun mirip guci tuak yang sering dijual di kedai-kedai.

"Grrrmmm...!" la menggeram dengan mata besarnya melotot lebar sekali. "Mau apa kau datang kemari, Manusia?!"

"Siapa kau dan mengapa berani menghadang langkahku?!" Suto Sinting justru balik bertanya. la tak tampak takut sedikit pun.

"Aku Jin Koplo, penjaga perbatasan alam gaib ini, Tolol!"

"Lalu, mengapa kau menghadang langkahku?"

"Tidak setiap makhluk boleh memasuki perbatasan ini, sebelum mendapat izin dariku! Jadi aku harus menghentikan langkahmu, dan kalau kau nekat terpaksa kuinjak kepalamu di sini sampai pecah. Pyaaah..! Huah, hah, hah, hah, hah...!"

Suara besar itu serukan tawa yang menggema ke mana-mana. Tawanya itu hadirkan gelombang getaran yang membuat tubuh Suto Sinting seperti sedang diguncang gempa.

"Aku ingin ke Jalur Hijau itu!" kata Suto Sinting setelah guncangan itu berhenti dengan sendirinya.

"Kau tak boleh mencapai Jalur Hijau itu!"

"Kenapa tak boleh?!"

"Itu jalur terhormat dan tidak sembarang makhluk boleh mencapai Jalur Hijau itu."

"Kau belum tahu siapa aku, Jin Koplo!"

"Tentu saja, sebab kalau aku sudah tahu siapa kau, akan kutanyakan mana oleh-oleh bawaanmu?! Huah, hah, hah, hah, hah...!"

Wuurss...! Suto melemparkan segenggam pasir ke mulut Jin Koplo.

Jin itu tersentak kaget dan menyembur-nyemburkan pasir yang masuk ke mulutnya. "Brusstt...! Bruusst...! Kurang ajar! Bruusst...!"

Semburan itu hadirkan angin kencang yang membuat Suto Sinting jadi terlempar ke sana-sini dan berguling-guling bagai dihempaskan oleh badai berkekuatan tinggi.

"Sial! Aku kena getahnya juga!" gerutu Suto sambil bangkit dan buru-buru menenggak tuak untuk memulihkan tenaganya yang habis terbanting-banting tadi.

"Hoi, Manusia rongsok...! Berani-beraninya kau berbuat lancang di hadapanku, hah..,?!"

Bentakan suara 'hah' itu membuat dada Suto bagai terasa dihantam dengan kayu balok besar. Suto Sinting terpaksa mundur dua langkah dan menahan napasnya.

"Di sini aku jin terhormat, ditakuti oleh makhluk alam gaib lainnya! Tapi mengapa kau seenaknya mendulangku pakai pasir?! Kau pikir makananku pasir?! Aku bukan undur-undur, tahu?!"

"Apakah kau cukup sakti sehingga merasa patut dihormati?!"

"Jin Koplo adalah jin paling sakti di jajaran para makhluk alam gaib ini! Kalau tidak percaya, silakan adu kesaktian denganku!"

"Tunjukkan kesaktianmu dengan mengubah dirimu menjadi seukuran denganku! Kalau kau bisa, aku baru mau mengakuimu sebagai jin sakti dan menaruh hormat padamu!"

"Berubah menjadi seukuran denganmu?! Huah, hah, hah, ha, huaaah...!" tawanya membuat Suto Sinting terpaksa menutup kedua telinganya kuat-kuat. Jika tidak, ia khawatir gendang telinganya akan pecah.

"Berubah seperti dirimu adalah hal yang paling mudah bagiku!"

"Coba tunjukkan, jangan hanya besar mulut di depanku, Jin Koplo!"

"Baik! Akan kutunjukkan kalau aku punya kesaktian bisa mengubah diri menjadi sebesar dirimu!" Kemudian Jin Koplo pejamkan mata sambil menggeram dengan kedua tangan bersidekap di dada. "Grrrhmmm...!"

Suuuttt...! Tanpa sinar tanpa asap, Jin Koplo tiba-tiba telah berubah menjadi kecil, menyusut dengan cepat menjadi seukuran dengan Pendekar Mabuk.

"Lihat, aku sudah menjadi seukuran denganmu, bukan?!" suaranya pun menjadi cempreng, seperti suara anak-anak.

Pendekar Mabuk tak banyak bicara, langsung melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya. Dengan jari menyentil beberapa kali, tubuh Jin Koplo terlempar ke sana-sini tanpa bisa memberi balasan apa-apa. Sentilan jari itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang kekuatannya seperti tendangan kuda jantan.

Tes, tes, tes, tes, tes, tes...!

"Aaaauww...!" Jin Koplo menjerit panjang sambil berjungkir balik ke sana-sini, mirip seekor kecoa yang disentil kian kemari. Jika kedua kakinya di atas dalam keadaan jatuh telentang, ia seperti sukar membalikkan tubuhnya. Kesempatan itu digunakan Suto untuk menghajarnya terus dengan jurus 'Jari Guntur'-nya.

"Kalau kau merasa sakti dan patut kuhormati, lawanlah jurusku ini!" seru Suto Sinting sambil tetap melancarkan sentilan bertubi-tubi. Jin Koplo tak diberi kesempatan untuk membalas atau menyerang. Bahkan kesempatan untuk beristirahat dari jungkir baliknya juga tak ada.

"Waaooww...! Hentikan! Hentikaaan...! Ampuuun...!" teriaknya dengan suara cempreng. Dalam posisi jatuh tengkurap, tiba-tiba Jin Koplo langsung bersikap sujud kepada Suto Sinting, wajahnya mencium tanah dan kedua tangannya terangkat-angkat dengan gerakan membungkuk-bungkuk.

"Ampuuun...! Ampun...! Aku pusing sekali, Manusia! Kepalaku seperti hilang, dadaku seperti bolong, oooh... ampuuun... tulang-tulangku sudah kau buat patah empat bagian. Mohon jangan kau patahkan lagi. Aku tak mau menjadi jin presto, alias jin bertulang lunak seperti ikan bandeng yang dimakan manusia sejenismu itu. Wuodoow... ampunilah aku, Manusia...!"

Jin Koplo tak tahu kalau Suto Sinting sudah pindah ke belakangnya agak jauh sambil jaga-jaga diri. la masih bersujud-sujud memohon ampun di tempat bekas Suto berdiri tadi.

"Aku di sini, Jin Koplo!"

Jin itu mendongakkan wajah, dan terbengong melihat tempat di depannya kosong. la menoleh ke belakang, melihat Suto berdiri dengan jari mau disentilkan. Jin itu segera merangkak terburu-buru dengan ketakutan.

"Ampun, ampuuun...! Jangan sentil lagi aku! Tubuhku sudah sakit semua! Mohon kita berdamai saja. Damai saja, Manusia...!" pintanya sambil memegangi 'jimat kejantanannya' yang tadi sengaja disentil Suto dari jarak jauh sebanyak tiga kali. Rasa sakit pada tempat itulah yang membuat Jin Koplo akhirnya tobat dan tak berani bersikap kasar kepada Pendekar Mabuk.

"Bangunlah jika kau mau bersahabat denganku! Tapi ingat, jika kau berubah besar di depanku, aku akan menyentil 'jimatmu' dengan tenaga dalamku yang lebih besar juga!"

"Tii... tidak, tidak...!" tangannya digoyang-goyangkan. "Aku tidak akan berubah besar lagi di depanmu. Aku akan berubah besar di belakangmu saja."

"Juga tidak boleh! Nanti kau membokongku dari belakang!"

"O, ya, tidak, tidak...! Aku tidak akan berubah besar sebelum kau pergi dari hadapanku! Kita... kita damai saja, ya?"

Pendekar Mabuk menarik napas sambil tersenyum bangga. Jin Koplo melangkah dengan kaki merenggang dan mendekap 'jimat kejantanannya' yang terasa bengkak bagai bisul mau pecah. "Dapatkah kau mengobati penyakit turun berokku ini?" ujarnya sambil menyeringai menyedihkan.

"Minumlah tuakku ini. Buka mulutmu!"

Jin Koplo menurut saja membuka mulutnya. Pendekar Mabuk mengucurkan tuaknya ke mulut itu. Beberapa saat setelah Jin Koplo menelan tuak, rasa sakit di sekujur tubuhnya pun lenyap.

"Hebat sekali minumanmu itu. Oh, ya... siapa namamu, Kawan?!"

"Suto Sinting alias Pendekar Mabuk!" jawab Suto dengan senyum ramah karena Jin Koplo lebih dulu memanggil 'kawan', sehingga Suto merasa perlu mengimbangi sikap persahabatan itu.

"Sebenarnya apa yang kau cari di sini, Kawanku Suto?"

"Aku mencari obat untuk sembuhkan sakitnya guruku. Obat itu bernama 'Tuak Dewata'. Apakah kau tahu di mana ada 'Tuak Dewata' itu, Jin Koplo?!"

Jin Koplo tertegun bengong. Apa maksudnya, Suto sempat bingung mengartikannya. Tahu atau tidak tahu, tak jelas tergambar di wajah Jin Koplo. Jin Koplo hanya berkata, "Orang-orang di Jalur Hijau mungkin tahu tentang 'Tuak Dewata' yang kau cari. Rasa-rasanya sangat tepat jika kau pergi ke wilayah Jalur Hijau itu. Kawan."

"Jadi kau sendiri tidak tahu tentang 'Tuak Dewata' itu?" Suto penasaran dan ingin ketegasan dari Jin Koplo.

"Aku hanya pernah mendengar nama 'Tuak Dewata' disebutkan oleh salah seorang penghuni Jalur Hijau itu. Hanya satu kali kudengar dan itu pun sudah sekitar seribu tahun yang lalu."

"Seribu tahun yang lalu?" Suto membelalak heran.

"Dan aku tidak tahu apa artinya 'Tuak Dewata' itu. Mungkin nama seseorang, mungkin nama pusaka, mungkin nama makanan, mungkin juga nama penyakit. Aku sungguh-sungguh tak tahu-menahu tentang arti 'Tuak Dewata' itu, Kawan. Tetapi aku yakin, satu dari sekian banyak penghuni wilayah Jalur Hijau pasti ada yang mengetahui tentang arti 'Tuak Dewata' tersebut."

Pendekar Mabuk menggumam pendek dengan hati agak lega. Setidaknya ia punya harapan akan mendapat keterangan tentang 'Tuak Dewata' itu dari salah satu penghuni wilayah Jalur Hijau tersebut. la berharap keterangan yang akan diperolehnya nanti tidak akan membuatnya menjadi lebih pusing dan lebih menjengkelkan.

"Tetapi hati-hatilah memasuki Jalur Hijau itu, Kawan Suto," ujar Jin Koplo lagi. "Sebab, jalur itu adalah wilayah yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Tidak setiap makhluk dapat selamat memasuki Jalur Hijau."

"Mengapa begitu?"

"Karena wilayah itu adalah wilayahnya seorang ratu maha sakti yang kabarnya sekarang sudah mempunyai seorang panglima perang bergelar Manggala Yudha Kinasih."

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.

"Kudengar sang Manggala Yudha Kinasih itu mempunyai ilmu sangat tinggi dan sukar ditumbangkan," tambah Jin Koplo. "Siapa pun yang memasuki wilayah Jalur Hijau harus berhati bersih dan jiwa yang suci. Jika tidak kau akan terperosok dalam jebakan maut yang mereka pasang di sepanjang jalur menuju istana Puri Gerbang Surgawi."

"Terima kasih atas nasihatmu, Kawan," ujar Suto ikut-ikutan memanggil 'kawan' kepada Jin Koplo.

"Aku tak berani mengantarmu sampai di sana, sebab aku takut berhadapan dengan panglima perangnya Puri Gerbang Surgawi itu. Kubayangkan, aku tak akan sanggup melawan si panglima yang bergelar Manggala Yudha Kinasih itu."

Suto Sinting semakin tertawa geli. "Kau telah berhadapan dengannya, Jin Koplo."

"Maksudmu berhadapan dengan Manggala Yudha Kinasih itu?!"

"Benar. Karena akulah orang yang mendapat gelar kehormatan dari sang Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi itu. Akulah yang bergelar Manggala Yudha Kinasih, panglima terdepan dalam jajaran prajurit Puri Gerbang Surgawi itu!"

Jin Koplo diam terbengong pandangi Suto Sinting, ia menjadi seperti jin linglung yang tidak tahu harus berbuat apa setelah mendengar pengakuan tersebut. la memang tidak tahu, bahwa Suto memang telah diangkat menjadi panglimanya Ratu Kartika Wangi dan mendapat gelar kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih, terutama sejak ia diakui sebagai calon suami Dyah Sariningrum, putri kedua dari Ratu Kartika Wangi yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

Tetapi raut wajah buruk Jin Koplo yang tampak dalam keraguan membingungkan itu membuat Suto Sinting menjadi penasaran, lalu ikut-ikutan bingung juga. Pendekar Mabuk ajukan tanya dengan dahi berkerut,

"Mengapa kau tampak menjadi bingung begitu, Jin Koplo?"

"Karena... karena setahuku yang bergelar Manggala Yudha Kinasih dan menjadi panglima perang sang Ratu bukan orang yang bernama Suto Sinting, seperti pengakuanmu tadi."

"Lalu, bernama siapa orang yang menjadi panglima sahg Ratu itu?"

"Kabar yang kudengar, orang itu bernama Durmala Sanca."

"Apa...?!" Pendekar Mabuk terpekik kaget. Seperti ada petir menyambar alisnya ketika mendengar nama Durmala Sanca sebagai nama asli orang yang mendapat gelar Manggala Yudha Kinasih dari Ratu Kartika Wangi.

Jantung Suto mulai berdetak-detak bagai ada yang menendang dari dalam dada. Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa dikabarkan sebagai panglima perang negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Apakah itu berarti Suto sudah tidak dipakai lagi oleh sang Ratu Kartika Wangi? Apakah kedudukan Suto sekarang sudah digantikan oleh Durmala Sanca? Apakah Suto Sinting juga tidak diakui pula sebagai calon menantu Gusti Ratu Kartika Wangi?

"Jika benar begitu, apakah berarti Dyah Sariningrum akhirnya akan menjadi istri Siluman Tujuh Nyawa?!" tanya Suto kepada hatinya sendiri yang berdebar-debar dibakar oleh kecemburuan dan kekecewaan.

* * *

LIMA

JALANAN yang memancarkan cahaya hijau pijar itu ternyata mengandung lumut halus, dan lumut itu mengeluarkan cahaya hijau semacam cahaya fosfor. Jalanan yang mengandung lumut itu menuju ke arah suatu tempat menyerupai lorong di antara dua tebing. Dengan mengikuti jalanan bercahaya hijau, Pendekar Mabuk akhirnya tiba di sebuah lorong gua yang dindingnya menyala hijau karena ditumbuhi oleh lumut-lumut aneh itu.

Lumat-lumut pada dinding lorong itu tampak belum pernah ada yang menjamah dan tumbuh secara alami. Suto tak mau menyentuhnya sebab ia tahu lumut itu mengandung racun. Dulu ketika ia memasuki lorong gua tersebut bersama Dewa Racun, ia hampir saja menyentuhnya namun segera dicegah oleh Dewa Racun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

Lorong tersebut bukan saja mempunyai keindahan pada lumut bercahayanya, melainkan juga langit-langit lorong mempunyai keindahan tersendiri. Lekuk-lekuk bebatuan di langit lorong mirip lukisan alam. Ada yang bergelembung bagaikan bisul besar mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung raksasa, ada yang pipih dari berbuku-buku, ada pula yang menonjol bagaikan bunga sedang menguncup.

Di sela-sela tanaman lumut yang menyala itu terdapat bebatuan warna-warni. Ada yang menggerombol berbentuk bulat-bulat warna kuning terang, ada yang dalam bentuk satu bongkahan berwarna merah bening, bahkan ada yang berbintik-bintik kecil mirip butiran biji salak berwarna coklat tua bening, dapat memantulkan sinar hijau dari tanaman lumut di sekitarnya.

Pemandangan di dalam lorong itu memang sangat indah dan menakjubkan. Namun semua keindahan itu ternyata mengandung falsafah hidup yang sangat dalam. Karena keindahan yang ada di lorong itu adalah keindahan yang mengandung racun berbahaya dan tak boleh disentuh sedikit pun. Hal itu mengajarkan kepada manusia tentang banyaknya keindahan yang menyenangkan hati namun cukup berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia itu sendiri. Di balik keindahan dan kemegahan terdapat maut yang selalu mengancam kelengahan kita.

Perjalanan sang Pendekar Mabuk tiba di sebuah ruangan yang lebarnya sepuluh tombak, mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar itu seperti sesuatu yang kental menetes dari langit-langit lorong dan mengeras. Letak serta bentuknya tidak beraturan. Ada yahg berongga, ada yang seperti dua tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu, ada yang seperti mata tombak raksasa, dan semua itu sepertinya mengandung seni keindahan yang mahal dan sukar didapatkan di permukaan bumi, atau di alam nyata.

Pilar-pilar indah dilewati. Tapi lumut-lumut yang memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya saja letaknya tidak lagi di dinding kanan-kiri lorong, melainkan di langit-langit lorong tersebut. Lumut-lumut berdaun panjang itu menggantung bagaikan lampu-lampu hias yang memancarkan cahaya hijau indah, menerangi lorong tersebut.

Kini keindahan yang ada ditambah lagi dengan keindahan pada lantai lorong. Lantai itu bukan lagi terdiri dari tanah atau batuan biasa, melainkan dari kaca jernih dan bening sekali. Karena beningnya, lumut-lumut di atas pun terpantul jelas, hingga lantai gua itu bagaikan memancarkan cahaya hijau bening yang sangat terang. Sedangkan pada dinding lorong masih terdapat bebatuan yang punya warna cerah dan berkilap.

"Kuingat...," kata Suto dalam hatinya,"... lantai bening ini mempunyai arti kehidupan yang cukup dalam. Lantai jernih ini merupakan peringatan bagiku untuk memperhitungkan setiap langkah yang akan kulalui. Jika langkahku disertai niat dan hati yang bersih, bening dan berpikiran jernih, maka setiap langkahku akan membawa kemenangan tersendiri dalam hidup."

Pendekar Mabuk sengaja berhenti sejenak untuk merenungi keindahan di sekelilingnya. la memandang lumut-lumut bercahaya hijau yang ada di langit-langit lorong. Lalu, hatinya pun berkata sambil mengenang masa-masa berada di tempat itu bersama Dewa Racun.

"Lumut-lumut itu adalah penerang bagi langkahku. Dalam falsafah, aku tak boleh selalu merasa rendah dan minder menghadapi kehidupan ini. Sekalipun diriku nilainya hanya seperti lumut, tapi jika bisa menjadi penerang bagi sesama, hendaknya terangku tetap menjadi penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke dalam jurang lubang yang menyesatkan. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu manusia, hendaknya dapat berguna bagi kehidupan mereka yang membutuhkannya."

Langkah Suto pun dilanjutkan kembali menapak di lantai bening. Anehnya, tak satu pun tampak ada bekas telapak kaki di lantai jernih tersebut. Lantai itu tetap tampak jernih, bening dan bersih. Tetapi anehnya lagi, bayangan Suto yang memantul pada lantai jernih itu bukan seperti bayangan dalam sebuah cermin. Bayangan itu berwarna hitam, seperti bayangan sebuah benda jika terkena sinar matahari. Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus dengan telapak kaki Suto, melainkan sedikit tertinggal di belakang Suto, sepertinya Suto mendapat sorotan sinar dari arah depannya.

"Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari keburukan. Kuingat, bayangan di lantai ini pun merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa ke mana pun aku pergi selalu diikuti oleh sifat-sifat buruk yang selalu berusaha menyatu dengan diriku. Tergantung sikap diriku, apakah mau memakai keburukan itu atau meninggalkannya. Tetapi pada awalnya, kebaikan pasti datang paling depan, setelah itu baru diikuti oleh keburukan, seperti rencana-rencana licik, nafsu serakah, dan sebagainya. Lantai yang menyerupai cermin itu merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu ingat dan waspada bahwa setiap langkah manusia selalu dibayang-bayangi oleh keburukan. Jangan sampai aku menjadi lengah dan dikuasai oleh bayangan hitam diriku sendiri...."

Pendekar Mabuk juga teringat kata-kata gadis penyambut kedatangannya pada waktu ia berada di tempat itu bersama Dewa Racun. Gadis yang menyambutnya adalah Sang Wengi, dan gadis itu berkata kepada Suto serta Dewa Racun.

"Bagi orang yang tidak memiliki hati bersih, gua ini tidak mempunyai keindahan sama sekali. Mereka tidak akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."

Karenanya, Pendekar Mabuk sejak tadi sudah membersihkan hati dan pikirannya terlebih dulu. la hanya mempunyai satu niat, yaitu mencari obat untuk sembuhkan sakit sang Guru. Adapun kabar tentang Durmala Sanca sebagai panglima dan bergelar Manggala Yudha Kinasih, dibuang dulu dari alam pikiran Suto Sinting. Tak ada iri, tak ada benci, tak ada kecemburuan. Akibatnya, mata Suto masih bisa menikmati keindahan yang ada di sepanjang lorong yang menuju ke sebuah ruangan besar dan ruangan itu disebutnya: balairung istana.

Ruangan itu sangat indah dan megah. Pilar-pilarnya terbuat dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut, dan sebagainya. Lantainya bagaikan bentangan kaca lebar, sangat luas dan bening. Dindingnya terbuat dari lempengan-lempengan batu putih kemilau bagai lempengan batu intan.

Seperti dulu juga, kedatangan Pendekar Mabuk disambut oleh wajah-wajah cantik yang menawan hati. Dua dari beberapa wajah cantik sudah dikenali oleh Suto. Dua wajah cantik yang dikenali Suto itu adalah Sang Wengi dan Sang Ramu.

Senyum mereka ramah sekali, menciptakan debaran indah dalam hati yang tak bisa dilukiskan dengan kata. Sambutan itu agaknya sudah dipersiapkan sejak sebelum Suto Sinting memasuki Jalur Hijau. Sepertinya mereka sudah tahu lebih dulu bahwa akan ada tamu penting yang patut dihormati dan disambut dengan keramahan tersendiri.

Para wanita cantik yang masih berusia muda itu menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. Mereka memberi hormat dengan ucapan Sang Wengi mewakili sambutan mereka.

"Selamat datang, Gusti Manggala Yudha Kinasih...."

"Damai hidupmu, panjanglah umurmu semua!" Itulah ucapan Suto Sinting sebagai salam balasan kepada mereka. Sebelum Suto mengucapkan kata-kata itu, mereka tetap akan tundukkan kepala dan berlutut dengan satu kaki.

"Gusti Ratu Kartika Wangi sedang bersiap untuk menemui Gusti Manggala. Sudilah kiranya Gusti Manggala menunggu sejenak."

"Aku akan bersabar menunggu sampai kapan pun," ucap Pendekar Mabuk dengan tegas dan berwibawa.

Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Suto Sinting naik ke lantai bundar di depan singgasana. Tinggi lantai bundar itu kurang dari setengah jengkal, tetapi merupakan tempat khusus untuk menghadap Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat duduk, lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika Suto Sinting naik ke atas lantai itu, muncullah perempuan-perempuan cantik yang punya tinggi-badan sejajar semua.

Perempuan-perempuan yang tinggi badannya sejajar itu mengenakan pakaian serba kuning gading. Mereka muncul dari satu pintu yang ada di lantai atas, yang mengelilingi bentuk istana bundar itu.

Istana itu mempunyai tiga lantai. Lantai bawah, tempat Suto dan perempuan-perempuan penyambut yang mengenakan pakaian serba putih, lantai dua diisi oleh perempuan-perempuan berpakaian kuning gading yang berjajar berkeliling dengan rapi. Sedangkan lantai atasnya lagi, muncul serombongan perempuan berambut cepak berikat kepala seperti mahkota emas kecil dan menyandang pedang merah di punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang.

Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis warna merah, mengenakan penutup dada warna merah juga yang dilapisi rompi panjang sebatas perut warna merah pula. Mereka adalah prajurit-prajurit istana pilihan. Mereka juga berjajar rapi mengelilingi lantai istana bagian atas yang berbentuk bundar itu. Tiba-tiba terdengar suara gaung menggema seperti genta bertalu.

Wuungngng...!

Gema itu panjang, tetapi tidak membuat berisik di telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul seorang berpakaian serba ungu, termasuk jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambut perempuan itu disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan intan. Giwang perempuan itu tak seberapa besar tapi tampak jelas terbuat dari berlian. Perempuan itu cantik dan masih tampak muda, wajahnya oval, bibirnya ranum, hidungnya mancung, sepertinya masih berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tetapi sebenarnya ia sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun.

Semua orang dari lantai bawah sampai lantas atas menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. Pendekar Mabuk pun ikut bersikap begitu sebagai tanda hormatnya kepada perempuan berjubah ungu yang tak lain adalah Gusti Ratu Kartika Wangi, yang segera duduk di singgasana berhias batuan intan berlian setelah membalas hormat mereka dengan ucapan khas.

"Damai dan sejahtera buat kalian semua!" Pendekar Mabuk duduk bersila dengan bumbung tuak diletakkan di samping kanannya, la tampak bersikap sangat hormat dan menampakkan kegagahannya sebagai seorang pendekar berilmu tinggi dan punya kharisma tersendiri.

Ratu Kartika Wangi pandangi Suto Sinting dengan dahi berkerut. Sepertinya ada sesuatu yang diperhatikan oleh sang Ratu dengan rasa janggal. Pendekar Mabuk diam saja, tak berani ucapkan kata sebelum mendapat teguran dari sang Ratu. Tiba-tiba ibu dari Dyah Sariningrum itu berkata kepada Sang Ramu.

"Aku ingin bicara empat mata dengan calon menantuku ini! Siapkan tempat!"

Dengan memberi hormat lebih dulu, Sang Ramu pun perdengarkan suaranya yang renyah penuh keramahan itu. "Taman paseban sudah kami siapkan, Gusti Ratu!"

"Kalau begitu aku akan ke sana bersama Suto Sinting. Tak perlu pengawalan jarak dekat."

"Baik, Gusti Ratu."

"Suto...," sapa sang Ratu.

"Daulat, Gusti Ratu."

"Panggil saja aku 'ibu' tak perlu bersikap seperti mereka."

"Baik, Ibu," jawab Suto dengan sopan sekali.

"Kita bicara di taman saja!"

"Saya akan menyertainya, Ibu."

Tiba-tiba pandangan Suto Sinting menjadi gelap! seketika. Blabb...! Suto sempat terkejut dan menggeragap. Tetapi sebelum ia ajukan tanya kepada sang Ratu, pandangan matanya sudah menjadi terang kembali. Namun ia tetap terkejut, karena tahu-tahu ia berada di sebuah taman yang sangat indah tanpa ada siapa pun kecuali dirinya dan sang calon mertua.

"Ajaib sekali!" gumam Suto dalam hati. "Dalam sekejap saja balairung istana sudah berubah menjadi taman seindah ini. Seharusnya aku tak perlu menggeragap karena kusadari orang yang berhadapan denganku adalah orang yang berilmu sangat tinggi, mampu membuat sesuatu yang mustahil menjadi nyata."

Bunga-bunga indah bermekaran di taman itu. Tanaman dan bunga yang ada tampak asing bagi Suto Sinting. Semuanya serba aneh tapi berkesan sekali di hati sang pendekar tampan itu.

Mereka ternyata berada di dekat kolam berair bening warna biru muda. Air kolam itu tampak menyegarkan sekali. Bahkan ketika mata Suto memandang permukaan air kolam, tiba-tiba pikirannya menjadi segar, hatinya pun segar, dan tubuhnya terasa segar pula.

Kolam itu mempunyai air mancur kecil yang memancar ke sana-sini dengan kemekaran seperti bunga. Rupanya air mancur itu menyebarkan aroma harum yang lembut dan menyejukkan kalbu. Anehnya, setiap air yang memancar tak pernah turun lagi ke bawah dan lenyap bagai diserap angin.

Pendekar Mabuk duduk bersila di lantai taman yang bening seperti kaca itu. Tiba-tiba saja ia sudah duduk di situ seperti saat ia duduk di depan singgasana tadi. Sedangkan Ratu Kartika Wangi berdiri tak jauh darinya, bahkan berjalan mengitari sebuah tanaman hias yang mempunyai daun seperti beludru, dan bunganya mirip mawar merah berbintik-bintik kuning emas. Indah sekali. Sang Ratu memetiknya setangkai. Tess...! Tiba-tiba tangkai yang telah terpetik itu bergerak-gerak dan segera tumbuh bunga yang baru. Bunga itu menguncup, kemudian segera mekar dan menyebarkan aroma wangi seperti wanginya mawar bercampur melati.

"Manggala...," ujar sang Ratu menyebut Suto dengan kata 'Manggala', membuat hati Suto sempat merasa masih diakui sebagai Manggala Yudha Kinasih di negeri alam gaib itu.

"Kurasakan keresahan begitu kuat di dalam hatimu saat sebelum kau tiba di tempat ini. Katakan kepadaku, apa yang membuatmu sangat resah dan berperasaan campur aduk tak karuan itu, Anakku."

"Ibu, pertama saya resah karena rindu kepada Dyah Sariningrum dan sudah lama tak mendengar kabarnya."

"Dyah Sariningrum baik-baik saja. la juga rindu padamu."

"Oh...." Suto tersenyum bangga. Hatinya berdebar indah. Lalu ia berkata lagi, "Selain itu, Ibu, Kakek Guru si Gila Tuak sedang sakit."

"Ya, aku tahu!" potong sang Ratu sambil masih pandangi bunga-bunga di sekelilingnya. Sambungnya lagi, "Tapi yang ingin kuketahui lebih dulu adalah kegundahan hatimu paling dekat. Kegundahan itu baru saja kau buang sebelum kau memasuki jalan bercahaya hijau itu."

Pendekar Mabuk menarik napas pelan, senyumnya mekar dengan tipis, namun tak berani memandang ke arah sang Ratu. Setelah senyum itu hilang, barulah ia mendonggakkan wajah dan menatap sang Ratu dengan lembut. "Ibu, saya dengar dari Jin Koplo bahwa Manggala Yudha Kinasih atau panglima terdepan negeri ini sudah diganti. Bukan Suto Sinting lagi, melainkan Durmala Sanca yang menjadi Manggala Yudha Kinasih di sini. Benarkah begitu, Ibu?"

"Jika benar, bagaimana?" ujar Ratu Kartika Wangi sambil dekati Suto Sinting.

"Jika benar, berarti saya bukan lagi menjadi calon menantu Ibu. Saya akan kehilangan Dyah Sariningrum, dan itu berarti saya akan kehilangan hidup saya selama-lamanya."

Ratu Kartika Wangi tersenyum tipis lagi. "Berdirilah...!"

Karena perintah itulah maka Suto Sinting baru berani berdiri di hadapan calon mertuanya. Sang Ratu memperhatikan Suto Sinting dengan dahi sedikit berkerut. Dagu Suto diangkat sedikit dan wajahnya dipandangi, terutama pada bagian matanya. Setelah itu, sang Ratu perdengarkan suaranya yang masih bernada wibawa.

"Kau memang telah kehilangan hidupmu."

Suto Sinting diam dengan batin bertanya-tanya, "Apa maksud ucapannya itu?"

Sedangkan Ratu Kartika Wangi segera melepaskan dagu Suto dan melangkah mendekati tanaman bunga yang lain sambil lanjutkan ucapannya tadi. "Kau sudah tak bisa menikah dengan putriku; Dyah Sariningrum, karena kau sudah berdarah siluman."

Hati sang pendekar tampan tersentak kaget dan mulai berdebar-debar. la segera teringat kata-kata bibi gurunya tentang darah siluman yang mengalir dalam dirinya gara-gara menerima ilmu 'Dewatakara' dari Ratih Kumala alias si Payung Serambi itu. Pendekar Mabuk menjadi cemas, wajah tampannya tampak pucat sekilas.

"Kau telah menjadi bagian dari rakyat Laut Kidul. Kau hanya bisa mengawini perempuan dari sana, dan tidak bisa mengawini perempuan dari tempat lain. Apabila kau nekat mengawini perempuan dari pihak lain, maka dalam waktu tujuh hari istrimu pasti akan tewas. Jika kau menikah lagi dengan perempuan dari tempat lain, istrimu akan tewas juga dalam waktu tujuh hari dan begitu seterusnya."

Ratu Kartika Wangi menempelkan setangkai bunga yang tadi dipetiknya. Tangkai bunga itu ditempelkan pada dahan kecil tanaman lainnya. Ternyata tangkai bunga itu dapat menempel dan menjadi satu bagaikan tumbuh dari tanaman lain itu. Sang Ratu berkata lagi, "Aku tak ingin kehilangan anakku, karenanya aku tak ingin mengawinkan Dyah Sariningrum denganmu."

"Ibu... saya sangat mencintai Dyah Sariningrum, Bu."

Ratu Kartika Wangi memandang tegas. "Kau bisa menikah dengan anakku jika tidak berdarah siluman lagi."

"Ba... bagaimana caranya membersihkan darah siluman ini, Ibu?" Suto Sinting mulai tampak menggeragap.

"Ilmu dari Laut Selatan harus kau singkirkan dari hidupmu. Kau tak boleh memiliki ilmu Dewatakara' itu, Suto!"

"Ssa... saya bersedia. Saya tidak keberatan kehilangan ilmu 'Dewatakara', Ibu. Tetapi bagaimana cara menghilangkannya? Saya benar-benar tidak tahu."

"Gurumu pasti tahu, dan tanyakan kepada gurumu; si Gila Tuak."

"liyy... iya, tapi... tapi Kakek Guru sekarang sedang sakit dan membutuhkan 'Tuak Dewata' sebagai obatnya. Sedangkan...."

"Aku tak tahu apa itu 'Tuak Dewata'," sahut sang Ratu sambil mendekati Suto Sinting. Kini ia berdiri dalam jarak dua langkah di depan Pendekar Mabuk. "Jangan tanyakan padaku tentang 'Tuak Dewata' yang kau cari itu, Suto. Aku benar-benar tidak mengetahui tentang 'Tuak Dewata' itu."

Pendekar Mabuk diam beberapa saat. Napasnya terhempas lepas, tubuhnya menjadi lemas dan wajahnya pun tampak sayu. la merasa harapan untuk mengetahui tentang 'Tuak Dewata' menjadi semakin gelap. Jika Ratu Kartika Wangi saja tidak mengetahuinya, apa lagi orang lain?"

Sang Ratu perdengarkan suaranya lagi. "Kusesalkan tindakanmu yang mau menerima ilmu dari Istana Laut Kidul itu. Padahal kau bisa mendapatkan ilmu yang sama dahsyat dan saktinya dengan ilmu 'Dewatakara' dariku. Mengapa kau justru memilih ilmu yang datang dari istana Laut Kidul itu?"

"Saa... saya benar-benar tidak tahu, Ibu. Mohon ampun dan mohon dibersihkan dari ilmu itu, Ibu."

"Aku tidak berhak membersihkan ilmu dalam dirimu. Yang berwenang adalah kedua gurumu itu; Gila Tuak atau Bidadari Jalang."

"Tapi... tapi Bibi Guru Bidadari Jalang tidak bisa membuang ilmu itu, Ibu."

"Jika begitu, hanya Gila Tuak yang mampu lakukan."

"Kakek Guru Gila Tuak sedang sakit."

"Sembuhkan dulu dia!"

"Itulah sebabnya saya kemari mohon bantuan Ibu untuk dapatkan 'Tuak Dewata' sebagai obat bagi Kakek Guru Gila Tuak, Ibu."

"Sudah kukatakan, aku tidak tahu tentang 'Tuak Dewata' itu. Mungkin juga tak akan kau dapatkan 'Tuak Dewata' walau kau mencari di alam nyata dan alam gaib. Sebab... mungkin 'Tuak Dewata' itu memang tidak pernah ada dari dulu hingga sekarang."

"Lalu... kepada siapa lagi saya minta bantuan untuk sembuhkan Kakek Guru, Ibu?!"

Ratu Kartika Wangi diam sesaat. Ia pandangi tanaman bunga lainnya yang ada di belakang Suto, membuat Suto Sinting terpaksa berbalik arah. Dua helai daun dari tanaman bunga itu tampak kering. Ratu Kartika Wangi segera menyentuhkan telunjuknya ke permukaan daun yang kering. Telunjuk itu menyala hijau bening, dan tiba-tiba daun kering itu berubah menjadi segar kembali, bahkan seperti baru saja tumbuh dari pupusnya.

"Apakah kau masih berkeras kepala untuk dapatkan 'Tuak Dewata' jika kukatakan 'Tuak Dewata' itu tidak pernah ada?!" tanya Ratu Kartika Wangi tanpa memandang Suto Sinting.

"Saya harus mencarinya walau sampai ke ujung dunia, Ibu. Sebab... sebab saya harus bisa selamatkan jiwa Kakek Guru yang terancam maut dari suatu penyakit."

"Kalau begitu, cobalah pergi ke Gerbang Siluman dan temui Eyang Putri Batari."

"Mmak... maksud Ibu, Betari Ayu? Kakaknya Dyah Sariningrum itu?"

"Bukan. Eyang Putri Batari adalah ibuku; neneknya Dyah Sariningrum dan Betari Ayu."

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.

"Temui beliau dan tanyakan kepada beliau apakah 'Tuak Dewata' itu ada atau tidak. Jika ada letaknya di mana, jika tidak lantas apa artinya 'Tuak Dewata' yang harus kau dapatkan itu."

"Baik, saya akan ikuti nasihat Ibu. Hanya saja, tolong jangan pisahkan saya dengan Dyah Sariningrum, Ibu. Saya sangat mencintainya!"

Permohonan yang diucapkan dengan kesungguhan hati itu membuat Ratu Kartika Wangi sunggingkan senyum kecil. Senyum itu hanya sekilas, kemudian lenyap tanpa bekas. "Akan kupertahankan putriku agar tidak jatuh ke tangan pemuda lain...."

"Juga jangan sampai jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa, Ibu!"

"Kau takut?!"

"Saya takut kehilangan Dyah, Ibu."

"Hmmm...," senyum sang Ratu sedikit lebar. "Sebenarnya apa yang kau dengar dan membuat hatimu gundah itu hanya sebuah siasat licik si Durmala Sanca."

"Maksudnya bagaimana, Ibu?" sergah Suto Sinting dengan semangat.

"Belakangan ini, Durmala Sanca sering mengaku sebagai Manggala Yudha Kinasih dan mengaku sebagai panglimaku. Pengakuan itu sengaja disebarkan ke mana-mana sambil ia melakukan tindakan kejam kepada beberapa pihak agar pihak yang merasa dirugikan oleh Manggala Yudha Kinasih palsu itu menuntut pihak kita."

Pendekar Mabuk mulai tampak terbakar oleh keterangan tersebut. Matanya kelihatan nanar, napasnya mulai tak teratur.

Sambil melangkah dekati tepian kolam, sang Ratu menyambung kata-katanya. "Durmala Sanca memang manusia terkutuk tiga ratus tahun lamanya. Aku tahu ia sangat mengincar Dyah Sariningrum, tetapi keberadaanmu membuat niatnya selalu gagal dan ia tak berani dekati calon istrimu itu. la pernah datang menemuiku dan melamar Dyah Sariningrum, tetapi ditolak mentah-mentah."

Napas ditarik dan disimpan di dada. Dada kekar itu tampak mengeras, wajah tampan pun kelihatan menjadi kaku dan matanya memancarkan kemarahan. Tetapi diam-diam kobaran api amarah itu dipertahankan Suto Sinting agar jangan berkobar berlebihan di depan Ratu yang penuh kharisma itu.

"Durmala Sanca semakin membenci kita. Terlebih setelah ia gagal mendapatkan kebahagiaan batin dari Ratu Dewi Kasmaran yang diakibatkan oleh tindakanmu...."

Pendekar Mabuk sempat berkata dalam hati, "Kurasa Ibu Kartika Wangi juga mengetahui pertarunganku dengan Siluman Tujuh Nyawa yang kulakukan di depan Congor itu. Rupanya seluruh gerak-gerikku selalu dia pantau oleh mata batin Ibu Kartika Wangi, sehingga ia tahu segala-galanya, termasuk tahu tentang ilmu 'Dewatakara' yang telah meresap dalam ragaku ini!"

Sang Ratu segera berkata, "Jangan bicara sendiri jika aku sedang menerangkan perkara besar ini!"

"Maaf, Ibu...," ucap Suto dengan rasa malu karena kecamuk batinnya dapat didengar oleh sang Ratu, sebagai tanda betapa tingginya ilmu yang dimiliki sang Ratu dan betapa tajamnya indera keenam maupun indera ketujuh Ratu Kartika Wangi itu.

Perempuan cantik itu berkata lagi, "Sekarang kurasakan si Durmala Sanca ingin menyusun kekuatan untuk menyerang kita; menyerangku, menyerang Dyah Sariningrum, juga menyerangmu! Sekarang kurasakan usaha Durmala Sanca membujuk Raja Barong telah berhasil."

"Siapa Raja Barong itu, Ibu?"

"Raja Para Jin," jawab Ratu Kartika Wangi. "Kurasakan gerakan Raja Barong sedang menuju ke Gerbang Siluman."

"Mau apa dia ke sana, Ibu?"

"Membebaskan para siluman yang dipenjara oleh ibuku: Eyang Putri Batari itu. Jika ia berhasil bebaskan para siluman, maka mereka akan menyerang pihak kita di bawah pimpinan Siluman Tujuh Nyawa."

Lagi-lagi Suto Sinting tarik napas menahan luapan amarahnya.

"Kuperintahkan padamu, lumpuhkan si Raja Barong sebelum menghancurkan Gerbang Siluman! Jangan beri kesempatan kepada si Durmala Sanca untuk mendapatkan kekuatan baru dari mereka!"

"Baik, Ibu! Saya akan kerjakan perintah Ibu sekarang juga!"

"Tunggu...!" Ratu Kartika Wangi segera pejamkan mata, wajahnya sedikit menunduk.

Tak berapa lama, muncul seorang gadis berpakaian ketat warna merah dengan pedang di punggung. Gadis itu berambut cepak dan tadi saat pertemuan di balairung istana ia berada di antara para prajurit berseragam merah di lantai tiga. Gadis cantik berhidung kecil dan mancung itu segera memberi hormat kepada Ratu Kartika Wangi dan Pendekar Mabuk.

"Hamba dipanggil, Gusti?" ujarnya.

Suto Sinting sempat bingung sebentar. "Tak ada orang memanggilnya, mengapa ia tahu-tahu menghadap? Oh, mungkin dengan cara memejamkan mata seperti tadi itulah gadis itu dipanggil oleh Ibu Kartika Wangi. Para prajurit di sini sudah terbiasa menerima panggilan atau bicara melalui batin, sehingga mereka tampaknya tenang dan diam tapi sebenarnya saling berbicara satu dengan yang lain."

"Suto, kau kuberi seorang pemandu untuk menuju Gerbang Siluman," kata sang Ratu sambil menepuk pundak gadis yang telah berdiri itu.

Suto Sinting memandangi gadis bertubuh sekal dan berdada kencang dengan pikiran bersih, tanpa khayalan kotor sedikit.

"Sang Tiara," kata Ratu Kartika Wangi kepada gadis itu. "Tugasmu memandu perjalanan Manggala Yudha Kinasih ke Gerbang Siluman untuk menggagalkan serangan Raja Barong."

"Saya siap, Gusti!"

"Berangkatlah kalian sekarang juga sebelum Raja Barong melewati perbatasan Gerbang Siluman!"

"Mohon doa restu, Ibu!" sambil Pendekar Mabuk membungkuk memberi hormat kepada sang Ratu. Kemudian ia melangkah dengan didampingi Sang Tiara yang tampak lincah dan penuh keberanian itu.

* * *

ENAM

SAMPAI di luar batas wilayah Jalur Hijau, gadis cantik berbulu mata lentik itu menghentikan langkahnya. Hal itu membuat Pendekar Mabuk ikut-ikutan hentikan langkah dengan mata memandang penuh keheranan.

"Ada apa berhenti, Sang Tiara?"

"Gerbang Siluman terlalu jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, Gusti Manggala."

"Panggil namaku saja jika kita berada di luar istana. Kau tahu namaku, bukan?"

"Suto Sinting...?!"

"Benar. Rupanya daya ingatmu cukup tinggi, Tiara."

"Saya selalu mengingat nama panglima saya!"

"Dalam keadaan berdua begini, kita adalah sahabat. Jangan terlalu kaku dalam bersikap. Paham?!"

Sang Tiara anggukkan kepala.

"Jelaskan maksud kata-katamu tadi, Tiara."

"Kita akan terlambat jika berjalan kaki ke Gerbang Siluman."

"Lantas maumu bagaimana?"

"Buka tanganmu, Suto," perintah Sang Tiara yang cepat menjadi akrab dan lugas dalam bergaul.

Sang Tiara menengadahkan kedua tangannya didepan perut. la memberi contoh kepada Suto dan Suto pun segera mengikutinya. Kedua tangan Suto dibuka dalam keadaan telapak tangan ke atas. Kemudian kedua tangan Sang Tiara menelungkup pelan-pelan hingga menyatu rapat dengan telapak tangan Suto Sinting.

"Pejamkan mata," perintah Sang Tiara pelan. Suto pun memejamkan mata. "Buka mata," perintahnya lagi, belum ada satu helaan napas mereka memejamkan mata.

Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk begitu membuka mata, ternyata sudah berada di tempat yang jauh dari batas Jalur Hijau. Mereka ada di sebuah lembah tak berpohon. Sebuah bukit menjulang rendah dalam keadaan tanpa tanaman kecuali lumut. Bukit itu dipenuhi oleh bebatuan yang tinggi-tinggi sehingga mirip pohon tanpa daun. Tempat yang aneh itu membuat Suto Sinting tercengang dan terbengong-bengong. Bentuk batu-batu yang menghiasi bukit dan lembah itu beraneka ragam, sehingga merupakan suatu pemandangan indah yang berbeda dari bukit-bukit di alam nyata.

"Kita berada di mana ini, Tiara?"

"Di balik bukit itulah letak Gerbang Siluman! Kita harus segera menghadang Raja Barong yang sebentar lagi akan melintasi bukit itu."

"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting. "Dengan kekuatan apa kau membawaku kemari?"

"Ilmu 'Pusar Badai' mempercepat langkah kita sampai di tujuan."

"Luar biasa! Hanya dengan pejamkan mata dan tumpangkan tangan sudah bisa sampai ke tempat tujuan. Apakah semua prajurit pilihan yang berseragam merah sepertimu ini mempunyai ilmu 'Pusar Badai'?"

"Semua prajurit memilikinya, baik yang pilihan maupun penyambut tamu seperti Sang Ramu atau Sang Wengi," jawab Sang Tiara dengan suara jelas. "Kurasa kita tak punya banyak waktu untuk bicarakan ilmu itu. Kurasakan getaran langkah si Raja Barong sudah kian mendekati tempat kita. Kita harus segera ke puncak bukit!"'

Pendekar Mabuk mengikuti saran Sang Tiara sambil membatin, "Tinggi juga ilmunya. Aku tak bisa rasakan getaran langkah siapa pun, tapi ia mampu rasakan getaran itu. Tapi, apakah benar Raja Barong sudah mendekati bukit ini? Jangan-jangan dia hanya ngawur saja karena dia tahu aku tak mengerti apa-apa tentang alam dan kehidupan di sini?!"

Ketika mereka berada di puncak bukit, tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada angin berhembus dari sisi kanannya. Wweee...! Mata pun berkedip karena takut terkena debu yang beterbangan. Namun ketika Suto membuka mata kembali, ternyata ia sudah dalam keadaan terkapar memandang langit dengan sekujur tubuh merasa sakit semua. Tulang-tulangnya terasa remuk dan sukar digerakkan. Sementara itu, Sang Tiara juga terbujur di sampingnya dan menggeliat bangkit dengan suara mengerang.

"Ooh... kenapa aku ini? Mengapa tiba-tiba aku berbaring di tanah?"

Sang Tiara menyahut dengan menyeringai menahan sakit. "Raja Barong telah menerjang kita."

"Telah menerjang kita?!" Suto Sinting terbelalak heran. "Aneh sekali. Padahal aku hanya merasa dihembus angin dari samping."

"itulah gerakan Raja Barong. Kecepatannya melebihi kecepatan apa pun, sehingga saat menerjang kita yang terasa hanya hembusan anginnya."

"Luar biasa!" gumam Suto Sinting sambil bangkit. la buru-buru menenggak tuaknya untuk hilangkan rasa sakit dan pulihkan kekuatannya kembali. Sang Tiara disuruh meminum tuak, tapi gadis itu menolak. la punya cara sendiri untuk hilangkan rasa sakit, yaitu dengan menempelkan satu telapak tangannya ke dada. Dalam sekejap rasa sakitnya pun lenyap.

"Lalu apa yang harus kita lakukan jika begini? Kemana arah kepergian si Raja Barong?!"

"Tumpangkan tangan kita kembali. Kita kejar ke kaki bukit seberang tebing sana!" ujar Sang Tiara.

Suto Sinting membuka kedua tangannya, lalu tangan Sang Tiara ditumpangkan. Mata mereka terpejam. Tak sampai satu helaan napas sudah dibuka kembali. Dan ternyata mereka sudah berada di seberang tebing, jauh dari bukit berbatu-batu tadi. Tebing itu adalah tebing tandus, juga tanpa tanaman apa pun. Tetapi banyak batu yang bertonjolan bagai pilar-pilar alami. Tebing yang mempunyai jurang dalam tak terukur kedalamannya itu mempunyai dinding seperti serat-serat karang yang cukup menakjubkan.

"Jangan lengah!" tegur Sang Tiara saat Suto memandangi dinding tebing.

Pendekar Mabuk segera bersiap diri mempertinggi kewaspadaan dan mempertajam rasa. Semilir angin mulai datang menghembus mereka. Sang Tiara cepat berlindung di balik bebatuan besar.

"Dia datang! Rasakan hembusan angin yang makin besar ini." seru Sang Tiara.

Pendekar Mabuk sengaja tidak bersembunyi seperti Sang Tiara. la sengaja merasakan semilir angin yang menghembus ke arahnya dan makin lama terasa semakin jelas hembusannya. Pada saat itu juga Suto Sinting menghantamkan bumbung tuaknya ke arah depan dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Wuuusss...! Tubuh Suto berputar sangat cepat. Dan gerakan bumbung tuak itu terasa menyentuh sesuatu yang keras. Bahkan suara benturan bambu dengan sesuatu yang keras itu terdengar jelas di telinga Suto maupun Sang Tiara.

Prraakkk...!"

Aaaaooorrgg...!"

Pendekar Mabuk kaget mendengar suara mengerang yang mirip binatang menyeramkan itu. la masih mencari-cari sesosok wujud yang mengeluarkan suara mengerang di depannya. Sang Tiara muncul dari balik bebatuan, lalu jari telunjuknya menuding ke depan. Claap...! Seberkas sinar merah melesat dari ujung jari telunjuk itu.

Besss...! Sinar merah itu bagaikan mengenai sesuatu dan mengepulkan asap. Asap segera lenyap terbawa angin alami. Suto Sinting terperanjat melihat sesosok tubuh gemuk meringkuk di depannya dalam jarak tujuh langkah. Sosok yang terlihat itu mirip gugusan batu, hanya saja warnanya abu-abu dan berlumut hijau samar-samar.

"Dia terkena pukulan bumbung tuakmu!" ujar Sang Tiara. "Hati-hati, Suto! Dia pasti akan bangkit membalasmu! Sekarang ia masih meringkuk merasakan sakitnya."

"Pergilah berlindung, akan kubereskan sendiri dia!" bisik Suto Sinting sambil matanya memandang ke arah benda abu-abu yang meringkuk itu.

"Awas, dia bangkit!" bisik Sang Tiara.

Pendekar Mabuk melompat ke atas dan hinggap di atas batu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya. Wuuutt...! Jleeg...! Bumbung tuaknya segera diangkat ke samping. Pada waktu itu, makhluk berkepala besar dengan leher pendek dan mempunyai enam mata mengelilingi kepalanya itu bangkit berdiri. Mulutnya yang lebar keluarkan suara mengerang dengan menampakkan gigi besar dan taringnya yang tajam-tajam.

Raja Barong merupakan makhluk yang cukup menyeramkan. Tingginya sejajar dengan Suto pada saat Suto naik di atas batu itu. Badannya bersisik warna abu-abu, keras seperti dari lempengan baja. Sepasang tanduk ada di bagian depan dan belakang kepala. Raja para jin itu tidak mengenakan pakaian kecuali cawat dari lempengan seperti perunggu warna coklat kemerahan.

"Grrraaaoow...!" ia mengerang sambil mengangkati kedua tangannya yang mempunyai kuku runcing bagaikan mata pedang.

Tangan kiri Raja Barong menyambar tubuh Pendekar Mabuk dengan gerakan sangat cepat. Wuuutt...! Creeb...!

"Aaakh...!" Suto Sinting memekik keras karena tiga kuku tajam lawannya menancap di pinggangnya, la diraih dalam genggaman tangan lebar si Raja Barong. Mata sang Pendekar Mabuk mendelik dengan mulut ternganga karena tak bisa bernapas.

"Kau ingin menggagalkan rencanaku, hah...?!" geram Raja Barong dengan suara besar dan menggema.

Tubuh Suto yang ada dalam genggamannya itu didekatkan ke mulut lebar Raja Barong. Darah mengalir terus kepinggang Pendekar Mabuk. Semakin meronta semakin dalam kuku itu menembus tubuh Suto, seakan merusak anggota tubuh bagian dalam. Tetapi pada saat itu bumbung tuak masih tergenggam di tangan Suto. Ketika Raja Barong melebarkan mulut untuk menelan tubuh Pendekar Mabuk, dengan kekuatan penghabisan Suto Sinting mengangkat bumbungnya dan menghantam ke salah satu mata makhluk besar itu.

Wuuut, croook...!

"Huaaahhrrr...!"

Teriakan Raja Barong mengguncangkan dinding tebing. Sebagian batuan runtuh, bahkan ada yang pecah karena teriakan itu. Telinga Pendekar Mabuk sendiri jadi berdarah dan rasa sakit kian membuat Suto mengejangkan tubuhnya. Karena pada saat itu genggaman tangan Raja Barong semakin kuat, seakan ingin meremukkan seluruh tulang tubuh Pendekar Mabuk. Tanpa diketahui keduanya, Sang Tiara mencabut pedangnya, dan menghujamkan ke atas telapak kaki Raja Barong yang bersisik keras itu.

Suuutt...! Jrruuub...!

"Huuuaaahhhrrg...!!"

Teriakan itu mengguncangkan bebatuan dan dinding tebing lagi. Telinga Suto semakin rusak, darah menyembur dari kedua lubang telinga. Tetapi pada saat Sang Tiara menancapkan pedangnya dengan kedua tangan ke kaki Raja Barong, genggaman tangan Raja Barong sedikit mengendur. Kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk kerahkan tenaga yang tersisa dan menyodokkan bumbung tuaknya ke wajah lebar itu.

Wuuut...! Proookkk...!

"Huaaah...!" teriak Raja Barong sambil melemparkan Suto ke depan. Tubuh berlumur darah itu melayang dan jatuh terhimpit celah dua batu besar. Sreeeb...!

"Aaaouh...!" Suto Sinting sendiri memekik keras, tapi suaranya tertutup oleh raungan suara Raja Barong yang menggema ke mana-mana.

Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah digunakan Suto Sinting untuk menyodok wajah raja para jin itu. Akibatnya, wajah itu pun memar membiru, sisiknya mulai rontok satu persatu. Sementara itu, ulah Raja Barong yang sekarat membuat batu-batu beterbangan, sebagian jatuh ke jurang, sebagian pecah dan terlempar ke mana-mana.

"Huaaaa...!" Akhirnya Raja Barong tergelincir jatuh ke jurang tanpa dasar dengan meninggalkan suara jeritan yang memanjang dan menggetarkan alam sekitarnya. Siapa pun yang terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung' akan mati membusuk tak akan tertolong lagi. Demikian pula halnya nasib Raja Barong yang lenyap ditelan jurang tanpa dasar itu.

Sang Tiara segera menolong Pendekar Mabuk yang terjepit dua batu. Dengan satu sodokan pangkal telapak tangan, salah satu batu itu hancur, lalu tubuh Suto dibawa turun dan dibaringkan di tanah berdebu merah.

"Tuangkan tuak ke... ke mulutku...," pinta Suto dengan suara berat dan napas tercengap-cengap.

Sang Tiara menuangkan tuak ke mulut, tuak pun terminum oleh Pendekar Mabuk. Dengan begitu, maka seluruh luka yang diderita Pendekar Mabuk terobati oleh kesaktian tuak tersebut.

"Terima kasih. Kalau kau tidak menolongku, aku hampir mati ditelan raja jin itu!" ujar Suto Sinting setelah merasa kekuatannya pulih kembali.

"Kita harus segera menghadap Eyang Putri Batari."

"Mengapa tampaknya kau terburu-buru?"

"Tidakkah kau mendengar suara gemuruh itu?"

"Ya. Kudengar suara gemuruh dari gema reruntuhan tebing, bukan?"

"Bukan. Itu suara gemuruh para siluman dan para jin yang mendengar suara kematian Raja Barong. Kita harus beri kepastian kepada mereka, bahwa Raja Barong telah mati di tanganmu, biar mereka tunduk kepadamu!"

"Baiklah. Aku menurut saja dengan saranmu, karena aku di sini cuma sebagai tamu."

Sang Tiara tersenyum. Mereka segera bergegas ke Gerbang Siluman yang terdengar riuh serta gaduh itu.

"Benarkah mereka akan tunduk padaku jika mereka tahu akulah yang membunuh Raja Barong?! Oh, persetan dengan mereka. Mau tunduk atau tidak, yang jelas aku harus dapatkan keterangan dari Eyang Putri Batari tentang 'Tuak Dewata' itu. Mudah-mudahan Eyang Putri Batari jangan memberi jawaban 'tidak tahu' terhadap Tuak Dewata' yang kucari itu!" pikir Suto Sinting sebelum menengadahkan kedua tangannya.

Telapak tangan itu segera ditumpangi telapak tangan Sang Tiara. Mereka memejam mata dan laaabb...! Mereka lenyap seketika dan akan muncul di Gerbang Siluman.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.