Tapak Siluman

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Tapak Siluman karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Tapak Siluman
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

DENGAN gerakan yang lincah, gadis kecil itu melambung di udara dan bersalto dua kali. Wut, wuut...! Gerakan itu membuat seorang lelaki tua berusia sekitar delapan puluh tahun menjadi kebingungan sesaat. Tahu-tahu kepala si tua yang tergolong gundul itu merasa tersentuh sesuatu.

Plak...! Weess...! Ternyata kaki bocah cilik itu telah menggunakan kepala si tua sebagai alas jejakan untuk melambung lebih tinggi lagi. Tahu-tahu gadis kecil itu sudah hinggap di sebuah dahan pohon. Sementara si tua gundul hanya mengusap-usap kepalanya sambil memandang bengong, seakan memamerkan giginya yang sudah ompong.

Seorang pemuda yang bersembunyi di balik gundukan tanah berilalang rimbun itu tertawa dengan mulut ditutup tangan. Pemuda itu bercelana putih kusam dan bajunya yang tanpa lengan itu berwarna coklat. Dilihat dari ketampanan dan bumbung tuak yang menyilang dipunggungnya, tak salah lagi jika pemuda itu dipanggil dengan julukan kondangnya: Pendekar Mabuk. Pemuda itu adalah Suto Sinting, si murid tunggal Gila Tuak, termasuk juga murid dari tokoh perempuan sakti yang dikenal dengan nama Bidadari Jalang.

"Bocah bodong!" umpat Pak Tua yang memakai jubah hijau kusam. "Kepala orang tua dianggap batu terapung! Uuuh...! Kau belum tahu siapa aku, Bocah Bodong!"

"Hik, hik, hik...," gadis kecil itu tertawa sambil nangkring di atas dahan. "Habis, kau jahat padaku. Kalau kau tidak jahat padaku, aku tidak akan berlaku tak sopan seperti tadi!"

"Siapa yang jahat padamu?!" bentak Pak Tua itu. "Aku hanya ingin membunuhmu, itu kan tidak jahat! Kecuali kalau aku mau menyiksamu, itu berarti aku jahat."

"Enak saja. Mau membunuh kok dikatakan tidak jahat? Lebih baik kau bunuh diri saja, Kek. Mumpung usiamu sudah medok, sudah waktunya bobo' santai di dalam kuburan."

"Turun kau, Bocah Bodong!"

"Naik kau, Kakek Ompong!"

"Keparat! Turun kau, Bodong!"

"Naik kau,Ompong!"

Pendekar Mabuk cekikikan menahan tawa di balik kerimbunan ilalang. Geli sekali mendengar pertengkaran mulut antara gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun dengan seorang kakek setua itu. Bagi Suto Sinting, gadis kecil berambut cepak berwarna pirang seperti rambut jagung itu bukanlah sosok bocah yang mengherankan lagi. Suto kenal betul dengan gadis kecil bergiwang merah sebesar kacang hijau, mengenakan rompi bulu warna hitam-putih seperti kulit kuda zebra, celana pendeknya berwarna coklat rusa dan mengenakan kalung tali hitam berbatu merah delima lebih besar dari giwangnya itu.

Gadis kecil itu tak lain adalah Dewi Menik, yang akrab dipanggil Menik, ia adalah keturunan terakhir dari tiga bersaudara; Dewi Hening dan Dewi Kejora, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Utusan Raja Iblis).

Tetapi siapa kakek berjubah hijau dan berambut tipis di bagian pinggirnya hingga berkesan gundul itu? Suto Sinting merasa belum pernah bertemu dengan tokoh tua yang menggenggam tongkat dari kayu hitam itu. Agaknya tokoh tua berbadan kurus dengan alis dan jenggot sudah memutih itu bukan tokoh sembarangan, walaupun penampilannya mirip bocah ingusan. Terbukti ketika ia ditantang oleh Menik untuk naik ke atas pohon, ia hanya menggerakkan tangan kirinya ke bawah bagai membuang sesuatu dengan gemulai, lalu tubuhnya melesat ke atas bagai angin berhembus. Weess...!

Tahu-tahu kakek berjubah hijau sudah ada di pohon itu, lain dahan dengan Menik. Hanya saja, gadis kecil yang tengil dan selalu tampil sok tua itu sudah lebih dulu melesat ke bawah dengan bersalto lincah dua kali. Wuk, wuk, jleeg...!

"Dasar bocah raja bodong! Katanya aku disuruh naik, eeh... dia malah turun!" omel sang kakek. "Ayo, naik lagi kau, Bodong!"

"Ayo, turun lagi kau, Ompong!" balas Menik bagai tak punya rasa takut sedikit pun. Kedua tangannya bertolak pinggang, kedua kakinya berdiri tegak sedikit merenggang seakan siap menantang pertarungan.

"Kucabut nyawamu sekarang juga, Bocah Bodong!"

"Kucabut gigimu kalau berani turun, Kakek Ompong!"

"Kurang ajar!" geram sang kakek.

"Kurang tua!" balas Menik menirukan gerakan si kakek.

"Kau sangka aku takut dengan tantangan cilikmu itu, hah?!"

Menik membalas, "Kau sangka aku juga takut mendengar gertakanmu itu, hah?! Panggil bapak moyangmu, suruh hadapi aku sekarang juga, sedikit pun aku tak akan mundur dan...." Menik diam. Tiba-tiba sekali ia diam, karena tiba-tiba pula kakek berjubah hijau itu lenyap dari pandangan matanya. Gadis kecil merasa heran dan bingung sendiri, ia sempat menajamkan penglihatannya ke arah atas pohon, tapi sang kakek tidak kelihatan sama sekali. Gusinya saja tidak tertinggal di pohon itu.

"Ke mana perginya?" gumam Menik yang kebingungan.

"Ke belakangmu, Bodong!" jawab suara tua yang mengejutkan Menik.

"O, oh...?!" Menik diam tak bergerak, karena ia tahu sang kakek ada di belakangnya dalam jarak cukup dekat. Kepala Menik tak berani berpaling, tapi bola matanya yang bundar itu bergerak melirik ke samping, seakan ingin menengok ke belakang.

"Benarkah kau tak akan mundur jika melawanku, Gadis Bodong?!" gertak sang kakek.

"Iiy... iya... soalnya, kau ada di belakangku, bagaimana aku bisa mundur, Kakek Ompong!"

"Keparat! Hiih...!" Sang kakek menyentakkan tangan kirinya ke depan bagai membuang selembar daun. Wees...! Ternyata gerakan itu mengeluarkan tenaga dalam cukup besar yang menghantam punggung Menik dengan telak. Buuhk...!

"Uuhk...!" Menik tersentak dan tubuhnya terhempas ke depan, melayang cepat bagai dilemparkan oleh tenaga yang amat besar. Brruss...! "Aaauww..!" Menik mengaduh di semak-semak. Untung ia jatuh di semak-semak, seandainya tubuhnya yang kecil itu menghantam pohon besar di samping semak-semak itu, mungkin kepalanya akan remuk dan tulang-tulangnya akan berantakan.

Weees...! Kakek berjubah hijau lenyap, tapi sebenarnya bergerak sangat cepat, melebihi gerakan angin, sehingga dalam waktu kurang dari sekejap sudah berada di semak-semak. Ia mencekal rompi bulu yang dipakai Menik, kemudian melemparkan gadis kecil itu bagai melempar mangga busuk saja. Wees...!

"Aaa...!" Menik menjerit panjang, tubuhnya melayang tinggi dan tanpa keseimbangan tubuh. Kepala Menik pun menukik ke bawah saat tubuhnya melayang turun. Sedangkan di tanah yang akan menjadi sasaran jatuhnya Menik itu terdapat gugusan batu sebesar kepala kerbau. Menik tak bisa mengendalikan gerakan tubuhnya, maka dapat dibayangkan kepala Menik akan pecah begitu menyentuh batu besar itu.

Zlaaap...! Sekelebat bayangan melintas di depan kakek berjubah hijau. Bayangan itu menyambar tubuh Menik, dan gadis kecil itu semakin berteriak keras karena merasa kaget dapat melesat ke arah lain.

"Woooaaw...! Tolooong...!"

Deeb! Tiba-tiba Menik merasa gerakan terbangnya terhenti seketika. Rupanya orang yang telah menyambarnya tadi berhenti secara mendadak dan kakinya menapak di tanah dengan tegak. Menik belum berani membuka mata, namun ia sudah mulai sadar bahwa saat itu ia berada dalam gendongan seseorang.

"Oh, di mana aku ini? Jatuh di tumpukan sampah apa aku ini?" sambil Menik meraba-raba wajah Suto Sinting.

"Bukalah matamu, Menik. Aku bukan tumpukan sampah!"

Menik pun membuka mata. "Oh.. kau?! Kenapa kau berani menjamahku, hah?"

"Tengil!" sentak Suto Sinting dengan dongkol, lalu tubuh Menik dibuang begitu saja. Brruk...!

"Aduh...! Kejam nian kau, Suto!" ujar Menik sambil menyeringai kesakitan, ia memegangi lututnya yang membentur kayu saat dibuang dari gendongan Suio Sinting. Bocah yang suka berlagak tua itu akhirnya bangkit sendiri dan menggerak-gerakkan kakinya agar uratnya tak menjadi kaku.

Sementara itu, pandangan mata Suto Sinting menatap ke arah pertarungan Menik dengan kakek tua tadi. Sang kakek tak kelihatan ujung hidungnya, mungkin ia tak mengejar Menik, atau menganggap Menik lenyap begitu saja karena gerakan Suto saat menyambar Menik seperti gerakan anak panah lepas dari busurnya. Ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang terkenal tak ada tandingannya dalam hal kecepatan geraknya itu. Menik bersungut-sungut dan menendang tulang kering kaki Suto. Duuhk...!

"Aduh...!" pekik Suto kaget.

"Rasakan akibatnya!" kata Menik dengan cemberut. "Kau kira aku ulat bulu, dibuang seenaknya saja! Dasar buaya kaleng!"

Suto jadi tertawa mendengar makian Menik yang mengatakan dirinya buaya kaleng. "Apa maksudmu mengatakan aku buaya kaleng?"

"Manis di luar di dalamnya busuk!" jawab Menik. "Kelihatannya mau menolong, tak tahunya mau mencelakakan diriku!" Menik melirik sinis dengan bibirnya meruncing seperti ikan cucut.

Pendekar Mabuk semakin geli melihatnya. Kemudian bumbung tuak yang ada di punggung diraih. Suto Sinting menenggak tuaknya beberapa teguk. Menik memandangi dengan sinis, masih cemberut, sambil membersihkan badannya dari debu tanah.

"Lututku sakit gara-gara kau buang!"

"Hmmm... lantas kau mau apa?" tanya Suto dengan sabar.

"Beri aku minum tuakmu, biar sakitku hilang."

Suto Sinting tertawa tanpa suara sambil geleng-geleng kepala. Kemudian ia membantu menuangkan tuak ke mulut Menik. "Jangan banyak-banyak, nanti kau mabuk!" kata Suto Sinting.

"Mabuk itu biasa...," ucap Menik sok tua sekali membuat kelucuan yang konyol, namun digemari oleh Suto Sinting.

"Siapa kakek tua itu tadi, Menik?"

"Entah," Menik melengos dengan angkuh. "Aku tidak kenal dengannya. Aku juga tidak naksir lelaki macam dia!"

Kalau tak terbiasa menghadapi Menik, siapa pun akan dibuat kaku hati, jengkel, akhirnya main tabok. Untung Suto Sinting sudah terbiasa menanggapi ketengikan Menik, sehingga walau hati memendam dongkol namun bibir menyunggingkan senyum geli.

"Kudengar kakek tadi mau membunuhmu. Apa benar dia bersungguh-sungguh ingin membunuhmu, Menik?"

"Entah, ya!" jawab Menik dengan tengil. Ia sengaja memunggungi Suto dan bermain pucuk-pucuk bunga yang tumbuh di semak belukar.

"Kalau begitu, tak ada salahnya jika aku terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini," pancing Suto Sinting sambil berpura-pura ingin melangkah pergi.

Menik buru- buru palingkan wajah dan menyapa ketus. "Suto...!"

Langkah Suto Sinting terhenti, tapi ia sengaja tak mau berpaling memandang Menik. Gadis kecil itu berjalan cepat menuju depan Suto. Ia berhenti berhadapan dengan Pendekar Mabuk, memandang dengan lagak angkuhnya.

"Begitukah seorang pendekar bersikap terhadap gadis kecil? Apakah gurumu mengajarkan agar segera pergi jika melihat gadis kecil dalam bahaya? Hmmm... pendekar cap apa kau ini, Suto?" Menik mencibir.

Suto sengaja buang muka walau dalam hati ia ingin tertawa terbahak-bahak.

"Kalau tahu kau pengecut begitu, tak akan kukenalkan kau kepada kakak sulungku waktu itu," celoteh Menik.

"Kau tidak bersungguh-sungguh menjawab pertanyaanku, Menik. Aku tak punya waktu banyak untuk kau buat mainan seperti tadi."

"O, jadi kau tersinggung? Hmmm...! Terlalu perasa kau ini, Suto. Seandainya aku."

Weess! Suto Sinting berkelebat menyambar Menik. Kata-kata gadis kecil itu terhenti seketika. Dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat agak jauh dari tempat semula.

"Mengapa kau menyambarku seenaknya saja begitu? Kau pikir aku ini jemuran nganggur? Main sambar saja!" omel Menik dengan mulut runcingnya.

"Lihatlah ke sana...," kata Suto Sinting sambil menuding tempat mereka berada tadi.

Menik kerutkan dahi, mempertajam penglihatannya. Ternyata di sana telah berdiri kakek berjubah hijau yang tadi ingin membunuhnya. Menik terperangah kaget. "Sejak kapan dia ada di sana, Suto?"

"Sejak aku menganggapmu jemuran," jawab Suto Sinting seenaknya. "Kalau tidak kusambar, nyawamu pasti sudah melayang. Karena dia tadi menerjangmu dengan sangat cepat dan kulihat tongkatnya dihantamkan ke kepalamu."

Menik memegangi kepalanya. "Ah, apa iya? Buktinya kepalaku masih utuh?!"

Suto Sinting tidak melayani kata-kata Menik, karena ia segera bersiap menghadapi kedatangan kakek berjubah hijau yang menggenggam tongkat kayu hitam. Kali ini sang kakek bergerak tak secepat tadi. Satu lompatan saja sudah bisa menerbangkan tubuhnya untuk mendekati Pendekar Mabuk dan Menik.

Mata kecil sang kakek menatap tajam kepada Suto Sinting. Badannya masih tampak tegak, walau sikap berdirinya berkesan kalem. Senyum sang kakek mekar ketika pandangan matanya berubah tak setajam tadi.

"Rupanya kau kakak si bocah bodong itu, Anak Muda?!" ujar sang kakek sambil menuding Menik dengan tongkatnya.

"Anggap saja begitu," kata Suto.

"Dan rupanya kau ingin ikut campur urusanku ini, Nak?"

"Aku tak rela Menik mati di tanganmu. Dia masih kecil dan tak mampu melawanmu, Eyang," kata Suto dengan sikap tetap sopan.

Menik cemberut. "Siapa bilang aku tak mampu melawannya? Hmmm...! Baru satu orang seperti dia, seratus orang seperti dia pun aku tak akan lari selangkah pun."

"Kenapa kau tak lari?"

"Aku pasti langsung pingsan!" jawab Menik sambil bersungut-sungut.

Sang kakek tertawa terkekeh-kekeh, demikian pula Suto Sinting. Tapi ketika sang kakek hentikan tawanya dalam seketika, Suto Sinting pun menyurutkan tawa dan memandanginya kembali.

"Eyang, kalau boleh kutahu siapa namamu?"

"Heh, heh, heh, heh... rupanya kau orang baru di rimba persilatan, sehingga kau belum mengenali ciri-ciriku," ujarnya dengan sedikit sombong. "Ketahuilah, Nak... jika kelak kau mendengar nama Dewa Semprong dari mulut para tokoh rimba persilatan, itulah nama julukanku yang kesohor di seantero jagat"

"Pantas wajahnya seperti semprong!" gerutu Menik.

Sang kakek berkata, "Untung aku tak mendengar gerutuanmu, Bocah Bodong. Seandainya aku mendengar gerutuanmu tadi, kutambal mulutmu dengan tanah kuburan!"

"Sabarlah, Eyang...," Suto menenangkan si Dewa Semprong.

"Anak muda, melihat gerakanmu yang cukup lumayan dalam melarikan bocah bodong itu, agaknya kau mempunyai ilmu yang pas-pasan, Nak. Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Anak Muda?"

Menik yang menyahut, "Hemm, mengaku orang lama di persilatan tapi tidak kenali ciri-ciri Pendekar Mabuk!"

Dewa Semprong terperangah memandangi Suto. "Oo... jadi kaulah orangnya yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk itu? Kau murid si Gila Tuak?!"

"Apakah kau mengenal guruku, Eyang Dewa Semprong?!"

"Celaka!" Dewa Semprong menggumam dan menjadi nanar karena memendam kegelisahan.

Menik menggerutu sambil bersungut-sungut di samping Suto Sinting. "Ditanya kenal sama si Gila Tuak kok malah celaka? Dasar dewa pikun, susah diajak bicara!"

Gerutuan Menik tak dihiraukan oleh Dewa Semprong maupun Suto. Karena pada saat itu, Suto Sinting segera ajukan tanya kepada Dewa Semprong dengan nada tegas dan bersungguh-sungguh.

"Eyang, mengapa Eyang setua ini ingin membunuh bocah sekecil Menik?!"

"Aku butuh otaknya."

Suto Sinting berkerut dahi, demikian pula Menik. Pandangan matanya menjadi tajam dan raut wajahnya tampak heran bercampur tegang. "Apa maksud, Eyang?" tanya Suto Sinting.

"Tolong beri tahukan kepada gurumu; si Gila Tuak, agar ia juga memakan otak bocah berusia sepuluh tahun ke bawah tapi bukan bayi."

"Mengapa begitu, Eyang?!" Suto Sinting lebih mendekat.

"Karena darah manusia yang sudah bercampur dengan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun akan dapat menolak kekuatan ilmu 'Bajang Rampak'. Darah yang tidak bercampur dengan otak bocah akan mampu diserang ilmu 'Bajang Rampak', dan ilmu itu tak ada tandingannya kecuali dengan cara yang kesebutkan."

"Aneh sekali ilmu itu. Siapa pemilik ilmu 'Bajang Rampak' itu, Eyang?"

"Pemiliknya adalah si Tapak Siluman!"

"Tapak Siluman?!" gumam Suto Sinting. "Apakah Tapak Siluman itu sama dengan Siluman Tujuh Nyawa?"

"O, bukan! Siluman Tujuh Nyawa pun akan menjadi santapannya Tapak Siluman jika mereka saling berpapasan."

Suto Sinting diam membisu. Bayangan wajah dingin Siluman Tujuh Nyawa muncul kembali dalam benaknya. Tokoh paling sesat itu adalah musuh utama Suto Sinting, yang harus dipenggal kepalanya sebagai maskawin dalam melamar Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi itu. Jika Siluman Tujuh Nyawa saja dikatakan akan menjadi santapan si Tapak Siluman, berarti ilmu yang dimiliki si Tapak Siluman lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa itu.

"Pendekar Mabuk," kata Dewa Semprong. "Demi menyelamatkan jiwaku dari keganasan ilmu 'Bajang Rampak', aku terpaksa harus membunuh bocahmu itu. Kuharap kau menyingkir dan jangan menentangku."

Suto Sinting geleng-geleng kepala. "Tak kuizinkan siapa pun merampas otak bocah ini!" sambil Suto berdiri menghalangi Menik.

"Kusarankan sekali lagi, jangan halangi niatku. Kau akan binasa jika melawanku, Pendekar Mabuk. Bahkan bila perlu cepatlah mencari bocah yang usianya di bawah sepuluh tahun dan makanlah otaknya, supaya kau pun kebal dari serangan ilmu 'Bajang Rampak'. Sebab sekarang ini, si Tapak Siluman sedang merajalela dan ingin menumbangkan semua tokoh di rimba persilatan. Dia ingin menjadi orang tertinggi di dunia persilatan."

"Apa pun alasanmu, aku tetap akan menjadi perisai bagi gadis kecil ini."

"Oh, kalau begitu jangan salahkan aku jika kau sampai celaka di tanganku, Pendekar Mabuk."

Weeess...! Tiba-tiba tangan kiri Dewa Semprong menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka. Tangan itu berubah merah bening seperti beling. Dan sinar yang keluar dari telapak tangannya berwarna merah bening juga, seperti semprong lampu teplok. Slluuub...! Sinar itu begitu cepatnya menerjang Suto Sinting, sehingga tak dapat dihindari dan ditangkis dengan bumbung tuaknya. Padahal kala itu Menik sedang ingin mengatakan sesuatu kepada Suto. Ia mendekati Suto tepat sinar merah itu berkelebat dengan kecepatan melebihi petir.

Prraaaang...! Sinar itu menghantam Suto Sinting dan Menik. Cahaya merahnya pecah, menyebar ke mana-mana, menimbulkan suara seperti beling pecah. Suto Sinting sempat menyambar tubuh Menik. Tapi sentakan sinar itu amat kuat sehingga mereka berdua terpental ke belakang bagaikan terbang.

Weeerrss...!

"Aaauh...! Sutoooo...!"

Brrruss...! Mereka jatuh di semak-semak sekitar lima belas tombak jauhnya dari tempat Dewa Semprong berdiri.

"Menik...?! Menik, di mana kau...?!" Suto Sinting meraba-raba sekelilingnya. Ia menjadi tegang, karena pandangan matanya menjadi gelap pekat, tak bisa melihat setitik sinarpun. "Meniiik.,.!" seru Suto Sinting dengan panik.

"Sutoo... aku tak bisa melihat apa-apa!" suara Menik ada di samping kanan Suto Sinting.

"Celaka! Sinar itu membuat aku dan Menik menjadi buta. Oh, aku harus menyelamatkan Menik sebelum Dewa Semprong memakan otaknya!" kata Suto dalam hati. Zlaaap..! Dengan nalurinya Suto bergerak menyambar Menik. Wuuus...! Teeb...! Dalam sekejap Menik sudah berhasil dipeluk Suto Sinting. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Suto melarikan diri demi menyelamatkan Menik.

Zlaab, zlaab, zlaab...!

Gerakan cepatnya yang melebihi angin itu membuat Dewa Semprong kehilangan jejak. Namun kakek tua itu masih tetap mengejarnya dengan menggunakan indera keenamnya sebagai penunjuk jalan mengikuti Pendekar Mabuk dan Menik.

* * *

DUA

PENDEKAR Mabuk tak tahu arah yang dituju. Yang ia tahu hanyalah menjauhkan diri dari Dewa Semprong agar Menik tak menjadi korban. Setelah dirasakan pelariannya cukup jauh dari Dewa Semprong, Suto pun menghentikan langkahnya. Menik diturunkan dari gendongannya.

"Kita sampai di mana ini, Suto?"

"Mana kutahu? Aku juga buta!" jawab Suto Sinting lalu meraih bumbung bambu berisi tuak saktinyaitu.

"Minumlah tuakmu biar kau tak ikut-ikutan buta," kata Menik seenaknya saja sambil kucal-kucal mata.

"Tanpa kau suruh aku sudah membuka tutup bumbung tuakku."

"Minumlah, tapi jangan dihabiskan. Sisakan untukku, biar aku juga bisa melek kembali, Suto."

"Cerewet!" sentak Suto agak jengkel karena merasa digurui anak kecil.

Tuak sakti yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit dan mampu melenyapkan luka apa pun dalam waktu singkat itu segera ditenggak oleh Pendekar Mabuk. Glek, glek, glek...! Beberapa saat kemudian Suto menunggu pulihnya pandangan mata. Tetapi ternyata pandangan mata tetap gelap. Hanya ada warna hitam yang terpampang didepannya. Tuak pun diteguk kembali.

Glek, glek, glek...!

"Hei, sudah kubilang jangan banyak-banyak, kok malah minum terus?!" sentak Menik berlagak tua sambil menepak pantat Suto. Akibat tepakan itu, tubuh Suto terguncang dan tuak menyiram wajahnya. Byuur..!

"Sial kau ini, Menik!" bentak Suto sambil tangannya ingin meraba Menik.

"Kenapa ngomel?"

"Kau mendorong tubuhku, akibatnya tuak mengguyur wajahku."

"Mungkin tuakmu tahu kalau mulutmu selebar wajah," kata Menik seenaknya saja. "Sini, ganti aku yang minum." Menik pun meraba-raba ingin mendapatkan bumbung tuak.

Suto Sinting akhirnya membantu menuangkan tuak ke mulut Menik. Tapi karena tak bisa melihat apa-apa, akibatnya tuangan itu terlalu banyak dan tuak meluber ke wajah Menik.

"Haalp, haalp, haalp...! Sudah, sudah... halp!" Menik seperti orang tenggelam. Gelagapan sendiri, ia segera terengah-engah begitu tuak sudah tak mengguyur wajahnya lagi. "Eh, mulutku kecil, Suto. Jangan kau anggap mulut gentong. Menuang tuak seenaknya saja!" gadis kecil itu mengomel dalam gerutu.

Suto sempat tertawa pelan sebentar, kemudian diam dan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kok masih buta?" pikir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar. "Wah, celaka! Kebutaan ini rupanya tak bisa disembuhkan dengan tuak saktiku?!"

"Suto...," seru Menik sambil meraba-raba ingin meraih tangan Pendekar Mabuk. "Suto, apakah kita berada disebuah gua?"

"Kenapa kau bertanya begitu?"

"Aku tak menemukan pintu gua ada di mana."

"Kita bukan berada di dalam gua."

"Mengapa gelap?"

"Karena kita masih buta!" sentak Pendekar Mabuk agak jengkel.

"Lho, biasanya orang sakit apa pun kalau minum tuakmu langsung bisa sembuh."

"Itu biasanya. Kali ini agak luar biasa, jadi tidak bisa langsung sembuh. Kita harus menunggu beberapa waktu agar tuakku bekerja memerangi racun kebutaan yang menyerang kita ini, Menik."

Mereka menunggu saat-saat kebutaan hilang. Tetapi sampai beberapa saat mereka menunggu, ternyata mata mereka masih tetap buta, tak bisa melihat apa-apa. Suto Sinting menjadi cemas, ia mengerahkan hawa murni untuk menghancurkan lapisan hitam yang sepertinya melekat di kedua bola matanya itu. Tetapi usaha tersebut juga gagal.

"Celaka, kita tak bisa melihat apa-apa lagi, Menik," kata Suto Sinting yang bersandar pada sebuah pohon.

Menik duduk di sampingnya tak jauh dari jangkauan Suto. Ia memang diperintahkan agar jangan jauh-jauh dari Suto, karena jika terjadi sesuatu bisa cepat diselamatkan oleh jangkauan tangan Suto.

"Mimpi apa aku semalam?" gumam Menik bernada sedih. Ia tidak menangis, ia menampakkan ketenangan dan ketabahannya.

"Kenapa kau sampai bertemu dengan Dewa Semprong, Menik?"

"Aku tidak bermaksud menemuinya. Aku bermaksud mencari kakakku: Kejora. Dia pergi dan sudah beberapa hari tak pulang ke rumah. Kakakku, Dewi Hening, mencemaskan dirinya. Lalu kami berpencar mencari Kejora. Sebab saat itu Kejora sedang patah hati karena ditinggal pergi kekasihnya."

"Siapa kekasih Kejora?"

"Wicaksara, pemuda tampan sepertimu yang masih keturunan darah biru."

"Hmmm...," Suto manggut-manggut, tapi Menik tak melihat gerakan kepala Suto, sehingga ia menyangka Suto hanya menggumam.

"Dalam mencari Kejora, tiba-tiba aku dihadang oleh kakek tua ompong itu. Dengan ramah ia meminta agar aku bersedia menyerahkan otakku untuk dimakannya. Tentu saja aku tak mau. Aku segera melindungi lututku dan..."

"Mengapa yang kau lindungi lututmu?"

"Sebab Kejora sering mengatakan otakku ada di dengkul. Dengkul itu lutut, jadi ketika kudengar Dewa Semprong mau memakan otakku, maka aku segera melindungi lututku. Akhirnya aku melarikan diri dan dia mengejarnya sampai yah, bertemu denganmu dan buta bersamamu begini."

Weess...! Angin berhembus cepat, dan berhenti di depan Pendekar Mabuk. Firasat Suto mengatakan ada yang datang menemui mereka. Ia segera bersiap menarik lengan Menik dan menyembunyikan Menik di belakangnya.

"Ada yang datang menghampiri kita, Menik. Siapa dia?"

"Mana kutahu, kau kan yang ada di depan? Apa kau tak kenal dia?"

"Oh, ya aku lupa. Kita sama-sama buta!"

Dengan mempertajam pendengaran dan firasatnya, Suto Sinting mulai mempelajari tokoh yang datang dan kini sedang berdiri di depannya itu. Kepalanya sebentar-sebentar miring ke kanan atau ke kiri untuk mendengarkan suara langkah kaki. Ilmu 'Lacak Jantung' pun segera digunakan untuk mendengar detak jantung seseorang.

"Hmmm kalau mendengar detakan jantungnya yang agak lembut, seperti orang yang datang di depanku ini adalah seorang perempuan," kata Suto Sinting dalam hatinya. "Bau wangi yang kuhirup ini juga menunjukkan wewangian seorang perempuan. Tak salah lagi, pasti orang yang berdiri di depanku adalah seorang perempuan."

Pendekar Mabuk segera menyapa dengan ramah namun bernada tegas. "Siapa kau sebenarnya. Nona? Sebutkanlah namamu jika kau bermaksud baik padaku."

"Hik,hik.hik! Baru sekarang ada pemuda ganteng memanggilku Nona," kata orang yang ada didepan Suto.

Pendekar Mabuk terperanjat. Suara yang didengarnya adalah suara perempuan tua yang usianya sekitar delapan puluh tahun. Suto menjadi malu ketika mendengar Menik terkikik geli di belakangnya.

"Apakah tak boleh aku memanggilmu Nona?" kata Suto menutupi rasa malunya akibat salah terka.

"Yah, terserah apa maumu, Pemuda Tampan. Tapi ketahuilah dalam kebutaanmu itu, bahwa aku adalah Nyai Serampang Wilis. Umurku sudah mencapai delapan puluh tahun, sudah peot, keriput, tapi yah, mungkin memang masih kelihatan cantik, seperti seorang nona. Hik, hik, hik"

Suto tak melihat bahwa perempuan yang berdiri didepannya itu memang sudah tua, seperti yang dituturkan orang itu. Ia bernama Nyai Serampang Wilis. Mengenakan jubah hitam dan berambut abu-abu disanggul asal-asalan, ia selalu memainkan kipasnya dalam bicara.

"Apa maksudmu menemui kami di sini, Nyai Serampang Wilis?!"

"Kebetulan saja aku melihat kalian di sini. Aku mempunyai kecurigaan yang kubutuhkan."

"Apa maksudmu, Nyai?"

"Kau pasti telah bertemu dengan seorang lelaki tua berjubah hijau yang bernama Dewa Semprong itu."

"Iya, memang benar. Dari mana kau tahu kalau kami bertemu dengan Dewa Semprong?"

"Kulihat kebutaan di mata kalian bukan dari sejak lahir. Kalian pasti terkena jurus 'Gelap Sayuta'-nya si Dewa Semprong. Jurus itu bisa membuat lawan buta seumur hidup dan tak ada obat penyembuhnya!"

Pendekar Mabuk diam menahan kecemasan dalam hatinya. Namun di batin sang Pendekar Mabuk sempat bertanya-tanya, "Benarkah aku akan buta selamanya? Benarkah tak ada obat yang dapat menyembuhkan kebutaanku ini?!"

Suara Nyai Serampang Wilis terdengar lagi. "Dewa Semprong memang patut dipenggal kepalanya. Sebagai tokoh sakti ia sangat gegabah dalam bertindak. Itulah sebabnya ia selalu dijauhi oleh para tokoh seangkatannya."

"Apa yang harus kami lakukan jika sudah buta begini, Nyai Serampang Wilis?"

"Hmmm... ya sudah, nikmati saja kebutaan kalian. Karena ke mana pun kalian mencari obat penyembuh kebutaan itu, kalian akan gagal. Kebutaan itu tak akan mampu dipulihkan oleh kesaktian apa pun."

"Jangan percaya sepenuhnya, Suto," bisik Menik.

"Di mana sekarang si Dewa Semprong itu. Aku sedang memburunya untuk menyelesaikan perkara dengannya."

"Nyai, kami memang tadi bertemu dengan Dewa Semprong. Tapi setelah kami dibuat buta, kami melarikan diri ke sembarang arah. Jadi kami tak tahu di mana si Dewa Semprong berada sekarang ini. Mungkin di arah belakangku, mungkin di sebelah kiriku, atau mungkin di arah sebelah kananku. Aku tadi sempat berlari keberbagai penjuru untuk menghilangkan jejak."

Nyai Serampang Wilis ingin bicara lagi. Tetapi tiba-tiba Suto Sinting berkelebat menerjangnya dengan kecepatan tinggi. Zlaaap...! Brrrus...! Tubuh Nyai Serampang Wilis terlempar ke samping. Nenek tua itu terkejut dan nyaris murka. Namun tiba-tiba kemarahannya segera menjadi reda setelah melihat Suto Sinting menangkap sesuatu dengan jari-jari tangan kirinya.

Tiga pisau kecil terselip di jari-jari Pendekar Mabuk. Tiga pisau berbulu merah pada bagian gagangnya itu nyaris merenggut nyawa Nyai Serampang Wilis, karena ketiga pisau terbang itu memang ditujukan ke arah leher Nyai Serampang Wilis. Ketajaman indera pendengaran dan indera perasa membuat Suto Sinting mengetahui ada hembusan angin aneh yang menuju ke tubuh Nyai Serampang Wilis. Nalurinya pun segera menggerakkan kaki untuk menyentak kecil ke tanah dan tubuh pun melesat cepat melebihi hembusan angin.

Karenanya, tiga pisau dari penyerang yang masih bersembunyi itu berhasil ditangkap oleh Suto Sinting, sehingga Nyai Serampang Wilis hanya menderita nyeri di pinggulnya akibat jatuh terbanting oleh terjangan Suto tadi.

"Monyet kurap!" geram Nyai Serampang Wilis sambil memperhatikan tiga pisau berjambul merah di jari-jemari Suto

"Seseorang ingin membunuhmu, Nyai."

"Memang," jawab Nyai Serampang Wilis bernada tegas karena memendam kemarahan. "Tapi aku kenal dengan pemilik pisau berjambul merah itu."

"Hmmm... siapa pemiliknya, Nyai?"

"Tapak Siluman!"

"Hahh...?!" Menik terdengar memekik. Lalu tubuhnya melesat dalam satu lompatan ke atas. Wuuut...! Duuuhk...! "Aaow...!" Menik memekik lagi lebih keras, karena kepalanya membentur dahan pohon dengan keras. Gadis kecil itu hampir saja jatuh terbanting dari ketinggian. Untung tangannya berhasil mendapatkan dahan kecil sebagai pegangan. Akhirnya gadis itu bergelayutan di atas pohon. Dalam keadaan mata tak dapat melihat, Menik berusaha untuk bersembunyi di atas pohon begitu mendengar pisau itu milik si Tapak Siluman.

"Menik, kau baik-baik saja?!" seru Suto Sinting.

"Ya, lumayan...," jawab Menik yang sudah berhasil mendapatkan dahan yang aman.

"Mengapa adikmu itu terkejut begitu nama Tapak Siluman kusebutkan? Apakah kalian sedang dicari-cari oleh Tapak Siluman?!"

"Kami mendengar tentang Tapak Siluman dari mulut si Dewa Semprong. Hmmm... sebaiknya carilah dulu orang yang akan membunuhmu dengan tiga pisau itu, Nyai."

"Percuma!" kata Nyai Serampang Wilis. "Tapak Siluman tak pernah diketahui jejaknya, ia dapat melakukan serangan sambil berlalu begitu saja. Sekarang pun kalau kau ingin mencarinya, tak akan dapat menemukan si Tapak Siluman. Aku yakin ia tidak berada di sini, tapi mungkin di seberang barat sana."

"Dari mana kau dapat menduga bahwa ia ke barat?"

"Kulihat daun-daun ilalang di sebelah barat bergoyang, arahnya ke timur. Padahal saat ini angin bergerak ke barat. Berarti daun-daun ilalang itu terhembus oleh gerakan si Tapak Siluman yang sedang melintasi daerah itu!"

"Apakah kau bermusuhan dengan si Tapak Siluman, Nyai?"

"Tidak. Tapi dia selalu ingin membunuh siapa pun yang dianggapnya berilmu tinggi. Tapak Siluman ingin menguasai dunia persilatan dengan membantai habis para tokoh sakti didalamnya."

"Gawat...!" gumam Pendekar Mabuk.

"Aku akan mengejarnya. Sementara urusanku dengan si Dewa Semprong akan kutangguhkan dulu."

"Nyai, apakah itu tidak berbahaya bagi keselamatan jiwamu?"

"Kalau aku bisa membunuh si Tapak Siluman, berarti ilmuku lebih tinggi dari si Gila Tuak."

Suto Sinting terkejut mendengar nama gurunya disebut-sebut oleh Nyai Serampang Wilis. Setidaknya nenek yang selalu menyebarkan aroma wangi itu mengenal si Gila Tuak. Tapi Suto belum jelas, di aliran mana Nyai Serampang Wilis berada. Apakah termasuk tokoh hitam atau tokoh putih.

Weeeers...! Nyai Serampang Wilis melesat tinggalkan tempat. Gerakan kepergiannya dirasakan oleh Suto seperti hembusan angin pagi yang menyebarkan udara dingin. Suto Sinting penasaran, ingin mengetahui apa yang terjadi jika Nyai Serampang Wilis bertemu dengan si Tapak Siluman. Maka ia pun segera berlari mengikuti udara dingin yang ditimbulkan oleh gerakan lari Nyai Serampang Wilis itu.

"Suto, mau ke mana kau?!" seru Menik dari atas pohon.

'Aku ingin mengikuti Nyai Serampang Wilis. Siapa tahu bisa bertemu dengan si Tapak Siluman!"

"Aku ikut!"

"Jangan...!"

Weeeess...! Menik nekat melompat turun dan dengan lincahnya melesat mengikuti suara langkah Suto Sinting. Duuhk, brrus...!

"Aaauh...!" Menik memekik kesakitan karena dalam kebutaan matanya ia sempat menabrak sebatang pohon. Suto tak tega, akhirnya berhenti dan mendekati Menik sambil kedua tangannya meraba-raba tempat sekitarnya.

"Menik...?! Menik...?! Menangislah lagi biar aku tahu di mana kau berada!"

"Uugf...! Uuffh...!"

Suto Sinting hentikan langkah begitu mendengar suara Menik bagai disekap oleh tangan kekar. "Celaka! Menik dalam bahaya. Pasti ada orang yang menyekap mulutnya hingga tak dapat berteriak!" pikir Suto Sinting, ia mulai tegang dan menggunakan ilmu'Lacak Jantung' untuk mengetahui kebenaran dugaannya. "Oh, ada suara degub jantung agak cepat. Hmmm... siapa pemiliknya?!"

Pendekar Mabuk bergerak pelan ke arah datangnya suara Menik tadi. Tapi dalam hatinya ia yakin pasti bukan si Dewa Semprong, sebab irama detak jantungnya berbeda. Kali ini irama detak jantung yang didengarnya lebih cepat dan lebih menyentak-nyentak. Suto hanya bisa memastikan, pemilik jantung itu adalah seorang lelaki. Tapi ia belum bisa menduga siapa orang tersebut.

* * *

TIGA

SUARA langkah kaki bergegas pergi membuat Pendekar Mabuk segera lakukan pengejaran. Dalam firasatnya mengatakan, bahwa Menik ingin dibawa lari oleh seseorang yang membungkam mulut bocah itu. Maka sambil melakukan pengejaran ke arah datangnya suara langkah menjauh itu, Pendekar Mabuk lepaskan jurus 'Jari Guntur' yang berupa sentilan bertenaga dalam. Tess...! Plook...!

Ada suara seperti kaki ditabok keras. Disusul suara pekik orang kesakitan yang tertahan. Setelah itu baru suara orang jatuh tersungkur. Brruus...!

"Aauh!" Menik memekik. Agaknya bocah itu terpental dari gendongan orang yang jatuh tersungkur akibat pahanya terkena pukulan 'Jari Guntur'. Pukulan itu membekas biru di paha, namun sayang tertutup celana merah sehingga tak kelihatan. Yang jelas orang bercelana merah dan berbaju hitam itu jatuh tersungkur dan meluncur menerabas semak belukar. Brrruuus...!

"Aaaow...!" ia memekik kesakitan, merasa mendapat pukulan sebesar tendangan seekor kuda jantan, ia menjadi berang dan cepat keluar dari semak belukar.

"Sutooo..., Sutooo...?!" Menik memanggil-manggil dengan kebingungan. Suto segera berkelebat ke arah suara Menik tadi. Zlaap...! Wuuut...! Menik pun berhasil disambar Pendekar Mabuk dan menjauhi tempat itu. Namun tiba-tiba Suto merasa ada yang menghadangnya.

Jleeg...! Suara orang menapakkan kakinya ke tanah setelah lakukan suatu lompatan. Ditilik dari suara hentakan tanah yang cukup berat, Suto dapat membayangkan orang yang ada di depannya bertubuh tinggi dan besar. Kenyataannya memang begitu, orang bercelana merah dan berbaju hitam itu mempunyai tubuh yang tinggi dan besar. Kumisnya lebat, matanya lebar, ia mengenakan ikat kepala dari kain batik warna biru.

Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Pada sabuk hitamnya yang lebar itu terselip sebilah golok besar bersarung dari kayu besi. Orang itu menggeram menampakkan kemarahannya. "Bangsat tengik! Rupanya kau ingin cari mampus ditangan si Kebo Gadung, hah?!"

"Maaf, Kang," kata Suto dengan kalem sambil menggendong Menik. Ia menyebut orang itu 'Kang', karena ditilik dari suaranya yang besar, usia orang itu pasti lebih tua dari usia Pendekar Mabuk. Mungkin berusia sekitar empat puluh tahun. Dugaan Suto memang benar, orang itu berusia sekitar empat puluh tahun dan berperangai galak. Seakan tak pernah pandang bulu jika membantai lawan.

"Sekali lagi, aku mohon maaf padamu, Kang. Bukan aku mencari mampus, sebab ilmu apa pun memang ingin kucari sebanyak mungkin, kecuali ilmu mampus, aku tak ingin mencarinya. Aku bertindak demi menyelamatkan adikku ini!"

"Serahkan bocah itu atau kau mati di tanganku, Tikus Got!" bentak Kebo Gadung.

"Mengapa kau menginginkan anak ini, Kang?"

"Waktuku hampir habis. Sebelum matahari tenggelam aku harus sudah mendapatkan seorang bocah yang harus kuserahkan kepada guruku. Karena jika aku gagal, maka nyawakulah yang akan menjadi gantinya!"

"Untuk apa gurumu membutuhkan bocah sekecil ini, Kang?!"

"Jangan banyak bacot! Serahkan bocah itu!"

"Maaf, aku tak berani menyerahkan padamu, sebab aku bukan bapaknya, juga bukan ibu bocah ini!"

"Bangsat! Kutumbuk mulutmu yang asal cuap itu! Heeeeaah...!"

Bed, zlaap...!

Lompatan cepat si Kebo Gadung menemukan tempat kosong. Suto Sinting telah melesat dan hinggap di atas pohon. Gerakan lompatnya memutar cepat seperti baling-baling, sehingga daun dan bunga pohon berguguran bagai terhempas oleh angin kencang.

"Menik, diamlah di sini. Biar kuhadapi dulu orang itu!"

"Baik. Lumpuhkan dia secepatnya, Suto. Aku tak mau berada dalam gendongannya lagi. Keringatnya bau sekali! Hampir saja gigiku rontok sendiri karena mencium bau ketiaknya itu."

Entah apa lagi yang dikatakan Menik, yang jelas Suto Sinting segera meninggalkannya sebelum Menik selesai bicara. Gerakan Suto melompat turun bagaikan kapas melayang dihempas angin. Tanpa suara dan getaran sedikit pun, sebagai tanda ilmu peringan tubuhnya cukup tinggi. Menik tak tahu Suto telah turun dari pohon, maka ia berceloteh sendirian tanpa ada yang mendengarnya.

"Heeeaat...!" Kebo Gadung menyongsong gerakan Suto Sinting yang melayang turun. Orang bertubuh kekar itu lakukan lompatan naik, sehingga sebelum Suto mendaratkan kakinya ke tanah sudah harus beradu pukulan dengan Kebo Gadung.

Bed, bed...! Prrok!

Kedua tinju itu beradu dengan keras. Masing-masing kepalan mempunyai kekuatan tenaga dalam. Tetapi agaknya tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Mabuk lebih besar ketimbang yang dimiliki Kebo Gadung. Akibatnya, tubuh Kebo Gadung terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling.

Guzraak...! Wuk, wuk, wuk!

"Monyet panggang!" maki Kebo Gadung dengan suara menggeram berat. Kepalanya membentur akar pohon berbentuk pipih seperti dinding sehingga merasa pusing tujuh keliling, ia mengerang dengan suara pelan.

Sementara itu Pendekar Mabuk berdiri dengan satu kaki. Bumbung tuaknya masih ada di punggungnya, ia bergerak limbung seperti orang mau jatuh. Tapi gerakan itu terhenti dan berpindah limbung ke arah lain dengan pergelangan tangan ditekuk. Wut, wut, wees...!

Kebo Gadung tercengang melihat jurus sempoyongan lawannya, ia cepat menyimpulkan jurus tersebut. "Jurus mabuk...?! Oh, apakah dia yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk?!"

Wuk, wuuk...!

Suto Sinting hentikan permainan jurusnya dalam keadaan kaki kanan tegak lurus, dan kaki kiri dilipat hingga telapak kaki kiri itu merapat dengan betis kanannya. Kedua tangan Suto mengembang ke samping dengan badan sedikit miring dan kepala tertunduk lemas seakan sedang mabuk.

"Siapa pun dirimu aku tak peduli! Tetap saja kuhancurkan kepalamu, Tikus Dapur! Hiiah...!" Kebo Gadung melompat melepaskan tendangan beruntun ke wajah Pendekar Mabuk. Namun tendangan itu berhasil ditangkis berkali-kali oleh Pendekar Mabuk walaupun dalam keadaan buta matanya.

Plak, plak, plak, plak,plak...! Wuuuut, buuuhk...!

Suto Sinting putar tubuh dengan cepat, tahu-tahu kakinya melayang menendang telak kepala Kebo Gadung. Tendangan itu cukup keras dan mempunyai kekuatan tenaga dalam besar, sehingga tubuh kekar berkumis lebat itu terpental ke samping kanan dan jatuh berguling-guling. Bleduk, brrus...!

"Oouh...!" Kebo Gadung mengerang kesakitan, ia segera memegangi hidungnya, ternyata dari lubang itu keluar darah kental yang membasah hingga melewati mulutnya.

"Kusarankan agar kau segera pulang dan jangan coba-coba ingin menculik gadis kecilku lagi, Kebo Gadung!" kata Suto Sinting dengan tegas dan bernada penuh wibawa.

"Keparat sangit!" geram Kebo Gadung sambil bangkit kembali. "Daripada aku dibunuh Guru karena gagal membawa pulang seorang bocah, lebih baik kita beradu nyawa di sini, Tikus Pasar!"

Sreek! Golok besar dicabut dari sarung kayunya. Golok itu berkilauan dan ditebas-tebaskan ke sana-sini. Kebo Gadung memamerkan jurus goloknya. Ia tak sadar bahwa lawannya buta, tak bisa melihat kehebatan jurus itu.

Suto Sinting hanya menelengkan kepala memperhatikan suara yang mendekatinya. Dengung golok menebas angin terdengar makin mendekat dari sisi kanannya. Pendekar Mabuk berdiri dengan badan limbung ke kiri bagai mau jatuh. Kepalanya terkulai lemas, sesekali tersentak mirip orang cegukan. Kebo Gadung memutar tubuh dengan cepat dan tahu-tahu golok menyabet pinggang Suto Sinting. Wuuss..!

Suto jatuh, tangannya menapak di tanah, lalu menyentak cepat, tahu-tahu tubuhnya melenting ke atas. Golok itu mengenai tempat kosong. Tetapi si pemilik golok segera lakukan satu lompatan ke atas pula, dan kakinya berkelebat menendang dari samping kanan ke kiri. Wuuut, buuhk...!

"Uuhg...!" Pendekar Mabuk terpental ketika tendangan keras itu mengenai lambungnya. Brrruk...! Ia jatuh terpuruk dengan wajah menyeringai. Bumbung tuaknya nyaris terlepas dari punggung. Untung talinya yang menyilang di dada cukup kuat, sehingga bumbung itu hanya mengganjal tubuh Suto yang jatuh meringkuk.

"Modar kau sekarang! Heeah...!" Kebo Gadung tak mau memberi kesempatan lawannya untuk bangkit, ia segera menerjang dengan golok ditebaskan ke depan. Wuuut...!

Traaang, traak...!

Golok itu tiba-tiba patah menjadi dua bagian. Sebutir batu melayang cepat dan menghantam pertengahan golok yang membuat golok itu patah. Kebo Gadung terbengong melihat goloknya patah karena dihantam batu kerikil sebesar melinjo. Jika bukan berisi tenaga dalam cukup tinggi, tak mungkin batu kecil itu dapat mematahkan golok baja tersebut.

Pada saat Kebo Gadung terbengong pandangi goloknya, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat dari balik semak. Bayangan itu berwarna abu-abu yang segera menerjang dada Kebo Gadung. Buuhk...!

"Heegh...!" Kebo Gadung nyaris tak bisa bernapas. Dadanya bagaikan mau jebol, pernapasannya tersumbat sesaat. Tubuh besar itu melayang ke belakang dan membentur sebatang pohon dengan keras. Duuurr...! Daun-daun berguguran karena benturan tubuh besar bertenaga dalam itu.

"Ada orang yang ikut campur dalam pertarungan ini," pikir Suto Sinting. "Hmmm... siapa orang yang memihakku itu?!"

Pendekar Mabuk bangkit berdiri dan ketika tangannya meraba-raba mencari pegangan atau keseimbangan tubuh. Ketika itu ia mendengar Kebo Gadung berseru kepada bayangan yang tadi menerjangnya itu.

"Babi kurap! Rupanya kau mau ikut campur urusanku, hah?!Hiaaah...!" Kebo Gadung melompat lakukan serangan bagai singa menerkam mangsanya. Tapi orang yang diserang segera menyambutnya dengan pukulan bertubi-tubi menggunakan kedua telapak tangannya.

Wut, wut, wut, wut...!

Plak, plak, duhg, duhg, duhg, duhg, duhg...!

Pukulan beruntun itu terdengar jelas di telinga Suto Sinting. Kecepatan pukulan itu menandakan orang berpakaian biksu warna abu-abu itu mempunyai ilmu yang lumayan tinggi. Suara pukulannya seperti beduk ditabuh dengan dua batang kayu sebesar lengan.

"Huuoeek...!" Kebo Gadung memuntahkan darah segar dari mulutnya.

Di sela suara 'hoek-hoek'-nya Kebo Gadung, Suto Sinting mendengar suara tawa yang terkekeh-kekeh. Suara tawa itu sepertinya pernah didengar, hanya sayang ia lupa siapa pemiliknya.

"Bangsat kau!" geram Kebo Gadung dengan menahan sakit di dada. "Aku akan datang lagi untuk membalas perbuatanmu ini! Aku akan datang untukmu, Bangsat Tua!"

Weess...! Suto Sinting mendengar suara langkah kaki menjauh. Hatinya segera menggumam, "Hmm Kebo Gadung melarikan diri. Siapa orang yang membuatnya lari itu?!"

Pendengaran Suto segera menangkap langkah kaki mendekatinya. Kira-kira dalam jarak satu tombak, langkah kaki itu berhenti. Tapi dari belakang Suto muncul pula langkah kaki yang seakan baru keluar dari persembunyian. Suto Sinting segera menyapa orang yang menolongnya itu.

"Maaf, Kawan... sebelum kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu, terlebih dulu aku ingin mengenal namamu, Kawan."

Kemudian orang itu pun terkekeh pelan dan mulai perdengarkan suaranya. "Perawan juling berhulu hidung lentik. Mencari kutu sambil jungkir balik. Pandanglah wajah tampanku baik-baik. Inilah aku si penakluk gadis cantik."

"Eyang Resi Pakar Pantun...?!" Suto Sinting langsung yakin bahwa orang itu adalah Resi Pakar Pantun yang sudah dianggap seperti orangtuanya sendiri. Suto pun yakin bahwa yang muncul dari balik semak di belakangnya pasti si Kadal Ginting, pelayan setia sang Resi.

"Eyang, tampaknya Suto dalam keadaan buta!" ujar Kadal Ginting, lelaki agak pendek berpakaian hijau tua dengan ikat kepala putih.

Resi Pakar Pantun mendekati Suto, melambaikan tangan di depan mata. Suto diam saja dan tampak kebingungan. Kadal Ginting segera berkata,

"Eyang ini bagaimana?! Mata buta malah diberi lambaian tangan. Mana mungkin mendapat balasan?!"

"Aku hanya mencoba apakah benar matanya buta!" hardik sang Resi.

"Kalau tak percaya, silakan dicolok dulu, Eyang!"

"Matamu saja yang dicolok!" sahut Suto Sinting dengan bersungut-sungut.

"Astaga! Jadi kau benar-benar buta, Suto?!" wajah sang Resi tampak tegang. Lalu ia mulai meluncurkan pantunnya lagi. "Perawan juling ketiban papan. Tubuh mulus panunya sebesar kendi. Buat apa punya wajah tampan. Kalau tak bisa mengintip gadis mandi."

Menik yang menyimak keadaan di bawah segera tahu bahwa Kebo Gadung telah pergi, ia segera lakukan lompatan bersalto karena ingin bergabung dengan Suto. Ia lupa bahwa matanya masih buta. Karenanya ketika ia melompat turun, kakinya mendarat di pundak Resi Pakar Pantun. Jleeg...!

"Aduh, kotoran apa yang kuinjak ini, Suto?" tanya Menik dengan tegang. "Kok empuk?!"

"Bocah gendeng!" maki sang Resi sambil menabok kaki Menik. "Ayo, turun...! Kau menginjak pundakku, bukan kotoran apa-apa!"

Wuuut, jleeg...! Menik melompat turun dari atas pundak sementara Kadal Ginting dan Suto menertawakan omelan sang Resi.

"Kalau tak salah dengar, seperti ada suara Eyang Resi Pakar Pantun, Suto," ujar Menik dengan tangan meraba-raba mencari lengan Suto.

Kadal Ginting dan Resi Pakar Pantun semakin terbengong dengan hati iba melihat Menik pun ternyata dalam keadaan buta.

"Ya, ampun...! Jadi si Menik juga ikut buta?" ujar sang Resi.

"Oh, Menik...," Kadal Ginting bernada sedih, ia langsung berlutut dan memeluk Menik. "Adikku sayang, mengapa kau punya penyakit latah sehingga ikut-ikutan buta seperti Suto, Adikku?!"

Menik memegang kepala Kadal Ginting. "Suto, aku mendapatkan kentang cukup besar."

Kadal Ginting menyahut dengan suara dibuat mendayu-dayu. "Ini bukan kentang, Adikku. Ini kepala yang belum pernah ditanam!" Kadal Ginting segera menepiskan tangan Menik ketika gadis itu tertawa cekikikan. "Kurang ajar! Kepala orang tua disangka kentang!" gerutu Kadal Ginting yang membuat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli.

"Suto, ceritakan bagaimana awalnya kau dan Menik bisa menjadi buta begini? Apakah kau tak bisa sembuhkan kebutaanmu dengan tuakmu itu?!"

Pendekar Mabuk segera meraih bumbung tuak dan bersiap untuk meneguknya. "Dewa Semprong yang membuat kami menjadi seperti ini, Eyang Resi...," kemudian Suto pun menceritakan pertemuannya dengan Dewa Semprong.

"Kalau begitu kau dan Menik harus mencuci muka dengan air Sendang Ketuban," kata Resi Pakar Pantun.

* * *

EMPAT

SENDANG Ketuban merupakan sebuah kolam berair jernih, warnanya hijau bening. Kolam itu terletak di dalam Istana Jerami milik Ratu Cumbutari. Benda apa pun yang jatuh di atas permukaan air kolam tersebut akan lenyap secara gaib, sehingga air kolam itu tetap bening dan bersih. Istana Jerami terdapat di negeri Wilwatikta, tepatnya di Gunung Purwa. Negeri itu kekuasaan Ratu Cumbutari yang pernah dibantu Pendekar Mabuk dalam mengalahkan si anak raksasa bernama Barakoak. Sedangkan Ratu Cumbutari sendiri adalah adik dari ayahnya Menik, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pembantai Raksasa).

Adapun kesaktian air Sendang Ketuban memang melebihi kesaktian tuaknya Suto. Air itu mampu sembuhkan seluruh penyakit dan luka apa pun. Sudah beberapa kali Pendekar Mabuk terpaksa menggunakan air Sendang Ketuban untuk menolong luka seorang sahabat yang tak bisa disembuhkan dengan tuak saktinya. Beberapa luka yang pernah disembuhkan dengan menggunakan air Sendang Ketuban antara lain: luka terkena racun 'Tapak Ungu' yang kala itu didera oleh Darah Prabu, murid dari Resi Badranaya, juga luka terkena kesaktian Tongkat Guntur Bisu yang membuat Kabut Merana menjadi patung batu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam).

Kali ini, kebutaan Suto dan Menik yang membutuhkan air Sendang Ketuban. Resi Pakar Pantun serta Kadal Ginting ikut mendampingi Pendekar Mabuk dan Menik menuju Gunung Purwa. Hal itu terpaksa diakukan oleh Resi Pakar Pantun, karena dengan begitu ia mempunyai kesempatan menjelaskan tentang si Tapak Siluman.

"Memang para tokoh tua kalangan atas sedang ramai membicarakan tentang kemunculan si Tapak Siluman," kata Resi Pakar Pantun sambil menuntun Suto melangkah, sedangkan Dewi Menik digendong oleh Kadal Ginting.

"Siapa sebenarnya si Tapak Siluman itu. Eyang Resi?"

"Dia sebenarnya tokoh tua yang pernah merajai dunia hitam sebelum gurumu: si Gila Tuak, tampil sebagai tokoh sakti teratas di jajaran para tokoh di rimba persilatan ini. Sebelum Gila Tuak dinobatkan sebagai tokoh tersakti, Tapak Siluman sudah meninggal."

"Lalu, kenapa sekarang dia bisa bangkit lagi?"

"Mayatnya memang bisa bangkit lagi jika tersiram darah perawan. Walau hanya setetes darah perawan mengenai mayat si Tapak Siluman, maka ia dapat hidup kembali karena ilmu 'Sukma Perawan'-nya bekerja kembali. Menurut kabar yang diterima oleh para sesepuh dunia persilatan, termasuk keterangan dari gurumu sendiri, bahwa kuburan si Tapak Siluman yang terletak di lereng Bukit Segara itu telah mengalami bencana tanah longsor beberapa waktu yang lalu."

"Ya, aku juga mendengar kabar itu sekitar dua purnama yang lalu, ketika hujan turun dengan deras selama tujuh hari tujuh malam," timpal Menik dari gendongan Kadal Ginting.

"Benar," sahut Resi Pakar Pantun lagi. "Bencana tanah longsor itu menimpa sebuah desa yang bernama Desa Pare Kembang. Kabar yang kuterima, bencana tanah longsor itu menewaskan hampir separo lebih penduduk Desa Pare Kembang. Dugaan para sesepuh dunia persilatan, rangka dari mayat Tapak Siluman itu terkena darah seorang gadis yang masih suci tanpa disengaja. Darah itulah yang membangkitkan si Tapak Siluman dan menuntut balas terhadap bekas lawan-lawannya yang dulu belum sempat ditumbangkan. Bahkan kudengar ia juga masih melanjutkan cita-citanya yang dulu, yaitu ingin menguasai dunia persilatan dengan membantai habis semua orang berilmu tinggi."

"Lalu, dulu yang mengalahkan Tapak Siluman siapa, Eyang Resi?"

"Dulu si Tapak Siluman dikalahkan oleh Kangmas Purbapati, atau gurunya si Gila Tuak."

"Ooh...?!" Suto Sinting terkejut, lalu menggumam bernada masygul.

"Jadi sasaran dendam Tapak Siluman sekarang ini adalah murid dari Purbapati, yang tak lain adalah si Gila Tuak. Jika Gila Tuak mempunyai murid lagi, maka Tapak Siluman pun akan membantai habis muridnya si Gila Tuak."

"Berarti aku pun terancam oleh dendamnya?"

"Begitulah kira-kira. Sebab itu dalam pembicaraan para sesepuh dunia persilatan, aku diminta bantuannya oleh si Gila Tuak untuk menemuimu dan membawamu pulang ke Jurang Lindu. Gila Tuak akan memberi tugas padamu untuk mengalahkan Tapak Siluman. Sebab, para sesepuh dunia persilatan mendapat kabar bahwa Tapak Siluman telah menguasai ilmu 'Bajang Rampak' yang amat berbahaya."

"Seperti yang diceritakan Dewa Semprong itukah?"

"Ya, memang apa yang dikatakan Dewa Semprong itu betul, Suto. Kesaktian ilmu 'Bajang Rampak' hanya bisa dilawan jika darah kita bercampur dengan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun. Karena itu belakangan ini aku sering mendapat kabar tentang penculikan bocah kecil dibeberapa tempat, itu lantaran para tokoh yang tahu rahasia ilmu 'Bajang Rampak' ingin mendapat penangkal ilmu tersebut dengan memakan otak bocah di bawah usia sepuluh tahun. Jika dibiarkan terus begitu, maka berapa ribu bocah yang akan mati sebagai korban siap siaga datangnya ilmu 'Bajang Rampak'."

"Mengerikan sekali," gumam Kadal Ginting.

"Ah, begitu saja mengerikan! Dasar pengecut kau!" kecam Menik yang digendong belakang oleh Kadal Ginting.

"Satu-satunya jalan untuk mengurangi pembantaian terhadap bocah di bawah usia sepuluh tahun adalah dengan melawan dan menghancurkan raga si Tapak Siluman," sambung Resi Pakar Pantun. "Dalam hal ini, menurut para sesepuh dunia persilatan, hanya kaulah orangnya yang bisa menandingi si Tapak Siluman dengan ilmu 'Bajang Rampak'-nya. Karena gurumu sendiri tahu bahwa kau mempunyai jurus 'Manggala' yang dapat membuat lawanmu menjadi debu dalam sekejap."

Menik menyahut, "Tapi dalam keadaan buta begini mana bisa Suto mengarahkan jurus 'Manggala'-nya ke tubuh Tapak Siluman? Bisa-bisa malah nyasar ke tubuhmu, dan kau sendiri yang menjadi debu buat cuci piring, Eyang Resi."

"Anak kecil ikut nimbrung terus kalau ada orang tua bicara!" hardik Resi Pakar Pantun.

Menik malahan bersungut-sungut. "Salahnya sendiri, orang tua kok bicaranya dekat anak kecil!"

"Dasar tengil, konyol, bandel, sok tua..."

"Tapi cantik, bukan?" sahut Menik dengan lagak genitnya.

Resi Pakar Pantun mendengus kesal dan buang muka, sementara Suto dan Kadal Ginting tertawa geli mendengar lagak bicara si gadis kecil itu sambil tetap melangkah menuju ke Gunung Purwa.

Tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh datangnya sekelebat bayangan yang melintas di atas kepala Suto. Weesss...! Gerak naluri Soto Sinting membuatnya segera merendahkan kepala dengan badan limbung ke samping seperti orang mabuk. Tangannya berkelebat dengan pergelangan terlipat dan jari-jari membentuk kuncup. Craaas!

"Aaauh...!" Suto Sinting memekik, pundaknya terkena tebasan pedang si bayangan yang melintas itu. Darah pun mulai membanjiri pundak Suto dengan luka panjang dari punggung kiri ke pundak kiri.

Kadal Ginting segera lakukan lompatan ke balik pohon besar. Menik masih ada dalam gendongannya. Sementara itu, Resi Pakar Pantun segera melompat ke samping dan melepaskan pukulan tenaga dalam dengan sentakkan tangan kanan dalam keadaan telapak terbuka. Wuuut...!

Bayangan itu melesat bagai kilatan cahaya. Dari pohon yang satu ke pohon yang lain bayangan itu bergerak cepat. Wes, wes, wes, wes! Lalu mendaratkan kakinya ke tanah. Jleeg...!

Pada saat itu Suto Sinting jatuh berlutut sambil memegangi pundaknya yang terluka. Matanya yang buta seperti memandang ke sana-sini, padahal yang digunakan untuk mengetahui keadaan sekeliling adalah pendengarannya. Jurus 'Lacak Jantung' segera digunakan.

"Hmmm... detak jantungnya lemah, pasti ia seorang perempuan," pikir Suto Sinting sambil menahan rasa sakitnya.

Dugaan Pendekar Mabuk itu benar. Bayangan putih yang menyerangnya dengan pedang itu adalah seorang perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan hiasan kepala dari rantai emas permata. Jubah putihnya tipis dan sangat membayang, sehingga bentuk tubuhnya dapat dilihat secara samar-samar.

Perempuan itu mempunyai mata jalang dan bibir menggemaskan. Pinggulnya begitu indah, sekal, sangat menggairahkan. Bahkan dadanya tampak montok dan kencang, seakan selalu siap menantang lawan jenisnya. Di tangan perempuan yang bergelang butiran permata itu menggenggam sebuah pedang runcing. Gagang pedangnya dibungkus dengan kain bludru warna hitam, berhias ronce-ronce benang kuning emas.

Perempuan itu tidak mengeluarkan suara apa pun, sehingga Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi dan wajah terheran-heran. Melihat gelagatnya, perempuan itu akan menyerang Suto lagi dengan pedangnya. Maka Resi Pakar Pantun buru-buru tampil menghadang langkah perempuan cantik beralis tebal itu. Resi Pakar Pantun sengaja berdiri membelakangi Suto, karena ia tahu Suto Sinting pasti ingin buru-buru meminum tuak saktinya untuk mengatasi luka tebasan pedang tadi.

"Perawan juling datang bertamu. Burung satu bandel melulu. Memang cantik paras wajahmu. Tapi sayang sirik hatimu."

"Hemmm...!" perempuan itu hanya mencibir sinis, sikapnya sangat bermusuhan.

"Siapa dirimu, Nona Cantik? Mengapa kau menyerang pemuda tampan itu?!" ujar Resi Pakar Pantun.

"Minggir kau, Tua Kejemur!"

"Eit, ditanya belum menjawab malah mengusir orang? Kau sangka aku pedagang kaki lima yang bisa diusir sewaktu-waktu?!"

Pendekar Mabuk memang segera menenggak tuaknya. Begitu tuak masuk ke dalam kerongkongannya, luka sabetan pedang yang memanjang itu mulai berasap tipis. Makin lama warna merahnya makin berubah menjadi kehitam-hitaman. Rasa sakit pun mulai hilang. Lama-kelamaan luka itu pun menutup kembali dan menjadi rapat seperti semula tanpa darah setetes pun yang tersisa di tubuh Suto.

"Sebutkan siapa namamu dan mengapa menyerang sahabatku?!" desak Resi Pakar Pantun yang rupanya juga baru kali itu berhadapan dengan si perempuan cantik.

"Buka matamu, Tua Peot... akulah yang dikenal dengan nama Mahkota Dewi."

"Hmmm... nama yang masih asing di telingaku," gumam Suto Sinting yang sudah bisa berdiri tegak kembali.

Resi Pakar Pantun ajukan tanya kepada perempuan cantik itu. "Mahkota Dewi... "Perawan juling mancung giginya. Perawan bunting bodong pusarnya. Kalau marah apa sebabnya. Kalau cinta berapa anaknya?"

Sebelum Mahkota Dewi menjawab pertanyaan berpantun dari sang Resi, Pendekar Mabuk lebih dulu perdengarkan suaranya kepada Mahkota Dewi. "Rasa-rasanya kita tak punya persoalan apa-apa, Mahkota Dewi."

Hati perempuan itu sempat menggumam kagum, "Gila. Lukanya lenyap begitu saja? Padahal pedangku ini beracun ganas, tapi tak membuatnya mati sedikit pun." Hati berkata demikian, tapi mulut menanggapi ucapan Pendekar Mabuk tadi. "Menurut otak jahanammu memang begitu. Tapi menurutku kau adalah orang yang wajib kutuntut balas."

"Apa yang ingin kau tuntut dariku?"

"Nyawamu!" jawab Mahkota Dewi dengan tegas dan semakin menampakkan permusuhannya. Pandangan matanya yang galak itu menatap Suto Sinting tak berkedip. Tangannya masih menggenggam pedang yang terangkat ke atas, siap untuk lakukan serangan mautnya kembali.

"Mengapa kau ingin menuntut nyawaku, Mahkota Dewi?" Suto ajukan tanya dengan kalem.

"Kau telah membunuh guruku, dan aku harus membalas kematiannya kepadamu. Kau harus menebus nyawa Guru, Manusia sesat!"

Resi Pakar Pantun berkerut dahi memandang Suto Sinting dengan heran. Dahi sang Pendekar Mabuk pun tampak berkerut tajam, ia ajukan tanya kepada Mahkota Dewi sebelum Resi Pakar Pantun buka suara.

"Siapa gurumu itu, Mahkota Dewi?!"

"Jangan berpura-pura bodoh, Manusia Laknat! Dari puncak bukit tadi kulihat kau berhadapan dengan Guru. Tapi ketika kuhampiri, ternyata Guru sudah tidak ada di tempat dan kau pun menghilang. Tak jauh dari tempat pertemuanmu dengan Guru kutemukan jenazah Guru dalam keadaan yang sungguh menyedihkan! Kau memang manusia laknat yang amat keji. Kau layak mendapatkan upah seperti ini, hiaaah...!"

Tiba-tiba sekali Mahkota Dewi tebaskan pedangnya di udara dari atas ke bawah. Wees...! Angin tebasan itu memercikkan sinar merah yang melesat ke dada Suto Sinting. Pandangan mata Pendekar Mabuk yang gelap tak bisa melihat datangnya sinar merah itu. Tetapi Resi Pakar Pantun segera sentakkan tangannya dan keluarkan sinar biru dari ujung jari telunjuknya. Claap...! Kedua sinar itu akhirnya bertabrakan.

Blaaaarr...! Gelombang hentakan dari ledakan tersebut membuat tubuh Resi Pakar Pantun terlempar sejauh delapan langkah. Pendekar Mabuk sendiri terpental ke belakang dan berguling-guling sambil memeluk bumbung tuaknya.

"Hiaaaah...!" Mahkota Dewi memanfaatkan keadaan Pendekar Mabuk yang terdesak itu. Ia lakukan satu lompatan cepat dengan pedang menebas kuat. Weet, traaang...!

Suto Sinting menangkap datangnya angin kencang dari arah atas kepalanya. Dengan cepat digenggamnya bambu bumbung tuak itu memakai kedua tangan lalu disilangkan di atas kepala, sehingga bambu tuak itu menjadi sasaran tebasan pedang si Mahkota Dewi.

Wuuut... brrruk...!

Mahkota Dewi justru terpental dan jatuh terpelanting setelah melayang sesaat di udara. "Edan! Bumbung tuaknya bisa mengembalikan tenaga dalamku yang kusalurkan melalui pedang ini?! Bahkan sepertinya tenaga dalam itu lebih besar dari yang kusalurkan tadi. Pantas kalau Guru tewas di tangannya!" Mahkota Dewi diam berdiri sambil membatin demikian.

Sebelum perempuan itu bicara, Pendekar Mabuk lebih dulu perdengarkan suaranya kembali yang masih bernada kalem itu. "Mahkota Dewi, aku tak merasa membunuh gurumu dan aku tak tahu siapa gurumu sebenarnya."

"Nyai Serampang Wilis!" jawab Mahkota Dewi dengan suara geram penuh kebencian serta dendam.

Pendekar Mabuk terkejut mendengar keterangan itu. Seingatnya, Nyai Serampang Wilis tadi mengejar si Tapak Siluman. Jika ternyata Mahkota Dewi menemukan Nyai Serampang Wilis sudah tak bernyawa lagi, berarti si Tapak Siluman itulah pembunuhnya. Begitu kesimpulan batin Suto.

"Kurasa kau salah paham, Mahkota Dewi," ujar Suto sambil memainkan tali penggantung bumbung tuaknya. "Aku tidak membunuh Nyai Serampang Wilis, tapi..."

"Jangan banyak bicara kau, Laknat! Hiaaah...!"

* * *

LIMA

RESI Pakar Pantun akhirnya melepaskan pukulan jarak jauhnya dari belakang Mahkota Dewi. Seberkas sinar kuning melesat dari tangan Resi Pakar Pantun dan menghantam punggung Mahkota Dewi. Claap, des!

Mahkota Dewi tersentak dan mengejang. Kepalanya terdongak ke atas dengan mulut ternganga tanpa bisa keluarkan suara. Pedangnya segera terlepas dari genggaman, dan tubuh itu pun akhirnya limbung karena urat-uratnya seperti putus semua dan tulangnya bagaikan menjadi lunak. Brruk...!

Suto Sinting pertajam pendengaran, ia segera mengetahui bahwa lawannya telah jatuh terkulai tanpa daya lagi. Selang beberapa saat kemudian terdengar suara sang Resi bernada kesal.

"Maaf, Suto... terpaksa aku berbuat curang sedikit. Hanya sedikit kok."

'Kau apakan dia, Eyang?"

"Kuhantam dari belakang dengan pukulan 'Setan Presto' yang jarang kugunakan itu."

Suto Sinting geleng-gelengkan kepala pertanda kurang setuju dengan tindakan itu.

"Aku memang lakukan kecurangan sedikit, tapi ini demi menghindari korban nyawa terhadap kesalahpahaman ini," ujar sang Resi yang tadi juga mendengar cerita tentang Nyai Serampang Wilis dari Suto sendiri.

Mahkota Dewi merintih kecil, suaranya mengharukan hati. Suto Sinting tak tega, kemudian mendekati dengan pelan-pelan.

"Kau bisa memulihkannya dengan tuakmu, Suto," ujar sang Resi setelah memandang kemunculan Kadal Ginting yang menggendong Menik itu.

Kaki Pendekar Mabuk menyentuh kaki Mahkota Dewi, lalu ia jongkok dan meraba-raba kaki perempuan itu. "Di mana letak mulutnya?" gumam Suto yang didengar oleh sang Resi.

"Kurasa letak mulutnya ada di kepala, Suto."

"Aku sedang mencari kepalanya," kata Suto sambil tangan yang kiri mulai mempersiapkan bumbung tuak. Ia ingin meminumkan tuak ke mulut Mahkota Dewi.

"Bunuhlah aku...," ratap Mahkota Dewi dengan lirih. "Bunuhlah saja aku, agar menyatu dengan aman guruku."

"Itu soal gampang," ujar Suto seenaknya sambil mencari kepala Mahkota Dewi. Tangan Suto Sinting merayapi tubuh Mahkota Dewi untuk mendapatkan kepala perempuan itu. Tapi ketika tangan tersebut sampai di dada montok Mahkota Dewi, Suto Sinting sempat berkata kepada sang Resi yang ada di belakangnya, "Kepalanya ada dua, Eyang."

"Husy! Itu bukan kepala!"

"O, maaf. Kusangka kepala," kata Suto sambil nyengir nakal.

Mahkota Dewi semakin berang, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Tangannya sangat lemas, tak bisa untuk menabok wajah Pendekar Mabuk. Seandainya Mahkota Dewi tidak dalam keadaan lumpuh akibat pukulan 'Setan Presto' tadi, maka tangannya sudah berkelebat cepat menghantam wajah pemuda yang dianggap menggagahi tubuhnya itu.

"Maaf, Mahkota Dewi..„ aku hanya ingin menuangkan tuak ke dalam mulutmu biar kau sehat kembali. Aku tak ingin kesalahpahaman ini memakan korban jiwa di antara kita."

"Bunuh saja aku, Keparat!" Mahkota Dewi bermaksud membentak, tapi suaranya yang keluar sangat pelan hingga mirip sebuah rayuan.

Begitu tangan Suto menyentuh mulut Mahkota Dewi, ia justru meraba-raba bibir perempuan itu dengan hati berdesir desir. Suara decak kekaguman terdengar samar-samar dari mulut Suto. "Ck, ck, ck... bibir kok legit amat begini? Hmm, hmm... pria mana yang bakalan beruntung mencicipi bibir sepulen ini, ya?"

Resi Pakar Pantun menendang pinggul Suto secara seloroh. Plok...! "Tuang saja tuakmu! Jangan sembrono begitu. Mulut orang diobok-obok seenaknya saja...!"

"Aku sedang buta, Eyang. Maklum, namanya saja orang buta, jadi kerjanya ya meraba-raba begini."

Tuak pun segera dituangkan dengan hati-hati ke mulut Mahkota Dewi dengan bantuan Resi Pakar Pantun. Di sisi lain, Kadal Ginting berdiri memandangi adegan itu sambil berkata agak keras.

"Enak juga kalau jadi orang buta, ya? Pegang-pegang tubuh perempuan dianggap sah-sah saja."

Menik menyahut dari gendongan, "Kudoakan perempuan itu jadi buaya, jadi kalau Suto mengobok-obok mulutnya bisa langsung ditelan oleh buaya itu!"

"Hei, nada bicaramu kedengarannya jengkel sekali. Kenapa begitu, Menik?" tanya Kadal Ginting.

"Aku tidak suka pemuda bertangan nakal," jawab Menik dengan ketus. "Sayang saja aku kepepet buta begini. Kalau tidak aku tak mau berada dalam gendonganmu."

"Kenapa begitu?"

"Tanganmu pun dari tadi juga nakal."

"Oh. aku tak sengaja nakal. Tanganku memang semutan, jadi sebentar-sebentar kugerak-gerakkan biar semutnya hilang."

Percakapan itu terhenti, karena Kadal Ginting segera menjelaskan kepada Menik bahwa Mahkota Dewi telah bisa bangkit dan duduk di tempat. Perempuan itu pegangi kepalanya yang terasa agak pusing. Rupanya ia tak biasa minum tuak. Tapi tuak itu telah membuatnya sehat kembali, urat-urat dan tulangnya bisa bekerja sebagaimana mestinya. Bahkan Mahkota Dewi merasa lebih segar sekarang dibanding sebelum lakukan pertarungan tadi. Duka atas kematian sang Guru pun bagaikan terkikis habis oleh pengaruh tuak yang diminumnya.

"Dia agak mabuk karena kebanyakan minum tuak," kata Kadal Ginting, menjelaskan penglihatannya kepada Menik.

"Hmm..., dasar perempuan udik! Aku saja sejak tadi banyak minum tuaknya Suto tidak merasa mabuk."

"Apakah kau sudah sering minum tuak?"

"Jarang. Tapi kalau minum arak sering."

"Gila. Kecil-kecil minumannya sudah arak."

"Buat melatih diri dari tidak kaget jika bertemu dengan para tokoh yang gemar mabuk-mabukan," kata Menik. "Coba lebih mendekat lagi pada mereka, Kadal Ginding. Aku mau bicara dengan Suto."

Saat itu Pendekar Mabuk bicara kepada Mahkota Dewi, "Ingat, Mahkota Dewi... bagiku sangat mudah membunuhmu pada saat tadi. Tapi karena aku bukan berjiwa pembunuh keji seperti anggapanmu, maka hal itu tak kulakukan. Kumohon kau mau membuang tuduhanmu terhadap diriku. Aku bukan pembunuh gurumu, walau aku tadi memang sangat kenal dengan Nyai Serampang Wilis."

Mahkota Dewi akhirnya mengakui kesalahpahamannya dalam hati. Ia menarik napas setelah memasukkan pedangnya ke sarung pedang yang ada di pinggang. "Kalau benar bukan kau, lantas siapa yang membunuh Guru?"

"Mungkin si Tapak Siluman, karena tadi gurumu mengejar Tapak Siluman setelah gagal diserang dengan tiga pisau. Ketiga pisau terbangnya berhasil kutangkap sebelum mengenai tubuh gurumu."

"Tapak Siluman...?!" gumam Mahkota Dewi. "Guru memang belum lama ini bercerita tentang kebangkitan si Tapak Siluman. Tapi beliau tidak ceritakan adanya permusuhan dengan si Tapak Siluman."

Sang Resi ajukan tanya, "Di mana jenazah gurumu sekarang?"

"Di sebelah barat sana!" jawab Mahkota Dewi masih bernada sedikit kaku. "Keadaan jenazah Guru sangat menyedihkan. Seluruh dagingnya hancur, tapi bagian jantung dan yang lainnya masih utuh. Kepala pun masih utuh. Jenazah Guru bagai kehilangan raga, tinggal kepala dan isi perutnya yang tersisa."

"Ilmu 'Bajang Rampak'!" sentak Resi Pakar Pantun dengan tegang.

"Ilmu apa itu?" tanya Mahkota Dewi.

"Itu ilmu andalan si Tapak Siluman. Tak ada tokoh lain yang memiliki ilmu itu!"

Sang Resi ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba-mulutnya tak jadi bergerak. Dahi sang Resi berkerut makin lama makin tajam. Pada saat itu, ia merasakan hembusan angin yang berbeda dari biasanya. Mahkota Dewi sempat merasa curiga dengan perubahan wajah sang Resi. Tapi ia ingin tidak mempedulikan hal itu dan bermaksud segera tinggalkan tempat tersebut.

"Aku akan mengurus jenazah Guru!"

"Tunggu sebentar...!" cegah sang Resi. "Ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sekitar kita. Jangan jauh-jauh dari kami dulu Mahkota Dewi."

Suto Sinting mendengar nada bicara sang Resi, ia mulai merasakan kejanggalannya sehingga bertanya dengan suara pelan. "Ada apa, Eyang Resi?"

"Rasakan hembusan angin saat ini," jawab sang Resi dengan mata mulai melirik tegang ke sana-sini.

Hembusan angin semakin kencang. Pendekar Mabuk mulai rasakan hawa panas yang berhembus ke arah depannya. Mahkota Dewi pun mulai kelihatan tegang, ia memandang ke arah atas ternyata dedaunan mulai menguning dan sebentar lagi menjadi layu. Kadal Ginting buru-buru merapatkan diri ke celah pohon besar sambil masih menggendong Menik.

"Angin ini bukan sembarang angin," ujar sang Resi bagal bicara sendiri.

Hembusan angin bertambah kencang. Daun-daun yang mulai layu itu menjadi beterbangan. Hawa panas kian terasa di kulit tubuh mereka. Mahkota Dewi memegangi gagang pedang, seakan siap mencabut senjata sewaktu-waktu. Sampah dan dedaunan kering yang ada di tanah pun kini beterbangan. Namun gerakan terbang daun-daun kering itu tidak menuju ke satu arah. Kini daun-daun kering dan yang berguguran dari pohon itu bergerak memutari tempat itu. Seperti ada angin beliung yang datang secara perlahan-lahan. Semakin lama semakin keras, semakin menimbulkan suara gemuruh yang berputar-putar.

"Suto, bersiaplah! Ada yang menyerang kita!" ujar sang Resi dengan nada tegang.

Suto Sinting sempat berseru, "Menik...! Menik, di mana kau?!"

Kadal Ginting menyahut, "Dia di sini bersamaku, Suto!"

"Cari tempat berlindung, Kadal Ginting!"

"Sudah! Kami aman di sini!"

Deru angin semakin menyeramkan. Dahan-dahan meliuk bagal ingin dijebol dari langit. Gerakan angin yang memutar itu bertambah kencang, membuat Mahkota Dewi memperkuat kuda-kudanya. Pedang pun segera dicabut dari sarungnya begitu ia yakin angin yang berhembus adalah angin kiriman dari seseorang.

"Cari pegangan!" seru Suto Sinting. "Angin ini bukan saja panas, tapi juga akan menerbangkan kita ke atas!"

Mahkota Dewi bergegas mendekati Suto Sinting yang sudah berada di bawah sebuah pohon. Sikap berdiri Suto agak merendah untuk menahan hembusan angin yang dapat menerbangkan dirinya. Mahkota Dewi pun bersikap serupa, demikian pula Resi Pakar Pantun yang memperkuat kuda-kudanya dengan merendahkan badan dan kedua tangannya merapat di dada. Ia biarkan jubahnya beterbangan mengikuti arah angin yang memutar.

"Apakah ini kiriman dari si Tapak Siluman?!" tanya Mahkota Dewi kepada Suto Sinting.

"Aku tak tahu, Dewi. Sebaiknya peganglah tanganku supaya kau tidak terbawa angin beliung ini."

Sang Resi berseru, "Bertahanlah kalian, aku akan melawan gangguan ini!"

"Kadal Ginting...!," seru Suto.

"Aman...!" jawab Kadal Ginting dari celah pohon besar. Pohon itu sendiri bagian puncaknya meliuk berputar-putar, namun masih tampak kokoh dan tak mengkhawatirkan akan terjebol oleh angin misterius.

"Aaauh...!" pekik Resi Pakar Pantun sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan kekuatan penuh.

"Kenapa, Eyang Resi?!"

"Angin ini mengandung serbuk beling panas!"

"Celaka!" gumam Suto Sinting sambil sempoyongan karena badannya terasa ingin terangkat ke atas oleh putaran angin itu.

Mahkota Dewi segera berseru, "Jurus 'Ladang Prahara'...! Kurasa tak jauh dari sekitar sini ada si Dewa Semprong!"

"Dari mana kau tahu?!"

"Aku mengenali jurus-jurusnya, karena Dewa Semprong saudara seperguruan dengan Nyai Serampang Wilis, guruku!"

"Aaauh...!" Resi Pakar Pantun yang ada di tempat terbuka memekik lagi. Mahkota Dewi terkejut. "Ooh...?!"

Nada suara kejutan itu tak bisa dipahami Suto Sinting yang tak melihat keadaan Resi Pakar Pantun. "Ada apa dengan Resi Pakar Pantun, Dewi...?"

"Tubuhnya mulai berdarah, ia tak kuat menahan angin yang mengandung serbuk beling panas ini!"

"Celaka betul kalau begini!" geram Suto Sinting, ia pun berseru, "Eyang Resi, lekas mundur kemari. Berlindung di bawah pohon ini, Eyang!"

Tapi sang Resi justru menggerakkan kedua tangannya ke atas samping dalam keadaan bergetar, ia kerahkan tenaga dalamnya untuk lawan-angin 'Ladang Prahara' itu. Suaranya pun terlontar memanjang sebagai tanda pengerahan tenaga sepenuhnya. "Heeeeeaaaahhh...!!"

Daun-daun kering yang berputar-putar itu menjadi menyebar ke berbagai penjuru. Rupanya sang Resi berhasil keluarkan tenaga perlawanan. Gelombang badai keluar dari kedua tangan sang Resi dibarengi dengan asap biru samar-samar. Asap itu pun bergerak berkeliling namun berlawanan arah dengan gerakan putar angin 'Ladang Prahara' itu.

"Aku akan membantu Resi!" kata Mahkota Dewi yang segera melepaskan genggaman tangannya dari lengan Suto Sinting. Kemudian ia maju beberapa langkah dan segera memainkan jurus pedangnya dengan cepat hingga keluarkan desing berkali-kali..

Wuiz, wuiz, wuiz, ziing, zing, zing...! Bledar, glaaar, bluuung...!

Pedang itu keluarkan cahaya biru petir serabutan. Cahaya biru petir itu bagaikan membentur kekuatan dahsyat yang menimbulkan ledakan cukup keras. Tanah berguncang bagai dilanda gempa. Cahaya matahari menjadi redup bagai tertutup kabut.

Mahkota Dewi masih terus lakukan gerakan mengibas pedang ke sana-sini, dan dari pedangnya masih keluarkan cahaya petir yang melesat ke berbagai penjuru. Kulit tubuhnya mulai merah, seperti terpanggang hawa panas cukup tinggi. Angin yang datang semakin kencang dan udara panasnya kian terasa jelas. Kulit-kulit pohon mulai terkelupas dan mengerut karena panas.

Suto Sinting sempat menjadi tegang karena merasakan tubuhnya bagai tersiram air mendidih. "Bahaya sekali kalau aku tidak segera ikut campur mengatasi angin celaka ini!" pikirnya sambil membuka tutup bumbung tuak. Ia pun menenggak tuaknya, sebagian ditelan sebagian dibuat kumur-kumur di mulutnya. Lalu dengan tubuh mengeras, tenaga dikerahkan, tuak di mulut itu segera disemburkan ke udara atas. Bruuuwwrs...!

Blegaaarr...! Ledakan sangat kuat terjadi begitu mengerikan. Guncangan tanah bagai ingin menjungkir balikkan apa saja yang ada di atasnya. Ledakan itu membuat tubuh Resi Pakar Pantun terlempar dan jatuh berguling-guling, sedangkan tubuh Mahkota Dewi terhempas menghantam batang pohon yang dipakai berlindung Kadal Ginting dan Menik.

Semburan tuak Suto tadi bukan sembarang semburan tanpa arti. Air tuak yang tersembur berubah menjadi percikan api kemana-mana. Percikan api itu bagaikan beradu kekuatan dengan hembusan angin 'Ladang Prahara', hingga timbul ledakan cukup dahsyat. Itulah yang dinamakan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha', sebuah jurus maut yang jarang digunakan oleh Pendekar Mabuk. Beberapa pohon tumbang secara mengerikan akibat ledakan dahsyat itu. Tumbangnya pohon-pohon membuat sesosok bayangan berkelebat dan muncul di depan mereka. Wuuus...! Jleeg...!

"Heh, heh, heh, heh...!" suara tawa terkekeh membuat Dewi Menik ingat tentang si Dewa Semprong.

"Pasti dia kakek ompong itu!" katanya kepada Kadal Ginting yang ketakutan dan merapatkan punggung ke batang pohon itu. Ia tak sadar bahwa di belakangnya ada Menik, sehingga Menik menjadi tergencet batang pohon. Gadis kecil itu jengkel, maka tanpa basa-basi lagi kepala Kadal Ginting dikeplaknya. Plook...!

"Auh...!" Kadal Ginting memekik, lalu segera maju setengah langkah.

Menik segera membentak. "Kau pikir kau menggendong karung beras! Seenaknya saja dipepetkan ke pohon! Aku hampir mati tak bernapas, tahu?!"

"Iya, tapi jangan main keplak kepala orang tua begini!" sentak Kadal Ginting.

"Aku tidak tahu kalau kau tua. Aku kan buta?!" debat Menik makin menjengkelkan dengan ketengilannya. Tapi Kadal Ginting tak melayani karena perhatiannya segera tertuju kepada tokoh berjubah hijau dan berkepala nyaris gundul plontos itu.

"Keparat kau, Dewa Semprong!" sentak Resi Pakar Pantun yang sudah mengenal tokoh tersebut. "Apa-apaan kau, hah?! Mengapa kau serang kami begini?!"

"Aku menghendaki bocah kecil itu!" sambil ia menuding Kadal Ginting memakai kepala tongkatnya.

Kadal Ginting menjadi cemas dan mundur selangkah lagi. Tapi tahu-tahu kepalanya dikeplak lagi oleh Menik. Plook...!

"Jangan gencet aku, Tolol!" bentak Menik dengan sok tua.

* * *

ENAM

PENDEKAR Mabuk rasakan ada gerakan cepat menuju ke arah sampingnya, ia tahu di sampingnya ada pohon yang dipakai untuk bersembunyi Kadal Ginting. Ia yakin gerakan aneh yang datang dengan cepat adalah gerakan si Dewa Semprong. Zlaaap. .! Pendekar Mabuk pun gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk mematahkan gerakan si Dewa Semprong. Akibatnya, kedua tubuh yang bergerak sama-sama cepat melebihi angin itu saling bertabrakan di udara.

Brruuss...!

"Huuaahhg...!"

Brrruk...! Keduanya sama-sama terpental jatuh. Tapi Suto Sinting mengerang dan memuntahkan darah kental dari mulutnya, ia tersodok kepala tongkat si Dewa Semprong yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup berbahaya itu.

Sedangkan Dewa Semprong sendiri juga memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wajah tuanya menjadi biru legam. Rupanya dadanya sempat membentur bumbung tuaknya Suto yang juga mempunyai kekuatan sakti itu. "Hooek...! Hoooeek...!" Dewa Semprong muntahkan darah cukup banyak. "Hooeek...! Hoooek...!"

"Siapa yang sedang ngidam itu, Paman Kadal?!" tanya Menik.

"Si Dewa Semprong," jawab Kadal Ginting. "Ia bertabrakan dengan Suto, langsung ngidam dan muntah-muntah."

Dewa Semprong sibuk menahan luka dalamnya, ia berdiri dengan satu lutut, tundukkan kepala beberapa saat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Suto Sinting untuk membagi tuaknya kepada Resi Pakar Pantun dan Mahkota Dewi yang terluka karena angin panas tadi. Dengan meneguk tuak Suto, maka keadaan mereka pun cepat menjadi sehat seperti sediakala. Tak lupa Suto sendiri juga buru-buru menenggak tuaknya untuk hilangkan luka akibat tabrakan dengan Dewa Semprong tadi.

"Kakang Andhigama...," sapa Resi Pakar Pantun kepada Dewa Semprong, ia menyebutkan nama asli si Dewa Semprong. "Hentikan kepicikanmu itu, Kakang Andhigama. Aku tahu kau memburu otak bocah itu, tapi langkahmu tidak mencerminkan jiwamu yang dulu kukenal sebagai orang bijak. Kakang Andhigama!"

"Aku sudah bosan jadi orang bijak," jawab Dewa Semprong. "Yang penting aku tak mau mati di tangan si Tapak Siluman!"

"Kau tampaknya sangat ketakutan sekali, Eyang," ujar Mahkota Dewi.

"Ya, aku memang ketakutan. Sebab dulu aku pernah kencing di kuburannya Tapak Siluman!"

"Ha, ha, ha, ha...!" Kadal Ginting dan yang lain tertawa.

"Mengapa kau kencingi kuburan si Tapak Siluman?"

"Biar tidak bisa bangkit lagi. Eeeh... sekarang malah bangkit. Pasti dia tahu kalau aku dulu mengencingi kuburannya dan pasti aku akan dijadikan sasaran keganasannya. Sebab itu aku harus segera melapisi darahku dengan otak bocah."

Pendekar Mabuk angkat bicara, "Apakah kau tak berani melawan Tapak Siluman, Eyang?"

"Aku akan kalah!" jawab si Dewa Semprong dengan jujurnya. "Ilmunya lebih tinggi dari ilmuku. Bahkan gurumu, si Gila Tuak, juga akan binasa jika melawannya, seperti nasib adik seperguruanku yang sering cekcok denganku itu; Nyai Serampang Wilis."

"Eyang," sahut Mahkota Dewi sambil maju selangkah. "Apakah Eyang sudah melihat nasib Nyai Guru Serampang Wilis?!"

"Kutemukan jenazahnya tergeletak di sebelah barat sana."

"Eyang yakin bahwa itu perbuatan si Tapak Siluman?!" tanya Mahkota Dewi dengan nada sedih.

"Ya. Pasti si Tapak Siluman yang membunuhnya dengan ilmu 'Bajang Rampak'-nya! Dan aku takut kalau nantinya mati seperti Serampang Wilis; hanya tinggal kepala dan jeroannya! Iih... aku tak mau mati begitu. Ngeri. Nanti mayatku tak bisa dimandikan jika tinggal jeroan saja."

Dewa Semprong bergidik, namun segera menyeringai menahan sakit di dadanya. Pendekar Mabuk terpaksa memberikan tuaknya untuk pengobat luka dalamnya si Dewa Semprong. Sikap itu menunjukkan bahwa Pendekar Mabuk tidak ingin bermusuhan dengan Dewa Semprong. Maka, sang Dewa Semprong pun mulai mengurangi niatnya untuk merebut Menik.

"Dengar, Kakang Andhigama...," kata Resi Pakar Pantun. "Para tokoh rimba persilatan memang sedang dibuat cemas oleh kemunculan si Tapak Siluman. Tapi mereka mencari jalan keluar untuk menghadapi Tapak Siluman tanpa harus mengorbankan otak bocah-bocah cilik, Kakang. Kuharap kau pun tidak memburu otak anak-anak. Kasihan, mereka tak punya daya apa-apa jika kita buru dan kita ambil otaknya."

"Lalu, dengan cara apa aku harus menghadapi Tapak Siluman?!"

"Kami sudah sepakat untuk menjagokan Pendekar Mabuk dalam menghadapi Tapak Siluman."

"Alaaa... bisa apa murid si Gila Tuak itu," ejek Dewa Semprong. "Melawanku saja sudah keteter begitu, apalagi mau melawan Tapak Siluman, bisa-bisa dijadikan lontong isi kumis!"

Suto Sinting tersinggung dengan ucapan itu. Tapi ia segera menenangkan hatinya dan memaklumi ucapan orang tua yang asal ceplas-ceplos itu. "Eyang Dewa Semprong, kalau aku benar-benar mau membunuhmu, maka sejak tadi kau sudah kehilangan nyawa, Eyang."

"Kenapa kau tidak lakukan?"

"Karena aku tidak ingin membunuh orang yang sedang panik menghadapi kemunculan si Tapak Siluman. Eyang gugup dan tak bisa berpikir bijak lagi. Aku perlu menyadarkan Eyang dengan cara tidak mengorbankan nyawa Eyang."

"Hmmm...," Dewa Semprong manggut-manggut walau dengan sikap mencibir. "Jadi kau berani menghadapi si Tapak Siluman?!" tanyanya dengan nada kurang yakin.

"Berani, Eyang!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi dengan syarat, kembalikan mataku!"

"Lho, kau sangka aku mencuri matamu? Jangan menuduh begitu, Nak. Aku tak mencuri biji matamu. Kalau tak percaya, silakan geledah tubuhku...." Dewa Semprong mengangkat kedua tangannya seakan siap untuk digeledah.

"Maksudku, kembalikan penglihatanku! Sembuhkan aku dan Menik dari kebutaan ini."

"Apa kau pikir aku tabib?!" ujarnya sambil bersungut-sungut menjauh dua langkah.

Mahkota Dewi ikut bicara. "Eyang, kalau Eyang tak mau sembuhkan Suto dan Menik, maka Tapak Siluman akan memburu Eyang, karena Eyang telah mengencingi kuburannya!"

"Jangan menakut-nakuti aku begitu, Dewi!" bentak kakek tua yang konyol itu.

"Aku tidak menakut-nakuti, Eyang. Tapi apa yang kukatakan ini bisa menjadi kenyataan, mungkin tak lama lagi!"

"Aaah...!" Dewa Semprong cemberut seperti anak kecil.

Resi Pakar Pantun mendekati dan menepuk pundak DewaSemprong. "Kakang Andhigama... kau bisa membuat mereka buta, tentunya kau bisa menyembuhkannya. Aku yakin kau punya obat penyembuh kebutaan itu. Kalau kau tak mau lakukan, maka Pendekar Mabuk tak akan memihakmu jika si Tapak Siluman menyerangmu!"

"Biar saja!" ucapnya sambil masih bersungut-sungut.

Kadal Ginting segera berseru, "Hei, siapa itu yang melintas dari pohon ke pohon?!"

Semua menjadi tegang.

"Mana, mana...?!" Dewa Semprong lebih tegang lagi.

"Itu di antara dedaunan rimbun itu! Ada yang mengintai kita dari sana! Oh, sepertinya dia si Tapak Siluman!" kata Kadal Ginting.

"Hahh...?! Celaka...!" Dewa Semprong bergegas mundur mendekati Suto Sinting. "Kalau begitu, berlututlah, Nak. Kusembuhkan kebutaanmu itu!" kata Dewa Semprong dengan rasa waswas, takut diserang Tapak Siluman.

"Aku mau disembuhkan asalkan Menik juga ikut disembuhkan."

"Iya, iya...! Cerewet kau ini, Nak! Cepat kalian berlutut, nanti Tapak Siluman keburu menyerangku!" kata Dewa Semprong dengan tegang.

Suto berlutut di depan Dewa Semprong, sedangkan Menik hanya berdiri di samping Suto menghadap Dewa Semprong. Gadis kecil itu berdiri dengan bertolak pinggang menampakkan keberaniannya walau matanya buta.

Dewa Semprong sempat membatin, "Bocah ini mau disembuhkan apa mau dilukis, kok lagak berdirinya begitu?!"

Tapi hal itu segera dilupakan oleh Dewa Semprong. Kini kedua tangan Dewa Semprong mengeraskan dua jarinya. Kemudian, masing-masing kedua jari itu mengeluarkan sinar putih. Dua sinar putih perak menembus sepasang mata Menik, dan dua sinar putih lagi menembus sepasang mata Pendekar Mabuk. Clappp...! Wwees...! Suto dan Menik terpental, namun tak keras. Hanya saja sempat membuat mereka terpelanting jatuh.

"Tua ompong licik!" maki Menik sambil bergegas bangun, ia ingin marah kepada Dewa Semprong, namun gerakannya tertahan sendiri oleh kesadarannya. Matanya mengerjap-ngerjap dan ia mulai dapat melihat kembali. Demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk yang sudah dapat melihat walau masih buram. Tapi dalam beberapa kejap kemudian penglihatannya menjadi pulih seperti sediakala.

Menik berpaling memandang Suto, mereka beradu pandang. Menik tersenyum dan menyapa sok tua, "Hei... bagaimana kabarmu?"

"Aku melihat kodok berdiri di depanku," ejek Suto.

"Ya, aku juga melihat kambing berdiri di depanku," balas Menik, lalu keduanya sama-sama tertawa. Menik melebarkan telapak tangannya, lalu diayunkan ke depan, bertemu dengan ayunan telapak tangan Suto. Plaak...!

"Kita kibuli dia," kata Menik sambil cekikikan.

"Kibuli bagaimana?"

"Aku tadi berbisik kepada Kadal Ginting agar berpura-pura melihat Tapak Siluman di pohon. Padahal Kadal Ginting tidak melihat apa-apa, aku pun juga tidak melihat apa-apa. Hik, hik, hik, hik...!"

"Dasar otak bulus!" ujar Suto dengan tersenyum geli. "Terima kasih atas pengobatanmu, Eyang," kata Suto kepada Dewa Semprong.

Si kakek cemberut setengah menyesal telah mengobati lawannya. "Terima kasih itu tidak penting, yang penting hadapi si Tapak Siluman itu," ujarnya dengan mulut mirip cucur bantat.

"Kalau sekarang dia ada di sini, aku akan segera menyerangnya, Eyang."

"Lho, katanya tadi dia ada di pohon itu?!"

Kadal Ginting menyahut sambil nyengir, "He, he, he... ternyata yang kulihat tadi seekor monyet, Eyang."

"Hah...?!" Dewa Semprong terbelalak. "Seekor monyet...?! Sial! Aku tertipu kalau begitu."

"Aku sendiri tertipu, Eyang," kata Kadal Ginting. "Kusangka si Tapak Siluman, tak tahunya seekor monyet!"

"Itu pasti bapakmu yang kebingungan mencari anaknya yang hilang," kata Dewa Semprong dengan hati dongkol, semakin merasa dongkol setelah yang lain menertawakannya. "Tidak lucu! Tidak lucu!" ujarnya bersungut-sungut cemberut.

Resi Pakar Pantun segera melontarkan pantunnya. "Perawan juling naik perahu tanpa celana. Terkena angin keluar bunyi berdenging. Biar gundul kepalamu bagai semangka. Tapi manis jika dipandang sambil nungging."

Dewa Semprong tak mau kalah, ia lontarkan pantunnya sambil cemberut. "Janda montok hamil menelan batu. Keringat perawan diseduh jadikan jamu. Biar aku tertipu oleh si pawang kutu. Tapi aku tetap lebih tampan dari congormu."

Tawa mereka berderai sebentar, tapi Mahkota Dewi hanya sunggingkan senyum, ia masih menyimpan duka atas kematian gurunya. Karena itu, ia segera memotong tawa ria mereka. "Maaf, Eyang Dewa Semprong... aku harus segera pergi menguburkan jenazah Guru."

"Oh, iya...!" Dewa Semprong mendadak berubah sedih. "Jenazah si Serampang Wilis belum ada yang menguburkan. Sebaiknya, mari kita kuburkan jenazah gurumu, Dewi. Biar aku sering bentrok dengannya, tapi dulu ia pernah memberiku sebuah ciuman manis. Kurasa sekaranglah saatnya aku membalas ciuman manis itu dengan cara menguburkan jenazahnya."

"Aku akan ikut memakamkan Nyai Serampang Wilis, sebagai penghormatan terakhir dariku," kata Resi Pakar Pantun. "Sebab dulu dia pernah menghormatiku, ketika aku terkena racun dia rela memanjat pohon kelapa untuk mencarikan air kelapa untuk penawar racunku. Walau akhirnya aku pun ikut naik ke pohon itu."

"Kenapa kau ikut naik?"

"Sebab dia tak bisa turun dari pohon."

Pendekar Mabuk tersenyum geli. Lalu ia berkata kepada Resi Pakar Pantun yang bersebelahan dengan Dewa Semprong. "Eyang, mohon doa restu, aku akan memburu si Tapak Siluman!"

"Kulihat ia bergerak ke arah barat," kata Dewa Semprong. "Kejar dia dan hancurkan kekuatannya!"

"Baik, Eyang!"

"Aku ikut!" tiba-tiba Menik nyeletuk keras.

"Anak kecil tak, boleh ikut tawuran!" kata Dewa Semprong.

"Hei, aku bukan penakut sepertimu, Kakek Ompong! Aku berani melawan Tapak Siluman!"

"Kalau didengar Tapak Siluman, mulutmu bisa dirobek menjadi tujuh bendera, Bocah Bodong!" geram Dewa Semprong.

Suto berkata kepada Menik, "Sebaiknya memang kau tak usah ikut aku, Menik. Ikutlah memakamkan Nyai Serampang Wilis bersama Eyang Resi Pakar Pantun."

"Enak saja! Perutku mual kalau harus ikut sama kakek ompong itu!"

"Aku tetap tidak izinkan kau mengikutiku, Menik!" tegas Suto. Kemudian kepada yang lain ia berpamit, "Aku berangkat sekarang juga, Eyang. Maaf, aku tak bisa ikut memakamkan gurumu, Dewi."

"Aku bisa memaklumi," kata Mahkota Dewi.

Blaaas...! Suto segera pergi tinggalkan tempat. Menik segera melompat dengan gerakan lincah dan cepat, ia tahu-tahu sudah berada di atas pohon.

Plak, plak, plak, wuut, wuuut...!

"Sutooo... tunggu, ada yang ingin kukatakan padamu. Penting sekali!" seru Menik sambil mengejar Suto Sinting.

Seruan itu sempat didengar Suto dan membuat pemuda tampan itu hentikan langkah. "Ada apa?" tanya Suto setelah Menik mendekat. "Aku lupa katakan sesuatu padamu. Ada pesan untukmu dari kakakku; Dewi Hening."

"Pesan apa?"

"Tentang isi hatinya."

"Jelaskan isi hatinya itu."

"Akan kujelaskan kalau kau mengizinkan aku ikut denganmu."

"Ayolah, Menik... jangan menggangguku begitu!"

"Kalau kau tak mau dengar pesan isi hatinya, akan kukembalikan kepada Hening. Dan aku akan bilang kepada Hening bahwa Pendekar Mabuk tak sudi menerima pesannya!"

"Hei, jangan begitu? Itu namanya melukai hati kakakmu?"

"Maukah kau mendengar pesan isi hatinya Hening?"

Pendekar Mabuk diam sebentar, mempertimbangkan langkahnya sambil membayangkan kecantikan si Dewi Hening yang menggiurkan hati itu. Akhirnya, Suto menyerah kepada Menik. "Baiklah, kau boleh ikut. Tapi tidak boleh nakal!"

"Aku hanya akan nakal jika bertemu lelaki tampan, hik, hik, hik...!"

"Husy! Kecil-kecil sudah ganjen."

"Melatih diri biar besok kalau besar tidak seperti Kejora; kuper alias kurang pergaulan!"

Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Kita berangkat sekarang, Menik!"

"Aku siap, Suto!" jawab Menik dengan tersenyum bangga, wajahnya tampak ceria sekali.

Menik mendahului gerakan Suto. Ia melompat seperti anak kijang. Slaap, slaap...! Pendekar Mabuk mengikutinya tanpa menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.

* * *

TUJUH

SEBUAH kedai menjadi sasaran perhentian Suto dan Menik, karena saat itu malam telah mulai menggerayangi seluruh permukaan bumi. Begitu mereka masuk ke kedai di sebuah desa, beberapa mata mulai memperhatikan Suto dan Menik. Pandangan mereka mencurigakan hati Pendekar Mabuk, sehingga kewaspadaan pun ditingkatkan.

"Suto, mereka memperhatikan kita terus," bisik Menik.

"Jangan-jangan mereka naksir aku, ya?"

"Naksir?! Hmmm... wajahmu tak punya kecantikan kok ditaksir," Suto Sinting sengaja mengajak Menik bercanda supaya hati Menik tidak diliputi kecemassn. Padahal dalam hati Suto sendiri telah timbul kecemasan akibat kecurigaan yang tersembunyi.

"Tenang saja, Menik. Kau tak perlu punya penafsiran yang bukan-bukan. Biarkan mereka memandangi kita, karena mereka mempunyai mata."

"Iya. Kalau mereka tidak punya mata mana mungkin mereka memandangi kita? Apa mereka mau memandang pakai mata kaki?!" ujar Menik bernada gerutu, ia langsung duduk di bangku samping Suto. "Perutku lapar sekali," bisiknya kepada Suto. "Kuharap kau mengajakku ke sini bukan sekadar untuk mengisi bumbung tuakmu dan meminum wedang Jahe. Setidaknya kau akan mengizinkan aku untuk memesan pengisi perut."

Suto Sinting tersenyum geli. "Pesanlah sendiri kepada Pak Tua pemilik kedai itu. Aku akan menyuruh pelayannya untuk mengisi bumbung tuakku."

Ketika mereka sedang menikmati makanan malamnya, tiba-tiba muncul seorang pemuda berparas cukup tampan dengan bercelana ungu dan memakai baju tanpa lengan warna ungu juga. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Rambutnya lurus dan panjang, diikat menjadi satu kebelakang, ia menenteng pedang perak bergagang ronce-ronce benang ungu. Pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit warna loreng hitam-hitam. Pemuda itu segera duduk di samping Pendekar Mabuk begitu ia melihat sang Pendekar Mabuk ada di kedai tersebut. Pedangnya diletakkan di atas meja, seakan dipamerkan di depan Suto.

Brak...! Suara pedang dihentakkan di meja membuat Suto Sinting dan Menik berpaling memandang pemuda berkulit bersih itu. Mata Suto segera memandang punggung telapak tangan si pemuda yang bertato gambar seekor elang biru mengepakkan sayapnya. Tato itulah yang membuat Suto Sinting sunggingkan senyum, karena ia mengenali siapa pemilik tato elang biru.

"Hei Elang Samudera!" Plok...! Suto segera menepuk punggung pemuda tersebut.

Si pemuda pun langsung berlagak memukul pinggang Suto sambil tertawa. Tapi tangan Suto segera menangkis pukulan itu. Teeb...! Genggaman pemuda itu ditangkap oleh Suto, maka tawa mereka sama-sama pecah berderai penuh keriangan.

"Kusangka kau telah lupa padaku, Suto!"

"Tak mungkin aku melupakan seorang sahabat sepertimu, Elang Samudera. O, ya... mau ikut makan bersama? Silakan pesan sendiri."

"Kau yang akan membayarnya?"

"O, tentu saja kau harus bayar sendiri, jika perlu bayar pula makanan dan minuman kami berdua ini!" jawab Suto Sinting dalam kelakarnya.

Elang Samudera hanya tertawa sambil memukul kecil lengan Suto Sinting. Elang Samudera adalah murid dari Pendeta Darah Api dari Teluk Merah, ia bertemu dengan Pendekar Mabuk dan mulai bersahabat sejak peristiwa hilangnya Tongkat Guntur Bisu milik Ratu Remaslega. Elang Samudera mempunyai kakak perempuan yang menjadi Perwira Pulau Sangon, yaitu Dewi Cintani, sahabat Suto juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam).

"Mengapa kau ada di desa ini, Elang?"

"Aku diminta bantuannya oleh Ki Lurah Penawu, kepala desa ini, untuk menjaga keamanan desa yang sedang diganggu oleh orang-orang Perguruan Macan Iblis."

Suto Sinting berkerut dahi karena baru mendengar nama Perguruan Macan Iblis. Tetapi Menik yang sudah dikenalkan oleh Suto kepada Elang Samudera itu segera menyahut percakapan mereka.

"Apakah maksudmu Perguruan Macan Iblis yang diketuai oleh Warok Suro Bangsat itu, Kang?"

"Benar, Menik. Rupanya kau lebih tahu tentang perguruan tersebut ketimbang si Pendekar Mabuk ini."

Suto Sinting hanya tersenyum bernada malu. Ternyata pengetahuannya tentang perguruan itu masih tertinggal dibanding si kecil Menik. Tapi Suto maklum akan hal itu, karena Menik mungkin lebih sering mencuri percakapan orang tua, sehingga ia mengetahui tentang Perguruan Macan Iblis itu.

"Gangguan apa yang membuat Ki Lurah Penawu itu meminta bantuanmu, Elang Samudera?"

"Apakah kau tak mendengar bahwa beberapa hari belakangan ini banyak anak kecil yang menjadi korban penculikan? Dan pada umumnya anak yang diculik ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa dengan tengkorak kepala rusak dan otaknya hilang?"

"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Kurasa ada hubungannya dengan kemunculan tokoh hitam yang bernama Tapak Siluman itu, ya?"

"Benar! Ternyata kau sudah mendengar tentang hal itu, Suto," ujar Elang Samudera setelah memesan minuman dan makanan untuknya.

"Aku hampir menjadi korban, Kang!" kata Menik seakan ingin ikut dilibatkan dalam pembicaraan tersebut.

"Masuk akal sekali kalau kau nyaris menjadi korban, Menik. Karena yang dicari adalah anak-anak seusia kau," kata Elang Samudera, lalu ia bicara kepada Suto Sinting.

"Karenanya, anak-anak kecil di desa ini sejak sebelum senja sudah disembunyikan dalam satu ruangan bawah tanah di pendopo kelurahan. Tak ada anak kecil yang berani berkeliaran selewat senja."

"Pantas ketika aku memasuki kedai ini, banyak orang yang memperhatikan aku, Kang."

"Itu lantaran mereka heran dan kagum melihat keberanianmu berada di luar rumah di waktu malam."

Ki Lurah Penawu ternyata punya hubungan persahabatan dengan Dewi Cintani. Ketika utusan Ki Lurah Penawu datang kepada Dewi Cintani dan meminta bantuan tenaga untuk melindungi desanya, Dewi Cintani menyuruh adiknya: Elang Samudera untuk memperkuat keamanan di Desa Badaran itu.

Sebenarnya gangguan yang menyerang Desa Badaran bukan dari orang-orang Perguruan Macan Iblis saja. Tapi dari beberapa pihak lain yang ingin mendapatkan otak anak-anak juga ikut berkeliaran di Desa Badaran. Tetapi kebanyakan mereka datang dari Perguruan Macan Iblis, karena letak perguruan itu lebih dekat dengan Desa Badaran.

Sudah tiga malam ini, Elang Samudera selalu berhasil melumpuhkan para pencari otak anak-anak itu. Dan malam kemarin ia berhasil membunuh seorang murid Perguruan Macan iblis. Dalam perhitungan otaknya, malam itu akan datang sejumlah murid Perguruan Macan Iblis ke desa tersebut dengan alasan ingin menuntut balas atas kematian rekan mereka.

"Karena itu, sangat kebetulan sekali kau singgah di desa ini, Suto. Setidaknya jika aku sampai terpojok oleh kekuatan mereka, kau bisa membantuku."

"Dengan senang hati aku akan bertindak sebelum kau perintah, Elang Samudera."

"Kusarankan lebih baik kau bermalam di rumah Ki Lurah Penawu saja, sekaligus memberi tempat perlindungan bagi Menik yang jika terlihat mereka pasti akan dijadikan sasaran penculikan juga."

"Bagaimana, Menik?" tanya Suto.

"Terserah...." Menik sentakkan pundak. "Tapi kalian harus percaya bahwa aku sebenarnya tidak merasa takut menghadapi orang-orang Perguruan Macan Iblis, atau dari mana saja!"

Pendekar Mabuk dan Elang Samudera manggut-manggut sambil tertawa. Agaknya gadis kecil itu tidak mau diremehkan oleh yang tua, dia selalu ingin dinilai bukan sebagai seorang bocah, tapi sebagai sang pemberani yang tidak mempertimbangkan batas usia. Elang Samudera merasa kagum melihat kepandaian bicara Menik dan keberaniannya, terlebih setelah mendapat cerita dari Suto Sinting tentang pertemuannya dengan Dewa Semprong yang membuat mereka menjadi buta beberapa saat itu.

Ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah Ki Lurah Penawu dalam siraman cahaya rembulan, tiba-tiba Menik menahan tangan Pendekar Mabuk yang membuat mereka bertiga terpaksa hentikan langkah.

"Ada apa, Menik?" tanya Suto dalam nada bisik.

"Aku melihat dua sosok manusia diatas atap rumah-rumah sebelah kiri kita, Suto."

Elang Samudera terkejut tipis, ia dan Suto sama-sama pandangi atap rumah yang dimaksud Menik. Beberapa saat kemudian mereka baru melihat dua bayangan yang dimaksud Menik.

"Kau melihatnya, Suto?" tanya Elang Samudera.

"Ya, aku melihatnya."

"Aku pun demikian. Pasti mereka punya maksud tak baik."

"Kita ikuti dengan sembunyi-sembunyi saja supaya tidak menggegerkan penduduk," bisik Suto sambil menggantungkan bumbung tuaknya di pundak, supaya sewaktu-waktu terjadi sesuatu dapat segera digunakan sebagai senjata.

Dua sosok bayangan hitam itu melompat dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lainnya. Sepertinya ada yang mereka incar di dalam rumah melalui atapnya. Firasat Suto mengatakan, bahwa kedua sosok bayangan itu pasti sedang mencari seorang bocah. Karenanya Suto segera mengingatkan Menik agar hati-hati dan jangan sampai menjadi sasaran dua sosok bayangan itu.

"Apakah mereka orang Perguruan Macan iblis?" tanya Pendekar Mabuk kepada Elang Samudera.

"Belum tentu. Tak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan ciri khas orang Perguruan Macan Iblis. Kita tak bisa mengetahui sebelum kita menangkapnya dan memaksanya mengaku dari pihak mana."

Suto Sinting menggumam lirih sekali sambil manggut-manggut. Suasana desa dicekam sepi, seakan para penduduknya berada dalam pengawasan mata iblis yang menyeramkan. Tak satu pun penghuni rumah yang keluar atau jalan-jalan menikmati malam terang bulan. Bahkan orang-orang di kedai tadi sudah pergi lebih dulu sebelum Pendekar Mabuk tinggalkan kedai tersebut.

Semakin lama kedua bayangan itu semakin bergerak mendekati pendopo rumah Ki Lurah Penawu. Elang Samudera tampak mulai cemas, karena takut jika kedua sosok bayangan itu menemukan tempat penampungan anak-anak yang disembunyikan. Sebab itulah Elang Samudera akhirnya segera bertindak tanpa bicara apa-apa kepada Suto. Elang Samudera lakukan lompatan ringan yang membuat tubuhnya melenting tinggi dan hinggap di salah satu atap rumah tanpa timbulkan suara. Sama halnya dengan kedua bayangan itu, Elang Samudera bergerak melintasi atap demi atap tanpa bersuara. Ini menandakan ilmu tenaga peringan tubuh mereka cukup tinggi dan mampu menapak di atas atap tanpa menimbulkan kegaduhan apapun.

Wuuut...! Tab, tab, tab...!

Pendekar Mabuk dan Menik mengawasi gerakan Elang Samudera dari bawah pohon rindang. Sesekali mereka pindah ke tempat yang tersembunyi, mendekati gerakan Elang Samudera sebagai tindakan berjaga-jaga.

"Ssssstt...," desis Menik memberi isyarat kepada Suto. Ia menyentakkan tangan Suto, sehingga pemuda tampan berbadan kekar itu berpaling memandangnya.

"Di sebelah timur juga ada dua bayangan, Suto. Mereka juga berkeliaran di atas atap!"

Pendekar Mabuk buru-buru memandang ke arah timur. Tak lama ia menemukan dua sosok bayangan hitam yang sedang melintas dari atap ke atap tanpa timbulkan suara. Gerakan mereka juga makin lama semakin mendekati ke arah pendopo rumah Ki Lurah Penawu.

"Menik, bersembunyilah di atas pohon rimbun itu. Tetaplah di sana sebelum aku dan Elang Samudera selesai melumpuhkan mereka."

"Kenapa harus bersembunyi?"

"Nanti kau yang dijadikan sasaran penculikan mereka jika kau tidak bersembunyi."

"Justru aku sedang berpikir bagaimana menculik salah satu dari mereka."

"Ah, konyol kau ini!" sergah Suto. "Sudah sana, naik ke atas pohon. Aku akan menghadapi dua bayangan yang di timur itu!"

"Kita hadapi berdua saja!"

"Dasar bandel...!" gerutu Suto sambil mencekal lengan Menik, kemudian melemparkan tubuh kecil itu ke ates pohon.

Wuuut...! Gusraak...!

Teeb...! Menik berhasil meraih sebuah dahan dipakai bergelayutan. Kemudian ia mengangkat tubuhnya hingga bisa duduk di dahan tersebut. "Kambing congek betul si Suto itu!" gerutunya dengan jengkel. "Enak saja melemparkan tubuhku ke sini, sementara dia menghilang dalam waktu singkat. Awas, nanti kalau sudah selesai dia akan ganti kulemparkan bukan di atas pohon, tapi di jamban salah satu rumah!"

Menik terpaksa diam di pohon tersebut. Tapi matanya dapat untuk memandang ke arah timur dan barat, ia melihat Elang Samudera sedang menyergap dua bayangan yang berkeliaran di atap rumah sebelah barat. Gerakan Elang Samudera cukup cepat dan lincah. Tanpa banyak tanya lagi ia berkelebat menerjang kedua bayangan itu dengan tendangan serentak.

Wuuus ..! Prok, buhk...!

Kedua bayangan terjengkang karena tendangan Elang Samudera. Mereka jatuh ke tanah dalam keadaan sungguh mengenaskan. Elang Samudera menyusul turun pada saat salah satu dari bayangan hitam itu bangkit mencabut goloknya. Kehadiran Elang Samudera segera disambut dengan tebasan golok lebar ke arah leher.

Wuuuss...!

Elang Samudera segera merundukkan kepala dilangsungkan dengan gerakan berguling di tanah. Wuuut...! Dalam sekejap ia sudah berlutut di depan lawannya. Sebelum sang lawan menyadari keberadaannya, Elang Samudera sudah lebih dulu menghantamkan pukulan bertenaga dalam ke arah perut orang tersebut.

Buuuhk...!

"Uuhg...?!!" orang itu mendelik, langsung menyemburkan darah dari mulutnya setelah Elang Samudera bangkit dan lakukan lompatan ke arah samping.

Weess...! Pada saat itu, lawan yang satunya lagi sedang mengerahkan tenaga untuk melepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi. Tapi kaki Elang Samudera lebih dulu menendang tangan orang tersebut, lalu tubuh Elang Samudera berputar cepat sehingga tendangan kaki lainnya mengenai pelipis lawannya.

Plak, praak...!

Tendangan pada pelipis menimbulkan bunyi berderak, menandakan tulang tengkorak orang tersebut menjadi retak seketika itu pula. Darah keluar dari hidung dan telinga, lalu orang itu tumbang tak mampu menjerit sedikit pun.

Melihat temannya ditumbangkan Elang Samudera, orang yang tadi menyemburkan darah dari mulutnya segera menyambar temannya itu. Weess...! Rupanya ia masih punya sisa kekuatan untuk melarikan diri, sehingga dalam waktu cepat ia sudah memanggul temannya dan melesat pergi melalui lorong di antara dua rumah.

Sementara itu, di sebelah timur Menik melihat Pendekar Mabuk juga melompat ke atas atap tanpa timbulkan suara. Kedua bayangan itu sengaja dibuat kaget atas kemunculan Suto. Kedua bayangan tersebut segera menyerang Suto lebih dulu. Tapi dengan cekatan Suto Sinting ambil bumbung tuaknya dan disabetkan ke depan dari kanan ke kiri. Wuut...!

Weeess...! Brrruuk...!

Angin sabetan bumbung tuak itu membuat dua sosok bayangan tersebut terpental bagai terkena tendangan keras. Mereka jatuh ke tanah tanpa berguling-guling di atas pohon, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan sedikit pun.

Pendekar Mabuk segera mengejar kedua bayangan yang jatuh ke tanah. Sampai di depan mereka, Pendekar Mabuk tak mau beri kesempatan bagi lawannya untuk coba-coba menyerang lagi. Kaki Suto Sinting melangkah dengan limbung, badannya menggeloyor bagai orang mabuk mau jatuh. Tapi tangan kirinya segera menghantam ke arah dagu lawan dengan kuat. Pruuk...!

"Uuhfff...!" orang itu mengaduh kesakitan karena giginya rontok setelah terkena sodokan kuat si Pendekar Mabuk.

Belum sempat orang itu jatuh, Suto Sinting sudah putar tubuh secara cepat dan kakinya melayang ke arah lawan yang satunya lagi. Wees...! Plaaak...! Kaki itu bagaikan melakukan tamparan sangat keras ke wajah lawan.

"Oouh..!" orang itu memekik tertahan sambil terpelanting dan jatuh kembali di tanah.

Pada saat itu, orang yang tadi disodok dagunya menjadi sangat penasaran. Maka dengan menggeram diiringi mata yang mendelik, ia mencabut kapaknya dan ingin menghantam kepala Suto dari belakang dengan kapak itu. Namun Pendekar Mabuk cukup sigap. Melihat kelebatan angin aneh di belakangnya, ia langsung mengayunkan bumbung tuaknya ke belakang.

Wuuut...! Praaak...! Kapak itu beradu dengan bumbung tuak dan kapak itu akhirnya pecah menjadi tiga bagian.

Orang itu tak tahu bahwa bambu yang dipakai bumbung tuak Suto itu bukan sembarang bambu, melainkan mempunyai kekuatan sakti tersendiri, sehingga mampu menghancurkan kapak baja tersebut.

"Keparat kau!" geram orang yang ditendang wajahnya tadi. Ia segera lakukan lompatan dengan tubuh berputar cepat seperti baling-baling. Suto Sinting sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya segera melesat ke atas melebihi ketinggian lompat lawannya.

Wuuut...! Terjangan lawan akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Ketika Suto Sinting mendaratkan kakinya kembali, kedua lawan sempat dalam keadaan berjejer dan sama-sama memunggungi Suto. Sebelum mereka membalikkan tubuh, Pendekar Mabuk lakukan satu lompatan kecil dan kedua kakinya menendang punggung kedua lawan secara bersamaan. Wees...! Duuhk, duuhk...!

"Oohk...!" salah seorang terpekik dengan suara tertahan. Ia memuntahkan darah segar dari mulutnya, karena tendangan Suto tadi mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup berbahaya. Sedangkan lawan yang satu juga begitu, bahkan lebih parah lagi; tubuhnya tersungkur dan wajahnya membentur sebongkah batu dengan keras. Selain ia memuntahkan darah segar juga mencucurkan darah dari hidung karena bertabrakan dengan sebongkah batu tadi.

"Lari...! Cepat lari...!" suara lawan yang satu bagai ditekan, mirip orang berbisik, ia menarik tangan temannya yang wajahnya hancur itu. Kemudian, mereka akhirnya lari secara serempak menerabas semak dan menghilang di kegelapan kebun kopi yang menjadi batas wilayah desa.

Sebenarnya Suto Sinting tak ingin lakukan pengejaran. Tetapi tiba-tiba ia melihat Menik berlari memburu kedua orang tersebut. Gadis kecil itu ternyata nekat turun dari pohon dan memperhatikan pertarungan Suto dari jarak dekat. Begitu melihat kedua lawan kehabisan tenaga dan terluka cukup berbahaya, Menik segera mengejarnya dengan membawa dua batu di tangannya. Mau tak mau Suto Sinting bergerak cepat untuk menahan pengejaran si gadis kecil itu. Zlaaap...!

* * *

DELAPAN

ESOKNYA mereka mendengar kabar bahwa Ketua Perguruan Macan Iblis marah kepada penduduk Desa Badaran karena keempat muridnya dilukai. Seorang pencari kayu datang kepada Ki Lurah Penawu dan mengabarkan bahwa rombongan dari Perguruan Macan Iblis sedang bergerak menuju desa tersebut.

"Sekarang mereka sedang mendaki Bukit Liar untuk menuju kemari, Ki Lurah," kata orang itu dengan wajah tegang penuh rasa ketakutan.

Pendekar Mabuk yang ikut mendengarkan laporan tersebut segera berbisik kepada Elang Samudera. "Dugaanku tak salah, keempat orang semalam adalah orang-orang Perguruan Macan Iblis. Karena jurus-jurusnya kulihat mirip dengan gerakan seekor harimau."

"Ya, dan sekarang agaknya Warok Suro Bangsat ingin mengamuk di desa ini. Aku harus segera menahan gerakan mereka di Bukit Liar."

"Akan kudampingi!" ujar Suto Sinting sambil menepuk pundak Elang Samudera, bagai memberi semangat yang menguatkan jiwa murid Pendeta Darah Api itu.

"Aku ikut, ya?" ujar Menik kepada Suto.

"Tidak. Kali ini kau harus tetap tinggal bersama Ki Lurah."

"Aku bisa menjaga diri, Suto!"

"Tidak boleh!" gertak Suto, dan Menik akhirnya menunduk dengan bibir dimonyongkan, entah hatinya menggerutu apa, tak ada yang tahu.

Pendekar Mabuk dan Elang Samudera segera berangkat menghadang gerakan orang Perguruan Macan Iblis. Dengan menggunakan gerakan cepat yang mengandung ilmu peringan tubuh, mereka sudah sampai di lereng Bukit Liar dalam waktu yang terhitung singkat. Langkah mereka terhenti karena mendengar suara pertarungan di puncak Bukit Liar.

"Agaknya mereka terhambat oleh sesuatu," gumam Elang Samudera.

"Kurasa memang begitu. Mungkin mereka menemukan musuh lama dan melumpuhkannya lebih dulu, setelah itu baru bergerak ke desa."

"Aku akan melihat lebih dekat melalui atas pohon, siapa yang bertarung melawan mereka di puncak sana." Wees...! Elang Samudera melambung tinggi dan hinggap di dahan sebuah pohon. Dari pohon itu ia melompat dengan cepat ke pohon yang lainnya hingga menuju ke puncak bukit.

Pendekar Mabuk menyelinap dari balik semak dan batang pohon. Gerakannya begitu cepat hingga sulit diperhatikan oleh siapa pun. Tapi ketika ingin mencapai puncak bukit, Pendekar Mabuk segera melenting ke udara dan kakinya menapak pada dedaunan pohon. Orang biasa akan jatuh menapak di dedaunan pohon itu, tapi Suto Sinting yang mempunyai ilmu peringan tubuh mendekati sempurna bahkan mampu berdiri di atas daun yang paling muda sekalipun.

Wuuut...! Elang Samudera mendekatinya. Tapi tak bisa berdiri di atas daun. Ia berdiri di dahan tak jauh dari Pendekar Mabuk. Mereka menyaksikan pertarungan dari atas pohon rindang itu.

Sekitar lima belas orang mengurung tanah kosong yang dipakai untuk arena pertarungan. Saat itu, seorang anak buah Warok Suro Bangsat sedang berhadapan dengan seseorang yang memakai pakaian hitam compang-camping. Sekujur tubuhnya penuh lumpur kering, termasuk rambutnya yang panjang sepunggung juga bercampur dengan lumpur. Wajah orang itu cukup dingin, berkesan menyeramkan. Matanya kecil, memancarkan kebengisan, dagunya menjorok ke depan dengan kumis tipis namun panjang hingga melewati dagu.

"Elang Samudera, siapa orang berkuku panjang seperti leak itu?!" bisik Suto Sinting.

"Kalau tak salah, dia itulah yang bernama Tapak Siluman. Ki Lurah Penawu pernah melihatnya belum lama ini dan menceritakan ciri-cirinya kepadaku."

"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut, perhatiannya semakin dipusatkan ke pertarungan. "Lalu, orang yang memakai pakaian merah dengan kepala dibungkus kain batik biru itu siapa?"

"O, kalau itu aku tahu. Dia yang bernama Warok Suro Bangsat, Ketua Perguruan Macan iblis."

Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut memandangi orang bertubuh tinggi-besar, berkumis lebat melintang, mengenakan gelang binggel emas di kedua kakinya, dan memakai subang di telinga kirinya. Ia tampak menyeramkan dan berwibawa dengan cambuk terselip di pinggangnya. Ketika seorang anak buahnya yang maju melawan Tapak Siluman itu dalam keadaan terdesak serangan lawan, Warok Suro Bangsat segera mencabut cambuknya. Cambuk itu dilecutkan ke leher muridnya sendiri. Ctaaarrr...!

"Aaaahg...!" sang murid mengejang dengan leher robek, kejap kemudian tumbang tak bernyawa lagi.

"Daripada muridku menjadi korbanmu, lebih baik dia kubunuh sendiri!" ucap Warok Suro Bangsat dengan suaranya yang besar dan menyeramkan.

"Kebo Gadung, maju kau!" perintah Warok Suro Bangsat.

Pendekar Mabuk terperanjat sedikit melihat kemunculan seorang lelaki berbaju hitam dan bercelana merah, karena ia kenal dengan wajah angker orang tersebut yang tak lain adalah Kebo Gadung. "O, rupanya Kebo Gadung murid Warok Suro Bangsat?! Pantas dia bernafsu sekali ingin menculik Menik kala itu," ucap Suto pelan kepada Elang Samudera.

"Setahuku, biasanya siapa pun yang diberi tugas oleh Ki Warok Suro Bangsat, jika gagal akan dihukum mati. Tapi mengapa orang bernama Kebo Gadung itu tidak dibunuhnya, ya?"

"Mungkin Ki Warok masih ingin memanfaatkan tenaga Kebo Gadung, sehingga orang itu tidak dijatuhi hukuman mati. Tetapi aku yakin, jika kali ini Kebo Gadung gagal melawan Tapak Siluman, maka ia akan dibunuh seperti temannya yang tadi."

"Kita lihat saja pertarungan itu."

Kebo Gadung mengeluarkan jurus tendangan beruntun. Dari kakinya keluar sinar hijau patah-patah seperti lempengan bundar. Wut, wut, wut, wut! Clap, clap, clap clap...!

Wuub...! Sosok Tapak Siluman hilang seketika. Tetapi bekas telapak kakinya masih kelihatan di tanah. Bekas telapak kaki itu bertambah dan bertambah terus mengelilingi Kebo Gadung.

"Dia mengelilingimu, Kebo Gadung!" seru salah seorang murid Warok Suro Bangsat.

Kebo Gadung segera mencabut goloknya dan menebaskan ke sekelilingnya. Gerakan cepat itu menimbulkan bunyi dengung yang mengganggu pendengaran. Tapi tak satu pun tebasan golok kenai sasaran. Kebo Gadung seperti menebas angin dengan tenaga penuh. Kejap berikut, sosok Tapak Siluman menampakkan diri lagi. Bluub...! Kemunculannya membuat Kebo Gadung terkejut. Dan pada saat terkejut itulah tiba-tiba Kebo Gadung dihantam sinar merah berbentuk bola api. Weess...!

Sinar merah berbentuk bola api itu keluar dari telapak tangan Tapak Siluman. Gerakan sinar begitu cepat, hingga tak memungkinkan dihindari atau ditangkis oleh Kebo Gadung. Blesss...! Sinar itu menghantam dada Kebo Gadung, lalu tembus ke belakang dan menghantam tubuh rekannya yang ada di belakang Kebo Gadung. Blees...! Di belakang orang itu ada lagi seorang murid Ki Warok Suro Bangsat yang juga terkena tembusan sinar merah. Bleess...!

Dalam satu gebrakan, tiga nyawa pun melayang. Tubuh mereka bagaikan lenyap seketika menjadi uap. Yang tersisa hanya bagian dalam tubuh; usus, jantung, paru-paru, limpa, dan sebagainya serta bagian kepala mereka masih utuh. Namun jelas sudah tak mungkin bisa dipakai bernapas lagi.

Melihat tiga orang tumbang dalam keadaan mengerikan, murid-murid Ki Warok menjadi tegang dan dicekam kecemasan. Tetapi sang Ketua perguruan menjadi berang. Matanya lebar memandang lawannya dengan bengis.

Elang Samudera yang terpaku melihat kematian Kebo Gadung dan dua temannya itu, segera sadar setelah ditepuk punggungnya oleh Pendekar Mabuk, ia menggeragap dan hampir jatuh dari tempat pijakannya.

"Itukah yang dimaksud jurus 'Bajang Rampak'?!" tanya Suto lirih.

"Kurasa... kurasa memang Tapak Siluman tadi menggunakan ilmu 'Bajang Rampak'-nya. Aku pernah mendengar ciri-ciri korban ilmu 'Bajang Rampak', yang meninggalkan kepala serta bagian dalam tubuh korbannya."

"Kenapa wajahmu pucat, Elang Samudera? Kau takut atau memang belum sarapan?!" ledek Pendekar Mabuk.

Elang Samudera segera nyengir malu. "Kubayangkan seandainya dia menyerangku dengan ilmu 'Bajang Rampak', rasa-rasanya aku sukar menghindari atau menangkis kecepatan sinar merahnya tadi, Suto."

"Kalau begitu, biar aku saja yang menghadapinya. Kau tetap saja di sini menjadi penonton yang baik. Hanya saja, kalau nanti aku mati melawannya, tolong sampaikan salam rinduku kepada Dyah Sariningrum, calon istriku di Pulau Serindu itu. Dan sampaikan juga pesanku kepada Menik, agar ia menyampaikan salam kangenku kepada kedua kakaknya; Dewi Hening dan Dewi Kejora."

"Mana mungkin aku bisa menyampaikan salammu kepada mereka?"

"Kenapa tidak?"

"Karena kalau kau mati di tangan si Tapak Siluman, aku pun tak mau pulang membawa nyawa. Aku harus melawannya walau pada akhirnya nanti aku pun mati sepertimu. Hanya saja... sebaiknya kita memang tak perlu melawan dia, Suto. Dia bukan tandingan kita. Ingat, kita belum punya istri, dan belum pernah merasakan nikmatnya dikerok sang istri saat kita masuk angin."

"Sudah, sudah... jangan melantur," kata Suto sambil mengulum senyum. "Kita lihat saja, agaknya kali ini Warok Suro Bangsat maju sendiri. Apakah dia dapat unggul melawan Tapak Siluman?"

"Kurasa ini hanya pemborosan nyawa, Suto!" ujar Elang Samudera sambil matanya memandang ke arah pertarungan lagi.

Warok Suro Bangsat memainkan cambuknya, ia sempat berseru menuding Tapak Siluman dengan suaranya yang kasar. "Tapak Siluman...! Aku tahu kau punya ilmu unggulan yang bernama 'Bajang Rampak', tapi jangan anggap aku dapat kau lumpuhkan seperti murid-muridku tadi! Ilmu 'Bajang Rampak' tak akan bisa menembus tubuhku, karena aku telah memakan otak anak-anak."

"Aku tahu kau hanya menggertakku, Suro Bangsat!" ujar Tapak Siluman dengan suara seraknya. "Aku yakin kau belum memakan otak anak-anak. Kini memang saatnya nyawamu kucabut kecuali jika kau mau tunduk dan berlutut di depanku; mengakui bahwa akulah tokoh paling sakti dan berhak menjadi penguasa rimba persilatan!"

"Cuih...!" Warok Suro Bangsat meludahi wajah Tapak Siluman.

Tentu saja hal itu membuat Tapak Siluman menjadi murka. Penghinaan itu benar-benar membakar amarah si Tapak Siluman dan tak bisa bersabar lagi. Maka ketika Warok Suro Bangsat melecutkan cambuknya ke arah Tapak Siluman, ctaarr...! Tapi cambuk itu segera disambut oleh tangan kiri Tapak Siluman. Wuuurt...! Tali itu digenggam dengan tenaga penuh hingga sukar ditarik lagi. Kemudian tangan kanannya yang berkuku panjang itu menyentak ke depan dan keluarlah bola api sebesar genggaman dari telapak tangan itu. Weeess...!

Sinar bola api merah itu bergerak sangat cepat, dan tak bisa dihindari lagi oleh Warok Suro Bangsat. Akibatnya dalam sekali gebrak saja Warok Suto Bangsat yang menyandang gelar sebagai guru di Perguruan Macan Iblis itu, mengejang seketika saat sinar merah kenai perutnya. Bleess...!

Bles, bless, bless, bleess...!

Sinar itu menembus ke belakang Warok Suro Bangsat, kenai empat orang yang berdiri sejajar dengan guru mereka. Dalam satu gebrakan saja sudah lima orang menjadi korban ilmu "Bajang Rampak', dan jenazah mereka mengalami nasib yang sama dengan jenazah Kebo Gadung. Warok Suto Bangsat terkapar di tanah dalam keadaan tinggal kepala dan bagian dalam perutnya. Melihat sang Guru tewas, para murid menjadi lebih ketakutan lagi. Mereka segera melarikan diri agar tidak menjadi korban keganasan ilmu 'Bajang Rampak' itu.

Tapi agaknya kemarahan Tapak Siluman tak dapat ditahan lagi. Kini ia lepaskan kembali jurus 'Bajang Rampak' ke arah para murid Perguruan Macan Iblis. Claap, bless, bless, bless...!

Weeeut, claaap...! Bleess, bleess... bleess...!

"Aaaaa...!" beberapa orang yang masih selamat menjerit keras-keras melihat teman-temannya tumbang tanpa raga lagi. Sekitar empat atau lima orang murid Warok Suro Bangsat masih punya keberuntungan untuk melarikan diri. Tapi si Tapak Siluman segera memburu mereka dengan melepaskan ilmu 'Bajang Rampak'-nya beberapa kali.

Zlaaap...! Sekelebat bayangan datang. Bayangan itu tak lain adalah Pendekar Mabuk yang meninggalkan tempat persembunyiannya tanpa pamit kepada Elang Samudera. Karenanya, murid Pendeta Darah Api itu sempat terperangah kaget melihat Suto ternyata sudah ada di puncak bukit, di belakang si Tapak Siluman.

"Jangan umbar murkamu kepada mereka, Tapak Siluman!" seru Suto Sinting yang membuat Tapak Siluman balikkan badan.

Matanya yang kecil memandang tajam kepada Suto Sinting. Rambutnya yang panjang dan lengket karena lumpur itu tak bisa meriap walau diterpa angin, ia hanya menggeram dengan langkah pelan dekati Suto. Kedua tangannya bergerak-gerak mekar, seakan melemaskan jari-jari untuk mencengkeram lawan memakai kuku-kukunya itu. "Siapa kau, Bocah Dungu?!"

"Aku Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Akulah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"

Tapak Siluman menggeram setelah terperanjat sekejap. "Kebetulan, pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku memang sedang mencari si Gila Tuak dan ingin membantainya. Semua murid si Gila Tuak akan kuhabisi riwayatnya, biar tak ada orang yang lebih sakti lagi dariku!"

"Kalau begitu, akulah lawanmu, Tapak Siluman!" ujar Suto dengan tegas tapi tetap kelihatan kalem.

"Keparat busuk! Masih ingusan berani buka mulut didepanku, hah?! Heeeah..!" Lima kuku dari tangan kiri Tapak Siluman mengeluarkan lima baris sinar hijau lurus, sasarannya ke arah dada Suto Sinting.

Dengan cekatan Suto melawannya sambil melompat mundur selangkah. Seberkas sinar lebar warna biru besar melesat dari telapak tangan Suto. Itulah jurus 'Tangan Guntur' yang cukup berbahaya. Sinar biru lebar itu seakan menjadi perisai atas datangnya lima sinar hijau dari kuku-kuku runcing tersebut. Kedua sinar itu pun akhirnya bertabrakan di pertengahan jarak.

Weeesst...! Blub, blegaaarr...!

Dentuman dahsyat terjadi bagai ingin membelah bukit tersebut. Seluruh pepohonan berguncang, bahkan ada yang tumbang berserakan. Gelombang ledakan itu begitu kuatnya sehingga dapat melemparkan tubuh Suto Sinting ke bawah pohon. Weess...! Brrukk...!

"Auuhk...!" Suto Sinting menyeringai kesakitan. Tubuhnya tercabik-cabik mengenaskan sekali. Pendekar Mabuk cepat-cepat membuka bumbu tuaknya dan mendongak untuk menenggak tuak tersebut. Namun baru saja tuak tertelan beberapa teguk, tiba-tiba Tapak Siluman lepaskan pukulan jarak jauhnya dan mengenai bumbung tuak itu. Wees...! Baaang...!

Bumbung tuak terpental karena terlepas dari pegangan Suto. Sebagian tuaknya tumpah berhamburan ke mana-mana. Pendekar Mabuk sempat terperanjat kaget dan menjadi tegang.

Tapak Siluman segera menyerangnya dengan satu lompatan secepat kilat. Weess...! Pendekar Mabuk bergerak limbung ke samping memainkan jurus mabuknya. Tapi ternyata terjangan kaki Tapak Siluman berbelok arah, akibatnya kepala Suto Sinting tertendang keras-keras oleh lawannya. Duuhk...!

"Aaauow...!" pekik Suto Sinting karena merasa kepalanya nyaris pecah.

Tendangan itu mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar. Untung Suto Sinting sempat menyalurkan hawa murninya ke kepala pada saat sebelum terkena tendangan, sehingga tulang kepalanya masih utuh. Hanya saja, selain ia terlempar delapan langkah jauhnya, ia juga mengalami luka dalam. Darah kental mengucur dari hidung dan telinga Suto Sinting. Pandangan matanya sempat menjadi gelap sesaat. Tapi saat ia bangkit berlutut, ia melihat sekelebat sinar kuning menerjangnya. Sinar kuning itu berasal dari kedua kuku Tapak Siluman yang dikibaskan bagai mencakar.

Wees...! Claap...!

Dengan satu kaki menyentak ke tanah, tubuh Suto Sinting melambung ke depan dan berjungkir balik di udara. Wuk, wuk... ! Kemudian ia mendaratkan kakinya dengan sigap, sedikit merendah ke bawah. Jleeg...!

Tapak Siluman berada di arah sampingnya. Kepala Pendekar Mabuk berpaling ke arah kiri dengan kibasan cepat. Darah yang keluar dari hidungnya memercik tanpa dipedulikan lagi. Sementara itu, bunyi ledakan terdengar akibat sinar kuning tadi menghantam sebuah pohon, dan pohon itu langsung pecah menjadi serpihan kecil dari akar sampai puncaknya.

"Gila! Kalau tubuh Suto yang kena sinar kuning itu, pasti dia hancur menjadi serpihan yang tak bisa dipunguti lagi!" pikir Elang Samudera dengan tegang, ia segera mencabut pedangnya untuk lakukan serangan sewaktu-waktu, ia tak ingin tinggal diam jika Suto Sinting sampai terdesak dan sangat berbahaya.

Bluub...! Tapak Siluman menghilang dari pandangan Suto Sinting. Tetapi bekas telapak kakinya tampak berjalan mendekati Suto.

"Hiah...!" Suto lakukan plik-plak ke belakang beberapa kali untuk mengatur jarak dengan lawan. Plak, plak, plak, plak...! Ketika ia berhenti berjungkir balik secara plik-plak, tangan kanannya segera mengusap kening. Di kening Pendekar Mabuk terdapat noda merah yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang kecuali yang berilmu tinggi. Dengan mengusap tanda merah itu, maka tubuh Suto menjadi lenyap karena masuk ke alam gaib.

Elang Samudera semakin terperanjat tegang melihat Suto lenyap, ia tak bisa melihat bahwa Suto dan Tapak Siluman sama-sama beradu kekuatan di alam gaib. "Edan! Benar-benar sinting ilmunya Suto itu. Tak kusangka ia bisa lenyap begitu saja. Dan... oh, aku seperti mendengar suara letupan-letupan kecil. Apa yang dilakukan Suto dengan si Tapak Siluman itu?!"

Tiba-tiba letupan kecil yang didengar Elang Samudera itu berubah menjadi ledakan besar. Jegaarrr...! Bukit berguncang, tanah lereng menjadi longsor sebagian. Pepohonan pun nyaris dibuat tumbang semuanya. Elang Samudera sendiri hampir saja terpelanting jatuh dari atas pohon kalau tidak segera menyambar dahan diatasnya. Kejap berikutnya, Elang Samudera melihat sesosok tubuh terlempar bagai dibuang dari langit.

Brrruk...!

"Oh...?! Tapak Siluman berdarah?!" Elang Samudera memandang dengan mata lebar. Ia melihat dengan jelas mulut si Tapak Siluman keluarkan darah kental, wajah angkernya menjadi biru samar-samar. "Pasti ia terkena pukulan Suto!" pikir Elang Samudera. "Tapi... di mana Suto? Kenapa masih tidak kelihatan? Apakah ia juga semakin terluka parah?!"

Beberapa saat kemudian, wujud sosok Pendekar Mabuk muncul begitu saja bagaikan tersingkap dari lapisan mega putih. Suto dalam keadaan segar. Luka yang tercabik-cabik itu sudah lenyap, karena ia tadi sempat meneguk tuak dari bumbung bambu sakti itu.

Tapak Siluman menggeram menyeramkan dengan mata berubah menjadi merah. Kedua tangan terangkat ke atas dengan kuku-kuku runcing siap mencakar. Dari kuku ke kuku yang lainnya tampak mengeluarkan cahaya kecil semacam aliran petir yang berlompatan siap dilemparkan.

Pada saat itu, Pendekar Mabuk segera sentakkan tangannya ke depan dalam keadaan telapak tangan miring. Sentakan itu mengeluarkan pisau-pisau kecil bercahaya emas. Zlap, zlap, zlap, zlap, zlap, zlap...!

Tapak Siluman berkelit menghindari pisau-pisau kecil bercahaya emas yang kecepatannya melebihi kecepatan gerak dari jurus 'Bajang Rampak'-nya. Tapi baru saja ia berjingkat ingin lakukan lompatan, tiba-tiba ulu hatinya telah terserang pisau-pisau bercahaya emas itu. Zrrruuubb...! Seluruh pisau kecil yang jumlahnya puluhan biji itu menancap di ulu hati Tapak Siluman. Akibatnya, gerakan Tapak Siluman terhenti sampai di situ seperti patung hidup.

Jurus 'Manggala' pemberian Gusti Kartika Wangi, calon mertua Suto, telah digunakan untuk mengakhiri riwayat Tapak Siluman. Karena sejak saat itu, Tapak Siluman tak bisa bergerak sedikit pun. Bahkan ketika angin berhembus agak kencang, tubuh Tapak Siluman menjadi berhamburan dan akhirnya hancur tak berbentuk lagi. Ternyata ketika pisau-pisau warna emas itu menancap di ulu hati Tapak Siluman, tokoh tua itu seketika telah menjadi abu, namun masih menggumpal dalam bentuk raga aslinya. Dan setelah tertiup angin, abu itu berhamburan lalu hancur tak berbentuk lagi.

"Luar biasa kehebatan jurusmu, Suto!" ucap Elang Samudera dengan kekaguman yang tulus.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum, tak tampak membanggakan diri. Ia segera melangkah mencari bumbung tuaknya. Setelah didapatkan, ia pun segera menenggak tuak yang masih tersisa di dalam bumbung. "Sial, hanya tersisa lima teguk lagi!" gerutunya.

Elang Samudera tertawa. Tenang, nanti kusuruh Ki Lurah Penawu memenuhi bumbung tuakmu. Dia akan sangat kegirangan jika mendapat kabar bahwa Tapak Siluman telah berhasil dilenyapkan oleh Pendekar Mabuk."

"Pendekar Mabuknya tak perlu disebutkan, yang penting sebutkan kemurnian tuak yang harus diisikan ke bumbung ini."

"O, tentu, tentu...! Mari kita kembali ke Desa Badaran!"

"Baik. Karena aku harus membantu Menik mencari Kejora, kakaknya. O, ya... katakan kepada warga desa bahwa anak-anak mereka sekarang aman dari gangguan siapa pun. Tapi... anak gadis mereka harus hati-hati," bisik Suto.

"Kenapa?"

"Sebab kau pasti akan mengganggu mereka!"

"Ha, ha, ha, ha...!" Elang Samudera tertawa terbahak-bahak penuh kegembiraan. Mereka melangkahi mayat-mayat orang Perguruan Macan Iblis, lalu berkelebat pulang ke Desa Badaran.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.