Asmara Janda Liar

Cerita Silat Online Indonesia Serial Pendekar Mabuk Episode Asmara Janda Liar Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Asmara Janda Liar
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

SEPASANG mata yang memperhatikan langkah seorang pemuda tampan itu tetap tersembunyi di balik gugusan batu cadas. Celah batu cadas yang hanya bisa dipakai untuk mengintai itu terletak di atas bukit yang tak seberapa tinggi. Andai pemilik sepasang mata itu ingin melompat turun dari atas bukit ke bawah, ia tidak akan mengalami cedera pada kakinya, kecuali jika ia melompat dan jatuh kepala duluan, mungkin akan patah lehernya.

"Gagah sekali dia. Sudah gagah, tampan, kekar, tampak kalem lagi. Hmm... siapa dia sebenarnya?"

Penilaian seperti itu jelas datang dari seorang perempuan. Si pemilik sepasang mata itu ternyata memang seorang perempuan. Masih muda, sekitar berusia dua puluh lima tahun. Tapi agaknya sudah tidak perawan lagi. Bukan karena dilihat dari jalannya yang melebar, tapi karena wajahnya yang cantik itu tampak sudah cukup matang dalam pergaulan asmara.

Perempuan itu berpakaian serba kuning gading. Bajunya tanpa lengan, tapi bagian depannya rapat sampai batas perut. Untuk belahan dadanya sedikit lebar, dan sepertinya sengaja memamerkan gumpalan dua bukit di dada itu. Tentu saja yang dipamerkan yang sebagian, tidak seluruhnya. Justru karena gumpalan bukit dadanya tampak sebagian, putih, mulus, sekal sedikit mengkilap karena keringat. Maka pemandangan seperti itu jelas akan menarik perhatian setiap pria.

Perempuan itu mempunyai rambut panjang, tapi digulung ke atas sebagian, sisanya berjuntai ke bawah seperti ekor kuda. Sisa rambut yang berjuntai ke bawah itu panjangnya sampai pundak lewat sedikit. Di samping cantik dan berhidung bangir, perempuan itu juga mempunyai bibir yang segar, merekah, bawahnya sedikit tebal tapi indah dan menimbulkan khayalan untuk dikecup bagi lawan jenisnya.

Ia mengenakan ikat pinggang dari kain merah yang dipakai untuk selipkan sebilah pedang bergagang besi putih antikarat. Sarung pedangnya juga dari logam antikarat tanpa ukiran apa pun. Tapi ujung gagang pedang mempunyai ronce-ronce benang merah sebagai penghias.

"Hei, ke mana tadi perginya si tampan?! Kok tiba-tiba lenyap begitu saja? Wah, rugi besar aku kalau begini caranya, sudah jongkok dari tadi, eeh... kehilangan pemandangan indah. Hmmm.., ke mana dia, ya?"

Perempuan itu mulai keluar dari balik gugusan batu cadas. Matanya memandang ke sana-sini mencari si pemuda berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih lusuh. Perempuan itu tak tahu bahwa pemuda yang rambutnya panjang sepundak, lurus dan lembut, tanpa ikat kepala dan menenteng bumbung tuak tadi adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Perempuan itu tak tahu kalau Pendekar Mabuk mempunyai jurus 'Gerak Siluman' yang dapat bergerak secara tiba-tiba dengan kecepatan menyamai kecepatan sinar.

"Kampret betul pemuda itu, dia membelok ke mana tadi kok tahu-tahu sulit dicari batang hidungnya. Batang hidungnya saja sulit dicari, apalagi batang anunya. Maksudku... batang lehernya. Hi, hi, hi, hi...!"

Perempuan berkulit putih mulus itu tertawa sendiri dalam hatinya. Ia segera naik ke atas gugusan batu cadas karena rasa penasaran untuk mencari pemuda tampan yang dilihatnya tadi. Agaknya hati si perempuan merasa senang jika dapat melihat pemuda itu lebih lama lagi.

"Brengsek! Jangan-jangan dia jin penunggu hutan ini?" gumam si perempuan dengan suara pelan. "Tapi kalau dia jin penunggu hutan ini, kok gantengnya bukan main, ya? Kurasa walau seandainya ia peranakan jin, aku tidak keberatan jika diambil istri olehnya. Tapi... tapi kalau dia jin, biasanya itunya besar, ya? Maksudku..., suaranya besar. Kalau bicara bisa bikin telinga budek. Apalagi kalau mengerang-ngerang saat bercumbu, wow..., dadaku bisa kempes mendadak karena getaran suaranya. Hi, hi, hi, hi...."

Perempuan itu tertawa sendiri bukan saja dalam hati, tapi lewat mulut pun ia keluarkan suara tawa lirihnya. Pikirannya selalu mengarah pada hal-hal yang bersifat 'ngeres', seakan menandakan bahwa dia amat menyukai yang 'ngeres-ngeres', misalnya... pasir, debu, dan sebagainya.

"Ah, coba kucari ke arah selatan sana. Soalnya tadi kulihat di selatan ada sungai. Jangan-jangan pemuda itu mandi di sungai. Kalau benar dia mandi di sungai, woow..., mendebarkan sekalilah yaow...! Hi, hi, hi...."

Perempuan lincah dan berkesan genit itu segera bergegas turun dari atas gugusan batu cadas. Wuut...! Jleeg...! Ia lakukan satu lompatan kecil untuk mencapai tempatnya mengintai tadi. Tapi baru saja ia ingin bergegas menuruni bukit cadas tersebut, tiba-tiba ia harus terpekik kecil saat membalikkan badan.

"Ooh...!" matanya mendelik, mulutnya ternganga kecil bagai memamerkan bibirnya yang merekah ranum itu.

Mengapa ia terpekik kaget? Karena ternyata pemuda yang diintainya dan dicari-cari tadi sudah ada dibelakangnya. Pendekar Mabuk berdiri dengan tenang dan senyum kalem yang mendebarkan hati. Perempuan itu jadi salah tingkah, akhirnya pasang lagak cemberut dan sok galak.

"Mau apa kau, hah?! Mau memperkosaku, ya? Iya?!"

Pendekar Mabuk yang berhidung bangir dan bermata indah untuk ukuran mata lelaki itu hanya semakin memperlebar senyum. Si perempuan memaki dalam hati begitu melihat senyum itu melebar.

"Kucing burik! Ditanya malah tersenyum, bikin hatiku makin deg-degan saja. Ih... tapi rasanya darahku mengalir dengan indah begitu melihat senyumannya semakin lebar lho. Aduuh... enak sekali rasanya mengalami desiran seperti ini."

Tapi wajah cantik itu masih berlagak ketus dan galak. Matanya seakan memancarkan permusuhan dan kebencian. Namun si murid sinting Gila Tuak itu bukan orang bodoh. Ia dapat mengartikan pancaran pandangan mata yang berpura-pura itu. Maka dengan suara lembut ia berkata kepada si perempuan.

"Mengapa kau menyangka aku ingin memperkosamu, Nona?"

"Karena kau tiba-tiba muncul di belakangku. Pasti kau mau menyergapku dari belakang!"

"Kalau aku mau menyergapmu, mengapa harus dari belakang? Apa enaknya? Bukankah lebih enak menyergap dari depan?"

"Iya juga sih...," ucap perempuan itu dalam hati. Ia jadi malu sendiri, namun masih mampu tutupi rasa malu itu dengan lagak angkuhnya.

"Justru aku ingin bertanya padamu, Nona," kata Suto Sinting sambil sandarkan punggungnya di batu cadas yang menjulang tinggi itu.

"Mau tanya soal apa? Kau kira aku dukun yang bisa mengetahui nasibmu?"

"Aku bukan mau bertanya tentang nasib dan masa depanku. Karena masa depanku adalah masa bodo bagiku."

"Lalu kau ingin bertanya tentang apa?!" sentaknya dengan dagu dinaikkan sedikit biar tampak galak dan judes.

"Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau sejak tadi mengintaiku dari celah bebatuan itu? Apa maksudmu berbuat begitu, Nona?"

Kontan wajah perempuan cantik itu menjadi merah, seperti kulit bisul mau pecah. Ia gelagapan sesaat dan pandangan matanya menjadi salah tingkah. "Sialan! Rupanya dia tahu kalau kuperhatikan dari tadi. Ih, malu sekali!" pikir perempuan itu.

"Katakan terus terang, apakah kau ingin mencelakaiku? Kau ingin membunuhku dari belakang?" tanya Suto Sinting membuat perempuan itu semakin tak bisa bicara.

"Jika memang begitu maksudmu, silakan membunuhku dari depan saja. Kau boleh menikamkan pedangmu di bagian dada, ulu hati, perut, bawah lagi, dan bawah lagi, silakan pilih!"

Semakin malu perempuan itu berhadapan dengan Suto Sinting. Ia memalingkan wajah memandang arah lain. Hatinya bergumam dalam nada gerutu. "Sial betul, kenapa aku jadi tak bisa bicara lagi? Kenapa aku tak bisa berlagak galak lagi? Hmmm... dia tahu-tahu ada di belakangku, di atas bukit ini, berarti dia mempunyai ilmu cukup tinggi. Yaah... setidak-tidaknya dua tingkat di bawahkulah...."

Suto Sinting semakin mendesak perempuan itu. "Mengapa kau diam saja? Mengapa galakmu hilang?"

"Namaku: Sunting Sari."

"Lho, aku tidak tanya namamu kok. Aku tanya, kenapa kau diam saja? Mengapa tiba-tiba kau sebutkan namamu?"

"Celaka!" geram Sunting Sari dalam hatinya. "Iya, ya... kenapa aku jadi sebutkan namaku? Aduh, benar-benar kacau otakku kalau begini! Pergi saja, ah!"

Namun belum sempat Sunting Sari pergi, tiba-tiba datang seberkas sinar biru bundar sebesar kelereng yang melesat dari bawah bukit menuju punggung Sunting Sari. Dengan cepat tangan Suto menyambar baju Sunting Sari dan menariknya dalam pelukan. Bet, wuuut...!

"Ouh...!" pekik Sunting Sari. "Kurang ajar kau...."

Sunting Sari mau menampar Suto, tapi gerakan tangannya terhenti seketika karena mendengar suara ledakan yang mematahkan dahan sebuah pohon di seberang gugusan cadas itu.

Duaar...! Kraak...! Brruuk...!

"Oh, kenapa pohon itu patah?!" ucap Sunting Sari dengan mata terbelalak dan punggungnya tetap bersandar di dada Suto Sinting.

"Seseorang ingin membunuhmu dengan sinar biru. Hampir saja punggungmu yang patah seperti dahan itu!"

"O, ya...?!" Sunting Sari segera tarik diri dan sengaja lepas dari pelukan Suto Sinting. Ia memandang ke arah belakang, ternyata di bawah sana ada seorang gadis yang memandangnya dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Setan burik! Rupanya dia yang mau membunuhku tadi. Hiaaah...!"

Sunting Sari segera melompat dan tubuhnya melayang turun bagaikan terbang. Tangannya menyentak saat kakinya mendekati tanah dan dari sentakan tangannya itu keluar sinar berasap warna merah. Claaap...! Wweeess...!

Gadis berjubah biru tanpa lengan itu hanya menudingkan telunjuknya. Claaap...! Sinar biru lurus keluar dari telunjuk itu dan menghantam sinar merahnya Sunting Sari.

Blaaarrr...! Kedua sinar meledak di pertengahan jarak.

Sunting Sari menapakkan kakinya ke tanah. Lalu ia segera menerjang gadis berambut pendek itu. "Heiaaat...!"

Gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu tak mau menghindar, namun justru lakukan lompatan ke depan menyongsong terjangan Sunting Sari. Maka kedua perempuan itu saling beradu pukulan di udara dengan gerakan cepat.

Plak, plak, plak, blaaarrrr...!

Keduanya sama-sama terpental dan jatuh berdebam di tanah. Suto Sinting hanya memandang dari atas gundukan cadas yang membukit itu. Namun dahinya berkerut tajam karena ia merasa mengenali gadis berjubah biru dengan pakaian dalam biru tipis transparan itu.

"Kalau tak salah dia adalah si Tenda Biru?! Ooh... celaka si Sunting Sari. Pasti dia akan babak belur melawan Tenda Biru yang mendapat ilmu warisan dari Eyang Tapak Lintang dari Gunung Rangkas itu!" kata Suto dalam hati sambil mengenang peristiwa mencari Bunga Kecubung Dadar demi menolong Tenda Biru, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

Perhitungan Suto Sinting ternyata memang benar. Tenda Biru berhasil bangkit secepatnya, kemudian melayang cepat bagaikan terbang dan kakinya menyambar kepala Sunting Sari. Plook...!

"Aauh...!" Sunting Sari terpental setelah tubuhnya melintir beberapa saat, memutar cepat dan membentur dinding cadas. Brruus...!

Tetapi hebatnya, Sunting Sari tak mengalami luka sedikit pun. Pada bagian pelipisnya tak terdapat warna merah atau memar akibat tendangan Tenda Biru tadi. Ia justru melenting ke udara dengan menyentakkan telunjuk ketanah. Wuuut...! Di sana ia bersalto satu kali, kemudian hinggap di atas sebatang dahan. Jleeg...! Dari atas pohon itu ia lepaskan pukulan bersinar merah lurus bagaikan tombak. Slaaap...!

Tenda Biru berlutut satu kali, telapak tangannya menghadang sinar merah itu dalam keadaan sudah membara biru. Sinar merah lurus itu menghantam telapak tangan yang membara biru dengan telak sekali. Jlab...!

Blegaaaarr...! Ledakan dahsyat mengguncangkan alam sekitar mereka, termasuk pepohonan bergetar dan batu-batu pun ikut bergetar. Bahkan bukit cadas itu mengalami longsor sedikit di salah satu sisinya membuat Suto Sinting terpaksa cepat-cepat berkelebat turun dari atas bukit tersebut.

Zlaaap...! Dalam sekejap Suto Sinting sudah tiba dipertengahan jarak kedua perempuan tersebut. Ia memandang ke kiri, ternyata Sunting Sari jatuh terkapar dengan mulut berdarah akibat gelombang ledakan yang menghantam dadanya tadi. Suto menengok ke kanan, tampak si Tenda Biru jatuh terduduk dengan wajah pucat dan tangannya bengkak membiru. Namun kedua perempuan itu sama-sama berusaha untuk lekas berdiri untuk tunjukkan bahwa diri mereka masih tahan lakukan pertarungan lagi.

"Hentikan! Hentikan semua ini!" seru Suto Sinting sambil menengok ke kanan-kiri.

"Rupanya kau sudah terpikat oleh si perempuan lacur itu, Suto!" sentak Tenda Biru sambil menuding Sunting Sari.

"Tenda Biru, dengarkan penjelasanku...."

"Aku tak perlu penjelasanmu! Aku tak suka melihat kau akrab dengannya! Ketahuilah, dia adalah perempuan yang dari kemarin kukejar karena nyaris celakai sahabatmu, si Panji Klobot!"

"Hahhh...?!" Suto Sinting terkejut. "Sekarang di mana Panji Klobot?!"

"Dirawat di pondok si Kusir Hantu! Tapi kurasa kau tak perlu datang menengoknya! Erami saja perempuan itu dan lupakan tentang kami!"

"Tenda Biru...," seruan Suto Sinting itu terhenti, langkah Suto pun diurungkan karena tiba-tiba Tenda Biru melesat naik ke atas bukit dalam keadaan terbang mundur. Dari atas sana Tenda Biru berseru.

"Perempuan jalang..., jika kau masih tetap ingin membunuh Panji Klobot, kau akan berhadapan denganku dan akan kehilangan nyawa! Ini peringatan terakhir bagimu! Sekalipun kau merasa didukung oleh Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, tapi aku tak akan gentar melawannya!"

"Biadab kau...!" bentak Sunting Sari sambil melepaskan pukulan bersinar hijau seperti bintang. Claap...!

Suto Sinting berkelebat dan menangkis pukulan sinar hijau itu dengan bumbung tuaknya. Teeb...! Wuuuss...! Sinar hijau itu berbalik arah dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar lagi dari ukuran aslinya.

Blegeeerr...! Sebuah pohon besar terhantam sinar hijau itu. Hampir saja Sunting Sari mengalami korban pukulannya sendiri yang berbalik arah itu. Untung ia segera melesat tinggalkan tempat berdirinya itu, sehingga pohon besar itulah yang akhirnya pecah menjadi berkeping. Sunting Sari terbelalak kaget dan terheran-heran, sebab biasanya sinar hijaunya itu tak sampai sedahsyat itu.

"Tenda Bi...," Suto terbungkam seketika, karena Tenda Biru ternyata sudah tidak ada di tempatnya. "Sial! Dia telah pergi!"

"Rupanya kau bernama Suto Sinting, yang dikenal dengan julukan Pendekar Mabuk itu?" ujar Sunting Sari.

"Benar. Apakah kau pernah mendengar namaku?"

"Banyak mulut perempuan binal membicarakan tentang dirimu! Hmm... ternyata hanya seperti ini orangnya!" sambil Sunting Sari mencibir, seakan meremehkan nama Pendekar Mabuk. Perempuan itu mendekati Suto dengan wajah dibuat sinis. "Aku hanya mempunyai nama yang...."

Brruuk...! Tiba-tiba Sunting Sari jatuh berlutut didepan Suto.

Pendekar Mabuk terkejut dan terlambat menyambar tubuh itu. Napas Sunting Sari terengah-engah, mulutnya mengeluarkan darah kental yang semakin mencemaskan hati Suto. "Apa yang terjadi pada dirimu, Sunting Sari?!"

"Ak... aku terluka dalam akibat pukulan gadis jahanam itu!"

"Minumlah tuakku! Lekas minum sebelum lukamu menjadi lebih parah lagi!"

Mulanya Sunting Sari menolak tawaran minum tuak, sebab ia belum tahu bahwa tuak itu adalah tuak sakti berkhasiat tinggi untuk menyembuhkan luka maupun penyakit akibat racun. Tapi setelah dibujuk beberapa kali dan Sunting Sari merasa semakin banyak memuntahkan darah kental, maka ia pun mau meneguk tuak tersebut. Ternyata beberapa saat setelah meneguk tuak, ia merasakan ada perubahan pada luka dalamnya. Dadanya tak terasa panas, pernapasannya pun menjadi longgar, bahkan tubuhnya menjadi terasa segar, lebih segar dari sebelum bertemu dengan Suto Sinting.

"Luar biasa! Ternyata tuaknya mempunyai kekuatan gaib yang sangat menakjubkan," gumam Sunting Sari dalam hatinya.

"Sunting Sari, benarkah kau akan membunuh Panji Klobot?" tanya Suto setelah ingat kata-kata Tenda Biru tadi.

Perempuan yang merasa sudah diselamatkan jiwanya dari luka berbahaya itu akhirnya bersikap ramah dan tidak berlagak angkuh lagi. Ia berkata dengan suara rendah. "Aku disuruh menangkap Panji Klobot. Jika tak bisa ditangkap, harus dibunuh! Begitulah perintah yang kuterima."

"Siapa yang memberimu perintah begitu?"

"Ketuaku...."

"Ketua perguruan?" sergah Suto.

"Ketua Partaiku."

"O, kau tergabung dalam partai apa?"

"Partai Janda Liar!" jawabnya sedikit bernada tegas, seakan membanggakan partainya.

Pendekar Mabuk terkejut, karena ia tahu bahwa Ketua Partai Janda Liar adalah si Selimut Senja. Ia pernah berurusan dengan Selimut Senja gara-gara mencuri panah emas untuk hancurkan kabut sinar ungu yang menutupi matahari dan membuat wajah perempuan berilmu awet muda itu menjadi tua. Untuk mencuri panah tersebut, ia mengaku sebagai Panji Klobot, karena hal itu adalah siasat yang digunakan Suto bersama Panji Klobot.

Selimut Senja yang bergairah kepada Suto itu akhirnya beranggapan bahwa ia sedang bergairah kepada Panji Klobot dan memburu si Panji Klobot. Padahal Panji Klobot sendiri bukan tokoh sakti. Ia tidak mempunyai ilmu apa-apa dan sekarang sedang dididik oleh Tenda Biru. Tak heran jika Ketua Partai Janda Liar itu sekarang memburu Panji Klobot, karena setahunya Suto bernama Panji Klobot, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bencana Selaput Iblis).

"Maukah kau menghentikan pengejaranmu terhadap Panji Klobot?" tanya Suto kepada Sunting Sari.

Perempuan yang kini telah sehat itu menggelengkan kepala tegas-tegas. "Aku harus bisa menangkap atau membunuh Panji Klobot!"

Suto hanya membatin, "Celaka! Berarti kau harus berhadapan denganku, Sunting Sari! Adakah jalan lain untuk menghindari pertikaianku dengan Sunting Sari? Bingung juga aku jadinya kalau begini. Yang jelas, tak mungkin aku akan diam saja jika nyawa Panji Klobot terancam bahaya!" Pendekar Mabuk tertegun beberapa saat.

* * *

DUA

SEBETULNYA Suto ingin meninggalkan Sunting Sari karena ia tak ingin berhadapan dengan perempuan itu dalam perkara pengejaran terhadap diri Panji Klobot. Tetapi sebelum Suto melangkah pergi, perempuan itu perdengarkan suaranya yang bernada lirih.

"Suto, dapatkah kau membantuku untuk satu hal yang amat rahasia?"

Pendekar Mabuk kerutkan dahinya ketika memandang Sunting Sari. "Membantumu dalam hal apa?"

"Menggulingkan kedudukan Ketua Janda Liar."

"Hah...?!" Suto terperanjat mendengarnya.

Sunting Sari ingin menjelaskan maksud ucapannya itu, tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara gemuruh dari arah barat. Pendekar Mabuk lebih terperanjat lagi ketika melihat langit barat menjadi hitam dan hujan turun dengan deras. Hujan itu berwarna merah dan sedang bergerak menuju tempat mereka. Sunting Sari juga memandang ke arah barat, tapi ia tidak setegang wajah Suto. Ia hanya merasa heran melihat hujan berwarna merah.

"Cepat kita cari tempat berlindung, Sari!" sambil Suto menarik tangan perempuan itu.

"Hujan aneh apa itu, Suto?"

"Hujan berdarah! Cepat berteduh, jangan sampai kau terkena tetesan air hujan itu!"

Sunting Sari semakin heran melihat Suto tampak panik. Bahkan pendekar tampan itu menyambar tubuh Sunting Sari dan memanggulnya, kemudian bergerak cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.

Zlaap, zlaaap, zlaaap...!

Dalam sekejap mereka sudah sampai di lereng sebuah bukit. Hujan berdarah tak sempat mengejar mereka. Namun hujan itu tetap bergerak seakan ingin menyapu seluruh permukaan bumi.

"Mengapa kau panik sekali?" tanya Sunting Sari setelah mereka berada di sebuah gua.

"Hujan itu hujan berdarah yang mengandung racun dapat membusukkan tulang. Kulitmu akan melepuh jika terkena tetesan hujan berdarah itu, dan kau akan menjadi mayat yang membusuk seperti bubur. Hujan itu adalah hujan kiriman dari seseorang yang berilmu tinggi."

"Siapa orang itu?"

"Pangkar Soma, murid mendiang Tengkuk Cadas yang mempunyai jurus 'Hujan Petaka'. Aku pernah mengalami hal ini saat membantu membebaskan Tenda Biru dari kekuatan sihir Nyai Ronggeng Iblis."

Suto segera menenggak tuaknya beberapa reguk. Sunting Sari disarankan untuk minum tuak juga agar sewaktu-waktu terkena percikan air hujan berdarah itu kulitnya tak akan melepuh. Perempuan itu menurut setelah ia tahu sendiri kesaktian tuak Suto yang dapat membuat seluruh lukanya lenyap dalam sekejap tadi.

"Aku akan menghantam mendung itu agar hujan berdarah tidak membawa korban tak bersalah terlalu banyak. Aku yakin pasti di sebelah barat sudah ada korban yang sebenarnya tak punya masalah apa-apa dengan si Pangkar Soma."

"Apakah kau bisa menghentikan hujan itu?"

"Mudah-mudahan...," jawab Suto sambil bergegas keluar gua. Kala itu hujan sedang bergerak ke arahnya. Pendekar Mabuk cepat sentakkan tangannya ke langit dan keluarkan sinar hijau yang melesat cepat menghantam awan hitam itu.

Slaaap...! Jegaaarrr...!

Slaaaap...! Jegaaarrrr...!

Dua kali jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' dilepaskan oleh Pendekar Mabuk, ternyata sudah mampu memecahkan gumpalan mendung hitam di langit. Hujan berdarah pun berhenti seketika. Tetapi dari langit timur muncul lagi gumpalan mendung yang bergerak ke barat. Namun gumpalan mendung itu menurunkan hujan biasa yang bagaimanapun lebih baik dihindari daripada masuk angin. Maka Suto Sinting pun masuk ke dalam gua lagi.

"Hebat sekali!" gumam Sunting Sari saat Suto Sinting memasuki gua yang tak seberapa lebar itu.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis yang memancarkan daya pesona tinggi, menggetarkan hati Sunting Sari. "Sekarang yang turun hujan biasa. Syukurlah... setidaknya bisa menyingkirkan bercak-bercak merah darah yang membasahi alam sebelah barat tadi."

"Dapatkah kau menghentikan hujan biasa ini?"

"Mudah-mudahan bisa. Tapi sengaja kubiarkan hujan turun, di samping untuk membersihkan bekas hujan darah juga untuk membasahi hutan dan persawahan. Maklum, sudah cukup lama hujan tak turun, sehingga sawah dan ladang para petani dilanda kekeringan."

Pendekar Mabuk memandang hujan sebentar dengan senyum tipis masih mengembang di bibirnya yang termasuk segar untuk ukuran bibir seorang lelaki. Sunting Sari diam-diam memperhatikan penuh rasa kagum dan bangga bisa berada dalam satu gua bersama Pendekar Mabuk yang kondang itu.

"O, ya... tadi kau bilang akan menggulingkan kedudukan Ketua Partai Janda Liar itu. Apa alasanmu ingin bertindak begitu, Sunting Sari?"

"Dia membunuh nenekku, aku harus membalasnya, tapi Selimut Senja mempunyai ilmu lebih tinggi dariku dan aku tak bisa kalahkan dia."

"Siapa nenekmu itu?"

"Nyai Watu Wadon."

"Ooh...?!" Suto Sinting terperanjat lagi. Dalam benak Suto segera terbayang wajah Nyai Watu Wadon yang sudah tua tapi masih lincah dan tegar itu. Suto pernah berhadapan melawan Nyai Watu Wadon ketika nenek berjubah abu-abu itu ingin membalas dendam kepada Bidadari Jalang; Bibi Gurunya Suto.

Nyai Watu Wadon sempat terluka oleh pukulan Suto dan ia segera melarikan diri. Tetapi di perjalanan Nyai Watu Wadon dicegat oleh Selimut Senja dan terjadilah pertarungan yang membuat Ketua Partai Janda Liar itu tewas, dan Selimut Senja dinobatkan sebagai Ketua Partai Janda Liar yang baru, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bencana Selaput Iblis).

Sunting Sari lanjutkan penjelasannya sambil duduk di atas sebuah batu bersebelahan dengan tempat berdirinya Suto Sinting. Wajahnya sesekali memandang ke arah Suto, sesekali sengaja menatap rintik hujan yang turun bersama kabut itu.

"Aku menjadi anggota Partai Janda Liar secara kebetulan saja. Nenekku membentuk Partai Janda Liar ketika aku pulang kembali kepadanya karena disia-siakan oleh suamiku. Setelah Nenek Watu Wadon membunuh mantan suamiku itu, ia membentuk Partai Janda Liar bersama beberapa perempuan yang dikecewakan oleh kaum lelaki."

"Kalau begitu kau sudah pernah menikah?"

"Ya, aku menikah dengan seorang putra adipati Johor. Usia pernikahanku hanya delapan bulan, dan kami belum dikaruniai keturunan."

"Bagaimana dengan kedua orangtuamu dan sanak saudaramu lainnya?"

"Kedua orangtuaku sudah tiada sebelum aku menikah. Aku mempunyai seorang kakak dan seorang adik, keduanya perempuan. Tapi entah di mana mereka sekarang. Kami berpisah sejak kecil, ketika desa kami dilanda banjir besar."

Pendekar Mabuk menarik napas karena digelitik oleh rasa iba kisah itu. Tetapi rasa iba itu tidak ditonjolkan, sehingga kesedihan di hati Sunting Sari tidak semakin mendalam. Perempuan itu bahkan masih mampu teruskan kisahnya dengan suara jelas.

"Aku bergabung dengan nenekku, dan mendapat ilmu darinya sebagai tambahan ilmu yang sudah kudapatkan dari mendiang guruku sendiri. Dalam hidupku, kala itu aku merasa hanya punya satu saudara, yaitu seorang nenek. Dan aku membantu nenekku dalam membentuk Partai Janda Liar, juga membantu dalam setiap pembalasan dendam kepada mereka yang lukai hati kami."

"Apakah Selimut Senja tak tahu kalau kau adalah cucu Nyai Watu Wadon?" sela Suto.

"Dia tahu, dan semua anggota tahu bahwa aku adalah cucu Nyai Watu Wadon. Tapi Selimut Senja sangat meremehkan diriku. Karena dia pikir jika aku berontak maka dengan mudahnya ia dapat habisi nyawaku. Sementara aku sendiri berpikir, jika nenekku saja tumbang melawannya, apalagi aku? Selimut Senja memang berilmu tinggi, apalagi setelah ia menguasai ilmu 'Kulit Baja', seakan tak ada anggota kami yang sanggup melawannya."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia terkenang saat pertemuannya dengan Begawan Parang Giri, kakeknya Selimut Senja. Pertemuan itu terjadi saat Suto Sinting mengembalikan panah emas yang pernah dicuri oleh Selimut Senja dari tangan kakeknya. Saat pertemuan itu, Begawan Parang Giri tampak bersyukur sekali kepada Suto atas kembalinya panah emas yang dinamakan pusaka 'Jemparing Malaikat' itu.

"Aku sudah menduga, bahwa kau akan tampil dalam masalah 'Selaput Iblis' dan kulihat sendiri hatimu saat mencuri panah ini dari tangan Selimut Senja. Hatimu tulus tanpa niat untuk memiliki. Maka kutuntun hatimu untuk datang padaku menyerahkan pusaka ini, Nak."

"Mohon maaf, Eyang Begawan, karena saya menggunakan pusaka ini tanpa seizin Eyang Begawan lebih dulu."

"Tak apa, Nak. Karena keadaan menuntutmu harus berbuat begitu dan aku harus mengikhlaskannya. Kurasa aku lebih beruntung dalam hal ini, karena pusaka ini telah kembali padaku. Tetapi kitab pusakaku belum bisa kembali dan aku sengaja tidak mengejarnya."

"Haruskah saya merebut kitab pusaka itu dari tangan cucu Eyang itu?"

"Tidak perlu! Karena di dalam kitab pusaka itu ada jurus jebakan yang dapat celakakan diri orang yang mencurinya. Cepat atau lambat, Selimut Senja akan menemui ajalnya karena jurus jebakan dalam kitab tersebut."

"Tapi cucu Eyang dapat menyebarkan bencana jika sikapnya masih sesat seperti itu. Mungkin sebagian dari ilmu yang didapat melalui kitab pusaka itu digunakan untuk celakai orang lain. Apakah Eyang tidak merasa bertanggung jawab atas segala keagungan jurus-jurus di dalam kitab tersebut?"

"Nak, Selimut Senja itu sudah bukan kuanggap cucuku lagi. Kalau kau berkesempatan melenyapkan dirinya, lakukan saja dan aku tidak akan menuntutmu. Enam cucu lainnya, termasuk kakaknya Selimut Senja juga sudah rela kehilangan Selimut Senja yang selama ini mencoreng moreng nama keluarga. Hanya saja, keenam saudara Selimut Senja berlagak tidak tahu-menahu tentang sepak terjang Selimut Senja, karena mereka tidak kuat menahan rasa malu di depan para tokoh aliran putih."

Percakapan itu masih terngiang di telinga Suto walau sudah beberapa waktu berselang. Renungan demi renungan membuat Suto berkesimpulan bahwa Selimut Senja sudah dianggap mati oleh kakeknya dan para sanak saudaranya. Rupanya hanya Selimut Senja yang masuk aliran hitam dari sekian sanak saudaranya yang beraliran putih. Renungan itu buyar karena suara Sunting Sari terdengar jelas, sebab perempuan cantik itu sengaja dekati Suto dan bicara beradu muka dalam jarak kurang dari selangkah.

"Suto, jika kau bisa membantuku menggulingkan kekuasaan Selimut Senja, yang sekarang menamakan dirinya Janda Liar itu, maka apa pun yang kau inginkan dariku akan kuturuti."

Suto hanya tersenyum tipis dengan mata memandang lembut kepada Sunting Sari. Perempuan itu berkedip-kedip saat beradu pandang bagai menampakkan kepasrahannya kepada Suto sambil bibirnya yang sensual itu sedikit direkahkan hingga tampak menantang.

"Aku benar-benar ingin mendapat dukungan dari orang berilmu tinggl sepertimu untuk menggulingkan Janda Liar itu. Katakan, apa yang kau harap nanti dan sekarang dariku, semuanya akan kupenuhi selama aku mampu melakukannya, Suto."

Pendekar Mabuk mengulurkan tangan dan membelai rambut kepala Sunting Sari yang tampak berwajah penuh harap itu. Dengan kalem dan suara lembut Suto berkata kepadanya, "Akan kubantu kau, tapi bebaskan Panji Klobot dari pengejaranmu, karena sesungguhnya kau salah kejar!"

Setelah diam sesaat, Sunting Sari menjawab, "Baiklah. Aku tak akan mengejar Panji Klobot lagi. Tapi bagaimana dengan yang lain?"

"Maksudmu yang lain siapa?"

"Ada beberapa orang lagi yang ditugaskan untuk menangkap atau membunuh Panji Klobot. Sebab bagi yang berhasil menangkap Panji Klobot akan mendapat hadiah istimewa dari Selimut Senja, yaitu diangkat sebagai wakilnya dan diizinkan mempelajari ilmu 'Kulit Baja'."

"O, begitu?"

Sunting Sari anggukkan kepala. "Aku sangat bernafsu untuk pelajari ilmu 'Kulit Baja' itu, karena jika aku sudah bisa kuasai ilmu tersebut, maka akan kugunakan untuk melawannya, membalas dendam atas kematian nenekku."

Suto tertawa pelan seperti orang menggumam. Tangannya semakin mengusap-usap tengkuk kepala Sunting Sari dengan tanpa ragu lagi.

"Pembalasan itu tidak selalu datang dari tangan kita sendiri, Sari," ujar Suto dengan tegas. "Pembalasan akan datang dengan sendirinya tanpa harus kita buru. Percayalah, Selimut Senja akan menerima ganjarannya sendiri jika waktunya telah tiba."

"Tapi aku ingin buru-buru dia disingkirkan dari Partai Janda Liar, Suto. Karena di bawah kepemimpinannya Partai Janda Liar telah mengalami penyimpangan yang cukup jauh."

"Penyimpangan bagaimana maksudmu?"

Sunting Sari memandang hujan sebentar. Ternyata hujan masih deras dan belum tampak ingin mereda. Dalam pertimbangannya, akhirnya Sunting Sari memutuskan untuk memperjelas keadaan di tubuh Partai Janda Liar itu.

"Pada mulanya Partai Janda Liar dibentuk untuk melampiaskan dendam kepada kaum lelaki yang menyakiti hati kami dengan semena-mena. Dalam kitab ketentuan yang sudah disepakati bersama, anggota Janda Liar boleh melakukan tindakan sekeji apa pun asal demi menegakkan harga diri kaum wanita, menjunjung tinggi martabat kaum wanita, dan menunjukkan kepada kaum pria di mana pun berada bahwa wanita pun mampu setangguh kaum pria."

"Hmm..., sebuah tujuan yang mulia tapi mungkin langkahnya kurang tepat. Lalu...?"

"Lalu sekarang di bawah kepemimpinan Selimut Senja, tujuan itu telah diubah secara tak langsung. Siapa pun yang menjadi anggota Partai Janda Liar, harus mampu memikat hati kaum pria, mempermainkan cintanya, dan memperbudak kaum pria sebagai tenaga pemuas gairah kami. Bahkan Selimut Senja memberi perintah kepada kami agar jangan segan-segan membunuh seorang lelaki yang telah memuaskan gairah kami, bila perlu lelaki itu dibuat tergila-gila dulu, setelah itu baru dibunuh."

"Kejam sekali!" ucap Suto bernada geram karena merasa kaumnya direndahkan oleh Partai Janda Liar.

"Begitulah menurut Selimut Senja cara membalas dendam terhadap kaum pria," tambah Sunting Senja. "Maka di pesanggrahan, sekarang ini banyak para anggota yang membawa kaum pria untuk bercumbu di kamar masing-masing. Kadang pria itu dipakai oleh dua-tiga orang sebagai budak gairah mereka. Jika pria itu menolak, akan dipaksa, jika paksaan sudah berhasil, pria itu akan dibunuh dan mayatnya dibuang ke Jurang Celaka, tak jauh dari pesanggrahan kami di Lembah Liar itu."

Pendekar Mabuk termenung beberapa saat. Ia merasa mulai perlu bergerak untuk hentikan kemaksiatan para anggota Partai Janda Liar itu. Tetapi dia ingin bergerak bukan berdasarkan bujukan Sunting Sari, ia harus punya alasan lain untuk lakukan hal itu, di antaranya menyelamatkan nyawa Panji Klobot atau melindungi kaum pria yang diperdaya oleh Partai Janda Liar.

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Suto."

"Tentang apa?"

Sunting Sari meraba dada Suto Sinting yang terbuka dari bajunya itu. Dengan ujung-ujung jarinya ia menyentuh dada itu, merayap pelan-pelan bagai sedang menikmati sentuhan dada perkasa. "Kau sudah punya kekasih, Suto?"

"Calon istri!" jawab Suto mempertegas. "Aku sudah mempunyai calon istri, yaitu Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Dyah Sariningrum namanya, dan Gusti Mahkota Ratu gelarnya."

"Oh, sayang sekali...," ucapan itu sangat pelan, hampir saja tak terdengar oleh Suto.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis melihat wajah memendam kekecewaan. "Mengapa kau tanyakan hal itu, Sari?"

"Hmmm... ehh... tidak, tidak apa-apa," Sunting Sari gugup. "Aku... aku hanya ingin tahu, apakah Panji Klobot itu saudaranya Dyah Sariningrum atau hanya seorang sahabat biasa bagimu?"

Suto melebarkan senyum, karena ia tahu Sunting Sari mengalihkan pembicaraan sebagai penutup rasa kecewanya. Namun, Pendekar Mabuk tetap melayani pertanyaan itu dengan kalem, walau jari-jemari Sunting Sari merayap di dada terus dan sesekali turun hingga ke perut. "Panji Klobot hanya seorang sahabat. Dia bahkan orang yang tidak mempunyai ilmu apa-apa kecuali 'Tendangan Cuci Perut' pemberian pamannya itu. Dia bocah lugu dan tidak mengerti apa-apa di dunia persilatan ini, Sari."

"Mengapa si Selimut Senja sangat marah kepadanya dan kabarnya Panji Klobot telah mencuri sebuah pusaka milik Selimut Senja berupa panah emas."

Suto tertawa pendek mirip gumam. "Apa lagi yang dikatakan oleh Selimut Senja?"

"Katanya, Panji Klobot itu pemuda yang tampan, gagah, dan perkasa. Sebenarnya Selimut Senja sangat bergairah pada Panji Klobot. Tetapi karena Panji Klobot berhasil memperdayanya dan mencuri panah emas, Selimut Senja menjadi benci kepada Panji Klobot. Jika kami bisa menangkap Panji Klobot hidup-hidup, maka Selimut Senja akan memanfaatkan dulu sebagai budak pemuas gairahnya, setelah itu baru dibunuh. Tapi jika kami pulang membawa kepala Panji Klobot, sang Ketua juga merasa senang dan akan merebus kepala itu sebagai pelampiasan dendamnya."

Pendekar Mabuk tarik napas dalam satu senyum menawan. Mata perempuan itu memperhatikan senyuman tersebut tanpa berkedip, hatinya kian berdebar indah kala menikmati senyuman yang begitu menawan hati itu.

"Sebenarnya yang diburu Selimut Senja adalah diriku," ujar Suto Sinting membuat dahi Sunting Sari berkerut. Tanpa menunggu pertanyaan Sunting Sari, Suto lebih dulu berkata melanjutkan penjelasannya itu.

"Akulah orang yang masuk ke kamar Selimut Senja dan membuat gairah Selimut Senja meluap-luap. Aku mengaku bernama Panji Klobot, dia tidak tahu kalau aku adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Aku bicara tentang 'Selaput Iblis' dan ia sempat keluarkan panah emasnya sebagai imbalan akan menghancurkan 'Selaput Iblis' jika aku mau melayani gairahnya...."

"Lalu kau melayaninya dengan hangat, bukan?"

Suto tertawa pendek dan pelan. "Aku sengaja membakar gairahnya saja, dan tak mau melayaninya karena aku hanya membutuhkan panah emas itu. Aku berlagak lari keluar dari kamar dan menjauhi pesanggrahan. Lalu dia mengejarku demi dapatkan puncak cumbuan hangatku. Pada saat itulah, aku berkelebat masuk kembali ke pesanggrahan dan ke kamarnya tanpa ada yang mengetahui. Lalu kucuri panah emas itu dan kugunakan untuk menghancurkan 'Selaput Iblis'. Setelah itu, panah emas itu kukembalikan kepada pemilik sebenarnya, yaitu Begawan Parang Giri, kakeknya Selimut Senja."

"Kau sempat berciuman dengannya?"

"Ya," jawab Suto sambil menahan geli.

"Kau... kau menyukai cumbuan itu?"

"Hmmm... sebagai seorang lelaki, wajar saja kalau menyukai ciuman perempuan secantik dia."

"Apakah kau tak ingin bercumbu dengan perempuan lain?"

Pertanyaan itu mulai mendebarkan hati Suto sebab ia tahu arah pertanyaan tersebut. Tapi Suto mencoba untuk bertahan dan hanya tertawa pelan ketika Sunting Sari menatapnya dengan tangan masih meraba di sekitar dada sampai perut.

"Kau tak ingin bercumbu dengan perempuan lain, Suto?" ulangnya dengan lirih.

"Jika ya kenapa, dan jika tidak kenapa pula?"

"Jika ya... aku senang sekali."

"Mengapa senang sekali?"

"Karena aku... aku... aku...."

Pendekar Mabuk sengaja memandang dengan senyum menggoda. Perempuan itu salah tingkah karena deburan keras mulai melanda dadanya, sebagai tanda bahwa gairahnya mulai berkobar-kobar. Wajahnya sedikit tengadah dan disodorkan kepada Suto Sinting. Tanpa ragu-ragu lagi, Suto Sinting akhirnya mengecup bibir itu dengan kecupan lembut sekali. Sunting Sari bagai diterbangkan tinggi-tinggi oleh kecupan itu hingga lidahnya mulai menari-nari melawan kecupan tersebut.

Sunting Sari akhirnya melumat bibir Suto dengan penuh gairah, tanpa rasa malu dan sungkan lagi. Bahkan kecupan itu merayap sampai ke leher Suto dan mencekam beberapa kali di sana. Sunting Sari semakin bergairah lagi. Kini dada Suto Sinting disapu habis oleh kecupan bibirnya. Bahkan semakin lama semakin turun ke bawah dan perempuan itu nekat memberikan kenikmatan dengan mulutnya agar Suto lebih buas melawan asmaranya.

Hujan di luar gua justru menjadi terang, dan suara Suto yang mengerang panjang itu terdengar jelas karena tak ada gemuruh hujan lagi. Suara itu membuat Sunting Sari semakin bersemangat menciptakan keindahan di tubuh Suto dengan mulutnya.

Sayang sekali tiba-tiba terdengar suara ledakan menggelegar yang merontokkan pasir-pasir dilangit-langit gua tersebut. Kemesraan itu terputus seketika walau terasa mengganjal sesak di ulu hati keduanya.

"Ada yang bertarung tak jauh dari gua ini!" ujar Suto Sinting menegang, cepat melupakan kemesraan yang baru saja diperolehnya dari kelincahan lidah Sunting Sari tadi.

"Biarkan mereka bertarung, Suto. Kita bertarung sendiri di sini...," rengek Sunting Sari sambil menggenggam tangan Suto agar tak pergi.

"Mana mungkin kita bisa bertarung asmara di sini kalau nanti akan timbul ledakan yang akan meruntuhkan atap gua ini? Kita bisa mati dalam keadaan gancet, kan memalukan itu!"

"Oh, Suto... kau mau ke mana?"

"Mau melihat siapa yang bertarung di sekitar tempat ini!" ujar Suto sambil segera bergegas pergi. Tapi baru sampai pintu gua ia terhenti lagi karena seruan Sunting Sari.

"Suto... tunggu! Celanamu ketinggalan...!"

"Wah, kacau!" sentak Suto sambil merapatkan kaki dan memandang ke bawah.

Terdengar suara Sunting Sari tertawa cekikikan karena berhasil mengejutkan Suto dengan tipuannya.

"Sial kau! Kupikir celanaku benar-benar ketinggalan!" gerutu Suto Sinting sambil merapikan ikat pinggangnya, karena celana itu sebenarnya sudah dikenakan hanya kurang rapi sedikit.

* * *

TIGA

PERTARUNGAN itu terjadi di tanah datar berpohon jarang. Pendekar Mabuk segera merapatkan diri di balik persembunyiannya di atas pohon, karena ia mengenali kedua tokoh yang bertarung itu. Sedangkan Sunting Sari yang segera menyusul naik ke pohon dengan satu lompatan, segera berbisik di samping Suto Sinting bernada tegang.

"Bukankah itu si Janda Liar sendiri, alias Selimut Senja?!"

"Ya, aku tahu persis tentang dia," ujar Suto Sinting sambil memandang ke arah seorang perempuan cantik, montok, dan sexy yang mengenakan jubah kuning bunga-bunga merah-hitam. Perempuan berkutang kuning dari kain tipis dengan bawahan kain kuning tipis berbelahan dua kanan-kiri itu tampak bergerak dengan gemulai bagai sedang menari di depan lawannya.

"Lawannya itu siapa?" bisik Sunting Sari sambil berpegangan pundak Suto.

"Dia yang bernama Pangkar Soma, yang tadi mendatangkan hujan darah sangat berbahaya bagi siapa saja kecuali dirinya itu."

"Ooo.... Siapa Pangkar Soma itu?"

Sambil memandang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun yang rambutnya telah putih, meriap tanpa ikat kepala, badan agak gemuk ditutup jubah dan celana merah, Suto Sinting jelaskan sedikit tentang Pangkar Soma.

"Pangkar Soma itu muridnya mendiang Tengkuk Cadas. Ilmu yang diperolehnya dari Tengkuk Cadas itu jika digabungkan dengan ilmunya tokoh penguasa Pulau Siluman yang bernama Nyai Ronggeng Iblis, akan menjadi suatu kekuatan maha dahsyat. Pangkar Soma seharusnya mendapat Ilmu dari Nyai Ronggeng Iblis, tapi karena Nyai Ronggeng Iblis telah mati di tanganku, maka Pangkar Soma tak berhasil memiliki ilmu maha dahsyat itu."

"Dia tokoh aliran hitam?"

"Ya. Dan entah persoalan apa yang membuatnya bermusuhan dengan Ketua Partai Janda Liar itu. Kita lihat saja pertarungan ini."

"Barangkali hujan darah tadi dikarenakan Pangkar Soma ingin hancurkan si Janda Liar dengan jurus mautnya itu."

"Kurasa memang begitu. Tapi agaknya ilmu 'Kulit Baja' yang dimiliki Selimut Senja itu membuatnya selamat dari racun dalam hujan darah tadi."

"Kurasa...."

"Ssst...! Perhatikan, jurus apa yang dipakai oleh ketuamu itu?!"

Selimut Senja menari-nari di angkasa. Tubuhnya terangkat naik tanpa menyentuh tanah. Gerakan tangannya seperti orang menari cepat, dan tiba-tiba dari kelima kuku jari tangan kanannya keluar lima larik sinar kuning yang berasap. Wuuusss...!

Pangkar Soma menghindari lima larik sinar itu dengan satu lompatan ke arah samping. Kakinya menjejak pohon, dan tubuhnya melesat ke pohon yang satu. Lalu di sana menjejak pohon lagi, dan melesat lagi ke arah pohon yang lain, sampai akhirnya bersalto dan tiba di samping Selimut Senja.

Blegeaaaarrrr...!

Lima larik sinar kuning menghantam pohon dan pohon itu hancur menjadi serbuk lembut dari akar, batang, sampai pada daunnya. Pada saat itu, Pangkar Soma segera membalas dengan melepaskan pukulan sinar merah berkelok-kelok seperti ular terbang. Claaap, lap, lap, lap...! Sinar merah itu menghantam pinggang Selimut Senja.

Jgeeaaar...!

Selimut Senja terpelanting dalam keadaan melambung naik, namun segera bersalto dan berhasil mendarat dengan kedua kaki menapak ke tanah secara tegak. Jleeeg...! Lalu seulas senyum sinis mengembang di bibir Selimut Senja.

"Gila! Ledakan sebesar itu tidak membuat tubuhnya hancur! Bahkan jubahnya masih tampak utuh, tidak robek atau hangus sedikit pun?!" gumam Suto Sinting pelan, dan Sunting Sari segera berbisik pula di dekat telinga Suto.

"Itulah kehebatan ilmu 'Kulit Baja'-nya. Sampai barang apa pun yang menempel pada tubuhnya tak akan bisa diputuskan atau dirobek."

"Kurasa, Pangkar Soma sulit menumbangkan si Janda Liar."

Dugaan Suto memang benar. Pangkar Soma segera menggunakan senjatanya berupa cambuk warna merah yang diberi nama 'Cambuk Iblis' itu. Ia melecutkan cambuk tersebut ke punggung Selimut Senja ketika Selimut Senja menari dengan bergerak memutar lamban. Ctaaarr...! Cambuk itu mengeluarkan sinar merah kecil dari ujungnya dan mengenai punggung Selimut Senja. Tetapi perempuan cantik itu hanya tersentak sedikit ke depan, dan punggungnya tetap dalam keadaan utuh walau kilatan sinar merah tadi mengepulkan asap bagai membakar sesuatu. Bahkan kain jubah yang dikenakan Selimut Senja juga masih tampak utuh tanpa robek atau hangus sedikit pun.

"Biadab betul kau, Janda Liar!!" geram Pangkar Soma. "Rupanya kau sengaja pamer ilmu di depanku, hah?!"

Selimut Senja masih menari-nari pelan dan berseru dengan nada menghina lawan. "Ilmu yang kau miliki adalah ilmu bayi kemarin sore, Pangkar Soma! Mana mungkin bisa kau pakai untuk melawanku. Sebaiknya kau urungkan niatmu untuk membunuhku, Pangkar Soma!"

"Keparat busuk! Jangan bangga dulu kau dengan ilmumu itu, Selimut Senja! Bagaimanapun tingginya ilmumu, kau tetap akan kuhancurkan sebagai pembalasanku terhadap kematian adikku yang kau bunuh beberapa waktu yang lalu."

"Adikmu layak kubunuh, karena dia mempermainkan hatiku dan menganggapku sebagai istri murahan! Jika kau berpandangan seperti adikmu, maka kau pun layak kukirim ke neraka menyusul adikmu, Pangkar Soma!"

"Jahanam tengik! Terimalah jurus 'Cambuk Iblis' ini, hiaaah...!"

Pangkar Soma lecutkan cambuk ke atas. Ctaaarrr...! Dari ujung cambuk keluar sinar biru yang segera melebar menyiram tubuh Selimut Senja. Zrrraaab...! Selimut Senja terkurung sinar biru itu. Tetapi dengan satu sentakan kedua tangan ke samping bagai sebuah tarian sakral, tiba-tiba sinar biru itu pecah bersama bunyi ledakan yang menggelegar.

Jegaaarrr...!

Biasanya benda apa pun akan menjadi serbuk halus jika terkena sinar biru jurus 'Cambuk Iblis' itu. Bahkan puncak sebuah bukit pun pernah terkena lecutan jurus 'Cambuk Iblis' itu dan puncak bukit tersebut menjadi rata separo bagian, berubah menjadi gundukan pasir halus. Tapi kali ini agaknya Pangkar Soma mendapatkan lawan yang tangguh. Selimut Senja masih tetap utuh tanpa luka sedikit pun walau telah ter-bungkus sinar biru tersebut. Hal ini membuat Pangkar Soma terbelalak kaget dan menjadi sangat tegang. Ia melangkah mundur dua tindak.

"Gila! Dia tidak terluka sedikit pun?! Ilmu apa yang dimiliki si perempuan tengik itu?! Keparat betul dia!" geram hati Pangkar Soma sambil berpikir mencari kelemahan lawannya.

Tiba-tiba Pangkar Soma melenting ke atas dalam gerakan bersalto di udara, kemudian cambuknya menyabet dengan cepat di ubun-ubun Selimut Senja. Ctaaarr...! Ujung cambuk itu keluarkan sinar ungu berbentuk seperti anak panah. Claap...! Sinar ungu itu menghantam kepala Selimut Senja dengan telak. Blaaarrr...!

Selimut Senja tersentak ke depan dan hampir jatuh. Ia segera berlutut dengan kedua tangan mengeraskan dua jarinya dan menyentak ke atas. Claaappp...! Sinar merah dari dua tangan itu melesat dan menjadi satu lalu menghantam tubuh Pangkar Soma. Dalam keadaan gerakan turun ke bawah, Pangkar Soma cepat-cepat melecutkan cambuknya. Ctaaar...!

Blegaaarrr...!

Pangkar Soma justru terjungkal sendiri. Gelombang ledakan itu menyebarkan hawa panas yang menyentak kuat. Wajah Pangkar Soma selain kotor karena berlumur tanah basah, juga menjadi merah bagaikan babi panggang. Dari mulut dan hidungnya keluarkan darah hitam yang mengerikan.

"Pangkar Soma terluka!" ucap Suto Sinting bernada tegang.

"Tentu saja, sebab tak ada orang yang bisa menahan jurus 'Lembayung Getih' yang dilepaskan Selimut Senja tadi," ujar Sunting Sari dalam bisikan. "Seharusnya jurus 'Lembayung Getih' jangan ditangkis, kalau ditangkis kekuatannya menjadi lebih besar, karena menyatu dengan kekuatan jurus penangkisnya tadi."

Suto tak jadi ucapkan kata, karena tiba-tiba mereka mendengar suara Selimut Senja berseru kepada lawannya.

"Terimalah saat kematianmu, Pangkar Soma!"

Blaaas...! Pangkar Soma tahu-tahu sudah tidak ada ditempat. Ia menggunakan sisa tenaganya untuk melarikan diri karena merasa keadaannya sangat berbahaya. Lukanya cukup parah dan jika tetap lakukan pertarungan akan semakin membahayakan jiwanya. Karena itulah maka Pangkar Soma pergi tanpa pamit.

Kepergian itu sempat dilihat oleh Selimut Senja. Kelebatan gerak yang cepat membuat Selimut Senja mengimbanginya dengan satu jurus gerakan cepat yang dimilikinya.

"Jangan lari kau, Keparat!" seru Selimut Senja, kemudian berkelebat mengejar lawannya. Blaasss...!

"Kita ikuti mereka! Aku ingin tahu siapa yang akhirnya unggul dalam pertarungan ini!" kata Suto Sinting.

"Jangan! Nanti kalau si Janda Liar melihatmu, dia akan berubah arah ganti mengejarmu. Karena kalau benar kaulah yang mengaku bernama Panji Klobot, maka ia akan mengutamakan dirimu daripada si Pangkar Soma!"

"Aku tak peduli! Kalau perlu kutumbangkan sekalian dia!" selesai berkata begitu, Pendekar Mabuk segera melesat tinggalkan tempat persembunyiannya.

"Hei, tunggu...!" seru Sunting Sari yang gerakannya tak secepat Suto Sinting.

Suto Sinting tak peduli dengan seruan itu. Ia selalu penasaran dengan sebuah pertarungan sebelum jelas siapa yang kalah. Bahkan kali ini ia lebih penasaran lagi sebab setahunya Pangkar Soma berilmu tinggi dan Selimut Senja juga berilmu tinggi. Yang mana yang akan tumbang dari kedua tokoh aliran hitam itu?

Pengejaran Suto mengalami salah arah ketika menyeberangi sebuah sungai. Ia melihat sekelebat bayangan di seberang sungai. Maka dikejarnya bayangan itu dengan jurus 'Gerak Siluman'. Sangkanya bayangan itu adalah bayangan Selimut Senja. Ternyata setelah Suto berhasil mengikuti dari jarak dekat. Orang yang dikejarnya bukan Selimut Senja. Bahkan perempuan itu sendiri terhenti langkahnya karena dihadang oleh seseorang di depannya.

"Wirayuda...?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya sambil memperhatikan lelaki berusia lima puluh tahun yang menghadang seorang perempuan berpakaian merah bercorak bola-bola kuning.

Lelaki yang menghadang perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu pernah dijumpai Suto ketika orang tersebut melawan Nyai Mata Binal. Suto masih ingat, lelaki berpakaian serba hijau, berkumis melintang dan berbadan besar itu tak lain adalah Wirayuda, yang kala itu menuntut Nyai Mata Binal, karena sang Nyai telah melenyapkan ilmu adiknya Wirayuda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perempuan Jahanam).

"Tetapi siapa perempuan berhidung mancung dan bermata sayu itu?" pikir Suto Sinting dari persembunyiannya. "Agaknya dia tadi dikejar-kejar oleh Wirayuda dan tampaknya ketakutan sekali menghadapi Wirayuda. Hmmm... sebaiknya kusimak saja keadaan mereka berdua."

Perempuan berbaju merah bola-bola kuning itu sudah pegangi gagang pedang di pinggangnya, siap mencabutnya walau ia melangkah mundur pelan-pelan. Sedangkan Wirayuda semakin menampakkan keberangannya dengan memandang tajam dan menyerukan suaranya yang besar.

"Mau lari ke mana saja tetap akan kutemukan kau, Rumbani!"

"Kejarlah aku dan kau akan kehilangan nyawamu, Paman Wirayuda!" gertak perempuan yang ternyata bernama Rumbani itu.

"Hah, hah, hah, hah.... Masih saja berani menggertakku kau, Rumbani?! Apakah kau tak tahu kalau ayahmu saja mati di tanganku, apalagi hanya seorang bocah sepertimu, Rumbani!"

"Tentu saja ayahku tewas karena kau menyerangnya dari belakang, Paman Wirayuda! Kau memang licik!"

"Itu adalah siasat! Yang jelas, licik atau tidak licik, sekarang juga kuminta kau mau serahkan kitab itu padaku! Keluargamu tidak berhak menyimpan kitab pusaka tersebut."

"Aku tidak tahu menahu tentang kitab itu! Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak peduli dengan kitab warisan Eyang Subokarti itu!"

"Omong kosong!" Wirayuda mencibir. "Rupanya kau masih belum jera menerima hajaran tadi, hah?!"

"Paman... kalau Paman berani menggangguku lagi, kali ini aku benar-benar akan membunuh Paman!"

"O, kau bisa membunuhku? Cobalah... coba terima dulu jurusku ini, Rumbani! Hiaaah...!" Wirayuda berkelebat sambil memutar tubuh dengan cepat. Kakinya menyambar kepala Rumbani yang sedang mencabut pedangnya. Ploook...!

Perempuan itu terlempar dan terbanting tanpa sempat mengaduh. Pelipisnya menjadi biru dan darah mengalir dari telinganya. Namun ia menahan rasa sakitnya itu mati-matian dan cepat bangkit sambil menghunus pedangnya. Sebelum pedang sempat digunakan, tiba-tiba Wirayuda lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar hijau kecil ke arah dada Rumbani. Claaap...!

Rumbani berkelit dengan satu lompatan ke samping. Tapi gerakannya terlambat, dan sinar hijau kecil itu telah berhasil menghantam lambungnya. Duuus...!

"Aaahk...!" Rumbani terpekik dan jatuh terpuruk tanpa bisa menahan dirinya lagi. Perutnya mengeluarkan asap dan kain bajunya yang berbelahan dada cukup lebar itu mengepulkan asap. Rumbani menyeringai dalam keadaan telentang sambil mengeluarkan suara erangan memberat.

"Di mana kitab itu, Rumbani!"

Tak ada jawaban dari Rumbani kecuali rasa sakit yang dideritanya. Bahkan sekarang Suto melihat mulut gadis itu keluarkan darah kental akibat pukulan sinar hijau tadi.

"Kalau kau tak mau bicara tentang kitab itu, kumusnahkan ragamu sekarang juga, Rumbani!" gertak Wirayuda dengan mata melebar. Tangan kanannya diangkat ke atas dalam keadaan menggenggam. Tangan kanan itu sepertinya sedang dipersiapkan untuk melepaskan pukulan berbahaya yang akan menghancurkan raga Rumbani. "Cepat, katakan di mana kau simpan kitab itu!"

"Ak... aku... benar-benar tidak... tid... tidak tahu. Suummm... sumpah, Paman...."

"Kasihan. Orang benar-benar tidak tahu kok dipaksa harus tahu," gumam Suto dalam hati.

"Baiklah!" seru Wirayuda. "Agaknya sia-sia saja aku mengejarmu sampai di sini! Terimalah jurus 'Retak Seribu' ini...."

Suto Sinting lebih dulu melepaskan jurus 'Jari Guntur' yang berupa sentilan-sentilan bertenaga dalam tinggi, kekuatannya seperti tendangan seekor kuda jantan yang sedang murka. Tes, tes, tes, tes...!

Wirayuda terpental ke belakang dan berguling-guling. Ia merasa diterjang sepasukan kuda perang yang sukar ditahan kekuatannya. Serangan itu bertubi-tubi dan membuat Wirayuda terlempar-lempar hingga di kejauhan sana.

Zlaaap...! Wuuuut...!

Suto Sinting segera menyambar Rumbani dengan 'Gerak Siluman'. Perempuan yang masih memegangi pedangnya itu tak tahu bahwa dirinya sedang dibawa pergi dari tempat itu, karena pandangan matanya menjadi buram, tak bisa mengenali siapa-siapa.

Sementara itu, Wirayuda yang terengah-engah dalam keadaan luka memar di beberapa bagian tubuhnya masih berusaha mencari Rumbani. Ia menyangka perempuan itu melarikan diri, sehingga ia pun segera mengejar Rumbani ke arah yang berlawanan dengan kepergian Suto Sinting.

Ia tak tahu bahwa Rumbani dibawa lari oleh Suto Sinting sampai di sebuah bangunan bekas kuil yang sudah tidak terpakai lagi itu. Bangunan bekas kuil di dalam hutan itu mempunyai ruang pemujaan yang berlantai kering, terhindar dari hujan tadi. Di sanalah Suto baringkan Rumbani dan segera memberinya minum tuak. Dengan meminum tuak, maka rasa sakit Rumbani segera lenyap dan luka-lukanya pun sembuh dengan cepat. Rumbani menjadi segar dan bisa memandang dengan jelas kembali.

Ia terkejut ketika mengetahui di depannya tampak seraut wajah lelaki tampan berhidung mancung dan berbibir ranum. Ia semakin tertegun ketika mengetahui bahwa orang yang menyelamatkannya dari ancaman maut Wirayuda itu ternyata seorang pemuda gagah, berbadan kekar dan mempunyai senyum yang menawan. Hatinya berdebar-debar ketika Suto Sinting melebarkan senyumannya sambil mengajaknya bicara.

"Sudah segarkah tubuhmu, Rumbani?"

Rumbani masih terbengong dalam keadaan duduk. "Kau sudah aman dari Wirayuda. Tenang, jangan cemas lagi."

"Siapa kau, sehingga kau mau selamatkan aku dari ancaman maut Paman Wirayuda?!"

"Aku yang bernama Suto Sinting. Kebetulan saja aku salah kejar, sehingga melihatmu nyaris mati di tangan Wirayuda. Apakah dia pamanmu asli?"

"Dia adik perguruan mendiang ayahku," jawab Rumbani. "Dari mana kau tahu namaku?"

"Aku mendengar Wirayuda menyebutmu: Rumbani."

"Kau juga kenal dengan Paman Wirayuda?"

"Aku pernah jumpa dengannya ketika ia berhadapan dengan seorang tokoh wanita yang sedang kuincar untuk kupelajari kelemahan ilmunya itu."

Rumbani mencoba berdiri dan merasakan kesegaran badannya yang sepertinya tak pernah terluka sedikit pun. Dalam hati ia mengagumi tuak sakti ini, sehingga semakin bertambahlah rasa simpatinya kepada pemuda tampan yang menolongnya itu. Saat itu alam mulai meremang, karena matahari telah tenggelam ke ufuk barat. Tinggal bias cahayanya yang masih tersisa menyinari langit di atas cakrawala.

"Aku harus segera pergi. Maukah kau mendampingiku?" ujar Rumbani tanpa sungkan-sungkan lagi.

"Sebentar lagi hari akan gelap. Tidakkah kau ingin bermalam di suatu tempat, misalnya di sini?"

Rumbani tersenyum berkesan nakal. "Tempatku tak jauh dari sini. Bagaimana jika kau ikut bermalam di tempatku saja?"

"Di mana tempatmu?"

"Di Lembah Liar."

Suto terperanjat dan mulai berkerut dahi. "Kau... kau anggota Partai Janda Liar?"

"Benar," jawab Rumbani dengan senyum melebar seakan bangga nama kelompoknya dikenal oleh Suto Sinting.

"Kalau begitu kau anak buahnya Selimut Senja?"

"Ya, memang aku anak buahnya Selimut Senja yang lebih suka dipanggil Janda Liar itu. Aku sedang mendapat tugas darinya."

"Tugas apa?"

"Memburu seorang pemuda tampan bernama Panji Klobot!"

"Celaka!" gumam Suto Sinting dengan wajah sedikit tegang.

"Mengapa kau tampak gelisah, Suto?"

"Hmmm... eeh.... Panji Klobot itu berilmu tinggi. Jika kau tak bisa kalahkan Wirayuda, apalagi mengalahkan Panji Klobot, jelas tak mungkin bisa. Kusarankan, urungkan saja niatmu. Jangan memburu Panji Klobot, nanti kau kehilangan nyawa, sedikitnya terluka parah."

"Begitukah menurutmu?"

"Ya. Kukatakan hal ini demi menyelamatkan jiwamu, Rumbani."

Rumbani diam sebentar, lalu berkata sambil menatap Suto. "Tetapi sang Ketua menjanjikan sebuah hadiah istimewa untukku. Aku akan diizinkan mempelajari ilmu 'Kulit Baja' yang ada di sebuah kitab pusaka miliknya itu. Dan aku ingin sekali pelajari ilmu itu, Suto."

"Untuk apa kau mengejar hadiah yang belum tentu benar-benar diberikan oleh si Janda Liar itu jika nyawamu menjadi taruhan sebelumnya?"

"Aku penasaran sekali! Aku harus mencoba berhadapan dengan Panji Klobot!"

Suto menggeram jengkel dalam hatinya. Kemudian ia menatap Rumbani dengan tajam dan berkata tegas. "Panji Klobot itu adalah aku!"

"Hahh...?!"

"Orang yang diburu Selimut Senja, yang mencuri panah emasnya dan membakar gairah asmaranya tanpa mau melayaninya itu adalah aku!"

Rumbani tertegun tegang dengan mata menatap lurus pada Suto. Mereka pun saling bungkam dan saling beradu pandang beberapa saat lamanya, hingga alam menjadi petang dan cahaya mentari pun sirna sepenuhnya.

* * *

EMPAT

UDARA dingin mulai menyelimuti bumi bersama sang malam. Nyala api unggun yang dibuat Suto Sinting sedikit mengubah suasana menjadi hangat. Namun jika angin bertiup, udara dingin masih terasa meresap ke pori-pori.

"Susah payah aku memilih kayu yang kering, ternyata angin malam masih mampu menyebarkan hawa dingin begini," gerutu Suto seperti bicara pada diri sendiri.

Rumbani yang duduk bersandar dinding menyahut dengan suaranya yang sedikit serak, "Api unggun memang tidak bisa mengalahkan udara dingin. Tapi api asmara sangat mampu mengalahkannya."

Pendekar Mabuk tidak berpaling memandang ke belakang, tapi ia sunggingkan senyum karena tahu maksud perempuan berdada sekal itu. "Sayang sekali di sini tak ada api asmara, ya?" ucap Suto memancing reaksi Rumbani.

"Siapa bilang tak ada?" ujar Rumbani, lalu ia mendekati Suto dari belakang, ikut duduk di lantai batu yang kering itu. Ia duduk dalam jarak hanya sejengkal dari pendekar tampan itu. "Sudah satu tahun aku tak disentuh oleh lelaki, sejak suamiku meninggalkan aku dalam keadaan sakit."

"Ke mana perginya suamimu itu?"

"Tergiur perempuan lain dan sampai sekarang tak kuketahui nasibnya. Seandainya kutahu di mana dia berada, maka aku akan datang kepadanya dengan mengerahkan kekuatan Partai Janda Liar. Kuhabisi dia bersama perempuan itu!"

"Dan sejak itu kau benar-benar tak pernah merasakan kehangatan seorang lelaki?"

"Tak pernah."

"Bukankah Ketua Janda Liar yang sekarang mengizinkan anggotanya untuk membawa lelaki ke pesanggrahan?!"

"Memang. Tapi aku selalu tak pernah mendapat bagian," jawabnya sambil semakin merapatkan tubuh ke lengan Suto. Ia memandangi Suto dari samping, sementara yang dipandang masih berlagak cuek, bermain api dengan sebatang ranting kering.

"Bolehkah aku merasakan kehangatanmu, Suto?"

Pendekar Mabuk menjawab sambil tersenyum, "Tak boleh."

"Uuh... jahat kamu, ah!" Rumbani merajuk namun ia segera dekatkan wajahnya dan mencium pipi Suto.

Pendekar tampan itu diam saja, tetap bermain api dengan sebatang ranting.

"Kau lelaki yang memancarkan gairah bagi perempuan seusiaku, Suto," bisik Rumbani.

"Aku tak merasa memancarkan apa-apa," kata Suto lirih sambil tetap bermain api.

"Tapi malam ini aku berdebar-debar terus seperti berada di pusaran arus cinta." Rumbani mencium telinga Suto, pemuda itu masih diam. Ciumannya semakin merayap ke tengkuk kepala.

Kegelian yang begitu nikmat menjalar ke seluruh tubuh Suto. Bahkan ketika Rumbani menyapu tengkuk itu dengan lidahnya sambil disertai gigitan kecil, jantung Suto seperti disentak-sentak cukup kuat. Hatinya berdebar-debar indah, tapi ia diam saja berlagak tidak merasakan keindahan itu.

Rumbani merasa diberi kesempatan, sehingga tangannya pun segera memeluk Suto dan meraba-raba dada bidang yang kekar itu. Kepala Suto akhirnya tergolek, menggeliat dengan suara desah kenikmatan mengikuti ke mana larinya kecupan bibir Rumbani. Semakin Suto tak bereaksi, semakin berkobar hasrat bercumbu Rumbani. Tangannya semakin merayap tak karuan, sesekali meremas gemas, sesekali mengelus lembut.

Akhirnya bibir Suto menjadi sasaran keganasan gairahnya. Bibir itu dilumat habis-habisan, dan Suto tetap tidak memberikan reaksi apa-apa. Ia berlagak seperti pemuda yang tak bisa bercinta dan menerima pasrah diperlakukan apa saja. Kepasrahan Suto itulah yang membuat Rumbani semakin penasaran, semakin liar dan semakin menggebu-gebu hingga napasnya terengah-engah sendiri.

"Sutoo...," ucapnya bersama desah. Ia berlutut di depan Suto dan menempelkan kepala Suto ke dadanya yang telah terbuka lebar-lebar itu. "Sutooo... pagutlah aku... oh, pagutlah aku, Sayang...."

Sesuatu yang dijejalkan ke mulut Suto itu akhirnya disambar juga oleh bibir pemuda itu. Rumbani mengerang panjang dengan kepala mendongak ke atas dan tangan meremas rambut Suto ketika kenikmatan itu datang menghujam jiwanya. Suara erangan yang bercampur engahan napas itu menciptakan malam bagai bertabur sejuta kenikmatan di antara mereka berdua.

Mereka semakin hanyut, tak peduli lagi dengan malam, tak peduli lagi dengan dingin, bahkan tak peduli lagi dengan kabut yang merambah masuk ke ruang tersebut. Kabut itu bukan semata-mata kabut udara dingin, melainkan kabut yang mempunyai racun berbahaya. Ketika kabut itu terhirup oleh pernapasan mereka, tubuh mereka merasa lemas. Mereka menyangka lemasnya tubuh akibat darah asmara yang bergolak.

Rumbani semakin menuntut kehangatan lebih dari itu. Rumbani tak mampu berlutut lagi. Lututnya terasa lemas. Bahkan Suto Sinting tak mampu menyangga tubuh Rumbani yang terkulai lemas itu. Ia juga menyangka api gairah itulah yang membuatnya lemas. Akhirnya mereka berbaring sambil mulut Rumbani masih melontarkan erangan dan desah kenikmatan.

"Terus, Suto... terus... oh, aku suka sekali dengan kenakalanmu, Sutoo.... Oooh... jangan berhenti, Sayang.... Jangan berhenti...."

"Lama-lama suara 'jangan berhenti' itu mengecil, demikian juga suara erangan Rumbani yang kian lirih, lirih, kemudian hilang tak tersisa. Sementara Suto Sinting sendiri gerakannya semakin lamban, lamban, lambaan... akhirnya ia terkulai di atas dada Rumbani. Kemesraan belum mencapai puncak teratas, tapi mengapa mereka sudah sama-sama terkulai lemas. Bahkan ternyata mereka sama-sama tak sadarkan diri dan tak mengerti lagi apa yang terjadi.

Kabut yang menelusup masuk di ruangan itulah yang membuat mereka menjadi lemas serta tak sadarkan diri. Kabut itu ternyata kiriman seorang perempuan yang mendengar percakapan mereka dan mengintipnya dari suatu tempat. Melihat kemesraan Suto dengan Rumbani kian gencar, perempuan itu mengirimkan kabut beracun yang mampu melemaskan seluruh urat dan saraf, bahkan jantung pun bisa berhenti berdetak bagi mereka yang memang punya penyakit lemah jantung.

Perempuan itu muncul di pintu ruangan setelah Suto dan Rumbani terkulai saling bertumpuk. Wajah perempuan itu memancarkan kebencian terhadap Rumbani, namun begitu menatap ke arah Suto, kebencian itu berubah menjadi sinis-sinis bergairah.

"Kau memang menyakitkan hatiku, tapi untuk sementara ini aku tak ingin memusnahkan dirimu. Kau harus kumanfaatkan lebih dulu sebagai pelayan cintaku. Setidaknya kau harus tahu seberapa tinggi kekuasaan dan ilmuku, Panji Klobot!"

Perempuan itu tak lain adalah si Janda Liar yang secara tak sengaja melewati bangunan bekas kuil dalam pengejarannya memburu Pangkar Soma.

"Pangkar Soma tak kudapat, tapi justru kau yang kudapat, Panji Klobot. Rasa-rasanya kau memang lebih berharga dari nyawa si Pangkar Soma. Kutangguhkan pengejaranku terhadap Pangkar Soma, kulanjutkan setelah puas bercumbu denganmu, Sayangku. Hi, hi, hi, hi, hi...!"

Janda Liar mengangkat kedua tangannya, lalu dua berkas sinar hijau bening seperti telur burung melesat dari kedua telapak tangan itu. Wees...! Kedua sinar itu kenai tubuh Suto dan Rumbani. Tubuh mereka tiba-tiba menyala hijau bagaikan mengandung fosfor. Tetapi tubuh itu segera bergerak melayang ke atas pelan-pelan, lalu menuju keluar ruangan dalam keadaan tegak. Kedua mata mereka masih sama-sama terpejam dan kepalanya terkulai lemas.

"Pulang ke pesanggrahan!" sentak Janda Liar dengan suara tertahan. Maka, kedua tubuh lemas berwarna hijau bening itu pun berkelebat melayang meninggalkan tempat itu. Janda Liar mengikutinya dari belakang dengan gerakan bagai kapas terhembus angin. Sementara bumbung tuak Suto dibiarkan tertinggal di reruntuhan kuil.

Janda Liar tak mengetahui bahwa perjalanan malamnya ada yang mengrkuti dari balik kegelapan. Orang yang mengikutinya itu sebentar-sebentar berlindung di balik pohon dan mengatur jaraknya sedemikian rupa hingga gerakannya tak tertangkap oleh kepekaan indera yang diikuti.

Perjalanan malam tanpa rembulan itu tidak menyulitkan bagi si penguntit, karena ia menggunakan pedoman sinar hijau yang melapisi tubuh Rumbani dan Pendekar Mabuk. Sambil mengikuti langkah Selimut Senja, si penguntit berpikir bagaimana caranya membebaskan Suto dari kekuatan sihir si Janda Liar.

"Tanpa kekuatan sihir, tak mungkin Suto terbang begitu saja dalam keadaan tidur," pikir si penguntit.

"Kalau kuserang begitu saja, mungkin saja si Janda Liar bisa tumbang, tapi membebaskan Suto dari pengaruh kekuatan sihirnya itu aku tak bisa. Sebaiknya kuikuti saja dulu sampai kekuatan sihir itu dilepaskan oleh si Janda Liar, baru aku menyerangnya dari belakang."

Tapi ternyata sampai menuruni lereng bukit menuju ke Lembah Liar, kekuatan sihir itu masih belum dilepaskan oleh Selimut Senja. Bahkan ketika tiba di pesanggrahan Partai Janda Liar, Suto Sinting dan Rumbani masih dalam keadaan tak sadar dan tubuh mereka memancarkan sinar hijau fosfor.

Mau tak mau si penguntit segera menyerang Selimut Senja dari belakang sebelum Suto dan Rumbani dibawa masuk ke pesanggrahan. Seberkas sinar merah melesat dari dua jari yang dikeraskan. Sinar itu menghantam punggung Selimut Senja. Claaap...! Beeebss...!

Selimut Senja hanya tersentak ke depan dan cepat balikkan tubuh sambil lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar biru melingkar-lingkar seperti spiral. Weerrss...!

"Aaahk...!" pekik suara dari balik kegelapan. Si penguntit terkena pukulan sinar biru melingkar-lingkar itu. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh di kerimbunan semak.

"Siapa itu?! Keluar dan hadapi aku sekarang juga? Kutunggu kau, Setan!"

Tentu saja seruan Selimut Senja itu tidak mendapat jawaban. Pada saat itu, gerakan Suto dan Rumbani juga berhenti namun hanya bisa mengambang di udara dalam jarak tiga jengkal dari tanah. Selimut Senja penasaran, ia segera melesat menuju ke tempat yang tadi keluarkan suara pekik itu. Wuuut...! Zraaak...!

Selimut Senja menerjang semak belukar. Ia menghantamkan pukulan bertenaga dalam tanpa sinar ke sekelilingnya. Semak dan pepohonan kecil saling berhamburan karena pukulan tenaga dalam itu.

Brruss...! Zraaak...! Krraak...! Bruuuk...!

Selimut Senja diam sebentar, matanya melirik tajam ke sekeliling. Telinganya bagaikan dibuka lebar-lebar untuk menangkap suara yang mencurigakan. Tangannya siap melepaskan pukulan maut untuk menghantam suara yang mencurigakan itu. Namun sampai beberapa saat ia tak mendengar apa-apa dan tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.

"Keluar kau, Jahanam!" seru Selimut Senja sengaja memancing tantangan.

Selimut Senja tak tahu bahwa si penguntit telah lebih dulu tinggalkan tempat karena pinggangnya terkena pukulan sinar biru tadi. Ia berkelebat menjauh dan naik ke atas pohon dalam satu sentakan tubuh yang ringan. Di sana ia diam memeluk batang pohon sambil duduk diatas dahan. Tubuhnya gemetar karena menahan rasa sakit yang membakar bagian dalam tubuh.

"Aku harus bertahan! Harus bisa bertahan dan meminta bantuan kepada seseorang yang menurutku mampu membantuku membebaskan Suto Sinting. Uuh...! Sekujur tubuh bagai dikelupas semua. Perih dan sakit! Uuuh...! Napasku jadi ikut-ikutan sesak begini. Mampukah aku bertahan sembunyi di sini?!"

Selimut Senja menghempaskan napas, merasa kesal karena tidak menemukan lawannya. Akhirnya ia kembali hampiri Suto dan Rumbani dan menjalankan kedua tubuh bercahaya hijau itu dengan kekuatan batinnya yang dikatakan sebagai kekuatan sihir itu.

Si penguntit melihatnya dari atas pohon, cahaya hijau itu bergerak menuju pesanggrahan. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya mempertahankan diri agar tak jatuh dari atas pohon. Selimut Senja sampai di depan gerbang pesanggrahan. Dua pengawal gerbang mendekati cahaya hijau itu dan ingin melepaskan pukulan karena dianggap sinar yang akan menghancurkan pintu gerbang.

"Tahan...!" seru Selimut Senja.

"Oh, sang Ketua...?!"

"Buka pintu gerbang dan segera tutup rapat-rapat setelah kami masuk."

"Baik, Ketua!"

"Kalau ada orang yang mengikutiku dari belakang, dengan alasan apa pun, hantam dia dan habisi sekalian!"

"Baik, Ketua! Kami akan lakukan sesuai pesan Ketua!" jawab seorang pengawal mewakili empat penjaga pintu gerbang lainnya. Mereka terdiri dari perempuan-perempuan masih muda namun sudah menyandang gelar sebagai janda. Ada janda kembang, ada janda tak berkembang, ada pula janda kembang kempis, artinya janda yang hidupnya susah.

Selang beberapa saat setelah si Janda Liar masuk bersama Suto dan Rumbani, muncul seorang perempuan berambut dikuncir dan menyandang pedang di punggungnya. Perempuan berpakaian biru berkelebat mendekati pintu gerbang.

"Siapa itu?!" sentak seorang pengawal sambil memandang orang yang baru datang dalam keremangan cahaya obor pintu gerbang yang memancar sejauh lima tombak itu.

"Aku: Damayanti!"

"Pesan Ketua harus dihabisi sekalian!"

"Baik! Serahkan padaku!"

Damayanti yang sebenarnya ingin melaporkan hasil kerjanya, terpaksa berhenti karena seorang pengawal menghadangnya dengan sikap menantang.

"Apa maksudmu bersikap begitu padaku, hah?!" sentak Damayanti yang merasa kedudukannya jauh lebih tinggi dari pengawal itu.

"Tutup mulutmu dan terima saja pesanan sang Ketua ini, hiaah...!"

Pengawal yang memegang tombak itu menghujamkan tombaknya ke perut Damayanti. Tapi dengan cepat tangan Damayanti menangkisnya. Krrak...!

Tombak itu patah seketika, lalu Damayanti melancarkan tendangan putar dengan cepat. Wuut...! Buuhk...! Pengawal itu terlempar hingga membentur pintu gerbang. Gubraak...!

"Aku harus menghadap Ketua, karena ciri-ciri Panji Klobot tidak sesuai dengan wujud orangnya! Sang Ketua salah duga dari...."

Tiba-tiba pengawal yang satunya melemparkan pisau bagai membuang sesuatu yang cepat. Ziling...! Jrrub...!

"Aaahkk...!" Damayanti mendelik. Leher kirinya tertancap pisau, lalu ia pun tumbang tak bernyawa lagi.

Padahal dia bukan si penguntit. Si penguntit sedang berusaha turun dari atas pohon untuk mencari bantuan. Kasihan si Damayanti, nyawanya jadi korban kesalahpahaman. Lalu, siapa si penguntit itu sebenarnya?

Mengapa ia bersikeras untuk membebaskan Suto Sinting? Tapi ia agaknya kenal dengan Selimut Senja. Seorang perempuankah si penguntit itu? Atau justru si Panji Klobot sendiri?

* * *

LIMA

EMBUN pagi mulai diserap oleh sinar matahari. Rerumputan telah kering dan burung tak lagi berkicau. Di atas rerumputan itulah sesosok tubuh tergeletak dalam keadaan wajahnya pucat pasi. Napasnya masih ada, tapi tampak pelan sekali. Seakan ia menunggu saat-saat sang ajal tiba merenggut nyawanya. Ia tak mampu berteriak karena kerongkongannya bagaikan kering kerontang akibat hawa panas yang membakar bagian dalam tubuhnya.

Tak jauh dari tempatnya terkapar, sebuah pertarungan terjadi antara dua perempuan cantik yang saling beradu pandang. Suara denting pedang terdengar menggema di sekeliling tempat itu. Dua perempuan cantik yang mengadu jurus pedangnya itu salah satu berambut pendek diponi depan. Bajunya tanpa lengan warna hitam berbintik-bintik putih logam. Pundak baju itu kaku dan mempunyai krah pendek tapi tegak.

Ia mengenakan kalung tali hitam berbandul batuan merah segar dan giwang yang sama merahnya, kontras sekali dengan warna kulitnya yang kuning. Ia tampak masih cantik dan muda, usianya sekitar dua puluh tahun. Sedangkan lawannya sudah cukup umur, sekitar delapan tahun lebih tua dari si gadis berambut poni itu. Perempuan yang satu itu mengenakan pakaian serba abu-abu dan rambutnya panjang dibiarkan meriap sampai pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah dan memakai gelang di kanan-kirinya warna hitam dari kulit binatang.

Perempuan itu adalah anak buah dari Janda Liar yang bernama Rana Sumping. Ia juga ditugaskan untuk menangkap Panji Klobot. Ia tidak tahu bahwa yang di-maksud ketuanya itu adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Maka yang diburu adalah pemuda bernama Panji Klobot. Rana Sumping mendapat keterangan dari seorang pencari kayu, bahwa di Lembah Seram ada pondok dan di pondok itu ada yang bernama Panji Klobot. Pondok itu adalah milik tokoh tua berilmu tinggi yang dikenal dengan nama Kusir Hantu.

Rana Sumping tidak tahu siapa pemilik pondok tersebut. Ketika ia mendekati pohon itu, tiba-tiba ia bertemu dengan cucu si Kusir Hantu yang bernama Pematang Hati. Terjadilah pertarungan antara Pematang Hati dengan Rana Sumping, karena Pematang Hati tak mau serahkan Panji Klobot pada saat itu sedang menderita sakit beracun akibat serangan Sunting Sari.

Pematang Hati terluka oleh pedang Rana Sumping, adiknya melihat hal itu lalu menyerang Rana Sumping. Ternyata adik Pematang Hati yang bernama Mahligai Sukma itu mempunyai kelincahan lebih tinggi dari kakaknya. Ia berhasil hindari serangan Rana Sumping, bahkan beberapa kali ia berhasil lukai Rana Sumping dengan pukulan tenaga dalam jarak jauh.

Rana Sumping melarikan diri. Mahligai Sukma penasaran, lalu mengejar Rana Sumping. Sepanjang malam pengejaran itu tetap dilakukan, sampai akhirnya mereka bertemu di tempat yang tak jauh dari sesosok tubuh yang terkapar dalam keadaan sekarat itu. Rana Sumping sendiri menjadi berang ketika dikejar terus oleh Mahligai Sukma, akhirnya ia memutuskan untuk mengadu ilmu pedangnya. Mahligai Sukma tidak merasa gentar sedikit pun karena ia belajar ilmu pedang bukan dari kakeknya saja, melainkan juga mendapat ilmu pedang dari kakaknya sang kakek yang bernama Tua Bangka alias Ki Sanupati.

Mahligai Sukma berhasil mendesak Rana Sumping dengan jurus pedangnya yang tiada pernah berhenti berkelebat. Jurus pedang itu pemberian si Tua Bangka dan dinamakan jurus 'Pedang Linglung'. Tebasannya seakan tak menuju ke sasaran, tapi tiba-tiba menyabet cepat ke arah lawan. Rana Sumping hanya bisa menangkis dan menghindari pedang Mahligai Sukma. Ia bagaikan tak diberi kesempatan untuk membalas serangan Mahligai Sukma.

"Lincah sekali gadis ini, seperti anak belalang saja!" pikir Rana Sumping sambil menangkis tebasan pedang Mahligai Sukma yang datang secara beruntun. "Kalau tak segera melarikan diri, aku bisa mampus di tangan bocah kemarin sore ini!"

Trang, trang, trang, triing, trang, triing...! Breet...!

"Auh...!" Rana Sumping memekik, pundaknya terkena tebasan pedang Mahligai Sukma. Luka koyak itu sangat perih dan panas, bagai dibakar dengan api yang tak kunjung padam. "Celaka! Racun pedang itu berbahaya sekali!" pikir Rana Sumping, maka ia segera berjungkir balik dalam satu lompatan ke belakang. Lalu, kakinya menyentak ke tanah dan tubuhnya pun melambung ke atas. Suuut... !! Ia hinggap di atas pohon, setelah itu segera melarikan diri dengan lompatan-lompatan tangkas dari pohon ke pohon.

"Jangan lari kau, Keparat!" seru Mahligai Sukma yang segera mengejarnya dengan gerakan cepat. Wuuut...! Namun kaki Mahligai Sukma tersandung sesuatu dan membuatnya jatuh tersungkur. Bruuuss...!

"Sial!" makinya dalam hati. Ia segera bangkit dan lakukan pengejaran kembali. Tetapi tiba-tiba kakinya tak jadi melangkah ketika ia melihat sesuatu yang membuat kakinya tersandung itu mengeluarkan suara rintih sangat pelan. Ternyata kaki Mahligai Sukma telah tersandung paha sesosok tubuh yang terkapar tanpa daya lagi itu. Mahligai Sukma memandang dengan dahi berkerut, lalu segera mendekati orang yang terkapar itu.

"Oh, kau terluka parah...?!" ujarnya pelan sambil meneliti tubuh orang tersebut.

Mendengar suara seseorang bicara, orang itu segera membuka mata walau hanya kecil saja. Mulutnya bergerak-gerak berusaha keluarkan suara. Mahligai Sukma dekatkan telinga, dan ia mendengar orang itu berkata dalam nada membisik.

"Selamatkan.... Suto.... Sinting...."

"Hahh...?!" Mahligai Sukma terkejut. "Kau kenal dengan Suto Sinting??"

"Dddi... dia... tertawan ooleh... oleh.... Janda.... Liar...."

"Suto tertawan oleh Janda Liar?! Oh, kalau begitu kau perlu kubawa pulang agar kakekku mencoba menyembuhkanmu!"

Mahligai Sukma memasukkan pedangnya ke sarung pedang. Ia segera mengangkat tubuh orang tersebut. Baginya lebih penting menyampaikan kabar dari mulut orang itu ketimbang mengejar Rana Sumping, toh lawannya itu dengan tak langsung sudah mengakui keunggulannya dan tak mampu hadapi jurus pedangnya.

"Lain waktu bisa kulanjutkan lagi pertarungan ini! Aku mengenali wajahnya walau tak tahu namanya!" pikir Mahligai Sukma sambil memanggul orang yang sekarat itu. Sampai di pondok, ia segera menyerahkan orang itu kepada si Kusir Hantu. Saat itu luka Pematang Hati sudah diobati oleh Kusir Hantu dan Panji Klobot sendiri mulai sehat.

"Orang ini terluka dan membawa kabar tentang Suto!" kata Mahligai Sukma kepada kakeknya.

Panji Klobot kaget begitu melihat orang yang dibawa oleh Mahligai Sukma. "Ini dia orangnya...! Ini dia yang menyerangku dan mau menangkapku!"

Ternyata orang yang sekarat itu adalah si penguntit yang tak lain adalah Sunting Sari. Bertepatan dengan ucapan Panji Klobot itu terlontar, muncul pula Tenda Biru yang semalam menyusul Mahligai Sukma dan ikut mengejar Rana Sumping. Tapi agaknya ia salah arah dan kembali pada pagi menjelang siang.

"Oh, jadi si keparat ini sudah berhasil kau lukai? Untuk apa dibawa kemari, habisi saja dia! Hiaaat...!"

"Tunggu!" cegah Kusir Hantu.

Tenda Biru tak jadi mencabut pedangnya.

"Dia membawa kabar tentang Suto!" timpal Mahligai Sukma sambil memandang Sunting Sari.

"Apa yang kau ketahui tentang Suto Sinting?" tanya Kusir Hantu.

"D... di.. bawa ke Lembah.... Liar.... Terta... terta...."

"Tertawa?" sahut Kusir Hantu.

"Tertawan... di ssssa... saaanna...."

Mereka saling berpandangan. Ada kecurigaan apa yang dikatakan Sunting Sari itu hanya sebuah siasat belaka. Tapi melihat luka yang parah, si Kusir Hantu berkeyakinan bahwa ucapan itu memang benar. Maka ia segera berkata kepada yang lain.

"Bawa masuk ke dalam akan kuobati dulu lukanya biar dia bisa cerita lebih banyak lagi. Pepatah mengatakan: 'Pikir dulu pendapatan sesal kemudian tak berguna'. Artinya, kalau pendapatanmu rendah jangan beli barang yang mahal-mahal, nanti bisa...."

"Sudahlah, Kek! Pepatah melulu, mending kalau artinya sesuai dengan keadaan yang berlaku!" gerutu Mahligai Sukma yang dicekam kegelisahan sejak mendengar kabar Suto ditawan oleh Janda Liar. Karena dalam benak gadis itu membayangkan Suto dalam pelukan Janda Liar, setidaknya dengan Janda Liar akan memaksa Suto untuk melayani hasratnya dengan cara bagaimanapun.

Bayangan Mahligai Sukma tak meleset jauh dari kenyataan. Hanya saja, kemesraan itu belum sempat terjadi, karena ketika Suto dilepaskan dari pengaruh sihir yang membuat cahaya hijaunya padam, ia dalam keadaan pingsan.

"Jaga dia dan hati-hati, esok pagi pasti dia sudah siuman karena kekuatan racun kabutku cepat hilang jika berada di dalam tubuh orang bertubuh kekar!" perintahnya kepada seorang anak buah.

"Baik. Saya akan tetap di ruangan ini sampai dia sadar, Ketua!"

"Jangan di dalam ruangan itu. Di luar!" bentak Selimut Senja, dan sang anak buah itu menurut dengan wajah kecut alias kecewa.

Rupanya ada sesuatu yang dilakukan oleh Selimut Senja yang membuat sang anak buah berkeinginan sekali menjaga Suto di dalam ruangan tersebut. Ruangan itu adalah ruangan bawah tanah yang diterangi oleh obor-obor berbumbung tinggi seperti tiang. Bahan bakarnya terbuat dari minyak kelapa sehingga tidak membuat hitam ruangan tersebut.

Ketika Suto sadar, ia terkejut sekali mendapatkan dirinya dalam keadaan dirantai. Kedua tangannya direntangkan dan terkait pada belenggu rantai yang menempel pada dinding kokoh. Kedua kakinya juga direntangkan dalam keadaan dibelenggu dengan rantai besar yang kokoh. Pendekar Mabuk menjadi lebih terkejut setelah mengetahui pakaiannya telah lenyap dan tubuhnya tak mengenakan selembar benang pun. Keadaan itulah yang membuat sang anak buah ingin menjaga di dalam ruangan, namun dilarang oleh sang Ketua.

Craak...! Suto menggerakkan kedua tangannya begitu sadar keadaan tubuhnya. Ia ingin menutupi bagian yang sangat memalukan jika dipandang orang lain, terutama seorang wanita. Tapi tangannya tak bisa dipakai untuk menutupi hal itu karena terbelenggu kuat.

"Wah, kacau banget kalau begini caranya! Masa aku ditawan dalam keadaan seperti ini?! Siapa yang menawanku?! Rumbanikah yang menawanku?!"

Pendekar Mabuk berusaha menarik rantai agar jebol dari dinding. Tapi ia bagaikan tak makan selama empat puluh hari.

"Ooh... tenagaku seperti hilang semua. Lemas sekali tubuhku. Tak kuat untuk menjebol rantai ini dari dinding. Aduuuh... kenapa aku bisa jadi seperti ini, ya? Seingatku aku dipancing bercumbu dengan Rumbani. Cumbuannya melelapkan sukma dan... setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Apakah... apakah dadanya Rumbani mengandung racun yang membius kesadaranku?! Oh, kalau begitu... dada perempuan itu sangat berbahaya. Seharusnya diremas saja, bukan dipagut dan...."

Klaaak...! Pintu ruangan terbuka, seseorang masuk dan sunggingkan senyum kemenangan terhadap Suto Sinting.

"Selimut Senja...?!" ucap Suto dengan nada heran.

"Sudah kuduga kau telah sadar dari racun kabutku, Panji!"

"Celaka! Rupanya aku tertangkap oleh si Janda Liar. Ooh... kalau caranya menawanku begini, dia memang benar-benar janda yang liar!" ucap Suto dalam hatinya.

Pintu ruangan itu segera ditutup dan dikunci dari dalam, karena penjaga di luar pintu ikut menongolkan kepalanya sambil senyum-senyum. Selimut Senja sempat membentaknya. "Sekarang belum jadi tontonan! Nanti setelah aku puas menikmatinya, kau boleh menontonnya dengan teman-temanmu yang lain!"

Brraak...!

"Aaaaaoow...!" sang penjaga menjerit karena tangannya tergencet ketika pintu ditutup oleh Selimut Senja. Tangan itu segera dicabut ketika Selimut Senja membukanya sedikit, sambil keluarkan perintah,

"Ambilkan buah anggur dan seguci tuak! Aku akan berpesta dengannya!"

"Bba... baik, Ketua," jawab si penjaga dengan masih menyeringai merasakan sakit. Ia sempat menggerutu sambil melangkah meninggalkan pintu tersebut.

"Pesta ya pesta, tapi apakah tanganku juga ikut dipakai pesta sampai gepeng begini! Aduuuh... kebangetan sekali si Ketua. Melongok sebentar saja upahnya digencet pintu. Apalagi kalau melongok sampai lama, mungkin kepalaku yang akan digencetnya!"

Setelah pesanannya diserahkan, Selimut Senja segera menutup pintu itu, lalu menguncinya dari dalam dengan palang pintu dari kayu jati. Klaaak...!

"Aku tahu yang kau inginkan! Panah emas itu, bukan! Aku sudah tidak memegang panah emas lagi, Selimut Senja! Panah itu sudah kukembalikan pada kakekmu; Begawan Parang Giri!"

"O, ya...?!" Selimut Senja berjalan melenggok mendekati Suto Sinting. Seakan ia tak begitu tertarik dengan ucapan Suto. Pandangan matanya menjadi sayu dan sering melirik nakal. Senyumnya pun berkesan senyum perempuan jalang.

"Aku tak peduli panah itu di mana! Aku memang kehilangan panah pusaka, tapi kau akan menggantikannya dengan 'panah pusakamu' ini, bukan?! Hi, hi, hi, hi...," sambil Selimut Senja mencengkeram sesuatu yang terbuka lebar tanpa penutup itu. Suto hanya menyeringai kaget, takut cengkeraman tangan itu memecahkan sesuatu yang selama ini dijaga dan dirawatnya baik-baik itu. Dengan wajah didekatkan, Selimut Senja berkata pelan kepada Suto.

"Kesalahanmu dapat kuampuni jika kau mau memenuhi keinginanku, Panji."

"Apa keinginanmu?"

"Hmmm...? Oh, kurasa kau tahu... inilah keinginanku," sambil Selimut Senja meremas pelan 'jimat' kesayangan Suto itu.

"Maaf, aku tidak berselera dengan perempuan kasar dan memakai cara seperti ini. Lepaskan aku dari belenggu-belenggu ini, maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan dariku," bujuk Sulo.

"Oh, aku bukan perempuan bodoh, Panji. Kau tak akan kulepaskan sebelum kudapatkan kenikmatan bercinta denganmu."

"Tapi... tapi keadaanku berdiri begini dan kau tak akan mendapatkannya, Selimut Senja!"

"Hi, hi, hi, hi... aku sudah terlatih sambil berdiri, Panji! Jangan takut, kau pun akan merasakan seperti kuterbangkan sampai di langit-langit surga."

"Gawat! Dia mudah mempermainkan aku sementara aku tidak mempunyai kekuatan untuk meronta," pikir Suto Sinting sambil melirik ke sana-sini mencari pakaian dan bumbung tuaknya.

Pakaian tidak kelihatan ada di ruangan itu, tapi bumbung tuak tampak membayang tak jauh dari sebelah kanannya. Bumbung tuak itu kadang kelihatan kadang hilang. Suto mulai paham bahwa bumbung tuak akan muncul pada saat tertentu nanti. Selimut Senja mengambil guci tuak, lalu meminumkan kepada Suto dengan tangan tetap jahil ke arah itu-itu saja.

"Lihat, betapa baik aku padamu, aku tahu kau butuh minum. Teguklah tuak ini sebanyak-banyaknya, Panji, biar kau menjadi lelaki yang panas dalam asmara. Hi, hi, hi...."

Pendekar Mabuk meneguk tuak itu agak banyak. Selimut Senja menyangka jika Suto meminum tuak banyak-banyak, maka ia akan menjadi mabuk dan gairahnya akan terbakar dengan sentuhan lembut pun. Ia tidak tahu bahwa Suto adalah manusia yang nyaris tak pernah mabuk walau meminum tuak sebanyak apa pun. Justru tuak akan membuat badannya segar dan kekuatannya pulih kembali. Tuak yang diminumkan ke mulut Suto sengaja dicecerkan hingga membasahi bagian dada, perut, dan seterusnya.

"Oh, sayang sekali tuaknya tercecer, padahal tuak ini tuak terbaik yang kupesan dari Majalegi. Hmmm...!"

Selimut Senja mengecupi tuak yang membasahi tubuh Suto itu. Dari dada hingga ke perut disusuri memakai lidah dan bibirnya. Sapuan lembut yang membakar gairah itu tetap dilakukan oleh Selimut Senja walau sampai melewati batas perut Suto. Mata Suto terpejam bukan karena meresapi sentuhan hangat bibir Selimut Senja, melainkan menahan rasa agar gairahnya tidak terbakar dan menjadi berselera. Usaha itu berhasil, gairah yang mestinya berkobar karena disapu oleh kecupan hangat Selimut Senja, ternyata hanya dingin-dingin saja. Selimut Senja merasa heran melihat keadaan Suto yang tidak tergugah oleh cumbuannya.

"Mengapa kau tak bangkit seperti malam itu, sebelum panah emasku kau curi?"

"Sudah kukatakan, aku tidak berselera dengan perempuan kasar yang memperlakukan diriku seperti ini! Aku tidak berselera padamu, Selimut Senja."

"Benarkah...?!" sambil senyum perempuan itu dipamerkan penuh goda, pandangan mata sayunya pun tampak menantang sekali.

Perempuan itu segera menari gemulai di depan Suto Sinting. Tarian yang dibawakan adalah tarian yang menggugah kejantanan seorang lelaki. Suto tetap kalem dan hanya sunggingkan senyum sinis, seakan meremehkan godaan Selimut Senja.

"Aku tetap tidak berselera padamu, Selimut Senja!"

Mulut perempuan itu tidak berucap apa pun, tapi ia sunggingkun senyum yang cukup nakal. Bahkan sekarang di sela gemulainya tarian, Selimut Senja melepaskan jubahnya pelan-pelan hingga ia mengenakan penutup dada dan pakaian bawah saja.

"Aku tetap tidak berselera padamu walau kau berbuat begitu!" ujar Suto dengan kalem, berkesan meremehkan rayuan Selimut Senja.

Lama-lama Janda Liar itu melepaskan kain penutup dadanya. Kain itu terkulai di lantai dan tampaklah sebentuk keindahan yang menyebarkan kehangatan dalam khayalan setiap lelaki. Tetapi Suto Sinting tetap berkata dengan suaranya yang tegar.

"Ah, percuma saja kau begitu. Aku tetap tidak berselera padamu, Janda Liar!"

Selimut Senja mengangkat kedua tangannya, lalu pinggulnya meliuk-liuk dengan lidah menjilati bibirnya sendiri. Matanya semakin sayu dan wajahnya menjadi semakin sensual. Bahkan kali ini ia melepaskan pakaian bawahnya dengan pelan-pelan, dan pinggulnya masih meliuk-liuk membuat pria mana pun panas dingin.

"Ak... aku... aku tetap tidak bergairah pada... padamu...." Suto mulai bicara berpatah-patah. Karena sebenarnya hati Suto mulai berdebar-debar ketika melihat perempuan cantik itu tidak mengenakan selembar benang pun dan berliuk-liuk penuh bayangan mesum. Gerakan itu makin mendekati Suto Sinting. Wajah Suto ditengadahkan. Ia tak mau melihat Selimut Senja, dan mulutnya tetap melontarkan kata, "Aku... aku tidak bergairah padamu, Setan...."

"Benarkah...?" ucap Selimut Senja dengan suara mendesah, semakin menggetarkan hati pendekar tampan itu. "Benarkah kau tidak bergairah padaku?"

"Celaka! Aku tak bisa menghindar lagi! Tenagaku masih lemah gara-gara kabut beracunnya itu! Ooh... apa yang harus kulakukan jika begini! Dia pasti akan berhasil memperkosaku dalam keadaan seperti ini! Ooh... mana enak?! Eh... anu... hmmm... apa, ya?!"

Tiba-tiba pintu ruangan itu digedor-gedor oleh seseorang. Gedoran itu cukup keras hingga mengejutkan si Janda Liar. Dook, dook, dook...!

"Biadab! Siapa itu!" Janda Liar menjadi berang karena khayalan asmaranya yang sudah melambung tinggi itu terputus dan buyar oleh suara gedoran pintu. Ia buru-buru mengenakan pakaiannya karena gedoran pintu itu terdengar lagi, bahkan semakin keras. "Keparat! Siapa yang berani mengganggu asmaraku ini?!" ujarnya dengan berang sambil hampiri pintu tersebut.

* * *

ENAM

PENJAGA pintu yang tadi tangannya tergencet itu segera ditampar oleh Selimut Senja. Plaak...! Si penjaga pintu terpelanting membentur dinding. Pipinya menjadi merah membekas lima jari.

"Beraninya kau mengganggu kemesraanku, hah?!" bentak Selimut Senja.

"Mmaa... maaf, Ketua. Dddi... di luar ada tamu yang mengamuk dan... dan...."

"Mengapa harus lapor padaku?! Apakah kau dan yang lain tak bisa mengatasi?! Goblok! Mau mengatasi orang mengamuk saja harus pakai minta izin dulu padaku!"

"Buk... bukan soal minta izin, Ketua. Tapi... tapi kami semua kewalahan menghadapi mereka!"

"Mereka...?! Berapa orang yang bikin ulah itu?!"

"Tig... tiga orang!" sambil tangannya yang tadi tergencet mengacungkan tiga jari.

"Siapa mereka?!" geram Selimut Senja mulai menanggapi laporan itu.

"Saya tidak jelas, Ketua. Tapi... tapi mereka menuntut dibebaskannya Suto Sinting."

"Di sini tidak ada Suto Sinting! Siapa itu Suto Sinting?!"

"Kami sudah jelaskan begitu, Ketua. Tapi... tapi tiga orang itu masih ngotot dan melukai beberapa orang kita, Ketua! Hutami gigi depannya rompal, Ketua."

"Gara-gara dihajar tiga orang itu?"

"Gara-gara dia tadi pagi terpeleset di sumur, Ketua!"

Plaak...! Penjaga itu ditampar lagi. "Kalau tidak ada hubungannya jangan ikut dilaporkan, Tolol!"

"Ampun, Ketua...," ujarnya sambil menyeringai kesakitan. Kini pelipisnya menjadi merah membekas jari tangan Selimut Senja.

Rupanya setelah mendapat keterangan lebih lengkap dari Sunting Sari yang berhasil ditolong oleh Kusir Hantu, mereka segera menyerang ke Lembah Liar. Tenda Biru, Mahligai Sukma, dan Pematang Hati mengamuk di depan gerbang pesanggrahan. Bahkan mereka berhasil menjebol pintu gerbang dan menerjang orang-orang Partai Janda Liar yang bermaksud membendungnya.

Pasir Putih, yang selama ini dipercaya untuk mewakili keberadaan Selimut Senja jika Selimut Senja tidak ada di tempat, mencoba menahan gerakan ketiga orang cantik itu. Pasir Putih mempunyai ilmu yang cukup dapat diandalkan untuk mengatasi keributan yang terjadi di pesanggrahan Partai Janda Liar. Tetapi kali ini ia harus berhadapan dengan Tenda Biru yang sangat berang mendengar Suto tertawan oleh si Janda Liar.

Mereka segera membentuk lingkaran pengepungan. Mahligai Sukma dan Pematang Hati saling beradu punggung dengan pedang terhunus dan mata memandang penuh waspada. Sementara itu, Tenda Biru menghadapi si Pasir Putih dengan wajah memancarkan kemurkaan.

"Kalau kalian tak mau melepaskan Suto Sinting, akan kuhancurkan tempat ini dalam sekejap!" ancam Tenda Biru.

"Kau mengigau, Setan Belang! Di sini tak ada Suto Sinting! Kalian hanya cari mampus saja datang kemari!" ujar Pasir Putih sambil segera menghunus pedangnya dengan pelan-pelan. Ia melangkah ke samping kiri dan Tenda Biru ke samping kanan.

"Panji Klobot!" sentak Mahligai Sukma. "Menurut orang yang memberi keterangan pada kita, orang-orang di sini mengenal Suto dengan nama Panji Klobot!"

"Hmmm... ya!" ujar Tenda Biru, kemudian berkata kepada Pasir Putih. "Kami mau membebaskan Panji Klobot! Kau pasti mengenalnya!"

"O, jadi yang kalian cari adalah Panji Klobot?!"

"Benar! Bebaskan dia sebelum kesabaranku hilang sama sekali!"

"Kau boleh membawa pergi Panji Klobot jika bisa melangkahi mayatku, Perempuan Iblis!"

"Kulangkahi betul mayatmu, Keparat! Hiaaat...!" Tenda Biru menerjang dengan gerakan secepat kilat. Pedangnya berkelebat menebas leher Pasir Putih.

Tetapi dengan gerakan cepat pula Pasir Putih menangkis tebasan pedang itu. Trraaang...! Sayang tangan kirinya terlambat bergerak, sehingga kaki Tenda Biru menjejak telak pundaknya. Duuuk...! Pasir Putih terpelanting jatuh, Tenda Biru mengejarnya dengan pukulan tenaga dalam bercahaya biru kecil seperti ujung anak panah. Claaap...! Pasir Putih bangkit dan berlutut dengan satu kaki. Ia pun melepaskan sinar merah besar dari tangan kirinya. Wuuut...!

Blaaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi saat sinar biru berbenturan dengan sinar merah. Pasir Putih terjungkal akibat gelombang ledakan itu, sedangkan Tenda Biru hanya terdorong mundur dua langkah.

Pematang Hati mau menerjang Pasir Putih dengan pedang diarahkan ke punggung Pasir Putih. Tetapi Tenda Biru segera berseru dari tempatnya.

"Jangan! Biar kutumbangkan sendiri si mulut besar itu!"

Pematang Hati tak jadi lakukan penyerangan, ia kembali berjaga-jaga di belakang adiknya; Mahligai Sukma. Tenda Biru segera bersalto di udara saat Pasir Putih sudah mulai bangkit kembali. Wuk, wuk, wuk...! Tubuhnya meluncur turun dengan pedang siap dihujamkan ke tubuh Pasir Putih. Namun tiba-tiba Pasir Putih melompat ke samping dengan gerakan begitu cepat, hingga hujaman pedang Tenda Biru kenai tempat kosong.

Pasir Putih segera lepaskan pukulan tangan kirinya yang bersinar merah itu. Wuuut...! Tenda Biru menebaskan pedangnya ke samping dengan kecepatan tinggi hingga terdengar suara, wuuung...! Lalu pedang itu memancarkan sinar hijau yang membentur sinar merahnya Pasir Putih.

Bleegaaarrr...!

Kali ini Tenda Biru terlempar walau tak seberapa jauh. Pasir Putih hanya terhuyung-huyung ke belakang dan dalam sekejap telah berdiri tegak kembali.

Tiba-tiba Tenda Biru melemparkan pedangnya ke arah Pasir Putih. Wuuut...! Pedang itu terbang dan Tenda Biru lompat ke atasnya. Kini kedua kaki Tenda Biru berada di atas pedang tersebut dan ikut terbang bersama sang pedang. Weess...! Sambil berada di atas pedangnya, Tenda Biru melepaskan sinar biru patah-patah dari ujung kedua jari yang dikeraskan itu. Clap, clap, clap, clap...!

Pasir Putih kebingungan hindari sinar biru itu. Ia melompat ke kiri, tapi Tenda Biru segera mengarahkan pedangnya yang melayang itu ke kiri dengan gerakan kakinya. Wees...!

"Hiaaat...!" Tenda Biru melompat turun dari altas pedang dengan gerakan bersalto. Kakinya sempat menendang gagang pedang dan pedang itu meluncur lebih cepat lagi.

Wees...! Jruub...!

"Aaahk...!" Pasir Putih tak bisa hindari pedang itu lagi, karena perhatiannya menjadi kacau oleh sinar biru patah-patah itu. Akibatnya, pedang itu menembus leher depannya hingga sampai ke belakang. Dalam beberapa kejap berikutnya, Pasir Putih tumbang dan tak bernyawa lagi.

Tenda Biru segera mencabut pedangnya dengan kasar, menampakkan murkanya yang semakin berkobar. Pada saat Tenda Biru mencabut pedang dari leher Pasir Putih, seraut wajah cantik mesum milik si Janda Liar muncul dan memergoki kematian Pasir Putih.

"Jahanam kau...!" teriak Selimut Senja sambil melompat memasuki lingkaran para pengepung itu.

Wuuut...! Jleeeg...!

Kedua kaki Selimut Senja segera merendah dan tangannya disodorkan ke depan dengan jari-jari lurus. Suuut...! Maka lima larik sinar kuning melesat dari tiap ujung jari tersebut.

Slaaap...!

Tenda Biru memutar pedangnya dalam satu gerakan tebas sangat cepat. Wuuut...! Gerakan pedang memutar itu memancarkan sinar biru yang menjadi perisainya.

Bleegaarrr...!

Ledakan lebih dahsyat terjadi hingga mengguncangkan bangunan pesanggrahan tersebut. Tenda Biru terpental ke belakang dan jatuh terbanting dengan keras, sementara itu Selimut Senja juga terjungkal tapi tak separah Tenda Biru. Dalam sekejap saja Selimut Senja sudah bangkit kembali dan melepaskan pukulan bersinar hijau lurus ke arah Tenda Biru.

Claaap...! Blaaar...!

Sinar itu dipatahkan oleh pukulan Mahligai Sukma yang bersinar putih hingga ledakan dahsyat kedua terjadi cukup mengguncangkan tanah sekitar mereka.

"Hiaaatt...!" Pematang Hati melayang bagaikan seekor camar menyambar mangsanya. Pedang ditebaskan dalam gerakan bersalto pada saat tepat di atas kepala Selimut Senja.

Beet, traak...!

Pedang itu bagaikan menebas sebongkah baja yang sulit dilukai. Pundak yang ditebas itu hanya memercikkan bunga api sedikit, tapi si pemilik pundak tetap tegar tanpa rasakan sakit sedikit pun. Ilmu 'Kulit Baja' si Janda Liar benar-benar sukar ditembus senjata apa pun.

Kalau saja Pematang Hati sehabis menebaskan pedangnya tidak lekas-lekas lakukan lompatan bersalto miring, maka ia akan terkena pukulan tenaga dalam Selimut Senja yang keluar dari ujung jarinya berwarna hijau patah-patah itu. Cap, cap, cap, cap...!

"Aaahk...!" seorang anak buah Janda Liar memekik karena dadanya terhantam sinar kuning patah-patah itu. Orang tersebut tumbang dan berasap, sekujur tubuhnya menjadi hitam hangus, bau daging terbakar pun menyebar ke mana-mana. Orang tersebut tentu saja tak bernapas lagi. Sedangkan orang di belakangnya terpaksa berguling-guling sambil berteriak dengan histeris, karena gelombang panas dari sinar hijau patah-patah tadi menyambar wajah tubuh depannya hingga menjadi merah, seperti kepiting rebus pakai saos.

"Setan busuk! Kau bikin aku melukai anak buahku sendiri, hah! Rasakan pembalasanku ini, Bangsat! Hiaaaaaaaaahh...!"

Janda Liar keluarkan jurus 'Lembayung Getih' untuk menyerang Pematang Hati. Masing-masing tangannya mengeraskan dua jari dan dari masing-masing dua jari itu keluar sinar merah yang segera menyatu menjadi satu kekuatan sinar merah cukup dahsyat, seperti yang dipakai untuk melukai Pangkar Soma itu. Claaaapp...!

Tetapi sebelum segalanya terjadi, Mahligai Sukma telah berguling-guling di tanah seperti bola dan tiba-tiba kakinya menyambar kaki Selimut Senja dengan kuat. Plaaak...! Selimut Senja terpelanting ke kanan, akibatnya sinar merah dari jurus 'Lembayung Getih' melesat ke arah atas, seakan ingin menghantam matahari.

"Hiaaat...!" Mahligai Sukma segera menghentakkan tumitnya bagai ingin menumbuk dada si Janda Liar. Tetapi tangan si Janda Liar segera menangkapnya dan tulang kering kaki itu dihantamnya dengan pukulan bertenaga dalam.

Krrrakk...!

"Aaaau...!!"

"Mahligai...?!" pekik Pematang Hati menjadi semakin marah melihat adiknya disakiti oleh Selimut Senja. Dengan cepat ia lepaskan jurus pukulan bersinar putih ke kepala Selimut Senja. Claaap...!

Blaab, blaab...!

Tenda Biru juga menghantamnya dengan sinar biru bundar sebesar jeruk peras. Kedua sinar itu kenai kepala dan leher Selimut Senja.

Blaar, duaarrr...!

Selimut Senja terguling-guling dengan keras. Tetapi ia segera bangkit kembali dengan segar tanpa terluka sedikit pun. Bahkan jubahnya pun tak ada yang robek, sehelai rambutnya pun tak ada yang terbakar. Ia berdiri kembali sambil sunggingkan senyum sinis kepada ketiga lawannya.

"Cepat mundur dulu kau!" teriak Tenda Biru kepada Mahligai Sukma yang dibantu Pematang Hati untuk menyingkir.

"Kakiku patah," ucap Mahligai Sukma kepada Pematang Hati.

"Salurkan hawa sucimu untuk kurangi rasa sakitnya. Akan kubalas mematahkan leher perempuan itu!" ujar Pematang Hati sambil menuntun adiknya jauhi Selimut Senja.

Melihat keadaan Mahligai Sukma tampaknya lemah, salah seorang anak buah Selimut Senja segera melemparkan pisaunya ke arah leher Mahligai Sukma. Ziiing...!

Teeb...! Pisau itu ditangkap oleh Mahligai Sukma dengan jepitan jarinya. Dalam keadaan duduk, Mahligai Sukma melemparkan kembali pisau itu kepada pemiliknya sambil berguling satu kali. Zzziing...! Lemparan ini lebih cepat daripada lemparan si pemilik pisau. Hampir saja gerakan pisau terbang tak terlihat oleh mata siapa pun. Juub...!

"Aaahk...!" si pemilik pisau memekik dengan mata mendelik, ulu hatinya tertancap pisaunya sendiri, ia pun tumbang dan tak mau bernapas lagi.

"Jahanam kauuu...!" teriak Selimut Senja begitu melihat anak buahnya mati tertancap pisau. Ia segera melompat menyerang Mahligai Sukma. Tetapi gerakannya segera ditabrak oleh Tenda Biru dari arah samping.

"Hiaaat...!"

Plak, plak, beet, wess, buuhk...!

Adu kecepatan tangan di udara terjadi beberapa kejap saja. Selimut Senja jatuh terbanting, Tenda Biru terpental dengan pedang tak berhasil lukai tubuh lawannya. Kini Tenda Biru justru keluarkan darah dari mulutnya karena terkena hantaman telapak tangan si Janda Liar itu.

"Babi...! Cuiih...!" Tenda Biru memaki dan meludah. "Dadaku seperti dihantam pilar beton! Sialan!" Ia segera bangkit lagi ketika Pematang Hati menyerang Selimut Senja dengan tendangan beruntun.

Bet, bet, bet, bet, bet...!

Selimut Senja hanya bisa menangkis karena cepatnya tendangan yang datang ke arahnya. Ia sempat terdesak mundur dan tak bisa memberi balasan apa pun. Ketika Selimut Senja terdesak sampai ke barisan pengepung, tiba-tiba salah seorang pengepung maju menyerang Pematang Hati dengan pedangnya. Weees...!

Sambil masih lakukan tendangan beruntun Pematang Hati menangkis pedang itu dengan pedangnya sendiri. Kemudian dengan cepat pedangnya menghujam perut si pengepung.

Traang.... Juub...!

"Heegh...!" orang itu mendelik, lalu segera tumbang tak bernyawa setelah pedang dicabut oleh Pematang Hati.

Pedang itu kini ganti ditebaskan ke leher Selimut Senja. Traaak...! Ujung pedang yang berhasil kenai leher Selimut Senja itu hanya memercikkan bunga api kecil, seperti pedang menghantam pilar baja. Sementara Selimut senja tak terluka sedikit pun, bahkan ia berhasil putar tubuhnya dan mengirimkan tendangan cepat ke dada Pematang Hati. Buuhk...!

Weeeess...! Pematang Hati terpental ke belakang, melayang bagai seonggok kapas terbawa angin. Brrruk...!

"Auuh...!" Pematang Hati mengaduh saat jatuh di depan Tenda Biru.

"Jaga adikmu, aku akan mendesaknya sepenuh tenaga!" ujar Tenda Biru kepada Pematang Hati.

"Dia lemah jika jarak dekat!" Pematang Hati sempat berseru sambil duduknya mundur, kemudian bangkit dengan pegangi pinggangnya.

"Kuingatkan kepada kalian, lebih baik kalian pergi dari sini daripada nyawa kalian terbuang sia-sia!" seru si Janda Liar.

"Kami tidak akan pergi jika tidak bersama Suto Sinting!"

"Aku tidak menyembunyikan orang bernama Suto Sinting, Tolol!" bentak Selimut Senja.

"Panji Klobot itulah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk!" balas Tenda Biru dengan suara membentak.

Selimut Senja diam sebentar. "Benarkah dia Pendekar Mabuk?" gumamnya dalam hati. "Aku pernah dengar nama itu, tapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Ooh... jika benar si Panji Klobot itu adalah Pendekar Mabuk, akan kupertahankan lebih kuat lagi, karena aku ingin serap seluruh ilmunya!"

Tenda Biru berseru melontarkan ancamannya. "Jika dia tidak kau bebaskan, semua anggota Partai Janda Liar ini akan kukirim ke neraka, termasuk kau!" ia menuding Selimut Senja dengan pedangnya.

"Apa maksudmu mengatakan Panji Klobot adalah Pendekar Mabuk?! Pria tawananku itu bukan Pendekar Mabuk!"

"Buka matamu lebar-lebar, Perempuan Picak! Perhatikan wajahnya, perhatikan ciri-cirinya.... Dia adalah Pendekar Mabuk, bukan Panji Klobot! Panji Klobot adalah muridku yang belum bisa apa-apa!"

"Oh, kalau begitu memang benar, dia adalah Pendekar Mabuk," pikir Selimut Senja. "Alangkah beruntungnya aku bisa dapatkan pendekar kondang yang terkenal kesaktiannya itu! Jika begini caranya, nyawa pun siap kukorbankan untuk pertahankan Pendekar Mabuk! Hmmm... bodoh sekali mereka! Sebenarnya tak perlu memberitahukan padaku bahwa pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk. Padahal kalau dia memang Panji Klobot, aku tak keberatan untuk melepaskannya kalau sampai nyawaku terancam."

Lalu ia berseru kepada Tenda Biru, "Dengar, Gadis Peot...! Sebenarnya aku tidak tahu kalau pemuda itu adalah Pendekar Mabuk. Tapi karena kau memberitahukan padaku dengan penuh keyakinan, maka asmaraku pun semakin meluap-luap padanya. Kupertaruhkan nyawaku untuk mempertahankan Pendekar Mabuk itu! Dan aku tak akan segan-segan hancurkan orang yang berniat memisahkan aku dengan Pendekar Mabuk!"

"Sial! Dia semakin berkeras kepala?!" gumam hati Tenda Biru sambil mata tetap memandang tajam kepada Selimut Senja dan pedangnya siap digunakan untuk menyerang. Kali ini Tenda Biru sudah mulai kumpulkan tenaganya ke tangan. Pedangnya akan beraksi lebih dahsyat lagi, diperkirakan akan dapat menjebolkan dada si Janda Liar itu.

Tiba-tiba seorang perempuan berpakaian kuning gading dan bajunya tanpa lengan itu datang dengan terengah-engah, sepertinya ia baru saja datang dari bepergian. Ia menyelinap di antara para pengepung yang membentuk pagar melingkar lebar itu.

"Ketua...! Jangan percaya dengan kata-kata mereka! Mereka penipu semua! Aku baru saja bertemu dengan Pendekar Mabuk dan dia sedang dalam perjalanan menyeberang pulau. Jadi pemuda yang ada di sini itu memang benar-benar Panji Klobot!"

"Sunting Sari..., dari mana saja kau!" geram Selimut Senja.

"Aku mengejar si Tenda Biru itu, Ketua! Rupanya dia adalah kekasih Panji Klobot yang ingin mengamuk di sini. Aku tak berhasil mencegahnya, Ketua! Sebaiknya, hati-hati melawan dia dan dua sahabatnya itu! Mereka licik dan penuh tipu muslihat! Pertahankan terus si Panji Klobot yang sudah Ketua tawan itu!"

"Dari mana kau tahu kalau aku sudah menawan Panji Klobot?!"

"Kantani memberitahukanku di depan gerbang sana! Kurasa Ketua tak perlu ragu-ragu untuk membunuh mereka bertiga! Karena mereka sangat membutuhkan Panji Klobot sebagai pemuas gairah mereka!"

"Sunting Sari...?!" gumam Mahligai Sukma dengan heran.

"Ssst...!" Pematang Hati memberi isyarat agar mereka tetap berlagak tidak mengenal Sunting Sari. Karena saat Sunting Sari bicara tentang pertemuannya dengan Pendekar Mabuk, mata kirinya sempat berkedip dua kali, menandakan agar mereka tetap berlagak tidak saling kenal.

Sunting Sari yang telah sembuh akibat pengobatan Kusir Hantu itu semakin menampakkan sikar permusuhannya dengan Tenda Biru dan kedua kakak-beradik itu.

"Kalian tak akan mampu melawan Ketua kami! Kau pikir Ketua kami ini bocah kemarin sore?!"

"Buktikan saja siapa yang terkirim ke neraka nantinya!" seru Tenda Biru yang juga memahami kedipan isyarat dari Sunting Sari tadi.

"Sunting Sari, kalau begitu kau jaga pemuda itu dan pertahankan dengan nyawamu!"

"Baik! Di mana dia sekarang, Ketua?!"

"Di ruang penyiksaan!" jawab Selimut Senja pelan. "Pertahankan dia jangan sampai lolos jika tak ingin nasibmu seperti Rumbani."

"Bagaimana dengan Rumbani?"

"Kupenggal tadi pagi, karena ia justru mau bercumbu dengan pemuda itu di sebuah kuil! Laksanakan tugasmu sekarang juga, cepat!"

"Baik! Akan kupertahankan dia sampai titik darah penghabisan!"

Kemudian Sunting Sari pergi tinggalkan lingkaran pengepungan itu. Selimut Senja sempat bimbang, "Benarkah Pendekar Mabuk sedang dalam perjalanan menyeberang pulau? Kalau begitu, yang ada di sini memang benar-benar Panji Klobot?!"

Si Janda Liar itu menjadi gelisah diliputi kebimbangan. Tetapi matanya tetap tertuju kepada ketiga lawan yang agaknya sangat bernafsu sekali untuk bebaskan pemuda tersebut. Tangan Tenda Biru mulai bergetar bersama pedangnya, pertanda tenaga dalam yang terkumpul dalam genggaman sudah mulai disalurkan melalui pedangnya itu. Ia menunggu kesempatan bagus untuk melepaskan jurus pedang bertenaga dalam tinggi itu.

"Janda Liar... sekarang tiba saatnya kita tentukan siapa yang harus mati dalam pertarungan ini!" tantang Tenda Biru dengan lantang. Selimut Senja hanya tersenyum tipis bernada sinis.

"Tentu saja yang harus mati adalah kalian bertiga! Karena ilmu kalian masih ada di telapak kakiku! Belum ada sekuku hitamnya dibanding ilmuku!"

"Kita buktikan saja, jangan hanya bisa berkoar, Janda Liar!"

"Baik! Bersiaplah membayangkan kuburan yang penuh belatung dan lintah untuk menguburkan mayatmu, Keparat!"

Tenda Biru bergerak ke kiri dengan pedang tetap diangkat sebatas pundak dan diarahkan kepada Selimut Senja. Sementara itu Selimut Senja juga bergerak ke kanan dengan jurusnya yang mirip sebuah tarian gemulai itu. Masing-masing mencari kesempatan untuk lepaskan serangan maut yang akan mematikan salah satu pihak.

* * *

TUJUH

KERIBUTAN di pelataran depan ternyata dimanfaatkan oleh dua perempuan yang bertugas menjaga keamanan bagian dalam. Dua perempuan itu adalah Suyuti dan Warih, si penjaga pintu ruang tawanan itu. Suyuti dan Warih masuk ke ruang penyiksaan dan saling cekikikan pandangi Suto Sinting yang terbelenggu kuat dalam keadaan kaki merentang dan tangan merentang. Mata mereka berbinar-binar penuh gejolak api gairah saat memandang keperkasaan Pendekar Mabuk.

"Wow...! Besar sekali, ya?"

"Apanya?" tanya Warih.

"Perawakannya. Besar. Gagah, tegap, ganteng, dan... banyak bulunya, ya?"

"Yang mana maksudmu?"

"Betisnya itu lho! Hi, hi, hi...!"

Pendekar Mabuk menahan kemarahan dalam hati. Ia sebal sekali dijadikan tontonan dua perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu. Kalau saja tenaganya telah pulih, tuak dari bumbung saktinya telah terminum, maka dengan sekali sentak saja rantai belenggu itu dapat lepas dari tembok. Tapi karena tak mendapat minuman tuak dari bumbung saktinya itu, maka tenaga Suto hanya separo kurang dari kekuatan biasanya.

"Eh, Suyuti... kau pernah mendapatkan burung jalak?"

"Hmmm... mendapatkan belum pernah tapi kalau melihat burung jalak terbang memang pernah."

"Di sini ada kakeknya burung jalak Iho."

"Mana...?"

"Itu...! Hi, hi, hi...!"

Kedua perempuan tersebut saling cekikikan membuat hati Suto semakin malu dan jengkel. "Hei, kau pikir aku anak monyet, kok dipakai tontonan?!" sentak Suto Sinting.

Sentakan tersebut tak dihiraukan. Bahkan Suyuti berani lebih kurang ajar lagi. Namun tiba-tiba seorang perempuan segera masuk bagai menyelinap, langkahnya pelan-pelan dan ia segera memberi isyarat pada Suto agar diam saja. Perempuan itu segera mendekati Warih dan Suyuti, kemudian kedua kepala perempuan itu dijambaknya kuat-kuat dan kedua kepala pun diadu keras-keras.

Prraaak...!

"Uhk...!" Suyuti sempat terpekik pelan ketika darah muncrat dari kepalanya. Tapi ia segera jatuh pingsan dengan kepala retak. Warih sudah tak bergeming lagi, ia lebih dulu tak sadarkan diri ketika kepalanya dibenturkan dengan kepala Suyuti.

"Sunting Sari...?! Lekas buka belenggu rantai ini!"

Sunting Sari diam, berdiri memandang sambil tersenyum geli. Kepalanya sempat geleng-geleng sambil mulutnya berdecak penuh rasa kagum. "Ck, ck, ck, ck... perempuan mana yang tak ngiler kalau melihatmu polos seperti ini. Mana... ih, kenapa itu, kok bengkak?!" Sunting Sari menuding 'kakeknya burung jalak' tadi. Suto Sinting malu sekali, akhirnya membentak berang sebagai penutup rasa malunya.

"Buka belenggu ini! Jangan melotot saja, nanti matamu kucolok baru kapok!"

"Apakah kedua perempuan ini sudah memakaimu?"

"Belum! Sudah jangan banyak tanya, buka belenggu ini!"

"Ssst...! Jangan teriak-teriak nanti didengar penjaga lainnya! Pejamkan matamu!" kata Sunting Sari.

Suto pun memejamkan mata. Lalu dari ujung jari tangan Sunting Sari yang disentakkan ke depan itu keluar sinar merah panjang sebesar lidi.

Claap...! Deer...! Craaak...!

Rantai belenggu bagian tangan kiri putus. Sunting Sari lakukan hal yang sama untuk belenggu tangan kanan, juga kedua kaki. Kini Suto bebas dari lilitan belenggu walau kulit lengannya sedikit terluka bakar karena sinar merah dari ujung jari Sunting Sari itu.

Pertama-tama yang dilakukan Suto adalah mengambil bumbung tuaknya yang seolah-olah sudah menunggu tuannya di sudut ruangan. Tuak diteguk beberapa kali, Tubuh Suto menjadi segar, kekuatannya pulih kembali. Tapi ia segera sadar akan keadaannya yang polos tanpa busana dan menjadi bahan perhatian mata indah si Sunting Sari itu. Maka ia buru-buru merapatkan kedua pahanya dan mendekap tangannya di paha.

"Carikan pakaianku!"

"Terlalu lama. Nanti saja! Sekarang bantu mereka di luar!"

"Mereka siapa?"

"Tenda Biru, Pematang Hati, dan Mahligai Sukma. Mereka sedang bertarung dengan Selimut Senja menuntut dibebaskannya dirimu."

"Oh, siapa yang memberi tahu mereka kalau aku di sini?"

"Aku...!" jawab Sunting Sari dengan tersenyum bangga. "Kelihatannya mereka tak mampu tumbangkan sang Ketua. Cepatlah bantu mereka!"

"Mana mungkin aku bisa bertarung dalam keadaan telanjang begini?!" sentak Suto dengan jengkel.

"Hmmm...," Sunting Sari mencari akal. Lalu, dilihatnya kain pembalut tubuh Suyuti yang berwarna merah itu terhampar di lantai. Sunting Sari pun memungut kain tersebut dan dilemparkan kepada Suto.

Wuuus...!

"Pakailah kain ini dulu!"

"Mana enak dipakai untuk bertarung! Ribet!"

"Dililitkan sebatas paha saja, Tolol! Yang penting 'jimatmu' tidak kena angin, biar tidak kembung!" ujar Sunting Sari sambil tertawa cekikikan.

Maka Suto Sinting pun segera kenakan kain itu. Kain dipakai seperti mengenakan cawat, melilit di sela kedua pahanya dan melingkar di pinggang. Dengan begitu, 'jimat' Suto tidak kelihatan tapi tubuhnya yang kekar itu masih tampak jelas tanpa baju dan celana.

"Kau seperti orang pedalaman kalau begitu! Cuma pakai cawat dan... menggairahkan sekali. Hi, hi, hi...."

"Ah, kau!" Suto menepiskan tangan, kemudian bergegas keluar dengan terburu-buru sambil menenteng bumbung tuaknya.

"Hei, jangan ke kiri! Itu jalan ke kamar mandi!" seru Sunting Sari.

Suto berbalik arah dan mengikuti langkah Sunting Sari. Di pelataran depan, Tenda Biru sedang memuntahkan darah kental karena pukulan dahsyat dari jurus tarian si Janda Liar itu. Ia baru saja tersentak ke belakang dan jatuh terduduk. Pedangnya terlepas dari tangan karena sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi sejak mendapat hantaman dahsyat dari Selimut Senja.

Pematang Hati sendiri sudah babak belur. Wajahnya pucat, banyak luka memar dan hidungnya berdarah. Ia sedang berlutut satu kaki sambil terengah-engah, menandakan habis menguras tenaga untuk melawan si Janda Liar. Mahligai Sukma pun tampak terkapar terpisah dari kakaknya dalam keadaan pucat pasi. Mulutnya melelehkan darah kental kehitam-hitaman pertanda habis terkena pukulan Selimut Senja.

Saat itu adalah saat-saat penghabisan bagi tiga gadis tersebut. Selimut Senja sedang memainkan jurusnya yang mirip tarian itu untuk menghancurkan tubuh Tenda Biru lebih dulu.

Zlaaap...! Brrrruus...!

Tiba-tiba Selimut Senja merasa diterjang badai kuat dan tubuhnya terpental dan berguling-guling. Ia segera bangkit sambil tarik napas dan memandang ke arah sesuatu yang menerjangnya tadi. Ternyata Pendekar Mabuk telah berdiri tegak di sana dalam keadaan tanpa baju dan celana selain hanya cawat kain merah tebal itu.

"Woow...!" para pengepung menyerukan ungkapan kagumnya terhadap ketampanan Suto dan perawakannya yang sering menjadi buah khayalan perempuan kasmaran.

"Biadab! Mana si Sunting Sari?! Mengapa kau sampai bisa keluar dari ruangan itu, hah?!"

"Aku di sini, Ketua!" seru Sunting Sari lalu muncul dari sela-sela pengepung dan berdiri di sebelah Suto.

"Kau yang melepaskannya, Sunting Sari?!"

"Ya, aku yang melepaskannya!" tegas Sunting Sari.

"Pengkhianat kau!"

"Sama halnya dengan dirimu yang juga pengkhianat, sehingga tega membunuh nenekku, mantan ketua partai ini!"

"Hhmmmm...!!" Selimut Senja menggeram, matanya memancarkan kemarahan total. "Kuhancurkan kau sekarang juga, Sunting Sari! Hiaaat...!"

Selimut Senja keluarkan jurus 'Lembayung Getih'. Sinar merah melesat dari kedua jarinya. Suto Sinting segera berkelebat bersama bumbung tuaknya. Bumbung itu yang dipakai untuk menangkis sinar merah tersebut.

Tuub...! Weess...! Sinar itu berbalik arah lebih besar dan lebih cepat. Selimut Senja kaget, karena baru sekarang ada orang bisa membalikkan jurus 'Lembayung Getih'-nya. Rasa kaget terkesima itu membuat Selimut Senja terlambat menghindar. Akhirnya punggungnya terhantam sinar itu sendiri.

Blegaaarrr...!

Mestinya benda sekuat apa pun terkena sinar itu akan hancur, bahkan biasanya jurus 'Lembayung Getih' membuat benda apa pun menjadi serbuk halus. Tetapi pengaruh dari ilmu 'Kulit Baja' membuat Selimut Senja hanya terpental dan tak mengalami luka sedikit pun baik pada tubuhnya maupun pakaiannya.

Selimut Senja terbanting tanpa rasa sakit. Ia cepat bangkit dan segera melayang menyerang Suto Sinting. Gerakan itu disambut dengan satu lompatan cepat oleh Suto sambil menyodokkan bumbung tuaknya. Wuuut...! Ujung bumbung tuak itu beradu dengan dua telapak tangan Selimut Senja yang sudah membara merah dan mengepulkan asap.

Prrak...! Blegaaarrr...!

Pendekar Mabuk terlempar ke belakang dan jatuh berguling-guling. Selimut Senja juga terlempar kebelakang, namun kali ini kedua tangannya menjadi hitam akibat terbakar.

"Jahanam kau, Panjiii...!" geramnya masih menganggap Suto sebagai Panji Klobot.

Sementara itu, beberapa anak buahnya, termasuk Sunting Sari terbelalak kaget melihat tangan Selimut Senja menjadi hangus.

"Aneh! Rupanya bambu tuak itu punya kesaktian tinggi juga. Kedua tangan Selimut Senja bisa menjadi hangus. Berarti jika kenai dadanya, maka dadanya juga akan menjadi hangus. Bumbung tuak itu bisa kalahkan ilmu 'Kulit Baja' yang dimilikinya!" ucap Sunting Sari dalam hatinya.

"Kuberi kesempatan menyerahlah, Panji! Jangan nekat melawanku. Sayangilah nyawamu dan kita bisa bercumbu setiap saat! Kau akan ketagihan kalau sudah merasakan surga dalam pelukanku, Panji...."

Kata-kata itu tak dihiraukan Suto Sinting. Ia justru menenggak tuaknya yang tinggal separo kurang itu. Sedikit tuak ditelan, sisanya ditampung di mulut. Suto Sinting membuka jurus tantangan yang menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh. Selimut Senja merasa ditantang, lalu segera menari dengan cepat. Tiba-tiba kedua tangannya merapat di dada dan disentakkan ke depan.

Suuut...! Slaaap...!"

Sinar ungu lurus seperti tombak melesat dari ujung kedua tangan itu dan menghantam ke arah Suto Sinting. Kali ini Pendekar Mabuk tak ingin menangkisnya, karena dalam sekelebat ia melihat keadaan di belakangnya tak ada teman-temannya, selain para pengepung itu. Maka dengan satu lompatan peringan tubuh, Pendekar Mabuk melesat ke atas, bersalto beberapa kali dalam ketinggian. Sinar ungu itu menghantam dua pengepung sekaligus dan... jegaaaarr...! Mereka hancur berkeping-keping, sulit dikenali lagi.

Gerakan Suto yang melambung itu segera mendarat ditepian lingkaran pengepung. Salah seorang pengepung berusaha menghujamkan tombaknya ke atas agar kenai pantat Suto. Tetapi ujung tombak itu justru dipakai pijakan kaki Suto yang segera menyentak dan membuat tubuhnya melambung kembali dalam gerakan bersalto.

Teb...! Wuuut...!

Gerakan bersalto dua kali melewati atas kepala Selimut Senja. Maka dalam keadaan kepala berbalik ke bawah, Suto Sinting semburkan sisa tuak yang ada di mulutnya sejak tadi itu. Bruuuusss...!

Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Tuak yang disemburkan itu memercikkan bunga api ke mana-mana, dan bunga api itu menghujani kepala serta tubuh Selimut Senja. Buuull...! Api pun membakar tubuh Selimut Senja dari kepala sampai kaki.

"Aaaaaa...!!" Selimut Senja kebingungan memadamkan api tersebut. Jubahnya mulai terbakar dan hampir habis. Rambutnya pun keriting seketika lalu rontok sebagian. Tapi nyala api masih berkobar seakan makin lama semakin besar. "Aaaaa...! Aaaa...!" ia berguling-guling kebingungan memadamkan api tersebut.

Sementara Suto Sinting sudah mendarat di dekat Tenda Biru dengan tegak dan tenang. "Minum tuakku dulu, yang lain juga!"

Tenda Biru segera menerima bumbung tuak dan menenggaknya beberapa teguk. Setelah itu, tuak diberikan kepada Pematang Hati, dan Pematang Hati pun meneguknya beberapa teguk, lalu ia meminumkan tuak ke mulut adiknya: Mahligai Sukma. Dengan meminum tuak tersebut, keadaan mereka menjadi segar dan luka-lukanya sembuh total dalam waktu singkat.

"Tenagaku terasa terkuras habis setiap tendanganku kenai tubuhnya," ujar Pematang Hati sambil memandang si Janda Liar yang masih dibungkus api itu.

"Dia punya ilmu yang bisa menyerap tenaga lawan!" ujar Suto mengutip keterangan Sunting Sari.

Beberapa anak buah si Janda Liar melarikan diri, yang lain sibuk tak karuan. Karena api itu tak bisa dipadamkan oleh siraman air. Suasana panik meliputi mereka. Selimut Senja kelabakan, tubuhnya meleleh bagai logam terkena panas. Ia masuk ke kamar-kamar dan membuat api semakin berkobar membakar kain, papan atau apa saja, sehingga dalam waktu singkat pesanggrahan itu terbakar separo bagian.

Akhirnya, si Janda Liar itu tergeletak di serambi samping dalam keadaan sudah tak bernyawa dan tubuhnya yang hitam hangus itu masih dibungkus api walau tak berkobar sebesar tadi. Para anggota Partai Janda Liar saling berwajah tegang dan merasa takut dekati Suto Sinting. Mereka mengakui keunggulan Suto yang mampu tumbangkan sang Ketua.

"Ternyata ilmu 'Kulit Baja' masih bisa kau kalahkan dengan ilmu tuakmu, Suto," ujar Sunting Sari dengan tersenyum bangga.

"Namanya jurus 'Sembur Bromo Wiwaha'," ujar Suto menjelaskan.

"Kita pulang ke Lembah Seram sekarang juga, Suto!" ajak Tenda Biru seakan tak ingin Suto bicara dengan Sunting Sari lebih lama lagi.

"Baiklah, Sunting Sari... kini kau bisa menggantikan kedudukan Selimut Senja sebagai Ketua Partai Janda Liar. Tapi aku punya satu permintaan padamu."

"Katakanlah...."

"Jadikan Partai Janda Liar sebagai kekuatan yang bertujuan menghancurkan kekejaman dan keangkara-murkaan. Jadikan kelompok ini sebagai kelompok aliran putih yang berguna bagi sesama."

"Akan kuturuti permintaanmu sebagai janjiku waktu kita di gua itu!" ujar Sunting Sari. "Terima kasih atas bantuan kalian semua," tambah Sunting Sari kepada yang lain. "Selamat jalan, Suto!" Sunting Sari memeluk Suto, dan Suto pun memberikan pelukan perpisahan yang hangat.

"Jaga dirimu baik-baik, Sunting Sari," ucap Suto saat memeluk.

"Akan kuperhatikan semua nasihat dan saranmu, Suto."

Pematang Hati agak kesal dan berkata menyindir, "Lama sekaliiii...!"

Suto pun melepaskan pelukannya. Ia melangkah bersama tiga gadis cantik yang semuanya saling memendam rasa kepada Suto Sinting. Tapi mereka saling akur karena saling membantu dalam setiap kesulitan. Langkah Suto yang menjauhi pesanggrahan itu terhenti karena seruan Sunting Sari.

"Sutoooo...!"

"Mau apa lagi perempuan itu?" gerutu Mahligai Sukma.

"Ada apa...?!" Tenda Biru yang menjawab dengan seruan sedikit ketus.

"Sutooo... celanamu ketinggalan!" sambil Sunting Sari mengangkat pakaian Suto dan melambai-lambaikan.

Suto terperanjat dan baru menyadari bahwa dirinya hanya mengenakan cawat darurat saja. Ia segera tertawa sendiri dan bergegas mengambil pakaiannya. Tapi Pematang Hati menahan tangan Suto.

"Biar aku saja yang mengambilnya!" ucapnya rada ketus, lalu ia pergi mengambil pakaian itu.

Suto Sinting hanya tertawa kecil dan melambaikan tangan kepada Sunting Sari. "Cup, cup, uuah...!" Cium jauh untuk Sunting Sari dari Pendekar Mabuk.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.