Serial Pendekar Mabuk
Kuil Perawan Ganas
Karya Suryadi
Kuil Perawan Ganas
Karya Suryadi
SATU
SUDAH tiga purnama Suto Sinting tidak jumpa dengan calon istrinya: Dyah Sariningrum. Rasa rindu ingin memeluk sang kekasih idaman hati memaksa Pendekar Mabuk untuk menyewa sebuah perahu berlayar tunggal. Perahu itu milik seorang nelayan yang sedang menderita berbagai macam penyakit, antara lain: sakit panas-dingin, sakit gigi, sakit encok, sakit perut, sakit kepala... dan juga sakit hati.
Nelayan tua itu sakit hati kepada anaknya yang perempuan. Karena si anak perempuan setelah menikah selalu ikut suami dan tidak pernah mau menengok ayahnya. Kebetulan waktu itu Suto Sinting si Pendekar Mabuk membutuhkan tumpangan untuk bermalam. Maka bertemulah ia dengan si nelayan tua itu. Suto diberi tumpangan bermalam, tapi Suto juga sembuhkan nelayan tua itu dengan cara meminumkan tuak dari bumbung bambu yang ke mana-mana selalu dibawa oleh sang Pendekar Mabuk.
"Sakit kok borongan sih, Pak Tua?!" ujar Suto setelah mengobati.
"Entahlah, Nak. Badanku ini kalau sedang gemar sakit, penyakit apa saja diterimanya. Tidak ada yang ditolak," jawab Pak Tua. "Biasanya para nelayan menderita sakit macam-macam begini kalau pada jala yang dipakai menangkap ikan terdapat seekor ikan mas dewa."
"Ikan mas dewa itu seperti apa?"
"Ya seperti ikan mas tapi memancarkan cahaya biru bening. Empat hari yang lalu ikan mas dewa itu tersangkut dalam jalaku. Tapi ikan itu sudah kubuang kembali ke laut, kok ya masih saja aku panen penyakit. Heran aku, Nak."
Percakapan menjadi akrab, sampai akhirnya tiba pada pembicaraan sewa-menyewa perahu.
"Aku butuh perahu untuk menyeberang ke Pulau Serindu, Pak Tua. Bolehkah aku menyewa perahumu?" ujar pemuda tampan, gagah dan berbadan kekar itu.
"Mengapa harus menyewa? Kalau kau mau pakai, pakailah saja. Aku punya empat perahu."
"Hebat...!"
"Tapi bocor semua!"
"Huuuuh... perahu bocor kok ditawarkan," pemuda berbaju coklat tanpa lengan itu dan bercelana putih lusuh itu bersungut-sungut.
"Tempo hari aku mencari ikan dengan meminjam perahu temanku."
"Kalau begitu, carikanlah aku perahu sewaan untuk kupakai selama empat atau lima hari, Pak Tua."
"Tak usah mencari ke mana-mana. Pakai saja perahuku itu. Kau mau pakai satu atau dua atau bahkan tiga perahu mau kau pakai menyeberang semua, silakan! Aku tidak memungut biaya sewa."
"Iya, tapi kalau bocor semua buat apa?!"
"Lho, kan bisa ditambal dulu? Dalam waktu tak sampai setengah hari aku bisa menambal perahu-perahu itu sehingga dapat digunakan."
Pak Tua itu rupanya ingin balas budi kepada si Pendekar Mabuk atas jasa sang pendekar yang berhasil melenyapkan semua penyakitnya dalam waktu yang bersamaan. Sebelum siang hari, keempat perahunya sudah tertambal dengan rapi dan diberi tulisan: Anti Bocor. Tetapi biar bagaimanapun Suto tak ingin merepotkan nelayan tua itu. Agar hatinya tidak cemas karena takut, perahunya tak kembali, Suto meninggalkan sejumlah uang yang dikatakan sebagai uang sewa, tapi sebenarnya uang garansi, bahwa perahu pasti akan kembali.
Menempuh pelayaran seorang diri memang merupakan pekerjaan yang menjenuhkan. Kanan-kiri, depan-belakang, yang ada hanya pemandangan biru dengan warna putih di atas kepala. Sesekali gugusan pulau dilewati, tak bisa dilihat kedalaman hutannya karena terlalu jauh dari pandangan mata.
Tetapi demi cinta dan rindu kepada Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata, Suto Sinting tetap jalankan pelayaran tunggal itu dengan hati resah menahan kangen. Sesekali ia berdiri di buritan untuk mengatur kemudi perahu. Badannya tampak tegap dan gagah dengan rambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap tertiup angin samudera. Dalam benaknya tersimpan banyak khayalan indah yang membuatnya selalu tersenyum tipis menandakan walau resah tapi ia punya kegembiraan tersendiri.
Namun matanya yang bening dan berbulu lentik untuk ukuran seorang lelaki itu tiba-tiba agak menyipit karena harus menangkap sesuatu yang dipandang terlalu jauh. Bumbung tuak yang berisi tuak penuh itu ditunggingkan hingga isinya mengucur di mulut. Setelah itu ia memandang ke arah yang dianggap ganjil itu.
"Sepertinya di sana ada kapal yang terbakar? Ada asap, tapi tak kelihatan api. Atau mungkin hanya gundukan tanah dan rumput yang terbakar?!" hati si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu berkecamuk sendiri. Rasa penasaran mulai timbul dan semakin menggelitik hati, sehingga perahu pun diarahkan pada kepulan asap dan gugusan benda hitam jauh di sebelah sana. Semakin lama perahu semakin dekat dengan gugusan hitam itu. Pandangan mata Suto dipersempit lagi.
"Oh, benar! Sebuah perahu terbakar! Oh, bukan sebuah tapi dua buah...? Ya, dua buah perahu! Keduanya sama-sama terbakar dan... dan oh, ada yang bertarung di atas salah satu perahu yang terbakar itu?!"
Pendekar Mabuk kerahkan tenaga untuk gerakkan dayung panjang. Perahunya semakin dekat, penglihatannya semakin jelas. Ternyata di atas salah satu perahu berlayar putih yang sedang terbakar layarnya itu tampak seorang pemuda sedang mempertahankan nyawanya dari dua perempuan berjubah hitam dan abu-abu.
Pemuda itu mengenakan celana dan baju tanpa lengan warna ungu. Ia berwajah tampan, berkulit bersih, rambutnya lurus dikuncir satu, ia menggunakan senjata pedang bersarung perak. Di ujung gagangnya ada ronce-ronce benang ungu sebagai penghias. Pemuda itu juga mengenakan sepasang gelang kulit warna loreng hitam-putih di kedua pergelangan tangannya. Punggung telapak tangannya ada tato bergambar seekor elang biru mengepakkan sayapnya. Pendekar Mabuk kenal betul ciri-ciri tersebut, yang tak lain adalah ciri-ciri dari sahabatnya sendiri, yaitu Elang Samudera.
Pemuda itu adalah murid Pendeta Darah Api yang menjadi pamannya Ratu Remaslega dari Pulau Sangon. Sedangkan Pulau Sangon sendiri mempunyai perwira muda yang cantik bernama Dewi Cintani. Dan Elang Samudera adalah adik dari Dewi Cintani. Suto pernah membantu mereka dalam sebuah peristiwa pencurian Tongkat Guntur Bisu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam).
Tetapi dua perempuan yang berusia tua, sekitar enam puluh tahun ke atas itu, sama sekali belum pernah dikenali oleh Suto. Kedua perempuan yang rambutnya abu-abu karena bercampur uban itu tampak ganas dalam menyerang Elang Samudera. Mereka berilmu tinggi, sehingga mampu berdiri di atas permukaan air laut dengan hanya berpijak pada sepotong papan sebesar telapak tangan. Gerakan kedua nenek itu cukup lincah dan mereka berkelebat loncat sana-sini sambil menyambarkan tongkatnya untuk menghancurkan kepala Elang Samudera. Lompatan-lompatan mereka seperti sepasang burung camar yang getol menyambar mangsanya.
Wes, wes... wuuuut...!
Claaap...! Blegaaar... blegaar...!
Ledakan terjadi berkali-kali karena Elang Samudera selalu mengadu kekuatan tenaga dalamnya jika mendapat serangan dari kedua lawan, ia jarang mengelak sinar yang datang padanya. Bahkan ketika kedua nenek itu datang menerjang dari arah samping kanan-kiri dengan hantaman tongkatnya, Elang Samudera menangkis hantaman kedua tongkat dengan memukulkan tinjunya ke samping kanan-kiri.
Proook...! Blegaaarrr...!
Ledakan pun kembali timbul karena tangan Elang Samudera dialiri tenaga dalam tinggi dan tongkat itu pun demikian juga. Namun keduanya segera berputar cepat dan menyabetkan tongkatnya ke punggung Elang Samudera.
Breeeukh...! Tongkat itu menghantam bersamaan dengan menggunakan sepasang jurus yang sama pula. Elang Samudera terpekik dengan tubuh tersentak ke depan, nyaris terjun ke laut. Sebelum tubuh itu terjun ke laut, tendangan nenek berjubah hitam melayang cepat dan kenai pinggang Elang Samudera.
Bet, buuukh...!
"Aaakh...!" Elang Samudera terlempar melayang ke perahu yang sudah dipenuhi api itu. Pada saat kritis seperti itulah, Pendekar Mabuk segera bertindak dari atas perahunya. Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya, Pendekar Mabuk menyambar tubuh Elang Samudera yang nyaris terjun ke kobaran api tersebut.
Zlaaap...! Wuuut...!
Pendekar Mabuk berdiri di atas selembar kulit kayu kering yang mengapung di permukaan air. Ia sudah memanggul Elang Samudera di pundak kiri, sementara pundak kanannya dipakai untuk menggantungkan bumbung tuak saktinya.
Kedua nenek terkesiap melihat kemunculan anak muda yang mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, terbukti dapat berdiri di atas selembar kulit kayu yang mengapung di permukaan air. Lebih kagum lagi, ternyata anak muda bersabuk merah itu mempunyai gerakan yang mencengangkan mata kedua nenek tersebut. Mereka tak melihat gerakan Suto, tahu-tahu mereka sudah melihat kemunculan Suto yang telah memanggul Elang Samudera. Sementara itu, Adhiyaksa atau si Elang Samudera merintih pelan dan mulutnya mengucurkan darah kental, ia terluka parah bagian dalamnya.
"Siapa kau, Begundal monyet?!" bentak nenek berjubah abu-abu. "Apa maksudmu ikut campur dalam urusan kami ini, nah?!"
"Aku hanya menyelamatkan seorang teman," kata Suto dengan nada tegas.
"O, jadi kau mau cari mampus?!" sahut nenek berjubah abu-abu.
"Budek!" sentak si jubah hitam pada jubah abu-abu. "Dia hanya mau menyelamatkan seorang teman! Bukan mau cari mampus!"
"Lha. iya...! Itu berarti dia mau cari mampus, Tolol!" si jubah abu-abu mendorong kepala jubah hitam hingga jubah hitam tersentak ke samping.
"Jangan main julek-julekan begitu! Aku tidak suka!" bentak si jubah hitam.
Jubah abu-abu hanya diam dan tetap menampakkan kemarahannya kepada Pendekar Mabuk. "Hei, Tikus cilik...!" katanya sambil menuding Suto. "Biarkan murid si Pendeta Darah Api itu mati di tangan kami, karena dulu murid kami pun mati dibunuh oleh gurunya!"
"Kurasa Eyang Pendeta Darah Api tidak akan segegabah itu, membunuh orang seenaknya kalau tidak ada alasan yang kuat. Jika Eyang Pendeta Darah Api membunuh muridmu, berarti muridmu adalah manusia sesat yang memang layak untuk dilenyapkan!"
"Eeeeh, eh, eh, eh...! Kurobek mulutmu sampai ke tengkuk kalau berani mengatakan Juwanara adalah murid sesat kami!" tuding si jubah abu-abu.
Jubah hitam menyahut, "Kurasa sekarang sudah waktunya merobek mulutnya, Cakar Peri!"
"Kalau begitu, robeklah sendiri mulut anak itu, Taring Peri!"
"Kita maju berdua saja! Hsaaaah...!"
Kedua nenek itu segera lakukan lompatan bagaikan terbang dengan tongkat terarah ke depan. Wuuut...!
Suto Sinting tak mau menangkis, melainkan menghindari serangan itu dengan berkelebat cepat melebihi kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya. Zlaaap...! Zlaaaap...! Tahu-tahu ia sudah berpindah tempat diperahunya sendiri. Elang Samudera diletakkan di perahunya itu. Sementara kedua nenek tak bisa hentikan gerakan. Ketika sodokan tongkatnya mengenai tempat kosong, keduanya sama-sama terjerumus dan terjun ke laut.
Byuuurr...! Byuuur...!
"Anak jahanaaammm...!" geram si jubah hitam.
"Heeaaat...!"
Bruuuusss...!
Cakar Peri yang berjubah abu-abu tersentak meluncur ke atas, keluar dari permukaan air laut. Ia bagaikan ikan terbang yang segera lepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangan kirinya. Wuuuut...!
Sementara itu, Taring Peri yang berjubah hitam hanya melompat keluar dari kedalaman air dan berdiri di atas sepotong kayu papan. Tapi ia juga segera melepaskan pukulan sinar merah berbentuk bola api dari tangan kirinya. Claaap...! Sinar merah panjang dari tangan Cakar Peri lebih dulu menghantam tubuh Suto Sinting.
Namun dengan cepat. Suto Sinting menangkis sinar merah panjang itu dengan bambu bumbung tuaknya. Trrak, slaaaps...! Sinar merah panjang itu menjadi berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Sinar itu tidak tepat membalik ke arah Cakar Peri, namun justru menghantam sinar merah bola apinya si Taring Peri.
Wuuub...! Blegaaarrrr...!
Ledakan dahsyat terjadi sangat mengguncangkan alam. Air laut menyibak ke atas bagai ingin merangkup perahu-perahu mereka untuk ditenggelamkan ke dasar laut. Pendekar Mabuk sendiri sempat terpental ke belakang dan jatuh masih di dalam perahunya, menindih tangan Elang Samudera yang masih merintih menderita sakit itu. Sedangkan kedua nenek tadi terlempar ke atas tanpa keseimbangan tubuh. Mereka melayang-layang dan akhirnya jatuh di perahu yang penuh api.
Brrruus...!
"Waaaaa...!" teriak mereka, kemudian sama-sama melompat keluar dari kobaran api itu.
Wuuurs...! Byur...!
Jooorrss...! Keduanya sama-sama seperti besi membara yang dimasukkan dalam air. Tapi karena air laut mengandung garam, maka luka bakar mereka terasa sangat perih dan membuat mereka berteriak-teriak kesakitan dan menghamburkan makian yang tak karuan.
"Aaaahhh...! Kunyuk bantaaaat...!"
"Jahanam laknat biadab, keparaaaatt...! Periiiihh...!" teriak Cakar Peri.
Rupanya ledakan tadi bukan saja menghadirkan gelombang sentakan sangat kuat, melainkan juga mengandung hawa panas yang membuat kulit tubuh tua para 'peri' itu menjadi terkelupas. Bahkan dada Suto Sinting pun menjadi merah karena hawa panas tadi. Untung ia buru-buru meneguk tuaknya, sehingga rasa panas pun segera sirna dan badannya menjadi segar kembali.
"Kita lari saja dari sini!"
"Lari ke mana?! Perahu kita sudah terbakar habis gara-gara serangannya si murid pendeta bego itu!"
"Aku tak kuat menahan rasa perih di sekujur tubuhku. Bukitku terbakar!"
"Bukitku juga. Tapi biarlah, sudah peot ini, ngapain susah-susah dipikirkan! Cuma, oouh... sekujur tulangku bagaikan ikut terbakar dan sebentar lagi... akan menjadi lumer!"
"Ini gara-gara kecerohohanmu, melepaskan pukulan 'Sangkar Api' bersama-sama terlepasnya jurus 'Inti Lahar'-ku, akibatnya yang seperti ini jika berbenturan!"
"Jangan salahkan aku, salahkanlah si kunyuk muda itu! Dia menangkis dengan bumbung tuaknya. Coba kalau tidak ditangkis, pasti tidak membalik ke arah kita!"
"Oouh...! Aku tak kuat menahan rasa panas yang makin lama semakin mengeringkan darahku ini!"
"Makanya kita cabut saja dari sini!"
"Iyalah... kita cabut saja dari... hei, itu ada dua potong papan mengambang! Kita gunakan papan papan itu saja untuk lari!"
"Pergunakan jurus 'Angin Pengecut' kita! Huuup...!"
Zrrub...! Plek...! Taring Peri lebih dulu melompat dari kedalaman air, kakinya jatuh di atas sepotong papan. Cakar Peri menyusul melakukan hal yang sama. Wuuuut...! Mereka pun sama-sama pergi melesat dengan kecepatan tinggi. Seakan mereka sepasang layar tua yang dihembus oleh angin badai. Itulah jurus kabur mereka yang dinamakan jurus 'Angin Pengecut'.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan kedua nenek itu kabur, ia segera menolong Elang Samudera yang terluka parah bagian dalamnya itu. Beberapa teguk tuak diminumkan ke mulut Elang Samudera. Dengan meminum tuak sakti tersebut, maka luka parah baik yang ada di dalam maupun yang di luar tubuh menjadi sembuh tanpa bekas sedikit pun. Itulah kehebatan tuak sakti dari bumbung bambu yang menjadi ciri khas si Pendekar Mabuk.
"Siapa kedua nenek liar tadi?" tanya Suto kepada Elang Samudera, setelah Elang Samudera menyatakan rasa bersyukur dan berterima kasih atas kemunculan Suto di tempat itu.
"Mereka orang-orang dari aliran hitam yang sakit hati kepada guruku karena kematian murid kesayangan mereka. Lalu, mereka ingin balas membunuh murid dari guruku, yaitu aku sendiri!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Lalu, kau sendiri mau ke mana sebenarnya, Elang Samudera?!"
"Aku mau ke Pulau Swaladipa. Aku diutus oleh Ratu Remaslega menggantikan tugas kakakku; Cintani, untuk menyelamatkan seorang bocah yang ada di Pulau Swaladipa."
"Bocah...?! Hei, kenapa kau sekarang jadi tukang momong?! Pendekar Mabuk menertawakan.
Tapi Elang Samudera hanya tersenyum-senyum sambil matanya memandang jauh ke cakrawala dan suaranya terdengar kembali. "Bocah itu adalah bocah emas yang kini sedang jadi incaran para penguasa di berbagai tempat."
"Bocah emas?!" gumam Suto penuh keheranan.
"Seluruh kulitnya berwarna kuning emas. Bahkan keringat atau air matanya jika membeku menjadi butiran emas. Menurut kepercayaan para sesepuh, bocah emas adalah bocah keberuntungan yang akan membuat sebuah negeri atau sebuah wilayah akan menjadi makmur dan kedudukan penguasanya tak akan bisa ditumbangkan jika bocah emas itu berada dalam perawatannya!"
"Hebat! Baru sekarang kudengar ada bocah sekeramat itu?!"
* * *
DUA
TIDAK ada perahu yang utuh dan bisa dipakai lagi, baik perahu bawaan Elang Samudera maupun perahu bawaan kedua nenek itu. Hanya perahu Suto yang masih utuh dan tidak mengalami kerusakan apa pun. Maka mau tak mau Suto mengantar Elang Samudera sampai ke Pulau Swaladipa.
"Pulau Swaladipa adalah pulau kekuasaan Ratu Lembah Girang," tutur Elang Samudera menjelaskan selama dalam perjalanan di laut.
"Apakah bocah emas itu adalah anak Ratu Lembah Girang?!"
"Bukan. Bocah emas itu keturunan dari pasangan suami-istri yang menjadi sepasang pertapa di Gunung Sambara. Sepasang pertapa itu adalah Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning."
"Keduanya masih hidup?"
"Sudah tiada," jawab Elang Samudera. "Pasangan pertapa sakti itu mati tanpa raga. Artinya tidak ada jasad yang ditinggalkan kecuali hanya pakaian mereka berdua. Dan menurut keterangan guruku, Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning meninggal sekitar tujuh puluh tahun yang lalu."
"Oh...?!" Suto agak kaget. "Kalau begitu sekarang yang dinamakan Bocah Emas itu sudah besar, bahkan mungkin sudah tua?!"
"Seharusnya begitu. Tapi kenyataannya bocah itu tetap awet kecil, seperti bocah berusia lima tahun kurang, ia tinggal di dalam gua pertapaan ayah-ibunya di Gunung Sambara. Ia hidup bersama pelayan tua pasangan pertapa sakti itu. Pelayan itu bernama Ki Jurumomong. Tapi beberapa waktu yang lalu, Ratu Remaslega dan beberapa tokoh tua dalam persilatan mendengar kabar bahwa Ki Jurumomong telah tewas juga. Maka si Bocah Emas itu hidup sendirian dan sekarang sedang dijadikan bahan rebutan para tokoh baik dari aliran hitam maupun dari aliran putih."
"Apa ada hubungannya dengan Ratu Lembah Girang?!"
"Hubungannya adalah... Ratu Lembah Girang menjaga ketat wilayah Gunung Sambara, karena ia sendiri ingin merawat Bocah Emas itu untuk memperkokoh kedudukannya dan mencari kejayaan dari kekuasaannya."
"Ikut aliran mana ratu itu?"
"Aliran hitam!" jawab Elang Samudera dengan tegas dan jelas. Lalu, ia menyambung penjelasannya tanpa diminta oleh Pendekar Mabuk. "Pada mulanya, Pulau Swaladipa diperintah oleh Nyi Ageng Sangir, bibinya Ratu Remaslega. Tapi perempuan sesat berjuluk Lembah Girang segera menggulingkan kekuasaan Nyi Ageng Sangir. Maka pulau tersebut dan wilayah jajahannya berada dalam genggaman Lembah Girang, yang kemudian menobatkan diri sebagai ratu di pulau itu."
Suto Sinting manggut-manggut. Ia tampak antusias sekali mendengarkan cerita tersebut. Bahkan ia menjadi penasaran, ingin tahu seperti apa wujud si Bocah Emas dan Ratu Lembah Girang itu. Rasa penasarannya itu sempat menyisihkan rasa rindunya kepada Dyah Sariningrum, sehingga secara tak langsung Pendekar Mabuk akan membantu usaha Elang Samudera untuk dapatkan si Bocah Emas itu. Rasa ingin tahunya membuat Suto kembali ajukan tanya kepada Elang Samudera dengan lebih teliti lagi.
"Jadi siapa sebenarnya yang berhak memiliki Bocah Emas itu?"
"Secara silsilah, Ratu Remaslega yang berhak memiliki bocah tersebut karena Nyi Ageng Sangir, bibinya Ratu Remaslega itu masih punya darah keturunan dari Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning. Bahkan kalau diurut-urutkan, Ratu Remaslega adalah cucu canggah dari Eyang Sutimuning."
"Cucu canggah...?!" gumam Suto agak bingung.
"Cucu canggah adalah anak dari cucu buyut. Misalnya kau menjadi buyutnya Gila tuak, maka kau memanggil ayahnya Gila Tuak dengan sebutan Eyang canggah."
"Oooo.,.," Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam gumamnya yang lirih.
"Jika Bocah Emas itu berada dalam perawatan tokoh sesat, maka tokoh itu akan menjadi semakin sesat dan sukar ditumbangkan. Benar atau tidak, tapi guruku sendiri pernah berkata, bahwa siapa pun yang merawat Bocah Emas maka usianya akan panjang, seluruh angan-angan dan gagasannya akan menjadi kenyataan. Sebab bocah itu dibayang-bayangi hawa keramat dari roh kedua orangtuanya."
"Pantas kalau bocah itu dijadikan rebutan," ujar Suto mirip orang menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.
"Sebelum aku berangkat dari Pulau Sangari sebagai utusan Ratu Remaslega, terlebih dulu aku pamit dan mohon doa restu dari Guru. Lalu, guruku berpesan agar aku harus mampu mempertahankan bocah itu agar jangan sampai jatuh di tangan tokoh sesat seperti Ratu Lembah Girang itu."
"Barangkali kalau aku pamit kepada guruku juga akan diwanti-wanti begitu."
Tanpa terasa perahu pun akhirnya merapat di sebuah pantai. Dan menurut Adhiyaksa alias Elang Samudera, pantai tersebut adalah ujung kulon dari Pulau Swaladipa lebarnya hampir sama dengan tanah Jawa. Elang Samudera melompat dari perahu lebih dulu, memandang keadaan sekeliling yang tampak sepi-sepi saja. Pendekar Mabuk menyusulnya dengan menarik tambang perahu. Perahu tersebut ditambatkan pada dua gugusan karang yang membentuk celah persembunyian untuk sebuah perahu, sehingga keadaan perahu tidak semata-mata tampak dari berbagai arah.
"Kita harus mencari Gunung Sambara." Ujar Elang Samudera yang usianya sekitar dua puluh tahun itu.
"Tahukah kau arah menuju Gunung Sambara?!"
Elang Samudera angkat bahu, "Kita tanyakan saja pada penduduk sekitar pantai ini!"
"Hmmmm...," Suto menggumam pendek, matanya memandang sekeliling. "Kulihat ada kepulan asap di sebelah sana. Aku yakin di sana ada sebuah desa dan kita bisa tanyakan pada penduduk di desa itu!"
Mereka pun segera melesat ke arah kepulan asap tipis itu. Elang Samudera bergerak dengan lincah dan cepat, namun jika Suto menggunakan jurus 'Gerak Siluman' maka Elang Samudera akan tertinggal jauh oleh gerakan Suto. Dalam keadaan seperti itu, Suto hanya menyesuaikan gerakannya agar bisa tetap bersama-sama Elang Samudera. Ketika mereka mencapai sebuah kaki bukit yang berpohon renggang, langkah mereka dihentikan oleh kemunculan seorang perempuan cantik berkulit putih.
Perempuan itu mengenakan rompi panjang warna merah dengan tepian berumbal-rumbai. Rompi itu tidak mempunyai kancing pada bagian depannya. Ujung kanan-kiri rompi itu saling terikat di atas pusar. Sementara celananya yang juga merah berumbai-rumbai itu sangat ketat dan pendek, kurang dari separuh paha.
Perempuan berambut keriting halus tapi panjang sepunggung itu seakan memamerkan tubuhnya yang putih mulus dalam dandanan yang merangsang. Belahan dadanya tampak sebagian membusung kencang tanpa kutang. Perutnya terlihat putih mulus tanpa cacat seperti kedua pahanya, ia menenteng pedang bergagang kepala burung garuda. Melihat sabuk hitam kecil yang melilit di pinggangnya, tak salah lagi jika pedang itu sesekali ditenteng sesekali diselipkan di pinggangnya. Sabuk hitam itu terbuat dari kulit emas yang kepalanya berhias kepala singa berambut panjang.
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling lirik sebentar. Keduanya tetap tenang dan bersikap waspada. Perempuan cantik yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu dipandangi mereka berdua tanpa sapaan sepatah kata pun. Suto sempat menikmati gumpalan belahan dada perempuan itu yang putih namun mempunyai tato gambar setangkai mawar. Tato itu ada pada gumpalan dada sebelah kanan.
"Sudah janda atau masih gadis perempuan ini?" bisik Elang Samudera kepada Suto.
Pendekar Mabuk tersenyum geli mendengar bisikan itu. "Melihat ketegasannya dalam berhadapan dengan kita, aku yakin dia sudah bukan gadis lagi. Tapi kurasa dia juga belum bersuami. Tahu maksudku, bukan?"
"Hmmm, ya, ya...," Elang Samudera manggut-manggut sambil tersenyum. "Kira-kira apa maksudnya menghadang kita?" bisik Elang Samudera lagi.
"Mungkin kita dianggap pamannya," jawab Suto seenaknya.
Lalu mereka sama-sama tertawa cekikikan sambil buang pandangan ke arah lain biar tak terlalu menyinggung gadis itu. Tapi tiba-tiba gadis itu menyentakkan tangannya ke depan dalam keadaan dua jarinya lurus dan mengeras. Dari ujung dua jari itu keluar dua larik sinar kuning yang menghantam ke arah Elang Samudera dan Suto Sinting.
Clap, claap...! Sinar itu bergerak cepat dan nyaris tak terlihat. Tahu-tahu Elang Samudera seperti tertusuk jarum pada bagian bawah pundaknya dan Suto Sinting merasa seperti disengat lebah di tulang iganya.
"Aakh...!"
"Ouh...!"
Kedua pemuda itu sama-sama terpekik pendek dan saling tersentak mundur satu langkah dengan tubuh melengkung ke depan. Sinar kuning itu lenyap dari kedua jari gadis berhidung mancung dan berbibir sensual itu. Tangannya diturunkan, sikap berdirinya masih tetap tegap dan menantang. Rambut keriting halus yang terurai sepunggung itu meriap-riap dipermainkan oleh angin.
"Apa yang ia lakukan terhadap kita tadi?" tanya Elang Samudera kepada Suto.
"Menyerang!" jawab Suto.
"Tapi kok kita tidak mati!"
"Mungkin sebentar lagi. Cepat minum tuakku!" ujarnya, lalu Suto sendiri meminum tuaknya dan Elang Samudera ikut meminumnya juga.
Tiba-tiba perempuan beralis tebal dan bermata indah walau bukan berarti bundar bening, segera perdengarkan suaranya sambil gerakkan bola mata yang tajam itu berpindah-pindah antara Suto dan Elang Samudera.
"Kalian memasuki wilayah kami tanpa izin! Maka sudah selayaknya kalian kuberi peringatan dengan melumpuhkan seluruh urat dalam tubuh kalian!"
Elang Samudera dan Suto Sinting sama-sama gerakkan tangan dan kaki.
"Kok tidak lumpuh, Nona?!" ujar Suto Sinting.
Gadis itu kerutkan dahi sebentar. Merasa heran melihat kedua pemuda tampan itu masih berdiri di depannya dengan tegar. Bahkan Suto Sinting bergerak meliuk-liuk bagai mengejek dengan tarian.
"Apakah kau mau jadi orang lumpuh, Elang Samudera?"
"O, tentu mau asal digendong oleh gadis secantik dia, Suto!" jawab Elang Samudera mengimbangi sindiran Pendekar Mabuk.
Gadis itu masih diam, bertampang tak ramah, namun justru tampak semakin cantik. Tiba-tiba Elang Samudera dan Suto Sinting tersentak kaget karena mendapat tendangan dari arah belakang. Tendangan itu membuat mereka terlempar ke depan dan tersungkur bagai mau mencium kaki gadis bertato bunga mawar itu.
Rupanya tendangan tersebut bukan hanya sekadar tendangan biasa, ia mempunyai jurus tertentu yang dapat kenai saraf tulang punggung melumpuhkan sekaligus membuat korbannya tak sadar. Terbukti setelah Elang Samudera dan Suto jatuh tersungkur mereka tak bergerak-gerak lagi dan tak mengerti apa yang terjadi pada diri mereka selanjutnya.
"Bawa mereka dan buang bambu tuak itu!"
Hanya kata-kata itu yang masih tersisa di telinga Pendekar Mabuk sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri. Suara yang keluar, jelas dari suara si tato bunga mawar. Tapi entah siapa yang diperintahkan begitu dan apa yang dilakukan orang yang menerima perintah tersebut, Suto Sinting benar-benar tak bisa mengingat apa-apa lagi.
Ketika ia sadar, ia sudah berada di sebuah ruangan berlantai marmer putih. Dindingnya juga berlapis marmer putih dengan serat-serat kecoklatan. Ruangan itu kosong, tanpa perabot apa pun. Lebarnya juga tak sampai lima langkah. Ruangan itu menyerupai penjara tapi sangat bersih dan tertutup rapat. Pintunya terbuat dari besi dengan lubang pengintai sebesar biji salak. Lubang itu mempunyai tutup sendiri di bagian luar, sehingga bisa dibuka dan ditutup oleh orang yang ada di luar kamar.
"Ruangan apa ini?! Mengapa aku sendiri di sini? Ooh... mana Elang Samudera?!" ujar Suto membatin sambil berusaha bangkit berdiri, namun tak jadi karena tiba-tiba ia roboh kembali. Bruuuk...!
"Aduuuh... tulang-tulangku terasa remuk semua. Urat-uratku bagaikan putus. Uuufh...! Gila! Serangan apa yang kuterima sehingga melumpuhkan sekujur tubuhku begini. Oouh... aku seperti manusia tanpa tulang dan tanpa otot lagi. Celaka kalau begini? Hmmm... mana bumbung tuakku? Oh, benarkah sudah dibuang oleh si cantik bertato mawar itu?"
Sekalipun Suto ingat bahwa bumbung tuaknya dibuang oleh lawannya sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri, tapi hati Suto tidak merasa cemas sedikit pun. Bumbung tuak itu bumbung bernyawa. Dibuang ke manapun akan datang sendiri mengikuti Suto Sinting, sebab bambu bumbung tuak itu adalah bambu jelmaan tokoh sakti zaman dulu yang bernama Wijayasura, kakek gurunya si Gila Tuak.
Suto yakin bumbung bambu tempat tuak itu datang sendiri menghampirinya. Keyakinan itu ternyata terbukti juga setelah beberapa saat Suto terkulai lemas di lantai dingin itu. Bumbung tuak tersebut tiba-tiba muncul dalam bayang-bayang di samping kanannya. Bayang-bayang tersebut makin lama semakin jelas, dan akhirnya mewujud dalam bentuk nyata.
"Nah, datang juga akhirnya!" ucap Suto dengan hati girang. Lalu, tangan kirinya meraih bumbung itu dan dengan gemetar tuak pun ditenggaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...!
Pandangan mata yang semula buram, kini menjadi terang. Urat-urat yang tadinya lemas, kini menjadi kencang kembali. Tulang-tulang yang terasa remuk, kini mampu dipakai untuk duduk tegak. Bahkan Suto Sinting berhasil bangkit berdiri dengan tegar dan kekar. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya.
"O, rupanya dinding sebelah kiri itu dilapisi kaca tembus?!" ucapnya rada kaget, ia segera dekati dinding kiri yang memang dilapisi kaca tembus pandang ke ruangan sebelahnya. Ternyata ruangan sebelah itu adalah tempat memenjarakan Elang Samudera.
Ruangan sebelah juga dalam keadaan bersih dan tanpa perabot. Dinding dan lantainya mempunyai warna yang sama, bahkan ukuran luas ruangan juga sama dengan yang ditempati Suto Sinting. Hal yang membuat berbeda adalah keadaan kaca tersebut. Suto melihat Elang Samudera sedang menggeliat bangkit pelan-pelan dan mengerang kesakitan. Pemuda berbaju ungu itu akhirnya berhasil berdiri dengan berpegangan pada dinding kaca. Namun matanya yang memandang ke arah kaca itu bagai tak melihat Suto di balik kaca.
"Elang...! Elang, kau bisa bertahan?!" seru Suto Sinting sambil melambai-lambaikan tangan. Tapi tak ada reaksi apa-apa dari Elang Samudera. Pemuda berbaju ungu itu justru memperhatikan wajahnya bagai orang sedang bercermin.
"Ooo... sekarang aku tahu keadaan kaca ini. Dari tempatku bisa dipakai untuk melihat ruang sebelah, tapi dari tempat Elang Samudera tak bisa dipakai melihat keadaanku di sini. Kurasa dari ruangan itu kaca ini menjadi cermin untuk merias diri atau entah untuk apa. Yang jelas, orang yang berdiri di depan cermin itu hanya akan melihat bayangannya sendiri di dalam cermin, tak bisa melihat keadaanku di sini."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan memandangi sekelilingnya. Hati pun membatin kembali dalam nada gumam. "Sebenarnya bisa saja kujebol kaca ini! Mudah sekali menghancurkan dinding ini. Tapi aku ingin tahu dulu, apa maksud gadis itu menangkapku dan Elang serta menempatkan kami berbeda ruangan? Siapa sebenarnya gadis cantik yang bibirnya menggemaskan itu? Apakah mereka anak buah Ratu Lembah Girang?! Apakah mereka mengetahui maksud dan rencana kedatanganku dengan Elang yang ingin mengambil si Bocah Emas itu?"
Suto manggut-manggut kembali sambil bertolak pinggang menggantungkan bumbung tuak di pundak kanannya. Matanya memandang ke arah Elang Samudera yang tampaknya tak bisa berbuat apa-apa lagi itu.
"Akan kuikuti dulu permainan gadis itu sampai kutahu maksudnya menangkap kami. Dan...." Ucapan batin Pendekar Mabuk terhenti, karena tiba-tiba ia melihat lubang pintu terbuka. Ada mata yang mengintai dari sana. Suto Sinting tetap berdiri di dekat kaca dengan tangan kiri menopang di dinding dan tangan kanan bertolak pinggang, mencantilkan jempolnya pada tali bumbung tuak. Bola mata yang mengintai itu jelas bola mata wanita, dan Suto ingat mata itu adalah milik gadis bertato mawar.
Klak, klak, Klaaaaaang...!
Suara kunci pintu dibuka. Pendekar Mabuk tetap tenang dalam posisi semula, ia membiarkan pintu itu terbuka dan seraut wajah cantik bergigi indah menggemaskan itu muncul dari balik pintu. Dugaannya tak salah, gadis bertato mawar yang mengintai dari lubang tersebut. Kini gadis itu mengunci pintu kembali dan anak kuncinya diselipkan di sabuk hitam, ia berdiri dengan tegar, pedangnya terselip di pinggang. Kakinya sedikit merenggang, dan kedua jempol tangannya menggantung di sabuk depan perut. Rambut keriting halus yang terurai sepunggung meriap sebagian menutupi pipi kirinya, ia tampak lebih cantik dan menggairahkan dengan busana serba mini itu.
Mata tajam yang mempunyai kebeningan mengagumkan itu menatap ke arah bumbung tuak. Hati gadis itu sempat membatin penuh keheranan melihat bumbung tuak ada di pundak Suto lagi.
"Dari mana dia bisa memperoleh bumbung tuak itu? Bukankah sudah dibuang jauh-jauh sebelum ia dibawa kemari?!"
Pendekar Mabuk mencoba memberikan senyum keramahan. Senyum itu bukan saja senyum keramahan, namun mempunyai daya tarik yang dapat menggetarkan hati perempuan mana saja. Walau kenyataannya, wajah gadis itu tetap kaku dan dingin, seakan tak tertarik dengan senyuman Suto Sinting. Namun sebenarnya hati gadis itu berdesir-desir ketika senyuman itu terpampang jelas di depan matanya dalam jarak empat langkah.
"Kaukah yang terkenal dengan nama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?!" si gadis perdengarkan suaranya yang serak-serak basah.
"Benar. Dari mana kau bisa mengenaliku?"
"Kalian sempat saling sebutkan nama ketika menertawakan diriku!" jawabnya bernada ketus.
"O, rupanya kau punya otak cukup cerdas," sambil Suto sunggingkan senyum berkesan meremehkan.
"Saat kudengar kau memanggil temanmu itu dengan nama Elang Samudera, dan Elang Samudera memanggilmu: Suto. Maka kucocokkan, nama itu dengan ciri-ciri yang pernah kudengar dari beberapa sahabatku yang ada di tanah Jawa. Ternyata ciri-ciri itu sama dengan nama Suto Sinting. Maka kutahu, kaulah Pendekar Mabuk yang kondang dengan kesaktian gilanya itu!"
"Secara tak langsung kau mengakui keunggulanku, bukan?"
"Hmmm...!" gadis itu mencibir, melangkah ke samping dua tindak, kemudian berhenti dan memandang Suto kembali. "Kau boleh bangga punya kesaktian gila-gilaan di tanah Jawa. Tapi di sini, di dalam Kuil Perawan Ganas ini, kesaktianmu seperti daun kering yang menjadi penghuni tempat sampah!"
"O, kalau begitu ruangan ini adalah tempat sampah?!"
"Hmmm...!" gadis itu mendengus kesal.
"Aku belum mengenalmu, Nona. Kalau aku sudah mengenalmu, barangkali aku berani menyerangmu untuk memperkenalkan kesaktianku di depan gadis seangkuh dirimu, Nona."
"Aku yang bernama Dewi Kun!" jawab si gadis dengan tegas dan ketus. "Aku yang tertua dari para penghuni kuil ini!"
"Dewi Kun...," gumam Suto bagai menghafalkan nama itu.
"Sekarang kau sudah tahu namaku. Kau ingin adu kesaktian denganku?!"
Pendekar Mabuk sengaja nyengir konyol. "Ah, tadi cuma pancingan saja. Biar aku tahu siapa nama gadis cantik yang sejak tadi menggetarkan hatiku ini."
"Hmmm...!" Dewi Kun mencibir, seakan meremehkan rayuan Suto.
"Lalu, mengapa kau menangkap kami, Dewi Kun?"
"Semula karena kesalahan langkahmu yang memasuki wilayah Kuil Perawan Ganas tanpa izin lebih dulu. Tapi setelah kutahu kau adalah Suto Sinting si Pendekar Mabuk, maka segalanya menjadi berubah."
"Berubah bagaimana?"
"Kau harus tunduk padaku!" jawabnya pelan tapi tegas dan pandangan mata tajam dan penuh wibawa.
Dewi Kun berkata lagi, "Jika kau tidak tunduk pada perintahku, maka temanmu itu akan kehilangan kepalanya!"
"Oh, jangan begitu, Dewi Kun!" sergah Suto, "Kalau Elang Samudera kehilangan kepala, lantas dia mau pakai kepala apa? Kepala bebek?!"
"Terserah mau pakai kepala apa bukan urusanku lagi jika sudah begitu. Yang perlu kau ingat, kata-kataku ini bukan sekadar ancaman! Tapi akan terbukti dengan nyata jika kau tak mau tunduk dan patuh pada pihakku! Sekarang pun akan kupotong jari tangan si Elang Samudera sebagai bukti kesungguhan ancamanku!"
Dewi Kun bergegas ke pintu, Suto Sinting melompat dan menghadang langkah gadis itu. Jleeg...!
"Jangan lakukan itu padanya! Lakukan saja padaku jika kau ingin pamer kekejaman!" sambil Suto mengulurkan tangan kirinya seakan mempersilakan Dewi Kun untuk memotongnya.
Dewi Kun diam memandang tak berkedip, tanpa senyum dan keramahan sedikit pun. Mereka saling beradu pandang selama dua helaan napas. Kemudian gadis itu berkata dengan nada kian tegas lagi.
"Tunduk dan patuhlah kepadaku, maka temanmu itu akan selamat dan tidak cedera sedikit pun!"
Pendekar Mabuk menarik napas panjang dan menghembuskannya. "Baiklah! Tapi bagaimana dengan keadaan Elang Samudera sekarang itu? Dapatkah kau memulihkan kekuatannya kembali?!"
"Kita lihat saja...," sambil mata Dewi Kun memandang ke arah kaca.
Pendekar Mabuk ikut-ikutan memandang ke sana. Tiba-tiba Dewi Kun meletakkan jari telunjuknya di pelipis sambil pejamkan mata dan kerutkan dahi. Suto menyangka gadis itu sedang berpikir sesuatu. Tetapi kejap berikutnya Suto menjadi terperangah penuh keheranan.
Dewi Kun tampak memasuki ruangan yang dipakai menawan Elang Samudera. Dewi Kun juga tampak sedang hampiri Elang Samudera dan menuding pemuda itu dengan telunjuk tengah. Dari telunjuk tengah itu keluar seberkas sinar merah. Claap...! Menghantam tengah kening Elang Samudera.
Pemuda murid Pendeta Darah Api itu menggeragap dan terengah-engah. Lalu, ia bergegas bangkit berdiri dengan mata membelalak memandangi gadis di depannya. Gadis itu segera keluar dan mengunci pintu kembali. Tapi keadaan Elang Samudera sudah bisa berdiri tegak dan kekuatannya tampak telah pulih kembali seperti sediakala. Hanya saja ia masih tertegun seperti baru menyadari keadaan sekelilingnya.
"Aneh! Rupanya kau punya ilmu cukup tinggi? Kau ada di sini, tapi juga bisa ada di ruang sebelah sana?! Hebat sekali ilmumu, Dewi Kun!" puji Suto Sinting dengan wajah masih tampak terheran-heran, karena ia tak menyangka gadis semuda Dewi Kun sudah menguasai ilmu pindah raga seperti itu.
"Aku hanya bicara melalui batin."
"Maksudmu bagaimana?!"
"Carilah sendiri jawabannya dalam otakmu. Yang jelas, begitulah keputusanku tadi! Sekali kau menentang perintah maka akan kucederai sahabatmu itu!"
"Bagaimana kalau kita bertarung adu kesaktian?!" tantang Suto.
"Tak masalah bagiku. Tapi pada saat kau bergerak menghantamku maka sahabatmu akan kehilangan satu anggota badannya; mungkin jari tangan, mungkin pergelangan, mungkin matanya atau mungkin juga kepalanya!"
"Kau ini cantik-cantik kok menyeramkan sekali, Dewi?!"
"Karena aku tak ingin disepelekan oleh kaum pria, terutama pemuda mata keranjang sepertimu!" tegas Dewi Kun dengan pandangan mata sedikit menyipit menandakan kebenciannya sebagai perempuan yang tak mau diremehkan oleh kaum lelaki.
"Baiklah. Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?!" pancing Suto semakin ingin tahu maksud gadis itu.
"Berbaringlah...!"
"Apa...?!"
"Berbaringlah di lantai dan buka semua pakaianmu!"
"Gila! Yang benar saja kalau memberi perintah, Dewi!"
Suara Dewi Kun makin keras dan tegas. "Berbaringlah di lantai dan buka semua pakaianmu! Lekas!"
"Gawat...?!" gumam Suto Sinting, kemudian melirik ke arah kaca. Ia mencemaskan keadaan Elang Samudera yang bisa celaka sewaktu-waktu jika ia tak mau turuti perintah itu.
Pendekar Mabuk melepaskan baju dan ikat pinggang dari kain merah. Ketika mau melepaskan celananya, tiba-tiba pintu digedor seseorang dari luar. Dewi Kun terperanjat sekejap, kemudian bergegas ke arah pintu. Lubang pintu ada yang membuka dari luar. Tampak bola mata memandang ke dalam. Dewi Kun kerutkan kening, pejamkan mata, tundukkan kepala, jari telunjuknya menekan pelipis. Kejap berikutnya ia tegak kembali dan berkata kepada Suto Sinting.
"Berbaringlah saja dulu! Aku akan datang secepatnya!" Dewi Kun keluar dari ruangan tersebut dengan mengunci pintu besi itu. Pendekar Mabuk berbaring di lantai dalam keadaan sudah tidak berbaju namun masih bercelana.
"Kenapa aku jadi seperti bayi yang menurut perintah ibunya, ya?!" pikir Pendekar Mabuk dalam baringannya. "Wah, jangan-jangan dia ingin memperkosaku?! Bahaya! Bahaya jika aku tak mau berhenti diperkosa!"
* * *
TIGA
KEPERGIAN Dewi Kun dari kamar membuat Suto menjadi ingin menjebol kaca tembus pandang itu. Ia segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak tiga langkah.
Beet, wuuut...! Brruuuk...! Pendekar Mabuk terpental sendiri hingga membentur dinding belakangnya.
"O, rupanya dinding ini dilapisi udara padat yang dapat memantulkan pukulan tenaga dalam, dalam bentuk apa pun?!" Suto Sinting diam termenung sambil garuk-garuk kepala. "Agaknya lapisan udara padat ini mempunyai ketebalan yang berbahaya jika dihantam dengan tenaga bersinar. Bisa-bisa memantul balik mengenai diriku sendiri. Hmmm... cukup hebat juga. Andai kuhantam pakai bumbung tuak bagaimana?!'
Pendekar Mabuk akhirnya mencoba menghantamkan bumbung tuaknya ke kaca tembus pandang.
Wuuut, weees...! Bruuuuk...!
Ternyata bumbung tuak tak berhasil menyentuh kaca tembus pandang. Bumbung itu bagai menghantam karet tebal yang membuat tubuh Suto terlempar sendiri ke belakang dan jatuh membentur dinding lagi. Suto penasaran, ia mencoba menghantamkan bambu tuaknya ke dinding tak berkaca. Ternyata hasilnya sama saja. Bahkan sekarang kepala Suto menjadi sakit karena membentur dinding kaca dengan keras. Kaca itu tidak pecah, bahkan bergetar pun tidak.
"Luar biasa! Lapisan tenaga dalam apa ini, sehingga sangat sukar ditembus dengan kekuatan sebesar tadi?!"
Baju masih belum dipakai. Pendekar Mabuk terengah-engah. Dadanya yang kekar dan berotot itu tampak bergerak naik turun. Rupanya di kamar sebelah, Elang Samudera juga melakukan percobaan seperti yang dilakukan Suto. Pemuda itu terpental keras saat ingin menendang pintu dan kepalanya membentur dinding hingga nyaris bocor. Ia menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya. Pendekar Mabuk tertawa melihat Elang Samudera kesakitan.
"Percuma saja! Lebih baik simpan saja tenagamu untuk keperluan nanti setelah di luar kamar ini, Elang!" serunya keras-keras, tapi Elang Samudera tampaknya tak mendengar seruan itu sedikit pun.
Elang Samudera juga penasaran. Kini ia berdiri lagi menghadap ke pintu dan ingin menjebol pintu itu dengan kekuatan tenaga dalam. Dua jarinya mengeras dan tangan pun berkelebat bagai melemparkan pisau. Suuuut...! Elang Samudera kaget. Dari raut wajahnya terlihat jelas ia tersentak kaget melihat ujung jarinya tidak mengeluarkan sinar apa pun.
Hal itu dicobanya sekali lagi dengan otot lengan mengeras sebagai tanda mengerahkan tenaga cukup besar. Tetapi ternyata ujung kedua-jarinya itu tidak mengeluarkan sinar apa pun. Bahkan ketika ia mencoba dengan menggunakan telapak tangannya, telapak tangan itu juga tidak mengeluarkan sinar apa pun. Elang Samudera menjadi sangat tegang sambil memperhatikan tangannya sendiri.
"Oh, dia kehilangan tenaga dalamnya?!" Pendekar Mabuk segera tanggap akan hal itu dan ikut tegang juga.
"Jangan-jangan aku juga begitu?!" pikir Suto dengan cemas. Maka ia segera mencoba mengeluarkan tenaga dalamnya walau bukan dalam bentuk tenaga bersinar. Sentilan jari yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' segera dilepaskan ke arah dinding.
Teees...! Wuuut, brrruk...!
"Oooukh...!" Suto Sinting mengerang kesakitan memegangi perutnya. Ternyata tenaga dalamnya masih ada dan sentilan yang mengeluarkan tenaga dalam itu membalik arah mengenai perut sendiri. Suto terengah-engah sambil merasa mual. Ia buru-buru meminum tuaknya untuk hilangkan rasa mual dan sakitnya.
"Tenaga dalamku masih ada. Tapi mengapa Elang Samudera kehilangan tenaga dalamnya? Bukankah aku dan dia diserang secara bersamaan? Mungkin juga dengan jurus yang sama. Tapi mengapa tenaga dalamku masih ada, sedangkan tenaga dalamnya Elang Samudera menjadi hilang? Apakah karena sinar merah yang tadi dipakai mengembalikan kekuatan Elang oleh Dewi Kun itu telah menyerap atau melumpuhkan tenaga dalam Elang Samudera? Hmmm... ya, kurasa begitu! Elang menjadi sehat dan bisa berdiri lagi karena sinar merah dari jari Dewi Kun, sedangkan aku menjadi sehat karena minum tuak. Seandainya aku menjadi sehat karena sinar merah tadi, mungkin kekuatan tenaga dalamku juga akan lumpuh seperti Elang Samudera, dan yang tersisa hanya kekuatan tenaga luar saja."
Kejap berikut, Dewi Kun muncul lagi. Suto segera menyergah dengan nada protes. "Kau telah lumpuhkan tenaga dalamnya Elang Samudera, ya?!"
"Terpaksa kami lakukan supaya kau mau tunduk dengan perintahku!" ketus Dewi Kun. "Dia hanya mempunyai tenaga kasar, dan hal itu memudahkan kami untuk memenggal kepalanya jika kau membangkang perintah kami!"
"Kau curang!" geram Suto. "Aku ingin kau kembalikan tenaga dalamnya Elang Samudera!"
"Semuanya akan kembali seperti semula, termasuk kebebasannya juga, apabila kau sudah memenuhi syarat yang harus kau lakukan."
Pendekar Mabuk mendengus kesal. Tapi tatapan mata Dewi Kun membuat rasa kesal itu berangsur-angsur luluh. Suto merasakan tatapan mata perempuan itu bukan sekadar tatapan mata biasa. Sorot pandangan mata perempuan itu mengandung obat penjinak secara gaib yang dapat menenteramkan hati yang gundah ataupun gusar.
"Syarat apa yang harus kulakukan?" tanya Suto.
"Kau harus bisa menyerahkan kepada kami seorang bocah dari Gunung Sambara!"
"Bocah Emas, maksudmu?!"
"Benar!" jawab Dewi Kun tegas, tapi membuat Suto tersengat oleh ketegangan dalam hati.
"Rupanya pihak Kuil Perawan Ganas ini juga menghendaki Bocah Emas itu," gumam Suto dalam hatinya.
"Elang Samudera ditukar dengan Bocah Emas, maka kalian akan bebas!"
Suto masih diam, tapi membatin dalam gerutu. "Elang Samudera sendiri ditugaskan membawa pulang si Bocah Emas, kok sekarang justru nyawanya harus ditukar dengan Bocah Emas?! Wah, kelewat berani perempuan ini! Mungkin dia belum tahu kalau aku sudah mengamuk, habis sudah bibir perawan secantik dia!"
Setelah sama-sama diam beberapa saat, setelah sama-sama beradu pandang dengan hati saling berdebar, Pendekar Mabuk segera ajukan tanya sebagai ungkapan rasa ingin tahunya, "Mengapa bukan kalian sendiri yang mengambil Bocah Emas dari Gunung Sambara?! Bukankah kalian lebih tahu di mana letak gunung itu daripada aku?"
"Kami tak sanggup hadapi kekuatan Ratu Lembah Girang!" jawabnya secara jujur. "Kekuatan kami tidak seimbang."
"Apalagi aku!" Suto bersungut-sungut. "Aku hanya sendirian, mana mungkin bisa melawan kekuatan Ratu Lembah Girang?"
"Bisa!" sahut Dewi Kun. "Semua bisa dilakukan dengan siasat!"
"Siasat bagaimana?!"
"Aku akan berlagak menjual dirimu kepada Ratu Lembah Girang. Setelah kau berada di dekatnya, kau dapat membujuknya untuk meminta Bocah Emas sebagai upah kerjamu melayani gairahnya. Lalu, Bocah Emas kau bawa kemari dan Elang Samudera pun bebas dari cengkeraman kami!"
"Gila! Jadi kau ingin menjualku kepada Ratu Lembah Girang?!"
"Tepat sekali!"
"Hmmm...! Belum tentu usaha ini berhasil! Kau pikir Ratu Lembah Girang tak mengerti siasatmu?"
Dewi Kun gelengkan kepala pelan. "Ratu Lembah Girang menyukai pemuda kekar dan tampan sepertimu!"
Pendekar Mabuk diam termenung dalam keadaan tetap berdiri bersandar dinding. Dewi Kun memandanginya terus tanpa berkedip. Lama-lama gadis itu mendekat hingga dalam jarak kurang dari satu langkah. Mau tak mau Suto menatapnya karena ingin tahu apa maksud pendekatan Dewi Kun itu.
Mata beradu pandang, mulut saling membungkam. Bahasa mata mengisyaratkan bahwa Dewi Kun tergetar batinya oleh ketampanan dan keperkasaan Pendekar Mabuk. Sang pendekar sunggingkan senyum. Senyum itu semakin menggetarkan hati Dewi Kun. Terpaksa gadis itu berucap kata dalam nada membisik.
"Kau memang menawan, tapi belum tentu mampu layani Ratu Lembah Girang."
"Bagaimana kau bisa berkesimpulan begitu?"
"Karena kau tidak tanggap terhadap pandangan seorang perempuan. Bahasa matamu masih kurang peka, Suto."
"Jadi mestinya bagaimana?"
"Ciumlah Ratu Lembah Girang jika ia memandangmu seperti aku memandangmu begini."
"Apakah pandanganmu ini punya arti minta di cium"
"Kau tak perlu tanyakan hal itu. Kau sebagai lelaki harus lebih tanggap terhadap bahasa isyarat kaum wanita."
Senyum Suto ditebarkan. "Aku sebenarnya sudah memahami maksud hatimu, tapi aku takut melakukannya. Salah-salah habis menciummu aku akan kena tampar tujuh kali. Memangnya enak, cium sekali tampar tujuh kali?"
Dewi Kun tidak membalas senyum geli Pendekar Mabuk, ia bahkan mendekatkan wajahnya dengan bibir merekah seakan menantang untuk dikecup. Tapi Suto Sinting tetap diam dengan senyuman lembutnya. Suto tidak segera menerkam bibir itu, melainkan justru memandanginya dengan pandangan menggoda. Dewi Kun tidak sabar menunggu reaksi Suto, maka bibir yang merekah itu kini ditempelkan pelan-pelan di bibir Suto. Cuuup...!
Bibir Suto yang merah jambu itu dikecup oleh Dewi Kun. Kecupan itu sangat pelan dan lembut, sehingga kehangatan yang hadir terasa menjalar dari kepala sampai ke ujung kaki. Suto tak tahan untuk berdiam diri, akhirnya lidahnya menyapu bibir Dewi Kun, selanjutnya lumatan lembut diberikan oleh Suto yang membuat Dewi Kun menjadi ganas.
Dewi Kun seperti perawan kehausan cinta. Ciumannya bersifat mencecar membuat Suto Sinting gelagapan. Remasan tangannya pun menandakan luapan gairah yang melonjak-lonjak dalam dada dan ingin mendapatkan keindahan sepenuhnya.
Rompi panjang yang bagian depannya terikat itu kini dilepaskan oleh pemakainya sendiri. Dengan lepasnya ikatan tersebut, maka rompi pun terbuka lebar dan sepasang bukit indah yang kencang tampak menonjol penuh tantangan. Tangan Pendekar Mabuk merayap sampai ke dada dan meremas lembut pada sepasang bukit mulus itu.
"Ooh, Suto... tunjukkan kehebatanmu agar aku tak sangsi akan kepiawaianmu dalam melayani Ratu Lembah Girang nanti," bisik Dewi Kun yang segera terputus oleh suara pekikan, karena sebelum ia selesai bicara, Pendekar Mabuk sudah merayapkan ciumannya ke leher. Kepala gadis berambut keriting lembut sepanjang punggung itu terdongak memberikan kesempatan pada ciuman Suto agar lebih leluasa. Tapi ciuman Suto justru merayap ke bawah leher. Memagut-magut sebentar, lalu turun lagi hingga ke dada. Maka disapunya ujung-ujung dada itu dengan kehangatan lidah Suto yang membuat Dewi pun memekik dengan suara tertahan dan kedua tangan meremas pundak Suto.
Dewi Kun membiarkan sabuknya dilepas oleh Suto. Ia hanya mendesah-desah sambil berdiri bersandar pada dinding. Kepalanya menggeliat-geliat bersama erangan dan desah yang menghambur tiada henti. Sesekali ia memandang kepala Suto, matanya menjadi sangat sayu kala pandangi mulut Suto yang memagut-magut tato bunga mawar, lalu melahap pucuk-pucuk bukit daranya. Kadang mata itu terbeliak sambil kepala mendongak lagi bersama erangan yang melambangkan kenikmatan.
"Oouh... teruskan, Suto! Oouh, aku suka sekali. Aku suka sekali, Suto... terus ke bawah, Sayang...."
Untuk sebuah kemesraan, Suto Sinting tak pernah memperhitungkan gelar kependekarannya. Untuk sebuah kenikmatan, Suto Sinting tak pernah keberatan mengecup-ngecup paha dan lutut pasangannya. Akibat pagutan pada lutut yang sesekali disapu oleh lidah itu, Dewi Kun sempat memekik keras sambil melorotkan kain penutup 'mahkotanya'-nya itu.
Suto Sinting memberi kebebasan pada wanita itu agar melepaskan segalanya. Ketika segalanya telah terlepas, Dewi Kun pun melebarkan diri dan menarik kepala Suto agar merapat ke tepian 'mahkota'. Namun yang dilakukan Suto justru merapat di pertengahan 'mahkota' dengan lidah seperti seekor ular lapar. Tentu saja hal itu membuat Dewi Kun menjerit kecil dan panjang sambil kedua tangannya meremas rambut Suto karena menahan rasa syur yang luar biasa.
"Ooouh... gila kau, Suto! Kau gila...! Oouh, aku suka sekali gayamu, Suto! Teruskan... teruskan... ooooh, indah sekali ini, Suto. Uuuh... uuhh... Sutooo...!" Dewi Kun menjerit keras-keras ketika Suto mencecarkan serangannya tanpa henti. Rupanya Dewi Kun berhasil mencapai puncak keindahan pada saat itu, sehingga jeritan keras dan remasan tangannya di luar kontrol kesadaran.
Daaar, daar, daar...!
Gedoran pintu terdengar mengagetkan mereka. Asmara yang sudah mulai melambung tinggi kontan jatuh hingga ke dasarnya lagi. Dewi Kun sempat berang karena merasa kemesraannya terganggu oleh orang yang menggedor pintu itu. Ia buru-buru mengenakan celananya dan bergegas membukakan pintu dengan langkah penuh emosi. Suto Sinting hanya nyengir sambil duduk di lantai bersandar dinding, membersihkan mulutnya yang basah dengan kain bajunya.
"Ada apa...?!" sentak Dewi Kun, kemudian tak terdengar lagi karena ia sudah berada di luar kamar dan mengunci pintu itu kembali.
"Mampus kau kalau sudah kena jurus kemesraanku," ucap Suto pelan, seperti bicara sendiri. "Itu belum pakai gigitan. Kalau sudah pakai gigitan, hmmm... biar bangunan ini runtuh pun kau tetap tidak akan peduli lagi."
Pendekar Mabuk menenggak tuak tiga tegukan. Selesai menenggak tuak, bumbung pun ditutupnya kembali. Dan pada saat itulah Suto merasakan lantai bergetar dengan suara gemuruh terdengar sayup-sayup. Kotoran debu dari atap turun menghambur ke lantai. Sepertinya tempat itu mulai dilanda gempa. Tapi Suto yakin, getaran itu bukan karena gempa, melainkan karena ada pertarungan dahsyat di sekitar Kuil Perawan Ganas itu.
"Setan! Aku tidak bisa keluar kalau begini. Padahal aku yakin di sekitar sini ada pertarungan cukup seru! Aduh, rugi sekali kalau aku tak melihat pertarungan itu!"
Pendekar Mabuk menjadi tegang dan jengkel sendiri karena kegemarannya menyaksikan sebuah pertarungan kali ini terpaksa tak tersampaikan, ia segera menendang pintu besi tersebut. Namun sebelum kakinya menyentuh pintu, tubuhnya telah terpental ke belakang dan membentur dinding seperti tadi. Bruuuk...!
Bertepatan dengan itu, suara ledakan menggelegar samar-samar dan lantai pun bergetar kembali. Keadaan tersebut membuat Suto bertambah beringas dan penasaran.
"Monyet kudis! Buka pintunya, aku mau melihat pertarungan itu!" teriaknya sendirian seperti orang gila.
* * *
EMPAT
PENJARA Kuil Perawan Ganas itu dilengkapi dengan obor-obor dari logam putih anti karat. Obor-obor itu menempel pada dinding marmer. Dalam satu ruangan terdapat delapan obor, hingga ruangan tersebut menjadi terang benderang.
Salah satu obor tersebut hampir saja jatuh karena guncangan bumi yang tadi dirasakan oleh Suto dan diduga karena adanya pertarungan di luar kuil. Tapi nyala obor sekarang sudah kembali normal, berarti sudah tidak ada guncangan atau getaran pada bumi lagi. Suto hanya bertanya-tanya dalam hati,
"Apakah pertarungan itu sudah selesai? Lalu pihak mana yang unggul dalam pertarungan tersebut?"
Rasa ingin mendapat jawaban menggelisahkan hati Pendekar Mabuk, ia terpaksa menunggu kemunculan Dewi Kun lagi untuk dapatkan jawaban tersebut. Tapi yang ditunggu ternyata tak muncul-muncul hingga beberapa saat lamanya. Pendekar Mabuk akhirnya terkantuk-kantuk dalam duduknya yang melonjor dan bersandar dinding sambil memeluk bumbung tuaknya.
Belum sampai kantuk itu menguasai Suto, tiba-tiba ia terkejut kecil ketika mendengar suara pintu dibuka. Dewi Kun muncul lagi dengan membawa nampan berisi makanan dan buah-buahan. Tak lupa pintu pun ditutup dan dikunci lagi, tapi kuncinya dibiarkan tergantung pada lubang kunci di pintu.
"Makanlah, seharian ini kau tidak makan apa-apa!" kata Dewi Kun sambil meletakkan nampan berisi makanan dan buah-buahan itu di lantai depan Suto.
Mata Suto sempat melirik ke arah kunci. Sebenarnya ia bisa saja menyambar kunci itu dengan gerakan cepatnya, lalu keluar dari ruangan tersebut. Tapi pertimbangan otaknya mengatakan, bahwa hal itu akan membuat Elang Samudera celaka jika ia melarikan diri. Setidaknya Dewi Kun dan orang-orang Kuil Perawan Ganas akan menyiksa Elang Samudera sebagai pelampiasan atas murka mereka terhadap pelarian Suto nanti. Maka, rencana dan niat itu pun dibuang jauh-jauh oleh Pendekar Mabuk.
"Biarlah kuikuti dulu apa maunya orang-orang kuil ini, yang penting Elang Samudera jangan teraniaya. Kasihan. Dia sudah kehilangan tenaga dalamnya dan tak bisa lakukan perlawanan apa-apa terhadap Dewi Kun dan anak buahnya."
Begitu kata batin Suto saat memandangi makanan tersebut. Dewi Kun menegur dengan tepukan pelan di paha Suto.
"Hei, jangan melamun saja! Makanlah, supaya kau nantinya dapat melayani Ratu Lembah Girang dalam keadaan kuat! Ratu akan sangat senang dan selalu menuruti apa saja permintaan seorang pria yang mampu membuat gairahnya terpuaskan. Kami mengandalkan dirimu, karenanya... minum pula adonan jamu ini."
Pendekar Mabuk memandang ke arah cangkir perak bertutup runcing. Cangkir itu yang tadi dituding oleh Dewi Kun saat bicara tentang jamu. Suto penasaran dan membuka tutup cangkir tersebut.
"Hmmmhh...! Baunya tak enak! Jamu apa ini?!"
"Jamu kuat!" jawab Dewi Kun tegas tanpa senyum. "Ramuan ini bisa membuatmu selalu bergairah dan mampu memuaskan asmara Ratu Lembah Girang."
Pendekar Mabuk tertawa geli bernada menyepelekan khasiat jamu tersebut. Dewi Kun menambahkan penjelasannya tentang jamu tersebut. "Hanya tabib kami yang bisa membuat ramuan pembakar gairah lelaki semujarab ini! Di tempat lain tak ada ramuan setangguh ini,"
"Ah, bualanmu terlalu berlebihan!"
"Cobalah sendiri kalau tak percaya!"
Ketika Pendekar Mabuk mau meminum jamu itu, tangannya segera ditahan oleh tangan Dewi Kun, "Makan dulu, baru minum jamu itu! Jika perutmu kosong tanpa makanan, dan kau meminum ramuan jamu tersebut, maka kau akan mengalami kekecewaan besar dalam bercumbu."
"Kekecewaan apa maksudmu?!"
"Siapa pun meminum jamu ini dalam keadaan perut kosong, maka ia akan mengalami kesukaran dalam mencapai puncak kemesraannya. Bisa empat hari empat malam kau tak akan mencapai puncak kemesraan walau semangat masih terus berkobar-kobar. Kau hanya akan menemukan kejengkelan yang akhirnya akan menyakitkan hati karena tak mencapai titik tertinggi dari kencanmu nanti. Sementara itu, orang yang meminum jamu ini tidak akan mau berhenti melakukan cumbuan sebelum puncak kemesraannya tercapai."
Sambil tertawa pendek Suto berkomentar, "Wah, hebat sekali!"
"Memang hanya tabib kami yang punya kehebatan seperti itu."
"Maksudku, hebat sekali ngibulnya! Mana ada jamu yang punya khasiat seperti itu?!" Suto bersungut-sungut tak percaya. Bahkan ia tahu-tahu telah nekat meminum jamu tersebut.
"Heiii...?!" sentak Dewi Kun kaget. Ia menarik tangan Suto yang memegangi cangkir, tapi terlambat. Isi cangkir sudah ditelan habis oleh Suto, padahal Suto belum makan apa-apa sejak di lautan sampai mendarat di pantai Pulau Swaladipa tadi. "Kau gila!" sentak Dewi Kun. "Kau sama saja akan menyiksa dirimu sendiri dengan meminum jamu ini tanpa makan lebih dulu!"
"Aku tak percaya dengan bualanmu tadi! Tanpa jamu seperti ini, aku sudah mempunyai semangat yang tinggi dan mampu bertahan diri untuk tidak mencapai puncak kemesraan. Jadi, kuanggap jamu ini hanya celoteh tanpa makna!"
"Ak... aku tak mau bertanggung jawab jika kau menjadi liar dan ganas. Kau sendiri yang melanggar aturan minum jamu ini, Suto!"
Kecemasan itu justru ditertawakan oleh Pendekar Mabuk. Dengan santainya ia menenggak tuak, setelah itu baru melahap buah anggur berwarna hijau bening. "Aku tak selera makan makanan seperti ini," ujar Suto sambil mengunyah buah anggur. "Aku bosan makan panggang ayam, burung bakar atau sejenisnya. Aku malah kepingin makan peyek udang atau tempe bacem."
"Dasar pendekar norak!" umpat Dewi Kun dengan cemberut.
"O, ya... tadi kurasakan ada getaran dan kudengar ada suara ledakan samar-samar. Apakah di luar telah terjadi pertarungan?"
"Ya Biasa, orang-orang Bukit Sulang bikin onar di wilayah kami! Mereka menyerang kami dan ingin menguasai kuil ini."
"Lalu...?"
"Kami berhasil mengusir mereka!"
"Ada yang korban?"
"Delapan orang Bukit Sulang mati di tangan kami."
"Dari pihakmu ada yang tewas?"
"Tidak. Hanya dua orang yang tewas."
"Itu namanya ada yang tewas! Kok bilang tidak!" Suto bersungut-sungut.
"Kurasa dalam waktu dekat orang Bukit Sulang akan datang lagi dengan mengajukan Gembongsuro sebagai orang terdepan yang diunggulkan."
"Gembongsuro itu sakti?" tanya Suto seperti pertanyaan anak kecil yang diikuti lahapan buah anggurnya.
"Kudengar, Gembongsuro adalah orang terkuat di Bukit Sulang, ia tidak akan turun tangan dalam suatu penyerangan jika tidak dalam keadaan benar-benar penting. Sekarang sudah dua kali orang Bukit Sulang ingin merebut kuil ini. Tapi dua kali pula kami berhasil menyingkirkan mereka dan menewaskan lebih dari lima belas orang."
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil menggumam kecil dan mengunyah buah anggurnya.
"Jika Gembongsuro muncul, kami pasti akan terdesak, karena kesaktian Gembongsuro di atas kesaktian kami."
"Apakah jarak Bukit Sulang dengan kuil ini termasuk dekat?"
"Ya, memang termasuk dekat. Kurang dari seperempat hari untuk lakukan perjalanan dari sini ke Bukit Sulang."
Pendekar Mabuk ingat tentang Elang Samudera. Ia bergegas bangkit dan memandang Elang Samudera dari kaca tembus, itu. Ternyata Elang Samudera juga mendapat jatah makan seperti yang dikirimkan kepadanya. Elang Samudera tampak makan sendirian dengan lahap dan tidak merasa canggung lagi.
Tapi Pendekar Mabuk segera berkerut dahi ketika melihat di nampan itu juga ada cangkir putih bertutup runcing seperti cangkir tempat ramuan jamu yang diminumnya tadi. Kecurigaan Suto mendesak hati untuk ajukan tanya kepada Dewi Kun.
"Mengapa Elang Samudera juga mendapat cangkir itu? Apakah cangkir itu juga berisi ramuan jamu seperti yang kuminum tadi?"
Perempuan itu bangkit berdiri dan ikut memandang melalui cermin tembus pandang. "Ya, dia juga perlu meminum ramuan yang sama dengan yang kau minum."
"Dengan maksud apa kau memberikan minuman itu kepada Elang Samudera?"
"Supaya badannya merasa segar dan tidak loyo."
Tapi hati Suto mengatakan, bukan itu alasan yang sebenarnya. Naluri Suto segera, mengatakan bahwa Elang Samudera sengaja diberi ramuan jamu supaya dapat dimanfaatkan oleh Dewi Kun atau perempuan-perempuan Kuil Perawan Ganas sebagai pasangan bercumbu. Dalam keadaan tanpa ilmu tenaga dalam dan kesaktian apa pun, tentu saja Elang Samudera akan mudah terbujuk dan dirayu hingga hanyut dalam permainan cinta.
"Kau mulai menampakkan kecurigaanmu lagi!" sambil Suto menuding perempuan berhidung mancung itu. "Kau pasti akan memanfaatkan kehangatan Elang Samudera sebagai pemuas gairahmu, atau pemuas gairah para anak buahmu! Sementara aku kau jual kepada Ratu Lembah Girang, kalian bisa memanfaatkan Elang Samudera sebagai hiburan tak senonoh!"
"Bagaimana kalau dugaanmu itu ternyata meleset?!"
"Tidak mungkin! Aku yakin kau... kau...." Pendekar Mabuk terhenti dari ucapannya yang menggebu-gebu. Ia merasakan debar-debar indah hatinya. Ketika matanya menatap raut wajah cantik perempuan di depannya, hati Suto merasa bagai dibuai oleh keindahan yang menggembirakan, sehingga timbul rasa ingin memeluk dan mencium perempuan itu.
"Celaka! Kenapa aku jadi begini bergairah kepadanya?" ujar Suto dalam batinnya, ia mencoba menahan hasrat ingin memeluk Dewi Kun, tapi usahanya itu sepertinya akan menemui kegagalan. Napas Suto sudah mulai terengah-engah dan batinnya mulai dibakar oleh keinginan untuk bercinta. "Kenapa aku ini?!" tanyanya kepada perempuan itu. "Aku... aku suka sekali kepadamu. Aku... ingin menciummu. Ooh... kenapa aku jadi ingin memeluk dan menciummu?!"
"Jamu itu mulai bekerja dalam darahmu dan membakar saraf kejantananmu!"
"Tapi... tapi.... Oh, tidak! Aku tidak ingin lakukan!"
Suto Sinting menjauhi perempuan tersebut, ia berdiri di sudut ruangan. Kedua tangan memeluk dirinya sendiri, sementara bumbung tuaknya dibiarkan tergeletak di dekat nampan berisi makanan itu. Ia terengah-engah hingga keluarkan keringat dingin. Kedua kakinya gemetar begitu merasakan hasrat untuk bercumbu menyentak-nyentak makin kuat.
Perempuan itu mendekatinya dengan sorot pandangan mata lain dari yang tadi. Kali ini sorot pandangan mata itu mengandung ajakan untuk bercumbu. Seakan ia tidak keberatan jika Suto ingin memeluk dan menciuminya.
"Pergi kau! Pergiii...!" bentak Suto. "Jangan memancing gairahku semakin tinggi! Tinggalkan aku sendirian. Aku tak mau lakukan hal itu. Pergi kau...!"
"Kau yakin tak ingin memperolehnya dariku?"
Suto tak menjawab, ia menggeram dengan gigi menggeletuk. Tapi perempuan itu belum mau pergi dari hadapan Pendekar Mabuk. Perempuan itu justru melepas pengikat rompi merahnya, sehingga belahan depan rompi itu pun tersingkap lebar. Gumpalan dadanya tampak jelas di mata Pendekar Mabuk.
"Setan kau! Minggat dari hadapanku, lekas!" sentak Suto walau tak mampu dengan suara keras, karena napasnya sibuk meredam hasrat ingin bercumbu.
Sentakan itu tidak dihiraukan oleh si perempuan. Justru perempuan itu meliuk-liukkan tubuhnya sambil tangannya mengusap lembut bukit-bukit di dadanya. Lidahnya sesekali menjilati bibirnya sendiri dengan keadaan bibir telah merekah dan mata menjadi sayu penuh tantangan bercumbu.
Pendekar Mabuk semakin dibakar oleh gairahnya. Dadanya terasa sesak karena jantungnya berdetak kian keras. Perempuan itu juga melepaskan sabuk dan kancing celana pendeknya. Pelan-pelan sekali celana itu diturunkan, sementara rompinya telah dilepas sejak tadi hingga kemulusan tubuhnya tampak jelas menantang Suto.
"Iblis kau! Kau meracuniku dengan minuman itu! Kau... kau.... Aaah!" sentak Suto Sinting sambil menghentakkan kakinya bagai orang dihinggapi kejengkelan.
Tapi perempuan itu justru memperhebat godaannya. Kini ia sudah menjadi seperti bayi baru lahir, ia meliuk-liukkan tubuhnya dengan kepala sesekali mendongak bersama terlontarnya erangan dan desahan penuh gairah. Perempuan itu bersandar pada dinding, tangannya mengusap apa saja yang dapat menghadirkan kenikmatan bagi dirinya. Napasnya menjadi terengah-engah, sampai akhirnya ia merosot ke bawah dan duduk di lantai dengan posisi menantang.
"Oouh... aaah... oooohh...."
Desah-desah yang berhamburan masuk ke telinga Suto dan membuat hasratnya kian terbakar lagi. Akhirnya Suto Sinting tak mampu menahan diri ketika dilihatnya mata perempuan itu memandangnya dengan sangat sayu dan bibirnya merekah menunggu kecupan.
"Booo... bolehkah aku... aku mengusap betismu?" ucap Suto dengan terbata-bata karena napas yang menderu-deru.
"Usaplah dengan bibirmu, Suto. Aku ingin rasakan sentuhan kemesraanmu. Usaplah, Sayang...."
Pendekar Mabuk akhirnya merangkak, menempelkan kecupan bibirnya di betis indah yang mulus itu. Kecupan itu menjalar sampai ke betis. Si perempuan kian melebarkan diri, bahkan tangan Suto dituntun untuk menjamah 'mahkota' yang telah siap menerima kedatangan sang tamu itu. Tangan Suto akhirnya menari-nari di sana. Tapi pagutan dan sapuan lidahnya masih bermain di sekitar lutut serta paha, membuat perempuan itu makin mengerang panjang dan terengah-engah.
Pendekar Mabuk tak mau buru-buru menyambar 'mahkota' itu. Kecupannya melewati sang 'mahkota', merayap keperut dan mencapai dada. Dua bukit di dada itu tampak merentang penuh keberanian. Pendekar Mabuk menyusuri dengan mulutnya di tepian bukit, ia memagut tato yang ada di sana. Namun dalam hatinya sempat terkejut melihat tato itu bukan bergambar bunga mawar merah, melainkan bergambar kelabang merah.
"Secepat inikah ia mengubah tatonya? Atau... tato itu akan berubah dengan sendirinya jika gairahnya mulai terbakar? Oh, sayang aku tadi tidak memperhatikan tatonya ketika ia mencapai puncak kemesraan, sebelum keluar dari ruangan ini. Mungkin tato itu tato ajaib, yang dapat berubah dari gambar bunga mawar menjadi gambar kelabang merah. Letaknya pun berpindah di dada kiri."
Sambil berkecamuk begitu, mulut Suto tiada hentinya memagut-magut kedua bukit itu secara bergantian. Tangan perempuan tersebut juga tak mau tinggal diam. ia berhasil meraih apa yang disembunyikan Suto di balik kain putihnya. Perempuan itu memekik ketika berhasil menggenggamnya.
"Ooow..?! Besar sekali, Suto...."
"Apanya?"
"Semangatmu besar sekali. Ooh... aku suka yang begini! Aku suka sekali, Suto...! Aaaahh...!"
Perempuan itu mengamuk dalam gerakan liar. Suto terpelanting dan jatuh telentang. Kini perempuan itu menerkamnya dengan suara erangan mirip singa kelaparan. Ia melepaskan kain penutup tubuh Suto secara kasar, ia juga memagut-magut dada Suto dengan liar. Bahkan ia menyambar 'jimat antik' itu dengan rakus sekali. Tapi semua kekasaran, kerakusan, keliaran dan kebuasan itu justru menghadirkan sejuta kenikmatan bagi Suto Sinting. Bahkan Suto tak segan-segan untuk berteriak ketika kenikmatan itu melonjak-lonjak dalam dadanya.
"Ganas sekali dia? Tadi tak seganas ini. Rupanya tadi dia masih malu-malu padaku, sehingga keganasannya ini masih disembunyikan," pikir Suto Sinting sambil meremas lengan perempuan itu.
"Oh, Suto... bangun! Berdirilah... lekas berdiri!" perintahnya dengan mendesak.
Suto pun menuruti perintah itu, ia berdiri di samping cermin tembus pandang itu. Perempuan tersebut berlutut di hadapan Suto, kemudian ia menyapu habis sekitar tempat tersebut, sehingga Suto terpaksa meremas rambut perempuan tersebut untuk menahan gejolak rasa bahagianya.
Tetapi tiba-tiba Suto terkejut manakala matanya memandang ke ruang sebelah, ternyata di sana Elang Samudera juga sedang dicumbu oleh seorang perempuan. Elang Samudera sudah tidak mengenakan selembar benangpun, demikian pula si perempuan. Hal yang membuat Suto lebih kaget lagi, ternyata perempuan yang mengganas di sana adalah perempuan bertato bunga mawar merah pada dada kanannya.
"Tunggu dulu!" sergah Suto. Ia menarik perempuan itu hingga berdiri. Si perempuan memandang dengan peluh bercucuran dan napas berhamburan.
"Siapa kau sebenarnya? Kau... kau Dewi Kun?! Oh, lihat... lihat temanku sedang bercumbu denganmu atau dengan siapa itu?!"
"Dia bercumbu dengan kakakku."
"Kakakmu siapa?"
"Dewi Kun..."
"Jaa... jadi kau...?"
"Aku Dewi Sun, saudara kembar Dewi Kun!"
"Oooh... pantas kau lebih ganas dari dia."
"Penjelasannya nanti saja. Aku masih ingin membuaimu!" ucapnya seraya menciumi leher Suto Sinting dengan tubuh dirapatkan ke badan Suto. Suto Sinting tak bisa menolak karena gairahnya terasa semakin lebih besar dari yang pertama tadi.
* * *
LIMA
SEBELUM pelayaran cintai dimulai. Pendekar Mabuk sempatkan untuk meminum tuaknya, ia biarkan Dewi Sun terbaring di lantai menunggu lawan cintanya menyerbu. Namun ketika tuak diminum, saat Pendekar Mabuk ingin mengawali pelayaran cintanya dengan menunggang perahu asmara yang telah disiapkan Dewi Sun, tiba-tiba saja gairahnya lenyap dan bayangan Dyah Sariningium muncul dalam benaknya.
Rasa setia dan cinta terhadap Dyah Sariningrum membakar di sekujur tubuhnya. Perasaan tak ingin menodai kisah kasihnya terhadap Ratu Puri Gersang Surgawi itu membalut jiwa dan hatinya, sehingga hasrat untuk berlayar bersama Dewi Sun itu pun lenyap seketika. Ciuman Suto terhenti sebelum tubuhnya menyatu dengan tubuh Dewi Sun. Ia menarik diri dan memandangi Dewi Sun dengan perasaan heran.
"Mengapa aku hampir saja menodai cinta suciku Kepada Dyah?" pikirnya kala itu. "Dewi Sun ataupun Dewi Kun memang cantik, tapi hatiku tak bisa menerima kecantikan itu. Hatiku hanya bisa merasakan deburan gairah tanpa jiwa yang tulus menyayanginya? Untuk apa kulakukan jika semua itu hanya tipuan rasa saja?"
"Suto, ayolah... tunggu apa lagi, Suto? Aku sudah siap. Aku sudah siap, Sayang...," rengek Dewi Sun sambil mengulurkan tangannya ingin memeluk Suto.
Tapi pemuda tampan yang berbadan macho itu justru tarik diri dan menyambar celananya.
"Hei, kenapa kau begitu, Suto?! Mengapa tak kau lanjutkan perjalanan cinta kita?!"
"Aku tidak bisa!" tegas Suto.
"Bukankah... bukankah kau telah meminum ramuan itu?"
"Aku tidak punya kesanggupan untuk melanjutkan permainan cinta kita! Kau lihat sendiri, aku tidak punya kemampuan seperti tadi, bukan?"
Mata Dewi Sun tertuju pada sesuatu yang dimaksud Suto. Sesuatu itu sekarang tidur dengan pulasnya, seakan tak akan terusik oleh godaan apa pun. Dewi Sun sendiri merasa heran dan berucap lirih bagai bicara pada dirinya sendiri.
"Mengapa jadi begitu? Biasanya ramuan itu akan membangkitkan gairah lelaki hingga menyala-nyala dan menjadi buas tiada hentinya. Tapi sekarang mengapa justru membuatnya loyo begitu?!"
"Kurasa tabibmu salah ramu!" ujar Suto Sinting sambil mengenakan baju coklatnya yang tanpa lengan itu.
Tentu saja Dewi Sun tak tahu bahwa khasiat jamu kuat buatan tabibnya itu tak akan mampu mengalahkan khasiat sakti dari tuak dalam bumbung bernyawa itu. Seandainya Pendekar Mabuk tidak meminum tuaknya lebih dulu, maka pelayaran ke laut cinta pun akan terjadi entah hingga berapa kali. Tetapi karena sebelum mendayung perahunya Suto merasa kehausan dan perlu meneguk tuaknya, maka tuak itu langsung memadamkan api cinta dan gairah yang berkobar-kobar tadi. Tuak itu mengembankan kesadaran Suto yang nyaris tersirap oleh pengaruh jamu kuat yang mengandung mantra gaib juga itu.
Sementara di ruang sebelah, Elang Samudera masih giat melakukan perjalanan cintanya dengan Dewi Kun. Bahkan meskipun Dewi Kun telah mencapai puncak-puncak kebahagiaannya beberapa kali, tapi Elang Samudera masih tangguh dan dengan penuh semangat mendayung perahu cintanya sesuai dengan selera yang diinginkan Dewi Kun.
"Kau mengecewakan aku, Suto!" geram Dewi Sun yang ingin memeluk Suto namun dijauhi oleh pemuda tampan itu.
"Maafkan aku. Aku tak mampu seperti Elang Samudera!"
"Banci!" sentak Dewi Sun dengan berang. "Percuma kau menjadi pendekar gagah perkasa begitu, ternyata kau tidak berguna bagi seorang perempuan! Kau tidak punya kemampuan apa-apa, Suto! Potong saja 'jimatmu' itu dan jadilah perempuan sepertiku!"
Senyum Suto mengembang tipis, ia tahu kata- kata itu sengaja dilontarkan untuk membangkitkan emosi cintanya. Tapi Suto tetap tak berselera melakukan percumbuan, ia hanya bisa memaklumi ejekan tersebut dilontarkan Dewi Sun yang tentu saja sangat kecewa terhadap kegagalan itu.
"Percuma kau jadi pendekar kondang kesaktiannya kalau tak mampu membahagiakan perempuan!" omel Dewi Sun seraya mengenakan pakaiannya kembali.
"Lebih baik kau berikan tugas lain daripada harus berlayar di lautan cinta denganmu," kata Suto tegas-tegas.
Dewi Sun menyeka keringatnya yang masih mengalir di sela-sela belahan dadanya. Wajahnya kusut sekali, sekusut rambutnya yang tadi diacak-acak Suto saat ia membuainya dengan ciuman maut.
"Kau harus dihukum, Suto! Karena kau tak mau melayaniku, tak mau memuaskan keinginanku, maka kau harus dihukum!"
"Akan kuterima selama aku tak mampu menghindari hukuman itu! Tapi jika aku bisa menghindari hukuman itu, barangkali kaulah yang akan berbalik menjalankan hukumannya!" ujar Suto setengah menantang.
Dewi Sun semakin berang, maka kaki kanannya segera berkelebat menendang ke arah wajah Suto. Wuuuut...!
Weess...! Suto Sinting hanya menggeloyor ke samping seperti orang mabuk mau tumbang. Tendangan itu tak mengenai sasaran sedikit pun.
Wwwu, weess...! Wuuut, wess...! Wuuut, wweess...! Tiga tendangan beruntun dengan kecepatan tinggi berhasil dihindari Suto Sinting. Dewi Sun semakin dongkol, maka ia pun segera menghantamkan telapak tangannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam tanpa sinar itu. Beeet...!
Suto Sinting sengaja mengadu telapak tangannya dengan telapak tangan Dewi Sun. Tapi tak lupa ia juga menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke dalam tangan tersebut.
Plaaak...! Buuub...!
Asap mengepul dari perpaduan telapak tangan itu. Dewi Sun terpental ke belakang dan membentur pintu, sementara Suto Sinting masih tegar berdiri dengan wajah sunggingkan senyum tipis agak dingin.
"Laknat kau, Suto!" geram Dewi Sun sambil bangkit kembali.
"Di kamar sesempit ini, kalau kau melawanku, maka kau akan mati tanpa diketahui oleh siapa pun!" Suto sengaja menakut-nakuti mental Dewi Sun. Agaknya ucapan itu membuat Dewi Sun berpikir juga, sehingga ia terpaksa menahan gejolak kemarahannya dan bergegas keluar dari kamar tersebut.
"Kuanggap kau telah menghinaku! Ada saatnya sendiri kau harus menerima ganjaran atas penghinaan ini, Suto!"
"Kutunggu ganjaran darimu, Dewi Sun!" kata Suto dengan tegas dan membuat Dewi Sun semakin dongkol lagi.
Brrak...! Pintu ditutup dan dikunci kembali. Dewi Sun pergi entah ke mana, yang jelas Suto Sinting tertawa cekikikan sendiri.
"Ramuan jamu kuat?! He, he, he, heh...! Ternyata sama tuakku masih kalah kuat! Untung aku tadi segera meminum tuak, kalau tidak, habislah kesucianku direnggutnya. Ciah... kesucian nih ye...?!" ia tertawa geli lagi.
Pendekar Mabuk akhirnya hanya bisa menyaksikan tontonan gratis di kamar sebelah melalui cermin tembus pandang. Elang Samudera terengah-engah kecapekan. Tetapi agaknya pemuda itu belum mencapai puncak keindahannya. Sementara itu, Dewi Kun sudah terkulai tanpa daya. Seandainya tidak, pasti dia masih menyuruh Elang Samudera untuk mendayung perahunya lagi.
Lantai menjadi basah oleh keringat mereka. Elang Samudera tak bisa bilang apa-apa karena sibuk bernapas. Tapi tangannya masih berusaha untuk berbuat nakal, yang segera dihindari oleh Dewi Kun. Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala melihat kenakalan itu.
"Kalau bukan karena meminum ramuan jamu tadi, tak mungkin Elang Samudera sampai setangguh itu," ujarnya dalam hati.
Secara jujur hati Suto mengakui kehebatan ramuan tersebut seandainya tanpa dilawan dengan tuak saktinya. Terbukti Elang Samudera masih tetap bersemangat memburu kemesraan walaupun Dewi Kun sudah keluar kamar dan beberapa saat masuk kembali. Ternyata yang masuk kembali itu bukan Dewi Kun melainkan Dewi Sun.
Elang Samudera juga melayani perempuan itu dengan semangatnya yang masih menyala-nyala. Tetapi kehadiran perempuan itu membuat Suto menjadi sangsi dan berkerut dahi. Ketika perempuan itu melepaskan rompinya, maka tampaklah sebuah tato bergambar kupu-kupu yang merentangkan sayapnya di pertengahan dada. Suto Sinting sempat bertanya-tanya dalam hati,
"Benarkah dia Dewi Sun?! Tapi melihat keganasan dalam menyerang lawan bercintanya, keganasan itu seperti milik Dewi Sun. Hanya saja, kenapa tatonya berubah menjadi gambar kupu-kupu dan letaknya di pertengahan dada? Bukankah Dewi Sun tatonya bergambar seekor kelabang merah dan letaknya di dada kiri?!"
Klak, klak, klaaang...!
Pintu kamar Suto dibuka. Perempuan berwajah cantik seperti yang sedang bercumbu dengan Elang Samudera itu muncul dengan keangkuhannya. Perempuan itu tampak berlumuran keringat, sehingga rambutnya menjadi basah dan rompinya pun lengket dengan tubuh. Napas perempuan itu masih sedikit terengah-engah menandakan habis melakukan pekerjaan berat.
Begitu melirik ke arah dada, Suto melihat tato bergambar bunga mawar. Tak salah lagi dugaan hatinya, bahwa perempuan itu adalah Dewi Kun yang habis mendapat kepuasan dari Elang Samudera.
Dewi Kun ikut memandang ke arah cermin tembus pandang. Suto Sinting memperhatikan dengan lirikan mata dan senyum yang mengembang penuh ketenangan.
"Mengapa kau tidak mau melayani adikku; Dewi Sun?!"
"Aku tak mampu!" jawab Suto tanpa malu-malu.
"Kau kalah hebat dengan temanmu itu. Lihatlah, dia masih bersemangat melayani gairah adikku."
"Apakah dia Dewi Sun?"
"Bukan. Dewi Sun sedang murung di serambi dan kecewa berat karena tingkahmu!"
"Lalu siapa yang sedang bercumbu dengan Elang Samudera itu?"
"Adik kembarku; Dewi Mul namanya."
"Oooh...?!" Suto manggut-manggut dan memperhatikan tato bergambar kupu-kupu yang sesekali sedang dikecupi oleh Elang Samudera itu. "Jadi kau kembar tiga orang?"
"Ya, dan masing-masing punya ciri pada tato kami. Dengan melihat tato kami, kau bisa mengerti siapa yang kau hadapi; aku, Dewi Sun atau Dewi Mul?"
"Ketiganya... ketiganya punya gairah yang besar rupanya."
"Kurasa begitu!" jawabnya datar. "Dan kami selalu membunuh pria yang tidak mampu memuaskan gairah kami, karena pria semacam itu kami anggap tidak akan berguna bagi kehidupan di dunia!"
Suto Sinting agak kaget. "Jadi kau ingin membunuhku?!"
"Perlu kupertimbangkan dulu bersama kedua adik kembarku itu. Karena di satu sisi, aku membutuhkan tenagamu untuk mengambil Bocah Emas itu!"
"Aku tak akan pergi mengambil Bocah Emas jika tidak bersama Elang Samudera!"
"Itu tak bisa! Kau harus pergi sendirian dan mendapatkan Bocah Emas itu!"
"Aku tak tahu jalan menuju ke Gunung Sambara! Tapi Elang Samudera mengetahui jalan ke sana!"
"Salah satu dari kami akan mendampingimu dan mengantarmu sampai bertemu dengan Ratu Lembah Girang."
"Apakah kau masih ingin menjualku kepada Ratu Lembah Girang? Tidakkah kau tahu bahwa aku tidak punya kemampuan untuk melayani seorang perempuan? Kurasa Ratu Lembah Girang akan kecewa padaku dan tidak mau memberikan Bocah Emas itu."
Dewi Kun segera memandang Suto Sinting. Sepertinya ada sesuatu yang baru diingatnya dan perlu dipertimbangkan lebih masak lagi. "Kau benar-benar tidak mampu melayani perempuan?"
"Kau tanyakan saja kepada adikmu; Dewi Sun itu!"
Mulut berbibir ranum itu diam terbungkam. Tapi kejap berikutnya Dewi Kun memandang Suto lagi seraya berkata pelan. "Tapi kau pandai membuai kami dengan bibir dan lidahmu, bukan?"
"Oh, itu hanya kebetulan saja dan... dan...."
"Aku telah merasakannya sendiri. Kau berhasil menerbangkan jiwaku sampai ke puncak-puncak keindahan dengan hanya menggunakan mulut dan jemarimu. Kurasa Ratu Lembah Girang pun akan menyukainya."
"Tak mungkin," bantah Suto. "Ratu pasti menghendaki kemesraan yang lebih sempurna dan tidak sekadar kemesraan seperti yang pernah kau rasakan dariku itu. Dan untuk memberikan yang sempurna itu aku tak sanggup!"
"Tabib Sumpah Mada akan kuperintahkan membuat ramuan yang paling dahsyat dari yang kau minum tadi! Ramuan itu dapat membangkitkan seleramu, sehingga kau akan mampu melayani Ratu Lembah Girang sebaik mungkin."
Pendekar Mabuk tertawa pelan. "Percuma saja kau menyuruh tabibmu membuat ramuan apa saja. Seleraku tak akan sanggup berkobar jika pada saat ingin mengarungi lautan cinta bersama perahu cinta sang Ratu. Tapi jika hanya membuai keindahan, mungkin aku masih mampu!"
"Kata-katamu itu harus dibuktikan dulu. Aku akan menghubungi Tabib Sumpah Mada dulu! Yang jelas, esok pagi kau harus berangkat temui Ratu Lembah Girang."
Dewi Kun ingin keluar dari kamar, namun segera ditahan oleh tangan Suto yang mencekal pundaknya. "Tunggu...! Kenapa kau tak perintahkan aku langsung ke Gunung Sambara saja?!"
"Gunung Sambara dijaga oleh makhluk-makhluk aneh ciptaan Ratu Lembah Girang. Tanpa membawa Sambang atau tanda sebagai utusan Ratu Lembah Girang, kau tak akan mampu mencapai puncak gunung tersebut. Kau akan mati sia-sia melawan makhluk-makhluk aneh itu jika tidak membawa tanda atau lambang dari Ratu Lembah Girang!"
"Kurasa aku mampu menyingkirkan makhluk-makhluk aneh itu, asal bekerja sama dengan Elang Samudera!" desak Suto.
Dewi Kun gelengkan kepala. "Percuma kau bekerja sama dengan temanmu itu. Dia sudah kehilangan seluruh ilmu dan tenaga dalamnya. Makhluk aneh itu tak akan mampu dikalahkan dengan hanya menggunakan tenaga luar saja!"
"Kalau begitu... izinkan aku menemui Elang Samudera lebih dulu sebelum harus berangkat bersamamu!"
Dewi Kun diam sejenak, mempertimbangkan sesuatu dalam benaknya. Sebentar kemudian ia memandang Suto dan perdengarkan suaranya yang serak-serak basah itu. "Esok pagi kau kutemukan dengan Elang Samudera. Malam ini tidurlah, dan simpan tenagamu untuk esok. Tapi lebih dulu, kau harus mencoba ramuan terdahsyat buatan Tabib Sumpah Mada!"
Setelah berkata demikian, Dewi Kun segera keluar dari pintu. Suto Sinting bermaksud ingin menerobos keluar, tapi ia ingat keadaan Elang Samudera yang mudah dijadikan sasaran kemarahan tiga perempuan kembar itu. Apalagi Elang Samudera dalam keadaan kehilangan tenaga dalamnya, maka ia akan mudah dilumpuhkan oleh ketiga dewi kembar itu. Suto pun akhirnya membatalkan niatnya untuk menerobos keluar, ia masih harus bersabar sampai saatnya nanti tiba.
* * *
ENAM
MENURUT dugaan Suto, ia sudah setengah hari satu malam berada di Kuil Perawan Ganas itu. Baru kali ini ia keluar dari kamar penyekapannya ketika Dewi Kun muncul dan membawanya untuk bertemu dengan Elang Samudera. Sebelum Dewi Kun membawa Suto keluar kamar, Dewi Kun sempat berkata kepada Suto, terutama setelah mengetahui keadaan Suto biasa-biasa saja.
"Apakah jamu ramuan dari Tabib Sumpah Mada belum kau minum?"
"Sudah. Aku meminumnya sampai habis. Tabib Sumpah Mada sendiri yang semalam mengantarkannya dan menungguiku meminum ramuan tersebut."
Dewi Kun diam sebentar, sepertinya bingung mau berkata apa kepada Suto, Tapi dari sorot matanya perempuan itu tampak sedang memendam perasaan heran melihat Suto biasa-biasa saja.
"Kenapa kau bertanya begitu? Apakah kau tak percaya dengan pengawal tabibmu sendiri?!"
"Wajahmu biasa-biasa saja," ujar Dewi Kun datar sekali.
"Maksudmu, setelah meminum ramuan itu wajahku harus berubah seperti monyet?!"
Dewi Kun tersenyum dingin. Baru sekarang perempuan itu tampak tersenyum.
"Cantik juga kalau kau tersenyum," ujar Suto pelan, tapi Dewi Kun berlagak tidak mendengar pujian itu.
"Seharusnya wajahmu berubah kemerah-merahan dan matamu menjadi nanar, jalang, tanganmu juga nakal, tapi... sepertinya kau tak mengalami hal itu."
"Pecat saja tabibmu itu! Dia tidak bisa membuat ramuan berkhasiat dahsyat, seperti katamu itu!"
Dewi Kun bingung sendiri, akhirnya hanya menarik napas dan segera membawa Suto bertemu dengan Elang Samudera. Dalam hati Suto tertawa geli, karena tanpa setahu Tabib Sumpah Mada, tuak sakti itu segera diminumnya setelah Suto selesai meminum ramuan jamu kuat yang katanya paling dahsyat itu. Dengan meminum tuak saktinya, maka pengaruh jamu kuat itu sirna tanpa bekas. Tentu saja Tabib Sumpah Mada nanti akan bingung sendiri jika mendengar kecaman Dewi Kun.
"Suto...?!" sambut Elang Samudera dengan riang. "Kusangka mereka mendustaiku dengan mengatakan kau masih selamat. Ternyata omongan mereka itu benar. Oh, aku senang sekali melihatmu masih tetap segar begini, Suto."
"Aku ada di kamar sebelahmu. Aku melihat apa yang kau lakukan bersama Dewi Mul dan dia," sambil Suto melirik Dewi Kun.
"Kurasa itu tak perlu dibicarakan, Suto!" tegur Dewi Kun dengan sedikit malu.
"Tinggalkan kami. Biarkan kami bicara berdua. Jika kau tak izinkan kami bicara, aku tak akan berangkat memenuhi perintahmu!" kata Suto dengan pelan tapi tegas. Dewi Kun akhirnya tinggalkan kamar itu dengan tak lupa mengunci pintunya.
Setelah Dewi Kun pergi, Suto buru-buru menyerahkan bumbung tuaknya. "Minum tuak ini, lekas!"
Elang Samudera bingung. "Aku... aku tidak apa-apa, Suto! Aku sehat-sehat saja!"
"Lekas minum tuak ini sebelum mereka melihat dari cermin tembus pandang itu!"
Karena desakan Suto menegangkan, maka Elang Samudera pun buru-buru menenggak tuak tersebut. Bumbung tuak buru-buru direbut Suto, sehingga seandainya ada yang mengintai dari cermin tembus pandang tidak akan melihat Elang Samudera meminum tuak.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Elang Samudera dengan lirih.
Suto bersikap tenang, supaya jika Dewi Kun melihatnya dari kamar sebelah tidak timbul kecurigaan apa-apa. "Tetaplah tenang," kata Suto mengawali percakapan seriusnya.
"Kau yang kelihatan tidak tenang, Suto!"
"Elang, dengar kataku.... Aku tahu kau kehilangan tenaga dalammu."
"lyy... iya, benar! Aku jadi tidak punya kekuatan dahsyat yang biasanya bisa kukeluarkan lewat tangan, jari, kaki, atau yang lainnya." Elang Samudera tampak mulai tegang.
"Aku juga tahu gairahmu telah dibakar oleh jamu yang kau minum kemarin saat habis mendapat suguhan makan itu. Jamu itu membuatmu kuat melayani mereka."
"Hmmm... hmmm... iya, sepertinya memang begitu," jawab Elang Samudera dengan malu-malu.
"Tuakku tadi akan mengembalikan kekuatan tenaga dalammu dan melumpuhkan pengaruh jamu yang kau minum."
"O, ya...?! Elang Samudera tampak girang, ia segera ingin mencobanya dengan menggunakan tangan yang akan dihantamkan kearah pintu. Tapi Suto Sinting segera mencegah perbuatan itu.
"Jangan lakukan di sini! Kau harus berpura-pura tetap tidak mempunyai kekuatan tenaga dalam. Kau juga harus berpura-pura masih bergairah dengan mereka."
"Mengapa begitu?!"
"Mereka ingin menjualku kepada Ratu Lembah Girang."
"Hahh...?!"
"Tenang dan bersikaplah wajar-wajar saja!" Suto mengingatkan dengan berlagak kalem.
"Tugasku membujuk Ratu Lembah Girang untuk mengambil Bocah Emas itu. Bocah Emas harus kuserahkan kepada orang-orang disini. Kau dijadikan sandera oleh mereka. Jika aku menolak, kau akan dibunuhnya."
"Biadab...!"
"Tenang, tenang...! Semua sudah kuatur dalam otakku," ujar Suto mengingatkan emosi Elang Samudera.
"Jadi... kau menerima tawaran itu?!"
"Aku jadi banyak mengetahui tentang keadaan di Gunung Sambara. Agaknya kunci untuk mendapatkan Bocah Emas itu ada di tangan Ratu Lembah Girang. Aku memang harus menemui ratu itu. Kau tetap saja di sini dengan berpura-pura tanpa tenaga dalam dan masih bersemangat dalam bercinta. Tapi kalau bisa tolak saja ajakan kencan mereka dengan cara yang tidak kentara."
"Baik, aku akan mengikuti saranmu."
"Tugasmu di sini adalah menahan mereka agar jangan menyusulku. Aku hanya akan didampingi oleh Dewi Kun, atau mungkin salah satu dari tiga perempuan kembar itu."
"Oh, jadi mereka itu kembar tiga? Kusangka hanya satu orang? Pantas gairah mereka seperti tak kunjung padam!"
"Jika Bocah Emas itu sudah kudapatkan, siapa pun yang mendampingiku akan kulumpuhkan. Kemudian Bocah Emas itu akan kusimpan dalam perahu kita. Aku akan datang menjemputmu kemari dengan tidak menimbulkan keonaran. Jika sampai terjadi keributan, pergunakan tenaga dalammu. Lalu kita akan pergi tinggalkan tempat ini bersama Bocah Emas itu."
"Bagaimana jika mereka mengejar kita?"
"Lumpuhkan ketiga perempuan kembar itu, maka yang lain tidak akan bertindak apa-apa! Tugasmu adalah mempelajari kelemahan-kelemahan yang ada di sini. Usahakan kau mengetahui kelemahan mereka sebelum aku datang menjemputmu."
"Baik. Akan kuusahakan hal itu secepatnya!" kata Elang Samudera penuh semangat.
"Jika dalam empat hari aku tidak datang kembali, berarti aku tewas di perjalanan."
"Kuharap kau kembali dalam keadaan sehat!"
"Atau jika aku tidak kembali dalam empat hari, mungkin aku tertawan di tangan Ratu Lembah Girang. Kau harus berusaha pulang dan cari bantuan untuk membebaskanmu. Terutama hubungi Sumbaruni, Merpati Liar, Angin Betina, dan si Rupa Setan alias Anjardini."
"Ya, aku ingat nama-nama itu. Aku akan minta bantuan kakak perempuanku untuk menghubungi mereka jika sampai terjadi sesuatu pada dirimu," kata Elang Samudera dengan mantap.
"Jika mereka memberimu minuman jamu lagi, usahakan jangan kau minum, buanglah di tempat lain entah dengan cara bagaimana saja!"
"Baik," Elang Samudera mengangguk bagai orang yang patuh kepada perintah atasannya.
"Ada satu hal yang perlu kau ingat, Suto," tambah Elang Samudera. "Bawalah Bocah Emas itu dalam keadaan dibungkus kain atau dedaunan. Maksudnya jangan sampai kulitnya memantulkan cahaya saat terkena sinar matahari. Jika sampai memantulkan cahaya, maka ke mana pun kau pergi akan diketahui oleh musuh. Dan lagi, Bocah Emas itu menyebarkan aroma wangi cendana. Jadi jika dibungkus kain atau apa saja, maka aroma itu tidak menyebar ke mana-mana."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Ya, akan kuperhatikan pesanmu itu."
"Satu lagi, jangan sampai bocah itu menangis. Jika ia menangis, air matanya akan berubah menjadi emas, dan pihak musuh dapat memunguti emas itu yang akhirnya akan menemukan arah pelarianmu."
"Akan kuusahakan agar bocah itu tertawa terus," kata Suto dengan senyum mantap. Pundak sahabatnya ditepuk satu kali. Pluuuk...!
"Percayalah, semua akan berjalan lancar! Kau tak perlu cemas dan tetap bertindak sebagaimana yang kita rencanakan tadi."
"Baik. Hanya saja...," ucapan itu terhenti karena mereka mendengar suara kunci pintu dibuka. Wajah cantik berhidung mancung muncul. Suto segera melirik pada belahan dada perempuan itu. Ternyata dada itu mempunyai tato bergambar kelabang merah. Berarti bukan Dewi Kun yang datang, melainkan Dewi Sun.
"Sudah tak ada waktu lagi untuk bersantai ria, Pendekar Banci!" ucap Dewi Sun, rupanya masih dongkol dengan kegagalannya bercumbu dengan Suto.
"Aku butuh waktu sebentar lagi. Ada yang ingin kubicarakan dengan Elang Samudera!"
"Tidak ada waktu lagi!" gertaknya. "Kakakku memanggilmu. Kalian akan segera berangkat!"
"Maksudmu, aku dan Elang Samudera?"
"Kau dan kakakku!" sentak Dewi Sun tampak bermusuhan sekali dengan Suto.
Pendekar Mabuk menarik napas dalam-dalam. Matanya memandang Elang Samudera yang tampak menggeram ingin lepaskan pukulan kepada Dewi Sun. Tapi satu kedipan mata Suto sudah cukup sebagai isyarat agar Elang Samudera menahan emosinya.
Dewi Sun segera membawa Pendekar Mabuk ke serambi depan. Ternyata serambi yang dimaksud adalah ruangan besar tanpa dinding samping kanan-kiri, seperti pendopo. Di sana telah berkumpul beberapa wanita muda yang mempunyai paras cantik-cantik. Jumlahnya sekitar dua puluh lima orang. Tetapi dua wajah kembar berada di sisi lain. Dua wajah kembar itu adalah Dewi Kun dan Dewi Mul. Mereka segera pandangi Suto Sinting yang melangkah bersama Dewi Sun dengan senyum tipis membias bak menyebarkan daya tarik kepada setiap mata yang ada di situ.
Dewi Sun hentikan langkah di samping Dewi Kun, sedangkan Suto berada di sebelah kiri Dewi Sun. Tapi kejap kemudian tangannya ditarik oleh Dewi Kun, hingga ia berdiri berdampingan dengan Dewi Kun menghadap para wanita cantik yang berpakaian seronok itu. Dewi Kun bicara kepada mereka dengan berwibawa.
"Hari ini aku akan berangkat mencari Bocah Emas didampingi oleh Pendekar Mabuk ini!"
"Oooo...?!" mereka menggumam kagum, sepertinya baru tahu bahwa pemuda tampan itu adalah orang yang sering didengar kabarnya melalui percakapan dari mulut ke mulut. Agaknya mereka belum tahu bahwa ketua mereka telah berhasil menawan Pendekar Mabuk, sehingga gumam kekaguman mereka terdengar secara serempak.
"Kalian dan kedua adikku; Dewi Mul serta Dewi Sun, bertugas mempertahankan kuil ini dari gangguan siapa pun, terutama orang-orang Bukit Sulang. Dalam waktu empat hari, aku akan kembali baik tanpa Pendekar Mabuk maupun bersama Pendekar Mabuk. Jika dalam waktu empat hari aku tidak kembali, berarti aku tewas di perjalanan atau di tangan Ratu Lembah Girang. Jika dalam empat hari Pendekar Mabuk tidak kembali ke sini membawa Bocah Emas, maka temannya yang bernama Elang Samudera harus kalian bunuh sebagai imbalan kegagalannya mendapatkan Bocah Emas itu!"
Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut sambil tersenyum-senyum. Seakan ia tak merasa kaget dan khawatir dengan ancaman yang baru saja dilontarkan Dewi Kun itu.
Setelah meninggalkan berbagai pesan, Dewi Kun segera berangkat bersama Pendekar Mabuk menuju ke istana Lembah Girang. Mereka pergi dengan menunggang seekor kuda secara berboncengan. Dewi Kun yang duduk di belakang, sedangkan Suto Sinting sebagai pengemudinya. Tetapi arah gerakan kuda tergantung petunjuk dari Dewi Kun.
Dewi Kun sengaja duduk di belakang sambil memeluk Suto Sinting, agar jika terjadi sesuatu ia terlindung oleh tubuh Suto, dan jika Suto ingin berbuat sesuatu ia leluasa mencegahnya. Karena Dewi Kun memeluknya dari belakang, maka bumbung tuak terpaksa disilangkan ke depan dada. Dengan begitu pelukan Dewi Kun tidak terganjal oleh bumbung tuak.
Sebelum berangkat tadi, Suto sempat meminta agar bumbungnya dipenuhi oleh tuak. Dewi Sun mengambilkan tuak terjelek dan rasanya tak sedap. Tetapi ia tidak tahu, bahwa tuak apa pun yang masuk ke bumbung sakti itu akan menjadi tuak yang sedap dan berkhasiat tinggi.
Perjalanan menuju ke istana Lembah Girang ditempuh dengan berkuda memakan waktu setengah hari. Hanya saja, baru mencapai seperempat hari tiba-tiba kuda itu harus memperlambat larinya.
"Ada mayat di sebelah sana!" ujar Dewi Kun sambil menunjuk ke suatu arah.
Suto Sinting diperintahkan mendekati mayat itu. Ternyata ada tiga mayat yang tergeletak dalam keadaan luka parah. Dewi Kun memeriksanya dari atas punggung kuda.
"Sepertinya mayat orang-orang Lereng Hitam!" kata Dewi Kun.
"Apakah kau kenal dengan orang-orang Lereng Hitam?"
"Kukenali dari ikat kepala mereka yang selalu berbentuk runcing ke atas!"
"Hmmm...!" Suto-menggumam sambil ikut memandangi tiga mayat itu dengan menggerakkan kudanya memutari mayat tersebut. "Sepertinya mereka luka tercabik-cabik oleh binatang buas," tambah Suto setelah Dewi Kun lama tidak memberi komentar apa-apa.
"Ya, sepertinya memang mereka dimangsa oleh binatang buas. Tapi perhatikan, tidak ada bagian tubuh mereka yang hilang dimakan binatang buas. Seandainya seekor singa atau harimau hutan, pasti salah satu anggota tubuh mereka ada yang hilang. Tapi nyatanya mereka hanya tercabik-cabik dan keadaan dadanya jebol."
"Mungkin bagian dalam tubuh mereka yang diambil, seperti jantung, paru-paru atau yang lainnya!"
"Entahlah. Yang jelas, mereka tampak baru saja mengalami kematiannya. Darah mereka belum sempat kering betul. Dan menurut dugaanku, bukan binatang buas yang melakukannya. Pasti dari pihak musuh mereka."
"Siapa musuh orang-orang Lereng Hitam itu?!"
"Siapa lagi kalau bukan orang-orang Bukit Sutang yang rakus akan wilayah kekuasaan."
Suto memandang ke arah sekeliling. Tiba-tiba ia temukan bayangan mayat tergeletak di bawah pohon seberang sana. "Sepertinya di sana juga ada korban lagi!" Lalu tanpa menunggu perintah Dewi Kun, ia memacu kudanya ke arah yang dimaksud.
"Hmmm... dugaanku pasti benar. Mereka orang-orang Lereng Hitam yang dibunuh oleh orang-orang Bukit Sulang," ujar Dewi Kun setelah memperhatikan sekeping logam yang menancap di pohon tersebut. Logam itu berbentuk seperti kelopak bunga.
"Ini senjata milik orang-orang Bukit Sulang!"
"Tapi apakah karena senjata itu maka mayat-mayat ini mati dalam keadaan tercabik-cabik begitu?!"
"Seharusnya kematian mereka tidak separah ini!" sambil Dewi Kun membuang senjata rahasia berbentuk kelopak bunga yang tadi dicabutnya dari pohon. Kemudian ia naik kembali ke punggung kuda, karena saat mau mencabut senjata rahasia itu ia sempatkan diri untuk turun dari punggung kuda.
Namun baru saja Dewi Kun duduk di belakang Suto, tiba-tiba sekeping logam menyambar mereka dari arah kanan. Ziiing...!
"Awas!" seru Pendekar Mabuk sambil tangan kanannya berkelebat ke samping. Teeb...! Tahu-tahu dua jarinya telah menjepit sekeping logam bundar berbentuk kelopak bunga yang bagian tepinya mempunyai keruncingan dan ketajaman melebihi mata pisau.
Dewi Kun sempat terkejut dan menjadi tegang setelah mengetahui jari Suto menjepit senjata rahasia seperti yang tadi dicabut dari pohon. Dewi Kun segera berbisik pelan dari belakang Pendekar Mabuk.
"Turun! Orang-orang Bukit Sulang ada di sekitar sini!"
"Apakah menurutmu kita telah terkepung?!"
"Kita lihat saja nanti!" sambil Dewi Kun mendahului lompat dari punggung kuda. Wees...! Jleeg...!
* * *
TUJUH
PENDEKAR MABUK justru turun dari kuda dengan pelan-pelan. Ia bersikap tenang sekali, walau sebenarnya memasang kewaspadaan tinggi. Bahkan ia sempat mengikat tali kekang kuda ke ranting-ranting semak. Setelah itu baru melangkah dekati Dewi Kun sambil memandang ke sekelilingnya. Sedangkan Dewi Kun tampak tegang dan sudah menghunus pedangnya yang menyilang di punggung.
"Jangan santai-santai saja, Tolol! Kita diancam bahaya tak diketahui dari mana datangnya!" omel Dewi Kun dengan nada gerutu dari suara pelan seperti orang menggeram.
Suto Sinting memindahkan bumbung tuaknya yang menyilang di dada ke pundak. Kini bumbung tuak itu tergantung di pundak dan sewaktu-waktu siap digunakan. "Kita tunggu saja serangan berikutnya," ujar Suto. "Perhatikan arah datangnya serangan berikutnya nanti. Maka kita akan mengetahui di mana bahaya itu berada!"
Dewi Kun yang sedikit membungkuk dengan memasang kuda-kuda dan menggenggam pedang, kini menjadi tegak dan tidak setegang tadi. Karena setelah ditunggu beberapa saat lamanya, ternyata serangan berikutnya tidak kunjung tiba. Sedangkah senjata rahasia yang tadi ditangkap Suto Sinting itu tidak diketahui dari mana datangnya. Memang berasal dari sebelah kanan mereka alias sebelah barat, tapi di sebelah barat banyak pohon rimbun dan semak belukar. Tak bisa dipastikan apakah penyerangnya ada di atas pohon atau di bawah pohon.
Jurus 'Lacak Jantung' segera digunakan oleh Pendekar Mabuk. Dengan menggunakan jurus 'Lacak Jantung' maka ia dapat mendengarkan detak jantung seseorang selain dari mereka berdua. "Oh, gawat!" gumam Suto Sinting baru mulai sedikit menegang.
"Ada apa?!" tanya Dewi Kun yang tak mengerti bahwa Suto mempunyai jurus 'Lacak Jantung' itu.
"Ternyata kita telah terkepung."
"Dari mana kau tahu?!"
Suto mulai melilitkan tali bumbung tuaknya di tangan kanan sebagai persiapan hadapi serangan lawan. "Aku menangkap detak jantung yang lebih dari tujuh orang, selain kita berdua. Detak jantung itu kudengarkan berasal dari depan kita, kiri, kanan dan belakang kita. Suaranya riuh gaduh, pertanda jumlah mereka lebih dari tujuh orang."
"Kalau begitu bersiaplah! Jangan santai-santai saja!"
"Apakah kau melihat aku masih santai-santai saja?! Lihat gayaku ini, hmmm... ini gaya orang yang siap tempur!" ujar Suto agak konyol dengan memamerkan gayanya yang sedikit merundukkan badan dan menggenggam tali bumbung tuak kuat-kuat.
"Lihat lirikan mataku ini," ujarnya lagi bernada konyol. "Hmmm... ini lirikan mata menangkap mangsa. Terutama wanita...," sambil Suto memperagakan lirikan-lirikan matanya yang diterima Dewi Kun sebagai kekonyolan tak lucu.
Sebelum Dewi Kun katakan sesuatu, tiba-tiba mereka diserang dengan beberapa senjata rahasia yang meluncur dari berbagal arah. Ziing, ziing, ziing, ziiing...!
"Awas!" seru Suto Sinting sambil lakukan satu lompatan melambung ke atas melebihi ketinggian benda-benda terbang itu. Wuuut...! Sementara Dewi Kun tetap di tempat dan mengibaskan pedangnya dengan cepat ke berbagai arah, bahkan sempat berputar dengan gerakan seperti gangsing.
Wees...! Trang, tring, tring, trang, triiing...!
Jleeg...! Suto Sinting daratkan kaki ke tanah. Tepat ketika itu senjata-senjata rahasia sudah tersingkirkan oleh tebasan pedang Dewi Kun.
Suasana menjadi sepi kembali. Tak ada gerakan tak ada suara. Mata Dewi Kun memandang liar dengan sikap berjaga-jaga. Suto Sinting agak tenang sedikit walau tetap melirik dengan jeli ke keadaan sekitarnya.
Sesaat kemudian, Dewi Kun berbisik kepada Suto. "Pancing dengan pukulan jarak jauhmu!"
"Pukulanku tidak boleh jauh-jauh," kata Suto. "Kalau jauh-jauh nanti nyasar!"
"Kau tidak bersungguh-sungguh menghadapi bahaya ini!" geram Dewi Kun yang merasa mendapat jawaban konyol. Akhirnya ia sendiri yang melakukan pukulan jarak jauh. Tangan kirinya menyentak ke depan, dan dari telapak tangan melesat sinar merah sebesar jari kelingking.
Claaap...! Blaaarr...!
Krraaaak... brruuk...! Sebatang pohon tumbang dalam keadaan mengepulkan asap karena dihantam oleh sinar merah itu.
Clap, clap, clap...!
Blarr, blaar, blaar...!
Beberapa pohon menjadi rusak. Hancur dan tumbang tak tentu arah. Tetapi satu pun tak ada suara pekikan yang didengar mereka. Berarti pukulan-pukulan jarak jauhnya Dewi Kun tidak kenai lawan yang bersembunyi. Suasana menjadi hening kembali. Hanya suara dedaunan yang gemerisik karena hembusan angin. Satu suara batuk pun tak didengar oleh mereka. Pendekar Mabuk kembali pergunakan jurus 'Lacak Jantung'-nya yang tadi.
"Lho...? Lho, kok begini?!" gumamnya pelan, namun terdengar di telinga Dewi Kun.
"Ada apa lagi?!"
"Tak ada suara detak jantung satu pun, kecuali jantungku dan jantungmu! Aneh...?!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi sambil bergeser memutar pelan-pelan.
"Mengapa jadi sepi sekali begini?! Tadi kudengar banyak suara detak jantung dari berbagai arah. Sekarang tak satu pun ada suara detak jantung selain detak jantung kita. Apakah Jurus 'Lacak Jantung'-ku sudah rusak?!"
Setelah ditunggu sampai beberapa saat lamanya tak muncul serangan lagi, Dewi Kun memutuskan untuk lanjutkan langkah dan tidak perlu hiraukan serangan mereka. Suto Sinting akhirnya sepakat untuk lanjutkan perjalanan. Tapi baru saja mereka mendekati kuda hitam yang tadi mereka tunggangi, tiba-tiba tiga benda mengkilap melesat dari tiga arah. Zing, zing, zing...! Suto Sinting yang lebih dulu dekat dengan kuda segera bersalto ke belakang sambil berteriak cepat.
"Mundur!"
Dewi Kun yang belum memasukkan pedangnya ke sarung pedang juga segera lakukan lompatan bersalto ke belakang dengan lincahnya. Wuk, wuk...! Jleeg...! Kini keduanya sama-sama berdiri tiga langkah dari kuda hitam. Benda-benda yang melayang cepat itu memang tidak mengenai kulit tubuh mereka. Tetapi malang bagi sang kuda, benda-benda itu akhirnya menancap di tubuh kuda hitam.
Jrub, jrub, jruub...!
"Hieeeekhhh...!" Kuda itu meringkik panjang bagai menjerit kesakitan. Kaki depannya naik ke atas dan mengais-ngais. Kemudian kuda itu segera roboh sambil kelojotan membuat Dewi Kun dan Pendekar Mabuk sama-sama tegang. Mereka saling beradu punggung dan bergerak memutar sambil memandang penuh waspada.
Suasana jadi tenang kembali. Suara kuda pun sudah tak ada karena kuda ttu sudah tak mau bernapas lagi alias mati. Badan kuda tampak berasap tipis, luka akibat ditembus senjata rahasia itu mengepulkan asap agak tebal. Darah yang keluar dari luka berwarna hitam, menandakan racun yang ada pada senjata rahasia itu sangat ganas dan mematikan.
"Jahanam! Mereka membunuh si Keling!" ujar Dewi Kun dengan geram kemarahan melihat kudanya yang bernama si Keling mati secara mengenaskan.
"Agaknya mereka ingin mempermainkan kita! Berjaga-jagalah di sini, aku akan mengelilingi tempat ini!" Sebelum mendapat izin atau keputusan dari Dewi Kun, Pendekar Mabuk sudah lebih dulu melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaaap, zlaap, zlaap...!
Dewi Kun bengong melihat gerakan Suto yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu, ia tak menyangka kalau Pendekar Mabuk mampu bergerak secepat itu. Bahkah menurutnya kecepatan gerak tersebut melebihi kecepatan setan lari terbirit-birit.
Suto mengelilingi tempat tersebut. Matanya memandang dengan tajam dan teliti sekali. Namun ternyata tak satu pun manusia yang ditemukan di sekitar tempat itu. ia segera kembali temui Dewi Kun. Zlaaap...!
Namun alangkah kagetnya ketika ia menemukan tempat itu telah kosong. Dewi Kun tidak ada di tempatnya semula. Mata Suto memandang sekeliling kembali, mencari gerakan Dewi Kun, tapi ia tetap tidak menemukan gerakan apa-apa.
"Dewi Kun...! Dewi Kun...!" panggilnya sambil bergerak memutar pelan-pelan.
"Kuuun...! Kuntilanak...!" teriaknya sengaja meledek supaya Dewi Kun berang dan keluar dari suatu tempat. Namun pancingan itu ternyata tidak membuat Dewi Kun menampakkan diri dari suatu tempat. Hal itu membuat Suto menjadi bingung dan curiga.
"Ke mana dia?! Apakah ditelan bumi? Hmmm... sepertinya tak mungkin," sambil Suto memandangi tanah tempatnya berpijak. "Tak ada tanda-tanda tanah habis retak. Berarti Dewi Kun tidak ditelan bumi. Lalu... ditelan siapa kalau begitu?!"
Pendekar Mabuk berjalan mengelilingi tempat itu. Tak terlalu jauh dari tempat bangkai kuda tergeletak dan sekarang dalam keadaan menjadi lunak hampir membusuk. Tapi yang tercium oleh Suto kala itu bukan bau bangkai yang membusuk, melainkan bau wangi cendana yang samar-samar. Pendekar Mabuk sempat merinding dicekam ketegangan yang misterius sekali. Untuk menghilangkan ketegangan itu, Pendekar Mabuk terpaksa berteriak-teriak memanggil Dewi Kun kembali,
"Dewi Kuuun...! Kuuun...! Kuntilanaaak...!" Lalu hati pun membatin, "Wah, kalau yang keluar benar-benar kuntilanak, repot aku!"
Setelah memeriksa sekeliling ternyata tidak ada Dewi Kun, dan pedangnya pun tak ada, tetesan darah juga tak ada, akhirnya Suto memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke Kuil Perawan Ganas. Karena jika ia teruskan langkah, ia tidak tahu arah Gunung Sambara atau arah istana Lembah Girang. Namun baru saja ia ingin bergerak pulang, tiba-tiba melesatlah dua logam dari arah kanan-kirinya yang menerjang ke tubuhnya.
Ziiing, ziiing...!
Dengan merendahkan satu kaki ke belakang dan mengibaskan bumbung tuaknya, dua benda melayang itu berhasil ditangkis menggunakan bumbung tuak tersebut. Trang, trang...! Suara benda membentur bambu tuak seperti logam membentur bumbung besi. Bagi Suto itu bukan hal aneh. Yang paling aneh adalah munculnya senjata rahasia tadi. Gerakan mata Suto sempat menangkap keluarnya benda berbahaya itu yang ternyata dari dalam batang pohon.
"Benda itu tadi keluarnya bukan dari atas pohon, melainkan dari dalam batang pohon?! Aneh sekali?! Apakah aku salah lihat?!" gumamnya sambil berkerut dahi dan pandangi salah satu pohon yang dilihatnya mengeluarkan senjata rahasia beracun ganas itu. Lalu, pohon tersebut dihampirinya dan diperiksa. Ternyata pada salah satu sisinya tampak ada bekas lubang pipih yang seukuran dengan lebarnya senjata rahasia tadi. "Hmmm...! Dari lubang ini benda itu tadi muncul dan menyerangku. Aneh sekali dan baru kali ini kutemukan ada pohon bisa keluarkan senjata rahasia. Apakah di dalamnya ada orang yang melemparkan senjata itu?!"
Rasa penasaran membuat Suto Sinting akhirnya menghantam pohon itu dengan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', yaitu gerakan menggeloyor seperti mau jatuh namun ternyata menyodokkan bumbung tuaknya ke pohon tersebut. Wuuk, duuukh...!
Beewwrr...! Krraaak...!
Daun pohon itu rontok semua. Pohon itu sendiri segera terbelah menjadi dua memanjang dari bawah ke atas. Tapi di dalamnya ternyata tidak ada manusia siapa pun. Akibat sodokan bambu tuak tadi, tubuh Suto menjadi dihujani daun-daun yang berguguran. Akhirnya ia menggerutu sendiri sambil menebah-nebah tubuhnya, menyingkirkan daun-daun yang menghujaninya.
"Sialan! Tubuhku malah jadi seperti sarang burung begini!" gurutunya dalam hati, tapi mata tetap waspada memandang keadaan sekeliling. "Ternyata tak ada orang di dalam batang pohon itu! Tapi mengapa bisa keluarkan senjata rahasia?! Anehnya, senjata itu bisa diarahkan tepat ke tubuhku. Kalau aku tak segera lakukan tangkisan, nasibku bisa seperti kuda si Keling itu!"
Pendekar Mabuk merasa menghadapi tantangan yang aneh dan baru kali ini dialaminya, ia terpaksa memeriksa pohon yang satunya lagi. Di pohon itu juga ada bekas keluarnya senjata rahasia, ia memeriksa bagian belakangnya, ternyata tak ada lubang tempat masuknya senjata tersebut.
"Bagian sini rapat! Berarti senjata itu tidak dilemparkan dari sisi sini dan menembus batang pohon! Tapi memang keluar dari dalam batang pohon. Hmmm... apakah pohon itu adalah pohon setan?! Bisa menyerang orang yang tidak disukai dengan senjata rahasia seganas itu?! Tapi jenis pohon ini dengan jenis pohon yang kupecahkan tadi berbeda. Kenapa bisa sama-sama keluarkan senjata rahasia? Ah, kurasa ada sesuatu yang tak beres di tempat ini!" ucapnya membatin sambil bergidik merinding.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara jeritan yang melengking panjang dan berasal dari kejauhan. "Aaaaa...!"
"Apa lagi itu?!" gumamnya dalam hati sambil mata memandang arah datangnya jeritan. "Jangan-jangan Dewi Kun?!"
Pendekar Mabuk pun bergegas melesat ke arah datangnya jeritan tadi. Dengan menerabas semak ia berkelebat cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Dalam waktu singkat ia tiba di suatu tempat yang berpohon renggang. Di sana ia temukan seseorang sedang kelojotan dalam keadaan tubuhnya berlubang pipih. Ada tiga tempat yang mengalami luka seperti ditancap oleh senjata rahasia, yaitu bagian ulu hati, leher dan tengah dahi.
Ketika Suto mendekati orang itu, nyawa orang itu terburu-buru pergi sehingga orang tersebut tak bisa diajak bicara. Orang itu adalah seorang lelaki gemuk, brewokan, berkulit gelap, dan berwajah sangar. Ketika menghembuskan napas terakhir, matanya terbuka lebar dan tak mau terpejam lagi selamanya. Suto merasa ngeri memandang wajah mayat yang mulutnya terbuka dan lidahnya terjulur itu.
"Gila! Senjata rahasia itu terbenam habis ke dalam tubuhnya!'' ujarnya membatin sambil tinggalkan mayat berpakaian serba hitam yang mengenakan ikat kepala merah itu. Kemudian ia memandangi semak-semak dan pohon di sekitar tempat itu. Ternyata tak ada satu pun manusia yang terlihat bersembunyi di semak ataupun pohon tersebut.
Suasana menjadi lengang kembali. Sepi tanpa suara dan gerakan mencurigakan. Hanya gemerisik dedaunan yang terdengar karena hembusan angin. Namun hembusan angin itu juga menyebarkan aroma cendana yang lebih jelas lagi dari saat berada di dekat bangkai kuda. Wangi cendana itu membuat Suto Sinting merinding, bulu kuduknya jadi berdiri, ia seperti terancam bahaya yang mengelilinginya. Bahkan ia merasa nyawanya tinggal seujung jarum lagi.
* * *
DELAPAN
SEKELEBAT bayangan kali ini terlihat melintasi pepohonan bambu hijau yang tumbuh lurus-lurus. Bayangan orang berlari menjauhi tempat itu tampak mengenakan pakaian merah. Pendekar Mabuk langsung teringat rompi dan celana mini Dewi Kun yang juga berwarna merah.
"Tak salah lagi, pasti dialah orangnya!" pikir Suto. Ia pun berseru memanggil, "Dewi Kun...! Hei, tunggu...!"
Zlaaaap...! Zlaaap...!
Pengejaran dilakukan dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'. Tapi pengejaran pun segera dihentikan ketika di sisi lain tampak sekelebat bayangan berlari searah dengan gerakan Suto. Bayangan itu berada di sebelah kirinya, sehingga Suto menjadi bingung. Mana yang harus diburunya; bayangan merah atau bayangan hitam yang di sebelah kirinya?
"Orang berbaju merah tadi yang harus kukejar lebih dulu, karena aku yakin dia adalah Dewi Kun!"
Zlaaap...! Zlaaap...!
Dari sela-sela rumpun bambu yang tumbuh secara renggang itu, Pendekar Mabuk nyaris kehilangan jejak bayangan merah yang dikejarnya. Setitik warna merah yang bergerak menjauhinya masih tertangkap oleh pandangan mata. Tetapi mendadak muncul bayangan lain di sebelah kanannya yang bergerak cepat bagaikan angin. Bayangan berwarna biru itu melesat cepat searah dengan pelarian bayangan merah juga. Ia menelusup di antara sela-sela batang bambu yang tumbuh lurus dan berjarak renggang. Wes, wes, wes...!
"Ada tiga bayangan yang bergerak searah?! Jarak mereka memang saling berjauhan, tapi mengapa gerakannya searah? Siapa yang dikejar dan yang mengejar sebenarnya?!" gumam Suto dalam kebingungan.
Tetapi kejap berikutnya Pendekar Mabuk dikejutkan oleh munculnya cahaya kuning yang melompat dari pohon bambu ke pohon bambu lainnya. Cahaya kuning itu meluncur cepat dalam ketinggian yang sukar dijangkau. Laaap, laaap, laaap...!
Di samping gerakannya sangat cepat, perpindahan tempatnya tidak beraturan. Kadang lurus, kadang ke kiri, kadang nyelonong ke kanan. Bayangan memancarkan cahaya kuning itu berbentuk seperti gumpalan asap, namun tidak mengepul dan tidak buyar. Bahkan cenderung seperti benda padat yang dilapisi cahaya kuning seluruhnya. Dari tempat Suto berdiri, cahaya kuning itu berukuran sebesar buah nangka.
"Sial! Makin bingung saja aku dibuatnya. Mana yang harus kukejar atau kuikuti gerakannya?! Tapi cahaya kuning itu juga menarik perhatian dan membuatku penasaran. Apa sebenarnya cahaya kuning itu?"
Akhirnya Suto memutuskan untuk mengejar cahaya kuning itu. Tapi gerakan cahaya kuning lebih cepat dari gerakan bayangan lainnya. Pendekar Mabuk terpaksa kerahkan tenaga untuk menyusul cahaya kuning dan jika memungkinkan ingin menangkap atau melumpuhkan cahaya kuning tersebut. Sambil berlari cepat Suto selalu mendongak ke atas mengikuti gerakan cahaya kuning yang berpindah tempat dengan arah membingungkan.
Tak disadari ternyata dirinya sampai di sebuah gundukan tanah cadas yang menyerupai bukit rendah. Gundukan tanah cadas itu mempunyai permukaan tak rata karena banyak bebatuan yang bertonjolan dan membentuk sekat-sekat sempit. Pendekar Mabuk akhirnya berhenti di balik bebatuan pipih yang mirip lempengan dinding itu.
Dari atas gundukan tanah cadas itu, mata Suto dapat melihat sesosok tubuh berpakaian hitam yang berdiri di tengah tanah datar dikelilingi pohon bambu yang tumbuh lurus dan renggang itu. Orang berpakaian hitam yang tadi terlihat bergerak cepat di samping kiri Suto ternyata seorang lelaki berkumis lebat dengan ikat kepala dari kain batik berbentuk runcing ke atas. Menurut penjelasan Dewi Kun, bentuk ikat kepala yang runcing ke atas itu adalah ciri orang-orang Lereng Hitam.
"Kurasa dia memang orang Lereng Hitam yang sedang dikejar orang Bukit Sulang. Mungkinkah bayangan biru tadi adalah orang Bukit Sulang?!"
Pendekar Mabuk masih memperhatikan dari satu celah di antara dua batu pipih. Orang berpakaian hitam itu tampak kebingungan dan berwajah tegang. Senjatanya yang berupa kampak digenggam dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merentang bagai menghadang gerakan lawan.
Tiba-tiba mata Suto menangkap gerakan halus yang ada di atas salah satu pohon bambu hijau itu. Gerakan halus tersebut ternyata adalah cahaya kuning yang berkilauan bagaikan emas menggantung di batang pohon bambu. Karena pancaran sinarnya menyilaukan, maka Suto Sinting terpaksa mengecilkan pupil matanya untuk menangkap bentuk di balik cahaya kuning menyilaukan itu.
Tetapi sebelum matanya berhasil menangkap bentuk asli cahaya kuning menyilaukan itu, tiba-tiba pandangannya harus berpindah ke arah lain. Di sana muncul seorang berpakaian serba biru yang berambut panjang dan berkumis serta brewokan. Orang itu menggenggam sebilah pedang besar dan bersikap menghadang orang berpakaian hitam.
"Oh, itu tadi orang yang berlari di sebelah kananku?! Hmmm... dilihat dari sikapnya dalam berhadapan dengan orang berpakaian hitam, tampaknya mereka bermusuhan. Tapi sebaiknya kutunggu saja di sini apa yang terjadi di antara mereka berdua."
Jarak Suto dengan kedua orang itu tak seberapa jauh, sehingga percakapan mereka dapat didengar dari celah dua batu pipih itu. Yang berpakaian biru berseru lebih dulu dengan nada berang.
"Ke mana pun kau bersembunyi dan melarikan diri, tetap saja akan bertemu denganku, Sargulo!"
"Jangan salah duga, Bawoka! Aku bukan lari dari tantanganmu! Ada sesuatu yang lebih ganas dari orang-orang Bukit Sulang sepertimu, Bawoka!"
"Kau hanya beralasan untuk hindari hutang nyawamu, Sargulo! Kau harus menebus kematian kakakku; si Gembongsuro yang pasti telah kau bunuh secara licik! Tiga lubang kutemukan di tubuh kakakku; Gembongsuro. Satu di ulu hati, satu di leher dan satu lagi di Jengah kening. Kau pasti melepaskan senjata rahasia secara sembunyi-sembunyi. Jika tidak, tak mungkin Gembongsuro tewas di tanganmu!"
"Aku tidak membunuh Gembongsuro!" bentak si baju hitam yang bernama Sargulo itu. "Kalau aku bisa membunuh Gembongsuro, mengapa aku harus lari. Justru itu merupakan kebanggaanku! Jika aku bisa membunuhnya, mengapa aku harus takut padamu! Bukankah aku akan lebih mudah membunuh adiknya daripada si Gembongsuro sendiri?!"
"Jangan banyak bacot! Hadapi saja pembalasanku ini...!"
Bawoka baru mau bergerak mengangkat pedang besarnya, tiba-tiba Suto melihat dari dalam sebatang pohon bambu keluar cahaya putih yang ternyata adalah sekeping logam berbentuk kelopak bunga yang merupakan senjata rahasia beracun mematikan itu. Ziiiing...!
Gerakan itu dapat dilihat Suto dengan jelas, karena pada waktu itu kebetulan Suto sedang menatap gerakan bayangan merah yang bersembunyi di balik tiga pohon bambu yang tumbuh merapat. Di depan tiga pohon bambu itu ada sebatang pohon bambu pula yang tumbuh lurus sendirian, dan dari pohon bambu itulah senjata rahasia itu melesat menghantam tengkuk kepala Bawoka.
Jraaab...!
"Aaaakh...!" Bawoka mendelik dengan tubuh kejang. Ia masih memaksakan diri untuk melangkah dekati Sargulo, tetapi baru dua langkah sudah roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Dari luka di tengkuknya mengalir darah hitam seperti yang dialami nasib kuda si Keling itu.
Sargulo justru terbengong di tempat melihat kematian lawannya yang tak diduga-duga itu. Wajah tegang lelaki bertubuh besar itu membuat Suto Sinting memperhatikan dengan tegang pula. Sekejap kemudian mata Suto berpindah ke bayangan merah yang bersembunyi di balik tiga bambu yang tumbuh merapat itu.
Namun pandangan itu segera terhenti pada sebatang bambu yang tumbuh lurus sendirian dalam jarak tak jauh dari persembunyian si bayangan merah. Pandangan Suto tertuju di bagian atas bambu tersebut. Ternyata di sana telah bertengger cahaya kuning yang sekarang tidak menyilaukan lagi. Cahaya itu meredup dan sosok wujud di balik cahaya itu menampakkan diri.
Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat bocah kecil berkepala gundul tapi berkulit kuning keemasan sedang berdiri di salah satu ranting kecil dari pohon bambu itu. Tanpa ilmu peringan tubuh, ranting itu pasti akan patah ditumpangi tubuh bocah tersebut. Suto sempat terbengong melompong melihat bocah kecil telanjang dada hanya mengenakan celana model cawat berwarna kuning keemasan pula.
"Bocah Emas...?!" pekik hati Suto begitu menyadari apa yang dipandangnya sejak tadi.
Bocah yang tingginya hanya seukuran tinggi pinggul Suto sedang bertolak pinggang memandangi Sargulo. Dan tiba-tiba pandangan matanya beralih pada sebatang pohon bambu yang tumbuh di samping kiri Sargulo. Tangan bocah itu menuding ke arah pohon bambu, lalu bergerak cepat menuding Sargulo. Pada saat itu juga Suto Sinting melihat sekeping senjata rahasia keluar dari dalam pohon bambu dan menyerang Sargulo. Ziiiing...!
"O, rupanya dia yang mengeluarkan senjata rahasia dari batang-batang pohon melalui kekuatan gaibnya. Mungkin dengan cara memandangi pohon itu, sudah dapat keluarkan pisau dari pohon tersebut!" gumam Suto Sinting dengan nada kaget. "Dan rupanya dia pula yang sejak tadi menyebarkan bau wangi cendana. Terbukti bau cendana sekarang semakin tajam dan semerbak kuat."
Tapi pada saat itu Sargulo cepat tanggap akan datangnya bahaya dari sisi kirinya. Kampaknya segera berkelebat ke kiri dengan tubuh bergerak setengah putaran.
Wuuuut, trrriing...!
Senjata rahasia itu berhasil dihalau oleh kampak Sargulo dan mental entah ke mana. Namun bocah di atas pohon bambu itu menuding pohon lainnya, dam dari pohon itu melesat kembali sekeping logam berkilat yang mengarah ke punggung Sargulo. Ziiiing...!
Sargulo merasakan ada angin cepat mengarah ke punggungnya. Dengan gerakan mengibaskan kapak setengah lingkaran, senjata rahasia itu berhasil terhadang oleh mata kapak tersebut. Wuuuuuut, trriiing...! Pluk...! Senjata rahasia itu jatuh di depan kaki Sargulo.
Dua kali Sargulo berhasil lolos dari serangan maut yang sungguh aneh itu. Tetapi kali ini Bocah Emas itu melayang cepat dari atas pohon bambu dan menerjang Sargulo dari depan. Wees...! Bocah itu berkelebat dalam bentuk cahaya merah dan dalam sekejap terdengarlah suara pekikan suara Sargulo yang kesakitan.
"Uaaaakhh...!"
Jleeeg...! Bocah itu berdiri di atas batu setinggi betis. Tubuhnya sudah tidak bercahaya lagi. Matanya yang bundar kecil itu memandang ke arah Sargulo yang mengerang kesakitan.
Suto Sinting membelalakkan mata juga melihat tangan Sargulo yang tadi memeganggi kapak telah robek bagai tercabik-cabik dari batas siku sampai telapak tangan. Kapak pun jatuh depan kaki Sargulo. Tapi yang membuat Suto heran, tangan Sargulo seperti habis dicakar-cakar oleh kuku binatang buas sejenis beruang atau singa. Padahal Suto melihat sendiri bahwa tangan itu tadi hanya disambar oleh cahaya kuning dari Bocah Emas itu.
"Berarti mayat-mayat yang kutemukan mati dalam keadaan tercabik-cabik itu adalah orang yang dibunuh oleh Bocah Emas itu sendiri?! Oooh... alangkah ganasnya si Bocah Emas itu?!" pikir Suto Sinting.
Sargulo terkejut mengetahui penyerangnya si Bocah Emas. Ia ragu-ragu untuk membalas serangan bocah itu, karena tentunya Sargulo tahu keistimewaan Bocah Emas tersebut. Tetapi begitu tangannya yang terluka parah dirasakan sangat sakit, Sargulo menggeram dan bermaksud menerkam bocah itu dengan satu lompatan bagai seekor singa memburu mangsanya.
"Haaaahhrr...!"
Bocah Emas itu tiba-tiba juga melesat maju dengan kecepatan tinggi. Weess...! Ia sengaja menabrakkan diri ke dada Sargulo. Bruuuss...! Plooss...!
Pendekar Mabuk terbelalak kaget, ia menyaksikan dengan jelas tubuh bocah itu menembus dada Sargulo hingga dada itu jebol dan Sargulo pun tumbang tanpa nyawa setelah berkelejot sesaat. Bocah itu berdiri memunggungi Sargulo tanpa bekas darah. Namun di tangannya telah menggenggam sesuatu yang merah, dan sesuatu yang merah itu ternyata adalah jantung Sargulo.
"Gila...?!" Pendekar Mabuk menggumam lirih dengan tegang, bulu kuduknya pun merinding dan jantungnya berdebar-debar.
Bocah Emas itu berpaling memandang mayat Sargulo dengan sorot pandangan mata dingin. Jantung itu segera dimakannya, dikunyah seenaknya seakan menikmati hidangan yang lezat. Pendekar Mabuk semakin merinding menyaksikan adegan itu.
"Ternyata bocah itu iblis yang ganas! Mengapa Ratu Remaslega ingin memiliki bocah itu? Oh, kasihan Elang Samudera jika tidak tertahan di Kuil Perawan Ganas. Nasibnya pasti akan serupa dengan Sargulo dan yang lainnya," ujar Suto membatin.
Saat memakan jantung Sargulo, mulut bocah itu berlumuran darah. Tetapi darah tersebut cepat hilang bagai terserap ke dalam kulit kuningnya itu atau menguap diserap angin. Dalam sekejap bocah itu bersih kembali tanpa noda darah setetes pun.
"Apa yang harus kulakukan jika begini?!" pikir Suto Sinting.
Selagi ia berpikir dalam kebingungannya, tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan merah yang sejak tadi bersembunyi di balik tiga pohon bambu yang tumbuh merapat itu keluar dari persembunyiannya. Ternyata orang tersebut memang Dewi Kun. Perempuan itu mendekati Bocah Emas dari arah belakang. Pendekar Mabuk menjadi tegang sekali.
"Wah, mati kau, Dewi!" gumamnya tanpa suara.
Pendekar Mabuk cepat-cepat keluar dari persembunyiannya. Namun Bocah Emas ternyata telah berbalik lebih dulu menghadapi Dewi Kun. Dari gerakan tangannya yang sedikit merenggang, Suto dapat menduga apa yang akan dilakukan Bocah Emas itu. Pasti akan menerjang tubuh Dewi Kun seperti yang dilakukan terhadap Sargulo tadi. Pendekar Mabuk mendahului bergerak dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaapp...!
Tepat saat itu si Bocah Emas juga lakukan lompatan menerjang Dewi Kun. Weess...! Tapi Pendekar Mabuk lebih cepat sampai di tempat dan menyambar tubuh Dewi Kun dengan cepat. Wuuut...! Craaas...!
"Aaaakh...!" Dewi Kun memekik. Bocah Emas memang terlambat menerjang Dewi Kun, tapi angin terjangannya bagai menyebarkan serbuk beling yang tajam dan merobek lengan Dewi Kun yang tak terhalang tubuh Suto.
Zlaaap, zlaaap...! Suto Sinting membawanya menjauhi tempat itu, yakni ke atas gundukan tanah cadas tempatnya bersembunyi tadi.
"Lepaskan aku! Aku harus menangkap Bocah Emas itu!" Dewi Kun meronta dengan suara keras.
"Kau akan mati jika mendekati bocah itu! Apa kau tak tahu keganasan bocah itu?!" bentak Suto Sinting.
"Dia bisa dibujuk! Dia tidak akan ganas terhadap orang yang bersikap baik kepadanya!"
"Lihat lukamu! Ini menandakan dia tak bisa diajak ramah oleh siapa pun!"
"Ini karena kau datang mengejutkan dirinya dan membuatnya liar!" sentak Dewi Kun sambil meronta dan berhasil melepaskan diri dari genggaman tangan Suto. Ia segera keluar dari balik bebatuan pipih itu.
Pendekar Mabuk mengejarnya sambil berseru mengingatkan sekali lagi. "Dewi Kun, lukamu beracun ganas! Tinggalkan bocah itu!"
Dewi Kun baru saja mau menuruni gundukan cadas yang membukit, tapi langkahnya ternyata sudah dihadang oleh si Bocah Emas yang memandang dengan sorot mata sedingin salju.
"Hai, Bocah Emas...," Dewi Kun mencoba bersikap ramah dan tersenyum kaku. Pendekar Mabuk terpaksa hentikan gerakannya dan ingin melihat sejauh mana Dewi Kun bisa membujuk bocah itu.
"Jangan marah kepadaku, Bocah Emas. Aku bukan orang Lereng Hitam atau orang Bukit Sulang. Aku adalah orang Kuil Perawan Ganas. Aku tidak bermusuhan denganmu, Bocah Emas," seraya Dewi Kun melangkah setapak demi setapak.
"Kau ingin menangkapku juga, Iblis Betina!" seru Bocah Emas dengan suara kecilnya yang lengking.
"Oh, tidak begitu, Bocah Emas. Aku hanya akan merawatmu. Aku ingin mengangkatmu sebagai anak asuh. Mari, dekatlah padaku dan jangan memusuhiku, Bocah Emas," bujuk Dewi Kun sambil terus mendekati si Bocah Emas.
"Kau Dewi Kun, salah satu dari tiga gadis kembar penghuni Kuil Perawan Ganas!" seru Bocah Emas.
"Ya, benar. Aku Dewi Kun! Kita pulang ke kuil, yuk?!"
"Kau perempuan busuk! Kerjamu hanya mencari kepuasan dari seorang lelaki!"
Dewi Kun kaget, melirik Suto yang ada di belakangnya. Ia tampak malu ketika Suto sunggingkan senyum tipis. "Jangan berkata begitu, Bocah Emas. Sebaiknya lupakan saja tentang itu dan mari kita hidup bersama di dalam kuil yang akan membuatmu aman dari gangguan siapa pun!"
"Kau penentang kekuasaan Ratu Lembah Girang! Kau ingin memelihara diriku untuk menyerang Ratu Lembah Girang dan merebut kekuasaan di sana! Kau pun harus mati, Dewi Kun!"
"Bocah Emas, kau salah duga. Aku...."
Weeess...! Bocah Emas itu bagai tak sabar menunggu ucapan Dewi Kun. Ia langsung melompat dan menerjang bagian dada Dewi Kun. Tetapi Suto Sinting sangat waspada. Ketika kedua tangan bocah itu sedikit merenggang pertanda ingin lakukan lompatan, Suto segera berkelebat menyambar tubuh Dewi Kun.
Zlaaap...! Wuuut...!
"Aaaakh...!" Suto Sinting dan Dewi Kun sama-sama terpekik keras. Angin terjangan itu bagaikan serat-serat mata pisau yang merobek kulit tubuh mereka.
"Gila! Kekuatan iblis macam apa ini?!"
Punggung Suto robek bagai disabet kuku-kuku setajam pisau, sedangkan pundak Dewi Kun semakin koyak dan menyemburkan darah ke atas pertanda robekan itu sangat dalam. Suto meletakkan Dewi Kun yang kehilangan tenaga karena rasa sakit begitu tinggi.
"Sutooo... selamatkan ak... aku...."
"Bertahanlah! Ini kesalahanmu sendiri!" ujar Suto dengan suara berat karena sambil menahan sakit. "Seandainya kau tidak pergi meninggalkan aku, kita dapat selalu berunding dalam menentukan langkah selanjutnya!"
"Maa... maafkan aku. Aku pergi saat... saat kau memeriksa keadaan tempat si Keling mati tadi, kar... karena... karena aku melihat Gembongsuro melarikan diri. Tap... tapi ternyata Gembongsuro mati tanpa kuketahui siapa pembunuhnya dan... dan aku segera melarikan diri lagi begitu melihat cahaya emas di atas pohon... ooouh, sakit sekali sekujur tubuhku, Suto. Ak... aku tak kuat...!"
"Bertahanlah! Minumlah tuak ini, dan...," Suto Sinting hentikan ucapannya, ia tak jadi meminumkan tuak ke mulut Dewi Kun. Karena pada saat itu, Bocah Emas terbang dengan cepat ke arah Pendekar Mabuk. Dengan menahan rasa sakit di punggung, Suto segera menghantamkan bumbung tuaknya ke arah Bocah Emas itu.
Wuuuut...! Blaaarrr...!
Ledakan keras terjadi ketika tubuh Bocah Emas itu dihantam dengan bumbung tuak. Pendekar Mabuk terpental ke belakang dan terguling-guling. Dadanya terasa sakit bagaikan dihantam palu godam, ia memuntahkan darah kental dari mulutnya. Sedangkan Bocah Emas itu juga terpental jauh dan terjepit di sela-sela dua dari tiga pohon bambu yang tumbuh merapat itu.
"Eaaaakh...!" Bocah Emas berseru menyeramkan, ia sedang merentangkan dua pohon bambu itu untuk bisa loloskan diri. Pendekar Mabuk tak mau ambil risiko terlalu berbahaya, ia segera menyambar tubuh Dewi Kun dan membawanya lari pulang ke Kuil Perawan Ganas.
Zlaaap, zlaap, zlaaap...!
Luka Dewi Kun telah menjadi hitam, terutama luka di lengannya. Dewi Kun dalam keadaan tak sadar. Wajahnya pucat bagaikan mayat. Sementara itu, tenaga Suto sendiri makin lama semakin berkurang. Gerakannya mulai lemah dan lamban. Padahal di belakangnya, si Bocah Emas tampak sedang lakukan pengejaran dalam bentuk cahaya emas.
Berhasilkah Suto meloloskan diri dari pengejaran si Bocah Emas itu? Haruskah ia dan Elang Samudera tetap berusaha menangkap Bocah Emas dan diserahkan kepada Ratu Remaslega?
Bocah Emas akan semakin mengganas dalam episode mendatang: Bocah Titisan Iblis. Tentu saja lebih seru, lebih menegangkan dan... so pasti lebih panas lagi dong!
SELESAI