Serial Pendekar Mabuk
Pembantai Cantik
Karya Suryadi
Pembantai Cantik
Karya Suryadi
SATU
PERJALANAN sang Pendekar Mabuk menuju negeri Samudera Kubur menjadi berantakan. Semula ia berangkat ke negeri Samudera Kubur yang ada di Pulau Blacan bersama Perawan Sinting dan Mahesa Gibas, si pelayan sang Adipati Jayengrana itu. Dengan mengendarai sebuah perahu layar mereka menyeberangi lautan menuju Pulau Blacan.
Tiba-tiba badai datang, lautan mengamuk, ombak melonjak- lonjak bagai ratusan kuda liar. Akhirnya perahu itu pecah, tiga penumpangnya menyebar arah. Tak tahu bagaimana nasib Perawan Sinting dan Mahesa Gibas. Murid si Gila Tuak itu pingsan dan terdampar di pantai, ia ditemukan oleh seorang kakek berjambul putih. Kemudian dibawa ke pondok sang kakek yang tak jauh dari pantai. Di pondok itulah Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu siuman dalam keadaan sekujur tulangnya bagaikan remuk terpatah-patah. Ia mencoba bangkit, namun tubuh terasa sakit.
"Tetaplah berbaring dulu sebelum kekuatanmu pulih kembali. Anak muda!" ujar sang kakek yang mengenakan jubah abu-abu itu.
Suto kaget, lalu merasa asing dengan wajah tua bertulang pipi menonjoi itu. Ia tak pernah bertemu dengan tokoh tua yang rambutnya pendek warna hitam, tapi rambut bagian depan di sekitar ubun-ubun itu berwarna putih uban. Sang kakek menganggap wajar jika dirinya diperhatikan dengan dahi berkerut tajam. Ia sunggingkan senyum tipis dan menampakkan sikap bijaknya dengan memperkenalkan diri lebih dulu.
"Aku yang menemukan kau terkapar di pantai, tak jauh dari kayu-kayu pecahan perahu. Mungkin itu perahumu yang dihantam ombak ganas tadi malam. Kau tak perlu takut padaku, karena aku bukan hantu penunggu pantai, juga bukan iblis penunggu hutan ini."
"Lalu siapa kau sebenarnya, Pak Tua?" tanya Suto Sinting dengan menyeringai menahan rasa sakitnya.
Kakek bertubuh kurus dan tak terlalu tinggi itu semakin lebarkan senyum. "Aku adalah seorang pengelana yang sudah bosan berkelana," jawab sang kakek yang berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih itu. Sambungnya lagi, "Namaku yang sebenarnya adalah Jumantara, tapi aku dikenal dengan nama: si Jambul Haha. Dalam bahasa orang- orang sini, 'Haha' itu artinya putih. Jadi yang dimaksud Jambul Haha adalah Jambul Putih. Tapi kalau tanyakan kepada orang daerah Pantai Porong ini nama Jambul Putih, tak ada yang tahu. Tapi jika kau tanyakan nama si Jambul Haha, semua orang tahu dan mengenalku."
...ADA BAGIAN YANG HILANG...
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sebagai ucapan terima kasih atas petuah si Jambul Haha. Kakek berkulit hitam namun tak sampai kering itu segera pergi ke sisi lain, kemudian datang kembali dengan membawakan sepoci teh panas dan gula batu ditempat khusus seperti mangkuk dari perak kusam.
"Kubuatkan teh untukmu, biar badanmu cepat segar, Nak, Tapi sebelum kau minum teh ini, terlebih dulu tolong sebutkan siapa namamu?"
"Namaku... Suto Sinting, Ki."
"Oh, nama yang bagus sekali itu," puji si Jambul Haha. "Dalam bahasa orang Pantai Porong, Sinting itu berarti tampan, Suto itu berarti anak. Jadi Suto Sinting itu anak tampan. Cocok sekali dengan wajahmu yang ganteng, Nak."
"Ah, kau terlalu mengada-ada dalam memujiku, Ki Jambul Haha."
"O, ya... kau belum berkenalan dengan cucuku yang bernama Mahayuni. Sebentar, akan kupanggilkan. Dia sedang berlatih jurus baru di dekat danau sana. Dia sudah wanti-wanti agar aku memanggilnya jika kau sudah siuman."
Suto Sinting hanya bisa tersenyum, anggukkan kepala kecil, lalu berkecamuk sendiri dalam hatinya setelah si Jambul Haha pergi memanggil cucunya. "Baik sekali pak tua itu. Punya cucu perempuan segala. Hmmm,.. seperti apa cucunya itu? Tapi... bagaimana keadaan Perawan Sinting dan Mahesa Gibas? Bagaimana nasib mereka? Oh, aku lupa menanyakannya kepada Ki Jambui Haha tadi."
Tiba-tiba mata Pendekar Mabuk menangkap sebuah benda yang berdiri di pojok dipan, bersandar pada dinding kayu. Benda itu membuat mata Suto Sinting berbinar-binar penuh kegembiraan. Benda tersebut tak lain adalah bumbung tuaknya yang tadi tidak ada di tempat itu.
"Nah, datang juga akhirnya!"
Kemudian Suto meraih bumbung tuak itu dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...! Beberapa kejap kemudian, rasa sakit pun hilang. Badan menjadi segar, pernapasan lancar. Suto tersenyum dan mencium bumbung tuaknya sebagai ungkapan kegembiraannya. Ia mampu bangkit dengan tanpa menggeliat, bahkan ia mampu berdiri dengan tegak dan gagah. Baju coklatnya yang tanpa lengan dan celana putihnya yang telah kering itu membuatnya tampak semakin kekar. Pakaian itu pas untuk tubuhnya yang berotot dan berdada bidang. Tapi tiba-tiba pandangan matanya menjadi buram, makin lama semakin gelap, dan... blaap!
"Ooh...?! Aku buta...?! Mataku menjadi buta atau... atau..."
Suto Sinting tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan terkulai tanpa daya sedikit pun. Sukma bagai melayang entah ke mana, dan rasa apa pun tak pernah ada lagi pada diri Pendekar Mabuk.
Beberapa saat kemudian, tak diketahui berapa lamanya, tahu-tahu Pendekar Mabuk mulai rasakan desiran angin. Setelah merasakan desiran angin, ia mulai mendengar suara gemuruh samar-samar. Suara gemuruh itu menjadi jelas beberapa kejap berikutnya. Ternyata suara itu adalah suara ombak lautan. Napas terhirup dengan ringan dan longgar. Suto Sinting mulai dapat rasakan hawa panas di punggungnya. Hawa panas itu datang dari cahaya terik matahari.
Kemudian seluruh rasa telah kembali dimilikinya. Kini mata pun mulai dapat terbuka dan berkedip-kedip sesaat. Pendekar Mabuk akhirnya tersentak kaget dalam hatinya saat memandangi tanah berpasir, ia segera bangkit dan menjadi tertegun bengong. Ternyata ia dalam keadaan terkapar di pantai, dan baru saja siuman dari pingsannya.
"Oh, apa yang telah terjadi pada diriku?" pikirnya dengan heran sekait. "Mengapa aku berada di pantai lagi? Bukankah aku tadi berada di pondoknya Ki Jambul Haha?! Aneh, kenapa bisa jadi begini?"
Mata si tampan berambut sepundak tanpa ikat kepala itu mulai menemukan sebatang bambu tergeletak tak jauh dari jangkauannya. Bambu itu adalah bumbung tuak tempat minumnya.
"Seingatku tadi aku minum tuak dari bumbung ini di pondoknya Ki Jambul Haha?! Ya, ya... aku meminumnya tiga teguk, kemudian aku merasa pusing, pandangan mata kabur, dan... tak ingat apa-apa lagi. Tahu-tahu aku sudah ada di sini?!"
Suto mencoba untuk bangkit. Ternyata badannya terasa segar dan tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. Hal itu juga membuat Pendekar Mabuk terheran-heran, ia memandangi keadaan dirinya dan sekelilingnya.
"Pakaianku utuh, badanku tak ada yang terluka, tapi... tapi kayu yang terdampar di sana itu sepertinya pecahan perahu yang kunaiki bersama Perawan Sinting dan Mahesa Gibas?! Hmmm... ya, aku ingat sekarang. Perahu hancur dihantam ombak, lalu aku terkapar di... di mana ini? Seingatku si Jambul Haha menyebutkan nama daerah ini: Pantai Potong. Apa benar nama tempat ini Pantai Potong?!"
Suto Sinting menyangka dirinya dibuang kembali oleh si Jambul Haha. Karenanya ia segera bergegas mencari pondok berdinding kayu di dalam kerimbunan hutan pantai itu. Bumbung tuak diperiksa sebentar, ternyata masih berisi dua pertiga bagian. Suto merasa tenang jika bumbung tuaknya masih menyimpan tuak sebanyak itu.
"Keanehan apa yang telah kualami ini sebenarnya? Aku jadi sangat penasaran, merasa seperti dibuai bulan-bulanan oleh si Jambul Haha yang... o, ya... seingatku Jambul Haha akan memperkenalkan cucu gadisnya kepadaku. Kalau tak salah ia menyebutkan nama sang cucu... Mahayuni. Hmmm, ya... aku tak salah dengar, ia menyebutkan nama Mahayuni sebagai nama cucunya yang sedang berlatih di dekat danau. Kalau begitu, aku harus mencari sebuah danau sebagai patokan mencari pondoknya si Jambul Haha."
Langkah si tampan Suto Sinting terhenti seketika. Dari atas pohon meluncur turun sekelebat bayangan yang menghadangnya. Bayangan itu kini tampak utuh sebagai sosok seorang perempuan cantik berambut terurai sepanjang punggung. Matanya memandang tajam, namun punya keindahan yang menarik, terutama pada bulu mata lentiknya.
Perempuan itu mengenakan jubah tanpa lengan warna merah bintik-bintik kuning emas. Dadanya ditutup dengan selembar kain sutera warna hijau muda transparan. Apa yang dibungkusnya itu tampak menonjol kencang seakan selalu menantang. Sedangkan kain penutup pinggul dan bagian bawah lainnya juga terbuat dari kain sutera transparan berbelahan dua. Belahan itu memanjang dari bawah sampai ke atas paha. Semilir angin menyingkapkan kain halus itu membuat pahanya yang mulus tampak mengintai ke arah Suto Sinting.
Melihat caranya memandang, perempuan berusia sekitar dua puluh enam tahun itu sepertinya menganggap Suto sebagai musuhnya. Tapi sikap Suto justru lunak dan menampakkan keramahannya. Suto menegurnya lebih dulu dengan tutur kata dan suara yang lembut.
"Sepertinya kita baru bertemu kali ini. Nona. Siapakah dirimu sebenarnya, dan mengapa menghadang langkahku dengan sikap seperti itu? Bukankah kita belum pernah saling bermusuhan, Nona?"
Gadis itu tak menjawab. Kakinya melangkah ke samping, tapi matanya masih tertuju pada Suto Sinting. Pandangan mata itu membuat Pendekar Mabuk jadi salah tingkah, bahkan sempat clingak-clinguk tanpa arti.
"Kau telah memasuki wiiayah kekuasaan kami!" ujar perempuan itu secara tiba-tiba. Nada bicaranya ketus dan sangat tidak bersahabat.
Pendekar Mabuk menanggapi dengan cengar-cengir. Pandangan matanya sempat nakal, tertuju pada belahan dada yang kelihatan sekal dan 'mlenuk' seperti bakpao mengintip itu.
"Kau pasti mata-mata dari Tanjung Leak!" tuduh perempuan cantik itu.
"Tanjung Leak itu di mana? Apakah banyak leaknya?!"
Pertanyaan Suto tak ditanggapi dengan jawaban semestinya. Sebagai pengganti jawaban, perempuan cantik itu segera menyerang Suto dengan tendangan kipasnya yang memutar cepat. Wuuut...!
Suto rundukkan kepala agak limbung sedikit seperti orang mabuk mau jatuh. Weess...! Kaki yang berkelebat ingin menendang kepala Suto itu akhirnya hanya menendang angin. Badan si murid sinting Gila Tuak itu tegak kembali. Nyengir.
"Kau terlalu galak terhadap seorang tamu, Nona."
Kata-kata Pendekar Mabuk tak dihiraukan. Perempuan itu cepat-cepat lepaskan pukulan tangan kosongnya ke wajah Suto Sinting. Beet..., beet, beet...! Suto hanya menghindar ke kanan-kiri sambil sempoyongan mundur seperti pemabuk keberatan kepala. Jurus mabuknya itu berhasil hindari serangan lawan, tapi justru membuat lawan bertambah penasaran.
Perempuan cantik itu segera lepaskan tendangan menyamping atas. Wuut...! Kali ini tangan Suto berkelebat menangkis. Plaakk...! Namun ternyata tendangan itu cukup ringan, dan yang terberat tendangan kaki kirinya perempuan itu. Dengan satu lompatan rendah, tubuh si perempuan memutar balik dan kaki kirinya tahu-tahu menyodok perut Suto. Buuhk...!
"Heehk...!" Pendekar Mabuk mendelik dan tubuhnya terlempar ke belakang dalam keadaan menahan rasa sakit, seperti orang mau buang hajat. Brruk...! Pendekar Mabuk jatuh tepat di bawah pohon. Punggungnya membentur akar pohon yang menggunduk keras. Duuhk...! "Uuuhkk...!" pemuda tampan itu semakin meringis dengan tubuh meliuk kesakitan. Tulang punggungnya terasa memar karena benturan keras itu.
"Edan! Main tipu juga dia." gerutu Suto Sinting dalam hatinya. "Tendangannya cukup berbobot. Perutku terasa mual dan mulas. Napasku jadi sesak. Belum lagi punggungku ini, aduuuh... jangan-jangan tulang punggungku retak ini?!"
Perempuan itu bergegas dekati Suto dengan langkah galaknya. Pendekar Mabuk masih tetap duduk di tanah dan menyeringai kesakitan. Wajahnya sedikit mendongak pandangi si perempuan yang kini berdiri di depannya dalam jarak dua langkah. Mata perempuan itu semakin tajam, kelihatan bertambah garang.
"Kalau kau tak mau minggat dari sini, kukirim kau ke neraka!"
"Ja... jangan, jangan...!" Pendekar Mabuk berlagak ketakutan sambil bangkit berdiri dengan dipaksakan. "Jangan kirim aku ke neraka, Nona. Sumpah mati, aku belum tahu jalannya. Nanti nyasar ke rumah janda, repot kan?!"
"Hmmm...!" dengus perempuan itu dengan wajah benci. Tangannya mulai meraih gagang pedang. Suto berlagak semakin ketakutan dan gemetar.
"Ja... jangan... jangan cabut pedangmu, Nona. Ak... aku paling ngeri melihat pedang. Lebih baik melihat wanita cantik daripada melihat pedang. Sumpah!"
"Pergi kau dari wilayah kami. Sekarang juga!" bentak perempuan itu.
"Nona, ak... aku... aku bukan mata-mata dari Tanjung Leak! Berani mati berdiri sambil nyengir, aku memang bukan mata-mata, Nona! Bahkan aku tak tahu di mana Tanjung Leak itu!"
"Lalu kenapa kau berada di wilayah ini?! Apa kerjamu?"
"Nganggur. Eh, maksudmu... maksudmu, aku tidak punya pekerjaan apa-apa, karena aku baru saja siuman dari pingsanku."
Sreett...! Pedang dicabut, Suto makin berlagak takut. "Aduh, mati aku kalau kau mencabut pedang, Nona," sambil tangannya menyilang bagai menutupi matanya dari pantulan kemilau pedang itu.
"Kalau kau tak mau berterus terang tentang dirimu, kutebas lehermu sekarang juga!" ancam si perempuan cantik.
"Aku sudah mengaku apa adanya, Nona! Percayalah padaku, lihatlah tampangku! Apakah wajahku punya kesan sebagai wajah orang jahat?!"
"Ya!" bentak si perempuan.
"Oh, kalau begitu, kusarankan cucilah matamu dengan air sirih biar terang, Nona."
"Kurang ajar! Bukannya pergi malah menghina! Hiaat...!" Wees...! Pedang ditebaskan ke arah pundak Suto.
Tapi dengan gesitnya tangan Suto mengangkat bumbung tuak dan bumbung itu dipakai menangkis tebasan pedang. Trangng...! Suara yang timbul seperti besi beradu dengan besi. Perempuan cantik itu sebenarnya terkejut, namun rasa kagetnya disimpan dalam hati. Hanya saja, hati itu tak hanya menyimpan rasa kaget, melainkan menggumam penuh kekaguman.
"Hebat! Bambu tempat tuak itu tidak lecet sedikit pun?! Bahkan suaranya berdentang, sepertinya pedangku menghantam besi berongga. Hmmm... pasti dia menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam bumbung tuak itu. Berarti dia bukan orang sembarangan. Setidaknya punya ilmu yang patut diperhitungkan. Tapi aku yakin, kali ini ia tak akan bisa hindari tebasan jurus 'Pedang Ceplok" yang belum pernah ada tandingnya!"
Tanpa banyak bicara, perempuan itu segera lepaskan jurus 'Pedang Ceplok' yang punya kecepatan cukup berbahaya. Pedang itu ditebaskan dari atas ke bawah bagai membelah telur, lalu dengan gerakan cepat yang nyaris tak terlihat, pedang itu menyentak ke kanan dan ke kiri.
Wuuut, bet, bet...!
Tapi Pendekar Mabuk sengaja jatuhkan diri hingga duduk di tanah, lalu kakinya menendang lutut perempuan itu dengan satu sentakan pendek yang penuh tenaga dalam.
Dees...! Krakk...!
"Oouh...!" perempuan itu memekik sambil jatuh berlutut.
"Maaf, Nona... ini sekadar perkenalan saja!"
Bet, plook...!
Tiba-tiba Suto Sinting berbalik dan merangkak, lalu kakinya menyodok ke belakang tepat kenai pipi perempuan cantik itu. Sodokan kaki Suto membuat si perempuan terpental dan terguling-guling bagai disereduk babi hutan.
"Ooouuh...!" ia mengerang di semak-semak sana. Wajahnya menjadi merah karena tendangan kaki Suto, kakinya dipegangi karena sendi lututnya terasa lepas dan sakit sekali.
Pendekar Mabuk cepat bangkit dan menenggak tuaknya. Tuak itu membuat tubuhnya segar kembali dan rasa sakit di perut serta di punggung lenyap beberapa kejap berikutnya. Kini Suto Sinting sengaja melangkah kalem dekati perempuan itu sambil sunggingkan senyum mengejek. Perempuan itu berang sekali, kemudian menyabetkan pedangnya ke arah kaki Suto. Wuutt...!
Suto melompat, seet...! Ia hinggap di atas ilalang setinggi betis. Ilalang itu tidak patah ataupun rusak, bahkan lebih melengkung dari semula pun tidak. Perempuan itu hanya memandang dengan mata tak berkedip dan mulut ternganga sedikit alias bengong.
"Ilmu peringan tubuhnya sangat tinggi!" gumam perempuan itu dalam hati. "Pantas jurus 'Pedang Ceplok'-ku bisa dihindarinya, rupanya ia memang berilmu lebih tinggi dariku. Aduuh... lututku sakit sekali, seperti habis dihantam pakai batu sebesar anak kerbau. Uuh... mungkin tempurung lututku pecah. Tak bisa kupakai bergerak. Aaduuuh...!" Perempuan itu menahan sakit dengan menggigit bibir bawahnya.
Hati Suto menjadi berdebar-debar, matanya tak mau pindah dari wajah itu, karena ekspresi wajah itu mengingatkan Suto pada wajah seorang perempuan yang sedang menikmati gairah kemesraannya.
"Menggairahkan sekali ia jika menggigit bibir begitu. Hmm, hmmm...!" geram Suto dengan geregetan. "Mau diteruskan atau berhenti sampai di sini saja, Nona?!" tantang Pendekar Mabuk dengan tersenyum-senyum. Sang Nona hanya memandang penuh kedongkolan.
* * *
DUA
MELIHAT sikap Suto Sinting penuh keramahan dan canda, perempuan itu akhirnya mengendurkan ketegangannya, menepis permusuhannya, dan mencoba untuk tidak terlalu bercuriga. Bujukan Suto membuat perempuan itu akhirnya mau meminum tuak sakti tersebut.
"Aneh! Ajaib sekali!" gumam hati si perempuan dengan keheranan yang besar. "Begitu aku meminum tuaknya, rasa sakitku hilang. Lututku sudah bisa digerakkan, dan... oh?! Aku bisa berdiri. Berdiri tegak sekali! Benar-benar manusia langka pemuda ini! Bahkan kurasakan sekujur badanku menjadi segar, kegusaran hatiku pun menjadi tenang kembali. Oh, jangan-jangan aku sedang berhadapan dengan cucunya malaikat?!"
Segala pujian dan kekaguman tetap tersimpan dalam hati demi menjaga gengsi. Bahkan ucapan terima kasih pun tak dilontarkan oleh si perempuan. Wajah cantiknya tetap dijaga agar kelihatan angkuh dan berwibawa. Tapi pedangnya sudah disarungkan kembali dan pandangan matanya tak segalak tadi.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan ketus.
"Namaku... Suto!" jawab Pendekar Mabuk, sengaja tak mau menonjolkan kependekarannya. Bahkan ia berusaha untuk tidak menyebutkan nama lengkapnya supaya perempuan itu menganggapnya berdusta. Sebab, siapa tahu nama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk sudah terkenal di wilayah tersebut, sehingga si perempuan bisa saja menganggap Suto menyombongkan diri jika menyebutkan nama lengkapnya sebagai Suto Sinting.
"Terus terang saja, aku terdampar di pantai sebelah sana itu!" Suto menuding tempatnya terdampar. "Aku dan dua temanku dalam perjalanan mengarungi lautan menggunakan perahu layar biasa. Tahu-tahu ada ombak datang, perahuku tersapu ombak, bahkan berputar-putar seperti mau tersedot angin puting beliung. Akhirnya, perahuku pecah, aku terkapar di pantai dan terpisah dengan kedua temanku itu."
Perempuan tersebut pandangi Suto dengan mata tak berkedip, ia bukan saja menemukan daya tarik yang menggetarkan hati, namun juga menemukan sebentuk kejujuran dalam penuturan cerita tadi. "Lalu, mengapa kau menuju ke hutan ini? Mengapa kau tidak menyusuri pantai?"
"Aku mencari sebuah pondok," jawab Suto dengan kalem, ia sudah turun dari atas ilalang sejak tadi, dan kini berhadapan dengan perempuan itu dalam jarak tiga langkah.
"Pondok siapa yang kau cari?" desak perempuan itu penuh curiga.
"Pondok seorang kakek berjambul putih."
Perempuan itu terkejut, matanya sedikit menyentak lebar, lalu netral kembali. Tapi sorot pandangan matanya itu memancarkan kecurigaan yang menjadi besar lagi seperti tadi. Hanya saja, Suto Sinting berlagak tidak peduli dengan reaksi tersebut, ia tetap lanjutkan ucapannya yang dilontarkan dengan suara lembut. Sangat bersahabat kesannya.
"Aku tidak tahu sekarang aku ada di mana. Tapi pada waktu aku siuman yang pertama, aku sudah berada disebuah pondok. Rupanya seorang kakek berjambul putih telah menolongku dan membawaku ke pondok, ia juga telah menyembuhkan diriku yang katanya terkena racun kuil keong. Entah racun apa namanya, aku lupa. Pada waktu aku meminum tuakku ini untuk sembuhkan rasa sakit di sekujur tubuhku, sang kakek sedang memanggil cucunya untuk diperkenalkan padaku."
Pendekar Mabuk bergeser ke kiri, tangannya bersidekap di dada, dan bumbung tuaknya menggantung di pundak. "Dan pada waktu kuminum tuak ini, tiba-tiba pandangan mataku jadi gelap, lalu aku tak sadar diri lagi. Ketika aku siuman, ternyata aku masih dalam keadaan terkapar di pantai, dekat kayu pecahan perahuku. Makanya aku segera masuk ke hutan ini untuk mencari pondok si kakek dan menanyakan, mengapa aku dibuang kembali ke pantai?!"
Perempuan itu masih diam, masih memandangi Suto, masih menyimpan debar-debar lembut akibat daya pikat yang terpancar melalui wajah dan senyum si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu. Ia menunggu lanjutan cerita dari Suto. Tapi karena Suto ternyata tidak melanjutkan ceritanya, maka si perempuan yang makin lama tampak semakin curiga itu segera perdengarkan suaranya.
"Siapa nama kakek yang menolongmu itu?"
"Dia memperkenalkan diri kepadaku dengan nama Jambul Haha, dan ..."
"Ooh ?!" si perempuan makin terkejut, wajahnya terang-terangan menegang.
Pendekar Mabuk heran, tapi berusaha untuk cuek sementara. "...dan cucunya yang akan diperkenalkan padaku itu bernama Mahayuni, lalu..."
"Oooh...?!" sentakan kaget si perempuan kian jelas dan nyata.
Akhirnya Pendekar Mabuk penasaran dan merasa jengkel. "Ah, oh, ah, oh... kenapa kau begitu terus, Nona?! Mengapa kau kaget-kagetan sejak tadi?!"
Perempuan itu bicara dengan tegas. "Kau jangan berpura-pura kalem! Jelaskan, siapa kau sebenarnya, atau kuulangi kekasaranku tadi?!"
"Aneh," Suto Sinting tersenyum. "Sekarang kau bahkan mengancamku lagi?!"
"Karena aku tahu maksudmu. Kau ingin memperdaya diriku!"
"Memperdaya bagaimana? Tak perlu kuperdaya, kau memang sudah tak berdaya dalam berhadapan denganku, Nona."
Perempuan itu mendengus kesal dan jadi serba salah.
"Nona, aku bicara apa adanya dan berusaha bersikap jujur didepanmu, karena aku tahu kau perempuan yang tidak pantas untuk ditipu atau dikelabuhi. Kalau memang aku mengada-ada dan bermaksud memperdaya dirimu, mengapa aku harus sembuhkan luka di lututmu itu? Mestinya kubiarkan saja, atau kubunuh, atau kuperkosa, kan mudah?!"
"Benar juga," gumam hati si perempuan. Lalu ia ajukan tanya dengan nada sedikit tenang, tak seketus dan setegas tadi. "Benarkah kau bertemu dengan seorang kakek bernama Jambul Haha?!"
"Benar! Bahkan dari mulutnya aku mengetahui kalau tempat ini bernama Pantai Porong. Entah benar atau tidak, aku tak tahu. Bagaimana? Apa benar tempat ini bernama Pantai Porong?"
"Benar!" jawab perempuan itu pelan.
"Apakah Pantai Porong masih dalam wilayah tanah Jawa?"
"Memang!" jawabnya pendek.
"Kalau begitu si Jambul Haha tidak membohongiku," gumam Suto seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Jika kau benar bertemu dengan kakek bernama Jambul Haha, tentunya kau tahu siapa nama asli kakek itu?"
"Hmmm...," Suto berpikir sebentar, "O, ya... ia juga memperkenalkan nama aslinya yang menurutnya hanya berlaku untuk orang-orang penting saja. Ia mempunyai nama asli Ki Jumantara."
Perempuan itu terkesip, kepalanya tersentak ke belakang sedikit, tanda ia terkejut mendengar nama Ki Jumantara.
"Apakah kau kenal dengan Ki Jumantara atau si Jambul Haha?!" tanya Suto Sinting dengan nada tetap lembut.
Setelah diam beberapa saat, perempuan itu akhirnya menjawab dengan suara seperti orang menggumam. "Itu nama almarhum kakekku."
Kini Suto Sinting terkejut. "Oh...?! Maksudmu... kau adalah cucu Ki Jumantara?"
"Benar. Akulah yang bernama Mahayuni!" jawabnya tegas sekali.
Pendekar Mabuk terperangah, kemudian manggut-manggut sambil terbengong.
Mahayuni berkata dengan pelan, "tapi itu tak mungkin."
"Tak mungkin bagaimana?"
"Kakekku telah meninggal tujuh tahun yang lalu."
Mata si tampan Suto terbelalak tanpa sungkan-sungkan lagi. Baginya penjelasan Mahayuni seperti petir menyambar ujung hidungnya. Taarr...!
"Aku bersungguh-sungguh."
Mahayuni sekarang mulai tampakkan kejujurannya lewat pancaran mata yang tak setajam tadi. Bahkan raut wajahnya tampak mulai murung, seperti ada duka yang melapisi kecantikan berhidung mancung itu. Mau tak mau Suto Sinting pun kontan percaya pada kata-kata Mahayuni.
"Beliau tewas di tangan lawannya dalam suatu pertarungan satu lawan satu."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Si Bayangan Setan dari Pulau Blacan!"
"Hahh...?!" tersentak lagi hati Suto mendengar jawaban itu. Jantungnya bagaikan dibetot tanpa permisi oleh suara Mahayuni.
Karena wajah Suto Sinting kelihatan tegang sekali, Mahayuni pun ajukan tanya dalam keheranannya. "Apakah kau mengenal nama si Bayangan Setan? Kelihatannya kau terkejut sekali, Suto."
"Justru perahuku pecah dan aku terdampar di sini itu lantaran aku sedang memburu si Bayangan Setan di Pulau Blacan! Aku punya urusan sendiri dengan si Bayangan Setan dan ingin mengajaknya adu nyawa dalam sebuah pertarungan!" tutur Suto Sinting dengan cepat dan penuh semangat.
Mahayuni sunggingkan senyum tawar. Bagi Suto senyum itu aneh juga. Karenanya Suto memandangi dengan dahi berkerut heran.
"Pulau Blacan sudah hancur! Kau tak akan temukan si Bayangan Setan jika ke sana!"
"Hancur...?!" makin heran lagi si Pendekar Mabuk itu. Seakan semua yang didengar dari mulut Mahayuni yang berbibir agak tebal tapi sensual itu serba mengandung keanehan.
"Sebaiknya kau pulang saja, dan jangan berada di wilayah Pantai Porong. Nanti kau disangka mata-mata dari tanjung Leak."
"Tunggu dulu," sergah Suto ketika Mahayuni ingin tinggalkan dirinya. Tanpa sadar tangan Suto mencekal lengan Mahayuni. Perempuan cantik itu hanya pandangi tangan tersebut, membuat Suto Sinting akhirnya segera sadar dan melepaskan genggamannya,
"Aku butuh penjelasan darimu tentang si Bayangan Setan," kata Suto tegas, '
"Carilah di Bukit Lahat!"
"Bukan soal tempatnya saja, tapi keteranganmu itu kusangsikan, Mahayuni!"
"Sama saja aku menyangsikan keteranganmu yang mengaku bertemu dengan mendiang kakekku!"
"Hmm, ehhh, hhhmm...," Soto salah tingkah sendiri karena menjadi gugup.
"Semoga kita tak akan jumpa lagi!" Blaas...! Mahayuni melesat pergi dengan cepat.
Pendekar Mabuk kelabakan sebentar, akhirnya menyusul Mahayuni dengan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya itu. Zlaaapp...! Dalam sekejap Mahayuni sudah terhadang langkahnya oleh Suto Sinting. Pendekar Mabuk itu sengaja berdiri tepat di depan Mahayuni dalam jarak sepuluh langkah kurang. Akibatnya, Mahayuni hentikan langkah dengan menarik napas menyimpan kejengkelan hatinya.
Pendekar Mabuk hampiri si cantik dan berhenti dalam jarak empat langkah. Mereka saling berhadapan dengan sama-sama tegang seperti ingin lakukan pertarungan. Pendekar Mabuk sendiri bicara dengan nada tegas dan tanpa senyum, ia tampak serius sekali.
"Kuharap kau percaya padaku, bahwa aku memang ditolong oleh kakekmu, sehingga terhindar dari racun kulit keong itu."
"Kuharap kau juga percaya, bahwa istana Samudera Kubur sudah hancur dan si Bayangan Setan tidak ada di sana!" balas Mahayuni.
"Baik. Aku akan percayai kata-katamu itu. Tapi jelaskan, kapan Samudera Kubur hancur?!"
"Delapan tahun yang lalu!"
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terperangah dan tampak bingung, ia berkata dengan suara seperti orang menggumam, namun didengar oleh Mahayuni. "Padahal perjalananku menuju Samudera Kubur baru memakan waktu delapan hari."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, baru tiga hari yang lalu aku berhadapan dengan orang-orangnya si Bayangan Setan yang menculik Rama Jiwana, menantu Adipati Jayengrana."
"Tidak mungkn! Kurasa kau orang yang kurang pengetahuan dalam hal ini, Suto!"
"Aku dengar sendiri suara si Bayangan Setan menyuruh orang-orangnya untuk pulang ke Samudera Kubur!"
"Barangkali yang dimaksud adalah Bukit Lahat!" sentak Mahayuni karena merasa jengkel melihat sikap Suto yang ngotot itu.
Sikap saling ngotot itu membuat mereka semakin mirip orang ingin lakukan pertarungan. Karenanya, tiba-tiba sekeping logam berbentuk daun bergerigi melesat dengan cepat dari arah belakang Pendekar Mabuk. Ziiing...! Jeerb...!
"Aaahk...!" Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat- kuat. Ia memegangi punggungnya. Punggung itu terluka dan berdarah. Rupanya ada orang yang lemparkan senjata rahasia beracun tinggi ke arah Suto Sinting. Senjata itu kini menancap di punggung Suto dan membuat Suto terkulai jatuh, lalu tak sadarkan diri.
Mahayuni terkejut, ia segera mendekati Pendekar Mabuk dan memeriksanya. Mahayuni menjadi semakin kaget setelah mengetahui punggung Suto terluka oleh senjata rahasia yang mirip daun bergerigi itu. Ia mengenali pemilik senjata rahasia tersebut. Maka perempuan cantik itu menjadi cemas dan tegang, ia bangkit, lalu berseru dengan lantang dengan marahnya.
"Rahisan! Keluar kau!"
Kurang dari dua helaan napas, sesosok bayangan turun dari atas pohon, ia bagaikan elang menghampiri mangsanya. Gerakannya cepat dan menebarkan angin kencang disekelilingnya.
Wuuusss...! Daun-daun terhembus, semak ilalang tersingkap, bahkan ranting kering yang berjatuhan di tanah dapat berserakan bersama rumput-rumput kering. Rambut panjang Mahayuni tersingkat meriap-riap bagai dihembus angin kencang. Sudah pasti bayangan yang turun dari atas pohon itu adalah orang berilmu tinggi yang gerakannya mampu hadirkan angin kencang, nyaris menyerupai badai.
Seraut wajah mungil segera menjelma ketika angin kencang itu mulai reda. Seraut wajah mungil itu milik seorang gadis kecil berambut kepang kuda. Gadis kecil itu mengenakan baju tanpa lengan warna hijau dan celananya juga warna hijau. Ikat pinggangnya dibalut kain beludru warna merah. Di pinggang si gadis kecil itu terselip sebilah pedang bersarung hitam dengan gagang ukiran bentuk kepala burung hantu.
Gadis kecil yang tingginya sebatas perut Mahayuni itu tersenyum ketika ditatap Mahayuni dengan pandangan mata berangnya. Wajahnya yang cantik mungil seperti baru berusia sekitar sepuluh tahun itu kelihatan tenang. Seolah-olah ia merasa tak melakukan apa-apa.
"Mengapa kau serang pemuda ini, Rahisan?! Tahukah kau bahwa racun dalam senjata rahasiamu itu dapat menewaskan pemuda itu dalam waktu kurang dari seperempat hari?!"
"Itu bagus, bukan?!"
"Apanya yang bagus?!" bentak Mahayuni.
"Apakah aku salah jika membelamu?! Apakah aku tak boleh melumpuhkan orang ini sebelum dia menyerangmu?!" ujar gadis itu dengan lagak tengil dan sok tua.
"Kau keliru, Rahisan! Aku tidak bermusuhan dengan pemuda ini!"
"Lho...?!" Rahisan memandang dengan bengong.
"Dia terdampar di pantai! Perahunya pecah dihantam ombak badai. Dia sedang berdebat denganku tentang si Bayangan Setan!"
"Jadi... kalian berteman?!" Rahisan makin bingung.
* * *
TIGA
TERNYATA Pantai Porong merupakan wilayah kekuasaan Panembahan Pancalingga. Di situ berdiri sebuah padepokan yang juga sebuah perguruan cukup besar dengan jumlah murid hampir mencapai seratus orang. Perguruan beraliran putih itu diketuai langsung oleh Panembahan Pancalingga. Dalam silsilahnya, Mahayuni adalah murid sekaligus cucu dari Panembahan Pancalingga, karena sang penembahan adalah adik dari Ki Jumantara alias si Jambul Haha.
Racun yang ada di senjata rahasia gadis kecil itu hanya bisa disembuhkan oleh sang Panembahan sendiri. Beruntung saat itu, luka beracun yang diderita Pendekar Mabuk belum sampai membuat nyawa sang pendekar melayang. Panembahan Pancalingga menyerap habis racun itu dengan cara menempelkan telapak tangannya pada luka. Telapak tangan itu berubah menjadi biru, lama-lama menjadi hitam. Tangan lelaki kurus berjubah putih dengan sorban putih juga itu segera disentakkan ke atas, maka melesatlah cahaya biru berasap samar-samar dan tangan yang hitam itu menjadi bersih seperti semula.
"Lain kali kau tak boleh gegabah menggunakan senjatamu itu, Rahisan!"
"Baik, Eyang!" jawab Rahisan dengan wajah penuh rasa takut.
"Pemuda ini bukan orang Tanjung Leak. Ilmunya bahkan jauh lebih tinggi dari si Penguasa Tanjung Leak itu."
"Maksud Eyang, orang ini lebih sakti dari Nyai Gincu Barong?!"
"Benar, Rahisan! Justru sebenarnya kita beruntung kedatangan tamu pemuda ini, karena dia pasti akan memperkuat pihak kita jika orang-orang Tanjung Leak menyerang lagi."
Percakapan itu terjadi pada saat Pendekar Mabuk belum siuman, namun racun senjata rahasia itu sudah diserap habis oleh sang Panembahan. Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai pendopo beralas tikar. Beberapa murid Perguruan Pantai Porong mengerumuninya, termasuk Mahayuni yang paling dekat dengan tempat Suto berbaring menunggu siuman, sementara yang lain hanya berkerumun dari jarak agak jauh. Rahisan dan Mahayuni berada di samping kanan-kiri Pendekar Mabuk, mendengarkan kata-kata Eyang Panembahan mereka.
"Dia mengaku bernama Suto, Eyang," ujar Mahayuni. "Benarkah itu namanya?"
"Benar," jawab Eyang Panembahan. "Nama lengkapnya adalah Suto Sinting, gelarnya adalah Pendekar Mabuk."
"Ooohhh...?!"
Semua orang yang ada di situ menggaung antara terkejut dan bangga. Selama ini mereka hanya mendengar nama dan kesaktian sang Pendekar Mabuk, tak pernah bertatap muka dengan pendekar yang kondang ketampanannya itu. Baru sekarang mereka dapat berjumpa dan melihat sendiri seperti apa kegagahan dan ketampanan sang Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu.
Karenanya, beberapa murid yang semula berada agak jauh kini mendekat secara serempak ingin melihat lebih jelas lagi sosok si Pendekar Mabuk itu. Bahkan beberapa orang dari mereka saling berdesak-desakan, ingin mendapat tempat paling depan, terutama para gadisnya. Tetapi Mahayuni segera menenangkan mereka agar kembali tertib seperti semula. Mereka pun menurut apa perintah Mahayuni, karena Mahayuni dipandang sebagai murid tertua dan tertinggi tingkatannya dibanding mereka. Tingkatan kedua diduduki oleh Rahisan yang merupakan cucu langsung dari Eyang Panembahan Pancalingga.
"Kalian boleh bertukar pendapat dengan Pendekar Mabuk, boleh saling berkenalan, tapi tetap jaga kesopanan dan hormat. Sebab, aku melihat noda merah kecil di tengah keningnya," ujar Eyang Panembahahan.
"Apa arti noda merah kecil itu, Eyang?" tanya Rahisan.
Salah seorang murid menimpali, "Apakah noda merah itu berarti sang pendekar sedang masuk angin?!"
"Husy!" hardik Mahayuni membuat orang tersebut mengkerut.
Mereka saling berkerut dahi, merasa heran dengan penglihatan sendiri. Sebab mereka tidak melihat ada noda merah kecil dikening Pendekar Mabuk. Bahkan sebutir jerawat pun tak ada. Mereka akhirnya berkesimpulan, hanya orang-orang berilmu tinggi yang sudah mencapai kepekaan Indera ketujuh saja yang bisa melihat noda merah kecil itu. Dan ternyata penjelasan sang Panembahan pun memang begitu.
"Noda merah kecil sebesar biji jagung itu tidak bisa dilihat oleh sembarang orang. Sebab noda merah itu merupakan tanda penghargaan sekaligus jabatan bagi si Pendekar Mabuk. Bagi orang yang tahu, tak akan berani bertingkah sembarangan di depan pemuda ini, sebab noda merah itu menandakan bahwa dia adalah seorang Manggala Yudha alias Panglima Perang dari Sebuah negeri di alam gaib, yaitu negeri Puri Gerbang Surgawi dengan ratunya yang kukenal bernama Gusti Ratu Kartika Wangi," (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode; Manusia Seribu Wajah).
Para murid manggut-manggut, merasa terkesima dan terkagum-kagum oleh penuturan Eyang Panembahan alias guru mereka itu. Si gadis kecil Rahisan sempat bertanya kepada kakek kandungnya itu dengan lagak sok tuanya. "Bukankah negeri Puri Gerbang Surgawi itu adanya di Pulau Serindu, Eyang. Seingatku, ratu negeri Puri Gerbang Surgawi bernama Dyah Sariningrum dan berjuluk Gusti Mahkota Sejati. Bukan Ratu Kartika Wangi seperti yang Eyang katakan tadi. Pikirlah dulu baik-baik, Eyang. Siapa tahu catatan dalam ingatan Eyang sedikit keliru."
Sang Panembahan tersenyum bijaksana. "Rahisan, negeri Puri Gerbang Surgawi itu ada dua; satu di alam gaib, satu di alam nyata. Dyah Sariningrum itu ratu Puri Gerbang Surgawi di alam nyata. Dia anak dari Gusti Ratu Kartika Wangi."
"Ooo...," Rahisan manggut-manggut.
"Kalau begitu, Pendekar Mabuk ini adalah tamu agung kita, Eyang?" ujar Mahayuni.
"Iya! Tapi... pendekar yang satu ini memang agak konyol. Lihat saja, sebagai Manggala Yudha dari sebuah negeri terhormat hanya mengenakan pakaian seperti ini dan membawa-bawa bumbung tuak itu," sambil sang Panembahan menuding bumbung tuak yang tergeletak di lantai atas kepala Suto. "Itu kan namanya konyol! Jadi cara kita bersikap kepadanya tak perlu muluk-muluk. Dia bahkan tak suka dihormati secara muluk-muluk. Dan hati-hati...," Panembahan agak mengecilkan suara.
"Ada apa, Eyang?"
"Hati-hati, pendekar ini agak mata keranjang. Jangan mengawali melirik nakal. Sebab kalau diawali dengan lirikan nakal, maka kalian, terutama yang perempuan, bakal mendapat lirikan yang lebih nakal lagi. Biasanya kalau sudah begitu, gadis mana pun pasti akan terbuai olehnya dan bisa jadi tergila-gila padanya."
"Hi, hi, hi, hi...!' para murid wanita tertawa cekikikan. "Habis ganteng, Eyang," celetuk salah seorang murid wanita.
"Memang dia ganteng, tapi kalau tidak diawali dia tidak mau berbuat nakal. Sekali terkena kenakalannya, ooh... heboh! Pokoknya heboh!"
"Dari mana Eyang tahu banyak tentang pendekar heboh ini?" tanya si kecil Rahisan.
"Lho, Eyang kan sering berhubungan batin dengan bibi gurunya; si Bidadari Jalang itu."
"Lho, katanya Pendekar Mabuk itu muridnya si Gila Tuak?"
"Lha, iya! Memang muridnya si Gila Tuak. Tapi dia juga menjadi muridnya Bidadari Jalang."
"Jadi dia punya dua guru, Eyang?" tanya Mahayuni.
"Benar. Punya dua guru; Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Mereka ibarat kakak-beradik dalam satu perguruan."
Mereka saling berkasak-kusuk dengan wajah berseri-seri, sesekali tampak mengagumi kehebatan ilmu Pendekar Mabuk. Kejap berikut, Panembahan Pancalingga perintahkan kepada Mahayuni untuk memindahkan Suto Sinting sebelum pemuda itu siuman.
"Bawa dia ke kamar peristirahatan. Bisa malu kita kalau dia siuman dan ternyata masih digeletakkan di lantai begini."
Para murid, terutama yang wanita, saling berebut membawa Suto ke kamar peristirahatan.
"Biar aku saja yang membawanya.... Jangan, aku saja! Badanku lebih kuat kok,... Minggir-minggir, sini kubawanya sendiri Eh, jangan sendirian. Aku juga mau membawanya.... Tidak, aku saja."
Tubuh Suto ditarik ke sana-sini oleh beberapa tangan. Panembahan Pancalingga menjadi cemas. "Eeh, eeh... jangan dibetot ke sana-sini! Kalian pikir rebutan kalkun panggang?!"
Akhirnya tubuh kekar itu jatuh dari ketinggian satu perut. Bruuk, gleduuuhk !
"Naaah jatuh kan?! Aduh, bisa bocor kepalanya itu!"
Jatuhnya Suto membuat pingsannya justru menjadi siuman, ia tersentak kaget dan langsung menyeringai sambil mengerang kesakitan. Kedua tangannya, pegangi kepala. "Aaauuhh.!"
Mereka justru ketakutan dan ditinggal kabur begitu saja. Bruubut...! Tinggal Eyang Panembahan yang ada di situ, clingak-clinguk salah tingkah, karena merasa tak enak terhadap sang Manggala Yudha yang dihormati itu.
"Aduh, anak-anak bagaimana ini?! Kalau sudah begitu ditinggal pergi begitu saja. Celaka! Pasti aku yang kena getahnya!"
Namun ternyata Pendekar Mabuk tidak tersinggung dan tak ada yang disalahkan. Pemuda itu justru mengambil sikap bijaksana, mengucapkan terima kasih kepada Eyang Panembahan walaupun sebelumnya Eyang Panembahan lebih dulu buru-buru memberikan hormat kepada sang Manggala Yudha itu. Keramahan dan keceriaan Suto Sinting membuat mereka menjadi tak sungkan-sungkan untuk mendekat dan saling ajukan tanya. Hal itu, terjadi setelah badan Suto merasa segar kembali akibat menenggak tuak saktinya.
"Dia memang tidak seperti seorang panglima, ya?" bisik salah seorang murid lelaki.
"Dia memang selalu merendah. Tuh, lihat saja kepalanya sampai rendah, kan?"
"Itu karena dia sedang garuk-garuk jempol kakinya!" sentak yang lain dengan suara pelan.
Mereka terkesima mendengar cerita pertarungan Pendekar Mabuk saat melawan Pangeran Cabul dan Rogana, si manusia badak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sinting). Tapi mereka segera menjadi tegang dan berdebar-debar ketika Suto ceritakan pertarungannya dengan Gober, orang kepercayaan si Bayangan Setan, kisah pengejaran ke Samudera kubur dan pertemuannya dengan Ki Jambal Haha.
Bukan para murid saja yang terkejut mendengar nama Jambul Haha disebutkan, melainkan Eyang Panembahan sendiri juga kaget, hingga terpaksa ajukan beberapa pertanyaan yang bersifat menguji kesungguhan cerita tersebut. Tentu saja tes uji kesungguhan itu berhasil dijawab oleh Suto secara benar, karena bagi Suto pertemuan dengan Jambul Haha bukan sekadar isapan jempol. Salah seorang murid berbisik kepada temannya, "Kurasa cerita itu sungguh-sungguh terjadi. Bukan hanya isapan jempol semata."
"Lagi pula jempolnya siapa yang mau dihisap sampai mata?!" tanggap murid yang memang rada culun. Mereka cekcok sendiri, lalu digertak oleh si kecil Rahisan, keduanya diam, mengkerut seperti harum manis kena angin.
Panembahan Pancalingga mengangkat kedua tangannya, semua suara hilang. Suasana menjadi sepi senyap seketika itu juga. Rupanya kedua tangan Panembahan Pancalingga mempunyai daya bungkam sendiri bagi murid-muridnya, sehingga tak satu pun berani bersuara. Bahkan yang suara batuk pun tak ada. Suara napas pun tak terdengar.
"Hebat Juga Eyang Panembahan ini," pikir Suto. "Jurus apa yang dipakainya, sehingga dengan mengangkat kedua tangan saja sudah bisa bikin bungkam mulut mereka?"
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa kedua tangan Eyang Panembahan sebenarnya tak memiliki kekuatan pembungkam. Yang membuat mulut mereka bungkam adalah wibawa dan kharisma sang Panembahan, di mana ia sebagai guru dan penguasa wilayah Pantai Porong sangat dihormati dan ditakuti oleh para muridnya.
"Agaknya, mendiang Ki Jambul Haha, yaitu kakakku sendiri, sengaja ingin mempertemukan Pendekar Mabuk dengan kita. Entah apa sebenarnya maksud roh Ki Jambul Haha itu. Tapi firasatku mengatakan, Ki Jambul Haha ingin supaya Pendekar Mabuk membantu kita dalam menghadapi orang-orang Tanjung Leak, terutama Nyai Gincu Barong itu!"
Tiba-tiba, mereka bersorak serentak, "Hidup Pendekar Mabuuk...!!"
Suto Sinting clingak-clinguk kaget, ia memperhatikan mereka. Hanya si kecil Rahisan yang tidak ikut bersorak dan mengangkat satu tangan. Mahayuni saja ikut bersorak, tapi gadis kecil Rahisan hanya diam, cuek, bersidekap, matanya memandang agak angkuh kepada Pendekar Mabuk.
"Rahisan, kenapa kau tidak ikut gembira menyambut kedatangan Pendekar Mabuk ini?!" tanya Mahayuni.
"Ah belum tentu dia unggul melawan Nyai Gincu Barong," jawab Rahisan sambil mencibir terang-terangan di depan Suto Sinting. "Buktinya, ia masih bisa terkena senjata rahasiaku! Hmmm...! Kita lihat saja hasilnya nanti. Jangan bersorak dulu sebelum dia memang unggul melawan Nyai Gincu Barong!"
"Tengil amat gadis lucu itu?" pikir Suto Sinting sambil sunggingkan senyum geli. Tapi ia segera berkata dengan nada merendahkan diri. "Tiap manusia memang punya kelemahan, demikian juga aku. Dan kurasa memang belum tentu aku unggul melawan Nyai Gincu Barong. Tetapi jika Eyang Panembahan yang melawan Nyai Gincu Barong, tentunya Nyai Gincu Barong akan tumbang dalam satu gebrakan. Bisa jadi Nyai Gincu Barong akan sakit sendiri, jatuh sendiri, mati sendiri dan mengubur diri sendiri!"
"O, tidak begitu, Nak Mas Pendekar...," sela Eyang Panembahan. "Aku sudah bersumpah untuk tidak mau lakukan pertarungan, kecuali menghindari dan mengobati yang terluka. Sumpah ini kuucapkan di depan kakakku; si Jambul Haha, pada saat dia dalam keadaan sekarat dan aku tak bisa kejar si Bayangan Setan itu! Jadi aku tak berani melanggar sumpah. Barangkali dengan alasan itulah, maka roh kakakku mempertemukan dirimu dengan pihakku, agar kau menjadi wakilku melawan Nyai Gincu Barong."
Mahayuni menarik tangan gadis kecil berlagak tengil itu. "Rahisan, hati-hati bicaramu. Jangan menyinggung perasaan Pendekar Mabuk."
Rahisan justru membantah dengan suara keras. "Masa seorang pendekar perasaannya mudah tersinggung dengan ucapan seperti itu saja?! Hmmm! Pendekar cap apa dia kalau begitu?!"
Suto menyahut, "Cap tengkorak nyengir!"
Lalu yang lainnya tertawa serentak. Suto Sinting sendiri ikut tertawa walau tidak terbahak-bahak. Tetapi di balik sambutan ramah orang-orang Padepokan Pantai Porong itu, ternyata Suto Sinting tetap menyimpan misteri yang membuatnya sangat penasaran, akhirnya ia dibayang-bayangi oleh kegelisahan. Menjelang tidur malam di kamarnya, Pendekar Mabuk kelihatan sangat resah, tak bisa tenang.
"Benarkah Samudera Kubur sudah hancur delapan tahun yang lalu?! Kalau begitu, haruskah aku mengejar si Bayangan Setan ke Bukit Lahat?! Apakah ia masih menyandera Rama Jiwana? Terus, bagaimana dengan Perawan Sinting dan Mahesa Gibas? Seharusnya dalam saat-saat bingung begini, aku bisa bertemu dengan Perawan Sinting dan membicarakannya. Tapi... kelihatannya pihak Panembahan sangat membutuhkan bantuanku. Lalu, mana yang harus kulakukan lebih dulu; menghadapi Nyai Gincu Barong lebih dulu?!"
Akhirnya Suto memutuskan untuk mencari Perawan Sinting di sepanjang Pantai Porong. Ia berharap dapat menemukan Perawan Sinting atau Mahesa Gibas di pantai tersebut, ia juga berharap kedua sahabatnya itu terdampar di pantai itu juga dalam keadaan masih bernyawa.
* * *
EMPAT
POTONGAN tiang layar ditemukan Suto bersama sesobek kain layarnya. Semula ia merasa senang, karena dapat menemukan bagian lain dari perahunya. Tetapi di sekitar tempat itu tak ditemukan Perawan Sinting maupun Mahesa Gibas. Hanya saja, ia menemukan bekas telapak kaki yang bergerak dari pantai ke hutan.
"Apakah ini bekas jejak kaki Perawan Sinting?!" tanyanya dalam hati. "Atau jangan-jangan ini Jejak kaki si Mahesa Gibas?! Oh, aku lupa menanyakan ukuran kaki mereka sebelum berlayar. Akibatnya aku tak bisa membedakan telapak kaki siapa yang ada di pasir pantai ini?!"
Pendekar Mabuk pandangi arah hutan dengan teliti. Tak ada tanda-tanda gerakan manusia di sana. Bahkan suara rintih atau dengus napas pun tak terdengar. Maka, jurus 'Lacak Jantung' pun digunakan oleh Suto Sinting. Jurus itu dapat mendeteksi detak jantung seseorang yang berada disekitarnya.
"Hmmm..., aku mendengar detak jantung yang berirama kalem-kalem saja. Arahnya di sebelah sana. Aku yakin di sana pasti ada orang. Hanya saja, apakah dia Perawan Sinting atau Mahesa Gibas, aku tak bisa menduganya."
Suto segera menuju sasaran dengan lompatan-lompatan peringan tubuhnya, sehingga suara langkahnya tak terdengar oleh siapa pun. Ia menyelinap di antara pohon-pohon mendekati suara detak jantung itu.
"Ooh...?!" dahi Pendekar Mabuk berkerut heran. "Suara detak jantung itu menghilang? Aneh. Padahal tadi sudah semakin keras, berarti semakin dekat. Mengapa tiba-tiba hilang begitu saja? Apakah orang itu mati?!"
Mata setengah dipejamkan, konsentrasi dipusatkan pada kepekaan pendengaran. Jurus 'Lacak Jantung' digunakan lagi. Akhirnya ia memandang ke arah pantai, karena kini suara detak jantung itu ada di pantai.
"Mengapa bisa pindah ke pantai secepat ini?!" pikir Pendekar Mabuk. "Apakah yang ada di pantai adalah detak jantung orang lain? Maksudku, bukan orang yang ada di dekat-dekat sini?"
Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk terpaksa memeriksa keadaan hutan sebentar. Tetapi ternyata di sekitar tempat didengarnya detak jantung tadi memang tak ada orang, bahkan sesosok mayat pun tak ada. Pendekar Mabuk berkesimpulan, si pemilik detak jantung itu memang sudah pindah ke daerah pantai. Maka ia pun segera mengejar ke pantai kembali. Zlaaap...!
Di sana juga tak ada orang. Tapi anehnya, detak jantung itu menjadi semakin jelas, bahkan sepertinya sedang mendekati Suto Sinting. Pandangan dan kewaspadaan Suto segera ditingkatkan. Bumbung tuak yang digantungkan di pundak kini sudah digenggam dengan tangan kirinya.
"Ada sesuatu yang bergerak mendekatiku, tapi ia tak punya rupa," batin sang pendekar. "Aku harus hati-hati. Siapa tahu tiba-tiba ia menyerangku tanpa bisa kusentuh tubuhnya, aku harus tetap waspada."
Sampai beberapa saat, detak jantung itu masih terdengar jelas tapi wujud pemiliknya tak kelihatan. Bahkan Suto merasa si pemilik detak jantung itu sedang mengitarinya dalam jarak sekitar delapan langkah.
"Aneh, tak kulihat sosoknya tapi jelas kudengar detak jantungnya. Hmmm... kurasa kali ini aku berhadapan dengan Bayangan Setan yang mampu hadir tanpa sosok tubuh itu. Jika memang..."
Ucapan batin sang Pendekar Mabuk terhenti karena tiba-tiba pandangan matanya menangkap sesuatu. Sesuatu yang dilihatnya adalah seekor kupu-kupu yang terbang mengelilinginya. Rasa ingin membuang air kecil pun timbul, dan Suto mencari tempat yang tersembunyi untuk membuang air seninya. Tapi kupu-kupu itu hinggap di ilalang persis di depan Suto. Sambil memandangi kupu-kupu itu, dengan cuek Suto menuntaskan hajat kecilnya tersebut.
"Hmmm... kupu-kupu itu sepertinya memandangiku terus. Apakah ia tertarik dengan alat pembuang airku ini?" ujarnya dalam hati dengan konyol. Lalu, perhatiannya kepada kupu-kupu itu dilanjutkan.
Namun kejap berikut, setelah pembuangan hajat kecil itu selesai, Pendekar Mabuk baru menyadari ada yang aneh pada seekor kupu-kupu yang berwarna hitam bintik-bintik kuning dengan ukuran kecil itu.
Pendekar Mabuk pandangi kupu-kupu yang sekarang terbang kembali mengelilinginya dan ternyata suara detak jantung tersebut berasal dari binatang kecil tersebut. Menurutnya, ini hal yang aneh. Tak pernah ia dapat melacak detak jantung seekor kupu-kupu. Bahkan detak jantung seekor burung pun tak berhasil dilacaknya dengan ilmu tersebut. Tapi mengapa sekarang Suto bisa mendengarkan suara detak jantung seekor kupu-kupu?
"Aku yakin dia bukan kupu-kupu sembarangan," pikirnya dalam membatin. "Tak mungkin seekor kupu-kupu mempunyai detak jantung sekeras ini. Tapi jika kupu-kupu itu terbang melintasi kepalaku, suara detak jantung pun kudengar lebih keras lagi. Ah, apa iya seekor kupu-kupu mempunyai sentakan jantung sama dengan ukuran detak jantung manusia?!"
Tiba-tiba kupu-kupu hitam bintik-bintik kuning itu melesat cepat seakan ingin menabrak wajah Suto. Wees...! Pendekar Mabuk hanya lengkungkan badan ke belakang hingga kepalanya terdongak. Dengan begitu kupu-kupu tersebut tak berhasil kenai wajahnya.
"Hei, kenapa dia sepertinya mau menyerangku?!" ujar Suto membatin dengan heran.
Kupu-kupu itu segera hinggap di atas ujung sebongkah batu berukuran satu dada. Pendekar Mabuk mendekati dengan rasa penasaran. Namun baru mendapat beberapa langkah, kupu-kupu itu terbang kembali dan melesat ingin menerjang Suto Sinting. Dengan gerakan limbung cepat seperti orang mabuk mau tumbang, gerakan kupu-kupu itu berhasil dihindari Suto Sinting lagi. Wuuus...!
Kejap berikut kupu-kupu itu terbang tinggi dan memutar cepat. Putaran tubuhnya mengeluarkan asap yang makin lama semakin tebal. Asap itu bergerak turun sambil berputar, sampai akhirnya menyentuh tanah dan, buuss...!
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget, karena hilangnya asap dan kupu-kupu, muncullah seraut wajah cantik berjubah hitam bola-bola kuning. Seraut wajah cantik itu mempunyai rambut panjang terurai dan mengenakan mahkota hias berukuran kecil.
Pendekar Mabuk mengucal-ngucal matanya, khawatir kalau dia salah pandang. Ternyata apa yang dipandangnya saat itu memang benar, ia berhadapan dengan seraut wajah cantik berhidung mancung dan berbibir menggemaskan. Tubuhnya sekal, padat dan berisi. Dadanya yang ditutup dengan pinjung kain kuning itu kelihatan montok sekali. Sebagian belahan dadanya tersumbul naik dari dalam pinjung.
Wanita cantik itu tampak sudah berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Kecantikannya cukup matang, demikian pula keseksian tubuhnya tampak sedang matang-matangnya. Kain penutup pinggul yang berwarna kuning itu mempunyai dua belahan, depan dan belakang. Belahan yang depan cukup panjang. Dari bawah sampai mendekati pusar. Satu gerakan kaki saja dapat menyingkapkan kain dan menimbulkan dayatarik yang dapat membuat Suto panas-dingin. Wanita cantik itu sunggingkan senyum tipis berkesan sinis. Tapi senyuman itu justru menambah kecantikannya menjadi semakin memancarkan daya pikat tinggi.
"Cantik sekali dia?!" puji Suto dalam hatinya. Senyuman itu dibalas oleh Pendekar Mabuk dengan senyuman tipis pula. Setelah maju tiga langkah, Pendekar Mabuk sengaja tampilkan kesan bahwa ia sangat mengagumi kecantikan perempuan itu.
"Kupu-kupu yang cantik," ujar Suto pelan. "Siapa sangka kalau kupu-kupu kecil itu ternyata adalah seorang wanita yang menarik dan menggemaskan. Sayang sekali tak kutahu namanya."
Dengan mata memandang nakal mengoda hasrat lelaki, wanita berkulit putih itu perdengarkan suaranya yang bening tanpa serak sedikit pun. "Apakah kau pernah mendengar nama Andani?"
"Belum. Terus terang saja, aku orang baru di sini. Jadi masih merasa asing dengan nama Andani. Siapakah orang yang memiliki nama Andani itu?"
"Orang itu ada di depanmu."
"Oo...," Suto Sinting manggut-manggut dalam senyumnya yang menawan. "Ternyata nama itu sangat sesuai dengan kecantikan orangnya", tambah Suto Sinting. Si wanita perlear senyumnya, namun matanya tetap memandang Suto tanpa kedip penuh goda.
"Apakah kau orang Pantai Porong juga, Andani?"
"Bukan. Aku orang pendatang, Suto."
Pemuda tampan itu terkejut. "Oh, kau sudah tahu namaku?!"
"Siapa orang yang tidak kenal nama Suto Sinting dalam pakaian berciri coklat-putih dan bumbung tuak yang selalu dibawanya itu? Siapa orang yang tidak kenal wajah tampan berbadan kekar dan gagah itu adalah milik Suto Sinting?! Kurasa semua orang mengenalmu dari ciri-cirimu itu, Suto."
"Ternyata wawasanmu lebih luas daripada Mahayuni atau yang lain."
"Siapa Mahayuni itu? Kekasihmukah?!"
"Bukan," jawab Suto Sinting dengan lemparkan senyum ke arah lautan lepas, ia melangkah ke perairan sambil lanjutkan kata. "Mahayuni adalah seorang sahabat baru. Ia tidak mengenaliku saat kami jumpa pertama."
Pendekar Mabuk palingkan pandang ke arah Andani. "Apakah kau sama sekali tidak mengenal Mahayuni?"
Wanita itu mendekat dengan memandang ke arah lautan juga. "Sudah kukatakan tadi, aku hanyalah tamu di Pantai Porong ini! Tamu yang kebetulan saja lewat di Pantai Porong dan singgah sebentar karena melihat cahaya ketampanan dari seorang pemuda yang ternyata adalah Pendekar Mabuk."
"Jangan memujiku, nanti aku lupa daratan, ingatnya cuma lautan."
Andani lepaskan tawa kecil. "Ini adalah keberuntungan besar bagiku," kata Andani tanpa pandangi Suto. "Barangkali memang sudah kehendak dewata aku harus bertemu denganmu, Suto."
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Aku membutuhkan seorang tabib. Kudengar kau juga dikenal sebagai Tabib Darah Tuak?"
"Hanya beberapa orang saja yang menjulukiku demikian."
"Tapi julukan itu membuatku menaruh harap padamu, Tabib Darah Tuak."
"Boleh saja kau menaruh harap padaku, tapi segala keputusan tetap ada di tangan Yang Kuasa, Andani."
"Aku paham maksudmu."
Pendekar Mabuk kembali menikmati sebentuk kecantikan yang enak dipandang dan membuat jantung berdebar-debar sejak tadi. Debaran itu menghadirkan keindahan tersendiri yang sukar dilukiskan dengan kata. "Siapa yang membutuhkan bantuanku sebagai tabib?!" tanya Suto setelah mereka beradu pandang dua helaan napas.
"Aku sendiri," jawab Andani.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum sebagai tanda kurang percaya atas pengakuan tersebut. "Kau tampak segar, sehat, cantik, dan... menawan sekali. Kau tak kelihatan sebagai orang yang sakit, Andani."
"Kelihatannya memang begitu. Tapi beberapa tahun yang lalu, seseorang telah menyerangku dan melukai bagian dalamku. Orang itu menggunakan jurus 'Karang Siksa'. Dengan jurus itu ia menanamkan sebutir batu dalam tubuhku. Batu itulah sebenarnya yang dinamakan batu 'Karang Siksa', yang tubuhku merasa tersayat-sayat setiap malam. Kadang merasa seperti dicambuk-cambuk, atau juga seperti ditusuk-tusuk jarum. Menyiksa sekali. Dan setiap malam aku harus menderita perasaan seperti itu. Jika matahari muncul, barulah siksaan itu berhenti dan keadaanku sehat-sehat saja, seperti saat ini."
"Jurus yang aneh sekali," gumam Pendekar Mabuk.
"Lawanku itu memang tangguh. Tapi dalam waktu dekat nanti, dia akan kukirim ke neraka setelah aku menyelesaikan pelajari satu jurus utama khusus untuk mengalahkan lawanku itu!"
"Siapa lawanmu yang mempunyai jurus 'Karang Siksa' itu, Andani?" tanya Pendekar Mabuk setelah merenung sebentar.
"Kurasa nama itu tak penting bagimu. Yang kuharap darimu adalah menghancurkan batu 'Karang Siksa' yang tertanam di dalam tubuhku ini! Aku ingin bebas dari siksaan setiap malam. Aku ingin bisa tidur dengan nyenyak dan damai."
Wajah cantik itu tampak murung, sebagai ungkapan dari rasa sedihnya jika membayangkan siksaan setiap malamnya itu. Pendekar Mabuk menjadi iba hati melihat si cantik berwajah murung. Akhirnya ia putuskan untuk menolong wanita cantik itu.
"Akan kucoba menolongmu, Andani. Tapi terlebih dulu aku ingin tahu, dari mana asalmu?"
"Aku... aku dari Bukit Jerami, agak jauh dari sini. Aku sengaja mengasingkan diri ke Bukit Jerami, karena sebenarnya aku sudah tak ingin ikut campur dalam dunia persilatan ini! Aku capek dan ingin istirahat dengan damai di bukit yang sepi itu."
"Jadi, kau tinggal sendirian di Bukit Jerami, tanpa teman, tanpa saudara dan tanpa suami?"
"Saudaraku telah tewas semua di tangan musuhku itu. Aku tak pernah mau dikunjungi teman, karena aku memang ingin hidup menyendiri. Sedangkan suami... suamiku telah kabur dengan perempuan lain, dan membiarkan hidupku menjanda tanpa anak dan keluarga."
Kata-kata itu dituturkan dengan menghiba sekali, membuat Pendekar Mabuk semakin trenyuh dan berbelas kasihan kepada Andani. Semakin trenyuh lagi hati Suto setelah perempuan itu berlutut di depannya dan memohon dengan suara menghiba.
"Kumohon kau mau menyembuhkan sakitku ini, Pendekar Mabuk! Aku sudah tak kuat hidup dalam penderitaan setiap malam!"
"Bangunlah, Andani. Bangun, tak perlu berlutut didepanku begitu. Aku akan mengobatimu sekarang juga. Minumlah tuakku ini dan kau akan terhindar dari penyakit yang menyiksa itu. Tuakku ini dapat hancurkan batu 'Karang Siksa' yang ada dalam tubuhmu itu, Andani!"
Sambil berkata begitu, tangan Suto mencekal lengan Andani dan membimbing agar wanita itu segera berdiri lagi. Bahkan setelah Andani berdiri, tangan itu masih mencekal lengan si wanita, sehingga keduanya sama-sama merasakan sentuhan hangat yang menjalar sampai ke seluruh tubuh.
"Minumlah tuakku...," sambil Suto Sinting menarik bumbung tuak yang tadi sempat digantungkan di pundaknya. Namun sebelum bumbung tuak itu sempat diberikan kepada Andani, tiba-tiba seberkas sinar hijau seperti buah rambutan melesat cepat menyerang Pendekar Mabuk dari arah belakang. Weeess...!
"Oh, Suto...?!" Andani segera menarik tubuh Suto kedalam pelukannya, kemudian dengan telapak tangannya ia menahan datangnya sinar hijau tersebut. Suuurb...!
Seandainya Suto tidak ditarik hingga berpelukan dengan Andani, dan tangan Andani yang ada di belakang Suto tidak menahan sinar hijau itu, maka punggung Suto akan berlubang besar dan nyawa pun akan melayang. Ketika mereka merenggangkan jarak, Suto Sinting sempat tersenyum karena menyangka mendapat pelukan mesra dari Andani. Tapi ketika genggaman tangan Andani membuka, tampaklah sinar hijau yang memancar seperti bentuk buah rambutan.
"Seseorang ingin membunuhmu dengan sinar ini," ujar Andani.
Maka, Suto pun akhirnya terbelalak tegang dan kebingungan sendiri. Ketegangan di hati Suto disebabkan oleh datangnya sinar hijau yang nyaris mengenai punggungnya, dan kemampuan Andani menangkap sinar hijau yang sampai sekarang belum meledak-ledak juga.
"Gila! Tinggi sekali ilmu perempuan ini?!" pikir Suto dalam keheranan "Cahaya hijau itu bisa ditangkapnya dan tidak meledak dalam gengamannya. Kalau bukan berilmu tinggi tak mungkin hal itu bisa dilakukan."
Andani justru memainkan sinar hijau itu seperti memainkan bola kecil di tangannya. "Aku ingin tahu siapa yang ingin membunuhmu itu!" ujarnya, lalu tiba-tiba sinar hijau itu dilemparkan ke arah tempat datangnya semula. Weess...! Sinar itu melesat dan menghantam sebatang pohon besar.
Jegaaarr...! Pohon itu berlubang sebesar kepala sapi. Daun-daunnya rontok seketika, bahkan dahan serta rantingnya menjadi kering dalam waktu singkat.
Pendekar Mabuk terbelalak membayangkan jika sinar hijau itu mengenai punggungnya, maka nasibnya akan seperti pohon tersebut. "Untung dia tangkas dan punya ilmu bisa memegang sinar pukulan sedahsyat itu, seandainya ia tidak mempunyai ilmu tersebut, pasti sekarang ini aku sudah menjadi sundel bolong. Punggungku akan berlubang sebesar kepala sapi begitu."
Sementara si perempuan cantik itu masih memperhatikan ke arah pohon tersebut, ia menunggu sesuatu yang muncul dari balik pohon tersebut, karena ia melihat orang yang melepaskan pukulan bersinar hijau itu bersembunyi di baiik pohon tersebut. Tetapi sampai dua helaan napas ditunggu, orang tersebut tak segera tampakkan diri, Andani pun jengkel dan berseru dengan lantang. "Jahanam, keluar kau! Jangan hanya berani menyerang dari belakang!"
"Aku di sini sejak tadi!" ujar suara yang tiba-tiba didengar sudah berada di belakang Suto dan Andani.
Mereka berpaling serentak dan mundur dua langkah. "Siapa kau?!" tanya Suto dengan tetap tenang. "Mengapa kau menyerangku dari belakang dengan jurus yang berbahaya itu?!"
Seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di belakang mereka itu hanya sunggingkan senyum dingin. Lelaki itu bertubuh sedang, kumisnya tak terlalu lebat, jenggotnya cepak. Rambut si lelaki masih hitam dan pendek, diikat dengan ikat kepala warna biru, sesuai dengan pakaiannya yang serba bir u itu. Diperkirakan, lelaki itu berusia sekitar empat puluh tahun lebih sedikit, ia menyandang kapak yang terselip di sabuk hitamnya.
"Aku tak punya urusan denganmu, Perempuan cantik! Urusanku adalah dengan pemuda itu!"
"Aku tidak kenal denganmu," sergah Suto Sinting. "Mengapa kau merasa punya urusan denganku?!"
"Karena kau yang kulihat bergabung dengan pihak Panembahan Pancalingga!"
"Kalau begitu kau orang Tanjung Leak?!"
"Benar! Akulah yang dipercaya untuk memata-matai padepokan itu dan diberi hak untuk membunuh orang padepokan selagi ada kesempatan untuk melakukannya. Tapi sasaranku yang paling utama adalah membunuh si tua bangka; Panembahan Pancalingga, supaya Nyai Gincu Barong semakin bangga dengan hasil kerjaku!"
"Kau yang bernama Singaloya?!" sahut Andani dalam tanya.
"Dari mana kau mengenaliku sebagai Singaloya, Cantik?!"
"Aku tahu, si Gincu Barong punya beberapa orang kepercayaan, di antaranya ada yang bernama Singaloya yang mempunyai senjata ampuh 'Kapak Guntur'. Dan kulihat senjata di pinggangmu itu adalah Kapak Guntur!"
"Ha, ha, ha, ha...! Kau ternyata cukup jeli. Cantik! Tapi aku tak tahu siapa kau dan di pihak mana kau berdiri. Maklum, aku baru beberapa bulan bergabung dengan Nyai Gincu Barong!"
"Sampaikan salamku kepada Gincu Barong, dan ingatkan kepadanya agar tidak mengganggu pemuda ini."
"Oh, pikirmu kau ini siapa, sehingga merasa mampu menyuruh Nyai Gincu Barong untuk tidak membunuh pemuda ini?! Kalau kukatakan bahwa pemuda ini akan memperkuat pihaknya Padepokan Pantai Porong, tentu saja tak akan ada ampun bagi pemuda ini. Nyai tetap akan perintahkan kepadaku untuk membunuhnya."
"Kalau begitu." kata Andani. "Sebelum kau melukai pemuda ini, terlebih dulu sebaiknya kau kukirim ke neraka, Singaloya'"
"Oh, jadi kau yang ingin tampil sebagai perisainya?! Celaka! Bodoh amat kau ini, Cantik. Mengapa kau mau menjadi perisainya? Apakah kau tak tahu kali ini yang berhadapan dengannya adalah Singaloya? Kau bisa mati tanpa berkedip kalau harus melawanku, Cantik."
"Jangan banyak bicara!" geram Andani, tiba tiba tangannya berkelebat ke depan seperti menaburkan sesuatu. Wuuurs...! Tangan itu sebarkan percikan sinar merah yang segera menerjang ke arah Singaloya. Namun dengan cepat Singaloya melesat tinggi ke atas, hingga percikan sinar merah itu tak ada yang mengenainya.
"Modar kau. Cantik! Heeah...!" Singaloya lepaskan pukulan bersinar lurus tanpa putus ke arah Andani. Claaap...! Sinar hijau lurus itu bermaksud menghantam kepala Andani.
Tetapi dengan tangkas tangan Andani menahan ujung sinar tersebut. Deeb...! Sinar itu tetap memancar lurus dari tangan Singaloya ke tangan Andani. Sementara itu Suto yang ingin ikut campur segera dilarang oleh Andani memakai bahasa isyarat. Mau tak mau ia membiarkan dulu kemampuan Andani menghadapi Singaloya.
Sampai lelaki berpakaian serba biru itu daratkan kakinya ke tanah, sinar hijau itu masih memancar seperti sebatang tongkat yang dipakai untuk saling mendorong lawan. Namun dalam kejap berikutnya, Andani bukan sekadar menahan sinar hijau melainkan juga ikut kerahkan tenaga dalamnya melalui telapak tangan itu. Wuuk...! Sinar hijau pun membengkak menjadi kebiru-biruan. Lalu dengan satu kali sentakan tangan ke depan, Andani berhasil membuat Singaloya terjungkal ke belakang dan berguling-guling.
Weess...! Brruk...!
"Uuhk...!" Singaloya mengerang ketika sinar hijau yang berubah kebiru-biruan itu menghantam masuk ke telapak tangannya dan tubuhnya bagai diseruduk banteng liat.
Clap, clap...! Tiba-tiba dari kedua jari Andani keluar sinar merah seperti ujung tombak. Sinar merah itu melesat cepat dan menghantam dada Singaloya.
Blegaaarr...! Blaaarr...!
"Gila?!" pendekar tampan itu terperangah bengong. Ternyata tak ada ampun lagi bagi Singaloya, tubuhnya menjadi hancur dihantam dua sinar merahnya Andani tadi. Tanpa punya kesempatan menggunakan senjata 'Kapak Guntur'-nya, Singaloya akhirnya tumbang dalam keadaan mengerikan, tangan, kaki, badan, kepala, bahkan jari-jari tangannya, semua menjadi menyebar karena pecah.
"Mengapa kau bunuh dia sekeji itu, Andani?!"
"Karena ia pun orang yang keji, dan layak mendapat ganjaran seperti itu dariku!"
Pendekar Mabuk masih tertegun bengong memperhatikan Andani. Hatinya memuji namun juga mengecam Andani yang dapat membunuh Singloya dalam waktu amat singkat.
* * *
LIMA
PARA murid Perguruan Pantai Porong sibuk mencari pendekar heboh itu. Setiap orang ditugaskan mencari Suto Sinting secara bergantian. Batas wilayah Pantai Porong dijaga ketat oleh mereka dengan senjata siap perang.
"Ke mana si wajah heboh itu, ya? Jangan-jangan ditelan cumi- cumi?" gerutu salah seorang murid laki-laki yang ditugaskan menyusuri pantai bersama beberapa orang lainnya.
"Hei, lihat...! Kepala siapa itu yang tergeletak di seberang sana?!" seru salah seorang. Lalu mereka menghampiri benda yang dituding oleh orang tersebut.
"Oh, kepala manusia?! Tapi... kurasa ini bukan kepala si pendekar heboh. Pendekar heboh itu tidak berkumis!"
"Siapa tahu kumisnya tumbuh mendadak?!" ujar temannya dengan konyol.
Setelah mereka perhatikan bagian-bagian tubuh yang menyebar itu, maka tahulah mereka bahwa potongan tubuh itu milik orang Tanjung Leak. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Eyang Panembahan Pancalingga. Ketua perguruan itu turun tangan sendiri, memeriksa mayat yang berantakan di pantai. Dari hasil pemeriksaan indera keenamnya, Eyang Panembahan yakin bahwa mayat itu adalah mayat orang Tanjung Leak, tapi bukan dibunuh oleh Pendekat Mabuk.
"Seseorang telah membunuhnya entah karena persoalan apa."
"Lalu, ke mana Pendekar Mabuk itu, Eyang?" tanya Mahayuni dengan cemas.
Rahisan menyahut dengan tengilnya, "Kurasa dia pulang, karena takut kalau harus melawan Nyai Gincu Barong."
"Tak mungkin," sahut Eyang Panembahan. "Suto pamit padaku mau mencari kedua orang temannya, siapa tahu terdampar di sepanjang Pantai Porong ini."
"Jangan-jangan tertangkap orang-orangnya Nyai Gincu Barong dan dibawa ke Tanjung Leak?!" ujar Mahayuni.
Eyang Panembahan pejamkan mata sejenak, melihat dengan indera keenamnya. Sebentar kemudian ia buka mata dan gelengkan kepala, "Tidak, tidak ada di sana."
"Lalu ke mana dia, Eyang? Coba lihat dengan mata batin Eyang," desak Rahisan.
Beberapa saat setelah Eyang Panembahan pejamkan mata, ia jadi bingung sendiri dan berkata kepada kedua cucunya. "Sulit sekali, Ada kabut hitam yang menyelimutinya, sehingga sukar kutembus di mana dia berada."
Mereka tidak tahu kalau Pendekar Mabuk dibawa oleh Andani ke tebing karang berongga besar. Rongga besar itu ada gua yang mempunyai lorong panjang entah sampai di mana.
"Mengapa kita harus di sini, Andani?!" tanya Suto dengan rasa penasaran.
"Aku tak ingin pengobatanku nanti ada yang melihatnya."
"Seandainya ada yang melihatnya, mengapa kau keberatan?"
"Karena dia tahu orang itu kenal dengan musuhku dan ia memberitahukan pengobatan ini, sehingga ia datang lagi untuk menyerangku kembali."
"Kurasa kemungkinan itu tipis sekali, Andani. Dan lagi caraku mengobatimu tidak kentara. Kau hanya meminum tuak ini. Minum biasa saja, seperti orang sedang haus. Dan batu 'Karang Siksa' itu akan hancur dengan sendirinya tanpa keanehan apa-apa."
Andani mendekati Suto hingga berjarak dua langkah, ia memandang tajam tapi berkesan sayu. Hati Suto bergetar lagi menerima tatapan mata yang penuh daya pikat itu. "Yang jelas, aku tak ingin ada orang mengetahui pertemuanku denganmu."
"Kenapa begitu?"
"Supaya musuhku pun tak tahu kalau aku telah mengenalmu dan menjadi seorang sahabatmu. Bukankah... bukankah kita bersahabat, Suto?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan bibir sunggingkan senyum menawan. Kalem, lembut dan enak dipandang. Andani semakin ceria dan berbinar-binar bagai ditaburi bunga-bunga indah. Ia melangkah ke balik gugusan batu setinggi perut yang memanjang sekitar dua langkah. Cahaya yang masuk melalui mulut gua membuat gua itu berpenerangan remang-remang. Di balik batu setinggi perut itu terdapat tumpukan jerami yang lebar, sepertinya sudah biasa digunakan untuk tidur. Andani berdiri di sana menunggu Suto mendekat.
"Andani, apakah kau sudah sering tinggai di gua ini?" tanya Suto Sinting sambil memandang di kedalaman gua yang gelap.
"Ya, gua ini kadang kupakai sebagai tempat persembunyian dari pengejaran musuh-musuhku. Atau sesekali kupakai untuk bersemadi. Jarang orang mengetahui tempat ini, Suto. Aku merasa aman jika sudah berada di sini."
Sambil mendekati Andani, Suto ajukan tanya dengan suara tegas. "Tembus ke mana lorong di kedalaman sana?"
"Aku tak pernah mencobanya," jawab Andani tepat pada saat Suto berhenti di depannya dalam jarak satu jangkauan. "Kapan kau ingin mengobatiku, Tabib Darah Tuak?!"
"O, sekarang pun bisa." Suto Sinting pun meraih bumbung tuaknya. Tapi pada saat itu Andani melepaskan jubahnya. Kini pundak dan punggungnya tampak terbuka dengan bebas. Kemulusan tubuh itu membentang tanpa penghalang apa pun.
"Andani, kau tak perlu harus buka pakaian. Kau hanya meminum tuak ini, seperti penjelasanku tadi."
"O, ya... maaf. Kusangka kau akan salurkan hawa saktimu melalui punggungku." Andani tertawa kecil. Tapi ia tidak mengenakan jubahnya lagi. Ia menerima bumbung tuak itu dan menenggaknya beberapa kali. Sebagian tuak tercecer di sekitar mulut dan dagu hingga lehernya.
"Aahhh...! Segar sekali rasanya," ujar Andani sambil serahkan kembali bumbung itu kepada Suto Sinting.
"Nanti malam kau tak akan merasakan hal-hal yang menyakitkan seperti katamu tadi."
"O, ya? Tapi hanya beginikah caramu mengobatiku?"
"Memang hanya begitu."
"Sederhana sekali."
"Ya. Tapi... sayang sekali tuak itu tumpah di sekitar bibir dan lehermu."
"Kau mau mengeringkannya?" pancing Andani.
"Mau, asal aku mengeringkan dengan bibirku juga," goda Suto Sinting.
"Cobalah lakukan, aku ingin tahu bagaimana caramu mengeringkan tuak dari bibir, dagu, leher, dan... oh, ada yang membasah di belahan dadaku. Hi, hi, hi...!"
Pendekar Mabuk semakin deg-degan mendapat tantangan seperti itu. Lalu, pelan-pelan ia mendekatkan wajahnya setelah meletakkan bumbung tuak di batu sebelah. Andani setengah memejamkan mata dan dagunya sedikit naik dengan bibir ranum merekah. Suto Sinting pun menjilat air tuak yang masih membasah di sudut bibir itu. Seeet...! Hangat sekali rasanya bagi Andani.
Tepian bibir itu dikecup-kecup dengan hisapan lembut supaya air tuak tertelan oleh Suto. Kecupan itu membuat hati Andani makin berdesir-desir hingga napasnya sering dilepaskan lewat mulut bersama desah yangsamar-samar. Dari tepian bibir, kecupan Suto merayap ke dagu, menjilat tuak yang membasah di sekitar dagu itu, lalu menyusuri leher. Lidah Suto menyapu leher yang basah oleh tuak. Tanpa diketahui Suto, ternyata Andani telah melepaskan tali simpul dari kain pinjungnya.
Kini pinjung itu jatuh ke kaki dan dada itu terbuka. Pendekar Mabuk masih sibuk menyusuri tempat yang basah oleh tuak. Ia menjadi terkejut setelah bibirnya menyentuh tepian bukit dada, matanya melirik ke samping, ternyata bukit itu telah menantang penuh keberanian.
Andani mendesis lirih. "Sssssh...! Oh, indah sekali sentuhanmu, Suto. Geserlah ke kiri sedikit."
Kecupan Suto bergeser ke kiri. Sekalipun tak ada tuak di situ, tapi mulut Suto masih memagut-magut dengan pelan, lembut sekali.
"Ooh, Suto... ke kiri lagi. Terus ke kiri...." Ketika kecupan Suto makin ke kiri dan menyentuh ujung bukit, Andani mengerang panjang sambil meremas pundak Suto. "Ooouh...! Indah sekali itu, Suto. Indah sekali... oh, agak kencang sedikit, Sayang. Aah, yaa... ya... terus, jangan berhenti. Aku suka sekali pagutanmu, Suto. Oouh... nikmatnya bukan main. Aaah..."
Sambil menghamburkan kata-kata yang menjadi ungkapan dari perasaannya, Andani meremas pundak Suto makin kuat. Bahkan tanpa disengaja ia telah membuat baju Suto mengendor ke lengan, akhirnya baju itu dilepaskan olehnya. Suto membiarkan bajunya dilepas oleh Andani. Tetapi tangannya yang merangkul pinggang Andani akhirnya menemukan ujung pengikat. Tangan Suto melepaskan ujung kain pengikat dan kain penutup bagian bawah Andani pun jatuh terkulai di kaki perempuan itu.
Dengan masih seperti bayi yang kehausan, Suto Sinting merayapkan kedua tangannya ke bagian belakang tubuh Andani. Tangan itu akhirnya mengelus pinggul, lalu meremas bagian yang menggunduk sekal di sekitar pinggul itu.
"Ooh, Suto... aku senang sekali kau perlakukan begini. Ooh... bikin aku semakin melayang-layang lagi, Suto...," ucap Andani seperti bocah kecil merengek.
Ciuman Suto Sinting mulai merayap turun setelah kedua bukit di dada Andani tersapu habis seluruhnya. Andani sendiri yang meminta agar kecupan Suto turun ke bawah dengan menekan kepala Suto agar turun ke bawah.
"Terus, terus...! Uuh... terus ke bawah, Suto. Oh yaa... ya disitu, Suto! Bikin aku lebih indah lagi...." Lalu ia memekik, "Aaaah...! Sutooo.... Oh, ya... kau pintar sekali melambungkan jiwaku yang, ooouuh...!" Ia meremas rambut kepala Suto kuat-kuat karena merasakan keindahan yang hampir mendekati puncaknya.
Andani menaikkan kaki kanannya ke atas batu yang setinggi perut itu. Suto Sinting berlutut dan seakan pintu kehangatan telah dibuka lebar-lebar oleh Andani, sehingga kecupan dan sapuan lidah Suto dapat bergerak dengan lebih bebas lagi.
Rupanya perempuan itu mempunyai tato gambar kupu-kupu di paha kirinya. Tato itu tadi sempat dilirik Suto saat sebelum kemunculan Singaloya. Menurut penglihatan Suto, tato kupu-kupu itu dalam ukuran kecil. Tapi sekarang Suto melihat tato kupu-kupu itu menjadi besar dan sayapnya melebar.
Rupanya tato itu bukan sembarang tato. Ia dapat mekar dan mengecil sesuai dengan gairah Andani. Jika gairah perempuan itu masih kecil, maka tato gambar kupu-kupu itu tetap kecil. Tapi jika gairah Andani semakin besar, maka tato kupu-kupu itu pun menjadi lebar. Tato itu sekarang disapu oleh lidah Suto dengan gerakan pelan sekali. Andani memekik kegirangan.
"Aaow...!"
Suto berhenti dan mendongak. "Sakit...?!"
"Tidak, Sayang, itu tempat yang pailng nikmat untuk dikecup. Lakukan lagi, Sayang. Lakukan lebih lama lagi. Aaooww...!"
Andani memekik lagi, karena belum selesai bicara lidah Suto sudah menyapu tato tersebut. Rupanya memang benar apa kata perempuan itu, semakin lama tato itu dikecup atau disapu dengan lidah, Andani semakin memekik keras bagai dihujam seribu kenikmatan. Pendekar Mabuk mencoba menggigit pelan tato itu, Andani kian liar, teriakannya dan remasan tangannya bagai orang sedang menahan sesuatu yang ingin meledak bersama keindahannya. Tangan Suto akhirnya tak mau tinggal diam di pinggul. Tangan itu merayap dan jarinya mulai berani memasuki gerbang kemesraan Andani.
"Oooh, oooh... teruskan, Suto! Aku suka yang begini, ooh...! Indah sekali, Suto. Indah sekaliii...!"
Napas Andani terengah-engah, ia masih bertahan untuk tetap berdiri dengan satu kaki, sementara pinggulnya pun meliuk-liuk mengikuti irama keindahan. Tangan Suto masih menari di gerbang kemesraan Andani dan semakin lincah lagi, sementara tato kupu-kupu itu masih pula dipagut-pagut serta digigit-gigit kecil oleh Suto.
"Sutooo, oouh... Sayang, aku mau... aku mau sampai, Sayang. Terus, terus... lebih cepat lagi, Suto. Ooouh, oouh.... Aaaahk...!" Andani memekik panjang. Sekujur tubuhnya mengejang kaku. Kepalanya mendongak dengan mata terpejam kuat-kuat.
Rupanya ia telah mencapai puncak keindahannya sebelum Suto Sinting menggunakan dayungnya untuk mengayuh perahu cinta. Mereka belum berlayar, tapi Andani sudah mencapai puncak pelayaran lebih dulu. Jika bukan karena kepandaian Suto dalam memainkan irama kemesraan, tak mungkin perempuan itu mencapai puncak kemesraan lebih dulu.
Kini tubuh Andani basah oleh keringat. Tapi ia tak mempedulikannya. Ia masih menyukai jurus-jurus kemesraan sebelum keduanya berlayar dengan perahu cinta. Bahkan Suto Sinting ternyata mampu membuat perempuan itu melambung tinggi-tinggi mencapai puncak kemesraannya beberapa kali. Tak heran jika suara pekikan dan erangan Andani membuatnya menjadi serak dan parau.
"Cukup, Suto! Cukup...! Kau harus menikmati seperti apa yang kurasakan! Ooh, berdirilah, Sayang...! Aku ganti akan melambungkan jiwamu ke langit-langit asmara."
Suto Sinting bangkit berdiri, bersandar pada batu setinggi perut. Andani lebih dulu menerjang bibir Suto. Bibir itu dilumat hingga lama, dan gairah Suto menjadi berkobar-kobar. Lalu, lidah Andani pun menyusuri dagu, hingga mencapai leher. Di sana ia memagut-magut lembut, menimbulkan rasa syur di hati Suto Sinting.
Gerakan bibir itu makin lama semakin liar. Pagutan Andani bagai seekor singa yang buas. Dada Suto pun menjadi sasaran berikutnya. Andani bagai seorang bayi yang kehausan dan rakus. Suto Sinting bagai seorang ibu yang membiarkan bayinya minum dengan sepuas-puasnya, ia hanya mengusap-usap kepala perempuan itu sambil sesekali meremas karena menahan desiran kenikmatan. Akhirnya ciuman Andani turun terus ke bawah dan perempuan itu menemukan pusat keindahan Suto. Ia meremasnya dengan kepala mendongak ke atas, menyunggingkan senyum kegirangannya.
Namun baru saja Andani ingin berlutut, tiba-tiba gua itu terasa bergetar. Suara gemuruh terdengar samar-samar bagai datang dari luar gua. Mereka sama-sama terkejut, bahkan Andani segera bangkit dan terduduk dengan mata melebar memandang Suto Sinting.
"Ada apa itu?!"
"Entahlah! Sepertinya terjadi ledakan dahsyat di atas tebing ini."
Gleeerrr...! Gua berguncang semakin hebat. Langit-langit gua bagaikan mau runtuh. Mau tak mau Andani dan Suto Sinting sama-sama bergegas mengenakan pakaiannya kembali.
"Jika langit-langit gua ini runtuh, kita bisa mati tertimbun di sini!" ujar Pendekar Mabuk sambil berkemas untuk keluar dari gua.
"Suto, tunggu...!" Andani terburu-buru mengenakan pakaiannya. Kemudian ia menyusul Pendekar Mabuk yang sudah berada di mulut gua.
"Kita periksa dulu apa yang terjadi di atas tebing ini!" ujar Andani dengan penuh semangat. Kemudian mereka berdua melesat tinggalkan gua itu dan mendaki tebing dengan cara melompat bagaikan seekor tupai.
Tab, tab, tab, tab, tab...!
Dalam sekejap saja mereka sudah sampai ke atas tebing. Ternyata bagian atas tebing itu merupakan tempat yang jarang ditumbuhi pohon dan banyak bebatuan yang berserakan di sana-sini dalam ketinggian masing-masing. Ada yang tingginya seukuran tinggi tubuh Suto, tapi ada pula yang dua kali tinggi ukuran tubuh Suto.
"Aku tak melihat ada pertarungan di sini!" ujar Andani.
"Coba kita cari di sebelah sana!" sambil Suto mendahului bergerak ke arah yang dimaksud.
* * *
ENAM
DUGAAN Suto benar. Di tempat yang tampak masih mengepulkan asap itu terjadi pertarungan. Namun agaknya pertarungan itu sangat tak seimbang. Pendekar Mabuk terkejut ketika melihat siapa yang bertarung di situ. Seorang perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun melawan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Perempuan yang tampak masih lajang itu sangat berang kepada si pemuda yang mengenakan baju kuning dan celana hitam berikat kepala kuning merah. Pemuda bertubuh tak terlalu kurus itu mempunyai kulit gelap dan wajahnya masih kelihatan polos.
"Mahesa Gibas...?!" Suto Sinting nyaris terpekik begitu mengenali pemuda itu.
Mahesa Gibas sedang diserang oleh perempuan muda yang berpakaian serba merah itu. Tendangan si perempuan kenai punggung Mahesa Gibas, membuat pemuda itu terpental dan berjungkir balik.
"Edan! Tentu saja ia dapat menghajar Mahesa Gibas, karena Mahesa Gibas tak mempunyai ilmu yang cukup. Akulah tandingannya!" ujar Suto Sinting sambil ingin melompat dari balik semak. Tapi tangannya segera dicekal oleh Andani.
"Tak perlu ke sana. Aku tahu perempuan itu adalah orang Tanjung Leak, murid si Gincu Barong!"
"Tapi temanku itu akan celaka jika dibiarkan saja!"
"Akan kuselesaikan dari sini demi temanmu!"
Andani membuktikan kata-katanya, ia melepaskan pukulan jarak jauh berupa sinar merah seperti ujung tombak yang keluar dari ujung telapak tangannya. Clapp...! Satu sinar merah terbang cepat dan dengan telak menghantam tubuh perempuan berpakaian serba merah yang sedang ingin menerjang Mahesa Gibas dengan lompatannya itu.
Blarrr...!
Mahesa Gibas terperangah dan memekik kaget, ia melihat lawannya pecah menjadi beberapa bagian akibat dihantam sinar merah tadi. Nasib perempuan itu seperti yang dialami Singaloya. Menyedihkan, sekaligus mengerikan. Mahesa Gibas mematung di tempat karena dicekam perasaan kaget yang mengerikan.
"Beres, kan?!" ujar Andani sambil tersenyum pandangi Suto.
"Seharusnya kau tak perlu gunakan jurus mautmu itu."
"Sudahlah, jangan mengecam! Hampiri temanmu itu!"
Pendekar Mabuk pun segera hampiri Mahesa Gibas, sedangkan Andani masih tetap di balik semak-semak. "Mahesa...!" sapa Suto Sinting.
"Haah...?! Sutooo?!" Mahesa Gibas makin terperangah, bahkan sempat terpekik keras karena girangnya. Ia pun berlari dan menghamburkan pelukan kepada Suto Sinting. "Sutoo... ooh, untung aku bisa bertemu denganmu lagi. Jika tidak, aku tak tahu seperti apa nasibku nanti. Mungkin aku akan bunuh diri di bawah pohon toge!" pemuda itu terharu dalam kegembiraannya.
"Di mana Perawan Sinting?"
"Aku tak tahu. Aku tak bertemu dengannya. Aku justru bertemu dengan perempuan itu."
"Mengapa kau dihajar oleh perempuan itu?"
"Dia... dia ingin minta dicumbu. Ak... aku sudah mencumbunya. Tapi dia minta lebih dari sekadar dicumbu. Aku tak mau, karena hatiku sedang sedih dan bingung memikirkan nasib kita. Rupanya perempuan itu marah, ia menunjukkan kehebatan ilmunya dengan menghantam pohon besar itu yang langsung meledak dan menjadi serpihan kayu seperti yang kau lihat itu."
Pendekar Mabuk memperhatikan serpihan kayu yang berceceran ke berbagai arah. Rupanya ledakan itulah yang tadi mengguncangkan hingga terasa sampai di dalam gua.
"Dia menakut-nakutiku dengan cara begitu. Tapi aku tetap tidak mau memberikan kenikmatan yang dimintanya."
"Kenapa tak kau layani saja?" pancing Suto.
"Aku aku tidak punya kemampuan, karena hatiku masih gelisah dan memikirkan kau serta Perawan Sinting. Apa yang ia harapkan tak bisa bangun, sehingga ia semakin marah padaku, lalu aku dihajarnya...," sambil ia menunjukkan wajahnya yang babak belur.
Pendekar Mabuk justru tertawa melihat Mahesa Gibas bonyok begitu. "Kasihan. Minumlah tuakku ini!"
Mahesa Gibas buru-buru meminum tuak, dan rasa sakit dan luka-lukanya segera hilang dalam waktu singkat. "Padahal kalau aku mau melayaninya, aku akan diajak menemui gurunya dan akan dijadikan murid si guru itu," kata Mahesa Gibas.
"Siapa guru yang dimaksud itu?"
"Kalau tak salah ia menyebutkan Nyai Gincu Barong."
"Hmmm... kalau begitu apa kata Andani memang benar. Dia orang Tanjung Leak, anak buah Nyai Gincu Barong."
"Andani? Siapa Andani itu, Suto?!"
"Seorang teman baru. O, ya... Ikut aku, Mahesa! Kukenalkan kau kepada Andani!"
Sambil melangkah menuju balik semak tempat Andani bersembunyi, Mahesa Gibas bercerita tentang saat-saat ia terdampar di sebuah pantai dalam keadaan terjepit karang. Untung ia berhasil melepaskan diri dari jepitan karang itu walau siku dan pahanya sempat robek. Tapi luka itu kini telah tiada sejak meminum tuak Suto tadi.
Pendekar Mabuk berseru sebelum mencapai semak-semak. "Andani...! Keluarlah, temanku ini ingin berkenalan denganmu!"
Tetapi Andani tak menjawab. Bahkan Suto Sinting tak melihat ada gerakan di balik semak-semak itu. Mahesa Gibas pun diajak menerobos semak untuk menemui Andani. Tetapi Andani tidak ada di tempatnya semula.
"Andani...?! Andani...!!" seru Suto sambil memandang ke sana-sini.
"Andani itu perempuan atau lelaki, Suto?"
"Perempuan cantik dan bertubuh mulus menggairahkan. Kau pasti akan suka memandanginya."
"Jika dibandingkan kecantikan Perawan Sinting, mana yang lebih unggul?"
"Keduanya sama-sama cantik. Tapi... terus terang aku lebih suka Perawan Sinting. Hmmm... di mana si Andani tadi!" Suto pun berseru kembali sambil badannya memutar pelan-pelan. "Andanii...?! Hai, di mana kau, Andani?!"
Tetap saja tak ada jawaban. Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya di sekitar tempat itu. Mahesa Gibas diam menungu sambil clingak-clinguk. Kejap kemudian Pendekar Mabuk kembali dekati Mahesa Gibas dengan napas terhempas.
Mahesa Gibas memandang dengan dahi berkerut. "Mana temanmu itu, Suto?"
"Entahlah. Tadi dia ada di sini. Mengapa sekarang pergi?" Suto pun membatin, "Apakah dia sengaja menghindariku? Atau karena ia melihat lawannya dan segera kabur?! Hmmm... ke mana si Andani? Oh, ya... mungkin ia kembali ke gua dan menungguku di sana."
Mahesa Gibas segera berkata, "Suto, kata Tunawi, perempuan yang ingin memperkosaku tadi, di tempat ini ada sekelompok manusia pemakan orang. Mereka tinggal di padepokan dan mempunyai perguruan sendiri yang bernama Perguruan Pantai Porong! Hati-hatilah jika kau bertemu dengan orang Perguruan Pantai Porong."
"Ah, siapa bilang?!"
"Tunawi! Orang Pantai Porong katanya selalu bersikap baik lebih dulu. Tapi pada akhirnya kita akan disembelih seperti kambing dan dimakan mentah-mentah!"
"Tunawi berbohong! Justru aku diselamatkan dan ditolong oleh orang-orang Perguruan Pantai Porong! Aku kenal mereka dan aku ada di pihak mereka."
"Lho, tapi kenapa Tunawi berkata begitu?"
"Tentu saja Tunawi berkata begitu. Karena Tunawi orang Tanjung Leak. Ketahuilah, Mahesa... orang Tanjung Leak sedang bermusuhan dengan orang Pantai Porong."
Mahesa Gibas menggumam. "Lalu, bagaimana dengan rencana kita? Sang Adipati pasti menunggu hasil kerja kita. Beliau tak mau kehilangan menantunya; Rama Jiwana itu."
"Kita memang akan lanjutkan perjalanan. Tapi kudengar negeri Samudera Kubur telah hancur dan si Bayangan Setan sudah tidak tinggal di Pulau Blacan lagi."
"Ah, kata siapa?!" Mahesa bersungut-sungut. "Baru beberapa hari yang lalu dia menyerang kadipaten dan menyuruh anak buahnya pulang ke Samudera Kubur, kenapa sekarang kau bilang Samudera Kubur telah hancur? Si Bayangan Setan itu bukan orang yang mudah dilumpuhkan, Suto."
"Aku pun sependapat denganmu. Tapi keterangan ini kudapatkan dari orang yang bisa kupercaya juga, yaitu ketua Perguruan Pantai Porong yang bernama Eyang Panembahan Pancalingga. Dia tak mungkin berkata bohong, Mahesa. Bahkan menurutnya, kehancuran Samudera Kubur terjadi delapan tahun yang lalu."
"Semakin tak masuk akal!" gumam Mahesa Gibas dengan lagaknya yang sok tahu. "Sudah, tak perlu hiraukan kata-kata itu. Sekarang sebaiknya kita cari perahu baru untuk lanjutkan perjalanan ke Pulau Blacan!"
"Nanti dulu. Aku harus temukan Perawan Sinting dulu. Aku harus tahu bagaimana nasibnya. Aku tak mau meninggalkan Perawan Sinting sebelum kuketahui nasibnya! Dan lagi..." Kata-kata Suto terhenti oleh suara ledakan yang menggelegar di sebelah barat, ia dan Mahesa Gibas saling pandang dengan sedikit tegang.
"Ada pertarungan di sana!"
Mahesa Gibas menimpali, "Ya. Jangan-jangan si Perawan Sinting yang bertarung dengan orang Tanjung Leak?!"
"Celaka! Aku harus segera ke sana!" Zlappp!
"Heii...! Tunggu aku, Suto!"
Mahesa Gibas tertinggal karena Suto menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Mau tidak mau Suto hentikan langkah dan harus menyesuaikan gerakan Mahesa Gibas, karena ia tak mau kehilangan teman satu pemberangkatan itu. Ternyata pertarungan itu terjadi antara Mahayuni dan dua orang berpakaian serba hitam. Dua lelaki berpakaian serba hitam itu mengenakan ikat kepala merah dan yang satunya hijau. Mereka berbadan kekar dan tinggi, usia mereka rata-rata sekitar tiga puluh tahunan. Mahayuni tampak terdesak oleh tendangan si ikat kepala hijau itu. Tendangan itu sangat cepat datangnya, seakan seperti angin yang tak dapat dilihat. Mahayuni berusaha menangkisnya beberapa kali, tapi akhirnya dadanya menjadi sasaran empuk kaki tersebut. Druk, duk...!
"Aahk...!" Mahayuni terlempar ke belakang dalam keadaan melayang. Brruk...! Ia jatuh terbanting begitu saja.
Sementara lelaki berikat kepala merah melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bersinar merah dengan asap tipis menyertainya. Weesss...! Pada saat itu, Mahayuni baru saja akan bangkit. Tiba-tiba ia harus menghadapi sinar merah yang sudah ada di depan matanya. Mahayuni tak punya waktu untuk berkelit atau menangkisnya.
Blarrr...! Sinar merah itu pecah dan timbulkan ledakan yang melemparkan tubuh Mahayuni lagi. Seandainya tak ada sinar hijau dari arah kiri yang menghantam sinar merah itu, sudah pasti Mahayuni akan kehilangan nyawanya. Tetapi dengan munculnya sinar hijau yang menghantam sinar merah itu, Mahayuni hanya terlempar ke belakang dan berguling-guling beberapa saat.
"Keparat! Ada yang mau ikut campur urusan kita, Bedana!" geram lelaki berikat kepala merah kepada lelaki berikat kepala hijau yang ternyata bernama Bedana itu.
"Serang dia, dan aku akan menyerang perempuan kotor itu, Gambra!" seru si ikat kepala hijau kepada yang berikat kepala merah, yang ternyata bernama Gambra itu.
Bedana segera mencabut goloknya dan lakukan lompatan bersalto beberapa kali untuk dekati Mahayuni. Sementara itu, Gambra melepaskan sinar merahnya lagi ke arah kerimbunan semak. Clapp...!
Namun pada saat itu Pendekar Mabuk muncul dengan bumbung tuak telah berada di tangan. Wess...! Satu lompatan Suto membuat sinar merah itu segera menghantam bumbung tuak yang dipakai untuk menangkis. Tubbs, weng...! Sinar merah itu berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Sementara itu, bumbung tuak Suto tidak mengalami cedera atau lecet sedikit pun.
Gambra terkejut melihat sinar merahnya menuju ke arahnya dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat, ia terpaksa melompat tinggi dan bersalto di udara. Wess...! Sinar merah itu memang tak jadi kenai tubuh Gambra. Namun sinar merah besar itu meluncur terus ke belakang Gambra di mana Bedana sedang ingin mengibaskan goloknya ke kepala Mahayuni. Pada saat itulah, sinar merah tersebut menghantam punggung Bedana. Jedarrr...!
"Aaaaa...!!" Bedana menjerit sekeras-kerasnya, ia berlari ke sana-sini dalam kedaan tubuhnya dibungkus api. Rupanya sinar merah dari Gambra adalah sihar pembakar tubuh yang mestinya hanya membuat lawan hangus bagian dalamnya. Tapi karena sinar merah itu menjadi lebih besar dua kali lipat, maka akhirnya sinar merah itu bukan saja membakar bagian dalam tubuh Bedana, namun juga membakar sekujur tubuhnya.
"Bedana...?!!" teriak Gambra dengan tegang, ia sangat terkejut melihat temannya terbungkus api sebesar itu. Ia kebingungan memadamkannya, sementara Bedana berguling-guling di rerumputan dengan jeritan yang menyayat hati.
"Kasihan...!" gumam Suto Sinting. Lalu, tuak pun ditenggaknya. Sebagian ditelan, sebagian lagi disimpan dalam mulut. Zlapp...! Dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di dekat Bedana yang meraung-raung. Tuak dalam mulut itu segera disemburkan untuk padamkan kobaran api. Api padam seketika. Tapi tubuh Bedana sudah telanjur hangus, ia menghabiskan sisa napasnya sebentar, kemudian tak berkutik lagi selama-lamanya.
Gambra memekik keras penuh murka melihat temannya tewas. Pekikan keras itu merupakan ungkapan rasa penyesalannya terhadap serangannya tadi yang akhirnya kenai teman sendiri, dan juga ungkapan kemarahannya kepada Suto Sinting. "Kau telah membunuh temanku, Bangsaaat...! Heeeaaahh...!" Gambra melompat sambil cabut goloknya. Golok itu ditebaskan ke arah dada Suto Sinting. Wuuttt...!
Suto Sinting menangkisnya dengan bumbung tuak. Trrang ! Tapi dari arah samping kanan Gambra, melesat sinar biru kecil yang langsung menghantam pinggang lelaki itu. Clapp...! Jrass !
"Aaahk...!" Gambra memekik sambil tumbang ke tanah. Sinar yang datang dari Mahayuni itu membuat pinggangnya hangus dan seluruh badannya terasa mengering.
"Bangsat! Awas kalian nanti! Aku akan datang lagi menuntut balas. Tunggu saatnya yang terbaik!"
Gambra akhirnya larikan diri. Ia tak sanggup melawan Mahayuni dan Pendekar Mabuk dalam keadaan terluka begitu. Mahayuni mau mengejar dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak jauh. Tapi Pendekar Mabuk segera merentangkan tangan dan berseru kepada Mahayuni.
"Tahan!" Ia mendekati perempuan yang tak jadi lepaskan pukulannya itu.
"Dia sudah lemah. Tak perlu diserang lagi!"
"Tapi dia mengancam ingin membalas kekalahannya ini!"
"Biar aku yang berurusan dengannya nanti," ujar Suto Sinting.
* * *
TUJUH
PENDEKAR Mabuk dan Mahesa Gibas dibawa ke padepokan oleh Mahayuni. Orang-orang padepokan yang sedang mencari Suto Sinting ditarik kembali. Mereka diperintahkan untuk melakukan penjagaan lebih kuat lagi, karena orang-orang Tanjung Leak tampaknya semakin gencar lagi lakukan penyerangan secara bertahap.
Suto ceritakan pertemuannya dengan perempuan cantik yang bernama Andani. Tapi Eyang Panembahan dan para muridnya tak ada yang pernah mengenal nama Andani.
"Di seluruh Pantai Porong dan sekitarnya, tak ada wanita yang bernama Andani dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi," kata Eyang Panembahan. "Kurasa dia bukan orang sini."
"Tapi mengapa memihak kita, Eyang? Dia membunuh dua orang Tanjung Leak; pertama Singaloya dan kedua perempuan yang hendak membunuh Mahesa Gibas itu!" ujar Suto.
"Berarti kita punya satu kekuatan lagi untuk melawan Nyai Gincu Barong," sela Mahayuni.
Si kecil Rahisan menyahut, "Jangan buru-buru menilai begitu. Siapa tahu dia lakukan hal itu semata-mata hanya ingin dipuji oleh Suto? Biasa, cari perhatian!"
Percakapan malam itu terhenti seketika karena kemunculan seorang murid yang bernama Argayosan. Ia adalah mata-mata yang ditugaskan menyusup ke Tanjung Leak dan mempelajari kekuatan serta rencana-rencana Nyai Gincu Barong. Kedatangan Argayosan disambut baik oleh Eyang Panembahan. Hampir seluruh murid berkumpul mendekati Argayosan untuk mendengar kabar yang dibawanya.
"Kabar apa yang kau peroleh dari Tanjung Leak, Argayosan?" tanya Eyang Panembahan kepada pemuda berambut ikal dan berpakaian abu-abu itu.
"Nyai Gincu Barong murka, Eyang. Dua orangnya ditemukan tewas dalam keadaan pecah raganya. Salah satu orang yang tewas itu adalah Singaloya, orang andalan sang Nyai sendiri. Maka Nyai pun merencanakan akan menyerang kita esok siang dari arah timur!" jawab Argayosan dengan wajah masih agak tegang.
"Tapi mereka yang tewas dengan raga terpisah itu bukan oleh perbuatan orang-orang kita, Argayosan."
"Nyai Gincu Barong tak mungkin mau percaya, Eyang, ia tetap saja menuduh pihak kita yang melakukannya."
"Hmmm...," Eyang Panembahan manggut-manggut sambil menggumam. "Jadi ia akan menyerang dari timur esok siang?"
"Benar, Eyang. Terutama setelah menggantung tawanannya pagi hari."
"O, Gincu Barong punya tawanan?! Apakah tawanan itu dari pihak kita?"
"Bukan, Eyang," jawab Argayosan dengan tegas. "Saya yakin dia bukan orang kita, Eyang. Saya sendiri merasa asing melihat perempuan itu."
"Seorang perempuankah tawanan itu?"
"Benar, Eyang. Tapi Nyai Gincu Barong tetap menuduh perempuan itu orangnya kita, Eyang. Perempuan itu dituduh sebagai mata-mata dari pihak kita, sehingga disiksa sedemikian rupa agar mengaku. Tapi perempuan itu tetap mengaku bukan orang Perguruan Pantai Porong dan tidak mengenal Eyang Panembahan Pancalingga serta yang lainnya."
Pendekar Mabuk termenung, sebentar. Dahinya mulai berkerut begitu mendengar tawanan perempuan itu mengaku tidak mengenal Eyang Panembahan dan yang lainnya. Mulailah timbul kecurigaan di hati Pendekar Mabuk, hingga ia beranikan diri untuk ajukan tanya kepada Argayosan. "Siapa nama perempuan itu?"
"Kudengar ia mengaku bernama Perawan Sinting."
"Hahh...?!" Wajah si Pendekar Mabuk menjadi merah seketika.
Mahesa Gibas hanya mendelik dan membuka mulutnya. Mahayuni saling pandang dengan Rahisan, sementara Eyang Panembahan Pancalingga hanya menarik napas sebagai ungkapan rasa kagetnya.
"Eyang," kata Suto Sinting. "Sekarang juga aku akan pamit pergi ke Tanjung Leak!"
"Jangan sekarang, Nak Mas Pendekar."
"Aku tidak ingin temanku itu mati di tangan Nyai Gincu Barong."
"Benar. Aku pun tak ingin Perawan Sinting, temanmu itu menjadi korban kebrutalan si Gincu Barong. Tetapi ada saatnya sendiri untuk melakukan pembebasan itu. Malam ini bukan saat yang baik. Banyak rintangannya. Karena pada malam hari tentunya pihak Tanjung Leak mempertinggi penjagaan keamanan mereka. Tentunya keamanan itu dilakukan secara berlapis-lapis, dan mereka yang berjaga-jaga dalam keadaan waspada tinggi pula. Tapi jika menjelang fajar tiba, pertahanan mereka akan mulai mengendur. Kurasa kita bisa melumpuhkan mereka dengan mudah di saat mereka dihinggapi kelelahan dan rasa kantuk."
Mahayuni menimpali, "Aku setuju untuk lakukan penyerangan menjelang fajar tiba. Akan kubawa beberapa orang kami yang pandai lakukan penyusupan, termasuk Argayosan sendiri."
Pendekar Mabuk mendesah karena gelisah. Bayangan Perawan Sinting dalam keadaan tersiksa semakin muncul dibenaknya dan membuat Pendekar Mabuk bertambah tak sabar lagi untuk menunggu sampai menjelang fajar. Sekalipun Eyang Panembahan sudah berikan penjelasan dan bujukan macam-macam, tapi kegelisahan itu tak bisa hilang dari hati Pendekar Mabuk, ia tak rela jika sampai Perawan Sinting mati di tangan Nyai Gincu Barong.
Maka setelah lewat tengah malam, Suto Sinting nekat keluar dari padepokan dengan cara mengendap-endap. Tanpa pamit siapa pun, tanpa diketahui oleh siapa pun, ia melesat pergi menuju Tanjung Leak. Sebelumnya ia sudah lakukan percakapan empat mata dengan Argayosan tentang keadaan di Tanjung Leak, termasuk tempat-tempat rawan yang mudah diterobos, dan tempat di mana Perawan Sinting ditawan. Argayosan menjelaskan segalanya, tapi ia juga mengingatkan agar Suto Sinting menuruti saran Eyang Panembahan. Suto berlagak setuju dengan saran tersebut, agar tidak timbulkan perdebatan terlalu lama.
Karenanya, ketika ia pergi meninggalkan padepokan menuju Tanjung Leak, ia sudah tahu jalan mana yang harus diambilnya agar sampai ke Tanjung Leak. Pada waktu ia meninggalkan padepokan, sang rembulan masih tersisa di langit, hingga cahayanya cukup lumayan untuk menjadi penerang jalan. Zlaap, zlaap, zlaap...! Gerakan Suto seperti anak panah menerabas semak dedaunan. Kecepatan geraknya memang luar biasa. Dalam waktu tak terlalu lama, ia akan sampai di perbatasan Tanjung Leak.
Tetapi sebelumnya, langkah itu terpaksa dihentikan karena mata Suto melihat bayangan yang bergerak di sela-sela pepohonan samping kanannya, ia segera merunduk, sembunyikan diri dan memperhatikan bayangan yang bergerak di bawah pohon dalam keremangan cahaya rembulan yang terhalang dedaunan itu.
"Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu?!" pikir Suto Sinting. "Hmmm... coba kulihat lebih dekat lagi. Apa yang dilakukan perempuan itu di sana?"
Bayangan itu memang bayangan seorang perempuan yang mempunyai rambut panjang terurai, tapi tak jelas wajah dan pakaiannya. Perempuan itu sedang melakukan kegiatan di bawah pohon, sepertinya sedang menikmati hidangan yang menggairahkan. Ketika Pendekar Mabuk berhasil melesat ke atas pohon tanpa suara, dan ia melompat dari pohon ke pohon menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka sampailah ia di tempat yang paling dekat dengan perempuan itu. Ia memandang dengan jelas apa yang dilakukan oleh si perempuan, dan ia pun tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Pendekar Mabuk terkejut dan menggumamkan nama dalam hati,
"Andani...?!" Matanya tak mau berkedip melihat apa yang dilakukan oleh Andani. Justru apa yang dilakukan Andani itulah yang membuat Suto Sinting semakin terkejut dan nyaris ingin terpekik dengan suara keras.
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk menutup mulutnya sendiri agar tak timbulkan suara. Namun sekujur tubuhnya menjadi gemetar melihat pemandangan yang mengerikan itu. Rupanya Andani bertemu dengan seorang lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Lelaki itu kini dalam keadaan terbaring tanpa busana. Agaknya Andani habis bercumbu dengan lelaki itu dan menikmati puncak kemesraan secara bersama-sama.
Tetapi yang membuat Suto hampir muntah adalah tindakan Andani berikutnya. Entah bagaimana caranya, lelaki yang telah dijadikan pemuas dahaga itu dibunuh oleh Andani. Lelaki itu bukan hanya dibunuh saja, melainkan juga dimakan secara rakus. Pendekar Mabuk tak berani menggambarkan bagaimana caranya Andani menggigit bagian perut lelaki itu, dan bahkan tampaknya Andani juga memakan 'jimat kejantanan' lelaki tersebut dengan lahapnya. Tentu saja hal itu membuat sekujur tubuh Suto merinding dan gemetar.
"Tak kusangka dia seorang perempuan pemakan daging manusia?!" gumam hati Suto bernada tegang. "Oh, seandainya pada waktu di dalam gua itu aku jadi berkencan dengannya, mungkin setelah ia memperoleh kepuasan maka aku akan dimakannya seperti lelaki itu? Hiih...! Cantik-cantik tapi menyeramkan sekali kegemarannya."
Pendekar Mabuk tak berani terlalu lama menyaksikan, adegan mengerikan itu. Ia segera tinggalkan Andani dengan tanpa timbulkan suara. Untuk sementara Andani dilupakan. Suto lebih memusatkan perhatiannya kepada nasib Perawan Sinting di tangan Nyai Gincu Barong. Saat mendekati perbatasan Tanjung Leak, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat dari arah depan Suto. Mau tak mau gerakan Suto dihentikan dan sinar itu segera ditangkis dengan bumbung tuaknya. Claap...! Buuuss...! Sinar itu tidak timbulkan ledakan apa pun, juga tidak memantul balik ke arah semula. Sinar biru itu hanya meletup kecil dan menyemburkan asap abu-abu.
"Hmm... siapa orangnya yang menyerangku dari depan saja?! Pasti dia berilmu tinggi, karena serangannya tak bisa dipantulbalikkan oleh bumbung tuakku ini!" pikir Suto Sinting dengan mata memandang tajam. Keremangan cahaya rembulan membuat pandangan tak mampu menembus kejauhan. Pendekar Mabuk akhirnya melesat ke atas pohon dan mengintai dari sana.
Wuuutt...! Weesss..!
Sekelebat bayangan datang dari arah depan. Seseorang yang berkelebat sangat cepat itu hanya bisa dilihat seperti bayangan merah yang melintas di bawah pohon tempat persembunyian Suto Sinting. Mau tak mau pandangan Suto mengikuti bayangan merah tersebut.
"Pasti dialah orangnya yang melepaskan sinar biru tadi," ujarnya membatin.
Semula Suto ingin membiarkan orang itu lewat begitu saja. Ia ingin teruskan langkahnya menuju gerbang Tanjung Leak. Tetapi ketika ia bergerak kembali, ternyata bayangan merah itu telah berbalik arah. Mungkin karena tak menemukan Suto di tempat yang dituju, orang itu kembali ke tempat semula dan pada saat itu Suto Sinting mendengar desau angin yang mencurigakan, ia segera berbalik, dan akhirnya berpapasan dengan orang berpakaian serba merah itu.
"Oh, rupanya kau sudah ada di sini, Penyusup!" geram orang brewok berkepala botak dengan pakaian serba merah. Orang itu bertubuh tinggi, besar, dan berwajah angker. "Siapa yang menyuruhmu malam-malam begini berkeliaran di perbatasan Tanjung Leak, hah?!" bentak orang itu menampakkan kegalakannya.
Pendekar Mabuk tetap tenang, sempat melirik sekelilingnya. O, ternyata orang itu sendirian. "Aku ingin bertemu dengan Nyai Gincu Barong!"
"Mau apa kau bertemu dengan Guru malam-malam begini?!"
"Menantang pertarungan dengannya!" tegas Suto Sinting tanpa basa-basi lagi, karena di benaknya terbayang keadaan Perawan Sinting yang tersiksa seperti yang diceritakan Argayosan itu.
"Manusia jahanam! Ngelunjak sekali kau, malam-malam menantang guruku?! Itu sama saja kau ingin membedah dadaku, tahu?!" bentak orang bersenjata golok besar itu.
"Kalau kau mengartikan begitu, terserah! Kurasa kalau memang kau minta dibedah dadamu, aku tak keberatan menjadi juru bedahnya!" kata Suto tetap kalem, namun kata-katanya sengaja memancing emosi lawan.
Orang brewok berbadan besar itu menggeram. Matanya yang lebar semakin lebar ketika ia melotot menampakkan kemarahannya. Pendekar Mabuk hanya melangkah ke samping dengan pandangan mata tak pernah berkedip.
"Bocah' urap! Rupanya kau belum tahu siapa si Bagolo ini, hah?!" Buuhk, buhk...! Ia menepuk dadanya sendiri.
Pendekar Mabuk justru sunggingkan senyum tipis dan membatin, "Oo... namanya Bagolo?! Nama yang lucu menurut telingaku! Tapi sesuai dengan perawakannya yang tinggi besar itu."
"Sebaiknya urungkan saja niatmu dan kuberi kebijaksanaan agar kau pulang saja. Jangan sampai murkaku tak terbendung lagi di depanmu, Anak muda! Kau bisa kehilangan nyawa dalam tiga kedipan saja!" ujar Bagolo dengan suaranya yang besar menyeramkan itu.
"Aku sudah siap kehilangan nyawa! Aku akan pulang kalau temanku yang kalian tawan itu dibebaskan!"
"O, jadi kau teman si perempuan liar bernama Perawan Sinting itu?!"
"Benar! Dan aku menuntut pembebasan atas dirinya!"
"Kalau begitu tak ada salahnya jika sebelum kau bikin onar, lebih baik kucabut nyawamu sekarang juga! Heeeaah...!"
Bagolo tiba-tiba menerjang tanpa diketahui kapan bergeraknya. Brruusk...! Pendekar Mabuk menggeragap dan terpental lima langkah dari tempatnya semula. Dadanya terasa mau jebol akibat terkena lutut Bagolo saat menerjang tadi. Bukan saja panas, namun juga sakit sekali dipakai untuk bernapas. Pendekar Mabuk mencoba bertahan dalam keadaan terluka dalam, ia bangkit kembali pada saat Bagolo mengayunkan golok besarnya ke arah kepala Suto. Wuuut...!
Zlaap...! Pendekar Mabuk bagaikan menghilang ditelan bumi. Lenyap begitu saja, sehingga golok besar itu tak mengenai sasaran apa pun. Bagolo kebingungan sesaat mencari lawannya.
"Aku di sini, Kawan!"
Bagolo kaget mendengar suara itu dan buru-buru berpaling ke belakang. Tapi tepat ia berpaling, kaki Suto berkelebat cepat melepaskan jurus tendangan mabuk yang sukar dihindari. Beet! Prrok!
"Ouhff...!" Bagolo terpental, wajahnya menjadi sasaran telak tendangan Suto Sinting itu. Sesaat setelah berguling-guling di tanah, Bagolo bangkit dengan satu kaki berlutut, kemudian tangan kirinya menyentak ke depan. "Heaaah !"
Weess...! Seberkas sinar biru seperti tadi melesat menghantam dada Suto Sinting. Namun sebelum sinar itu kenai dada Suto, lebih dulu kaki Suto menyentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara dengan cepat. Wuuukk! Tapi tak disangka-sangka Bagolo juga melesat ke atas menerjang Pendekar Mabuk dengan golok segera ditebaskan dari arah samping kanan ke kiri. Beet!
Traang...! Pendekar Mabuk menangkis tebasan golok dengan bumbung tuaknya. Bersamaan dengan itu, kaki Suto menendang lengan Bagolo dari bawah. Dess...! Krrak!
"Ouuh!" Bagolo memekik, tulang sikunya bagaikan patah akibat tendangan tadi. Goloknya sendiri terpental ke atas. Pendekar Mabuk segera jejakkan kaki kanannya saat mereka bergerak turun. Duuhk...!
"Heehg...!" Bagolo terlempar ke belakang, goloknya melayang turun dan segera disambar oleh tangan Suto. Teeb...! Kini golok itu ada di tangan kiri Pendekar Mabuk.
Sekalipun Bagolo terkena tendangan tenaga dalam Suto beberapa kali, tapi tampaknya ia tak merasa terlalu kesakitan, ia dapat segera bangkit dan masih kelihatan segar. Bahkan kali ini ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya dari kedua telapak tangan. Pukulan itu berupa sinar merah yang terang yang menerjang Suto dengan cepat. Wuuuss...!
Pendekar Mabuk terpaksa mengibaskan bumbung tuaknya dalam satu putaran ke depan. Wuuuk, blaarr...! Kibasan itu keluarkan tenaga sakti tersendiri yang beradu dengan sinar merahnya Bagolo. Ledakan dahsyat pun terjadi mengguncangkan tanah dan alam sekitarnya. Bagolo dan Pendekar Mabuk sama-sama terpental ke belakang. Namun dalam waktu singkat keduanya sama-sama bangkit kembali.
"Bangsaaat kau, Bocah urapan! Heeeaaah...!" Bagolo lakukan lompatan panjang bagaikan terbang. Kedua tangannya menyala merah seperti besi dipanggang api. Kedua tangan itu menyentak ke depan dan keluarkan sinar merah runcing bagaikan tombak. Clap, clap...!
Zlaap...! Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk pindah tempat. Tahu-tahu ia sudah berada disamping Bagolo, dan golok Bagolo yang ada di tangan kiri Suto itu ditebaskan dalam satu gerakan melambung melintasi kepala Bagolo. Wuut, craas, crraas...!
"Aaaah...!" Bagolo memekik keras dan panjang, karena dalam waktu sekejap ternyata kedua lengannya menjadi buntung akibat tebasan golok di tangan Pendekar Mabuk tadi. "Bangkai busuk kauuu...! Ggrrrmm...!" Bagolo mengerang-ngerang penuh luapan murka yang membuatnya panik sekali, ia pandangi potongan kedua tangannya yang tergeletak di tanah. Ia pandangi lengannya yang buntung, ia menggeram seperti orang mau menangis. "Ggrrmm...! Bagaimana nyambungnya kalau begini, Setaaan...!! Huuuaaa...! Tanganku buntung. Huaaa...!" Bagolo benar-benar menangis seperti anak kecil.
"Aku hanya memberi peringatan pada gurumu agar Perawan Sinting harus segera dilepaskan. Jika tidak, semua orang Tanjung Leak akan kubuntungi sepertimu, Bagolo!"
"Peringatan ya peringatan, tapi tak usah pakai acara buntung-buntungan begini! Huaaa...! Kalau begini, lantas bagaimana nanti kalau aku mau cuci muka?! Huaaa...! Kebangetan kau, kebangetan, huaaa...!"
"Sekarang pulang dan menghadap gurumu! Sampaikan pesanku, bahwa Perawan Sinting harus dibebaskan. Jika tidak, gurumu yang akan kubuntungi kepalanya! Paham?!"
"Setan kau! Huaaa...!"
"Atau kepalamu yang akan kubuntungi lebih dulu!"
"Jangan! Huaaa...! Kalau kepalaku kau buntungi, lantas bagaimana aku bisa sampaikan pesanmu kepada Guru. Tolol! Huaaa...sakit!" Bagolo masih berusaha ingin membawa pulang potongan kedua tangannya itu. Tapi tak ada kemampuan untuk memegangnya, sehingga Suto pun segera berkata dengan tegas.
"Tak perlu kau bawa potongan itu!"
"Kalau digondol kucing bagaimana?! Huaaa...! Biar berbulu begini, tangan ini sering dipakai untuk mengusap-usap dada si Darmasih, istri mudaku!"
"Cepat pulang dan beri tahukan kepada gurumu!"
"Iyaa... iyaa...!" Bagolo ketakutan ketika Pendekar Mabuk mulai angkat golok besar itu lagi. Bagolo akhirnya berlari meninggalkan potongan tangannya sambil berseru dalam tangis. "Awas kau! Tunggu pembalasan dari guruku! Bukan tanganmu yang akan kubuntungi, tapi nyawamu juga akan dibuntungi. Huaaa... nasib, nasib. Huaaa...!"
Pendekar Mabuk hempaskan napas kelegaan. Golok besar segera dibuang, ia menenggak tuaknya untuk obati luka terjangan Bagolo tadi.
* * *
DELAPAN
TANJUNG Leak menjadi gempar setelah Bagolo tiba di sana dalam keadaan kedua tangan buntung. Padahal Bagolo adalah termasuk orang andalan Nyai Gincu Barong. Tentu saja sang Nyai menjadi murka melihat Bagolo dibuntungi lawan.
"Siapa yang melakukannya?!"
"Anak muda, Guru! Anak muda sekali!" jawab Bagolo sambil menyeringai antara sedih dan takut.
Nyai Gincu Barong yang mengenakan jubah merah hitam bertepian benang emas itu menggeletukkan gigi, menahan murka yang ingin meledak. Wajahnya yang masih tampak muda seperti baru berusia tiga puluh tahunan itu, kelihatan memancarkan api kemarahan yang ingin segera dilampiaskan. Dalam hatinya perempuan berambut disanggul dengan tubuh sekal dan masih tampak montok itu berkata membatin,
"Jika Bagolo saja berhasil dibuntungi tangannya, berarti anak muda itu berilmu lebih tinggi dari Bagolo!"
Saat itu, Bagolo segera sampaikan pesan Suto Sinting. "Dia menghendaki supaya temannya dibebaskan. Gadis yang mengaku bernama Perawan Sinting itu adalah teman anak muda itu, Guru! Dia juga ingin menantang pertarungan dengan Guru jika Perawan Sinting tidak dibebaskan!"
"Keparat! Berani betul dia sesumbar begitu?!" geram Nyai Gincu Barong yang berbibir merah lebar namun mengundang ajakan untuk bercumbu bagi lelaki mana pun. Akhirnya Nyai Gincu Barong merasa gengsinya jatuh jika tak berani hadapi si anak muda itu. Ia akan kehilangan wibawa di depan murid-muridnya jika tak mau layani tantangan pertarungan si anak muda itu. Maka dengan suara keras ia berseru kepada para muridnya.
"Ambil obor, ikut aku sebagian! Kini akan kuperlihatkan kepada kalian bagaimana caranya membalas dendam kepada seseorang yang telah membuntungi kedua tangan muridnya!"
Lebih dari dua puluh orang berbondong-bondong mengikuti langkah Nyai Gincu Barong. Di tangan mereka masing-masing menggenggam obor yang membuat suasana malam menjadi terang. Namun ketika mereka keluar dari pintu gerbang, ternyata seorang pemuda tampan berbadan kekar dengan menggantungkan bumbung tuak di pundak, telah berdiri menghadang langkah mereka.
"Itu dia orangnya, Guru!" sentak Bagolo sambil mundur hingga menginjak kaki temannya.
"Aduh! Hati-hati kau, ah!"
Plak...! Temannya menabok pelan. Tapi karena yang ditabok tepat bagian yang buntung dan masih berdarah, maka Bagolo pun menjerit keras-keras mengagetkan yang lain. "Aaooww...!!"
Plook...! Wajahnya justru ditampar Nyai Gincu Barong yang sedang memendam murka, karena teriakan Bagolo juga membuat tubuh sang Nyai terlonjak kaget. Tamparan itu ternyata adalah tamparan bertenaga dalam. Akibatnya, Bagolo terpelanting jatuh dan pingsan seketika dalam keadaan pipinya menjadi hangus.
Sang Nyai segera pandangi Pendekar Mabuk yang berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit merenggang. Dalam hati sang Nyai sempat memuji ketampanan Pendekar Mabuk yang tak disangka-sangka itu.
"Setan! Ternyata kali ini lawanku pemuda ganteng yang bertubuh kekar dan menggiurkan seleraku! Aduh, celaka kalau begini! Dia sangat menawan, semakin lama dipandang semakin membangkitkan gairahku. Hmmm... haruskah kubatalkan pembalasan dendamku ini? Oh, tidak! Murid-muridku akan mengancamku jika aku tergiur oleh ketampanan anak muda itu. Aku harus tetap membunuhnya agar dimata orang-orangku wibawaku masih tetap ada!"
Lalu, sang Nyai berseru, "Kepung dia!"
Wuurrs...! Beberapa orang yang menggenggam obor itu segera mengepung Pendekar Mabuk. Tangan kiri mereka memegang obor, tangan kanan mereka menggenggam senjata masing-masing. Tetapi sang pendekar tampan itu tetap berpenampilan tenang dan mantap, ia biarkan mereka mengepung, ia biarkan Nyai Gincu Barong mendekat. Tetapi seluruh inderanya dipasang dan dipekakan supaya sewaktu-waktu mendapat serangan dari berbagai arah dapat dirasakan hembusan anginnya.
"Kaukah yang menantang pertarungan denganku, Anak muda?!" sentak Nyai Gincu Barong.
"Benar! Aku memang menantangmu adu nyawa jika Perawan Sinting tidak kau bebaskan!" tegas Suto.
"Hmmm...! Jangan mimpi dulu, Anak muda! Kau belum tahu siapa Nyai Gincu Barong ini!"
"Kau pun belum tahu siapa Suto Sinting ini!" balas Suto sambil menuding dadanya sendiri.
Nyai Gincu Barong dan beberapa pengepung sempat terperangah, mata mereka terkesip kaget begitu mendengar nama Suto Sinting. Sebab mereka tahu bahwa yang bernama Suto Sinting itu adalah orang yang bergelar Pendekar Mabuk. Apalagi setelah mereka perhatikan ciri-ciri yang ada pada Suto, mereka semakin yakin bahwa pemuda itu memang benar-benar Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Para pengepung mundur satu langkah membuat lingkaran menjadi lebih lebar. Tetapi Nyai Gincu Barong tak menampakkan rasa takutnya walau ia sadar siapa yang dihadapinya, ia justru mengumbar sesumbar untuk membangkitkan keberanian para muridnya.
"Kebetulan sekali kali ini aku berhadapan denganmu, Pendekar Mabuk! Sudah lama kuidam-idamkan ingin menumbangkan kekuatanmu, biar namamu tidak menjadi pujian setiap orang! Agaknya sebentar lagi adalah giliran namaku yang disanjung-sanjung oleh setiap orang, karena aku berhasil membunuh Pendekar Mabuk yang katanya berilmu tinggi itu. Hmmm...! Kurasa itu hanya isapan jempol dari orang-orang bodoh saja!"
"Aku tak ingin banyak bicara, Nyai! Aku hanya ingin agar Perawan Sinting kau bebaskan, karena kami bukan orang Perguruan Pantai Porong! Kami terdampar dari tempat yang jauh dengan tujuan ke suatu tempat yang ada hubungannya dengan pihakmu! Jika kau tak mau bebaskan Perawan Sinting, maka kita akan beradu nyawa sampai salah satu ada yang terkirim keneraka!"
"Dengan senang hati kulayani tantanganmu, Pendekar Mabuk! Kalau kau memang bisa tumbangkan diriku, maka ambillah si Perawan Sinting itu dan bawalah pulang secepatnya. Tapi jika kau yang tumbang di tanganku, maka kalian berdua akan kugantung begitu matahari terbit nanti."
"Sebuah perjanjian yang manis bagiku, Nyai!"
"Bersiaplah untuk sekarat, Bocah bangus...!" Tiba-tiba sang Nyai sentakkan tangan kirinya bagai memercikkan air.
Praat...! Weess, buuhk...!
Pendekar Mabuk terkejut sekali. Kepretan tangan sang Nyai ternyata mengandung kekuatan tenaga dalam sangat besar. Suto seperti dihantam dengan batu gunung sebesar dua kali kepala kerbau yang mengenai dadanya dengan telak. Brruk...! Pendekar Mabuk pun terlempar jatuh dengan dada merasa sakit sekali. Seakan tulang dadanya menjadi remuk seketika itu juga. Sang Nyai tetap di tempat, memandang angkuh, seakan menunggu lawannya bangkit kembali.
Begitu Suto berdiri, sang Nyai segera bertepuk tangan satu kali dengan kedua tangan lurus ke depan. Plook...! Crralaap...! Oh, rupanya tepukan tangan itu hasilkan cahaya petir biru yang melesat cepat dengan gerakan berkelok-kelok menuju wajah Pendekar Mabuk. Namun dengan cepat, bumbung tuak segera dihadangkan ke depan wajah dan sinar biru itu menghantam telak bumbung tuak tersebut.
Jegaarr...! Ledakan dahsyat terjadi begitu sinar itu kenai bumbung tuak Suto. Pendekar Mabuk terlempar kembali dan terbanting dengan keras hingga tulang punggungnya bagaikan patah. Wajah Suto menjadi merah matang karena ledakan tadi semburkan hawa panas yang menyengat. Sekujur tubuh Suto menjadi perih sekali seperti alami luka bakar. Sedangkan Nyai Gincu Barong masih tetap berada di tempatnya tanpa bergeser sedikitpun.
"Bangun kau, Jahanam! Tunjukkan kesaktianmu yang sering dipuji-puji orang itu!" seru Nyai Gincu Barong.
Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Lalu ia bangkit dengan satu lompatan yang bertumpu pada pinggul. Wuuut...! Jleeg...! Tubuhnya segera menjadi segar dan hawa panas tak dirasakan lagi. Kulit wajahnya tidak tadi, dan rasa perih hilang dari seluruh tubuhnya. Pendekar Mabuk melangkah dengan tenang dekati lawannya lagi.
Tiba-tiba Nyai Gincu Barong melayang bagaikan terbang dalam keadaan tetap berdiri tegak. Tapi kedua tangannya mengarah ke depan dengan sepuluh jari lurus ke arah Suto. Srraap...! Tiba-tiba dari kesepuluh jari itu keluar kuku tajam dan runcing dalam ukuran panjang. Kesepuluh jari itu memancarkan cahaya merah bagai besi dipanggang api. Wees...! Nyai Gincu Barong menyerang Suto dengan kesepuluh jarinya yang menyala merah itu.
Tetapi Pendekar Mabuk segera gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk hindari terjangan lawannya. Zlaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Nyai Gincu Barong. Merasa terjangannya tak berhasil kenai lawan, Nyai Gincu Barong segera berpaling ke belakang dan tubuhnya memutar dengan cepat. Pada saat itulah, Suto lepaskan jurus 'Tangan Guntur', berupa sinar biru besar dari telapak tangannya yang melesat cepat menghantam Nyai Gincu Barong. Clap, wweeess...! Kedua telapak tangan Nyai Gincu Barong berdiri tegak merapat. Maka sinar biru itu tertahan oleh kedua telapak tangan tersebut. Deeeb...! Beesss...! Sinar itu padam begitu saja tanpa timbulkan suara ledakan ataupun letupan kecil.
Pendekar Mabuk terkesip melihat jurus 'Tangan Guntur'-nya dapat dipadamkan oleh lawannya. Bahkan dengan cepat kedua telapak tangan Nyai Gincu Barong berkelebat bagai memutar dan menyentak ke depan, sehingga dari ujung kesepuluh kuku jarinya itu keluar sinar merah berkelok-kelok bagaikan cacing membara. Cralaaap...!
Pendekar Mabuk sengaja diam di tempat. Begitu sepuluh sinar merah berkelok-kelok itu telah berada di depan hidungnya, tubuh Suto melayang ke atas dalam satu sentakan. Suuttt...! Weess...! Tubuh Suto tetap dalam posisi seperti berdiri tegak. Sementara kesepuluh sinar merah itu melesat terus hingga kenai enam orang pengepung di belakang Suto. Jegarr...! Keenam orang itu langsung tumbang dalam keadaan tubuh mereka berlubang besar dan tak bernyawa lagi.
Nyai Gincu Barong tersentak kaget. "Biadab kau! Muridku jadi korban salah sasaran! Kuhabisi nyawamu sekarang juga, Bangsat! Hiaaah...!!"
Nyai Gincu Barong melesat dalam keadaan tubuh berputar cepat di udara. Lalu dari putaran tubuhnya itu memancarkan sinar merah terang ke berbagai arah, empat sinar di antaranya menyerang Pendekar Mabuk. Maka dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk hantamkan bumbung tuaknya dalam satu putaran. Wuuutt...! Empat sinar merah itu bagaikan tersapu bumbung tuak dan menimbulkan ledakan lebih besar lagi.
Glegaaarr...!
Pendekar Mabuk terpental, tapi Nyai Gincu Barong tetap melayang menerjangnya. Hanya saja, karena keadaan Suto terlempar dan jatuh di luar kepungan, maka tubuh Nyai Gincu Barong pun menabrak dua orang anak buahnya yang memegangi obor. Brruuss...!
"Aaaahhk...!" kedua muridnya itu sama-sama memekik keras dan panjang, karena tangan mereka terpotong seketika begitu ditabrak tubuh Nyai Gincu Barong yang berputar cepat bagaikan gangsing itu.
Pendekar Mabuk segera melompat tinggi-tinggi dan bersalto dua kali di udara, kemudian ia daratkan kakinya dalam keadaan sudah berada di dalam lingkungan pertarungan lagi. Jleeeg...!
Pada saat itu, Nyai Gincu Barong segera melompat dengan gerakan tangan cepat bagai ingin mencabik-cabik lawan. Kuku-kuku yang panjang bagaikan mata pisau runcing itu masih memancarkan cahaya merah bara, sehingga tiap gerakan tangan diikuti oleh bayangan sinar merah tersebut yang mirip bintang berekor. Jleeg...! Nyai Gincu Barong tiba di depan Suto, langsung kesepuluh kukunya ditancapkan ke pinggang kanan-kiri Suto. Cruuss...!
"Aaahk...!" Suto Sinting mengejang dengan wajah menyeringai. Namun sebelum kesepuluh kuku itu merobek tubuh Suto, kedua tangan Suto segera menyentak ke samping kanan-kiri hingga kesepuluh kuku itu lepas dari tubuhnya. Deess...! Lalu kedua tangan Suto menghantam ke depan bersamaan dalam keadaan telapak tangan terbuka. Buuhk...!
"Haaahk...!" Nyai Gincu Barong mendelik seketika dengan tubuh melayang mundur beberapa langkah.
Suto Sinting tak hiraukan luka-lukanya yang mengucurkan darah segar itu. Ia segera menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh, tapi tahu-tahu bumbung tuaknya disodokkan tepat di ulu hati lawannya. Wuuut, duuhk...!
"Uuaahk...!" sang Nyai sentakkan napas dalam keadaan mulut terbuka. Bersamaan dengan itu menyemburlah darah segar hingga nyaris kenai wajah Suto jika Suto tidak segera berlutut satu kaki. Dengan satu kaki berlutut, Suto Sinting sentakkan kembali bumbung tuaknya yang dinamakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung' itu. Wuuut, beeehk...!
"Oouhk...!" Nyai Gincu Barong makin mendelik, darah yang muncrat dari mulutnya semakin banyak. Wajahnya dan anggota tubuh lainnya menjadi biru legam. Rambut sang Nyai mulai rontok, namun sang Nyai masih bertahan untuk tetap berdiri hadapi Suto Sinting.
Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas cepat menendang Nyai Gincu Barong. Weesss...! Plaakk...! Tendangan keras itu membuat Nyai Gincu Barong yang sudah terluka parah oleh kekuatan jurus 'Mabuk Lebur Gunung' itu segera terlempar dan jatuh berguling-guling. Kemudian seraut wajah cantik muncul di tempat itu. Jleeg...!
"Andani...?!" sapa Suto dengan kaget.
"Pergilah dan cari si perawan itu, lalu bebaskan dia dari kamar tawanan yang ada di ruang bawah tanah itu. Aku akan menghadapi si Nyai Gincu Barong yang merasa dirinya sudah paling ampuh itu!"
Mau tak mau Suto Sinting segera melesat memasuki pintu gerbang yang diterjang begitu saja dan hancur dalam waktu kurang dari satu kedipan mata. Prrak, brraak...!
Sementara itu, Andani segera melepaskan jurus merahnya dari telapak tangan yang menyerupai ujung tombak itu. Claaap...!
Blaarr...! Maka hancurlah tubuh Nyai Gincu Barong dalam keadaan anggota tubuhnya terpotong dan terpisah saling berjauhan. Padahal menurut Suto, tanpa keikutsertaan si Andani, sang Nyai pun tak akan dapat berkutik lagi, karena sodokan bumbung tuak tadi.
"Hahh...?! Guru kita tewas! Guru...?! Guruuu...!"
Para murid tampak marah melihat guru mereka tak bernyawa lagi. Mereka segera menyerang Andani. tapi mereka saling terpental begitu Andani sentakkan kedua tangannya ke kanan-kiri. Wuuut...!
Bruuk...! Bruukk...!
Suto berhasil temukan Perawan Sinting dalam keadaan terikat rantai di dua tiang. Kedua kaki dan tangan direntangkan. Tubuhnya penuh luka, bahkan wajahnya hancur menyedihkan. Namun Perawan Sinting segera angkat wajahnya yang tertunduk dengan pelan ketika ia mendengar seseorang berseru,
"Perawan Sinting...?!"
Rupanya ia tahu suara itu adalah suara Pendekar Mabuk, sehingga tenaganya yang nyaris terkuras habis karena siksaan itu menjadi timbul kembali dan ia mampu mengangkat wajahnya. Kedua matanya yang memar memandang kecil kepada Suto. Bibirnya yang hancur pun mulai bergerak dengan suara lirih. "Sutooo...?"
Pendekar Mabuk segera lepaskan rantai-rantai pengikat itu. Perawan Sinting dipaksa untuk meminum tuaknya. Walaupun perih, Perawan Sinting tetap menelan tuak sakti Suto, sehingga dalam beberapa saat kemudian luka-lukanya menjadi hilang dan kekuatannya pulih kembali.
"Suto, pedangku di mana?!"
"Kita cari pedang itu!"
Setelah Pedang Galih Guntur berhasil ditemukan dalam kamar sang Nyai, mereka pun segera tinggalkan tempat itu. Mereka sempat terperangah kaget melihat suasana di luar gerbang. Ternyata para murid Nyai Gincu Barong terkapar semua tak bernyawa. Mayat bergelimpangan di sana-sini dalam keadaan tubuh mereka pecah, anggota tubuh saling berpencar ke mana-mana.
"Gila! Dibantai habis begini jadinya?!" gumam Suto Sinting dengan mata menegang.
"Siapa yang melakukannya, Suto?!"
"Melihat keadaan mayat terpotong-potong begini, siapa lagi yang melakukan kalau bukan Andani!"
"Andani...?! Oh, rupanya kau sempat serong selama aku dalam penyiksaan, Suto?!"
"Bukan begitu. Maksudku..."
"Dasar pemuda hidung belang!" gertak Perawan Sinting yang merasa cemburu jika Suto berkenalan dengan seorang perempuan, karena gadis berpakaian ungu itu menaruh hati kepada Pendekar Mabuk.
Akhirnya Suto menjelaskan pertemuannya dengan Andani sambil matanya memandang ke sana-sini mencari Andani yang ternyata telah menghilang lebih dulu sebelum Suto dan Perawan Sinting tiba di tempat itu. Suto pun menceritakan ciri Andani dengan tak lupa menyebutkan tato gambar kupu-kupu di paha perempuan itu.
"Apa...?! Di pahanya ada tato gambar kupu-kupu?!" Perawan Sinting mendelik. "Apakah tato itu bisa menjadi besar dan bisa mengecil, tergantung gairah yang ada padanya?"
"Benar! Kulihat tato itu sempat menjadi besar."
"Celaka! Kalau tak salah dugaanku, perempuan itulah yang bernama Peri Kahyangan, di mana kita dulu pernah bermalam di reruntuhan biaranya!"
"Peri Kahyangan?!" Suto segera teringat cerita Perawan Sinting tentang Peri Kahyangan yang bekas biaranya pernah dipakai bermalam oleh mereka dan Mahesa Gibas, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Buronan Cinta Sekarat)
Sebelum mereka lanjutkan bicara, tiba-tiba dari arah timur muncul Mahayuni bersama beberapa orang murid Eyang Panembahan, termasuk Mahesa Gibas ikut dalam rombongan itu. Rupanya mereka mencari kepergian Suto yang sudah diduga arahnya ke Tanjung Leak. Perawan Sinting segera menyambut gembira bisa bertemu dengan Mahesa Gibas, lalu Mahesa Gibas menceritakan siapa Mahayuni dan yang lainnya itu.
"Tadi kami sudah sampai sini dan melihat perempuan cantik sedang memakan beberapa potong tubuh mayat-mayat itu. Tapi ia segera kabur begitu Mahayuni menyapanya," kata Mahesa Gibas.
"Benarkah begitu, Mahayuni?"
"Ya. dan kami mengejarnya, tapi tak berhasil."
"Siapa perempuan itu sebenarnya?"
"Si Bayangan Setan!"
"Hahh...?!" Pendekar Mabuk mendelik seketika itu juga, demikian pula Perawan Sinting. "Ke mana larinya?"
"Ke timur!"
"Kalau begitu, kita kejar dia ke timur, Suto!" ajak Perawan Sinting.
"Tunggu dulu! Kita perlu pelajari siapa perempuan itu sebenarnya melalui Eyang Panembahan."
Mahesa Gibas menyahut, "Jelas dia adalah si Bayangan Setan! Aku pernah melihat perempuan itu membunuh beberapa pelayan di kadipaten!"
"Ya, ya... tapi aku membutuhkan beberapa saran dari Eyang Panembahan untuk hadapi perempuan itu," kata Suto. "Terutama tentang kehancuran Samudera Kubur delapan tahun yang lalu itu."
"Delapan tahun yang lalu?!" Perawan Sinting menggumam heran. "Bukankah kita baru pergi dari kadipaten delapan hari lamanya, Suto?!"
Pendekar Mabuk tak hiraukan keheranan itu, ia segera melangkah menuju ke Padepokan Pantai Porong untuk menemui Eyang Panembahan; Pancalingga. Yang lainnya pun segera mengikuti sang pendekar heboh itu bersama munculnya sang fajar di ufuk timur.
SELESAI