Penjara Terkutuk

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Penjara Terkutuk karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Penjara Terkutuk
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

HUTAN cemara merah dihembus angin badai yang mematahkan beberapa dahan. Angin itu berhembus dari arah utara dengan kecepatan mampu menerbangkan orang. Batu-batu sempat beterbangan dan saling berbenturan. Alam di hutan cemara merah bergemuruh memekakkan telinga.

Di sela-sela pepohonan cemara yang terombang-ambing itu, tampak seraut wajah tampan bermata teduh dengan rambut sepanjang pundak, lepas tanpa ikat kepala. Seraut wajah tampan itu membiarkan anak rambut menutupi sebagian parasnya yang berhidung bangir. Ia berdiri dengan tegak, kakinya sedikit merenggang, kedua tangannya menggenggam di samping, ototnya tampak bertonjolan bagai pilar beton yang sukar digoyahkan.

Pemilik wajah tampan yang memakai baju coklat tanpa lengan dan celana lusuh itu menyandang bumbung tuak di punggungnya. Ciri-ciri itu menandakan bahwa si wajah tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting; murid dari Gila Tuak dan Bidadari Jalang, tokoh yang namanya berada di paling atas dari deretan nama-nama tokoh sakti di rimba persilatan. Dengan mata sedikit mengecil, Pendekar Mabuk keraskan kakinya yang seakan menancap di tanah. Ia berdiri menantang badai dengan tenang.

Sebongkah batu sebesar kepala kerbau melayang kewajahnya karena terlempar oleh hembusan angin badai itu. Dengan sigap batu itu dihancurkan menggunakan pukulan tangan kirinya. Prraak...! Menyusul sebatang dahan berukuran sebesar pahanya terhempas bagai ingin memukul kepala bagian kanan. Dengan cepat, tangan kiri Pendekar Mabuk menyodok ke kanan. Dahan itu dihantam menggunakan pangkal telapak tangannya. Prraak...!

Dua bongkahan tanah menyerupai cadas menerjangnya karena hembusan kuat dari angin badai misterius itu. Dua bongkahan tanah seperti cadas itu datang dari arah depannya. Pendekar Mabuk segera layangkan tendangan ganda dengan satu kaki yang kecepatannya sukar dilihat oleh mata manusia biasa.

Wut, wut...! Braasss...!

Dua bongkahan tanah seperti cadas itu hancur dan debunya terhempas terbawa angin. Sebagian debu menyiram dadanya, namun dalam waktu singkat debu itu lenyap karena angin badai yang menerjang tubuh kekar itu hanya bisa membawa pergi debu-debu tersebut.

"Badai tak wajar!" gumam Pendekar Mabuk sambil bersikap tegak dan berdiri kokoh kembali, seakan ia sengaja menentang kekuatan badai tersebut.

Pucuk-pucuk pohon cemara meliuk begitu tajam, seakan ingin menyentuh tanah. Keadaan di depan Suto Sinting menjadi tak jelas karena tertutup pucuk-pucuk pohon cemara. Tapi mata si bocah tanpa pusar itu sempat melihat sebuah benda menerobos kerimbunan pucuk cemara yang meliuk itu. Benda tersebut menerjang ke arahnya. Dengan cepat Suto menyentakkan kedua tangannya secara beruntun ke arah depan.

Bet, bet...! Brruuus...!

"Apa itu tadi?!" ujarnya membatin sambil matanya mencari benda yang terpental akibat pukulan kedua tangannya tadi.

"Aahhk... aaahkkk...!"

"Lho... manusia?!" gumam Suto Sinting dengan heran. Matanya dilebarkan walau terpaksa tetap tak bisa selebar biasanya karena menahan hembusan angin badai itu. Ia memandang ke arah benda yang terpental akibat pukulannya tadi. Ternyata memang seorang manusia yang kini sedang meringkuk, terhalang sebatang pohon hingga tak bisa terlempar lagi oleh kekuatan angin badai itu.

"Oh, siapa dia?! Mengapa dia menyerangku?" pikir Suto sambil berusaha mendekatinya, tetapi ternyata usaha mendekati orang tersebut tak bisa dilakukan dengan mudah karena ia harus melawan kekuatan angin badai tersebut. Sedikit saja salah satu kakinya diangkat, ia akan terhempas terbang dihembus angin badai yang cukup kencang itu. Terpaksa Suto Sinting hanya bisa memandangi orang tersebut dengan telapak kaki bergeser maju sedikit demi sedikit. Sesekali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang karena nyaris tak kuat menahan hempasan angin besar itu.

"Seseorang telah menjajal ilmuku begitu aku tiba di alam perbatasan ini. Sejak tadi aku tak mau melawan, karena tak ingin bermusuhan dengannya. Tapi tampaknya ia masih belum puas jika aku belum melawannya. Baiklah, akan kulawan angin badainya dengan jurus 'Napas Tuak Setan'-ku!" geram hati Pendekar Mabuk.

Padahal jurus 'Napas Tuak Setan' sangat berbahaya, bukan saja bagi manusia, namun juga berbahaya bagi alam dan lingkungan sekitarnya. Satu hentakan napas melalui mulut Suto dapat timbulkan bencana badai besar yang mampu menyapu seluruh bangunan rumah dalam satu desa, bahkan mampu memporak-porandakan hutan dan menggeser bukit yang tak terlalu besar. Napas maut itu biasanya terhembus dengan sendirinya jika hati Pendekar Mabuk sedang murka.

Kegeraman hati dibina, diperbesar supaya ia merasa marah dan bisa keluarkan napas mautnya itu. Tetapi, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba badai telah reda sendiri. Hembusan angin semakin menurun, pucuk-pucuk cemara merah mulai tegak kembali. Akhirnya hutan cemara merah itu menjadi tenang, angin yang berhembus semilir damai menyejukkan badan.

"Sial! Begitu mau kulawan angin badai itu berhenti!" gerutu Pendekar Mabuk setelah menarik napas dan mengendurkan ketegangan uratnya.

"Oh, ternyata orang yang kupukul tadi adalah seorang gadis?!" ujar batin Suto dengan terkejut ketika ia memandang orang yang tersangkut pohon tadi. Ia segera mendekati orang itu, dan ternyata memang seorang gadis berwajah cantik, manis, menawan hati. Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, mengenakan jubah lengan panjang warna abu-abu, mengenakan kutang tipis warna hijau dan kain penutup pinggul warna hijau pula.

"Oh, kasihan sekali gadis ini! Tapi mengapa ia menyerangku secara tiba-tiba seperti tadi?!" ujar batin si murid sinting Gila Tuak.

Ia segera membaringkan gadis itu. Rupanya gadis itu pingsan karena pukulan Suto tadi. Tetapi dalam hatinya sang pendekar tampan merasa salut dan kagum melihat ketahanan gadis itu.

"Mestinya dia mati, karena aku tadi menggunakan pukulan bertenaga dalam cukup besar. Tapi ternyata ia hanya pingsan dan tidak mengalami luka memar sedikit pun. Hebat juga gadis ini!"

Ia memandangi gadis yang dibaringkan di tanah berumput merah kecoklatan itu. Gadis berambut pendek yang bagian depannya diponi itu mempunyai wajah yang sangat menggemaskan. Hidungnya kecil tapi mancung, alis matanya lebat dan lentik, bibirnya kecil namun menggairahkan. Enak untuk dikecup dan dilumat. Kulitnya berwarna kuning langsat. Dan yang lebih membuat hati Suto berdebar-debar, ternyata gadis itu mempunyai dada yang sekal, termasuk montok, walau tidak sebesar semangka. Kutang tipisnya itu sedikit merosot ke bawah karena hembusan angin badai tadi, akibatnya, separo dari dada montoknya itu tampak tersembul menyembunyikan pucuknya di tepian kutang.

"Wow...! Ini baru kejutan!" gumam Suto Sinting dengan hati berdebar. "Ah, sebaiknya kubetulkan letak penutup dadanya itu biar tidak terlalu seronok dipandang orang."

Maka, tangan Suto pun segera membetulkan letak penutup dada yang berwarna hijau berhias benang emas itu. Tetapi kutang itu terlalu kencang dan ketat, sehingga Suto Sinting sulit merapikannya. Tarik sana, tarik sini, akhirnya jengkel-jengkel tangan Suto merogoh gumpalan daging yang sekal dan montok itu untuk membetulkan letak penutupnya. Tapi dasar jahil, tangan Suto sempat meremas pelan dan cekikikan dalam hatinya.

"Enak lho...," sambil ia tersenyum-senyum sendiri, lalu segera clingak-clinguk, takut dilihat orang lain. "Sialan. Deg-degan juga hatiku. Eh... yang kiri sudah, yang kanan belum kupegang. Nanti besar sebelah, kasihan kan? Ah, yang kanan, ah...!"

Memang bandel dan jahil murid si Gila Tuak itu. Sudah dapat yang kiri, eeh... yang kanan diremas juga. Nyuuttt...!

"Aaow...!"

Suto terlonjak kaget. Gadis itu memekik, sadar dari pingsannya. Hampir saja jantung Suto copot karena rasa kagetnya itu. Ia menjadi sangat malu dan salah tingkah, bahkan sempat menggeragap hingga suaranya seperti orang bisu.

"Aah, uuh, aah, uhmm, eeh, uuh...!"

Gadis itu bangkit dan melangkah dekati Suto lalu dengan cepat tangannya berkelebat menampar wajah Suto. Plook...! "Setan kau! Sudah gagu, kurang ajar lagi!" omel gadis itu sambil membetulkan penutup dadanya supaya letaknya lebih pas lagi.

Wajah Suto menjadi merah padam, bukan saja karena menahan rasa malu tapi juga karena menahan rasa sakit akibat tamparan gadis itu. "Tangannya seperti sandal karet! Panas sekali kalau dipakai untuk menampar!" gerutu hati Suto.

"Hei, Orang Gagu... apa maksudmu bertindak kurang ajar padaku, hah?! Apakah kau belum tahu siapa aku?!"

"Bbbe... belum, Nona."

"Lho... gagu kok bisa ngomong?"

"Ak... ak... aku bukan oor... orang gagu, Nona."

"Ooo... kau orang gagap? Punya penyakit gagap, begitu?!"

"Jug... jug... juga bukan!"

"Bukan gagap kok ngomongnya jag-jug-jag-jug begitu!" si gadis bersungut-sungut, tapi hatinya berkata lain.

"Ganteng amat pemuda ini. Badannya gagah, kekar dan... ya ampuun, ternyata dia mempunyai ketampanan yang sukar kubenci. Hatiku berdebar-debar, entah mengapa aku merasa sangat bahagia saat ini. Padahal aku belum kenal siapa dia, padahal dia belum tunjukkan sikap manis padaku, dan... oh, kalau tahu dia seganteng ini, sebaiknya tadi kubiarkan saja dia berkurang ajar padaku."

Tetapi wajah si gadis tetap berlagak acuh tak acuh, bahkan berkesan angkuh. Sambil merapikan pakaiannya dan menghilangkan rumput yang menyangkut di rambutnya, gadis itu tetap menampakkan sikap judes, walau sesekali ia melirik ke arah Pendekar Mabuk.

"Maafkan kelancanganku tadi, Nona. Aku hanya bermaksud memberi keseimbangan saja biar tidak bengkak sebelah dan...."

"Keseimbangan apa maksudmu!" bentak gadis itu dengan bibir mungilnya meruncing.

"Maksudku... maksudku kalau yang kiri sudah diremas yang kanan juga harus...."

"Kurang ajar!" sentak gadis itu dengan mata melotot. "Jadi kau sudah melakukannya pada yang kiri?!"

"Hmm... eeh... uuh... aah... eehm...."

Plak, plak...!

"Terima kasih," kata Suto sambil mengusap pipinya yang kena tampar dua kali itu.

"Dasar manusia jalang!" maki si gadis. "Kurasa cukup pantas tamparan dua kali untuk kekurangajaranmu tadi!"

"Maukah kau menamparku empat kali lagi?"

"Eeeh... nantang kau, ya? Nantang kau, hah?!" sambil si gadis tolak pinggang, mendesak Suto dengan mata melotot galak.

"Maksudku... kalau satu remasan dua tamparan, aku ingin ditampar empat kali lagi supaya mendapat dua remasan lagi, Nona!"

"Mulut kotor, hiaaat...!"

Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut, wuuu...!

Gadis itu memukul Suto beberapa kali, tapi Suto hanya menggeloyor ke sana-sini seperti orang mabuk mau jatuh. Akibatnya pukulan beberapa kali itu tidak ada yang mengenai sasaran satu pun.

"Rupanya kau mau unjuk gigi di depan Ajeng Ayu, hah? Kau belum kenal Ajeng Ayu? Inilah si Ajeng Ayu! Hieeat...!"

Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk, wuk...!

Lebih dari tujuh tendangan dilepaskan oleh gadis itu. Tetapi dengan lentur dan lincah Suto Sinting yang tetap berdiri di tempat tanpa bergeser sedikit pun mampu hindari tendangan gadis itu. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana-sini bagai orang mabuk dengan gerakan tangan sesekali mirip orang menenggak tuak, tendangan itu selalu lolos dari tubuhnya. Tak sedikit pun menyerempet lengan atau bagian yang lain.

"Setan!" geram gadis itu dengan hati semakin keki. "Berani-beraninya kau menghindari tendanganku, hah?! Coba jurus 'Kaki Tiga' ini! Hiiaah...!"

Gadis itu tiba-tiba meloncat ke atas, tubuhnya berputar cepat bagai gangsing, tahu-tahu wajah Suto merasa mendapat tiga kali tendangan beruntun yang sukar dihindari. Begitu cepatnya tendangan tiga kali itu hingga yang terdengar suara, prrrook...!

Suto Sinting menggeloyor ke belakang dan gelagapan. Pandangan matanya menjadi buram, wajahnya terasa kian panas bagai dipanggang api. Ia buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Tuak itu membuat rasa panas di wajah lenyap dalam waktu singkat, pandangan matanya menjadi jernih kembali dan badannya terasa segar, karena tuak itu adalah tuak sakti yang mampu sembuhkan penyakit dan lenyapkan berbagai macam luka.

"Gila! Tendangannya seperti mengandung lahar panas dan kecepatannya sukar dilawan," gumam Suto dalam hati sambil memandang sang gadis yang masih tolak pinggang dan mencibir, membanggakan jurus tendangannya tadi.

"Sekarang kau baru kenal siapa si Ajeng Ayu ini, bukan?" sambil gadis itu menepuk dadanya sendiri. "Kau masih mau mencobanya?"

"Aku... aku tak berani menolak keinginanmu, Nona. Silakan saja kalau masih ingin memperkenalkan diri padaku."

"Ngeledek kau, ya?! Hiaaat...!" Gadis itu melompat dengan gerakan tubuh memutar, kaki lebih dulu menyerang. Tetapi Suto Sinting segera menyentilkan jarinya ke arah betis gadis itu.

Tess...! Beet...!

"Auuh...!" gadis itu memekik dan tubuhnya terpelanting jatuh. Brrruk...! "Aaaauuh...!" Ia merengek seperti anak kecil sambil pegangi betisnya yang merasa seperti ditendang seekor kuda jantan. Betis mulus itu tampak biru sebesar telapak tangan.

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum dan merasa bangga dengan jurus 'Jari Guntur'-nya itu. "Itulah salam perkenalan Suto Sinting," ujar Suto sambil menepuk dadanya menirukan lagak gadis itu tadi.

"Aduuh... tulang lututku bagai mau copot rasanya," keluh si gadis dalam hati. "Tak kulihat tangannya bergerak menghantamku, tapi kenapa tiba-tiba betisku jadi sasaran? Uuuh... rasa linunya sampai di tulang punggung dan tengkuk. Gila! Jurus apa yang dipergunakan setan ganteng ini?! Kurasa... eh, tadi kudengar dia menyebutkan namanya? Suto?! Suto Sinting?! Sepertinya aku pernah dengar nama itu disebutkan oleh Guru. Tapi kapan dan apa penjelasannya tentang nama itu, ya? Aduh, aku lupa sama sekali."

Suto Sinting tak tega melihat gadis itu menyeringai kesakitan tiada henti. Ia segera mendekati dan menyerahkan bumbung tuaknya yang masih penuh dan baru terminum beberapa teguk itu. "Minumlah tuakku, maka rasa sakit itu akan hilang."

"Kau dukun, ya?"

"Anggap saja begitu!" jawab Suto dengan kesan malas menjelaskan khasiat tuak dan asal-usul bumbungnya itu.

Ajeng Ayu mendengus sambil buang muka pertanda tak mau menerima tawaran itu. Tetapi Suto segera berkata, "Kalau kau tak mau minum tuak, maka kakimu akan beracun, sukar diobati lagi. Kalau kakimu akan membusuk dan akhirnya harus dibuntungi biar tidak membusukkan bagian yang lain!"

"Haah...?! Seganas itukah pukulanmu?"

"Sebenarnya jurus yang kupakai tadi untuk lawan beratku. Tapi aku tadi tak sengaja melepas jurus itu. Aku pun menyesal setelah membayangkan gadis secantik kau akan buntung salah satu kakinya gara-gara jurusku tadi. Maka kutawarkan padamu untuk minum tuak ini biar kakimu tak jadi buntung."

Ajeng Ayu terpengaruh oleh bualan Suto Sinting. Ia tampak tegang dan cemas. Akhirnya mau meminum tuak itu. Dan suatu keajaiban dirasakan olehnya, rasa sakit dari betis sampai tulang tengkuk itu lenyap sama sekali, bahkan tubuhnya merasa lebih segar dari sebelum meminum tuak itu.

"Sakti juga kau ini rupanya. Siapa gurumu?"

"Sebaiknya kau tanyakan siapa kekasihku," kata Suto.

"Aku tidak butuh kekasihmu!" ujar Ajeng Ayu dengan cemberut. "Apakah kau sudah punya kekasih?"

"Sudah."

"Siapa?"

"Kau!"

Buuhk...! Gadis itu jatuh secara tiba-tiba. Setelah diperiksa Suto, ternyata gadis itu pingsan dengan wajah memucat.

"Aneh! Masa' hanya kujawab dalam canda begitu saja dia langsung pingsan?! Oh... gadis cap apa dia sebenarnya?"

Suto semakin penasaran ingin mengetahui siapa gadis itu sebenarnya. Tak akan bisa tidur rasanya jika Suto belum mengetahui secara mendalam tentang Ajeng Ayu yang memang ayu itu.

* * *

DUA

SETELAH diperiksa lebih teliti lagi, ternyata di leher belakang Ajeng Ayu terdapat suatu benda kecil yang menancap di situ. Benda tersebut segera dicabut oleh Pendekar Mabuk.

"Jarum...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil memandangi benda yang habis dicabut dari tengkuk Ajeng Ayu itu. Jarum tersebut tidak sepanjang jarum biasanya. Jarum itu separo lebih pendek dari ukuran jarum jahit. Pada bagian ujung tumpulnya terdapat sebutir manik-manik, sehingga jarum itu layak disebut jarum pentul.

"Rupanya ada seseorang yang bermaksud ingin membunuh Ajeng Ayu ini! Dia lepaskan jarum ini dari suatu tempat yang amat tersembunyi. Dan... oh, kulit lukanya membiru? Lho... makin lama semakin lebar? Wah, tak salah lagi; pasti jarum ini beracun. Racunnya cukup ganas, sehingga sekali tancap membuat orang tak berdaya!"

Mata teduh itu segera memandang ke arah sekelilingnya. Ia mencari seseorang yang melepaskan jarum beracun itu. Tiap jengkal tempat diperhatikan dengan teliti, sampai pada gerakan angin halus pun dipertimbangkan sebagai gerakan alami atau gerakan buatan seseorang.

"Yang jelas orang itu pasti mengincar kematian Ajeng Ayu. Bukan mengincarku! Hmmm... tega nian orang itu, sehingga ia bermaksud membunuh gadis secantik Ajeng ini?" gumam batin Suto sambil masih pandangi keadaan sekeliling. Tapi ia masih belum menemukan tempat yang dicurigai sebagai persembunyian si penyerang gelap itu. "Sebaiknya Ajeng kupaksa meneguk tuakku supaya racun itu tidak melenyapkan nyawanya!"

Pendekar Mabuk menenggak tuak, sebagian ditelan sebagian lagi disimpan dalam mulut. Kemudian dengan sedikit ragu dan clingak-clinguk lebih dulu, Suto akhirnya menempelkan bibirnya ke mulut Ajeng Ayu. Tuak dalam mulut disemburkan pelan-pelan ke mulut Ajeng Ayu, sehingga sedikit demi sedikit tuak itu masuk ke tenggorokan Ajeng Ayu.

Hal itu diulanginya berkali-kali, sampai akhirnya Suto berhasil melakukannya karena tak kuat menahan debar-debar gairah yang ditimbulkan dari perpaduan mulutnya dengan mulut Ajeng Ayu. Bahkan tadi Suto sempat mengecup lembut bibir menggairahkan itu sebagai ulah kenakalan jiwa mudanya. Ulah itu yang makin menimbulkan hasrat untuk mengecup bagian lainnya. Tapi hal itu tak sampai dilakukan oleh Pendekar Mabuk karena ia tetap menjaga sikapnya sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak pengagum. Ia tak mau citranya jatuh gara-gara menggumuli gadis yang sedang pingsan.

Beberapa saat kemudian, Ajeng Ayu mulai siuman. Racun yang menghentikan jantungnya itu dapat dikalahkan oleh kekuatan sakti tuak Suto yang telah masuk dalam tubuhnya. Bahkan luka di tengkuknya hanya terasa gatal sedikit. Ajeng Ayu segera menggaruknya sebentar. Tapi bekas luka membiru sudah tak ada. Bahkan bekas menancapnya jarum sudah hilang sama sekali.

"Ooh...? Kenapa aku duduk di tanah?!" gumamnya bernada kaget, lalu segera memandang Suto yang sengaja sudah menjauh lima langkah dari Ajeng Ayu. Suto berdiri sambil salah satu pundaknya bersandar pada batang pohon yang patah di pertengahannya akibat angin badai tadi.

"Apa yang telah kualami tadi?!" Ia ajukan tanya kepada Pendekar Mabuk.

"Kau pingsan mendadak."

"Mengapa aku pingsan?"

"Karena... aku menyebutkan dirimu sebagai kekasihku."

"Hmmm...! Tak mungkin aku pingsan gara-gara ucapan gombalmu itu!" Ajeng Ayu mencibir. "Pasti aku kau teluh biar aku tak sadar diri, lalu pada saat aku tak sadar diri, kau menggagahiku! Begitu, bukan?!" sentaknya masih bernada galak.

"Kalau aku mau menggagahimu, mengapa harus pada saat kau tak sadar? Rugi sekali aku. Karena dengan begitu kau tidak memberikan balasan yang menurutku pasti lebih berani daripada diriku."

"Jangan bicara sembarangan kau!" gertaknya sambil hampiri Suto Sinting.

Yang digertak hanya sunggingkan senyum kalem. "Semula memang kusangka kau pingsan karena jawabanku tadi. Tapi setelah kuteliti lagi, ternyata kau pingsan karena jarum ini...," sambil Suto menunjukkan jarum bermanik merah bening itu.

Ajeng Ayu kerutkan dahi dan pandangi jarum itu dengan lebih dekat lagi. Mulutnya sedikit terperangah terbuka untuk memperkuat rasa herannya terhadap jarum tersebut.

"Jarum ini menancap di leher belakangmu."

"Tak mungkin...," kata Ajeng Ayu dengan diliputi kecemasan.

"Kalau tidak segera kucabut, kau akan kehilangan nyawa, karena jarum ini beracun ganas," tambah Suto Sinting, tapi Ajeng Ayu geleng-gelengkan kepala.

"Tak mungkin! Tak mungkin jarum ini menancap di tengkukku!"

"Mengapa kau bilang begitu?"

"Karena aku kenal pemilik jarum ini! Aku juga tahu, bahwa jarum ini mempunyai racun ganas yang dinamakan racun 'Pemburu Jantung'. Senjata jarum ini dilepaskan dari sebatang sumpit emas. Orang yang memiliki sumpit emas adalah si Rambut Perak."

"Siapa si Rambut Perak itu?"

"Bibiku sendiri!" jawab Ajeng Ayu dengan suara setengah berbisik, semakin mempertegang suasana.

Pendekar Mabuk terkejut dalam hati dan segera kerutkan dahi memandangi Ajeng Ayu. "Benarkah jarum ini senjata milik bibimu?"

"Aku tak akan keliru, karena aku tahu betul senjata ini. Aku pernah belajar menyumpit dari bibiku, menggunakan sumpit emas dan jarum semacam ini yang tidak beracun."

"Aneh. Jika benar jarum ini milik bibimu, lalu mengapa bibimu bermaksud ingin membunuhmu?"

"Karena itulah aku tak yakin kalau tadi aku pingsan gara-gara jarum ini!"

"Jadi kau menyangka kuapakan sehingga pingsan? Kau sangka aku memperkosamu? Hmmm... maaf saja, ya?" Suto Sinting mencibir sambil melengos. "Kalau mau begitu tak perlu pakai memperkosa segala. Banyak wanita yang secara sukarela mau menyediakan dirinya sebagai pemuas gairahku. Tapi aku tak mau lakukan, karena aku ingin persembahkan hati dan cinta yang tulus serta kesetiaan kepada Dyah Sariningrum, calon istriku, itu."

"Hmmm...! Berlagak suci kau, ya?!" ejek Ajeng Ayu. Tapi sebelum ia bicara, tiba-tiba pergelangan tangannya disambar oleh Suto Sinting. Ia ditarik hingga jatuh ke dalam pelukan Suto. Namun bertepatan dengan hal itu, sebuah benda melesat cepat dan menancap pada pohon yang digunakan Suto untuk bersandar itu. Weess, jeeb...!

"Dasar brandal kampungan!"

Plook...! Suto ditampar lagi oleh Ajeng Ayu. Gadis itu marah kepada Suto karena menyangka akan diperkosa oleh Suto, setidaknya diperlakukan kurang ajar oleh si tampan yang sebenarnya menggetarkan hatinya itu. Suto tiada membalas, hanya menyeringai menahan panas di seluruh permukaan wajahnya, sebab tamparan itu lebih keras dari tamparan sebelumnya. Ajeng Ayu meronta lepas dari pelukan Suto. Ia masih tampak berang dan menuding Suto dengan ucapkan kata-kata keras.

"Sekali lagi kau berani bertindak kurang ajar begitu padaku, tak akan ada ampun lagi bagimu, Suto!"

"Aku tidak bermaksud kurang ajar padamu, Ajeng!" Suto agak ngotot. "Lihatlah di pohon...!" sambil Suto menuding pohon tempatnya bersandar tadi.

Ajeng Ayu kaget dan kerutkan dahi. Ia melihat sebatang jarum pendek menancap di pohon tersebut. "Gila!" gumam Ajeng Ayu dengan tegang setelah tahu jarum yang menancap di pohon sama dengan jarum yang masih dipegang Suto.

"Sekarang kau percaya bahwa aku tidak bermaksud...."

"Lekas pergi dari sini!" Ajeng Ayu menarik tangan Suto.

Pendekar tampan itu tersentak dan akhirnya ikuti langkah Ajeng Ayu yang melarikan diri dari tempat tersebut. Ajeng Ayu membawanya ke sebuah gua, tetapi bukan gua berbatu indah warna-warni yang dicari Suto. Gua itu tak begitu dalam dan tidak mempunyai lorong tembus ke mana-mana. Batu-batuannya berwarna putih semacam batuan kapur dan tidak banyak. Rata-rata batu di situ setinggi betis, tidak ada yang lebih tinggi seperti di Gua Mahkota Dewa.

Padahal Suto Sinting pergi ke perbatasan alam gaib dan alam nyata itu untuk mencari Batu Tembus Jagat yang ada di Gua Mahkota Dewa. Ia membutuhkan Batu Mahkota Jagat untuk melawan racun 'Asmara Kubur' yang diderita oleh Dewi Kesepian. Apabila racun itu tak bisa dimusnahkan, maka kaum lelaki di dunia akan semakin berkurang dan lama-lama bisa menjadi punah semuanya. Karena lelaki mana pun yang berkencan dengan Dewi Kesepian akan terkena wabah penyakit berbahaya dan merenggut jiwa, (Baca serial Pendekar Mabuk damal episode Dewi Kesepian)

Gadis centil itu kini tampak diliputi kesedihan yang menegangkan. Sebentar-sebentar matanya memandang ke arah pintu masuk gua, sepertinya takut dikejar oleh si pemilik jarum beracun itu.

"Apakah ada kemungkinan bibimu akan mengejar kemari?"

"Bisa saja," jawab Ajeng Ayu dengan suara pelan. Kecentilan dan lagak angkuhnya hilang sama sekali. Suto bukan saja merasa penasaran tapi juga merasa kasihan kepada gadis yang tiba-tiba berubah murung itu.

"Jangan takut, kalau dia kemari akan kuhadapi secara baik-baik. Barangkali kau punya salah padanya."

"Tidak. Aku tidak pernah bikin masalah terhadap Bibi Rambut Perak. Bahkan aku selalu bersikap patuh kepadanya."

"Lalu apa alasannya menyerangmu dengan jarum beracun itu?"

"Itu yang tidak kuketahui. Tapi jika Bibi sudah melepaskan jarum 'Hantu Merah' berarti dia benar-benar murka dan berniat membunuh. Jarum itu dilepaskan kepada orang yang tak bisa diberi ampun lagi olehnya."

Pendekar Mabuk diam sesaat, mencoba mencari penyebab murkanya si Rambut Perak. Tetapi karena ia belum pernah kenal dan belum pernah melihat si Rambut Perak, maka ia tidak menemukan apa-apa dalam renungannya. Ia hanya bisa berkata dengan nada pelan, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Tetapi mengapa tak kulihat seorang pun di sekitar tempat tadi?"

"Bibi Rambut Perak pasti ada di kejauhan. Ia meniup sumpitnya bisa dari jarak yang cukup jauh. Mungkin dia berada di bukit sebelah timur tadi."

"Oh, jauh sekali kalau begitu?!" gumam Suto merasa heran karena bukit yang dimaksud Ajeng Ayu sempat dilihatnya sebelum badai datang. Bukit itu berjarak sangat jauh, lebih dari dua ratus langkah jauhnya. "Jika benar jarum itu dilepaskan dari bukit tersebut, tentunya si Rambut Perak bukan orang sembarangan. Ilmunya cukup tinggi, hingga dapat meniupkan jarum dalam sumpitnya menggunakan napas tenaga dalamnya," pikir Suto saat merenung sebentar.

Tiba-tiba Ajeng Ayu berkata dengan nada geram. "Akan kuadukan kepada guruku, biar Bibi dihajar oleh guruku!"

"Bibimu kenal dengan gurumu?"

"Ya, tapi mereka kurang akrab," jawab Ajeng Ayu dengan wajah cemberut.

Pendekar Mabuk ingin ajukan tanya lagi, tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah suara yang datang dari luar gua.

"Ajeng Ayu! Keluar kau!"

"Oooh...?!" Ajeng Ayu membelalakkan mata dan menjadi tegang. "Itu suara Bibi Rambut Perak?!"

Pendekar Mabuk hanya menggumam pendek. "Akan kutemui sendiri dia!"

"Ja... jangan! Kau bisa dibunuhnya jika ia sedang murka begitu. Dia ingin bertemu denganku, jika kau ikut campur dia tak akan segan-segan membunuhmu. Tapi barangkali jika kutemui dan kuajak bicara baik-baik, kemarahannya bisa reda."

"Baik, temuilah dia. Aku hanya akan mendampingimu."

Suara si Rambut Perak terdengar lagi lebih keras dari yang tadi. "Ajeng Ayu...! Keluar kau dari gua, atau kuhancurkan gua itu biar kau mati terkubur hidup-hidup!"

Akhirnya gadis itu keluar dari dalam gua dan Pendekar Mabuk mendampingi dari belakangnya. Mereka melihat seorang perempuan berjubah tanpa lengan warna ungu dengan kutang dan kain penutup pinggulnya yang sebatas betis itu berwarna kuning. Perempuan itu berambut panjang sepunggung berwarna perak. Rambut itu dibiarkan lepas bergerak tanpa pengikat apa pun.

Sebuah benda panjang sebesar jari kelingking tergenggam di tangan kirinya. Benda itulah yang dinamakan sumpit untuk meluncurkan jarum beracun dengan cara meniupkannya. Biasanya sumpit terbuat dari bambu kecil, tapi sumpit yang ada di tangan si Rambut Perak itu terbuat dari logam berlapis emas berukir, panjangnya sekitar satu lengan.

"Sudah kuduga kau ingin berbuat mesum dengan pemuda itu!" kata si Rambut Perak dengan ketus dan berwajah judes.

"Kami baru kenal, Bibi. Kami tidak bermaksud ingin berbuat tak senonoh," ujar Ajeng Ayu dengan wajah sedih.

"Kalau tak ingin berbuat mesum, lalu mengapa kalian berada dalam gua itu berduaan?!"

Suto menyahut, "Karena Ajeng takut kau bunuh!"

"Hei, siapa kau? Aku tak bertanya padamu!" Ia menuding dengan sumpitnya.

"Tapi kau melibatkan aku dalam tuduhanmu!" jawab Suto dengan tegas walau di bibirnya sunggingkan senyum tipis berkesan kalem.

Perempuan bertubuh sintal dan mempunyai dada lebih besar dari dua bukit di dada Ajeng Ayu itu segera berjalan ke samping dengan mata memandang tajam ke arah Suto dan Ajeng Ayu. Rupanya perempuan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu menyembunyikan rasa kagumnya melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar Mabuk, sehingga kini matanya lebih terarah kepada Suto Sinting. Ia berjalan balik ke tempat semula sambil berkata kepada Ajeng Ayu.

"Ajeng Ayu, apakah kau tak tahu bahwa pemuda yang bersamamu itu adalah manusia yang hidup di permukaan bumi?!"

"Eh, hmmm...," Ajeng Ayu memandang Suto sebentar, kemudian memandang bibinya kembali. "Aku tidak tahu Bi. Aku dan dia benar-benar baru saja bertemu dan saling kenal."

"Bohong! Kulihat dari kejauhan kau telah cukup intim dengannya."

"Tap... tapi aku tak tahu kalau dia manusia dari permukaan bumi, Bi!"

"Hmmm...!" Rambut Perak mendengus. Matanya yang agak besar dan berkesan judes-judes cantik itu menatap ke wajah Suto. Yang ditatap justru menenggak tuaknya dengan cuek, seakan tak peduli tatapan mata si Rambut Perak itu.

"Tinggalkan dia, Ajeng! Dan kalau kulihat kau berhubungan lagi dengan manusia semacam dia, tak ada ampun lagi bagimu. Aku akan tega membunuhmu, Ajeng!"

"Tapi... tapi dia telah menolongku dan...."

"Tinggalkan dia!" bentak Rambut Perak dengan mata melebar.

Pendekar Mabuk dipandangi Ajeng Ayu dengan wajah sedih. Setelah menarik napas, Suto pun berkata dengan lembut. "Turutilah apa kata bibimu tadi. Pergilah dan jangan temui aku lagi."

Ajeng Ayu tidak menjawab, namun dari sorot matanya ia tampak keberatan jika harus meninggalkan Suto. Untuk sesaat ia bimbang mengambil keputusan. Sementara itu, sang bibi pun berkata lagi dengan nada judesnya.

"Apakah kau lupa bahwa keluargamu musnah karena dibantai habis oleh manusia permukaan bumi?! Pamanmu, suamiku, juga binasa oleh manusia dari permukaan bumi yang bernama Siluman Tujuh Nyawa itu!"

Suto Sinting terkejut mendengar nama itu disebutkan. Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh paling sesat yang menjadi musuh utamanya. Kini Suto tahu apa sebabnya Ajeng Ayu dilarang keras untuk berhubungan dengan manusia dari permukaan bumi. Rupanya gadis dari keluarga masyarakat dasar bumi itu mempunyai dendam terhadap Siluman Tujuh Nyawa, sehingga si Rambut Perak merasa lebih baik membunuh keponakannya sendiri daripada melihat sang keponakan berhubungan dengan manusia dari permukaan bumi.

"Ajeng, pulang sekarang juga kau!" perintahnya dengan tegas.

"Bibi, aku merasa Suto bukan orang yang pantas kita musuhi, Bi. Dia tidak seperti Siluman Tujuh Nyawa itu."

"Sama saja! Bukankah pada mulanya Siluman Tujuh Nyawa itu bersikap baik kepada keluarga kita? Tapi pada akhirnya dia tega membantai habis keluarga kita. Untung kau dan aku saat itu sedang menemui gurumu, sehingga kita selamat dari pembantaian itu!"

Rambut Perak dekati Ajeng Ayu dan menatap kian tajam. "Jangan tergoda oleh ketampanan manusia permukaan bumi. Ketampanan itu adalah racun yang lebih ganas dari jarum 'Hantu Merah'-ku. Aku lebih baik kehilangan kau daripada harus melihatmu berhubungan dengan manusia seperti dia!" sambil menuding tegas-tegas ke arah Suto.

Pendekar Mabuk menarik napas menahan kesabaran. "Kurasa tidak semua orang yang hidup di permukaan bumi bertabiat seperti Siluman Tujuh Nyawa!"

"Jangan banyak bicara kau!" bentak si Rambut Perak dengan sikap sangat bermusuhan.

"Kurasa kau perlu disadarkan, Rambut Perak! Bukan hanya keluargamu yang benci dan memusuhi Siluman Tujuh Nyawa, tapi banyak orang di permukaan bumi yang memusuhinya. Bahkan aku sendiri berkelana karena memburu Siluman Tujuh Nyawa. Aku harus bisa memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai maskawinku melamar calon istriku di Pulau Serindu."

Mendengar nama Pulau Serindu, mata si Rambut Perak yang semula pandangi Ajeng Ayu, sekarang beralih ke wajah Suto. Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan hatinya mendengar nama Pulau Serindu disebutkan.

"Seandainya sekarang Siluman Tujuh Nyawa atau si Durmala Sanca itu ada di sini, aku akan memenggal kepalanya atau menghancurkannya sama sekali untuk kubawa ke Pulau Serindu."

"Jangan berlagak kenal dengan orang Pulau Serindu!" geram si Rambut Perak. "Aku tahu siapa penguasa di Pulau Serindu!"

"Aku pun tahu," sahut Suto. "Calon istriku memang penguasa Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Ia bernama Dyah Sariningrum atau berjuluk Gusti Mahkota Sejati! Dia putri kedua dari Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib! Ia mempunyai seorang nenek yang bernama Betari Ayu dan sekarang menjadi seorang petapa di Gunung Kundalini!"

Rambut Perak dan Ajeng Ayu sama-sama terperanjat mendengar penuturan Suto. Mereka sama-sama memandang Suto dan undur beberapa langkah jauhi Suto. Wajah mereka tampak tegang dan lidah mereka bagaikan kaku, tak bisa untuk mengucapkan sepatah kata pun.

"Jika kau memang berilmu tinggi, tentunya kau bisa melihat noda merah kecil di keningku ini, Rambut Perak!"

"Ooh...?!" Rambut Perak tersentak kaget, sepertinya ia baru menyadari bahwa Suto mempunyai noda merah samar-samar di keningnya. Noda merah itu sangat kecil, sebesar biji jagung dan hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi.

"Kkkau... kau... seorang manggala yudha-nya Gusti Prabu Kartika Wangi?!"

"Ya, aku memang panglimanya Ibu Ratu Kartika Wangi!" tegas Suto Sinting dengan sikap berwibawa.

Secara tiba-tiba saja Rambut Perak berlutut di hadapan Suto Sinting dan tundukkan kepala. "Ampunilah aku, Gusti Manggala...! Ampunilah aku yang bodoh ini!"

Ajeng Ayu bingung melihat bibinya menjadi berlutut penuh hormat dan rasa takut di depan pemuda tampan itu. Dalam keadaan bingung itu, tiba-tiba tangannya ditarik turun oleh sang bibi.

"Beri hormat kepadanya! Dia panglimanya Gusti Ratu Kartika Wangi! Aku baru sadar dan melihat tanda merah di keningnya itu!" bisik Rambut Perak kepada keponakannya. Ajeng Ayu pun segera berlutut dan tundukkan kepala penuh rasa hormat dan takut.

Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis melihat ketakutan bibi dan sang keponakannya itu. Kegalakan dan kejudesan si Rambut Perak tiba-tiba lenyap begitu saja, bahkan perempuan tua berhidung mancung dan berkulit kuning itu tak berani mengangkat wajahnya untuk pandangi Suto seketus tadi. Tetapi Ajeng Ayu masih berusaha melirik Suto sesekali. Agaknya gadis itu masih belum yakin bahwa Suto adalah panglima perangnya negeri Puri Gerbang Surgawi yang kondang kesaktiannya di alam gaib itu.

"Bangkitlah, tak perlu bersujud begitu padaku. Semasa aku di luar wilayah Puri Gerbang Surgawi, anggaplah aku sebagai seorang sahabat, bukan sebagai panglima atau manggala yudha."

"Tap... tapi... tapi aku tadi sudah bersikap tak patut di depanmu, Gusti Manggala. Sikapku yang kurang ajar tadi layak kau beri hukuman di sini, ketimbang aku harus menghadap Gusti Ratu Kartika Wangi untuk mempertanggungjawabkan sikapku tadi!" ucap si Rambut Perak dengan tetap tundukkan kepala.

"Bangunlah. Sebuah ketidaktahuan wajar menimbulkan kesalahan. Yang paling berbahaya adalah seseorang yang melanggar kesalahan atas dasar kesengajaan. Berdirilah, Rambut Perak dan Ajeng Ayu...."

Akhirnya sikap lemah lembutnya Suto itu menenangkan hati si Rambut Perak yang sudah sangat ketakutan itu. Sebab ia tahu persis siapa orang-orang yang ada di dalam lingkungan negeri Puri Gerbang Surgawi baik yang ada di alam gaib maupun yang ada di alam nyata, di Pulau Serindu itu.

Ajeng Ayu jadi ikut-ikutan bersikap sopan dan tak berani petentang-petenteng lagi di depan Suto. Jika bibinya yang berilmu tinggi saja takut kepada Suto, apalagi dirinya. Gadis itu berdiri sedikit membelakangi bibinya dengan kaki rapat dan kepala sedikit tertunduk.

"Hukumlah aku, Gusti Manggala."

"Tidak. Aku tidak akan menghukum orang yang tidak tahu bahwa dirinya melakukan kesalahan. Aku hanya akan meluruskan jalan pikirannya itu agar kelak tidak melakukan kesalahan lagi," jawab Suto bersikap bijak.

"Jika begitu, katakanlah apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan dan sebagai ganti hukumanku itu, Gusti Manggala."

Pendekar Mabuk menarik napas menyimpan kebanggaan tersendiri atas sikap Rambut Perak dan Ajeng Ayu itu. Beberapa kejap kemudian ia mulai bicara dengan suaranya yang lembut dan sengaja menampakkan keseriusannya. "Aku ke sini mencari Gua Mahkota Dewa."

"Baik, akan kami antar ke gua itu, Gusti Manggala," kata Rambut Perak.

"Biar aku saja yang mengantarnya, Bi!"

"Ajeng Ayu, kau tidak boleh me...."

"Biar dia saja yang mengantarku, Rambut Perak!" sahut Suto membuat Rambut Perak diam seketika dan akhirnya hanya bisa anggukkan kepala penuh hormat.

"Baik, Ajeng Ayu akan memandu Gusti Manggala ke gua tersebut!" Kemudian ia berkata kepada Ajeng Ayu. "Hati-hati dan jangan sembrono lagi kepadanya!"

"Baik, Bibi!" jawab Ajeng Ayu dengan berseri-seri.

* * *

TIGA

TERNYATA pengaruh noda merah kecil di kening Suto cukup besar. Hanya dengan memperhatikan noda merah di kening seseorang yang sedang berang bisa tunduk seketika dan menjadi hormat kepada Pendekar Mabuk. Alangkah beruntungnya murid si Gila Tuak itu mendapatkan tanda penghargaan dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya.

"Kalau perlu semua tubuhku diberi tanda merah saja, biar aku tambah hebat," gumam Suto Sinting dalam hatinya sambil cekikikan sendiri.

Tetapi sebenarnya di dalam hati gadis centil itu masih belum percaya dengan jabatan Suto Sinting sebagai panglima negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Sebab menurutnya, penampilan seorang panglima negeri yang kondang kesaktiannya itu tidak sesederhana Suto. Menurut Ajeng Ayu, setidaknya seorang panglima mengenakan baju kebesaran, selempang kepanglimaan, pedang keprajuritan, dan sebagainya. Bukan hanya celana putih kusam, baju coklat tanpa lengan, ikat pinggang merah, membawa bumbung tuak, ooh... rasa-rasanya Ajeng Ayu lebih suka menganggap Suto Sinting sebagai gelandangan yang berwajah tampan. Maka tak heran jika sikap gadis centil itu masih seenaknya saja. Rasa hormat dan takutnya hilang sejak kepergian si Rambut Perak.

"Pintar juga kau mengarang cerita hingga bibiku jadi ketakutan," ujarnya sambil melangkah menelusuri hutan cemara merah.

Pendekar Mabuk hanya tersenyum, tak mau ngotot dengan pengakuannya tadi. "Mau percaya atau tidak terserah...," ujar Suto membatin.

"Aku tadi hampir tertawa melihat bibiku langsung berlutut kepadamu. Kalau tak takut dihajar Bibi, aku pasti sudah tertawa keras-keras."

Pendekar Mabuk tersenyum dengan suara tawa pendek mirip gumam. Hatinya pun berkata, "Tentu saja dia beranggapan pengakuanku tadi bohong, karena dia tidak melihat noda merah di keningku."

"Kau memang sangat beruntung, Suto. Pengetahuanmu luas, sehingga bisa menyebutkan nama-nama keluarga Gusti Ratu Kartika Wangi yang membuat bibiku percaya dengan pengakuanmu. Hih, hi, hi, hi... Baru sekarang bibiku bertekuk lutut di depan seorang pembohong sepertimu! Biar tahu rasa dia! Dia pikir semua orang yang hidup di permukaan bumi selalu sama dengan Siluman Tujuh Nyawa? Hmmm... kalau kepergok yang punya otak bulus begini mau apa dia?"

Gadis itu ngoceh sendiri sambil sesekali melirik Suto dalam langkahnya yang sengaja merapat di samping kanan Suto Sinting. Sedangkan Pendekar Mabuk hanya bisa tertawa geli dalam hatinya melihat kebodohan yang terpampang lebar tanpa disadari oleh pelakunya.

"Tapi kalau kau bertemu dengan guruku, kau tak akan bisa berdusta seperti tadi. Guruku sangat cerdas dan sulit ditipu!"

"Pasti gurumu orang yang berilmu tinggi."

"O, tentu! Ia punya kesaktian dapat membuat dirinya semuda aku dan cantik, ia juga punya jurus-jurus hebat dan dahsyat! Contohnya angin badai tadi."

"Jadi, angin badai yang mengamuk tadi adalah ulah gurumu?"

"Bukan. Itu ulahku sendiri," Ajeng Ayu tersenyum nyengir. "Aku baru tamat mempelajari jurus 'Selaksa Badai', dan kucoba di daerah ini agar tidak menimbulkan korban nyawa. Ternyata sungguh dahsyat dan aku tidak bisa mengendalikan diri, akhirnya aku terlempar sendiri sampai di tempatmu."

"Konyol!" gerutu Suto setelah tahu angin badai yang mengamuk itu ulah si centil Ajeng Ayu sendiri.

Ajeng Ayu hanya tertawa cekikikan, sikapnya lebih akrab dan lebih ramah ketimbang tadi. "Kalau Guru ada di sekitar sini, aku pasti kena marah, mungkin dihajarnya sendiri, karena aku tak bisa kendalikan diri."

"Lawan saja kalau dia menghajarmu."

"Uuuh, lawan...!" Ajeng Ayu bersungut-sungut. "Siapa yang berani melawan Guru? Bisa remuk jadi tanah. Tamparannya saja bikin memar pipi. Bibi saja takut kepada Guru. Tapi dia orang yang bijaksana dan penuh pengertian kepada muridnya, selama sang murid patuh kepadanya."

Ajeng Ayu tertawa pendek, "Aku tadi termasuk tidak patuh, karena belum diizinkan mencoba jurus itu, tapi aku nekat sudah mencobanya. O, ya.... Kalau suatu saat kau bertemu dengan guruku, kumohon jangan sekali-kali menggunakan akal bulusmu seperti tadi. Kau bisa malu sendiri."

Sebenarnya Suto ingin ajukan pertanyaan lagi, tapi langkahnya segera terhenti begitu melihat sebuah gua bermulut tak seberapa lebar. Bentuk gua yang ada di sebuah tebing tak begitu tinggi itu mengingatkan Suto pada suatu peristiwa yang membuatnya terdampar di gua tersebut, karena gua yang ada di depannya itulah yang dinamakan Gua Mahkota Dewa. Suto pernah berada di dalam gua itu bersama Nirwana Tria, cucu si Dewa Tanah yang dihormati oleh masyarakat Dasar Bumi. Dalam ingatan Suto, wajah cantik Nirwana Tria pun membayang semakin jelas, membuat senyumnya tersungging dalam rona keindahan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Maksiat).

"Mengapa kau tersenyum sendiri begitu?" tegur Ajeng Ayu.

"Aku ingat seseorang," jawab Suto sambil pandangi gua itu. "Dulu aku pernah berada di gua itu dalam keadaan pingsan dan hampir-hampir tak bisa keluar karena pintu gua diberi jebakan sinar yang bisa membakar tubuhku jika nekat kusentuh."

"Kapan kau pernah ke sini? Tiga purnama yang lalu?"

"Tidak. Hmmm... kalau tak salah ingatanku, sekitar empat purnama yang lalu."

"Kau datang ke sini untuk keperluan yang sama?"

"Tidak. Dulu aku termasuk terdampar di sini. Tapi sekarang aku sengaja datang ke sini."

"Sengaja?! Oh, kalau begitu ilmumu cukup hebat juga, ya? Bisa masuk ke alam perbatasan dari alam nyata."

"Yaah... soal hebat, lumayan-lumayan saja. Kalau tidak karena suatu keperluan penting aku juga tidak memaksakan diri untuk datang ke sini."

"Apa yang ingin kau lakukan di dalam gua itu nanti?"

"Aku mencari sebuah batu untuk obat."

"Batu...? Batu untuk obat? Kok aneh? Batu kok dipakai untuk obat?"

"Batu itu jika dimasukkan ke dalam air tuak di bumbung ini akan larut dan tuaknya bisa menjadi obat untuk sembuhkan seseorang yang terkena racun 'Asmara Kubur'. Karena menurut guruku, tak ada obat lain yang bisa tawarkan racun 'Asmara Kubur' selain batu itu yang larut dalam tuakku."

"Aneh," gumam Ajeng Ayu. "Tapi biarlah... Itu urusanmu, tugasku hanya memandumu sampai di Gua Mahkota Dewa. Dan sekarang kita sudah sampai di depan Gua Mahkota Dewa."

"Kau mau pulang?"

"Apakah kau mengizinkan aku ikut terus denganmu?"

"Apakah kau tidak keberatan jika kuizinkan ikut terus denganku?"

"Apakah kau sanggup memenuhi keinginanku?"

"Apa keinginanmu?"

"Hmmm...," gadis itu tersenyum-senyum lucu dengan matanya melirik indah menggemaskan. "Tidak. Aku tidak ada keinginan apa-apa. Aku cukup senang jika bisa menolongmu, karena kau sudah selamatkan nyawaku dari racun 'Hantu Merah' tadi. Kalau tidak ada kau, aku sudah mati sebelum Bibi tiba di tempatku."

"Kalau begitu, ikutlah sampai ke dalam gua." Suto Sinting melangkah lebih dulu, Ajeng Ayu tertawa girang tanpa suara, kemudian ia bergegas menyusul langkah Suto. Ia tampak ceria sekali.

Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti karena mendengar suara gemuruh yang menggetarkan alam sekitarnya. Suara itu mirip suara seekor singa, namun juga mirip suara seekor beruang. Suara itu bernada besar dan menggema sampai ke mana-mana. Bebatuan kecil berjatuhan dari dinding tebing, daun-daun cemara pun berguguran, tanah yang mereka pijak terasa ingin merekah retak.

Ajeng Ayu ketakutan sekali, ia segera menggenggam lengan Suto Sinting dengan wajah tegang dan pucat. Napas gadis itu menjadi sesak dan lidahnya bagaikan terbuat dari kayu, sulit dipakai untuk bicara.

"Suara apa itu?" tanya Suto Sinting dengan nada berbisik, ia pun tampak menegang. Bumbung tuaknya segera diambil dari pundak dan talinya dililitkan ke tangan kanan. "Ajeng, suara apa itu?" bisik Suto lagi setelah lama tak mendapat jawaban dari Ajeng Ayu.

"It... itu... itu suara Liongsa."

"Siapa itu Liongsa?"

"Pelarian dari negeri Siluman. Beberapa... beberapa waktu ini, masyarakat Dasar Bumi dihebohkan dengan adanya pelarian dari negeri Siluman yang bernama Liongsa. Ia dikejar-kejar oleh... oleh para penjaga Gerbang Siluman yang...."

"Gerbang Siluman?! Oh, maksudmu Liongsa adalah buronannya Eyang Putri Batari?!"

"Benar!" sentak Ajeng Ayu dengan bersemangat. "Kau... kau mengetahui nama penguasa Gerbang Siluman itu rupanya."

"Ya, aku memang tahu tentang beliau," jawab Suto sederhana dan tak mau membeberkan kisahnya ketika mencari Tuak Dewata, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gerbang Siluman).

"Para penjaga penjara para Siluman itu memburu Liongsa ke Dasar Bumi, tapi kami tidak ada yang pernah bertemu dengan Liongsa. Dan ternyata... ternyata dia bersembunyi di Gua Mahkota Dewa. Ooh... mengerikan sekali!" gadis itu nyaris menggigil jika tidak berpegangan pada Suto Sinting. Ia menambahkan kata, "Sebaiknya urungkan saja niatmu mencari batu itu! Kapan-kapan saja."

"Tidak bisa! Aku harus dapatkan batu itu sekarang juga."

"Tapi gua itu sedang dipakai bersembunyi Liongsa. Bagaimana mungkin kau bisa masuk ke sana, Suto!"

"Akan kucoba mengalahkannya."

"Oh, jangan, jangan...! Kau tak akan mampu mengalahkannya. Menurut kabar yang kudengar, Liongsa itu tangguh dan ganas. Masyarakat kami tak ada yang berani membantu para pengejar dari Gerbang Siluman, kecuali guruku dan kakeknya. Tapi toh mereka juga tidak berhasil menemukan Liongsa. Atau... atau sebaiknya kupanggilkan guruku dulu, biar guruku yang mengusir Liongsa dari gua itu?!"

"Tak perlu. Kau tetap saja di sini. Aku akan masuk ke dalam gua itu sendiri," ujar Suto menampakkan keberaniannya. Ia kelihatan tenang dan penuh percaya diri, tetapi Ajeng Ayu merasa kurang percaya dengan kemampuan Suto, sehingga ia menahan Suto agar tak jadi masuk ke gua itu.

"Jangan nekat, Suto! Berbahaya sekali kalau kau melawan Liongsa! Aku tak ingin melihatmu mati dicabik-cabik Liongsa, Suto!"

"Aku tak akan mati. Percayalah!" sambil Suto menepuk-nepuk tangan Ajeng Ayu yang menggenggam lengannya. Ketika Ajeng Ayu ingin keluarkan bujukan lagi, tiba-tiba suara tersebut terdengar kembali.

"Qrrrrr...!"

Buumm, buumm, bummm...!

Tanah dan alam sekitarnya bergetar lebih hebat, karena kali ini suara itu disertai dengan sentakan-sentakan yang mengguncang alam sekelilingnya. Kaki Liongsa bagai disentak-sentakkan ke tanah atau entah ke mana saja, yang jelas menghadirkan guncangan yang menyeramkan. Ajeng Ayu masih tetap berpegangan lengan Suto. Kali ini tubuhnya nyata-nyata gemetar, sementara Suto Sinting masih tetap tenang dan matanya memandang lurus ke arah gua, sama seperti Ajeng Ayu.

Lalu secara tiba-tiba mata mereka menjadi silau ketika dari mulut gua itu keluar sinar merah terang menyilaukan bagai disemburkan dari dalam. Wuuusss...! Blaaab...! Sinar itu lenyap, alam menjadi sepi. Seakan tak pernah ada getaran apa pun. Keadaan itu dibiarkan sampai beberapa saat oleh Suto dan Ajeng Ayu.

"Apakah dia sudah pergi?" bisik Suto.

"Entahlah. Tapi... menurut firasatku ia sedang mengintai kita, Suto. Ak... aku... aku jadi takut sekali."

"Bersembunyilah di balik tiga batang pohon yang berjejer itu. Aku akan memeriksa gua tersebut."

"Tap... tapi, Suto... tapi kalau dia masih ada kaubisa binasa sebelum mencapai...."

"Gggrrrrraaowww...!!"

Ajeng Ayu melompat sambil menjerit ketakutan, karena tiba-tiba suara menyeramkan itu ada di belakangnya. Ketika mereka berpaling ke belakang, ternyata di sana sudah berdiri sesosok makhluk yang mengerikan.

Wuuut, wuuut...! Suto Sinting menyambar tubuh Ajeng Ayu yang melompat ke arah lain. Tubuh itu segera dibawa menjauh dari makhluk aneh yang menyeramkan itu.

"Iit... itu... Itu dia.... Liongsa... ooh, aku takut sekali berhadapan dengannya, Suto. Aku takut sekaliiii...!"

"Sssstt...! Tenanglah, Ajeng! Kalau kau merasa takut dia akan semakin berani. Sebaliknya kalau kita merasa berani dia akan menjadi takut!"

Suto ingin bergerak maju tapi ditahan oleh tangan Ajeng Ayu. "Kita lari saja, Suto! Lariii...! Kita panggil guruku saja, Suto!" Ajeng Ayu setengah merengek karena begitu takutnya.

"Biarkan aku mencoba melawannya satu jurus saja. Kalau satu jurus aku tak mampu mengenai tubuhnya, larilah ke arah timur dan aku akan menyusulmu secepatnya, lalu kita menghadap gurumu," bujuk Suto Sinting, akhirnya gadis centil yang kini gemetaran itu melepaskan genggaman tangannya pada lengan Suto. Keberanian pemuda itu semakin bertambah besar karena ia harus bertarung di depan gadis cantik.

Liongsa adalah makhluk berkepala singa. Kepalanya besar, rambut di kepalanya lebat, tapi badannya panjang seperti naga. Ia mempunyai delapan kaki berkuku tajam semua. Badan besar dan kaki besar berkuku tajam itu ternyata mempunyai ekor sebesar lengan, panjangnya satu depa lebih, dan ekor itu berduri runcing-runcing!

"Gggrrooowww...!!" Liongsa membuka mulutnya, menampakkan giginya yang runcing tajam bersama taringnya yang mirip mata pedang. Lebarnya mulut dapat dipakai untuk menelan dua orang sekaligus. Sungguh menyeramkan sekali jika ia sedang menggerang membuka mulut dengan pandangan mata besar yang merah itu seakan membekukan darah tiap makhluk yang menjadi lawannya.

Tetapi Pendekar Mabuk tampak tidak memiliki rasa takut sedikit pun. Ia justru maju pelan-pelan sambil menggenggam tali bumbung tuaknya. Liongsa juga bergerak maju seakan menyambut keberanian Suto dengan liar dan ganas.

"Grrrooow...!"

Wuuus...! Api menyembur dari mulut makhluk berkepala singa dan bertubuh seperti naga itu. Api tersebut menyambar tubuh Suto Sinting. Namun dengan satu sentakkan kaki ke tanah, tubuh Pendekar Mabuk melambung ke atas melebihi tinggi singa aneh itu. Semburan api lolos dari tubuh Suto, tapi binatang itu mengangkat kedua kaki belakangnya bagai ingin bersalto, dan tiba-tiba ekor berduri itu menyabet tubuh Suto Sinting saat melambung di udara. Wuuut...! Jruuuk...!

"Aaahk...!" Suto Sinting memekik sambil terpental. Sabetan itu kenai punggung Pendekar Mabuk. Punggung itu bukan hanya robek di bagian baju saja, melainkan juga kulit punggung menjadi koyak dan mengucurkan darah segar. Ajeng Ayu pejamkan mata dengan tangis terpendam ketika melihat Suto jatuh tersabet ekor Liongsa. Ia semakin tak berani memandang Suto Sinting ketika binatang aneh itu melompat dan kedua kaki depannya yang menginjak perut Suto. Buuhk...!

"Heeehhk...!" Suto Sinting mendelik dengan mata terbeliak. Perutnya bagai dibebani dua pilar yang mempunyai paku-paku tajam. Kuku kedua kaki itu menancap di perut Suto dan merobekkan ulu hati serta bagian dekat lambung.

Kepala Liongsa merendah dengan mulut terbuka lebar ingin mencaplok Pendekar Mabuk. Tetapi dengan mengerahkan sisa tenaganya, Suto berhasil menghantamkan bumbung bambu tempat tuak itu ke salah satu kaki Liongsa yang menginjak perut.

Prrak...!

"Grrraaaoow...!" Binatang itu tersentak ke atas dengan mengangkat keempat kakinya. Saat itulah Suto punya kesempatan untuk berguling ke samping lalu cepat berdiri dengan perut berlumuran darah. Liongsa mengerang menyeramkan. Kepalanya meliuk menyambar tangan Suto Sinting. Tetapi dengan cepat Suto menggunakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', menggeloyor limbung ke kiri, tahu-tahu bumbung tuaknya menyodok mulut Liongsa yang lebar itu.

Wuuut, prrroook...!

"Ggrrraaoow...!" Liongsa bagai memekik, tubuhnya limbung ke samping. Ia jatuh, namun cepat berguling dan bangkit lagi dengan kedelapan kakinya. Sementara mulut bagian bawah tampak hancur bercucuran darah hitam akibat sodokan bambu dari jurus 'Mabuk Lebur Gunung' tadi.

Suto masih menggeloyor limbung ke sana-sini memainkan jurus mabuknya. Ia bertahan mati-matian untuk tidak menjadi lemah karena luka di bagian depan dan belakang itu. "Celaka! Lukaku ini semakin melemahkan tenaga. Aku harus menjauhinya untuk sementara!" pikir Suto, kemudian ia berplik-plak ke belakang, jungkir balik ke belakang dengan cepat. Dalam waktu singkat sudah berada agak jauh dari Liongsa.

Plak, plak, plak, plak...!

Dengan cepat bumbung tuak dibuka lalu ditenggak. Glek, glek, glek...! Cukup tiga teguk tuak, Suto yakin dalam waktu singkat lukanya akan menutup kembali dan rasa sakitnya akan hilang lenyap.

"Graaoooww...!!" Liongsa menyerang lagi dengan satu lompatan menerkam ganas.

Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Pukulan Gegana' yang memancarkan sinar kuning patah-patah dari kedua jarinya. Clap, clap, clap, clap...! Sinar itu kenai kedua kaki depan Liongsa. Blaaarr...! Kedua kaki itu menjadi hitam seketika dan keropos tak bisa dipakai berdiri lagi. Tetapi gerakan Liongsa masih tetap ganas dengan keenam kakinya. Ia bergerak meliuk dengan cepat dan kedua kaki belakangnya menyambar dada Suto Sinting. Craaas...!

"Aauh...!" Suto memekik karena dadanya robek bagai disabet empat pedang tajam. Ia terpental dan jatuh bersandar pada sebatang pohon.

"Grrrr...!" Liongsa berbalik arah, kini wajahnya menghadap Suto, mulutnya segera dibuka lebar-lebar sebelum ia lakukan lompatan yang akan menelan tubuh Suto Sinting.

"Kalau aku tak segera bangkit, matilah aku ditelan makhluk aneh itu!" pikir Suto sambil menyeringai menahan rasa sakit. Ia tak sempat meneguk tuaknya lagi, karena Liongsa segera lakukan lompatan seperti yang diperkirakan Suto.

Wuuut...! Suto menyentakkan tangannya ke tanah dan tubuhnya segera melambung ke atas. Weesss...! Kakinya sempat menjejak ke pohon yang ada di belakangnya. Dess...! Maka tubuhnya pun meluncur maju melalui atas kepala Liongsa. Wuuut...! Jleeg...! Suto jatuh terduduk di atas tengkuk Liongsa, lalu bumbung tuaknya dihantamkan kuat-kuat ke batok kepala besar tersebut.

Beet, traaak...! Beeet, kraaak...!

"Grrraaaaaaaow...! Graaaaow...!" Kaki belakang Liongsa menghentak ke atas, Suto Sinting terlempar berjungkir balik melalui atas kepala Liongsa. Ia jatuh terpuruk setelah menabrak sebatang pohon. Brruuss...!

"Aaaou...!" Suto mengerang, sekujur tubuhnya terasa sakit. Tulang-tulangnya bagaikan remuk semua. Sementara itu, kepala Liongsa juga berlumuran darah karena retak dihantam bumbung tuak dua kali. Tapi agaknya makhluk aneh itu termasuk kuat dan semakin terluka kian ganas.

Menduga keadaan Suto Sinting tak mampu bergerak lagi, Ajeng Ayu mulai tumbuh rasa nekatnya. Ia tak ingin Suto mati ditelan Liongsa di depan matanya. Maka dengan cepat ia menyambar sebatang kayu dan melompat menyerang Liongsa dari samping. Wuuut...! Namun belum sampai lompatannya mencapai badan Liongsa yang panjang, mata lebar Liongsa melihat gerakan Ajeng Ayu. Badan bagian belakang segera dikibaskan ke samping, maka ekor berduri itu pun menghantam lambung Ajeng Ayu.

Wuuut...! Jruuuk...!

"Aaaaa...!" gadis itu memekik panjang sambil terlempar membentur pohon juga. Bruuuk...! "Oouuuhhk...!" Ia mengerang sambil berusaha untuk bangkit, tapi luka parah telah dideritanya di bagian lambung. Darah mengucur deras dari lambung yang koyak lebar dan mengerikan itu.

Melihat keadaan seperti itu, semangat Suto Sinting timbul kembali. Ia bergegas bangkit walau dengan sempoyongan. Ia ingin menyambar Ajeng Ayu dan membawanya menjauh. Namun tiba-tiba seberkas sinar seperti pisau berwarna merah menyala melesat dari salah satu sisi.

Clap, clap, clap...! Slaaaps...!

Blaaarrr...! Sinar yang mirip pisau itu kenai telinga Liongsa yang langsung meledak dengan memancarkan sinar merah lebar ke berbagai penjuru. Sinar merah itu sangat terang dan menyilaukan, sehingga Suto Sinting yang terpental oleh gelombang ledakan tadi segera menelungkupkan tubuh dan wajahnya karena tak tahan memandang silaunya sinar merah tersebut. Hal yang dilakukan pula oleh Ajeng Ayu, yang merapatkan wajahnya dengan batang pohon agar tak terkenai sinar merah yang menyilaukan itu.

Ledakan itu juga mengguncangkan alam sekitarnya, tapi tidak sampai menumbangkan pohon-pohon. Ketika getaran itu berhenti, Suto Sinting segera bangkit merangkak mendekati Ajeng Ayu. Tetapi ia sempat bingung memandang tempat di mana Liongsa tadi berada. Ternyata makhluk aneh itu sudah tak ada. Yang tertinggal di tempat itu hanya kerangka berukuran kecil seperti kerangka seekor kucing tapi mempunyai enam kaki.

"Gila! Dia menjadi kerangka sekecil itu?! Hmmm... siapa orang yang telah menyerangnya dengan sinar merah seperti pisau tadi?!"

Pandangan mata Suto segera mencari orang lain di sekitarnya. Ternyata ia segera menemukan seraut wajah cantik yang berdiri tak jauh dari Ajeng Ayu. Suto terkejut dengan mata melebar, sedangkan Ajeng Ayu pun segera meratap sambil mengulurkan tangannya kepada orang tersebut.

"Guruuuu... aaahk...!"

Orang yang dipanggil 'Guru' oleh Ajeng Ayu itu tak lain adalah Nirwana Tria, si cantik cucu dari Dewa Tanah itu.

Suto sama sekali tak menduga bahwa guru Ajeng Ayu ternyata adalah Nirwana Tria yang masih muda dan cantik sekali itu. Dulu Suto sempat terpikat oleh kecantikan tersebut, dan Nirwana Tria sendiri merasa senang jika dicium oleh pemuda tampan itu. Sepertinya mereka sama-sama menyimpan kenangan indah yang sukar dilupakan sampai saat itu juga.

Uluran tangan Ajeng Ayu tidak segera disambut oleh Nirwana Tria yang mengenakan jubah putih berhias benang emas tanpa lengan itu. Si cantik berlesung pipit segera hampiri Suto Sinting dan menolongnya untuk bangkit.

"Suto, kau terluka parah?!"

"Guru! Aku di sini!" seru Ajeng Ayu dengan hati dongkol.

Tapi sang Guru tidak peduiikan seruan itu. Ia segera mencium pipi Suto dengan ungkapan rasa rindu yang mendalam.

"Guru, yang jadi muridmu aku, Guru! Bukan dia!"

"Suto, kau... kau...."

"Tak apa. Aku ada tuak, bisa segera pulih kembali. Tolonglah muridmu itu dulu. Jangan kecewakan dia!"

"Oh, ya... hampir saja aku lupa kalau dia murid bandelku!"

Tuak sakti si Pendekar Mabuk akhirnya menutup segala luka dan melenyapkan semua rasa sakit. Ajeng Ayu tampak segar, bagai tak pernah terluka sedikit pun, demikian pula halnya dengan si Pendekar Mabuk. Nirwana Tria hentikan omelannya kepada sang murid yang bandel dan sudah berani mencoba jurus badainya itu.

"Aku mendengar deru badai yang aneh, dan aku yakin pasti Ajeng Ayu menggunakan jurus badai yang belum waktunya dicoba itu. Maka kukejar arah suara deru itu, sampai akhirnya kudengar lagi suara aneh yang menggetarkan pepohonan. Aku tak tahu suara apa itu, tapi kukejar terus sampai kutemukan kau sedang terancam maut oleh makhluk menjijikkan itu."

"Kalau Guru tak datang, Suto pasti mati ditelan Liongsa."

"Belum tentu," sanggah Nirwana Tria sambil pandangi muridnya. "Suto adalah seorang pendekar. Ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang kumiliki. Percuma saja dia menjadi seorang Pendekar Mabuk kalau melawan siluman seperti Liongsa harus kalah. Kau belum melihat jurus-jurus mautnya, Ajeng!"

"Bbe... benarkah ilmunya lebih tinggi dari Guru sendiri?" Ajeng Ayu tampak sangsi.

"Dia seorang manggala yudha dari Puri Gerbang Surgawi. Tentu saja ilmunya lebih tinggi dariku."

"Oh, ja... jadi dia memang panglimanya Gusti Ratu Kartika Wangi?!"

"Kau tampak sangsi, Ajeng. Sebaiknya ingat-ingatlah ceritaku beberapa waktu yang lalu ketika aku dan Pendekar Mabuk kalahkan kekuatan si Ratu Maksiat itu."

Ajeng Ayu tertegun bengong, matanya memandang Suto tak berkedip, sementara yang dipandang hanya tersenyum-senyum saja.

"Apakah kau kembali ke sini karena rindu padaku, Suto?" ucap Nirwana Tria dengan lembut.

"Selain rindu juga karena ada keperluan penting, yaitu mengambil sebuah batu dari Gua Mahkota Dewa untuk sembuhkan seorang sahabat yang terkena racun 'Asmara Kubur' yang berbahaya itu."

"Kurasa kau bebas mengambilnya sekarang. Siluman buronan itu sudah tak akan mengganggumu lagi. Tapi aku harus segera menyerahkan kerangkanya kepada Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman."

"Sampaikan salam hormatku kepada beliau jika kau menghadap nanti."

"Akan kusampaikan sesuai pesanmu," ujar Nirwana Tria sambil sunggingkan senyum yang mendebarkan hati Suto itu.

"Guru, bolehkan aku ikut Suto mengobati sahabatnya itu?" tanya Ajeng Ayu dengan nada manja seperti terhadap kakaknya sendiri.

"Kau harus ikut aku menghadap Eyang Putri Batari, Ajeng."

"Oh, Guru... tolonglah izinkan aku ikut dengan Suto," rengek Ajeng Ayu.

Nirwana Tria menarik napas dan menimbang-nimbang keputusannya dengan melirik Suto Sinting. Pendekar Mabuk hanya angkat bahu, seakan segala keputusan diserahkan kepada Nirwana Tria sendiri.

* * *

EMPAT

DALAM serial Pendekar Mabuk episode Dewi Kesepian dikisahkan bahwa Yundawuni, murid murtad Pendeta Amor terkena racun 'Asmara Kubur' saat lakukan pertarungan dengan Nyai Ronggeng Iblis. Racun itu akan membusukkan sel-sel darah merah dan jantung Yundawuni, napasnya akan menyebarkan wabah penyakit yang membahayakan bagi siapa saja dalam jarak sepuluh langkah di sekeliling Yundawuni.

Racun itu terlepas bersama kutukan keramat Nyai Ronggeng Iblis dan tidak ada obat yang bisa sembuhkan racun tersebut kecuali kutukan itu ditarik kembali oleh Nyai Ronggeng Iblis. Padahal tokoh sesat itu telah dibunuh Suto Sinting saat Pendekar Mabuk membebaskan pengaruh sihir yang membuat seorang gadis kehilangan raganya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

Yundawuni yang masuk aliran putih dan tidak diakui oleh pendeta sesat itu terpaksa membutuhkan darah kemesraan seorang lelaki setiap malamnya. Ia harus bercumbu dan mencapai puncak kemesraannya bersama seorang lelaki siapa saja. Karena hanya darah kemesraan seorang lelaki itulah yang membuat racun itu tidak sempat membusukkan darah dan jantung Yundawuni.

Akibatnya, setiap malam Yundawuni selalu bergairah dan membutuhkan seorang lelaki. Padahal bagi lelaki mana pun yang telah bercumbu dengannya lambat laun akan terserang wabah penyakit mengerikan, yaitu pembekuan pada jalur darah dan penyumbatan pada jalur pernapasannya. Cepat atau lambat lelaki itu akan kehilangan nyawanya setelah terserang penyakit itu.

Pendekar Mabuk menghadap gurunya; si Gila Tuak dalam rangka mencari tahu obat untuk melawan racun 'Asmara Kubur' itu. Menurut si Rupa Setan, perempuan yang menjadi penguasa Kuil Tembus Jagat di Pulau Katong, tak ada obat untuk melawan racun 'Asmara Kubur' kecuali kematian bagi si penderitanya. Karena itu, Pendekar Mabuk ditugaskan oleh sang Guru untuk sembunyikan Yundawuni agar terhindar dari murka para tokoh sakti yang menganggap Yundawuni sebagai bencana bagi kaum lelaki. Padahal Yundawuni sendiri akan mati jika dalam dua malam tidak mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki.

Gila Tuak menemukan cara memerangi racun 'Asmara Kubur', yaitu sebuah batu ajaib yang dinamakan Batu Tembus Jagat. Batu itu akan tumbuh lagi di tempatnya semula jika sudah larut di tempat lain. Batu itu berbentuk bulat agak panjang, menyerupai belimbing sayur, warnanya kuning kunyit. Cara menggunakannya harus dilarutkan dalam tuak sakti si Pendekar Mabuk.

Yundawuni harus disembunyikan sampai Suto dapatkan Batu Tembus Jagat itu. Tetapi ketika itu Yundawuni yang segera mengubah namanya menjadi Dewi Kesepian itu telah pergi dan bersembunyi bersama Temon, pemuda yang masih lugu dan polos namun telah menjadi pemuas gairah si Dewi Kesepian. Temon sendiri juga akan menderita wabah yang membahayakan jiwanya.

Tetapi Pendekar Mabuk lebih mengutamakan memburu Batu Tembus Jagat lebih dulu daripada mencari Yundawuni dan Temon. Sebab untuk wabah yang diderita kaum lelaki yang pernah berkencan dengan Dewi Kesepian, Suto telah temukan obatnya, yaitu tuaknya sendiri dicampur dengan air kelapa gading.

Ramuan itu telah berhasil menyelamatkan nyawa Darah Prabu, murid Resi Badranaya dan Kadal Ginting, si pelayan Resi Pakar Pantun. Mereka menjadi sehat dan terhindar dari wabah tersebut setelah meminum tuak Suto yang dicampur dengan air kelapa gading. Tapi ramuan itu tidak berlaku bagi Dewi Kesepian.

Dengan perasaan kagum, Pendekar Mabuk mulai memasuki gua tersebut. Sebenarnya ia pernah masuk ke gua itu pada saat diselamatkan oleh Nirwana Tria dari ancaman maut Ratu Maksiat. Tetapi rasa kagum Suto masih saja tak bisa dihilangkan, karena gua itu memang mempunyai keindahan tersendiri.

Batu-batu yang ada di dalam gua tersebut mempunyai aneka warna. Bentuknya pun tampak aneh dan punya susunan seni keindahan tersendiri. Ada yang berbentuk seperti buah rambutan tapi berwarna hijau bening, ada yang berbentuk seperti bocah menggeliat bagai baru bangun tidur, ada juga yang berbentuk seperti mangkuk penuh bakso tapi berwarna biru bintik-bintik putih.

Di antara batu-batu indah itulah, Suto Sinting harus menemukan Batu Tembus Jagat. Ia mencari ke sana-sini memakan waktu sangat lama, tapi batu kuning kunyit berbentuk seperti belimbing berukuran satu kelingking, ternyata tidak ditemukan oleh Suto.

"Jangan-jangan batu itu sudah ada yang mengambilnya? Atau mungkin sudah telanjur ditelan Siluman Liongsa, karena disangka belimbing sayur?! Wah, celaka betul kalau sampai batu itu sudah ditelan oleh Liongsa. Berarti aku harus...," kecamuk batin Suto Sinting terhenti karena matanya segera memandang kearah sebuah batu hijau berbentuk seperti mulut naga sedang tengadah. Di dalam lekuk batu yang mirip mulut naga itu terdapat batu kecil seukuran kelingking dan berwarna kuning kunyit. Batu itu memancarkan cahaya tipis di sekelilingnya.

"Nah, itu dia! Uuh... hampir saja aku patah semangat mencarinya."

Pendekar Mabuk akhirnya dekati batu itu dan mengambilnya dengan sangat hati-hati sekali. Wuuut...! Begitu batu ada di tangan Suto, tiba-tiba gua itu bergetar seperti dilanda gempa. Pendekar Mabuk menjadi tegang. Namun ia segera berseru bagai bicara kepada penunggu gua tersebut.

"Maaf, kuambil Batu Tembus Jagat ini demi menyelamatkan nyawa orang banyak. Kumohon relakan batu ini menjadi obat bagi sesamaku."

Setelah berkata begitu, getaran di dalam gua pun berhenti dan suasana menjadi tenang kembali. Suto Sinting tersenyum lega dan berkata sambil memandang langit-langit gua yang indah, "Terima kasih atas kerelaanmu, Gua yang cantik!"

Kini batu yang dicari telah didapat oleh Pendekar Mabuk. Ia terpaksa keluar dari alam perbatasan dan memasuki alam nyata, yaitu alam kehidupannya sendiri. Sementara itu, Ajeng Ayu terpaksa mengikuti gurunya menghadap Eyang Putri Batari, yaitu nenek dari Dyah Sariningrum yang menjadi penguasa Gerbang Siluman.

Batu kuning kunyit yang tingginya satu kelingking itu telah dimasukkan ke dalam bumbung tuak dan larut menjadi satu dengan tuak tersebut. Tuak Suto menjadi berwarna kekuning-kuningan. Namun untuk diteguknya sendiri masih terasa enak, seakan tidak mengalami perubahan apa pun, kecuali perubahan pada kesegaran badannya. Ia merasa lebih segar dan lebih bersemangat setelah meneguk tuak yang telah bercampur larutan Batu Tembus Jagat.

"Sekarang aku harus bisa segera temukan Dewi Kesepian. Mudah-mudahan Temon yang bersamanya belum tewas akibat wabah dari hasil cumbuannya dengan Dewi Kesepian," kata Suto di dalam hatinya.

Dewi Kesepian bersembunyi. Di mana letak persembunyiannya, Suto sudah dapat menduga. Karena dulu ia pernah mengintip Dewi Kesepian sedang bercumbu dengan Temon yang masih hijau dalam hal bercinta di sebuah gua. Gua itulah yang menjadi sasaran Pendekar Mabuk sekarang. Untuk mencapai gua itu, Suto Sinting terpaksa gunakan jurus 'Gerak Siluman', yang mempunyai kecepatan gerak menyamai cahaya.

Sayangnya, diperjalanan ia terpaksa hentikan langkah karena mendengar suara dentuman. Dentuman itu diperkirakan terjadi karena pertarungan tenaga dalam tingkat tinggi yang tak diketahui siapa pelakunya. Rasa penasaran Suto membuat ia terpaksa mengarah ke suara dentuman itu untuk mengetahui siapa yang bertarung menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi itu.

Zlaap, zlaap, zlaap...!

Dalam sekejap saja Suto sudah sampai di sebuah pantai berpasir putih. Hamparan pasir putih itu ditaburi bebatuan karang yang saling bertonjolan meninggi hingga menyerupai hutan karang. Bahkan ada batu karang yang berbentuk seperti pohon, tingginya sama dengan tinggi sebatang pohon kelapa. Tak heran jika masyarakat di sekitar pantai itu menamakannya: Pantai Hutan Karang.

Ternyata pertarungan yang terjadi di Pantai Hutan Karang itu dilakukan oleh seorang perempuan berwajah tua, keriput, hitam, matanya cekung ke dalam, hidungnya pesek dan nyaris berongga mirip lubang belut, bibirnya pecah-pecah serta giginya mancung ke depan bertumpuk-tumpuk tak beraturan.

Tetapi perempuan yang berambut panjang sepunggung dengan ikat kepala berwarna merah bintik-bintik kuning itu mempunyai bentuk tubuh yang sungguh elok. Pinggulnya meliuk sebegitu menawannya, dadanya montok namun tampak padat dan kencang. Kulit tubuhnya kuning langsat, mengenakan jubah hijau tak dikancingkan bagian depannya, dan kutang serta celana komprangnya berwarna kuning.

Perempuan berwajah tua menyeramkan itu tak lain adalah si Rupa Setan, tokoh berilmu tinggi dari aliran putih yang dulu pernah menjabat sebagai Ketua Partai Petapa Sakti bersama saudara seperguruannya yang bernama Tanuyasa alias si Omong Cekak. Rupa Setan sendiri mempunyai nama asli Anjardani, tetapi orang jarang mengetahui nama asli itu kecuali para tokoh tua seangkatan dengannya. Pendekar Mabuk terkejut melihat pertarungan itu. Bukan keberadaan Rupa Setan yang membuatnya terkejut, tetapi lawan si Rupa Setan itulah yang amat mengejutkan Suto Sinting.

Orang yang bertarung melawan Rupa Setan mengenakan kerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Wajahnya putih, bibirnya biru, pandangan matanya dingin, nyaris tanpa ekspresi apapun. Orang itu membawa tongkat berujung pedang lengkung menyerupa paruh burung. Tongkat itu dinamakan Pusaka El Maut, dan hanya dia yang memiliki pusaka itu, sehingga bisa dijadikan ciri khas bahwa orang yang membawa pusaka El Maut tak ada lain kecuali si Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa.

"Si keparat itu ternyata ada di sini! Hmmm...! Barangkali sekaranglah saat yang tepat untuk memenggal kepalanya dengan jurus 'Kapak Songo' yang belum pernah kupakai selama ini!" geram Pendekar Mabuk sambil matanya memandang ganas kepala musuh utamanya itu.

"Tetapi, sebaiknya kulihat dulu apakah si Rupa Setan mampu tandingi kesaktian Siluman Tujuh Nyawa atau terpaksa lari tinggalkan lawannya. Salah-salah jika aku langsung ikut campur akan menyinggung perasaan si Rupa Setan," pikir Suto dalam pertimbangannya.

Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh sesat yang amat kejam dan tak mengenal belas kasihan kepada siapa pun. Bahkan anaknya sendiri tega dibunuh, demikian juga saudara kembarnya dan ayahnya sendiri. Durmala Sanca adalah manusia terkutuk yang dimusuhi oleh pihak aliran putih maupun aliran hitam, sekaligus ditakuti oleh kalangan para tokoh kelas menengah ke bawah.

Tetapi agaknya si Rupa Setan tak punya rasa takut hadapi Siluman Tujuh Nyawa. Walaupun ia sudah berkali-kali terpental dan terbanting, namun ia masih tetap bangkit dan menahan luka dalamnya, lalu menyerang si tokoh sesat itu lagi. Darah yang mengalir dari sudut bibir si Rupa Setan tidak membuatnya jera. Luka koyak di bagian ujung pundaknya tidak digubris. Si Rupa Setan lakukan lompatan cepat bagai sinar putih melesat di atas kepala Siluman Tujuh Nyawa.

Weees...! Senjata kipas yang biasanya terselip dipinggang kali ini digunakan untuk merobek kepala Siluman Tujuh Nyawa dalam gerakan cepat tersebut.

Namun tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa bagaikan menghilang. Laaap...! Tahu-tahu ia muncul di depan si Rupa Setan begitu perempuan berwajah seram itu menapakkan kakinya ke bumi. Serta-merta pusaka tongkat El Maut segera disabetkan ke perut si Rupa Setan dalam gerakan yang tak bisa dilihat mata manusia biasa.

Weees...! Breeett...!

"Aahk...!" si Rupa Setan terpekik pendek dengan suara tertahan. Tubuhnya terlonjak ke belakang. Ia terlambat menghindari sabetan senjata El Maut itu, sehingga robeklah perut si Rupa Setan dengan darah menyembur deras ke mana-mana.

Brruk...! Rupa Setan jatuh terkapar dalam keadaan menggeliat menahan rasa sakit. Agaknya perempuan itu berusaha mengerahkan kekuatan terakhirnya untuk memberi serangan balasan. Ia masih bisa terduduk dengan kaki melonjor, dan kipasnya segera dilemparkan ke arah Siluman Tujuh Nyawa.

Wuuus...! Kipas itu berputar cepat dengan memercikkan bunga-bunga api. Kipas itu melesat ke arah leher Siluman Tujuh Nyawa. Tetapi tongkat El Maut segera menghantamnya dalam satu kelebatan cepat.

Wuuut, blegaaarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi sekitar mereka. Bebatuan karang yang menjulang tinggi mengalami keretakan, bahkan sebagian ada yang runtuh bagian ujungnya. Ternyata kipas itu tidak hancur, hanya terpental menjauh sesaat, kemudian kipas itu berkelebat menyerang lagi dalam keadaan telah menjadi dua buah.

Siluman Tujuh Nyawa tak sempat hampiri si Rupa Setan untuk mengakhiri masa hidup perempuan itu, karena dua kipas yang bergerak memutar dengan memercikkan bunga api itu membuatnya terpaksa harus menangkis dengan tebasan ganda dari tongkat El Mautnya.

Wes, wes, blegar, blaaarr...!

Ledakan besar terjadi kembali. Kedua kipas terlempar beberapa jarak dalam keadaan tetap melayang. Namun sekarang kipas itu telah berubah menjadi empat buah yang memutar seperti piringan dan menyerang Siluman Tujuh Nyawa lagi.

Blegaar, blaar, blaarrr, jegaaarrr...!

Empat kipas maut berhasil dihalau dengan sabetan cepat tongkat berparuh panjang itu. Namun dari empat kipas yang terpental, ketika menyerang ke arah Siluman Tujuh Nyawa lagi telah berubah menjadi delapan buah. Masing-masing memutar cepat bagai piringan bercahaya merah dan lakukan serangan serempak.

Dari delapan buah kipas yang berhasil ditangkis menggunakan tongkat El Maut, akhirnya berubah menjadi enam belas kipas. Siluman Tujuh Nyawa dibuat sibuk dengan kipas-kipas aneh itu. Setiap satu kipas tersentuh benda bisa berubah menjadi dua. Jika enam belas kipas ditangkis semua oleh Siluman Tujuh Nyawa, maka akan muncul tiga puluh dua kipas yang menyerangnya secara serempak.

Sementara tokoh sesat terkejam itu sibuk hindari kipas-kipas berbahaya, si Rupa Setan terkapar tanpa daya lagi. Ia nyaris tak bisa bergerak, hanya bisa duduk bersandar pohon dengan perut koyak besar mengerikan sekali. Namun ia masih bisa kendalikan kipasnya dengan kekuatan batin.

"Celaka! Dia akan kehabisan darah, setidaknya lukanya itu pasti beracun dan membahayakan jiwanya!" pikir Suto Sinting dari persembunyiannya. Kemudian dengan menggunakan 'Gerak Siluman' ia berkelebat menyambar si Rupa Setan.

Zlaaaapp...! Wuuus...! Zlaaap...!

"Rupa Setan...! Bertahanlah, minum tuakku! Lekas minum tuakku!"

Suto Sinting sempat panik melihat mata si Rupa Setan mulai sayu dan mengecil. Sebentar lagi mata itu akan terbeliak dan menjadi putih. Napas perempuan itu mulai lemah, seakan ia sudah tak mampu lagi untuk bernapas. Tetapi mulut yang ternganga berusaha menghirup napas dengan susah payah itu dijadikan peluang bagi Suto Sinting untuk menuangkan tuaknya pelan-pelan. Sekalipun tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali, namun tuak Suto telah berhasil masuk ke tenggorokan si Rupa Setan. Sedikit demi sedikit tuak bisa ditelan, akibatnya pernapasan si Rupa Setan mulai lancar kembali.

Suto segera perhatikan Siluman Tujuh Nyawa yang diserang oleh puluhan kipas bercahaya merah. Bunyi ledakan terjadi berulang-ulang hingga membuat suasana di sekitar Pantai Hutan Karang itu bergemuruh tiada henti. Batu-batu karang sudah banyak yang tumbang dan hancur berantakan akibat gelombang ledakan itu. Sayang kipas-kipas itu akhirnya lenyap sendiri dalam bentuk bayang-bayang, karena kekuatan batin si Rupa Setan sudah tidak bisa mengendalikan lagi. Kini kipas itu tinggal satu yang aslinya, dan jatuh di tanah sebagai kipas biasa.

"Hmmm...! Ia mulai tidak hadapi kipas-kipas itu! Sebaiknya kuhampiri dan kuserang dari depan!" pikir Suto, kemudian dengan cepat ia keluar dari persembunyiannya dan meninggalkan si Rupa Setan menunggu kesembuhannya.

Claap, clap...! Blaar, blaar...!

Sinar hijau yang melesat dua kali dari tangan Suto adalah sinar dari jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' yang diarahkan kepada Siluman Tujuh Nyawa. Tapi secara tak sengaja, gerakan tongkat El Maut yang ingin menyingkirkan kipas-kipas itu telah mengenai kedua sinar itu secara berturut-turut hingga timbulkan ledakan makin dahsyat lagi.

"Durmala Sanca, kini hadapilah aku dan kita selesaikan urusan kita secara jantan!" seru Pendekar Mabuk dengan suara lantang.

"Iblis bau kencur muncul juga!" geramnya tanpa ada perubahan wajah sedikit pun, ia tetap tampak dingin dan datar. "Belum waktunya kuhabiskan tenagaku untuk melawannya! Ada saatnya sendiri untuk merajang habis raganya, setelah jurus maut yang baru kupelajari dapat kukuasai!"

Melihat Suto Sinting muncul di pantai tersebut, Siluman Tujuh Nyawa segera sentakkan tongkatnya ke tanah dan tubuhnya melesat tinggi bagai ingin menembus langit. Wuuuttt...! Akibatnya kipas-kipas merah itu saling berbenturan dengan sendirinya dan menciptakan ledakan, yang mengguncangkan sebagian dataran di sekitar Pantai Hutan Karang itu.

Laaap...! Siluman Tujuh Nyawa sendiri segera tak terlihat lagi. Ia segera memasuki alam gaib sebagai tempat pelariannya jika berhadapan dengan Pendekar Mabuk.

"Pengecut kaauuu...!" teriak Suto. Jegaar, jegaar, jegaaarr, jegaaar...!! Suto melepaskan pukulan tenaga dalam ke langit dengan arah berlainan. Pukulan itu adalah pelampiasan rasa jengkel dan kecewanya karena Siluman Tujuh Nyawa tidak mau menghadapi pertarungan dengannya.

Bukan hal sulit bagi Suto untuk mengejar sampai di alam gaib. Tapi ia segera ingat punya urusan dengan Dewi Kesepian, sehingga niatnya untuk memburu sampai ke alam gaib terpaksa ditunda. Sementara itu, ia segera melihat si Rupa Setan telah muncul dari balik bebatuan karang tempatnya dibaringkan tadi.

Rupa Setan melangkah dengan sempurna dan tak terlihat habis terluka parah sedikit pun. Perempuan itu segera hampiri kipasnya yang kini menjadi satu buah lagi dan tergeletak di pantai tanpa cahaya. Setelah memungut kipasnya, ia melangkah dekati Suto Sinting yang memperhatikan dengan senyum tipis yang agak kaku karena ia habis mengalami kekecewaan terhadap kaburnya sang musuh utama itu. "Mengapa kau selamatkan nyawaku?"

"Siapa tahu suatu saat kau ganti menyelamatkan nyawaku," jawab Suto Sinting seenaknya. "Mengapa kau terlibat pertarungan dengan manusia terkutuk itu?"

"Dia ingin membalas dendam atas kekalahannya beberapa tahun yang lalu," jawab si Rupa Setan. "Beberapa tahun yang lalu, aku pernah membunuh enam belas anak buahnya di atas sebuah kapal. Waktu itu aku masih muda dan lebih gesit dari sekarang."

"Lebih cantik juga tentunya."

"Hmmm...!" si Rupa Setan hanya tertawa satu sentakan tanpa sunggingkan senyum sedikit pun. Ia memandang ke arah lautan yang ombaknya kini sudah tenang, tidak seganas tadi sewaktu terjadi ledakan berkali-kali. Sambung si Rupa Setan lagi, "Kalau kau tak muncul, mungkin hari ini adalah hari terakhir bagiku menikmati kehidupan di dunia. Racun yang ada pada senjatanya sangat ganas, tak mampu kulawan dengan hawa saktiku. Untung kau datang dan segera memberiku minum tuak saktimu yang sungguh ampuh itu, sehingga... rasa-rasanya aku tak perlu malu-malu untuk ucapkan terima kasih kepadamu, Suto."

"Aku pun mengucapkan terima kasih padamu."

"Untuk hal apa?"

"Yaah... mungkin suatu saat kau membantuku dan aku lupa mengucapkan terima kasih, maka sekarang aku lebih dulu mengucapkan terima kasih padamu, Rupa Setan!"

"Kau memang pemuda aneh yang sinting," gumam Rupa Setan sambil melirik sekejap lalu membuang pandangannya ke lautan lagi. Dengan memandang ke arah cakrawala ia bertanya, "Bagaimana dengan usahamu mencari Batu Tembus Jagat itu?"

"Berkat doa restumu... aku berhasil."

"Padahal aku tidak berdoa untukmu."

"Kalau begitu, yang kudengar doa dari guruku dan orang lain. Aku salah duga!" kata Suto sambil melebarkan senyum.

Si Rupa Setan masih tetap serius bagai manusia tak bisa tersenyum.

"Kurasa sekarang waktunya aku mencari Dewi Kesepian. Apakah kau melihatnya berkeliaran di suatu tempat?"

"Aku tak pernah melihatnya sejak habis kau kalahkan tempo hari."

"Kalau begitu aku harus mencarinya menuruti jalan firasatku."

"Akan kubantu menemukannya!" ujar si Rupa Setan, kemudian ia mencabut kipasnya yang sudah diselipkan di pinggang. Kipas itu segera dibentangkan. Beert...! Lalu dikibaskan ke kanan, kiri, depan beberapa kali sambil matanya terpejam dan bersuara seperti orang menggumam. "Dewi Kesepian, Dewi Kesepian, Dewi Kesepian, huummmm...."

Seet...! Tiba-tiba kipas itu berhenti dalam keadaan terbuka. Lalu warna hijau itu memancarkan cahaya bagai air yang menggenang. Dari cahaya air yang menggenang itu tampak seraut wajah berukuran kecil milik Dewi Kesepian alias Yundawuni.

Diam-diam Suto Sinting merasa kagum terhadap ilmu yang dipakai si Rupa Setan itu. Dengan bantuan ilmu yang tak diketahui Suto itu, ia dapat melihat Dewi Kesepian sedang berlari-lari di daerah perbukitan. Tampaknya Dewi Kesepian berlari-lari di antara sela-sela pepohonan. Tak jelas apakah ia lari karena dikejar orang atau mengejar orang, yang jelas gerakan larinya tampak lincah dan terburu-buru. Tetapi daerah perbukitan itu sangat dikenal oleh Suto Sinting.

"O, dia ada di perbukitan itu. Pasti arahnya ke gua yang kuduga sejak semula."

"Apakah kau pernah ke tempat itu?!"

"Pernah, sewaktu aku mengikuti jejaknya dan akhirnya mengintip dia sedang bercumbu dengan Temon."

"Kau memang punya kegemaran mengintip, Suto!"

Pendekar Mabuk hanya tertawa pelan. Kipas itu dikibaskan dan bayangan tersebut lenyap.

"Kurasa sewaktu kupergoki kau berada di reruntuhan gubuknya Yundawuni, kau juga bermaksud mau mengintip percumbuan mereka lagi."

"Ah, dugaanmu terlalu mengada-ada."

"Buktinya kulihat wajahmu kecewa sekali ketika mengetahui gubuk dan hutan sekitarnya telah kubakar habis. Lalu, kau mengejarku karena kau telah curiga padaku sebagai orang yang membakar gubuknya Dewi Kesepian."

"Aku kecewa terhadap tindakanmu yang gegabah, Rupa Setan! Dan... dan kurasa tak ada waktu lagi untuk membicarakan soal itu. Aku harus segera menemui Yundawuni dan memberinya obat ini supaya ia tidak menyebarkan wabah melalui kemesraannya."

Zlaaap...! Suto Sinting segera bergegas pergi, tetapi Rupa Setan pun mengikutinya. Agaknya Rupa Setan mempunyai jurus langkah cepat sendiri yang hampir menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk, sehingga mereka bisa bergerak cepat seiring sejalan. Namun tiba-tiba Suto mengurangi kecepatan geraknya, bahkan si Rupa Setan sempat berkata dalam suara pelan.

"Berhentilah dulu. Aku mendengar suara orang merintih kesakitan."

Langkah kaki mereka berbenti total. Pendengaran mereka dipertajam dengan memiringkan kepala mengarahkan telinga ke suara lirih yang terdengar samar-samar.

"Ya, kurasa memang ada orang merintih di arah selatan sana!" ujar Suto Sinting sambil memandang ke arah selatan.

"Akan kutengok sebentar siapa orang itu. Barangkali seseorang yang membutuhkan bantuan kita."

"Mengapa harus kau yang menengoknya? Mengapa bukan kita bersama-sama saja?"

"Jangan berdebat hal seperti itu. Ikuti saja langkahku kalau kau mau ikut menengoknya!" setelah berkata begitu, si Rupa Setan berkelebat ke selatan dan Pendekar Mabuk pun menyusulnya.

* * *

LIMA

SEORANG gadis cantik berusia sekitar dua puluh tiga tahun terkapar berlumur darah pada bagian dadanya. Gadis berambut pendek berponi depan yang mengenakan jubah tanpa lengan warna biru tua itu menderita luka parah yang telah menyebarkan bau busuk. Namun napasnya masih tersisa dan bisa dipakai untuk merintih dengan sangat menyedihkan.

Pendekar Mabuk terkejut sekali melihat gadis itu yang tak lain adalah si Tenda Biru, bekas murid mendiang Nyai Garang Sayu yang kemudian berpindah aliran putih dan menjadi murid mendiang petapa sakti yang bernama Eyang Tapak Lintang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

"Tenda Biru...?!" seru Suto Sinting yang segera berkelebat menghampiri gadis itu, sementara si Rupa Setan diam terpaku di tempatnya sambil menutup hidung karena tak tahan bau busuk dari luka di dada Tenda Biru.

Melihat panjangnya luka, Rupa Setan yakin bahwa gadis itu telah terluka oleh pedang seorang lawan yang mengandung racun 'Bangkai Peri'. Siapa pun yang terkena racun 'Bangkai Peri' lukanya akan segera membusuk dan mengeluarkan belatung dalam waktu singkat.

Sambil menahan napas, Suto mencoba bicara dengan Tenda Biru yang wajahnya telah pucat pasi yang nyaris menjadi mayat itu. "Tenda Biru... siapa yang melukaimu separah ini?! Siapa, Tenda Biru?!"

Tapi mulut gadis itu bagai tak bisa untuk ucapkan kata selain keluarkan rintihan yang lirih. Suto segera mengambil bumbung tuaknya yang menyilang di punggung, kemudian memberi minum Tenda Biru dengan tuak itu. Tuak sudah bercampur dengan larutan Batu Tembus Jagat itu mempercepat proses penyembuhan luka, sehingga dalam beberapa kejap saja bau bangkai itu sudah tidak tercium lagi. Bahkan luka ternganga itu bergerak merapat dengan sendirinya dan makin lama semakin terkatup lagi.

Tenda Biru bisa bernapas dengan lega. Pedangnya yang terlempar dalam satu jangkauan itu segera diambilnya setelah Suto membantunya untuk duduk. "Suto, ooh... untung kau ada di daerah ini. Kalau tidak kau tak akan bisa melihatku lagi," ujar Tenda Biru setelah menarik napas panjang. Ia melirik ke arah Rupa Setan dan segera berkerut dahi melihat wajah keriput berlipat-lipat menyeramkan itu.

"Dia sahabatku. Jangan takut, wajahnya memang jelek tapi hatinya baik," ujar Suto sambil melirik ke arah si Rupa Setan, dan perempuan berwajah menyeramkan itu segera buang muka, seperti menyimpan rasa malu atau menyembunyikan suatu perasaan yang tak mudah dipahami orang lain.

"Siapa yang bertarung melawanmu, Tenda Biru."

"Seseorang telah membawa lari muridku!"

"Panji Klobot maksudmu?!"

"Ya. Panji Klobot dibawa lari oleh orang itu, entah apa maksudnya! Lalu ia kukejar sampai di sini, dan Panji Klobot berhasil larikan diri. Tapi orang itu berhasil pula melukaiku, sehingga ia meninggalkan diriku dalam keadaan luka seperti tadi. Ia mengejar Panji Klobot."

"Kau kenal dengan orang itu?!"

"Aku tak mengenalnya. Tapi aku masih ingat ciri-cirinya. Ia mengenakan jubah biru muda tanpa lengan, penutup dadanya kain hitam tipis, demikian pula penutup bagian bawahnya kain hitam tipis. Ia seorang perempuan yang tinggi dan bertubuh sekal, lebih kekar dari tubuhnya dibandingkan tubuhku. Ilmunya cukup tinggi, hingga aku berhasil dilukainya tanpa bisa bergerak lagi."

"Apakah ia mempunyai suara agak serak?" tiba-tiba Rupa Setan ajukan tanya.

"Ya. Suaranya agak serak, juga agak besar seperti suaramu."

Pendekar Mabuk segera memandang Rupa Setan dengan tegang. Rupa Setan bertanya lebih dulu kepada Pendekar Mabuk.

"Kau tahu siapa orangnya, bukan?"

"Ya. Kurasa dia adalah si Dewi Kesepian!"

"Yang kita lihat dalam bayangan kipasku tadi, mungkin dia sedang mengejar si Panji Klobot!"

"Kalau begitu, sebelum Panji Klobot menjadi korban kemesraannya, kita harus temukan dia secepatnya, Anjardani!"

Tenda Biru segera bangkit berdiri. Rupanya ia telah sehat dan badannya terasa lebih segar dari sebelumnya. "Aku tahu arah pelariannya. Panji Klobot menuju ke utara!" kata Tenda Biru.

"Tidak. Sekarang mereka ada di barat!" bantah Suto Sinting.

"Bukan! Mereka lari ke utara!"

"Kalau begitu, kau mengejar ke utara dan aku akan mengejar ke barat, karena setahuku perbukitan yang tadi kulihat dalam bayangan kipasmu," Suto memandang Rupa Setan,"... letaknya ada di arah barat kita."

"Aku akan ikut mengejar ke barat!" kata Rupa Setan sambil mengangguk penuh wibawa. Dan tiba-tiba tubuhnya berubah seperti bayangan yang samar-samar, kemudian bercahaya merah tipis, lalu lenyap begitu saja, membuat Tenda Biru terbengong melompong.

"Dia sudah menuju ke barat! Aku akan menyusulnya," ujar Suto Sinting.

"Hati-hati melawan perempuan itu. Ia jago bermain jurus pedang. Aku segera ke utara!"

Weees...! Tenda Biru segera berkelebat meninggalkan tempat. Ia menuju ke utara sesuai penglihatannya tadi. Tetapi Pendekar Mabuk segera berkelebat ke arah barat dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaaapp...!

Panji Klobot adalah mantan pelayan di kadipaten yang tertarik dengan ilmu Pendekar Mabuk, lalu ia mengikuti Pendekar Mabuk dengan harapan bisa diangkat sebagai muridnya. Tetapi karena Pendekar Mabuk belum ingin mempunyai murid, maka permohonan Panji Klobot ditolaknya.

Tenda Biru yang kala itu kehilangan raganya berjanji akan menurunkan ilmunya kepada Panji Klobot jika pemuda polos dan lugu itu bisa menemukan Bunga Kecubung Dadar. Suto Sinting membantu Panji Klobot mencarikan Bunga Kecubung Dadar itu dan berhasil kembalikan wujud raga Tenda Biru. Tetapi janji Tenda Biru kepada Panji Klobot tetap ditepati, sebagai tanda terima kasihnya kepada Suto Sinting.

Rupanya ketika Tenda Biru melatih Panji Klobot di tepi pantai, Dewi Kesepian tertarik dengan kepolosan Panji Klobot. Ia segera membawa lari Panji Klobot pada saat Tenda Biru lengah. Pengejaran pun segera dilakukan oleh Tenda Biru sampai di hutan tersebut. Pertarungan terjadi, dan Tenda Biru terluka oleh jurus pedang si Dewi Kesepian yang serba kilat dan cepat itu. Tetapi lebih dulu Tenda Biru telah berteriak kepada Panji Klobot agar segera melarikan diri, sebab pemuda ingusan itu hanya menonton saja pada saat Tenda Biru sudah terdesak oleh serangan Dewi Kesepian.

Rupanya selama Suto Sinting menembus alam perbatasan gaib. Dewi Kesepian sudah tidak memanfaatkan darah kejantanan Temon lagi. Temon telah terkena penyakit yang diderita oleh Darah Prabu dan lelaki lainnya yang pernah bercumbu dengan Dewi Kesepian. Temon ditinggalkan terkapar di dalam gua persembunyian yang dulu dipakai untuk mengajarkan jurus-jurus bercinta kepada Temon. Tak seorang pun mengetahui keadaan Temon yang telah memucat dan kulitnya berbintik-bintik hitam dengan napas tersendat-sendat, terkapar di dalam gua tersebut.

Kini giliran Panji Klobot yang jadi sasaran Dewi Kesepian. Pelarian Panji Klobot yang tak seberapa cepat itu berhasil terkejar oleh Dewi Kesepian. Pemuda itu hentikan langkahnya setelah terhadang Dewi Kesepian. Dengan modal ilmu pas-pasan yang baru dipelajarinya, itu pun belum rampung, Panji Klobot mencoba melawan Dewi Kesepian. Tentu saja tendangannya yang lamban itu berhasil disapu habis oleh Dewi Kesepian dalam sekali gebrak saja.

Buuhk...!

"Auuuh...!" Panji Klobot meringis kesakitan ketika jatuh terbanting tulang punggungnya membentur akar yang menonjol seperti batu.

"Bodoh sekali kau! Apakah kau pikir aku mengejarmu untuk bermusuhan denganmu?!" sentak Dewi Kesepian.

Panji Klobot masih mengusap-usap punggungnya sambil pandangi Dewi Kesepian. Hati pun berkata, "Lho, kok ternyata yang mengejarku perempuan cantik, ya? Kusangka tadi tak seberapa cantik. Tapi, ooh... tinggi sekali perempuan ini? Peranakan raksasa atau keturunan jin?"

"Kudengar gurumu tadi memanggilmu Panji Klobot. Itukah namamu?"

"Iiy... iya... tapi aku murid baik-baik, Bibi!"

"Husy! Jangan panggil aku Bibi! Namaku Dewi Kesepian. Panggil saja Dewi!"

"Oh, iiy... iya, baik Bibi Dewi!"

"Sial! Hilangkan sebutan 'bibi'-nya!"

"Oh, eh, uuh... maaf, jangan bentak-bentak aku. Aku punya sakit jantung, Bi... eh, Dewi."

Senyum manis Dewi Kesepian yang mempunyai paras cantik menawan itu membuat rasa takut Panji Klobot pun berkurang. Semakin lebar senyuman perempuan itu, semakin hilang rasa takut di hati pemuda lugu itu.

"Aku mengejarmu bukan untuk bermusuhan, tapi untuk bersahabat. Gurumu salah duga, akibatnya aku terpaksa melumpuhkan gurumu yang masih muda itu."

"Ja... jadi aku tidak akan kau siksa atau kau jadikan tumbal bikin jembatan?"

"Hik, hik, hik, hik...," Dewi Kesepian tertawa. "Apa kau ini kerbau, kok mau dijadikan tumbal jembatan segala?!"

Panji Klobot nyengir tawar, karena masih diliputi keraguan dalam hatinya.

"Bangun dan berdirilah! Mana yang sakit, kuobati sebentar!"

Panji Klobot berdiri, Dewi Kesepian segera mengurut punggung yang terasa sakit itu dengan menyalurkan hawa murninya. Lambat laun punggung itu mulai terasa enak dan rasa sakitnya berkurang.

"Kau tukang urut, ya?"

"Jangan menduga sembarangan," sambil Dewi Kesepian mencubit pipi Panji Klobot. "Kalau aku kau anggap tukang urut, barangkali ada benarnya asal yang diurut tidak sembarang tempat."

"Maksudnya tidak sembarang tempat bagaimana?"

"Yaah, hanya tempat-tempat tertentu saja yang kuurut."

"Tempat tertentu itu yang mana?"

"Oh, kau mau mencobanya?"

"Mau, mau...," Panji Klobot tampak girang, karena ia merasa punggungnya sangat enak diurut, apalagi tempat tertentu yang dimaksud Dewi Kesepian.

"Kalau kau mau diurut di tempat tertentu, jangan di sini."

"Habis di mana?"

"Di sana saja, di balik semak-semak."

"Ah, takut! Nanti ada ular."

"Tidak mungkin, karena aku membawa pedang penangkal ular. Hanya ular tertentu yang berani bergerak mendekatiku."

"Hiii... ular apa itu?"

"Nantilah kalau sudah kuurut kau akan tahu sendiri," jawab Dewi Kesepian yang selalu berpikiran ngeres. Ia akhirnya berhasil membujuk Panji Klobot untuk menerobos semak-semak di bawah pohon rindang yang sepi dan aman dari incaran mata orang.

Panji Klobot tidak tahu kalau Dewi Kesepian semalam tidak mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki. Ia tidak bisa menggunakan Temon lagi, dan tidak mendapat mangsa yang mudah dirayu. Sebelum hari menjadi malam kembali, ia harus mendapatkan darah kemesraan seorang lelaki agar darah dan jantungnya tidak membusuk.

Panji Klobot tak sadar bahwa tiap kata dan senyum Dewi Kesepian adalah rayuan yang menghanyutkan. Maka dalam beberapa waktu saja, Panji Klobot sudah jatuh dalam pelukan Dewi Kesepian. Ia menuruti apa yang diperintahkan Dewi Kesepian, karena apa yang dilakukan Dewi Kesepian mendatangkan keindahan baginya. Suatu keindahan yang belum pernah didapatkan seumur hidupnya, telah membuat Panji Klobot makin terbuai dan merasa menyesal atas pelariannya tadi.

"Kalau tahu akan mendapat keindahan seperti ini, mengapa aku capek-capek melarikan diri, ya? Bodoh amat aku ini! Mau diberi kenikmatan yang begitu indah kok malah melarikan diri," ujar Panji Klobot dalam hatinya sambil membiarkan pakaiannya dilepasi oleh Dewi Kesepian satu persatu.

"Kau senang kubeginikan?"

"Senang sekali," jawab Panji Klobot yang sambil nyengir malu-malu.

"Kau suka dengan apa yang kita lakukan ini?"

"Ya, suka sekali, Dewi."

"Sekarang ganti kau yang memberiku keindahan."

"Caranya bagaimana?"

"Begini caranya...," Dewi Kesepian segera membimbing pemuda polos itu untuk menciptakan sentuhan-sentuhan kemesraan yang begitu indahnya.

Panji Klobot cepat paham ketimbang mempelajari jurus dari Tenda Biru. Dewi Kesepian mulai mendesah, menggigit bibirnya sendiri sambil mengerang panjang. Tangannya meremas-remas rambut kepala Panji Klobot, sementara sang pemuda melakukan apa yang diinginkan Dewi Kesepian.

Tenda Biru salah arah dalam pengejarannya. Ia menuju ke utara lurus, sedangkan Panji Klobot kala itu membelok ke barat untuk hindari pengejaran Dewi Kesepian. Karenanya, arah Suto dan Rupa Setan-lah yang betul. Sayang sekali mereka terhambat oleh sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Rupa Setan segera tampakkan diri ketika ia tahu Pendekar Mabuk menyusulnya. Langkah sang Pendekar Mabuk terhenti begitu Rupa Setan mengangkat tangan memberi isyarat agar jangan menimbulkan suara apa pun.

"Ada apa, Anjardani?" bisik Suto Sinting.

"Apakah kau mendengar suara perempuan yang terengah-engah?"

Suto diam sebentar, menyimak suara yang dimaksud Rupa Setan. "Hmmm... ya, tapi masih agak jauh dari tempat kita."

"Maksudku, benarkah itu suara si Yundawuni?"

"Hmmm... kalau menurut irama engahan napasnya, memang itulah suara orang yang sedang berkencan begitu dalam. Dari seraknya suara aku dapat membayangkan bahwa Yundawuni alias si Dewi Kesepian itu telah berhasil merayu Panji Klobot, dan sekarang Panji Klobot sedang melayani gairahnya."

"Kita sergap mereka. Kau sambar pemudanya, aku akan halangi perempuannya!"

Namun baru saja mereka mau bergerak, tiba-tiba kaki mereka terjeblos dalam sebuah lubang menyerupai sumur. Kerimbunan rumput dan ilalang yang tumbuh di situ membuat lubang itu tertutup dan membuat mereka berdua akhirnya masuk ke dalam lubang tersebut.

Bruuusss...! Wuuut...!

"Sutooooo...!!" teriak Rupa Setan karena sangat terkejut merasakan tubuhnya melayang secara tiba-tiba.

Pendekar Mabuk sendiri juga kaget dan hanya memekik panjang dalam keadaan tegang. "Aaaaaaa...!"

Ternyata sumur itu mempunyai kekuatan gaib yang dapat menyedot benda apa pun yang ada di atasnya, kecuali tanaman. Sumur itu makin lama semakin lebar dan tubuh mereka tak bisa dihentikan walau Rupa Setan telah menggunakan ilmu pelenyap raga seperti yang tadi digunakan saat berpisah meninggalkan Tenda Biru. Pendekar Mabuk pun berhasil menjejakkan kakinya ke dinding Iubang tersebut, tetapi tubuhnya tak bisa melambung naik, melainkan justru tertarik turun dengan lebih cepat lagi.

Brruk...! Bruuk...!

Mereka terbanting di dasar yang keras. Keduanya sama-sama pingsan untuk beberapa saat lamanya. Pendekar Mabuk siuman lebih dulu. Dan ia menjadi terkejut melihat keadaan di sekelilingnya. Ternyata ia dan Rupa Setan terkapar di sebuah ruangan yang mempunyai bebatuan menyala biru indah. Dinding ruangan itu juga dipenuhi batu-batuan yang memancarkan warna biru seperti mengandung fosfor. Cahaya itu membuat ruangan tersebut menjadi terang temaram.

Tuak segera diminum oleh Pendekar Mabuk. "Untung tuak ini tidak tumpah isinya," pikir Suto sambil menenggak tuak tersebut. Badannya menjadi segar kembali setelah meneguk tuak.

Ketika Suto sedang mengagumi ruangan sekelilingnya yang lantainya berlapis kabut putih samar-samar itu, Rupa Setan pun akhirnya siuman dan mengeluarkan suara keluhan kecil yang terdengar di telinga Suto. Maka Suto pun segera mendekatinya, membantunya untuk bangkit dan duduk, kemudian memberinya tuak beberapa teguk.

"Oh... gawat!" ujar Rupa Setan dengan nada tegang. "Kita harus segera keluar dari sumur keparat ini!"

"Bagaimana caranya? Kita jatuh dari tempat yang amat tinggi. Tak mungkin kita mendaki dinding sumur itu. Kita masih hidup saja sudah beruntung sekali, Rupa Setan!"

"Ya, tapi kita telah masuk dalam sumur celaka ini!"

"Kurasa kita sudah tidak berada di sumur lagi, melainkan di sebuah ruangan aneh."

"Inilah yang dinamakan Sumur Tambak Peluh," ujar Rupa Setan sambil berdiri memandangi sekelilingnya. "Dalam kitab pusaka milik guruku, tertulis pula nama Sumur Tambak Peluh bersama ciri-ciri dan kekuatan gaibnya."

Rupa Setan memperhatikan batu-batu yang menyala biru pada dinding ruangan tersebut. Tanpa diminta oleh Suto, Rupa Setan jelaskan sendiri tentang Sumur Tambak Peluh itu.

"Sumur Tambak Peluh adalah bekas penjara para dewa yang dibangun dalam waktu sekejap oleh Hyang Maha Dewa. Penjara ini tercipta beberapa ratus tahun bahkan mungkin pula ribuan tahun yang lalu. Di sinilah para dewa menjalani siksaan batin satu persatu. Mereka dipenjarakan di sini secara bergantian, dan masing-masing merasakan siksaan batin yang lebih berat daripada siksaan raga."

Kabut yang melapisi lantal ruangan itu bergerak lamban, seakan ada angin yang meniupnya dari satu sisi ke sisi lain. Rupa Setan diam sebentar, pandangi kabut itu dengan bola mata menampakkan kecemasannya.

"Kabut Kasmaran...," gumam Rupa Setan yang membuat Suto Sinting kerutkan dahi.

"Apa maksudmu berkata 'Kabut Kasmaran'?!"

"Seperti yang tertulis dalam kitab pusaka milik guruku; Sumur Tambak Peluh ini mempunyai kabut yang dinamakan 'Kabut Kasmaran'. Uap kabut ini menyebar naik ke permukaan bumi dan membuat siapa pun yang menghirupnya menjadi kasmaran terhadap lawan jenisnya. Jika kabut ini tiada lagi, maka manusia di permukaan bumi tidak akan mempunyai gairah untuk bercinta, bercumbu, dan bermesraan. Kabut inilah yang mempengaruhi jiwa kita sehingga kita menjadi bergairah terhadap lawan jenisnya."

Pendekar Mabuk yang ikut memperhatikan batu-batu menyala biru itu segera berpaling ke arah Rupa Setan yang ada dalam jarak lima langkah darinya. Rupa Setan pun menatap, lalu mendekatinya dan berkata dengan suara pelan.

"Kita telah menghirup kabut ini. Berbahaya sekali bagi jiwa dan batin kita."

"Aku tak mengerti maksudmu."

Rupa Setan menghembuskan napas panjang. Ia mendongak ke atas, memandang lubang sumur tempatnya terjeblos tadi. Lubang itu tampak hitam karena ketinggiannya dan bagian atas yang tertutup tanaman jenis rumput.

"Lubang ini dulu dipakai meloloskan diri oleh Dewa Sang Gama. Hanya dia satu-satunya Dewa yang bisa lolos dari Sumur Tambak Peluh ini, kemudian menemukan kebebasannya ketika memperistri seorang gadis desa. Tapi mereka tidak dikaruniai keturunan, dan keduanya mati bersama karena penyakit ketuaan. Pada saat Dewa Sang Gama meloloskan diri dari penjara ini, seketika itu kedewaannya hilang dan ia berubah menjadi manusia biasa. Tapi menurutnya lebih baik menjadi manusia ketimbang menjadi dewa yang terpenjara di dalam Sumur Tambak Peluh ini."

"Lengkap sekali kitab pusaka milik gurumu itu," gumam Suto Sinting sambil mencari celah-celah yang bisa dipakai untuk meloloskan diri.

"Kitab itu hanya bisa dibaca dengan mata batin. Tidak semua orang bisa membacanya."

"Apa lagi yang dijelaskan dalam kitab itu tentang tempat ini?"

"Zaman dulu, tempat ini hanya menjadi bagian dari dongeng para remaja yang menginjak usia dewasa," tutur Rupa Setan. Ia melangkah pelan-pelan menelusuri dinding berbentuk segi enam itu. Biar pelan, tapi suaranya terdengar oleh Suto, karena ruangan itu hanya berukuran kecil. Jarak dari dinding ke dinding yang paling jauh hanya sekitar tujuh delapan langkah. "Setiap Dewa yang terpenjara di sini akan menangis dan bermandi peluh karena menahan gairah asmaranya. Ia akan dirongrong tuntutan batin, tanpa bisa melampiaskannya kepada lawan jenisnya."

"Begitukah?" Suto terperanjat, cepat menatap Rupa Setan.

"Tuntutan batin itu tak akan hilang karena para dewa yang terpenjara di sini selalu menghirup uap Kabut Kasmaran ini."

"Oh, jadi... Jadi...?"

"Aku mulai merasakan getaran di hatiku. Apakah kau tidak merasakannya?" Rupa Setan berpaling memandang Suto dari jarak tiga langkah.

Suto Sinting hanya diam mematung, karena ia pun mulai merasakan getaran halus dalam hatinya. Getaran itu adalah gairah bercumbu yang makin lama semakin mendebarkan jantung.

* * *

ENAM

KABUT tipis itu semakin mempengaruhi alam pikiran mereka, menaburkan khayalan tentang cinta dan kemesraan. Pendekar Mabuk mencoba mengatasi gangguan getaran batinnya dengan lakukan semadi pengendalian napas murninya. Tetapi usaha itu ternyata sia-sia belaka. Sekalipun ia telah duduk bersila dan berbadan tegak dengan menarik napas pelan-pelan, namun detak-detak jantung yang menuntut kemesraan semakin mengacaukan jalan pikirannya.

Rupa Setan gelisah dan mondar-mandir sejak tadi. Hasrat bercintanya sebagai seorang perempuan mulai meletup-letup, membuat dada terasa bergemuruh keras. Apalagi ia berada bersama seorang pemuda tampan, gagah dan menawan, terasa sulit sekali baginya untuk mengendalikan tuntutan batin yang menghendaki kemesraan. Dengan berjalan mondar-mandir tuntutan batin itu sedikit teratasi, namun bukan berarti kemenangan baginya. Ketika melihat Pendekar Mabuk lakukan semadi dengan gelisah, Rupa Setan berkata tanpa memandang pemuda tampan itu.

"Percuma saja kau lakukan hal itu. Di sini kekuatan kita berkurang separo bagian. Semakin lama menghirup kabut keparat ini, semakin terkikis ketahanan kita. Bisa jadi akan semakin habis tanpa tersisa."

Pendekar Mabuk masih mencoba kendalikan napas murninya, tetapi selalu gagal dan gagal lagi. Ia menjadi jengkel sendiri, akhirnya melepaskan pukulan tenaga dalam sebagai pelampiasan rasa jengkelnya itu. "Hiaaah...!"

Wuuut...!

Pendekar Mabuk tertegun sesaat, karena tak ada tenaga yang keluar dari tangannya. Jurus "Pukulan Guntur Perkasa' tak bisa dikeluarkan seperti biasanya. Semakin berdebar hati Suto menyadari kenyataan itu. Beberapa jurus lain dicobanya, tapi hasilnya sama saja; seakan ia telah kehilangan seluruh ilmunya dan menjadi lemah karena dipengaruhi khayalan bercumbu yang datang silih berganti. Maka yang dapat dilakukannya hanya diam dan terengah-engah dicekam kegelisahan, diburu hasrat untuk bercumbu.

Perempuan berwajah buruk dan menyeramkan itu akhirnya hentikan langkah mondar-mandirnya. Ia berdiri dengan satu tangan bersandar pada dinding, tangan yang satunya bertolak pinggang. Ia tampak tegar walau sebenarnya dalamnya rapuh tersiksa khayalan yang hadir dengan sendirinya.

"Mengapa kita sampai terperosok ke dalam sumur keparat ini?!" geram Suto Sinting yang mulai berkeringat dingin.

"Barangkali semua ini pelajaran yang berarti bagi kita. Sejak beberapa hari yang lalu kita memburu-buru si Yundawuni yang selalu dibakar gairah kemesraan dan selalu membutuhkan kehangatan seorang lelaki. Barangkali Sang Maha Dewa memberi pelajaran bagi kita, seperti inilah rasa yang dialami Dewi Kesepian dalam menderita siksaan batin selama ini. Setidaknya kita diminta untuk mau memahami, betapa sakitnya penderitaan yang dialami Dewi Kesepian apabila racun 'Asmara Kubur' itu mulai menyerang jiwanya," tutur si Rupa Setan.

"Tapi mengapa aku harus ikut masuk ke dalam sumur ini? Bukankah semestinya hukuman itu berlaku hanya untukmu, karena kau pernah bermaksud membunuh Dewi Kesepian untuk melenyapkan racun 'Asmara Kubur'. Pada waktu itu kau tidak berpikiran betapa menderitanya dia. Sedangkan aku justru berusaha melindungi dia dan mencarikan obat untuk menolongnya, tapi mengapa aku juga harus merasakan penderitaan batin seperti ini?"

"Barangkali Sang Hyang Maha Dewa menguji ketangguhan jiwamu. Kau berusaha menolong orang yang dituntun hasrat untuk bercinta, tapi dapatkah kau menolong dirimu sendiri jika mengalami perasaan yang sama dengan yang dialami Dewi Kesepian itu?"

Pendekar Mabuk diam sesaat, kemudian ia berkata seperti bicara pada dirinya sendiri. "Memang banyak orang yang ingin menolong orang lain, tapi ia sendiri belum tentu bisa menolong dirinya sendiri."

"Berarti kita harus bisa menolong diri kita sendiri sebelum kita bisa menolong orang lain. Kira-kira begitulah makna yang terkandung dalam musibah ini," ujar si Rupa Setan dengan suara masih tegas.

Pendekar Mabuk duduk bersandar dinding bercahaya, mulutnya sengaja terbungkam untuk mencoba atasi gejolak hatinya yang ingin berpelukan, ingin berciuman, dan ingin mendapatkan lebih dari sekadar pelukan serta ciuman. Bayangan perempuan-perempuan cantik yang pernah dipeluknya hadir dalam ingatan, seakan memamerkan kemolekan tubuh mereka, melambaikan tangan untuk bercumbu, kadang bayangan itu ada yang terasa merayapkan tangannya ke dada Suto, menelusuri lekuk tubuhnya. Debur dalam dada Suto pun kian gemuruh.

Hal yang sama dirasakan pula oleh si Rupa Setan. Perempuan itu juga duduk bersandar pada dinding. Makin lama duduknya semakin bergeser mendekati Suto.

Gerakan bergeser mendekati itu membuat Suto Sinting akhirnya bertanya pada dirinya sendiri, "Haruskah kulakukan bersama perempuan berwajah menyeramkan ini? Alangkah sialnya nasibku jika harus bercumbu dengan perempuan berwajah setan ini. Tapi... apa boleh buat jika memang adanya cuma dia?! Oh, tidak! Akan kucoba untuk bertahan dan bertahan terus sampai batas kekuatanku hancur dan kupasrahkan segalanya kepada sang nasib."

Rupa Setan berkata dengan suara pelan, karena napasnya semakin terasa memburu dan terputus-putus. "Pernahkah kau bercinta dengan seorang perempuan, Suto?"

"Belum," jawab Suto dengan suara lemah, seakan malas menanggapi percakapan itu.

Namun si perempuan berwajah buruk tidak hiraukan sikap Suto tersebut. Ia masih ajukan pertanyaan lagi dengan suaranya yang mulai sedikit bergetar. "Benarkah kau belum pernah bercumbu dengan seorang perempuan?"

Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Suto, "Mungkin dengan banyak bicara akan mengurangi tekanan batin ini ketimbang dipakai untuk diam dan merenung, maka yang hadir hanya sejuta khayalan menyiksa jiwa."

Suto pun akhirnya tak segan-segan untuk bicara kepada si Rupa Setan. "Aku memang pernah berpelukan dengan seorang perempuan, aku memang pernah berciuman dan saling meraba, tapi tak pernah berbuat lebih jauh dari itu."

"Jadi kau belum pernah merasakan nikmatnya berhubungan badan dengan seorang perempuan?"

"Belum. Apakah kau pernah?"

Rupa Setan bergeser lebih mendekat lagi, ia menarik napas dan membuangnya lepas-lepas. "Yaaah... dulu memang aku pernah melakukannya, karena pada waktu itu aku terbuai oleh rayuannya. Setelah kusadari bahwa pria itu hanya menghendaki tubuhku belaka, aku segera menyesal karena sebetulnya hatiku masih tertuju kepada si Tanuyasa. Namun agaknya cintaku kepada Tanuyasa bertepuk sebelah tangan sampai sekarang."

Pendekar Mabuk tertawa pendek dan pelan. "Hmm..., rupanya kau masih tertarik dengan si Tanuyasa alias si Omong Cekak yang sudah setua itu, ya?"

"Bukan tertarik karena nafsu, tapi semata-mata ingin mempunyai keturunan dari satu perguruan. Kadang kenangan masa muda kami membuatku merasa lebih baik berada di dekatnya."

Rupa Setan bergeser lagi, hingga kini duduknya hanya berjarak satu jengkal dari Suto Sinting. Pemuda itu masih diam menahan hasrat bercumbu yang bergejolak dalam dada.

"Dulu hidupku hampir saja liar. Tanuyasa dulu setampan dirimu, hingga aku tergila-gila padanya. Ketika kutahu ia tidak mencintaiku, aku menjadi brutal, terlebih setelah aku ditinggalkan oleh pria yang telah mengisap sari maduku. Aku menjadi benci pada diriku sendiri dan merasa tak memiliki daya tarik sebagai perempuan. Kusembunyikan wajahku di balik kehancuran hati. Tak ingin kupamerkan kepada siapa pun, kecuali Tanuyasa. Namun beruntung sekali aku segera menemukan kesadaranku, bahwa hidup brutal bukan merupakan jalan keluar yang terbaik bagiku. Lalu, dengan tetap berhubungan sebagai saudara seperguruan, aku dan Tanuyasa mendirikan Partai Petapa Sakti. Di situlah kusibukan diriku untuk melupakan cinta yang tak terbalas. Tapi tetap saja kusembunyikan wajahku di balik kehancuran yang membekas."

"Apa maksudmu 'kusembunyikan wajahku di balik kehancuran' tadi?" sambil Suto pandangi wajah buruk yang menyeramkan itu.

Tiba-tiba Rupa Setan memegang bawah dagunya. Tangannya bergerak mencengkeram, lalu ditarik ke atas seperti mengelupas gedebong pisang.

"Oooh...?!" Suto Sinting terkejut hingga membelalakkan mata lebar-lebar.

Si Rupa Setan bagai mengelupas kulit wajahnya sendiri. Ternyata wajah buruk itu adalah topeng yang dibuat setipis mungkin dari bahan karet. Di balik topeng berwajah buruk menyeramkan itu, ternyata tersimpan wajah cantik rupawan yang mempunyai hidung mancung, bibir sensual, mata indah berbulu lentik dan kulit kuning langsat yang halus mulus. Dengan rambut meriap sebagian ke pipinya, Rupa Setan sunggingkan senyum yang membuat jantung Suto bagai mau pecah karena detak-detaknya yang amat kuat.

"Inilah aku sebenarnya. Inilah Anjardani yang asli," ujar si Rupa Setan dengan bola mata yang bening berbinar-binar memancarkan gairah cinta begitu membara.

"Luar biasa...," gumam Suto nyaris tanpa suara. Ia tertegun beberapa saat memandangi wajah cantik yang mempunyai lesung pipit kecil jika sedang tersenyum itu. Mata bagai sulit dikedipkan, kerongkongan seakan sukar menelan ludah, dan gejolak birahinya kian bergemuruh lebih seru lagi.

"Wajah ini tak ingin kupamerkan kepada setiap lelaki. Aku hanya inginkan wajah ini dinikmati oleh Tanuyasa, tapi ternyata Tanuyasa lelaki yang buta kecantikan dan tak bisa terpikat oleh kecantikanku. Selama tiga puluh tahun lebih, baru kaulah lelaki yang melihat wajah Anjardani yang sebenarnya, Suto."

Mata bening itu kini menjadi sayu dalam memandang. Uap kabut itu kian banyak dihirup Anjardani, sehingga gairahnya semakin melonjak-lonjak menuntut kehangatan seorang lelaki. Kehangatan itu kini ada di depannya, namun ia masih ragu untuk mereguknya. Ia mencoba mendekatkan wajahnya sambil menggenggam tangan Suto Sinting. Tangan itu dingin oleh keringat gairah yang tertahan. Suto Sinting hanya bisa terbengong melompong ketika tangannya digenggam Anjardani, dan napas perempuan itu semakin menghangat di permukaan wajahnya.

"Pandanglah aku sebagai gadis sebayamu," ucap Anjardani lirih. "Kita telah sama-sama terperangkap dalam penjara terkutuk ini. Musibah ini membuat kita tak berdaya lagi, Suto. Bukan salah kita jika akhirnya kau dan aku saling memenuhi kebutuhan batin masing-masing. Akankah kita bertahan saja hingga musibah dalam penjara terkutuk ini membunuh kita?"

Kata-kata yang semakin lama semakin bercampur desahan napas penuh gairah itu membuat Suto Sinting semakin merinding. Lalu dibiarkannya perempuan cantik itu mencium pipinya dengan lembut. Ciuman itu merayap hingga menyentuh bibir, dan Suto Sinting tak mampu diam selamanya. Sentuhan bibir itu membuat lidahnya menyambar, namun segera dilumat oleh Anjardani dengan penuh ungkapan gairah yang berkobar-kobar.

"Suto, aku tak tahan lagi menghadapi siksaan dalam penjara ini. Aku tak mampu bertahan lagi, Suto...," bisiknya dalam nada rengekan bercampur desah yang memburu.

Kehangatan itu akhirnya menjalar di sekujur tubuh mereka. Suto Sinting kian mengganas setelah amukan Anjardani membuat gumpalan dadanya tersembul lepas dari kain penutup tanpa disengaja. Suto Sinting segera menyambar bagai seekor ikan hiu mencium bau amis darah.

"Oouh...!" Anjardani memekik karena tak mampu menahan keindahan yang datang secara tiba-tiba di permukaan dadanya. Selanjutnya ia mengerang berkepanjangan karena Pendekar Mabuk nyaris lupa daratan. Ia sapu habis tempat-tempat yang paling peka dan mampu hadirkan kenikmatan bagi Anjardani, sehingga perempuan itu bagai terbang melayang-layang bertabur keindahan dan kebahagiaan.

Namun sebelum kemesraan itu meluncur deras lebih dalam lagi, tiba-tiba merasakan getaran yang cukup jelas pada lantai tempat mereka terbaring. Getaran itu makin lama dirasakan sebagai guncangan gempa yang membuat batu-batu biru di dinding mulai berjatuhan.

"Celaka! Tempat ini akan runtuh, Suto!"

Anjardani menjadi tegang, demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk. Mereka cepat-cepat merapikan diri kembali. Tanpa disadari hasrat bercumbu menjadi surut karena ketegangan yang kian memuncak. Penjara terkutuk itu mengalami guncangan semakin kuat. Batu-batu mulai menimbuni mereka dari langit-langit penjara.

"Lekas minum tuakku untuk menahan rasa sakit! Minum...!" paksa Suto kepada Anjardani sambil menyodorkan tuaknya.

Perempuan cantik itu segera meminum tuak beberapa teguk. Ternyata badannya terasa segar dan kepalanya yang dijatuhi bebatuan kecil itu tidak merasa sakit. Bahkan ketika sebongkah batu biru berpijar runtuh dari langit-langit ruangan itu dan menjatuhi kepala Anjardani, perempuan itu tak sempat menghindar, lalu menghantamkan pukulannya ke atas. Wuuut, prraaak...! Batu itu hancur menjadi serbuk dan berhamburan mengotori rambut serta tubuhnya.

Namun pada saat itulah ia segera berseru dengan nada terkejut. "Hei, batu ini bisa kupukul hancur!"

"Tentu saja karena kau menggunakan tenaga dalammu!"

"Tapi seharusnya tenaga dalamku hilang karena pengaruh uap Kabut Kasmaran ini!"

Mereka saling pandang dengan kepala merunduk dan tangan menutup ke atas. Guncangan semakin kuat, batu-batu di langit-langit kian berhamburan menghujani mereka. Salah satu batu yang agak besar menimpa kepala Suto Sinting. Tapi tiba-tiba tangan Suto menghantam ke atas. Beet, praak...! Batu itu pun hancur seperti yang dipukul Anjardani tadi.

"Aku juga bisa!" seru Suto dengan girang. Ia mencoba melepaskan pukulan bersinar ke arah salah satu dinding.

Claaap...! Blaaarrr...!

Mereka terpental bersama hancurnya dinding yang terkena pukulan bersinarnya Suto itu. Tapi mereka saling tertawa karena merasa kekuatan serta ilmunya pulih kembali.

"Kekuatan kita telah pulih kembali!" seru Anjardani mengimbangi suara gemuruh yang memekakkan telinga.

"Mungkin karena kita minum tuak ini!" seraya Suto menunjukkan bumbung tuaknya. "Coba kita minum lagi agak banyak!"

Mereka segera menenggak tuak banyak-banyak. Rasa segar di tubuh semakin terasa jelas. Bahkan gejolak hasrat bercumbu lenyap sama sekali. Sebetulnya pada saat mereka meminum tuak tersebut pada waktu baru saja siuman dari pingsan, kekekuatan mereka masih tetap ada. Tetapi karena terlalu lama menghirup uap Kabut Kasmaran, maka kekuatan itu berkurang kembali, sehingga pada waktu Suto mencoba melepaskan pukulan tenaga dalamnya mengalami kegagalan.

Suto sendiri lupa bahwa tuak itu telah bercampur dengan Batu Tembus Jagat yang punya kesaktian tersendiri. Batu yang tercipta dari keringat dewa yang teraniaya itu mempunyai kekuatan yang bersifat memberontak terhadap kekuatan apa pun. Karenanya, uap Kabut Kasmaran yang melumpuhkan kekuatan mereka dapat dikalahkan dengan kekuatan yang ada dalam Batu Tembus Jagat tersebut.

Rupa Setan segera menggunakan ilmu bayangannya. Ia berubah menjadi bayangan samar-samar, lalu bayangan itu berubah menjadi sinar merah seperti kobaran api. Sinar tersebut melesat naik memasuki lorong tempat mereka jatuh tadi.

Sedangkan Suto Sinting segera gunakan ilmu 'Sukma Lingga' yang menggantikan ilmu 'Dewatakara' itu. Dengan memejamkan mata dan menyatukan kekuatan batin serta pikiran, tiba-tiba Suto berubah menjadi cahaya hijau berekor kecil. Weeess...! Cahaya hijau itu melesat naik menembus lorong sumur dan menjelma di tempat yang bertanah keras, di mana Rupa Setan telah menunggunya selama tiga helaan napas.

"Suara gemuruh itu masih ada, bahkan getarannya masih terasa di tempat ini!" kata si Rupa Setan.

"Ya, aku merasakannya juga. Tapi... di mana topengmu?"

"Ooh...?!" Rupa Setan terkejut dan meraba wajahnya yang tak bertopeng. "Celaka! Topengku tertinggal di dalam penjara terkutuk itu! Aku harus mengambilnya dulu!"

Seet...! Suto mencekal lengan Anjardani, membuat perempuan cantik itu tak jadi melangkah terjun ke Sumur Tambak Peluh lagi. "Tak perlu kau ambil lagi topengmu. Aku lebih suka melihatmu dalam keadaan begini."

"Bee... benarkah?!" Anjardani grogi dipandangi Suto yang sunggingkan senyum menawan itu. Suto mengangguk kecil, penuh kesan yang mendebarkan hati Anjardani.

"Aku akan lebih sering menatapmu jika kau tidak mengenakan topeng."

"Mmm... meng... mengapa kau berkata begitu?"

"Karena sesungguhnya aku takut jika melihat wajahmu bertopeng, dan aku terpesona jika melihat wajahmu tanpa topeng."

Anjardani sunggingkan senyum tersipu. Suto berdebar melihat lesung pipit di sudut senyum itu. Ia mencubit pipi Anjardani. "Cantik sekali kau!"

"Aah...!" Anjardani menepak lengan Suto sambil makin tersipu. Tepat ia menepak lengan Suto, terdengarlah suara ledakan yang menggelegar dan membuat tempat itu bergetar kembali.

Blegaaaarrr...!

"Ada pertarungan di arah barat!" sentak Suto menegang. "Aku akan melihat ke sana!" Zlaaap...!

"Heei, tunggu...!" Anjardani pun melesat menyusul langkah Suto Sinting.

* * *

TUJUH

ALANGKAH terkejutnya Pendekar Mabuk melihat pertarungan itu ternyata dilakukan oleh dua tokoh tua yang berilmu tinggi. Yang satu berjubah putih, rambut pendek putih dan jenggot serta kumisnya putih. Suto mengenal tokoh itu sebagai orang yang berjuluk si Jubah Kapur, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bayi Pembawa Petaka).

Sedangkan yang satu lagi adalah tokoh tua yang berbadan gemuk, sama gemuknya dengan si Jubah Kapur, mengenakan pakaian seperti biksu berwarna abu-abu, brewok, kumis, dan jenggotnya berwarna putih rata, ia tak lain adalah Resi Badranaya, gurunya Darah Prabu.

Mereka duduk bersila di atas batu yang saling berjauhan dalam jarak sekitar enam tombak. Mereka saling melepaskan tenaga dalam tingkat tinggi tanpa bergeser dari tempat duduk mereka. Jubah Kapur melepaskan sinar kuning terang, sedangkan dari tangan Resi Badranaya melesat sinar merah lurus yang menghantam sinar kuningnya Jubah Kapur. Kedua sinar yang bertemu di pertengahan jarak itu saling bertahan dan memancarkan cahaya warna-warni berpijar-pijar.

"Gawat! Apa yang membuat mereka saling beradu tenaga dalam?!" gumam Suto Sinting. "Padahal keduanya sama-sama tokoh putih."

"Pasti ada persoalan yang sangat genting, sehingga mereka mengadu kesaktian seperti itu," ujar Anjardani yang juga mengenal si Jubah Kapur sebagai tokoh aliran putih yang menjadi Ketua Partai Gelandangan. Suto pun mengenal Jubah Kapur sebagai guru dari Inupaksi, putra Raja Bumiloka.

"Harus segera dihentikan sebelum keduanya kehilangan nyawa!" kata Anjardani, sambil bergerak melesat dari balik kerimbunan semak. Namun sayang gerakannya itu tertahan oleh tangan Suto Sinting yang mencekal lengannya dengan kuat.

"Aku ingin melihat siapa yang unggul dalam pertarungan seru ini!"

"Tidak ada yang unggul! Mereka sama kuat dan sama tinggi ilmunya! Mereka akan mati bersama-sama kalau kita biarkan!" sentak Anjardani dengan suara membisik.

"Hei... lihat di seberang sana, sepertinya tubuh Dewi Kesepian sedang terkapar tanpa daya lagi!"

"Oh, ya... benar! Jangan-jangan dia sudah mati?!"

"Celaka! Kalau begitu kau hentikan saja pertarungan mereka, aku akan memeriksa Dewi Kesepian. Jika masih bernapas segera kutolong dengan tuakku yang tinggal sedikit ini!" ujar Suto, kemudian keduanya saling melesat cepat melakukan rencana masing-masing.

Cahaya yang membias lebar berwarna-warni itu masih tetap berpijar-pijar di pertengahan jarak. Jubah Kapur keluarkan peluhnya hingga membasahi seluruh jubah putihnya. Demikian pula Resi Badranaya yang bermandi keringat dengan tubuh bergetar menahan kekuatan si Jubah Kapur. Tetapi tiba-tiba seberkas sinar putih perak melesat bersamaan munculnya wajah cantik yang selama ini tertutup topeng tua menyeramkan itu. Claaap...!

Blegaaaarrr...! Sinar putih itu menghantam cahaya warna-warni dan membuyarkan cahaya itu dalam satu ledakan besar cukup dahsyat. Kedua tokoh yang beradu kesaktian itu terpental ke belakang dan berguling-guling menyedihkan. Tiga batang pohon tumbang seketika dan salah satunya hampir saja menimpa tubuh si Jubah Kapur. Untung ia cepat sentakkan tangan dan tubuhnya melesat dalam gerakan bersalto cepat, sehingga lolos dari pohon yang tumbang itu.

Jleeg...! Jubah Kapur berdiri tegak dengan napas terengah-engah dan wajah menjadi merah bagai habis dipanggang api. Di sisi lain, Resi Badranaya pun cepat menjadi tegak kembali dengan wajah seperti kepiting rebus dan napasnya terengah-engah memandang ke arah pertengahan jarak tadi.

Di pertengahan jarak itu berdiri seraut wajah cantik bertubuh elok dalam usia lebih tua dari kedua tokoh yang bertarung itu namun karena mempunyai ilmu awet muda, sehingga masih tetap kelihatan sekal dan menawan. Anjardani sengaja berdiri di sana sebagai tanda bahwa dia tidak menghendaki pertarungan dari kedua tokoh aliran putih itu.

"Keparat kau, Anjardani! Apa maksudmu pamer kecantikan di depanku, hah?!" geram Resi Badranaya sambil melangkah dekati Anjardani.

Si Jubah Kapur pun segera dekati Anjardani dengan wajah berangnya. "Apa perlumu ikut campur dalam urusanku dengan si Badranaya itu!"

"Kalau kalian merasa berilmu tinggi, lawan aku! Majulah kalian berdua dan tandingi ilmuku daripada kulihat kalian berdua hancur dan kehilangan nyawa!"

"Aku ada di pihakmu, Tolol!" sentak Resi Badranaya. "Bukankah kau juga telah sepakat untuk melindungi Dewi Kesepian sesuai kesepakatan kita saat kau ikut melihat Suto menyembuhkan Darah Prabu dan Kadal Ginting?! Mengapa kau sekarang tidak memihakku, sementara aku bertarung dengan si gelandangan tua itu hanya karena membela Dewi Kesepian!"

Sambil berkata begitu, Resi Badranaya menuding ke arah Dewi Kesepian sehingga pandangan mata mereka tertuju ke sana. Ternyata di sana Suto Sinting telah berhasil menyadarkan Dewi Kesepian yang tadi nyaris sekarat karena pukulan si Jubah Kapur.

"Hei, murid si Gila Tuak!" seru Jubah Kapur. "Biarkan dia mati dan jangan coba-coba menolongnya jika kau tak ingin aku menghajarmu!"

"Jubah Kapur!" seru Anjardani. "Mengapa kau begitu bernafsu ingin membunuh Dewi Kesepian?!"

"Dia telah membunuh muridku secara pelan-pelan. Inupaksi sebentar lagi mati karena racun yang ditularkan melalui kehangatan tubuhnya! Dia biang petaka bagi para pemuda seusia muridku itu!"

"O, jadi Inupaksi bercumbu dengannya dan sekarang menderita penyakit yang sukar disembuhkan?! Ah, itu hal yang kecil bagi Pendekar Mabuk," ujar Anjardani sambil memandang ke arah Suto yang membantu Dewi Kesepian untuk berdiri. Rupanya perempuan yang mengidap racun 'Asmara Kubur' telah meminum tuak rendaman Batu Tembus Jagat, sehingga bukan hanya racun itu yang hilang melainkan luka pukulan si Jubah Kapur itu pun tidak dirasakannya lagi.

"Kalian belum tahu celakanya racun dalam tubuh perempuan itu!" ujar Jubah Kapur masih berang. "Inupaksi menceritakan semuanya padaku, termasuk apa yang dirasakannya dalam menderita penyakit laknat itu. Aku merasa dicabik-cabik oleh kemesuman perempuan itu. Selayaknya jika ia mati dan tak akan pernah hidup lagi, daripada menjadi wabah bagi kaum pria seusianya! Tapi rupanya si Badranaya naksir dia, sehingga membelanya mati-matian!"

"Aku bukan naksir dia, Bodoh! Sudah kubilang padamu, jangan gegabah dalam bertindak, dan kita harus mencari Suto Sinting, karena dialah yang bisa sembuhkan muridmu, seperti dia menyembuhkan muridku. Tapi kau tidak percaya dengan omonganku dan langsung menuduhku yang bukan-bukan! Sebagai seorang Resi aku pantas merasa tak terima kau tuduh dengan tuduhan kotor itu, Gelandangan Bodong!"

"Jaga mulutmu, Gendut!" bentak Jubah Kapur dengan mata melotot dan tangan mau lepaskan pukulan jarak jauhnya lagi.

"Hentikan perdebatan kalian!" sentak Anjardani. "Biarkan murid si Gila Tuak menyelesaikan persoalanmu, Jubah Kapur!"

Pendekar Mabuk segera tampil meninggalkan Dewi Kesepian yang menahan rasa duka dan haru mendengar kecaman yang dilontarkan padanya.

"Pertarunganmu mengguncangkan separo bagian bumi ini, Jubah Kapur. Getarannya sampai terasa ke penjara terkutuk itu!" ujar Suto kepada si Jubah Kapur. "Pada dasarnya murkamu itu memang benar, tapi juga salah."

"Bocah ingusan sok menggurui yang tua!" sentak Jubah Kapur dalam gerutunya.

"Kukatakan salah karena kau sudah diberi tahu oleh Resi Badranaya mengapa masih nekat ingin membunuh Dewi Kesepian! Tahukah kau, dia menderita racun 'Asmara Kubur' karena melawan Nyai Ronggeng Iblis, dan itu berarti dia melawan kekejaman yang dapat membahayakan pihak tak bersalah. Mengapa kau hanya bisa membunuhnya? Mengapa tidak mencari jalan keluar yang lebih baik daripada membunuh?"

"Guru mana yang tidak murka jika muridnya terjebak dalam percintaan terkutuk itu?!" bantah Jubah Kapur.

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalem. "Inupaksi sebenarnya terjebak dalam penjara terkutuk. Penjara itu ada di dalam pelukan Dewi Kesepian. Kalau ia tidak melanggar tata susila ia tidak akan menderita sakit seperti sekarang ini! Sementara itu, Dewi Kesepian sendiri juga terperangkap dalam penjara terkutuk berupa racun 'Asmara Kubur' yang membuatnya serba salah."

"Suto...!" seru Resi Badranaya. "Jangan banyak bicara, cepatlah pergi temui si Inupaksi dan buktikan omonganku tadi di depan si gelandangan itu!"

Jubah Kapur berang lagi dan menuding Resi Badranaya. "Kalau ternyata bocah sinting ini gagal, kepalamu kuhancurkan agar tak bisa bicara dusta lagi, Gendut!"

"Apa kau ini bukan gendut juga, Jubah Kapur," sambil Anjardani sunggingkan senyum geli.

Jubah Kapur cemberut dan bersungut-sungut pandangi Anjardani. Ia tak berani melawan karena ia tahu Anjardani mempunyai ilmu lebih tinggi darinya.

Pendekar Mabuk lambaikan tangan kepada Dewi Kesepian, kemudian Dewi Kesepian mendekat dengan wajah terbungkus duka dan rasa malu.

"Kau sekarang telah bebas dari racun 'Asmara Kubur', berarti kau bebas dari penjara terkutuk yang dilepaskan oleh Nyai Ronggeng Iblis itu. Kurasa sekarang kau tak perlu lagi mencari darah kemesraan seorang lelaki, kecuali jika kau memang telah menikah dengan lelaki itu," kata Suto kepada Yundawuni alias si Dewi Kesepian.

"Aku butuh bukti sampai dua malam!" katanya sambil menatap Suto. "Jika benar dua malam aku tidak mengalami perubahan yang menyakitkan dalam tubuhku, berarti racun itu memang telah sirna dari diriku. Kurasa aku memang tidak perlu lagi memburu kemesraan seorang lelaki, kecuali...."

"Kecuali apa?" sergah Anjardani.

Tapi Dewi Kesepian hanya tundukkan kepala merasa takut berhadapan dengan perempuan yang mampu melerai pertarungan dua tokoh sakti itu.

"Mengapa kau sampai terlibat pertarungan dengan mendiang Nyai Ronggeng Iblis?!" tanya Suto kepada Dewi Kesepian.

"Kekasihku dibunuh olehnya setelah ia puas mencumbunya!"

"Oo... pantas Ronggeng Iblis melepaskan kutukan racun 'Asmara Kubur', rupanya ia ingin membuatmu tersiksa oleh hasrat gairah yang menyala-nyala sepanjang masa," ujar Anjardani.

"Jika kau ingin buktikan kemampuanmu mengobati muridku, sekarang juga kita harus pergi ke Bumiloka! Jangan terlalu banyak membuang waktu untuk seorang perempuan! Perempuan kalau diberi waktu akan mengeruk kebebasan kita!"

"Bicaramu jangan menyinggung perasaanku, Jubah Kapur!" gertak Anjardani, dan Jubah Kapur pun diam sambil melengos.

Suto Sinting hanya tertawa geli, kemudian segera pergi bersama-sama mereka yang ada di situ ke Bumiloka. "Kau harus ikut," kata Suto kepada Dewi Kesepian. "Karena setelah itu kau harus tunjukkan di mana Temon, Panji Klobot dan orang-orang yang telah menjadi korban racun itu."

"Aku bersedia membantumu," jawab Dewi Kesepian, "...sambil membuktikan kemampuan tuakmu tadi."

"Aku akan mendampingi kalian!" sahut Anjardani.

"Mengapa harus kau dampingi?!" Suto bernada protes.

"Untuk menjaga kenakalanmu!" jawab Anjardani sambil tetap memandang ke arah depan, tanpa pedulikan senyum Suto Sinting dan Dewi Kesepian.

Tuak dan Batu Tembus Jagat akhirnya menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan Dewi Kesepian. Kini perempuan itu telah bebas dari racun 'Asmara Kubur' yang sama artinya telah bebas dari penjara terkutuk yang menyedihkan itu. Demikian pula Inupaksi, Temon, Panji Klobot, dan beberapa pria lainnya.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.