Serial Pendekar Mabuk
Perawan Sinting
Karya Suryadi
Perawan Sinting
Karya Suryadi
SATU
DENGAN pedang di punggung, gadis berambut sebahu potongan shaggy itu melompat dari pohon ke pohon bagai seekor tupai, ikat kepalanya yang terbuat dari kain berbenang emas itu memantulkan cahaya sinar matahari, sehingga gerakannya mudah diikuti oleh sepasang mata yang memperhatikan sejak tadi.
"Gesit dan lincah sekali gadis itu. Dilihat dari gerakannya yang serba cepat itu, aku yakin dia gadis yang beringas," sepasang mata yang mengikutinya dari kejauhan itu membuntuti terus sambil tak lepaskan pandangannya kepada gadis berompi ungu itu.
Setiap kali gadis itu menghilang karena tertutup bayangan pohon, sepasang mata yang memperhatikannya itu segera berkelebat ke arah lain agar dapat mengikuti gerakan si gadis. Rupanya ia tertarik dengan kelincahan dan kecepatan gerak si gadis, sehingga ke mana pun gadis itu pergi selalu diikuti. Jarak yang cukup terjaga membuat si gadis tak sadar kalau sedang diikuti oleh sepasang mata milik seorang pemuda berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala. Pemuda berbaju coklat dan bercelana putih kusam itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk.
Tiba di sebuah tanggul sungai, gadis itu hentikan langkah dan gerakannya. Matanya memandang ke sana-sini seperti ada yang sedang dicari. Kesempatan itu digunakan oleh Suto Sinting untuk mengambil jarak lebih dekat agar dapat melihat gadis itu lebih jelas lagi.
"Luar biasa!" gumam hati sang pendekar tampan itu. "Bukan saja cantik, namun juga bertubuh menggairahkan. Hmmm... anak siapa dia sebenarnya? Guru mana yang punya murid secantik itu? Andai saja aku menjadi gurunya, hmm, hmm... tak akan sempat kuturunkan ilmuku karena sibuk mengagumi kecantikan dan keelokan tubuhnya itu."
Wees, slaap, slaap, slaap...!
Tiba-tiba gadis itu sudah berada di atas batu. Batu tinggi itu berada di tengah sungai lebar. Gerakan cepatnya membuat Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kekaguman yang tak bisa ditahan lagi.
Gadis itu masih pandangi keadaan sekeliling, bagai sedang mencari sesuatu yang amat penting baginya. Dari tempat persembunyiannya Pendekar Mabuk dapat melihat jelas bentuk kecantikan si gadis yang berhidung mancung, berbibir sensual, bermata agak lebar tapi indah bentuknya, juga berdada montok tapi kencang dan hangat rasanya.
Rompi ungunya tidak mempunyai kancing bagian depan. Tapi ujung bawah rompi saling terikat di perut, sayang tak sampai menutupi pusarnya. Rompi itu agaknya terbuat dari kain tebal yang hanya sekadar dibentuk rompi secara acak-acakan, sehingga benang di tepian rompi merawis-rawis mirip pakaian gelandangan.
Dari pusar ke bawah, gadis berkulit kuning langsat dan tampak mulus itu mengenakan kain penutup warna ungu juga. Kain itu melilit pinggul sebatas paha. Kain itu menyelinap di sela-sela kedua pahanya dari belakang ke depan hingga mirip cawat setengah celana. Begitu pendeknya kain penutup itu sehingga separo dari pahanya yang mulus tak sempat tertutup.
"Kurasa usianya kurang dari dua puluh tujuh tahun. Mungkin sekitar dua puluh limaan," pikir Suto dalam pengamatannya. "Tapi tubuhnya tampak sekal, seperti sudah sangat matang untuk seorang perempuan dewasa. Kalau saja tinggi tubuhnya tidak setinggi tubuhku, maka ia akan kelihatan agak gemuk. Tapi dalam keadaan bertubuh tinggi, ia kelihatan tegap, kekar, dan sepertinya tahan bantingan juga dia."
Wes, slaap...! Gadis itu pindah tempat, kini ada di daratan tepi sungai besar itu. Pendekar Mabuk juga mengikuti dengan lompatan secepat perpindahan cahaya, karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...! Suto Sinting pun sudah ada di daratan tepi sungai, tapi berlindung di balik pohon besar.
"Kuharap dia mandi. Kuharap mandi, mandi, mandi... Yaah, cuma garuk-garuk pundak saja, bukan mau melepaskan pakaiannya. Sial!" Suto Sinting menggerutu sendiri dalam hati.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk terkejut melihat sekelebat sinar merah seperti buah rambutan yang melesat dari kerimbunan semak dan pohon di sebelah kiri si gadis. Sinar merah mirip buah rambutan yang memancarkan warna terang itu melesat ke arah gadis tersebut.
"Celaka! Ada yang ingin menyerangnya?! Oh, dia tak melihat! Bisa mati gadis itu jika terhantam, sinar merah yang..."
Blaaarrr...!
Pendekar Mabuk belum selesai lanjutkan kecamuk batinnya, tiba-tiba gadis itu rentangkan kedua tangan tanpa memandang datangnya sinar. Dari telapak tangan kirinya keluar sinar biru kecil yang menabrak sinar merah mirip rambutan itu. Maka terjadilah ledakan besar yang menggetarkan pepohonan di sekitarnya. Gadis itu tidak terpental, hanya terpelanting sedikit dan segera sigap kembali. Padahal dahan pada pohon itu belakangnya sempat patah karena kerasnya sentakan daya ledak tadi, tapi gadis itu bagaikan mampu menahan sentakan daya ledak yang cukup kuat itu.
"Oh, hebat juga dia?" gumam Pendekar Mabuk yang tetap bersembunyi sambil menggantungkan bumbung bambu isi tuak sakti di pundaknya.
"Keluarlah kau, Rogana! Aku tahu kau ada di sekitar sini!" seru gadis itu dengan suara lantang.
Dari lantangnya suara Suto dapat menilai keberanian gadis itu cukup tinggi. Gerakan matanya pun menjadi nanar dan liar, seakan ia tak sabar menunggu kemunculan lawannya yang tadi disebutkan bernama Rogana itu. Pendekar Mabuk terbelalak begitu melihat tanah di seberang sana mulai retak. Keretakannya menjalar cepat mendekati kaki gadis itu dari belakang. Hampir saja Suto berseru memberitahukan datangnya bahaya tersebut. Tapi rupanya si gadis lebih tanggap dan lebih peka atas bahaya yang mendekatinya, sehingga ia cepat-cepat lakukan lompatan ke samping dan berjungkir balik bagai baling-baling. Wuuut...! Tepat pada saat itu dari dalam keretakan tanah itu muncul sesosok tubuh yang membaur dengan tanah.
Brrruul...! Tanah menyembur ke berbagai arah bersama keluarnya orang berpakaian serba merah. Orang itu sudah mempersiapkan pedang dan pedangnya terarah ke atas. Jika gadis berompi ungu itu tidak segera melompat ke samping, maka ia akan tertusuk pedang dari bawah.
Jleeg...! Orang yang baru muncul dari dalam tanah itu berdiri tegak membelakangi Suto Sinting dalam jarak tujuh langkah. Suto semakin merapatkan tubuh dengan pohon dan merendahkan badan supaya lebih terhalang oleh semak ilalang di depan pohon tersebut.
"Gila! Tinggi sekali orang ini?!" pikir Suto. "Gadis itu sampai mendongak dalam memandangi wajah lawannya. Raksasa dari mana orang ini sebenarnya?"
Suto Sinting hanya bisa melihat bagian punggung dan rambut yang panjang sampai pinggang berwarna abu-abu. Ia belum melihat orang tinggi besar itu dari arah depan. Namun dari bentuk pedangnya yang besar penuh dengan darah kering, Pendekar Mabuk bisa pastikan orang itu bertampang ganas dan sadis. Tapi anehnya gadis berkulit mulus itu tak merasa takut sedikit pun. Matanya memandang tajam ke arah lawannya, ia tak segera mencabut pedangnya, hanya berjalan menyamping yang membuat sang lawan ikut menyamping berlawanan arah.
"Sangat tak seimbang! Gadis itu bisa mati jika nekat melawan orang itu!" gumam Suto dalam batinnya. "Oooh...?! Gila?!" Pendekar Mabuk semakin tegang ketika lawan si gadis terlihat dari depan.
Ternyata orang itu bukan saja berwajah ganas, melainkan juga berwajah menyeramkan, ia bertulang rahang panjang ke depan dan berkulit tebal warna abu-abu berlipat-lipat. Di tengah keningnya mempunyai tanduk seperti cula badak. Alisnya lebat, matanya lebar kemerah-merahan, mulutnya yang monyong mempunyai bibir tebal warna hitam.
"Iih...!" Suto bergidik. "Itu manusia apa siluman?! Wajahnya mirip badak, tapi juga mirip babi hutan. Jangan-jangan dia lahir karena perkawinan silang antara babi hutan dengan badak bercula satu?!"
Rogana memang manusia berwajah badak. Bukan saja wajahnya yang mirip badak, tapi kulit tubuhnya juga tebal seperti kulit badak. Jubah merahnya yang berlengan panjang itu tidak dikancingkan bagian depannya, sehingga Suto dapat melihat dadanya yang keras berwarna abu-abu dan perutnya yang tebal berlipat-lipat. Ternyata Rogana juga mempunyai jari-jari yang besar dan berkuku runcing warna hitam.
"Amit-amit jabang bayi!" gumam Suto dalam hati. "Mudah-mudahan gadis itu tidak sedang hamil. Kalau sedang hamil bisa-bisa anaknya seperti si Rogana itu."
Gadis tersebut ternyata tidak tampak gentar sedikit pun. Bahkan ketajaman matanya memancarkan keberanian yang tinggi, ia berani menuding lawan yang menyeramkan itu dengan serukan suara lantangnya. "Kali ini tak akan kubiarkan kau lolos dari tanganku, Rogana! Karena kau telah membunuh guruku yang menyembunyikan diriku!" ujar Perawan Sinting, sambil membayangkan saat gurunya ditemukan tewas, setelah bertarung melawan Rogana, akibat sang Guru menyembunyikan sang murid.
"Nyawamu sudah ada dalam jangkauanku, Gadis Keparat!" balas Rogana dengan suara besar, seperti tertekan. Ia menyeringai, membuat Suto merinding karena melihat giginya yang besar dan runcing itu.
"Kalau kau masih sayang dengan ragamu, sebaiknya hentikan pengejaranmu terhadapku, Gadis Tolol! Ada baiknya kita berdamai dan hidup berdampingan dengan penuh kasih sayang!"
"Aku mau hidup berdampingan denganmu, Jika kau sudah menebus kematian guruku dengan nyawamu!"
"Jadi kau benar-benar tak mau kuajak berdamai?!"
"Terkutuklah aku selama tujuh turunan kalau sampai berdamai dengan pembunuh guruku sendiri!" seru gadis itu menampakkan keras kepalanya.
"Kalau begitu kau benar-benar gadis bangsat yang harus kukirim ke neraka sekarang juga! Heeeeaah...!" Tubuh tinggi besar itu melayang seperti pilar terbang. Gadis cantik berbibir sensual tak mau diterjang, karenanya ia segera lakukan lompatan ke samping dalam jarak lima langkah. Wuuut...!
Pedang besar di tangan Rogana menebas tempat kosong. Wuuuk...! Tapi begitu melirik si gadis ada di samping kirinya, ia pun segera menyabetkan pedangnya ke kiri. Wuuuk...!
Si gadis sudah lebih dulu lakukan gerakan seperti berlari dalam kemiringan batang pohon yang tumbuh tegak lurus itu. Tab, tab, tab, tab, tab...! Tahu-tahu tubuhnya telah melesat berjungkir balik di udara melewati atas kepala Rogana. Tepat di atas kepala Rogana gadis itu lepaskan pukulan tenaga dalamnya dengan tangan menggenggam. Beet, claap...! Pendekar Mabuk melihat ada sinar merah sekilas yang keluar dari genggaman si gadis dan menghantam kepala Rogana. Duaaar...!
Brrruuk...! Gluduk, gluduk, gluduk...! Rogana jatuh tersungkur dan cepat menggelinding ke samping. Dalam sekejap ia telah berdiri kembali dengan rambut kepulkan asap, tapi kepala masih utuh. Sebagian rambutnya tampak terbakar dan menjadi keriting, terutama di bagian tengah kepala yang tadi terkena pukulan bercahaya merah.
"Grrrmmm...!" Rogana menggeram dengan pandangan memancarkan amarah besar.
Si gadis masih tampak tenang, berdiri dengan kuda-kuda kokoh dan kedua tangan siap lepaskan pukulan lagi.
"Heeeaahh...!" Manusia berwajah badak itu berteriak sambil lemparkan pedang besarnya. Pedang itu meluncur lurus ke dada si gadis. Tapi dengan satu lompatan bersalto ke belakang, gadis itu berhasil menendang pertengahan pedang dari bawah ke atas. Beet...! Pedang berbalik arah dan meluncur ke dada Rogana. Wees...!
Taak...! Rogana menahan ujung pedang dengan menghadangkan telapak tangan kirinya. Pedang berhenti sekejap, tangan kanan Rogana menyambar gagang pedang. Wuuut...! Kini pedang berada di tangan kanan Rogana lagi.
"Hebat, hebat...!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Jurus tendangan yang kelihatannya mudah dipelajari tapi sebetulnya punya kunci sendiri yang sulit dimiliki setiap orang."
Gadis itu membuka jurus baru dengan merentangkan kedua tangannya ke samping dan menegakkan kedua kaki yang saling merapat, ia sengaja berdiri menyamping dari lawannya dengan mata melirik penuh waspada. Lawannya bergerak maju dengan lakukan lompatan meluncur cepat sambil meluruskan pedangnya untuk menembus tubuh si gadis.
Wees...!
Tiba-tiba si gadis berlutut satu kaki, kemudian kedua tangannya menyentak ke atas bergantian. Bet, bet...! Tepat pada saat itu Rogana meluncur di atas kepalanya dan pukulan bercahaya biru menghantam dada dan perut Rogana secara berturut-turut.
Blaar, blaar...!
Tubuh Rogana terpental, melambung tinggi dan jatuh terbanting hingga tanah terasa bergetar. Brrruuk...! "Grrrhh...!" Rogana mengerang antara menahan sakit dan menyalurkan kemarahannya.
Suto melihat perut dan dada Rogana mengepulkan asap. Tapi agaknya tak dipedulikan oleh Rogana. Ia segera bangkit, kemudian kaki kanannya menghentak ke tanah satu kali. "Hheaaahh...!"
Bluuk...! Krrraak...!
Tiba-tiba tanah yang dipijak si gadis retak terbuka membuat si gadis terperosok masuk ke dalam keretakan tanah itu. Brrus...! Untung salah satu tangannya segera berhasil menyambar akar pohon, sehingga ia tak sampai terperosok seluruh tubuhnya, ia cepat-cepat berusaha untuk keluar dari keretakan tanah itu. Hanya saja, Rogana segera menerjang dengan gerakan cepat, sehingga tangan si gadis terlepas dari akar pohon dan ia jatuh ke tempat yang lebih dalam lagi. Bruuus...! Sruuuk...!
"Haaaaahhh...!!" Rogana berteriak keras dan panjang. Kedua kakinya segera menghentak ke bumi. Bluk, bluk...! Maka keretakan tanah itu merapat kembali, membuat si gadis hampir saja terkubur di dalamnya. Zeerrrpp...! Sebelum tanah bergerak merapat kembali, tiba-tiba tubuh gadis itu melesat bagaikan terlempar dari dalam tanah. Tubuh itu meluncur lurus ke atas dengan satu kaki sedikit terlipat dan tangan kanan sudah menggenggam pedang. Pedang itu menyala hijau pijar dan mengarah ke langit.
"Hiaaaaaahhh...!"
Clap, clap, clap, clap...! Pedang itu memancarkan sinar seperti kilat berwarna hijau menyebar ke berbagai arah, menyambar apa saja yang dikenainya.
Blaaaar, blaar, blegaar, blaar, duuaar...!
Beberapa pohon tumbang dan pecah karena sambaran sinar itu. Bahkan dahan pohon yang dipakai bersembunyi Suto itu patah dalam keadaan hangus pada bagian yang patah. Dahan itu jatuh, hampir saja menimpa kepala Pendekar Mabuk. Brruk...! Pendekar Mabuk kaget sebentar, lalu tak pedulikan dahan itu, karena ia sedang memperhatikan sinar hijau lainnya.
Ternyata salah satu sinar hijau itu ada yang menghantam pelipis Rogana. Jegaar...! Rogana terlempar jauh, pelipisnya hangus dan kepulkan asap. Tapi ia masih sehat dan mampu berdiri dengan cepat, ia segera menyambut kehadiran gadis berompi ungu yang sedang bergerak turun dalam gerakan seperti saat ia meluncur keatas.
"Haaaaarrrhhh...!!" Rogana memutar-mutar pedangnya di atas kepala sejenak, kemudian pedang dilepaskan dan, craaak...! Pedang itu menjadi sembilan bilah yang segera menyebar dan meluncur ke arah gadis itu. Pendekar Mabuk hanya bisa terbengong menyaksikan jurus aneh si manusia berwajah badak itu.
Gadis tersebut terpaksa menangkis tiap pedang yang mendekat ke arahnya. Gerakannya sangat cepat hingga sukar dilihat. Suto Sinting hanya bisa mendengar suara denting pedang beradu dengan gaduhnya.
Trang, tring, tring, trang, tring, trang, trang, tring...!
Rupanya sembilan pedang itu bagai mempunyai nyawa sehingga dapat bertarung sendiri-sendiri tanpa dimainkan oleh pemiliknya. Pedang yang sudah tertangkis dan terlempar dapat kembali lagi menyerang si gadis dari arah mana saja. Lambat sedikit gerakan si gadis maka ia akan menjadi sasaran empuk bagi pedang tersebut.
"Edan! Rupanya si manusia badak itu juga berilmu tinggi?!" pikir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar girang karena menyaksikan pertarungan yang sama-sama kuat dan sama-sama dahsyat.
Sementara si gadis berusaha melepaskan diri dari kepungan pedang-pedang bernyawa, Rogana lakukan satu lompatan bagaikan terbang cepat melintasi atas kepala si gadis. Kedua tangannya segera menyentak dan keluarkan asap abu-abu yang segera membungkus tubuh si gadis. Wuuursss...!
Bluub...! Begitu kakinya mendarat ke bumi, Rogana berseru sambil tepukkan tangan satu kali. "Heeeeaaaahhh...!"
Plaaak...! Sembilan pedang tadi bergerak cepat mengumpul dan dalam sekejap sudah berada di tangan Rogana menjadi satu pedang. Zraaak...! Teeb...!
Alam segera menjadi hening. Pendekar Mabuk tetap lebarkan mata dengan bingung, karena gadis itu hilang tak terlihat lagi. Tapi di tempat si gadis bertarung tadi tampak dua bongkah batu hitam dalam ukuran besar; seperti seekor kerbau berdiri. Kedua batu itu saling merapat.
"Gadis itu menjadi batu?!" gumam hati Pendekar Mabuk penuh keheranan, ia yakin gadis itu menjadi batu, karena Rogana memandangi batu itu dengan seringai kemenangan.
"Siapa pun tak akan menemukan bangkaimu, Gadis Tolol! Hahh...!" Setelah mengucapkan kata itu, Rogana segera pergi tinggalkan tempat tersebut dengan langkahnya yang cepat hingga menyerupai bayangan merah berkelebat menerjang semak dan pepohonan kecil. Sedangkan batu itu tetap utuh, tanpa gerakan sedikitpun.
"Kalau begitu, gadis itu ada di dalam dua batu berongga yang saling merapat?! Terpenjara di sana? Karena si Rogana tadi mengatakan 'siapa pun tak akan menemukan bangkaimu', berarti gadis itu mati di dalam dua batu berongga tersebut?!" pikir Suto dengan wajah mulai tampak sedih. Kasihan gadis itu. Apa yang bisa kulakukan untuk selamatkan dirinya? Apakah dia masih hidup di dalam batu itu atau langsung mati? Suto bicara lirih sambil mendekati batu itu dengan hati-hati.
* * *
DUA
BATU besar itu diperhatikan beberapa saat. Lalu, Pendekar Mabuk gunakan ilmu 'Lacak Jantung' untuk mendengar detak jantung di sekitar tempat tersebut, ia berhenti dari segala gerakan dan pejamkan mata sesaat, pusatkan kekuatan batin pada pendengarannya.
"Oh, kudengar ada suara detak jantung yang samar-samar. Lemah sekali. Apakah ini detak jantung gadis itu?" pikir Suto Sinting sambil membuka mata kembali. "Agaknya ia masih hidup walau di dalam batu. Tapi makin lama detak jantungnya makin lemah, berarti dia akan mati kehabisan udara! Oh, kalau begitu aku harus segera hancurkan batu ini!"
Suto tak berani gunakan jurus penghancur seperti jurus 'Pukulan Gegana' atau jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' dan sejenisnya. Karena ia khawatir jurus itu selain dapat menghancurkan batu besar tersebut juga dapat menghancurkan gadis di dalamnya.
Dengan penuh pertimbangan akhirnya Suto Sinting cukup menghantamkan bumbung tuaknya yang mempunyai kekuatan sakti tersendiri. Sebab bambu yang dipakai untuk tempat tuak itu bukan sembarang bambu, tapi merupakan jelmaan dari tokoh sakti yang dalam silsilahnya adalah eyang buyut guru yang bernama Wijayasura, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Guntur Biru). Bumbung itu diputar tiga kali dan dihantamkan ke batu besar yang kerasnya menyerupai besi itu.
Wut, wut, wut...! Blaaarr...! Krraaak...!
Ledakan yang timbul akibat hantaman bumbung tuak ke batu membuat batu itu menjadi retak tiga bagian. Tapi belum pecah, dan wajah si gadis belum kelihatan. Ini menunjukkan bahwa kekerasan batu itu memang menyerupai besi dan tidak dapat dihancurkan dengan mudah. Suto Sinting terpaksa mengulangi tindakannya tadi. Bumbung tuak diputar tiga kali lalu dihantamkan ke batu tersebut. Blaaar...! Praaak...! Kedua batu itu akhirnya pecah menjadi beberapa bongkahan, dan tubuh si gadis tampak berdiri bersama pedang menyala hijau yang masih ditangannya.
"Gila! Ternyata bagian dalam kedua batu itu adalah batu lahar yang masih memancarkan nyala merah membara?!" gumam Suto terheran-heran sambil pandangi asap tipis dan bongkahan-bongkahan batu tersebut.
Dari luar memang kedua batu itu tampak dingin-dingin saja. Tapi sebenarnya di sisi dalam batu memancarkan hawa panas seperti lahar merah. Tentu saja keadaan tubuh si gadis mengalami luka bakar sangat parah. Kulitnya yang mulus menjadi hitam kecoklatan dan membengkak.
"Kalau gadis ini tidak mempunyai lapisan tenaga dalam cukup tinggi, pasti ia sudah menjadi bubur atau setidaknya menjadi arang dan tak bernyawa," kata Suto dalam hatinya. "Ternyata keadaan gadis ini hanya mengalami luka bakar saja, rambut dan pakaiannya masih utuh. Berarti ia mempunyai satu kekuatan yang dapat menahan hawa panas. Benar-benar sinting juga ilmu gadis ini! Dibungkus lahar panas masih bisa bertahan. Tapi aku yakin, ia tak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Jelas ia akan mati lumer jika sampai terbungkus batu lahar selama seperempat hari."
Pendekar Mabuk segera memeriksa denyut nadinya. "Ooh... lemah sekali! Terlambat sedikit aku bertindak, gadis ini tidak akan bernyawa lagi!" gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri. Kemudian ia segera membawa gadis itu ke tempat yang teduh.
Mulut si gadis bertubuh sekal dan tinggi itu terkatup rapat. Padahal Suto harus menuangkan tuak saktinya agar tertelan oleh si gadis. Karena dengan menelan tuak tersebut, maka kekuatan si gadis akan pulih kembali. Mau tak mau Suto harus memasukkan tuak dengan cara meniupkan napas dari mulutnya yang sudah menampung tuak.
Mulut gadis itu beradu dengan mulutnya dan pelan-pelan tuak semburkan ke dalam mulut gadis itu. Memang hanya sedikit yang masuk ke tenggorokan si gadis, namun hal itu dilakukan oleh Suto secara berulang-ulang, sampai tenggorokan si gadis diperkirakan cukup menampung tuak dua-tiga tegukan.
Setelah itu, Suto segera membiarkan si gadis tergeletak di rerumputan, ia berdiri agak jauh sambil sesekali pandangi pecahan batu itu dengan penuh rasa kagum. "Rogana cukup hebat. Ilmunya tak boleh diremehkan. Tapi persoalan apa yang membuat Rogana membunuh gurunya si gadis itu?!" pikir Suto Sinting dalam kebisuannya. Lalu, matanya melirik ke arah si gadis. Luka bakar itu mulai mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Pendekar Mabuk merasa lega dan mulai bisa tersenyum walau hanya tipis saja.
Semilir angin di keteduhan mulai dapat dirasakan oleh si gadis. Luka bakar berubah warna sedikit demi sedikit. Beberapa saat kemudian kemulusan kulit tubuh gadis itu pulih seperti sediakala, ia pun sadar membuka matanya, tertegun sesaat, lalu segera bangkit dengan wajah menegang penuh keheranan. Pertama-tama yang dipandangi kulit lengannya, ia sangat terheran-heran melihat lengannya mulus tanpa bekas luka sedikit pun. Pahanya pun mulus tanpa cacat, lalu wajahnya diraba sendiri, ternyata juga halus seperti semula.
"Rasa panas tiba-tiba hilang. Badanku menjadi terasa segar. Apa yang terjadi pada diriku?! Apakah aku sudah berada di alam kubur?" sang gadis membatin sambil pandang sana pandang sini. Akhirnya pandangan matanya menemukan seorang pemuda berbadan tinggi, tegap, dan gagah dengan wajah tampan yang menyejukkan hati.
"Oh...?! Siapa dia? Malaikat atau dewa?!" pikirnya sambil berdiri pelan-pelan, seakan ia ragu dengan sikapnya.
"Hai...," sapa Pendekar Mabuk dengan senyum makin lebar.
Hampir saja gadis itu berlutut dan menyembah Suto karena menyangka Suto adalah dewa. Tapi karena ia segera ingat suasana tempat tersebut dan komposisi pepohonan, batu, dan sungai, maka ia segera yakin bahwa ia masih berada di alam jagat raya dan berhadapan dengan manusia muda yang punya wajah tampan menawan. Terlebih setelah ia melihat bongkahan-bongkahan batu yang bagian sisi dalamnya masih tersisa bara api sama-samar, gadis itu pun segera sadar bahwa dirinya telah lolos dari jurus mautnya si manusia badak itu.
"Kaukah yang hancurkan batu 'pembungkus' dariku tadi?" tanyanya dengan sikap tegas.
"Bukan," jawab Suto Sinting merendah. "Kebetulan saja aku tadi sedang mencari kepompong. Kulihat ada kepompong besar tapi keras, lalu kusentil-sentil dan kepompong itu pecah. Ternyata kepompong itu berisi seorang gadis cantik yang nyaris mati terbakar. Maka gadis itu kubawa ke tempat teduh ini biar tidak kepanasan."
Gadis itu diam dengan tegap pandangi Suto. Ia tahu maksud bahasa merendah itu, bahwa ia telah diselamatkan oleh pemuda tampan tersebut dari ancaman batu pembungkus kematian. Karenanya ia segera berkata dengan suara seperti orang menggumam.
"Hebat sekali kau bisa memecahkan batu itu. Sama saja kau telah menghancurkan jurus mautnya Rogana yang dinamakan jurus 'Kepompong Mayat'itu.
Pendekar Mabuk berlagak kerutkan dahi dan ajukan tanya bernada bingung. "Siapa Rogana ini?"
Gadis itu menjawab dengan senyum tipis berkesan sinis, matanya memandang ke arah pohon yang menjadi tempat persembunyian Suto Sinting tadi. Kata-katanya pun terdengar bernada sinis. "Kurasa kau sudah melihatnya sendiri seperti apa Rogana itu."
"Apa maksudmu?" sambil Pendekar Mabuk mendekat.
Setelah memasukkan pedang ke sarungnya, gadis itu berkata lagi dengan sikap acuh tak acuh. Matanya memandangi sungai dan pohon yang dipakai bersembunyi oleh Suto tadi. "Kau tak perlu berlagak bodoh. Kau telah mengikutiku dari seberang sungai tadi, lalu bersembunyi di balik pohon itu saat aku bertarung melawan Rogana."
Pendekar Mabuk terkesip dan membatin, "Sialan! Rupanya dia tadi mengetahui gerak-gerikku?"
"Aku tahu kau mengikutiku, tapi aku yakin kau bukan Rogana, jadi tak perlu kuhiraukan," tambah si gadis. "Aku memang tidak melihat jelas wajahmu, hanya merasakan ada yang mengikuti serta memperhatikan diriku. Selama kau tidak menyerangku aku tidak lakukan apa pun terhadap dirimu."
Akhirnya pemuda tampan itu cengar-cengir sendiri, merasa malu oleh kepura-puraannya. Tapi dalam hatinya Suto merasa lebih kagum dan mengakui kepekaan indera si gadis yang termasuk tinggi itu. "Kau memang hebat," ujar Suto pada akhirnya. "Kuakui memang aku tadi mengikutimu karena aku kagum dengan kelincahan gerakmu."
Si gadis tidak menampakkan kesan bangga mendengar pujian tak langsung dari mulut Suto Sinting, ia berekspresi biasa-biasa saja. Bahkan sekarang ia berani menatap Suto dalam jarak dua langkah dengan sorot pandangan mata berkesan cuek. "Boleh aku minta minummu?!"
"O, silakan...!" Pendekar Mabuk menyerahkan bumbung tuaknya.
Gadis itu menerimanya dan menenggak tuak itu dengan tanpa basa-basi lagi. Glek, glek, glek, glek, glek...!
"Busyeeett...! Banyak amat?!" gerutu Suto dalam hati dengan mata sedikit melebar. Baru sekarang ia melihat seorang gadis mampu menenggak tuak cukup banyak seperti meminum air putih saja.
"Cukup enak tuakmu!" ujarnya sambil menyerahkan bumbung tuak kembali, ia masih cuek dipandangi Suto dengan pandangan mata terheran-heran. Bahkan dengan lagak tengil ia menepuk-nepuk pundak Suto sambil berkata konyol.
"Teruskan bakatmu. Kau memang berbakat untuk menjadi penjual tuak."
"Kau...?"
"Banyak penjual tuak yang kukenal, tapi mereka tidak bisa mencari tuak senikmat tuakmu itu!" lalu ia melangkah mendekati pohon dan menyandarkan salah satu tangannya dengan tangan yang satunya lagi bertolak pinggang. Matanya memandangi seberang sungai, menyusuri tanggul yang ditumbuhi pohon-pohon bambu itu.
"Tengil juga gadis ini," pikir Suto. "Sudah tahu diselamatkan dari maut, juga tak ada ucapan terima kasihnya. Sudah diberi minum, masih saja tak mau berterima kasih padaku. Benar-benar mengesankan kekonyolannya."
Tiba-tiba gadis itu berpaling memandang Suto. Pandangan mata mereka saling bertemu dan Suto menggeragap salah tingkah. "Mengapa kau memandangiku terus?"
"Hmmm, hmm... aku kagum. Eh, bukan... aku heran."
"Apa yang mengherankan dari diriku?"
"Hmmm... hmmm... tak ada. Aku tak jadi heran," sambil Suto cengar-cengir semakin salah tingkah.
"Kalau begitu aku yang heran padamu."
"Oh, aku mengherankan dirimu? Kenapa kau heran padaku?"
"Karena kau masih tetap ada di sini. Padahal kau tidak punya keperluan apa-apa denganku."
"Songong sekali!" gerutu Suto dalam hati, tapi mulutnya lontarkan kata yang berbeda. "Aku suka dengan kerahamanmu. Aku jadi ingin tahu siapa namamu sebenarnya?"
Gadis itu berbalik, hingga berhadapan total dengan Pendekar Mabuk. Matanya menatap penuh keberanian, tanpa rasa malu, kikuk ataupun sungkan. "Rupanya kau orang baru di daerah ini, sehingga tak mengenali siapa diriku."
"Hmmm, hmmm... Iya, memang aku orang baru. Aku jarang berkeliaran di daerah tenggara ini," jawab Suto sambil menahan malu dianggap berpengetahuan cekak.
"Kalau begitu agaknya perlu kau catat dalam otakmu, bahwa aku inilah yang dikenal dengan nama Perawan Sinting."
"Hahh...?!" Suto terkejut dengan wajah menegang.
Gadis itu justru berkerut dahi sambil melangkah lebih dekat dan tangan kanannya masih bertolak pinggang. "Kenapa kau terkejut?"
"Perawan Sinting?!" tandas Suto lagi, seakan tak yakin dengan pendengarannya.
"Iya. Kenapa kau menjadi tegang? Apakah ada pihak lain yang mengupahmu untuk membunuh Perawan Sinting? Jika benar begitu, bunuhlah aku sekarang juga!"
"Oh, hmm... ehh... bukan begitu maksudku. Eeh..."
"Lalu apa maksudmu terkejut dan tegang begitu mendengar namaku?"
"Karena... karena...." Suto tersenyum kaku. "Karena namamu punya kemiripan dengan namaku."
"O, ya...? Apakah namamu Perawan Edan?"
"O, bukan. Bukan itu. Hmmm..."
"Hei, tenang saja! Aku tidak berbuat jahat padamu. Jangan gugup begitu!" sambil gadis itu menepuk-nepuk pundak Suto. Sok tua!
"Maksudku... kita punya nama yang kebetulan saja punya kesamaan. Jika namamu Perawan Sinting, maka perlu kau catat juga dalam otakmu, bahwa akulah murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang bernama Suto Sinting."
"Suto Sinting...?!" gadis itu ganti terkejut dan matanya melebar.
"Kenapa terkejut? Tenang saja!" balas Suto sengaja bikin dongkol si gadis.
"Hmmmh...!" gadis itu mencibir. "Candamu tak lucu sama sekali. Kau hanya mengada-ada saja dengan mengarang nama menyerupai namaku."
"Ooh, ternyata pengetahuanmu cekak di rimba persilatan ini," kecam Suto sambil sedikit manggut-manggut. Kini ia berlagak sombong untuk membalas keangkuhan gadis itu tadi. Ia bahkan berdiri lebih tegak dan digagah-gagahkan karena si Perawan Sinting sedang memperhatikan dengan langkah mengelilinginya.
"Tak mungkin. Namamu pasti bukan Suto Sinting."
"Sumpah direndam dalam duit, berani!" Suto agak ngotot. "Coba tanyakan kepada para tokoh silat di kawasan selatan, utara, barat, dan timur. Mereka mengenaliku dengan nama Suto Sinting!"
"Nama yang sangat buruk," gumam si Perawan Sinting dengan sinis. "Kalau benar itu namamu, kusarankan ganti saja nama itu. Jangan mengemban namaku!"
"Sejak kecil aku sudah dipanggil dengan nama Suto. Dan begitu remaja guruku memanggilku dengan nama Suto Sinting!"
"Ganti sajalah! Suto Gendeng lebih bagus."
"Tak enak dengan Mario Gendeng temanku, nanti dikira meniru namanya!"
"Atau ganti saja dengan nama Suto Slebor! Itu lebih cocok dengan penampilanmu."
"Ah, kurang keren!"
"Hmmm... o, ya, aku punya nama yang bagus untukmu. Bagaimana kalau namamu diganti Suto PA saja?!"
"Apa itu PA?!"
"Pemuda Amburadul!"
"Ah, sudah Sinting ya Sinting sajalah! Tak perlu diganti PA atau yang lainnya!"
"Tapi nama Sinting itu sudah jadi ciri-ciriku! Nanti dikira kita bersaudara!"
"Biar saja! Bukankah lebih baik kita bersaudara daripada bermusuhan?!"
"Aku tak mau!" tegas Perawan Sinting. "Aku keberatan kalau disangka saudaramu."
"Kenapa keberatan?"
"Aku tak suka punya saudara pemuda jalang begitu."
"Mataku tidak jalang!" sanggah Suto.
"Kalau tidak jalang kenapa sejak tadi matamu melirik belahan dadaku?!"
Seer...! Darah Suto bagaikan naik semua ke wajah, membuat wajahnya menjadi semburat merah menahan malu. Tapi dengan cepat ia dapatkan alasan untuk menutupi rasa malunya itu. "Maaf, waktu kecil aku pernah sakit panas."
"Apa hubungannya sakit panas dengan lirikan mata ke dadaku?"
"Mataku sering jereng sendiri, tapi kadang sehat kembali. Jadi kalau kau melihatku melirik ke dadamu, itu lantaran mataku tiba-tiba jereng lagi."
"Ooo... jadi matamu sering menjadi jereng karena sakit panas masa kecil itu?"
"Ya, karena itulah mohon kau memakluminya."
"Sayang sekali," gumam Perawan Sinting. "Padahal aku berharap lirikan matamu adalah lirikan karena rasa tertarik, bukan karena jereng."
"Hah...?! Oh, tapi anu... begini..."
Perawan Sinting tiba-tiba menjejak pinggang Suto hingga tubuh Pendekar Mabuk terpental dan berguling satu kali. Suto hampir saja marah, namun begitu melihat gadis itu lakukan gerakan cepat dengan memutar tubuhnya, Suto Sinting jadi tertegun. Matanya melebar kaget begitu Perawan Sinting hentikan gerakan dalam keadaan berlutut satu kaki dan di kedua tangannya telah terselip empat pisau terbang; dua pisau terselip di antara jemari tangan kiri, dua lagi di jemari tangankanan.
"Edan betul dia! Rupanya tendangannya tadi bermaksud menyelamatkan nyawaku dari empat pisau maut? Hmmm... siapa pemilik keempat, pisau terbang itu?" gumam Suto Sinting dalam hatinya. "Sial malu juga aku jadinya. Kali ini aku benar-benar lengah."
"Berlindunglah!" Perawan Sinting berseru tanpa memandang Pendekar Mabuk, tapi seruan itu jelas ditujukan kepada sang pendekar tampan. Sambil berseru begitu, kedua tangan Perawan Sinting segera berkelebat ke depan lemparkan keempat pisau tadi ke arah kanannya. Suto Sinting sempat mengecam dalam batinnya.
"Tolol! Kenapa pisau-pisau itu tidak dilemparkan ke arah datangnya tadi? Mengapa justru berbeda arah?!"
Weees...!
"Aaaahk...!"
"Oouwhk...!"
Pendekar Mabuk terkejut. "Oh, ternyata pisau-pisau itu mengenai seseorang di balik semak sebelah kanan itu?!"
Kejap berikutnya, Perawan Sinting tegak kembali dan dua orang berpakaian serba biru tua keluar dari semak-semak itu dengan sempoyongan. Dua lelaki berbadan gemuk itu ingin lemparkan pisaunya lagi ke arah Perawan Sinting, tapi ia segera tumbang ke depan karena bagian dada mereka telah tertancap pisau lemparan si Perawan Sinting. Masing-masing mendapat ganjaran dua pisau yang menancap di sekitar dada dan perut mereka.
Dengan perhatian terpusat pada orang yang terkena lemparan pisau, Pendekar Mabuk bergegas hampiri kedua orang tersebut. Orang itu segera tak bernyawa karena pisau lemparan Perawan Sinting tadi. Namun baru saja Suto melintas di depan Perawan Sinting dalam keadaan perhatian masih terpusat ke orang tersebut, gadis itu segera menendang punggung Suto dengan satu lompatan cepat.
Buuuhk...! Brrruk...!
Suto Sinting jatuh tersungkur sangat menyedihkan, ia hampir saja berang dan membalas tendangan kepada Perawan Sinting. Namun niatnya itu tertunda lagi karena Perawan Sinting berguling satu kali dan bangkit dengan satu kaki berlutut, sementara di kedua tangannya telah terjepit dua keping logam pipih bergerigi sebagai senjata rahasia seseorang. Kedua logam itu terjepit juga di antara jari-jari tangan kanan-kirinya.
"Gawat! Kalau saja aku tidak tersungkur mungkin kedua senjata rahasia itu mengenai tubuhku!" pikir Suto Sinting. Lalu ia berseru dalam keadaan setengah merangkak. "Lemparkan kembali ke arah semula!"
Tapi Perawan Sinting diam saja. Bahkan gadis itu tak bergerak sedikit pun sejak bangkit dengan berlutut satu kaki tadi. Sedangkan mata Pendekar Mabuk segera menangkap dua gerakan yang melintas di sela-sela semak dan pepohonan. Maka serta-merta Pendekar Mabuk bangkit dan lepaskan pukulan bersinar biru besar dari telapak tangan kirinya. Claaap...! Jurus 'Tangan Guntur'-nya itu sengaja diarahkan ke sebatang pohon. Jegaaar...! Pohon itu pun segera pecah dan tumbang. Brrruk...!
"Aaaahk...!" terdengar suara orang berseru.
Suto yakin rencananya berhasil; orang itu pasti tertimpa pohon tersebut. Zlaaap...! Pendekar Mabuk segera menerabas ke semak dan hampiri pohon yang tumbang. "Ooh...?!" keluh Suto sambil palingkan wajah sebentar karena ngeri.
Ada dua orang yang tertimpa pohon tersebut. Satu orang tewas karena dadanya terhujam potongan dahan, satu orang lagi masih hidup, tapi kakinya terhimpit batang pohon yang tumbang sehingga tak bisa bergerak. Kedua orang itu juga mengenakan pakaian serba biru, seperti dua orang yang terkena lemparan pisau Perawan Sinting tadi. Dengan sedikit susah payah, Suto Sinting akhirnya berhasil menarik orang yang kakinya tergencet pohon itu. Orang tersebut mengerang kesakitan. Suto tak peduli dan segera menyeretnya ke tempat Perawan Sinting berada.
Di sana, Suto melemparkan orang yang kedua kakinya menjadi remuk itu ke depan Perawan Sinting. Keadaan gadis itu masih tetap berlutut dengan satu kaki dan menjepit dua keping senjata rahasia bergerigi.
"Perawan Sinting...?!" tegur Suto mulai curiga. Lalu ia mendekati gadis itu, ikut berlutut di depan si gadis yang memandang lurus tanpa berkedip.
"Astaga...?!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget. Ternyata ada sekeping logam bergerigi yang menancap tepat di pertengahan belahan dada si Perawan Sinting. Dada itu melelehkan darah dan senjata tersebut nyaris terbenam seluruhnya. Kulit di sekitar dada menjadi memar membiru pertanda logam itu beracun ganas.
* * *
TIGA
PERAWAN Sinting ternyata masih hidup, hanya tak berani bergerak karena takut keluarkan darah dari lukanya terlalu banyak, ia sempat ucapkan kata pelan tapi bernada datar pada saat Suto Sinting berada di depannya pandangi senjata rahasia yang menancap di dada gadis itu.
"Cabut... satu... sentakan...!"
Pendekar Mabuk paham maksud ucapan itu, ia harus mencabut senjata rahasia yang menancap di dada. Tapi karena senjata itu terlalu terbenam, sehingga sulit untuk dipegang dan dicabut dalam satu sentakan. Apalagi tangan Suto menjadi gemetar karena senjata itu tepat berada di antara dua bukit sekal di dada Perawan Sinting itu, mau tak mau ia harus menyingkapkan gumpalan sekal itu dengan tangan kirinya, dan mencabut logam bergerigi itu dengan tangan kanannya.
Gumpalan sekal itulah yang membuat Suto gemetar dan berdebar-debar, karena mau tidak mau ia harus menyingkapkan rompi si gadis dan gumpalan sekal yang montok itu terlihat jelas di depanmatanya.
Hmmmmrrm...! Suto Sinting menggeram dalam hati, sehingga berulang kali gagal mencabut senjata rahasia itu.
"Pegang senjata itu, jangan pegang senjataku!" ucap si gadis dengan gigi menggegat pertanda menahan kemarahan.
"Maaf, licin...! Banyak darah dan..."
"Jangan banyak omong!" gertaknya tetap dengan suara menggeram dan bernada datar. Sreeb!
"Ouhk...!" si gadis terpekik lalu tumbang ke belakang dengan napas menghempas. Luka mengucurkan darah segar setelah senjata itu tercabut oleh Suto. Perawan Sinting menggeliat kesakitan. Wajahnya menyeringai dengan menggigit bibir, membuat wajah itu bagai sedang menikmati sentuhan mesra. Suto semakin berdebar-debar melihat ekspresi wajah si cantik itu.
"Minumlah tuak ini! Cepat, minum biar lukamu tak banyak keluarkan darah. Racun itu mulai mengganas dalam tubuhmu!"
Berkat kesaktian tuak Suto yang mujarab sekali untuk penyembuhan itu, luka di dada Perawan Sinting menjadi kering dan cepat merapat, sampai akhirnya dada itu menjadi mulus kembali tanpa luka seujung jarum pun. Bahkan darah yang berceceran di sekitarnya bagai diserap masuk kedalam pori-pori dan menjadi bersih tanpa bekas sedikit pun.
"Ternyata tuakmu sungguh, ajaib sekali, ya?!" ujar Perawan Sinting.
"Lupakan dulu soal itu. Lihat, aku berhasil menangkap salah satu dari pelempar senjata rahasia ini!" sambil Suto Sinting menunjukkan si lelaki yang kakinya hancur tertimpa pohon itu. Lelaki tersebut dalam keadaan tergeletak di tanah tanpa gerakan. Perawan Sinting memperhatikan dengan cermat, lalu berlutut mendekati lelaki berkumis agak tebal yang usianya sekitar empat puluh tahun itu.
"Kurasa dia pingsan karena tak kuat menahan rasa sakit di kakinya," ujar Suto Sinting yang segera menenggak tuaknya sendiri.
"Apanya yang pingsan?" ucap Perawan Sinting dengan nada mengecam kata-kata Suto tadi.
Mendengar suara bernada begitu, Suto Sinting segera hentikan minumnya dan kerutkan dahi, ia memandang lelaki berpakaian biru yang sedang dipegang lengannya oleh Perawan Sinting. Rupanya gadis itu sedang memeriksa denyut nadi di bagian leher.
"Dia tak bernyawa lagi."
"Kok bisa...?!" Suto bergegas mendekati dan berlutut, lalu memeriksa denyut nadi orang tersebut. Ternyata orang itu sudah tidak mempunyai denyut nadi lagi dan tak ada gerakan dada yang menandakan ia bernapas. "Wah, kacau...!" keluh Suto Sinting. "Susah payah kubawa kemari akhirnya mati juga!"
"Dia bukan mati karena luka, tapi mati karena bunuh diri."
"Bunuh diri?! Dari mana kau tahu?!" Suto menatap gadis itu dengan berkerut dahi semakin tajam.
"Lihat tangan kanannya ini!"
Pendekar Mabuk segera pandangi tangan kanan orang tersebut. Ternyata tangan itu bukan sekadar jatuh ke samping, melainkan menusukkan sesuatu ke dalam pinggangnya. Suto segera menarik tangan itu, dan sebatang jarum ikut tercabut dari dalam pinggang orang tersebut. Jarum itu segera dipandangi oleh Pendekar Mabuk dengan heran.
"Jarum beracun ganas," ujar Perawan Sinting yang badannya menjadi lebih segar setelah meminum tuaknya Suto tadi.
"Kau mengenali jarum ini?!" tanya Pendekar Mabuk.
"Namanya jarum 'Penangkal Siksa'. Jarum itu mempunyai racun yang sangat tinggi dan mematikan dalam tiga helaan napas. Jarum itu hanya digunakan untuk bunuh diri agar terhindar dari siksaan lawan. Karenanya, Jarum itu dinamakan jarum 'Penangkal Siksa'. Orang ini merasa lebih baik mati daripada kita siksa untuk membocorkan rahasianya."
Setelah diam sebentar memandangi jarum itu, Pendekar Mabuk segera pandangi Perawan Sinting yang telah berdiri dan menghembuskan napas panjang. "Rupanya kau mengenal siapa mereka, sehingga kau tahu nama dan kegunaan jarum ini?!"
"Kira-kira begitu," jawab Perawan Sinting sambil memandang sekeliling tempat itu. Suaranya terdengar kembali setelah ia berada di bawah pohon dan menyandarkan tangan kirinya.
"Mereka pasti orang-orang Istana Tengkorak."
"Aku baru mendengar nama tempat itu. Lalu apa hubungannya dengan penyerangan ini?!"
"Entah. Yang jelas, aku tidak punya urusan dengan Pangeran Cabul."
"Siapa Pangeran Cabul itu?"
"Penguasa Istana Tengkorak," jawab Perawan Sinting dengan tegas. Sambungnya lagi, "Karena aku tak merasa punya urusan dengan Pangeran Cabul, berarti maut yang datang tadi ditujukan untukmu!"
"Untukku...?! Oh, aku juga tak kenal dengan Pangeran Cabul!" bantah Suto Sinting. "Bahkan mendengar namanya saja baru sekarang."
Perawan Sinting menatap dengan dahi sedikit berkerut. Lalu, hati Perawan Sinting mempertimbangkan pengakuan Suto tadi. "Pertanyaan-pertanyaannya menunjukkan bahwa ia memang asing dengan nama Pangeran Cabul. Aku pun tak pernah melihat tampangnya berkeliaran di daerah ini. Tapi mengapa orang-orang istana Tengkorak itu menyerang dengan senjata-senjata mematikan?! Siapa yang diserang sebenarnya? Kalau kulihat arah pisau dan senjata rahasia itu, sepertinya sengaja diarahkan kepadanya, bukan kepadaku."
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya, "Apakah kau tahu di mana letak istana Tengkorak?"
"Aku tahu, tapi aku tak mau antarkan kau ke sana!" jawab Perawan Sinting.
"Cukup kau tunjukkan arah dan ciri-ciri tempatnya. Aku akan temui Pangeran Cabul sendiri dan meminta penjelasan terhadap penyerangan orang-orangnya ini!"
Perawan Sinting sunggingkan senyum tipis. "Kau cari mampus jika ke sana!"
"Kalau dia tidak memusuhiku, tentunya aku tidak akan mati di tangan Pangeran Cabul!"
"Apakah kau sudah siap melayani Pangeran Cabul?"
Pendekar Mabuk heran dan kerutkan dahi lagi. "O, jadi Pangeran Cabul itu seorang perempuan?"
"Seorang lelaki!" jawab Perawan Sinting cepat. "Dia adalah seorang lelaki yang mempunyai gairah bercinta dengan seorang lelaki juga."
"Hahh...?! Maksudmu... dia mempunyai kelainan bercinta?!"
"Tepat! Karenanya kukatakan tadi, aku tidak punya urusan dengan Pangeran Cabul, sebab Pangeran Cabul tidak bergairah terhadap seorang perempuan. Bahkan ia selalu bersikap baik terhadap kaum wanita."
Pendekar Mabuk jadi terbengong melompong. Beberapa saat setelah ia tertegun, Perawan Sinting segera perdengarkan suaranya yang sedikit serak bagai orang banyak berteriak itu.
"Kita berpisah sampai di sini. Aku harus mengejar Rogana!"
"Perawan Sinting, tunggu dulu!"
Gadis itu hentikan langkahnya, pandangi Suto yang mendekat dengan langkah cepat.
"Kau masih ingin memburu Rogana?!"
"Aku harus membalas dendam atas kematian guruku satu purnama yang lalu."
"Kurasa..."
"Aku tahu," sahut Perawan Sinting. "Aku tahu kalau Rogana itu berilmu tinggi. Jika tidak berilmu tinggi, tak mungkin ia bisa membunuh guruku. Dan aku juga tahu, tidak mudah menemukan tempat kediaman si manusia badak itu. Tapi semua itu tak membuatku harus hentikan pembalasan. Dia berhutang nyawa padaku dan harus membayarnya dengan nyawa."
"Kau bisa celaka jika masih mengejarnya, Perawan Sinting. Kau bisa mati terbakar dalam batu berapi seperti tadi!"
"Mati itu biasa," ujarnya dengan kalem. "Semua orang pasti mati. Mengapa harus ditakuti? Mengapa harus dihindari? Mati sekarang dengan besok, sama saja."
"Tapi setidaknya jika kau mati besok, kau masih bisa mengukir sejarah perjalanan hidupmu."
"Perjalanan hidup itu sama saja. Besok, sekarang, lusa, semuanya sama. Dalam perjalanan hidup hanya ada dua hal yang saling berpasangan: baik-buruk, sehat-sakit, sedih-gembira, siang-malam... hanya itu yang ada dalam sejarah."
Suto terbungkam bagai mendapat petuah dari orangtua. Perawan Sinting sunggingkan senyum pendek dan tipis, ia menepuk-nepuk bahu Suto. Pluk, pluk, pluk...!
"Laki-laki tak boleh takut mati!"
Suto memandang dengan hati menggerutu. Perawan Sinting makin perlebar senyum. "Mati itu sehat!"
"Mati kok sehat?!" gerutu Suto.
"Buktinya, pernahkah kau dengar ada orang mati pergi ke tabib karena kena penyakit? Pernahkah kau dengar ada orang mati mengeluh pinggangnya pegal atau kepalanya pusing? Nah, berarti mati itu sehat!"
"Untuk apa sehat kalau tak punya nyawa!"
"Untuk dikubur!" jawab Perawan Sinting seenaknya. Setelah menjawab begitu, Perawan Sinting segera melesat tinggalkan tempat. Gerakannya begitu cepat dan sukar diikuti oleh pandangan mata.
Tetapi Pendekar Mabuk merasa cemas dan tak rela jika gadis secantik itu harus mati di tangan manusia badak yang menyeramkan. Di samping itu ia belum mendapat penjelasan tentang di mana letak istana Tengkorak. Maka dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman', gadis itu segera disusulnya.
"Setidaknya aku harus mendampinginya agar tak mati di tangan simanusia badak itu!" pikir Suto sambil melesat melebihi kilat. Tanpa disadari hati Suto merasa senang dengan lagak dan gaya si Perawan Sinting itu. Terlebih setelah ia membayangkan saat menyentuh gumpalan hangat didada Perawan Sinting, debar-debar keindahan membakar semangat Suto untuk tetap dekat dengan gadis itu.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah sejenak, ia tak melihat gerakan Perawan Sinting lagi. Sementara hatinya sempat ragu dan tak mengerti harus melangkah kemana.
Wuuuk...! Wwwes...!
Pendekar Mabuk naik ke atas pohon. Dari ketinggian itu ia berharap dapat melihat lebih leluasa lagi dan bisa menemukan gerakan Perawan Sinting. Namun harapannya itu tidak terkabul. Justru yang dilihatnya adalah sesuatu yang sedang bergerak menuruni sebuah bukit. Sesuatu yang dilihatnya itu adalah iring-iringan pengusung tandu yang dikawal oleh delapan orang dan dipikul oleh empat orang.
"Tandu dari mana itu? Siapa yang ada di dalam tandu tersebut? Apakah si Pangeran Cabul?!" ujar Suto bicara sendiri. "Sebaiknya kuikuti mereka, siapa tahu memang orang istana Tengkorak. Sebab kebanyakan mereka berpakaian biru muda."
Zlaaap, zlaaap...!
Dalam beberapa kejap saja Suto Sinting sudah tiba di jalanan yang akan dilalui iring-iringan pengusung tandu itu. Ia masih bersembunyi di atas pohon dan memperhatikan mereka dengan teliti. Hati menjadi sangsi, karena bentuk pakaian para pengiring tandu itu tidak mirip pakaian keempat orang Istana Tengkorak yang tewas di tangan Perawan Sinting tadi.
"Sepertinya mereka bukan orang Istana Tengkorak. Tapi barangkali mereka mengetahui di mana arah Istana Tengkorak itu. Aku sangat penasaran dan tak bisa tenang jika belum mendapat penjelasan siapa sebenarnya yang ingin dibunuh oleh orang-orang Istana Tengkorak itu," ujar Suto membatin.
Namun sebelum Suto Sinting bergerak menghampiri iring-iringan tandu berlapis kain merah rapat itu, tiba-tiba mereka hentikan langkah setelah kemunculan seorang kakek berjubah abu-abu. Kakek berambut putih rata yang memegang tongkat kayu berbentuk seperti tulang itu sengaja menghadang langkah para pengiring tandu, ia melompat dari balik semak seberang Suto.
Delapan orang pengawai tandu segera bergerak memagari tandu tersebut. Senjata mereka pun segera dicabut dan siap tempur, kecuali dua orang lelaki muda berjubah hijau dan kuning. Dua lelaki yang rambutnya digulung dan diikat dengan kain pita merah itu agaknya mempunyai jabatan tinggi di antara enam orang pengawal tersebut.
Mereka berdua bersenjata pedang dengan sarung pedang cukup bagus, berkesan mewah. Dengan gerakan isyarat, si jubah merah memerintahkan para pengawal untuk mengepung kakek kurus berjubah berjanggut pendek dan berkumis lebat warna putih itu. Sang kakek yang berusia sekitar tujuh puluh tahun tampak tenang-tenang saja. Bahkan sesekali kelihatannya nyengir sambil pandangi para pengepung.
"Siapa kakek berjubah abu-abu itu?" tanya Suto dalam hatinya, ia segera pindah pohon agar bisa melihat lebih dekat lagi. Terdengar suara si jubah kuning berseru kepada sang kakek.
"Lagi-lagi kau ingin mengacaukan perjalanan kami, Tulang Geledek!"
"Semasa kalian masih menjadi pecundang si buruk muka itu, aku tetap akan menghalangi langkah kalian!" kata sang kakek yang ternyata bernama Tulang Geledek itu.
"Tapi kami tidak ada urusan denganmu, Tulang Geledek?!" sahut si jubah hijau. "Apakah kau tak menyesal kalau sampai aku tega membunuhmu?!"
"Heh, heh, heh...! Kau tak perlu menggertakku, Jurik Rawa! Apakah kau pikir jika kau sudah bersama Raden Lontar maka aku akan takut menghadapi gertakanmu? Hah...! Sepuluh Raden Lontar dan sepuluh Jurik Rawa tidak akan membuatku mundur, terutama jika di belakangku ada tembok besar! Heh, heh, heh...!"
"Bicaramu sengaja memancing amarahku, Tulang Geledek!" sentak si jubah kuning yang ternyata bernama Raden Lontar itu.
Sedangkan si jubah hijau yang bernama Jurik Rawa itu segera maju dua langkah dan mencabut pedangnya. Sreet...! "Tak perlu melibatkah sahabatku; Raden Lontar! Cukup aku seorang yang akan melawanmu, Tulang Geledek! Bersiaplah menghadapi ajalmu yang sudah ada di ujung pedangku ini!"
Tulang Geledek justru terkekeh-kekeh, meremehkan ancaman si Jurik Rawa yang berbadan tegap dan kekar walau tak seberapa tinggi itu.
Suto Sinting membatin, "Apa persoalan mereka sebenarnya?!"
* * *
EMPAT
JURIK Rawa lepaskan serangan pertama, menerjang Tulang Geledek dengan pedang berkelebat dari samping kanan ke samping kiri. Wees...! Tulang Geledek hanya lompat mundur sedikit. Jleeg...! Pedang tidak kenai sasaran apa-apa. Tapi Tulang Geledek segera kibaskan tongkatnya dalam gerakan yang tak bisa terlihat oleh lawannya. Wuut...! Lalu tongkat disodokkan ke depan. Suut...! Buuhk...!
"Eehk...!" Jurik Rawa mendelik, ulu hatinya tersodok tongkat Tulang Geledek. Langsung mulutnya ternganga dan semburkan darah segar. Bruus...!
Melihat tubuh Jurik Rawa terbungkuk, Tulang Geledek segera hantamkan tongkatnya ke tengkuk kepala lawan. Wuuut...! Deeb...! Tongkat berhenti di atas tengkuk kepala Jurik Rawa, hanya berjarak satu ruas kelingking saja dari tengkuk itu.
"Kau sudah mati, Jurik Rawa!" ujar si kakek berjubah abu-abu. "Tapi aku masih beri kesempatan padamu untuk sadar akan kekeliruan langkahmu! Kembalikan gadis dalam tandu ke tempatnya, lalu nikmati sisa hidupmu dengan damai."
Tulang Geledek angkat tongkatnya kembali, ia bergerak mundur dan tegak. Kalau saja Tulang Geledek mau hantamkan tongkat itu ke tengkuk kepala Jurik Rawa, jelas pemuda bertubuh kekar itu akan tewas. Setidaknya gegar otak. Hal itu disadari betul oleh para pengepung dan Raden Lontar sendiri. Tapi agaknya Tulang Geledek punya kebijakan tersendiri dengan memberikan kesempatan kepada Jurik Rawa untuk mengubah sikapnya.
Tetapi bagi Jurik Rawa, kebijakan itu adalah kesempatan emas untuk melumpuhkan lawannya, ia tak pernah membatalkan apa yang sudah dikerjakan. Untuk mengembalikan gadis dalam tenda, adalah hal yang tabu bagi Jurik Rawa. Maka ketika Tulang Geledek ingin bicara kepada Raden Lontar, tahu-tahu Jurik Rawa berkelebat dari samping dan menyabetkan pedangnya dengan cepat. Wees...!
Traak...! Pedang itu berhasil ditangkis oleh Tulang Geledek. Habis menangkis, tongkat disentakkan naik. Beet...! Prrok...!
"Aaahhk ..!" Dagu Jurik Rawa remuk seketika. Darah mengucur dari mulut Jurik Rawa.
"Rupanya kau tak mau diberi kesempatan untuk hidup lebih layak lagi, Jurik Rawa! Kalau begitu, bersiaplah kukirim ke neraka dan bergabunglah dengan orang-orang sesat di sana!" Tulang Geledek bergerak memutar dengan cepat sekali hingga tak kelihatan seperti memutar. Wuuut, kraakk...! Tongkatnya menghantam dada Jurik Rawa. Dada itu remuk, Jurik Rawa ambruk.
"Gila! Dia seperti tidak bergerak, tapi tahu-tahu Jurik Rawa roboh dan tak bernyawa lagi?!" gumam batin sang Pendekar Mabuk. "Untung aku sejak tadi tak berkedip sehingga sempat melihat kecepatan putar tubuh si tua Tulang Geledek itu. Hanya seperti garis! Benar-benar hanya seperti garis yang bergerak melingkar. Ooh... sungguh hebat kecepatan jurus itu!"
Melihat Jurik Rawa tumbang tanpa nyawa lagi, Raden Lontar tampak menggeram penuh murka. Namun ia tidak mau langsung menyerang Tulang Geledek, ia pergunakan wewenangnya dengan satu kali ucap saja. "Serang...!"
Maka para pengepung yang sebetulnya sudah ciut nyali itu terpaksa maju serempak menghujamkan senjatanya ke arah Tulang Geledek. "Heaaaatt...!!"
Tulang Geledek rendahkan kaki dan memutar tongkatnya di atas kepala satu kali. Wuuut...! Maka tenaga dalamnya yang tersalur melalui tongkat itu menyebar ke berbagai penjuru dan membuat para pengepung itu terpental tunggang langgang.
Brruss...! Brruk...! Guzraak...! Prrok...!
"Aaaaahhh...!"
Mereka memekik serempak dan terluka serempak. Tak satu pun ada yang masih sanggup berdiri tegak. Bahkan yang sempoyongan atau terpelanting juga tak ada. Semuanya terlempar ke belakang dan menemukan nasibnya sendiri-sendiri. Ada yang kepalanya membentur batu, ada yang punggungnya menabrak pohon, ada yang jatuh dengan leher tertekuk dan akhirnya patah leher, ada pula yang kepalanya terjepit di sela dua bongkahan batu.
Sementara itu, Raden Lontar yang juga ikut jatuh terduduk itu hanya menderita sakit pada tulang tunggirnya. Ia masih bisa cepat berdiri dan mencabut pedangnya dengan wajah semakin berang. Sementara empat pengusung tandu mundur ke bawah pohon besar dengan meninggalkan tandunya dalam keadaan masih tertutup. Mereka berempat saling ketakutan dan siap-siap melarikan diri jika Raden Lontar ternyata juga kalah melawan Tulang Geledek.
"Tua-tua masih lincah juga si Tulang Geledek itu," gumam Suto dalam hati. Ia menyimpan kekaguman terhadap kecepatan gerak si Tulang Geledek itu.
"Sekarang kau berhadapan denganku, Tulang Geledek!"
"Boleh saja," jawab Tulang Geledek dengan kalem, sambil mengusap-usap janggutnya yang pendek itu. "Mau bertarung sampai mati, atau sampai sekarat saja, atau cuma lecet-lecet saja?" tantang Tulang Geledek dengan lagak dipaksakan agar kelihatan sombong.
Tapi Pendekar Mabuk yakin, kakek beralis tebal putih itu sebenarnya bukan orang yang sombong. Kesombongan itu dilakukan untuk memancing kemarahan Raden Lontar agar lebih besar lagi. "Seseorang yang mempunyai kemarahan sangat besar dan berkobar-kobar biasanya akan mengalami beberapa kelemahan, termasuk kelemahan tenaga dan kelemahan kewaspadaannya," pikir Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut, mengakui kecerdasan otak si tua Tulang Geledek itu.
"Kau boleh jumawa di depan mereka, Tulang Geledek. Kau boleh bangga melawan si lemah Jurik Rawa. Tapi melawanku, jangan coba-coba berkedip satu kali pun, Tulang Geledek. Pedang ini akan menari di lehermu pada saat kau kedipkan mata!" gertak Raden Lontar.
"O, sehebat itukah jurus pedangmu? Kalau begitu aku akan pejamkan mata dari sekarang saja, biar pedangmu tak sempat menari-nari di leherku! Aha...! Heh, heh, heh...! Sudah terpejam apa belum ini?!" sambil Julang Geledek menyodorkan wajahnya dalam keadaan mata terpejam kuat-kuat. Lagaknya yang kocak itu membuat Suto Sinting buru-buru menutup mulutnya karena ingin tertawa dengan suara menyentak.
"Bedebah kau, Tua Keropos! Hiaaat...!" Wuuut...! Claap...! Raden Lontar tidak pergunakan pedangnya, melainkan pergunakan tangan kirinya menyentak ke depan dalam keadaan mengepal. Dari kepalan tangan kiri itu melesatlah selarik sinar panjang tanpa putus warna biru berasap tipis.
"Lho, kenapa pakai sinar?!" ujar Tulang Geledek sambil masih tetap pejamkan mata, tapi tongkatnya disodokkan ke depan. Kepala tongkat dihantam sinar biru itu. Teees...! Sinar itu belum putus, masih seperti bor yang ingin melubangi kepala tongkat yang berbentuk seperti tulang itu.
Raden Lontar bertahan pula keluarkan tenaga dalamnya dalam bentuk sinar biru berasap tipis, sedangkan Tulang Geledek juga bertahan mendorong sinar itu dengan tongkatnya. Kedua kaki Tulang Geledek merendah, tangan kirinya terangkat sedikit di atas kepala, tangan kanannya menahan tongkat dengan gemetar. Sedikit demi sedikit Tulang Geledek bergerak maju, membuat Raden Lontar terdesak mundur.
"Wah, ini baru seru," puji Suto Sinting dalam hati sambil berwajah ceria.
Namun wajah ceria Suto tiba-tiba lenyap begitu melihat Raden Lontar sentakkan pedang lurus ke depan dan dari ujung pedang keluar sinar merah kecil yang melesat ke arah dada kiri si Tulang Geledek. Slaaap...!
"Heaah...!" Tulang Geledek segera hadangkan tangan kirinya dalam satu sentakan pendek. Tangan kiri itu mengepulkan asap tebal warna putih. Lalu sinar merahnya Raden Lontar tertahan tangan berasap itu. Dees...! Sementara kedua mata Tulang Geledek masih tetap terpejam kuat-kuat.
Kedua orang itu saling kerahkan tenaga hingga tubuh mereka bergetar. Kedua sinar itu pun belum mau padam dan masih menjadi saluran adu tenaga dalam. Hanya saja, Tulang Geledek masih terus bergerak maju walau dengan geserkan kakinya, sedangkan Raden Lontar terdesak mundur dengan peluh mulai bercucuran. Dalam keadaan kerahkan tenaga, Raden Lontar masih sempat perintahkan kepada anak buahnya yang tampak sudah mulai bangkit itu.
"Serbu...!" suara Raden Lontar terdengar berat sekali.
Dua orang di belakang Tulang Geledek segera menerjang bersama-sama menggunakan golok mereka masing-masing. "Heeaat...!"
Cras, breet...!
"Aaaahk...!" Tulang Geledek terpekik dalam keadaan punggungnya luka dua bacokan. Luka itu ternganga lebar dengan darah mengalir mengerikan. Tapi kakek itu masih mampu menahan dua sinar yang datang dari Raden Lontar walau dengan menyeringai menahan sakit dan salah satu kakinya mulai jatuh berlutut.
"Curang!" geram Pendekar Mabuk, ia bergegas ingin membantu Tulang Geledek ketika dilihatnya dua orang bersenjata golok itu akan bergerak menyerang Tulang Geledek lagi.
Tetapi niat Suto itu buru-buru ditahannya, karena ia melihat sekelebat bayangan menerjang kedua anak buah Raden Lontar yang sedang melompat ke arah Tulang Geledek.
Wuuut, weees...! Prak, prook...!
Bayangan itu berupa sosok tubuh tinggi berbadan kencang yang segera menyentakkan kedua kakinya ke kanan kiri hingga kenai kepala kedua anak buah Raden Lontar tersebut. Tendangan serempak itu ternyata membuat kedua kepala menjadi retak, sehingga kedua anak buah Raden Lontar itu terpental dan jatuh dalam keadaan sekarat.
"Perawan Sinting?!" gumam Suto dengan tegang dan mulai berseri-seri kembali. Ternyata orang yang membantu Tulang Geledek itu adalah si gadis berompi ungu yang punya gerakan sangat cepat itu.
Perawan Sinting segera melompat di pertengahan jarak dari belakang Tulang Geledek ke depan melewati kepala Pak Tua itu tanpa permisi dulu. Wuuuk...! Jlleeg...! Ia berdiri dengan kaki merendah menghadap Raden Lontar. Lalu kedua sinar di kanan-kirinya yang sedang ditahan Tulang Geledek itu segera diambil alih dengan kedua telapak tangannya yang sudah bercahaya hijau bening itu.
"Biar kuselesaikan dia!" seru Perawan Sinting, kemudian kedua tangan yang menyala hijau itu memotong sinar biru dan merah di kanan-kirinya. Zuuuubs...!
Tulang Geledek tidak menahan kedua sinar itu lagi. Tapi ia segera roboh walau tak sampai tersungkur karena luka parah di punggungnya. Sementara itu, Perawan Sinting segera kerahkan tenaga dalamnya untuk melawan dua sinar Raden Lontar itu. "Hiaaaah...!!"
Pekik si Perawan Sinting sambil kedua kakinya menghentak ke tanah bersamaan. Kemudian secara pelan-pelan dari kedua telapak tangan itu keluar sinar hijau bening yang makin lama makin menjulur maju, mendesak kedua sinar dari Raden Lontar.
"Haaahh...!!" teriak Perawan Sinting lagi sambil sentakkan satu kali ke tanah. Maka sinar hijau yang keluar dari tangannya itu bergerak cepat dan mendesak kedua sinar dari Raden Lontar.
Wuuuuurrss...! Blegaaarrrr...!
"Aaaahhkk...!!" Raden Lontar memekik keras-keras dalam keadaan terlempar ke belakang bersamaan suara ledakan yang menggelegar.
Brruuuss...! Raden Lontar jatuh di semak-semak tak jauh dari pohon yang dipakai bersembunyi oleh Suto Sinting. Karenanya, Pendekar Mabuk dapat melihat dengan jelas keadaan Raden Lontar yang amat menyedihkan itu. Pemuda berpakaian serba kuning itu nekat keluar dari semak-semak dengan merangkak. Pakaiannya sudah berubah menjadi kuning kehitam-hitaman. Wajahnya yang bersih pun menjadi abu-abu. Pedangnya hancur, tinggal gagang yang masih dipegangi terus itu. Sedangkan tangan kirinya yang tadi keluarkan sinar biru itu telah hancur sebatas pergelangan tangan, ia tak punya telapak tangan kiri lagi.
"Perawan Sinting...!" geram Raden Lontar menyeramkan. "Perempuan terkutuk kau! Tunggu saat pembalasanku nanti, Jahanam!!" Raden Lontar segera melesat pergi dalam keadaan terluka amat parah.
Perawan Sinting tidak mengejarnya, hanya tersenyum sinis sambil pandangi kepergian Raden Lontar. Sementara para anak buah Raden Lontar yang masih sempat bernyawa walau dalam keadaan terluka, segera melarikan diri menyebar arah. Masing-masing mencari selamat sendiri-sendiri, demikian pula empat pengusung tandu tersebut. Sedangkan tandu merah itu masih tetap berada ditempatnya tanpa ada yang mengusik sejak tadi.
Perawan Sinting mulai tegang begitu melihat keadaan Tulang Geledek. Ia segera hampiri Pak Tua itu dengan sapaan yang menandakan sudah saling kenal. "Eyang...! Bertahanlah, aku akan mencari obat untuk lukamu!"
Pendekar Mabuk segera membatin, "Sudah saatnya aku muncul." Zlaaap...! Dalam sekejap saja ia sudah berada di belakang Perawan Sinting. Kehadirannya tak diketahui oleh gadis itu, namun membuat Tulang Geledek memandangnya dengan wajah menyeringai menahan rasa sakit.
"Barangkali beliau butuh tuakku ini, Perawan Sinting."
Kata-kata lembut dan bernada kalem itu mengejutkan Perawan Sinting. Dari raut wajahnya, gadis itu tampak lega begitu melihat kehadiran Pendekar Mabuk. Namun kelegaan itu tidak ditonjolkan dan ia bersikap dingin-dingin saja.
"Tolong beri minum tuakmu kepada Eyang Tulang Geledek ini!" kata Perawan Sinting bernada memerintah.
Dengan meneguk tuak sakti si Pendekar Mabuk, luka lebar di punggung Tulang Geledek akhirnya merapat kembali. Kakek bertubuh kurus jangkung itu mampu berdiri tegak, badannya terasa lebih segar dari saat sebelum lakukan pertarungan dengan Jurik Rawa. Melihat sosok pemuda tampan dengan bumbung tuak dan baju coklat celana putih, Tulang Geledek segera kerutkan dahi dan berucap kata bagai orang menggumam.
"Sepertinya... aku belum pernah bertemu denganmu, Nak. Siapa kau sebenarnya?!"
"Aku Suto Sinting, Eyang," jawab Suto ikut-ikutan memanggil Eyang.
"Ooo... jadi kau kakaknya si Perawan Sinting ini?!"
"Bukan!" sahut Perawan Sinting. "Dia Suto Sinting, dan aku Perawan Sinting. Tak ada hubungan saudara atau apa pun!"
"Ooo... jadi kalian cuma sama-sama Sinting?!"
Perawan Sinting tampak kesal dan melirik Suto dengan sinis, sementara Suto justru tersenyum geli sambil lemparkan pandangan ke arah lain dalam sekejap. Kemudian sang Pendekar Mabuk berkata dengan sopan kepada Tulang Geledek.
"Kami baru hari ini saling bertemu dan berkenalan. Hmm... sepertinya memang antara aku dan Perawan Sinting tak ada hubungan apa-apa, Eyang!"
"Ah, kalian pasti sedang saling bertengkar sehingga tak mau saling mengaku saudara. Kalian pasti kakak-beradik. Buktinya kalian berdua sama-sama Sinting!"
Perawan Sinting segera menarik baju Pendekar Mabuk untuk jauhi Tulang Geledek. Gadis itu berbisik dengan nada menggeram jengkel. "Apa kubilang tadi?! Gantilah namamu! Jangan Suto Sinting!"
"Memang itu namaku. Kau saja yang ganti; jangan Perawan Sinting."
"Tidak bisa! Kau yang harus ganti nama!" tegas gadis itu. "Ganti dengan nama Suto Sableng!"
"Tidak mau! itu nama sahabatku si Bayu Sableng! Nanti disangkanya aku ikut-ikutan dia!" bantah Suto dengan ngotot.
Rupanya Tulang Geledek mendengar perdebatan itu, sehingga ia pun segera ikut berkata, "Sudahlah, sesama orang sinting dilarang saling berdebat! Nanti keputusan kalian serba sinting semua."
Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting sama-sama menarik napas. Mereka perhatikan langkah Tulang Geledek yang sedang mendekat.
"Lebih baik kita urus gadis dalam tandu itu!" seraya Tulang Geledek menuding tandu merah yang masih tetap pada tempatnya itu.
Suto Sinting merasa heran dan segera ajukan tanya. "Dari mana kau tahu kalau tandu itu berisi seorang gadis, Eyang Tulang Geledek?!"
"Raden Lontar dan Jurik Rawa adalah begundalnya si manusia badak; Rogana."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut karena baru mengerti akan hal itu, sedangkan Perawan Sinting tetap tenang karena ia sudah mengetahui sepak terjang Raden Lontar dan Jurik Rawa.
Tulang Geledek lanjutkan kata, "Setiap mereka menyerahkan seorang gadis sebagai pemuas gairah Rogana, maka Rogana akan memberinya upah dengan menurunkan satu ilmu kesaktiannya. Raden Lontar yang lebih sering melakukan hal itu ketimbang Jurik Rawa. Setahuku Jurik Rawa baru dua kali ini."
"Mengapa tidak kau hancurkan mereka dari kemarin-kemarin, Eyang?"
"Kabar itu kudengar sudah beberapa waktu yang lalu. Tapi baru sekarang kubuktikan sendiri, sehingga baru sekarang aku berani bertindak. Tempo hari aku gagal menggagalkan kiriman mereka itu, karena Rogana segera hadir dan membantu mereka. Aku terpaksa pergunakan jurus pamungkasku... lari tanpa pamit. Heh, heh, heh, heh..."
Perawan Sinting segera perdengarkan suaranya. "Sebenarnya aku sudah mendengar kalau mereka akan mengirimkan seorang gadis untuk Rogana. Tapi aku tidak tahu kalau pengiriman dilakukan hari ini. Tadi aku sempat mengejar Rogana, tapi gagal. Lalu kudengar suara pertarungan di sini, dan ternyata Eyang Tulang Geledek melawan mereka."
"Untung kau cepat datang dan membantuku, Perawan Sinting."
"Semula aku ingin membiarkan mereka menyerahkan gadis kiriman itu kepada Rogana, dengan begitu aku bisa mengetahui di mana persembunyian Rogana selama ini. Tetapi melihat Eyang Tulang Geledek dalam keadaan bahaya, terpaksa rencana itu kuubah."
"Sebenarnya tadi pun aku sudah menyiasati Raden Lontar. Padahal kalau aku mau keluarkan jurus balasan, Raden Lontar tak akan sanggup bernapas lagi hari ini. Maksudku tadi hanya ingin menyedot seluruh kekuatannya, kemudian memaksanya memberi tahu di mana Rogana berada. Jika aku tahu, maka keterangan itu akan kusampaikan padamu. Tapi rupanya aku terluka dan kau datang mengambil alih pertarungan itu, lalu... yah, seperti inilah jadinya!" Tulang Geledek menyentakkan kedua tangannya sebagai sikap pasrah terhadap keadaan.
Setelah itu Tulang Geledek melangkah dekati tandu lebih dulu. Suto dan Perawan Sinting mengikuti dari belakang. Suto sempat berbisik kepada gadis itu.
"Apakah Eyang Tulang Geledek itu kakekmu?"
"Bukan. Dia sahabat mendiang guruku. Hubunganku dengannya sudah seperti kakek dengan cucu sendiri."
"Tapi menurut ceritanya tadi, dia sempat lari begitu berhadapan dengan Rogana. Apakah dia tak mampu kalahkan Rogana?"
"Dia orang yang tak pernah memaksakan diri. Kalau sekiranya lawannya sulit ditumbangkan, dia lebih baik lari dan menyusun kekuatan serta mencari siasat baru untuk perlawanannya mendatang. Ilmu Eyang Tulang Geledek memang setinggi ilmu mendiang guruku. Tapi otaknya cukup cerdas untuk mengatur siasat. Dia punya keyakinan bahwa mengalah itu bukan berarti kalah."
"Lalu berarti apa?"
"Berarti bonyok!" jawab Perawan Sinting tanpa senyum membuat Pendekar Mabuk tertawa dalam gumam.
Rupanya gadis yang ada di dalam tandu itu dalam keadaan ditotok, sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Namun ia dalam keadaan sadar dan mendengar semua percakapan di luar tandu. Tulang Geledek segera mengeluarkan gadis itu setelah melepaskan totokannya. Perawan Sinting memandang dengan rasa iba. Tapi Suto Sinting memandang dengan mata melebar dan wajah tegang. Ia terkejut melihat gadis itu sampai-sampai nyaris tidak bisa bicara.
* * *
LIMA
GADIS itu berambut lurus sepundak. Pakaiannya berwarna jingga, ia juga mengenakan gelang dan kalung berbatu jingga. Sabuknya dihiasi batuan warna jingga pula. Agaknya gadis itu pencinta warna jingga, bahkan pedang dan sarung pedangnya dibungkus dengan kain warna jingga pula.
Suto Sinting tak mungkin lupakan gadis itu, walaupun mereka bertemu dalam waktu yang tak terlalu lama. Tapi ingatan Suto masih segar tentang gadis cantik berusia sekitar dua puluh dua tahun yang mempunyai mata bulat bening dan berbulu lentik.
Gadis itu tak lain adalah Manggar Jingga, murid Resi Parangkara yang sudah dianggap cucunya sendiri. Suto pernah terlibat peristiwa hilangnya kakak perguruan si Manggar Jingga yang bernama Puting Selaksa itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Wanita Keramat).
"Hatiku agak lega ketika kudengar seseorang menyebutkan nama Suto Sinting," ujar Manggar Jingga. "Aku yakin bahwa Pendekar Mabuk ada di sini, dan aku pasti tertolong. Ternyata dugaanku benar!"
"Tunggu dulu," sergah Perawan Sinting yang membuat Manggar Jingga tak jadi teruskan ucapannya. "Mengapa kau sebut-sebut nama Pendekar Mabuk? Di sini tidak ada Pendekar Mabuk!"
Manggar Jingga terbengong bingung, matanya segera menatap Suto dan yang ditatap hanya senyum-senyum saja sambil buang muka sejenak.
Tulang Geledek ikut bicara kepada Manggar Jingga. "Sebaiknya tak perlu bawa-bawa nama orang beken itu, Anak Manis. Kalau didengar orang lain, kau bisa dianggap mengada-ada."
"Bukankah...," Manggar Jingga menjadi bimbang sendiri, ia memandang Suto, menatap Perawan Sinting, kembali memandang Suto, menatap Tulang Geledek.
"Sebaiknya pulanglah ke rumahmu. Kau tinggal di mana, Anak Manis?" tanya Tulang Geledek.
"Aku berasal dari Teluk Sendu, Kek."
"Teluk Sendu?" gumam Tulang Geledek. "Seingatku aku punya sahabat lama yang kini menetap di Teluk Sendu. Apakah kau kenal dengan Resi Parangkara? Oh, mungkin ia sudah meninggal, sebaiknya tak perlu kutanyakan."
"Resi Parangkara masih hidup!" sahut Suto Sinting yang membuat Tulang Geledek sempat memandang heran.
"Apakah kau kenal dengan Resi Parangkara, Suto?"
"Tentu saja aku kenal, Eyang. Resi Parangkara adalah gurunya gadis ini!" sambil menuding Manggar Jingga.
Si tua Tulang Geledek terkesip pandangi Manggar Jingga. "Benarkah?" tanyanya pelan sekali dengan wajah mendekat.
"Benar. Aku adalah murid Kakek Resi. Maksudku Kakek Resi Parangkara."
"Tak mungkin!" sanggah Tulang Geledek. "Parangkara hanya mempunyai seorang murid bernama"
"Puting Selaksa!" sahut Suto dan Manggar Jingga secara bersamaan tanpa disengaja.
Tulang Geledek terbengong sebagai tanda bahwa batinnya mulai percaya terhadap pengakuan Manggar Jingga tadi. Sementara itu, Perawan Sinting diam-diam mencuri pandangan ke arah Suto sambil berkecamuk kagum dalam hatinya melihat ketampanan Suto itu.
"Baju coklat tanpa lengan...," gumam Perawan Sinting. "Celana putih kusam, wajah tampan, badan kekar, gagah, tak memakai ikat kepala, membawa bumbung tuak, tuaknya bisa dipakai untuk obat dan... hmm, tiba-tiba hatiku merasakan keanehan. Sepertinya ada sesuatu yang kuingat tapi entah apa. Ciri-ciri itu pernah kudengar melalui percakapan orang Istana Tengkorak beberapa hari lalu yang kudengar secara tak sengaja. Tapi... ciri-ciri siapa itu sebenarnya?!"
Tulang Geledek akhirnya memutuskan langkahnya. "Aku akan mengantarmu pulang ke Teluk Sendu sambil ingin bertemu dengan Parangkara. Apakah kau bersedia, Manggar Jingga?!"
"Aku tak keberatan. Tapi... aku harus mencari kakakku; si Puting Selaksa. Pencarianku tadi terhalang oleh jebakan pemuda bernama Raden Lontar itu."
"Sebaiknya kau kuantar pulang dulu," kata Tulang Geledek. "Baiklah, kubantu mencari kakak perguruanmu; si Puting Selaksa itu," ujar Tulang Geledek. "Apakah kau tahu ke mana perginya Puting Selaksa?"
"Aku tidak tahu, Kek. Ia hanya berpamitan kepada Kakek Resi Parangkara bahwa ingin pergi mencari Pendekar Mabuk. Pasti ia tidak tahu kalau Pendekar Mabuk ada di daerah ini!"
Perawan Sinting menyahut, "Bicaramu melantur lagi, Manggar Jingga. Pendekar Mabuk tidak ada di daerah sini! Mungkin di pesisir utara sana, atau..."
"Siapa bilang di sini tidak ada Pendekar Mabuk? Lalu orang yang berdiri di sampingmu itu siapa?" sergah Manggar Jingga agak ngotot.
Perawan Sinting segera memandang ke samping, menatap wajah Suto yang hanya senyum-senyum saja bagai tak mendengarkan perdebatan tersebut. Tulang Geledek juga menatap Suto dengan dahi berkerut. Pandangan si tua berjubah abu-abu itu terasa merayapi sekujur tubuh Suto dari kepala sampai kaki.
"Aku kenal gurunya Pendekar Mabuk," kata Tulang Geledek. "Sahabatku pernah memberitahukan bahwa si Gila Tuak sudah mempunyai murid bergelar Pendekar Mabuk. Tapi tidak semua orang mengenal nama asli si Gila Tuak, kecuali para sahabatnya dan muridnya sendiri."
Suto menyahut, "Jadi Eyang Tulang Geledek juga tahu bahwa si Gila Tuak mempunyai nama asli Ki Sabawana?!"
"Lho...? Kamu tahu nama itu?!" Tulang Geledek tersentak heran.
Suto tersenyum tipis dan berkata lagi, "Ki Sabawana mempunyai saudara seperguruan yang bernama Bidadari Jalang."
"Eh... tahu juga kau?"
"Nama asli Bidadari Jalang adalah Nawang Tresni."
"Lho, tahu juga nama itu?!"
Manggar Jingga menyahut, "Ya, tentu saja Suto tahu, sebab dia muridnya si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk!"
Perawan Sinting diam saja dengan kedua tangan bersidekap di dada. Kalem, tapi sebenarnya hati menjadi deg-degan bagai dikejar anjing. Ketika suasana menjadi hening karena Tulang Geledek terbengong pandangi Suto, maka Perawan Sinting pun berkata dengan lagak biasa-biasa saja.
"Hmmm... sebaiknya Eyang Tulang Geledek segera antar si Manggar Jingga ke Teluk Sendu. Kurasa gurunya juga akan kebingungan mencari Manggar Jingga."
"Lalu, kau sendiri mau ke mana, Perawan Sinting?" tanya Tulang Geledek.
"Aku tetap akan memburu Rogana."
"Hati-hati, dia sangat berbahaya untuk gadis sepertimu, Perawan Sinting."
"Terima kasih atas saranmu, Eyang."
"Kalau begitu aku akan berangkat sekarang juga bersama Manggar Jingga."
Suto segera berkata kepada Manggar Jingga, "Katakan kepada Puting Selaksa, tunggu aku di Teluk Sendu. Jangan ke mana-mana. Aku akan berkunjung ke sana dalam waktu dekat ini!"
"Baik. Akan kusampaikan pesanmu itu!" Lalu, Manggar Jingga pun pergi bersama Tulang Geledek.
Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting masih diam di tempat pandangi kepergian mereka hingga mereka menghilang dari pandangan mata.
"Kau tetap akan memburu Rogana?!" tanya Suto.
"Ya, kurasa... kurasa kau tak keberatan jika mendampingiku, bukan?"
"O, sangat keberatan!" jawab Suto dengan lagak tengil. "Kurasa kau tak butuh bantuanku dalam berurusan dengan Rogana."
"Memang aku tak butuh bantuanmu. Aku hanya membutuhkan bantuan tokoh sakti yang sekarang baru kuingat ciri-cirinya. Tokoh sakti itu adalah Pendekar Mabuk."
"Sayang sekali di sini tak ada Pendekar Mabuk, ya?" sindir Suto Sinting membuat gadis berompi cekak itu sembunyikan rasa malunya.
Perawan Sinting melangkah pelan-pelan, ia berharap akan diikuti oleh Suto. Tapi saat itu Suto Sinting justru mengucapkan kata perpisahan dengan nada tegas.
"Sampai jumpa di lain waktu dan tempat, Perawan Sinting."
Gadis itu kaget dan berpaling ke belakang. Zlaaap...! Suto sudah berpindah tempat yang tidak diketahui Perawan Sinting. Wajah gadis itu tampak kecewa, dan Suto melihat jelas dari balik persembunyiannya di atas pohon, ia pun tahu wajah cantik yang kecewa itu lama-lama berubah menjadi murung dan akhirnya cemberut kesal. Bahkan Suto dapat mendengar dengan jelas seruan Perawan Sinting sebagai ungkapan kejengkelannya.
"Aku percaya kau Pendekar Mabuk! Tapi aku tak mau mengagumimu, Setan!"
Suto Sinting tertawa sendiri dengan mulut ditutup tangan kuat-kuat. Lalu ia membiarkan gadis itu pergi dengan memendam kedongkolan dalam hatinya. "Kau pasti berharap aku mau mendampingimu. Tapi aku ingin menghajar keangkuhanmu yang tadi, Perawan Sinting!" Suto membatin sambil pandangi arah kepergian Perawan Sinting. Kemudian ia pun bergerak mengikuti gadis itu.
Ilmu peringan tubuh dipergunakan bersama-sama jurus 'Gerak Siluman', sehingga gerakan Suto tak terdengar oleh gadis yang diikutinya. Pucuk-pucuk daun diinjaknya tanpa timbulkan suara gemerisik. Ranting-ranting kering pun dipakai tumpuan berdiri tanpa patah sedikit pun. Meski si Perawan Sinting bergerak seperti kilat takut dikejar setan, tapi Suto Sinting mampu ungguli gerakan itu, sehingga kini Perawan Sinting berada dalam pengawasan Suto.
Langkah gadis berpakaian sangat menantang gairah kaum lelaki itu akhirnya terhenti oleh kemunculan dua orang dari balik gugusan tanah yang membukit. Kedua orang itu agaknya sengaja menghadang langkah Perawan Sinting dengan gerak-gerik mencurigakan.
"Hmmm... siapa mereka berdua itu?" tanya Suto dalam batinnya sambil tetap mengintai gerak-gerik si Perawan Sinting dan dua penghadangnya itu. Pendekar Mabuk juga pergunakan jurus 'Sadap Suara' untuk membantu mempertajam pendengarannya, sehingga ia dapat mendengar percakapan orang-orang yang diintainya.
"Mengapa kalian menghadangku dengan sikap begitu, Sanca Welang dan Pelung Geni?!" sapa Perawan Sinting dengan kalem.
"Pangeran Cabul mengutus aku dan Sanca Welang untuk menangkapmu, Perawan Sinting!" jawab lelaki agak gemuk yang berpakaian berikat kepala merah garis-garis putih itu.
"O, berarti orang itu yang bernama Pelung Geni," pikir Suto. "Dan yang tanpa ikat kepala berbadan kurus itu bernama Sanca Welang. Sepertinya mereka orang Istana Tengkorak, sebab selain pakaian mereka serba biru, Pelung Geni tadi mengatakan bahwa ia diutus oleh Pangeran Cabul. Hmmm... agak aneh juga. Mengapa Perawan Sinting mau ditangkap, sedangkan tadi Perawan Sinting mengaku tak punya urusan dengan pihak Pangeran Cabul?!"
Perawan Sinting memang terkesip dan berkerut dahi mendengar ucapan Pelung Geni tadi. Ia pandangi lelaki bersenjata kapak dua mata itu, dan kesimpulannya mengatakan bahwa lelaki itu bicara dengan serius, bukan sekadar bercanda. "Bicaramu kurang benar, Pelung Geni! Mungkin maksudmu, Pangeran Cabul mengundangku hadir ke Istana Tengkorak," kata Perawan Sinting mencoba berlagak salah tanggap.
Tapi Pelung Geni tegaskan lagi, "Tugas yang kami terima adalah menangkapmu! Bukan mengundangmu ke Istana Tengkorak."
"Aneh sekali? Biasanya orang yang mau ditangkap adalah orang yang punya kesalahan. Sedangkan aku tak punya kesalahan apa-apa dengan pihakmu, Pelung Geni!"
Sanca Welang menyahut, "Tugas ini kami terima sejak dua hari yang lalu. Tapi baru sekarang kami dapat menemuimu, Perawan Sinting."
"Dengan alasan apa Pangeran Cabul ingin menangkapku?!"
"Penjelasannya di istana saja. Sebaiknya kau ikut kami ke istana sekarang juga," sahut Pelung Geni.
"Kuharap kau jangan membangkang agar kami tidak lakukan kekerasan padamu, Perawan Sinting," timpal Sanca Welang.
Perawan Sinting tersenyum tipis berkesan sinis. "Kalian pikir aku keong sawah yang ditangkap tanpa perlawanan?"
"Jika kau membangkang, terpaksa kami akan tega melukaimu, Perawan Sinting," ujar Pelung Geni.
"Hmm! Apa kau sanggup melukaiku, Pelung Geni? Apakah kau belum tahu siapa aku?!"
"Aku tahu kau murid Nyai Gagar Mayang. Aku juga tahu kau dulu pernah gila karena dipaksakan menerima seluruh ilmu Nyai Gagar Mayang, sehingga sampai sekarang kau dikenal dengan nama Perawan Sinting. Dan mendiang gurumu memang tak pernah terlibat perkara apa pun dengan Pangeran Cabul. Tapi sekarang keadaan Istana Tengkorak telah berubah dan menjadi lain dengan yang dulu, Perawan Sinting."
"Jelaskan perubahan itu!"
"Tak ada waktu lagi!" sahut Sanca Welang mengawali ketidak ramahan mereka. Bahkan ia menambahkan kata dengan nada terang-terangan mengancam. "Kau mau ikut kami atau mati di tangan kami! Pilih salah satu; mati atau ikut?"
"Bagaimana kalau aku memilih 'atau' nya saja?!" jawab Perawan Sinting berkesan meremehkan tantangan itu.
Sanca Welang mulai tampak marah. Senjata pedang besar bergagang panjang setengah depa itu mulai berpindah tangan dari kiri ke kanan. Pelung Geni menarik sedikit kapaknya yang terselip di sabuk hitam agar dapat dicabut lebih mudah lagi.
"Jika aku terpaksa bertindak kasar padamu, jangan salahkan diriku, Perawan Sinting!" ujar Pelung Geni yang berusia sekitar empat puluh tahun, sebaya dengan Sanca Welang.
"Kalau begitu kutegaskan saja kepada kalian: aku mau dibawa ke Istana Tengkorak dalam keadaan sudah menjadi mayat!"
"Wah, berani sekali dia bicara begitu?!" gumam hati Pendekar Mabuk, ia tetap diam di tempatnya sampai akhirnya Sanca Welang berkata dengan suara lebih keras lagi.
"Kalau begitu, akulah yang akan mengubahmu menjadi mayat! Hiaaah...!"
Sanca Welang melompat dengan senjata pedang besarnya diarahkan ke depan, ingin dihujamkan ke dada Perawan Sinting. Tetapi gadis lincah itu tahu-tahu melesat ke atas melebihi ketinggian kepala Sanca Welang. Di atas sana, tanpa diduga-duga Perawan Sinting lepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa kibasan tangan bagai memercikkan air ke arah Pelung Geni. Praat...!
Pelung Geni kaget, tahu-tahu tubuhnya bagai diterjang seekor banteng yang sedang mengamuk. Brruus...! Tubuh agak gemuk itu terlempar bagai kapas dihempas angin, ia jatuh berguling-guling bagaikan karung pasir.
Gdebuk...! Gluduk, gluduk...!
Sanca Welang segera sentakkan senjatanya ke atas menyambut turunnya tubuh Perawan Sinting. Suuut...! Tapi ujung kaki Perawan Sinting menjejak kecil ujung pedang itu, dan tubuhnya dapat melambung lebih tinggi lagi, kemudian bersalto ke udara dua kali. Wuuuut, wess, wess...! Jleeeg...!
Perawan Sinting daratkan kaki di atas sebongkah batu hitam yang tingginya sebatas pundak Sanca Welang. Kedua tangannya mengembang memainkan jurus tangan kosong. Indah sekali gerakannya.
Tiba-tiba Pelung Geni melepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangannya. Wuuus...! Sinar yang menyerupai kobaran api itu datang dari arah belakang Perawan Sinting. Gadis itu ingin merundukkan kepala, tapi dari arah depannya sudah telanjur muncul serangan Sanca Welang yang melemparkan senjata rahasia menggunakan tangan kirinya. Ziiing...! Gerakan logam itu memutar memercikkan bunga api dan gerakannya cukup cepat. Jika Perawan Sinting merundukkan kepala maka ubun-ubunnya akan tertancap senjata rahasia itu.
Akhirnya Perawan Sinting lakukan satu sentakan kecil kakinya, dan tubuh pun melenting ke atas dalam gerak berjungkir balik.
Wuuuss...! Blaaarr...!
Pukulan bersinar merah bagaikan semburan api itu bertabrakan dengan senjata rahasia Sanca Welang hingga timbulkan ledakan cukup kuat. Tetapi gelombang ledakan itu tak sampai membuat Perawan Sinting kehilangan keseimbangan, ia justru mendapat pijakan kaki pada batang pohon. Kaki itu menjejak cepat, dan tubuhnya melayang ke satu arah, menjejak pohon lagi, melesat kembali, menjejak pohon, melesat lagi... begitu seterusnya dilakukan dalam gerakan zig-zag dan sangat cepat.
Wut, wut, wut, wut, wut, wut...!
Gerakan yang membingungkan lawan itu terjadi beberapa saat lamanya. Pelung Geni dan Sanca Welang menghantamnya baik dengan senjata tajam maupun dengan pukulan bersinar, namun tak satu pun serangan mereka yang mengenai tubuh Perawan Sinting.
"Edan! Gerakannya cepat dan memusingkan?!" gumam Suto Sinting dengan bola matanya bergerak cepat mengikuti arah gerakan gadis itu.
Deees...! Wuuut, wut, wut, wut...!
Kepala Sanca Welang dipakai pijakan kaki Perawan Sinting. Padahal setiap batang pohon yang dipakai sebagai pijakan atau terkena jejakan kaki Perawan Sinting selalu mengepulkan asap dan menjadi hangus. Karenanya, Sanca Welang sempat memekik keras ketika ubun-ubun kepalanya dipakai pijakan kaki Perawan Sinting.
"Aaaaaow...!!"
Tahu-tahu gadis itu sudah ada di pohon belakang Pelung Geni. Kakinya menjejak batang pohon tersebut, tubuhnya melesat cepat dan menyambar kepala Pelung Geni dari belakang. Dees...!
"Aaaahk...!" Pelung Geni memekik keras-keras dan segera terpelanting jatuh dalam keadaan kepala menjadi retak dan berdarah. Wut, wut, wut, wut...!
Perawan Sinting masih bergerak cepat ke sana-sini membingungkan dan sukar diikuti dengan pandangan mata. Tahu-tahu ia sudah meluncur dari arah kanan Sanca Welang dan ujung kakinya menendang telak kepala itu. Duuuuhk...!
"Aaaaah.,.!!" Sanca Welang terpental, telinganya semburkan darah, ia jatuh menggelepar mengerikan. Sementara itu, Pelung Geni masih berusaha bangkit dengan sempoyongan.
Weess...! Prook...!
Baru saja Pelung Geni tegak, tahu-tahu sudah disambar kaki yang tak diketahui kedatangannya. Pelung Geni tak bisa memekik lagi, ia hanya mengerang dengan suara tertahan sementara wajahnya menjadi hitam hangus dan berasap. Cairan darah yang mengalir dari hidung dan matanya bukan berwarna merah, melainkan berwarna hitam.
Wut, wut, jleeg...! Perawan Sinting akhirnya hentikan gerakannya dengan menapakkan kaki di atas tanah yang mcnggunduk setinggi lutut.
Pendekar Mabuk terbengong-bengong dan tak bisa mengedipkan matanya. Baru sekarang ia melihat gerakan secepat itu dan sukar diikuti oleh pandangan mata. Jika hanya terjadi dua-tiga kali gerakan itu sudah sering dilihatnya. Tapi jika terjadi sampai lebih dari dua puluh kali gerakan, hai itu baru sekarang dilihatnya.
"Melihat gerakannya saja sudah pusing apalagi terkena tendangan kakinya yang bertenaga dalam tinggi itu?!" pikir Pendekar Mabuk dengan mulut melompong hingga lidahnya kering. Ia segera menenggak tuaknya sedikit, hanya sebagai pembasah mulut dan tenggorokan saja.
"Ooh... agaknya Pelung Geni baru saja hembuskan napas terakhir?!" gumam Suto dalam hati.
Perawan Sinting hanya sunggingkan senyum sinis melihat Pelung Geni tak berkutik lagi. Tak akan lama kemudian, Sanca Welang pasti akan menyusul arwahnya Pelung Geni. Yakin akan hal itu, Perawan Sinting akhirnya tinggalkan tempat tersebut dan tak mau peduli lagi dengan kedua utusan Pangeran Cabul itu.
Namun baru saja ia berbalik badan ingin pergi, tiba-tiba Sanca Welang bangkit sedikit dan lemparkan senjata rahasianya berupa logam berputar yang memercikkan bunga api itu. Weezzz...! Zuuurrb...!
"Aaahk...!" Perawan Sinting mengejang dengan keluarkan pekikan pendek. Senjata rahasia itu menembus masuk ke dalam tubuh melalui punggung gadis itu. Kejap berikutnya, Sanca Welang pun jatuh terkulai kembali dan menghembuskan napas terakhir.
Pendekar Mabuk memandang tegang dengan jantung berdetak-detak. "Celaka! Perawan Sinting akhirnya kena juga! Aku harus segera menyelamatkan jiwanya!"
Zlaaaap...! Weesss...! Tubuh Perawan Sinting disambar Pendekar Mabuk dan dibawanya lari ke tempat jauh, karena ia khawatir jika masih ada bahaya yang tersembunyi di tempat itu.
* * *
ENAM
MATAHARI tenggelam di langit barat. Untung saat itu Pendekar Mabuk telah temukan sebuah gua di lereng bukit, dalam kerimbunan hutan belantara. Pintu masuk gua itu nyaris tak terlihat dari luar karena tanaman rambat yang merintangi jalan masuknya. Kalau saja Suto tidak melihat seekor musang berlari keluar dari gua itu, ia tak tahu kalau di situ ada gua yang aman dan terlindung dari bahaya orang-orang Istana Tengkorak.
Agaknya gua itu memang tempat peristirahatan para musang, karena di bagian depan banyak kotoran musang yang baunya tak seharum keringat si Perawan Sinting. Tetapi gua itu cukup dalam, dan Suto membawa Perawan Sinting ke tempat yang lebih dalam, lalu meletakkannya pada lantai yang kering.
Langit-langit gua cukup tinggi, walau mempunyai lubang-lubang yang biasa digunakan masuknya air hujan atau sinar matahari. Pada saat Pendekar Mabuk membawa masuk Perawan Sinting ke gua tersebut, keadaan alam masih diliputi senja dan cahaya sinar matahari masih membias masuk ke dalam lorong gua tersebut.
Sebelum petang tiba, Suto Sinting menyempatkan diri mencari kayu bakar, maka jadilah api unggun sebagai penerang sekaligus penghangat lorong gua itu. Sementara si Perawan Sinting masih dibiarkan terbaring di atas tanah yang diberi alas dedaunan semak ala kadarnya. Perempuan itu masih belum sadarkan diri akibat racun ganas yang nyaris meledakkan isi tubuhnya itu. Kalau saja Pendekar Mabuk tidak hentikan dulu pelariannya sebelum masuk gua untuk memberi minum tuak kepada Perawan Sinting, rasa-raranya gadis itu tak sampai matahari terbenam sudah kehilangan nyawa.
Tuak tersebut dikucurkan begitu saja di mulut si gadis yang ternganga. Sebagian tertelan, sebagian terbuang luber. Tapi berkat tuak tersebut, logam senjata rahasia yang tadi memercikkan bunga api itu tersentak keluar sendiri dari dalam punggung Perawan Sinting.
Darah hitam mengalir beberapa saat, kemudian luka pun mengering dan menjadi rapat kembali seperti tak pernah tergores apa pun. Darah-darah yang menghitam berceceran itu lenyap bagai terserap udara. Namun keadaan si gadis masih pingsan, dan Suto Sinting segera mencarikan tempat untuk berlindung.
Lorong gua itu masih panjang. Kedalamannya sukar diukur. Pendekar Mabuk mencoba memeriksa keadaan lorong yang lebih dalam dengan menggunakan sebatang kayu bakar sebagai penerang jalan. Ternyata lorong itu berliku-liku dan tidak mempunyai cabang ke sana-sini. Semakin dalam keadaannya semakin lebar, langit-langit lorong semakin tinggi, lantainya semakin kering, dan banyak batu yang berserakan.
"Barangkali lorong ini dulunya adalah sungai saluran lahar dari gunung berapi yang tadi kulihat berada di balik bukit ini," pikir Suto sambil memandangi dinding kanan-kirinya. "Sepertinya tak ada bahaya apa-apa, lebih baik aku segera kembali ke tempat Perawan Sinting. Jangan-jangan dia pergi mencariku keluar gua."
Pada saat itu, Perawan Sinting mulai sadar dari pingsannya, ia terkejut mendapatkan dirinya berada di sebuah ruangan selebar tujuh langkah dan berdinding cadas berlumut. Namun ia segera paham bahwa ruangan itu adalah sebuah gua.
"Siapa yang menyalakan api unggun itu?" pikirnya sambil memperhatikan nyala api unggun yang tenang karena terhindar hembusan angin kencang. Perawan Sinting termenung beberapa saat, lalu segera ingat akan pertarungannya dengan Sanca Welang dan Pelung Geni. Ia juga ingat bahwa punggungnya sempat terkena sesuatu yang amat menyakitkan, panas, dan melumpuhkan seluruh urat-uratnya, ia tak tahu dari mana asalnya dan benda apa yang telah menembus masuk punggung, yang jelas ia yakin ada seseorang yang menyerangnya dan membuat dirinya pingsan.
"Tapi... punggungku sepertinya tak terluka lagi? Rasa panas dan sakit tak kurasakan pula?!" gumam gadis itu sambil meraba-raba punggungnya. "Aku yakin bahwa aku tadi terluka. Jika ternyata lukaku menjadi rapat kembali dan kulit punggungku menjadi halus tanpa luka sedikitpun, seperti yang dialami oleh Eyang Tulang Geledek, maka tak ada orang lain yang bisa lakukan penyembuhan seajaib ini selain si Pendekar Mabuk itu! Hmmm... di mana dia sekarang? Kurasa dia juga yang membawaku kemari dan menyalakan api unggun. Apakah... apakah dia hanya sekadar menyelamatkan aku dan menaruhku di sini lalu meninggalkan pergi?!"
Perawan Sinting memeriksa keadaan sekeliling. Lorong tampak gelap, ia tak tahu lorong itu membelok ke sana-sini dan sedang disusuri oleh Pendekar Mabuk. Bias cahaya api bakar yang dibawa Suto tak sempat terlihat oleh Perawan Sinting karena keadaan Suto sudah agak jauh dari tikungan lorong yang terlihat dari tempat gadis itu.
"Ah, persetan dengan siapa pun yang membawaku kemari!" geram Perawan Sinting agak dongkol karena tak menemukan siapa-siapa. "Yang penting aku telah selamat, badanku jadi segar dan berada di tempat aman!" sambil gadis itu mendiang di dekat api unggun. "Aneh sekali, mengapa Pangeran Cabul ingin menangkapku? Mengapa pihaknya bersikap bermusuhan denganku? Padahal aku tak punya salah apa-apa terhadap Pangeran Cabul dan orang-orangnya. Atau... barangkali ada pihak lain yang memfitnahku, sehingga aku menjadi buronan sang Pangeran?!" Perawan Sinting membatin sambil tangannya memainkan sebatang ranting yang ujungnya telah terbakar. "Padahal sewaktu ada Suto, empat orang yang tewas disana itu tampak melepaskan serangannya ke arah Suto, bukan ke arahku?! Tapi kenapa sekarang yang mau ditangkap adalah diriku? Mengapa bukan pemuda tampan yang sering bikin hatiku berdebar-debar itu?!"
Renungan tersebut terpaksa harus dihentikan, karena kepekaan telinga Perawan Sinting menangkap suara langkah kaki dari lorong belakangnya, ia segera berpaling cepat dan siap mencabut pedang. Bias cahaya mulai tampak mendekat. Beberapa saat kemudian, tampaklah sesosok tubuh kekar dan gagah yang membawa kayu berapi sebagai ganti obor itu. Wajah tampan terpampang jelas di belakang api tersebut. Perawan Sinting segera hembuskan napas lega, karena ia segera mengenali si pembawa kayu berapi itu adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
"Oh, kau sudah sadar rupanya?!" sapa Suto pertama kali walau Perawan Sinting segera bersikap acuh tak acuh.
"Dari mana kau?" tanya si gadis sambil bermain api dengan ranting kecil lagi. Ia sengaja tak memandang ke wajah Pendekar Mabuk.
"Aku dari jalan-jalan memeriksa lorong panjang ini," jawab Suto, kemudian ia duduk di atas batu setinggi betis. Batu itu berdempetan dengan batu besar, sehingga bisa dipakai bersandar punggung si Pendekar Mabuk.
"Apa yang kau dapat di kedalaman sana? Perempuan purba yang tanpa busana?!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Kalau ada sudah kubawa kemari!" jawabnya dengan konyol.
Perawan Sinting tidak tersenyum sedikit pun. Bibirnya yang sensual dan enak digigit menurut bayangan Suto itu, kini dalam keadaan terkatup rapat.
Pendekar Mabuk memandanginya dari arah samping. Hati sang pendekar muda berkecamuk dengan desir-desir yang menghadirkan perasaan indah melambungkan jiwa. "Dalam siraman cahaya api unggun, wajah itu semakin tampak lebih cantik lagi. Kecantikannya berbeda dengan kecantikan calon istriku; Dyah Sariningrum. Kecantikan gadis ini lebih alami, seperti kecantikan gadis desa yang lugu tanpa rias apa pun. Mata dan bibirnya selalu memancarkan ajakan bercumbu. Apalagi dia berbadan tinggi, sekal, kencang, dan... oh, benar-benar corak gadis tahan bantingan! Kurasa dia cukup ganas jika sedang bercinta."
Lama-lama gadis berkalung hitam dengan batuan ungu sebesar mata kucing itu merasa risi dipandangi terus, ia pun segera palingkan wajah dan menatap Suto Sinting terang-terangan. "Apa maksudmu memandangiku terus-terusan?" tegurnya membuat Suto salah tingkah dan tersipu-sipu.
Lebih salah tingkah lagi setelah gadis itu mendekatinya dan duduk di batu samping kiri Suto dalam jarak kurang dari satu jangkauan, ia menatap lekat-lekat wajah Pendekar Mabuk dari arah samping, sementara yang ditatap justru berlagak merapatkan tutup bumbung tuaknya.
"Dua kali kau menyelamatkan nyawaku. Tapi bukan berarti kau boleh seenaknya memandangiku terus-terusan!" ujarnya bernada ketus.
Pendekar Mabuk tarik napas, menjaga ketenangan sikapnya. "Apa ruginya jika hanya dipandangi saja?"
"Ada ruginya," jawabnya cepat. "Kau membuat hatiku berdebar-debar. Kalau hatiku berdebar-debar terus, maka jantungku akan rusak. Kalau jantungku rusak, berarti usiaku cekak!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum menawan, tapi tidak diarahkan kepada Perawan Sinting, ia masih berlagak sibuk dengan bumbung tuaknya. Kini dalam suasana sama-sama membisu, Suto menjadi kikuk dan berdebar-debar lebih kuat lagi, karena ia sadar bahwa gadis di sebelahnya memandanginya terus tanpa berkedip. Bahkan untuk melontarkan satu pertanyaan ataupun kata terasa sulit. Lidah Suto bagaikan kelu.
"Ke mana arah tujuanmu sebenarnya, Pendekar Mabuk?" tanya Perawan Sinting dengan nada serius walau suaranya pelan.
"Aku sedang mengejar musuh utamaku."
"Siapa musuh utamamu itu?"
"Siluman Tujuh Nyawa!"
"O, ya...?!" Perawan Sinting sebenarnya terkejut, karena ia sering mendengar cerita dari para sahabat gurunya tentang kekejaman Siluman Tujuh Nyawa yang dikenal sebagai manusia sesat terkutuk itu. Namun rasa kagetnya itu mampu disembunyikan sehingga ia tampak tenang-tenang saja, bahkan berkesan meremehkan kata-kata Suto. "Siapa yang diburu sebenarnya? Kau memburu dia, atau dia memburumu?"
"Tergantung siapa yang lengah!" jawab Suto tak bisa diremehkan lagi.
"Hebat sekali kalau kau berani memburu tokoh terkutuk yang berilmu tinggi itu?" sindir Perawan Sinting.
"Tak ada yang kutakuti jika melawan dia!" tegas Suto kini berani menatap untuk menampakkan kesungguhan ucapan itu. "Cepat atau lambat, aku harus berhasil memenggal kepalanya!"
"Mudah-mudahan bukan kepalamu yang terpenggal," ucap Perawan Sinting sambil membuang pandangan sejenak, lalu kembali melirik Pendekar Mabuk.
"Sebelum aku melihatmu, aku sedang mengejarnya. Tapi aku kehilangan jejak, celingak-celinguk sana-sini, eeh... justru mendapatkan seraut wajah cantik yang punya kelincahan gerak mengagumkan," ujar Suto mulai merayu.
"Siapa yang kau maksud seraut wajah cantik itu?" pancing Perawan Sinting.
"Eyang Tulang Geledek!" jawab Suto konyol, ia sengaja memancing senyum Perawan Sinting, tapi senyum yang mekar di bibir sexy itu hanya sekelumit dan berkesan sinis. Gadis itu segera melepas pedangnya dari punggung, menarik pedang sedikit dari sarungnya. Cahaya hijau pijar tampak keluar dari mata pedang tersebut.
"Bagus sekali pedangmu itu! Pusaka milik siapa?"
"Mendiang guruku; Nyai Gagar Mayang!" jawab Perawan Sinting. "Kalau kau ingin memburu Siluman Tujuh Nyawa, pakailah pedang ini."
"Mengapa harus begitu?"
"Pedang ini ditakuti oleh Siluman Tujuh Nyawa. Mendiang Guru pernah melawan Siluman Tujuh Nyawa di atas kapal. Ketika Guru mencabut pedang ini, Siluman Tujuh Nyawa segera melarikan diri."
"Setahuku Siluman Tujuh Nyawa hanya bisa dibunuh dengan Pedang Kayu Petir. Dan aku tahu pedangmu itu bukan Pedang Kayu Petir."
Suto tak sadar kalau sejak ia menyebut Pedang Kayu Petir mata Perawan Sinting menjadi terkesip dan menatap dengan tajam. Dahi gadis itu pun mulai berkerut. Dan ketika Suto menatapnya, gadis itu segera ucapkan kata dengan nada pelan namun penuh tekanan rasa heran.
"Rupanya kau mengenal nama pedang maha sakti itu, ya?!"
"Sedikit banyak aku pernah menggunakan pedang tersebut."
"Oh, alangkah besarnya tipuanmu."
"Terserah penilaianmu, tapi itulah kenyataan yang pernah kualami," kata Suto sambil membayangkan pedang maha dahsyat itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Kayu Petir dan Seruling Malaikat).
"Kalau benar kau mengenal Pedang Kayu Petir, tentunya kau tahu siapa yang menjelma sebagai Pedang Kayu Petir itu?" Perawan Sinting menguji kejujuran Suto.
Pertanyaan itu membuat Suto tersenyum meremehkan. "Pedang Kayu Petir itu jelmaan dari Eyang Agung Cipta Mangkurat."
Perawan Sinting tersentak terang-terangan. Kepalanya sempat ditarik mundur dan matanya mulai melebar. Suto tak peduli dan tetap lanjutkan ucapannya tadi.
"Eyang Agung Cipta Mangkurat mempunyai cucu, yang menjelma sebagai bambu dan menjadi bumbung tuakku ini!"
"Siapa nama cucu Eyang Agung Cipta Mangkurat itu?"
"Aku tak berani menyebutkan. Karena nama itu jika disebutkan, maka akan terjadi hujan petir diiringi hembusan badai yang dapat mengguncangkan bumi. Jadi..."
"Ya, aku tahu nama cucu beliau. Menggunakan nama depan Wijaya!"
Kini Pendekar Mabuk tersentak kaget. Sangat kaget, hingga ia bangkit berdiri dengan memandang tajam pada si Perawan Sinting. Jawaban itu memang benar. Untung Perawan Sinting tidak menyebutkan nama lengkap: Wijayasura. Jika sampai disebutkan secara lengkap, Suto dapat membayangkan gua itu akan runtuh menimbun mereka berdua.
"Bagaimana mungkin kau bisa tahu nama itu?!" tanya Suto dengan suara seperti orang berbisik, ia duduk kembali, karena dilihatnya si Perawan Sinting tetap duduk tenang.
"Barangkali cerita yang kau dengar kurang lengkap," ujar Perawan Sinting sambil merapatkan pedangnya ke dalam sarung pedang.
"Kurang lengkap bagaimana?"
"Eyang Agung Cipta Mangkurat mempunyai istri. Tahukah kau nama istri beliau?"
"Tidak," jawab Suto Sinting tegas-tegas.
"Beliau bernama: Nyimas Rohing Pandewi!"
Suto berkerut dahi makin tajam. "Dari mana kau tahu?"
"Mendiang guruku; Nyai Gagar Mayang, adalah keturunan ketujuh dari Nyimas Rohing Pandewi."
Jantung Suto berdetak cepat, darahnya bagai mengalir deras mengitari sekujur tubuh, ia merasa semakin lebih dekat mengenal siapa Perawan Sinting itu.
"Eyang Gusti Nyimas Rohing Pandewi berubah menjadi pedang ini yang dinamakan Pedang Galih Petir. Hanya guruku yang boleh memegang pedang ini. Karena dari tujuh turunan Eyang Gusti Nyimas Rohing Pandewi, hanya Guru yang tidak menikah dan tetap suci. Jika Guru punya adik atau kakak, yang perempuan dan masih suci, maka pedang ini akan jatuh ke tangan mereka. Tapi karena Nyai Guru Gagar Mayang adalah anak tunggal, maka pedang ini boleh diwariskan kepada muridnya, asal murid itu adalah murid tunggal. Dan kebetulan aku adalah murid tunggal Nyai Guru Gagar Mayang."
Pendekar Mabuk langsung tertegun dengan kaki dan tangan gemetar. Baru sekarang ia mendengar penjelasan tentang adanya Pedang Galih Petir. "Mengapa Guru tak pernah jelaskan tentang pedang ini padaku? Bahkan Resi Wulung Gading sendiri tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang Pedang Galih Petir ini. Sepertinya mereka tidak tahu adanya Pedang Galih Petir sebagai jelmaan dari Nyimas Rohing Pandewi. Atau... barangkali mereka memang merahasiakannya?"
Suto hanya ingat, bahwa dulu si Gila Tuak pernah mengatakan tentang pasangan setiap pusaka. Waktu itu, si Gila Tuak bicara dengan nada bimbang.
"Setiap suami pasti mempunyai istri. Demikian pula dengan pusaka, pasti ada pasangannya."
"Maksudmu pemegang pusaka adalah pasangannya, begitu Kek?!"
"Hmmm... ya, kira-kira begitu!" Jawab Gila Tuak jelas bernada bimbang, tapi pada waktu itu Suto Sinting tidak mencurigai kebimbangan itu.
Kini pendekar muda itu merasa seperti orang bodoh di hadapan Perawan Sinting, ia tak bisa banyak bicara tentang Pedang Galih Petir, sedangkan si Perawan Sinting sedikit banyak mengetahui adanya Pedang Kayu Petir. Hanya saja, gadis itu tidak tahu di mana Pedang Kayu Petir berada.
"Kelak, kalau waktunya sudah tiba, pedang ini tidak boleh diwariskan kepada siapa pun, baik keturunanku maupun muridku. Jika diwariskan, maka kesaktian pedang ini akan hilang, atau pedang ini akan lenyap dengan sendirinya," ujar si Perawan Sinting.
"Jadi, harusnya bagaimana?"
"Jika aku sudah tua dan kematianku hampir tiba, pedang ini harus disatukan dengan Pedang Kayu Petir, sebagai suaminya. Tapi aku tak tahu di mana Pedang Kayu Petir itu berada. Tentunya kau mengetahuinya, Suto!"
"Ya, aku tahu. Pedang itu ada di tangan Resi Wulung Gading yang bertempat tinggal di Lembah Sunyi."
"O, ya... guruku juga pernah menyinggung-nyinggung tentang Resi Wulung Gading. Guru pernah berpesan padaku agar suatu saat aku mencari seorang tokoh tua yang bernama Resi Wulung Gading dan membicarakan tentang pusaka Pedang Galih Petir ini," Perawan Sinting manggut-manggut dan termenung dengan sendirinya.
"Apa keistimewaan Pedang Galih Petir ini, Perawan Sinting?" tanya Suto masih penasaran.
"Suatu saat kau akan tahu. Sekarang aku merasa belum waktunya kau tahu banyak tentang pedang pusakaku ini!"
"Mengapa begitu?" desak Suto.
Perawan Sinting diam sejenak, seperti dalam keraguan untuk menjawab hal yang sebenarnya. Tapi akhirnya karena terlalu lama dipandangi Pendekar Mabuk, gadis itu pun akhirnya memberi jawaban dengan suara pelan. "Kelak kalau Rogana sudah mati, aku akan menjelaskan keistimewaan pedang ini. Sekarang pikiranku masih dibayang-bayangi dendam kepada Rogana!"
Suto Sinting menarik napas. "Apakah seorang pemilik Pusaka Pedang Galih Petir diizinkan untuk balas dendam?"
"Selama bertindak demi kebenaran dan menghancurkan keangkaramurkaan, pedang ini tetap akan ada di tanganku. Satu-satunya larangan adalah membunuh orang tak bersalah, atau mencelakai tokoh aliran putih. Jika hal itu kulakukan maka pedang ini akan lenyap dengan sendirinya."
Sambil pandangi Perawan Sinting, pemuda berhidung bangir itu manggut-manggut dan menggumam lirih. Lama-lama hatinya usil dan mulutnya segera ajukan tanya kembali. "Apakah seorang pemegang pusaka Pedang Galih Petir boleh jatuh cinta?"
"Menurut Guru boleh. Karena aku adalah pemegang pedang ini yang terakhir."
"Juga boleh dicium?"
Perawan Sinting mulai sadar akan keusilan Suto. Ia segera memandangi nanar kepada pemuda yang ada di sampingnya. Pandangan tanpa senyum itu sering membuat Suto jadi salah tingkah sendiri. Tapi kali ini ia mencoba melawan kegundahan hatinya dengan tetap memandang dan bersikap tenang. Senyumnya justru dilebarkan hingga memancarkan daya pesona tersendiri yang membuat Perawan Sinting deg-degan.
"Apa maksud pertanyaanmu itu?"
"Hanya sekadar pertanyaan iseng saja," jawab Suto Sinting, kemudian duduknya merebah dengan bersandar batu di belakangnya. Tapi pandangan mata Perawan Sinting masih mengikutinya, membuat Suto akhirnya mengalihkan rasa risinya dengan mengajukan pertanyaan lagi.
"Kau pernah jatuh cinta?"
"Sering," jawab Perawan Sinting dengan cuek. "Tapi selalu dalam khayalan."
"Dalam kenyataan?"
Gadis itu gelengkan kepala.
"Kalau begitu kau belum pernah dicium seorang lelaki?"
"Sering," jawabnya lagi bernada seenaknya.
"Kapan kau dicium seorang lelaki untuk pertama kalinya?"
"Aku tak ingat. Waktu itu...." Perawan Sinting diam sejenak, mengalihkan pandangan mata, menarik napas dalam-dalam seperti menahan kedukaan. Hal itu menarik perhatian Pendekar Mabuk sehingga pemuda itu mendesaknya lagi.
"Waktu itu kau masih dalam masa puber, begitu maksudmu?"
"Waktu itu... aku dalam keadaan tak sadar. Maksudku, antara sadar dan tidak."
"Kau dibius oleh lelaki hidung belang, begitu?"
Perawan Sinting akhirnya menatap Suto lagi. "Waktu itu aku sedang Gila karena terlalu banyak menerima ilmu dari Guru."
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terkesip, lalu teringat kata-kata Pelung Geni sebelum pertarungan itu dimulai.
"Aku memang pernah gila, berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, menyanyi, menari-nari, dan... pada saat itu ada beberapa orang lelaki yang memanfaatkan keadaanku. Aku dinodai," ucapnya lirih sekali. "Tapi menurut beberapa temanku yang mengetahui, hal itu kulakukan berulang-ulang dengan berbagai lelaki. Aku tak tahu, mengapa pada saat itu yang ada dalam benakku hanyalah bercinta dan bercumbu, bersenang-senang dan gembira, sampai akhirnya aku pernah dipasung oleh Guru selama tiga purnama. Tapi setelah aku sembuh dan sadar kembali, hal itu tak pernah kulakukan dengan pria mana pun."
Pendekar Mabuk diam sebentar menyimpan rasa iba terhadap peristiwa yang menyedihkan bagi si Perawan Sinting itu. Agaknya gadis itu tak mau hanyut dalam kesedihan terlalu lama. Maka ia segera menarik napas panjang-panjang lalu berkata tegas.
"Lupakan saja kisah itu!"
"Sayang sekali waktu itu aku tidak ada."
"Apa maksudmu?"
"Coba kalau waktu kau masih Gila aku bertemu denganmu."
"Kau akan ikut menciumku, begitu?"
Suto nyengir konyol. "Apakah tak boleh?"
Dengan masih tetap memandang nanap kepada Suto, Perawan Sinting diam beberapa saat lamanya, sampai akhirnya ia berkata pelan. "Kalau begitu... sekarang aku sedang Gila."
Pendekar Mabuk makin berdebar-debar, karena ia tahu maksud ucapan itu. Berarti ia diizinkan untuk mencium gadis itu. Tapi Pendekar Mabuk berlagak tak tahu maksud tersebut, ia hanya mendesah dan merentangkan kedua tangannya sambil menguap. "Aahh...! Gila itu tidak bisa dibuat-buat."
"Siapa bilang?" ujarnya dalam suara makin pelan, tapi wajah makin mendekat. "Aku tahu sejak tadi kau ingin menciumku!"
"Kata siapa?" ujar Suto berlagak cuek.
"Kata hati kecilku!" sambil Perawan Sinting lebih dekat lagi.
"Aku tak berselera menciummu!" tengil si Suto.
"Kalau begitu aku yang berselera!" tegas Perawan Sinting dalam nada mendesah. "Cukup lama aku merindukan keindahan seorang lelaki, tapi selama ini tak ada lelaki yang menggairahkan."
Kata-kata itu tak dilanjutkan, karena bibir Perawan Sinting telah menempel di pipi Suto. Pemuda tampan itu diam saja. Bahkan ketika bibir itu merayapkan kecupannya ke dagu, Suto masih pura-pura bersikap dingin.
"Kau benar-benar tak berselera padaku?" bisik Perawan Sinting yang tangannya mulai meremas nakal di tempat tertentu.
"Tidak, aku tidak punya selera padamu," pancing Pendekar Mabuk, ia sengaja tak memberikan reaksi apa-apa walau tangan Perawan Sinting semakin nakal.
Rupanya gadis itu jengkel terhadap sikap dingin Suto. Ia segera mengambil bumbung tuak dengan berpura-pura ingin minum. Ternyata dengan nekat Perawan Sinting mengguyur tubuhnya dengan tuak yang masih tersisa di dalam bumbung itu. Tuak mengguyur dari kening sampai ke sekujur badan bagian depan.
Krucuk, krucuk, krucuk, krucuk...!
"Edan...!"
Wuuut...! Suto menyambar bumbung tuak setelah tersentak kaget melihat tindakan gadis itu. "Kau benar-benar sinting! Tuak tinggal sedikit dipakai buat mandi!" sentak Suto dan membuat Perawan Sinting hanya tersenyum sinis sambil berbaring santai. Suto bersungut-sungut dan menggerutu tak jelas setelah mengetahui di dalam bumbung itu tinggal tersisa beberapa teguk tuak; sekitar tak sampai sepuluh tegukan lagi.
"Brengsek!" bentak Suto jengkel, si gadis semakin lebarkan senyum dan pandangi Suto dengan mata sayu.
"Kalau kau sayang dengan tuakmu, minumlah yang ada di tubuhku! Tuak ini akan segera kering jika tidak segera kau ambil, karena tubuhku saat ini sedang panas."
Pendekar Mabuk mulai mengerti maksud tindakan itu. Ia juga merasa sayang melihat tuak mengalir dari kening sampai ke leher dan terus ke sela-sela dada, bahkan bagian perut pun tampak basah hingga bawahnya. Maka Suto pun segera mencucup genangan tuak yang ada di kening gadis itu. Kening dan wajah si gadis dihujani kecupan dan sapuan lidah Suto. Gadis itu mendesah merasakan desiran indah saat lidah Suto mengeringkan tuak tersebut.
"Ooh, indah sekali sapuan lidahmu, Suto. Ouuh... di sekitar mulutku banyak sekali tuaknya, Suto. Ambillah, ambil...!" bisik Perawan Sinting dengan suara mendesah. Suto pun segera menyapu tuak di sekitar mulut gadis itu dengan lidahnya. Sapuan itu mengenai bibir, dan bibir itu pun dikecupnya karena menyimpan tuak juga.
Perawan Sinting membalas kecupan itu dengan lumatan yang mengganas. Tangannya mulai meremas-remas rambut kepala Suto Sinting penuh gairah. Sementara rompinya mulai dilebarkan oleh Suto dan dada yang basah oleh tuak itu pun menjadi sasaran kecupan bibir Suto.
"Oouuh...! indah sekali, Suto. Oooohh... teruskan... teruskan dan jangan berpindah dulu dari situ.... Aku suka sekali, Suto. Uuuuhk...!"
Perawan Sinting mengerang dan meraung-raung sambil meremasi rambut kepala Suto. Sementara itu, Suto yang sudah dibakar gairahnya oleh kehangatan tubuh Perawan Sinting itu semakin menggila lagi. Tak ada bagian dada yang lolos dari kecupan dan sapuan lidah Suto.
"Bawah, Suto... bawah masih banyak tuaknya, Suto. Oooh... teruskan, habiskan tuaknya, Suto.... Aduuuh, indah sekali. Aaaah...!"
Perawan Sinting tak malu-malu untuk berteriak menampakkan keganasannya. Gerakannya pun semakin liar dan semakin membakar gairah Pendekar Mabuk. "Oh, Suto... terus! Teruuus...! Aku mau terbang, Suto. Aku mau mencapai puncak keindahan di sana. Teruuuuss.... Aaaah.... Sutooo, Sutoo, Sutoooooo...!!" jerit Perawan Sinting sambil menjambak rambut Suto kuat-kuat dan menekan kepala pemuda itu dengan seluruh urat mengejang. "Ooh, hik, hik, hik...!" gadis itu bagaikan menangis karena merasakan keindahan yang teramat tinggi dan mengalami kebahagiaan yang luar biasa, ia memeluk Suto dengan kedua kakinya. Napasnya terengah-engah sambil sesekali masih memekik karena Suto masih nakal.
Akhirnya ia bangkit dan menarik lengan Suto. Pemuda itu dibaringkan dengan baju disentakkan ke kanan kiri. Lalu, tubuh Suto pun menjadi sasaran keganasan bibir dan lidahnya, ia membalas serangan Suto yang tadi dengan lebih liar dan ganas. Sesekali memberikan gigitan kecil yang menimbulkan rasa nikmat tersendiri bagi si Pendekar Mabuk. Napas Suto pun menjadi terengah-engah diburu oleh kebahagiaan yang begitu hangat.
"Kau suka, Suto? Kau suka, hah?!" tanyanya mencecar.
"Oh, aku suka sekali... teruskan...!"
"Aaahhrrr...!" gadis itu mengerang dan menyerang Suto lagi sampai pusat kepekaan pemuda itu.
"Aaow...!" Suto memekik sambil meremas rambut Perawan Sinting.
Namun di sela-sela erangan dan pekikan suara mereka, secara samar-samar mereka mendengar suara jeritan yang memanjang beberapa kali. Jeritan itu sangat kecil, sepertinya datang dari tempat yang jauh.
"Perawan Sinting, tunggu dulu!" sentak Suto yang membuat gadis itu hentikan cumbuannya.
"Ada apa?! Kau tak tahan lagi?!" tanya Perawan Sinting sambil terengah-engah.
"Aku mendengar suara jeritan!"
"Oh, pasti itu pantulan gema suaramu sendiri."
"Bukan. Jeritan itu sepertinya jeritan seorang gadis yang... Nah, dengar itu!"
"Aaaaa...! Aaaaaa...!"
Perawan Sinting pun mendengar jeritan itu, ia mulai sadar bahwa jeritan yang berasal dari tempat jauh adalah bukan pantulan gema. Tapi benar-benar sepertinya ada seorang gadis yang tersiksa dengan sangat menyedihkan.
"Jeritan itu ada di luar gua ini!" bisik Perawan Sinting sambil menelungkup di atas Suto.
"Menyedihkan sekali, ia meratap penuh penderitaan," ujar Suto dengan pelan.
Perawan Sinting buru-buru mengenakan pakaiannya kembali, demikian pula halnya dengan Pendekar Mabuk. Mereka sepakat untuk menolong gadis itu lebih dulu, setelah itu baru melanjutkan kemesraan yang sepanas bara itu.
"Suaranya seperti ada di kedalaman lorong sana, Suto!"
"Bawa kayu api, kita cari sumber suara itu!"
Mereka pun bergegas memasuki lorong yang tadi diperiksa Suto Sinting. Pemuda itu berjalan lebih dulu karena ia merasa sudah pernah memasuki lorong tersebut. Keduanya sama-sama menggenggam kayu bakar sebagai pengganti obor penerang jalan.
"Makin ke dalam tubuhku semakin merinding, Suto!" bisik Perawan Sinting.
"Aku juga demikian. Waspadalah terus, perhatikan jalanan di depan, siapa tahu ada bahaya menghadang kita."
"Ooooouuh...! Aaaaaawwh...!" jeritan itu terdengar lagi.
"Suaranya semakin dekat, Suto! Lekas lari...!"
"Perawan Sinting, hati-hati kau!" seru Suto dengan berusaha menekan suaranya, ia pun segera berlari mengikuti Perawan Sinting yang tampak tak sabar lagi itu.
* * *
TUJUH
LORONG yang mereka susuri itu semakin lebar. Jarak dinding kanan-kiri sekitar sepuluh langkah. Bahkan di depan mereka tampak bias cahaya terang yang muncul dari tikungan lorong. Pendekar Mabuk pun segera mencekal pundak Perawan Sinting dan hentikan langkah gadis itu.
"Matikan apinya!" bisik Suto. "Sepertinya ada kehidupan lain di dalam lorong ini!"
Bluub, bluub...! Api pun dipadamkan. Tanpa cahaya api dari kayu bakar, mereka sudah dapat berjalan tanpa meraba-raba. Keadaan tempat itu memang menjadi remang-remang karena mendapat sisa pantulan bias cahaya dari tikungan lorong. Tetapi hal itu tidak membuat mereka kesulitan dalam melangkah.
Suto menggenggam tali bumbung tuak sebagai persiapan jika sewaktu-waktu datang bahaya. Sedangkan Perawan Sinting menyelipkan pedangnya di pinggang, sambil tangan kanannya selalu siaga mencabut pedang tersebut.
"Suara jeritan itu telah hilang!" bisik Perawan Sinting.
"Memang. Tapi aku yakin suara itu berasal dari lorong ini."
"Ssstt...! Sepertinya kudengar suara napas besar yang menyeramkan," bisik Perawan Sinting lagi.
"Aku juga mendengarnya! Perlambat langkah kita dan hati-hati, jangan sampai timbulkan bunyi!"
Mereka kini melangkah pelan-pelan saat mendekati tikungan lorong. Begitu sampai di tikungan, mereka berhenti sebentar. Pendekar Mabuk mengintip ke arah lorong yang membelok itu.
"Oh, jalanannya masih membelok lagi ke kiri. Tapi cahayanya lebih terang."
"Aku mencium bau tak sedap. Bau apa ini?"
"Mungkin keringatmu!"
"Sial!" Perawan Sinting tersenyum sambil mencubit pipi Suto. Sayang sekali keadaan tak begitu terang sehingga senyuman itu tak bisa dinikmati Suto Sinting.
Mereka kini menelusuri lorong yang iebih terang lagi. Begitu tiba di sudut tikungan, mereka berhenti lagi. Suto mengintip pelan-pelan ke arah lorong yang memancarkan sinar terang itu. Maka tampaklah cahaya terang benderang dari sebuah ruangan besar yang letaknya sekitar tiga puluh langkah lagi dari tempat mereka berhenti itu.
"Ternyata gua ini ada penghuninya juga!" gumam Perawan Sinting.
"Ssst...! Perlambat sedikit langkahmu. Hati-hati, jangan menginjak batu yang dapat menimbulkan bunyi keras."
"Aku mengerti. Cerewet!" Perawan Sinting mencubit bibir Suto.
Pemuda itu mendesah sambil menepiskan tangan tersebut. "Kau ke dinding kiri, aku di sebelah kanan!" bisik Suto dan Perawan Sinting mengikuti perintah itu.
Mereka mengendap-endap mendekati ruangan besar beratap tinggi. Ketika mereka tiba di ujung lorong yang menghubungkan ruangan besar itu, Pendekar Mabuk berkelebat cepat pindah tempat. Kini ia ada di depan Perawan Sinting dan berjalan menyamping.
"Suara napas aneh itu sudah tak ada," bisik Perawan Sinting.
"Kurasa pemilik suara aneh itu telah pergi saat kita mendengar suara gemuruh samar-samar di tikungan sana tadi."
"Kurasa juga begitu. Dan... sepertinya ruangan ini aman! Tak ada orang."
"Siapa bilang?! Lihat di sebelah sana!" tuding Suto ke arah salah satu sisi ruangan besar itu.
Tampak sebuah batu hitam memanjang bagaikan ranjang. Bagian atas batu yang datar itu terdapat sesuatu yang terkulai, dan sesuatu itu tak lain adalah tubuh seorang perempuan yang tergeletak tanpa mengenakan selembar benangpun.
"Astaga...?!" gumam Perawan Sinting dengan tegang. "Awasi aku! Aku akan memeriksa gadis di atas batu itu!"
"Lakukan, akan kujaga dari sini!"
Perawan Sinting melangkah penuh waspada dan hati-hati. Pendekar Mabuk pandangi lorong depan yang menjadi lorong tembus dari arah lain ke ruangan besar itu. Lorong seberang sana juga dalam keadaan terang karena dindingnya dipenuhi oleh obor-obor dari logam putih. Obor-obor berbentuk serupa juga ada di sekeliling dinding ruangan besar tersebut.
"Agaknya ruangan ini merupakan suatu tempat yang terawat. Buktinya lantainya dalam keadaan rata walau tetap dari tanah cadas. Batu-batuan hanya ada di tepian dinding, tapi di bagian tengah tak ada batu kecuali batu hitam mirip dipan itu," gumam Suto Sinting.
"Pssst...! Pssst...! Suto...!" panggil Perawan Sinting, ia melambai ketika Suto memandangnya. Maka pemuda bertubuh kekar itu pun segera hampiri Perawan Sinting yang sudah tiba di batu hitam itu.
"Gadis ini telah tak bernyawa lagi," ujar Perawan Sinting pelan.
"Kasihan," gumam Suto sambil geleng- geleng kepala.
"Lihat luka-lukanya, dan luka yang paling parah ada di antara kedua pahanya itu."
"Tampaknya ia habis diperkosa."
"Benar! Dan yang memperkosa bukan manusia biasa."
"Maksudmu?!"
"Makhluk yang besarnya melebihi manusia biasa, sehingga 'mahkota' gadis ini rusak menerima keganasan gairah makhluk itu."
Perawan Sinting segera pandangi keadaan sekeliling. Aroma tak sedap itu sedang dikenalinya sejak tadi. Namun begitu ia memperhatikan bekas telapak kaki di sekitar batu hitam itu, wajahnya menjadi tegang dan matanya melebar.
"Suto... sekarang aku tahu siapa yang tinggal di sini! Lihat bekas telapak kaki ini! Telapak kaki berjari empat besar-besar adalah telapak kakinya si manusia badak itu!"
"Rogana...?!"
"Benar!" jawab Perawan Sinting penuh semangat. "Aku ingat, orang itu hanya mempunyai empat jari pada masing-masing telapak kakinya. Ooh... tak kusangka ternyata kita sejak tadi sudah menemukan tempat persembunyian si Rogana!"
"Jika benar begitu, berarti siapa gadis ini?"
"Entah. Aku tak kenal. Tapi yang jelas ia adalah korban keganasan gairah si manusia badak itu! Kita cari dia! Pasti belum jauh dari sini!"
Belum sampai mereka bergerak, tiba-tiba salah satu dinding ruangan itu jebol. Broool...! Sesosok tubuh tinggi besar muncul dari dinding itu. Brruuus...! Jleeg...!
"Rogana...!" sentak Perawan Sinting dengan kaget.
"Rupanya langkah kalianlah yang kudengar saat aku sibuk menikmati kehangatan gadis itu!" kata Rogana dengan wajah menyeramkan dan mulut menyeringai menampakkan giginya yang runcing-runcing itu.
"Aku sengaja mencarimu, Rogana!" seru Perawan Sinting setelah mencabut pedangnya.
"Kusangka kau sudah mati di dalam kepompong batu! Ternyata kau masih hidup, Perawan Sinting!"
"Sebelum nyawamu kukirim ke neraka, aku tak akan mati lebih dulu!"
"Bagus! Dan... siapa pemuda yang bersamamu itu?!"
"Pendekar Mabuk!" sentak Perawan Sinting memperkenalkan Suto.
"Oooh... tepat sekali jika begitu! Ternyata kudapatkan satu kesempatan untuk dua pekerjaan! Pendekar Mabuk; kau terpaksa harus berhadapan denganku, karena aku telah bersekutu dengan Pangeran Cabul!"
"Apa hubungannya antara aku dengan Pangeran Cabul?!"
"O, jadi kau belum tahu kalau sedang diburu oleh Pangeran Cabul?! Kasihan sekali nasibmu, Nak! Pangeran Cabul ikut murka karena kau mengganggu kakak perempuannya yang bernama Ratu Lembah Girang! Maka ia bersumpah akan mencarimu dan memenggal kepalamu sebagai tanda kasih sayangnya terhadap sang kakak! Lalu ia bergabung denganku untuk menghancurkan kalian berdua! Dia akan mengabdi padaku jika aku berhasil membunuhmu!"
Perawan Sinting berseru, "Sebelum kau membunuh Pendekar Mabuk, kau harus membedah mayatku dulu, Manusia Badak! Hiaaat...!"
Rupanya Perawan Sinting menjadi berang mendengar Suto mau dibunuh oleh Rogana. Ia segera melesat menjejak dinding, lalu tubuhnya pun menerjang Rogana dengan kecepatan tinggi. Weees...!
Rogana menyentakkan kedua tangannya ke depan. Wuuut...! Dan tubuh gadis cantik itu bagaikan dihempaskan pusaran badai yang amat kuat. Weeut...! Brrruk...!
"Aaahk...!" Perawan Sinting membentur dinding dan jatuh terpuruk dalam keadaan keningnya berdarah.
Pendekar Mabuk tak mau tinggal diam. Ia segera menerjang dengan kecepatan jurus 'Gerak Siluman' sambil menyodokkan bumbung tuaknya. Zlaaap...! Tapi bumbung tuak itu sengaja ditahan dengan dada Rogana yang keras dan tebal itu.
Blaaar...!
Ternyata dada itu dilapisi tenaga dalam tinggi, sehingga ketika disodok bumbung tuak menimbulkan ledakan besar. Ledakan itu justru melemparkan Pendekar Mabuk dengan kuatnya hingga membentur dinding dan kepalanya pun bocor seketika. Sedangkan dada Rogana hanya berasap tipis, lalu asap itu pun lenyap. Rogana menggeram dengan penuh nafsu membunuh, ia mencabut pedang yang sejak tadi diselipkan di pinggangnya. Pedang besar itu segera ditebaskan ke arah Perawan Sinting yang sedang bergegas bangkit.
Wuuut...!
"Tidaaaaak...!" teriak Suto dengan tegang sekali. Maka ia pun melesat dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya lagi. Zlaaap...! Tiba di depan Perawan Sinting, bumbung tuaknya disangga dengan dua tangan.
Trraaang...! Blaaaar...!
Pedang Rogana menghantam bumbung tuak dan menimbulkan ledakan lagi. Kali ini tubuh Rogana yang tinggi besar itu terhempas ke belakang akibat pantulan tenaga dalamnya sendiri saat menghantamkan pedang mengenai bumbung tuak Suto.
Dalam keadaan sedang terhuyung-huyung ke belakang, tiba-tiba Rogana melihat kilatan cahaya hijau dari telapak tangan Pendekar Mabuk. Jurus 'Pecah Raga' dipergunakan oleh Suto. Claap...! Tapi sinar hijau itu dapat ditangkis dengan pedang Rogana.
Blegaar...! Atap ruangan itu mulai runtuh sebagian, terutama di sudut ruangan. Ledakan yang kali ini mengguncang hebat membuat dinding-dinding tampak retak. Rogana terlempar mundur hingga membentur dinding. Tapi masih dalam keadaan berdiri sedikit membungkuk. Rogana segera memutar pedangnya di atas kepala.
Perawan Sinting berteriak, "Pedangnya akan menjadi sembilan dan bernyawa!"
Pendekar Mabuk mendahului dengan serangannya menggunakan jurus 'Manggala'. Agaknya manusia badak yang sangat ganas itu tak bisa dilawan dengan jurus lain, karena ia mempunyai jurus-jurus yang berbahaya. Maka jurus 'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu, segera digunakan oleh Suto Sinting yang telah berlumuran darah akibat luka dikepalanya.
Satu sentakan tangan miring keluarkan cahaya emas berbentuk pisau kecil-kecil. Clap, clap, clap...! Pisau itu menghujani Rogana yang mau melemparkan pedangnya agar menjadi sembilan pedang bernyawa. Dada tebal berkulit abu-abu itu ternyata mampu ditembus sinar kuning emas secara beruntun. Zuuuurrrb...!
"Ahk...!" suara kecil keluar dari mulut Rogana dalam satu sentakan. Setelah itu, orang berwajah badak itu diam dalam keadaan mendelik, sedangkan pedangnya terlempar dengan sendirinya, menancap di salah satu dinding.
Jaaab...! Kraaaak...! Dinding itu mulai retak dan dalam getaran memanjang. Keretakan itu merayap sampai kebagian langit-langit ruangan dan lantai.
"Pedang itu keluarkan tenaga saktinya!" seru Perawan Sinting.
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, lalu sisa tuak yang di mulut disemburkan ke pedang yang menancap di dinding itu sambil lakukan lompatan cepat. Bwwrrrsss...! Laap...! Pedang itu lenyap seketika. Jurus 'Sembur Siluman' telah membuat pedang itu lenyap selama-lamanya dan kekuatan saktinya telah berhenti. Keretakan dinding pun terhenti seketika.
Perawan Sinting merasa mendapat kesempatan begitu melihat Rogana diam saja. Ia segera menerjang dengan pedang yang menyala hijau itu. Tetapi suara Suto yang berseru membuat gerakan menerjangnya itu tak jadi dilakukan.
"Tahan...!"
Perawan Sinting memandang Suto dengan nada protes.
"Tak perlu kau buang lagi tenagamu untuk melawannya!" ujar Suto. "Ia sudah tidak bernyawa!"
"Tapi dia tidak mengalami luka apa-apa dan..."
Prrrus...! Tiba-tiba Perawan Sinting terkejut melihat kulit lengan Rogana berjatuhan bagai serpihan abu.
Pendekar Mabuk berkata kepada Perawan Sinting. "Lampiaskan dendammu dengan tiupan saja!"
Mulanya Perawan Sinting heran dengan ucapan itu. Tapi ia segera mendekati Rogana dan melepaskan tiupannya. Puiih...!
Wuuursss...! Tubuh Rogana ternyata sudah menjadi abu sejak tadi. Sekali ditiup, buyarlah abu itu dan menumpuk menjadi satu onggokan. Perawan Sinting merasa puas melihat kematian Rogana, ia segera mendongak ke atas dan berkata bagai bicara pada seseorang yang tak dilihat oleh Suto.
"Guru, kematianmu telah terbalaskan. Rogana telah mati dalam melawan muridmu; Perawan Sinting, dan... dan calon kekasih muridmu ini: Suto Sinting. Damailah arwahmu di kelanggengan sana, Guru!"
Pendekar Mabuk tercengang mendengar Perawan Sinting menyebut dirinya 'kekasih'. Jantung Suto menjadi berdebar-debar setelah Perawan Sinting segera menatapnya dan memamerkan senyumannya yang lebar dan menawan sekali.
"Satu perkara lagi yang harus kita selesaikan," ujar Perawan Sinting.
"Pangeran Cabul, maksudmu?"
"Ya! Karena aku tak ingin kau diancam oleh Pangeran Cabul! Aku yang akan bertarung melawannya!"
"Hei, hei, hei..., kenapa jadi kau yang berang kepada Pangeran Cabul! Bukankah yang mau dibunuh adalah aku?!"
"Sama saja ia mau membunuh kebahagiaanku!" ketus Perawan Sinting. "Malam ini juga kita hancurkan Istana Tengkorak itu!"
Kemudian Perawan Sinting melangkah lebih dulu, sedangkan Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala sambil sunggingkan senyum kekaguman terhadap keberanian gadis itu. "Benar-benar sinting dua-duanya kalau begini," ucap Suto dalam hati.
SELESAI