Pusaka Jarum Surga

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting Episode Pusaka Jarum Surga Karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Pusaka Jarum Surga
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

KABUT masih selimuti puncak Gunung Dara. Udara di puncak itu dingin. Embun jatuh berupa butiran-butiran batu bening. Embun itu menjadi kristal-kristal es karena dinginnya udara di puncak tersebut. Seorang lelaki tua meludah ke bebatuan yang menghiasi lereng Gunung Dara.

Cuih, klotak...! Ludahnya menjadi batu karena membeku. Gila! Jika ludah saja menjadi batu karena membeku, lalu bagaimana jika lelaki tua itu buang air kecil. Jelas tidak akan mengucur seperti biasanya. Atau jika mengucur, bunyinya tidak: cuuur..., tapi akan berbunyi: klotak, klotak, klotak, klotak...! Karena air seni itu langsung menjadi batu es yang sama sekali tak sedap untuk dicicipi.

Lelaki tua berjubah abu-abu itu duduk di atas batu besar. Bukan berarti dia habis buang air besar, tapi memang batu besar itu sudah ada di tempatnya sebelum ia sampai di lereng Gunung Dara. Tanpa mempedulikan tubuhnya dikeroyok udara dingin yang menghamburkan busa-busa salju, lelaki tua berambut panjang tak rapi warna abu-abu itu memantapkan duduknya dalam keadaan bersila.

Tongkat yang tadi dibawa-bawa, kini ditancapkan di samping batu itu. Lelaki berkalung tasbih hitam itu mulai tegakkan badan dan menarik napas. Suuuut...! Tanaman di depannya ikut tertarik karena sedotan napasnya tadi. Wuuurrss...! Pluk...! Ada seekor ulat bulu masuk ke hidung lelaki tua tadi. Ulat bulu itu ikut tersedot oleh napas si tua bertubuh kurus itu. Tanpa permisi lagi, napas pun disentakkan melalui hidung.

Fuiih...! Wees, plok...!

Ulat bulu tadi terlempar seketika dan menabrak pohon, akhirnya mati tanpa ada yang mau menguburnya. Si tua bergigi ompong depan itu segera tarik napas lagi, tapi kali ini pelan-pelan, karena takut batu koral itu tersedot dan menyumbat lubang hidungnya sendiri.

"Aku tidak ingin lubang hidungku penuh batu koral. Mending kalau bisa dijual seperti batu intan, digadaikan saja tak akan laku," pikir lelaki itu.

Pikiran segera ditetapkan untuk menyatu. Tidak cabang ke mana-mana seperti pohon. Matanya yang kecil itu mulai mengatup pelan-pelan. Kedua telapak tangannya disatukan di depan dada. Lelaki tua berkumis dan berjenggot abu-abu itu mulai lakukan semadi.

Busa-busa salju yang mirip kapas tipis itu beterbangan karena hembusan angin dari barat. Sebagian busa-busa salju itu tersangkut di tubuh kakek bertelinga tinggi. Daun telinga itu tampak tinggi karena bagian atas masing-masing daun telinga tumbuh kuku yang mirip taji seekor ayam jago. Tidak panjang, tapi membuat model telinganya lain dari yang lain. Karena itulah, sejak kecil kakek berusia sekitar delapan puluh tahun itu bernama si JaluKuping.

Karena makin lama semakin banyak busa salju yang menyelimuti tubuhnya, Ki Jalu Kuping pun akhirnya menggigil. Kedua tangannya tak kuat hanya saling bertemu di depan saja.

"Kok lama-lama dingin sekali, ya?" ujarnya dalam hati. "Kalau begini caranya, lama-lama aku bisa masuk angin. Sudah tubuh kurus, umur tua, masih kena angin sedingin ini, waaah... bisa-bisa hidungku ingusan terus. Malu, ah. Tua-tua kok ingusan, nanti dikira bocah kemarin sore. Uuuuhg...! Dingin banget lho!"

Ki Jalu Kuping segera turun dari atas batu, mengambil tongkatnya dan berlari mencari gua. Begitu dapatkan sebuah gua, ia segera masuk dan tubuhnya dikibaskan dalam satu sentakan seperti anjing kehujanan.

Buuurrss...! Busa-busa salju yang menempel di tubuhnya rontok seketika. Rambutnya yang menjadi tebal karena busa salju segera ditebah-tebah sambil gelengkan kepala, hingga busa-busa itu pun rontok berjatuhan.

"Nah, bertapa di sini saja. Hangat! Hmm... gua ini sepertinya sering dipakai orang untuk bermalam atau berteduh. Banyak daun bekas makanan dan beberapa potongan kayu unggun. Tapi... ada singanya apa tidak, ya?"

Setelah Ki Jalu Kuping memeriksa gua itu dan ternyata aman-aman saja, maka ia segera memilih tempat untuk duduk bersila. Diperolehnya sebidang batu datar yang tingginya sebatas lutut. Di atas batu datar yang panjang itulah, Ki Jalu Kuping duduk bersila dan lanjutkan semadinya.

Seekor lebah terbang melayang mengitari kepala Ki Jalu Kuping. Mau tak mau Ki Jalu Kuping mengibaskan kepala agar lebah itu tidak menyengat bagian wajahnya. Lebah pun menjauh, tapi segera mendekat lagi. Ki Jalu Kuping gelengkan kepala, lebah segera menjauh kembali. Sebentar kemudian mendekat lagi, Ki Jalu Kuping gelengkan kepala mengusir sanglebah.

Karena seringnya sang lebah mendekat dan terbang mengelilingi kepala Ki Jalu Kuping, akibatnya kepala KI Jalu Kuping bergerak menggeleng ke kanan-kiri berkali- kali. Bahkan ketika lebah itu sudah terbang keluar gua, kepala Ki Jalu Kuping masih godek-godek terus mirip orang triping.

Gerakan godek-godek itu membuat seraut wajah yang mengintainya terpaksa berkerut dahi. Si pengintai yang ada di pinggiran pintu gua itu hanya bisa membatin dalam hatinya.

"Pak tua itu bertapa atau membaca doa? Dari tadi kok godek terus? Tapi anehnya gerakan kepala yang godek terus itu bisa membuat tempat di sekelilingnya menjadi bersih. Sampah dan korotan menyingkir bagai disapu olehnya. Oh, rupanya gerakan kepala yang godek-godek itu hadirkan angin kecil yang mampu menyapu tempat sekelilingnya?! Wah, sakti juga si tua godek itu."

"Siapa di luar?!" tiba-tiba Ki Jalu Kuping berseru dengan mata tetap terpejam dan kepala tetap godek- godek.

Orang yang ada di luar gua itu kaget, karena tak menyangka kalau kehadirannya diketahui oleh Ki Jalu Kuping. Orang itu menjadi bingung antara mau menjawab atau diam saja.

"Siapa di luar?!" seru Ki Jalu Kuping lagi, masih tetap memejam dan godek-godek.

Mau tak mau si pengintai di luar gua itu menyahut. "Aku, Kek!"

"Aku siapa?!"

"Orang yang kedinginan!" jawab si pengintai.

"Kalau kedinginan masuklah! Jangan di luar! Silakan duduk. Pintunya tidak dikunci kok."

Si pengintai tertawa dengan mulut dibekap tangan sendiri. "Gua begini mana bisa pakai pintu segala, Pak Tua?!"

"Bisa saja. Kalau tak percaya cobalah kau masuk, sekarang pintu gua sudah kukunci!"

Si pengintai penasaran. Lalu ia melangkah masuk ke dalam gua. Buuukh...! Brruuukkk...! Tubuh si pengintai itu terpental bagai ada kekuatan yang mendorongnya, ia mencobanya lagi melangkah masuk ke dalam gua. Namun begitu melintasi batas pintu gua, tubuhnya terlempar ke belakang lagi.

Buuuuk, bruuukkk...!

Gleduk...! Kepalanya malah kepentok batu. Mau tak mau si pengintai pun cengar-cengir kesakitan sambil mengusap-usap kepalanya yang agak benjol. "Sial! Tak ada daun pintu dan tak ada apa-apanya tapi kenapa gua itu tidak bisa dimasuki?! Coba aku masuk dengan gunakan lompatan cepatku!"

Wees...! Brruk, beekh...!

"Uuuuhh...!" si pengintai mengerang kesakitan, karena ia seperti menabrak daun pintu dari kayu jati tebal. Tubuhnya terbanting dalam keadaan terkapar. Dadanya terasa sakit, tulang pipinya sempat memar seperti habis membentur pilar. Pinggangnya seperti mau patah karena terbanting dengan keras.

"Kurang ajar! Dia benar-benar melapisi pintu gua dengan tenaga dalamnya yang berbentuk udara padat, jadi tetap seperti terbuka dan keadaannya bisa dilihat dari luar gua!" si pengintai menggerutu dalam hati.

"Bagaimana. Orang kedinginan? Bisakah kau masuk ke dalam gua jika pintunya kututup?!" seru Ki Jalu Kuping masih dengan kepala godek-godek.

"Baiklah, kuakui kau berilmu tinggi, Kek!"

"Sebenarnya tidak terlalu tinggi, cuma sedang-sedang saja. Tapi kalau disuruh memindahkan gunung... mudah saja, Nak!"

Si pengintai menggumam dalam hati sambil melangkah memasuki gua yang sudah tidak dilapisi udara padat itu. "Sombong juga kakek ini."

Si pengintai segera meminum tuak yang ada dalam bambu panjang ukuran setengah depa lebih. Melihat bambu tempat tuak yang selalu dibawa-bawa si pengintai, juga menimbang bahwa si pengintai memakai baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih lusuh, ditambah lagi mengingat si pengintai berwajah ganteng, rambutnya panjang lurus tanpa ikat kepala, maka siapa pun akan sepakat mengatakan bahwa si pengintai tersebut tak lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, murid si Gila Tuak.

Ki Jalu Kuping melihat dengan mata batin, tapi kedua matanya tetap terpejam agak menunduk sedikit dan kepalanya masih godek-godek, "Oh, kau punya tuak rupanya. Wah, enak juga kalau dingin-dingin begini minum tuak, ya?"

"Apakah kau mau, Kek?"

"Yah, kalau memang diberi, ya mau. Kalau tidak, ya cukup telan ludah saja."

Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. "Kau ini sedang semadi atau menunggu ransum datang?!"

"Apa orang kalau semadi tidak boleh makan dan minum?"

"Tentunya tidak boleh, Kek!"

"Itu kan dulu," ujarnya masih ngotot, tapi tetap terpejam dan godek-godek. "Semadi tidak makan dan tidak minum, itu kuno! Dulu aku kalau semadi juga begitu, tidak makan apa-apa. Eeeh... lama-lama kok ya lapar juga. Lapar dan haus. Maka kutetapkan kalau aku semadi harus pakai makan-minum segala. Bukankah tujuan orang semadi itu mencari kekuatan atau kesaktian. Lha kalau tidak makan tidak minum sampai berhari-hari itu namanya mencari penyakit, bukan mencari kekuatan!"

Sambil tersenyum geli, Suto berkata lagi, "Dan juga biasanya orang semadi itu tidak boleh ngobrol. Harus diam dan penuh keheningan dalam batinnya."

"Semadi kok tidak boleh ngobrol, ya keju mulutku, Nak! Dulu memang orang semadi itu harus diam, supaya pikiran, batin dan rasa memusat dalam satu tujuan. Tapi sekarang cara seperti itu sudah ketinggalan. Kuno! Dalam semadi itu kan yang penting tujuannya? Ngobrol boleh saja jalan terus, tapi tujuan yang disemadikan itu tidak boleh belok kemana-mana!"

"Kau ini memang orang aneh, Kek," kata Suto yang rasa sakitnya telah hilang akibat telah meminum tuak saktinya itu. Sebab tuak tersebut adalah tuak sakti yang dapat sembuhkan luka dan penyakit dalam waktu relatif singkat.

"Kau ini kok cerewet toh, Nak! Siapa namamu dan apa perlumu datang ke Gunung Dara ini?!" tanya Ki Jalu Kuping.

"Namaku Suto Sinting, Kek. Aku datang ke..."

"Siapa, siapa...? Suto Sinting?! Lho, kok seperti namanya Pendekar Mabuk yang kondang itu, Nak? Pendekar Mabuk yang kondang itu juga kata orang-orang, dia bernama Suto Sinting. Kalau begitu namamu itu tanpa sengaja mirip sekali dengan nama asli si Pendekar Mabuk itu. Wah, beruntung sekali kau punya nama seperti itu, Nak."

Ki Jalu Kuping masih godek-godek sambil pejamkan mata. Suto Sinting sedikit dongkol dengan kata-kata yang dianggap meremehkan dirinya. Tapi ia hanya bisa tarik napas dan berusaha membuang kedongkolannya itu.

"Ilmumu cukup tinggi juga, ya Nak," ujar Ki Jalu Kuping tanpa membuka matanya. "Jatuh terpental masih utuh. Hebat juga kau. Biasanya orang yang habis menabrak jurus 'Pintu Gledek'-ku pasti hangus. Sedangkan kau tetap utuh tanpa hangus sedikit pun. Kalau tidak punya ilmu tinggi, tidak bisa utuh itu, Nak."

"Yaaah... sebenarnya tidak terlalu tinggi. Tapi kalau disuruh menunggingkan gunung... mudah saja, Kek," kata Suto membalas kesombongan si kakek tadi.

"Oalaaa.... Mana ada gunung kok ditunggingkan. Gunungnya siapa itu?"

"Gunung yang kau pindahkan tadi, Kek!"

"Ooo... ceritanya kau membalas kesombonganku yang tadi itu, ya? Heh, heh, heh, heh. ! Boleh juga kalau mau adu ilmu denganku, Nak!"

Wuuut...! Ki Jalu Kuping tiba-tiba menerjang Suto dalam keadaan masih duduk bersila dan memejamkan mata. Tubuhnya melayang cepat menerjang Suto Sinting. Bruuus...! Untung yang diterjang sudah biasa jatuh, sehingga ketika tubuhnya terpental dan membentur dinding gua, Pendekar Mabuk bisa cepat gulingkan badan dan tak mengalami patah tulang.

"Patah tulang memang tidak, tapi gigi gerahamku jadi goyang begini?! Uuh, sakit juga tulang rahangku terkena tebasan tangannya tadi. Sialan! Jangan-jangan pak tua itu gila. Hanya ngomong begitu saja langsung main terjang?!" gerutu Suto dalam hatinya.

Ki Jalu Kuping masih mengambang di udara dalam keadaan bersila. Matanya masih terpejam dan kepalanya masih godek-godek pelan. Tangannya mengembang dengan jari-jari menguncup, membentuk jurus seperti patung teko teh panas.

"Kenapa tak bisa menahan seranganku kau, Nak? Balaslah. Jika bisa membuatku jatuh ke tanah, kuserahkan segala harta kekayaanku padamu."

"Memangnya kau punya kekayaan apa, Kek?!"

"Tuuuuh...," sambil mulutnya monyong sebentar ke arah tongkatnya, lalu kepala godek-godek lagi. "Aku punya tongkat kayu sengon."

"Uuh, tongkat seperti itu kok dipakai taruhan?! Kekayaan apa itu?!" Suto mencibir.

"Lhooo... biar jelek-jelek begitu bisa buat gebuk maling itu, Nak! Buat gebuk punggungmu pun bisa." Baru saja selesai berkata begitu, tangan Ki Jalu Kuping menyentak ke samping. Tongkat itu bagai tersedot saat tangan tersebut ditarik mundur. Suuuut...! Taaab...! Tongkat tergenggam di tangan, tubuh yang melayang bersila itu segera melesat menerjang Suto Sinting. Wuuuut...!

Buuuhk...!

"Huaahhw...!" teriak Suto karena punggungnya terkena gebukan tongkat itu. "Tua-tua edan!" maki Suto dengan jengkel, sementara sang kakek tertawa terkekeh-kekeh dalam keadaan telah berdiri di atas batu dan membuka matanya dan hentikan godek-godeknya. Pendekar Mabuk bangkit dengan menggeliat karena tulang punggungnya terasa remuk dan sukar dipakai untuk berdiri cepat.

"Sekarang kau percaya kalau tongkat ini termasuk harta kekayaan yang berharga, Nak?"

"Masa bodoh!" sentak Suto dengan sewot, tapi justru ditertawakan oleh sang kakek.

"Baru begitu saja sudah tak bisa bangun. Huhh..., percuma punya badan tegap dan kekar begitu, Nak. Mendingan aku, biar tua, kurus, ompong, tapi masih kelihatan gagah!"

"Hanya orang-orang bodoh yang mengatakan kau gagah, Kek!"

"Jadi kau tidak menganggapku gagah? Kalau begitu, terimalah jurus 'Tongkat Penggempur Bisul' ini. Hiaaaah...!"

"Iya, iya, iya...!" teriak Suto Sinting sambil menyilangkan tangan takut kena gebuk lagi. Gerakan Ki Jalu Kuping terhenti. Tampak lega berseri.

"Kau takut, Nak? Heh, heh, heh... padahal aku tadi hanya menggertakmu. Baru digertak saja sudah takut, apalagi kalau benar-benar diserang. Wah, ternyata nyalimu tidak lebih besar dari sebutir upil, Nak! Sebaiknya kau jadi perawan saja, jangan jadi pemuda berbadan kekar begitu!" ejek Ki Jalu Kuping.

Hati pendekar tampan mulai terasa disundut puntung rokok. Tapi ia selalu mencoba menahan panas hatinya agar tidak berkobar dan tetap tenang di hadapan tokoh tua berilmu konyol itu. "Aku ke sini bukan cari musuh, Kek!"

"O, ya? Jadi kau ke sini mau cari apa?!"

* * *

DUA

DENGAN suara tegas Pendekar Mabuk menjawab pertanyaan Ki Jalu Kuping. "Aku mencari pemuda bernama Badra Sanjaya!"

"Hahh...?!" Ki Jalu Kuping terperanjat dan lebarkan matanya yang tanpa bulu itu.

"Kenapa kau terkejut, Kek?"

Dengan geraham menggegat, pandangan mata menjadi dingin, Ki Jalu Kuping perdengarkan suaranya sambil memandang ke arah luar gua. "Badra Sanjaya itu muridku!"

"Muridmu?! Ooh...? Kebetulan sekali kalau begitu. Tak kusangka aku akan bertemu dengan gurunya Badra Sanjaya," sambil Suto Sinting sunggingkan senyum dan berwajah ceria, ia berkata lagi dengan badan ditegakkan. "Kalau begitu kau tahu di mana Badra Sanjaya berada, Kek!"

Ki Jalu Kuping berpaling menatap Suto. "Mau apa kau?!"

"Menangkapnya!"

"Mengapa kau mau menangkap muridku?!"

"Karena aku disewa untuk menangkap Badra Sanjaya!"

"Siapa yang menyewamu?!"

"Ratu Dekap Rindu, penguasa Bukit Kemesraan!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas dan jelas.

"Keparat si Dekap Rindu!" geram Ki Jalu Kuping, ia berjalan dekati pintu masuk gua, dan menatap hamburan busa salju yang masih beterbangan dihembus angin barat itu. Setelah diam sesaat di sana, Ki Jalu Kuping menatap Suto lagi dan berseru dari tempatnya berdiri. "Atas tuduhan apa Badra Sanjaya mau ditangkap Ratu Dekap Rindu?!"

"Membawa lari pusaka 'Jarum Surga' yang menjadi kekuatan utama seluruh ilmu sang Ratu!"

"Hmmm...!" Ki Jalu Kuping mencibir, wajah tegangnya mengendur. Mulutnya seperti mengunyah permen karet, padahal tak ada yang dikunyah. Suto yakin tak ada yang dimakan oleh kakek jubah abu-abu itu, sehingga Suto heran melihat mulut itu bergerak-gerak mengunyah sesuatu.

"Apa yang kau kunyah itu, Kek?"

"Aku mengunyah napasku sendiri!" jawabnya dengan nada tidak setegang tadi. Ia kelihatan santai kembali, seakan tak pernah mengalami ketegangan sedikitpun. "Nak, pulanglah ke Bukit Kemesraan dan katakan kepada Ratu Dekap Rindu, bahwa Badra Sanjaya bukan orang buronan dan tidak pantas ditangkapi. Muridku tidak mencuri atau membawa lari pusaka itu. Bahkan dia tidak tahu apa-apa tentang pusaka; 'Jarum Surga'itu."

"Tidak bisa, Kek. Aku malu kalau kembali tanpa membawa Badra Sanjaya!"

"Turutilah saranku ini, Nak."

"Tidak bisa, Kek. Saranmu hanya bikin malu diriku! Aku ini disewa oleh Ratu Dekap Rindu. Disewa untuk menangkap Badra Sanjaya. Kok pulang tanpa membawa Badra Sanjaya? Malu kan?"

"Ooo, ya...," Ki Jalu Kuping manggut-manggut. "Kalau begitu, sekarang nyawamu akan kusewa juga!"

"Lho...?!" Suto kaget.

"Berapa kau pasang tarif untuk nyawa sewaanmu itu?!"

"Mana bisa nyawa disewakan?! Aku tidak menyewakan nyawaku!" tegasnya.

"Jika kau disewa oleh Ratu Dekap Rindu untuk menangkap muridku, berarti yang disewa adalah nyawamu! Karena menangkap Badra Sanjaya sama saja berhadapan denganku. Berhadapan denganku sama saja bertarung denganku. Bertarung denganku sama saja menjual nyawamu. Menjual nyawa sama saja mencari kematian. Kematian sama saja akhir dari segala kegiatan. Kegiatan sama saja menyewakan nyawa. Lho, kok ke situ-situ lagi, ya?" Ki Jalu Kuping bingung sendiri dengan ucapannya yang bertele-tele dan berbelit-belit itu.

Pendekar Mabuk menanggapinya dengan tenang, santai, sesekali minum tuak, sesekali hanya mengusap-usap bumbung tuaknya.

"Singkatnya saja"

"Nah, sebaiknya singkat saja kalau bicara!" sahut Suto.

"Aku tak rela kalau muridku kau anggap pencuri!"

"Pencuri atau bukan yang jelas harus ditangkap dulu dan diadili oleh Sang Ratu!"

"Tidak bisa!" jawab Ki Jalu Kuping sambil mencibir bangga.

"Harus bisa!"

"Kalau kau mau tangkap Badra Sanjaya, terima dulu jurus 'Penyambut Tamu' ini! Heaaah...!" Ki Jalu Kuping tiba-tiba sodokkan tongkatnya ke depan. Wuuut...! Dari kepala tongkat keluar sinar lurus warna kuning kecil sebesar lidi. Claaap...!

Suto Sinting segera berlutut dan menghadang sinar kuning itu dengan bumbung tuaknya. Desss! Sinar itu membalik arah dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Ki Jalu Kuping kaget melihat sinarnya berbalik menyerangnya, ia segera lompat ke atas batu di sampingnya. Wesss...!

Blaaarrr...! Sinar kuning itu menghantam batu yang bersandar pada dinding dekat pintu. Batu itu langsung meledak, pecah menjadi bongkahan-bongkahan sebesar genggaman.

Bruuull...! Brrrrruk...! Pecahan batu itu menumpuk, menutup pintu gua. "Konyol! Lihat, gara-gara kau menangkis jurusku jadinya pintu gua itu tertutup. Kita mau lewat mana kalau begini, hah?!" bentak Ki Jalu Kuping. "Mestinya sinar kuningku tadi jangan kau tangkis, Tolol!"

"Kau yang tolol!" bantah Suto. "Mestinya sinar kuningmu diarahkan ke luar gua, jangan diarahkan kepadaku!"

"Iya, ya...?!" Ki Jalu Kuping menggumam sendiri. "Sekarang bagaimana caranya keluar dari gua kalau jalanannya tertutup batu begitu?!"

"Begini caranya...!" Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan secara tiba-tiba. Weess...! Ia menerjang Ki Jalu Kuping dengan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Ki Jalu Kuping tak menyangka akan diterjang Suto. Maka kakek tua itu pun segera terpental begitu lengannya ditabrak kaki Suto.

Bukh, wees...! Brrooolll...!

Ki Jalu Kuping terpental sampai menjebol tumpukan batu, sehingga pintu gua pun jadi terbuka kembali, ia jatuh terkapar di tanah berlapis busa salju.

Pendekar Mabuk menyusulnya dengan lompatan cepatnya yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman' itu. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berdiri dalam jarak tujuh langkah dari Ki Jalu Kuping.

Orang tua itu sedang mengerang sambil, pegangi pinggangnya yang belakang. "Ooohh... tulang pinggangku rasanya patah jadi empat potong! Tendanganmu setan juga, Nak! Tak kusangka kau punya tenaga sebesar itu!"

"Belum seberapa, Kek. Itu masih tenagaku jika menggeliat pada saat bangun tidur," Suto sengaja memancing emosi Ki Jalu Kuping, ia ingin tundukkan tokoh tua itu agar mau memberi tahu di mana muridnya berada. "Kalau kau ingin tenaga sehabis nimba air, seginilah besarnya."

Suto Sinting sentilkan jarinya beberapa kali. Sentilan jari yang dinamakan jurus "Jari Guntur' itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, seperti tendangan kuda jantan yang ditolak bercumbu oleh pasangannya.

Tes, tes, tes...!

Srrrroooot...! Buueeekh.!

"Heekh...! Ya, ampuuunn...!"

Ki Jalu Kuping terdorong mundur dengan keras dalam keadaan tetap duduk di tanah, ia merasa seperti diseruduk seekor banteng yang sedang mengamuk. Tubuh yang terseret mundur itu berhenti setelah punggung Ki Jalu Kuping membentur sebongkah batu besar, ia terpekik dengan suara ngeden dan mata mendelik.

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, memandang kalem ke arah Ki Jalu Kuping, ia semakin dongkol setelah menyadari begitu berdiri ternyata celananya bagian belakang robek seperti habis dicakar-cakar anjing galak.

"Bocah ngepet!" serunya dari kejauhan. Weess...! Ki Jalu Kuping berkelebat seperti setan lewat.

Pandangan mata Suto Sinting tak bisa menangkap gerakan itu, karena busa-busa salju bertaburan di depan matanya. Tahu-tahu ia merasa diterjang seekor kuda nil terbang. Bruuusss...! Yang ada hanya gelap dan gelap. Pendekar Mabuk merasa bagai sedang dikerumuni puluhan kunang-kunang. Pertengahan dadanya, di atas ulu hati, terasa sakit dan berdenyut-denyut.

"Jangan-jangan dadaku bolong?" pikirnya saat pandangan matanya mulai terang sedikit-sedikit.

Begitu mata dapat memandang dengan jelas, ternyata wajah Ki Jalu Kuping ada di atasnya. Rupanya ia telah terkapar dengan bumbung tuak terlepas dari tangannya. Ki Jalu Kuping berdiri di sampingnya dan dengan sedikit membungkuk mendekatkan wajah memandanginya. Bibir keriputnya sunggingkan senyum, gusi depannya yang tanpa gigi itu bagaikan lubang belut yang bergerak melebar karena nyengir.

"Tumbang, ya Nak?" sapa Ki Jalu Kuping bernada ramah.

Pendekar Mabuk dongkol sekali, ia segera sentakkan kaki untuk lakukan loncatan berdiri. Tapi ternyata sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi. Tenaganya seakan terpental entah ke mana akibat terjangan secepat tadi.

"Maaf, ya Nak... aku sekadar kasih balasan kecil-kecilan saja," kata Ki Jalu Kuping. "Terus terang saja, tapi jangan bilang tetanggamu, ya... bahwa kau telah terkena jurus nakalku yang kunamakan jurus 'Petir Jinak'. Cepatnya seperti petir tapi gunanya buat menjinakkan kekuatan lawan. Tak ada yang punya kecuali aku. Badra Sanjaya juga belum punya, sebab kalau dia punya jurus 'Petir Jinak', maka dia akan menerjangku seenaknya kapan saja dia mau. Heh, heh, heh, heh...!"

Suto masih agak beruntung, karena bibirnya masih bisa bergerak, lidahnya juga bisa bergerak, walau semuanya serba lemah. Katup suara di tenggorokannya masih bisa bergetar, walau terlalu pelan, sehingga Suto masih bicara keluarkan suara dengan lirih. "Kau... keparat"

"Iya, memang kalau sedang begini aku ini keparat bagimu. Tapi tadi waktu kau buang seenaknya dengan jurus sentilanmu itu, kaulah yang keparat. Kurasa itu tak perlu kita permasalahkan, toh kita sama-sama keparat!" kata Ki Jalu Kuping seenaknya saja kalau bicara.

"Pulihkan... aku...!"

"Apa ?!" Ki Jalu Kuping dekatkan telinganya.

"Pulihkan... aku..." ulang Suto pelan sekali.

"Bagaimana? Agak keras sedikit bicaramu. Maklum, aku sudah tua, jadi sudah mulai budek. Coba, bilang apa kau tadi?"

"Puliiiiihkan... akuuu..., Budek."

"Wah, maaf. Aku tidak dengar kau bicara apa, Nak. Yang kudengar kau mengatakan aku budek, itu saja. Jadi sebaiknya kau harus kubawa ke pondokku, di Lereng Kunyuk, tak jauh dari sini! Atau kau kugelindingkan dari sini. Pasti akan sampai di gubukku sana!"

"Peer... peeer... seee... taaaan."

"Apa? Plesetan?! Jangan main plesetan nanti kau jatuh, lehermu patah, naaah... repot! Disambung pakai tongkatku ini terlalu panjang, kan?"

Ki Jalu Kuping menggeser tubuh Suto, Kedua kaki Suto dijadikan satu dan diikat dengan akar kering yang kenyal. Kedua tangan Pendekar Mabuk juga disatukan dengan tubuh dan diikat. Suto seperti memeluk dirinya sendiri.

"Nah, kalau begini... mudah digelindingkan. Tinggal kuikuti dari belakang kau sudah sampai di pondokku sendiri."

"Maaatiii... aku."

"O, tidak! Tidak akan mati. Kujamin nyawamu masih ada, karena aku ke sini memang sebenarnya ingin bertapa, mencari jalan keluar bagi kesulitan muridku; si Badra Sanjaya itu. Tahu-tahu kau datang, jadi kau kuanggap jalan keluar untuk kesulitan muridku itu. Makanya aku tidak akan membunuhmu. Nyawamu tetap ada, tapi akan kusewa sampai urusan ini selesai."

Ki Jalu Kuping menghadapkan tubuh Suto agar bisa mudah digelindingkan dengan sentakan kakinya. "Nak, siap-siaplah menggelinding dan jangan sungkan-sungkan kalau mau menjerit. Di gunung ini, orang menjerit tidak dikenai biaya apa pun."

"Kejam...," ucap Suto lirih.

"Kejam memang kejam, tapi tak sekejam ibu tiri lho, Nak!" kata Ki Jalu Kuping dengan mulut meruncing seperti orang mendongeng. "Ibu tiri itu kalau marah ngrebus anaknya. Aku kalau marah ngrebus singkong. Kalau tak ada singkong, ngrebus handuk pun jadilah."

"Bumbung... bumbung tuakku."

"O, ya...! Untung kau mengingatkan. Walau tak seberapa berharga bumbung tuak itu, tapi kalau memang benda itu mainanmu sejak kecil dan menjadi kenangan selama hidupmu, memang sebaiknya ikut kubawa ke pondok, biar rohmu nanti tenang dan betah tinggal di pondokku."

Ki Jalu Kuping mengambil bumbung tuak. Kesempatan perginya Ki Jalu Kuping dipergunakan Suto untuk mencoba melawan kelemahannya. Tapi ternyata ia tetap tak mempunyai tenaga apa-apa. Pertengahan dadanya masih terasa sakit berdenyut-denyut, ia tak tahu pertengahan dadanya tadi terkena ujung bawah tongkat si Jalu Kuping dan saat itulah seluruh kekuatan dan tenaganya dilumpuhkan oleh Ki Jalu Kuping.

Bumbung tuak ditenteng oleh Ki Jalu Kuping. Suto melihatnya dan berpikir, "Kalau aku bisa minum tuakku itu, pasti tenagaku bisa pulih kembali." Maka ia pun memohon dengan suaranya yang lirih, "Beri... aku... minum"

"Ah, nanti saja! Kau ini sebentar-sebentar minum, sebentar-sebentar, minum... nanti pipis dijalan lho. Bersiaplah menggelinding, ya Nak!"

Ki Jalu Kuping meletakkan satu kakinya di tubuh Suto. Satu sentakan kaki dapat membuat Suto menggelinding di tanah miring itu. Tapi tiba-tiba Ki Jalu Kuping menarik kakinya itu dan tak jadi menggelindingkan tubuh Suto. "Begini saja, Nak...," katanya sambil sedikit membungkuk, memandang ke wajah Suto. "Kalau kau kugelindingkan dari sini, jatuhnya akan tepat di atas atap pondokku. Wah, pondokku bisa rusak. Kacaulah tidurku nanti. Maka kau tak jadi kugelindingkan. Jangan kecewa, ya? Betul, jangan kecewa, ya? Kau kuterbangkan saja, jadi aku sendiri tidak perlu menanggung beban dengan memanggulmu!"

Zeeeng! Tubuh murid Gila Tuak yang terikat mirip kayu bongkokan itu terangkat sendiri begitu tangan Ki Jalu Kuping menghempas naik dengan gerakan pelan bagai tak bertenaga. Tubuh itu mengambang di udara, kemudian Ki Jalu Kuping melepaskan tiupan kecil.

"Fuiiih...!"

Maka tubuh Suto pun bergerak terbang menuruni lereng gunung tersebut. Ki Jalu Kuping tertawa kegirangan, dan mengikutinya dengan berkelebat zigzag, kadang mendahului Suto, kadang ada di belakang Suto.

"Kalau ada benang, kuberi benang kau dan kalau ada layangan lain kuadu kau dengan layangan orang lain! Heh, heh, heh...!"

Sementara itu, Pendekar Mabuk melayang cepat dengan arah sembarangan, sehingga sesekali kakinya menyambar batang pohon, atau kepalanya menerabas semak dan dedaunan, ia terbentur ke sana-sini dan Ki Jalu Kuping hanya menertawakannya.

* * *

TIGA

PONDOK itu terbuat dari belahan kayu gelondong. Menjadi dinding rapat karena ditambak dengan cairan seperti getah yang juga merupakan bahan perekat kayu paling ampuh. Pondok Ki Jalu Kuping termasuk besar, mirip sebuah tempat perguruan, karena mempunyai pelataran lebar, dan mempunyai pagar seperti benteng kayu yang tampak kokoh.

Dalam salah satu ruangan lebar, yang mirip barak para prajurit, terdapat dua tempat tidur bersebelahan dari batuan sejenis marmer lebar. Di atas ranjang marmer itu diletakkan kain pelapis cukup tebal sehingga jika dipakai tidur akan nyaman. Di atas salah satu tempat tidur itu terbujur sesosok tubuh muda berparas ganteng. Badannya tegap, gagah, kekar, berkulit kuning langsat. Pemuda itu bukan Pendekar Mabuk. Pemuda berikat kepala merah dengan hiasan benang emas itu adalah murid si Jalu Kuping, yaitu BadraSanjaya.

Badra Sanjaya putra seorang patih di sebuah kerajaan. Ia mengembara mencari ilmu dan berguru kepada Ki Jalu Kuping. Lama-lama ia betah tinggal bersama Ki Jalu Kuping, karena ia termasuk murid kesayangan dan sering dimanjakan oleh Ki Jalu Kuping. Murid Ki Jalu Kuping sebenarnya ada tiga. Tapi kali ini yang sedang jadi bahan sorotan adalah si Badra Sanjaya.

Pemuda itu mengenakan baju dan celana hijau terang. Ikat pinggangnya dari kain merah, ia sering membawa pedang dari besi putih anti karat. Pedang itu sesekali ditenteng, sesekali diselipkan di pinggang. Wajah tampannya yang sedikit di bawah ketampanan Suto itu mempunyai kumis tipis. Kumis itulah yang membuat para wanita sering tergoda dengan senyuman dan penampilan Badra Sanjaya. Badannya yang kekar memang lebih besar dari badan Suto, tapi kelihatannya ototnya lebih kuat Suto.

Ketika Ki Jalu Kuping meletakkan Suto di tempat tidur sebelahnya, ternyata ukuran tinggi tubuhnya sama dengan tinggi tubuh Pendekar Mabuk. Karena itulah, Ki Jalu Kuping berkata kepada Suto yang masih seperti pasien jompo itu.

"Ternyata dugaanku benar. Kau cocok dengannya. Cocok sekali! Kemunculanmu di gua itu, membuatku punya gagasan ini."

Walaupun dalam keadaan lemas dan tak bertenaga, tapi otak Suto masih bisa digunakan untuk berpikir dan mengingat sesuatu. Tapi pendekar tampan itu tidak tahu apa maksud kata-kata Ki Jalu Kuping tadi. Sebenarnya ia ingin banyak bertanya, tapi suaranya yang pelan dan tak bisa berkata dengan cepat membuatnya malas banyak bertanya.

Mata Suto berkedip pelan-pelan saat beradu pandang dengan Ki Jalu Kuping. Pak tua yang konyol tapi berilmu hebat itu selalu cengar-cengir karena hatinya girang telah mendapatkan cara untuk menolong muridnya.

"Badra Sanjaya adalah orang yang terbaring di sebelahmu ini," ujar Ki Jalu Kuping sambil menunjuk tempat tidur sebelahnya. Suto Sinting hanya bisa melirik, tak bisa menengok agar memandang jelas. Maka, si Jalu Kuping membantu menengokkan wajah Suto dengan memiringkan kepala pendekar muda itu. Kreeek...!

"Ouuuh...!" Suto mengeluh lirih, memejamkan mata kuat-kuat.

"Ooh, maaf, maaf... terlalu keras puntiran kepalamu tadi, ya Nak? Maaf, maksudku agar kau bisa melihat muridku yang satu ini dengan jelas. Sebab dia adalah orang yang akan kau tangkap, tapi kau sendiri nantinya yang akan menjadi dia!"

Bingung juga Suto mencerna kata-kata itu, akhirnya dibiarkan si tua berhidung panjang mirip betet itu bicara semaunya. Apa yang bisa diingat, dicatat dalam ingatan, apa yang mudah dimengerti, dicoba untuk dipahami. Sisanya dibiarkan berhamburan terbawa sang bayu.

Angin di Lereng Kunyuk itu tidak sekencang di daerah puncak tadi. Udaranya memang dingin, tapi tidak sedingin di atas tadi. Pendekar Mabuk juga mencatat tentang udara tersebut dalam benaknya.

"Nak, kau tahu siapa si Dekap Rindu itu?"

"Seorang... ratu...," jawab Suto lirih.

"Iya, memang dia seorang ratu. Tapi ratu yang bagaimana?"

"Ratu... perempuan... cantik"

"Yang namanya ratu ya perempuan!" sentak Ki Jalu Kuping rada jengkel. "Tapi kau mungkin tidak tahu kalau Ratu Dekap Rindu itu adalah tokoh tua aliran hitam yang punya ilmu awet muda dan awet cantik."

"Diia... dia... sahabat... dari... temanku yang bernama... Yundawuni"

"Yundawuni...?! Oh, aku belum sempat kenalan. Kalau kau ketemu dia lagi, sampaikan salam kenalku kepada Yundawuni," ujar Ki Jalu Kuping seenaknya. "Aku tak tahu apakah Yundawuni itu dari aliran hitam atau putih atau belang-belang seperti kuda zebra. Yang jelas, Ratu Dekap Rindu adalah murid dari Nyai Lawang Neraka yang pernah kubunuh, tapi gagal"

"Pernah dibunuh tapi kok gagal, ya sama saja belum terbunuh!" gerutu Suto dalam hatinya.

"Beberapa waktu lalu, kudengar Nyai Lawang Neraka sudah tewas di tangan Tanuyasa."

"Ak... aku kenal... dengan... Eyang Tanuyasa, alias... si Omong... Cekak...."

Suto memang kenal dengan Tanuyasa, alias si Omong Cekak, ia pernah melihat Tanuyasa mengajarkan ilmunya kepada anak muda lugu dan polos yang bernama Temon. Peristiwa itu ada kaitannya dengan Yundawuni alias Dewi Kesepian yang nyaris menjadi penyebar wabah kaum lelaki, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dewi Kesepian).

"Aku tahu sepak terjang si Dekap Rindu, karena dia adalah cucunya Nyai Tudung Pandan," sambung Ki Jalu Kuping. "Mendiang Tudung Pandan itu adalah kakakku. Jadi aku agak sungkan terhadap Ratu Dekap Rindu. Bagaimanapun juga ia juga termasuk cucuku. Tapi aku tak suka padanya. Sejak kakakku meninggal, tingkah laku Dekap Rindu berubah jungkir balik, mengikuti jejak gurunya dan menjadi tokoh aliran sesat. Dia memang cantik, tapi buat apa cantik-cantik kalau jalannya sesat, bisa-bisa suaminya dibunuh dijadikan tumbal ilmunya."

"Ilmu... apa...?"

"Ya ilmu apa saja! Dekap Rindu memang tampak kalem, bijaksana, suka menolong, tapi semua itu hanya kedok. Tahu kedok?"

Suto mengangguk kecil. "Binatang Yang jalannya... lompat-lompat "

"Itu kodok!" sentak Ki Jalu Kuping sambil bersungut-sungut. "Kedok itu topeng. Jadi semua sikap manisnya si Dekap Rindu hanya sebagai topeng penutup kebiadabannya. Diam-diam ia banyak mempelajari ilmu hitam dan menyerang para tokoh tua seangkatan denganku yang berilmu putih. Paham?"

Pendekar Mabuk anggukkan kepala pelan dengan mata berkedip.

"Beberapa waktu yang lalu, muridku ini pergi ke Bukit Kemesraan, ia sengaja kusuruh ke sana, eh... kuutus. Kalau guru menyuruh murid itu pantasnya dengan kata 'mengutus', ya?"

"Terserah...," jawab Suto datar.

"Badra Sanjaya kuutus ke Bukit Kemesraan untuk mencari kakak seperguruannya, yaitu muridku juga yang bernama Jantra Loya. Sebab, kudengar dari beberapa orang sahabatku, katanya Jantra Loya ditangkap dan dijadikan tawanan di Bukit Kemesraan. Maka kuutus si Badra Sanjaya mencari kebenaran kabar tersebut. Setelah dua purnama, Badra Sanjaya pulang dalam keadaan aneh."

"Jadi... monyet?"

"Bukan!" Ki Jalu Kuping semakin serius. "Badra Sanjaya pulang ke sini dalam keadaan linglung, lupa siapa diriku dan siapa dirinya, dan sering memanggil-manggil Dekap Rindu dengan mesra." Ki Jalu Kuping pandangi muridnya dengan wajah iba. "Kasihan dia," gumamnya pelan. Lalu memandang Suto Sinting. "Ternyata dia terkena jurus racun 'Ranjang Goyang' dari si Dekap Rindu. Hanya dia yang punya jurus racun 'Ranjang Goyang', dan racun itu membuat Badra Sanjaya akhirnya pingsan, hampir tujuh hari tak sadarkan diri. Aku tak bisa melawan racun 'Ranjang Goyang' itu. Sudah kucoba berkali-kali, malah kepalaku sendiri yang goyang-goyang karena kewalahan."

"Suruh... dia... minum... tuakku."

Ki Jalu Kuping bersungut-sungut, "Orang pingsan kok disuruh minum tuak! Edan kau ini!"

Suto ingin jelaskan kekuatan sakti dari tuaknya itu. Tapi ia ragu-ragu dan mempertimbangkan dalam hatinya. "Kalau kuberi tahu bahwa tuakku adalah tuak sakti, bisa untuk melenyapkan racun itu, nanti kalau aku minta minum tidak diberinya. Kakek ini agaknya tidak mau melepaskan keadaanku. Hmmm... repot juga kalau begini?!"

"Nak, jurus beracun yang namanya 'Ranjang Goyang' itu dapat melumerkan seluruh urat di tubuh orang yang terkena jurus tersebut. Jurus itu juga dapat meloloskan sukma seseorang dari raganya. Sukma itu kembali kepada Ratu Dekap Rindu dan di sana sukma itu dipenjarakan dalam sebuah tabung bening berbentuk seperti poci tempat minuman teh. Jadi, kehebatan jurus beracun itu selain dapat untuk memikat hati korbannya, juga dapat memenjarakan sukma si korban. Kalau sampai seluruh urat si korban menjadi lumer, maka sukma itu tak akan bisa masuk ke raganya kembali. Cara membebaskannya adalah dengan menghancurkan tabung bening yang dipakai memenjarakan sukma itu. Jika tabung itu pecah, maka sukma itu akan kembali ke raganya. Berarti, muridku dapat pulih kembali, raganya tak akan menjadi penghuni liang kubur."

"Aneh... sekali... jurus... itu!"

"Tentu saja kau anggap aneh, karena pengetahuanmu cekak!" ejek Ki Jalu Kuping. "Oleh sebab itu, aku ingin menyewa nyawamu, Nak. Kupakai rohmu untuk masuk ke dalam raga muridku, lalu kau harus kembali ke Bukit Kemesraan dan mencari penjara sukma muridku itu!"

Pendekar Mabuk ingin menolak dan memberi penjelasan tentang kemampuannya mencari penjara sukma itu tanpa harus menggunakan raga Badra Sanjaya. Tetapi makin lama ia merasa makin lemah dan sulit keluarkan kata. Akibatnya ia hanya bisa pasrah kepada rencana Ki Jalu Kuping itu.

"Sekarang juga, akan kupindahkan rohmu ke dalam raga Badra Sanjaya. Bersiaplah, Nak... karena hal ini tentunya jarang bagimu dan agak aneh rasanya," tutur Ki Jalu Kuping sambil tersenyum-senyum kegirangan.

"Akan kugunakan ilmuku yang bernama ilmu 'Sewaka Sukma' yang juga jarang dimiliki orang lain! Tenang saja, tidak akan terasa sakit, Nak. Hanya geli sedikit, seperti digigit perawan genit! Heh, heh, heh...!"

Ki Jalu Kuping segera duduk di lantai di antara kedua tempat tidur itu. Ia duduk bersila dengan mata terpejam. Beberapa kejap kemudian tubuhnya terangkat dan melayang di udara dalam keadaan tetap bersila, berpejam mata, dan bersedekap.

Dalam hatinya, Suto mencoba untuk berontak dan tak mau menyewakan nyawanya kepada Ki Jalu Kuping. Tapi ternyata rasa lemas semakin membuatnya tak mampu bergerak sedikit pun, walau untuk gerakkan satu jari tangan tetap tak bisa. Bahkan untuk mengedipkan mata sudah tak mampu lagi.

Kedua tangan Ki Jalu Kuping segera mengembang. Telapak tangannya mengarah ke bawah, tubuhnya makin bergerak naik dalam keadaan tetap bersila dan berpejam mata. Lalu beberapa saat kemudian, kedua telapak tangan itu pancarkan sinar. Dua sinar ke tubuh Badra Sanjaya dan Suto Sinting. Sinar yang memancar ke tubuh Suto berwarna putih, kuning lebar, membungkus sekujur tubuh Suto. Sinar yang memancar ke tubuh Badra Sanjaya berwarna merah, juga membungkus sekujur tubuh Badra Sanjaya.

Kira-kira selama sepuluh helaan napas kedua sinar itu masih memancar. Pada hitungan kesebelas, sinar itu berubah secara perlahan-lahan. Sinar merah yang memancar ke tubuh Badra Sanjaya berubah menjadi kuning, dan sinar kuning yang menyelimuti sekujur tubuh Suto Sinting berubah menjadi merah. Perubahan sinar itu membuat kedua tubuh berpijar-pijar.

Blaab, blaab, blaab, blaab, blaab...!

Zuuuurrb...! Kedua sinar pun padam secara bersamaan. Tubuh tua yang mengambang di udara itu bergerak turun sampai menyentuh lantai kembali. Kejap berikutnya Ki Jalu Kuping membuka matanya dan tersenyum sambil menghembuskan napas lega. Ia pun segera bangkit. Memandang tubuh Suto dan tubuh muridnya bergantian, kemudian di depan wajah Badra Sanjaya yang masih terpejam itu, Ki Jalu Kuping mengadu telapak tangannya bagai orang bertepuk tangan.

Plaaak...! Badra Sanjaya tersentak kaget dan bangun dengan menggeragap setelah terkena siraman cahaya biru dari hasil tepukan tangan tadi.

"Nah, sudah berhasil sekarang...," ujar Ki Jalu Kuping sambil cengar-cengir.

Pendekar Mabuk merasa berdiri turun dari tempat tidur itu. Tapi ia segera kaget bukan kepalang tanggung begitu melihat sesosok tubuh terbujur lemas di atas tempat tidur yang satunya lagi itu. Dan tubuh yang terbujur lemas itu tak lain adalah tubuhnya sendiri. Ia bertambah kaget lagi setelah mengetahui bahwa ternyata raganya telah berubah. Suto menjadi takut dan tegang sekali melihat raga yang ada padanya adalah raga si Badra Sanjaya.

"Apa yang kau lakukan padaku. Kakek Edan?!" sentak Suto Sinting kepada Ki Jalu Kuping yang tersenyum-senyum itu.

"Eh, kau tak bisa marah padaku, tak boleh menyerangku atau membangkang perintahku. Semakin kau memusuhiku dan membangkang perintahku, maka sukmamu akan semakin sulit kembali ke ragamu yang asli itu!"

"Keparat kauuu...!" geram Suto Sinting sambil hendak lepaskan pukulan yang mematikan. Tapi Ki Jalu Kuping tetap tenang walau cepat-cepat memberi isyarat dengan tangannya agar Suto hentikan niatnya itu.

"Kalau aku mati kau sama sekali tak akan mendapatkan ragamu kembali! Ingat itu!"

Suto Sinting menjadi ragu dalam kegusarannya. "Kembalikan ragaku! Kembalikan sukmaku ke ragaku yang asli itu!" sentak Pendekar Mabuk dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.

"Sukmamu akan kukembalikan ke ragamu kalau kau sudah jalankan tugasmu, Nak!" ujar Ki Jalu Kuping dengan santai sekali. Bahkan ia menambahkan kata, "Aku berkata yang sebenarnya, kalau kau melawanku dan membangkang perintahku sukmamu akan semakin sulit masuk ke ragamu kembali. Ilmu 'Sewaka Sukma' adalah kekuatan roh sejati yang mampu menguasai guru sejati orang lain. Jika roh sejatiku kau lawan, maka guru sejatimu akan terhukum dan itu berarti kesulitan besar bagimu untuk kembali ke ragamu yang asli!"

Pendekar Mabuk hanya terengah-engah menahan kemarahannya, ia segera jauhi si tua berjubah abu-abu itu. Di sana ia diam termenung sambil sesekali pandangi raganya yang terasa janggal itu.

"Kakek tua edan!" makinya dalam hati. "Oh, mengapa nasibku bisa seburuk ini?! Ragaku ditukar dengan raga si Badra Sanjaya. Padahal aku tak suka punya kulit kuning langsat begini. Seperti kulit banci! Setan kurap!"

Ki Jalu Kuping mendekatinya. "Pergilah ke Bukit Kemesraan sekarang juga. Cari tabung penjara sukma si Badra Sanjaya! Hancurkan tabung itu secepatnya, tak perlu kau bawa kemari dulu. Hancurkan di sana juga, dan jika Ratu Dekap Rindu merintangimu, hancurkan pula perempuan sesat itu, Nak!"

Mau tak mau Suto Sinting harus menjalankan tugas itu. Namun hatinya menyimpan kemarahan yang menyesakkan pernapasan. Ki Jalu Kuping dipandanginya dengan tajam, seakan punya niat untuk membalas tindakan yang merugikan hidupnya itu. Tentu saja Suto merasa dirugikan hidupnya. Sekalipun ia bisa berdiri tegak dan tenaganya seperti pulih kembali, tapi ia tak suka dengan perawakan Badra Sanjaya. Apalagi rambut ikal dan kumis tipis itu, sungguh memuakkan bagi Suto Sinting.

"Ingat, namamu sekarang adalah Badra Sanjaya, murid Ki Jalu Kuping!" sambil Ki Jalu Kuping menepuk dadanya sendiri. "Kau bukan lagi Suto Sinting, dan tugasmu bukan lagi menangkap Badra Sanjaya, melainkan menghancurkan Ratu Dekap Rindu serta menghancurkan penjara sukma muridku!"

"Persetan dengan penjelasanmu!" geram Suto Sinting sambil melangkah hampiri bumbung tuaknya, karena ia melihat bumbung tuaknya tergeletak di atas sebuah rak, tempat menaruh barang-barang dapur dan peralatan lainnya. Sedangkan Ki Jalu Kuping hanya terkekeh-kekeh kegirangan, sampai berputar menari-nari karena merasa akan berhasil menyelamatkan muridnya itu.

"O, ya.... Hoi, Nak...!" serunya sambil hampiri Suto, "Jangan lupa, cari orang yang bernama Jantra Loya! Jika ia terpenjara juga, bebaskan pula dia, Nak!"

Pendekar Mabuk tak hiraukan perintah itu. Ia menenggak tuaknya. Badannya menjadi lebih segar lagi. Tapi tetap saja ia memakai badannya si Badra Sanjaya itu.

"Pribadimu dan ilmumu tetap utuh. Hanya ragamu saja yang berbeda dari biasanya, Nak!" ujar Ki Jalu Kuping saat Suto ingin tinggalkan tempat itu.

* * *

EMPAT

RUPANYA memang tidak ada yang berubah pada diri Suto kecuali raganya. Pendekar Mabuk masih bisa berlari cepat menyerupai kecepatan cahaya. Zlaaap...! Berarti jurus 'Gerak Siluman' masih dimilikinya. Beberapa jurus lain dicoba, dan ternyata tetap ada padanya.

"Tapi risi sekali pakai raga seperti ini!" gerutu Suto dalam hati. "Kumis ini lho, ah...! Kalau ada beling kepingin kukerok saja rasanya. Aku tidak suka pakai kumis! Bikin gatal saja!"

Sambil menuju ke Bukit Kemesraan, Pendekar Mabuk dalam sosok Badra Sanjaya itu masih menenteng-nenteng bumbung tuak. Ia sempat berpikir tentang kehebatan ilmu si Jalu Kuping itu. "Kuakui dia berilmu tinggi. Menakjubkan sekali yang namanya ilmu 'Sewaka Sukma'-nya itu. Rasa-rasanya aku ingin mempelajari ilmu tersebut. Juga jurus 'Petir Jinak' yang mengenaiku. Dahsyat juga jurus itu. Tapi... kurasa Ki Jalu Kuping tak akan mau menurunkan ilmunya kepadaku."

Beruntung saja si Ki Jalu Kuping adalah tokoh aliran putih. Hal itu membuat Suto sedikit lega dan merasa tidak menyimpang dari jalur langkahnya sebagai pendekar beraliran putih. Makin lama merenungi sifat dan perilaku Ki Jalu Kuping, akhirnya Suto kehilangan rasa dendam dan murkanya kepada tokoh berhidung bengkok itu. Yang ada hanya rasa jengkel dan gemas. Tapi bukan merupakan sebuah kebencian yang dalam.

"Kuakui, Ki Jalu Kuping itu cukup berani. Mestinya ia tahu siapa diriku, sebab aku yakin dia bisa melihat noda merah di keningku yang merupakan tanda bahwa diriku adalah Manggala Yudha, panglimanya Ibu Ratu Kartika Wangi. Apakah dia tidak kenal dengan Ibu Ratu Kartika Wangi? Berarti dia akan semakin tidak tahu bahwa aku adalah calon menantunya Ibu Ratu Kartika Wangi dan akan menikah dengan putrinya yang bernama Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu?!" Langkah demi langkah berlanjut terus. Renungan demi renungan menyertai langkah tersebut.

"Tapi benarkah keterangan Ki Jalu Kuping tentang Ratu Dekap Rindu itu? Benarkah sang Ratu adalah tokoh beraliran hitam? Mengapa Yundawuni memintaku untuk datang dan berkenalan dengan Ratu Dekap Rindu, hingga perempuan itu berani menyewaku mahal untuk menangkap Badra Sanjaya? Dan... dan benarkah Badra Sanjaya tidak membawa lari pusaka'Jarum Surga' yang selalu dibutuhkan oleh sang Ratu?! Ah, sayang sekali aku tidak menanyakan kehebatan pusaka 'Jarum Surga' itu, sehingga aku tidak akan tahu jika ada orang menggunakan pusaka tersebut. Aku hanya diberi tahu bahwa pusaka itu mirip sebuah tombak tapi pendek."

Sampai di kaki Gunung Dara, Pendekar Mabuk hentikan langkah sebentar, ia menenggak tuaknya, dan mencoba memandang alam sekeliling untuk mencari sebuah desa. Ia ingin mengisi bumbung tuaknya di sebuah kedai yang ada di desa terdekat.

"Apakah Yundawuni juga tidak tahu bahwa Ratu Dekap Rindu itu adalah tokoh aliran hitam? Atau dia sebenarnya tahu tapi berlagak tidak tahu?! Oh, kalau benar begitu berarti dia menjebloskan diriku hingga terlibat urusan yang bersifat memihak golongan hitam?!"

Suto ingat pertemuannya dengan Yundawuni beberapa hari yang lalu. Setelah ia berhasil sembuhkan Yundawuni dari bencana racun 'Asmara Kubur', iapun segera berpisah dengan perempuan cantik yang menamakan dirinya Dewi Kesepian itu. Pendekar Mabuk segera membantu si Rupa Setan alias Anjardani dalam suatu perkara lain.

Beberapa waktu kemudian, ia berpisah dengan Anjardani karena si Rupa Setan yang ternyata berwajah cantik itu harus menemui seorang sahabatnya di sebuah pulau. Pendekar Mabuk bermaksud memberi kabar kepada gurunya; si Gila Tuak, bahwa ia telah berhasil menolong Yundawuni. Tetapi ia segera bertemu dengan Yundawuni sendiri.

"Kebetulan kita bertemu di sini, Suto," kata Yundawuni. "Aku ingin meminta bantuanmu sekali ini demi seorang sahabat."

"Soal racun juga?"

"Bukan, tapi tentang pusaka yang dibawa lari oleh seseorang yang bernama Badra Sanjaya. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya kau ikut aku ke Bukit Kemesraan dan mendapat keterangan lebih lengkap dari sahabatku itu."

Sebenarnya Suto ingin menolak, tapi Yundawuni membujuk terus dengan wajah sedih, dengan alasan ingin membalas jasa baik temannya itu yang pernah menolongnya beberapa saat yang lalu. Rasa tak tega membuat Suto Sinting akhirnya berangkat ke Bukit Kemesraan bersama Yundawuni. Di sana ia bertemu dengan pengawal kepercayaan Ratu Dekap Rindu yang bernama Laras Wulung.

"Sayang sekali Nyai Ratu sedang di kuil pamujan," kata Laras Wulung. "Biasanya jika beliau sudah masuk kuil pamujan, bisa dua-tiga hari baru keluar, dan selama di sana tak bisa diganggu gugat siapa pun."

"Kurasa cukup kau saja yang menjelaskan segalanya kepada sahabatku, Suto Sinting ini," usul Yundawuni.

Laras Wulung perempuan berwajah cantik yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Namun ia sudah cukup banyak mendapatkan ilmu dari Ratu Dekap Rindu dan menjadi pengawal tertinggi ilmunya di antara para pengawal istana itu. Ia bukan saja cantik, tapi juga punya daya tarik pada tubuhnya yang elok, meliuk sekal dengan dada tak terlalu montok namun menonjol keras bagai menantang adu kemesraan setiap saat.

Matanya yang indah berbulu lentik itu menatap Suto Sinting sejak tadi. Dari tatapan matanya, Yundawuni tahu bahwa Laras Wulung terpesona terhadap ketampanan Suto. Yundawuni kurang setuju jika sampai Laras Wulung berhasil menjerat hati Pendekar Mabuk, oleh sebab itu ia segera mendesak Laras Wulung untuk segera memberi keterangan tentang pusaka 'Jarum Surga' yang dibawa lari oleh Badra Sanjaya itu.

"Padahal pihak kami sudah sebegitu baik kepada Badra Sanjaya, sudah kami anggap orang kami sendiri, tapi ternyata Badra Sanjaya tega berbuat selicik itu kepada kami, terutama kepada Nyai Ratu...," ujar Laras Wulung yang mengenakan pakaian serba biru kehitam-hitaman, dan kain penutup bagian bawahnya yang berbelahan panjang itu berwarna merah tua.

Setelah mendapat keterangan dari Laras Wulung, Yundawuni mendesak Suto agar segera tinggalkan istana, karena Yundawuni semakin khawatir melihat senyum Suto selalu mekar ditujukan kepada Laras Wulung. Ia tak suka melihat Suto cengar-cengir kepada perempuan lain di depannya. Lebih baik ia tak melihat jika Suto memang ingin bersikap begitu kepada perempuan manapun.

"Sebenarnya yang menjadi sahabatmu Nyai Ratu atau..."

"Laras Wulung!" sahut Yundawuni kala itu.

"Ooo..," Suto manggut-manggut.

"Karena aku tak suka kalau dia ingin menaklukkan hatimu. Bisa putus persahabatanku dengannya."

Pendekar Mabuk hanya bisa tertawa pelan, sementara Yundawuni yang cantik dan bersuara serak-serak mesum itu tampak cemberut kesal.

"Kau tadi mendengar sendiri ucapan Laras Wulung, bukan?"

"Yang mana?"

"Walau tanpa Nyai Ratu, tapi kau sudah resmi disewa oleh pihak Bukit Kemesraan sebagai pemburu bayaran terhadap Badra Sanjaya yang diperkirakan lari ke Gunung Dara."

"Yang jelas, jika sebuah pusaka jatuh di tangan sesat akan berakibat buruk bagi kita semua!"

Ingatan Suto saat pertemuan dengan Yundawuni itu terputus, dan langkahnya pun terpaksa berhenti mendadak. Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget ketika tiba-tiba dari atas pohon di depannya meluncur turun sesosok bayangan berwarna kuning.

Wuuuut, jleg...!

"Oh, seorang gadis?!" sentak batin Suto. "Wah, sepertinya ia bermaksud tak beres padaku. Pandangan matanya yang bundar indah itu memancarkan sinar permusuhan. Hmmm... tangannya juga sudah memegang gagang pedang. Gawat juga gadis ini! Apa maunya tahu-tahu turun dari atas pohon. Apa mau pamer kalau dia bisa melompat seperti seekor harimau bergincu?"

Gadis itu tak sunggingkan senyum sedikit pun pada Suto. Pakaiannya yang serba kuning itu dibiarkan sangat kontras dengan warna pedangnya yang sepertinya terbuat dari perunggu, hingga sarung pedangnya pun terbuat dari perunggu berwarna kehitam-hitaman. Gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu mempunyai rambut pendek, tapi mengenakan ikat kepala dari tali merah. Sisanya terjulur turun dan jatuh melewati pundak, di dada kiri.

Seperti biasanya, Suto sunggingkan senyum ramah yang memancarkan daya pikat tinggi kepada orang yang bersikap memusuhinya. Tapi kali ini senyum Suto agaknya tak begitu dipedulikan oleh gadis hidung bangir dan berwajah mungil itu.

"Saatnya menebus dosa telah tiba! Bersiaplah!" geram gadis itu, lalu mencabut pedangnya. Sreet...!

"Eh, hmmm... maaf, mengapa kau memusuhiku, Nona? Siapa kau sebenarnya?"

"Berlagak picak kau, hah?! Tak perlu berpura-pura didepanku! Aku tak akan punya waktu untuk luluh dalam rayuanmu lagi, Keparat! Hiaaat...!"

Weeess...! Pedang itu menebas cepat, hampir saja membelah pundak kanan Suto Sinting jika ia tidak segera berkelit ke kiri dengan gerakan limbung, seperti orang mabuk mau jatuh. Kemudian Suto memutar tubuh hindari serangan yang datang dari tendangan kaki gadis itu.

Wuuuk...! Weess...! Suto melompat agak jauh dengan gerakan jungkir balik di udara, kemudian berdiri tegak di bawah sebuah pohon yang berjarak lima langkah dari gadis berbibir seperti kuncup mawar itu.

"Kumohon jelaskan dulu apa persoalannya hingga kau menyerangku, Nona Cantik!"

"Tak ada waktu lagi bagi seorang pengkhianat sepertimu, Setan! Hiaaaat...!" Gadis itu memutar tubuhnya. Wees...! Ternyata ia melemparkan senjata rahasia berupa logam putih berkilauan yang berbentuk bintang segi empat.

Zliing...! Juuurb...!

Kalau saja Pendekar Mabuk tidak bergerak cepat ke kanan, maka senjata itu pasti akan kenai tengah dahinya. Untung ia berkelit ke kanan dan senjata itu akhirnya menancap pada batang pohon di belakangnya.

Tapi gadis itu segera menyerang Suto lagi dengan pedangnya yang dihujamkan satu kali ke arah dada Suto. Hujaman pedang itu dilakukan sambil lakukan lompatan cepat. Wuuus...! Dan murid si Gila Tuak itu segera menangkisnya dengan bumbung tuak. Traaang...! Bunyi benturan pedang dengan bumbung seperti bunyi benturan pedang dengan baja. Tangan Suto segera menghadang pukulan telapak tangan si gadis dengan mengadu telapak tangannya juga.

Plaaak, blaaar...!

Gila! Si gadis terpental enam langkah ke belakang dan jatuh terbanting akibat ledakan yang timbul dari adu telapak tangan tadi. Rupanya si gadis punya tenaga dalam cukup besar dan disalurkan melalui telapak tangannya. Sementara Suto Sinting secara refleks keluarkan tenaga dalamnya juga ketika telapak tangannya harus menahan pukulan lawan.

Gadis itu terengah-engah, wajahnya menjadi pucat dan ia memegangi dadanya yang terasa sakit akibat gelombang ledakan tadi. Rupanya gelombang ledakan itu menghantam dadanya dan membuat pernapasannya sesak, seluruh permukaan dadanya bagai terbakar api.

"Kasihan dia...," gumam Pendekar Mabuk. "Disuruh menjelaskan persoalannya malah menyerang, akibatnya ya begitu itu!" gumam Suto Sinting dalam hatinya. "Hentikan tindakanmu yang gegabah ini, Nona. Aku merasa tidak punya persoalan denganmu, kuharap kita jangan saling bermusuhan!"

Gadis itu bangkit dengan wajah berangnya. "Meninggalkan diriku dalam keadaan telah kau nodai, kau anggap bukan persoalan?!"

"Lho...?!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget mendengar tuduhan itu. "Ketemu saja baru kali ini kok langsung menuduh telah menodainya?! Jangan-jangan gadis ini gila turunan?!"

"Kau memang jahanam busuk, Badra!" geram si gadis.

Akhirnya Suto Sinting terbengong dengan hati memendam rasa dongkol-dongkol geli. "Ooo... rupanya dia melihat sosokku adalah sosok Badra Sanjaya, maka dia menganggap diriku adalah si Badra Sanjaya! Pantas dia menyerangku dengan ganas. Wah, tapi bagaimana harus menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah Suto Sinting, bukan Badra Sanjaya. Pasti dia tak akan percaya kalau aku bukan Badra Sanjaya."

Terdengar suara gadis itu berkata, "Kau telah menyakiti hatiku, Badra! Tidakkah kau tahu, bahwa Sriti Kuning tak akan berhenti mengejar orang yang telah menyakiti hatinya sebelum orang itu masuk ke liang kubur?!" seraya ia menuding dirinya sendiri.

Suto jadi tahu bahwa gadis itu bernama Sriti Kuning. Suto masih bingung menjelaskan siapa dirinya, sehingga ia tak tahu harus bersikap bagaimana kepada Sriti Kuning. Membantah telah menodai Sriti Kuning hanya akan memperuncing permusuhan dan memperbesar kebencian si gadis.

"Kau ke manakan pedangmu, Badra?! Ambillah dan kita bertarung untuk tentukan siapa yang mati di antara kita berdua!"

"Hmmm... hmmm... kuharap tak ada yang mati di antara kita berdua," ujar Suto dengan kikuk.

"Harus ada!" tegas Sriti Kuning. "Aku lebih baik mati daripada melihatmu bermesraan dengan perempuan jahanam itu!"

"Siapa yang kau maksud dengan perempuan jahanam?"

"Siapa lagi kalau bukan si Sunting Sari keparat itu!"

Pendekar Mabuk terperanjat lagi walau hanya sekejap. Nama Sunting Sari bukan nama asing baginya, ia mengenal Sunting Sari sebagai orang Partai Janda Liar, yang sekarang menjadi ketua partai tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Asmara Janda Liar).

"Oh, rupanya Badra Sanjaya punya hubungan asmara dengan Sunting Sari?! Hmmm... kalau begitu, daripada aku mengaku bukan Badra Sanjaya nanti akan jadi bertambah memperuncing persoalan, lebih baik kuatasi saja amarah gadis ini!" pikir Suto Sinting.

Gadis itu maju beberapa langkah dengan pedang siap digunakan untuk membunuh Suto Sinting. Tetapi sang Pendekar Mabuk bersikap kalem dan tak menunjukkan niat melawan kemarahan Sriti Kuning itu.

"Seenaknya saja kau pergi dariku setelah kau hisap habis maduku, lalu kau ingin berpindah ke pelukan Sunting Sari?! Hmmm...! Jadikan dulu aku sebagai bangkai baru kau boleh bercinta sepuas hatimu dengan Sunting Sari!"

"Sriti Kuning!" sapa Suto dengan nada lembut. "Kau terlalu cemburu dan cemburuanmu itu termasuk cemburu buta. Sebenarnya aku tak ada hubungan apa-apa dengan Sunting Sari!"

"Dusta!" bentak Sriti Kuning membuat Suto yang kalem dan tenang itu jadi terlonjak kaget, lalu segera buang muka untuk sembunyikan tawa geli atas kekagetannya tadi.

"Kulihat dengan mataku sendiri, kau berciuman dengannya di tepi sungai, di balik batu yang kau anggap dapat untuk sembunyikan kebusukanmu itu, Badra!"

Suto sengaja perlebar senyum dan tertawa pelan, ia maju dua langkah, akhirnya saling berhadapan dalam jarak satu langkah. "Sriti Kuning, kau tak tahu siasatku rupanya. Bukankah kau pun tahu bahwa Sunting Sari itu orang Partai Janda Liar? Sedangkan aku punya urusan dengan ketua partai itu yang bernama Selimut Senja alias si Janda Liar itu sendiri. Urusanku adalah urusan pusaka, dan aku menyiasati Sunting Sari agar mau mencuri pusaka panah emas itu. Tetapi..."

"Apakah kau belum mendengar kabar bahwa Selimut Senja telah tewas di tangan Pendekar Mabuk, hah?!" potong Sriti Kuning dalam bentakan yang lantang.

"Justru itulah, maka aku menyesal sekali telah berpura-pura jatuh cinta pada Sunting Sari. Setelah dia kuajak bicara tentang pusakanya Selimut Senja, dia mengatakan bahwa Selimut Senja telah tewas di tangan Pendekar Mabuk, dan pusaka panah emas itu telah dikembalikan kepada pemilik sebenarnya, yaitu Begawan Parang Giri!"

Tentu saja Suto Sinting dapat menjelaskan tentang hal itu, karena memang ia pernah terlibat persoalan panah emas itu dan dibantu oleh Sunting Sari, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bencana Selaput Iblis).

Akibat penjelasan tentang pusaka yang pernah didengar oleh Sriti Kuning itu, maka gadis tersebut akhirnya diam tertegun dengan wajah masih cemberut dan mata memandang tajam, tapi Suto tahu gadis itu dalam kebimbangan bersikap.

"Maka setelah kutahu Selimut Senja sudah tewas, untuk apa aku masih mendekati Sunting Sari? Sudah sepantasnya kalau sampai saat aku berdiri di depanmu ini, Sunting Sari sudah kulupakan. Tak ada seujung rambut pun wajah Sunting Sari yang tertinggal dalam benakku, Sriti Kuning."

Gadis itu masih diam membisu dengan mata pancarkan keraguan.

"Tapi jika kau anggap hal itu menyakiti hatimu, aku minta maaf padamu, Sriti Kuning. Jika kau belum puas, silakan penggal kepalaku sebagai hukumannya dan sebagai tanda bahwa aku tidak mencintai terhadap Sunting Sari!" Pendekar Mabuk segera berlutut di depan Sriti Kuning, mengulurkan lehernya seakan siap dipenggal. Tapi kedua tangannya memegangi bumbung tuak, buat persiapan kalau-kalau Sriti Kuning benar-benar mau memenggalnya, ia sudah siap lakukan tangkisan dengan bambu tempat tuak itu.

"Penggallah aku kalau kau masih menyangka aku meninggalkan dirimu, Sriti Kuning!"

Sang gadis masih diam, sekarang wajahnya bukan saja cemberut tapi mempunyai rona duka yang timbul dari keharuan hatinya. Matanya pandangi Suto yang dianggap Badra Sanjaya itu. "Mengapa kau tidak katakan hal itu sebelumnya padaku?!"

"Aku tak berani mengatakannya, karena aku takut menyakiti hatimu! Sementara itu, aku sendiri terdesak tugas dari guruku untuk mengambil panah emas itu," kata Suto dengan penuh waspada. "Sriti, lakukan keinginanmu membunuhku. Penggal kepalaku biar kau puas dan percaya betul bahwa aku masih mencintaimu."

"Seetaaan...!" teriaknya.

Suto sudah hampir angkat bumbung tuaknya untuk menangkis pedang Sriti Kuning. Tapi ternyata teriakan Sriti Kuning itu adalah teriakan membuang penyesalan dalam hatinya, ia berlari ke pohon samping dan menangis di sana dengan genggaman pedang melemah.

"Uuhf...! Untung tak benar-benar dipenggal," gumam Suto dalam hati. Lalu, ia segera hampiri gadis itu. "Sriti, pandanglah aku! Pandanglah kobaran api cintaku lewat kedua bola mataku ini. Kau akan melihatnya dengan lebih jelas lagi, Sriti!"

"Badra...!" Sriti Kuning hamburkan tangis sambil memeluk Badra Sanjaya palsu itu. "Maafkan aku, Badra...! Aku tidak mungkin tega membunuhmu, karena aku tak ingin kehilangan dirimu, Badra!"

"Aku pun tak ingin kehilangan dirimu, Sriti! Kau adalah mahkotaku, harapan damai di masa depanku, Sriti Kuning."

"Oooh... Badra ," pelukan itu semakin erat. Rupanya gadis itu benar-benar merindukan Badra Sanjaya, sehingga sambil masih menitikkan air mata, ia menciumi Suto yang dianggap Badra Sanjaya itu.

"Lumayan dapat rezeki tiban...," gumam Suto dalam hati kegirangan, ia bahkan membalas ciuman Sriti Kuning dengan sebuah kecupan lembut di bibir gadis itu. Cuuup...!

Tapi rupanya gadis itu membalas kecupan itu dengan lumatan bibir yang mendebar-debarkan hati Suto Sinting. Untuk menjaga jangan sampai membakar gairah, Suto bermaksud melepaskan kecupan bibir itu. Tapi Sriti Kuning makin mempererat pelukan dan melumat bibir itu dengan lebih ganas lagi. Gadis itu seperti singa kehausan di padang pasir yang segera menemukan telaga berair bening.

"Ooh, Badra...," keluhnya di sela napas yang memburu, ia menciumi leher Suto Sinting dengan pedang dilepaskan begitu saja dan tangannya merayap ke mana-mana. Tangan itu mengusap dan meremas apa pun yang dapat diremas. Dan hal itu telah membuat gairah Suto terbakar berkobar-kobar.

"Wah, gawat kalau begini...," gumam Suto dalam hati.

"Badra, aku rindu... aku rindu cumbuanmu, Badra. Oooh... ambillah, ambillah ini, Badra..."

Sriti Kuning tak malu-malu lagi melebarkan belahan bajunya. Breeet! Terlepaslah baju itu, ternyata tak ada pelapis lain di balik baju tersebut. Maka dua bukit yang sekal menantang itu tampak jelas di mata Suto.

"Badra, lekas ambillah... sudah lama aku tak merasakan pagutan bibirmu, Badra..."

Pendekar Mabuk hanya berkata dalam hatinya, "Yaaaah... daripada kena angin sia-sia, santap sajalah apa adanya"

"Aaaauh...!" Sriti Kuning memekik ketika Suto menyambar salah satu gumpalan dada itu dengan lahapnya. Ia seperti bayi yang kehausan, dan Sriti Kuning agaknya sangat menyukai tindakan itu.

"Ooh, Badra... kau lebih hebat dari biasanya. Kau lebih pandai membuatku melayang-layang, oouuh... aku tak tahan, Badra...," rengek Sriti Kuning. Kemudian ia menarik ikat pinggang Suto. Terlepaslah baju hijau itu, terlepas pula segalanya. Suto meremas lembut rambut kepala Sriti Kuning, dan remasan itu membuat Sriti Kuning merasakan gairahnya semakin dicambuk oleh keindahan.

"Badra... lakukan sekarang, lakukanlah sekarang, Badra...!" Sriti Kuning telah siap. Cawan anggur kehangatan menunggu tamu datang meneguknya tuntas. Tapi sang tamu ragu-ragu untuk meraih cawan anggur itu.

"Haruskah kulakukan?!" pikir Suto Sinting. "Haruskah kuberikan apa yang diharapkan Sriti Kuning ini? Aku adalah Suto, tapi ragaku adalah Badra Sanjaya. Jika kuberikan kehangatanku kepadanya, apakah berarti aku menodai cinta suciku kepada Dyah Sariningrum? Jika sampai kuberikan, siapa yang berbuat sebenarnya? Suto atau Badra Sanjaya?!"

"Badra, kita tak punya banyak waktu. Aku harus segera kembali ke padepokan, karena Guru ingin bertemu denganku!"

"Ak... aku juga harus segera menemui seseorang, karena Guru mengutusku menyelesaikan masalah secepatnya."

"Oh, Badra... jangan berdiri saja di situ. Peluklah aku, Badra"

Suto segera merendah, tapi berdiri lagi dengan gelisah.

"Ayolah, Badra... jangan siksa rinduku ini! Lekaslah, Sayang...," rengek Sriti Kuning tampak tak sabar sekali.

Suto benar-benar bingung tentukan langkah; maju atau mundur? Atau...maju-mundur-maju-mundur?!

* * *

LIMA

SEBELUM menyeberangi sungai yang merupakan perbatasan wilayah Bukit Kemesraan, langkah Pendekar Mabuk terhenti karena ulahnya sendiri. Suara ledakan di sebelah utara membuatnya hentikan langkah. Hati pun berdebar sekejap sambil berucap, "Ada pertarungan...!"

Pendekar Mabuk paling hobi ngintip pertarungan. Terlepas apakah nantinya ia terlibat atau tidak, tapi sebuah pertarungan merupakan ladang pendidikan ilmu tambahan baginya. Dengan memperhatikan jurus-jurus yang dipakai oleh pihak yang bertarung, Pendekar Mabuk akan dapat mengantisipasi seandainya ia bertemu dengan lawan yang menggunakan jurus seperti yang dilihatnya itu.

Dari ketinggian sebatang pohon beringin liar, Pendekar Mabuk mengintai pertarungan yang terjadi di sebidang tanah datar itu. Pepohonan yang tumbuh di tempat tersebut berjarak renggang, sehingga memberi peluang lebih bebas lagi bagi pihak yang terlibat pertarungan.

"Oh, rupanya si wajah dingin itu yang lakukan pertarungan?!" ujar Suto membatin sambil pandangi lelaki berwajah dingin yang mengenakan jubah merah.

Suto kenal betul dengan lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun yang berambut putih panjang meriap tanpa ikat kepala itu. Sudah beberapa kali Suto temukan lelaki berbadan agak gemuk itu dalam sebuah pertarungan. Suto selalu ikut campur karena demi selamatkan lawan si lelaki bersenjata cambuk merah itu karena tak rela melihat lelaki kejam itu hancurkan lawannya.

Lelaki itu adalah Pangkar Soma, murid mendiang Tengkuk Cadas yang punya jurus berbahaya bernama jurus 'Hujan Petaka' itu. Pendekar Mabuk pernah melihat beberapa korban jurus 'Hujan Petaka' yang rata-rata mati dalam keadaan menjadi bubur busuk. Hujan darah yang dapat didatangkan oleh kekuatan Pangkar Soma itu mengandung racun yang membusukkan tulang dalam waktu singkat.

Jika seseorang tersiram hujan merah kiriman Pangkar Soma, maka tulang dalam raga orang tersebut akan cepat menjadi busuk, lalu mati dalam keadaan menjijikkan, kecuali jika orang itu menggunakan ilmu lilin yang antiair, seperti jurus 'Balsam Tengkorak' yang dimiliki oleh si Kapas Mayat dan pernah digunakan pada saat bertarung melawan Pangkar Soma, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Gadis Tanpa Raga).

"Orang ini memang berbahaya sekali!" pikir Suto. "Demi memperoleh apa yang diinginkan ia tak akan pernah peduli dengan orang lain yang menjadi korban tak bersalah dari jurus-jurus mautnya itu! Dan lagi, ooooh...?!"

Suto Sinting terkejut, seperti baru menyadari ada sesuatu yang lebih penting mendapat perhatian darinya tapi hampir saja dilalaikan. Pandangan mata Suto pun tertuju ke arah lawan si Pangkar Soma yang tadi terpuruk di bawah pohon karena terpental oleh gelombang ledakan adu kekuatan tenaga dalam.

Ternyata lawan si Pangkar Soma adalah seorang gadis cantik berambut pendek bagian depan, tapi bagian belakangnya panjang sepunggung. Gadis itu berjubah biru tanpa lengan, pakaian dalamnya biru muda tipis tembus pandang, sehingga dadanya yang montok sekal itu tampak membayang di mata setiap lelaki yang berhadapan dengannya.

"Tenda Biru...?!" gumam Suto Sinting menyebut nama gadis yang pernah diselamatkan dari jurus 'Sabda Sirna'-nya mendiang Nyai Ronggeng Iblis itu.

Tenda Biru itulah yang dulu disebut juga sebagai Gadis Tanpa Raga. Jika tanpa bantuan Suto, mungkin ia tetap tanpa raga dan tak bisa memamerkan keindahan tubuhnya yang sexy sekali itu.

"Kematian Nyai Ronggeng Iblis harus kau tebus dengan nyawamu, Tenda Biru! Gara-gara ulahmu itulah, Nyai Ronggeng Iblis akhirnya tewas dan ilmu yang kumiliki tak bisa menyatu dengan ilmunya, sehingga aku batal menjadi orang terkuat di rimba persilatan ini! Sebelum tubuhmu hancur lebur, tak puas aku hidup di dunia ini!" seru Pangkar Soma.

"Rupanya si Pangkar Soma mendendam kepada Tenda Biru karena gadis itu dianggap sebagai biang kematian Nyai Ronggeng Iblis!" pikir Suto Sinting yang telah mengetahui perihal penyatuan ilmu Pangkar Soma dengan ilmunya Nyai Ronggeng Iblis, yang dapat menjadikan satu kekuatan maha sakti dan sukar dikalahkan itu.

"Sekarang terimalah kematianmu yang akan penuh siksaan ini, Tenda Biru!" seru Pangkar Soma sambil mencabut cambuk pusakanya dari pinggang.

"Gawat! Dia pasti akan pergunakan jurus 'Cambuk Iblis'-nya yang berbahaya itu?!" gumam Suto Sinting dengan tegang. Maka sebelum cambuk itu dilecutkan, Suto Sinting segera berkelebat menerjang Pangkar Soma dari samping kanan. Jurus 'Gerak Siluman' digunakan, sehingga kecepatan gerak yang menyamai kecepatan cahaya itu tidak bisa dihindari oleh Pangkar Soma. Zlaaaap...!

Bruuuusss...!

"Aaauh...! Bangsaaat...!" teriak Pangkar Soma sambil terpental tunggang langgang hingga membentur sebatang pohon dengan kerasnya. Duuurr...! Pohon itu bergetar hebat, daun-daunnya berguguran dan menimbuni tubuh Pangkar Soma yang terpuruk di bawah pohon itu.

Tenda Biru kaget dan kerutkan dahi sambil menahan rasa sakit di dalam dadanya, ia pandangi pemuda yang datang membantunya dalam keadaan kekuatannya banyak berkurang akibat adu tenaga dalam tadi.

Sementara itu, Suto Sinting tak pedulikan keadaan Tenda Biru yang merasa terheran-heran. Ia lebih memperhatikan cambuk si Pangkar Soma yang gagal disambarnya tadi. Cambuk itu masih ada dalam genggaman Pangkar Soma, dan kini Pangkar Soma telah bangkit kembali dengan menggeram penuh nafsu untuk membunuh.

"Jahanam kau...!" Pangkar Soma menuding Suto. "Rupanya kau sudah berani ikut campur urusanku, Badra Sanjaya!"

"Aku bukan Badra Sanjaya!" seru Suto Sinting. Tapi sebelum ia lanjutkan ucapannya, Pangkar Soma telah lepaskan murkanya sambil berseru keras-keras.

"Kau pikir aku telah buta! Panggil gurumu: si Jalu Kuping! Kuhancurkan sekalian dia seperti dirimu saat ini! Heeeaaah...!"

Ctaarrr...! Cambuk merah itu dilecutkan ke arah kepala Suto Sinting yang memakai raganya Badra Sanjaya itu. Lecutan cambuk mengeluarkan sinar-sinar merah seperti jarum yang menerjang kepala Suto.

Zuurrp... ! Pendekar Mabuk segera kibaskan bumbung tuaknya memutar kepala. Wuuut...! Satu kibasan membuat bumbung tuak itu menghantam sinar-sinar merah seperti jarum.

Craaaps...! Blegaaar...!

Pendekar Mabuk terlempar ke atas cukup tinggi akibat gelombang ledakan itu. Ia jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Hidungnya langsung berdarah dan kaki kirinya terkilir. Sedangkan si Pangkar Soma masih tegar di tempatnya, ia hanya tersentak mundur satu langkah pada saat terjadi ledakan dahsyat tadi. Kini ia melepas lecutan cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.

"Modar kau, Jahanaaam...! Hiaaah...!" Ctaarrr...!

"Uuuukh...!" Suto Sinting mengejang dengan wajah menyeringai kesakitan. Cambuk itu memercikkan cahaya merah lebar dan menghantam pinggangnya. Luka koyak bagai terkena sabetan samurai tampak memerah panjang di pinggang Pendekar Mabuk.

"Oouh...! Gila! Luka ini panas sekali. Tubuhku terasa sedang terpotong pelan-pelan dan, oh... benar! Luka ini makin memanjang!" keluh Suto dalam hati.

Melihat keadaan si penolongnya dalam bahaya, Tenda Biru segera memaksakan diri dengan mengerahkan tenaga yang tersisa. Satu lompatan cepat dilakukan oleh Tenda Biru sambil mengarahkan pedangnya ke punggung Pangkar Soma yang ingin melecutkan cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.

"Hiaaaat...!" Tenda Biru serukan teriakan panjang sebagai pelampiasan kemarahannya. Namun justru teriakan panjang itu telah membuat Pangkar Soma berbalik arah dan mengetahui bahaya sedang mengancamnya.

"Perempuan jalang kau! Heaahhh...!" Cambuk itu dilecutkan dalam gerakan seperti seekor ular. Slap, slap, slap, taaar...!

"Aaaakh...!" Tenda Biru terlempar bagai kapas diterjang angin. Jurus cambuk yang digunakan Pangkar Soma kali ini dapat sebarkan kekuatan badai dalam sekilas. Kekuatan badai itulah yang melemparkan Tenda Biru dalam keadaan lebih parah lagi.

"Haaaahh...?!" Tenda Biru terbelalak lebar-lebar setelah menyadari keadaannya jauh terduduk tanpa selembar benang pun. Wajah pucat itu menjadi merah menahan rasa sakit dan malu. Ia bergegas bangkit dan larikan diri ke balik pohonan sambil mendekap tubuhnya yang kehilangan seluruh penutupnya, ia mendekap dirinya, menggapit satu tangannya dan memeluk dadanya sendiri dengan jantung berdetak-detak menyakitkan.

"Lihatlah kejalanganmu, Perempuan Mesum!" teriak Pangkar Soma.

Ia tak tahu bahwa saat itu Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, sehingga luka mengerikan itu mulai merapat dengan sendirinya, darah menguap bagai terserap udara dan menjadi kering tanpa bekas. Pada saat Pangkar Soma balikkan badan untuk lakukan serangan lagi terhadap lawannya, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri tegak dengan sisa luka yang sedang mengering dan merapat.

Pangkar Soma terperanjat melihat luka lawannya seajaib itu. Dalam keadaan sedang terperanjat itulah, Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung', tubuhnya menggeloyor seperti orang mabuk yang mau tumbang, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya ke perut Pangkar Soma. Wuuut...! "Heaaah...!"

Blaaar...!

Sodokan yang ditahan dengan telapak tangan Pangkar Soma itu mengakibatkan dentuman cukup keras, karena telapak tangan Pangkar Soma memberi perlawanan dengan keluarkan inti tenaga dalamnya. Sedangkan sodokan bumbung tuak itu juga mempunyai kekuatan tenaga sakti yang sebenarnya dapat membuat merontokkan seluruh urat lawannya. Tetapi karena beradu dengan inti tenaga dalam Pangkar Soma, maka bumbung tuak itu hanya bisa lepaskan ledakan kuat yang menerbangkan Pangkar Soma.

Wuuuusss...! Bruuukk...!

"Haaaakhh...!" Pangkar Soma mengerang keras ketika jatuh dalam jarak dua belas langkah dari tempatnya semula. Sekujur tubuhnya terasa bagai disayat-sayat dengan pedang yang habis terpanggang api. Dari lengan sampai leher dan mulutnya tampak membiru memar. Tentu saja luka itu sangat menyiksa Pangkar Soma.

"Keparat bangkai...!" geramnya penuh luapan emosi. Ketika ia ingin bangkit, tubuhnya terasa lemas sehingga terhuyung-huyung ke samping. "Oh, celaka kalau begini. Jantungku semakin melemah!" keluh Pangkar Soma dalam hati. "Kalau diteruskan, pasti berakibat buruk pada diriku sendiri. Sebaiknya kuatasi dulu luka-luka keparat ini!"

Ctaaaaar...! Pangkar Soma melepaskan sabetan cambuknya pada saat Pendekar Mabuk ingin maju menyerang kembali. Lecutan itu menyebarkan asap putih kehitam-hitaman.

"Asap beracun!" sentak hati Pendekar Mabuk, maka ia cepat hindari asap itu dengan menutup hidungnya memakai tangan kiri. Sambil lakukan lompatan menghindar, bumbung tuaknya diputar di atas kepala. Wuuk, wuuuk...! Asap beracun itu pun menyebar dan hilang tertiup angin.

"Sial! Ke mana si jahanam tadi?!" gerutu Suto Sinting dalam hati begitu melihat Pangkar Soma pun lenyap bersama hilangnya asap beracun.

Rupanya pada saat Suto sibuk hindari asap beracun. Pangkar Soma cepat-cepat larikan diri dengan bebas tanpa kejaran. Jika tidak begitu, ia akan dikejar oleh lawannya, setidaknya akan dihantam dengan pukulan jarak jauh yang dapat membuatnya semakin lebih parah lagi.

Suto Sinting hanya bisa menghempaskan napas dalam satu sentakan, ia membuang kejengkelannya karena gagal lumpuhkan si Pangkar Soma. Tuak pun ditenggaknya lagi walau tak sebanyak tadi. Badannya semakin terasa segar. "Oh, ya... ke mana tadi si Tenda Biru?!" pikirnya dengan sedikit terkejut karena baru ingat Tenda Biru. Pendekar Mabuk mendengar suara orang terbatuk-batuk kecil di balik pohon, ia segera melesat ke arah pohon tersebut. Zlaaap...!

"Ooh...?!" pekik Tenda Biru makin merapatkan diri dengan pohon, karena dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun.

Suto Sinting baru ingat hal itu, tapi ia sudah telanjur ada di depan Tenda Biru yang cepat memunggunginya. "Wow... keren!" ucap Suto dalam hati dengan mata sulit dikedipkan.

"Jangan pandangi aku, Setan!" bentak Tenda Biru karena menyangka orang yang ada di dekatnya adalah Badra Sanjaya. "Pergi sana! Pergiii...!"

Pendekar Mabuk tersenyum-senyum sambil memalingkan wajah. "Pergi ke mana, ya?" gumamnya berlagak bingung agar tampak beralasan jika masih ada di tempat.

"Pergi kau, Ibliiiis...!" seru Tenda Biru, lalu la terbatuk-batuk dan keluarkan dahak darah.

Pendekar Mabuk cemas, lalu segera dekati gadis itu dan sodorkan bumbung tuaknya. "Lekas minum tuakku, biar lukamu tak menjalar ke mana-mana!"

"Tidak! Tidaaak...! Pergi sanaaa...!"

Pendekar Mabuk keki, kepala Tenda Biru dijuleknya. Wuuuut...! "Orang mau ditolong kok malah bentak-bentak!" omelnya sambil bersungut-sungut, ia menjauh dua langkah, lalu kembali lagi. "Ini... minum dulu tuakku, Tenda Biru!"

"Ak... aku... aku dalam keadaan seperti ini! Pejamkan matamu!"

"Iya, iya... ini sudah terpejam gitu kok!"

"Yang kiri masih mengintip!"

"Lha, memang mataku yang kiri kalau terpejam agak terbuka sedikit. Maklum, kelopak mataku yang kiri ini pendek sebelah, jadi kalau dipejamkan tidak bisa rapat seperti yang kanan!"

"Dasar jalang!" sentak Tenda Biru. Kemudian ia menyambar bumbung tuak itu, tapi kakinya menendang dengan cepat. Buuukh...!

Wees, brruuk...!

"Kampret kau! Uuuukh...!" Pendekar Mabuk menyeringai setelah terpental oleh tendangan itu sejauh lima langkah dan jatuh terpuruk begitu saja hingga sikunya terasa sakit akibat membentur akar pohon.

Sementara itu, Tenda Biru cepat-cepat tenggak tuak tersebut, lalu meletakkannya di tanah dalam keadaan disandarkan pohon, ia bergerak melingkari pohon dan bersembunyi di balik pohon sebelahnya.

"Oh, dadaku yang panas dan sakit tadi mulai terasa lapang dan napasku menjadi longgar?!" pikir Tenda Biru sambil matanya memandangi sekeliling mencari di mana pakaiannya berada.

"Kau benar-benar gadis edan, Tenda Biru! Sudah ditolong malah menyerang!" omel Pendekar Mabuk sambil hampiri bumbung tuaknya.

"Kenapa si keparat itu membelaku?!" gumam Tenda Biru membatin. "Kenapa ia mempunyai tuak yang bisa sembuhkan lukaku seperti tuaknya Suto? Oh, benar...! Tuak itu seperti tuaknya Suto, dan bumbungnya juga sama! Tapi mengapa bisa ada di tangan si keparat Badra Sanjaya itu?!"

Rupanya gadis itu pernah bentrok dengan Badra Sanjaya beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat ketika diserang oleh musuh lamanya, dan musuh lamanya itu dibela oleh Badra Sanjaya.

Bruuuk...! Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menyelubungi kepala Tenda Biru. Gadis itu berang dan menghempaskan sesuatu yang menyelubungi kepalanya. Ternyata baju hijau si Badra Sanjaya. Ia menjadi ragu untuk membuang baju itu.

"Pakailah baju itu. Lumayan bisa untuk penangkal masuk angin!" ujar Suto Sinting yang berada di balik pohon tempat persembunyian Tenda Biru itu.

Tenda Biru buru-buru mengenakan setelah hatinya membatin, "Ini baju si keparat itu! Ah, tapi persetan dulu dengan siapa pemilik baju ini. Yang penting aku tidak terlalu polos begini!"

Lalu, terdengar suara Suto Sinting berkata, "Sudah apa belum?!"

"Celananya mana?!"

"Ah, gila kau! Sudah kuberi baju masih untung kau! Masih mau minta celana segala?! Kau pikir aku ini seekor sapi yang tidak perlu celana?!"

"Kalau begitu, jangan dekati aku! Bisa kubunuh kau kalau mendekatiku!"

"Pakai apa kau mau membunuhku, lihatlah ke pohon tadi... pedangmu tertinggal di sana!"

"Ambilkan!" sentak Tenda Biru.

"Ambillah sendiri! Untuk apa kuambilkan pedang itu kalau nantinya akan kau pakai untuk membunuhku," gerutu Suto Sinting terdengar jelas di telinga Tenda Biru.

Weees...! Tenda Biru berkelebat menyambar pedangnya dalam gerakan cepat. Suto Sinting hanya tersenyum sambil sesekali tundukkan kepala memperhatikan perutnya yang mempunyai pusar, ia merasa geli melihat pusarnya, karena selama ini ia tak pernah mempunyai pusar seujung jarum pun, sebab dia memang pemuda tanpa pusar, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar).

Seeet...! Tiba-tiba Tenda Biru mengarahkan ujung pedangnya ke leher Suto Sinting yang tanpa baju itu. Suto terperanjat sebentar, lalu sunggingkan senyum. Tentu saja senyumannya tidak begitu menarik perhatian Tenda Biru, karena senyuman itu bukan senyuman Pendekar Mabuk yang dikaguminya.

"Apa maksudmu mengancamku dengan pedang?!"

"Serahkan bumbung tuak itu padaku! Cepat...!" Pedang didorong sedikit, kepala Suto tersentak ke belakang hingga rapat dengan pohon, karena ia tak ingin lehernya terluka oleh pedang Tenda Biru.

"Apa maksudmu, Tenda Biru!"

"Kau tak perlu berlagak suci! Kau tak perlu memihakku, karena ketika aku bertarung dengan Sriti Kuning, kau memihaknya dan nyaris membuatku binasa!"

Suto membatin, "O, Iya... yang dia tahu pasti aku si Badra Sanjaya. Pantas kalau sikapnya sekasar ini padaku. Aku harus bisa menjelaskan kepadanya tentang hal ini."

Tetapi sebelum Suto menjelaskan, Tenda Biru sudah membentak lagi dengan kasar. "Cepat serahkan bumbung tuak itu! Aku tahu kau mencuri bumbung tuak itu dari tangan Pendekar Mabuk!"

"Tenda Biru."

"Jangan berlagak kalem di depanku, Keparat! Serahkan bumbung tuak itu atau kutembus lehermu dengan pedang ini!" Tenda Biru semakin garang.

"Aku bukan Badra Sanjaya, Tenda Biru. Aku adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu!"

"Kau pikir aku anak kecil?! Kau sangka mataku buta?!" sambil Tenda Biru lebarkan mata, seakan ingin tunjukkan bahwa matanya tidak buta.

"Suto Sinting tidak seburuk wajahmu! Pendekar Mabuk tidak berkumis dan sayang kepadaku. Dia tidak akan membela Sriti Kuning, bahkan tak akan tega melepaskan pukulan berbahaya kepadaku!"

"Aku memang sayang padamu, Tenda Biru!"

"Diam kau!" bentaknya makin kasar. "Tak perlu kau menabur rayuan padaku, karena aku tahu siapa kau sebenarnya! Kau bukan Pendekar Mabuk dan...."

"Aku. "

"Tutup mulutmu!"

"Iyya, iya, aku akan tutup mulut, tapi kau tutup juga mulutmu yang itu..." sambil mata Suto melirik kepaha Tenda Biru yang tidak ikut tertutup kain baju.

Maka seketika itu Tenda Biru merapatkan kedua kakinya dan menjadi salah tingkah sendiri. "Kurobek mata jalangmu kalau masih melirik kemari!"

"Habis mau melirik ke mana, orang adanya cuma itu...," kata Suto sambil menahan rasa geli. Ia ingin tertawa lepas, tapi takut membuat gadis itu makin panik dan pedangnya benar-benar merobek mata.

"Kelilipan debu masih bisa ditiup atau dicuci, kalau kelilipan pedang mau dicuci pakai apa? Ditiup pun akan semakin perih," gumamnya dalam hati.

"Lepaskan celanamu!" sentak Tenda Biru sambil mengarahkan pedang ke dada Suto Sinting.

"Ah, yang benar saja kau." Suto bersungut-sungut.

"Lepaskan celanamu!"

"Apakah kau sudah tak bisa menahan hasratmu untuk..."

Buukkh...! Tiba-tiba kaki Tenda Biru berkelebat menendang perut Suto, membuat suara Suto terhenti seketika. Gerakan menendang itu dilakukan dengan cepat agar sesuatu yang tak tertutupi tidak dapat dilihat oleh mata lelaki yang ditendang.

"Sekali lagi kau menanggapku gadis murahan, pedangku yang akan bicara!"

"Uuukh... mual sekali perutku," keluh Suto Sinting. Tapi ia segera tarik napas untuk mengatasi rasa sakit dan mual akibat tendangan tadi.

"Kuhitung tiga kali kalau kau tak mau melepaskan celanamu yang akan kupakai, pedangku tak akan diam di depan dadamu, tapi akan menembus sampai ke punggungmu!"

"Coba tendang aku lagi seperti tadi," kata Suto Sinting sambil matanya melirik ke arah yang ditutup dengan telapak tangan kiri dan digapit dengan kedua kaki itu.

Tenda Biru benar-benar ingin hujamkan pedangnya, tapi Pendekar Mabuk segera berkata.

"Tunggu...! Kau boleh menghujamkan pedangmu setelah aku bertemu dengan Panji Klobot!"

Tenda Biru terperanjat. "Dari mana kau tahu nama muridku, si Panji Klobot itu?!"

"Karena akulah yang bersamanya ketika kau menjadi gadis tanpa raga. Akulah Suto Sinting yang mencarikan obat pemunah kutukan Nyai Ronggeng Iblis berupa Bunga Kecubung Dadar. Akulah yang kau selamatkan dari tangan Selimut Senja bersama-sama Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Akulah Pendekar Mabuk yang menolongmu saat kau terluka parah oleh pedangnya Dewi Kesepian!"

"Ooh...?! Kau tahu segalanya tentang itu?!" Tenda Biru menjadi gemetar dan berdebar-debar. Matanya melebar dengan mulut ternganga bengong.

"Kalau kau tega membunuhku, bunuhlah sekarang juga! Kalau kau tetap menganggapku Badra Sanjaya, hujamkan pedangmu ke jantungku. Barangkali memang begitulah caramu membalas ciumanku ketika kita berada di tepi danau berair kuning, di Bukit Ketapang, tempat di mana kita temukan Bunga Kecubung Dadar itu!"

"Ooh...? Kkkkau... kau...?!" Tenda Biru makin menggeragap dan tegang sekali. Menurutnya tak mungkin Badra Sanjaya mengetahui letak ditemukannya Bunga Kecubung Dadar yang telah membuat ia mempunyai raga lagi itu. "Hanya Suto yang tahu semua itu! Hanya Suto... tapi, mengapa Badra Sanjaya mengetahui semuanya? Benarkah aku berhadapan dengan Badra Sanjaya atau berhadapan dengan Suto Sinting?!" pikirnya dalam cekaman rasa gelisah dan kebingungan.

"Mengapa kau tidak menyebutku dengan sebutan khas darimu?"

"Ap... apa sebutanku kepada Pendekar Mabuk? Coba katakan, bagaimana jika aku memanggil Pendekar Mabuk?"

Wajah Badra Sanjaya tersenyum tenang. Suto-lah yang tersenyum sebenarnya, dan ia segera menirukan sebutan atau panggilan khas dari Tenda Biru terhadap dirinya. "Kau selalu memanggilku: 'Bocah Sinting!"

Tenda Biru makin tercengang. "Ooh, kau... kalau begitu kau memang si Bocah Sinting itu...?!"

"Nyawaku sedang disewa oleh Ki Jalu Kuping, gurunya si Badra Sanjaya. Ia memindahkan sukmaku ke raganya Badra Sanjaya yang terkena jurus 'Ranjang Goyang'-nya Ratu Dekap Rindu...," dan segalanya diceritakan oleh Suto, sehingga Tenda Biru sempat trenyuh, lalu tak terasa air matanya meleleh perlahan-lahan.

"Bocah Sinting...!" keluhnya dalam keharuan yang bercampur penyesalan atas sikap kasarnya tadi. Ia pun segera memeluk Suto dan membiarkan tangis penyesalannya membasahi dada pemuda tak berbaju itu.

"Tenda Biru, kumohon bantuanmu untuk menemui guruku. Pergilah ke Jurang Lindu dan temui guruku; si Gila Tuak. Mintalah keterangan bagaimana cara memindahkan sukmaku ke ragaku kembali jika sampai Ki Jalu Kuping tak mau melakukan hal itu. Aku tak ingin mempunyai raga seperti ini, Tenda Biru."

"Tapi... tapi bagaimana aku bisa menghadap gurumu jika aku tidak mempunyai penutup apa-apa di bagian bawahku ini"

"Iya, iya... aku tahu. Tapi tak perlu kau menuntun tanganku sampai menyentuhnya. Cukup bilang begitu aku sudah mengerti bahwa bagian bawahmu butuh penutup!"

Tenda Biru sempat tertawa dalam duka keharuannya, ia jengkel sendiri hingga merengek dan memukul dada Suto dengan pukulan kasih sayang.

"Akan kucari pakaianmu. Siapa tahu ada di sekitar sini karena terhempas angin gaib yang keluar dari cambukan si Pangkar Soma tadi," kata Suto sambil memandang sekeliling tempat itu.

"Bocah Sinting, kalau sampai pakaianku tak bisa ditemukan bagaimana?"

"Aku tak bisa kuat menahannya."

"Menahan apa maksudmu?"

"Menahan... menahan... menahan detak jantungku yang menyentak-nyentak sejak tadi," jawab Suto sambil berlagak masih pandangi keadaan sekelilingnya.

"Oh, Bocah Sinting... aku kangen padamu..." bisik Tenda Biru sambil tiba-tiba memeluk Suto dari belakang. Bajunya yang terbuka membuat dadanya menempel di punggung Suto. Rasanya hangat-hangat menyentakkan aliran darah. Terlebih setelah Tenda Biru menggeser-geserkan tubuhnya, punggung Suto merasakan kehangatan dan lekuk-lekuk kedua bukit gadis itu secara jelas.

Sementara itu, kedua tangan Tenda Biru yang menelusup di bawah ketiak Suto itu meremas-remas dada Suto dan sesekali merayap ke sana-sini hingga turun melewati perbatasan pusar. Tenda Biru yang dulu bekas murid seorang tokoh aliran sesat itu, kini mulai rasakan debaran indah di hatinya. Tangannya semakin berani bergerak menelusuri tubuh Suto dari belakang. Bahkan sesekali ia menggigit kulit punggung itu membuat Suto melepaskan erangan kecil yang membakar gairahnya sendiri.

"Tenda Biru, jangan lakukan di antara kita. Aku... aku..."

"Bukankah ragamu adalah Badra Sanjaya? Jika kunikmati kehangatanmu berarti aku menikmati kehangatan Badra Sanjaya. Tak apa, Bocah Sinting... kau sekarang bebas menikmatiku, karena ragamu masih tetap bersih tanpa noda dariku. Ooh... Bocah Sinting, kecuplah bibirku...! Pagutlah... pagutlah ini, Bocah Sinting. Sudah lama aku tak pernah menikmatinya dengan pria mana pun. Aku rindu kenikmatan bercinta, Bocah Sinting.... Ambillah ini" Ia menyodorkan dadanya.

Suto Sinting gemetar dan pejamkan mata, lalu menyambarnya dengan lihai. Wuuut, cruub...!

"Ooooh...!" Tenda Biru memekik keras, kepalanya mendongak, kakinya melebarkan jarak.

Si bocah sinting merayapkan ciumannya sampai ke perut Tenda Biru dan terus nekat ke bawah, sehingga membuat Tenda Biru makin mengerang panjang-panjang dengan tubuh meliuk-liuk dalam berdirinya.

* * *

ENAM

JUBAH biru si gadis berkulit mulus itu ternyata tersangkut di atas pohon. Juga kutang dan pakaian bawahnya ada di antara dedaunan dan ranting pohon. Pada waktu badai sekilas dari cambukan Pangkar Soma, pakaian itu ikut melayang terbang. Jika hanya sekadar angin badai biasa, tak mungkin bisa membuat Tenda Biru sepolos itu. Tentunya badai sekilas tadi adalah badai gaib yang mampu melepasi kutang seorang perempuan.

"Badai nakal...," ujar Suto dalam hatinya sambil lanjutkan langkah menuju Bukit Kemesraan, sementara itu Tenda Biru bergegas ke Jurang Lindu untuk temui si Gila Tuak, sesuai rencana yang dikatakan Suto tadi.

Namun kata-kata Tenda Biru saat sebelum mereka berpisah masih terngiang di telinga Suto Sinting. "Hati-hati jika berhadapan dengan Ratu Dekap Rindu."

"Apa alasanmu menyuruhku hati-hati?"

"Ratu itu cantik. Dia menghisap kecantikan para lawannya, ia mirip bidadari. Dan hanya orang berilmu hitam saja yang bisa menyerap kecantikan lawannya, sehingga wajahnya tampak secantik bidadari dari kayangan."

Sebenarnya pesan itu justru membuat Suto Sinting menjadi lebih penasaran lagi. Ia ingin buktikan kata-kata Tenda Biru itu, karena ia memang belum pernah bertemu dengan Ratu Dekap Rindu.

"Ratu Dekap Rindu ilmunya cukup tinggi lho," ujar Tenda Biru mengingatkan Suto sebelum mereka sama-sama melangkah ke tujuan masing-masing.

"Lebih tinggi mana dengan Nyai Ronggeng Iblis?"

"Hmmm... mungkin sejajar. Tapi, tak tahulah... aku tak bisa menilainya karena kau belum pernah berhadapan langsung dengan Ratu Dekap Rindu. Aku hanya mendengar cerita dari bekas guruku saat aku menjadi orang sesat, yaitu Nyai Garang Sayu. Setahuku, dulu mendiang Nyai Garang Sayu pernah bentrok dengan Ratu Dekap Rindu, dan Nyai Garang Sayu melarikan diri. Tak tahu alasan sebenarnya, apakah kalah tinggi ilmunya atau hanya mengatur siasat, yang jelas Nyai Garang Sayu tak pernah mengulang lagi pertarungan itu."

"Kau melihat saat mantan gurumu itu bertarung melawan Ratu Dekap Rindu?"

"Tidak. Waktu itu aku dinas luar. Eh... maksudku, waktu itu aku pergi ke luar pulau untuk satu keperluan. Aku hanya mendengar ceritanya dari teman-teman seperguruanku!"

"Kalau begitu aku harus mempertinggi kewaspadaan jika berada di istana Bukit Kemesraan nanti."

"Kurasa begitu. Dan kusarankan bersikaplah sebagai Badra Sanjaya. Seolah-olah kau memang Badra Sanjaya, sehingga dari kata-kata sang Ratu nanti kau dapat mengambil kesimpulan di mana letak tabung penjara sukma itu."

"Kau memang gadis cantik dan cerdas," ujar Suto sambil mencubit pipi Tenda Biru.

Kenangan itu ikut terbawa dalam perjalanan Suto Sinting di awal senja berlangit tembaga itu. Dengan menyeberangi sungai besar, Pendekar Mabuk sudah tiba di wilayah Bukit Kemesraan, ia memang baru kali itu menginjakkan kakinya di wilayah Bukit Kemesraan, sehingga pantas jika ia tak mengetahui arah istana di sebelah mana.

Beruntung sekali ia bertemu dengan Tenda Biru sebelum berada di wilayah Bukit Kemesraan, sehingga ia bisa mendapat keterangan dari Tenda Biru tentang arah menuju istana. Tenda Biru pernah datang ke istana itu, namun hanya sampai depan pintu gerbangnya saja. Karena waktu itu ia hanya menjadi salah satu dari sepuluh orang pengawal Nyai Garang Sayu yang menjaga keamanan sang guru sesat itu. Hanya sang guru yang masuk ke istana dan bertemu dengan Ratu Dekap Rindu.

"Apa yang harus kukatakan kepada Ratu nanti jika ia tanyakan pusaka 'Jarum Surga' nanti? Kalau menurut Ki Jalu Kuping, pusaka itu sebenarnya tidak ada. Tapi bagaimana mungkin tidak ada jika sang Ratu berani membayarku tinggi untuk dapatkan Badra Sanjaya bersama pusaka 'Jarum Surga' itu? Kurasa pusaka tersebut memang ada, tapi tidak diketahui oleh orang banyak, termasuk Ki Jalu Kuping pun tak tahu tentang pusaka tersebut."

Belum sampai Suto menemukan cara menghadapi pertanyaan tentang pusaka "Jarum Surga', tiba-tiba langkahnya terhenti karena lompatan tiga orang berpakaian serba coklat mengkilap yang langsung menghadang Suto dengan posisi mengepung tiga arah. Pendekar Mabuk sempat terperanjat dan segera berkerut dahi karena merasa asing dengan ketiga gadis berpakaian coklat mengkilat itu. Pakaian tersebut merupakan baju tanpa lengan dan celana ketat yang membentuk lekuk-lekuk tubuh mereka.

"Akhirnya kau kembali juga, Badra Sanjaya!" tegur gadis yang bersenjata trisula dipinggangnya. Rupanya gadis itu sudah cukup kenal dengan Badra Sanjaya, sehingga Suto pun berlagak sudah kenal dengan mereka.

"Sudah kuduga kalian akan menyambutku disekitar tempat ini," kata Suto Sinting dengan sikap tenangnya.

"Nyai Ratu memerintahkan kami untuk menangkapmu jika kau tampak melintasi perbatasan Bukit Kemesraan ini!" ujar gadis yang bermata bundar, bening dan tengahnya hitam berwarna hitam jernih.

"Kurasa kalian tak perlu menangkapku, aku memang ingin menghadapi Nyai Ratu sendiri!" ujar Pendekar Mabuk. Kemudian ia membuka bumbung tuaknya dan menenggak tuak beberapa teguk.

"Apa yang kau bawa itu, Badra?!"

"Tuak...! Kalian mau coba?" Suto Sinting sok akrab.

"Hmmm...! Lagakmu seperti Pendekar Mabuk saja, Badra! Apakah dengan membawa bumbung tuak begitu lantas kami tak berani menangkapmu?!" ujar gadis berambut panjang dengan belahan dada bajunya terbuka lebar-lebar, sehingga tersumbullah gumpalan putih mulus di kanan-kiri dada itu. Menggiurkan sekali, tapi juga membuat Suto menahan diri agar tetap waspada.

"Buang bambu tuak itu, dan serahkan kedua tanganmu untuk kami ikat,Badra!"

"Lho, mengapa aku mau diikat?"

"Perintah dari Nyai Ratu memang begitu, Badra!"

"Oh, aku tak mau! Aku paling malas kalau pakai diikat-ikat saja. Memangnya aku ini kayu bakar?!" kata Suto sambil tunjukkan sikap protesnya. Katanya lagi, "Sudah kubilang, kalian tak perlu menangkapku, apalagi mengikatku, tak perlu sama sekali. Karena kedatanganku kemari untuk menghadap Nyai Ratu!"

"Tapi kami harus patuhi perintah Nyai Ratu, Badra!"

Yang bersebelahan dada lebar itu menimpali, "Kecuali jika kau bersedia memberi kami perjalanan indah. Bukankah begitu, Paras Juwita?!"

"Benar," jawab Paras Juwita yang bersenjata trisula itu. Ia menjawab dengan senyum dan lirikan jalang. Katanya lagi kepada Suto, "Kurasa inilah kesempatanmu untuk mengulangi keindahan masa lalu kita, Badra!"

"Mengulangi...?!" Suto merasa heran, dan segera membatin, "Berarti si Badra Sanjaya itu buaya gila juga, ya? Setiap perempuan pernah diajaknya menikmati perjalanan indah."

"Bagaimana, Badra! Apakah kau ingin menolak tawaran damai dari kami, atau ingin kami ikat sebagai tawanan?!" ujar yang bermata sayu.

"Jadi... jadi aku harus melayani siapa?"

"Kami bertiga; Gayanti, Umbari, dan diriku," jawab Paras Juwita.

"Edan! Tiga-tiganya bersamaan?!" ujar Suto bernada makin heran.

Tiga gadis yang rata-rata berusia sekitar dua puluh empat tahun itu sama-sama cekikikan. Gayanti berkata,

"Kurasa kau tidak akan kewalahan, Badra. Bukankah waktu ketika kau berempat bersama Paras Juwita, Windusari, dan Lelasih, kau mampu memberi kami keindahan yang sama? Kurasa sekarang pun kau tetap mampu, Badra. Apalagi sekarang hanya bertiga."

"Kita ke gua yang dulu saja, Gayanti," ujar Paras Juwita.

"Aku setuju. Bagaimana menurutmu, Badra?!"

"Edan betul si Badra Sanjaya itu sebenarnya! Ternyata dia tukang mengumbar cumbuan di sana-sini! Kurasa gurunya tidak mengetahui kalau muridnya gemar bercumbu dengan perempuan mana pun!" gerutu Suto dalam hatinya.

"Mumpung masih agak sore, Badra. Sebaiknya kita segera ke gua yang dulu!" ujar Gayanti.

"Benar, Badra...," Paras Juwita mendekat dan mengusap-usap dada Suto sambil sunggingkan senyum jalangnya. "Mumpung yang lain belum melihat kedatanganmu, sebaiknya kita manfaatkan dulu waktu untuk mengarungi lautan cinta, Badra."

Umbari segera ikut mendekat dan mengusap-usap dada Suto dari samping kirinya. "Kau belum merasakan kepandaianku menerbangkan jiwa seorang lelaki, bukan? Nanti kau akan merasakan keindahan yang paling indah dariku. Ayolah, kita ke gua saja, Badra"

Gayanti mendekat dan mengambil tempat di belakang Suto. Ia memeluk dari belakang melalui pinggang samping kanan kiri. Tapi bibirnya mengecup tengkuk kepala Suto dengan nakal. "Badra..., aku punya jurus baru yang dinamakan 'Lidah Naga Kasmaran'. Pasti membuatmu semakin melayang-layang menembus langit kehangatan yang paling tinggi, Badra. Ayolah, kita ke gua yang dulu, Sayang.... Aku sudah tak tahan lagi...," bisik Gayanti sambil sesekali menyapu belakang telinga Suto dengan ujung lidahnya.

Jantung bukan berdetak lagi tapi bergetar bagai mau rontok. Dalam kebingungan itu, Suto Sinting tak bisa mengambil keputusan harus bersikap bagaimana terhadap ketiga gadis montok-montok itu. Ia hanya bisa 'ah, uh, ah, uh' saat didorong ke bawah pohon bersemak rimbun. Rupanya ketiga gadis itu sudah tak sabar lagi ingin mendapatkan kemesraan dari pria yang dianggapnya sebagai Badra Sanjaya.

"Hmmm..., ehh... hei, hei... tunggu dulu!" kata Suto, tapi tak dihiraukan oleh ketiga gadis itu. Mereka semakin mengganas dan membuat Suto terpelanting jatuh di rerumputan semak. Mereka justru cekikikan dan saling menggumuli Suto dengan caranya sendiri-sendiri.

"Tidaaaak...!"

Weeerss...! Bruuusss...!

Suto Sinting berteriak keras sambil lakukan sentakan pada kedua tangan dan kakinya. Tiga wanita yang sudah dibakar kobaran gairah bercumbu itu terpental menyebar, saling terlempar tinggi-tinggi dan jatuh berdebam di tempat yang berbeda.

"Kalian pikir aku ini kuda pejantan?!" sentak Suto Sinting dengan berang.

Tentu saja ketiga gadis yang merasa gairahnya terganggu itu menjadi berang juga. Paras Juwita yang tadi telah membuat Suto kedodoran segera lakukan lompatan menerjang dengan suara terlontar keras.

"Rupanya kau minta hajar dulu baru mau, hah?! Heeeeaah...!"

Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup besar itu. Tees...!

Beeekh...!

"Heeekh...!" Lompatan perempuan bersenjata trisula itu terhenti dan bagai tertahan oleh dinding tak terlihat, ia jatuh terjungkal setelah perutnya merasa seperti dihantam dengan palu godam, Brruk...!

Tes, tes...! Sentilan jurus 'Jari Guntur' segera dilepaskan kembali oleh Suto Sinting ke arah Umbari dan Gayanti. Kedua gadis yang telah mencabut senjata tajamnya itu segera terlempar ke belakang dan mengerang kesakitan. Ulu hatinya dijadikan sasaran jurus 'Jari Guntur'-nya Suto. Mereka menyeringai kesakitan dan untuk sesaat tak mampu berdiri.

Zlaaaap...! Pendekar Mabuk segera melesat pergi tinggalkan tempat itu dengan pegangi tali celananya yang tadi sempat putus dipaksa oleh Paras Juwita. Untuk sementara Suto terpaksa berlari sambil kerepotan menyambung tali celananya.

"Brengsek! Ikat saja pakai kain ikat pinggang ini!" geramnya sambil mengarah ke bangunan megah yang tampak berbenteng putih di kejauhan sana. Pendekar Mabuk yakin betul, bahwa bangunan berbenteng putih itulah istananya Ratu Dekap Rindu yang harus dituju.

Tiga perempuan yang tadi hampir menjadikan diri Suto sebagai budak nafsunya, kini sedang lakukan pengejaran. Mereka memang tertinggal jauh oleh Suto, tapi usaha mengejar tetap ada sebagai kewajiban seorang prajurit istana sang Ratu Dekap Rindu.

Di depan pintu gerbang benteng putih itu, Suto Sinting dihadang oleh delapan prajurit yang semuanya perempuan berparas cantik-cantik. Bahkan masing-masing dada mereka saling bertonjolan dengan sekal dan menantang sekali. Pakaian mereka berbelahan tengah agak lebar, sehingga pinggiran sepasang bukit dada itu tampak menggoda setiap lelaki yang dikepung mereka, termasuk Pendekar Mabuk yang menurut anggapan mereka adalah Badra Sanjaya.

"Aku ingin menghadap Ratu! Izinkan aku masuk!" tegas Suto Sinting dengan menenteng bumbung tuaknya sebagai langkah persiapan hadapi bahaya apa pun. Untung saja bumbung tuak itu tadi sempat diisi tuak hingga penuh dari sebuah kedai di desa yang ia temukan setelah berpisah dengan Sriti Kuning tadi. Dengan begitu, kapan saja ia terluka ia dapat meminum tuaknya sebagai pengering luka secara gaib.

Salah seorang dari prajurit pengepung itu berseru kepada Suto. "Nyai Ratu perintahkan kami menangkapmu, Badra! Kau dianggap mengecewakan Nyai Ratu dan layak dijadikan tawanan, bukan seseorang yang layak kami hormati lagi!"

"O, jadi Badra Sanjaya dulu di sini dihormati?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya. Tapi mulutnya segera serukan kata kepada prajurit yang bicara tadi. "Aku akan kembalikan pusaka 'Jarum Surga' kepada Nyai Ratu! Kumohon jangan membuatku kecewa dan membatalkan niatku menyerahkan pusaka 'Jarum Surga' ini!"

Pendekar Mabuk bicara dengan lantang dan mantap, seolah-olah dia benar-benar membawa pusaka 'Jarum Surga'. Tetapi para prajurit itu menertawakan dengan cekikikan, bahkan ada yang tertawa dengan berpaling ke arah lain. Sikap mereka itu membuat Suto Sinting menjadi curiga.

"Jadi kalian tidak percaya kalau aku membawa pusaka 'Jarum Surga' itu?! Apakah kalian perlu melihatnya dulu?!"

Tawa para prajurit itu semakin ditahan karena semakin terasa lucu bagi mereka, sehingga salah satu ada yang terkikik-kikik hingga membungkukkan badan.

"Apa-apaan mereka ini?!" geram hati Pendekar Mabuk. "Mereka boleh saja tidak percaya, tapi tak perlu sampai terpingkal-pingkal seperti yang berambut panjang diikat pita biru itu! Sebaiknya aku tak perlu menantang pembuktian. Bisa bikin diriku terjebak sendiri oleh omonganku! Kalau mereka benar-benar ingin melihat pusaka itu ada di tanganku, wah... tentu saja aku akan kewalahan mencari alasan untuk hindari pembuktian itu!"

Maka seruan Pendekar Mabuk pun akhirnya berubah menjadi sebuah ancaman halus. "Kalau aku tak kalian izinkan masuk, maka aku akan pulang dan pusaka itu akan kujual kepada pihak lain!"

Tiba-tiba pintu gerbang terbuka, dan seraut wajah yang sudah dikenal Suto pun tampak muncul dari balik pintu gerbang. Wajah itu adalah wajah si Laras Wulung.

"Biarkan dia masuk! Beri jalan untuknya!"

Maka barisan pengepung yang ada di depan Suto itu segera menyingkir sambil mulut mereka ditutupi dengan tangan supaya tak kelihatan kalau sedang tersenyum. Pendekar Mabuk merasa semakin aneh melihat sikap mereka. Tapi hati Suto berkata,

"Ah, persetan dengan keanehan mereka!"

Gerbang dibuka lebar, Laras Wulung menyambut kehadiran sdsok Badra Sanjaya dengan senyum memancarkan daya pikat yang menggetarkan jiwa setiap lelaki.

* * *

TUJUH

PENDEKAR MABUK dibawa oleh Laras Wulung ke sebuah ruangan berlorong terang. Lorong terang itu berlantai mengkilap warna putih kaca.

"Aku ingin bertemu ratu dan langsung bicara soal pusaka 'Jarum Surga'," kata Suto sambil berjalan didampingi pengawal kepercayaan sang Ratu.

Senyum tipis mekar di bibir mirip kuncup mawar itu. Pendekar Mabuk meliriknya sebentar sambil membatin, "Sepertinya ada yang lucu pada diriku. Apa yang membuat mereka dan Laras Wulung ini menertawakan diriku dengan sembunyi-sembunyi?!"

Kejap berikut terdengar suara Laras Wulung bersama langkahnya yang tegap, menampakkan keberanian dan ketangkasannya sebagai pengawal kepercayaan sang Ratu. "Kau baru bisa bertemu dengan Nyai Ratu esok sore."

"Mengapa begitu?"

"Nyai Ratu sedang lakukan semadi selama sepuluh hari. Esok hari yang kesepuluh dan ia akan keluar dari ruang semadi pada sore menjelang senja."

Laras Wulung bicaranya selalu tegas, menunjukkan sikapnya yang tegas pula dalam menggantikan kedudukan sang Ratu selama sang Ratu berhalangan. Tubuhnya yang tinggi, sama dengan tinggi tubuh Suto atau Badra Sanjaya, mempunyai badan sekal, padat berisi. Seakan sewaktu-waktu dapat keluarkan kekuatan yang sukar ditumbangkan.

"Mau ke mana kita ini?" tanya Suto Sinting ketika menuruni tangga menuju ke lantai bawah.

"Apakah kau tak ingat tempat ini?"

Pendekar Mabuk agak menggeragap. Bagaimanapun juga ia harus tampak seperti Badra Sanjaya supaya tujuan sebenarnya tak dicurigai siapapun. "Ya, aku ingat tempat ini. Tapi yang kutanyakan, mengapa harus ke sini?"

"Kau pikir ada tempat lain untukmu?"

Pendekar Mabuk menjadi bimbang dan curiga, ia tak jelas maksud ucapan Laras Wulung itu. Ia menyangka akan dibawa ke penjara. Hampir saja ia menolak dan berbalik arah. Untung Laras Wulung yang berbaju biru kehitam-hitaman itu segera berkata dengan suara pelan namun jelas.

"Apakah kau tak ingin istirahat dulu? Sebentar lagi petang tiba, dan tentunya kau perlu istirahat setelah lakukan perjalanan jauh dari Gunung Dara."

"O, ya... memang aku lelah. Tapi aku masih ingin ngobrol denganmu, Laras Wulung!"

"Kau sangka akan kutinggalkan istirahat sendirian? Ratu bisa marah kalau kau istirahat sendirian?"

"Apakah Nyai Ratu menjadi murka setelah aku melarikan pusaka 'Jarum Surga'-nya itu?"

Sambil menutup pintu besar di ujung tangga, Laras Wuiung perdengarkan suaranya. "Kucoba untuk menenteramkan hati Nyai Ratu agar beliau tidak menjadi murka padamu!"

"Tapi para prajurit itu ingin menangkapku atas perintah Nyai Ratu!"

"Supaya kau tidak melarikan diri lagi dan mau diajak bicara dengan damai!" jawab Laras Wulung sambil membawa Suto berjalan di antara kamar-kamar berdinding hitam dan berpintu besi.

Pendekar Mabuk semakin cemas dan kecurigaan dalam hatinya kian besar. "Jangan-jangan aku dimasukkan ke dalam kamar penjara secara baik-baik?!Oh, aku tak boleh terkecoh oleh sikap tenangnya Laras Wulung ini! Harus ada yang bisa segera kulakukan seandainya ia tahu-tahu menjebloskan diriku dalam penjara yang sukar ditembus tenaga dalam."

Melangkah di lorong yang kanan-kirinya adalah kamar-kamar menimbulkan kesan tak enak sekali di hati Suto. Sinting. Sekalipun pada akhirnya Laras Wulung hentikan langkah setelah mereka tiba di kamar paling ujung, Pendekar Mabuk sudah siapkan bumbung tuaknya untuk lakukan sesuatu jika dirinya dalam bahaya.

"Bagaimana kalau Laras Wulung kulumpuhkan dulu? Setelah dia lumpuh aku bisa bebas mencari tabung beling yang menjadi penjara sukmanya Badra Sanjaya!" pikir Suto Sinting sambil memperkuat genggaman tangannya yang dililit tali bumbung tuak itu.

Tapi ketika pintu kamar ujung itu dibuka, Suto Sinting tertegun sesaat dan hatinya segera membatalkan rencana memukul Laras Wuiung dari belakang. Karena begitu kamar dibuka, mata Pendekar Mabuk melihat sebuah ruangan yang lebar sekali. Ruangan itu mempunyai kolam berair bening, taman batuan karang berwarna-warni dan dilengkapi dengan perabot ruang tidur, termasuk sebuah ranjang berlapis kain berbulu halus warna merah muda.

Sedangkan sebagian lantainya dilapisi permadani lembut berwarna hijau muda bagaikan bentangan rumput muda. Seluruh dinding ruangan itu dilapisi cermin, sehingga membuat ruangan itu tampak luas dan lega. Di mana pun orang berdiri atau duduk di kamar itu, ia akan dapat melihat bayangannya dalam cermin sebelah manasaja.

Ruangan itu menjadi terang oleh cahaya obor dari bebatuan yang membara dan memancarkan sinar merah api ke atas. Bebatuan itu berada dalam sebuah tempat lebar bertangkai panjang. Lampu penerang seperti itu ada di setiap sudut kamar, yang membuat suasana kamar tampak terang benderang tanpa asap obor menghitam di langit-langitnya.

"Ooh...?! Langit-langit kamar ini juga dilapisi cermin? Hi, hi, hi... aku bisa melihat bayanganku ada di atas sana. Ah, buruk amat aku kalau dilihat dari atas kepala! Seandainya yang kupakai adalah ragaku sendiri, alangkah bangganya aku memandangi diriku di setiap sisi dinding bercermin ini!"

Laras Wulung menutup pintu kamar itu, tapi ia sendiri tetap ada di dalam kamar. Berarti Suto tidak dimasukkan dalam penjara. Bahkan perempuan itu berlagak cuek dengan pandangan mata Suto yang mengikutinya penuh perasaan kagum. Laras Wulung membuka almari dan mengeluarkan kain putih yang ternyata adalah sebuah jubah lembut berlengan panjang. Jubah itu sampai menutup mata kaki. Lalu sebuah kain merah muda diambilnya pula dari dalam almari berukir. Rupanya kain itu adalah selembar handuk berbulu halus.

"Mandilah dulu," ujar Laras Wulung agak datar dan bernada tegas.

"Mandinya di mana, ya?" pikir Suto. "Apakah nyebur ke kolam itu seperti mandi di sungai?!"

Laras Wulung sendiri melepaskan bajunya di tepian kolam berair jernih itu.

"Lho...?!" Bahkan bukan hanya baju yang dilepas Laras Wulung, melainkan juga pakaian lainnya dilepas juga tanpa rasa malu atau sungkan.

"Lho, lho...?!" mata Suto terbelalak dan sepertinya sukar berkedip lagi. Karena saat itu ia melihat dengan jelas sebentuk tubuh yang elok menawan. Tubuh putih mulus berdada sekal menantang dan berpinggul menonjol berisi, sungguh menggemaskan namun juga membuat jantung Suto terasa berhenti mendadak, lalu berdetak lagi dengan tersendat-sendat.

"Apakah kau tak ingin mandi, Badra?!" tegur Laras Wulung pada saat Suto berlagak memunggungi, tapi memandang jelas-jelas melalui pantulan cermin yang menutup dinding di depannya. Laras Wulung pun menatap Suto melalui bayangan yang ada di cermin itu.

"Ak... aku...," Suto menjadi salah tingkah. Laras Wulung mendekati dengan pandangan mata yang teduh namun mengandung daya getar yang cukup membuat lutut terasa ngilu.

"Kalau kau tak mau mandi, aku tak mau melayanimu," kata Laras Wulung.

"Ap... ap... apa maksudmu berkata begitu?!" tanya Suto mulai menggeragap.

"Apakah kau berlagak bodoh?!"

Semakin sulit mulut Suto dipakai untuk bicara. Semakin kaku pula lidahnya.

"Badra Sanjaya selalu mandi bersamaku," ucap Laras Wulung sambil menatap dalam jarak sangat dekat. "Badra Sanjaya selalu patuh padaku, karena ia menyukai keindahan dan kemesraanku. Jangan mengubah kebiasaan, Badra."

"Oh, hemmm... iya, aku hanya... hanya merasa kagum yang kelewat batas terhadap kecantikanmu, Laras Wulung," ujar Suto yang tadi sempat tertegun dan menyimpan kecemasan.

Takut tidak diakui sebagai Badra Sanjaya. Kini ia biarkan Laras Wulung bersikap seperti seorang ibu ingin memandikan anaknya yang berusia tiga atau empat tahun. Tapi Laras Wulung adalah seorang ibuyang nakal, Karena sebelum anaknya menceburkan diri kedalam kolam pemandian, Laras Wulung sempat tersenyum-senyum sambil mempermainkan gairah sang bocah, ia berlutut dan sesekali memandang ke atas, menatap wajah pemilik kehangatan itu.

Bibir dan lidahnya nakal kembali setelah ia puas melihat si pemilik kehangatan mengerang lirih ditikam rasa nikmat. Jari-jari tangan Laras Wulung kian lincah mempermainkan sesuatu yang membuat Suto Sinting terlonjak-lonjak dalam buaian keindahan. Suto tak berani menolak, karena siapa tahu memang beginilah kebiasaan Badra Sanjaya jika berhadapan dengan pengawal kepercayaan sang Ratu ini.

Laras Wulung kian menunduk hingga akhirnya mencium lutut Suto. Dipagutnya lutut itu, dan hati Suto Sinting berdesir bagai diiris sembilu namun tak terasa sakit. Yang dirasakan dari pagutan pada bagian lututnya itu adalah siraman kenikmatan begitu indahdan membuat gairahnya kian berkobar-kobar. Lutut itu sesekali digigit kecil oleh Laras Wulung, sesekali disapu dengan lidahnya dan dipagut kembali.

Hanya saja, makin lama pagutan itu makin merayap ke atas dan terus ke atas sampai menemukan terminal keindahan. Laras Wulung memandang dengan sayu. Sangat menggoda sekali. Suto Sinting terengah-engah karena lelah menahan jeritan keindahannya. Tapi ia harus tetap bersikap seperti Badra Sanjaya. Maka ketika Laras Wulung menuntunnya mendekati sebuah batu setinggi pinggul yang permukaannya datar, Suto Sinting ikut saja tanpa menolak tanpa bertanya. Batu di dekat kolam jernih itu kini menjadi tempat duduk Laras Wulung.

"Beri aku keindahan yang dahsyat seperti biasanya...," ucap Laras Wulung dengan suara masih bernada wibawa.

Suto bingung apa yang harus dilakukannya supaya sama seperti yang dilakukan Badra Sanjaya. Apalagi sekarang perempuan itu merebah ke belakang tapi satu kakinya masih menapak di lantai sedangkan kaki yang satunya ada di tepian batu itu.

"Barangkali dia minta diperlakukan seperti saat dia memperlakukan diriku tadi," pikir Suto Sinting. Maka dilakukanlah seperti yang telah dilakukan Laras Wulung kepada Suto saat Suto berdiri tadi.

"Ooouh...!" Belum-belum Laras Wulung telah memekik ketika Suto menempelkan bibirnya di lutut perempuan itu. Selanjutnya, suara Laras Wulung seperti orang di kamar penyiksaan. Menjerit, mengerang, merengek, terengah-engah, mendesah, lalu menjerit lagi. Bahkan kadang terpekik dengan kedua tangan meremas rambut kepala Suto kuat-kuat. Perempuan itu ternyata lebih dahsyat dari yang pernah dihadapi Suto Sinting sebelumnya.

"Lakukan...!" sentak Laras Wulung bagai orang marah. "Cepat lakukan sekarang! Cepaaat...! Oooouh...!" Ia juga seperti orang menangis.

Suto Sinting jadi bingung sendiri. "Apa maunya perempuan ini? Dibeginikan mengeluh, digitukan menjerit, digini-gitukan memekik, digitu-gitukan malah merengek. Jadi aku harus bagaimana sebenarnya?!" gerutu Suto Sinting dalam hati, tapi tetap menjadi seekor kucing yang memandikan anaknya.

Laras Wulung sangat kegirangan. Jerit, pekik, rengekan, keluh dan semua yang dilontarkan lewat mulut Laras Wulung hingga berisik itu adalah pernyataan dari rasa girang, bahagia, nikmat, syahdu, dan sebagainya yang bercampur menjadi satu.

Jebuuurrr...!

Karena banyak bergerak, Laras Wulung jatuh ke kolam itu setelah memekik keras-keras dan tangannya yang meremat pundak Suto Sinting itu terlepas karena tubuh Suto mengucurkan keringat dengan deras.

"Cepat kemari... cepat...!" panggil Laras Wulung, kemudian Suto pun akhirnya terjun ke kolam itu.

Jebuuuurr...! Jebar, jebur, jebar, jebur...!

Air kolam menjadi kacau. Laras Wulung memukul-mukul air kolam ketika Suto Sinting memeluknya. Suara Laras Wulung berhamburan tak jelas apa yang diucapkannya.

"Kenapa tidak kau lakukan!" sentak Laras Wulung pada akhirnya. "Lakukanlah! Kau bukan Suto Sinting, tapi Badra Sanjaya! Lakukanlah...!"

Suto Sinting bingung mendengar ucapan itu. Tapi karena Laras Wulung mendesak dan membentak, nyaris mengamuk, maka Suto Sinting pun akhirnya memberikan apa yang diminta Laras Wulung dari Badra Sanjaya.

"Kuberikan apa yang kau minta dari Badra Sanjaya!" ucap batin Suto. "Barangkali inilah yang kau inginkan dari Badra Sanjaya...!"

"Aaaahhh...!" teriakan panjang Laras Wulung adalah puncak keindahan yang dicapainya dan diperoleh dari Badra Sanjaya. Perempuan itu akhirnya terkulai lemas di tepian kolam. Suto Sinting masih tegar dan berdiri di sampingnya dengan tegak, gagah, dan kekar.

"Kau luar biasa dari yang pernah kudapatkan darimu, Badra Sanjaya!" ujar Laras Wulung sambil tergolek pandangi pria yang berdiri disampingnya.

"Mengapa kau sebut nama Suto Sinting?" pancing Suto karena kecurigaannya semakin besar.

"Apakah aku tadi menyebut nama Suto Sinting?!"

"Ya, kau menyebutnya!"

"Oh, mungkin karena aku tahu kau bukan Badra Sanjaya, melainkan Pendekar Mabuk. Kau adalah Suto Sinting!"

"Aku Badra Sanjaya!" sentak Suto yang terkejut sekali mendengar pernyataan itu. "Aku murid Ki Jalu Kuping dari Gunung Dara!"

"Bukan. Kau bukan Badra Sanjaya. Ragamu memang Badra Sanjaya tapi sukmamu, jiwamu, rasamu, semua adalah milik Pendekar Mabuk!"

Laras Wulung pun bangkit dan memandang Suto tegas-tegas. "Badra Sanjaya sudah ada di sini sebelum kau datang."

Mata Suto terbelalak walau tak begitu lebar, ia menyembunyikan rasa kagetnya.

"Badra Sanjaya sekarang berada dalam tabung kaca. Tapi raganya masih bisa kunikmati seperti biasanya. Sukmamu membantuku mendapatkan keindahan dari Badra Sanjaya. Aku tahu, Jalu Kuping mempunyai ilmu 'Sewaka Sukma'. Jika Badra Sanjaya beberapa waktu yang lalu lari dari sini dan kembali kepada gurunya, sudah kuperkirakan bahwa ilmu 'Sewaka Sukma' akan digunakan oleh Jalu Kuping. Tapi aku tak menyangka kalau Pendekar Mabuk yang pernah menemuiku bersama Yundawuni itu adalah orang yang nyawanya disewa oleh Jalu Kuping!"

Suto Sinting merasa telah tertangkap basah, ia tak bisa mengelak lagi, akhirnya ia mengakui secara tak langsung atas kebenaran pendapat Laras Wulung itu. "Dari mana kau tahu kalau aku adalah Pendekar Mabuk?"

"Bumbung tuakmu tak mungkin bisa berada di tangan Badra Sanjaya! Ilmumu jauh lebih tinggi dari Badra Sanjaya! Karena kutahu kau murid si Gila Tuak."

"Dari mana kau tahu aku murid si Gila Tuak?"

"Yundawuni menjelaskan tentang dirimu, selain itu juga kabar dari beberapa orang yang pernah melihat kehebatan ilmumu!" jawab Laras Wulung.

"Tapi mengapa kau masih tetap mengharap kemesraan dariku, sedangkan kau tahu aku bukan Badra Sanjaya?!"

"Aku sangat membutuhkan kemesraan itu. Aku... aku mencintai Badra Sanjaya. Sebab itulah dia kusuruh melarikan diri dari istana ini. Aku tak ingin Badra Sanjaya menjadi budak gairah Nyai Ratu setiap malam atau kapan saja Nyai Ratu membutuhkannya. Aku merasa lebih baik tidak melihat orang yang kucintai daripada melihat kekasihku itu terpaksa harus melayani keinginan Nyai Ratu!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Setelah diam sesaat dan Laras Wulung duduk di tepian kolam, Suto pun segera ajukan tanya lagi kepada wanita cantik berselera tinggi itu.

"Benarkah Nyai Ratu menyuruh orang-orangnya menangkap Badra Sanjaya karena tuduhan mencuri pusaka 'Jarum Surga'?!"

Laras Wulung tersenyum kecil. Ia memandang Suto yang berdiri di sampingnya dalam keadaan masih tetap seperti keluar dari kolam. Perempuan itu segera berkata sambil memandangi tubuh bagian bawah Suto. "Itulah pusaka 'Jarum Surga' yang dimaksud!"

"Ooh...?!" Suto Sinting tersentak kaget, merasa terkecoh oleh bayangannya tentang pusaka 'Jarum Surga' itu. "Sewaktu aku datang bersama Yundawuni, kau bilang padaku bahwa pusaka 'Jarum Surga' dibawa lari oleh Badra Sanjaya, dan pusaka itu seperti tombak yang..."

"Bukankah memang seperti tombak?!" sahut Laras Wulung sambil tersenyum. "Aku tidak bilang bahwa pusaka dicuri Badra Sanjaya, tapi pusaka 'Jarum Surga' dibawa lari oleh Badra Sanjaya. Memang dibawa lari, sebab pusaka itu adalah milik Badra Sanjaya dan ia melarikan diri, maka dikatakan pusaka itu dibawa lari. Apakah aku salah?!"

Pendekar Mabuk hanya tarik napas dalam-dalam. Ia benar-benar terkecoh oleh permainan kata Laras Wulung. "Siapa yang memberi perintah menangkap Badra Sanjaya?"

"Nyai Ratu...! Perintah itu memang turun dari Nyai Ratu sendiri. Sebab Nyai Ratu membutuhkan pusaka 'Jarum Surga' itu. Dia ingin mendapatkannya kembali. Jika tak berhasil, dia akan membunuh Badra Sanjaya. Maka kuminta bantuan kepada Yundawuni untuk menghubungi Pendekar Mabuk. Kuminta kau menangkap Badra Sanjaya sebab aku takut Badra Sanjaya diburu oleh pengawal Nyai Ratu yang ilmunya cukup tinggi. Jika kau lebih dulu menangkap Badra Sanjaya, maka kau akan melindungi nyawa Badra Sanjaya dari serangan para pengawal Nyai Ratu yang mendapat tugas memburunya itu."

"Ooh, cerdik sekali kau sebenarnya, Laras Wulung?!" Suto Sinting manggut-manggut lagi. "Tapi mengapa menurut cerita Ki Jalu Kuping, yang disebut-sebut oleh Badra Sanjaya adalah nama Ratu Dekap Rindu?! Mengapa bukan namamu? Apakah dia tidak mencintaimu?"

"Itu karena dia terkena jurus 'Ranjang Goyang' sang Ratu. Jurus 'Ranjang Goyang' dapat mengenai lawan bercumbu pada saat sang Ratu merasa dikecewakan dalam cumbuannya. Dan dengan sendirinya kekuatan gaib dari Jurus 'Ranjang Goyang' itu terlepas dari sorot pandangan mata sang Ratu," tutur Laras Wulung. Sambungnya lagi, "Maka ketika Nyai Ratu mengaku pernah dikecewakan oleh Badra Sanjaya, aku segera tanggap bahwa Badra Sanjaya pasti telah terkena jurus 'Ranjang Goyang'. Jika begitu, maka cepat atau lambat sukmanya akan datang sendiri kepada Nyai Ratu dan segera dimasukkan dalam tabung beling untuk dipenjarakan. Sukma itu tak akan pergi ke mana-mana jika tabung itu tidak dibuka atau tidak dipecahkan!"

"Sekarang di mana tabung itu berada?" tanya Suto yang sudah mulai yakin bahwa Laras Wulung ada di pihak Badra Sanjaya.

"Tabung itu ada di kamar Nyai Ratu. Tak seorang pun mengetahui letaknya dan cara mengambilnya kecuali aku! Karena aku pengawal kepercayaan Nyai Ratu!"

"Maukah kau mengambilkannya untukku demi membebaskan sukma si Badra Sanjaya?"

"Aku tak keberatan asalkan kau mau juga melindungiku jika Nyai Ratu murka padaku!"

"Kalau aku tak mau, bagaimana?"

Laras Wulung diam sebentar. Kemudian ia memandang Suto sambil berdiri. "Tolong, bantulah aku. Aku sangat mencintai Badra Sanjaya! Aku akan kalah jika melawan Nyai Ratu."

"Kau mencintai Badra Sanjaya?"

Laras Wulung mengangguk.

"Apakah kau tak tahu bahwa Badra Sanjaya sering melayani perempuan lain, termasuk Gayanti, Paras Juwita dan..."

"Dan aku juga," potong Laras Wulung. Ia melangkah kesamping, lalu berbalik dan menatap Suto kembali. "Ketika Badra Sanjaya datang kemari mencari kakak seperguruannya yang bernama Jantra Loya, kami berhasil memperdayanya. Sebenarnya kami tidak tahu di mana Jantra Loya berada, karena kami tak punya urusan dengan Jantra Loya. Tapi melihat ketampanan Badra Sanjaya, kami katakan bahwa Jantra Loya dalam tawanan kami. Dia bisa dilepaskan jika Badra Sanjaya mau menjadi penghibur perempuan-perempuan di Bukit Kemesraan ini. Badra Sanjaya tak berkutik ketika melawan Nyai Ratu, akhirnya ia mau menjadi pelayan kemesraan kami. Jadi siapa pun yang membutuhkan kemesraannya, dia harus melayani, jika tidak maka Jantra Loya tidak akan kami lepas dari penjara. Padahal itu hanya tipu muslihat kami saja. Sampai akhirnya Nyai Ratu merasa bahagia jika mendapat pelayanan cinta dari Badra Sanjaya. Aku sendiri merasa bahagia sekali jika selesai bercumbu dengannya, lalu akhirnya aku jatuh cinta pada Badra Sanjaya dan ingin memiliki dia sepenuhnya."

"Hmmm...!" Suto Sinting manggut-manggut. Setelah diam tiga helaan napas, ia pun berkata dengan suara pelan tapi jelas dan tegas. "Baiklah, aku akan membantumu dalam memadu cinta dengan Badra Sanjaya, asal kau benar-benar mau menjadi seorang istri yang baik."

"Aku akan menjadi istri terbaik bagi Badra Sanjaya! Aku bersumpah untuk hal itu."

"Baik. Sekarang bebaskan sukma Badra Sanjaya, dan jika Nyai Ratu mengamuk, aku yang akan menghadapinya. Tapi terlebih dulu kau dan aku pergi ke Gunung Dara untuk meminta kembali ragaku! Tak mungkin aku bercinta denganmu dalam keadaan diriku bertubuh Badra Sanjaya, bukan?"

"Memang. Aku memang ingin Badra Sanjaya seutuhnya!"

"Kau akan menerimanya setelah sukmaku kembali ke ragaku yang asli dan sukma Badra Sanjaya bebas dari penjara."

"Akan kucari penjara sukma itu. Tapi... tapi maukah kau memberiku kemesraan lagi?"

"Bukankah kau tahu aku adalah Pendekar Mabuk?"

"Kau hanya tenaga penggerak saja. Tapi yang kurasakan adalah kehangatan dan kemesraan Badra Sanjaya. Tolonglah... beri aku sekali lagi biar kekuatanku pulih kembali."

"Kekuatan...?!"

"Kekuatanku akan susut dan bisa menjadi lenyap jika gairahku sudah telanjur timbul tapi tidak mendapat pelampiasan. Jika gairahku tidak pernah timbul, walau tak mendapatkan kemesraan aku tak akan kehilangan tenaga. Ini disebabkan karena aku memiliki ilmu 'Titis Panewu' warisan dari nenekku. Jika gairah sedang kambuh, tak dapat obatnya, maka ilmu 'Titis Panewu' akan menyerap tenaga dan kekuatan batinku."

"Apa itu ilmu 'Titis Panewu'?"

"Setiap anak yang kulahirkan secara dengan sendirinya akan memiliki seluruh ilmu yang ada padaku."

"Wah, hebat juga ilmu itu?!" puji Suto.

"Karena itulah, aku butuh obat untuk gairahku."

"Apakah kau bergairah lagi?"

Laras Wulung anggukkan kepala dengan malu-malu. "Aku rindu sekali kepada Badra Sanjaya, dan kebetulan kau hadir membawa raganya, maka gairahku meletup-letup sejak tadi. Tolonglah aku sekali ini saja, setelah itu kita lari dari sini sambil membawa tabung penjara sukmanya Badra Sanjaya!"

Bingung juga menghadapi masalah ini. Tapi akhirnya Suto Sinting berkata, "Aku tidak bisa melayanimu. Tapi kalau kau mau mengambil miliknya Badra Sanjaya, ambillah. Aku hanya sekadar membantu kalian!"

"Ooh...!" Laras Wulung segera memeluk raga Badra Sanjaya dan hanyut dalam ayunan gelombang cinta yang luar biasa dahsyatnya, tidak seperti saat-saat sebelumnya.

Pencurian tabung penjara sukma segera dilakukan Laras Wulung sesuai rencana. Pendekar Mabuk hanya membayang-bayangi di luar kamar Nyai Ratu, dan Laras Wulung sendiri yang masuk ke dalam kamar tersebut. Ketika ia berhasil membawa tabung beling berisi asap ungu samar-samar, tiba-tiba langkahnya kepergok oleh seorang pengawal lain yang bernama Kumbarini.

"Apa yang kau bawa itu, Laras Wulung?!" tegur Kumbarini dengan nada curiga.

"Nyai Ratu menyuruhku mengambil tabung penjara sukma ini!" kata Laras Wulung dengan tenang.

"Nyai Ratu sedang bersemadi. Tak mungkin ia menyuruhmu!"

"Mengapa kau tak percaya padaku, Kumbarini?!"

"Karena aku tahu tabung itu adalah tabung penjara sukma Badra Sanjaya. Aku tahu kau mencintai dia, karena aku pernah mendengar percakapanmu di balik kerimbunan bambu di taman keputrian itu. Kalian merencanakan untuk kabur dari sini. Kau yang menyuruh Badra Sanjaya melarikan diri. Kau pula yang menunjukkan pintu rahasia untuk meloloskan diri. Maka sekarang kutahu kau mencuri tabung itu untuk membebaskan sukma si Badra Sanjaya!" ujar perempuan berambut panjang dengan kenakan jubah biru bola-bola kuning. "Kembalikan tabung itu, Laras Wulung!"

"Jika kau tahu tentang rencana itu, mengapa kau tidak melaporkannya kepada Nyai Ratu?!"

"Karena aku tak punya bukti yang kuat. Sekarang aku punya bukti dan ingin menindakmu sendiri!"

"Kalau begitu, terimalah jurus 'Sekar Dayu' ini!" Clap, clap... ! Dua sinar biru keluar dari kibasan tangan kiri Laras Wulung.

Rupanya Kumbarini telah menduga akan diserang secara mendadak, ia telah siap menangkis dengan sentakkan tangan kanannya yang memancarkan sinar merah lebar. Maka dua sinar biru itu menghantam sinar merah yang menyerupai perisai itu.

Jegaaarrr...! Ledakan dahsyat mengguncangkan bangunan istana megah itu. Tentu saja ledakan tersebut membuat para pengawal lainnya berdatangan dan suasana menjadi heboh. Semakin bertambah heboh lagi setelah Kumbarini melesat naik ke atas serambi lalu berseru kepada para pengawal yang berdatangan itu.

"Laras Wulung mencuri tabung penjara sukma! Lihat...! Tabung itu ada di tangannya dan ia akan membebaskan sukmanya Badra Sanjaya!"

"Keparat! Rupanya dia sekarang menjadi pencuri jahanam! Serang dia! Seraaaang...!"

Lebih dari dua puluh lima pengawal berilmu tinggi mengepung Laras Wulung dan mereka menghujani Laras Wulung dengan pukulan bersinar.

"Hati-hati... tabung itu jangan sampai pecah!" seru Kumbarini mengingatkan teman-temannya, namun justru menjadikan Laras Wulung sadar akan hal itu. Maka sambil hindari sinar putih dari lawannya, Laras Wulung melemparkan tabung itu ke arah pohon.

Weess...! Pyaaar...!

Wuuutt...! Asap ungu tipis itu menyebar dan lenyap tersapu angin. Semua pengepung, termasuk Kumbarini terpekik tegang melihat tabung itu telah pecah.

"Bunuh dia! Jangan beri kesempatan hidup lagi!" teriak Kumbarini sambil menunjuk Laras Wulung.

Clap, clap, clap, clap...!

Laras Wulung dihujani sinar maut yang dapat hancurkan tubuhnya. Pada saat kritis itu, Pendekar Mabuk segera melesat menyambar tubuh Laras Wulung yang sedang melompat hindari pukulan maut lawan-lawannya.

Zlaaap...! Weees...!

Tahu-tahu Laras Wulung sudah berada di atas tembok benteng dalam keadaan dipondong seorang lelaki berpakaian serba hijau. Kumbarini dan yang lainnya terbelalak bengong.

"Kejar mereka!" teriak Kumbarini.

"Turunkan aku! Akan kulepaskan jurus penghancur istana ini!" kata Laras Wulung. Ia segera diturunkan dari pondongan Suto. Lalu kedua tangannya segera berkelebat bagai menari cepat, tahu-tahu menyentak ke depan. Wuuuk...! Maka dari kedua telapak tangannya keluar sinar ungu yang menyebar ke berbagai penjuru. Wuuuus...!

Blegaaarrr.... Bhaaaangg...!

Zlaaaap...! Suto Sinting menyambar tubuh Laras Wulung ketika nyala sinar ungu berubah menjadi api besar yang menyambar ke mana-mana. Dengan dipanggul Suto Sinting, Laras Wulung akhirnya meninggalkan istana itu pada saat suasana istana menjadi gempar, gaduh dan penuh kepanikan.

Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!

Dalam waktu singkat, Laras Wulung sudah berada jauh sekali dari Bukit Kemesraan. Jika tanpa bantuan jurus 'Gerak Siluman' Suto Sinting, barangkali para pengawal Ratu Dekap Rindu akan berhasil mengejar Laras Wulung. Setidaknya berhasil menghantam Laras Wulung dari jarak jauh.

Bleeebaang...!

Gelegar ledakan maha dahsyat masih terdengar sayup-sayup di tempat Suto menurunkan Laras Wulung dari pundaknya. Mereka hanya memandang ke arah Bukit Kemesraan yang memancarkan sinar merah terang yang menyebar ke langit, membuat langit petang menjadi merah bak terpanggang apineraka.

Kembalinya sukma Badra Sanjaya ditandai dengan bangkitnya raga Suto Sinting yang terbaring di dalam pondok Ki Jalu Kuping. Kakek berjubah abu-abu tampak kegirangan, karena ia yakin bahwa Suto berhasil memecahkan tabung penjara sukma itu. Keyakinannya itu menjadi kenyataan setelah Suto dalam sosok raga Badra Sanjaya itu tiba di padepokan Lereng Kunyuk, di Gunung Dara, bersama seorang wanita cantik yang tak lain adalah Laras Wulung.

Ki Jalu Kuping akhirnya memindahkan kembali sukma mereka ke tubuh masing-masing. Maka melompatlah Laras Wulung memeluk Badra Sanjaya dalam kegirangan yang luar biasa.

"Kurasa Ratu Dekap Rindu akan mencarimu, Laras Wulung!" kata Badra Sanjaya.

"Itu urusanku!" sahut Suto Sinting yang kini sudah merasa lega karena sudah memakai raganya sendiri. "Hanya saja, kumohon padamu, Badra Sanjaya... jangan kau umbar lagi kemesraanmu untuk gadis-gadis lain. Curahkan seluruh kekuatan kemesraanmu untuk Laras Wulung dan... segeralah meresmikan pernikahan kalian, supaya kalian nyata-nyata merasa saling memiliki!"

Badra Sanjaya dan Laras Wulung anggukkan kepala dengan senyum kedamaian dan kebahagiaan yang di ambang ancaman dendam Ratu Dekap Rindu.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.