Serial Pendekar Mabuk
Darah Pemuas Ratu
Karya Suryadi
Darah Pemuas Ratu
Karya Suryadi
SATU
DARI ketinggian sebuah tebing cadas, tampak sekelebat bayangan melintas di sela-sela pepohonan. Bayang itu bukan tanpa sosok, tapi mempunyai sosok yang sedang berlari ketakutan. Sosok orang yang berlari ketakutan itu mengenakan baju kuning dan celana hitam.
Dilihat dari parasnya yang belum berkumis dan belum berkeriput, maka ia dapat digolongkan sebagai anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun. Bukan rambutnya saja yang pendek, tapi badannya juga tergolong pendek, walau bukan berarti kerdil.
Pemuda itu pernah mengintip seorang wanita cantik bernama Puting Selaksa yang sedang mandi. Peristiwa itulah yang membuatnya menjadi salah satu dari sahabat Suto Sinting; si Pendekar Mabuk murid Gila Tuak itu. Pemuda yang punya kemahiran ngibul itu tak lain adalah Mahesa Gibas, yang juga pernah menjadi pelayan Adipati Jayengrana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Buronan Cinta Sekarat).
Sepasang mata yang mengikuti pelariannya dari atas tebing cadas bertanya-tanya dalam hati, "Apa yang membuat Mahesa Gibas berlari ketakutan seperti itu? Dikejar anjing, dikejar kucing, atau dikejar cacing?"
Beberapa kejap setelah Mahesa Gibas melewati gcrumbulan semak berduri, tampak seorang lelaki brewok berbadan gemuk sedang berlari pula sambil berseru keras-keras. Orang itu berpakaian serba abu-abu dengan ikat kepala kain merah. Melihat brewoknya yang lebat dan penampilannya yang berperut buncit itu, dapat diduga ia berusia sekitar empat puluh tahun.
"Berhenti! Hoii...! Berhenti kau, Mahesa!"
Seruan orang gemuk berikat pinggang kain merah itu membuat Mahesa Gibas menambah kecepatan larinya. Namun orang brewok bersenjata golok di pinggangnya juga menambah kecepatan larinya, seolah-olah ia tak ingin kehilangan buronannya.
"Mahesaa...! Berhenti kau, Setan Tuli!" teriak orang brewok bermata lebar yang membuat tampangnya menjadi cukup menyeramkan. Melihat si Mahesa Gibas membelok ke kiri, orang brewok itu memotong jalan dengan menerabas ilalang, ia segera lakukan lompatan dari ketinggian tanah di bawah tebing itu. Wuuut...! Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan Mahesa Gibas.
"Haahh...?!!" Mahesa Gibas terpekik kaget dengan mata mendelik, wajah menegang, mulut terbuka dan langkah terhenti. Jantungnya terasa kempes seketika.
Wuuus...! Orang brewok itu menyambar baju Mahesa Gibas pada saat pemuda itu berbalik daninginmelarikan diri lagi. Mahesa Gibas semakin ketakutan. Maka ia pun berteriak keras-keras untuk melampiaskan rasa takutnya.
"Toloong...! Toloong...! Aku mau diperkosa! Tolooong...!" sambil kaki Mahesa Gibas bergerak seakan sedang berlari, tapi sebenarnya menggantung di tempat karena orang brewok itu menjinjing baju Mahesa Gibas hingga tubuh kurus itu terangkat seperti anak kucing.
Sepasang mata yang ada di atas tebing cadas tak seberapa tinggi itu melihat jelas adegan tersebut. Sepasang mata itu milik pemuda tampan berambut panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala, ia memakai baju buntung warna coklat dan celana putih kusam. Di punggungnya terdapat bambu yang dipakai untuk bumbung tempat tuak. Pemuda itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk yang dikenal pula dengan nama Suto Sinting; murid si Gila Tuak.
Melihat Mahesa Gibas dicekal orang brewok, Suto Sinting segera kirimkan sentilan jarak jauhnya yang dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Tees...! Satu sentilan mempunyai kekuatan tenaga dalam seukuran tendangan kuda jantan. Dan hawa padat yang berasal dari sentilan jurus 'Jari Guntur' itu tepat kenai pinggang kanan si orang brewok. Beehk...!
"Aaahkk...!" si brewok memekik keras, tubuh gemuknya terlempar ke samping dalam jarak lima langkah.
Sentakan tubuh yang merasa seperti ditendang kuda jantan itu membuat genggaman pada baju Mahesa Gibas terlepas. Breet...! Baju itu sempat robek di bagian tepian tengkuknya. Mahesa Gibas sendiri juga jatuh terpental terbawa hempasan tubuh si brewok.
Zlaaap...! Suto Sinting berkelebat turun dari atas tebing yang tak seberapa tinggi Itu. Dalam sekejap ia sudah berdiri di depan si brewok yang masih menyeringai kesakitan dengan suara raungank ecilnya.
"Suto...?! Suto Sinting?! Oooh... kebetulan sekali!" seru Mahesa Gibas. Ia segera berlari hampiri Pendekar Mabuk. "Suto, tolong aku! Orang itu mengejarku dari kemarin!" sambil Mahesa Gibas mengguncang-guncang lengan Suto Sinting.
Pemuda tampan itu hanya diam dengan kalem dan pandangi si Mahesa Gibas. Hatinya tak percaya dengan pengakuan Mahesa Gibas tadi yang mengatakan dirinya dikejar si brewok dari kemarin.
"Tolong selamatkan aku, Suto! Selamatkan nyawaku dari orang berwajah mirip kuburan angker itu!" Mahesa Gibas memohon-mohon dengan wajahnya yang pucat menandakan sangat ketakutan. Suaranya yang beruntun menandakan bahwa ia sangat mengharap pembelaan dari si Pendekar Mabuk.
"Mundurlah ke pohon itu. Aku akan hadapi orang ini!" ujar Suto Sinting dengan suara tegas namun berkesan kalem.
Tepat pada saat Mahesa Gibas mundur ke bawah pohon yang berjarak lima langkah dari tempat Suto berdiri, orang brewok berbaju abu-abu tanpa dikancingkan itu bangkit dari jatuhnya. Rupanya ia mulai bisa atasi rasa sakit di pinggangnya akibat terkena sentilan jarak jauh tadi. Pinggangnya sempat memar membiru, namun dengan napas berat ia menahannya.
"Kebo jahil! Kaukah yang menyerangku tadi?!" bentaknya.
"Ya, memang aku yang menyerangmu dari jauh!" jawab Suto Sinting tegas dan tetap tenang. Bumbung tuaknya sudah dipindahkan, kini menggantung di pundak kanannya.
Si brewok sangat berang, matanya yang sebesar jengkol itu masih melotot, bagai hiasan yang enak dicolok. Suaranya sengaja dikeraskan agar tampak galak. "Mengapa kau menyerangku, hah?!" bentak si orang brewok kepada Suto Sinting, ia belum tahu siapa yang dihadapi saat itu.
Suto Sinting tidak menjawab, tapi justru ganti bertanya, "Mengapa kau mengejar-ngejar sahabatku; si Mahesa Gibas itu?!"
"Kalau kau tidak tahu persoalannya, mengapa kau menyerangku dari jarak jauh?! Apakah kau tak tahu kalau mendapat serangan seperti itu sangat sakit?! Lihat, pinggangku sampai memar membiru begini!" Ia menyingkapkan bajunya dan perlihatkan pinggangnya yang memar sebesar telapak tangan orang dewasa itu.
"Tadi kudengar teriakan Mahesa Gibas yang mengatakan dirinya akan kau perkosa?!"
"Bohong! Apakah kau tak tahu kalau aku seorang lelaki tulen?! Apa perlu kutunjukkan bukti kelelakianku?!"
"Justru aku tahu kau seorang lelaki, maka menurutku bisa saja kau memperkosa sahabatku yang juga lelaki."
"Dasar bocah bodong! Kau kira aku lelaki 'ganda campuran'?! Yang namanya lelaki tulen itu kalau mau memperkosa ya memperkosa perempuan! Untuk apa memperkosa sesama lelaki?! Tolol!"
Suto Sinting segera sadar. "Mahesa Gibas pandai menipu, pandai ngibul, dan mahir bikin gosip yang bukan-bukan. Jangan-jangan aku termakan tipuan si Mahesa Gibas seperti dulu?!"
Pendekar Mabuk segera memanggil Mahesa Gibas. Yang dipanggil mendekat pelan-pelan dengan rasa takut. Se bentar-sebentar melirik si orang brewok yang napasnya masih ngos-ngosan dan wajahnya masih tampak berang. Mahesa Gibas tak berani berdiri sejajar dengan Suto. Ia berhenti di belakang Suto Sinting, berlindung di sana jika sewaktu-waktu si orang brewok menyerangnya. Suto Sinting tetap di tempat, berpaling ke kanan dengan mata melirik ke arah Mahesa Gibas sambil ajukantanya, "Kau mengenal orang itu, Mahesa?!"
"Ya. Hmmm... dia yang bernama Panca Longak Longok!"
"Panca Longok!" sergah si brewok. "Tidak pakai Longak! Longok saja!"
Suto Sinting menahan geli dengan senyum kecilnya. "Benarkah kau mau diperkosa oleh si Panca Longok itu?!" tanya Suto, dan Mahesa Gibas gelagapan sesaat.
"Hmmm... dia... dia orangnya Ki Lurah Mugeni."
"Yang kutanyakan, benarkah kau mau diperkosanya, seperti apa yang kau serukan tadi?!" Suto Sinting agak menyentak dan Mahesa Gibas semakin grogi, ia tundukkan kepala dengan cemberut, sebagai tanda bahwa pengakuannya tadi tidak benar.
Panca Longok segera menyahut, "Aku memang pesuruhnya Ki Lurah Mugeni!"
"Hmm...!" Suto manggut-manggut memandang tak berkedip namun punya seulas senyum tipis yang membuat wajahnya tampak simpatik.
"Aku disuruh Ki Lurah Mugeni untuk mencari Mahesa Gibas."
"Perlu apa Ki Lurah Mugeni menyuruhmu mencari Mahesa Gibas?!"
"Menyerahkan hadiah buat Mahesa berupa sejumlah uang!" sambil Panca Longok keluarkan kantong merah dari lilitan ikat pinggangnya yang berwarna merah juga. Kantong merah bertali ditimang-timang dengan tangan kanannya. Gemerincing suara uang logam di dalam kantong merah terdengar, menandakan jumlahnya tidak sedikit.
Suto Sinting buru-buru memandang Mahesa Gibas. Yang dipandang terbelalak tak berkedip menatap kantong merah di tangan Panca Longok. Pesuruh Ki Lurah Mugeni segera jelaskan masalah sebenarnya kepada Pendekar Mabuk. Wajahnya masih cemberut menahan kedongkolan karena memar di pinggangnya masih terasa nyeri.
"Ki Lurah Mugeni sangat berterima kasih kepada Mahesa Gibas yang telah menemukan kotak perhiasan dan mengembalikannya kepada Ki Lurah."
Suto ajukan tanya dengan suara pelan, "Benarkah kau telah menemukan kotak perhiasan itu?!"
"Hemm... iyy... iya," jawab Mahesa Gibas dengan kaku.
Suto Sinting sempat berbisik sambil tersenyum, "Tumben kau jujur!"
"Kemarin malam aku menginap di rumah Ki Lurah Mugeni," tutur Mahesa Gibas. "Lalu, malam itu ada pencuri yang menggasak beberapa barang termasuk kotak perhiasan itu. Paginya kotak itu kutemukan tergeletak di tepi sungai. Maka kukembalikan kepada Ki Lurah Mugeni. Tapi... tapi isinya sudah tak ada. Aku hanya temukan kotaknya saja, Suto! Sumpah! Aku tak mengambil isinya!" Mahesa Gibas tampak ngotot, seakan takingin dituduh sebagai orang yang mengambil isi kotak perhiasan itu.
Lalu, pesuruh Ki Lurah Mugeni segera berkata, "Kotak itu memang hanya berisi sebuah cincin emas yang harganya tak seberapa. Cincin itu adalah cincin perkawinan Ki Lurah Mugeni dengan mendiang istrinya yang pertama. Ki Lurah sendiri mengiklaskan cincin itu, yang tentunya sudah diambil pencurinya dan kotaknya dibuang di tepi sungai. Namun ada benda paling berharga yang tersimpan dilapisan bawah dari kotak tersebut."
"Benda...?! Aku tak melihat benda apapun?!" ujar Mahesa Gibas dengan ngotot.
"Kotak itu terdiri dari dua lapis. Lapisan teratas berisi cincin kawin, tapi lapisan yang kedua berisi benda berharga yang belum sempat diurus oleh Ki Lurah Mugeni!"
"Ooh...?!" Mahesa Gibas terperangah.
"Benda itu peninggalan mendiang ayah Ki Lurah yang pernah menghancurkan kapal bajak laut dan menemukan benda tersebut di kapal itu. Tapi karena Ki Lurah Mugeni masih banyak kesibukan, maka beliau tak sempat mengurus benda tersebut."
"Maksudmu peta harta karun?" tanya Suto menebak.
"Hmm.... Hmm... bukan. Pokoknya ya... anu... berharga gitu." Orang itu jadi gugup, karena tebakan Suto sebenarnya memang betul.
Mahesa Gibas sempat tertegun bengong. Kini raut wajahnya tampak menyimpan penyesalan. Rupanya cincin yang ada dalam kotak perhiasan itu diambil sendiri oleh Mahesa Gibas sesaat setelah menemukan kotak perhiasan yang jatuh dari bungkusan si pencuri. Karena rasa takut dicurigai sebagai orang yang mengambil cincin emas, maka Mahesa Gibas buru-buru pamit dari rumah Ki Lurah Mugeni. Sampai sekarang cincin itu masih berada di selipan ikat pinggang Mahesa Gibas. Ia tidak tahu kalau kotak itu terdiri dari dua lapis dan berisi peta harta karun.
Ketika ia melihat Panca Longok menyusulnya, ia menyangka sedang dikejar-kejar karena persoalan cincin itu. Mahesa Gibas mengira akan dihajar oleh Panca Longok, sehingga ia berlari sejadinya dan berteriak asal saja. Rupanya ia dibayang-bayangi oleh kesalahannya sendiri, sehingga batinnya sangat tersiksa ketika rasa takut itu mencekamnya.
"Mahesa Gibas, terimalah hadiah dari Ki Lurah Mugeni ini! Ki Lurah berpesan, kapan-kapan jika kau lewat di desa kami, singgahlah walau hanya sebentar," ujar si Panca Longok yang sudah kehilangan rasa jengkelnya kepada Mahesa Gibas. Ia pun menyerahkan kantong merah kecil bertali yang berisi uang kepada Mahesa Gibas. Pemuda berwajah penuh sesal itu menerimanya tanpa senyum keceriaan.
"Kalau tahu begitu, lebih baik kuserahkan kotak bersama cincinnya. Karena dengan panduan peta itu aku bisa temukan harta karun tersebut dan aku bisa menjadi orang kaya!" gerutu hati Mahesa Gibas.
Panca Longok pamit pulang ke desanya setelah diberi minum tuak saktinya Suto. Tuak itu mempunyai khasiat ajaib, yaitu menghilangkan rasa sakit dan warna biru memar di pinggang Panca Longok.
"Mengapa kau masih tampak murung, Mahesa?" tegur Suto Sinting setelah Panca Longok tak ada di antara mereka berdua.
Mahesa Gibas diam saja. Ia menyelipkan kantong merah berisi uang itu ke kain ikat pinggangnya. Pada saat itu, tanpa disengaja cincin yang tersimpan di ikat pinggang itu jatuh ke tanah. Pluuk...! Suto Sinting terperanjat dan segera memungutnya. Mahesa Gibas mulai salah tingkah dan waswas.
"Cincin siapa ini, Mahesa?" tanya Suto sambil mengamati cincin tersebut.
"Hmm, eeh... cincin... cincin nenekku yang... yang..."
"Oooo... sekarang aku tahu!" Suto Sinting manggut-manggut sambil pandangi Mahesa Gibas. Yang dipandang semakin salah tingkah lagi. "Rupanya kau salah pengertian tadi. Kau menyangka si Panca Longok ingin menangkapmu, karena kau merasa bersalah telah mengambil cincin dalam kotak itu. Dan sekarang kau sangat menyesal setelah tahu kotak perhiasan itu ternyata berisi peta harta karun?! Hmm, ya, ya, ya pantas kau cemberut terus sejak tadi!"
Mahesa Gibas semakin tak bisa bicara. Malu sekali. Tapi dasar tukang kibul, dasar pula muka tembok, dalam sekejap ia sudah bisa nyengir dan segera alihkan pembicaraan ke masalah lain. "Aku disuruh Perawan Sinting untuk mencarimu, Suto!"
"Jangan mengalihkan pembicaraan dulu!" sergah Pendekar Mabuk dengan hati kesal. "Bereskan dulu masalah cincin ini!"
Mahesa Gibas takut, ia menunduk dengan wajah murung. "Baiklah. Kuakui... aku memang mengambil cincin itu sebelum kotak tersebut kuserahkan kepada Ki Lurah Mugeni," ujarnya lirih.
"Pulangkan cincin ini!" seraya Suto Sinting serahkan cincin itu kepada Mahesa Gibas. "Kuantar kau ke rumah Ki Lurah Mugeni, dan mintalah maaf kepada beliau!"
"Tapi... tapi Perawan Sinting ingin bertemu denganmu, Suto! Dia sangat membutuhkan dirimu!"
"Persoalan si Perawan Sinting adalah persoalan kedua. Persoalan yang pertama, kau harus kembalikan cincin itu dan meminta maaf kepada Ki Lurah Mugeni!" tegas Pendekar Mabuk.
Wajah si pembual itu semakin mendung. "Aku takut kalau..."
"Kutemani kau ke sana!" potong Suto Sinting.
Mahesa Gibas tak punya pilihan lain. Akhirnya ia kembali ke desa tempat Ki Lurah Mugeni dipercaya oleh penduduk sebagai sang kepala desa. Dalam perjalanan ke desa tersebut, ingatan Suto Sinting menerawang ke wajah cantik milik Perawan Sinting. Gadis yang mempunyai kesamaan nama belakang dengan Suto itu sudah lama tak dijumpainya. Namun benak Suto masih ingat tentang segala sesuatunya yang ada pada diri si Perawan Sinting itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sinting).
"Mengapa Perawan Sinting ingin bertemu denganku, hingga ia menyuruhmu mencariku?!" tanya Suto sambil melangkah.
Namun sebelum Mahesa Gibas menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba langkah mereka terhenti secara mendadak. Mereka dikejutkan oleh kemunculan seseorang yang turun dari atas pohon, melayang bagaikan seekor burung perkasa.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting memandang dengan mata sedikit mengecil karena merasa asing dengan orang tersebut. Sedangkan Mahesa Gibas hanya terbengong sambil mengusap dadanya yang nyaris kehilangan jantung karena rasa kagetnya tadi.
* * *
DUA
RAUT wajah tampan beralis tebal itu menatap Suto Sinting dengan sorot pandangan tajam. Pemuda itu berambut sepanjang pundak, seperti Suto. Hanya bedanya, rambut pemuda itu tampak bergelombang tidak selurus rambut Suto Sinting. Dengan alis tebal, hidung mancung, mata sedikit lebih besar dari mata Pendekar Mabuk, pemuda itu mempunyai ketampanan yang nyaris mendekati nilai ketampanan Suto. Kulitnya yang berwarna lebih muda dari warna kulit Suto itu membuatnya tetap berkesan jantan. Ia juga berbadan tegap, gempal, dan ketinggiannya sebaya dengan Suto,sehingga kegagahannya pun nyaris senilai dengan kegagahan Pendekat Mabuk.
Pemuda yang berusia sebaya Suto itu mengenakan celana biru muda, sabuk hitam, rompi cekak biru muda juga, dan berkalung hitam dengan bandul berbentuk bintang segi enam yang terbuat dari logam putih metal. Di bagian tengah bintang segi enam itu terdapat batu ungu sebesar kelereng.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Sobat?!" tegur Suto Sinting dengan sikap bersahabat.
"Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk?!" tanya pemuda berpedang pendek di pinggang kiri itu.
"Aku bukan Pendekar Mabuk. Aku bernama Mahesa Gibas Wingit!" jawab Mahesa Gibas dengan lagak tengil.
"Aku tidak bertanya padamu, Orang-orangan Sawah!" geram pemuda itu.
"Aku hanya mengumumkan diri!" balas Mahesa Gibas, memuakkan sekali lagaknya.
Suto Sinting sunggingkan senyum kalem, kemudian menatap pemuda sebayanya yang masih berada dalam jarak enam langkah di depannya itu. "Benar. Akulah si Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Dari mana kau mengenaliku?"
"Ciri bumbung tuakmu itu!"
Suto menggumam lirih, lalu ajukan tanya kembali, "Kau sendiri siapa, Sobat?!"
"Aku Buyut Batara, utusan dari Tanah Leluhur!"
"Tanah Leluhur...?!" Mahesa Gibas menggumam dengan nada tegang, lalu wajahnya tampak tegang juga. Ia bergeser ke belakang Suto dengan pandangan mata dibayangi rasa takut. Hal itu mengundang kecurigaan dan rasa heran si Pendekar Mabuk.
"Aku ingin bicara denganmu sebentar, Suto!" bisik Mahesa Gibas, setelah itu ia menjauh dan Pendekar Mabuk mengikutinya. Sementara itu, si Buyut Batara memandang dengan curiga dan perasaan tak enak. Namun ia tetap berdiri di tempatnya dengan gagah. Dadanya yang keras dan bidang itu tetap tampak membusung tegar.
"Ini ada sangkut pautnya dengan Perawan Sinting, Suto!"
"Apa maksudmu?!" bisik Suto juga.
"Perawan Sinting menyuruhku mencarimu, karena ia ditemui oleh sekelompok orang dari Tanah Leluhur. Orang-orang itu menduga Perawan Sinting adikmu, dan mereka mencarimu. Mereka tak percaya dengan kata-kata Perawan Sinting yang tidak mengetahui di mana kau berada. Bahkan Perawan Sinting hampir saja mengambil tindakan keras, sebab mereka tidak mau pergi dan selalu mengikuti kemana kami pergi. Sampai akhirnya, ketika aku dan Perawan Sinting ada di sebuah kedai, Perawan Sinting menyuruhku pergi mencarimu secara diam-diam."
"Apa maksud orang-orang Tanah Leluhur itu mencariku?!"
"Aku tak tahu. Seingatku, mereka juga tidak menjelaskan kepada Perawan Sinting. Kalau tak ada aku, mungkin Perawan Sinting sudah dibunuhnya. Mereka tampak segan terhadapku."
Pendekar Mabuk tahu, kata-kata terakhir jelas bualan Mahesa Gibas sendiri. Bukan kenyataan. Suto tak heran lagi, karena Mahesa Gibas punya kebiasaan selalu menambahkan bualannya jika sedang menjelaskan sesuatu hal. Bualan itu dimaksud untuk mengangkat namanya agar tak dipandang remeh di depan siapa saja.
"Agaknya ada yang tak beres pada diri orang-orang Tanah Leluhur," gumam Suto Sinting dalam hati. "Aku sendiri belum pernah tahu di mana dan siapa penguasa Tanah Leluhur itu. Hmmm... sebaiknya kubereskan saja teka-teki ini dengan menghadapi si Buyut Batara itu!"
Maka, Suto pun bergegas kembali temui si Buyut Batara yang tampak menunggu dan tak mau mengganggu perundingan tadi. Sikapnya yang tak mau mengganggu perundingan tadi membuat Suto Sinting sedikit heran, karena sikap itu adalah sikap yang baik dan bertata krama tinggi. Padahal penjelasan Mahesa Gibas tadi menimbulkan kesan bahwa orang-orang Tanah Leluhur itu bermaksud buruk kepada Perawan Sinting. Pendekar Mabuk jadi serba salah menilai si Buyut Batara dalam hatinya.
"Buyut Batara, benarkah orang-orangmu telah menemui sahabatku yang bernama Perawan Sinting?!"
"Ya, benar!" jawab Buyut Batara dengan tegas. "Kami mencarimu, dan menghubungi adikmu; si Perawan Sinting untuk menanyakan di mana kau berada dan meminta bantuannya mencari dirimu."
"Perawan Sinting bukan adikku!" ujar Suto dengan tegas. "Tapi dia lebih dari seorang adik bagiku."
"O, kalau begitu kami tak salah jika meminta bantuannya mencarikan dirimu, Suto Sinting?!"
"Jika dilakukan dengan kasar itu sama saja menantang permusuhan denganku!"
"Kurasa tak ada perintah untuk menemui Perawan Sinting dan meminta bantuannya secara kasar! Sama halnya sikapku terhadapmu saat ini, Pendekar Mabuk! Apakah kau menilaiku bersikap kasar kepadamu?!"
Pendekar Mabuk diam sesaat. Tapi dalam hatinya ia mengakui bahwa sikap yang ditunjukkan Buyut Batara di depannya pada saat itu tidak mempunyai kekasaran sedikit pun. Jika suara si Buyut Batara agak keras, itu lantaran ia punya sikap yang tegas dan ingin menegakkan wibawanya.
"Jika begitu kau tentunya tak keberatan jika jelaskan apa perlunya kau mencariku, Buyut Batara?!"
"Aku ingin membawamu ke Tanah Leluhur. Rakyat kami sangat membutuhkan dirimu, Pendekar Mabuk."
"Hmmm... Perlu apa aku dibawa ke Tanah Leluhur?!"
"Kami..."
"Ssst...!" tiba-tiba Suto Sinting memotong kata-kata Buyut Batara sebelum pemuda itu bicara lebih lanjut. Suto mendengar suara gemerisik semak terinjak.
Lirikan mata Pendekar Mabuk segera dipahami oleh Buyut Batara. Pemuda itu pun segera menyimak suara yang mencurigakan. Suara kaki melangkah pelan itu datang dari arah belakangnya, sehingga ia perlu bergeser sedikit memutar tubuhnya dengan lirikan mata tegang. Sedangkan Mahesa Gibas mulai bersiap-siap mencari tempat berlindung, karena ia tahu akan terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya jika tak segera berlindung.
Tiba-tiba dua buah logam yang memantulkan sinar matahari berkelebat ke arah Buyut Batara. Wuuus, wuuuss...! Dua pisau terbang melesat dari arah samping kiri Buyut Batara. Tapi sebelum pemuda itu menghindarinya, dua pisau serupa muncul lagi dan mengarah ke punggung Buyut Batara. Wuus, wwuusss...!
Buyut Batara sentakkan kakinya dan dalam sekejap tubuhnya sudah melambung ke atas. Wees...! Sedangkan Suto Sinting segera bergerak cepat dalam satu lompatan yang sulit dilihat orang. Zlaap...! Teb, teeb...! Kedua pisau yang mengarah di punggung Buyut Batara berhasil ditangkapnya dengan dua tangan. Kedua pisau itu terjepit di sela jari tangan kanan-kiri Pendekar Mabuk.
Buyut Batara daratkan kakinya kembali ke tanah setelah dua pisau dari arah kirinya menancap di sebatang pohon. Jreb. Jreeb..! Tangan pemuda itu segera merenggang, penuh siaga. Matanya yang tajam melirik Pendekar Mabuk. Kedua tangan Suto sedikit diacungkan, memperlihatkan kedua pisau yang berhasil ditangkapnya itu. Wajah Suto tidak setegang Buyut Batara.
"Aku dapat dua!" ujar Suto sambil tersenyum, ia menampakkan ketenangannya.
Buyut Batara masih tegang. Baru saja ia ingin membalas senyuman Suto, tiba-tiba matanya melihat dua orang menerjang Suto dari belakang dengan satu lompatan sama-sama cepat. "Awas di belakangmu, Suto!" pekik Buyut Batara.
Tapi senyum Pendekar Mabuk masih tetap mekar tanpa rasa kaget. "Aku tahu...," ujar Suto dengan kalem, lalu cepat membalikkan badan dan kedua tangannya mengayun ke depan, sambil berlutut satu kali. Wuut, wuut...! Kedua pisau di tangan Suto itu melesat dan menancap mengenai kedua orang tersebut. Jeb, jeb...!
"Aaahk...!" keduanya terpekik dan jatuh terjungkal kehilangan keseimbangan tubuh. Satu pisau menancap di paha salah seorang, satu pisau lagi menancap di bawah pundak kanan orang yang satunya lagi.
Kemunculan dua orang yang telah berhasil dirobohkan Suto itu disusul dengan munculnya tiga orang lagi. Mereka melompat dari balik kerimbunan semak sebelah kiri Buyut Batara dan sebelah kanannya. Wuuut...! Jleg, jleg...! Brruk...! Salah seorang yang baru muncul itu terpeleset dan terpelanting jatuh. Memalukan sekali. Tapi ia segera berdiri dan memaksakan wajahnya supaya tampak angker.
Kini kedua pemuda itu berhadapan dengan empat orang mengenakan rompi zirah, atau pakaian perang anti senjata tajam. Mereka mengenakan topi besi yang mirip bakul nasi. Lengan mereka juga dibungkus dengan kain berlapis besi agar tak mempan jika terkena pedang.
Mahesa Gibas semakin merunduk, berlindung semak-semak rimbun di balik pohon. Dari sela-sela batang semak, ia masih bisa melihat apa yang terjadi di depan sana. Pendekar Mabuk merasa heran melihat empat orang berpakaian Kerajaan seperti itu. Dua orang yang sempat dirobohkan dengan pisau terbang tadi juga berpakaian sama. Hanya saja, bagian paha mereka tak terlindung baju besi, sedangkan bawah pundak orang yang terkena pisau itu kebetulan robek sehingga pisau lemparan Suto dapat kenai tubuhnya.
Pisau beracun itu membuat kedua orang tersebut tak bisa berdiri lagi, tapi keadaannya masih bisa bernapas. Rupanya pisau itu mempunyai racun yang melumpuhkan korbannya, sehingga kedua orang tersebut hanya bisa mengerang kesakitan karena tak bisa mencabut pisau yang masih menancap di tubuh mereka. Empat orang bertopi besi mirip bakul nasi itu segera berjejer tegak dengan masing-masing tangan pegangi gagang pedang. Namun pedang mereka belum sempat dicabut. Salah seorang mewakili mereka maju dua langkah dari barisan.
Pendekar Mabuk melirik Buyut Batara. Pemuda itu sedang memperhatikan wajah-wajah angker keempat orang tersebut. "Siapa mereka? Aku tak punya kenalan seperti mereka," bisik Suto Sinting masih kelihatan tenang, karena bumbung tuaknya sudah berpindah di tangan kanannya begitu keempat orang tadi muncul dari semak-semak.
"Mereka adalah para prajurit dari Istana Kematian," jawab Buyut Batara dalam bisikan. "Mereka menghendaki diriku. Bukan dirimu. Karena merekalah yang selama ini menculik para pemuda Tanah Leluhur dan sering bikin kacau di tempat kami!"
"Jadi, bagaimana kalau sudah begini?!"
"Akan kucoba menangani mereka. Tapi... kurasa mereka juga akan menangkapmu!"
"Aneh. Belum kenalan sudah mau menangkap?" gumam Suto Sinting.
"Karena kau termasuk pemuda bertubuh kekar dan gagah."
"Apa hubungannya?!"
Buyut Batara tak sempat menjawab, karena suara orang yang maju dua langkah dari barisannya itu telah lebih dulu berseru dengan suaranya yang kasar, keras, danserak.
"Menyerahlah Buyut Batara, ketimbang kepalamu kupenggal di tempat ini! Jangan terlalu berharap dapat bantuan dari pemuda sebelahmu itu, karena ia pun akan segera kami lumpuhkan. Bilamana perlu akan kami cincang di sini juga!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum mendengar dirinya terancam juga. Ia justru membuka tutup bumbung tuaknya dan menenggak tuak dengan tenang, tanpa rasa takut diserang. Keempat orang Istana Kematian itu memperhatikan Suto dengan hati dongkol.
"Hei, kau... yang minum tuak! Dengar perhatikan kata-kataku!" bentak orang yang tadi mengancam. Orang itu hampiri Suto Sinting dengan pedang dicabut dari sarungnya dan bermaksud ingin mengancam memakai pedang tersebut.
Tetapi suara bentakan itu dimanfaatkan Suto untuk alasan tersedak. Minumnya terhenti, kepalanya tersentak kedepan, tuak di mulutnya menyembur ke arah orang tersebut sambil berlagak terbatuk-batuk. Bwrruus...!
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!"
"Haah...?!" orang yang mau mengancamnya itu kaget. Semburan tuak Suto itu bukan semata-mata semburan biasa, namun memercikkan bunga api yang segera membakar tubuh orang tersebut.
"Ooh, hhahh...?! Hhaaa... haaaaaa...!!"
Pendekar Mabuk telah mengawali perlawanannya. Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' digunakan dalam keadaan yang tepat sekali, tampak seolah-olah tidak sengaja, namun sebenarnya sangat sengaja. Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' itu membuat semburan tuak dari mulut Pendekar Mabuk berubah menjadi bara api dan segera membakar tubuh orang tersebut.
Semua mata terbelalak kaget, termasuk mata Buyut Batara. Mata mereka tak berkedip, tubuh mereka tak bergerak. Shock dalam beberapa helaan napas. Mereka hanya memandangi orang yang pakaiannya terbakar itu berguling-guling di rerumputan, berusaha memadamkan api yang membungkusnya.
"Toloong...! Keparat! Toloong...! Aaow...! Tolong aku, Jangan bengong saja, Setaann...!!" Jeritnya kepada ketiga prajurit lainnya.
Barulah ketiga prajurit itu berusaha memadamkan api dari tubuh orang tersebut. Ada yang menggunakan baju zirahnya dikebut-kebutkan untuk memadamkan api, ada yang menggunakan segenggam rumput ilalang disabet-sabetkan. Salah seorang lari sana-sini dengan bingung mencari air untuk padamkan api tersebut.
Suto Sinting tertawa seperti orang menggumam. Pelan tapi jelas merasa geli. Matanya pandangi kesibukan para prajurit itu. Ia berdiri berdekatan dengan Buyut Batara. Pemuda dari Tanah Leluhur itu akhirnya tersenyum juga melihat ketiga prajurit kebingungan memadamkan api yang membungkus tubuh temannya itu.
"Panaaas...! Panaaaass...! Aaoow...! Aaaaaiiir...!"
Mahesa Gibas ikut keluar dari persembunyiannya, ia berlari-lari membawa daun talas berisi air. Air itu segera disiramkan ke tubuh orang tersebut! Namun karena jumlahnya sedikit, maka air itu tak dapat memadamkan api yang makin lama semakin berkobar besar. Tanpa sadar seorang prajurit yang berusaha memadamkan api dengan menaburkan tanah ke tubuh korban itu berseru kepada Mahesa Gibas.
"Cari lagi yang banyak! Cepat, ambil air yang banyak seperti tadi!"
"Mana bisa! Aku sudah tidak bisa buang air lagi!"
"Hahh...?! Jadi yang kau siramkan tadi air senimu?!"
"Habis tak ada air lainnya?!" Mahesa Gibas ngotot.
"Kurang ajar! Wajah ketuaku disiram dengan air begituan?!"
Mahesa Gibas ketakutan, lalu segera lari ke arah Pendekar Mabuk dan Buyut Batara. Terdengar suara gerutu Pendekar Mabuk saat Mahesa Gibas berada di belakangnya.
"Kau ini bikin ulah yang bukan-bukan saja! Untung mereka tak segera memenggal lehermu!"
"Habis, aku sendiri juga bingung. Tak ada air terdekat dari sini. Kebetulan aku sedang kebelet... lalu, yah... kumanfaatkan saja. Siapa tahu bisa memadamkan api itu," ujar Mahesa Gibas dengan suara seperti orang menggumam.
Buyut Batara sendiri tidak segera lakukan serangan terhadap orang-orang istana Kematian itu. Pendekar Mabuk merasa heran dan akhirnya ajukan tanya kepada Buyut Batara.
"Mengapa kau tak menyerangnya saat mereka banyak kelengahan begitu?!"
"Hmmm... menurutmu bagaimana? Haruskah aku menyerangnya?!"
"Hei, mengapa kau menunggu perintah dariku?!" ujar Suto Sinting heran.
Buyut Batara bingung menjawabnya. Akhirnya Suto Sinting lakukan sesuatu setelah melihat Buyut Batara tampak ragu-ragu untuk bertindak. Pendekar Mabuk melesat dengan cepat kearah mereka yang sibuk memadamkan api. Zlaaap...! Jurus'Gerak Siluman'-nya yang mempunyai kecepatan seperti kecepatan cahaya itu dipergunakan. Kakinya merentak saat menerabas ketiga orang yang sibuk mengerumuni sang ketua prajurit itu. Brruus...!
"Aaahhh...!!" ketiganya memekik keras. Ketiganya juga terpental ke tiga arah dalam keadaan tubuh mereka melayang cepat. Mereka jatuh terhempas dengan kuat. Ada yang terbanting di rerumputan, ada yang masuk ke semak berduri, ada yang membentur pohon. Yang paling parah yang membentur pohon. Dua tulang rusuknya patah seketika, ia mengerang kesakitan. Sekalipun memakai rompi besi, tapi rompi yang membentur pohon dengan kuat itu justru membuat tulang iganya bagaikan dihantam dengan sebatang besi.
Pendekar Mabuk segera dekati orang yang terbakar. Orang itu masih mengerang dalam keadaan sekarat. Api masih berkobar-kobar. Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, sebagian ditelan, sebagian lagi disemburkan ke arah kobaran api tersebut.
Bwweerrs...! Wuuuubbbh...!
Api padam seketika. Dua prajurit yang tadi terkena pisau itu bisa memandang keadaan tersebut, dan diam-diam mereka tercengang kagum, namun masih tetap harus menyeringai menahan rasa sakit dalam keadaan lemas bagai tak bertulang sedikitpun. Sang ketua prajurit seperti babi panggang. Hangus dan berasap. Tapi ia masih bisa merintih walau pelan sekali, ia belum sempat mati. Jika api tak dipadamkan dalam waktu lima hitungan napas lagi, maka orang tersebut akan tewas tanpa bisa tertolong lagi.
Buyut Batara tetap diam di tempat bersebelah dengan Mahesa Gibas. Ia sempat menggumamkan kata kagum terhadap kemampuan Pendekar Mabuk dalam memadamkan kobaran api tersebut. "Luar biasa sekali!"
Mahesa Gibas menyahut, "Memang ini tindakan di luar biasanya."
Dahi pemuda Tanah Leluhur itu berkerut saat melihat Pendekar Mabuk menenggak tuak lagi. Rupanya kali ini tak ada tuak yang ditelan. Tuak itu segera disemburkan ke sekujur tubuh si ketua prajurit yang sudah seperti babi panggang itu. Bwwrreeess...!
Tak ada yang paham dengan tindakan itu. Mereka tak tahu bahwa Suto Sinting telah menggunakan jurus penyembuhan yang dinamakan jurus 'Sembur Husada' itu. Luka apa pun dapat disembuhkan dengan tuak yang disemburkan ke tubuh si penderita. Tetapi akibatnya si penderita akan kehilangan ingatan tentang diri Pendekar Mabuk. Seandainya si ketua prajurit sebelumnya sudah kenal baik dengan Suto, maka ia akan sembuh tapi lupa siapa diri Suto Sinting.
Jurus seperti itu jarang dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Biasanya Suto lakukan penyembuhan dengan cara meminumkan tuak dari bumbung saktinya itu. Tetapi agaknya kali ini ia tak memungkinkan dapat meminumkan tuak ke mulut orang yang sudah separo matang itu. Maka jurus 'Sembur Husada' dipergunakan, seperti saat ia mempergunakannya kepada seorang gadis yang terluka di masa lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).
Tiga prajurit yang tadi terpental hanya bisa terbengong di tempat melihat asap mengepul dengan tebal membungkus si ketua prajurit. Ketika asap itu pudar sedikit demi sedikit, tampak si ketua prajurit menggeliat bangun. Tubuhnya yang hangus dan terluka bakar itu menjadi bersih seperti sediakala. Si ketua bisa berdiri dengan tegak, seperti tak pernah mengalami luka apa pun. Ia sendiri merasa heran dan memperhatikan tubuhnya.
Tetapi ketika ia memandang Suto Sinting, orang itu tampak heran dan merasa baru kali ini jumpa dengan seorang pemuda berbaju buntung warna coklat. Dan bagi Suto, hal itu tidak merugikan dirinya. Toh tanpa terkena pengaruh dari jurus 'Sembur Husada' ketua prajurit itu tetap saja tak mengenal siapa Suto.
Dua orang prajurit yang terjerembab di semak dan terbanting di rerumputan tadi segera hampiri si ketua. Mereka pandangi keadaan tubuh si ketua, memeriksa dengan teliti. Lalu salah seorang berseru kepada dua orang yang terkena pisau dan satu orang yang patah rusuknya.
"Ketua sembuh! Ketua tak punya luka sedikit pun! Ajaib sekali!"
Pendekar Mabuk melangkah kalem ke arah Buyut Batara. Setibanya di samping pemuda itu, ia berkata pelan sambil pandangi si ketua prajurit yang sedang kebingungan. "Katakan kepada mereka, jika masih mau coba-coba mengganggu kami, aku akan bertindak lebih kasar lagi. Tapi jika mereka bersedia pulang ke Istana Kematian, akan kusembuhkan kedua orang yang terkena pisau itu dan seorang yang meraung di bawah pohon itu!"
Buyut Batara bagai seorang prajurit yang patuh kepada komandannya, ia pun berseru seperti apa yang dikatakan Suto Sinting tadi.
"Kami bukan orang-orang yang mengenal kata menyerah atau kalah, Buyut Batara!" seru si ketua prajurit masih ngotot juga. Sambungnya lagi, "Tetapi kami hanya bisa menunda waktu untuk satu tugas! Sekalipun sekarang kami pulang ke Istana Kematian, bukan berarti melepaskan ancaman untukmu dan... dan untuk temanmu itu! Aku hanya ingin buktikan kemampuan temanmu mengobati ketiga anak buahku itu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum. Buyut Batara berbisik sambil meliriknya. "Dia masih keras kepala!"
"Itu hanya sekadar jaga harga dirinya sebagai seorang prajurit. Kata-katanya sudah membuktikan dia tak akan berani berhadapan dengan kita lagi!"
Pendekar Mabuk akhirnya obati ketiga prajurit yang terluka itu dengan meminumkan tuaknya. Ketiganya menjadi sehat dan badan mereka terasa segar tanpa luka apa pun. Bahkan dua prajurit yang tadi terbanting dan menyerusuk ke semak berduri itu juga ikut minta minum tuak tersebut. Suto Sinting tak keberatan memberikan tuaknya. Setidaknya sikap itu telah mencerminkan kemenangan besar pada pihaknya.
"Lain waktu kita pasti bertemu!" kata si ketua prajurit dengan suara keras sambil menuding Suto Sinting.
Seruan itu hanya dijawab dengan lambaian tangan kecil oleh Suto dan senyum lebar yang berkesan melecehkan mereka. Mereka pun segera pergi tinggalkan tempat itu.
"Itulah mereka," ujar Buyut Batara. "Hampir setiap empat hari sekali mereka datang ke Tanah Leluhur dan membuat kekacauan, membunuh, merampas harta kami, dan... menculik beberapa pemuda yang berbadan sepertiku."
"Untuk apa mereka menculik pemuda-pemuda sepertimu?"
"Entah. Kami tak tahu dengan pasti. Tapi menurut dugaan kami, teman-temanku itu akan dijadikan prajurit di Istana Kematian, memperkuat Istana Kematian dalam menghadapi lawan. Sementara itu, Tanah Leluhur sendiri diharapkan tidak mempunyai kekuatan lagi setelah semua pemuda sepertiku diangkut ke Istana Kematian!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut dan menggumam pelan.
"Karenanya, aku dipilih oleh rakyat Tanah Leluhur.sebagai utusan yang bertugas mencari Pendekar Mabuk sampai dapat!"
"Maksudnya...?!"
"Kami ingin meminta bantuanmu untuk memperkuat Tanah Leluhur, mengusir orang-orang Istana Kematian, syukur bisa membebaskan rekan-rekanku yang diculik oleh pihak Istana Kematian itu! Kami menaruh harap sekali padamu, Suto! Karena itulah, beberapa orang kami yang mengetahui tentang perempuan bernama Perawan Sinting segera menghubungi perempuan itu dan mendesak agar diberi tahu di mana Suto Sinting berada. Mungkin desakan kami itu mencurigakan, sehingga Perawan Sinting merasa terganggu."
"Kurasa Perawan Sinting dapat memahami keadaan kalian jika sudah dijelaskan seperti ini."
"Lalu, keputusanmu sendiri bagaimana, Suto? Maukah kau menyelamatkan sisa nyawa yang ada di Tanah Leluhur itu?"
Pendekar Mabuk menarik napas, memandang jauh. Ia mempertimbangkan langkahnya, karena ia tak ingin masuk dalam jebakan yang membahayakan jiwanya.
* * *
TIGA
MENIMBANG serangan enam prajurit Istana Kematian yang mengincar Buyut Batara, akhirnya Pendekar Mabuk bergegas pergi ke Tanah Leluhur. Sebelumnya ia perintahkan Mahesa Gibas untuk menghubungi Perawan Sinting, karena sejak kematian Peri Kahyangan alias si Bayangan Setan itu, Mahesa Gibas selalu bersama Perawan Sinting, sementara Suto menyelesaikan urusan lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Bayangan Setan).
"Mahesa, cari Perawan Sinting dan beri tahu bahwa aku ada di Tanah Leluhur. Suruh gadis itu menyusulku di Tanah Leluhur!"
Mahesa Gibas tak bisa menolak perintah itu, karena sejak ia keluar dari jabatannya sebagai pelayan sang Adipati, hanya Suto Sinting dan Perawan Sinting yang mau menampungnya. Kedua orang itulah yang selalu dapat dijadikan pelindungnya jika terjadi bahaya mengancam keselamatannya.
Pendekar Mabuk sendiri memerintahkan hal itu bukan semata-mata meminta bantuan Perawan Sinting, tapi sebagai tindakan berjaga-jaga bagi dirinya sendiri. Seandainya permintaan Buyut Batara itu merupakan jebakan maut yang akan merepotkan dirinya, setidaknya Perawan Sinting akan segera mengetahui dan melakukan penyelamatan.
Tapi melihat wajah Buyut Batara berlagak tenang, tanpa kecemasan sedikit pun, hati kecil Suto mengatakan bahwa pihak Tanah Leluhur memang terancam kehancuran oleh tindakan orang-orang Istana Kematian. Buyut Batara tampak berharap sekali datangnya bantuan dari Pendekar Mabuk, sehingga apa pun yang ditanyakan Suto selalu dijawab apa adanya tanpa ada keraguan.
"Dulu Tanah Leluhur diperintah oleh Bapa Resi Burnawa. Tetapi sejak tewasnya Bapa Resi di tangan Ratu Kehangatan yang bernama asli Indudari itu, kekuatan Tanah Leluhur menjadi lemah. Sampai sekarang kami tak punya penguasa tunggal. Kami hanya mempunyai beberapa sesepuh yang untuk sementara ini menjadi pengatur kehidupan di Tanah Leluhur."
Buyut Batara menjelaskan hal itu, karena Suto Sinting ajukan tanya masalah penguasa Tanah Leluhur. Dalam otak Pendekar Mabuk mulai mencatat nama penguasa Istana Kematian yang agaknya lebih dikenal dengan nama Ratu Kehangatan ketimbang nama asli Indudari itu.
"Sudah berapa orang pemuda yang diculik dan dibawa ke Istana Kematian?!" tanya Suto Sinting.
"Tiga belas orang," jawab Buyut Batara. "Sebetulnya mereka pemuda-pemuda tangguh. Boleh dikata, mereka adalah prajurit pilihan kami yang mempunyai kepandaian bertempur, berilmu tinggi, dan berjiwa ksatria. Tetapi sekalipun kami mengunggulkan mereka, toh pihak Ratu Kehangatan masih bisa melumpuhkan kami satu persatu dan menculiknya, entah siang ataupun malam."
"Ada berapa pemuda tangguh di Tanah Leluhur?!"
"Tak banyak. Sisanya hanya sedikit, termasuk aku. Dan agaknya para penculik itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari kami."
"Hmmm...," Suto menggumam, lalu diam sesaat. Ia tetap melangkah di samping Buyut Batara bagai dua ksatria sedang menuju ke medan pertempuran.
Mereka berdua sama gagahnya, sama gantengnya, dan sama-sama berbadan kekar. Tak heran jika langkah mereka diikuti oleh sepasang mata yang secara diam-diam mengintai dari balik celah bebatuan besar di depan mereka. Bebatuan besar itu berada di atas bukit cadas yang tak seberapa tinggi, puncaknya dapat dicapai dengan satu kali sentakan kaki Suto Sinting.
"Selain para pemuda, adakah kaum wanita yang diculik mereka, Buyut?"
"Sejauh ini, belum ada," jawab Buyut Batara dengan kesan jujur. "Padahal kami juga punya beberapa gadis berilmu yang tergabung dalam kelompok para prajurit Tanah Leluhur."
"Hmmm...!" Suto manggut-manggut lagi.
Mereka melewati jalanan di bawah bukit cadas berbatu-batu itu. Suto Sinting sempat ajukan tanya kepada Buyut Batara.
"Apakah mereka yang hilang itu benar-benar dibawa ke Istana Kematian untuk dijadikan prajurit di sana?! Bagaimana jika ternyata mereka dibunuh?"
"Sejauh ini kami belum pernah menemukan mayat mereka. Jadi kami yakin mereka masih hidup dan berada dalam benteng Istana Kematian."
"Jauhkah letak Istana Kematian dengan Tanah Leluhur itu?!"
"Jika ditempuh dengan berjalan kaki biasa, memakan waktu satu hari satu malam. Tapi jika kita berlari cepat menggunakan ilmu petingan tubuh, kira-kira hanya memakan waktu satu malam atau satu siang."
"Termasuk dekat menurutku. Apakah pihakmu pernah menyerang ke Istana Kematian?"
"Belum pernah. Sebab kami sadar kekuatan kami tak seimbang jika berhadapan dengan pihak Istana Kematian. Tetapi dalam..."
"Ssst...!" Suto Sinting memotong pembicaraan itu dengan mencekal lengan kekar Buyut Batara. Tindakan itu mengherankan bagi Buyut Batara, sehingga ia berpaling memandang Suto dengan dahi berkerut.
"Tetap saja melangkah biasa," bisik Pendekar Mabuk.
"Ada apa sebenarnya?"
"Ada yang mengikuti kita."
"Ada di mana orang itu?! Di belakang kita?"
Suto Sinting tersenyum menahan rasa geli. "Namanya mengikuti ya tentu dari belakang, tidak mungkin dari depan! Kalau dari depan namanya menuntun kita! Bukan mengikuti!"
Buyut Batara malu dengan pertanyaan bodohnya tadi. Ia ingin menoleh ke belakang, tapi Suto Sinting buru-buru melarangnya.
"Jangan menoleh. Tetap saja seperti biasa, seolah-olah kita tak tahu kalau dia mengikuti dari belakang."
"Tapi... tapi dari mana kau tahu kalau dia mengikuti kita? Aku tak mendengar suara langkah kakinya," bisik Buyut Batara.
"Suara langkah kakinya memang tak terdengar. Kurasa dia mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup lumayan, sehingga langkah kakinya bisa tak terdengar. Tapi aku mendengar detak jantungnya."
"Ooh...?!" Buyut Batara terperanjat dan merasa kagum. Baru sekarang ia tahu ada orang yang bisa mendengar suara detak jantung di kejauhan.
Buyut Batara memang tak tahu bahwa Pendekar Mabuk juga mempunyai ilmu 'Lacak Jantung' yang membuatnya dapat mendengar detak jantung seseorang di tempat yang tersembunyi. Mereka akan melewati tikungan jalan. Kerimbunan pohon bambu yang tumbuh merapat dapat dijadikan tempat bersembunyi bagi kedua pemuda tersebut. Suto Sinting segera membisikkan rencana kepada Buyut Batara.
"Jika kita nanti sudah membelok di balik pepohonan bambu itu, lekaslah naik ke pohon. Kau bisa lakukan lompatan cepat ke atas pohon, bukan?"
"Bisa!" jawab Buyut Batara.
"Bagus. Carilah tempat bersembunyi di atas pohon nanti, agar jangan sampai kau terlihat dari bawah. Aku akan berhenti dan menghadang si penguntit kita itu!"
"Baik. Hati-hatilah, Suto!"
"Sekarang jangan kelihatan tegang dulu. Santai saja!" bujuk Suto Sinting karena Buyut Batara mulai menggenggamkan kedua tangannya. Hal itu bisa dilihat dari belakang dan tampak mereka bersiap menghadapi seseorang.
Karenanya, Buyut Batara segera melepaskan genggaman tangannya, ia ikut tertawa pelan ketika Suto Sinting membuat lelucon lewat celotehnya. Bahkan Suto Sinting sempatkan diri menenggak tuaknya sesaat. Gerakan menenggak itu dimaksud juga untuk memeriksa apakah ada bahaya di atas pohon sekitar mereka.
"Aman...," ucap Suto membatin. Langkah mereka pun berlanjut, membelok di tikungan, di balik serumpun pohon bambu hijau yang tumbuh rapat. Tak jauh dari tikungan ada sebuah pohon dengan cabangnya menaungi jalanan yang dilewati mereka berdua. Pendekar Mabuk berikan isyarat lewat angukan kepalanya.
Buyut Batara segera sentakkan kaki ke tanah. Wuuus...! Tubuhnya meluncur naik dan hinggap di salah satu dahan. Jleeg...! Suto Sinting memandang sebentar, kemudian ia tersenyum sambil menatap kearah tikungan itu. Ia sengaja berbalik arah dengan sikap menunggu datangnya si penguntit.
"Aku yakin dia berilmu tinggi, karena suara langkah kakinya tak terdengar sedikit pun," ujar Suto Sinting membatin sendiri. "Tapi ia tidak bisa sembunyikan suara detak jantungnya, sehingga ia tak akan menduga kalau kuhadang di sini dan akan kupergoki siapa dia sebenarnya!"
Ternyata sampai beberapa saat lamanya, dari arah tikungan itu tidak muncul siapa pun juga. Padahal hati Suto sudah tak sabar. Rasa penasaran ingin mengetahui siapa penguntitnya membuat Suto menjadi jengkel sendiri.
"Apakah dia tahu kalau sedang kujebak di sini?" pikir Suto, lalu segera menggunakan jurus 'Lacak Jantung'- nya lagi untuk mengetahui di mana orang itu bersembunyi. Namun sesaat setelah jurus itu dipergunakan, wajah Suto Sinting mulai berubah. Dahinya berkerut dan matanya melirik sekitarnya. Ada kecemasan yang mulai dirasakan oleh si murid sinting Gila Tuak itu. "Aneh! Tak ada suara detak jantungnya lagi? Apakah dia pergi ke lain arah dan jadi menguntitku? Hmm... tapi... tapi suara detak jantung Buyut Batara juga tak kutangkap dengan indera pendengaran gaibku?! Aneh sekali. Yang kutangkap hanya suara detak jantungku sendiri?!"
Pendekar Mabuk semakin cemas, ia mendongak keatas, memandang pohon berdaun rindang tempat Buyut Batara bersembunyi tadi. "Ooh...?! Tak kulihat bayangan seseorang di atas sana. Apakah Buyut Batara pindah tempat?! Sialan kalau pindah tempat!" ujar Suto membatin. Lalu, ia pun memanggil Buyut Batara dengan suara setengah tertahan.
"Buyut...! Hei, menjawablah, Buyut! Yuut...! Buyut Batara?! Ssst...! Buyut, kau dengar suaraku?!"
Tak ada jawab apa pun dari atas pohon. Pendekar Mabuk semakin bertambah cemas lagi. Wuuut...! Ia pun menyusul naik ke atas pohon dengan satu sentakan kaki ringan. Tubuhnya melayang dengan cepat dan menerabas daun-daun kecil yang rimbun itu. Brruuss...!
"Edan! Ke mana bocah itu?!" geramnya dengan hati kesal, karena Buyut Batara ternyata tak ada di pohon tersebut. Tapi ketika ia memandang ke arah selatan, tampak sekelebat bayangan merah tembaga yang melesat dari pohon ke pohon. Bayangan itu sepertinya sedang memanggul sesuatu yang berwarna biru muda.
"Kurang ajar! Rupanya seseorang telah berhasil membawa lari Buyut dari pohon ini?!"
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk segera mengejar bayangan merah jambu itu dengan hati semakin kesal, ia merasa telah kebobolan. Bahkan lebih parah lagi, niatnya menjebak justru ganti terjebak. Hal itu membuat Pendekar Mabuk sangat jengkel dan bertambah penasaran, ia harus berhasil menangkap orang itu dan membebaskan Buyut Batara, karena tertangkapnya Buyut Batara karena gagasannya sendiri.
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa keadaan Buyut Batara di atas pohon merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi pihak si penguntit. Orang tersebut bermaksud mengikuti Suto dan Buyut Batara melalui atas pohon, agar tak menimbulkan kecurigaan bagi kedua pemuda tersebut. Namun ketika ia tiba di pohon berdaun rindang itu, ternyata Buyut Batara muncul dan hinggap di sebuah dahan membelakangi orang tersebut.
Buyut Batara sendiri tak tahu ada orang di belakangnya, ia hanya rasakan sentuhan keras di bagian tengkuknya. Sentuhan keras di bagian sekitar tengkuk itu adalah sebuah totokan dua jari tangan si penguntit. Tentu saja Buyut Batara tersentak, namun tak bisa keluarkan suara, ia segera menjadi lemas, terkulai hampir jatuh.
Orang tersebut menyambar tubuh Buyut Batara sebelum pemuda itu jatuh dari atas pohon. Keadaan Buyut Batara masih sadar dan mengetahui apa yang sedang terjadi atas dirinya. Hanya saja, ia kehilangan kemampuan bersuara dan bergerak. Orang tersebut agak kerepotan sebentar menahan tubuh Buyut Batara yang gempal itu. Namun dengan kekuatan tenaga dalamnya, ia berhasil meletakkan Buyut Batara di pundaknya seperti handuk basah. Kemudian ia berusaha tinggalkan pohon itu tanpa suara sedikit pun. Mulanya langkah dan gerakannya dilakukan sangat pelan, setelah agak jauh baru ia berlari melompati pohon ke pohon dengan ilmu peringan tubuhnya.
Orang tersebut ternyata mempunyai kecepatan gerak yang membuat Suto Sinting kewalahan. Jurus 'Gerak Siluman' yang digunakan si Pendekar Mabuk tak berhasil memburunya, karena orang tersebut mempunyai gerakan berbelok-belok membingungkan. Bahkan Suto sempat salah arah. Ia takmelihat orang tersebut membelok ke arah timur. Suto masih mengejarnya ke arah selatan.
Setelah sadar ia salah arah, ia pun kembali ke arah semula. Tapi sudah terlambat; orang itu sudah membelok lagi entah ke arah mana. Suto Sinting mencari keberbagai penjuru dalam radius sekian kilometer. Tapi orang yang membawa lari Buyut Batara tetap tidak berhasil ditemukan.
Kesimpulan batin Suto mengatakan, "Pasti orang Istana Kematian! Entah siapa namanya, yang jelas bukan salah satu dari keenam prajurit tadi!"
Tentu saja Suto tak berhasil temukan orang tersebut, karena ia tidak melihat adanya sebuah gua kecil di salah satu lereng bukit tak jauh dari tempat ia salah arah itu. Gua tersebut selain kecil, hanya cukup untuk masuk satu orang dalam keadaan merunduk, juga bagian depan gua tumbuh ilalang setinggi pundak orang dewasa. Ilalang itu menutupi mulut gua, sehingga tidak kelihatan jelas dari jalanan seberang semak tersebut.
Orang tersebut meletakkan Buyut Batara di mulut gua itu. Setelah ia masuk ke dalam gua, ia segera menarik tubuh Buyut Batara hingga ikut masuk ke dalam gua tersebut. Jika bukan orang yang pernah masuk ke guaitu, tak mungkin gua itu mudah ditemukan oleh orang berpakaian merah tembaga itu.
Keadaan di dalam gua ternyata cukup lebar. Banyak bebatuan yang berserakan di sana-sini, tapi banyak pula tempat datar yang kering. Langit-langit gua itu mempunyai tiga lubang tembus ke atas bukit. Cahaya matahari masuk melalui tiga lubang tersebut, membuat suasana di dalam gua cukup terang tapi aman. Gua itu tidak punya jalan tembus ke mana-mana, selain celah-celah sempit pada dinding gua yang tidak bisa dipakai lewat seseorang. Celah sempit itu juga membiaskan cahaya matahari, sehingga jika matahari condong ke barat atau baru terbit dari timur, gua itu tetap mendapat penerangan cahaya.
Buyut Batara dibaringkan di atas tanah datar yang dilapisi daun-daun ilalang kering. Ilalang kering itu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan untuk tidur dengan empuk. Hal itu menandakan bahwa orang tersebut pernah tidur atau istirahat di gua itu beberapa kali. Suara sebuah ledakan yang samar-samar mengubah arah pengejaran Pendekar Mabuk. Suara itu berasal dari utara. Tampaknya cukup jauh dari tempatnya berdiri saat itu.
"Jangan-jangan suara ledakan itu adalah pertarungan Buyut Batara dengan orang berpakaian merah tembaga tadi?!" duga hati murid sinting si Giia Tuak. Maka tak ada langkah lain bagi Suto Sinting kecuali hampiri suara ledakan tersebut.
Ternyata suara itu memang datang dari sebuah pertarungan. Pertarungan itu terjadi di hutan berpohon renggang, sehingga banyak tempat kosong yang memberi kebebasan bagi sebuah pertarungan. Pada waktu Suto Sinting tiba di atas salah satu pohon, ia sempat kecewa sesaat, karena pertarungan itu bukan pertarungannya Buyut Batara. Namun hatinya segera tergugah melihat salah satu pihak yang bertarung itu adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wanita itu mempunyai paras wajah yang cantik walau berkulit sawo matang. Rambutnya disanggul sebagian, sisanya meriap sampai menutupi bahunya.
Tubuh sekal yang tampak padat berisi dan berurat kencang itu dibungkus dengan jubah kuning gading tanpa lengan. Jubah itu terbuka bagian depannya. Tapi si wanita cantik berhidung mancung itu mengenakan kain penutup dada berwarna hijau tua, sama dengan kain penutup bagian bawahnya yang berbelahan dua kanan-kiri itu. Sebuah sabuk dari kulit binatang dikenakan untuk menyelipkan pedang bergagang putih berkilauan dari logam anti karat.
"Siapa wanita cantik itu?!" tanya Suto dalam hatinya. "Gerakannya cukup gesit dan lincah. Jurus yang dimainkan... boleh juga! Ia punya gerak tipuan yang bagus. Hmmm... baru sekarang kulihat wanita bermata penuh keberanian itu. Tapi yang jelas, lawannya pasti orang istana Kematian, sebab pakaian besi dan topi besinya sama dengan keenam prajurit yang tadi. Namun dia bukan salah satu dari mereka. Aku ingat betul, wajah mereka tak ada yang seperti lelaki ini!"
Lelaki yang kini mencabut pedang panjangnya itu berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mempunyai kumis lebat dan berwajah ganas, ia mempunyai tubuh yang tinggi dan besar, melebihi keenam prajurit yang tadi berurusan dengan Suto. Orang mata lebar itu bukan saja pandai bermain jurus pedang, namun ia juga mempunyai jurus pukulan jarak jauh bercahaya merah.
Ketika pedangnya menebas dan tertangkis oleh pedang si wanita cantik, ia sempat terpental karena wanita itu segera memutar tubuh dan melayangkan tendangan kuatnya ke arah perut lawan. Begitu orang itu bangkit dari jatuhnya yang berjarak delapan langkah dari tempat si wanita cantik itu berdiri, tangan kirinya segera melepaskan sinar merah bundar seperti telur burung.
Claaap...! Sinar merah dari telapak tangan kirinya itu melesat ke arah wanita berjubah kuning. Namun dengan lincah wanita itu melenting ke udara, bersalto maju dua kali dengan gerakan putar yang cepat. Wes, wes...! Sinar merah itu akhirnya padam begitu saja karena menerjang rumput ilalang lebat. Buuuss...! Asap mengepul dari tengah kelebatan semak ilalang itu.
"Kalau ilalang itu tanahnya tidak basah, pasti akan terbakar karena sinar merah tadi," pikir Suto Sinting, namun perhatiannya segera berpindah ke pertarungan.
Wanita berjubah buntung warna kuning berdiri dalam jarak empat langkah dari lawannya, ia diserang dengan jurus pedang yang berkesan membabi-buta tapi mempunyai gerakan cepat.
Trang, trang, trang, trang...!
Wanita itu terdesak, karena setiap tebasan pedang yang ditangkisnya berkekuatan besar dan membuat tubuhnya terdorong mundur. Rupanya orang istana Kematian itu mempunyai tenaga cukup besar, sesuai dengan postur tubuhnya, sehingga tangkisan pedang si wanita selalu nyaris mengenai tubuhnya sendiri. Sabetan pedang lawan di bagian bawah bisa dihindari oleh si wanita dengan lompatan. Tapi di luar dugaan, lelaki itu juga melompat dan memutar tubuhnya dengan cepat sambil lepaskan tendangan kaki besarnya.
Wuuut, buuhkk...!
"Aahk...!" wanita itu terpekik karena pinggangnya terkena tendangan kuat. Tubuhnya terpental sejauh lima langkah ke samping kanan. Ia jatuh terbanting, kepalanya nyaris pecah karena batu besar yang ada di sampingnya dalam jarak tiga jengkal itu.
"Aahhhkk.... Uuuhk...!"
Rupanya tendangan kaki tadi mengandung tenaga dalam cukup besar, sehingga si wanita akhirnya mengeluarkan darah kental dari mulutnya. Selain rasa sakit di pinggangnya, rasa panas pun bagai membakar tubuh bagian dalam. Darah itu keluar cukup banyak dan membuat wanita tersebut menjadi pucat.
"Berakhir sudah riwayatmu, Perempuan Jalang! Heeaah...!" Prajurit berwajah angker itu melompat dengan pedang terangkat ke atas, siap memenggal leher si wanita yang sedang bersimpuh dan membungkuk. Tetapi ketika tubuhnya melayang di udara, tiba-tiba ia merasa diterjang sesuatu yang datang dari arah depannya. Angin padat berhembus cepat dan kuat, membuat tubuh si prajurit berwajah angker itu terlempar ke belakang dan berjumpalitan di udara.
Baaahk ..! Wuuusss...! Wuuk, wuuk, wuuk...! Praaang...!
"Aahk...!" ia memekik dengan kepala terdongak karena jatuh terbanting dalam posisi tengkurap. Tersangga batu sebesar anak sapi. Untung saja ia mengenakan rompi besi, sehingga tubuhnya tak mengalami luka, hanya saja dadanya terasa sakit sekali karena bagaikan membentur besi baja. Angin padat yang menabraknya tadi tak lain adalah jurus 'Jari Guntur' Suto yang disentilkan dari atas pohon.
Pendekar Mabuk akhirnya keluar dari persembunyiannya. Zlaaap...! Dalam waktu singkat ia sudah berada di depan wanita yang terluka, matanya memandang lurus ke arah prajurit berwajah angker itu.
"Bangsat! Rupanya kau mau cari mampus juga, hah?!" orang itu paksakan diri untuk berteriak, ia pun memaksakan diri untuk bangkit walau sambil menahan rasa sakit di dada. "Heeeaah...!" teriaknya sambil mengacungkan pedang lurus ke depan dan tubuhnya meluncur di udara dengan cepat bagaikan terbang. Pedang itu tepat mengarah ke dada Suto Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting pun meluncur ke depan bagaikan terbang, namun setelah bumbung tuaknya disodokkan. Bumbung tuak itu bagaikan menarik Suto hingga terbang mengikutinya. Jurus 'Bangau Mabuk' digunakan oleh Suto Sinting, sehingga ketika ia bertabrakan dengan prajurit itu, ujung pedang si prajurit beradu dengan ujung bumbung tuak Suto.
Duaaar...! Ledakan cukup keras terjadi. Prajurit itu terpental mundur dan melayang-layang. Pedangnya pecah patah menjadi beberapa keping, ia tak tahu bambu bumbung tuak itu bukan sembarang bambu dan mempunyai kesaktian dahsyat yang sulit dilawan.
Suto Sinting berdiri tegang setelah terjadinya ledakan tadi. Ia sunggingkan senyum, memandang tajam pada si prajurit yang terbatuk-batuk dan memuntahkan darah dari mulutnya. Rupanya ledakan tadi juga menyebarkan kekuatan tenaga dalam yang menghantam leher prajurit itu.
"Celaka! Kurasa dia bukan tandinganku! Uuhkk...! Sebaiknya kutinggalkan saja mereka! Lukaku harus kusembuhkan dulu!" pikir si prajurit. Prajurit itu segera melarikan diri dengan sisa tenaganya.
Pendekar Mabuk hanya memperhatikan dengan bertolak pinggang dan tersenyum. Bumbung tuaknya sudah digantungkan di pundak kanan. Setelah prajurit itu menghilang dari pandangan mata, Suto segera berbalik arah dan hampiri wanita berjubah kuning gading itu. Tetapi ia terkejut melihat wanita tersebut sudah terkapar dengan pedang tak bisa digenggamnya lagi.
"Celaka! Jangan-jangan nyawanya sudah melayang sebelum berkenalan denganku?!" ujar hati Suto dengan cemas, ia pun mempercepat langkahnya untuk sampai di tempat wanita cantik itu.
* * *
EMPAT
WANITA cantik itu akhirnya tertolong juga. Tuak yang dituangkan ke mulut wanita itu secara sedikit demi sedikit membuat kesembuhan yang mujarab. Wanita cantik itu kebingungan dan terheran-heran ketika menyadari badannya menjadi segar, lebih segar daripada sebelum lakukan pertarungan. Ia pun terperanjat memandang seraut wajah seorang pemuda tampan yang punya senyum mendebarkan itu.
Ketika wanita itu bebas dari maut akibat luka dalamnya, Suto Sinting berada di bawah pohon teduh, sandarkan pundak kirinya sambil kedua tangan terlipat di dada. Bumbung tuaknya menggantung di pundak kanan. Senyumnya mekar indah dengan tatapan mata yang lembut. Tak heran jika wanita cantik beralis tebal namun tertata rapi itu sempat terbengong menatap Pendekar Mabuk.
"Siapa dia?!" pikirnya, mencoba mengingat-ingat masa sebelum pingsan tadi.
"Seingatku... seingatku... orang Istana Kematian tadi menyerangku dengan tendangan yang luar biasa beratnya. Kemudian... kemudian aku jatuh, darahku keluar dari mulut dan... dan... dan kulihat samar-samar orang Istana Kematian tadi ingin mengakhiri hidupku dengan satu lompatan. Lalu... lalu bagaimana, ya?"
Wanita itu masih diammengingat-ingat pertarungannya tadi. "O, iya... kemudian lawanku tiba-tiba terpental sebelum pedangnya menghujam ke tubuhku. Dan... kalau tak salah, aku sempat melihat sekelebat bayangan melompati kepalaku, lalu berdiri di depanku, setelah itu... bayangan itu pingsan. Eh, aku yang pingsan. Hmmm.... Lalu ke mana si muka iblis tadi? Tak ada bangkainya di sini. Berarti si muka iblis tadi melarikan diri setelah pemuda itu membelaku. Hmmm... begitukah kejadiannya?!"
Suto Sinting tetap tidak menyapa lebih dulu. Ia ingin tahu, seperti apa sikap wanita cantik itu setelah lolos dari maut. Suto hanya memandanginya dengan seulas senyum indah tetap menghiasi bibirnya.
Wanita cantik masih membatin, "Jangan-jangan pemuda ini berkomplot dengan si muka iblis itu?! Lalu ia pura-pura... eh, tapi dia membawa bambu panjang. Apakah itu bumbung tuak?! O, ya... ia mengenakan baju coklat celana putih! Bukankah... bukankah itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk yang sering kudengar dari mulut orang-orang itu? Aduh, deg-degan juga aku jadinya. Apa benar dia Pendekar Mabuk?! Kalau melihat ketampanannya, gagahnya, ciri rambutnya tanpa ikat kepala, memang dia sesuai dengan ciri Pendekar Mabuk. Tapi siapa tahu dia hanya seorang penjual tuak dalam bumbung yang kebetulan nyasar kemari?!"
Dengan lagak membetulkan letak pakaian, membersihkan tanah dan memasukkan pedangnya ke sarung pedang, wanita cantik itu masih berkecamuk dalam hatinya. Setelah itu, ia pun segera tentukan sikap untuk menyapanya lebih dulu. Wajah ketus dan angkuh dipasang supaya tidak dinilai sebagai wanita seribu tiga alias wanita murahan.
"Mengapa kau memandangiku terus?!"
Pendekar Mabuk semakin lebarkan senyum, ia tahu wanita tersebut sedang salah tingkah dan tak mengerti harus berbuat apa. Karena sudah ada teguran pertama, Pendekar Mabuk akhirnya dekati wanita cantik bertubuh sekal itu. "Kebetulan aku lewat daerah sini. Aku sedang mencari sahabat baruku yang dibawa lari oleh seseorang."
"Aku tidak membawa lari sahabatmu!" ketus si wanita cantik.
"Memang bukan kau orangnya. Orang itu mengenakan pakaian merah tembaga. Oh, ya...?!" tiba-tiba Suto Sinting ingat sesuatu. Hati pun mulai bicara sendiri. "Pakaian merah tembaga seperti pakaian besi para prajurit Istana Kematian! Orang yang tadi melawan perempuan ini juga mengenakan rompi anti senjata tajam yang berwarna merah tembaga. Kalau begitu, Buyut Batara memang dibawa lari oleh prajurit Istana Kematian! Atau... atau orang tadikah yang membawanya lari?!"
Dengan ketegangan sedikit membias di wajah tampannya, Suto Sinting buru-buru ajukan tanya kepada wanita cantik itu. "Apakah... apakah kau tadi melihat prajurit muka angker itu memanggul seseorang?"
"Tidak!" jawabnya tegas. "Aku hanya melihat dia menenteng pedangnya. Ketika berpapasan denganku, dia segera menyerangku, karena dia tahu aku adalah orang Tanah Leluhur."
"Ooh...?!" Suto Sinting terkejut mendengar si wanita cantik adalah orang Tanah Leluhur.
Tapi wanita itu semakin angkat dagu menampakkan kesombongannya. Kesombongan itu bukan asli dari dalam jiwanya, melainkan sengaja dipaksakan timbul untuk menjaga harga dirinya di depan pemuda tampan itu.
"Benarkah kau orang Tanah Leluhur?!"
"Ya! Kenapa?!" ia melirik sinis. "Kau mau menangkapku seperti orang-orang istana Kematian itu?! Tangkaplah kalau kau bisa!" tantangnya sambil tangannya mulai meraih gagang pedang, namun belum mencabutnya.
Suto Sinting buru-buru nyengir. "Hmmm, bukan begitu maksudku. Hmmm... begini, aku sendiri sedang... sedang mencari sahabatku. Dia orang Tanah Leluhur juga dan..."
"Siapa namanya?!" potong wanita cantik itu dengan pandangan mata tertuju tegas-tegas ke wajah Suto Sinting.
"Namaku... Suto Sinting dan aku..."
"Yang kutanyakan siapa nama sahabatmu itu?!" sergah si wanita.
"Oh, nama sahabatku?! Hmmm... dia mengaku bernama Buyut Batara! Kami baru saja..."
"Siapa...?!" wanita itu terbelalak. "Buyut Batara?! Benarkah kau telah bertemu dengan adikku; si Atmajaya alias Buyut Batara itu?!"
Kini mata Suto Sinting juga menatap nanap pada wajah wanita cantik itu. "Adikmu?!" gumam Suto dengan nada sangsi.
"Buyut Batara adalah adikku! Dia mengenakan rompi biru dan celana biru, memakai kalung berbentuk bintang, mempunyai batu ungu di tengah bintang logam putih itu?!"
"Benar! Tepat sekali!" sahut Suto Sinting bersemangat. "Apakah kau melihatnya?!"
"Justru aku sedang mencarinya! Sudah tujuh hari dia tak pulang karena tugas mencari Pendekar Mabuk. Aku mencemaskan keselamatannya, maka kususul dia. Namun sudah dua hari ini aku tak bisa menemukan Buyut! Aku khawatir ia telah ditangkap oleh orang Istana Kematian!" Wanita itu mulai menampakkan kecemasan aslinya. Matanya memandang ke sana-sini, seakan tak sabar ingin segera bertemu dengan Buyut Batara.
"Pantas kecantikan wajahnya sedikit mirip dengan Buyut Batara, terutama hidungnya," ujar Suto Sinting dalam hati setelah membandingkan wajah wanita itu dengan wajah Buyut Batara.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya wanita cantik itu.
"Bukankah tadi sudah kusebutkan namaku?!"
Gadis itu bingung mengingatnya. Suto menyambung lagi, "Namaku adalah Suto Sinting."
"Oh, tak kuhiraukan nama itu tadi disebutkannya?" pikir si wanita. Lalu ia memandang Suto dengan sorot mata berbinar-binar. "Kalau begitu... kalau begitu kaukah yang bergelar Pendekar Mabuk itu?!"
"Buyut Batara mengenaliku sebagai Pendekar Mabuk. Mengapa kau tak mengenaliku?"
"Hmmm, eeh, hmmm, eehh...!" wanita cantik itu salah tingkah sendiri dengan senyum yang serba salah juga. Ia merasa malu karena tak merasa kalah cerdas dengan adiknya. Untuk menutupi rasa malunya, ia justru perkenalkan namanya sendiri. "Hmmm, ehh, iya... anu, namaku namaku: Rembulan Senja."
"Nama yang bagus sekali," gumam Suto Sinting lirih, sampai di telinga wanita cantik itu. Tetapi di dalam hati Suto ada gerutu yang tersembunyi. "Sial! Buyut tak pernah bilang kalau punya kakak secantik ini?! Apa dia takut kalau kakaknya kubawa kabur?! Hmmm... kurasa Buyut Batara belum tahu kalau aku adalah calon suami Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi yang bernama Dyah Sariningrum itu! Calon istriku juga cantik, tapi... tapi Rembulan Senja punya kecantikan yang berbeda dengan Dyah Sariningrum. Nilai kecantikannya sama, hanya coraknya yang berbeda."
Gerutuan yang hanyut ke dalam sebuah renungan panjang itu segera buyar, karena Rembulan Senja segera perdengarkan suaranya yang sudah tak seangkuh tadi, namun masih punya nada-nada tegas. Mungkin nada tegas itu sudah menjadi bagian dari sifatnya sebagai wanita cantik yang punya keberanian cukup besar. Terbukti ia berani melawan si wajah angker bertubuh tinggi besar tadi.
"Mengapa adikku bisa dibawa lari orang?! Apakah kau tidak bersamanya?"
"Kami sedang dalam perjalanan ke Tanah Leluhur. Tiba-tiba kutahu ada orang yang menguntit kami," ujar Suto Sinting, kemudian menceritakan peristiwa yang membuat hatinya dongkol sekali itu.
Rembulan Senja menarik napas, menekan kesedihan ke dasar hatinya. Wajah cantiknya memang tampak bersedih, namun tak begitu kentara jika tak diperhatikan dengan cermat.
"Dugaanku, salah satu dari prajurit Istana Kematian yang punya ilmu lebih tinggi dari prajurit yang melawanmu tadi, telah melarikan Buyut Batara ke Istana Kematian," ujar Suto Sinting. "Karenanya, aku ingin menuju ke Istana Kematian, tapi aku tak tahu di mana tempat itu berada!"
Rembulan Senja memandang ke arah selatan dengan mata sedikit menyipit karena menyimpan kemarahan membayangkan adiknya menjadi tawanan Ratu Kehangatan. Mulut wanita yang berbibir sensual itu tetap terkatup rapat, membuat Suto Sinting terpaksa perdengarkan suaranya lagi setelah meneguk tuaknya beberapa kali.
"Maukah kau menjadi pemanduku menuju istana Kematian itu?!"
Kejap berikut terdengar suara Rembulan Senja yang sedikit datar itu. "Terlalu berbahaya jika hanya berdua!"
"Oh, jangan khawatir. Aku bukan pemuda kurang ajar. Kujamin kau tak akan terganggu oleh keusilanku, baik tanganku maupun mataku. Aku sangat..."
"Yang kumaksud, berbahaya dalam menghadapi orang-orang Istana Kematian itu!" potong Rembulan Senja sedikit dongkol kepada Suto karena salah tanggap.
"Ooo...," Suto Sinting nyengir malu. Pandangan matanya dibuang ke arah lain.
"Ratu Kehangatan mempunyai prajurit-prajurit pilihan. Jika kita hanya berdua dan terkepung para prajurit pilihan itu, maka nyawa kita tak akan lama di tangan mereka!"
"Kalau begitu, kau sebagai penunjuk jalan saja. Setelah dekat dengan Istana Kematian, aku akan masuk sendiri ke istana itu untuk membebaskan Buyut Batara, syukur bisa membebaskan para tawanan lainnya. Kau bisa langsung pulang sebelum aku mendekati istana itu!"
"Kau akan masuk ke sana sendirian?!" ujar Rembulan Senja bernada tak percaya. "Itu sama saja kau mengantarkan nyawa secara cuma-cuma, Suto Sinting. Mereka tak bisa diserang dengan satu orang saja! Mereka harus diserang secara serentak dari berbagai penjuru! Menembus benteng pertahanannya saja sangat sulit, apalagi sampai membongkar tembok-tembok penjara?!"
Pendekar Mabuk tarik napas, ia mencoba memaklumi pendapat Rembulan Senja yang belum tahu persis setinggi apa ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk. Sekalipun Suto merasa mampu menghadapi orang-orang Istana Kematian dengan hanya seorang diri, tapi wanita cantik itu tak bisa dipaksa untuk percaya. Mau tak mau Pendekar Mabuk menyimpan rencana itu di dalam hatinya, dan akan bertindak sendiri setelah tahu di mana letak Istana Kematian itu.
"Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan, Rembulan Senja?!"
"Kita menyusun rencana dengan rekan-rekanku di Tanah Leluhur!" jawab Rembulan Senja dengan mata memandang tegas kepada Suto Sinting.
Rasa-rasanya tak ada jeleknya jika mengikuti gagasan Rembulan Senja itu. Pendekar Mabuk juga memperhitungkan waktu. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Setidaknya ia butuh tempat untuk beristirahat sambil menyusun rencana untuk gerakannya sendiri. Maka ia pun mengikuti langkah Rembulan Senja yang menuju ke Tanah Leluhur.
Untuk sementara, masalah Buyut Batara mereka singkirkan dulu. Rembulan Senja merasa yakin bahwa adiknya masih hidup, hanya saja di bawah pengaruh dan kekuasaan hukum Ratu Kehangatan. Jika kesepakatan hasil rundingan orang-orangnya dengan Pendekar Mabuk sudah didapatkan, Rembulan Senja pun yakin adiknya akan berhasil dibebaskan.
Ia tak tahu bahwa Buyut Batara bukan berada di dalam Istana Kematian, melainkan berada di dalam sebuah gua. Seseorang yang membawanya lari ke dalam gua tersebut ternyata seorang perempuan muda, berusia sekitar dua puluh empat tahun. Perempuan itu berambut cepak seperti lelaki, tapi mempunyai raut wajah yang cantik, berhidung mancung, bermata tajam, bulu matanya lentik, bibirnya sedikit tebal tapi menggairahkan sekali, ia dikenal dengan nama: Denaya.
Ia mengenakan gaun bawah semacam rok yang sangat pendek, hanya sebatas separo paha. Rok itu bersulam benang tembaga, sehingga mempunyai berat cukup lumayan. Tapi cukup lemas, seperti kain tebal biasa. Rok itu berwarna merah tembaga. Sabuknya juga terbuat dari serat besi anti senjata tajam. Bagian atasnya adalah baju tanpa lengan, juga terbuat dari bahan yang sama dan anti senjata tajam.
Baju itu dilengkapi dengan pisau-pisau kecil yang sewaktu-waktu dapat dicabut dan dilemparkan. Karena pada umumnya prajurit Istana Kematian dilengkapi dengan pedang dan pisau beracun berukuran kira-kira satu jengkal. Denaya yang bertubuh sintal dan mempunyai dada montok namun tidak membengkak besar itu memang prajurit wanita dari Istana Kematian. Ilmunya lumayan tinggi, karena sejak usia tujuh tahun ia sudah berguru pada seorang pendeta dari Tibet. Ditambah lagi, ia memperoleh beberapa ilmu dari Ratu Kehangatan dan berhasil diangkat menjadi prajurit pilihan sang Ratu.
Kulitnya yang berwarna sedikit gelap itu, membuatnya tampak alot dan bertulang keras. Dari pandangan matanya, seseorang dapat menilai, Denaya adalah gadis cantik yang punya keberanian tinggi dan tahan bantingan. Karenanya, ia berani berhasil melumpuhkan pemuda bertubuh kekar dan berhasil membawanya lari. Agaknya memang Buyut Batara yang diincarnya, bukan Suto Sinting. Sebab ia belum tahu siapa orang yang berjalan bersama Buyut Batara. Tetapi terhadap Buyut Batara, ia sudah mengenalnya.
Denaya melepaskan totokannya tanpa merasa takut dengan datangnya perlawanan dari Buyut Batara. Ketika totokan itu sudah dibebaskan, Buyut Batara sedikit tegang pandangi wajah cantik Denaya itu. Napasnya terengah-engah dah pemuda itu mencoba untuk segera bangkit dengan penuh waspada.
"Kau.... Denaya...?!" ucap Buyut Batara dengan suara sedikit bergetar, ia melangkah mundur jauhi gadis itu.
Si gadis tetap tenang. Seulas senyum tipisnya tersungging di bibir menggemaskan itu. Senyum tersebut memang berkesan sinis, tapi begitulah senyum yang dimiliki Denaya sebagai seorang prajurit pilihan sang Ratu.
Sreet...! Buyut Batara mencabut pedang pendeknya. Pedang itu lebih pendek dari pedang milik Denaya, juga berukuran lebih kecil dibandingkan pedangnya Denaya. Tetapi agaknya Buyut Batara punya andalan sendiri dengan pedangnya itu dan tak merasa gentar berhadapan dengan orang-orang berpedang panjang.
Denaya tidak mencabut pedangnya, ia justru melemparkan pedang yang masih bersarung itu ke tanah samping susunan ilalang kering itu. Prrang...! Wajahnya tetap memandang lurus dan tajam ke arah Buyut Batara. Tapi senyumnya semakin menampakkan sikapnya yang tidak akan melakukan perlawanan apa-apa jika Buyut Batara menyerang dengan pedangnya.
Sikap itu membuat Buyut Batara heran dan berkerut dahi tajam-tajam. Tubuh yang sedikit membungkuk, otot lengan yang mengeras, kedua tangan yang terangkat penuh siaga, akhirnya mengendur sedikit demi sedikit. Badan pemuda itu menjadi tegak kembali, kedua tangannya diturunkan, otot lengannya tampak tak sekeras tadi. Tapi pandangan mata Buyut Batara masih setajam tadi.
"Ambil pedangmu, Denaya! Kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua, selagi tak ada pihak yang membantuku dan tak ada pihak yang membantumu!" ujar Buyut Batara dengan suara menggeram. Napasnya masih memburu, dadanya naik turun, semua itu akibat ia menaruh dendam kepada pihak Istana Kematian, dan ia tahu bahwa Denaya adalah orang Istana Kematian.
Tetapi tantangan itu tidak dilayani oleh Denaya. Gadis itu melangkah ke sisi lain, mendekati batu setinggi pinggul, ia pun duduk di tepian batu setinggi pinggul dengan kaki kirinya dinaikkan ke batu sampingnya yang setinggi betis itu. Ia duduk dengan tegak dan gagah, seperti seorang lelaki. Satu tangannya bertolak pinggang, sedangkan tangan yang satunya lagi jatuh dipahanya.
"Kalau aku mau, kau sudah mati sejak tadi, Buyut! Tak perlu kulepaskan totokanku, langsung saja kupenggal lehermu. Apa susahnya?! Dan kau tak perlu kubawa ke gua ini. Mayatmu yang tanpa kepala itu akan kubuang di sembarang tempat, kalau bisa di jalanan yang kau lewati tadi setelah kugoreskan namaku di dadamu dengan ujung pedang. Dengan begitu, orang-orang Tanah Leluhur yang menemukan mayatmu akan tahu bahwa Denaya adalah orang yang memenggal kepalamu!"
"Mengapa tak kau lakukan?!"
"Carilah jawabannya dalam hatimu!" tegas Denaya sambil menatap tajam tak berkedip.
Kejap berikut, Denaya melangkah ke satu sisi lagi. Ia mendekati tiga batu besar berhimpitan, ia ke belakang batu besar itu. Sesaat kemudian kembali tempat ilalang kering yang disusun dijadikan alas tidur itu. Dari balik batu tadi, ia membawa sebuah tempat minum dari kulit binatang. Tempat minum itu berisi air bening, ia menenggaknya sedikit, sebagai pembasah kerongkongannya.
"Minum...?!" ia menawarkan kepada Buyut Batara.
Pemuda itu hanya hembuskan napas panjang sambil memasukkan pedangnya ke sarung pedang. Karena tak ada jawaban dari Buyut Batara, maka tempat minum itu ditutup dan diletakkan di samping kanannya. Buyut Batara memandang ke arah pintu gua. Ia mendekati pintu itu. Denaya diam saja. Hanya memandang sekilas, lalu tundukkan kepala dengan posisi duduk sedikit melebarkan kaki, seperti duduknya seorang lelaki.
Buyut Batara hentikan langkah sampai di pintu gua. Sebenarnya ia bisa saja lolos, melarikan diri. Tapi kesempatan itu tak dilakukan, karena Denaya sendiri tampak tidak berusaha menahannya. "Sepertinya kalau aku lari, dia tak akan mengejarku," ujar Buyut Batara dalam hati. "Lalu, apa maksudnya membawaku ke gua ini?!"
Akhirnya pemuda itu kembali mendekati Denaya. Ia berdiri di depan Denaya dengan kedua kaki sedikit merenggang dan posisi tubuh tegak. Tampak gagah dan perkasa. Jaraknya yang hanya empat langkah dari Denaya membuatnya dapat menatap wajah cantik Denaya yang datar tanpa senyum dan tanpa kemarahan sedikitpun. Sesaat setelah mereka saling bungkam, dan Buyut Batara cukup lama pandangi Denaya, prajurit wanita itu segera mengangkat wajahnya dan menatap Buyut Batara dengan mata mulai berisi, tidak sehampa saat merenung tadi.
"Mengapa kau tidak melarikan diri?! Mengapa kau kembali menemuiku?!"
Buyut Batara tak bisa menjawab, karena ia sendiri tak tahu, mengapa ia tidak melarikan diri, padahal kesempatan itu sangat memungkinkan. Kini Buyut justru duduk di tanahbertangga yang dipakai membaringkannya tadi. Ia duduk di samping kiri Denaya dalam jarak satu setengah jangkauan. Jarak itu sengaja dijaga agar sewaktu-waktu ada bahaya dari Denaya, ia dapat segera menghindarinya.
"Masih ingat pertempuran di Pantai Ladam?" tanya Denaya dengan nada datar, sepertinya ia bicara pada diri sendiri.
Tapi Buyut Batara tahu, kata-kata itu ditujukan padanya. "Ya, aku ingat kala itu kita berhadapan saling beradu pedang. Kau melukai lenganku. Tapi segera meninggalkan diriku, padahal kau punya kesempatan membunuhku saat aku jatuh tengkurap!"
Sambil berkata demikian, Buyut Batara teringat pertempuran di Pantai Ladam. Ketika itu, Buyut Batara dan tiga orang kawannya sedang mengejar seorang pencuri pusaka yang bernama Barak Soca. Mereka berpapasan dengan orang-orang Istana Kematian, lalu terjadilah pertarungan antara empat orang Tanah Leluhur melawan tujuh orang Istana Kematian, termasuk Denaya sendiri. Karena pada saat itu, Barak Soca meminta perlindungan kepada kakaknya yang menjadi prajuritnya Ratu Kehangatan.
Dua orang Tanah Leluhur itu tewas di ujung pedang mereka. Tetapi Buyut Batara dan seorang temannya lagi, berhasil meloloskan diri setelah membunuh Barak Soca dan merampas kembali keris pusaka yang dicurinya. Padahal waktu itu Denaya punya kesempatan emas untuk membunuh Buyut Batara, namun gadis itu justru meninggalkannya dengan alasan menyelamatkan Barak Soca yang terluka parah, walau akhirnya Barak Soca tewas setelah diangkat oleh kakaknya sendiri.
Lamunan masa lalu itu terputus, karena Denaya segera perdengarkan suaranya lagi sambil melirik ke arah kirinya, menatap Buyut Batara yang sedang menerawang itu. "Apakah kau juga masih ingat peristiwa di Bukit Merah?"
Ingatan pemuda itu segera melayang ke masa dua tahun yang lalu, ketika terjadi pertarungan di Bukit Merah. Pertarungan itu terjadi antara Buyut Batara dengan sang penantang yang dikenal dengan nama Iblis Darah Hitam. Dendam si Iblis Darah Hitam kepada keluarga Buyut Batara akan berakhir jika salah satu dari anggota keluarga tersebut melayani tantangan pertarungan di Bukit Merah. Semula Rembulan Senja yang akan tampil sebagai lawan Iblis Darah Hitam. Tetapi segera digantikan Buyut Batara, karena Rembulan Senja sedang sakit.
Pertarungan itu disaksikan dari berbagai pihak, termasuk orang yang tidak berkepentingan. Beberapa tokoh rimba persilatan pun hadir di Bukit Merah, dan Denaya ada di sana juga bersama seorang teman, sesama prajurit wanita juga. Waktu itu, Buyut Batara nyaris tewas di tangan Iblis Darah Hitam, karena pedangnya terpental dan jatuh di depan kaki Denaya. Pedang si Iblis Darah Hitam juga telah lepas dari tangannya.
Buyut Batara terpental jatuh akibat tendangan lawan. Lawan segera menerkam dengan pisau simpanannya. Pada saat itu, pedang Buyut Batara meluncur mendekati tangannya. Pedang itu segera disambar, dan segera dihujamkan ke perut lawan. Tanpa pedang itu, Buyut Batara kemungkinan sudah mati di tangan lawannya. Pedang itu meluncur akibat ditendang oleh Denaya yang berpura-pura didorong temannya.
Buyut Batara menarik napas panjang setelah membayangkan pertarungan di Bukit Merah itu. Hatinya mulai menyadari tentang sikap Denaya yang mempunyai maksud-maksud tertentu padanya. Dengan tanpa menatap Denaya, pemuda itu mulai perdengarkan suaranya kembali yang juga bernada datar.
"Sudah dua kali kau biarkan aku punya kesempatan hidup. Sekarang ketiga kalinya. Kau tak membunuhku selagi aku tertotok olehmu. Padahal kau adalah musuhku dan aku musuhmu!"
"Adakah seorang musuh yang membiarkan lawannya tetap hidup?" suara Denaya agak parau, walaupun ia bicara juga tanpa memandang Buyut Batara.
Tapi kali ini pemuda itu sengaja berpaling menatap Denaya. Tatapan itu membuat Denaya tertarik dan ikut berpaling melemparkan pandangan matanya yang tidak berkesan bermusuhan. Pandangan mata itu dirasakan Buyut Batara sebagai pandangan seorang sahabat, bahkan lebih dari seorang sahabat.
Gadis itu berkata lirih, namun masih bernada tegas. "Sekarang kuberi kau kesempatan untuk membunuhku."
Buyut Batara diam saja, masih memandang.
"Lakukanlah sekarang juga!" desak Denaya.
"Aku tak sanggup," jawab Buyut Batara dengan suara pelan.
"Mengapa tak sanggup? Bukankah aku musuhmu dan kau lawanku?!" sambil Denaya bergeser mendekat, kini jaraknya tinggal setengah jangkauan lagi. Adu pandangan mata itu semakin lekat, namun punya ketajaman tersendiri. Seakan ketajaman itu tidak menggores hati, melainkan menciptakan desir-desir aneh yang terasa indah untuk dinikmati.
"Mengapa kau menatapku begitu?" tanya Buyut Batara dengan suara lirih.
Denaya juga menjawab dengan lirih, "Inilah gunanya kuberi kesempatan hidup padamu. Aku ingin dapat memandangmu."
Buyut Batara mulai sunggingkan senyum walau canggung, ia tak tahan beradu pandang, kemudian alihkan pandangan matanya ke arah pintu gua. Denaya akhirnya ikut-ikutan alihkan pandangan mata ke arah pedangnya yang masih tergeletak di tanah.
"Aku memang seorang prajurit," suara Denaya memecah kebisuan mereka. "Tapi kali ini aku terpaksa memberontak terhadap ratuku yang gila darah itu."
"Gila darah?!" Buyut Batara melirik Denaya.
"Melihat pertarungan berdarah hingga salah satu ada yang mati, merupakan hiburan yang amat disenangi Ratu Kehangatan. Kami diperintahkan untuk menculik para pemuda Lembah Badar, termasuk kaum lelakinya yang kekar dan perkasa. Mereka diadu dalam satu arena. Salah satu harus ada yang mati, tak peduli mereka sahabat atau saudara. Mau tidak mau mereka saling bunuh. Kematian salah satu dari mereka merupakan kepuasan tersendiri bagi Ratu Kehangatan."
Denaya menuturkannya dengan pandangan mata menerawang, seakan membayangkan pertarungan berdarah yang hampir setiap hari terjadi di Istana Kematian itu. Buyut Batara sengaja diam, tanpa tanya sedikit pun, karena ia ingin menyimak apa sebenarnya yang terjadi di dalam Istana Kematian itu.
"Orang-orang Lembah Badar akhirnya habis, terutama kaum lelakinya. Mereka mati semua dalam arena pertarungan. Saling bunuh sesama teman sendiri. Demikian pula nasib orang-orang Bukit Sabang. Kaum lelakinya nyaris habis diadu, dipakai tontonan untuk menghibur hati sang Ratu."
Denaya menarik napas. Kini pandangan matanya lurus ke arah didepannya. "Namun ketika tiba giliran orang-orang Tanah Leluhur yang dijadikan mangsa Ratu Kehangatan, aku mulai berpikir untuk memberontak. Tapi itu tak mungkin kulakukan. Apalah artinya diriku yang sendiri jika harus memberontak menentang perintah sang Ratu. Akhirnya aku melarikan diri dari Istana Kematian."
"Mengapa kau melarikan diri?" sela Buyut Batara.
"Karena aku tak setuju jika orang Tanah Leluhur dijadikan korban pemuas hati sang Ratu. Aku tak setuju jika orang Tanah Leluhur diculik dan mereka diadu di arena sampai salah satu ada yang mati."
"Mengapa kau tak setuju?" kejar Buyut Batara.
"Karena di Tanah Leluhur ada seseorang yang menggetarkan hatiku dan membuatku ingin sekali memilikinya. Pemuda itu, cepat atau lambat akan tertangkap dan diadu diarena sampai akhirnya ia akan mati juga. Daripada aku melihat kematiannya, lebih baik aku lari dari pemerintahan sang Ratu. Aku harus menyelamatkan pemuda itu, sebelum darahnya dijadikan pemuas hati Ratu Iblis itu!"
"Siapa pemuda yang kau maksud itu?"
"Kau...!" tegas Denaya tanpa ragu-ragu, dan pandangan matanya pun segera menatap ke arah mata Buyut Batara. "Untuk apa kubiarkan dua kali kau hidup kalau akhirnya kematianmu dijadikan hiburan bagi ratuku?! Untuk apa aku mengabdi penuh kesetiaan kepada Ratu Indudari, kalau akhirnya pemuda yang menjadi buah impianku harus mati demi kepuasan batin sang Ratu? Lebih baik aku keluar dari pemerintahannya, bergabung dengan orang yang kucintai untuk lakukan pemberontakan terhadap kekuasaan di Istana Kematian itu?!"
Buyut Batara diam membisu. Hatinya seakan semakin terbuka oleh ketukan-ketukan halus yang nyaris tak didengarnya, ia sama sekali tak menduga kalau dirinya diperhatikan oleh seorang gadis dan gadis itu adalah lawannya sendiri. Sekerat hati yang keras seperti baja sedang menaruh harapan pada dirinya. Buyut Batara rasakan harapan itu lebih murni daripada datang dari seorang gadis berhati lembut dan menyukairayuan. Denaya perdengarkan suaranya kembali.
"Sejak sang Ratu keluarkan perintah pertama kali kepada para prajurit untuk pindah sasaran ke Tanah Leluhur, aku sudah lari darinya dan hidup di dalam gua ini. Aku tak berani bergabung dengan orang-orangmu, karena mereka tahu aku adalah musuh mereka. Ucapanku tak akan mudah dipercaya. Bisa-bisa justru aku mati di Tanah Leluhur tanpa dapatselamatkan dirimu dari keganasan Ratu Indudari! Karenanya, setelah kupertimbangkan beberapa hari di dalam gua ini, maka kuputuskan untuk menculikmu demi kepentinganku sendiri. Lebih baik aku kehilangan ratuku, jabatanku, kesejahteraanku, daripada aku harus kehilangan impianku."
Pemuda bertubuh kekar itu menatap Denaya lagi. Mereka saling beradu pandang kembali. Sorotpandangan mata Denaya semakin menguasai hati Buyut Batara. Ingin rasanya tak mudah mempercayai kata-kata itu. Tapi hati kecil Buyut Batara tak bisa mengingkari rasa percayanya kepada Denaya. Sorot pandangan mata itu merupakan sebentuk ketulusan yang tak bisa dibantah lagi. Buyut Batara akhirnya sentuhkan jemarinya di pipi Denaya. Sentuhan itu merayap hingga ke tepian rambut di kening si gadis. Mata si gadis tampak berkaca-kaca. Ada tangis di hatinya. Ada haru dikalbunya.
Denaya akhirnya pejamkan mata, resapi sentuhan lembut yang menggetarkan seluruh tubuhnya itu. Pada saat kelembutan itu hadir menguasai dirinya, seakan ketangguhannya sebagai prajurit wanita lumpuh seketika. Denaya tak ubahnya seperti gadis tanpa senjata dan ilmu apa-apa. Ia hanya bisa menahan debar-debar kebahagiaan yang selama ini hanya ada dalam impiannya. Sebagai seorang wanita, akhirnya mata yang terpejam itu melelehkan butiran air bening. Air mata itu semakin menghancurkan darah permusuhan Buyut Batara.
Rasa iba dan haru timbulkan rasa kasih di hati Buyut Batara. Sebagai ungkapan rasa kasihnya, pemuda itu akhirnya mencium kening si gadis dengan pelan-pelan. Cuup...! Ciuman itu membekas sampai di dasar hati Denaya. Tangan gadis itu pun mulai meraih lengan Buyut Batara. Diremasnya lengan itu ketika bibir Buyut Batara merayapi batang hidung si gadis, kemudian menyentuh bibir yang menggemaskan itu. Dikecupnya bibir Denaya dengan pagutan pelan sekali. Terasa deras darah Denaya mengalir di seluruh tubuhnya.
Kerinduan yang selama ini hadir dalam impian, ternyata mampu terwujud dalam kenyataan. Denaya ingin wujudkan mimpinya tentang cumbuan hangat dengan Buyut Batara. Maka, seperti yang dilakukannya dalam mimpi, kecupan bibir Buyut Batara dibalasnya. Kini bibir pemuda itu dilumat oleh Denaya dengan kedua tangan merayap dan meremas ke mana saja sebagai curahan rasa rindu dan hasrat yang menggebu. Denaya menekan kepala Buyut Batara ke lehernya. Kepala gadis itu menggeliat sambil keluarkan erangan dan napas mendesah manakala bibir pemuda itu memagut-magut kulit leher dengan hangat sekali.
"Aaah.... Buyut, ooouuh...," erangan itu bagai tangis yang terbendung di ujung lidah. Hati Denaya disiram oleh segunung kebahagiaan, sehingga gadis itu memberi kecupan balasan di sekitar leher Buyut Batara. Bahkan kecupan itu lebih berani, yaitu merayap ke dada Buyut Batara dan memagut-magut dada bidang itu dengan kedua tangan menelusup di balik rompi dan merayapi punggung si pemuda.
Kehangatan itu memancing hasrat, dan hasrat itu membakar gairah. Buyut Batara tak mampu memendam gairah bercintanya, karena Denaya memberikan sentuhan yang luar biasa nikmatnya menggunakan bibir dan lidahnya. Akhirnya Buyut Batara tak mampu menolak segala kehangatan yang diberikan oleh Denaya. Pemuda itu terbaring pasrah, sementara Denaya membuktikan cinta kasihnya dengan ciuman-ciuman yang menggelora.
* * *
LIMA
KEDATANGAN Pendekar Mabuk ke Tanah Leluhur disambut hangat oleh masyarakat Tanah Leluhur. Wilayah yang tak begitu luas itu menjadi gempar dengan adanya berita tentang Rembulan Senja pulang membawa Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Mereka bersorak kegirangan mengelilingi Pendekar Mabuk. Ada yang hanya sekadar bersorak, ada yang sambil lonjak-lonjak, lalu berteriak karena kakinya terkena beling.
Mereka yaqg bersorak dan melonjak pada umumnya adalah masyarakat awam yang terlalu sering berandai-andai membayangkan kehebatan Pendekar Mabuk. Sedangkan bagi mereka yang berilmu, hanya menyambut dengan senyum keramahan dan tegur sapa penuh persahabatan.
Sebuah rumah panggung menjadi tempat pertemuan para sesepuh dan orang-orang yang menjadi benteng pertahanan Tanah Leluhur. Kebanyakan mereka yang menjadi benteng bagi masyarakat Tanah Leluhur masih tergolong muda. Paling tua berusia tiga puluh dua tahun, menurut ingatan ibunya.
Rembulan Senja pun mendapat pujian dari masyarakat Tanah Leluhur. Karena dari sekian banyak orang yang mencoba mencari Pendekar Mabuk, justru Rembulan Senja yang berhasil membawa pulang si pendekar tampan dan gagah perkasa itu. Rupanya Suto Sinting merupakan sosok pendekar yang menjadi idola mereka, sehingga kehadirannya di Tanah Leluhur bagaikan seorang aktor kondang singgah di sebuah perkampungan kumuh.
"Kang minta cap jempolnya buat kenang-kenangan," ujar seorang remaja sambil membawa kulit kitab bersampul kulit lontar. Dengan menggunakan getah pohon pisang, Pendekar Mabuk akhirnya memberikan cap jempol di atas kitab tersebut, yang merupakan kitab pelajaran silat kelas rendah.
Seperti halnya pendekar tampan jika berkunjung ke sebuah kota selalu dikerumuni penggemar cewek, demikian pula Pendekar Mabuk yang lebih banyak dikerumuni para gadis daripada para pemuda. Maklum, para pemudanya banyak yang diculik oleh pihak Istana Kematian.
Hati si wanita cantik; Rembulan Senja, menjadi dongkol melihat banyak gadis dan kaum wanita lainnya mengerumuni Pendekar Mabuk. Bahkan ada yang mencolek-colek lengan atau pinggang Suto dengan maksud menggelitik dalam canda. Rembulan Senja bagaikan seorang bodyguard yang selalu memberi batasan kepada kaumnya agar tak berlebihan meluapkan kegembiraannya kepada Pendekar Mabuk.
"Biarkan kami bercanda sebentar dengan pemuda tampan itu, Rembulan Senja. Apakah kau tak pernah semuda kami?" ujar seorang gadis yang kesehariannya menjadi teman dekat Rembulan Senja.
Seorang wanita lain pun berkata, "Iya. Kami cuma ingin bercanda dan sekadar hanya ini-itu kok, bukan mau macam-macam. Kau kan sudah pernah bercanda dengan pria yang menjadi idaman hatimu, ketika suamimu masih hidup. Sekarang berilah kami kesempatan seperti itu, Rembulan Senja."
"Iya, ya...?! Pokoknya kujamin wajah pemuda itu tak akan ringsek, karena kami tak akan meremas-remasnya," ujar yang lain.
Kegembiraan mereka menjadi surut ketika Pendekar Mabuk menceritakan nasib Buyut Batara. Malam itu mereka membuat api unggun dan membentuk lingkaran. Suto Sinting menceritakan pertemuannya dengan Buyut Batara sampai hilangnya pemuda yang menjadi utusan mereka itu.
"Tapi percayalah, aku akan membebaskan Buyut Batara secepatnya! Esok aku akan berangkat ke Istana Kematian dan menantang pertarungan antar pribadi dengan Ratu Kehangatan!"
Suara gemuruh terdengar bagai pasukan lebah. Mereka berkasak-kusuk dengan suara gemuruh. Ada yang memuji keberanian Suto, ada yang mengungkapkan rasa kagumnya, ada pula yang mencemaskan rencana Suto itu.
"Tetapi aku butuh seorang pemandu untuk sampai ke Istana Kematian! Pemandu itu tak perlu harus ikut sampai ke Istana Kematian, cukup sampai di perjalanan saja. Asal tempat itu sudah kuketahui, maka aku akan datang sendiri menemui Ratu Kehangatan dan pemandu itu boleh pulang atau menunggu di tempat yang jauh dan tersembunyi!" ujar Suto membuat suara gemuruh itu terhenti seketika.
"Kurasa itu akan berbahaya, Nak!" ujar seorang sesepuh yang memang sudah 'sepuh' alias sudah tua. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Tapi ia bukan seorang tokoh berilmu tinggi, ia hanya dikenal sebagai seorang ahli siasat pertempuran.
"Ratu Kehangatan atau si Indudari itu bukan perempuan lemah yang mudah dilumpuhkan, ia cukup tangguh dan sukar ditumbangkan, karena ilmunya termasuk tinggi juga."
"Sebaiknya," ujar sesepuh lain yang berkepala botak, "Beberapa orang kita mendampingi Pendekar Mabuk dari belakang dan secara sembunyi-sembunyi. Panah, pisau, jarum, bisa dijadikan senjata yang bersifat melumpuhkan mereka dari kejauhan. Ratu Kehangatan tak mungkin turun tangan sendiri. Pasti mengajukan prajurit-prajuritnya."
Suto Sinting menyahut, "Aku ingin menantang pertarungan pribadi. Kurasa Ratu Kehangatan mengerti arti pertarungan pribadi. Jika ia menolak, maka ia akan malu di hadapan para prajuritnya. Harga dirinya, martabatnya, akan jatuh di depan anak buahnya jika ia menolak pertarungan pribadi denganku."
Banyak yang tidak setuju dengan rencana pertarungan duel antar pribadi itu. Mereka tidak setuju karena pertarungan itu dianggap sangat membahayakan jiwa Pendekar Mabuk. Sedangkan mereka tidak ingin Pendekar Mabuk binasa dengan hanya lakukan pertarungan pribadi. Sementara itu, hati Suto Sinting sendiri tak setuju jika lakukan penyerangan bersama. Karena hal itu akan menimbulkan korban baru bagi masyarakat Tanah Leluhur, ia ingin melumpuhkan pihak Istana Kematian tanpa timbulkan korban baru bagi Tanah Leluhur. Karenanya, pertarungan duel antar pribadi merupakan alternatif yang diandaikan dan dianggapnya baik.
"Beri kami waktu untuk berunding, Nakmas Pendekar. Sekarang sudah malam. Kami persilakan Nakmas Pendekar beristirahat dulu. Esok kita sambung lagi perundingan ini," ujar sesepuh yang berkepala botak itu.
Pendekar Mabuk dibawa ke rumah Rembulan Senja. Sebuah kamar telah disiapkan oleh Rembulan Senja yang ternyata sudah menjanda selama tiga tahun itu. Rupanya para sesepuh pun tak keberatan jika Pendekar Mabuk beristirahat di rumah Rembulan Senja, karena hal itu dianggap sesuatu yang menyenangkan bagi si Rembulan Senja yang telah berhasil mendapat bantuan dari Pendekar Mabuk.
"Aku belum ingin tidur, Rembulan Senja," ujar Suto Sinting dibawa masuk ke sebuah kamar tidur.
"Kau harus beristirahat jika esok ingin pergi ke Istana Kematian," ujar Rembulan Senja. "Kau harus menjaga tubuhmu agar tak lelah dan tetap segar."
"Tuakku cukup mampu mengatasi hal itu, Rembulan Senja."
"Jangan membantah. Ini demi kesehatanmu," sergah Rembulan Senja sambil merapikan seprai penutup ranjang berkasur itu. "Selamat beristirahat, Pendekar Tampan!" ucap Rembulan Senja, lalu melangkah keluar kamar. Tapi langkahnya terhenti di pintu kamar begitu mendengar seruan Suto Sinting.
"Mau ke mana kau?"
"Aku tidur di kamar adikku, di sebelah!"
"Dan aku tidur sendirian?"
"Aku juga tidur sendirian. Tak usah takut, rumah warisan ini bukan rumah angker."
"Barangkali keangkerannya bukan dalam bentuk kengerian," ujar Suto sambil tersenyum menggoda, karena senyuman wanita cantik itu juga sejak tadi sudah menggoda.
"Kalau bukan angker kengerian, lalu angker bagaimana?"
"Kesepian," jawab Suto semakin tebarkan senyum.
Mata si Rembulan Senja semakin berbinar-binar, ia tahu maksud Pendekar Mabuk, tapi ia tak mau mudah terpikat oleh kenakalan seperti itu. Rembulan Senja baru saja ingin berbalik untuk melangkah keluar, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu maju mendekatinya. Kini mereka saling pandang dalam jarak satu jengkal. Aroma wangi mawar tercium Suto. Aroma wangi mawar itu menyebar dari tubuh Rembulan Senja yang mungkin waktu mandi pakai sabun cap Mawar, atau berendam dalam bak mandi berisi air bunga mawar. Yang jelas aroma wangi mawar itu menggoda hati, membangkitkan hasrat kemesraan si Pendekar Mabuk.
Ketika mata indah si Rembulan Senja mulai meredup, Suto Sinting segera dekatkan wajah dan bibir ranum itu dikecupnya dengan sejuta kelembutan. Bibir itu dilumat dengan penuh sentuhan mesra dan remasan tangan kekar yang punya kehangatan membakar gairah. Rembulan Senja tidak nolak, karena kemesraan seperti itu sudah lama tak dirasakan. Tangan perempuan cantik itu segera melingkar di pinggang Suto Sinting, kemudian merayap ke punggung, meremas-remas lembut dengan bibir memberi balasan tak kalah hangat.
Pendekar Mabuk ingin melepaskan kecupan bibir, tapi agaknya Rembulan Senja masih betah menikmatinya dan gerakan tubuh Suto yang ingin mundur ditekan maju lagi hingga semakin rapat dengan tubuh sekal si Rembulan Senja. Tangan perempuan itu merayapi tubuh Suto Sinting, bahkan sempat menelusup masuk ke dalam baju tanpa lengan itu dan meraba kulit punggung Suto dengan remasan-remasan berkesan lembut. Bukan berkesan liar.
Sementara itu, Suto Sinting juga menelusupkan kedua tangannya ke balik jubah kuning dan menemukan kulit punggung yang halus. Lumatan bibir Rembulan Senja mendapat balasan lagi dengan tarian lidah Suto yang sangat mendebarkan hati. Rembulan Senja memburu agar memperoleh desiran indah lebih banyak lagi. Namun akhirnya napas mereka mulai memberat. Mereka harus melepas kecupan, entah sesaat atau sekian lama. Rembulan Senja dan Suto Sinting sama-sama hembuskan napas panjang, saling menatap, lalu saling tersenyum. Rembulan Senja tampak malu. Mencubit hidung Suto sambil mendesahkan sepatah kata.
"Nakal...!" kemudian ia buru-buru melepaskan pelukannya dan bergegas keluar tanpa pedulikan Suto Sinting yang tertegun di tempat, kejap kemudian baru tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Panas, haus, tapi tak mau mengakuinya, itulah Rembulan Senja!" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
Rembulan Senja merasa tak yakin dengan apa yang telah dilakukan terhadap seorang pemuda tampan. Bahkan hatinya bertanya-tanya dalam keadaan berbaring diranjangnya. "Benarkah itu tadi Pendekar Mabuk yang kesohor sebagai pendekar penakluk hati wanita itu?! Jangan-jangan dia Pendekar Mabuk palsu?! Andai benar ia Pendekar Mabuk asli, ooh... alangkah beruntungnya aku pada malam ini?! Aku diciumnya, dipeluk, dan... dan... aduhai, indah sekali kecupan bibirnya. Sungguh tak bisa kupercaya bahwa diriku ternyata berhasil mendapat kecupan hangat dan menggelora dari seorang pendekar yang namanya sangat dikenal di seluruh pelosok penjuru dunia ini. Aduuh... mimpi apa aku malam ini, belum- belum sudah mendapat kecupan seindah itu. Sampai sekarang bibirku masih merasa dilumatnya dengan lembut. Aaiih... indah sekali!"
Kesan indah yang amat membanggakan hati itulah yang akhirnya membuat Rembulan Senja mendukung rencana Suto Sinting, ia sendiri yang akan menjadi pemandu perjalanan Pendekar Mabuk menuju ke istana Kematian. Dalam benaknya terbayang akan selalu bersama Suto Sinting dengan segala keindahannya jika ia menjadi pemandu tunggal si Pendekar Mabuk itu. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama dapat membuat kemungkinan terulangnya keindahan seperti malam itu.
Di balik debar-debar kebahagiaan berjalan bersama Pendekar Mabuk, ternyata Rembulan Senja masih menyelipkan kecemasan di relung hatinya. Kecemasan itu tak bisa hilang, karena ia tahu siapa orang yang akan ditantang oleh Pendekar Mabuk, ia khawatir jika Pendekar Mabuk tewas di tangan Ratu Kehangatan. Karena jika hal itu terjadi, maka keindahan yang baru malam itu didapatkan sepanjang hidupnya, tentu akan lenyap pula dan tak mungkin diperolehnya lagi. Rembulan Senja yakin, tak akan ada keindahan seperti malam itu yang dapat diperolehnya dari lelaki lain.
"Itu baru kecupan bibir, belum kecupan... kecupan yang lainnya. Hiik, hiik, hiik, hik...!" Rembulan Senja tertawa sendiri dalam batinya.
Tiba-tiba ingatan Rembulan Senja terlempar kembali ke wajah adiknya; Buyut Batara, setelah ia mendengar Pendekar Mabuk berkata kepadanya.
"Pertama-tama akan kulihat dulu apakah Buyut Batara dan tawanan lainnya dalam keadaan selamat. Jika mereka masih dalam keadaan selamat, maka aku akan lakukan tantangan pribadi dengan sang Ratu. Tapi jika para tawanan telah tewas, termasuk Buyut Batara pun tewas, maka Istana Kematian itu akan kuhancurkan tanpa peduli siapa pun yang menjadi korban kehancuran itu!"
Kekhawatiran akan keselamatan jiwa adiknya membuat Rembulan Senja kehilangan keceriaan. Alangkah pedih dan menderitanya hati yang telah ditinggal kedua orangtua jika harus ditinggalkan oleh seorang adik tunggalnya itu? Rembulan Senja tak ingin hal itu terjadi, sehingga ia sangat menaruh harap kepada Pendekar Mabuk agar mengutamakan menyelamatkan Buyut Batara begitu tiba di Istana Kematian.
Padahal saat itu Buyut Batara berada di dalam gua keindahan bersama Denaya. Setelah mereka menikmati pelayaran cinta yang membuat tubuh mereka bercucuran keringat, akhirnya Buyut Batara ajukan gagasan kepada Denaya.
"Kita harus pulang ke Tanah Leluhur dan menyusun kekuatan dari sana!"
"Aku... aku tak berani! Karena orang-orangmu akan membunuhku. Mereka tahu kalau aku prajurit Istana Kematian," ujar Denaya dengan polos.
"Nyawamu adalah nyawaku, Denaya! Kau tak perlu takut," Buyut Batara berkata dengan suara lirih sambil menciumi pipi Denaya.
Gadis itu menerima ciuman tersebut dengan hati bertaburan bunga indah. Tangannya ikut mengusap lembut kepala si pemuda yang dicintainya.
"Jika mereka akan membunuhmu, mereka harus membunuhku lebih dulu, Denaya!"
"Benarkah kau siap mati untuk membelaku, Buyut?!"
"Bukan kau yang kubela, tapi cintamu yang kurasakan begitu tulus padaku, namun kau sembunyikan sekian lamanya."
Denaya mendesah dalam tawa lirih ketika Buyut Batara menciumi lehernya dan merayap ke dada, lalu menyambar pucuk-pucuk yang merentang penuh tantangan itu. "Buyut, sudahlah! Kita bicarakan dulu persoalan kita tadi. Setelah kita peroleh kesepakatan dan kebulatan tekad, kau dapat menikmati seluruh tubuhku seperti tadi."
"Tekadku hanya satu, pulang ke Tanah Leluhur bersamamu, dan susun rencana penyerangan!"
Denaya meraih wajah Buyut Batara. Wajah itu sengaja dihadapkan kepadanya, ditatap dalam-dalam. Lalu, sebaris kata diucapkan penuh ketegasan, "Aku siap mati bersamamu, sekalipun mati di tangan ratuku sendiri!"
Hati Buyut Batara kian berbunga indah. Lalu gadis itu pun dipeluknya kuat-kuat, seakan ia ingin membenamkan dirinya menjadi satu raga dengan Denaya.
* * *
ENAM
PADA mulanya orang-orang Tanah Leluhur memandang Denaya penuh kebencian. Salah seorang pemuda mulai mencabut pedang ketika melihat Denaya hendak memasuki pintu gerbang Tanah Leluhur itu. Sreet...!
Buyut Batara mencabut pedangnya juga. Sreet...! Pemuda temannya sendiri itu dipandang dengan sorot mata yang tajam. "Apa maumu, Sambawa?!" seru Buyut Batara.
"Apakah kau tak sadar telah membawa penyakit sebesar itu, Buyut Batara?! Dia harus dimusnahkan! Dibunuh!"
"Silakan! Tapi kau harus membunuhku lebih dulu!" tegas Buyut Batara.
Orang-orang mulai berkumpul dengan tegang. Denaya tetap berada di belakang Buyut Batara. Gadis itu tidak menunjukkan sikap perlawanan, ia diam, tak mencabut senjata, namun tetap penuh kewaspadaan.
Salah seorang sesepuh Tanah Leluhur muncul dan berseru kepada Buyut Batara. "Apa yang kau lakukan, Buyut Batara?! Kau ingin membunuh kami semua dengan membawa perempuan itu?!"
"Pak Tua! Denaya bukan musuh kami. Dia ingin bergabung untuk melawan Ratu Kehangatan!"
"Tapi dia orang Istana Kematian, Buyut! Tidakkah hal itu kau sadari?!"
"Dia sudah keluar dari Istana Kematian sejak keluarnya perintah penangkapan orang-orang kita. Dia satu-satunya prajurit yang tidak ingin orang Tanah Leluhur dijadikan pemuas hati sang Ratu! Dia mencintaiku, Pak Tua! Karenanya dia lebih baik tinggalkan segala yang dimilikinya di Istana Kematian itu!"
Suasana sempat ricuh sesaat. Mereka saling berkasak-kusuk dan sepakat untuk membunuh Denaya. Para sesepuh pun agaknya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama setuju untuk menghabisi nyawa Denaya, kelompok kedua tidak setuju. Sambawa, wakil Buyut Batara selama Buyut Batara tidak berada di tempat, tampak bernafsu sekali untuk membunuh Denaya. Dengan pedangnya ia menuding Denaya sambil berseru kepada Buyut Batara.
"Buyut! Kalau kau ingin mati bersama perempuan itu, dengan sangat terpaksa kami merelakan kematianmu!"
"Baik! Bunuhlah kami berdua!" seru Buyut Batara lalu membuang pedangnya. Denaya pun mencabut pedang bersama sarungnya, lalu pedang itu dibuang ke tanah. Praang...! Mereka berdua saling berpegangan tangan, saling menggenggam, dan saling menatap ke arah Sambawa.
"Bunuhlah kami bersama-sama, Sambawa! Kami sudah tidak membawa senjata lagi!" seru Buyut Batara.
Sesepuh berkepala botak itu berseru, "Tunggu...!" Sesepuh itu maju ke pertengahan Sambawa dan Buyut Batara. "Apalah artinya nyawa perempuan itu jika dibandingkan nyawa Buyut Batara?! Kematian Buyut Batara sama halnya kematian sepuluh orang kita! Lalu apakah seimbang jika diganti dengan nyawa perempuan ini?!"
"Apa maksudmu, Paman?!" seru seorang pemuda lain yang juga sudah menghunus pedang.
"Cinta dapat mengalahkan pedang setajam apa pun! Cinta dapat memadamkan kobaran api gunung berapi! Layakkah sebuah cinta hancur karena kepicikan kita semua?!"
Suasana menjadi sepi. Sepi sekali. Seperti tak punya napas semua. Suara batuk atau bengek pun tak ada. Sesepuh botak itu berkata lagi,
"Beri dia kesempatan untuk membuktikan cintanya kepada Buyut Batara! Jika benar perempuan ini mencintai Buyut, maka ia akan berangkat sekarang juga untuk membunuh Ratu Kehangatan!"
Denaya cepat menyahut dengan suara keras, "Akan kulakukan sekarang juga!" Pedangnya segera disambar dan ia bergegas pergi tanpa Buyut Batara.
Tetapi pemuda itu segera berseru dan mengejarnya. "Denaya! Kau tak bisa mati sendirian, baik di sini maupun di sana! Kita akan hadapi ratumu bersama-sama!"
"Buyut!" bentak Sambawa yang tak setuju jika Buyut Batara ikut ke Istana Kematian.
"Kalian hanya punya dendam!" teriak Buyut Batara.
"Kalian hanya punya murka, tapi tak punya nyali! Tak ada yang berani menyerang Istana Kematian sampai saat ini juga! Tapi aku dan Denaya akan tunjukkan bahwa kami lebih punya nyali daripada kalian!"
"Siapa bilang tak ada yang punya nyali?!" seru Sambawa. "Salah satu dari kami sudah ada yang berangkat ke Istana Kematian!"
"Siapa?!" sentak Buyut Batara.
"Rembulan Senja; kakakmu!"
"Hahh...?!" Buyut Batara mendelik. Tegang sekali. "Mengapa tak ada yang melarang kakakku berangkat kesana?! Kalian ingin korbankan kakak perempuanku itu, hah?!"
Sesepuh botak segera dekati Buyut Batara dan menepuk pundak pemuda itu. "Kakakmu pergi bersama Pendekar Mabuk!"
"Suto Sinting?!" pekik Buyut Batara lebih keras dan lebih mendelik.
Plook...! Sesepuh itu menampar pelan wajah Buyut Batara, ia bersungut-sungut. "Diberi tahu malah melototi orang tua dan membentak-bentak! Kurang ajar!"
"Maaf, Paman...!" suara Buyut Batara gemetar. "Aku dan Denaya pamit sekarang juga!"
Sungguh merupakan kabar yang benar-benar mengejutkan bagi Buyut Batara, ia sama sekali tak pernah berpikir bahwa Pendekar Mabuk akhirnya sampai juga di Tanah Leluhur, bahkan menjadi akrab dengan kakak perempuannya. Sepanjang perjalanan menuju Istana Kematian, tiada habisnya Buyut Batara bercerita tentang Pendekar Mabuk dan Rembulan Senja kepada Denaya.
"Kita harus bisa menyusul mereka sebelum mereka tiba di perbatasan Lembah Prahara!" ujar Denaya, karena Istana Kematian itu berada dalam wilayah Lembah Prahara. Denaya berkata lagi, "Temanmu, si Pendekar Mabuk itu, harus diberi tahu bahwa Ratu Kehangatan mempunyai banyak jebakan yang sulit ditebak di dalam istananya. Setiap orang tak dikenal mencoba masuk ke istana Kematian, maka ia akan kehilangan nyawa, termakan jebakan itu!"
"Pendekar Mabuk mempunyai kecepatan yang sulit dikejar! Aku pernah melihat kecepatan geraknya yang membuatku hanya bisa tercengang."
"Kalau begitu aku harus menotokmu supaya mudah kubawa lari! Huup...!"
"Eh, eh, eeh...! Jangan main totok sembarangan!" sentak Buyut Batara sambil melompat mundur, ia tertawa geli ketika Denaya pun akhirnya tersenyum.
"Sekarang aku ada di tanah, bukan di atas pohon! Jadi kau tak boleh menotokku, Denaya!"
"Kalau begitu, naiklah ke atas pohon!" ujar Denaya menggoda. Kemudian ia menyerang dengan jurus totokan.
"Hei, hei...! Denaya! Aku tak mau, Denaya...!" Buyut Batara melarikan diri, Denaya mengejar. Begitu seterusnya, sehingga tanpa sadar mereka saling kejar dan saling beradu kecepatan lari. Sebenarnya Denaya dapat menangkap Buyut Batara dengan mudah, karena ia mempunyai jurus peringan tubuh yang dapat berlari lebih cepat lagi jika tenaga dalamnya dipusatkan ke kakinya. Tapi Denaya tetap berlagak tak bisa menyusul Buyut Batara, supaya pemuda itu tetap berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi.
Wees, wees, wees, wees...!
Zlaaap...! Sebuah bayangan melintas di depan Buyut Batara. Langkah pelarian Buyut Batara terhenti karena kaget. Denaya sendiri juga hentikan langkah dan matanya memandang sekeliling dengan curiga.
"Kita sudah berada di perbatasan wilayah Lembah Prahara," bisik Denaya. "Kurasa sekelebat bayangan tadi adalah gerakan si Bragawa, penjaga perbatasan!"
"Kalau begitu, bersiaplah hadapi Bragawa! Kau lebih tahu tentang dia."
Zlaap...! Brruus...!
Bayangan itu tiba-tiba berkelebat lagi dan menerjang Buyut Batara. Pemuda tersebut terpental dengan berguling-guling di tanah. Denaya terperanjat dan segera mencabut pedangnya untuk bikin pembalasan kepada si bayangan cepat tadi.
"Buyut...?! Buyut, kau cedera?!" Denaya segera menolong kekasihnya dengan mata liar mulai menampakkan keganasannya.
"Tidak. Aku tidak cedera apa-apa. Lenganku yang tersambar dan ditendangnya. Tapi... tapi kurasa tendangannya tidak terlalu berat, ia tidak menggunakan tenaga dalam saat menendangku!"
"Jaga dirimu! Akan kucari orang itu!" geram Denaya sambil membungkuk, memegangi pedang dengan kedua tangan, matanya jelalatan ke mana-mana. "Setan! Iblis! Keluar dari persembunyianmu! Hadapi aku!" teriak Denaya dengan berang.
Zlaap...! Jleeg...!
Bayangan itu muncul dari balik semak di belakang Buyut Batara dan Denaya. Ternyata dia adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan bertubuh kekar seperti Buyut Batara. Senyumnya segera mekar setelah Buyut Batara dan Denaya memandangnya.
"Suto...?!" sentak Buyut Batara sambil melebarkan senyum juga.
"Heeeaaat...!" Denaya memekik dengan pedang ingin diayunkan ke tubuh Pendekar Mabuk. Tapi tangan Buyut Batara segera mencekal lengan gadis itu.
"Tahan! Dia temanku; Pendekar Mabuk!"
Denaya segera hembuskan napas panjang dan kendurkan ketegangannya. Tapi hatinya masih merasa dongkol karena sempat naik darah melihat Buyut Batara tadi terjungkal.
"Kalian masih kurang waspada!" ujar Suto Sinting. "Terbukti aku masih bisa membuatmu jungkir balik, Buyut!"
"Tentu saja, sebab kau punya gerakan gila!" geram Buyut Batara sambil menahan senyum.
"Mengapa kau lakukan terhadap kekasihku?! Salah-salah kau bisa kehilangan nyawamu, Pendekar Mabuk!" ketus Denaya melampiaskan kekesalannya.
Pendekar Mabuk hanya tertawa. Namun dari semak-semak seberang terdengar suara yang segera berseru dengan lantang. "Aku yang menyuruhnya menyerang adikku!"
"Rembulan...?!" sapa Buyut Batara dengan wajah berseri melihat kakaknya dalam keadaan sehat. Tetapi sang kakak menatap benci kepada Denaya, dan Denaya sendiri juga memandang sinis kepada Rembulan Senja.
"Siapa perempuan itu, Buyut?!"
"Denaya! Prajurit pilihan Ratu Indudari yang keluar dari Istana Kematian hanya untuk selamatkan nyawaku! Sekarang dia ada di pihak kita dan siap membantu kita, Rembulan."
"Jangan mudah tergiur oleh mulut manis perempuan! Lidah perempuan bisa berubah menjadi pedang yang memenggal lehermu, Buyut!"
Pendekar Mabuk segera menyahut. "Kalau begitu, aku pun harus hati-hati terhadapmu, Rembulan! Jangan-jangan karena terlalu percaya dengan kata-katamu, leherku menjadi buntung mendadak!"
Buyut Batara dan Suto Sinting sama-sama tertawa. Rembulan Senja dan Denaya masih bersitegang dalam beradu pandangan. Akhirnya Suto Sinting berhasil meredam permusuhan batin di antara kedua perempuan itu, terutama setelah Buyut Batara menceritakan alasan Denaya menculiknya saat berjalan bersama Suto Sinting.
"Denaya mendesakku agar menyusul kalian," kata Buyut Batara. "Karena Denaya tak ingin Pendekar Mabuk masuk ke dalam Istana Kematian sebelum mendapat penjelasan tentang jebakan-jebakan yang ada disana!"
"Terlalu sulitkah mempelajari jebakan-jebakan itu, Denaya?!" tanya Suto Sinting.
"Cukup sulit! Yang jelas butuh waktu untuk mempelajarinya. Tergantung kecerdasanmu dalam mengingat dan mengatasi jebakan tersebut," jawab Denaya dengan nada sudah tidak bermusuhan lagi.
"Bagaimana kalau sang Ratu kupancing keluar?!" tanya Pendekar Mabuk. "Aku akan meledakkan Istana Kematian itu dari luar benteng!"
"Bagaimana nasib para tawanan yang masih hidup?" sela Rembulan Senja.
Denaya segera berkata, "Kalau begitu, alihkan perhatian mereka ke bagian depan. Aku akan masuk lewat belakang dan menjebol pintu rahasia. Para tawanan yang ada di ruang bawah tanah akan kubebaskan dan kubawa lari keluar istana lewat pintu rahasia itu! Setelah para tawanan kubawa menjauhi benteng istana, aku akan bergabung denganmu dan ledakkan semua bangunan yang ada di sana!"
Buyut Batara menimpali, "Itu gagasan yang bagus!"
"Ya, kurasa memang harus begitu!" gumam Suto Sinting.
"Jika berhadapan dengan Ratu Kehangatan jangan memandang di bagian tengah keningnya, diantara kedua alisnya itu."
"Mengapa harus kuhindari?"
"Bagian di antara kedua alisnya itu dapat keluarkan cahaya merah kecil, seukuran benang jahit. Jika kau terkena sinar merah kecil itu, kau akan bergairah dan pasrah kepada sang Ratu. Kau akan tergila-gila dan hasrat bercumbumu berlebihan!" ujar Denaya.
Rembulan Senja memandang arah lain sambil berkata, "Aku ingin punya cahaya merah itu. Bagaimana caranya, ya?"
Buyut Batara menjawab dengan bersungut-sungut, "Rendam tubuhmu di kawah gunung berapi selama delapan tahun!"
"Bonyok, Tolol!" Rembulan Senja cemberut.
Denaya dan Suto Sinting sunggingkan senyum geli. Mereka pun akhirnya bergegas menuju ke benteng Istana Kematian. Tanpa setahu Rembulan Senja dan Buyut Batara, Denaya dan Suto Sinting bersepakat untuk menotok kedua orang itu. Ketika keduanya sudah tertotok dan menjadi lemas, Denaya memanggul Buyut Batara, dan Suto Sinting memanggul Rembulan Senja.
Wees, wess...! Zlaaaap...!
Mereka berkelebat dengan kecepatan tinggi. Walaupun Denaya masih kalah cepat dibanding gerakan Suto Sinting, namun ia tertinggal tak terlalu jauh. Mereka bahkan mampu menerobos pertahanan Bragawa dengan kecepatan tinggi masing-masing, sehingga Bragawa dan anak buahnya yang mengetahui gerakan mereka tak dapat mengejarnya. Bragawa dan anak buahnya tertinggal jauh di belakang Denaya. Benteng batu hitam akhirnya terlihat dari kejauhan. Saat itulah Denaya dan Suto Sinting sepakat untuk melepaskan totokan kakak-beradik itu.
"Setan kurap! Kau apakan aku, hah?!" bentak Buyut Batara kepada Denaya.
Denaya hanya menjawab, "Suto yang menyuruhku begitu. Marahlah kepadanya!"
Rembulan Senja pun menggerutu berkepanjangan. Namun Suto Sinting segera memutus gerutuan itu. "Lihat, benteng hitam itu sudah berada di depan kita. Bersiaplah menghadapi bahaya sewaktu-waktu. Aku akan melepaskan pukulan jarak jauhku untuk hancurkan pintu gerbang dan bagian depan Istana!"
"Tunggu, biarkan aku sampai ketiga pohon cemara berjajar itu. Aku akan menghancurkan pintu rahasia di belakang benteng! Setelah aku tiba di tiga pohon cemara, segeralah lakukan penghancuran di bagian depan, supaya perhatian mereka beralih ke depan!" ujar Denaya, lalu ia bergegas pergi setelah Suto Sinting anggukkan kepala.
"Rembulan, bantulah dia! Aku akan membantu Suto dibagian depan!" ujar Buyut Batara.
Rembulan Senja kurang setuju usul adiknya. Tapi karena Suto Sinting membenarkan usul itu, mau tak mau Rembulan Senja berlari mengikuti Denaya, membayang-bayangi gadis itu. Karena ia tahu, jika gadis itu celaka, maka Buyut Batara akan marah besar kepadanya.
"Kita maju sampai di batu tinggi itu sebelum Denaya tiba di tiga pohon cemara tersebut!" Buyut Batara ajukan usul lagi.
Pendekar Mabuk setuju, kemudian mereka bergegas maju sampai ke batu besar yang menjulang tinggi melebihi tinggi tubuh mereka. "Kau punya jurus penghancur?!" tanya Suto.
"Ya, tentu saja aku punya!"
"Pergunakan jurus penghancur itu! Arahkan ke pintu gerbang. Aku akan mengarahkan jurus 'Pecah Raga'-ku ke atap bangunan istana itu. Jika para prajurit berhamburan keluar, hantam terus dengan jurus penghancurmu!"
"Baik! Tapi bagaimana dengan para penjaga di menara sudut benteng itu?!"
Baru saja kedua pemuda itu memandang ke arah menara di sudut benteng, tiba-tiba menara yang kiri meledak karena sinar kuning berkelok-kelok dari bawah. Blegaaarr...!
"Sial! Siapa yang menghancurkan menara itu?!" gerutu Suto Sinting.
"Itu jurus ' Surya Tidar'-nya Rembulan Senja!" ujar Buyut Batara.
"Berarti Denaya sudah sampai di belakang benteng! Kita bergerak sekarang juga, Buyut!"
Zlaaap...! Wuuus...!
Kedua pemuda itu berkelebat ke arah tanah lapang didepan benteng. Pada saat itu, beberapa prajurit keluar dari gerbang yang pintunya segera dibuka. Tetapi sinar biru dari tangan Buyut Batara menyerang mereka bertubi-tubi.
Claaap, claap, claap, claap...!
Blegaar...! Blaaar...! Jegaaar...! Glaaarr...!
Pendekar Mabuk sentakkan tangannya dan dari tangan itu keluar sinar hijau yang dapat memecahkan raga lawan, karenanya dinamakan jurus 'Pecah Raga' alias 'Lebur Jiwa'. Sinar hijau itu mengarah ke bagian atap istana yang tampak mencuat melebihi tembok benteng. Clralap...!
Bleggggaaarrr...! Istana itu hancur bagian depannya. Suto Sinting melepaskan jurus yang sama lagi. Kali ini diarahkan ke menara sebelah kiri. Clraaap...!
Bleggaaarrr...!!
Suasana menjadi gempar, kacau balau. Para prajurit berpakaian anti senjata tajam itu menyebar ke mana-mana dalam keadaan tidak bernyawa. Namun sebagian besar tampak panik dan saling tabrak sendiri karena dihujani sinar birunya Buyut Batara. Ledakan dahsyat terjadi berkali-kali membuat tanah sekitar mereka bergetar terus, sampai akhirnya benteng depan roboh dalam keadaan hancur terhantam jurus 'Pecah Raga'-nya Pendekar Mabuk.
Beberapa prajurit menyerang dari arah samping dengan pedangnya. Buyut Batara menghadapi dengan tebasan pedang pendeknya yang dapat keluarkan cahaya putih berkilauan dan menghanguskan lawan yang terkena cahaya tersebut. Suto Sinting juga menghadapi serangan lawan dengan bumbung tuaknya. Sesekali tangannya menyentak dan keluarkan sinar penghancur ke arah munculnya para prajurit itu.
Tiba-tiba di sela ledakan demi ledakan, terdengar suara perempuan yang menjerit lengking dan menggeram ke mana-mana. Suara itu jelas dilontarkan dengan bantuan tenaga dalamnya. "Hentikaaaaaann...!! Hentikaaaaann...!!"
Para prajurit mundur walau tetap bersiaga lakukan penyerangan sewaktu-waktu. Pendekar Mabuk dan Buyut Batara saling beradu punggung. Tiba-tiba angin panas datang menerjang mereka tanpa diduga-duga. Angin panas itu datang dari arah samping mereka. Pendekar Mabuk terlambat menghadang angin panas itu dengan kibasan bumbung tuaknya. Akibatnya ia pun terhempas dan menjerit kepanasan. Demikian juga Buyut Batara yang memekik bagai tersiram cairan besi panah.
"Aaaaaa...!!" Pendekar Mabuk jatuh berguling-guling dalam keadaan tubuhnya menjadi merah matang. Rasa panas menyelimuti seluruh tubuhnya, ia buru-buru sempatkan diri menenggak tuaknya walau hanya satu teguk.
"Buyut, cepat minum tuak ini!" sambil Suto menyodorkan bumbung tuak ke mulut Buyut Batara. Dengan gerakan cepat dan terburu-buru, Buyut Batara akhirnya berhasil meneguk tuak tersebut, sehingga rasa panas dan luka bakarnya pun lenyap dalam beberapa kejap kemudian.
Wuuus...! Jleeeg...! Seorang perempuan bertubuh sekal dan berdada montok muncul dari kobaran api yang membakar bagian depan istana serta pintu gerbangnya. Perempuan itu mengenakan jubah merah jambu dengan parasnya yang ayu menawan hati. Tetapi kedua bola matanya memandang tajam penuh dendam dan murka.
"Siapa kalian, hah?!" bentaknya dengan suara nyaring.
"Dia yang berjuluk Ratu Kehangatan!" bisik Buyut Batara.
"Menjauhlah!" balas Suto Sinting, lalu segera maju beberapa langkah. "Aku si Pendekar Mabuk, sengaja datang mewakili orang-orang Tanah Leluhur untuk bikin perhitungan sendiri denganmu! Aku menantang pertarungan satu lawan satu denganmu, Ratu!"
Beberapa saat setelah mata sang Ratu memandangi Suto Sinting, terdengarlah suara tawanya yang mengikik serak. "Pertarungan yang mana, Pemuda Tampan?! Pertarungan di atas ranjangkah, maksudmu?!"
"Lebih baik aku bertaruh nyawa di sini daripada bertaruh keringat di atas ranjang denganmu, Ratu!"
"Ooh...?! Hebat sekali tantanganmu! Tapi coba dulu hadapi pengawalku!"
"Tidak!" sergah Suto Sinting. "Pertarungan dengan pengawalmu hanya membuang-buang waktu saja! Kalau kau tak mau menghadapi tantanganku, berarti kau adalah seorang Ratu yang tak punya nyali! Kau hanya berani mengajukan prajuritmu, tapi kau sendiri tidak punya keberanian menghadapi pertarungan! Mungkin juga dengan orang lain kau tak akan berani melakukan pertarungan! Sungguh seorang Ratu pengecut kau sebenarnya, Indudari!"
Hinaan tersebut sengaja dilontarkan oleh Suto untuk memancing kemarahan Ratu Kehangatan. Ternyata pancingan Suto Sinting berhasil. Sang Ratu menggeram dengan menampakkan wajah bengisnya. "Mulut lancanganmu harus kurobek sampai ke tengkuk, Bocah Ingusan! Jika kau ingin menantangku, terimalah dulu jawaban dariku ini! Hiaaah...!"
Ratu Kehangatan lakukan lompatan ke atas. Tangan kirinya menyentak ke depan dan mengeluarkan cahaya Jingga menyerupai pedang pemenggal leher. Wuuus...! Cahaya Jingga itu menyerang Pendekar Mabuk, makin dekat makin besar, dan ketika ditangkis dengan bumbung tuak, cahaya Jingga itu sudah berubah tiga kali lebih besar dari pedangnya Denaya.
Blegaaaarrr...! Benturan itu menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat. Pendekar Mabuk terlempar dan jatuh berguling-guling dalam jarak sepuluh langkah. Tetapi bumbung tuaknya masih utuh, tak mengalami lecet sedikit pun. Hanya saja, wajah Pendekar Mabuk menjadi memar membiru dengan sudut mata keluarkan cairan merah kental. Darah.
"Edan! Tenaganya besar sekali! Tenaga manusia atau tenaga jin tadi?!" gerutu hati Suto Sinting sambil menahan rasa sakit di seluruh wajah dan dadanya. Rupanya dada Suto pun menjadi biru legam akibat gelombang ledakan dahsyat tadi.
"Hupp, haap, hiaaah...!" Ratu Kehangatan memainkan jurusnya, lalu satu kakinya menghentak ke bumi. Bruuus...! Tubuh perempuan itu lenyap bagaikan ditelan bumi. Pendekar Mabuk kebingungan mengarahkan pukulan jarak jauhnya. Namun tiba-tiba dari dalam tanah yang dipijak Suto, keluar sepasang tangan yang menyentak dan menarik kedua kaki Suto Sinting.
Bruuuusss...! Zruuuubb...!
"Aaaahk...!" Suto Sinting bagai ditenggelamkan ke bumi. Tarikan kedua tangan Ratu Kehangatan itu cukup keras dan kuat. Pendekar Mabuk akhirnya terbenam sebatas perut. Tapi bumbung tuaknya masih di atas dan menjadi penyangga tubuh. "Aaahk...!" Suto Sinting mengerang dengan wajah menyeringai kuat-kuat. Sesuatu yang menarik tubuh Suto dari dalam tanah itu nyaris sukar dilawan. Bahkan pergelangan kaki Suto terasa dijepit dengan tang besi sangat kuat.
"Heeahh...!" Akhirnya Suto Sinting sentakkan bumbung tuaknya ke tanah. Duuh...! Sentakan itu mengeluarkan tenaga besar yang mendorong tubuh Pendekar Mabuk melesat ke atas dengan kecepatan tinggi. Wuuus...! Brruull...! Ternyata tubuh Ratu Kehangatan ikut terbawa terbang ke atas dalam keadaan kedua tangan berpegangan pada kedua kaki Pendekar Mabuk. Semua mata yang memandangnya menjadi kagum.
"Heeeeaaahhh...!!" teriak Ratu Kehangatan mengencangkan kedua genggamannya.
"Aaaaahk...!" Suto Sinting memekik keras, karena tulang kakinya terasa menjadi remuk oleh genggaman kedua tangan bertenaga dalam itu. Tubuh mereka melayang turun. Pada saat itu Suto Sinting memutarkan bumbung tuaknya dan menyabet ke bawah kakinya dalam keadaan membungkuk.
Wuuus...! Prrraak...!
Suara berderak keras terdengar oleh semua prajurit yang menyaksikan pertarungan itu. Suara tersebut datang dari benturan bumbung tuak dengan kepala Ratu Kehangatan. Kepala itu berhasil dihantam dengan bumbung tuak. Kepala tersebut pecah, menyemburkan darah ke mana-mana. Genggaman kedua tangan itu pun terlepas, dan Suto Sinting jatuh terjungkal karena tak mampu lagi menjaga keseimbangan dan rasa sakit. Kedua kakinya tak bisa dipakai berdiri lagi. Bruuuk...!
"Aaaaaaaaahhhkk...!" Pendekar Mabuk meraung panjang, ia buru-buru menenggak tuaknya untuk atasi rasa sakit.
Tapi keadaan Ratu Kehangatan sudah terkapar tak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam bumbung tuak yang kerasnya melebihi besi baja.
"Ratu tewas...! Ratu tewaaass...!" teriak seorang prajurit, lalu prajurit yang lain pun berhamburan melarikan diri. Mereka takut menghadapi Pendekar Mabuk, tak ingin mengalami nasib seperti ratunya.
"Heeeaaah...!!" Teriakan itu berasal dari Denaya yang baru saja muncul bersama Rembulan Senja, ia menyerang para prajurit dengan pedangnya secara membabi-buta. Rembulan Senja melepaskan cahaya penghancur ke arah para prajurit yang bertebaran. Tapi tindakan mereka buru-buru dicegah Suto, hingga tak telanjur makan korban.
Kemudian Istana Kematian pun segera dihancurkan oleh Pendekar Mabuk dengan jurus-jurus maut bersinar warna-warni itu, pada saat sudah ditinggal oleh para prajurit.
Bleggaaaaarrrrrr...!! Istana Kematian itu meledak dan api berkobar membubung tinggi sebagai pertanda berakhirnya masa kekejaman Ratu Kehangatan. Suara ledakan itu menggema sampai ke mana-mana dan mengguncangkan tanah dengan keras, seakan bumi akan kiamat dalam waktu dekat.
"Denaya!" seru Buyut Batara, lalu ia segera berlari hampiri gadis itu dan memeluknya.
Rembulan Senja berharap Suto Sinting berseru seperti adiknya. Tapi ternyata Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum sambil melangkah mendekati Rembulan Senja. Langkahnya masih sedikit pincang karena proses penyembuhan pada tulang kaki belum sempurna.
"Kita harus segera pulang. Ada beberapa tawanan yang menderita sakit akibat tebasan pedang temannya sendiri," ujar Rembulan Senja.
"Aku setuju dengan usulmu!"
Maka mereka pun bergegas pulang ke Tanah Leluhur. Ternyata dari sekian pemuda yang diculik oleh pihak Ratu Kehangatan, hanya tujuh orang yang masih selamat. Tiga di antaranya terluka akibat pertarungan di arena.
"Kami dipaksa bertarung dengan teman sendiri sampai ada yang mati. Darah kami merupakan hiburan dan kepuasan bagi Ratu Kehangatan itu!" tutur salah seorang tawanan. "Jika kami tidak mau membunuh lawan yang sudah kalah, kami berdua akan dibunuh oleh para pengawal Ratu. Jadi mau tidak mau kami membunuh teman sendiri demi mempertahankan nyawa kami masing-masing."
"Menyedihkan sekali!" gumam Suto Sinting dengan lirih, lalu la pun menundukkan kepala.
Ternyata ketika mereka tiba di Tanah Leluhur, dua orang tamu sedang berada di sana. Mereka adalah Perawan Sinting dan Mahesa Gibas. Walau kedatangan Perawan Sinting termasuk terlambat, tapi Suto tetap menyambutnya dengan senyum kemenangan. Senyum itu membuat Rembulan Senja cemberut dan tak mau menatap Suto yang telah berada dalam genggaman tangan Perawan Sinting.
"Repot! Serba salah kalau begini jadinya!" gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya dengan mata sesekali melirik Rembulan Senja, sesekali melirik Perawan Sinting yang sudah terang-terangan menyimpan cinta kepadanya.
SELESAI