Serial Pendekar Mabuk
Kematian Sang Durjana
Karya Suryadi
Kematian Sang Durjana
Karya Suryadi
SATU
SUNGGUH mengejutkan sekali jika Arjuna tampil di rimba persilatan dan berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Tentu saja dunia akan menjadi gempar, dan setiap orang tak akan percaya, karena mereka berbeda zaman. Mungkin juga setiap orang akan bertanya-tanya, siapa yang unggul jika Pendekar Mabuk bertarung melawan Arjuna?
Sayangnya, orang yang menghadang langkah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, hanyalah orang yang mirip Arjuna. Rambutnya pendek, rapi, tanpa ikat kepala. Badannya sedang, tidak tinggi, tidak pendek, tidak gemuk, tidak kurus dan tidak apa-apa. Kulitnya putih untuk ukuran kulit seorang lelaki. Usianya sekitar dua puluh empat tahun. Matanya kecil tapi tajam. Hidungnya bangir dan punya ketampanan tersendiri.
Jika Pendekar Mabuk mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih, maka orang yang mirip Arjuna itu mengenakan rompi putih dan celana coklat tua. Pendekar Mabuk mengenakan ikat pinggang dari kain merah, orang yang mirip Arjuna itu mengenakan ikat pinggang kulit warna hitam. Pendekar Mabuk membawa bambu bumbung tuak, orang itu membawa bambu tanpa tuak. Bambu itu adalah sebuah toya yang panjangnya satu depa lewat, seperti tongkat pramuka. Tapi orang itu jelas bukan seorang pramuka.
Bambu kuning itu adalah bambu gading. Kedua ujungnya papak alias datar. Kelihatannya masih basah, karena warna kuningnya masih mengkilap. Tapi sebenarnya bambu itu cukup ulet dan keras. Sekali gebuk, lalat pun bisa mati, apalagi nyamuk.
Ketika langkah Suto Sinting terhenti, pemuda itu tiba-tiba lakukan lompatan cepat menerjang ke dada Suto. Wuuut...! Tentu saja tendangan kaki itu dapat ditangkis dengan sentakan tangan kanan ke samping kiri. Plak...! Kaki kiri Pendekar Mabuk pun berkelebat ke samping.
Wuuut...! Deeekh.
"Akh...!" pemuda berbambu kuning itu tersentak mundur dua langkah karena pinggangnya terkena tendangan Suto. Tapi ia tak sampai jatuh, karena setelah tersentak mundur dua langkah, bambu kuningnya berkelebat menyambar Suto beberapa kali.
Wus, wus, wus, wus...!
Suto menghindarinya dengan melangkah mundur sambil kepalanya berkelit ke kanan-kiri. Bambu itu hanya lewat di depan hidung Suto, kira-kira berjarak setengah jengkal. Namun tiba-tiba bambu kuning itu berhenti, lalu menyodok mata Pendekar Mabuk. Suuut...! Taaab...! Pendekar Mabuk menahan sodokan bambu kuning tersebut dengan telapak tangannya. Dalam sekejap toya bambu kuning itu telah tertangkap di tangan Suto. Namun segera terlepas kembali ketika Suto Sinting kirimkan tendangan sekali lagi ke arah pinggang lawan. Buuukh...!
"Uuuugkh...!" pemuda berbambu kuning itu menyeringai sambil sedikit membungkuk pegangi perut sampingnya. Tendangan itu dirasakannya seperti terjangan seekor kerbau mabuk.
"Maaf, bukan aku yang cari penyakit, tapi kau sendiri yang ingin cepat ke liang kubur, Sobat!" ujar Suto Sinting yang sengaja tak lanjutkan serangannya agar si pemuda berambut pendek itu sadar akan kesalahannya. Tapi rupanya harapan Suto itu tidak terkabul, karena si pemuda berambut pendek itu justru memainkan toya bambunya setelah menarik napas untuk menahan rasa sakitnya.
Raut wajah pemuda itu tampak menyimpan dendam atas dua kali serangan Suto yang mengenainya, ia juga tampak penasaran karena sejak tadi tak bisa melukai atau mencelakai lawannya. Padahal ia merasa sudah tepat sasaran. Kali ini si pemuda berambut pendek sentakkan tongkatnya ke arah dada Suto Sinting. Tongkat itu dialiri tenaga dalam hingga keluarkan sinar kuning lurus. Claaap...!
Pendekar Mabuk agak terkejut karena tak menyangka ujung tongkat akan keluarkan sinar. Namun dengan cekatan ia menyambar bumbung tuaknya dan dihadangkan di depan dada sehingga sinar kuning lurus itu tepat kenai bumbung tuak tersebut.
Traaak...! Terdengar suara seperti benda keras beradu dengan bumbung tuak. Dan sinar kuning itu ternyata memantul berbalik ke arah pemiliknya dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari keadaan aslinya. Weess...!
"Edan!" teriak pemuda berambut pendek itu, lalu ia melompat dan berguling di tanah ketika sinar kuningnya nyaris kenai dadanya sendiri. Wut, bruuk...! Sinar kuning itu akhirnya menghantam pohon dibelakangnya.
Duaaarr...! Ledakan cukup keras terdengar menggema, mata si pemuda berambut pendek terbelalak melihat pohon yang terhantam sinar kuning itu terbelah menjadi dua bagian. Padahal biasanya sinar kuning itu jika meleset kenai lawan, akan menghantam pohon dan pohon itu hanya akan terkoyak sebagian saja. Tapi kali ini sinar kuning itu justru telah membuat pohon itu terbelah sedemikian rupa. Sungguh mengherankan bagi si pemuda berambut pendek itu.
Akhirnya ia bangkit pandangi lawannya yang tetap berdiri tenang dengan senyum tipis membias di wajahnya. Kalau saja Suto mau lakukan serangan lagi, pemuda itu pasti akan celaka karena ia punya kesempatan menghantam dengan telak. Pemuda itu pun berpikir, "Mengapa ia tak mau balas menyerangku?!"
Suto pun perdengarkan suaranya yang bernada kalem tapi tegas. "Siapa kau sebenarnya, Sobat?!"
"Aku yakin kau si Pendekar Mabuk yang kondang itu! Ciri-cirimu tetap seperti yang pernah kudengar dari seseorang."
"Yang kutanyakan, siapa kau sebenarnya?!" Suto agak menggertak, karena jawaban pemuda itu tak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan Suto.
Pemuda itu segera sadar, lalu menjawab sesuai pertanyaannya. "Namaku Santana!"
"Santana...?!" Suto berkerut dahi. "Aku merasa asing dengan nama itu."
"Hmm, kasihan. Rupanya kau pendekar yang kurang pergaulan," ejek Santana dengan senyum sinis. "Kau belum tahu siapa jawara dari Parang, eh... maksudku dari Pulau Parang?!"
"Aku pernah mendengar nama Pulau Parang tapi tidak pernah tahu kalau pulau itu ada jawaranya," ujar Suto Sinting dengan melangkah kesamping.
"Akulah jawaranya!" Santana menepuk dada. "Akulah yang bernama Sandi Tanayom alias Santana!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut kalem, "Akulah Suto Sinting, alias Pendekar Mabuk!"
"Aku sudah tahu nama aslimu Sinting. Kau tak perlu memperkenalkan diri lagi. Sebaiknya cepat persiapkan diri untuk kematianmu!" sambil Santana mondar-mandir ke kanan-kiri dengan lagak sok jagonya.
"Mengapa aku harus persiapkan diri untuk kematianku?"
"Sudah tujuh hari aku mencarimu, Suto Sinting!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam hati, "Bocah ini kalau ditanya pasti jawabannya tidak pernah nyambung! Goblok apa gila dia itu?"
"Mengapa kau ingin membunuhku Santana?!"
"Sekadar menyalurkan bakat saja," jawabnya dengan konyol.
"Bakat apa?"
"Jangan sebut-sebut bakat seenaknya, ya? Bakat itu nama bapakku!" Santana tampak ngotot. "Subakat, itu nama lengkap bapakku!"
"Lho, yang menyinggung soal bakat kau dulu, Santana. Aku hanya menanyakan bakat apa yang ingin kau salurkan itu!"
"Bakat menjadi pembunuh bayaran!" jawab Santana dengan mata dilebarkan biar tampak galak dan menyeramkan. Tapi karena wajahnya tampan, maka kesan galaknya tidak ada, yang muncul justru kesan lucu menggelikan hati Suto.
"O, jadi kau seorang pembunuh bayaran?" gumam Suto sambil manggut-manggut.
"Hampir," jawab Santana tegas. "Maksudku, sebentar lagi aku hampir menjadi pembunuh bayaran, terutama setelah berhasil membunuhmu, Pendekar Sinting!"
"Siapa yang membayarmu untuk membunuhku?"
"Memang tugasku membunuhmu!"
"Yang kutanyakan, siapa yang menyuruhmu membunuhku?!" sentak Suto agak kesal dengan jawaban yang tulalit alias tak pernah nyambung itu.
"Soal siapa yang menyuruhku, kau tak perlu tahu. Itu urusanku dan itu rahasia perusahaan. Kau hanya kuminta dengan kerelaanmu agar bersedia kubunuh dan mayatmu akan kuserahkan kepada Ratu Ladang Peluh!"
"Ooo... jadi yang mengupahmu untuk membunuhku itu adalah si Ratu Ladang Peluh?" sambil Suto manggut-manggut, tapi Santana membantahnya dengan keras.
"Kau tidak perlu tahu siapa yang mengupahku! Aku bukan orang upahan Ratu Ladang Peluh! Bagaimanapun juga aku tidak akan katakan padamu bahwa aku pembunuh bayaran atas suruhan Ratu Ladang Peluh!"
"Bocah goblok!" gerutu Suto sambil menahan rasa jengkel-jengkel geli. "Kalau mau merahasiakan siapa yang mengupahmu, jangan sebutkan namanya!"
"Memang tidak sebutkan namanya! Buktinya aku tidak bilang padamu kalau aku disuruh membunuhmu oleh Ratu Ladang Peluh, bukan?! Aku tidak bilang begitu, bukan?!"
"Hmmm..., pembunuh bayaran kelas teri kau ini, Santana," kecam Pendekar Mabuk sambil sunggingkan senyum berkesan geli. Karena bagaimanapun ngototnya Santana, Suto tahu persis bahwa pemuda itu disuruh oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuh Pendekar Mabuk. Padahal nama itu sedang menjadi buah pikiran Suto, sebab masih ada kaitannya dengan perkara hancurnya sebuah pedang pusaka, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Penakluk Cinta).
"Sebaiknya urungkan niatmu membunuhku, Santana," saran Suto.
"Urungkan?! Hmmm, enak saja! Aku sudah menerima uang muka dari orang yang menyuruhku, dan uang muka itu sudah habis kupakai jajan, masa' aku harus mengurungkan niatku?! Hmmm, tidak bisa! Aku harus tetap berusaha membunuhmu, supaya dapat tambahan uang dan memperoleh sebuah pusaka dari orang yang menyuruhku itu. Pusaka Pedang Penakluk Cinta!"
"Dasar bodoh! Kau tak pantas menjadi pembunuh bayaran, Santana, karena semua rahasia kau beberkan secara tidak sengaja, termasuk nama orang yang membayarmu itu! Aku tahu, kau disuruh oleh Ratu Ladang Peluh dengan upah menarik, yaitu sebuah pedang pusaka yang bernama Pedang Penakluk Cinta."
"Lho, kok tahu?" gumam Santana yang sampai didengar oleh telinga Suto.
Maka senyum Suto pun mengembang dengan lebar.
Santana akhirnya menggeram, "Aku tak peduli kau tahu siapa yang menyuruhku atau tidak, yang jelas sekarang terimalah saat kematianmu yang sebenarnya, Suto Mabuk!Heaaat...!"
Santana melompat kembali sambil menyodokkan toya bambu kuningnya. Tapi dengan sentakan cepat, Pendekar Mabuk telah melayang melebihi ketinggian Santana. Wuuut...! Santana melesat di bawah kaki Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ujung kaki kanan Suto menyentak ke bawah, tepat kenai ubun-ubun Santana. Deess...!
Brrukk...! Santana kontan jatuh tersungkur. Wajahnya yang tampan itu bagai diadu dengan tanah. Suara pekiknya terbungkam oleh rumput yang masuk ke mulutnya. Sedangkan Suto Sinting sudah berada di tempat lain dengan lakukan gerakan salto pada saat kakinya menyentak di kepala Santana.
"Babi burik! Kepalaku malah dipakai buat tumpuan kakinya!" geram hati Santana. "Ooh... kepalaku? Ya, ampun... mengapa berat sekali? Uuh...! Gila! Kepalaku seperti dibanduli batu sebesar gunung. Sulit sekali diangkat dan rasa sakitnya sampai ke tunggir! Uuuh, setan belang nyolong kacang, jurus apa yang dipakai si Pendekar Sinting itu?!"
Pendekar Mabuk akhirnya menjambak rambut Santana hingga kepala pemuda itu terdongak. Mulutnya ternganga penuh rumput yang terpotong pada saat giginya menggegat menahan rasa sakit itu. Pendekar Mabuk cabuti rumput yang ada di dalam mulut Santana sambil berkata, "Aku tahu kau pesuruh yang bodoh, jadi aku tak tega untuk mencelakaimu!"
Santana tak bisa bertindak dengan tongkat karena kedua tangannya yang lurus ke depan itu diinjak oleh kaki Suto. Posisi Suto ada di depan Santana. Setelah rumput tidak menyumbat mulut Santana, Suto pun menuangkan tuaknya ke mulut itu.
"Minum tuak ini biar kepalamu tak pecah!"
Glek, glek, glek ..! Mau tak mau Santana menelan tuak itu. Kejap berikutnya ia merasa sehat kembali tanpa rasa sakit sedikit pun. Suto segera membangunkan.
"Sekali lagi kusarankan padamu, batalkan niatmu untuk membunuhku, Santana! Ratu Ladang Peluh itu bukan orang yang patut dibela. Dia ratu aliran hitam!"
Setelah berpikir sejenak, Santana pun berkata, "Akan kuturuti saranmu. Tapi ada syaratnya!" sambil hati Santana membatin, "Kalau kulawan dengan kekerasan aku tak akan menang. Harus kugunakan akalku untuk tundukkan orang ini!"
Suto Sinting diam saja, ia sengaja menyimak apa yang ingin dikatakan oleh Santana. Sampai akhirnya, tanpa diminta Santana menjelaskan sendiri maksudnya.
"Syaratnya cukup ringan." Santana membuat lingkaran besar dengan tongkat bambu kuningnya. Lingkaran itu mengelilingi Suto Sinting dalam jarak empat langkah dari tengah ke garis lingkaran. Setelah itu, Santana dekati Suto Sinting lagi. "Pendekar Mabuk, kalau kau bisa membuatku keluar dari lingkaran ini, berarti aku tidak jadi membunuhmu. Karena jika kau bisa membuatku keluar dari garis lingkaran itu, maka aku akan merasa tak bakal bisa menandingi kekuatan dan ilmumu. Tapi jika kau yang keluar dari garis lingkaran itu, berarti kau harus rela kubunuh demi tugasku!"
Santana tersenyum lagi. Suto Sinting tetap tenang memandangi garis lingkaran tersebut.
"Bagaimana?" desak Santana bernada menantang.
Dengan kalem Suto Sinting berkata sambil garuk-garuk kepala. "Kelihatannya syarat itu cukup berat, Santana. Kurasa aku tak bisa membuatmu keluar dari lingkaran. Tapi kalau membuatmu masuk ke dalam lingkaran, kurasa aku sanggup melakukannya."
"O, baik! Baik!" Santana manggut-manggut. "Itu tak jadi masalah, Suto," sambil ia melangkah keluar dari lingkaran. "Silakan kau membuatku jatuh ke dalam lingkaran dengan cara apa pun. Kalau memang..."
Suto Sinting memotong, "Santana, aku tidak menggunakan ototku, tapi aku menggunakan otakku."
"Tak apa! Kau boleh menggunakan otakmu. Aku tetap mengakui kemenanganmu walaupun kau menggunakan otak jika..."
"Santana," potong Suto Sinting lagi. "Lihat kakimu! Sekarang kau sudah berada di luar lingkaran. Berarti aku sudah bisa membuatmu keluar dari garis lingkaran sesuai dengan syarat yang kau ajukan tadi!"
"Maksudku, hmm... ehhh... begini, Suto. Kau tadi bilang..."
"Kau kalah, Santana! Kau sudah keluar dari lingkaran sedangkan aku tetap berada di dalam lingkaran!" sahut Suto lagi.
Santana menjadi diam tertegun dan segera menyadari bahwa dirinya telah terpedaya oleh kata-kata Pendekar Mabuk tadi. Suto Sinting sunggingkan senyum lebar ketika Santana menatap dengan bengong. Hati murid si Gila Tuak itu merasa geli dan ingin tertawa, namun demi menjaga perasaan Santana, ia tak jadi lepaskan tawa lebar-lebar.
"Kau curang, Suto!" Santana mulai menggeram.
"Hei, ingat apa yang kukatakan tadi... aku tidak akan menggunakan otot melainkan menggunakan otak, dan kau sudah bilang akan mengakui kemenanganku walaupun aku menggunakan otak!"
Santana bagai tak bisa berkutik lagi. Senyumnya hilang, pandangan matanya terasa hampa. Jelas batinnya penuh gerutu dan makian.
"Jika kau seorang pria sejati berjiwa kesatria, kau pasti mengakui kekalahanmu ini, Santana! Tapi jika kau berjiwa pengecut dan banci, maka kau akan ngotot tak berani akui kekalahan diri sendiri!" tambah Suto Sinting semakin membuat Santana terbungkam seribu bahasa selama empat helaan napas lebih.
Ketika sedang beradu pandang dalam kebisuan, tiba-tiba ekor mata Pendekar Mabuk melihat gerakan benda yang meluncur ke arah Santana. Slaap...! Seketika itu pula Pendekar Mabuk berseru dengan wajah menegang seketika. "Awaaas...!"
Santana segera sentakkan tangan kanannya ke kiri. Bambu kuning itu melintang di sekitar telinganya. Benda yang meluncur itu menancap tepat di bambu kuning itu. Jrraab...! Jika tak terhalang bambu kuning, leher Santana yang menjadi sasaran benda tersebut. Tongkat ditarik kembali oleh Santana dengan kalem. Matanya memandang benda yang menancap di bambunya. Ternyata sebuah senjata rahasia dari sekeping logam putih berbentuk bintang segi enam, tapi bagian tengahnya berlubang seperti cincin.
Suto Sinting membatin, "Boleh juga gerakan cepatnya! Tanpa memandang ke arah kirinya ia sudah bisa menangkis senjata rahasia tersebut. Kuakui, walau cuma seperti itu tapi ia sudah tergolong hebat. Ilmunya tidak terlalu rendah."
Santana yang kehilangan senyum itu melirik kesemak-semak sebelah kirinya.
"Agaknya ada orang jahil yang ingin membunuhmu, Santana!" ujar Suto Sinting.
Santana tidak memberikan komentar apa-apa. Tapi ia segera sentakkan tongkat bambu kuningnya itu ke arah datangnya senjata rahasia tadi. Sentakan bertenaga dalam membuat benda yang menancap di tongkat bambunya itu terlepas dan melesat dengan cepat seperti dilemparkan dengan tangan. Slaaap.! Benda itu melayang ke arah semak-semak. Zrrraab...!
Triing...! Terdengar suara denting menggema kecil, seakan benda berbentuk bintang segi enam itu telah menyentuh logam lain di balik semak-semak tersebut. Kejap berikutnya, dari balik semak-semak tampak sesosok bayangan melesat keluar dengan gerakan bersalto di udara dua kali.
Bruus...! Wuuk, wuuk...! Jleeg...!
Pendekar Mabuk dan Santana sama-sama pandangi seraut wajah cantik yang baru saja muncul dari semak-semak itu. Seraut wajah cantik itu milik seorang gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun. Rambutnya pendek, seperti potongan lelaki, kepalanya dililit logam kuning emas dengan hiasan batu merah delima sebesar biji sawo berantai pendek.
Gadis itu mengenakan baju tanpa lengan warna merah kehitaman dari bahan kain tebal. Bajunya yang berhias benang emas dan mempunyai krah agak tinggi, hingga menutupi sebagian lehernya yang dari depan tampak berwarna kuning mulus.
Baju berbelahan dada agak lebar dan sedikit menggoda itu dililit sabuk hitam dengan kepala sabuk dari logam emas berbatu merah. Ada tiga batu merah delima pada kepala sabuknya itu. Sedangkan celananya juga berwarna merah kehitaman berhias benang emas dari kain tebal dan ketat hingga membentuk lekak-lekuk pinggul, paha dan betisnya. Kaki yang separo betisnya kelihatan itu mengenakan sandal kulit bertali hitam membentuk anyaman renggang pada betisnya.
Gadis itu bersenjata pedang di punggung. Pedang tersebut sudah dicabut dari sarungnya dan digenggam dengan tangan kanan. Rupanya pedang itulah yang terkena lemparan balik sekeping logam berbentuk bintang segi enam itu. Ia berhasil menangkisnya dan segera tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum.
Suto Sinting yang berada dalam jarak dua langkah di samping Santana segera berbisik dengan pandangan mata tetap tertuju kepada wajah cantik berhidung mancung dan berbibir sensual itu.
"Kau mengenalnya, Santana?"
"Dia memang cantik," jawab Santana seperti orang tuli yang selalu salah jawab.
Suara Suto Sinting jadi menggeram karena menahan kejengkelan. "Aku bertanya padamu, apakah kau mengenal gadis itu?!"
"Oh, hmm... tidak!" jawab Santana seperti baru saja sadar dari lamunan. "Aku... aku sama sekali tak mengenalnya. Mungkin kau yang mengenalnya. Barangkali dia kekasihmu?!"
"Kekasihku adalah Dyah Sariningrum. Bukan dia! Dyah Sariningrum lebih cantik darinya. Sayang sekali perjalananku ke Pulau Serindu untuk menemuinya terhalang oleh kemunculanmu tadi!"
Santana menatap Suto Sinting dengan mulut terperangah. "Hei, nama itu kukenal! Bukankah orang yang bernama Dyah Sariningrum itu adalah penguasa di Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati?!"
"Tepat sekali! Dia itulah calon istriku!"
"Ooo... jadi kau sudah pesan tempat di hati sang Ratu Puri Gerbang Surgawi itu?!" Santana mulai tersenyum kembali.
"Benar sekali. Aku sudah pesan tempat cukup lama!" Suto pun tersenyum walau hanya tipis-tipis saja.
"Hebat sekali kau! Hebat sekali! Hah, hah, hah, hah!"
Kedua pemuda itu tertawa, sepertinya tak menghiraukan kemunculan si gadis cantik yang menggenggam pedang itu. Sang gadis menjadi dongkol, kemudian segera lakukan lompatan ke arah Santana. Pedangnya ditebaskan dalam sekali kelebat. Beet...!
Trak...! Pedang itu berhasil ditangkis dengan bambu kuningnya Santana. Bambu itu tak menjadi patah atau terpotong, padahal pedang tersebut cukup tajam. Jika tak dialiri tenaga dalam, tentunya bambu itu sudah patah atau terpotong.
Gagal menebaskan pedangnya ke tubuh Santana, gadis itu segera kirimkan tendangan kakinya dalam satu lompatan kecil. Beet...! Plook...! Santana menangkisnya dengan kaki, sehingga kaki mereka saling beradu. Sementara itu, Suto Sinting mundur jauhi mereka. Namun ketika itu Santana segera hantamkan telapak tangan kirinya dalam gerakan sangat cepat.
Beet...! Buuhk...!
"Hehhk...!" gadis itu tersentak mundur, tubuhnya melayang sesaat, namun berhasil kuasai diri sehingga tak sampai jatuh, ia berdiri dalam jarak lima langkah dari Santana.
Sedangkan Suto Sinting berdiri dua langkah dari samping kiri si gadis. Gadis itu melirik Suto Sinting dengan lirikan tak bersahabat, Suto pun segera mundur sambil mengambil bumbung tuaknya yang sejak tadi menyilang di punggung. Sambil melangkah mundur, Suto Sinting sunggingkan senyum lebar, bagaikan seringai penuh goda.
"Siapa kau, Nona cantik?! Apa alasanmu dua kali menyerangku dengan senjata?!" tanya Santana dengan wajah tak menampakkan permusuhannya. Wajah itu kembali dihiasi oleh senyum yang kadang kecil kadang melebar.
Si gadis tak lagi menatap Suto melainkan lemparkan pandangan ke arah Santana. Walau sepasang mata itu jernih dan berbulu lentik, namun sorot pandangannya terasa tajam dan dingin. Tajam seperti peniti, dingin seperti es cendol.
* * *
DUA
PENDEKAR Mabuk coba menyapa si gadis dengan nada lebih lembut dari nada suara Santana. "Nona, boleh kutahu siapa dirimu sebenarnya?"
Gadis itu memandang Santana, tapi menjawab pertanyaan Suto Sinting walau bernada ketus. "Aku yang berjuluk Mendung Merah dari Gunung Pare!"
"Wah, gawat!" sahut Santana pelan, memandang Suto dengan senyum dikulum. "Gunung Pare itu tempat begituan!"
"Begituan bagaimana?"
"Tempat perjudian nyawa!" tegas Santana. "Kudengar, di Gunung Pare banyak orang berjudi dengan mengadu jago. Jago mereka adalah manusia seperti kita. Siapa yang mati, itulah yang kalah. Kalau belum mati, walau sudah babak belur dan tidak bisa bicara lagi, tapi masih bernapas, tetap belum dikatakan kalah! Bukankah begitu, ya Nona?!" Santana melempar bicara kepada gadis itu. "Itu dulu!" jawab si gadis pendek, namun sudah bikin Santana tersenyum lebar.
Sebelum pemuda bertongkat bambu kuning itu bicara lagi, Mendung Merah sudah dului ajukan tanya kepada pemuda itu. "Kau yang berjuluk Pendekar Mabuk, bukan?!"
"Ooo... keliru, Non! Keliru!" ujar Santana santai sekali, ia menuding Suto, "Dia yang punya gelar Pendekar Mabuk!"
"Benar, aku yang bergelar Pendekar Mabuk!" sambil Suto acungkan tangan dengan cengar-cengir.
Gadis itu menatap Suto Sinting sesaat, lalu menatap Santana, kembali memandang Suto, kembali lagi pandangi Santana. Ia tampak bingung menentukan keyakinannya. Mungkin karena pakaian Suto dan Santana punya warna sama, hanya berbeda tempatnya, maka si gadis menjadi bimbang. Bawahan putih atau atasan putih? Atasan coklat atau bawahannya yang coklat? Tapi keduanya sama-sama membawa bambu, hanya saja beda kegunaannya.
"Aku bertanya sungguh-sungguh, siapa yang berjuluk Pendekar Mabuk?!"
"Aku...!" jawab Suto lagi sambil menepuk dada dan maju selangkah.
"Jangan menyesal jika pedangku telanjur merenggut nyawamu!" geram gadis itu. Tiba-tiba ia bergerak cepat menyabetkan pedangnya ke dada Suto Sinting. Beett...!
Tapi gerak naluri Suto sudah terlatih. Dengan memiringkan badan sedikit seperti orang mabuk menggeloyor, bambu bumbung tuaknya dihadangkan ke arah datangnya pedang. Maka bambu itulah yang terkena sabetan pedang si Mendung Merah. Traang...!
"Busyet! Suaranya seperti besi ketemu besi?!" gumam Santana pelan. Matanya memandang kagum ke arah bumbung tuak yang tak lecet sedikitpun.
Si gadis lepaskan pukulan dengan tangan kirinya, tapi dihindari oleh Suto dengan menggeloyor seperti ingin tersungkur ke depan. Wuut...! Pukulan tersebut tak kenai sasaran, tapi hembusan angin, pukulannya terasa panas di tengkuk Pendekar Mabuk. Berarti pukulan itu mengandung tenaga dalam cukup besar.
"Hai, sabar...! Sabar dulu, Mendung Merah!" bujuk Pendekar Mabuk.
Namun si gadis tak mau turuti bujukan itu. Kakinya menendang ke samping, arahnya tepat di depan mulut Pendekar Mabuk. Wuukk...! Tendangan itu tidak ditangkis, tapi dihindari juga dengan cara melompat ke belakang. Wes, jleeg...!
Si gadis sentakkan kakinya dan tubuh sekalnya itu tiba-tiba melambung ke atas, lalu bersalto ke belakang. Wees...! Begitu kedua kakinya sampai di tanah, pedangnya menebas ke samping kanan.
Wuuut...! Trang..!
Bumbung tuak dipakai menangkis pedang itu lagi. Tapi sang pedang berkelebat dalam gerak meliuk cukup cepat. Suuutt...! Wees...! Kepala Suto Sinting nyaris jadi sasaran telak kalau saja pemuda itu tidak cepat-cepat tundukkan kepala dengan setengah berjongkok. Tangan kiri Suto menapak di tanah, tubuhnya memutar cepat dengan kaki menyambar betis gadis itu. Wuut...! Plook...!
Brrruk...! Mendung Merah jatuh terduduk dalam hempasan keras. Suto Sinting segera berdiri dan pindah tempat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Santana.
Diam-diam Mendung Merah tercengang kagum melihat gerakan sebegitu cepat, nyaris tak terlihat sedikit pun bayangannya. Santana sendiri agak kaget mengetahui Suto Sinting sudah ada dibelakangnya.
"Edan! Lewat mana kau bisa sampai di belakangku?!"
"Lewat kolong kakimu!" jawab Suto Sinting sambil pandangi si gadis yang telah berdiri dengan wajah memancarkan permusuhan.
Ketika Mendung Merah ingin bergerak lagi, Santana buru-buru berkata kepadanya. "Mendung Merah, maukah kau kerja sama denganku?"
"Minggir kau! Akan kuhantam dia dari sini jika benar dia Pendekar Mabuk!" sentak Mendung Merah.
"O, silakan!" ujar Santana sambil menyingkir, membuat Pendekar Mabuk tanpa penghalang apa pun didepannya. Seketika itu pula Mendung Merah sentakkan tangan kirinya dengan jari lurus ke depan dan saling merapat. Suuutt...! Dari ujung jari tengah itu keluar sinar merah panjang yang melesat ke dada Pendekar Mabuk. Claap...!
Bumbung tuak segera diangkat sedada. Sinar merah itu menghantam bumbung tersebut. Tuub...! Ternyata sinar merah itu memantul balik dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya. Weess...!
Mendung Merah kaget sekali. Hampir saja ia jadi sasaran balik sinarnya sendiri. Untung ia segera sentakkan kaki dan tubuhnya melambung ke udara dan bersalto mundur satu kali. Suut...! Wuuuk...! Sinar yang kembali arah itu akhirnya menghantam sebatang pohon yang besarnya tiga kali pelukan Suto Sinting. Jegaarrr...!
"Edan!" sentak Santana dengan rundukkan kepala hampir jongkok. Ledakan yang terjadi sangat keras dan menghentak kuat, seakan ingin memecah gendang telinga.
Sementara itu, Mendung Merah tertegun beberapa kejap dengan mata tak bisa berkedip, ia nyaris tak percaya bahwa sinar merahnya yang berbalik arah itu telah membuat pohon yang dihantamnya menjadi serpihan-serpihan kayu yang menyebar ke berbagai arah. Padahal biasanya sinar merah tersebut hanya bisa membuat pohon berlubang besar dalam keadaan lubangnya hangus. Tak sampai membuat pohon pecah seperti saat itu.
Setelah masing-masing sama-sama bungkam selama dua helaan napas, Pendekar Mabuk segera menegur Mendung Merah dengan serius, tanpa senyum sedikit pun, namun tanpa wajah bermusuhan.
"Mendung Merah, mengapa kau benar-benar ingin membunuhku?!"
Santana menyahut, "Jawab saja, Nona! jawab apa adanya, daripada nanti dia matinya penasaran, Rohnya bisa mendatangimu tiap malam dan mencabuti bulu ketiakmu!"
"Aku tak punya bulu!" bentak Mendung Merah kepada Santana.
"Ooh... maaf, maaf... aku salah pandang kalau begitu!" kata Santana sedikit gugup, tapi gayanya menggelikan hati Pendekar Mabuk.
Mendung Merah hampiri Santana dan mengacungkan pedangnya ke arah pemuda itu. "Jika kau bukan Pendekar Mabuk, jangan ikut bicara! Bisa robek mulutmu dengan pedangku ini kalau masih ikut campur urusanku dengannya!"
Suto menyahut, "Aku merasa tak punya urusan denganmu, Mendung Merah."
"Aku yang punya urusan denganmu! Kau tak perlu ikut mengurusnya, biar aku yang mengurus, karena memang tugasku tak jauh dari urusan nyawamu!"
"Tugas apa itu, kalau boleh kutahu?!"
"Memenggal kepalamu!" geram Mendung Merah.
Santana maju dekati Mendung Merah. Senyumnya berkesan sinis mengejek. "Siapa yang memberimu tugas begitu, Neng?!"
"Aku dibayar oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuh Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting terperanjat. Lagi-lagi nama Ladang Peluh mengejutkan hatinya, membelalakkan matanya, menahan napasnya di tenggorokan. Suto Sinting tak bisa tertawa, tapi Santana justru tertawa agak keras. Tawa meremehkan.
"Itu tidak mungkin, Nona cantik! Tidak mungkin!"
"Apanya yang tidak mungkin, Tikus parit?!" geram Mendung Merah.
"Ratu Ladang Peluh sudah menyewaku untuk membunuh Pendekar Mabuk. Separo bayaranku sudah diberikan sebagai uang muka, sisanya akan dilunasi setelah aku datang kembali dengan membawa potongan kepala Pendekar Mabuk! Jadi tak mungkin kau merebut lahanku, Cah Ayu!"
"Mendung Merah tak kenal kata tak mungkin!" sentak gadis itu dengan galaknya. "Pendekar Mabuk adalah buruanku!"
"Tidak bisa! Dia adalah buruanku!" bantah Santana.
"Kalau begitu kita tentukan siapa yang berhak memenggal kepala Pendekar Mabuk!"
"Boleh!" kata Santana dengan bersemangat menyambut tantangan Mendung Merah.
Suto Sinting tertawa kecil dalam hatinya, ia sengaja mundur beberapa langkah sampai di bawah pohon. Hatinya pun membatin, "Gila! Mereka berebut kepalaku? Lucu sekali! Apa mereka pikir mudah memenggal kepala Pendekar Mabuk?!"
Santana dan Mendung Merah masih bersitegang. Suto sengaja membiarkannya, sambil ia ingin tahu sejauh mana kemampuan kedua orang itu sehingga mereka berani memperebutkan kepala Pendekar Mabuk.
"Kalau kau mampu menahan sodokan bambu kuningku, berarti kau berhak mendapatkan kepala Pendekar Mabuk!" ujar Santana sambil melangkah ke kiri mengitari gadis itu.
Si gadis sendiri melangkah ke kanan membentuk gerakan melingkar sambit mempertinggi kewaspadaannya. Bambu kuning yang dipermainkan dengan kedua tangan Santana itu tiba-tiba menyodok ke dada Mendung Merah secara beruntun.
Suutt, suut, suuut, suutt...!
Mendung Merah hanya menghindar dengan gerak tubuh lincahnya yang meliuk ke sana-sini, sementara kedua kaki tetap berada di tempat, tak bergeser sedikit pun. Gadis itu ingin tunjukkan bahwa ia mampu bergerak lebih cepat dari sodokan bambu kuning Santana. Sodokan itu mengandung tenaga dalam, sehingga ujung bambu terasa keluarkan hawa panas yang dapat menyengat kulit manusia biasa. Hawa panas itu pun berhasil dihindari oleh Mendung Merah.
Namun ketika pedang Mendung Merah ingin menebas bambu itu, tiba-tiba Santana berputar tubuh dengan cepat bersama bambunya. Namun seketika itu pula bambunya menyodok ke belakang ketika Santana memunggungi Mendung Merah. Wuutt...! Tenaga dalam yang keluar dari ujung bambu lebih besar dari yang tadi. Untung gadis itu berhasil sentakkan kaki ke tanah secepatnya, lalu tubuhnya melambung ke udara dan bersalto maju satu kali.
Wuuuss...! Tubuh itu melayang lewat atas kepala Santana. Pedang pun ditebaskan ke arah kepala Santana. Tetapi dengan cepat Santana berlutut satu kaki dan bambu kuningnya disilangkan di atas kepala dengan kedua tangan memeganginya. Traakkk...! Pedang itu akhirnya tertahan oleh bambu kuning tersebut hingga tak sempat lukai kepala Santana.
Pemuda itu cepat-cepat lepaskan satu tangannya. Kini bambu kuning dipegang dengan satu tangan dan berputar melilit di tangan Mendung Merah yang memegangi pedang. Slep, slep, slep...! Dess...! Bambu itu menyodok cepat dan kenai ketiak Mendung Merah.
"Uuhk...!" Mendung Merah menyeringai, ketiaknya terasa sakit sekali mendapat sodokan bambu kuning yang rasanya seperti disodok besi. Tulang di ketiak terasa remuk. Tangan kanan Mendung Merah pun tak mampu menggenggam lagi. Pedangnya jatuh ke tanah, tangan itu bagaikan lumpuh tanpa daya sedikitpun.
Tapi gadis itu belum mau menyerah, ia berusaha kerahkan tenaga yang masih tersisa. Seluruh tenaga dipusatkan pada tangan kirinya. Ketika bambu Santana menyabet punggung Mendung Merah, gadis itu cepat- cepat berguling di tanah. Wuuus, wuuutt...! Gerakan berguling sengaja mendekati kaki Santana. Dengan gerakan cepat, tangan kiri itu segera keraskan kedua jarinya dan menotok tepian mata kaki Santana dengan gerakan seperti seekor kobra mematuk mangsa. Tuuuss...!
"Aow...!" Santana terpekik dengan suara tertahan. Tiba-tiba tubuhnya jatuh terduduk. Seluruh urat dan tulangnya bagaikan hilang. Rupanya ia terkena totokan lawan yang membuatnya kehilangan sebagian besar kekuatannya, namun masih tetap dalam keadaan sadar, ia tak mampu lagi memegangi bambu kuningnya. Napasnya menjadi sangat sesak dan sulit dihela, sehingga Santana tampak cengap-cengap seperti seekor lele kekurangan air.
"Haap, haap.., haap...!"
Mendung Merah segera menendangkan kaki kanannya, sementara kaki kiri dipakai untuk berlutut di tanah. Wuuut, plook...! Dengan telak tendangan itu kenai wajah Santana. Tapi setelah itu Mendung Merah jatuh terduduk. Rupanya sodokan bambu kuning di ketiaknya makin lama semakin melumpuhkan seluruh bagian tubuhnya. Tulang-tulang terasa nyeri dan urat-urat bagai mengendor.
Bruuukk...! Mendung Merah jatuh terduduk dalam keadaan bersandar pada akar pohon yang tersumbul dari tanah setinggi betis manusia dewasa itu. Napasnya terengah-engah dengan wajah pucat pasi seperti mayat. Wajah Santana pun tampak lebih pucat lagi, bahkan menyerupai sehelai kertas tanpa stempel.
"Edan...! Kurang ajar...," Santana memaki dengan suara lirih dan serak karena berusaha melonggarkan napasnya.
"Hrrmmm... hhrrmmm...," Mendung Merah tak bisa keluarkan suara kecuali menggeram seperti orang mendengkur.
Pendekar Mabuk tertawa dari kejauhan. Tawa gelinya memang tak keluarkan suara keras, namun dari guncangan badannya ia tampak terpingkal-pingkal melihat kedua orang yang ingin membunuhnya itu saling terkulai lemas. Dengan sisa tawa yang ada, Suto pun akhirnya hampiri kedua orang yang sama-sama lumpuh itu. Pedang milik Mendung Merah dipungutnya, lalu diletakkan di atas pangkuan gadis itu.
"Babat saja lehernya! Kapan lagi kalau tidak sekarang!" ujar Suto dengan nada menyindir.
Bambu kuning yang tergeletak sejauh satu langkah dari Santana juga dipungut dan diletakkan di atas dada Santana yang terduduk melonjor dalam keadaan lengan tersangga batu sebesar anak sapi. "Gebuk saja gadis itu! Jangan malu-malu, Santana!"
"Mata... mu...!" Santana memaki sambil matanya mendelik dan sibuk menarik napasnya yang terasa sulit dihela itu.
Pendekar Mabuk lebarkan senyum, keluarkan suara tawa seperti orang menggumam, ia geleng-geleng kepala pandangi kedua orang tersebut secara bergantian. Mereka juga memandang Pendekar Mabuk dengan kecamuk batin masing-masing. Entah apa yang dikecamukkan mereka, tapi yang jelas mereka punya kedongkolan sendiri terhadap ejekan Suto Sinting tadi.
"Kalian ini bagaimana? Payah sekali!" Suto bertolak pinggang satu tangan. "Bagaimana kalian mau membunuhku jika menumbangkan lawan seperti kalian tak mampu saling menumbangkan?!"
Melihat kedua orang itu tak berdaya, Pendekar Mabuk tak sampai hati. Sekalipun mereka bermaksud membunuhnya, namun dalam hati Pendekar Mabuk yakin bahwa mereka akan membatalkan niatnya jika sudah mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Menurut penilaian Suto, wajah-wajah mereka bukan wajah-wajah orang jahat yang tak dapat disadarkan. Mereka masih bisa disadarkan dan diberi pengertian.
"Apalagi ilmu mereka hanya segitu, sekali kugebrak bakalan ngacir tak balik-balik lagi," ujar Suto dalam hatinya. "Aku yakin mereka hanya terpedaya oleh kata-kata Ratu Ladang Peluh, sehingga mereka menerima tawaran menjadi pembunuh bayaran. Agaknya mereka belum tahu belang si Ladang Peluh itu."
Tuak sakti yang ada dalam bumbung Suto diminumkan kepada mereka satu persatu. Dengan meneguk tuak dari dalam bumbung yang selalu dibawa-bawa Suto itu, kekuatan mereka menjadi pulih kembali. Rasa sakit hilang, napas sesak menjadi longgar, tulang nyeri menjadi kokoh kembali, urat kendor menjadi keras, dan gemuruh hati yang ingin membunuh menjadi tenang kembali.
"Aneh?! Hanya dengan meneguk tuaknya saja badanku menjadi segar dan lincah kembali?" pikir Santana. "Bahkan aku merasa lebih segar dari sebelum bertemu dengannya? Ternyata tinggi juga kesaktian yang dimiliki si Pendekar Mabuk itu?! Apakah aku mampu melawannya? Ah, aku jadi sangsi pada kemampuanku sendiri jika harus berhadapan dengannya. Apalagi dia baik padaku, mau mengobati kelumpuhanku ini!"
Sementara itu, hati Mendung Merah sendiri membatin, "Luar biasa tuaknya itu. Sekujur badanku seperti habis dipijat secara rata. Enak dan segar. Mengapa dia mau menolongku, sedangkan dia tahu aku diupah untuk membunuhnya? Oh, haruskah aku membunuh orang sebaik dia dan... dan setampan dia?! Ah, ratu setan itu benar-benar iblis tanpa malu! Pemuda setampan dia disuruh membunuhnya. Apa dia sudah buta?! Belum lagi pertimbangan tentang ilmunya yang dapat kuduga lebih tinggi dari ilmuku. Bayangkan saja, jurus totokanku yang kenai pemuda konyol itu dapat dibuyarkan dengan meminum tuaknya?! Apa bukan ilmu edan-edanan itu namanya?!"
Ketika keduanya saling berdiri membenahi pakaian dan membersihkan tanah yang menempel di pakaian mereka, Pendekar Mabuk sengaja pandangi mereka dari jarak empat langkah sambil perdengarkan suaranya yang masih bernada bersahabat itu.
"Sebenarnya apa yang membuat kalian bersemangat sekali diupah untuk membunuhku oleh Ratu Ladang Peluh? Apakah karena besarnya upah tersebut atau karena hal lain?!"
"Upah itu bisa dibilang besar, bisa pula dibilang kecil. Tergantung keadaan orang tersebut. Kalau sedang miskin, tak punya beras sejimpit pun, tentu saja upah itu termasuk besar dan menggiurkan hati. Tapi bagi orang yang sudah punya delapan kapal, maka upah seperti itu dinilai sesuatu yang tak berharga."
"Jawabanmu tak pernah sesuai dengan pertanyaan, Santana. Sebaiknya kau jangan menjawab!" kata Suto Sinting agak jengkel, ia segera memandang Mendung Merah yang telah memasukkan pedangnya ke sarung pedang.
Tapi sebelum gadis itu bicara, tiba-tiba Suto Sirting tersentak kaget dan cepat bergerak dengan menggunakan jurus Gerak Siluman'-nya. Zlaapp...! Ia melesat hampiri gadis itu. Mendung Merah menyangka Suto ingin menerjangnya, ia segera menghindar ke samping kanan. Gerakan Suto berkelebat di sebelah kirinya.
Blaaarrr...! Ledakan besar terjadi dan menggetarkan tanah sekitar tempat itu. Ternyata tindakan Suto tadi adalah langkah menyelamatkan Mendung Merah dari serangan sinar biru yang melesat dari atas pohon berdaun rimbun. Sinar biru itu seperti lidi, meluncur cepat mengarah ke kepala Mendung Merah. Tetapi dengan berkelebatnya Pendekar Mabuk, maka sinar biru itu akhirnya menghantam bumbung tuak Suto. Sinar itu membalik arah dan menghantam dahan pohon bersama timbulnya ledakan besar tadi.
Zrraak...! Bruuk...!
Dari atas pohon itu melesat sekelebat bayangan. Rupanya ada seseorang yang nyaris termakan sinar birunya sendiri yang memantul balik dalam keadaan lebih cepat dan lebih besar dari keadaan aslinya. Orang tersebut melompat hindari sinar tersebut. Karena terburu-burunya, maka ia tak berhasil kuasai keseimbangan tubuh, sehingga ia jatuh terduduk pada saat kakinya mendarat ditanah.
Santana kaget, tapi Mendung Merah lebih kaget lagi, karena ia sadar bahwa nyawanya nyaris terancam punah dari peredaran jika tidak segera diselamatkan oleh Pendekar Mabuk. Gadis itu semakin terkejut setelah mengetahui siapa orang yang melepaskan sinar biru penjemput nyawanya itu.
"Siapa orang itu?!" bisik Suto kepada Mendung Merah, karena saat itu Mendung Merah ada di samping kanannya, sedangkan Santana ada di sebelah kirinya.
* * *
TIGA
PEMILIK sinar biru itu adalah seorang lelaki pendek berusia sekitar empat puluh tahun dengan kumis seperti kelelawar menclok di bawah hidung. Tinggi badannya sebatas perut Suto lebih sedikit. Lelaki itu mempunyai rambut yang tumbuh di sisi kanan-kiri kepalanya, sedangkan bagian tengah kepala dari depan sampai ke belakang botak tanpa rambut sehelai pun.
Ia mengenakan baju berlengan panjang warna hijau tua dengan celananya berwarna hitam. Baju itu tidak dikancingkan, sehingga perutnya yang buncit itu tampak berkulit coklat gelap.
Ia juga mengenakan sabuk dari kain warna merah. Kain merah itu dipakai untuk selipkan golok bergagang hitam bentuk kepala burung gagak. Matanya yang beralis tebal itu memandang lurus dan tajam ke arah Mendung Merah. Pandangan mata itu menandakan sikap permusuhan yang dalam, seakan tak akan mengenal kata ampun untuk Mendung Merah.
"Apa maksudmu menyerangku, Sawung Kuntet?!" seru Mendung Merah dengan suara lantang menandakan keberaniannya.
Suto Sinting sedikit condongkan badannya ke arah Santana dan berbisik pelan, tak kentara. "Ooo... namanya Sawung Kuntet!"
"Sawung itu jago, Kuntet itu pendek. Berarti dia jagoan yang bertubuh pendek."
"Jagoan apa dulu?"
"Mungkin jagoan sambar jemuran orang? Hee, hee, hee, he...!"
"Sstt...!" desis Suto menyuruh Santana agar tak cengengesan dulu, karena saat itu bibir si Sawung Kuntet sudah mulai bergerak-gerak ingin bicara.
"Aku mau anu kau, karena kau mau anu Pendekar Mabuk!"
Santana dan Suto Sinting berkerut dahi, merasa tak jelas dengan kata-kata Sawung Kuntet yang gemar menggunakan kata 'anu' sebagai pengganti kata yang dimaksud. Suto Sinting akhirnya bertanya dalam bisikan kepada Mendung Merah. "Apa maksudnya?"
"Dia ingin membunuhku karena aku ingin membunuhmu. Kurasa begitulah maksudnya."
"Aneh. Mengapa harus pakai kata 'anu' untuk mengungkapkan maksudnya?"
"Memang begitulah ciri bicaranya!" bisik Mendung Merah.
"Sudah lama kau kenal dia?"
"Cukup lama. Ia orang Lembah Layon yang ada di kaki Gunung Pare."
Setelah menggumam dan manggut-manggut, Suto Sinting kerutkan dahi. Pada saat itu Sawung Kuntet melirik Suto sekejap. Anehnya, lirikan itu tidak tampak bersahabat melainkan justru kelihatan bermusuhan. Hati Suto pun membatin, "Rupanya dia ingin membelaku?! Dengan alasan apa dia ingin selamatkan diriku?"
Mendung Merah ajukan tanya lagi kepada Sawung Kuntet. "Apa maksud pembelaanmu terhadap Pendekar Mabuk?!"
"Karena dia anuku!"
"Anumu...?!" Santana berseru dengan heran. "Anumu bagaimana?!"
"Dia jatahku!" bentak Sawung Kuntet. "Kau pun juga akan ku-anu setelah anunya gadis itu melayang!"
Suto Sinting tertawa ditahan, Santana pun geli dan menutup mulutnya agar tak melepaskan tawa.
"Anunya Mendung Merah akan melayang, katanya. Melayang ke mana, ya?!" ujar Santana sambil menahan tawa.
Mendung Merah jelaskan, "Maksudnya, dia juga akan membunuhmu setelah nyawaku melayang!"
"Ooo...," Suto dan Santana sama-sama melongo sambil angguk-anggukkan kepala dan memendam rasa geli dalam hati.
"Apa maksudmu mengatakan Pendekar Mabuk adalah jatahmu?!" tanya Mendung Merah lagi.
"Aku sudah di-anu oleh Ratu Ladang Peluh."
"Di-anu itu diapakan?" potong Santana. "Diperkosa apa diperbudak?!"
"Disewa, Bodoh!" bentak Sawung Kuntet.
"O, jadi kau sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh? Disewa untuk apa?!" tanya Suto.
"Untuk meng-anu-mu!"
"Apa lagi artinya itu, Mendung?" bisik Suto.
Mendung Merah pun berbisik, "Mungkin artinya dia sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuhmu!"
Suto Sinting terkesip. Matanya segera menatap Sawung Kuntet. "Benarkah kau sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuhku?!"
"Benar!" jawabnya tegas. "Dari tadi kuikuti pembicaraan kalian, sehingga aku meng-anu siapa kalian berdua. Ternyata dia bernama Santana dan kau yang ber-anu Pendekar Mabuk!"
Mendung Merah segera bicara kepada Sawung Kuntet. "Kurasa sebaiknya urungkan saja niatmu membunuh Pendekar Mabuk! Kau tak akan mampu menandingi ilmunya!"
"Justru kau yang harus anu, dan jangan bermimpi lagi mendapatkan anu besar dari Ratu Ladang Peluh! Jika kau tak mau mundur, maka kau akan ku-anu sekarang juga! Siapa pun yang ingin meng-anu Pendekar Mabuk, akan ku-anu lebih dulu sebelum ia berhasil bawa kepala Pendekar Mabuk ke Ratu anu!"
Santana tampil ke depan sambil cengar-cengir. "Sawung Kuntet, sedikit banyak aku bisa memahami maksud kata-katamu. Siapa pun yang ingin membunuh Pendekar Mabuk maka orang itu akan kau bunuh lebih dulu, supaya kepala Pendekar Mabuk bisa kau dapatkan, dan kau tukar dengan upah dari Ratu Ladang Peluh! Tapi ketahuilah pula Sawung Kuntet... sebagai orang yang disewa juga oleh Ratu Ladang Peluh, aku tak gentar sedikit pun jika harus bertarung dulu denganmu untuk menentukan siapa yang berhak membunuh Pendekar Mabuk! Jadi jika kau tetap ingin menjadi pembunuh bayaran untuk dapatkan kepala Pendekar Mabuk, kurasa kau harus beranu-anuan dulu denganku!"
"Apa itu beranu-anuan?!" sentak Mendung Merah.
"Berpukul-pukulan. He, he, he, he...!" Santana nyengir.
Mendung Merah masih berwajah ketus, sedangkan Sawung Kuntet menjadi berang karena dibuat bercandaan oleh Santana. Tiba-tiba tangannya berkelebat seperti melemparkan pisau ke arah Santana. Ternyata yang keluar dari lemparan tangannya adalah cahaya merah yang berbentuk seperti piringan bergerigi. Crlaapp...!
Santana segera sodokkan tongkat bambunya ke depan. Wuuutt...! Dari ujung bambu kuning itu keluar seberkas cahaya kuning seperti anak panah kecil. Claap...! Cahaya kuning itu menghantam cahaya merahnya Sawung Kuntet. Maka meledaklah kedua cahaya itu di pertengahan jarak.
Duuaaarrr...!
Daya sentak ledakan itu melesat ke dua arah, membuat Sawung Kuntet terdorong mundur hingga lima langkah dan Santana terpelanting ke belakang sekitar lima langkah. Suto Sinting segera berdiri di pertengahan jarak mereka. Pada saat itu, Sawung Kuntet sudah mulai kepalkan kedua tangannya yang mengeras, seakan ia telah menggenggam tenaga dalam yang siap dilepaskan dari jarak jauh.
Mendung Merah mencabut pedangnya kembali. Sreett...! Gadis itu berseru sebelum Pendekar Mabuk menyuruh Sawung Kuntet hentikan serangannya. "Hadapilah aku lebih dulu, Sawung!"
Lelaki pendek itu segera sentakkan kedua tangannya ke arah Mendung Merah sambil membuka genggamannya. Ternyata sebentuk tenaga dalam cukup besar dilepaskan oleh Sawung Kuntet pada saat Mendung Merah lakukan lompatan menyerang.
Wuuutt...! Baahkk...!
Tubuh gadis itu terlempar cukup jauh. Ia seperti diterjang seekor banteng liar yang sedang mengamuk. Tubuh itu terbanting di bawah pohon dan mengerang lirih disana.
Brruuuss...! "Aooh...!"
Suto Sinting membatin, "Boleh juga tenaga dalamnya yang tanpa sinar itu! Mendung Merah seperti kapas dihempas badai. Hmmm... rupanya si Sawung Kuntet punya tenaga dalam cukup besar juga?!"
Rasa ingin menjajal ilmunya Sawung Kuntet membuat Santana segera maju menyerang. Kali ini ia pergunakan jurus 'Toya Sakti'-nya yang ditebaskan ke kanan-kiri beberapa kali, lalu tiba-tiba menyentak ke depan dan dari ujung toya itu keluar jarum-jarum berkarat yang jumlahnya lebih dari sepuluh batang jarum.
Sraab...! weerrs...!
Jarum-jarum berkarat menerjang Sawung Kuntet. Tetapi pria pendek berkumis seperti kelelawar itu melayangkan tubuhnya dengan ringan. Wuuutt...! Tubuh itu bersalto dua kali selama di udara, dan jarum-jarum berkarat itu menancap pada sebatang pohon, Pohon tersebut menjadi rubuh dalam beberapa kejap kemudian. Tempat yang terkena jarum-jarum itu tampak hitam membusuk.
Pendekar Mabuk bingung sendiri melihat sana-sini menyerang Sawung Kuntet. Ia segera melompat ke sisi lain dan membiarkan Santana hadapi Sawung Kuntet yang sudah mencabut goloknya begitu kakinya menapak ke bumi. Jleeg...!
Wut, wut, wut, wuut, wuut...!
Sawung Kuntet tebaskan goloknya ke arah Santana beberapa kali. Gerakan golok menebas itu sangat cepat sehingga tampak seperti cahaya putih berkelebat ke sana-sini, karena golok itu memantulkan sinar matahari. Rupanya Santana juga dapat mainkan tongkat bambu kuningnya dengan kecepatan yang sama. Setiap tebasan golok itu selalu ditangkis dengan bambunya.
Trak, trak, trak, trak, trak...!
Lalu tubuh Santana berputar cepat dan tongkatnya menghantam dari arah samping. Buuhk...! Pinggang si Sawung Kuntet terhantam. Sebelum lelaki itu memekik, Santana segera rendahkan badan dengan menyapukan tongkatnya ke arah bawah. Wuutt...! Prraakk...!
"Aaow...!" Sawung Kuntet memekik, karena Santana berhasil menyambar mata kakinya. Pria pendek itu berdiri dengan satu kaki dan mulai limbung. Santana segera menyodokkan bambu kuningnya dengan kecepatan tinggi dan secara beruntun. Deb, deeb, deeb, deeb...!
Suara angin dapat keluar dari ujung bambu kuning itu dan menghantam dada Sawung Kuntet beberapa kali. Lelaki itu terdorong mundur gelagapan, akhirnya terlempar dalam gerakan melayang mundur saat tongkat menyodok telak ulu hatinya. Des...! Wuuutt...!
Brruuk...! Sawung Kuntet terbanting di antara akar-akar pohon yang bertonjolan di tanah, ia menyeringai kesakitan. Santana melompat dengan gerakan jungkir balik menggunakan tongkatnya yang sesekali menyentuh tanah sebagai penopang tubuh. Wuk, wuuk,wuk...!
Jleeg...! Santana daratkan kakinya tepat di samping Sawung Kuntet dan terbaring. Tongkat bambu kuning diangkat dan ingin dihujamkan ke perut Sawung Kuntet. Tetapi pria pendek itu gunakan tenaga simpanannya hingga tubuhnya bisa melenting naik dengan kedua kaki terangkat ke atas dalam gerakan jungkir balik. Saat itulah tongkat bambu kuning berhasil ditendang oleh kaki Sawung Kuntet. Bet...! Tendangan itu sangat keras, sehingga bambu kuning itu tersentak dan tubuh Santana ikut terbawa hingga oleng.
Santana yang menggeragap itu segera disabet dengan golok panjang Sawung Kuntet. Weess...! Tapi bambu kuning bergerak cepat lindungi pinggang samping sehingga golok itu tak jadi merobek pinggang melainkan kenai bambu itu dengan keras. Trraak...! Benturan itu memercikkan bunga api dalam sekejap, sepertinya golok tersebut beradu dengan besi baja yang melapisi bambu kuning tersebut. Padahal yang ada dalam lapisan bambu kuning itu adalah tenaga dalam Santana yang selalu disalurkan ke dalam bambu tersebut. Begitu sadar goloknya tak kenai sasaran, Sawung Kuntet segera pergunakan telapak tangan kirinya untuk menghantam punggung Santana. Bet! Plaak...!
"Aaah...!" Santana memekik, punggungnya berasap dan membekas telapak tangan Sawung Kuntet yang selain bertenaga besar juga mengandung hawa panas api cukup tinggi. Brruk...! Santana tumbang dalam keadaan tersangkut.
Sawung Kuntet tak mau hentikan serangan sampai di situ saja, ia mengangkat goloknya dan menghujamkan golok ke punggung Santana dengan kedua tangan. "Heaaah...!"
Tapi di luar dugaan, Sawung Kuntet terpental sebelum goloknya sempat menghujam punggung lawannya, ia merasa ulu hatinya ditendang seekor kuda jantan dengan kerasnya. Napas bagai menggumpal di perut, jantung terasa berhenti mendadak. Sawung Kuntet jatuh terkapar dalam jarak lima langkah dari Santana, ia tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya yang berupa sentilan jari bertenaga dalam tinggi.
"Aahk...! Aaakkh...!" Sawung Kuntet mendelik dan kelojotan, mulutnya ternganga karena ingin menghirup udara banyak-banyak. Namun jalur pernapasannya seakan tersumbat sesuatu yang sulit dihilangkan.
Mendung Merah sudah berdiri sejak tadi. Rasa sakitnya akibat jatuh terbanting itu sudah dapat diatasi dengan tarikan napasnya. Gadis itu segera berlari dan lakukan lompatan bersalto beberapa kali hingga secepatnya tiba di dekat Sawung Kuntet. Jleeg...! Pedang di tangannya segera dihujamkan ke dada Sawung Kuntet. Suuut...!
Traang...! Mendung Merah terpelanting jatuh karena pedangnya tersentak kuat dan akhirnya menancap di tanah. Jreeb...! Sesuatu yang membuat pedang Mendung Merah terpental adalah sentilan tenaga dalam juga yang dilakukan oleh Pendekar Mabuk dari tempatnya berdiri. Sentilan itu tepat kenai pedang, dan pedang menjadi berat dalam keadaan terlempar. Mau tak mau tubuh Mendung Merah terbawa oleh pedangnya.
"Hentikan semua!" seru Pendekar Mabuk kali ini perlihatkan ketegasannya.
Suasana hening sejurus ketika Pendekar Mabuk hampiri ketiga orang itu. Lalu, suara erangan Santana terdengar secara samar-samar. Sentakan-sentakan napas Sawung Kuntet pun terdengar lirih seperti orang cegukan. Pria itu masih mendelik dengan mulut terbuka berusaha menarik napas beberapa kali.
"Sadarlah kalian bahwa saat ini aku dapat membunuh kalian semua!" seru Suto Sinting bernada tegas, namun hatinya tetap bersabar. Suto hanya ingin memberi peringatan kepada mereka, agar tidak bertarung sendiri-sendiri hanya untuk merebutkan haknya sebagai pembunuh bayaran Ratu Ladang Peluh.
"Aku sengaja tak ingin menjadi musuh kalian dengan cara melukai, atau mencederai, bahkan membunuh kalian! Lupakan tugas kalian sebagai pembunuh bayaran si Ladang Peluh itu, karena tindakan tersebut hanya akan mengorbankan nyawa kalian secara cuma-cuma!"
Tak satu pun yang berani bicara pada saat itu. Apalagi si Sawung Kuntet, sama sekali tak bicara karena ia sedang sibuk ngap-ngapan mencari lubang napasnya. Sekali lagi Pendekar Mabuk tunjukkan sikap bersahabatnya dengan meminumkan tuak sakti kepada mereka. Dengan begitu, luka dan rasa sakit mereka segera lenyap. Badan mereka pun segar kembali. Tetapi warna hitam hangus di rompi Santana masih membekas telapak tangan Sawung Kuntet, dan agaknya bekas itu menjadi suatu peringatan bagi Santana untuk lebih berhati-hati jika terpaksa harus bertarung lagi melawan Sawung Kuntet. Kegalakan lelaki pendek itu pun menjadi reda dengan sendirinya, karena ia merasa diselamatkan oleh Pendekar Mabuk, sehingga pernapasannya normal kembali.
"Aku mendapatkan satu kesimpulan setelah melihat pertarungan kalian yang lamban dan kurang pantas jika menjadi pembunuh bayaran," ujar Suto Sinting memberanikan diri bicara agak sombong untuk meluruskan jalan pikiran mereka. Sambungnya lagi, "Kalian sebenarnya dimanfaatkan oleh Ratu Ladang Peluh sebagai umpan agar aku menemuinya. Mengapa kalian dijadikan umpan? Karena dia tak bisa menemukan diriku dengan mudah, sehingga tak bisa melampiaskan dendamnya!"
Santana melirik Mendung Merah, saat itu Mendung Merah sendiri melirik Sawung Kuntet yang menatap Suto Sinting dengan pandangan mata tak setajam tadi. Agaknya mereka sengaja diam untuk dengarkan ucapan sang Pendekar Mabuk itu.
"Nyawa kalian sama sekali tidak dihargai oleh Ratu bejat itu. Bayangkan saja, berapa duit kalian dibayar untuk dapat membunuhku? Sementara dia tahu persis bahwa kalian tak mungkin bisa membunuhku, justru kalian sendiri akan terbunuh olehku jika kita saling bertarung. Jika kalian terbunuh, tentu saja dia tak akan keluarkan uang untuk membayar kalian!"
Suto sengaja diam sesaat untuk memberi kesempatan kepada mereka merenungi kata-katanya itu. Beberapa kejap kemudian, Sawung Kuntet perdengarkan suaranya yang mirip orang menggumam, seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Keparat! Berani-beraninya dia menjadikan anuku sebagai umpan!"
"Anuku itu apa maksudnya?" tanya Santana.
"Nyawaku!" sentak Sawung Kuntet.
"Ooo... nyawamu. Kukira anumu!" gumam Santana, lalu diam, masalah 'anu' tak dibahas lagi.
Mendung Merah segera berkata, "Aku tertarik tugas ini bukan semata-mata upah sejumlah uang dan perhiasan. Terus terang saja aku tertarik tugas ini karena ia berjanji akan memberi hadiah padaku sebuah pedang sakti yang bernama Pedang Penakluk Cinta, jika aku berhasil membawa pulang kepala Pendekar Mabuk."
"Aku juga akan diberi hadiah Pedang Penakluk Cinta jika bisa memenggal kepalamu, Suto!" ujar Santana.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum lebar setengah geli. Sawung Kuntet segera berkata,
"Dia juga ber-anu begitu padaku, dan aku sangat tertarik dengan Pedang Penakluk anu."
"Husy! Penakluk anu bagaimana?!" sentak Santana.
"Maksudku. Pedang Penakluk Cinta!"
"Bicaralah yang lengkap!"
"Apa hakmu mengatur bicaraku?!" sentak Sawung Kuntet menegang.
Suto Sinting segera meredakan kembali ketegangan itu. "Ratu bejat itu memang licik!" ujar Suto Sinting. "Kalian boleh percaya boleh tidak, Pedang Penakluk Cinta sudah kuhancurkan saat berada di tangan Jerami Ayu!"
Ketiga orang itu saling pandang dengan dahi berkerut. Suto menyambung, "Kalian boleh tanyakan kepada Ki Belantara, jika kalian kenal dengan beliau. Ki Belantara adalah saksi mata saat aku menghancurkan Pedang Penakluk Cinta. Karena pedang itu kuhancurkan, maka Ratu Ladang Peluh sangat marah dan mendendam padaku, tapi tak bisa melampiaskan kemarahannya. Kurasa ia sudah cukup lama mencari-cariku namun tak berhasil dijumpai, sehingga ia menggunakan umpan nyawa kalian. Harapannya, jika kalian sekarat ditanganku, tentunya kalian akan bicara siapa yang menyuruh kalian. Dan kalau sudah begitu, dia berharap aku mendatanginya ke Bukit Randa!"
"Bangsat kurap! Pedang sudah anu ditawarkan sebagai anu!" geram Sawung Kuntet.
Wajah tiga orang utusan Ratu Ladang Peluh itu tampak memendam kejengkelan. Mendung Merah bahkan kelihatan menyembunyikan rasa malu di hadapan Pendekar Mabuk, ia tak berani menatap langsung ke mata si murid sinting Gila Tuak itu.
"Kurasa bukan hanya kita saja yang dikerahkan sebagai orang upahannya!" kata Santana sambil tersenyum kecut. "Mungkin lebih dari lima atau enam orang."
Mendung Merah segera berkata dengan nada menggeram, "Aku akan bikin perhitungan sendiri dengan Ratu Ladang Peluh! Ia telah menganggapku sebagai gadis bodoh dengan cara seperti ini!"
"Aku pun akan memberi pelajaran pada anu-nya yang busuk itu!" Sawung Kuntet ikut-ikutan menggeram.
"Apa benar anu-nya Ratu Ladang Peluh itu busuk?!" tanya Santana sambil tersenyum menahan geli.
"Yang kumaksud, mulutnya! Mulut busuk itu harus dihajar biar anu!"
Pendekar Mabuk segera berkata, "Itu urusan kalian! Aku tak menyuruh kalian bertindak begitu. Hanya saja, yang jelas aku tak akan layani dendam si Ratu Ladang Peluh itu! Aku punya urusan lain yang lebih penting dari melayani dendamnya!"
Santana perdengarkan suaranya yang kalem, "Aku hanya akan minta bukti keutuhan Pedang Penakluk Cinta itu. Jika ia bisa tunjukkan pedang itu masih utuh, akan kulanjutkan tugasku mengejar kepalamu, Suto. Tapi jika ia tak bisa tunjukkan pedang itu, berani pedang itu benar-benar hancur dan... yah, mungkin kepalanya kubuat hancur juga dengan bambu gadingku ini!"
"Gagasanmu itu bagus! Pertama, untuk membuktikan kebenaran kata-kataku tentang pedang yang sudah kuhancurkan itu. Kedua, untuk menelanjangi tipu muslihatnya! Tentang yang lain-lain, terserah dirimu sendiri, Santana."
"Anu-nya ratu itu memang palsu!" ujar Sawung Kuntet.
"Anu-nya palsu? Maksudnya anu-nya dari karet, begitu?!" tanya Suto.
"Pengakuannya palsu!" sentak Sawung Kuntet menjelaskan.
"Ooo... pengakuannya?! Kukira... kukira giginya yang palsu," gumam Suto Sinting sambil tertawa.
Mendung Merah sembunyikan senyum. "Dia pandai menutupi otak ngeresnya!" ujar Mendung Merah membatin.
"Dia mengaku, anu-nya kau acak-acak, dan ia sangat sakit hati padamu."
"Ah, yang benar saja! Mana mungkin aku mengacak-acak anunya!"
Mendung Merah yang menyahut, "Maksudnya, ia mengaku istananya di Bukit Randa itu kau acak-acak! Sebab, di depanku pun ia mengaku demikian."
"Ooo... istananya?" Suto Sinting manggut-manggut sambil tersenyum, sementara Mendung Merah sengaja bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas. Wajahnya tampak semakin cantik dan menarik dalam keadaan cemberut begitu.
Santana juga ingin katakan hal yang sama tentang pengakuan Ratu Ladang Peluh. Tetapi sesuatu telah membuat Santana tak jadi bicara. Sekelebat bayangan melintas di depan mereka, tepat di belakang Pendekar Mabuk. Mereka menjadi cemas dalam keadaan tegang. Sosok bayangan yang muncul di belakang Suto Sinting itu tak lain adalah tokoh yang dikenal oleh mereka bertiga.
* * *
EMPAT
TOKOH yang baru muncul itu bertubuh kurus, ceking, jangkung dan bermata cekung. Ia seorang lelaki tua yang mempunyai rambut berwarna biru. Rambut itu panjangnya sepundak, berkesan kusut, tanpa ikat kepala. Ia tak berkumis dan tak berjenggot, namun alisnya yang tebal juga berwarna biru. Jubahnya yang berlengan panjang dan bagian depannya tidak dikancingkan itu juga berwarna biru muda seperti rambutnya.
Tapi celana komprangnya berwarna abu-abu, bukan biru lagi. Kakek berusia sekitar delapan puluh tahun itu mempunyai kulit yang kusam dan berkeriput. Dadanya yang tinggal tulang dibungkus kulit itu masih tersisa tato semasa muda. Tato yang lebarnya pas satu dada itu bergambar seekor burung sedang lebarkan sayapnya.
Pendekar Mabuk merasa asing dengan kemunculan kakek bertongkat hitam itu. Sepanjang ingatannya, ia merasa belum pernah jumpa dengan tokoh tua tersebut. Tapi si tokoh tua menatapnya dengan pandangan mata yang dingin dan menggetarkan hati.
"Kau kenal kakek itu?" bisik Suto kepada Mendung Merah.
"Dia yang bernama Eyang Bintara alias Geledek Biru!"
Santana yang mendengar bisik-bisik itu segera menimpali dengan bisikan pula. "Dia adalah Penguasa Kuil Keramat di Bukit Belatung! Di kawasan tenggara, dia sangat dikenal, ditakuti dan disegani."
Sawung Kuntet nimbrung juga, "Anu-ya sangat banyak!"
"Apanya maksudmu?"
"Pengikutnya!" geram Sawung Kuntet.
"Dia guru besar dari Perguruan Badai Keramat!" tambah Mendung Merah.
Si tampan Pendekar Mabuk hanya menggumam dan manggut-manggut kecil. Setelah beradu pandang sebentar, tiba-tiba saja si Geledek Biru surutkan pandangan matanya, tak sedingin tadi, tak setajam saat ia datang. Mereka yang mengenal siapa Geledek Biru menjadi heran melihat surutnya pandangan mata tersebut. Tak biasanya Geledek Biru surutkan pandangan mata dalam berhadapan dengan siapa pun.
Zeeeb...! Geledek Biru bergerak dekati Suto Sinting dengan gerakan kaki tak menyentuh tanah, seperti melayang cepat dan berhenti dengan cepat pula. Yang lain mundur dua langkah, tapi Suto Sinting tetap diam di tempat dalam jarak empat langkah dari Geledek Biru. Pemuda itu masih menampakkan sikapnya yang tenang, seakan menghadapi manusia biasa. Padahal dalam hati Pendekar Mabuk mulai mengakui kehebatan ilmu Geledek Biru dengan cara memperhatikan gerakan kakek tersebut saat mendekatinya tanpa menyentuh tanah.
"Pasti kau yang berjuluk Pendekar Mabuk!" ujarnya dengan nada tegas dan suara masih jelas.
"Benar, Eyang! Aku yang berjuluk Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak!" jawab Suto Sinting dengan tegas pula.
Santana beranikan diri bersuara setelah Geledek Biru dan Pendekar Mabuk saling membisu dalam beradu pandang. "Maaf, Eyang Geledek Biru, apakah Eyang juga diminta bantuannya oleh Ratu Ladang Peluh untuk membunuh Pendekar Mabuk?!"
Sebelum pertanyaan itu dijawab oleh Geledek Biru, gadis berpakaian merah itu segera menimpalinya. "Eyang Geledek Biru, mohon Eyang tidak terpengaruh oleh kata-kata Ratu Ladang Peluh. Mohon pula, pertimbangkan baik-baik pengaduan Ratu Ladang Peluh itu. Jangan sampai Eyang Geledek Biru termakan fitnah atau terpedaya olehnya."
Sawung Kuntet jadi ikut bicara, "Kami semua di-anu oleh Ratu Ladang Peluh, Eyang!"
"Di-anu itu diapakan?!" sahut Santana.
"Ditipu, maksudku!" Sawung Kuntet agak menyentak.
Mendung Merah berkata lagi, "Pendekar Mabuk bukan orang yang patut dipenggal kepalanya, tapi Ratu Ladang Peluh itulah yang patut dipenggal kepalanya, Eyang!"
Suto Sinting pandangi sekeliling, menatap wajah para utusan Ratu Ladang Peluh satu persatu. Keheningan terjadi karena mereka saling bisu. Geledek Biru juga pandangi wajah-wajah di belakang Pendekar Mabuk. Kejap berikut, sebelum Suto Sinting ingin mengawali percakapannya, si Geledek Biru kembali perdengarkan suara dengan nada rendah.
"Justru aku ke sini ingin menanyakannya kepada Pendekar Mabuk, benarkah dia yang membunuh Ratu Ladang Peluh?!"
"Bukan membunuh, Eyang!" sahut Mendung Merah. "Tapi menurut pengakuan Pendekar Mabuk, dialah yang hancurkan Pedang Penakluk Cinta milik sang Ratu itu, Eyang."
Geledek Biru seperti orang menggumam, "Lalu, siapa yang membunuh Ratu Ladang Peluh?"
Ketiga wajah di belakang Suto Sinting saling tatap satu dengan yang lainnya. Pendekar Mabuk pun kerutkan dahi, sama seperti mereka. Tatapan mata si Pendekar Mabuk tertuju ke wajah bermata cekung di depannya, setelah tadi ia sempatkan diri menengok ke belakang dan pandangi wajah-wajah mereka yang penuh keheranan itu.
"Membunuh bagaimana maksudnya, Eyang?!" kini Suto Sinting beranikan diri untuk bertanya kepada si Geledek Biru.
Yang ditanya justru membungkam mulutnya sesaat dengan tetap pandangi bola mata Pendekar Mabuk. Beberapa saat kemudian, suara si Geledek Biru pun terdengar kembali. "Ladang Peluh ditemukan tewas di pantai bersama empat orang pengawalnya."
"Ooh...?'" mereka saling menggumam kaget. "Mayat mereka ditemukan oleh salah seorang muridku dalam keadaan terpenggal kepalanya. Sementara itu, kudengar kabar dari Jerami Ayu, bahwa Ratu Ladang Peluh mencari-cari Pendekar Mabuk untuk lampiaskan dendamnya. Maka kucoba untuk mencari dan menemukan Pendekar Mabuk dengan caraku sendiri."
"Bukan aku yang membunuhnya, Eyang," kata Suto Sinting dengan nada bicara tetap ramah. "Justru aku yang sedang diburunya dan ingin dipenggal kepalaku, sampai-sampai dia menyuruh tiga orang di belakangku ini untuk memenggal kepalaku. Tapi setelah kujelaskan bahwa mereka diperdaya oleh Ratu Ladang Peluh, mereka justru menjadi sahabatku, Eyang!"
"Kapan mayat Ratu Ladang Peluh ditemukan, Eyang?" tanya Mendung Merah.
"Kemarin sore!" jawab Geledek Biru. Ia melirik Mendung Merah sebentar yang terperangah, lalu menatap Suto Sinting lagi. "Kurasa... seorang Manggala Yudha sepertimu tak perlu mendustaiku. Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting kaget disebut 'Manggala Yudha' alias sang senopati atau panglima perang, itu berarti si Geledek Biru mampu melihat noda merah kecil di kening Suto yang menjadi tanda bahwa dirinya adalah Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. Noda merah kecil itu pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya, atau ibu dari Dyah Sariningrum. Noda merah itu tak bisa dilihat oleh sembarang orang, kecuali oleh orang berilmu tinggi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).
Pendekar Mabuk mulai simpulkan bahwa si Geledek Biru memang berilmu tinggi, terbukti ia dapat melihat noda merah di kening Suto Sinting. Tetapi nada bicaranya tadi seperti tidak percaya dengan pengakuan Suto, sehingga si murid sinting Gila Tuak terpaksa meyakinkan sekali lagi kepada Geledek Biru. "Sungguh, Eyang! Aku bukan orang yang menewaskan Ratu Ladang Peluh! Bahkan bertemu pun belum pernah."
Si rambut biru itu manggut-manggut, kalem tapi berwibawa. "Kalau begitu, pasti orang lain yang membunuh si Ratu Ladang Peluh itu!"
"Kurasa memang begitu, Eyang!" kata Suto Sinting, namun dalam hatinya membatin, "Mengapa ia sangat peduli dengan kematian Ratu Ladang Peluh? Apakah ia punya hubungan keluarga dengan Ratu bejat itu?!"
Seperti orang yang tahu maksud hati orang lain, Geledek Biru tanpa diminta telah jelaskan alasannya dalam mencari Pendekar Mabuk. "Aku sengaja mencarimu, karena kusangka kau yang membunuhnya. Seandainya memang kau yang membunuhnya, maka yang ingin kutanyakan, apakah Serat Sekar Siluman ada padamu?"
Kerutan dahi Suto Sinting menjadi semakin tajam, demikian pula kerutan dahi ketiga orang di belakangnya. Mereka merasa asing dengan kata-kata 'Serat Sekar Siluman' yang sama sekali tak dimengerti maksudnya itu. Maka si Pendekar Mabuk pun menanyakannya kepada Geledek Biru, dan kakek tua yang mirip tengkorak berkulit itu segera jelaskan maksud kata-kata itu.
"Yang kumaksud dengan 'Serat Sekar Siluman' itu adalah kitab kecil seukuran telapak tangan yang selalu diselipkan di pinggang Ladang Peluh. Kitab keramat itu terdiri dari sepuluh lembar, terbuat dari kulit rusa. Kitab itu berisi mantra-mantra pemanggil kekuatan iblis. Mantra-mantra itu tidak bisa diingat atau dihafalkan, jadi cara menggunakannya harus dibaca. Jika si Ladang Peluh membaca salah satu dari kesepuluh mantra dalam kitab tersebut, maka kekuatan iblis yang maha dahsyat akan datang dan menyatu dalam jiwa raganya."
Mereka manggut-manggut serempak, kecuali si kakek kurus itu. Beberapa saat setelah suasana sempat menjadi hening karena tak ada yang bersuara, Santana segera ajukan tanya kepada si Geledek Biru.
"Jika benar kitab yang dapat mendatangkan kekuatan iblis itu selalu dibawa dan terselip di pinggang Ratu Ladang Peluh, mengapa ia bisa terbunuh, Eyang?!"
"Tentunya ia belum sempat membaca salah satu dari kesepuluh mantra itu, maka seseorang sudah lebih dulu berhasil membunuhnya. Tetapi jika saat itu Ratu Ladang Peiuh punya kesempatan membaca satu saja dari sepuluh mantra keramat tersebut, maka orang yang membunuhnya itu justru akan kehilangan nyawanya sendiri," tutur Geledek Biru dengan kata demi kata dapat didengar secara jelas. Sambungnya kembali, "Aku yakin, 'Serat Sekar Siluman' itu ada padanya sebelum ia tewas. Dan setelah ia tewas, 'Serat Sekar Siluman' dicuri pula oleh si pembunuhnya itu. Karena pada waktu mayat Ladang Peluh ditemukan oleh tiga orang muridku, keadaan sabuk dan angkinnya terlepas, menandakan seseorang telah sengaja melepas sabuk dan angkin itu untuk mengambil 'Serat Sekar Siluman'tersebut."
"Dari mana Eyang tahu kalau kitab itu ada padanya?" tanya Mendung Merah.
"Kitab itu adalah milikku!"
"Ooh...?!" Mendung Merah dan Santana menggumam bersama dengan nada terperanjat.
"Satu purnama yang lalu, kitab itu dicuri, atau lebih tepatnya lagi dirampas oleh si Ladang Peluh saat kitab tersebut berada di tangan muridku yang bernama: Jati Kumarang."
"Apakah Jati Kumarang tidak melawannya kala itu?" tanya Suto Sinting.
"Jati Kumarang seorang pemuda tampan sepertimu. Sayang sekali ia mudah tergoda bujuk rayu dan kecantikan si ratu celaka itu. Ia terbuai oleh kemesraan, sehingga dengan mudahnya melepaskan kitab tersebut. Ketika ia sadar, ia tak bisa ungguli kekuatan Ratu Ladang Peluh."
Geledek Biru hentikan kata sejenak. Menerawang bagai mengenang sang murid dengan napas ditarik panjang-panjang. "Jati Kumarang terkena luka beracun. Saat ia menghadapku dan melaporkan bencana itu, aku terlambat selamatkan nyawanya, karena racun yang mengenainya begitu ganas dan segera merenggut nyawanya," sambung Geledek Biru dengan memendam kesedihan.
"Mengapa kitab itu tidak segera Eyang rebut dari tangan Ratu Ladang Peluh?" ujar Mendung Merah setelah mereka saling bungkam sesaat.
"Kala itu Ladang Peluh masih mempunyai pusaka yang sangat membahayakan, yaitu Pedang Penakluk Cinta. Aku pernah mencobanya mengadu nyawa dengan Ladang Peluh, tapi hampir saja mati di ujung pedang itu. Ia nyaris berhasil menikam jantungku melalui bekas telapak kakiku di tanah. Dan ketika aku berhasil menguasai ilmu peringan tubuh yang kunamakan jurus 'Tapak Angin', yang membuatku dapat berjalan tanpa meninggalkan bekas telapak kaki di tanah ini, ternyata semuanya sudah terlambat. Bahkan kudengar dari mulut Jerami Ayu sendiri, bahwa Pedang Penakluk Cinta telah dihancurkan oleh pendekar Mabuk. Sayang sekali dalam keadaan seperti ini, Ladang Peluh telah tewas dan kitab itu sudah disambar pencuri lain!"
"Kira-kira siapa anu-nya, Eyang?!" tanya Sawung Kuntet. "Maksud saya... siapa pelakunya?"
"Semula kusangka sang Pendekar Mabuk inilah pelakunya. Tapi ternyata kutemukan kejujuran dari bola matanya, bahwa dia bukan pelakunya. Jika begitu, pasti ada pihak lain yang mempunyai ilmu cukup tinggi juga dan berhasil menewaskan Ladang Peluh bersama keempat orangnya itu. Tentu saja si pelaku adalah orang yang tahu tentang kitab 'Serat Sekar Siluman' tersebut. Jika tidak, tak mungkin ia membawa lari kitab itu setelah membunuh Ladang Peluh!"
Suto Sinting hembuskan napas panjang. Kini ia tahu, bahwa hancurnya Pedang Penakluk Cinta membuat Ratu Ladang Peluh menjadi sangat murka. Perempuan itu bermaksud menghancurkan Suto melalui mantra yang ada di dalam kitab 'Serat Sekar Siluman' yang selalu dibawanya dalam pencarian itu. Tetapi sayang sekali ada pihak yang mengincar kitab itu di luar dugaan Ratu Ladang Peluh, sehingga sang Ratu bejat itu tewas lebih dulu sebelum berhasil muntahkan murkanya kepada Pendekar Mabuk.
Suto yakin, sang Ratu bejat mengetahui hancurnya Pedang Penakluk Cinta adalah karena laporan dari Jerami Ayu. Sebab ketika pedang itu hancur, Suto membiarkan perempuan itu lolos. Besar kemungkinan si Jerami Ayu yang telah memisahkan diri dari Ratu Ladang Peluh, kembali ingin bergabung lagi.
Pedang Penakluk Cinta pada mulanya dicuri oleh Sunggar Manik dari tangan Ratu Ladang Peluh. Dalam pelariannya, Sunggar Manik bertemu dengan Jerami Ayu yang rupanya sudah lama mengincar pedang tersebut. Jerami Ayu berhasil merebut pedang itu dengan bantuan Mahesa Gondes, murid Ki Belantara. Jerami Ayu ingin tundukkan hati pemuda tampan yang bernama Sambada dengan menggunakan pedang tersebut. Namun akhirnya pedang itu hancur di tangan Pendekar Mabuk, setelah dipakai membunuh Sunggar Manik.
Jerami Ayu bisa saja berlagak tak pernah memegang pedang tersebut, ia pura-pura menjadi saksi mata pertarungan antara Sunggar Manik dan Pendekar Mabuk yang menewaskan Sunggar Manik dan menghancurkan pedang tersebut. Dengan membawa keterangan berharga itu ia menghadap Ratu Ladang Peluh dengan harapan dapat diterima kembali sebagai pengikut si Ratu bejat itu.
"Mungkinkah si Jerami Ayu sendiri yang membunuh Ratu Ladang Peluh, Eyang?" ujar Suto Sinting memecah kebisuan mereka.
"Tak mungkin!" tegas Geledek Biru. "Jerami Ayu tak akan mampu ungguli ilmunya si Ladang Peluh, ia memang kecewa terhadap sikap Ladang Peluh karena niatnya bergabung kembali ditolak sang Ratu, walaupun ia telah menjadi pembawa berita tentang hancurnya Pedang Penakluk Cinta. Tapi Jerami Ayu tak mungkin berani melawan Ladang Peluh, terbukti ia justru datang kepadaku dan dengan maksud meminta bantuanku untuk kalahkan Ladang Peluh. Tapi aku menolaknya, karena aku tahu Jerami Ayu bukan perempuan baik-baik. Ia perempuan yang licik dan serakah."
"Kalau begitu, sangat berbahaya jika kitab keramat itu jatuh di tangan Jerami Ayu!" ujar Santana kepada Mendung Merah.
"Di tangan manusia serakah siapa pun, kitab keramat itu sangat berbahaya karena bisa menjadi bencana bagi kehidupan manusia," ucap Eyang Bintara alias si Geledek Biru.
"Jika begitu, aku akan membantumu mencari kitab keramat itu, Eyang!" ujar Suto Sinting menyatakan kesanggupannya.
"Bila perlu, hancurkan saja kitab itu agar tak menjadi biang petaka dan bahan incaran orang-orang serakah!" kata Geledek Biru. "Aku rela tak memiliki kitab itu, daripada bumi ini menjadi hancur karena kitab itu!"
"Aku juga akan mencoba ikut membantu mencarikan kitab itu, Eyang," ujar Santana, seakan tak mau kalah gengsi dengan Pendekar Mabuk.
Mendung Merah akhirnya berkata, "Aku hanya sanggup sampai mengetahui siapa pemegang kitab keramat itu sekarang. Barangkali aku tak punya kesanggupan untuk merebut kitab itu, karena aku tak mau menjadi korban mantra kekuatan iblis yang ada di dalam kitab tersebut, Eyang."
"Kuhargai kesanggupanmu walau cukup sederhana itu, Mendung Merah!"
Sawung Kuntet yang semula diam saja kini jadi ikut bicara juga. "Aku akan anu ke Lembah Layon. Aku tak berani anu-anuan seperti kalian."
"Tak berani apa maksudmu?"
"Ikut-ikutan!" sentak Sawung Kuntet dengan dongkol.
Santana nyengir tanpa pedulikan wajah murung si pria pendek itu.
* * *
LIMA
BARU saja mereka ingin berpencar, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh yang menggetarkan bumi. Suara gemuruh itu tak diketahui dari mana datangnya. Tetapi getarannya sungguh mencemaskan hati mereka, karena tanah di sekitar tempat itu mulai retak dan membentuk celah-celah lebar. Bahkan sebagian tanah ada yang amblas ke dalam, menelan dua pohon besar.
"Selamatkan diri kalian maaing-masing!" seru Geledek Biru. Seruan itu membuat mereka menyebar dan mencari tempat yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri dari ancaman maut itu.
"Mantra di dalam kitab itu pasti ada yang membacanya! Cari orang yang telah mengucapkan mantra tersebut! Ini bencana berasal dari kekuatan iblis!"
Baik Suto Sinting atau yang lain masih sempat mendengar seruan si Geledek Biru. Tetapi mereka tak sempat balas berseru, karena beberapa saat kemudian hembusan angin menjadi hembusan badai. Suara gemuruh semakin jelas, dibarengi kilatan cahaya petir yang menyambar kesana-sini.
Ledakan dipucuk pohon terjadi beberapa kali. Pohon-pohon yang disambar petir itu mengepulkan asap, bahkan ada yang pecah dan ditelan gerakan tanah yang longsor kedalam bumi. Langit menjadi gelap, awan hitam makin tebal dan menutupi hampir sebagian besar permukaan langit. Suasananya seperti awal kiamat yang datang tanpa diduga-duga oleh siapa pun.
"Aaauuuh...!" Mendung Merah menjerit, ia jatuh terperosok dalam keretakan tanah, seakan dihisap dari dalam bumi.
Melihat keadaan gadis itu sangat membahayakan, Pendekar Mabuk segera melesat dengan sangat cepat. Weeess...! Wuuutt...! Tangan gadis itu disambarnya. Dalam sekejap saja Mendung Merah telah berada dalam pelukan Suto dan dibawa menjauh dari tempat tersebut. Zlaap, zlaap, zlaap...!
Mendung Merah terengah-engah, tubuhnya terasa lemas karena merasa hampir tak bernyawa lagi. Ia bersyukur setelah mengetahui dirinya sudah berada di sebuah bukit yang tak terlalu tinggi dan dapat memandang kehancuran alam di bawah sana. Namun gadis itu cepat tersentak kaget setelah menyadari berapa dalam pelukan Pendekar Mabuk.
"Ooh... kau...?!"
"Oh, hmm... eeh...," Pendekar Mabuk sendiri segera menggeragap dan mengalihkan perhatiannya ke wajah Mendung Merah, ia buru-buru melepaskan pelukannya, karena tadi terkesima melihat alam yang nyaris hancur bagal dilanda kiamat itu. Sekalipun kini gemuruh itu telah lenyap dan suasana sudah menjadi tenang, namun ternyata gemuruh di dalam dada Suto Sinting masih terasa menggetarkan tubuhnya dan membuatnya tergagap-gagap.
"Apa yang terjadi... yang terjadi di sana itu, eeh... Iya, di sana!" Suto Sinting mencoba alihkan perhatian untuk menutup rasa malunya, ia merasa seperti pemuda jalang yang berani memeluk seorang gadis tanpa permisi. Untungnya Mendung Merah juga segera alihkan perhatian, seakan tak ada masalah tentang pelukan penyelamatan tadi, walau hatinya pun bergemuruh digoda oleh perasaan malu, geli dan gembira.
"Kudengar suara si Geledek Biru tadi berseru mengatakan ada orang yang telah menggunakan kitab itu dengan mengucapkan salah satu mantranya," kata Mendung Merah sambil berpura-pura tak merasa pernah dipeluk Pendekar Mabuk.
"Siapa yang menggunakan mantra dalam kitab itu?!"
"Mana ada yang tahu?! Justru si Geledek Biru tadi berseru agar kita mencari orang yang memegang kitab tersebut!"
"O, Iya. Benar. Aku tadi juga mendengarnya. Tapi, hei... di mana mereka?"
Dari tempat tinggi itu, mata Pendekar Mabuk dan Mendung Merah mencari-cari mereka, yang tadi ada di kanan-kirinya. Tak terlihat batang hidung si murah senyum; Santana. Juga tak terlihat sepotong gigi pun milik juragan 'anu' Sawung Kuntet. Bahkan Eyang Bintara alias si Geledek Biru itu juga tak kelihatan kemana gerakannya. Mungkin mereka menjadi korban bencana alam sepintas tadi, mungkin terkubur ke dalam bumi, mungkin pula lolos dari maut dan berada di tempat lain.
"Kita terpisah dari mereka," ujar Mendung Merah dengan mata masih memandang pohon-pohon yang tumbang berserakan dan tanah yang rusak berat.
"Ya, kita memang terpisah dari mereka. Tapi apakah hal ini membuat kita harus merasa takut?"
"Aku tidak berkata begitu," kata Mendung Merah sedikit ketus, karena ia agak tersinggung dianggap merasa takut.
Pendekar Mabuk tersenyum kalem. Ketenangannya sudah berhasil pulih dan dikuasai. "Sebaiknya kita cari si pemegang kitab keramat itu sambil memeriksa tempat tadi. Siapa tahu ada yang tergencet pohon," ujar Suto Sinting.
Mendadak mereka mendengar suara letusan yang tak begitu keras. Letusan itu seperti suara perpaduan tenaga dalam yang dihantamkan dari kedua orang dalam suatu pertarungan. Pendekar Mabuk segera mengajak Mendung Merah untuk datangi tempat tersebut, melihat apa yang terjadi disana.
"Oh...?! Lihat, siapa yang terkapar itu?!" ujar Mendung Merah sambil menuding ke satu arah, di samping gundukan tanah setinggi kuda itu. Di sana tampak seseorang berpakaian hijau-hitam tergeletak dengan wajah biru memar dan sedang kejang-kejang. Orang itu tampak sedang mendekati ajalnya karena luka pukulan yang menghangus di bagian dadanya.
"Celaka! Ada apa dengan si Sawung Kuntet itu?!" gumam Suto tegang, lalu segera berkelebat dekati Sawung Kuntet yang sedang sekarat. Mendung Merah pun ikut berkelebat hampiri Sawung Kuntet.
"Siapa lawannya?!" sambil mata Suto memandang sekeliling dengan tajam. Tetapi mereka berdua tidak melihat ada orang di sekitar tempat itu. Mereka yakin, Sawung Kuntet ditinggalkan begitu saja oleh lawannya. "Aku akan mencari di sekitar sini!" ujar Suto Sinting.
Namun sebelum bergegas pergi, lengannya segera dicekal oleh Mendung Merah. "Bagaimana dengan dia? Apakah kita biarkan mati di sini atau kita tolong dulu dengan tuakmu itu?"
"Ya, ampun...! Hampir saja aku lupa!" Suto Sinting segera tuangkan tuak ke mulut Sawung Kuntet secara pelan-pelan agar tak banyak tuak yang terbuang sia-sia. "Tunggu dia, dan tanyakan padanya siapa orang yang melukainya tadi!"
"Kau mau ke mana?!"
"Mengejarnya di sekitar sini!"
"Hei, tunggu dulu! Bagaimana kau bisa mengejar lawan si Sawung Kuntet ini jika belum tahu siapa orangnya?!" seru Mendung Merah. Tetapi pada saat itu Suto Sinting sudah berkelebat jauh, karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu.
Tuak sakti Pendekar Mabuk yang ditelan Sawung Kuntet itu telah membuat si juragan 'anu' segera sadar. Luka parahnya terkikis habis oleh kesaktian tuak tersebut. Dalam beberapa kejap ia sudah dapat mengenali wajah Mendung Merah yang berdiri tak jauh darinya, ia pun segera bangkit terduduk. Napasnya yang menjadi longgar itu menghirup udara banyak-banyak, seakan ingin mengganti udara yang tadi tak sempat terisi di paru-parunya.
"Siapa yang sembuhkan anuku ini?" tanya Sawung Kuntet saat dipandangi Mendung Merah dengan sikap masih tetap ketus, seakan tak pernah bisa ramah kepada pria pendek itu.
"Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu yang mengobatimu."
"O, pantas...," gumamnya pelan. "Orang itu menghantam anuku seenaknya saja!" tambah Sawung Kuntet sambil berdiri.
"Apamu yang dihantamnya?!"
"Anuku!"
"Dadamu?"
"Benar-benar anuku!" sentak Sawung Kuntet sambil melirik bagian bawahnya. "Bukan dadaku saja, tapi anuku juga kena!"
Mendung Merah buang muka karena ia ingin tertawa.
"Sekarang ke mana si Pendekar Anu itu?!"
"Pergi mencari orang yang menyerangmu," jawab Mendung Merah dengan ketus.
"Celaka! Pendekar Mabuk pasti celaka kali ini!"
"Kenapa?!" sergah Mendung Merah, tampak segera menjadi cemas.
"Orang itu... lawanku tadi... dia membawa anu, kurasa"
"Membawa anu bagaimana?! Yang jelas!" bentak Mendung Merah.
"Membawa kitab keramat yang dikatakan oleh Eyang Bintara tadi!" Sawung Kuntet ganti membentak, menandakan tak suka mendapat bentakan.
Mendung Merah menjadi semakin tegang. "Jadi, jadi lawanmu tadi membawa kitab 'Serat Sekar Siluman'?! Kau melihat dengan jelas dia memegangnya, atau hanya kira-kira saja?!"
"Dia kupergoki sedang membuka-buka anu, dan...."
"Membuka anu bagaimana?!"
"Membuka kitab!" sentak Sawung Kuntet. "Kitab itu berwarna coklat, kecil, tampak terbuat dari kulit anu... kulit rusa, maksudku."
"Kau mengenali orangnya?!"
"Tidak. Kurasa selama ini aku belum pernah menganu dia... mengenali dia!"
Gadis itu menarik napas penuh kecemasan. Setelah diam sesaat memikirkan langkahnya, akhirnya ia segera melesat tinggalkan Sawung Kuntet sambil berseru, "Aku mau menyusul Pendekar Mabuk! Dia pasti dalam bahaya!"
"Masa bodo! Lebih baik aku pulang saja, daripada anuku kena lagi," gerutu Sawung Kuntet, kemudian ia pergi tinggalkan tempat itu berbeda arah dengan kepergian Mendung Merah.
Suto Sinting sempat jengkel dalam hatinya, karena sudah mencari dalam radius sepuluh kilometer tapi tetap tak temukan siapa pun di sekitar tempat itu. Bahkan ketika ia kembali ke tempat semula, ternyata Mendung Merah dan Sawung Kuntet sudah tak ada pula. Rupanya Mendung Merah tak berhasil berpapasan dengan Suto. Ia tak tahu gerakan Suto Sinting mengelilingi tempat tersebut, sehingga akhirnya Mendung Merah sendiri clingak-clinguk kebingungan dengan memendam rasa kesal dan cemas.
Tentu saja ia mencemaskan Suto Sinting, karena dalam hati Mendung Merah mempunyai rasa kagum dan tertarik kepada pemuda tampan yang berilmu tinggi itu. Ia ingin mendekati Suto lebih dekat dari yang sudah dekat. Jauh-dekat tiga debaran indah bagi hati Mendung Merah.
Hanya saja ia sangsi melakukan hal itu, takut dikecewakan, karena menurutnya biasanya pemuda tampan seperti Suto adalah type pemuda yang suka mempermainkan gadis dan playboy, pacarnya banyak, gemar merayu, sadis dalam hal kerinduan. Hanya saja, hati Mendung Merah ternyata tak mau berpaling begitu saja. Hati itu masih dibayang-bayangi berbagai rasa, termasuk rasa khawatir akan keselamatan Suto, rasa dongkol, rasa kagum dan... mungkin juga rasa kare ayam ada di dalam hati gadis itu manakala mengenang Pendekar Mabuk.
"Ke mana si Mendung Merah dan Sawung Kuntet?!" gumam hati Suto Sinting sambil melompat dari pohon ke pohon, ia melakukan pencarian melalui pohon ke pohon, karena tempat itu dianggapnya telah memungkinkan untuk memandang sekeliling secara luas. Dengan ilmu peringan tubuhnya yang cukup tinggi, Pendekar Mabuk tak ragu-ragu menapakkan kakinya ke pucuk-pucuk dedaunan, ia bagaikan seekor burung yang sedang mencari sarangnya, hinggap dari pucuk daun yang satu ke pucuk daun yang lainnya. Tak terasa pencariannya semakin menjauhi tempat terjadinya bencana alam lokal tadi. Bahkan semakin jauh dari tempat ditemukannya Sawung Kuntet dalam keadaan sekarat.
Tiba-tiba tampak olehnya cahaya merah melesat ke udara, melambung menuju ke suatu tempat. Cahaya yang mirip bintang jatuh itu terlihat melambung di seberang gerumbulan dedaunan pohon sebelah timur, agak jauh dari tempat Pendekar Mabuk berada. Dengan gerakan serupa cahaya, Pendekar Mabuk melesat juga ke arah timur, karena rasa ingin tahunya tentang cahaya merah tadi begitu besar.
Ternyata cahaya merah tersebut adalah kekuatan tenaga sakti si Geledek Biru yang digunakan menyerang seorang lawan berjubah biru lusuh, berjenggot abu-abu dengan wajah tampak angker. Orang tersebut berusia sekitar tujuh puluh tahun, dan pernah berhadapan dengan Suto Sinting ketika Suto melindungi Mustikani. Tokoh tua itu tak lain adalah si Tulang Besi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pedang Penakluk Cinta).
Ketika Pendekar Mabuk tiba di balik gerumbulan daun pohon. Tulang Besi dalam keadaan tubuhnya berasap, tangannya yang kanan lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka. Tangan itu tampak sedang menahan cahaya merah yang tadi mirip bintang jatuh itu. Sedangkan Eyang Bintara alias si Geledek Biru tetap diam di tempat, seakan menjadi penonton aksi si Tulang Besi yang menahan sinar merah. Sinar tersebut menempel di telapak tangan Tulang Besi dengan cahayanya yang makin lama semakin terang.
"Keluarkan seluruh tenaga intimu, dan tahan sinar 'Ajilebur'-ku itu!"
"Heeaahh...!!" Tulang Besi benar-benar kerahkan tenaga intinya, sehingga telapak tangannya menyala biru pendar-pendar.
"Persoalan apa yang membuat Eyang Bintara bertarung melawan Tulang Besi!" pikir Suto dari tempatnya. "Kurasa Tulang Besi akan hancur jika nekat melawan Eyang Bintara. Bodoh amat dia!"
Dugaan tersebut mendekati kebenaran. Tulang Besi tampak gemetaran dan semakin terang cahaya merah bundar yang menempel di telapak tangannya semakin kuat getaran pada sekujur tubuhnya. Asap yang mengepul dari tangan tersebut membuat sinar birunya menjadi redup, bagai tak sanggup lagi untuk menyala terang.
Tiba-tiba Eyang Bintara ulurkan tangan ke depan, lalu tangan itu menyentak ke belakang dan sinar merah yang menempel di telapak tangan Tulang Besi itu berkelebat lepas, meluncur balik dan ditangkap oleh si Geledek Biru. Zuubbs...! Sinar itu kini berada dalam genggaman Geledek Biru dan keadaannya berubah menjadi biru bening. Kedua tangan Geledek Biru saling bertemu, telapak tangannya saling bergeseran seperti menghancurkan sinar tersebut. Bluub...! Sinar itu pun lenyap, tinggal asap tipis yang segera musnah diterpa angin.
Tulang Besi jatuh berlutut dengan napas terengah-engah dan keringat bercucuran. Tubuhnya tampak lemas, wajahnya kelihatan pucat pasi seperti mayat. Kejap berikutnya kepalanya tersentak ke depan dan dari mulutnya keluar darah kental.
"Heek...!" Tulang Besi jatuh merangkak. Siapa pun orangnya akan menduga, Tulang Besi tak sanggup lagi menghadapi Geledek Biru. Keadaannya sudah sangat parah. Satu pukulan lagi dari lawannya dapat mengakibatkan minggatnya sang nyawa dari raganya.
"Aku tak ingin kau mati, Tulang Besi! Tapi serahkan kitab keramatku itu sebelum pendirianku berubah!"
Dengan suara berat menahan sakit, Tulang Besi berkata, "Bunuhlah aku dan geledahlah di dalam tubuhku! Maka kau tetap tak akan temukan kitab keramatmu itu, karena memang bukan aku yang membunuh Ladang Peluh! Bukan aku... yang mengambil kitab keramatmu... itu!"
"Bukankah kau yang sedang mencari kesempatan untuk membalas dendammu kepada Ladang Peluh?!"
"Memang benar! Tapi... uuhk... tapi sudah kucoba melawannya, ternyata aku... aku kalah ilmu dengannya. Aku... aku pergi meninggalkan mereka, dan beberapa saat kemudian kudengar suara ledakan di sekitar pantai tempatku mencoba bertarung dengannya. Aku... aku tidak pedulikan suara itu, lalu aku pergi ingin temui adikmu; si Tulang Geledek, karena kurasa dia tahu rahasia kematian dan kelemahan Ladang Peluh. Ternyata aku justru hampir mati oleh kiamat kecil tadi!"
Suto sempat terperanjat, "Oh, ternyata Eyang Bintara alias si Geledek Biru itu adalah kakak dari Tulang Geledek yang pernah bertemu denganku dalam urusan dengan Rogana?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Perawan Sinting).
Rupanya pengakuan Tulang Besi membuat Geledek Biru bertimbang rasa. Akhirnya ia dekati Tulang Besi dengan gerakan kaki tanpa menyentuh tanah. Zeeebb...! Geledek Biru dapat berhenti secara mendadak di depan Tulang Besi. Kemudian dari telunjuknya yang ditudingkan keluar sinar putih terang dan menyilaukan. Claap...! Sinar putih itu kenai kepala Tulang Besi. Beberapa kejap kemudian, Tulang Besi pun sehat kembali. Rupanya sinar putih itu adalah cahaya sakti yang dapat menyembuhkan luka si Tulang Besi dan memulihkan tenaganya.
"Kucoba untuk mempercayaimu, karena kau adalah teman adikku semasa muda dulu," kata Geledek Biru. "Tapi jika kuketahui kau pemegang kitab itu, maka seketika itu juga kucabut nyawamu demi keselamatan seisi dunia ini, karena aku tahu jalanmu mulai menyimpang sejak kau mendirikan Perguruan Raga Baja itu! Pergilah, dan jangan campuri urusan ini! Jangan coba-coba ikut mencari kitab keramatku itu, nanti akan kau miliki sendiri jika kau yang memperolehnya!"
Tanpa komentar apa pun, Tulang Besi segera melesat pergi tinggalkan Geledek Biru. Suto Sinting masih menaruh curiga pada Tulang Besi, karena ia tahu Tulang Besi menaruh dendam kepada Ratu Ladang Peluh, sebab perguruannya dihancurkan oleh Ratu bejat itu. Karenanya, Suto Sinting diam-diam mengikuti kepergian Tulang Besi dari kejauhan.
"Siapa tahu ia pandai bersandiwara di depan Eyang Bintara, dan kitab itu disembunyikan di suatu tempat yang hanya dia yang tahu?!" pikir Suto sambil mengikuti Tulang Besi.
Ketika Tulang Besi melintasi lembah berpohon jarang, langkahnya segera terhenti dan berkelebat sembunyi di balik pohon. Suto Sinting hentikan langkahnya tapi masih tetap berada di atas pohon agak jauh dari Tulang Besi.
"Mengapa ia bersembunyi?" pikir Suto dalam pengintaiannya.
Rupanya Tulang Besi sedang mengincar seseorang yang akan lewat tempat tersebut, ia sudah mengetahui gerakan orang yang diincarnya. Orang itu sedang melesat bagai bayangan dari arah barat. Ketika melintas di depan Tulang Besi, tiba-tiba bayangan yang berwarna kuning gading itu dihantamnya menggunakan tenaga tanpa sinar.
Wuutt...!Buuhk...!
"Aakh...!" orang itu memekik dan jatuh terbanting. Brruuk...!
Suto Sinting terkejut, ia mendekat dengan melayangkan tubuhnya dan hinggap di pohon yang satunya. Mata pemuda itu lebih terbuka lagi, karena sekarang ia dapat melihat jelas bahwa bayangan kuning gading itu ternyata adalah seorang perempuan berwajah cantik dengan perhiasan lengkap dan pakaiannya berkesan mewah. Perempuan itu terkapar dengan bagian lehernya berwarna biru legam akibat terkena pukulan tanpa sinar si Tulang Besi tadi.
"Terpaksa kulakukan kecurangan ini, Rasti! Tanpa kulakukan kecurangan ini aku tak mungkin bisa melumpuhkan dirimu dan..."
Zlaaap...! Wuuss...!
Tulang Besi terkejut sekali, karena tubuh perempuan itu ternyata sudah lenyap dari hadapannya. Percuma saja ia menghampiri perempuan tersebut dan meluncurkan celotehan jika perempuan itu tiba-tiba disambar oleh seseorang.
"Bangsat! Berhenti kau! Tinggalkan perempuan itu!" teriak Tulang Besi dengan berang, ia melepaskan pukulan bercahaya merah suram. Clap...! Duar! Cahaya itu tidak kenai orang yang menyambar Rasti. Cahaya itu kenai sebatang pohon dan pohon itu segera retak dari atas ke bawah. Tapi si penyambar tubuh Rasti tetap melesat dan sukar dikejarnya.
Orang yang menyambar tubuh perempuan itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk, ia merasa kasihan melihat perempuan itu diserang secara licik dan terluka berbahaya. Jika tak segera disambar dan dibawa lari untuk diobati, pasti perempuan yang berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu akan mati oleh luka parahnya itu.
Lagi-lagi sebuah gua menjadi tempat persembunyian Pendekar Mabuk yang membawa lari pasiennya. Gua itu tidak terlalu dalam, mempunyai pintu masuk yang termasuk sempit. Namun keadaannya cukup terang, karena bagian atas gua terdapat celah untuk masuknya sinar matahari. Hanya saja, karena sinar matahari mulai redup di awal senja, maka sinar yang masuk akhirnya menjadi ikut redup. Tetapi pada saat sinar itu redup, Suto Sinting sudah berhasil menuangkan tuak kemulut Rasti yang dibaringkan di atas tanah berbatu datar dan berlumut rata mirip permadani.
"Ternyata wajahnya cantik juga dia?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
Perempuan yang pingsan dan sedang menunggu proses penyembuhan itu dipandanginya dengan cermat, dengan senyum tipis, dengan hati berdebar-debar. Baju kuningnya yang tanpa lengan dan panjang menyerupai jubah tak terkancing itu tersingkap lebar, sehingga penutup dadanya kelihatan jelas, berwarna merah tipis, membuat gumpalan di dadanya membayang samar-samar. Pakaian longgar penutup bagian bawahnya juga berwarna merah samar- samar, dan membuat apa yang ditutupi tampak membayang, semakin mendebarkan.
Ternyata perempuan itu mempunyai tubuh yang sekal dan montok. Kemulusan kulitnya yang berwarna putih sangat menggiurkan bagi setiap lelaki yang memandangnya. Hidung yang mancung dan bibir yang sensual membuat hati Suto Sinting geregetan dan ingin mengecupnya pelan-pelan. Rambutnya yang panjang sepunggung diikat dengan logam perhiasan dari bahan emas bercampur bebatuan warna-warni. Sungguh cantik ia jika mengenakan perhiasan rambut seperti itu. Kalung dan gelangnya pun menampakkan bahwa dirinya adalah perempuan berada. Bukan perempuan miskin yang keluyuran mencari upah seperti Mendung Merah.
Pendekar Mabuk sengaja keluar gua sebentar untuk memeriksa keadaan. Siapa tahu Tulang Besi mengikutinya sampai tempat tersebut. Tapi ternyata Tulang Besi atau siapa pun tak ada di tempat itu. Agaknya gua itu cukup aman, apalagi terlindung semak ilalang setinggi pundak Suto Sinting. Setelah yakin keadaan aman, Pendekar Mabuk masuk ke gua kembali. Pada saat itu si perempuan telah siuman dan segera memandang Suto Sinting dalam keadaan duduk, ia berkerut dahi, terbungkam dan merasa asing oleh penampilan pemuda tampan yang gagah perkasa itu.
Suto sunggingkan senyum keramahan. "Kau aman di sini, Rasti!" ujar Suto, langsung menyebut nama perempuan itu, karena ia telah mendengar nama tersebut dari mulut Tulang Besi.
Rasti terperanjat dan semakin heran mendengar namanya disebutkan oleh pemuda yang belum dikenalnya. "Kaukah yang menyerangku dengan curang?!"
"Bukan. Orang yang menyerangmu adalah Tulang Besi. Kau dalam keadaan terluka parah dan kelihatannya akan dibunuh oleh si Tulang Besi. Lalu aku menyambarmu dan membawamu kemari."
Setelah Suto Sinting mendekat pada saat Rasti berdiri, tiba-tiba pandangan mata perempuan itu dipertajam dan mulutnya sebutkan kata dengan pelan. "Apakah... apakah kau Pendekar Mabuk alias Suto Sinting?!"
"Benar!" jawab Suto dengan senyum ramah. Rasti tersentak dan mundur selangkah dengan wajah tegang.
"Hei, mengapa kau tampak takut padaku?! Aku bukan orang jahat!" kata Pendekar Mabuk sambil membetulkan letak tali bumbung tuak di pundaknya.
"Hmm, eeh... tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut. Tak sangka akan bertemu dengan Pendekar Mabuk yang kondang itu," ujar Rasti sambil sunggingkan senyum kaku.
"Ada persoalan apa kau dengan Tulang Besi, sehingga ia tampak bernafsu sekali ingin membunuhmu?" tanya Suto mengalihkan pembicaraan agar tidak terlalu berpusat pada dirinya.
"Aku tak tahu. Tapi aku kenal dengan Tulang Besi. Dulu kami pernah bermusuhan, tapi ia kalah dan nyaris mati di tanganku. Hanya saja, persoalan itu sudah kuanggap kadaluwarsa, Sudah sekitar delapan tahun yang lalu dan tak pernah kuingat-ingat lagi. Mungkin saja dia ingin balas dendam padaku karena kekalahannya di masa lalu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan menggumam kecil.
"Dari mana kau tahu namaku?!" tanya perempuan bermata jeli itu.
"Kudengar si Tulang Besi menyapamu dengan nama Rasti. Maka aku yakin namamu adalah Rasti. Apakah aku salah panggil?"
Perempuan itu sunggingkan senyum dan mulai luwes. "Kau memang cerdas!" pujinya di sela senyum indahnya itu. Pandangan matanya mulai berkesan genit. Suto Sinting sadar dirinya sedang digoda, maka ia segera alihkan pandangan matanya ke arah lain. Ia sengaja hindari hal itu, karena tak ingin terjerat oleh debar-debar keindahan yang sudah semakin bergemuruh dalam dada.
"Maukah kau mengantarku ke suatu tempat, Suto?"
"Ke mana?" tanya Suto Sinting sambil berbalik menatap lagi.
Tapi Rasti tidak langsung menjawab, melainkan menatap seperti tadi dengan senyum yang sangat menggoda.
Suto Sinting akhirnya salah tingkah sendiri, lalu segera ajukan tanya untuk memecah kebisuan di antara mereka. "Kau mau ke mana, Rasti?"
Setelah melangkah dekati Suto, perempuan itu menjawab dengan lirih. "Aku ingin ke suatu tempat yang jauh dari keramaian. Mungkin puncak gunung atau sebuah pulau yang terpencil."
"Mengapa kau ingin ke sana?"
"Aku ingin membuang rasa kesepianku yang menyiksa hidupku sejak kematian suamiku dua tahun yang lalu. Mungkin dengan mengusir kesepian, aku bisa bergairah lagi dalam hidup dan tidak punya niat untuk bunuh diri."
"Suamimu meninggal dua tahun yang lalu? Sakitkah dia?"
Perempuan itu gelengkan kepala. Bibirnya yang menawan hati bergerak-gerak dengan pandangan mata yang sedikit sayu. "Dia dibunuh oleh si Geledek Biru."
"Oh...?!" Suto Sinting terkejut. "Mengapa sampai berurusan dengan si Geledek Biru?"
"Salah paham! Ada dua nama yang sama, dan Geledek Biru menyangka nama suamiku adalah orang yang mencuri pedang pusakanya. Lalu, suamiku yang tak berilmu sedikit pun itu dibunuhnya. Aku ingin membalas dendam kepada Geledek Biru, tapi tak mungkin bisa, karena ilmuku tak seimbang dengannya. Maka kupilih untuk menghilang dari rimba persilatan, mengasingkan diri di suatu tempat yang terpencil, agar tak tersiksa oleh kesepian yang sering muncul manakala kulihat dua pasangan sedang berkasih-kasihan atau."
Ucapan itu terhenti, napas Rasti tersentak. Suto Sinting memandang dengan heran. Namun ketika perempuan itu tersentak lagi sambil pegangi dadanya, Suto Sinting tahu ada sesuatu yang menyakitkan dalam dadanya.
"Rasti minumlah tuakku lagi. Lekas minum!"
"Tid... tidak bisa... aku... aku."
Rasti mengejang beberapa kali. Tubuhnya oleng dan jatuh ke belakang. Namun sewaktu tubuh itu limbung ingin jatuh, tangan Pendekar Mabuk segera menangkapnya. Rasti terkulai sesaat dalam pelukan Suto Sinting, matanya terbeliak-beliak mengerikan. Tubuhnya menjadi dingin, wajahnya pucat pasi.
"Hei, kenapa kau ini?! Ada apa, Rasti?!"
"Pen... penyakitku kambuh lagi...lagi..."
"Minumlah tuakku, biar penyakitmu hilang!"
Rasti menggeleng, bibirnya gemetar. "Aku... aku tak bisa Penyakit ini tidak bisa diobati dengan apa pun, kecuali, kecuali... oouh, huuhk.... Ahhk!"
"Kecuali apa. Rasti?!"
"Di... dingin... peluklah aku. Peluklah, huuhk...!" ia menyentak lagi.
Suto Sinting segera memeluknya dalam keadaan mulai panik. "Hang... hangatkan aku... oouh. hangatkan aku. Toloong... hanya dengan memberi kehangatan, penyakit ini bisa hilang. Oouhk... tolong hangatkan aku. Hangatkan seluruh tubuhku."
"Ak aku harus bagaimana?"
"Peluk... peluk seluruh tubuhku. Peluk erat-erat, hangatkan de... dengan tubuhmu. Huuhkk... aahk!"
Rasti menyentak dan kejang. Badannya terasa semakin dingin seperti es. Wajahnya pun bertambah pucat seperti kertas putih. Semula Suto Sinting ragu memberikan apa yang diminta Rasti, tapi setelah melihat wajah yang semakin pucat dan tubuh yang bertambah dingin dan bergetar, Suto merasa harus melakukan permintaan Rasti.
"Ia tidak main-main. Ia sungguh-sungguh menderita penyakit aneh. Aku harus memberikan pelukan yang... oh, tapi kehalusan kulit dan kesekalan tubuhnya dapat membuatku tergoda, dan gairahku bisa terbakar. Aduh, bagaimana kalau begini? Haruskah kuberi pelukandan kubiarkan gairahku semakin terbakar?"
Pendekar Mabuk benar-benar panik, tindakannya serba canggung. Tapi perempuan itu semakin tersentak-sentak, tubuhnya pun kian dingin.
* * *
ENAM
SEMAKIN erat Suto Sinting memeluknya, semakin reda sentakan-sentakan tubuh Rasti. Napasnya yang sesak tampak mulai longgar. Rasti sengaja ditengkurapkan di atas tubuh Suto sementara Suto sendiri berbaring di atas batuan datar. Jika tubuh Rasti yang berbaring, maka punggung Rasti akan terkena dinginnya batu yang berlumut. Jadi mau tak mau Suto memeluk Rasti yang tengkurap di atasnya. Kedua kaki Suto pun menggamit tubuh Rasti erat-erat.
"Ooh... uuuhhh..., tempelkan mulutmu ke leherku," bisik perempuan itu. Suto mengerti maksudnya. Hembusan napasnya akan menghangat di leher perempuan itu dan menciptakan kehangatan yang lebih mendalam lagi.
Tetapi aroma wangi mawar di tubuh perempuan itu semakin menggoda hasrat si pemuda tampan. Tempelan bibirnya pada leher Rasti membuat lidah Suto pun akhirnya usil juga. Leher itu digelitik dengan lidah secara pelan-pelan. Rasti justru mengencangkan pelukannya. Kepalanya bergerak menggeliat ke kanan-kiri, seakan ia ingin seluruh lehernya mendapat kehangatan dan keusilan lidah Suto.
Gerakan tubuh Rasti pun memancing hasrat Suto untuk menikmati tiap sentuhan tubuh. Hati berdebar-debar, jiwa menuntut keindahan lebih tinggi. Pendekar Mabuk akhirnya meremas-remas pinggul Rasti. Perempuan itu tidak menolak, justru keluarkan suara erangan tipis. Bahkan makin lama wajahnya semakin didusal-dusalkan di telinga kiri Suto, kadang merayap ke permukaan wajah Suto lalu pindah ke telinga kanan. Hembusan napas Rasti menghangat di sekitar wajah, sehingga Suto Sinting benar-benar terpancing untuk mencumbunya.
"Oouh, ouuh... hangat sekali, Suto. Hangat dan nikmat. Uuuh... peluk aku lebih kuat lagi. Peluk aku... uuhmmm...!" perempuan itu nekat mencium Suto, bahkan bibir Suto dikecupnya dan dilumatnya. Suto tak bisa menolak karena telah terlanjur terjerat tuntutan batinnya sendiri.
"Remas aku, Suto.... Remas aku! Oouh, aahh..." Rasti merintih dengan gerakan semakin liar.
Suto Sinting meremas pinggul Rasti yang masih kencang itu. Remasan tangan Suto membuat Rasti bertambah mengerang, dan bibirnya semakin ganas mengecup leher Suto, memagut-magut dengan sapuan lidahnya yang begitu mendebarkan hati si pemuda tampan itu. Pakaian Rasti berantakan dengan sendirinya. Gumpalan di dadanya terasa menghangat di wajah Suto, karena Rasti bergerak naik hingga dadanya ada di atas wajah Suto Sinting.
"Kecup, Suto... oouh, kecuplah sekarang juga, Sayang...," rengek Rasti. Maka ujung dada yang merentang itu pun disambar oleh mulut Suto Sinting.
Haaapp...!
"Aaaahh... nikmat sekali, Sayang. Nikmat sekali! Ooohh... ssss, ahh!" Rasti mendesis-desis dengan wajah terdongak. Matanya terpejam kuat, namun kadang terbeliak dengan bibir digigit sendiri.
Suto Sinting menjadi seperti bayi yang kehausan. Seolah-olah ia tak sadar dengan apa yang sedang diperbuatnya saat itu.
"Ooouh... luar biasa indahnya, Suto. Hangat sekali kemesraanmu. Ooh... jangan hentikan sampai di sini saja, Suto.Aku bahagia sekali. Aku, oouh..." Tubuh itu tidak lagi dingin. Bahkan semakin lama semakin panas dan mencucurkan keringat. Butiran keringat menetes dari dagunya ke leher Suto Sinting. Gerakan-gerakan liarnya terhenti bersama helaan napas yang terengah-engah seperti habis melakukan pekerjaan yang amat melelahkan.
Suto Sinting pun menghentikan reaksi ketika Rasti akhirnya jatuh terkulai diatasnya dan memeluk dengan kepala tergolek di samping wajah Suto. Pada saat itulah kesadaran Pendekar Mabuk muncul kembali. Pemuda itu merasa seperti baru saja bangun dari mimpinya. Hatinya tersentak kaget menyadari apa yang baru saja dilakukan bersama perempuan yang baru dikenalnya itu. Ia segera menyingkirkan tubuh Rasti dari atasnya.
Rasti menggerang manja, tak ingin turun dari atas Suto. "Aku ingin menikmatinya lagi, Suto."
"Hmm, eehh, hmmm istirahatlah dulu. Kau tampak lelah sekali, Rasti."
"Tapi kau kan belum mencapai puncak keindahanmu? Sekarang giliranku yang akan menjadi pelayan kemesraan kita, Suto. Berbaringlah dulu, jangan berdiri. Aku akan membuatmu seperti berada di langit-langit surgawi, Sayang."
"Iyy... iya, tapi nanti saja. Kau harus istirahat. Kalau kau teruskan, penyakitmu tadi bisa kambuh lagi, Rasti."
"Tidak, tidak! Justru aku akan menjadi semakin kuat dan tangguh setelah mendapatkan puncak kemesraan seperti ini."
"O, begitukah kau sebenarnya?" sambil Suto Sinting duduk bersandar pada dinding gua.
"Sudah beberapa waktu lamanya aku tidak menikmati kemesraan seorang lelaki. Aku terlalu sibuk dengan urusanku, sehingga tak sempat memburu pemuas dahagaku. Akibatnya, penyakitku kambuh lagi."
"Penyakit apa itu tadi?"
"Penyakit, penyakit kekurangan hawa sakti."
"Baru sekarang kudengar ada penyakit seperti itu."
"Kurangnya hawa sakti akan merusak kelenjar didalam hatiku. Keringnya kelenjar hati membuat darah terserap. Lama-lama seluruh darahku dapat mengering dengan sendirinya jika aku tak segera mendapat cumbuan dan kemesraan dari seorang lelaki. Puncak kenikmatan yang kudapatkan dari seorang lelaki membuat kelenjar hatiku berfungsi kembali dan darahku tidak terserap habis. Hawa saktiku pun bekerja seperti semula setelah aku dapat mencapai puncak kenikmatan asmaraku."
"Aneh sekali...?'" gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut.
"Aku akan menjadi lebih segar lagi jika sudah tersiram darah kemesraan seorang lelaki. Darah kemesraan lelaki merupakan semangat baru di dalam jiwa dan ragaku. Karenanya, lakukanlah lagi, Suto. Cumbulah aku dan berlayarlah bersamaku. Semburkan darah kemesraanmu sebanyak-banyaknya padaku, agar hidupku menjadi lebih segar dan lebih bersemangat lagi."
"Hmm, eeeh.... nanti saja," jawab Suto setelah menimbang-nimbang. Bagaimanapun panasnya kemesraan itu, Suto Sinting tetap tak ingin menodai kesetiaan cintanya terhadap seorang kekasih nun jauh di sana: Dyah Sariningrum. Ia tak ingin lakukan percumbuan yang begitu dalam dengan perempuan mana pun. Ia ingin berikan kesucian asmara sejati kepada Dyah Sariningrum sebelum perempuan lain merasakan semburan darah kemesraannya.
Namun dalam temeram sisa cahaya senja itu, wajah Rasti semakin melentur sayu, memancarkan harapan cumbu yang begitu besar, memancarkan gairah yang bergelora. Remasan tangannya sebagai simbol desakan batin untuk mendapatkan darah kemesraan Suto. Senyumnya pun melambangkan ajakan untuk berlayar menuju pulau kenikmatan sejati.
"Tanganmu sungguh hebat, Suto. Tapi apakah... apakah kehangatanmu ini juga sehebat jari tanganmu yang mampu melambungkan jiwaku ke puncak asmara?!"
Suto Sinting hanya tersenyum canggung, ia sadar kata-kata itu merupakan jebakan halus menuju ke percumbuan yang lebih dalam. Suto pun bergolak dan gairahnya menggeliat, ingin unjuk kehebatan. Tetapi kesadarannya yang selalu terjaga itu membuat Suto harus menolak tantangan bercumbu itu secara halus, ia tak ingin lakukan penolakan secara kasar, karena ia tak ingin menyinggung perasaan perempuan cantik yang sudah matang dalam berkencan itu.
"Aku harus mandi dulu. Aku akan mencari sungai disekitar tempat ini," ujar Suto Sinting ketika Rasti menyodorkan bibirnya dengan mata kian sayu.
"Mengapa harus mandi? Tak perlu mandi kau sudah harum dan keringatmu membakar gairahku, Suto."
"Aku... aku tidak bisa lakukan pelayaran cinta dalam keadaan badan masih kotor dan belum mandi. Aku harus mandi dulu, Rasti."
"Percuma, Suto. Kau nanti toh akan mandi keringat juga; keringatku dan keringatmu sendiri."
"Memang. Tapi untuk mengawalinya, badanku harus bersih dulu. Aku tak ingin kau menikmati pelayaran cinta denganku dalam keadaan badanku masih kotor. Aku tak ingin memberikan yang kurang baik padamu. Aku ingin berikan yang terbaik padamu, Rasti."
Perempuan itu tersenyum, hatinya berdesir bangga karena merasa diistimewakan oleh si tampan itu. Ia segera menyambar bibir Suto. Bibir itu dilumatnya sejenak, kemudian dilepaskan dengan engahan napas kelegaan. "Pergilah mandi sana! Jangan lama-lama. Aku tak ingin menunggu terlalu lama. Nanti aku kedinginan dan masuk angin," tuturnya seraya hamburkan tawa lirih yang mengikik penuh rangsangan menantang.
Suto Sinting bergegas bangkit, merapikan pakaian sejenak.
"Atau... aku ikut mandi sekalian saja, ah!" ujar perempuan itu seraya ikut-ikutan bangkit dan merapikan pakaian.
Pada saat itu, mata Suto menangkap sebuah benda yang segera diselipkan di pinggang Rasti. Benda itu semula jatuh di tanah, diduduki oleh perempuan itu. Ketika si perempuan merapikan pakaiannya, benda itu nyaris tertinggal, ia segera memungutnya dan menyelipkan di pinggang belakang, di balik kain pengganti sabuk. Benda itu berwarna coklat sebesar telapak tangan, bentuknya menyerupai lembaran- lembaran kulit rusa.
"Benda apa itu, Rasti?!" tanya Suto Sinting setelah mempertimbangkan kecurigaannya yang menggoda hati.
"Hmm, ooh... anu, hmm... bukan apa-apa. Maksudku, bukan sesuatu yang penting. Ini hanya... hanya jimat. Jimat pemikat pria, hik, hik. hik...!"
Sekalipun Rasti mengalihkan dalam canda, namun rasa penasaran Suto masih menggoda terus dan kecurigaannya semakin besar. Benda itu menyerupai sebuah kitab yang terdiri dari sekitar sepuluh lembar kulit rusa. Dalam benak Pendekar Mabuk menduga bahwa kitab itu adalah kitab keramat yang dinamakan kitab 'Serat Sekar Siluman'. Tetapi hati kecil Suto masih sangsi, sehingga ia pun bertanya-tanya dalam hatinya,
"Apa benar bentuk kitab keramat seperti itu?!"
Rasti sudah rapi, siap pergi mencari sungai untuk mandi. "Ayo, kita cari sungai itu dan bersihkan badan sebelum petang tiba. Nanti kita kembali lagi kemari, Suto!" ajak Rasti ketika sudah diambang pintu gua.
Suto Sinting sempat tertinggal karena memikirkan benda yang dikatakan sebagai jimat oleh perempuan itu. "Rasti, boleh kulihat benda yang kau katakan sebagai jimat itu?"
Rasti berlagak tidak mendengar ucapan Suto Sinting, ia bergegas keluar dari gua lebih dulu. Suto Sinting buru-buru menyusulnya.
"Rasti...! Rasti, tunggu sebentar!"
Langkah perempuan itu semakin cepat. "Ayo, Suto... kita temukan sebuah sungai sebelum petang tiba! Lekaslah...!"
"Hei, Rasti... tunggu aku! Aku ingin melihat benda yang kau selipkan di pinggang belakangmu itu! Apakah benda itu adalah kitab keramat 'Serat Sekar Siluman' milik Geledek Biru yang pernah dicuri Ratu Ladang Peluh?!"
Perempuan itu bagaikan tak menghiraukan seruan Suto sama sekali. Ia justru melangkah semakin cepat dengan jubah kuningnya yang melambai-lambai. Suto berlari menyusulnya, tapi Rasti makin percepat langkahnya.
"Rasti, aku hanya ingin tahu apakah benar benda itu adalah kitab keramat berisi mantra-mantra berkekuatan iblis?!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tetap tak dihiraukan Rasti. Bahkan perempuan itu mengubah langkahnya menjadi gerakan lari kecil dengan lompatan-lompatan peringan tubuh.
Suto Sinting jengkel, akhirnya ia membentak, "Hei, Rasti...! Tunggu!"
Di luar dugaan, Rasti hentikan langkah sekejap, berbalik ke belakang dan sentakkan tangan kirinya ke arah Suto Sinting. Wuutt...! Sentakan itu mengeluarkan cahaya kuning emas sebesar telur burung. Claap...! Weess...!
Pendekar Mabuk sangat terkejut mendapat pukulan bersinar kuning emas itu. Bumbung tuak yang disilangkan dipunggung tak sempat diraih dan dipakai menangkis. Namun sebelum sinar kuning emas sebesar telur burung itu menghantam dadanya, secara refleks tangan Suto pun menyentak ke depan. Jurus 'Pecah Raga' yang digunakan secara tiba-tiba itu keluarkan sinar hijau dari telapak tangan si Pendekar Mabuk. Namun gerakan itu agak terlambat, sinar hijau tersebut menghantam sinar kuning emas yang sudah mendekat dan kurang tiga langkah lagi. Akibatnya, benturan sinar hijau dan sinar kuning emas itu timbulkan ledakan yang menyentak kuat dan mengguncangkan pepohonan disekitarnya.
Blaaarrr...! Tubuh Suto Sinting terlempar ke belakang, melayang dan berjungkir balik tak karuan bagaikan seonggok sampah tersapu badai, ia jatuh terbanting setelah tubuhnya membentur pohon berduri. Cruus, buuhk...!
"Aaow...!" pekiknya sambil menyeringai kesakitan. Duri-duri pohon yang berukuran sebesar paku itu menancap dan merobek pinggang Suto. Duri itu mengandung getah beracun yang cukup membahayakan jiwa manusia. Suto Sinting akhirnya terpuruk sesaat di bawah pohon itu dengan pinggang mengucurkan darah dan darah itu menjadi cepat mengering dan itu berarti kematian Suto pun akan tiba.
"Rastiii...!" teriak Suto sebelum ia semakin lemas akibat racun pada duri pohon tersebut. Namun perempuan yang dipanggilnya justru semakin percepat pelariannya, dan dalam waktu singkat telah menghilang dari pandangan si Pendekar Mabuk. Rasti benar-benar melarikan diri tanpa basa-basi lagi.
"Keparat! Berarti dugaanku benar; benda itu adalah kitab keramat yang dinamakan 'Serat Sekar Siiuman' Oouhk...! Badanku panas sekali! Celaka! Pasti duri pohon ini beracun membahayakan. Oouhk... aaahk...!"
Suto Sinting buru-buru mengambil bumbung tuaknya dengan susah payah. Tangannya selain lemas juga gemetar, sehingga bumbung tuak tak dapat diambil dengan mudah, walau akhirnya berhasil juga. Ia segera menenggak tuak saktinya.
Suara ledakan tadi memancing seseorang untuk datang ke tempat itu. Dalam keremangan cahaya senja yang semakin menua, Pendekar Mabuk masih bisa melihat kemunculan sesosok tubuh kurus bermata cekung yang dulu pernah bertarung melawannya. Orang tersebut tak lain adalah si Tulang Besi, yang sedang mencari-cari buronannya. Buronan itu tadi disambar oleh seseorang dan orang yang menyambarnya adalah Suto sendiri. Tapi Tulang Besi tak tahu bahwa penyambar buronannya adalah si Pendekar Mabuk.
Maka ketika ia mengetahui keadaan Pendekar Mabuk sedang kesakitan akibat tergores duri beracun, dan tuak yang ditenggaknya belum bereaksi, Tulang Besi segera lepaskan tendangan kebenciannya ke arah wajah Suto. "Kau yang tempo hari coba-coba melawanku, Bocah gendeng! Terimalah upah kelancanganmu waktu itu. Hiaaah...!"
Beet! Plaak...!
Suto Sinting masih sempat menangkis dengan silangkan lengan kirinya ke depan. Tendangan itu tertahan lengan tersebut, tak sempat kenai wajah tampan si murid sinting Gila Tuak itu. Pemuda tersebut segera berguling ke belakang, lakukan jungkir balik dengan cepat. Dalam satu sentakan tubuhnya pun melambung ke atas dan bangkit berdiri dengan tegak. Pengaruh luka di pinggangnya telah hilang, bahkan luka itu telah mengering. Sebentar lagi akan hilang sama sekali tanpa bekas.
"Tahan seranganmu, Tulang Besi!" sentak Suto Sinting dengan lantang pertanda badannya telah segar kembali.
"Persetan dengan kata-katamu, Bocah gendeng! Kau telah memihak Mustikani, yang berarti kau ada di pihak Ladang Peluh! Itu sama saja kau adalah musuhku yang perlu kubinasakan! Heaah...!"
Tulang Besi melompat cepat dan melepaskan tendangan beruntunnya ke dada Pendekar Mabuk. Wuut, wuut, wuut...! Tapi dengan cepat Suto Sinting menadahkan bumbung tuaknya sebagai penangkis tendangan itu. Krak, prak, krak...!
"Aaoww...!" Tulang Besi memekik kesakitan dan jatuh terduduk di tanah. Kedua kakinya terasa remuk karena menendang bumbung bambu tuak yang mempunyai kekuatan tenaga dalam tersendiri. Tulang Besi bagaikan menendang sebatang baja yang meremukkan Tulang kakinya sendiri.
"Hentikan kebodohanmu, Tulang Besi! Aku tahu apa yang kau cari dan apa yang harus kita kejar!" sentak Suto Sinting, ingin ungkapkan tentang perempuan yang bernama Rasti itu.
Tetapi agaknya Tulang Besi masih terpaku oleh kekalahannya beberapa waktu yang lalu, sehinga dengan berang ia melepaskan pukulan jarak jauhnya tanpa sinar. Dalam keadaan duduk di tanah, Tulang Besi sentakkan tangannya ke depan, dan gelombang hawa padat berkekuatan dua kali tenaga kuda itu meluncur lepas menghantam Suto Sinting. Beet, wuuut...!
Suto Sinting segera hindari gelombang hawa padat itu dengan satu lompatan ke atas. Wuuuus...! Gelombang hawa padat itu akhirnya menghantam pohon berduri di belakang Suto.
Blaam...! Krraaak...! Pohon itu retak dan menjadi miring, hampir saja tumbang.
Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya ke arah Tulang Besi. Senantiasa jarinya diarahkan tepat ke dada Tulang Besi. Des, dos...! Dua kali sentilan jari membuat Tulang Besi yang pernah merasakan akibatnya segera berguling ke samping untuk menghindarinya. Buub, buub...! Sentilan bertenaga dalam itu akhirnya kenai tanah. Tanah pun memuncrat dengan dedaunan kering menyebar kemana-mana.
Zlaap, zlaaap...! Suto Sinting segera berpindah tempat dengan cepat, sehingga tampak seperti menghilang. Tulang Besi sempat clingukan sebentar dengan wajah tegang. Akhirnya ia temukan Suto Sinting sudah berada dibelakangnya. Dalam keadaan kedua kakinya masih terasa sakit dipakai berdiri, Tulang Besi akhirnya berguling ke belakang dari keadaannya yang duduk di tanah sejak tadi. Gerakan tergulingnya itu sambil melepaskan tendangan bertenaga dalam, sehingga hembusan hawa padat kembali menyerang Pendekar Mabuk secara beruntun. Wuuk, wuuk...!
Namun bumbung tuak pun kembali menghadang gelombang hawa padat itu dalam keadaan dipegang dua tangan dan satu kaki Suto berlutut menahannya. Blaam, blaamm...! Benturan gelombang hawa padat dengan bumbung tuak membuat Suto Sinting terdorong ke belakang dan jatuh terduduk. Namun ia segera berguling ke samping karena Tulang Besi tampak ingin lepaskan pukulan bersinarnya. Sebelum hal itu terjadi, Suto Sinting segera arahkan sentilan 'Jari Guntur'-nya ke pelipis Tulang Besi.
Dess...! Wuuut, brruukk...!
"Aoooww...!" Tulang Besi memekik sambil jatuh berguling guling. Kepalanya terasa mau pecah karena terkena sentilan jarak jauh yang mempunyai kekuatan tenaga dalam sebesar tendangan seekor kuda jantan itu. Untuk sesaat Tulang Besi yang meraung-raung kesakitan sambil kedua tangannya pegangi kepala.
Pendekar Mabuk bergegas bangkit, ia sengaja tidak menyerang lagi, karena tak ingin pertarungan itu mencelakakan kedua belah pihak. Bagaimanapun ganasnya si Tulang Besi, tapi Suto masih ingat bahwa kakek tua itu patut murka kepada pihak Ratu Ladang Peluh karena perguruannya dihancurkan. Hanya saja, ia salah paham dan menyangka Mustikani masih berada di pihak Ratu Ladang Peluh, sehinga pembelaan Suto terhadap Mustikani dianggap bersekutu dengan pihak Ratu Ladang Peluh. Yang perlu dilakukan Suto adalah meluruskan anggapan tersebut agar tidak membuat pertikaian dan salah paham itu menjadi berlarut-larut.
"Sekarang pun kau sudah kuanggap mati di tanganku, Tulang Besi!" seru Suto Sinting sambil mengarahkan bambu tuak seperti ingin dihantamkan ke kepala Tulang Besi. "Kalau aku mau, bambu ini dapat membuat kepalamu pecah seperti telur bebek habis dibanting!" tambah Suto. "Tapi karena aku merasa kau bukan musuhku dan aku bukan berada di pihak Ratu Ladang Peluh, maka aku tak akan membunuhmu, Kakek berang!"
"Keep... keparat kaauu...!" geram Tulang Besi sambil menahan sakit.
"Minumlah tuakku, kujamin kau akan sembuh dan tak merasa sakit lagi! Tapi berjanjilah untuk tidak bermusuhan lagi denganku karena kemarahanmu itu menimbulkan kesalahpahaman belaka, Tulang Besi!" Suto Sinting segera sodorkan bumbung tuaknya dengan tetap waspada.
Tulang Besi menolak dengan suara mengerang dalam satu sentakan.
"Tulang Besi, aku tahu yang kau cari saat ini! Kau mencari perempuan berjubah kuning yang bernama Rasti! Jika kau tak mau minum tuakku, maka pelarian Rasti semakin jauh lagi dari tempat ini, karena ia tadi bersamaku dan segera melarikan diri setelah kutahu ia menyembunyikan kitab keramat di pinggang belakangnya!"
Tulang Besi segera berubah sikap. Walau tetap menggeram, namun ia mulai tertarik dengan ucapan Suto tadi.
* * *
TUJUH
SETELAH menerima perdamaian dari Pendekar Mabuk berupa pengobatan melalui tuak saktinya, Tulang Besi akhirnya membenarkan dugaan Suto tentang kitab keramat di tangan Rasti.
"Memang benar, benda yang disembunyikan perempuan itu adalah kitab keramat. Kitab itu diambilnya dari mayat Ladang Peluh sesaat setelah ia berhasil membunuh Ratu bejat itu bersama beberapa pengawalnya."
"Apakah kau melihatnya sendiri?"
"Ya, aku mengintainya dari kejauhan. Karena sebelum itu, Ratu bejat kuserang sebagai tindakan balas dendamku kepadanya. Tapi agaknya aku kalah ilmu dengannya. Aku terluka dalam, dan harus sembuhkan lukaku dulu untuk menyerangnya lagi. Saat kutinggalkan, beberapa waktu kemudian kudengar suara ledakan dari tempatku bertarung melawannya. Aku kembali ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata Ratu Ladang Peluh bertarung melawan Rastiwina, dan pertarungan itu kuperhatikan hingga tewasnya si Ladang Peluh dan anak buahnya itu."
Sementara si Tulang Besi berceloteh, benak Suto Sinting memikirkan sesuatu yang terasa menggoda ingatannya. Bahkan batin Pendekar Mabuk pun bertanya pada diri sendiri, "Rastiwina...?! Sepertinya aku pernah mendengar nama Rastiwina itu?! Di mana dan kapan kudengar nama itu?!"
"Rupanya Rastiwina mengetahui bahwa Ladang Peluh mempunyai kitab keramat tersebut. Mungkin karena dulu mereka bersahabat dan belakangan ini kudengar mereka bermusuhan karena persoalan pribadi, sehingga Rastiwina akhirnya nekat menghadapi Ladang Peluh. Tujuannya hanya untuk mengambil kitab keramat tersebut. Dan kulihat Rastiwina berhasil dapatkan kitab itu setelah menggeledah tubuh mayat Ratu bejat yang dipenggalnya memakai pedang milik pengawal Ladang Peluh sendiri."
"Dan kau pun naksir kitab itu?!"
Tulang Besi gusar sesaat, namun akhirnya menjawab, "Daripada kitab keramat itu jatuh di tangan Rastiwina yang juga sebejat Ladang Peluh, lebih baik kitab itu kurebut dan kukuasai sendiri!"
"Kau akan berurusan dengan Geledek Biru jika menguasai kitab itu!"
"Memang. Tapi aku bisa pergunakan kekuatan sakti didalam kitab itu untuk melawan Geledek Biru. Hanya saja... sekarang pendapatku sudah berubah, mengingat si Geledek Biru adalah kakak sahabatku sendiri. Aku hanya ingin merebut kitab itu agar jangan jatuh di tangan perempuan bejat!"
"Bukankah dia?"
"Apakah kau belum kenal dengan Rastiwina yang berjuluk Ratu Lembah Girang itu, Anak muda?!"
Suto Sinting tersentak kaget begitu mendengar nama Ratu Lembah Girang. Rasa ingin protes atas pemotongan kata-katanya tadi terpaksa dibatalkan karena ia lebih tertarik memperhatikan nama Ratu Lembah Girang. Kini Suto ingat bahwa ia pernah berurusan dengan Ratu Lembah Girang yang ingin menguasai bocah sakti di Pulau Swaladipa. Walau secara langsung memang ia belum pernah beradu muka dengan Ratu Lembah Girang, tetapi para begundalnya telah menyerang dan bermaksud membunuhnya, termasuk iblis kirimannya yang amat berbahaya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Titisan Iblis).
"Pantas sejak tadi aku merasa janggal terhadap nama Rastiwina. Rupanya nama itu adalah nama asli dari Ratu Lembah Girang yang pernah kudengar disebutkan oleh si Manusia Kayu; Ki Sumparana," pikir Suto Sinting sambil tertegun berkepanjangan. Karena ia juga ingat pertarungannya melawan Pangeran Cabul dan Lembah Wuyung, yang merupakan orang-orang utusan Ratu Lembah Girang untuk mencabut nyawa Suto Sinting.
"Kurasa ia mengenaliku. Tapi mengapa saat di dalam gua ia tidak membunuhku? Mengapa ia justru bersemangat dalam mencumbuku?" pikir Suto lagi. Ia tak tahu bahwa Rastiwina alis Ratu Lembah Girang terkejut ketika mengetahui ketampanan Suto Sinting yang menjadi lawannya itu. Ia tidak menyangka ketampanan dan kegagahan Pendekar Mabuk sangat menawan hatinya, sehingga ia merasa sayang jika harus membunuh pemuda itu sebelum dimanfaatkan kehangatan kemesraannya.
"Dia tidak boleh mati. Dia begitu hangat dan pandai membuatku terbang di puncak kenikmatan. Aku akan tundukkan dia dengan aji pemikat abadi yang menurut keterangan Ladang Peluh dulu, mantra tersebut ada di dalam kitab keramat ini. Sekarang dia tahu aku membawa kitab itu. Aku harus melumpuhkannya sesaat. Setelah kitab ini kupelajari, akan kuhampiri dia dan kutundukkan agar menjadi pemuas gairahku. Ooh... aku suka sekali dengan permainan tangannya yang seolah-olah sangat sesuai dengan harapanku itu. Aku tak boleh membunuhnya...!" pikir Rastiwina pada saat itu.
Karenanya ia lebih baik melarikan diri daripada harus berhadapan dengan Suto dan saling mengadu ilmu. Pendekar Mabuk segera sadar dari lamunannya. Namun ia terperanjat mengetahui hari telah menjadi gelap dan Tulang Besi telah pergi dari hadapannya. Ke mana perginya si Tulang Besi, Suto tak tahu. Namun dugaan hati kecilnya mengatakan, bahwa Tulang Besi pergi mencari Rastiwina karena ingin merebut kitab keramat itu.
Sekalipun gelap petang telah tiba, namun Pendekar Mabuk tetap lakukan pencarian terhadap diri Rastiwina. Semakin cemas hati si Pendekar Mabuk setelah mengetahui bahwa kitab itu ternyata jatuh di tangan Ratu pengumbar nafsu dari Pulau Swaladipa. Semakin kuat niatnya untuk selamatkan kitab itu atau menghancurkannya sama sekali, seperti yang dikatakan si Gelede kBiru.
Esok paginya, Pendekar Mabuk yang sempat tidur beberapa waktu di atas pohon itu, segera memutuskan untuk memberi tahu hal itu kepada Geledek Biru dan beberapa orang lainnya yang dianggap mau membantu Geledek Biru dalam mencari kitab keramat tersebut. Sebuah desa yang disinggahi menjadi tempatnya bertanya tentang kediaman si Geledek Biru, sambil ia mengisi bumbungnya dengan tuak yang baru.
"Eyang Bintara tinggal di Bukit Belatung," tutur si pemilik kedai yang sudah berusia sekitar enam puluh tahun itu.
"Ke mana arahnya jika aku harus ke Bukit Belatung, Ki?"
"Jalanlah menuju ke selatan. Jika kau temukan dua sungai bersebelahan, ikutilah sungai yang sebelah kiri dan menuju ke muara!"
Ketenangan Suto terasa semakin besar, karena bumbung tuaknya sudah terisi tuak penuh, ia lebih bersemangat lagi dalam perjalanannya. Hanya saja, langkahnya terpaksa terhenti karena suara ledakan menggelegar yang samar-samar berasal dari arah barat daya. Ia segera bergegas ke sana, karena rasa ingin tahunya jika mendengar suara pertarungan selalu menggoda hati.
Mata Suto Sinting terbelalak begitu melihat di tepian sungai terjadi pertarungan antara Rastiwina melawan Mendung Merah. Agaknya gadis berpakaian merah itu terdesak beberapa kali, karena ilmunya tak sebanding dengan ilmu si Ratu Lembah Girang. Namun gadis itu masih belum mau larikan diri walaupun ia telah memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Kau memang keparat busuk, Mendung Merah! Kau sama busuknya dengan gurumu! Jika gurumu saja hampir mati di tanganku, apalagi hanya kau seorang?!"
Rupanya antara perguruan Mendung Merah dengan pihak Ratu Lembah Girang pernah terjadi bentrokan yang nyaris menewaskan gurunya Mendung Merah yang namanya tak diketahui oleh Suto Sinting. Tapi dari perkataan Rastiwina, Suto dapat simpulkan bahwa bentrokan itu terjadi karena rebutan sebuah pusaka yang akhirnya dihancurkan sendiri oleh Ratu Lembah Girang.
"Urusan pusaka Keris Bumiyamka itu sudah tak ada lagi. Pusaka itu ternyata kalah sakti dengan ilmuku, terbukti mampu kuhancurkan sendiri! Kurasa kau tak perlu mengungkit masa lalu antara pihakku dengan pihak perguruanmu, Mendung Merah. Apalagi kau masih bau kencur saat peristiwa itu terjadi!"
"Aku bukan memasalahkan Keris Bumiyamka itu! Yang kukehendaki adalah kitab keramat 'Serat Sekar Siluman'! Aku tahu kitab itu ada padamu, karena Sawung Kuntet memergokimu sedang membuka-buka kitab tersebut, lalu ia kau serang hingga sekarat!"
"O, jadi kau ingin menguasai kitab keramat itu juga?! Hmm...! Kalau aku sudah menjadi bangkai, kau boleh menguasai kitab itu. Mendung Merah! Sekalipun si Geledek Biru yang ingin merebutnya dari tanganku, akan kupertahankan dengan mempertaruhkan nyawaku!"
"Kalau begitu, jangan salahkan diriku jika aku harus merebutnya dengan cara sekasar mungkin!" bentak Mendung Merah, lalu segera mencabut pedangnya. Sreeet...!
Tetapi sebelum Mendung Merah menyerang, tiba-tiba Rastiwina lepaskan pukulan jarak tujuh langkah dengan pergunakan dua jarinya yang mengeras. Dua jari itu dikibaskan seperti melemparkan pisau, dan dari dua jari itu melesat sinar merah patah-patah seukuran pisau terbang. Clap, clap, dap!
Mendung Merah sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melambung naik dengan gerakan bersalto. Wuk, wuuk...! Begitu hinggap di atas gundukan tanah setinggi pundak manusia dewasa, pedang itu dikibaskan ke depan dan dari kibasan pedang itu keluarlah serbuk biru mengkilap yang menyebar ke arah Ratu Lembah Girang. Wuuurrsss...!
Serbuk itu pasti serbuk beracun, terbukti rumput-rumput yang terkena serbuk itu menjadi lumer dan akhirnya mencair seperti bubur. Jika sampai serbuk biru mengkilap itu kenai tubuh Ratu Lembah Girang, tentunya perempuan bermata jalang itu akan lumer dan menjadi seperti bubur. Sayangnya, Ratu Lembah Girang bukan orang berilmu pas-pasan, sehingga dengan satu kali sentakan tangannya, ia dapat keluarkan hembusan angin yang membuat serbuk-serbuk itu terbang ke arah Mendung Merah sendiri.
Wuuss, wuuurss...!
"Heeaaat...!" Mendung Merah melompat ke sana-sini dengan lompatan cepat. Kakinya bagai menyentak bagian ujung saja, termasuk menjejak sebatang pohon yang membuatnya meluncur ke satu arah hindari serbuknya sendiri. Begitu kakinya mendarat di bumi, tahu-tahu Rastiwina lepaskan pukulan bersinar kuning emas sebesar telur burung puyuh itu. Claap...! Sinar kuning itu meluncur cepat ke arah Mendung Merah. Namun sebelum sampai di pertengahan jarak, seberkas sinar merah kecil telah melesat lebih cepat dan menghantam sinar kuning tersebut. Weeess...!
Jegaaarrr...! Ledakan itu menyentakkan tubuh Rastiwina kebelakang, namun ia hanya terhuyung sesaat, lalu dapat berdiri tegak kembali dan memandang ke arah datangnya sinar merah kecil tadi. Ternyata dari balik pohon rindang itu muncul seraut wajah yang murah senyum, yaitu wajah seorang pemuda bertongkat bambu kuning.
"Santana...?!" gumam Suto Sinting dari persembunyiannya. "Kusangka ia telah mati ditelan bumi, ternyata masih cengar-cengir juga anak itu?!"
"Bocah ingusan! Kau mau ikut campur juga, hah?!" bentak Rastiwina dengan wajah berang.
Santana tetap nyengir sambil melangkah santai dekati lawannya. "Jurusmu cukup membahayakan nyawa sahabatku, Bibi! Aku terpaksa mematahkannya, ketimbang sahabatku kehilangan nyawa, lebih baik kau sajalah yang kehilangan nyawa, toh wajahmu sudah tampak tua. Kuduga usiamu sudah delapan puluh tahun lebih, Bibi cantik!"
Santana bicara seenaknya dan tak punya kesan bermusuhan. Namun kata-katanya justru memanaskan telinga Rastiwina yang tak mau dikatakan sudah tua. Ia sangat tersinggung dengan penghinaan itu, sehingga suara geramnya menunjukkan ia sangat marah kepada Santana.
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli. "Bocah itu kalau bicara seenak udel-nya sendiri! Memang menjengkelkan, tapi juga menggelikan. Apalagi dia mengakui bahwa Mendung Merah adalah sahabatnya, jelas itu sangat menggelikan bagiku, sebab kutahu mereka semula adalah saingan; sama-sama menjadi pembunuh bayaran yang memburuku, eeh... sekarang malah jadi sahabat?!"
Celoteh batin Suto Sinting dihentikan sampai di situ dulu, karena Rastiwina melepaskan kemarahannya dengan sebuah pukulan jarak jauh yang mengeluarkan asap hitam-hitaman dari pangkai telapak tangan atau pergelangannya. Wuuusss...! Asap itu menyembur ke arah Santana.
Mendung Merah berseru dari tempatnya. "Awas, racuuun...!"
Santana segera memutar tongkat bambu kuningnya dengan satu tangan. Tongkat itu bagaikan berputar secepat baling-baling dalam gerakan menyelinap dipermainkan oleh kelima jari tangan kanan itu. Seerr...! Wuuurrss...! Angin putaran tongkat itu membuyarkan asap kehitaman. Pada saat itu, Rastiwina segera melesat bagaikan kilat menerjang Santana.
Weesss...! Brreesss...!
"Aoow...!" pekik Santana tertahan. Tubuhnya terpental delapan langkah ke belakang, ia terbanting dengan kerasnya di samping Mendung Merah. Brruuk! "Auuh...! Tulang punggungku patah, Sayang...!" rintihnya sambil menyeringai menatap Mendung Merah dengan satu mata dipicingkan.
Mendung Merah tak pedulikan rintihan konyol itu. Ia segera menyerang Rastiwina dengan tebasan pedangnya beberapa kali. Wut, wut, wut, wut...!
Rastiwina hanya menghindar dengan meliukkan badan dengan lincah ke kiri, kanan, belakang, merunduk, dan akhirnya jatuhkan diri, sambil kakinya menyapu betis Mendung Merah. Wuuutt...!
Prraak...! Brrruk...!
Rastiwina berhasil menjatuhkan Mendung Merah yang memekik tanpa suara karena mata kakinya bagaikan pecah disapu tendangan bertenaga dalam tadi. Sapuan itu juga membuat pedang Mendung Merah terlepas dari genggamannya. Pedang itu terpental ke atas dan segera disambar oleh Rastiwina.
Wuuut, teeb...!
"Saatnya pergi ke neraka telah tiba, Gadis bodong! Heeaah...!" Ratu Lembah Girang menebaskan pedang ke arah kepala Mendung Merah.
Namun sebelum pedang itu bergerak membabat kepala, tiba-tiba Santana lemparkan tongkat bambu kuningnya dengan tenaga dalam disalurkan ke dalam bambu tersebut. Wuuut...! Deeeg!
"Uuhk...!" tubuh Rastiwina terdorong mundur, bahkan jatuh berjumpalitan di tanah, ia merasa seperti diseruduk banteng liar.
Lemparan bambu kecil itu kenai dada kirinya, dan bambu itu memantul balik ke arah pemiliknya. Teeb...! Santana menangkap bambu itu dengan cekatan, ia segera bangkit dan sunggingkan senyum kepada Mendung Merah yang menatapnya. "Mundur, Sayang... nanti nyawamu berantakan! Dia sudah memegang senjatamu, biar aku yang hadapi dia!"
"Kitab itu ada pada."
"Aku tahu!" potong Santana dengan kalem. "Aku dengar suaramu tadi. Lihat, bagaimana caranya mengambil kitab itu, hanya ada di ujung tongkatku ini!" Santana segera melompat dengan menggunakan tongkatnya sebagai alat pelempar tubuh yang disentakkan ketanah. "Hiaaahh...!"
Wuuuss, wuutt...! Terjangan ke arah kepala Rastiwina berhasil dihindari. Santana akhirnya mendarat kebelakang Rastiwina. Namun dengan cepat bambu kuningnya bagaikan disabetkan dari samping kiri ke kanan dalam satu gerakan cepat, nyaris tak terlihat. Weess...! Trraak...! Pedang di tangan Rastiwina menahan bambu itu. Kaki perempuan tersebut berkelebat menjejak dada Santana. Beet! Bluuhk...!
"Huuueeeek...!"
Bruuuss...! Mulut Santana semburkan darah cukup banyak. Pemuda itu jatuh terkapar dengan napas tersentak-sentak, matanya pun mendelik dengan mulut ternganga. Keadaan Santana sekarat, karena tendangan yang kenai dadanya itu bertenaga dalam sangat besar dan membuat dada Santana membekas telapak kaki warna hitam dan berasap.
"Habislah riwayatmu, Jahanam! Hiaaah...!" teriak Rastiwina dengan murkanya. Tangan yang memegangi pedang milik Mendung Merah diangkat, pedang itu akan dihujamkan ke dada Santana. Tetapi niat itu tertunda kembali.
Zlaaap...! Bruuuss...!
Pendekar Mabuk turun tangan setelah melihat kenyataan yang menyedihkan, kedua orang sahabatnya tidak dapat mengalahkan Ratu Lembah Girang. Maka ia pun segera berkelebat menerjang Ratu Lembah Girang dengan pergunakan kecepatan gerak yang menyerupai perpindahan sinar itu.
Terjangan dari samping itu membuat Ratu Lembah Girang terlempar sepuluh langkah jauhnya, ia jatuh terbanting di sela-sela bebatuan. Pendekar Mabuk segera mengejarnya, dan hentikan langkah dalam jarak satu tombak dari Rastiwina. Ia biarkan perempuan itu bangkit dengan suara geram kemarahan yang lebih besar lagi.
"Hhmmr...! Ternyata kau tak bisa kujadikan pemuas gairahku lagi, Pendekar Mabuk kecubung! Kau membuat pengampunanku hilang, dan kini yang ada padaku hanyalah membunuhmu, mencabik-cabikmu, dan merajang habis sekujur tubuhmu yang sebenarnya menggairahkan sekali itu!"
"Berikan kitab itu dan kita selesaikan permusuhan kita sampai di sini saja. Ratu Lembah Girang!" ujar Suto Sinting, sengaja menyebut nama itu untuk mengingatkan perempuan itu pada peristiwa Bocah Emas beberapa waktu yang lalu.
"Biadab kau, Suto! Dari dulu kau selalu mencampuri urusanku! Kau membuatku murka dan tak punya belas kasihan lagi! Adikku; Pangeran Cabul, juga kau bunuh! Bocah Emas itu juga kau bawa lari. Kau benar-benar neraka bagi hidupku, Pendekar sapi! Sekarang saatnya membalas seluruh tindakanmu itu, Keparat!"
"Rastiwina, yang kuharapkan adalah kau mengembalikan kitab itu kepada si pemiliknya, yaitu Eyang Bintara alias Geledek Biru. Serahkan padaku dan aku akan menyerahkannya kepada beliau!" tegas Suto Sinting.
"Ambil ini! Hiaaah...!" Rastiwina sentakkan kedua tangannya dalam keadaan menggenggam. Dari kedua genggaman itu keluar sinar kuning secara beruntun dalam bentuk seperti piring kecil.
Blab, blab, blab, blab, blab, blab,..!
Suto Sinting menangkisnya dengan melintangkan bambu tuaknya di depan dada. Kedua tangannya memegangi bambu itu dengan kuat, karena sinar kuning itu ternyata tidak bisa membalik ke arah semula seperti sinar-sinar lain yang terkena bumbung tuak. Bahkan sinar-sinar kuning itu tidak meledak walau berulangkali membentur bumbung tuak. Menandakan kekuatan sinar itu sungguh dahsyat dan dapat mengimbangi kekuatan sakti yang ada pada bumbung tuak milik Pendekar Mabuk itu. Kekuatan Suto menahan bumbung tuak itu akhirnya lemah.
Wuuuss...! Tubuh Suto Sinting terlempar ke belakang dengan keseimbangan tubuh tak terkendali, ia jatuh terjungkal dan pelipisnya membentur batu runcing. Cuuur...! Darah pun mengucur dari pelipis Pendekar Mabuk.
Sinar kuning itu telah lenyap. Kini Rastiwina meluncur bagaikan singa terbang tanpa membawa pedang milik Mendung Merah. Wuuut...! Dari kedua matanya memancarkan sinar merah lurus dua larik yang ditujukan ke tubuh Pendekar Mabuk. Dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk sentakkan tangan ke tanah dan tubuhnya melesat naik, melambung di udara tepat pada saat kedua sinar merah dari mata Ratu Lembah Girang menghantam batu besar yang ada di belakang Suto saat Suto terjatuh tadi.
Cralap...! Blegaaarrr...!
Batu besar itu lenyap tanpa bekas, kecuali asap hitam yang segera buyar disapu angin. Pada saat itu, Suto Sinting yang masih melambung di udara segera lepaskan pukulan sinar kuning juga, yaitu jurus 'Pukulan Gegana' dari dua jari yang dikeraskan. Sinar kuning patah-patah itu menghantam punggung Rastiwina yang sedang melayang di bawahnya. Clap, clap, clap...!
Jleb, jleb, jleb...!
"Aaaa...!" Rastiwina alias Ratu Lembah Girang memekik panjang dan tubuhnya jatuh tengkurap. Sinar kuning itu menembus punggungnya. Punggung itu akhirnya kepulkan asap yang makin lama makin tebal membungkus raga.
Pendekar Mabuk segera bersalto di udara dan hinggap di atas batu setinggi dadanya sendiri. Jleeg...! Dari sana ia dapat melihat kemunculan si Tulang Besi yang segera hentikan langkahnya sambil pandangi tubuh Rastiwina yang dibungkus asap tebal. Dari arah lain juga melesat bayangan biru yang menghampiri Pendekar Mabuk.
Wuuutt...! Jleeg...!
"Eyang Bintara...?!" sapa Suto Sinting, lalu buru-buru turun dari atas batu tersebut, takut dianggap tak sopan kepada si Geledek Biru.
Geledek Biru pandangi Rastiwina yang sudah tak berkutik lagi. Bahkan ketika gumpalan asap itu buyar seketika setelah Geledek Biru hembuskan napas dari mulutnya, semua mata memandang tertegun ke arah Ratu Lembah Girang. Ternyata tubuh perempuan itu sudah menjadi seonggok daging yang kering, kehitam-hitaman, dan tentunya tak mempunyai nyawa sesendok pun. Ratu Lembah Girang akhirnya tewas di tangan Pendekar Mabuk, disaksikan seorang tokoh tua yang amat disegani dan ditakuti di kawasan tenggara; Geledek Biru.
"Dia yang mencuri kitab keramat itu, Eyang!" kata Suto Sinting.
"Hmmm...," Geledek Biru manggut-manggut. "Tapi dia sudah menjadi kering seperti arang begitu, apakah kitab keramatku masih utuh?"
"Hmm, hmm... mungkin ya ikut kering juga, Eyang!" jawab Suto Sinting dengan takut-takut.
Tulang Besi yang sudah mendekati mereka ikut bicara. "Lebih baik hancur daripada bikin penyakit bagi orang lain!"
Geledek Biru hanya melirik si Tulang Besi, sementara itu Suto memeriksa kain ikat pinggang Rastiwina yang juga menjadi abu itu. Ia menemukan kitab tersebut, namun keadaannya sudah terbakar dan hanya sisa bagian pinggirannya saja.
"Ini kitab keramat milik Eyang, silakan ambil, Eyang!"
"Aku sudah punya banyak abu gosok buat cuci piring. Ambillah sendiri!" ujar Geledek Biru dengan hati kesal, namun membuat Tulang Besi tersenyum kaku, dan Pendekar Mabuk tersipu malu menahan geli.
"Lupakan tentang kitab itu! Tolong sembuhkan Mendung Merah dan Santana!" perintahnya kepada Pendekar Mabuk.
Dengan rasa hormat Suto pun obati mereka menggunakan tuak saktinya. Lalu, mereka pun saling berpisah dengan damai.
Sinar kuning itu telah lenyap. Kini Rastiwina meluncur bagaikan singa terbang tanpa membawa pedang milik Mendung Merah. Wuuut...! Dari kedua matanya memancarkan sinar merah lurus dua larik yang ditujukan ke tubuh Pendekar Mabuk. Dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk sentakkan tangan ke tanah dan tubuhnya melesat naik, melambung di udara tepat pada saat kedua sinar merah dari mata Ratu Lembah Girang menghantam batu besar yang ada di belakang Suto saat Suto terjatuh tadi.
Cralap...! Blegaaarrr...!
Batu besar itu lenyap tanpa bekas, kecuali asap hitam yang segera buyar disapu angin. Pada saat itu, Suto Sinting yang masih melambung di udara segera lepaskan pukulan sinar kuning juga, yaitu jurus 'Pukulan Gegana' dari dua jari yang dikeraskan. Sinar kuning patah-patah itu menghantam punggung Rastiwina yang sedang melayang di bawahnya. Clap, clap, clap...!
Jleb, jleb, jleb...!
"Aaaa...!" Rastiwina alias Ratu Lembah Girang memekik panjang dan tubuhnya jatuh tengkurap. Sinar kuning itu menembus punggungnya. Punggung itu akhirnya kepulkan asap yang makin lama makin tebal membungkus raga.
Pendekar Mabuk segera bersalto di udara dan hinggap di atas batu setinggi dadanya sendiri. Jleeg...! Dari sana ia dapat melihat kemunculan si Tulang Besi yang segera hentikan langkahnya sambil pandangi tubuh Rastiwina yang dibungkus asap tebal. Dari arah lain juga melesat bayangan biru yang menghampiri Pendekar Mabuk.
Wuuutt...! Jleeg...!
"Eyang Bintara...?!" sapa Suto Sinting, lalu buru-buru turun dari atas batu tersebut, takut dianggap tak sopan kepada si Geledek Biru.
Geledek Biru pandangi Rastiwina yang sudah tak berkutik lagi. Bahkan ketika gumpalan asap itu buyar seketika setelah Geledek Biru hembuskan napas dari mulutnya, semua mata memandang tertegun ke arah Ratu Lembah Girang. Ternyata tubuh perempuan itu sudah menjadi seonggok daging yang kering, kehitam-hitaman, dan tentunya tak mempunyai nyawa sesendok pun. Ratu Lembah Girang akhirnya tewas di tangan Pendekar Mabuk, disaksikan seorang tokoh tua yang amat disegani dan ditakuti di kawasan tenggara; Geledek Biru.
"Dia yang mencuri kitab keramat itu, Eyang!" kata Suto Sinting.
"Hmmm...," Geledek Biru manggut-manggut. "Tapi dia sudah menjadi kering seperti arang begitu, apakah kitab keramatku masih utuh?"
"Hmm, hmm... mungkin ya ikut kering juga, Eyang!" jawab Suto Sinting dengan takut-takut.
Tulang Besi yang sudah mendekati mereka ikut bicara. "Lebih baik hancur daripada bikin penyakit bagi orang lain!"
Geledek Biru hanya melirik si Tulang Besi, sementara itu Suto memeriksa kain ikat pinggang Rastiwina yang juga menjadi abu itu. Ia menemukan kitab tersebut, namun keadaannya sudah terbakar dan hanya sisa bagian pinggirannya saja.
"Ini kitab keramat milik Eyang, silakan ambil, Eyang!"
"Aku sudah punya banyak abu gosok buat cuci piring. Ambillah sendiri!" ujar Geledek Biru dengan hati kesal, namun membuat Tulang Besi tersenyum kaku, dan Pendekar Mabuk tersipu malu menahan geli.
"Lupakan tentang kitab itu! Tolong sembuhkan Mendung Merah dan Santana!" perintahnya kepada Pendekar Mabuk.
Dengan rasa hormat Suto pun obati mereka menggunakan tuak saktinya. Lalu, mereka pun saling berpisah dengan damai.
SELESAI