Serial Pendekar Mabuk
Kencan Di Lorong Maut
Karya Suryadi
Kencan Di Lorong Maut
Karya Suryadi
SATU
Sampai kapan pun, yang namanya harta karun selalu saja akan menjadi bahan buruan. Meski ia berada di dasar lautan, para pemburu harta karun merasa tak pernah putus asa. Bahkan jika harta karun itu dinyatakanlenyap tanpa bekas, para pemburu justru me njadi penasaran. Perburuan pun semakin ditingkatkan.
"Salah satu sifat manusia adaiah selalu ingin ta...?"
"Tahu.!"
"Terlebih jika sesuatu yang diketahuinya itu dinyatakan lenyap tak berbekas, maka rasa penasarannya menjadi lebih be...?"
"Lebih besar, Guru!"
"Ya, menjadi lebih besar," ujar sang guru sambil manggut -manggut.
Sang murid masih bersifat menunggu kata-kata gurunya yang mempunyai kebiasaan menggantung kata terakhir.
"Rasa penasaran dapat membuat orang menjadi tldak te..."
"Tenang "
"Ya. Tidak tenang. Oleh sebab itu, janganlah hatimu diperbudak rasa penasaran, supaya hidupmu tidak ge…?"
"Geli banget, Guru!"
"Gelisah!" ralat sang guru.
Si murid segera ajukan tanya, "tapi kalau hanya ingin tahu sambil lewat saja tidak apa-apa,Guru?"
"Kalau sambil lewat saja memang tidak apa-apa. Asal jangan memaksakan diri untuk dapat mengeta...?"
"Mengetahui...!" lanjut sang murid.
Si guru membenarkan dengan anggukan.
"Maksudku, sambil menuju ke Bukit Esa, aku mau lewat Lembah Seram untuk melihat kesibukan orang-orang yang memburu harta karun itu, Guru."
"Boleh saja. Tapi jangan mencampuri urusan mereka. Biarlah mereka yang memburu harta karun bertingkah dengan lagaknya sendiri-sendiri. Tujuanmu tetap menuju Bukit Esa, dan temui kakakmu dengan segera. Kalau rasa kangenmu sudah terobati kau harus segera pu..,?"
"Pusing...!"
"Pulang!" sentak sang guru membetulkan maksudnya.
"O, iya... aku harus segera pulang. Aku mengerti guru!"
"Nah, berangkatlah sana! Ingat pesanku, jangan mencampuri urusan harta ka...?"
"Kasur... eeh, karun!"
Sang murid yang berusia sekitar dua puluh dua tahun itu akhirnya berangkat ke Bukit Esa, yang menjadi wilayah kekuasaan Nyimas Gandrung Arum. Perempuan itu semula adalah tokoh aliran hitam. Tapi sejak ditundukkan oleh Pendekar Mabuk, ia justru berbalik menjadi pengikut sekaligus pengagum Pendekar Mabuk. Kabar tentang Nyimas Gandrung Arum yang sudah bergabung dengan aliran putih itu menyebar sampai akhirnya didengar oleh tokoh tua dari Gunung Gandul.
Sang tokoh tua itulah guru dari si murid yang punya kakak di Bukit Esa. Tokoh tua itu cukup lama tidak menampakkan diri di rimba persilatan karena sibuk menurunkan ilmunya kepada sang murid tunggal. Kini agaknya sang murid mulai diizinkan membaur di rimba persilatan, karena ilmu yang diturunkan kepada anak muda itu sudah cukup banyak.
Tetapi agaknya sang guru masih merasa perlu membayang-bayangi muridnya. Maka ia pun segera turun gunung, mengikuti langkah muridnya dari kejauhan. "Bocah itu kalau kulepas begitu saja, bisa-bisa tindakannya jadi ngawur! Kalau sampai dia bikin ulah yang bukan-bukan, waah... nama baikku yang selama ini terpendam dihati para tokoh rimba persilatan bisa hancur," ujar sang tokoh tua dalam hatinya.
Sebenarnya Pendekar Mabuk pernah mendengar nama tokoh tua yang tinggal di Gunung Gandul. Pada waktu itu, Pendekar Mabuk alias Suto Sinting sedang diwejang oleh gurunya yang terkenal sebagai tokoh paling disegani di rimba persilatan. Gila Tuak adalah nama yang tertera paling atas pada deretan nama-nama tokoh berilmu tinggi. Nama nomor dua yang tergolong tokoh berilmu tinggi adalah Bidadari Jalang. Tentu saja deretan nama-nama itu hanya berlaku untuk golongan putih. Sedangkan dalam golongan hitam nama tokoh terkejam dan terkutuk adalah Siluman Tujuh Nyawa, alias Durmala Sanca, yang kini menjadi musuh utama Pendekar Mabuk.
Gila Tuak pernah berkata kepada murid tunggalnya yang tidak punya pusar itu. "Kelak, jika kau bertemu dengan tokoh tua dari Gunung Gandul yang dikenal dengan nama si Dewa Kubur, alias Ki Murcapana, berilah salam dan horrmat kepadanya. Sebab si Dewa Kubur adalah sahabatku juga. Semasa muda, kami pernah berpetualang bersama, saling menolong dan saling melihdungi. Jangan sekali-kali kau berani bertarung dengan Dewa Kubur, sebab jika dia sudah marah dan benar-benar sakit hati, tanpa banyak bicara kau akan dikirimnya ke liang kubur dalam waktu yang sesingkat-singkatnya."
Tapi selama pengembaraan Suto dalam mengejar Siluman Tujuh Nyawa, ia belum pernah bertemu dengan tokoh dari Gunung Gandul. Padahal si Gila Tuak dan Bidadari Jalang pernah menjelaskan ciri-ciri tokoh dari Gunung Gandul itu.
"Perawakannya gemuk seperti tokoh dalam pewayangan, yaitu Hanoman."
"Hanoman itu kera!" sahut Bidadari Jalang. "Bukan seperti Hanoman, tapi seperti Semar!"
"O, ya... seperti Semar. Maaf, aku salah sebut."
"Maklum, kakek gurumu sudah semakin tua. Jadi rada-rada pikun," bisik Bidadari Jaiang kepada murid nya yang ganteng itu.
"Jangan ngomong soal tua. Aku tersinggung!" tegas si Gila Tuak. "Pokoknya, yang namanya Dewa Kubur itu penampilannya seperti Semar. Rambut di kepalanya hanya ada di bagian ubun-ubun dari sekarang kalau tak salah berwarna putih rata. Betul begitu, Nawang Tresni?"
"Ya, benar. Sekarang sudah putih rata," jawab Bidadari Jalang yang bernama asli Nawang Tresni. "Beberapa bulan yang laiu aku pernah jumpa dengannya. Sekarang ia pun mempunyai murid yang bernama Dimas Genggong."
"Nah, ingat nama muridnya itu. Dimas Genggong. Jangan sampai kau bentrok dengannya, karena jika kau bentrok dengan Dimas Genggong, sama saja mengibarkan bendera permusuhan antara aku dan Dewa Kubur. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!"
"Dewa Kubur senang memakai jubah coklat bintik-bintik putih, tapi pakaian dalamnya berwarna hijau," tambah Bidadari Jalang yang masih tampak muda dan cantik jelita itu.
Gila Tuak tambahkan kata, "Dewa Kubur Juga sering tampak membawa tongkat besi putih berujung trisula. Dan kalau bicara, sering menggantung kalimat belakang. Paham?"
"Paham, Guru!" jawab Suto Sinting dengan tegas.
Keterangan seperti itu didengar oleh Suto Sinting beberapa waktu yang lalu. Sudah lama sekali. Sebegitu lamanya ia tak pernah jumpa dengan tokoh bernama Dewa Kubur, akhimya ia lupa dengan ciri-ciri tersebut. Yang ada dalam ingatan Pendekar Mabuk hanyalah ciri-ciri Siluman Tujuh Nyawa. Sebab tokoh paling terkutuk di dunia itu selalu dalam buruannya. Cita-cita Pendekar Mabuk hanya satu: memenggal kepala tokoh terkutuk itu dan menghadiahkan kepala tersebut kepada Dyah Sariningrum sebagai maskawin pinangannya.
Tapi sampai sekarang, pertarungannya dengan tokoh tertinggi ilmunya di kalangan aliran hitam itu selalu draw alias seri . Siluman Tujuh Nyawa cepat-cepat larikan diri jika merasa kekuatannya mulai sedikit terlumpuhkan. Akibatnya, sampai sekarang Pendekar Mabuk belum juga bisa melamar ratu cantik di negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Prahara Pulau Mayat).
Ketika Suto bermaksud menemui si Kusir Hantu yang tinggal di Lembah Seram, ia sempat bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bahkan pada waktu itu, si Kusir Hantu juga muncul membantu Nyai Jurik Wetan yang nyaris mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Kusir Hantu sendiri juga hampir mati di tangan tokoh terkutuk seangkatan si Gila Tuak itu. Tetapi, Suto Sinting segera turun tangan dan Siluman Tujuh Nyawa kabur sebelum berhasil dipenggal kepalanya oleh Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Lembah Seram).
Bagi tokoh tua yang dikenal dengan nama si Kusir Hantu, kabar tentang adanya harta karun milik kerajaan Hastamanyiana yang disimpan di Goa Kembar itu bukan hal yang mengejutkan lagi. Menurutnya, kabar itu hanya sebuah dongeng yang direkayasa oleh sekelompok orang sehingga seolah-olah menjadi seperti nyata. Sebab, beberapa waktu yang lalu, Lembah Seram pernah diserbu para pemburu harta karun. Tapi tak satu pun dari mereka yang menemukan secuil emas dari harta karun.
Goa Kembar terletak di sebuah tebing dari sebuah bukit yang ada di Lembah Seram. Tebing itu mempunyai dinding terjal dan keras. Jaraknya antara bagian atas tebing dengan dasar tebing tidak seberapa tinggi. Masih memungkinkan untuk didaki. Tetapi kerasnya dinding tebing yang menyerupai lapisan batu granit itu membuat orang menjadi sangsi apakah benar Goa Kembar terletak di situ.
"Para pemburu harta karun yang dulu mengacak-acak Lembah Seram juga berhenti sampai ditebing ini!" ujar si Kusir Hantu kepada Pendekar Mabuk yang kala itu minta diantar ke Goa Kembar.
"Tetapi seperti kau lihat sendiri, Goa Kembar sudah tidak ada. Atau memang tidak pernah ada di tebing ini. Yang ada hanya dua cekungan besar bersebelahan itu. Aku sendiri tak tahu dengan persis, apakah dua cekungan besar itu dulunya bekas goa yang berlorong dalam lalu tertimbun bebatuan sekeras itu, atau memang hanya sepasang cekungan yang terjadi akibat kikisan air hujan dan angin dari masa ke masa. Yang jelas para pemburu harta karun yang dulu kemari merasa kecewa dan jengkel sendiri, karena tak memperoleh apa-apa selama berbulan-bulan menyelidiki tempat ini. Pepatah mengatakan: 'gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan gajah dan harimau'"
Peribahasa yang diucapkan si Kusir Hantu terasa janggal dan tak ada hubungannya dengan apa yang sedang dibicarakan. Tapi memang begitulah penampilan si Kusir Hantu, gemar bermain peribahasa dalam tiap ucapannya walaupun artinya berbeda dengan masalah yang dibicarakan. Di situlah letak daya tarik si Kusir Hantu bagi Pendekar Mabuk dan beberapa tokoh muda lainnya.
"Banyak orang sebutkan tempat ini adalah tempat Goa Kembar berada. Tapi aku sendiri tak tahu apakah sepasang rongga mirip mulut singa raksasa itu yang dimaksud Goa Kembar atau bukan!" ujar gadis cantik berbaju lengan panjang warna hijau garis-garis benang emas. Gadis itu salah satu dari kedua cucu cantiknya si Kusir Hantu. Ia bernama Pematang Hati, sedangkn adiknya bernama Mahligai Sukma.
Kala itu Mahligai Sukma tidak ikut ke tanah datar depan tebing. Keberadaan si Pematang Hati disitu lantaran ia habis diculik oleh Berhala Murka tapi berhasil dibebaskan oieh Pendekar Mabuk. Sebagai imbal baliknya, Pematang Hati tak keberatan mengantar Pendekar Mabuk ke tempat yang oleh orang-orang tempo dulu disebut sebagai Goa Kembar.
Selain Kusir Hantu, Pematang Hati dan Pendekar Mabuk, ada juga seorang pemuda berambut cepak yang kedua matanya ditutup kain merah tebal seperti memakai ikat kepala. Kedua mata pemuda itu sebenarnya buta, tapi untuk menutupi cacat dimatanya itu, ia berlagak mengenakan ikat kepala sampai menutup ke dua matanya, Pemuda itu adalah si Mangku Randa dari teluk Borok, yang sedang memburu pembunuh ibunya.
Menurut keterangan dari Kelambu Petang, orang yang membunuh Nyai Sindang Rumi, ibu si Mangku Randa, adalah Ayundani alias si Ratu Sinden. Perempuan itu menjadi penguasa Tanah Pasung. Sedangkan dalam peristiwa misteri harta karun di Lembah Seram itu, orang-orang Tanah Pasung ikut ambil bagian juga. Di duga si Ratu Sinden sudah sampai di Goa Kembar, sehingga Mangku Randa bernafsu untuk ikut ke Goa Kembar agar dapat bikin perhitungan pribadi dengan si Ratu Sinden
Tapi ternyata tempat itu sepi-sepi saja. Hanya ada empat orang itulah yang berdiri disekitar dua cekungan besar mirip mulut singa itu. Pendekar Mabuk sendiri penasaran dan memeriksa dua cekungan tersebut. Ternyata berdinding sangat keras. Tak ada tanda-tanda bekas sebuah goa. Cekungan itu hanya bisa untuk meneduh satu orang jika dalam keadaan hujan.
"Menurutku di sini dulu ada sepasang batu besar. Lalu entah karena gempa atau karena apa, batu besar itu menggelinding atau terbang entah ke mana. Dan dua cekungan inilah bekasnya," ujar Pendekar Mabuk kepada Mangku Randa.
"Tapi aku mencium bau wangi rempah-rempah, Suto!" bisik Mangku Randa yang selalu mengandalkan ketajaman indera penciuman dan pendengarannya.
"Maksudmu... bau wangi yang dipakai oleh si pemhunuh ibumu?"
"Ya. Apakah kau tidak mencium wewangian itu?"
Suto berbisik, "Aku justru mencium bau keringatnya si KusirbHantu. Agak apek!"
"Yang kau cium itu mungkin bau keringatku sendiri, Suto."
Pendekar Mabuk justru tertawa geli, tapi hanya seperti orang menggumam. Sementara itu, Pematang Hati tampak sedang bicara serius dengan kakeknya yang berbaju biru dan bercelana hitam. Tokoh tua berusia sekitar enam puluh tahun yang mempunyai rambut merah jagung itu tampak sedang memarahi Pematang Hati yang waktu itu ribut dengan adiknya.
Suto Sinting sendiri sengaja membiarkan Pematang Hati kena marah kakeknya. Ia justru tertarik memeriksa keadaan di sekitar dua cekungan yang disebut sebagai Goa Kembar itu. Sesekali tuaknya dalam bumbung bambu itu diteguknya, sehingga ia selalu tetap bersemangat dan berbadan segar.
"Suto, bau aroma wangi rempah-rempah itu kadang tercium tajam, tapi sesekali bagaikan menjauh?!"
"Tapi di sini tak kulihat ada orang lain kecuali kita berempat?!"
"Tolong periksa bagian atas tebing, Suto. Siapa tahu si Ratu Sinden sedang mengawasi kita dari atas nana."
Pendekar Mabuk memandangi permukaan tebing dari depan dua cekungan itu. Tapi ia tak melihat sesuatu yang mencurigakan di atas sana. Tentu saja si Mangku Randa tak mau ikut memandang ke atas, sebab pekerjaan seperti itu dianggap pekerjaan yang sia-sia bagi orang buta seperti dirinya.
Hanya saja, beberapa kejap setelah ia diam dan menelengkan kepalanya ke sana-sini untuk mendengarkan suara mencurigakan, tiba-tiba tubuhnya melayang naik dalam satu ayunan tubuh yang cukup ringan. Weesss...!
"Gila! Mau ke mana si buta itu?" seru Pematang Hati kepada Pendekar Mabuk.
"Ada sesuatu yang dicurigainya di atas sana!"
Pematang Hhai bukan hanya heran melihat jurus peringan tubuh yang digunakanMangku Randa, namun juga merasa kagum melihat pennuda bermata buta itu dalam sekejap sudah berada di atas tebing dengan dua kali sentakan kaki. Pertama pada tanah tempatnya berpijak, kedua pada dinding tebing yang sedikik menonjol.
"llmunya boleh juga itu anak...," gumam Kusir Hantu sambil manggut-manggut pandangi Mangku Randa yang mulai melangkah dengan meraba-raba.
"Awas tergetincir kau!" seru Pendekar Mabuk. Rasa khawati rnya itu membuat Pendekar Mabuk terpaksa menyusul Mangku Randa. Zlaaap, weess...!
Satu kali sentakan kaki, Suto Sinting bagaikan lenyap setengah kejap. Tahu-tahu ia sudah berada dekat Mangku Randa. Kecepatan dari jurus 'Gerak Siluman' dipadu dengan jurus 'Layang Raga' membuat Kusir Hantu dan cucunya makin terbengong.
"Yang satu ini lebih gila lagi!" gumam Kusir Hantu.
"Kalau yang itu memang sinting, Kek!" timpal Pematang Hati.
"Anak muda zaman sekarang ilmunya memang gila-gilaan. Seperti pepatah mengatakan: 'setinggi-tinggi bangau terbang... dia tetap saja bangau'"
"Uhh... siapa bilang bisa berubah jadi gajah?!" gerutu sang cucu sambil bersungut-sungut. Si kakek cuek saja.
Ternyata kecurigaan Mangku Randa ada benarnya dan ada tidak benarnya. Belum sampai sepuluh hitungan ia dan Suto berada diatas tebing, tiba-tiba sebatang tombak melesat kearahnya dari belakang. Wuuut! Pendekar Mabuk melihat gerakan aneh melalui ekor matanya. la cepat berpaling, dan tangannya segera mendorong lengan Mangku Randa. Wuut!
Brrukk...! Mangku Randa pun terhempas jatuh. Tapi ia lolos dari maut. Tombak itu segera disarmbar oleh tangan Suto yang habis mendorong tubuh Mangku Randa. Wuut, teeb,...! Tombak tergenggam erat di tangan Pendekar Mabuk.
"Suto, ada apa...?!" Mangku Randa tidak marah, tapi firasatnya mengatakan ada bahaya yang sedang dihadapi Pendekar Mabuk. Suara tangan Suto menangkap sesuatu didengarnya dengan jelas dan dijadikan pertanyaan dalam hatinya. Mangku Randa cepat berdiri, ia mendengar suara langkah kaki orang yang jumlahnya lebih dari dua pasang kaki. Mangku Randa iangsung berbisik kepada Suto Sinting.
"Siapa mereka?!"
"Empat orang berseragam kuning."
"Oo... pasti orang Tanah Pasung!" gumam Mangku Randa. "Biar kuhadapi mereka!"
"Jangan !"
"Biar mereka panggil ketuanya dan menemuiku disini juga!"
"Tampaknya mereka berilmu tinggi, Mangku Randa!"
"Kau pikir ilmuku rendah?"
"Baiklah. Kau hadapi dua orang, dan aku hadapi sisanya."
Sebenarnya yang datang ke arah mereka adalah tujuh orang. Tapi Suto Sinting sengaja mengatakan empat orang, sebab ia sudah menduga Mangku Randa akan menghadapi mereka. Dengan membagi jatah lawan dua kepada Mangku Randa, maka Suto akan menghadapi lima orang lainnya. Tujuh orang itu mengepung Suto Sinting dan Mangku Randa. Posisi kedua pemuda itu membelakangi bibir tebing, sementara ketujuh lawannya berjajar di depan mereka. Pendekar Mabuk perdengarkan suaranya bernada tenang.
"Apa maksud kalian melemparkan tombak ke arah kami?!"
Yang mengenakan ikat kepala biru berseru dengan suara berat. "Daerah ini sudah kami kuasai!"
"Siapa bilang?? Ini wilayahnya Kusir Hantu! Kalian orang -orang Tanah Pasung hanya sebagai pendatang!"
"Bocah bodoh! Tengok ke bawah sana!"
Pendekar Mabuk berpaling ke belakang, memandang keadaan di tanah bawah tebing. la sempat terkesiap melihat Kusir Hantu dan Pematang Hati telah di kurung oleh sekitar sepuluh orang berpakaian serba kuning. Bahkan dipunggungnya Kusir Hantu telah menempel sebatang tombak runcing, siap tembus. Sementara itu, leher Pematang Hati telah dikalungi sabit bergagang panjang. Sekali tarik, kress...! Leher terpotong, kepala gadis itu akan menggelinding seenaknya.
"Apa yang terjadi di bawah sana, Suto?" bisik Mangku Randa dengan tatap penuh waspada.
"Kusir Hantu dan Pematang Hati tertangkap mereka!"
"Jahanam busuk!" geram Mangku Randa, lalu segera melolos pedangnya dengan kalem. "Kau membohongiku, Suto! Aku mendengar napas terhempas dari sekitar tujuh hidung yang ada di depan kita."
"Ingat, kita baru saja sepakat bahwa jatahmu hanya dua orang, Mangku Randa!"
"Kau curang!"
"Hei, tak perlu berkasak-kusuk lagi!" sentak yang berikat kepala biru. Orang itu bertubuh kekar dan berkumis melintang. "Buang senjata kalian!" tambahnya dalam bentakan.
"Aku tidak bersenjata. Temanku ini yang bersenjata," ujar Suto. "Tapi aku tak tahu apakah temanku tahu cara membuang senjata atau tidak?!"
"Bangsat! Masih berlagak juga kau, hah...?!"
Si ikat biru maju hampiri Suto. Mangku Randa menghadang dengan pedang diacungkan ke depan. Maksudnya diarahkan ke dada si ikat biru, tapi karena ia buta, maka arah pedangnya sedikit meleset kekiri.
"Hentikan langkahmu atau kutembus lehermu dengan pedangku ini!"
"Arah pedangmu meleset ke kiri. Geser sedikit ke kanan," bisik Suto Sinting seperti orang menggerutu tak jelas.
Tapi bagi Mangku Randa bisikan itu sangat jelas, karena ketajaman telinganya setajam mata pedangnya. Hanya saja, Mangku Randa masih diam, tak mau menggeser pedangnya kekanan.
Si ikat kepala biru menggeram dengan tetap melangkah hampiri Suto. "Aku tahu kedua matamu buta, Bocah gendeng! Kau tak akan bisa melukaiku! Justru kau yang akan kubantai lebih dulu, karena kau telah menantang ketua kami melalui tiga orang kami yang kau lukai itu! Hiaaat...!"
Wees, breet...!
"Aaauh...!" si ikat kepala biru memekik. Beeet, plook...!
"Ookkhhrr...!" si ikat kepala biru terlempar kebelakang, menerjang teman yang hendak bergerak maju. Mereka jatuh saling tindih.
Rupanya pedang Mangku Randa tidak ditusukkan ke depan, melainkan disabetkan ke kanan dengan gerakan cepat sekali. Setelah itu, ia putar tubuhnya secepat gangsing dan kakinya berhasil menjejak dada lawannya itu. Akibatnya, lengan dan dada si ikat kepala biru robek seketika tersabet ujung pedang Mangku Randa. Tubuhnya terlernpar sejauh enam langkah lebih.
"Gila! Tak kusangka dia ingin sabetkan pedangnya kekanan?! Pantas dia diam saja, tak mau geserkan pedangnya sejak tadi?!" gurnam hati Suto Sinting sambil matanya memandang secara cepat wajah lawan-lawan yang bergegas maju untuk menyerang.
"Heeaaaah...!!" Salah seorang berseru, yang lainnya ikut berteriak dan bergegas maju menyerang Pendekar Mabuk dan Mangku Randa. Hanya saja, sebelum mereka sempat menyerang, sebuah suara berseru lebih keras lagi hingga menggema di udara bagaikan memenuhi alam sekitar tebing tersebut.
"Tahaaaannn...!!"
Semua diam di tempat secara serempak. Si pemilik suara tak teriihat di mana ia berada. Tapi suaranya terasa mempunyai getaran yang menurunkan nyali setiap orang. Keberanian dan kemarahan seseorang dapat menjadi kendor begitu mendengar suara tersebut.
"Bawa si tua itu dengan cucunya ke tempat kita! Biarkan dua pemuda ingusan itu kutangani sendiri! Kerjakaaan...!!"
Suara menggema itu menyentakkan orang-orang berseragam kuning. Mereka segera pergi tinggalkan Suto Sinting dan Mangku Randa, sementara yang ada di bawah tebing segera membawa Kusir Hantu dan Pematang Hati yang sudah terlebih dulu sudah mereka lumpuhkan dengan totokan pada saat Mangku Randa menyerang si ikat kepala biru tadi.
Suto Sinting tak mengetahui keadaan Kusir Hantu dan Pematang Hati sudah dilumpuhkan. "Mereka mau membawa kabur Kusir Hantu dan cucunya!" sentak Suto Sinting.
"Kita dalam bahaya besar, Suto!" ujar Mangku Randa terkesan mulai susut keberaniannya. Tiba-tiba ia memekik pendek dengan tubuh tersentak. "Uuhk...!!"
"Mangku Randa...?! Kenapa kau... uuuhk!" Suto Sinting juga tersentak. Tubuh mengejang sebentar, lalu jatuh terpuruk seperti Mangku Randa.
Bruuuk...! Bruusk...!
Seseorang telah menotoknya dari jarak jauh. Hawa padat yang meluncur membentuk totokan yang sangat tidak diketahui datangnya. Tahu-tahu Suto dan Mangku Randa merasa seperti ditusuk lidi tengkuknya. Mereka masih sadar, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
* * *
DUA
Seekor capung merah terbang di depan wajah Suto Sinting, memutar -mutar sebentar, menungging-nunggingkan ekornya, lalu melesat entah kemana. Seolah-olah capung merah itu jejingkrakan melihat Suto Sinting terpuruk tanpa tenaga sedikit pun di samping Mangku Randa.
"Capung gendeng! Minggat kau!" geram Suto Sinting denganjengkel. Posisinya yang tersangga batu di punggung membuat Suto Sinting seperti duduk melonjor sedikit rebah. Mangku Randa justru terbaring dengan kepala terganjal sebongkah tanah keras tanpa rumput. Mereka masih bisa berpikir, masih bisa bicara, tapi tak bisa gerakkan anggota badannya.
"Sutoo...! Suto, kau masih hidup, Suto?!"
"Sepertinya masih, Mangku Randa."
"Aku mencium bau wangi rempah-rempah, Suto. Apakah ada orang di sekitar kita?"
"Hanya kita berdua yang ada. Mungkin bau rempah -rempah yang kau maksud adalah bau kakimu sendiri, Mangku Randa," jawab Suto agak kesal. "Dalam keadaan begini masih saja ingat bau rempah-rempah terus?!" gerutunya dalam hati.
"Setan kuncir! Apa yang terjadi pada diriku ini, Suto?" suara Mangku Randa terdengar pelan, bagai tanpa tenaga.
Suto Sinting pun begitu juga. "Jangan tanya padaku, Mangku Randa. Tanyakan pada batu yang menyangga punggungku ini. Mungkin dia tahu apa yang membuat kita jadi orang-orang jompo begini. Uuuhkk..,!" Suto Sinting ingin gerakkan kakinya, namun tetap tak bisa bergerak sedikit pun.
"Apakah napasku masih ada, Suto?"
"Kelihatannya sebentar lagi habis, seperti napasku juga."
Anehnya, mereka masih bisa terengah-engah. Tenaga yang tersisa seolah-olah hanya khusus untuk bernapas saja. Itu pun tak bisa bebas. Napas mereka bagaikan dibanduli batu sebesar anak sapi. Berat sekali.
"Seseorang telah menotok kita dari jauh, Suto. Apakah kau melihat orang yang menotok kita tadi?!"
"Aku hanya melihat seekor semut lewat di depan kakiku," jawab Suto masih bernada konyol untuk menghibur kedongkolannya sendiri.
Mereka diam beberapa saat, saling mencoba menggunakan akalnya untuk mengatasi keadaan seperti itu. Tapi tak satu pun yang mendapat gagasan untuk melepaskan diri dari totokan tersebut. Pendekar Mabuk justru menggumam bernada gerutu.
"Mengapa yang mereka bawa pergi Kusir Hantu dan Pematang Hati? Mengapa bukan kita orang, ya?!"
"Mungkin... mungkin Kusir Hantu dianggap sebagai kunci untuk dapat masuk ke Goa Kembar, sedangkan Pematang Hati adalah kunci juga untuk membuka mulut si Kusir Hantu!"
"Kalau begini caranya, aku bisa..."
"Ssst.. .!" potong Mangku Randa dalam desah. "Ada orang datang kemari, Suto."
"Hahh...?! Siapa orang itu?"
"Mataku buta, mana bisa melihat?!"
"O, iya... maaf!" Suto Sinting coba pandangi keadaan di depannya dengan gerakan mata lamban.
"Dia bertubuh besar dan... dan makin mendekat ke arah sini."
Pendekar Mabuk percaya dengan kata-kata Mangku Randa walau ia tak melihat sepotong hidung pun yang mendekat ke arahnya. la tahu ketajaman telinga Mangku Randa memang sangat hebat, jarang dimiliki setiap orang. Mungkin karena kedua mata Mangku Randa buta, maka ia mempunyai kelebihan pada indera pendengaran dan penciumannya, serta sering bermain firasat.
"Berteriaklah minta tolong, Suto. Suaraku tak bisa koras. Napasku lemah sekali."
"Kau pikir aku sehat-sehat saja?" gerutu Suto dengan lirih.
Sekitar lima belas hitungan kemudian, orang yang dimaksud Mangku Randa memang muncul dari arah kanan Suto Sinting. Orang itu bertubuh sangat gemuk, lemak tubuhnya sampai bergelantungan seperti balon diisi air. Kegemukannya yang mirip empat pemain sumo dijadikan satu itu membuat langkah kakinya yang besar menggetarkan tanah. Getaran itulah yang sejak tadi sudah ditangkap oleh indera pendengaran Mangku Randa.
Orang tersebut terperanjat setelah melihat Suto Sinting dan Mangku Randa terkulai tak bergerak. "Suto...?! Kenapa kau santai-santai saja di situ?! Huaa, haaa, haaa, haaa, haaa."
Orang gemuk itu berbaju tanpa lengan warna hitam dengan celananya yang hitam pula. Kancing bajunya dari logam emas. Gelang kanan -kiri dari lempengan emas berukir. Si gemuk itu tampak sekali sebagai orang kaya berwajah lucu-lucu sadis. Bibirnya tebal dan lebar, seperti babat belum dipotong-potongi. Suto Sinting mengenal orang itu ketika ditantang kuat-kuatan minum arak disebuah kedai. la tak lain adalah si Belatung Gerhana dari Pulau Garong.
"Apa yang kalian lakukan di sini?! Kalian pikir di sini tempat untuk berjemur? Kalian mau mandi matahari? Oohoo, hoo, hoo, hoo...! Bukan di sini tempatnya bermandi matahari. Di pantai sana! Biar disangka ikan pada jemur diri. Haaa, haaa, haaa, haaa !"
"Hei, mulut ember!" ujar Mangku Randa. "Kalau tak bisa menolong kami, minggatlah yang jauh sana! Napasku makin sesak mendengar suara besarmu itu!"
"Hoo o, hoo, hooo, hooo... si buta ini marah padaku?! Ngomong jangan sembarang, Kucing rebus! Bisa kulemparkan ke dasar tebing sana baru tahu rasa kau!"
"Belatung Gerhana...," sahut Suto Sinting sebelum pertengkaran itu menjadi semakin panas. "....Kami terkena totokan dari jarak jauh. Entah siapa yang menotok kami hingga begini. Yang penting bagi kami adalah lepas dari pengaruh totokan ini. Dapatkah kau melepaskan totokan ini, Belatung Gerhana?!"
"Haaah, haaa, haaa, haaa... tentu saja itu hal yang amat mudah bagiku, Suto! Tapi kau harus berjanji akan melayaniku sampai tumbang lagi! Setuju?!"
"Baik. Akan kulayani kau minum arak ataupun tuak sampai perutmu busung lagi!"
"Bagus, bagus, bagus...! Haa, haa, haa,haa..,."
"Berisik, Bebek!" sentak Mangku Randa tapi dengan suara tetap lirih.
Belatung Gerhana segera dekati Suto. Kedua tangannya berjari menguncup. Lalu tangan kanannya menotok ubun-ubun Suto seperti seekor bangau mematuk ikan sepat. Truuk...!
"Nah, sekarang totokanmu sudah bebas! Berdirilah…!" ujar Beiatung Gerhana.
"Bebas dengkulmu! Aku masih belum bisa gerakkan jempol kakiku!"
"Lho, belum bebas...?! Ohho, hoo, hoo...! Harus kuulangi lagi kalau begitu." Trrok... trrok... trrok...! "Oh, masih belum bisa bebas juga?!" geram Belatung Gerhana, lalu tangannya menggenggam, sisi genggaman itu digebukkan ke ubun-ubunnya Suto Sinting. Duuhk, duuhk, duuhk, duuhk, duuhk...!
Suto Sinting tersentak-sentak, kepalanya terangguk-angguk, wajahnya menyeringai kesakitan. Pukulan menggunakan sisi bawah genggaman itu membuat pandangan mata Suto Sinting lama-lama menjadi kabur, kepala terasa pusing, dan telinga terasa jadi budek.
"Cukup, cukup...! Cukup, Belatung Gerhana...!"
"Cukup...?! Naah... sekarang kau sudah bebas dari totokan! Berdirilah!"
Suto Sinting terengah-engah dulu, baru memaki dengan suara pelan. "Setan gembrot! Kau mau bebaskan totokanku apa mau memantek kepalaku?!"
"Lho, belum bebas juga?!"
"Udelmu bodong itu yang bebas!" jawab Suto jengkel sekali. "Ubun-ubunku sampai mau jebol, tetap saja tak bisa bebas dari totokan ini?!"
Kaiau saja tidak dalam keadaan tertotok begitu, Mangku Randa akan tertawa keras-keras mendengar gerutuan Suto Sinting dan membayangkan keadaan Suto dipukul-pukul kepalanya oleh si gemuk itu. Tapi karena keadaan yang amat lemah, Mangku Randa hanya bisa tertawa pelan seperti orang bisik-bisik. Suto Sinting tambah dongkol mendengar tawa Mangku Randa.
"Akan kuulangi satu kali iagi, Suto," ujar Beiatung Gerhana.
"Sudah, sudah...! Cukup begini saja."
"Satu kali lagi pasti kau bebas dari totokan, Suto!"
"Tidak. Terima kasih atas bantuanmu, Belatung Gerhana. Kepalaku bukan celengan dari tanah yang perlu digepuk -gepuk seperti tadi! Rontok semua otakku kalau mengikuti caramu begitu."
Tawa si Mangku Randa makin berkepanjangan.
"Kau kurang yakin dengan ilmuku, Suto," gerutu Belatung Gerhana dengan nada kecewa.
"Aku sangat yakin dengan ilmumu. Maksudku, yakin bakalan membuat otakku jadi kopyor kalau kelamaan kau gepuk seperti tadi. Jadi menurutku, sebaiknya kau bantu aku untuk hal lain."
"Apa maksudmu?!"
"Kau lihat bumbung bambu disamping kananku ini?"
"Ya, mau apa dengan bumbung bambu tempat jangkrik itu?" tanya Belatung Gerhana dengan nada heran, sebab pada saat mereka bertemu pertama kali di kedai, Suto mengaku sebagai penjual jangkrik aduan. Namanya pun tidak disebutkan secara lengkap, sehingga Belatung Gerhana tidak tahu bahwa yang ditantang minum waktu itu adalah Pendekar Mabuk.
"Di dalam bambu itu ada tuak. Tolong..."
"Tuak...?!" sahut Belatung Gerhana. "Katamu dulu bambu itu tempat jangkrik buruanmu?"
"Aku bercanda waktu itu. Bumbung bambu itu sebenarnya berisi tuak. Tolong tuangkan tuak itu ke mulutku. Aku haus sekali, Belatung Gerhana."
"Tuak...?!" gumam Belatung Gerhana antara percaya dan tidak. Lalu bambu panjang sedepa itu diambilnya, dibuka tutupnya, diintip sebentar. "Oh, iya...?! Benar-benar berisi tuak?!" ujarnya dengan girang. "Kalau begitu kita pesta mabuk-mabukan sekarang juga, Suto Setuju...?!"
"Sebelas!" jawab Suto sekenanya. "Yang penting tuangkan dulu tuak itu ke mulutku. Aku benar-benar kehausan, Belatung Gerhana!"
"Baik! Tapi habis ini kita pesta minum-minum lagi, ya?!" Belatung Gerhana masih belum sadar siapa orang yang dihadapinya itu. la menuangkan tuak ke mulut Suto. Tuak mengalir pelan-pelan dan menyatu dengan darah di dala m tubuh. Bruuusss...!
"Hup, hap, huaah ...! Kurangajar! Kenapa kau sembur mukaku?!" sentak Belatung Gerhana.
"Aku kehabisan napas, tapi tuak masih kau tuang saja ke mulut! Bisa mati tenggelam air tuak kalau kuturuti terus!" sentak Suto juga. Kali ini suaranya mulai agak keras.
"Kau kuanggap tidak sopan, Suto! Sudah kutolong tapi balasanmu menyembur tuak ke mukaku! Kau kan bisa katakan kapan aku harus berhenti menuang tuak?!"
"Mana bisa orang minum sambil ngomong, Tolol!"
"Hei, hei... suaramu sudahagak keras daripada yang tadi," ujar Belatung Gerhana dengan nada rendah, tak peduli wajahnya basah dan air tuak masih menetes dari dagunya.
Mangku Randa yang tahu persis siapa Suto Sinting mulai merasa lega. la yakin keadaan Suto akan secepatnya pulih seperti sediakala setelah minum tuak itu. "Suto... sudah bereskah keadaanmu?!" tanya Mangku Randa.
Wuut...! Suto Sinting bangun dan duduk dengan togak. "Ya, sepertinya aku sudah cukup beres, Mangku Randa!"
Belatung Gerhana heran. "Aduuh...cucuku sudah bisa berdiri?!"
"Cucu dengkulmu!" gerutu Suto Sinting, lalu ia moncoba berdiri dan ternyata memang bisa tegak seperti biasanya. Pengaruh totokan yang melumpuhkan seluruh urat-uratnya telah dikalahkan oleh tuak sakti dari dalam bumbung tersebut. Belatung Gerhana masih terbengong-bengong, memegang bumbung tuak yang tetap terbuka. Bumbung itu segera diambil alih oleh Suto Sinting.
"Kau... kau sudah sehat?! Aneh sekali?! Tadi kau lumpuh begitu, sekarang setelah minum tuak, tak sampai seratus hitungan, kau sudah sehat kembali?!"
"Terima kasih atas bantuanmu, Belatung!" Plok, plok, plok...! Suto tepuk-tepuk pipi tebal Belatung Gerhana.
Kemudian ia meminumkan tuak itu ke mulut Mangku Randa. Beberapa kejap kemudian Mangku Randa pun pulih kembali. Belatung Gerhana semakin terbengong dengan mulut melongo mirip lubang tikus. "Hei, minumlah tuak ini! Katamu kau ingin minum sampai mabuk?!"
"Ooh, iiy... iya..." Belatung Gerhana menggeragap. la menenggak tuak tersebut beberapa teguk. Suto Sinting buru-buru hentikan tenggakan tersebut, khawatir tuaknya habis disedot manusia seperti sumur itu.
"Uuaaahh...! Segar sekali?!" sambil mata si Belatung Gerhana terbelalak berbinar-binar bersama senyuman yang sangat menakutkan dan bisa bikin bayi mati mendadak. "Segar sekali badanku?!" ujarnya lagi. "Kurasa tuakmu tak akan kalah jika dibandingkan dengan tuaknya Pendekar Mabuk, Suto! Ibuku pernah bercerita tentang Pendekar Mabuk yang ke mana-mana membawa bumbung tuak dan tuaknya itu mempunyai kesaktian tersendiri. Selain bisa untuk sembuhkan orang sakit juga bisa untuk..."
"Untuk menyembur mukamu tadi!" sahut Mangku Randa agak kesal mendengar kebodohan si Beiatung Gerhana.
Suto Sinting tenang-tenang saja, seakan tak pedulikan celoteh si gendut bodoh itu. Mata Suto memandang keadaan di bawah tebing.
Belatung Gerhana berkata pelan kepada Mangku Randa, "Tuaknya memang seperti milik Pendekar Mabuk! Kau belum pernah dengar ceritanya, ya?! Begini... Pendekar Mabuk itu..."
Tangan Mangku Randa mendorong wajah Belatung Gerhana hingga kepala orang gemuk itu tersentak ke belakang. "Dia memang Pendekar Mabuk, Tolol!" sentak Mangku Randa.
"Beraninya kau mengobok-obok mukaku, haah?! Aku hajar kau sekarang...," Belatung Gerhana hentikan ucapannya secara mendadak. Lalu ia mendekatkan wajah kepada Mangku Randa. "Apa katamu tadi?! Dia memang Pendekar Mabuk?!"
"Makanya punya badan jangan gemuk-gemuk. Selalu bikin otak jadi tumpul, juga bikin kuping jadi budeg"
Belatung Gerhana dekati Suto yangberjaraktujuh langkah darinyaitu. "Suto... Suto, dia bilang kau Pendekar Mabuk. Apa benar kau Pendekar Mabuk yang kata ibuku bernama Suto Sin...."
Pendekar Mabuk berpaling memandang Belatung Gerhana dengan tersenyum ramah. Belatung Gerhana hentikan ucapannya, sambil tertegun bengong, seakan baru ingat nama depan Suto.
"Oooh, celaka...!" gumamnya pelan. "Kalau begitu kau memang Pendekar Mabuk! Ibuku bilang, nama Pendekar Mabuk adalah Suto Sinting dan saat di kedai kau perkenalkan dirimu dengan nama Suto. Maksudmu adalah Suto Sinting, bukan?"
"Benar. Aku memang Suto Sinting. Aku memang Pendekar Mabuk. Kau mau menantangku minum arak lagi?"
"Biar mampus tak akan sudi lagi aku minum denganmu!" Belatung Gerhana bersungut-sungut menjauh. "Pantas kau menang! Pantas kau tak sampai mabuk dan tumbang sepertiku. Rupanya kau si Pendekar Mabuk yang kondang kuat minum tanpa mabuk sedikit pun itu?! Congor wedus kau...!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang menggumam. "Sekarang lupakan saja persoalan adu kuat-kuatan minum di kedai waktu itu. Yang sedang kupikirkan adalah menyelamatkan si Kusir Hantu dan cucunya dari tangan orang-orang Tanah Pasung! Aku harus segera mengejar mereka!"
"Aku ikut!" tegas Mangku Randa.
"Oo, jadi orang Tanah Pasung sudah sampai sini?! Apakah mereka temukan Goa Kembar itu, Suto?!"
"Mereka menawan sahabatku; Pematang Hati dan kakeknya! Tak kulihat mereka membawa secuil emas pun dari sini!"
"Pasti mereka belum menemukan Goa Kembar!" ujar Belatung Gerhana dengan girang. "Goa Kembar ada di bawah tebing ini, Suto!"
"Tidak ada!" sambil kepala Suto menggeleng tegas-tegas. "Yang ada di bawah tebing ini hanya dua cekungan mirip mulutmu itu, Belatung Gerhana."
"Jangan menyinggung soal mulut! Aku bisa marah!" geram Belatung Gerhana. "Aku akan memeriksa bagian bawah tebing ini!" Belatung Gerhana bergegas menuruni tanah di samping tebing. Sedikit jauh dan agak memutar untuk mencapai tanah depan tebing itu.
"Perlukah kita buktikan ucapannya itu, Suto?"
"Sepertinya dia lebih tahu dari yang lain. Tapi... apakah yang diketahuinya itu membawa hasil yang benar?!"
"Tapi Pematang Hati akan semakin jauh dibawa mereka jika kita melihat dulu hasil ucapannya itu, Suto."
"Aku tahu. Tapi aku juga tahu ke mana mereka membawa Pematang Hati dan Kusir Hantu. Pasti ke Pantai Bejat. Kudengar mereka mendarat di sana. Mungkin si Kusir Hantu dan cucunya dibawa ke kapal mereka!"
"Kalau begitu, Ratu Sinden pasti ada di Pantai Bejat! Aku akan segera ke sana, Suto!" Mangku Randa mulai berapi-api ingin lampiaskan dendamnya.
"Berangkatlah dulu. Nanti akan kususul. Aku hanya ingin lihat bukti ucapan si Belatung Gerhana itu. Sebelum melihat hasilnya, hatiku tak tenang diburu rasa penasaran!"
"Baiklah! Kita berpisah dulu untuk sementara! Susul aku secepatnya, Suto!"
Pendekar Mabuk mengangkat tangan, sebagai isyarat akan menyetujui langkah Mangku Randa untuk menuju Pantai Bejat lebih dulu. Setelah pemuda tunanetra itu pergi, Pendekar Mabuk melompat turun dari atas tebing ke dasar tebing, tempat Kusir Hantu dan Pematang Hati tertangkap tadi. Wuuut…! Suuuuut...! Tubuhnya bergerak turun dalam posisi tetap tegak. Deeb...! Kedua telapak kaki menepak di tanah tanpa suara.
Pendekar Mabuk memandang ke arah Belatung Gerhana yang sudah mencapai kaki tebing sebelah sana. Orang gemuk itu keluarkan peta dari selipan ikat pinggangnya. la melangkah sambil memperhatikan petunjuk pada selembar peta dari kain putih kusam. Tak sadar langkah kakinya dekati Suto Sinting, dan ia tersentak kaget melihat Suto sudah ada didepannya.
"Lho...?! Sudah sampai di sini kau?! Lewat mana?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis sambil melirik ke atas, menunjuk jalan yang dilewatinya.
"Gila! Kau melompat dari atas kernari?!"
"Rasa-rasanya memang itulah jalan tersingkat, ke timbang harus lewat jalanan menurun yang kau lewati tadi."
Belatung Gerhana perhatikan kedua kaki Suto Sinting.
"Ada apa...?!" tanya Suto heran.
"Kakimu masih utuh?! Tidak patah?! Padaha! kau melompat turun dari atas sana. Tinggi sekali tebing ini, kan?!"
"Lebih tinggi langit dari tebing ini!"
"Nenek jompo juga tahu kalau langit itu lebih tinggi dari tebing ini!" gerutu Belatung Gerhana sambil bersungut-sungut.
"Rupanya kau membawa peta pemandu jalan, Belatung Gerhana?"
"Ya. Ibu hanya membekaliku peta ini. Ibu tahu persis di mana harta karun itu berada. Tapi beliau tak dapat jalan kemari."
"Kenapa...?!"
"Kedua kakinya buntung."
"Ooh, maaf...!" Suto Sinting tampakkan rasa sesalnya.
Pertanyaan tadi membuat raut wajah Belatung Gerhana menjadi sedih. "Waktu di kedai, seingatku kau hanya disuruh membuktikan apakah benar di Lembah Seram ada harta karun atau tidak. Tapi sekarang kau tampak sangat yakin, bahwa di Lembah Seram ada harta karun terpendam. Bahkan kau tahu tentang Goa Kembar segala?!”
"Aku harus berpura-pura begitu. Tapi sesungguhnya, aku ditugaskan oleh ibuku untuk memeriksa apakah harta karun itu masih ada atau sudah diambil orang. Jika masih ada, aku harus segera kembali dan mengabarkannya pada Ibu. Lalu, aku akan datang kemari bersama sejumlah pengawal untuk ambil harta karun itu dan membawanya pulang ke Pulau Garong."
Suto Sinting manggut-manggut.
"Suto, kalau kau mau bantu aku, kau akan dapat bagian tersendiri dari harta karun itu! Ibuku tidak akan serakah. Pasti memberi bagian padamu."
"Aku tidak berminat untuk memiliki harta karun itu. Aku hanya ingin membuktikan apakah harta karun itu ada atau hanya sebuah dongeng saja."
"Pasti ada!" sahut Belatung Gerhana, lalu memperhatikan ke arah peta lagi.
"Agaknya ibumu sangat yakin kalau harta karun itu memang ada. Siapa ibumu sebenarnya, Belatung Gerhana."
“Penguasa Pulau Garong," sambil Belatung Gerhana melangkah mengikuti petunjuk dalam peta. "Bukankah waktu di kedai sudah kusebutkan bahwa ibuku seorang penguasa di Pulau Garong?"
"Kau belum sebutkan namanya, jadi yang kutanyakan tadi adalah namanya!"
"Oo... namanya Nini Desah Bengi."
"Nini Desah Bengi?!"
"Cantik Iho. Sudah janda lagi."
"Husyy...!"
"Sumpah...!" sambil Belatung Gerhana tetap melangkah ikuti petunjuk pada peta, Suto Sinting mengiringinya. Langkah itu berhenti di depan dua cekungan yang tadi diperiksa Suto dan Mangku Randa.
"Nah, di sini! " ujar Belatung Gerhana. "Menurut petunjuk dalam peta, di tempat kita berdiri inilah terdapat Goa Kembar!"
"Mana buktinya...?!"
Belatung Gerhana memandangi dua cekungan itu dengan mulut melongo heran. Rasa penasaran mendorong tubuhnya yang gemuk sekali itu lebih mendekati dua cekungan itu. la meraba dinding cekungan yang keras bagaikan batu granit.
"Kenapa hanya dua cekungan seperti ini yang ada disini?! Mestinya dua goa bersebelahan!" gumam Belatung Gerhana.
Pendekar Mabuk sengaja pamerkan senyum dingin. Seakan mencibir kesalahan keyakinan Belatung Gerhana dan ibunya. Belatung Gerhana garuk-garuk kepala sambil memandang sekelilingnya, mencari kemungkinan tempat lain yang dimaksud dalam peta tersebut. Tak jauh dari dua cekungan itu ada batu besar, tingginya hanya sebatas paha. Belatung Gerhana duduk di sana sambil sesekali memperhatikan peta. Wajahnya tampak murung pertanda memendam rasa kecewa.
Kurasa kau dan ibumu telah terbuai oleh dongeng kuno tentang harta karun itu, Belatung Gerhana."
"Tidak. Ibuku bukan tukang dongeng. Menurut Ibu, harta karun itu memang benar-benar disimpan disalah satu dari dua goa kembar yang bersebelahan. Goa yang satu berisi jebakan-jebakan maut, goa yang satunya lagi berisi harta karun itu!"
"Dari mana ibumu tahu hal itu?"
"Semasa mudanya, ibuku adalah prajurit wanita dari Kerajaan Hastamanyiana! Harta karun itu adalah kekayaan dari negeri Hastamanyiana yang disembunyikan di sini agar tak dirampas oleh musuh yang waktu itu sudah diduga akan menyerang negeri tersebut! Jadi..."
Wuiiz, teeb!
Ucapan si gemuk terhenti seketika, karena tiba-tiba tangan Pendekar Mabuk berkelebat ke punggungnya. Sesuatu telah berhasil ditangkap oleh Suto Sinting. Sesuatu yang terjepit di sela jemarinya itu tak lain adalah sebilah pisau beracun. Sasarannya punggung Belatung Gerhana. Ujung pisau tampak kebiru-biruan sampai di bagian pertengahan mata pisaunya. Gagang pisau terbuat dari gading berukir.
"Pisau...?!" mata si gemuk mendelik lebar. "Wow keren!"
"Apanya yang keren?! Pisau ini hampir merenggut nyawamu, Goblok!"
"Tapi gagang pisaunya keren, dari gading ukir dan...."
Wuiiz...! Sekelebat benda muncul kembali dari arah yang berlawanan dengan kemunculan pisau tadi. Pendekar Mabuk kelebatkan tangan lagi. Wees...! Meleset. la gagal menangkap benda tersebut. Untung usaha menangkap benda itu disertai gerakan badan melintir ke kanan, sehingga benda itu yang kali ini diarahkan ke lehernya itu lolos dan menancap pada salah satu pohon tak jauh dari mereka. Benda itu ternyata juga pisau beracun. Bentuk dan ukurannya sama dengan pisau pertama.
Belatung Gerhana makin terperangah bengong memandangi pisau yang menancap di pohon. Kulit pohon itu bergerak-gerak melipat. Daun-daunnya segera berubah menjadi kuning, makin lama makin coklat dan kering. Dalam waktu sangat singat, pohon itu menjadi kering tanpa air setetespun.
"Gila! Ganas sekali racun pada pisau itu?!" gumam Belatung Gerhana, sementara itu Pendekar Mabuk sibuk mencari si pelempar pisau dengan pandangan matanya yang tajam dan jeli.
* * *
TIGA
Hati kecil Suto mengatakan, sasaran utama penyerang gelap itu adalah Belatung Gerhana. Mungkin orang tersebut ingin dapatkan rahasia harta karun dalam peta yang dibawa si gemuk. Tetapi karena Suto selamatkan nyawa Beiatung Gerhana dari lemparan pisau pertama, maka dia pun menjadi sasaran lemparan pisau kedua.
"Ada orang yang ingin membunuhmu, Beiatung Gerhana?"
"Bangsat kurap!" geram Belatung Gerhana, seolah baru sadar bahwa nyawanya diincar orang. la bangkit dari duduknya dan segera mencabut pedang bersarung perak ukir itu. Dengan suara besarnya ia berteriak memandang kedua arah datangnya pisau tersebut. "Heei, pengecut...! Keluarlah dari persembunyian kalian! Jika kalian berdua inginkan nyawaku, hadapilah kami berdua di sini! Keluar kalian semuaaa...!!"
Dari arah datangnya pisau pertama muncul dua orang berpakaian biru. Dari arah datangnya pisau ke dua muncul juga dua orang berpakaian hijau. Dari arah lain muncul lagi dua orang. Muncul juga tiga orang. Dari atas tebing meluncur lima orang berpakaian warna-warni yang melompat turun dengan gunakan ilmu peringan tubuhnya. Dari sisi lagi, muncul juga empat orang. Juga dari sana-sini. Jumlah keseluruhan sekitar lima belas orang lebih mengepung tempat itu.
"Walaaah... banyak sekali?!" ujar Belatung Gerhana dengan mata mendelik dan wajah menjadi tegang.
"Kau yang menyuruh mereka muncul, bukan?"
"Yaaa, tapi yang kuminta tidak sebanyak ini...," ujarnya bernada keluh.
"Kau kenal dengan mereka?"
"Mereka yang mengikutiku sejak berangkat dari Pulau Garong!"
"Jadi, siapa mereka?"
"Orang-orangnya Bandar Santet, dari Selat Neraka," jawaban itu masih bernada keluh. "Waah... mati aku kalau begini, Suto. Mereka banyak sekali!"
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis. Pisau yang tadi ditangkapnya masih dimainkan dengan tangan kiri, sementara itu tali bumbung tuak tergantung di pundak. Satu persatu wajah -wajah angker mereka pandangi Suto Sinting dengan tatapan mata tajam.
"Yang mana yang bernama Bandar Santet?!"
"Yang pakai jubah ungu itu!" bisik Belatung Gerhana dengan gigi berusaha tetap rapat, biar tampak tak berbisik.
Orang berjubah ungu itu memang pantas mempunyai nama Bandar Santet. Rambutnya tipis panjang selewat pundak. Tanpa ikat kepala. Warnanya abu-abu. Alisnya lebat agak naik. Kumisnya turun kebawah sampai dagu. Wajahnya lonjong dengan sepasang mata cekung sadis. Wajah angker itu bertubuh kurus sehingga tulang di wajahnya saling bertonjolan. Tangannya berkuku hitam, tidak panjang tapi runcing. Kulit tubuhnya tampak kusam, sekusam celananya yang berwarna ungu juga itu. la mengenakan sabuk hitam dan menyelipkan sebilah keris bergagang merah tua.
Wajah angker berusia sekitar enam puluh tahun itu perdengarkan suaranya setelah melangkah lebih dekati Suto dan Belatung Gerhana. Dua anak buahnya ikut maju dari sisi kanan-kiri Suto. Tapi mereka berhenti dalam jarak sekitar sepuiuh langkah, sedangkan si wajah angker yang punya codet di bawah mata kirinya itu hentikan langkah setelah berjarak sekitar dua tombak dari Suto dan Belatung Gerhana.
"Serahkan peta itu padaku, Belatung Gerhana!"
Suara serak itu makin membuat wajah Belatung Gerhana menjadi pucat. la memandang Suto Sinting, seakan minta pendapat atas ucapan si Bandar Santet itu. Suto Sinting tetap kalem, seakan tak merasa dipandangi Belatung Gerhana. la justru menenggak tuaknya dengan santai.
"Serahkan peta itu! Cepaat...!" bentak Bandar San tet yang membuat jantung Belatung Gerhana terasa merosot sampai ke lutut. Seeerrr...!
"Suto, bagaimana ini?!" bisik Beiatung Gerhana.
Pendekar Mabuk yang sudah menutup bumbung tuaknya lagi itu hanya menjawab pelan sambil tersenyum menampakkan ketenangannya. "Serahkan saja! Peta itu tidak ada gunanya bagimu!"
"Tapi ibuku berpesan agar peta ini tak boleh jatuh ke tangan orang lain!"
"Kalau ibumu tahu keadaan disini, dia pasti tak akan berpesan begitu. Mungkin akan pesan nasi pecel buat oleh-olehmu nanti!"
"Ah, gila kau! Aku tetap akan pertahankan. Kau bantu aku, ya?"
"Keluarkan galakmu, seperti waktu di kedai itu!"
"Mereka cukup banyak. Kegalakanku tak akan mempan buat mereka. Apalagi si Bandar Santet sudah pernah mati tiga kali dan hidup lagi, pasti dia tak akan takut dengan kegalakanku!"
Bandar Santet tak sabar mlihat orang kasak-kusuk begitu. la segera berseru, perintahkan pada anak buahnya yang ada di seberang kiri Suto Sinting. "Gentopati…! Habisi mereka!"
"Haaaaat...!" Gentopati yang berpakaian hijau itu langsung melompat dengan golok terhunus. Sasaran pertama kali adalah kepala Pendekar Mabuk, karena menurutnya pemuda itu lebih berbahaya daripada Belatung Gerhana.
Ketenangan Suto membuat mereka berkesimpulan bahwa pemuda itu memiiiki nyali yang patut ditumpas lebih dulu. Belatung Gerhana justru terkejut dan pedangnya lepas dari genggaman. Tapi Pendekar Mabuk segera menyambar bumbung tuaknya dan mengibaskan ke samping dengan cepat. Wuuut...! Traang...! Bumbung bambu itu berhenti menangkis tebasan golok si Gentopati.
Tapi kaki orang itu menyodok wajah Suto Sinting dengan tenaga kuat. Wuuut...! Tangan kiri Suto yang masih pegangi pisau bergagang gading tadi dihadangkan tepat di depan hidung dengan ujung pisau mengarah ke depan. Akibatnya, telapak kaki Gentopati tertancap pisau itu tersebut. Jruub...! Tapi gagang pisau menyodok mulut Suto. Prook...!
"Aaaow...!" Gentopati berteriak keras-keras dan jatuh dengan kaki terluka, sedangkan Pendekar Mabuk terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut berdarah. Bibir atasnya robek akibat sodokan gagang pisau tadi.
Gentopati berkelojotan di tanah. Tubuhnya yang terkapar berputar-putar, dan akhirnya mengejang kaku tak bergerak selama-lamanya. Racun pada ujung pisau itu telah merenggut nyawanya dalam waktu cukup singkat.
"Edan! Mati dalam waktu singkat?! Ganas sekali racun pada pisau itu?" gumam Belatung Gerhana semakin tegang.
Bandar Santet tetap tenang melihat anak buahnya tewas. Tapi pandangan matanya semakin tajam dan dingin, penuh dendam terhadap Pendekar Mabuk. Anak buah lainnya tak ada yang bergerak maju. Mereka menunggu perintah dengan patuh sekali. Tapi senjata mereka sudah dihunus semua, siap serang kapan saja perintah serbu terlontar dari mulut Bandar Santet.
"Su... Su... Suto, apa yang harus kulakukan. Bicaralah padaku, Suto!"
"Mau bicara apa?! Bibirku robek begini?!" sentak Suto dengan hati dongkol.
Bandar Santet berseru sambil sentakkan kepala sedikit. "Bangorpati...!"
Rupanya sentakan kepala itu isyarat agar si Bangorpati, adiknya Gentopati, ganti menyerang Pendekar Mabuk. Tapi baru saja ia mau menerjang dengan sabit kembarnya, tangan kiri Suto lebih dulu berkelebat membuang pisau itu.
Wuut...! Jeebs...!
"Ahkk...!" Bangorpati mendelik, terbungkuk di samping Bandar Santet.
Melihat keadaan Bangorpati tak memungkinkan hidup lagi, Bandar Santet menendangnya dengan kuat. Beet, wuus, bruuk...!
"Kejam...! Bukannya ditolong malah percepat ke liang kubur?!" gumam hati Pendekar Mabuk yang simpan penyesalan atas lemparan pisaunya tadi. Padahal lemparan pisau tadi sudah sengaja dimelesetkan, tapi dasar apes, akhirnya bertengger juga di dada Bangor pati.
Bandar Santet masih memandang dingin ke arah Pendekar Mabuk. Beberapa anak buahnya tampak sudah tak sabar lagi. Sedangkan si Belatung Gerhana di cekam rasa takut yang membuat wajahnya menjadi berantakan tak karuan bentuknya.
"Kurasa dua nyawa anak buahku sudah cukup untuk menebus peta harta karun itu!" ujar Bandar Santet, matanya mulai melirik Belatung Gerhana.
"Aku tidak berkuasa memberikannya. Peta itu bukan milikku, Bandar Santet!" ujar Suto Sinting.
"Tapi kau sudah ikut campur dalam perkara ini, Bocah tolol! Kau hutang nyawa denganku!"
"Aku membela diri!" sanggah Suto. "Daripada aku yang mati lebih baik anak buahmu. Sebab aku belum kawin, jadi masih malas untuk mati muda!"
Mata sadis itu menatap dingin sekaii. Pendekar Mabuk rasakan getaran jantungnya makin cepat. Bahkan bertambah lama dipandang, bertambah sesak napasnya. "Ada apa ini?" pikirnya dengan bingung. Detak jantung bertambah kuat lagi. Sentakannya membuat dada seperti ingin jebol kedepan. Pendekar Mabuk tarik napas da lam-dalam dan kuasai keadaan itu dengan hawa murninya. Tapi napas yang dihirupnya terasa panas. Bahkan sekarang hidung dan tenggorokannya menjadi perih untuk lewat napas. Tiba-tiba Suto Sinting tersentak ke depan dengan tubuh terbungkuk.
"Huuhk...!!" Ada sesuatu yang terasa mendorong dari dalam ulu hatinya. Ada sesuatu pula yang terasa meremat jantung dan teman-temannya.
"Uuhhueek...!" Pyuuk...!
Hahh...?! Darah...?!" Belatung Gerhana terbelalak kaget lagi melihat Suto Sinting tahu-tahu memuntahkan darah kental. Bahkan pemuda tegap itu kini berlutut satu kaki karena sentakan yang kedua cukup keras.
"Uuhueeek...!" Darah kental keluar lagi dari mulut Pendekar Mabuk. Sekujur badan menjadi terasa panas. Nyata betul rasa panas itu, sehingga Suto Sinting segera membuka bumbung tuaknya sebelum sentakan ketiga terasa mendesak dari dalam ulu hatinya.
Melihat seorang pendekar kondang saja bisa mmuntahkan darah kental hanya dengan dipandang saja, Belatung Gerhana semakin ngeri dan khawatir akan keselamatan nyawanya. Maka ia pun buru-buru menyerahkan peta tersebut. Peta itu dilemparkan begitu saja dan jatuh di depan kaki si Bandar Santet. "Ambillah...!" sentak si gemuk dengan wajah ngeri-ngeri dongkol.
Bandar Santet menyuruh anak buahnya mengambil peta itu dengan isyarat mata. Pendekar Mabuk selesai menenggak tuak. Rasa panasnya berkurang. Detak jantungnya mendekati normal kembali.
"Brengsek! Kenapa baru sekarang kau serahkan peta itu?! Mestinya sejak tadi, sebelum aku muntah darah!"
"Kusangka dia tak akan menggunakan jurus 'Pesona Teluhnya," bisik si gemuk. "Ternyata dia telah menggunakan ilmu itu untuk menyerang!"
"Menyerangku...?!"
"Yang namanya jurus 'Pesona Teluh' adalah melukai bagian dalam tubuh lawan melalui pandangan mata!" si gembrot semakin berbisik pelan.
Setelah memeriksa peta, Bandar Santet berikan perintah tegas. "Bedagul, bawa anak buahmu melacak harta itu sesuai petunjuk dalam peta! Dan kau, Juru Jagal... habisi kedua tikus itu! Kalau perlu suruh anak buahmu turun tangan!"
Blaas...! Bandar Santet melesat dengan cepat. Tahu-tahu ia sudah ada di atas tebing, beberapa orangnya ikut naik ke atas tebing, sementara orang yang dijuluki Juru Jagal segera mengangkat pedang lebarnya. Juru Jagal mempunyai lima anak buah yang masing-masing berikat kepala merah, seperti pasukan berani mati.
Juru Jagal yang bertubuh tinggi, kekar dan berkulit hitam tanpa mengenakan baju kecuali celana hitam itu mulai memberi isyarat kepada kelima anak buahnya yang rata-rata juga tidak memakai baju dan bercelana hitam. Mereka segera melingkari Suto Sinting dan Belatung Gerhana dengan pedang dimainkan pelan-pelan. Pedang mereka lebar-lebar dan anti karat semua. Pada ujung gagangnya terdapat hiasan dari rumbai-rumbai benang merah.
Belatung Gerhana memungut pedangnya yang tadi jatuh karena terkejut. Ia sedikit punya nyali karena yang dihadapi hanya enam orang. la yakin mereka tidak berilmu tinggi seperti si Bandar Santet. Terlebih ia ada bersama Pendekar Mabuk, rasa terlindungnya lebih besar daripada ia sendirian menghadapi Juru Jagal dan anak buahnya.
"Letakkan saja pedangmu," bisik Suto Sinting.
"Aku masih sanggup melawan mereka, Suto!"
"Kalau begitu kutinggalkan kau sendirian di sini, ya? Aku akan mengejar si Bandar Santet!"
"Walaah... jangan begitu!" sergah Beiatung Gerhana dengan nada cemas.
"Kau bilang masih sanggup menghadapi mereka?!"
"Maksudku... maksudku sanggup menemanimu menghadapi mereka berenam!"
"Memang payah kau!"
"Kalau sakit gigiku sedang kambuh memang suka payah begini."
Seet...! Pedang si Belatung Gerhana direbut Suto dengan cepat. Sebelum si gemuk itu protes, Suto Sinting sudah berseru lebih dulu kepada Juru Jagal yang hergerak mengelilingi lawan bersama kelima anak buahnya. "Aku akan melawan kalian berenam dengan pedang di tangan kiri. Tapi izinkan temanku ini untuk keluar dari kepungan!"
"Kalian tak akan bisa lolos, Keparat!" geram Juru Jagal.
“Selain menggunakan pedang ini dengan tangan kiri, aku berjanji tak akan menyerang selain hanya menghindar dan bertahan dari serangan kalian. Kalau memang kalian bisa memenggal kepalaku, itu namanya apes bagiku. Tapi kalau kalian tak bisa lakukan hal itu, kalian hanya akan kehabisan tenaga. Tapi aku tetap tak akan mencabut nyawa kalian. Bagaimana? Kalian setuju dengan perjanjian ini?!"
Juru Jagal diam beberapa saat sambil tetap bergerak pelan-pelan mengelilingi kedua lawannya, demikian pula halnya dengan kelima orangnya. Mereka masih memainkan pedang lebar yang biasa untuk memancung kepala musuh. Permainan pedang dilakukan dengan pelan sambil menunggu saatnya menyerang.
"Kalian boleh membunuhku, tapi aku tidak boleh membunuh dan melukai kalian. Ini perjanjianku! Pertimbangkan, apakah kalian setuju atau tidak. Jika tidak, tak satu pun nyawa kalian yang akan kusisakan! Semua kepala kalian akan kukirim kepada Bandar Santet!"
Setelah mereka saling melirik Juru Jagal, orang berkumis lebat dan berdada kekar itu berseru tegas. "Baik! Kuizinkan si gembrot itu keluar dari kepungan! Lekas...!"
"Tunggulah aku di pohon besar depan sana!" bisik Pendekar Mabuk kepada si gemuk besar.
"Tapi... tapi..."
"Lekas ke sana! Aku punya cara sendiri untuk hadapi mereka!" desak Suto Sinting sambil menyilangkan bumbung tuak ke punggung.
"Hat...hat..."
"lya, aku tahu kau mau bilang hati-hati! Aku akan hati-hati. Sudah, sana!"
Si gendut berlari keluar dari kepungan. Lemak di sekujur tubuhnya berombak-ombak seperti karung basah dibawa lari. Langkah kakinya berdebam di tanah. Bluuk, bluuk, bluuk, bluuk...! Sampai di bawah pohon ia melambaikan tangan seakan mengucapkan selamat berpisah.
Suto Sinting tak sempat membalas karena salah satu anak buah Juru Jagal sudah menyerang lebih dulu. Serangan itu datang dari arah samping kiri. Sebuah lompatan yang disertai tebasan pedang membuat Suto Sinting terpaksa harus cepat berlutut dan menadahkan pedangnya ke atas.
Traang...!
Pendekar Mabuk berguling ke depan. Didepan ia disambut tendangan kaki Juru Jagal. Beet...! Plaak...! Tangan kanan menahan tendangan itu saat Suto baru saja selesai berguling. Gerakan cepatnya membuat Juru Jagal nyaris kecolongan langkah. la menyangka Suto bergerak ke sisi kanannya, ternyata Pendekar Mabuk bergerak ke sisi kiri. Wuut, jleeg...! Baru saja berdiri tegak, dua penyerang datang dari belakang. Mereka sama-sama lakukan lompatan sejajar dan pedang mereka diayunkan dari atas ke bawah, sasarannya pundak kanan-kiri Suto Sinting.
"Heeaaat...!"
Wuut, wuuut...!
Crass, craas...!
"Aaaahk...!" Kedua pundak Pendekar Mabuk jelas-jelas terkena tebasan pedang lawan. Walaupun ia segera melompat ke depan dan berguling dengan punggung tak menyentuh tanah, tapi semua mata melihat bahwa tebasan kedua pedang lawan tepat kenai kedua pundak Suto. Tetapi anehnya yang memekik keras tadi adalah si Juru Jagal sendiri. Bahkan orang tinggi berbadan kekar itu rubuh ke depan dalam keadaan kedua pundak nyaris putus secara mengerikan. Darah menyembur dari luka bacokan yang amat dalam dan panjang itu.
"Hahh...?! Kenapa yang terluka si Juru Jagal?!" gumam hati kelima anak buahnya itu.
Mereka tak tahu bahwa sejak tadi Suto Sinting sudah pergunakan jurus 'Alih Raga'. Jurus itu membuat Suto Sinting tak akan terasa sakit walau dipukul beberapa kali. Tapi justru teman Iawan yang akan merasakan sakit karena pukulan tersebut. Demikian pula yang terjadi dengan si Juru Jagal Ketika kedua pundak Suto terkena bacokan maut dua pedang lawan, Pendekar Mabuk tak terluka sedikit pun. Rasa sakit dan luka sudah dialihkan ke raga si Juru Jagal. Tak heran jika kedua pundak Juru Jagal sekarang terluka parah dan tak mampu dipakai lanjutkan pertarungan.
"Bangsaat! Habis sudah riwayatmu! Heeeaah...!" salah seorang menyerang dengan murka. la lakukan serangan dari belakang lagi. Tapi Pendekar Mabuk cepat berputar tubuh dan pedangnya berkelebat dengan sangat cepat.
Traang, taaang...!
Pedang itu berhasil ditangkis. Tapi si penyerang menyalurkan tenaga dalamnya melalui pedang tersebut, sehingga pedang itu tak bisa bergeser dari arahnya kecuali hanya tertangkis. Ketika pedang dihujamkan ke depan, srring... jruub...!
"Aaahkk...!"
Ujung pedang masuk sebagian ke tengah leher Suto Sinting. Pemuda itu segera berjungkir balik ke belakang. Kakinya berhasil menendang tangan lawan yang memegangi pedang. Beet... ! Weerr...! Pedang di tangan lawan kini terlepas dan terpental melambung ke atas. Tendangan kaki yang dilakukan sambil berjungkir balik itu rupanya juga berkekuatan tenaga dalam pe nuh, sehingga tulang lengan si pemegang pedang terasa patah seketika. Genggamannya menjadi terlepas.
Wuuuk, jleeg...!
Pendekar Mabuk berhasil tapakkan kedua kakinya di tanah dengan tegak dan kokoh sekali. Tapi salah seorang dari anak buah Juru Jagal terkapar dengan leher berlumur darah. Orang tersebut mengerang serak dan kejang-kejang, untuk kemudian diam tanpa gerakan bersama napasnya yang terhembus lepas untuk selama-lamanya. Sekali lagi, jurus Alih Raga' telah merenggut nyawa salah seorang anak buah Juru Jagal.
Melihat kenyataan seperti itu, Juru Jagal yang terluka parah memaksakan diri untuk berdiri dan lepaskan pukulan bersinar merah dari telapak tangan kanannya. "Hiiiaaah...!"
Claap...! Jegaaarr...!
Sinar merah itu tepat kenai dada Suto Sinting dan sinarnya menyebar ke mana-mana bersama bunyi ledakan cukup keras. Tetapi ledakan itu hanya membuat Pendekar Mabuk terlempar mundur tiga langkah. Tubuhnya tetap utuh walau berselimut asap sepintas.
Namun di sisi lain, salah satu dari orang yang tadi menyerang pundak Suto kini dalam keadaan hangus. la tetap berdiri dalam kebisuan tanpa suara dan gerak. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, termasuk rambutnya yang menjadi keriting bagai habis disambar petir. Kejap berikut orang itu tumbang tak bernyawa lagi. Brruuk...!
Empat orang yang masih hidup, termasuk Juru Jagal sendiri, menjadi tercengang tak berkedip. Mereka mulai mundur satu persatu. Tapi salah seorang yang ada dibelakang Pendekar Mabuk masih penasaran. la nekad menyerang secara tiba-tiba dengan lompatan sangat cepat. Pedangnya disabetkan dari kiri ke kanan. Wuut, craas...!
Leher Suto jadi sasaran telak. Begitu terasa teng kuknya disambar sesuatu, Suto Sinting melompat dan berjungkir balik di tanah. Wuut, wuuk...! Seet...! Dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah berdiri tegak dengan tangan mengangkat pedang di atas kepala.
"Mestinya kepalanya terpenggal! Kenapa dia masih bisa berdiri?!" gumam salah seorang.
Yang diajak bicara diam saja. Tahu tahu ketika pundaknya disentuh temannya, kepala orang itu jatuh bagaikan kelapa sawit dan darah muncrat ke atas dari lehernya. Tentu saja hal itu tidak hanya mengejutkan orang yang tadi menyenggol lengan si korban, tapi juga membuatnya berteriak kaget tanpa sadar.
"Huaaaaaaww...!!" ia berlari buru-buru menjauhi korban.
"Lariii...!" teriak Juru Jagal yang merasa tak mampu lagi menghadapi ilmu pemuda konyol itu. Tiga orang termasuk Juru Jagal sendiri segera melarikan diri menyusul Bandar Santet.
"Hoii...! Aku hanya bertahan! Tidak menyerang kalian sesuai perjanjian! Mengapa kalian lari?!" seru Suto Sinting dengan berlagak bingung, tapi bibirnya mulai sunggingkan senyum geli melihat mereka lari tunggang langgang. Juru Jagal diseret dua anah buahnya ketika berusaha mendaki tanah yang menuju ke atas tebing.
Belatung Gerhana berseru kegirangan sambil melompat-lompat. "Mampus kalian! Mampus semua! Ayo, turun kalian kemari! Ayo, hadapi pedangku itu! Suruh si Bandar Santet kemari! Lawan pedang pusakaku itu! Huaa, haaa, haaa, haaa, haaa...!"
Jeebb...!
"Haakkh...!" Belatung Gerhana tersentak dengan mata mendelik. Sesuatu telah menancap di punggungnya.
Suara pekikan tertahan dan tawa terputus si Belatung Gerhana memancing perhatian Suto Sinting untuk menengok ke arah si gemuk. Pelan-pelan kepalanya memutar kebelakang bersama tubuhnya yang ikut memutar juga. Kejap berikut mata Suto Sinting terbelalak melihat Belatung Gerhana jatuh tengkurap di rerumputan. Bluuumb...!
"Belatung...?!!" pekik Suto begitu kagetnya. Zlaaap...! Dalam sekejap ia sudah berada di samping tubuh gemuk yang kali ini tengkurap di tanah seperti prasasti tanpa sejarah. "Belatung...! Belatung Gerhana! Hooi... hoooi...!"
Suto Sinting mengguncang-guncang badan gemuk besar itu dengan dua tangan. Satu tangan tanpa tenaga dalam tak cukup mengguncang tubuh besar si Belatung Gerhana. Tapi guncangan itu tidak membuat si Belatung menjawab sepatah kata pun.
* * *
EMPAT
Mata Suto Sinting terbelalak ketika melihat sekeping logam tertancap di punggung Belatung Gerhana. Benda itu tepatnya menancap dibawah tengkuk, mengenai urat nadi yang sangat berbahaya. Pendekar Mabuk buru-buru mencabut benda tersebut. Sleeb...! Ternyata sekeping logam putih berbentuk segitiga. Logam putih dengan tepian kebiru-biruan itu jelas mengandung racun yang cukup berbahaya. Karena menancap pada urat nadi yang sangat rawan, maka Belatung Gerhana pun tumbang dalam waktu tiga hitungan.
"Celaka! Kalau tidak segera kutolong dengan tuakku, bisa tewas si gendut tolol ini!" gumam Suto Sinting dalam hati. Lalu ia berusaha membalikkan tubuh gemuk besar yang tengkurap itu. Terpaksa menggunakan tenaga dalam sedikit, biar tidak terlalu berat. Wuut, gubruuk...! Mata si gemuk besaritu mendelik dengan mulut tornganga.
"Untung mulutnya menganga seperti lubang belut, jadi mudah kutuangi tuak."
Karena sangat gemuk, badan Belatung Gerhana tampak membusung tinggi. Suto Sinting terpaksa naik ke leher dan duduk didada, lalu mengucurkan tuak ke mulut itu. Krucuk, krucuk,krucuk...!
Tuak tinggal sedikit. Kurang dari separoh bumbung. Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuak dengan tutupnya yang berupa tempurung bersejarah. Baru saja ia akan turun dari atas dada si Belatung, tiba-tiba dari arah belakangnya meluncur sekeping logam putih yang sama persis dengan yang menancap di punggung Belatung Gerhana.
Ziiing...! Trraang...! Bumbung tuak yang masih digenggam di tangannya itu segera dipakai menangkis benda tersebut. Benda itu memantul dengan gerakan lebih cepat lagi. Secara tidak sengaja pantulannya mengarah pada sebatang pohon. Jeeb...! Tampak oleh Suto benda itu menancap dalam bentuk segitiga yang salah satu sudutnya tenggelam ke batang pohon.
Zlaap, zlaap...! Pendekar Mabuk berpindah tempat dengan cepat. Arah gerakannya justru mendekati datangnya senjata rahasia tersebut. Tampak olehnya seorang lelaki berdiri di balik dua pohon yang tumbuh merapat. Pohon itu dirimbuni oleh semak-semak pada bagian bawahnya. Suto Sinting berada di belakang orang tersebut dalam jarak sekitar tujuh langkah.
"Eheem...!" Suto mendehem satu kali. Orang itu terkejut dan segera berpaling kebelakang. Suto Sinting menyapanya dengan tenang. "Haai...! Sedang beternak apa di situ, Mbah.,.?!"
Tentu saja sapaan itu berkesan menghina bagi lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu. la menggeram dengan mata melotot menampakkan kegalakannya. Tapi pendekar muda itu hanya sunggingkan senyum dengan sikap berdiri santai, pundak kirinya disandarkan pada pohon, hingga tampak sedikit miring. Kedua tangannya bersidekap di dada, sedangkan matanya memandang tajam penuh waspada.
"Rupanya kau ingin pamer ilmu di depanku, hah?!" gertak orang kurus kerempeng berambut kucai sepundak.
"Bukankah kau yang memamerkan ilmu di depan ku? Kau telah melukai temanku dan melemparkan senjata rahasiamu padaku. Apa maksudmu melukai teman gemukku itu, Mbah?!"
"Dia pernah menyerang kapalku dengan orang-orangnya! Hampir saja kapalku hancur gara-gara ulahnya!"
"Ooo, begitu...?!" Suto Sinting manggut-manggut dengan santainya. "Jadi kau punya dendam pada si Belatung Gerhana itu?!"
"Juga kepadamu, Pendekar Mabuk!"
"Lho...?!" Suto Sinting sedikit kaget. "Kau sudah mengenalku rupanya!"
"Sudah waktunya menangkapmu!"
"Aneh...?!" gumam Suto pelan sambil memperhatikan orang tersebut. la merasa baru kali itu bertemu dengan orang yang mengenakan ikat kepala dari lempengan emas berhias batu-batuan. Sambil melangkah ke samping kiri, mengimbangi lawannya yang melangkah ke samping kiri juga, Suto Sinting mencoba mengingat-ingat siapa tokoh berpedang bagus di pinggangnya itu.
Dilihat dari kumisnya yang melengkung ke dagu, alisnya yang naik dan wajahnya yang berkesan sadis, Suto Sinting menduga orang tersebut adalah salah satu anak buah si Bandar Santet. Tapi jubah birunya yang berlengan panjang itu tampaknya terbuat dari kain berharga mahal.
"Padahal pakaian orang-orangnya Bandar Santet tak ada yang sebagus dia punya?!" gumam Suto dalam hati. "Mengapa kau ingin menangkapku?! Siapa kau sebenarnya, Mbah?!"
"Buka matamu yang rabun itu lebar-lebar! Akulah yang pernah diserbu oleh para pendukungmu di Pantai Karang Hantu."
"Pantai Karang Hantu...?!" Suto Sinting menggumam bernada heran. Dahinya berkerut cukup tajam.
"Akulah yang bernama Perwira Tombala!"
"Ooo... yaaa, yaaa, yaaa...! Kau orang Mangol yang mencari pemuda tanpa pusar untuk dijadikan tumbal pembangunan kuil di negerimu sana, bukan?!"
"Biar sinting tapi kau punya otak lumayan cerdas, Bocah kunyuk!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum makin lebar. la sama sekali tak menduga bakal bertemu dengan Perwira Mangol yang diutus oleh kaisarnya untuk mencari pemuda tanpa pusar. Tapi kedatangannya ke Tanah Jawa bersama atasannya yang bemama Laksamana Tanduk Naga itu disambut oleh para pengikut dan pengagum Pendekar Mabuk dengan uluran pedang. Pertempuran di Pantai Karang Hantu membuat Perwira Tombala dan Laksamana Tanduk Naga yang bernama Maharani itu menghilang setelah kapalnya hancur. Sejak itu, kedua orang tersebut tak diketahui berada di mana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pemburu Tumbal).
"Kudengar kau adalah pengawal kepercayaan si Laksamana Tanduk Naga?!" ujar Suto menjadi tenang kembali. "Dimana atasanmu itu sekarang berada? Mengapa tak ikut denganmu? Apakah dia mati dilaut dan dimakan ikan-ikan cucut?! Begitukah, Cut?!" ejek Suto Sinting, semakin membuat Perwira Tombala menyeringai penuh kebencian.
"Tugasku hanya menangkapmu! Jika kau ingin tahu di mana Laksamana Tanduk Naga, menyerahlah padaku! Kau akan kubawa menghadap beliau sekarang juga!"
"Oh, jadi kau tidak mencari Goa Kembar seperti mereka?!"
"Kau mau menyerah secara halus atau memaksaku bertindak kasar?!" bentak Perwira Tombala dengan garang.
Rupanya orang Mangol itu tidak tahu menahu masalah harta karun dan Goa Kembar. Secara kebetulan, ketika ia melewati tempat tak jauh dari situ, ia mendengar suara ledakan. Ledakan itu adalah cahaya merah yang datang dari tangan Juru Jagal tadi. Ledakan itu memancing minatnya untuk melihat apa yang terjadi di tempat tersebut.
Tapi ketika ia tiba di situ, Juru Jagal dan dua anak buahnya sedang mendaki untuk larikan diri. la tak sempat melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan ke enam lawannya tadi. Namun ia melihat Belatung Gerhana yang diingatnya pernah mencoba-coba menyerang kapalnya ketika kapal bertiang layar tiga itu sedang menuju ke Tanah Jawa.
Kebenciannya kepada si Beiatung Gerhana dilampiaskan dengan keji. Ia bermaksud membunuh manusia gemuk itu. la baru sadar bahwa Belatung Gerhana ada bersama Pendekar Mabuk, setelah Pendekar Mabuk tuangkan tuak ke mulut Belatung Gerhana. Tugas menangkap pemuda tanpa pusar itu pun segera dilakukan dengan mencoba melemparkan senjata rahasianya kearah Suto Sinting.
"Perwira Tombala...," ujar Suto Sinting, "Sebelum aku menyerahkan diri padamu, dan mau kau jadikan tumbal demi pembangunan kuil keramat di negeri Mangol sana, aku ingin mengetahui sesuatu dari dulu. Kuharap kau mau menjelaskannya dengan benar dan jujur!"
"Keparat! Apa yang ingin kau ketahui, hah?!"
"Siapa yang menyuruhmu mencari tumbal seorang pemuda tanpa pusar seperti diriku ini?! Siapa pula yang memberitahukan pada pihakmu, bahwa di Tanah Jawa ini ada pemuda tanpa pusar yang bergelar Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, lengkap dengan ciri-cirinya!"
Tombala berdiri merenggang kaki, tegak dan berkesan gagah walaupun kerempeng. Kedua jempol tangannya disangkutkan pada ikat pinggang di depan perut. Matanya memandang penuh perhitungan. "Apa perlumu kau mengetahuinya?!"
"Supaya aku ikhlas menjadi tumbal kuil keramatmu itu! Jika aku tak ikhlas menjadi tumbal, maka kuil keramatmu akan runtuh. Bahkan arwahku akan menjungkir balikkan negerimu!" jawab Suto Sinting beralasan cukup kuat menurut perhitungan Perwira Tombala.
"Baik. Kukatakan yang sesungguhnya, saran itu datang dari seorang pendita yang berkelana dan singgah di Mangol. Kami sangat menghargai beliau karena beliau adalah sahabat ayah kaisar kami!"
"Siapa nama pendita itu?!"
"Pendita Amor...!"
"Ooo...," Suto Sinting menggumam tenang. Tapi sebenarnya hatinya tersentak kaget.
Pendita Amor adalah musuh gurunya. Musuh si Gila Tuak, Berkali-kali Pendita Amor mencoba membunuh Gila Tuak, tapi tak berhasil. Bahkan percobaan yang terakhir dilakukan oleh Pendita Amor aliran sesat itu pada saat si Gila Tuak sedang sakit parah. Namun Pendekar Mabuk sebagai murid tunggalnya berhasil memukul mundur Pendita Amor, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Misteri Tuak Dewata).
Pendita aliran hitam itu menaruh dendam bukan saja kepada Gila Tuak, melainkan juga kepada muridnya si Gila Tuak. la merasa malu, sekaligus sakit hati, sebab kesaktian ilmunya bisa dikalahkan oleh anak kemarin sore seperti Suto Sinting itu. Rupanya segala macam cara dipergunakan oleh Pendita Amor untuk membunuh Pendekar Mabuk sekaligus melenyapkan kebesaran nama si Gila Tuak. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah dengan mempengaruhi Kaisar Mangol agar memburu Pendekar Mabuk dengan memberi saran konyol dan memuakkan bagi Suto Sinting sendiri.
"Perwira Tombala, perlu kau ketahui, bahwa Pendita Amor adalah pendita sesat dari golongan hitam yang menyimpan dendam pada guruku, juga kepada diriku. Pihakmu dan pihakku diadu domba oleh Pendita Amor. Berulang kali dia gagal membunuh guruku karena aku selalu menggagalkan usahanya itu. Maka ia menggunakan akal liciknya dengan meminjam kekuatan orang-orang Mangol."
"Simpan saja celotehmu buat dongeng menjelang tidur kucingmu! Sekarang aku harus menangkapmu dan membawamu pulang ke Mangol!"
Suto Sinting hembuskan napas panjang, membuang rasa kesal atas sikap perwira kapal yang ngotot itu! Akhirnya ia pun berkata dengan nada tegas. "Kalau aku menolak, bagaimana?!"
"Aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Kalau aku mau melayani kekerasanmu, bagaimana?"
"Kau pasti akan mati dan yang kubawa pulang adalah mayatmu!"
"Kalau ternyata kau yang mati, bagaimana?!"
"Biadab! Makin lama kata-katamu makin memanaskan telingaku, Pendekar Mabuk!" geram Perwira Mongol, tampak tak bisa bersabar lagi.
Sreet... pedang mewah itu dicabut dari sarungnya. Cahaya berkilauan karena sinar matahari sesekali me mantul melalui mengkilapnya pedang anti karat itu. Perwira Tombala memainkannya pelan-pelan sambil bergerak lambat ke arah kiri.
Pendekar Mabuk tetap tenang, bergerak ke arah kiri membentuk lingkaran dengan senyum tipis tetap menghias bibirnya. "Agaknya orang ini pandai menggunakan pedang. Ilmu pedangnya pasti cukup hebat. Aku harus hati-hati dengan jurus tipuan pedangnya," pikir Suto Sinting sambil mata jelinya mengawasi tiap gerakan tangan dan kaki lawannya.
"Kau akan menyesal berhadapan dengan Perwira Tombala, Bocah beb al! Perlu kau ketahui, jika satu hari pedangku tak merenggut nyawa manusia, maka ia akan berjalan sendiri mencari mangsa! Kali ini agaknya walaupun aku tak mau melakukan pertarungan denganmu, maka pedangku akan berjalan sendiri merenggut nyawamu, Pendekar Mabuk!"
"Perlu kau ketahui juga, Tombala... pedangmu itu terlalu lamban. Nyawaku sudah menunggu terlalu lama, tapi baru sekarang ia muncul di depanku, seperti perawan tua menunggu pangeran tertampan di dunia!"
"Ghhhrrm...!" Perwira Tombala bertambah geram. Matanya memicing penuh kebencian. Suaranya pun makin merendah tapi bernada berat, seakan terbebani nafsu untuk membunuh yang begitu besar. "Buktikan sesumbar busukmu itu, Nak! Heeaaah...!"
Perwira Tombala berlari menyeruduk dengan gerakan! cepat. Ujung pedangnya yang runcing itu dihujamkan ke perut Pendekar Mabuk. Wuuurt, suuut...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk pindah tempat dalam waktu teramat singkat. Gerakannya yang menggunakan jurus Gerak Siluman' itu tak sempat dilihat oleh Perwira Tombala, sehingga pedang sang perwira terpaksa hanya bisa menembus udara kosong.
Dengan wajah angker mata sadis, Perwira Tombala clingak-clinguk sebentar. Kemudian segera berpaling kebelakang dengan cepat setelah mendengar suara lawannya bernada melecehkan.
"Cari apa, Tom...?!"
Seet...! Begitu ia berpaling menatap kearah Pendekar Mabuk, tiba-tiba jurus 'Jari Guntur' dilepaskan oleh Suto. Sentilan jari yang keluarkan hawa padat seberat tendangan kuda jantan itu diarahkan ke dada Perwira Tombala. Tees...!
Perwira Tombala tak kalah cepat. Telapak tangan kirinya disentakkan ke depan. Deeb...! la terdorong mundur ketika tenaga dalamnya yang keluar dari telapak tangan itu terhantam hawa padatnya jurus Jari Guntur'. Perwira kurus itu masih tetap berdiri dengan sedikit membungkuk, karena sentakan yang mendorongnya ke belakang tadi tidak membuatnya jatuh. la justru segera memainkan pedangnya di sekeliling tubuh. Tiba-tiba kaki kirinya diangkat dan, blaas...! Tubuhnya melesat dengan cepat menerjang Pendekar Mabuk.
Wuiiz, wuiiz...! Dua kelebatan pedang itu disabetkan sebagai penggoda perhatian lawan. Setelah itu pedang tersebut menyentak ke depan dengan sangat cepat. Suuut...!
Traang...! Bumbung tuak Suto menangkisnya. Ujung pedang memercikkan bunga api ketika berbenturan dengan bumbung tuak.
Trang, trang, tring...! Wuiiz, trang, wuiiz...! Crass...!
"Aahk...!" Suto Sinting melompat mundur sambil terpekik pelan. Lengannya robek akibat tebasan pedang beruntun. Salah satu tebasan meleset dari tangkisan bumbung tuak sehingga merobekkan kulit dan daging lengan, dekat pergelangan tangan.
"Gila! Sabetan pedangnya nyaris tak bisa kuterka kemana arahnya!" geram Suto Sinting dalam hati sambil pandangi lukanya sebentar. Luka itu cukup dalam dan membuat darah menjadi berbusa. "Celaka! Pedangnya ternyata beracun juga. Aku harus mengatasi racun ini dulu sebelum menyebar ke seluruh tubuhku."
Tak ada kesempatan bagi Suto untuk menenggak tuaknya..Mau tak mau ia mengatasi luka itu dengan salurkan hawa murninya melalui peredaran darah. la sengaja mengulur waktu dengan memutar ke sana-sini untuk mengatasi lukanya itu. Sayang sekali waktu itu Pendekar Mabuk sudah tidak memegang pedangnya Belatung Gerhana. Pedang itu digeletakkan di samping si gemuk saat ingin menuangkan tuak. Ketika melesat mencari si pelempar senjata rahasia, pedang itu tidak ikut terbawa.
Kini pedang tersebut sudah ada di tangan si Belatung Gerhana. Nyawa orang gemuk besar itu tertolong oleh tuak Suto. Tapi ketika ia melihat Suto Sinting bertarung dengan Perwira Tombala, ia ingat siapa orang itu. la pun tahu bahwa ilmunya tak akan bisa dipakai menggulingkan si tua bertubuh kerempeng.
"Gawat! Dia si pemilik kapal yang tempo hari mau kuganggu itu! Kurasa dia tadi ingin membunuhku, tapi... tapi sepertinya Suto menyelamatkan nyawaku dari sesuatu yang diiemparkan si kerempeng itu. Ooh, kalau begitu aku harus segera lari jauh-jauh agar si kerempeng tak menemukan diriku lagi!"
Belatung Gerhana tak segan-segan melarikan diri. Sekali pun larinya tak bisa cepat, tapi ia tetap berusaha menyembunyikan tubuhnya yang besar itu sebelum pertarungan Suto dengan si kerempeng usai. Belatung Gerhana tak melihat saat Perwira Tombala kerahkan ilmunya dalam melawan Pendekar Mabuk. Sebuah ilmu langka digunakan Perwira Tombala. Pedangnya yang ditebaskan ke kanan-kiri dengan cepat itu memancarkan sinar merah pada bagian ujungnya. Ketika tubuhnya bermaksud menerjang Pendekar Mabuk dan pedangnya ditebaskan, sinar merah di ujung pedang itu keluarkan asap tipis dan kecil sebesar lidi. Asap itu adalah asap merah yang bergerak bagaikan benang di ujung pedang.
WuUiz, wuiiz, wuuiz...!
si perwira kapal bukan bermaksud menerjang Suto, tapi hanya bergerak mendekat dan memutari Pendekar Mabuk dengan gerakan sangat cepat dan membingungkan. Pendekar Mabuk ingin lepaskan pukulan tenaga dalamnya, tapi pukulan itu tak bisa diarahkan ke lawannya dengan tepat. Gerakan memutar semakin cepat. Perwira Tombala seperti ada sepuluh orang lebih. Sekeliling Suto mulai dipenuhi asap merah. Wajah pemuda tampan itu sempat menjadi tegang.
"Dia mengurungku dengan asap merah. Pasti asap berbahaya! Aku harus keluar secepatnya!" Zlaaap...! Craass...!
"Aaouh...!" Suto terpekik dengan suara tertahan. Pada waktu ia melesat keluar dari asap merah yang mengurungnya, pedang lawan berhasil menyabet perut dan membuat luka cukup panjang di bagian perutnya. Luka itu segera keluarkan darah bercampur asap merah.
Pendekar Mabuk mengerang dengan tubuh kejang, karena asap merah yang mengepul dari luka terhirup dalam pernapasannya. Paru-paru terasa terbakar. Panas sekali. Dada bagaikan dipanggang diatas kobaran api. Pandangan mata pun mulai buram. Urat-urat yang mengejang kaku di paksakan untuk melangkah dan jauhi lawan.
Tapi waktu itu Perwira Tombala sempat berseru dengan bangga. "Kau tak akan bisa selamat jika sudah tergores oleh pedangku, Bocah sinting! Asap merah dari 'Hawa Iblis'-ku sudah merasuk dalam pernapasanmu, menyatu pula dengan darahmu. Tak lama lagi Hawa Iblis' itu akan merenggut nyawamu tanpa ada penangkalnya!"
Pendekar Mabuk kerahkan tenaga untuk bisa melangkah. Tapi sekujur tubuhnya bagaikan terbuat dari besi. Berat dan kaku sekali. Disamping itu, hawa panas yang ada di dalam dada semakin menyengat, seakan mengeroposkan bagian dalam tubuh sedikit demi sedikit. Pendekar Mabuk ingin menenggak tuaknya. Melihat gelagat demikian, Perwira Tombala segera menerjang tangan Pendekar Mabuk agar bumbung tuak terlepas dari genggamannya.
Wuuut...! Bruuus...!
Perwira Tombala terlempar ke samping kiri. Rupanya saat tubuhnya melayang mau menerjang Suto, ada sekelebat bayangan yang menerjangnya pula dari arah kanan. Terjangan itulah yang membuat Suto Sinting terpelanting, sebab bayangan yang berkelebat menerjang Perwira Tombala itu keluarkan angin yang menyentak dan membuat tubuh Suto Sinting terhempas limbung.
"Ooh, uuhk...! Siapa orang itu? Siapa dia yang menolongku?!" tanya Suto dengan batinnya sendiri. Suto sempat perhatikan seorang lelaki gemuk berjubah coklat bintik-bintik putih. Orang yang kini berdiri berhadapan dengan Perwira Tombala itu memang gemuk, tapi tidak sebesar Belatung Gerhana.
Melihat rambut orang itu hanya dibagian ubun-ubun saja dan berwarna putih rata, ingatan Suto Sinting masih sempat melayang pada kata-kata gurunya tentang seorang tokoh yang sosok penampilannya mirip Semar, dalam cerita pewayangan. Seketika itu juga hati Suto Sinting menyebut nama si tokoh yang baru datang itu.
"Eyang... Dewa Kubur...?!" sambil langkah Suto semakin kaku dan terhuyung-huyung ke belakang. Tangannya bagaikan tak kuat untuk membuka tutup bumbung tuak. Matanya pun semakin buram dan mengecil.
"Awas, ada dua sumur di belakangmu, Nak!" seru si kakek berusia sekitar delapan puluh tahun yang memegang tongkat besi dengan ujung trisula itu. la memang si Dewa Kubur dari Gunung Gandul. Dewa Kubur ingin menyambar Pendekar Mabuk yang sudah berada di tepi lubang yang disebut sumur. Tapi si perwira dari Mangol itu menggeram murka dan segera lakukan terjangan dengan pedang berasap merah.
"Heeaaat...!" Weess...!
Dewa Kubur angkat tongkat trisulanya, lalu menyentakkan tongkat itu ke depan dalam jarak pendek. Dees...! Blaab, blaab...! Sinar biru menyebar sekejap. Ketika sinar itu diterjang Perwira Tombala, terjadilah ledakan yang cukup mengguncangkan alam sekitarnya.
Blegggaaarr...!
Tombala terlempar kebelakang, melayang-layang kehilangan keseimbangan badan. Sementara itu, Suto Sinting justru jatuh terpelanting karena gelombang ledakan tadi mengguncangkan tanah yang dipijaknya. la pun tak bisa menjaga keseimbangan badannya lagi, sehingga akibatnya pemuda itu terlempar masuk ke salah satu dari dua lubang besar yang disebut sumur tadi.
Brooossk...!
"Haah...?! Ooh...?! Aaaaaaa...!" ia hanya bisa memekik sambil tubuhnya melayang masuk ke dalam salah satu sumur kering itu. Wuuurrss...!
Gema suaranya masih terdengar dari tempat si Dewa Kubur sentakkan tongkatnya tadi. Tokoh tua yang terlambat bergerak itu segera melesat dalam satu sentakan. Tahu-tahu ia sudah berada di tepi lubang bergaris tengah sekitar dua tombak. Ada dua lubang yang ukurannya hampir sama. Jaraknya hanya satu langkah. Tapi karena rimbunnya rumput yang tumbuh di sekitarnya, maka lubang tersebut tak sempat terlihat Pendekar Mabuk.
Dewa Kubur mengetahui lubang itu, karena waktu ia dekati tempat terjadinya ledakan besar tadi, ia hampir saja terjeblos masuk ke lubang tersebut. Lubang itu sangat dalam dan gelap. Makin ke dalam makin tak bisa terlihat isinya. Lubang itu menyerupai sumur tanpa dasar. Bahkan suara teriakan Suto pun menghilang, suara jatuhnya tubuh Suto pun tak terdengar.
Dewa Kubur hanya bisa tarik napas memendam rasa penyesalannya akibat tak bisa menyambar tubuh anak muda yang tadi didengarnya dipanggil Pendekar Mabuk oleh Perwira Tombala. Dewa Kubur ingat, Pendekar Mabuk adalah murid sahabatnya. Sebab itulah ia bermaksud selamatkan Pendekar Mabuk.
Penyelamatan itu terlambat. Suto Sinting masuk ke dalam sumur tua yang kedalamannya tak bisa diduga. Dengan begitu, maka nasib si Pendekar Mabuk pun tak dapat diterka oleh Dewa Kubur. Satu -satunya anggapan yang ada dalam benak Dewa Kubur, murid sahabatnya itu tewas dan mayatnya tak bisa ditemukan.
* * *
LIMA
Hawa dingin terasa meresap melalui pori-pori, bagaikan menembus sampai ke dasar tulang. Hawa dingin itu membuat kelopak mata sulit dibuka jika tidak dipaksakan. Pada mulanya yang dirasakan Pendekar Mabuk adalah sebentuk keheningan tanpa suara apa pun. Keheningan yang bercampur hawa dingin membuat debar-debar ketegangan tersendiri di dalam hati anak muda itu. Batin pun berbicara kepada sang jati diri, bertanya dan bertanya dengan nada yang sama.
"Di mana aku ini?"
"Di alam kematian."
"Mengapa begitu sunyi?"
"Tentu saja. Karena kau berada di alam kematian. Kalau suasananya ramai, pasti kau berada di tengah pasar malam."
"Jadi, sekarang aku sudah mati?"
"Sudah. Kau bertarung dengan Perwira Tombala, lalu terluka dan terperosok masuk ke sumur tua."
"Aku mau hidup lagi, ah!"
"Tidak bisa. Kau sudah waktunya mati."
"Tapi aku kan belum kawin?"
"Salahnya kenapa tidak mau kawin dari dulu?"
"Lalu, bagaimana nasib kekasihku; Dyah Sariningrum itu?"
"Menjadi janda kembung."
"Husy...! Setahuku yang ada hanya istilah janda kembang. Kalau janda kembung itu janda yang bagaimana?"
"Janda kembang itu sudah cerai tapi belum punya anak. Kalau janda kembung sudah cerai tapi belum sempat menikah!"
"Ooo... kasihan, ya?"
"Kasihanilah dirimu sendiri sebelum kau dikasihani orang lain!"
"lya, maksudku yang kasihan itu diriku. Belum kawin sudah mati. Mendingan belum mati tapi sudah kawin, ya?"
"lya...! Sudah, sekarang bersiaplah untuk menghadap pengadilan terakhir!"
"Lho, mati kok di adili?!"
"Mempertanggungjawabkan segala tingkah laku mu selama hidup didunia. Semua orang akan begitu!"
"Ooo... lalu, aku nanti dihukum?"
"Tergantung budi baikmu selama kau hidup didunia. Kalau kau sering berbuat jahat, ya dihukum. Kalau kau sering berbuat baik, ya tidak dihukum."
"Tapi... tapi aku mau minum tuakku dulu, ah!"
"Tidak bisa. Orang mati tidak boleh minum tuak! Kau harus jadi orang mati yang patuh."
"Ah, siapa bilang orang mati tidak boleh minum tuak?"
"Ingatlah semasa hidupmu. Teman atau kerabatmu yang sudah mati itu, apakah mayatnya mau minum tuak?"
"Hmmm, yaa... memang belum pernah ada orang mati minum tuak."
"Nah, itu lantaran mereka patuh dengan tata tertib kematian. Salah satu tata tertib itu berbunyi: 'barang siapa telah mati dan menjadi mayat, dilarang minum minuman keras'. Makanya mereka tidak ada yang minum tuak atau minum arak, bukan?"
"Waah... kok begitu ya...?"
Percakapan batin dan sang jati diri berhenti sesaat. Hawa dingin mulai terasa melonggarkan dada. Seakan ada semacam kabut dingin yang menggumpal-gumpal di ulu hati, lalu menyebar ke segala penjuru, menciptakan kelegaan tersendiri.
"Aku mau buka mata, ah!"
"Husy! Orang mati tidak boleh melek!"
"Memangnya kalau melek, kenapa?"
"Kelilipan tanah, Goblok!"
"O, iya, ya...?! "
"Sudah, merem saja!"
"Tapi aku ingin tahu pemandangan di alam kubur ini. Ngintip sedikit tidak apa-apa, kan?"
"Ya, sudah. Tapi sedikit saja ngintipnya, ya? Jangan buka mata lebar lebar."
"Kalau lebar-lebar, kenapa?"
"Dicolok setan, Iho...!"
"O, iya, ya...? Kalau begitu aku mau buka mata sedikit saja, ah!"
Bulu mata yang tergolong lebat untuk ukuran seorang lelaki itu bergerak-gerak pelan. Sedikit demi sedikit garis kelopak mata Suto Sinting dibuka. Seet...! Pemandangan masih buram, mungkin terlalu lama memejam, masih perlu menyesuaikan jarak pandang. Lama kelamaan tampaklah oleh sang mata kiri sebentuk cahaya yang berpijar-pijar.
"Cahaya apa itu, ya?"
Jati diri menjawab, "Itu cahaya kehidupanmu yang kini telah kau tinggalkan."
"Ooo... kok seperti lilin ?"
"Karena semasa hidup kau rela berkorban demi menolong orang lain. Lilin kan begitu. Berani meleleh demi menerangi orang lain."
"Ooo... kalau selama hidupku, aku tak mau berkorban untuk menolong orang lain, cahaya kehidupanku seperti apa?"
"Seperti kunang-kunang. Cahayanya mana bisa di pakai untuk cari uang jatuh di tempat gelap? Tidak bisa, kan?!"
Kelopak mata terbuka semakin lebar lagi. Cahaya yang dilihatnya bertambah jelas. Lebih lebar lagi kelopak mata dibuka, lebih jelas lagi bahwa yang dipandang itu adalah memang sebatang lilin.
Byaak...! Kedua mata Suto Sinting terbuka semua. "Lhoo... kenapa aku berada di antara lilin-lilin? Di mana aku ini?! Oooh... kedua tanganku terikat?! Kedua kakiku juga terikat? Siapa yang merentangkan tangan dan kakiku sebegini rupa?!"
Pendekar Mabuk memandang sekeliling. Ternyata ia berada di sebuah ruangan besar berdinding batu. Tubuhnya direntangkan pada sebidang batu rata yang berposisi miring, agak merebah setengah berdiri. Tangan dan kaki yang direntangkan itu diikat dengan rantai putih. Rantai itu disentakkan, ternyata tak mudah lepas. Hanya suara gemericiknya yang membuat Suto menjadi jengkel sendiri.
"Benarkah aku di alam kematian?" batin Suto menjadi sangsi. Dipandangnya lilin-lilin yang ada di sekitarnya. Nyala api lilin itu menari-nari dengan gemulai lembut menandakan hembusan angin sangat pelan. Jumlah lilin yang ada di ruangan itu tak bisa dihitung. Yang paling banyak menggerombol di sudut kanan-kiri tempat Suto terikat rantai.
"Aneh…! Lilin-lilin merah itu tidak ada yang meleleh?! Ooh, mungkin lilin itu adalah lilin abadi. Dulu aku pernah mendengar cerita tentang lilin abadi dari Bibi Guru Bidadari Jalang. Lilin itu dibungkus dengan sejenis kayu yang keluarkan getah terus-menerus walau sudah dipotong. Lalu kayu itu dibungkus dengan lilin. Maka jadilah lilin abadi. Jika meleleh, ia bersatu dengan getah kayu itu dan terjaga keutuhannya."
Pendekar Mabuk hembuskan napas panjang. la sedikit kaget. "Lho, kok aku masih ada napasnya?!" la menyentakkan napas lewat mulut beberapa kali. "Hahh, hahh, hahh, hahh...! Oh, aku masih punya napas. Berarti aku belum mati?! Berarti ini bukan di alam kematian. Lalu... di alam apa? Mengapa sepi sekali? Ruangan apa ini?!"
Setelah diperhatikan lebih cermat lagi, ternyata ruangan itu berdinding batu. Batu tak halus tapi membentuk permukaan dinding. Di sela-sela batu itu tampak tumbuh lumut berwarna putih, seperti salju. Ruangan itu sendiri berlangit-langit agak tinggi. Permukaan langit-langitnya juga tak rata. Ukuran ruangan itu cukup lebar. Bisa untuk berlatih jurus-jurus siiat yang tidak keluarkan tenaga dalam bersinar. Di sudut seberang ada lorong membelok ke kanan, ada juga yang membelok ke kiri. Pada kedua lorong itu masing-masing diterangi nyala api lilin berjumlah sekitar dua puluh batang. Udara di ruangan itu sedikit lembab. Mungkin jika tanpa nyala api lilin-lilin itu, udaranya sangat lembab dan tak bagus untuk pernapasan.
"Sepertinya aku berada di ruang bawah tanah," gumam Suto dalam hati. "Hmmm... siapa yang membawaku kemari?! Bukankah... bukankah aku jatuh ke dalam sumur saat bertarung melawan Perwira Tombala? Oh, ya... aku juga sempat melihat tokoh tua yang..."
Kata-kata hati itu terhenti seketika, karena dari arah lorong yang membelok ke kanan tampak sesosok bayangan muncul dari sana. Bayangan itu melangkah dengan tegap dan menghampiri Pendekar Mabuk. Pada saat itu pandangan mata Suto Sinting terkesip karena hatinya kaget menatap sosok wujud orang yang mendekatinya.
Temyata ia seorang wanita muda berusia sekitar duapuluh lima tahun. Tubuhnya selain tinggi juga sekal dan berisi. Rambutnya pendek sepundak lewat sedikit. Bagian depannya diponi tanpa ikat kepala. Gadis itu mempunyai wajah yang cantik walau sedikit seperti anak lelaki. Hidungnya mancung, matanya bundar bening dan terkesan tajam. Bibimya sedikit tebal tapi terkesan mungil. la berkulit kuning bersih.
Ia mengenakan baju buntung tanpa lengan dari kain berserat tembaga. Warnanya coklat kehitam-hitaman. Kain bawahnya seperti rok tapi mini sekali, bagaikan mempunyai rempel bersusun yang membuatnya menjadi tebal. Kain itu juga berserat tembaga, coklat kohitam-hitaman. la mengenakan sabuk lebar warna hitam. Pada sabuknya itu terdapat kantong kantong pisau sejumlah enam buah, lengkap dengan pisaunya yang bergagang hitam.
Seiain itu, sebilah pedang dari kristal. Baik gagangnya, mata pedangnya dan sarung pedangnya terbuat dari kristal. Pada gagang dan sarung pedang diberi hiasan batu-batuan merah dan hijau.
Si gadis bertubuh sekal dan tampak kekar itu mengenakan lapisan lengan dari lempengan logam seperti perunggu. Lempengan berukir itu membungkus pergelangan tangannya sampai mendekati siku. Jadi yang terlihat mulus hanya batas pundak sampai siku dan batas paha sampai kaki. Alas kaki yang dikenakan mempunyai tali melilit-lilit rapat di sepanjang betisnya.
Melihat sosok penampilan seperti itu, Pendekar Mabuk teringat penampilan seorang gadis yang dikenalnya dengan nama Pandawi, mantan pengawal Istana Kematian yang sudah menjadi sahabatnya itu. Agaknya gadis yang tinggi tubuhnya sedikit melebihi tinggi badan Suto itu juga seorang prajurit dari sebuah negeri. Mungkin saja dia penjaga bawah tanah itu.
Wajah cantiknya yang berkesan angkuh dan galak itu sengaja dipamerkan di depan Pendekar Mabuk, menunjukkan sikap permusuhannya. Tetapi wajah Pendekar Mabuk tetap menampakkan sikap bersahabat, ramah, tenang, tapi juga punya kesan sedikit wibawa.
Sriing...! Pedang kristai dicabut dari sarungnya. Ujungnya sangat runcing. Sepertinya mudah pecah, tapi sebenarnya keras dan kuat seperti baja. Ketajaman kedua sisinya tak terlihat nyata. Sepertinya tidak tajam, tapi sebenarnya melebihi ketajaman samurai. Ujung pedang runcing itu diacungkan didepan leher Suto Sinting. Mata gadis itu memandang dengan tajam dan berkesan galak. Pada saat itu, Pendekar Mabuk mendengar suara yang menyapanya dengan nada tak ramah.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur jika ingin selamatkan nyawamu sendiri! Berapa orang temanmu yang masuk kemari?!"
Pendekar Mabuk diam saja, matanya memandang heran ke wajah cantik itu. Sangat heran. Sebab ia mendengar gadis cantik itu bicara, tapi ia tak melihat bibir gadis itu bergerak-gerak saat mengucapkan kata. Bibir indah menggemaskan itu tetap terkatup rapat, tapi sua ranya terdengar jelas. Sengaja Suto tak menjawab karena ia sempat sangsi, benarkah ia mendengar suara gadis itu atau hanya halusinasi saja. Maka dipandanginya terus bibir si gadis saat suara kedua terdengar menyentak dengan ujung pedang terasa menempel dingin di tengah leher.
"Jawab pertanyaanku, Tuli!"
Pendekar Mabuk hanya berujar dalam batinnya, "Luar biasa gadis ini! Dia bicara tanpa membuka mulut. Dia merigirimkan suara batinnya padaku hingga tertangkap oleh indera pendengaranku! Baru sekarang kutemukan seorang gadis cantik yang mampu mengirimkan suara batinnya."
"Kalau kau sudah tahu tentang suara batin itu, Sekarang jawablah pertanyaanku tadi!" ujar si gadis.
Suto semakin terperanjat heran dalam hatinya. Ternyata gadis itu juga mampu mendengarkan ucapan batin seseorang. Mungkin bisa dilakukan dalam jarak tertentu, mungkin juga bisa dilakukan dalam jarak sejauh apa pun. Yang jelas, hal itu sangat menarik bagi Pendekar Mabuk.
"Kau mendengar suara batinku?" tanya Suto dalam hati. Tapi ia mendengar si gadis menjawab tanpa gerakan bibir.
"Kudengar dengan jelas sekali!"
"Baiklah, akan kujawab pertanyaanmu tadi. Aku tidak punya teman."
"Bohong!" bentak si gadis dengan mata sedikit melebar tapi bibir tetap terkatup rapat. "Kalau kau tak mau menjawab dengan benar, kutembus lehermu dengan pedang ini! Ayo, jawab... !"
"Kau boleh membunuhku sekarang juga, sebab aku tak punya jawaban lain. Aku sendiri masih bingung, di mana aku sekarang ini. Kau bisa jelaskan, Nona cantik?!" Kali ini Suto bicara dengan suara. la merasa lebih enak bicara dengan suara daripada dengan batin.
Si gadis memandanginya tanpa kedip, seakan ingin melihat raut kejujuran di wajah tampan Pendekar Mabuk itu. Sekitar sepuluh hitungan kemudian, ujung pedang sedikit ditarik ke belakang. Ketegangannya agak mengendur. "Kau berada di wilayahku!" gadis itupun bicara dengan suara mulut. Bibirnya bergerak-gerak, nada suaranya terdengar sedikit besar dan agak parau. Tidak sejernih suara gadis keraton.
"Di wilayah mana aku sekarang, Nona?! Tolong jelaskan padaku. Sebab, seingatku, aku sedang bertarung dengan Perwira Tombala, dan terperosok jatuh ke lubang. Setelah itu aku tak ingat lagi. Begitu aku sadar, aku sudah terikat begini!"
"Siapa namamu?!"
"Suto Sinting...!" sebut Suto dengan jelas dan tegas.
Si gadis tampak tenang, seperti tak mau peduli dengan nama itu. Rupanya ia belum tahu bahwa Suto Sinting itu adalah nama asli Pendekar Mabuk.
"Nama asliku Suto Sinting, tapi gelarku adalah Pendekar Mabuk!" tambah Suto untuk memancing tanggapan si gadis.
Ternyata gadis itu hanya menggumam pelan dan pendek. Tak merasa heran dan kagum sedikit pun. Hanya saja, pedangnya semakin ditarik mundur dan turun kebawah. "Kau orang Dataran Salju?!"
"Dataran Salju...?!" Suto Sinting menggumam bernada heran. Dahinya berkerut tajam, menandakan masih merasa asing dengan nama Dat aran Salju. "Aku baru sekarang mendengar nama Dataran Salju. Maukah kau jelaskan di mana letak Dataran Salju itu?!"
Si gadis tidak langsung menjawab. la melangkah mundur satu kali. Mata masih menatap penuh curiga. Rupanya ia sedang menyimak suara batin Suto yang terheran heran disangka sebagai orang Dataran Saiju. Suara batin Suto itulah yang dijadikan modal kepercayaan atas jawaban-jawaban tawanannya.
"Nona, apakah kau bermusuhan dengan orang Dataran Salju?!"
"Akan kujelaskan nanti jika kau mau sebutkan dari mana asalmu, siapa rajamu dan apa jabatanmu?!"
Suto Sinting sunggingkan senyum geli. "Aku berasal dari Jurang Lindu dan Lembah Badai. Aku tidak punya raja. Aku bukan prajurit, oleh karenanya aku tidak punya jabatan. Satu-satunya jabatan yang kumiliki, mungkin... gelar kependekaranku saja! Pendekar Mabuk!"
"Terserah, kau mau mabuk atau mau teler itu urusanmu! Tapi aku ingin tahu kau ada di pihak mana?"
"Ak... aku semakin bingung menjawab pertanyaan mu. Aku tidak punya pihak. Aku orang bebas! Termasuk bebas tanyakan siapa namamu, Nona?"
Si gadis masih memandang sedikit angkuh. Setelah diam beberapa saat, ia pun sebutkan namanya dengan jelas. "Citra Bisu."
"Itu... itu namamu?"
"Nama asliku Citra Mandagi. Tapi karena aku jarang bicara melalui mulutku, maka beberapa temanku, termasuk Gusti Ratu, menjuluki ku: Citra Bisu."
"Sebuah nama yang cantik, secantik orangnya, gumam Suto Sinting dalam hati. la lupa bahwa suara batinnya bisa didengar oleh Citra Bisu.
Tiba-tiba saja Citra Bisu tebaskan pedangnya empat k ali ke arah Pendekar Mabuk. Wiiz, wiiz, wiiz, wiiz...! Tentu saja tebasan pedang itu sangat mengejutkan Pendekar Mabuk. Pemuda itu dibuat menggeragap dan terheran-heran. Tak ada bagian tubuhnya yang terluka atau tergores seujung rambut pun. Pendekar Mabuk hanya merasakan angin tebasan tadi sangat dingin dan mendengar suara aneh empat kali.
Triik, triik, triik, trrik...!
Brruk...! Tiba-tiba Suto Sinting jatuh berlutut dalam sentakan kaget. Kejap berikut ia baru sadar bahwa tebasan pedang tadi telah memutuskan rantai pengikat pada kaki dan tangannya. Citra Bisu mundur dua langkah, lalu memasukkan pedang kesarungnya.
"Getaran batinmu kutangkap bukan sebagai getaran musuh, melainkan memang sebagai getaran batin orang yang tersesat!" ujar Citra Bisu, tapi diucapkan melalui batin. Suara batin itu sengaja dikirimkan kepada Suto, sehingga telinga Suto bagai mendengar bisikan jelas suara tersebut.
"Terima kasih kau telah mempercayaiku," jawab Suto menggunakan suara batin juga. la segera bangkit dan menghembuskan napas lega. "Aku haus sekali. Apakah kau melihat bumbung tuakku?"
"Kusimpan di Ruang Penangkal."
"Ruang Penangkal?! Ruangan untuk apa itu?!"
"Ikut aku!" tegas Citra Bisu tetap gurtakan suara batin. Gadis itu melangkah lebih dulu. Langkahnya sangat tegap dan menampakkan ketegarannya sebagai gadis yang berjiwa pemberani. Pendekar Mabuk ikuti langkah yang membelok ke kanan, ke lorong tempat kemuncul dari Citra Bisu tadi. Tapi Suto sempatkan berhenti dan memandang ke lorong sebelah kiri. Lorong itu cukupbdalam dan ujungnya membelok ke kiri. Tampak ada sinar merah pijar di ujung lorong tersebut, seperti cahaya api membara yang membuat lorong tersebut menjadi temaram.
"Ikut aku, Suto Sinting! Jangan coba-coba jalan ke lorong merah itu!" tegur Citra Bisu tanpa gerakan bibir.
"Mengapa aku tak boleh ke sana?"
"Maut ada di sana. Kutemukan dirimu di sana, hampir saja menggelinding masuk ke kuburan lahar."
"Kuburan lahar?!"
"Kubangan besar yang penuh dengan lahar panas!"
"Kau... kau temukan aku di sana?!"
"Saat aku lakukan pengawasan keliling, kulihat tubuhmu melayang dan jatuh di bibir kuburan lahar. Sebelum kau masuk ke kuburan lahar, kusambar dirimu dan kuperiksa keadaanmu. Ternyata kau bukan temanku. Oleh karenanya kau kesembuhkan dari lukamu dan kurantai sampai aku tahu dengan jelas siapa dirimu."
"Oo, jadi kau telah menyelamatkan nyawaku?!"
"Ikuti langkahku sekarang juga, Suto !" Citra Bisu melangkah lagi tanpa peduli pemuda itu masih tertegun bengong merenungi ceritanya.
Pendekar Mabuk segera menyusul langkah Citra Bisu karena ada yang ingin ditanyakan dengan segera. “Apakah... apakah kita berada di penjara bawah tanah?"
“Anggap saja begitu"
“Di.. di mana tepatnya?”
“Mendekati dasar bumi."
“Ooh. ..?! Ja... jadi kau siapa? Maksudku... meengapa kau ada di sini dan rnenyangkaku sebagai orang Dataran Salju?!”
Citra Bisu tidak langsung menjawab. la justru membawa Suto membelok ke kanan lagi, lalu kekiri. Mereka sampai di sebuah ruagan bercahaya biru. Pendekar Mabuk terkesima melihat semua batu dan dinding yang ada di ruangan tersebut memancarkan cahaya biru pijar. Ruangan itu juga penuh dengan senjata aneka jenis, dari tombak, perisai, golok, kapak, dan lain-lainnya. Senjata-senjata itu diletakkah dalam keadaan berdiri diatas tanah tanpa penyangga apa pun. Bahkan sebagian senjata tampak ada yahg melayang-layang di udara tanpa menyentuh tanah atau bebatuan yang ada di situ, Salah satu benda yang melayang di udara adalah bumbung tuaknya Pendekar Mabuk.
"Oh, itu dia bumbungku!" sentak Suto girang.
"Ambillah...!" perintah Citra Bisu dengan suara batin.
Setelah Suto Sinting dapatkan bumbung tuaknya, Citra Bisu menyambung ucapannya lagi. "Ternyata benda itu tak pernah kau gunakan untuk kejahatan."
"Dari mana kau tahu?"
"Semua senjata yang ada di sini akan mengambang di udara jika tak pernah dipakai untuk kejahatan. Tapi jika benda tersebut punya kekuatan gaib hitam, sering dipakai membunuh demi kejahatan, maka senjata itu tak bisa mengambang, melainkan menempel pada tanah. Kekuatan gaibnya tersedot habis oleh tanah dan bebatuan di sini. Termasuk dirimu."
"Termasuk diriku bagaimana?"
"Kalau kau berhati jahat, penuh dengan ilmu hitam , maka tanah dan bebatuan di sini akan menghisap tubuhmu, menyerap habis seluruh ilmu kejahatanmu melalui telapak kakimu. Tapi jika kau berhati baik, maka kau akan mengambang di ruangan ini."
"Oh, kalau begitu aku berhati jahat, karena..."
"Lihat telapak kakimu!"
Pendekar Mabuk memandang telapak kakinya. la sangat terkejut melihat kedua telapak kakinya tak menyentuh tanah. "Ooh, ternyata telapak kakiku tak menyentuh tanah?! Dan... dan kau juga...?!"
Telapak kaki Citra Bisu juga tidak menyentuh tanah. Kedua telapak kaki itu mengambang sekitar setengah jengkal dari permukaan tanah. Tapi Suto Sinting merasa kakinya seperti menginjak tempat yang padat. "Ajaib sekali ruangan ini?!" gumam hati Pendekar Mabuk yang didengar oleh tetinga batin Citra Bisu.
"Memang ajaib sekali ruangan ini. Karenanya ku namakan sebagai Ruang Penangkal."
Pendekar Mabuk menggumam dan manggut -manggut. Hasratnya ingin meminum tuak jadi lupa karena memandangi senjata-senjata yang mengambang disana-sini. Sekitar lima puluh senjata ada diruangan tersebut. Delapan diantaranya mengambang diudara, sisanya berdiri tegak ditanah. Tidak menancap, tidak bersandar pada benda apapun.
Citra Bisu yang sejak tadi pandangi Suto Sinting, kali ini meloloskan pedangnya. Pedang diambil bersama sarungnya, lalu dilemparkan ke arah Suto. Pemuda itu sempat kaget karena tak mengerti maksud Citra Bisu. la berusaha menangkap pedang kristal tersebut. Tetapi sebelum tersentuh tangannya, pedang itu ternyata melayang diam di udara setinggi perut.
Suto segera paham arti tindakan itu. Citra Bisu ingin tunjukkan pada Suto bahwa pedangnya juga bukan pedang untuk kejahatan. Dengan lain kata, Citra Bisu ingin tunjukkan pada Suto bahwa ia bukan orang jahat yang patut dicurigai.
"Ada beberapa orang yang datang kemari dengan membawa senjata, dan senjata mereka memang tidak pernah dipakai untuk kejahatan. Tetapi pada saat mereka masuk kemari, hati mereka diliputi kejahatan dan keserakahan. Maka ketika ia berada di ruangan ini, kedua kakinya menapak ditanah dan kekuatan ilmu hitamnya tersedot habis. Saat itulah aku segera lenyapkan nyawa orang tersebut sebelum ia mencabut nyawaku," ujar Citra Bisu dengan suara batin.
Sambungnya lagi, "Dan.., baru sekarang ada orang yang masuk kemari dengan kaki bisa mengambang di atas permukaan tanah ruangan ini. Orang itu adalah kau!"
"Apakah itu berarti aku adalah orang baik-baik?" pancing Suto dalam senyum.
"Tidak menutup kemungkinan hatimu akan berubah menjadi jahat jika kau sudah melihat isi ruangan sebelah kanan! Ikuti aku lagi!” tegas Citra Bisu sambil menyambar pedangnya, lalu melangkah menuju sebuah lorong yang jalan masuknya harus mendaki tiga baris anak tangga dari batu bercahaya biru.
Lorong yang akan dilewati mempunyai bias cahaya kuning. Lorong itu juga akan membelok ke arah kiri pada bagiaan ujungnya. Bias cahaya kuning itu datang dari lorong yang membelok kekiri.
"Kau berada di sini bernama siapa, Citra?" tanya Suto Sinting mencoha bicara batin sambil melangkah dibelakang Citra Bisu. Ternyata pertanyaan batin mendapat jawaban batin pula dari Citra Bisu.
"Pada mulanya aku berdua dengan temanku, sesama prajurit, Tapi ia tak kembali lagi sejak kusuruh melihat keadaan di sekitar istana. Aku sendiri tak tahu bagaimana kabar temanku yang bernama Desah Bengi itu."
"Desah Bengi...?!" Suto bernada kaget, sebab ia ingat nama Desah Bengi adalah nama dari ibunya si Belatung Gerhana. "Maksudmu... Nini Desah Bengi, si Penguasa Pulau Garong yang kedua kakinya buntung itu?!"
Citra Bisu hentikan langkahnya secara mendadak. Menatap Suto juga secara mendadak. Hal itu membuat Suto menjadi kikuk dan salah tingkah.
"Hmm, eeh... kudapatkan keterangan tentang kedua kaki Nini Desah Bengi yang buntung itu dari anaknya yang bertubuh sangat gemuk itu. Aku kenal dengan anaknya Nini Desah Bengi yang dikenal dengan nama si Belatung Gerhana itu. Bukan... bukan aku yang membuat kedua kakinya menjadi buntung. Sumpah!"
"Sejak kapan Desah Bengi menjadi penguasa sebuah pulau?"
"Ak... aku tidak tahu! Aku juga belum kenal dengan Nini Desah Bengi, sebab ..."
"Dia sudah punya anak?!"
"Aku tak tahu secara pasti, tapi si Belatung Gerhana mengaku sebagai anak Nini Desah Bengi, Aku tak tahu apakah Belatung Gerhana menipuku atau memang berkata yang sebenarnya."
Citra Bisu merenung dan berkerut dahi. Suto sengaja biarkan gadis itu diam beberapa saat, memberi kesempatan berpikir. Sesaat kemudian, tanpa bicara melalui bibir atau batin, Citra Bisu teruskan langkahnya dan Suto Sinting mengikuti dari belakang. Ketika lorong berbelok kekiri, Pendekar Mabuk terpaksa kecilkan kedua kelopak matanya dan menadahkan tangan di atas mata karena merasa silau dengan cahaya kuning yang membias sampai ditempatnya. Namun si cantik yang melangkah dengan tegar dan tegap itu tak merasa silau sedikitpun.
Cahaya kuning itu ternyata berasal dari sebuah ruangan sama besarnya dengan ruangan berlilin banyak tadi. Tetapi kali ini Suto Sinting sudah mulai terbiasa dengan cahaya kuning kemilau itu. Bahkan matanya terbelalak lebar sekali saat mengetahui dari mana asal cahaya kuning kemilau.
Ternyata di depan Suto Sinting terdapat tumpukan emas yang membukit dan dikeliling dengan liiin-iilin kecil di bagian tepi onggokannya itu. Selain setumpuk emas yang memantulkan cahaya kuning menyilaukan itu, di sisi lain terdapat tumpukan permata aneka jenis dan aneka warna. Bias cahayanya memancar bergaris-garis ke sana-sini, sampai membuat mulut Pendekar Mabuk tak bisa berucap sepatah pun. Mulut itu hanya bisa terperangah bengong dan bola mata seakan sullt dipakai berkedip.
"Harta karun...?!!" hanya dalam hati Suto Sinting bisa berkata demikian, itu pun tak bisa serentak keras karena jantungnya berdetak-detak sangat cepat.
"Kuharap pikiranmu tak berubah menjadi manusia serakah seperti beberapa orang yang terpaksa kuhancurkan itu," ujar Citra Bisu seraya menatap Suto Sinting.
"Aap... apa... apakah ini... ini harta karun yang... yyaaang diburu oleh meerr... merreka itu...?!" Suto sampai sulit bicara lisan karena gugupnya melihat emas permata sebanyak itu.
"Aku tak tahu siapa mereka yang kau maksud itu. Aku juga tak tahu apakah mereka masih berusaha mencari pintu kedua goa yang sudah kututup dan kubekukan hingga menjadi batu sekeras baja itu. Yang jelas, tugasku bersama Desah Bengi adalah menjaga harta kekayaan negeri kami!"
"Ja.,.. ja... janda, eeh... jadi, kau adalah prajurit dari kerajaan Hastamanyiana?!"
"Kurasa kau bisa dapatkan penjelasan dari Desah Bengi, bahwa kami berdua adalah pengawal kepercayan Ratu yang ditugaskan menjaga harta di persembunyian ini! Kami berdua harus rela pertaruhkan nyawa demi menjaga agar harta ini tidak dijarah oleh orang-orang Dataran Salju maupun dari pihak manapun!"
"Kalau begitu aku sudah masuk ke Goa Kembar...?!" ujar Suto dalam hatinya. "Apa yang dikatakan Kusir Hantu ternyata salah. Harta karun ini bukan sebuah khayalan dari sebuah dongeng, melainkan kenyataan yang dijadikan sebuah dongeng oleh anggapan orang-orang seperti si Kusir Hantu?!"
Citra Bisu mendengar ucapan batin Pendekar Mabuk. la pun segera berkata dengan ucapan batin yang dikirimkan ke telinga hati Pendekar Mabuk. "Lorong ini memang lorong dari Goa Kembar. Tapi pintu kedua goa itu sudah kututup mati sejak Desah Bengi tak kembali lagi kemari dan aku hampir kewalahan menghadapi para pemburu harta. Entah sudah berapa lama aku berada di goa ini. Yang jelas, goa ini tidak ikut mengalami perubahan waktu seperti yang ada di luar goa. Lilin-lilin itu sejak kunyalakan sampai sekarang masih dalam keadaan hidup dan tidak berkurang. Ini menandakan goa ini mempunyai gelombang pengikat waktu, yang membuat segala sesuatunya menjadi abadi. Termasuk beberapa cadangan makanan yang kusimpan di ruang gudang, sampai sekarang masih segar dan tidak menjadi basi."
"Ajaib sekali!"
"Banyak para penjarah harta bermaksud memasuki goa ini dari dua lubang yang menyerupai cerobong asap itu, tapi aku telah memasang jebakan di dasarnya, termasuk membelokkan arah lorong ke kuburan lahar. Siapa pun yang masuk melalui lubang itu akan terperosok kekuburan lahar atau mati dirajang jebakan mautku!"
"Maksudmu... sumur tua yang membuatku terperosok kemari itu?!"
"Aku tak tahu apakah itu sumur tua atau bukan. Tapi yang jelas saat aku memeriksa di sana, kudengar suara jeritan seseorang. Kuhadang dirinya dan kusambar ke tempat yang aman. Ternyata orang itu adalah pemuda tampan yang punya hati bersih!" seraya pandangan matanya semakin tajam, mendekat pelan-pelan bagaikan ingin semakin melekatkan hatinya ke hati Suto Sinting.
Yang dipandang dan yang didekati semakin deg-degan. Gadis itu lebih tinggi darinya, tapi punya pesona kecantikan yang berdaya tarik sangat kuat. Suto Sinting nyaris kehilangan seluruh bahasanya saat Citra Bisu membelai rambutnya.
"Kau jantan sekali kelihatannya," ujar Citra Bisu dengan bahasa batin. "Kurasa sang Ratu tak akan keberatan jika menerimamu sebagai pengawal istana. Maukah kau melamar menjadi panglima Kerajaan Hastamanyiana?!"
"Ker... kerajaanmu itu sudah lama hancur, Citra."
"Hahh...?!" Citra Bisu terperanjat, tampak kaget sekali. Sentakan rasa kagetnya membuatnya mundur satu langkah. "Kau mendustaiku, Suto?!"
"Aku hanya mendengarnya dari penjelasan seorang kenalanku yang sudah lama hidup di Lembah Seram. Belatung Gerhana sendiri juga mengatakan begitu. Tapi... jika kau tak keberatan, aku akan coba menyelidiki sendiri apakah benar negerimu sudah lama hancur dan siapa yang menghancurkannya!"
"Memang harus dibuktikan. Tapi kita mau keluar lewat mana?!" keluh gadis itu sangat pelan.
"Jadi... goa ini tidak punya jalan keluar lagi?!"
"Jalan itu sudah kututup, seperti yang ku katakan tadi."
"Celaka! Lalu... lalu bagaimana caranya keluar dari sini?! Haruskah aku disini selamanya, bersama harta karun ini?!"
"Sedang kupikirkan jalan keluarnya. Tapi dari dulu hingga sekarang hanya bisa menjadi buah pertanyaan saja. Aku tak pernah mendapatkan jawaban yang tepat mengenai jalan keluar dari tempat ini!"
Pendekar Mabuk pun tertegun bengong menyadari berada dalam lorong goa yang buntu.
* * *
ENAM
Ruang penyimpanan harta karun itu ternyata mempunyai beberapa lorong sempit dan tak terlalu dalam. Lorong-lorong kecil itu digunakan oleh Citra Bisu sebagai tempat untuk tidur, bersemedi dan tempat pemujaan terhadap Hyang Maha Dewa. Salah satu lorong lainnya mempunyai rembasan mata air yang menggenang menjadi seperti telaga kecil.
Dibagian sisi telaga kecil berair bening itu terdapat lubang yang mengalirkan air entah ke mana. Lubang itu digunakan sebagai pengganti parit. Citra Bisu membangun parit dengan batu-batu yang ada di sekitar tempat tersebut. Citra Bisu juga membentuk kamar tidurnya sendiri dengan batu-batu yang dipotong sedemikian rupa sehingga berbentuk tata seni ruang tersendiri.
Bahkan didalam ruang tidur itu juga terdapat ranjang batu dilapisi kain tebal menyerupai permadani. Berbulu lembut dan hangat. Tentu saja barang-barang seperti permadani dibawanya dari Kerajaan Hastamanyiana pada saat harta karun itu disembunyikan digoa tersebut. Satu hal yang mengherankan lagi bagi Pendekar Mabuk adalah bentuk potongan batu-batu yang menjadi tata letak ruang tidur itu selalu berpotongan rata. Seperti agar-agar dipotong dengan benang. Halus sekali potongannya.
"Dengan alat apa dia memotong batu-batu ini sehingga sampai bisa sebegini rapi dan halus?" tanya Suto dalam batin.
Ternyata gadis itu ada di pintu ruang tersebut dan mendengar pertanyaan batin Suto. "Bagiku bukan hal sulit memotong baja atau batu serata itu selama pedangku ada di tangan."
"O, jadi kau memotongnya dengan pedang kaca itu?!"
Citra Bisu tersenyum dan mendekati Suto Sinting . "Tak ada senjata lain yang bisa memotong batu sebegini rapi kecuali Pedang Lidah Dewa-ku," sambil pedang itu dilolos dari pinggang bersama sarungnya. la memamerkan di depan Pendekar Mabuk dengan penuh rasa bangga. "Karenanya, kuharap kau jangan coba-coba bermaksud jahat padaku. Dalam sekejap pedang ini dapat memenggal lehermu dengan sangat mudah," tambahnya pelan tanpa gerakan bibir. Bibir itu tetap sunggingkan senyum tipis, namun terkesan lembut dan indah sekali.
"Mengagumkan sekali!" gumam Suto Sinting membatin, tapi matanya memandang ke arah wajah Citra Bisu yang sedang memperhatikan pedangnya dengan bangga.
"Siapa pun yang mengetahui kesaktian pedang ini, pasti akan mengaguminya."
"Bukan pedang itu saja maksudku."
Citra Bisu meiirik ke wajah Suto. Mata mereka saling beradu pandang. "Jika bukan pedang, lalu apa lagi yang mengagumkan dirimu?" tanya Citra Bisu.
"Kecantikanmu, senyummu, mata indahmu, bibir mu, ooh... semua yang ada padamu sungguh mengagumkan bagiku, Citra!"
Gadis itu meletakkan pedang di atas meja batu disampingnya, lalu bertolak pinggang dengan penuh keberanian, sikapnya bagaikan orang yang tersinggung. Suto Sinting menjadi grogi lagi menghadapi sikap seperti itu. "Bicaramu mulai melantur, Suto!"
"Oh, hmmm, hmmm... maaf. Tapi apakah bicaraku termasuk sesuatu yang kau anggap jahat?"
"Bisa menjadi jahat apabila kau tidak membuktikan rasa kagummu itu."
Dahi pemuda tampan itu berkerut. "Mak... maksudmu...?!"
"Pujianmu membangkitkan macan betina yang selama ini tidur dengan nyenyak."
"Ma... macan...?! Di... di mana ada macan betina?!"
"Di dalam dadaku!" jawab Citra Bisu dengan tegas walau tanpa ucapan bibir.
"Aku... aku tidak mengerti maksudmu, Citra Bisu!"
"Jika kau ingin tahu maksudku, dengarkan degub jantungnya dibalik dada ini." Citra Bisu sedikit sodorkan dadanya. "Dengarkan dengan cara menempelkan telingamu ke dadaku ini! Dengarkan, Suto." Suara gadis itu makin lirih, sedikit membisik.
Pendekar Mabuk hanya tertegun memandang sambil menerka-nerka maksud hati si prajurit cantik itu.
"Tempelkan telingamu...!" sambil tangan Citra Bisu meraih kepala Suto dengan gerakan lembut. Suto Sinting menurut, menempelkan telinga dipermukaan dada si gadis. Terasa hangat permukaan dada yang masih berpenutup dari kain serat tembaga itu.
"Kau dengar detak jantungku, Suto?"
"Ku... kurang... kurang jelas."
Citra Bisu segera melepaskan pinjung penutup dada itu dengan menarik pengait di punggungnya. Bahkan bajunya pun ikut dilepaskan pula. Kini telinga Suto menjadi lebih lekat lagi dengan kulit dada yang halus dan berwarna kuning langsat itu.
Dub, dub, dub, dub, dub....
"Kau dengar detakannya yang keras, Suto?"
"Ya. Tapi... tapi detak jantung keras yang kudengar ini adalah detak jantungku sendiri, Citra."
Pruuk...! Kain penutup da da dilepas total, jatuh terpuruk di lantai bersama kain bajunya. Kini gadis itu tak mengenakan pelapis sedikit pun di bagian dada hingga perut. Kepala Suto justru dipeluk, ditekan lebih merapat lagi dengan dadanya. Suto Sinting justru bingung mengatasi gemuruh dadanya sendiri, karena didepan matanya persis tersumbul salah satu dari kedua bukit sekal berujung tegak menantang siap mengarungi samudera. Tapi sebelum mereka berlayar mengarungi samudera kenikmatan yang sebenarnya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh yang menggetarkan lorong goa tersebut.
Duuuuunrrrr...!!
Citra Bisu cepat bangkit tak jadi menerima pelukan Suto Sinting yang ingin tengkurap diatasnya. Wajah gadis itu tampak tegang sekaii. la buru-buru menyambar pakaiannya. "Cepat kenakan pakaianmu! Cepat, Suto!"
"Hei, tenang saja! Itu hanya getaran kecil!"
"Kau belum tahu, Suto.... Goa ini tidak boleh terkena getaran sedikit pun. Jika sampai terjadi getaran, maka langit-langlt goa akan runtuh. Lorong-lorong di sini akan tersumbat oleh keruntuhan langit-langitnya."
"O, ya...?! Dari mana kau tahu ha! itu?!"
"Sudah lama hal itu kupelajari dan aku tahu persis kelemahan lorong ini! Cepat kenakan pakaianmu!"
Suara gemuruh itu terdengar untuk yang kedua kalinya. Duuuurrrrrrrr...! Kru tuk, krutuk, krutuk, krutuk...!
Langit-langit mulai meruntuhkan serpihan batu dan cadas. Pendekar Mabuk menjadi percaya dengan ucapan Citra Bisu itu. ia pun segera kenakan pakaiannya kembali, tanpa pedulikan kemesraan yang tertunda. Lorong yang penuh kehangatan cinta itu dapat berubah menjadi lorong maut dalam waktu singkat jika getaran yang timbul semakin kuat.
Ternyata getaran yang timbul akibat suara gemuruh tadi sampai sepuluh hitungan lebih belum berhenti juga. Langit-langit lorong mulai banyak meruntuhkan serpihannya. Citra Bisu membawa Suto Sinting keluar dari ruang tidur, dan berlari ke arah ruangan bercahaya biru tadi.
Deeuuurrrr...! Suara gemuruh semakin kuat. Ketika mereka tiba di ruangan bercahaya biru, ternyata keadaannya sudah menjadi parah. Ruangan itu sudah penuh dengan reruntuhan langit-langitnya. Bahkan lorong yang menuju ruang tempat Suto dirantai pertama kalinya itu tertutup oleh bongkahan batu besar. Sementara itu, guncangan yang timbul semakin kuat. Dinding-dinding lorong mulai retak dan membentuk lapisan-lapisan yang mudah rubuh menutup jalan lorong.
"Citra..! Bagaimana caranya supaya sampai ke lorong tempat aku jatuh pertama kali itu?!"
"Jalannya sudah tertutup batu!" seru Citra Bisu dengan suara paraunya,
Gleeerrr...! Suara menggelegar itu timbul dari langit-langit lorong yang runtuh seluruhnya. Bagian langit-langit yang runtuh seluruhnya adalah langit-langit yang menuju ruang penyimpanan harta karun itu. Mereka menjadi semakin panik, karena tak punya jalan untuk melangkah ke tempat lain.
"Lorong maut ini akhirnya akan membuatku terkubur hidup-hidup di sini!" geram Suto Sinting dalam hati. "Sebaiknya kugunakan jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' untuk hancurkan batu-batu besar yang menutupi lorong sebelah sana!"
"Jangan!" suara menyentak itu didengar oleh telinga batin Suto Sinting. Rupanya gadis itu mendengar rencana batin Suto, sehingga ia buru-buru mencegahnya. "Jika kau gunakan jurus macam itu, maka ledakannya akan semakin meruntuhkan langit-langit di atas kita!"
"Celaka! Lalu bagaimana ini...?! Semua lorong sudah tertimbun batu. Atau... bagaimana jika kau gunakan pedangmu untuk membelah batu-batu itu?!"
"Sia-sia! Geterannya akan mempercepat langit-langit diatas kita runtuh semua!"
"Lalu, apakah kita harus diam saja?!"
Citra Bisu mendekat, kemudian memeluk Suto Sinting tanpa canggung-canggung lagi. "Mungkin memang benar apa yang sering kudengar dalam mimpiku," bisik Citra Bisu.
"Tentang apa, Citra?!"
"Bahwa aku akan mati di sini bersama seorang teman yang masih asing bagiku!"
"Aah...! Itu mimpi ngaco! Jangan percaya dengan suara mimpi! Lawan dengan kenyataan! Kita harus bisa keluar dari sini! Aku tak mau mati di sini, Citra!"
"Tak ada jalan keluar, Suto. Jalan utama sudah kututup dan kupadatkan dengan batu baja. Sukar untuk dihancurkan."
"Di mana...?! Di mana jalan utama itu?!"
"Kita sedang bersandar pada batu baja buatanku itu, Suto!"
Pendekar Mabuk segera berpaling ke belakang. Dinding lorong yang menjebaknya itu ternyata memang halus dan rata, seperti bikinan manusia. Citra Bisu mengaku telah menutupnya dengan sebuah iimu yang dapat membuat bebatuan menjadi lumer dan mengeras sekeras baja. Tapi ketika Suto mendesak agar Citra Bisu melumerkan dinding itu kembali, ternyata ilmunya tak bisa melumerkan kembali sesuatu yang semula sudah dilumerkan. Sampai gadis itu bercucuran keringat, benda yang sudah mengeras seperti baja itu tak mampu dilumerkan kembali.
"Minggirlah, biar kuhancurkan sekalian!"
"Tapi langit-langitnya akan runtuh dan kita akan mati terkubur, Suto!"
"Apa bedanya dengan diam saja, toh kita tetap akan mati terkubur di sini!" ujar Suto Sinting sambil mundur beberapa langkah. Sementara itu, suara gemuruh dari reruntuhan langit sisi lain terdengar kembali, membuat bagian atas ruangan yang membuat Suto terperangkap itu semakin menaburkan bebatuan.
Duuurrr...! Gruuuutuk, grutuk, grutuk, grutuuk...!
"Citra, jika dinding ini berhasil kujebol, cepatlah melompat. Tak perlu tunggu perintah dariku. Paham?"
"Ya, aku paham!" seru Citra Bisu dengan suara keras untuk mengimbangi suara gaduh yang membisingkan itu.
Sebuah jurus yang jarang dipergunakan, kali ini sengaja dipakai oleh Pendekar Mabuk. Jurus itu bernama jurus 'Lintang Kesumat'. Dengan kedua tangan bergerak mengeras diatas, lalu turun perlahan -lahan dengan otot mengeras bertonjolan di lengan, maka jari-jari Pendekar Mabuk mulai tampak menyala merah membara di bagian kuku-kukunya. Kedua tangan itu segera menyilang di dada, lalu diangkat pelan-pelan ke atas kepala dalam keadaan tetap menyilang. Kejap kemudian, kedua tangan itu mengibas kesamping bagaikan memercikkan air dari jari-jari tangannya. Wuuut...! Yang memercik bukan air, melainkan kilatancahaya merah dari tiap kuku jari-jari tersebut. Cralaap...! Sepuluh kilatan cahaya merah itu menghantam dinding tersebut.
Jegaaaarrrrr...! Dinding itu jebol dan menjadi berlubang besar.
"Lompat keluar!" teriak Suto Sinting, dan Citra Bisu pun melompat keluar dengan gunakan kekuatan tenaga dalamnya. Blaasss...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk pun menggunakan jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam sekejap ia sudah sampai di luar lorong. Berdiri di depan langkah Citra Bisu yang segera terperanjat melihat Suto sudah ada didepannya.
"Tebing akan runtuh!" seru Suto Sinting dengan tegang. Tanpa memikirkan bahwa ia sudah berada diluar goa, tempatnya bertarung melawan Juru Jagal dan orang-orangnya, Suto Sinting segera menyambar tubuh Citra Bisu dengan jurus 'Gerak Siluman '-nya juga.
Zlaaap, wuuut...! Zlaap, zlaap, zlaap...!
Gleeerrrrr...! Tebing itu runtuh kebawah. Tentu saja lorong goa itu tertimbun padat oleh bebatuan tebing dan sukar digali lagi.
Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk dan Citra Bisu sudah berada ditempat yang jauh. Dari ketinggian tempat mereka berada, Citra Bisu hanya bisa memandang runtuhnya tebing itu hingga beberapa saat lamanya. Suto Sinting pun segera menyadarkan keterpakuan Citra Bisu dengan ucapan lirih ditelinga gadis itu.
"Pasti ada orang yang mengadu ilmu dan membuat ledakan dahsyat hingga mengakibatkan getaran hebat sampai kelorong maut itu!"
"Ooh, Suto...!" Citra Bisu memeluk Suto Sinting. "Untung aku bersamamu. Jika saat itu aku tak bersamamu, maka aku akan terkubur hidup-hidup di dalam lorong maut itu!"
"Jangan anggap aku berjasa padamu, tapi anggaplah aku terlibat dalam petualanganmu."
"Petualangan...?!"
"Ya, petualangan kencan di dalam lorong maut itu! Hampir saja kita berdua mati bersama, Citra!"
"Apakah selamanya kita akan berdua sampai mati?"
Suto Sinting tarik napas panjang-panjang dan tak tahu harus memberi jawaban apa kepada prajurit cantik itu. Kini yang terpikir olehnya, siapa orang yang bertarung hingga timbuikan ledakan dahsyat itu? Dan bagaimana nasib orang-orang yang memburu harta karun tersebut. Satu hal yang tiba-tiba menjadi buah pikiran Suto adalah bau wangi rempah-rempah yang sejak tadi tercium olehnya. Bau wangi rempah-rempah itu sebenarnya berasal dari tubuh Citra Bisu. Tetapi Suto baru menemukan pertanyaan batinnya setelah lolos dari lorong maut.
"Gadis ini berbau wangi rempah-rempah. Mungkin bau wanginya dia itulah yang tercium oleh Mangku Randa saat aku dan Mangku Randa memeriksa cekungan kembar itu? Atau... atau jangan-jangan Citra Bisu ini malah si Ratu Sinden?! Ooh, celaka betul nasibku kalau sampai ternyata gadis ini adalah si Ratu Sinden."
Tiba-tiba Citra Bisu bertanya dengan suara batinnya, "Siapa si Ratu Sinden itu?!"
Suto Sinting terbengong dan tak bisa menjawab lagi. ia baru sadar bahwa ia tak boleh bicara sembarangan dalam batinnya, terutama tentang gadis itu. Sebab suara batinnya bisa didengar oleh si gadis yang sempat membuat Suto menaruh curiga itu.
Serial Pendekar Mabuk selesai sampai di episode KENCAN DI LORONG MAUT. Sampai jumpa di cerita silat lainnya.
SELESAI