Serial Pendekar Mabuk
Persekutuan Iblis
Karya Suryadi
Persekutuan Iblis
Karya Suryadi
SATU
SEBUAH kedai berukuran agak besar dikunjungi beberapa pembeli. Kedai itu terletak di sebuah desa yang merupakan salah satu desa paling dekat dengan kotaraja. Tentu saja desa itu berpenduduk padat, bahkan banyak orang buka usaha penginapan dan kost-kostan untuk para buruh yang punya lapangan kerja dikotaraja.
Jarak antara Desa Walikutu dengan kotaraja hanya dua kilometer jika menggunakan ukuran zaman sekarang. Sarana angkutan umum juga cukup banyak, dari dokar, pedati, gerobak sapi sampai ojek gendong. Karena pada masa itu tidak ada sepeda atau motor, maka beberapa penduduk desa bisa mencari nafkah melalui ojek gendong. Artinya, siapa yang mau ngojek dari desa ke kotaraja, maka ia akan digendong oleh si pengojek dengan upah yang cukup untuk membeli dua bungkus nasi pecel.
Tentu saja ojek tersebut ber-AC dengan tempat duduk pas untuk satu orang. Hanya saja, pada masa itu istilahnya bukan ojek, melainkan andong, artinya: angkat dan gendong. Pada akhirnya nanti, zaman yang berkembang membuat 'andong' yang semula tenaga manusia menjadi bertenaga kuda dan mempunyai tempat duduk sendiri, seperti dokar atau delman.
Pada umumnya 'tukang ojek' di masa itu bertubuh kekar dan rata-rata tingginya satu tombak lebih sedikit. Mereka berkalung untaian bunga aneka aroma untuk menghilangkan kesan bau badan yang dapat membuat muntah pada penumpangnya. Maklum, pada masa itu belum ada parfum, sehingga untuk mengatasi bau badan mereka menggunakan wewangian alami.
Salah satu 'tukang ojek' yang terkenal bernama Puntung. Nama itu sesuai dengan kebiasaan pemuda 'tukang ojek' itu yang gemar menyelipkan puntung rokok di telinganya. Walau tubuh si Puntung tak begitu kekar, tapi dia 'tukang ojek' paling laris. Sepertinya dia memakai aji penglaris, sehingga banyak orang yang menyewa punggungnya untuk dijadikan sarana angkutan dari desa ke kotaraja atau sebaliknya.
Kala itu Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting, murid si Gila Tuak, sedang menikmati jagung rebusnya. Ia duduk di bawah pohon tempat para pengojek mangkat. Sambil menikmati jagung rebusnya ia memperhatikan para pengojek yang menawarkan punggungnya kepada orang-orang yang baru keluar dari pasar.
"Andong, andong, andong...!" seru mereka mencari penumpang. "Mari siapa yang mau diangkat dan digendong ke kotaraja?! Ayo, ayo, ayo... jangan malu-malu. Gendongan saya bermutu. Bebas panu dan bebas bau badan. Ayo, ayo, ayo... siapa mau digendong. Tarif murah anti tabrakan."
Pendekar Mabuk tertawa sendiri mendengar cara mereka menawarkan jasa gendongannya. Banyak juga perempuan tua yang sudah waktunya dipanggil 'nenek' yang memanfaatkan ojek gendong untuk mengurangi rasa capeknya dalam berjalan ke kotaraja. Ada pula yang hanya menyuruh si pengojek menggendong barang belanjaannya, sementara si pemilik belanjaan berjalan di samping si 'tukang ojek' itu.
Melihat pemuda tampan yang membawa bumbung tuak tergantung di pundak itu sudah selesai makan jagung rebusnya, Puntung mendekati dengan senyum ramah. Pendekar Mabuk sedang bergegas berdiri. Ia bermaksud meneruskan perjalanannya memburu Siluman Tujuh Nyawa yang melarikan diri dari pertarungan. Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh super jahat yang dikenal sebagai tokoh paling tersesat dan tersasar. Dia adalah musuh utama si Pendekar Mabuk, karena kepala tokoh sesat itu akan dijadikan maskawin oleh Suto untuk melamar seorang putri cantik dari Pulau Serindu, yaitu ratu negeri Pintu Gerbang Sur gawi yang bernama Dyah Sariningrum.
Dalam catatan kitab takdir kehidupan, Pendekar Mabuk berjodohan dengan Dyah Sariningrum, sehingga sampai sekarang pemuda tampan bertubuh kekar itu tidak mau menikah dengan perempuan mana pun kecuali hanya 'cuci muka' alias cium sana cium sini sebagai selingan dalam perjalannya berpetualang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan).
Kembali pada masalah si 'tukang ojek' yang bernama Puntung itu, ia berharap Pendekar Mabuk akan menggunakan jasa tenaganya dan mau digendong untuk perjalanan ke kotaraja. Maka Puntung pun menawarkan punggungnya kepada Suto Sinting.
"Kang, butuh gendongan apa?! Mari, kugendong ke kotaraja. Ditanggung nyaman, Kang. Biar tidur pules asal jangan ngiler."
Geli juga mendengar tawaran bersifat merayu itu. Tapi untuk menjaga agar tidak menyinggung perasaan si Puntung, maka tawa Suto pun hanya berbentuk senyum lebar dan tanpa suaraterbahak-bahak. "Aku tidak sedang menuju kotaraja, Sobat."
"Lho, jadi kau mau ke mana, Kang?"
"Mau ke mana saja mengikuti arah angin."
"Oo... edan orang ini?" gerutu Puntung pelan, sekalipun Suto mendengarnya tapi ia tidak tersinggung. Justru kembali tersenyum geli mendengar gerutuan yang tak sungguh-sungguh itu.
"Ayolah, Kang... sebaiknya kau ke kotaraja saja," desak Puntung. "Di sana kan ada sayembara, Kang. Apakah kau tidak tertarik dengan sayembara tersebut?"
"Sayembara apa?" tanya Pendekar Mabuk.
"Makanya datang saja ke kotaraja, nanti kau akan tahu sayembara apa yang sedang berlangsung di depan istana kesultanan itu."
Sekali lagi Pendekar Mabuk tertawa kecil, kemudian menenggak tuaknya dari bumbung bambu yang berukuran satu depa itu.
"Boleh aku minta minumanmu, Kang?"
"O, silakan! Tapi jangan banyak-banyak."
"Ah, aku sudah biasa minum tuak kok, Kang. Tak usah takut kalau aku akan mabuk."
"Maksudku jangan banyak-banyak bukan takut kau mabuk, tapi takut tuakku habis."
Setelah minum tuak Suto beberapa teguk, Puntung merasakan badannya menjadi segar. Kelelahannya dalam bekerja sebagai tukang ojek gendong bagaikan lenyap begitu saja. Tapi pemuda berambut kucai itu tidak memperhatikan perubahan tubuhnya. Cuek saja. Bahkan ia mendesak Suto Sinting lagi agar mau menggunakan jasa gendongannya.
"Ayo, Kang... naiklah ke punggungku. Kugendong sampai ke kotaraja. Tak usah membayarku mahal-mahal, cukup dua sikal saja, Kang. Mumpung patas lho, Kang."
"Apa itu patas?"
"Tempatnya terbatas. Hanya cukup untuk satu penumpang."
"Lha, iya... mana mungkin kau akan menggendong dua penumpang. Ada-ada saja kau ini. O, ya... siapa namamu?"
Ia menunjukkan dadanya. Rupanya di dada si Puntung yang memakai baju putih kusam itu terdapat tulisan dari getah pisang yang berbunyi: ANDONG 'PUNTUNG' CEPAT, ANTAR KOTA ANTAR DESA.
"Ooo... namamu Puntung?" gumam Suto Sinting sambil masih tersenyum geli. "Namamu hampir sama dengan namaku, ya?"
"Namamu siapa, Kang?"
"Suto!"
"Wah, jauh sekali itu, Kang. Mana ada kesamaannya dengan nama Puntung?!"
"Maksudku sama-sama jelek!" lalu mereka tertawa.
Seorang gadis berbaju hijau mendekati mereka. Saat itu Suto Sinting sempat melirik ke arah si gadis yang datang dari belakang Puntung. Pemuda berambut kucal dan berbaju putih kusam dengan celana hitam itu belum mengetahui ada gadis mendekatinya. Tapi karena ia melihat ada seorang perempuan yang membawa belanjaan berat, maka ia pun segera bergegas menemui perempuan itu.
"Maat, Kang... langgananku datang. Aku mau angkut dia dulu!"
"Silakan," ucap Pendekar Mabuk sambil tersenyum memperhatikan si Puntung berlari menemui perempuan pembawa barang belanjaan itu.
Kini gadis berpakaian hijau yang cantik dan tampak sexy itu semakin dekat. Gadis itu tadi dilihat Suto sedang makan sendirian di dalam kedai. Waktu Suto makan di sana ia memperhatikan gadis itu, tapi agaknya si gadis tak pedulikan pandangan siapa pun yang bermaksud melirik nakal kepadanya.
Gadis berpakaian hijau itu membawa sebuah tongkat berukir yang tingginya sepundak lewat sedikit. Tongkat itu terbuat dari sejenis kayu jati coklat tua, ujung atas dan bawahnya berukir biasa, seperti tiang bendera atau seukuran tongkat pramuka. Tapi tentu saja gadis itu bukan anggota pramuka dari Gugus Depan mana saja, karena pada masa itu belum ada istilah pramuka.
Yang jelas si gadis berambut dikuncir ke belakang itu mengarahkan pandangan matanya kepada Pendekar Mabuk. Saat itu Suto Sinting berlagak memperhatikan Puntung di seberang sana yang sedang berusaha menaikkan barang belanjaan langganannya ke punggung. Suto berlagak tidak mengetahui kedatangan si gadis cantik itu. Karenanya, ketika si gadis menegur, ia berpura-pura sedikit terkejut.
"Ke kotaraja berapa?!"
"Hmm, eehh... apanya yang berapa, Nona?"
"Ongkosnya!" gadis itu sedikit menyentak dengan sikap angkuh.
Pendekar Mabuk segera nyengir geli, karena ia segera sadar bahwa dirinya dianggap tukang ojek seperti si Puntung itu. Timbul niat konyolnya untuk menggoda gadis itu agar dapat berkenalan lebih akrab lagi. "Mengapa kau tanyakan ongkos ke kotaraja, Nona?"
"Aku mau ke sana! Bukankah kau butuh upah untuk menggendong seseorang ke kotaraja?"
"Kau ingin kugendong ke sana?"
"Cerewet kau ini!" gertak si gadis. "Berapa ongkosnya, sebutkan saja."
"Oh, itu tergantung, Nona."
"Tergantung bagaimana?"
"Tergantung mau digendong sebelah mana? Kalau digendong belakang ongkosnya lima sikal."
"Mahal amat?!"
"Kalau digendong depan, hmmm gratis!"
"Gendong depan gratis?! Artinya, tidak perlu bayaran?"
"Benar, Nona! Sekarang mau pilih gendong depan atau gendong belakang?"
"Gendong depan saja!"
"Baik!" Suto bersemangat bersiap mau menggendong gadis itu.
"Ee, eh... tunggu dulu! Bukan aku yang harus kau gendong."
"Lho, lalu siapa?!"
"Nenek yang baru keluar dari kedai itu?!" sambil si gadis menunjuk seorang perempuan tua, bungkuk dan jalannya tertatih-tatih, menggunakan tongkat sebagai penjaga keseimbangan tubuhnya.
Suto Sinting terperanjat dengan langsung terbengong melihat nenek yang masih mengunyah sirih dan air sirihnya berceceran di sekitar dagu. Langsung tubuh Suto bergidik merinding membayangkan dirinya menggendong nenek itu dari depan.
"Hiiihh...!" ia berjingkat mundur sambil mengusap tengkuk kepalanya yang merinding.
"Lho, kenapa? Katanya kalau gendong depan itu gratis?!"
"Iya, tapi kalau untuk nenek seperti dia aku tak menyediakan tempat duduk di depan. Di belakang pun sudah penuh!" gerutu Suto Sinting dengan hati dongkol, lalu bergegas pergi meninggalkan tempat sambil berseru, "Aku bukan tukang ojek, Non!"
"Hei, tunggu...!" gadis itu mengejarnya dengan lompatan. Wuk, wuk...! Jleeg...!
Pendekar Mabuk terperanjat lagi melihat gadis itu melayang di atas kepalanya dalam gerakan bersalto, tahu-tahu berdiri di depan langkahnya.
"Aku hanya bercanda. Bukan nenek itu yang harus kau gendong, tapi diriku sendiri. Aku capek, habis melakukan perjalanan sangat jauh. Aku butuh kendaraan untuk sampai ke kotaraja. Maukah kau menggendongku di belakang?!"
"Hmmm, eeh... sebaiknya kau cari tandu sewaan saja, Nona. Aku tak kuat menggendongmu."
"Ah tubuh kekar dan gagah begitu masa' tak kuat menggendong tubuhku yang kecil begini?"
"Bukan tenagaku yang tak kuat, tapi imanku menahan getaran jantung saat tubuhmu menempel di badanku."
"Dasar otak mesum!" geram gadis itu, lalu tiba-tibaia kibaskan tongkatnya menyambar kepala Suto. Wuuut...! Suto Sinting menggeloyor mau jatuh, tapi tegak kembali setelah tongkat itu meleset tak kenai kepalanya.
"Tunggu, Nona...!"
Gadis itu penasaran atas kegagalannya menghantam kepala Pendekar Mabuk. Dengan cepat tongkatnya disodokkan ke perut Suto Sinting. Suuut...! Suto hanya berkelit ke kanan dengan tubuh sedikit memutar. Sodokan datang lagi dengan cepat. Suuut...! Suto berkelit ke kiri dengan tubuh memutar.
"Hiaah...!" gadis itu menyodokkan tongkatnya secara beruntun dan cepat. Sut, sut. sut, sut!
Suto Sinting berkelit ke kanan-kiri berkali-kali sehingga mirip orang menari. Hal itu bukan saja membuat sodokan tongkat selalu meleset, tapi juga membuat beberapa 'tukang ojek' memperhatikan dengan tertawa-tawa. Bahkan mereka bertepuk tangan memberi semangat ketika melihat Suto Sinting melompat-lompat menghindari tebasan tongkat gadis yang mengarah ke kakinya.
Wut, wut, wut, wut...!
"Hentikan, Nona! Hentikan seranganmu!" seru Suto Sinting sambil merunduk dua kali dan melompat tiga kali.
Wes, wes, wes, wes, wes...!
Si gadis tetap menyerang dengan tubuh berputar satu kali dan tongkatnya menyambar kian kemari. Lama-lama hati Suto menjadi jengkel. Kali ini sabetan tongkat si gadis ditangkis dengan bumbung tuaknya. Trrang...! Suara yang timbul seperti tongkat menghantam bumbung besi. Dan pada saat tongkat itu tertahan oleh bumbung tuak, kaki Suto Sinting berkelebat menyambar betis si gadis.
Wuut, plak, brruuk...!
"Huaaah, hah, hah, hah, haa...!" mereka tertawa melihat gadis itu jatuh terpelanting tanpa ampun lagi.
"Setan...!" geramnya dengan mata makin memancarkan permusuhan.
Pendekar Mabuk tak mau layani gadis itu. Ia segera berlari meninggalkan tempat. Pelarian itu juga menimbulkan perasaan geli bagi para penontonnya. Tapi Suto Sinting tak pedulikan suara tawa mereka. Ia tetap melarikan diri untuk jauhi keramaian orang.
"Berhenti kau, Jalang!" seru si gadis yang segera mengejarnya. Wees...! Gerakan cepat dipergunakan oleh si gadis untuk menyusul Pendekar Mabuk.
Tetapi si pemuda tampan berambut panjang lurus tanpa ikat kepala itu segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Zlaap...! Dalam waktu kurang dari sekejap, Pendekar Mabuk sudah berada jauh dari si gadis. Gerakan yang mirip menghilang karena kecepatannya menyerupai kecepatan cahaya itu membuat si gadis terbengong melompong.
"Edan! Cepat sekali gerakannya itu?! Hmmm... rupanya dia memang bukan pemuda biasa! Ia punyailmu cukup lumayan! Sebaiknya kukejar dengan memotong jalan! Pasti dia akan lewat balik bukit sana!" pikir si gadis, kemudian ia berkelebat mengejar Suto dengan memotong jalan.
Dugaannya tepat sekali. Suto Sinting melintasi jalan di balik bukit yang tak seberapa tinggi itu. Dan si gadis pun melompat dari tebing bukit itu dengan gerakan bersalto dua kali. Wuk, wuk, jleeg...! Langkah Pendekar Mabuk terhenti lagi karena tiba-tiba gadis itu muncul menghadang langkahnya.
"Bandel juga gadis ini?!"
Suto Sinting menggeram jengkel dalam hatinya. Tapi di wajah tampannya ia tak kelihatan menggerutu. Ia justru tampak tenang dengan kedua mata memandang lembut ke arah gadis itu. Di balik kelembutan pandangan matanya itu si gadis merasakan adanya ketajaman pandang yang menjadi ciri-ciri orang berilmu tinggi. Dia belum tahu siapa pemuda yang dihadapinya, sehingga hati si gadis pun bertanya-tanya serta memendam perasaan kagum terhadap si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.
"Mengapa kau menjadi liar begitu, Nona?!" tegur Suto Sinting saat si gadis melangkah ke samping dengan memutar-mutar tongkatnya, bersiap untuk menyerang kembali.
Wajah cantik yang mengandung keangkuhan itu sekarang ada di samping kanan Suto. Kuda-kudanya dipasang sedemikian rupa dengan tongkat diarahkan ke depan. Satu kali sentakan diiringi lompatan cepat dapat membuat kepala Suto tersodok tongkat tersebut. Supaya tidak terkena serangan mendadak, Pendekar Mabuk pun segera memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan gadis berdada sekal itu.
"Dugaanku memang sempat meleset, tapi pada mulanya dugaanku ternyata benar, bahwa kau bukan pemuda sembarangan. Kau pasti berilmu lumayan, setidaknya satu tingkat di bawah ilmuku!" ujar si gadis dengan nada ketus.
"Jika memang begitu anggapanmu, lantas apa maumu terhadap diriku, Nona?!"
"Hampir saja aku terkecoh dengan menyangkamu sebagai tukang ojek gendong!"
"Sekarang kau tak terkecoh. Lalu apa maumu!" bentak Suto karena jengkel tak mendapat jawaban yang pasti dari si gadis.
"Kau harus membantuku, Manusia Jalang!"
"Membantu dalam hal apa?!"
"Nanti kujelaskan! Sekarang ikutlah aku ke kotaraja! Kalau kau tak mau, aku akan membuat wajahmu babak belur sehingga ketampananmu hilang!"
"Menjengkelkan betul kau ini, Nona!" gumam Suto Sinting setelah menarik napas menahan kedongkolan hatinya. "Dengar, Nona... kalau kau mau meminta bantuan padaku, bukan begini caranya!"
"Persetan dengan cara! Apa pun akan kulakukan agar aku tetap selamat!"
"Selamat...?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi, kemudian mendekati gadis itu. Ujung tongkat si gadis sengaja diulurkan ke depan. Langkah Suto berhenti ketika ujung tongkat itu ada di depan lehernya, kurang dari setengah jengkal. "Apakah ada orang yang mengancam keselamatanmu, Nona?!"
"Ada! Dan kau harus bantu aku menyingkirkan orang itu!"
"Siapa orang tersebut?!"
"Ayodya!" jawabnya singkat tapi jelas dan tegas.
"Siapa Ayodya itu, Nona?"
"Tak perlu banyak tanya! Jawab dulu pertanyaanku: maukah kau menolongku atau tidak?!"
"Singkirkan dulu tongkatmu!" tegas Suto Sinting.
"Tidak! Aku tetap akan mengancammu dengan tongkat maut ini. Jika kau tak bersedia menolongku, tongkat ini akan meremukkan kepalamu yang mungkin banyak kutunya itu!"
Pendekar Mabuk tersenyum. "Sepertinya aku berhadapan dengan gadis gila! Minta tolong kok memaksa begini?!"
"Masa bodoh!!" bentak si gadis dengan berang. Tongkatnya menyodok leher Suto.
Tubuh si pemuda tampan itu sengaja bertahan di tempat, tak mau mundur, sebagai bukti bahwa ia tak takut dengan ancaman si gadis. Akibatnya, tenggorokan Suto seperti dicekik dengan tenaga cukup kuat. Rupanya tenaga dalam si gadis tersalur melalui tongkat itu, sehingga dapat membuat jakun di leher Suto bagai ingin dipecahkan secara pelan-pelan.
"Oo, rupanya tongkat ini bukan sembarangan," pikir Suto Sinting. "Tapi bagaimana jika gadis ini kuberi pelajaran sedikit biar tidak gendeng begini?!"
Tiba-tiba kaki Suto Sinting menendang ke atas dengan badan melengkung ke belakang. Wuuut, trak...! Tendangan kaki yang tiba-tiba itu mengenai tongkat, dan tongkat tersebut terpental lepas dari pemegangnya. Tendangan itu beraliran tenaga dalam cukup besar, sehingga genggaman kuat pada tangan si gadis tersentak dan terlepas. Sedangkan jari tangan Suto pun menyentil ke depan tak kentara. Sentilan yang melepaskan tenaga dalam cukup besar itu telah mengenai perut si gadis.
Buuuhk...! Si gadis terpekik sambil tubuhnya tersentak kebelakang. "Uuhk...!"
Brruk...! Ia jatuh terhempas dalam keadaan duduk. Jurus 'Jari Guntur' pendekar ganteng itu berhasil membuat perut si gadis bagaikan ditendang seekor kuda jantan. Untung ia segera menahan napas dan salurkan tenaga intinya ke perut sehingga tak sampai membuat isi perutnya tersembur keluar melalui mulut. Namun ia sempat menyeringai kesakitan dengan mata terpejam dan tangan memegangi perut.
"Maaf, itu hanya sebagai pelajaran agar kau tak bersikap gendeng terhadap orang yang ingin kau mintai bantuannya, Nona!"
"Keparat kau...!" geramnya dengan nada berat.
"Ya, aku memang keparat! Tapi aku punya hormat dan harga diri! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti itu, Nona! Aku bukan musuhmu!"
"Aku tak suka caramu bicara tadi. Kotor!" sambil si gadis bergeser untuk mengambil tongkatnya.
"Maaf kalau ucapanku tadi kotor. Itu hanya sebuah canda. Kalau kau memang."
Weesss...! Tiba-tiba tongkat itu dilemparkan dengan cepat sekali. Pendekar Mabuk sempat terperanjat. Ia segera melompat ke kanan untuk menghindari tongkat itu. Begitu kakinya mendarat ke tanah dan ia ingin lepaskan sentilan 'Jari Guntur'-nya lagi, tiba-tiba ia mendengar suara orang terpekik di belakangnya.
"Aahk !!"
Pendekar Mabuk memutar kepala memandang suara orang terpekik itu. Oh, ternyata orang yang terpekik itu mendelik dengan mulut ternganga karena ulu hatinya terkena lemparan tongkat. Punggung orang itu membentur pohon dalam keadaan ulu hati bagai didorong kuat oleh sebatang tongkat. Pendekar Mabuk masih belum hilang rasa kagetnya, tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah si gadis dan ditangkap oleh tangan berjari lentik itu. Wees, taab!
Pendekar Mabuk makin terbengong melihat kejadian yang tak disangka-sangka. Semuanya terjadi dengan sangat cepat dan mengagumkan. Rupanya si gadis melihat seorang lelaki ingin menebaskan goloknya ke punggung Pendekar Mabuk. Ia segera melemparkan tongkatnya itu dan kenai ulu hati si penyerang tersebut.
Tongkat segera memantul balik bagai habis membentur karet, lalu dalam sekejap tongkat itu sudah ada di tangan si gadis, sementara lelaki bersenjata golok itu masih mengangkat tangannya ke atas, namun mulutnya melelehkan darah kental akibat sodokan tongkat tadi. Si lelaki berpakaian serba hitam itu jatuh terpuruk di bawah pohon dengan tubuh kejang- kejang. Sekarat.
"Ternyata dia bermaksud menyelamatkan diriku?" gumam hati Pendekar Mabuk. "Tapi jurus tongkatnya yang baru saja kulihat itu sungguh hebat. Kalau tongkat itu tak mengenai orang berpakaian hitam, maka punggungku mungkin akan robek ditebas goloknya!"
Gadis itu segera hampiri si lelaki berpakaian hitam. Tongkatnya siap disodokkan ke wajah orang tersebut. Tapi langkahnya terhenti ketika tahu-tahu Suto Sinting berkelebat dengan cepat, menghadang di depannya dengan kedua tangan merentang.
"Cukup! Jangan lanjutkan seranganmu. Dia sudah tak berdaya!"
"Kau berhutang nyawa padaku!"
"Benar, dan terima kasih. Tapi ingat, kau juga berhutang padaku. Hutang jawaban!"
Si gadis yang berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu melirik sinis, lalu mendengus ketus. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, lalu berbalik pandangi orang baju hitam yang masih kejang-kejang itu.
"Kau tahu siapa orang ini?! Aku tidak mengenalnya, Nona!"
Si gadis masih diam, tapi matanya memandang tajam dan bersikap memusuhi orang yang tadi hendak melukai Suto Sinting itu. Suto juga diam, menunggu penjelasan dari gadis konyol itu.
* * *
DUA
AKHIRNYA kekerasan hati si gadis dapat ditundukkan dengan kesabaran Pendekar Mabuk. Gadis itu mengaku bernama Ranggina. Sedangkan lelaki berpakaian hitam yang dilumpuhkannya itu dikenal sebagai 'Begundal Pulau Darah'. Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut mendengar nama Pulau Darah, sebab ia memang bermusuhan dengan penguasa Pulau Darah yang bernama Pawang Setan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Teror Pemburu Cinta).
"Tak mungkin ia orang Pulau Darah. Setahuku orang Pulau Darah punya ilmu tinggi dan tak mudah dirobohkan dengan sesederhana itu!" ujar Pendekar Mabuk.
"Kubilang tadi, dia Begundal Pulau Darah, artinya dia hanya orang yang memihak Pulau Darah. Tapi dia memang bukan orang Pulau Darah. Pasti dia ingin membunuhmu hanya semata-mata ingin dapat upah atau dapat kesempatan berguru kepada si Pawang Setan."
"Oh, kau kenal dengan Pawang Setan segala, Ranggina?!"
"Aku pernah berurusan dengan pihaknya. Jadi aku tahu persis siapa-siapa saja yang memihak Pawang Setan."
Ranggina membuka baju orang yang kini telah pingsan itu. Satu sentakan tongkat telah berhasil membuat baju hitam itu tersingkap lepas dari pengikatnya. Breet...!
"Lihat tato di dadanya ini!" ujar Ranggina.
Pendekar Mabuk memperhatikan tato gambar tengkorak di atas dua pedang bersilang.
"Ini ciri-ciri orang yang bersekutu dengan Pawang Setan!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk menggumam.
"Kau punya masalah dengan Pawang Setan?!"
"Punya! Kau mau minta?" jawab Suto Sinting dengan konyol.
Ranggina hanya mendengus, tanpa senyum dan tawa sedikit pun. "Hati-hati jika kau punya masalah dengan Pawang Setan. Dia cukup kuat dan sukar ditumbangkan!" ujar Ranggina, dan Suto Sinting sengaja menggumam pendek, tak mau menceritakan hal yang sebenarnya.
Mungkin Ranggina tak akan percaya jika Pendekar Mabuk telah terlibat bentrokan dengan pihak Pawang Setan, terlebih setelah ia berhasil membunuh adik Pawang Setan yang bernama Delima Wungu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kematian Misterius). Setelah sikap Ranggina mulai tampak bersahabat, walau masih kelihatan kaku, mereka segera meninggalkan Begundal Pulau Darah itu. Suto melarang niat Ranggina yang ingin menghabisi nyawa Begundal Pulau Darah itu.
"Tinggalkan saja dia! Biar nanti celaka oleh tindakannya sendiri jika masih ingin memburuku! Sebaiknya sekarang kita masuki persoalanmu. Tolong jelaskan seluruh persoalanmu yang membuat kau nekat memaksaku untuk dibantu!"
"Supaya kau tidak menganggapku remeh dan mengecamku sebagai gadis yang lemah, aku harus lakukan kekerasan seperti itu dalam mengharap pertolonganmu, Suto!" ujar Ranggina. "Aku tak tahu siapa kau sebenarnya, sehingga aku harus jaga wibawa di depanmu!"
"Sekarang kau tahu bahwa namaku Suto, tak punya tempat tinggal tetap, termasuk orang jalanan. Apakah kau masih ingin jaga wibawa dengan sikap kasarmu itu?!"
"Bila kuperlukan, memang harus begitu!" jawab si gadis dengan tegas. Agaknya ia benar-benar tak mau disepelekan oleh seorang pemuda tampan yang sebenarnya membuat hatinya sering berdesir kagum itu.
Suto memang tidak memperkenalkan dirinya sebagai Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak. Ia tak ingin gadis itu menertawakan atau mencibirkan pengakuan itu. Sebab menurut Suto, Ranggina bukan gadis yang mudah percaya dengan nama besar seperti Pendekar Mabuk itu. Jadi percuma saja Suto mengaku sebagai Pendekar Mabuk, nanti justru akan timbul masalah baru, misalnya dijajal ilmunya oleh Ranggina. Suto malas melayani orang-orang yang sekadar ingin mengetahui tingkat ketinggian ilmunya.
Dengan mengaku sebagai Suto, orang jalanan, rasa-rasanya lebih mudah dipercaya dan mudah menjadi akrab dengan Ranggina. Terbukti gadis itu mau menjelaskan persoalannya sambil mereka meninggalkan si Begundal Pulau Darah. Suto tak tahu bahwa arah yang mereka tuju adalah jalan melingkari bukit yang menuju ke arah kotaraja.
"Seperti kukatakan tadi, aku mencari orang yang dapat menyelamatkan jiwaku dari ancaman Ayodya alias si Malaikat Gantung itu," ujar Ranggani mengawali penjelasan yang sebenarnya.
"Kau belum jawab pertanyaanku tadi tentang siapa Ayodya itu sebenarnya."
"Ayodya adalah kakak seperguruanku. Tetapi ia dianggap murid murtad oleh Guru karena ia mendalami ilmu hitam dari tokoh lain."
"Siapa yang menjadi guru ilmu hitamnya itu?" tanya Suto.
"Nyai Kembang Kempis!"
"Ooh.. ?!" Suto Sinting terkejut, sebab ia tahu nama Nyai Kembang Kempis adalah nama gurunya Delima Wungu. Tokoh tua itu disebut juga sebagai Tabib Sesat yang berasal dari dasar bumi. Kabarnya, Nyai Kembang Kempis memang seorang pelarian dari dasar bumi.
"Kenapa terkejut? Kau juga murid Nyai Kembang Kempis?" sambil Ranggina melirik curiga.
Pendekar Mabuk tersenyum tenang sambil tetap melangkah. "Kalau aku murid Nyai Kembang Kempis, tentunya kau sudah kuhancurkan sejak tadi. Aku terkejut karena pernah mendengar nama Nyai Kembang Kempis sebagai tokoh pelarian dari dasar bumi yang berjuluk Tabib Sesat itu."
"Rupanya kau punya pengetahuan cukup lumayan tentang rimba persilatan, Suto."
"Mungkin saja. Sayang sekali pengetahuanmu tak sebanyak pengetahuanku," ujar Suto karena merasa dirinya tidak dikenali sebagai Pendekar Mabuk.
"Hmmm, jangan merasa tersanjung dulu oleh kata-kataku," ujar Ranggina.
"Aku tidak merasa tersanjung, hanya saja... ah, sudahlah. Sebaiknya lanjutkan penjelasanmu tadi."
Sambil tetap melangkah di samping kiri Pendekar Mabuk, gadis itu melanjutkan penjelasannya tentang Ayodya alias si Malaikat Gantung itu. "Guruku bernama Eyang Sampurna, dari perguruan silat Lintang Yudha."
"Yang ini memang tak ada dalam pengetahuanku," sela Suto. "Teruskan !"
"Malaikat Gantung menyusun kekuatan sendiri setelah ia berhasil pelajari beberapa ilmu hitamnya Nyai Kembang Kempis. Kemudian ia menyerang perguruan kami. Perguruan menjadi hancur. Ternyata Eyang Sampurna juga berhasil ditewaskan oleh ilmunya si Malaikat Gantung. Aku sempat membawa kabur Guru untuk mengobati lukanya, tapi tak berhasil. Guru pun tewas di depanku. Tapi sebelum beliau wafat, sebuah amanat disampaikan kepadaku."
"Amanat apa?"
"Aku harus tetap menghidupkan Perguruan Lintang Yudha! Tanah perguruan yang telah dikuasai oleh Malaikat Gantung harus kurebut kembali. Namun aku merasa kalah ilmu dengan Malaikat Gantung. Bahkan kini aku menjadi buronannya. Malaikat Gantung tak ingin ada murid Eyang Sampurna yang tersisa. Seluruh murid telah dibantainya habis. Tinggal beberapa orang yang melarikan diri menyebar entah ke mana, termasuk diriku."
"Apakah kau tetap bersikeras untuk melaksanakan amanat mendiang gurumu itu?"
"Ya. Aku harus merebut kembali tanah perguruan kami dan membuka kembali Perguruan Lintang Yudha. Sebab itulah aku butuh bantuan seseorang yang kuat dan bisa kuajak bersama-sama menumbangkan si Malaikat Gantung itu!"
"Hmmm, begitu...?!" gumam Suto pelan. "Lantas, mengapa kau memaksaku ikut ke kotaraja?!"
"Kudengar Sultan Jantrawindu sedang mengadakan sayembara orang kuat. Aku ingin melihat siapa yang unggul dalam sayembara orang kuat itu. Jika ternyata orang kuat tersebut bisa didekati, maka aku akan meminta bantuan pula kepada orang kuat itu untuk melindungiku."
"Apa upahnya?!" sela Pendekar Mabuk sekadar ingin tahu kesanggupan Ranggina dalam memberi imbal balik kepada orang yang dimintai bantuannya.
Gadis itu diam sesaat, kemudian menjawab dengan pandangan mata berpaling ke arah lain. Seakan ia tak berani menatap Pendekar Mabuk. "Jika memang ada orang yang mampu menyelamatkan jiwaku, melindungi nyawaku dari ancaman Malaikat Gantung, seandainya orang itu wanita akan kuanggap sebagai kakak angkatku, tapi jika dia seorang lelaki, mungkin aku akan pasrah padanya."
"Pasrah bagaimana?" desak Suto Sinting dengan pertanyaan yang tergolong usil itu.
"Terserah orang itu! Dia boleh memperistri diriku jika menurutnya aku pantas menjadi istrinya, atau menganggapku sebagai adik. Singkatnya, siapa yang bisa melindungiku aku akan mengabdi kepadanya, asal bukan kepada si Malaikat Gantung."
Pendekar Mabuk tertawa pelan, nyaris tak terdengar. Ia tahu gadis itu tak mau memandangnya karena malu terhadap kesanggupannya memberikan imbalan seperti itu. Tetapi hati Pendekar Mabuk bisa memaklumi mengapa Ranggina sampai mau berpasrah seperti itu kepada si penyelamatnya nanti. Hal itu dikarenakan ia tak mempunyai apa-apa yang bisa dijadikan imbalan timbal balik, dan agaknya ia benar-benar tak ingin jatuh di tangan Ayodya. Demi menjalankan amanat sang Guru, apa pun risikonya Ranggina harus bisa menyingkirkan Ayodya dari tanah perguruannya yang terletak di Bukit Palawa itu.
Menurut pengakuan Ranggina, ia sudah tak mempunyai ayah dan ibu lagi. Bahkan dua adiknya telah tewas di tangan musuh leluhurnya. Keterangan itu menimbulkan rasa iba di hati Pendekar Mabuk. Hanya saja, rasa iba itu tak ditunjukkan di depan Ranggina, takut akan membuat gadis itu semakin ngelunjak terhadap Pendekar Mabuk. Dengan tetap bersikap kalem, Suto kelihatan tak begitu tergerak hatinya terhadap nasib Ranggina.
"Bagaimana jika orang kuat yang unggul dalam sayembara nanti tidak mau membantumu menghadapi Ayodya?" pancing Suto.
"Berarti aku harus mencari teman lain yang mau membantuku! Sebelum kudapatkan orang yang mampu melindungiku dan mampu kuajak kerja sama untuk menumbangkan Ayodya, aku akan berusaha untuk tidak dilihat oleh Ayodya."
"Bagaimana jika sebelum kau dapatkan orang tersebut kau sudah tertangkap oleh pihak Ayodya lebih dulu."
"Aku pasti akan dibunuhnya. Dan kalau sudah begitu, ya sudah itu namanya nasib!"
Pendekar Mabuk tersenyum geli. Tapi langkahnya semakin merapat ke samping kanan Ranggina. Dengan pandangan wajah tetap lurus ke depan, Pendekar Mabuk bicara dengan pelan seperti orang berbisik. "Apakah kau mempunyai seorang teman lelaki bertubuh kurus?"
"Tidak," jawab Ranggina dengan mata memandang penuh curiga.
"Atau... barangkali kau mempunyai teman lelaki berambut panjang dikonde dengan tubuh agak kurus juga?"
Ranggina makin berkerut dahi. "Tidak. Kenapa kau bertanya begitu?!"
"Karena kita diikuti oleh dua orang yang tidak sama-sama kita kenal."
"Ooh...?!"
"Jangan menengok ke belakang!" sergah Suto Sinting sambil tetap memandang lurus ke depan. Ia menambahkan dalam bisikannya. "Dua orang itu yang satu berbadan kurus dengan rambut lurus sepundak, seperti rambutku, yang satu lagi berbadan sedikit gemuk dari yang pertama, tapi rambutnya dikonde seperti perempuan. Cuma dia punya kumis tipis."
"Di mana mereka sekarang?"
"Di balik pohon belakang kita. Mereka ada di sebelah kirimu dan di sebelah kananku. Keduanya sama-sama bersenjata tombak berkepala pedang besar. Sinar kilatan pedangnya yang memantulkan sinar matahari sempat kenai pohon depan kita itu!" sambil Suto menuding pohon itu secara tak kentara.
Ranggina segera menemukan kilatan kemilau logam yang memantulkan sinar matahari. "Tajam sekali penglihatanmu?" bisik Ranggina.
Pendekar Mabuk tersenyum dan tetap tenang. Tentu saja Ranggina memujinya demikian karena ia tak tahu bahwa Suto sering menggunakan jurus 'Lacak Jantung'- nya dalam setiap perjalanan. Sewaktu-waktu ia gunakan jurus itu dan menangkap suara detak jantung milik orang lain. Ia segera curiga dan mencari cara untuk mengintai si pemilik detak jantung itu secaratak kentara.
"Di depan ada serumpun bambu yang tumbuh memanjang," bisik Ranggina.
"Itu bukan tanaman kebunku," jawab Suto iseng.
"Lompatlah ke balik semak bambu itu. Akan kuhadapi dua orang penguntit kita itu."
"Tak akan berhasil. Mereka pasti tak mau menampakkan diri menyusul kita jika kita bersikap menunggu."
"Akan kupaksa mereka!"
"Percuma. Sebaiknya ikutlah belok ke semak-semak bambu itu. Lalu, tiba-tiba kita sergap langkah mereka."
"Tapi janji, biar aku yang mengurus mereka?!"
"Dengan senang hati akan kuberikan kesempatan ini padamu, Ranggina!" bisik Pendekar Mabuk sambil tertawa kecil seperti orang pacaran.
Rupanya Ranggina ingin tunjukkan kemampuannya menangani dua lawannya itu. Pendekar Mabuk menghargai maksud gadis itu. Sehingga ia tidak akan ikut campur kecuali jika si gadis dalam keadaan bahaya. Maka ketika mereka membelok ke semak-semak, Ranggina segera berbalik arah dan siap menunggu langkah kedua penguntit itu. Pendekar Mabuk sentakkan kakinya ke tanah, deg...! Wuuut...! Jurus 'Layang Raga' yang merupakan ilmu peringan tubuh itu digunakan. Dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah berada di atas ranting pohon bambu tanpa membuat ranting itu patah.
Ranggina sempat meliriknya sekejap dan terperangah melihat Pendekar Mabuk mampu berdiri di atas ranting bambu sekecil kelingking. "Edan! Rupanya dia punya ilmu peringan tubuh cukup lumayan?!" gumam Ranggina pelan. Lalu perhatiannya kembali pada dua penguntitnya.
Ternyata apa yang dikatakan Suto Sinting memang benar. Ranggina segera melihat dua sosok tubuh kurus yang bersenjata tombak berujung pedang. Dua orang itu mengendap-endap dari pohon ke pohon. Yang satu berbaju merah dengan celana hitam, rambutnya dikonde. Yang satunya lagi berompi biru dengan celana hitam, rambutnya lurus tanpa ikat kepala. Masing-masing berusia sekitar tiga puluh tahun.bKetika yang berambut lurus itu berkelebat pindah tempat, Ranggina segera melesat menerjangnya dengan tongkat disentakkan ke depan.
"Hiaaaat...!"
"Sambra, awaaas...!!"
Weess...! Trang...! Tongkat itu tertangkis oleh pedang di ujung tombak lawan. Tapi pedang itu menjadi patah akibat tersodok ujung tongkat Ranggina.
"Hmmm... kekuatan tongkat itu seperti baja?!" gumam Pendekar Mabuk yang kali ini sengaja menjadi penonton dari atas pohon bambu.
Kalau saja orang berambut panjang yang dikonde itu tidak berseru mengingatkan temannya yang bernama Sambra, maka tongkat itu akan kenai tengkuk kepala orang tersebut. Pendekar Mabuk mengecam Ranggina dalam hati, karena lakukan serangan dengan bersuara.
"Bodoh! Mau menyerang pakai teriak segala! Yah, tentu saja ketahuan!"
Tetapi agaknya Ranggina tak peduli serangannya diketahui pihak lawan. Patahnya pedang lawan membuat Ranggina semakin bersemangat melepaskan serangan tongkatnya ke arah dada Sambra. Wuuut, trak...! Serangan itu berhasil ditangkis juga oleh tombak Sambra. Kini sisa pedang di ujung tombak itu dihujamkan ke wajah Ranggina. Wuut...! Ranggina lompat ke belakang dengan bersalto. Wuk, jleeg...! Begitu ia menapakkan kakinya ke tanah, pedang di ujung tombak si lelaki berkonde itu membelah kepalanya. Wuung...!
Traang...! Ranggina berlutut satu kaki dan menyilangkan tongkatnya di atas kepala dengan dipegangi dua tangan. Tebasan pedang lawan tertangkis oleh tongkat itu. Ranggina segera berguling ke tanah dengan tubuh memutar, kaki menyampar cepat. Wuuut, plaak...!
"Awas, Dempak!" pekik Sambra mengingatkan temannya yang bernama Dempak itu. Tapi peringatan itu terlambat. Kaki Ranggina sudah telanjur menyampar kaki Dempak dengan kuat. Akibatnya, Dempak pun jatuh terpelanting kehilangan keseimbangannya. Brruuk...! Dengan cepat tongkat Ranggina menghantam kepala Dempak. Beet...! Trok...!
"Aaoow...!!" teriak Dempak dengan mengejang. Kepala itu langsung berlumur darah, bonyok pada bagian pelipisnya. Dempak menggelepar kebingungan sambil meraung-raung.
"Bangsat kau. Gadis Kunyuk!! Heeaah...!!" Sambra makin mengamuk melihat temannya terluka seperti itu. Ia melompat dengan sisa senjata dihantamkan ke kepala Ranggina. Wuuut...!
Ranggina berguling ke depan, sehingga hantaman tombak itu tak mengenai sasaran. Tetapi tongkatnya segera menyentak ke atas. Dees...!
"Uuhk...!" perut Sambra menjadi sasaran empuk ujung tongkat itu. Ternyata Ranggina salurkan tenaga dalamnya melalui tongkat itu, sehingga sentakan ke perut Sambra membuat lelaki itu terlempar ke udara dan berjungkir balik tanpa keseimbangan lagi.
Wuk, wuk, wuus...! Brruuk...!
"Aaahk...!" Sambra mengerang kesakitan, tulang punggungnya bagaikan dibanting di permukaan batu sebesar kepala kerbau. Ia menyeringai kesakitan merasakan tulang punggungnya bagaikan patah dan tak bisa dipakai bangkit dengan cepat.
"Hiaaah...!" Ranggina merentangkan kedua tangannya dengan tongkat melilit di tangan kanan, kedua kakinya merendah ke samping. Jurus yang dimainkan kala itu sungguh indah dan menimbulkan rasa kagum dalam hati Pendekar Mabuk.
"Dia bukan saja kelenturan tubuh, namun juga lincah dan tangkas." ujar hati Pendekar Mabuk.
Tongkat itu pun diputar-putar di sekitar tubuhnya. Kelebatan tongkat itu menimbulkan suara mendesau menandakan angin yang ditimbulkan dari gerakan tongkat itu cukup kuat. Dempak dan Sambra berhasil bangkit dengan memaksakan diri. Padahal Suto tahu keduanya sudah kehilangan tenaga cukup banyak akibat menahan rasa sakitnya. Dan pada saat itu mereka bermaksud menggunakan jurus gabungan.
Tapi pada saat mereka masih berdiri berjajar dalam jarak tiga langkah, tiba-tiba Ranggina melesat bersama tongkatnya. Tongkat itu ditancapkan ke tanah dan tubuhnya memutar dengan tangan berpegangan pada tongkat tersebut. Hiaaat...!!"
Plok, plok, des, des...!
Kedua kaki Ranggina menendang secara beruntun. Entah berapa kali gerakan kaki itu menendang dengan cepat. Yang jelas semua tendangan beruntun yang mirip orang berlari itu mengenai tubuh lawannya. Mereka berdua sama-sama terpekik pelan karena suaranya tertahan rasa sakit di tenggorokan. Kejap berikutnya mereka berdua tumbang ke belakang setelah lebih dulu terpental ke arah yang berlainan.
Brrusk, brruk...!
"Uuggrr...!" Dempak mengerang menyeramkan karena mulutnya semburkan darah kental. Sementara itu, Sambra tak terdengar suaranya sedikit pun. Bahkan tubuhnya hanya bergerak sebentar, lalu terkulai lemas dengan hidung dan telinga mengucurkan darah kental.
Ranggina berdiri dengan kedua tangan merentang dan tongkatnya melilit di tangan kiri. Matanya memandang lawan dengan tajam. Posisi kakinya diangkat satu bagai seekor burung bangau di tengah sawah. Ia tampak siap siaga menerima serangan berikutnya. Tapi ternyata berikutnya tak ada serangan, yang ada hanya desau angin mengembus sunyi. Beberapa saat kemudian, Pendekar Mabuk turun dari atas pohon bambu. Ia memeriksa kedua orang yang terkapar tanpa gerakan lagi itu.
"Dia tewas!" ujar Suto Sinting setelah berdecak dan geleng-geleng kepala. Orang yang tewas itu adalah Dempak. Sedangkan Sambra tampaknya hanya pingsan atau sedang sekarat, yang jelas ulu hatinya masih tampak berdenyut-denyut pertanda napasnya masih ada.
"Seranganmu terlalu kuat, Ranggina. Akibatnya yang satu mati dan yang satu lagi setengah mati," ujar Suto Sinting sambil meninggalkan kedua orang itu.
"Itulah bodohnya mereka. Mengincar nyawaku tapi tak melindungi nyawanya sendiri," ucap Ranggina dengan nada ketus. Wajahnya yang cantik masih memancarkan kebencian terhadap kedua lawannya itu.
"Apakah kau tahu siapa mereka?"
"Dempak dan Sambra!"
"Iya, aku juga tahu kalau cuma nama mereka," Suto bersungut-sungut. "Tapi tahukah kau dari pihak mana mereka dan mengapa menguntit kita?"
"Mereka orangnya Ayodya! Untuk apa lagi mereka menguntit kita kalau bukan menunggu kelengahanku. Pasti mereka ditugaskan membunuhku!"
Suto Sinting manggut-manggut. Ia semakin yakin bahwa gadis itu memang dalam ancaman bahaya. Rasa- rasanya tak ada salahnya jika ia mulai bertindak menjadi pelindung Ranggina tanpa perlu mengeluarkan pernyataan apa pun.
"Suto, kita lanjutkan perjalanan kita ke kotaraja! Kurasa sayembara itu sudah dimulai. Aku ingin melihat siapa orang kuat yang memenangkan sayembara di sana!"
"Tunggu! Aku melihat seseorang berkelebat ke sana!" sambil Suto memandang ke arah bayangan yang dilihatnya melesat dari arah lain ke arah ujung semak bambu tadi.
"Kurasa orang itu juga tak mau ketinggalan tontonan gratis di alun-alun kesultanan!" ujar Ranggina.
"Sepertinya aku mengenali orang itu, Ranggina!"
"Kalau begitu, mengapa kau hanya diam saja?! Siapa tahu dia kenalanmu yang cukup kuat dan bisa ikut membantuku menghadapi Ayodya?!"
Setelah bicara begitu, Ranggina bergerak lebih dulu. Seolah-olah ia ingin menyusul bayangan yang berkelebat ke arah kotaraja itu. Pendekar Mabuk pun bergegas mengikutinya tanpa menggunakan jurus Gerak Siluman', sehingga kecepatan geraknya sejajar dengan kecepatan lari Ranggina.
* * *
TIGA
SEBUAH panggung dibangun di tengah alun-alun. Panggung itu takseberapa tinggi, tapi cukup luas. Lantainya dilapisi karung-karung rami yang membuat lantai panggung menjadi tebal dan empuk. Panggung itu dikelilingi oleh banyak orang. Mereka bukan ingin melihat karung-karung dibentangkan melainkan untuk melihat suatu tontonan murah, meriah, dan bikin betah, kadang-kadang bisa bikin muntah. Tontonan itu tak lain adalah pertarungan adu kekuatan tenaga dalam.
Sultan Jantrawindu mengadakan sayembara orang kuat dengan hadiah cukup tinggi. Sekantong uang emas akan diberikan kepada si peserta yang dapat kalahkan lawannya dalam tiga kali berturut-turut. Sekantong uang emas itu menjadi daya tarik bagi para peserta, walau kantongnya berukuran kecil. Berisi sekitar empat sampai tujuh keping uang emas. Tapi nilai itu sudah sangat tinggi untuk ukuran pada waktu itu. Oleh sebab itulah, banyak dari luar kesultanan yang mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara.
Salah satu orang dari luar Kesultanan Tanahinggil adalah seorang pemuda berwajah tergolong tampan, ia mengenakan baju tanpa lengan berwarna ungu dan celananya juga ungu. Rambutnya panjang dikuncir ke belakang. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu bertubuh tinggi, tegap, mengenakan gelang kulit warna loreng hitam-putih. Pemuda itu mempunyai tato kecil di punggung telapak tangannya bergambar seekor burung elang biru mengepakkan sayapnya.
Pendekar Mabuk nyengir geli sendiri setelah tahu siapa bayangan yang berkelebat dan yang diikuti bersama Ranggina itu. Ternyata dia adalah Adhiyaksa, murid Pendeta Darah Api. Pemuda itu dikenal dengan nama Elang Samudera.
Wuut, teeb...! Suto Sinting melemparkan sebongkah batu dari arah belakang pemuda berbaju ungu itu. Dengan cepat tangan pemuda itu menyambar ke belakang bersama tubuh yang memutar cepat. Batu itu berhasil ditangkapnya, wajah Elang Samudera tampak berang. Tapi begitu melihat Pendekar Mabuk tertawa cengar-cengir dari jarak tujuh langkah di belakangnya, wajah ngototnya itu segera mengendur. Napas terhempas lepas sambil geleng-geleng kepala.
Tapi tiba-tiba batu itu ganti dilemparkannya dengan gerakan cepat. Wuuut...! Ranggina terkejut melihat batu melayang cepat ke wajah Pendekar Mabuk. Ia segera menyodokkan tongkatnya. Suuut...! Teeb...! Sodokan tongkat itu melesat karena kalah cepat dengan lemparan batu itu. Tapi tangan Suto Sinting berkelebat ke depan dan dalam sekejap batu itu sudah dijepit dengan kedua jarinya; jari tengah dan jari telunjuk.
Ranggina terbengong melihat batu itu sudah ada dalam jepitan jari tangan Suto. Pendekar Mabuk menyeringai makin lebar. Tapi Ranggina tampak geram. Ia ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Elang Samudera. Tetapi gerakan tangannya ditahan oleh tangan Suto Sinting.
"Jangan...!"
"Dia melemparmu dengan batu itu!"
"Karena aku melemparnya lebih dulu!"
"Tapi..."
"Dia sahabatku! Mari kukenalkan dengan si konyol Elang Samudera itu!"
Elang Samudera sengaja bertolak pinggang melihat dirinya dihampiri oleh Suto Sinting dan seorang gadis cantik yang belum dikenalnya. Ketika mereka sudah berada dalam jarak dua langkah di depannya, Elang Samudera segera perdengarkan suaranya yang bernada senang karena berjumpa dengan sahabat karibnya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Dendam Selir Malam dan Kuil Perawan Ganas).
"Kalau saja kau tidak bersama Nona cantik ini, sudah kuperbesar batu kirimanmu tadi, Suto!"
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum menanggapi kelakar Elang Samudera. Ia segera memperkenalkan Elang Samudera kepada Ranggina, dan sedikit menceritakan tentang nasib Ranggina.
"Oh, jadi Eyang Sampurna sudah wafat?!" Elang Samudera tampak kaget.
"Kau kenal dengan gurunya Ranggina itu?!"
"Aku pernah jumpa beliau satu kali ketika mengantarkan guruku dalam satu pertemuan di Selat Bantang. Hanya satu kali, tapi aku cukup terkesan dengan sikap bijaknya beliau yang penuh kesabaran itu," jawab Elang Samudera menyebutkan ciri-ciri sikap mendiang Eyang Sampurna, sehingga Ranggina makin percaya bahwa Elang Samudera memang mengenal mendiang gurunya.
"Bagaimana kabar kakakmu; si Dewi Cintani itu?" tanya Suto yang mengenal kakak perempuan Elang Samudera sebagai panglima dari Pulau Sangon.
"Baik-baik saja, Suto. Ratu Remaslega juga dalam keadaan sehat-sehat saja. Juga si Bocah Emas dalam keadaan sehat."
"Lalu, mengapa kau datang kemari, Elang?"
"Mau mengikuti sayembara itu," jawab Elang Samudera yang membuat Ranggina menatap tanpa berkedip. Dahinya sedikit berkerut, seakan menyangsikan kekuatan Elang Samudera.
"Kau ingin mengikuti adu kekuatan itu? Ooh, aneh sekali bagiku, Elang," ujar Suto sedikit bernada mengecam. "Apa yang kau cari dari kemenanganmu nanti?"
"Hadiahnya!"
"Beberapa keping uang emas, maksudmu?!"
"Bukan hanya itu," jawab Elang Samudera yang membuat Ranggina dan Pendekar Mabuk saling pandang sebentar, tampak merasa aneh dengan jawaban Elang Samudera.
"Sebagian besar orang tak tahu apa maksud Sultan Jantrawindu mengadakan sayembara ini," bisik Elang Samudera, takut ucapannya didengar pihak lain.
"Apa sebenarnya maksud Sultan Jantrawindu mengadakan sayembara ini?" desak Suto.
"Mencari orang tangguh yang akan dipercaya untuk berkuasa di Tanah Sereal!"
Ranggina menyahut, "Tanah Sereal memang dalam kekuasaan wilayah Kesultanan Tanahinggil, tapi bukankah Tanah Sereal sudah dikuasakan kepada Panglima Tulang?!"
"Apakah kau belum dengar bahwa Panglima Tulang sekarang bersekutu dengan salah seorang muridnya Nyai Kembang Kempis yang berjuluk si Malaikat Gantung?!"
"Hahh...?!" Ranggina terkejut, matanya yang bundar melebar indah namun berkesan tegang. Pendekar Mabuk justru pertajam kerutan dahinya.
"Kau tak salah dengar itu, Elang?"
Dengan senyum kalem Elang Samudera menggeleng. "Sultan Jantrawindu adalah sahabat Ratu Remaslega. Kabar itu datang dari utusan Pulau Sangon yang kebetulan singgah kemari beberapa hari yang lalu."
"Jadi... maksudmu Panglima Tulang telah meninggalkan Tanah Sereal dan..."
"Dan diperkirakan akan menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Tanahinggil yang lainnya. Tentu saja wilayah Tanah Sereal akan dikuasai keseluruhannya, juga daerah yang bernama Cadas Pitu, Lembah Tayub dan beberapa desa di kaki Bukit Ratus itu."
"Daerah-daerah subur semua?!" gumam Ranggina. "Rupanya kau cukup banyak tahu tentang daerah kekuasaan Kesultanan Tanahinggil ini, Ranggina," ujar Elang Samudera berkesan memuji. "Tapi aku yakin kau belum tahu siapa yang ada di belakang tindakan makar si Malaikat Gantung dan Panglima Tulang itu!"
"Maksudmu... persekutuan mereka ada yang mendalangi?!" sela Pendekar Mabuk.
"Benar. Dan tidak semua orang tahu siapa dalang yang berdiri di belakang mereka?!"
"Nyai Kembang Kempis?!" tebak Ranggina.
Elang Samudera menggeleng dalam senyuman tipis.
"Lalu, siapa dalang dari rencana persekutuan mereka itu, Elang?" desak Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi kalau bukan saudara kembarmu: Siluman Tujuh Nyawa."
"Setan!" maki Suto Sinting dengan jengkel, tapi membuat Elang Samudera tertawa mirip orang menggumam terputus-putus. Wajah Suto sempat menjadi semburat merah mendengar nama Siluman Tujuh Nyawa sebagai orang yang berada di belakang persekutuan Ayodya dengan Panglima Tulang. Bara api permusuhan bagaikan menyala berkobar-kobar dalam hati Pendekar Mabuk. Ia menggeram dan menggenggam kedua tangannya kuat-kuat.
Tanah di depannya menyebar ke kanan-kiri. Batuan kecil sempat menggelinding lari akibat hembusan napas Pendekar Mabuk. Dalam keadaan sedang memendam kemarahan begitu, dengan sendirinya napas yang keluar dari hidung Suto adalah suatu kekuatan maha dahsyat yang dinamakan Napas Tuak Setan. Hembusan napas seperti itu sangat berbahaya, dapat mendatangkan badai yang mampu menggulung habis sebuah desa.
"Tenang, tenang...! Kendalikan dirimu, Suto," bisik Elang Samudera yang mengetahui bahayanya napas Pendekar Mabuk jika sedang diliputi kemarahan.
Tetapi Ranggina berkerut dahi tampak terheran-heran melihat perubahan Suto Sinting. "Sejak tadi ia tampak kalem, kenapa sekarang menjadi gusar dan pandangan matanya kelihatan liar?!" pikir Ranggina yang belum tahu-menahu pribadi Suto Sinting yang sebenarnya.
Pendekar Mabuk pun segera kuasai dirinya. Matanya sengaja dipakai memandang beberapa orang yang sudah tak sabar menunggu sayembara dimulai. Perhatian Suto pun sengaja ditujukan kepada seorang punggawa istana yang memimpin sayembara tersebut. Kini si ketua panitia itu telah berada di atas panggung pertarungan, membacakan peraturan dan tatatertib bagi para peserta.
"Saudara-saudara sebangsa dan setanah air...," sang panitia mengawali sambutannya.
Dari menara pengawas, tampak Sultan Jantrawindu duduk di sebuah kursi khusus yang dijaga ketat oleh para pengawal. Di kanan-kiri Sultan Jantrawindu berdiri beberapa keluarganya termasuk seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang berwajah cantik, bermahkota kecil, namun jelas ia bukan permaisuri sultan. Sebab menurut penjelasan Ranggina, sang Sultan sudah tidak beristri lagi dan hanya hidup bersama tiga orang putri dan dua orang putra, serta menantu-menantunya.
Setelah panitia bertubuh gemuk itu memberi sambutan alakadarnya, termasuk menyebutkan tujuan sang Sultan mengadakan sayembara dengan alasan memperluas persahabatan, maka sang panitia pun membacakan tatatertib pertarungan tersebut.
"Pertama, para peserta pertarungan persahabatan ini tidak boleh saling membunuh. Siapa yang terluka sedikit parah akan disingkirkan dari arena pertarungan, supaya tidak menimbulkan korban nyawa bagi siapa pun. Kanjeng sultan tidak berkenan memilih peserta yang sampai membuat lawannya luka berat atau bahkan tewas. Kemenangannya dianggap batal! Paham?!"
"Pahaaaaammm...!!" seru mereka, bahkan yang bukan peserta pun ikut berseru sehingga suasana menjadi cukup meriah.
"Kedua, pertarungan ini tidak dibenarkan menggunakan senjata tajam maupun senjata tumpul. Ketiga, peserta yang berdarah walau hanya sedikit akan diturunkan dari arena dan pertarungan dihentikan. Keempat, peserta harus sudah siap di sekitar arena agar mempermudah tampil jika gilirannya telah tiba. Kelima, peserta yang dipanggil tiga kali berturut-turut tidak naik ke arena ini, dinyatakan... budek!"
"Huuuhhh...!!" seru mereka sambil tertawa.
"Selain budek juga dinyatakan mengundurkan diri!" sambung panitia. "Keenam, peserta tidak diperkenankan main keroyokan. Ketujuh, dilarang menggigit kuping. Sebab daun kuping itu sangat tipis, kalau somplak susah nambalnya."
Para penonton dan peserta lainnya saling tertawa. Kelakar itu sengaja dikeluarkan oleh sang ketua panitia untuk menarik minat bagi mereka yang masih berada agak jauh dari alun-alun. Buktinya tawa mereka memancing yang lain mendekat ke arah arena.
"Kedelapan, peserta harus bisa menjaga diri baik-baik, karena barang rusak, hilang, risiko tanggung peserta sendiri. Kesembilan, dilarang mengeluarkan anggota badan. Kesepuluh, buanglah sampah pada tempatnya."
Elang Samudera menghilang dari samping Ranggina. Gadis itu mencari-cari, sementara Suto Sinting sengaja diam tak berkata sepatah pun dengan mata memandang ke arah orang yang berbicara di panggung. Ranggina mencoba berbisik denganhati-hati.
"Di mana sahabatmu tadi, Suto?"
Barulah Suto memperdengarkan suaranya yang datar. "Mungkin mendaftarkan diri."
Ranggina memandang ke arah panitia lainnya, dan ternyata Elang Samudera memang sedang mendaftarkan diri. Pendekar Mabuk pun bergegas maju, mau menyusul Elang Samudera. Ranggina menahan langkah Suto Sinting dengan mencekal lengannya.
"Mau ke mana?"
"Pipis," jawab Suto seenaknya. Konyol sekali, bikin hati Ranggina menggeram.
Tapi gadis itu yakin, Suto tak mungkin benar-benar mau buang air kecil. Maka gadis itu pun ikut-ikutan berkata konyol. "Aku juga, ah!"
Langkah Suto di antara orang-orang itu terhenti. "Jangan barengan!"
"Habis, siapa duluan?!" tanya Ranggina makin berlagak konyol.
Suto Sinting mendengus kesal, lalu berjalan lagi menyelusup di antara kerumunan orang yang berada di sekitar panggung arena. Pundaknya segera dicekal kembali oleh Ranggina.
"Sebaiknya segeralah mendaftarkan diri supaya tidak terlambat!"
"Mendaftar ke mana?"
"Apakah kau tak ingin ikut sayembara ini?!"
"Aku bukan orang kuat! Sekali geprak akan rontok perabot dalam tubuhku!"
"Tapi... tapi bagaimana dengan sahabatmu itu?! Elang Samudera yang tidak segagah dirimu, tidak sekekar badanmu, itu saja berani ikut dalam sayembara ini. Mengapa kau tak berani?!"
"Nyaliku kecil! Tak seberapa nyalinya Elang Samudera."
"Lalu kau mau apa mendekati meja pendaftaran?"
"Mau bicara dengan Elang Samudera! Mau pamit pergi dari sini!"
"Kau sinting, Suto?!"
"Aku Suto Sinting, bukan Sinting Suto!" sambil pemuda itu terus mendesak kerumunan orang untuk mendekati Elang Samudera. Ranggina mengikutinya dengan gerutu dan omelan yang tak digubris lagi oleh Pendekar Mabuk.
Setelah berada di dekat Elang Samudera, Pendekar Mabuk berkata kepada si petugas pendaftaran. "Apakah aku bisa bertemu dengan Kanjeng Sultan?!"
"Ada perlu apa?" tanya prajurit yang mengamankan sekitar tempat itu.
"Ada yang ingin kubicarakan tentang..."
Elang Samudera menyahut, "Setelah acara ini selesai tentunya kau bisa menghadap Kanjeng Sultan! Sebaiknya sekarang mundurlah dulu dan tonton saja sayembara ini tanpa ikut campur!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling beradu pandang beberapa saat. Akhirnya Suto tanggap dengan kata-kata Elang Samudera. Agaknya ia tak diizinkan bicara yang menyinggung-nyinggung tentang si Panglima Tulang atau Malaikat Gantung.
Elang Samudera pun berharap agar Suto tidak ikut tampil dalam arena nanti. Bukan saja karenaakan berhadapan dengannya, tapi Elang Samudera ingin unggul dalam pertarungan itu, supaya dia dijadikan andalan untuk menangani masalah persekutuan maut itu.
Mau tak mau Suto memahami juga hal itu, sehingga ia merasa lebih baik berunding dengan Elang Samudera seusai acara tersebut. Tapi agaknya sikap Suto yang tak mau ikut dalam sayembara itu mengecewakan hati Ranggina, sehingga gadis itu diam saja dengan wajah cemberut.
"Tak peduli dia mau kecewa atau tidak," ujar Suto dalam hatinya, "... kurasa memang ada baiknya kalau aku tidak menampakkan diri dalam acara ini. Firasatku mengatakan bahwa di sekitar sini pasti ada mata-mata dari pihak Malaikat Gantung atau Panglima Tulang. Siapa yang akan unggul dalam sayembara ini pasti akan sampai di telinga mereka. Paling tidak mereka dapat menduga bahwa pemenang sayembara ini akan diandalkan oleh sang Sultan sebagai penangkis serangan mereka. Hmmm Panglima Tulang dan sekutunya pasti akan mempelajari kelemahan orang andalan sultan!"
Pendekar Mabuk memperhitungkan langkahnya masak-masak. Ia tak menyangka kalau akan menghadapi masalah segawat itu. Persoalan persekutuan Panglima Tulang dengan Malaikat Gantung bukan persoalan yang ringan baginya, karena di belakang mereka berdiri si tokoh paling sesat yang menjadi musuh bebuyutannya: Siluman Tujuh Nyawa. Dulu, Siluman Tujuh Nyawa pernah ingin mempersunting Dyah Sariningrum secara paksa. Tapi Suto Sinting tampil dan mengacaukan segala rencana si tokoh sesat yang paling ditakuti oleh para tokoh golongan hitam itu. Sebagai sumpahnya, Pendekar Mabuk akan melamar Dyah Sariningrum dengan maskawin kepalanya Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi tokoh yang sudah nyaris hancur dan kehilangan banyak pengikut itu ternyata cukup licin. Setiap pertarungan ia selalu menggunakan jurus 'Langkah Seribu', artinya melarikan diri jika keadaannya sudah terdesak. Ia melarikan diri bukan saja dengan kedua kakinya, melainkan dengan ilmunya yang tinggi, yang mampu menembus alam gaib dan sukar dilacak lagi. Berkali-kali Suto Sinting gagal menumbangkan Siluman Tujuh Nyawa. Orang terkutuk yang memang dikutuk oleh leluhurnya untuk menjadi manusia sesat selama tiga ratus tahun itu memang tampak kewalahan hadapi Pendekar Mabuk.
Tapi Pendekar Mabuk pun sering dibuat keteter dalam berhadapan dengan Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa. Pengembaraan Suto selama ini adalah dalam rangka mengejar si manusia kejam yang tempat persembunyiannya sukar ditemukan. Jika sekarang diketahui ia berada di belakang Malaikat Gantung dan Panglima Tulang, maka Suto sangat bernafsu untuk hadapi salah satu dari kedua orang itu. Suto berharap dapat menangkap salah satu dari mereka secara hidup-hidup, agar bisa dapatkan keterangan di mana letak persembunyian Siluman Tujuh Nyawa.
Lamunan Pendekar Mabuk buyar dan ia tersentak kaget, sempat menggeragap sebentar ketika pinggangnya disodok memaki siku oleh Ranggina. Gadis itu bersungut-sungut melihat Suto Sinting menggeragap.
"Orang-orang bersorak kau malah melamun! Lihatlah pertarungan itu! Kasihan temanmu terbanting berkali-kali!"
Pendekar Mabuk baru sadar bahwa ia sudah melamun cukup lama. Pertarungan di atas panggung arena itu sudah berlangsung cukup lama. Peserta demi peserta telah dinyatakan tumbang. Kini tinggal Elang Samudera melawan seorang lelaki bertubuh tinggi, kekar, dan berkepala pelontos, walau bukan berarti gundul.
Orang itu mendaftarkan diri dengan nama Wiro Geprak. Tubuhnya tampak kenyal dan sukar ditumbangkan. Elang Samudera berhasil menendangnya beberapa kali, tapi Wiro Geprak tetap berdiri tegar bagai tiang pancang sebuah jembatan beton.
Dalam satu lompatan kecil, Elang Samudera berhasil menghantam pukulannya ke arah perut Wiro Geprak. Tapi tangan Wiro Geprak justru mencekal genggaman Elang Samudera. Teeb...! Genggaman itu dirematnya. Kreeerk...!
"Aaaaoow...!!" Elang Samudera menggeliat sambil menyeringai kesakitan. Tulang-tulang jari tangannya bagaikan remuk. Namun ia masih bisa menyilangkan tangan kiri ke atas kepala ketika Wiro Geprak ingin menghantam kepalanya. Dees...! Tangkisan itu pun terasa membuat tulang lengan Elang Samudera bagaikan patah. Tiga kali hantaman tangan kanan Wiro Geprak berhasil ditangkis oleh Elang Samudera, namun untuk hantaman keempat sepertinya Elang Samudera tak sanggup menangkisnya lagi, sebab tulang lengannya sudah terasa remuk.
Namun ternyata hantaman Wiro Geprak tidak seperti tiga hantaman yang tadi. Kali ini telapak tangan Wiro Geprak menyodok ke depan. Kepala Elang Samudera disentakkan ke belakang untuk hindari sodokan telapak tangan besar itu. Namun agaknya gerakan tersebut terlambat, sehingga rahang Elang Samudera tersodok telapak tangan itu. Deess...!
"Ooufw...!" wajah Elang Samudera tersentak ke samping, air peluhnya memercik, rambutnya terhempas lepas dari ikatannya.
"Gila! Besar sekali tenaga orang itu?!" gumam Pendekar Mabuk dengan tegang.
Tangan kanan Elang Samudera masih dalam cengkeraman Wiro Geprak, membuat Elang Samudera tak bisa terpental jatuh. Padahal pandangan matanya telah menjadi buram akibat tulang rahangnya terasa pecah. Orang-orang berseru saling melontarkan aneka macam kata-kata.
"Hantam lagi! Hantam lagi biar mulutnya mengsong!"
"Ayo, Elang... lawan terus dia! Ayo... ayooooo, kamu bisa...!"
"Genjot mukanya! Genjot yang mantap, biar hidungnya somplak!"
"Awas, jangan gigit kuping, nanti disidang!" seru yang lain.
Suto Sinting pun gemas sendiri dan berseru dari tempatnya. "Gunakan lututmu. Elang! Lutut...! Lutut...!"
Rupanya Elang Samudera sempat mendengar suara Suto samar-samar. Dalam keadaan pandangan mata semakin gelap, Elang Samudera segera menyodokkan lututnya ke depan.
Dess...! Prook...!
"Aaaaaoow...!!" Wiro Geprak memekik keras-keras. Tubuhnya langsung terbungkuk mundur. Genggaman tangannya pada kepalan tangan Elang Samudera dilepaskan.
Elang Samudera pun berhasil melangkah mundur dengan sempoyongan, namun segera terhempas jatuh. Ia terengah-engah sebentar, dan mendengar suara Wiro Geprak berteriak-teriak akibat 'anunya' tersodok lutut dengan keras sekali.
"Bangun! Cepat bangun...!" seru mereka kepada Elang Samudera, karena mereka tahu keadaan Wiro Geprak sudah mulai lemah, makin lama makin lemah.
"Ayo, bangun! Serang lagi dia! Cepat, bangun... bangun!"
"Bangun tidur kuterus mandi...!"
"Husy! Itu tembang anak-anak!" gertak teman orang yang konyol itu.
Suto Sinting pun berseru, "Pusatkan napas! Pusatkan napas di dada!"
Ranggina ikut berseru dengan kedua tangan di samping mulutnya. "Di dada...! Dada...! Pusatkan dada di napas, eeh... pusatkan napas di dada!"
Seruan itu tak dihiraukan Elang Samudera. Tak ada yang didengarnya sama sekali. Tapi jiwa dan semangat pertarungannya tetap membara, sehingga dengan susah payah Elang Samudera pun berusaha bangkit. Melalui pandangan mata yang memburam, tak segelap tadi. Ia melihat Wiro Geprak terbungkuk-bungkuk mendekatinya dengan kedua kaki merapat. Elang Samudera pun kerahkan tenaganya untuk lakukan satu lompatan berputar, wuuut...! Kakinya berkelebat dalam satu tendangan seperti orang menampar.
Wees, plook...!
"Aaaaohk...!" Wiro Geprak terpekik lagi, tubuhnya terlempar ke samping. Tendangan kaki itu seperti sebatang pohon beringin menerjangnya dari kiri. Pelipis dan tulang rahangnya terasa mau pecah.
Brrrrukk...! Wiro Geprak tumbang bagaikan nangka busuk jatuh dari pohon. Ia tak berkutik lagi. Pingsan. Tak ada penantang atau peserta lain yang ingin mengadu kekuatan dengan Elang Samudera, sehingga dengan demikian maka kemenangan mutlak berada di tangan Elang Samudera. Para penonton, termasuk Pendekar Mabuk, bersorak kegirangan menyambut kemenangan Elang Samudera. Tetapi Ranggina tidak ikut bersorak. Ia hanya diam dengan cemberut, sehingga menimbulkan tanda tanya di batin Suto Sinting. Akhirnya Suto pun bertanya,
"Mengapa kau tampak tak senang melihat kemenangan Elang Samudera?!"
"Aku sangsi apakah dia bisa melindungiku atau tidak."
"Yang perlu kau sangsikan adalah, apakah dia mau melindungimu atau tidak!" ujar Suto Sinting agak tersinggung karena kemampuan temannya disepelekan oleh Ranggina.
"Sebaiknya aku pergi saja."
"Hei, katamu kau mau minta bantuan pada pemenang sayembara ini?!"
"Tak jadi!"
"Mengapa tak jadi?"
"Aku... aku tak berani memberikan upah yang pernah kukatakan padamu itu! Aku tak mau jadi istrinya jika ia berhasil kalahkan Ayodya!"
"Jangan kegedean rasa dulu! Elang pun belum tentu mau memperistri dirimu, Ranggina! Dia sudah punya kekasih sendiri."
"O, ya...?! Benarkah dia sudah punya kekasih?!" Ranggina tampak terperanjat dan sedikit tegang.
Suto Sinting hanya memandang dalam keheranan. "Kenapa sekarang ia justru tampak tegang?!"
* * *
EMPAT
MENURUT penilaian Suto, Ranggina adalah gadis munafik. Suka tapi berlagak tak suka, senang tapi berlagak tak senang. Begitu seterusnya. Karena dilihat dari ketegangan wajah Ranggina, sebenarnya gadis itu tertarik kepada Elang Samudera, tapi di mulut ia berlagak tidak tertarik, keberatan, sinis, dan sebagainya.
"Mungkin juga ia suka padaku, tapi berlagak ketus dan judes begitu. Hiii... takut, ah!" ujar Suto dalam hati dengan konyol, kemudian tertawa sendiri.
Terlepas dari bagaimana isi hati Ranggina sebenarnya, pertemuan itu bagi Pendekar Mabuk membawa hikmah tersendiri. Tanpa melalui pertemuannya dengan Ranggina, mungkin Suto tak akan tahu bahwa ada dua pihak yang telah bersekutu dan didalangi oleh Siluman Tujuh Nyawa. Menurutnya ini suatu kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Mungkin saja kali ini Pendekar Mabuk akan melakukan pertarungannya yang terakhir melawan Siluman Tujuh Nyawa.
Kemenangan yang diperoleh Elang Samudera semakin memperlebar kesempatan bagi Pendekar Mabuk untuk ikut menangani kasus ancaman Panglima Tulang dan Malaikat Gantung. Sehabis memberikan minum tuaknya kepada Elang Samudera, mereka sempat berunding secara bisik-bisik tentang rencana selanjutnya.
"Aku dipanggil menghadap Sultan. Agaknya sultan bukan saja ingin memberikan hadiah sekantong uang padaku, tapi juga ada yang ingin dibicarakan," ujar Elang Samudera.
"Libatkan aku!"
"Ya, aku akan bilang kalau aku tidak sendirian, melainkan berdua bersama..."
"Bertiga!" sahut Ranggina dengan ketus.
"O, ya... bertiga," ralat Elang Samudera sambil nyengir malu.
Elang Samudera, Pendekar Mabuk dan Ranggina diterima pihak Sultan Jantrawindu sebagai tamu kehormatan. Karena hari sudah senja, mereka mendapat dua kamar untuk bermalam di dalam istana kesultanan. Dua kamar itu yang satu untuk Suto dan Elang Samudera, yang satu lagi untuk Ranggina. Kamar itu bersebelahan dan mempunyai pintu tembus dari kamar yang satu ke kamar yang lain. Hal itu membuat mereka mudah berhubungan sewaktu-waktu.
Sebelum acara makan malam bersama keluarga istana, Ranggina sempat menemui Elang Samudera di kala Pendekar Mabuk sedang mandi. Gadis itu nekat mendekati Elang Samudera bukan untuk suatu keperluan cinta, melainkan karena ingin menyampaikan ganjalan hatinya selama ini.
"Elang, apakah sudah kau pertimbangkan baik-baik untuk melibatkan Suto dalam rencana menghadapi Malaikat Gantung itu?!"
Sambil mengikat rambutnya yang panjang, Elang Samudera memandang Ranggina melalui pantulan cermin rias yang ada di kamar itu. Ia tersenyum geli, namun bukan dalam bentuk tawa bersuara. "Kelihatannya kau menyangsikan kemampuan Suto, Ranggina."
"Sebab setahuku dia tidak mempunyai nyali sebesar nyalimu. Terbukti ia tidak berani tampil dalam pertarungan di arena itu."
Senyum Elang Samudera semakin lebar. "Sudah berapa lama kau kenal dengannya?"
"Baru setengah hari lebih sedikit," jawab Ranggina.
"Pantas kau sangsi padanya," ujar Elang Samudera dengan kalem. Ia berpaling menatap Ranggina yang ada dibelakangnya dalam jarak tiga langkah. "Tidakkah kau lihat wajahnya memancarkan kemarahan ketika kusebutkan nama Siluman Tujuh Nyawa?!"
"Ya, aku melihatnya. Dia tampak gusar sekali tadi. Mungkin karena belum-belum ia sudah ketakutan mendengar nama tokoh sesat yang sangat kejam itu."
Elang Samudera mendekat. Kini jaraknya hanya satu langkah dari Ranggina. "Dia bukan takut. Dia gusar karena terbakar api dendam dan murkanya. Perlu kau ketahui, Siluman Tujuh Nyawa adalah musuh utamanya dalam hidup ini!"
"Musuh utamanya?! Hmmm...!" Ranggina mencibir. "Mana mungkin dia berani melawan Siluman Tujuh Nyawa jika untuk melindungiku dari ancaman Ayodya saja dia tak punya kesanggupan?! Juga, tak punya keberanian tampil di arena pertarungan seperti tadi."
"Keberanianku belum ada sekuku hitamnya keberanian Suto. Ilmuku juga belum ada sejengkalnya ilmu yang dimiliki Suto."
"Ah, kau terlalu berlebihan menilainya di depanku, Elang."
"Tidak, Ranggina. Aku berkata yang sebenarnya. Sebab itulah ia bernafsu sekali untuk berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa."
"Tentu saja Siluman Tujuh Nyawa tak akan mundur jika berhadapan dengannya, bukan?! Menurut cerita guruku sebelum kami diserang Ayodya, Siluman Tujuh Nyawa hanya mundur jika berhadapan dengan Pendekar Mabuk."
"Gurumu benar!" ujar Elang Samudera sambil melebarkan senyum. "Dan perlu kau ketahui, Siluman Tujuh Nyawa juga selalu melarikan diri jika bertarung melawan Suto."
Ranggina memandang dengan mencibir tak percaya. "Mengapa Siluman Tujuh Nyawa melarikan diri jika bertarung melawan Suto? Apa alasannya?!"
"Karena Suto itulah Pendekar Mabuk."
"Ah, kau...!" Ranggina bersungut-sungut tak percaya. Ia ingin meninggalkan Elang Samudera, tapi pundaknya segera dicekal pemuda itu. Badannya pun berbalik menghadap Elang Samudera lagi.
"Nama aslinya Suto Sinting, dia murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang bergelar Pendekar Mabuk! Lihatlah ciri-cirinya, bumbung tuak yang selalu dibawa-bawa ke mana pun ia pergi. Itulah ciri-ciri yang jelas untuk mengenali Pendekar Mabuk."
"Ah, ngibul, ngibul...!" gerutu Ranggina, kemudian gadis itu bergegas kembali ke kamarnya.
Elang Samudera berkerut dahi dengan sedikit terbengong melihat Ranggina tidak mempercayai penjelasannya. Elang Samudera tidak tahu bahwa Ranggina di dalam kamarnya segera duduk termenung tak bergerak sedikit pun. Benak dan batinnya berkecamuk sendiri sambil membayangkan wajah Suto dan mengingat kembali kata-kata Elang Samudera itu.
"Edan! Kalau benar apa kata Elang Samudera tadi, berarti benar-benar edan! Entah dia yang edan atau aku yang edan! Orang pongah-pongah begitu dikatakan sebagai Pendekar Mabuk?! Ooooh... untung mendiang Guru tak mendengarnya. Jika sampai mendengarnya mayat Guru pasti hidup kembali, khusus untuk membahas tentangpemuda konyol itu!"
Jantung Ranggina berdebar-debar. Ia berusaha menenangkan, tapi tak berhasil. Batinnya masih terus berkecamuk memperdebatkan tentang jati diri Suto Sinting. Ranggina memang sering mendengar cerita tentang kehebatan Pendekar Mabuk, tapi tak pernah dengar nama asli Pendekar Mabuk.
"Jika benar ia Pendekar Mabuk, tentunya dia dapat dengan mudah melindungi nyawaku dari ancaman maut si Ayodya itu. Mengapa ia tak menyatakan kesanggupannya sebagai pelindung ku?! Ah, kurasa Elang Samudera membual terlalu berlebihan. Toh orang yang membawa bumbung tuak bukan hanya Pendekar Mabuk saja. Seorang penjual 'legen' pun kalau pergi ke mana-mana membawa bumbung seperti itu."
Kebimbangan Ranggina membuatnya menjadi jengkel sendiri. Kebimbangan itu menjadi semakin susut dan menipis setelah mereka mengikuti perjamuan makan malam dengan keluarga istana. Dalam perjamuan makan malam itu Elang Samudera yang sudah diketahui oleh mereka sebagai pemenang sayembara, memperkenalkan kedua sahabatnya dengan diawali dari Ranggina.
"Barangkali Kanjeng Sultan perlu mengetahui, bahwa sahabat hamba yang wanita itu bernama Rengginang, eeh.... Ranggina, berasal dari Perguruan Lintang Yudha, murid mendiang Eyang Sampurna."
"Ooh...?!" Sultan Jantrawindu yang sudah berusia sekitar enam puluh lima tahun itu terperanjat. Rupanya ia mengenal nama Eyang Sampurna. "Jadi... gadis itu adalah murid sahabatku sendiri; Kakang Sampurna?!"
"Benar, Kanjeng," jawab Ranggina dengan sopan dan penuh hormat. Kemudian ia menceritakan nasib perguruannya secara singkat.
Sang Sultan tertegun duka mendengar kematian Eyang Sampurna. "Aku turut berduka atas wafatnya gurumu, Ranggina."
"Terima kasih, Kanjeng," jawab Ranggina pelan, karena hatinya ikut dicekam kesedihan juga.
"Kemudian...," sambung Elang Samudera,"... satu lagi sahabat hamba yang sejak tadi diam saja ini bernama Suto Sinting. Barangkali Kanjeng perlu mengetahui juga, bahwa Suto Sinting adalah murid si Gila Tuak dan ia bergelar Pendekar Mabuk."
"Hahhh...?!" semua orang yang berada mengelilingi meja makan besar itu terperanjat, wajah mereka tampak tegang namun berseri-seri. Suto Sinting berdiri dan membungkuk satu kali, kemudian duduk kembali. Ia bagaikan tak mempedulikan pandangan mata Ranggina yang juga terperangah tak berkedip.
"Aku seperti sedang bermimpi dapat jumpa denganmu. Pendekar Mabuk," ujar Sultan Jantrawindu.
Suto memberikan senyuman yang lembut dan menawan, enak dipandang, indah dikhayalkan.
"Aku ingin bicara denganmu nanti. Kumohon kau tidak keberatan, Pendekar Mabuk."
"Aku bersedia, Kanjeng!" jawab Suto tegas.
"Dan sebelumnya hamba mohon maaf, Kanjeng Sultan...," sambung Elang Samudera yang masih berdiri ditempatnya."... hamba sedikit berbohong kepada pihak Kesultanan Tanahinggil ini. Pada saat hamba mendaftarkan diri menjadi peserta sayembara, hamba mengaku bernama Elang Samudera dari Teluk Merah. Sebenarnya... memang benar hamba dari Teluk Merah, sebab Guru hamba tinggal di sana, Kanjeng. Tetapi kedatangan hamba kemari mewakili rakyat Pulau Sangon. Hamba diutus oleh junjungan hamba, yaitu Gusti Ratu Remaslega untuk tampil sebagai pemenang dalam sayembara tadi."
"Ooh... jadi kau... kau adalah utusan Ratu Remaslega, sahabatku itu?!"
"Benar, Kanjeng Sultan. Dan hamba telah dibekali banyak pengetahuan tentang keadaan di Kesultanan Tanahinggil ini. Sejujurnya saja hamba telah mengetahui alasan yang sebenarnya bagi Kanjeng dalam mengadakan sayembara tadi."
"Oooh.... Remaslega benar-benar curang! Dia mengirimkan utusannya tanpa bilang-bilang padaku. Aku jadi malu sendiri sekarang. Dia mencuri rahasia kegentingan negeriku. Ooh, Remaslega... harus dengan cara apa aku membalas budimu selama ini?!" gumam sang Sultan merasa gembira sekali mendapat perhatian dari sahabatnya yang berkuasa di Pulau Sangon itu.
Kemudian sang Sultan menghendaki pembicaraan diputus sampai di situ dulu, mereka diwajibkan menikmati jamuan makan malam dengan tanpa malu-malu. Tak heran jika Pendekar Mabuk segera menyambar sepotong ayam panggang dan melahapnya sesuai perintah sultan, yaitu tanpa malu-malu.
Rupanya sejak tadi baik Pendekar Mabuk maupun Elang Samudera mendapat sorotan sepasang mata yang memandangi mereka tiada hentinya. Sepasang mata berbulu lentik dan sedikit besar namun indah itu datang dari tempat duduk di depan mereka, berseberangan meja. Sepasang mata yang menatap penuh ungkapan rasa kagum yang terpendam dalam hati itu ternyata milik seorang perempuan berusia tiga puluh tahun, berwajah cantik oval, bermahkota kecil di bawah rambutnya yang disanggul.
Perempuan yang tadi tampak berdiri di samping Sultan Jantrawindu saat sang Sultan menyaksikan pertarungan dari menara pengawas, sejak tadi memang tidak banyak bicara. Tetapi gerakan matanya, pandangan mata itu, merupakan ucapan kata yang hanya bisa dipahami oleh batin Pendekar Mabuk. Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk berkesempatan membisikkan kata di telinga Elang Samudera tanpa menimbulkan kecurigaan siapa pun.
"Siapa perempuan yang ada di depan kita ini?"
"Ooh, dia putri sulungnya Kanjeng Sultan. Kalau tak salah, dialah yang disebut-sebut oleh kakakku sebagai janda cantik bermata indah. Kata kakakku, dia bernama Gusti Ayu Rara Padwi."
"Kau sudah kenal?"
"Belum. Tapi kalau kau berminat aku bisa memperkenalkan diri dulu, baru kuperkenalkan padamu. Tapi... bagaimana dengan kutilang cantikmu yang satu ini?!" Elang Samudera melirik Ranggina.
Pendekar Mabuk tersenyum menahan geli. Pertanyaan itu sengaja tak dijawabnya, sebab ia sendiri memang tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap Ranggina. Menurutnya, gadis munafik akan sulit diselami jiwanya, sehingga jika dituruti akan membuat kaum lelaki menjadi serba bingung, salah tingkah, serba salah, akhirnya bisa bunuh diri. Suto tak mau mengalami nasib seperti itu.
Rupanya perempuan cantik bernama Rara Padwi itu selalu mendampingi ayahandanya ke mana pun sang ayah pergi. Pendekar Mabuk punya dugaan, Rara Padwi bukan sekadar janda cantik yang setia kepada ayahnya, tapi juga punya ilmu walau kecil-kecilan. Ilmu itulah yang dipakai mengawal sekaligus melindungi keselamatan ayahnya yang sudah tua. Dilihat dari pandangan matanya yang punya unsur ketajaman, perempuan itu pasti punya keberanian dan ketegasan dalam bersikap, sehingga tak sembarang lelaki bisa mendekatinya.
Dalam perundingan yang dilakukan di ruang khusus bernama Sasana Pura, sang Sultan juga didampingi oleh putri sulungnya yang sering melemparkan pandangan kepada Pendekar Mabuk dan Elang Samudera. Namun kedua pemuda itu bersikap wajar dan berlagak tidak mengetahui curian pandang itu. Hanya saja, hati Ranggina sempat memendam keresahan karena ia sering memergoki Rara Padwi mencuri pandang ke arah Suto dan Elang Samudera.
Di dalam Sasana Pura itu mereka hanya berlima. Para pengawal lainnya berjaga-jaga di luar Sasana Pura. Pintu ruangan yang setebal dua jengkal itu ditutup rapat-rapat. Tak seorang pun boleh masuk tanpa seizin Rara Padwi.
"Aku memang mencari orang yang dapat kupercaya untuk menjadi penguasa di Tanah Sereal," ujar Sultan Jantrawindu dalam sidang rahasia itu.
"Maaf, Kanjeng... jadi sekarang siapa yang ditugaskan mempertahankan Tanah Sereal itu?" tanya Elang Samudera.
"Secara resmi belum ada. Tapi untuk sementara ini, putraku Harya Sentanu kutugaskan menjaga Tanah Sereal. Rencanaku, siapa yang unggul dalam sayembara ini akan kujadikan pengganti Panglima Tulang, berkuasa di Tanah Sereal. Apakah kau punya kesanggupan untuk mempertahankan Tanah Sereal dari jarahan tangan siapa pun, Elang Samudera?"
"Hamba sanggup, Kanjeng!" tegas Elang Samudera.
"Bagus! Jika begitu, kau harus segera pergi ke Tanah Sereal, sebab putraku Harya Sentanu masih lemah dan tak sebanding jika harus berhadapan dengan Panglima Tulang."
Sultan Jantrawindu pun bicara tentang kabar dari mata-matanya yang menyebutkan adanya persekutuan antara Panglima Tulang dengan Malaikat Gantung alias Ayodya. Menurutnya, persekutuan itu akan menjadi persekutuan berdarah dan dapat merenggut banyak korban nyawa dari pihak manapun.
"Lumpuhkan persekutuan itu sebelum berkembang menjadi neraka berjalan!" tegas sang Sultan. "Jika kalian dapat melumpuhkan persekutuan itu, maka kalian akan kuberi hadiah berupa wilayah di Lembah Tayub. Terserah akan kalian apakan tanah di Lembah Tayub itu. Tapi kalian tetap menjadi bagian dari kesultanan ini. Keselamatan kalian di Lembah Tayub merupakan tanggung jawab Kesultanan Tanahinggil."
Secara tak resmi, ketiga tamu kehormatan sang Sultan itu sudah menjadi orang andalan bagi pihak Kesultanan Tanahinggil. Tapi tanpa berpikir tentang hadiah atau upah yang ditawarkan Sultan Jantrawindu, ketiga tamu istimewa itu sudah mulai mempersiapkan diri, mental dan semangat untuk menghancurkan persekutuan maut itu.
"Aku tidak ingin gadis konyol itu ikut terlibat terlalu dalam," ujar Suto kepada Elang Samudera ketika mereka berdua ada di dalam kamarnya, sementara itu Ranggina ada di kamar sebelah. "Gadis itu akan merepotkan ruang gerak kita jika ikut tampil menghadapi persekutuan itu, Elang."
"Yah, itu terserah kau saja. Bukankah kau yang membawanya kemari?"
"Aku yang dibawanya kemari. Bukan dia yang kubawa!" ralat Suto Sinting. "Aku akan bicara dengannya dulu!"
"Bicaralah baik-baik, jangan sampai dia meledak!" Elang Samudera tertawa tanpa suara, kemudian berbisik di telinga Suto. "Gadis itu mudah meledak, baik amarahnya maupun gairahnya!"
"Dia tak suka bicara kotor!"
"Bicara memang tidak suka, tapi mungkin saja berbuat kotor ia suka."
Elang Samudera tertawa sedikit keras, Pendekar Mabuk meninggalkannya dengan senyum tertahan. Ia mengetuk pintu tembus ke kamar sebelah. Ranggina membukakannya dan Pendekar Mabuk segera berkata kepada gadis itu. "Aku ingin bicara empat mata denganmu! Kau bersedia?!"
Ranggina tidak menjawab, tapi ia segera menyingkirkan dari depan pintu pertanda memberi jalan agar Suto masuk ke kamarnya. Suto pun menutup pintu tembus itu lagi, karena ia tak ingin diganggu oleh kekonyolan Elang Samudera pada saat lakukan pembicaraan serius dengan Ranggina nanti.
Sebenarnya Elang Samudera memang punya niat usil. Tapi niat itu tak jadi dilaksanakan, batal akibat malam itu seorang pengawal istana datang kekamarnya.
"Gusti Ayu Rara Padwi memintamu datang menghadapnya sekarang juga, Elang Samudera."
"Ada persoalan apa?! Sekarang sudah hampir larut malam."
"Aku hanya diperintahkan untuk membawamu menghadap Gusti Ayu!"
Dengan hati ingin tahu dan sedikit tegang, Elang Samudera pun bergegas menghadap Rara Padwi. Pedang peraknya ditenteng sebagai sikap siaga dalam menghadapi bahaya kapan saja. Elang Samudera tak sempat pamit kepada Pendekar Mabuk, karena pikirnya keperluan tersebut hanya sebentar.
Rupanya putri sulung sang Sultan sudah menunggu di taman keputrian. Taman bercahaya nyala api obor di setiap sudut itu membuat Elang Samudera sedikit curiga dan kewaspadaannya dipertajam. Sang pengawal yang menjemputnya segera pergi setelah Rara Padwi memberi isyarat dengan tangannya agar orang tersebut keluar dari taman.
"Ada masalah apa, Gusti Ayu?!" tanya Elang Samudera dengan sikap tenang, tapi kelihatan gagah dan penuh keberanian.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu tentang Panglima Tulang."
"Haruskah semalam ini kita bicarakan?"
"Malam bukan penghalang. Apa yang ingin kusampaikan padamu itu sangat penting, dan Ayah tidak mengetahuinya. Jadi, kuharap kau pun tidak bicara pada Ayah atau kepada temanmu; si Pendekar Mabuk dan kekasihnya itu tentang pertemuan kita ini!"
Rara Padwi menyangka Ranggina adalah kekasih Pendekar Mabuk, karena ke mana-mana Ranggina tampak berdekatan terus dengan Pendekar Mabuk. Elang Samudera ingin jelaskan bahwa hubungan mereka bukan sebagai kekasih. Tapi agaknya Rara Padwi punya persoalan lebih penting dari penjelasan tersebut, sehingga Elang Samudera membatalkan niatnya. Kini ia justru mengikuti langkah Rara Padwi yang memerintahkan agar langkahnya diikuti.
Perempuan cantik berjubah kuning sutera dengan dalaman warna biru menyala itu menuju ke sudut taman. Di sana ada serumpun bambu hias yang daunnya kecil-kecil dengan batang bambunya yang berwarna kuning. Serumpun bambu hias itu tumbuh berjajar seperti pagar, tertata rapi dan punya keindahan tersendiri.
Namun ternyata di balik deretan bambu hias yang rimbun itu ternyata ada sebuah pintu dalam posisi ke tanah. Pintu kayu jati itu segera dibuka, ternyata di balik pintu itu ada tangga menuju ke bawah. Elang Samudera masih belum banyak tanya mengenai keadaan di sekitarnya. Namun ia cepat mengambil kesimpulan bahwa Rara Padwi membawanya ke ruang bawah tanah yang terdiri dari lorong-lorong dan kamar-kamar bertirai kain tebal.
"Ini ruang bawah tanah, jalan rahasia untuk melarikan diri jika kami terancam bahaya sewaktu-waktu," ujar Rara Padwi sambil memperlambat langkah supaya sejajar dengan langkah Elang Samudera.
Cahaya terang dari obor-obor yang ada di sana-sini membuat mata Elang Samudera dapat melihat jelas keadaan di ruang bawah tanah. Rupanya ruang bawah tanah itu bukan saja jalan rahasia yang dapat tembus di suatu tempat, namun juga merupakan tempat perlindungan dan persembunyian yang cukup aman. Karena di dalam ruang bawah tanah itu terdapat pula beberapa kamar yang lengkap dengan perabotnya, sehingga memungkinkan sekali seseorang tinggal di ruangan tersebut sampai beberapa hari.
Ruangan itu dijaga oleh dua prajurit bertubuh tinggi, besar, mengenakan baju rompi merah dan celana merah, berkulit hitam keling mirip algojo dengan senjata pedang dan tombak bermata kapak lebar. Kedua pengawal itu hanya memberi hormat ketika Rara Padwi menuruni tangga, setelah itu mereka tetap berada di sekitar tangga masuk. Mereka tak ikut menyusuri lorong bersama Rara Padwi dan Elang Samudera.
Rara Padwi membawa masuk Elang Samudera ke sebuah kamar yang berpenerangan api obor samar-samar. Kamar tersebut menyerupai kamar tidur yang dilengkapi dengan ranjang kayu, meja minuman, almari pakaian dan sebagainya. Tempat buah dari logam kuningan itu terisi buah-buahan segar. Sepertinya sudah disiapkan sebelumnya. Kamar itu menyebarkan aroma wangi mawar yang begitu lembut dan menenteramkan jiwa.
"Mengapa Gusti Ayu membawaku kemari?"
"Pembicaraan ini sangat rahasia!" jawab Rara Padwi sambil melepaskan mahkota kecil di sanggulnya. Bahkan gulungan sanggul pun dilepaskan. Kini rambut janda cantik berbibir menggemaskan itu terurai lepas sepanjang pinggang kurang.
Elang Samudera duduk di sebuah bangku dari batu berlapis bantalan empuk warna merah. Ia memandang dengan heran saat Rara Padwi melepaskan seluruh perhiasannya, termasuk giwang mutiara dan gelang berhias batuan merah delima itu.
"Panglima Tulang bukan orang yang mudah ditumbangkan," ujar Rara Padwi saat melepasi perhiasannya. "Dia mempunyai ilmu andalan yang berbahaya bagi lawan-lawannya. Ilmu itu bernama jurus 'Lidah Geni'. Mulutnya bisa menyemburkan api seperti lidah naga, panjang dan sangat berbahaya. Terkena hawa panasnya saja kulit kita bisa melepuh, apalagi sampai terkena kobaran apinya, kulit kita bisa hangus seketika."
Elang Samudera sengaja tak berkomentar. Ia memperhatikan janda cantik bermata indah itu sambil merekam seluruh keterangan dalam otaknya.
"Jurus Lidah Geni' itu sangat buas dan ganas. Jika tanganmu terkena semburan api dari mulutnya, maka dalam sekejap tanganmu akan kehilangan kulit dan daging, yang tersisa hanya tulang hangus dan mengerikan."
"Benarkah Kanjeng Sultan belum mengetahui ilmu andalan itu?!"
"Untuk ilmu itu, Ayah memang mengetahuinya. Tapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh Ayah." Rara Padwi mendekat. Ia berdiri dengan pinggang bersandar tepian meja marmer. Persis di depan Elang Samudera.
Hidung Elang Samudera dapat mencium aroma wangi mawar pada tubuh janda cantik berkulit putih mulus itu. Hati pemuda berusia dua puluh tahun itu berdebar-debar karena berada dalam jarak kurang dari satu jangkauan dari Rara Padwi. Aroma wangi mawar yang tercium terasa menggelitik kenakalan jiwanya.
"Ayah tidak mengetahui hubungan isi hati Panglima Tulang terhadap diriku," sambut Rara Padwi. "Panglima Tulang sangat mencintaiku. Semangat pengabdiannya dari dulu berkobar-kobar karena ingin tunjukkan rasa cintanya yang besar pada diriku."
"Jadi... jadi maksud Gusti Ayu dia..."
"Panggil aku: Padwi! Jangan pakai sebutan Gusti Ayu, kecuali jika kita berada di depan umum," potong Rara Padwi. Pandangan matanya begitu tajam dan mengandung getaran yang mengusik hati Elang Samudera, sehingga pemuda itu menjadi tersipu-sipu untuk sesaat. Rara Padwi melanjutkan kata-katanya tanpa pedulikan sikap kikuknya Elang Samudera.
"Cintanya yang begitu besar membuatnya patuh terhadap segala perintah Ayah, juga segala permintaanku diturutinya. Tetapi belakangan ini aku mengecewakan hatinya. Dia tahu kalau aku tak mencintainya dengan sungguh-sungguh. Ia menjadi sangat kecewa dan marah. Lalu kutegaskan sekalian bahwa aku memang tidak mencintainya. Aku hanya suka bersahabat dengannya, atau bersaudara dengannya. Kekecewaannya itulah yang membuatnya pergi meninggalkan Tanah Sereal dan bersekutu dengan Malaikat Gantung."
Elang Samudera manggut-manggut dengan gumam kecil. Pedangnya diletakkan di atas meja marmer. Saat itu paha kiri Rara Padwi diletakkan di meja itu juga, sehingga perempuan itu nyata-nyata duduk di tepian meja dengan kaki kiri ditekuk di atas meja. Belahan jubahnya tersingkap, dan kemulusan pahanya terpampang jelas menggoda hati Elang Samudera. Dada pemuda itu bergemuruh karena gejolak hasratnya yang melonjak-lonjak begitu disuguhi paha mulus tanpa cacat itu.
Dengan tarikan napas panjang yang pelan-pelan, Elang Samudera berusaha mengendalikan gejolak hasratnya. Ia pun mengurangi kenakalan matanya untuk tidak melirik ke arah paha, melainkan sedikit mendongakkan wajah memandang kecantikan Rara Padwi.
"Sebenarnya kalau sekarang aku mau menerima cinta Panglima Tulang, maka ia akan kembali memihak kesultananku dan meninggalkan persekutuan itu."
"Mengapa tidak kau lakukan?"
Rara Padwi menggeleng, "Hatiku tak bisa menerima cinta lelaki macam dia. Pernah kucoba untuk menerimanya, tapi batinku selalu menolak dan aku merasa tersiksa."
"Mengapa demikian?" tanya Elang Samudera sedikit parau.
"Dia tidak memiliki apa yang dibutuhkan batinku sebagai seorang wanita. Dia hanya jantan di pertarungan, perkasa di medan laga, tapi berbeda jauh jika berada di dalam kamar seperti ini."
Elang Samudera berkerut dahi. "Aku tak mengerti maksud kata-katamu, Rara Padwi."
Perempuan itu tersenyum. Elang Samudera merasakan senyuman itu bukan sekadar senyuman biasa. Senyuman itu mengandung tantangan dan harapan. Pandangan matanya juga bukan sekadar sorot mata seorang sahabat, melainkan mengundang ajakan untuk bercumbu dalam kemesraan. Naluri Elang Samudera tak bisa dibohongi. Dia mulai mengerti apa sebabnya Rara Padwi membawanya ke ruang rahasia tersebut.
"Kau sudah punya kekasih, Elang?" tanya Rara Padwi dengan suara lirih dan sedikit parau. Tangannya membelai-belai rambutnya sendiri yang dikedepankan.
"Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Hanya sekadar ingin tahu," jawab Rara Padwi, tapi pahanya itu semakin melebar, sehingga belahan jubah kuningnya kian terbuka. Sesuatu yang ada di balik jubah itu tampak jelas di mata Elang Samudera. Bahkan yang paling dalam pun terlihat jelas dari tempat duduk Elang Samudera. Pemandangan itu membuat pemuda bertubuh tegap itu menjadi bergetar dan deg-degan. Keringat dinginnya mulai tersembul di bagian kening dan leher.
"Jika kau sudah punya kekasih, aku tak ingin mengganggu kemesraan kalian. Tapi jika kau belum punya kekasih..." Rara Padwi sengaja berhenti bicara, bikin hati Elang Samudera penasaran.
Maka pemuda itu pun mendesaknya dengan sebuah pertanyaan. "Jika belum, kenapa?!"
"Mungkin kau tahu aku seorang janda yang sudah sekian lama tak disentuh oleh seorang lelaki. Aku haus kemesraan. Perasaan ini tak bisa kututupi lagi sejak aku melihatmu bertarung di arena. Aku berusaha menahan mulutku agar tak bicara, tapi gairahku mendesak batinku agar mengatakannya padamu."
Rara Padwi membungkuk, meraba pipi Elang Samudera dengan sentuhan lembut. Elang Samudera diam, memandang tak berkedip dengan jantung berdetak-detak. "Jika kau tak bisa memenuhi tuntutan batinku, jangan katakan pada siapa pun tentang hal ini. Tapi jika kau merasa mampu memenuhi keinginan batinku, mampu mengobati siksaan batinku, lakukanlah sesuatu pada diriku. Sentuhlah aku, Elang...," suara Rara Padwi semakin berbisik lirih.
Cukup lama mereka saling pandang. Cukup lama jemari tangan Rara Padwi mengusap lembut di sekitar wajah Elang Samudera. Rupanya gairah pemuda itu pun menjadi terbakar total. Ia tak mampu mengendalikan hasrat pribadinya. Maka tangannya pun mulai meraba paha mulus di depannya. Rabaan pelan itu menjalar sampai di kedalaman jubah. Rara Padwi memajukan duduknya. Kini ia nyata-nyata duduk di depan Elang Samudera. Kedua kakinya berada di kanan kiri tempat duduk pemuda itu.
Rara Padwi mendekatkan wajahnya dengan kedua tangan mengusap pipi Elang Samudera. Pelan-pelan bibirnya disentuhkan di kening anak muda yang tampak masih ingusan dalam hal bercinta itu. Cuup...! Ciuman itu pun merayap turun ke mata Elang Samudera yang terpejam, menikmati kecupan hangatnya.
"Elang...," bisik Rara Padwi, "Sentuhlah lebih dalam lagi..."
Jari-jari tangan Elang Samudera semakin merayap kedalam. Rara Padwi memberi kesempatan lebih leluasa, sehingga jari tangan itu kini berhasil menyentuh pusat kehangatan yang menghadirkan rasa nikmat jika dijamah pelan-pelan.
"Oooh...," keluh janda cantik itu. "Ooh, indah sekali sentuhan lembutmu, Elang. Uuuh... mmmhh!"
Rara Padwi tak bisa bicara lagi karena bibir Elang Samudera mengecup bibirnya. Bahkan pemuda yang tampak masih ingusan dalam bercinta itu ternyata pandai melumat bibir lawan jenisnya, pandai pula menari-narikan lidahnya hingga menimbulkan debar-debar keindahan dalam hati Rara Padwi.
"Oooh, benar-benar indah, Elang... oooh, mau apa kau, hmm?! Mau apa kau, oouh... yaah... yaaaah, lakukanlah, Elang."
Rara Padwi mengerang setelah tahu mulut Elang Samudera merayapi pahanya. Paha mulus itu dipagut lembut oleh Elang Samudera.
"Oooouhkk...!" Rara Padwi mengerang keras, seperti merengek. Rambut dan kepala Elang Samudera diremasnya, ditekan agar mencapai tempat lebih dalam lagi.
"Sssshhh... aaah! Ternyata kau... kau nakal, Elang. Oouh, kau nakal... uuuhkkk ssssh, aaaah!"
Rara Padwi kegirangan sekali mendapatkan kemesraan seperti itu. Ia belum pernah mendapatkannya dari mantan suaminya atau dari lelaki mana pun. Bahkan dari Panglima Tulang pun tak pernah ia temukan sapuan lidah seindah itu.
"Oooouuuh !!!" Rara Padwi memekik keras dengan tubuh mengejang, karena jiwanya bagaikan terbang lebih tinggi lagi ketika ia merasakan 'mahkotanya' dipagut lembut oleh bibir Elang Samudera. Kedua mata terpejam kuat-kuat, tubuh pun menggeliat nikmat, karena pagutan bibir Elang Samudera semakin nakal.
"Oooooh, luar biasa indahnya, Elang. Lakukan lagi... lagi... ooouh, yaaaah..."
Apa yang ada di atas meja menjadi berantakan. Elang Samudera menjadikan meja itu sebagai arena pertarungan yang amat disukai si janda cantik itu.
* * *
LIMA
BERSATUNYA Panglima Tulang dengan Malaikat Gantung dianggap suatu persekutuan iblis oleh pihak kesultanan. Dalam hal ini, Ranggina tetap ngotot ingin ikut dalam upaya menghancurkan persekutuan iblis itu. Pendekar Mabuk tak mampu lagi membujuk gadis itu, akhirnya hanya bisa angkat tangan dengan satu perjanjian.
"Aku tak menjamin keselamatanmu!"
"Aku yang akan menjamin keselamatanmu!" balas gadis cantik itu dengan angkuhnya, padahal dalam hatinya ia ingin menjerit jengkel karena Pendekar Mabuk tak mau melindunginya.
Suto Sinting sempat berang menunggu Elang Samudera sampai hampir fajar, tapi pemuda itu belum juga kembali ke kamarnya. Pendekar Mabuk sampai tertidur di atas bangku panjang. Ketika ia bangun, Elang Samudera sudah ada di kamar. Pemuda itulah yang membangunkan Suto Sinting dengan wajah sedikit tegang.
"Brengsek kau!" sentak Suto bersungut-sungut. "Kemana saja kau semalaman?!"
"Sekarang belum sempat kujelaskan. Tapi sebaiknya segeralah berkemas. Sultan memanggil kita bertiga."
"Sepagi ini?!"
"Ada seorang mata-mata datang membawa kabar buruk. Kita harus segera menghadap sultan! Bangunkan Ranggina!"
"Bangunkan sendiri!" jawab Suto dengan suara parau. Ia segera mengambil bumbung tuaknya dan menenggak tuak beberapa teguk. Badan pun menjadi segar, kantuk pun hilang.
Kabar yang dibawa mata-mata kesultanan itu cukup mengejutkan ketiga tamu istimewa itu.
"Hari ini, Lembah Tayub sudah dikuasai oleh Panglima Tulang!" ujar sang Sultan menyampaikan kabar dari mata-matanya. "Beberapa orangku tewas dibunuh, Gerdanala yang kuserahi tugas menjaga Lembah Tayub juga tewas di tangan Panglima Tulang."
"Apakah Malaikat Gantung tampak ikut campur tangan dalam perebutan wilayah itu, Kanjeng?" tanya Ranggina.
"Benar. Bahkan mata-mataku sempat melihat Siluman Tujuh Nyawa muncul di sana."
"Kalau begitu sekarang juga kami akan berangkat ke Lembah Tayub!" tegas Suto penuh semangat. Ia bagaikan tak sabar lagi ingin segera berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa.
"Akan kusuruh orang-orangku mempersiapkan kuda untuk kalian. Dan pilih sendiri beberapa prajurit untuk membantu kalian merebut kembali Lembah Tayub!"
"Kami cukup bertiga, Kanjeng," ujar Elang Samudera.
"Dan kami tak butuh kuda!" sahut Pendekar Mabuk. "Aku hanya butuh tuak. Bumbung tuakku ini harus diisi penuh sebagai bekal di perjalanan nanti, Kanjeng Sultan!"
"Padwi, suruh pelayan membawa tuak kemari dan mengisi penuh bumbung itu!" perintah sang Sultan.
Sebelum matahari meninggi, mereka sudah berangkat tinggalkan Kesultanan Tanahinggil. Dua prajurit istana ikut dalam perjalanan itu sebagai pemandu arah. Mereka masih muda, sebaya dengan usia Elang Samudera. Mereka adalah Parerang, si jago panah, dan yang satu lagi bernama Wisena, si jago pisau terbang.
"Berapa lama perjalanan menuju ke Lembah Tayub?" tanya Elang Samudera kepada Wisena.
"Setengah hari jika ditempuh dengan jalan kaki biasa," jawab Wisena. "Tapi kami biasa menempuhnya dalam waktu kurang dari setengah hari dengan menggunakan kuda."
Suto Sinting menyahut, "Derap kaki kuda hanya akan memancing pendengaran mereka, sehingga mereka dapat bersiap-siap menghadapi kedatangan kita! Itulah sebabnya kupilih untuk tidak menunggang kuda."
"Aku mengerti maksudmu," ujar Wisena. Tapi sebelum ia melanjutkan kata-katanya, langkah kakinya tiba-tiba berhenti. Dari sorot matanya ia tampak tegang.
"Ada apa?" tanya Elang Samudera.
"Aku mendengar suara langkah kaki di belakang kita."
"Biarkan saja," sahut Suto. "Itu hanya langkah kaki anak kecil. Mungkin sedang mencari kayu." Rupanya Pendekar Mabuk sejak tadi sudah mengetahui ada langkah kaki yang mengikuti mereka. Ia juga tahu bahwa langkah kaki itu milik seorang bocah berusia sekitar delapan tahun. Dari tekanan suara kakinya saat menginjak rumput kering, Suto dapat memperkirakan usia bocah itu.
Saat mereka memandang ke arah belakang, ternyata memang ada seorang bocah yang mengenakan baju rompi merah dengan kalung kain hitam. Bocah itu pun tampak tidak mempedulikan mereka. Ia sibuk mencari burung dengan ketapel siap di tangannya. Rombongan Pendekar Mabuk segera meneruskan langkah mereka.
"Gunakan langkah cepat, agar lekas sampai di tujuan!" ujar Suto Sinting yang secara tak langsung dianggap oleh mereka sebagai pimpinan rombongan.
Maka mereka pun menggunakan jurus peringan tubuh agar dapat berlari cepat. Wisena dan Parerang ternyata mempunyai kecepatan gerak yang lumayan, sama cepatnya dengan Ranggina. Mereka bertiga berada paling depan, sementara Pendekar Mabuk dan Elang Samudera mengikuti dari belakang, menyesuaikan kecepatan tiga orang itu. Namun tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti pasukan guntur lewat.
Gluuuurrr...! Tanah terasa bergetar. Ranggina dan yang lain menyangka ada gempa. Mereka sempat clingak-clinguk kebingungan. Suara gemuruh itu berkepanjangan bagai tiada henti.
"Elang, lompat ke sisi kanan!" seru Pendekar Mabuk sambil menunjuk ke gundukan tanah membukit.
Seruan itu mengisyaratkan adanya bahaya. Elang Samudera segera lakukan lompatan zig-zag ke atas gundukan tanah itu. Tab, tab, tab...! Wees...! Parerang dan Wisena bergegas mengikuti gerakan Elang Samudera. Tapi Ranggina masih kebingungan karena tak paham mengapa Suto berseru dengan tegang.
"Bodoh!" sentak Pendekar Mabuk, kemudian ia segera berkelebat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Zlaap...! Tubuh Ranggina disambarnya. Wees...! Dalam sekejap saja mereka sudah berada di atas gugusan tanah yang membukit.
"Oooh...?!" Ranggina terkejut, matanya terbelalak. Bukan saja karena tubuhnya telah disambar Suto, tapi juga karena melihat tanah tempatnya berdiri tadi telah retak lebar seakan bumi ingin terbelah. Seandainya Suto terlambat menyambar Ranggina, maka gadis itu akan mati terkubur dalam celah keretakan tanah yang amat dalam. Asap tipis mengepul dari keretakan tanah tersebut.
Krraak, kraaak, duuuurrr...!
Kini keretakan tanah bercabang menjadi lima tempat. Keretakan tanah itu bergerak cepat bagaikan lima ekor naga ke lima penjuru.
"Elang, lari ke bukit itu! Lekas...!!"
Wuut, wuut, wees...!
Tanpa banyak kompromi lagi, mereka berkelebat mendaki bukit. Memang tak terlalu tinggi, tapi cukup lumayan sebagai tempat berlindung sementara. Ketika mereka tiba di puncak bukit tandus, getaran bumi semakin kuat. Pepohonan tumbang tanpa angin badai. Banyak tanaman dan batu yang tenggelam ke dasar bumi. Dari puncak bukit itu mereka dapat melihat kiamat kecil yang melanda kawasan bawah bukit. Mengerikan sekali. Seakan bumi menjadi murka dan ingin menelan hidup-hidup siapa saja yang ada di atasnya.
Beberapa saat kemudian, getaran bumi menjadi reda. Keadaan normal kembali. Di mana-mana tampak tanah menganga, membentuk celah-celah yang mengerikan dengan semburan asap samar-samar dari kedalamannya. Angin pun bertiup dengan kecepatan sedang.
"Bencana alam apa ini?! Mengapa terjadi di sekitar sini saja?!"
"Kurasa ini bukan bencana alam," ujar Pendekar Mabuk menimpali suara gumam Parerang tadi. "Firasatku mengatakan, gempa ini kiriman dari seseorang yang ingin membuat kita celaka bersama!"
"Firasatku juga berkata demikian," sahut Elang Samudera.
"Kurasa...," Ranggina ingin ikut bicara tapi tak jadi, karena tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan seorang bocah yang memilukan hati.
"Toloooong...!! Maaaak...! Maaaak...!! Tolooong...!"
Elang Samudera berwajah tegang. "Suto, bocah di belakang kita tadi masuk ke dalam salah satu celah tanah! Ia terperosok kedalam!"
"Suaranya dari arah sana!" sahut Wisena sambil menuding ke suatu arah.
"Yang lain di sini saja!" tegas Pendekar Mabuk, kemudian ia berkelebat cepat ke arah datangnya suara teriakan itu. Zlaap, zlaap...!
Ternyata dugaan Elang Samudera memang benar. Bocah berompi merah dan berkalung kain tali hitam itu terperosok dalam keretakan bumi. Ia tersangkut pada tonjolan tanah di dinding celah itu, di kedalaman sekitar tujuh tombak. Bocah itu menangis ketakutan mengulurkan tangan kirinya ke atas, sementara tangan kanannya sempat memegangi tepian batu celah.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Wuuus...! Pendekar Mabuk segera terjun ke dalam celah yang menyerupai jurang itu. Bocah itu ingin disambarnya, namun tiba-tiba kaki si bocah menghentak pada tempat berpijak dan tubuhnya melenting tinggi. Wuuus...! Jleeg...! Suto Sinting kecele. Ia berhasil tapakkan kakinya di tempat bocah itu tadi tersangkut. Tapi ia segera terperanjat kaget melihat bocah itu sudah melenting ke atas dan kini berada di tepian celah.
"Heehk, heek, heehk, heehk...!" Bocah itu tertawa kegirangan memandangi keadaan Suto di bawah sana. Ia pun melesat bagaikan seekor tupai. Wuuut, jleeg...! Sebatang pohon yang tidak ikut tumbang dipakai tempat bertengger.
Tiba-tiba tanah bergetar kembali. Keretakan yang membentuk celah bergerak cepat, seakan digeser oleh tangan raksasa hingga bergerak menutup rapat seperti semula.
"Sutooo...!" teriak Ranggina ketika melihat Pendekar Mabuk tergencet dua sisi belahan tanah. Ia ingin bergegas menyelamatkan Suto, tapi Elang Samudera menahan lengannya.
"Jangan ke sana! Berbahaya!"
"Tapi dia tergencet belahan tanah! Ia akan terkubur hidup-hidup!"
"Pendekar Mabuk tak mungkin sebodoh dugaanmu! Aku akan mengejar bocah keparat itu!" Blaas...! Elang Samudera berkelebat menghampiri bocah bermata tajam itu.
Sementara si Pendekar Mabuk yang nyaris mati tergencet dua lapisan tanah itu segera menyilangkan bumbung tuaknya. Wut, krep...! Gerakan dua lapisan tanah yang ingin menggencet tubuh Pendekar Mabuk terhenti akibat tertahan bumbung tuak yang melintang. Celah sempit itu segera dimanfaatkan oleh Pendekar Mabuk untuk meluncur ke atas menggunakan jurus 'Layang Raga' yang digabung dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaap, wuuut...!
Pada saat tubuh Suto meluncur ke atas, tangannya menyambar tali bumbung tuaknya. Dees...! Bumbung tuak pun ikut terbawa terbang dengan cepat. Seketika itu pula dua lapisan tanah tadi mengatup menjadi rapat seperti sediakala. Zeeerb...!
Jleeg...! Pendekar Mabuk berhasil daratkan kakinya diatas tanah datar. Parerang dan Wisena menghembuskan napas lega melihat Pendekar Mabuk selamat dari gencetan tanah. Ranggina tampak lebih lega lagi, sampai-sampai ia tertunduk melemas sambil bergelayutan pada tongkatnya yang diberdirikan di tanah itu.
"Syukurlah dia selamat!" gumamnya di sela engahan napas sisa ketegangannya.
Blaaar...! Suara ledakan cukup kerasmembuat mereka yang ada di atas bukit segera memandang ke timur.
Ternyata di sana Elang Samudera sedang dibuat berjungkir balik ke belakang akibat pukulannya beradu dengan tangan bocah liar itu. Si bocah tak mau ditangkap. Ia bermaksud melarikan diri. Tapi ia ingin diterjang oleh Elang Samudera, maka ia pun melepaskan pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya yang membuat Elang Samudera terlempar ke belakang. Berarti tenaga dalam bocah itu lebih besar daripada tenaga dalam Elang Samudera.
"Bocah setan!" geram Pendekar Mabuk. "Siapa pun dirimu, kau sudah bertindak melebihi setan!"
Zlaap, zlaap...! Pendekar Mabuk mengejar bocah itu dari sisi lain. Dalam sekejap, si bocah terhadang oleh langkah Pendekar Mabuk. Mereka sempat saling kejar dari pohon ke pohon. Si bocah ingin hindari tangkapan Pendekar Mabuk. Tapi karena tahu-tahu Pendekar Mabuk meluncur dari arah depannya, maka si bocah pun segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya dengan kedua tangan disentakkan ke depan. Blaab...! Seberkas sinar putih menyilaukan menerjang Suto Sinting.
Pada saat itu Pendekar Mabuk segera mengibaskan bumbung tuaknya dalam gerakan memutar. Wuuut...! Jurus 'Kipas Malaikat' dipergunakan oleh Pendekar Mabuk untuk menandingi sinar putih menyilaukan itu. Jurus tersebut hadirkan angin kencang dan semburan busa salju yang segera menghantam sinar putih lebar itu.
Blegaaarr...! Ledakan dahsyat terjadi, gelombang ledakannya menyentak ke berbagai penjuru, mematahkan empat pohon di sekitar tempat itu. Si bocah pun terlempar jatuh, demikian pula Pendekar Mabuk.
Brruk, brruuss...!
Rupanya bocah itu bukan sembarang bocah. Pendekar Mabuk merasa seperti diterjang oleh uap panas yang membuat kulit tubuhnya menjadi merah matang. Perih semua. Tapi ia masih mampu menahan rasa panas dan perih, sehingga dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah bangkit berdiri dan memasang kuda-kudanya.
Bocah itu pun seperti terbuat dari karet. Begitu jatuh terbanting ke tanah dari ketinggian pohon, tubuhnya membal ke atas, menabrak dahan pohon dan membal lagi ke arah lain. Dalam satu gerakan salto yang cukup lincah, bocah itu sudah berhasil berdiri di atas sebongkah batu hitam yang tadi nyaris ikut terperosok dalam keretakan tanah. Jleeg...!
"Bocah gendeng! Siapa kau sebenarnya!" seru Suto Sinting dari jarak lima langkah.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Tapi aku tahu rencana kalian ingin merebut Lembah Tayub! Kudengar percakapan kalian dalam perjalanan tadi!" seru bocah itu dengan suara cemprengnya.
Sreeet...! Elang Samudera mencabut pedangnya. Dengan sekali sentak kedua kaki, tubuhnya melayang tinggi dan meluncur ke arah bocah itu. Pedang tersebut ditebaskan ke leher si bocah dari arah belakangnya. Namun sebelum pedang itu diayunkan, si bocah segera berbalik arah dan sentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka.
Wut, claap...! Seberkas sinar merah panjang melesat dari tengah telapak tangan itu. Sinar tersebut langsung kenai dada Elang Samudera. Tapi karena tangan Elang Samudera mengayunkan pedang, maka tubuhnya pun miring dan sinar itu menyerempet lengan kiri Elang Samudera. Craas...!
"Aaaahk...!" Elang Samudera memekik. Sekujur tubuhnya bagaikan tersengat kilatan petir yang membuat seluruh ototnya seperti putus dan mengendur. Elang Samudera pun jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangannya. Brrruk...!
"Edan!" geram Suto Sinting. Serta-merta ia melayang cepat menerjang bocah itu dengan kecepatan 'Gerak Siluman'-nya. Zlaap...! Bruss...!
"Oouf...!" Suto terpekik sendiri. Bocah itu melompat juga dan menghadangkan kedua kakinya. Tabrakan kaki dengan dada membuat seluruh tulang Pendekar Mabuk bagaikan remuk seketika itu juga.
Bruuuk...! Pendekar Mabuk jatuh telentang. Si bocah justru terpental dalam keadaan melayang di udara. Punggungnya membentur pohon, deel...! Tubuh itu pun memantul bagaikan karet membentur benda keras. Pada saat tubuh itu memantul balik, Pendekar Mabuk sedang kerahkan tenaga cadangan untuk bangkit. Dalam keadaan setengah duduk, tahu-tahu tubuh bocah itu menerjangnya dari depan.
"Hiaaaaah...!!"
Teriakan melengking itu membuat Pendekar Mabuk segera sadar akan datangnya bahaya, ia segera berguling ke kiri dan cepat bangkit terduduk dengan tangan berkelebat ke samping. Tangan yang menguncup itu mematuk seperti seekor ular. Gerakan cepat itu tepat kenai mata kaki si bocah. Dees...!
"Aaaook..!" bocah itu memekik dengan tubuh melayang ke arah lain, kemudian berguling-guling bersama suaranya yang mengerang kesakitan.
Pendekar Mabuk sendiri segera roboh kembali setelah melepaskan jurus totokan 'Delapan Penjuru Sarat' yang apabila mengenai mata kaki seseorang akan berubah menjadi totokan pemudar gaib.
"Haaarrh...!!" suara mengerang itu menjadi besar.
Pendekar Mabuk yang rasakan lemas sekujur tubuhnya sempat memandang ke arah datangnya suara tadi. Ternyata suara itu berasal dari si bocah yang segera bangkit dan berbentuk bayang-bayang, lalu berdiri tegak dalam sosok seorang pemuda seusia Suto Sinting.
"Sudah kuduga, bocah itu hanya bocah jadi-jadian!" geram hati Suto Sinting sambil memperhatikan ke arah lawannya yang sudah berubah menjadi pemuda dewasa berambut panjang dikuncir ke belakang seperti Elang Samudera.
Pemuda itu segera membuka jurus dengan kuda-kuda yang cukup kokoh. Tubuhnya yang gempal tampak berotot. Matanya tajam berkesan bengis.
"Panglima Tulang...!!" seru Wisena sambil berlari menuruni bukit.
Pendekar Mabuk mendengar seruan itu. "Oh, rupanya dia yang bernama Panglima Tulang?!" gumam hati Suto sambil berusaha mencari kesempatan untuk menenggak tuaknya.
Wisena mencabut pisau terbangnya. Ranggina ikut bergegas turuni bukit dengan gerakan lincahnya yang cukup cepat. Teb, teb, teb, teb...! Sementara itu, Parerang melepaskan anak panahnya ke arah Panglima Tulang. Zaaab... zaaab...! Dua anak panah dilepaskan sekaigus dan berkelebat sangat cepat.
Panglima Tulang menghindari anak panah itu dengan berseru berang. "Bangsat kau, Parerang...!!"
Wut, wut...! Tapi baru saja kakinya mendarat ke tanah, dua pisau terbang Wisena melayang ke arahnya. Wwest, wesst...! Panglima Tulang terpaksa melompat ke belakang berjungkir balik dua kali untuk hindari pisau beracun itu.
Saat itulah Pendekar Mabuk gunakan kesempatan untuk menenggak tuaknya. Dengan menenggak tuaknya, maka kekuatannya pulih kembali. Sayang ia tak sempat meminumkan tuak kepada Elang Samudera, sehingga Elang Samudera masih tetap terkapar tak berdaya dalam keadaan urat-uratnya bagaikan putus semua. Namun dalam keadaan seperti itu, Elang Samudera masih punya sisa tenaga sehingga ia bisa keluarkan suara keras yang ditangkap oleh pendengaran Suto Sinting.
"Hati-hati, mulutnya dapat keluarkan api yang berbahaya!"
"Hiaaaat...!!" Ranggina ikut menyerang Panglima Tulang dengan jurus tongkat mautnya. Sodokan tongkat itu keluarkan sinar merah berkelok-kelok seperti cahaya petir. Sinar merah beruntun itu menyerang Panglima Tulang, membuat pemuda itu kewalahan menghindarinya.
Blarr, blaar, blaar...! Ledakan terjadi secara beruntun juga setiap sinar merah itu kenai benda keras apa pun.
"Bangsat tengik! Kalian benar-benar memuakkan semua! Heeahhh...!" Sentakan napas dari mulut Panglima Tulang menyemburkan lidah api yang mengarah kepada Ranggina. Woooss...!
Ranggina melompat dalam gerakan bersalto mundur. Wuuk...! Sementara itu, Wisena dan Parerang menghujani Panglima Tulang dengan panah dan pisau mereka. Panglima Tulang makin dibuat sibuk dan tak punya kesempatan untuk menyerang.
Zaab, zaab, weest, wesst...! Wuut, wuuut, wuut...!
Panglima Tulang menghindari mundur dengan lompatan zig-zag. Tak satu pun panah dan lemparan pisau mereka yang mengenai tubuh Panglima Tulang. Sementara itu, Pendekar Mabuk sejak tadi sudah berkelebat ke arah lain. Ia mengepung Panglima Tulang dari balik semak-semak berduri. Ketika Panglima Tulang berhasil menjauhi para penyerangnya. Ia kepergok oleh Pendekar Mabuk.
"Ooh...?!" sentaknya kaget, karena pada saat itu kaki Pendekar Mabuk segera menendangnya dengan tendangan berputar. Weet, dees...!
"Ahhk...!" Panglima Tulang terlempar ke samping akibat rahangnya terkena tendangan Pendekar Mabuk. Ia buru-buru bangkit sebelum serangan berikutnya menyusul.
Tab, tab, tab, wwuut...!
Lompatan cepatnya membuat Panglima Tulang dalam sekejap sudah berada di atas dahan pohon. Hidung dan mulutnya tampak berdarah akibat tendangan Pendekar Mabuk tadi. Tapi dari atas pohon ia sempat berseru. "Biadab! Kalian telah membuatku tak jadi melihat keadaan Rara Padwi! Tunggu pembalasanku nanti!"
Blaaas...! Panglima Tulang cepat-cepat melarikan diri sebelum Parerang melepaskan anak panahnya lagi. Ranggina tampak mau mengejar pelarian Panglima Tulang, tapi Pendekar Mabuk segera menahannya.
"Jangan kejar dia! Biarkan dia lari dan mengadu kepada Siluman Tujuh Nyawa!" Pendekar Mabuk bermaksud memancing musuh utamanya itu agar keluar dari persembunyiannya dengan membiarkan Panglima Tulang melarikan diri. Yang lain pun tak jadi mengejar Panglima Tulang setelah mengerti maksud Pendekar Mabuk. Elang Samudera segera ditolong dengan meminumkan tuak dari bumbung sakti Pendekar Mabuk itu.
"Dia bergerak ke arah Lembah Tayub!" ujar Parerang.
Lalu, suara Wisena terdengar seperti orang menggumam. "Tak kusangka ilmunya menjadi sehebat itu?!"
"Pasti dia telah berguru kepada Malaikat Gantung atau orang yang lebih tinggi ilmunya!"
"Kita ikuti saja dia!" ujar Suto Sinting memberi komando, membuat mereka pun segera bergegas ke arah Lembah Tayub.
* * *
ENAM
MEREKA melanjutkan perjalanan dengan saling memasang kewaspadaan tinggi. Percakapan demi percakapan terjadi. Mereka berkesimpulan sama, bahwa kiamat kecil yang nyaris mengubur Suto hidup-hidup itu tak lain adalah perbuatan si bocah iblis jelmaan Panglima Tulang. Terbukti si bocah hampir saja berhasil menjebak Suto ke dalam celah lapisan tanah itu.
Elang Samudera sempat menceritakan pertemuannya dengan Rara Padwi kepada Suto Sinting. Sekalipun Suto menggerutu mendengar kemesraan Elang Samudera dengan Rara Padwi, namun ia merasa beruntung karena dapat mendengar ilmu andalan Panglima Tulang. Suto pun mengingatkan kepada yang lain agar waspada dengan semburan api dari mulut Panglima Tulang.
Tapi mendengar nama Siluman Tujuh Nyawa disebut-sebut sebagai dalang persekutuan iblis itu, Parerang dan Wisena menjadi ciut nyali. Mereka berdua sering mendengar kehebatan ilmu tokoh sesat itu. Mereka juga sering mendengar cerita kekejaman Siluman Tujuh Nyawa.
Akhirnya, Wisena berkata kepada Pendekar Mabuk. "Kurasa aku dan Parerang tak perlu mengantar kalian sampai Lembah Tayub. Nanti jika sudah sampai balik bukit itu, kami harus segera kembali ke istana karena ada tugas lain yang harus kami selesaikan."
Elang Samudera tersenyum sinis mendengar. "Mengapa kalian berubah pikiran?! Kalian takut karena Panglima Tulang dibantu oleh Siluman Tujuh Nyawa?!"
"Bukan begitu, tapi..."
"Kalau jadi pengecut memang sebaiknya tak perlu ikut!" sahut Ranggina dengan ketus membuat kata-kata Wisena tak jadi diteruskan.
Elang Samudera berkata kepada Wisena, "Siluman Tujuh Nyawa bukan tandingan kalian. Pendekar Mabuk yang akan menghadapinya. Jadi kalian tak perlu takut akan berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa."
Pendekar Mabuk sendiri segera menimpali, "Gagasan Wisena tidak buruk, Elang! Ada baiknya jika mereka segera kembali ke istana setelah kita berada di dekat Lembah Tayub. Kita hanya butuh panduan mereka agar tak salah arah, bukan?!"
"Terima kasih atas pengertianmu, Pendekar Mabuk," ujar Parerang dengan hati lega.
Tapi di luar dugaan, mereka berdua ternyata tetap terlibat dalam perkara tersebut. Karena ketika mereka hampir mendekati Lembah Tayub, Parerang dan Wisena tak jadi pulang ke istana. Mendadak mereka dikepung oleh sejumlah orang berwajah angker yang rata-rata mengenakan pakaian serba hitam. Orang-orang itu muncul dari berbagai arah dengan senjata terhunus siap tarung.
"Celaka! Kita terkepung mereka, Suto!" ujar Ranggina dengan tegang.
"Uuhk...!" tiba-tiba Parerang memekik sambil tubuhnya jatuh terpelanting.
"Hei, kenapa kau, Parerang?!" seru Elang Samudera dengan heran.
Wisena segera mendekati temannya. "Parerang, kau... oaaahk...!" Wisena sendiri terpekik dengan kepala terdongak. Tubuhnya terpental mundur dan berguling-guling. Ketika ia merangkak, ternyata ia memuntahkan darah segar dari mulutnya. "Hooeek...!"
"Gawat! Bersiaplah! Mereka menyerang dari jarak jauh!" seru Pendekar Mabuk dengan mata terbuka tegang.
Dees, dees, dees...!
"Aaahk, uuuhk, aaahk...!" Ranggina seperti disodok ulu hatinya dengan sebatang kayu balok. Ia terlempar ke belakang dan jatuh terkapar dengan mata mendelik sukar bernapas.
Elang Samudera seperti dihantam dengan tangan besi pada bagian pinggangnya. Ia roboh ke depan dalam keadaan tulang punggung bagaikan remuk. Sedangkan Pendekar Mabuk terlempar sejauh empat langkah. Bumbung tuaknya terpental lepas dari genggamannya, karena ia merasa seperti diterjang seekor banteng yang sedang mengamuk. Telinganya menjadi berdarah.
Serangan tanpa wujud itu datang kembali dan menghajar mereka satu persatu. Des, des, des, des, des! Mereka saling terpekik dan bergelimpangan. Tanpa diketahui dari mana datangnya serangan itu, tiba-tiba mereka merasa rahangnya seperti mau copot, dadanya bagaikan mau jebol, kepalanya seperti dihantam kayu besar, dan macam-macam rasa sakit yang tak tertahankan lagi.
Dalam empat hitungan saja mereka sudah saling bergelimpangan, berdarah dan keluarkan erangan kesakitan yang memanjang. Pendekar Mabuk sendiri tak bisa atasi serangan tanpa wujud itu. Karena ketika ia menduga serangan itu datang dari arah kiri, ternyata serangan berikut datang dari depannya persis. Dagunya bagaikan mau pecah karena seperti ditendang dengan kaki baja.
Prook...!
"Aaahk...!" Kepala Suto tersentak ke belakang. Ia pun tumbang dengan mulut mengucurkan darah. Namun ia masih berusaha mengerahkan tenaga simpanannya untuk menahan melapisi sekujur tubuhnya dengan tenaga dalam.
Beet, beet, beet, prook, ceprot...!
Serangan tak diketahui dari mana asalnya itu seakan mengincar Pendekar Mabuk. Ia dihajar tanpa ampun lagi sampai tubuhnya terbanting-banting dan terjadi luka di beberapa tempat. Termasuk luka hangus pada dadanya.
"Edan! Tenaga dalamnya tinggi sekali! Siapa yang menyerangku dengan cara licik ini?!" geram hati Pendekar Mabuk yang sudah mulai kehilangan banyak tenaga. Ia mencoba bangkit dan merangkak mendekati bumbung tuaknya.
Sraak...! Bumbung tuak itu terpental dengan sendirinya, bagai ada yang menyampar dengan kaki. Jaraknya semakin jauh dari Suto Sinting. Bumbung tuak itu tergeletak dalam satu jangkauan dari tempat Elang Samudera terkapar berlumur darah pada bagian kepalanya.
"Suto...," suara Ranggina terdengar mengerang berat. "Ini... perbuatan.... Malaikat Gantung! Seperti... yang dilakukan... pada... pada mendiang Guru dan teman-temanku. Oohk... cari dia! Serang ddii... dia, agar tak menggunakan... jurus 'Lamunan Iblis'-nya. Uuuhk...!"
Suto Sinting melihat para pengepung semakin berdatangan. Dalam keadaan tubuh tergeletak dengan kepala miring ke kanan. Ia melihat dua orang mendekatinya. Salah satu dari kedua orang itu adalah si Panglima Tulang. Rupanya orang itu telah berhasil memberi tahu para sekutunya tentang rencana Pendekar Mabuk dan kawan-kawannya yang akan menyerang Lembah Tayub.
Ayodya alias si Malaikat Gantung segera kerahkan orang-orangnya untuk menghadang mereka di kaki bukit. Usaha itu berhasil. Bahkan si Malaikat Gantung dengan mudahnya melumpuhkan lima orang dari Kesultanan Tanahinggil itu.
Pendekar Mabuk melihat sosok lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang berambut panjang dengan ikat kepala dari logam perak berukir. Lelaki itu mengenakan jubah merah tua dan di pinggangnya terdapat segulung tambang yang menyerupai cambuk. Hati kecil Suto mengatakan bahwa orang berjubah merah itu pasti si Malaikat Gantung. Pandangan matanya begitu tajam, seakan dapat membutakan orang yang beradu pandang dengannya.
"Panglima Tulang...! Kini saatmu menghancurkan si keparat yang nyaris membuatmu mati itu!" ujar Malaikat Gantung.
"Akan kuremukkan kepalanya tanpa ampun lagi!" geram Panglima Tulang yang kala itu membawa senjata berupa gada besi berduri.
Dalam keadaan tergolek tanpa daya, Pendekar Mabuk hanya bisa memandangi langkah Panglima Tulang yang mendekatinya dengan penuh nafsu membunuh. Gada besinya yang cukup besar dan berat itu digenggam kuat-kuat.
"Modarlah kau sekarang juga! Heeah...!" Gada besi itu diangkat, ingin dihantamkan ke kepala Pendekar Mabuk.
Tetapi pada saat itu satu-satunya kekuatan yang dimiliki Suto adalah kekuatan pada matanya. Ia memandang sebongkah batu sebesar kepala sapi. Batu itu dilemparkan dengan kekuatan pandangan matanya. Wuuut...! Batu itu melayang cepat menerjang gada besi dari samping.
Prraak...! Crrooook...!
"Aaaah...!!" Panglima Tulang memekik keras-keras. Akibat diterjang batu sebesar kepala sapi, gada besi berduri itu membentur kepala Panglima Tulang sendiri. Tentu saja sebagian wajah dan kepala Panglima Tulang menjadi berlumur darah karena duri-duri pada gada itu menancap dan merobek kulit wajah.
Gada itu terlepas dari tangan Panglima Tulang. Orang tersebut terbungkuk-bungkuk kesakitan sambil memegangi lukanya. Suto Sinting segera menggunakan ilmu 'Pranasukma' yang dapat membuat benda bergerak sendiri dengan kekuatan pandangan matanya. Dengan mata melebar jelas, Malaikat Gantung melihat gada itu melayang sendiri dan menghantam tengkuk kepala Panglima Tulang.
Wuuut, ceprooot...!
"Aaahk...!" pekikan Panglima Tulang itu lebih pendek, karena kepalanya menjadi hancur akibat hantaman gada besi berduri. Panglima Tulang pun jatuh tersungkur, menggelepar sesaat, kemudian menghembuskan napas terakhir dalam keadaan kepala rusak berat. Hancur.
"Panglima Tulaaang...!!" teriak Malaikat Gantung begitu sadar bahwa Panglima Tulang telah tak bernyawa lagi.
Para pengepung menjadi tegang dan mundur selangkah melihat Panglima Tulang tewas karena serangan lawan yang aneh itu. Malaikat Gantung menjadi murka sekali. Matanya memandang makin tajam. Namun langkahnya yang ingin dekati mayat Panglima Tulang itu terhenti karena ia melihat Parerang berusaha bangkit berlutut dan ingin menarik anak panahnya dari busur.
Dengan cepat tangan Malaikat Gantung menyambar tambang yang menyerupai cambuk panjang itu. Seet...! Tambang tersebut segera dilecutkan. Jedaaarr...! Lecutan itu timbulkan suara keras dan menyentak. Tahu-tahu tambang itu menjerat leher Parerang. Sert...!
"Aahkkkr, hhkkr...!" Parerang tak bisa bersuara lagi. Tambang segera ditarik dalam satu sentakan tenaga dalam. Wuuut...! Seert...! Leher Parerang terjerat kuat. Tubuh Parerang pun terlempar ke atas dalam keadaan tetap dijerat tambang. Pada saat melayang di udara itu, jeratan itu semakin kencang dan membuat Parerang mendelik, lidahnya terjulur, lalu jatuh menggelepar sesaat. Kurang dari dua hitungan, nyawa Parerang pun pergi tanpa pamit dari raganya. Ia seperti mati digantung lawannya. Barangkali senjata tambang maut itulah yang membuat Ayodya menggunakan julukan Malaikat Gantung.
Tanpa setahu Ayodya, Elang Samudera kerahkan sisa tenaganya yang tinggal sedikit itu untuk dekatkan kepala ke bumbung tuak Suto. Tutup bumbung itu terbuka sedikit, sehingga tuaknya mengalir keluar. Elang Samudera tahu betul kesaktian tuak tersebut, maka ia pun berusaha meminum tuak itu walau sedikit saja. Dengan menjulurkan lidah seperti seekor anjing sedang minum, tuak tersebut berhasil ditelan oleh Elang Samudera, membuat kekuatan Elang Samudera mulai pulih kembali.
Pada saat tubuh Parerang jatuh dan menghembuskan napas terakhir, Elang Samudera telah mempunyai separuh lebih dari kekuatannya semula. Maka dengan cepat ia meraih pisau terbang milik Wisena. Pisau itu dicabut dari pinggang Wisena yang ada di sisi kanannya. Seet,..! Elang Samudera bangkit terduduk dan pisau itu dilemparkan ke arah Malaikat Gantung.
Wees...! Jrruub...!
"Aaahk...!" Ayodya alias Malaikat Gantung terkejut sekali. Ia tak menyangka akan ada serangan dari lawannya. Pisau itu tak sempat hindari karena kecepatan lemparannya yang nyaris tak terlihat oleh mata awam itu. Akibatnya, pisau itu menancap di dada Malaikat Gantung. Pisau itu terbenam seluruhnya, tinggal bagian gagangnya saja. Malaikat Gantung mengeluarkan darah kental dari mulutnya dalam keadaan mata mendelik dan badan sedikit bungkuk. Ia buru-buru berusaha melepaskan jurus 'Lamunan Iblis'-nya untuk menyerang Elang Samudera.
Tetapi ternyata Pendekar Mabuk lebih dulu menggunakan jurus 'Pranasukma'-nya, melemparkan tubuh Malaikat Gantung dengan kekuatan pandangan mata. Wuuut...! Tubuh itu terlempar ke arah pohon dengan keras. Padahal di pohon itu ada bekas dahan yang patah dan berbentuk runcing. Tak ayal lagi tubuh Malaikat Gantung itu tertancap pada keruncingan dahan tersebut dari punggung tembus ke perut. Jrruub...!
"Aakkh...!!" Malaikat Gantung mendelik, tak bisa berkutik. Tubuhnya kelojotan sesaat, setelah itu diam tak bergerak selama-lamanya.
"Gawat! Sang ketua tewas juga?!" seru seorang pengepung. "Lariiiii...!!"
Para pengepung lari tunggang langgang. Mereka dapat bayangkan, betapa mengerikan lawan yang mereka kepung itu. Jika ketuanya yang dianggap sakti itu berhasil dibunuh oleh lawan, apalagi diri mereka yang masih berilmu pas-pasan. Oleh sebab itu mereka memilih melarikan diri sebagai satu-satunya obat panjang umur.
Elang Samudera segera mengucurkan tuak ke mulut Pendekar Mabuk. Dengan begitu, kekuatan Pendekar Mabuk berangsur-angsur pulih dan luka-lukanya terobati. Hal yang sama dilakukan pula kepada Ranggina dan Wisena. Tapi Parerang tetap Parerang, maksudnya tetap menjadi mayat Parerang, tak dapat dihidupkan kembali dengan tuak saktinya Pendekar Mabuk itu.
"Persekutuan iblis itu telah kita lumpuhkan!" ujar Elang Samudera setelah memandangi mayat Panglima Tulang. Sambungnya lagi, "Apakah kita akan kembali menghadap sultan untuk mengambil hadiahnya?"
"Aku bukan memburu hadiah?" tegas Suto Sinting. "Aku memburu si keparat Durmala Sanca! Sial! Kenapa dia tak muncul di sini?!" Suto tampak sedikit kecewa karena musuh utamanya tak berhasil ditemuinya.
Namun Elang Samudera bisa menghibur kekecewaan itu dengan berkata pelan, "Suatu saat dia pasti akan muncul di hadapanmu, dan saat itulah kau punya kesempatan memancung kepalanya!"
Ranggina berkata kepada kedua pemuda tampan itu. "Kalian telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut Ayodya. Siapa dari kalian yang ingin mengambil hadiahnya?!"
"Hadiah apa?!" tanya Elang Samudera.
"Menikah dengannya atau bersaudara dengannya!" jawab Suto, lalu Elang Samudera memandangi Ranggina beberapa saat. Setelah itu menatap Suto Sinting sambil berkata.
"Ambillah hadiahnya."
"Aku...?! Ooh, aku sudah punya Dyah Sariningrum. Kau belum ada yang punya, kan?"
"Hmmm... kalau begitu kita bersaudara saja!" kata Elang Samudera, membuat Ranggina tersenyum manis dan berkata lirih.
"Terima kasih."
Lalu mereka membawa pulang mayat Panglima Tulang dan mayat Malaikat Gantung ke istana, sebagai bukti bahwa mereka sudah berhasil melumpuhkan persekutuan iblis itu. Sedangkan Wisena membawa pulang mayat Parerang, sebagai bukti kejamnya persekutuan iblis.
SELESAI