Rahasia Bayangan Setan

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Bayangan Setan karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Rahasia Bayangan Setan
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU

PADANG rumput menghijau bagai bentangan permadani yang menyegarkan mata. Ketinggian rumputnya rata-rata sebatas mata kaki. Tentu saja rumput-rumput itu tumbuh dengan sendirinya, tak ada orang yang sengaja menanam rumput di tanah datar itu. Tapi anehnya ada orang yang merasa memiliki perkebunan rumput itu. Pendekar Mabuk tertawa pendek, ketika mendengar padang rumput itu ada pemiliknya.

"Kalau perkebunan kopi, perkebunan karet, perkebunan tembakau, itu wajar! Tapi kalau perkebunan rumput, itu agak kurang ajar."

"Tapi orang itu mengaku sebagai pemilik perkebunan rumput ini, Suto!" ujar Mahesa Gibas, pemuda berusia sekitar dua puluh tahun yang gemar mengenakan baju kuning dan celana hitam dengan rambut pendek memakai ikat kepala kuning-merah. Kala itu, Mahesa Gibas mempunyai wajah yang biru legam, tampak habis dihajar seseorang hingga babak belur. Bahkan daun telinganya tampak sedikit robek dan berdarah. Rupanya ia habis dihajar oleh orang yang mengaku pemilik perkebunan rumput.

"Siapa orang itu, dan di mana tinggalnya?" tanya Suto Sinting setelah memberi minum Mahesa Gibas dengan tuak saktinya. Tuak itu membuat luka memar dan daun telinga yang robek menjadi pulih seperti tak pernah mengalami luka apa pun.

Orang yang mengaku sebagai pemilik perkebunan rumput itu adalah lelaki tua bertubuh kurus, berusia sekitar enam puluh tahun. Lelaki tua itu gemar mengenakan jubah biru dan celana hitam. Rambutnya abu-abu, panjang sepunggung, diikat dengan kain putih bagai pasukan berani mati. Ia memiliki jenggot pendek dan kumis tipis, semuanya berwarna abu-abu. Mata orang itu cekung, tapi lebar. Tulang pipinya tampak bertonjolan karena kurusnya, ia sering membawa tongkat hitam dengan ujung tongkat berbentuk bintang.

"Ia menyebut dirinya dengan nama Wabah Langit," ujar Mahesa Gibas menjelaskan kepada Suto. "Rasa-rasanya memang ia pantas berjuluk Wabah Langit, karena rupanya mirip penyakit menular!"

Pendekar Mabuk tertawa pelan. Geli juga melihat ungkapan kejengkelan Mahesa Gibas terhadap si Wabah Langit itu. "Lalu, bagaimana mulanya sehingga kau bisa dihajarnya?" tanya Suto Sinting sambil masih duduk di bawah pohon rindang yang teduh itu.

"Aku berlari melintasi padang rumput itu. Kupikir, dengan melintasi padang rumput itu aku bisa memotong jalan dan menyusulmu. Tapi tiba-tiba setelah aku sampai di tanah berhutan jarang itu, aku diserang oleh si Wabah Langit. Mulanya kulawan dia dengan jurus-jurus mautku sampai ia terdesak nyaris jebol dadanya. Tapi aku tiba-tiba kasihan melihat ketuaannya. Lalu, kutinggalkan dia dalam keadaan luka dalam. Tahu-tahu dia menyerangku dari belakang dan menghajarku sampai babak belur. Aku mencoba mengalah, sungkan melawan orang tua. Akhirnya aku berhasil melarikan diri dan bertemu denganmu di sini!"

Senyum sinis Pendekar Mabuk menandakan dirinya tak percaya sepenuhnya dengan cerita Mahesa Gibas. Ia tahu, pelayan sang Adipati Jayengrana itu pandai membual. Seratus kata yang diucapkan hanya delapan kata yang benar, selebihnya adalah bualan. Pendekar Mabuk juga tak percaya kalau Mahesa Gibas menghajar Wabah Langit hingga dada orang tua itu hampir jebol. Karenanya Suto hanya tertawa sinis bercampur geli.

"Singkatnya cerita, kau dihajar karena menginjak-injak perkebunan rumputnya?"

"Ya. Tapi dia juga sesumbar saat aku melarikan diri."

"Sesumbar bagaimana?" pancing Suto.

"Dengan takaburnya si Wabah Langit itu berseru sambil mengangkat tongkatnya: 'Dasar bocah tampan tak tahu diri! Awas kalau kau lewat sini lagi, kuremukkan kepalamu yang seperti berlian itu! Panggil teman-temanmu, kalau perlu panggil si Pendekar Mabuk, suruh dia membelamu datang kemari. Akan kubeset-beset kulitnya, kucungkil matanya, kupotong lidahnya, dan kurontokkan giginya! Meskipun kau mengaku teman si Pendekar Mabuk, kau pikir aku takut pada Pendekar Mabuk! Cuih."

Plaak...! Suto menampar paha Mahesa Gibas, lalu buru-buru menyapu wajah dengan kain bajunya yang tak dikancingkan. "Sialan kau! Kenapa pakai meludah segala?!" bentak Suto.

"Memang dia pakai meludah segala! Aku cuma menirukan dia berseru di belakangku!"

"Iya, tapi kau tak perlu pakai meludah di wajahku, Setan!" geram Suto jengkel sekali.

"Aku tak sengaja," Mahesa Gibas bersungut-sungut. "Anggap saja kecelakaan kecil. Tak usah marah begitu."

Pada dasarnya, Pendekar Mabuk tetap tak percaya kalau si Wabah Langit lontarkan sesumbar sampai seperti itu. "Pasti rekaan si Mahesa sendiri biar aku marah pada Wabah Langit dan melabraknya!" pikir Suto dengan tersenyum-senyum.

"Pokoknya, kau dihina habis-habisan. Direndahkan oleh si Wabah Langit, diremehkan dan dianggap banci kalau tak berani melabraknya," tambah Mahesa Gibas.

"Biar saja!" ujar Suto kalem, tampak tak mau menanggapi hasutan itu.

"Kau tak malu dianggap banci?!"

"Kenapa malu? Hanya dianggap banci saja, apa ruginya?"

"Huhh...! Percuma punya sahabat sepertimu. Dianggap banci kok diam saja."

"Habis, apakah aku harus pakai bedak dan gincu begitu dianggap banci oleh seseorang?!"

"Maksudku, marahlah! Marah kepada si Wabah Langit itu, biar dia tahu bahwa kau bukan pemuda banci!"

"Ah, biarpun dia tak tahu, aku tahu kalau aku bukan banci, aku tak merasa kecewa."

"Uhhh...!" geram Mahesa Gibas sambil cemberut.

Suto menertawakan, karena kedongkolan Mahesa Gibas itulah yang diharapkan hadir dari sikap cueknya dengan hasutan itu.

"Kalau begitu aku tak mau ikut kau ke Bukit Lahat!" ujar Mahesa Gibas dengan sewot.

"Memang seharusnya begitu. Bukankah sudah kubilang, kau tetap tinggal bersama Eyang Panembahan Pancalingga, sambil menunggu kedatangan Perawan Sinting kembali dari Kadipaten Madusari. Tapi mengapa kau justru menyusulku?! Siapa yang suruh?!"

"Mahayuni yang suruh!" sahut Mahesa Gibas. "Mahayuni khawatirkan dirimu. Dia takut terjadi apa-apa pada dirimu. Maka aku disuruh mendampingimu selama dalam perjalanan menuju Bukit Lahat!"

"Omong kosong! Mahayuni tak mungkin menyuruhmu, sebab dia tahu kau tak punya ilmu yang bisa diandalkan untuk membantuku jika menghadapi bahaya di perjalanan. Kalau dia mengkhawatirkan diriku, pasti dia sendiri yang akan menyusulku."

"Tak percaya ya sudah...," Mahesa Gibas bersungut-sungut cemberut.

Suto hanya menertawakan dengan suara seperti orang menggumam. Pendekar Mabuk memang sedang dalam perjalanan ke Bukit Lahat untuk mengejar si Bayangan Setan yang membawa lari Raden Rama Jiwana, menantu dari Adipati Jayengrana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Buronan Cinta Sekarat). 

Semula pengejaran itu dilakukan Suto, Perawan Sinting, dan Mahesa Gibas kearah Pulau Blacan. Karena di sanalah setahu mereka negeri Samudera Kubur yang berada dalam kekuasaan si Bayangan Setan itu berada. Tetapi perahu yang mereka tumpangi itu pecah dihantam ombak badai. Mereka terdampar di Pantai Porong dan bertemu dengan Panembahan Pancalingga, penguasa sekaligus ketua Perguruan Pantai Porong.

Bahkan mereka sempat membantu Perguruan Pantai Porong dalam menumbangkan lawannya Nyai Gincu Barong, walau dalam pertarungan itu, Suto dibantu oleh Andani yang membantai seluruh murid Nyai Gincu Barong dengan sadisnya. Belakangan diketahui, si Andani itu sebenarnya adalah si Bayangan Setan, alias Peri Kahyangan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pembantai Cantik).

Tapi menurut keterangan dari Penembahan Pancalingga, negeri Samudera Kubur telah hancur delapan tahun yang lalu. Padahal Suto dan kedua sahabatnya itu baru melakukan perjalanan selama delapan hari. Sementara itu, ketika si Bayangan Setan telah berhasil menangkap Rama Jiwana, ia memerintahkan para pengikutnya untuk pulang ke Samudera Kubur.

Timbul pertanyaan dalam hati Pendekar Mabuk, "Apakah aku telah terlempar ke masa delapan tahun yang akan datang, di mana Samudera Kubur telah hancur?"

"Barangkali ketika perahu kita terombang-ambing ombak dan masuk dalam pusaran air, saat itu kita sedang terlempar ke masa depan. Dan sekarang kita berada di masa depan, masa yang sebenarnya belum kita lalui?" ujar Perawan Sinting menanggapi pemikiran Suto tadi.

"Aku masih belum berani memastikan, sebab Eyang Panembahan sendiri tidak berani berkata begitu kepada kita, bukan? Tapi anehnya, mengapa ketika aku bertemu dengan Andani atau si Bayangan Setan, aku tidak melihatnya bersama Rama Jiwana. Apakah Rama Jiwana telah berhasil dibebaskan atau dibunuh?"

"Jangan-jangan dimakan habis oleh perempuan yang doyan daging manusia itu?" timpal Mahesa Gibas sambil bergidik merinding.

"Sebaiknya kau pulang ke Kadipaten Madusari dan meminta keterangan Adipati Jayengrana, apakah Rama Jiwana sudah kembali atau belum, atau tak ada kabar beritanya sama sekali," kata Suto menugaskan si gadis berompi cekak warna ungu dengan tubuh sexy menggiurkan itu. "Sementara itu, aku akan menuju ke Bukit Lahat. Aku akan mencari tahu, benarkah si Bayangan Setan ada di Bukit Lahat bersama para pengikutnya; termasuk si Gober dan si Melon Kuning itu?"

"Aku bagaimana?" tanya Mahesa Gibas.

"Kau tetap menunggu di sini, sampai Perawan Sinting datang. Aku akan segera kembali ke padepokan ini jika sudah mengetahui keadaan di Bukit Lahat yang sebenarnya. Jika benar si Bayangan Setan ada di sana, maka kita serang dia bersama-sama!"

Begitulah rencana yang telah disusun Pendekar Mabuk pada saat berada di padepokannya Penambahan Pancalingga. Perawan Sinting pun pergi ke Kadipaten Madusari yang cukup jauh dan memakan waktu beberapa hari itu, sedangkan Pendekar Mabuk menyelidiki Bukit Lahat yang letaknya berbeda arah dengan kepergian Perawan Sinting.

Tapi rupanya Mahesa Gibas merasa tak enak sebagai tamu sendirian di Perguruan Pantai Porong, sehingga ia menyusul Suto melalui padang rumput, sampai akhirnya dihajar oleh Wabah Langit yang mengaku sebagai pemilik perkebunan rumput itu. Mahesa Gibas tetap ngotot, tak mau disuruh pulang.

"Jika terjadi bahaya yang menimpamu di perjalanan, lalu siapa yang akan melindungimu, Suto?" kata Mahesa Gibas dengan berlagak menjadi pelindung Suto.

"Apakah kau sanggup menjadi pelindungku?"

"Siapa bilang begitu? Aku hanya bertanya; siapa yang akan melindungimu jika kau ditimpa bencana diperjalanan? Siapa?"

"Jadi... maksudmu bukan kau yang akan melindungiku?"

"Mana mungkin!" lalu Mahesa Gibas bicara pelan sambil melengos, "Kecuali kalau kau percaya pada kesaktianku, itu lain persoalan!"

Pendekar Mabuk terpaksa tertawa walau sebenarnya hatinya gondok melihat lagak Mahesa Gibas yang sok berilmu tinggi, padahal dikejar anjing saja lari terbirit-birit. Mau tak mau Pendekar Mabuk akhirnya lanjutkan perjalanan menuju Bukit Lahat dengan didampingi si pembual; Mahesa Gibas.

Namun baru saja mereka meninggalkan tempat istirahat beberapa langkah, tiba-tiba perjalanan mereka harus berhenti lagi karena munculnya seorang lelaki tua berjubah biru dan berikat kepala putih. Lelaki itu melompat dari balik semak setinggi dada, dan tahu-tahu sudah menghadang langkah mereka berdua. Jleeg...!

"Naaah... Itu dia orangnya, Suto! Itu dia!" seru Mahesa Gibas di antara kaget dan takut, ia segera ambil posisi di belakang Suto Sinting.

"Maksudmu siapa dia?"

"Dia yang mengakui mempunyai perkebunan rumput dan bernama Wabah Langit! Lihat saja, wajahnya mirip penyakit muntaber, bukan?!"

"Bocah terkutuk!" geram si Wabah Langit dengan mata cekungnya memancarkan kemarahan kepada Mahesa Gibas. "Jangan seenaknya kau bicara, Bocah terkutuk! Sekali lagi kau mengatakan wajahku seperti penjahit ember, kuhancurkan mulutmu!"

"Penjahit ember?!" gumam Suto. "Rupanya dia agak budeg, Mahesa," bisiknya kepada Mahesa Gibas.

"Mungkin kupingnya tersumbat rumput!" bisik Mahesa Gibas juga.

Lalu, Suto bicara kepada Wabah Langit dengan sikap ramah. "Maaf, Ki Wabah Langit... temanku ini tidak mengatakan kau seperti penjahit ember. Kau salah dengar, Ki."

"Tidak mungkin aku salah dengar. Biar sudah tua tapi telingaku belum rusak. Bocah terkutuk itu tadi mengatakan wajahku seperti penjahit ember! Kau sangka aku tukang timba, hah?!" bentaknya dengan angker. Wabah Langit bergegas maju, Suto dan Mahesa Gibas mundur beberapa langkah.

"Tunggu dulu, Ki. Aku dengar sendiri, Mahesa Gibas tidak mengatakan wajahmu seperti penjahit ember. Dia hanya mengatakan wajahmu seperti penyakit muntaber!"

"Apaaa...?! Lebih parah lagi?! Kusembelih kau, Bocah terkutuk!" geram Wabah Langit sambil hendak menyerang Mahesa Gibas, namun berhasil ditahan oleh Suto dengan menghadangkan kedua tangan dan bersikap hormat.

"Maaf, maaf... temanku ini kalau bicara memang tak pernah pakai otak, sebab dia memang belum mempunyai otak. Mohon dimaklumi saja, Ki Wabah Langit."

"Hmmmrrr...! Kalau bukan memandang sikapmu yang hormat dan ramah kepadaku, sudah kubantai si Bocah terkutuk itu!"

"Enak saja! Aku bukan bocah perkutut!" sentak Mahesa Gibas.

"Sudah, sudah...! Jangan ikut-ikutan budek. Dia mengatakan kau: bocah terkutuk! Bukan bocah perkutut!" hardik Suto sambil sedikit palingkan wajah ke belakang.

"Maksudku biar tambah rusak sekalian pendengarannya itu!" bisik Mahesa Gibas.

"Jangan bisik-bisik! Itu menyinggung perasaanku!" bentak Wabah Langit.

"Maaf, Ki...!" kata Suto dengan suara selalu keras biar tak salah dengar lagi, "... aku hanya mengingatkan Mahesa Gibas agar jangan bersikap kurang ajar kepada orang tua sepertimu, Ki Wabah Langit."

"Nah, itu bagus?" sahut Wabah Langit dengan suaranya yang besar dan agak serak, menyeramkan. "Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?! Aku belum pernah melihat anak muda segagah dirimu di daerah ini!"

"Perkenalkan, aku bernama Suto dan temanku yang kau hajar tadi bernama Mahesa Gibas," jawab Pendekar Mabuk dengan tetap sopan dan ramah. "Kumohon kau memaafkan kelancangan temanku tadi yang menginjak-injak perkebunan rumputmu itu, Ki Wabah Langit. Kumohon kau jangan marah lagi kepadanya."

"Hmmmrrr...!" geram Wabah Langit. Setiap dia menggeram, bulu kuduk Mahesa Gibas merinding seketika. "Bukan karena dia menginjak-injak perkebunan rumputku yang membuatku marah kepadanya! Tapi karena dia menginjak kepalaku saat aku tidur-tiduran di rerumputan itu. Maka kukejar dan kuhajar dia!"

"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut sambil berpaling pandangi Mahesa Gibas. Yang dipandang diam saja dengan kepala tertunduk malu. Matanya sesekali melirik Suto, juga melirik si Wabah Langit. "Pantas dia ngamuk. Yang kau injak bukan perkebunan rumputnya, tapi kepalanya! Siapa orangnya yang tidak marah jika diinjak kepalanya?!"

"Tapi itu kan tidak sengaja!" Mahesa Gibas bersungut-sungut, masih tetap ngotot sebagai orang tak bersalah.

Pendekar Mabuk tak mau memperpanjang masalah itu. Ia segera berkata kepada si Wabah Langit. "Kalau begitu, sekali lagi aku sebagai temannya memohonkan ampun sebanyak-banyaknya kepadamu, Ki Wabah Langit."

"Hmmmrrr!" jawabnya dalam geram. "Apa yang kalian lakukan di sekitar padang rumputku ini?!"

"Kami sedang menuju ke Bukit Lahat, Ki," jawab Suto dengan suara keras supaya jelas didengar si Wabah Langit.

Namun begitu si Wabah Langit mendengar nama Bukit Lahat, pandangan matanya menjadi dingin, gerahamnya menggeletuk, genggaman tangannya pada tongkat diperkuat. Suto Sinting menjadi heran melihat perubahan aneh dalam wajah si Wabah Langit.

"Kalian mau ke Bukit Lahat?!"

"Benar, Ki!" jawab Suto tegas.

Tiba-tiba tongkat di tangan Wabah Langit itu menyambar kepala Suto Sinting dengan cepat sekali. Weess...! Tentu saja Pendekar Mabuk sangat terkejut, dan secara refleks tangannya dipakai menangkis tongkat itu. Dees...!

"Aaow...!" pekik Suto sambil tangannya segera dikibas-kibaskan, ia sempat terpelanting beberapa langkah dan nyaris jatuh. Sedangkan Mahesa Gibas segera lari bersembunyi di balik pohon besar dengan wajah ketakutan.

"Gila! Pukulan tongkatnya seakan ingin meremukkan tulang lenganku. Uuh... linu semua sekujur tubuhku!" keluh Suto dalam hati. Ia segera mundur begitu melihat Wabah Langit maju mendekatinya. "Mengapa kau memukulku, Ki?!" seru Suto sambil menyeringai, tapi tangan kanannya segera meraih tali bumbung tuaknya yang sejak tadi menggantung di pundak. Tali itu melilit dalam genggaman Suto, sehingga bumbung tuak dapat digerakkan ke manasaja.

Ternyata jawaban yang diperoleh Suto adalah tebasan tongkat yang memutar cepat melintasi atas kepalanya. Wuuuk...! Tongkat itu tiba-tiba berhenti di depan dan menyodok ke arah dada Pendekar Mabuk. Suuuut...! Bumbung tuak dihadangkan.

Traaang...! Duaaar...!

Benturan ujung tongkat dengan bumbung tuak menimbulkan suara ledakan yang lumayan besarnya. Ledakan itu membuat Suto Sinting terpental ke belakang, namun tak sampai terjatuh juga.

"Rupanya kau punya kekuatan pada bumbung bambu itu, Keparat!" geram si Wabah Langit. "Tapi tak mungkin bisa menahan jurus 'Tongkat Seribu' ini! Heaaah..!"

Weesss...! Tongkat ditebaskan lagi, dan Suto Sinting menangkis dengan bumbung tuaknya dengan lompatan mundur. Traang...! Terdengar bunyi seperti besi beradu dengan besi. Rupanya tongkat itu berisi tenaga dalam cukup tinggi yang dapat imbangi kekuatan tenaga sakti dalam bumbung tuak itu.

Hanya saja, kali ini sekalipun tongkat sudah ditarik ke tangan pemiliknya, namun Suto Sinting merasa masih dihantam dengan tongkat secara bertubi-tubi. Tongkat itu tak terlihat wujudnya, namun angin tebasannya selalu datang mengancam tubuh Suto. Mau tak mau Pendekar Mabuk selalu berkelit dan menangkis hawa yang datang bagai sabetan tongkat itu.

Trang, weess... trang, trang, wess, wesss, trang...!

"Aneh! Tongkatnya sudah tidak bergerak tapi hawanya masih saja menyerangku?!" pikir Suto sambil bergerak mundur sebagai tanda bahwa dirinya mulai terdesak dan kebingungan melawan jurus 'Tongkat Seribu' itu.

Wees, trang...! Buuukh, prak, wwes, trang...! Praaak...!

"Aaow...!" pekik Suto lagi karena kepalanya seperti dihantam tongkat dengan kencang dan berkekuatan tenaga dalam. Tubuh Suto Sinting sempat melintir dan jatuh karena pandangan matanya menjadi gelap setelah mendapat hantaman di kepalanya.

Baaakh, buuukh, baakh, buuukh...!

Suto Sinting dihajar oleh hantamam tongkat yang tak diketahui dari mana arahnya. Yang jelas ia memekik-mekik beberapa kali sambil berusaha menghindar dari tempat itu. Dan tubuh Suto mulai merasa memar. Pipinya sempat membiru bagai habis dihantam tongkat dengan keras. Pelipisnya sempat berdarah, dan tulang punggungnya terasa patah karena merasa dihantam tongkat beberapa kali.

Zlaaap, zlaaap...!

Suto Sinting akhirnya pergunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk berkelebat cepat pergi dari tempat itu. Ia sengaja berdiri di belakang si Wabah Langit dengan pandangan mata masih buram.

"Kau yang mengawali permusuhan ini, Wabah Langit!"

Si tua berjubah biru dan bercelana hitam itu terkejut mendengar suara Suto sudah ada di belakangnya. Maka ia pun segera berpaling memandang ke belakang. Tepat pada saat itu, Pendekar Mabuk pergunakan jurus 'Jari Guntur', berupa sentilan bertenaga dalam cukup tinggi.

Tees...! Buuukh...! Tees...! Buuukh...!

"Heekh...!" Wabah Langit tak sempat memekik. Ulu hatinya bagai ditendang kuda jantan yang sedang mengamuk. Tubuh kurusnya terlempar ke belakang hingga membentur pohon. Brruk...! "Oukh...!" ia semakin mengerang kesakitan dengan sedikit terbungkuk.

Suto Sinting tak memberi kesempatan bagi si Wabah Langit untuk membalas serangannya. Sentilan dari jurus 'Jari Guntur' dilepaskan terus secara beruntun.

Tes, tees, tes, tes...!

Praak...! Sentilan itu akhirnya kenai pelipis si Wabah Langit. Kepala pak tua itu tersentak ke samping dengan kuatnya dan membentur batang pohon. Brruk...!

"Uuuh...!" pekiknya dengan darah mengalir dari telinga.

Teees, tees...! Trak, trak...!

"Aaow...!" Wabah Langit memekik panjang karena mata kakinya dihantam dengan sentilan maut Pendekar Mabuk itu. Kedua mata kaki bagaikan pecah, Wabah Langit jatuh terduduk sambil menyeringai menahan sakit.

Pendekar Mabuk sengaja hentikan serangannya, namun ia tetap waspada, sewaktu-waktu Wabah Langit ingin lepaskan jurus 'Tongkat Seribu' lagi, ia akan menyentil pergelangan tangan itu dari jarak enam langkah.

"Jahanam kau! Hmmmrrr...!" geram Wabah Langit sambil berusaha berdiri, namun jatuh kembali. Seluruh tulang dan urat kaki bagaikan putus.

"Aku tak mengawalinya, Pak Tua!" ujar Suto Sinting. "Kau yang mengawali permusuhan ini, sehingga aku terpaksa sekali melumpuhkanmu, Pak Tua!"

"Aku belum lumpuh, Setan Belang! Aku masih bisa memecahkan batok kepalamu dari sini!"

"Apa salahku sehingga kau tiba-tiba menyerangku, Wabah Langit?!"

"Aku sudah bersumpah akan membunuh orang Bukit Lahat dengan cara menyiksanya lebih dulu, seperti mereka menyiksa cucuku hingga tewas!"

"Kalau begitu kau salah duga, Ki Wabah Langit," ujar Suto mulai mengurangi ketegangannya. "Aku bukan orang Bukit Lahat!"

"Jangan dustai dirimu sendiri kalau kau tak berani hadapi dendamku ini, Kunyuk!"

"Aku memang bukan orang Bukit Lahat! Justru aku ingin pergi ke Bukit Lahat untuk mengejar si Bayangan Setan itu!"

Wabah Langit diam sejenak, namun masih keluarkan geram yang membuat Mahesa Gibas merinding lagi, walau tetap bersembunyi di balik pohon besar itu. Pandangan mata Wabah Langit masih tetap tajam dan memancarkan dendam, namun beberapa kejap kemudian ekspresi wajah itu mulai tampak ragu-ragu.

* * *

DUA

PONDOK kayu di dalam hutan mempunyai menara pengawas cukup tinggi. Menara pengawas itu terbuat dari empat batang pohon kelapa yang diberi tangga dari akar-akaran. Bagian atasnya dibangun sebuah gubuk kecil yang teduh dan nyaman beratap rumbia. Pondok yang memiliki menara pengawas cukup tinggi itu adalah kediaman si Wabah Langit.

Hari itu, Pendekar Mabuk dan Mahesa Gibas dibawa kepondok tersebut setelah Wabah Langit percaya bahwa Suto dan Mahesa Gibas bukan orangnya si Bayangan Setan. Rupanya lelaki tua itu menyimpan dendam kepada si Bayangan Setan, sehingga ia menjadi cepat curiga terhadap orang yang ingin menuju ke Bukit Lahat.

"Hutan ini adalah lereng terendah untuk menuju ke Bukit Lahat," ujar si Wabah Langit setelah lukanya disembuhkan dengan meminum tuaknya Suto. Tentu saja Suto pun mengobati dirinya dengan meminum tuak itu juga.

"Berapa lama Ki Wabah Langit tinggal di sini?!"

"Hampir dua puluh empat purnama. Kubangun pondok ini sebagai tempat untuk menghadang orang-orang yang datang dan pergi dari Bukit Lahat! Selama ini aku mengincar si Bayangan Setan, namun tak pernah berhasil berhadapan dengannya. Dia memang licik, gerakannya cepat dan menyerupai hantu tanpa wujud."

Mahesa Gibas ikut dengarkan kata-kata Wabah Langit, namun posisi duduknya yang bersila tetap berada di belakang Suto Sinting, ia masih takut terhadap tokoh tua yang galak dan kasar itu. Bahkan kadang ia menjadi merinding sendiri jika bertepatan adu pandang dengan Wabah Langit.

"Maafkan aku kalau tadi aku telah bertindak bodoh dengan menyerangmu! Kusangka kau adalah orangnya si Bayangan Setan!" tutur Wabah Langit dengan sikap ksatria sekali.

"Semua ini ada manfaatnya, Ki. Tak perlu kau sesali hal itu. Aku lebih suka jika kau mau menceritakan apa yang kau ketahui tentang si Bayangan Setan itu," ujar Suto Sinting dengan sikap menghormat sekali.

"Aku pernah punya cucu tunggal bernama Danang Pradana! Ia kubesarkan sejak usia delapan tahun, yaitu sejak kedua orangtuanya tewas karena bencana alam. Danang Pradana tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan sepertimu. Tapi pada suatu hari, ia diculik oleh si Bayangan Setan dengan bujukan mesumnya. Kuakui, cucuku memang mata keranjang, sehingga mudah jatuh dalam rayuan seorang perempuan. Entah sifat siapa yang diwarisinya itu."

"Mungkin sifat kakeknya," celetuk Mahesa Gibas pelan sekali.

Tapi karena jarak mereka dengan Wabah Langit hanya dua langkah, maka celetukan itu didengar oleh si Wabah Langit. Pak tua itu memandang Mahesa Gibas dengan tajam, membuat Mahesa Gibas salah tingkah menyembunyikan rasa takutnya. Akhirnya ia bergeser ke kiri agar wajahnya tertutup punggung Suto.

Wabah Langit berkata datar, "Semasa masih muda memang aku mata keranjang, tapi sekarang sudah tidak lagi! Catat dalam otakmu, Bocah terkutuk: sekarang sudah tidak lagi!"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum kalem, padahal ia ingin tertawa lepas melihat keangkeran si Wabah Langit yang menurutnya angker-angker kocak itu.

"Sejak cucuku diculik, aku selalu mengejar si Bayangan Setan, tapi tak pernah berhasil menangkapnya. Bahkan memergoki wujudnya pun tak pernah. Tapi menurut beberapa orang yang pernah melihat wujudnya, si Bayangan Setan adalah seorang wanita cantik yang menggiurkan dengan tato gambar kupu-kupu di pahanya."

"Kupu-kupunya betina atau jantan?" sela Mahesa Gibas, bagai celetukan tak sengaja.

Wabah Langit menyentak, "Aku tak sempat memeriksanya, Tolol!" Setelah diam sesaat, ia berkata lagi, "Mungkin aku tak akan sanggup memeriksa tato di paha, sebab letaknya dekat dengan pusat tegangan tinggi."

Pendekar Mabuk tertawa pelan, ditahan agar tak lebih keras dari itu. Sementara si Mahesa Gibas cekikikan di belakang Pendekar Mabuk, dan Wabah Langit tetap berwajah angker, tanpa senyum sedikit pun, namun tak setegang tadi.

"Sejak cucuku dibawa lari oleh si Bayangan Setan, aku selalu memburunya, sampai terakhir kali kudengar ia bersarang di Bukit Lahat. Kucoba menyelidiki Bukit Lahat, tapi tak pernah kutemukan dimana letak sarangnya itu. Satu-satunya jalan, kuhadang dia di sini. Kubangun pondok ini dan akan kutinggalkan setelah si Bayangan Setan berhasil kubunuh."

"Tentang nasib cucumu sendiri itu bagaimana, Ki?" tanya Suto.

"Kabar yang kudengar dari seorang anak buah si Bayangan Setan yang berhasil kucederai itu, ia mengatakan bahwa Danang Pradana telah dibunuh, sebagian dagingnya dimakan oleh perempuan itu. Bejat sekali perempuan itu! Jahanam tingkat tinggi dia!" geram si Wabah Langit sambil matanya menerawang penuh kobaran api dendam kesumat yang agaknya sulit dipadamkan. "Selama aku di sini, sudah lebih dari dua puluh orangnya si Bayangan Setan yang mati kubunuh dan mayatnya kubuang ke jurang sebelah timur sana. Setiap orang Bukit Lahat yang berpapasan denganku tak pernah kuberi kesempatan berumur panjang. Tapi selama ini, si Bayangan Setan tak pernah berhasil kupergoki. Itu yang membuatku jengkel dan penasaran, sehingga bertekad tetap di sini sebelum bertemu Bayangan Setan!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut dan menggumam lirih. Setelah sama-sama bungkam beberapa helaan napas, Suto pun mulai perdengarkan suaranya lagi. "Tahukah kau tentang Samudera Kubur yang dulu menjadi pusat kekuasaan si Bayangan Setan?!"

"O, yang ada di Pulau Blacan?! Itu sudah tak ada. Sudah hancur dan membuat si Bayangan Setan mengungsi berpindah-pindah tempat, sampai akhirnya ia temukan Bukit Lahat sebagai tempat yang mungkin menurutnya cukup aman untuk bersembunyi sambil menyusun kekuatan kembali."

"Beberapa hari yang lalu kudengar ia perintahkan orang-orangnya yang menyerang Kadipaten Madusari untuk kembali ke Samudera Kubur. Lalu..."

"Bukit Lahat adalah Samudera Kubur!" sahut Wabah Langit.."Baginya, di mana ia tinggal, di situlah Samudera Kubur. Mereka tak pernah menyebut Bukit Lahat. Mereka menyebutnya Samudera Kubur. Sebab dimana mereka tinggal, tempat itu akan menjadi kuburan bagi tulang-tulang para korbannya. Tulang-tulang itu sangat banyak dan menyerupai samudera, sehingga di mana mereka tinggal, tempat itu akan disebut sebagai Samudera Kubur."

"Oooo...," Suto Sinting manggut-manggut. Kini ia telah mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sendiri tentang Samudera Kubur dan masa kehancuran Samudera Kubur delapan tahun yang silam. "Kalau begitu, Rama Jiwana dibawanya ke Bukit Lahat, bukan ke Pulau Blacan?!" ujar Suto. Tadi ia telah ceritakan misinya sebelum dibawa ke pondok, termasuk tentang Andani.

"Ya. Tetapi jika kau tadi bercerita pernah bertemu dengan wanita cantik bertato kupu-kupu di pahanya dan dia dalam keadaan sendirian, itu berarti Rama Jiwana telah dibunuhnya, dimakan sebagian dagingnya, lalu dikubur seenaknya sisa tulang dan daging si Rama Jiwana itu. Selama ia bersama pria yang sedang digandrunginya, ia tak akan mencari lelaki lain. Keterangan itu kudapat dari salah seorang pengikutnya yang pernah kusiksa."

"Bagaimana menurutmu jika aku pergi ke Bukit Lahat itu, Ki?"

"Kau tidak akan menemukan apa-apa, selain beberapa gundukan tanah yang jika dibongkar berisi tulang belulang para korban Bayangan Setan! Salah-salah kau akan masuk dalam perangkapnya dan tertawan oleh si perempuan cantik berjiwa setan itu!"

Setelah diam sesaat, Pendekar Mabuk ajukan tanya lagi, "Kupikir, bukit itu harus dihancurkan hingga rata dengan tanah. Bagaimana pendapatmu jika kulakukan hal itu, Ki?"

"Jangan! Salah-salah tindakanmu akan merenggut korban yang tak tahu-menahu tentang si Bayangan Setan," jawab Wabah Langit dengan mata cekung masih tetap memandang dengan tajam dan menyeramkan. "Kalau tak memperhitungkan timbulnya korban tak bersalah, sudah dari dulu kulakukan hal itu terhadap Bukit Lahat. Tapi di seberang Bukit Lahat, ada perkampungan penduduk yang seluruh penghuninya terserang penyakit kusta. Mereka sengaja menghabiskan sisa hidupnya di perkampungan itu. Jika bukit tersebut kau hancurkan, maka ledakannya akan menimbun perkampungan orang-orang kusta itu. Kasihan mereka."

Pendekar Mabuk manggut-manggut. Dalam hatinya sempat bergumam, "Ternyata orang ini punya hati yang lembut dan tidak seburuk rupanya, ia memang tampak galak, angker, dan kasar, namun sebenarnya jiwanya selembut sutera. Tak kusangka Wabah Langit punya perhitungan sematang itu."

Tiba-tiba Mahesa Gibas angkat bicara, khususnya ditujukan kepada Suto. "Mungkin si Bayangan Setan bersembunyi di kampung kusta itu. Soalnya kalau dia ada di sana, orang-orang yang sehat seperti kita tak ada yang berani mendekati perkampungan itu, karena takut tertular penyakit kusta!"

Wabah Langit menyahut, "Mana mungkin! Apakah kau pikir si Bayangan Setan tidak takut ketularan penyakit kusta juga?"

"Lho, siapa tahu dia punya baju anti kusta?!" Mahesa Gibas agak ngotot.

"Baju anti senjata tajam memang pernah kudengar. Ilmu anti senjata tajam juga pernah kudengar. Tapi kalau baju anti kusta itu... nenekmu yang merajutnya, ya?!" kata Wabah Langit dengan nada dongkol, membuat Suto Sinting akhirnya tertawa walau tak bersuara keras. Mahesa Gibas cemberut dan tundukkan kepala, karena mata tajam si Wabah Langit tertuju kepadanya.

Ketika mereka sama-sama bungkam dan keheningan tercipta beberapa saat, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara jeritan yang memanjang. Jeritan itu berasal dari tempat yang tak begitu jauh. Mereka bertiga terperanjat kaget dan saling pandang.

"Suara jeritan?!" ucap Mahesa Gibas dengan tegang.

"Itu suara jeritan, bukan suara jahitan. Tolol!" bentak Wabah Langit.

Mahesa Gibas ingin ngotot membenarkan ucapannya, tapi Pendekar Mabuk memberi isyarat agar hal itu tak perlu dibahas. Mereka segera keluar dari pondok.

Blegaaarrr...!

Baru saja mereka tiba di depan pondok, mereka disambut oleh suara ledakan yang menggetarkan tanah bagai dilanda gempa. Wabah Langit bicara sendiri.

"Sepertinya berasal dari perkebunan rumputku!"

Baru saja Suto Sinting ingin menanyakan tentang perkebunan rumput itu, tahu-tahu Wabah Langit telah sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke atas dalam gerakan bersalto naik beberapa kali.

Wuuuk, wuk, wuk, wuk, wuk...!

Dalam sekejap ia sudah tiba di atas menara pengawas. Bahkan sempat sedikit merusakkan tepian atap gubuk pengawas itu. Rupanya dari atas menara pengawas itulah si Wabah Langit mengintai mangsanya, menunggu lewatnya si Bayangan Setan.

"Orang tua itu goblok, ya?" ujar Mahesa Gibas kepada Suto. "Buat apa diberi tangga dari akar kalau naiknya ke sana pakai lompatan begitu?!"

"Keadaan darurat, jadi dia melakukannya dengan ilmu peringan tubuh!"

"Kurasa dia cuma pamer ilmu di depanmu, Suto. Dia sangka kau tidak bisa lakukan hal itu."

"Hmmm...!" Suto hanya tersenyum tawar.

"Atau mungkin kau memang tak bisa melakukannya?"

"Mungkin tak bisa!" jawab Suto yang tak mau tergoda oleh bujukan Mahesa Gibas untuk bersaing dengan ilmunya Wabah Langit.

"Suto, naiklah! Ada pertarungan di perkebunan rumputku itu. Barangkali kau mengenali mereka yang sedang bertarung!" seru Wabah Langit.

"Baik, Ki. Aku akan menyusulmu," jawab Suto, dan Mahesa Gibas tampak ceria girang, ia mundur beberapa langkah memberi tempat pada Suto Sinting untuk lakukan lompatan seperti Wabah Langit tadi.

"Ayo, Suto...! Lakukan seperti dia tadi!"

Suto mundur beberapa langkah, bersiap untuk melompat. Mahesa Gibas menghitung. "Satu... dua... tiga, huuup...!"

Pendekar Mabuk berlari tiga langkah, lalu menyambar tangga akar dan mendaki tangga seperti layaknya orang tak berilmu.

"Huuuh...! Kukira mau lompat pakai tenaga peringan tubuh, tak tahunya cuma mau menyambar tangga dan naik seperti beruk memanjat pohon kelapa! Sial!" gerutu Mahesa Gibas dengan bersungut-sungut.

Di atas menara pengawas, Wabah Langit menunjukkan tempat pertarungan tersebut. Pendekar Mabuk melihat dua orang bertarung di padang rumput. Mereka tampak jelas sekali, karena tak ada pohon ataupun batu yang mengganggu pandangan mereka.

"Aku tidak kenal siapa mereka, siapa tahu kau mengenalinya."

"Hmmm... aku hanya mengenali yang berbaju kuning itu, Ki."

"Siapa yang berbaju kuning itu?!"

"Dia salah satu orang kepercayaan si Bayangan Setan yang bernama Melon Kuning!"

"Dia kekayaan si Bayangan Setan?!"

"Orang kepercayaan!" ralat Suto agak keras. "Ooh...?! Haram jadah kalau begitu!"

"Bukan! Namanya bukan haram jadah, tapi Melon Kuning!"

"Iya, aku dengar!" sentak Wabah Langit. "Tapi orang itu adalah haram jadah! Artinya harus kumusnahkan secepatnya. Apalagi dia menginjak-injak perkebunan rumputku, itu sama saja menginjak-injak nasiku!"

"Nasi...?!" gumam Suto heran.

"Sebelum si Bayangan Setan mati, aku tak akan makan nasi. Aku akan makan rumput! Oleh sebab itu, kupiara rumput-rumput itu sebagai makananku jika aku merasa lapar!"

Blaaap...! Tiba-tiba orang tua itu lenyap dengan tinggalkan letupan kecil yang berasap sangat tipis. Suto Sinting sempat kaget dan kebingungan sendiri, ia mencari ke bawah, yang ada hanya Mahesa Gibas.

"Wabah Langit ada di situ, Mahesa?!"

"Tidak ada! Bukankah dia ada di atas bersamamu?"

"Hilang...!"

"Wah, mungkin digondol codot!"

Pendekar Mabuk memandang ke arah padang rumput karena mendengar suara ledakan tadi. Ternyata Wabah Langit sudah ada di sana. Mata Suto terkesiap dan hati pun membatin, "Gila! Ternyata dia punya ilmu tinggi juga. Tahu-tahu sudah berada di sana. Seperti ilmunya Batuk Maragam: sejauh mata memandang, sejauh itu pula ia bisa pindah tempat dalam sekejap. Oh, aku akan ke sana untuk melihat lebih dekat lagi!"

Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!

Suto Sinting menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Pucuk-pucuk dedaunan dijadikan tempat berpijak tanpa membuat daun-daun itu bergerak. Ilmu peringan tubuhnya kali ini digunakan pula tanpa kesan pamer kepada Mahesa Gibas atau si Wabah Langit. Dalam sekejap ia sudah tiba di ladang rumput. Tapi Mahesa Gibas tak mengetahui hal itu.

Melon Kuning nyaris berhasil membunuh si gadis yang menjadi lawannya. Tendangan mautnya yang dapat keluarkan cahaya merah menyebar itu telah berhasil kenai dada si gadis berbaju hitam dan bercelana sebetis warna hitam pula. Cahaya merah menyebar mempunyai kekuatan yang membakar sekaligus menghancurkan benda apa pun yang dikenainya.

Dada si gadis tampak hitam sampai sebatas leher dan berlubang-lubang sebesar paku. Gadis itu terkapar di rerumputan dalam keadaan sekarat. Melon Kuning lakukan lompatan bersama pedangnya yang siap dihujamkan ke perut si gadis. Tapi pada waktu itu sebuah tenaga padat menghantamnya, buekh...! Melon Kuning yang bertubuh tegap dan kekar itu terpental sejauh sepuluh langkah.

Weees...! Brrruk...!

Saat itulah ia melihat seraut wajah tua yang angker berjubah biru dengan ikat kepala putih. Wabah Langit memandanginya penuh kobaran api dendam, ia tak pedulikan keadaan si gadis. Seluruh perhatiannya terpusat pada lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang mengenakan pakaian serba kuning itu.

Lelaki itu bangkit sambil menggeram setelah terbanting bagaikan karung beras dilemparkan dari atas punggung kuda. Matanya yang kecil memandang ganas kepada Wabah Langit. Pedangnya digenggam lebih kuat lagi, sambil suaranya berseru dengan lantang.

"Siapa kau, Tua sekarat?!"

Wabah Langit tidak menjawab, justru balik bertanya, "Benarkah kau orangnya si Bayangan Setan?!"

"Benar!" jawabnya tegas. "Kalau kau ingin kenal denganku, akulah si Melon Kuning, orang andalan Bayangan Setan!"

Tanpa banyak bicara lagi, Wabah Langit menerjang Melon Kuning dengan tongkat dihentakkan ke depan. Wesss, suuut...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar biru lurus. Claaap...! Melon Kuning menghadang sinar biru itu dengan pedangnya, sehingga sinar itu bukan menghantam dada melainkan menghantam pedangnya yang mengeluarkan asap kuning.

Blaarr...!

Melon Kuning terlempar oleh gelombang ledakan yang timbul dan sempat menggertakkan padang rumput itu. Wabah Langit hanya terpelanting ke belakang, namun tak sempat jatuh, ia tertumpu pada tongkatnya hingga tetap berdiri dengan kaki sedikit ditekuk.

Pada saat itu, Pendekar Mabuk tiba di tempat dan segera menolong gadis berbaju hitam. Mulut si gadis yang tercengap-cengap dalam keadaan nyawa hampir lepas itu segera diguyur dengan tuak. Sebagian tuak tertelan oleh si gadis. Kejap berikutnya, gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk. Namun luka hangusnya mulai menyurut, lubang-lubang sebesar paku mulai merapat.

Pendekar Mabuk tak risaukan gadis itu lagi. Kini perhatiannya tertuju ke arah pertarungan Wabah Langit dengan Melon Kuning. Agaknya Wabah Langit tak ingin beri kesempatan kepada orangnya si Bayangan Setan sedikit pun. Ia segera menyerang dengan kibasan tongkatnya.

Wuut, wuuut, wuuut...!

Setiap kibasan tongkat menaburkan serbuk putih berkilauan. Serbuk itu jelas serbuk beracun. Tapi Melon Kuning segera sentakkan tangan kirinya yang menyemburkan asap kuning bersama cukup kencang. Woooss...! Serbuk mengkilap itu berbalik menerjang Wabah Langit. Werrss...!

"Aaakh....!" Wabah Langit memekik sambil terhuyung-huyung mundur. Matanya menjadi buta, tubuhnya mulai berasap, ia terkena jurus mautnya sendiri.

"Terimalah ajalmu ini, Tua Keropos! Heaaah...!" Melon Kuning lakukan lompatan cepat dengan pedang berasap kuning ditebaskan ke arah kepala Wabah Langit.

Wuuuut...!

Namun sebelum pedang itu membelah kepala si Wabah Langit, Pendekar Mabuk sudah lebih dulu berkelebat menerjang bersama bumbung tuaknya.

Zlaaap...! Traaang...!

Pedang itu mengenai bumbung tuak, memercikkan bunga api yang menyambar ke wajah si Melon Kuning sendiri. Wuurrs...!

"Aaaow...!"

Dan kaki Suto Sinting menendang dengan cepat ke dada Melon Kuning. Dees...! Wuuut, brruk...! Melon Kuning jatuh terkapar dalam jarak tujuh langkah. Pendekar Mabuk segera daratkan kakinya ke tanah, lima langkah dari samping kanan si Wabah Langit.

Pada saat itu, Wabah Langit mengerjap-ngerjapkan matanya. Mata itu mengucurkan darah bersama kulit tubuhnya yang mulai mengelupas mengerikan. Namun samar-samar ia masih bisa melihat bayangan warna kuning yang segera bangkit dari kejatuhannya. Wabah Langit segera sentakkan tongkatnya sambil kakinya menghentak ke bumi.

Duuuhk, wwesss...!

Claap... ! Seberkas sinar biru berbentuk bintang melesat dari kepala tongkat tersebut. Sinar itu sangat cepat dan tak sempat ditangkis maupun dihindari oleh Melon Kuning yang baru saja bangkit itu. Crrraas...!

"Aaakhrrr...!" Sinar biru berbentuk bintang menerjang leher Melon Kuning. Leher itu langsung putus tanpa permisi lagi. Tak ada ledakan, tak ada suara apa pun kecuali suara napas yang serak dari mulut Melon Kuning. Kejap berikut, kepala si Melon Kuning jatuh dan menggelinding di rerumputan. Bluuuk...!

Sedangkan sinar biru berbentuk bintang itu melayang memutar arah dan ketika Wabah Langit mengangkat tongkatnya dengan kepala tertunduk, sinar biru itu masuk kembali ke kepala tongkat yang berbentuk bintang. Suuurb...!

"Oouh...!" Wabah Langit sendiri jatuh berlutut, kekuatannya semakin menipis menahan rasa sakit. Kulit tubuhnya makin mengelupas, menampakkan rona merah daging yang mengerikan.

"Ki Wabah Langit...?!" sentak Suto Sinting dengan tegang, ia buru-buru hampiri orang tua itu, tapi tak tahu harus memegang bagian apanya, karena semua kulit tubuh mengelupas dan tentu saja sangat perih. "Tengadahkan kepalamu, buka mulutmu, lekas lakukan, Ki!"

Suto Sinting tampak panik sekali. Untung si Wabah Langit mau lakukan perintah itu, sehingga Suto Sinting segera menuangkan tuaknya ke mulut si Wabah Langit.

Si gadis berpakaian hitam itu segera hampiri Wabah Langit. Rupanya ia telah sehat, tak merasakan sakit sedikit pun, bahkan ia merasa tubuhnya lebih segar dari sebelumnya. Langkahnya terhenti ketika matanya beradu pandang dengan Suto Sinting, ia terperangah dengan bibir ranumnya yang menggairahkan itu merekah indah.

"Oooh...?!" mata bundar bening itu pun terbelalak ketika Suto Sinting sunggingkan senyum tipis kepadanya.

"Kalau boleh kutahu, siapa namamu, Nona?" tanya Suto Sinting tanpa pedulikan si Wabah Langit yang jatuh tersungkur ke depan setelah menenggak tuaknya Suto beberapa teguk tadi.

"Ehhmmm, eeeh, hhmm...," lidah itu bagaikan kelu.

"Jangan gugup. Tenang saja!" ujar Suto sambil mendekatinya. Gadis itu semakin grogi dan salah tingkah. "Namaku Suto Sinting. Namamu...?"

"Suto Sinting. Eh, anu... hmmm... ehhh."

Pendekar Mabuk akhirnya tertawa geli walau tanpa suara. Si gadis semakin tersipu dan wajahnya yang berkulit kuning langsat itu menjadi berwarna merah dadu. "Namaku Suto Sinting," ulang Suto kalem. "Namamu siapa, Nona cantik?"

"Namaku cantik, ehh, anu... bukan. Tapi, iya ehhh, bukan, bukan...!"

"Lucu sekali gadis ini," pikir Suto. "Segagap itukah ia jika bertemu dengan seorang pemuda?"

* * *

TIGA

MEREKA bermalam di pondok si Wabah Langit. Ternyata gadis cantik berhidung bangir itu bernama Mayangsita. Ia bisa menyebutkan namanya setelah Wabah Langit yang menanyakan nama itu. Anehnya jika ia diajak bicara oleh Mahesa Gibas, ia dapat menjawab selancar bicara dengan Wabah Langit. Tapi jika Suto Sinting yang ajukan tanya atau mengajak bicara, Mayangsita selalu gugup dan sering latah dalam memberi jawaban.

"Mengapa bisa begitu?" tanya Mahesa Gibas dengan senyum-senyum dan matanya mengerling mirip orang cacat.

"Aku... aku memang selalu gugup jika berhadapan dengan pemuda tampan. Terlebih jika hatiku berdebar-debar penuh keindahan, aku jadi salah tingkah dan sepertinya seluruh kata-kata hilang dari ingatanku," jawab Mayangsita dengan lancar.

"Mengapa kau bisa bicara lancar denganku?" tanya Mahesa Gibas.

Suto Sinting yang diam-diam menguping percakapan bisik-bisik itu segera menyahut, "Karena kau jelek!"

Lalu, tawa Suto terdengar saat Mahesa Gibas menggerutu tak jelas sambil cemberut. Wabah Langit yang berwajah seram itu justru tidak membuat gugup si Mayangsita. Ketika ditanya asal-usulnya dengan suara menggeram angker, Mayangsita dapat menjawab dengan lancar pula.

"Aku dari Lembah Randu, murid Eyang Panujum."

"Panujum?!" Wabah Langit menyentak karena kaget. Suaranya yang serak menyeramkan itu membuat Mahesa Gibas terlonjak dalam keadaan bersila. Akhirnya ia tertawa sendiri cekikikan sambil berlindung di belakang Suto Sinting yang juga tersenyum-senyum menahan tawa. Mahesa Gibas segera hentikan tawanya ketika mata angker si Wabah Langit menatap kearahnya.

"Bocah terkutuk! Ada orang tua kaget ditertawakan!" geram Wabah Langit dalam gerutu.

"Mengapa kau terkejut mendengar nama guruku, Ki Wabah Langit?"

"Semasa muda, aku belajar jurus pedang dari si Panujum. Usianya lima belas tahun lebih tua dariku. Sejak peristiwa Geger Teluk Sakar, kami berpisah dan sejak itu tak pernah berjumpa lagi."

"Oh, kalau begitu alangkah senangnya Eyang Guru jika beliau tahu aku telah bertemu dengan sahabat lamanya dan Salting, eh... Suto Siring, eh... Suto... Suto."

"Suto Sinting!" tegas Mahesa Gibas.

"O, iya...! Suto Sinting!" lalu Mayangsita tersenyum malu, tak berani melirik Pendekar Mabuk yang ada di samping kirinya, sama-sama menghadap si Wabah Langit. "Apakah gurumu tahu kalau kau berada di sini?" tanya Wabah Langit.

"Tidak. Aku sengaja pergi mengejar begundalnya si Bayangan Setan tanpa pamit kepada Eyang Guru. Sebab jika aku pamit kepada beliau, pasti tak akan diizinkan."

"Kalau begitu kau adalah murid yang bandel, Mayangsita!"

"Aku terpaksa membandelkan diri," jawabnya terus terang.

"Mengapa kau sampai nekat mengejar si Melon Kuning?" kali ini Suto yang bertanya.

Untuk hindari kegugupannya, Mayangsita menjawab dengan wajah tertunduk, tak berani melirik Suto sedikit pun. "Ia melumpuhkan kakak lelakiku yang bernama Kumbara, lalu menyerahkannya kepada perempuan cantik yang bertato kupu-kupu di pahanya. Menurut Eyang Guru perempuan itu berjuluk si Bayangan Setan yang sulit ditumbangkan."

"Kapan hal itu terjadi?" potong Suto.

"Tiga purnama yang lalu," jawab Mayangsita masih tetap menunduk. "Maka ketika aku melihat si lelaki berpakaian kuning itu menyeberangi Sungai Kapas, aku segera memburunya!"

"Cukup berani juga kau, ya?" ujar Pendekar Mabuk sambil manggut-manggut. Mayangsita tetap tundukkan wajah, tak berani melirik Suto karena takut menggeragap lagi.

Wabah Langit berkata, "Lain kali kau tak boleh sebodoh itu, Mayangsita! Kau bisa modar di tangan orang berpakaian kuning tadi. Untung saja ada aku dan Suto Sinting. Bahkan jika tak ada Suto Sinting, agaknya aku pun akan mengalami cedera melawan si Melon Kuning tadi! Kita patut bersyukur dan berterima kasih dengan adanya Suto Sinting di tempat ini!"

"Lupakan tentang pertolonganku itu," sahut Suto. "Kulakukan karena sudah merupakan kewajibanku sesuai ajaran Guru."

"O, aku belum sempat mengenal siapa gurumu, Suto. Melihat gerakanmu yang sangat cepat dan kesaktian tuak di dalam bumbung bambu itu, aku jadi ingin tahu siapa gurumu sebenarnya?" tanya si Wabah Langit.

"Guruku orang biasa-biasa saja, Ki. Ia dikenal dengan nama si Gila Tuak."

"Hahhh...?!" Wabah Langit tersentak dan lebarkan mata. Mahesa Gibas terlonjak lagi karena kaget.

"Mengapa kau terkejut sekali mendengar nama guruku, Ki? Apakah kau juga mengenal beliau?"

"Siapa orang yang tak kenal nama si Gila Tuak, tokoh tertinggi di rimba persilatan ini?! Semua orang mengenalnya, termasuk aku. Tapi aku sangat tidak menduga kalau kau adalah muridnya Kakang Sabawana alias si Gila Tuak itu."

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum wajar, ia melirik Mayangsita, ternyata gadis itu sedang menatapnya dengan mata tak berkedip dan bibir merekah pertanda terbengong sejak tadi. Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum. Jari tangannya usil menyentil bibir itu. "Kenapa bengong?!"

"Kaa... kalau begitu kau... kau adalah Pendekar Bauk, ehhh... Pendekar Mabur, eeh... Pendekar Tubruk, eeeh, hmm... Pendekar..."

"Pendekar Mabuk!" sentak Mahesa Gibas membetulkan.

"Iiiy... iya yang kumaksud nama itu tadi!"

"Pendekar apa tadi?!" goda Mahesa Gibas.

"Pendekar Sabuk,eeh. "

"Nah, salah kan? Ikutiaku... Pendekar..."

"Pendekar "

"Mabuk"

"Mabuk," Mayangsita menirukan. "Pendekar apa tadi?"

"Pendekar Serbuk, eh, anu... maaf, Pendekar..."

"Sudah, sudah...!" bentak Wabah Langit kepada Mahesa Gibas. "Jangan digoda terus!"

"Iya, jangan!" sahut Mayangsita dengan latah.

"Nanti dia malu!"

"Malu sekali! Eh, anu, maaf...!" sambil matanya melirik Suto dan salah tingkah. Akhirnya Mayangsita buang muka ketika Suto Sinting tertawa tanpa suara dan sengaja alihkan pandangannya ke arah Wabah Langit.

"Sebaiknya antar gadis itu pulang ke Lembah Randu. Jangan sampai ia menjadi korban keganasan si Bayangan Setan dan para pengikutnya."

Mahesa Gibas langsung menyahut, "Baik, aku akan mengantarkannya!"

"Aku bicara kepada Suto!" bentak Wabah Langit.

Mahesa Gibas mengkerut seperti kerupuk terkena udara dingin. "Lembah Randu tak seberapa jauh dari sini jika memotong jalan menyeberangi Sungai Kapas," tambah si Wabah Langit.

"Aku tidak mau pulang!" sahut Mayangsita dengan memandang tegak kepada Wabah Langit.

"Jangan bandel kau, Mayangsita! Kau murid sahabatku, dan kuanggap muridku sendiri! Kau harus pulang demi keselamatanmu!"

"Tidak! Aku tidak akan pulang sebelum membunuh si Bayangan Setan dan merebut kakakku dari tangannya!"

"Kakakmu sudah mati!"

"Tidak! Kumbara belum mati! Pasti dia sedang berusaha membebaskan diri dan butuh bantuan!"

"Dari mana kau tahu?!"

"Firasatku mengatakan demikian, Ki!"

"Bodoh!" bentak Wabah Langit dengan mata cekung melebar. "Jangan mau mati konyol melawan orang yang tidak sebanding dengan ilmu yang kau miliki, Mayangsita!"

Gadis itu bangkit berdiri dengan cemberut. "Aku tetap tidak mau pulang! Aku rela mati demi membela kakakku!"

Wabah Langit pun berdiri dengan berang. "Gadis tolol! Walau kau mati, Kumbara belum tentu selamat! Jadi buat apa mati demi yang sudah telanjur mati! Kecuali kau punya siasat untuk loloskan diri jika terancam bahaya, itu tak jadi soal! Tapi kalau kau tak punya siasat dan hanya modal nekat, sama saja mati gantung diri!"

"Tapi... tapi aku sayang kepada Kumbara, dia... dia satu-satunya saudaraku...." Mayangsita mulai tampak lelehkan air mata dukanya. "Kalau... kalau dia tewas, aku tak punya siapa-siapa lagi! Lalu, untuk apa aku hidup tanpa saudara dan keluarga..."

Mayangsita menangis, kemudian buru-buru keluar dari pondok. Pendekar Mabuk bergegas menyusulnya. Mahesa Gibas juga menyusulnya. Tapi tiba-tiba baju belakangnya dicekal oleh Wabah Langit.

"Biarkan Suto yang menangani tangisnya! Kau duduk di sini saja bersamaku!"

"Yaaah, apesss...!" keluh Mahesa Gibas, mau tak mau menurut apa perintah si wajah angker itu.

"Melumpuhkan si Bayangan Setan, tidak semudah melumpuhkan si Melon Kuning atau yang lainnya! Perlu dipelajari berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Salah langkah sedikit, nyawa kita melayang. Mengerti?!"

Mahesa Gibas hanya mengangguk dan tetap tertunduk dengan hati dongkol.

"Karena itu, kau harus selalu ingatkan Suto Sinting agar segala langkahnya harus diperhitungkan masak-masak. Jangan sampai ia melangkah secara gegabah, akhirnya akan menjadi santapan empuk bagi si Bayangan Setan!"

Mahesa Gibas mengangguk sambil menahan rasa merinding di kuduknya.

Pendekar Mabuk sempat clingak-clinguk dibuat bingung setelah sampai di luar pondok. Yang ada hanya kegelapan, sedangkan Mayangsita tak terlihat di sudut mana pun. Bahkan suara tangisnya tak terdengar. Pendekar Mabuk mencoba melangkah ke samping pondok, bahkan sampai mengitari pondok itu, namun Mayangsita tak berhasil ditemukan, baik orangnya maupun suaranya.

"Kurasa ia kecewa sekali dengan kata-kata Ki Wabah Langit," ujar Suto membatin. "Gadis itu tampaknya benar-benar sedih dan tangisnya itu dapat memaksa dirinya untuk kabur dari pondok ini. Wah, gawat kalau sampai ia kabur! Malam-malam begini, keadaan gelap gulita tanpa sinar rembulan, ke mana arah pelariannya? Salah-salah ia akan terperosok ke jurang sebelah timur sana!"

Pendekar Mabuk menjadi cemas, ia mencoba naik ke menara pengawas, memandang ke arah padang rumput yang tentunya jika ada orang melintas di sana dapat terlihat walau hanya bayang-bayang. Dugaan Suto Sinting ternyata memang benar, ia melihat sesosok bayangan berlari cepat melintasi padang rumput itu.

"Tak salah lagi, pasti itu si Mayangsita! Mau ke mana dia?! Aku harus segera menahan gerakannya agar tak menemui bahaya!"

Zlaaap, zlaaap...! Tanpa pamit Wabah Langit dan Mahesa Gibas, Pendekar Mabuk segera mengejar bayangan yang melintas di padang rumput itu. Ia sengaja tak timbulkan suara, atau memanggil Mayangsita. Sebab dikhawatirkan, jika gadis itu mendengar suaranya, belum tentu akan berhenti, bisa jadi bahkan akan semakin percepat larinya dan sukar ditahan lagi. Namun gerakan Suto Sinting yang menggunakan Jurus 'Gerak Siluman' itu sepertinya tak mampu menyusul kecepatan lari si bayangan tersebut.

Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!

"Gila! Sulit sekali mengejarnya?! Sepertinya dia mempunyai kecepatan gerak yang melebihi jurus 'Gerak Siluman' ku ini?!"pikir Suto Sinting sambil tetap lakukan pengejaran.

Bayangan yang dikejarnya menyelinap ke sana-sini, sehingga sukar dipotong langkahnya. Kadang justru Suto Sinting salah arah karena bayangan itu membelok dengan cepat. Terpaksa ia berbalik lagi dan mengejarnya kembali.

"Gawat! Semakin masuk ke dalam kerimbunan hutan, semakin sukar mataku melihat gerakannya," geram hati Suto mulai jengkel.

Untung saja saat keluar dari pondok tadi, Suto sempat menyambar bumbung tuaknya, ia pikir dengan membujuk Mayangsita untuk meminum tuaknya dapat menghilangkan rasa sedih dan kemarahan si gadis itu. Tapi karena gadis tersebut melarikan diri, maka bumbung tuak itu pun tetap dibawanya dalam lakukan pengejaran. Bumbung itu kini diselempangkan di punggung hingga gerakan Suto menjadi lebih leluasa lagi.

Tanpa disadari, pengejaran itu telah membuatnya jauh dari pondok si Wabah Langit. Semakin jauh keadaan semakin gelap. Bahkan Pendekar Mabuk merasa bergerak sembarangan tapi tidak membentur pohon atau dedaunan sedikit pun. Mungkin karena semakin lama semakin cepat lagi jurus 'Gerak Siluman'- nya yang kecepatannya menyerupai kecepatan cahaya itu, sehingga benda apa pun yang disentuhnya tak sempat dirasakan.

"Aneh! Mengapa sejak tadi aku tidak menabrak sebatang pohon pun? Padahal aku tak melihat di mana ada pohon dan di mana tempat yang kosong?!" pikir Suto Sinting.

Beberapa saat kemudian, ia mulai kurangi kecepatan geraknya sambil membatin, "Wah, sepertinya ada yang tak beres di sekitarku ini? Gelap sekali, mataku seperti telah jadi buta, tak bisa melihat bayangan sedikit pun. Oh, di mana aku sebenarnya?!"

Tangan Suto sengaja meraba-raba sekelilingnya, tapi ia tidak menyentuh pohon maupun dedaunan. Bahkan semak ilalang pun tak tersentuh olehnya.

"Celaka! Apa yang terjadi ini? Kakiku seperti tidak menginjak tanah. Ooh... tak ada sesuatu yang bisa kusampar?!"

Hati pemuda itu mulai berdebar-debar. Tegang. Bumbung tuaknya segera dipindahkan tempatnya dari punggung ke pundak. Talinya dipegang kuat-kuat, sewaktu-waktu tinggal ambil dan dikibaskan ke mana saja, tergantung datangnya bahaya. Ia mempertajam seluruh inderanya, agar cepat bisa mengetahui jika ada gerakan yang mendekatinya.

"Sebaiknya jangan teruskan melangkah sebelum aku tahu di mana keadaanku sekarang ini dan mengapa kakiku bagai tak menyentuh tanah?!" ujarnya membatin sambil hentikan langkah. Dada mulai merasa sakit, pernapasan terasa sesak.

"Sepertinya aku menghirup udara tak sehat! Tubuhku terasa lemas, makin lama paru-paruku semakin berat untuk bernapas. Oh, aku yakin diriku telah berada dalam keadaan yang ganjil. Sebaiknya kuminum dulu tuakku untuk melonggarkan pernapasan ini."

Keganjilan semakin terasa ketika Suto Sinting menenggak tuaknya, gerakan tangannya terasa berat dan lamban. Membuka tutup bumbung pun terasa sulit, walau akhirnya berhasil juga. Tuak berhasil ditenggaknya, tapi ada sisa yang disimpan di mulut. Nalurinya bekerja lebih peka lagi, sehingga tiba-tiba tuak di mulut itu disemburkan ke depan. Jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Bwwwuurss...!

Blaaaar...! Ledakan dahsyat terjadi. Nyala sinar merah menyebar dalam sekejap pada saat ledakan itu menggelegar. Tuak yang disemburkan dengan kekuatan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' itu memercikkan bunga api, dan bunga api itu menimbulkan ledakan saat kenai gumpalan kabut hitam yang ternyata tadi telah membungkus Suto Sinting dan membuat kaki Suto melayang tak menginjak tanah. Tubuh Suto terlempar dan jatuh di semak-semak.

Brruss...! Kini ia dapat merasakan sentuhan pada semak ilalang dan sakitnya paha tertusuk duri. Pandangan matanya pun tak segelap tadi. Bahkan ia dapat melihat sekelebat bayangan yang mendekat. Pendekar Mabuk sempat berpikir,

"Rupanya aku tadi bukan mengejar Mayangsita! Seseorang telah menyerangku dengan jurus anehnya yang membuat tubuhku terbungkus dalam kabut hitam. Pantas pandanganku jadi seperti orang buta dan napasku makin memberat. Untung kabut itu bisa kuhancurkan dengan jurus 'Sembur Bromo Wiwaha'. Kalau tidak mungkin aku bisa... eh, ada yang mendekatiku! Sepertinya bukan sosok bayangan Mayangsita. Bentuk bayangan hitam si Mayangsita tak akan sebesar itu."

Pendekar Mabuk cepat-cepat bangkit. Tapi seberkas sinar merah telah lebih dulu melesat ke arahnya. Sinar itu berbentuk seperti sebatang anak panah yang berpijar-pijar. Claap...!

"Kurang ajar!" geram Suto sambil menyentakkan tangan kirinya, dan dari telapak tangan kiri itu melesatlah sinar hijau ke arah datangnya sinar merah tersebut. Claap, weess...! Jurus 'Pecah Raga' dipergunakan dengan gerakan refleks.

Tapi sinar merah lawan lupa tak dihindari. Ketika sadar, sinar itu sudah berada di depan dadanya. Pendekar Mabuk segera limbung ke kanan. Jrras...!

"Aaaakh...!" sinar merah itu menghantam tepat di bawah pundak kirinya. Rasa sakit menyengat dari kepala sampai kaki. Saat itu, sinar hijaunya pun mengenai sasaran dengan timbulkan suara ledakan yang menggelegar.

Blagaarr...!

Tapi setelah itu, Pendekar Mabuk tak mampu ingat diri lagi. Ia jatuh di semak-semak yang rimbun dalam keadaan pingsan. Tubuhnya menelungkup, menindih bumbung tuaknya. Untung tutup bumbung tuak tak terbuka, sehingga tuak tak sempat tumpah. Ledakan itu terdengar hingga di pondok si Wabah Langit. Tapi suara ledakan itu sangat pelan, sayup-sayup sekali, sehingga Wabah Langit menyangka ada pertarungan di tempat yang jauh dari pondoknya. Semula ia sempat gelisah, karena Pendekar Mabuk dan Mayangsita tak segera masuk ke pondok, ia ingin memeriksanya, tapi Mahesa Gibas segera beranikan diri berkata.

"Suto pasti mendengar suara ledakan itu. Kalau ledakan itu berbahaya, ia pasti akan memberitahukan kita, Ki!"

Kata-kata yang terlontar seenaknya itu membuat Wabah Langit menjadi ragu untuk memeriksa keadaan di luar pondoknya. Padahal Mahesa Gibas hanya ingin membalas tindakan Wabah Langit yang tadi melarangnya keluar dari pondok saat mau ikut mengejar Mayangsita. Akhirnya mereka berdua duduk kembali dan Mahesa Gibas banyak menerima wejangan dari Wabah Langit. Suka ataupun tidak, Mahesa Gibas terpaksa tetap mendengarkan wejangan tersebut.

Sebenarnya Wabah Langit mulai merasa tak enak dalam hatinya. Seperti ada sesuatu yang meresahkan. Tapi perasaan itu dilawan dengan pertimbangan nalarnya, bahwa Mayangsita kecewa atas kekerasan ucapannya tadi dan sekarang Suto sedang membujuknya. Jika ia ikut keluar, Mayangsita belum terbujuk, maka usaha Suto akansia-sia. Sampai larut malam, Wabah Langit masih banyak berikan beberapa wejangan kepada Mahesa Gibas.

Padahal Mahesa Gibas telah terkantuk-kantuk dan berulang kali menguap. Sampai akhirnya Mahesa Gibas tertidur dalam keadaan duduk bersila dan kepala tertunduk, Wabah Langit masih berceloteh dengan maksud memberikan pengetahuannya kepada Mahesa Gibas. Sekalipun ia tampak keras kepada Mahesa Gibas, namun hatinya sebenarnya merasa berdamai dengan si 'bocah terkutuk' itu.

Ketika matahari mulai bersinar, Wabah Langit jatuh bersandar dinding dalam keadaan tertidur. Pada saat itu pula di balik kerimbunan semak, Pendekar Mabuk baru saja siuman, ia segera menyadari tubuhnya terluka dan luka itu mulai membusuk. Maka ia pun buru-buru meminum tuaknya, sehingga luka itu cepat mengering lalu hilang bagai tak pernah mengalami luka apa pun. Embun pagi yang terserap matahari masih terasa membasah di permukaan dedaunan. Pendekar Mabuk segera ingat peristiwa yang dialaminya semalam.

"Sepertinya pukulan 'Pecah Raga'-ku juga kenai sasaran. Entah apa yang dikenainya, mungkin manusia, mungkin pohon, mungkin juga batu. Tapi sebaiknya kuperiksa sekitar sini untuk mengetahui apa yang telah terhantam oleh jurus 'Pecah Raga'-ku semalam?!"

Ternyata jurus itu telah mengenai seseorang yang berpakaian hijau. Raga orang tersebut dalam keadaan pecah, menyebar ke mana-mana. Namun dari potongan-potongan tubuh yang agak besar, Suto Sinting dapat mengenali siapa orang itu. Terutama setelah ia menemukan sisa potongan topi kain abu-abu kebiruan yang ujungnya berhias bola kain kecil, Suto Sinting yakin betul bahwa orang yang terkena jurus 'Pecah Raga'-nya itu adalah si Gober.

Gober adalah orang andalan si Bayangan Setan juga yang dulu pernah bertarung melawan Suto. Orang berbadan agak gemuk dan berkumis lebat itu pernah menyebarkan kabut beracun yang sempat membuat beberapa penduduk kadipaten nyaris mati keracunan jika tak segera ditolong dengan menggunakan tuak Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Buronan Cinta Sekarat). Saat itu, Gober segera larikan diri karena perintah dari si Bayangan Setan agar mereka segera kembali ke Samudera Kubur.

"Rupanya orang yang semalam kukejar itu adalah si Gober. Pantas ia dapat melawanku dengan menggunakan kabut hitamnya, rupanya kekuatan yang diandalkan selalu dalam bentuk kabut atau asap beracun!"

Dalam renungannya, Suto tak lupa bertanya-tanya, "Kemana perginya si Mayangsita itu? Apakah ia ditangkap oleh si Gober? Tapi tak ada jejaknya di sekitar sini. Dan kulihat bayangan yang kukejar memang sendirian, tidak memanggul seseorang. Mungkin si Gober dalam perjalanan pulang ke Bukit Lahat, dan kebetulan melintasi padang rumput itu lalu kukejar. Dalam kegelapan malam ia sempat melepaskan jurus berkabutnya yang tak kuketahui, dan kabut itu membungkusku beberapa saat."

Kini yang jadi pusat pemikiran Suto adalah perginya Mayangsita. Ia sangat mencemaskan gadis itu, sehingga ia berniat mencarinya di sekitar tempat itu sebelum pulang ke pondok si Wabah Langit.

"Sayang sekali aku tak bisa mengikuti si Gober. Kalau saja tadi malam aku berhasil menguntit si Gober, maka dapat kuketahui di mana si Bayangan Setan dan para pengikutnya itu bersarang," ujar Suto membatin sambil melangkah di sela-sela pepohonan hutan yang rimbun itu. Untuk memudahkan gerakannya, ia segera melesat ke atas pohon dan melesat dari pohon ke pohon sambil pandangi keadaan disekitarnya.

Tiba-tiba didengarnya suara rintihan kecil yang belum diketahui dari mana datangnya. Rintihan kecil itu seperti tangis seorang gadis yang terbawa angin pagi. Pendekar Mabuk hentikan gerakan dan menyimak suara tangis kecil itu dengan pergunakan ilmu 'Sadap Suara', hingga suara tersebut menjadi jelas dan diketahui tempatnya.

"Oh, sepertinya berasal dari pohon besar yang berdaun rimbun itu?!" pikirnya, lalu ia pun segera melesat ke pohon besar tersebut dengan pergunakan ilmu peringan tubuh yang dinamakan jurus 'Layang Raga', dipadu dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya itu.

Zlaaap, zlaaap...! Weess...!

Dalam beberapa kejap, Pendekar Mabuk sudah sampai di salah satu dahan pohon besar tersebut. Suara isak tangis itu semakin jelas.

* * *

EMPAT

TERNYATA gadis yang menangis itu adalah Mayangsita. Ia duduk meringkuk di atas dua dahan besar yang membentuk sudut dengan dagu diletakkan di atas lututnya. Wajah gadis itu tampak berlinang air mata. Pendekar Mabuk tak berani langsung mendekatinya.

"Kalau tak hati-hati mendekatinya dia akan marah dan terjun begitu saja tanpa memperhitungkan bahaya," pikir Suto. "Kalau langsung mati masih mending, tapi kalau patah leher dulu, kan sama saja menyiksa?!"

Pendekar Mabuk biarkan dulu gadis itu habiskan dukanya, ia menunggu dengan sabar sampai isak tangis itu makin lama makin menipis, lalu hilang tak terdengar lagi. Gadis itu melamun dengan wajah murungnya. Lalu untuk tak mengagetkan si gadis, Pendekar Mabuk batuk-batuk kecil, sehingga menarik perhatian si gadis.

"Oh...?!" gadis itu hanya terperanjat sedikit kala melihat Suto Sinting ada di dahan seberangnya.

"Mayangsita, bolehkah aku mendekatimu?" sapa Suto Sinting dengan lembut.

Mayangsita sibuk mengeringkan sisa air mata, senyumnya serba canggung. Senyum itu diartikan Suto sebagai izin untuk mendekat. Pohon besar itu mempunyai banyak dahan lebar dan besar. Rata-rata dahan tersebut berbentuk pipih, bukan bulat seperti kayu gelondong. Pohon itu adalah jenis pohon beringin besi, yang mempunyai kekuatan melebihi pohon jati. Banyaknya dahan yang tumbuh membuat pohon itu mempunyai tempat yang enak untuk duduk, bahkan bisa untuk berbaring bagi para pengembara yang membutuhkan tempat beristirahat.

Agaknya Mayangsita sudah semalaman berada di pohon beringin besi itu. Ia menemukan dahan yang lebar dan membentuk sisi sudut, sehingga punggungnya dapat bersandar dan kakinya bisa selonjor santai. Ketika Pendekar Mabuk mendekatinya, dahan itu masih tersisa dipakai duduk berdua, karena lebar dahan seukuran sebuah dipan dan ketebalannya sekitar dua jengkal. Tak ada kekhawatiran untuk jatuh atau patah dahan.

"Mayangsita," ujar Suto dengan suara lembut. "Mengapa kau harus lari dari pondok itu? Bukankah kau bisa tetap bersikap tidak setuju dengan keputusan Ki Wabah Langit tanpa harus pergi di malam gulita itu?"

"Aku muak dengan Ki Wabah Langit. Dia tak bisa menyelami perasaanku," jawabnya seraya cemberut.

Pendekar Mabuk duduk di depan Mayangsita. Matanya memandang lekat-lekat sehingga kecantikan gadis itu tampak jelas di matanya. Si gadis duduk melonjor dan sandarkan kepala di dahan belakang. "Aku mencemaskan dirimu, Mayangsita."

"Mengapa kau cemaskan diriku? Aku toh bukan apa-apamu, Suto?"

"Memang kau bukan apa-apaku, tapi akulah yang membujukmu agar mau singgah dan bermalam di pondok itu. Mau tak mau aku bertanggung jawab jika terjadi segala sesuatu atas dirimu."

"Tapi kau tidak membelaku saat itu."

"Aku sedang pelajari bagaimana melemahkan kekerasan hati Ki Wabah Langit. Aku juga kecewa melihat sikap Ki Wabah Langit, tapi aku bisa memakluminya, karena dia sayang padamu dan tak ingin kau celaka."

Mayangsita masih cemberut, tangannya bermain ranting muda. Pendekar Mabuk bicara kembali dengan nada lembut, seakan penuh kesabaran.

"Sama halnya dengan diriku, tak rela jika kau sampai celaka. Karena itu aku mengejarmu, ternyata aku salah kejar. Hampir saja aku mati terbungkus kabut beracun."

"Oooh...?! Kau hampir tewas oleh kabut beracun?!" Mayangsita tersentak kaget dan wajahnya tampak cemas pandangi Suto Sinting. Duduknya tak lagi bersandar, sehingga wajahnya menjadi lebih dekat lagi dengan wajah Suto. Ia memandang dengan bola matanya yang bening dan mempunyai keteduhan tersendiri, ia menjadi tampak menyesali tindakannya yang membuat Pendekar Mabuk nyaris binasa itu.

"Maafkan aku, Suto. Seandainya aku tahu semua ini akan mencelakakan dirimu, aku tak akan lari dari pondok itu. Ooh... tapi... tapi adakah bagian tubuhmu yang terluka, Suto?" seraya tangan Mayangsita menyingkapkan rambut di kening Suto, ia memeriksa tubuh Suto dengan penuh kecemasan.

"Untung aku membawa bumbung tuakku, sehingga luka kecil itu dapat kusembuhkan dengan meminum tuak ini!"

"Oh, syukurlah," senyumnya mencerminkan hati yang lega.

Hati Suto menjadi berdesir indah melihat sikap Mayangsita yang tampak mencemaskan dirinya. Keindahan itu kian berbunga ketika Mayangsita sunggingkan senyum kelegaan, sepertinya gadis itu mengungkapkan rasa sayangnya tanpa disengaja.

"Mau minum tuakku? Biar dukamu hilang?!"

Mayangsita sunggingkan senyum kian lebar. "Kau tahu saja kalau aku haus. Aku menangis semalaman di sini," sambil Mayangsita menerima bumbung tuak dan menenggaknya beberapa teguk.

"Jangan menangis lagi, Mayangsita," ucap Suto bagai orang berbisik. "Matamu yang indah dapat menjadi bengkak jika kau banyak menangis."

Mayangsita serahkan bumbung tuak kembali sambil berkata, "Tidak, aku tidak akan menangis lagi jika kau ada di sampingku."

"Betul? Janji tak akan menangis lagi?" sambil Suto sunggingkan senyum yang memancarkan daya pikat tinggi itu.

Mayangsita mengangguk dengan tetap pandangi Suto dan sunggingkan senyum indahnya. Lalu kedua tangan gadis itu menggenggam tangan Suto. "Aku berjanji. Tapi kau pun harus janji tetap akan mendampingiku."

"Mengapa kau ingin kudampingi, Mayangsita?" pancing Suto Sinting.

"Karena hatiku merasa seperti sudah mengenalmu sejak dulu. Entah mengapa, ketika aku memandangmu yang pertama kalinya, hatiku tiba-tiba merasa sangat dekat denganmu, sepertinya sudah lama kita saling berdekatan. Rasa-rasanya sulit sekali jika aku harus jauh darimu, Suto."

Mayangsita tersenyum malu ketika Suto Sinting sunggingkan senyum lebarnya dengan tatapan mata lembut yang mendebarkan hati. "Mungkin aku kena pelet olehmu," tambah Mayangsita di sela tawanya. Kata-kata itu bernada kelakar, sehingga Suto Sinting pun akhirnya tertawa di sela suara tawa kecil si Mayangsita.

Kini tangan kiri Suto ditumpangkan di tangan Mayangsita yang sejak tadi menggenggam tangan kanannya. Rasa hangat mengalir di sekujur tubuh akibat kedua pasang tangan itu saling genggam. Setiap gerakan jari bagai menjadi pusat perhatian dan menghadirkan debar-debar keindahan tersendiri.

Tak peduli burung tak lagi berkicau, tak peduli matahari makin meninggi, mereka bagaikan terhipnotis oleh suasana indah yang hanya bisa dirasakan oleh mereka berdua. Bahkan gadis itu tak merasa keberatan ketika dagunya diraih Suto dan wajahnya sedikit ditengadahkan. Mata mereka saling tatap penuh keceriaan dalam jarak kurang dari dua jengkal. Mereka saling dapat merasakan semburan napas yang menghangat di sekujur wajahmasing-masing.

"Kau cantik sekali, Mayangsita," bisik Pendekar Mabuk.

Bibir ranum Mayangsita bergerak-gerak indah saat membalas ucapan itu. "Kau pun sangat tampan dan menggoda hatiku, Suto. Aku jadi gemetar sekali."

"Mengapa gemetar? Apakah karena belum sarapan?"

"Bukan karena itu, tapi karena aku belum pernah dipandangi pemuda setampan dirimu, Suto."

"Kau suka padaku?" pancing Suto.

Mayangsita menjawab lirih, "Lebih dari suka..."

Suto tak mampu bertahan lagi. Bibir ranum itu sangat menggoda. Akhirnya ia menempelkan bibirnya ke bibir Mayangsita pelan-pelan. Gadis itu langsung pejamkan mata, pertanda siap menerima sentuhan hangat dari bibir Suto. Jantung telah berdebar-debar, dan bibir itu pun ikut gemetar.

Ketika bibir itu terasa dikecup oleh Suto, tangan Mayangsita meremas lengan Suto. Seakan ia menahan sesuatu yang meledak-ledak dalam dada dengan indahnya. Kecupan itu dilepaskan oleh Suto dengan pelan-pelan. Lalu mereka saling pandang kembali. Pandangan mata Mayangsita telah menjadi sayu, penuh kobaran hasrat yang membara. Senyum Suto mengembang tipis penuh pesona.

"Indahkah kecupan tadi?" bisik Suto.

"Indah sekali," jawab Mayangsita dengan berbisik pula.

"Dapatkah kau melakukannya seperti yang kulakukan tadi?"

Mayangsita tidak menjawab, namun ia segera mendekatkan wajahnya pelan-pelan. Lalu bibirnya mulai menyentuh bibir Suto Sinting. Tetapi lidah Mayangsita sengaja menyapu permukaan bibir itu lebih dulu. Sapuannya sangat lembut dan pelan, hingga jantung Suto menjadi bergemuruh dihujani keindahan. Gadis itu rupanya pandai memainkan hati seorang lelaki. Suto Sinting dibuat penasaran dengan sapuan lidahnya yang mengitari permukaan bibir Suto. Dengan kedua tangannya menelusup di sela rambut panjang Suto, Mayangsita mulai memagut bibir Pendekar Mabuk. Bibir itu dilumatnya dengan lidah menari-nari, dan Suto memberi balasan yang tak kalah hangat.

Makin lama gairah Mayangsita semakin bergolak. Lidah dan bibirnya menyusuri wajah Suto. Ia tak tanggung-tanggung untuk berlutut di atas dahan pipih yang kokoh itu. Dengan berlutut dan menunduk, ia lebih mudah menciumi sekitar wajah Suto, bahkan lidahnya sempat menggelitik di sekitar daun telinga Suto. Daun telinga itu pun sesekali digigitnya pelan, menimbulkan rasa nikmat yang membuat tangan Suto meremas.

Apa yang diremas oleh Suto ternyata adalah gumpalan sekal yang padat dan berisi di permukaan dada Mayangsita. Rupanya sejak tadi tangan Suto sudah menelusup ke balik baju tanpa lengan yang berwarna hitam itu. Tangan tersebut menemukan dua bukit yang hangat dan segera berkeliaran dengan leluasanya.

"Oouuh...!" Mayangsita mengeluh dengan tangan meremas rambut Suto. Kepala pemuda itu semakin dirapatkan ke dadanya, bahkan tangan kirinya sempat menarik baju dari ikat pinggangnya, sehingga belahan baju menjadi lebih lebar lagi, bahkan terlepas bebas. Mayangsita menyingkapkan bajunya sendiri, kemudian menyodorkan dadanya ke mulut Suto Sinting.

"Hangatkan yang ini, Suto. Sapulah ujungnya dengan lidahmu.... Oh, ya, begitu.... Uuuuh... nikmat sekali, Sutooo...," rengek Mayangsita dengan kepala mendongak dan mata terpejam. Seakan setiap sentuhan lidah Suto sangat diresapi keindahannya, sehingga gadis itu kian menghamburkan desah dan erangan yang tiada hentinya. Bahkan ketika Suto memagut agak kencang, Mayangsita memekik dengan kedua tangan meremas rambut Suto.

"Aoow... ! Ooh, Suto... indah sekali itu. Teruskan, Suto... teruskan... ooouh...!"

Kedua tangan Pendekar Mabuk juga tak mau tinggal diam. Ia merasa sudah telanjur masuk dalam arena pertarungan cinta. Tangannya pun mulai mengendurkan apa yang mengikat di tubuh Mayangsita. Agaknya gadis itu tak keberatan, karena ia sempat membantu Suto melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat dari selendang hijau itu. Akibatnya, kain yang menutupi bagian bawahnya itu merosot hingga jatuh ke lutut. Sesuatu yang tersembunyi selama ini terbuka bebas tanpa hambatan. Tangan Suto pun dapat menjamahnya dengan leluasa.

"Ouuh...! Teruskan, Suto.... Uuhmmm... indah sekali, Sayang...," erang Mayangsita bersama napasnya yang berhamburan dalam desah. Gadis itu ternyata jauh lebih berani dari dugaan Suto Sinting, ia bahkan meminta Suto Sinting merayapkan kecupannya dari dada sampai ke bawah. Lidah Suto dipaksakan untuk menari-nari dengan nada merengek.

"Oh, Suto... menarilah... mainkan tarian lidahmu, Suto. Ooh, ya, ya, yaaaah... terus, Suto. Teruuuss...!" Gadis lembut itu akhirnya menuntut kemesraan lebih liar lagi. Ia duduk di dahan atasnya. Suto Sinting di dahan bawah. Tanpa merasa canggung dan malu lagi, segala yang dikenakan tadi ditanggalkan di dahan bawah.

Kerindangan dedaunan pohon membuat mereka tak merasa khawatir dilihat orang. Gadis itu semakin menjerit. Terlebih ketika puncak kemesraannya tiba, Mayangsita tak tanggung-tanggung meraung panjang bagai orang sedang disiksa. Keringatnya pun mengucur deras, namun agaknya ia masih belum merasa puas, sehingga Suto masih dituntut untuk melakukan keindahan seperti tadi dengan lidahnya.

"Oh, Suto... Suto, sekarang giliranmu, Sayang... Berhentilah dulu, aku akan melambungkan jiwamu seperti yang kualami tadi. Indah sekali, Suto..."

Pendekar Mabuk pun menghentikan cumbuannya. Mayangsita menyuruh Suto Sinting berdiri dengan kedua tangan menumpang di dua dahan sebatas dada itu. Mayangsita sendiri yang melepaskan ikat pinggang Suto yang terbuat dari kain merah itu. Kemudian tangannya menemukan sesuatu yang segera diraih dalam genggamannya.

"Ooh... luar biasa sekali kau, Suto. ," pujinya dalam desah dan napas memburu. Kala itu kain putih Suto segera ditarik dan jatuh menutupi telapak kaki. Mayangsita tampak kegirangan. Matanya memandang dengan berbinar-binar. Sambil tangannya masih menggenggam, Mayangsita mulai memagut-magut lutut Suto. Kadang lutut itu digigitnya pelan, lalu disapu dengan ujung lidahnya.

"Ouh, Mayang...," desah Suto menahan keindahan yang ingin meledak dari dalam dada.

Mayangsita merayapkan lidahnya dari lutut ke paha dengan gerakan sangat pelan, ia tak peduli lutut itu gemetaran, tapi kedua tangannya tetap memaksa agar Suto lebih terbuka lagi. Kepala Mayangsita pun menggeliat hingga tengadah, karena sang lidah ingin menyapu bagian lain dari sesuatu yang digenggamnya sejak tadi.

"Ooooh...!" erangan panjang Suto membuat Mayangsita semakin bersemangat lagi. Ia biarkan tangan Suto meremasi rambutnya, karena hal itu akan membuatnya merasa bangga karena dapat memberikan keindahan yang setimpal dengan yang diberikan oleh Suto Sinting tadi. Pagutan-pagutannya semakin kuat, bibir dan lidahnya semakin lincah bermain di ujung kehebatan Suto itu. Setelah puas bermain, gadis itu pun seakan ingin menelan Suto bulat-bulat. Hal itu membuat Suto mengerang panjang.

Gadis itu tak sanggup lagi menahan tuntutan gairahnya, ia ingin lakukan pelayaran cinta bersama Pendekar Mabuk yang bertubuh kekar dan saat itu bermandi keringat. Menatap keringat Suto saja Mayangsita sudah tak sabar lagi mempermainkan asmaranya sendiri. Ia segera melompat ke dahan lain. Huup...! Jleeg... ! Dahan itu lebih datar dan mempunyai permukaan kulit yang halus, ia berbaring di dahan itu. Kedua kakinya ditumpangkan pada dahan kecil yang lebih tinggi dari dahan yang dipakainya berbaring. Dahan kecil itu terletak di kanan kirinya, masing-masing berjarak satu betis dari dahan besar.

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum ketika melihat Mayangsita telah berbaring di sana. Mata si gadis semakin sayu menatap Suto, membentang lebar penuh tantangan, dan bibirnya merekah saat memanggil dengan suara merengek seperti anak kecil.

"Suto, datanglah kemari. Aku tak sanggup bertahan lagi, Suto.... Lakukanlah sekarang juga, Sayang. Kemarilah."

Kalau saja saat itu tidak segera terdengar suara ledakan, mungkin Suto Sinting telah melompat ke dahan itu dan menikam si gadis dengan kedahsyatannya. Tetapi karena saat itu mereka segera mendengar suara ledakan dua kali yang berasal dari tempat tak seberapa jauh dari situ, maka perhatian Suto pun segera beralih ke suara ledakan tersebut.

Duaar, blaaarr!

Pendekar Mabuk menegang seketika. Matanya lebih lebar, tak sesayu tadi. Mayangsita pun tertarik dengan suara ledakan tersebut, namun gadis tu segera bisa bersikap cuek dan tak mau perhatiannya pindah ke suara ledakan.

"Suto, biarkan suara itu. Lekaslah mengarungi lautan kemesraan bersamaku, Suto...!" pintanya bernada merengek.

Jegaaar...! Suara ledakan itu semakin keras dan menggetarkan pohon tempat mereka bercumbu. Pendekar Mabuk semakin penasaran dan resah, ia yakin, di seberang sana ada pertarungan seru. Dan Suto paling tak bisa tinggal diam jika mendengar suara pertarungan. Nalurinya sebagai seorang pendekar selalu menuntut untuk melihat siapa yang bertarung dan jurus-jurus maut apa saja yang digunakan mereka. Gairah Suto yang sudah membara pun menjadi padam seketika. Rengekan Mayangsita sempat tak dihiraukan, ia segera mengenakan apa yang tadi telah dilepaskannya.

Melihat Suto Sinting merapikan diri, Mayangsita mulai bernada kecewa. "Suto, jangan pergi dulu! Lakukanlah dulu, Suto. Oooh... aku ingin menikmati walau sekali saja."

"Kau tetap di sini! Aku akan kembali secepatnya setelah melihat siapa yang bertarung di sana!" ujar Suto dengan sedikit gugup karena terburu-buru.

"Sutooo...," rengek Mayangsita seperti mau menangis. "Lupakan dulu pertarungan itu. Kita berlayar dulu sampai ke puncak keindahan walau satu kali saja. Setelah itu kita sama-sama melihat siapa yang bertarung di sana. Lalu kita akan kembali ke sini dan mengulanginya lagi, Sayang. Ayolah, Suto... oouh, Suto aku sudah tak bisa menahan diri lagi, Sayang...," bujuk Mayangsita sambil pinggulnya sengaja menggeliat agar menarik perhatian Suto.

Tetapi bagi Pendekar Mabuk, sebuah pertarungan lebih menarik perhatiannya daripada sebuah goyangan pinggul, ia tak peduli rengekan itu. Bumbung tuak yang tadi digantungkan pada salah satu ranting, kini disambarnya dalam keadaan telah berpakaian rapi.

"Sutooo...!" pekik gadis itu dengan jengkel.

"Sebentar saja, Mayang. Aku hanya sebentar, nanti aku ke sini lagi!"

"Kau tak ingin menikmatinya dulu walau sejenak, Suto?!"

"Aku akan melihat pertarungan itu. Sebentar saja!"

"Tapi nanti kau ke sini lagi?!"

"Ya, aku ke sini lagi!"

"Dan berlayar denganku ke lautan cinta?"

"Iya, ya...!" Suto agak menyentak.

"Kau berjanji, Suto?!"

"Cerewet kau, ah!"

Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan menghilang, ia melesat cepat menuju ke tempat pertarungan. Sisa asap hitam dari ledakan yang kedua tadi masih terlihat. Sisa asap itulah yang menjadi pedoman langkah Suto yang melompat dari pohon ke pohon. Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!BGerakan cepat itu terhenti dengan cepat pula. Seeet...!

Pendekar Mabuk masih tetap berada di atas pohon ketika ia melihat dua orang gadis sedang lakukan pertarungan di tanah berpohon renggang itu. Mata Suto Sinting sempat terbelalak kaget melihat kedua gadis yang bertarung dengan sengitnya itu. Yang satu sudah mencabut pedangnya, yang satu masih menggunakan tangan kosong.

Pada saat itu jantung Suto Sinting bagaikan berhenti seketika, karena yang dilihatnya adalah seorang gadis berpakaian serba hitam sedang bertarung dengan seorang gadis cantik berjubah putih. Jubah putihnya yang berhias benang emas itu tidak memakai lengan, sehingga kulit tubuhnya tampak berwarna kuning langsat.

Gadis yang berjubah putih itu mengenakan kutang biru tipis hingga dadanya tampal sekal menonjol, ujungnya mencuat ke atas. Celana komprangnya berwarna biru, panjang sampai ke mata kaki dan diberi tali pengikat pada ujung celana itu. Gadis berjubah putih itu mempunyai senjata pedang gading berukir kepala naga pada gagangnya, ia mempunyai potongan rambut shaggy tanpa ikat kepala, bibirnya mungil, Hidungnya bangir.

Pendekar Mabuk yakin gadis itu jika tersenyum pasti mempunyai lesung pipit di kedua pipinya, sebab Pendekar Mabuk pernah bertemu dengan gadis itu ketika menembus alam perbatasan antara gaib dan alam nyata. Gadis itu tak lain adalah Nirwana Tria, cucu Dewa Tanah yang menjadi orang paling disegani di Dasar Bumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Maksiat).

Kemunculan Nirwana Tria memang mengejutkan bagi Suto. Tetapi lebih mengejutkan lagi adalah lawan dari Nirwana Tria itu. Gadis yang sedang menebaskan pedangnya ke arah leher Nirwana Tria dan tebasan itu dapat dihindari dengan meliukkan badan ke belakang itu adalah gadis berpakaian serba hitam, cantik, berambut pendek sebahu tanpa ikat kepala, mengenakan sabuk hijau, dan dadanya montok. Gadis itu tak lain adalah Mayangsita.

"Lalu, siapa yang bercinta denganku di atas pohon tadi?!" pikir Suto Sinting dengan hati berdebar-debar, ia sempat bingung dan menggeragap sejenak, ia merasa bercumbu begitu panasnya dengan Mayangsita, tapi ternyata gadis itu sekarang sedang bertarung dengan Nirwana Tria. Padahal Suto masih ingat bahwa Mayangsita ditinggalkan di pohon besar itu dan sedang menunggu kedatangannya untuk mengarungi lautan cinta.

"Jangan-jangan mataku telah rusak?!" gumam hati Pendekar Mabuk, menyangsikan penglihatannya, ia mengerjap-ngerjap dan mengucal-ngucal mata sesaat. Tapi ketika memandang ke arah pertarungan, ternyata tetap Mayangsita yang dilihatnya sedang bertempur melawan Nirwana Tria.

"Haruskah aku kembali ke pohon itu dan membawa Mayangsita untuk melihat siapa yang bertarung di sini?!" pikir Suto dalam pertimbangan paniknya. "Oh, tak mungkin aku kembali sekarang. Kelihatannya Mayangsita mulai terdesak oleh serangan Nirwana Tria. Kalau pertarungan itu tidak segera kuhentikan, Mayangsita akan terluka, bisa-bisa nyawanya melayang. Pertarungan ini tak setanding."

Namun sebelum Suto bertindak, Mayangsita sudah berhasil melepaskan jurus andalannya ke dada Nirwana Tria. Tendangan itu datang tak disangka-sangka, sehingga Nirwana Tria kecolongan. Duukh...! Weess, brrruuk...! Nirwana Tria terpental mundur dan jatuh dengan satu kaki berlutut. Mayangsita melompat dan menebaskan pedangnya dari atas ke bawah, seakan ingin membelah kepala Nirwana Tria.

Tetapi cucu si Dewa Tanah itu segera bangkit dan menyambut datangnya pedang itu dengan kedua tangan saling merapatkan pergelangannya dan menyentak ke atas. Seeeb...! Pedang itu terselip di antara kedua telapak tangan Nirwana Tria. Dalam keadaan menjepit pedang, kedua tangan Nirwana Tria menyentak ke kiri. Krrak...! Pedang itu pun patah dan Mayangsita terperangah.

Tanpa menunggu lawannya sadar kembali dari kekagetannya, Nirwana Tria segera memutar tubuh dengan cepat. Kakinya menendang dalam gerakan memutar beberapa kali, sehingga kaki itu bagai menampar wajah Mayangsita berulang-ulang. Plak, plak, plak, plak, plak...!

Mayangsita terdesak mundur dengan geragapan. Dan yang terakhir kalinya, kaki Nirwana Tria melayang lebih cepat lagi, membuat Mayangsita terlempar ke samping tanpa ampun lagi. Beeet, ploook...! Wees, brruk...! Mayangsita tak sempat terpekik karena nyawanya bagaikan melayang sekejap dan kembali lagi dengan cepat, ia jatuh terkapar di bawah pohon dengan tubuh mengejang dan wajah menyeringai menahan sakit.

Tiba-tiba dari arah belakang Nirwana Tria muncul sekelebat bayangan yang segera menerjang punggung gadis cantik bersenjata pedang dua jengkal yang diberi nama Pedang Lidah Naga itu. Wwees...! Duuukh...!

Nirwana Tria terhentak ke depan. Punggungnya disodok dengan ujung tongkat. Ujung tongkat itu kepulkan asap. Semestinya punggung itu bolong seketika. Tapi ternyata punggung Nirwana tidak mengalami cedera apa pun. Bahkan bekas hangus di jubah putihnya pun tak ada. Ia hanya merasa sesak napas sedikit, lalu segera bangkit dan cepat berbalik.

"Wah, gawat! Ki Wabah Langit turun tangan?!" gumam Suto Sinting sebelum menghambur ke pertarungan. "Pasti suara ledakan tadi yang membuat Ki Wabah Langit segera lari kemari dan mencemaskan diri Mayangsita!"

Wabah Langit tampak memandang dengan angker kepada Nirwana Tria. Tapi gadis yang dipandang justru menyunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan pandangan angker itu. Wabah Langit segera menggeram, tongkatnya diputar di samping kanan dengan permainan jari-jari tangan kanannya. Putaran itu sangat cepat, menimbulkan suara dengung yang menyakitkan gendang telinga.

Nirwana Tria segera mengeraskan kedua jari telunjuknya. Jari telunjuk itu ditempelkan ke pelipis sebentar, lalu pergelangan tangannya berputar bagai menari, dan kedua jari itu disentakkan ke depan. Suuut...! Slaaap...! Dua larik sinar hijau bening melesat dari ujung jari itu dan mengarah ke dada Wabah Langit. Kakek berjubah biru itu memindahkan tongkatnya ke depan dalam keadaan masih berputar cepat bagaikan baling-baling. Weerrs...! Kedua sinar hijau itu akhirnya menghantam tongkat tersebut hingga timbulkan ledakan yang menggelegar.

Jegaaar...!

Nirwana Tria terpental mundur, namun hanya jatuh berlutut, sementara si Wabah Langit masih tegak berdiri, ia bahkan segera lakukan lompatan dengan tongkat tergenggam kuat lalu dihantamkan ke arah kepala Nirwana Tria. Gerakannya sangat cepat dan hantaman tongkat itu nyaris tak terlihat. Pada saat itulah, Suto Sinting segera melepaskan sentilan kecil dari jurus 'Jari Guntur'-nya ke pinggang si Wabah Langit.

Tees...! Buukh...!

Sentilan yang dilakukan sambil melompat ke tengah pertarungan itu membuat Wabah Langit terpelanting ke samping hingga pukulan tongkatnya jauh dari sasaran semula. Brrruk...! Wabah Langit tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, ia jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan.

"Bangsat terkutuk...!" makinya dengan kasar dan bersuara keras.

Zlaap, jleeg...! Suto Sinting muncul di pertengahan jarak antara Nirwana Tria dan Wabah Langit. Kemunculan itu membuat keduanya sama-sama terkejut. Bahkan Nirwana Tria sempat berseru girang.

"Suto...?!"

"Hentikan pertarungan ini!" tegas Suto Sinting.

Wabah Langit protes sambil menahan sakit di pinggangnya. "Dia ingin membunuh Mayangsita!"

Mayangsita yang sudah berdiri namun tubuhnya sangat lemas sehingga berpegangan pada pohon itu segera ikut berkata dengan suara lemah. "Diid... dia... si Bayangan... Bayangan Ketan, eeeh... Bayangan Setan!" sambil menuding Nirwana Tria.

Pendekar Mabuk segera menarik lengan Nirwana Tria agar berdiri bersebelahan dengannya. Saat itu Nirwana Tria berkata kepada Suto Sinting bagai anak kecil mengadu kepada orangtuanya. "Dia menyerangku lebih dulu, Suto! Tak tahu apa sebabnya, dia ingin membunuhku!"

"Kar... karena... karena kau adalah Bayangan Wetan, eeeh... Bayangan Setan!" timpal Mayangsita.

"Kau salah duga!" ujar Suto kepada Mayangsita.

"Siapa yang salah raga?!" sahut Wabah Langit dengan keras.

"Salah duga!" ulang Suto memperjelas ucapannya untuk si Wabah Langit. "Gadis cantik ini bukan si Bayangan Setan! Dia adalah Nirwana Tria, dari negeri Pusar Bumi atau Dasar Bumi! Dia sahabatku, cucu dari Dewa Tanah!"

"Dewa Lintah?!"

"Dewa Tanah, Ki!" seru Suto.

Wabah Langit terkejut. "Dewa Tanah...?! Ooh...?! Bbe... benarkah dia cucunya si Dewa Tanah, penguasa Pusar Bumi itu?!"

"Benar!" jawab Suto Sinting tegas sekali.

"Boh... bohong...! Waanita... wanita cantik itu pasti si Bayangan Setan! Ddi... dia... dia bisa berubah-ubah rupa seperti siapa saja!" kata Mayangsita tetap tak percaya, ia tampak gugup karena matanya sesekali memandang ke arah Suto Sinting.

Pendekar Mabuk membatin, "Agaknya dia benar-benar Mayangsita. Dia bicara dengan gugup dan terbata-bata jika berhadapan denganku. Sedangkan gadis yang bercumbu denganku tadi bisa bicara dengan lancar. Oh, jika benar si Bayangan Setan bisa berubah-ubah rupa, tak salah lagi, pasti gadis di pohon itu adalah si Bayangan Setan alias Andani! Ia berubah menjadi Mayangsita dan memancingku untuk bercumbu! Sialan! Tapi... diam-diam saja, ah! Malu sekali kalau sampai cerita ini didengar mereka yang ada disini!"

Wabah Langit tampak takut memandang Nirwana Tria. Ia bahkan sempat sedikit membungkuk penuh hormat kepada Nirwana Tria. "Maafkan kebodohanku tadi, Cucu Dewa Tanah!"

"Kau kenal dengan kakekku, Pak Tua?"

"Aku hanya mendengar kebesaran namanya saja. Tapi aku menjadi percaya bahwa kau adalah cucu Dewa Tanah, karena punggungmu tetap utuh menerima jurus 'Tongkat Kobra'-ku tadi! Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin dapat menahan jurus 'Tongkat Kobra'-ku!"

Lalu, Wabah Langit berkata kepada Mayangsita. "Jangan lagi melawannya, Mayangsita! Dia memang bukan si Bayangan Setan! Dugaanmu hanya diracuni oleh dendammu sendiri."

Mayangsita tundukkan kepala, karena Pendekar Mabuk memandanginya.

* * *

LIMA

PENDEKAR MABUK ingin buktikan kepada mereka bahwa Bayangan Setan telah mengubah diri sebagai Mayangsita. Ia segera membawa mereka ke pohon besar yang dipakainya bercumbu itu. Tetapi ternyata pohon itu sudah tidak berpenghuni lagi. Sosok gadis yang menyerupai Mayangsita telah tiada. Berarti Bayangan Setan telah pergi.

Wabah Langit berkata, "Mungkin dia tahu Nirwana Tria telah muncul di sekitar tempat ini!"

Nirwana Tria menarik napas dan palingkan wajah, tak mau menjadi bahan perhatian Mayangsita dan Pendekar Mabuk. Sementara itu, Mayangsita yang sudah mau percaya dengan penjelasan Suto serta Wabah Langit itu segera ajukan tanya kepada sahabat gurunya itu.

"Mengapa si Bayangan Setan segera pergi jika benar ia mengetahui kemunculan Nirwana Tria, Ki?"

"Karena dia takut!" sentak si Wabah Langit.

"Mengapa takut?!" desak Mayangsita dengan lancar karena matanya tertuju pada si wajah angker berjubah biru itu.

"Apakah gurumu tak pernah menceritakan tentang kehancuran Samudera Kubur saat bersarang di Pulau Blacan, delapan tahun yang lalu?!"

"Guru tak banyak membeberkan cerita itu, Ki."

"Gurumu memang songong!" geram Wabah Langit. "Samudera Kubur saat berada di Pulau Blacan telah dihancurkan oleh pasukan dari Dasar Bumi atau dari negeri Pusar Bumi. Pasukan itu dipimpin oleh seorang gadis, cucu dari Dewa Tanah. Dan gadis itu sekarang ada di sampingmu!"

Mata Mayangsita melirik Nirwana Tria, bahkan kini memandang langsung dengan posisi berdiri menghadap Nirwana Tria. Yang dipandang jadi serba salah dan akhirnya hanya tundukkan kepala sambil kedua tangannya bersedekap, kakinya bermain batu secara iseng.

Suto Sinting pun jadi ikut memandang Nirwana Tria, karena kekagumannya terhadap gadis itu semakin bertambah, ia pun ingat dengan cerita Perawan Sinting tentang sebuah biara yang telah runtuh dan sekarang tinggal puing-puingnya. Biara itu dulu bekas pusat Perguruan Bunga Seroja. Ketika perguruan itu diambil alih oleh Peri Kahyangan, maka orang-orang Perguruan Bunga Seroja menjadi sesat dan beraliran hitam.

Perguruan itu akhirnya dihancurkan oleh Nirwana Tria pada masa lima puluh tahun yang lalu, dan Peri Kahyangan melarikan diri ke alam gaib. Rupanya Peri Kahyangan kini bergentayangan lagi dan menamakan dirinya sebagai si Bayangan Setan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Buronan Cinta Sekarat).

Kini giliran Nirwana Tria yang bicara. "Cerita itu tak perlu disebarluaskan, Ki Wabah Langit," ujarnya dengan sopan dan hormat. "Untuk apa membicarakan masa lalu. Bukankah lebih baik membicarakan masa sekarang, di mana Bayangan Setan mengganas lagi dan aku diperintahkan oleh Kakek Dewa Tanah untuk menuntaskannya!"

"Aku bersyukur jika kau sudah mulai turun tangan lagi, Nirwana Tria," ujar si Wabah Langit. "Karena aku sendiri merasa belum tentu unggul melawan si Bayangan Setan!"

"Kabar yang kudengar, Bayangan Setan atau si Peri Kahyangan itu bersembunyi di Bukit Lahat. Maka aku pun segera mencari Bukit Lahat sambil mencari tahu di mana Pendekar Mabuk berada."

"Mengapa kau juga mencari Pendekar Mabur, eeh... Pendekar Beruk, eeh... anu... Pendekar..."

"Pendekar Mabuk!" sentak Wabah Langit.

"Iya!" balas Mayangsita pendek saja. Ia selalu gugup jika menyebut Pendekar Mabuk di depan orangnya.

"Kakek berpesan agar aku bekerja sama dengan Pendekar Mabuk. Si Bayangan Setan hanya bisa mati atau musnah selamanya jika yang membunuh adalah pemuda tanpa pusar. Dan pemuda tanpa pusar itu adalah Suto Sinting; si Pendekar Mabuk ini!"

Mayangsita terperangah dan tergagap-gagap lagi. "Oh, jad... Jadi dia tidak punya pasar? Eeeh... tidak punya ular? Aduh, anu... maksudku... dia tidak punya..."

"Pusar!" sentak Wabah Langit lagi.

"Iya. Tidak punya pusar?!"

Nirwana Tria tersenyum geli. "Tanyakan sendiri pada orangnya."

Wabah Langit menyahut, "Kalau perlu, periksalah kebenarannya, Mayangsita!"

"Ah, anu... oh, Iya periksa. Eh, jangan! Tidak mau!" Mayangsita menjauh sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria tertawa geli. Setelah keadaan tenang kembali, Mayangsita telah berpindah di samping Wabah Langit, maka Nirwana Tria mulai bicara dengan serius kepada Suto Sinting.

"Berapa lama kau bertemu dengan si Bayangan Setan dalam wujud Mayangsita?"

"Yah, tak terlalu lama. Kami hanya bertegur sapa saja dan menanyakan mengapa Mayangsita tadi malam kabur dari pondok Ki Wabah Langit."

Mayangsita menyahut, "Aku sembunyi di... ditumpukan kayu kabar, eeeh... kayu bakar, di belakang murah, eeeh... di belakang rumah. Aku memang ingin sindiran, aah... anu, aku memang ingin sendirian merenungi kata-kata Ki Bawah Langit!"

"Goblok! Namaku Wabah Langit!" bentak si pemilik nama.

"Iya, maksudku, Wabah Langit, Goblok! Eaeh... maaf, maaf, Ki!" Mayangsita ketakutan sendiri sampai cium tangan si Wabah Langit.

Nirwana Tria akhirnya memutuskan agar Wabah Langit dan Mayangsita kembali ke pondok, ia dan Suto Sinting akan menuju ke Bukit Lahat, memburu si Bayangan Setan. Semula gadis murid Eyang Panujum itu agak ngotot, ingin ikut ke Bukit Lahat. Tetapi Suto Sinting menetapkan dengan tegas.

"Kau harus tetap di pondok bersama Ki Wabah Langit dan Mahesa Gibas! Jika kau tak mau menurut, aku tak mau mengenalmu lagi!"

"Bbaa... baiklah kalau begitu maumu. Akk... aku... akan tetap di pondong, eeh... akan tetap di pondok bersama Ki Wabah Langit dan Mahesa Gabus, eeh... Mahesa Gibras, aduh... salah lagi! Siapa, Ki?"

"Tirukan! Ma-he-sa "

"Ma-he-sa "

"Gi-bas "

"Gi-bas "

"Mahesa Gibas!"

"Mahesa Gabres! Aduuuh... salah lagi!"

"Sudah, sudah... kita pulang sekarang saja, biar urusan si Bayangan Setan ditangani Nirwana Tria dan Suto Sinting!" geram si Wabah Langit sambil menarik tangan Mayangsita.

Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria pandangi kepergian mereka sesaat. Begitu mereka telah menghilang dari pandangan mata, tiba-tiba Nirwana Tria memeluk Suto dan bibirnya menyambar bibir pemuda itu. Crrup...!

"Hei, nakal kau!"

"Aku kangen padamu!" ujar gadis cantik berlesung pipit itu. "Ketika Kakek Dewa Tanah memanggilku dan memberikan tugas menghancurkan Peri Kahyangan dengan terlebih dulu mencari Pendekar Mabuk, hatiku girang sekali. Semangatku tinggi karena aku punya kesempatan muncul di permukaan bumi dan bisa bertemu denganmu. Maka dari kabar ke kabar, kuperoleh keterangan bahwa si Pendekar Mabuk sedang memburu Bayangan Setan ke Pulau Blacan atas permintaan tolong dari Adipati Jayengrana. Teropong batinku mengatakan, kau tidak ada di Pulau Blacan. Mata batinku pun mencarimu hingga akhirnya kutemukan kau ada di sekitar Pantai Porong. Lalu kuperoleh keterangan dari Panembahan Pancalingga, bahwa kau bergerak ke arah sini. Maka aku pun memburumu kesini."

Nirwana Tria bicara dengan berapi-api, seakan menampakkan betul kegembiraannya dapat bertemu dengan Pendekar Mabuk, ia memang terpikat oleh ketampanan dan keromantisan sang Pendekar Mabuk. Namun karena ia tahu, Pendekar Mabuk sudah mempunyai calon istri sendiri, yaitu Dyah Sariningrum anak dari Ratu Kartika Wangi yang dihormati, maka ia tak berani merebut pemuda itu dari hati Dyah Sariningrum. Ia hanya memanfaatkan bunga-bunga indah yang bermekaran di masa lajang si Pendekar Mabuk itu.

Sambil melangkah mendaki perbukitan, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya kepada Nirwana Tria yang sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat usia Suto Sinting itu. "Apakah kau tahu, bagaimana caranya si Bayangan Setan dapat menirukan wujud dari Mayangsita?"

"Dia bisa mengambil alam pikiran seseorang dan mewujudkannya dalam bentuk nyata. Barangkali saat itu kau memikirkan Mayangsita dengan segala permasalahannya, sehingga pikiranmu diambil dan ia membentuk diri menyerupai alam pikiranmu itu. Ia mempunyai ilmu 'Aji Samar Dewi' yang bisa membuat dirinya berubah-ubah wujud. Bisa saja ia berubah menjadi binatang atau raksasa."

"Hmmm...!" Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut. "Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Maksudku, bagaimana cara mengetahui bahwa binatang atau seseorang itu adalah penyamaran dari si Bayangan Setan?!"

"Tato di pahanya akan selalu ikut serta dalam setiap perubahannya, walaupun tato itu tidak hidup seperti jika berada di pahanya sendiri."

Pendekar Mabuk hanya membatin, "O, pantas waktu tadi kuciumi pahanya, aku melihat ada tato kecil di sana. Tapi tak jelas bentuknya, sehingga kusangka hanya tompel biasa. Rupanya tato kecil itu berbentuk kupu-kupu! Ah, kurang ajar betul si Andani itu! Aku nyaris dibuatnya ternoda! Untung belum sempat kuberikan 'jimat keramat'-ku ini kepadanya. Benar-benar gila dia. Kusangka si Mayangsita gairahnya sebuas itu. Tak tahunya si setan keparat yang punya gairah!"

Nirwana Tria sempat curiga dengan bungkamnya mulut Suto itu. "Benarkah kau tadi hanya bicara-bicara biasa dengan jelmaan si Bayangan Setan?"

"Hmmm... ya, benar!" Suto mempertegas jawabannya agar tak timbulkan kecurigaan lagi di hati gadis itu.

"Tidak berbuat yang bukan-bukan?"

"Tidak! Kenapa kau bertanya begitu padaku?"

Nirwana Tria tersenyum kalem. "Kau sangka aku tak tahu watakmu kalau sudah berhadapan dengan seorang gadis cantik dalam keadaan hanya berdua di tempat sepi?!"

Suto Sinting tertawa pahit. "Aku tak serendah dugaanmu. Itu tak mungkin kulakukan. Seandainya hal itu kulakukan, tentunya aku sudah mati dimakan si Bayangan Setan."

Nirwana Tria tersenyum sinis, "Ia tak akan melukaimu atau membunuhmu. Bahkan ia tak mungkin mengunyah dagingmu walau sedikitpun."

"Kenapa kau yakin dia tak akan membunuhku?"

"Karena dia pasti tahu bahwa kau adalah pemuda tanpa pusar. Satu pantangan yang tak boleh dilanggar olehnya adalah membunuh atau memakan daging orang yang tidak punya pusar!"

"O, ya...?!" Suto Sinting terperanjat dan semakin penasaran. "Seandainya dia nekat membunuhku atau memakan dagingku, bagaimana jadinya?"

"Seluruh ilmunya akan hilang seketika itu juga!"

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut lagi. "Oleh sebab itu, kakekku menyarankan agar aku menemuimu dan mengatakan, bahwa hanya kaulah orang yang bisa membinasakan si Peri Kahyangan itu," ujar Nirwana Tria dengan serius. "Karena jika ia melawanku, ia hanya bisa kukalahkan namun tak bisa kubunuh, ia akan segera kabur dan hilang entah ke mana, lalu muncul kembali beberapa tahun kemudian, seperti halnya kali ini!"

Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. Secara tak langsung ia telah mendapat mandat dari Dewa Tanah untuk hancurkan si Bayangan Setan. Hatinya merasa bangga mendapat kepercayaan sebesar itu. Tetapi ia belum tahu bagaimana cara mengalahkan si Bayangan Setan. Tentunya tidak seperti ia mengalahkan lawan-lawannya yang lain.

"Bayangan Setan mempunyai segudang ilmu," lanjut Nirwana Tria. "Kau harus hati-hati. Jangan sampai ia melarikan diri lagi. Jangan sampai pula ia merasa lebih baik mati bersama daripada mati sendirian."

"Apakah kau tahu di mana letak kelemahan si Bayangan Setan itu?!" tanya Suto Sinting terang-terangan meminta petunjuk dari gadis cantik yang tampak lebih muda darinya itu.

Nirwana Tria pun ternyata tidak meremehkan pertanyaan itu dan ia memberikan jawaban dengan sungguh-sungguh. "Kelemahan si Peri Kahyangan atau si Bayangan Setan itu terletak di... di antara kedua pahanya. Kurasa kau tahu maksudku, Suto."

Pendekar Mabuk justru hentikan langkah dan memandang dengan dahi berkerut. "Kau tidak sedang bergurau, Tria?"

"Tidak! Karena menurut keterangan kakekku, ketika tubuh Peri Kahyangan tersiram 'Cahaya Iblis', yang tidak terkena cahaya hanya bagian 'mahkota'-nya saja. Jadi, tempat itu adalah tempat yang rawan, alias tempat apesnya!"

"Apa maksudnya, 'Cahaya Iblis' itu?"

"Cahaya merah yang keluar dari gerhana matahari. Kekuatan iblis terpancar melalui gerhana matahari berupa sinar merah kebiru-biruan. Siapa pun yang terkena sinar merah itu, maka ia akan memiliki kekuatan iblis yang sungguh dahsyat. Tetapi tidak setiap ada gerhana matahari, maka akan muncul 'Cahaya Iblis' itu. Seribu tahun sekali 'Cahaya Iblis' itu akan terpancar dari gerhana matahari. Dan selama ini, hanya si Peri Kahyangan yang pernah tersiram 'Cahaya Iblis' pada saat terjadi gerhana matahari, karena pada saat itu ia sedang lakukan semadi telanjang di puncak sebuah gunung."

Pendekar Mabuk sempat membatin, "Unik juga letak kelemahannya itu. Kalau sejak tadi aku sudah mengetahuinya, tentu saat diatas pohon itu aku sudah bisa membunuh si Bayangan Setan!Sangat bisa, sebab kelemahannya itu terbuka lebar-lebar. Tapi mengapa justru kuberi kenikmatan, ya? Ah, bodoh sekali aku ini!"

Tiba-tiba Nirwana Tria menahan lengan Suto hingga pemuda itu hentikan langkahnya. Mata si gadis memandang sekeliling dengan jeli. Pendekar Mabuk ikut memandang sekelilingnya, karena gerakan mata Nirwana Tria mengisyaratkan datangnya bahaya di sekitar mereka.

"Ada apa, Tria?" bisik Suto Sinting karena tak melihat ada sesuatu yang mencurigakan.

"Kau dengar suara lalat menggaung?"

Pendekar Mabuk tajamkan pendengaran sebentar. "Hmmm... ya, dia memutar-mutar sekitar kita. Tapi gerakannya sukar kulihat. Ada apa dengan lalat itu?"

"Adakah bangkai atau benda busuk di sekitar sini?"

"Belum kuperiksa. Tapi menurut penciumanku, tak ada benda busuk di sini."

"Kalau begitu, seekor lalat yang terbang itu adalah lalat yang tidak wajar."

"Maksudmu, lalat yang kurang ajar?"

"Tidak wajar!" tegas Nirwana Tria. "Pasti bukan lalat sembarangan! Bersiaplah, Suto! Firasatku mengatakan, kehadiran kita sudah mulai disambut oleh si Bayangan Setan yang mengubah diri menjadi seekor lalat."

"Gawat!" gumam Suto Sinting sambil meraih bumbung tuaknya. Mereka mulai merenggang jarak. Nirwana Tria mencabut pedangnya yang pendek, namun dapat menjadi panjang dalam satu sentakan tenaga dalam tertentu.

Wuuuung...! Wuuuung...!

Lalat itu perdengarkan bunyinya sambil mengelilingi mereka berdua. Suto Sinting semakin percaya terhadap dugaan Nirwana Tria. Jika lalat itu adalah lalat liar, tak mungkin hanya terbang mengelilingi mereka berdua. Maka kedua mata Pendekar Mabuk pun dipertajam dengan tali bumbung tauk mulai melilit di genggaman tangannya.

"Menjauhlah, Suto! Biar kuhadapi sendiri lalat keparat itu!"

Pendekar Mabuk sengaja memberi tempat bergerak untuk Nirwana Tria. Suara lalat mendengung makin jelas mengelilingi Nirwana Tria. Tapi gerakan lalat itu tak bisa dilihat oleh Suto maupun Nirwana Tria. Gadis itu akhirnya pejamkan mata. Ia mulai lakukan gerakan dengan berdasarkan ketajaman pendengarannya. Tanpa memejamkan mata, maka konsentrasinya akan terpecah belah dan tebasan pedangnya akan meleset dari sasaran. Kejap berikut, Nirwana Tria mengibaskan pedangnya dalam gerakan yang nyaris tak terlihat oleh pandangan mata Suto.

Wut, wut, wuuut...! Wees...! Nguuuuung...!

Lalat itu justru terbang meninggi. Nirwana Tria hentikan gerakan dan tetap pejamkan mata. Pendekar Mabuk mencari lalat itu dengan pandangan yang tertuju ke atas. Tapi tetap saja tak melihat seekor lalat yang terbang dan mendengung pelan. Beberapa saat kemudian dengung lalat itu terdengar mendekat kembali.

"Awas, Tria...!" ujar Suto mengingatkan.

Nirwana Tria tidak menjawab, namun badannya bergerak memutar pelan-pelan sambil tetap pejamkan mata. Hal itu terjadi cukup lama. Sampai akhirnya, pedang Nirwana Tria berkelebat dan menjadi panjang sendiri dalam gerakan menebas ke samping dua kali.

Wut, wuuuut...! Ngguuuurrk...! Nguuurrk...!

Suara dengung lalat pun tak senyaring tadi. Nirwana Tria masih pejamkan mata dan bergerak memutar dengan pelan. Tapi kali ini ia perdengarkan suaranya kepada Suto Sinting.

"Dia jatuh! Kau melihatnya, Suto?!"

"Sedang kucari!" jawab Suto Sinting sambil menyimak suara dengung yang rusak itu.

"Aku telah menebas sayap kirinya," kata Nirwana Tria. "Periksalah jika kau dapatkan dia! Mungkin sekarang ada di sebelah kiriku. Di bawah, Suto!"

Pendekar Mabuk memeriksa bagian kiri Nirwana Tria. Tiap jengkal tanah diperhatikan. Namun ia tak menemukan binatang kecil itu. Nirwana Tria membuka mata, karena suara dengung itu telah hilang dan tak muncul-muncul lagi.

"Dia telah pergi!" gumamnya dengan nada menggeram jengkel.

"Hei, ada sesuatu yang kutemukan di atas daun ini!" seru Suto Sinting yang membuat Nirwana Tria segera mendekatinya.

Sehelai daun semak liar berwarna hijau pupus menjadi pusat perhatian mereka. Di atas daun itu tampak noda hitam kecil yang jika diperhatikan baik-baik ternyata adalah selembar sayap seekor lalat.

"Sayap inilah yang kutebas tadi," kata Nirwana Tria.

Pendekar Mabuk hanya membatin, "Gila! Kecepatan jurus pedangnya memang luar biasa. Dia bisa memastikan bahwa tebasan pedangnya telah kenai salah satu sayap lalat itu. Dan sekarang terbukti ada selembar sayap lalat di daun ini. Benar-benar hebat jurus pedang yang dimilikinya. Atau mungkin pedang pusakanya itulah yang mempunyai kehebatan sedemikian tinggi?! Pantas jika pedang itu dinamakan Pedang Lidah Naga!"

"Sebaiknya kita...," Nirwana Tria tak jadi lanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba mereka mendengar suara dengung yang lebih besar dan sepertinya menggema. Wajah gadis itu tampak tegang saat memandang Suto Sinting, membuat Suto sendiri jadi berkerut dahi.

"Suara dengung itu makin besar!" ujarnya kepada Nirwana Tria.

"Apakah lalat itu juga menjadi sebesar kerbau?" tanya Suto asal cuap saja.

"Kurasa kini yang datang serombongan lalat beracun yang ingin menyerang kita, Suto! Bersiaplah!"

Nirwana Tria melompat dalam jarak empat langkah dari Suto. Mereka sama-sama menghadap ke timur, karena suara dengung besar itu datang dari timur. Dahi si Pendekar Mabuk semakin berkerut kuat-kuat ketika ia melihat bayangan hitam bergerak berombak- ombak menuju ke arahnya. Bayangan hitam itu tak lain adalah ratusan ekor lalat kiriman si Bayangan Setan yang tentunya masing-masing membawa racun mematikan.

"Mereka datang dalam jumlah banyak, Tria!"

"Minggirlah! Cari tempat terlindung. Kuhancurkan sendiri rombongan lalat itu!" ujar Nirwana Tria.

"Tidak! Ini giliranku, Tria! Mundurlah...!" kata Pendekar Mabuk sambil membuka bumbung tuaknya, ia segera menenggak tuak. Yang ditelan hanya sedikit, sisanya disimpan dalam mulut, sehingga kedua pipi pemuda tampan itu mengembung besar.

Nirwana Tria tak mau mengecewakan Suto, ia pun bergegas mundur dengan siap siaga lepaskan pukulan yang akan menghancurkan ratusan lalat yang berombak-ombak itu. Mereka terbang dalam ketinggian sebatas kepala Suto Sinting. Tapi Suto yakin lalat-lalat itu akan segera merendah dan menyergap mereka bersama racun yang ada di kaki mereka.

Ketika rombongan lalat itu lebih dekat lagi, Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan tinggi dalam gerakan bersalto maju. Wuuuk, wuuuk...! Lompatan itu melebihi ketinggian barisan lalat. Pada saat posisi Suto menukik di atas barisan lalat, tuak dalam mulutnya segera disemburkan. Itulah jurus 'Sembur Bromo Wiwaha' yang memercikkan bunga api saat tuak disemburkan.

Bwwwwweeerrss...!

Trak, trak, pletak, praak, traatak, pletak, traaak...!

Terdengar suara seperti berondongan jagung bakar. Lalat-lalat itu terbakar oleh semburan tuak yang memercikkan bunga api. Suara gemeretak membuat tanah menjadi hitam beberapa saat kemudian. Rumput tertutup oleh ratusan bangkai lalat yang menghangus. Semburan panjang dari mulut Suto tadi telah berhasil membunuh semua lalat yang ada dalam rombongan tanpa nama itu. Hanya satu ekor yang lolos dari semburan tuak Suto tadi. Satu ekor lalat tersebut segera mendengung dalam terbangnya yang menukik tinggi lalu menghilang di sela-sela dahan pohon rindang. Pendekar Mabuk bermaksud mengejar yang seekor itu, tetapi Nirwana Tria sudah lebih dulu berseru kepadanya.

"Jangan kejar! Dia akan membawamu ke jebakan yang berbahaya!"

Pendekar Mabuk segera sadar tentang peringatan itu, sehingga ia tak berani lanjutkan pengejarannya. Hati sang pendekar pun membatin, "Kalau dipikir-pikir memang tak pantas, sebagai pendekar kok yang dikejar- kejar seekor lalat! Apa kata orang yang tak tahu jika melihat tingkahkutadi."

Nirwana Tria berkata, "Kalau begitu kita sudah berada didekat sarang si Bayangan Setan! Kita serang saja dia sebelum dia mempermainkan kita dengan makhluk jelmaannya seperti tadi!"

"Bagaimana kita bisa menyerang jika kita tak melihat bentuknya?!" kata Suto.

"Bukankah kau bisa keluar-masuk alam gaib?!"

"Apa maksudmu?!" Suto kerutkan dahi.

"Peri Kahyangan mempunyai pintu sendiri untuk keluar-masuk ke alam gaib bagi dirinya maupun bagi para pengikutnya. Pergunakan kesaktianmu itu agar bisa melihat di mana mereka berada!"

Pendekar Mabuk segera ingat tentang noda merah di keningnya yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang. Noda merah itu pemberian dari calon mertuanya; Ratu Gusti Kartika Wangi. Noda merah itu selain sebagai tanda bahwa Suto adalah Manggala Yudha negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib, juga sebagai kunci untuk keluar-masuk alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).

Noda merah di keningnya yang sebesar biji jagung itu jika diusap dengan tangan kiri bisa untuk melihat kehidupan alam gaib, tapi jika diusap dengan tangan kanan membuat Suto dapat keluar-masuk ke alam gaib. Maka Pendekar Mabuk pun segera mengusap keningnya dengan tangan kiri.

Slaaap...! Ia pun lenyap dari pandangan mata dan telah berada di alam gaib. Nirwana Tria menyusul kepergian Suto dengan merapatkan kedua tangannya di dada, blaas...! Nirwana Tria pun menghilang, dan kini berada di alam gaib bersama si Pendekar Mabuk.

* * *

ENAM

TERNYATA di alam gaib itu, Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria melihat sebuah bangunan megah dari batuan putih. Tepi bangunan itu dilapisi logam sejenis emas yang berkilauan. Bangunan itu berada di puncak bukit yang harus didaki dulu oleh Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria. Bukan hal sulit bagi mereka untuk mendaki bukit itu. Masing-masing menggunakan ilmu peringan tubuh dan mampu melesat seperti anak panah.

Zlaaap, zlaaap...! Dalam sekejap mereka sudah mencapai tangga berbatu putih yang menjadi pintu gerbang bangunan megah itu.

"Pantas mereka tak pernah bisa menemukan di mana persembunyian si Bayangan Setan, karena ia tinggal di alam perbatasan ini!" ujar Suto seperti bicara pada diri sendiri.

Nirwana Tria menyenggol lengan Suto dan berbisik, "Dua orang penjaga gerbang mendekati kita!"

"Kau satu yang berbaju merah, aku yang berbaju biru!Setuju?!"

"Yang mana saja aku selalu setuju dengan usulmu, Pria Jelek!" Nirwana Tria masih sempat berseloroh, karena memang ia sangat tenang menghadapi kedua penjaga gerbang yang tadi ada di depan tangga.

Dua orang itu sama-sama berbadan besar dan bersenjata bola berduri. Bola besi itu mempunyai rantai yang berhubungan dengan gagangnya. Mereka sama-sama berwajah lebih angker dari si Wabah Langit.

"Mau apa kalian kemari, hah?!" bentak si baju merah.

Nirwana Tria tidak menjawab, demikian pula Pendekar Mabuk. Keduanya sama-sama lepaskan pukulan jarak lima langkah berupa sinar yang keluar dari tangan mereka. Nirwana Tria keluarkan sinar hijau, dan kebetulan Suto Sinting pun keluarkan sinar hijau dari jurus 'Pecah Raga' yang dipakai menyerang si Gober itu.

Clap, dap...! Blaaar, bleggaarr...!

Tak ada satu kedipan kedua penjaga berwajah angker itu kini menjadi berwajah pucat. Mereka tumbang dalam keadaan hancur tak bernyawa. Bola besi berduri ternyata sia-sia digenggamnya sejak kemarin-kemarin, toh nyawa mereka langsung minggat begitu Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria muncul di depan mereka.

Suara ledakan itu jelas mengagetkan mereka yang ada di dalam bangunan megah tersebut. Dan sudah tentu mereka menangkap datangnya bahaya, sehingga tak heran ketika mereka menghambur keluar menuruni tangga, mereka sudah bersenjata dan siap menghadapi pertarungan. Lebih dari lima belas orang menuruni tangga yang jumlahnya sekitar tiga puluh anak tangga itu. Nirwana Tria dan Pendekar Mabuk tak merasa gentar sedikit pun. Mereka masih tampak kalem.

"Aku menghadapi mereka, kau menembus ke dalam dan cari si Peri Kahyangan! Hancurkan dia sebelum sempat kabur lagi!" ujar Nirwana Tria.

"Kau sanggup menghadapi mereka?!"

"Jangan mengecilkan kemampuanku, Suto!"

"Maaf, kusangka kau hanya bisa menciumku saja!" ujar Suto berseloroh, lalu mereka berdua sama-sama menyongsong orang-orang yang sedang menuruni tangga tersebut.

Pendekar Mabuk berusaha menerobos masuk dengan mengibaskan bumbung tuaknya beberapa kali. Mereka yang terhantam bumbung tuak bertenaga dalam tinggi tak pernah sempat mengerang lebih dari satu kali. Sementara itu, Nirwana Tria dengan Pedang Lidah Naga-nya bergerak cepat melumpuhkan mereka yang pada umumnya buas-buas dan liar-liar.

"Cepat masuk!" seru Nirwana Tria setelah ia menyingkirkan tiga orang yang menghadang langkah Suto Sinting. Tiga orang itu dihantam dari arah samping dengan sinar biru yang keluar dari ujung kedua jari Nirwana Tria. Sinar tersebut menembus pinggang ketiga orang itu dan robohlah mereka tanpa mau bernapas lagi.

Ternyata yang keluar dari bangunan megah itu semakin banyak. Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk berhasil menerabas masuk dengan jurus 'Gerak Siluman'-nya, sementara Nirwana Tria menghadapi mereka dengan kelincahan yang sukar diimbangi oleh mereka.

Pendekar Mabuk tiba di bangsal utama. Beberapa lelaki bertelanjang dada yang mempunyai tubuh kekar dan kulit hitam segera menyerangnya. Namun mereka dapat disingkirkan dalam waktu singkat, sehingga Suto Sinting segera masuk lebih dalam lagi. Salah seorang pengawal bersenjata cambuk menyerang Suto dari belakang.

Ctaaar...! Pendekar Mabuk tersentak dan memekik dengan suara tertahan, karena cambuk itu melilit kuat di bagian dadanya. Makin lama lilitan cambuk terasa makin menjerat dan nyaris menembus ke daging dan tulangnya. Wajah Pendekar Mabuk menjadi merah karena darahnya tak bisa mengalir lagi.

Dengan sentakan kaki pelan, tubuh Pendekar Mabuk akhirnya melambung ke atas dan bersalto mundur. Wuuut...! Tali cambuk berhasil dipegangnya saat ia berada di udara, lalu disentakkan ke depan dengan kekuatan penuh. Wuuut...! Si pemegang cambuk terlempar kuat dan kepalanya membentur dinding dengan keras. Praaak...!

"Aaoww...!" pekiknya memanjang, karena kepala itu segera mengucurkan darah. Pendekar Mabuk cepat lepaskan diri dari lilitan cambuk itu, kemudian ia segera menerjang orang tersebut dengan tendangan kakinya. Wuuut...! Bruuusk...!

"Heeekh...!" orang itu mendelik, lehernya tergencet kaki Suto dengan dinding.

"Di mana si Bayangan Setan itu! Katakan sekarang juga atau kutekan lebih kuat lagi kakiku ini!" hardik Suto.

Orang itu tak mau sebutkan, rupanya ia ingin menjadi pengawal setia si Bayangan Setan. Tapi Suto Sinting semakin memperkuat tekanan pada kakinya sehingga orang itu tersentak dengan mulut terbuka dan lidah terjulur.

"Di mana dia! Katakan, maka akan kulepaskan kakiku ini!"

Orang itu memang tak bisa menjawab, tapi tangannya menuding ke arah sebuah kamar berpintu emas. Kamar itu terletak di lantai atas yang dapat terlihat dari tempat Suto berada.

"Terima kasih!" kata Suto, kemudian melepaskan kakinya sambil menjejak ke atas. Dees...! Prook...! Dagu orang itu remuk, dan kejap kemudian nyawanya pun melayang karena terlalu lama tercekik lehernya oleh kaki Suto.

Pendekar Mabuk menuju ke lantai atas. Ia tidak menggunakan tangga yang ada, melainkan menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Dalam satu gerakan salto ia sudah bisa mencapai lantai atas tersebut. Wuuut...! Weess...! Begitu tiba di depan pintu berlapis emas, Pendekar Mabuk segera sentakkan kakinya menendang dengan tenaga dalam tersalur penuh ke kaki tersebut. Braaakkk...! Pintu pun jebol, lalu seraut wajah cantik yang sedang berbaring di ranjang mewah itu sunggingkan senyum menawan.

"Andani...?!" gumam Suto Sinting kepada perempuan berambut panjang yang telah melepaskan jubah hitamnya yang berbola-bola kuning itu.

"Tak perlu sekasar itu, Suto! Seharusnya kau tahu bahwa aku telah tunduk padamu!" ucap Andani atau si Bayangan Setan yang cantik, sexy, dan menampakkan kemontokan dadanya, ia kini melepas jubah hitamnya dengan mata memandang sayu penuh tantangan bercumbu.

"Aku sudah lama menunggumu di sini, Suto!"

Pendekar Mabuk bagaikan kehilangan semua bahasanya. Lidahnya menjadi kelu manakala kain tipis penutup pinggul itu tersingkap. Tato gambar kupu-kupu terlihat jelas di paha kiri Andani yang dulu pernah bercumbu dengan Suto Sinting itu.

"Tak kusangka kaulah si Bayangan Setan yang keji itu, Andani!" geram Suto Sinting dengan langkah pelan dekati ranjang.

Andani makin perlebar belahan kainnya dengan merenggangkan kaki. Suto Sinting berdebar-debar memandang sesuatu yang mengintip dari balik kain tipis itu.

"Jangan marah padaku, Suto. Aku hanya melakukan tuntutan batinku yang tak bisa kuhindari lagi ini! Barangkali kepada orang lain aku memang kejam, tapi kepadamu sebenarnya aku tunduk, Suto. Datanglah lebih dekat, tak mungkin aku akan menyakitimu, Sayang."

Pendekar Mabuk menarik napas dalam-dalam. "Andani, kau sudah terlalu banyak makan korban. Rasa-rasanya sukar sekali untuk diampuni oleh siapa pun!"

"Apakah kau akan membunuhku?!"

"Tak ada jalan lain untuk menghentikan tindakan kejimu selama ini, Andani. Barangkali aku memang harus mengakhiri masa hidupmu yang sesat tanpa batas lagi itu!" tegas Suto Sinting dengan dada bidang tampak menantang. Dada itu penuh keringat yang membuat mata Andani selalu tertuju ke sana. Perempuan itu tampak bergairah sekali pandangi dada Suto yang penuh keringat dan kekar itu.

"Suto, aku berjanji akan hentikan segala tindakanku, asal aku selalu ada di sampingmu!" tutur Andani dengan suara-suara yang membangkitkan gairah seorang lelaki, ia tetap berbaring dengan siku menopang tubuhnya.

"Kau tak mungkin bisa bersamaku, karena aku sudah mempunyai seorang kekasih!"

"Siapa kekasihmu, Pendekar tampan?" Andani akhirnya bangkit dan turun dari ranjang dengan gerakan lembut, ia berdiri di depan Suto dalam jarak kurang dari satu jangkauan. Sambil menatap dengan mata sayu penuh harap, ia mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab oleh Suto Sinting itu. "Siapa kekasihmu, Sayang?"

"Dyah Sariningrum; Gusti Mahkota Sejati!"

"O, si penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu?!"

"Benar!"

"Aha.... itu bisa kuatasi. Aku dapat kalahkan dia dengan mudah. Sekarang pun bisa kukirimkan penyakit kepadanya dan ia akan mati dalam sekejap. Kau tak perlu takut kepadanya, Suto!" Tangan perempuan itu mulai nakal, walau masih dalam batas mengusap-usap keringat di dada Suto Sinting.

"Aku mau hentikan tindakanku selama ini, jika kau izinkan aku hidup di sampingmu. Aku menyukai kehangatanmu, Suto," bisiknya, lalu tanpa ragu-ragu lagi mengecup dada Suto. Kecupan itu merayap ke kiri hingga menemukan titik hitam di dada Suto, lalu memagutnya beberapa saat sambil tangannya mulai merayap ke bawah dan meremas lembut apa yang ditemukannya disana.

Pendekar Mabuk mulai terbuai dan gairahnya yang tadi tertunda itu terbakar kembali. Tapi ia buru-buru ingat serangan lalat beracun tadi. Maka tubuh perempuan itu cepat-cepat disentakkan menjauh. "Kita bukan sepasang kekasih, namun sepasang musuh, Andani!" tegas Suto Sinting.

"Kau tak mau berdamai denganku, Suto?" ujar Andani dengan nada manja.

"Aku tak punya waktu untuk berdamai lagi denganmu! Roh para korban tak bersalah menuntut tindakanku lebih tegas lagi kepadamu!"

"Kau tak takut kehilangan kemesraanku?"

Pendekar Mabuk membuang bayangan indah saat bermesraan dengan Andani di atas sebuah pohon. Lalu ia segera teringat nasib Rama Jiwana, sang menantu Adipati Jayengrana itu. "Di mana Rama Jiwana?! Katakan, di mana dia?!" bentak Suto Sinting.

Andani menjawab dengan kalem, "Oh, dia satu-satunya lelaki yang bisa lolos dari pelukanku. Tapi dia sekarang terjerat di perkampungan kusta, ia tak tahu seperti apa tempat persembunyiannya itu. Kini ia terkena penyakit kusta dan aku tak mau mendekatinya lagi. Hiiii...!" Sambil berkata demikian, Andani melepaskan penutup dadanya. Bahkan kain penutup bagian bawahnya pun dilepaskan pelan-pelan. "Kau boleh membunuhku, Suto. Tapi berikan aku kemesraanmu yang dahsyat itu sekali saja. Setelah itu kau boleh membunuhku!"

"Tak ada kemesraan lagi bagimu, Andani!"

"Kalau begitu kau sangat mengecewakan diriku, Suto!"

"Sejak dulu seharusnya aku mengecewakan dirimu!"

"Jahanam!" bentak Andani tak sabar lagi. Tangannya disentakkan ke depan dan seberkas sinar biru melesat menghembus dada Suto Sinting kurang dari sekejap.

Claaap...! Jrrub...!

"Aaaakh...!" Suto terlempar ke belakang dan membentur dinding. Dadanya hangus dan hawa panas bagai merambat ke sekujur tubuh. Ia segera menenggak tuaknya. Namun baru tertenggak sedikit, Andani telah mengibaskan tangannya tanpa bergerak dari tempatnya. Wuuut...!

Buuuekh...! Suto Sinting bagaikan dihantam dengan kayu balok besar. Tubuhnya yang sedang menenggak tuak itu terlempar dan membentur dinding sebelahnya. Brruussk...! Tuak tumpah, namun tak semuanya. Pendekar Mabuk mengerang sambil menutup tuak. Ia segera mengerahkan tenaganya untuk menahan rasa sakitnya.

"Aku sudah siap mati bersama, Suto!" Clap, clap, clap... !

Tiba-tiba dari tiga sisi dinding keluar sinar merah serempak ke arah Suto Sinting, padahal tangan Andani hanya dijentikkan seperti memanggil seekor ayam. Tiga sinar itu bergerak cepat, membuat Suto Sinting hanya bisa melesat ke atas hingga kepalanya membentur langit-langit kamar.

Duuukh, blegaar...!

Ledakan dahsyat terjadi saat ketiga sinar itu saling bertemu di tempat berdiri Suto tadi. Anehnya, dinding kamar tersebut tak menjadi jebol, sedangkan barang-barang lainnya menjadi porak poranda. Andani tetap berdiri di tempat dengan wajah berangnya.

Suto Sinting jatuh di lantai bagai terbanting karena kepalanya membentur langit-langit kamar dengan keras. Namun ia sempat berpikir ketika Andani mendekatinya, dan kedua kaki Andani ada di depan wajahnya.

"Kalau dia sudah siap mati bersama, ini berbahaya!" sambil Suto teringat kata-kata Nirwana Tria tadi. "Aku harus membujuknya agar ia tak punya niat mati bersama."

Dengan suara ketus, si Bayangan Setan berkata, "Mengapa kau tak menyerangku, hah?! Tak mampukah kau melakukannya?"

"Aku tak tega!" jawab Suto. "Aku teringat kemesraan yang pernah kita nikmati di atas pohon saat itu!"

"Hik, hik, hik, hik...! Dan kau rupanya ketagihan, Suto?"

"Jangan berkata begitu. Aku malu, Andani!" sambil Suto masih duduk di lantai dan mendongakkan kepala.

Andani yang sudah tak berlapis apa pun itu menyeringai kegirangan. "Tunjukkan sikapmu yang ketagihan itu, Suto...," sambil Andani mendekatkan paha ke wajah Suto. Paha itu tersentuh bibir Suto. Bibir itu sengaja memagut pelan. Andani mulai mendesis kecil, ia mengangkat satu kakinya, ditumpangkan di atas sebuah bangku yang tadi terpental dan jatuh dalam posisi miring itu.

"Kecuplah seperti dulu lagi, Suto... ooh, naikkan kecupanmu, terus naiiik.... Ooh...!"

Tapi tiba-tiba tangan Suto yang memegangi bambu tuaknya segera menyodok ke atas dengan tenaga dalam penuh. Sodokan itu tepat kenai 'mahkota' kenikmatannya. Wuuut, jraaab...!

"Aaaaa...!" Andani alias si Bayangan Setan memekik keras-keras, ia tak tahu bahwa Suto sudah mengetahui di mana letak kelemahannya, ia tak menyangka bumbung tuak itu akan menyodok 'mahkota'-nya hingga hancur dan menyemburkan darah. Untung tubuh itu segera melayang dan membentur dinding, sehingga semburan darah tak sampai membasahi wajah Suto.

Tubuh Andani jatuh bersimbah darah. Darah pun membanjir di lantai. Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah hancurkan rahasia si Bayangan Setan yang jago rayu itu. Tapi agaknya Andani masih belum kehilangan nyawanya, ia masih bisa bangkit berdiri dengan sempoyongan. Wajahnya berubah menjadi tua, keriput, dan kulitnya pecah-pecah menyeramkan. Rambutnya pun memutih dan mulai rontok helai demi helai. Giginya meruncing berwarna hitam mengerikan.

"Kau mengkhianatiku, Suto...! Kau menyakitiku...! Hrrrk...!" Ia menyeringai sambil mengangkat kedua tangannya yang mulai berkuku panjang dan hitam itu. Pendekar Mabuk segera bangkit, namun tiba-tiba tubuh tua menyeramkan itu melayang dengan cepat menerkam leher Pendekar Mabuk.

"Haarrrhh...!"

Weeesss...! Crrraass...!

Kuku-kuku runcing itu menancap di leher Suto, mencengkeram kuat membuat napas Suto terhenti seketika. Namun dalam keadaan segenting itu, tangan Suto masih sempat menyodok ke depan dalam keadaan jari tangan lurus dan miring. Beeet...! Zuuurrb...! Sinar perak telah terlepas dari ujung tangan Suto dan menembus ke perut si Bayangan Setan. Seketika itu cengkeraman kesepuluh kuku itu melemah. Suto Sinting segera tarik diri dan jatuh bersimbah darah. Luka di lehernya sangat parah.

Sementara si Bayangan Setan akhirnya tumbang dalam keadaan tubuhnya terpotong-potong pada setiap persendiannya. Jurus 'Yudha' telah digunakan Suto dalam keadaan sangat terpaksa seperti tadi, dan jurus itulah yang mengakhiri riwayat hidup si Bayangan Setan alias Peri Kahyangan.

"Sutooo...! Sutooo...?!" suara Nirwana Tria terdengar berlari-lari di lantai bawah. Suto Sinting tersandar di dinding dalam keadaan leher robek dan mengucurkan darah.

Ketika Nirwana Tria berhasil temukan Suto, gadis itu memekik kaget dan segera menghambur memeluk Suto Sinting. "Suto...?! Kau terluka...?! Ooh...! Kau terluka, Suto...!"

"Tak apa...," suara Suto serak. "Aku hanya tak kuat mengangkat bumbung tuakku. Beri aku minum tuakku ini, Tria...!"

"Ba... baik! Baik...! Buka mulutmu, Sayang...!" Nirwana Tria sempat panik. Tapi untung ia dapat menuangkan tuak ke mulut Suto dan luka Suto pun bisa segera teratasi.

"Semuanya sudah hancur, Suto! Semuanya sudah binasa!" ujar Nirwana Tria.

"Bayangan Setan pun sudah binasa! Lihatlah dia...!" sambil Suto menuding potongan tubuh si nenek tua yang sebenarnya adalah wujud asli si Bayangan Setan alias Peri Kahyangan itu.

Nirwana Tria akhirnya tertawa sambil memeluk Suto, lalu mereka segera keluar dari alam gaib dengan senyum kemenangan. Suto Sinting sengaja sempatkan diri menenteng kepala nenek tua itu sebagai bukti bahwa si Bayangan Setan telah tiada.

Kematian Bayangan Setan segera menyebar ke mana-mana. Nama Suto Sinting dan Nirwana Tria pun ikut menjadi bahan pembicaraan tiap tokoh persilatan. Sementara itu, Rama Jiwana berhasil ditemukan Suto di perkampungan penderita kusta, ia tak berani pulang ke kadipaten karena tertular penyakit yang mengerikan itu.

Tapi Suto Sinting segera menyembuhkan Rama Jiwana dengan tuaknya. Bahkan para penduduk perkampungan kusta itu pun kini menjadi sehat dan tak pernah menderita penyakit kusta lagi sejak mereka meminum tuak sakti si Pendekar Mabuk.

SELESAI


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.