Serial Pendekar Mabuk
Tabib Sesat
Karya Suryadi
Tabib Sesat
Karya Suryadi
SATU
MALAM berbintang mirip jerawat perawan puber. Langit cerah bagai bentangan selimut janda kesepian. Rembulan muncul di tepi langit, bundar besar dan berwarna kuning, mirip bagian tengah telur mata sapi. Langit berlukiskan keindahan alam itu menjadi pusat perhatian setiap orang, terutama para tokoh rimba persilatan yang mengerti tanda-tanda keramat tentang malam purnama itu.
Banyak mata yang tersembunyi di balik kerimbunan semak. hutan, serta dedaunan lainnya. Mereka tak mau tampakkan diri, bak hantu-hantu malam yang mengintai bayi baru lahir. Mereka menyebar di sela-sela persembunyian sepanjang Pantai Mindar.
"Sudah malam begini, kenapa belum muncul juga? bisik seseorang kepada temannya yang sama-sama bersembunyi di celah-celah batu karang.
“Mungkin sebentar lagi. Sabar sajalah!"
“Kalau ternyata dia tidak muncul bagaimana?"
“Kita muncul sendiri!" jawab temannya.
“Brengsek! Kakiku sampai kesemutan.“
“Kakiku justru terasa hangat."
“Kok bisa hangat?"
"Entah kotorannya siapa yang kuinjak sejak tadi ini."
Bisik-bisik sejenis itu banyak terjadi di sepanjang Pantai Bandar. Perahu-perahu nelayan ditambatkan tanpa penunggu. Tak ayal lagi perahu- perahu nelayan itu dipakai tempat bisik-bisik pu!a oleh mereka yang menunggu pemunculan sesuatu yang keramat.
Malam itu, peristiwa yang kelak akan menjadi sebuah legenda atau cerita rakyat akan terjadi di Pantai Bandar. Seorang putri bidadari akan muncul untuk menemui ayahnya; seorang petapa sakti yang dikenal dengan nama Paderi Moyang. Gadis anak bidadari itu akan berkuasa di Bukit Caraka, menjadi perantara suci antara manusia dengan dewa. Gadis anak bidadari yang keramat itu dikenal dengan nama Putri Merak.
Siapa pun yang bisa memakan jantung Putri Merak, maka orang itu akan hidup selama seribu tahun lagi. Tetapi barang siapa bisa menjadi pengawal dan penyelamat Putri Merak, maka keturunan pertama orang itu akan mendapat sukma warisan dari Paderi Moyang. Seluruh ilmu dan kesaktian sang petapa akan menitis pada bayi pertama si penyelamat Putri Merak.
Sang petapa sakti yang pernah dikabarkan mati secara moksa, lenyap tanpa bekas, telah memilih seorang gadis untuk menjadi pendamping kehadiran putrinya itu. Gadis yang dipilih oleh Paderi Moyang adalah murid Raja Mantra yang dikenal dengan nama Utari. Oleh sebab itu, Utari diberi tanda oleh Paderi Moyang berupa kalung Batu Kasumbi, agar ia dikenal dan dipercaya oleh Putri Merak sebagai pengawal pilihan sekaligus utusan dari Paderi Moyang.
"Aku heran, mengapa si Utari yang dipilih sebagai pengawal Putri Merak? Padahal ilmunya Utari tidak seberapa tinggi. Masih banyak gadis seusia Utari yang ilmunya lebih tinggi dan lebih bisa menjamin keselamatan Putri Merak. Mengapa Paderi Moyang mempercayakan keselamatan Putri Merak di tangan kepada Utari?!"
Seseorang membalas suara kasak-kusuk temannya di balik persembunyian mereka. "Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Paderi Moyang sehingga mempercayakan keselamatan putrinya di tangan Utari. Pertama, karena Utari gadis yang masih perawan. Belum pernah kemasukan ‘maling’ tanpa mata."
"Hiik, hik, hik, hik...! Maling tanpa mata itu apa?" canda temannya.
"Kurasa kau tahu sendiri. Lalu, menurutku pertimbangan Paderi Moyang kedua: Utari adalah murid dari sahabatnya, yaitu Ki Wiramba alias si Raja Mantra. Pertimbangan yang ketiga: Utari dan kakaknya yang bernama Rinayi, sebenarnya adalah gadis berdarah biru. Mereka anak Prabu Balayudha, dari Kerajaan Pa- inpnll, Negeri tersebut sekarang sudah lenyap tersapu alam; banjir dan badai besar. Tak seorang pun penduduk negeri itu yang masih hidup kecuali Utari dan Rinayi. Sebab sewaktu terjadi bencana alam yang mengerikan itu, mereka berdua masih berguru di Muara Angker, tempat si Raja Mantra memperdalam jurus-jurus saktinya, termasuk jurus mantra yang mempunyai kedahsyatan mengagumkan itu."
"Ooo... jadi Utari itu anak raja?" sang teman manggut-manggut dengan suara gumam pelan.
Tentu saja orang di sampingnya itu bisa jelaskan perihal latar belakang kehidupan Utari, sebab orang tersebut punya hubungan dekat dengan Raja Mantra. Bahkan pernah bertemu tiga kali dengan Paderi Moyang. Orang itu adalah seorang wanita muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mempunyai wajah cantik, bertahi lalat di sudut kiri bibir atasnya. Matanya agak lebar, indah, dan bertepian hitam, berbibir tebal menggairahkan untuk dipagut.
Ciri-ciri yang paling khas bagi wanita muda itu terletak pada payudaranya. Dialah satu-satunya wanita di dunia yang mempunyai delapan payudara. Ciri-ciri itu pernah dibuktikan sendiri oleh Pendekar Mabuk, dan si murid sinting Gila Tuak itu sernpat terkejut melihat wanita itu mempunyai delapan payudara yang terletak di dada, punggung, pinggang, dan yang kecil terletak di sekitar pangkal pahanya. Wanita muda yang berperawakan tinggi, sekal, berwatak tegas dan berani itu tak lain adalah si Puting Selaksa, muridnya Resi Parangkara dari Teluk Sendu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Wanita Keramat).
Memang dialah yang berjuluk Wanita Keramat, karena dia pernah menerima keajaiban 'Rona Dewaji, berupa sinar merah dan rembulan yang sedang purnama dan membuat tubuhnya saat itu menjadi berwarna hijau kristal. Rona Dewaji adalah gaib kekuatan kasih yang dimiliki para dewa. Kesaktian gaib Rona Dewaji itu akan membuat orang yang menerimanya selalu mengalami keberuntungan, keselamatan, dan kebahagiaan turun-temurun.
Mendengar kabar kernunculan Putri Merak, Puting Selaksa segera bergegas ke Pantai Bandar. !a bersama-sama seorang sahabatnya yang bernama Mayangsita dari Lembah Randu. Bagi Pendekar Mabuk, gadis bernama Mayangsita itu bukan orang asing lagi. Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk sangat kenal dengan Mayangsita, dan ia tahu betul bahwa Mayangsita adalah murid Eyang Panujum. Gadis itu selalu menjadi gugup dan latah jika berhadapan dengan pemuda tampan yang sekiranya membuat hatinya kagum dan berdebar-debar, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Bayangan Setan dan Mahkota Penjerat Hati).
Mayangsita mengenakan baju tanpa lengan dan celana warna hitam. Rambutnya pendiek sebahu tanpa ikat kepala. la juga termasuk gadis yang cantik. Berdada sekal, berbibir ranurn dan punya senyum yang bisa membuat hati pemuda deg-degan. Ia bersenjata pedang diselipkan pada ikat pinggangnya yang berwarna hijau. Sedangkan Puting Selaksa, mengenakan baju berlengan panjang dan celana warna hijau tua. Rambutnya panjang, disanggul asal-asalan, sisanya berjuntai sebatas bahu seperti ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah bintik-bintik putih. la tampak lebih kekar dan lebih montok dari Mayangsita.
Mereka datang ke Pantai Bandar bukan untuk membuat kekacauan. Pada dasarnya mereka ingin melihat kemunculan si putri bidadari asli dari kayangan itu. Tetapi tentu saja mereka siap lakukan tindakan jika bahaya datang mengancam keselamatan Putri Merak atau Utari. Sebab, Puting Selaksa sendiri juga kenal baik dengan Utari dan Rinayi.
Angin laut berhembus sepoi-sepoi basah kuyup, terutama bagi yang berada di kedalaman aimya. Suasana Pantai Bandar berkesan lengang. Para penduduk desa nelayan di pantai itu tak tahu akan ada peristiwa besar di tempat tersebut, sehingga mereka sibuk menyusuri mimpinya, tapi ada juga yang sibuk menyusuri tubuh istrinya.
Di sisi barat, sebuah tebing karang menjulang tinggi. Di atas tebing itu tampak bayangan hitam yang berdiri menatap ke perairan pantai. Sosok bayangan itu bagaikan ada di tengah rembulan, karena jika dilihat dari pantai, sang rembulan ada di belakang sosok bayangan tersebut.
Semua pengintai tahu, di sana ada bayangan yang berdiri tegak tanpa gerak. Seakan bayangan itu adala sang maut yang menunggu mangsanya. Tetapi para pengintai tak pernah mau pedulikan bayangan hitam itu. Mereka cenderung memperhatikan perairan pantai, menunggu kemunculan si anak bidadari asli dari kayangan itu.
"Aaoooouuu...!!" Terdengar lolongan panjang mengalun bagaikan ingin memenuhi bumi. Lolongan panjang yang menyeramkan itu datang dari si bayangan hitam di puncak tebing. Lolongan itu adalah suara serigala yang kegirangan saat menatap rembulan memancarkan cahaya purnamanya.
Ombak lautan mulai bergulung-gulung. Air laut tampak pasang. Biasanya ombak lautan di Pantai Bandar tidak sebesar itu. Air laut memang sering pasang. tapi tidak sampai menggenangi pesisir pantai di depan rumah penduduk desa nelayan. Malam itu air laut bagaikan merayapi ingin masuk ke rumah-rumah penduduk desa nelayan. Anak kepiting dan anak ikan bermain di halaman rumah orang, Untung bukan anak ikan paus.
Hembusan angin makin lama semakin kencang. Suara deru ombak menghantam tebing karang terdengar bergemuruh meremangkan bulu kuduk setiap orang. Pohon-pohon kelapa dan pohon yang non kelapa meliuk-liuk kearah barat. Pohon-pohon itu seolah ingin diterbangkan oleh sang angin.
Makin lama hembusan angin terasa tidak akrab. la datang bersama pasukan badai. Bahkan di tengah lautan terjadi pusaran badai yang melingkar membentuk cerobong ke arah langit. Air laut menjulang tinggi dalam gerakan memutar sebegitu dahsyatnya. Seolah-olah pusaran badai laut itu menghantarkan gelombang samudera untuk naik ke langit dan mencaplok rembulan.
Suasana di Pantai Bandar menjadi menyeramkan. Gugusan karang-karang yang menjulang di sana-sini tampak bergetar. Sepertinya ada kekuatan dahsyat yang mengguncang samudera dari dasar lautan. Bahkan tanah di sekitar Pantai Bandar itu juga terasa bergetar, seakan ingin amblas ke bawah di telan bumi.
Glegaaamrrrrrr...!!
Itu bukan suara orang batuk. Itu suara petir yang mengguntur di angkasa. Cahaya birunya yang mirip seekor naga itu berkerilap dengan gerakan gesit, seakan ingin membelah rembulan. Cahaya biru itu berkerilap beberapa kali tanpa diiringi mendung dan rintik hujan. Langit tetap bersih dan cahaya rembulan tetap bersinar.
Cralaap... clap, clap, clap...! Jegaaarrr!
"Puting Selaksa... aduh, bagaimana ini?! Celanaku basah!" bisik Mayangsita.
"Ah, kau ini seperti anak kecil saja. Dengan suara petir dan deru badai saja takut, sampai celananya basah! Uuuh.”
"Bukan basah karena takut, tapi air laut menjadi makin naik dan membasahi celanaku."
"Makanya jangan jongkok di situ!"
"Habis jongkok dimana? Di atas rembulan?” ujar Mayangsita bersungut-sungut, toh akhirnya ia pindah di belakang Puting Selaksa.
Sebenarnya Mayangsita ingin berbisik lagi kepada Puting Seiaksa, tapi muiutnya bagaikan kaku secara mendadak. Lidahnya seperti berubah menjadi lempengan besi baja, sukar ditekuk. Hal itu disebabkan oleh datangnya cahaya biru terang dari langit.
Cahaya biru terang yang berkesan indah itu meluncur dari langit ke pusaran arus badai laut yang ada di tengah samudera sana. Seolah-olah ada dewa yang menyorotkan lampu senternya ke permukaan air laut untuk mencari ikan teri berjubah. Yang jelas, cahaya biru terang itu sangat indah dipandang mata dan mendebarkan hati. Siapa pun yang memandang cahaya biru terang itu hatinya akan diiliputi perasaan tenteram, damai, dan bahagia sekali tanpa tau apa sebabnya. Tak heran jika Mayangsita dan Puting Seiaksa sama-sama terperangah kagum memandang cahaya biru indah itu.
Semua mata pengintai tertuju ke pusaran badai laut itu. Mereka mencoba mempertajam penglihatannya agar dapat menemhus cahaya biru yang makin lama makin menyilaukan tapi tetap dalam keindahan tiada duanya itu. Namun mata mereka tetap tak dapat melihat karena silaunya cahaya, sehingga tak tahu apa yang terjadi di balik kemilau cahaya biru tersebut.
Bahkan ada pengintai yang sama sekali tak bisa melihat cahaya biru indah itu, karena kedua matanya disapu angin kencang, dan angin itu membawa debu ke matanya. Orang tersebut sibuk mengucal-ngucal kedua matanya dengan panik, karena ia takut kehabisan pemandangan indah tersebut.
"Menakjubkan sekali...?!" gumam Mayangsita dalam hati, mewakili kekaguman hati orang-orang di sekitar Pantai Bandar.
Hal yang membuat mereka kagum sekali adalah keajaiban yang terjadi pada malam itu, di mana cahaya biru terang yang indah itu menyebar ke permukaan air iaut, membuat laut menjadi berwarna kemilau biru terang. Pusaran badai laut itu telah hilang. Kini permukaan laut menjadi rata. Datar dan bening, seperti lempengan kristal mewah. Gerakan air laut sangat pelan, sehingga nyaris tampak tidak bergerak.
Bagi mereka yang kakinya terendam air laut, ia dapat merasakan kehangatan air tersebut. Kehangatan itu mengalir ke seluruh tubuh dan membuat hatinya menjadi semakin berdebar-debar penuh keindahan misterius. Hembusan angin pun tidak sekencang tadi. Kali ini angin berhembus pelan, kalem, tapi berwibawa. la menyapu alam sekitarnya. Setiap benda yang disapu angin itu seolah-olah mendatangkan keindahan, termasuk hati tiap manusia.
Suasana di Pantai Bandar menjadi sangat romantis. Sepi tapi hangat. Hening tapi penuh semangat. Tak heran jika para penduduk desa nelayan yang sudah punya keluarga menjadi terbangun saling raba-meraba... mencari selimut agar bisa menenggelamkan diri dalam impian yang lebih indah lagi.
Tiba-tiba cahaya biru dari langit itu mengecil, membentuk seperti pilar tinggi. Lautan tampak seperti menyangga langit dengan pilar cahaya itu. O, ya...! Sejak tadi bayangan hitam di atas tebing itu melolong panjang berkali-kali. Lolongannya terdengar merdu dan mirip nyanyian malam penghantar cumbu.
"Aaaauuuuu...! Aaauuuuu...!"
"uh, ah! Gelap!" ujar hati salah seorang pengintai yang sengaja menikmati suara lolongan misterius itu.
Para pengintai memang semakin berdebar-debar, terlebih setelah pilar cahaya biru yang mirip tiang penyangga langit itu semakin mengecil, mengecil..., dan kecil sekali. Akhirnya cahaya biru itu menjadi seperti tiang bendera yang amat tinggi. Benar-benar mirip tiang bendera. Hanya saja siapa yngg akan mengerek bendera jika tiangnya setinggi itu? Pasti membutuhkan tiga kali pingsan untuk mengerek bendera sampai ke ujung atasnya yang menembus langit itu.
Tiba tiba cahaya biru kecil itu bagaikan putus diujunng atasnya. Kemudian cahaya itu bergerak meliuk-liuk dengan cepat. zuuub, zuub, zuub... zrraab!
Astaga! Cahaya itu berbentuk seperti kereta berkuda! Pekik Mayangsita dalam bisikan. Puting Selaksa tersentak kedepan karena kaget, telinganya seperti disembur hawa panas dari mulut Mayangsita yang membisik kaget itu.
"Aaaauuuuuu...!!" suara lolongan terdengar lagi.
Pada saat itu, cahaya biru yang membentuk kereta berkuda itu lenyap. Zaaab...! Kini tinggal pijar-pijarnya saja. Dan mereka memang melihat bentuk kereta berkuda yang diiapisi cahaya pijar biru seperti cahaya kunang-kunang.
"Mengagumkan sekali! Baru sekarang kulihat pemandangan yang..."
"Ssst...! Brisik, ah!" sentak Puting Selaksa dengan dongkol kepada Mayangsita.
Kereta cahaya itu bergerak mendekati arah pantai. Semua mulut para pengintai saling berkasak-kusuk heboh.
"Dia datang... dia datang!"
"Siapa yang datang? Mertuaku?!"
"Tolol! Dia datang...! Putri Merak itu datang dengan kereta cahaya! Lihat... lihat...!"
"Ya, lihat... lihat kebunku, penuh dengan bunga, ada yang... biru dan ada yang merah."
"Husy...!"
"Maksudku,.. maksudku, lihat si Putri Merak itu. Dia menunggang kereta cahaya yang ditarik kuda-kuda bercahaya biru. Ooh, alangkah indahnya kuda-kuda itu."
"Aaauuuuuuuuu!!" Suara lolongan dari atas tebing semakin keras dan panjang. Seakan bayangan hitam di sana mengucapkan selamat datang kepada anak bidadari asli dari kayangan. Tetapi perlambang apakah bayangan hitam yang tampak bagaikan menodai rembulan kuning itu? Hanya beberapa orang yang berpikir demikian.
Pada umumnya mereka memusatkan perhatiannya ke arah gerakan kereta cahaya yang ditarik dengan enam ekor kuda biru fosfor. Anehnya, tak ada suara derap kaki kuda, atau kecipaknya air laut yang digunakan alas berjalan kereta kuda tersebut. Sampai di gugusan karang yang sangat dekat dongan pantai, kereta cahaya itu berhenti.
Nyala pijar birunya masih bisa menerangi alam sekeliling gugusan karang tersebut. Ditambah lagi, cahaya rembulan juga bersinar semakin terang, seakan habis ditambah minyaknya. Hal itu membuat tiap pasang mata pengintai melihat munculnya seorang gadis cantik dari dalam kereta cahaya.
Gadis cantik itu berambut panjang meriap-riap, Mengenakan mahkota kecil berbatu putih berkerilap terkena pantulan rembulan. Wajah si gadis terkena sinar cahaya keretanya, sehingga setiap orang dapat melihat bentuk kecantikan yang amat mengagumkan itu.
Gadis tersebut mengenakan kain warna pink, merah muda sekali. Kainnya halusdan lembut, meriap-riap dihembus angin kalem. Pinjung penutup dadanya juga warna pink. Pakaian merah muda sekali itu dilapisi dengan jubah lengan panjang tak dikancingkan bagian depannya. Jubah itu berwarna hijau muda dengan hias- an bulu-bulu merak yang menempel bagaikan disulam- kan pada jubah tersebut. Indah sekali, berkesan merah.
"Oooh... cantiknya bukan main...?" desah suara siapa saja yang memandang penuh rasa kagum pada gadis yang baru keluar dari kereta cahaya. Gadis itulah yang disebut-sebut sebagai Putri Merak.
"Mengapa ia diam saja di atas batu karang itu?"
"Mungkin menunggu penjemputnya," bisik Puting Seiaksa kepada Mayangsita.
Tiba-tiba dari arah timur muncul serombongan orang berpakaian serba kuning. Mereka adalah orang-orang pengusung tandu. Di depan mereka tampak seorang gadis melangkah dengan gagah yang mengenakan pakaian keprajuritan, lengkap dengan pedang panjang. Kalau berjalan... prok, prok, prok. Pisau terbang yang bergelantungan di sekeliling pinggangnya itu menyentuh baju besi, hingga terdengar suara prok, prok, prok jika dipakai berjalan.
"Oh, itu dia rombongan penjemput Putri Merak," bisik Mayangsita. "Ya, tapi..., bukankah... bukankah dia si Hindayani orang dari Lembah Ajal?!"
"Lho, mengapa bukan Utari?!"
"Entahlah. Kita lihat saja apa yang dilakukan oleh Hindayani itu!"
Gadis berlangkah tegap itu segera berlutut satu kaki dan tundukkan kepala di depan Putri Merak. "Selamat datang, Putri Merak. Aku diutus ayahandamu untuk menjemputmu dan membawamu ke Bukit Caraka!"
"Oh, terima kasih sekali atas budi baikmu. Tapi tunjukkan padaku kalung Batu Kasumbi yang menjadi tanda bahwa kau adalah utusan ayahandaku!"
Hindayani keluarkan kalung dari dalam baju besinya. Kalung itu digenggam dan ditunjukkan kepada Putri Merak. "Inilah kalung Batu Kasumbi yang menjadi tanda bahwa aku adalah utusan Eyang Paderi Moyang!"
Putri Merak tersenyum manis. "Kau menipuku, Sobat," ujarnya dengan kalem.
Tiba-tiba dari langit muncul cahaya petir. Craalp... Craalp.. Blegaaarr...! Semua mata pengintai terperanjat melihat tubuh Hindayani disambar petir bersama orang-orangnya yang bertugas mengusung tandu. Hindayani dan orang-orangnya lenyap tanpa bekas. Bahkan sisa tanndunya pun tak ada.
“Gila! Ke mana si Hindayani itu?!” gumam Mayangsita.
"Ia termakan kutuk. Kudengar, siapa pun yang mencoba membohongi Putri Merak akan termakan kutuk. Entah kutuk bagaimana. Rupanya kutuk itu membuat si pendusta lenyap tanpa bekas seperti itu. Mmmmm menyeramkan sekali!"
Putri Merak masih berdiri di tempatnya, tak jauh dari kereta cahaya. Ia seperti seorang gadis sedang menunggu kekasihnya yang sudah janjian mau bertemu di situ. Tak lama kemudian, seorang wanita muda berkuda muncul dari arah kedalaman hutan pantai. Perempuan berkuda itu kenakan jubah biru terang. Gerakan menunggang kuda tampak gesit dan lincah. Sebilah pedang disandang di punggungnya.
"Ooh, siapa yang datang itu, Puting Seiaksa?"
"Hmmm... sepertinya dia orang Gua Batur. Aku mengenali jubahnya yang biru bersulam benang merah bergambar bunga mawar itu!" ujar Puting Selaksa. "Tapi aku tak tahu siapa namanya," tambah Puting Seiaksa.
Perempuan muda itu segera melompat turun dari punggung kuda. la buru-buru berlutut di pasir kering depan Putri Merak. "Maaf, Putri Merak... aku datang terlambat karena jalanan macet. Maksudku... banyak penghalang yang ingin merebut tugasku sebagai penjemputmu, Putri Merak!"
"Oh, jadi kau yang ditugaskan ayahandaku untuk menjemputku?"
"Benar, Putri Merak!"
"Kau membawa kalung Batu Kasumbi?"
"Semula membawa, tapi di perjalanan direbut oleh lawanku. Maka aku buru-buru kemari sebelum lawan tiba lebih dulu dengan membawa Batu Kasumbi itu."
Putri Merak sunggirigkan senyum manisnya. "Sinar matamu menampakkan kebohonganmu, Sobat! Kau telah mendustaiku!"
"Aku tidak dusta! Aku benar-benar..."
Jegaaarrr...! Kilat biru menyambar gadis penunggang kuda itu. la lenyap bersama kudanya juga. Itu menandakan bahwa dia bukan pengawal utusan Paderi Moyang.
Melihat kenyataan seperti itu, bagi mereka yang siap-siap ingin menyamar sebagai utusan Paderi Moyang mulai ciut nyalinya. Mereka tak berani lakukan rencana untuk berpura-pura menjadi utusan Paderi Moyang, karena siapa pun yang berbuat demikian akan lenyap tanpa bekas disambar petir misterius. Agaknya Putri Merak tak dapat ditipu dengan cara apa pun. Dan sang putri tampak masih menunggu hadirnya kejujuran dengan sabar.
Tak berapa lama, seorang gadis melompat dengan cepat dari atas sebuah pohon. Wuut, wuut...! Jleeg...! Gadis itu mendaratkan kakinya di pasir kering depan Putri Merak.
"Nah, itu dia si Utari...!" sentak suara bisik Puting Selaksa.
Rupanya Utari sejak tadi sengaja menunggu di atas pohon. Keadaan di sekitarnya dipelajari lebih dulu sebelum akhirnya ia muncul menghadap Putri Merak. Utari gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun, dengan baju jingga dan celana ungu tua ternyata sudah sembuh dari luka-lukanya saat dilarikan oleh kakaknya dari pantai jalang. Kini ia tampak sehat seperti tak pernah menderita luka apapun.
la berdiri dengan tegap, tampak sebagai sosok gadis pemberani. Dengan tangan kiri ditaruh di atas pedang sarung perunggu yang diselipkan di pinggang kirinya, Utari yang bergiwang merah itu rapatkan kedua kaki dan memberi anggukan sebagai sikap menghormat.
"Siapa kau, Sobat?" tegur Putri Merak dengan ramah.
"Aku yang bernama Utari, utusan Eyang Paderi Moyang untuk menjemput dan membawamu ke Bukit Caraka!"
"Mana buktinya kalau kau utusan ayahandaku?"
Utari keluarkan kalung berbatu hijau dalam lipatan kain celana ungunya. Rupanya selama ini kalung Batu Kasumbi disembunyikan Utari dalam lipatan celananya, sehingga tak mudah diketahui lawan yang ingin menyerobotnya. Kalung itu sengaja tak dikenakan oleh Utari. karena takut akan memancing perhatian pihak lain yang ingin memiliki kalung tersebut.
Setelah berhadapan dengan Putri Merak, kalung itu sekarang dipakai oleh Utari. Batu hijau pada bandul kalung bertali hitam itu memancarkan sinar hijau sangat terang dan hanya sepintas saja. Claaap...! Sinar hijau itu menerpa wajah Putri Merak, membuat sang putri percaya bahwa dia sudah berhadapan dengan seorang utusan dari ayahnya. Putri Merak pun menengok ke samping kanan, bagaikan bicara pada enam ekor kuda cahaya tersebut.
"Turangga Surya... kembalilah menghadap Ibu dan katakan aku sudah bertemu dengan penjemputku!"
Zruuubs...! Tiba-tiba kereta bercahaya biru itu lenyap tanpa bekas lagi. Warna air laut pun berubah menjadi seperti biasanya: biru kehijau-hijauan. Cahaya dari kalung Batu Kasumbi pun telah hilang sejak tadi. Kini cahaya yang ada hanyalah sinar rembulan bundar bak martabak di atas penggorengan.
"Utari, bawalah aku ke Bukit Caraka sekarang juga!"
"Baik, Putri...!" Utari menyelipkan kedua jarinya ke mulut dan ditiupnya jari itu.
Suiiiittt...! Suara suitan itu merupakan tanda bagi seseorang. Maka dari arah barat muncul seorang gadis menunggang kuda sambil menuntun seekor kuda kosong tanpa penumpang. Gadis berbaju merah yang menunggang kuda itu adalah Rinayi, kakak kandung Utari yang pernah menjadi anak buah tokoh sesat: Hantu Asmara, Hingga kesuciannya sudah tidak tersisa lagi.
Rinayi memberikan hormat kepada Putri Merak saat diperkenalkan oleh Utari. Sang putri segera naik ke atas punggung kuda putih, sedangkan Utari menunggang kuda hitam yang tadi ditunggangi Rinayi.
"Utari hati-hati!" pesan sang kakak sebelum Utari dan Putri Merak akhirnya pergi meninggaikan Pantai Bandar.
Wuuus, wuuut, weers, blaas, blaass...!
Rinayi terperangah kaget. Ternyata banyak bayangan yang berkelebat dari sisi lain ke arah yang sama dengan tujuan Utari dan Putri Merak.
"Celaka! Ternyata banyak orang yang membayang-bayangi Utari dan Putri Merak?! Pasti mereka ingin membunuh Putri Merak dan memakan jantungnya! Ooh, aku harus segera hubungi Guru agar Utari dan Putri Merak lolos dari hadangan mereka!"
Rinayi pun bergegas lari ke arah barat. la menuju ke tempat di mana sang Guru dan Rupa Setan bersembunyi bersamanya, menunggu saat-saat kemunculan Putri Merak. Namun alangkah terkejutnya Rinayi setelah mengetahui tempat itu kosong. Raja Mantra, gurunya, dan si Rupa Setan yang pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti itu, telah lenyap dan tidak ada di tempat. Rinayi kebingungan mencari sang Guru untuk melaporkan bahaya yang membayang-bayangi Utari dan Putri Merak itu.
* * *
DUA
Bayangan hitam di atas tebing yang melolong itu, ternyata adalah si manusia serigala berbulu hitam. Tanpa uban selembar pun. Dan manusia serigala itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang. la akrab juga dikenal dengan nama Suto Sinting.
Sang pendekar tampan yang bertubuh tinggi, gagah, dan kekar itu sedang mengalami musibah dalam hidupnya. la terkena jurus 'Siluman Serigala' akibat pertarungannya dengan pertapa berilmu tinggi dari aliran hitam yang dikenal dengan nama Belah Nyawa. Pertarungan itu terjadi bukan saja berdasarkan dendam si Belah Nyawa kepada Suto, yang telah menewaskan dua murid andalannya, namun juga karena Belah Nyawa merasa dihalangi tindakannya yang ingin menculik Cindera Giri. Niatnya menculik Cindera Giri timbul setelah mendengar bahwa Cindera Giri mengetahui rahasia Tabib Sesat dari Pantai Jalang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Serigala).
Musibah itu telah membuat Suto Sinting berwujud seperti seekor serigala. Badannya berbulu lebat, rahangnya maju ke depan, telinganya menjadi tinggi, Jari-jarinya mengeluarkan kuku hitam seperti kuku serigala. Repotnya lagi, emosinya menjadi emosi serigala. Buas dan liar. Tapi di balik semua itu, Pendekar Mabuk masih mempunyai rasa manusiawi yang tersisa, sehingga kadang ia terpaksa menekan sekuat tenaga agar emosi binatangnya tidak terlepas seliar serigala asli.
Tuak saktinya yang terkenal dapat untuk menyembuhkan luka itu ternyata kali ini tidak bisa dipakai untuk melawan kekuatan uap racun dan jurus 'Siluman Serigala'. Dugaan Suto, musibah itu dapat diatasi jika mendapatkan obat dari Dyah Sariningrum, calon istrinya, yang mempunyai seorang ibu berkuasa di alam gaib! yaitu Gusti Ratu Kartika Wangi.
Tetapi kemunculan Arya Suaka, murid dari Geledek Biru, membuat Suto Sinting sempat beralih kepada sang tokoh sakti tersebut. Menurut Arya Suaka, gurunya pernah menangkal kekuatan jurus Siluman Serigala' pada beberapa tahun yang lalu.
Tetapi karena kemunculan Putri Merak ternyata lebih penting untuk dibayang-bayangi, maka niat Suto datang kepada Geledek Biru terpaksa ditangguhkan. Penangguhan itulah yang membuat tubuh Suto Sinting menjadi lebih berbulu lagi dan perubahan yang terjadi pada dirinya semakin membuat orang sulit mengenali siapa dia sebenarnya. Rasa malu mencekam hatinya! Sehingga ia sempat merasa minder dan tak berani muncul di antara para pengintai sapanjang Pantai Bandar tadi.
Paderi Moyang, petapa sakti aliran putih yang dikabarkan telah moksa itu, bukan orang asing lagi bagi Pendekar Mabuk. Sang tokoh yang pernah menampakkan diri pada Pendekar Mabuk itu juga pernah memberi tugas untuk menyingkirkan angkara murka yang dilakukkan oleh Pendekar Mabuk. Suto Sinting merasa punya hubungan baik dengan Paderi Moyang, sehingga iapun merasa perlu melindungi kemunculan Putri Merak yang ditakdirkan akan berkuasa di Bukit Caraka, menjadi perantara antara manusia dengan dewa.
Oleh sebab itu, ketika Putri Merak sudah dibawa oleh Utari, Pendekar Mabuk pun segera berkelebat. Membayang-bayangi mereka berdua. la berusaha agar keadaan dirinya tidak dilihat oleh Utari, Putri Merak dan yang lainnya. Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang membuatnya mampu bergerak menyamai kecepatan cahaya itu. Suto Sinting menyelusup di sela-sela keremangan malam. la berada dalam jarak pandang dengan putri Merak dan Utari.
Posisinya yang selalu berpindah-pindah dengan sangat cepat itu membuat beberapa orang yang juga bermaksud membayang-bayangi Putri Merak dan Utari, tak melihat keberadaan si manusia serigala disekitar langkah mereka. Tiba-tiba seberkas cahaya putih menyilaukan melesat dari satu arah. Seberkas cahaya putih menyilaukan itu sempat membuat Pendekar Mabuk terperanjat bukan kepalang.
"Oh, apa yang terjadi itu?!" ujarnya dalam hati. Blaaab...!
Cahaya putih menyilaukan itu seperti jaring yang ditebarkan dari satu tangan. Cahaya itu menyambar tubuh Putri Merak. Dalam sekejap saja, Putri Merak dan kudanya lenyap tanpa bekas yang ditinggalkan. Bahkan suara kuda pun tak terdengar, kecuali suara ringkik kudanya Utari yang melonjak ketakutan. Utari terlempar dari punggung kuda, dan sang kuda pun lari ngibrit tanpa pamit lagi. Suasana remang-remang sempat membuat pandangan mata orang-orang yang membayangi perjalar tersebut menjadi gelap pekat beberapa kejap. Mata me reka bagaikan buta, sama sekali tak bisa melihat apa apa. Demikian pula halnya dengan Utari.
Sekitar tujuh helaan napas kemudian, pandangai mata mereka mulai normal kembali. Pendekar Mabuk mempunyai pandangan yang buram, karena memang sejak ia berubah menjadi manusia serigala, pandangan matanya tak setajam biasanya.
"Putri Meraaak...! Putri Meraaak...!" teriak Utari mencari orang yang dikawalnya dengan panik.
Wuuut, wuuut...! Dua bayangan melesat menghadang Utari. Jleeg, jleeg...!
"Utari! Ini aku. Puting Selaksa!"
"Ooh, kau...?!Aku kehilangan...."
"Ya, aku tahu! Cahaya putih tadi datang dari utara sana!" ujar Puting Selaksa.
Sementara itu, Mayangsita yang masih mengikuti Puting Selaksa segera perdengarkan suaranya. "Cahaya itu menelan habis Putri Merak dan kudanya!"
Wuuut, wuuut...! Jleeg, jleeg!
Dua orang muncul lagi di sekitar tempat itu. Mereka adalah Cindera Giri dan Arya Suaka yang diam-diam mengikuti perjalanan Utari dari Pantai Bandar. Utari segera bersiap cabut pedang, karena menyangka datang bahaya mengancamnya. Tapi begitu ia melihat wajah Arya Suaka secara samar-samar. Ia segera teringat tentang pemuda yang pernah dilihatnya dalam peristiwa rebutan mahkota pusaka itu. Peristiwa tersebut juga melibatkan Cindera Giri yang sempat bentrok dengan Utari, tapi segera diselamatkan nyawanya oleh Utari sendiri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Geger Hantu Asmara).
"Dalam sepintas kulihat orang yang memiliki cahaya putih itu mengenakan jubah hitam!" ujar Arya Suaka langsung nyeplos begitu saja.
Cindera Giri masih diam, tapi ikut membantu mencari Putri Merak dengan memandang ke sana-sini.
Wess jleg..! Sesosok tubuh sekal milik gadis berpakaian kuning gading muncul di belakang Utari. Dengan cepat Utari mencabut pedangnya dan diarahkan kepada gadis yang baru saja muncul.
"Kuarasa kau yang mengacaukan tugasku ini Tiara Surga!" geram Utari dengan penuh curiga.
"Pakai otakmu! Jangan hanya dengkulmu yang dipakai untuk berpikir!" ketus Tiara Surga, murid dari Perguruan Telaga Murka, yang pernah bentrok dengan Utari karena ingin gantikan tugas Utari sebagai pengawal Putri Merak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Sukma Warisan).
"Sudah kuduga, kau tidak akan becus mengawal Putri Merak!" tegas Tiara Surga lagi. "Eyang Paderi Moyang benar-benar salah pilih!"
"Tutup mulutmu!" sentak Utari dengan berang sekali.
"Tak ada gunanya saling debat begini!" potong Puting Selaksa. "Sebaiknya kita menyebar untuk mencari Putri Merak!"
Tiba-tiba terdengar suara lain menyahut dari atas pohon. "Tindakan yang sia-sia!"
Semua mata tertuju ke arah suara tua tersebut.
"Serahkan saja padaku! Aku akan memburunya!" tambah suara tersebut. Lalu, si pemilik suara pun meluncur turun dari atas dahan. Gerakannya sangat cepat. Nyaris tanpa suara saat kakinya menapak ke tanah dl samping Mayangsita.
Tokoh tua itu berusia sekitar delapan puluh tahun, berambut pendek warna putih rata, la memiliki kumlt dan jenggot putih uban. Mengenakan jubah kuning garis-garis merah, berkalung tasbih biru sepanjang perut. Bagi Arya Suaka dan yang lainnya, tokoh itu masih menimbulkan tanda tanya di hati mereka, sebab mereka tidak mengenalnya. Tetapi bagi Utari, atau Suto Sinting yang memperhatikan dari atas pohon yang paling tinggi, tokoh tua yang banyak senyum dan semangatnya masih seperti remaja itu bukan orang yang membingungkan, Dia adalah si Dewa Bandot dari Pulau Pahang. Utari mengenalnya karena Dewa Bandot adalah sahabat karib Raja Mantra.
"Eyang Dewa Bandot! Rupanya Eyang ada di sini juga?!" sapa Utari yang mendapat senyum lebar dari si dewa Bandot.
"Aku sedang mengikuti seseorang yang mengincar Putri Merak," ujar Dewa Bandot. "Tapi rupanya aku terlambat. Jadi, sebaiknya kalian tak perlu saling kecam dan saling menyalahkan. Akan kususul orang itu untuk menyelamatkan putri sahabatku: Paderi Moyang!"
“Siapa orang yang..."
Laaaap.J Dewa Bandot lenyap sebelum Utari selesaikan pertanyaannya, Tokoh dari Pulau Parang itu bergerak sangat cepat sehingga seperti menghilang ditelan Bumi. Disatu sisi, sepasang mata berbulu lebat memperhatikan gerakan Dewa Bandot. Manusia Serigala itu mendengar percakapan tadi dari jarak jauh, karena ia mempunyai ilmu 'Sadap Suara' yang mampu mendengar percakapan dari jarak seratus tombak lebih. Suto Sinting itulah orangnya. Tanpa banyak berpikir panjang lagi, Pendekar Mabuk segera susul gerakan Dewa Baudot dengan menggunakan ilmu Sukma Lingga'-nya.
Claap...! Sosok manusia serigala itu berubah menjadi sinar hijau yang berekor kecil, mirip kunang-kunang. Sinar hijau itu melesat dengan cepat bagaikan menembus perbatasan alam nyata dan alam gaib. Kecepatan gerak jurus ini bisa dibilang tiga kali cepat dari jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam sekejap saja Suto mampu menyusul Dewa Bandot. la sengaja menghadang langkah super cepatnya Dewa Bandot, sehingga gurunya Santana itu terkejut ketika merasa dihadang oleh sosok manusia berbulu lebat.
Tanpa berpikir panjang, Dewa Bandot segera lepaskan serangannya berupa sinar patah-patah wa biru. Crelaap...! Sinar lurus patah-patah itu dihadang oleh bumbung tuaknya Suto, sehingga timbul ledakan yang menggema cukup dahsyat. Blegaaarr...! Pendekar Mabuk terpental sejauh delapan langkah tubuhnya yang berbulu melayang-layang. Bagian depan tubuhnya: dada, wajah, perut, dan bawah perut alias paha, terasa seperti diterjang lempengan baja yang cukup keras. Pendekar Mabuk mengerang kesakitan, tapi suaranya seperti erangan seekor serigala.
"Gggrrrrr...!!"
Dewa Bandot perdengarkan suaranya, kali ini suaranya sengaja dibuat berwibawa untuk menggertak lawannya. Tapi tetap saja ia tersenyum, walau sinis, sebab ia memang dikenai sebagai tokoh tua yang banyak senyum. "Sekali lagi kau menghalangiku, kau akan terbang ke neraka, Iblis Berbulu!"
Pendekar Mabuk menggeliat bangkit untuk berdiri. Ia bertopang bumbung tuaknya saat mengangkat badannnya. Dewa Bandot berkerut dahi, curiga melihat bentuk bumbung tuak yang sudah dikenalinya itu. Keinginan untuk melepaskan amarahnya ditahan sesaat, Tapi ia tetap waspada dan siap serang jika timbul bahaya dari si pemegang bumbung tuak itu.
Siapa kau sebenarnya, Iblis Berbulu?!"
"Eyang ... Dewa Bandot...," sapa Suto Sinting dengan suara serak dan agak cadel.
Semakin terkesiap pandangan Dewa Bandot mendengar namanya disebutkan oleh manusia berwajah serigala itu. la bergerak mendekat lagi. Senyumnya makin lebar, tapi bermakna keheranan. “Kau membawa bumbung tuaknya si Pendekar Mabuk Apakah kau..."
“Aku Suto Sinting, Eyang!"
“Jabag bayi!" Dewa Bandot tersentak dengan kepala mundur sedikit. Senyumnya lenyap untuk sekejap. “Kenapa kau bisa jadi begini, Pendekar Mabuk?!"
“Belah Nyawa menggunakan ilmu..."
“Siluman Serigala...?! Hmmm, ya, aku tahu dialah pemilik ilmu itu! Hanya dia yang mempunyai ilmu itu. Entah sudah diturunkan kepada muridnya atau kepada orang lain, atau belum diturunkan kepada siapa-siapa. Tapi yang jelas keadaanmu harus segera dipulihkan, sebelum akhirnya tubuhmu menjadi busuk dan mati tanpa dikenali oleh siapa pun!"
Agaknya si Dewa Bandot itu cukup tahu tentang ilmu andalannya si Belah Nyawa yang berhasil dipulihkan kembali dalam beberapa waktu belakangan ini. Tetapi Pendekar Mabuk tidak terlalu tertarik dengan segala sesuatu yang diketahui Dewa Bandot mengena ilmu 'Siluman Serigala' itu. Ada satu hal yang ingin segera diketahui olehnya.
"Eyang Dewa Bandot, kudengar tadi Eyang bicara dengan Utari, bahwa Eyang sedang mengikuti orang yang mengincar Putri Merak. Pasti Eyang tahu siapa orang itu! Tolong katakan padaku, siapa orangnya da aku akan segera menyusulnya sebelum ia berhasil memakan jantung Putri Merak!"
Sekalipun sebenarnya bicara Suto tersendat-sendat bagai orang sulit bernapas, tapi Dewa Bandot paham betul dengan maksud keinginan si Pendekar Mabuk itu. Tetapi agaknya ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan baik-baik oleh Dewa Bandot, sehingga tokoh yang kini tersenyum-senyum itu tidak buru-buru menjawab, melainkan memandang kearah lain sambil melangkah ke samping kanan Pendekar Mabuk.
"Memang aku percaya, kau mampu hadapi orang itu. Ilmu yang kau miliki sepadan dengan ilmu yang dimiliki orang tersebut. Tapi keadaanmu sendiri perlu segera mendapat pertolongan, Pendekar Mabuk. Kusarankan agar kau segera menghubungi."
Blaar, blaar, jegaarrr...!
Ledakan beruntun yang menggelegar hingga menggetarkan bumi itu memutus kata-kata Dewa Bandot. Perhatian mereka segera tertuju ke arah utara, tempat datangnya suara ledakan. Kilatan sinar merah menghentak-hentak tiga kali terlihat jelas di malam yang remang-remang itu. Maka tanpa bersepakat lebih dulu kedua orang berbeda generasi itu segera melesat ke arah utara.
Zlaaap...! Blaass!
Siapa yang bertarung di sana, Pendekar Mabuk maupun Dewa Bandot masih belum jelas. Mereka mencari pusat ledakan dahsyat tadi. Tiba-tiba mereka mendengar suara gerutu dan makian yang samar-samar. Mereka bergegas menuju tempat datangnya suara tersebut.
"Sapi rontok, kucing gering, kambing gembrot! Uuukh Kurang ajar betul dia! Dasar babi lempoh, kodok kerot babon busung!"
Raja mantra..?!" sapa Dewa Bandot yang menampakkan diri lebih dulu. Ternyata orang yang menggerutu dan memaki-maki sambil bangkit berdiri itu adalah Raja Mantra gurunya Utari.
Pendekar Mabuk masih bimbang untuk menampakkan diri karena malu dengan perubahan sosok dirinya. Dari balik kerimbunan semak dan kegelapan malam, matanya yang merah liar itu memperhatikan Raja Mantra setelah teriebih dulu ia memperhatikan keadaan sekeliling yang terasa lengang itu. Agaknya Raja Mantra habis bentrok dengan seseorang dan ia ditinggalkan oleh lawannya setelah berhasil dibuat berguling-guling di tanah.
"Dewa Bandot, kau ada di sini rupanya?!"
"Kau pasti memburu orang yang membawa lari Putri Merak itu!"
"Memang. Tapi sialnya aku salah menangkisnya dengan ilmu yang lebih rendah satu tingkat dari yang digunakan menyerangku! Dasar bebek kembung!" sambil Raja Mantra menebah-nebah pakaian hijau tua nya yang model biksu itu.
Tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu segera menarik napas panjang-panjang untuk pulihkan tenaganya yang tadi hilang sebagian akibat adu ilmu dengan lawannya. Rambutnya yang putih dirapikan gulungannya, jenggot dan kumisnya yang putih diusapnya satu kali memakai tangan kiri, sementara tangan kanannya masih menggenggam tongkat kayu borkepala bentuk tangan menggenggam. Sekalipun ia menggerutu tapi wajahnya tetap berkesan cuek.
"Syukurlah jika kau sudah tahu siapa penculik Putri Merak itu!" ujar Dewa Bandot kepada si Raja Mantra.
"Ya, aku tahu persis siapa dia. Sekarang dia sedang dikejar oleh si Rupa Setan yang sejak tadi bersamaku. Raja Mantra memandang ke arah Dewa Bandot yang ada di sebelah kirinya.
"Apakah kau ingin ikut rnengejarnya, Dewa Bandot?!"
"Tidak. Ada sesuatu yang harus kita kerjakan lebih dulu," kata Dewa Bandot sambil tersenyum. Wajah tuanya disoroti cahaya rembulan pucat.
"Keselamatan si Putri Merak adalah tanggung jawab muridku; Utari! Aku tidak mau Utari gagal dalam tugasnya sebagai pengawal pilihan Kakang Paderi Moyang. Aku harus menyusul Rupa Setan. Karena menurutku Rupa Setan belum tentu unggul melawan si keparat keropos, sapi rontok, babi busung itu!"
“Tunggu dulu, Raja Mantra! Kuharap kau mau lakukan sesuatu yang lain, tapi bisa kita kaitkan dengan penculikan Putri Merak itu!"
“Kalau kau tak mau jelaskan dalam lima hitungan, aku akan pergi secepatnya. Aku akan mulai menghitung Tiga... empat..."
Dewa Bandot segera berseru memanggil seseorang. “Pendekar Mabuk... keluarlah! Kemarilah, Nak...!"
"Pendekar Mabuk...?!" gumam Raja Mantra hentikan hitungannya.
Pendekar Mnbuk masih belum mau tampakkan diri. Ia mempertimbangkankan keadaan dirinya yang tentunya akan tidak dikenali oleh Raja Mantra. Padahal Raja Mantra sudah membayangkan sosok Pendekar Mabuk tampan yang akan berubah itu, sebab ia sudah diberi tahu oleh si Rupa Setan alias Anjardini tentang bencana yang dialami si murid sinting Gila Tuak itu.
"Suto Sinting! Aku tahu kau pasti berubah menjadi manusia serigala. Kemarilah, tak perlu malu padaku! Aku bukan perawan cantik, Cah Bagus!" seru Mantra.
Seruan itu membuat Suto Sinting sempat terperanjat. "Ternyata Eyang Raja Mantra sudah mengetahui keadaanku?! Hmmm... mungkin karena beliau telah bertemu dengan Anjardini," ujar Suto dalam hatinya Baginya sudah tak ada alasan untuk malu atau bersembunyi lagi. 1a pun segera keluar dari tempat persembunyiannya. Zlaap...! Jleeg...!
"Husy! Jangan menggeram begitu! Bikin bulu kudukku merinding saja!" ujar Raja Mantra yang benar benar tak merasa kaget melihat sosok wujud Suto Sinting yang berbulu lebat itu.
"Eyang.... Raja Mantra...," sapa Suto Sinting dengan suara serak dan lirih.
Sapaan itu menimbulkan perasaan haru di hati Raja Mantra. "Duh, Dewa... kenapa jadi seperti kau, Cah bagus?!" Raja Mantra mengusap-usap punggung Pendekar Mabuk. "Hmm, hmm... gatal semua tanganku memegang bulumu, Mak!"
"Jangan menghina, Eyang...,"
"Oohoo, tidak. Aku tidak menghina. Sekadar membangkitkan candamu saja!"
Dewa Bandot segera berkata, "Raja Mantra, kurasa ilmunya Pendekar Mabuk akan mampu mengimbangi ilmunya si penculik Putri Merak!"
"Hmmm, yaah sepertinya memang begitu."
"Untuk itulah, kumohon kau bisa pulihkan keadaannya sebagai pemuda tampan yang berilmu tinggi itu, Raja Mantra."
Pendekar Mabuk sempat memendam perasaan heran dan curiga terhadap kata-kata Dewa Bandot itu. Tapi ia tak sempat ajukan tanya, karena Raja Mantra sudah lebih dulu berkata kepada Dewa Bandot.
"Apakah kau yakin aku bisa memulihkan keadaan si ganteng yang konyol ini?!”
“Aku yakin kau bisa lakukan dengan mantra saktimu!” Tegas Dewa Bandot walau dengan senyum seulas menghiasi wajah tuanya.
“Mantra yang mana, ya.,.?!" gumam Raja Mantra seperti bicara pada diri sendiri. la berpikir beberapa saat.
“Kebanyakan mantra sakti jadi lupa yang mana yang bisa menghancurkan uap racun Siluman Serigala itu!" gerutu Dewa Bandot.
Kejap kemudian, Raja Mantra seperti ingat sesuatu, dan suaranya menyentak bersama wajahnya yang berseri-seri, dihiasi senyum cengar-cengir. "Nah aku ingat sekarang! Tapi... tapi harus diucapkan oleh dia sendiri, Dewa Bandot!"
"Jangan bodoh! Kau bisa tuntun dia untuk mengucapkan mantra itu!" Raja Mantra menggumam dan manggut-manggut. Kemudian ia bicara kepada Suto Sinting dengan memandang berhadapan.
"Pendekar Mabuk, aku akan mencoba mantra saktiku yang berjudul: 'Koyak Kayik'. Kau tinggal mengikutinya dan...."
"Itu mantra apa puisi, kok pakai judul segala," potong Dewa Bandot dengan senyum geli.
"Jahit mulutmu, agar jangan mengganggu mantraku, Dewa Bandot!"
Yang diperingatkan hanya tertawa kecil. Dewa Bandot sedikit menyisih.
"Pendekar Mabuk, kosongkan pikiranmu, kosongkan pula batinmu, tirukan apa yang kuucapkan resapilah tiap kata nanti, walau kau tak tahu artinya, anggaplah tiap kata yang kau ucapkan mengalir ke sekujur tubuh mengikuti darahmu. Bisakah kau berbuat begitu, Nak?!"
"Bisa, Eyang," jawab Suto Sinting.
Kemudian, tanpa diperintah, si manusia serigala itu pejamkan matanya sendiri, bukan mata orang lain yang dipejamkan. Lalu terdengar si Raja Mantra mengawali ucapan mantranya yang baru diikuti oleh Suto Sinting.
"Koyak kayik si koyak kayik"
"Koyak kayik si koyak kayik"
"Bahorok koyak perih rasanyo"
"Bahorok koyak perih rasanyo"
"Si gobal, sigabelala si gobal-gabel"
“Si gobal, sigabelala si gobal-gabel"
"Adi gantang, adi gantung bergobal-gabel"
"Adi gantang, adi gantung bergobal-gabel"
“Apa ini apa itu..."
“Yang mana maksudmu?" sahut Dewa Bandot sambil clingak-clinguk mencari sesuatu.
Hei, ini mantra! Jangan diartikan sebagai pertanyaan!" ujar Raja Mantra dengan jengkel.
"Ooo...maaf, maaf teruskan!" Dewa Bandot menyisih lagi.
Suto tirukan ucapan mantra yang tadi, "Apa ini apa itu pudar gaib pudar wujud, kuasa Hyang Maha Dewa…"
"pudar gaib pudar wujud, kuasa Hyang Maha Dewa…"
“Simulu kutuk kublung!"
“Simulu kutuk kublung!"
“Nah tunggu beberapa saat…”
“Nah tunggu beberapa saat""
Heeh yang ini jangan ditirukan!" hardik Raja Mantra.
Dewa Bandot terkekeh geli, membuat hati Suto Sinting pun sebenarnya ingin tertawa cekikikan. Tapi niat untuk tertawa itu terpaksa harus ditahannya, karena tiba-tiba ia merasakan desiran angin menjadi kencang. Sepertinya ada pasukan dari kayangan yang datang ke bumi dan timbulkan hembusan angin cukup kencang. Suara gemuruh pun terdengar. Suara itu sepertinya datang dari langit. Makin lama makin keras, makin bergemuruh besar, dan angin makin berhembus kencang menyerupai badai.
"Mantramu memang hebat, Wirambada," puji Dewa Bandot dengan menyebut nama asli Raja Mantra.
Rupanya terjadinya kelainan alam itu akibat terucapnya mantra yang tampaknya seperti main-main, tapi sebenarnya mengandung kekuatan sakti sungguh dahsyat. Pendekar Mabuk tak sempat bicara apa-apa !a hanya meresapi tiap hembusan angin yang menerpanya.
Sedikit demi sedikit ia merasakan udara menjadi dingin. Sepertinya ia kehilangan baju dan celana, tapi sebenarnya bulu-bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya itu mulai rontok tersapu angin. Semakin kencang hembusan angin membadai itu, semakin terasa urat-urat di sekitar wajah mulai mengendor. Dalam beberapa saat kemudian, ternyata mantra itu benar-benar berhasil memulihkan keadaan Suto sinting menjadi seperti semula: tampan, gagah, tinggi, kekar, dan macho sekali.
"Aku telah pulih, Eyang! Aku telah pulih seperti sediakala!" Suto nyaris berteriak karena kegirangnnya. "Terima kasih, Eyang Raja Mantra...! Terima kasih, Eyang Dewa Bandot!"
"Hei, yang sembuhkan kau adalah mantraku. Dewa Bandot tidak punya mantra sakti seperti itu!" protes si Raja Mantra karena Suto juga mengucapkan terima kasih kepada Dewa Bandot.
Wajah Dewa Bandot tampak murung sesaat. Tapi Suto Sinting segera berkata, "Jika tanpa didesak Eyang Dewa Bandot, belum tentu Eyang Raja Mantra mau pulihkan keadaanku. Jadi, kurasa sudah sepatutnya aku menghaturkan terima kasih pula kepada Eyang Dewa Bandot!"
"Ya, sudah. Boleh juga. tapi sedikit saja ucapan terima kasih yang kau berikan pada si Dewa Bandot! jangan banyak-banyak!" ujar Raja Mantra dalam kesan candanya.
"Tidak dapat ucapan terima kasih juga tidak apa-apa!" gerutu Dewa Bandot sambil bersungut-sungut. "Bisa beli di pasar!"
"Sudah Eyang...! Menurutku, yang penting bukan kepada siapa saya harus berterima kasih," ujar Suto. Yang terpenting adalah siapa orang yang membawa kabur Putri Merak. Tolong beritahukan padaku. Aku akan mengejarnya sebelum Putri Merak jadi korban keganasan orang itu!"
“Tabib Sesat!" Raja Mantra dan Dewa Bandot bicara bersamaan secara tak sengaja. Mereka saling lirik sebentar, lalu Duwa Bandot tampak mengalah.
Raja Mantra lanjutkan ucapannya setelah Suto Sinting menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Oo... jadi si penculik Putri Merak itu adalah Nini Kembang Kempis alias si Tabib Sesat dari Pantai Jalang?!"
"Ya. Memang dia orangnya. Rupanya dia tak sabar mengandalkan orang-orangnya, sehingga bertindak sendiri melakukan penculikan tersebut."
"Tapi aku yakin Putri Merak tidak dibawanya ke Pantai Jalang!"
"Tentu saja," sahut Raja Mantra. "Karena dia menembus alam gaib, berarti dia membawa Sari Putri Merak ke Dasar Bumi, tempat asal-usulnya yang sebenarnya!"
"Aku akan mengejarnya sekarang juga, Eyang!" tegas Suto Sinting bernada tak sabar lagi.
* * *
TIGA
Bukan hal yang sulit bagi Pendekar Mabuk untuk masuk ke alam gaib. la mempunyai kesaktian pada keningnya, yaitu noda merah kecil pemberian Ratu Kartika Wangi. Noda merah kecil di keningnya itu akan dapat membuat Suto Sinting keluar masuk ke alam gaib dengan mengusap kening itu memakai telapak tangan kanannya. Noda merah kecil di kening Suto itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi, seperti Dewa Bandot, Raja Mantra, dan yang lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).
Tetapi alam yang dituju Suto Sinting sebenarnya terletak di perbatasan alam nyata dan alam gaib. Wilayah yang dihuni manusia Dasar Bumi itu memang sangat tipis sekali lapisannya dengan wilayah yang dihuni manusia di permukaan Bumi. Maka masyarakat Dasar Bumi pun ibarat hidup di antara dua alam, yaitu alarn gaib dan alam nyata.
Pendekar Mabuk bukan tidak pernah datang ke alam tersebut. Ketika mencari Batu Tembus Jagat, ia pernah datang ke alam perbatasan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Penjara Terkutuk).
Juga ketika Pendekar Mabuk harus menghancurkan kebejatan si Ratu Kamasinta alias Dewi Penyebar Asmara, ia pun terpaksa harus lenyap dari alam nyata dan masuk ke alam perbatasan tersebut, sampai akhirnya bertemu dengan gadis cantik bernama Nirwana Tria. Gadis itu masih muda dan cantik, namun sudah menjadi guru dalam satu aliran silat golongan putih. Gadis itu ternyata cucunya Dewa Tanah, si penguasa tertinggi golongan putih di Dasar Bumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Maksiat).
Tak heran jika si Tabib Sesat alias Nini Kembang Kempis itu membawa lari Putri Merak ke alam perbatasan, karena memang ia berasal dari sana. Tabib Sesat adalah pelarian dari Dasar Bumi yang berhasil membaur di tengah kehidupan masyarakat Permukaan Bumi. Tentu saja Tabib Sesat berilmu tinggi, karena menurut penjelasan yang pernah diterima Suto dari Nirwana Tria, masyarakat Dasar Bumi mempunyai ilmu tinggi dan cukup bisa diandalkan untuk melawan para tokoh di Permukaan Bumi.
Dengan membawa lari Putri Merak ke alam perbatasan itu, tentunya Tabib Sesat merasa aman dan merasa tak akan ada yang mampu mengejarnya. Sekalipun ada hanya dua-tiga orang saja, itu pun pada umumnnya para tokoh tua berilmu tinggi. Namun si Tabib Sesat tak tahu bahwa Rupa Setan yang pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti dan Pendekar Mabuk bisa lakukan pengejaran sampai ke alam perbatasan tersebut.
Dulu memang Rupa Setan tidak bisa menembus alam perbatasan. Tapi sejak peristiwa memburu Batu Tembus Jagat itu, ia berusaha perdalam lagi ilmunya, sehingga kini bisa menembus alam perbatasan. Alam tersebut mempunyai pemandangan yang lebih indah. Pohon-pohon berwarna-warni, gugusan batu bermunculan dengan warna-warna yang menawan. Ada yang berwarna merah bening seperti agar-agar, tapi kerasnya seperti batu cincin. Ada juga batu yang bentuk dan ukurannya seperti kuda mengangkat kedua kaki depannya, berwarna hijau lumut. Pohon berbatang merah dengan daunnya yang kuning berkilauan juga tampak tumbuh di sana-sini.
Pendekar Mabuk merasa sedang berada di taman surga. Hatinya menjadi berseri-seri penuh keindahan. Tapi sang hati pun masih bertanya-tanya, "Di wilayah mana aku berada?! Ke mana arah pelarian si Tabib Sesat itu?!"
Semak-semak berwarna ungu menjadi pusat perhatian Suto Sinting. Semak-semak itu seperti ilalang, tapi daunnya berwarna ungu bagai memancarkan sinar kemilau, seakan terbuat dari kristal. Tapi ilalang ungu itu juga bergerak-gerak dihembus angin semilir.
Alam indah itu juga mempunyai angin, udara, tanah, dan langit seperti yang ada di Permukaan Bumi. Hanya bedanya, sekalipun tampak terang, namun suasananya berkesan teduh. Hembusan angin membawa kesejukan tersendiri, seolah-olah membawa pengaruh gaib yang dapat menenteramkan hati.
Karena tak ada petunjuk yang jelas, ke mana ia harus melangkah, maka Pendekar Mabuk pun berjalan menuju perbukitan yang letaknya cukup jauh. la menyusuri hutan berwarna-warni dengan suara kicau burung yang aneh, tapi enak didengarkan. Hembusan angin yang tadi terasa membawa kesejukan tersendiri, kini mulai terasa kering. Semakin lama angin yang berhembus terasa semakin aneh. Kulit lengan mulai terasa sedikit panas, lalu timbul rasa perih.
"Sepertinya ada yang tak beres!" ujar hati Suto Sinting. Langkahnya terpaksa dihentikan karena firasat adanya ketidakberesan semakin kuat.
Bahkan hembusan angin terasa semakin membuat sekujur tubuh perih. Mata pun jadi pedas, mengeluarkan air dengan sendirinya. Kesunyian yang ada di sekitar tempat itu, bagaikan mengandung misteri yang perlu dicurigai. Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya. Beberapa teguk tuak dapat mengusir rasa perih pada kulit dan matanya, la sengaja masih tetap diam di tempat, di bawah sebatang pohon biru berdaun biru muda. Daunnya kecil-kecil dan rindang, seperti daun pohon beringin. Akar pohon itu termasuk jenis akar rambut, bergelantungan dari dahan-dahannya.
"Ooh...?!" Suto terkejut melihat kulit tubuhnya yang sedikit putih, seperti ditaburi tepung. Tapi serbuk putih itu makin lama semakin tebal dan berkilauan. "Serbuk beling...?!" gumam hatinya dalarn keheranan. la mulai sadar, bahwa angin yang berhembus di tempat itu mengandung serbuk beling yang dapat menggores kulit tubuh manusia secara tak kentara. Goresan serbuk lembut itulah yang mendatangkan rasa perih tadi. Jika Suto tidak segera menenggak tuak saktinya, maka rasa perihnya akan semakin tajam.
"Kurasa angin itu bukan angin sembarangan. Serbuk beling lembut sekali itu pasti kiriman seseorang!" ujarnya membatin. Mata pun segera memandang penuh waspada ke sana-sini. Bumbung tuak mulai digantungkan di pundak kanan, sewaktu-waktu dapat disambar untuk menangkis serangan dari arah mana pun.
"Agaknya ada yang menyambut kedatanganku dengan tak ramah. Hnmm... sebaiknya kugunakan jurus 'Kipas Malaikat untuk mengetahui seberapa hebat kekuatan angin yang menyambutku ini."
Tali bumbung tuak segera digenggam, melilit pada genggaman itu. Bumbung tuak pun segera diputar di atas kepala dengan gerakan cepat hingga timbulkan bunyi berdengung.
Wuuuung... wuuuung... wuuuung...!
Putaran bumbung tuak itu hadirkan angin kencang yang menyebar ke berbagai arah dalam gerakan melingkari tubuh Pendekar Mabuk. Begitu kencangnya angin yang ditimbulkan dari gerakan bumbung memutar itu, sehingga terdengar suara hembusannya secara samar-samar. Arah angin pun berubah. Dan tiba-tiba daun-daun tanaman di sekitar tempat itu mulai berguguran.
Traas, trrass, traass...!
"Oh, daun-daun itu bukan berguguran tapi terpotong?! Buktinya ada daun yang jatuh dalam keadaan terbelah menjadi dua bagian. Dan ilalang ungu itu pun bagaikan dipangkas pada bagian pucuknya?! Kurasa angin yang menaburkan serbuk beling halus itu berubah menjadi seperti pisau pemangkas yang amat tajam!" pikir Suto sambil memperhatikan sekeliiingnya.
Jurus 'Kipas Maiaikat' dihentikan. Suto ingin rasakan hembusan angin di sekitarnya apakah masih mengandung serbuk beling atau sudah menjadi sejuk kembali. Ternyata angin berhembus semilir damai tanpa timbulkan rasa perih di kulitnya.
"Hmmm, penyambutku telah perkenalkan diri, dan ia merasa aku menyambut perkenalannya. Kurasa tak lama lagi ia akan muncul di hadapanku!" ujar Suto Sinting membatin dengan tetap bersikap tenang tapi penuh waspada.
Tiba-tiba Suto Sinting mendengar suara aneh yang berirama. Suara itu seperti besi ditabuh dan menimbulkan dengung atau denging berbagai nada.
Ting, tong, tong, ting, tang, tong...!
"Suara apa itu?!"
Tong, teng, teng, tung, tang, ting, tong, tung, tring...!
"Aduh, kupingku...?!" Suto Sinting mulai mendekap telinganya. Suara itu mempunyai getaran gelombang tenaga dalam yang berubah menjadi seperti jarum-jarum tajam. Seakan suara tersebut menusuk-nusuk gendang telinga hingga timbulkan rasa sakit yang sampai membuat tubuh Suto tersentak-sentak sambil menyeringai.
Ting, tong, tong, tang, tung, tring, trang, tung, tung...!
"Ooouh, suara itu semakin mendekat, semakin sakit telingaku! Sial” geram Suto Sinting yang segera menarik napasnya dan menahannya beberapa saat. Hawa murni disalurkan ke gendang telinga. Hawa murni itu yang membuat ia mampu menahan rasa sakit. walau untuk itu telinganya tetap keluarkan darah kental sedikit demi sedikit.
Tuak segera ditenggaknya. Hanya satu teguk. Namun sudah bisa mengurangi rasa sakit dan menahan darah agar tidak keluar lebih banyak. Darah yang telah meleleh sampai di pipi itu menguap dan lenyap bagaikan bensin terserap angin. Namun suara tabuhan aneh itu semakin dekat dan semakin jelas. Seakan si penabuhnya sengaja memukul benda bunyi-bunyian itu lebih kuat lagi. Hanya saja, tuak sakti yang sudah diminumnya masih mampu menahan serangan gelombang tenaga dalam yang disebarkan melalui bunyi- bunyian tersebut.
"Ini harus kubalas dengan... dengan... dengan apa, ya? Oh, sebaiknya dengan jurus Napas Tuak Setan' saja! Tapi... tapi badai yang akan keluar dari mulutku nanti dapat merusak keindahan alam di sekitar sini. Aduh, sayang sekali!"
Saat murid si Gila Tuak itu menimbang-nimbang, tiba-tiba dari balik pohon hijau bening di seberang Suto muncul seseorang dengan tongkat menyerupai tulang iga. Tongkat itu sedikit melengkung dan mempunyai anak tulang di sisi kanan kirinya. Sepertinya tongkat itu tgrbuat dari tulang iga binatang yang sukar dikenali. Setiap tulang pendek-pendek yang dipukul dengan kayu biasa menimbulkan bunyi beraneka nada. Lewat pukulan itulah orang tersebut menyalurkan tenaga dalamnya dan mengubah getaran gelombang suara menjadi getaran tajam yang merusak gendang telinga.
"Ini tidak perlu kulawan!" ujar Suto Sinting dalam hatinya. "Sebaiknya kutunjukkan padanya bahwa aku mampu menahan getaran gelombang suaranya!"
Langkah si penabuh tongkat tulang iga itu semakin dekati Pendekar Mabuk. Tapi pemuda tampan itu sengaja berdiri dengan tegap dan tampak gagah. Kedua kakinya sedikit merenggang dan kedua tangannya memeluk bumbung tuak di dada. Ia pandangi si penabuh tongkat tulang iga itu dengan senyum kalem berkesan meremehkan kekuatan orang tersebut.
Si penabuh tongkat tulang iga itu ternyata adalah seorang gadis berhidung bangir dan berbibir mungil. Matanya bundar, bening, dan indah sekali, karena ia mempunyai bulu mata yang lentik dan alis yang sedikit tebal tapi melengkung kecil seperti bulan tersipu malu. Gadis itu berkulit kuning langsat, mengenakan pakaian terusan longgar berlengan panjang. Pakaian yang panjangnya sampai sebatas mata kaki itu berwarna biru tipis, sepertinya dari bahan sutera. Di atas warna biru itu terdapat bintik-bintik berbentuk bintang, bagai terbuat dari logam anti karat yang dapat menempel lekat pada gaun tersebut.
"Manis juga dia," gumam hati Suto mulai konyol. Matanya sengaja memandang teduh dan bersahabat. Wajah mungil si gadis berambut ekor kuda itu diperhatikan terus sampai gadis itu hentikan langkah dalam jarak tiga tombak di depannya.
Si gadis mungil hentikan tetabuhannya. la tampak heran melihat pemuda tampan di depannya tak cedera sedikitpun. Tongkat tulang iga digenggam dengan tangan kiri, dipakai berjalan ke kanan empat langkah, kembali lagi ke kiri enam langkah, akhirnya berhenti dengan pandangan mata sama tajamnya ke arah wajah Suto Sinting.
Senyum si murid sinting Gila Tuak sengaja lebih dilebarkan lagi agar tampak keramahannya. Tangan kanan menyingkapkan rambut sesaat agar tidak menutupi wajah tampannya. Bumbung tuak tetap didekap di dada, seperti memeluk bayi.
"Terima kasih atas sambutan ramahmu, Nona," Suto mengawali bicara, sedikit dibuat agak angkuh, karena gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu juga bersikap agak angkuh. Sambung Suto, "Sayang sekali irama musikmu tak cukup untuk menumbangkan pohon atau memecahkan batu, sehingga tak bisa melukaiku!"
"Hmm...!" gadis itu mendengus sinis. Matanya memandangi Suto dari kepala sampai kaki.
Yang dipandang justru pasang aksi, sebentar-sebentar mengubah gaya berdirinya, sambil masih melontarkan kata-kata yang memancing kejengkelan gadis itu. "Kiriman serbuk belingmu juga sudah kuterima, Nona. Kurasa kau kurang pandai dalam memilih serbuk beling yang tajam dan yang tidak tajam. Untuk itu, kusarankan jika ingin jadi tukang beling pelajari dulu jenis beling yang tajam dan yang tidak."
Si gadis tampak merah mukanya mendengar hinaan itu. Kontan ia melompat ke arah Suto Sinting dengan menyodokkan tongkat tulang iga itu. Wuuut...! Draak…!
Bumbung tuak dipakai menangkis sodokan tongkat. Begitu tongkat menyodok bumbung tuak, kekuatan si gadis memantul balik dan membuat tubuh sekalnya terpental ke belakang. Wuuus...! Jleeg...! Untung ia dapat berdiri dengan sigap lagi, sehingga tak begitu merasa malu oleh serangan balik dari lawannya.
"Edan! Bumbung bambu itu rupanya bukan bambu sembarangan!" gumamnya dalam hati. Namun di wajahnya si gadis tampakkan kesan sinis dan meremehkan kekuatan pemuda tampan itu. la mendengus satu kali dan melangkah maju lagi hingga mencapai dua tombak di depan Pendekar Mabuk.
"Kurasa sudah cukup perkenalanmu, Nona. Aku sudah tahu bahwa kau bukan gadis berilmu rendah. Getaran tenaga dalammu melalui tongkat itu sempat menyodok ulu hatiku saat bumbung tuakku menangkisnya tadi."
"Hmmm...! Itu belum seberapa!" ujar si gadis tampak menyimpan rasa bangga mendengar pujian tak langsung dari Suto. Padahal sodokan tongkat tadi tidak mempunyai arti apa-apa bagi Pendekar Mabuk.
Si gadis menggertak, "Kalau kau tak mau tinggalkan wilayahku, tongkatku ini akan menumbuk kepalamu sampai selembut serbuk belingku tadi!"
"Oh, jadi aku memasuki batas wilayahmu, Nona?" Suto berlagak kaget.
“Tak perlu banyak mulut! Pergi sekarang juga!"
"Aku tak banyak mulut, Nona. Mulutku cuma satu. Mungkin kaulah yang banyak mulut, karena mulutmu lebih dari satu!"
Si gadis menggeram, lalu mendengus satu hembusan. la segera ambil sikap kuda-kuda menyerang. Pandangan matanya semakin tajam.
"Maaf, aku hanya bercanda, Nona!" ujar Suto Sinting dengan buru-buru untuk menahan luapan kemarahan si gadis. Ia pun berkata lagi. "Aku akan pergi setelah dapat bertemu dengan Nirwana Tria. Kau kenal dia, Nona?"
"Ooh...?!" gadis itu terperanjat. Sorot pandangan matanya berubah, tajam tapi penuh keheranan.
Suto membatin, "Sepertinya dia kenal dengan Nirwana Tria. Hmmm, sebaiknya kupancing lagi dengan menyebutkan nama itu."
"Jika kau tahu di mana Nirwana Tria, tolong antarkan aku padanya, Nona Cantik."
"Jangan sembarangan menyebutkan nama guruku. Bisa kurobek mulutmu dengan tongkat ini!" gertak si gadis.
Kini justru Suto Sinting yang terkesip mendengar kata-kata tersebut. "Jadi, kau muridnya Nirwana Tria?!"
"Siapa kau sebenarnya, Bocah Lancang?!" sentak si gadis dengan menampakkan kegalakannya.
"Aku adalah Suto Sinting, masyarakat muka bumi!"
Si gadis mundur satu langkah. Wajah cantiknya tampak sedikit tegang. Ia tidak langsung bicara, melainkan diam beberapa saat sambil memperhatikan Suto lagi, memandang dari kepala sampai kaki.
Yang dipandang justru menenggak tuaknya satu teguk. Badan terasa lebih segar lagi.
"Apakah kau mempunyai gelar di dunia persilatan ini?!"
"Pendekar Mabuk adalah gelarku!" tegas Suto Sinting.
"Ooh...?!" si gadis makin terperanjat dan lebih tegang lagi. Kakinya mundur dua langkah. Bersamaan dengan itu pancaran matanya yang tajam penuh permusuhan itu menjadi susut.
"Celaka! Kalau begitu aku berhadapan dengan orang yang salah. Ternyata dia adalah si Pendekar Mabuk, sahabat Guru, yang sering dibangga-banggakan oleh Guru. Gawat! Guru bisa menghukumku dengan hukuman berat jika ia mengadukan sikapku tadi!"
Kini si gadis justru rapatkan kedua kaki, turunkan tongkatnya hingga ujung bawah menyentuh tanah, lalu sedikit membungkuk dengan kepala tertunduk sekejap, pertanda memberi hormat. "Ampunilah aku, Pendekar Mabuk. Hukumlah kelancanganku tadi, asal jangan kau adukan tindakanku itu kepada Guru Tria."
Mulanya pendekar tampan itu heran melihat gadis itu memberi hormat padanya. Tapi segera merasa geli setelah tahu bahwa si gadis takut diadukan kepada gurunya. "Aku tak akan adukan tindakanmu yang tak sopan tadi kepada gurumu, asal kau mau sebutkan siapa namamu, Cantik?!"
"Namaku.... Riandawi, penjaga Lembah Surya ini," jawab si gadis penuh hormat.
Pendekar Mabuk lebarkan senyum dan mendekat. "Riandawi... hmm, nama yang aneh tapi menurutku itu nama yang cantik juga. Sama seperti orangnya."
Riandawi menjadi kikuk, senyumnya canggung dan kaku sekali. "Ternyata cerita Guru itu bukan sekadar mimpi kosong. Orang yang bernama Pendekar Mabuk itu memang tampan dan mudah menggetarkan hati wanita. Aduh, celaka kalau begini! Aku harus jaga jarak dengannya agar batinku tak terlalu berharap apa-apa dari hatinya," ujar Riandawi membatin.
Tapi bibirnya yang mungil ranum seperti bibir gurunya itu segera berucap lain. "Sebaiknya, Tuan Pendekar Mabuk kuantar menemui Guru Tria sekarang juga! Ikutlah aku, Tuan Pendekar!"
"Hei, hei...!" Pendekar Mabuk mencekal pundak Riandawi yang ingin pergi. "Namaku Suto Sinting, bukan Tuan Pendekar. Jadi, sebaiknya panggil saja aku: Suto Sinting, atau Suto saja. Tapi jangan panggil aku Sinting saja. Paham?"
Riandawi tersenyum dan mengangguk.
"Kau dan aku adalah sahabat. Teman. Bukan pelayan dan majikan, bukan pula murid dan guru tetapi apa?"
"Teman!"
"Bagus!" puji Pendekar Mabuk.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan besar yang menggema. Suara tersebut terdengar sangat jelas, menandakan sumbernya tak jauh dari tempat mereka berada.
Blaaamm...!!
"Ledakan apa itu?" pancing Pendekar Mabuk.
"Kita lihat saja!" jawab Riandawi dengan cepat. Bahkan dengan cepat pula ia melesat kembali arah.
Pendekar Mabuk menyusulnya dengan menggunakan separuh kekuatan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaab…!
Di sebuah tanah datar, mereka melihat dua orang saling beradu ilmu tanpa senjata. Keduanya sama-sama berusia sekitar empat puluh tahun. Mereka adalah seorang lelaki berpakaian abu-abu dengan kumis lebat dan seorang perempuan berjubah merah dengan rambut disanggul. Si lelaki bersalto cepat di udara sambil sentakkan telapak tangannya ke arah lawannya. Sentakan telapak tangan itu tidak keluarkan cahaya melainkan semburkan asap kuning tebal. Wuuuss...!
Perempuan berjubah merah sentakkan kakinya dan tubuhnya segera melesat naik sambil kibaskan tangan bagai membuang sesuatu. Wess...! Dari tangan itu keluar asap merah tebal dalam bentuk seperti bola kaki. Asap merah itu terhantam asap kuning, kemudian terjadi ledakan yang kedua sekeras tadi.
Biaaamm...! Dari ledakan itu timbul pancaran cahaya jingga yang menyebar dalam satu sentakan cepat. Cahaya jingga itu kenai tubuh si perempuan.
"Aaahk...!" perempuan itu memekik dengan tubuh terlempar melayang ke belakang, lalu jatuh terhempas tanpa ampun lagi.
Lawannya segera memburu dengan satu lompatan cepat. Kakinya ingin menginjak dada si perempuan. Tapi dengan cepat Riandawi hantamkan pukulan jarak jauhnya. Beet...! Hawa padat terkirim dan menghantam pinggang lelaki berpakaian abu-abu. Baahk...!
"Uuhk...!" Lelaki itu terpekik, tubuhnya terlempar ke samping. Brruk...! la jatuh terjongkok. Kemudian buru-buru bangkit. Namun pukulan jarak jauh Riandawi telah menyusulnya dan tak sempat ditangkis oleh lelaki tersebut. Baahk...!
"Aaahk…!" Orang itu terjengkang ke belakang, dan jatuh dalam keadaan telentang. Brruk..! Darah segar pun keluar dari mulutnya saat ia berusaha bangkit. la hanya mampu berlutut dengan napas tersendat-sendat.
Riandawi segera melesat. Kedua kakinya mendarat di samping perempuan berjubah merah. "Bibi...?! Bagaimana keadaanmu?!"
"Menyingkirlah," ujar perempuan itu yang ternyata bibinya Riandawi. "Ini urusanku dengan si Jagaloya!"
Terdengar lelaki yang bernama Jagaloya itu berseru dengan suara menggeram. "Keparat! Kau mau ikut campur juga, Riandawi! Terimalah ini, hiaaah!" Jagaloya bagaikan seekor harimau sedang terbang menerkam mangsanya. Riandawi segera melompat ke samping menghindari terkaman kedua tangan Jagaloya. Tapi tongkatnya segera disabetkan dari bawah ke atas. Wees, prook!
"Aaaow...!" Jagaloya menjerit kesakitan. Dagunya terhantam tongkat Riandawi. la jatuh berguling-guling dengan mengerang panjang.
Bibinya Riandawi segera menyerang. Tapi sebelum kaki perempuan itu menendang punggung Jagaloya, tangan lelaki itu menghantam ke tanah. Bluuk! Buuss...! Asap putih menyembur ke atas. Angin menyapunya, dan Jagaloya pun ternyata telah lenyap tanpa bekas lagi.
Pendekar Mabuk terkesip memandang lenyapnya Jagaloya. la sengaja tak ikut campur urusan itu karena memang tak tahu menahu persoalan yang dihadapi mereka. "Hebat juga ilmunya si Jagaloya. Bisa lenyap seketika," ujar Suto dalam hati. "Tapi agaknya ia mengakui kalah ilmu dengan Riandawi. Kecil-kecil bahaya juga gadis itu? Gerakannya sukar dilihat."
"Bibi, dia melarikan diri! Perlukah kukejar, Bi?"
"Tidak perlu!" jawab sang bibi setelah menarik napas panjang. "Lukaku tidak seberapa. Aku tahu dia pasti menuju ke Tebing Keramat untuk mengambil kapaknya yang jatuh di sana."
"Di mana trisula Bibi?!"
"Jatuh di sekitar tebing itu juga, saat kupakai menangkis hantaman kapaknya!"
Riandawi hembuskan napas panjang juga. Suto Sinting mulai mendekat dengan langkah tegap dan berkesan gagah. Sang bibi pandangi pemuda yang masih asing baginya itu. Namun sebelum sang bibi ajukan tanya, Riandawi lebih dulu perdengarkan suara memperkenalkan si Pendekar Mabuk.
"O, ya... dia teman baruku, Bi. Dia bernama Pendekar Mabuk..."
"Suto Sinting!" sahut Suto sebelum Riandawi menyebutkan gelar Pendekar Mabuk.
"Rupanya dia tak mau kuperkenalkan sebagai Pendekar Mabuk yang namanya sering jadi pembicaraan masyarakat Dasar Bumi ini! Hmmm, aku tahu dia tak ingin tonjolkan nama itu," gumam hati Riandawi. Lalu, gadis itu memperkenalkan nama Layunggini sebagai nama bibinya itu.
"0, jadi kau orang Permukaan Bumi?!"
"Betul, Bibi Layunggini!" jawab Suto Sinting dengan sopan. "Aku baru saja tiba dan bertemu dengan Riandawi."
Sang bibi yang mempunyai kecantikan matang itu manggut-manggut. Kedua matanya memandang Suto tak berkedip. Pandangan itu berkesan aneh bagi Suto, seakan ia menjadi grogi menerima tatapan mata seperti itu. Maka buru-buru Suto Sinting alihkan pandangannya kepada Riandawi.
"Lelaki yang lenyap itu tadi siapa, Riandawi?" Suto berpura-pura bodoh.
Layunggini yang menjawab, "la bernama Jagaloya, bekas muridnya Tabib Sesat!"
Suto Sinting terkejut mendengar nama Tabib Sesat disebutkan, tapi ia sembunyikan perasaan kagetnya itu. la masih tampak tenang, senyumnya tipis namun penuh keakraban.
"Mengapa Bibi bentrok dengannya?" tanya Riandawi.
"Dia memaksaku agar serahkan kunci Kuil Prana Dewa!"
Riandawi berkerut keningnya. "Untuk apa dia butuhkan kunci Kuil Prana Dewa?! Apakah dia ingin masuk di kuil keramat itu?!"
"Mestinya begitu! Tapi... jika bukan karena urusan sangat penting dia tak mungkin berkeinginan masuk ke dalam Kuil Prana Dewa."
Riandawi diam merenungkan hal itu. Layunggini kembali pandangi Suto Sinting. Yang dipandang menjadi kikuk, Soto menutupi kekikukannya dengan sebuah pertanyaan yang semestinya tak perlu dilontarkan.
"Apa yang dimaksud dengan Kuil Prana Dewa itu, Riandawi?"
Layunggini lagi yang menjawabnya, "Kuil itu adalah kuil keramat yang hanya boleh dibuka pada saat-saat tertentu, terutama jika masyarakat Dasar Bumi ingin lakukan sujud kepada Hyang Maha Dewa. Setiap sepuluh kali purnama kami melakukan upacara sesembahan tersebut. Jika hari-hari lainnya, hanya keturunan Dewa Tanah yang boleh masuk ke dalam kuil dan lakukan sesembahan lainnya."
"Bibi sangat kenal betul tempat itu, karena beliau adalah penjaga Kuil Prana Dewa," sahut Riandawi yang membuat Suto menggumam dan manggut-manggut.
“Seseorang yang mempunyai hajat istimewa bisa dilakukan di dalam kuil tersebut jika sudah meminta izin kepada Dewa Tanah, penguasa masyarakat kami itu," sambung Layunggini. "Biasanya hajat yang dilakukan di dalam kuil akan membawa berkah besar bagi kehidupan orang itu. Yang ingin punya keturunan menjadi banyak keturunan, yang ingin panjang umur menjadi lebih panjang lagi umurnya, yang..."
“Maaf, Bibi...!" potong Suto Sinting karena ia mendengar kata-kata 'panjang umur', sehingga ingat tentang si Tabib Sesat yang kemungkinan besar akan memakan jantungnya Putri Merak agar berumur panjang. "Apakah seseorang dapat berumur lebih panjang lagi jika memakan jantung seorang putri yang dapat membuatnya berumur seribu tahun lagi?"
"Jika hal itu dilakukan di dalam Kuil Prana Dewa, maka orang itu dapat hidup sampai dua ribu tahun lagi! Tapi mengapa kau bertanya begitu, Suto Sinting?"
"Karena... hmmm... karena, terus terang saja, aku datang kemari karena mengejar seseorang yang pasti sudah Bibi kenal. Orang itu menculik Putri Merak dan ingin memakan jantung Putri Merak. Barangkali saja orang itu ingin melakukannya di dalam Kuil Prana Dewa itu supaya…"
"Siapa orang tersebut?!" potong Riandawi.
"Tabib Sesat!"
Riandawi dan bibinya sama-sama terperanjat dan saling pandang dengan mata terbelalak.
"Sebenarnya aku ingin menemui Nirwana Tria untuk menanyakan tentang kemungkinan tempat persembunyian si Tabib Sesat. Tapi... ternyata aku justru bertemu denganmu, Riandawi."
"Jadi.... Tabib Sesat telah kembali dari pelariannya?!" gumam Layunggini bernada tegang.
Riandawi berujar kepada Suto Sinting. Dia masih menjadi buronan kami! Dan sangat berbahaya jika kembali ke alam kami. Berarti akan timbul bencana lagi seperti dulu. Tabib Sesat adalah tokoh aliran hitam yang banyak mendatangkan bencana bagi masyarakat Dasar Bumi ini. Suto Sinting, Tak ada yang bisa membunuhnya kecuali Dewa Tanah, sebab hanya Dewa Tanah yang tahu rahasia kelemahan Tabib Sesat."
"Ya, benar!" timpal sang bibi. "Tapi Eyang Dewa Tanah sekarang sedang sakit. Tak mungkin lakukan pertarungan dengan si Tabib Sesat."
"Aku sendiri yang akan lakukan pertarungan dengannya. Bibi," ujar Suto Sinting dengan tegas, membuat sang bibi menatap dengan tegang kembali.
la tak percaya akan kemampuan Suto dalam melawan Tabib Sesat, karena ia tak tahu bahwa pemuda tampan yang ada di depannya itu adalah si Pendekar Mabuk, tokoh muda yang sering dibicarakan oleh para tokoh di Dasar Bumi itu.
Ternyata pertanyaan yang semula dianggap iseng-iseng itu punya makna besar bagi tujuan Suto datang ke alam tersebut. Tetapi baik Riandawi maupun Layunggini tidak dapat memperkirakan di mana Tabib Sesat saat itu berada.
"Jika benar kau merasa mampu berhadapan dengan si Tabib Sesat itu, aku dapat memancingnya agar ia muncul di Kuil Prana Dewa nanti!" ujar Layunggini.
"Pancinglah dia, Bibi! Usahakan ia berani muncul di Kuil Prana Dewa!" jawab Suto tegas sekali. "Aku akan menghadapinya tanpa peduli menang atau kalah!"
"Kalau begitu aku harus segera menghadap Guru dan mengabarkan hal ini pada beliau!" sahut Riandawi, seakan mendukung rencana Suto dan bibinya untuk memancing kemunculan Tabib Sesat itu. Tapi sang bibi justru berbalik menjadi ragu-ragu. la menyangsikan kemampuan Suto Sinting dan terang-terangan berkata,
"Sangat disayangkan jika pemuda setampan dan segagah dirimu harus mati di tangan nenek iblis itu, Suto. Kurasa, sebaiknya urungkan saja niatmu. Biar penguasa bumi yang menanganinya!"
Suto Sinting mengeluh dengan napas dihembuskan lepas-lepas.
* * *
EMPAT
Sampai mereka berpisah, Bibi Layunggini belum tahu bahwa pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk. Perempuan separuh baya itu hanya tahu bahwa pemuda tampan itu punya keberanian cukup besar, karena tekadnya melawan Tabib Sesat tampak menyala-nyala sekali. Bibi Layunggini merasa girang dalam hatinya, karena pada saat itu Pendekar Mabuk ikut bersamanya menuju ke Kuil Prana Dewa, sedangkan Riandawi pergi untuk temui Nirwana Tria yang di antara para muridnya dikenal dengan nama panggilan: Guru Tria.
Sepanjang perjalanan ke Kuil Prana Dewa, pandangan mata Bibi Layunggini sering tertuju ke wajah Suto Sinting. la sangat mengagumi ketampanan Suto Sinting, juga terpikat dengan kegagahan si pendekar yang menyembunyikan ketenarannya itu. Sekalipun Suto Sinting mulai dapat meraba isi hati Layunggini, tapi ia berpura-pura tidak mengetahui hal itu, la masih bisa bersikap tenang dan kalem, yang membuat hati Bibi Layunggini semakin diliputi debar-debar keindahan.
"Sejak sepuluh tahun yang lalu, aku sudah menjadi janda. Suamiku tewas dalam suatu pertarungan," ujar sang bibi. "Lalu, sejak itu aku tak bermaksud ingin menikah lagi. Ku abadikan sisa hidupku dikuil keramat itu tanpa berpikir untuk mencari pasangan hidup lagi."
"Apakah Bibi tidak merasa kesepian?"
"Sangat kesepian sekali," jawabnya terang-terangan. "Dan untuk mengatasi kesepian itu aku banyak berlatih beberapa ilmu peninggalan mendiang suamiku. Kesibukan merawat kuil juga merupakan cara lain untuk mengalihkan rasa sepiku. Tapi sekarang..."
Kata-kata tersebut tiba-tiba terputus dengan sendirinya. Timbul rasa heran di hati Suto Sinting. Lebih heran lagi setelah Bibi Layunggini hentikan langkahnya dengan pandangan mata ke satu arah penuh curiga.
"Ada apa, Bibi?" tanya Suto pelan sekali.
"Aku mendengar suara gerak pertarungan," jawab sang bibi.
Pendekar Mabuk mencoba menyimak suara yang dimaksud, namun ia tidak mendengar suara apa-apa kecuali hembusan angin pembawa kesejukan, "Mungkin Bibi salah dengar. Tak ada suara senjata beradu, tak ada suara letupan apa-apa."
"Ya, tapi aku mendengar dua gerakan yang saling hantam dan saling menangkis. Arahnya di sebelah sini!" Bibi Layunggini bergerak lebih dulu, Pendekar Mabuk mengikutinya dengan hati semakin heran.
"Jika benar apa yang didengarnya, berarti Bibi Layunggini mempunyai pendengaran yang sangat tajam. Patut mendapat pujian dan layak untuk dikagumi," ujar Suto dalam hatinya.
Perempuan itu bergerak cepat. Wees, wees, wees. Pendekar Mabuk terpaksa gunakan separuh jurus 'Gerak Siiuman'-nya untuk imbangi kecepatan gerak perempuan tersebut. Dalam waktu beberapa kejap saja mereka sudah tiba di sebuah kaki bukit berhutan cemara kuning. Indah sekali tempat itu bagi Suto Sinting, daun-daun cemara berwarna kuning rata, batang pohonnya juga berwarna kuning. Rumput dan semak yang tumbuh di sekitar tempat itu juga berwarna kuning menyala. Indah sekali. Pemandangan serba kuning terang itu menjalar dari kaki bukit sampai ke puncak bukit yang tak seberapa tinggi itu.
Namun di salah satu sisi kaki bukit tersebut, Pendekar Mabuk melihat dua sosok manusia sedang bertarung dengan gerakan cepat tanpa senjata tajam. Hal itu membuat Suto Sinting menjadi terheran-heran karena apa yang didengar Bibi Layunggini itu memang terbukti kebenarannya. Kedua orang itu bertarung bagaikan tanpa suara sedikit pun. Benturan tongkat dengan tongkat, tangan dengan tangan, tendangan dengan tendangan, hanya menghasilkan kepulan asap yang tidak mempunyai suara apa-apa. Percikan cahaya api pun tidak menimbulkan suara letupan seperti biasanya.
"Hebat sekali pendengaran Bibi Layunggini," puji Suto Sinting dalam gumam pelan di samping perempuan itu.
Si perempuan bagai tak pedulikan pujian tersebut, karena kedua matanya memperhatikan ke arah dua sosok tua yang saling bertarung di seberang sana…!
Pendekar Mabuk segera terperanjat, pandangan matanya terkesip ketika menyadari salah satu dari orang yang bertarung tanpa suara itu mengenakan jubah lengan panjang berwarna putih-hitam, sebelah kiri putih, sebelah kanannya hitam. Usia lelaki tua yang seluruh rambut, kumis, dan jenggotnya berwarna putih itu sekitar delapan puluh tahun, tapi ia masih tampak tegar dan lincah. Bahkan lebih berkesan ganas terhadap lawannya.
"Kalau tak salah yang berbadan kurus dan berjubah putih-hitam itu adalah si Branjang Hantu, ya Bibi?"
"Oh, kau sudah kenal dengannya?" sang Bibi agak terkejut.
"Ya, aku bertemu dengan Branjang Hantu ketika berkunjung kemari beberapa waktu yang lalu," sambil Suto terbayang saat menyelamatkan gadis bernama Ranti Ketawang dari tangan Harya Jipang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Ratu Maksiat).
Sambung Suto lagi, "Bukankah dia adalah kakeknya Ranti Ketawang, Bi?"
"Benar. Ranti Ketawang itu juga keponakanku, kakak sepupunya Riandawi."
"Ooooo.,.?!" Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Branjang Hantu adalah pamanku."
“Oooo...," Suto Sinting melongo lagi lebih panjang. "Lalu. siapa perempuan tua yang sekarang sedang mendesak Ki Branjang Hantu itu, Bi?"
"Dia itulah buronan kami," jawab Bibi Layunggini.
Jawaban itu membuat Suto Sinting memandang si perempuan dengan dahi berkerut. "Maksud Bibi... perempuan tua bertubuh sekal itu adalah si Tabib Sesat?"
“Siapa !agi kalau bukan dia!"
Detak jantung menjadi cepat. Pendekar Mabuk mulai tampak tak sabar. Dadanya bergemuruh menahan desakan hasratnya untuk menerjang si Tabib Sesat itu. Tapi Bibi Layunggini menahannya dengan kata-kata sederhana.
"Tapi di mana Putri Merak yang diculiknya itu?"
Pertanyaan tersebut membuat Pendekar Mabuk menahan diri untuk tidak menghambur dalam pertarungan. Kelihatannya, Branjang Hantu sendiri masih mampu menahan serangan-serangan si Tabib Sesat. Pendekar Mabuk cepat mencari Putri Merak dengan pandangan tajamnya.
"Percuma saja kutumbangkan si Tabib Sesat jika aku tak tahu di mana Putri Merak berada, dan bagaimana keselamatan jiwanya?" ujarnya dalam hati. Maka Suto pun tetap diam dtempat dengan penuh waspada. la tak mau bertindak gegabah yang dapat mengakibatkan pengejarannya ke alam perbatasan itu menjadi sia-sia.
Tabib Sesat ternyata berusia belum terlalu tua, sekitar lima puluh tahun. Entah itu usia asli atau usia sadapan dengan menggunakan ilmu awet muda, yang jelas tubuhnya kelihatan tak terlalu kurus, dan di wajahnya masih ada sisa kecantikan masa lalu. la mengenakan jubah biru tua berlengan panjang. Pakaian dalamnya pinjung penutup dada warna merah dan kain penutup bagian bawah berwarna merah tebal.
Sekalipun dadanya masih tampak sedikit montok, sisa kecantikannya masih kelihatan, tapi Pendekar Mabuk tahu persis siapa Tabib Sesat itu sebenarnya. Apa yang diketahuinya itu adalah sebuah rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Dan rahasia itu membuat bulu kuduk Suto pun jadi merinding sesaat.
Bibi Layunggini masih bersembunyi di balik pohon. Tampaknya ia takut diketahui Tabib Sesat, terlihat dari pancaran pandangan matanya yang mengandung kecemasan. Namun ketika Pendekar Mabuk ingin bergerak maju untuk berada lebih dekat lagi dari tempat pertarungan itu, tangan Layunggini buru-buru mencekal pundak Suto.
"Jangan bertindak dulu. Pelajari dulu jurus-jurusnya, siapa tahu kau bisa temukan kelemahan jurus-jurus si Tabib Sesat itu!"
"Benar juga!" ujar Suto dalam hatinya. Namun di mulut ia berkata lain. "Ki Branjang Hantu semakin terdesak, Bibi."
"Pamanku masih bisa mengatasinya."
"Mengapa Bibi tidak segera turun tangan membantu paman?"
"Aku tak ingin dilihat oleh si Tabib Sesat, sebab dia pasti mengincar kunci Kuil Prana Dewa! Aku bisa dibunuhnya demi mendapatkan kunci pembuka pintu kuil. Dan... ilmuku memang tak sebanding jika harus melawannya."
Pendekar Mabuk menggumam lirih dan manggut-manggut. Perhatiannya kembali diarahkan kepada pertarungan tanpa suara itu. la melihat gerakan Tabib Sesat memang cepat dan penuh tipu daya. Branjang Hantu terkena pukulan beberapa kali. Setiap pukulan yang mengenai lawan selalu menghembuskan asap putih kehitaman. Kini mereka mengadu tongkat. Hantaman tongkat menimbulkan percikan cahaya merah dan semburan asap, namun tetap tanpa ledakan sekecil apa pun. Bahkan suara tongkat dengan tongkat beradu pun tidak terdengar dari tempat Suto berada.
Adu tongkat itu membuat tubuh si Branjang Hantu terlempar ke belakang. Tubuh si Tabib Sesat juga terlempar ke belakang. Punggungnya menabrak pohon. Tapi tiba-tiba tubuh itu dapat lolos melewati pohon bagai bayangan tanpa raga. Blees...! Tabib Sesat berdiri tegak dengan cepat di balik pohon yang diterabasnya itu.
"Gila! Rupanya dia punya ilmu bayangan yang membuatnya dapat menembus pohon?!" gumam Suto Sinting dengan pelan, didengar oleh Bibi Layunggini, sehingga perempuan itu pun segera berkata pelan juga.
"Itulah salah satu kehebatan ilmunya! Kau harus cari kelemahan ilmu itu agar tak celaka jika berhadapan dengannya."
"Bibi di sini saja! Aku akan berada lebih dekat ke sana. Kelihatannya Ki Branjang Hantu terluka dalam akibat pukulan Tabib Sesat tadi. Aku akan menjagai keselamatan Ki Branjang Hantu."
"Tapi, Suto...," Layunggini tak sampai teruskan kalimatnya, karena anak muda itu tiba-tiba sudah melesat dan berada di balik gugusan batu berwarna kuning kunyit yang tingginya sebatas pundak orang dewasa.
Pendekar Mabuk mengendap-endap di balik batu besar itu. Branjang Hantu masih bisa tegak kembali. la memainkan tongkatnya dengan gerakan cepat, lalu tongkat itu ditancapkan ketanah. Jruub...! Branjang Hantu lepas tongkat, bersiap hadapi lawannya dengan tangan kosong.
Sang lawan mendekat dengan masih menggenggam tongkat. "Branjang Hantu!" terdengar suara Nini Kembang Kempis yang terlontar dengan lantang itu. "Kuingatkan sekali lagi padamu, jangan coba-coba berniat menjadi satria di depanku! Jika kau masih berkeinginan untuk menangkapku, maka nyawamu sendiri yang akan kutangkap dan kumasukkan ke dalam raga seekor babi hutan di Permukaan Bumi nanti!"
"Kalau kau tak mau kutangkap dan kuserahkan kepada Dewa Tanah, maka kau harus rela kehilangan rohmu yang akan kukirim ke neraka jahanam!"
Tabib Sesat tersenyum sinis. "Kau tak akan unggul melawanku, Branjang Hantu! Jika Dewa Tanah saja bisa kulukai separah itu, mengapa kau tidak?! Bukankah kau tahu aku menguasai ilmu 'Siksa Abadi' yang sangat dahsyat itu?!"
"Menggunakan ilmu 'Siksa Abadi' adalah suatu pelanggaran yang tak terampuni lagi! Oleh sebab itulah kau harus diadili, bila perlu dipancung di sini juga!"
Tabib Sesat geleng-geleng kepala sambil tangan kirinya bertolak pinggang. "Rupanya semakin tua kau semakin bandel, Branjang Hantu! Jika mernang begitu, kau pun layak mendapatkan ganjaran 'Siksa Abadi' dariku, seperti ganjaran yang diterima oleh si Dewa Tanah itu! Bersiaplah untuk modar secara perlahan-lahan, Branjang Hantu!"
Nini Kembang Kempis membuka jurus baru. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kirinya rendah ke depan. Tongkatnya yang berkepala bola bemkir itu diangkat aebatas teiinga, sedangkan tangan kirinya menggenggam kuat di depan dada kiri.
Suto membatin, "O, rupanya ilmu 'Siksa Abadi' adalah ilmu yang berbahaya dan tak boleh digunakan dalam hukum persiiatan di Dasar Bumi ini. Dewa Tanah terluka oleh ilmu itu, dan membuat Tabib Sesat diburu oleh para tokoh aliran putih, sehingga Tabib Sesat melarikan diri. Hmmm…! Tapi mengapa ia melarikan diri?! Bukankah sebenarnya ia bisa melawan para pengejarnya dengan ilmu 'Siksa Abadi' itu?!"
Kecamuk batin Suto dihentikan karena perhatiannya segera dikembalikan pada gerakan berbahaya dari si Tabib Sesat. Ketika Branjang Hantu menggosok telapak tangannya hingga menyala merah seperti besi membara, Tabib Sesat melompat dengan gerakan berputar cepat. Gerakan itu keluarkan kabut merah yang melapisi tubuhnya. Tongkat si Tabib Sesat menyambar kepala Branjang Hantu. Wuuus...! Dengan cepat Pak Tua berjenggot putih itu berguling ke tanah sambil kibaskan tangan ke atas. Cahaya merah menyerupai telapak tangan itu melesat menghantam Tabib Sesat. Tetapi cahaya itu membalik ke arah semula sebelum kenai tubuh Tabib Sesat, Claap...! Blaab…!
"Aaahk...!" Branjang Hantu terpekik karena cahaya merahnya justrumenghantam dadanya sendiri. Sskujur tubuh Branjang Hantu menjadi terbakar bagaikan besi membara. Kedua bola matanya pun menjadi merah mirip batu lahar. Sebentar kemudian, tubuh itu padam, kembali seperti semula. Branjang Hantu terengah-engah dan berusaha bangkit kembali. Baru saja berlutut, tiba-tiba tubuhnya menjadi merah membara dan ia memekik kesakitan kembali. "Aaahkk...!" Branjang Hantu pun tumbang ke tanah, mengerang-erang dengan kelojotan bagai orang tersiksa yang amat menderita.
"Hmmm...!" Tabib Sesat mencibir sinis. "Sudah kuperingatkan kau masih nekat. Bukan salahku jika kau termakan ilmu 'Siksa Abadi'-ku, Branjang Hantu! Nikmati saja siksaan sepanjang masa itu!"
Zuub...! Nyala api membara di tubuh Branjang Hantu padam seketika. Tubuh itu hanya keluarkan asap tipis. Napas Branjang Hantu terengah-engah kembali. la berusaha bangkit. Dengan sempoyongan ia berdiri dan memandang lawannya penuh nafsu untuk membunuh.
“Keparat kau, Tabib Iblis! Terimalah... aaahkk...!" Branjang Hantu mengejang dengan kepala terdongak wajah menyeringai. Sekujur tubuhnya terbakar kembali seperti tadi. la jatuh berkelojotan, sementara si Tabib Sesat tertawa terkekeh-kekeh sambil pandangi penderitaan Branjang Hantu. Orang berjubah biru tua itu bagaikan sedang menikmati tontonan yang menyenangkan hatinya.
"0, rupanya seperti itulah keadaan orang yang terkena ilmu "Siksa Abadi'...?!" pikir Suto Sinting dengan tegang. "Tapi kulihat tadi si Tabib Sesat belum menyerang Branjang Hantu. la hanya melompat, mengepulkan kabut merah menyambar kepala Branjang Hantu dengan tongkatnya, tapi luput. Lalu... lalu Branjang Hantu melepaskan pukulan bercahaya merah. Tapi kembali ke arah semula dan mengenai dadanya. Tiba-tiba dia menjadi terbakar, sembuh, terbakar, dan sembuh lagi, terbakar lagi.... Oh. apakah sinar merah yang membalik arah itu dinamakan ilmu 'Siksa Abadi'?!"
Tabib Sesat berkata, "Tapi kurasa kau tak perlu menderita seperti itu. Kau bukan musuh utamaku, Branjang Hantu. Jadi sebaiknya kau segera kukirim ke neraka saja!"
Tabib Sesat mengangkat tongkatnya. Tongkat siap dihujamkan ke dada Branjang Hantu. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk bertindak cepat dari persembunyiannya. Jurus 'Jari Guntur' digunakan untuk menyerang Tabib Sesat. Tess, tees...! Dua sentilan yang keluarkan tenaga dalam cukup besar melesat ke dada Tabib Sesat, Tapi rupanya Tabib Sesat mengetahui akan datangnya gumpalan hawa padat yang membahayakan dadanya. Ia segera melompat hindari hawa padat itu walau harus batalkan niatnya menghujamkan tongkat ke tubuh Branjang Hantu.
Suuut..! Jleeg...! Tabib Sesat sudah berpindah tempat, sedikit lebih jauh dari Branjang Hantu. Gumpalan hawa padat dari sentilan 'Jari Guntur' melesat terus dan mengenai sebongkah batu kuning suram yang tingginya seukuran dada orang dewasa.
Prrakk...! Prool...!
Batu itu retak sebentar, lalu pecah menjadi bongkahan-bongkahan sebesar genggaman tangan. Hati si Pendekar Mabuk merasa malu-malu jengkel. Baru sekarang sentilan jurus 'Jari Guntur'-nya dapat dihindari lawan. Mau tak mau ia harus mempertanggungjawabkan serangan diam-diamnya tadi dengan melompat keatas sambil bersalto satu kali, karena pada saat itu Nini Kembang Kempis alias si Tabib Sesat kirimkan pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar dan tanpa suara. Yang keluar dari sodokan kepala tongkatnya hanya uap putih bagai dihembuskan dari mulut seekor naga.
Wuuus...! Durrb...!
Tenaga dalam itu kenai batu kuning kunyit yang dipakai bersembunyi Pendekar Mabuk. Yang terdengar hanya suara batu meledak dalam satu daya redam cukup tebal. Tak bisa didengar oleh orang yang berjarak sepuluh langkah dari tempat batu tersebut berada. Tahu-tahu batu itu hancur menjadi butiran kerikil yang menggunduk ditempatnya.
"Rupanya ada pemuda bodoh yang mau ikut dikirim ke neraka!" ujar Tabib Sesat seperti bicara pada diri sendiri, tapi dilontarkan dengan suara keras.
Pendekar Mabuk melangkah lebih dekat lagi. Sementara itu, nyala api membara di tubuh Branjang Hantu telah padam. Pak Tua itu berusaha untuk bangkit, namun susah sekali. la merangkak mendekati tongkatnya yang ditancapkan di tanah.
Tabib Sesat tampak curiga kepada pemuda yang dipandanginya dengan mata mengecil itu. Suto Sinting beriagak tidak memperhatikan Tabib Sesat. Pandangannya ditujukan kepada Branjang Hantu yang sudah berhasil berdiri dengan berpegangan pada tongkatnya. Tapi ekor Mata Suto tetap mewaspadai segala gerakan si Tabib Sesat.
"Minumlah tuakku, Ki Branjang Hantu."
"Kkau... kau si..."
"Ya, memang aku!" jawab Suto tegas. "Jangan banyak bicara dulu, minumlah tuakku untuk memadamkan api yang akan membakarmu lagi itu," sambil Suto menyodorkan bumbung tuaknya.
"Pendekar Mabuk!" sentak suara Tabib Sesat. "Kau pasti si Pendekar Mabuk yang telah membunuh beberapa muridku itu!"
"Sekarang justru gurunya yang akan kubuat menyusul murid-murid sesat itu!" ujar Suto Sinting sengaja memancing emosi Tabib Sesat. Ia tak jauh-jauh dari Branjang Hantu yang sedang menenggak tuak.
Tabib Sesat tampak berpikir beberapa saat. la tak mau langsung menyerang Pendekar Mabuk, karena masih diliputi perasaan heran oleh sesuatu yang tak diduga-duga sebelumnya. "Ternyata anak itu bisa masuk ke alam sini?! Hmmm...! Pantas murid-muridku banyak yang tumbang di tangannya! Pantas ia sukar ditangkap oleh para utusanku!" ujar Tabib Sesat dalam hatinya. "Kurasa dia harus segera kubereskan. Atau jika terlalu sulit, kutinggal kabur saja! Aku harus segera menemukan si Layunggini untuk dapatkan kunci Kuil Prana Dewa, dan membawa Putri Merak ke sana! Dengan memakan jantung Putri Merak di dalam kuil itu, maka bukan saja umurku akan menjadi panjang, tapi aku akan berubah menjadi lebih muda lagi!"
Pendekar Mabuk cepat ambil kembali bumbung tuaknya, khawatir diserang secara tiba-tiba. Branjang Hantu terengah-engah. Tubuhnya tidak menyala merah lagi, tapi hawa panasnya masih menyengat jaringan dalam tubuh. la meringis kepanasan sambil berlutut memegangi tongkatnya. Suto Sinting tinggalkan Branjang Hantu untuk sementara, karena Tabib Sesat mulai memainkan tongkatnya sambil berseru dengan lantang.
"Sekaranglah saatnya kau menebus kematian murid-muridku, Pendekar Mabuk!"
"Di mana kau sembunyikan si Putri Merak itu?!" hardik Pendekar Mabuk walau tetap dengan wajah seperti tak beremosi.
"Tak akan ada yang bisa menjamah Putri Merak! Lupakan tentang dia, dan hadapi saja hukuman dariku ini! Hiaaat...!"
Tabib Sesat melompat cepat, menyambar kepala Suto Sinting dengan ujung tongkatnya yang bundar itu. Pendekar Mabuk melenting ke atas tanpa bersalto. la sengaja tidak menghindari terjangan itu, melainkan bermaksud mengadu kesaktian bumbung tuaknya dengan tongkat lawan. Seet...!
Blaaamm...! Benturan tongkat dengan bumbung tuak mengeluarkan cahaya merah terang yang menyentak dalam sekejap. Bersamaan dengan itu, keluarlah suara berdentam menyerupai ledakan yang menggunakan alat peredam.
Suara ledakan itu memang tak sekeras biasanya, tapi gelombang daya sentaknya menghantam perut Pendekar Mabuk. Perut itu bagaikan diterjang seekor banteng yang mengamuk. Selain membuat sukar bernapas, juga membuat tubuh gagah itu terpental hilang keseimbangan arah.
Wuuus...! Brruuk...!
Pada saat Suto Sinting terbanting, tubuh Tabib Sesat menembus pohon bagaikan bayangan tanpa raga. Blees…! la jatuh di semak-semak berdaun kuning bening. Guzraak...! Tapi dalam beberapa kejap sudah bangkit kembali dan siap melepaskan jurus barunya.
Pendekar Mabuk pun memaksakan diri untuk bisa tegak kembali. Napas ditarik dan ditahan dalam perut. Maka mengalirlah hawa murni ke dalam perutnya, sehingga perut yang seharusnya memar membiru dan sakit sekali dipakai bernapas itu menjadi berkurang rasa sakitnya.
"Kau memang keparat, Bocah Sinting!" geram Tabib Sesat. "Jangan merasa bangga dulu dengan ilmumu! Kekuatanmu tak ada sekuku hitamnya dibandingkan kekuatanku!"
"Serahkan Putri Merak atau kuhancurkan ragamu dengan bumbung tuakku ini, Tabib Sesat!" Suto lontarkan ancaman sebagai bukti ia tak pedulikan kata-kata lawannya. Keberaniannya pun tampak tak berkurang sedikit pun. la melangkah ke samping menunggu reaksi lawan.
Ternyata sang lawan nekat menerjang Suto kembali dengan satu lompatan secepat kilat. Wiizz...! Suto Sinting tak sempat menghindar. Tapi ia segera menyilangkan bumbung tuaknya di depan dada sambil me- lambung lurus ke atas. Suuut...!
Prrak...! Brruus...!
Bumbung tuak itu diterjang dengan telapak kaki si Tabib Sesat. Akibatnya bumbung itu membentur dagu Suto sendiri. Tubuh Suto pun terlempar kembali ke belakang dan jatuh berjungkir balik beberapa kali. Pandangan mata Suto sedikit kabur. Kepalanya sakit sekali bagaikan mau remuk. Tapi ia segera berdiri dengan satu kaki berlutut. Ketika lawannya tampak menghantamkan tongkatnya ke arah kepala, Pendekar Mabuk segera menadahkan bumbung tuaknya kembali dengan dipegang kedua tangan.
Traang, blaaam...!
Terlambat sedikit saja, kepala Suto akan remuk karena terhantam bagian ujung tongkat yang bundar berukir itu. Dengan berhasilnya bumbung tuak dipakai sebagai penangkis hantaman tongkat lawan, Suto Sinting terkapar dalam satu sentakan, karena ledakan yang timbul akibat benturan itu mempunyai daya sentak yang kuat dan menyakitkan kepala, membuat wajah terasa panas sampai sebatas pundak.
Tetapi si Tabib Sesat sendiri juga terlempar ke belakang dan jatuh terpuruk dengan tulang-tulang terasa linu semua. Pada saat itu Branjang Hantu dalam keadaan tidak kepanasan. la segera hantamkan tongkatnya ke tubuh Tabib Sesat.
Wuuut,..! Traak...! Bluuub...!
Hantaman tongkat Branjang Hantu berhasil ditangkis oleh Tabib Sesat dengan menyilangkan tongkatnya di atas tubuh dan dipegangi dua tangan seperti Suto tadi. Tetapi tenaga dalam yang beradu melalui tongkat itu membuat dada Tabib Sesat semakin terasa seperti di tindih dengan batu besar. Sementara itu, Branjang Hantu sendiri terpental dan jatuh berguling-guling dalam keadaan tongkat terlepas dari genggaman. la bergegas bangkit, tapi hawa panas menyerang jaringan tubuhnya kembali, sehingga ia terpaksa mengerang dengan tubuh melintir nungging di tanah.
Kesempatan itu digunakan oleh Tabib Sesat untuk segera berdiri. Jleeg...! Satu ayunan pinggul membuat tubuhnya tegak kembali dalam sekejap. Tetapi ternyata pemuda tampan yang dihadapinya itu sudah lebih dulu berdiri tegak sambil menutup bumbung tuaknya, pertanda ia habis menenggak tuak saktinya untuk meredam hawa panas yang menyerang wajah sampai pundaknya itu.
"Kuakui, lumayan juga pertahananmu, Bocah Ingusan!" ujar Tabib Sesat sambil manggut-manggut dengan sinis. "Tapi kau tetap tak akan mampu melawan jurus 'Siksa Abadi'-ku dengan seluruh kekuatanmu!"
"Jangan serang dia!" Branjang Hantu berseru dengan suara berat. Wajahnya yang menahan rasa sakit itu tampak tegang melihat Suto Sinting sudah mu!ai memutar bumbung tuaknya. "Jangan serang! Hindari saja dia!" tambah Branjang Hantu membuat Suto Sinting merasa heran, akhirnya hentikan putaran bumbung tuaknya.
"Aku curiga dengan larangan itu! Ada apa sebenarnya?!" pikir Pendekar Mabuk.
Tapi si Tabib Sesat memainkan tongkatnya dengan cepat, bagaikan mengerahkan tenaga inti untuk keluarkan ilmu 'Siksa Abadi'. Dalam sekejap tubuhnya mulai keluarkan kabut merah samar-samar. "Tunjukkan kekuatanmu, Bocah Ayan!" tantang Tabib Sesat.
Tapi Branjang Hantu berusaha melarang dengan seruan bernada berat. "Jangan serang dia! Hindari saja Uuuhk!"
"Tutup bacotmu, Babi!" bentak Tabib Sesat.
Suaranya dirasakan oleh Suto mengandung kecemasan tersendiri. Suto Sinting jadi penasaran dan bertekad turuti seruan Branjang Hantu. Maka ketika Tabib Sesat berkelebat menerjangnya bagaikan cahaya kilat, Pendekar Mabuk lebih dulu pergunakan jurus 'Gerak Silumannya untuk menghindar.
Wiiizz...! Zlaap!
Pendekar Mabuk berada di tempat agak jauh, sekitar delapan langkah dari tempat Tabib Sesat daratkan kakinya. Terjangannya menemui tempat kosong,dan hal itu membuatnya semakin murka.
"Jangan lari kau, Pengecut! Hadapilah aku kalau kau ingin dapatkan si Putri Merak itu!"
"Aku tidak akan lari, karena aku tahu rahasia kelemahanmu, Tabib Sesat!" seru Suto Sinting sambil pasang kuda-kuda seperti orang mabuk mau tumbang.
"Hmmmh..!" Tabib Sesat mencibir meremehkan. "Kau bocah kemarin sore tak akan mampu ungguli ilmuku, Nak!"
"Kita lihat saja hasilnya! Aku sudah memperoleh rahasia kelemahanmu dari Randugara!"
"Hahh...?!" Tabib Sesat mendelik kaget. Rasa kagetnya itu tak sempat ditutupi, walau kejap kemudian ia kembali bersikap liar kembali. Tapi sinar matanya menunjukkan adanya kecemasan yang mulai mengurangi nyalinya.
Pendekar Mabuk tersenyum dengan tetap tak mau melepaskan serangannya.
"Seranglah aku sekarang juga kalau kau memang tahu dimana letak kelemahanku!" tantang Tabib Sesat, tapi hati kecilnya berkata, "Gawat! Kurasa anak ini memang mengetahui rahasia kelemahanku, karena dia menyebutkan nama Randugara! Murid keparatku itu pasti telah membocorkan rahasia itu kepadanya! Aku harus segera tinggalkan anak ini. Berbahaya sekali jika tahu-tahu serangannya langsung mengenai pusat kelemahanku!"
Branjang Hantu masih menggerak-gerakkan tangannya walau tak bisa bicara. Tapi Suto Sinting mengerti bahwa Branjang Hantu tetap melarangnya untuk lepaskan serangan ke arah Tabib Sesat.
"Jahanam! Cepat serang aku kalau kau memang jantan!"
"Kita sama-sama jantan!" seru Pendekar Mabuk.
"Celaka! Dia benar-benar tahu siapa diriku!" sentak hati Tabib Sesat. Tiba-tiba kakinya menghentak di tanah. Duuhk...! Bluuub...! Tubuhnya bagaikan kepulkan asap putih tebal. Asap itu segera sirna karena dihembus angin. Sosok perempuan berjubah biru pun lenyap seketika itu juga.
"Dia... melarikan diri...!" ujar Branjang Hantu sambil terengah-engah. Pada saat itu rasa panas dalam tubuhnya hilang kembali.
"Celaka! Ke mana perginya orang itu?!" tanya Suto Sinting kepada Branjang Hantu, tapi matanya sambil memandang ke sana-sini dengan tegang.
* * *
LIMA
Kini Bibi Layunggini menjadi tahu, bahwa pemuda tampan itu ternyata adalah si Pendekar Mabuk yang sering didengarnya dari mulut para tokoh persilatan. Hati perempuan itu menjadi kian berdebar-debar kegirangan, karena ia merasa bangga dapat bertemu dengan tokoh muda yang menjadi pujaan para wanita dan pujian para tokoh aliran putih itu.
"Pantas dia berani melawan si Tabib Sesat?! Kalau dia bukan Pendekar Mabuk, mana berani dia melakukan pengejaran kemari?!" gumam hati Layunggini. "Oh, sebaiknya aku tak boleh hanyut dulu dengan rasa banggaku ini. Bagaimana keadaan Paman Branjang Hantu itu?! Ooh, dia tersiksa sekali! Apakah tuak saktinya Pendekar Mabuk tak srtampu sembuhkan luka bakar yang diderita pamanku itu?!"
Tuak sakti Pendekar Mabuk hanya bisa untuk mengurangi rasa panas pada orang yang terkena ilmu 'Siksa Abadi'-nya si Tabib Sesat. Rasa panas itu berkurang sedikit sekali. tubuh si penderita hanya bisa tidak tampak merah membara. Tetapi jika kekuatan 'Siksa Abadi' itu datang kembali, si penderita tetap rasakan sesuatu yang menyengat panas dalam jaringan tubuhnya.
"Ini masih mending, ketimbang penguasa tertinggi kami; Sang Dewa Tanah!" ujar Layunggini yang berani tampakkan diri setelah Tabib Sesat lari tinggalkan tempat.
"Dewa Tanah masih sering meraung-raung kesakitan jika panas 'Siksa Abadi' itu datang. Tubuhnya masih sering menjadi merah terbakar, lalu padam beberapa saat, dan terbakar lagi, begitu seterusnya. Sampai sekarang belum ada obat yang dapat untuk mengatasi kekuatan ilmu 'Siksa Abadi' itu," tutur Branjang Hantu saat tidak diserang rasa panas.
"Karena itulah si Tabib Sesat dicari-cari oleh Nirwana Tria," sambung Layunggini, "Sebab.... Nirwana Tria sudah diberi tahu rahasia kelemahan Tabib Sesat oleh kakeknya: Sang Dewa Tanah itu. Tetapi sama halnya dengan dirimu, Nirwana Tria terlepas kata bahwa dia mengetabui rahasia Tabib Sesat, sehingga tabib Iblis itu melarikan diri sebelum berhasil dikalahkan oleh Nirwana Tria. la bersembunyi di Permukaan Bumi, tapi Nirwana Tria gagal menemukan tempat persembunyiannya!"
Pendekar Mabukmenggumam pendek, kemudian ajukan tanya kepada Layunggini. “Lalu, bagaimana cara menghindari ilmu 'Siksa Abadi'-nya itu, Bibi?"
"Jangan menyerang!" sahut Branjang Hantu.
"Ya. Jangan menyerangnya pada saat tubuhnya mengeluarkan kabut merah. Kabut merah itulah tanda bahwa ia menggunakan ilmu 'Siksa Abadi'. Jika ia diserang, maka serangan akan membalik mengenai kita. Bahkan sebelum serangan itu kita lepaskan, bisa-bisa sudah membalik mengenai tubuh kita. Tak dapat dihindari lagi. Sekecil apa pun serangan yang akan kita gunakan, dapat membakar tubuh kita dan... membuat kita tersiksa sepanjang masa, sebelum garis ajal tiba! Oleh karena itu, banyak para tokoh yang terpaksa segera lakukan bunuh diri jika sudah terkena ilmu 'Siksa Abadi' itu, sebab mereka tak sanggup hidup tersiksa selamanya!"
"Ilmu yang aneh...," gumam Pendekar Mabuk, kemudian diam termenung beberapa saat.
Branjang Hantu berkata kepada Layunggini. "Panas itu menyerangku lagi. Oouhk...!" Branjang Hantu mengerang kesakitan dengan tubuh meliukturun dan berlutut memegangi tongkatnya. "Layunggini... bunuh saja aku! Bunuh sekarang juga! Aaahk…!"
Layunggini bimbang, namun memandang dengan wajah penuh iba. Suara yang merintih itu sangat mengiris hati. Layunggini tak tega. la segera mengencangkan genggaman tangannya. "Paman, maafkan aku..."
Pendekar Mabuk mengerti maksud Layunggini. Perempuan itu akan menghantamkan pukulan yang mematikan kearah Branjang Hantu. Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk segera mencekal lengan Layunggini. "Tunggu! Jangan lakukan hal itu, Bibi!"
"Siksaan ini harus dihentikan, Suto!"
"Ya, aku tahu, Bi! Tapi tidak harus dengan cara membunuh Ki Branjang Hantu. Baru saja kuingat ramuan obat yang berkhasiat tinggi. Aku harus mencari Batu Tembus Jagat. Jika batu itu dicampur dengan tuakku, maka akan menjadi satu ramuan obat yang berkhasiat tinggi. Kurasa bisa dipakai untuk mengalahkan kekuatan 'Siksa Abadi' itu, Bi!"
"Batu Tembus Jagat...?!" gumam Layunggini bernada heran. la tak menyangka pemuda tampan itu mengetahui adanya batu ajaib yang dapat untuk sembuhkan penyakit berbahaya itu. Maka terbayang di benak Layunggini tentang sebuah gua berbatu indah, yaitu Gua Mahkota Dewa. Di dalam gua itulah terdapat Batu Tembus Jagat yang mempunyai kekuatan ajaib itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Penjara Terkutuk).
"Sebaiknya, kita bawa Ki Branjang Hantu ke sebuah tempat yang aman, Bibi! Aku akan mencari Batu Tembus Jagat sambil memburu si Tabib Sesat!"
Layunggini bertanya kepada Branjang Hantu, "Paman mau kami bawa ke Kuil Prana Dewa?"
Branjang Hantu tidak bisa menjawab karena menahan rasa sakit. Tapi Pendekar Mabuk memutuskan untuk membawa Branjang Hantu tanpa menunggu pertimbangan tokoh tua itu. Bibi Layunggini pun segera menjadi pemandu arah menuju Kuil Prana Dewa. Di sana ia punya tempat tinggal sendiri sebagai juru kunci kuil keramat tersebut.
"Semakin banyak minum tuakmu, semakin lama jarak kambuh panasnya," ujar Bibi Layunggini sambil memperhatikan Branjang Hantu yang dibaringkan di atas dipan bambu.
"Syukurlah jika beliau sekarang bisa tertidur," ujar Suto Sinting sambil menghembuskan napas lega.
Branjang Hantu memang diminumi tuak banyak-banyak oleh Pendekar Mabuk. Ternyata semakin banyak meminum tuak, semakin lama jarak kambuhnya. Semula dalam dua puluh hitungan, Branjang Hantu merasa kepanasan lagi. Tapi setelah diminumi tuak sakti itu, lima puluh hitungan baru terasa panas lagi. Suto meminumkan tuaknya lagi, sampai akhirnya Branjang Hantu bisa tertidur.
"Tuakku hampir habis, Bibi," ujar Suto Sinting seraya mengguncang-guncang bumbung tuaknya, dan terdengar bunyi kemerucuk air tuak dalam bambu sebatas satu jengkal dari dasar bumbung itu.
"Aku harus mengisi bumbung tuakku lagi, Bibi! Dapatkah Bibi tunjukkan di mana ada kedai penjual tuak di sekitar sini, Bibi?"
"Di sini tidak ada orang menjual tuak," kata Layunggini. "Tapi aku punya simpanan arak untuk pesta malam penyembahan yang akan dilakukan pada lima purnama mendatang."
"Arak.,.?!" gumam Suto Sinting agak ragu, Karena menurutnya arak dan tuak itu berbeda, walaupun sama-sama memabukkan jika diminum terialu banyak. "Tapi daripada bumbung tuakku nanti kosong, kurasa arak pun tak jadi soal," ujarnya dalam hati.
"Kalau kau mau, kau bisa mengisi bumbungmu dengan Arak Suci." Layunggini menuju ke sudut ruangan. Di sana ada dua guci arak.
Satu guci arak jika dituang ke bumbung tuak tidak akan membuat bumbung itu penuh. Tapi lumayan bisa buat persediaan melawan Tabib Sesat nanti.
"Arak Suci ini dipakai dalam pesta adat bukan untuk mabuk-mabukan, melainkan untuk menyucikan darah kami masing-masing dari kesalahan-kesalahan yang tidak kami sadari. Itu menurut kepercayaan hukum adat kami," tutur Layunggini.
"Boleh kuminta satu guci, Bi?"
"Boleh saja. Tapi apakah khasiat tuakmu tetap akan sama jika dicampur dengan Arak Suci ini?!"
Pendekar Mabuk diam sebentar mempertimbangkan. Pertanyaan itu membuat hatinya menjadi lebih bimbang lagi. Maka sebagai percobaan, Suto menuang sedikit tuaknya ke dalam cangkir keramik, lalu mencampurkan sedikit Arak Suci ke dalam cangkir itu.
"Kalau memang khasiatnya sama, aku akan pergi berbekal tuak itu, Bi. Tapi kalau tidak berkhasiat, lebih baik aku pergi dengan membawa sisa tuak ini," ujar Suto Sinting sambil pandangi cangkir keramik yang berisi air tuak campur arak sebanyak sekitar tiga tegukan itu. Pendekar Mabuk cicipi rasa tuak itu satu teguk, lalu dikecap-kecapnya sebentar.
"Hmmm... rasanya aneh. Seperti minum air pandan. Tapi... tapi di badan terasa sedikit panas?!"
"Coba kucicipi sedikit," pinta Layunggini. Perempuan itu pun mencicipi seteguk, lalu lidahnya mengecap-ngecap untuk rasakan tuak campuran arak itu. "Hmmm, ya... rasanya seperti minum air pandan. Padahal Arak Suci rasanya tidak seperti ini," ujar Layunggini. la menghabiskan separuh sisa tuak dalam cangkir. Semakin jelas rasa pandannya. Nikmat, segar, tapi darah yang mengalir ke sekujur tubuhnya menjadi sedikit panas.
Suto Sinting menghabiskan sisa tuak dalam cangkir itu. "Detak jantungku menjadi lebih cepat," ujar Layunggini sambil menghembuskan napas panjang. la melangkah masuk ke sebuah kamar bertirai kain merah.
"Benar juga," pikir Suto. "Detak jantung menjadi lebih cepat. Tapi... tapi debar-debar ini membawa keindahan tersendiri. Hmmm, keindahan apa ini?!"
Semakin lama debar-debar itu semakin jelas. Sebentuk kegembiraan yang tak tahu dari mana asalnya mulai memenuhi ruang hati Pendekar Mabuk. Tentunya yang dirasakan Layunggini juga begitu. Badan makin terasa panas. Keringat mulai tersembul dari pori-pori tubuh kekar Pendekar Mabuk. Benak pun ikut dipenuhi bayang-bayangan indah tentang keromantisan.
"Celaka! Mengapa hatiku berdebar-debar seperti orang sedang kasmaran?!" gumam hati Suto. "Apakah Bibi Layunggini juga begitu?!"
Sambil menenteng bumbung tuaknya, Pendekar Mabuk nekad menyusul Layunggini masuk ke kamar bertirai kain merah. Tersentak hatinya, makin berdetak kuat jantung manakala kedua matanya memandang keadaan Layunggini. Perempuan itu melepas kain jubahnya, juga mengendurkan kain pinjung penutup dada sambil duduk di tepi pembaringan. Ketika Suto Sinting menyingkapkan tirai merah dan tersentak dengan suara lirih, Layunggini memandang dengan senyum aneh.
"Masuklah. Ini kamar tidurku," ujar Layunggini, tapi Suto Sinting tetap diam di tempat dengan mata terbelalak.
Layunggini menghampirinya, kemudian menggandeng tangan Suto Sinting untuk mendekati ranjang. "Aku terpaksa buka jubah, karena badanku terasa panas sekaii," Layunggini berujar sambil membawa Suto duduk di pembaringan. Wajah separuh baya yang masih punya nilai kecantikan sangat matang itu sengaja menghadap ke arah Suto bagai memamerkan senyum naka!, Kedua matanya yang masih mempunyai bulu lentik itu mulai tampak sayu.
"Kau tampan sekali, Suto," ujarnya membisik.
"Kenapa jadi begini?' gumam Suto masih benada heran. la memandang tangannya yang sedang diremas-remas oleh Layunggini. Remasan tangan itu bagaikan bara api yang mulai terasa membakar gairahnya. Hasrat untuk bercumbu mulai bergolak, seakan batin menuntut kehangatan dan kemesraan untuk menyempurnakan perasaan indah yang menaburi hatinya.
"Di kamar ini aku selalu hidup dalam kesepian, Suto. Tapi sekarang rasa-rasanya hidupku mulai terisi kembali. Entah sampai berapa lama, yang jelas... yang jelas sekarang hatiku gembira sekali, Suto. Kau tahu apa yang membuatku gembira?"
"Karena kita berdua di sini?"
"Ya, dan... dan aku bergairah sekali, Suto. Maukah kau... maukah kau mencium pipiku, Suto?"
Pertanyaan yang bernada desah diiringi senyum memikat dan pandangan mata sayu menggairahkan itu telah membuat dada Suto Sinting semakin bergemuruh, Hati kecilnya ingin menolak tawaran Layunggini, tapi hasratnya semakin memanas dan tak bisa lakukan penolakan tersebut. Suto Sinting pun menempelkan bibirnya di pipi Layunggini setelah sungging senyumnya mekar menggoda hati.
Kecupan lembut di pipi itu terasa mengalirkan getaran cinta ke sekujur tubuh Layunggini. Itulah sebabnya tangan kiri Layunggini meremas paha Suto Sinting dengan lembut. Tangan itu akhirnya bergerak merayap naik perlahan-lahan ketika mereka beradu pandangan mata. Gerakan tangan sampai di pangkuan Suto, menyentuh kehangatan yang menjadi kebanggaanhya. Layunggini meremas kehangatan itu pelan-pelan.
"Ooooh... sudah lama aku tak menggenggam ini, Suto. Dan... dan kelihatannya apa yang kau punyai melebihi apa yang dimiliki mendiang suamiku dulu."
"Bibi mau memakainya?" bisik Suto Sinting dengan kedua tangan mulai berani merayapi sekitar leher dan rahang perempuan itu. Kini justru satu tangannya turun dan menerobos pinjung penutup dada. Suto Sinting menemukan sesuatu yang masih terasa padat dan sekal di balik pinjung penutup dada tersebut. la mengusap ujung-ujung bukit itu dengan sentuhan mesra sekali.
Layunggini meresapi sentuhan itu dengan mata sedikit terpejam. Bibirnya merekah bagai menanti kecupan hangat dari lawannya. Suto Sinting pun mendekatkan wajah, lalu lidahnya bermain di permukaan bibir tersebut. Layunggini merasa dibuat penasaran, akhirnya ia menyambar lidah Suto dan memagutnya dengan lembut sekali.
"Oohhhh...!" Layunggini mendesah panjang ketika kecupan itu dilepaskan. Gairahhya semakin berkobar, demikian pula halnya dengan gairah Pendekar Mabuk.
Pemuda itu bagai melambung ke awang-awang ketika Layunggini menciumi lehernya dengan kecupan kecil dan sapuan lidah yang nakal. Jiwa pemuda tampan itu seakan melayang-layang hingga lupa pada calon istrinya yang bernama Dyah Sariningrum, ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi, di Pulau Serindu.
Pagutan mulut dan sapuan lidah Layunggini merayap turun menyusuri dada bidangnya Suto Sinting. Kedua tangannya sempat menyingkapkan baju coklat tanpa lengan itu, sehingga kini Suto telah bertelanjang dada. Wajah Layunggini mendusal-dusal di sekitar dada kanan-kiri, membuat gigitan kecil yang memercikkan api asmara berkali-kali.
"Ooh, Bibi... kenapa begini? Kenapa... kenapa aku tak bisa menahan gairahku yang... yang... ooh, Bibi...." Suto Sinting membisik makin lirih ketika Layunggini berlutut di depannya, sementara kain ikat pinggang Suto yang berwarna merah itu sudah dilepasnya. Sesuatu yang hangat dikeluarkan oleh tangan perempuan itu, lalu disantapnya dengan lahap sekali.
Suto Sinting terbeliak nikmat ketika pagutan-pagutan mulut Layunggini itu semakin liar. Pemuda itu justru sedikit merebahkan badan ke belakang dengan kedua tangan bertumpu di tengah ranjang.
"Ooooh.... Suto, aku... aku ingin sekali! menikmatinya. Bolehkah kunikmati sendiri, Suto...?"
"Naiklah, Bibi. Duduklah di pangkuanku. Tapi... lepaskan dulu kainmu itu."
Mereka tak sadar bahwa minuman tuak campur Arak Suci itu telah membangkitkan saraf birahi siapa pun yang meminumnya. Ternyata tuak yang berasal dari bumbung bambu sakti itu tidak boleh dicampur dengan Arak Suci tersebut. Jika dicampur akan merubah kedua minuman itu menjadi racun pembakar gairah bercumbu siapa pun peminumnya. Juga, dapat melambungkan jiwa mereka kekhayalan indah tentang percumbuan. Dan jika sudah begitu, siapa pun peminumnya akan sulit menghindari dorongan bercinta yang berkobar-kobar besar sekali itu.
Terbukti, seorang pendekar sakti seperti Suto Sinting pun tak berhasil mengekang dorongan gairahnya, sehingga ia lupa pada dirinya dan lupa segala-galanya. Yang ada dalam benak dan hatinya adalah memburu kemesraan bersama lawan jenisnya, tak peduli siapa lawan jenis yang ada di dekatnya.
"Cepat naik dan lepaskan kainmu, Bibi...," desak Suto Sinting.
"Oh, ya... harus kulepas dulu biar lebih indah lagi, oouh... uuh...," suara Layunggini terkesan gemetar, gerakannya terburu-buru, napasnya pun sudah mulai tak teratur.
Tapi tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari si Branjang Hantu. "Aaaahhhhkkk...!!"
Teriakan keras dan panjang itu membuat keduanya tersentak kaget dan melompat turun dari ranjang ketika kedua kaki Layunggini ingin menduduki Suto Sinting. Mereka bergegas merapikan pakaian dan Layunggini lebih dulu melesat keluar dari kamar.
"Paman, ada apa...?!"seru suara Layunggini.
"Ooohk, panas lagiii!" ratap Branjang Hantu terdengar dari kamar.
Suto Sinting menghembuskan napas lega. Ternyata hawa panas yang membakar jaringan tubuh Branjang Hantu datang kembali dan menyiksa Pak Tua itu. Pendekar Mabuk yang sudah telanjur mengenakan pakaian lagi itu segera sadar akan tindakan yang baru saja dilakukan bersama Layunggini. Rupanya sentakan kaget itu memulihkan kesadarannya yang telah dibuat mabuk asmara oleh campuran tuak dengan arak tadi.
"Gila! Apa yang hampir kulakukan tadi bersama Bibi Layunggini?! Ooh... celaka! Hampir saja aku terjerumus dalam pelukan asmara Bibi Layunggini!" Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya sedikit. Tuak itu semakin menenangkan gemuruh hati yang tadi susut akibat sentakan rasa kagetnya.
Sang bibi kembali ke kamar dengan wajah masih berkeringat. "Pamanku kambuh lagi!"
"Tuakku tinggal sedikit. Tak bisa diberi campuran tuak dengan Arak Suci itu. Hampir saja kita terjebak dalam kobaran asmara akibat minum campuran tuak dengan Arak Suci itu, Bibi!"
"Yaaah... aku pun baru menyadari. Tapi... gairahku masih memburu terus,..."
"Minum tuak murniku ini sedikit saja."
Layunggini se gera menenggak tuak sakti Pendekar Mabuk. Kobaran hasrat cintanya memang mereda, tapi celakanya tuak dalam bumbung semakin menipis lagi. Padahal, Branjang Hantu merintih-rintih memilukan hati karena penderitaannya. Suto Sinting tak tega. la harus memberinya minum dengan sisa tuak dalam bumbung saktinya itu. Tentu saja hai itu akan membuat tuak semakin habis.
* * *
ENAM
Tabib Sesat tak sabar menunggu saat terbaik untuk membelah dada Putri Merak dan memakan jantungnya. Ketika ia mendapat laporan dari Jagaloya tentang kegagalannya merebut kunci Kuil Prana Dewa, Tabib Sesat memutuskan untuk menjebol pintu ruang suci di kuil keramat tersebut.
"Dasar bodoh! Kau manusia tak berguna iagi, Jagaloya! Murid keropos!" geram Tabib Sesat dengan murkanya akibat kecewa melihat hasil kerja Jagaloya.
"Riandawi ikut campur, Guru! Dan..."
"Dan kau lebih baik kubunuh daripada dibunuh pihak lawan! Hiah..!" Sreet ! Tongkat dikibaskan dengan cepat.
Jagaloya terkejut sekali, karena tak menyangka sedikit pun akan disabet ujung bawah tongkat gurunya. Sabetan itu tidak kenai tubuh Jagaloya, tapi angin sabetannya mempunyai ketajaman seperti mata pedang. Jagaloya tak sempat terpekik, karena tiba-tiba lehernya putus dan kepalanya jatuh menggelinding sebelum tubuhnya tumbang ke belakang.
"Guru...!" Jagaloya sempat bersuara serak satu kali, walau kepalanya telah terpisah dari raganya. Setelah itu ia tak dapat bersuara apa pun dan kedua mata nya setengah terpejam.
Putri Merak ternyata dalam keadaan terkena pengaruh totokan Tabib Sesat. Darahnya menjadi beku, urat-uratnya kaku seperti kawat. la seperti mayat mati suri. Tak bisa bergerak sedikit pun. Bahkan tak mampu mengingat apa-apa.
Tabib Sesat memanggul tubuh Putri Merak, lalu melesat menuju Kuil Prana Dewa. "Semakin lama tertunda, semakin banyak perintangku. Kuil itu harus kujebol dan jantung anak ini harus segera kumakan di sana! Hik, hik, hik, hik!"
Tabib Sesat menyangka Layunggini tidak berada di kuil tersebut. Oleh sebab itulah ia memutuskan untuk segera menjebol pintu kuil. Tetapi ketika ia tiba di pelataran depan kuil berbenteng batu hitam bening itu, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh munculnya sekelebat bayangan cepat yang menerjangnya dari samping.
Wees...! Bruuus...!
"Setaaaan...! Uuhk...!" Tabib Sesat berguling-guling. la merasa diterjang oleh serombongan banteng yang tak bisa dihindari lagi. Tubuhnya terpental sejauh dua puluh langkah dari tempatnya diterjang tadi. Putri Merak pun terpental lepas dari pundaknya, jatuh terbanting sejauh sekitar delapan langkah dari tempat Tabib Sesat berada.
"Monyet burik!" geram Tabib Sesat, kemudian bergegas bangkit dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia memandang dengan tajam ke arah orang yang menerjangnya itu. "Oo, rupanya kau bisa sampai sini juga, Rupa Setan!" seru Tabib Sesat dengan murka.
"Seperti kau ketahui sendiri, Tabib Sesat... biarpun wilayah alam perbatasan ini sangat luas, tapi toh aku masih mampu menemukan congormu di sini, Tabib Sesat!" ujar perempuan cantik sekali yang mengenakan jubah hijau dengan penutup dada dan celana panjang warna kuning itu.
Rupanya diam-diam Tabib Sesat pernah mendengar percakapan si Rupa Setan dengan tokoh lain yang habis ditolongnya, sehingga ia tahu bahwa perempuan montok berwajah cantik itu berjuluk si Rupa Setan dengan nama aslinya Anjardini.
Suara teriakan murka Tabib Sesat itu terdengar sampai di kediaman Layunggini. Pendekar Mabuk dan Layunggini segera keluar. Mereka terperanjat melihat Tabib Sesat sudah berhadapan dengan seorang lawan yang sangat dikenal oleh Pendekar Mabuk.
"Anjardini...!" sapa Pendekar Mabuk sambil berkelebat cepat mendekati si Rupa Setan. Zlaaap.J Jleeg...! Pendekar Mabuk ada di samping kanan Rupa Setan.
Perempuan cantik itu terkejut melihat Suto sudah bukan manusia serigala lagi. Tapi ia tak sempat tanyakan siapa penyembuhnya, karena Tabib Sesat yang sangat kecewa melihat pemuda tampan itu ada di tempat tersebut, segera lepaskan serangan bersinar merah menyerupai tombak panjang. Sinar merah itu keluar dari kepala tongkatnya.
"Binasalah kalian berdua!Heeaah...!" Cralaap...!
"Awas...!" seru Anjardini segera melepaskan pukulan bersinar dari telapak tangannya. Sinar yang keluar dari telapak tangan Anjardini adalah sinar hijau sebesar jeruk peras. Claap...!
Blegaaaarrr...!! Ledakan dahsyat terjadi pada saat sinar merah dan sinar hijau itu saling bertabrakan dipertengahan jarak. Alam sekitarnya berguncang hebat. Batu-batu besar menjadi retak, pepohonan pun sempat ada yang terbelah, dahan-dahan patah dan jatuh berdebum di sana-sini. Mereka yang ada di sekitar tempat itu saling oleng terhuyung-huyung karena tanah tempat mereka berpijak diguncang gempa bergelombang-gelombang.
Ketika suasana gaduh itu menjadi tenang kembali. Pendekar Mabuk sudah berada di dekat Putri Merak. Tabib Sesat menjadi semakin murka dan khawatir sekali Putri Merak disambar oleh Suto Sinting.
"Berani menyentuh gadis itu, kuhancurkan kepalamu dari sini, Bocah Keparat!" sentaknya keras. Sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar dan tanpa suara dilepaskan dari tangan kiri Tabib Sesat. Wees...! Buuhk...!
Suto Sinting tak sempat menghindar karena cepatnya hawa padat yang mengarah padanya. Walau ia melompat dengan maksud menghindar, tapi pahanya masih sempat tersambar hawa padat itu, sehingga tubuhnya terpelanting dan jatuh agak jauh dari Putri Merak. Brruk...!
"Aoow...!" pekik Suto Sinting yang merasa pahanya bagaikan dihantam dengan sebongkah batu besar. Rasa memar dan sakit pada tulang memang terasa menjalar di sekujur tubuh, tapi Pendekar Mabuk tidak peduli. ia segera bangkit dengan terpincang-pincang.
"Jangan beri kesempatan dia menggunakan ilmu 'Siksa Abadi'!" suara lantang itu datang dari Layunggini.
Seruan itu membuat Tabib Sesat berpaling ke arah si penjaga kuil keramat. Pada saat itulah, si Rupa Setan mencabut kipasnya lalu kipas itu disentakkan ke depan. Suuut...! Claap...! Seberkas sinar kuning patah-patah melesat dari ujung kipas itu.
Tabib Sesat baru ingin bergerak memburu Layunggini, tapi berhubung sinar kuning patah-patah datang ke arahnya, mau tak mau ia melompat ke atas dan bersalto satu kali di udara. Wuuut, wuuk...!
Tepat pada saat itu Pendekar Mabuk lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya. Des, des...! Gumpalan hawa padat melesat menuju ke arah putaran tubuh Tabib Sesat. Salah satu sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai mata kaki Tabib Sesat. Trok...!
"Aaouw...!" terdengar suara Tabib Sesat terpekik.
Tapi segera tertutup suara dentuman menggelegar akibat sinar kuningnya si Rupa Setan kenai sebatang pohon besar jauh di seberang sana. Glaaarr...! Pohon itu pecah menjadi potongan-potongan kayu tak beraturan.
Tabib Sesat turun ke tanah. Kaki kirinya tak bisa dipakai untuk menapak dengan kekar seperti biasanya. Rupanya mata kaki kiri itulah yang terkena sentilan 'Jari Guntur'-nya Pendekar Mabuk dan terasa seperti pecah.
"Keparat kalian semua! Majulah kalian bersama!" Set, set, wuut...! Jurus 'Siksa Abadi' dipergunakan.
Suto Sinting tahu, gerakan itu adalah gerakan untuk mengeluarkan kabut merah sebagai gerakan jurus 'Siksa Abadi'. Tetapi ternyata kabut merah tak keluar dari tubuh Tabib Sesat. Terpaksa gerakan tadi diulangnya kembali.
Set, set, wuut...!
"Heeah...!" sentak suara Tabib Sesat, tapi ternyata kabut merah tetap tak bisa keluar dari tubuhnya. Wajah si Tabib Sesat menjadi tampak tegang. Clingak-clinguk bagaikan kehilangan sesuatu. "Jahanam...!" geram Tabib Sesat dengan menyeringai ganas dan memandang ke arah Pendekar Mabuk. "Kau telah melumpuhkan ilmu 'Siksa Abadi'-ku, Bocah Kunyuk! Kini tak ada ampun lagi bagimu, Keparat!"
Wut, wut, wut, seet...!
Tabib Sesat memainkan jurus lain dengan gerakan tongkat sangat cepat, lalu tahu-tahu ia sudah berdiri dengan satu kaki, dan satu kakinya lagi melilit pada tongkat. Kini tongkat itu berfungsi sebagai pengganti kaki kiri yang terkena sentilan 'Jari Guntur'-nya Pendekar Mabuk tadi.
Rupanya sentilan 'Jari Guntur' yang mengenai mata kaki itu telah melumpuhkan kekuatan ilmu 'Siksa Abadi', sehingga Tabib Sesat tak dapat menggunakannya lagi. Bahkan ketika ia ingin melarikan diri dengan cara menghilang seperti yang dilakukan oleh para tokoh persilatan di dasar bumi itu, ternyata kekuatannya lenyap dalam sekejap itu pun ikut musnah akibat sentilan mengenai mata kaki tadi.
Dengan kaki kiri melilit pada tongkat, Tabib Sesat menerjang Putri Merak dalam gerakan masih secepat cahaya kilat. Wiiiz...! Tubuhnya yang melayang ke arah Suto Sinting segera dihantam oleh pukulan jarak jauhnya si Rupa Setan. Desss...! Tapi hawa padat kiriman si Rupa Setan berhasil ditangkis dengan kibasan tangan kanan Tabib Sesat yang juga keluarkan hawa padat menyebar.
Wees...! Blaaarrr...!
Pendekar Mabuk melihat gerakan kaki yang melilit tongkat itu berkelebat menyambar kepalanya. Tubuh Suto Sinting meliuk ke samping seperti orang mabuk mau tumbang, kemudian segera tegak kembali dan menggeloyor ke depan seperti mau tersungkur ke tanah, tapi segera tegak kembali. Jurus mabuk itu sulit ditembus serangan kaki Tabib Sesat. Bahkan ketika tubuh Tabib Sesat telah berdiri tegak di belakang Suto, kaki pendekar tampan itu berkelebat menendang ke belakang dengan sangat cepat.
Weess...! Bluus...!
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk maupun Rupa Setan dan Layunggini terperanjat karena kaki Suto yang mengenai kepala Tabib Sesat itu seperti menembus bayangan di udara. Kaki itu tak merasa menyentuh apa-apa. Padahal mereka melihat jelas kaki itu menyambar kepala Tabib Sesat.
"Hiah...!" Suto Sinting sentakkan kakinya lagi ke depan dalam satu lompatan pendek. Kaki itu jelas-jelas mengenai dada Tabib Sesat, tapi Suto Sinting merasa tidak menyentuh apa-apa. Tendangan itu bagaikan menembus bayang-bayang tanpa sosok nyata. Beess...!
"Hiaah, hah, hah, hah, hah!" Tabib Sesat tertawa keras-keras. "Kau tak akan bisa menyentuh tubuhku jika aku sudah pergunakan ilmu 'Raga Temeram' ini. Hiaah, hahh, hahh, hahh, haaa!"
Rupa Setan tampak ingin bergerak maju, tapi Suto Sinting segera berseru, "Tahan!"
Rupa Setan tak jadi bergerak.
"Biar kuhadapi iblis yang satu ini secara jantan! Aku laki-laki dan dia juga laki-laki!"
"Bangsaaat...!" bentak Tabib Sesat dengan suara keras. "Aku seorang perempuan, Tolol!"
"Kau seorang lelaki! Kau mengenakan pakaian dalam dari baja, karena kelemahanmu ada pada 'burung' kecilmu itu! Randugara, muridmu itu, telah bicara padaku! Kalau kau tak mau menyerah, akan kuhancurkan 'burung kutilang'-mu itu, Tabib Sesat!"
"Ooh, jadi dia lelaki...?!" terdengar suara Layunggini hampir bersamaan dengan Rupa Setan.
Hal itu membuat Tabib Sesat menjadi malu sekali, dan murkanya bertambah besar. "Gggrrmmmhh...!!" ia menggeram dengan mata mendelik lebar.
Melihat murka lawannya menjadi bertambah besar karena malu, Pendekar Mabuk justru berteriak keras-keras dengan maksud membuat Tabib Sesat menjadi semakin malu lagi. "Hoiiii... orang-orang Dasar Bumiii...! Ketahuilah, bahwa Tabib Sesat itu sebenarnya laki-laki yang memiliki 'burung' keciiiiil.., sekali! Tabib Sesat sebenarnya adalah seorang laki-lakiiii...! Seorang laki..."
"Heeeaaaaat...!"
Pendekar Mabuk tak merasa rugi kata-katanya terputus. Tapi ia telah berhasil memancing kemarahan lawannya yang meluap-luap, sehingga ia diserang secara membabi buta. Sinar-sinar merah keluar dari tangan dan tongkat si Tabib Sesat. Serangan itu datang secara beruntun. Tapi dengan gerakan menggeloyor patah-patah seperti orang mabuk, Suto Sinting berhasil hindari setiap sinar yang mengarah padanya.
Clap, clap, clap, clap...!
Jegaaaarrr... blaaaarrrrr...!
"Kuhancurkan mulut bangsatmu itu, Setaaaaan...!!" teriak Tabib Sesat seperti orang kesurupan.
Namun dalam satu kesempatan bagus, Pendekar Mabuk segera pergunakan jurus yang bernama 'Mabuk Lebur Gunung'. la menggeloyor seperti mau jatuh, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung tuaknya ke arah lawan. Suuut...! Sodokan itu tepat kenai bagian bawah pusar si Tabib Sesat.
Prrang...! Terdengar seperti suara logam pecah. Celana serat baja penutup kelemahan Tabib Sesat berhasil tersodok bumbung tuak walau ia menggunakan jurus ilmu 'Raga Temeram'. Rupanya ilmu itu hanya bisa membuat bagian tubuh lainnya menjadi seperti bayangan, tapi bagian burung kutilang'-nya tidak bisa ikut seperti bayangan.
Pecahnya celana baja itu membuat Tabib Sesat terperanjat tegang. Kejap itu pula, Suto Sinting memutar tubuh sambil duduk di tanah, lalu bumbung tuaknya menyodok lagi ke atas dan kembali tepat kenai sang 'burung kutilang' itu. Ceprooot...!
"Aaahhhhkk...!" Tabib Sesat terdongak kepalanya dengan mata memejam kuat-kuat dan mulutnya ternganga lebar. Kejap kemudian ia diam bagaikan patung. Sekujur tubuhnya biru legam. Ilmu Raga Temeram' punah dan sosok tubuh itu tampak nyata. Rambutnya pun mulai rontok karena dihembus angin. Lama-lama kulit kepala itu terkelupas, kulit tubuh makin hitam seperti hangus. Ketika angin berhembus agak kencang, tubuh hitam itu tumbang ke tanah. Brruk...! Ternyata ia sudah tak bernyawa lagi akibat terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung' yang cukup berbahaya itu.
Nirwana Tria dan Riandawi datang ketika suasana tegang telah berlalu. Nirwana Tria hanya hembuskan napas panjang melihat mayat Tabib Sesat. Sebelum Suto Sinting tinggalkan alam perbatasan itu, lebih dulu ia sempatkan diri menyembuhkan Branjang Hantu dan Dewa Tanah dengan sisa tuaknya dan Batu Tembus Jagat. Ternyata kedua tokoh tua itu berhasil disembuhkan dari penderitaan 'Siksa Abadi'.
Dengan dikawal Nirwana Tria dan si Rupa Setan, Suto kembali ke alam kehidupan nyata membawa pulang Putri Merak. Gadis itu diserahkan kembali kepada Utari, kemudian mereka mengawal Utari yang bertugas menjaga keselamatan Putri Merak sampai ke Bukit Caraka.
SELESAI