Serial Pendekar Mabuk
Tantangan Anak Haram
Karya Suryadi
Tantangan Anak Haram
Karya Suryadi
SATU
JAGO-JAGO dunia berkumpul di kotaraja, yang merupakan Ibukota dari negeri Bardanesya. Mereka datang ke negeri Bardanesya bukan sekadar piknik, namun karena tertarik dengan sayembara yang dikeluarkan oleh pihak keluarga Istana. Sang penguasa negeri Bardanesya menyebar pengumuman di seluruh pelosok dunia, melalui selebaran-selebaran maupun pariwara dari mulut ke mulut. Entah mulutnya siapa saja, yang penting pengumuman itu dalam waktu singkat cepat menyebar dan sampai di telinga para jago dunia. Isi sayembara ituberbunyi:
Dicari seorang lelaki perkasa Untuk calon menantu Raja Gundalana. Syarat-syarat:
Berbadan sehat, tanpa penyakit sedikit pun, meski hanya sebutir panu.
Berotak waras, dan belum pernah dinyatakan gila oleh para perempuan.
Punya rasa tanggung jawab, baik terhadap istri maupun mertua.
Tidak pernah menggunakan obat terlarang, sekalipun obat nyamuk... dan sebagainya... dan sebagainya....
Barang siapa yang memenuhi syarat dan terpilih melalui ujian penyaringan, akan dinikahkan dengan putri Raja Gundalana yang bernama:
Rara Ayu Kumala Udarini Sumbi, disingkat RAKUS.
Sayembara ini tidak dipungut biaya, kecuali sumbangan sukarela berupa gula, teh, kopi, emping, kacang, dan sebagainya untuk para petugas yang menangani sayembara ini. Sekali lagi: Sukarela saja. Kalau tidak suka dan tidak rela, tidak apa-apa. Sekian dan terima kasih.
Bardanesya, 13 Kliwon 4711 SM (Sudah Malam) Atas nama Ketua Penyelenggara: Pak Nitlyo.
Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, juga membaca selebaran tersebut yang ditempelkan pada sebatang pohon di hutan perbatasan negeri tersebut. Senyum si tampan Suto Sinting alias Pendekar Mabuk adalah senyum orang yang tidak tertarik dengan pengumuman sayembara tersebut, ia tetap ingin melanjutkan perjalanannya ke Teluk Sendu.
Ia harus temui Resi Parangkara yang berdiam di Teluk Sendu, karena ada kabar dari seorang sahabat yang mengatakan bahwa Puting Selaksa sedang sakit. Puting Selaksa adalah murid dari Resi Parangkara yang jatuh hati kepada si Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Wanita Keramat).
Tapi menurut dugaan Suto, perempuan itu tak mungkin sakit berat. Bahkan mungkin hanya menderita rindu saja. Sebab Suto ingat bahwa Puting Selaksa adalah satu-satunya perempuan yang pernah mendapat keberuntungan berupa 'gaib kekuatan kasih' yang dimiliki para dewa, yang bernama 'Rona Dewaji'. Kekuatan itu membuatnya perempuan muda itu akan selalu dianugerahi kesehatan, keberuntungan, dan kebahagiaan.
Sekalipun Suto punya dugaan seperti itu, tetapi ia tetap ingin luangkan waktunya untuk datang ke Teluk Sendu. Karena bukan hanya Puting Selaksa yang akan dikunjunginya, melainkan Resi Parangkara dan Manggar Jingga, murid sang resi juga, merupakan orang-orang yang disayanginya dan perlu dikunjungi sebagai langkah silaturahmi yang akan mempererat tali persaudaraan.
"Aku tidak tertarik dengan pengumuman seperti itu," ujar Suto dalam hatinya sambil teruskan langkah tinggalkan pohon berpengumuman tadi. "Bagaimanapun juga aku tetap akan menikahi calon istriku yang sekarang masih menunggu di Pulau Serindu. Sayang sekali musuh utamaku; Siluman Tujuh Nyawa, belum berhasil kupenggal kepalanya. Kalau saja si manusia terkutuk itu sudah berhasil kupenggal kepalanya dan kupersembahkan kepada Dyah Sariningrum sebagai maskawin untuknya, ooh... alangkah indahnya. Pasti saat ini aku berada di sampingnya sambil mengelus-elus kulitnya yang putih, halus, lembut, seperti kulit bayi itu."
Masa berandai-andai si murid sinting Gila Tuak itu terputus seketika, karena mendadak ia dikejutkan oleh ledakan kecil yang datang dari arah barat, lebih mendekati arah batas wilayah negeri Bardanesya. Suara ledakan kecil itu diduga sebagai suara pertarungan dua tenaga dalam. Pendekar Mabuk adalah pemuda yang tak boleh mendengar suara pertarungan, karena di mana saja dan sedang apa saja jika ia mendengar suara pertarungan selalu dihampirinya.
Suto adalah pemuda yang hobi melihat pertarungan, terutama jurus-jurus yang sedang bertarung itu. Sebab dengan sering melihat jurus-jurus tersebut, maka dalam benaknya akan penuh perbendaharaan jurus, sehingga sewaktu-waktu jika berhadapan dengan salah satu jurus tersebut, ia dapat segera mengantisipasinya. Pemuda bertubuh kekar, gagah, dengan baju buntung warna coklat dan celana putih itu segera berkelebat ke arah barat. Bumbung tuaknya masih menyilang di punggung. Tali bumbung menyilang di dadanya yang bidang.
Zlaap, wuuut...! Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah berada di atas pohon berdaun rindang. Lompatannya nyaris tak terlihat karena selain ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang punya kecepatan menyamai kecepatan cahaya itu, juga menggunakan ilmu peringan tubuh yang sangat dikuasainya. Tanpa ilmu peringan tubuh tingkat tinggi, tak mungkin pemuda berambut panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala itu bisa berdiri di atas dua ranting sebesar kelingkingnya.
"Aiih... gila!" gumam Suto pertama kail melihat ke arah pertarungan. "Ternyata si pendek; Sawung Kuntet sedang berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tak seimbang?! Hmmm... nekat sekali si kuntet itu. Sudah tahu lawannya bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa berwajah kuburan, masih saja dilawannya?! Apa tak terbayangkan olehnya kalau sampai kaki si orang besar itu menginjak kepalanya, sudah tentu kepalanya akan remuk seperti telur asin diinjak kakinya sendiri?!" Suto Sinting geleng-gelengkan kepala.
"Ck, ck, ck, ck! Benar-benar konyol si kuntet itu. Boleh saja dia bertarung pakai golok, pakai tenaga dalam, pakai jurus andalan, tapi mestinya juga harus pakai otak! Mengapa ia tidak gunakan jurus-jurus jarak jauh saja? Jangkauan tangannya sangat tak seimbang dengan jangkauan tangan si manusia raksasa itu! Goblok! Apa dipikirnya dia punya nyawa cadangan?!"
Sawung Kuntet adalah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang berkumis lebat seperti seekor kelelawar hinggap di bawah hidungnya. Lelaki bertubuh setinggi perut Suto itu mengenakan baju lengan panjang warna hijau dan celana warna hitam. Rambutnya botak bagian tengah, dari dahi sampai ke belakang, membentuk seperti parit. Suto Sinting mengenal lelaki itu dalam peristiwa hilangnya kitab keramat milik Eyang Bintara alias si Geledek Biru, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kematian Sang Durjana).
Sedangkan lawan si Sawung Kuntet itu adalah orang yang belum dikenal Suto. Orang itu bertubuh tinggi, besar, dan berkumis lebat melintang dengan wajah seangker kuburan keramat. Badannya besar penuh bulu, dadanya kekar seperti batu gunung. Pakaiannya serba merah dengan baju tak berlengan dan tak terkancing bagian depannya. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun juga itu mempunyai rambut panjang sepunggung, diurai lepas dan beterbangan ke mana-mana. Tampaknya ia tak bersenjata, tapi mengenakan sabuk besar terbuat dari logam kemerah-merahan seperti tembaga.
Sekalipun badannya besar dan tinggi, tapi orang bergelang akar bahar sebelah kiri itu mempunyai gerakan cukup gesit dan lincah, ia dapat menghindari tebasan golok Sawung Kuntet yang sebenarnya mempunyai gerakan tebas cukup cepat itu. Sawung Kuntet tampak sulit kenai lawannya. Tak sedikit pun goloknya menggores tubuh lawan, bahkan menyentuh kain pakaiannya pun tidak. Tetapi sekali pancal, kaki orang besar itu kenai lengan Sawung Kuntet, sehingga Sawung Kuntet terlempar dan terbanting dengan sangat menyedihkan.
Bruuuk...! "Ngeeg...!"
Jarak jatuh Sawung Kuntet dengan tempatnya di tendang sekitar tujuh langkah. Orang berwajah angker itu tidak buru-buru menyerang lagi. Rupanya ia ingin memberi kesempatan kepada Sawung Kuntet untuk bangkit dan persiapkan diri kembali untuk lanjutkan pertarungan secara jantan. Sawung Kuntet meringis kesakitan sambil menggeliat bangkit. Pada saat itu, lawannya serukan kata dengan suara besarnya.
"Sawung Kuntet! Kalau kau masih bersikeras untuk datang ke kotaraja, aku tak akan segan-segan membunuhmu sekarang juga!"
Sawung Kuntet biarpun kecil tapi tengil dan konyol, ia membalas seruan itu dengan kebiasaannya menggunakan kata 'anu' sebagai pengganti beberapa kata yang kadang bisa dipahami orang kadang tidak. "Aku tak akan gentar dengan anu-mu, Singawulu! Sekali aku tetap ingin ke sana, aku tetap anu! Anu-ku sangat besar, sehingga aku tak merasa takut jika harus bertarung dengan siapa pun. Siapa tahu aku bisa menjadi menantu Raja Gundalana, dan putrinya itu menyukai anu-ku!"
Pendekar Mabuk mencoba berpikir tak jorok. "Apa yang dimaksud: 'Anu-ku sangat besar' itu? Oh, mungkin, semangatnya yang sangat besar. Lalu, apa yang dimaksud dengan kata: 'putrinya menyukai anu-ku' itu? Hmmm... mungkin maksudnya menyukai penampilannya atau wajahnya. Ah, memang sulit bicara dengan si Juragan 'anu' itu. Harus hati-hati mengartikan kalimatnya."
Rupanya antara si Sawung Kuntet dengan orang yang bernama Singawulu itu sudah saling kenal. Entah hubungan apa yang terjalin di antara mereka berdua. Yang jelas, agaknya Singawulu tak menghendaki Sawung Kuntet mengikuti sayembaranya Raja Gundalana itu.
"Sawung Kuntet! Rupanya kau memang tak pantas diberi hidup lebih lama lagi! Jika begitu, bersiaplah untuk mati sekarang juga, Sawung Kuntet!" Singawulu berjungkir balik, plik-plak dengan kedua tangannya. Gerakannya sangat cepat dan lincah. Wut, wut, wut, wut...! Tahu-tahu ia sudah berada di depan Sawung Kuntet.
Tapi sebelum ia lakukan tendangan atau pukulan, Sawung Kuntet sudah lebih dulu menebaskan goloknya ke lutut Singawulu. Weess...! Singawulu lompat ke atas dengan gerakan bersalto cepat. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Sawung Kuntet, kakinya menendang ke belakang dengan kekuatan penuh. Dees...!
"Aahk...!" Sawung Kuntet melayang di udara, terlempar ke arah depannya sejauh sepuluh langkah. Wajahnya membentur sebatang pohon, dan pohon itu adalah pohon yang dipakai bersembunyi Suto Sinting. Brrrruuus...! "Aaaaaah...!" Sawung Kuntet memekik keras. Wajahnya berlumur darah karena hidungnya segera bocor dan bibirnya jontor.
Singawulu yang sudah tak punya ampun lagi itu segera melepaskan sabuknya. Sabuk yang mirip tembaga berukir itu segera disabetkan ke udara. Wuut...! Claap, claap...! Dua berkas sinar biru melesat dari sabetan sabuk itu. Salah satu sinar nyasar ke pohon lain.
Jegaaar...! Pohon itu hancur seketika dan menjadi serpihan arang. Sedangkan satu sinar biru lagi mengarah ke tubuh Sawung Kuntet.
Melihat pohon itu hancur dan menjadi arang, Suto Sinting yakin betul kalau tubuh Sawung Kuntet pun akan senasib dengan pohon tersebut. Suto dengan cepat segera turun dari atas pohon. Wuuut...! Bumbung tuaknya sudah berpindah dari punggung ke tangan, ia menghadang sinar itu dan menahan kecepatan sinar dengan bumbung tuaknya yang nyaris meleset. Deebs...!
Blaaarr..! Meledak. Biasanya sinar yang ditangkis dengan bambu bumbung tuaknya itu akan memantul balik dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Tapi kali ini sinar itu justru meledak saat membentur bambu tempat tuak itu. Berarti sinar biru Singawulu berkekuatan sangat besar dan mempunyai kesaktian yang tidak tanggung-tanggung. Ledakan itu membuat Suto Sinting terpental mundur tiga langkah dan jatuh berlutut satu kaki. Ia buru-buru bangkit, sebab jari tangan Sawung Kuntet tertindih lututnya, membuat orang yang masih terkapar itu semakin merintih kesakitan.
Sedangkan diseberang sana, Singawulu tidak bergeming karena gelombang ledakan tak mencapai tempatnya. Namun begitu melihat kemunculan pemuda berwajah tampan, Singawulu segera kerutkan dahinya dan menggeram penuh kejengkelan, ia merasa asing dengan Pendekar Mabuk dan tak menduga kalau Sawung Kuntet akan ada yang melindungi. Maka, Singawulu pun segera maju beberapa langkah dengan melompat satu kali bagaikan seekor kuda nil terbang kearah Suto Sinting. Wuuus...! Bluuuk...!Kedua kakinya menapak ke bumi dengan suara yang mirip nangka jatuh.
"Bangsat dari mana kau, hah?!" bentak Singawulu kepada Pendekar Mabuk.
Tapi yang dibentak tetap kalem dan tegar, tak merasa gentar sedikitpun. "Maaf, aku hanya menyelamatkan nyawa sahabatku. Dia sudah jelas kalah melawanmu. Kurasa tak perlu kau hancurkan seperti pohon itu, Kawan!" ujar Suto Sinting dengan nada suara yang bersahabat.
"Kalau perlu kau sendiri akan kuhancurkan dengan 'Sabuk Lidah Dewa'-ku ini!" Singawulu mengangkat sabuknya, ingin disabetkan, tapi suara Suto Sinting segera terdengar menahan gerakan sabuk itu.
"Tunggu, tunggu...! Aku tidak bermaksud melawanmu, Sobat!"
"Hmmm...!" Singawulu menggeram dengan mata besarnya memancarkan pandangan yang menyeramkan.
Suto Sinting hanya menggumam dalam hati. "Gila! Matanya seperti telur bebek lho! Ganas juga dia. Sabuknya saja bernama 'Sabuk Lidah Dewa'. Ya, ampuuun... dewa mana yang lidahnya dipotong dan dibuat sabuk orang ini?! Kasihan amat nasib si dewa itu."
Suara geram Singawulu tak terdengar lagi setelah Suto berkata, "Kuakui, sabukmu memang sakti dan dahsyat. Mungkin aku tak mampu melawan kesaktian sabukmu. Tapi alangkah sia-sianya sabuk sedahsyat itu hanya dipakai untuk membunuh orang kerdil seperti si Sawung Kuntet ini?! Tanpa menggunakan sabuk itu kau sudah bisa menghajarnya dan membuatnya tak berkutik, mengapa harus menggunakan sabuk pusaka segala? Simpan saja kekuatan sabuk itu untuk lawanmu yang lebih tangguh, Singawulu!"
"Dia harus kubunuh supaya tak menjadi perintangku di kotaraja nanti!"
"Tak perlu. Biar aku yang membunuhnya!"
"Hmmmm...! Ada urusan apa kau sampai mau membunuhnya? Bukankah kau bilang dia adalah sahabatmu?"
"Artinya, kalau dia masih nekat mau ke kotaraja, maka aku yang akan membunuhnya! Kusarankan, sebaiknya berangkatlah ke kotaraja sekarang juga. Hematlah tenagamu, karena siapa tahu kau diterima sebagai menantu raja dan harus lakukan bulan madu dengan putri raja itu?!"
Singawulu membatin, "Benar juga kata-katanya. Untuk apa aku melayani si kutu monyet itu? Buang-buang waktu dan tenaga saja! Hmm... sebaiknya kutinggalkan saja si kutu monyet itu, biar diurus oleh sahabatnya yang kurasa ilmunya lebih tinggi dari ilmu si kutu kuntet itu!"
Pendekar Mabuk merasa lega melihat Singawulu mengenakan sabuknya di pinggang. Sebelum orang angker itu pergi, terlebih dulu dia mengancam Pendekar Mabuk dengan menuding tegas-tegas.
"Baik. Akan kuturuti saranmu. Tapi ingat, kalau sampai dia masih muncul di kotaraja, maka kau sendiri yang akan kubunuh!"
"Terserah kemampuanmu! Tapi sebaiknya sekarang juga kuucapkan selamat jalan padamu semoga usahamu berhasil!" kata Suto Sinting dengan suara lantang, menunjukkan tak ada rasa takut sedikit pun terhadap ancaman itu.
Singawulu pergi dengan pamer gerakan cepatnya. Satu kali lompat jauhnya sekitar delapan langkah. Sedangkan gerakan lompatnya itu cukup cepat, sehingga dalam waktu singkat ia sudah hilang dari pandangan Suto Sinting. Sawung Kuntet ternyata menjadi buta akibat benturan wajah dengan pohon. Dalam arti, pandangan matanya menjadi rusak dan tak bisa dipakai untuk melihat dengan jelas. Di samping itu, sekujur tubuhnya bagaikan remuk akibat tendangan bertenaga dalam Singawulu tadi. Ia tak mampu berdiri, namun masih mampu mengerang dan merintih seperti perempuan mau melahirkan.
Pendekar Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian meminumkan tuak itu ke mulut Sawung Kuntet. Hati si Juragan 'anu' itu merasa lega, karena ia sempat melihat secara samar-samar bayangan wajah Pendekar Mabuk. Dan ia tahu betul bahwa Pendekar Mabuk mempunyai tuak sakti yang mampu obati segala macam luka atau penyakit.
"Makanya... lain kali jangan nakal! Jangan berani sama orang besar. Akibatnya ya begini ini...," ujar Suto seperti memberi peringatan kepada anak kecil.
Sawung Kuntet segera sembuh setelah meminum tuak saktinya Pendekar Mabuk. Rasa sakitnya hilang dalam waktu singkat. Luka-lukanya pun lenyap beberapa saat kemudian. Pernapasannya yang semula tersendat-sendat seperti tagihan hutang, sekarang menjadi longgar. Badannya pun terasa segar, lebih segar dari saat sebelum lakukan pertarungan.
"Terima kasih, anu-ku telah kau sembuhkan," katanya kepada Suto.
"Aku menyembuhkan lukamu, bukan anu-mu!" bantah Suto.
"Yang kumaksud memang lukaku telah kau sembuhkan!" Sawung Kuntet bersungut-sungut. Suto Sinting menggumam sambil tersenyum geli.
"Untung sinar itu kau tangkis dengan anu-mu, kalau tidak"
"Bumbung tuakku yang menangkisnya. Bukan anu-ku yang menangkis!"
"Iya! Maksudku ya bumbung tuak itu!" bentak Sawung Kuntet yang sebenarnya berasal dari perguruan silat aliran putih, namun karena jiwanya yang kasar maka sepintas ia seperti orang beraliran hitam.
"Kalau tidak kau tangkis dengan anu-mu, sinar biru itu akan membuatku berkeping-keping."
"Sudah kupertimbangkan sebelumnya! Tapi... siapa sebenarnya Singawulu itu?"
"Dia bekas wakil ketua anu-ku... maksudku wakil ketua perguruanku, yang telah pergi dan ber-anu lagi dengan Nyai Santet Pitu."
"Ber-anu itu apa?"
"Berguru!" sentak Sawung Kuntet.
"Ooo.... Tapi baru sekarang kudengar nama Nyai Santet Pitu. Siapa dia, Sawung Kuntet?!"
"Nyai Santet anu... adalah perempuan iblis dari Tebing Teluh. Dia tokoh anu hitam."
"Aliran hitam, maksudmu?"
"Ya, dan dikenal pula sebagai dukun anu."
"Dukun cabul, maksudmu?"
"Dukun teluh!" tukas Sawung Kuntet. "Tapi ia juga tokoh persilatan yang pernah punya anu."
"Punya anu bagaimana?" potong Suto lagi.
"Punya perguruan! Hanya saja, perguruannya dihancurkan oleh perguruan lain lima tahun yang lalu. Nyai Santet Pitu ingin turunkan anu-nya kepada seseorang."
"Ilmunya?"
"Ya. Dan rupanya Singawulu tertarik, sehingga ia keluar dari anu-ku, lalu."
"Keluar dari anu-mu?!"
"Keluar dari perguruanku!" geram Sawung Kuntet dengan jengkel. "Dia keluar dari perguruanku dan menjadi murid Nyai Santet anu. Dialah satu-satunya orang yang akan menerima warisan anu dari Nyai anu Pitu itu."
"Oo... jadi Singawulu adalah pewaris ilmu-ilmunya Nyai Santet Pitu?! Lalu, mengapa sampai bentrok denganmu?!"
"Kami ber-anu dalam perjalanan. Maksudku, bertemu dalam perjalanan. Rupanya dia juga ingin ke kotaraja untuk mengikuti sayembara raja anu. Dia tahu kalau aku pun bermaksud mengikuti anu tersebut. Lalu, dia menganggapku sebagai lawan yang harus di-anu-kan. Maksudku, disisihkan. Dia tak setuju kalau aku anu ke kotaraja. Barangkali karena dalam anunya yakin."
"Dalam anunya itu apa?"
"Dalam batinnya...!" Sawung Kuntet selalu jengkel jika kata-katanya dipotong atau ditanyakan. "Dia yakin kalau wajahnya lebih buruk dari anu-ku, sehingga."
"Husy! Yang benar saja, masa' wajahnya lebih buruk dari anu-mu?" Suto geli sendiri.
"Maksudku, dia yakin kalau wajahnya lebih buruk dari wajahku, sehingga ia takut kalah saing denganku. Maka ia bertekad menyingkirkananu-ku!"
"Menyingkirkan nyawamu, begitu?!"
"Apa lagi kalau bukan nyawaku yang akan disingkirkan?!" gerutu Sawung Kuntet sambil bersungut-sungut.
Suto Sinting tertawa pelan, merasa geli melihat wajah kecil penuh kumis itu bersungut-sungut seperti ikan tongkol dalam penggorengan.
"Apakah kau juga anu ke sana, Suto?"
"Ah, untuk apa? Aku tidak tertarik ikuti sayembara itu."
"Tapi jago-jago dunia akan datang ke sana dan meng-anu sayembara itu. Mereka pasti akan bertarung, anu lawananu!"
Suto tertawa geli. "Apa maksudmu bertarung anu lawananu?"
"Satu lawan satu!"
"Oooo..." Suto Sinting habiskan tawanya.
"Aku sendiri sudah siap untuk hadapi mereka dengan anu-ku!"
"Dengan apamu?"
"Dengan ilmuku!" sentak Sawung Kuntet. "Sekarang aku mau ke sana. Aku tak takut bertemu beradu anu dengan Singawulu atau yang lainnya."
"Kau tak takut beradu apa?"
"Beradu ilmu!"
"Kusarankan, sebaiknya jangan ke sana, Sawung Kuntet! Kau akan celaka. Salah-salah kau akan kehilangan nyawa dan tak bisa beli lagi!" ujar Suto menasihati dengan gaya konyolnya.
Tapi rupanya Sawung Kuntet tak mau peduli dengan nasihat Suto Sinting itu. "Bagaimana kalau aku nekat ke sana?!"
"Aku akan mencegahmu dengan cara apa pun!" jawab Suto yang membuat Sawung Kuntet diam berpikir.
Hati si juragan 'anu' itu berkata, "Kalau dia yang mencegahku, pasti aku benar-benar tak akan bisa ke sana. Hmmm... sebaiknya kupakai anu-ku untuk kelabui dia."
Niat untuk menggunakan anu alias akal, membuat Sawung Kuntet akhirnya berlagak pasrah dan menurut. "Baiklah, kuikuti anu-mu tadi. Saranmu, maksudku! Tapi aku ingin melihat pertarungan di sana. Apakah kau tetap ingin meng-anu-ku jika aku hanya ingin melihat pertarungan?!"
"Kalau kau hanya ingin melihat pertarungan, sebaiknya pergi saja denganku. Aku juga ingin melihat pertarungan tersebut."
Tak ada pilihan lain bagi Sawung Kuntet, akhirnya ia setuju untuk pergi bersama Suto ke kotaraja.
* * *
DUA
LERENG bukit tanpa nama mempunyai hutan berpohon jarang. Bahkan berkesan tandus. Banyak batu bertengger di lereng bukit yang tak seberapa tinggi itu.
"Dengan melewati bukit ini, kita akan lebih cepat anu di perbatasan negeri Bardanesya," ujar Sawung Kuntet sambil melangkah di samping kanan Pendekar Mabuk.
"Apakah Singawulu juga lewat jalan sini?"
"Kurasa anu," sambil Sawung Kuntet menggeleng. "Dia tidak tahu jalan tembus lewat sini. Pasti dia lewat pinggir tepian sungai, karena memang jalan yang anu lewat pinggiran sungai."
"Rupanya kau sudah sering ke negeri Bardanesya."
"Dulu anu-ku di sana."
"Hahh...?! Anu-mu di sana?"
"Kekasihku!" sergah Sawung Kuntet. "Dulu hampir setiap tujuh hari sekali aku ber-anu dengan kekasihku."
"Maksudmu bercumbu?"
"Bertemu!"
"O, bertemu...," sambil Suto tersenyum kecil.
"Sayang sekali hubungan kami putus ditengah anu, sehingga."
"Putus di tengah anu itu bagaimana?"
"Putus di tengah jalan," jelas Sawung Kuntet. "...sehingga aku sudah tak pernah datang lagi ke negeri Bardanesya."
"Sekarang kau sudah punya anak berapa, Sawung Kuntet?"
Lelaki pendek itu gelengkan kepala. "Aku belum sempat punya anu."
"Jadi kau belum punya anak?"
"Belum sempat punya istri!" tegas Sawung Kuntet.
"O, masih perjaka?"
"Ya, perjaka. Tapi anu-ku sudah tidak perjaka lagi."
Suto Sinting tertawa pelan. "Maksudku, adikku sudah tidak perjaka lagi. Sudah menikah lebih dulu."
"Oo... kukira yang sudah tidak perjaka adalah anu- mu."
"Anu-mu, bagaimana?"
"Hmmm, yaaah... itu, anu... kakakmu," jawab Suto mengalihkan dugaan ngeres. "Mengapa kau tidak segera menikah saja?" sambung Suto.
"Aku masih malas jatuh cinta," jawabnya dengan kalem, seakan pria yang dingin terhadap wanita. Tapi sebenarnya hati Sawung Kuntet sering menangis sendiri, karena enam belas kali jatuh cinta, tujuh belas kali ditolak.
"Menurutku," kata Suto. Namun baru saja berkata satu patah kata, tangan Sawung Kuntet mencekal lengannya dan hentikan langkah mendadak. Wajah berkumis lebat itu mulai tampak tegang. Ketegangan itu mengundang rasa ingin tahu Pendekar Mabuk.
"Ada apa?"
"Sssst...!" Sawung Kuntet memberi isyarat dengan telunjuknya agar Suto tidak bersuara dulu. Ia menelengkan kepala, melacak sebuah suara yang samar-samar didengarnya.
Lalu ia berbisik pelan, "Tidakkah kau mendengar suara anu menangis?"
"Anu menangis? Anu menangis itu seperti apa?" tanya Suto Sinting dalam bisikan pula.
"Maksudku, suara perempuan menangis!"
"O, perempuan menangis?!" Suto Sinting ikut mempertajam pendengarannya. Dalam kebisuan mereka, Suto akhirnya mendengar suara rintihan perempuan secara samar-samar sekali. "Ya, ya... aku mendengarnya. Tapi dari sebelah mana suara itu datangnya?"
"Sepertinya dari... dari tempat yang lebih anu lagi. Maksudku, lebih atas lagi."
Mereka berdua segera mendaki lebih ke atas. Akhirnya mereka mendengar suara rintihan perempuan tersebut lebih jelas lagi. Mereka pun segera dekati suara tersebut.
"Ooh...?!"
Ternyata mereka temukan seorang gadis yang terkapar dalam keadaan sekarat. Gadis itu berusia sekitar dua puluh dua tahun, raut wajahnya mungil dan cantik, ia mengenakan pakaian serba kuning. Tapi keadaan pakaiannya morat-marit seperti habis diperkosa. Wajah si gadis pucat pasi seperti mayat. Di bawah lehernya, mendekati belahan dada, terdapat dua lubang masing-masing sebesar kemiri. Lubang itu melelehkan darah berwarna merah kehitaman. Luka yang membentuk dua lubang itulah yang membuat si gadis tak berdaya dan sebentar lagi akan kehilangan nyawanya.
"Kasihan sekali gadis itu. Anu-nya berlubang!" ujar Sawung Kuntet setelah terperanjat dan memeriksa lebih dekat lagi.
Suto Sinting buru-buru membuka tutup bumbung tuaknya, ia mengangkat kepala si gadis dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya yang menyangga bumbung tuak itu menuangkan tuak ke dalam mulut si gadis dengan pelan-pelan. Beberapa teguk tuak terminum oleh si gadis, sampai gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk.
Suto Sinting meletakkan kembali kepala gadis itu karena merasa lega, sudah ada tuak yang tertelan oleh sigadis. "Kau kenal dengan gadis ini?" tanya Suto Sinting setelah ia sendiri meneguk tuak sebagai pembasah kerongkongannya. Sawung Kuntet hanya menggeleng, matanya masih tetap tertuju pada dua lubang di sekitar dada si gadis.
Dua lubang itu mengepulkan asap setelah si gadis menelan tuak Suto. Makin lama asap itu semakin tebal, tapi hanya menggumpal di dua lubang yang saling susun seperti dua kancing baju itu. Makin lama asap yang menggumpal di dua lubang itu semakin menipis. Beberapa saat kemudian asap tersebut hilang, dan kedua lubang itu pun ikut hilang. Keadaannya menjadi bersih tanpa darah, karena darah yang sudah telanjur keluar dan membekas di sekitar lubang tadi ikut menguap setelah si gadis minum tuak saktinya Pendekar Mabuk.
Gadis itu mulai bernapas dengan normal. Ia justru terkejut ketika menyadari di sampingnya ada lelaki pendek berkumis mirip kelelawar iseng itu. Ia buru-buru bangkit dalam satu sentakan menegangkan. "Hahh...?!"
Begitu melihat pemuda tampan di sisi lain, ia berlari dekati pemuda tampan itu. Ia tak tahu bahwa pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang namanya sering didengar dari mulut teman-temannya seusianya.
"Tenang, tenang... dia sudah jinak kok! Jangan takut, dia sahabatku!"
"Ak... aku takut dicakar," ujar si gadis dengan nada manja.
"Kau pikir aku anak macan?!" geram Sawung Kuntet, lalu bersungut-sungut. Suto Sinting hanya tertawa geli, namun sengaja buang muka agar tak menyinggung si juragan 'anu' itu.
Si gadis sempat terbengong tanpa sadar ketika Suto Sinting sunggingkan senyum kepadanya. "Siapa kau sebenarnya, Nona? Mengapa sampai terkapar di sini?"
Saat itulah si gadis terbengong kagum melihat senyuman yang menurutnya sangat menawan hati itu. Namun kebengongan itu segera buyar setelah Sawung Kuntet pindah tempat ke samping kanan Suto Sinting. Si gadis sempat mundur selangkah melihat Sawung Kuntet mendekat. Wajahnya berubah dari kagum menjadi tegang.
Sawung Kuntet berkata, "Sepertinya aku pernah melihat anu-mu! Tapi di mana, ya?"
"Husy! Yang benar saja. Masa' kau pernah melihat anu-nya?"
"Maksudku, pernah melihat wajahnya!" tegas Sawung Kuntet.
Pendekar Mabuk segera pandangi gadis itu. "Apakah kau pernah bertemu dengan sahabatku yang bernama Sawung Kuntet ini?!"
Gadis itu gelengkan kepala. "Tapi... tapi guruku pernah menyebutkan nama Sawung Kuntet kepada kakakku."
"Siapa gurumu?" tanya Suto.
"Eyang Cakraduya," jawabnya dengan jelas.
"Ooo.... Eyang Cakraduya?!" Sawung Kuntet manggut-manggut. "Aku anu baik dengan beliau. Kalau begitu, kau adalah murid beliau yang bernama Candu Asmara itu?!"
"Bukan. Candu Asmara kakakku, sedangkan aku bernama Mirah Cendani."
"Nama yang cantik sekali," gumam Suto memuji dengan suara lirih.
Si gadis tersipu dan alihkan pandangan. Kebetulan pedangnya yang terpental saat pertarungan tadi belum diambil, maka pedang itu pun diambil dan dimasukkan ke sarungnya yang ada di pinggang. Gadis berambut kepang satu sepanjang punggung itu, kembali memandang Sawung Kuntet setelah orang Lembah Layon itu ajukan tanya kepadanya.
"Apakah kau yang ikut ke Lembah Layon ketika anu-ku sakit?"
"Husy...! Yang lengkap kalau bicara! Anu-mu apa maksudnya?" tegur Suto.
"Guruku! Sebab ketika guruku sakit, Eyang Cakraduya datang menjenguk bersama anu-nya... maksudku, muridnya. Dan kalau tak salah gadis inilah yang kulihat bersama Eyang Cakraduya."
"Ya, memang aku yang ikut Eyang kala ke Lembah Layon," jawab Mirah Cendani.
Sawung Kuntet menarik tangan Suto hingga jauhi Mirah Cendani. Ia menyuruh Suto Sinting merendah, karena ia ingin bisikkan sesuatu. Suto pun menuruti kemauan si juragan 'anu' itu. "Setahuku, Eyang Cakraduya adalah tokoh ber-anu tinggi. Maksudku, berilmu tinggi. Kudengar, kedua muridnya juga mewarisi ilmu tingginya. Tetapi, mengapa Mirah Cendani bisa terluka dan nyaris mati? Pasti dia di-anu oleh seseorang yang anu-nya lebih besar lagi."
"Maksudmu di-anu bagaimana?"
"Dilawan oleh orang yang kekuatannya lebih besar atau ilmunya lebih tinggi. Dalam keadaan luka bolong pada anu-nya dan masih bisa bertahan hidup, itu sudah menunjukkan bahwa dia ber-anu tinggi."
"Hmmm... ya. Lantas apa maksudmu?"
"Tanyakanlah, siapa lawannya. Aku ingin bertanya, tapi takut ia sepelekan anu-ku. Maksudnya... sepelekan pertanyaanku."
Suto Sinting manggut-manggut dan tegak kembali. Mereka segera temui Mirah Cendani yang cemberut manja karena merasa tersinggung melihat mereka berkasak-kusuk berduaan.
"Mirah Cendani," ujar Suto dengan lembut. "Kami merasa kagum melihat lukamu yang menurut kami sangat berbahaya itu tapi kau masih bisa bertahan hidup sampai kami tiba. Tolong jelaskan kepada kami, mengapa kau sampai terluka separah tadi?" tanya Suto.
Sawung Kuntet menimpali, "Tadi kau disembuhkan oleh Suto Sinting menggunakan anu-nya. Eh, maksudku... tuaknya."
"O, terima kasih sekali kalau begitu," ujar si gadis seraya menatap Suto Sinting. "Kalau saja kalian tak datang dan menemukan diriku, mungkin aku sudah tak bernyawa lagi saat ini."
"Tadi kulihat dadamu berlubang," kata Suto.
"Ya. Aku terkena senjata 'Garpu Malaikat'-nya si Tengkorak Tampan."
"Hahh...?! Tengkorak Tampan?!" Sawung Kuntet terperanjat.
"Kau kenal siapa si Tengkorak Tampan itu, Sawung Kuntet?" tanya Suto.
"Dia orang Pulau Wingit, muridnya si Jahanam Tua, tokoh sakti yang sukar ditumbangkan!"
"Memang benar. Tengkorak Tampan adalah murid si Jahanam Tua, tokoh aliran sesat! Tapi si Tengkorak Tampan pernah lari ketika melawan kakakku! Ilmunya masih di bawah ilmu kakakku. Kalau saja dia tadi tidak bertindak curang, aku tak mungkin terkena senjatanya!"
"Apa yang membuat kau bentrok dengan Tengkorak Tampan?!" tanya Suto.
"Sebenarnya persoalan itu adalah persoalan guruku dengan gurunya. Tapi kami sebagai murid menjadi ikut-ikutan bermusuhan dengan sesama murid. Ketika aku dan Candu Asmara pulang dari rumah paman kami, tiba-tiba kami berpapasan dengan si Tengkorak Tampan. Kakakku terkena totokannya, dan tak berdaya. Lalu, aku menghadapi si Tengkorak Tampan sendirian," tutur si gadis dengan mata mengecil memancarkan dendam. Lanjutnya lagi, "Setelah ia terdesak oleh seranganku beberapa kali, akhirnya ia mengangkat kedua tangannya dan mengaku kalah. Aku tak jadi lanjutkan seranganku. Namun tiba-tiba ia mencabut senjatanya dan menyerangku saat aku ingin melepaskan totokan pada diri kakakku. Aku tak menduga kalau dia ternyata menyimpan senjata 'Garpu Malaikat' di balik bajunya. Padahal 'Garpu Malaikat' adalah senjata berbahaya milik gurunya tak sebanding jika dipakai melawan senjata lainnya. Maka, ketika aku berbalik ingin menangkis 'Garpu Malaikat'-nya dengan pedangku, senjata itu lebih dulu melukaiku."
Gadis itu berhenti sejenak, menarik napas dan menelannya sebagai penahan kobaran api dendamnya. Setelah itu ia pun berkata lagi dengan suara merdunya yang enak didengar.
"Aku terpental dan menabrak kakakku. Ujung gagang pedangku menghantam leher kakakku, tapi justru membuatnya terlepas dari totokan tersebut."
"Sekarang di mana anu-mu?" tanya Sawung Kuntet.
"Maksudmu... kakakku?"
"Ya. Kakakmu! Di mana dia?"
"Mengejar si Tengkorak Tampan yang lari ke arah kotaraja. Karena kubilang lukaku tak seberapa parah, bisa kuatasi, maka ia pun pergi. Tapi ternyata aku tak bisa atasi lukaku."
"Kau yakin bahwa dia lari ke kotaraja?"
"Dia sendiri yang mengatakan akan mempersembahkan kepalaku dan kepala kakakku sebagai bukti keperkasaannya dalam melamar putri Raja Gundalana itu!"
"Hmmmmm...," Sawung Kuntet manggut-manggut. "Kalau begitu Tengkorak Tampan nanti akan ber-anu dengan Singawulu!"
"Apakah kau akan menyusul kakakmu, Mirah Cendani?"
"Tidak. Aku yakin kakakku mampu mengatasi si Tengkorak Tampan. Aku akan mengadukan hal ini kepada guru."
"Jadi kau mau anu ke Bukit Sutera?!" tanya Sawung Kuntet,
"Ya. Guru harus segera mengetahui kekurangajaran murid si Jahanam Tua itu! Karena ia hampir saja memperkosaku sebelum aku buru-buru mencabut pedang dan nyaris memenggal kepalanya."
Sawung Kuntet menggumam, dan gumam itu didengar oleh Suto Sinting. "Setahuku, senjata 'Garpu Malaikat' adalah senjata yang sangat berbahaya, dapat dipakai membunuh dua-tiga lawan dalam sekali pakai!"
Suto Sinting memandang Sawung Kuntet dan berkata, "Temanilah dia pulang dan menghadap gurunya. Aku akan menyusul kakaknya Mirah Cendani. Jangan sampai ia menjadi korban senjata 'Garpu Malaikat'itu."
"Baik, aku setuju!" Sawung Kuntet pun berbisik, "Siapa tahu gadis ini tertarik dengan anu-ku dan..."
"Tertarik dengan apamu?" bisik Suto.
"Wajahku!" geram Sawung Kuntet dengan rasa takut didengar Mirah Cendani.
Suto tersenyum, Sawung Kuntet lanjutkan kata-katanya dengan pelan, hanya Suto Sinting yang mendengarnya. "Terus terang saja... anu-ku dulu seperti dia. Maksudku. yang seperti dia kekasihku! Cantik, mungil, tapi anu-nya besar."
"Apanya yang besar?"
"Keberaniannya."
Melihat mereka berkasak-kusuk lagi, Mirah Cendani segera berkata dengan nada sedikit ketus. "Kurasa aku tak perlu pengawal! Aku masih sanggup tiba di Bukit Sutera dengan selamat tanpa harus dikawal. Nanti justru aku repot melindungi pengawalku sendiri!"
"Kebetulan aku ada perlu dengan anu-mu. Eh, maksudku dengan gurumu," kata Sawung Kuntet yang sejak tadi diam-diam menikmati sebentuk kecantikan mungil yang mirip wajah mantan kekasihnya itu.
"Kalau kau ingin bertemu dengan guruku, pergilah sendiri ke Bukit Sutera, tak perlu bersamaku!"
"Aku... aku lupa jalan menuju ke anu-mu. Hmmm... maksudku, lupa jalan menuju ke rumahmu, Mirah Cendani!"
"Kalau begitu kau bisa mengikuti dari belakang. Tak perlu berjalan seiring denganku!" ujar si gadis.
Sebelum Sawung Kuntet bicara lagi, Mirah Cendani sudah melesat pergi tinggalkan tempat.
"Lho... sudah anu duluan, ehh... sudah kabur lebih dulu?!"
"Cepat susul dia!"
Sawung Kuntet tak banyak bicara lagi kepada Suto. Ia takut kehilangan jejak Mirah Cendani. Maka ia pun segera mengikuti gadis itu dengan kecepatan gerak masih lebih tinggi dari gerakan si gadis.
Suto Sinting menuju ke barat, menyusul kakak Mirah Cendani dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu mempersingkat waktu. Hati si murid Gila Tuak sempat menggerutu sendiri dalam perjalanannya.
"Sial! Mengapa aku sampai lupa menanyakan ciri-ciri kakaknya Mirah Cendani itu?! Kalau begini, mana bisa kutemukan gadis itu kecuali dalam keadaan sedang bertarung melawan Tengkorak Tampan. Yang namanya Tengkorak Tampan saja aku tak tahu ciri-cirinya. Uuh...! Bodoh amat aku ini?!"
Pendekar Mabuk hanya bisa menahan kedongkolan dalam hatinya. Namun langkahnya tetap meluncur ke arah negeri Bardanesya yang baru kali itu akan disinggahinya.
* * *
TIGA
PERBATASAN negeri itu dikelilingi oleh parit besar yang sengaja digali sebagai perintang masuk ke wilayah tersebut. Namun ada jalanan lebar yang rata menuju ke gapura besar yang menjadi pintu gerbang negeri tersebut. Untuk mencapai pintu gerbang perbatasan yang letaknya sekitar lima puluh tombak dari parit pembatas, dibangunlah sebuah jembatan beton selebar delapan tombak.
Di jembatan itu ada enam penjaga bersenjata tombak dengan ujung tombak macam-macam. Ada yang ujungnya berupa pedang besar, ada yang berupa trisula, ada yang ujungnya berupa kapak dua mata, ada pula yang ujungnya seperti centong nasi, namun tepiannya sangat tajam, setajam mata pedang. Enam penjaga itu berseragam hijau-hijau dengan potongan pakaian sama; baju berlengan panjang dan celana longgar. Ikat kepalanya berbeda-beda. Ada yang pakai ikat kepala, ada yang tidak. Wajah mereka pun berbeda; ada yang tampan, ada yang sedang-sedang saja, ada pula yang jelek dengan gigi maju ke depan dan mekar bak kipas pengantin.
Orang yang bergigi mekar bak kipas pengantin itulah yang hentikan langkah Suto Sinting dan menegur dengan galak. "Mau ke mana kau, Bocah bau kencur?!"
"Mau... mau jualan kencur, Kang," jawab Suto Sinting sambil nyengir geli.
"Bicara yang benar!" bentak si gigi mekar.
"Kau sendiri juga bertanya tak benar," ujar Suto Sinting dengan kalem. "Sudah jelas aku mau melewati jembatan ini, tentu saja aku mau menuju ke kotaraja. Itu tak perlu ditanyakan. Yang perlu ditanyakan adalah siapa namaku dan apa keperluanku? Begitu, Kang!"
"Eh, berani-beraninya kau mengguruiku, hah?!" orang itu bukan saja giginya yang keluar, tapi sekarang matanya pun seperti keluar karena melotot lebar-lebar.
Temannya yang berikat kepala merah itu menyahut, "Hajar saja kalau dia macam-macam!"
Mereka berenam segera berdiri membentuk pagar betis memenuhi jembatan. Mereka berbaris dengan senjata mengarah ke depan, siap menghujam Pendekar Mabuk. Rupanya mereka sengaja membuat pagar betis agar Suto tak bisa menerobos dan melewati jembatan itu. Pendekar Mabuk hanya tersenyum, ia dapat menduga keenam orang itu berilmu rendah, karena salah satu dari mereka ada yang menempatkan kedua kaki berkuda-kuda lemah. Untuk meyakinkan dugaannya, Pendekar Mabuk segera menggunakan jurus 'Sentak Bidadari' pemberian dari bibi gurunya: si Bidadari Jalang. Jurus itu hanya berlaku bagi orang yang berilmu rendah. Jika orang itu berilmu tinggi, maka jurus 'Sentak Bidadari' tak akan berguna sedikit pun.
Si gigi mekar menggertak lebih dulu, "Pulang dan jangan kembali ke sini lagi!"
Suto membentak keras, "Minggir...!!"
Wajah-wajah yang dipaksakan angker itu mulai tampak surut. Jantung mereka berdetak-detak. Bahkan tadi ketika suara Suto terlontar, ada yang melonjak karena kagetnya. Ada pula yang membatin, "Aduh, jantungku pasti copot ini!"
Jurus 'Sentak Bidadari' telah menggetarkan jiwa mereka, membuat mereka menjadi takut dan berwajah pucat. Satu demi satu tundukkan kepala secara tak langsung. Mereka merasa takut, bahkan ngeri melihat pemuda tampan yang usianya masih di bawah mereka semua itu.
"Beri aku jalan!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas, tapi suaranya tak menyentak sekeras tadi.
Mereka segera menyisih dengan langkah sopan dan penuh hormat. Mereka melangkah ke pinggiran jembatan dengan membungkuk-bungkuk seperti ingin memberi jalan untuk rajanya.
"Silakan lewat, Nakmas!" ujar si gigi tonggos dengan suara pelan dan senyum canggung.
"Hmm, terima kasih!" ucap Suto Sinting, lalu melangkah tegak, gagah, dan mantap. Tapi dalam hatinya ia tertawa sendiri melihat wajah-wajah penuh ketakutan itu.
"Penjagaannya memang cukup kuat. Di sana ada gerbang perbatasan dan tampaknya dijaga oleh beberapa orang. Kurasa nanti aku akan menghadapi kesulitan juga dari mereka," ujar Suto Sinting dalam hatinya, ia sempatkan diri menenggak tuaknya setelah melewati jembatan tersebut.
Keenam penjaga tadi tak satu pun ada yang berani memandang Suto secara terang-terangan. Mereka hanya saling melirik dengan jantung masih berdebar-debar.
"Kotaraja masih jauh, tapi penjagaannya sudah seketat ini?!" ujar Suto membatin. "Ada berapa lapis penjagaan yang harus kulewati nanti? Apakah si Tengkorak Tampan dan Candu Asmara juga melewati penjagaan yang berlapis-lapis ini?!"
Langkah Pendekar Mabuk diperlambat, karena matanya sibuk menghitung jumlah penjaga yang ada di sekitar gerbang perbatasan. Gerbang itu dibangun dengan tembok kokoh berwarna putih, mempunyai dua pilar di kanan kirinya. Tinggi gerbang itu sekitar lima tombak, dan bagian atasnya ada dua orang penjaga berpakaian serba hitam bersenjata panah. Sedangkan enam orang berpakaian hitam lainnya ada di bawah dengan senjata tak seragam.
Wajah-wajah kedelapan orang penjaga gerbang perbatasan itu lebih seram ketimbang enam orang di jembatan tadi. Mereka rata-rata berkumis lebat dan berusia sekitar empat puluh tahun. Badan mereka pun tampak lebih kekar ketimbang para penjaga yang ada di jembatan. Salah seorang dari mereka yang menenteng golok lebar tanpa sarung sengaja berdiri menghadang langkah Suto di pertengahan jalan. Golok lebarnya diberdirikan, bersandar dada kanan. Tangan kirinya melintir kumis bagaikan sedang melintir sumbu kompor.
"Hei, siapa kau dan apa perlumu datang kemari?!" tegurnya dengan tak ramah, tapi Suto Sinting menanggapi dengan senyum ramah dan kalem.
"Namaku adalah Suto Sinting, Paman. Aku ingin ke kotaraja."
"Hmmm...!" orang itu manggut-manggut angkuh sambil tetap melintir kumis lebatnya. Kemudian dia berseru memanggil temannya yang agaknya berkedudukan lebih rendah darinya. "Gintung, Polo...! Hajar dia!"
Dua orang bersenjata sabit kembar dan trisula kembar segera hampiri Pendekar Mabuk yang tercengang. Gintung bersenjata sabit kembar, dan Polo bersenjata trisula kembar.
"Tunggu dulu!" kata Suto mencoba menahan langkah kedua orang itu. "Mengapa aku akan dihajar? Apakah aku melakukan kesalahan?!"
Tetapi pertanyaan itu tak ada yang menjawabnya. Justru dari arah kanan kiri Suto Sinting segera datang serangan dari Gintung dan Polo. Sabit kembar itu disabetkan secara beruntun ke tubuh Suto Sinting. Namun dengan gerakan menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh tebasan sabit kembar itu selalu meleset dari sasaran. Tak satu pun sabetan sabit yang menggores pakaian Pendekar Mabuk. Sebuah tendangan cepat dikirimkan oleh Suto. Wuuut...! Tendangan itu sukar dilihat, sehingga tahu- tahu Gintung terpental sejauh delapan langkah.
Wuuuss..! Brrruk...!
"Aaoow..!" pekiknya kesakitan.
Polo segera menyerang dengan trisula kembarnya. Pendekar Mabuk sempoyongan, sepertinya mau jatuh ke kiri, tak tahunya justru berada di kanan, ia menggeloyor terbungkuk-bungkuk dengan pegangi bumbung tuaknya sebagai penahan tubuh agar tak jatuh ke tanah. Gerakan yang membingungkan itu membuat Polo sukar mengarahkan tusukan trisulanya ke tubuh Suto Sinting. Wut, wut, wut, wut...!
Tiba-tiba Suto berguling di tanah dan kakinya menyentak ke atas. Wuuut...! Sentakan itu tepat kenai dagu Polo dengan telak, sampai wajah orang itu terdongak dan tubuhnya terlonjak ke atas. Kruuk...!
"Ouffh...!" Polo mengerang kesakitan, giginya rontok dua, gusinya berdarah, ia sempoyongan dan tak bisa tegak lagi.
Zlaap, zlaap...! Suto Sinting bergerak dengan kecepatan menyamai cahaya. Mereka kebingungan, sulit mengikuti gerakan Suto dengan pandangan mata. Tahu-tahu Pendekar Mabuk sudah melintasi gerbang perbatasan, berdiri di bagian dalam, dipunggungi mereka, ia tersenyum di sana sambil membuka tutup bumbung tuaknya dan menenggak tuak dengan tenang.
"Hei, itu dia anaknya!" seru salah seorang yang ada di atas pintu gerbang. Mereka berpaling ke belakang dan terperanjat melihat anak muda itu sudah injakkan kakinya di tanah wilayah negeri itu.
"Kampret busuk! Keluar kau!" bentak si kumis melintang dengan melepaskan pelintiran kumisnya.
Empat orang penjaga menyergap Suto membentuk kepungan dari empat arah: depan, belakang, kanan, kiri, dan dua orang yang ada di atas gapura besar itu merentangkan tali busurnya, siap lepaskan anak panah ke arah Pendekar Mabuk. Tapi si murid sinting Gila Tuak itu masih tetap tenang. Senyumnya berkesan cengar-cengir meremehkan lawan. Pandangan matanya tertuju ke mata si kumis melintang yang rupanya sebagai ketua dari kelompok delapan orang itu.
"Setiap orang yang ingin menghadap Paduka Raja untuk ikut mendaftarkan diri sebagai calon menantu raja harus diuji dulu kemampuannya! Kami tidak ingin Gusti Rara Ayu Kumala Udarini Sumbi mempunyai seorang suami yang tidak mampu melindungi keselamatan keluarga istana!"
"Aku tidak bermaksud..."
"Serang!" teriak si kumis melintang memotong kata-kata Pendekar Mabuk.
Dua anak panah melesat lebih dulu dari atas gapura besar itu dan menancap di bawah pundak kanan-kiri Suto Sinting. Jeeb, jeeb. ! Disusul dengan lemparan dua buah pisau dari arah belakang yang menancap di bagian paha. Jrrub, jruub!
"Aaakh...! Aooow!"
Suara teriakan itu bukan berasal dari Pendekar Mabuk. Pemuda tampan itu tetap berdiri di tempat tak bergerak sedikit pun. Tapi si kumis melintang justru menjerit dua kali dan akhirnya tumbang sendiri. Brrruk!
"Aaaaaaoow...! Aaaaahh...!" si kumis melintang meraung-raung kesakitan.
Dua orang yang akan menyerang Suto dari kanan kiri terpaksa hentikan langkah. Mereka terperanjat sekali melihat ketuanya jatuh dan meraung-raung. Setelah diperiksa, ternyata si kumis.
"Edan! Kenapa kau, Sagolo?! Siapa yang melukaimu?!" seru salah seorang dengan wajah tegang.
Suto Sinting mencabut dua panah yang menancap di bawah pundak kanan-kiri. Srub, sruub...!
Saat itu tubuh Sagolo menyentak dua kali sambil memekik, "Aah, aahkk...!"
Salah seorang dari dua pemanah itu mendelik bagai patung ketika melihat Suto Sinting mencabut anak panah dengan santainya, tapi Sagolo yang merasa kesakitan. Bahkan kini ia melihat Pendekar Mabuk mencabut pisau di kedua pahanya dengan tenang. Sreeb, sreeb...! Dan saat itu pula Sagolo menyentak, dua kali lagi dengan pekik kesakitan yang diteruskan raungan memanjang.
"Hahk, haahk...! Aaaauuh...!"
"Gila!" gumam orang di atas yang terbengong. "Dia yang kena panah, dia yang cabut panah, eeh. Sagolo yang kesakitan dan terluka begitu?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis. Tubuhnya tak merasa sakit sedikit pun. Ketika anak panah dan pisau dicabut dari badannya, ternyata badan itu tidak terluka. Tetapi Sagolo tetap terluka hingga darahnya bercucuran ke mana-mana. Ia digotong ke tempat bayangan tembok gerbang yang teduh.
"Monyet, babi, kambing, tokek sinting!" makinya sambil berteriak. "Jangan keras-keras mengangkatku! Sakit semua, Setan!!"
Mereka tak tahu bahwa saat Suto beradu pandang dengan Sagolo, saat itulah jurus "Alih Raga' dilancarkan. Jurus itu dapat memindahkan rasa sakit dan luka yang seharusnya diderita Suto tapi bisa diderita orang lain. Dalam kesempatan itu, jurus 'Alih Raga' ditujukan kepada Sagolo melalui pandangan mata Suto tadi, sehingga yang terluka dan merasakan sakit adalah Sagolo sendiri walau yang diserang tubuh Suto Sinting.
Tiba-tiba dari arah timur melesat sekelebat bayangan. Wuuuuss...! Bayangan itu berasal dari salah satu pohon yang melintasi atas kepala para penolong Sagolo. Jleeg...! Sesosok tubuh muncul berdiri tak jauh dari para penolong Sagolo. Mereka terperanjat saat orang tersebut perdengarkan suaranya.
"Bukan kalian yang patut menguji ilmu pemuda itu! Kalian akan mati sia-sia jika masih nekat ingin menahannya!"
Mereka segera berkasak-kusuk, kejap kemudian undurkan diri dan merasa takut berhadapan 'tamu' yang baru datang itu. Suto Sinting berkerut dahi karena merasa heran melihat sikap mereka yang takut kepada 'tamu'tersebut.
"Siapa dia? Mengapa mereka takut?!" pikir Suto Sinting sambil pandangi seorang gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun yang mengenakan celana dan baju buntung warna ungu bintik-bintik putih. Gadis itu berparas cantik dengan potongan rambutnya yang pendek. Cepak, seperti potongan lelaki, ia bertubuh tinggi, sekal, dadanya montok, kulitnya kuning langsat. Sebilah pedang ada di pinggang yang dililit sabuk kain merah, sama dengan ikat pinggang Suto Sinting.
Gadis berwajah cantik berhidung mancung dan berbibir sensual dengan mata bening indah itu sengaja hampiri Suto Sinting dengan langkah tegas. Tak ada kesan yang manja dan cengeng pada penampilannya. Suto Sinting memandangi penuh rasa kagum dan hati mulai berdesir-desir. Ketika gadis itu berhenti di depan Pendekar Mabuk dalam jarak tiga langkah, aroma wangi melati tercium oleh hidung Suto yang bangir. Aroma wangi melati itu membuat hati Suto Sinting semakin berdebar-debar indah.
"Kurasa kau tak perlu membenci mereka. Tugas mereka memang menguji setiap tamu yang ingin mendaftarkan diri sebagai calon menantu Raja Gundalana!"
"Aku tidak membenci dan mendendam kepada mereka," ujar Pendekar Mabuk dengan senyum keramahan menghiasi wajah tampannya. Sambungnya lagi, "Hanya yang kusayangkan, mereka bukan orang-orang berilmu tinggi yang patut menjadi kelompok penguji ilmu lawan. Salah-salah mereka bisa mati sebagai penguji yang naas!"
"Untuk ukuran di sini, ilmu mereka sudah cukup lumayan."
"Mungkin saja begitu. Tapi kurasa mereka tak harus lakukan pengujian dengan menggunakan pertarungan. Sebaiknya dengan cara lain yang dapat dipakai untuk mengukur ketinggian ilmu para tamu! Misalnya dengan cara memecah batu atau yang lainnya."
"Itulah kecerobohan atasan mereka," ujar si gadis tinggi sambil memandang ke arah Sagolo yang masih dibiarkan terkapar merintih-rintih.
Si gadis dekati Sagolo, Pendekar Mabuk pun segera dekati Sagolo pula, kemudian menyuruh Sagolo meminum tuaknya. Gintung dan Polo juga disuruh minum tuaknya. Mereka menurut walau dahi yang lain berkerut. Mereka heran melihat tindakan Suto.
"Istirahatlah beberapa saat. Luka kalian akan sembuh!" ujar Suto Sinting, setelah itu ia pergi tinggalkan mereka tanpa bicara lagi. Seakan ia tak peduli dengan keheranan yang akan berkembang di wajah-wajah mereka yang akan melihat kesembuhan secara ajaib itu. Ia juga tak peduli dengan wajah si gadis yang terbengong memandanginya.
Pendekar Mabuk teruskan langkahnya menuju kotaraja. Ternyata kotaraja masih jauh dari gerbang perbatasan. Sejauh mata Suto memandang, ia belum temukan tanda-tanda keramaian kota atau rumah-rumah penduduk. Matahari sudah condong ke barat sejak tadi. Suto Sinting membatin, "Bisa-bisa sampai kotaraja sudah malam. Atau mungkin langkahku salah arah?!"
Langkah itu akhirnya terhenti seketika, karena tiba-tiba muncul seseorang yang turun dari atas pohon didepannya. Wuuut...! Jleeg...! Suto Sinting sempat tersentak kaget, dan secara naluriah tangan dan kakinya mengambil sikap kuda-kuda pertahanan. Ketegangan itu segera mengendur setelah Pendekar Mabuk segera sadar bahwa orang yang turun dari atas pohon itu adalah si gadis berpakaian ungu bintik-bintik putih tadi. Rupanya ia sengaja menghadang Suto Sinting dengan maksud yang masih menjadi tanda tanya besar dalam hati si pendekar tampan itu.
"Aku sengaja mengganggu perjalananmu sebentar!" ujar gadis itu tanpa sungkan-sungkan, ia kelihatan tegas dan rada-rada cuek dalam bersikap.
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis sambil pandangannya tak bergeser dari wajah si gadis tomboy itu. "Ada yang bisa kubantu?" tanya Suto Sinting bernada lembut.
"Justru aku yang ingin bertanya, mungkin kau butuh bantuanku?"
"Bantuan tentang apa, misalnya?"
"Mungkin tentang arah ke kotaraja! Kulihat kau telah salah arah. Mestinya kau membelok ke kiri saat melewati jalanan menurun tadi."
Suto Sinting tertawa kecil, menertawakan kebodohannya. "Aku memang orang asing di negeri ini. Kurasa... kurasa aku memang butuh seorang pemandu."
Gadis itu sunggingkan senyum tipis, seperti gadis yang angkuh dan melecehkan kebodohan Suto. Tetapi senyuman tipisnya itu sempat membuat Suto Sinting hampir menggeragap, karena di sudut senyuman itu si gadis mempunyai lesung pipi yang menambah kecantikannya. Lesung pipit seperti itu juga dimiliki oleh Dyah Sariningrum, calon istri Suto Sinting yang menjadi penguasa di negeri Putri Gerbang Surgawi, di Pulau Serindu. Karenanya, desir-desir di dalam dada Suto berubah menjadi debar-debar yang sempat membuatnya salah tingkah.
"Apakah kau yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk?" tanya gadis itu sebelum mereka melangkah.
"Benar. Dari mana kau tahu namaku?"
"Bumbung tuak dan pakaianmu. Juga, tuak saktimu yang tadi telah membuat luka-luka Sagolo serta dua anak buahnya menjadi sembuh. Mereka sehat dan merasa lebih segar dari sebelum meminum tuakmu! Kehebatan tuakmu itu yang paling utama mengingatkan diriku pada cerita beberapa sahabatku tentang Pendekar Mabuk."
Malu juga Suto jadinya. Tapi di balik rasa malu itu bertaburan rasa bangga akan populeritas namanya yang sampai membekas dalam ingatan gadis secantik itu. "Boleh kutahu namamu?" Suto ganti bertanya.
"Candu Asmara!" jawab si gadis.
Suto Sinting terperanjat, namun buru-buru ditahan dan disembunyikan, sehingga ia tetap kelihatan kalem. "Candu Asmara...?" gumamnya sambil manggut-manggut. "Kau pasti murid Eyang Cakraduya, dan kakak dari si Mirah Cendani!"
Kini gadis itu yang terperanjat kaget. "Dari mana kau tahu?"
Tawa Suto sengaja dibuat berkesan dingin, ia memandang alam sekelilingnya sambil menjawab pertanyaan itu, hingga berkesan tengil. "Kecantikanmu membuatku ingat tentang murid Eyang Cakraduya yang punya lesung pipit menggetarkan hati setiap lelaki."
Gadis itu tampak tersipu, namun masih berusaha tampil cuek. "Kau... kau kenal dengan guruku?"
"Dengan kekasihmu pun aku kenal," pancing Suto Sinting.
Pancingan itu membuat Candu Asmara menarik napas seperti menahan kedongkolan. "Ikuti aku kalau mau ke kotaraja!" ujarnya sambil melangkah, tapi maksudnya mengalihkan percakapan yang tadi.
Pendekar Mabuk menangkap perasaan tak enak pada diri gadis itu, terutama setelah menyinggung tentang kekasih. Entah apa sebabnya, untuk sesaat Suto tak ingin menanyakannya. Namun ia segera mengikuti langkah Candu Asmara hingga akhirnya mereka berjalan berdampingan.
"Rupanya kau sudah mengenal seluk beluk negeri ini! Apakah kau termasuk rakyat negeri Bardanesya?"
"Bukan. Tapi aku sering berkunjung ke kotaraja. Seorang sahabatku tinggal di sana, dan dia punya hubungan baik dengan putri Paduka Raja Gundalana itu."
"Pantas para penjaga tadi saling berkasak-kusuk dan takut kepadanya," ujar batin Suto Sinting. "Kurasa mereka pernah dihajar gadis ini, sehingga mengetahui bahwa gadis ini berilmu lebih tinggi dari mereka. Hmm.... Ternyata kakak si Mirah Cendani lebih cantik dari adiknya. Aku terkesan sekali dengan sikapnya yang tegas dan rada-rada galak itu. Dia bisa bikin hatiku penasaran kalau selalu menjaga keangkuhan sikapnya." Lamunan dan kecamuk batin Suto dibuyarkan oleh teguran Candu Asmara.
"Kau akan mendaftarkan diri sebagai calon menantu Paduka Raja?"
"Oh, hmm... ya, eeh... tidak! Aku tidak punya niat begitu," jawab Suto agak grogi, lalu segera ingat tentang tujuannya semula, ia pun ajukan tanya kepada Candu Asmara. "Apakah kau sudah bertemu dengan Tengkorak Tampan?"
Langkah si gadis terhenti, mata memandang tajam, Suto Sinting menjadi salah tingkah. Senyumnya berkesan cengar-cengir yang tak jelas tujuannya.
"Mak... maksudku... hhmm... maksudku, apakah kau sudah berhasil menghadang langkah si Tengkorak Tampan?"
"Dari mana kau tahu kalau aku sedang memburu murid si Jahanam Tua itu?! Kau sahabat si Tengkorak busuk itu?!"
"Oh, bukan! Hmmm... bukan itu maksudku. Aku... aku mendengar nama itu dari adikmu: Mirah Cendani!"
Candu Asmara kerutkan dahi. "Kau bertemu dengan adikku?"
"Ya. Kutemukan dia terkapar dalam keadaan sekarat. Tapi untung aku berhasil menuangkan tuak ke mulutnya. Sekarang dia sudah sehat dan sedang pulang untuk menemui guru kalian."
Setelah diam termenung sebentar, Candu Asmara bergumam lirih, namun sempat didengar oleh Suto. "Pantas ketika aku kembali ke tempat itu, Mirah sudah tak ada! Kupikir dibawa pulang oleh Guru?!"
Suto pun membatin, "Jika dia sempat menengok tempat itu lagi, dan berhasil menyusulku tiba di gerbang perbatasan, berarti dia mempunyai kecepatan gerak yang hampir menyamaiku?! Oh, agaknya kata-kata Sawung Kuntet memang benar; murid Eyang Cakraduya berilmu tinggi. Tak heran jika Candu Asmara mempunyai kecepatan gerak yang menyamai gerakanku."
Untuk mengetahui seberapa tinggi ilmu si gadis itu terutama dalam kecepatan geraknya, Pendekar Mabuk pun memancingnya secara halus. "Apakah kita tak akan kemalaman di jalan jika dengan hanya berjalan biasa begini?"
"Sampai kotaraja bisa tengah malam."
"Bagaimana kalau kita berlari agar bisa tiba di kotaraja sebelum tengah malam?!"
Gadis itu hanya tersenyum kecil berkesan meremehkan, karena ia tahu ajakan itu merupakan tantangan halus dari si tampan. Maka, tanpa menjawab atau berkata sepatah kata pun, Candu Asmara sentakkan kaki kirinya ke bumi satu kali. Duuhk...! Bluub...! Asap mengepul tipis, Candu Asmara bagaikan lenyap di telan bumi. Suto Sinting kebingungan sesaat. Setelah memandang ke depan, ternyata gadis itu sudah berada jauh di depan sana.
"Gila! Kecepatan geraknya seperti melebihi angin berhembus?! Hmmm... baik, akan kususul kau, Candu Asmara!" Zlaaaap, zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan Pendekar Mabuk untuk susul gadis itu. Kejap berikut, Candu Asmara hentikan langkah ketika ia merasakan hembusan angin berkelebat di samping kanan, mendahului langkahnya.
"Edan! Gerakan apa itu hingga bisa mendahului jurus 'Pemburu Badai'-ku?!" gumam hati gadis cantik itu.
Candu Asmara mencoba menyusul gerakan Suto Sinting, namun tak pernah berhasil, ia hanya bisa berada tiga langkah di belakang Suto Sinting. Sekalipun demikian, gerakan itu dianggap oleh Suto sebagai pemecah rekor bagi gerakan para gadis yang pernah dikenal Pendekar Mabuk. Angin Betina, saja masih tertinggal lima langkah di belakang Suto Sinting. Berarti Angin Betina, gadis yang menyimpan cinta kepada Suto itu, masih kalah cepat dengan Candu Asmara, walaupun Angin Betina punya ilmu yang dapat menembus waktu.
* * *
EMPAT
HATI Candu Asmara merasa lega mendengar adiknya dalam keadaan sehat. Nafsu memburu Tengkorak Tampan tidak sebesar tadi. Bahkan perhatian gadis itu lebih banyak ditujukan kepada Pendekar Mabuk. Curahan perhatian batin itu membuat Candu Asmara juga rasakan debar-debar indah yang sering membuatnya jengkel sendiri. Hampir memasuki kotaraja, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah disusul langkah Candu Asmara yang terhenti pula.
Gadis itu memandang heran kepada Suto Sinting. Suaranya terdengar lirih. "Kenapa berhenti?"
"Aku mendengar suara perempuan merintih," jawab Suto pelan.
Candu Asmara diam sesaat, pertajam pendengarannya. Matanya melirik ke arah kiri, pada gerumbulan semak yang melingkari batu besar. Suara rintihan perempuan berasal dari gerumbulan semak itu. Sepertinya ada yang terkapar dan sekarat di bawah batu besar itu.
Suto Sinting berbisik lagi, "Arah pandangan matamu memang benar. Suara itu dari bawah batu. Hanya saja, ketinggian semaknya membuat kita tak bisa melihat apa yang terjadi di bawah batu besar itu."
"Rasa-rasanya bukan rintihan orang menderita," ucap Candu Asmara dengan membisik. "Sebaiknya tak perlu kau hiraukan. Kita lanjutkan langkah kita."
"Tunggu sebentar," sergah Pendekar Mabuk sambil mencekal lengan Candu Asmara. "Aku penasaran dan ingin mengintainya dari atas pohon itu."
"Ah, sudahlah! Itu tak perlu!"
"Sebentar saja!" Wuuut...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di atas pohon. Gerakan lompatnya sangat cepat dan membuat Candu Asmara hanya bisa hempaskan napas sebagai tanda menahan rasa kesalnya.
"Bandel juga dia!" gerutunya dalam hati. "Masa' dia tak bisa bedakan suara rintihan kesakitan dengan rintihan kenikmatan?!"
Pendekar Mabuk melesat dari pohon pertama ke pohon kedua, dari pohon kedua ke pohon ketiga. Di situ ia berhenti, mengintai ke bawah, tepat di atas batu besar tersebut. "Astaga...?!" hati Suto terkejut dan jantungnya menjadi berdetak-detak.
Ternyata apa yang ada di balik semak dan dibawah batu besar itu adalah suatu pemandangan yang menggetarkan gairah kemesraannya. Seorang perempuan sedang dicumbu oleh seorang pemuda dengan panasnya. Perempuan itu tampak berusia sekitar tiga puluh tahun, sedangkan lawan jenisnya berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Tetapi pemuda yang bertubuh gempal itu tampak masih hijau dalam hal bercumbu, sehingga butuh bimbingan dari si perempuan yang cukup matang dalam masalah kencan. Pemuda itu menurut saja ketika diperintahkan untuk memindahkan kecupannya kedada si wanita. Sekalipun pemuda itu masih hijau, tapi semangatnya tampak tinggi dan menggebu-gebu, sehingga si perempuan mengerang berkali-kali menikmati keindahannya.
Candu Asmara akhirnya menyusul Suto Sinting. Dengan lompatan yang sama seringan tubuh Suto tadi, ia melesat ke atas pohon dan hampiri Suto Sinting. Daun dan ranting yang dipijaknya tak sempat bergerak karena ilmu peringan tubuhnya ternyata cukup tinggi juga.
Suto Sinting nyaris terkejut ketika sikunya menyentuh daging empuk di belakangnya. Ternyata ia menyentuh pipi Candu Asmara yang ikut berjongkok di sampingnya, agak kebelakang. "Sial!" gerutu Suto Sinting.
"Inikah yang ingin kau intip? Rupanya kau doyan mengintip orang beginian, ya?"
"Kusangka bukan beginian!"
Mereka hentikan bisik-bisik sesaat karena suara perempuan yang sedang dicumbu pemuda itu makin meringkik tinggi manakala si pemuda memagut dada sekal perempuan itu. Candu Asmara sengaja palingkan pandangan ke arah lain sambil mencolek lengan Suto.
"Tinggalkan pemandangan itu! Sebentar lagi petang datang, kita harus sudah tiba di kotaraja sebelum hari menjadi gelap."
"Sebentar...," ujar Suto Sinting dalam bisikan, ia memandang tak berkedip adegan hot yang dilakukan oleh sepasang insan yang sudah seperti bayi baru lahir itu. Mereka menggelar pakaian sebagai alas berbaring bagi si perempuan. Tampaknya perempuan itu sangat menikmati tiap sentuhan hangat yang dilakukan si pemuda atas perintahnya.
Suto Sinting berbisik tepat di telinga Candu Asmara, membuat napasnya menyembur hangat di sekitar telinga gadis itu. "Kau kenal dengan mereka?"
Candu Asmara menjawab dengan nada dingin, "Dewi Ranjang, seorang janda liar yang selalu memburu kehangatan pemuda ingusan."
"Dewi Ranjang...?!" gumam Suto lirih. "Lalu, siapa pemuda yang menjadi pasangannya itu?"
"Rudaya, bocah ingusan, anak Raden Mas Sastrajingga, salah satu dari lima penasihat Raja Gundalana."
Suto Sinting menggumam lirih sambil manggut-manggut, pandangan matanya kembali ke arah kedua insan yang sedang asyik-asyiknya menyerap kenikmatan bersama itu. Jantung Suto pun kian berdebar-debar saat melihat Rudaya menuruti perintah Dewi Ranjang.
"Kecuplah ini... kecuplah, Rudaya," sambil perempuan itu menekan kepala Rudaya agar bergeser ke bawah. Rudaya pun menurut, kepalanya bergeser ke bawah dan kecupannya mencapai bagian yang diinginkan Dewi Ranjang.
"Oouh... nikmat sekali itu, Rudaya. Uuuhhh...! Hmmmmhhh...!" sambil kedua tangan Dewi Ranjang meremas-remas rambut pendek Rudaya dan merentang diri untuk mempermudah gerakan kepala Rudaya.
"Sudahlah! Untuk apa kita tonton lama-lama?!" bisik Candu Asmara dengan tak enak hati. Ia menarik tangan Suto agar menyingkir dari tempat itu.
Tapi Pendekar tampan itu masih betah menyaksikan adegan yang makin lama semakin membakar darah kemesraannya sendiri. Tentu saja darah kemesraan Suto terbakar, karena kala itu Rudaya digulingkan oleh Dewi Ranjang. Pemuda itu terbaring dan menerima dengan pasrah apa yang akan dilakukan Dewi Ranjang.
"Diamlah begitu, kau akan kuterbangkan ke langit yang paling tinggi. Hik, hik, hik, hik...!" kata perempuan yang berparas ayu dan punya mata serta bibir memancarkan daya tarik untuk bercumbu.
Rudaya menggigit bibirnya sendiri sambil menggeram ketika Dewi Ranjang menciumi wajahnya, lalu melumat bibir pemuda itu dengan lahap. Lidah perempuan itu akhirnya menjalar sampai ke leher, mencekam beberapa saat, lalu bergeser ke dada si pemuda.
Desir-desir di dalam dada Suto semakin tinggi, karena ia membayangkan seandainya yang diperlakukan begitu adalah dirinya. Desiran itu sempat membuat Suto Sinting meremas dedaunan manakala ia melihat jelas sekali ke mana gerakan lidah Dewi Ranjang. Mulut perempuan bertahi lalat di sudut dagu kanannya itu melintasi perut Rudaya. Ternyata mulut itu tidak hanya berhenti mengecup di perut saja, namun lewat terus dan lidahnya menyapu sekitar paha Rudaya.
Napas si Pendekar Mabuk menjadi sesak ketika mendengar suara Rudaya merintih dengan kepala menggeliat ke atas dan kedua tangan di kanan-kiri kepalanya itu menggenggam kuat-kuat. Suto dapat merasakan desiran keindahan yang amat tinggi yang dirasakan Rudaya manakala mulut Dewi Ranjang bagai ingin menelan sesuatu dengan gerakan pelan-pelan sekali.
Candu Asmara resah. Mau pergi sendiri, tak enak. Mau tetap di samping Suto, juga tak enak. Serba salah jadinya. "Pendekar jalang!" gerutunya pelan bernada jengkel, tapi gerutuan itu didengar oleh Pendekar Mabuk.
Hati menjadi tak enak mendengar kecaman tersebut. Suto segera ingat nama besarnya sebagai seorang pendekar. "Masa' seorang pendekar kerjanya nonton begituan? Ah, tak enak hati aku kepada gadis yang baru ku kenal ini. Sebaiknya memang aku harus segera pergi agar tak timbulkan kesan buruk di hati Candu Asmara," ujar Suto dalam hatinya, maka ia pun segera bergegas pergi tinggalkan pemandangan yang sedang panas-panasnya itu.
"Jangan coba-coba menatap mata Dewi Ranjang jika kebetulan kau berpapasan dengannya," kata Candu Asmara sambil teruskan langkah menuju kotaraja.
"Mengapa tak boleh?"
"Ia mempunyai aji pemikat melalui pandangan matanya. Kau bisa kasmaran jika terkena aji pemikatnya itu."
"Kau khawatir?" Suto Sinting sunggingkan senyum menggoda.
"Aku hanya mengingatkan padamu, bukan karena khawatir. Jika kau sendiri punya selera kepada si janda liar itu, silakan saja! Itu urusan pribadimu, bukan urusku."
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan akhirnya berubah menjadi tawa pelan seperti orang menggumam. Candu Asmara bersungut-sungut, tampak sedang menahan rasa malu dan sembunyikan keresahannya.
Menjelang matahari ditelan bumi, Pendekar Mabuk dan Candu Asmara tiba di kotaraja. Gadis itu segera membawa Suto Sinting ke sebuah penginapan. Tentu saja hal itu cukup mengherankan bagi Suto.
"Mengapa aku dibawa ke penginapan?" tanyanya terang-terangan.
Gadis tomboy itu menjawab seenaknya, "Kalau kutahu jalan ke neraka, kubawa kau ke neraka dan kuceburkan ke sana!"
Suto Sinting tertawa geli melihat gadis itu bersungut-sungut. "Maksudku, aku tak punya uang untuk sewa kamar."
"Untuk apa sewa kamar? Kau pikir perempuan apa aku ini?!"
"Mmm... mmm... maaf, aku tidak bermaksud menilaimu jelek, Candu Asmara. Tapi... tapi terus terang saja, tujuanku kemari semula ingin melihat orang-orang yang mencalonkan diri sebagai menantu raja. Tapi segera berubah setelah bertemu adikmu. Tujuanku menjadi ingin melindungimu dari serangan Tengkorak Tampan yang membawa senjata milik gurunya bernama 'Garpu Malaikat' itu. Aku khawatir kau menjadi korban senjata yang kata temanku adalah senjata berbahaya. Lalu..."
"Cukup!" potong Candu Asmara. "Aku mengerti maksudmu. Kalau kau ingin bertemu dengan Tengkorak Tampan, kau bisa temui dia esok hari. Karena esok hari para calon menantu raja berkumpul di alun-alun."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Kau sendiri tak ingin lanjutkan pembalasanmu terhadap Tengkorak Tampan?"
"Terlambat. Kurasa saat ini ia sudah menjadi tamu kehormatan Paduka Raja. Siapa yang mengusik atau mengganggu tamu istana akan mendapat hukuman dan dianggap bermusuhan dengan pihak Raja Gundalana. Jadi aku tak berani mengusiknya. Tapi jika ia sudah pulang dan tidak lagi menjadi tamu Istana, aku akan bikin perhitungan sendiri padanya!" kata Candu Asmara dengan tegas sekali.
Suto Sinting sangat menyukai nada bicara yang tegas seperti itu. Ketika Suto diajak masuk ke penginapan berlantai dua itu, Candu Asmara sempat berkata dalam nada pelan.
"Aku mencari sahabatku; Cempaka Ayu!"
"Apakah dia sering bermalam di penginapan ini?"
"Dia anak pemilik penginapan ini."
"Ooo..." Suto Sinting manggut-manggut lagi. Ia ingin ajukan tanya, tapi batal karena seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan berpakaian rapi segera menyambut kedatangan Candu Asmara dengan senyum ramahnya.
"Candu Asmara.... Oh, sudah lama kau tak datang menjenguk kami. Mengapa kau menghilang hampir satu purnama, Candu Asmara?!"
"Aku ada urusan yang harus kuselesaikan, Paman! O, ya... perkenalkan, ini sahabatku; Suto Sinting."
Orang yang dipanggil sebagal 'paman' oleh Candu Asmara itu memberikan hormat kepada Pendekar Mabuk, kedua tangannya saling genggam di dada serta badannya sedikit membungkuk. "Selamat datang di penginapanku, Tuan Muda!"
"Terima kasih. Senang sekali aku melihat penginapan sebagus ini, Paman," kata Suto membalas keramahan sang Paman itu.
"Paman, apakah Cempaka Ayu ada?"
"O, dia ada di kamarnya. Datanglah sana ke kamarnya! Kedatanganmu sangat ditunggu-tunggu oleh Cempaka. Heh, heh, heh, heh...!"
Candu Asmara mengajak Suto Sinting menaiki tangga yang tampak dari ruang tamu itu. Ruang tamu tersebut dipakai sebagai kedai yang menyajikan makanan mewah dengan tamu-tamu dari golongan atas. Kala itu, kedai mewah tersebut sedang melayani delapan tamu yang membentuk tiga kelompok berlainan meja. Mereka memandang ke arah Candu Asmara dan Suto Sinting, namun keduanya bersikap tak menghiraukan pandangan para tamu berbusana rapi dan bagus itu.
"Orang yang kupanggil 'paman' tadi adalah ayahnya Cempaka Ayu!"
"Ooo...," Suto hanya menggumam dan manggut-manggut lagi.
"Dia sangat senang jika aku ada di sini, karena berkali-kali aku berhasil mengusir orang-orang yang berniat mengganggu ketenangan para tamu di sini!"
"Rupanya kau petugas keamanan di penginapan ini?!"
"Tak resmi!" jawab Candu Asmara pendek, sambil menelusuri lorong di depan kamar-kamar lantai atas. Sebuah pintu kamar yang letaknya di ujung sendiri diketuk oleh Candu Asmara.
Kemudian seraut wajah cantik berhidung bangir muncul dari balik pintu kamar tersebut. "Candu Asmara...?!" gadis berusia sebaya dengan Candu Asmara itu terpekik girang, kemudian ia memeluk Candu Asmara dalam senyum yang lebar. Matanya sempat beradu pandang dengan Pendekar Mabuk yang masih berdiri di belakang Candu Asmara. Gadis itu segera lepaskan pelukannya dan mulai salah tingkah karena baru sadar bahwa Candu Asmara datang bersama pemuda tampan.
"Cempaka, perkenalkan ini sahabatku; Suto Sinting namanya."
"Ooh...?! Pendekar Mabuk?!" Cempaka Ayu terperanjat dengan mata membelalak.
Suto Sinting hanya anggukkan kepala dalam senyum keramahannya.
"Astaga! Rupanya apa yang kau impikan selama ini benar-benar menjadi kenyataan, Candu Asmara. Kau bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk dan..."
"Ssst...! Tak perlu dibahas lagi soal itu," potong Candu Asmara yang wajahnya menjadi semburat merah karena malu kepada Suto Sinting.
Senyum si tampan itu semakin lebar, hatinya pun menggumam, "Rupanya selama ini Candu Asmara ingin sekali bertemu denganku. Hmm... ketahuan sekarang! Aku yakin saat ini hatinya sangat gembira karena keinginannya bertemu denganku sudah tercapai. Meski berlagak angkuh, tapi ternyata dia menyimpan kegembiraan yang pasti membuat hatinya melonjak-lonjak. Hmm, hmm, hmm...! Perempuan, perempuan... paling pintar menutupi isi hatinya!"
Cempaka Ayu sebentar-sebentar melirik Pendekar Mabuk. Rupanya gadis itu juga menyimpan rasa kagum terhadap ketampanan Suto Sinting. Namun ia menghargai nilai sebuah persahabatan, sehingga tak mau bertingkah yang bukan-bukan di depan Candu Asmara, ia hanya sering berbisik dan mereka tertawa kecil sambil melirik Suto.
"Kebetulan kau datang hari ini, Candu," ujar Cempaka Ayu.
"Mengapa kebetulan?!" tanya Candu Asmara.
Cempaka Ayu melirik ke arah Pendekar Mabuk sesaat. Sepertinya ada sesuatu yang ragu-ragu dikatakan karena keberadaan Suto di tempat itu. Suto jadi tak enak hati.
"Apakah aku harus pergi dulu?" tanya Suto Sinting.
"O, tidak! Tidak perlu," jawab Cempaka Ayu tergesa-gesa. "Ini bukan rahasia lagi. Aku hanya ingin menyampaikan kabar tentang niat Paduka Raja mencarikan menantu yang gagah perkasa dan layak diandalkan sebagai panglima negeri ini."
"Itu sudah kudengar, Cempaka. Esok para calon menantu raja akan dikumpulkan di alun-alun untuk dilihat kemahirannya dalam ilmu kanuragan. Siapa yang ilmunya paling tinggi, itulah yang akan dinikahkan dengan Rara Ayu Kumala, bukan?!"
"Iya. Tapi... tapi rencana itu ternyata harus diubah oleh pihak keluarga istana."
"Mengapa diubah?"
"Kemarin malam Rara Ayu Kumala hilang."
"Hilang...?!" Candu Asmara terperanjat, demikian pula Pendekar Mabuk yang segera berkerut dahi tajam-tajam.
"Seseorang telah menculik Rara Ayu Kumala!"
"Ooh...?! Siapa orang yang menculik putri raja itu?!" tanya Suto Sinting dengan rasa penasaran mendesak dadanya.
"Rara Ayu Kumala diculik oleh tokoh aliran hitam dari Pulau Setan yang bernama Hantu Urat Iblis!"
"Celaka!" sentak Candu Asmara dengan wajah tegang. Agaknya ia sudah mengetahui siapa si Hantu Urat Iblis itu.
Suto Sinting segera berkata, "Tapi mengapa para penjaga di gerbang perbatasan masih menguji tamu yang mau mencalonkan diri sebagai menantu raja?! Bahkan aku sempat diuji oleh mereka!"
Cempaka Ayu menjawab, "Kabar ini belum disebar-luaskan. Tapi ayahku mendengarnya dari kenalannya yang menjadi pejabat istana. Ayah pun wanti-wanti padaku agar tidak bicara pada siapa pun. Tapi kepada kalian aku tak bisa merahasiakannya."
Candu Asmara masih tertegun membayangkan Hantu Urat Iblis, sementara itu Cempaka Ayu menyambung kata-katanya sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Mungkin maksud sang Raja tetap akan menerima calon menantu sebanyak mungkin, karena dengan begitu raja merasa punya banyak dukungan dari orang-orang berilmu tinggi. Karena rencana beliau, esok para calon menantu akan dikumpulkan di alun-alun, dan diberi tahu tentang penculikan tersebut. Raja akan mengubah sayembara, barang siapa yang bisa mengalahkan Hantu Urat Iblis dan membawa pulang putrinya, dialah yang akan dinikahkan dengan sang Putri dan mendapat kedudukan tinggi sebagai panglima tertinggi di negeri ini!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut dalam renungannya.
"Apakah... apakah kau berminat untuk merebut Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis?" tanya Cempaka Ayu kepada Suto.
Candu Asmara segera menyahut sambil menatap Suto tajam-tajam dan bicaranya penuh tekanan. "Hantu Urat Iblis adalah tokoh sesat aliran hitam yang mempunyai ilmu 'Perisai Kubur', kau tak mungkin bisa tumbangkan dirinya!"
"Apa itu ilmu 'Perisai Kubur'?!" tanya Pendekar Mabuk.
"Tak bisa terluka. Setiap kali ia terluka, lukanya akan menutup sendiri dan pulih seperti sediakala. Racun apa pun tak bisa bercampur dengan darahnya."
"Aku ingin mencoba melawannya!"
"Tak perlu, Suto!" sentak Candu Asmara. "Kau akan mati sia-sia jika melawannya!"
Pendekar Mabuk terbungkam dan memendam keheranan. "Mengapa ia jadi berang begitu?! Seandainya aku mati, mengapa tak boleh? Ih, lama-lama aneh juga gadis ini, ya?!"
ALASAN apa yang membuat Hantu Urat Iblis menculik putri raja, hal itu pun menjadi sesuatu yang dipikirkan oleh Pendekar Mabuk. Karenanya, sekalipun ia dan Candu Asmara mendapat satu kamar gratis di penginapan itu, namun Pendekar Mabuk tak bisa cepat tertidur, ia masih terngiang kata-kata Candu Asmara ketika mereka berada di kamar Cempaka Ayu.
"Hantu Urat Iblis bukan saja punya ilmu 'Perisai Kubur', namun juga menguasai ilmu 'Peluh Neraka' yang tidak dimiliki orang lain."
"Apa kehebatan ilmu 'Peluh Neraka' itu?" tanya Suto.
"Pada saat-saat yang ditentukan, ia dapat keluarkan racun melalui peluhnya. Racun ganas yang sangat mematikan itu bercampur dengan keringatnya. Siapapun yang terkena keringatnya walau sedikit saja, maka orang itu akan mati dalam tiga belas hitungan. Repotnya lagi, racun itu tak bisa ditangkal dengan obat penawar racun apa pun."
"Sakti sekali?!" sindir Suto Sinting agak tak percaya. "Siapa sebenarnya si Hantu Urat iblis itu sehingga ia bisa mempunyai ilmu aneh-aneh begitu?!"
"Dia anak haram dari mendiang Nyai Selir Iblis, penguasa Pulau Setan. Menurut cerita dari guruku, Hantu Urat Iblis sejak bayi tak pernah kena sinar matahari, karena hidupnya di ruang bawah tanah. Di sana ia digembleng oleh ibunya sendiri hingga menjadi dewasa. Seluruh ilmu milik ibunya sudah mengalir ke dalam diri Hantu Urat Iblis sejak ia berusia lima tahun. Ketika ibunya tewas, ia muncul di permukaan bumi sebagai pengganti sang Ibu; menjadi penguasa Pulau Setan. Karenanya, dalam usia sekitar empat puluh tahun ini, dia sudah menjadi tokoh yang ditakuti oleh lawan-lawannya, karena ilmunya memang dahsyat!"
"Apakah dia punya guru lain?"
"Tidak! Seluruh ilmu yang diwariskan oleh mendiang ibunya sudah cukup untuk kalahkan beberapa guru dari perguruan-perguruan yang pernah menjadi lawan ibunya semasa hidup."
"Jika ia dikatakan sebagai anak haram, maka sampai sekarang ia tak tahu siapa ayahnya?"
"Kurasa ia sudah tahu," jawab Candu Asmara. "Tapi kurasa ia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Karena menurut cerita guruku, yang pernah menyelidiki kekuatan di Pulau Setan, ternyata Nyai Selir Iblis pernah kencan dengan siluman dari alam gaib. Kencan itu membuahkan keturunan, dan keturunan tersebut adalah si Hantu Urat Iblis."
Beberapa penjelasan itulah yang dicerna terus oleh otak Pendekar Mabuk, hingga malam yang semakin larut dibiarkan lewat begitu saja. Rasa kantuknya belum juga datang walau ia telah berbaring di ranjang yang berseberang dengan ranjangnya Candu Asmara. Sedangkan gadis berpakaian ungu bintik-bintik putih itu tampak sudah tertidur sejak tadi dengan tenang, ia berbaring sambil mendekap pedangnya yang diletakkan di dada. Sebelum ke kamarnya, tadi Suto sempat mengisi bumbungnya dengan tuak yang didapat dari ayah Cempaka Ayu. Kini bumbung tuak itu telah terisi penuh. Namun sebentar-sebentar ditenggaknya, sehingga mulai berkurang sedikit.
"Bagaimana kalau kucoba menembus alam gaib dan mencari ayahnya si Hantu Urat Iblis itu? Barangkali dengan bujukan sang ayah, Hantu Urat Iblis mau melepaskan putri raja," pikir Suto Sinting yang mampu menembus alam gaib karena kekuatan khusus yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).
"Tetapi... kalau aku pergi sekarang tanpa pamit, pasti Candu Asmara sangat kecewa dan mempunyai penilaian buruk padaku. Sebaiknya kubangunkan saja dia dan aku harus pamit dulu padanya."
Suto Sinting dekati ranjang Candu Asmara. Namun kurang dua langkah dari ranjang, Candu Asmara sudah membuka matanya, terbangun dari tidurnya, namun tetap dalam posisi tenang, walau tangan kanannya secara cepat memegang gagang pedang. Begitu sadar didekati Pendekar Mabuk, tangan yang memegang gagang pedang itu mengendur, gagang pedang dilepaskan, tak jadi dicabut. Kini pedang itu justru digeser ke samping kiri, sejajar dengan tubuhnya.
"Hebat! Ternyata dia sangat peka dengan gerakan. Walau dalam keadaan tertidur, namun dapat segera mengetahui ada sesuatu yang mendekatinya," pikir Suto Sinting merasa kagum terhadap kepekaan Candu Asmara.
Karena ia dipandang oleh gadis itu, maka ia pun sunggingkan senyum berkesan nyengir. Suto jadi tak enak hati, takut dianggap ingin bertingkah kurang ajar, maka ia buru-buru jelaskan maksudnya. "Aku ingin membangunkanmu, bukan ingin bertindak yang bukan-bukan."
Candu Asmara hembuskan napas panjang, tapi ia tetap berbaring dengan mata memandang langit-langit kamar. "Mau apa membangunkan tidurku?"
"Aku mau... mau pamit!"
"Pamit ke mana?"
"Ke alam gaib."
"Edan!" sentaknya pelan, lalu cemberut dan melengos.
Suto Sinting lebih mendekat hingga persis di tepi ranjang. "Akan kucoba menemui siluman yang menjadi ayah si Hantu Urat Iblis itu. Akan kudesak siluman itu agar mau menyuruh anaknya melepaskan putri raja."
"Tidurlah dulu, baru mengigau! Jangan mengigau sebelum tidur, itu tidak baik!" ujar Candu Asmara sambil masih palingkan wajah kedinding.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli mendengar kata-kata Candu Asmara. Wajah cantik itu dipandangi dari samping. Timbul getaran nakal di batin Suto yang membuatnya gelisah. Karena keindahan mata, kemancungan hidung, ketebalan bibir yang serasi itu, sangat menggoda hatinya dan membuatnya ingin usil di wajah halus tanpa jerawat sebutir pun itu.
Lengan si gadis juga dipandangi. Hati pun berdesir kembali, karena lengan itu mempunyai bulu-bulu halus yang samar-samar, seakan mengundang hasrat untuk meraba bulu-bulu itu. Pendekar Mabuk akhirnya menelan ludah sendiri, ia memberanikan diri untuk duduk di tepian ranjang. Ternyata gadis itu diam saja, namun masih berpaling ke arah dinding dan memejamkan mata. Suto yakin, gadis itu tidak tidur. Karenanya ia pun segera mengajaknya bicara dengan suara pelan, agar tak mengundang kebrisikan bagi tamu penghuni kamar sebelah.
"Candu Asmara, aku bicara sungguh-sungguh tentang rencanaku tadi. Sekarang juga aku akan pergi. Kau tetaplah di sini dulu."
Candu Asmara membuka mata, kini wajahnya menjadi agak miring ke kanan, pandangannya tertuju ke wajah Suto Sinting yang tetap sunggingkan senyum tipis di bibirnya. "Rencana apa maksudmu?" tanya Candu Asmara berlagak bodoh.
Sebelum Suto Sinting mengulangi penjelasannya tadi, Candu Asmara sudah bicara lagi lebih dulu. "Kau berhasrat ingin membebaskan putri raja itu? Maksudmu supaya kau dinikahkan dengan Rara Ayu Kumala dan menjadi menantu Raja Gundalana? Kau ingin menjadi panglima tertinggi di negeri ini dengan didampingi istri secantik putri raja itu?!"
Pertanyaan yang beruntun hanya membuat Pendekar Mabuk geli sendiri. Tawanya tak bersuara, tapi jelas-jelas berkesan meremehkan dugaan-dugaan Candu Asmara itu. "Aku..."
"Kalau kau ingin mendapat hadiah seorang istri yang cantik seperti Rara Ayu Kumala, pergilah sana, bebaskanlah dia!" sahut Candu Asmara memotong kata-kata Suto.
Pendekar Mabuk akhirnya diam sambil tetap sunggingkan senyum dan menatap Candu Asmara. Pandangan yang beradu bagai menembus sampat ke dasar hati masing-masing. Candu Asmara merasakan getaran hati menjalar ke seluruh tubuhnya, seakan darah mengalir dengan deras namun punya keindahan yang sulit digambarkan.
Rupanya kebisuan di antara mereka berdua mengubah wajah ketus dan cemberut menjadi sendu. Mata tegar berubah menjadi sayu. Tangan di dada pindah ke pangkuan Suto Sinting. Tangan itu disambut dengan usapan lembut oleh sang Pendekar tampan. Akhirnya tangan itu saling meremas pelan, dan rasa hangat mengalir pula di seluruh tubuh mereka berdua.
"Mengapa kau tampaknya sangat tak setuju jika aku membebaskan putri raja itu?" tanya Suto Sinting yang kini membungkuk, bertumpu siku di pangkuannya, sementara tangan Candu Asmara digenggam dengan kedua tangan, dimainkan dengan usapan pelan-pelan.
"Aku takut kau tidak berhasil, tapi juga takut kalau kau berhasil," jawab Candu Asmara dengan suara lirih, sambil meresapi tiap usapan tangan Pendekar Mabuk.
"Aneh sekali ketakutanmu itu. Gagal takut, berhasil takut?"
"Karena jika kau gagal atau berhasil kita tetap tak akan saling bertemu lagi. Gagal berarti mati, berhasil berarti menjadi menantu raja."
Kepala gadis itu tergolek. Manis sekali. Suto merasa sedang menunggui istrinya yang habis melahirkan. Kebahagiaan seperti itulah yang ada di dalam hati Pendekar Mabuk malam itu.
"Aku tak mungkin gagal, juga tak mungkin menikah dengan putri raja."
"Benarkah?" suara itu agak parau, menambah suasana menjadi semakin romantis saja rasanya.
Suto Sinting anggukkan kepala. "Aku bersumpah tak akan menerima hadiah itu seandainya aku bisa kalahkan Hantu Urat iblis."
"Kau tetap akan bersamaku?"
"Mengapa tidak?" jawab Suto lirih, namun terdengar menggema sampai ke lubuk hati Candu Asmara.
"Kita baru saja bertemu, tapi rasa-rasanya seperti sudah beberapa tahun saling kenal," ucap gadis itu.
"Aku pun merasa demikian. Begitu dekatnya kau dengan hatiku, sampai aku lupa kalau kita baru saja bertemu," balas Suto Sinting, lalu tersenyum menawan, Candu Asmara pun tersenyum manis.
Tangan pemuda tampan itu beranikan diri mengusap rambut Candu Asmara. Ternyata gadis itu tidak menolak, ia bahkan meresapi usapan yang berawal dari kening hingga ke pertengahan rambut itu. Ia meresapi dengan mata terpejam lembut. Kulit halus di pipi kuning itu semakin menggoda Suto Sinting. Mata yang terpejam seakan sebuah isyarat untuk Suto agar bertindak lebih romantis lagi. Maka dengan jantung berdetak-detak cepat, Suto Sinting dekatkan wajahnya. Pipi halus lembut seperti kulit bayi itu diciumnya pelan-pelan. Ceesss...! Seperti salju menetes di ujung hati, begitu indah dan sangat menyejukkan jiwa.
Candu Asmara tidak meronta, ia diam saja, seakan pasrah dengan apa yang akan dilakukan Suto Sinting. Gadis itu masih tak mau membuka matanya, walau sudah dua kali dikecup oleh Suto; pipi dan keningnya. Mungkin ia malu jika membuka matanya dan menatap wajah tampan, atau tak sanggup menahan getaran jiwa yang mengguncang dan bergemuruh di dalam dada. Yang jelas wajah bersih berkulit kuning langsat itu menjadi semburat merah saat dua kali menerima ciuman lembut dari Pendekar Mabuk. Merahnya kulit wajah itu bisa berarti menahan rasa malu atau menahan hasrat yang memburu.
Pendekar Mabuk mengumbar kebahagiaan di hatinya. Ciumannya kembali menghangat di kening Candu Asmara. Ciuman itu merayap pelan-pelan ke mata si gadis. Namun kini kedua tangan Suto memegangi kepala Candu Asmara, mengusap lembut kedua sisi kepala itu dari rambut sampai ke pipi sambil merayapkan ciumannya. Tangan kanan Candu Asmara meremas pinggang Suto Sinting ketika ciuman hangat itu mendekati bibirnya.
"Ooh... Indah sekali caranya menciumku," desah Candu Asmara dalam hatinya.
Namun ketika bibir Suto melintasi hidungnya dan hampir menyentuh bibirnya, Candu Asmara segera membuka mata dan mengelak dengan memalingkan wajah ke samping kiri. Ia bagaikan tak mau dikecup bibirnya. Suto Sinting pun menarik wajah dan memandanginya dengan satu tangan masih mengelus lembut kepala gadis itu. Kini sang gadis menatapnya dengan mata kian sayu.
"Jangan mencium bibirku," katanya dengan suara seperti berbisik.
"Sekali saja," pinta Suto lirih.
"Jangan," sambil Candu Asmara menggeleng.
"Mengapa tak boleh?"
"Berbahaya bagi dirimu."
Suto Sinting lebarkan senyum geli. "Aku bisa menahan hasratku jika kecupan kita makin membara."
"Tak mungkin kau bisa menahan hasratmu jika sudah mengecup bibirku satu kali pun. Tak ada lelaki yang bisa menahan keinginannya. Sekali kau mengecup bibirku, kau akan mengecupnya terus dan selalu ingin berdekatan denganku. Aku tak ingin membuatmu tergila-gila padaku. Karena aku tahu hatimu belum sepenuhnya siap hidup bersamaku."
"Jangan samakan diriku dengan pria lain, Candu Asmara."
"Kau belum tahu apa yang ada di mulutku, juga di ujung bibirku, Suto."
"Keindahan dan kehangatan yang membara, bukan?"
Candu Asmara gelengkan kepala. "Menurut guruku. Air liurku mengandung racun karena aku pelajari ilmu 'Tirta Wicara'. Racun itu jika bersatu dengan air liurmu akan membuatmu selalu ingin bercumbu denganku dan... dan kau akan tergila-gila padaku, Suto."
"Benarkah?"
"Aku tak pernah mencobanya. Sebab itu tak pernah ada lelaki yang mengecup bibirku. Aku takut menyiksa dirinya setelah kecupan itu berakhir."
Tentu saja Pendekar Mabuk tidak percaya sepenuhnya. Rasa percaya dan tidak membuatnya menjadi penasaran, ingin membuktikan. Karena memang begitulah sifat Pendekar Mabuk, mudah penasaran terhadap sesuatu yang membahayakan.
"Aku ingin mencobanya. Aku ingin sekali mengecup bibirmu yang ranum ini," seraya ujung bibir itu disentuh oleh telunjuk Suto Sinting.
"Apakah kau sudah siap untuk keracunan asmara?"
Suto tertawa kecil. "Kalau memang terbukti begitu, tentunya kau tak akan menolak kehadiranku, bukan?"
Candu Asmara diam, sunggingkan senyum tipis, seakan pamer lesung pipit yang kian menggoda hati Pendekar Mabuk. Dada si pemuda kian bergemuruh seperti gejolak gunung yang akan meletus. Bibir itu dipandanginya, makin lama makin menantang keberanian. Suto Sinting pun akhirnya dekatkan wajahnya pelan-pelan.
"Suto, jangan...," larang Candu Asmara dengan suara lembut sekali. Ia menempelkan telunjuknya ke bibir Suto sebagai tanda melarang gerakan bibir mendekati bibirnya sendiri.
"Aku ingin membuktikan kata-katamu, Candu Asmara," desak Suto Sinting yang kian penasaran.
Candu Asmara akhirnya pasrah. "Kau memang bandel. Terserah kau saja. Tanggung sendiri akibatnya, Pendekar Nakal!"
Jari telunjuk itu pun pergi dari bibir Suto Sinting. Wajah pemuda tampan kian mendekat. Candu Asmara pejamkan mata dengan bibir merekah, seakan siap menerima kecupan hangat dari pemuda yang mendebarkan hatinya itu. Akhirnya bibir Suto pun menempel pelan-pelan di permukaan bibir Candu Asmara. Siiiirr...! Hati keduanya sama-sama berdesir indah sekali. Bibir pemuda itu bergeser pelan dengan ujung lidahnya menyentuh samar-samar di permukaan bibir si gadis. Candu Asmara panas-dingin, sentuhan hangat bibir dan lidah Suto membakar gairahnya hingga berkobar-kobar.
"Aih, gila betul! Pandai sekali dia menciptakan sentuhan indah yang membuatku ingin menjerit. Ooh... aku suka sekali dengan keindahan ini! Ternyata lebih indah dari sekadar usapan tangannya yang lembut tadi. Ooh.... Suto, kau telah menjerat hatiku dengan cara seperti ini. Tak sadarkah kau, Suto?" rintih batin si gadis sambil tetap menikmati sentuhan lidah Suto yang bermain nakal di permukaan bibirnya. Akhirnya bibir ranum itu dipagut pelan-pelan oleh Suto Sinting. Pagutan lembut itu bertambah menggetarkan jantung si gadis, sehingga rasa ingin menjerit nyaris tak bisa terbendung lagi.
"Hhmmmhh...," Candu Asmara mengerang dalam gumam. Kedua tangannya meremas baju Suto bagian punggung. Tubuhnya menggelia menahan rasa yang luar biasa nikmatnya. Akhirnya gigi si gadis membuka dan lidah Suto pun disambarnya. Haap...!
"Hhhmmmh...!" desah yang keluar lewat hidung menghamburkan geram menggumam penuh curahan kebahagiaan.
Suto Sinting melumat lidah dan bibir Candu Asmara dengan kelembutan yang terasa menerbangkan jiwa setinggi mungkin. Candu Asmara membalasnya dengan lembut pula, namun kedua tangannya meremas tubuh Suto di sana-sini, seakan ingin merobek baju Suto yang tak berlengan itu. Batin si gadis menuntut kuat. Tuntutan keindahan yang lebih nyata lagi itu dipertahankan mati-matian hingga napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya keluar semua. Hembusan napas kelegaan terlontar bersama erangan memanjang ketika Suto Sinting melepaskan bibir si gadis dan merayapkan ciumannya ke dagu, lalu menelusup ke leher.
"Aaaaaahh...!" Candu Asmara gemas sendiri. Punggung Suto menjadi sasaran remasan kegemasannya lagi. Tapi ia tak mau menyingkirkan wajah Suto yang menelusup di lehernya. Bahkan ia memiringkan kepala, membuat lehernya menjadi kian terbuka sehingga Suto Sinting memperoleh kebebasan bergerak. Leher itu disapu dengan lidah Suto, sesekali dipagut-pagut kecil dalam kelembutan yang memancarkan gairah berlebihan bagi Candu Asmara.
"Sutooo... uuuhh, hhek, heek, heek...," Candu Asmara merengek seperti anak kecil, ia merasa semakin hanyut, terbang di langit tingkat tertinggi, lupa segala-galanya, hanyut dalam kemesraan yang belum pernah diperolehnya, walau dulu ia pernah mempunyai seorang kekasih yang bernama Umbada. Tapi Umbada tak pernah mendapatkan kesempatan seperti yang diperoleh Suto. Candu Asmara tak pernah mau berciuman dengan Umbada, karena Umbada tak pandai menundukkan jiwanya.
Sementara itu, hati Pendekar Mabuk sendiri berkecamuk dalam keheranan. Hasratnya ingin mencium tubuh Candu Asmara tak bisa ditangguhkan sebentar pun. Bahkan semakin lama semakin bersemangat, dan gairahnya semakin berkobar-kobar.
"Edan! Aku tak bisa berhenti?! Padahal aku ingin berhenti sebentar saja untuk menarik napas, tapi rasa-rasanya sulit sekali untuk berhenti. Ooh... sekujur tubuhku penuh dengan keringat dingin. Gairahku meledak-ledak di dalam dada. Apakah karena racun dalam air liurnya? Oh, pantas dia bernama Candu Asmara, rupanya siapa pun yang pernah mengecup bibirnya akan kecanduan bermain cinta dengannya. Aduh, bagaimana berhentinya kalau begini?!"
Candu Asmara sendiri hanya bisa mengerang dan merintih-rintih ketika ciuman Suto merayap sampai ke belahan dada. Ia biarkan tangan Suto melebarkan bajunya hingga baju itu terlepas. Dada berlapis kutang tipis diterjang ciuman Pendekar Mabuk, sampai akhirnya mulut Pendekar Mabuk itu mencapai puncak bukit kehangatan, ia menyapu ujung bukit itu dengan lidahnya, pelan namun pasti. Maksudnya, pasti disantap.
"Aaoouh...!" Candu Asmara memekik dengan rematan kedua tangan semakin kuat ketika ujung bukit itu akhirnya disantap oleh Pendekar Mabuk. Tubuhnya mengejang, bibirnya digigit sendiri dengan kepala menggeliat naik. Suto Sinting memagutnya pelan, pelan, dan pelaaan... sekali.
"Celaka! Aku benar-benar tak bisa hentikan tindakanku ini," pikir Suto sempat tegang juga. "Keinginan menggumulinya semakin besar dan tak bisa kuhindari. Ooh... kalau begitu aku benar-benar telah terkena racun asmara dalam air liurnya itu. Bahaya kalau begini! Bahaya sekali! Aku harus paksakan diri untuk melepaskan cumbuanku dan meminum tuakku!"
Suto Sinting merencanakan hal itu, tapi dalam hatinya masih ada sedikit kesangsian; dapatkah tuak itu melawan racun asmara tersebut?
Candu Asmara resah. Mau pergi sendiri, tak enak. Mau tetap di samping Suto, juga tak enak. Serba salah jadinya. "Pendekar jalang!" gerutunya pelan bernada jengkel, tapi gerutuan itu didengar oleh Pendekar Mabuk.
Hati menjadi tak enak mendengar kecaman tersebut. Suto segera ingat nama besarnya sebagai seorang pendekar. "Masa' seorang pendekar kerjanya nonton begituan? Ah, tak enak hati aku kepada gadis yang baru ku kenal ini. Sebaiknya memang aku harus segera pergi agar tak timbulkan kesan buruk di hati Candu Asmara," ujar Suto dalam hatinya, maka ia pun segera bergegas pergi tinggalkan pemandangan yang sedang panas-panasnya itu.
"Jangan coba-coba menatap mata Dewi Ranjang jika kebetulan kau berpapasan dengannya," kata Candu Asmara sambil teruskan langkah menuju kotaraja.
"Mengapa tak boleh?"
"Ia mempunyai aji pemikat melalui pandangan matanya. Kau bisa kasmaran jika terkena aji pemikatnya itu."
"Kau khawatir?" Suto Sinting sunggingkan senyum menggoda.
"Aku hanya mengingatkan padamu, bukan karena khawatir. Jika kau sendiri punya selera kepada si janda liar itu, silakan saja! Itu urusan pribadimu, bukan urusku."
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan akhirnya berubah menjadi tawa pelan seperti orang menggumam. Candu Asmara bersungut-sungut, tampak sedang menahan rasa malu dan sembunyikan keresahannya.
Menjelang matahari ditelan bumi, Pendekar Mabuk dan Candu Asmara tiba di kotaraja. Gadis itu segera membawa Suto Sinting ke sebuah penginapan. Tentu saja hal itu cukup mengherankan bagi Suto.
"Mengapa aku dibawa ke penginapan?" tanyanya terang-terangan.
Gadis tomboy itu menjawab seenaknya, "Kalau kutahu jalan ke neraka, kubawa kau ke neraka dan kuceburkan ke sana!"
Suto Sinting tertawa geli melihat gadis itu bersungut-sungut. "Maksudku, aku tak punya uang untuk sewa kamar."
"Untuk apa sewa kamar? Kau pikir perempuan apa aku ini?!"
"Mmm... mmm... maaf, aku tidak bermaksud menilaimu jelek, Candu Asmara. Tapi... tapi terus terang saja, tujuanku kemari semula ingin melihat orang-orang yang mencalonkan diri sebagai menantu raja. Tapi segera berubah setelah bertemu adikmu. Tujuanku menjadi ingin melindungimu dari serangan Tengkorak Tampan yang membawa senjata milik gurunya bernama 'Garpu Malaikat' itu. Aku khawatir kau menjadi korban senjata yang kata temanku adalah senjata berbahaya. Lalu..."
"Cukup!" potong Candu Asmara. "Aku mengerti maksudmu. Kalau kau ingin bertemu dengan Tengkorak Tampan, kau bisa temui dia esok hari. Karena esok hari para calon menantu raja berkumpul di alun-alun."
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Kau sendiri tak ingin lanjutkan pembalasanmu terhadap Tengkorak Tampan?"
"Terlambat. Kurasa saat ini ia sudah menjadi tamu kehormatan Paduka Raja. Siapa yang mengusik atau mengganggu tamu istana akan mendapat hukuman dan dianggap bermusuhan dengan pihak Raja Gundalana. Jadi aku tak berani mengusiknya. Tapi jika ia sudah pulang dan tidak lagi menjadi tamu Istana, aku akan bikin perhitungan sendiri padanya!" kata Candu Asmara dengan tegas sekali.
Suto Sinting sangat menyukai nada bicara yang tegas seperti itu. Ketika Suto diajak masuk ke penginapan berlantai dua itu, Candu Asmara sempat berkata dalam nada pelan.
"Aku mencari sahabatku; Cempaka Ayu!"
"Apakah dia sering bermalam di penginapan ini?"
"Dia anak pemilik penginapan ini."
"Ooo..." Suto Sinting manggut-manggut lagi. Ia ingin ajukan tanya, tapi batal karena seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan berpakaian rapi segera menyambut kedatangan Candu Asmara dengan senyum ramahnya.
"Candu Asmara.... Oh, sudah lama kau tak datang menjenguk kami. Mengapa kau menghilang hampir satu purnama, Candu Asmara?!"
"Aku ada urusan yang harus kuselesaikan, Paman! O, ya... perkenalkan, ini sahabatku; Suto Sinting."
Orang yang dipanggil sebagal 'paman' oleh Candu Asmara itu memberikan hormat kepada Pendekar Mabuk, kedua tangannya saling genggam di dada serta badannya sedikit membungkuk. "Selamat datang di penginapanku, Tuan Muda!"
"Terima kasih. Senang sekali aku melihat penginapan sebagus ini, Paman," kata Suto membalas keramahan sang Paman itu.
"Paman, apakah Cempaka Ayu ada?"
"O, dia ada di kamarnya. Datanglah sana ke kamarnya! Kedatanganmu sangat ditunggu-tunggu oleh Cempaka. Heh, heh, heh, heh...!"
Candu Asmara mengajak Suto Sinting menaiki tangga yang tampak dari ruang tamu itu. Ruang tamu tersebut dipakai sebagai kedai yang menyajikan makanan mewah dengan tamu-tamu dari golongan atas. Kala itu, kedai mewah tersebut sedang melayani delapan tamu yang membentuk tiga kelompok berlainan meja. Mereka memandang ke arah Candu Asmara dan Suto Sinting, namun keduanya bersikap tak menghiraukan pandangan para tamu berbusana rapi dan bagus itu.
"Orang yang kupanggil 'paman' tadi adalah ayahnya Cempaka Ayu!"
"Ooo...," Suto hanya menggumam dan manggut-manggut lagi.
"Dia sangat senang jika aku ada di sini, karena berkali-kali aku berhasil mengusir orang-orang yang berniat mengganggu ketenangan para tamu di sini!"
"Rupanya kau petugas keamanan di penginapan ini?!"
"Tak resmi!" jawab Candu Asmara pendek, sambil menelusuri lorong di depan kamar-kamar lantai atas. Sebuah pintu kamar yang letaknya di ujung sendiri diketuk oleh Candu Asmara.
Kemudian seraut wajah cantik berhidung bangir muncul dari balik pintu kamar tersebut. "Candu Asmara...?!" gadis berusia sebaya dengan Candu Asmara itu terpekik girang, kemudian ia memeluk Candu Asmara dalam senyum yang lebar. Matanya sempat beradu pandang dengan Pendekar Mabuk yang masih berdiri di belakang Candu Asmara. Gadis itu segera lepaskan pelukannya dan mulai salah tingkah karena baru sadar bahwa Candu Asmara datang bersama pemuda tampan.
"Cempaka, perkenalkan ini sahabatku; Suto Sinting namanya."
"Ooh...?! Pendekar Mabuk?!" Cempaka Ayu terperanjat dengan mata membelalak.
Suto Sinting hanya anggukkan kepala dalam senyum keramahannya.
"Astaga! Rupanya apa yang kau impikan selama ini benar-benar menjadi kenyataan, Candu Asmara. Kau bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk dan..."
"Ssst...! Tak perlu dibahas lagi soal itu," potong Candu Asmara yang wajahnya menjadi semburat merah karena malu kepada Suto Sinting.
Senyum si tampan itu semakin lebar, hatinya pun menggumam, "Rupanya selama ini Candu Asmara ingin sekali bertemu denganku. Hmm... ketahuan sekarang! Aku yakin saat ini hatinya sangat gembira karena keinginannya bertemu denganku sudah tercapai. Meski berlagak angkuh, tapi ternyata dia menyimpan kegembiraan yang pasti membuat hatinya melonjak-lonjak. Hmm, hmm, hmm...! Perempuan, perempuan... paling pintar menutupi isi hatinya!"
Cempaka Ayu sebentar-sebentar melirik Pendekar Mabuk. Rupanya gadis itu juga menyimpan rasa kagum terhadap ketampanan Suto Sinting. Namun ia menghargai nilai sebuah persahabatan, sehingga tak mau bertingkah yang bukan-bukan di depan Candu Asmara, ia hanya sering berbisik dan mereka tertawa kecil sambil melirik Suto.
"Kebetulan kau datang hari ini, Candu," ujar Cempaka Ayu.
"Mengapa kebetulan?!" tanya Candu Asmara.
Cempaka Ayu melirik ke arah Pendekar Mabuk sesaat. Sepertinya ada sesuatu yang ragu-ragu dikatakan karena keberadaan Suto di tempat itu. Suto jadi tak enak hati.
"Apakah aku harus pergi dulu?" tanya Suto Sinting.
"O, tidak! Tidak perlu," jawab Cempaka Ayu tergesa-gesa. "Ini bukan rahasia lagi. Aku hanya ingin menyampaikan kabar tentang niat Paduka Raja mencarikan menantu yang gagah perkasa dan layak diandalkan sebagai panglima negeri ini."
"Itu sudah kudengar, Cempaka. Esok para calon menantu raja akan dikumpulkan di alun-alun untuk dilihat kemahirannya dalam ilmu kanuragan. Siapa yang ilmunya paling tinggi, itulah yang akan dinikahkan dengan Rara Ayu Kumala, bukan?!"
"Iya. Tapi... tapi rencana itu ternyata harus diubah oleh pihak keluarga istana."
"Mengapa diubah?"
"Kemarin malam Rara Ayu Kumala hilang."
"Hilang...?!" Candu Asmara terperanjat, demikian pula Pendekar Mabuk yang segera berkerut dahi tajam-tajam.
"Seseorang telah menculik Rara Ayu Kumala!"
"Ooh...?! Siapa orang yang menculik putri raja itu?!" tanya Suto Sinting dengan rasa penasaran mendesak dadanya.
"Rara Ayu Kumala diculik oleh tokoh aliran hitam dari Pulau Setan yang bernama Hantu Urat Iblis!"
"Celaka!" sentak Candu Asmara dengan wajah tegang. Agaknya ia sudah mengetahui siapa si Hantu Urat Iblis itu.
Suto Sinting segera berkata, "Tapi mengapa para penjaga di gerbang perbatasan masih menguji tamu yang mau mencalonkan diri sebagai menantu raja?! Bahkan aku sempat diuji oleh mereka!"
Cempaka Ayu menjawab, "Kabar ini belum disebar-luaskan. Tapi ayahku mendengarnya dari kenalannya yang menjadi pejabat istana. Ayah pun wanti-wanti padaku agar tidak bicara pada siapa pun. Tapi kepada kalian aku tak bisa merahasiakannya."
Candu Asmara masih tertegun membayangkan Hantu Urat Iblis, sementara itu Cempaka Ayu menyambung kata-katanya sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Mungkin maksud sang Raja tetap akan menerima calon menantu sebanyak mungkin, karena dengan begitu raja merasa punya banyak dukungan dari orang-orang berilmu tinggi. Karena rencana beliau, esok para calon menantu akan dikumpulkan di alun-alun, dan diberi tahu tentang penculikan tersebut. Raja akan mengubah sayembara, barang siapa yang bisa mengalahkan Hantu Urat Iblis dan membawa pulang putrinya, dialah yang akan dinikahkan dengan sang Putri dan mendapat kedudukan tinggi sebagai panglima tertinggi di negeri ini!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut dalam renungannya.
"Apakah... apakah kau berminat untuk merebut Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis?" tanya Cempaka Ayu kepada Suto.
Candu Asmara segera menyahut sambil menatap Suto tajam-tajam dan bicaranya penuh tekanan. "Hantu Urat Iblis adalah tokoh sesat aliran hitam yang mempunyai ilmu 'Perisai Kubur', kau tak mungkin bisa tumbangkan dirinya!"
"Apa itu ilmu 'Perisai Kubur'?!" tanya Pendekar Mabuk.
"Tak bisa terluka. Setiap kali ia terluka, lukanya akan menutup sendiri dan pulih seperti sediakala. Racun apa pun tak bisa bercampur dengan darahnya."
"Aku ingin mencoba melawannya!"
"Tak perlu, Suto!" sentak Candu Asmara. "Kau akan mati sia-sia jika melawannya!"
Pendekar Mabuk terbungkam dan memendam keheranan. "Mengapa ia jadi berang begitu?! Seandainya aku mati, mengapa tak boleh? Ih, lama-lama aneh juga gadis ini, ya?!"
* * *
LIMA
ALASAN apa yang membuat Hantu Urat Iblis menculik putri raja, hal itu pun menjadi sesuatu yang dipikirkan oleh Pendekar Mabuk. Karenanya, sekalipun ia dan Candu Asmara mendapat satu kamar gratis di penginapan itu, namun Pendekar Mabuk tak bisa cepat tertidur, ia masih terngiang kata-kata Candu Asmara ketika mereka berada di kamar Cempaka Ayu.
"Hantu Urat Iblis bukan saja punya ilmu 'Perisai Kubur', namun juga menguasai ilmu 'Peluh Neraka' yang tidak dimiliki orang lain."
"Apa kehebatan ilmu 'Peluh Neraka' itu?" tanya Suto.
"Pada saat-saat yang ditentukan, ia dapat keluarkan racun melalui peluhnya. Racun ganas yang sangat mematikan itu bercampur dengan keringatnya. Siapapun yang terkena keringatnya walau sedikit saja, maka orang itu akan mati dalam tiga belas hitungan. Repotnya lagi, racun itu tak bisa ditangkal dengan obat penawar racun apa pun."
"Sakti sekali?!" sindir Suto Sinting agak tak percaya. "Siapa sebenarnya si Hantu Urat iblis itu sehingga ia bisa mempunyai ilmu aneh-aneh begitu?!"
"Dia anak haram dari mendiang Nyai Selir Iblis, penguasa Pulau Setan. Menurut cerita dari guruku, Hantu Urat Iblis sejak bayi tak pernah kena sinar matahari, karena hidupnya di ruang bawah tanah. Di sana ia digembleng oleh ibunya sendiri hingga menjadi dewasa. Seluruh ilmu milik ibunya sudah mengalir ke dalam diri Hantu Urat Iblis sejak ia berusia lima tahun. Ketika ibunya tewas, ia muncul di permukaan bumi sebagai pengganti sang Ibu; menjadi penguasa Pulau Setan. Karenanya, dalam usia sekitar empat puluh tahun ini, dia sudah menjadi tokoh yang ditakuti oleh lawan-lawannya, karena ilmunya memang dahsyat!"
"Apakah dia punya guru lain?"
"Tidak! Seluruh ilmu yang diwariskan oleh mendiang ibunya sudah cukup untuk kalahkan beberapa guru dari perguruan-perguruan yang pernah menjadi lawan ibunya semasa hidup."
"Jika ia dikatakan sebagai anak haram, maka sampai sekarang ia tak tahu siapa ayahnya?"
"Kurasa ia sudah tahu," jawab Candu Asmara. "Tapi kurasa ia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Karena menurut cerita guruku, yang pernah menyelidiki kekuatan di Pulau Setan, ternyata Nyai Selir Iblis pernah kencan dengan siluman dari alam gaib. Kencan itu membuahkan keturunan, dan keturunan tersebut adalah si Hantu Urat Iblis."
Beberapa penjelasan itulah yang dicerna terus oleh otak Pendekar Mabuk, hingga malam yang semakin larut dibiarkan lewat begitu saja. Rasa kantuknya belum juga datang walau ia telah berbaring di ranjang yang berseberang dengan ranjangnya Candu Asmara. Sedangkan gadis berpakaian ungu bintik-bintik putih itu tampak sudah tertidur sejak tadi dengan tenang, ia berbaring sambil mendekap pedangnya yang diletakkan di dada. Sebelum ke kamarnya, tadi Suto sempat mengisi bumbungnya dengan tuak yang didapat dari ayah Cempaka Ayu. Kini bumbung tuak itu telah terisi penuh. Namun sebentar-sebentar ditenggaknya, sehingga mulai berkurang sedikit.
"Bagaimana kalau kucoba menembus alam gaib dan mencari ayahnya si Hantu Urat Iblis itu? Barangkali dengan bujukan sang ayah, Hantu Urat Iblis mau melepaskan putri raja," pikir Suto Sinting yang mampu menembus alam gaib karena kekuatan khusus yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah).
"Tetapi... kalau aku pergi sekarang tanpa pamit, pasti Candu Asmara sangat kecewa dan mempunyai penilaian buruk padaku. Sebaiknya kubangunkan saja dia dan aku harus pamit dulu padanya."
Suto Sinting dekati ranjang Candu Asmara. Namun kurang dua langkah dari ranjang, Candu Asmara sudah membuka matanya, terbangun dari tidurnya, namun tetap dalam posisi tenang, walau tangan kanannya secara cepat memegang gagang pedang. Begitu sadar didekati Pendekar Mabuk, tangan yang memegang gagang pedang itu mengendur, gagang pedang dilepaskan, tak jadi dicabut. Kini pedang itu justru digeser ke samping kiri, sejajar dengan tubuhnya.
"Hebat! Ternyata dia sangat peka dengan gerakan. Walau dalam keadaan tertidur, namun dapat segera mengetahui ada sesuatu yang mendekatinya," pikir Suto Sinting merasa kagum terhadap kepekaan Candu Asmara.
Karena ia dipandang oleh gadis itu, maka ia pun sunggingkan senyum berkesan nyengir. Suto jadi tak enak hati, takut dianggap ingin bertingkah kurang ajar, maka ia buru-buru jelaskan maksudnya. "Aku ingin membangunkanmu, bukan ingin bertindak yang bukan-bukan."
Candu Asmara hembuskan napas panjang, tapi ia tetap berbaring dengan mata memandang langit-langit kamar. "Mau apa membangunkan tidurku?"
"Aku mau... mau pamit!"
"Pamit ke mana?"
"Ke alam gaib."
"Edan!" sentaknya pelan, lalu cemberut dan melengos.
Suto Sinting lebih mendekat hingga persis di tepi ranjang. "Akan kucoba menemui siluman yang menjadi ayah si Hantu Urat Iblis itu. Akan kudesak siluman itu agar mau menyuruh anaknya melepaskan putri raja."
"Tidurlah dulu, baru mengigau! Jangan mengigau sebelum tidur, itu tidak baik!" ujar Candu Asmara sambil masih palingkan wajah kedinding.
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum geli mendengar kata-kata Candu Asmara. Wajah cantik itu dipandangi dari samping. Timbul getaran nakal di batin Suto yang membuatnya gelisah. Karena keindahan mata, kemancungan hidung, ketebalan bibir yang serasi itu, sangat menggoda hatinya dan membuatnya ingin usil di wajah halus tanpa jerawat sebutir pun itu.
Lengan si gadis juga dipandangi. Hati pun berdesir kembali, karena lengan itu mempunyai bulu-bulu halus yang samar-samar, seakan mengundang hasrat untuk meraba bulu-bulu itu. Pendekar Mabuk akhirnya menelan ludah sendiri, ia memberanikan diri untuk duduk di tepian ranjang. Ternyata gadis itu diam saja, namun masih berpaling ke arah dinding dan memejamkan mata. Suto yakin, gadis itu tidak tidur. Karenanya ia pun segera mengajaknya bicara dengan suara pelan, agar tak mengundang kebrisikan bagi tamu penghuni kamar sebelah.
"Candu Asmara, aku bicara sungguh-sungguh tentang rencanaku tadi. Sekarang juga aku akan pergi. Kau tetaplah di sini dulu."
Candu Asmara membuka mata, kini wajahnya menjadi agak miring ke kanan, pandangannya tertuju ke wajah Suto Sinting yang tetap sunggingkan senyum tipis di bibirnya. "Rencana apa maksudmu?" tanya Candu Asmara berlagak bodoh.
Sebelum Suto Sinting mengulangi penjelasannya tadi, Candu Asmara sudah bicara lagi lebih dulu. "Kau berhasrat ingin membebaskan putri raja itu? Maksudmu supaya kau dinikahkan dengan Rara Ayu Kumala dan menjadi menantu Raja Gundalana? Kau ingin menjadi panglima tertinggi di negeri ini dengan didampingi istri secantik putri raja itu?!"
Pertanyaan yang beruntun hanya membuat Pendekar Mabuk geli sendiri. Tawanya tak bersuara, tapi jelas-jelas berkesan meremehkan dugaan-dugaan Candu Asmara itu. "Aku..."
"Kalau kau ingin mendapat hadiah seorang istri yang cantik seperti Rara Ayu Kumala, pergilah sana, bebaskanlah dia!" sahut Candu Asmara memotong kata-kata Suto.
Pendekar Mabuk akhirnya diam sambil tetap sunggingkan senyum dan menatap Candu Asmara. Pandangan yang beradu bagai menembus sampat ke dasar hati masing-masing. Candu Asmara merasakan getaran hati menjalar ke seluruh tubuhnya, seakan darah mengalir dengan deras namun punya keindahan yang sulit digambarkan.
Rupanya kebisuan di antara mereka berdua mengubah wajah ketus dan cemberut menjadi sendu. Mata tegar berubah menjadi sayu. Tangan di dada pindah ke pangkuan Suto Sinting. Tangan itu disambut dengan usapan lembut oleh sang Pendekar tampan. Akhirnya tangan itu saling meremas pelan, dan rasa hangat mengalir pula di seluruh tubuh mereka berdua.
"Mengapa kau tampaknya sangat tak setuju jika aku membebaskan putri raja itu?" tanya Suto Sinting yang kini membungkuk, bertumpu siku di pangkuannya, sementara tangan Candu Asmara digenggam dengan kedua tangan, dimainkan dengan usapan pelan-pelan.
"Aku takut kau tidak berhasil, tapi juga takut kalau kau berhasil," jawab Candu Asmara dengan suara lirih, sambil meresapi tiap usapan tangan Pendekar Mabuk.
"Aneh sekali ketakutanmu itu. Gagal takut, berhasil takut?"
"Karena jika kau gagal atau berhasil kita tetap tak akan saling bertemu lagi. Gagal berarti mati, berhasil berarti menjadi menantu raja."
Kepala gadis itu tergolek. Manis sekali. Suto merasa sedang menunggui istrinya yang habis melahirkan. Kebahagiaan seperti itulah yang ada di dalam hati Pendekar Mabuk malam itu.
"Aku tak mungkin gagal, juga tak mungkin menikah dengan putri raja."
"Benarkah?" suara itu agak parau, menambah suasana menjadi semakin romantis saja rasanya.
Suto Sinting anggukkan kepala. "Aku bersumpah tak akan menerima hadiah itu seandainya aku bisa kalahkan Hantu Urat iblis."
"Kau tetap akan bersamaku?"
"Mengapa tidak?" jawab Suto lirih, namun terdengar menggema sampai ke lubuk hati Candu Asmara.
"Kita baru saja bertemu, tapi rasa-rasanya seperti sudah beberapa tahun saling kenal," ucap gadis itu.
"Aku pun merasa demikian. Begitu dekatnya kau dengan hatiku, sampai aku lupa kalau kita baru saja bertemu," balas Suto Sinting, lalu tersenyum menawan, Candu Asmara pun tersenyum manis.
Tangan pemuda tampan itu beranikan diri mengusap rambut Candu Asmara. Ternyata gadis itu tidak menolak, ia bahkan meresapi usapan yang berawal dari kening hingga ke pertengahan rambut itu. Ia meresapi dengan mata terpejam lembut. Kulit halus di pipi kuning itu semakin menggoda Suto Sinting. Mata yang terpejam seakan sebuah isyarat untuk Suto agar bertindak lebih romantis lagi. Maka dengan jantung berdetak-detak cepat, Suto Sinting dekatkan wajahnya. Pipi halus lembut seperti kulit bayi itu diciumnya pelan-pelan. Ceesss...! Seperti salju menetes di ujung hati, begitu indah dan sangat menyejukkan jiwa.
Candu Asmara tidak meronta, ia diam saja, seakan pasrah dengan apa yang akan dilakukan Suto Sinting. Gadis itu masih tak mau membuka matanya, walau sudah dua kali dikecup oleh Suto; pipi dan keningnya. Mungkin ia malu jika membuka matanya dan menatap wajah tampan, atau tak sanggup menahan getaran jiwa yang mengguncang dan bergemuruh di dalam dada. Yang jelas wajah bersih berkulit kuning langsat itu menjadi semburat merah saat dua kali menerima ciuman lembut dari Pendekar Mabuk. Merahnya kulit wajah itu bisa berarti menahan rasa malu atau menahan hasrat yang memburu.
Pendekar Mabuk mengumbar kebahagiaan di hatinya. Ciumannya kembali menghangat di kening Candu Asmara. Ciuman itu merayap pelan-pelan ke mata si gadis. Namun kini kedua tangan Suto memegangi kepala Candu Asmara, mengusap lembut kedua sisi kepala itu dari rambut sampai ke pipi sambil merayapkan ciumannya. Tangan kanan Candu Asmara meremas pinggang Suto Sinting ketika ciuman hangat itu mendekati bibirnya.
"Ooh... Indah sekali caranya menciumku," desah Candu Asmara dalam hatinya.
Namun ketika bibir Suto melintasi hidungnya dan hampir menyentuh bibirnya, Candu Asmara segera membuka mata dan mengelak dengan memalingkan wajah ke samping kiri. Ia bagaikan tak mau dikecup bibirnya. Suto Sinting pun menarik wajah dan memandanginya dengan satu tangan masih mengelus lembut kepala gadis itu. Kini sang gadis menatapnya dengan mata kian sayu.
"Jangan mencium bibirku," katanya dengan suara seperti berbisik.
"Sekali saja," pinta Suto lirih.
"Jangan," sambil Candu Asmara menggeleng.
"Mengapa tak boleh?"
"Berbahaya bagi dirimu."
Suto Sinting lebarkan senyum geli. "Aku bisa menahan hasratku jika kecupan kita makin membara."
"Tak mungkin kau bisa menahan hasratmu jika sudah mengecup bibirku satu kali pun. Tak ada lelaki yang bisa menahan keinginannya. Sekali kau mengecup bibirku, kau akan mengecupnya terus dan selalu ingin berdekatan denganku. Aku tak ingin membuatmu tergila-gila padaku. Karena aku tahu hatimu belum sepenuhnya siap hidup bersamaku."
"Jangan samakan diriku dengan pria lain, Candu Asmara."
"Kau belum tahu apa yang ada di mulutku, juga di ujung bibirku, Suto."
"Keindahan dan kehangatan yang membara, bukan?"
Candu Asmara gelengkan kepala. "Menurut guruku. Air liurku mengandung racun karena aku pelajari ilmu 'Tirta Wicara'. Racun itu jika bersatu dengan air liurmu akan membuatmu selalu ingin bercumbu denganku dan... dan kau akan tergila-gila padaku, Suto."
"Benarkah?"
"Aku tak pernah mencobanya. Sebab itu tak pernah ada lelaki yang mengecup bibirku. Aku takut menyiksa dirinya setelah kecupan itu berakhir."
Tentu saja Pendekar Mabuk tidak percaya sepenuhnya. Rasa percaya dan tidak membuatnya menjadi penasaran, ingin membuktikan. Karena memang begitulah sifat Pendekar Mabuk, mudah penasaran terhadap sesuatu yang membahayakan.
"Aku ingin mencobanya. Aku ingin sekali mengecup bibirmu yang ranum ini," seraya ujung bibir itu disentuh oleh telunjuk Suto Sinting.
"Apakah kau sudah siap untuk keracunan asmara?"
Suto tertawa kecil. "Kalau memang terbukti begitu, tentunya kau tak akan menolak kehadiranku, bukan?"
Candu Asmara diam, sunggingkan senyum tipis, seakan pamer lesung pipit yang kian menggoda hati Pendekar Mabuk. Dada si pemuda kian bergemuruh seperti gejolak gunung yang akan meletus. Bibir itu dipandanginya, makin lama makin menantang keberanian. Suto Sinting pun akhirnya dekatkan wajahnya pelan-pelan.
"Suto, jangan...," larang Candu Asmara dengan suara lembut sekali. Ia menempelkan telunjuknya ke bibir Suto sebagai tanda melarang gerakan bibir mendekati bibirnya sendiri.
"Aku ingin membuktikan kata-katamu, Candu Asmara," desak Suto Sinting yang kian penasaran.
Candu Asmara akhirnya pasrah. "Kau memang bandel. Terserah kau saja. Tanggung sendiri akibatnya, Pendekar Nakal!"
Jari telunjuk itu pun pergi dari bibir Suto Sinting. Wajah pemuda tampan kian mendekat. Candu Asmara pejamkan mata dengan bibir merekah, seakan siap menerima kecupan hangat dari pemuda yang mendebarkan hatinya itu. Akhirnya bibir Suto pun menempel pelan-pelan di permukaan bibir Candu Asmara. Siiiirr...! Hati keduanya sama-sama berdesir indah sekali. Bibir pemuda itu bergeser pelan dengan ujung lidahnya menyentuh samar-samar di permukaan bibir si gadis. Candu Asmara panas-dingin, sentuhan hangat bibir dan lidah Suto membakar gairahnya hingga berkobar-kobar.
"Aih, gila betul! Pandai sekali dia menciptakan sentuhan indah yang membuatku ingin menjerit. Ooh... aku suka sekali dengan keindahan ini! Ternyata lebih indah dari sekadar usapan tangannya yang lembut tadi. Ooh.... Suto, kau telah menjerat hatiku dengan cara seperti ini. Tak sadarkah kau, Suto?" rintih batin si gadis sambil tetap menikmati sentuhan lidah Suto yang bermain nakal di permukaan bibirnya. Akhirnya bibir ranum itu dipagut pelan-pelan oleh Suto Sinting. Pagutan lembut itu bertambah menggetarkan jantung si gadis, sehingga rasa ingin menjerit nyaris tak bisa terbendung lagi.
"Hhmmmhh...," Candu Asmara mengerang dalam gumam. Kedua tangannya meremas baju Suto bagian punggung. Tubuhnya menggelia menahan rasa yang luar biasa nikmatnya. Akhirnya gigi si gadis membuka dan lidah Suto pun disambarnya. Haap...!
"Hhhmmmh...!" desah yang keluar lewat hidung menghamburkan geram menggumam penuh curahan kebahagiaan.
Suto Sinting melumat lidah dan bibir Candu Asmara dengan kelembutan yang terasa menerbangkan jiwa setinggi mungkin. Candu Asmara membalasnya dengan lembut pula, namun kedua tangannya meremas tubuh Suto di sana-sini, seakan ingin merobek baju Suto yang tak berlengan itu. Batin si gadis menuntut kuat. Tuntutan keindahan yang lebih nyata lagi itu dipertahankan mati-matian hingga napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya keluar semua. Hembusan napas kelegaan terlontar bersama erangan memanjang ketika Suto Sinting melepaskan bibir si gadis dan merayapkan ciumannya ke dagu, lalu menelusup ke leher.
"Aaaaaahh...!" Candu Asmara gemas sendiri. Punggung Suto menjadi sasaran remasan kegemasannya lagi. Tapi ia tak mau menyingkirkan wajah Suto yang menelusup di lehernya. Bahkan ia memiringkan kepala, membuat lehernya menjadi kian terbuka sehingga Suto Sinting memperoleh kebebasan bergerak. Leher itu disapu dengan lidah Suto, sesekali dipagut-pagut kecil dalam kelembutan yang memancarkan gairah berlebihan bagi Candu Asmara.
"Sutooo... uuuhh, hhek, heek, heek...," Candu Asmara merengek seperti anak kecil, ia merasa semakin hanyut, terbang di langit tingkat tertinggi, lupa segala-galanya, hanyut dalam kemesraan yang belum pernah diperolehnya, walau dulu ia pernah mempunyai seorang kekasih yang bernama Umbada. Tapi Umbada tak pernah mendapatkan kesempatan seperti yang diperoleh Suto. Candu Asmara tak pernah mau berciuman dengan Umbada, karena Umbada tak pandai menundukkan jiwanya.
Sementara itu, hati Pendekar Mabuk sendiri berkecamuk dalam keheranan. Hasratnya ingin mencium tubuh Candu Asmara tak bisa ditangguhkan sebentar pun. Bahkan semakin lama semakin bersemangat, dan gairahnya semakin berkobar-kobar.
"Edan! Aku tak bisa berhenti?! Padahal aku ingin berhenti sebentar saja untuk menarik napas, tapi rasa-rasanya sulit sekali untuk berhenti. Ooh... sekujur tubuhku penuh dengan keringat dingin. Gairahku meledak-ledak di dalam dada. Apakah karena racun dalam air liurnya? Oh, pantas dia bernama Candu Asmara, rupanya siapa pun yang pernah mengecup bibirnya akan kecanduan bermain cinta dengannya. Aduh, bagaimana berhentinya kalau begini?!"
Candu Asmara sendiri hanya bisa mengerang dan merintih-rintih ketika ciuman Suto merayap sampai ke belahan dada. Ia biarkan tangan Suto melebarkan bajunya hingga baju itu terlepas. Dada berlapis kutang tipis diterjang ciuman Pendekar Mabuk, sampai akhirnya mulut Pendekar Mabuk itu mencapai puncak bukit kehangatan, ia menyapu ujung bukit itu dengan lidahnya, pelan namun pasti. Maksudnya, pasti disantap.
"Aaoouh...!" Candu Asmara memekik dengan rematan kedua tangan semakin kuat ketika ujung bukit itu akhirnya disantap oleh Pendekar Mabuk. Tubuhnya mengejang, bibirnya digigit sendiri dengan kepala menggeliat naik. Suto Sinting memagutnya pelan, pelan, dan pelaaan... sekali.
"Celaka! Aku benar-benar tak bisa hentikan tindakanku ini," pikir Suto sempat tegang juga. "Keinginan menggumulinya semakin besar dan tak bisa kuhindari. Ooh... kalau begitu aku benar-benar telah terkena racun asmara dalam air liurnya itu. Bahaya kalau begini! Bahaya sekali! Aku harus paksakan diri untuk melepaskan cumbuanku dan meminum tuakku!"
Suto Sinting merencanakan hal itu, tapi dalam hatinya masih ada sedikit kesangsian; dapatkah tuak itu melawan racun asmara tersebut?
* * *
ENAM
TERNYATA kesaktian tuak Suto masih mampu melumpuhkan racun cinta tersebut. Dengan menenggak tuak beberapa teguk, hasrat ingin bercumbu secara berlebihan dapat dihentikan. Bahkan tuak itu mampu meredam emosi cinta Candu Asmara, sehingga keduanya sama-sama tegang, hanya saling berpelukan dalam damai. Pelukan damai itu, melebihi puncak keindahan bercumbu. Pelukan damai itu terasa lebih agung dan sangat berkesan dalam hati mereka masing-masing. Terasa sulit melupakan saat-saat bahagia dalam pelukan seperti itu.
Pusat perhatian mereka beralih ke masalah penculikan putri raja. Mereka ikut hadir di alun-alun bersama para calon menantu raja yang jumlahnya cukup banyak itu. Namun Suto dan Candu Asmara tidak ikut berkumpul di tengah alun-alun. Mereka hanya berada dalam jajaran rakyat yang menyaksikan wajah-wajah calon menantu raja mereka.
"Itu yang bernama Tengkorak Tampan," bisik Candu Asmara sambil menunjuk ke arah pemuda berbaju merah, rambut kucal, tubuh kurus, namun masih tampak muda, seperti berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Suto Sinting hanya menggumam sambil manggut-manggut. Menurutnya, pemuda berpakaian serba merah dengan punggungnya bergambar tengkorak warna putih itu memang mempunyai wajah yang lumayan tampan dibandingkan Sawung Kuntet. Tapi melihat bentuk matanya yang kecil, Suto dapat pastikan bahwa pemuda itu penuh kelicikan.
Di samping Tengkorak Tampan, Suto melihat wajah angker berbadan tinggi, besar, berbulu, ia adalah si Singawulu yang pernah berhadapan dengan Suto saat menyelamatkan nyawa Sawung Kuntet. Hanya beberapa orang yang berwajah angker, lainnya pada umumnya mempunyai wajah yang bisa dibilang lumayan ganteng.
"Gila! Bocah gendeng itu ada di sana juga rupanya?!" gumam Suto Sinting dengan terperangah.
"Siapa maksudmu?"
"Santana, sahabatku dari Pulau Parang," jawab Suto sambil menuding ke arah pemuda bersenjata toya bambu kuning yang mengenakan rompi putih celana coklat itu. Pendekar Mabuk geli sendiri saat membayangkan pertemuannya dengan Santana, si pemuda kalem dan murah senyum itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Kematian Sang Durjana).
Pendekar Mabuk segera tertarik pada seorang pemuda bertubuh lebih tinggi darinya, berbadan kekar dan bercambang halus. Wajah tampannya dihiasi dengan kumis tipis dan rambut bergelombang sepanjang bahu. Pemuda yang mengenakan pakaian hijau muda dengan hiasan benang emas itu diperkirakan baru berusia sekitar dua puluh tahun. Tapi karena perawakannya yang tinggi dan kekar, ia tampak seperti sudah berusia lebih dari dua puluh tahun. Wajah bocahnya masih tampak jelas, sehingga orang dapat menduga bahwa ia masih muda belia.
"Siapa pemuda yang berdiri di bawah pohon itu?"
"Oh, dia...?! Dia dikenal dengan nama si Pedang Dewa, murid Perguruan Jari Wasiat, berasal dari Selat Kubang. Aku kenal dengannya ketika adikku; Mirah Cendani hampir mati di tangan para Perampok Gunung Sawan. Dia yang selamatkan Mirah Cendani," jawab Candu Asmara dengan lancar. Tapi tiba-tiba wajah gadis itu sedikit menegang. Seseorang yang berjalan dari arah kanan Suto menjadi pusat perhatian. Candu Asmara pun berbisik kepada Suto dengan lagak tak memperhatikan orang tersebut. "Kita pindah ke sebelah sana saja, dekat Cempaka Ayu!"
"Kenapa?" tanya Suto heran.
"Pindah saja ke sana!" sambil Candu Asmara menarik tangan Suto. Ketika pemuda itu menaruh curiga dengan pandangan si gadis dan ingin berpaling ke belakang, Candu Asmara buru-buru menyentak dengan suara bisik.
"Jangan menengok ke belakang! Jangan menengok!"
"Hei, ada apa sebenarnya, Candu Asmara?!"
"Dewi Ranjang melihatmu dan dia berusaha mendekatimu!" bisik Candu Asmara yang membuat Suto Sinting jadi tersenyum geli.
Rasa takut Candu Asmara terhadap aji pemikat di mata Dewi Ranjang membuatnya sempat tampak gugup. Suto tahu, Candu Asmara sangat takut jika Suto terkena aji pemikat Dewi Ranjang. Sebab itu, Suto tak berani coba-coba melirik Dewi Ranjang, karena Candu Asmara akan berang terhadapnya jika nekat melakukan hal itu.
Candu Asmara berpindah posisi. Kini ia berjalan dibelakang Suto Sinting dan mengarahkan langkah Suto untuk pindah tempat. Dengan begitu, ia seolah-olah menjadi penghalang utama jika Dewi Ranjang ingin mendekati Pendekar Mabuk.
Setelah mereka bergabung dengan Cempaka Ayu yang berdiri bersama kekasihnya, maka pusat perhatian mereka pun tertuju pada utusan dari istana yang mewakili Raja Gundalana. Sang utusan tampil di atas panggung lebar yang sebenarnya disediakan untuk pertarungan laga bagi para calon menantu raja. Dari atas sana sang utusan berseru mengumumkan tentang hilangnya Rara Ayu Kumala Undarini Sumbi yang diculik oleh Hantu Urat Iblis.
Suara gemuruh terdengar bagai ratusan lebah menyerang alun-alun. Suara gemuruh itu berasal dari gumam, gerutu dan kecaman dari para calon menantu raja dan rakyat di sekeliling alun-alun. Mereka sangat terkejut, sekaligus kecewa dengan munculnya musibah yang baru sekarang diketahui oleh mereka itu.
"Tepat malam purnama yang akan datang dua hari lagi, Hantu Urat iblis memberi kesempatan kepada siapa saja yang ingin mencoba merebut Gusti Rara Ayu Kumala dari tangannya. Hantu Urat Iblis menunggu di Bukit Kecubung dan siap lakukan pertarungan dengan siapa pun. Jika tak ada yang bisa menumbangkan dirinya, maka Gusti Rara Ayu Kumala akan diboyongnya ke Pulau Setan dan dijadikan istrinya secara paksa."
"Bangsaaat...!" teriak Singawulu dengan keras, membuat ia diperhatikan oleh setiap orang. Singawulu tampak marah sekali dan sangat bernafsu untuk membunuh Hantu Urat Iblis.
Suto Sinting justru tertawa geli mendengar makian Singawulu yang sangat kecewa itu. Dalam benak Suto terbayang semangat Singawulu saat hendak menuju ke kotaraja, seakan ia yakin betul bahwa dirinya yang akan menjadi menantu Raja Gundalana. Tapi kenyataannya ia justru mendapat kabar seperti itu, dan Suto dapat bayangkan betapa besar kekecewaan Singawulu saat itu.
Utusan raja berseru lagi, "Karenanya, Paduka Raja memutuskan, barang siapa yang bisa membebaskan Gusti Rara Ayu Kumala dan membawanya pulang dengan selamat, dialah yang akan menjadi menantu Paduka Raja dan diangkat sebagai panglima tertinggi di negeri Bardanesya ini!"
"Aku sanggup!" seru salah seorang peserta.
"Aku juga sanggup! Kau pikir kau saja yang sanggup?!" bantah orang di sebelahnya.
"Jangan besar mulut, Kawan! Buktikan, siapa di antara kau atau aku yang berhasil tumbangkan si Hantu Urat iblis itu!"
"Eh, kau meremehkan aku, ya?!" bentak orang kedua tadi.
"Kalau iya mau apa kau, hah?!" orang pertama juga tampak berani.
"Hei, hei, hei...! Jangan ribut di sini!" sentak yang lainnya. "Kalau mau ribut di Bukit Kecubung sana!"
Mereka melerai, Suto Sinting memandang dengan tertawa geli. Pendekar tampan itu masih tetap tenang dan seakan tidak ikut terlibat dalam rencana pertarungan di Bukit Kecubung itu. Ia bahkan berbisik kepada Candu Asmara dengan pelan.
"Dapatkah aku menghadap Raja Gundalana?!"
"Untuk apa?"
"Ada beberapa hal yang ingin kuketahui tentang hubungan raja dengan Hantu Urat Iblis," jawab Suto dengan serius, sehingga Candu Asmara pun menanggapi dengan serius pula. Bisikan itu didengar oleh Cempaka Ayu, kemudian Cempaka Ayu ikut angkat bicara dalam bisikan pula.
"Kurasa untuk saat seperti sekarang ini, siapa pun sulit menemui raja, karena beliau dalam keadaan sangat berduka. Sebaiknya jika ada sesuatu yang ingin kau ketahui, tanyakanlah kepada Paman Sumanjaya!"
"Siapa itu Paman Sumanjaya?" tanya Suto.
"Sahabat ayahku yang sering berkunjung untuk makan di penginapanku."
"Oooo..," Suto manggut-manggut. "Apakah Paman Sumanjaya mengetahui hubungan pribadi antara raja dengan Hantu Urat Iblis?"
"Menurutku... beliau tahu banyak tentang keluarga istana, karena beliau adalah penasihat raja dalam bidang hukum dan adat."
"Kurasa memang lebih baik bicara kepada Paman Sumanjaya saja," timpal Candu Asmara. "Menghadap raja tidak mudah. Bisa-bisa kau dicurigai sebagai anak buah Hantu Urat Iblis!" sambil Candu Asmara sunggingkan senyum cantiknya yang membuat Suto Sinting berdebar-debar, lalu balas memamerkan senyum menawannya.
Paman Sumanjaya bertemu dengan Pendekar Mabuk di kedai penginapan milik keluarga Cempaka Ayu. Pendekar Mabuk didampingi oleh Candu Asmara yang sudah dikenal oleh Paman Sumanjaya. Tetapi sebelumnya Suto mewanti-wanti kepada Candu Asmara dan Cempaka Ayu agar jangan memperkenalkan dirinya sebagai Pendekar Mabuk. Ia hanya bersedia dikenalkan sebagai sahabat Candu Asmara yang bernama Sutosaja.
"Mengapa kau tak mau diperkenalkan sebagai Pendekar Mabuk. Menurutku, jika Paman Sumanjaya mengetahui bahwa kau Pendekar Mabuk, maka ia tak segan-segan menceritakan apa saja yang ingin kau ketahui. Namamu sudah sering disebut-sebut oleh para prajurit dan pejabat istana," kata Cempaka Ayu.
"Justru aku tak ingin mereka terlalu menaruh harap padaku," ujar Pendekar Mabuk. "Jangan katakan kalau aku pun ingin mencoba membebaskan putri raja. Katakan saja bahwa aku dan Candu Asmara hanya sekadar ingin tahu tentang penculikan tersebut."
Candu Asmara menimpali lagi, "Kalau hanya itu aku sendiri yang bicara kepada Paman Sumanjaya!"
Orang yang bernama Paman Sumanjaya itu berbadan gemuk dan tinggi tubuhnya sedang-sedang saja. Kebiasaannya makan siang di kedai tersebut bukan lantaran di istana tidak mendapat jatah makan, tetapi sekadar ingin selalu bertemu dengan ayahnya Cempaka Ayu dan menambah porsi makannya. Sebab jika ia makan terlalu banyak di istana, merasa malu terhadap pejabat lainnya.
"Penculikan itu dilakukan pada tengah malam," ujar Paman Sumanjaya mengawali ceritanya. "Tak seorang pun yang terbangun pada malam itu, sehingga tak seorang pun yang melihat jalannya penculikan tersebut. Kami seperti dibius dengan suatu ilmu yang membuat kami tertidur nyenyak sekali. Bahkan penjaga pintu gerbang istana pun ikut tertidur sampai pagi baru bangun."
"Dari mana pihak istana tahu kalau Hantu Urat Iblis menunggu di Bukit Kecubung?"
"Selembar surat ditinggalkan di dalam kamar Gusti Rara Ayu Kumala," jawab Paman Sumanjaya.
Kini Suto Sinting giliran ajukan pertanyaan kepada sang penasihat raja bidang hukum itu. "Apakah sebelumnya pihak raja sudah kenal dengan Hantu Urat Iblis, Paman?"
"Sudah," jawabnya tegas. "Hantu Urat Iblis pernah datang melamar Rara Ayu Kumala, tapi lamarannya ditolak secara halus."
"Secara halusnya bagaimana?"
"Rara Ayu Kumala mau menerima lamaran Hantu Urat Iblis jika diberi maskawin seekor kelinci emas."
"Mana ada kelinci emas?" sela Suto sambil tertawa dalam senyum.
"Justru itulah putri raja memberi syarat yang tak mungkin bisa dikabulkan oleh Hantu Urat Iblis."
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam sambil manggut-manggut. "Kalau begitu, rupanya Hantu Urat Iblis merasa sakit hati dengan penolakan lamarannya itu, kemudian ia mendengar sang Raja mencari calon menantu. Sebelum calon menantu didapatkan, ia menculik Rara Ayu Kumala. Menurutku selain ia sakit hati juga ingin membuktikan bahwa ia mampu bertindak dengan cara apa pun untuk dapat memperistri Rara Ayu Kumala."
"Ya, memang begitulah kesimpulan kami, para pejabat Istana!" ujar Paman Sumanjaya.
"Tapi sebelumnya tak ada perjanjian apa-apa, bukan?"
"Perjanjian apa maksudmu, Nak?"
"Misalnya, sang Raja pernah berjanji tidak akan mengawinkan putrinya dengan siapa pun sebelum Hantu Urat Iblis mendapatkan kelinci emas, atau perjanjian lainnya yang bersifat mengikat kebebasan keluarga istana?"
"O, tidak! Tidak pernah ada perjanjian apa pun."
Suto Sinting manggut-manggut, lalu diam termenung beberapa saat. Sementara itu, Candu Asmara ganti ajukan tanya kepada Paman Sumanjaya.
"Paman, jika seseorang berhasil merebut Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis, tapi dia tidak bersedia menikah dengan Rara Ayu Kumala, apa sanksinya?"
"Tak ada sanksi apa-apa. Tak ada hukuman apa-apa! Justru pihak istana akan merasa tak enak hati dan pasti akan menuruti apa pun permintaan orang tersebut sebagai hadiahnya."
"Nanti dianggap penghinaan?!" timpal Suto Sinting dengan nada cemas, karena ia pernah nyaris dianggap menghina keluarga istana karena menolak hadiah berupa perkawinan terhadap putri sang penguasa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Asmara Darah Biru).
"Kurasa tidak demikian, Nak. Perkawinan itu hanya semacam hadiah saja. Karena orang yang membebaskan sang Putri belum tentu semuanya bermaksud melamar ingin menjadi menantu raja. Peraturannya sudah berbeda dengan peraturan semula. Sekarang siapa pun, tua atau muda, lelaki atau perempuan, boleh ikut membebaskan Rara Ayu Kumala. Pihak istana punya kebijaksanaan tersendiri dalam hal ini." "Paman berani menjamin tak ada kesan penghinaan jika ada yang berhasil membebaskan Rara Ayu Kumala tapi tidak mau menikah dengannya?" sela Candu Asmara.
"Ya. Aku berani menjamin! Apakah kau tak tahu yang merumuskan ketentuan dan hukum adalah diriku, Candu Asmara?"
Candu Asmara merasa lega, demikian pula Pendekar Mabuk. Tapi bagi Paman Sumanjaya, pertanyaan itu akhirnya menjadi buah ganjalan hatinya.
"Mengapa kalian mempersoalkan tentang itu? Apakah ada yang ingin membebaskan putri raja tapi tak ingin menikah dengannya?!"
Suto Sinting buru-buru menjawab pada saat bibir Candu Asmara mulai bergerak ingin lontarkan kata. "O, tidak! Kami hanya ingin tahu saja, Paman. Kami tertarik dengan peristiwa itu dan ingin mengikuti sampai di mana akhir dari penculikan tersebut. Adakah para calon menantu raja yang mampu merebut sang Putri dari tangan Hantu Urat Iblis? Hanya itu yang ingin kami ketahui, Paman."
"Kita lihat saja pada malam purnama nanti!" kata Paman Sumanjaya, seakan yakin bahwa salah satu dari para tamu istana itu ada yang berhasil bebaskan Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis.
Candu Asmara sendiri akhirnya tertarik untuk melihat pertarungan di Bukit Kecubung. Para jago dari pelosok penjuru dunia datang untuk melawan Hantu Urat Iblis. Bahkan menurut Paman Sumanjaya, para pelamar itu ada yang datang dari Pegunungan Tibet dan Tanah Gangga. Suatu kerugian besar jika Candu Asmara tidak ikut menyaksikan pertarungan di Bukit Kecubung itu.
Selama dua malam Suto Sinting menginap di penginapan milik ayahnya Cempaka Ayu itu. Selama dua malam itu, bunga-bunga asmara berhamburan di kamar yang tak seberapa lebar. Namun gadis berhidung mancung itu tetap tak ingin lanjutkan cumbuan mereka menjadi pelayaran cinta yang mendebarkan. Suto Sinting pun tak merasa kecewa dan merasa lebih bangga dapat memeluk Candu Asmara sepanjang malam tanpa menodai cinta dan kesetiaannya terhadap Dyah Sariningrum.
"Jangan bertindak dulu sebelum jelas bahwa tak satu pun dari mereka yang mampu merebut Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis," ujar Candu Asmara sebelum mereka berangkat ke Bukit Kecubung.
"Aku memang bermaksud begitu. Kalau memang ada yang mampu menumbangkan Hantu Urat Iblis, aku justru senang, karena tak perlu repot-repot lompat sana-sini melawannya."
Candu Asmara hembuskan napas lega. Tapi ketika mereka berangkat menuju bukit tersebut pada awal purnama tiba, Candu Asmara tampak gelisah. Ada suatu kecemasan yang disembunyikan oleh gadis cantik bertubuh tinggi sekal itu.
"Mengapa kau kelihatannya resah, Candu Asmara?" tegur Suto yang merasa janggal atas jarangnya Candu Asmara bicara sepanjang perjalanan itu.
"Aku takut kalau kau tumbang di tangan Hantu Urat Iblis! Aku... aku tak ingin kau mati di tangannya!"
Suto Sinting tertawa kalem. "Bukankah kau dapat bertindak secepatnya jika aku tampak terdesak bahaya?! Kita bisa lari bersama, heh, heh, heh."
"Aku yakin kau tak akan mundur walau sudah tahu kalau terdesak. Kau adalah seorang pendekar, jiwamu tak mungkin menyerah begitu saja. Kau lebih baik mati di pertarungan daripada lari daripertarungan!"
"Betulkah jiwaku begitu? Oh, aku sendiri justru baru tahu sekarang," ujar Pendekar Mabuk dengan santainya, seakan tak mempunyai ketegangan sedikit pun. Ketenangan Suto itu justru membuat Candu Asmara jadi kesal sendiri di dalam hatinya. Gadis itu tak mau sunggingkan senyum seulas pun walau Suto menggodanya dengan canda. Sampai mereka tiba di Bukit Kecubung, gadis itu masih tak mau tersenyum. Namun ketenangannya mulai terlihat sejak ia melihat gurunya ternyata hadir di situ pula bersama Mirah Cendani dan Sawung Kuntet,
"Lihat, di sebelah sana ada adikmu dan Sawung Kuntet!"
"Ya, aku tahu. Kita ke sebelah sini saja. Kalau Guru tahu aku di sini, pasti akan melarangku ikut campur dalam pertarungan ini. Padahal kalau kau maju melawan Hantu Urat Iblis dan keadaanmu terdesak, aku tetap akan ikut campur dalam pertarungan nanti!"
Candu Asmara sengaja tidak temui gurunya. Tapi ia yakin, jika ia ikut campur dan dalam bahaya, pasti sang Guru tidak akan tinggal diam. Rupanya kabar tentang malam pertarungan itu cepat menyebar ke mana-mana sampai Eyang Cakraduya mengetahuinya. Terbukti, bukan hanya para calon menantu raja saja yang hadir di Bukit Kecubung itu, melainkan beberapa tokoh dari berbagai penjuru ikut datang menyaksikan ulah si anak siluman yang kala itu belum datang.
Ketika bukit tersebut sudah ramai dikunjungi orang, maka angin besar berhembus bagaikan badai di awal kiamat tiba. Suara deru angin yang disertai dengan kilatan cahaya petir membuat beberapa orang, terutama yang berilmu rendah, sempat merinding dan bergidik. Mereka memandang ke arah langit. Tampak cahaya biru petir yang melesat di sana-sini dengan gelegar suaranya yang menggema di sana-sini.
"Biasanya ini pertanda si Hantu Urat Iblis datang bersama murkanya," bisik Candu Asmara kepada Suto Sinting. Mata pemuda tampan murid si Gila Tuak itu menatap ke sana-sini, hatinya penasaran ingin segera melihat sosok tokoh aliran hitam yang dikenal sebagai Hantu Urat Iblis itu.
* * *
TUJUH
TIDAK seorang pun mengetahui kehadiran Hantu Urat Iblis. Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang lelaki berjubah hitam dan bercelana merah. Jubah hitamnya yang tanpa lengan itu berkelebat ditiup sisa badai misterius tadi. Kini cahaya purnama tampak semakin terang dan menyinari sesosok tubuh yang tak terlalu gemuk, tapi juga tak terlalu kurus. Pandangan mata mereka tertuju pada seraut wajah pucat yang punya ketampanan tersendiri. Wajah pucat berambut sepunggung warna abu-abu itu mempunyai kulit tubuh warna putih dengan garis-garis biru sebagai bayangan urat nadi yang tampak jelas karena ketipisan kulitnya.
"Diakah yang bernama Hantu Urat Iblis?" bisik Suto kepada Candu Asmara.
"Benar! Dialah orangnya!" Candu Asmara menjawab dengan suara sedikit terasa tegang.
Tapi Pendekar Mabuk memandang dengan sikap tenang sekali, ia memperhatikan sosok Hantu Urat Iblis dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ia tak melihat orang tersebut membawa senjata, selain keruncingan pada kuku-kuku tangannya. Hanya orang-orang berilmu tinggi yang sering merasa malas membawa senjata, karena seluruh anggota tubuhnya dapat berubah menjadi senjata maut perenggut nyawa lawannya.
"Atau memang dia tak mempunyai senjata?" ujar hati Suto Sinting dengan usil.
Bukit Kecubung termasuk bukit gundul tanpa hutan. Ketinggiannya memang tak seberapa, tapi permukaan puncaknya sangat datar, mirip sebuah lapangan bola. Di puncak itu hanya ada satu pohon yang tumbuh tinggi, seperti pohon jati tapi daunnya mirip beringin. Di pohon itulah, Rara Ayu Kumala tahu-tahu sudah terikat begitu mereka mengetahui Hantu Urat Iblis sudah tiba di tempat tersebut. Gadis cantik itu terikat tubuhnya dalam keadaan menangis terisak-isak. Namun ia masih sehat dan tak ada luka sedikit pun pada tubuhnya.
"Gusti Ayu Kumala... apakah dia sudah menodaimu?!" seru Tengkorak Tampan.
"Belum! Tapi aku takut... oh, tolonglah aku...!" seru Kumala Udarini Sumbi.
"Apakah dia menyakitimu?!" seru pemuda yang lain.
"Tidak. Dia... dia hanya menyekapku dan sekarang mengikatku di sini! Tolong bebaskan diriku!" sambil sang gadis menangis ketakutan.
Cahaya rembulan bersinar penuh. Malam bagaikan siang. Terang sekali. Angin berhembus sedang dengan kecepatan tak perlu disebutkan. Yang jelas, rambut panjang Hantu Urat Iblis meriap-riap dipermainkan angin. Sebagian ada yang menutup wajah, membuat wajahnya menjadi tampak menyeramkan. Sorot pandangan matanya sangat dingin, seakan mampu membekukan seluruh darah orang yang dipandangnya.
Utusan dari istana maju, bicara dengan Hantu Urat Iblis dengan gemetar. "Hantu Urat Iblis, apakah kau tak menyesal membuka tantangan pertarungan di sini dengan para pelamar ini?!"
"Jangan banyak mulut! Siapa yang merasa mampu menjadi istri Kumala, tunjukkan padaku kehebatannya! Hantu Urat Iblis berkuasa atas diri gadis yang sudah lama kuidam-idamkan ini! Siapa pun tak berhak memilikinya!"
"Baiklah, itu urusanmu. Kalau sakit, kau sendiri yang menanggung. Para pelamar kebanyakan orang-orang galak dan..."
Claaap...! Tiba-tiba dari mata Hantu Urat Iblis keluarkan sinar merah berbentuk seperti pintu runcing. Sinar itu melesat cepat dan menghantam dada utusan dari istana. Zuuurb! Orang itu diam saja, tapi mulutnya tetap ternganga tak bisa ditakupkan lagi. Ia tak menjerit kesakitan, walau beberapa orang mengetahui dada utusan istana itu menjadi hitam hangus selebar telapak tangan.
"Minggirlah, Ki Juru Wicara... biar aku yang menghadapinya pertama kali!" ujar seorang pemuda berbaju biru tua kepada utusan dari istana itu.
Tetapi pemuda tersebut segera tercengang setelah mengetahui bahwa Ki Juru Wicara ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Wajah pemuda itu menegang dan ia segera berseru kepada orang di sekitarnya. "Dia sudah tak bernyawa?! Dia langsung mati?!"
"Kejam!" geram Singawulu yang tampak sudah tak sabar lagi. Singawulu tiba-tiba melesat dalam satu lompatan. Wuuut...! Jleeg...! Ia berdiri di depan Hantu Urat Iblis dalam jarak lima langkah. "Lepaskan putri raja atau kulepaskan kepalamu dari ragamu!" ancam Singawulu sambil melepas sabuk pusakanya.
Hantu Urat Iblis tak menjawab. Hanya saja, Singawulu tiba-tiba menggeragap bagai diterjang bayangan hitam yang membuat matanya gelap sesaat. Wuuus...! Tanpa suara teriak atau menggeram, Singawulu tahu-tahu sudah berada di tanah, terkapar dalam keadaan sekarat. Dadanya rusak tercabik kuku tajam. Sedangkan Hantu Urat Iblis sudah berada di tempat yang tadi dibelakangi Singawulu.
"Edan! Gerakannya seperti setan ketakutan?!" gumam seorang penonton di samping Suto Sinting.
"Gerakan setan yang tidak ketakutan saja sudah secepat itu, apalagi setan yang ketakutan, ya?" timpal temannya.
Beberapa orang sempat tertegun melihat Singawulu kejang-kejang beberapa saat, kemudian napasnya menghembus panjang, dan sejak saat itu tak mau bernapas lagi.
"Gila! Alangkah singkatnya pertarungan itu. Belum apa-apa Singawulu sudah tewas, padahal baru melepaskan sabuknya?!" gumam Suto Sinting pelan sekali dan didengar oleh Candu Asmara.
Gadis itu berkata, "Begitulah cara Hantu Urat Iblis jika bertarung. Tak pernah pakai basa-basi dulu, tahu-tahu lawannya tewas tanpa sempat lakukan perlawanan sedikit pun."
"Ssst...! Lihat, pemuda yang pernah menolong adikmu itu sudah mencabut pedangnya. Pasti dia akan menyerang lebih dulu," bisik Suto, dan baru saja bisikan tersebut berhenti, ternyata pemuda tinggi berambut ikal yang bergelar si Pedang Dewa sudah berkelebat menerjang Hantu Urat Iblis.
Wees...! Craas...!
Terjangan dari belakang membuat Hantu Urat Iblis terkena sabetan pedang. Punggungnya tampak koyak lebar. Tetapi beberapa orang yang berada di arah belakang Hantu Urat Iblis segera tercengang melihat luka itu berasap tipis dan bergerak menutup sendiri secara pelan-pelan. Akhirnya punggung tersebut utuh kembali tanpa luka seujung rambutpun. Hanya saja pakaian hitam Hantu Urat Iblis tetap saja robek, tanpa ada yang menjahitnya, baik secara ajaib maupun nyata.
"Itulah ilmu 'Perisai Kubur'-nya," bisik Candu Asmara.
Suto hanya menggumam kecil dan tetap tenang. Matanya tertuju pada si Pedang Dewa yang memainkan pedangnya dengan gerakan indah. Hantu Urat Iblis hentakkan kakinya dari jarak lima langkah. Duuhk...! Brruuus...!
"Aaaaa...!!" jeritan si Pedang Dewa terdengar menyayat hati. Tanah yang dipijaknya itu longsor ke dalam bukit. Tubuhnya bagai tersedot ke dalam. Setelah itu tanah tersebut muncul kembali dan menjadi datar lagi. Bahkan menjadi keras seperti tak pernah longsor sedikitpun.
"Celaka!" ujar Candu Asmara. "Si Pedang Dewa tewas ditelan bumi?! Padahal dia pernah menolong adikku. Aku harus..."
Suto Sinting mencekal lengan gadis itu. "Ingat, kau hanya akan ikut campur jika aku dalam bahaya!"
Candu Asmara akhirnya hembuskan napas, tak jadi lakukan tindakan pembalasan terhadap nasib si Pedang Dewa, karena ingat akan janjinya. Perhatian gadis itu segera diarahkan kepada si Tengkorak Tampan. Karena pemuda berbaju merah dengan gambar tengkorak di punggungnya itu segera lakukan lompatan bersalto cepat ke arah Hantu Urat Iblis. Wuk, wuk, wuk...! Sambil bersalto ia mencabut senjata milik gurunya; 'Garpu Malaikat' yang selama ini dianggap sebagai senjata sangat berbahaya.
Gerakan salto itu berhasil dihindari oleh Hantu Urat Iblis dengan melompat ke samping kanan. Wees...! Jleeg...! Tepat saat kaki Tengkorak Tampan menapak ke tanah, 'Garpu Malaikat' disentakkan ke depan. Wuuut! Claaap...! Dari ujung kedua mata garpu itu keluar sinar merah sebesar lidi yang bergerak dengan sangat cepat. Jleeb...! Sinar itu menghujam dada Hantu Urat Iblis.
"Uuhk ?!" Hantu Urat Iblis sempat terpekik dan limbung ke belakang beberapa langkah. Tapi kejap kemudian ia menjadi tegak kembali dan lubang bekas luka kedua sinar merah itu telah mengatup dengan sendirinya.
"Keparat kau, Iblis!" geram Tengkorak Tampan, lalu ia lakukan lompatan menerjang dengan senjata disabetkan dari bawah ke atas. Weees...!
Hantu Urat Iblis berguling ke tanah satu kali, lalu tangannya menampar ke atas, mengenai kaki si Tengkorak Tampan. Plaak...! Suara tamparan itu tak seberapa keras, namun akibatnya sungguh berbahaya bagi si Tengkorak Tampan.
Pada mulanya pemuda itu masih mampu berdiri tegak dan memainkan jurusnya untuk siap lakukan serangan kembali. Tapi tiba-tiba ia menggeloyor mau jatuh. Tubuhnya terasa menggigil. Kakinya menjadi biru legam. Warna biru legam itu merayap dengan cepat sampai ke pinggul. Brruk...! Tengkorak Tampan pun roboh dalam keadaan napas tersentak-sentak. Semua mata memperhatikan si Tengkorak Tampan. Mata mereka terbelalak serentak setelah si Tengkorak Tampan mengejang kuat, lalu melemas sambil hembuskan napas terakhirnya.
"Gila! Kena tamparannya saja langsung koit?!" ujar penonton awam yang nekat menyusup di antara para jagoan.
Candu Asmara berbisik kepada Pendekar Mabuk, "Bukan tamparannya yang mematikan, tapi keringat di telapak tangannya, ia pasti pergunakan Ilmu 'Peluh Neraka'. Tengkorak Tampan akhirnya mati setelah tiga belas hitungan."
"Kau menghitungnya?"
"Ya," jawab Candu Asmara dengan tegas.
Kini setiap orang mengetahui kehebatan Ilmu si Hantu Urat Iblis itu. Namun demikian pertarungan masih berlangsung terus. Sebagian memang ada yang mengundurkan diri, karena merasa tak punya ilmu yang bisa untuk tandingi kesaktian Hantu Urat Iblis itu. Tapi sebagian lagi masih merasa penasaran dan ingin mencoba melawannya.
Mayat bergelimpangan di puncak Bukit Kecubung. Setiap lawan yang tumbang tak bernyawa dibuang oleh Hantu Urat Iblis dengan tendangan kaki hingga menggelinding ke tepian. Satu persatu mereka tumbang tak bernyawa. Sampai akhirnya tak ada orang lagi yang ingin mencoba merebut Rara Ayu Kumala dari tangan Hantu Urat Iblis. Si anak siluman itu berseru dengan suara lantangnya.
"Kuhitung sampai tiga kali, kalau tak ada yang maju, berarti aku harus segera pulang ke Pulau Setan memboyong Kumala!"
Suto dan Candi Asmara saling pandang. Tapi tiba-tiba Suto terkejut melihat sekelebat bayangan melesat ke tengah arena. Wuuus...!Jleeg...!
"Aku yang akan melawanmu, Paman!" ujar seorang pemuda bertongkat bambu kuning sambil cengar-cengir.
"Edan! Santana mau ikut-ikutan maju?!" sentak Suto Sinting dengan tegang.
Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan menghilang dari hadapan Candu Asmara. Ternyata ia berkelebat menyambar tubuh Santana dari hadapan Hantu Urat Iblis. Weess...! Tubuh Santana dilemparkan begitu saja dan jatuh menggelinding menuruni lereng bukit. Brruk...!
"Aahk...!" pekikannya terdengar pelan dan pendek, karena saat itu Santana langsung pingsan. Ulu hatinya membentur batu sebesar kepala bayi dengan kerasnya saat ia jatuh terbanting.
Kini Suto Sinting yang ada di depan Hantu Urat Iblis. Kemunculan Pendekar Mabuk membuat beberapa orang yang mengetahui ciri-ciri tersebut saling terkejut dan bergumam kagum. Mirah Cendani segera berseru di sela gumam mereka.
"Pendekar Mabuk! Jangan hadapi dia!" Si gadis ingin berlari ke arena, tapi tangan sang Guru mencekalnya.
"Biarkan dia mengakhiri keganasan si anak siluman itu!" ujar Eyang Cakradayu yang mengenakan kain putih dililitkan tubuh seperti seorang biksu.
Candu Asmara memandang dengan tegang, jantungnya berdetak-detak saat mendengar Hantu Urat Iblis membentak kepada Suto Sinting.
"Mau cari mampus juga kau, hah?!"
Suto Sinting justru menenggak tuaknya dengan santai. Ketenangan Pendekar Mabuk membuat darah si anak siluman itu semakin membara. Tiba-tiba Hantu Urat Iblis menerjang Suto dengan kecepatan tinggi, seperti yang dilakukan terhadap Singawulu. Wees...!
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' si Pendekar Mabuk membuat terjangan cepat itu tak mengenai sasaran. Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di samping Rara Ayu Kumala.
"Biadab kau!" geram Hantu Urat Iblis.
Zlaaap...! Suto sudah berpindah tempat sebelum Hantu Urat Iblis menyerangnya. Anak siluman itu kebingungan sesaat. Begitu menengok ke belakang, ternyata lawannya sedang berdiri di belakangnya, menutup bumbung tuak. Hal itu sangat menjengkelkan sekali bagi Hantu Urat Iblis. Maka serta-merta dari kedua matanya keluar sinar merah seperti pisau yang meluncur cepat menghantam Suto Sinting.
Claaap...! Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan bukit tersebut, karena Pendekar Mabuk menangkis dua sinar itu dengan bumbung tuaknya. Bumbung tuak tersebut tidak pecah atau terluka sedikit pun. Bahkan lecet pun tidak. Tetapi tubuh Suto terpental ke belakang akibat gelombang ledakan tadi, dan Hantu Urat Iblis terdorong sempoyongan ke arah belakang.
"Wajahku panas sekali! Sialan! Ledakan tadi menyemburkan hawa panas yang terasa membuat wajahku melepuh! Aduh, perih sekali?!" gerutu hati Pendekar Mabuk.
Candu Asmara semakin tegang, karena ternyata wajah Suto benar-benar melepuh, bagai tersiram air panas, demikian juga dengan dada dan lengannya. Tapi agaknya Suto Sinting masih kuat menahan rasa sakit itu, sehingga dalam waktu singkat ia sudah berdiri tegak kembali.
"Heeah...!" Hantu Urat Iblis sentakkan kaki ke bumi.
Suto Sinting ingat Jurus itu pernah digunakan untuk melawan si Pedang Dewa. Maka dengan pergunakan jurus 'Layang Raga', tubuh Suto tetap berada di tempat sementara tanah di bawah kakinya menjeblos ke dalam. Brruus...!
Hantu Urat Iblis terbelalak melihat Suto Sinting tetap berada di tempat dalam keadaan kedua kaki mengambang di udara. Zuuurb...! Tanah itu muncul lagi dan datar seperti semula. Telapak kaki Suto menyentuh tanah lagi. Namun serta-merta ia lakukan lompatan cepat menerjang lawannya. Bumbung tuak disodokkan ke depan. Wuuut...! Jurus 'Bangau Mabuk' membuat tubuh Suto terbawa terbang oleh gerakan bumbung tuak tersebut. Hantu Urat Iblis menahan sodokan bambu itu dengan kedua telapak tangannya yang mulai menyala merah itu.
Deeeb...! Duaaarr...!
Suto Sinting terlempar kembali dan jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Kepalanya membentur batu dan bocor. Darah mengalir dari kepala bagian samping. Sementara itu, Hantu Urat Iblis juga terlempar dan berguling-guling ke belakang akibat ledakan yang saling menyentak kedua arah itu.
Candu Asmara berkelebat hampiri Suto Sinting, karena gadis itu sangat mencemaskan keselamatan Suto melihat banyaknya darah yang mengalir. "Suto! Suto, bangun...! Ayo, bangun dan minum tuakmu!" seru Candu Asmara yang sempat membuat Mirah Cendani dan gurunya terperangah kaget melihat Candu Asmara ternyata sudah kenal dekat dengan Pendekar Mabuk.
Hantu Urat Iblis cepat bangkit dan menggeram dikejauhan. Candu Asmara tegang sekali, karena keadaan Suto sangat lemah karena masih merasa pusing. Melihat Hantu Urat Iblis hendak menyerang lagi, Candu Asmara segera cabut pedangnya dan menghadang lawan, melindungi Suto Sinting.
"Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Anak Haram!" seru Candu Asmara.
Murka si Hantu Urat Iblis memuncak mendengar seseorang mengatakannya 'anak haram', ia pun menggeram kuat dengan tubuh bergetar, kedua tangan mulai diangkat pelan-pelan dengan kuku runcing menyala biru, dan dari kuku ke kuku tampak sinar biru berlompatan bagai petir-petir kecil.
Suto Sinting segera kerahkan tenaga begitu mendengar seruan Candu Asmara, ia sadar bahwa gadis itu mulai bertindak, sedangkan tindakan tersebut hanya akan mengantarkan nyawa di tangan Hantu Urat Iblis. Maka serta-merta kaki Suto menendang kaki Candu Asmara.
Beet...! Brruk...!
Gadis itu terpelanting jatuh. Suto yang ada dibelakangnya segera bangkit, berdiri dengan satu kaki berlutut. Kemudian tangan kanannya menyentak ke depan dalam keadaan jari lurus mengeras. Napasnya dihentakkan lewat hidung. Bersamaan dengan itu, melesatlah sinar-sinar kuning emas berbentuk pisau kecil-kecil dalam jumlah banyak.
Cralaap...! Weerrss...!
Saat itu Hantu Urat Iblis sedang bersiap melepaskan pukulan mautnya dari dua tangan, sehingga kedua tangannya diangkat ke atas. Namun sebelum niatnya terlaksana, sinar emas berbentuk pisau dari jurus 'Manggala' itu telah lebih dulu menerjang dadanya. Zeeerrb...!
Orang-orang bergumam kagum, "Oooohhh...!"
Hantu Urat Iblis diam tak bergerak dalam posisi tetap mengangkat kedua tangan dan wajahnya tetap menyeringai. Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya untuk atasi luka bakar dan kebocoran di kepalanya. Candu Asmara segera bangkit, tak pedulikan Suto lagi, ia berlari dekati Hantu Urat Iblis sambil mengangkat pedangnya.
Namun sebelum pedang itu ditebaskan, angin berhembus agak kencang. Rambut Hantu Urat Iblis rontok dan menjadi debu. Candu Asmara terperanjat kaget. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata Hantu Urat Iblis sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya menjadi abu seketika begitu terkena jurus 'Manggala' tadi. Keadaan itu dapat diketahui oleh mereka setelah hembusan angin semakin kencang dan tubuh Hantu Urat Iblis pun berhamburan dalam bentuk abu. Prruuuss...!
"Dia telah tewas! Penculik itu tewas...!" teriak salah seorang.
Yang lain segera berseru, "Hidup Pendekar Mabuk! Hidup Pendekar Mabuk!"
Mereka menghambur ke arah Suto sebagai ungkapan kegembiraan atas keberhasilan Suto membebaskan putri raja. Tetapi gerakan mereka terhenti karena saat itu Suto Sinting segera dipeluk oleh Candu Asmara dengan ungkapan kegembiraan yang luar biasa.
"Huuuhh...!" mereka menggoda kedua insan yang berpelukan itu, lalu mereka hamburkan tawa kemenangan.
Sang putri pun segera dibebaskan dari ikatannya oleh para prajurit istana yang ikut menyaksikan pertarungan tersebut. Mirah Cendani dan gurunya bergabung dengan Suto Sinting, demikian pula dengan si Sawung Kuntet. Mereka beramai-ramai mengantarkan Rara Ayu Kumala ke istana, setelah gadis itu ucapkan terima kasihnya kepada Pendekar Mabuk. Namun si gadis merasa kecewa setelah Suto mengatakan,
"Kau bebas menikah dengan siapa pun, Rara Ayu. Bukan aku calon suamimu."
Candu Asmara sunggingkan senyum kebanggaan. Tangannya menggenggam erat-erat tangan Pendekar Mabuk. Tanpa diketahui siapa pun, sepasang mata sedang memandang ke arah Pendekar Mabuk. Sepasang mata itu adalah milik seorang perempuan cantik bertahi lalat kecil di ujung dagunya. Dia dikenal dengan nama: Dewi Ranjang. Suto Sinting tak tahu kalau sedang diincar oleh mata si Dewi Ranjang, alias janda liar pemburu kehangatan pemuda.
SELESAI