GOLOK MAUT
JILID 24
KARYA BATARA
JILID 24
KARYA BATARA
"WI HONG, kau... kau hamil? Apakah perbuatan kita dulu itu.... ah... benarkah, Wi Hong? Beng Tan tidak bohong?"
"Keparat!" Wi Hong memaki pemuda ini, meronta melepaskan dirinya. "Hamil atau tidak hamil bukan urusanmu, Golok Maut. Kau memang laki-laki keji yang tidak berjantung! Hayo bunuhlah aku, dan bunuh jabang bayi yang kukandung ini!"
"Oohh...!" Golok Maut mendekap keningnya. "Kau... kau sudah berbadan dua? Kau benar-benar tidak bohong?"
"Tak ada untungnya bagiku berbohong. Hayo, kau bunuh aku atau aku yang akan membunuhmu, Golok Maut. Kau laki-laki keji dan pemuda tidak berjantung!" dan Wi Hong yang marah melengking tinggi tiba-tiba menggerakkan tangannya menampar pemuda itu.
"Plakk?"
Golok Maut mengeluh. Dia terlempar dan terbanting keras karena pukulan atau tamparan itu dikeluarkan Wi Hong dengan sepenuh tenaganya, didorong kemarahan. Dan ketika lawan terbanting dan pucat memegangi pipinya maka Wi Hong sudah berkelebat dan menyerang lagi, memukul dan menendang dan Golok Maut tidak mengelak.
Laki-laki ini menerima dan suara bak-buk pukulan menghujani tubuhnya. Golok Maut jatuh bangun dan merintih panjang pendek, sama sekali tidak membalas. Dan ketika Wi Hong semakin kalap dan menjadi-jadi tiba-tiba gadis ini menyambar golok dibelakang punggung dan senjata rampasan itu langsung dibacokkan ke leher lawan.
"Jangan!" Beng Tan terkejut, kaget berteriak keras dan Swi Cu sendiri juga tertegun. Wakil ketua Hek-yan-pang ini melihat sucinya yang kalap, marah dan menyambar Golok Penghisap Darah itu dari belakang punggung Si Golok Maut.
Dan ketika tokoh itu diam saja dan pasrah dalam peryerahan total maka golok menyambar dan pemuda itu bakal terpisah kepalanya! Tapi tidak. Beng Tan, yang kaget dan berteriak melihat ini tiba-tiba berkelebat ke depan. Pemuda baju putih itu bergerak luar biasa cepat dan Pek-jit-kiamnya, Pedang Matahari, keluar dari sarungnya untuk menangkis bacokan maut ini. Dan ketika benturan keras tak dapat dihindarkan lagi namun Wi Hong tentu saja kalah kuat maka Golok Penghisap Darah mencelat dari tangan gadis itu namun pundak Golok Maut terkuak lebar.
"Crat-cringgg!"
Wi Hong mengeluh terlempar. Golok Maut sendiri roboh tersungkur dan mengerang merasakan sakitnya. Golok Penghisap Darah, goloknya sendiri sudah meminum darah tuannya. Pundak itu terluka lebar dan darah pun bercucuran deras. Wi Hong tersedu-sedu disana sementara lawannya merintih dan meratap. Dan ketika Swi Cu sadar meloncat maju dan memeluk sucinya maka dua orang itu bertangis-tangisan saling rangkul.
"Suci, maafkan Beng Tan. Dia tak bermaksud menyakitimu. Sudahlah, kita berikan musuh kita itu padanya dan jangan marah."
"Aku tak dapat mengampuninya!" gadis itu berteriak disela tangisnya. "Aku benci padanya, Swi Cu. Aku benci padanya! Suruh Beng Tan minggir dan biarkan aku membunuhnya!"
"Hm," Beng Tan berkelebat, datang menepuk pundak gadis ini. "Apa yang dikata Swi Cu memang benar, Wi Hong. Serahkan Golok Maut padaku dan akulah yang akan membereskannya. Dia akan kutangkap kalau mau menyerah dan kubawa menghadap kaisar!"
"Kau terkutuk!" Wi Hong tiba-tiba melompat bangun, memaki pemuda ini. "Kalau kau memang ingin menyakitiku lakukan itu, Beng Tan. Tapi jangan halangi aku membunuh binatang itu! Golok Maut bagianku, dan akulah yang akan membunuhnya!"
"Hm, kau tak dapat membunuhnya,"
Beng Tan berkerut kening. "Merobohkan atau membunuh musuh haruslah ksatria, Wi Hong. Jangan mempergunakan kesempatan secara tak sehat. Kau tahu sendiri Golok Maut tak membalas padamu, kenapa mendesak dan berlaku tak jujur? Kalau dia mau maka kaulah yang dibunuh. Tidak, aku ingin menyelesaikan masalah ini secara ksatria dan kau jelas bukan tandingannya. Mundurlah dan biarkan aku yang menghadapi!" dan membalik menghadapi lawan Beng Tan sudah berkelebat dan berdiri pula di depan Si Golok Maut. "Golok Maut, kau terluka. Tapi itu salahmu. Nih, terima senjatamu kembali dan mari kita selesaikan urusan ini dengan cara ksatria!"
Beng Tan melempar Golok Penghisap Darah pada pemiliknya, tadi sudah mengambil dan menyelamatkan senjata itu dengan kening berkerut-kerut. Dan ketika Golok Maut terkejut dan terbelalak padanya tiba-tiba Golok Maut yang menangis ini tersedu-sedu dan menutupi mukanya, menggeleng.
"Beng Tan, aku memang laki-laki yang patut dibunuh. Kau bunuhlah aku, atau biarkan Wi Hong membunuhku!"
"Hm, kau berlagak apalagi?" Beng Tan tertegun, baru kali ini melihat Golok Maut menangis! "Tak usah bersikap pura-pura, Golok Maut. Kau berdirilah dan terima golokmu!"
"Tidak, aku tak mau bertanding. Aku, ah... lemas tubuhku...!" dan Golok Maut yang terhuyung bangkit berdiri tiba-tiba berjalan dan menjatuhkan diri di depan Wi Hong, berlutut.
"Wi Hong...." suara itu menggigil, penuh rasa salah, juga bingung. "Aku... aku tak tahu bahwa selama ini hubungan kita telah membuahkan hasil. Tadi aku memang berniat membunuhmu. Tapi setelah kuketahui bahwa kau mengandung dan berbadan dua akibat perbuatanku harap kau maafkanlah kesalahanku. Aku tak ingin membunuhmu. Kalau kau ingin membalas dan merasa kusakiti terimalah Golok Penghisap Darah dan kau bunuhlah aku!"
Wi Hong tertegun. Penyerahan dan sikap pasrah yang tidak dibuat-buat dari kekasihnya ini sungguh berbeda sekali dengan tadi, bagai bumi dan langit. Tapi teringat betapa dia benar-benar hampir dibunuh kekasihnya ini tiba-tiba kemarahan Wi Hong lenyap, hilang rasa kasihannya.
"Kau ingin dibunuh? Kau minta dibunuh? Baik, aku memang ingin membunuhmu, Golok Maut. Kau laki-laki keparat yang telah membuat aku menderita selama hidup. Bersiaplah!" namun belum Wi Hong menyambar Golok Penghisap Darah, yang masih dipegang Beng Tan tiba-tiba Golok Maut berdiri memegang lengannya.
"Tunggu... tunggu dulu!" seruan itu gemetar setengah merintih. "Jelaskan dulu pada Beng Tan dan sumoimu bahwa aku tak melakukan perkosaan, Wi Hong. Beritahukan mereka bahwa apa yang terjadi ini adalah akibat hubungan cinta kasih kita, bukan paksaan!"
Wi Hong tertegun.
"Kau tak keberatan, bukan?"
"Hm," Beng Tan tiba-tiba melompat mendekati, melihat gadis baju merah itu terisak. "Apalagi ini, Golok Maut? Kau berkata bahwa yang kau lakukan itu adalah atas dasar suka sama suka?"
"Benar," Golok Maut membalik, menghadapi pemuda itu. "Apa yang kau tuduhkan adalah tidak benar, Beng Tan. Aku memang pembunuh tapi bukan pemerkosa! Apa yang kulakukan bersama Wi Hong adalah atas dasar cinta kasih berdua, bukan paksaan. Dan karena aku akan mati maka ingin kuhapus dulu tuduhan itu dan kalian lihatlah bahwa aku bersih!"
Wi Hong tiba-tiba menangis. Tak dapat disangkal bahwa apa yang dilakukannya bersama Si Golok Maut itu adalah atas dasar suka sama suka, bukan paksaan. Golok Maut tak memperkosanya dan kehamilannya adalah karena kesalahannya juga. Maka ketika Beng Tan bertanya begitu dan Golok Maut meminta pengakuannya tiba-tiba gadis ini mengguguk dan menutupi mukanya, dlsambar dan dicekal Swi Cu, yang terkejut dan tertegun!
"Suci, benarkah apa yang dikata Golok Maut itu? Kau bukan hamil atas paksaannya? Kalian berdua melakukannya atas dasar suka sama suka?"
"Beb.... benar...!" gadis ini mengguguk "Dia... dia memang tak memperkosaku, Swi Cu. Tapi dia... dia yang meninggalkan aku telah membuat aku sakit hati dan benci. Aku ingin membunuhnya!"
"Nah," Golok Maut bersinar-sinar. "Kalian dengar bahwa aku tak melakukan perbuatan itu, Beng Tan. Aku memang pembunuh tapi bukan pemerkosa! Dan apa yang kalian tuduhkan tentang perbuatanku dengan Swi Cu juga tidak benar adanya, fitnah!"
"Keparat!" Swi Cu membentak, melengking tinggi. "Aku melihat kau sendiri memasuki kamarku dan mau memperkosaku, Golok Maut. Aku tak memfitnah atau melepas tuduhan keji!"
"Tapi aku tak melakukan itu...."
"Tapi kau masuk ke kamarku!"
"Hm, kapan? Mungkinkah dalam keadaan luka-luka dan letih begini aku melakukan hal itu? Ingat, kapan aku datang dan lihatlah keadaanku ini, Swi Cu. Aku tak pernah melakukan itu karena sejak meninggalkan istana aku langsung ke Lembah Iblis!"
Swi Cu tertegun. Terbelalak dan melihat keadaan Golok Maut yang memang luka-luka dan letih diapun menjadi ragu. Golok Maut bicara sungguh-sungguh, juga berdasarkan bukti, yang dapat diterima. Dan terkejut serta bimbang dlguncang perasaan marah tiba-tiba gadis ini melengking dan berseru, "Golok Maut, kalau begitu apakah siluman yang datang menggangguku? Atau apakah kau menganggap aku melepas fitnahan keji yang tidak berdasar?"
"Hm, fitnah jelaslah fitnah, Swi Cu. Tapi aku tidak mengatakan bahwa kau yang membuat fitnah ini. Kalau benar ada seseorang yang melakukan hal itu maka jelas bukan aku, orang lain! Dan kau salah mengalamatkan tuduhan!"
"Tapi..." gadis ini gusar. "Ilmu golok yang kau lancarkan padaku adalah jelas Giam-to-hoat, Golok Maut. Di dunia ini tak ada orang lain yang dapat atau memiliki ilmu itu selain kau!"
"Hm, kau beranggapan begitu? Terserah, aku sedang pusing dengan berbagai persoalanku sendiri tapi bersumpah atas nama nenek moyangku aku tak melakukan perbuatan itu. Pantang bagiku memperkosa, dan aku justeru benci kepada pemerkosa!" dan ketika Golok Maut berkeretuk mengerotkan giginya maka dari luar lembah tiba-tiba terlihat bayangan-bayangan orang disusul tawa bergelak.
"Ha-ha, mau apalagi, Beng Tan? Golok Maut sudah ada di depan mata. Laksanakan perintah kaisar dan tangkap atau bunuh pemuda itu!"
Mindra dan Sudra serta Mo-ko dan Ya-lucang muncul mendadak. Mereka itu tadi berada dibelakang karena sebagaimana diketahui orang-orang ini mengikuti Beng Tan, dari jauh. Mendapat perintah Coa-ongya agar mengepung dan mengurung Lembah Iblis. Mereka ditugaskan untuk mencegah larinya Golok Maut, kalau tokoh itu meninggalkan Beng Tan. Maka melihat betapa Beng Tan terlibat pembicaraan dan pertempuran atau pertandingan dahsyat belum juga terjadi maka empat orang itu muncul dan Mo-ko, si kakek hitam melontarkan seruannya.
Beng Tan terkejut dan Golok Maut sendiri terperanjat, menoleh dan memandang kakek-kakek iblis itu. Dan ketika mereka bergerak dan tahu-tahu sudah meluncur dan berhenti mengepung mereka maka Golok Maut terbelalak tajam memandang Beng Tan.
"Mereka ini kawan-kawanmu? Kau membawa bala bantuan?"
Beng Tan berdetak. Tiba-tiba dia mendapat pandangan hina dari Golok Maut. Pemuda bercaping itu memandangnya mengejek dan juga rendah. Ada dugaan atau sangkaan yang tersirat disitu bahwa Beng Tan dianggap pengecut, membawa bantuan dan ingin mengeroyok! Dan ketika Beng Tan belum menjawab dan Mo-ko tertawa melengking tiba-tiba kakek yang penuh kebencian itu mendahului, mengejutkan Beng Tan.
"Ya, kami datang untuk membantu anak muda ini, Golok Maut. Mencegah kau lari dan agar tertangkap!"
"Ha-ha!" Mindra kali ini menyambung, melihat kemarahan Si Golok Maut. "Kami diutus Coa-ongya untuk menangkap dan membunuhmu, Golok Maut. Beng Tan telah membantu Coa-ongya dan beberapa waktu yang lalu menginap digedungnya!"
"Benarkah?" Golok Maut membalik, tiba-tiba menghadapi pemuda baju putih itu. "Hm, tak kusangka kau sudah menjadi antek Coa-ongya, Beng Tan. Kalau begitu permusuhan kita semakin dalam dan tantanganmu kuterima. Baiklah, aku bicara sebentar dengan Wi Hong!"
Dan berapi-api menghadapi gadis itu Golok Maut berkepal tinju. "Wi Hong, maaf. Kematianku ditanganmu kutunda dulu. Aku tak akan lari darimu, percayalah. Beri kesempatan padaku dan kau mundurlah kuhadapi orang-orang ini!" dan membalik menghadapi kembali lawannya itu Golok Maut menegakkan kepala, memaksa diri berdiri tak gemetar, meskipun kakinya kelihatan goyah. "Beng Tan, kau berikan Golok Penghisap Darah itu kalau kau jantan. Mari kita bertanding dan aku siap melayanimu sampai mati. Boleh keroyok dan aku tak akan undur setapak pun!"
Beng Tan tergetar. Setelah pembicaraannya dengan Golok Maut dan dilihatnya betapa Si Golok Maut itu tetap merupakan laki-laki gagah yang cukup ksatria maka dia menjadi ragu dan tergetar juga, tak enak. Merasakan sesuatu yang mengganjal dan sesuatu itu membuat dia bimbang. Dia telah salah sangka dengan tuduhannya pertama, bahwa Wi Hong diperkosa Golok Maut. Dan bahwa Golok Maut telah menyangkal pula perbuatannya terhadap Swi Cu dan kenyataan atau alibi Golok Maut itu tampaknya kuat juga, karena tak mungkin orang yang sedang luka-luka dan letih memperkosa orang lain maka Beng Tan menjadi ragu dan Golok Penghisap Darah yang dicekalnya itu bergetar maju mundur, siap diberikan tapi juga tidak, berulang-ulang hingga pemuda ini dibentak lawan. Namun ketika Golok Maut bergerak dan maju melepas pukulan tiba-tiba golok itu dilempar pada Swi Cu dan Beng Tan menangkis.
"Golok Maut, aku sekarang tak ingin membunuhmu. Biarlah senjatamu kusimpan pada Swi Cu dan kita bertanding tangan kosong... dukk!" dan dua lengan yang tergetar beradu sama kuat tiba-tiba membuat Golok Maut terhuyung dan Mo-ko terkekeh nyaring, bergerak menyerang Golok Maut dan Mindra serta yang lain-lain tiba-tiba juga maju bergerak.
Mereka itu tertawa dan masing-masing melepas pukulan. Itu adalah saat yang baik karena Golok Maut sedang tergetar dan terhuyung oleh tangkisan Beng Tan, jadi mereka tentu saja melihat kesempatan emas dan lima orang itu tiba-tiba bergerak hampir berbareng. Dan ketika Mo-ko melepas Pek-see-kang atau Hek-see-kangnya dan kakek Yalucang menyemburkan api lewat mulutnya maka Mindra dan Sudra juga menghantam dengan Pukulan Bintang Api, Hwi-seng-ciang.
"Plak-duk-dess!"
Golok Maut mencelat. Lima pukulan itu mengenainya telak dan mengeluhlah tokoh bercaping itu. Tadi dia sedang terhuyung dan tentu saja ia tak dapat mengelak, menangkis saja susah dan lawan-lawannya yang licik telah melancarkan pukulan di saat dia tak terjaga. Maka begitu terlempar dan mencelat oleh lima buah pukulan yang dahsyat maka Golok Maut terbanting dan lima kakek itu tertawa bergelak menyerangnya lagi!
"Bunuh dia! Pukul sampai roboh!"
Swi Cu dan Wi Hong terkejut. Sebenarnya, melihat sikap Golok Maut yang begitu gagah dan ksatria hati dua orang ini terutama Wi Hong tergetar. Memang selama ini dia tahu bahwa Golok Maut bukanlah laki-laki pengecut. Kekejaman yang dilakukan pemuda itu adalah dikarenakan masa lalunya yang buruk, nasib yang kejam dan tampaknya mempermainkannya sekehendak hati. Wi Hong inilah satu-satunya orang yang tahu jelas siapa sesungguhnya Si Golok Maut itu, karena sebagai kekasih Golok Maut telah menceritakan masa suramnya yang lewat.
Wi Hong inilah yang sebenarnya ragu dan terkejut ketika mendengar Golok Maut memerkosa, hal yang hampir diyakininya tak mungkin karena Golok Maut justeru akan beringas dan benci sekali kepada pemerkosa. Enci pemuda itu yang tewas setelah diperkosa menimbulkan semacam dendam di hati Golok Maut dan akan berlaku demikian kejam kalau ada pemerkosa.
Maka begitu berita-berita itu didengar dari sumoinya, Swi Cu, menyatakan diganggu dan akan diperkosa Golok Maut diam-diam dihati gadis atau wanita baju merah ini timbul semacam rasa tidak percaya dan kaget, tak mau menerima begitu saja dan akhirnya Golok Maut dapat memberikan keyakinan-keyakinannya yang kuat.
Orang yang sedang terluka dan letih tak mungkin dapat melakukan itu. Maka ketika Golok Maut dapat menyanggah dan diam-diam semacam perasaan lega membersit di hati wanita ini maka Wi Hong bersyukur karena hal itu sungguh tak dilakukan Golok Maut, meskipun Swi Cu masih menyangsikannya dan hal itu memang boleh-boleh saja. Dia sendiri pun masih akan menyelidiki tapi Wi Hong percaya penuh. Dia tahu siapa Golok Maut dan bagaimana wataknya pula.
Tapi karena dia sendiri juga hampir dibunuh dan Golok Maut bersikap demikian kejam kepadanya maka Wi Hong menjadi benci dan sakit hati pula, menimbang-nimbang dan memikir apa yang kira-kira akan dilakukannya. Golok Maut telah berserah diri dan dia siap membunuh. Tapi begitu muncul orang-orang ini dan Golok Maut yang sedang terluka dan terpukul tiba-tiba terbanting dan mengeluh bergulingan dihantam lima orang kakek itu tiba-tiba Wi Hong menjadi terbakar dan marah pula!
"Mo-ko, kalian licik. Berhenti dan mundur!"
"Ha-ha, siapa kau? Ketua Hek-yan-pang? Ha-ha, kau bukan isteri Coa-ongya pangcu, tak berhak memerintah aku dan justeru kau majulah keroyok Si Golok Maut ini. Kau akan mendapat imbalan dan salah-salah memikat hati Coa-ongya untuk diambil isteri!"
"Tutup mulutmu!" Wi Hong semakin terbakar. "Kau busuk dan bermulut kotor, Mo-ko. Kalau begitu terimalah ini dan aku akan menghajarmu!"
"Heii...!" Mo-ko berteriak, melihat Wi Hong berkelebat. "Kau menyerang aku, bocah? Keparat, aku tak takut... duk!" dan dua lengan yang beradu di udara tiba-tiba membuat Wi Hong terpental, kaget bergulingan melempar tubuh karena dirinya kalah kuat. Mo-ko memang lihai dan ia pun baru saja bertempur menguras tenaga melawan kekasihnya.
Dan ketika gadis itu bergulingan mengeluh mendekap perut dan Mo-ko terbahak-bahak tiba-tiba iblis bermuka hitam itu melepas jarum-jarum halus untuk mernyerang ketua Hek-yan-pang itu.
"Cet-cet-cet!"
Swi Cu berteriak marah. Melihat sucinya diserang senjata gelap disaat bergulingan tentu saja gadis baju hitam ini gusar. Dia tak dapat menerima itu dan berteriaklah gadis ini menolong sucinya. Jarum-jarum itu ditangkis jarum-jarumnya pula, tang-ting-tang-ting dan semuanya runtuh ke tanah. Dan ketika sucinya melompat bangun dan memaki kakek itu maka Wi Hong menerjang dan menyerang lagi, ditangkis dan terpental dan kembali gadis ini jungkir balik. Wi Hong lemah tenaganya dan hanya berkat kemarahannya itu sajalah yang membuat wanita ini seolah bangkit, bertenaga. Tapi begitu lawan tertawa-tawa dan sebentar kemudian sudah mendesak dan mencecarnya maka Swi Cu tak dapat menahan diri dan bergeraklah gadis ini menerjang Mo-ko, teman sendiri!
"Hek-mo-ko, kau siluman jahanam!"
Hek-mo-ko terkejut. Sebenarnya dia tak bermaksud membunuh Wi Hong kecuali merobohkan dan menundukkannya saja, sekedar memberi pelajaran. Maka begitu Swi Cu menyerang dan gadis ini adalah kekasih Beng Tan, pemuda yang amat lihai itu maka kakek ini tentu saja kaget dan cepat menangkis ketika sinar putih menyambar dari atas.
"Plakk!"
Swi Cu terpental berjungkir balik. Dia telah mencabut pedangnya dan dengan senjata itu ia menyerang lawan, membalik dan menyerang lagi bertubi-tubi. Cepat dan ganas ia sudah mencecar kakek ini. Dan karena Swi Cu masih segar dan tentu saja bersemangat maka gadis itu mainkan ilmu pedangnya dengan hebat sementara pukulan-pukulan Awan Merahnya menyambar, dilepas dengan tangan kiri dan Mo-ko tentu saja sibuk.
Iblis muka hitam ini bingung karena Swi Cu bukanlah gadis biasa. Disamping wakil ketua sebuah perkumpulan yang cukup ternama juga gadis itu adalah kekasih Beng Tan, pemuda lihai yang jelas bukan tandingannya! Maka ketika kakek ini tak berani keras-keras menghadapi gadis baju hitam itu sementara lawannya demikian sungguh-sungguh dan beringas maka Mo-ko akhirnya terdesak dan dua kali ujung pedang mengenai pelipisnya!
"Cret-cret!"
Kakek itu memaki gusar. Dia menampar dan mengebutkan ujung bajunya, menolak pedang namun sudah diserang lagi. Dan ketika Wi Hong juga bangkit berdiri dan menyerang dari kanan maka kakek ini berkaok-kaok dan sebentar kemudian sudah menerima pukulan atau tusukan-tusukan pedang.
"Hei-heii..! Kalian gila? Kalian tidak waras? Berhenti, nona. Atau aku marah dan akan bersikap kejam terhadap kalian!"
"Kejamlah! Bersikaplah! Siapa takut dan akan mundur? Roboh dan pergilah, Mo-ko, atau aku yang akan menjadi pembunuhmu.. bret-crat!" tusukan di pipi membuat iblis ini murka bukan main, merunduk dan tiba-tiba tangannya bergerak dari bawah. Ia menangkap dan mencengkeram perut Swi Cu. Tapi ketika Wi Hong bergerak dan membabat kakek itu maka pedang yang gemetar menetak perlahan.
"Takk!"
Mo-ko melindungi tangannya. Dia sudah mengerahkan sinkang dan menolak pedang. Wi Hong dalam keadaan lemah dan karena itu tenaganya pun tak usah dikhawatiri. Namun karena gangguan itu datang juga dan Swi Cu menendang maka cengkeramannya bertemu dengan ujung kaki gadis itu.
”Bret!"
Swi Cu berteriak. Kakinya tersambar dan dia menarik, celaka sekali sepatunya copot dan pincanglah dia dengan sebelah kaki telanjang. Namun ketika lawan tertawa menyeringai dan menubruknya lagi maka dua orang ini sudah bertanding sementara Wi Hong sekali dua terhuyung membantu sumoinya.
"Bunuh kakek ini, Swi Cu. Tusuk dan robohkan dia!"
"Ya, dan kita habisi nyawanya, suci. Atau kita berdua mampus bersama... sing-bret!"
Mo-ko kewalahan, betapapun kurang sungguh-sungguh dan pedang kembali mengenai bahunya, dikeroyok dan sekarang dia tak dapat tertawa atau menyeringai lagi karena dua orang wanita itu menyerangnya sungguh-sungguh. Dan karena kakek ini masih segan dan takut kepada Beng Tan akibatnya dia mulai terdesak dan mundur-mundur, mencabut tongkat namun senjata itu kurang berguna saja. Jarum rahasia yang ada di ujung tongkat tak berani dikeluarkan. Kakek ini takut karena jarumnya itu adalah jarum beracun, amat ampuh dan dapat membunuh lawan. Dan karena pertandingan berjalan pincang dan kakek ini tentu saja terdesak dan terdesak maka Pek-mo-ko, si iblis putih menjadi geram, marah melihat keadaan adiknya itu.
"Sute, biar kubantu kau!" kakek putih menyambar meninggalkan Golok Maut, berkelebat dan membantu adiknya dan terkejutlah Swi Cu serta Wi Hong. Sebenarnya menghadapi Hek-mo-ko seorang mereka haruslah bekerja keras. Maka begitu si iblis putih meloncat membantu adiknya maka Swi Cu terpental ketika dengan keras tongkat di tangan kakek itu menangkis pedangnya.
"Tranggg!"
Gadis ini mengeluh. Sekarang dia terhuyung dan sucinya disana tinggal menghadapi sendirian Hek-mo-ko, si Iblis hitam. Dan ketika Pek-mo-ko sudah menyerangnya bertubi-tubi dan sucinya yang lemah itu menghadapi Hek-mo-ko yang tertawa-tawa maka keadaan berbalik dan merekalah yang kini terdesak!
"Keparat!" Swi Cu melengking-lengking "Kau jahanam terkutuk, Pek-mo-ko. Biar kubunuh kau atau aku yang terbunuh!"
"Ha-ha!" Pek-mo-ko menyeringai. "Aku tak bermaksud membunuhmu, nona. Hanya mencegahmu berbuat curang dan tidak mendesak adikku!"
"Tapi kau juga curang, mengeroyok Golok Maut!"
"Hm!" kakek ini terkejut, merah mukanya. "Itu lain bocah. Golok Maut adalah musuh semua orang dan kita patut membunuhnya!"
"Curang, pengecut!" dan Swi Cu yang marah membentak lagi lalu melengking-lengking dan menghadapi kakek ini, sayang kalah tinggi dan Pek-mo-ko pun dengan tenang menahan semua serangan-serangannya. Dan karena iblis putih itu memang orang yang amat lihai dan Swi Cu masih di bawah kelas maka gadis ini terdesak dan satu pukulan tongkat akhirnya menghajar pundaknya.
"Dess!"
Swi Cu pucat. Didesak dan digiring mengikuti lawan akhirnya dia terdikte, mengelak namun sebuah hantaman kembali mengenai tubuhnya. Dan ketika gadis ini terhuyung-huyung sementara Wi Hong disana juga jatuh bangun menghadapi Hek mo-ko akhirnya Beng Tan, yang sejak tadi terbelalak dan marah melihat semuanya tiba-tiba berkelebat, persis bersamaan dengan Si Golok Maut yang juga berkelebat dan membentak Hek-mo-ko, yang sudah merobohkan Wi Hong.
"Mo-ko, kau iblis jahanam!"
Si putih dan si hitam terkejut. Mereka melihat berkelebatnya bayangan dua pemuda itu, satu dari kiri sedang yang lain dari kanan. Dan karena mereka sebenarnya memang sudah gentar dan tentu saja menangkis jerih maka keduanya terlempar ketika dua pukulan atau tamparan Golok Maut dan Beng Tan mengenai pelipis mereka.
"Des-dess!"
Mo-ko kakak beradik terpelanting. Pukulan Beng Tan tidak terlalu keras namun cukup juga membuat Pek-mo-ko terguling-guling. Dan karena Golok Maut justeru bersikap sebaliknya karena tokoh bercaping yang sedang marah ini tak dapat menahan dirinya maka Kim-kong-cian (Pukulan Sinar Emas) menghantam telak punggang Hek-mo-ko, yang mencelat dan terlempar dan tentu saja iblis hitam itu berkaok-kaok. Dia bergulingan menjauhkan diri dan Golok Maut sudah menolong Wi Hong. Gadis atau ketua Hek-yan-pang itu diangkat dan disandarkan kebahunya. Dan ketika Wi Hong tersedu-sedu dan gemetar di pelukan Golok Maut maka pemuda itu berbisik, juga gemetar,
"Wi Hong, kau istirahatlah disana. Jaga kandunganmu, jaga anak kita. Biarlah kau mundur dan kuhadapi orang-orang ini!"
"Ooh..!" Wi Hong menangis mengguguk "Kau... kau keparat jahanam, Golok Maut. Kau kubenci dan akupun ingin membunuhmu!"
"Tenanglah, boleh kau lakukan itu," Golok Maut menyeringai pedih. "Aku tak akan lari, Wi Hong. Aku bersumpah ingin mati kalau kau kehendaki. Sudahlah, kau disini dan kuhadapi orang-orang itu..... plak!" dan Golok Maut yang diteriaki dan mendengar seruan kaget Wi Hong tiba-tiba membalik dan sudah menangkis sambaran nenggala, serangan licik yang dilakukan Mindra dan kakek India itu terkejut memekik perlahan, tadi membokong dan melihat kesempatan baik. Tak tahunya Golok Maut mendengar dan pemuda itu sudah menangkis, mengerahkan sinkangnya. Dan ketika Mindra terpental dan otomatis gagal maka Golok Maut berdiri dan menggeram pada kakek curang itu.
"Mindra, kau kakek jahanam. Kubunuh kau!"
Dan Golok Maut yang berkelebat serta mendorong Wi Hong lalu bergerak dan mengejar musuhnya ini, tadi dikeroyok empat namun dia mampu bertahan. Beng Tan memang tidak menyerangnya lagi setelah orang-orang itu maju, pertama karena marah dan kedua karena dia memang tidak suka keroyokan. Akibatnya dibiarkannyalah orang-orang itu menyerang dan Golok Maut ternyata dapat melayani, meskipun terhuyung dan menderita luka.
Dan ketika Pek-mo-ko maupun Hek-mo-ko akhirnya keluar karena menghadapi Swi Cu dan Wi Hong maka tiga orang itu tak kuat juga dan akhirnya terdesak namun sayang Golok Maut harus menolong kekasihnya, melihat Wi Hong dirobohkan Hek-mo-ko dan kini Mindra membokong dari belakang, ditangkis dan tak tahunya kakek itu gagal juga. Dan ketika Golok Maut sudah berdiri lagi dan menyerang kakek itu maka Sudra berusaha membantu namun tak tahan juga.
"Hei, anak muda!" serunya pada Beng Tan. "Kenapa kau mendelong saja dan tidak membantu kami? Hayo maju, Golok Maut adalah bagianmu!"
"Kalian curang!" Beng Tan membentak. "Kalau merasa gagah dan ingin merobohkan lawan janganlah mengeroyok, Mindra. Golok Maut memang bagianku tapi kalian mundur kalau tak ingin celaka!"
"Keparat, kami membantumu! Kenapa malah membiarkan dan berdiam diri? Hei .... maju, bocah. Atau kau kulaporkan pada Coa-ongya... plak-dess!" Sudra mencelat, kali ini mendapat bagiannya dan Kim-kong-ciang tak dapat dielak lagi. Dia menangkis tapi kalah cepat, pukulan itu mengenai tengkuknya dan terlemparlah kakek ini. Dan ketika Golok Maut mengejar namun Mindra membantu maka nenggala menusuk dan Golok Maut terpaksa menangkis.
"Plak!"
Dua-duanya terhuyung. Golok Maut tergetar namun tidak terpental seperti lawannya, diserang dan kini dikeroyok lagi karena Pek-mo-ko maupun Hek-mo-ko sudah maju mengerubut. Yalucang kakek yang tinggi besar itu juga menyembur-nyemburkan apinya namun semua dapat ditiup padam oleh Golok Maut, tokoh bercaping yang ternyata masih lihai itu, meskipun terluka, letih. Dan ketika pertandingan kembali terjadi dan keroyokan lima orang itu tak dapat mendesak Golok Maut maka Swi Cu menggigil di pelukan kekasihnya, karena Beng Tan juga sudah menolongnya dari serangan Pek-mo-ko tadi.
"Golok ini sebaiknya diberikan pada pemiliknya. Biar kakek-kakek itu mampus dibunuh!"
"Tidak, jangan..." Beng Tan mencegah, "Betapapun mereka adalah pembantu Coa-ongya, Swi Cu. Dan aku secara tak langsung juga membantu pangeran itu. Biarkan mereka bertanding dan biar lima kakek itu tahu rasa!"
"Tapi mereka curang, pengecut!"
"Sudah menjadi wataknya," Beng Tan berkata, mengerutkan kening. "Mereka lancang mengambil urusanku, Swi Cu. Biarlah mereka berbuat licik karena Golok Maut masih bisa bertahan!"
Swi Cu tertegun. Akhirnya dia melihat bahwa Golok Maut memang dapat mengelak dari semua serangan-serangan berbahaya, meskipun tanpa senjata. Mampu menolak pukulan-pukulan berat atau juga serangan-serangan yang mengarah jiwa.
Golok Maut itu ternyata benar-benar hebat meskipun sudah letih, tanda betapa luar biasanya pemuda bercaping ini dan tentu saja Swi Cu kagum. Memang Golok Maut hebat, dikeroyok berlima masih juga ia mampu menghalau dan membalas pukulan-pukulan lawan. Dan ketika Mo-ko maupun yang lain berkali-kali terdorong atau terhuyung oleh tangkisan pemuda ini maka Sudra meledakkan cambuknya dan menjadi marah.
"Mo-ko, kalian serang dari samping. Biar aku dari belakang.... tar-tar!" kakek itu berseru, licik menyerang Golok Maut dan pemuda ini mengelak. Cambuk yang menyambar dari belakang menotok atau menghantam tengkuknya, menuju jalan darah kematian dan tentu saja pemuda ini menghindar. Namun ketika dia bergerak ke kanan dan Mo-ko kakak beradik menghantamkan tongkat mereka tiba-tiba Mindra dan Yalucang bergerak dari depan dengan nenggala dan pukulan Hwee-kangnya.
"Des-dess!"
Dua kakek di depan terpental. Mindra dan Yalucang berteriak keras karena semburan api dan tusukan nenggalanya ditangkis Golok Maut, begitu kuat dan penuh geraman hingga nenggala patah. Namun ketika dua kakek itu terpental dan Mo-ko kakak beradik juga mengeluh dipukul mundur mendadak dua Iblis hitam dan putih itu memencet tongkat mereka, meluncurkan jarum-jarum halusnya dan jarum-jarum beracun ini menyambar Golok Maut.
Pemuda itu sedang tergetar dan baru saja menghadapi serangan bertubi-tubi. Depan dan belakang serta kiri kanan hampir tak ada yang kosong. Lawan semua menyerang tapi mereka semua dapat dipukul mundur. Tapi begitu Mo-ko dengan licik menyerang dengan jarum-jarum rahasianya dan tongkat dipencet maka Golok Maut tak dapat menghindar dan dua dari delapan jarum beracun menancap di pundaknya.
"Cep-cep!"
Golok Maut mengeluh. Dia terkejut oleh kecurangan dua orang itu, kekebalannya tertembus karena baru saja sinkangnya dikerahkan buat menangkis pukulan bertubi-tubi itu. Dan ketika dia terbelalak dan terhuyung mundur tiba-tiba Pek-mo-ko terkekeh melihat raut muka lawan yang pucat.
"Heh-heh, dia terkena, kawan-kawan. Jarum rahasiaku mengenai tubuhnya!"
"Benar!" Hek-mo-ko, sang adik, berteriak. "Dia kena, suheng. Dan sebentar lagi tubuhnya akan kebiru-biruan, ha-ha!"
Swi Cu dan Wi Hong terkejut. Mereka melihat bahwa benar saja tak lama kemudian tubuh pemuda itu sudah kebiru-biruan. Racun dengan cepat mengalir dan tak dapat dicegah lagi. Seharusnya dalam keadaan begitu Golok Maut berhenti dan duduk bersila, menahan dan mengerahkan sinkangnya agar racun tidak menjalar naik. Tapi karena Mo-ko maupun yang lain-lain tentu saja tak akan membiarkan ini dan Sudra serta Mindra terkekeh menyeramkan tiba-tiba mereka menubruk kembali diiring lengkingan dan bentakan tinggi.
"Benar, hayo serang dia. Jangan biarkan racun ditahan olehnya!" dan ketika dua kakek itu menubruk dan tertawa menyerang lagi maka Mo-ko kakak beradik juga berkelebat dan tongkat dipencet dua tiga kali, menghamburkan jarum-jarum rahasia dan Golok Maut terkejut sekali.
Kakek tinggi besar Yalucang juga menggeram dan menyemburkan apinya. Dan ketika dia mengelak namun tak semua pukulan dapat dihindarkan maka tubuhnya terpental dan terbanting keras ketika pengerahan sinkangnya tak dapat dikonsentrasikan lagi.
"Dess!"
Golok Maut terguling-guling. Untuk pertama kalinya dia merasa panas dingin dan kaget. Dia harus mencegah racun dengan pengerahan sinkangnya namun juga sekaligus menahan serangan-serangan lawan dengan tenaga saktinya itu. Tak ayal dia menjadi gugup dan pecahlah konsentrasinya untuk menghadapi kecurangan-kecurangan lawan. Dan ketika disana Mo-ko terkekeh-kekeh dan menyerang lagi bersama teman-temannya maka Golok Maut terdesak dan kali ini dialah yang jatuh bangun.
"Ha-ha, lihat, teman-teman. Sebentar lagi dia roboh!"
"Ya, dan kita bawa kepalanya ke pangeran! Ha-ha, menyerahlah, Golok Maut. Sekarang kau mati.... des-dess!"
Golok Maut terlempar lagi, jatuh terguling-guling dan mendesaklah lawan dengan tak kenal ampun lagi. Mo-ko melepaskan semua jarum-jarumnya namun dua itu saja yang berhasil, yang lain dipukul runtuh dan habislah persediaan jarum di ujung tongkat. Dan ketika Golok Maut menerima pukulan-pukulan lawan dan racun di tubuh semakin bergerak naik maka tubuh yang kebiruan itu sudah mulai berwarna hitam.
"Curang!" Wi Hong membentak. "Kalian curang, Mo-ko. Ah, kalian pengecut-pengecut busuk!" dan Wi Hong yang maju membentak marah tiba-tiba melengking dan tidak memperdulikan dirinya sendiri, menyambar pedang dan sudah menusuk dengan senjatanya yang bengkok itu. Tanpa perduli dan menghiraukan apa-apa lagi mendadak wanita ini sudah membantu Golok Maut, menusuk dan menikam Pek-mo-ko. Dan ketika Pek-mo-ko tentu saja kaget namun tertawa aneh tiba-tiba tusukan Wi Hong ditangkis dan tongkatnya mementalkan senjata wanita itu.
"Pergi kau... trak!"
Wi Hong terjengkang. Memang dia sudah tak dapat bertanding karena kehabisan tenaga, selayaknya beristirahat dan wanita inipun sedang dalam keadaan hamil muda. Tapi karena Golok Maut dicurangi seperti itu dan tiba-tiba kemarahannya bangkit dan cintanya timbul tiba-tiba gadis atau wanita ini sudah nekat menyerang lagi, membentak dan maju membela Golok Maut dan tertegunlah Golok Maut itu.
Wi Hong sungguh-sungguh membantunya dan gadis itupun menangis. Golok Maut terharu dan tiba-tiba pandangannya pun menjadi hidup. Mata pemuda ini bersinar-sinar dan berserulah Golok Maut agar kekasihnya itu mundur. Tapi ketika Wi Hong, malah nekat dan melengking menusuk lawannya maka ketua Hek-yan-pang itu berseru biarlah dia mati bersama.
"Aku tak akan membiarkanmu dibunuh. Aku tak dapat melihat kecurangan ini. Biarlah kita mati bersama atau semua jahanam-jahanam ini kita basmi!"
"Tapi, ah... kandunganmu, anak kita, ah, tidak. Jangan, Wi Hong. Jangan kau bantu aku dan menjauhlah kesana. Kau kehabisan tenaga, kau letih. Biarkan aku sendiri karena aku dapat menghadapi musuh-musuhku ini!" dan Golok Maut yang melengking panjang melemparkan tangannya . ke kiri kanan tiba-tiba mendorong empat orang lawannya.
Lalu begitu berkelebat dan melihat Wi Hong terjengkang tiba-tiba Golok Maut menghantam Pek-mo-ko. Iblis muka putih ini tidak menyangka bahwa Golok Maut masih bisa bertanding sehebat itu. Maka ketika empat temannya terhuyung dan Golok Maut menampar tiba-tiba kakek ini menjerit dan terlempar ke kiri. Dan ketika dia bergulingan meloncat bangun dan kaget berseru keras tiba-tiba Golok Maut berkelebat kearah Swi Cu. Lalu begitu tangannya bergerak dan menotok pergelangan tiba-tiba Golok Penghisap Darah, golok yang masih dipegang gadis itu sudah dirampas!
"Mo-ko, sekarang aku akan membunuhmu!"
Semua kaget. Golok Maut tiba-tiba berubah seperti harimau haus darah. Gerakannya yang cepat dan diluar dugaan sungguh mengejutkan siapa pun. Swi Cu sendiri sampai tertegun ketika golok di tangannya terampas. Namun karena dia memang bermaksud menyerahkan golok itu dan diapun melihat kecurangan Mo-ko dan kawan-kawannya ini maka gadis itu terbelalak melihat Golok Maut berkelebat tiga kali.
Pemuda itu membentak ke arah si putih, Pek-mo-ko baru saja melompat bangun dan saat itulah cahaya menyilaukan berkeredep. Dan karena kakek ini sedang terhuyung sementara golok sudah menyambar luar biasa cepat maka kakek ini tak dapat mengelak kecuali menggerakkan tongkatnya, menangkis tapi tentu saja putus. Golok terus menyambar ke depan seperti kilat yang amat mengejutkan.
Dan ketika kakek itu terbang semangatnya dan berteriak mengerikan maka tangannya dipakai untuk menangkis namun tentu saja terbabat. Dan persis kakek itu menjerit maka tangannya kutung sementara dengan cepat dan tepat golok di tangan Si Golok Maut membelah dadanya.
"Oak!" Satu jeritan tertahan menyusul robohnya tubuh si kakek iblis. Pek-mo-ko mandi darah dan tubuhnya menjadi dua, putus secara mengerikan. Dadanya itu terpotong dan berteriaklah Hek-mo-ko melihat saudaranya tewas. Dan ketika yang lain-lain tertegun dan terkejut melihat itu maka Golok Maut sudah menggeram dan membalik menyerang mereka.
"Sekarang kalian. Bersiaplah kuhabisi!"
Semuanya gentar. Sekarang Golok Maut mengamuk dan golok di tangannya itu menyambar-nyambar bagai naga murka. Mindra dan teman-temannya pucat dan mundurlah mereka mengelak sambaran itu. Dan karena nenggala sudah putus sementara cambuk tak mungkin dipakai menghadapi Golok Penghisap Darah akhirnya Sudra maupun Mindra membalik memutar tubuhnya, lari!
"Bocah, bantu kami. Atau kau kulaporkan Coa-ongya!"
Beng Tan membelalakkan mata. Dia ngeri melihat sepak terjang Si Golok Maut yang demikian haus darah. Dia tak setuju orang-orang itu melakukan pengeroyokan namun tentu saja dia juga tidak bermaksud untuk membiarkan teman-temannya dibunuh. Maka ketika dua kakek India itu melarikan diri dan Yalucang serta Hek-mo-ko tentu saja tak kuat menghadapi sendirian maka dua orang itupun melarikan diri dan memutar tubuhnya, takut menghadapi Si Golok Maut!
"Beng Tan, bantu kami. Keparat kau!"
Beng Tan sekarang bergerak. Mo-ko dan kawan-kawan akhirnya melarikan diri. Mereka terang gentar dan kapoklah orang-orang itu meneriaki Beng Tan. Dan ketika Golok Maut menggeram dan mengejar mereka, terhuyung dan mendelik memutar-mutar goloknya tiba-tiba pemuda ini berkelebat menahan.
"Golok Maut, berhenti. Akulah lawanmu!"
Golok Maut beringas. Melihat Beng Tan maju dengan bentakannya tiba-tiba tanpa banyak cakap ia menyerang lawannya ini. Golok bergerak namun Beng Tan mengelak, diserang lagi dan berkelebatanlah pemuda itu melayani lawannya. Namun karena Golok Maut sudah gemetar sementara racun di tubuh juga mengalir semakin cepat akhirnya ketika Beng Tan mengetuk tiba-tiba Golok Maut roboh dan mengeluh pingsan.
"Bluk!"
Golok Maut memang tidak mungkin menyerang terus. Dia sudah terlalu lama bertahan dan tubuhnya yang kehitaman itu membutuhkan pertolongan cepat. Hanya kemarahan dan kebenciannya yang amat besar sajalah yang mampu membuat dia bertahan selama itu. Maka ketika Beng Tan bergerak dan memang hanya pemuda inilah yang dapat menghadapinya maka begitu diserang dan diketuk pergelangannya terlepaslah golok di tangan Si Golok Maut itu, Golok Maut sendiri terguling dan sudah roboh pingsan. Mo-ko dan lain-lain sudah lenyap melarikan diri dan tinggallah disitu Beng Tan menyelesaikan tugasnya. Dan ketika pemuda ini berkerut-kerut kening melihat lawan roboh maka Beng Tan menyambar dan sudah menangkap tawanannya itu.
"Lepaskan dia!" tapi bayangan merah tiba-tiba membentak. "Kau tak boleh membawanya pergi, Beng Tan. Serahkan padaku dan jangan kau ganggu dia!"
Beng Tan terkejut. "Kau mau apa?"
"Dia... dia ayah dari calon anakku. Aku akan membawanya pergi, menyelamatkannya!"
"Tapi.." Beng Tan tertegun. "Aku mendapat perintah kaisar untuk menangkap dan membawanya ke kota raja, Wi Hong. Tak mungkin aku menyerahkannya padamu!"
"Hm!" Wi Hong tegak, berapi-api. "Dengan caramu yang demikian rendah? Menangkap dan menawan seseorang yang sudah tidak berdaya?"
"Aku akan mengobatinya, Wi Hong. Dan lihat ini!" Beng Tan memberikan sebutir pil, langsung dimasukkan ke mulut Si Golok Maut tapi Wi Hong tetap menggeleng.
Gadis atau wanita itu berkata bahwa Golok Maut harus diserahkan padanya, tak boleh dibawa pergi. Dan ketika Beng Tan terbelalak dan menjadi marah maka wanita ini menutup,
"Kau tidak mendapatkannya secara ksatria. Kau merobohkan Golok Maut karena sebelumnya dia sudah terluka. Nah, apakah ini jantan, Beng Tan? Apakah ini tidak membuatmu malu dan kehilangan harga diri? Kalau kau begitu maka aku siap mati disini, membela suamiku!"
Beng Tan kaget. Sekarang Wi Hong menangis dengan air mata bercucuran dan gadis atau ketua Hek-yan-pang itu menyebut Golok Maut sebagai suaminya. Bukan main, satu pernyataan yang berani dan tidak malu-malu. Hal yang dilakukan gadis itu karena kepepet, terdesak! Dan ketika Beng Tan tersentak dan bingung disana maka Swi Cu berkelebat dan menangis menyambar sucinya itu pula.
"Suci, kau benar. Tapi, ah... pemuda ini juga berbahaya dan sekaranglah saatnya yang paling baik bagi Beng Tan untuk menangkap dan membawanya ke kota raja. Mereka berdua setanding. Kalau Golok Maut sehat dan sama-sama bertempur maka keduanya akan menjadi korban dan sama-sama celaka. Sebaiknya biarkan dia dan Golok Maut paling-paling akan diadili di istana, seperti kata Coa-ongya!"
"Hm, tidak!" Wi Hong membalik, mendorong sumoinya. "Aku tak mempercayai Coa-ongya, Swi Cu. Dan aku tak percaya orang-orang istana. Dia tetap milikku dan kalian pergi!"
"Tapi..." Swi Cu tersedu. "Aku takut kalau keduanya bertanding lagi, suci. Aku ngeri! Mereka itu sama-sama kuat dan setanding!"
"Aku tak perduli. Dan Beng Tan kutantang untuk mendapatkannya secara gagah! Kalau dia ingin menangkap dan membawa Golok Maut lebih baik bunuh aku dulu, atau dia pergi dan serahkan pemuda itu padaku!"
"Suci," Swi Cu gemetar, memandang sucinya, "Bukankah kau membenci pemuda ini? Bukankah dia..."
"Tidak, aku mencintainya, Swi Cu. Aku tak pernah diperkosanya dan apa yang terjadi adalah atas kemauanku juga. Aku sudah mengikat diriku, dan dia ayah dari calon anakku nanti. Kalian pergi atau....aku akan mati disini membela suamiku!"
Swi Cu mengguguk. Akhirnya dia menubruk dan memeluk Beng Tan, menutupi mukanya. Sucinya sudah berkata seperti itu dan tak mungkin dia mencegah. Dan karena dia tahu watak sucinya ini dan kekerasan sucinya memang tak perlu diragukan lagi maka Swi Cu menangis dan berkata pada kekasihnya, agar Golok Maut dilepaskan.
"Berikan dia... berikan dia. Biarlah lain kali kita datang lagi dan laksanakan tugasmu secara ksatria, kalau Golok Maut sudah sembuh!"
Beng Tan tertegun. Sebenarnya kata-kata Wi Hong tadi membuat mukanya menjadi merah juga. Memang, kalau dipikir, adalah kurang jantan menangkap lawannya itu setelah Golok Maut terluka dan habis tenaganya. Lawannya itu tidak sehat dan seolah dia tinggal menangkap saja. Tindakan kurang ksatria. Tapi karena Beng Tan tidak takut dan sebenarnya bukan maksudnya untuk menangkap Golok Maut begitu mudah akhirnya dia mengangguk dan mengepal tinju.
"Baiklah," katanya. "Aku bukan laki-laki pengecut, Wi Hong. Kalau kau menghendaki begitu kuterima permintaanmu. Nih, aku masih mempunyai obat lagi dan biarkan dia sembuh!"
Wi Hong bersinar matanya. Kalau Beng Tan berkata seperti itu maka sungguh bukan main girangnya sang hati. Tapi karena dia tak mau menunjukkan kegirangannya itu dan bersikap dingin maka dia pura-pura mengangguk dan berkata,
"Baik, terima kasih, Beng Tan. Dan aku juga akan menyuruh Golok Maut datang menemuimu. Ambil obatmu kembali, dia urusanku!"
Tapi Beng Tan melemparkan obat itu. Dia menggeleng dan tetap ingin menolong Golok Maut, atau, sebenarnya, menolong Wi Hong, karena dia tak ingin membuat wanita atau gadis itu repot. Dan begitu dia menyendal dan menarik lengan kekasihnya maka Beng Tan berkelebat dan pergi meninggalkan Lembah Iblis.
"Wi Hong, sampaikan padanya bahwa hidup atau mati aku pasti akan menangkapnya lagi. Jangan biarkan dia bersembunyi!"
Wi Hong sudah terlalu girang. Dia gembira bahwa lawan-lawan berat telah pergi. Sekarang dia tahu keadaan kekasihnya ini dan aneh tapi nyata Wi Hong tak lagi membenci pemuda itu.
Golok Maut secara ksatria dan jantan menghadapi semua keadaan dengan gagah. Watak itu betul-betul mengagumkan dan timbullah cinta di hati wanita ini. Dan karena Golok Maut tak membunuhnya dan dia juga tak jadi membenci orang yang masih dicintanya ini maka Wi Hong membungkuk dan menyambar pemuda itu. Dan begitu bergerak dan mengayunkan kakinya tiba-tiba ketua Hek-yan-pang ini telah berkelebat ke puncak tebing.
"Apa? Beng Tan melepaskan Golok Maut? Dia tak menangkap dan membawa pemuda itu?"
"Maaf," Mindra memberi hormat. "Begitulah yang kami lihat, ongya. Dan Mo-ko serta Yalu menjadi saksi!" begitu empat orang ini menghadap dengan muka terengah, melapor dan Coa-ongya, pangeran yang amat berkepentingan itu melotot.
Pangeran ini merah mukanya dan tentu saja dia marah. Dan ketika semua mengangguk dan menyatakan Golok Maut dibiarkan Beng Tan maka pangeran ini gusar meminta pemuda itu dipanggil menghadap.
"Aku disini," Beng Tan tahu-tahu muncul, seperti iblis. "Apa yang dikata mereka benar, ong-ya. Tapi kesalahan juga justeru gara-gara mereka. Mereka inilah yang membuat gagal. Dan karena mereka bersalah sebaiknya dihukum!"
Coa-ongya terkejut, berkerot giginya. "Beng Tan, apa arti kata-katamu ini? Bagaimana mereka bisa bersalah? Bukankah kau yang melepaskan Golok Maut padahal dia sudah terluka dan tinggal menangkap? Dan kau sudah merobohkannya pula, tapi kau melepaskan jahanam itu. Keparat!"
"Hm!" Beng Tan mengedikkan kepala, tidak gentar. "Jangan marah-marah dulu, ong-ya. Apa yang paduka ketahui belumlah lengkap. Sebaiknya paduka dengar dulu ceritanya dan ketahuilah kenapa Golok Maut terpaksa kulepaskan lagi, meski-pun sudah roboh!" Beng Tan lalu menceritakan jalannya peristiwa, betapa mula-mula dia sudah berhadapan dengan musuhnya itu tapi tiba-tiba kelima kakek ini datang mengacau. Mereka mengeroyok dan lancang mendahuluinya. Dan karena mereka melanggar peraturan dan mengambil alih pekerjaan maka Beng Tan membiarkan mereka.
"Tanpa bertanya atau meminta persetujuanku tiba-tiba mereka mengeroyok, mengira Golok Maut sudah tak kuat lagi. Siapa salah kalau Golok Maut mengamuk? Kakek-kakek inilah yang tak tahu diri, ong-ya. Dan mereka pengecut! Aku memang membiarkan mereka karena siapa tahu kalau mereka berhasil menangkap dan membunuh Golok Maut maka mereka inilah yang mendapat pahala!"
Mindra dan keempat kawannya merah padam. Mereka disemprot dan dikatai habis-habisan. Beng Tan menyesali namun sekaligus juga mengejek perbuatan mereka, yang dianggap pengecut. Dan karena mereka memang mengira Golok Maut sudah tak bertaring lagi dan mengira gampang merobohkan maka Beng Tan tak salah kalau membiarkan mereka berhadapan langsung.
"Nah, paduka tanyakan pada mereka ini apakah betul atau tidak!"
"Hm, betulkah, Mo-ko?" Coa-ongya beralih. "Kalian lancang mendahului dan tidak menunggu diluar lembah?"
"Maaf, kami tak sabar, ong-ya. Kami diluar lembah tapi melihat Beng Tan bicara saja dengan Si Golok Maut itu, seolah kawan!"
"Hm, kami bicara apa perdulimu, Mo-ko? Kalian semua lancang, tidak menuruti perintahku! Kalau sekarang suhengmu tewas jangan marah-marah kepadaku!"
Hek-mo-ko merah padam. Kalau saja Beng Tan tidaklah lihai mungkin dia akan menggeram dan menerjang pemuda ini, Memang hatinya masih sakit dan panas kalau teringat kematian suhengnya itu. Suhengnya tewas dan kematiannya pun mengerikan. Ah, selama hidup tak mungkin dia lupakan itu. Dan ketika Beng Tan mengejek dan mencibir padanya maka kakek ini tak berani bica ra apa-apa selain memendam kebencian di hati.
"Awas kau," pikirnya, "Sekali waktu kesempatan itu ada tentu aku akan mencelakaimu, anak muda. Aku akan membalas sakit hatiku atas kata-katamu!"
"Hm!" Coa-ongya kini memandang ke pembantu-pembantunya yang lain. "Betulkah itu, Mindra? Kalian datang dan mengambil alih tugas Beng Tan?"
"Maaf, kami memang tak sabar," Mindra menirukan, menjawab sambil menunduk. "Anak muda ini kami rasa terlalu lamban, ong-ya. Padahal Golok Maut sudah letih dan luka-luka. Kami memang mengambil alih pekerjaan karena menyangka Golok Maut gampang dibunuh. Tapi, ah... pemuda itu memang benar-benar lihai!"
"Dan kekasih pemuda ini memberikan Golok Penghisap Darah itu pada Golok Maut!" Hek-mo-ko tiba-tiba berseru. "Kalau saja Beng Tan mau mencegah tentu kami dapat membunuhnya, ong-ya. Beng Tan tak mau berbuat apa-apa dan semua menjadi saksi!"
"Hm, bagaimana itu? Apakah golok itu sudah berhasil dirampas?"
"Benar, dan Beng Tan-lah yang merampas. Lalu memberikannya pada kekasihnya. Hamba juga kecewa kenapa Beng Tan membiarkan Golok Maut merampas kembali senjatanya itu!" Mo-ko lalu bercerita, didengar Coa-ongya dan yang lain-lain pun mengangguk. Memang Golok Maut akan dapat mereka robohkan kalau saja tidak mendapatkan kembali senjatanya. Golok itu dirampas dari tangan Swi Cu dan Beng Tan diam saja. Dan ketika Mo-ko menuduh bahwa Beng Tan rupanya diam-diam berkomplot dengan musuh maka Coa-ongya bersinar-sinar memandang pemuda ini, marah.
"Beng Tan, benarkah kata-kata Mo-ko ini? Kau membiarkan saja Golok Maut mengambil senjatanya padahal kau berada di dekat kekasihmu itu?"
"Maaf, pantang bagiku berbohong, ong-ya. Hal itu betul. Tapi tidak semata seperti apa yang diceritakan Mo-ko ini. Mereka mengeroyok, dan bersenjata pula. Mana kegagahan mereka menghadapi lawan secara ksatria? Aku tak menyukai Golok Maut, ong-ya. Tapi aku lebih tak menyukai orang-orang yang bersifat pengecut. Mereka ini licik, dan mengandalkan jumlah pula. Dan karena aku tak suka mereka berbuat curang maka kubiarkan Golok Maut itu mendapatkan senjatanya agar pertandingan berjalan adil, masing-masing sama-sama bersenjata!"
"Dan untuk itu suhengku tewas!" Hek-mo-ko naik darah, mendelik. "Kau tak setia kawan, Beng Tan. Kau membela musuh. Dan aku ragu apakah kesungguhanmu untuk membunuh Golok Maut juga benar-benar dapat dipercaya!"
"Hm, kau lihat saja," Beng Tan mendengus. "Suhengmu tewas karena kalian semua tak menuruti perintahku, Mo-ko. Sudah kubilang agar kalian berjaga dan biarkan aku berhadapan satu lawan satu. Dan karena kalian sombong dan licik mengeroyok lawan yang disangka tak ada tenaganya maka jangan salahkan aku kalau seandainya kalian semua pun mampus!"
"Apa kau bilang?" Hek-mo-ko semakin gusar. "Kau menghina kami yang merupakan pembantu ong-ya? Kau merendahkan Coa-ongya pula?"
"Hm," Beng Tan tak menghiraukan. "Sudah kita sepakati bahwa yang maju adalah aku, Mo-ko, bukan kalian. Dan karena kalian lancang dan tidak tahu diri maka itulah akibatnya kalau bersifat sombong. Kalau kalian meragukan niatku membekuk Golok Maut baiklah, aku mundur dan kalian yang menangkap!"
"Heii..!" Coa-ongya kaget, berseru keras. "Kembali, Beng Tan. Tunggu dulu!"
Kiranya Beng Tan pergi, Pemuda itu marah meninggalkan ruangan, berkelebat dan membalik tanpa minta ijin lagi pada Coa-ongya, tuan rumah. Tapi ketika Coa-ongya berseru dan Beng Tan mengeluarkan suara dari hidung tiba-tiba pemuda ini berkelebat dan muncul kembali.
"Paduka mau apa? Apa lagi yang dapat paduka perlukan dari orang yang sudah tidak dapat dipercaya?"
"Tidak... tidak!" sang pangeran menggoyang lengan. "Aku tetap percaya padamu, Beng Tan. Jangan kemarahanmu kepada Mo-ko kau timpakan disini pula. Aku tetap memerlukan bantuanmu, jangan kau pergi!"
"Sementara ini biarkan hamba istirahat. Paduka bersama pembantu-pembantu paduka itu!"
"Ah, tapi aku tak marah padamu, Beng Tan. Kau jangan salah paham!"
"Tidak, bukan salah paham, ong-ya. Tapi kulihat semuanya begitu. Biarlah hamba istirahat dan lain kali kita bicara lagi. Maaf!" dan Beng Tan yang membalik membungkukkan tubuhnya tiba-tiba sudah berkelebat dan meninggalkan pangeran, memberi hormat dan sang pangeran pun tertegun.
Coa-ongya tak dapat berbuat apa-apa dan kini giginya berkerot-kerot. Dan karena Beng Tan benar-benar tak dapat dibujuk dan pemuda itu masih menunjukkan kemarahannya akhirnya pangeran membalik dan menghadapi keempat pembantunya itu.
"Kalian lihat, pemuda itu ngambek. Lain kali harap lebih berhati-hati karena betapapun tenaganya masih kita perlukan!" dan melotot menegur Hek-mo-ko sang pangeran melanjutkan, "Mo-ko, malam nanti kau panggil seorang pembantuku yang rahasia. Pergi keluar kota raja dan cari Si Kedok Hitam, di kuil di timur pintu gerbang. Nah, kalian semua pergi dan malam nanti bertemu lagi!"
Semua mengangguk. Mo-ko diam-diam heran dan terkejut karena tak menyangka Coa-ongya memiliki seorang pembantu lain, yang tidak diketahui. Dan ketika Coa-ongya bangklt berdiri dan meninggalkan ruangan maka semuanya bergerak dan kembali ke tempat masing-masing, Mindra dan Sudra diam-diam juga heran dan mengerutkan kening bahwa Coa-ongya memiliki pembantu rahasia. Mereka saling lirik dan memberi tanda. Namun ketika mereka berpisah dan menunggu malam nanti maka semuanya berkelebat dan lenyap di empat penjuru gedung.
Malam itu Mo-ko menuju timur pintu gerbang. Dia tahu akan adanya sebuah kuil tua dan di kuil itulah katanya seorang pembantu Coa-ongya tinggal. Dia penasaran dan ingin tahu. Sejak siang tadi dia tak sabar menunggu datangnya malam. Maka ketika malam menjelang tiba dan dia diperintah memanggil Si Kedok Hitam, tokoh yang belum dikenal maka iblis muka hitam itu berkelebat dan sudah tiba di depan kuil.
Mo-ko adalah iblis yang sombong. Pembantu-pembantu Coa-ongya biasanya adalah orang-orang yang harus "berkenalan" dulu dengannya. Kalau ilmu silatnya biasa-biasa saja tentu dia akan menghajarnya habis-habisan. Maklumlah, setiap pembantu baru berarti saingan cari makan dan gengsi. Sudra maupun Mindra pun juga tak luput dari "ajar kenal" ini, dicoba kepandaiannya. Dan ketika dia masuk dan berkelebat memasuki kuil maka Mo-ko sudah berteriak agar Si Kedok Hitam muncul.
"Hei...!" kakek itu berseru. "Aku mencarimu, Kedok Hitam. Keluarlah dan tampakkan dirimu. Aku diutus Coa-ongya!"
Tak ada jawaban. Bentakan atau seruan kakek Itu malah bergema namun tak ada siapa-siapa di kuil kosong itu. Rupanya tak ada orang dan marahlah kakek ini memanggil-manggil lagi. Kalau Coa-ongya menyuruh tak mungkin majikannya bohong. Di kuil itu pasti ada seseorang tapi entah kemana orang yang dicari itu. Dan ketika iblis ini berkelebatan dan mencari sambil berteriak-teriak maka seluruh ruangan sudah dijelajahi namun hasilnya nihil.
"Keparat!" kakek ini memaki-maki. "Kau llcik dan pengecut, Kedok Hitam. Sepantasnya orang macammu ini tak patut menjadi pembantu Coa-ongya, apalagi pembantu rahasia! Cih, kau gentong kosong yang menikmati gaji buta!"
Mo-ko marah-marah. Dia sudah mengelilingi dan mencari kemana-mana. umpatan dan makian pun tak pernah kendor. Tapi ketika dia tiba diruangan singa, yakni tempat yang penuh patung binatang tiba-tiba terdengar dengus dan suara yang tak jelas arahnya.
"Mo-ko, aku sudah tahu maksud kedatanganmu. Pergilah, dan beritahukan Coa-ongya aku datang!"
"Keparat!" Mo-ko membalik. "Dimana kau, Kedok Hitam? Kau benar-benar ada disini?"
"Ya, aku ada disini, sedang tidur. Tapi kau mengganggu dan berkaok-kaok bagai babi disembelih. Kalau kau bukan pembantu Coa-ongya tentu tubuhmu sudah kulempar keluar. Pergilah, dan beritahukan Coa-ongya bahwa aku datang!"
Mo-ko melotot. Dia menangkap suara disebelah kiri, dibelakang patung singa. Maka berkelebat dan membentak menyuruh lawan keluar tiba-tiba kakek ini menghantam dan melepas pukulannya. "Kau keluarlah.... dess!" patung singa hancur, Mo-ko terbelalak menajamkan matanya karena orang yang dicari tak ada disitu. Dan ketika dia mendengar tawa mengejek dan suara itu kini ada dibelakang tubuhnya maka dia membalik dan menghantam lagi.
"Dess!"
Inipun gagal. Mo-ko mendelik dan marah bukan main, mendengar suara di kiri kanan tubuhnya dan tentu saja kakek itu berubah-ubah tempat. Dia mengikuti dan menghantam lagi, membabi-buta. Tapi ketika belasan patung hancur dan orang yang dicari tak ada juga maka kakek ini kaget dan mulai gentar! "Kedok Hitam, keluarlah. Jangan main-main seperti pengecut!"
"Hm, apa maksudmu?"
"Aku ingin melihat tampangmu!"
"Tak perlu sekarang, nanti pun bisa."
"Tidak, kau keluarlah, Kedok Hitam. Atau kau mampus kuhajar.... des-prakk!" sebuah patung lagi hancur, patung satu-satunya yang ada disitu dan Mo-ko melihat sesosok bayangan berkelebat luar biasa cepatnya. Dia sudah menduga bahwa lawannya bersembunyi disitu dan benar saja orang ini keluar. Tapi ketika dia tak melihat siapa lawannya itu karena gerakannya demikian cepat dan luar biasa maka tahu-tahu kakek ini telah kehilangan lawannya itu. Seperti iblis!
"Mo-ko, aku diluar. Keluarlah kalau ingin melihat aku!"
Mo-ko berdetak. Gerakan demikian cepat hanyalah dua orang saja yang selama ini dialaminya. Satu Golok Maut dan ke-dua adalah Beng Tan, pemuda baju putih itu. Maka begitu lawan lenyap tapi sudah menunggunya di depan maka kakek ini. berkelebat dan benar saja seseorang telah menunggunya di halaman, seseorang yang berkedok!
"Ah, siapa kau?" kakek ini berjungkir balik, turun dan sudah melayang ke bawah dan berhadapanlah kakek itu dengan lawannya.
Si Kedok Hitam tertawa mengejek dan merasa meremang mendengar tawa ini, begitu dingin dan menyeramkan. Jantung di dadanya serasa beku dan tawa itu juga seperti tawa Si Golok Maut yang kejam dan dingin. Tapi ketika dia membentak dan lawan menghentikan tawanya maka Si Kedok Hitam, laki-laki yang tinggi jangkung ini mendengus padanya...
"Keparat!" Wi Hong memaki pemuda ini, meronta melepaskan dirinya. "Hamil atau tidak hamil bukan urusanmu, Golok Maut. Kau memang laki-laki keji yang tidak berjantung! Hayo bunuhlah aku, dan bunuh jabang bayi yang kukandung ini!"
"Oohh...!" Golok Maut mendekap keningnya. "Kau... kau sudah berbadan dua? Kau benar-benar tidak bohong?"
"Tak ada untungnya bagiku berbohong. Hayo, kau bunuh aku atau aku yang akan membunuhmu, Golok Maut. Kau laki-laki keji dan pemuda tidak berjantung!" dan Wi Hong yang marah melengking tinggi tiba-tiba menggerakkan tangannya menampar pemuda itu.
"Plakk?"
Golok Maut mengeluh. Dia terlempar dan terbanting keras karena pukulan atau tamparan itu dikeluarkan Wi Hong dengan sepenuh tenaganya, didorong kemarahan. Dan ketika lawan terbanting dan pucat memegangi pipinya maka Wi Hong sudah berkelebat dan menyerang lagi, memukul dan menendang dan Golok Maut tidak mengelak.
Laki-laki ini menerima dan suara bak-buk pukulan menghujani tubuhnya. Golok Maut jatuh bangun dan merintih panjang pendek, sama sekali tidak membalas. Dan ketika Wi Hong semakin kalap dan menjadi-jadi tiba-tiba gadis ini menyambar golok dibelakang punggung dan senjata rampasan itu langsung dibacokkan ke leher lawan.
"Jangan!" Beng Tan terkejut, kaget berteriak keras dan Swi Cu sendiri juga tertegun. Wakil ketua Hek-yan-pang ini melihat sucinya yang kalap, marah dan menyambar Golok Penghisap Darah itu dari belakang punggung Si Golok Maut.
Dan ketika tokoh itu diam saja dan pasrah dalam peryerahan total maka golok menyambar dan pemuda itu bakal terpisah kepalanya! Tapi tidak. Beng Tan, yang kaget dan berteriak melihat ini tiba-tiba berkelebat ke depan. Pemuda baju putih itu bergerak luar biasa cepat dan Pek-jit-kiamnya, Pedang Matahari, keluar dari sarungnya untuk menangkis bacokan maut ini. Dan ketika benturan keras tak dapat dihindarkan lagi namun Wi Hong tentu saja kalah kuat maka Golok Penghisap Darah mencelat dari tangan gadis itu namun pundak Golok Maut terkuak lebar.
"Crat-cringgg!"
Wi Hong mengeluh terlempar. Golok Maut sendiri roboh tersungkur dan mengerang merasakan sakitnya. Golok Penghisap Darah, goloknya sendiri sudah meminum darah tuannya. Pundak itu terluka lebar dan darah pun bercucuran deras. Wi Hong tersedu-sedu disana sementara lawannya merintih dan meratap. Dan ketika Swi Cu sadar meloncat maju dan memeluk sucinya maka dua orang itu bertangis-tangisan saling rangkul.
"Suci, maafkan Beng Tan. Dia tak bermaksud menyakitimu. Sudahlah, kita berikan musuh kita itu padanya dan jangan marah."
"Aku tak dapat mengampuninya!" gadis itu berteriak disela tangisnya. "Aku benci padanya, Swi Cu. Aku benci padanya! Suruh Beng Tan minggir dan biarkan aku membunuhnya!"
"Hm," Beng Tan berkelebat, datang menepuk pundak gadis ini. "Apa yang dikata Swi Cu memang benar, Wi Hong. Serahkan Golok Maut padaku dan akulah yang akan membereskannya. Dia akan kutangkap kalau mau menyerah dan kubawa menghadap kaisar!"
"Kau terkutuk!" Wi Hong tiba-tiba melompat bangun, memaki pemuda ini. "Kalau kau memang ingin menyakitiku lakukan itu, Beng Tan. Tapi jangan halangi aku membunuh binatang itu! Golok Maut bagianku, dan akulah yang akan membunuhnya!"
"Hm, kau tak dapat membunuhnya,"
Beng Tan berkerut kening. "Merobohkan atau membunuh musuh haruslah ksatria, Wi Hong. Jangan mempergunakan kesempatan secara tak sehat. Kau tahu sendiri Golok Maut tak membalas padamu, kenapa mendesak dan berlaku tak jujur? Kalau dia mau maka kaulah yang dibunuh. Tidak, aku ingin menyelesaikan masalah ini secara ksatria dan kau jelas bukan tandingannya. Mundurlah dan biarkan aku yang menghadapi!" dan membalik menghadapi lawan Beng Tan sudah berkelebat dan berdiri pula di depan Si Golok Maut. "Golok Maut, kau terluka. Tapi itu salahmu. Nih, terima senjatamu kembali dan mari kita selesaikan urusan ini dengan cara ksatria!"
Beng Tan melempar Golok Penghisap Darah pada pemiliknya, tadi sudah mengambil dan menyelamatkan senjata itu dengan kening berkerut-kerut. Dan ketika Golok Maut terkejut dan terbelalak padanya tiba-tiba Golok Maut yang menangis ini tersedu-sedu dan menutupi mukanya, menggeleng.
"Beng Tan, aku memang laki-laki yang patut dibunuh. Kau bunuhlah aku, atau biarkan Wi Hong membunuhku!"
"Hm, kau berlagak apalagi?" Beng Tan tertegun, baru kali ini melihat Golok Maut menangis! "Tak usah bersikap pura-pura, Golok Maut. Kau berdirilah dan terima golokmu!"
"Tidak, aku tak mau bertanding. Aku, ah... lemas tubuhku...!" dan Golok Maut yang terhuyung bangkit berdiri tiba-tiba berjalan dan menjatuhkan diri di depan Wi Hong, berlutut.
"Wi Hong...." suara itu menggigil, penuh rasa salah, juga bingung. "Aku... aku tak tahu bahwa selama ini hubungan kita telah membuahkan hasil. Tadi aku memang berniat membunuhmu. Tapi setelah kuketahui bahwa kau mengandung dan berbadan dua akibat perbuatanku harap kau maafkanlah kesalahanku. Aku tak ingin membunuhmu. Kalau kau ingin membalas dan merasa kusakiti terimalah Golok Penghisap Darah dan kau bunuhlah aku!"
Wi Hong tertegun. Penyerahan dan sikap pasrah yang tidak dibuat-buat dari kekasihnya ini sungguh berbeda sekali dengan tadi, bagai bumi dan langit. Tapi teringat betapa dia benar-benar hampir dibunuh kekasihnya ini tiba-tiba kemarahan Wi Hong lenyap, hilang rasa kasihannya.
"Kau ingin dibunuh? Kau minta dibunuh? Baik, aku memang ingin membunuhmu, Golok Maut. Kau laki-laki keparat yang telah membuat aku menderita selama hidup. Bersiaplah!" namun belum Wi Hong menyambar Golok Penghisap Darah, yang masih dipegang Beng Tan tiba-tiba Golok Maut berdiri memegang lengannya.
"Tunggu... tunggu dulu!" seruan itu gemetar setengah merintih. "Jelaskan dulu pada Beng Tan dan sumoimu bahwa aku tak melakukan perkosaan, Wi Hong. Beritahukan mereka bahwa apa yang terjadi ini adalah akibat hubungan cinta kasih kita, bukan paksaan!"
Wi Hong tertegun.
"Kau tak keberatan, bukan?"
"Hm," Beng Tan tiba-tiba melompat mendekati, melihat gadis baju merah itu terisak. "Apalagi ini, Golok Maut? Kau berkata bahwa yang kau lakukan itu adalah atas dasar suka sama suka?"
"Benar," Golok Maut membalik, menghadapi pemuda itu. "Apa yang kau tuduhkan adalah tidak benar, Beng Tan. Aku memang pembunuh tapi bukan pemerkosa! Apa yang kulakukan bersama Wi Hong adalah atas dasar cinta kasih berdua, bukan paksaan. Dan karena aku akan mati maka ingin kuhapus dulu tuduhan itu dan kalian lihatlah bahwa aku bersih!"
Wi Hong tiba-tiba menangis. Tak dapat disangkal bahwa apa yang dilakukannya bersama Si Golok Maut itu adalah atas dasar suka sama suka, bukan paksaan. Golok Maut tak memperkosanya dan kehamilannya adalah karena kesalahannya juga. Maka ketika Beng Tan bertanya begitu dan Golok Maut meminta pengakuannya tiba-tiba gadis ini mengguguk dan menutupi mukanya, dlsambar dan dicekal Swi Cu, yang terkejut dan tertegun!
"Suci, benarkah apa yang dikata Golok Maut itu? Kau bukan hamil atas paksaannya? Kalian berdua melakukannya atas dasar suka sama suka?"
"Beb.... benar...!" gadis ini mengguguk "Dia... dia memang tak memperkosaku, Swi Cu. Tapi dia... dia yang meninggalkan aku telah membuat aku sakit hati dan benci. Aku ingin membunuhnya!"
"Nah," Golok Maut bersinar-sinar. "Kalian dengar bahwa aku tak melakukan perbuatan itu, Beng Tan. Aku memang pembunuh tapi bukan pemerkosa! Dan apa yang kalian tuduhkan tentang perbuatanku dengan Swi Cu juga tidak benar adanya, fitnah!"
"Keparat!" Swi Cu membentak, melengking tinggi. "Aku melihat kau sendiri memasuki kamarku dan mau memperkosaku, Golok Maut. Aku tak memfitnah atau melepas tuduhan keji!"
"Tapi aku tak melakukan itu...."
"Tapi kau masuk ke kamarku!"
"Hm, kapan? Mungkinkah dalam keadaan luka-luka dan letih begini aku melakukan hal itu? Ingat, kapan aku datang dan lihatlah keadaanku ini, Swi Cu. Aku tak pernah melakukan itu karena sejak meninggalkan istana aku langsung ke Lembah Iblis!"
Swi Cu tertegun. Terbelalak dan melihat keadaan Golok Maut yang memang luka-luka dan letih diapun menjadi ragu. Golok Maut bicara sungguh-sungguh, juga berdasarkan bukti, yang dapat diterima. Dan terkejut serta bimbang dlguncang perasaan marah tiba-tiba gadis ini melengking dan berseru, "Golok Maut, kalau begitu apakah siluman yang datang menggangguku? Atau apakah kau menganggap aku melepas fitnahan keji yang tidak berdasar?"
"Hm, fitnah jelaslah fitnah, Swi Cu. Tapi aku tidak mengatakan bahwa kau yang membuat fitnah ini. Kalau benar ada seseorang yang melakukan hal itu maka jelas bukan aku, orang lain! Dan kau salah mengalamatkan tuduhan!"
"Tapi..." gadis ini gusar. "Ilmu golok yang kau lancarkan padaku adalah jelas Giam-to-hoat, Golok Maut. Di dunia ini tak ada orang lain yang dapat atau memiliki ilmu itu selain kau!"
"Hm, kau beranggapan begitu? Terserah, aku sedang pusing dengan berbagai persoalanku sendiri tapi bersumpah atas nama nenek moyangku aku tak melakukan perbuatan itu. Pantang bagiku memperkosa, dan aku justeru benci kepada pemerkosa!" dan ketika Golok Maut berkeretuk mengerotkan giginya maka dari luar lembah tiba-tiba terlihat bayangan-bayangan orang disusul tawa bergelak.
"Ha-ha, mau apalagi, Beng Tan? Golok Maut sudah ada di depan mata. Laksanakan perintah kaisar dan tangkap atau bunuh pemuda itu!"
Mindra dan Sudra serta Mo-ko dan Ya-lucang muncul mendadak. Mereka itu tadi berada dibelakang karena sebagaimana diketahui orang-orang ini mengikuti Beng Tan, dari jauh. Mendapat perintah Coa-ongya agar mengepung dan mengurung Lembah Iblis. Mereka ditugaskan untuk mencegah larinya Golok Maut, kalau tokoh itu meninggalkan Beng Tan. Maka melihat betapa Beng Tan terlibat pembicaraan dan pertempuran atau pertandingan dahsyat belum juga terjadi maka empat orang itu muncul dan Mo-ko, si kakek hitam melontarkan seruannya.
Beng Tan terkejut dan Golok Maut sendiri terperanjat, menoleh dan memandang kakek-kakek iblis itu. Dan ketika mereka bergerak dan tahu-tahu sudah meluncur dan berhenti mengepung mereka maka Golok Maut terbelalak tajam memandang Beng Tan.
"Mereka ini kawan-kawanmu? Kau membawa bala bantuan?"
Beng Tan berdetak. Tiba-tiba dia mendapat pandangan hina dari Golok Maut. Pemuda bercaping itu memandangnya mengejek dan juga rendah. Ada dugaan atau sangkaan yang tersirat disitu bahwa Beng Tan dianggap pengecut, membawa bantuan dan ingin mengeroyok! Dan ketika Beng Tan belum menjawab dan Mo-ko tertawa melengking tiba-tiba kakek yang penuh kebencian itu mendahului, mengejutkan Beng Tan.
"Ya, kami datang untuk membantu anak muda ini, Golok Maut. Mencegah kau lari dan agar tertangkap!"
"Ha-ha!" Mindra kali ini menyambung, melihat kemarahan Si Golok Maut. "Kami diutus Coa-ongya untuk menangkap dan membunuhmu, Golok Maut. Beng Tan telah membantu Coa-ongya dan beberapa waktu yang lalu menginap digedungnya!"
"Benarkah?" Golok Maut membalik, tiba-tiba menghadapi pemuda baju putih itu. "Hm, tak kusangka kau sudah menjadi antek Coa-ongya, Beng Tan. Kalau begitu permusuhan kita semakin dalam dan tantanganmu kuterima. Baiklah, aku bicara sebentar dengan Wi Hong!"
Dan berapi-api menghadapi gadis itu Golok Maut berkepal tinju. "Wi Hong, maaf. Kematianku ditanganmu kutunda dulu. Aku tak akan lari darimu, percayalah. Beri kesempatan padaku dan kau mundurlah kuhadapi orang-orang ini!" dan membalik menghadapi kembali lawannya itu Golok Maut menegakkan kepala, memaksa diri berdiri tak gemetar, meskipun kakinya kelihatan goyah. "Beng Tan, kau berikan Golok Penghisap Darah itu kalau kau jantan. Mari kita bertanding dan aku siap melayanimu sampai mati. Boleh keroyok dan aku tak akan undur setapak pun!"
Beng Tan tergetar. Setelah pembicaraannya dengan Golok Maut dan dilihatnya betapa Si Golok Maut itu tetap merupakan laki-laki gagah yang cukup ksatria maka dia menjadi ragu dan tergetar juga, tak enak. Merasakan sesuatu yang mengganjal dan sesuatu itu membuat dia bimbang. Dia telah salah sangka dengan tuduhannya pertama, bahwa Wi Hong diperkosa Golok Maut. Dan bahwa Golok Maut telah menyangkal pula perbuatannya terhadap Swi Cu dan kenyataan atau alibi Golok Maut itu tampaknya kuat juga, karena tak mungkin orang yang sedang luka-luka dan letih memperkosa orang lain maka Beng Tan menjadi ragu dan Golok Penghisap Darah yang dicekalnya itu bergetar maju mundur, siap diberikan tapi juga tidak, berulang-ulang hingga pemuda ini dibentak lawan. Namun ketika Golok Maut bergerak dan maju melepas pukulan tiba-tiba golok itu dilempar pada Swi Cu dan Beng Tan menangkis.
"Golok Maut, aku sekarang tak ingin membunuhmu. Biarlah senjatamu kusimpan pada Swi Cu dan kita bertanding tangan kosong... dukk!" dan dua lengan yang tergetar beradu sama kuat tiba-tiba membuat Golok Maut terhuyung dan Mo-ko terkekeh nyaring, bergerak menyerang Golok Maut dan Mindra serta yang lain-lain tiba-tiba juga maju bergerak.
Mereka itu tertawa dan masing-masing melepas pukulan. Itu adalah saat yang baik karena Golok Maut sedang tergetar dan terhuyung oleh tangkisan Beng Tan, jadi mereka tentu saja melihat kesempatan emas dan lima orang itu tiba-tiba bergerak hampir berbareng. Dan ketika Mo-ko melepas Pek-see-kang atau Hek-see-kangnya dan kakek Yalucang menyemburkan api lewat mulutnya maka Mindra dan Sudra juga menghantam dengan Pukulan Bintang Api, Hwi-seng-ciang.
"Plak-duk-dess!"
Golok Maut mencelat. Lima pukulan itu mengenainya telak dan mengeluhlah tokoh bercaping itu. Tadi dia sedang terhuyung dan tentu saja ia tak dapat mengelak, menangkis saja susah dan lawan-lawannya yang licik telah melancarkan pukulan di saat dia tak terjaga. Maka begitu terlempar dan mencelat oleh lima buah pukulan yang dahsyat maka Golok Maut terbanting dan lima kakek itu tertawa bergelak menyerangnya lagi!
"Bunuh dia! Pukul sampai roboh!"
Swi Cu dan Wi Hong terkejut. Sebenarnya, melihat sikap Golok Maut yang begitu gagah dan ksatria hati dua orang ini terutama Wi Hong tergetar. Memang selama ini dia tahu bahwa Golok Maut bukanlah laki-laki pengecut. Kekejaman yang dilakukan pemuda itu adalah dikarenakan masa lalunya yang buruk, nasib yang kejam dan tampaknya mempermainkannya sekehendak hati. Wi Hong inilah satu-satunya orang yang tahu jelas siapa sesungguhnya Si Golok Maut itu, karena sebagai kekasih Golok Maut telah menceritakan masa suramnya yang lewat.
Wi Hong inilah yang sebenarnya ragu dan terkejut ketika mendengar Golok Maut memerkosa, hal yang hampir diyakininya tak mungkin karena Golok Maut justeru akan beringas dan benci sekali kepada pemerkosa. Enci pemuda itu yang tewas setelah diperkosa menimbulkan semacam dendam di hati Golok Maut dan akan berlaku demikian kejam kalau ada pemerkosa.
Maka begitu berita-berita itu didengar dari sumoinya, Swi Cu, menyatakan diganggu dan akan diperkosa Golok Maut diam-diam dihati gadis atau wanita baju merah ini timbul semacam rasa tidak percaya dan kaget, tak mau menerima begitu saja dan akhirnya Golok Maut dapat memberikan keyakinan-keyakinannya yang kuat.
Orang yang sedang terluka dan letih tak mungkin dapat melakukan itu. Maka ketika Golok Maut dapat menyanggah dan diam-diam semacam perasaan lega membersit di hati wanita ini maka Wi Hong bersyukur karena hal itu sungguh tak dilakukan Golok Maut, meskipun Swi Cu masih menyangsikannya dan hal itu memang boleh-boleh saja. Dia sendiri pun masih akan menyelidiki tapi Wi Hong percaya penuh. Dia tahu siapa Golok Maut dan bagaimana wataknya pula.
Tapi karena dia sendiri juga hampir dibunuh dan Golok Maut bersikap demikian kejam kepadanya maka Wi Hong menjadi benci dan sakit hati pula, menimbang-nimbang dan memikir apa yang kira-kira akan dilakukannya. Golok Maut telah berserah diri dan dia siap membunuh. Tapi begitu muncul orang-orang ini dan Golok Maut yang sedang terluka dan terpukul tiba-tiba terbanting dan mengeluh bergulingan dihantam lima orang kakek itu tiba-tiba Wi Hong menjadi terbakar dan marah pula!
"Mo-ko, kalian licik. Berhenti dan mundur!"
"Ha-ha, siapa kau? Ketua Hek-yan-pang? Ha-ha, kau bukan isteri Coa-ongya pangcu, tak berhak memerintah aku dan justeru kau majulah keroyok Si Golok Maut ini. Kau akan mendapat imbalan dan salah-salah memikat hati Coa-ongya untuk diambil isteri!"
"Tutup mulutmu!" Wi Hong semakin terbakar. "Kau busuk dan bermulut kotor, Mo-ko. Kalau begitu terimalah ini dan aku akan menghajarmu!"
"Heii...!" Mo-ko berteriak, melihat Wi Hong berkelebat. "Kau menyerang aku, bocah? Keparat, aku tak takut... duk!" dan dua lengan yang beradu di udara tiba-tiba membuat Wi Hong terpental, kaget bergulingan melempar tubuh karena dirinya kalah kuat. Mo-ko memang lihai dan ia pun baru saja bertempur menguras tenaga melawan kekasihnya.
Dan ketika gadis itu bergulingan mengeluh mendekap perut dan Mo-ko terbahak-bahak tiba-tiba iblis bermuka hitam itu melepas jarum-jarum halus untuk mernyerang ketua Hek-yan-pang itu.
"Cet-cet-cet!"
Swi Cu berteriak marah. Melihat sucinya diserang senjata gelap disaat bergulingan tentu saja gadis baju hitam ini gusar. Dia tak dapat menerima itu dan berteriaklah gadis ini menolong sucinya. Jarum-jarum itu ditangkis jarum-jarumnya pula, tang-ting-tang-ting dan semuanya runtuh ke tanah. Dan ketika sucinya melompat bangun dan memaki kakek itu maka Wi Hong menerjang dan menyerang lagi, ditangkis dan terpental dan kembali gadis ini jungkir balik. Wi Hong lemah tenaganya dan hanya berkat kemarahannya itu sajalah yang membuat wanita ini seolah bangkit, bertenaga. Tapi begitu lawan tertawa-tawa dan sebentar kemudian sudah mendesak dan mencecarnya maka Swi Cu tak dapat menahan diri dan bergeraklah gadis ini menerjang Mo-ko, teman sendiri!
"Hek-mo-ko, kau siluman jahanam!"
Hek-mo-ko terkejut. Sebenarnya dia tak bermaksud membunuh Wi Hong kecuali merobohkan dan menundukkannya saja, sekedar memberi pelajaran. Maka begitu Swi Cu menyerang dan gadis ini adalah kekasih Beng Tan, pemuda yang amat lihai itu maka kakek ini tentu saja kaget dan cepat menangkis ketika sinar putih menyambar dari atas.
"Plakk!"
Swi Cu terpental berjungkir balik. Dia telah mencabut pedangnya dan dengan senjata itu ia menyerang lawan, membalik dan menyerang lagi bertubi-tubi. Cepat dan ganas ia sudah mencecar kakek ini. Dan karena Swi Cu masih segar dan tentu saja bersemangat maka gadis itu mainkan ilmu pedangnya dengan hebat sementara pukulan-pukulan Awan Merahnya menyambar, dilepas dengan tangan kiri dan Mo-ko tentu saja sibuk.
Iblis muka hitam ini bingung karena Swi Cu bukanlah gadis biasa. Disamping wakil ketua sebuah perkumpulan yang cukup ternama juga gadis itu adalah kekasih Beng Tan, pemuda lihai yang jelas bukan tandingannya! Maka ketika kakek ini tak berani keras-keras menghadapi gadis baju hitam itu sementara lawannya demikian sungguh-sungguh dan beringas maka Mo-ko akhirnya terdesak dan dua kali ujung pedang mengenai pelipisnya!
"Cret-cret!"
Kakek itu memaki gusar. Dia menampar dan mengebutkan ujung bajunya, menolak pedang namun sudah diserang lagi. Dan ketika Wi Hong juga bangkit berdiri dan menyerang dari kanan maka kakek ini berkaok-kaok dan sebentar kemudian sudah menerima pukulan atau tusukan-tusukan pedang.
"Hei-heii..! Kalian gila? Kalian tidak waras? Berhenti, nona. Atau aku marah dan akan bersikap kejam terhadap kalian!"
"Kejamlah! Bersikaplah! Siapa takut dan akan mundur? Roboh dan pergilah, Mo-ko, atau aku yang akan menjadi pembunuhmu.. bret-crat!" tusukan di pipi membuat iblis ini murka bukan main, merunduk dan tiba-tiba tangannya bergerak dari bawah. Ia menangkap dan mencengkeram perut Swi Cu. Tapi ketika Wi Hong bergerak dan membabat kakek itu maka pedang yang gemetar menetak perlahan.
"Takk!"
Mo-ko melindungi tangannya. Dia sudah mengerahkan sinkang dan menolak pedang. Wi Hong dalam keadaan lemah dan karena itu tenaganya pun tak usah dikhawatiri. Namun karena gangguan itu datang juga dan Swi Cu menendang maka cengkeramannya bertemu dengan ujung kaki gadis itu.
”Bret!"
Swi Cu berteriak. Kakinya tersambar dan dia menarik, celaka sekali sepatunya copot dan pincanglah dia dengan sebelah kaki telanjang. Namun ketika lawan tertawa menyeringai dan menubruknya lagi maka dua orang ini sudah bertanding sementara Wi Hong sekali dua terhuyung membantu sumoinya.
"Bunuh kakek ini, Swi Cu. Tusuk dan robohkan dia!"
"Ya, dan kita habisi nyawanya, suci. Atau kita berdua mampus bersama... sing-bret!"
Mo-ko kewalahan, betapapun kurang sungguh-sungguh dan pedang kembali mengenai bahunya, dikeroyok dan sekarang dia tak dapat tertawa atau menyeringai lagi karena dua orang wanita itu menyerangnya sungguh-sungguh. Dan karena kakek ini masih segan dan takut kepada Beng Tan akibatnya dia mulai terdesak dan mundur-mundur, mencabut tongkat namun senjata itu kurang berguna saja. Jarum rahasia yang ada di ujung tongkat tak berani dikeluarkan. Kakek ini takut karena jarumnya itu adalah jarum beracun, amat ampuh dan dapat membunuh lawan. Dan karena pertandingan berjalan pincang dan kakek ini tentu saja terdesak dan terdesak maka Pek-mo-ko, si iblis putih menjadi geram, marah melihat keadaan adiknya itu.
"Sute, biar kubantu kau!" kakek putih menyambar meninggalkan Golok Maut, berkelebat dan membantu adiknya dan terkejutlah Swi Cu serta Wi Hong. Sebenarnya menghadapi Hek-mo-ko seorang mereka haruslah bekerja keras. Maka begitu si iblis putih meloncat membantu adiknya maka Swi Cu terpental ketika dengan keras tongkat di tangan kakek itu menangkis pedangnya.
"Tranggg!"
Gadis ini mengeluh. Sekarang dia terhuyung dan sucinya disana tinggal menghadapi sendirian Hek-mo-ko, si Iblis hitam. Dan ketika Pek-mo-ko sudah menyerangnya bertubi-tubi dan sucinya yang lemah itu menghadapi Hek-mo-ko yang tertawa-tawa maka keadaan berbalik dan merekalah yang kini terdesak!
"Keparat!" Swi Cu melengking-lengking "Kau jahanam terkutuk, Pek-mo-ko. Biar kubunuh kau atau aku yang terbunuh!"
"Ha-ha!" Pek-mo-ko menyeringai. "Aku tak bermaksud membunuhmu, nona. Hanya mencegahmu berbuat curang dan tidak mendesak adikku!"
"Tapi kau juga curang, mengeroyok Golok Maut!"
"Hm!" kakek ini terkejut, merah mukanya. "Itu lain bocah. Golok Maut adalah musuh semua orang dan kita patut membunuhnya!"
"Curang, pengecut!" dan Swi Cu yang marah membentak lagi lalu melengking-lengking dan menghadapi kakek ini, sayang kalah tinggi dan Pek-mo-ko pun dengan tenang menahan semua serangan-serangannya. Dan karena iblis putih itu memang orang yang amat lihai dan Swi Cu masih di bawah kelas maka gadis ini terdesak dan satu pukulan tongkat akhirnya menghajar pundaknya.
"Dess!"
Swi Cu pucat. Didesak dan digiring mengikuti lawan akhirnya dia terdikte, mengelak namun sebuah hantaman kembali mengenai tubuhnya. Dan ketika gadis ini terhuyung-huyung sementara Wi Hong disana juga jatuh bangun menghadapi Hek mo-ko akhirnya Beng Tan, yang sejak tadi terbelalak dan marah melihat semuanya tiba-tiba berkelebat, persis bersamaan dengan Si Golok Maut yang juga berkelebat dan membentak Hek-mo-ko, yang sudah merobohkan Wi Hong.
"Mo-ko, kau iblis jahanam!"
Si putih dan si hitam terkejut. Mereka melihat berkelebatnya bayangan dua pemuda itu, satu dari kiri sedang yang lain dari kanan. Dan karena mereka sebenarnya memang sudah gentar dan tentu saja menangkis jerih maka keduanya terlempar ketika dua pukulan atau tamparan Golok Maut dan Beng Tan mengenai pelipis mereka.
"Des-dess!"
Mo-ko kakak beradik terpelanting. Pukulan Beng Tan tidak terlalu keras namun cukup juga membuat Pek-mo-ko terguling-guling. Dan karena Golok Maut justeru bersikap sebaliknya karena tokoh bercaping yang sedang marah ini tak dapat menahan dirinya maka Kim-kong-cian (Pukulan Sinar Emas) menghantam telak punggang Hek-mo-ko, yang mencelat dan terlempar dan tentu saja iblis hitam itu berkaok-kaok. Dia bergulingan menjauhkan diri dan Golok Maut sudah menolong Wi Hong. Gadis atau ketua Hek-yan-pang itu diangkat dan disandarkan kebahunya. Dan ketika Wi Hong tersedu-sedu dan gemetar di pelukan Golok Maut maka pemuda itu berbisik, juga gemetar,
"Wi Hong, kau istirahatlah disana. Jaga kandunganmu, jaga anak kita. Biarlah kau mundur dan kuhadapi orang-orang ini!"
"Ooh..!" Wi Hong menangis mengguguk "Kau... kau keparat jahanam, Golok Maut. Kau kubenci dan akupun ingin membunuhmu!"
"Tenanglah, boleh kau lakukan itu," Golok Maut menyeringai pedih. "Aku tak akan lari, Wi Hong. Aku bersumpah ingin mati kalau kau kehendaki. Sudahlah, kau disini dan kuhadapi orang-orang itu..... plak!" dan Golok Maut yang diteriaki dan mendengar seruan kaget Wi Hong tiba-tiba membalik dan sudah menangkis sambaran nenggala, serangan licik yang dilakukan Mindra dan kakek India itu terkejut memekik perlahan, tadi membokong dan melihat kesempatan baik. Tak tahunya Golok Maut mendengar dan pemuda itu sudah menangkis, mengerahkan sinkangnya. Dan ketika Mindra terpental dan otomatis gagal maka Golok Maut berdiri dan menggeram pada kakek curang itu.
"Mindra, kau kakek jahanam. Kubunuh kau!"
Dan Golok Maut yang berkelebat serta mendorong Wi Hong lalu bergerak dan mengejar musuhnya ini, tadi dikeroyok empat namun dia mampu bertahan. Beng Tan memang tidak menyerangnya lagi setelah orang-orang itu maju, pertama karena marah dan kedua karena dia memang tidak suka keroyokan. Akibatnya dibiarkannyalah orang-orang itu menyerang dan Golok Maut ternyata dapat melayani, meskipun terhuyung dan menderita luka.
Dan ketika Pek-mo-ko maupun Hek-mo-ko akhirnya keluar karena menghadapi Swi Cu dan Wi Hong maka tiga orang itu tak kuat juga dan akhirnya terdesak namun sayang Golok Maut harus menolong kekasihnya, melihat Wi Hong dirobohkan Hek-mo-ko dan kini Mindra membokong dari belakang, ditangkis dan tak tahunya kakek itu gagal juga. Dan ketika Golok Maut sudah berdiri lagi dan menyerang kakek itu maka Sudra berusaha membantu namun tak tahan juga.
"Hei, anak muda!" serunya pada Beng Tan. "Kenapa kau mendelong saja dan tidak membantu kami? Hayo maju, Golok Maut adalah bagianmu!"
"Kalian curang!" Beng Tan membentak. "Kalau merasa gagah dan ingin merobohkan lawan janganlah mengeroyok, Mindra. Golok Maut memang bagianku tapi kalian mundur kalau tak ingin celaka!"
"Keparat, kami membantumu! Kenapa malah membiarkan dan berdiam diri? Hei .... maju, bocah. Atau kau kulaporkan pada Coa-ongya... plak-dess!" Sudra mencelat, kali ini mendapat bagiannya dan Kim-kong-ciang tak dapat dielak lagi. Dia menangkis tapi kalah cepat, pukulan itu mengenai tengkuknya dan terlemparlah kakek ini. Dan ketika Golok Maut mengejar namun Mindra membantu maka nenggala menusuk dan Golok Maut terpaksa menangkis.
"Plak!"
Dua-duanya terhuyung. Golok Maut tergetar namun tidak terpental seperti lawannya, diserang dan kini dikeroyok lagi karena Pek-mo-ko maupun Hek-mo-ko sudah maju mengerubut. Yalucang kakek yang tinggi besar itu juga menyembur-nyemburkan apinya namun semua dapat ditiup padam oleh Golok Maut, tokoh bercaping yang ternyata masih lihai itu, meskipun terluka, letih. Dan ketika pertandingan kembali terjadi dan keroyokan lima orang itu tak dapat mendesak Golok Maut maka Swi Cu menggigil di pelukan kekasihnya, karena Beng Tan juga sudah menolongnya dari serangan Pek-mo-ko tadi.
"Golok ini sebaiknya diberikan pada pemiliknya. Biar kakek-kakek itu mampus dibunuh!"
"Tidak, jangan..." Beng Tan mencegah, "Betapapun mereka adalah pembantu Coa-ongya, Swi Cu. Dan aku secara tak langsung juga membantu pangeran itu. Biarkan mereka bertanding dan biar lima kakek itu tahu rasa!"
"Tapi mereka curang, pengecut!"
"Sudah menjadi wataknya," Beng Tan berkata, mengerutkan kening. "Mereka lancang mengambil urusanku, Swi Cu. Biarlah mereka berbuat licik karena Golok Maut masih bisa bertahan!"
Swi Cu tertegun. Akhirnya dia melihat bahwa Golok Maut memang dapat mengelak dari semua serangan-serangan berbahaya, meskipun tanpa senjata. Mampu menolak pukulan-pukulan berat atau juga serangan-serangan yang mengarah jiwa.
Golok Maut itu ternyata benar-benar hebat meskipun sudah letih, tanda betapa luar biasanya pemuda bercaping ini dan tentu saja Swi Cu kagum. Memang Golok Maut hebat, dikeroyok berlima masih juga ia mampu menghalau dan membalas pukulan-pukulan lawan. Dan ketika Mo-ko maupun yang lain berkali-kali terdorong atau terhuyung oleh tangkisan pemuda ini maka Sudra meledakkan cambuknya dan menjadi marah.
"Mo-ko, kalian serang dari samping. Biar aku dari belakang.... tar-tar!" kakek itu berseru, licik menyerang Golok Maut dan pemuda ini mengelak. Cambuk yang menyambar dari belakang menotok atau menghantam tengkuknya, menuju jalan darah kematian dan tentu saja pemuda ini menghindar. Namun ketika dia bergerak ke kanan dan Mo-ko kakak beradik menghantamkan tongkat mereka tiba-tiba Mindra dan Yalucang bergerak dari depan dengan nenggala dan pukulan Hwee-kangnya.
"Des-dess!"
Dua kakek di depan terpental. Mindra dan Yalucang berteriak keras karena semburan api dan tusukan nenggalanya ditangkis Golok Maut, begitu kuat dan penuh geraman hingga nenggala patah. Namun ketika dua kakek itu terpental dan Mo-ko kakak beradik juga mengeluh dipukul mundur mendadak dua Iblis hitam dan putih itu memencet tongkat mereka, meluncurkan jarum-jarum halusnya dan jarum-jarum beracun ini menyambar Golok Maut.
Pemuda itu sedang tergetar dan baru saja menghadapi serangan bertubi-tubi. Depan dan belakang serta kiri kanan hampir tak ada yang kosong. Lawan semua menyerang tapi mereka semua dapat dipukul mundur. Tapi begitu Mo-ko dengan licik menyerang dengan jarum-jarum rahasianya dan tongkat dipencet maka Golok Maut tak dapat menghindar dan dua dari delapan jarum beracun menancap di pundaknya.
"Cep-cep!"
Golok Maut mengeluh. Dia terkejut oleh kecurangan dua orang itu, kekebalannya tertembus karena baru saja sinkangnya dikerahkan buat menangkis pukulan bertubi-tubi itu. Dan ketika dia terbelalak dan terhuyung mundur tiba-tiba Pek-mo-ko terkekeh melihat raut muka lawan yang pucat.
"Heh-heh, dia terkena, kawan-kawan. Jarum rahasiaku mengenai tubuhnya!"
"Benar!" Hek-mo-ko, sang adik, berteriak. "Dia kena, suheng. Dan sebentar lagi tubuhnya akan kebiru-biruan, ha-ha!"
Swi Cu dan Wi Hong terkejut. Mereka melihat bahwa benar saja tak lama kemudian tubuh pemuda itu sudah kebiru-biruan. Racun dengan cepat mengalir dan tak dapat dicegah lagi. Seharusnya dalam keadaan begitu Golok Maut berhenti dan duduk bersila, menahan dan mengerahkan sinkangnya agar racun tidak menjalar naik. Tapi karena Mo-ko maupun yang lain-lain tentu saja tak akan membiarkan ini dan Sudra serta Mindra terkekeh menyeramkan tiba-tiba mereka menubruk kembali diiring lengkingan dan bentakan tinggi.
"Benar, hayo serang dia. Jangan biarkan racun ditahan olehnya!" dan ketika dua kakek itu menubruk dan tertawa menyerang lagi maka Mo-ko kakak beradik juga berkelebat dan tongkat dipencet dua tiga kali, menghamburkan jarum-jarum rahasia dan Golok Maut terkejut sekali.
Kakek tinggi besar Yalucang juga menggeram dan menyemburkan apinya. Dan ketika dia mengelak namun tak semua pukulan dapat dihindarkan maka tubuhnya terpental dan terbanting keras ketika pengerahan sinkangnya tak dapat dikonsentrasikan lagi.
"Dess!"
Golok Maut terguling-guling. Untuk pertama kalinya dia merasa panas dingin dan kaget. Dia harus mencegah racun dengan pengerahan sinkangnya namun juga sekaligus menahan serangan-serangan lawan dengan tenaga saktinya itu. Tak ayal dia menjadi gugup dan pecahlah konsentrasinya untuk menghadapi kecurangan-kecurangan lawan. Dan ketika disana Mo-ko terkekeh-kekeh dan menyerang lagi bersama teman-temannya maka Golok Maut terdesak dan kali ini dialah yang jatuh bangun.
"Ha-ha, lihat, teman-teman. Sebentar lagi dia roboh!"
"Ya, dan kita bawa kepalanya ke pangeran! Ha-ha, menyerahlah, Golok Maut. Sekarang kau mati.... des-dess!"
Golok Maut terlempar lagi, jatuh terguling-guling dan mendesaklah lawan dengan tak kenal ampun lagi. Mo-ko melepaskan semua jarum-jarumnya namun dua itu saja yang berhasil, yang lain dipukul runtuh dan habislah persediaan jarum di ujung tongkat. Dan ketika Golok Maut menerima pukulan-pukulan lawan dan racun di tubuh semakin bergerak naik maka tubuh yang kebiruan itu sudah mulai berwarna hitam.
"Curang!" Wi Hong membentak. "Kalian curang, Mo-ko. Ah, kalian pengecut-pengecut busuk!" dan Wi Hong yang maju membentak marah tiba-tiba melengking dan tidak memperdulikan dirinya sendiri, menyambar pedang dan sudah menusuk dengan senjatanya yang bengkok itu. Tanpa perduli dan menghiraukan apa-apa lagi mendadak wanita ini sudah membantu Golok Maut, menusuk dan menikam Pek-mo-ko. Dan ketika Pek-mo-ko tentu saja kaget namun tertawa aneh tiba-tiba tusukan Wi Hong ditangkis dan tongkatnya mementalkan senjata wanita itu.
"Pergi kau... trak!"
Wi Hong terjengkang. Memang dia sudah tak dapat bertanding karena kehabisan tenaga, selayaknya beristirahat dan wanita inipun sedang dalam keadaan hamil muda. Tapi karena Golok Maut dicurangi seperti itu dan tiba-tiba kemarahannya bangkit dan cintanya timbul tiba-tiba gadis atau wanita ini sudah nekat menyerang lagi, membentak dan maju membela Golok Maut dan tertegunlah Golok Maut itu.
Wi Hong sungguh-sungguh membantunya dan gadis itupun menangis. Golok Maut terharu dan tiba-tiba pandangannya pun menjadi hidup. Mata pemuda ini bersinar-sinar dan berserulah Golok Maut agar kekasihnya itu mundur. Tapi ketika Wi Hong, malah nekat dan melengking menusuk lawannya maka ketua Hek-yan-pang itu berseru biarlah dia mati bersama.
"Aku tak akan membiarkanmu dibunuh. Aku tak dapat melihat kecurangan ini. Biarlah kita mati bersama atau semua jahanam-jahanam ini kita basmi!"
"Tapi, ah... kandunganmu, anak kita, ah, tidak. Jangan, Wi Hong. Jangan kau bantu aku dan menjauhlah kesana. Kau kehabisan tenaga, kau letih. Biarkan aku sendiri karena aku dapat menghadapi musuh-musuhku ini!" dan Golok Maut yang melengking panjang melemparkan tangannya . ke kiri kanan tiba-tiba mendorong empat orang lawannya.
Lalu begitu berkelebat dan melihat Wi Hong terjengkang tiba-tiba Golok Maut menghantam Pek-mo-ko. Iblis muka putih ini tidak menyangka bahwa Golok Maut masih bisa bertanding sehebat itu. Maka ketika empat temannya terhuyung dan Golok Maut menampar tiba-tiba kakek ini menjerit dan terlempar ke kiri. Dan ketika dia bergulingan meloncat bangun dan kaget berseru keras tiba-tiba Golok Maut berkelebat kearah Swi Cu. Lalu begitu tangannya bergerak dan menotok pergelangan tiba-tiba Golok Penghisap Darah, golok yang masih dipegang gadis itu sudah dirampas!
"Mo-ko, sekarang aku akan membunuhmu!"
Semua kaget. Golok Maut tiba-tiba berubah seperti harimau haus darah. Gerakannya yang cepat dan diluar dugaan sungguh mengejutkan siapa pun. Swi Cu sendiri sampai tertegun ketika golok di tangannya terampas. Namun karena dia memang bermaksud menyerahkan golok itu dan diapun melihat kecurangan Mo-ko dan kawan-kawannya ini maka gadis itu terbelalak melihat Golok Maut berkelebat tiga kali.
Pemuda itu membentak ke arah si putih, Pek-mo-ko baru saja melompat bangun dan saat itulah cahaya menyilaukan berkeredep. Dan karena kakek ini sedang terhuyung sementara golok sudah menyambar luar biasa cepat maka kakek ini tak dapat mengelak kecuali menggerakkan tongkatnya, menangkis tapi tentu saja putus. Golok terus menyambar ke depan seperti kilat yang amat mengejutkan.
Dan ketika kakek itu terbang semangatnya dan berteriak mengerikan maka tangannya dipakai untuk menangkis namun tentu saja terbabat. Dan persis kakek itu menjerit maka tangannya kutung sementara dengan cepat dan tepat golok di tangan Si Golok Maut membelah dadanya.
"Oak!" Satu jeritan tertahan menyusul robohnya tubuh si kakek iblis. Pek-mo-ko mandi darah dan tubuhnya menjadi dua, putus secara mengerikan. Dadanya itu terpotong dan berteriaklah Hek-mo-ko melihat saudaranya tewas. Dan ketika yang lain-lain tertegun dan terkejut melihat itu maka Golok Maut sudah menggeram dan membalik menyerang mereka.
"Sekarang kalian. Bersiaplah kuhabisi!"
Semuanya gentar. Sekarang Golok Maut mengamuk dan golok di tangannya itu menyambar-nyambar bagai naga murka. Mindra dan teman-temannya pucat dan mundurlah mereka mengelak sambaran itu. Dan karena nenggala sudah putus sementara cambuk tak mungkin dipakai menghadapi Golok Penghisap Darah akhirnya Sudra maupun Mindra membalik memutar tubuhnya, lari!
"Bocah, bantu kami. Atau kau kulaporkan Coa-ongya!"
Beng Tan membelalakkan mata. Dia ngeri melihat sepak terjang Si Golok Maut yang demikian haus darah. Dia tak setuju orang-orang itu melakukan pengeroyokan namun tentu saja dia juga tidak bermaksud untuk membiarkan teman-temannya dibunuh. Maka ketika dua kakek India itu melarikan diri dan Yalucang serta Hek-mo-ko tentu saja tak kuat menghadapi sendirian maka dua orang itupun melarikan diri dan memutar tubuhnya, takut menghadapi Si Golok Maut!
"Beng Tan, bantu kami. Keparat kau!"
Beng Tan sekarang bergerak. Mo-ko dan kawan-kawan akhirnya melarikan diri. Mereka terang gentar dan kapoklah orang-orang itu meneriaki Beng Tan. Dan ketika Golok Maut menggeram dan mengejar mereka, terhuyung dan mendelik memutar-mutar goloknya tiba-tiba pemuda ini berkelebat menahan.
"Golok Maut, berhenti. Akulah lawanmu!"
Golok Maut beringas. Melihat Beng Tan maju dengan bentakannya tiba-tiba tanpa banyak cakap ia menyerang lawannya ini. Golok bergerak namun Beng Tan mengelak, diserang lagi dan berkelebatanlah pemuda itu melayani lawannya. Namun karena Golok Maut sudah gemetar sementara racun di tubuh juga mengalir semakin cepat akhirnya ketika Beng Tan mengetuk tiba-tiba Golok Maut roboh dan mengeluh pingsan.
"Bluk!"
Golok Maut memang tidak mungkin menyerang terus. Dia sudah terlalu lama bertahan dan tubuhnya yang kehitaman itu membutuhkan pertolongan cepat. Hanya kemarahan dan kebenciannya yang amat besar sajalah yang mampu membuat dia bertahan selama itu. Maka ketika Beng Tan bergerak dan memang hanya pemuda inilah yang dapat menghadapinya maka begitu diserang dan diketuk pergelangannya terlepaslah golok di tangan Si Golok Maut itu, Golok Maut sendiri terguling dan sudah roboh pingsan. Mo-ko dan lain-lain sudah lenyap melarikan diri dan tinggallah disitu Beng Tan menyelesaikan tugasnya. Dan ketika pemuda ini berkerut-kerut kening melihat lawan roboh maka Beng Tan menyambar dan sudah menangkap tawanannya itu.
"Lepaskan dia!" tapi bayangan merah tiba-tiba membentak. "Kau tak boleh membawanya pergi, Beng Tan. Serahkan padaku dan jangan kau ganggu dia!"
Beng Tan terkejut. "Kau mau apa?"
"Dia... dia ayah dari calon anakku. Aku akan membawanya pergi, menyelamatkannya!"
"Tapi.." Beng Tan tertegun. "Aku mendapat perintah kaisar untuk menangkap dan membawanya ke kota raja, Wi Hong. Tak mungkin aku menyerahkannya padamu!"
"Hm!" Wi Hong tegak, berapi-api. "Dengan caramu yang demikian rendah? Menangkap dan menawan seseorang yang sudah tidak berdaya?"
"Aku akan mengobatinya, Wi Hong. Dan lihat ini!" Beng Tan memberikan sebutir pil, langsung dimasukkan ke mulut Si Golok Maut tapi Wi Hong tetap menggeleng.
Gadis atau wanita itu berkata bahwa Golok Maut harus diserahkan padanya, tak boleh dibawa pergi. Dan ketika Beng Tan terbelalak dan menjadi marah maka wanita ini menutup,
"Kau tidak mendapatkannya secara ksatria. Kau merobohkan Golok Maut karena sebelumnya dia sudah terluka. Nah, apakah ini jantan, Beng Tan? Apakah ini tidak membuatmu malu dan kehilangan harga diri? Kalau kau begitu maka aku siap mati disini, membela suamiku!"
Beng Tan kaget. Sekarang Wi Hong menangis dengan air mata bercucuran dan gadis atau ketua Hek-yan-pang itu menyebut Golok Maut sebagai suaminya. Bukan main, satu pernyataan yang berani dan tidak malu-malu. Hal yang dilakukan gadis itu karena kepepet, terdesak! Dan ketika Beng Tan tersentak dan bingung disana maka Swi Cu berkelebat dan menangis menyambar sucinya itu pula.
"Suci, kau benar. Tapi, ah... pemuda ini juga berbahaya dan sekaranglah saatnya yang paling baik bagi Beng Tan untuk menangkap dan membawanya ke kota raja. Mereka berdua setanding. Kalau Golok Maut sehat dan sama-sama bertempur maka keduanya akan menjadi korban dan sama-sama celaka. Sebaiknya biarkan dia dan Golok Maut paling-paling akan diadili di istana, seperti kata Coa-ongya!"
"Hm, tidak!" Wi Hong membalik, mendorong sumoinya. "Aku tak mempercayai Coa-ongya, Swi Cu. Dan aku tak percaya orang-orang istana. Dia tetap milikku dan kalian pergi!"
"Tapi..." Swi Cu tersedu. "Aku takut kalau keduanya bertanding lagi, suci. Aku ngeri! Mereka itu sama-sama kuat dan setanding!"
"Aku tak perduli. Dan Beng Tan kutantang untuk mendapatkannya secara gagah! Kalau dia ingin menangkap dan membawa Golok Maut lebih baik bunuh aku dulu, atau dia pergi dan serahkan pemuda itu padaku!"
"Suci," Swi Cu gemetar, memandang sucinya, "Bukankah kau membenci pemuda ini? Bukankah dia..."
"Tidak, aku mencintainya, Swi Cu. Aku tak pernah diperkosanya dan apa yang terjadi adalah atas kemauanku juga. Aku sudah mengikat diriku, dan dia ayah dari calon anakku nanti. Kalian pergi atau....aku akan mati disini membela suamiku!"
Swi Cu mengguguk. Akhirnya dia menubruk dan memeluk Beng Tan, menutupi mukanya. Sucinya sudah berkata seperti itu dan tak mungkin dia mencegah. Dan karena dia tahu watak sucinya ini dan kekerasan sucinya memang tak perlu diragukan lagi maka Swi Cu menangis dan berkata pada kekasihnya, agar Golok Maut dilepaskan.
"Berikan dia... berikan dia. Biarlah lain kali kita datang lagi dan laksanakan tugasmu secara ksatria, kalau Golok Maut sudah sembuh!"
Beng Tan tertegun. Sebenarnya kata-kata Wi Hong tadi membuat mukanya menjadi merah juga. Memang, kalau dipikir, adalah kurang jantan menangkap lawannya itu setelah Golok Maut terluka dan habis tenaganya. Lawannya itu tidak sehat dan seolah dia tinggal menangkap saja. Tindakan kurang ksatria. Tapi karena Beng Tan tidak takut dan sebenarnya bukan maksudnya untuk menangkap Golok Maut begitu mudah akhirnya dia mengangguk dan mengepal tinju.
"Baiklah," katanya. "Aku bukan laki-laki pengecut, Wi Hong. Kalau kau menghendaki begitu kuterima permintaanmu. Nih, aku masih mempunyai obat lagi dan biarkan dia sembuh!"
Wi Hong bersinar matanya. Kalau Beng Tan berkata seperti itu maka sungguh bukan main girangnya sang hati. Tapi karena dia tak mau menunjukkan kegirangannya itu dan bersikap dingin maka dia pura-pura mengangguk dan berkata,
"Baik, terima kasih, Beng Tan. Dan aku juga akan menyuruh Golok Maut datang menemuimu. Ambil obatmu kembali, dia urusanku!"
Tapi Beng Tan melemparkan obat itu. Dia menggeleng dan tetap ingin menolong Golok Maut, atau, sebenarnya, menolong Wi Hong, karena dia tak ingin membuat wanita atau gadis itu repot. Dan begitu dia menyendal dan menarik lengan kekasihnya maka Beng Tan berkelebat dan pergi meninggalkan Lembah Iblis.
"Wi Hong, sampaikan padanya bahwa hidup atau mati aku pasti akan menangkapnya lagi. Jangan biarkan dia bersembunyi!"
Wi Hong sudah terlalu girang. Dia gembira bahwa lawan-lawan berat telah pergi. Sekarang dia tahu keadaan kekasihnya ini dan aneh tapi nyata Wi Hong tak lagi membenci pemuda itu.
Golok Maut secara ksatria dan jantan menghadapi semua keadaan dengan gagah. Watak itu betul-betul mengagumkan dan timbullah cinta di hati wanita ini. Dan karena Golok Maut tak membunuhnya dan dia juga tak jadi membenci orang yang masih dicintanya ini maka Wi Hong membungkuk dan menyambar pemuda itu. Dan begitu bergerak dan mengayunkan kakinya tiba-tiba ketua Hek-yan-pang ini telah berkelebat ke puncak tebing.
* * * * * * *
"Apa? Beng Tan melepaskan Golok Maut? Dia tak menangkap dan membawa pemuda itu?"
"Maaf," Mindra memberi hormat. "Begitulah yang kami lihat, ongya. Dan Mo-ko serta Yalu menjadi saksi!" begitu empat orang ini menghadap dengan muka terengah, melapor dan Coa-ongya, pangeran yang amat berkepentingan itu melotot.
Pangeran ini merah mukanya dan tentu saja dia marah. Dan ketika semua mengangguk dan menyatakan Golok Maut dibiarkan Beng Tan maka pangeran ini gusar meminta pemuda itu dipanggil menghadap.
"Aku disini," Beng Tan tahu-tahu muncul, seperti iblis. "Apa yang dikata mereka benar, ong-ya. Tapi kesalahan juga justeru gara-gara mereka. Mereka inilah yang membuat gagal. Dan karena mereka bersalah sebaiknya dihukum!"
Coa-ongya terkejut, berkerot giginya. "Beng Tan, apa arti kata-katamu ini? Bagaimana mereka bisa bersalah? Bukankah kau yang melepaskan Golok Maut padahal dia sudah terluka dan tinggal menangkap? Dan kau sudah merobohkannya pula, tapi kau melepaskan jahanam itu. Keparat!"
"Hm!" Beng Tan mengedikkan kepala, tidak gentar. "Jangan marah-marah dulu, ong-ya. Apa yang paduka ketahui belumlah lengkap. Sebaiknya paduka dengar dulu ceritanya dan ketahuilah kenapa Golok Maut terpaksa kulepaskan lagi, meski-pun sudah roboh!" Beng Tan lalu menceritakan jalannya peristiwa, betapa mula-mula dia sudah berhadapan dengan musuhnya itu tapi tiba-tiba kelima kakek ini datang mengacau. Mereka mengeroyok dan lancang mendahuluinya. Dan karena mereka melanggar peraturan dan mengambil alih pekerjaan maka Beng Tan membiarkan mereka.
"Tanpa bertanya atau meminta persetujuanku tiba-tiba mereka mengeroyok, mengira Golok Maut sudah tak kuat lagi. Siapa salah kalau Golok Maut mengamuk? Kakek-kakek inilah yang tak tahu diri, ong-ya. Dan mereka pengecut! Aku memang membiarkan mereka karena siapa tahu kalau mereka berhasil menangkap dan membunuh Golok Maut maka mereka inilah yang mendapat pahala!"
Mindra dan keempat kawannya merah padam. Mereka disemprot dan dikatai habis-habisan. Beng Tan menyesali namun sekaligus juga mengejek perbuatan mereka, yang dianggap pengecut. Dan karena mereka memang mengira Golok Maut sudah tak bertaring lagi dan mengira gampang merobohkan maka Beng Tan tak salah kalau membiarkan mereka berhadapan langsung.
"Nah, paduka tanyakan pada mereka ini apakah betul atau tidak!"
"Hm, betulkah, Mo-ko?" Coa-ongya beralih. "Kalian lancang mendahului dan tidak menunggu diluar lembah?"
"Maaf, kami tak sabar, ong-ya. Kami diluar lembah tapi melihat Beng Tan bicara saja dengan Si Golok Maut itu, seolah kawan!"
"Hm, kami bicara apa perdulimu, Mo-ko? Kalian semua lancang, tidak menuruti perintahku! Kalau sekarang suhengmu tewas jangan marah-marah kepadaku!"
Hek-mo-ko merah padam. Kalau saja Beng Tan tidaklah lihai mungkin dia akan menggeram dan menerjang pemuda ini, Memang hatinya masih sakit dan panas kalau teringat kematian suhengnya itu. Suhengnya tewas dan kematiannya pun mengerikan. Ah, selama hidup tak mungkin dia lupakan itu. Dan ketika Beng Tan mengejek dan mencibir padanya maka kakek ini tak berani bica ra apa-apa selain memendam kebencian di hati.
"Awas kau," pikirnya, "Sekali waktu kesempatan itu ada tentu aku akan mencelakaimu, anak muda. Aku akan membalas sakit hatiku atas kata-katamu!"
"Hm!" Coa-ongya kini memandang ke pembantu-pembantunya yang lain. "Betulkah itu, Mindra? Kalian datang dan mengambil alih tugas Beng Tan?"
"Maaf, kami memang tak sabar," Mindra menirukan, menjawab sambil menunduk. "Anak muda ini kami rasa terlalu lamban, ong-ya. Padahal Golok Maut sudah letih dan luka-luka. Kami memang mengambil alih pekerjaan karena menyangka Golok Maut gampang dibunuh. Tapi, ah... pemuda itu memang benar-benar lihai!"
"Dan kekasih pemuda ini memberikan Golok Penghisap Darah itu pada Golok Maut!" Hek-mo-ko tiba-tiba berseru. "Kalau saja Beng Tan mau mencegah tentu kami dapat membunuhnya, ong-ya. Beng Tan tak mau berbuat apa-apa dan semua menjadi saksi!"
"Hm, bagaimana itu? Apakah golok itu sudah berhasil dirampas?"
"Benar, dan Beng Tan-lah yang merampas. Lalu memberikannya pada kekasihnya. Hamba juga kecewa kenapa Beng Tan membiarkan Golok Maut merampas kembali senjatanya itu!" Mo-ko lalu bercerita, didengar Coa-ongya dan yang lain-lain pun mengangguk. Memang Golok Maut akan dapat mereka robohkan kalau saja tidak mendapatkan kembali senjatanya. Golok itu dirampas dari tangan Swi Cu dan Beng Tan diam saja. Dan ketika Mo-ko menuduh bahwa Beng Tan rupanya diam-diam berkomplot dengan musuh maka Coa-ongya bersinar-sinar memandang pemuda ini, marah.
"Beng Tan, benarkah kata-kata Mo-ko ini? Kau membiarkan saja Golok Maut mengambil senjatanya padahal kau berada di dekat kekasihmu itu?"
"Maaf, pantang bagiku berbohong, ong-ya. Hal itu betul. Tapi tidak semata seperti apa yang diceritakan Mo-ko ini. Mereka mengeroyok, dan bersenjata pula. Mana kegagahan mereka menghadapi lawan secara ksatria? Aku tak menyukai Golok Maut, ong-ya. Tapi aku lebih tak menyukai orang-orang yang bersifat pengecut. Mereka ini licik, dan mengandalkan jumlah pula. Dan karena aku tak suka mereka berbuat curang maka kubiarkan Golok Maut itu mendapatkan senjatanya agar pertandingan berjalan adil, masing-masing sama-sama bersenjata!"
"Dan untuk itu suhengku tewas!" Hek-mo-ko naik darah, mendelik. "Kau tak setia kawan, Beng Tan. Kau membela musuh. Dan aku ragu apakah kesungguhanmu untuk membunuh Golok Maut juga benar-benar dapat dipercaya!"
"Hm, kau lihat saja," Beng Tan mendengus. "Suhengmu tewas karena kalian semua tak menuruti perintahku, Mo-ko. Sudah kubilang agar kalian berjaga dan biarkan aku berhadapan satu lawan satu. Dan karena kalian sombong dan licik mengeroyok lawan yang disangka tak ada tenaganya maka jangan salahkan aku kalau seandainya kalian semua pun mampus!"
"Apa kau bilang?" Hek-mo-ko semakin gusar. "Kau menghina kami yang merupakan pembantu ong-ya? Kau merendahkan Coa-ongya pula?"
"Hm," Beng Tan tak menghiraukan. "Sudah kita sepakati bahwa yang maju adalah aku, Mo-ko, bukan kalian. Dan karena kalian lancang dan tidak tahu diri maka itulah akibatnya kalau bersifat sombong. Kalau kalian meragukan niatku membekuk Golok Maut baiklah, aku mundur dan kalian yang menangkap!"
"Heii..!" Coa-ongya kaget, berseru keras. "Kembali, Beng Tan. Tunggu dulu!"
Kiranya Beng Tan pergi, Pemuda itu marah meninggalkan ruangan, berkelebat dan membalik tanpa minta ijin lagi pada Coa-ongya, tuan rumah. Tapi ketika Coa-ongya berseru dan Beng Tan mengeluarkan suara dari hidung tiba-tiba pemuda ini berkelebat dan muncul kembali.
"Paduka mau apa? Apa lagi yang dapat paduka perlukan dari orang yang sudah tidak dapat dipercaya?"
"Tidak... tidak!" sang pangeran menggoyang lengan. "Aku tetap percaya padamu, Beng Tan. Jangan kemarahanmu kepada Mo-ko kau timpakan disini pula. Aku tetap memerlukan bantuanmu, jangan kau pergi!"
"Sementara ini biarkan hamba istirahat. Paduka bersama pembantu-pembantu paduka itu!"
"Ah, tapi aku tak marah padamu, Beng Tan. Kau jangan salah paham!"
"Tidak, bukan salah paham, ong-ya. Tapi kulihat semuanya begitu. Biarlah hamba istirahat dan lain kali kita bicara lagi. Maaf!" dan Beng Tan yang membalik membungkukkan tubuhnya tiba-tiba sudah berkelebat dan meninggalkan pangeran, memberi hormat dan sang pangeran pun tertegun.
Coa-ongya tak dapat berbuat apa-apa dan kini giginya berkerot-kerot. Dan karena Beng Tan benar-benar tak dapat dibujuk dan pemuda itu masih menunjukkan kemarahannya akhirnya pangeran membalik dan menghadapi keempat pembantunya itu.
"Kalian lihat, pemuda itu ngambek. Lain kali harap lebih berhati-hati karena betapapun tenaganya masih kita perlukan!" dan melotot menegur Hek-mo-ko sang pangeran melanjutkan, "Mo-ko, malam nanti kau panggil seorang pembantuku yang rahasia. Pergi keluar kota raja dan cari Si Kedok Hitam, di kuil di timur pintu gerbang. Nah, kalian semua pergi dan malam nanti bertemu lagi!"
Semua mengangguk. Mo-ko diam-diam heran dan terkejut karena tak menyangka Coa-ongya memiliki seorang pembantu lain, yang tidak diketahui. Dan ketika Coa-ongya bangklt berdiri dan meninggalkan ruangan maka semuanya bergerak dan kembali ke tempat masing-masing, Mindra dan Sudra diam-diam juga heran dan mengerutkan kening bahwa Coa-ongya memiliki pembantu rahasia. Mereka saling lirik dan memberi tanda. Namun ketika mereka berpisah dan menunggu malam nanti maka semuanya berkelebat dan lenyap di empat penjuru gedung.
* * * * * * *
Malam itu Mo-ko menuju timur pintu gerbang. Dia tahu akan adanya sebuah kuil tua dan di kuil itulah katanya seorang pembantu Coa-ongya tinggal. Dia penasaran dan ingin tahu. Sejak siang tadi dia tak sabar menunggu datangnya malam. Maka ketika malam menjelang tiba dan dia diperintah memanggil Si Kedok Hitam, tokoh yang belum dikenal maka iblis muka hitam itu berkelebat dan sudah tiba di depan kuil.
Mo-ko adalah iblis yang sombong. Pembantu-pembantu Coa-ongya biasanya adalah orang-orang yang harus "berkenalan" dulu dengannya. Kalau ilmu silatnya biasa-biasa saja tentu dia akan menghajarnya habis-habisan. Maklumlah, setiap pembantu baru berarti saingan cari makan dan gengsi. Sudra maupun Mindra pun juga tak luput dari "ajar kenal" ini, dicoba kepandaiannya. Dan ketika dia masuk dan berkelebat memasuki kuil maka Mo-ko sudah berteriak agar Si Kedok Hitam muncul.
"Hei...!" kakek itu berseru. "Aku mencarimu, Kedok Hitam. Keluarlah dan tampakkan dirimu. Aku diutus Coa-ongya!"
Tak ada jawaban. Bentakan atau seruan kakek Itu malah bergema namun tak ada siapa-siapa di kuil kosong itu. Rupanya tak ada orang dan marahlah kakek ini memanggil-manggil lagi. Kalau Coa-ongya menyuruh tak mungkin majikannya bohong. Di kuil itu pasti ada seseorang tapi entah kemana orang yang dicari itu. Dan ketika iblis ini berkelebatan dan mencari sambil berteriak-teriak maka seluruh ruangan sudah dijelajahi namun hasilnya nihil.
"Keparat!" kakek ini memaki-maki. "Kau llcik dan pengecut, Kedok Hitam. Sepantasnya orang macammu ini tak patut menjadi pembantu Coa-ongya, apalagi pembantu rahasia! Cih, kau gentong kosong yang menikmati gaji buta!"
Mo-ko marah-marah. Dia sudah mengelilingi dan mencari kemana-mana. umpatan dan makian pun tak pernah kendor. Tapi ketika dia tiba diruangan singa, yakni tempat yang penuh patung binatang tiba-tiba terdengar dengus dan suara yang tak jelas arahnya.
"Mo-ko, aku sudah tahu maksud kedatanganmu. Pergilah, dan beritahukan Coa-ongya aku datang!"
"Keparat!" Mo-ko membalik. "Dimana kau, Kedok Hitam? Kau benar-benar ada disini?"
"Ya, aku ada disini, sedang tidur. Tapi kau mengganggu dan berkaok-kaok bagai babi disembelih. Kalau kau bukan pembantu Coa-ongya tentu tubuhmu sudah kulempar keluar. Pergilah, dan beritahukan Coa-ongya bahwa aku datang!"
Mo-ko melotot. Dia menangkap suara disebelah kiri, dibelakang patung singa. Maka berkelebat dan membentak menyuruh lawan keluar tiba-tiba kakek ini menghantam dan melepas pukulannya. "Kau keluarlah.... dess!" patung singa hancur, Mo-ko terbelalak menajamkan matanya karena orang yang dicari tak ada disitu. Dan ketika dia mendengar tawa mengejek dan suara itu kini ada dibelakang tubuhnya maka dia membalik dan menghantam lagi.
"Dess!"
Inipun gagal. Mo-ko mendelik dan marah bukan main, mendengar suara di kiri kanan tubuhnya dan tentu saja kakek itu berubah-ubah tempat. Dia mengikuti dan menghantam lagi, membabi-buta. Tapi ketika belasan patung hancur dan orang yang dicari tak ada juga maka kakek ini kaget dan mulai gentar! "Kedok Hitam, keluarlah. Jangan main-main seperti pengecut!"
"Hm, apa maksudmu?"
"Aku ingin melihat tampangmu!"
"Tak perlu sekarang, nanti pun bisa."
"Tidak, kau keluarlah, Kedok Hitam. Atau kau mampus kuhajar.... des-prakk!" sebuah patung lagi hancur, patung satu-satunya yang ada disitu dan Mo-ko melihat sesosok bayangan berkelebat luar biasa cepatnya. Dia sudah menduga bahwa lawannya bersembunyi disitu dan benar saja orang ini keluar. Tapi ketika dia tak melihat siapa lawannya itu karena gerakannya demikian cepat dan luar biasa maka tahu-tahu kakek ini telah kehilangan lawannya itu. Seperti iblis!
"Mo-ko, aku diluar. Keluarlah kalau ingin melihat aku!"
Mo-ko berdetak. Gerakan demikian cepat hanyalah dua orang saja yang selama ini dialaminya. Satu Golok Maut dan ke-dua adalah Beng Tan, pemuda baju putih itu. Maka begitu lawan lenyap tapi sudah menunggunya di depan maka kakek ini. berkelebat dan benar saja seseorang telah menunggunya di halaman, seseorang yang berkedok!
"Ah, siapa kau?" kakek ini berjungkir balik, turun dan sudah melayang ke bawah dan berhadapanlah kakek itu dengan lawannya.
Si Kedok Hitam tertawa mengejek dan merasa meremang mendengar tawa ini, begitu dingin dan menyeramkan. Jantung di dadanya serasa beku dan tawa itu juga seperti tawa Si Golok Maut yang kejam dan dingin. Tapi ketika dia membentak dan lawan menghentikan tawanya maka Si Kedok Hitam, laki-laki yang tinggi jangkung ini mendengus padanya...