TAPAK TANGAN HANTU
JILID 05
KARYA BATARA
JILID 05
KARYA BATARA
PENDEKAR ini tertawa melarikan kudanya. Kalau sang isteri sudah cemberut dan masih mengkal dengan kejadian di Ma-ciang biarlah dia menghiburnya dengan balapan kuda. Sang isteri tentu menyusul dan akan terbawa. Dan ketika benar saja isterinya itu mengejar dan kedua kuda lari congklang, mereka beradu cepat maka pendekar ini menendang dan menyuruh kudanya lebih cepat lagi.
“Ha-ha, ayo, niocu. Percepat dan suruh kudamu berlari kencang. Lihat, kau kalah!”
“Hm, siapa bilang? Kau lebih dulu, suamiku, tentu saja menang. Ayo berendeng dan kita adu!”
“Hm, siapa bilang? Kau lebih dulu, suamiku, tentu saja menang. Ayo berendeng dan kita adu!”
“Begitukah? Ha-ha, baik. Mari berendeng dan lihat siapa yang menang. Aku tak mau dikata curang!”
Dan berendeng menunggu isterinya kemudian membalap lagi suami yang sudah gembira melihat isterinya tak marah lagi lalu mengajak balapan kuda melupakan peristiwa di restoran. Isterinya ini kalau sudah marah harus didinginkan dulu, kalau tidak tentu akan selalu marah dan dia yang repot. Dan ketika sang isteri mulai tersenyum dan berpacu melarikan kudanya maka bergeraklah mereka menuju selatan.
Dan berendeng menunggu isterinya kemudian membalap lagi suami yang sudah gembira melihat isterinya tak marah lagi lalu mengajak balapan kuda melupakan peristiwa di restoran. Isterinya ini kalau sudah marah harus didinginkan dulu, kalau tidak tentu akan selalu marah dan dia yang repot. Dan ketika sang isteri mulai tersenyum dan berpacu melarikan kudanya maka bergeraklah mereka menuju selatan.
Perjalanan dilakukan dengan tawa dan akhirnya tak terasa lagi mereka tiba di wilayah Ci-bun. Kota ini sudah mereka masuki menjelang gelap. Dan karena mereka tak mau singgah karena dusun Lam-chung tinggal beberapa puluh li lagi maka pendekar dan isterinya ini meneruskan perjalanan dan sekarang mereka tak tertawa-tawa.
Banyak orang memandang mereka dengan terheran-heran. Pakaian berdebu dan wajah kotor tak dihiraukan suami isteri ini. Mereka melintas di tengah kota untuk akhirnya keluar lewat gerbang pintu barat. Dan ketika akhirnya mereka melintasi dusun Lam-chung dan masing-masing sama tertegun melihat kerusakan dusun itu, kuda meringkik dan terhuyung kelelahan maka di situ mereka dapat melihat adanya sebatang pohon raksasa yang menjulang tinggi di depan sana. Sang suami menghentikan kudanya.
“Itu Hutan Iblis! Kita sudah sampai di tempat tujuan dan biarkan kita lepas kuda kita disini!”
Sang isteri tertegun, ikut berhenti juga. “Kau mau kita jalan kaki?”
“Kau tak capai, bukan?”
“Aku masih kuat, suamiku, dan kebetulan kita datang menjelang gelap. Bagus, kita jalan kaki dan biarkan kuda kita beristirahat!” Ju-hujin meloncat turun dan membiarkan kudanya mencari air.
Mereka sendiri tak begitu capai karena tanpa kudapun mereka kuat melakukan perjalanan jauh. Bagi suami isteri pendekar ini perjalanan ke Lam-chung bukan perjalanan melelahkan, meskipun cukup jauh. Dan ketika Ju-taihiap juga mendorong kudanya untuk minggir, mencari rumput atau air maka pendekar ini memandang sejenak pohon raksasa ditengah hutan itu. Hutan di depan itu terasa menyeramankan dan tegak seperti raksasa siap menerkam, mengintai mereka.
“Kita harus berhati-hati, kita tak tahu penghuni hutan itu. Baik, mari ita ke sana, niocu. Kau disampingku dan kita mempergunakan ilmu kita menyelinap ke sana!”
Ju-hujin mengangguk dan membiarkan lengannya disambar suami. Ia merasa bahagia dan terharu bahwa suaminya selalu memperhatikannya. Dalam keadaan bahaya perhatian suami ini terasa begitu lebih besar, ia merasa nikmat, tenteram, meskipun ia tak merasa takut menghadapi pemilik Hutan Iblis itu. Dan ketika ia bergerak dan sang suami mengajaknya berkelebat, bintang berkerlip lemah di langit timur maka dengan kepandaiannya yang tinggi pendekar dan isterinya ini bergerak menuju Hutan Iblis.
Ju-taihiap tak merasa gentar meskipun tegang. Ia tak tahu bagaimana dan siapa penghuni hutan itu, kecuali bahwa penghuni hutan itu lihai dan ganas, terbukti dengan tewasnya dua murid Pek-lui-kong, juga kakek itu sendiri yang harus melarikan diri dan mundur. Tapi ketika ia tiba di hutan itu dan bulan sabit juga mulai muncul, langit semakin gelap namun cahaya benda-benda angkasa menerangi tempat itu maka pendekar ini tertegun tak melihat apa-apa yang mencurigakan.
“Hutan ini kosong, tak ada penghuninya!”
“Dari mana kau tahu?”
“Telingaku, niocu, aku tak menangkap suara apa-apa dan tempat ini kosong!”
“Ah, aku tak percaya. Banyak srigala di tempat ini dan tak mungkin Pek-lui-kong bohong. Biar kusuruh mereka keluar!” nyonya ini bergerak dan tiba-tiba mengeluarkan suara bentakan.
Penghuni hutan yang katanya ganas akan disuruhnya keluar dengan suara-suara gaduh. Ju-hujin menghantam dan merobohkan sebatang pohon. Lalu ketika dia berkelebatan dan menyerang pohon-pohon liar, bentakannya melengking dan menggetarkan isi hutan maka debum dan kerosak ranting-ranting yang patah membuat ribut mulut hutan ini.
Banyak orang memandang mereka dengan terheran-heran. Pakaian berdebu dan wajah kotor tak dihiraukan suami isteri ini. Mereka melintas di tengah kota untuk akhirnya keluar lewat gerbang pintu barat. Dan ketika akhirnya mereka melintasi dusun Lam-chung dan masing-masing sama tertegun melihat kerusakan dusun itu, kuda meringkik dan terhuyung kelelahan maka di situ mereka dapat melihat adanya sebatang pohon raksasa yang menjulang tinggi di depan sana. Sang suami menghentikan kudanya.
“Itu Hutan Iblis! Kita sudah sampai di tempat tujuan dan biarkan kita lepas kuda kita disini!”
Sang isteri tertegun, ikut berhenti juga. “Kau mau kita jalan kaki?”
“Kau tak capai, bukan?”
“Aku masih kuat, suamiku, dan kebetulan kita datang menjelang gelap. Bagus, kita jalan kaki dan biarkan kuda kita beristirahat!” Ju-hujin meloncat turun dan membiarkan kudanya mencari air.
Mereka sendiri tak begitu capai karena tanpa kudapun mereka kuat melakukan perjalanan jauh. Bagi suami isteri pendekar ini perjalanan ke Lam-chung bukan perjalanan melelahkan, meskipun cukup jauh. Dan ketika Ju-taihiap juga mendorong kudanya untuk minggir, mencari rumput atau air maka pendekar ini memandang sejenak pohon raksasa ditengah hutan itu. Hutan di depan itu terasa menyeramankan dan tegak seperti raksasa siap menerkam, mengintai mereka.
“Kita harus berhati-hati, kita tak tahu penghuni hutan itu. Baik, mari ita ke sana, niocu. Kau disampingku dan kita mempergunakan ilmu kita menyelinap ke sana!”
Ju-hujin mengangguk dan membiarkan lengannya disambar suami. Ia merasa bahagia dan terharu bahwa suaminya selalu memperhatikannya. Dalam keadaan bahaya perhatian suami ini terasa begitu lebih besar, ia merasa nikmat, tenteram, meskipun ia tak merasa takut menghadapi pemilik Hutan Iblis itu. Dan ketika ia bergerak dan sang suami mengajaknya berkelebat, bintang berkerlip lemah di langit timur maka dengan kepandaiannya yang tinggi pendekar dan isterinya ini bergerak menuju Hutan Iblis.
Ju-taihiap tak merasa gentar meskipun tegang. Ia tak tahu bagaimana dan siapa penghuni hutan itu, kecuali bahwa penghuni hutan itu lihai dan ganas, terbukti dengan tewasnya dua murid Pek-lui-kong, juga kakek itu sendiri yang harus melarikan diri dan mundur. Tapi ketika ia tiba di hutan itu dan bulan sabit juga mulai muncul, langit semakin gelap namun cahaya benda-benda angkasa menerangi tempat itu maka pendekar ini tertegun tak melihat apa-apa yang mencurigakan.
“Hutan ini kosong, tak ada penghuninya!”
“Dari mana kau tahu?”
“Telingaku, niocu, aku tak menangkap suara apa-apa dan tempat ini kosong!”
“Ah, aku tak percaya. Banyak srigala di tempat ini dan tak mungkin Pek-lui-kong bohong. Biar kusuruh mereka keluar!” nyonya ini bergerak dan tiba-tiba mengeluarkan suara bentakan.
Penghuni hutan yang katanya ganas akan disuruhnya keluar dengan suara-suara gaduh. Ju-hujin menghantam dan merobohkan sebatang pohon. Lalu ketika dia berkelebatan dan menyerang pohon-pohon liar, bentakannya melengking dan menggetarkan isi hutan maka debum dan kerosak ranting-ranting yang patah membuat ribut mulut hutan ini.
Ju-hujin tak berani sembarangan menyerang ke dalam karena betapapun ia harus berhati-hati. Ia tak mau ada serangan gelap dan curang. Tapi ketika semua ribut-ribut itu tak mendatangkan hasil dan sang suami menunggu dengan sikap tenang akhirnya delapan pohon tumbang tapi tak ada srigala atau pemilik hutan yang keluar. Bentakan dan pancingan isterinya tak berhasil.
“Nah, kau lihat. Tempat ini kosong. Daripada menghamburkan tenaga sia-sia lebih baik masuk ke dalam dan kita lihat tempat ini!” Ju-taihiap berkata dan memasang obor. Pendekar ini telah tahu namun tak ingin menyinggung perasaan isteri. Dia berpendengaran lebih tajam namun biarlah isterinya itu membuktikan.
Dan ketika sang isteri puas namun terbelalak di sana, merah, maka pendekar ini melompat ke dalam dan masuk tanpa rasa takut sedikitpun. Obor di tangannya menerangi delapan penjuru dan yang pertama tampak adalah tengkorak-tengkorak manusia dan tulang-tulang berserakan!
“Ih!” Ju-hujin terbeliak dan terpekik kecil. Dia mengikuti suaminya ini dan pandangan pertama itu membuatnya terkejut. Hutan ini menyeramkan! Tapi ketika dia menggigit bibir dan mengepal tinju, tulang dan tengkorak manusia ada di mana-mana maka suaminya menyendal dan di bawa maju semakin dalam.
“Tenanglah, lihat saja. Hutan ini benar-benar sarang iblis, niocu. Lihat saja kiri kanan di atas kita!”
Sang nyonya hampir menjerit dan kembali terbelalak. Ternyata di dahan-dahan pohon, tadi tak terlihat, tampak puluhan mayat-mayat manusia yang sudah tinggal tulang-belulang saja. Ada yang digantung dan ada pula yang terjepit di antara cabang dan ranting. Semuanya serba mengerikan dan dulunya tentu mayat-mayat itu menderita sekali. Siksaan yang mereka terima tentu dahsyat. Dan hampir muntah melihat sesosok mayat yang ususnya terburai, menggantung atau digantung di dahan pohon yang besar maka Swi Cu memalingkan mukanya namun sang suami justeru terbelalak dan berseru tertahan.
“Siauw-hwi!”
Sang nyonya menoleh dan terkejut. Itu adalah murid Hek-yan-pang dan Siauw-hwi adalah satu dari lima murid yang dibunuh pemilik Hutan Iblis ini. Ki Bi, murid utama membawa Siauw-hwi dan tiga adik perempuan yang lain. Maka begitu suaminya berseru tertahan dan mengenal mayat itu, mayat dari murid mereka sendiri tiba-tiba nyonya ini melihat suaminya meloncat dan sekali tangannya bergerak mayat itu telah diambil dan diamati. Dan pendekar ini tertegun, wajah menjadi pucat namun berobah merah padam oleh hawa amarah yang naik kekepala. Dibaju mayat itu tertulis sobekan surat yang membuat pendekar ini tiba-tiba terbakar.
“Niocu, celaka. Kita harus cepat kembali!”
“Ada apa!”
“Lihat! Ancaman ini membahayakan murid-murid kita, niocu. Ah, kita saling mendatangi!”
Ju-hujin terkejut dan bergerak mendekati suaminya. Dia tak boleh muntah melihat mayat muridnya ini, terbelalak ke sobekan kertas yang ditunjuk suaminya, di dada mayat itu. Dan ketika dia membaca dan menggigil penuh marah maka surat itu seakan sebuah pemberitahuan, berbunyi singkat:
Semua anak murid Hek-yan-pang harus dibunuh!
Nyonya ini memekik. Tiba-tiba ia menyambar surat itu dan melemparnya ke kiri. Surat dikepal dan meluncur seperti peluru. Dan ketika pohon di sebelah tumbang dihajar kertas peluru ini maka Ju-hujin meloncat dan terbang keluar.
“Mata Iblis, jangan main ancam kau. Keparat, siapa takut padamu. Mari kita bertempur dan lihat siapa yang akan mampus!”
Di luar nyonya ini mengamuk dan menghajar apa saja. Mulut hutan menjadi hiruk-pikuk oleh tandangnya. Pohon dan apa saja dicabut. Lalu tak puas oleh semua ini ia kembali ke dalam dan menuju pohon raksasa di tengah hutan itu. Tengkorak dan mayat-mayat manusia dilalui begitu saja. Tiga ekor ular yang bergelantungan di pohon bahkan dikibasnya roboh, kepala mereka pecah. Dan ketika ia mengamuk dan berkelebatan di puncak pohon ini, mencabut pedang membabat ranting dan cabang maka sekejap saja pohon raksasa itu gundul bagian atasnya.
Ju-hujin turun ke tengah dan pedang hitam di tangan kanannya menyambar-nyambar kembali, sekejap kemudian sudah menggunduli lagi bagian tengah pohon ini. Namun karena semakin ke bawah cabang dan ranting pohon itu semakin besar, dua kali nyonya ini menggedruk batangnya namun pohon raksasa itu tak bergeming, hanya tergetar sedikit dan selanjutnya tegak dengan sikap menantang maka sang nyonya menikam dan menusuk-nusuki batang pohon raksasa itu sampai berlubang-lubang. Puluhan banyaknya.
“Niocu, sudah. Tak ada gunanya mengamuk di sini. Kita harus cepat pulang!”
Ju-taihiap menyambar dan menarik lengan isterinya ini. Pohon itu bakal dibabat gundul namun tak ada gunanya menghajar tanaman ini. Yang harus di cari adalah si pemilik hutan, bukan barang atau isinya. Dan ketika dia melompat turun dan pedang dirampas, sang isteri meronta namun ditotok maka Ju-taihiap tak mau tinggal lagi disitu dan terbang ke Hek-yan-pang. Bayang-bayang mengerikan membuat dia gelisah hebat.
“Tak ada guna mengamuk di situ. Kita saling serbu. Ah, aku khawatir anak-anak murid kita, niocu. Si Mata Iblis pasti mendatangi tempat kita sementara kita tak ada di sana!”
“Kau... lepaskan totokanmu. Keparat, lepaskan aku, Beng Tan. Bebaskan totokanmu atau kau bunuh aku!”
Ju-taihiap terkejut. Sang isteri menyebut nama kecilnya begitu saja seperti ketika dulu mereka sama-sama muda, waktu isterinya ini juga marah-marah masalah si Golok Maut Sian Hauw. Maka tertegun dan berhenti membebaskan totokan, mereka sudah jauh dari Hutan Iblis tiba-tiba pendekar ini menarik napas dalam-dalam menahan marah atas sikap isterinya itu.
“Kau... kau tak hormat lagi kepada suami? Kau berani berkata seperti itu?”
Swi Cu mengguguk. Ditegur seperti itu tiba-tiba iapun sadar. Ia terlampau melampiaskan marah kepada suaminya ini, padahal tak seharusnya ia bersikap kasar. Maka mengguguk dan menubruk suaminya itu, meminta ampun iapun tersedu-sedu dan Beng Tan mengusap rambut isterinya itu dengan penuh kasih sayang, lenyap kemarahannya.
“Sudahlah, kita selesaikan pertengkaran kita, Cu-moi. Tak perlu mengingat-ingat itu lagi dan mari berangkat lagi. Kau harus tunduk dan turut kata-kataku.”
“Kau... kau tidak memukulku?”
“Memukul?”
“Ya, aku kurang ajar kepadamu, Tan-ko, aku berani kepadamu. Kau pukullah aku agar aku tahu adat!”
“Ah, isteriku begini kok dipukul. Aku menyayangimu kok disuruh menghukum. Hush, kau bicara apa, niocu. Kalau kau minta di hukum maka hukumannya adalah ini... cup!” Beng Tan mencium kening isterinya, tersenyum dan isteripun tersedak penuh haru.
Nyonya ini memeluk dan mendekap suaminya itu erat-erat, membalas dan diciumnya bibir suami dua kali. Lalu ketika Beng Tan tertawa dan isteri tersenyum bahagia tiba-tiba pendekar itu menarik isterinya diajak pulang ke Hek-yan-pang.
“Kuda kita..!”
“Biarlah, isteriku. Perjalanan kali ini harus dilakukan cepat agar pagi-pagi kita sudah sampai di rumah. Biarkan mereka beristirahat karena kalau kita pacu tentu mati di tengah jalan!”
Swi Cu mengangguk. Ia tak memperdulikan lagi pada kuda mereka karena dengan berkuda perjalanan malah dirasa lamban. Dengan ilmu kepandaian mereka yang sudah mencapai taraf tinggi begini larinya seekor kuda bahkan dirasa terlalu pelan, apalagi mereka harus cepat-cepat tiba di Hek-yan-pang karena firasat buruk menghantui dirinya, terutama suaminya itu. Dan ketika malam itu juga mereka meluncur dan terbang menuju pulang maka benar saja keesokannya mereka disambut jerit tangis anak murid. Mayat dan darah berceceran di telaga. Bahkan puluhan srigala tampak mengambang di permukaan telaga yang berwarna merah darah!
“Pangcu...!”
Suami isteri ini tertegun. Tak mereka sangka bahwa perjalanan mereka terlambat. Murid laki-laki dan wanita muncul dari kiri kanan dan rata-rata tubuh atau baju mereka bersimbah darah. Dan ketika anak murid menjerit dan histeris menubruk mereka, dua orang ini terbelalak maka seratus lebih mayat-mayat murid Hek-yan-pang membuat Ju-hujin melengking dan tiba-tiba melejit ke depan menuju pulau.
“Niocu...!”
Sang nyonya tak perduli. Ia sudah menyambar perahu di pinggir telaga meluncur ke tengah. Gedung tempat mereka tinggal tampak hangus, api bahkan masih berkobar di beberapa tempat dan tempat tinggal mereka itu rusak binasa. Puing-puing berserakan di mana-mana. Dan ketika nyonya itu mempercepat perahunya sementara Ju-taihiap berkelebat dan meloncat di atas sepotong papan, bergerak dan menaikturunkan lengannya berulang-ulang maka pendekar ini sudah mengejar isterinya yang sudah meloncat ke darat. Dan di sinipun mayat-mayat bergelimpangan.
“Jahanam!” nyonya itu memekik dan menyerbu ke depan. Di sini anak-anak muridnya juga bermunculan dan merekapun rata-rata bermandi darah. Ada yang terpincang-pincang dengan kaki putus, seorang di antaranya bahkan buntung kedua lengannya. Dan ketika mereka itu merintih namun Ju-hujin berteriak dan berkelebat menuju rumahnya sendiri, gedung di sebelah kiri bangunan yang terbakar maka tempat inipun roboh tinggal puing-puingnya saja.
Nyonya itu melotot. Hek-yan-pang ternyata porak-poranda dan ratusan anak murid tinggal beberapa puluh saja, itupun luka-luka dan terseok jatuh. Dan ketika nyonya ini mendelik dan mengepal tinju, Ju-taihiap berkelebat dan menyambar lengan isterinya itu maka wanita inipun roboh dan pingsan tak kuat menahan diri lagi.
“Pangcu, kami... kami diserbu pemilik Hutan Iblis. Kami diserang seorang laki-laki luar biasa dengan ratusan binatang anak buahnya, srigala-srigala lapar.”
“Benar, dan kami banyak yang tewas, pangcu. Kami... kami tak dapat mempertahankan Kek-yan-pang.”
Murid-murid roboh satu per satu. Mereka sama mengeluh dan Ju-taihiap menggigil hebat. Musuh yang dicari malah datang sendiri, bukan main, betapa beraninya. Namun ketika dia menolong isterinya dan para murid pucat dan ngeri, mereka terguncang oleh peristiwa semalam maka pendekar itu menyuruh bangun mereka semua untuk mengurus mayat dan membersihkan tempat itu.
“Mana Bo Lip, mana Kiat Bu. Kenapa mereka tidak nampak.”
“Ampun, mereka... mereka tewas terbunuh, pangcu. Semua murid-murid utama binasa!”
“Dan Hwa Eng?”
“Eng-suci juga tewas, pangcu. Tak ada murid-murid utama yang hidup. Kami selamat karena menceburkan diri dalam telaga, itupun masih dikejar dan disergap binatang-binatang jahanam itu!”
“Benar, kami bertarung mati hidup dengan binatang-binatang ganas itu, pangcu. Di air telagapun srigala-srigala itu tak kenal takut. Mereka seolah kesetanan!” seorang murid lain berseru.
“Begitukah?” Ju-taihiap mengerotokkan giginya. “Baik, sekarang aku sudah di sini, A-hiong, tak usah kalian takut dan kumpulkan semua teman-teman yang ada. Hitung berapa sisa mereka!”
Murid itu mundur. Ju-taihiap sudah menyadarkan isterinya dan begitu sadar nyonya inipun menjerit. Ju-hujin membentak dan memberosot dari lengan suaminya, mengira bertemu musuh. Tapi begitu ditekan dan disadarkan keadaannya maka nyonya ini tersedu-sedu dan menubruk suaminya itu. Para murid juga ikut menangis.
“Jahanam... keparat! Kita sia-sia mencari musuh, suamiku. Dia... dia datang dan mengobrak-abrik tempat kita, menghancurkan tempat kita. Ah, kalau saja aku ada disini !”
“Sudahlah,” Ju-taihiap menghibur dan berkerut-kerut, wajah gelap dan matapun berapi-api. “Aku juga tak tahu ini, niocu. Kalau saja aku mengerti tentu kutunggu jahanam itu. Dia berani datang, berarti benar-benar percaya akan kepandaian sendiri. Hm, mari kita tolong para murid karena mereka menunggu kita!”
Hari itu Hek-yan-pang benar-benar berkabung. Dua ratus murid binasa sementara tiga ratus lebih srigala juga terbunuh dan bergelimpangan mayatnya di mana-mana. Telaga dan daratan penuh bangkai-bangkai terkapar, keadaan sungguh mengerikan. Tapi ketika Ju-taihiap ikut membersihkan tempat itu dan seorang murid bercerita panjang lebar maka geraham pendekar ini bergemeretuk karena ketika ia tiba di Hutan Iblis ternyata majikan hutan itu datang di Hek-yan-pang dan menghancurkan tempat ini.
“Tak kurang dari lima ratus srigala buas menyerbu di sini. Dan laki-laki itu, ah... menyeramkan sekali, pangcu. Kalau dia menyeringai maka dua taringnya yang kuat seolah srigala sendiri yang siap menggigit dan menerkam kita. Bahkan Bo Lip suheng dihisap dan disedot darahnya!”
“Benar,” murid yang lain berseru, bergidik. “Manusia itu bukan manusia, pangcu. Dia iblis, manusia srigala!”
Beng Tan terkejut. Ia segera mendengar kisah-kisah menyeramkan dari sepak terjang laki-laki itu. Tapi karena dia sudah melihat kekejaman atau kebuasan majikan Hutan Iblis ini di tempatnya, ketika semalam ia di sana maka ia mengepal tinju dengan kemarahan semakin terbakar.
Hari itu mayat-mayat dan puing-puing disingkirkan, yang masih hidup dihitung. Dan ketika anak murid tinggal enam puluh orang, yang lain tewas atau hilang disantap srigala maka malamnya pendekar ini duduk di bangunan darurat, murid-murid berkumpul.
“Sekarang kalian tenangkan hati, aku di sini. Kejadian ini tentu dibalas tapi biarlah kutunggu puteraku Han Han. Kalau aku pergi jangan-jangan musuh datang lagi, kalian nanti repot. Biarlah besok kita bangun tempat kita lagi dan untuk sementara ini aku tak akan meninggalkan markas.”
Para murid mengangguk-angguk. Kalau pangcu mereka ada di situ tentu saja mereka berbesar hati. Tadi sebagian besar sudah merasa takut kalau-kalau ketua mereka ini pergi lagi. Gara-gara ditinggal itulah maka mereka diserbu. Dan ketika malam itu pendekar ini berdua dengan isterinya maka Beng Tanmenjelaskan sikapnya agar isteri puas. Tadi isterinya tampak berkerut dan kurang senang dengan keputusannya.
“Dengarlah, jangan salah paham,” pendekar ini menarik napas dalam. “Bukan aku tak mau keluar, niocu. Melainkan keselamatan para murid harus kita jaga. Siapa yang akan mampu melindungi mereka kalau bukan kita? Kepergian kita sekejap sudah membuat perobahan besar-besar. Anak-anak murid utama kita tewas. Aku terpaksa menunggu putera kita Han Han dan biarlah kita atau dia yang nanti menjaga di sini. Kau tentu tak mau mengorbankan murid-murid, bukan?”
Sang isteri terisak. “Sebenarnya kau atau aku dapat berangkat, Tan-ko, untuk apa menunggu putera kita Han Han. Kalau terlalu lama kita menunggu bukankah musuh akan mengejek seolah kita takut padanya? Kenapa tidak kau atau aku saja yang menjaga disini?”
“Hm, kalau begitu kau menghendaki kita membagi tugas? Kau tak sabar menunggu Han Han?”
“Aku tak sabar menemukan manusia binatang itu, suamiku. Aku terlanjur benci!”
“Tapi orang ini amat lihai, ia juga buas...”
“Aku tak takut!”
“Bukan masalah takut. Yang hendak kutekankan adalah masalah kewaspadaan, niocu, keselamatan dirimu, keselamatan semua. Korban-korban sudah berjatuhan dan jangan kau menambah lagi. Aku khawatir kau masih bukan lawan orang kejam ini!”
“Eh, kau merendahkan isterimu? Kau sangsi?”
“Bukan begitu. Kita bicara harus melihat kenyataan, isteriku, jangan main emosi saja. Kalau majikan Hutan Iblis itu tak yakin akan kepandaiannya tak mungkin ia berani datang!”
“Ia tahu kita tak ada!”
“Hm, belum tentu.”
“Ia tahu bahwa putera kita Han Han juga tak ada!”
“Hm, jangan merasa yakin. Kalau ia tahu bahwa kita atau putera kita ada di sini tak mungkn ia mengerahkan semua bala tentaranya, niocu. Justeru karena ia tak tahu kita tak ada di sini maka semua srigala-srigala itu dibawanya serta. Ingat bahwa di Hutan Iblis kita tak menemukan apa-apa. Tak seekor pun srigala ada di sana!”
“Maksudmu?”
“Jelas, laki-laki ini mengira kita ada di markas, niocu, dan untuk itu ia mengerahkan semua peliharaannya. Kalau ia tahu kita tak ada di sini mungkin seorang diri saja ia cukup membinasakan semua murid-murid kita. Ki Bi dan lain-lain sudah dibunuh!”
Swi Cu tertegun. Akhirnya ia sadar dan dapat mengerti alasan suaminya itu. Ia menarik napas dan mengepal tinju. Dan ketika apa boleh buat ia menurut dan tunduk kepada suaminya ini, menunggu putera mereka Han Han maka sebulan kemudian Hek-yan-pang dibangun lagi namun pemuda itu tak kunjung datang. Han Han sedang melancong dan pemuda itupun sedang berbulan madu. Setahun ini pemuda itu menyenangkan isterinya dan pergi ke mana-mana, tentu saja repot. Dan ketika bulan kedua lewat dan pemuda itu belum juga kembali maka Swi Cu yang berhati keras dan tak sabaran ini pergi!
Nyonya itu meninggalkan sepucuk surat kepada suaminya dan minta maaf pergi diam-diam. Ia menyatakan tak dapat menunggu lagi dan biarlah suaminya menunggu di situ. Ia sanggup mencari majikan Hutan Iblis. Dan ketika pagi itu Beng Tan tertegun kehilangan isteri, sungguh tak disangka kenekatan isterinya itu maka surat di atas meja itu dibaca menggigil.
Pendekar in pucat. Ia meremas hancur surat itu, terduduk dan mengeluh. Dan ketika ia menutupi muka dan menahan perasaan yang bergolak maka jago pedang ini menangis meratap gemetar.
“Swi Cu. Cu-moi, kenapa kau tak mau turut nasihatku? Ah, kau menantang bahaya, Cu-moi, dan kau membuat aku bingung. Kau sekarang meninggalkan aku sementara aku tak mungkin meninggalkan anak-anak murid. Ah, keparat. Kau keras hati dan keras kepala. Kau tak cukup sabar!”
Lalu membuka wajah yang basah air mata pendekar inipun terhuyung keluar, berkelebat dan mencari isterinya di luar tapi sang isteri sudah pergi jauh. Anak-anak murid terheran tapi segera terkejut diberi tahu tentang perginya Ju-hujin. Dan ketika mereka ribut dan berlarian mencari, gagal, maka Ju-taihiap menekan hatinya yang terpukul dan menyuruh murid-muridnya masuk.
“Biarlah, tak usah dicari. Kalau hujin sudah berniat pergi tak mungkin kalian menemukannya. Biar kalian bekerja seperti biasa dan kalau nanti Han Han datang biar aku yang mencarinya sendiri!”
Anak-anak murid ada yang menyesal dan girang. Mereka yang menyesal adalah murid-murid bujangan yang belum berkeluarga, sementara mereka yang sudah berkeluarga dan kehilangan anak isteri, atau suami yang tewas dibantai majikan Hutan Iblis justeru girang bahwa nyonya itu sudah bergerak! Mereka ini jengkel dan gemas terhadap kelemahan hati pangcu. Siapapun tahu bahwa pendekar itu tak sekeras isterinya. Ju-taihiap lebih lemah lembut dan biasanya tak mau bersikap sembrono. Kesabarannya dalam masalah ini adalah bagian dari wataknya, yang dianggap oleh anak murid sebagai terlalu lamban dan lemah hati.
Maka ketika mereka gemas kenapa Ju-taihiap tak mau membalas musuh, bukankah isterinya dapat di situ dan menjaga mereka maka kepergian Ju-hujin menggembirakan murid-murid ini yang dibakar oleh dendam. Ju-taihiap atau Ju-hujin bagi mereka sama saja. Pokoknya satu di antara mereka boleh pergi, yang lain melindungi mereka sementara yang satu mencari musuh. Menunggu dua bulan sudahlah cukup, nanti musuh mengira takut. Maka ketika pagi itu Ju-hujin dinyatakan pergi dan Ju-taihiap tertegun pucat, murid yang gembira ini menjadi senang maka hari-hari berikutnya Ju-taihiap justeru kurus dan pucat.
Pendekar ini tak enak makan tak enak tidur membayangkan isterinya. Perbuatan isterinya itu dinilai gegabah. Dan ketika dua minggu kemudian Ju-taihiap melewati hari-hari bagai di ujung bara maka muncullah puteranya Han Han yang disambut jerit dan tangis gembira para murid.
“Ah, kongcu datang...kongcu datang!”
Han Han, pemuda gagah berwajah lembut ini tertegun. Disampingnya, seorang wanita cantik berusia duapuluhan mengernyitkan alis. Dialah Tang Siu murid Kim-sim Tojin, isteri pemuda itu atau menantu Ju- taihiap. Dan ketika dua muda-mudi itu berhenti di tepi telaga, perobahan dan wajah kampung tampak berobah maka murid-murid lelaki dan wanita yang berlutut di depan dua orang muda itu mengguguk. Peristiwa Hek-yan-pang segera diceritakan!
“Kongcu, kabar buruk. Kami, ah... kami diserbu mahluk jahat. Dua ratus murid tewas dan lain-lain luka-luka. Enci Ki Bi menjadi korban dan kami semua tinggal enam puluh orang!”
“Benar, dan iblis itu, ah... iblis itu manusia keji, kongcu. Dia penghisap darah dan kepandaiannya amat tinggi, kau ditunggu-tunggu ayahmu. Ibumu pergi!”
Bukan main kagetnya pasangan muda ini. Namun Han Han, yang berwatak tabah dan amat tenang lalu memandang isterinya. Tang Siu, wanita itu, pucat dan menggigil. Kabar di tepi telaga ini mengejutkan. Tapi ketika wanita itu mengangguk dan Han Han menyentak lengannya tiba-tiba pemuda itu sudah berkelebat dan membawa isterinya menyeberangi telaga, tidak dengan perahu melainkan dengan kedua kakinya bergerak-gerak cepat seperti terbang. Han Han mempergunakan ilmunya Hui-thian-sin-tiauw (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit), satu ilmu meringankan tubuh yang membuat telapak kaki pemuda ini menyentuh ringan di atas permukaan telaga, seperti kapas tertiup!
“Kongcu...!”
Namun pemuda itu telah tiba di seberang dan berjungkir balik mendarat di pulau. Han Han mempergunakan ilmunya yang luar biasa hingga isterinya terangkat dan terbawa terbang seperti iblis menyeberangi telaga. Siapapun bakal kagum dan mendecak melihat ilmu meringankan tubuh itu. Putera Ju-taihiap ini memang hebat! Dan ketika ia tiba di seberang dan meletakkan kaki di sana, teriakan atau seruan para murid rupanya terdengar di dalam maka Ju-taihiap berkelebat dan. sang ayah itupun sudah berdiri di depan puteranya. Wajahnya kurus dan pucat, sayu.
“Ayah...!”
“Han Han!”
Han Han menubruk dan memeluk ayahnya ini. Perobahan tidak biasa yang terjadi di pulau menggetarkan pemuda ini. Bangunan yang kini kecil-kecil dan mirip barak-barak sederhana sudah menggantikan bangunan megah dari markas Hek-yan-pang. Ketua Hek-yan-pang sendiri tampak acuh dan tak memperhatikan. Semuanya begitu sederhana. Namun ketika ayah dan anak mampu memulihkan perasaan mereka, masing-masing sama mampu mengendalikan diri maka Han Han bertanya apa yang terjadi, ayahnya berkejap-kejap dan menahan sejuta perasaan mencekam.
“Kita kita dirundung malapetaka. Ibumu pergi. Ah, kemana saja kau selama ini, Han Han. Kenapa lama amat dan tidak cepat pulang. Kita disatroni iblis!”
“Ibu. ibu pergi? Kemana?”
“Aku tak tahu, Han Han, tapi yang jelas mencari musuh, majikan Hutan Iblis. Mari kita bicara didalam dan selanjutnya aku akan mencari ibumu!”
Pemuda itu bergetar dan menahan gelombang serangan batin. Tak biasanya ayah dan ibunya berpisah. Dan ayahnya, ah... tampak begitu pucat dan kurus! Dan ketika ia menggigil sementara isterinya sudah menangis dan memeluk dirinya maka si jago pedang menarik mantunya agar masuk ke dalam.
“Marilah, kita masuk. Di dalam lebih enak!”
Tang Siu meledak dan tersedu melihat perobahan wajah tempat tinggal ini. Barak yang dipakai Ju-taihiap lebih mirip barak tentara perang daripada tempat tinggal sebuah merkas perkumpulan, apalagi ketua seperti pendekar ini, jago pedang pilih tanding. Namun Han Han membawanya masuk dan para anak murid mundur, kegembiraan dan kelegaan terpampang di wajah semua orang maka sambil duduk di kursi reyot pendekar ini bercerita. Dan Han Han terutama Tang Siu tak dapat menahan tangisnya lagi.
“Bibi Ki Bi, bibi Ki Bi tewas, ayah?Dan Bo Lip serta Kiat Bu juga binasa? Ah, hebat sekali. Siapa majikan Hutan Iblis itu?”
“Aku juga tak tahu, karena waktu itu aku ke sarangnya tapi manusia itu justeru ke mari. Ia menghancur binasakan perkumpulan kita dan ibumu pergi tak sabar menunggumu. Dua bulan kau ditunggu!”
“Maaf, ayah, kami ke utara. Kami... kami mencari Giam Liong dan berkunjung ke Lembah Iblis.”
Han Han tampak menyesal dan penuh keprihatinan. Ia tak menyangka sama sekali perobahan besar-besaran ini. Ia pergi ke utara dan tak tahu adanya siluman jahat itu. Tapi ketika ayahnya selesai bercerita dan ia mengepal tinju, diam-diam khawatir juga akan keselamatan ibunya maka sang ayah menutup.
“Kau sekarang sudah datang, aku yang akan pergi. Kau jaga baik-baik tempat ini, Han Han. Biar aku mencari ibumu dan ini tugasku.”
“Ah, ayah mau pergi? Sekarang juga?”
“Jangan!” Tang Siu berseru. “Besok atau dua tiga hari lagi. Gak-hu (ayah mertua). Kami masih kangen kepadamu. Han-ko sebenarnya sudah ingin pulang sebulan yang lalu tapi aku yang mencegahnya. Aku terlalu lama membawanya. Aku menyesal...!” wanita ini tersedu dan memegangi kaki mertuanya. Sekarang Tang Siu pun menyesal karena ingin menyenangkan hatinyalah Han Han sampai terlalu lama meninggalkan ayah ibunya.
Tapi ketika pendekar itu tersenyum dan mengangkatnya bangun Ju-taihiap berkata, “Tang Siu, kau dan Han Han tidak bersalah. Kalian pasangan orang-orang muda yang tentu saja ingin menikmati bulan madu dengan sepuasnya. Siapa sangka bahwa di tempat ini ada malapetaka? Kau dan Han Han tentu tak menyangka bahwa aku dan ibumu bisa meninggalkan markas. Dan karena selama ini Hek-yan-pang tak pernah diganggu orang jahat maka tentu lebih tak disangka lagi bahwa di saat aku berdua pergi datanglah manusia iblis itu. Sudahlah, hentikan tangismu. Aku tak berangkat sekarang melainkan besok. Aku juga ingin bercakap-cakap dengan puteraku.”
“Gak-hu... gak-hu mau mengampuni aku?”
“Ah, kau tak bersalah, Tang Siu. Semua ini sudah takdir. Bangkitlah dan siapkan minuman untuk kami.”
Tang Siu terisak. Mertuanya menepuk-nepuk pundaknya dan iapun diangkat bangun. Selama ini mereka juga ke Kun-lun, mengunjungi guru mereka Kim-sim Tojin hingga itulah yang membuat lama. Di sana mereka hampir tinggal dua minggu, lalu perjalanan-perjalanan lain yang semuanya menghabiskan waktu. Maka lega sang gak-hu benar-benar tak menyalahkannya, ia ringan hati maka Tang Siu menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk suami dan ayah mertunya ini. Dapur tampak kosong dan ia terharu, semuanya tampak kurang terawat.
Tapi ketika ia bergerak dan membenahi semua itu, ayah dan anak bercakap-cakap di ruang tengah maka malam itu Ju-taihiap menghabiskan waktunya untuk berpesan dan memberi nasihat kepada puteranya. Dia harus pergi dan Han Han menjaga rumah. Kini giliran anak yang di situ dan ayah yang berangkat. Han Han terharu sekali. Tapi ketika keesokan paginya si jago pedang hendak berangkat tiba-tiba terjadi kegegeran besar dengan masuknya Ju-hujin yang bersimbah darah, terhuyung dan roboh di pintu depan.
“Gak-bo (ibu mertua)....!” Tang Siu menjerit dan melihat lebih dulu. Pagi itu Tang Siu hendak menyiapkan arak hangat untuk ayah mertuanya, juga sudah membuntal pakaian bekal untuk perjalanan ayah mertuanya. Maka ketika tiba-tiba di pintu depan roboh seorang wanita, Tang Siu tertegun dan terbelalak maka wanita itu menjerit mengenal siapa yang roboh ini. Ju-hujin!
Teriakan dan jerit Tang siu membuat dua bayangan menyambar dari kiri kanan rumah. Han Han dan ayahnya tahu-tahu muncul, Tang Siu mengguguk dan menubruk ibu mertuanya itu, yang roboh dan pingsan dengan tubuh bermandi darah. Dan ketika ia melengking namun Han Han dan ayahnya menyambar tubuh itu, mendorong Tang Siu maka pendekar ini pucat melihat keadaan isterinya.
“Niocu...!”
“Ibu!”
Hek-yan-pang menjadi gempar. Hari masih terlalu pagi untuk melihat datangnya Ju-hujin itu. Entah bagaimana wanita itu tahu-tahu sudah di depan pintu, roboh dan pingsan di situ. Tapi ketika Ju-taihiap menolong isterinya dan luka seperti cakaran atau gigitan merobek-robek tubuh Ju-hujin, hampir sekujur tubuh maka pendekar itu menotok dan merobek baju sendiri untuk membersihkan darah. Dan wajah isterinya tampak begitu pucat, kehilangan banyak darah.
“Nah, kau lihat. Tempat ini kosong. Daripada menghamburkan tenaga sia-sia lebih baik masuk ke dalam dan kita lihat tempat ini!” Ju-taihiap berkata dan memasang obor. Pendekar ini telah tahu namun tak ingin menyinggung perasaan isteri. Dia berpendengaran lebih tajam namun biarlah isterinya itu membuktikan.
Dan ketika sang isteri puas namun terbelalak di sana, merah, maka pendekar ini melompat ke dalam dan masuk tanpa rasa takut sedikitpun. Obor di tangannya menerangi delapan penjuru dan yang pertama tampak adalah tengkorak-tengkorak manusia dan tulang-tulang berserakan!
“Ih!” Ju-hujin terbeliak dan terpekik kecil. Dia mengikuti suaminya ini dan pandangan pertama itu membuatnya terkejut. Hutan ini menyeramkan! Tapi ketika dia menggigit bibir dan mengepal tinju, tulang dan tengkorak manusia ada di mana-mana maka suaminya menyendal dan di bawa maju semakin dalam.
“Tenanglah, lihat saja. Hutan ini benar-benar sarang iblis, niocu. Lihat saja kiri kanan di atas kita!”
Sang nyonya hampir menjerit dan kembali terbelalak. Ternyata di dahan-dahan pohon, tadi tak terlihat, tampak puluhan mayat-mayat manusia yang sudah tinggal tulang-belulang saja. Ada yang digantung dan ada pula yang terjepit di antara cabang dan ranting. Semuanya serba mengerikan dan dulunya tentu mayat-mayat itu menderita sekali. Siksaan yang mereka terima tentu dahsyat. Dan hampir muntah melihat sesosok mayat yang ususnya terburai, menggantung atau digantung di dahan pohon yang besar maka Swi Cu memalingkan mukanya namun sang suami justeru terbelalak dan berseru tertahan.
“Siauw-hwi!”
Sang nyonya menoleh dan terkejut. Itu adalah murid Hek-yan-pang dan Siauw-hwi adalah satu dari lima murid yang dibunuh pemilik Hutan Iblis ini. Ki Bi, murid utama membawa Siauw-hwi dan tiga adik perempuan yang lain. Maka begitu suaminya berseru tertahan dan mengenal mayat itu, mayat dari murid mereka sendiri tiba-tiba nyonya ini melihat suaminya meloncat dan sekali tangannya bergerak mayat itu telah diambil dan diamati. Dan pendekar ini tertegun, wajah menjadi pucat namun berobah merah padam oleh hawa amarah yang naik kekepala. Dibaju mayat itu tertulis sobekan surat yang membuat pendekar ini tiba-tiba terbakar.
“Niocu, celaka. Kita harus cepat kembali!”
“Ada apa!”
“Lihat! Ancaman ini membahayakan murid-murid kita, niocu. Ah, kita saling mendatangi!”
Ju-hujin terkejut dan bergerak mendekati suaminya. Dia tak boleh muntah melihat mayat muridnya ini, terbelalak ke sobekan kertas yang ditunjuk suaminya, di dada mayat itu. Dan ketika dia membaca dan menggigil penuh marah maka surat itu seakan sebuah pemberitahuan, berbunyi singkat:
Semua anak murid Hek-yan-pang harus dibunuh!
Nyonya ini memekik. Tiba-tiba ia menyambar surat itu dan melemparnya ke kiri. Surat dikepal dan meluncur seperti peluru. Dan ketika pohon di sebelah tumbang dihajar kertas peluru ini maka Ju-hujin meloncat dan terbang keluar.
“Mata Iblis, jangan main ancam kau. Keparat, siapa takut padamu. Mari kita bertempur dan lihat siapa yang akan mampus!”
Di luar nyonya ini mengamuk dan menghajar apa saja. Mulut hutan menjadi hiruk-pikuk oleh tandangnya. Pohon dan apa saja dicabut. Lalu tak puas oleh semua ini ia kembali ke dalam dan menuju pohon raksasa di tengah hutan itu. Tengkorak dan mayat-mayat manusia dilalui begitu saja. Tiga ekor ular yang bergelantungan di pohon bahkan dikibasnya roboh, kepala mereka pecah. Dan ketika ia mengamuk dan berkelebatan di puncak pohon ini, mencabut pedang membabat ranting dan cabang maka sekejap saja pohon raksasa itu gundul bagian atasnya.
Ju-hujin turun ke tengah dan pedang hitam di tangan kanannya menyambar-nyambar kembali, sekejap kemudian sudah menggunduli lagi bagian tengah pohon ini. Namun karena semakin ke bawah cabang dan ranting pohon itu semakin besar, dua kali nyonya ini menggedruk batangnya namun pohon raksasa itu tak bergeming, hanya tergetar sedikit dan selanjutnya tegak dengan sikap menantang maka sang nyonya menikam dan menusuk-nusuki batang pohon raksasa itu sampai berlubang-lubang. Puluhan banyaknya.
“Niocu, sudah. Tak ada gunanya mengamuk di sini. Kita harus cepat pulang!”
Ju-taihiap menyambar dan menarik lengan isterinya ini. Pohon itu bakal dibabat gundul namun tak ada gunanya menghajar tanaman ini. Yang harus di cari adalah si pemilik hutan, bukan barang atau isinya. Dan ketika dia melompat turun dan pedang dirampas, sang isteri meronta namun ditotok maka Ju-taihiap tak mau tinggal lagi disitu dan terbang ke Hek-yan-pang. Bayang-bayang mengerikan membuat dia gelisah hebat.
“Tak ada guna mengamuk di situ. Kita saling serbu. Ah, aku khawatir anak-anak murid kita, niocu. Si Mata Iblis pasti mendatangi tempat kita sementara kita tak ada di sana!”
“Kau... lepaskan totokanmu. Keparat, lepaskan aku, Beng Tan. Bebaskan totokanmu atau kau bunuh aku!”
Ju-taihiap terkejut. Sang isteri menyebut nama kecilnya begitu saja seperti ketika dulu mereka sama-sama muda, waktu isterinya ini juga marah-marah masalah si Golok Maut Sian Hauw. Maka tertegun dan berhenti membebaskan totokan, mereka sudah jauh dari Hutan Iblis tiba-tiba pendekar ini menarik napas dalam-dalam menahan marah atas sikap isterinya itu.
“Kau... kau tak hormat lagi kepada suami? Kau berani berkata seperti itu?”
Swi Cu mengguguk. Ditegur seperti itu tiba-tiba iapun sadar. Ia terlampau melampiaskan marah kepada suaminya ini, padahal tak seharusnya ia bersikap kasar. Maka mengguguk dan menubruk suaminya itu, meminta ampun iapun tersedu-sedu dan Beng Tan mengusap rambut isterinya itu dengan penuh kasih sayang, lenyap kemarahannya.
“Sudahlah, kita selesaikan pertengkaran kita, Cu-moi. Tak perlu mengingat-ingat itu lagi dan mari berangkat lagi. Kau harus tunduk dan turut kata-kataku.”
“Kau... kau tidak memukulku?”
“Memukul?”
“Ya, aku kurang ajar kepadamu, Tan-ko, aku berani kepadamu. Kau pukullah aku agar aku tahu adat!”
“Ah, isteriku begini kok dipukul. Aku menyayangimu kok disuruh menghukum. Hush, kau bicara apa, niocu. Kalau kau minta di hukum maka hukumannya adalah ini... cup!” Beng Tan mencium kening isterinya, tersenyum dan isteripun tersedak penuh haru.
Nyonya ini memeluk dan mendekap suaminya itu erat-erat, membalas dan diciumnya bibir suami dua kali. Lalu ketika Beng Tan tertawa dan isteri tersenyum bahagia tiba-tiba pendekar itu menarik isterinya diajak pulang ke Hek-yan-pang.
“Kuda kita..!”
“Biarlah, isteriku. Perjalanan kali ini harus dilakukan cepat agar pagi-pagi kita sudah sampai di rumah. Biarkan mereka beristirahat karena kalau kita pacu tentu mati di tengah jalan!”
Swi Cu mengangguk. Ia tak memperdulikan lagi pada kuda mereka karena dengan berkuda perjalanan malah dirasa lamban. Dengan ilmu kepandaian mereka yang sudah mencapai taraf tinggi begini larinya seekor kuda bahkan dirasa terlalu pelan, apalagi mereka harus cepat-cepat tiba di Hek-yan-pang karena firasat buruk menghantui dirinya, terutama suaminya itu. Dan ketika malam itu juga mereka meluncur dan terbang menuju pulang maka benar saja keesokannya mereka disambut jerit tangis anak murid. Mayat dan darah berceceran di telaga. Bahkan puluhan srigala tampak mengambang di permukaan telaga yang berwarna merah darah!
“Pangcu...!”
Suami isteri ini tertegun. Tak mereka sangka bahwa perjalanan mereka terlambat. Murid laki-laki dan wanita muncul dari kiri kanan dan rata-rata tubuh atau baju mereka bersimbah darah. Dan ketika anak murid menjerit dan histeris menubruk mereka, dua orang ini terbelalak maka seratus lebih mayat-mayat murid Hek-yan-pang membuat Ju-hujin melengking dan tiba-tiba melejit ke depan menuju pulau.
“Niocu...!”
Sang nyonya tak perduli. Ia sudah menyambar perahu di pinggir telaga meluncur ke tengah. Gedung tempat mereka tinggal tampak hangus, api bahkan masih berkobar di beberapa tempat dan tempat tinggal mereka itu rusak binasa. Puing-puing berserakan di mana-mana. Dan ketika nyonya itu mempercepat perahunya sementara Ju-taihiap berkelebat dan meloncat di atas sepotong papan, bergerak dan menaikturunkan lengannya berulang-ulang maka pendekar ini sudah mengejar isterinya yang sudah meloncat ke darat. Dan di sinipun mayat-mayat bergelimpangan.
“Jahanam!” nyonya itu memekik dan menyerbu ke depan. Di sini anak-anak muridnya juga bermunculan dan merekapun rata-rata bermandi darah. Ada yang terpincang-pincang dengan kaki putus, seorang di antaranya bahkan buntung kedua lengannya. Dan ketika mereka itu merintih namun Ju-hujin berteriak dan berkelebat menuju rumahnya sendiri, gedung di sebelah kiri bangunan yang terbakar maka tempat inipun roboh tinggal puing-puingnya saja.
Nyonya itu melotot. Hek-yan-pang ternyata porak-poranda dan ratusan anak murid tinggal beberapa puluh saja, itupun luka-luka dan terseok jatuh. Dan ketika nyonya ini mendelik dan mengepal tinju, Ju-taihiap berkelebat dan menyambar lengan isterinya itu maka wanita inipun roboh dan pingsan tak kuat menahan diri lagi.
“Pangcu, kami... kami diserbu pemilik Hutan Iblis. Kami diserang seorang laki-laki luar biasa dengan ratusan binatang anak buahnya, srigala-srigala lapar.”
“Benar, dan kami banyak yang tewas, pangcu. Kami... kami tak dapat mempertahankan Kek-yan-pang.”
Murid-murid roboh satu per satu. Mereka sama mengeluh dan Ju-taihiap menggigil hebat. Musuh yang dicari malah datang sendiri, bukan main, betapa beraninya. Namun ketika dia menolong isterinya dan para murid pucat dan ngeri, mereka terguncang oleh peristiwa semalam maka pendekar itu menyuruh bangun mereka semua untuk mengurus mayat dan membersihkan tempat itu.
“Mana Bo Lip, mana Kiat Bu. Kenapa mereka tidak nampak.”
“Ampun, mereka... mereka tewas terbunuh, pangcu. Semua murid-murid utama binasa!”
“Dan Hwa Eng?”
“Eng-suci juga tewas, pangcu. Tak ada murid-murid utama yang hidup. Kami selamat karena menceburkan diri dalam telaga, itupun masih dikejar dan disergap binatang-binatang jahanam itu!”
“Benar, kami bertarung mati hidup dengan binatang-binatang ganas itu, pangcu. Di air telagapun srigala-srigala itu tak kenal takut. Mereka seolah kesetanan!” seorang murid lain berseru.
“Begitukah?” Ju-taihiap mengerotokkan giginya. “Baik, sekarang aku sudah di sini, A-hiong, tak usah kalian takut dan kumpulkan semua teman-teman yang ada. Hitung berapa sisa mereka!”
Murid itu mundur. Ju-taihiap sudah menyadarkan isterinya dan begitu sadar nyonya inipun menjerit. Ju-hujin membentak dan memberosot dari lengan suaminya, mengira bertemu musuh. Tapi begitu ditekan dan disadarkan keadaannya maka nyonya ini tersedu-sedu dan menubruk suaminya itu. Para murid juga ikut menangis.
“Jahanam... keparat! Kita sia-sia mencari musuh, suamiku. Dia... dia datang dan mengobrak-abrik tempat kita, menghancurkan tempat kita. Ah, kalau saja aku ada disini !”
“Sudahlah,” Ju-taihiap menghibur dan berkerut-kerut, wajah gelap dan matapun berapi-api. “Aku juga tak tahu ini, niocu. Kalau saja aku mengerti tentu kutunggu jahanam itu. Dia berani datang, berarti benar-benar percaya akan kepandaian sendiri. Hm, mari kita tolong para murid karena mereka menunggu kita!”
Hari itu Hek-yan-pang benar-benar berkabung. Dua ratus murid binasa sementara tiga ratus lebih srigala juga terbunuh dan bergelimpangan mayatnya di mana-mana. Telaga dan daratan penuh bangkai-bangkai terkapar, keadaan sungguh mengerikan. Tapi ketika Ju-taihiap ikut membersihkan tempat itu dan seorang murid bercerita panjang lebar maka geraham pendekar ini bergemeretuk karena ketika ia tiba di Hutan Iblis ternyata majikan hutan itu datang di Hek-yan-pang dan menghancurkan tempat ini.
“Tak kurang dari lima ratus srigala buas menyerbu di sini. Dan laki-laki itu, ah... menyeramkan sekali, pangcu. Kalau dia menyeringai maka dua taringnya yang kuat seolah srigala sendiri yang siap menggigit dan menerkam kita. Bahkan Bo Lip suheng dihisap dan disedot darahnya!”
“Benar,” murid yang lain berseru, bergidik. “Manusia itu bukan manusia, pangcu. Dia iblis, manusia srigala!”
Beng Tan terkejut. Ia segera mendengar kisah-kisah menyeramkan dari sepak terjang laki-laki itu. Tapi karena dia sudah melihat kekejaman atau kebuasan majikan Hutan Iblis ini di tempatnya, ketika semalam ia di sana maka ia mengepal tinju dengan kemarahan semakin terbakar.
Hari itu mayat-mayat dan puing-puing disingkirkan, yang masih hidup dihitung. Dan ketika anak murid tinggal enam puluh orang, yang lain tewas atau hilang disantap srigala maka malamnya pendekar ini duduk di bangunan darurat, murid-murid berkumpul.
“Sekarang kalian tenangkan hati, aku di sini. Kejadian ini tentu dibalas tapi biarlah kutunggu puteraku Han Han. Kalau aku pergi jangan-jangan musuh datang lagi, kalian nanti repot. Biarlah besok kita bangun tempat kita lagi dan untuk sementara ini aku tak akan meninggalkan markas.”
Para murid mengangguk-angguk. Kalau pangcu mereka ada di situ tentu saja mereka berbesar hati. Tadi sebagian besar sudah merasa takut kalau-kalau ketua mereka ini pergi lagi. Gara-gara ditinggal itulah maka mereka diserbu. Dan ketika malam itu pendekar ini berdua dengan isterinya maka Beng Tanmenjelaskan sikapnya agar isteri puas. Tadi isterinya tampak berkerut dan kurang senang dengan keputusannya.
“Dengarlah, jangan salah paham,” pendekar ini menarik napas dalam. “Bukan aku tak mau keluar, niocu. Melainkan keselamatan para murid harus kita jaga. Siapa yang akan mampu melindungi mereka kalau bukan kita? Kepergian kita sekejap sudah membuat perobahan besar-besar. Anak-anak murid utama kita tewas. Aku terpaksa menunggu putera kita Han Han dan biarlah kita atau dia yang nanti menjaga di sini. Kau tentu tak mau mengorbankan murid-murid, bukan?”
Sang isteri terisak. “Sebenarnya kau atau aku dapat berangkat, Tan-ko, untuk apa menunggu putera kita Han Han. Kalau terlalu lama kita menunggu bukankah musuh akan mengejek seolah kita takut padanya? Kenapa tidak kau atau aku saja yang menjaga disini?”
“Hm, kalau begitu kau menghendaki kita membagi tugas? Kau tak sabar menunggu Han Han?”
“Aku tak sabar menemukan manusia binatang itu, suamiku. Aku terlanjur benci!”
“Tapi orang ini amat lihai, ia juga buas...”
“Aku tak takut!”
“Bukan masalah takut. Yang hendak kutekankan adalah masalah kewaspadaan, niocu, keselamatan dirimu, keselamatan semua. Korban-korban sudah berjatuhan dan jangan kau menambah lagi. Aku khawatir kau masih bukan lawan orang kejam ini!”
“Eh, kau merendahkan isterimu? Kau sangsi?”
“Bukan begitu. Kita bicara harus melihat kenyataan, isteriku, jangan main emosi saja. Kalau majikan Hutan Iblis itu tak yakin akan kepandaiannya tak mungkin ia berani datang!”
“Ia tahu kita tak ada!”
“Hm, belum tentu.”
“Ia tahu bahwa putera kita Han Han juga tak ada!”
“Hm, jangan merasa yakin. Kalau ia tahu bahwa kita atau putera kita ada di sini tak mungkn ia mengerahkan semua bala tentaranya, niocu. Justeru karena ia tak tahu kita tak ada di sini maka semua srigala-srigala itu dibawanya serta. Ingat bahwa di Hutan Iblis kita tak menemukan apa-apa. Tak seekor pun srigala ada di sana!”
“Maksudmu?”
“Jelas, laki-laki ini mengira kita ada di markas, niocu, dan untuk itu ia mengerahkan semua peliharaannya. Kalau ia tahu kita tak ada di sini mungkin seorang diri saja ia cukup membinasakan semua murid-murid kita. Ki Bi dan lain-lain sudah dibunuh!”
Swi Cu tertegun. Akhirnya ia sadar dan dapat mengerti alasan suaminya itu. Ia menarik napas dan mengepal tinju. Dan ketika apa boleh buat ia menurut dan tunduk kepada suaminya ini, menunggu putera mereka Han Han maka sebulan kemudian Hek-yan-pang dibangun lagi namun pemuda itu tak kunjung datang. Han Han sedang melancong dan pemuda itupun sedang berbulan madu. Setahun ini pemuda itu menyenangkan isterinya dan pergi ke mana-mana, tentu saja repot. Dan ketika bulan kedua lewat dan pemuda itu belum juga kembali maka Swi Cu yang berhati keras dan tak sabaran ini pergi!
Nyonya itu meninggalkan sepucuk surat kepada suaminya dan minta maaf pergi diam-diam. Ia menyatakan tak dapat menunggu lagi dan biarlah suaminya menunggu di situ. Ia sanggup mencari majikan Hutan Iblis. Dan ketika pagi itu Beng Tan tertegun kehilangan isteri, sungguh tak disangka kenekatan isterinya itu maka surat di atas meja itu dibaca menggigil.
Maaf, aku tak sabar menunggu, suamiku. Dua bulan sudah cukup. Aku tak mau kita disangka takut dan majikan Hutan Iblis itu biar kucari. Kau jagalah baik-baik tempat kita dan biar kita sama-sama membagi tugas!
Isterimu, Swi Cu
Pendekar in pucat. Ia meremas hancur surat itu, terduduk dan mengeluh. Dan ketika ia menutupi muka dan menahan perasaan yang bergolak maka jago pedang ini menangis meratap gemetar.
“Swi Cu. Cu-moi, kenapa kau tak mau turut nasihatku? Ah, kau menantang bahaya, Cu-moi, dan kau membuat aku bingung. Kau sekarang meninggalkan aku sementara aku tak mungkin meninggalkan anak-anak murid. Ah, keparat. Kau keras hati dan keras kepala. Kau tak cukup sabar!”
Lalu membuka wajah yang basah air mata pendekar inipun terhuyung keluar, berkelebat dan mencari isterinya di luar tapi sang isteri sudah pergi jauh. Anak-anak murid terheran tapi segera terkejut diberi tahu tentang perginya Ju-hujin. Dan ketika mereka ribut dan berlarian mencari, gagal, maka Ju-taihiap menekan hatinya yang terpukul dan menyuruh murid-muridnya masuk.
“Biarlah, tak usah dicari. Kalau hujin sudah berniat pergi tak mungkin kalian menemukannya. Biar kalian bekerja seperti biasa dan kalau nanti Han Han datang biar aku yang mencarinya sendiri!”
Anak-anak murid ada yang menyesal dan girang. Mereka yang menyesal adalah murid-murid bujangan yang belum berkeluarga, sementara mereka yang sudah berkeluarga dan kehilangan anak isteri, atau suami yang tewas dibantai majikan Hutan Iblis justeru girang bahwa nyonya itu sudah bergerak! Mereka ini jengkel dan gemas terhadap kelemahan hati pangcu. Siapapun tahu bahwa pendekar itu tak sekeras isterinya. Ju-taihiap lebih lemah lembut dan biasanya tak mau bersikap sembrono. Kesabarannya dalam masalah ini adalah bagian dari wataknya, yang dianggap oleh anak murid sebagai terlalu lamban dan lemah hati.
Maka ketika mereka gemas kenapa Ju-taihiap tak mau membalas musuh, bukankah isterinya dapat di situ dan menjaga mereka maka kepergian Ju-hujin menggembirakan murid-murid ini yang dibakar oleh dendam. Ju-taihiap atau Ju-hujin bagi mereka sama saja. Pokoknya satu di antara mereka boleh pergi, yang lain melindungi mereka sementara yang satu mencari musuh. Menunggu dua bulan sudahlah cukup, nanti musuh mengira takut. Maka ketika pagi itu Ju-hujin dinyatakan pergi dan Ju-taihiap tertegun pucat, murid yang gembira ini menjadi senang maka hari-hari berikutnya Ju-taihiap justeru kurus dan pucat.
Pendekar ini tak enak makan tak enak tidur membayangkan isterinya. Perbuatan isterinya itu dinilai gegabah. Dan ketika dua minggu kemudian Ju-taihiap melewati hari-hari bagai di ujung bara maka muncullah puteranya Han Han yang disambut jerit dan tangis gembira para murid.
“Ah, kongcu datang...kongcu datang!”
Han Han, pemuda gagah berwajah lembut ini tertegun. Disampingnya, seorang wanita cantik berusia duapuluhan mengernyitkan alis. Dialah Tang Siu murid Kim-sim Tojin, isteri pemuda itu atau menantu Ju- taihiap. Dan ketika dua muda-mudi itu berhenti di tepi telaga, perobahan dan wajah kampung tampak berobah maka murid-murid lelaki dan wanita yang berlutut di depan dua orang muda itu mengguguk. Peristiwa Hek-yan-pang segera diceritakan!
“Kongcu, kabar buruk. Kami, ah... kami diserbu mahluk jahat. Dua ratus murid tewas dan lain-lain luka-luka. Enci Ki Bi menjadi korban dan kami semua tinggal enam puluh orang!”
“Benar, dan iblis itu, ah... iblis itu manusia keji, kongcu. Dia penghisap darah dan kepandaiannya amat tinggi, kau ditunggu-tunggu ayahmu. Ibumu pergi!”
Bukan main kagetnya pasangan muda ini. Namun Han Han, yang berwatak tabah dan amat tenang lalu memandang isterinya. Tang Siu, wanita itu, pucat dan menggigil. Kabar di tepi telaga ini mengejutkan. Tapi ketika wanita itu mengangguk dan Han Han menyentak lengannya tiba-tiba pemuda itu sudah berkelebat dan membawa isterinya menyeberangi telaga, tidak dengan perahu melainkan dengan kedua kakinya bergerak-gerak cepat seperti terbang. Han Han mempergunakan ilmunya Hui-thian-sin-tiauw (Rajawali Sakti Terbang Ke Langit), satu ilmu meringankan tubuh yang membuat telapak kaki pemuda ini menyentuh ringan di atas permukaan telaga, seperti kapas tertiup!
“Kongcu...!”
Namun pemuda itu telah tiba di seberang dan berjungkir balik mendarat di pulau. Han Han mempergunakan ilmunya yang luar biasa hingga isterinya terangkat dan terbawa terbang seperti iblis menyeberangi telaga. Siapapun bakal kagum dan mendecak melihat ilmu meringankan tubuh itu. Putera Ju-taihiap ini memang hebat! Dan ketika ia tiba di seberang dan meletakkan kaki di sana, teriakan atau seruan para murid rupanya terdengar di dalam maka Ju-taihiap berkelebat dan. sang ayah itupun sudah berdiri di depan puteranya. Wajahnya kurus dan pucat, sayu.
“Ayah...!”
“Han Han!”
Han Han menubruk dan memeluk ayahnya ini. Perobahan tidak biasa yang terjadi di pulau menggetarkan pemuda ini. Bangunan yang kini kecil-kecil dan mirip barak-barak sederhana sudah menggantikan bangunan megah dari markas Hek-yan-pang. Ketua Hek-yan-pang sendiri tampak acuh dan tak memperhatikan. Semuanya begitu sederhana. Namun ketika ayah dan anak mampu memulihkan perasaan mereka, masing-masing sama mampu mengendalikan diri maka Han Han bertanya apa yang terjadi, ayahnya berkejap-kejap dan menahan sejuta perasaan mencekam.
“Kita kita dirundung malapetaka. Ibumu pergi. Ah, kemana saja kau selama ini, Han Han. Kenapa lama amat dan tidak cepat pulang. Kita disatroni iblis!”
“Ibu. ibu pergi? Kemana?”
“Aku tak tahu, Han Han, tapi yang jelas mencari musuh, majikan Hutan Iblis. Mari kita bicara didalam dan selanjutnya aku akan mencari ibumu!”
Pemuda itu bergetar dan menahan gelombang serangan batin. Tak biasanya ayah dan ibunya berpisah. Dan ayahnya, ah... tampak begitu pucat dan kurus! Dan ketika ia menggigil sementara isterinya sudah menangis dan memeluk dirinya maka si jago pedang menarik mantunya agar masuk ke dalam.
“Marilah, kita masuk. Di dalam lebih enak!”
Tang Siu meledak dan tersedu melihat perobahan wajah tempat tinggal ini. Barak yang dipakai Ju-taihiap lebih mirip barak tentara perang daripada tempat tinggal sebuah merkas perkumpulan, apalagi ketua seperti pendekar ini, jago pedang pilih tanding. Namun Han Han membawanya masuk dan para anak murid mundur, kegembiraan dan kelegaan terpampang di wajah semua orang maka sambil duduk di kursi reyot pendekar ini bercerita. Dan Han Han terutama Tang Siu tak dapat menahan tangisnya lagi.
“Bibi Ki Bi, bibi Ki Bi tewas, ayah?Dan Bo Lip serta Kiat Bu juga binasa? Ah, hebat sekali. Siapa majikan Hutan Iblis itu?”
“Aku juga tak tahu, karena waktu itu aku ke sarangnya tapi manusia itu justeru ke mari. Ia menghancur binasakan perkumpulan kita dan ibumu pergi tak sabar menunggumu. Dua bulan kau ditunggu!”
“Maaf, ayah, kami ke utara. Kami... kami mencari Giam Liong dan berkunjung ke Lembah Iblis.”
Han Han tampak menyesal dan penuh keprihatinan. Ia tak menyangka sama sekali perobahan besar-besaran ini. Ia pergi ke utara dan tak tahu adanya siluman jahat itu. Tapi ketika ayahnya selesai bercerita dan ia mengepal tinju, diam-diam khawatir juga akan keselamatan ibunya maka sang ayah menutup.
“Kau sekarang sudah datang, aku yang akan pergi. Kau jaga baik-baik tempat ini, Han Han. Biar aku mencari ibumu dan ini tugasku.”
“Ah, ayah mau pergi? Sekarang juga?”
“Jangan!” Tang Siu berseru. “Besok atau dua tiga hari lagi. Gak-hu (ayah mertua). Kami masih kangen kepadamu. Han-ko sebenarnya sudah ingin pulang sebulan yang lalu tapi aku yang mencegahnya. Aku terlalu lama membawanya. Aku menyesal...!” wanita ini tersedu dan memegangi kaki mertuanya. Sekarang Tang Siu pun menyesal karena ingin menyenangkan hatinyalah Han Han sampai terlalu lama meninggalkan ayah ibunya.
Tapi ketika pendekar itu tersenyum dan mengangkatnya bangun Ju-taihiap berkata, “Tang Siu, kau dan Han Han tidak bersalah. Kalian pasangan orang-orang muda yang tentu saja ingin menikmati bulan madu dengan sepuasnya. Siapa sangka bahwa di tempat ini ada malapetaka? Kau dan Han Han tentu tak menyangka bahwa aku dan ibumu bisa meninggalkan markas. Dan karena selama ini Hek-yan-pang tak pernah diganggu orang jahat maka tentu lebih tak disangka lagi bahwa di saat aku berdua pergi datanglah manusia iblis itu. Sudahlah, hentikan tangismu. Aku tak berangkat sekarang melainkan besok. Aku juga ingin bercakap-cakap dengan puteraku.”
“Gak-hu... gak-hu mau mengampuni aku?”
“Ah, kau tak bersalah, Tang Siu. Semua ini sudah takdir. Bangkitlah dan siapkan minuman untuk kami.”
Tang Siu terisak. Mertuanya menepuk-nepuk pundaknya dan iapun diangkat bangun. Selama ini mereka juga ke Kun-lun, mengunjungi guru mereka Kim-sim Tojin hingga itulah yang membuat lama. Di sana mereka hampir tinggal dua minggu, lalu perjalanan-perjalanan lain yang semuanya menghabiskan waktu. Maka lega sang gak-hu benar-benar tak menyalahkannya, ia ringan hati maka Tang Siu menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk suami dan ayah mertunya ini. Dapur tampak kosong dan ia terharu, semuanya tampak kurang terawat.
Tapi ketika ia bergerak dan membenahi semua itu, ayah dan anak bercakap-cakap di ruang tengah maka malam itu Ju-taihiap menghabiskan waktunya untuk berpesan dan memberi nasihat kepada puteranya. Dia harus pergi dan Han Han menjaga rumah. Kini giliran anak yang di situ dan ayah yang berangkat. Han Han terharu sekali. Tapi ketika keesokan paginya si jago pedang hendak berangkat tiba-tiba terjadi kegegeran besar dengan masuknya Ju-hujin yang bersimbah darah, terhuyung dan roboh di pintu depan.
“Gak-bo (ibu mertua)....!” Tang Siu menjerit dan melihat lebih dulu. Pagi itu Tang Siu hendak menyiapkan arak hangat untuk ayah mertuanya, juga sudah membuntal pakaian bekal untuk perjalanan ayah mertuanya. Maka ketika tiba-tiba di pintu depan roboh seorang wanita, Tang Siu tertegun dan terbelalak maka wanita itu menjerit mengenal siapa yang roboh ini. Ju-hujin!
Teriakan dan jerit Tang siu membuat dua bayangan menyambar dari kiri kanan rumah. Han Han dan ayahnya tahu-tahu muncul, Tang Siu mengguguk dan menubruk ibu mertuanya itu, yang roboh dan pingsan dengan tubuh bermandi darah. Dan ketika ia melengking namun Han Han dan ayahnya menyambar tubuh itu, mendorong Tang Siu maka pendekar ini pucat melihat keadaan isterinya.
“Niocu...!”
“Ibu!”
Hek-yan-pang menjadi gempar. Hari masih terlalu pagi untuk melihat datangnya Ju-hujin itu. Entah bagaimana wanita itu tahu-tahu sudah di depan pintu, roboh dan pingsan di situ. Tapi ketika Ju-taihiap menolong isterinya dan luka seperti cakaran atau gigitan merobek-robek tubuh Ju-hujin, hampir sekujur tubuh maka pendekar itu menotok dan merobek baju sendiri untuk membersihkan darah. Dan wajah isterinya tampak begitu pucat, kehilangan banyak darah.
“Han Han, ambilkan obat di kamarku. Rebus akar penawar racun dan pembersih luka!”
Han Han bergerak dan berkelebat ke belakang. Ia khawatir melihat keadaan ibunya. Tang Siu mengguguk membantu ayah mertuanya. Ju-taihiap tampak menggigil sementara anak-anak murid berkumpul
di luar. Matahari masih belum terbit dan rata-rata mata semua orang masih belum melek benar. Tapi begitu guncangan itu datang dan Ju-hujin dikabarkan luka parah, semua ingin menolong maka di ruang depan Ju-taihiap bekerja keras menyelamatkan isterinya, paling tidak menyadarkan dan membersihkan luka-luka.
Dan nyonya itupun akhirnya sadar, mengeluh, rintihannya menyayat.
“Keparat, binatang keparat! Kubunuh kau, Mata Iblis.... kubunuh kau...!”
Ju-taihiap menepuk dan mengguncang tubuh isterinya. Isterinya masih teringat pertempuran itu dan cepat ia mengerahkan sinkang, menyalurkan hawa sakti dan isteripun sadar bahwa di situ ada suaminya. Dan ketika wanita ini tertegun dan terbelalak, terisak tiba-tiba Ju-hujin menangis dan memegang tangan suaminya itu.
“Suamiku, maafkan aku.... aku... aku tak turut kata-katamu.... aku... aku bertemu lawan kita itu. Ia ia
benar-benar-hebat !”
“Sudahlah,” Ju-taihiap tak sanggup menahan runtuhnya air mata, “luka-lukamu berat, niocu, jangan
banyak bicara. Tak perlu menyesal lagi. Putera kita Han Han telah pulang!”
“Han Han? Telah pulang? Ah, mana dia?”
“Aku di sini, ibu. Maaf bahwa terlalu lama aku pergi!” Han Han muncul dan tahu-tahu sudah di samping ayahnya. Pemuda ini membawa rebusan obat dan ibunya tiba-tiba tersedak, menangis dan Han Han menunduk mencium ibunya.
Lalu ketika ibunya tersedu dan memeluk erat-erat leher pemuda itu, seakan tak mau dilepas tiba-tiba dia teringat menantunya dan bertanya di mana Tang Siu.
“Aku di sini, aku yang menemukanmu lebih dulu, gak-bo. Maafkan aku!”
“Oohh..!” sang nyonya menyambar dan memeluk mantunya pula. “Kau selalu mendampingi suamimu, Tang Siu? Kau telah menikmati bulan madumu?”
“Maafkan aku,” Tang siu mengguguk. “Gara-gara aku maka Han-ko tak segera pulang, gak-bo. Aku
menyesal!”
“Dan kau, ah...!” sang nyonya menggeliat. “Wajahmu bercahaya, Tang Siu. Kau rupanya hamil kau
sudah berbadan dua!”
Ju-taihiap terkejut. Ia tak memperhatikan hal-hal begitu namun isterinya yang sama-sama wanita tentu saja lebih awas dan tajam pandangan. Ia terbelalak memandang menantunya lalu puteranya sendiri. Han Han dan Tang Siu tampak sama-sama merah namun Han Han mengangguk perlahan padanya. Bukan main girangnya hati pendekar itu. Dan ketika Tang Siu sendiri dipeluk dan diciumi gak-bonya, semua mencucurkan air mata maka kedukaan sejenak yang mengganggu ini terganti keharuan dan kebahagiaan.
Namun sang nyonya mendadak menggeliat dan merintih kembali. Swi Cu melepaskan mantunya sementara Han Han sudah mundur di samping ayahnya lagi. Lalu ketika nyonya itu batuk-batuk dan muntah darah, Han Han menotok dan menolong ibunya maka kesedihan kembali muncul di sini, sang nyonya mengerang dan kesakitan.
“Ibu sebaiknya tak usah banyak bicara. Luka-lukamu berat. Biarlah kau mengaso, ibu, dan kami akan
menunggu.”
Nyonya itu menangis. Banyak bicara membuat ia megap-megap, tadi memang dipaksakan. Dan ketika ia mengangguk namun kegembiraan dan kebahagiaannya bertemu kembali dengan anak dan mantunya membuat luka itu semakin berat, ia terlalu memaksa kerjanya jantung maka Ju-hujin pingsan kembali setelah menggeliat dan kejang-kejang.
Han Han dan ayahnya harus bekerja keras menyelamatkan wanita ini. Sayang, karena terlalu banyak darah hilang maka tubuh nyonya itu lemas. Segala macam obat sudah diberikan dan celakanya setiap sadar sang nyonya justeru hendak bicara banyak. Dua malam ia ditunggui dan malam ketiga ia bercerita bahwa ketemu dengan sucinya Wi Hong, hal yang membuat sang suami dan anak tergetar. Maklum, itu tanda tak baik! Dan ketika Ju-taihiap memejamkan mata sementara Han Han menggigit bibirnya, sang ibu meremas
tangannya maka wanita itu terbatuk bicara tersendat-sendat.
“Han Han, aku... aku bertemu dengan bibimu Wi Hong. Di sana ia mengajak aku pulang. Apakah
semalam aku tak di rumah ini? Aneh, Golok Maut Sin Hauw juga kulihat di sana. Ia menggapai...!”
“Ibu tak usah banyak bicara.” Han Han nyaris tak kuasa menahan cucuran air matanya. “Sudah kubilang berkali-kali agar kau diam dan mengaso, ibu, kenapa bicara juga dan memeras tenagamu. Kau lemah, kau tak mau makan atau minum!”
“Ah, kau memarahi ibumu, Han Han? Aku salah? Aku.... aku tak boleh bicara dengan suami dan anakku sendiri?”
“Bukan begitu,” Han Han akhirnya memeluk dan meruntuhkan air mata di wajah ibunya ini. “Kau dilarang karena demi kesehatanmu sendiri, ibu. Kami ayah dan anak ingin kau sembuh!”
“Tapi... tapi aku tak kuat. Ibu ingin melepas rindu, nak... ibu ingin bicara banyak sebelum mati. Ibu
sudah diajak bibimu Wi Hong dan suaminya Si Golok Maut!”
“Ibu...!”
“Eh, kenapa? Kau kenapa? Kau tahu ibu tak mungkin hidup lagi, Han Han. Kau dan ayahmu tahu ini.
Luka-lukaku parah, sebelum ajal aku ingin bicara banyak!”
Han Han mengguguk dan tak dapat menahan sedu-sedannya lagi. Semakin dilarang ibunya ini semakin gila. Setiap sadar selalu menghabiskan tenaga dengan banyak bicara, hal yang dikhawatirkan tak dapat dilakukannya lagi bila maut datang menjemput. Dan karena Han Han maupun ayahnya sama-sama tahu bahwa ibunya ini tak mungkin tertolong, hanya berkat kepandaian mereka maka wanita itu masih hidup untuk tiga hari ini maka Han Han menangis di wajah ibunya dan memeluk serta menciumi ibunya itu.
Ju-taihiap mencucurkan air mata melihat adegan ini.
“Niocu, sudahlah. Kenapa bicara tentang mati? Kau membuat kami ayah dan anak diremas-remas.
Kasihanilah Han Han!"
“Kau, ah... kau juga menangis, suamiku? Kau tak rela aku pergi? Ini kesalahanku. Aku melanggar nasihatmu. Biarlah aku pergi karena ini hukuman untukku!” dan ketika sang suami memeluk dan mencium pipi isterinya itu maka Swi Cu tersendat-sendat bicara, napasnya mulai terengah-engah.
“Suamiku. kau mau membalaskan sakit hatiku ini, bukan?Kalian berdua mau membunuh manusia
iblis itu? Dia.... dia mengerikan. Kalian berhati-hatilah karena benar-benar ia amat lihai!”
“Sudahlah, jangan bicara, niocu. Lihat napasmu megap-megap!”
“Aku ingin menumpahkan rindu kepada kalian. Ah, kalau dua minggu aku bersabar lagi tentu tak akan begini jadinya, Tan-ko. Anak kita Han Han sudah datang. Aih, aku memang keras kepala dan keras kemauan.... aku. aku tak menuruti omongan suamiku sendiri!”
Han Han dan ayahnya menangisi wanita ini. Tang Siu mengguguk dan nyonya muda yang sejak tadi tak turut bicara itu memijit-mijit kaki mertuanya. Tapi ketika Ju-hujin sadar dan memanggil menantunya itu, gemetar menggapai maka Tang Siu maju dan dipeluk wanita ini, tangan Ju-hujin sudah dingin.
“Tang Siu, kau mau dengar kata-kataku?”
“Gak-bo hendak bicara apa?”
“Baik-baik dan tunduklah kepada kata-kata suamimu, anak baik. Jangan seperti aku yang selalu menentang dan ingin membuat susah. Kau mencintai Han Han, bukan? Kau tak akan meninggalkannya, bukan?”
“Aku mencintainya sepenuh hati, gak-bo. Dan Han-ko adalah segala-galanya bagiku!”
“Bagus, dan anakmu itu.... ah, bakal cucuku itu aduh, sayang aku tak dapat melihat wajahnya, Tang
Siu. Aku tak mungkin lama lagi karena maut datang menjemput!’'
“Ibu!”
“Hush! Ini malam hari atau siang, Tang Siu? Kenapa pandang mataku gelap? Aku merasa berkunang-kunang.... ooh, beri dulu air minum!”
Siapapun akan terobek-robek. Nyonya itu tampak mengejap-ngejap mata sementara Tang Siu tersedu memberikan air minum. Ibu mertuanya ini benar-benar dalam keadaan gawat. Tapi ketika seteguk air dingin dinikmati wanita itu tiba-tiba Swi Cu merasa tenang.
“Ah, belum malam rupanya. Aku sekarang dapat melihat wajah kalian bertiga lagi! Tang Siu, bantu aku duduk!”
Han Han mendahului. Pemuda ini menangis tanpa suara sementara isterinya tersedu-sedan, sang ayah diam mematung dan memandang wajah isterinya itu. Aneh, Swi Cu tersenyum, menggapainya. Lalu ketika dia mendekat dan isterinya itu setengah duduk di pembaringan maka wanita ini mencium tangan suaminya itu.
“Tan-ko, kau tak akan marah kepadaku bukan?”
“Kenapa marah? Aku tak pernah marah, Cu-moi, apalagi kepadamu.”
“Tapi kadang-kadang aku membuatmu marah, seperti dulu ketika kita di Hutan Iblis!”
“Sudahlah, kenapa banyak bicara juga? Kau memang kadang-kadang bandel, niocu. Tapi betapapun aku sayang padamu, kau isteriku. Kau hendak berpesan apa dan apa yang ingin kau katakan.”
“Aku ingin mendapat hadiah cium, dari kau dan anak serta mantuku.”
Ju-taihiap tersedak. Betapapun gagah dan kuatnya dia namun menghadapi isteri yang di ambang maut begini tetap juga dia bobol. Isak tertahan mencekik tenggorokannya. Tapi ketika tanpa banyak suara ia mencium dan meremas jari isterinya itu maka Swi Cu tertawa dan minta Han Han maju memberikannya pula. Han Han mencucurkan air mata dan mencium ibunya ini. Lalu ketika Tang Siu mengguguk dan mencium ibu-mertuanya pula maka Ju-hujin tiba-tiba terkulai dan tertawa aneh.
“Aku puas.... aku puas.... selamat tinggal!" dan begitu wanita ini terguling dipembaringan spontan
anak dan mantunya menjerit.
Tang Siu histeris.
“Ibu...!”
Namun wanita itu telah melayang jiwanya. Wajah yang tersenyum dan bibir yang terkembang itu menunjukkan detik-detik terakhir perasaan wanita itu. Ju-hujin tampak bahagia. Dan ketika Tang Sui roboh pingsan sementara Han Han dan ayahnya terhuyung memeluk mayat ini, sebagai orang-orang gagah mereka harus dapat menerima kenyataan maka Beng Tan menyuruh puteranya menolong Tang Siu sementara dia sendiri merawat dan membawa mayat isterinya ke ruang depan.
Hek-yan-pang kini berkabung bukan oleh kematian anak murid biasa melainkan justeru seorang tokohnya. Sebelum Beng Tan menjadi ketua maka ju-hujin itulah yang memimpin Hek-yan-pang. Perkumpulan ini benar-benar kehilangan oleh tewasnya Ju-hujin. Dan ketika mereka yang dulu girang melihat kepergian Ju-hujin tapi kini melihat wanita ini tewas membela mereka, menyesal dan memukuli diri sendiri kenapa terlalu mementingkan ego sendiri akhirnya menangis dan mengguguk di depan peti jenasah.
Ju-taihiap semakin pucat dan kurus oleh kematian isterinya ini. Setengah bulan tidak bertemu tahu- tahu sang isteri sudah menjadi mayat. Siapa tidak sedih! Tapi ketika masa perkabungan dilewatkan dan pendekar ini telah berketetapan untuk mencari majikan Hutan Iblis itu, perjalanannya terhenti ketika dulu isterinya datang bersimbah darah ternyata Han han menghadap dan berkata biarlah dia yang pergi, sang ayah tinggal di situ.
“Aku tak menghendaki ayah pergi. Ayah sudah tua dan seharusnya beristirahat. Biarkan aku yang
mencari dan membunuh manusia ini, ayah, bukan semata oleh sakit hati kita melainkan sekedar berdarma bakti menumpas kejahatan membela kebenaran. Aku sudah bicara dengan sui-moi dan ia akan menemani ayah di sini.”
Sang pendekar tertegun, wajahnya tiba-tiba kelihatan menua. “Kau. kau mau pergi, Han Han?Kau
mau menggantikan aku?”
“Benar, ayah, dan aku sudah bicara dengan Tang Sui. Aku pergi sendiri dan kutitipkan dia di sini. Tang Sui hamil, tak enak harus bepergian. Kematian ibu telah kita hadapi dengan tabah dan aku yang akan menggantikan ayah!”
Ju-taihiap terharu dan tiba-tiba memeluk puteranya ini. “Baiklah,” katanya bergetar, “kau boleh pergi, Han Han. Bagiku sama saja kau ataukah aku. Kau benar, jangan balas sakit hati ini semata karena dendam atas kematian ibumu, melainkan mencari orang itu berdasar kebenaran menegakkan keadilan. Berangkatlah, aku merestuimu, puteraku, dan kalau isterimu hendak kau titipkan di sini biarlah aku menjaganya.”
Han Han terharu dan memeluk ayahnya itu pula. Tang Sui tiba-tiba muncul dan wanita ini terisak berlutut di depan mertuanya, sedih melepas suami namun semalam mereka sama-sama memutuskan bahwa dirinya harus di situ. Ia hamil, tak boleh bepergian jauh lagi. Dan ketika hari itu Han Han berangkat dan buntalannya telah disiapkan sang isteri maka Ju-taihiap melepas puteranya dengan mata berkaca-kaca.
“Han Han, hati-hatilah. Ayah dan isterimu menanti di sini. Kalau bisa jangan lama, puteraku, ingat
bahwa sebentar lagi kau berputera!”
Han Han mengangguk dengan wajah sedikit merah. Ia memegang lengan ayahnya lalu ganti sang isteri, memeluk dan mencium pipi isterinya itu sambil membisikkan sedikit kata-kata, berpesan agar Tang Siu tak ke mana-mana dan menjaga diri baik-baik di situ. Lalu begitu dia berkelebat dan membalikkan tubuh maka pemuda inipun meninggalkan Hek-yan-pang dan telah menyeberangi telaga. Sama sekali tak menyangka bahwa musuh yang dicari justeru datang lagi ke tempat itu pada malam harinya!
Malam itu langit tak berbintang. Hek-yan-pang sudah melewatkan masa perkabungan tapi seluruh anak-anak murid dan Ju-taihiap sendiri masih tak dapat melupakan peristiwa itu. Kematian Ju-hujin benar-benar memukul. Dan ketika malam itu Ju-taihiap bercakap-cakap dengan mantunya, mereka membicarakan Han Han yang baru saja pergi maka kentongan mulai dipukul sebelas kali dan malam menjelang larut.
“Tidurlah,” Ju-taihiap akhirnya menyelesaikan percakapan. “Beristirahatlah, Tang Siu memang mulai mengantuk dan angin malam tiba-tiba bertiup dingin. Ia menguap dan terkejut sendiri kenapa begitu saja membuka mulut di depan gak-hunya. Ju-taihiap tampak tertegun juga. Tapi karena menganggap anak mantunya terlalu lelah dan nyonya muda itu semburat meminta maaf, ia tersipu malu maka pendekar itu mengulapkan lengannya tersenyum kasihan.
“Sudahlah, tak apa. Kau rupanya lelah, Tang Siu, tak sadar menguap lagi. Beristirahatlah, tidurlah.”
Wanita itu mundur. Tang Siu masih semburat karena sungguh ia malu sekali. Betapa gegabahnya menguap di depan mertua, seakan tak tahu sopan! Maka menunduk dan buru-buru menyingkir nyonya muda inipun pergi kekamarnya sambil mengutuk sendiri. Dan Ju-taihiap juga tiba-tiba bangkit berdiri, menuju ke kamarnya. Namun ketika terdengar semacam suara menguik di sana, di seberang telaga mendadak pendekar ini terkejut. Suara itu sudah berhenti lagi!
“Hm, apa itu. Apakah telingaku salah dengar!”
Jago pedang ini mengernyitkan kening dan curiga. Kewaspadaannya bangkit dan iapun menajamkan pendengaran, tak mendengar apa-apa lagi dan tiba-tiba ia menguap. Sama seperti mantunya tadi mendadak ia tak dapat menahan mulutnya, membuka dan berhembus begitu saja seolah tak disadari. Dan ketika ia tertegun karena hawa udara bertiup semakin dingin, riak telaga terasa begitu sunyi maka pendekar ini tiba-tiba mengantuk berat dan menuju ke kamarnya lagi. Kecurigaan tadi lenyap karena ia ingin segera tidur.
Tapi suara menguik itu terdengar lagi. Pendekar ini tersentak dan seakan tergugah. Sesuatu yang tidak wajar sekonyong-konyong memberitahunya. Dan ketika ia terkejut karena ilmu sirep menyelubungi perkampungan itu, angin yang berhembus dingin tiba-tiba juga membawa pengaruh memabokkan, ia sadar dan menggedruk kakinya mendadak pendekar ini berkelebat dan menuju ke kamar menantunya itu. Wajah berubah.
“Tang Siu, bangun. Ada sesuatu mengganggu kita!”
Namun anak mantu di dalam itu tak menjawab. Tiga kali pendekar ini mengetuk pintu kamar namun nyonya muda itu seakan tak mendengar. Dan ketika Ju-taihiap terpaksa mendorong pintu kamar dan terkejut karena pintu tak dikunci, anak mantunya itu tampak tidur mendengkur maka pendekar ini kaget sekali karena aji sirep yang kuat telah melumpuhkan seisi telaga, termasuk anak mantunya itu yang baru saja bercakap-cakap dengannya, baru beberapa detik saja!
“Tang Siu, bangun. Awas orang jahat mengganggu kita!” jago pedang ini menepuk dan mengguncang mantunya tiga kali. Tepukan bukan sembarang tepukan karena pendekar itu juga mengerahkan kekuatan batinnya untuk membuyarkan aji sirep. Mantunya itu tampak begitu pulas! Tapi begitu wanita muda itu terkejut dan sadar, membuka mata dan kaget melihat ayah mertuanya di situ maka Tang Siu hampir menjerit namun pendekar ini memberikan telunjuk di depan mulut.
“Sst, ada sesuatu yang tidak wajar. Ada pengaruh sirep!”
“Apa.... apa? Sir... sirep?”
“Benar, kau buka seluruh kesadaranmu, Tang Siu. Ingat bahwa tadi kau menguap begitu saja di depanku. Kau terpengaruh sirep, perkampungan Hek-yan-pang mencurigakan. Mari kita periksa dan cabut pedangmu!”
Pendekar ini menepuk ubun-ubun mantunya agar lebih sadar lagi. Nyonya muda ini baru saja tergeragap dan ia tampak bingung. Namun ketika ubun-ubunnya ditepuk iapun sadar sepenuhnya, berkelebat menyambar pedang dan keluar bersama ayah mertuanya yang sudah berkelebat lebih dulu. Dan wanita ini tertegun. Di luar, di tepi telaga tampak anak-anak murid yang berjaga mendengkur. Mereka itu tidur seenaknya saja dan malang-melintang bersama temannya. Ada yang bahkan menindih kepala temannya namun tak terasa! Dan ketika di mana-mana anak murid yang lain juga tertidur di baraknya, Tang Siu terbelalak dan kaget sendiri maka telaga tiba-tiba beriak dan dari permukaannya muncul kepala ratusan anjing berenang!
“Gak-hu!”
Ju-taihiap juga melihat itu. Di bawah bayangan malam gelap tampak air berkecipak sementara moncong-moncong buas menyeringai dengan gigi-gigi yang tajam. Dua ratus anjing liar mendatangi Hek-yan-pang. Srigala! Dan ketika pendekar itu sadar dan secepat kilat membentak mengguntur, tangan berkelebat dan tahu-tahu sinar hitam kecil menyambar dari tangannya maka tiga belas srigala di depan menguik dan roboh dengan kepala pecah!
“Bangun!”
Bentakan atau seruan pendekar itu dahsyat sekali. Aji sirep yang menyerang sekonyong-konyong diterpa, terdorong dan anak-anak murid yang malang-melintang tidur berserakan terkejut. Mereka membuka mata dan berlompatan bangun. Dan ketika mereka terbelalak karena ketua membunuh tiga belas srigala, yang lain melihat moncong-moncong yang menyelam tenggelam maka serentak anak-anak murid berteriak dan Hek-yan-pang gempar, tahu dan maklum apa yang terjadi.
“Majikan Hutan Iblis datang! Awas, manusia srigala itu muncul lagi!”
Teriakan dan jerit kaget para murid ini disusul oleh pekik dan ketakutan para wanita dan anak-anak yang terbangun dengan wajah pucat. Mereka itu adalah keluarga anak murid yang menikah, sisa dari enam puluh orang yang masih hidup. Tapi ketika mereka berserabutan dan Ju-taihiap membentak agar tenang, ketua ada di situ maka terdengar lolong aneh dan dari seberang telaga muncul sosok hitam yang berlari seperti anjing dan menyalaknyalah, berenang atau mungkin merangkak seperti terbang mirip anjing siluman.
“Itu dia...! Itu manusia iblis itu!”
Ju-taihiap memandang dan terkejut. Dia melihat seseorang meluncur di permukaan telaga dengan cara aneh, merangkak lalu berlari cepat seperti anjing, jalannya benar-benar seperti anjing. Namun ketika dia lengah dan ratusan srigala liar muncul dan naik lagi kepermukaan maka anjing-anjing itu melompat dan dengan gonggongan riuh mereka menyerbu dan menyerang anak-anak murid Hek-yan-pang.
“A-siu,awas!”
“A-him, belakangmu!”
Ju-taihiap terkejut. Ia melihat seratus lebih srigala menyalak dan menyerbu anak muridnya. Mereka tak takut meskipun tiga belas di antaranya sudah dibunuh. Dan ketika anak murid menyambut dan pedang membacok atau menusuk srigala-srigala itu maka lolong dan menguiknya anjing yang roboh disusul oleh jerit atau pekik kesakitan anak murid sendiri yang tergigit atau diterkam.
“Tang Siu, bantu mereka. Aku menghadapi majikan Hutan Iblis itu!”
Jago pedang ini bergerak dan kembali menyambitkan batu-batu hitam ke anjing-anjing liar itu. Sebelas kembali roboh namun ada yang tak apa-apa, yakni seekor srigala putih berpunggung hitam. Dan ketika ia terbelalak karena srigala itu hanya terbanting, bangkit dan berdiri lagi maka binatang itu menyerang pendekar ini dan dengan amat berani menubruk dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil memperlihatkan taring-taring yang tajam berkilat.
“Keparat!” pendekar itu mengibas dan marah. Ia menambah tenaganya dan hewan itu melolong, berdebuk dan menyerang lagi namun si jago pedang menyambarkan dua kerikil tajam ke matanya. Tepat sekali mata itu pecah! Dan ketika binatang itu bergulingan dan meraung-raung, keadaan menjadi hingar-bingar oleh jerit dan bentakan maka sosok yang meluncur di permukaan telaga seperti anjing berlari itu telah mendarat, melompat dan menerkam pendekar ini dengan cara seperti anjing gila.
“Heh-heh, selamat bertemu, Ju-taihiap. Sudah lama kucari dirimu dan kita sekarang dapat berhadapan.... plak!”
Sang pendekar mengelak dan terkejut. Ia membalik dan melihat sepuluh jari tangan menubruk dengan kuku-kuku runcing. Kuku itu bagaikan cakar baja. Dan ketika ia terhuyung sementara lawan terpental, menyalak dan menyerang lagi maka Ju-taihiap merasa seram karena ia seakan berhadapan dengan manusia anjing yang gila namun ganas dan berbahaya sekali. Dua kali ia menangkis dan dua kali lawan terpental namun dua kali itu pula manusia aneh ini mampu menyerang kembali.
* * * * * * * *
“Tidurlah,” Ju-taihiap akhirnya menyelesaikan percakapan. “Beristirahatlah, Tang Siu memang mulai mengantuk dan angin malam tiba-tiba bertiup dingin. Ia menguap dan terkejut sendiri kenapa begitu saja membuka mulut di depan gak-hunya. Ju-taihiap tampak tertegun juga. Tapi karena menganggap anak mantunya terlalu lelah dan nyonya muda itu semburat meminta maaf, ia tersipu malu maka pendekar itu mengulapkan lengannya tersenyum kasihan.
“Sudahlah, tak apa. Kau rupanya lelah, Tang Siu, tak sadar menguap lagi. Beristirahatlah, tidurlah.”
Wanita itu mundur. Tang Siu masih semburat karena sungguh ia malu sekali. Betapa gegabahnya menguap di depan mertua, seakan tak tahu sopan! Maka menunduk dan buru-buru menyingkir nyonya muda inipun pergi kekamarnya sambil mengutuk sendiri. Dan Ju-taihiap juga tiba-tiba bangkit berdiri, menuju ke kamarnya. Namun ketika terdengar semacam suara menguik di sana, di seberang telaga mendadak pendekar ini terkejut. Suara itu sudah berhenti lagi!
“Hm, apa itu. Apakah telingaku salah dengar!”
Jago pedang ini mengernyitkan kening dan curiga. Kewaspadaannya bangkit dan iapun menajamkan pendengaran, tak mendengar apa-apa lagi dan tiba-tiba ia menguap. Sama seperti mantunya tadi mendadak ia tak dapat menahan mulutnya, membuka dan berhembus begitu saja seolah tak disadari. Dan ketika ia tertegun karena hawa udara bertiup semakin dingin, riak telaga terasa begitu sunyi maka pendekar ini tiba-tiba mengantuk berat dan menuju ke kamarnya lagi. Kecurigaan tadi lenyap karena ia ingin segera tidur.
Tapi suara menguik itu terdengar lagi. Pendekar ini tersentak dan seakan tergugah. Sesuatu yang tidak wajar sekonyong-konyong memberitahunya. Dan ketika ia terkejut karena ilmu sirep menyelubungi perkampungan itu, angin yang berhembus dingin tiba-tiba juga membawa pengaruh memabokkan, ia sadar dan menggedruk kakinya mendadak pendekar ini berkelebat dan menuju ke kamar menantunya itu. Wajah berubah.
“Tang Siu, bangun. Ada sesuatu mengganggu kita!”
Namun anak mantu di dalam itu tak menjawab. Tiga kali pendekar ini mengetuk pintu kamar namun nyonya muda itu seakan tak mendengar. Dan ketika Ju-taihiap terpaksa mendorong pintu kamar dan terkejut karena pintu tak dikunci, anak mantunya itu tampak tidur mendengkur maka pendekar ini kaget sekali karena aji sirep yang kuat telah melumpuhkan seisi telaga, termasuk anak mantunya itu yang baru saja bercakap-cakap dengannya, baru beberapa detik saja!
“Tang Siu, bangun. Awas orang jahat mengganggu kita!” jago pedang ini menepuk dan mengguncang mantunya tiga kali. Tepukan bukan sembarang tepukan karena pendekar itu juga mengerahkan kekuatan batinnya untuk membuyarkan aji sirep. Mantunya itu tampak begitu pulas! Tapi begitu wanita muda itu terkejut dan sadar, membuka mata dan kaget melihat ayah mertuanya di situ maka Tang Siu hampir menjerit namun pendekar ini memberikan telunjuk di depan mulut.
“Sst, ada sesuatu yang tidak wajar. Ada pengaruh sirep!”
“Apa.... apa? Sir... sirep?”
“Benar, kau buka seluruh kesadaranmu, Tang Siu. Ingat bahwa tadi kau menguap begitu saja di depanku. Kau terpengaruh sirep, perkampungan Hek-yan-pang mencurigakan. Mari kita periksa dan cabut pedangmu!”
Pendekar ini menepuk ubun-ubun mantunya agar lebih sadar lagi. Nyonya muda ini baru saja tergeragap dan ia tampak bingung. Namun ketika ubun-ubunnya ditepuk iapun sadar sepenuhnya, berkelebat menyambar pedang dan keluar bersama ayah mertuanya yang sudah berkelebat lebih dulu. Dan wanita ini tertegun. Di luar, di tepi telaga tampak anak-anak murid yang berjaga mendengkur. Mereka itu tidur seenaknya saja dan malang-melintang bersama temannya. Ada yang bahkan menindih kepala temannya namun tak terasa! Dan ketika di mana-mana anak murid yang lain juga tertidur di baraknya, Tang Siu terbelalak dan kaget sendiri maka telaga tiba-tiba beriak dan dari permukaannya muncul kepala ratusan anjing berenang!
“Gak-hu!”
Ju-taihiap juga melihat itu. Di bawah bayangan malam gelap tampak air berkecipak sementara moncong-moncong buas menyeringai dengan gigi-gigi yang tajam. Dua ratus anjing liar mendatangi Hek-yan-pang. Srigala! Dan ketika pendekar itu sadar dan secepat kilat membentak mengguntur, tangan berkelebat dan tahu-tahu sinar hitam kecil menyambar dari tangannya maka tiga belas srigala di depan menguik dan roboh dengan kepala pecah!
“Bangun!”
Bentakan atau seruan pendekar itu dahsyat sekali. Aji sirep yang menyerang sekonyong-konyong diterpa, terdorong dan anak-anak murid yang malang-melintang tidur berserakan terkejut. Mereka membuka mata dan berlompatan bangun. Dan ketika mereka terbelalak karena ketua membunuh tiga belas srigala, yang lain melihat moncong-moncong yang menyelam tenggelam maka serentak anak-anak murid berteriak dan Hek-yan-pang gempar, tahu dan maklum apa yang terjadi.
“Majikan Hutan Iblis datang! Awas, manusia srigala itu muncul lagi!”
Teriakan dan jerit kaget para murid ini disusul oleh pekik dan ketakutan para wanita dan anak-anak yang terbangun dengan wajah pucat. Mereka itu adalah keluarga anak murid yang menikah, sisa dari enam puluh orang yang masih hidup. Tapi ketika mereka berserabutan dan Ju-taihiap membentak agar tenang, ketua ada di situ maka terdengar lolong aneh dan dari seberang telaga muncul sosok hitam yang berlari seperti anjing dan menyalaknyalah, berenang atau mungkin merangkak seperti terbang mirip anjing siluman.
“Itu dia...! Itu manusia iblis itu!”
Ju-taihiap memandang dan terkejut. Dia melihat seseorang meluncur di permukaan telaga dengan cara aneh, merangkak lalu berlari cepat seperti anjing, jalannya benar-benar seperti anjing. Namun ketika dia lengah dan ratusan srigala liar muncul dan naik lagi kepermukaan maka anjing-anjing itu melompat dan dengan gonggongan riuh mereka menyerbu dan menyerang anak-anak murid Hek-yan-pang.
“A-siu,awas!”
“A-him, belakangmu!”
Ju-taihiap terkejut. Ia melihat seratus lebih srigala menyalak dan menyerbu anak muridnya. Mereka tak takut meskipun tiga belas di antaranya sudah dibunuh. Dan ketika anak murid menyambut dan pedang membacok atau menusuk srigala-srigala itu maka lolong dan menguiknya anjing yang roboh disusul oleh jerit atau pekik kesakitan anak murid sendiri yang tergigit atau diterkam.
“Tang Siu, bantu mereka. Aku menghadapi majikan Hutan Iblis itu!”
Jago pedang ini bergerak dan kembali menyambitkan batu-batu hitam ke anjing-anjing liar itu. Sebelas kembali roboh namun ada yang tak apa-apa, yakni seekor srigala putih berpunggung hitam. Dan ketika ia terbelalak karena srigala itu hanya terbanting, bangkit dan berdiri lagi maka binatang itu menyerang pendekar ini dan dengan amat berani menubruk dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil memperlihatkan taring-taring yang tajam berkilat.
“Keparat!” pendekar itu mengibas dan marah. Ia menambah tenaganya dan hewan itu melolong, berdebuk dan menyerang lagi namun si jago pedang menyambarkan dua kerikil tajam ke matanya. Tepat sekali mata itu pecah! Dan ketika binatang itu bergulingan dan meraung-raung, keadaan menjadi hingar-bingar oleh jerit dan bentakan maka sosok yang meluncur di permukaan telaga seperti anjing berlari itu telah mendarat, melompat dan menerkam pendekar ini dengan cara seperti anjing gila.
“Heh-heh, selamat bertemu, Ju-taihiap. Sudah lama kucari dirimu dan kita sekarang dapat berhadapan.... plak!”
Sang pendekar mengelak dan terkejut. Ia membalik dan melihat sepuluh jari tangan menubruk dengan kuku-kuku runcing. Kuku itu bagaikan cakar baja. Dan ketika ia terhuyung sementara lawan terpental, menyalak dan menyerang lagi maka Ju-taihiap merasa seram karena ia seakan berhadapan dengan manusia anjing yang gila namun ganas dan berbahaya sekali. Dua kali ia menangkis dan dua kali lawan terpental namun dua kali itu pula manusia aneh ini mampu menyerang kembali.
Wajah di balik topeng karet persis seperti yang dikabarkan Pek-lui-kong dulu, sekarang pendekar ini dapat melihat jelas lawan. Dan ketika ia mengelak dan menangkis sejumlah cakaran lagi, juga tubrukan-tubrukan cepat yang amat lihai dan berbahaya maka pendekar ini tertegun karena tawa atau suara laki-laki ini mirip perempuan, juga rambutnya yang diekor kuda itu, rambut pendek yang mengibas-ngibas seperti buntut atau ekor anjing pula!
“Kau siapa!” pendekar ini membentak. “Kau berani mengacau dan membunuh isteriku, manusia iblis. Kau harus menerima hukuman dan terimalah pukulanku!” Ju-taihiap tak mungkin mengelak terus-terusan, harus membalas dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya. Cahaya kilat putih keperakan menyambar-nyambar. Namun ketika lawan dapat menangkis dan mereka sama-sama terpental, Ju-taihiap terkejut maka sadarlah pendekar ini bahwa lawan memiliki sinkang atau tenaga sakti yang tak di bawahnya. Dan dari mulut orang itu keluar dengus-dengus pendek yang mengeluarkan uap hitam.
“Heh-heh, aku adalah aku, Ju-taihiap. Kau dan isterimu telah merusak tempat tinggalku. Kau akan kubunuh... des-plak!” pukulan dan tamparan mereka kembali bertemu, masing-masing sama mengerahkan tenaga tapi uap hitam yang dihembuskan dari mulut laki-laki itu tak tahan diterima pendekar ini. Bau busuk itu yang memuakkan, seperti bau mulut pemakan bangkai! Dan ketika Ju-taihiap mundur namun lawan terkekeh, mengejar dan menubruk serta mencakarnya lagi maka bau ini benar-benar mengganggu dan akibatnya pendekar itu terdesak. Ju-taihiap berubah!
“Kau manusia pemakan bangkai. Kau iblis srigala siluman!”
“Heh-heh, boleh kau katakan apa saja. Aku suka daging dan tulang sepertimu ini, Ju-taihiap, seperti juga aku menikmati cuwilan daging atau darah isterimu, heh-heh...!”
Ju-taihiap marah. Ia membentak dan terpaksa mencabut pedangnya dan lawan yang aneh itu tertawa bergelak. Tawanya seperti lolong srigala, menyeramkan! Dan ketika Ju-taihiap bergerak dan pedang di tangan menyambar dan menusuk, lawan menangkis dengan kuku-kuku jarinya maka pedang terpental dan pendekar ini terkejut karena lawan berani menangkis pedangnya dengan kuku-kuku seperti cakar anjing itu, sadar bahwa pedang di tangannya bukanlah Pedang Matahari karena pedang yang ampuh itu dibawa puteranya.
“Ha-ha, mainkan Pek-jit Kiam-sutmu, Ju-taihiap. Biar kulihat dan kurasakan kelihaiannya. Ayo, ngiiikkkkk...!” lelaki itu menguik dan meringkik seperti anjing. Ekor rambutnya mengibas dan sebentar kemudian ia sudah berkelebatan melayani pedang yang menyambar-nyambar.
Ju-taihiap kagum bahwa lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, mampu menyelinap dan masuk keluar lewat sinar pedangnya yang bergulung-gulung, dan ketika kekeh dan lolong silih berganti diperdengarkan lawannya itu, Ju-taihiap merasa seram maka sebuah pukulan tiba-tiba menghantam dadanya dengan telak sekali, keluar dari gulungan sinar pedangnya yang naik turun menyambar-nyambar.
“Dess...!” Ju-taihiap terjengkang dan merasa sesak napas. Ia melempar tubuh bergulingan untuk menghindar dari serangan berikut, lawan mengejar dan benar saja tak membiarkan ia melompat bangun. Tapi karena pedang diputar membacok dan ujung senjata ini mencuat dan menusuk di balik lingkaran pedang lebar maka Ju-taihiap dapat melompat bangun kembali dan berhadapan lagi dengan lawannya itu.
“Ha-ha, heh-heh.... pedangmu kiranya tak begitu hebat. Apakah ini bukan Pek-jit-kiam (Pedang Matahari)?”
“Iblis! Pedang Matahariku dibawa puteraku, manusia siluman. Tapi dengan pedang biasa inipun aku sanggup menghadapimu. Awas... sing-bret!”
“Kau siapa!” pendekar ini membentak. “Kau berani mengacau dan membunuh isteriku, manusia iblis. Kau harus menerima hukuman dan terimalah pukulanku!” Ju-taihiap tak mungkin mengelak terus-terusan, harus membalas dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya. Cahaya kilat putih keperakan menyambar-nyambar. Namun ketika lawan dapat menangkis dan mereka sama-sama terpental, Ju-taihiap terkejut maka sadarlah pendekar ini bahwa lawan memiliki sinkang atau tenaga sakti yang tak di bawahnya. Dan dari mulut orang itu keluar dengus-dengus pendek yang mengeluarkan uap hitam.
“Heh-heh, aku adalah aku, Ju-taihiap. Kau dan isterimu telah merusak tempat tinggalku. Kau akan kubunuh... des-plak!” pukulan dan tamparan mereka kembali bertemu, masing-masing sama mengerahkan tenaga tapi uap hitam yang dihembuskan dari mulut laki-laki itu tak tahan diterima pendekar ini. Bau busuk itu yang memuakkan, seperti bau mulut pemakan bangkai! Dan ketika Ju-taihiap mundur namun lawan terkekeh, mengejar dan menubruk serta mencakarnya lagi maka bau ini benar-benar mengganggu dan akibatnya pendekar itu terdesak. Ju-taihiap berubah!
“Kau manusia pemakan bangkai. Kau iblis srigala siluman!”
“Heh-heh, boleh kau katakan apa saja. Aku suka daging dan tulang sepertimu ini, Ju-taihiap, seperti juga aku menikmati cuwilan daging atau darah isterimu, heh-heh...!”
Ju-taihiap marah. Ia membentak dan terpaksa mencabut pedangnya dan lawan yang aneh itu tertawa bergelak. Tawanya seperti lolong srigala, menyeramkan! Dan ketika Ju-taihiap bergerak dan pedang di tangan menyambar dan menusuk, lawan menangkis dengan kuku-kuku jarinya maka pedang terpental dan pendekar ini terkejut karena lawan berani menangkis pedangnya dengan kuku-kuku seperti cakar anjing itu, sadar bahwa pedang di tangannya bukanlah Pedang Matahari karena pedang yang ampuh itu dibawa puteranya.
“Ha-ha, mainkan Pek-jit Kiam-sutmu, Ju-taihiap. Biar kulihat dan kurasakan kelihaiannya. Ayo, ngiiikkkkk...!” lelaki itu menguik dan meringkik seperti anjing. Ekor rambutnya mengibas dan sebentar kemudian ia sudah berkelebatan melayani pedang yang menyambar-nyambar.
Ju-taihiap kagum bahwa lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, mampu menyelinap dan masuk keluar lewat sinar pedangnya yang bergulung-gulung, dan ketika kekeh dan lolong silih berganti diperdengarkan lawannya itu, Ju-taihiap merasa seram maka sebuah pukulan tiba-tiba menghantam dadanya dengan telak sekali, keluar dari gulungan sinar pedangnya yang naik turun menyambar-nyambar.
“Dess...!” Ju-taihiap terjengkang dan merasa sesak napas. Ia melempar tubuh bergulingan untuk menghindar dari serangan berikut, lawan mengejar dan benar saja tak membiarkan ia melompat bangun. Tapi karena pedang diputar membacok dan ujung senjata ini mencuat dan menusuk di balik lingkaran pedang lebar maka Ju-taihiap dapat melompat bangun kembali dan berhadapan lagi dengan lawannya itu.
“Ha-ha, heh-heh.... pedangmu kiranya tak begitu hebat. Apakah ini bukan Pek-jit-kiam (Pedang Matahari)?”
“Iblis! Pedang Matahariku dibawa puteraku, manusia siluman. Tapi dengan pedang biasa inipun aku sanggup menghadapimu. Awas... sing-bret!”
Ju-taihiap melakukan serangan balasan, meliuk dan memutar kaki untuk akhirnya menusuk dengan gerak Bianglala Mencoblos Matahari, tangan kirinya menghantam dengan pukulan Pek-lui-ciang hingga lawan terkejut dan lengah oleh tusukan pedang di tangan kanan, bajunya menberebet namun kulit yang tertusuk tak apa-apa. Kebal! Dan ketika pendekar itu terkejut karena lawan memiliki sinkang dan ilmu hitam luar biasa maka manusia srigala itu mulai melompat-lompat lagi seperti anjing...