Tapak Tangan Hantu Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut episode Tapak Tangan Hantu Jilid 10 karya Batara
Sonny Ogawa
TAPAK TANGAN HANTU
JILID 10
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“BEGITULAH.....” nyonya ini tersedu-sedu, meratap, “....aku gagal mendapatkan Sin Gak, Giam Liong. Tapi kau akan berhasil bila menangkap Siauw Hong. Majikan Hutan Iblis itu agaknya kerabat istana. Ia.... ia pandai ilmu-ilmu ayah. Ia memiliki pula Hek-mo-ciang yang ganas dan berbahaya itu. Kau hati- hatilah karena Golok Maut berada ditangannya!”

Yu Yin ambruk dan kejang-kejang. Setelah ia menceritakan semuanya itu dengan susah payah dan banyak mengeluarkan tenaga maka tiba-tiba ia roboh dengan mata mendelik. Napas seakan putus. Dan ketika Giam Liong berseru menyambar isterinya nyonya itu ternyata menuding-nuding.

“Sin Gak.... kau harus mendapatkan Sin Gak. Atau.... atau aku tak akan mati meram...!”

“Yu Yin!”

Nyonya itu menyeringai. Han Han melihat betapa nyonya ini tak tertolong lagi. Luka-lukanya terlampau parah. Dan ketika benar saja wanita itu menggeliat dan tersentak tertahan sekonyong-konyong ia roboh dan lunglai dipelukan suaminya.

“Yu Yin...!”

Lengking atau teriakan itu demikian menggetarkan hati. Naga Pembunuh, Giam Liong tiba-tiba menjerit dan memanggil-manggil isterinya itu. Pemuda buntung ini seakan tak dapat menerima kenyataan. Gema suaranya dahsyat menggetarkan tembok kota raja. Tapi ketika wanita itu lemas dan tewas dengan mata terbuka maka si buntung itu tersedu-sedu dan mengguguk. Tangannya meremas-remas dan meninju tanah.

“Yu Yin, kubalaskan sakit hatimu nanti. Kubunuh dan kukerat jantung jahanam keparat itu.... arghhhhh!”

Pekik atau suara ini mendirikan bulu roma. Naga Pembunuh bangkit berdiri dan tangan kanannya bergerak. Sebatang pohon berderak terbanting. Dan ketika pemuda itu melepas mayat isterinya untuk berkelebatan dan mengamuk di situ, apa saja menjadi sasarannya maka tembok kota raja tak luput dari pukulan atau hantamannya. Dinding kota bergetar dan roboh. Tembok tebal itu runtuh. Dan ketika semua terkejut dan berlarian maka hanya Han Hanlah yang mampu mengatasi dan berkelebat menyambar lengan sahabatnya ini. Wajah Si Naga Pembunuh itu ganas mengerikan.

“Giam Liong, sudahlah. Berhenti dan jangan mengamuk. Sudah dan tahan kemarahanmu ini des...dess!” tembok berlubang lagi oleh amukan si buntung itu.

Giam Liong mendesis-desis dan siapapun yang melihat pasti seram. Wajah itu seperti setan. Namun ketika sebuah pukulan diterima dan ditangkap pemuda ini, Han Han mencoba menyadarkan maka Naga Pembunuh itu tergetar. Han Han terhuyung dan pucat.

“Giam Liong, ini aku. Bukan musuh. Sadarlah!”

“Kau... kau membela jahanam keparat itu?Kau berani menangkis pukulanku? Bagus ,kaupun harus mati, anak muda. Mati dan mampus... wutt!” sebuah pukulan menyambar lagi dan Han Han terkejut bukan main. Saudaranya ini ternyata hilang akal dan mata gelap. Ia tiba-tiba dianggap musuh. Dan ketika Kim-kang-ciang menyambar dan menghantam dahsyat iapun tak berani mengelak karena di belakangnya terdapat orang-orang lain.

“Giam Liong...dess!” dua pemuda itu mencelat. Mereka terlempar oleh pukulan masing-masing tapi Han Han cepat mencabut pedangnya. Pek-jit-kiam, Pedang Matahari adalah pedang pusaka yang menyilaukan mata. Pedang ini terang-benderang kuasa menyadarkan orang gelap. Dan ketika benar saja si buntung itu terbelalak dan sadar, terkejut maka Giam Liong mengeluh dan melihat Han Han bukan Majikan Hutan Iblis.

“Han Han...!”

Pemuda itu lega. Han Han sudah merasa ngeri kalau Giam Liong mengamuk. Tak ada yang dapat diandalkan lagi kecuali Pedang Mataharinya itu. Mereka sama-sama memiliki kepandaian tinggi dan hanya pedang itu yang dapat dipakai bertahan, meskipun dia tak mungkin merobohlan lawan karena betapapun Giam Liong saudaranya, anak angkat dari ayahnya pula. Dan ketika Giam Liong menyebut namanya dan pemuda itu lega, Giam Liong sadar maka Han Han menyimpan pedangnya lagi karena si buntung itu menubruk dan mengguguk di atas dadanya.

“Han Han, isteriku..... ia.... tewas !”

“Sabarlah. sabar. Nasib sudah menentukan begitu, Giam Liong, tak ada lagi yang dapat merobah. Isterimu melanggar pesanmu. Ia sembrono. Kita harus bersabar dan jangan berduka.”

“Enak saja kau bicara. Enak saja kau menghibur! Aku tak dapat membiarkan semua ini terjadi, Han Han. Aku akan membalas dan membunuh jahanam keparat itu. Aku akan mencincang dan menghirup darahnya. Ia akan kuganyang jantungnya!”

Han Han mencengkeram erat-erat pundak sahabatnya ini. Ia sudah menduga semua kata-kata seram yang bakal mendirikan bulu roma. Ia percaya akan semua ancaman itu. Tapi menggigil dan coba menyadarkan ia berkata,

“Giam Liong, tak ada sesuatu yang akan terjadi kalau tidak atas kehendak Yang Maha Kuasa. Isterimu tewas, ini kenyataan. Tapi membalas dan membunuh berdasarkan dendam adalah salah besar. Ingat, ibuku juga tewas dibunuh, Giam Liong. Tapi aku tak mengancam atau mengutuk berlebihan. Ada akibat ada sebab. Marilah terima hal ini secara tenang dan bersikaplah jantan!”

Si buntung mengguguk. Kata-kata itu menghunjam hatinya karena teringatlah Giam Liong bahwa ibu Han Hanpun terbunuh. Dibanding sakit hatinya maka sakit hati pemuda itupun sama. Tapi karena dia bukan Han Han dan di dalam darahnya mengalir watak pendendam Golok Maut Sin Hauw, mendiang ayahnya maka ia melepaskan diri tapi kata-katanya tetap menyeramkan dan dingin ketika berkata,

“Han Han, kau bukan aku, dan akupun bukan kau. Baik kuterima semuanya ini tapi sumpah demi Langit dan Bumi akan kucincang jahanam keparat itu. Aku tak mau sudah, atau aku yang mampus menyusul isteriku!”

Han Han menarik napas dalam-dalam. Kalau sudah begini tak perlu ia melayani lagi. Giam Liong bahkan kalap. Dan ketika ia diam tak menjawab maka Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin merintih selesai mengobati luka-lukanya. Mereka juga mendengar semua cerita nyonya itu dan ngeri. Sekarang mereka tahu bahwa Golok Maut dicuri orang. Giam Liong atau Naga Pembunuh ini bukan orang yang membunuh-bunuhi murid mereka, meskipun jelas pembantaian itu dilakukan dengan Giam-to (Golok Maut).

Dan ketika semua beranjak dan berdiri terhuyung maka Giam Liong telah menyambar mayat isterinya dan pergi tidak menoleh lagi kepada siapapun. Si buntung ini terlampau berduka oleh kematian isterinya. Han Han juga tak menghalangi. Dan karena peristiwa ini bagai mimpi buruk yang datang tiba-tiba, semua begitu berobah maka pemuda inipun berkelebat dan kembali ke Hek-yan-pang. Han Han hendak melapor itu kepada ayahnya. Ceng Tong dan Ho Heng Tojin diminta berhati-hati. Dan ketika ketua Lu-tong dan Khong-tong itu mengangguk, merekapun harus kembali dan menjaga para murid maka kejadian di pintu gerbang kota raja itu menjadi saksi bisu bagi tewasnya Giam-hujin.

* * * * * * * *

Tiga bulan sejak kejadian itu tak ada sesuatu yang istimewa. Dunia kang-ouw juga tenang. Agaknya setelah badai mengamuk beberapa saat dalam bulan-bulan terakhir ini maka badai akhirnya reda. Hek-yan- pang, tempat di mana Ju-taihiap tinggal juga tenang. Han Han telah kembali ke sini dan bertemu ayah isterinya. Tang Siu menjerit ketika mendengar kematian Yu Yin. Wanita itu hampir saja pingsan. Tapi ketika Han Han menyambar dan mengingatkan isterinya itu, bahwa kandungan harus dijaga maka Ju-taihiap juga menghibur dan berbisik bahwa semuanya takdir.

“Sudah suratan, sudah nasib. Ah, kasihan Giam Liong dan mudah-mudahan anak itu dapat menguasai diri.”

Tang Siu mengguguk dan tersedu-sedu. Betapapun ia tak dapat melupakan itu. Ia tak dapat melupakan sahabatnya dan Yu Yin adalah satu-satunya wanita paling dekat dalam hidupnya. Bahkan bersama wanita itulah dia melangsungkan pernikahan bersama-sama. Dia mendapatkan suaminya Han Han sedangkan Yu Yin mendapatkan Giam Liong. Mereka pernah sama-sama tinggal di Kun-lun ketika dulu Ju-taihiap harus melamar mereka. Gurunya, Kim-sin Tojin, pernah bergurau bahwa mereka tiada ubahnya saudara kandung, bahkan lebih.

Maka ketika kini wanita itu tewas dan ia benar-benar merasa kehilangan, padahal beberapa waktu yang lalu mereka masih bersama dan sempat tidur satu pembaringan maka nyonya muda ini berduka selama sebulan dan ia menyatakan perkabungan pribadi. Suaminya tak boleh mendekatinya dahulu dan setiap malam wanita ini sembahyang. Asap hio mengepul di kamar pribadinya dan pakaian putih dikenakan Tang Siu.

Sang gak-hu (ayah mertua) menarik napas panjang dan diam-diam menyatakan berkabung pula. Selama sebulan dikibarkan bendera Hek-yan-pang setengah tiang. Para murid menunduk. Dan ketika sebulan lewat dan masa berkabung dihentikan maka bendera disimpan tapi Tang Siu minta agar satu dari semua bendera itu tetap ditancapkan di pulau, setengah tiang.

“Aku tak dapat melupakan ini. Aku akan mengenang kematian sahabatku sampai si pembunuh dapat dihukum. Aku minta agar satu di antara semua bendera itu tetap tertancap, Han Han. Aku akan berdoa dari sini agar jahanam itu tertangkap!”

“Hm, tak perlu berlebihan. Suasana berkabung sudah lewat, Siu-moi. Kenapa mengingat-ingat juga? Aku dan seluruh Hek-yan-pang turut bersedih, tapi jangan larut dan tak kenal batas!”

“Kau tak mau menuruti permintaanku?”

Han Han terkejut. “Kau nekat?”

“Bukan nekat, Han-ko, melainkan perwujudan dari rasa sedihku yang mendalam. Kau tancapkan sebuah bendera itu atau aku pergi dan mencari jahanam pembunuh itu!”

Han Han terbelalak. Ia tiba-tiba melihat betapa sedih dan dalamnya rasa dendam di hati isterinya itu. Sebenarnya ia tak setuju. Tapi karena tak mau sang isteri minggat dan mencari manusia berbahaya itu, terpaksa ia menancapkan bendera di tengah pulau maka sang ayah yang melihat itu berkerut kening. Sang isteri sudah masuk ke kamarnya kembali.

“Apa itu, untuk apa. Kenapa kau tancapkan bendera disana, Han Han. Bukankah masa perkabungan lewat!”

“Tang Siu yang memintanya, ayah. Ia minta agar sebuah bendera masih berdiri di sana sampai pembunuh itu terhukum.”

“Ah, dendam berlebihan. Tak baik melihat itu karena setiap saat dapat membakar perasaan saja!”

“Benar, tapi ia mengancamku, ayah. Ia akan pergi kalau tak ditancapkan bandera itu. Entahlah, mantumu itu tiba-tiba saja bersikap keras dan amat ngotot!”

“Hm-hm, aku kurang setuju. Tapi biarlah. Bagaimana rencana kita dan apa yang akan kau lakukan nanti. Apakah menunggu sampai bayimu lahir.”

“Masih tiga bulan lagi. Hm, aku juga bingung, ayah. Bagaimana baiknya. Aku juga ingin cepat-cepat menemukan majikan Hutan Iblis itu sebelum Giam Liong. Aku tak suka Giam Liong bersikap kejam dan sadis!”

“Aku menyerahkannya kepadamu. Tapi yang jelas tentu saja isterimu kujaga baik-baik di sini. Atau bagaimana kalau aku saja yang pergi.”

“Ayah mau mencari iblis itu?”

“Eh, apakah sangkamu aku harus berpangku tangan saja? Kupikir begitu juga baik, Han Han. Kau dan isterimu di sini sementara aku yang gantian pergi!”

“Tapi ayah tak mampu menandingi iblis itu...”

“Jangan mengecilkan aku. Waktu itu Pek-jit-kiam tak berada di tanganku, Han Han. Pedang itu kau bawa. Kalau waktu itu aku membawa pedang itu kurasa aku mampu menandinginya. Ia memang hebat, dan justeru aku penasaran karena dengan Pek-jit-kiam ingin kucoba lagi!”

“Hm, bagaimana kalau aku saja yang pergi.”

“Terserah, tapi kau harus menanti kelahiran bayimu. Kau lebih berkepentingan daripada aku!”

Han Han bingung. Justeru inilah yang membuatnya bingung selama ini. Sebentar lagi isterinya akan melahirkan. Menurut patut, dialah yang harus tinggal disitu sebagai calon ayah. Dia harus menunggui isterinya dan Tang Siu tentu lebih senang ditunggui dia daripada ayahnya. Maka ketika ayahnya bertanya sekali lagi dan dia menarik napas maka pemuda ini menyerahkan kepada ayahnya.

“Terserah ayah sajalah, aku menurut.”

“Kalau begitu besok aku pergi. Berikan Pek-jit-kiam padaku, Han Han, dan kau jagalah Hek-yan-pang baik-baik!”

Han Han melolos pedangnya. Pek-jit-kiam dia berikan dan Ju-taihiap menerima ini. Pedang itu adalah pedang yang hebat dan kalau tidak terpaksa tak mau ia mempergunakan. Dulu diberikannya kepada Han Han tapi sekarang dipinjamnya. Ia akan pergi, pedang itu akan menemani dan dengan Pek-jit-kiam di tangan ia merasa tenang. Rasa penasarannya kepada majikan Hutan Iblis itu besar sekali.

Dulu ia kewalahan karena pedang di tangan puteranya. Sekarang ia akan mempergunakan pedang ini lagi dan akan dicarinya lawan yang amat berbahaya itu. Maka bersiap dan menyerahkan pimpinan pada puteranya pendekar inipun meninggalkan Hek-yan-pang ketika keesokannya dia berpamit, baik kepada puteranya maupun anak mantunya.

“Aku tak mau tinggal diam. Kalian berdua di sini dan biar aku bekerja. Han Han harus menunggui kelahiranmu. Jaga diri baik-baik, Tang Siu, dan ikuti nasihat suamimu!”

Tang Siu mengangguk, menahan tangis. Sebenarnya ia khawatir juga tapi Han Han menghiburnya agar tenang. Ayahnya itu telah membawa Pek-jit-kiam. Pedang Matahari itu sama ampuhnya dengan Golok Maut. Maka ketika sang ayah pergi meninggalkan mereka, berkelebat dan melambaikan tangan maka hari itu Hek-yan-pang dipimpin Han Han. Tak ada apa-apa dua tiga hari ini tapi hari keempat Tang Siu merengek. Nyonya itu menyatakan rindu kepada gurunya, Kim-sin Tojin. Dan ketika kian hari rengekannya kian bertambah, Han Han berkerut kening maka nyonya itu minta bagaimana kalau seorang dua orang anak buah Hek-yan-pang diminta pergi ke Kun-lun untuk menjemput kakek itu.

“Aku rindu, entahlah,.. aku rindu kepada suhu. Utuslah seorang dua orang murid ke Kun-lun, Han-ko. Biarlah suhu datang karena semalam ini aku mimpi tidak enak!”

“Kau mimpi apa?”

“Suhu datang menghunus pedang, tubuhnya berlumuran darah. Aku ngeri, takut!”

Han Han terkejut juga. Mimpi itu benar-benar tak enak dan pantas kalau isterinya gelisah. Ia mengangguk dan kemudian memasuki kamar. Dan ketika pemuda itu duduk bersila dan memejamkan mata, menujukan konsentrasi ke Kun-lun maka Han Han “memanggil” kakek itu lewat getaran suara batin. Ilmu ini pernah dipelajari Han Han dari gurunya Im Yang Cinjin yang sakti. Dengan getaran suara batin ia dapat menghubungi seseorang dari jauh. Tapi ketika ia tak mendapat sambutan, suara panggilannya lenyap begitu saja maka ia tertegun dan bangkit berdiri. Isterinya terbelalak dan memandang perbuatannya dengan heran.

“Kau bikin apa, kenapa tidak memanggil seorang murid!”

“Hm, aku mencoba menghubungi gurumu. Siu-moi. Kalau ia dapat kukontak untuk apa jauh-jauh mengutus murid. Aku sudah ke Kun-lun, tapi tak ada.”

“Maksudmu?”

“Gurumu tak ada di sana, mungkin ke luar. Coba nanti kuhubungi lagi dan jangan terburu-buru.”

Tang Siu berseri. Akhirnya ia sadar bahwa suaminya ini adalah seorang pemuda hebat. Kesaktiannya tinggi dan setingkat di atas gak-hunya. Tapi ketika sehari itu empat kali Han Han gagal mengontak kakek itu, Kim-sin Tojin tak ada di rumah maka pemuda ini cemas dan berkerut kening. Tang Siu mulai takenak.

“Bagaimana, apakah tak ada. Tak dapatkah kau menelusuri ke mana kira-kira dia pergi. Ambilkan sebutir telur dan sehelai kain putih!”

Tang Siu gelisah. Ia ke belakang dan mengambil apa yang diminta, memberikan itu kepada suaminya dan Han Han pun duduk lagi bersila. Mata pemuda ini terpejam lebih rapat. Telur dipegang dengan hati-hati di telapak tangan. Lalu ketika dia membalik dan mengguncang telur itu ke empat penjuru mendadak telur meloncat dan jatuh dengan posisi yang runcing dibawah.

“Ah, Hek-yan-pang. Ia sedang menuju Hek-yan-pang!” Han Han berseru dan membuka mata. Ia girang bahwa petunjuk akan kakek itu menuju tempatnya. Telur itu berdiri dengan posisi tegak. Tapi ketika ia berseru mendadak belasan murid menghambur dan berteriak-teriak.

“Kongcu, ada kakek luka parah. Ada tamu menyeramkan!”

“Benar, dan ia mencari-cari dirimu, kongcu. Juga siauw-hujin. Maaf kami mengganggu dan kakek itu roboh di tepi telaga!”

Han Han bergerak dari duduknya. Ia mencelat sementara sang isteripun melompat kaget. Tiga belas murid datang dengan tergesa-gesa dan muka pucat. Mereka ngeri. Namun ketika ia keluar dan berkelebat mencari tahu, satu di antara mereka dibawa terbang maka murid ini menggigil menudingkan telunjuk ke sebelah selatan.

“Di situ... di sana. Kami tak mengenalnya, kongcu. Kakek itu mandi darah!”

Han Han berkelebat dan memutar tubuh ke selatan. Ia berdebar dan tegang karena firasatnya menyatakan tidak enak. Tang Siu, isterinya, tiba-tiba juga mengejar dan berteriak. Dan ketika di sebelah selatan tampak murid-murid Hek-yan-pang berkerumun, mereka menolong seorang kakek bermandi darah maka bagai ditusuk pedang Han Han mengenal kakek ini, sudah dapat menduga.

“Kim-sim-totiang!”

Murid Hek-yan-pang serentak mundur. Mereka pucat dan ngeri memandang kakek itu namun Han Han sudah berkelebat dan mendorong mereka. Kakek itu terjelungup di samping perahu, pakaiannya penuh darah sementara matanya mendelik lebar. Berulang-ulang ia hendak bicara namun yang keluar hanya ah-uh saja, tak jelas. Dan begitu ia melihat Han Han namun roboh terguling, kakek ini pingsan maka Tang Siu tiba di situ dan juga menjerit.

“Suhu...!”

Gemparlah para murid. Baru mereka tahu bahwa itu kiranya Kim-sim Tojin, kakek atau guru dari siauw-hujin mereka yang sudah menjerit dan menubruk. Dan ketika mereka ramai memberi jalan, Han Han sudah menyambar dan menotok kakek ini maka Tang Siu terguling-guling dan tersedu memeluk gurunya itu. Para murid pucat.

“Suhu..... suhu...!”

Han Han tertegun. Sejenak pemuda ini juga berubah namun tiba-tiba ia mendorong isterinya. Tang siu disuruh bangun sementara kakek itu dipondong. Lalu sekali dia berkelebat maka Kim-sim Tojin dibawanya ke rumah. “Siu-moi, gurumu luka-luka. Mari dirawat di dalam dan jangan biarkan di sini. Bantu aku, kita pulang!”

Tang Siu mengguguk. Hampir wanita itu roboh tersandung batu namun Han Han menyambar dan menangkap lengannya, berkelebat dibawa terbang. Lalu ketika pemuda itu menyuruh murid-murid yang lain tenang, sebagian disuruh berjaga maka Kim-sim tojin, kakek itu dibawa ke dalam dan Han Han tercekat bahwa luka kakek ini diakibatkan babatan Golok Maut. Daging dan kulit yang terkuak sudah kering darahnya dihisap Golok Maut itu.

“Ia korban Majikan Hutan Iblis. Kim-sim-totiang bertemu manusia jahanam itu!”

Tang Siu tak mampu bicara. Ia menangis tersedu-sedu namun ketika Han Han menyuruhnya membantu maka wanita inipun mengangguk dan mengambil obat dan pembebat. Luka Kim-sim Tojin cukup parah. Namun ketika Han Han menotok dan mengusap kakek itu, kakek ini mengeluh maka tokoh Kun-lun itu membuka mata dan girang melihat Han Han.

“Kau...? Mana.... mana Tang Siu...?”

“Aku di sini,” wanita itu mengguguk. “Aku di sini, suhu. Ada apa denganmu dan kenapa sampai bisa begini. Apakah kau bertemu Majikan Hutan Iblis!”

“Eh, ohh.....kau....kau tahu, Tang Siu? Kau dapat menduga?Pinto... pinto memang bertemu orang jahat. Dia...dia laki-laki berjubah hitam!”

“Itu manusia jahanam itu. Dia Majikan Hutan Iblis!”

“Benar, pinto... aduh, luka-luka ku sakit sekali. Ohh, tolong aku, Han Han, miringkan tubuhku karenavpinggangku ini sakit sekali!”

Han Han bergerak dan membalikkan tubuh kakek itu. Pinggang kakek ini luka besar dan luka itulah yang terasa perih. Kakek ini cukup menderita. Dan ketika dia menotok dan mengencangkan bebatan maka kakek ini bertanya di mana besannya.

“Aku tak melihat Ju-taihiap, dimana:dia?”

“Ayah sedang pergi. Baru saja ia meninggalkan Hek-yan-pang, locianpwe. Harap kau beristirahat dan tak banyak bicara,” Han Han menjawab.

“Oh, aku.... ah, aku baru mendengar bahwa Ju-hujin tewas. Aku tak sempat berbela-sungkawa. Oh, benarkah ibumu tiada, Han Han? Musuh menganggu dan membunuhnya?”

Han Han mengangguk, menahan perasaan yang perih.

“Aku datang untuk membuktikan ini. Tapi di tengah jalan, augh.. aku bertemu manusia iblis itu. Ia hebat. Aku... aku tak kuat menahanvpukulannya. Dan... dan ia membawa Golok Maut!”

“Nanti saja locianpwe bicara,” Han Han menekan dan mengusap dada kakek ini. “Kau luka berat, locianpwe, beristirahatlah dan nanti saja bicara lagi.”

“Tapi.... tapi pinto...”

“Suhu tak perlu mengeluarkan banyak tenaga,” kali ini Tang Siu bicara dan maju memegang lengan suhunya, air mata bercucuran. “Sudah lama kami tahu tentang jahanam itu, suhu. Nanti sajalah kita bicara lagi dan harap suhu tenangkan pikiran!”

Kakek itu terbelalak. Ia menyeringai kesakitan tapi mengangguk dengan napas terengah-engah. Tampak betapa ia menahan sakit yang sangat. Tapi teringat Golok Maut ia bertanya penasaran, memaksa diri. “Tang Siu, Golok Maut itu..... bagaimana, uhh.... bagaimana bisa berada di tangannya? Bukankah.... bukankah itu milik Giam Liong?”

“Benar, suhu, tapi golok itu dicuri. Giam Liong kehilangan senjatanya ini dan isterinya sekarang tewas. Yu Yin juga binasa oleh Golok Maut itu!”

“Apa?” kakek ini tersentak. “Yu Yin....... anak itu?”

“Benar, suhu,” Tang Siu mengguguk dan tak dapat menahan diri lagi. “Yu Yin tewas dan terbunuh oleh Golok Maut. Anaknya hilang diculik orang pula. Ah, banyak kejadian buruk yang menimpa kami di sini. Jahanam itulah biang keladinya!” dan ketika kakek itu tertegun dan membelalakan mata lebar-lebar, kaget bahwa Yu Yin tewas tiba-tiba ia mengeluh dan roboh terguling. Dadanya sakit sekali dan berita itupun amat mengejutkan. Yu Yin adalah gadis yang dulu dianggapnya sebagai anak sendiri, sama seperti muridnya ini dan tak pelak lagi kakek itu terkejut mendengar kematiannya. Dan karena ia sedang luka-luka dan tak ayal kakek ini bertambah parah maka tergulinglah kakek itu Kim-sim Tojin pingsan.

“Tak usah banyak bicara, tak usah banyak melapor dulu,” Han Han menegur, sibuk menolong isteri dan kakek itu. “Gurumu sedang menderita, Siu-moi, jangan tambah lagi dengan penderitaan baru. Kau harus menahan diri dan nanti saja kita bicara lagi. Lihat, gurumu pingsan!” dan menyesal tapi tak terlalu menyalahkan isterinya pemuda ini menyuruh isterinya mundur dan melonggarkan baju si kakek. Seorang anak murid diperintahkan untuk mengambil ini-itu dan akhirnya kakek itu sadar lagi. Tapi begitu ia memandang Han Han yang ditanya adalah Yu Yin.

“Anak itu. Ia tewas? Terbunuh oleh Golok Maut?”

“Locianpwe tak perlu bertanya dulu. Locianpwe luka-luka. Biarlah besok kita bicara dan sekarang tenangkan pikiran locianpwe pada diri locianpwe dulu.”

“Ooh, benar-benar terkutuk. Aduh, aku menyesal sekali, Han Han. Gara-gara lama tak turun gunung maka berita-berita barupun tak pernah kudengar. Aduh, aku terlalu mengurung diri!”

Han Han mengusap dan menotok kakek itu. Akhirnya ia menyuruh si kakek diam dan tinggal beristirahat. Pembicaraan dapat dilakukan nanti setelah kakek itu mendingan. Dan ketika empat hari kakek ini beristirahat dan mendapat perawatan, untung di tempat itu tersedia obat luka dalam dan luar maka berceritalah kakek ini akan apa yang terjadi. Ternyata apa yang dilihat Han Han benar. Pemuda itu tidak salah kalau gagal mengontak kakek ini lewat tenaga batin. Kim-sim Tojin meninggalkan Kun-lun. Dan karena kakek itu lama tak menengok mantu dan muridnya, ia heran kenapa Han Han maupun Tang siu tak memberi kabar maka kakek ini penasaran turun gunung.

“Lihat, biasanya enam bulan sekali kalian ke tempat pinto. Tapi ini sudah setahun lebih! Siapa tidak penasaran? Pinto ingin tahu ini, Han Han, dan pinto juga rindu kepada Tang Siu. Heran bahwa kalian diam saja!”

“Bukan begitu. Banyak hal terjadi di sini, locianpwe. Pertama tentang kehamilan Tang siu. Kedua tentang kejadian-kejadian mencekam yang mengguncang hati beberapa orang kang-ouw. Locianpwe barangkali ingat akan Pek-lui-kong dan dua muridnya yang gagah itu, Keng Han dan Su Tong-taihiap. Nah, mereka ini tewas akibat kekejaman Majikan Hutan Iblis, locianpwe, dua orang gagah itu tewas berikut isteri- isteri mereka. Hanya Pek-lui-kong itulah yang selamat, dengan cucunya perempuan. Dan ketika kami di sini juga menjadi korban dari kekejaman iblis itu, bibi Ki Bi dan beberapa murid utama tewas terbunuh maka ibu menyusul dan menjadi korban pula. Waktu itu kami berdua masih berbulan madu, belum pulang. Dan ketika kami pulang semuanya ternyata sudah berubah!”

Han Han menjawab, tak mau disalahkan kakek ini dan memberi keterangan kenapa dia lama tak datang. Dan ketika kakek itu mengangguk-angguk dan menyatakan mengerti, sekarang dia tahu duduk persoalannya maka dia melanjutkan.

“Ya-ya, aku tahu. Sekarang pinto tak menyalahkanmu, Han Han, tapi waktu itu pinto heran dan bertanya-tanya. Waktu itu pinto hanya di atas gunung menunggu kabar. Pinto tak turun gunung lagi setelah kalian menikah. Tapi begitu pinto turun dan tahu perkembangan dunia maka pertama yang pinto dengar adalah tewasnya ibumu!”

Han Han mengagguk-angguk, menggigit bibir.

“Dan sekarang malah pinto sendiri yang mengalami. Ah, kalau lambat sedikit pinto melarikan diri mungkin pinto juga sudah menjadi korban, Han Han, dan yang membuat pinto amat kaget adalah Golok Maut di tangan si jubah kelelawar itu. Ia hebat dan amat berbahaya sekali dengan golok itu. Pinto hampir tak percaya!”

“Bagaimana suhu dapat bertemu dengan jahanam itu,” Tang Siu mengepalkan tinju. “Ceritakan ini biar kudengar, suhu. Tapi sandarkan dulu punggungmu dengan bantal ini. Kau tentu lelah!”

“Hm, kau anak baik, terima kasih!” kakek itu mengangguk, menerima bantal dan menyisipkannya di belakang punggung. Memang ia merasa pegal-pegal dan cepat capai. Empat hari ini ia agak mendingan meskipun bukan berarti boros tenaga. Ia menghemat dan mengatur posisi tubuhnya sedemikian rupa agar tak cepat lelah. Maka ketika bantal itu membuatnya lebih enak, ia terbatuk dan bersinar mengingat kejadian itu kakek inipun bicara lagi.

“Waktu itu pinto sudah keluar dari Kun-lun. Di sepanjang jalan pinto mendengar ribut-ribut tentang seorang tokoh kejam yang konon membunuh-bunuhi murid-murid Lu-tong dan Khong-tong serta beberapa perguruan lain dengan menuduh Giam Liong orangnya. Pinto mula-mula terkejut dan tentu saja tak percaya. Berita itu amat aneh bagi pinto, tak masuk akal. Tapi karena pinto meneruskan perjalanan dan ingin cepat- cepat sampai, pinto ingin bertemu dengan kalian dan Ju-taihiap di sini maka tiba-tiba pinto mendengar bahwa Ju-hujin tewas. Berita itu membuat pinto semakin kaget lagi dan tersentak. Pinto berprasangka buruk bahwa jangan-jangan Giam Liong kumat gilanya. Anak itu bisa berbuat di luar dugaan. Pinto ngeri bahwa watak ayahnya yang ganas masih menurun. Pinto cemas dan khawatir sekali meskipun diam-diam pinto juga tak percaya masa pumuda itu sekejam itu. Giam Liong jelek-jelek adalah bekas putera angkat Hek-yan-pang. Perkumpulan ini pernah membesarkannya dan hanya karena curiga yang jelek pinto jadi selalu berprasangka buruk. Pinto gelisah. Dan ketika pinto tiba di luar hutan tak jauh dari tempat ini maka berkelebatlah manusia iblis itu yang tahu-tahu sudah mencegat jalan di depan pinto!”

Kim-sim tojin mengusap keringat. Sampai di sini ia merasa ngeri dan seram, berhenti. Jelas tampak betapa kakek ini gentar. Mukanya yang pucat menunjukkan itu. Tapi ketika ia mengepal tinju dan bicara lagi maka ia meneruskan.

“Mula-mula yang pinto dengar adalah gonggong srigala. Pinto anggap bahwa wajar saja bila sebuah hutan dihuni seekor dua ekor srigala. Tapi ketika suara itu ternyata dari mulut manusia iblis itu, dia juga berjongkok dan berdiri seperti anjing maka pinto terkesiap dan mengira bahwa pinto berhadapan dengan seekor siluman!”

“Lalu apa yang terjadi,” Tang Siu bertanya. “Apakah suhu tidak menyerang manusia iblis itu!”

“Tidak, pinto terkejut dan tertegun. Pinto malah merasa seram. Baru kali itu pinto menghadapi seorang manusia anjing. Dan ketika pinto menjublak dan kaget serta seram maka orang itu bicara dan nada suaranya yang seperti gereng anjing itu membuat pinto hampir tak melihat puluhan srigala datang dan berlarian.”

Tang Siu bersinar-sinar. Gurunya ini kembali berhenti bercerita dan mengusap keringat. Kakek itu tampak pucat. Rasa ngeri rupanya masih tersisa. Tapi ketika ia batuk-batuk dan meneruskan kisahnya maka kakek ini mengepal tinju, penuh marah.

“Waktu itu baru pinto tahu bahwa tak kurang dari tujuh puluh ekor srigala sudah mengepung pinto. Lolong atau suara anjing manusia iblis itu kiranya mengundang anak buahnya. Dan ketika anjing-anjing itu siap menyerang namun si jubah hitam itu berdiri lagi maka dia bertanya apakah pinto adalah Kim-sim Tojin.”

“Benar, waktu itu pinto tak tahu siapa dia, Han Han. Tapi melihat sikap dan gerak-geriknya pinto tahu bahwa pinto berhadapan dengan orang berbahaya!”

“Hm, lalu suhu jawab bagaimana,” Tang Siu bertanya.

“Tentu saja kuakui. Pinto tak perlu takut mengakui nama, Tang Siu. Tapi begitu mengaku mendadak orang itu menggonggong dan puluhan srigala itu menerjang pinto!”

“Hm, mengerikan. Manusia iblis itu memang Raja Srigala!”

“Ya, dan pinto terkejut sekali. Tapi untunglah, pinto berkelit dan selanjutnya pinto menghajar binatang-binatang itu. Tapi ada yang mengerikan di sini, Han Han. Dua ekor di antaranya kebal dan tahan pukulan. Binatang itu selalu bangun dan menerjang lagi setiap terbanting!”

Han Han mengangguk. Ia juga telah mendengar ini dan tak kaget atau heran mendengar itu. Majikan Hutan Iblis itu memiliki ilmu hitam di mana binatang yang disayangi akan dimasuki atau diberi ilmu hitamnya ini. Srigala yang dimaksud akan kebal dan tahan terhadap bacokan senjata tajam, apalagi hanya pukulan atau tamparan biasa. Kalau biangnya tidak dilumpuhkan binatang itu akan tetap memiliki kekuatan hitam. Ini yang harus diketahui. Maka ketika kakek itu berhenti dan ia menarik napas dalam pemuda inipun berkata,

“Seharusnya locianpwe menghadapi dulu manusia iblis itu. Dialah biangnya. Kalau orang ini tidak dilumpuhkan binatang-binatang itupun tetap memiliki kekebalan dan tak mungkin dibunuh!”

“Benar, pinto mula-mula juga tak tahu, Han Han. Tapi setelah pinto melihat betapa orang itu berkemak-kemik dan meniup-niup sesuatu maka pinto sadar bahwa srigala-srigala ini di bawah pengaruh ilmu hitam. Tapi orang itu licik. Ia tak mau didekati karena setiap pinto hendak mendekatinya maka ia menyingkir dan anak buahnya menghadang. Susah, ia hendak menghina dan mempermalukan pinto dengan melawan anjing-anjing hutan itu dan betapa hancur nama pinto kalau harus mampus dikeroyok anjing gila!”

Han Han mengangguk-angguk, sementara isterinya mengepal tinju. “Sudah ada kejadian seperti itu, suhu. Dan mereka adalah Keng Han dan Su Tong suami isteri yang tewas dikeroyok srigala. Murid-murid Pek-lui-kong locianpwe itu akhirnya mati dengan malu yang besar karena tak mampu menghadapi anjing-anjing hutan. Dan bagi orang-orang gagah seperti mereka itu tentu kematian itu jauh lebih rendah ketimbang harus berhadapan dengan musuh tangguh!”

“Ya-ya, sungguh memalukan kalau orang kang-ouw seperti pinto harus mati dikeroyok anjing. Jauh lebih baik mati dikeroyok manusia daripada binatang. Kematian seperti itu sungguh hina sekali!”

“Tapi ini bisa terjadi karena adanya srigala yang kebal itu. Kalau tidak ada binatang yang sudah dipengaruhi ilmu hitam ini tak mungkin orang kang-ouw seperti locianpwe tak mampu membunuh binatang- binatang itu, biarpun mereka ada seribu ekor!”

“Benar, itu yang membuat repot, Han Han. Yang paling mengerikan adalah binatang yang kebal pukulan itu. Bahkan, ketika pinto mencabut pedang dan membacok mereka maka dua binatang itu tak apa- apa dan pinto hampir saja tergigit dan diserang yang lain!”

“Manusia iblis itu benar-benar jahanam keparat. Murid-murid Hek-yan-pang juga bercerita dan berkisah yang sama. Srigala yang sudah dimasuki ilmu hitam tak bakal mempan dibacok sekuat apapun. Bahkan aku juga membuktikan!”

“Hm, kau sudah merasaknnya, Tang Siu?”

“Tentu saja. Jahanam itu datang bersama anak buahnya, suhu. Dan aku serta gak-hu bertarung mati-matian. Untung, ada banyak anak murid hingga kami dapat memukul mundur, meskipun gak-hu hampir terluka dan menjadi korban!”

“Hm-hm, hebat sekali. Manusia macam apa laki-laki itu dan ilmu apa yang dia punyai.”

“Sejenis Beng-jong-kwi-kang,” Han Han menjawab. “Ilmu hitam yang mendasarkan kekuatan pada memasuki roh binatang-binatang, locianpwe, juga kadang-kadang dapat dipergunakan untuk manusia dan kalau sudah mencapai taraf seperti ini maka dunia bakal gempar karena siapa saja dapat dibuat kesurupan dan amat berbahaya karena dapat dipakai untuk saling bunuh antar sesama sendiri.”

"Beng-jong-kwi-kang (Tenaga Setan Penembus Roh)? Ah, pernah pinto dengar tentang ini, Han Han, tapi konon ilmu itu dikatakan lebih mirip sebagai dongeng!"

“Ya, dongeng, karena selama ini kita tak pernah membuktikannya. Tapi sekarang ada yang memiliki, locianpwe, dan ilmu hitam ini amat berbahaya. Majikan Hutan Iblis itu agaknya belum mencapai tingkat mahir, buktinya yang dipengaruhi baru binatang saja. Tapi begitu ia mencapai tingkat paling atas maka manusialah yang dijadikan sasarannya dan siapapun tak bakal mampu melepaskan diri kalau sudah begini!”

Kakek itu berdiri bulu tengkuknya. Ia merasa seram dan ngeri. Bulu di seluruh tubuh tiba-tiba bangkit meremang. Bukan main jahat dan kejinya ilmu ini kalau sudah memasuki manusia. Siapa dapat melepaskan diri? Dan ngeri serta gentar membayangkan itu kakek ini batuk-batuk.

“Han Han, berbahaya sekali orang itu kalau begitu. Jadi bagaimana supaya kita dapat menghancurkannya.”

“Suhu belum meneruskan cerita suhu,” Tang Siu tiba-tiba memotong. “Masa bertanya kepada Han Han sebelum selesai bercerita!”

“Hm, pinto... pinto akhirnya lari...” kakek itu memerah. “Pinto tak kuat menghadapi keroyokan hewan-hewan buas itu, Tang Siu. Dan karena Hek-yan-pang sudah dekat dan pinto ingin minta pertolongan kalian maka pinto meninggalkan lawan-lawan pinto tapi manusia iblis itu ternyata menghadang!”

“Jadi suhu mendapat kesempatan untuk bertanding?”

“Ah,, sebentar saja, hanya beberapa detik. Karena begitu anjing-anjing itu mengejar pinto berhenti lari maka orang itu melompat mundur dan anak buahnya itulah yang menyerang lagi!”

“Hm, locianpwe agaknya hendak dibunuh secara memalukan. Majikan Hutan Iblis itu memang sengaja menyuruh anjing-anjingnya untuk menyerang dan membunuh locianpwe!”

“Ya-ya, dan pinto marah sekali. Tapi karena dua yang kebal itu benar-benar merepotkan, pinto kewalahan maka ketika pinto berhasil menghalau mereka lagi maka pinto lari dan meninggalkan pertempuran. Sungguh panas muka ini kalau ingat itu. Baru kali ini Kim-sim Tojin yang disegani orang harus terbirit-birit dikeroyok anjing!”

Han Han menyembunyikan senyumnya. Tang Siu, sang isteri, mendelik dan mengepal tinju. Memang memalukan bagi seorang tokoh macam Kim-sim Tojin ini bahwa dua kali harus terbirit-birit melarikan diri, bukan dikeroyok lawan melainkan anjing. Siapa tidak malu! Dan ketika kakek itu mendesis sementara Tang Siu minta agar gurunya melanjutkan cerita maka kakek itu berkata lagi,

“Pinto benar-benar harus bertebal muka. Entahlah bagaimana kalau orang tahu akan ini, Tang Siu. Tapi apa boleh buat, pinto bohwat (tobat) menghadapi srigala setan itu. Yang lain dapat pinto bunuh tapi yang kebal itu benar-benar luar biasa. Mereka ini kesetanan, tak ada lain kecuali lari tapi lagi-lagi manusia iblis itu mencegat!”

“Dan suhu akhirnya bertempur?”

“Pinto menjadi nekat, Tang Siu, apalagi setelah pinto mulai luka-luka.”

“Apa yang suhu lakukan...”

“Melempar senjata rahasia. Pinto menghamburkan belasan pedang kecil untuk menghalau srigala-srigala buas itu. Pinto mengarah matanya. Dan ketika orang itu menjadi marah dan pinto menerjang maka dia melepas pukulannya yang dahsyat dan pinto hampir muntah-muntah oleh bau amis yang menyambar!”

“Hm, Hek-mo-ciang,” Han Han berkata. “Itu Pukulan Tapak Tangan Hantu, locianpwe, berbahaya dan memang amat menjijikan. Baunya amis dan amat mengganggu hidung. Ini pukulan keji yang amat berbahaya!”

“Ya-ya, benar. Dan pinto tiba-tiba pusing. Pinto terlempar dan tak dapat menahan pukulannya yang dahsyat itu!”

“Suhu terluka?”

“Pinto sesak napas, Tang Siu, dan ketika pinto bergulingan maka orang itu mengejar dan sinar putih ditangannya tiba-tiba membuat pinto tersirap!”

“Golok Maut?”

“Ya, golok itu. Pinto kaget bukan main dan hanya berkat gulingan tubuh ke sana ke mari pinto berhasil menyelamatkan diri meskipun pundak dan pinggang pinto robek terbabat!”

Tang Siu merah padam. Gurunya berhenti lagi bicara dan tampak betapa kakek ini menahan perih. Berbagai macam perasaan mengaduk dan Han Han mengangguk-angguk. Dan ketika kakek itu melanjutkan bahwa dengan senjata-senjata rahasia dia coba menghalau lawan, gagal dan semua pedang kecilnya patah-patah maka dengan telinga memerah kakek ini mengakhiri bahwa akhirnya dia melepas pi-tok-ciu, granat peledak.

“Pinto tak tahu lagi apa yang harus pinto lakukan. Seumur hidup baru kali itulah pinto mengeluarkan granat. Senjata itu biasanya untuk jalan terakhir, atau paling-paling pemecah jalan tembus bila pinto tiba di tempat buntu. Tak nyana, di hutan itu pinto keluarkan untuk menyelamatkan diri dan lari ke sini...!”

“Hm-hm...!” Han Han mengangguk-angguk, dapat mengerti. “Caramu benar, locianpwe, tak perlu malu. Lawan mengeroyok, dan lebih hina lagi perbuatannya. Ini sudah betul. Sayang aku pribadi belum sekalipun bersua dan tak tahu secara pasti sampai di mana kelihaiannya. Ayah sudah merasakan, juga Siu-moi. Tapi betapapun aku ingin merasakan dan menjajal sendiri!”

Kakek itu menahan runtuhnya air mata. Sekarang ia selesai bercerita dan warna merah semburat di mukanya. Kalau bukan kepada Han Han tak mungkin ia menceritakan ini. Dia, tokoh Kun-lun harus lari terbirit-birit dikejar anjing. Mau ditaruh ke mana muka ini. Ingin rasanya ia mati ambles ke bumi. Tapi ketika Han Han menghiburnya dan anak muda itu tak merendahkannya sama sekali, Han Han lalu bercerita bahwa Pek-lui-kong maupun orang-orang Khong-tong dan Lu-tong juga tak mampu menghadapi laki-laki ini maka pemuda itu berkata tak usah dia malu terlalu dalam.

“Janganlah locianpwe, ayah sendiri kewalahan dan mengakui kehebatan Majikan Hutan Iblis itu. Kalau tak ada Tang Siu disini, ayah tentu celaka. Untunglah, ada orang banyak disini dan ayah masih dapat menyelamatkan diri.”

“Tapi golok itu, senjata itu..., bagaimana bisa di tangannya, Han Han? Bukankah itu milik saudaramu Giam Liong?”

“Benar, locianpwe, tapi golok itu sudah dicuri orang. Laki-laki itulah yang mengambilnya. Dan ini terjadi ketika anak Giam Liong diculik Siauw-hong.”

“Siapa itu Siauw-hong?”

“Banci yang ada hubungannya dengan Majikan Hutan Iblis ini. Kami hampir menemukan jejak tapi Yu Yin keburu tewas.”

“Ah, ceritakan itu. Benar, pinto ingin tahu!”

Han Han menarik napas dalam-dalam. Tak enak juga menceritakan kematian wanita ini. Yu Yin adalah sahabat isterinya sekaligus isteri Giam Liong, saudaranya. Tapi karena kakek itu adalah guru isterinya dan wajar bila ia menceritakan maka Han Han lalu mulai kisah perjalanannya di kota raja. Ia menceritakan secara singkat saja dan hanya garis besarnya. Betapa ia mendengar Giam Liong dituduh membunuh-bunuhi murid-murid Khong-tong dan lain-lain dan betapa waktu itu pemuda itu dikejar sampai di gerbang pintu kota raja pula.

Ceng Tong Hwesio dan Ho Heng Tojin tak mau sudah memburu pemuda ini. Larinya Giam Liong ke kota raja disangka takut dan ingin menghindar, padahal pemuda itu hendak menyusul isterinya dan mencari Yu Yin di sana. Dan ketika wanita itu muncul namun sudah bermandi darah, ketua Khong-tong dan Lu-tong tertegun maka barulah dua ketua itu sadar bahwa tuduhan mereka benar-benar salah alamat.

“Sebenarnya Giam Liong sudah memberi tahu bahwa Golok Mautnya dicuri orang, dua orang ketua itu tak percaya. Dan ketika Yu Yin bersimbah darah dan wanita itu terkena bacokan-bacokan Golok Maut maka barulah dua ketua ini percaya bahwa kata-kata Giam Liong betul. Mereka menyesal tapi Giam Liong sudah kehilangan isterinya.”

“Hm-hm, keji. Dan anak mereka itu, bagaimana bisa terculik?”

“Waktu itu Yu Yin sendirian, locianpwe, Giam Liong keluar. Dan ketika penculik membawa anak mereka maka yang lain datang dan mengambil golok yang di tanam Giam Liong itu, di makam.”

“Hm, hebat. Dan pinto selama ini hanya mendekam di gunung saja. Sekali turun malah hampir celaka pula. Aneh, kenapa Majikan Hutan Iblis itu memusuhi pinto? Bukankah pinto dan dia tak saling kenal?”

“Barangkali tak aneh, locianpwe, kalau kita berpikir jauh. Kau adalah guru Tang Siu, dan Tang Siu adalah sahabat Yu Yin. Dan karena Yu Yin dianggap mengkhianati ayahnya, Majikan Hutan Iblis ini konon masih kerabat istana maka hubungan atau pertalian di antara kita membuat kau dimusuhi dan tak aneh kalau kemudian kau hendak dibunuh.”

“Hm-hm, dan dia hebat sekali. Pukulannya itu, eh... apa tadi? Hek-mo-ciang? Benar, Hek-mo-ciang yang dimiliki laki-laki itu luar biasa sekali, Han Han. Pinto tak tahan dan dua kali terbanting!”

“Ayah juga tak tahan, bau amisnya itu mengganggu sekali. Tapi sudahlah, sekarang kau beristirahat lagi, locianpwe. Aku di sini karena akan menjaga kelahiran bayiku. Tak lama lagi Tang Siu akan melahirkan, biarlah kau menjadi pengganti ayah dan sama-sama di sini dulu.”

“Baik, tapi... eh, nanti dulu. Kau tadi bicara tentang anak Giam Liong, Han Han. Perempuan ataukah laki-laki. Dan siapa namanya pula!”

“Sin Gak, namanya Sin Gak. Jelas laki-laki dan kami juga prihatin bahwa mereka harus kehilangan anak.”

“Terkutuk, jahanam itu sungguh terkutuk!” dan ketika hari itu Kim-sim Tojin beristirahat dan mendapat perawatan lagi, girang bahwa Tang Siu akan melahirkan maka kakek ini menyembuhkan luka-lukanya di situ sambil menanti saat kelahiran. Tang Siu mulai sakit perut dan wanita ini menunjukkan tanda- tanda melahirkan. Tak berapa lama kemudian benar-benar melahirkan dan Hek-yan-pang girang luar biasa mendengar kabar ini. Siauw-hujin telah melahirkan, bayinya sehat dan montok meskipun perempuan. Dan ketika Han Han menyambut kelahiran bayinya dengan wajah berseri-seri tapi sang isteri cenberut dan tampaknya kurang suka maka pemuda yang sudah menjadi ayah itu heran. Kim-sim Tojin juga terbelalak dan tak mengerti.

“Heii, kenapa tak gembira, Siu-moi. Bukankah kau sudah melahirkan dengan selamat dan tak kurangvsuatu apa. Lihat, anak kita ini montok sekali!”

“Hm, perempuan. Aku tak suka! Aku lebih senang kalau anakku laki-laki, Han-ko. Melahirkan perempuan rasanya seperti kurang pandai melayani suami!”

“Ah, kata-kata apa ini. Lelaki perempuan sama saja, Siu-moi, bagiku mereka keturunan kita juga!”

“Tapi aku lebih senang laki-laki, lebih puas!”

“Hm, tak usah diributkan,” Kim-sim Tojin maju bicara dan kakek itu telah sembuh. “Aku seperti suamimu, Tang Siu, laki perempuan sama saja. Ada apa kau ini. Bukankah ini darah dagingmu juga.”

“Tapi aku tak mau dikata bodoh, suhu. Bukankah melahirkan anak laki-laki lebih terhormat bagiku, lebih dihargai. Orang mengatakan seorang isteri bodoh kalau bayinya lahir perempuan!”

“Ha-ha, heh-heh! Kau ini ada-ada saja. Eh, lelaki atau perempuan tak ada bedanya, Tang Siu. Kelakpun kau akan mendapatkan anak laki-laki. Suami dari anakmu ini kelak laki-laki!”

“Benar, dan tak ingatkah kau kata-kata Yu Yin? He, kita bisa berbesan dengan Giam Liong, Siu-moi. Anak Giam Liong akan menjadi anak kita juga. Lihat apakah ini tidak pantas untuk Sin Gak!”

Wanita itu berseri. Tiba-tiba saja wajah Tang Siu berubah. Benar, ia teringat kata-kata Yu Yin dulu bahwa kalau bayinya perempuan maka biarlah dijodohkan Sin Gak. Mereka dapat menjadi orang tua dari anak masing-masing dan akhirnya bayi perempuan ini dapat diterima juga oleh Tang Siu. Wanita ini girang. Dan ketika dia bertanya siapa nama anak mereka itu, Han Han gembira bahwa isterinya menerima maka pemuda itupun menoleh Kim-sim Tojin.

“Biar locianpwe ini saja yang memberi nama. Hitung-hitung hadiah untuk anak kita.”

“Hm, aku? Wah, mana pandai mencari nama, Han Han? Ayahmu lebih berhak. Biar ayahmu saja!”

“Tapi ayah tak ada, locianpwe pengganti orang tua kami!”

Kakek ini garuk-garuk kepala. Akhirnya ia tertawa dan terdesak, apa boleh buat lalu mencari sebuah nama dan berpikir. Dan ketika nama itu didapat dan ia memandang suami isteri itu maka iapun berkata,

“Baiklah, bagaimana kalau Giok Cheng. Giok adalah Batu Permata dan Cheng adalah Hijau. Jadi Giok Cheng adalah Batu Permata Hijau!”

“Ha-ha, bagus. Aku setuju, locianpwe, terima kasih. Baiklah, nama anakku adalah Giok Cheng dan mulai hari ini juga ia adalah Giok Cheng!”

“Ju Giok Cheng!” Tang Siu tertawa, menimpali. “Bagus juga nama itu, suhu. Terima kasih”

Ketiganya tertawa gembira. Han Han lega bahwa isterinya kembali seperti semula lagi. Diam-diam ia tadinya khawatir melihat jalan pikiran isterinya yang tidak sehat. Memang tak dapat disangkal bahwa pada waktu itu wanita Han yang dapat memberikan keturunan laki-laki lebih dihargai oleh orang tua dan mertua, dianggap pintar dan pandai menyambung turunan. Maklumlah, laki-laki adalah penerus hubungan keluarga tapi Han Han sendiri tak sekolot itu. Baginya sama saja laki-laki atau perempuan. Toh kelak mereka akan mendapatkan juga putera-mantu, suami dari anak perempuan mereka.

Dan karena putera-mantu itu kelak adalah Sin Gak, putera lelaki Giam Liong maka Han Han tak merisaukan benar masalah anak perempuannya ini. Tang Siu masih dipengaruhi adat dan lingkungan sosial. Tapi begitu sang isteri dapat menerima dan merekapun tak ada ganjalan, Kim-sim Tojin tersenyum dan tertawa-tawa menimang bayi muridnya itu maka kakek ini berkata bahwa sudahlah sepantasnya apabila kelahiran itu dirayakan.

“Ia cucuku, juga cucu Ju-taihiap yang terkenal. Janggal rasanya kalau tak diramaikan. Heii, buat semacam pesta dengan kehadiran anakmu ini, Han Han. Biar semua orang bergembira!”

Han Han berkerut kening. “Sebenarnya aku tak mau ramai-ramai. Suasana lagi prihatin, locianpwe, masa harus berpesta.”

“Eh, kau tak merayakan anak pertamamu ini? Kau tak menghargainya sebagai generasi penerus?”

“Bukan begitu, hanya suasana lagi tak enak, locianpwe. Biar sajalah semuanya ini dilangsungkan secara sederhana saja.”

“Ia cucu Ju-taihiap, ia keturunan orang terkenal!”

“Tapi aku tak mau ramai-ramai, atau biar tunggu sampai ayah datang.”

Kakek itu terbelalak. Lain dirinya lain Han Han. Pemuda itu tenang-tenang saja dan menyambut kehadiran anaknya itu dengan biasa-biasa. Ia tak tahu bahwa Han Han masih bersikap waspada akan musuh di balik kejadian demi kejadian. Dengan berpesta hanya akan membuat orang lengah saja, hilang kehati- hatian. Maka ketika ia penasaran dan mendekati muridnya, Tang Siu berkerut mendengar kata-kata gurunya itu maka wanita inipun terpengaruh.

“Aneh suamimu itu, aneh dan membuat orang penasaran. Masa ia tak mau menyambut kehadiran anaknya dengan pesta, Tang Siu. Apakah mungkin karena anakmu lahir perempuan. Ah, aku si tua jadi penasaran dan tidak mengerti akan sikapnya ini. Giok Cheng adalah keturunan Ju-taihiap, masa begini sederhana disambut kelahirannya. Jangan-jangan karena ia perempuan!”

“Hm, wanita itu juga panas, kecurigaannya timbul. “Mungkin kau benar, suhu. Suamiku barangkali kecewa anakku lahir perempuan. Ah, dulu sudah kukatakan bahwa akupun tak senang anakku lahir perempuan. Biar kutemui dia dan kutanya!”

Han Han terkejut. Malam itu isterinya bermuka keruh dan tidak senang. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam ketika tiba-tiba isterinya duduk dan menyeret sebuah kursi, agak kasar. Lalu ketika mereka berhadapan terhalang meja, Han Han berdebar maka pertanyaan yang membuat dia tercengang adalah masalah jenis kelamin anak mereka itu.

“Han-ko, benarkah kau tidak membedakan anak kita laki-laki atau perempuan. Kenapa kau begini dingin-dingin saja dan tidak menyambutnya secara khusus!”

“Maksudmu?”

“Aku ingin bukti, Han-ko, bahwa kau tersenyum luar dalam, bukan hanya di luarnya saja!”

“Eh-eh, luar dalam bagaimana? Senyum tentang apa?”

“Kau tidak menyambut kelahiran Giok Cheng sebagaimana biasanya seorang ayah merayakannya. Jangan-jangan tawamu dulu bahwa tak apa-apa memiliki anak perempuan hanya semu saja. Kaupun kecewa karena aku tak melahirkan anak laki-laki!”

“Eh,!” Han Han terkejut, melompat bangun, seketika maklum bahwa guru isterinya ini telah menyatakan tidak puasnya kepada Tang Siu. “Kau membicarakan soal yang pernah dibicarakan gurumu pula, Sui-moi. Apakah betul bahwa ini dari Kim-sim totiang!”

“Betul, tapi ia tidak salah. Giok Cheng adalah cucu Ju-taihiap, Han-ko, bukan cucu orang sembarangan. Kalau benar kau tak mempersoalkan laki-perempuannya maka seharusnya kaupun menyambut kehadiran anak kita ini dengan perayaan syukur. Tidak usah berlebihan tapi cukup kita di Hek-yan-pang sini!”

“Hm!” Han Han berkerut kening, tapi tiba-tiba tersenyum lebar. “Kau jangan salah paham, Siu-moi. Aku betul-betul gembira akan kehadiran anak kita Giok Cheng. Biarpun ia perempuan tapi aku cukup gembira. Hanya...”

“Kalau begitu rayakan ia. Kau harus membuktikan bahwa kegembiraanmu luar dalam!” sang isteri memotong.

“Hm, kenapa sekarang? Aku tak keberatan, Siu-moi, tapi cobalah bersabar tunggu sampai ayah datang.”

“Kenapa menunggu? Bukankah besok atau sekarang sama saja? Aku khawatir kau berkelit lidah, Han- ko, jangan-jangan karena benar anakku perempuan!” dan Tang Siu yang menangis dan tersedu lebih dulu akhirnya membuat Han Han tertegun dan bingung. Han Han mau menceritakan alasannya akan kekhawatiran Majikan Hutan Iblis itu. Ia lebih baik menunggu sampai ayahnya datang. Tapi karena sang isteri sudah menangis dan ia merasa didesak, memang sudah sepatutnya kelahiran anak mereka dirayakan meskipun hanya oleh murid-murid Hek-yan-pang saja akhirnya pemuda ini bangkit dan memeluk isterinya itu.

“Baiklah... baiklah. Kau jangan salah duga. Aku semata menjaga kehati-hatian tempat ini, Siu-moi. Aku khawatir akan adanya musuh dari luar. Kalau kau menghendaki begitu tentu saja aku tak menolak. Anak itu anakku juga. Tapi aku tak mau kehati-hatian kita lenyap.”

“Jadi kau mau merayakannya?”

“Agar kau tidak salah paham...”

“Ah, salah paham apa, Han-ko, itu sudah sepatutnya. Kalau ada musuh mengganggu maka kau ada di sini. Takut apa!” dan Tang Siu yang gembira melepaskan diri akhirnya keluar dan berkelebat tertawa, tak tahu Han Han diam-diam mengeluh. Isterinya itu terlampau percaya diri. Ia boleh diandalkan tapi harap diketahui bahwa Pek-jit-kiam dipinjam ayahnya. Han Han terlampau berhati-hati terhadap Majikan Hutan Iblis itu, apalagi setelah sekarang memiliki Golok Maut! Dan ketika benar saja malam itu diadakan pesta, semacam syukuran atau sejenisnya maka Kim-sim Tojin yang terkekeh dan girang mendengar berita muridnya sudah melompat bangun.

“Ha-ha, begitu? Suamimu sekarang sudah mau merayakan kelahiran anaknya? Bagus, ha-ha! Bagus, Tang Siu, memang sudah seharusnya begitu. Masa cucu Ju-taihiap tak dirayakan kelahirannya meskipun hanya oleh kita sendiri. Ah, biar kuberi tahu semua yang lain agar ikut merayakan kegembiraan ini!” “Nanti dulu!” Tang Siu melompat. “Aku juga setuju dengan pendapat Han Han, suhu, pesta jangan terlalu berlebihan. Sedang-sedang saja, tidak meninggalkan kewaspadaan. Betapapun suamiku khawatir musuh datang di saat kita lengah!” “Wah, kenapa takut? Buat apa mesti gentar? Suamimu setingkat di atas gak-humu, Tang Siu, beberapa tingkat di atas kepandaianku sendiri. Wah, biar saja iblis itu datang justeru dapat kita hukum!”

Kim-sim Tojin berkelebat dan terkekeh gembira. Sama seperti Tang Siu iapun memiliki kepercayaan berlebihan kepada pemuda itu. Han Han adalah murid Im Yang Cinjin yang amat sakti, kehebatan pemuda itu tak usah diragukan lagi. Tak ada pemuda sehebat itu. Tandingan Han Han paling-paling Giam Liong, Si Naga Pembunuh itu. Maka ketika ia berkelebat dan seluruh Hek-yan-pang diberi tahu anak murid bersorak dan tentu saja gembira menyambut itu maka malam itu juga terjadi kesibukan dan Han Han mengerutkan kening.

“Tak usah berlebihan, biasa-biasa saja. Jangan tinggalkan kewaspadaan dan harap kalian berhati-hati.”

“Ah, tuan muda ada di sini, locianpwe Kim-sim Tojin juga ada di sini. Takut apa, kongcu? Kalau ada musuh mengganggu sikat saja, habis perkara!”

Semua murid tertawa. Mereka juga memiliki kepercayaan berlebihan terhadap Han Han. Siapapun tahu bahwa Han Han melebihi ayahnya. Mereka tak memperhitungkan bahwa yang ditakuti Han Han masuk akal. Mereka lupa bahwa Majikan Hutan Iblis itu kini membawa Golok Maut. Tang Siu juga lupa bahwa Pedang Matahari suaminya itu dibawa Ju-taihiap, pemuda itu sendiri. Maka ketika Han Han merasa was-was sementara semua orang sudah bergembira, memang pemuda itu berharap mudah-mudahan musuh tidak datang menganggu maka firasat atau perasaan pemuda ini ternyata benar.

Sebetulnya, sejak isterinya menjelang melahirkan Han Han sudah menangkap getaran tidak enak. Tiga kali ia mendengar gonggong suara anjing namun hilang. Suara itu sayup-sayup sampai dan lemah sekali, jauh. Hanya berkat pendengarannya yang luar biasa tajam ia menangkap itu. Itupun hampir disangkanya mimpi, maklum, suara itu selalu tepat tengah malam, ketika ia menjelang pulas. Dan karena suara-suara itu hanya dia yang dengar, isterinya dan Kim-sim Tojin juga tak mendengar apa-apa maka Han Han berdebar dan getar isyarat bahaya itu mulai memberi sinyal.

Sebagai murid seorang tokoh sakti macam Im Yang Cinjin yang hebat Han Han sudah digembleng untuk menangkap getar-getar bahaya. Suara itu biasanya berdenging di telinga kiri atau kanan. Dalam keadaan begitu seluruh simpul sarafnya tiba-tiba peka sekali. Han Han akan mampu menangkap isyarat bahaya sebelum bahaya itu datang, seperti misalnya hari-hari terakhir ini. Ia tak setuju bukan karena takut melainkan semata menjaga kehati-hatian. Ia harus waspada akan musuh yang ganas ini. Ia pasti akan berhadapan. Dan karena ia sudah berkali-kali mendengar kelihaian manusia iblis itu, ayahnya sendiri mengakui dan ia tak boleh menganggap enteng maka Han Han tak suka ramai-ramai merayakan kelahiran bayinya itu.

Baginya alangkah lebih baik kalau nanti ayahnya pulang. Bersama ayahnya dia merasa kuat, apalagi Pedang Matahari sudah kembali di tangan. Tapi karena ia didesak Tang Siu timbul salah pahamnya, ia juga tak ingin dianggap takut hanya karena tak memegang Pek-jit-kiam itu maka apa boleh buat ia menerima saja usul isterinya itu, yang sesungguhnya juga sudah dilontarkan Kim-sim Tojin siang harinya.

“Kau pemuda gemblengan, dan banyak orang pula di sini. Biarlah musuh datang kalau ingin mencari penyakit. Pinto juga ingin membalas kekalahan dan pinto percaya dengan adanya kau di sini tak mungkin manusia iblis itu berani datang!”

Han Han tak menjawab. Lagi-lagi orang terlalu mengagulkan dirinya dan memberi kepercayaan berlebihan. Ia menghela napas saja. Dan ketika malam itu para murid berpesta dan mendirikan panggung musik, bernyanyi dan bersuka ria maka apa yang dikhawatirkan datang. Belum sampai tengah malam tiba-tiba saja para murid menguap. Aneh, musik dan bunyi tetabuhan tiba-tiba mereda. Hawa kantuk yang kuat menyerang tempat itu. Udara malam tiba-tiba juga menjadi dingin. Dan ketika para murid terduduk dan meletakkan mangkok piring mereka, seolah semua capai atau lelah maka yang ada di panggung tiba-tiba mendengkur dan alat-alat musik dibiarkan menimpa tubuh.

“Bluk-bluk-bluk!”

Murid-murid bergelimpangan. Kim-sim Tojin, yang tadi mengangguk-angguk dan santai mendengarkan bunyi tetabuhan tiba-tiba juga terantuk. Kakek ini menguap dan roboh terduduk, bersandar dinding. Tapi ketika ia tersentak dan kaget melihat diri sendiri, betapa bunyi musik tiba-tiba lenyap maka kakek itu mencelat dan kaget sekali melihat murid-murid Hek-yan-pang sudah bergelimpangan dan mendengkur.

“Heii, apa ini! Bangun, bangun!Kalian tak aturan tidur begini saja. Heii, ayo bangun dan bereskan mangkok piring!”

Namun kakek itu terbelalak. Tubuh murid-murid Hek-yan-pang yang diguncang dan disuruh bangun ternyata tak satupun mendengar. Mereka itu bahkan ngorok dan tenggelam semakin pulas. Dan ketika kakek itu terkejut dan heran serta seram maka dia merasa angin semilir dingin dan sekonyong-konyong iapun terhuyung dan roboh terduduk!

“Tang siu...! Han Han!”

Kim-sim Tojin segera maklum akan adanya serangan ilmu hitam. Ia melengking memanggil dua anak muda itu, mengerahkan segenap tenaga sebelum kemudian terguling. Kakek inipun akhirnya tidur, mendengkur. Ia kena pengaruh sirep! Tapi ketika berkelebat bayangan Han Han dan pemuda itu terbelalak melihat ini maka Tang Siu, isterinya, roboh dan mendengkur pula di tempat tidur!

Han Han terkesiap dan melihat betapa seluruh Hek-yan-pang tiba-tiba sunyi senyap. Tak ada satupun murid yang sadar karena semua sudah ngorok. Pengaruh sirep yang kuat menerjang. Bahkan ketika ia mendengar jeritan Kim-sim Tojin dan berkelebat di panggung itu maka dirinyapun diserang angin dingin dan kantuk yang amat kuat. Demikian kuat hingga Han Han merasa kedua matanya mau menutup. Dan ketika ia kaget dan sadar akan musuh maka terdengarlah raung dan lolong srigala itu, kuat menggetarkan...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.