TAPAK TANGAN HANTU
JILID 19
KARYA BATARA
JILID 19
KARYA BATARA
TENG SENG terbelalak. Pemuda ini tak tahu apa yang terjadi pada susiok kekasihnya itu tapi Tai Tee Cinjin tiba-tiba tersenyum. Tosu ini puas telah memotong lengannya sendiri. Maka ketika pemuda itu terbelalak sementara Cui Ling mengguguk menutupi muka maka tosu ini terhuyung menotok pangkal lengannya, gemetar membebat luka.
“Sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. Ayo pergi dan kita tinggalkan tempat ini, Cui Ling. Bantu aku menutup luka."
“Nanti dulu!” pemuda itu melompat. “Mana adikku Teng Bu, locianpwe, dan.... dan mana siluman jahat itu!”
“Ia telah pergi,” Cui Ling mendahului dan menubruk pemuda ini, tersedu-sedu. “Sedang adikmu... adikmu. ah, Teng Bu telah tewas, Seng-ko. Mayat itulah adikmu!”
“Apa?”
“Benar, jahanam itu mengutunginya. Teng Bu disiksa. Ia... ia... ahh!” Cui Ling terkejut ketika kekasihnya tiba-tiba meronta, memekik dan melepaskan diri lalu menubruk mayat Teng Bu yang sudah tidak keruan.
Teng Seng tiba-tiba menjadi histeris sementara Cui Ling hampir terjengkang. Gadis itu didorong dan dilempar kekasihnya. Dan ketika gadis ini terkejut dan menangis menutupi muka maka Teng Seng menggerung-gerung dan memukul-mukul tanah di mana mayat adiknya mencair dan leleh memasuki bumi. “Keparat, jahanam keparat. Ah, terkutuk kau, orang she Mo. Bedebah binatang kau. Jahanam, berani kau membuat adikku seperti ini!”
Semua ngeri. Teng Seng bagai gila memaki-maki dan menjerit, kematian adiknya memang mengerikan. Tapi ketika pemuda itu terbawa luapan emosinya dan menghantam atau memukul-mukul tanah, semua terbelalak maka Tai Tee Cinjin melompat dan menyambar lengan Cui Ling.
“Tak ada gunanya di sini lagi, kita harus pergi. Bantu aku dan kita pulang Hoa-san.”
Gadis itu tersedu. Kalau saja susioknya ini tidak terluka mungkin ia tak mau pergi. Teng Seng bagai histeris dan kalap di sana. Tapi karena susioknya luka dan darah itu masih mengalir di balik siku maka Cui Ling membiarkan dirinya diseret dan sementara orang memperhatikan pemuda itu maka iapun dibawa menghilang dari taman itu.
Kejadian di gedung Gubernur ini memang menggemparkan. Sepak terjang si banci itu mengejutkan, bukan saja para pengawal melainkan tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san. Dan ketika hari itu juga Tai Tee Cinjin melapor pulang, Cui Ling tersedu-sedu membenarkan susioknya maka Bu-tong dan Hoa-san tentu saja marah dan gusar.
Persiapan dilakukan. Baik Bu-tong maupun Hoa-san tak akan tinggal diam, Ketuanya sendiri siap turun gunung. Dan ketika beberapa hari kemudian ketua dan wakil ketua berangkat, masih diperkuat oleh belasan murid utama maka si banci atau Siluman Akherat itu siap dimintai tanggung jawabnya.
Tapi takutkah tokoh luar biasa itu? Apakah ia menyembunyikan diri dan bakal menghindar? Tidak. Justeru dicari dan hendak dimintai tanggung jawabnya laki-laki aneh ini semakin menggila, karena setelah ia menggemparkan tempat Gubernur justeru ia datang dan membuat onar di kota raja!
Lima perwira tinggi di istana yang bertugas menjaga keamanan kota raja dibuat terkejut. Mula-mula adalah si botak Jing-ji-mi-to (Buddha Gemuk Tangan Seribu), seorang tokoh kawakan yang disegani dan ditakuti lawan. Dia ini adalah bekas suheng dari ketua Siauw-cing-pai yang tidak cocok dengan saudaranya, suka bertindak sendiri dan karena suka makanan berjiwa maka tak diperkenankan tinggal di Siauw-cing-pai, pergi dan akhirnya merantau dan kehebatan sepasang lengannya yang mampu berubah menjadi seribu tangan membuat dia dijuluki Jing-ji-mi-to.
Perawakannya gemuk pendek dan karena potongannya seperti hwesio maka dipanggil seperti itu. Tokoh ini amat lihai dan karena suatu hari kebetulan dia menolong So-thaikam dari keroyokan penjahat, waktu itu thaikam itu sedang mengadakan peninjauan keliling maka atas jasanya itu tokoh gemuk pendek ini dibawa ke kota raja. Dan sejak itu hwesio botak ini mengalami kehidupan menyenangkan.
So-thaikam adalah orang pandai yang pintar melihat orang kosen. Dengan kedudukan dan hartanya dia mampu membeli orang-orang lihai macam apapun, tentu saja mereka yang termasuk seperti Jing-ji-mi-to ini, yang haus kesenangan dan kenikmatan duniawi. Dan ketika tokoh itu mulai tinggal di istana khususnya di gedung So-thaikam maka pria gemuk pendek ini dihormati orang sebagaimana orang menghormati So- thaikam.
Akan tetapi tidak semua orang hormati tokoh ini. Beberapa orang pangeran, yang mulai melihat sepak terjang kakek ini termasuk kesukaannya menggoda para selir diam-diam tak senang kepada hwesio ini. Kakek itu memang berpotongan hwesio akan tetapi batiniahnya kotor. Lahiriahnya saja mengenakan jubah akan tetapi dalamnya busuk. Gara-gara inilah dia dimusuhi saudara-saudaranya sendiri di Siauw-cing-pai, tempat di mana dia harusnya mendapat kedudukan tinggi.
Akan tetapi karena kepandaiannya hebat dan hanya dengan keroyokan saja dia dapat dikalahkan, ketua Siauw-cing-pai masih bukan tandingannya maka dia diusir dan kesepakatan hwesio-hwesio Siauw-cing-pai membuatnya tak berdaya, pergi dan tak mungkin tinggal di partai itu kalau banyak orang tak suka kepadanya. Dan ketika dia kebetulan menolong So-thaikam dan kini diangkat sebagai pengawal tingkat atas, jajaran paling tinggi bersama empat orang lain yang ada di istana maka hwesio ini hidup mewah dan jubahnya yang dulu dari kain sederhana kini terbuat dari sutera halus yang mengkilap dan mahal!
Namun semua ini tidak cukup bagi Jing-ji-mi-to. Harta dan kedudukan saja tidak cukup. Maka ketika dia sudah resmi di istana dan keluar masuk gedung bagai rumah sendiri maka pertemuannya dengan selir-selir cantik di istana menggugah hatinya yang buruk untuk segera main mata. Dan hwesio itu segera tergila-glia pada selir bernama Liu Nio, wanita yang tinggal di gedung Uh-ongya (Pangeran Uh) di mana dengan kepandaiannya yang tinggi tentu saja mudah baginya menyelinap. Hwesio itu masuk dan mengganggu selir ini, menggosok kedua tangannya dan dibacalah mantra untuk merobohkan hati orang.
Jing-ji-mi-to memiliki ilmu semacam guna-guna pengasih yang dipergunakannya apabila wanita itu kira-kira tak mau kepadanya, sukar ditundukkan karena dia seorang laki-laki botak yang usianya lima puluhan pula. Maka ketika suatu malam dia berhasil menundukkah wanita ini, memiliki selir itu dan hari-hari berikut digunakannya untuk memuaskan diri maka lama-kelamaan perbuatannya inipun diketahui. Dan betapa marahnya Uh-ongya.
So-thaikam, yang juga tak menyangka hwesio itu memiliki berahi dibuat terkejut dan terbelalak. Dia tak mengira bahwa seorang berpakaian pendeta masih doyan paras cantik. Ini di luar dugaan! Akan tetapi ketika dia cepat-cepat menemui Uh-ongya dan meminta maaf atas perbuatan hwesio itu, membujuk bahwa selir yang lain masih banyak maka hwesio ini dibiarkan dan Liu Nio malah diberikan sebagai isterinya. Akan tetapi Jing-ji-mi-to yang pada dasarnya memang hanya ingin melampiaskan berahi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata So-thaikam, majikannya.
“Apa, aku disuruh kawin? Mengambil isteri? Ha-ha, ditambah sekantung harta karun pun aku tak mau, taijin. Perkawinan hanya mengikat. Tidak, tidak, aku tak mau. Aku hanya ingin main-main saja dan jangan suruh kawin!”
“Hm, kau melanggar wilayah rumah tangga orang lain. Uh-ongya memaafkannya sudah bagus, lo-suhu, apalagi malah memberikannya sebagai isterimu. Kau harus bertanggung jawab, selir itu harus kau nikahi.” So-thaikam mengerutkan kening.
“Tidak,” hwesio ini menggeleng. Aku tak mau, taijin. Aku hanya sekedar ingin bersenang-senang. Kalau kau memaksa aku akan pergi, atau boleh Uh-ongya itu menghukumku. Biar dia marah!”
Thaikam ini terkejut. Sikap dan kata-kata si hwesio menyadarkannya bahwa orang-orang kang-ouw seperti ini tak dapat dipaksa. Sekali memaksa berarti musuh. Dan karena dia membutuhkan orang-orang seperti ini dan teringat Eng-seng-thiong (Kutu Peniru Suara) maka pembesar ini mengangguk-angguk tersenyum berkata,
“Baiklah, kau membuat aku repot. Hm, di sini ada seorang yang dimintai tolong Uh-ongya kalau dia merasa marah, lo-suhu. Apakah sanggup kau menghadapinya kalau kau menolak ini. Perbuatanmu bisa dianggapnya menghina.”
“Ha-ha, kebetulan. Aku juga ingin kenal jago-jago istana dan mengukur kepandaian mereka. Tidakkah hanya tong-tong kosong belaka yang makan gaji buta!”
Sang thaikam mengangguk-angguk. Sudah diketahuinya hwesio ini lihai, akan tetapi karena di istana juga terdapat empat orang lain yang lihai dan masing-masing bersembunyi sebagai pengawal rahasia, kebetulan dia juga ingin mencoba hwesio ini apakah mampu menghadapi itu maka dibiarkannya Jing-ji-mi-to menolak dan ingin dilihatnya bagaimana reaksi Uh-ongya.
Benar saja, pangeran itu marah bukan main. Dia terhina berat dan ditemuinya So-thaikam, bertanya apakah pembesar itu tak mampu mendidik anak buah dan menghukum. Tapi ketika thaikam ini tersenyum dan berkata tenang maka menjawab,
“Aku sudah lepas tangan. Ini tanggung jawab pribadi hwesio itu. Kalau kau mau menghukumnya silakan hukum, ongya. Aku orang luar.”
“Taijin cuci tangan?”
“Begitulah, ongya, aku sudah menasehatinya, gagal. Silakan kau melampiaskan marahmu dan aku tak akan membela. Jing-ji-mi-to memang salah.”
Uh-ongya kembali dengan muka merah padam. Kalau So-thaikam sudah bicara seperti itu maka dia bebas bertindak. Akan dihajarnya hwesio itu, akan dicincang dan dibunuhnya. Dan ketika dia menghubungi seorang kakek bermata kecil, kurus dan sering berkejap-kejap maka inilah Eng-seng-thiong si Kutu Peniru Suara, tokoh bayangan istana yang tak akan muncul kalau tidak untuk sesuatu yang penting.
“Heh-heh, ongya ada urusan apa, Uh, aku masih mengantuk. Heh-heh, silakan bicara dan langsung pada pokok persoalan, ongya. Aku masih ingin tidur!”
“Aku ingin kau menangkap seseorang. Bawa dan seret orang itu ke mari, Eng-seng-thiong. Lumpuhkan dia dan aku akan menyayat-nyayat tubuhnya!”
“Heh-heh, siapa orang itu, di mana. Dan apakah imbalannya cukup.”
“Ini untukmu!” si pangeran melempar sepundi-pundi uang, gemerincing. “Bawa dan tangkap orang itu, Eng-seng-thiong. Dia di tempat So-thaikam!”
“So-thaikam?” si kurus terkejut, mata yang berkejap tiba-tiba berhenti. “Siapa orangnya?”
“Jing-ji-mi-to!”
“Ah!” si kakek terkejut dan mata membelalak lebar, berkejap-kejap lagi. “Ada apa dengan keledai gundul itu? Diakah yang harus kutangkap? Hm, tidak cukup sekian, ongya. Sepundi uang masih kurang. Heh- heh, ini pekerjaan berat!”
“Kau tak sanggup?”
“Bukan tak sanggup, tapi nanti dulu. Ongkos ini kurang dan tak cukup sekian saja. Heh-heh, Jing-ji- mi-to bukan lawan yang enteng, ongya. Ditambah sepuluh kalipun barangkali kurang. Ah, kau terlalu menganggap enteng!”
Uh-ongya terkejut. Dia sering minta tolong kakek ini dan jarang ditolak. Kalau kini tiba-tiba ditolak tentu hwesio itu benar-benar hebat. Akan tetapi karena dia sudah terlanjur marah dan apapun akan dilakukan demi menghajar hwesio itu maka sepuluh pundi-pundi uang dilemparnya lagi. “Baik, kutambah ini, Eng-seng-thiong, dan cepat laksanakan tugas. Kalau berhasil kutambah sepuluh lagi!”
Mata yang berkejap dan seperti orang ngantuk itu mendadak terbuka lebar. Kakek ini tertawa dan menyambut sepuluh pundi-pundi itu, meremas dan yakin isinya dan mengangguk-angguk. Itulah pekerjaannya selain sebagai penjaga istana, menolong dan mendapat upah kalau ada pangeran atau pembesar tinggi membutuhkan tenaganya. Eng-seng-thiong memang biasa nyambi! Dan ketika ia terkekeh dan berkelebat lenyap maka kakek itupun berjanji akan membawa Jing-ji-mi-to ke situ.
“Baik, jangan khawatir, ongya. Kutangkap dan kuseret keledai gundul itu ke mari!”
Uh-ongya bersinar-sinar. Dia gembira membayangkan hwesio itu ditangkap. Akan dihajar dan dibunuhnya nanti, oleh tangannya sendiri. Dan ketika dia puas dan menunggu di situ, berdebar maka Eng- seng-thiong menemui dan berhadapan dengan hwesio Siauw-cing-pai itu. Dan hwesio ini tentu saja terkejut.
“Heh-heh, selamat bertemu. Ada rejeki untuk kita berdua, Jing-ji-mi-to. Maukah kau berbagi dan sedikit mengalah.”
“Kau...?” hwesio ini terbelalak, tentu saja kenal. “Kau disini, Kutu Busuk? Bikin apa?”
“Heh-heh, aku sudah lama di sini, dua tahun lebih dulu. Kedatanganmu kuketahui, Jing-ji-mi-to, tapi kau tak tahu aku. Heh-heh, kita sama-sama pembantu di sini, tapi kau membuat repot aku!”
“Repot? Tentang apa?”
“Ha-ha, lihat ini dulu. Maukah berbagi... cringg!” si kurus mengeluarkan sepuluh pundi-pundi uang, mendencing dan membenturkannya satu sama lain dan Jing-ji-mi-to tentu saja terkejut.
Wajah bulat itu bersinar, mata seketika rakus lahap memandang. Tapi ketika lawan terkekeh-kekeh dan menyimpan kembali uangnya itu, si hwesio menyeringai maka si kurus berkata lagi menyambung,
“Aku dapat rejeki, tapi juga sedikit repot. Sekarang maukah kau membantuku dan kita sama-sama mendapatkan lima pundi uang emas ini agar kerepotanku terbuang.”
“Hm, repot apa!” Jing-ji-mi-to menjadi tak sabar, sekaligus curiga. “Kalau kau menyuruh aku yang macam-macam tentu saja aku tak sudi, Eng-seng-thiong. Orang macam kau biasanya licik dan kurang ajar. Katakanlah, bantuan apa yang kau minta dan bagaimana demikian mudah kau berbagi rejeki. Apakah uang itu hasil rampokan!”
“Ha-ha-heh-heh, terlalu sekali. Kau curiga dan tak pernah ramah, Jing-ji-mi-to. Kenapa harus merampok kalau secara baik-baik saja aku dapat. Heh, tidak. Aku mendapatkan ini secara halal tapi efek samping dari ini membuat aku repot.”
“Tak usah banyak cakap. Bicara dan langsung saja pada sasaran, Kutu Busuk. Tak usah banyak mulut dan melingkar-lingkar. Ayo apa maumu dan kenapa demikian mudah berbagi rejeki. Kau pasti memiliki akal licik!”
Si Kutu Peniru Suara terbahak-bahak. Ia demikian geli oleh bentakan Jing-ji-mi-to hingga tubuhnya bergoyang-goyang. Rambutnya yang lurus gimbal dan tampak dekil itu berkibas-kibas, tawanya lepas tapi tiba-tiba dari atas kepalanya berhamburan ribuan binatang kecil menyambar Jing-ji-mi-to. Itulah kutu yang bersarang di rambutnya, ribuan dan terbang seakan terkejut, atau mungkin disengaja agar hwesio ini roboh. Kutu-kutu itu bukan kutu sembarang melainkan kutu beracun, sekali gigit akan meninggalkan bisanya sampai orang berguling-guling oleh sakit dan gatal. Tapi ketika Jing-ji-mi-to membentak dan mengebutkan ujung jubahnya maka ribuan kutu hitam itu terpental dan kembali lenyap ke kepala Eng-seng-thiong itu.
“Heh-heh-ha-ha! Kau membuatku terpingkal-pingkal dan mengejutkan anak-anakku, Jing-ji-mi-to. Kenapa sewot dan tidak sabaran. Baiklah, blak-blakan saja aku ingin membawamu ke tempat Uh-ongya. Biarkanlah pangeran itu menggebukimu dan lima pundi-pundi uang ini untukmu. Siap?”
Si hwesio terbelalak. “Apa?”serunya.“Kau. kau suruhan Uh-ongya itu? Kau pembantunya?“
“Hm, bukan pembantu. melainkan sewaan. Heh-heh, aku di sini sebagai pengawal bayangan kaisar, Jing-ji-mi-to, bukan pembantu Uh-ongya. Kalau dia menyuruhku sekarang maka ini karena ada imbalan. Nah, maukah kau ke sana sebentar dan uang ini untuk kita berdua. Atau, kalau kau menolak maka ini bagianku semua dan kau tak mendapatkan apa-apa. Pikir dan renungkan itu baik-baik dan apa artinya gebukan pageran itu pada tubuhmu yang kuat!”
Jing-ji-mi-to bersinar-sinar. Tiba-tiba ia tersenyun dan mengangguk-angguk namun kedua tangannya berkerotokan. Melihat uang sebanyak itu tentu saja dia menjadi bernafsu. Siapa tidak mengilar oleh sepuluh kantung uang emas. Tapi karena lawan adalah tokoh setingkat dan empat kali mereka pernah bertanding, tak ada kalah atau menang maka hwesio ini tertawa dan tiba-tiba berseru,
“Baiklah, aku menurut kehendakmu Kutu Busuk. Rasanya boleh juga dipijati pangeran itu dan aku mendapatkan kantung uang emas. Ha-ha, ayo berangkat!”
Eng-seng-thiong terkekeh. Ia membalik dan melompat pergi begitu lawan berkata setuju. Demikian gampangnya hwesio ini dijinakkan. Tapi ketika ia memberikan punggung dan saat itulah dua tangan si hwesio berkelebat maka tahu-tahu sepuluh kantung uang itu berpindah tangan. Hwesio ini memang berjuluk si Tangan Seribu!
“Ha-ha, rasanya pikiranku berubah, Eng-seng-thiong. Enggan rasanya bertemu pangeran itu. Biarlah lain kali saja dan selamat berpisah!”
Si Kutu Peniru Suara terkejut. Mereka bergerak demikian cepat hingga tahu-tahu berada di halaman gedung Uh-ongya. Di sini si hwesio membatalkan perjanjian dan melompat pergi, menghilang ke lain arah. Dan ketika ia berhenti dan melihat hwesio itu lenyap melompati pagar tinggi maka kakek ini tersenyum dan mengibas-ngibaskan rambutnya.
“Heh-heh, tolol dogol. Kalau begitu rejekiku kumakan sendirian, Jing-ji-mi-to, jangan salahkan kalau kau gigit jari!”
Hwesio itu terkejut. Ia telah melewati tembok pagar ketika tiba-tiba bunyi mendenging menyambar belakangnya. Ribuan kutu itu, yang lagi-lagi dilepas tiba-tiba menyerangnya untuk kedua kali. Ia membalik dan mendengus, mengebutkan ujung baju hingga ribuan hewan kecil itu terlempar kembali ke arah tuannya. Dan ketika ia tertawa dan melanjutkan larinya lagi, mengejek maka kakek kurus itu terhuyung dan menerima ribuan kutunya yang dikibas si hwesio.
Sejenak laki-laki ini kagum tapi dia tertawa menyeringai. Diam-diam ia menjentikkan seekor kutu betinanya di lengan baju Jing-ji-mi-to. Kutu itu akan bertelur dan cepat sekali berkembang biak. Ini semacam senjata biologi, senjata kuman! Maka ketika ia terkekeh dan kembali ke gedung Uh-ongya maka di sana Jing-ji-mi-to gembira mencari tempat sepi dan langsung membuka sepuluh kantung uang emas itu.
Akan tetapi betapa kagetnya hwesio ini melihat betapa uang di dalam kantung berubah. Bukan lagi uang emas melainkan potongan seng, jumlahnya ribuan dan kalau digerakkan juga gemerincing Dan ketika ia melotot merasa tertipu maka saat itulah ia merasa gatal dan sekejap kemudian ribuan benda kecil merayap di lengan bajunya itu. Kutu berbisa!
“Aih, keparat jahanam!” hwesio berteriak. “Bedebah kau, Eng-seng-thiong. Kutu Busuk dan jahat kau. Terkutuk!”
Jing-ji-mi-to kaget melepas jubahnya tiba-tiba membakarnya. Tak ada waktu lagi untuk mengebut kutu-kutu itu jalan satu-satunya harus bergerak cepat. Ia melolos jubahnya dan tinggal bercelana saja, perutnya yang gemuk berguncang-guncang. Dan ketika ia membentak menepukkan telapaknya pada dinding, lelatu memuncrat dan menyambar jubah itu maka ribuan kutu terbang menyelamatkan diri.
Hwesio ini marah bukan main dan mencak-mencak. Ia tertipu, merasa dipermainkan. Dan ketika dengan perut telanjang ia kembali ke gedung Uh-ongya, berkelebat dan menyambar datang maka dilihatnya lawannya itu sedang di ruang dalam, duduk menimang kutu sambil terkekeh-kekeh.
“Eng-seng-thiong, kau jahanam keparat!”
Kakek itu tak terkejut. Ia telah maklum bahwa hwesio ini pasti kembali. Ia telah menukar sepuluh pundi-pundinya dengan kantung yang lain, yakni ketika ia membalik dan memberikan punggungnya tadi. Eng-seng-thiong telah maklum akan gerakan Seribu Tangan dari hwesio hebat itu . Maka ketika ia diam saja dan terkekeh dalam hati, maklum lawan akan kecele dan marah kepadanya maka hantaman dua tangan itu dikelit dengan cara meloncat.
“Dess!” pukulan si hwesio menghantam dinding. Kutu Peniru Suara tertawa aneh dan melesat ke kiri, Jing-ji-mi-to mengejarnya lagi. Dan ketika ia mengelak dan pura-pura bertanya kenapa hwesio itu seperti kambing kebakaran jenggot, tak berbaju dan telanjang setengah badan maka hwesio itu berteriak-teriak padanya.
“Bertanya lagi? Pura-pura tidak tahu? Keparat, kau menukar uang emasmu, Kutu Tengik. Kau menipu dan mempermainkan aku. Rasakan, jangan kira aku tinggal diam dess!” lantai berlubang dan kakek ini berjungkir balik tinggi. Ia diserang gencar dan si hwesio benar-benar marah. Tapi ketika ia terkekeh dan menggerakkan kepalanya maka rambut meledak dan ribuan kutu berhamburan lagi.
“Jing-ji-mi-to, jangan sombong. Kaulah yang kurang ajar. Siapa menyuruhmu mencuri dan kenapa tidak menepati janji. Aku tahu akal busukmu, nah rasakan dan lihat akupun tak takut padamu...crat!" rambut gimbal-gimbal itu meledak ke muka dan belakang, menghamburkan kutu-kutu beracun namun si hwesio mendorong dengan pukulan tangannya. Tapi ketika kakek ini terkekeh dan menusukkan jari maka dari ujung kukunya keluar seekor kutu betina yang siap melekat dan bersarang di tubuh hwesio itu. Sasarannya perut!
“Keparat!” Jing-ji-mi-to mengelak dan menangkis. “Kau benar-benar busuk seperti kutumu, Eng-seng-thiong, tapi sekali ini kau tak dapat mempermainkan aku. Mampuslah!” kutu itu ditiup dan terhempas, hancur tergencet dinding dan terbelalaklah kakek kurus itu.
Ia marah melihat anaknya mati. Yang betina adalah kutu pilihan. Maka ketika ia melengking dan terkekeh panjang, berkelebat dan membalas hwesio ini maka di dalam ruangan Uh-ongya itu dua orang ini bertanding hebat. Akan tetapi hwesio itu maupun si Kutu Peniru Suara sama-sama mendecak. Dulu, tiga empat tahun yang lalu mereka juga sudah bertanding dan mengetahui kelebihan masing-masing. Hwesio gemuk itu dengan sepasang lengannya yang mampu berubah seribu buah sementara si kakek kurus dengan kakinya yang lincah dan ringan menari-nari. Demikian cepat dan ringan kaki ini bergerak hingga mirip kutu meloncat-loncat, atau bahkan terbang!
Dan ketika seribu tangan hwesio tak mampu mendarat di tubuh si Kutu, demikian hebat si kakek mengelak dan berkelit maka kutu di kepala kakek itu yang juga berhamburan dan menyerang si hwesio akhirnya tak dapat menggigit dan bahkan mati bertemu kulit tubuh Jing-ji-mi-to yang atos.
“Heh-heh, luar biasa, mengagumkan. Kepandaianmu meningkat pesat, hwesio bau. Jing-jiu mu (Tangan Seribu) tambah kuat dan antep saja. Aih, tanganmu semakin cepat!”
“Tak usah memuji,” sang hwesio membentak dan penasaran. “Kakimu pun semakin lincah dan ringan saja, Kutu Tengik. Kalau bukan kau tentu roboh!”
“Ha-ha, benar, kalau begitu kita imbang. Ah, sayang kau masih suka mencuri dan melepas omongan bohong. Pendeta macam apa kau ini, heh-heh!”
Jing-ji-mi-to tak perduli. Dia telah mengeluarkan Jing-jiu-hoat nya atau Silat Tangan Seribu namun kelincahan si Kutu Tengik demikian hebat. Gerakan kaki itulah yang membuat penasaran. Dan ketika mereka bertanding semakin hebat sementara pukulan atau dorongan silih berganti, bayangan keduanya lenyap terganti gulungan dua tubuh maka keduanya menyatu dan terpental kalau adu pukulan terjadi sama kerasnya.
“Duk-plak!”
Dinding dan pintu ruangan sering tergetar. Nyata keduanya sama kuat namun masing-masing tak mau mengalah, bahkan tampaknya semakin sengit saja. Tapi ketika masing-masing bergerak kian cepat hingga tak dapat ditangkap mata lagi, si hwesio seperti bola melesat ke sana-sini sementara kakek tinggi kurus itu bergerak seperti tonggak yang lincah meliak-liuk maka berkelebatlah tiga bayangan di ruangan itu, membentak.
“Jing-ji-mi-to, Eng-seng-thiong, berhenti! Ada apa kalian ribut-ribut dan lihat siapa yang datang!”
Dua orang itu berseru keras. Tiga bayangan melesat ditengah mereka dan menghantam. Pukulan mereka ditangkis dan bertemu tiga pasang tangan bagai batangan baja, kuat hingga keduanya terlempar berjungkir balik. Dan ketika Jing-ji-mi-to ataupun Eng-seng-thiong sama-sama membuang sisa tenaga, turun dan mengeluarkan seruan tertahan maka di situ telah berdiri seorang nenek dan dua kakek kembar bermuka hitam, hidungnya bulat dan besar.
“Ah, Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li kiranya!” Jing-ji-mi-to berseru dan kaget membelalakkan mata. Ia telah turun dan memandang tiga orang ini namun lawan bersikap dingin. Di belakang tiga orang ini muncul So-thaikam dan dua orang lagi, Uh-ongya dan seorang pemuda berpakaian indah yang memegang kipas, tersenyum dan bersikap penuh wibawa dan Eng-seng-thiong tiba-tiba memberi hormat. Jing-ji-mi-to tak tahu bahwa ia berhadapan dengan putera mahkota. Tapi ketika ia tertegun dan terbeliak memandang majikannya, So-thaikam mengangkat tangan maka pembesar itu berseru,
“Jing-ji-mi-to, inilah putera mahkota” junjungan kami. Berilah hormat dan hentikan segala pertikaian!”
Hwesio itu terkejut. Tanpa diulang lagi iapun membungkukkan tubuh dalam-dalam. Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe juga begitu. Dan ketika ia tergetar bertemu putera mahkota, tak enak karena So-thaikam sendiri demikian hormat maka pemuda berpakaian indah yang ternyata ramah namun bersikap penuh wibawa itu tertawa.
“Sudahlah, tak ada apa-apa. Aku mendengar dari Siau-hun Mo-li (Iblis Pembetot Sukma) bahwa kalian bertanding. Urusannya tentu sepele. Aku telah mendengar dari So-taijin bahwa Jing-ji-mi-to adalah orang sendiri. Hm, kau dapat melayani dan mengimbangi pengawal bayangan, Jing-ji-locianpwe. Sebaiknya kaupun masuk dan menjadi satu di sini. Aku minta pada So-taijin agar kalian berlima sama-sama menjaga istana.”
“Hamba tak mungkin menolak,” So-thaikam menunduk dan memberi hormat. “Jing-ji-mi-to telah menunjukkan kemampuannya, paduka pangeran. Dan kita sama lihat kepandaiannya. Harap paduka melapor ayahanda kaisar dan biarlah sekarang urusan di sini diselesaikan paduka.”
Putera mahkota mengangguk-angguk. “Aku akan bicara pada kanda pangeran,” katanya memandang Uh-ongya. “Semuanya telah kudengar dan kuketahui, kanda. Tapi kanda tak perlu sakit hati karena Jing-ji-locianpwe pasti akan memenuhi tanggung jawabnya. Hm, kau..” putera mahkota memandang lagi hwesio itu.
“Urusan di sini tak perlu diperpanjang, locianpwe. Kau pasti menerima Liu Nio sebagai isterimu. Ketahuilah, kekasihmu itu telah hamil, kau akan memiliki keturunan.”
“Apa?” hwesio ini terbelalak. “Hamil? Liu Nio hamil?”
"Ya, dan selamat, locianpwe. Kau akan memiliki anak yang gagah dan cakap. Aku ingin mengadakan jamuan di sini.”
Lalu ketika kakek itu terbelalak dan seakan tak percaya maka Liu Nio, selir itu muncul dan terisak-isak. Rupanya dia telah disiapkan di dalam dan kini mendapat isyarat panggilan. “Nah, tanyalah dia,” putera mahkota tertawa dan berkata lagi. “Kami semua merasa gembira bahwa kau mempunyai keturunan. Selamat, locianpwe. Kini ku adakan pesta arak!”
Hwesio itu bengong dan tak dapat bicara apa-apa. Dia menjublak ketika semua orang tertawa, hanya Uh-ongya tersenyum kecut. Tapi ketika dia sadar dan membalas putera mahkota, tersipu dan kaget menerima cawan maka putera mahkota mengadakan jamuan kecil untuk kebahagiaan hwesio ini.
Jing-ji-mi-to tak menyangka semuanya itu. Ia masih saja bengong dan nyengir ketika semua membenturkan cawan kepadanya, tanda selamat. Tapi ketika semua itu selesai dan ia menerima Liu Nio, selir itu bakal melahirkan anaknya maka urusannya terhadap Uh-ongya tak berkepanjangan lagi dan iapun menerima selir itu sebagai isterinya.
“Hm, bagai mimpi, ha-ha...! Ah, sungguh tak kubayangkan bakal punya anak, Liu Nio, kalau tahu begini tentu tak kutolak sejak tadi. Ah, kenapa kau tak pernah memberi tahu!”
“Aku takut....” selir itu terisak dan menunduk. “Aku takut kau tak suka lagi kepadaku, locianpwe. Orang hamil tak dapat melayani suaminya seperti biasa lagi.”
“Ha-ha, tak jadi masalah. Kau akan memberikan anak kepadaku. Wah, ini satu keberuntungan. Tahukah kau betapa sesungguhnya aku lama mengharapkan ini. Eh, jangan panggil aku locianpwe lagi, Liu Nio, aku calon ayah anakmu. Ha-ha, panggil namaku Tek Wang!”
“Wang-koko!” selir itu malu-malu dan ditubruk hwesio ini.
Jing-ji-mi-to ternyata berubah pikiran dan girang luar biasa mendengar itu. Ia tak tahu betapa si selir tersenyum-senyum aneh, menunduk dan menyembunyikan muka ketika dipeluk dan diguncang-guncang hwesio pendek gemuk itu. Dan ketika hari itu hwesio ini diangkat sebagai barisan pengawal bayangan, bersatu dengan empat temannya yang lain maka beberapa hari kemudian teringatlah dia akan sepuluh kantung uang emas itu, mencari si Kutu Peniru Suara. Tapi apa kata kakek ini? Eng-seng-thiong terkekeh-kekeh.
“Lucu!” serunya. “Kau ini aneh dan ada-ada saja, Jing-ji-mi-to. Masa uang itu masih kusimpan juga. Tidak, Uh-ongya telah memintanya kembali, tugasku dianggap gagal. Justeru aku hendak minta ganti rugi kepadamu karena kau membatalkan rejekiku!”
“Apa, meminta ganti rugi?”
“Heh-heh, begitu sebenarnya, tapi kalau kau tak punya uang biarlah tak usah kutuntut. Bukankah kita sekarang kawan.”
Hwesio itu melotot. Tak disangkanya si Kutu ini akan balik meminta ganti rugi. Mana ia sudi. Dan ketika ia tertegun dan gagal sia-sia maka kakek itu berkelebat dan Eng-seng-thiong menepuk pundaknya.
“Sudahlah, uang tak ada artinya bagi sebuah persahabatan. Kalau kau pandai mencari kesempatan, maka upah lain akan menanti, Jing-ji-mi-to. Marilah kita dekati kerabat-kerabat istana dan di situ akan muncul tanda jasa!”
Hwesio ini gigit jari. Ia pergi dan benar saja ada rejeki-rejeki lain di istana itu. Para pembesar atau menteri yang ingin bantuannya memberi upah tinggi. Mereka minta dikawal kalau melaksanakan tugas keluar kota umpamanya, minta dilindungi dan dijaga keselamatannya. Dan ketika sebentar kemudian ia sudah mempunyai langganan, empat rekannya juga begitu maka hwesio yang kerasan dan tinggal di istana ini dikenal sebagai pengawal bayangan yang amat lihai.
Eng-seng-thiong dan lain-lain itu ternyata sudah mempunyai para pembesar atau pangeran yang sering membutuhkan tenaganya. Mereka kerap diminta penjagaannya. Dan ketika sebentar kemudian Jing-ji-mi-to juga mendapat bagiannya, tak kurang dari enam keluarga istana yang mempergunakan tenaganya maka suatu hari hwesio ini bertemu dengan Te-gak Mo-ki. Dan ini berawal dari pangeran Hui, satu dari sekian kerabat istana yang sering meminta bantuan hwe-sio itu!
Siang itu, sebagaimana biasanya pekerjaan para pangeran yang selalu ingin bersenang-senang dan mereguk kenikmatan maka pangeran ini minta perlindungan Jing-ji-mi-to ke Telaga Biru, sebuah tempat di luar kota raja. Sebuah kereta dengan empat ekor kuda yang besar dan kuat disiapkan, kuda berbulu coklat dan putih. Melihat ini saja orang segera tahu bahwa pemilik kereta tentu orang berpengaruh, belum lagi sebarisan pengawal yang berjumlah sepuluh orang di belakang.
Seorang sais duduk di depan kereta menghentak tali kekang, menyendal dan melarikan kereta menyibak keramaian kota. Dan ketika kereta itu berderap sementara empat dari sepuluh pengawal melarikan kuda di depan, mencari jalan maka detak jalanan kota raja sejenak gemuruh oleh barisan ini. Hui-ongya atau pangeran Hui sendiri di dalam kereta ditemani dua wanita cantik pendamping jalan.
“Ha-ha, mudah sekali mencari uang,” Jing-ji-mi-to berkelebat dan mengawal diam-diam bersinar. “Kalau setahun aku seperti ini tentu tak lama kemudian akupun dapat menjadi raja kecil. Hm, pantas Eng- seng-thiong dan lain-lain betah, tak tahunya hasil sambilan lebih besar dari hasil pokok. Ha-ha!”
Hwesio itu bergerak dan mengawal dari belakang. Empat rekannya berada di istana dan menjaga di sana, tak perlu dia khawatir. Dan ketika sekejap kemudian kereta menerobos pintu gerbang, penjaga memberi hormat dan membungkuk dalam-dalam maka pangeran itu memulai perjalanannya menuju Telaga Biru.
Hui-ongya atau Pangeran Hui ini adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun, tampan dan halus gerak-geriknya dan cukup berpengaruh. Dia adalah putera ketujuh dari kaisar, senang mengenakan pakaian putih dan suka bersajak. Tinta dan pit hitam tak pernah lupa di meja. Dan ketika perjalanan mulai melewati pematang yang hijau subur, tirai dibuka dan Hui-ongya ini tersenyum-senyum maka dua wanita pendampingnya memuji dan satu di antaranya memijat kaki sang pangeran.
“Aduh, indah dan nikmat untuk bersajak, pangeran. Cobalah paduka mulai dan tuangkan keindahan alam!”
“Benar, dan hamba akan membacanya di depan paduka. Aih, lihat sebarisan burung pipit itu, pangeran. Mereka terbang searah dengan kereta!”
“Hi-hik, seakan ingin berlomba!”
“Atau mengintai pangeran yang tampan!”
Hui-ongya tertewa geli. Dia melihat apa yang dikata temannya itu mengangguk-angguk. Serombongan burung pipit, tak kurang seratus jumlahnya bercicit riuh searah kereta. Ingin dia menangkap dan memperoleh burung-burung itu, betapa jenakanya. Dan ketika dia tergerak dan menjadi gembira, perjalanan mulai menyenangkan maka dia berseru,
“Ah, lucu dan senangnya mereka Ceng-hoa. Mereka seakan tak mengenal susah. Alangkah gembiranya aku kalau dapat menangkap seekor dua.”
“Mana mungkin? Mereka terbang jauh, pangeran. Hanya dengan anak panah kita mendapatkannya!”
“Benar, tapi aku ingin hidup-hidup. Sayang tak dapat menangkapnya.“
Belum habis kata-kata ini mendadak terdengar bunyi mencicit dua kali. Dua di antara sekelompok burung itu jatuh, seakan kena timpuk atau serangan jarak jauh. Dan ketika Hui-ongya terkejut karena dua burung itu jatuh ke jendelanya, tepat ke pangkuan maka terdengar tawa bergelak dan bayangan Jing-ji-mi-to, cepat luar biasa.
“Pangeran, tak usah paduka khawatir Matahari dan bulan pun hamba sanggup memberikannya asal paduka mampu... plok!”
Dua ekor burung itu jatuh di pangkuan Hui-ongya, menggelepar namun tak dapat terbang karena sepasang kakinya terkena jerat. Mereka jatuh oleh timpukan segulung benang halus. Itulah perbuatan Jing-ji-mi-to. Dan ketika hwesio itu lenyap dan berada di belakang kereta lagi, bersembunyi maka Hui-ongya sadar sementara dua wanita cantik itu bertepuk tangan.
“Aduh, keinginan paduka terkabul, pangeran. Lihat mereka jatuh hidup-hidup!”
“Hm, ini perbuatan Jing-ji-mi-to locianpwe. Aih, pembicaraan kita didengar. Ceng-hoa. Luar biasa sekali, terima kasih!”
Dua wanita cantik itu terkagum-kagum. Mereka juga mendengar nama hwesio itu namun tak tahu orangnya. Sekilas tadi mereka melihat namun si hwesio lenyap lagi. Dan karena mereka hendak menyenangkan pangeran bukannya hwesio itu maka merekapun berseru dan Ceng-hoa yang memijat kaki pangeran buru-buru mengeluarkan sapu tangannya.
“Aduh, cantik dan menggemaskan, pangeran, simpan saja di saputangan ini. Awas, nanti lepas!”
“Tidak, disini saja,” yang satu melepaskan selendang dan berdiri, tertawa lebih lebar, "pangeran, untuk dua sekaligus tak akan sempit. Aihhh.....!” kereta berguncang dan si cantik menjerit.
Sebuah batu diterjang dan keretapun meloncat, Hui-ongya dan dua temannya tak dapat menguasai diri, terguling. Dan ketika dua burung itu lepas dan Ceng-hoa saling tumbuk dengan temannya, roboh dan jatuh di pangkuan pangeran maka Hui-ongya menyesal dan mendorong dua wanita cantik itu. Lebih memperhatikan sepasang pipit itu daripada dua gadis cantik di sebelahnya.
“Bodoh, apa kerja sais kereta ini. Hei, perhatikan jalanan baik-baik, A-sam. Masa bebatuan kau terjang!”
“Ampun...!” kusir kereta berseru dari depan. “Batu itu tiba-tiba jatuh di bawah kereta, pangeran, entah dari mana datangnya. Hamba tak melihatnya tadi dan tahu-tahu tergilas heii...!”
Seruan kaget terdengar lagi dan Hui-ongya serta Ceng-hoa dan temannya terpekik. Kereta berdetak dan terangkat naik dan empat ekor kuda penariknya meringkik. Mereka terganjal dan merasa berat. Tapi karena lari sedang congklang dan kereta meluncur cepat maka akibatnya batu itu diterjang lagi dan kereta terangkat naik dua puluh sentimeter. Hal ini mengakibatkan kereta miring dan tak ampun lagi Hui-ongya dan dua temannya terguling. Di dalam kereta mereka saling bertumbukan. Dan ketika pangeran menjadi marah sementara kusirnya ketakutan maka kusir itu menjeletarkan cambuk dan memaki-maki kudanya.
“Picak, tak punya mata. Heii, hati-hati kalian berjalan, kuda sialan. Atau nanti tak kuberi makan. Herrr,.. hyehhhh!”
Si kusir mendahului marah daripada kena marah. Pintar dia! Tapi ketika kereta meluncur lagi dan ganti empat pengawal berteriak maka empat orang itu menjadi kaget karena kaki kuda mereka tergelincir batu yang membuat mereka hampir terguling.
“Heii keparat!”
Pangeran melongok dan sudah mengebut-ngebutkan ujung bajunya. Dia tadi bertumbukan dengan dua temannya yang cantik itu namun lagi-lagi mendorong dan menyingkirkan mereka. Teriakan ini membuatnya tertegun. Dan ketika dia melihat empat pengawal itu hampir terjatuh, empat ekor kuda di depan kereta meringkik dengan kaget maka delapan yang di belakang tiba-tiba berteriak dan ganti menjerit.
“Heiii...!”
Ternyata delapan batu bulat menendang kaki kuda. Delapan ekor kuda ini juga meringkik dan tergelincir, kalau tak pandai-pandai tuannya mengendalikan binatangnya tentu roboh. Dan ketika mereka mengumpat caci sementara pangeran menjadi tertegun, kenapa sepuluh pengawalnya tiba-tiba berteriak satu sama lain maka Jing-ji-mi-to muncul berkelebat dan menyuruh kereta berhenti. Hwesio ini mendengar ribut- ribut dan tugasnyalah menjaga keselamatan.
“Berhenti, ada apa. Kenapa berteriak-teriak!”
“Ampun, kami, eh... kuda kami ditendang batu, locianpwe. Eh, maksud kami menendang batu.Kami, eh gugup dan hampir terjatuh!”
Hwesio itu terbelalak. Ia tak melihat apa-apa ketika tiba-tiba kereta dan sepuluh pengawal ini oleng. Mereka hampir jatuh oleh kuda yang tak berjalan tetap. Entah kenapa tiba-tiba hal itu terjadi. Dan ketika dia melotot dan memeriksa teliti, tak ada apa-apa yang patut dicurigai maka Hui-ongya bertanya melongok dari tirai kereta.
“Ada apa berjalan seperti orang tidak waras. Heii, kau yang mulai dulu, A-sam. Bukankah keretamu yang mula-mula begitu dan membuat aku terantuk-antuk!”
“Ampun, maaf, pangeran.... hamba.... hamba tak mengerti. Kuda tiba-tiba ditendang, eh.... menendang batu di bawah kereta!”
“Hm, sudahlah,” Jing-ji-mi-to membentak. “Tak ada apa-apa di sini, A-sam. Kalian dan yang lain ini tolol. Berangkatlah dan aku di depan!” hwesio itu menghadap pangeran dan berseru, “Tak ada apa-apa, pangeran. Mari berangkat lagi!”
Keretapun berderap dan meluncur hati-hati. Jing-ji-mi-to mendongkol dan berjalan di depan guna melihat keadaan. Dia curiga tapi tak melihat apa-apa. Dan ketika sepuluh li kemudian tak ada gangguan maka merekapun selamat di Telaga Biru. Hwesio ini lega.
“Nah, kita sampai. Harap pangeran bersenang-senang.”
“Tunggu dulu!” pangeran meloncat dari kereta. “Burungku lepas, locianpwe. Apakah tak ada pengganti!”
“Hm, itu? Baik, nanti hamba carikan. Silakan berkeliling telaga dan temukanlah yang menarik, nanti hamba akan menangkapnya untuk paduka!”
“Kau berjanji?”
“Tentu saja, pangeran, kegembiraan paduka adalah kebahagiaan hamba!”
“Baik, kalau begitu nanti kucari. Jangan jauh dariku dan harap locianpwe selalu berjaga-jaga.”
Jing-ji-mi-to mengangguk. Ceng-hoa dan temannya meniti turun dan sebuah perahu besarpun menghampiri. Telaga berair biru membentang di depan mata, dan indah serta pepohonan di kiri kanan terasa asri. Sedikit di sebelah sana adalah hutan cemara. Maka ketika Hui-ongya gembira dan dilayani penuh hormat segera kepala pengawal memberi tahu bahwa perahu pesiar telah siap di pantai. Beberapa orang tampak sibuk di perahu besar itu.
“Hm, baiklah. Adakah kail untuk memancing ikan.”
“Ada pangeran, sudah kami siapkan. Dan setumpuk buku dapat paduka pergunakan untuk menulis sajak!”
“Ha-ha, bagus, mari ke sana.”
Hui-ongya berjalan dan menuju perahu besar itu. Kereta ditinggalkan sementara A-sam menutup dan membetulkan tirai jendela. Kusir ini lega karena tak ada apa-apa. Dan ketika ia merawat kudanya sementara pangeran sudah menaiki perahu besar itu, tetabuhan dan para penyanyi tiba-tiba menyambut maka kegembiraan di perahu besar mulai.
Kiranya perahu inipun adalah milik pangeran itu. Ada pembantunya yang lain mendahului di situ, menyiapkan dan mengatur segalanya agar pangeran senang. Dan ketika perahu bergerak dan mulai menuju tengah telaga, pangeran duduk di atas menikmati arak dan wajah penyanyi maka Jing-ji-mi-to ikut di perahu pula berjaga dari dekat. Tak ada apa-apa yang mengganggu sampai Hui-ongya mulai menulis sajak. Puisi-puisi indah dibuat, Ceng-hoa membacakannya dan ramailah keriangan orang-orang di perahu besar ini.
Tapi ketika sebuah perahu kecil meluncur dan menuju tengah telaga pula, seorang pemuda bernyanyi-nyanyi keras maka pengawal dan Jing-ji-mi-to terkejut. Biasanya kalau sudah begini siapapun tak diperkenankan masuk. Telaga sudah dikuasai pangeran dan orang luar tak boleh datang. Maka ketika seorang pemuda tiba-tiba nyelonong dan bernyanyi-nyanyi keras, tangan kirinya membawa arak dan tertawa-tawa sendirian kontan pengawal dan Jing-ji-mi-to kaget. Dan baru mereka berseru marah mendadak perahu anak muda itu sudah menumbuk dan mengguncangkan semua orang. Perahu terdorong keras.
“Dukk”
Penyanyi dan para wanita berteriak kaget. Mereka tak tahu apa yang terjadi di bawah namun para pengawal berjungkir balik melayang turun. Jing-ji-mi-to menyerahkan itu pada anak buahnya karena dianggapnya pemuda itu biasa-biasa saja. Sekilas ia melihat semacam siucai (pelajar) bermabok-mabokan di bawah, minum arak dan bernyanyi-nyanyi dan kini menumbuk perahu dengan amat kerasnya. Dari benturan itu dapat diduga perahu si pemuda pasti pecah, paling tidak bocor! Tapi ketika pengawal membentak dan turun di perahu pemuda itu, yang tak apa-apa dan justeru perahu besar yang pecah ujungnya maka pengawal menjadi marah dan mencabut golok, berseru,
“Heii, siucai gila dari mana ini yang tak mengenal aturan. Tidakkah kau tahu bahwa telaga hanya milik pangeran. Pergi, atau kami membunuhmu!”
Ribut--ribut di bawah hanya dilongok sekilas oleh Jing-ji-mi-to. Hwesio ini menyeringai dan mengangguk-angguk. Bukan tugasnya untuk turun tangan, itulah bagian pengawal. Dan ketika siucai itu tampak ketakutan dan manggut-manggut, segera diusir maka dia memutar perahunya dan pergi, minta maaf. Hui-ongya bertanya sebentar. ia juga merasa terganggu ketika terjadi tumbukan tadi, mejanya terdorong dan hampir saja jatuh. Dan ketika si pemuda meluncur dan pergi menjauhi perahu maka pangeran melihat siucai baju biru itu. Pengawalnya berdatangan naik.
“Siapa itu, kenapa sampai masuk.”
“Maaf, hamba tak tahu, pangeran. Tiba-tiba dia sudah di tengah dan menabrak perahu kita. Dia seorang siucai tidak waras yang rupanya patah hati!”
“Patah hati?”
“Ya, seorang siucai sinting, bergincu dan mengenakan anting-anting. Masa tidak sinting kalau begitu..... ha-ha!” yang lain tertawa dan Hui-ongya tersenyum. Dia tak bertanya lagi tapi berpesan agar jangan ada yang mengganggu lagi. Kepala pengawal ditegur dan minta maaf atas keteledorannya. Rupanya pemuda itu datang dari hutan. Tapi ketika mereka mundur dan turun kebawah mendadak Ceng-hoa berseru dan menuding.
“Heii, apa itu!”
Semua terkejut dan menoleh. Dan begitu melihat sekonyong-konyong merekapun berseru tertahan. Apa yang dilihat? Perahu yang ditumpangi pemuda itu, perahu yang tiba-tiba terangkat dan terbang mengelilingi telaga. Dan begitu semua memandang maka merekapun melongo, kaget, bagai melihat sihir atau sulapan karena cepat dan luar biasa perahu yang ditumpangi pemuda itu sudah memutari telaga tiga kali. Perahu itu terbang dan benar-benar mengelilingi perahu besar tiga kali, bunyi kecipak tak mengalihkan perhatian mereka.
Dan ketika Jing-ji-mi-to juga terbelalak dan melihat itu, betapa sesungguhnya sebatang dayung memukul di sebelah kanan perahu dengan cepat hingga mengangkat dan membuat perahu terbang maka sadarlah hwesio ini bahwa sesungguhnya siucai itu bukan sembarang pelajar. Seorang lihai yang hebat sekali.
“Ah, berikan dayung dan semua turun ke bawah!” hwesio itu berkelebat dan berseru pada pengawal. Ia kaget bukan main karena pemuda yang tadi diremehkannya ternyata bukan sembarang orang. Jing-ji-mi-to kali ini terkecoh.
Dan ketika semua orang terkagum-kagum dan bengong di atas, Hui-ongya pun tertarik dan akhirnya bertepuk tangan maka hwesio gemuk pendek itu sudah berada di bawah dan menyambar dayung besar. Sekali pukul dia membuat perahu terdorong dan melesat. Hebat hwesio ini, tenaganya besar sekali. Dan ketika dia mengejar namun perahu terlalu besar, pengawal dibentak agar membantu maka perahu kecil dikejar dan hwesio ini curiga apakah kawan atau lawan pemuda itu.
“Dayung sekuatnya, cepat. Kerahkan semua tenaga!”
Namun perahu kecil terlalu lincah. Perahu besar terasa lambat dan amat berat, meskipun sesungguhnya tenaga hwesio ini membuat perahu bergerak tujuh delapan meter. Dan ketika pemuda di perahu itu berputar untuk yang kelima kalinya, terbang dan terkekeh maka ia pun mengeluarkan seruan keras dan perahu terbang menuju tanah.
“Brakkk!”
Semua mata terbelalak memandang. Perahu itu pecah tapi si pemuda sudah meloncat turun, bergegas dan menuju hutan dan Jing-ji-mi-to pun berteriak penasaran. Sia-sia perahunya mengejar. Tapi ketika hwesio itu berjungkir balik dan menuju daratan, meninggalkan perahunya ternyata si pemuda lenyap dan memasuki hutan.
“Tunggu, keparat. Tunggu, anak muda. Siapa kau dan apa maksudmu memamerkan kepandaian!”
Akan tetapi pemuda itu lenyap. Ia hanya tertawa kecil ketika menoleh dan menengok hwesio itu, menghilang dan sudah memasuki hutan dan Jing-ji-mi-to terkejut bukan main karena langkah kakinya kalah cepat dengan pemuda itu. Ia sudah menambah kecepatan namun jarak yang jauh membuatnya gagal. Dan ketika ia memasuki hutan namun lawan tak diketahui rimbanya, hwesio ini pucat maka ia kembali setelah gagal mencari-cari. Khawatir dan kaget jangan-jangan perahu yang ditinggal diganggu teman pemuda itu. Siapa tahu dia dipancing!
Akan tetapi tidak. Hui-ongya menunggunya dan pestapun bubar. Peristiwa itu mengejutkan sekaligus menarik perhatian banyak orang. Tak ada yang tahu bahwa seberkas sinar merah memasuki wajah pangeran ini, lenyap dan meninggalkan bekas kekaguman yang dalam. Pangeran tiba-tiba dapat melihat pemuda di perahu kecil itu, jelas dan terpana dan itulah cahaya ilmu pengasih. Entah kenapa tiba-tiba Hui-ongya merasa suka dan senang dengan pemuda itu, jatuh cinta! Maka ketika Jing-ji-mi-to gagal menemukan lawan dan pangeran cemberut tak senang hwesio ini tertegun mendengar teguran dingin.
“Kau tak mendapatkan lawanmu itu? Demikian hebatkah dia?”
“Maaf,” hwesio ini semburat. “Jarak terlalu jauh, pangeran, tak terkejar. Tapi nanti kalau bertemu lagi tentu hamba tangkap. Dia lari ke hutan!”
“Seribu tail kalau kau dapat menemukannya,” pangeran tiba-tiba berkata. “Cari dan tangkaplah sekarang, Jing-ji-locianpwe. Atau kita pulang dan aku tak mau di sini lagi!”
Jing-ji-mi-to terkejut. Dia telah gagal dan tak menemukan lawannya itu ketika tiba-tiba sekarang Hui- ongya memerintah. Bukankah ia telah mencari dan memasuki hutan? Tapi mengangguk mangepal tinju iapun berkelebat pergi. “Baiklah, hamba cari lagi, pangeran. Akan tetapi maaf kalau gagal!”
Hui-ongya berseri. Tiba-tiba ia menyuruh semua pergi dan menyambar kail, buku dan pit dilempar. Dan ketika ia memancing dan menunggu hwesio itu, sampai matahari condong ke barat tiba-tiba hwesio itu muncul dan menyatakan gagal. Wajahnya kuyu, geram.
“Maaf, hamba gagal lagi, pangeran. Sepuluh kali mengitari hutan. Jahanam itu tak dapat hamba temukan. Kalau paduka sabar biarlah dua tiga hari hamba menjanjikan!”
“Ah, gagal lagi? Percuma aku menunggu. Baiklah, kita pulang, Jing-ji-locianpwe, dan heran bahwa kau sebagai tokoh berkepandaian tinggi tak mampu menangkap seorang pemuda!”
“Jarak terlalu jauh.“
“Sudahlah, aku tak mau dengar lagi dan mari kita pulang!” Hui-ongya memotong dan wajah hwesio inipun merah padam. Ia benar-benar tertampar oleh kejadian itu dan malu serta marah bukan main. Kalau bukan pangeran ini tentu ditangkap dan dibantingnya. Sudah gagal masih diomeli lagi!
Dan ketika perahu di tinggalkan dan Hui-ongya minta pulang maka kereta disiapkan lagi dan A-sam buru-buru mencambuk kudanya. Sepuluh pengawal di belakang tak berani banyak bicara karena hwesio itupun marah kepada mereka, matanya berkilat-kilat! Akan tetapi kejadian seperti semula datang lagi. Kereta menabrak batu sekepalan tangan hingga nyaris terguling. Dan ketika pangeran serta yang lain terkejut maka empat pengawal juga berteriak dan kali ini terpelanting roboh.
“Haiii...!”
Kuda meringkik dan melempar tuannya dari pelana. Entah kenapa tiba-tiba kaki tergelincir oleh sebuah batu bulat hitam, empat ekor kuda itu tak sempat melihatnya. Dan ketika sebentar kemudian pengawal yang lain juga terpekik menjerit, kuda roboh menyungkur tanah maka Jing-ji-mi-to maklum bahwa ini bukan kebetulan saja, berkelebat membentak.
“Bocah keparat, jangan main-main di sini!”
Namun tak ada siapa-siapa. Kusir dan pengawal sama-sama mengeluh. A-sam ketakutan ketika pangeran melongok keluar, membentak kenapa melarikan kereta seperti itu. Dan ketika sais ini menggigil membela diri, berkata bahwa yang lainpun begitu maka Jing-ji-mi-to melempar sais itu berseru pada Hui-ongya.
“Ini gangguan orang lihai. Maaf, hamba menjalankan kereta, pangeran. Percuma memaki orang-orang tolol ini. Mari berangkat!”
Hwesio itu mencemplak dan menjalankan keretanya. Ia tak perduli kepada sepuluh pengawal yang berjatuhan itu, A-sam terbanting di dekat seorang pengawal yang merintih. Dan ketika hwesio itu buru-buru menjalankan keretanya, hari hampir gelap dan dikhawatirkan musuh tak nampak di kegelapan malam maka pengawal menyusul namun mereka tertinggal jauh.
Jing-ji-mi-to yakin bahwa inilah perbuatan pemuda baju biru itu. sudah mengerotkan gigi dan siap menghajar. Dan ketika benar saja empat batu hitam menyambar dan tiba-tiba menghantam kaki kuda, inilah yang membuat kuda meringkik dan berjalan tidak stabil maka hwesio itu menjeletarkan cambuknya dan menghajar batu-batu hitam itu.
“Bocah tengik, jangan macam-macam di sini, keluarlah. tar-tar-tar!” empat batu itu hancur dan Jing-ji-mi-to melihat berkelebatnya sebuah bayangan. Bau harum menyambar dan itulah si pemuda baju biru. Tapi ketika hwesio ini memaki dan menghentikan kereta, pemuda itu lenyap maka Jing-ji-mi-to gusar meloncat turun. Hui-ongya membuka tirai dan bertanya.
“Anak muda itu, jahanam itu, ah, di sini, pangeran. Dialah yang mengganggu!“
“Ia di sini? Kebetulan, kalau begitu aku ingin bertemu. Heii, cari dan suruh ia menghadap, Jing-ji- locianpwe. Katakan aku ingin bicara baik-baik!”
“Baik-baik? Ah, ia bukan manusia baik-baik, pangeran. Ia pemuda yang patut dihajar. Biarlah paduka tunggu di sini dan hamba akan mencarinya!” Jing-ji-mi-to gusar bukan main. Ia melompat dan lenyap di sebelah kiri karena di situlah si pemuda menghilang. Kali ini ia yakin ketemu. Akan ditangkap dan dibekuknya. Akan dipatah-patahkannya kaki dan tangan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia mencari pemuda itu maka justeru lawannya ini hadir, tahu-tahu di pinggiran kereta dekat tirai yang dibuka.
“Paduka mencari hamba, pangeran? Hi-hik, hamba di sini, tolol benar Jing-ji-mi-to itu. Maaf hamba mengganggu karena tak tahan oleh kesombongan kakek gemuk itu.”
Hui-ongya terkejut. Bagai siluman saja pemuda ini muncul di dekatnya. Ceng-hoa dan temannya sampai menjerit, kaget. Tapi ketika pangeran beradu pandang dengan sepasang mata pemuda ini, mata yang lembut dan bercahaya namun mencorong maka jantung pangeran berdetak dan dag-dig-dug tak keruan. Sejenak ia gelagapan.
“Eh, kau. eh, pemuda di perahu kecil itu? Kau yang membuat perahu terbang dan mengelilingi telaga lima kali?”
“Hi-hik, benar. Tapi semata hamba lakukan agar membunuh kesombongan Jing-ji-mi-to itu, pangeran. Hamba tak suka kepadanya. Orang seperti itu tak layak tinggal di istana. Dia tiada ubahnya kucing malas!”
“Hm, kau. Siapa namamu, sobat? Dari mana? Kau tak takut kepada Jing-ji-mi-to yang lihai? Ia satu dari lima pengawal bayangan, kepandaiannya tinggi!”
“Hi-hik, apanya yang tinggi. Sebelah tangan hamba saja sanggup merobohkannya, pangeran. Paduka jangan tertipu seseorang. Dia itu pembual, cari keuntungan diri sendiri.”
Hui-ongya terbelalak. Bicara dan berhadapan dengan pemuda ini iapun berdesir dan tergetar. Sorot dan pandang mata itu aneh sekali, berputar dan seperti liar akan tetapi tiba-tiba berubah secara cerdik sekali. Ia terpesona oleh wajah ini, wajah berbedak dan bergincu tipis tapi harus diakui amat tampan dan cantik sekali. Seperti wajah wanita, akan tetapi bukan. Dan ketika ia tertegun dan jantung di dada berdegup kencang, senyum manis pemuda ini menyambarnya maka tiba-tiba Ceng-hoa menggamit lengannya dan berbisik apakah tidak berbahaya berdekatan dengan orang yang tidak dikenal. Namun pangeran malah mendorong dan marah kepadanya.
“Apa kau ini, bicara yang tidak-tidak. Hm, tutup mulutmu, Ceng-hoa, kalau berbahaya tentu sudah menyerangku. Sobat ini teman, bukan lawan. Lihat ia tak berbuat apa-apa dan baik kepadaku!”
“Hi-hik, benar. Tapi gadis itupun tak salah, pangeran, ia tak tahu siapa hamba. Ah, hwesio itu kembali dan biar nanti berjumpa lagi!”
Hui-ongya terkejut. Pemuda aneh itu lenyap dan bersamaan dengan itu datanglah bayangan Jing-ji-mi-to. Hwesio itu berkelebat. Dan ketika hwesio itu merah meliar sana-sini, bau harum bekas pemuda itu diciumnya maka ia terbelalak mendengar Hui-ongya berkata,
“Ia datang sendiri padaku, tidak menyerang. Agaknya kau tak akan dapat mencarinya, locianpwe. Mari pulang saja dan teruskan perjalanan!”
“Ia ia datang kesini?”
“Benar, dan kau tolol. Ah, kendalikan kereta dan cepat pulang!”
Hwesio itu pucat. Kakek ini mengeluarkan seruan marah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia kembali karena tadi mendengar jeritan Ceng-hoa, yakni ketika pemuda muncul seperti iblis. Dan ketika ia tertegun namun Hui-ongya menutup tirai, dingin maka hwesio ini tertampar untuk kedua kalinya dan apa boleh buat di harus menjalankan keretanya lagi, meloncat ke bagian kusir.
“Bedebah, terkutuk!” hwesio ini menggigil menahan marah. “Kau benar-benar mempermainkan aku, bocah siluman. Awas nanti!”
Keretapun berderap dan melaju kencang. Kali ini tak ada gangguan apa-apa dan karena tadi sejenak berhenti maka sepuluh pengawal menyusul. Pintu gerbang kota raja dibuka dan masuklah mereka semua tak memperdulikan hormat penjaga. Jing-ji-mi-to melotot. Dan ketika kereta melaju di tengah keramaian kota, menyibak dan membuat orang berlarian ke kiri kanan maka hwesio ini tertegun mendengar percakapan dan kekeh ditahan. Ceng-hoa kah? Bukan. Atau Kim-ting? Juga bukan. Dan ketika hwesio itu memperlambat larinya kereta dan memasang telinga di dinding maka tertangkaplah suara Hui-ongya dan seorang pemuda. Lawannya si baju biru itu!
“Pangeran!” hwesio ini menghentikan kereta dan langsung meloncat ke samping. Ia kaget dan heran serta marah bukan main karena lawannya itu tiba-tiba di situ, di dalam kereta. Dan ketika ia menendang pintu dan membentak keras maka terlihatlah Hui-ongya asyik berpegangan tangan dengan pemuda baju biru itu. Kekehnya tak dapat dilupakan hwesio ini.
“Hi-hik, ada apa. Aku telah menjadi sahabat Hui-ongya, Jing-ji-mi-to. Tugasmu mengembalikan ke istana dan jangan melotot di situ. Ayo, tutup dan rapatkan pintunya.”
“Benar, kau tak perlu mengganggu kami, lo-suhu. Jalankan kereta dan tutup pintunya!”
Hwesio ini terbelalak. Ia seakan tak percaya melihat pemuda itu duduk di sebelah kanan pangeran. Ia tak dapat menjangkau pemuda ini tanpa melewati pangeran. Dan ketika semua melotot karena pemuda itu tahu-tahu di situ, Ceng-hoa dan Kim-ting menggigil berhimpitan maka hwesio yang tak kuasa menahan marah ini meloncat dan memutari kereta. Jing-ji-mi-to bukannya menjalankan kereta melainkan menuju pintu samping kedua, tempat di mana dua wanita cantik itu berpelukan. Dan ketika ia membentak dan membuka pintu ini, menarik dan melemparkan dua wanita itu maka disambarnya pemuda baju biru itu dengan satu cengkeraman maut.
“Bocah tengik, tiga kali kau menghina aku. Mampuslah!”
Ceng-hoa dan Kim-ting menjerit. Mereka berhenti ditengah jalan dan belum sampai di istana. Tubuh keduanya dilempar dan ditarik hwesio itu. Dan ketika mereka berteriak terlempar di luar, Hui-ongya juga terkejut karena hwesio ini tiba-tiba beringas dan kesetanan maka pemuda baju biru justeru tertawa dan bersikap luar biasa tenang.
“Hm, kau seperti kambing kebakaran jenggot, Jing-ji-mi-to. Memandang Hui-ongya biarlah kuampuni sedikit...plak!" tangan hwesio itu ditangkis dan cengkeraman hwesio ini bertemu telapak yang licin namun amat hebat.
Hwesio itu terpekik dan terpental, lawan membalas dan mendorongnya. Dan ketika ia berjungkir balik dan kereta ditutup lagi, pemuda itu meloncat keluar maka ia berdiri tertawa bertolak pinggang. Kini orang melihat wajah dan bentuk tubuhnya, juga pakaiannya secara jelas. Pemuda pesolek dengan pakaian serba biru tapi memiliki ban hitam di pinggiran bajunya, kipas dan ikat pinggang menjuntai panjang serta anting-anting di sepasang telinganya yang berlekuk indah. Telinga dan gaya seorang wanita!
Akan tetapi Jing-ji-mi-to tidak memperhatikan semua ini. Dia terkejut bukan main ketika serangan atau cengkeramannya pertama tadi gagal. Kulit yang licin bagai belut terlepas, sebuah tenaga menolak dan iapun terjengkang ketika didorong. Betapa kuatnya dorongan itu! Tapi karena ia di dalam kereta dan tak leluasa baginya melakukan serangan, juga ada Hui-ongya yang harus dijaga maka hwesio itu memekik nyaring ketika di luar.
Ia meloncat dan menerjang garang ketika pemuda itu bertolak pinggang, mata dan wajahnya terbakar. Namun ketika pemuda itu berkelit dan tubrukan si hwesio luput, tontonan segera terjadi maka Jing-ji-mi-to berteriak dan menubruk lagi mainkan Jing-jiunya atau ilmu Seribu Tangan itu, membalik dan menerjang.
“Sudahlah, tak ada yang perlu ditangisi lagi. Ayo pergi dan kita tinggalkan tempat ini, Cui Ling. Bantu aku menutup luka."
“Nanti dulu!” pemuda itu melompat. “Mana adikku Teng Bu, locianpwe, dan.... dan mana siluman jahat itu!”
“Ia telah pergi,” Cui Ling mendahului dan menubruk pemuda ini, tersedu-sedu. “Sedang adikmu... adikmu. ah, Teng Bu telah tewas, Seng-ko. Mayat itulah adikmu!”
“Apa?”
“Benar, jahanam itu mengutunginya. Teng Bu disiksa. Ia... ia... ahh!” Cui Ling terkejut ketika kekasihnya tiba-tiba meronta, memekik dan melepaskan diri lalu menubruk mayat Teng Bu yang sudah tidak keruan.
Teng Seng tiba-tiba menjadi histeris sementara Cui Ling hampir terjengkang. Gadis itu didorong dan dilempar kekasihnya. Dan ketika gadis ini terkejut dan menangis menutupi muka maka Teng Seng menggerung-gerung dan memukul-mukul tanah di mana mayat adiknya mencair dan leleh memasuki bumi. “Keparat, jahanam keparat. Ah, terkutuk kau, orang she Mo. Bedebah binatang kau. Jahanam, berani kau membuat adikku seperti ini!”
Semua ngeri. Teng Seng bagai gila memaki-maki dan menjerit, kematian adiknya memang mengerikan. Tapi ketika pemuda itu terbawa luapan emosinya dan menghantam atau memukul-mukul tanah, semua terbelalak maka Tai Tee Cinjin melompat dan menyambar lengan Cui Ling.
“Tak ada gunanya di sini lagi, kita harus pergi. Bantu aku dan kita pulang Hoa-san.”
Gadis itu tersedu. Kalau saja susioknya ini tidak terluka mungkin ia tak mau pergi. Teng Seng bagai histeris dan kalap di sana. Tapi karena susioknya luka dan darah itu masih mengalir di balik siku maka Cui Ling membiarkan dirinya diseret dan sementara orang memperhatikan pemuda itu maka iapun dibawa menghilang dari taman itu.
Kejadian di gedung Gubernur ini memang menggemparkan. Sepak terjang si banci itu mengejutkan, bukan saja para pengawal melainkan tokoh-tokoh Bu-tong dan Hoa-san. Dan ketika hari itu juga Tai Tee Cinjin melapor pulang, Cui Ling tersedu-sedu membenarkan susioknya maka Bu-tong dan Hoa-san tentu saja marah dan gusar.
Persiapan dilakukan. Baik Bu-tong maupun Hoa-san tak akan tinggal diam, Ketuanya sendiri siap turun gunung. Dan ketika beberapa hari kemudian ketua dan wakil ketua berangkat, masih diperkuat oleh belasan murid utama maka si banci atau Siluman Akherat itu siap dimintai tanggung jawabnya.
Tapi takutkah tokoh luar biasa itu? Apakah ia menyembunyikan diri dan bakal menghindar? Tidak. Justeru dicari dan hendak dimintai tanggung jawabnya laki-laki aneh ini semakin menggila, karena setelah ia menggemparkan tempat Gubernur justeru ia datang dan membuat onar di kota raja!
* * * * * * * *
Lima perwira tinggi di istana yang bertugas menjaga keamanan kota raja dibuat terkejut. Mula-mula adalah si botak Jing-ji-mi-to (Buddha Gemuk Tangan Seribu), seorang tokoh kawakan yang disegani dan ditakuti lawan. Dia ini adalah bekas suheng dari ketua Siauw-cing-pai yang tidak cocok dengan saudaranya, suka bertindak sendiri dan karena suka makanan berjiwa maka tak diperkenankan tinggal di Siauw-cing-pai, pergi dan akhirnya merantau dan kehebatan sepasang lengannya yang mampu berubah menjadi seribu tangan membuat dia dijuluki Jing-ji-mi-to.
Perawakannya gemuk pendek dan karena potongannya seperti hwesio maka dipanggil seperti itu. Tokoh ini amat lihai dan karena suatu hari kebetulan dia menolong So-thaikam dari keroyokan penjahat, waktu itu thaikam itu sedang mengadakan peninjauan keliling maka atas jasanya itu tokoh gemuk pendek ini dibawa ke kota raja. Dan sejak itu hwesio botak ini mengalami kehidupan menyenangkan.
So-thaikam adalah orang pandai yang pintar melihat orang kosen. Dengan kedudukan dan hartanya dia mampu membeli orang-orang lihai macam apapun, tentu saja mereka yang termasuk seperti Jing-ji-mi-to ini, yang haus kesenangan dan kenikmatan duniawi. Dan ketika tokoh itu mulai tinggal di istana khususnya di gedung So-thaikam maka pria gemuk pendek ini dihormati orang sebagaimana orang menghormati So- thaikam.
Akan tetapi tidak semua orang hormati tokoh ini. Beberapa orang pangeran, yang mulai melihat sepak terjang kakek ini termasuk kesukaannya menggoda para selir diam-diam tak senang kepada hwesio ini. Kakek itu memang berpotongan hwesio akan tetapi batiniahnya kotor. Lahiriahnya saja mengenakan jubah akan tetapi dalamnya busuk. Gara-gara inilah dia dimusuhi saudara-saudaranya sendiri di Siauw-cing-pai, tempat di mana dia harusnya mendapat kedudukan tinggi.
Akan tetapi karena kepandaiannya hebat dan hanya dengan keroyokan saja dia dapat dikalahkan, ketua Siauw-cing-pai masih bukan tandingannya maka dia diusir dan kesepakatan hwesio-hwesio Siauw-cing-pai membuatnya tak berdaya, pergi dan tak mungkin tinggal di partai itu kalau banyak orang tak suka kepadanya. Dan ketika dia kebetulan menolong So-thaikam dan kini diangkat sebagai pengawal tingkat atas, jajaran paling tinggi bersama empat orang lain yang ada di istana maka hwesio ini hidup mewah dan jubahnya yang dulu dari kain sederhana kini terbuat dari sutera halus yang mengkilap dan mahal!
Namun semua ini tidak cukup bagi Jing-ji-mi-to. Harta dan kedudukan saja tidak cukup. Maka ketika dia sudah resmi di istana dan keluar masuk gedung bagai rumah sendiri maka pertemuannya dengan selir-selir cantik di istana menggugah hatinya yang buruk untuk segera main mata. Dan hwesio itu segera tergila-glia pada selir bernama Liu Nio, wanita yang tinggal di gedung Uh-ongya (Pangeran Uh) di mana dengan kepandaiannya yang tinggi tentu saja mudah baginya menyelinap. Hwesio itu masuk dan mengganggu selir ini, menggosok kedua tangannya dan dibacalah mantra untuk merobohkan hati orang.
Jing-ji-mi-to memiliki ilmu semacam guna-guna pengasih yang dipergunakannya apabila wanita itu kira-kira tak mau kepadanya, sukar ditundukkan karena dia seorang laki-laki botak yang usianya lima puluhan pula. Maka ketika suatu malam dia berhasil menundukkah wanita ini, memiliki selir itu dan hari-hari berikut digunakannya untuk memuaskan diri maka lama-kelamaan perbuatannya inipun diketahui. Dan betapa marahnya Uh-ongya.
So-thaikam, yang juga tak menyangka hwesio itu memiliki berahi dibuat terkejut dan terbelalak. Dia tak mengira bahwa seorang berpakaian pendeta masih doyan paras cantik. Ini di luar dugaan! Akan tetapi ketika dia cepat-cepat menemui Uh-ongya dan meminta maaf atas perbuatan hwesio itu, membujuk bahwa selir yang lain masih banyak maka hwesio ini dibiarkan dan Liu Nio malah diberikan sebagai isterinya. Akan tetapi Jing-ji-mi-to yang pada dasarnya memang hanya ingin melampiaskan berahi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata So-thaikam, majikannya.
“Apa, aku disuruh kawin? Mengambil isteri? Ha-ha, ditambah sekantung harta karun pun aku tak mau, taijin. Perkawinan hanya mengikat. Tidak, tidak, aku tak mau. Aku hanya ingin main-main saja dan jangan suruh kawin!”
“Hm, kau melanggar wilayah rumah tangga orang lain. Uh-ongya memaafkannya sudah bagus, lo-suhu, apalagi malah memberikannya sebagai isterimu. Kau harus bertanggung jawab, selir itu harus kau nikahi.” So-thaikam mengerutkan kening.
“Tidak,” hwesio ini menggeleng. Aku tak mau, taijin. Aku hanya sekedar ingin bersenang-senang. Kalau kau memaksa aku akan pergi, atau boleh Uh-ongya itu menghukumku. Biar dia marah!”
Thaikam ini terkejut. Sikap dan kata-kata si hwesio menyadarkannya bahwa orang-orang kang-ouw seperti ini tak dapat dipaksa. Sekali memaksa berarti musuh. Dan karena dia membutuhkan orang-orang seperti ini dan teringat Eng-seng-thiong (Kutu Peniru Suara) maka pembesar ini mengangguk-angguk tersenyum berkata,
“Baiklah, kau membuat aku repot. Hm, di sini ada seorang yang dimintai tolong Uh-ongya kalau dia merasa marah, lo-suhu. Apakah sanggup kau menghadapinya kalau kau menolak ini. Perbuatanmu bisa dianggapnya menghina.”
“Ha-ha, kebetulan. Aku juga ingin kenal jago-jago istana dan mengukur kepandaian mereka. Tidakkah hanya tong-tong kosong belaka yang makan gaji buta!”
Sang thaikam mengangguk-angguk. Sudah diketahuinya hwesio ini lihai, akan tetapi karena di istana juga terdapat empat orang lain yang lihai dan masing-masing bersembunyi sebagai pengawal rahasia, kebetulan dia juga ingin mencoba hwesio ini apakah mampu menghadapi itu maka dibiarkannya Jing-ji-mi-to menolak dan ingin dilihatnya bagaimana reaksi Uh-ongya.
Benar saja, pangeran itu marah bukan main. Dia terhina berat dan ditemuinya So-thaikam, bertanya apakah pembesar itu tak mampu mendidik anak buah dan menghukum. Tapi ketika thaikam ini tersenyum dan berkata tenang maka menjawab,
“Aku sudah lepas tangan. Ini tanggung jawab pribadi hwesio itu. Kalau kau mau menghukumnya silakan hukum, ongya. Aku orang luar.”
“Taijin cuci tangan?”
“Begitulah, ongya, aku sudah menasehatinya, gagal. Silakan kau melampiaskan marahmu dan aku tak akan membela. Jing-ji-mi-to memang salah.”
Uh-ongya kembali dengan muka merah padam. Kalau So-thaikam sudah bicara seperti itu maka dia bebas bertindak. Akan dihajarnya hwesio itu, akan dicincang dan dibunuhnya. Dan ketika dia menghubungi seorang kakek bermata kecil, kurus dan sering berkejap-kejap maka inilah Eng-seng-thiong si Kutu Peniru Suara, tokoh bayangan istana yang tak akan muncul kalau tidak untuk sesuatu yang penting.
“Heh-heh, ongya ada urusan apa, Uh, aku masih mengantuk. Heh-heh, silakan bicara dan langsung pada pokok persoalan, ongya. Aku masih ingin tidur!”
“Aku ingin kau menangkap seseorang. Bawa dan seret orang itu ke mari, Eng-seng-thiong. Lumpuhkan dia dan aku akan menyayat-nyayat tubuhnya!”
“Heh-heh, siapa orang itu, di mana. Dan apakah imbalannya cukup.”
“Ini untukmu!” si pangeran melempar sepundi-pundi uang, gemerincing. “Bawa dan tangkap orang itu, Eng-seng-thiong. Dia di tempat So-thaikam!”
“So-thaikam?” si kurus terkejut, mata yang berkejap tiba-tiba berhenti. “Siapa orangnya?”
“Jing-ji-mi-to!”
“Ah!” si kakek terkejut dan mata membelalak lebar, berkejap-kejap lagi. “Ada apa dengan keledai gundul itu? Diakah yang harus kutangkap? Hm, tidak cukup sekian, ongya. Sepundi uang masih kurang. Heh- heh, ini pekerjaan berat!”
“Kau tak sanggup?”
“Bukan tak sanggup, tapi nanti dulu. Ongkos ini kurang dan tak cukup sekian saja. Heh-heh, Jing-ji- mi-to bukan lawan yang enteng, ongya. Ditambah sepuluh kalipun barangkali kurang. Ah, kau terlalu menganggap enteng!”
Uh-ongya terkejut. Dia sering minta tolong kakek ini dan jarang ditolak. Kalau kini tiba-tiba ditolak tentu hwesio itu benar-benar hebat. Akan tetapi karena dia sudah terlanjur marah dan apapun akan dilakukan demi menghajar hwesio itu maka sepuluh pundi-pundi uang dilemparnya lagi. “Baik, kutambah ini, Eng-seng-thiong, dan cepat laksanakan tugas. Kalau berhasil kutambah sepuluh lagi!”
Mata yang berkejap dan seperti orang ngantuk itu mendadak terbuka lebar. Kakek ini tertawa dan menyambut sepuluh pundi-pundi itu, meremas dan yakin isinya dan mengangguk-angguk. Itulah pekerjaannya selain sebagai penjaga istana, menolong dan mendapat upah kalau ada pangeran atau pembesar tinggi membutuhkan tenaganya. Eng-seng-thiong memang biasa nyambi! Dan ketika ia terkekeh dan berkelebat lenyap maka kakek itupun berjanji akan membawa Jing-ji-mi-to ke situ.
“Baik, jangan khawatir, ongya. Kutangkap dan kuseret keledai gundul itu ke mari!”
Uh-ongya bersinar-sinar. Dia gembira membayangkan hwesio itu ditangkap. Akan dihajar dan dibunuhnya nanti, oleh tangannya sendiri. Dan ketika dia puas dan menunggu di situ, berdebar maka Eng- seng-thiong menemui dan berhadapan dengan hwesio Siauw-cing-pai itu. Dan hwesio ini tentu saja terkejut.
“Heh-heh, selamat bertemu. Ada rejeki untuk kita berdua, Jing-ji-mi-to. Maukah kau berbagi dan sedikit mengalah.”
“Kau...?” hwesio ini terbelalak, tentu saja kenal. “Kau disini, Kutu Busuk? Bikin apa?”
“Heh-heh, aku sudah lama di sini, dua tahun lebih dulu. Kedatanganmu kuketahui, Jing-ji-mi-to, tapi kau tak tahu aku. Heh-heh, kita sama-sama pembantu di sini, tapi kau membuat repot aku!”
“Repot? Tentang apa?”
“Ha-ha, lihat ini dulu. Maukah berbagi... cringg!” si kurus mengeluarkan sepuluh pundi-pundi uang, mendencing dan membenturkannya satu sama lain dan Jing-ji-mi-to tentu saja terkejut.
Wajah bulat itu bersinar, mata seketika rakus lahap memandang. Tapi ketika lawan terkekeh-kekeh dan menyimpan kembali uangnya itu, si hwesio menyeringai maka si kurus berkata lagi menyambung,
“Aku dapat rejeki, tapi juga sedikit repot. Sekarang maukah kau membantuku dan kita sama-sama mendapatkan lima pundi uang emas ini agar kerepotanku terbuang.”
“Hm, repot apa!” Jing-ji-mi-to menjadi tak sabar, sekaligus curiga. “Kalau kau menyuruh aku yang macam-macam tentu saja aku tak sudi, Eng-seng-thiong. Orang macam kau biasanya licik dan kurang ajar. Katakanlah, bantuan apa yang kau minta dan bagaimana demikian mudah kau berbagi rejeki. Apakah uang itu hasil rampokan!”
“Ha-ha-heh-heh, terlalu sekali. Kau curiga dan tak pernah ramah, Jing-ji-mi-to. Kenapa harus merampok kalau secara baik-baik saja aku dapat. Heh, tidak. Aku mendapatkan ini secara halal tapi efek samping dari ini membuat aku repot.”
“Tak usah banyak cakap. Bicara dan langsung saja pada sasaran, Kutu Busuk. Tak usah banyak mulut dan melingkar-lingkar. Ayo apa maumu dan kenapa demikian mudah berbagi rejeki. Kau pasti memiliki akal licik!”
Si Kutu Peniru Suara terbahak-bahak. Ia demikian geli oleh bentakan Jing-ji-mi-to hingga tubuhnya bergoyang-goyang. Rambutnya yang lurus gimbal dan tampak dekil itu berkibas-kibas, tawanya lepas tapi tiba-tiba dari atas kepalanya berhamburan ribuan binatang kecil menyambar Jing-ji-mi-to. Itulah kutu yang bersarang di rambutnya, ribuan dan terbang seakan terkejut, atau mungkin disengaja agar hwesio ini roboh. Kutu-kutu itu bukan kutu sembarang melainkan kutu beracun, sekali gigit akan meninggalkan bisanya sampai orang berguling-guling oleh sakit dan gatal. Tapi ketika Jing-ji-mi-to membentak dan mengebutkan ujung jubahnya maka ribuan kutu hitam itu terpental dan kembali lenyap ke kepala Eng-seng-thiong itu.
“Heh-heh-ha-ha! Kau membuatku terpingkal-pingkal dan mengejutkan anak-anakku, Jing-ji-mi-to. Kenapa sewot dan tidak sabaran. Baiklah, blak-blakan saja aku ingin membawamu ke tempat Uh-ongya. Biarkanlah pangeran itu menggebukimu dan lima pundi-pundi uang ini untukmu. Siap?”
Si hwesio terbelalak. “Apa?”serunya.“Kau. kau suruhan Uh-ongya itu? Kau pembantunya?“
“Hm, bukan pembantu. melainkan sewaan. Heh-heh, aku di sini sebagai pengawal bayangan kaisar, Jing-ji-mi-to, bukan pembantu Uh-ongya. Kalau dia menyuruhku sekarang maka ini karena ada imbalan. Nah, maukah kau ke sana sebentar dan uang ini untuk kita berdua. Atau, kalau kau menolak maka ini bagianku semua dan kau tak mendapatkan apa-apa. Pikir dan renungkan itu baik-baik dan apa artinya gebukan pageran itu pada tubuhmu yang kuat!”
Jing-ji-mi-to bersinar-sinar. Tiba-tiba ia tersenyun dan mengangguk-angguk namun kedua tangannya berkerotokan. Melihat uang sebanyak itu tentu saja dia menjadi bernafsu. Siapa tidak mengilar oleh sepuluh kantung uang emas. Tapi karena lawan adalah tokoh setingkat dan empat kali mereka pernah bertanding, tak ada kalah atau menang maka hwesio ini tertawa dan tiba-tiba berseru,
“Baiklah, aku menurut kehendakmu Kutu Busuk. Rasanya boleh juga dipijati pangeran itu dan aku mendapatkan kantung uang emas. Ha-ha, ayo berangkat!”
Eng-seng-thiong terkekeh. Ia membalik dan melompat pergi begitu lawan berkata setuju. Demikian gampangnya hwesio ini dijinakkan. Tapi ketika ia memberikan punggung dan saat itulah dua tangan si hwesio berkelebat maka tahu-tahu sepuluh kantung uang itu berpindah tangan. Hwesio ini memang berjuluk si Tangan Seribu!
“Ha-ha, rasanya pikiranku berubah, Eng-seng-thiong. Enggan rasanya bertemu pangeran itu. Biarlah lain kali saja dan selamat berpisah!”
Si Kutu Peniru Suara terkejut. Mereka bergerak demikian cepat hingga tahu-tahu berada di halaman gedung Uh-ongya. Di sini si hwesio membatalkan perjanjian dan melompat pergi, menghilang ke lain arah. Dan ketika ia berhenti dan melihat hwesio itu lenyap melompati pagar tinggi maka kakek ini tersenyum dan mengibas-ngibaskan rambutnya.
“Heh-heh, tolol dogol. Kalau begitu rejekiku kumakan sendirian, Jing-ji-mi-to, jangan salahkan kalau kau gigit jari!”
Hwesio itu terkejut. Ia telah melewati tembok pagar ketika tiba-tiba bunyi mendenging menyambar belakangnya. Ribuan kutu itu, yang lagi-lagi dilepas tiba-tiba menyerangnya untuk kedua kali. Ia membalik dan mendengus, mengebutkan ujung baju hingga ribuan hewan kecil itu terlempar kembali ke arah tuannya. Dan ketika ia tertawa dan melanjutkan larinya lagi, mengejek maka kakek kurus itu terhuyung dan menerima ribuan kutunya yang dikibas si hwesio.
Sejenak laki-laki ini kagum tapi dia tertawa menyeringai. Diam-diam ia menjentikkan seekor kutu betinanya di lengan baju Jing-ji-mi-to. Kutu itu akan bertelur dan cepat sekali berkembang biak. Ini semacam senjata biologi, senjata kuman! Maka ketika ia terkekeh dan kembali ke gedung Uh-ongya maka di sana Jing-ji-mi-to gembira mencari tempat sepi dan langsung membuka sepuluh kantung uang emas itu.
Akan tetapi betapa kagetnya hwesio ini melihat betapa uang di dalam kantung berubah. Bukan lagi uang emas melainkan potongan seng, jumlahnya ribuan dan kalau digerakkan juga gemerincing Dan ketika ia melotot merasa tertipu maka saat itulah ia merasa gatal dan sekejap kemudian ribuan benda kecil merayap di lengan bajunya itu. Kutu berbisa!
“Aih, keparat jahanam!” hwesio berteriak. “Bedebah kau, Eng-seng-thiong. Kutu Busuk dan jahat kau. Terkutuk!”
Jing-ji-mi-to kaget melepas jubahnya tiba-tiba membakarnya. Tak ada waktu lagi untuk mengebut kutu-kutu itu jalan satu-satunya harus bergerak cepat. Ia melolos jubahnya dan tinggal bercelana saja, perutnya yang gemuk berguncang-guncang. Dan ketika ia membentak menepukkan telapaknya pada dinding, lelatu memuncrat dan menyambar jubah itu maka ribuan kutu terbang menyelamatkan diri.
Hwesio ini marah bukan main dan mencak-mencak. Ia tertipu, merasa dipermainkan. Dan ketika dengan perut telanjang ia kembali ke gedung Uh-ongya, berkelebat dan menyambar datang maka dilihatnya lawannya itu sedang di ruang dalam, duduk menimang kutu sambil terkekeh-kekeh.
“Eng-seng-thiong, kau jahanam keparat!”
Kakek itu tak terkejut. Ia telah maklum bahwa hwesio ini pasti kembali. Ia telah menukar sepuluh pundi-pundinya dengan kantung yang lain, yakni ketika ia membalik dan memberikan punggungnya tadi. Eng-seng-thiong telah maklum akan gerakan Seribu Tangan dari hwesio hebat itu . Maka ketika ia diam saja dan terkekeh dalam hati, maklum lawan akan kecele dan marah kepadanya maka hantaman dua tangan itu dikelit dengan cara meloncat.
“Dess!” pukulan si hwesio menghantam dinding. Kutu Peniru Suara tertawa aneh dan melesat ke kiri, Jing-ji-mi-to mengejarnya lagi. Dan ketika ia mengelak dan pura-pura bertanya kenapa hwesio itu seperti kambing kebakaran jenggot, tak berbaju dan telanjang setengah badan maka hwesio itu berteriak-teriak padanya.
“Bertanya lagi? Pura-pura tidak tahu? Keparat, kau menukar uang emasmu, Kutu Tengik. Kau menipu dan mempermainkan aku. Rasakan, jangan kira aku tinggal diam dess!” lantai berlubang dan kakek ini berjungkir balik tinggi. Ia diserang gencar dan si hwesio benar-benar marah. Tapi ketika ia terkekeh dan menggerakkan kepalanya maka rambut meledak dan ribuan kutu berhamburan lagi.
“Jing-ji-mi-to, jangan sombong. Kaulah yang kurang ajar. Siapa menyuruhmu mencuri dan kenapa tidak menepati janji. Aku tahu akal busukmu, nah rasakan dan lihat akupun tak takut padamu...crat!" rambut gimbal-gimbal itu meledak ke muka dan belakang, menghamburkan kutu-kutu beracun namun si hwesio mendorong dengan pukulan tangannya. Tapi ketika kakek ini terkekeh dan menusukkan jari maka dari ujung kukunya keluar seekor kutu betina yang siap melekat dan bersarang di tubuh hwesio itu. Sasarannya perut!
“Keparat!” Jing-ji-mi-to mengelak dan menangkis. “Kau benar-benar busuk seperti kutumu, Eng-seng-thiong, tapi sekali ini kau tak dapat mempermainkan aku. Mampuslah!” kutu itu ditiup dan terhempas, hancur tergencet dinding dan terbelalaklah kakek kurus itu.
Ia marah melihat anaknya mati. Yang betina adalah kutu pilihan. Maka ketika ia melengking dan terkekeh panjang, berkelebat dan membalas hwesio ini maka di dalam ruangan Uh-ongya itu dua orang ini bertanding hebat. Akan tetapi hwesio itu maupun si Kutu Peniru Suara sama-sama mendecak. Dulu, tiga empat tahun yang lalu mereka juga sudah bertanding dan mengetahui kelebihan masing-masing. Hwesio gemuk itu dengan sepasang lengannya yang mampu berubah seribu buah sementara si kakek kurus dengan kakinya yang lincah dan ringan menari-nari. Demikian cepat dan ringan kaki ini bergerak hingga mirip kutu meloncat-loncat, atau bahkan terbang!
Dan ketika seribu tangan hwesio tak mampu mendarat di tubuh si Kutu, demikian hebat si kakek mengelak dan berkelit maka kutu di kepala kakek itu yang juga berhamburan dan menyerang si hwesio akhirnya tak dapat menggigit dan bahkan mati bertemu kulit tubuh Jing-ji-mi-to yang atos.
“Heh-heh, luar biasa, mengagumkan. Kepandaianmu meningkat pesat, hwesio bau. Jing-jiu mu (Tangan Seribu) tambah kuat dan antep saja. Aih, tanganmu semakin cepat!”
“Tak usah memuji,” sang hwesio membentak dan penasaran. “Kakimu pun semakin lincah dan ringan saja, Kutu Tengik. Kalau bukan kau tentu roboh!”
“Ha-ha, benar, kalau begitu kita imbang. Ah, sayang kau masih suka mencuri dan melepas omongan bohong. Pendeta macam apa kau ini, heh-heh!”
Jing-ji-mi-to tak perduli. Dia telah mengeluarkan Jing-jiu-hoat nya atau Silat Tangan Seribu namun kelincahan si Kutu Tengik demikian hebat. Gerakan kaki itulah yang membuat penasaran. Dan ketika mereka bertanding semakin hebat sementara pukulan atau dorongan silih berganti, bayangan keduanya lenyap terganti gulungan dua tubuh maka keduanya menyatu dan terpental kalau adu pukulan terjadi sama kerasnya.
“Duk-plak!”
Dinding dan pintu ruangan sering tergetar. Nyata keduanya sama kuat namun masing-masing tak mau mengalah, bahkan tampaknya semakin sengit saja. Tapi ketika masing-masing bergerak kian cepat hingga tak dapat ditangkap mata lagi, si hwesio seperti bola melesat ke sana-sini sementara kakek tinggi kurus itu bergerak seperti tonggak yang lincah meliak-liuk maka berkelebatlah tiga bayangan di ruangan itu, membentak.
“Jing-ji-mi-to, Eng-seng-thiong, berhenti! Ada apa kalian ribut-ribut dan lihat siapa yang datang!”
Dua orang itu berseru keras. Tiga bayangan melesat ditengah mereka dan menghantam. Pukulan mereka ditangkis dan bertemu tiga pasang tangan bagai batangan baja, kuat hingga keduanya terlempar berjungkir balik. Dan ketika Jing-ji-mi-to ataupun Eng-seng-thiong sama-sama membuang sisa tenaga, turun dan mengeluarkan seruan tertahan maka di situ telah berdiri seorang nenek dan dua kakek kembar bermuka hitam, hidungnya bulat dan besar.
“Ah, Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li kiranya!” Jing-ji-mi-to berseru dan kaget membelalakkan mata. Ia telah turun dan memandang tiga orang ini namun lawan bersikap dingin. Di belakang tiga orang ini muncul So-thaikam dan dua orang lagi, Uh-ongya dan seorang pemuda berpakaian indah yang memegang kipas, tersenyum dan bersikap penuh wibawa dan Eng-seng-thiong tiba-tiba memberi hormat. Jing-ji-mi-to tak tahu bahwa ia berhadapan dengan putera mahkota. Tapi ketika ia tertegun dan terbeliak memandang majikannya, So-thaikam mengangkat tangan maka pembesar itu berseru,
“Jing-ji-mi-to, inilah putera mahkota” junjungan kami. Berilah hormat dan hentikan segala pertikaian!”
Hwesio itu terkejut. Tanpa diulang lagi iapun membungkukkan tubuh dalam-dalam. Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe juga begitu. Dan ketika ia tergetar bertemu putera mahkota, tak enak karena So-thaikam sendiri demikian hormat maka pemuda berpakaian indah yang ternyata ramah namun bersikap penuh wibawa itu tertawa.
“Sudahlah, tak ada apa-apa. Aku mendengar dari Siau-hun Mo-li (Iblis Pembetot Sukma) bahwa kalian bertanding. Urusannya tentu sepele. Aku telah mendengar dari So-taijin bahwa Jing-ji-mi-to adalah orang sendiri. Hm, kau dapat melayani dan mengimbangi pengawal bayangan, Jing-ji-locianpwe. Sebaiknya kaupun masuk dan menjadi satu di sini. Aku minta pada So-taijin agar kalian berlima sama-sama menjaga istana.”
“Hamba tak mungkin menolak,” So-thaikam menunduk dan memberi hormat. “Jing-ji-mi-to telah menunjukkan kemampuannya, paduka pangeran. Dan kita sama lihat kepandaiannya. Harap paduka melapor ayahanda kaisar dan biarlah sekarang urusan di sini diselesaikan paduka.”
Putera mahkota mengangguk-angguk. “Aku akan bicara pada kanda pangeran,” katanya memandang Uh-ongya. “Semuanya telah kudengar dan kuketahui, kanda. Tapi kanda tak perlu sakit hati karena Jing-ji-locianpwe pasti akan memenuhi tanggung jawabnya. Hm, kau..” putera mahkota memandang lagi hwesio itu.
“Urusan di sini tak perlu diperpanjang, locianpwe. Kau pasti menerima Liu Nio sebagai isterimu. Ketahuilah, kekasihmu itu telah hamil, kau akan memiliki keturunan.”
“Apa?” hwesio ini terbelalak. “Hamil? Liu Nio hamil?”
"Ya, dan selamat, locianpwe. Kau akan memiliki anak yang gagah dan cakap. Aku ingin mengadakan jamuan di sini.”
Lalu ketika kakek itu terbelalak dan seakan tak percaya maka Liu Nio, selir itu muncul dan terisak-isak. Rupanya dia telah disiapkan di dalam dan kini mendapat isyarat panggilan. “Nah, tanyalah dia,” putera mahkota tertawa dan berkata lagi. “Kami semua merasa gembira bahwa kau mempunyai keturunan. Selamat, locianpwe. Kini ku adakan pesta arak!”
Hwesio itu bengong dan tak dapat bicara apa-apa. Dia menjublak ketika semua orang tertawa, hanya Uh-ongya tersenyum kecut. Tapi ketika dia sadar dan membalas putera mahkota, tersipu dan kaget menerima cawan maka putera mahkota mengadakan jamuan kecil untuk kebahagiaan hwesio ini.
Jing-ji-mi-to tak menyangka semuanya itu. Ia masih saja bengong dan nyengir ketika semua membenturkan cawan kepadanya, tanda selamat. Tapi ketika semua itu selesai dan ia menerima Liu Nio, selir itu bakal melahirkan anaknya maka urusannya terhadap Uh-ongya tak berkepanjangan lagi dan iapun menerima selir itu sebagai isterinya.
“Hm, bagai mimpi, ha-ha...! Ah, sungguh tak kubayangkan bakal punya anak, Liu Nio, kalau tahu begini tentu tak kutolak sejak tadi. Ah, kenapa kau tak pernah memberi tahu!”
“Aku takut....” selir itu terisak dan menunduk. “Aku takut kau tak suka lagi kepadaku, locianpwe. Orang hamil tak dapat melayani suaminya seperti biasa lagi.”
“Ha-ha, tak jadi masalah. Kau akan memberikan anak kepadaku. Wah, ini satu keberuntungan. Tahukah kau betapa sesungguhnya aku lama mengharapkan ini. Eh, jangan panggil aku locianpwe lagi, Liu Nio, aku calon ayah anakmu. Ha-ha, panggil namaku Tek Wang!”
“Wang-koko!” selir itu malu-malu dan ditubruk hwesio ini.
Jing-ji-mi-to ternyata berubah pikiran dan girang luar biasa mendengar itu. Ia tak tahu betapa si selir tersenyum-senyum aneh, menunduk dan menyembunyikan muka ketika dipeluk dan diguncang-guncang hwesio pendek gemuk itu. Dan ketika hari itu hwesio ini diangkat sebagai barisan pengawal bayangan, bersatu dengan empat temannya yang lain maka beberapa hari kemudian teringatlah dia akan sepuluh kantung uang emas itu, mencari si Kutu Peniru Suara. Tapi apa kata kakek ini? Eng-seng-thiong terkekeh-kekeh.
“Lucu!” serunya. “Kau ini aneh dan ada-ada saja, Jing-ji-mi-to. Masa uang itu masih kusimpan juga. Tidak, Uh-ongya telah memintanya kembali, tugasku dianggap gagal. Justeru aku hendak minta ganti rugi kepadamu karena kau membatalkan rejekiku!”
“Apa, meminta ganti rugi?”
“Heh-heh, begitu sebenarnya, tapi kalau kau tak punya uang biarlah tak usah kutuntut. Bukankah kita sekarang kawan.”
Hwesio itu melotot. Tak disangkanya si Kutu ini akan balik meminta ganti rugi. Mana ia sudi. Dan ketika ia tertegun dan gagal sia-sia maka kakek itu berkelebat dan Eng-seng-thiong menepuk pundaknya.
“Sudahlah, uang tak ada artinya bagi sebuah persahabatan. Kalau kau pandai mencari kesempatan, maka upah lain akan menanti, Jing-ji-mi-to. Marilah kita dekati kerabat-kerabat istana dan di situ akan muncul tanda jasa!”
Hwesio ini gigit jari. Ia pergi dan benar saja ada rejeki-rejeki lain di istana itu. Para pembesar atau menteri yang ingin bantuannya memberi upah tinggi. Mereka minta dikawal kalau melaksanakan tugas keluar kota umpamanya, minta dilindungi dan dijaga keselamatannya. Dan ketika sebentar kemudian ia sudah mempunyai langganan, empat rekannya juga begitu maka hwesio yang kerasan dan tinggal di istana ini dikenal sebagai pengawal bayangan yang amat lihai.
Eng-seng-thiong dan lain-lain itu ternyata sudah mempunyai para pembesar atau pangeran yang sering membutuhkan tenaganya. Mereka kerap diminta penjagaannya. Dan ketika sebentar kemudian Jing-ji-mi-to juga mendapat bagiannya, tak kurang dari enam keluarga istana yang mempergunakan tenaganya maka suatu hari hwesio ini bertemu dengan Te-gak Mo-ki. Dan ini berawal dari pangeran Hui, satu dari sekian kerabat istana yang sering meminta bantuan hwe-sio itu!
Siang itu, sebagaimana biasanya pekerjaan para pangeran yang selalu ingin bersenang-senang dan mereguk kenikmatan maka pangeran ini minta perlindungan Jing-ji-mi-to ke Telaga Biru, sebuah tempat di luar kota raja. Sebuah kereta dengan empat ekor kuda yang besar dan kuat disiapkan, kuda berbulu coklat dan putih. Melihat ini saja orang segera tahu bahwa pemilik kereta tentu orang berpengaruh, belum lagi sebarisan pengawal yang berjumlah sepuluh orang di belakang.
Seorang sais duduk di depan kereta menghentak tali kekang, menyendal dan melarikan kereta menyibak keramaian kota. Dan ketika kereta itu berderap sementara empat dari sepuluh pengawal melarikan kuda di depan, mencari jalan maka detak jalanan kota raja sejenak gemuruh oleh barisan ini. Hui-ongya atau pangeran Hui sendiri di dalam kereta ditemani dua wanita cantik pendamping jalan.
“Ha-ha, mudah sekali mencari uang,” Jing-ji-mi-to berkelebat dan mengawal diam-diam bersinar. “Kalau setahun aku seperti ini tentu tak lama kemudian akupun dapat menjadi raja kecil. Hm, pantas Eng- seng-thiong dan lain-lain betah, tak tahunya hasil sambilan lebih besar dari hasil pokok. Ha-ha!”
Hwesio itu bergerak dan mengawal dari belakang. Empat rekannya berada di istana dan menjaga di sana, tak perlu dia khawatir. Dan ketika sekejap kemudian kereta menerobos pintu gerbang, penjaga memberi hormat dan membungkuk dalam-dalam maka pangeran itu memulai perjalanannya menuju Telaga Biru.
Hui-ongya atau Pangeran Hui ini adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh dua tahun, tampan dan halus gerak-geriknya dan cukup berpengaruh. Dia adalah putera ketujuh dari kaisar, senang mengenakan pakaian putih dan suka bersajak. Tinta dan pit hitam tak pernah lupa di meja. Dan ketika perjalanan mulai melewati pematang yang hijau subur, tirai dibuka dan Hui-ongya ini tersenyum-senyum maka dua wanita pendampingnya memuji dan satu di antaranya memijat kaki sang pangeran.
“Aduh, indah dan nikmat untuk bersajak, pangeran. Cobalah paduka mulai dan tuangkan keindahan alam!”
“Benar, dan hamba akan membacanya di depan paduka. Aih, lihat sebarisan burung pipit itu, pangeran. Mereka terbang searah dengan kereta!”
“Hi-hik, seakan ingin berlomba!”
“Atau mengintai pangeran yang tampan!”
Hui-ongya tertewa geli. Dia melihat apa yang dikata temannya itu mengangguk-angguk. Serombongan burung pipit, tak kurang seratus jumlahnya bercicit riuh searah kereta. Ingin dia menangkap dan memperoleh burung-burung itu, betapa jenakanya. Dan ketika dia tergerak dan menjadi gembira, perjalanan mulai menyenangkan maka dia berseru,
“Ah, lucu dan senangnya mereka Ceng-hoa. Mereka seakan tak mengenal susah. Alangkah gembiranya aku kalau dapat menangkap seekor dua.”
“Mana mungkin? Mereka terbang jauh, pangeran. Hanya dengan anak panah kita mendapatkannya!”
“Benar, tapi aku ingin hidup-hidup. Sayang tak dapat menangkapnya.“
Belum habis kata-kata ini mendadak terdengar bunyi mencicit dua kali. Dua di antara sekelompok burung itu jatuh, seakan kena timpuk atau serangan jarak jauh. Dan ketika Hui-ongya terkejut karena dua burung itu jatuh ke jendelanya, tepat ke pangkuan maka terdengar tawa bergelak dan bayangan Jing-ji-mi-to, cepat luar biasa.
“Pangeran, tak usah paduka khawatir Matahari dan bulan pun hamba sanggup memberikannya asal paduka mampu... plok!”
Dua ekor burung itu jatuh di pangkuan Hui-ongya, menggelepar namun tak dapat terbang karena sepasang kakinya terkena jerat. Mereka jatuh oleh timpukan segulung benang halus. Itulah perbuatan Jing-ji-mi-to. Dan ketika hwesio itu lenyap dan berada di belakang kereta lagi, bersembunyi maka Hui-ongya sadar sementara dua wanita cantik itu bertepuk tangan.
“Aduh, keinginan paduka terkabul, pangeran. Lihat mereka jatuh hidup-hidup!”
“Hm, ini perbuatan Jing-ji-mi-to locianpwe. Aih, pembicaraan kita didengar. Ceng-hoa. Luar biasa sekali, terima kasih!”
Dua wanita cantik itu terkagum-kagum. Mereka juga mendengar nama hwesio itu namun tak tahu orangnya. Sekilas tadi mereka melihat namun si hwesio lenyap lagi. Dan karena mereka hendak menyenangkan pangeran bukannya hwesio itu maka merekapun berseru dan Ceng-hoa yang memijat kaki pangeran buru-buru mengeluarkan sapu tangannya.
“Aduh, cantik dan menggemaskan, pangeran, simpan saja di saputangan ini. Awas, nanti lepas!”
“Tidak, disini saja,” yang satu melepaskan selendang dan berdiri, tertawa lebih lebar, "pangeran, untuk dua sekaligus tak akan sempit. Aihhh.....!” kereta berguncang dan si cantik menjerit.
Sebuah batu diterjang dan keretapun meloncat, Hui-ongya dan dua temannya tak dapat menguasai diri, terguling. Dan ketika dua burung itu lepas dan Ceng-hoa saling tumbuk dengan temannya, roboh dan jatuh di pangkuan pangeran maka Hui-ongya menyesal dan mendorong dua wanita cantik itu. Lebih memperhatikan sepasang pipit itu daripada dua gadis cantik di sebelahnya.
“Bodoh, apa kerja sais kereta ini. Hei, perhatikan jalanan baik-baik, A-sam. Masa bebatuan kau terjang!”
“Ampun...!” kusir kereta berseru dari depan. “Batu itu tiba-tiba jatuh di bawah kereta, pangeran, entah dari mana datangnya. Hamba tak melihatnya tadi dan tahu-tahu tergilas heii...!”
Seruan kaget terdengar lagi dan Hui-ongya serta Ceng-hoa dan temannya terpekik. Kereta berdetak dan terangkat naik dan empat ekor kuda penariknya meringkik. Mereka terganjal dan merasa berat. Tapi karena lari sedang congklang dan kereta meluncur cepat maka akibatnya batu itu diterjang lagi dan kereta terangkat naik dua puluh sentimeter. Hal ini mengakibatkan kereta miring dan tak ampun lagi Hui-ongya dan dua temannya terguling. Di dalam kereta mereka saling bertumbukan. Dan ketika pangeran menjadi marah sementara kusirnya ketakutan maka kusir itu menjeletarkan cambuk dan memaki-maki kudanya.
“Picak, tak punya mata. Heii, hati-hati kalian berjalan, kuda sialan. Atau nanti tak kuberi makan. Herrr,.. hyehhhh!”
Si kusir mendahului marah daripada kena marah. Pintar dia! Tapi ketika kereta meluncur lagi dan ganti empat pengawal berteriak maka empat orang itu menjadi kaget karena kaki kuda mereka tergelincir batu yang membuat mereka hampir terguling.
“Heii keparat!”
Pangeran melongok dan sudah mengebut-ngebutkan ujung bajunya. Dia tadi bertumbukan dengan dua temannya yang cantik itu namun lagi-lagi mendorong dan menyingkirkan mereka. Teriakan ini membuatnya tertegun. Dan ketika dia melihat empat pengawal itu hampir terjatuh, empat ekor kuda di depan kereta meringkik dengan kaget maka delapan yang di belakang tiba-tiba berteriak dan ganti menjerit.
“Heiii...!”
Ternyata delapan batu bulat menendang kaki kuda. Delapan ekor kuda ini juga meringkik dan tergelincir, kalau tak pandai-pandai tuannya mengendalikan binatangnya tentu roboh. Dan ketika mereka mengumpat caci sementara pangeran menjadi tertegun, kenapa sepuluh pengawalnya tiba-tiba berteriak satu sama lain maka Jing-ji-mi-to muncul berkelebat dan menyuruh kereta berhenti. Hwesio ini mendengar ribut- ribut dan tugasnyalah menjaga keselamatan.
“Berhenti, ada apa. Kenapa berteriak-teriak!”
“Ampun, kami, eh... kuda kami ditendang batu, locianpwe. Eh, maksud kami menendang batu.Kami, eh gugup dan hampir terjatuh!”
Hwesio itu terbelalak. Ia tak melihat apa-apa ketika tiba-tiba kereta dan sepuluh pengawal ini oleng. Mereka hampir jatuh oleh kuda yang tak berjalan tetap. Entah kenapa tiba-tiba hal itu terjadi. Dan ketika dia melotot dan memeriksa teliti, tak ada apa-apa yang patut dicurigai maka Hui-ongya bertanya melongok dari tirai kereta.
“Ada apa berjalan seperti orang tidak waras. Heii, kau yang mulai dulu, A-sam. Bukankah keretamu yang mula-mula begitu dan membuat aku terantuk-antuk!”
“Ampun, maaf, pangeran.... hamba.... hamba tak mengerti. Kuda tiba-tiba ditendang, eh.... menendang batu di bawah kereta!”
“Hm, sudahlah,” Jing-ji-mi-to membentak. “Tak ada apa-apa di sini, A-sam. Kalian dan yang lain ini tolol. Berangkatlah dan aku di depan!” hwesio itu menghadap pangeran dan berseru, “Tak ada apa-apa, pangeran. Mari berangkat lagi!”
Keretapun berderap dan meluncur hati-hati. Jing-ji-mi-to mendongkol dan berjalan di depan guna melihat keadaan. Dia curiga tapi tak melihat apa-apa. Dan ketika sepuluh li kemudian tak ada gangguan maka merekapun selamat di Telaga Biru. Hwesio ini lega.
“Nah, kita sampai. Harap pangeran bersenang-senang.”
“Tunggu dulu!” pangeran meloncat dari kereta. “Burungku lepas, locianpwe. Apakah tak ada pengganti!”
“Hm, itu? Baik, nanti hamba carikan. Silakan berkeliling telaga dan temukanlah yang menarik, nanti hamba akan menangkapnya untuk paduka!”
“Kau berjanji?”
“Tentu saja, pangeran, kegembiraan paduka adalah kebahagiaan hamba!”
“Baik, kalau begitu nanti kucari. Jangan jauh dariku dan harap locianpwe selalu berjaga-jaga.”
Jing-ji-mi-to mengangguk. Ceng-hoa dan temannya meniti turun dan sebuah perahu besarpun menghampiri. Telaga berair biru membentang di depan mata, dan indah serta pepohonan di kiri kanan terasa asri. Sedikit di sebelah sana adalah hutan cemara. Maka ketika Hui-ongya gembira dan dilayani penuh hormat segera kepala pengawal memberi tahu bahwa perahu pesiar telah siap di pantai. Beberapa orang tampak sibuk di perahu besar itu.
“Hm, baiklah. Adakah kail untuk memancing ikan.”
“Ada pangeran, sudah kami siapkan. Dan setumpuk buku dapat paduka pergunakan untuk menulis sajak!”
“Ha-ha, bagus, mari ke sana.”
Hui-ongya berjalan dan menuju perahu besar itu. Kereta ditinggalkan sementara A-sam menutup dan membetulkan tirai jendela. Kusir ini lega karena tak ada apa-apa. Dan ketika ia merawat kudanya sementara pangeran sudah menaiki perahu besar itu, tetabuhan dan para penyanyi tiba-tiba menyambut maka kegembiraan di perahu besar mulai.
Kiranya perahu inipun adalah milik pangeran itu. Ada pembantunya yang lain mendahului di situ, menyiapkan dan mengatur segalanya agar pangeran senang. Dan ketika perahu bergerak dan mulai menuju tengah telaga, pangeran duduk di atas menikmati arak dan wajah penyanyi maka Jing-ji-mi-to ikut di perahu pula berjaga dari dekat. Tak ada apa-apa yang mengganggu sampai Hui-ongya mulai menulis sajak. Puisi-puisi indah dibuat, Ceng-hoa membacakannya dan ramailah keriangan orang-orang di perahu besar ini.
Tapi ketika sebuah perahu kecil meluncur dan menuju tengah telaga pula, seorang pemuda bernyanyi-nyanyi keras maka pengawal dan Jing-ji-mi-to terkejut. Biasanya kalau sudah begini siapapun tak diperkenankan masuk. Telaga sudah dikuasai pangeran dan orang luar tak boleh datang. Maka ketika seorang pemuda tiba-tiba nyelonong dan bernyanyi-nyanyi keras, tangan kirinya membawa arak dan tertawa-tawa sendirian kontan pengawal dan Jing-ji-mi-to kaget. Dan baru mereka berseru marah mendadak perahu anak muda itu sudah menumbuk dan mengguncangkan semua orang. Perahu terdorong keras.
“Dukk”
Penyanyi dan para wanita berteriak kaget. Mereka tak tahu apa yang terjadi di bawah namun para pengawal berjungkir balik melayang turun. Jing-ji-mi-to menyerahkan itu pada anak buahnya karena dianggapnya pemuda itu biasa-biasa saja. Sekilas ia melihat semacam siucai (pelajar) bermabok-mabokan di bawah, minum arak dan bernyanyi-nyanyi dan kini menumbuk perahu dengan amat kerasnya. Dari benturan itu dapat diduga perahu si pemuda pasti pecah, paling tidak bocor! Tapi ketika pengawal membentak dan turun di perahu pemuda itu, yang tak apa-apa dan justeru perahu besar yang pecah ujungnya maka pengawal menjadi marah dan mencabut golok, berseru,
“Heii, siucai gila dari mana ini yang tak mengenal aturan. Tidakkah kau tahu bahwa telaga hanya milik pangeran. Pergi, atau kami membunuhmu!”
Ribut--ribut di bawah hanya dilongok sekilas oleh Jing-ji-mi-to. Hwesio ini menyeringai dan mengangguk-angguk. Bukan tugasnya untuk turun tangan, itulah bagian pengawal. Dan ketika siucai itu tampak ketakutan dan manggut-manggut, segera diusir maka dia memutar perahunya dan pergi, minta maaf. Hui-ongya bertanya sebentar. ia juga merasa terganggu ketika terjadi tumbukan tadi, mejanya terdorong dan hampir saja jatuh. Dan ketika si pemuda meluncur dan pergi menjauhi perahu maka pangeran melihat siucai baju biru itu. Pengawalnya berdatangan naik.
“Siapa itu, kenapa sampai masuk.”
“Maaf, hamba tak tahu, pangeran. Tiba-tiba dia sudah di tengah dan menabrak perahu kita. Dia seorang siucai tidak waras yang rupanya patah hati!”
“Patah hati?”
“Ya, seorang siucai sinting, bergincu dan mengenakan anting-anting. Masa tidak sinting kalau begitu..... ha-ha!” yang lain tertawa dan Hui-ongya tersenyum. Dia tak bertanya lagi tapi berpesan agar jangan ada yang mengganggu lagi. Kepala pengawal ditegur dan minta maaf atas keteledorannya. Rupanya pemuda itu datang dari hutan. Tapi ketika mereka mundur dan turun kebawah mendadak Ceng-hoa berseru dan menuding.
“Heii, apa itu!”
Semua terkejut dan menoleh. Dan begitu melihat sekonyong-konyong merekapun berseru tertahan. Apa yang dilihat? Perahu yang ditumpangi pemuda itu, perahu yang tiba-tiba terangkat dan terbang mengelilingi telaga. Dan begitu semua memandang maka merekapun melongo, kaget, bagai melihat sihir atau sulapan karena cepat dan luar biasa perahu yang ditumpangi pemuda itu sudah memutari telaga tiga kali. Perahu itu terbang dan benar-benar mengelilingi perahu besar tiga kali, bunyi kecipak tak mengalihkan perhatian mereka.
Dan ketika Jing-ji-mi-to juga terbelalak dan melihat itu, betapa sesungguhnya sebatang dayung memukul di sebelah kanan perahu dengan cepat hingga mengangkat dan membuat perahu terbang maka sadarlah hwesio ini bahwa sesungguhnya siucai itu bukan sembarang pelajar. Seorang lihai yang hebat sekali.
“Ah, berikan dayung dan semua turun ke bawah!” hwesio itu berkelebat dan berseru pada pengawal. Ia kaget bukan main karena pemuda yang tadi diremehkannya ternyata bukan sembarang orang. Jing-ji-mi-to kali ini terkecoh.
Dan ketika semua orang terkagum-kagum dan bengong di atas, Hui-ongya pun tertarik dan akhirnya bertepuk tangan maka hwesio gemuk pendek itu sudah berada di bawah dan menyambar dayung besar. Sekali pukul dia membuat perahu terdorong dan melesat. Hebat hwesio ini, tenaganya besar sekali. Dan ketika dia mengejar namun perahu terlalu besar, pengawal dibentak agar membantu maka perahu kecil dikejar dan hwesio ini curiga apakah kawan atau lawan pemuda itu.
“Dayung sekuatnya, cepat. Kerahkan semua tenaga!”
Namun perahu kecil terlalu lincah. Perahu besar terasa lambat dan amat berat, meskipun sesungguhnya tenaga hwesio ini membuat perahu bergerak tujuh delapan meter. Dan ketika pemuda di perahu itu berputar untuk yang kelima kalinya, terbang dan terkekeh maka ia pun mengeluarkan seruan keras dan perahu terbang menuju tanah.
“Brakkk!”
Semua mata terbelalak memandang. Perahu itu pecah tapi si pemuda sudah meloncat turun, bergegas dan menuju hutan dan Jing-ji-mi-to pun berteriak penasaran. Sia-sia perahunya mengejar. Tapi ketika hwesio itu berjungkir balik dan menuju daratan, meninggalkan perahunya ternyata si pemuda lenyap dan memasuki hutan.
“Tunggu, keparat. Tunggu, anak muda. Siapa kau dan apa maksudmu memamerkan kepandaian!”
Akan tetapi pemuda itu lenyap. Ia hanya tertawa kecil ketika menoleh dan menengok hwesio itu, menghilang dan sudah memasuki hutan dan Jing-ji-mi-to terkejut bukan main karena langkah kakinya kalah cepat dengan pemuda itu. Ia sudah menambah kecepatan namun jarak yang jauh membuatnya gagal. Dan ketika ia memasuki hutan namun lawan tak diketahui rimbanya, hwesio ini pucat maka ia kembali setelah gagal mencari-cari. Khawatir dan kaget jangan-jangan perahu yang ditinggal diganggu teman pemuda itu. Siapa tahu dia dipancing!
Akan tetapi tidak. Hui-ongya menunggunya dan pestapun bubar. Peristiwa itu mengejutkan sekaligus menarik perhatian banyak orang. Tak ada yang tahu bahwa seberkas sinar merah memasuki wajah pangeran ini, lenyap dan meninggalkan bekas kekaguman yang dalam. Pangeran tiba-tiba dapat melihat pemuda di perahu kecil itu, jelas dan terpana dan itulah cahaya ilmu pengasih. Entah kenapa tiba-tiba Hui-ongya merasa suka dan senang dengan pemuda itu, jatuh cinta! Maka ketika Jing-ji-mi-to gagal menemukan lawan dan pangeran cemberut tak senang hwesio ini tertegun mendengar teguran dingin.
“Kau tak mendapatkan lawanmu itu? Demikian hebatkah dia?”
“Maaf,” hwesio ini semburat. “Jarak terlalu jauh, pangeran, tak terkejar. Tapi nanti kalau bertemu lagi tentu hamba tangkap. Dia lari ke hutan!”
“Seribu tail kalau kau dapat menemukannya,” pangeran tiba-tiba berkata. “Cari dan tangkaplah sekarang, Jing-ji-locianpwe. Atau kita pulang dan aku tak mau di sini lagi!”
Jing-ji-mi-to terkejut. Dia telah gagal dan tak menemukan lawannya itu ketika tiba-tiba sekarang Hui- ongya memerintah. Bukankah ia telah mencari dan memasuki hutan? Tapi mengangguk mangepal tinju iapun berkelebat pergi. “Baiklah, hamba cari lagi, pangeran. Akan tetapi maaf kalau gagal!”
Hui-ongya berseri. Tiba-tiba ia menyuruh semua pergi dan menyambar kail, buku dan pit dilempar. Dan ketika ia memancing dan menunggu hwesio itu, sampai matahari condong ke barat tiba-tiba hwesio itu muncul dan menyatakan gagal. Wajahnya kuyu, geram.
“Maaf, hamba gagal lagi, pangeran. Sepuluh kali mengitari hutan. Jahanam itu tak dapat hamba temukan. Kalau paduka sabar biarlah dua tiga hari hamba menjanjikan!”
“Ah, gagal lagi? Percuma aku menunggu. Baiklah, kita pulang, Jing-ji-locianpwe, dan heran bahwa kau sebagai tokoh berkepandaian tinggi tak mampu menangkap seorang pemuda!”
“Jarak terlalu jauh.“
“Sudahlah, aku tak mau dengar lagi dan mari kita pulang!” Hui-ongya memotong dan wajah hwesio inipun merah padam. Ia benar-benar tertampar oleh kejadian itu dan malu serta marah bukan main. Kalau bukan pangeran ini tentu ditangkap dan dibantingnya. Sudah gagal masih diomeli lagi!
Dan ketika perahu di tinggalkan dan Hui-ongya minta pulang maka kereta disiapkan lagi dan A-sam buru-buru mencambuk kudanya. Sepuluh pengawal di belakang tak berani banyak bicara karena hwesio itupun marah kepada mereka, matanya berkilat-kilat! Akan tetapi kejadian seperti semula datang lagi. Kereta menabrak batu sekepalan tangan hingga nyaris terguling. Dan ketika pangeran serta yang lain terkejut maka empat pengawal juga berteriak dan kali ini terpelanting roboh.
“Haiii...!”
Kuda meringkik dan melempar tuannya dari pelana. Entah kenapa tiba-tiba kaki tergelincir oleh sebuah batu bulat hitam, empat ekor kuda itu tak sempat melihatnya. Dan ketika sebentar kemudian pengawal yang lain juga terpekik menjerit, kuda roboh menyungkur tanah maka Jing-ji-mi-to maklum bahwa ini bukan kebetulan saja, berkelebat membentak.
“Bocah keparat, jangan main-main di sini!”
Namun tak ada siapa-siapa. Kusir dan pengawal sama-sama mengeluh. A-sam ketakutan ketika pangeran melongok keluar, membentak kenapa melarikan kereta seperti itu. Dan ketika sais ini menggigil membela diri, berkata bahwa yang lainpun begitu maka Jing-ji-mi-to melempar sais itu berseru pada Hui-ongya.
“Ini gangguan orang lihai. Maaf, hamba menjalankan kereta, pangeran. Percuma memaki orang-orang tolol ini. Mari berangkat!”
Hwesio itu mencemplak dan menjalankan keretanya. Ia tak perduli kepada sepuluh pengawal yang berjatuhan itu, A-sam terbanting di dekat seorang pengawal yang merintih. Dan ketika hwesio itu buru-buru menjalankan keretanya, hari hampir gelap dan dikhawatirkan musuh tak nampak di kegelapan malam maka pengawal menyusul namun mereka tertinggal jauh.
Jing-ji-mi-to yakin bahwa inilah perbuatan pemuda baju biru itu. sudah mengerotkan gigi dan siap menghajar. Dan ketika benar saja empat batu hitam menyambar dan tiba-tiba menghantam kaki kuda, inilah yang membuat kuda meringkik dan berjalan tidak stabil maka hwesio itu menjeletarkan cambuknya dan menghajar batu-batu hitam itu.
“Bocah tengik, jangan macam-macam di sini, keluarlah. tar-tar-tar!” empat batu itu hancur dan Jing-ji-mi-to melihat berkelebatnya sebuah bayangan. Bau harum menyambar dan itulah si pemuda baju biru. Tapi ketika hwesio ini memaki dan menghentikan kereta, pemuda itu lenyap maka Jing-ji-mi-to gusar meloncat turun. Hui-ongya membuka tirai dan bertanya.
“Anak muda itu, jahanam itu, ah, di sini, pangeran. Dialah yang mengganggu!“
“Ia di sini? Kebetulan, kalau begitu aku ingin bertemu. Heii, cari dan suruh ia menghadap, Jing-ji- locianpwe. Katakan aku ingin bicara baik-baik!”
“Baik-baik? Ah, ia bukan manusia baik-baik, pangeran. Ia pemuda yang patut dihajar. Biarlah paduka tunggu di sini dan hamba akan mencarinya!” Jing-ji-mi-to gusar bukan main. Ia melompat dan lenyap di sebelah kiri karena di situlah si pemuda menghilang. Kali ini ia yakin ketemu. Akan ditangkap dan dibekuknya. Akan dipatah-patahkannya kaki dan tangan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia mencari pemuda itu maka justeru lawannya ini hadir, tahu-tahu di pinggiran kereta dekat tirai yang dibuka.
“Paduka mencari hamba, pangeran? Hi-hik, hamba di sini, tolol benar Jing-ji-mi-to itu. Maaf hamba mengganggu karena tak tahan oleh kesombongan kakek gemuk itu.”
Hui-ongya terkejut. Bagai siluman saja pemuda ini muncul di dekatnya. Ceng-hoa dan temannya sampai menjerit, kaget. Tapi ketika pangeran beradu pandang dengan sepasang mata pemuda ini, mata yang lembut dan bercahaya namun mencorong maka jantung pangeran berdetak dan dag-dig-dug tak keruan. Sejenak ia gelagapan.
“Eh, kau. eh, pemuda di perahu kecil itu? Kau yang membuat perahu terbang dan mengelilingi telaga lima kali?”
“Hi-hik, benar. Tapi semata hamba lakukan agar membunuh kesombongan Jing-ji-mi-to itu, pangeran. Hamba tak suka kepadanya. Orang seperti itu tak layak tinggal di istana. Dia tiada ubahnya kucing malas!”
“Hm, kau. Siapa namamu, sobat? Dari mana? Kau tak takut kepada Jing-ji-mi-to yang lihai? Ia satu dari lima pengawal bayangan, kepandaiannya tinggi!”
“Hi-hik, apanya yang tinggi. Sebelah tangan hamba saja sanggup merobohkannya, pangeran. Paduka jangan tertipu seseorang. Dia itu pembual, cari keuntungan diri sendiri.”
Hui-ongya terbelalak. Bicara dan berhadapan dengan pemuda ini iapun berdesir dan tergetar. Sorot dan pandang mata itu aneh sekali, berputar dan seperti liar akan tetapi tiba-tiba berubah secara cerdik sekali. Ia terpesona oleh wajah ini, wajah berbedak dan bergincu tipis tapi harus diakui amat tampan dan cantik sekali. Seperti wajah wanita, akan tetapi bukan. Dan ketika ia tertegun dan jantung di dada berdegup kencang, senyum manis pemuda ini menyambarnya maka tiba-tiba Ceng-hoa menggamit lengannya dan berbisik apakah tidak berbahaya berdekatan dengan orang yang tidak dikenal. Namun pangeran malah mendorong dan marah kepadanya.
“Apa kau ini, bicara yang tidak-tidak. Hm, tutup mulutmu, Ceng-hoa, kalau berbahaya tentu sudah menyerangku. Sobat ini teman, bukan lawan. Lihat ia tak berbuat apa-apa dan baik kepadaku!”
“Hi-hik, benar. Tapi gadis itupun tak salah, pangeran, ia tak tahu siapa hamba. Ah, hwesio itu kembali dan biar nanti berjumpa lagi!”
Hui-ongya terkejut. Pemuda aneh itu lenyap dan bersamaan dengan itu datanglah bayangan Jing-ji-mi-to. Hwesio itu berkelebat. Dan ketika hwesio itu merah meliar sana-sini, bau harum bekas pemuda itu diciumnya maka ia terbelalak mendengar Hui-ongya berkata,
“Ia datang sendiri padaku, tidak menyerang. Agaknya kau tak akan dapat mencarinya, locianpwe. Mari pulang saja dan teruskan perjalanan!”
“Ia ia datang kesini?”
“Benar, dan kau tolol. Ah, kendalikan kereta dan cepat pulang!”
Hwesio itu pucat. Kakek ini mengeluarkan seruan marah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia kembali karena tadi mendengar jeritan Ceng-hoa, yakni ketika pemuda muncul seperti iblis. Dan ketika ia tertegun namun Hui-ongya menutup tirai, dingin maka hwesio ini tertampar untuk kedua kalinya dan apa boleh buat di harus menjalankan keretanya lagi, meloncat ke bagian kusir.
“Bedebah, terkutuk!” hwesio ini menggigil menahan marah. “Kau benar-benar mempermainkan aku, bocah siluman. Awas nanti!”
Keretapun berderap dan melaju kencang. Kali ini tak ada gangguan apa-apa dan karena tadi sejenak berhenti maka sepuluh pengawal menyusul. Pintu gerbang kota raja dibuka dan masuklah mereka semua tak memperdulikan hormat penjaga. Jing-ji-mi-to melotot. Dan ketika kereta melaju di tengah keramaian kota, menyibak dan membuat orang berlarian ke kiri kanan maka hwesio ini tertegun mendengar percakapan dan kekeh ditahan. Ceng-hoa kah? Bukan. Atau Kim-ting? Juga bukan. Dan ketika hwesio itu memperlambat larinya kereta dan memasang telinga di dinding maka tertangkaplah suara Hui-ongya dan seorang pemuda. Lawannya si baju biru itu!
“Pangeran!” hwesio ini menghentikan kereta dan langsung meloncat ke samping. Ia kaget dan heran serta marah bukan main karena lawannya itu tiba-tiba di situ, di dalam kereta. Dan ketika ia menendang pintu dan membentak keras maka terlihatlah Hui-ongya asyik berpegangan tangan dengan pemuda baju biru itu. Kekehnya tak dapat dilupakan hwesio ini.
“Hi-hik, ada apa. Aku telah menjadi sahabat Hui-ongya, Jing-ji-mi-to. Tugasmu mengembalikan ke istana dan jangan melotot di situ. Ayo, tutup dan rapatkan pintunya.”
“Benar, kau tak perlu mengganggu kami, lo-suhu. Jalankan kereta dan tutup pintunya!”
Hwesio ini terbelalak. Ia seakan tak percaya melihat pemuda itu duduk di sebelah kanan pangeran. Ia tak dapat menjangkau pemuda ini tanpa melewati pangeran. Dan ketika semua melotot karena pemuda itu tahu-tahu di situ, Ceng-hoa dan Kim-ting menggigil berhimpitan maka hwesio yang tak kuasa menahan marah ini meloncat dan memutari kereta. Jing-ji-mi-to bukannya menjalankan kereta melainkan menuju pintu samping kedua, tempat di mana dua wanita cantik itu berpelukan. Dan ketika ia membentak dan membuka pintu ini, menarik dan melemparkan dua wanita itu maka disambarnya pemuda baju biru itu dengan satu cengkeraman maut.
“Bocah tengik, tiga kali kau menghina aku. Mampuslah!”
Ceng-hoa dan Kim-ting menjerit. Mereka berhenti ditengah jalan dan belum sampai di istana. Tubuh keduanya dilempar dan ditarik hwesio itu. Dan ketika mereka berteriak terlempar di luar, Hui-ongya juga terkejut karena hwesio ini tiba-tiba beringas dan kesetanan maka pemuda baju biru justeru tertawa dan bersikap luar biasa tenang.
“Hm, kau seperti kambing kebakaran jenggot, Jing-ji-mi-to. Memandang Hui-ongya biarlah kuampuni sedikit...plak!" tangan hwesio itu ditangkis dan cengkeraman hwesio ini bertemu telapak yang licin namun amat hebat.
Hwesio itu terpekik dan terpental, lawan membalas dan mendorongnya. Dan ketika ia berjungkir balik dan kereta ditutup lagi, pemuda itu meloncat keluar maka ia berdiri tertawa bertolak pinggang. Kini orang melihat wajah dan bentuk tubuhnya, juga pakaiannya secara jelas. Pemuda pesolek dengan pakaian serba biru tapi memiliki ban hitam di pinggiran bajunya, kipas dan ikat pinggang menjuntai panjang serta anting-anting di sepasang telinganya yang berlekuk indah. Telinga dan gaya seorang wanita!
Akan tetapi Jing-ji-mi-to tidak memperhatikan semua ini. Dia terkejut bukan main ketika serangan atau cengkeramannya pertama tadi gagal. Kulit yang licin bagai belut terlepas, sebuah tenaga menolak dan iapun terjengkang ketika didorong. Betapa kuatnya dorongan itu! Tapi karena ia di dalam kereta dan tak leluasa baginya melakukan serangan, juga ada Hui-ongya yang harus dijaga maka hwesio itu memekik nyaring ketika di luar.
Ia meloncat dan menerjang garang ketika pemuda itu bertolak pinggang, mata dan wajahnya terbakar. Namun ketika pemuda itu berkelit dan tubrukan si hwesio luput, tontonan segera terjadi maka Jing-ji-mi-to berteriak dan menubruk lagi mainkan Jing-jiunya atau ilmu Seribu Tangan itu, membalik dan menerjang.