TAPAK TANGAN HANTU
JILID 20
KARYA BATARA
JILID 20
KARYA BATARA
“MAMPUS kau!”
Si pemuda berkelit dan tertawa. Untuk kesekian kalinya lagi ia mengelak dan membuat tubrukan atau cengkeraman hwesio itu luput, Jing-ji-mi-to tentu saja kaget dan marah dan entah perasaan apa lagi yang ada di hatinya. Ia berkelebat dan lenyap memutari lawan dan meluncurlah pukulan-pukulan tangannya yang cepat dan luar biasa. Tapi ketika pemuda itu berkelebat dan lenyap pula menandinginya, bergerak dan semua pukulan-pukulannya mengenai angin kosong belaka maka pemuda itu membentak dan tiba-tiba mengibaskan ujung lengan bajunya.
“Keledai bau, cukuplah!”
Hwesio itu terbanting dan berteriak terlempar. Ujung kebutan lengan baju itu mengenai pundaknya dan ia merasa bagai disambar petir, demikian kaget hingga ia menjerit. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dan pucat melihat baju pundaknya hangus, kulitnya melepuh dan hitam kebiruan maka sadarlah hwesio ini bahwa lawan yang dihadapi bukanlah tandingan. Dan si banci itu terkekeh.
“Bagaimana, ingin lagi? Kau masih tak tahu diri dan berani maju? Hm, sekali ini tak ada ampun, Jing-ji-mi-to, pergi atau kau mampus!”
Kakek itu gentar. Dia telah diberi pelajaran cukup dan bahwa tamparan ujung baju tadi menembus kekebalannya. Sebagai orang lihai ia tak mampu menahan pukulan itu, padahal lawan demikian mudah dan gampang mengelak semua pukulan-pukulannya. Maka maklum bahwa ia tak boleh maju lagi, atau lawan benar-benar membuktikan ancamannya maka hwesio ini mengeluh dan melompat pergi, berkelebat meninggalkan kereta.
“Pangeran, hamba tak dapat menyertai paduka lagi. Harap hati-hati di jalan!"
Hui-ongya tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tentu saja telah melihat hasil pertandingan itu dan kagum bukan main kepada teman barunya ini. Tadi, di tengah jalan pemuda itu masuk dan tahu-tahu berada di dalam, duduk dan entah bagaimana caranya menembus dinding kereta. Maka ketika Jing-ji-mi-to dikalahkan dengan mudah dan kini hwesio gemuk itu ngeloyor pergi, pucat dan gentar maka pangeran ini tertawa bertepuk tangan.
“Kiem-hiante (saudara Kiem) sungguh hebat. Kau telah mengalahkan satu di antara lima pengawal bayangan. Ha-ha, mari masuk dan kita lanjutkan perjalanan, hiante. Tak enak di luar menjadi tontonan belaka!”
“Mari,” pemuda itu bergerak dan tahu-tahu telah menyambar pangeran ini, duduk dan menutup pintu kereta. “Hwesio menyebalkan itu telah kuhajar, ongya, kalau masih berani lagi sungguh mencari mati. Maaf terpaksa kuhajar dia agar tahu diri.”
“Ha-ha, tak apa, justeru aku gembira. Sudahlah tak perlu kita pikirkan lagi dan aku percaya kepadamu!”
Kereta bergerak dan kini dikusiri. A-sam. Sais itu telah berada di tempatnya lagi setelah Jing-ji-mi-to pergi. Ia tak berani meninggalkan junjungannya jauh-jauh. Dan ketika kereta akhirnya memasuki istana dan berbelok ke barat menuju ke gedung pangeran ini maka kereta berhenti dan pangeran turun menggandeng lengan tamunya itu. Sikap dan pandang matanya demikian hangat.
“Sampai di tempatku, marilah. Ha-ha, selamat datang di gedungku. Kiem-hiante. Mari kita ke dalam dan bercakap-cakap di sana!”
Pengawal dan penjaga pintu terbelalak. Mereka cepat-cepat membungkuk ketika junjungan lewat, mengangkat muka dan terheran-heran oleh datangnya tamu. aneh ini, pemuda yang kebanci-bancian namun katanya lihai bukan main. Berita kekalahan Jing-ji-mi-to itu menyebar cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai di situ. Dan ketika pangeran membawa tamunya masuk ke dalam dan mereka bercakap-cakap di sana, entah apa yang dipercakapkan karena pangeran tampaknya demikian gembira maka menjelang tengah malam dua orang itu memadamkan lampu dan Hui-ongya membawa masuk si banci ini ke kamar pribadinya.
Orang hanya mendengar desah dan kekeh ditahan, pintu ditutup dan padamlah lampu kamar itu pula. Lalu ketika semuanya menjadi gelap dan orang benar-benar tak tahu apa yang diperbuat dua orang ini maka hari-hari berikut si banci ternyata menjadi sahabat istimewa Hui-ongya, bahkan katanya dijadikan saudara angkat!
Empat hari sejak peristiwa itu adalah nasib buruk bagi Jing-ji-mi-to. Membawa penasaran dan sakit hatinya oleh kekalahan di depan Hui-ongya ternyata diam-diam hwesio ini tak mau sudah. Memang benar ia tak menyatroni lawannya itu lagi, apalagi setelah lawannya itu berada di tempat Hui-ongya, tinggal dan tampaknya bersenang-senang di gedung pangeran ini. Tapi ketika kakek ini tak dapat menahan kekalahannya dan malam itu ia bermaksud menebus malu maka dibawanya Eng-seng-thiong si Kutu Peniru Suara itu.
“Kau harus membantuku membunuh si keparat ini. Kita sesama rekan, Eng-seng-thiong, jangan biarkan nama Pengawal Bayangan hancur. Ia sombong, dan terus terang kepandaiannya amat tinggi. Aku tak berani mengeluarkan semua kepandaianku di waktu berhadapan dengan Hui-ongya itu. Nah, bantu aku dan kita bunuh dia, ajak keluar kota raja!”
“Hm, nanti dulu, aku sudah mendengar kekalahanmu itu. Siapa dia sebenarnya, Mi-to. Bagaimana sekarang berada di tempat Hui-ongya dan bahkan menjadi saudara angkat. Apakah tidak berbahaya menghadapi orang ini, terutama bila ditanya pangeran itu.”
"Kita boleh sungkan terhadap Hui-ongya, tapi bukan kepada keparat sombong itu. Ia melakukan sesuatu yang tidak wajar pada ongya, Seng-thiong, masa begitu kenal sudah diangkat saudara! Aku melihat sesuatu yang tidak beres pada pemuda ini, banci yang menyebalkan itu!”
“Hm-hm, baiklah, aku juga tertarik. Tapi katakan bahwa semuanya tanggung jawabmu. Aku tak mau mendapat marah Hui-ongya.”
“Beres! Aku memikul semua tanggung jawab ini. Kau bawa dia keluar kota raja dan di sana kita bunuh!”
Begitulah, malam itu Jing-ji-mi-to sudah mengambil ancang-ancang. Dia menunggu saat yang baik dan ketika semuanya siap Eng-seng-thiong pun disuruhnya bergerak lebih dulu. Kutu Peniru Suara itu sudah diberi tahu kamar tempat si banci ini, yakni di belakang kamar Hui-ongya tak begitu jauh dari ruang dalam. Eng-seng-thiong geleng-geleng kepala melihat nasib bagus si banci ini, diam-diam juga iri. Namun karena ia tak pernah disakiti dan tak ada dendam atau sakit hati seperti Jing-ji-mi-to maka ia tak begitu buru-buru atau setegang kawannya.
Ia sendiri belum merasakan kelihaian si banci itu namun diam-diam juga penasaran. Kalau temannya kalah maka dapat dibayangkan kepandaian si banci itu, padahal ia dan Mi-to setingkat. Dan ketika malam itu ia berkelebat dan langsung mengintai dari luar jendela, kentongan sudah dipukul satu kali maka berserilah kakek ini melihat betapa lawan yang diintai meringkuk di atas pembaringan. Eng-seng-thiong menggantolkan sepasang kakinya seperti kelelawar.
“Heh-heh, tampaknya seperti pemuda pemalas. Hm, kau agaknya berlebihan memuji anak ini, Mi-to. Lihat ia memeluk guling seperti anak kecil menyusu ibunya. Heh-heh, kutotok ia dari sini dan lihat apa reaksinya!”
Eng-seng-thiong tertawa dalam hati dan secepat itu menimpukkan sebutir batu hitam. Dari lubang jendela ia dapat melakukan itu dengan mudah. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan tersentak seperti orang kaget, menggeliat dan telungkup maka ditendanglah jendela dan kakek itu meluncur masuk.
“Mi-to, kau tampaknya ketakutan sangat. Lihatlah, ia begitu mudah kurobohkan, heh-heh!”
Kakek ini gembira dan sudah menginjakkan kakinya di lantai kamar. Ia berseri dan tertawa dan melihat betapa mudahnya merobohkan pemuda ini tentu saja ia terkekeh-kekeh. Rekannya itu dianggapnya penakut, berlebihan. Maka ketika ia menyambar dan menarik lawannya itu, baru kali ini berhadapan dengan si banci maka Eng-seng-thiong memuji kagum karena pemuda itu memiliki ketampanan sekaligus kecantikan yang aneh. Sepasang anting-anting di kedua telinga itu gemerlap ditimpa cahaya lampu. Wajah itu halus dan kewanita-wanitaan dengan yanci (pemerah pipi) sebagaimana layaknya para pesolek.
“Heh-heh, anak seperti ini membuat Jing-ji-mi-to terbirit-birit. Wah, kau membuat aku hampir tak percaya, Mi-to. Kalau aku mau sekarang juga ia dapat kubunuh. Tapi, hm kita sudah berjanji. Baiklah ia kubawa keluar dan di sana kuserahkan!” Eng-seng-thiong tak banyak cakap dan memondong si banci ini. Ia telah cukup memandangi wajah itu dan yakin lawan tak bergerak lagi. Totokannya mengenai dengan jitu. Maka ketika ia berkelebat keluar dan Jing-ji-mi-to tertegun di pagar tembok, hwesio itu menunggu di sana maka kakek ini terkekeh dan langsung keluar kota raja.
“Mi-to, kau kodok gemuk yang penakut sekali. Lihat ia kubawa dan kurobohkan dengan mudah. Heh-heh, mari keluar sana dan aku tertarik pada perhiasan yang dipakai di kaki dan tangannya ini!”
Hwesio itu berkelebat dan mengejar temannya. Di tubuh si banci ini ternyata bertambah perhiasan lain, gelang-gelang emas yang tentu didapat dari Hui-ongya. Maka berseri dan girang bahwa lawan begitu mudah dirobohkan, hwesio ini melesat ke depan maka Jing-ji-mi-to berseru agar tak usah keluar pintu gerbang saja.
“Ia sudah roboh, bagus. Bawa saja ke kuil di sebelah barat itu dan biar aku membunuhnya!”
“Heh-heh, tak jadi keluar pintu gerbang?”
“Tak usah. Ia sudah di tangan kita, Seng-thiong. Kalau ia belum roboh tentu saja perlu dipancing keluar kota. Tapi kau telah melumpuhkannya, berhenti di kuil tua itu dan kita habisi di situ saja!”
Eng-seng-thiong tertawa dan berkelebat memasuki kelenteng tua yang dimaksud temannya ini. Jing-ji-mi-to menyambar dan hwesio itu berada di sebelahnya. Lalu ketika dua orang ini berhenti dan tertawa-tawa, tawanan tampak tetap pingsan maka hwesio itu bertanya bagaimana si Kutu ini begini mudah merobohkan lawan.
“Ia tidur, kutimpuk batu hitam. Ha-ha kau terlampau penakut, Mi-to. Anak seperti ini tak pantas menjadi orang lihai. Ia lebih tepat seperti anak pemalas putera hartawan!”
“Hm, berikan padaku. Aku ingin cepat-cepat membunuhnya!”
“Nanti dulu, kulepas dulu gelang-gelang perhiasannya ini. Wah, semua barang bagus, kwalitas utama. Ha-ha, kau tak boleh mengambilnya, Mi-to, ini upahku!”
“Baiklah, baik. Ambil semua itu dan biarkan aku menikmati pembalasanku!” si hwesio tak sabar dan melihat temannya melolosi semua barang-barang itu. Hanya sepasang anting-anting di telinga itu agak sukar, Eng-seng-thiong akhirnya melepaskannya. Lalu ketika kakek. ini melompat mundur terkekeh menikmati barang-barang rampasannya, mata terbelalak kagum maka Jing-ji-mi-to ganti menyambar tawanannya itu melotot geram. Si banci masih pingsan.
“Heh, kau!” serunya penuh gemas. “Malam ini kau mampus, bencong sombong. Tapi aku akan menyiksamu perlahan-lahan dan lihat betapa sakit hatiku terbalas sempurna!” Jing-ji-mi-to menotok dan mengguratkan kukunya yang panjang ke leher lawan. Ia mengerahkan sinkang dan kuku jarinya menjadi hitam, itulah pengerahan racun yang akan membuat lawan terbakar tubuhnya. Panas dan gatal akan menggigit. Tapi ketika kuku jarinya tak mempan menggores kulit, leher itu tiba-tiba mengeras seperti baja maka kakek ini terkejut dan tiba-tiba sebelah dari mata pemuda itu terbuka, mengedip. Bibir itu mengejek namun mata itu segera menutup lagi.
“Eh!” si hwesio tersentak dan bergerak mundur. Jing-ji-mi-to terkejut dan membelalakkan mata, apakah penglihatannya tadi benar atau tidak. Namun ketika tawanan benar-benar pingsan dan ia hilang kagetnya maka hwesio ini maju lagi dan menganggap bahwa penglihatannya tadi kacau, terkekeh.
“Ha, kau membuat aku kaget, sialan. Kalau kau berani membuka matamu lagi maka kucoblos biar buta. Hm, mana mungkin orang pingsan membuka sebelah matanya!” Hwesio ini geli dan menggerakkan tangannya menggurat lagi. Ia penasaran kukunya tak mampu menggores, jangan-jangan kurang tenaga. Maka ketika ia mengerahkan sinkangnya hingga kuku itu menjadi hitam pekat, sejenis racun ular welang siap melukai kulit lawan maka ia tertegun dan heran serta tercengang bahwa lagi-lagi ia gagal. Leher itu liat dan atos seperti lempengan baja!
“Eng-seng-thiong!” serunya gemas memanggil temannya itu. “Apa yang kau lakukan pada jahanam ini hingga kukuku tak mampu menggurat!”
“Heh-heh, kenapa berteriak-teriak?” si Kutu menoleh. “Aku tak melakukan apa-apa kecuali menotoknya pingsan, Mi-to. Jangan-jangan kau kehabisan tenaga setelah semalam bersenang-senang dengan kekasihmu.”
“Keparat, atau mungkin kekuatan jariku lembek. Biar kucoba!” Jing-ji-mi-to heran dan mengepretkan jarinya ke dinding tembok, terdengar suara mendesis dan ternyata tembok itu retak, hangus dan hitam. Lalu ketika dia terbelalak dan berseru penasaran maka iapun menghunjamkan kelima jarinya ke leher si banci itu.
“Plak!”
Si hwesio berteriak. Kali ini ada tenaga tolak besar yang membuat kelima kukunya mental. Tenaga tolak itu mengingatkannya pada peristiwa ketika ia ditangkis si banci ini, empat hari lalu. Dan ketika Eng-seng-thiong juga terkejut dan menyimpan gelang rampasannya, terbelalak melihat hwesio itu terhuyung maka wut... pemuda itu bangkit duduk dan terkekeh, merdu dan nyaring. Persis wanita!
“Hi-hik, keledai gundul tak tahu diri. Hm, aku tak mau mengampunimu lagi, Jing-ji-mi-to, berani benar kau hendak membunuhku. Majulah, tiga jurus kau roboh!”
Jing-ji-mi-to kaget bukan main. Sadarlah ia sekarang bahwa kejadian tadi bukanlah mimpi, yakni ketika ia, melihat sebelah mata pemuda ini bergerak. Ia benar-benar melihat mata pemuda itu dibuka namun ditutup lagi. Sesungguhnya ia dipermainkan! Dan kaget serta gentar juga ngeri, hwesio ini mundur dengan muka pucat adalah Eng-seng-thiong justeru bergerak ke depan maju terkekeh, melihat rekannya itu demikian ketakutan.
“Heh-heh, ada aku di sini, tak perlu takut. Eh, kita berdua telah berjanji untuk memberesi lawanmu ini, Mi-to, jangan mundur. Ayo maju atau aku yang menangkapnya lagi. Kenapa ia lepas!” kakek itu menjulurkan lengan dan tahu-tahu kelima jarinya mencengkeram pundak si banci ini. Eng-seng-thiong tak tahu kelihaian lawan dan karena itu memandang rendah. Ia masih tak percaya omongan Mi-to.
Maka ketika ia terkejut tapi segera hilang kagetnya, bergerak dan menyambar pemuda itu kakek ini siap terkekeh mentertawakan rekannya yang dianggapnya begitu penakut. Namun kejadian mengejutkan membuat Kutu Peniru Suara ini terpekik, yakni ketika kelima jarinya sudah mengenai pundak lawan. Tepat sekali bahu atau pundak itu dicengkeram tapi ketika pundak itu seakan bara api, ia tersentak dan melepaskan jarinya maka kakek itu terhuyung dan membelalakkan mata.
“Aiihhhh!” Jing-ji-mi-to mengerti. Ia melihat telapak yang mengepulkan asap dan wajah kaget si Kutu Peniru Suara itu. Ia tahu apa yang terjadi. Tapi ketika Eng-seng-thiong membentak dan maju menyerang lagi, kali ini menusuk wajah lawan maka si banci mengelak dan tartawa dingin.
“Eng-seng-thiong, jangan ikut campur urusan ini. Biarkan babi gemuk itu maju.”
Kakek tinggi kurus ini panasaran. Serangannya luput dan lawan mengejek dengan kata-kata dingin, ia marah dan maju lagi. Dan ketika kakinya bergerak cepat dan ia bertubi-tubi menusuk dan mencengkeram, bahkan kakinya melakukan tendangan mencuat dari bawah ke atas maka Kutu Peniru Suara ini terkejut ketika lawan tiba-tiba berkelebat lenyap.
“Eng-seng-thiong, sekali lagi mundurlah. Atau aku melemparmu keluar!”
Kakek ini memekik. Ia kehilangan lawan namun segera melihat bayangan biru di atas. Ternyata lawannya itu meloncat dan hinggap di belandar kayu, tinggi dari tempat itu. Namun karena ia bukan orang sembarangan dan ilmu meringankan tubuhnya juga hebat maka Kutu ini menjejakkan kakinya dan mengembangkan kedua tangan bagai burung menyambar, menghantam dari bawah.
“Turunlah, atau kau mampus!”
Lawan tertawa dingin. Si banci tak mengelak namun kali ini ujung kakinya menyambut, pukulan atau hantaman Eng-seng-thiong dipapaknya dengan ujung kaki itu. Dan ketika Kutu Peniru Suara itu terbanting dan mencelat ke bawah, bergulingan maka kakek itu pucat berteriak keras. Pukulannya membalik dan dari ujung kaki itu meluncur dua paku hitam yang ditangkisnya buru-buru, gugup.
“Brett!” Ujung baju kakek ini sobek. Kutu Peniru Suara mengeluarkan keringat dingin dan lawan melayang ke bawah. Sekali lagi ia berseru agar kakek itu mundur. Tapi ketika kakek ini meloncat bangun dan mencabut senjatanya, ruyung berlekuk delapan maka senjata itu menderu menyambar si banci lagi. Jing-ji-mi-to masih terbelalak memandang rekannya.
“Mampuslah, atau aku merasakan kelihaianmu!”
“Hm!” si banci mengelak dan bergerak sana-sini, langkahnya ringan. “Sekali lagi mundur dan jangan ikut campur, Eng-seng-thiong. Atau aku menghajarmu.”
“Hajarlah, siapa takut. Kau banci busuk yang merendahkan Pengawal Bayangan, bocah setan. Kalau aku tak membunuhmu tentu kesombonganmu semakin besar...... wut-blarr!” ruyung menghantam lantai sampai berlubang, luput dan menyambar lagi dan si banci tiba-tiba berubah dingin.
Telah tiga kali ia memperingatkan kakek ini. Maka ketika ruyung menyambar dahsyat dan kali ini menghantam kepalanya, masih disusul oleh tangan kiri kakek itu yang bergerak ke bawah maka si banci mendengus dan tiba-tiba tangannya menangkap sementara lutut kiri diangkat menerima cengkeraman kakek itu. Eng-seng-thiong mencengkeram bawah pusarnya.
“Plak-dukk!”
Eng-seng-tniong berteriak. Ruyung tertangkap dan secepat itu pula ditarik dan dibetot, tenaga raksasa membuat kakek ini terbawa ke depan, Eng-seng-thiong kaget sekali. Dan ketika ia tak mampu menahan diri sementara cengkeramannya ditangkis lutut, telapaknya seakan pecah bertemu bagian itu maka kakek ini menjerit dan ruyungnya terampas!
“Aughh!” Eng-seng-thiong bergulingan dan meringis kesakitan. Ia memegangi telapaknya yang seakan pecah- pecah itu, kiut-miut dan meloncat bangun sampai jatuh lagi. Namun ketika ia berdiri lagi dan pucat memandang lawan. ruyung itu ditekuk dan patah-patah maka teringatlah kakek akan temannya yang sama sekali belum bergerak, menoleh dan mendesis. “Mi-to, kau jahanam keparat. Masa menonton saja dan berdiri di situ. Ayo. hadapi banci ini dan kita keroyok dia, atau aku meninggalkanmu!”
Hwesio gemuk itu berubah. Sesungguhnya ia ingin tahu berapa lama rekannya ini mampu bertahan. Ia melihat gerakan cepat si banci itu, juga sinkangnya yang kuat yang membuat rekannya berkali-kali menjerit. Tapi mendengar bentakan itu dan Eng-seng-thiong akan meninggalkannya kalau tak mau maju, ia berkelebat dan mengibaskan ujung lengan baju maka hwesio ini berseru menerjang lawan, mencoba membesarkan hati sendiri karena toh tak sendirian di situ.
“Baik, maju dan keroyok si sombong Seng-thiong. Aku menonton karena mencoba mencari kelemahannya. Ayo, sekarang kita berdua!”
Kutu Peniru Suara itu mendengus. Ia sudah kehilangan senjatanya namun bukan berarti kehilangan keberanian. Mereka masih berdua di situ. Maka ketika rekannya bergerak dan ia masih penasaran dan marah oleh kekalahannya tadi tiba-tiba kakek ini meloncat lagi dan gerak kakinya yang gesit maju mundur sudah diiringi kedua lengannya yang menyambar-nyambar. Pukulan-pukulan sinkang meluncur dari tangannya.
“Bagus, kau hampir membuat aku marah, Mi-to, tapi sekarang sikapmu benar. Robohkan banci ini dan jangan biarkan ia menghina kita!”
Dua orang itu berkelebatan dan pukulan serta tamparan silih berganti. Jing-ji-mi-to telah mengeluarkan ilmunya Seribu Tangan itu dan hwesio ini masih menambahi dengan kedua lengan bajunya yang lebar gerombyongan. Ujung lengan baju itu juga meledak-ledak dan kepala seekor kerbau pun bakal hancur. Tapi ketika lawan mengelak sana-sini dan masih tertawa dingin, seakan serangan-serangan dua orang itu tak ada artinya maka pemuda baju biru ini berseru, mencabut kipasnya.
“Mi-to, kau babi gemuk yang tak tahu diri. Kalau sekarang aku tak membuatmu cedera kau selamanya bakal mengganggu aku. Nah, terimalah ini dan lihat Tangan Seribu mu kuhancurkan... plak-plak!” kipas bergerak dan tahu-tahu menyambut Seribu Tangan si hwesio gemuk, meledak dan mengeluarkan suara keras dan Jing-ji-mi-to terlambat menarik mundur.
Ia sudah berkali-kali merasakan tenaga yang hebat dan kali itupun tak mau beradu keras, hendak menarik namun kipas mengurung jalan keluarnya. Maka ketika lengannya beradu jari-jari kipas dan dari situ meluncur tenaga panas yang membuat lengannya seakan terbakar, kipas membeset dan menetak kuat tahu-tahu sepasang lengan hwesio ini putus sebatas siku, bagai dibabat pedang.
“Aduh!”
Teriakan itu membuat temannya terkejut. Eng-seng-thiong juga sedang melakukan serangan dengan pukulan bertubi-tubi, kebetulan dari belakang hingga mampu membokong. Tapi ketika punggung lawan dihantam dan ia terpekik, tangannya tak dapat ditarik maka lengketlah sepasang tangan kakek itu bagai kena getah.
“Heiii..!”
Namun secepat itu si banci membalik. Ia telah merobohkan Jing-ji-mi-to dan kini tinggal Eng-seng-thiong seorang. Kakek tinggi kurus itu sedang terkejut. Maka ketika ia membalik dan ujung kakinya menyambar bawah pusar, kedua lengan bergerak untuk menangkap dan melempar kakek itu tak ayal lagi Kutu Peniru Suara ini terbanting dan menjerit pucat.
“Bluk!”
Eng-seng-thiong terguling-guling dan sejenak tak mampu bangkit berdiri. Jangankan berdiri, duduk saja tak mampu. Tapi ketika kakek itu berhenti menabrak dinding dan mengeluh dengan kepala berputar, jerih dan ngeri maka di sana roboh dan pingsan. Dua sikunya berubah kehitaman dengan darah kental kehitaman pula. Si banci tertawa dan mengejek di depan Kutu Peniru Suara ini.
“Nah,” katanya, “berani kau maju lagi, Eng-seng-thiong. Atau kuampuni dan pergi serta bawa keledai gundul ini!”
Kakek itu tentu saja mengangguk. Setelah ia dikalahkan begitu pasti dan lawan tak melukainya seperti rekannya kontan si Kutu Peniru Suara ini girang. Tadinya ia sudah gentar menghadapi lawan, takut pembalasan atau hukuman yang tentu mengerikan. Tapi dibebaskan dan disuruh pergi membuat ia akhirnya melompat bangun, girang.
“Terima kasih,” serunya. “Kau baik, anak muda. Dan maafkan aku yang hanya ikut-ikutan saja!”
“Hm, aku tahu. Kalau tidak tak mungkin kau selamat, Eng-seng-thiong. Pergilah dan bawa keledai gundul itu!”
Eng-seng-thiong tak menunggu kedua kalinya lagi. Ia menyambar dan berkelebat pergi membawa rekannya itu, Jing-ji-mi-to luka parah. Dan ketika si banci itu tertawa dan mengeluarkan suaranya dari hidung maka ia pun lenyap melalui pintu lain.
Habiskah persoalan ini di situ saja? Kalau tak ada tiga orang lain dari lima Pengawal Bayangan mungkin persoalan itu memang habis. Akan tetapi lukanya hwesio ini diketahui Siang-buang Thai-swe (Sepasang Datuk Kembar) dan Siau-hun Mo-li (Iblis Betina Pembetot Sukma), tiga rekan hwesio itu yang tentu saja tak tinggal diam. Jing-ji-mi-to akhirnya susah payah ditolong mereka dan tiga orang ini kaget melihat racun di siku yang buntung itu, racun amat ganas dari sejenis ular welang.
Si pemuda berkelit dan tertawa. Untuk kesekian kalinya lagi ia mengelak dan membuat tubrukan atau cengkeraman hwesio itu luput, Jing-ji-mi-to tentu saja kaget dan marah dan entah perasaan apa lagi yang ada di hatinya. Ia berkelebat dan lenyap memutari lawan dan meluncurlah pukulan-pukulan tangannya yang cepat dan luar biasa. Tapi ketika pemuda itu berkelebat dan lenyap pula menandinginya, bergerak dan semua pukulan-pukulannya mengenai angin kosong belaka maka pemuda itu membentak dan tiba-tiba mengibaskan ujung lengan bajunya.
“Keledai bau, cukuplah!”
Hwesio itu terbanting dan berteriak terlempar. Ujung kebutan lengan baju itu mengenai pundaknya dan ia merasa bagai disambar petir, demikian kaget hingga ia menjerit. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dan pucat melihat baju pundaknya hangus, kulitnya melepuh dan hitam kebiruan maka sadarlah hwesio ini bahwa lawan yang dihadapi bukanlah tandingan. Dan si banci itu terkekeh.
“Bagaimana, ingin lagi? Kau masih tak tahu diri dan berani maju? Hm, sekali ini tak ada ampun, Jing-ji-mi-to, pergi atau kau mampus!”
Kakek itu gentar. Dia telah diberi pelajaran cukup dan bahwa tamparan ujung baju tadi menembus kekebalannya. Sebagai orang lihai ia tak mampu menahan pukulan itu, padahal lawan demikian mudah dan gampang mengelak semua pukulan-pukulannya. Maka maklum bahwa ia tak boleh maju lagi, atau lawan benar-benar membuktikan ancamannya maka hwesio ini mengeluh dan melompat pergi, berkelebat meninggalkan kereta.
“Pangeran, hamba tak dapat menyertai paduka lagi. Harap hati-hati di jalan!"
Hui-ongya tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tentu saja telah melihat hasil pertandingan itu dan kagum bukan main kepada teman barunya ini. Tadi, di tengah jalan pemuda itu masuk dan tahu-tahu berada di dalam, duduk dan entah bagaimana caranya menembus dinding kereta. Maka ketika Jing-ji-mi-to dikalahkan dengan mudah dan kini hwesio gemuk itu ngeloyor pergi, pucat dan gentar maka pangeran ini tertawa bertepuk tangan.
“Kiem-hiante (saudara Kiem) sungguh hebat. Kau telah mengalahkan satu di antara lima pengawal bayangan. Ha-ha, mari masuk dan kita lanjutkan perjalanan, hiante. Tak enak di luar menjadi tontonan belaka!”
“Mari,” pemuda itu bergerak dan tahu-tahu telah menyambar pangeran ini, duduk dan menutup pintu kereta. “Hwesio menyebalkan itu telah kuhajar, ongya, kalau masih berani lagi sungguh mencari mati. Maaf terpaksa kuhajar dia agar tahu diri.”
“Ha-ha, tak apa, justeru aku gembira. Sudahlah tak perlu kita pikirkan lagi dan aku percaya kepadamu!”
Kereta bergerak dan kini dikusiri. A-sam. Sais itu telah berada di tempatnya lagi setelah Jing-ji-mi-to pergi. Ia tak berani meninggalkan junjungannya jauh-jauh. Dan ketika kereta akhirnya memasuki istana dan berbelok ke barat menuju ke gedung pangeran ini maka kereta berhenti dan pangeran turun menggandeng lengan tamunya itu. Sikap dan pandang matanya demikian hangat.
“Sampai di tempatku, marilah. Ha-ha, selamat datang di gedungku. Kiem-hiante. Mari kita ke dalam dan bercakap-cakap di sana!”
Pengawal dan penjaga pintu terbelalak. Mereka cepat-cepat membungkuk ketika junjungan lewat, mengangkat muka dan terheran-heran oleh datangnya tamu. aneh ini, pemuda yang kebanci-bancian namun katanya lihai bukan main. Berita kekalahan Jing-ji-mi-to itu menyebar cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai di situ. Dan ketika pangeran membawa tamunya masuk ke dalam dan mereka bercakap-cakap di sana, entah apa yang dipercakapkan karena pangeran tampaknya demikian gembira maka menjelang tengah malam dua orang itu memadamkan lampu dan Hui-ongya membawa masuk si banci ini ke kamar pribadinya.
Orang hanya mendengar desah dan kekeh ditahan, pintu ditutup dan padamlah lampu kamar itu pula. Lalu ketika semuanya menjadi gelap dan orang benar-benar tak tahu apa yang diperbuat dua orang ini maka hari-hari berikut si banci ternyata menjadi sahabat istimewa Hui-ongya, bahkan katanya dijadikan saudara angkat!
* * * * * * * *
Empat hari sejak peristiwa itu adalah nasib buruk bagi Jing-ji-mi-to. Membawa penasaran dan sakit hatinya oleh kekalahan di depan Hui-ongya ternyata diam-diam hwesio ini tak mau sudah. Memang benar ia tak menyatroni lawannya itu lagi, apalagi setelah lawannya itu berada di tempat Hui-ongya, tinggal dan tampaknya bersenang-senang di gedung pangeran ini. Tapi ketika kakek ini tak dapat menahan kekalahannya dan malam itu ia bermaksud menebus malu maka dibawanya Eng-seng-thiong si Kutu Peniru Suara itu.
“Kau harus membantuku membunuh si keparat ini. Kita sesama rekan, Eng-seng-thiong, jangan biarkan nama Pengawal Bayangan hancur. Ia sombong, dan terus terang kepandaiannya amat tinggi. Aku tak berani mengeluarkan semua kepandaianku di waktu berhadapan dengan Hui-ongya itu. Nah, bantu aku dan kita bunuh dia, ajak keluar kota raja!”
“Hm, nanti dulu, aku sudah mendengar kekalahanmu itu. Siapa dia sebenarnya, Mi-to. Bagaimana sekarang berada di tempat Hui-ongya dan bahkan menjadi saudara angkat. Apakah tidak berbahaya menghadapi orang ini, terutama bila ditanya pangeran itu.”
"Kita boleh sungkan terhadap Hui-ongya, tapi bukan kepada keparat sombong itu. Ia melakukan sesuatu yang tidak wajar pada ongya, Seng-thiong, masa begitu kenal sudah diangkat saudara! Aku melihat sesuatu yang tidak beres pada pemuda ini, banci yang menyebalkan itu!”
“Hm-hm, baiklah, aku juga tertarik. Tapi katakan bahwa semuanya tanggung jawabmu. Aku tak mau mendapat marah Hui-ongya.”
“Beres! Aku memikul semua tanggung jawab ini. Kau bawa dia keluar kota raja dan di sana kita bunuh!”
Begitulah, malam itu Jing-ji-mi-to sudah mengambil ancang-ancang. Dia menunggu saat yang baik dan ketika semuanya siap Eng-seng-thiong pun disuruhnya bergerak lebih dulu. Kutu Peniru Suara itu sudah diberi tahu kamar tempat si banci ini, yakni di belakang kamar Hui-ongya tak begitu jauh dari ruang dalam. Eng-seng-thiong geleng-geleng kepala melihat nasib bagus si banci ini, diam-diam juga iri. Namun karena ia tak pernah disakiti dan tak ada dendam atau sakit hati seperti Jing-ji-mi-to maka ia tak begitu buru-buru atau setegang kawannya.
Ia sendiri belum merasakan kelihaian si banci itu namun diam-diam juga penasaran. Kalau temannya kalah maka dapat dibayangkan kepandaian si banci itu, padahal ia dan Mi-to setingkat. Dan ketika malam itu ia berkelebat dan langsung mengintai dari luar jendela, kentongan sudah dipukul satu kali maka berserilah kakek ini melihat betapa lawan yang diintai meringkuk di atas pembaringan. Eng-seng-thiong menggantolkan sepasang kakinya seperti kelelawar.
“Heh-heh, tampaknya seperti pemuda pemalas. Hm, kau agaknya berlebihan memuji anak ini, Mi-to. Lihat ia memeluk guling seperti anak kecil menyusu ibunya. Heh-heh, kutotok ia dari sini dan lihat apa reaksinya!”
Eng-seng-thiong tertawa dalam hati dan secepat itu menimpukkan sebutir batu hitam. Dari lubang jendela ia dapat melakukan itu dengan mudah. Dan ketika pemuda itu mengeluh dan tersentak seperti orang kaget, menggeliat dan telungkup maka ditendanglah jendela dan kakek itu meluncur masuk.
“Mi-to, kau tampaknya ketakutan sangat. Lihatlah, ia begitu mudah kurobohkan, heh-heh!”
Kakek ini gembira dan sudah menginjakkan kakinya di lantai kamar. Ia berseri dan tertawa dan melihat betapa mudahnya merobohkan pemuda ini tentu saja ia terkekeh-kekeh. Rekannya itu dianggapnya penakut, berlebihan. Maka ketika ia menyambar dan menarik lawannya itu, baru kali ini berhadapan dengan si banci maka Eng-seng-thiong memuji kagum karena pemuda itu memiliki ketampanan sekaligus kecantikan yang aneh. Sepasang anting-anting di kedua telinga itu gemerlap ditimpa cahaya lampu. Wajah itu halus dan kewanita-wanitaan dengan yanci (pemerah pipi) sebagaimana layaknya para pesolek.
“Heh-heh, anak seperti ini membuat Jing-ji-mi-to terbirit-birit. Wah, kau membuat aku hampir tak percaya, Mi-to. Kalau aku mau sekarang juga ia dapat kubunuh. Tapi, hm kita sudah berjanji. Baiklah ia kubawa keluar dan di sana kuserahkan!” Eng-seng-thiong tak banyak cakap dan memondong si banci ini. Ia telah cukup memandangi wajah itu dan yakin lawan tak bergerak lagi. Totokannya mengenai dengan jitu. Maka ketika ia berkelebat keluar dan Jing-ji-mi-to tertegun di pagar tembok, hwesio itu menunggu di sana maka kakek ini terkekeh dan langsung keluar kota raja.
“Mi-to, kau kodok gemuk yang penakut sekali. Lihat ia kubawa dan kurobohkan dengan mudah. Heh-heh, mari keluar sana dan aku tertarik pada perhiasan yang dipakai di kaki dan tangannya ini!”
Hwesio itu berkelebat dan mengejar temannya. Di tubuh si banci ini ternyata bertambah perhiasan lain, gelang-gelang emas yang tentu didapat dari Hui-ongya. Maka berseri dan girang bahwa lawan begitu mudah dirobohkan, hwesio ini melesat ke depan maka Jing-ji-mi-to berseru agar tak usah keluar pintu gerbang saja.
“Ia sudah roboh, bagus. Bawa saja ke kuil di sebelah barat itu dan biar aku membunuhnya!”
“Heh-heh, tak jadi keluar pintu gerbang?”
“Tak usah. Ia sudah di tangan kita, Seng-thiong. Kalau ia belum roboh tentu saja perlu dipancing keluar kota. Tapi kau telah melumpuhkannya, berhenti di kuil tua itu dan kita habisi di situ saja!”
Eng-seng-thiong tertawa dan berkelebat memasuki kelenteng tua yang dimaksud temannya ini. Jing-ji-mi-to menyambar dan hwesio itu berada di sebelahnya. Lalu ketika dua orang ini berhenti dan tertawa-tawa, tawanan tampak tetap pingsan maka hwesio itu bertanya bagaimana si Kutu ini begini mudah merobohkan lawan.
“Ia tidur, kutimpuk batu hitam. Ha-ha kau terlampau penakut, Mi-to. Anak seperti ini tak pantas menjadi orang lihai. Ia lebih tepat seperti anak pemalas putera hartawan!”
“Hm, berikan padaku. Aku ingin cepat-cepat membunuhnya!”
“Nanti dulu, kulepas dulu gelang-gelang perhiasannya ini. Wah, semua barang bagus, kwalitas utama. Ha-ha, kau tak boleh mengambilnya, Mi-to, ini upahku!”
“Baiklah, baik. Ambil semua itu dan biarkan aku menikmati pembalasanku!” si hwesio tak sabar dan melihat temannya melolosi semua barang-barang itu. Hanya sepasang anting-anting di telinga itu agak sukar, Eng-seng-thiong akhirnya melepaskannya. Lalu ketika kakek. ini melompat mundur terkekeh menikmati barang-barang rampasannya, mata terbelalak kagum maka Jing-ji-mi-to ganti menyambar tawanannya itu melotot geram. Si banci masih pingsan.
“Heh, kau!” serunya penuh gemas. “Malam ini kau mampus, bencong sombong. Tapi aku akan menyiksamu perlahan-lahan dan lihat betapa sakit hatiku terbalas sempurna!” Jing-ji-mi-to menotok dan mengguratkan kukunya yang panjang ke leher lawan. Ia mengerahkan sinkang dan kuku jarinya menjadi hitam, itulah pengerahan racun yang akan membuat lawan terbakar tubuhnya. Panas dan gatal akan menggigit. Tapi ketika kuku jarinya tak mempan menggores kulit, leher itu tiba-tiba mengeras seperti baja maka kakek ini terkejut dan tiba-tiba sebelah dari mata pemuda itu terbuka, mengedip. Bibir itu mengejek namun mata itu segera menutup lagi.
“Eh!” si hwesio tersentak dan bergerak mundur. Jing-ji-mi-to terkejut dan membelalakkan mata, apakah penglihatannya tadi benar atau tidak. Namun ketika tawanan benar-benar pingsan dan ia hilang kagetnya maka hwesio ini maju lagi dan menganggap bahwa penglihatannya tadi kacau, terkekeh.
“Ha, kau membuat aku kaget, sialan. Kalau kau berani membuka matamu lagi maka kucoblos biar buta. Hm, mana mungkin orang pingsan membuka sebelah matanya!” Hwesio ini geli dan menggerakkan tangannya menggurat lagi. Ia penasaran kukunya tak mampu menggores, jangan-jangan kurang tenaga. Maka ketika ia mengerahkan sinkangnya hingga kuku itu menjadi hitam pekat, sejenis racun ular welang siap melukai kulit lawan maka ia tertegun dan heran serta tercengang bahwa lagi-lagi ia gagal. Leher itu liat dan atos seperti lempengan baja!
“Eng-seng-thiong!” serunya gemas memanggil temannya itu. “Apa yang kau lakukan pada jahanam ini hingga kukuku tak mampu menggurat!”
“Heh-heh, kenapa berteriak-teriak?” si Kutu menoleh. “Aku tak melakukan apa-apa kecuali menotoknya pingsan, Mi-to. Jangan-jangan kau kehabisan tenaga setelah semalam bersenang-senang dengan kekasihmu.”
“Keparat, atau mungkin kekuatan jariku lembek. Biar kucoba!” Jing-ji-mi-to heran dan mengepretkan jarinya ke dinding tembok, terdengar suara mendesis dan ternyata tembok itu retak, hangus dan hitam. Lalu ketika dia terbelalak dan berseru penasaran maka iapun menghunjamkan kelima jarinya ke leher si banci itu.
“Plak!”
Si hwesio berteriak. Kali ini ada tenaga tolak besar yang membuat kelima kukunya mental. Tenaga tolak itu mengingatkannya pada peristiwa ketika ia ditangkis si banci ini, empat hari lalu. Dan ketika Eng-seng-thiong juga terkejut dan menyimpan gelang rampasannya, terbelalak melihat hwesio itu terhuyung maka wut... pemuda itu bangkit duduk dan terkekeh, merdu dan nyaring. Persis wanita!
“Hi-hik, keledai gundul tak tahu diri. Hm, aku tak mau mengampunimu lagi, Jing-ji-mi-to, berani benar kau hendak membunuhku. Majulah, tiga jurus kau roboh!”
Jing-ji-mi-to kaget bukan main. Sadarlah ia sekarang bahwa kejadian tadi bukanlah mimpi, yakni ketika ia, melihat sebelah mata pemuda ini bergerak. Ia benar-benar melihat mata pemuda itu dibuka namun ditutup lagi. Sesungguhnya ia dipermainkan! Dan kaget serta gentar juga ngeri, hwesio ini mundur dengan muka pucat adalah Eng-seng-thiong justeru bergerak ke depan maju terkekeh, melihat rekannya itu demikian ketakutan.
“Heh-heh, ada aku di sini, tak perlu takut. Eh, kita berdua telah berjanji untuk memberesi lawanmu ini, Mi-to, jangan mundur. Ayo maju atau aku yang menangkapnya lagi. Kenapa ia lepas!” kakek itu menjulurkan lengan dan tahu-tahu kelima jarinya mencengkeram pundak si banci ini. Eng-seng-thiong tak tahu kelihaian lawan dan karena itu memandang rendah. Ia masih tak percaya omongan Mi-to.
Maka ketika ia terkejut tapi segera hilang kagetnya, bergerak dan menyambar pemuda itu kakek ini siap terkekeh mentertawakan rekannya yang dianggapnya begitu penakut. Namun kejadian mengejutkan membuat Kutu Peniru Suara ini terpekik, yakni ketika kelima jarinya sudah mengenai pundak lawan. Tepat sekali bahu atau pundak itu dicengkeram tapi ketika pundak itu seakan bara api, ia tersentak dan melepaskan jarinya maka kakek itu terhuyung dan membelalakkan mata.
“Aiihhhh!” Jing-ji-mi-to mengerti. Ia melihat telapak yang mengepulkan asap dan wajah kaget si Kutu Peniru Suara itu. Ia tahu apa yang terjadi. Tapi ketika Eng-seng-thiong membentak dan maju menyerang lagi, kali ini menusuk wajah lawan maka si banci mengelak dan tartawa dingin.
“Eng-seng-thiong, jangan ikut campur urusan ini. Biarkan babi gemuk itu maju.”
Kakek tinggi kurus ini panasaran. Serangannya luput dan lawan mengejek dengan kata-kata dingin, ia marah dan maju lagi. Dan ketika kakinya bergerak cepat dan ia bertubi-tubi menusuk dan mencengkeram, bahkan kakinya melakukan tendangan mencuat dari bawah ke atas maka Kutu Peniru Suara ini terkejut ketika lawan tiba-tiba berkelebat lenyap.
“Eng-seng-thiong, sekali lagi mundurlah. Atau aku melemparmu keluar!”
Kakek ini memekik. Ia kehilangan lawan namun segera melihat bayangan biru di atas. Ternyata lawannya itu meloncat dan hinggap di belandar kayu, tinggi dari tempat itu. Namun karena ia bukan orang sembarangan dan ilmu meringankan tubuhnya juga hebat maka Kutu ini menjejakkan kakinya dan mengembangkan kedua tangan bagai burung menyambar, menghantam dari bawah.
“Turunlah, atau kau mampus!”
Lawan tertawa dingin. Si banci tak mengelak namun kali ini ujung kakinya menyambut, pukulan atau hantaman Eng-seng-thiong dipapaknya dengan ujung kaki itu. Dan ketika Kutu Peniru Suara itu terbanting dan mencelat ke bawah, bergulingan maka kakek itu pucat berteriak keras. Pukulannya membalik dan dari ujung kaki itu meluncur dua paku hitam yang ditangkisnya buru-buru, gugup.
“Brett!” Ujung baju kakek ini sobek. Kutu Peniru Suara mengeluarkan keringat dingin dan lawan melayang ke bawah. Sekali lagi ia berseru agar kakek itu mundur. Tapi ketika kakek ini meloncat bangun dan mencabut senjatanya, ruyung berlekuk delapan maka senjata itu menderu menyambar si banci lagi. Jing-ji-mi-to masih terbelalak memandang rekannya.
“Mampuslah, atau aku merasakan kelihaianmu!”
“Hm!” si banci mengelak dan bergerak sana-sini, langkahnya ringan. “Sekali lagi mundur dan jangan ikut campur, Eng-seng-thiong. Atau aku menghajarmu.”
“Hajarlah, siapa takut. Kau banci busuk yang merendahkan Pengawal Bayangan, bocah setan. Kalau aku tak membunuhmu tentu kesombonganmu semakin besar...... wut-blarr!” ruyung menghantam lantai sampai berlubang, luput dan menyambar lagi dan si banci tiba-tiba berubah dingin.
Telah tiga kali ia memperingatkan kakek ini. Maka ketika ruyung menyambar dahsyat dan kali ini menghantam kepalanya, masih disusul oleh tangan kiri kakek itu yang bergerak ke bawah maka si banci mendengus dan tiba-tiba tangannya menangkap sementara lutut kiri diangkat menerima cengkeraman kakek itu. Eng-seng-thiong mencengkeram bawah pusarnya.
“Plak-dukk!”
Eng-seng-tniong berteriak. Ruyung tertangkap dan secepat itu pula ditarik dan dibetot, tenaga raksasa membuat kakek ini terbawa ke depan, Eng-seng-thiong kaget sekali. Dan ketika ia tak mampu menahan diri sementara cengkeramannya ditangkis lutut, telapaknya seakan pecah bertemu bagian itu maka kakek ini menjerit dan ruyungnya terampas!
“Aughh!” Eng-seng-thiong bergulingan dan meringis kesakitan. Ia memegangi telapaknya yang seakan pecah- pecah itu, kiut-miut dan meloncat bangun sampai jatuh lagi. Namun ketika ia berdiri lagi dan pucat memandang lawan. ruyung itu ditekuk dan patah-patah maka teringatlah kakek akan temannya yang sama sekali belum bergerak, menoleh dan mendesis. “Mi-to, kau jahanam keparat. Masa menonton saja dan berdiri di situ. Ayo. hadapi banci ini dan kita keroyok dia, atau aku meninggalkanmu!”
Hwesio gemuk itu berubah. Sesungguhnya ia ingin tahu berapa lama rekannya ini mampu bertahan. Ia melihat gerakan cepat si banci itu, juga sinkangnya yang kuat yang membuat rekannya berkali-kali menjerit. Tapi mendengar bentakan itu dan Eng-seng-thiong akan meninggalkannya kalau tak mau maju, ia berkelebat dan mengibaskan ujung lengan baju maka hwesio ini berseru menerjang lawan, mencoba membesarkan hati sendiri karena toh tak sendirian di situ.
“Baik, maju dan keroyok si sombong Seng-thiong. Aku menonton karena mencoba mencari kelemahannya. Ayo, sekarang kita berdua!”
Kutu Peniru Suara itu mendengus. Ia sudah kehilangan senjatanya namun bukan berarti kehilangan keberanian. Mereka masih berdua di situ. Maka ketika rekannya bergerak dan ia masih penasaran dan marah oleh kekalahannya tadi tiba-tiba kakek ini meloncat lagi dan gerak kakinya yang gesit maju mundur sudah diiringi kedua lengannya yang menyambar-nyambar. Pukulan-pukulan sinkang meluncur dari tangannya.
“Bagus, kau hampir membuat aku marah, Mi-to, tapi sekarang sikapmu benar. Robohkan banci ini dan jangan biarkan ia menghina kita!”
Dua orang itu berkelebatan dan pukulan serta tamparan silih berganti. Jing-ji-mi-to telah mengeluarkan ilmunya Seribu Tangan itu dan hwesio ini masih menambahi dengan kedua lengan bajunya yang lebar gerombyongan. Ujung lengan baju itu juga meledak-ledak dan kepala seekor kerbau pun bakal hancur. Tapi ketika lawan mengelak sana-sini dan masih tertawa dingin, seakan serangan-serangan dua orang itu tak ada artinya maka pemuda baju biru ini berseru, mencabut kipasnya.
“Mi-to, kau babi gemuk yang tak tahu diri. Kalau sekarang aku tak membuatmu cedera kau selamanya bakal mengganggu aku. Nah, terimalah ini dan lihat Tangan Seribu mu kuhancurkan... plak-plak!” kipas bergerak dan tahu-tahu menyambut Seribu Tangan si hwesio gemuk, meledak dan mengeluarkan suara keras dan Jing-ji-mi-to terlambat menarik mundur.
Ia sudah berkali-kali merasakan tenaga yang hebat dan kali itupun tak mau beradu keras, hendak menarik namun kipas mengurung jalan keluarnya. Maka ketika lengannya beradu jari-jari kipas dan dari situ meluncur tenaga panas yang membuat lengannya seakan terbakar, kipas membeset dan menetak kuat tahu-tahu sepasang lengan hwesio ini putus sebatas siku, bagai dibabat pedang.
“Aduh!”
Teriakan itu membuat temannya terkejut. Eng-seng-thiong juga sedang melakukan serangan dengan pukulan bertubi-tubi, kebetulan dari belakang hingga mampu membokong. Tapi ketika punggung lawan dihantam dan ia terpekik, tangannya tak dapat ditarik maka lengketlah sepasang tangan kakek itu bagai kena getah.
“Heiii..!”
Namun secepat itu si banci membalik. Ia telah merobohkan Jing-ji-mi-to dan kini tinggal Eng-seng-thiong seorang. Kakek tinggi kurus itu sedang terkejut. Maka ketika ia membalik dan ujung kakinya menyambar bawah pusar, kedua lengan bergerak untuk menangkap dan melempar kakek itu tak ayal lagi Kutu Peniru Suara ini terbanting dan menjerit pucat.
“Bluk!”
Eng-seng-thiong terguling-guling dan sejenak tak mampu bangkit berdiri. Jangankan berdiri, duduk saja tak mampu. Tapi ketika kakek itu berhenti menabrak dinding dan mengeluh dengan kepala berputar, jerih dan ngeri maka di sana roboh dan pingsan. Dua sikunya berubah kehitaman dengan darah kental kehitaman pula. Si banci tertawa dan mengejek di depan Kutu Peniru Suara ini.
“Nah,” katanya, “berani kau maju lagi, Eng-seng-thiong. Atau kuampuni dan pergi serta bawa keledai gundul ini!”
Kakek itu tentu saja mengangguk. Setelah ia dikalahkan begitu pasti dan lawan tak melukainya seperti rekannya kontan si Kutu Peniru Suara ini girang. Tadinya ia sudah gentar menghadapi lawan, takut pembalasan atau hukuman yang tentu mengerikan. Tapi dibebaskan dan disuruh pergi membuat ia akhirnya melompat bangun, girang.
“Terima kasih,” serunya. “Kau baik, anak muda. Dan maafkan aku yang hanya ikut-ikutan saja!”
“Hm, aku tahu. Kalau tidak tak mungkin kau selamat, Eng-seng-thiong. Pergilah dan bawa keledai gundul itu!”
Eng-seng-thiong tak menunggu kedua kalinya lagi. Ia menyambar dan berkelebat pergi membawa rekannya itu, Jing-ji-mi-to luka parah. Dan ketika si banci itu tertawa dan mengeluarkan suaranya dari hidung maka ia pun lenyap melalui pintu lain.
Habiskah persoalan ini di situ saja? Kalau tak ada tiga orang lain dari lima Pengawal Bayangan mungkin persoalan itu memang habis. Akan tetapi lukanya hwesio ini diketahui Siang-buang Thai-swe (Sepasang Datuk Kembar) dan Siau-hun Mo-li (Iblis Betina Pembetot Sukma), tiga rekan hwesio itu yang tentu saja tak tinggal diam. Jing-ji-mi-to akhirnya susah payah ditolong mereka dan tiga orang ini kaget melihat racun di siku yang buntung itu, racun amat ganas dari sejenis ular welang.
Maka ketika mereka menolong hwesio itu dan tiga orang menggabungkan sinkang untuk mengusir sisa racun maka Jing-ji-mi-to menangis membuka mata. Sepasang sikunya dibalut dan hwesio ini mengeluh tak mempunyai tangan lagi, tersedu-sedu.
“Keparat, aduh..... jahanam keparat. Ooh, kenapa kau tak membiarkan aku mati, Eng-seng-thiong. Kenapa kau membiarkan aku hidup. Kau sahabat tak kenal belas kasihan yang senang melihat aku hidup menderita!”
“Hm, tenanglah, jangan memaki-maki teman sendiri,” Siau-hun Mo-li berkata dan melepaskan tangannya dari pundak hwesio itu.
Jing-ji-mi-to telah sadar dan mereka bertiga mandi keringat. Bukan luka di siku itu yang berat diatasi melainkan darah hitam kental yang terkena racun itu. Mereka bertanya apa yang membacok lengan hwesio itu dan dijawab bahwa Jing-ji-mi-to dikepras sebatang kipas. Eng-seng-thiong melihat itu dan menceritakan penyebabnya. Dan ketika mereka tertegun hanya dengan sebatang kipas rekan mereka dikutungi, dan kipas itu mengandung racun maka diam-diam mereka kaget dan ingin tahu siapakah si banci yang lihai namun kejam itu.
“Kami mendengar tentang dirinya, namun kami acuh. Tak kami sangka kalau Jing-ji-mi-to mencari perkara, Eng-seng-thiong. Dan meskipun ini urusan pribadi namun kalau dia menyinggung-nyinggung lima Pengawal Bayangan maka sama saja dengan menantang kita. Ini tak boleh dibiarkan. Meskipun ia diangkat saudara oleh Hui-ongya namun kami tak perlu takut. Jing-ji-mi-to telah menjadi bagian dari kita!”
“Benar, dan sombong sekali anak itu. Hm. apa katanya Eng-seng-thiong. Sampai sejauh mana ia menghina kita!”
Satu di antara Datuk Kembar bertanya. Ia adalah kakek hitam bermata bulat, hidungnya besar dan ada tahi lalat di situ. Inilah orang kedua dari Siang-buang Thai-swe itu, ahli lweekeh dan kedua kakinya yang pendek buntek mahir mainkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati). Sekali ia menancapkan kaki, gajahpun tak mampu mendorong, apalagi manusia. Dan karena ia tak sesabar kakaknya yang suka mengangguk-angguk. Siang-buang Thai-swe yang satu ini memang agak berangasan maka cerita si Kutu Peniru Suara itu membangkitkan rasa marahnya. Eng-seng-thiong membumbui cerita agar tak disangka kelewat takut.
“Hm, ia lebih banyak mengejek Jing-ji-mi-to ini, bukan kita berempat. Tapi ketika ia merobohkan Jing-ji-mi-to dan aku terpaksa berhenti menolong rekan maka kudengar ia mengejek kita sebagai Pengawal Bayangan yang kepandaiannya tak seberapa. Dan kabarnya ia menghina kita di depan Hui-ongya bahwa kita orang-orang tak berguna yang bisanya meminta upah melulu. Kepandaiannya memang hebat tapi kalau Mi-to ini tak luka parah tentu aku akan mencobanya habis-habisan dan kujajal sampai di mana kelihaiannya itu!”
“Bagaimana sampai terluka, bukankah kau mengeroyoknya!”
“Nanti dulu. Jing-ji-mi-to ini melabrak tanpa perhitungan, Siau-hun Mo-li. Ia langsung terjang begitu saja tanpa mau menunggu aku. Aku menyambar tapi terlambat, kipas itu menangkis dan kudengar jeritan rekan kita ini. Ia roboh dan segera kuhentikan serangan, monolong dia dulu!”
Siau-hun Mo-li mengangguk-angguk. Nenek berwajah dingin ini bersinar-sinar dengan mata marah. Ia tak tahu bahwa Eng-seng-thiong telah membual, yakni tak menceritakan kekalahan sendiri dan menceritakan seolah ia meninggalkan pertempuran untuk monolong temannya itu. Dan ketika Siang-buang Thai-swe juga mengangguk-angguk dan merasa marah, nama mereka bisa direndahkan kalau tidak berbuat sesuatu maka hwesio itu sadar dan menangis menahan sakit serta dendam tak terbalaskan, tentu saja tak mendengar kata-kata rekannya tadi, yang menyalahkan dirinya.
“Hm, kau gegabah menjalankan itu tanpa kami, Jing-ji-mi-to, tapi kau selamat telah kami buang racunnya. Tenanglah, kami di sini membalaskan sakit hatimu!”
“Dia, uhh.... keparat jahanam itu, uhh aku tak dapat menandinginya, Mo-li. Tapi kalau Eng-seng-thiong ini mau membantuku sungguh-sungguh mungkin aku tak perlu kehilangan tanganku. Sekarang aku cacat, Kutu Busuk ini tak bisa diharapkan!”
“Hm, aku menolongmu sampai sini. Kalau tak ada aku apakah dirimu masih hidup, Jing-ji-mi-to. Susah payah kubawa kau lari tapi sekarang enak saja kau memaki-maki aku. Apa artinya ini!”
“Sudahlah,” Siang-buong Thai-swe melerai, bangkit berdiri. “Kami telah mengerahkan sinkang untuk mengeluarkan racun dari tubuhmu, Mi-to. Kalau Song-thiong tak membawamu ke sini mungkin kau mati. Tak perlu bertengkar sesama teman karena Seng-thiong sudah menolongmu!”
“Tapi aku cacat, jahanam itu membuntungiku!”
“Masih untung, kau tetap hidup. Hm, tak perlu mencari-cari kesalahan orang lain, Mi-to. Kaupun salah karena gegabah tak membawa serta kami. Kalau kami berempat tentu lain, tapi kau sendiri, hanya ditemani Eng-seng-thiong ini!”
Hwesio itu tersedu-sedu. Ia bangun duduk namun berteriak, nyeri di siku menggigit. Dan ketika Siau-hun mendudukkannya dan menyuruhnya tenang maka nenek itu berkata bahwa mereka akan membuat perhitungan.
“Ia telah menyinggung-nyinggung Pengawal Bayangan, berarti menantang kami pula. Tenanglah di sini dan biar kami balas!”
Hwesio itu menghentikan tangis. Ia membelalakkan mata namun pandangannya berseri, ternyata Siau-hun Mo-li dan rekan-rekannya ini tak tinggal diam. Maka ketika ia menjadi girang namun merintih kesakitan, luka itu lagi-lagi mengganggu maka yang dapat dilakukan hanya mengangguk dan mendesis. “Terima kasih, kalian sahabat yang tahu kesusahan orang, Mo-li. Tapi hati-hatilah karena ia benar-benar lihai!”
“Kami bukan anak kecil,” nenek itu mendengus. “Kami membelamu semata menyelamatkan diri kami juga, Mi-to. Kalau bocah itu merajalela di sini kedudukan kami tentu terancam. Kau tak perlu berterima kasih karena ini menyangkut kepentingan kami juga!”
Eng-seng-thiong menyeringai. Sebagai tokoh-tokoh yang dipuja dan diandalkan istana tentu saja kedudukan mereka bisa goyah kalau si banci itu didiamkan. Sepak terjangnya bisa membahayakan mereka paling tidak membuat goyah. Mereka yang sudah terbiasa hidup tenang bisa terancam. Maka ketika Siau-hun Mo-li berkata seperti itu sementara temannya tertegun, kaget dan kecewa maka kakek tinggi kurus ini terkekeh.
“Mi-to, kau dan kita di sini bukanlah orang-orang yang dianggap bersih oleh beberapa kalangan. Lihat sepak terjangmu sendiri, juga kebiasaan jelek kita di luar. Adakah terima kasih dan rasa sesal? Ha-ha, tak ada, sobat. Sudahlah tak perlu kecewa kata-kata Siau-hun karena kita sesungguhnya membela kepentingan kita sendiri!”
Hwesio itu menarik napas dalam. Mukanya masih kecewa namun ia mengangguk-angguk, begitulah sesungguhnya mereka. Maka ketika malam itu Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe hendak membuat perhitungan, terutama untuk mempertahankan kedudukan yang sudah mapan mendadak keesokannya mereka semua mendapat undangan dari si banci itu, lewat kurir Hui-ongya!
“Tak usah mencari aku secara sembunyi-sembunyi, datang dan temui aku di taman Hui-ongya. Kalian berempat boleh mengeroyokku semua, Siau-hun Mo-li. Kalau aku roboh itu keberuntungan kalian, Hui-ongya tak ada sangkut-pautnya. Tapi kalau kalian kalah harap tak mencari persoalan, cukup di sini saja. Silakan datang nanti malam dan aku orang she Mo tak akan lari!”
Wajah nenek ini merah padam. Surat undangan hampir dirobek akan tetapi orang kedua dari Siang- buang Thai-swe merampasnya. Datuk muka hitam ini membaca dan semakin gelap saja, matanya melotot. Tapi ketika kakaknya meminta dan mengangguk-angguk, kakek ini ternyata lebih tenang maka dia berkata,
“Orang ini benar-benar berani, berarti kepandaiannya tentu hebat. Hm, justeru kita harus waspada akan tantangannya ini, sute. Tak sembarang orang berani menantang kita kalau tidak benar-benar merasa yakin. Sudahlah nanti malam kita datang dan langsung menuju taman. Persiapkan tenaga kita.”
Eng-seng-thiong mengangguk-angguk. Hanya dialah yang tahu benar kelihaian si banci itu, juga Mi-to. Tapi karena hwesio itu terluka dan tentu tak dapat datang, ia heran bagaimana si banci itu tahu maksud mereka maka kakek tinggi kurus ini mengangguk-angguk namun diam-diam hatinya berdebar.
“Hm, sombong bukan main, tapi betul-betul berani, Kau mungkin dapat mengalahkan aku dan Mi-to, anak muda. Tapi menghadapi empat orang sekaligus agaknya terlalu sombong, nekat. Lihat saja malam nanti mampukah kau menyelamatkan diri!”
Ternyata Kutu Peniru Suara ini masih ragu. Ia memang telah membuktikan bahwa dikeroyok dua lawannya itu masih menang. Tapi menghadapi Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li? Ah, rasanya terlalu congkak! Maka ketika ia menggumam sendirian namun malam itu dilewatkannya dengan penuh tegang akhirnya masing-masing berkelebat sendiri meninggalkan pertemuan. Eng-seng-thiong mencari akal bagaimana nanti, siapa yang akan diikuti nenek itu ataukah Siang-buang Thai-swe. Dan ketika ia tentu saja mendekati dua kakek kembar ini, bukan Siau-hun Mo-li yang hanya sendiri maka malam itu ia bergerak di belakang kakak beradik ini, begitu melihat mereka berkelebat keluar kamar.
“Heh-heh, sudah kutunggu. Mari bersama, Siang-buang Thai-swe, mana Siau-hun Mo-li nenek berangasan itu!”
Dua kakek kembar ini tertawa. Mereka tak menyangka diintai Kutu Peniru Suara ini yang tahu-tahu menyusul ketika mereka berkelebat, agaknya memang sudah ditunggu. Tapi kakek pertama yang berpembawaan tenang diam saja, tidak seperti adiknya yang langsung menegur.
“Heh, ada apa menunggu kami. Takutkah kau sendirian, Eng-seng-thiong. Masa seperti anak kecil yang menunggu ibunya!”
“Heh-heh, bukan begitu. Aku merasa lebih tenang kalau bersama kalian di sini, mencari nenek itu tapi tak ketemu. Bukankah lebih baik berhati-hati daripada gegabah dan main serobot dulu.“
“Hm, mari, dan mungkin Siau-hun Mo-li sudah ada di sana!”
Kakek itu terkekeh. Tentu saja dua temannya tak tahu bahwa sesungguhnya ia gentar menghadapi si banci itu. Setelah Jing-ji-mi-to maka dialah satu-satunya yang sudah merasakan. Kutu Peniru Suara ini tak berani main cepat agar tak celaka diri sendiri. Maka ketika ia berkelebat dan mengikuti dua temannya ini, sengaja di belakang untuk berlindung maka benar saja Siau-hun Mo-li ada di sana, duduk dan berkutat dengan si banci yang minum arak membelakanginya!
“Haiitttt....!” nenek itu berseru keras mencabut dua telunjuknya, tegang, dijepit sepasang cawan di tangan si banci yang memberikan punggung, tertawa dan rupanya diserang secara gelap tapi cepat menangkis.
Siang-buang Thai-swe terkejut dan membelalakkan mata melihat ini dan tentu saja berhenti. Mereka telah melompati tembok pagar dan kini berada di taman itu, melihat sebuah meja bundar dipersiapkan dan beberapa botol arak. Agaknya si banci sedang minum arak ketika tahu-tahu diserang nenek itu, menangkis dan membuat Siau-hun Mo-li terkejut karena tak mampu menarik dua telunjuknya lagi. Cawan itu demikian kuat mencengkeram. Tapi ketika nenek itu membentak dan mengibaskan rambutnya yang panjang, si banci tertawa dan memutar tubuh tahu-tahu jepitan dilepas dan Siau-hun Mo-li yang membetot jarinya terjengkang kebelakang.
“Ha-ha, kebiasann buruk dari orang-orang yang suka berbuat kecurangan. Eh, kau kuundang baik-baik ke sini untuk bertanding secara ksatria, Siau-hun bukan segala macam kecurangan yang tak patut kau lakukan. Temanmu yang lain sudah datang, pergi dan duduklah baik-baik dan cari kursimu yang enak!”
Nenek itu bergulingan meloncat bangun. Ia melengking dan merah padam dan malu sekali akan kekalahannya itu. Ia memang datang lebih dulu dan menyerang secara gelap, menusuk tengkuk lawan yang duduk menikmati arak. Tapi ketika dua jarinya tahu-tahu ditangkis dan “ditangkap” sepasang cawan, terjepit dan tak mampu dilepaskan maka nenek ini kaget sekali dan kesudahannya ia terjengkang bergulingan ketika lawannya itu melepaskan cawannya tepat di saat teman-temannya datang.
“Ha-ha, duduklah, selamat malam. Aku kesunyian dan sengaja mengundang kalian. Hm, duduk dan pilih kursi kalian masing-masing, Siang-buang Thai-swe. Selamat datang dan kita hangati tubuh dengan arak!”
Dua kakek kembar terbelalak. Sekarang mereka berhadapan dengan pemuda yang diceritakan Eng-seng-thiong ini, pemuda aneh yang lebih tepat disebut banci daripada wanita atau pria. Anting-anting di sepasang telinga itu bergoyang dan kalau saja dadanya membusung tentu orang akan menyangka wanita daripada pria. Pemuda kewanita-wanitaan ini aneh sekali, suaranya merdu namun sesekali serak basah, mirip pria yang pita suaranya rusak.
Tapi melihat betapa rekan mereka terjengkang bergulingan, cepat dan cerdik sekali pemuda itu menghindari sambaran cambuk Siau-hun Mo-li maka Datuk Pertama, yang lebih tenang dan penyabar itu kagum dan memuji, tidak seperti adiknya yang tiba-tiba bergerak ke depan dan langsung membungkukkan tubuhnya seperti seekor banteng siap menanduk.
“Heh, kau kiranya anak muda yang sombong dan telah melukai Jing-ji-mi-to itu. Bagus, undanganmu jantan dan ksatria, anak muda. Tapi kami lima Pengawal Bayangan tak dapat menerima perbuatanmu ini. Terimalah pukulanku dan coba kulihat tenagamu!”
Kakek itu sudah bergerak dan mendorongkan kedua tangannya. Dari kedua tangannya itu bersiut angin dingin dan kaki yang menancap kokoh terisi penuh tenaga Ban-kin-kang. Kalau kakek ini sudah bergerak seperti ini biasanya seekor gajahpun bakal terjengkang, paling tidak terdorong dan terhuyung-huyung. Tapi ketika si banci itu tertawa aneh dan mengebutkan lengan bajunya maka kakek itu yang terdorong dan terhuyung-huyung.
“Plakk!”
Kakek ini terkejut dan kaget sekali. Dorongan kedua tangannya bertemu tenaga yang amat dahsyat dari kebutan lengan baju, begitu dahsyat hingga ia tak mampu bertahan. Kaki yang penuh terisi Ban-kin- kang terseret, tanah di tempat itu tergores semeter lebih! Dan ketika ia pucat membelalakkan mata, hampir tak percaya maka lawannya itu bangkit melambaikan tangan sambil tertawa.
“Duduklah, silakan semua duduk. Kita dapat bercakap-cakap sambil duduk!”
Bukan hanya Siang-buang Thai-swe yang kaget. Siau-hun Mo-li, dan juga Eng-seng-thiong berteriak tertahan ketika tubuh mereka tiba-tiba tertarik ke depan oleh lambaian tangan itu. Tenaga sedot luar biasa menyambar mereka, mendorong dan tanpa ampun lagi keempatnya tiba-tiba roboh di kursi. Dan ketika semua tersentak namun si banci itu terkekeh, duduk dan menghadapi mereka semua maka ia mengangkat satu di antara botol arak berseru nyaring.
“Kalian berempat telah datang ke sini, bagus. Sebelum menginjak acara puncak mari menghangatkan tubuh dulu dengan secawan arak. Terimalah!”
Empat cawan tiba-tiba beterbangan. Cepat dan luar biasa si banci ini telah menjentikkan kukunya ke arah cawan-cawan di atas meja, memberikannya kepada tamu-tamunya dan Eng-seng-thiong serta yang lain-lain tentu saja kaget sekali. Kalau mereka tidak menangkap tentu cawan akan menghantam hidung, begitu cepat benda itu menyambar. Dan ketika mereka bergerak dan masing-masing menangkap cepat, terdorong dan kursi berderit ke belakang maka sadarlah mereka bahwa semacam “ujian” sinkang telah berjalan.
“Plak-plak-plak-plak!”
Empat orang itu menangkap cepat dan masing-masing berseru tertahan. Cawan yang di tangan membuat telapak pedas dan hampir mereka menjerit. Telapak itu seakan dibeset! Tapi ketika mereka mengerahkan sinkang dan pucat memandang si banci, lawan telah mendemonstrasikan kepandaiannya maka botol arak dibuka dan, bagai tukang sulap saja botol itu dilempar ke atas dan isinya meluncur turun diterima cawan kecil. Tangan kiri si banci bergerak dan botol itu berhenti di udara, seakan ditahan.
“Nah, sekarang kita mulai minum. Aku tuan rumah, biar aku dulu, lalu kalian dan jaga jangan sampai arak tumpah!” bagai disihir, botol melesat ke kiri, cawan telah penuh tapi karena masih terus mengucur maka giliran Siau-hun Mo-li mendapat bagian.
Nenek itu terkejut karena botol arak menyambar cepat, kalau ia tak menghentikan gerakannya tentu menyambar muka. Maka ketika ia membentak dan tangan lain menampar perlahan, botol berhenti dan arak mengucur cawannya maka botol berpindah ke arah Siang-buang Thai-swe untuk kemudian berhenti di depan si Kutu Peniru Suara.
Semua terkejut dan berseru keras melakukan seperti apa yang dilakukan Siau-hun Mo-li dan hanya dengan susah payah mereka mampu mengisi cawan, hanya Eng-seng-thiong yang muncrat sedikit, itupun karena kakek tinggi kurus ini terlanjur gugup dan gentar menghadapi lawannya. Dan ketika kakek itu mengebutkan botol arak yang kembali ke tuannya, jatuh dan habis isinya maka si banci terkekeh-kekeh memandangi orang-orang itu.
“Hi-hik, heh-heh-heh....! Kalian berhasil menuangkan arak sendiri, Siau-hun Mo-li. Bagus! Maaf tindakanku barangkali tak berkenan di hati kalian tapi mari minum. Ini permulaan kita berkenalan!”
Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe merah padam. Mereka hampir gagal menuangkan arak dengan tamparan sinkang mereka, botol meluncur begitu cepat seakan dituntun tangan setan saja. Tapi ketika pemuda itu minum dan menggelogok isinya, habis sementara mereka diam saja maka si banci itu tertegun dan berseru,
“Eh, kenapa tak mau minum. Apakah kalian takut!”
“Hm!” nenek itu menggebrak meja, bangkit berdiri. “Kami datang bukan untuk menerima arakmu, orang she Mo, melainkan bertanding dan menghajarmu. Kau sombong menantang kami, untuk apa minum arak kalau sifatnya hanya bersenang-senang!”
“Heh-heh,hi-hik kau betul, tapi keliru. Hm, inipun pertandingan yang sudah mulai berjalan, Siau-hun Mo-li. Siapa mengajakmu bersenang-senang dengan nenek buruk sepertimu itu. Lihat arakmu apa yang terjadi!”
Nenek itu terkejut. Ia memandang dan kaget serta mundur berseru tertahan. Araknya berbuih, warnanya yang kekuningan sudah berubah hitam. Lalu ketika ia tertegun dan yang lain kaget, semuanya juga begitu maka Eng-seng-thiong dan Siang-huang Thai-swe sudah membuang araknya yang mengandung racun!
“Keparat!” orang kedua dari Siang-buang Thai-swe berseru. “Apa yang kau lakukan ini, bocah busuk. Kau meracun kami. Kau curang!”
“Heh-heh, ini pertandingan. Kalian datang bukan untuk bersenang-senang. Siapa curang kalau aku sendiri minum arak yang sama, Siang-buang Thai-swe. Lihat aku memuntahkan arakku..... prot!” si banci mengeluarkan suara aneh dan arak di dalam perut tiba-tiba menyembur keluar. Arak itu juga mendidih dan berwarna hitam. Jelas arak beracun! Lalu ketika semua tertegun dan membelalakkan mata, maka pemuda itu bangkit berdiri menepuk pinggiran meja.
“Lihat, siapa berbuat curang. Bukankah arak yang kuminum sama. Hm, kalian bermaksud membalaskan sakit hati Siau-hun dan aku tak menunggu tantangan kalian. Aku mengundang kalian, ksatria. Ini juga adu kepandaian karena siapa di antara kalian, berani menelan racun!”
Empat orang itu tertegun. Barulah mereka sadar bahwa pertandingan sesungguhnya telah dimulai. Lawan telah mengajak menelan racun. Tapi bergidik bahwa racun itu bukan racun biasa, tanah yang tersiram segera terbakar dan hangus maka Siau-hun Mo-li dan lain-lain ngeri.
“Bagaimana, siapa berani. Mari minum secawan lagi dan kita sama-sama melihat siapa yang roboh!”
Siau-hun Mo-li akhirnya marah. Ia membentak dan maju lagi menuangkan arak. Dengan sinkangnya ia dapat menahan racun di perut, nanti dimuntahkan lagi seperti apa yang telah diperlihatkan si banci itu. Dan karena ia merasa mampu dan kini tak ragu menenggak arak itu maka nenek ini berseru pada ketiga temannya.
“Seng-thiong, Siang-buang Thai-swe, agaknya kita bukan orang-orang penakut yang harus jerih menelan racun. Ayo perlihatkan kepada lawan bahwa kita lima Pengawal Bayangan tak hanya pandai menerima gaji buta!”
Siang-buang Thai-swe akhirnya mengangguk. Mereka juga telah berpikir seperti nenek itu dan akan menahan racun di perut. Dengan mengerahkan sinkang mereka dapat melakukan itu. Maka ketika nenek itu menenggak habis sementara mereka juga bergerak dan meminun secawan, hanya Eng-seng-thiong yang tampak ragu dan pucat mukanya maka si banci itu terkekeh.
“Hi-hik, yang tiga sudah minum. Kau! Hayo, Eng-seng-thiong, minum juga kalau berani!”
Kakek itu masih ragu. Tapi ketika Siau-hun Mo-li membentak padanya dan mengingatkannya akan bualannya sendiri, betapa ia sesungguhnya tak takut menghadapi lawannya ini maka apa boleh buat kakek tinggi kurus itu menenggak dan sekali telan menghabiskan arak beracun.
“Glek!”
Kakek ini merasakan lidahnya panas. Arak itu seperti api yang menyengat tajam, amblas ke perut dan tiba-tiba perutpun mendidih. Arak itu bergolak! Tapi ketika ia mengerahkan sinkang dan melakukan seperti temannya, menahan atau memaksa racun berhenti di situ maka si banci terkekeh dan duduk lagi, berseri-seri.
“Bagus, kalian pemberani. Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi sampai masing-masing menghabiskan sebotol!”
“Apa? Kau gila?” Siau-hun berseru.
“Hm, tidak, kalau kalian masih berani menerima tantanganku. Bagaimana, Siau-hun Mo-li. Beranikah kalian berempat minum lagi atau sekarang saja mengaku kalah.”
Nenek itu bangkit. Namun belum ia melepas marah tiba-tiba Siang-buang Thai-swe, orang pertama dari dua kakek kembar menekan lengannya. “Mo-li, agaknya tak apa kita menerima tantangan aneh ini. Siapa takut segala macam racun. Bagaimana kalau dia selalu minum lebih dulu?”
“Ha-ha, boleh, tentu saja. Aku selalu mendahului kalian, Siang-buang Thai-swe, aku tuan rumah. Aku siap lebih dulu minum kemudian kalian mengikuti!” si banci memotong.
Kakek muka hitam itu tersenyum mengejek. Sesungguhnya ia punya maksud dengan kata-katanya itu, yakni bila lawan tak tahan tentu si banci itu roboh. Ia membisiki rekannya tentang ini. Dan ketika nenek itu terbelalak tapi kemudian berseri, Eng-seng-thiong satu-satunya yang terkejut mengerutkan kening maka nenek itu akhirnya terkekeh dan mengangguk.
“Bagus, boleh juga. Aku menerimamu asal kau lebih dulu niinum!”
“Hm, bagaimana Eng-seng-thiong.”
“Dia tentu ikut!”
“Begitukah?”
“Aku, heh-heh.....!” kakek ini tertawa menghilangkan kaget, bingung tapi harus berani menerima tantangan. ”Kalau Mo-li menyatakan begitu tentu tak mungkin aku menolak, anak muda. Asal kau minum dulu aku turut belakangan!”
“Tapi sebotol harus habis!”
“Tentu, dan setelah itu kita mengadu kepandaian!” Siau-hun Mo-li melengking dan tak kuat menahan gusar. “Kau cerewet dan banyak omong, bocah sombong. Mulailah dan kami menyusul!”
Si banci mengangguk-angguk. Dia menyambar botol yang lain dan membuka arak kedua, siap minum. Tapi ketika Siang-buang Thai-swe berseru mengangkat tangan dan berkata bahwa arak harus bergantian diminum, tak akan membuka yang lain kalau pertama belum habis maka si banci tertegun namun Siau-hun Mo-li terkekeh.
“Ada lima botol di sini, jelas kau telah menyiapkannya. Kalau botol pertama belum habis untuk apa membuka botol ke dua? Tidak, kau tak boleh menang sendiri, anak muda. Siapa tahu arak yang kau minum tak ada racunnya!”
“Benar, heh-heh. Kita hampir tertipu!” Siau-hun Mo-li berseru. “Kau cerdik dan mengingatkan kita semua, Thai-swe. Aku sependapat dan setuju untuk minum apa yang diminum anak muda ini, tak mau botol lain!”
“Hm, kalian terlalu curiga,” si banci tertawa, akhirnya mengerti. “Tak ada kecurangan seperti yang kalian sangka, Mo-li. Lihat arak inipun sama beracunnya dengan tadi!” botol dibuka dan dituangkan isinya, mendidih dan bergolak dan warnapun berubah hitam.
Mo-li terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika Eng-seng-thiong meleletkan lidah merasa ngeri, memandangi lima botol arak di atas meja si banci menenggak dan menghabiskan araknya.
Semua sama-sama berseru, "mari sama-sama minum dan siapa tak kuat boleh menyatakan kalah!”
Arak habis memasuki perut. Siau-hun Mo-li menjadi pucat namun ia tak mungkin mundur. Tadi gilirannya setelah si banci, baru berturut-turut Siang-buang Thai-swe dan Eng-seng-thiong itu. Maka ketika nenek ini menerima arak yang sama dan menenggak habis maka sepasang Datuk Kembar juga melakukan itu dan menghabiskan masing-masing secawan arak. Eng-seng-thiong belakangan dan kakek ini mulai gemetar. Apa-apaan ini, masa orang meminum racun!
Tapi ketika ia terpaksa menenggak dan perut serasa mendidih, sinkang dikerahkan untuk menahan itu maka lawan tertawa merdu dan menenggak cawan ketiga. Yang lain menyusul dan tampaklah pemandangan gila-gilaan itu. Siau-hun Mo-li merah mukanya sementara Siang-buang Thai-swe menjadi lebih hitam.
Eng-seng-thiong pucat dan merah berganti-ganti namun dia terus minum. Tokoh ini tak berani mundur atau tiga temannya bakal memaki-maki. Dan ketika cawan demi cawan digelogok habis, botol kedua dilempar untuk mengambil botol ketiga maka sampai di sini empat orang tokoh itu mulai bergoyang-goyang. Kepala mereka pening sementara isi perut seakan mau pecah. Perut mereka itu seolah gunung yang siap meletus, gemuruh!
“Ha-ha, siapa tak kuat boleh berhenti, Siau-hun Mo-li. Nyatakan kalah dan tunduk kepadaku!”
“Aku masih kuat!” si nenek membentak. “Minumlah lagi, anak sombong. Mungkin kali ini kau roboh!”
Siang-buang Thai-swe diam-diam kagum. Mereka terbelalak melihat betapa lawan sama sekali agaknya tak terpengaruh. Wajah si banci itu sehat-sehat saja padahal mereka semakin hitam. Matapun berkunang-kunang dan tubuh seakan tak tetap lagi. Gila! Dan ketika botol keempat dibuka dan Kutu Peniru Suara pucat pasi, tiga temannya mulai terhuyung dan ia merasa pening maka kakek ini berseru keras dan tiba-tiba memuntahkan semua isi perutnya.
“Aku tak mau meneruskan lagi, lawan kita ini gila... huaakk!” arak menyembur dan keluar dari perut si Kutu Peniru Suara ini. Ia telah menahan racun cukup lama namun hawa panas dan mendidih itu tak kuat ditahannya lagi. Kepalapun pening dan bumi rasanya berputar. Dan ketika kakek itu menyemburkan araknya sementara tiga temannya kaget, mereka sesungguhnya juga tak kuat maka orang kedua dari Siang-buang Thai-swe tiba-tiba juga memuntahkan arak beracunnya di susul oleh Siau-hun Mo-li dan kakaknya.
“Huaakkk!”
“Proottt!”
Ledakan terakhir ini adalah bunyi kentut yang amat nyaring. Orang pertama dari Siang-buang Thai- swe itu kiranya mengeluarkan arak dengan cara aneh, melalui bawah perutnya dan terciumlah bau busuk dan anyir. Bau ini adalah bau arak bercampur kentut, tak keruan rasanya.
Dan ketika si banci terkekeh-kekeh melihat empat orang itu muntah-muntah, mereka terhuyung dan jatuh terduduk maka ia meneruskan minumnya dan botol itu ditenggaknya sendirian, habis dan diambilnya botol kelima lalu diminum sekaligus. Dan ketika ia terbahak-bahak dan bangkit dari kursinya maka Eng-seng thiong kaget sekali karena celana dan baju si banci itu dari pinggang ke bawah basah kuyup.
“Sin-can-po-he (Ilmu Keringat Sakti)!”
Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe terbelalak. Mereka tiba-tiba juga melihat itu dan kaget serta pucat. Pantas kalau lawan tak apa-apa karena dengan Sin-can-po-he itu arak segera menguap, keluar melalui tubuh dalam bentuk keringat sebesar jagung. Dan ketika semua terkejut dan kaget serta mundur, ilmu itu hanya dapat diwarisi oleh seseorang yang sudah amat tinggi sinkangnya maka si banci berkelebat dan tiba-tiba empat orang itu ditotoknya roboh. Gerakannya cepat dan luar biasa.
“Ha-ha, benar. Matamu awas, Eng-seng-thiong. Aku tak jadi membunuhmu untuk kepintaranmu ini... tuk-tuk-tuk!”
Empat orang itu roboh dan tak sempat mengelak. Mereka hanya melihat bayangan biru dan tahu-tahu tertotok. Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li tentu saja kaget bukan main. Tapi ketika nenek itu memaki-maki bahwa lawan curang, mereka masih pening oleh pengaruh arak maka si banci berkelebat dan ujung bajunya membebaskan totokan itu. Si nenek dan lain-lain melompat bangun.
“Ha, masih penasaran. Boleh! Kau tak puas oleh kepandaianku, Siau-hun Mo-li rupanya ingin benar-benar bertanding secara keras. Majulah, dan aku akan merobohkan kalian tak lebih dari dua puluh jurus!”
Siang-buang Thai-swe dan nenek itu kaget sekali. Mereka tak menyangka, sementara si Kutu Peniru Suara sudah maklum. Tokoh tinggi kurus ini memang sebelumnya jerih. Maka ketika tiga temannya melompat bangun dan menampar kepala menghilangkan sisa pening, pengaruh arak akhirnya lenyap maka nenek itu tiba-tiba memekik dan menerjang.
“Bocah sombong, kau lihai tapi jahat, curang. Siapa mengira kau mengeluarkan arakmu melalui keringat!”
“Heh-heh, kau nenek tak tahu diri. Justeru itu harus membuat matamu terbuka, Siau-hun Mo-li, bahwa kepandaianku masih jauh di atas kalian. Robohlah, dan bangun serta serang aku lagi...plak-plak!” lengan si nenek ditangkis dan nenek itu terjengkang. Ia merasa linu dan kesakitan tapi marah meloncat bangun, Siang-buang Thai-swe diteriakinya agar maju membantu.
Dan ketika dua kakek kembar itu juga sadar dan mengangguk, sudah waktunya untuk mengadu ilmu silat maka Ji-thai, Datuk Nomor Dua membentak dan menerjang pula, maju berkelebat. “Toa-ko (kakak), bocah ini benar-benar sombong. Mari kita bekuk dan robohkan dia...wherrr!”
sepasang lengan kakek pendek itu menyambar, mengeluarkan deru angin dahsyat Hek-thau-ciang alias Pukulan Gajah Hitam. Ini adalah kepandaian khas mereka, gajahpun bisa terpelanting kalau dipukul. Tapi ketika si banci mengelak dan luput, pukulan itu menghantam tanah hingga berlubang maka It-thai alias sang kakak maju menggempur pula.
“Anak muda, kau hebat, tapi terimalah pukulan kami...dess!” pukulan ini juga luput karena lawan tiba-tiba berkelebat menghilang.
Si banci itu memiliki kecepatan seperti setan, lenyap dan menghilang begitu cepatnya. Dan ketika dua kakek itu terkejut tak tahu lawan di mana mendadak telinga mereka dijewer dan si pemuda terkekeh di belakang mereka. “Aku di sini, jangan melihat ke mana-mana!”
Bukan main panasnya dua datuk ini. Mereka bukan orang-orang sembarangan namun berhadapan dengan pemuda baju biru ini mereka seakan anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Ji-thai membentak dan meraung gusar. Dan ketika ia melepas pukulan lagi dan kali ini ditangkis, girang dan berseru keras ternyata diri sendiri yang terpelanting dan terjengkang.
“Heh-heh, jangan berkaok-kaok. Pukulan gajahmu itu tak ada artinya bagiku, Siang-buang Thai-swe. Lihat aku menangkismu... dess!”
Ji-thai terjengkang dan bergulingan. Ia benar-benar kaget tapi sang kakak menolong, Siau-hun Mo-li juga membentak dan Eng-seng-thiong yang ragu-ragu akhirnya menyerang pula. Kutu Peniru Suara ini pucat. Dan ketika mereka semua berkelebatan tapi lawan lagi-lagi menghilang, mereka sebagai tokoh-tokoh berkepandaian tinggi tak mampu menangkap bayangannya maka bahu atau pundak mereka ditepuk lawan.
“Aku di sini, heii.... jangan meleng! Plak-plak...!”
Tiga orang itu terpelanting dan kaget serta gusar. Siang-buang Thai-swe akhirnya menggeram dan mengeluarkan sepasang gada mereka, bulat dan kokoh dan lucu melihat kakek-kakek pendek macam mereka mengeluarkan gada seseram itu, panjangnya hampir sama dengan tubuh mereka! Dan ketika dua orang itu bergerak dan gada menderu menyambar kepala, disusul pukulan Gajah Hitam di tangan kiri maka nenek Siau-hun Mo-li tak mau kalah dan mengibaskan rambutnya yang panjang hitam seperti ular memagut.
“Plak-plak!”
Nenek itu terhuyung dan berseru kecewa. Untuk kesekian kalinya lagi ia dibuat mundur dan terkejut, tenaga lawan membuat rambutnya mental dan kulit kepala pun pedas, rasanya seakan ditarik! Dan ketika Eng-seng-thiong akhirnya mengeluarkan senjatanya pula, sebuah jepitan pencari kutu maka rambutnya dikibas-kibaskan dan ribuan binatang kecil-kecil berhamburan menyambar si banci itu, kelap-kelip ditimpa cahaya lampu.
“Ha-ha, komplit, bagus sekali. Ah, maju dan keluarkan semua kepandaian kalian, Siau-hun Mo-li, dan hamburkan Siau-hun-sanmu (Bubuk Pembuyar Sukma) bersama kutu-kutu Eng-seng-thiong ini, ha-ha!”
Nenek itu terkejut. Ia sudah menyerang tapi dikelit dan lawan berseru menyebut bubuk rahasianya itu, Siau-hun-san yang tak akan dikeluarkan kalau tidak betul-betul terpaksa. Maka ketika lawan mengenal segalanya dan jelas tak memandang mata, semua dianggap enteng maka Hek-thau-ciang sepasang Datuk Kembar juga berdentum dan saling pukul sendiri. Dua kakek itu terhuyung mundur.
“Ha-ha, dan kalian eh! Gunakan gada secara baik dan benar, Siang-buang Thai-swe. Sekali dapat menyentuh ujung bajuku saja biarlah kunyatakan kalah!”
Dua kakek itu terbakar. It-thai yang biasanya tenang dan tidak sepemarah adiknya akhirnya meledak juga. Empat kali senjatanya luput sementara dua kali pukulannya dibuat mental. Ia terdorong dan marah serta kaget. Dan ketika ia menyerang lagi dan adiknya disuruh bergerak dari kiri, ia dari kanan maka kakek itu berseru agar dua temannya yang lain menyerang dari muka dan belakang.
“Mo-li biar dari depan, Eng-seng-thiong dari belakang. Keparat, bocah ini benar-benar sombong, Ji-te, tapi ia lihai. Hati-hati dan jangan sampai terpukul!”
Sang adik mengangguk dan berseru menuruti omongan sang kakak. Mereka menyerang dari kiri kanan tapi si banci berkelebat ke atas, lawan menghilang dan saat itu rambut serta jepitan si Kutu Peniru Suara beradu, tentu saja ramai dan nenek itu memaki-maki. Lalu ketika mereka terhuyung saling pukul sendiri, si banci turun maka kedua lengannya mengibas empat orang itu yang kontan terpelanting lagi, tertawa-tawa.
“Hi-hik, tak becus. Terlalu rendah. Orang macam kalian tak pantas bekerja di istana, Siau-hun Mo-li, hanya menggerogoti uang negara saja. Ayo kalian tunduk dan berada di bawah pimpinanku!”
“Keparat, sombong jahanam. Kau belum membalas dan mengeluarkan kepandaianmu, bocah busuk. Robohkan kami dan buktikan omongan. Hayo berapa jurus pertandingan ini!”
“Ha, ingat aku sekarang. Delapan jurus! Ha-ha, delapan jurus, nenek bau, dan dua belas jurus lagi kalian berempat roboh. Awas....!” si banci berkelit dan membiarkan sepasang gada lewat, menderu dan menghantam tanah lalu disusul pukulan Hek-thau-ciang.
Tangan kiri dua datuk itu menyambar namun dengan telapaknya si banci ini menyambut. Lalu ketika terdengar suara mendesis dan dua orang berteriak, mereka bertemu hawa panas yang membakar tulang maka keduanya menarik serangan dan melempar tubuh bergulingan. Siau-hun Mo-li meledakkan rambutnya sementara Eng-seng-thiong menggerakkan jepitan kutunya menusuk ujung hidung lawan.
Tapi itupun tak banyak artinya. Si banci meniup dan jepitan itu melenceng, tepat menangkis rambut si nenek hingga Siau-hun Mo-li memaki-maki. Dan ketika ribuan kutu kembali menyambar namun dihalau kebutan ujung baju maka binatang kecil-kecil itu justeru terdorong dan berhamburan di tubuh Siang-buang Thai-swe dan nenek Siau-hun Mo-li.
“Keparat, kenapa kau arahkan ke sini. He, buka matamu baik-baik, Eng-seng-thiong. Masa teman sendiri kau serang!”
“Terkutuk, bukan aku. Bocah ini yang menghembusnya, Mo-li, jangan bercuap-cuap karena rambutmu pun mengeluarkan bau tak sedap. Hayo bangun dan serang lagi!”
Dua orang itu bertikai sendiri. Mereka saling maki dan menyumpah namun Siang-buang Thai-swe membentak. Lawan yang mereka hadapi benar-benar luar biasa. Dan ketika semuanya bangun kembali dan mengeroyok maju, si nenek mulai merogoh Siau-hun-sannya maka menyambarlah bubuk-bubuk halus ke wajah lawan...
“Keparat, aduh..... jahanam keparat. Ooh, kenapa kau tak membiarkan aku mati, Eng-seng-thiong. Kenapa kau membiarkan aku hidup. Kau sahabat tak kenal belas kasihan yang senang melihat aku hidup menderita!”
“Hm, tenanglah, jangan memaki-maki teman sendiri,” Siau-hun Mo-li berkata dan melepaskan tangannya dari pundak hwesio itu.
Jing-ji-mi-to telah sadar dan mereka bertiga mandi keringat. Bukan luka di siku itu yang berat diatasi melainkan darah hitam kental yang terkena racun itu. Mereka bertanya apa yang membacok lengan hwesio itu dan dijawab bahwa Jing-ji-mi-to dikepras sebatang kipas. Eng-seng-thiong melihat itu dan menceritakan penyebabnya. Dan ketika mereka tertegun hanya dengan sebatang kipas rekan mereka dikutungi, dan kipas itu mengandung racun maka diam-diam mereka kaget dan ingin tahu siapakah si banci yang lihai namun kejam itu.
“Kami mendengar tentang dirinya, namun kami acuh. Tak kami sangka kalau Jing-ji-mi-to mencari perkara, Eng-seng-thiong. Dan meskipun ini urusan pribadi namun kalau dia menyinggung-nyinggung lima Pengawal Bayangan maka sama saja dengan menantang kita. Ini tak boleh dibiarkan. Meskipun ia diangkat saudara oleh Hui-ongya namun kami tak perlu takut. Jing-ji-mi-to telah menjadi bagian dari kita!”
“Benar, dan sombong sekali anak itu. Hm. apa katanya Eng-seng-thiong. Sampai sejauh mana ia menghina kita!”
Satu di antara Datuk Kembar bertanya. Ia adalah kakek hitam bermata bulat, hidungnya besar dan ada tahi lalat di situ. Inilah orang kedua dari Siang-buang Thai-swe itu, ahli lweekeh dan kedua kakinya yang pendek buntek mahir mainkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati). Sekali ia menancapkan kaki, gajahpun tak mampu mendorong, apalagi manusia. Dan karena ia tak sesabar kakaknya yang suka mengangguk-angguk. Siang-buang Thai-swe yang satu ini memang agak berangasan maka cerita si Kutu Peniru Suara itu membangkitkan rasa marahnya. Eng-seng-thiong membumbui cerita agar tak disangka kelewat takut.
“Hm, ia lebih banyak mengejek Jing-ji-mi-to ini, bukan kita berempat. Tapi ketika ia merobohkan Jing-ji-mi-to dan aku terpaksa berhenti menolong rekan maka kudengar ia mengejek kita sebagai Pengawal Bayangan yang kepandaiannya tak seberapa. Dan kabarnya ia menghina kita di depan Hui-ongya bahwa kita orang-orang tak berguna yang bisanya meminta upah melulu. Kepandaiannya memang hebat tapi kalau Mi-to ini tak luka parah tentu aku akan mencobanya habis-habisan dan kujajal sampai di mana kelihaiannya itu!”
“Bagaimana sampai terluka, bukankah kau mengeroyoknya!”
“Nanti dulu. Jing-ji-mi-to ini melabrak tanpa perhitungan, Siau-hun Mo-li. Ia langsung terjang begitu saja tanpa mau menunggu aku. Aku menyambar tapi terlambat, kipas itu menangkis dan kudengar jeritan rekan kita ini. Ia roboh dan segera kuhentikan serangan, monolong dia dulu!”
Siau-hun Mo-li mengangguk-angguk. Nenek berwajah dingin ini bersinar-sinar dengan mata marah. Ia tak tahu bahwa Eng-seng-thiong telah membual, yakni tak menceritakan kekalahan sendiri dan menceritakan seolah ia meninggalkan pertempuran untuk monolong temannya itu. Dan ketika Siang-buang Thai-swe juga mengangguk-angguk dan merasa marah, nama mereka bisa direndahkan kalau tidak berbuat sesuatu maka hwesio itu sadar dan menangis menahan sakit serta dendam tak terbalaskan, tentu saja tak mendengar kata-kata rekannya tadi, yang menyalahkan dirinya.
“Hm, kau gegabah menjalankan itu tanpa kami, Jing-ji-mi-to, tapi kau selamat telah kami buang racunnya. Tenanglah, kami di sini membalaskan sakit hatimu!”
“Dia, uhh.... keparat jahanam itu, uhh aku tak dapat menandinginya, Mo-li. Tapi kalau Eng-seng-thiong ini mau membantuku sungguh-sungguh mungkin aku tak perlu kehilangan tanganku. Sekarang aku cacat, Kutu Busuk ini tak bisa diharapkan!”
“Hm, aku menolongmu sampai sini. Kalau tak ada aku apakah dirimu masih hidup, Jing-ji-mi-to. Susah payah kubawa kau lari tapi sekarang enak saja kau memaki-maki aku. Apa artinya ini!”
“Sudahlah,” Siang-buong Thai-swe melerai, bangkit berdiri. “Kami telah mengerahkan sinkang untuk mengeluarkan racun dari tubuhmu, Mi-to. Kalau Song-thiong tak membawamu ke sini mungkin kau mati. Tak perlu bertengkar sesama teman karena Seng-thiong sudah menolongmu!”
“Tapi aku cacat, jahanam itu membuntungiku!”
“Masih untung, kau tetap hidup. Hm, tak perlu mencari-cari kesalahan orang lain, Mi-to. Kaupun salah karena gegabah tak membawa serta kami. Kalau kami berempat tentu lain, tapi kau sendiri, hanya ditemani Eng-seng-thiong ini!”
Hwesio itu tersedu-sedu. Ia bangun duduk namun berteriak, nyeri di siku menggigit. Dan ketika Siau-hun mendudukkannya dan menyuruhnya tenang maka nenek itu berkata bahwa mereka akan membuat perhitungan.
“Ia telah menyinggung-nyinggung Pengawal Bayangan, berarti menantang kami pula. Tenanglah di sini dan biar kami balas!”
Hwesio itu menghentikan tangis. Ia membelalakkan mata namun pandangannya berseri, ternyata Siau-hun Mo-li dan rekan-rekannya ini tak tinggal diam. Maka ketika ia menjadi girang namun merintih kesakitan, luka itu lagi-lagi mengganggu maka yang dapat dilakukan hanya mengangguk dan mendesis. “Terima kasih, kalian sahabat yang tahu kesusahan orang, Mo-li. Tapi hati-hatilah karena ia benar-benar lihai!”
“Kami bukan anak kecil,” nenek itu mendengus. “Kami membelamu semata menyelamatkan diri kami juga, Mi-to. Kalau bocah itu merajalela di sini kedudukan kami tentu terancam. Kau tak perlu berterima kasih karena ini menyangkut kepentingan kami juga!”
Eng-seng-thiong menyeringai. Sebagai tokoh-tokoh yang dipuja dan diandalkan istana tentu saja kedudukan mereka bisa goyah kalau si banci itu didiamkan. Sepak terjangnya bisa membahayakan mereka paling tidak membuat goyah. Mereka yang sudah terbiasa hidup tenang bisa terancam. Maka ketika Siau-hun Mo-li berkata seperti itu sementara temannya tertegun, kaget dan kecewa maka kakek tinggi kurus ini terkekeh.
“Mi-to, kau dan kita di sini bukanlah orang-orang yang dianggap bersih oleh beberapa kalangan. Lihat sepak terjangmu sendiri, juga kebiasaan jelek kita di luar. Adakah terima kasih dan rasa sesal? Ha-ha, tak ada, sobat. Sudahlah tak perlu kecewa kata-kata Siau-hun karena kita sesungguhnya membela kepentingan kita sendiri!”
Hwesio itu menarik napas dalam. Mukanya masih kecewa namun ia mengangguk-angguk, begitulah sesungguhnya mereka. Maka ketika malam itu Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe hendak membuat perhitungan, terutama untuk mempertahankan kedudukan yang sudah mapan mendadak keesokannya mereka semua mendapat undangan dari si banci itu, lewat kurir Hui-ongya!
“Tak usah mencari aku secara sembunyi-sembunyi, datang dan temui aku di taman Hui-ongya. Kalian berempat boleh mengeroyokku semua, Siau-hun Mo-li. Kalau aku roboh itu keberuntungan kalian, Hui-ongya tak ada sangkut-pautnya. Tapi kalau kalian kalah harap tak mencari persoalan, cukup di sini saja. Silakan datang nanti malam dan aku orang she Mo tak akan lari!”
Wajah nenek ini merah padam. Surat undangan hampir dirobek akan tetapi orang kedua dari Siang- buang Thai-swe merampasnya. Datuk muka hitam ini membaca dan semakin gelap saja, matanya melotot. Tapi ketika kakaknya meminta dan mengangguk-angguk, kakek ini ternyata lebih tenang maka dia berkata,
“Orang ini benar-benar berani, berarti kepandaiannya tentu hebat. Hm, justeru kita harus waspada akan tantangannya ini, sute. Tak sembarang orang berani menantang kita kalau tidak benar-benar merasa yakin. Sudahlah nanti malam kita datang dan langsung menuju taman. Persiapkan tenaga kita.”
Eng-seng-thiong mengangguk-angguk. Hanya dialah yang tahu benar kelihaian si banci itu, juga Mi-to. Tapi karena hwesio itu terluka dan tentu tak dapat datang, ia heran bagaimana si banci itu tahu maksud mereka maka kakek tinggi kurus ini mengangguk-angguk namun diam-diam hatinya berdebar.
“Hm, sombong bukan main, tapi betul-betul berani, Kau mungkin dapat mengalahkan aku dan Mi-to, anak muda. Tapi menghadapi empat orang sekaligus agaknya terlalu sombong, nekat. Lihat saja malam nanti mampukah kau menyelamatkan diri!”
Ternyata Kutu Peniru Suara ini masih ragu. Ia memang telah membuktikan bahwa dikeroyok dua lawannya itu masih menang. Tapi menghadapi Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li? Ah, rasanya terlalu congkak! Maka ketika ia menggumam sendirian namun malam itu dilewatkannya dengan penuh tegang akhirnya masing-masing berkelebat sendiri meninggalkan pertemuan. Eng-seng-thiong mencari akal bagaimana nanti, siapa yang akan diikuti nenek itu ataukah Siang-buang Thai-swe. Dan ketika ia tentu saja mendekati dua kakek kembar ini, bukan Siau-hun Mo-li yang hanya sendiri maka malam itu ia bergerak di belakang kakak beradik ini, begitu melihat mereka berkelebat keluar kamar.
“Heh-heh, sudah kutunggu. Mari bersama, Siang-buang Thai-swe, mana Siau-hun Mo-li nenek berangasan itu!”
Dua kakek kembar ini tertawa. Mereka tak menyangka diintai Kutu Peniru Suara ini yang tahu-tahu menyusul ketika mereka berkelebat, agaknya memang sudah ditunggu. Tapi kakek pertama yang berpembawaan tenang diam saja, tidak seperti adiknya yang langsung menegur.
“Heh, ada apa menunggu kami. Takutkah kau sendirian, Eng-seng-thiong. Masa seperti anak kecil yang menunggu ibunya!”
“Heh-heh, bukan begitu. Aku merasa lebih tenang kalau bersama kalian di sini, mencari nenek itu tapi tak ketemu. Bukankah lebih baik berhati-hati daripada gegabah dan main serobot dulu.“
“Hm, mari, dan mungkin Siau-hun Mo-li sudah ada di sana!”
Kakek itu terkekeh. Tentu saja dua temannya tak tahu bahwa sesungguhnya ia gentar menghadapi si banci itu. Setelah Jing-ji-mi-to maka dialah satu-satunya yang sudah merasakan. Kutu Peniru Suara ini tak berani main cepat agar tak celaka diri sendiri. Maka ketika ia berkelebat dan mengikuti dua temannya ini, sengaja di belakang untuk berlindung maka benar saja Siau-hun Mo-li ada di sana, duduk dan berkutat dengan si banci yang minum arak membelakanginya!
“Haiitttt....!” nenek itu berseru keras mencabut dua telunjuknya, tegang, dijepit sepasang cawan di tangan si banci yang memberikan punggung, tertawa dan rupanya diserang secara gelap tapi cepat menangkis.
Siang-buang Thai-swe terkejut dan membelalakkan mata melihat ini dan tentu saja berhenti. Mereka telah melompati tembok pagar dan kini berada di taman itu, melihat sebuah meja bundar dipersiapkan dan beberapa botol arak. Agaknya si banci sedang minum arak ketika tahu-tahu diserang nenek itu, menangkis dan membuat Siau-hun Mo-li terkejut karena tak mampu menarik dua telunjuknya lagi. Cawan itu demikian kuat mencengkeram. Tapi ketika nenek itu membentak dan mengibaskan rambutnya yang panjang, si banci tertawa dan memutar tubuh tahu-tahu jepitan dilepas dan Siau-hun Mo-li yang membetot jarinya terjengkang kebelakang.
“Ha-ha, kebiasann buruk dari orang-orang yang suka berbuat kecurangan. Eh, kau kuundang baik-baik ke sini untuk bertanding secara ksatria, Siau-hun bukan segala macam kecurangan yang tak patut kau lakukan. Temanmu yang lain sudah datang, pergi dan duduklah baik-baik dan cari kursimu yang enak!”
Nenek itu bergulingan meloncat bangun. Ia melengking dan merah padam dan malu sekali akan kekalahannya itu. Ia memang datang lebih dulu dan menyerang secara gelap, menusuk tengkuk lawan yang duduk menikmati arak. Tapi ketika dua jarinya tahu-tahu ditangkis dan “ditangkap” sepasang cawan, terjepit dan tak mampu dilepaskan maka nenek ini kaget sekali dan kesudahannya ia terjengkang bergulingan ketika lawannya itu melepaskan cawannya tepat di saat teman-temannya datang.
“Ha-ha, duduklah, selamat malam. Aku kesunyian dan sengaja mengundang kalian. Hm, duduk dan pilih kursi kalian masing-masing, Siang-buang Thai-swe. Selamat datang dan kita hangati tubuh dengan arak!”
Dua kakek kembar terbelalak. Sekarang mereka berhadapan dengan pemuda yang diceritakan Eng-seng-thiong ini, pemuda aneh yang lebih tepat disebut banci daripada wanita atau pria. Anting-anting di sepasang telinga itu bergoyang dan kalau saja dadanya membusung tentu orang akan menyangka wanita daripada pria. Pemuda kewanita-wanitaan ini aneh sekali, suaranya merdu namun sesekali serak basah, mirip pria yang pita suaranya rusak.
Tapi melihat betapa rekan mereka terjengkang bergulingan, cepat dan cerdik sekali pemuda itu menghindari sambaran cambuk Siau-hun Mo-li maka Datuk Pertama, yang lebih tenang dan penyabar itu kagum dan memuji, tidak seperti adiknya yang tiba-tiba bergerak ke depan dan langsung membungkukkan tubuhnya seperti seekor banteng siap menanduk.
“Heh, kau kiranya anak muda yang sombong dan telah melukai Jing-ji-mi-to itu. Bagus, undanganmu jantan dan ksatria, anak muda. Tapi kami lima Pengawal Bayangan tak dapat menerima perbuatanmu ini. Terimalah pukulanku dan coba kulihat tenagamu!”
Kakek itu sudah bergerak dan mendorongkan kedua tangannya. Dari kedua tangannya itu bersiut angin dingin dan kaki yang menancap kokoh terisi penuh tenaga Ban-kin-kang. Kalau kakek ini sudah bergerak seperti ini biasanya seekor gajahpun bakal terjengkang, paling tidak terdorong dan terhuyung-huyung. Tapi ketika si banci itu tertawa aneh dan mengebutkan lengan bajunya maka kakek itu yang terdorong dan terhuyung-huyung.
“Plakk!”
Kakek ini terkejut dan kaget sekali. Dorongan kedua tangannya bertemu tenaga yang amat dahsyat dari kebutan lengan baju, begitu dahsyat hingga ia tak mampu bertahan. Kaki yang penuh terisi Ban-kin- kang terseret, tanah di tempat itu tergores semeter lebih! Dan ketika ia pucat membelalakkan mata, hampir tak percaya maka lawannya itu bangkit melambaikan tangan sambil tertawa.
“Duduklah, silakan semua duduk. Kita dapat bercakap-cakap sambil duduk!”
Bukan hanya Siang-buang Thai-swe yang kaget. Siau-hun Mo-li, dan juga Eng-seng-thiong berteriak tertahan ketika tubuh mereka tiba-tiba tertarik ke depan oleh lambaian tangan itu. Tenaga sedot luar biasa menyambar mereka, mendorong dan tanpa ampun lagi keempatnya tiba-tiba roboh di kursi. Dan ketika semua tersentak namun si banci itu terkekeh, duduk dan menghadapi mereka semua maka ia mengangkat satu di antara botol arak berseru nyaring.
“Kalian berempat telah datang ke sini, bagus. Sebelum menginjak acara puncak mari menghangatkan tubuh dulu dengan secawan arak. Terimalah!”
Empat cawan tiba-tiba beterbangan. Cepat dan luar biasa si banci ini telah menjentikkan kukunya ke arah cawan-cawan di atas meja, memberikannya kepada tamu-tamunya dan Eng-seng-thiong serta yang lain-lain tentu saja kaget sekali. Kalau mereka tidak menangkap tentu cawan akan menghantam hidung, begitu cepat benda itu menyambar. Dan ketika mereka bergerak dan masing-masing menangkap cepat, terdorong dan kursi berderit ke belakang maka sadarlah mereka bahwa semacam “ujian” sinkang telah berjalan.
“Plak-plak-plak-plak!”
Empat orang itu menangkap cepat dan masing-masing berseru tertahan. Cawan yang di tangan membuat telapak pedas dan hampir mereka menjerit. Telapak itu seakan dibeset! Tapi ketika mereka mengerahkan sinkang dan pucat memandang si banci, lawan telah mendemonstrasikan kepandaiannya maka botol arak dibuka dan, bagai tukang sulap saja botol itu dilempar ke atas dan isinya meluncur turun diterima cawan kecil. Tangan kiri si banci bergerak dan botol itu berhenti di udara, seakan ditahan.
“Nah, sekarang kita mulai minum. Aku tuan rumah, biar aku dulu, lalu kalian dan jaga jangan sampai arak tumpah!” bagai disihir, botol melesat ke kiri, cawan telah penuh tapi karena masih terus mengucur maka giliran Siau-hun Mo-li mendapat bagian.
Nenek itu terkejut karena botol arak menyambar cepat, kalau ia tak menghentikan gerakannya tentu menyambar muka. Maka ketika ia membentak dan tangan lain menampar perlahan, botol berhenti dan arak mengucur cawannya maka botol berpindah ke arah Siang-buang Thai-swe untuk kemudian berhenti di depan si Kutu Peniru Suara.
Semua terkejut dan berseru keras melakukan seperti apa yang dilakukan Siau-hun Mo-li dan hanya dengan susah payah mereka mampu mengisi cawan, hanya Eng-seng-thiong yang muncrat sedikit, itupun karena kakek tinggi kurus ini terlanjur gugup dan gentar menghadapi lawannya. Dan ketika kakek itu mengebutkan botol arak yang kembali ke tuannya, jatuh dan habis isinya maka si banci terkekeh-kekeh memandangi orang-orang itu.
“Hi-hik, heh-heh-heh....! Kalian berhasil menuangkan arak sendiri, Siau-hun Mo-li. Bagus! Maaf tindakanku barangkali tak berkenan di hati kalian tapi mari minum. Ini permulaan kita berkenalan!”
Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe merah padam. Mereka hampir gagal menuangkan arak dengan tamparan sinkang mereka, botol meluncur begitu cepat seakan dituntun tangan setan saja. Tapi ketika pemuda itu minum dan menggelogok isinya, habis sementara mereka diam saja maka si banci itu tertegun dan berseru,
“Eh, kenapa tak mau minum. Apakah kalian takut!”
“Hm!” nenek itu menggebrak meja, bangkit berdiri. “Kami datang bukan untuk menerima arakmu, orang she Mo, melainkan bertanding dan menghajarmu. Kau sombong menantang kami, untuk apa minum arak kalau sifatnya hanya bersenang-senang!”
“Heh-heh,hi-hik kau betul, tapi keliru. Hm, inipun pertandingan yang sudah mulai berjalan, Siau-hun Mo-li. Siapa mengajakmu bersenang-senang dengan nenek buruk sepertimu itu. Lihat arakmu apa yang terjadi!”
Nenek itu terkejut. Ia memandang dan kaget serta mundur berseru tertahan. Araknya berbuih, warnanya yang kekuningan sudah berubah hitam. Lalu ketika ia tertegun dan yang lain kaget, semuanya juga begitu maka Eng-seng-thiong dan Siang-huang Thai-swe sudah membuang araknya yang mengandung racun!
“Keparat!” orang kedua dari Siang-buang Thai-swe berseru. “Apa yang kau lakukan ini, bocah busuk. Kau meracun kami. Kau curang!”
“Heh-heh, ini pertandingan. Kalian datang bukan untuk bersenang-senang. Siapa curang kalau aku sendiri minum arak yang sama, Siang-buang Thai-swe. Lihat aku memuntahkan arakku..... prot!” si banci mengeluarkan suara aneh dan arak di dalam perut tiba-tiba menyembur keluar. Arak itu juga mendidih dan berwarna hitam. Jelas arak beracun! Lalu ketika semua tertegun dan membelalakkan mata, maka pemuda itu bangkit berdiri menepuk pinggiran meja.
“Lihat, siapa berbuat curang. Bukankah arak yang kuminum sama. Hm, kalian bermaksud membalaskan sakit hati Siau-hun dan aku tak menunggu tantangan kalian. Aku mengundang kalian, ksatria. Ini juga adu kepandaian karena siapa di antara kalian, berani menelan racun!”
Empat orang itu tertegun. Barulah mereka sadar bahwa pertandingan sesungguhnya telah dimulai. Lawan telah mengajak menelan racun. Tapi bergidik bahwa racun itu bukan racun biasa, tanah yang tersiram segera terbakar dan hangus maka Siau-hun Mo-li dan lain-lain ngeri.
“Bagaimana, siapa berani. Mari minum secawan lagi dan kita sama-sama melihat siapa yang roboh!”
Siau-hun Mo-li akhirnya marah. Ia membentak dan maju lagi menuangkan arak. Dengan sinkangnya ia dapat menahan racun di perut, nanti dimuntahkan lagi seperti apa yang telah diperlihatkan si banci itu. Dan karena ia merasa mampu dan kini tak ragu menenggak arak itu maka nenek ini berseru pada ketiga temannya.
“Seng-thiong, Siang-buang Thai-swe, agaknya kita bukan orang-orang penakut yang harus jerih menelan racun. Ayo perlihatkan kepada lawan bahwa kita lima Pengawal Bayangan tak hanya pandai menerima gaji buta!”
Siang-buang Thai-swe akhirnya mengangguk. Mereka juga telah berpikir seperti nenek itu dan akan menahan racun di perut. Dengan mengerahkan sinkang mereka dapat melakukan itu. Maka ketika nenek itu menenggak habis sementara mereka juga bergerak dan meminun secawan, hanya Eng-seng-thiong yang tampak ragu dan pucat mukanya maka si banci itu terkekeh.
“Hi-hik, yang tiga sudah minum. Kau! Hayo, Eng-seng-thiong, minum juga kalau berani!”
Kakek itu masih ragu. Tapi ketika Siau-hun Mo-li membentak padanya dan mengingatkannya akan bualannya sendiri, betapa ia sesungguhnya tak takut menghadapi lawannya ini maka apa boleh buat kakek tinggi kurus itu menenggak dan sekali telan menghabiskan arak beracun.
“Glek!”
Kakek ini merasakan lidahnya panas. Arak itu seperti api yang menyengat tajam, amblas ke perut dan tiba-tiba perutpun mendidih. Arak itu bergolak! Tapi ketika ia mengerahkan sinkang dan melakukan seperti temannya, menahan atau memaksa racun berhenti di situ maka si banci terkekeh dan duduk lagi, berseri-seri.
“Bagus, kalian pemberani. Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi sampai masing-masing menghabiskan sebotol!”
“Apa? Kau gila?” Siau-hun berseru.
“Hm, tidak, kalau kalian masih berani menerima tantanganku. Bagaimana, Siau-hun Mo-li. Beranikah kalian berempat minum lagi atau sekarang saja mengaku kalah.”
Nenek itu bangkit. Namun belum ia melepas marah tiba-tiba Siang-buang Thai-swe, orang pertama dari dua kakek kembar menekan lengannya. “Mo-li, agaknya tak apa kita menerima tantangan aneh ini. Siapa takut segala macam racun. Bagaimana kalau dia selalu minum lebih dulu?”
“Ha-ha, boleh, tentu saja. Aku selalu mendahului kalian, Siang-buang Thai-swe, aku tuan rumah. Aku siap lebih dulu minum kemudian kalian mengikuti!” si banci memotong.
Kakek muka hitam itu tersenyum mengejek. Sesungguhnya ia punya maksud dengan kata-katanya itu, yakni bila lawan tak tahan tentu si banci itu roboh. Ia membisiki rekannya tentang ini. Dan ketika nenek itu terbelalak tapi kemudian berseri, Eng-seng-thiong satu-satunya yang terkejut mengerutkan kening maka nenek itu akhirnya terkekeh dan mengangguk.
“Bagus, boleh juga. Aku menerimamu asal kau lebih dulu niinum!”
“Hm, bagaimana Eng-seng-thiong.”
“Dia tentu ikut!”
“Begitukah?”
“Aku, heh-heh.....!” kakek ini tertawa menghilangkan kaget, bingung tapi harus berani menerima tantangan. ”Kalau Mo-li menyatakan begitu tentu tak mungkin aku menolak, anak muda. Asal kau minum dulu aku turut belakangan!”
“Tapi sebotol harus habis!”
“Tentu, dan setelah itu kita mengadu kepandaian!” Siau-hun Mo-li melengking dan tak kuat menahan gusar. “Kau cerewet dan banyak omong, bocah sombong. Mulailah dan kami menyusul!”
Si banci mengangguk-angguk. Dia menyambar botol yang lain dan membuka arak kedua, siap minum. Tapi ketika Siang-buang Thai-swe berseru mengangkat tangan dan berkata bahwa arak harus bergantian diminum, tak akan membuka yang lain kalau pertama belum habis maka si banci tertegun namun Siau-hun Mo-li terkekeh.
“Ada lima botol di sini, jelas kau telah menyiapkannya. Kalau botol pertama belum habis untuk apa membuka botol ke dua? Tidak, kau tak boleh menang sendiri, anak muda. Siapa tahu arak yang kau minum tak ada racunnya!”
“Benar, heh-heh. Kita hampir tertipu!” Siau-hun Mo-li berseru. “Kau cerdik dan mengingatkan kita semua, Thai-swe. Aku sependapat dan setuju untuk minum apa yang diminum anak muda ini, tak mau botol lain!”
“Hm, kalian terlalu curiga,” si banci tertawa, akhirnya mengerti. “Tak ada kecurangan seperti yang kalian sangka, Mo-li. Lihat arak inipun sama beracunnya dengan tadi!” botol dibuka dan dituangkan isinya, mendidih dan bergolak dan warnapun berubah hitam.
Mo-li terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika Eng-seng-thiong meleletkan lidah merasa ngeri, memandangi lima botol arak di atas meja si banci menenggak dan menghabiskan araknya.
Semua sama-sama berseru, "mari sama-sama minum dan siapa tak kuat boleh menyatakan kalah!”
Arak habis memasuki perut. Siau-hun Mo-li menjadi pucat namun ia tak mungkin mundur. Tadi gilirannya setelah si banci, baru berturut-turut Siang-buang Thai-swe dan Eng-seng-thiong itu. Maka ketika nenek ini menerima arak yang sama dan menenggak habis maka sepasang Datuk Kembar juga melakukan itu dan menghabiskan masing-masing secawan arak. Eng-seng-thiong belakangan dan kakek ini mulai gemetar. Apa-apaan ini, masa orang meminum racun!
Tapi ketika ia terpaksa menenggak dan perut serasa mendidih, sinkang dikerahkan untuk menahan itu maka lawan tertawa merdu dan menenggak cawan ketiga. Yang lain menyusul dan tampaklah pemandangan gila-gilaan itu. Siau-hun Mo-li merah mukanya sementara Siang-buang Thai-swe menjadi lebih hitam.
Eng-seng-thiong pucat dan merah berganti-ganti namun dia terus minum. Tokoh ini tak berani mundur atau tiga temannya bakal memaki-maki. Dan ketika cawan demi cawan digelogok habis, botol kedua dilempar untuk mengambil botol ketiga maka sampai di sini empat orang tokoh itu mulai bergoyang-goyang. Kepala mereka pening sementara isi perut seakan mau pecah. Perut mereka itu seolah gunung yang siap meletus, gemuruh!
“Ha-ha, siapa tak kuat boleh berhenti, Siau-hun Mo-li. Nyatakan kalah dan tunduk kepadaku!”
“Aku masih kuat!” si nenek membentak. “Minumlah lagi, anak sombong. Mungkin kali ini kau roboh!”
Siang-buang Thai-swe diam-diam kagum. Mereka terbelalak melihat betapa lawan sama sekali agaknya tak terpengaruh. Wajah si banci itu sehat-sehat saja padahal mereka semakin hitam. Matapun berkunang-kunang dan tubuh seakan tak tetap lagi. Gila! Dan ketika botol keempat dibuka dan Kutu Peniru Suara pucat pasi, tiga temannya mulai terhuyung dan ia merasa pening maka kakek ini berseru keras dan tiba-tiba memuntahkan semua isi perutnya.
“Aku tak mau meneruskan lagi, lawan kita ini gila... huaakk!” arak menyembur dan keluar dari perut si Kutu Peniru Suara ini. Ia telah menahan racun cukup lama namun hawa panas dan mendidih itu tak kuat ditahannya lagi. Kepalapun pening dan bumi rasanya berputar. Dan ketika kakek itu menyemburkan araknya sementara tiga temannya kaget, mereka sesungguhnya juga tak kuat maka orang kedua dari Siang-buang Thai-swe tiba-tiba juga memuntahkan arak beracunnya di susul oleh Siau-hun Mo-li dan kakaknya.
“Huaakkk!”
“Proottt!”
Ledakan terakhir ini adalah bunyi kentut yang amat nyaring. Orang pertama dari Siang-buang Thai- swe itu kiranya mengeluarkan arak dengan cara aneh, melalui bawah perutnya dan terciumlah bau busuk dan anyir. Bau ini adalah bau arak bercampur kentut, tak keruan rasanya.
Dan ketika si banci terkekeh-kekeh melihat empat orang itu muntah-muntah, mereka terhuyung dan jatuh terduduk maka ia meneruskan minumnya dan botol itu ditenggaknya sendirian, habis dan diambilnya botol kelima lalu diminum sekaligus. Dan ketika ia terbahak-bahak dan bangkit dari kursinya maka Eng-seng thiong kaget sekali karena celana dan baju si banci itu dari pinggang ke bawah basah kuyup.
“Sin-can-po-he (Ilmu Keringat Sakti)!”
Siau-hun Mo-li dan Siang-buang Thai-swe terbelalak. Mereka tiba-tiba juga melihat itu dan kaget serta pucat. Pantas kalau lawan tak apa-apa karena dengan Sin-can-po-he itu arak segera menguap, keluar melalui tubuh dalam bentuk keringat sebesar jagung. Dan ketika semua terkejut dan kaget serta mundur, ilmu itu hanya dapat diwarisi oleh seseorang yang sudah amat tinggi sinkangnya maka si banci berkelebat dan tiba-tiba empat orang itu ditotoknya roboh. Gerakannya cepat dan luar biasa.
“Ha-ha, benar. Matamu awas, Eng-seng-thiong. Aku tak jadi membunuhmu untuk kepintaranmu ini... tuk-tuk-tuk!”
Empat orang itu roboh dan tak sempat mengelak. Mereka hanya melihat bayangan biru dan tahu-tahu tertotok. Siang-buang Thai-swe dan Siau-hun Mo-li tentu saja kaget bukan main. Tapi ketika nenek itu memaki-maki bahwa lawan curang, mereka masih pening oleh pengaruh arak maka si banci berkelebat dan ujung bajunya membebaskan totokan itu. Si nenek dan lain-lain melompat bangun.
“Ha, masih penasaran. Boleh! Kau tak puas oleh kepandaianku, Siau-hun Mo-li rupanya ingin benar-benar bertanding secara keras. Majulah, dan aku akan merobohkan kalian tak lebih dari dua puluh jurus!”
Siang-buang Thai-swe dan nenek itu kaget sekali. Mereka tak menyangka, sementara si Kutu Peniru Suara sudah maklum. Tokoh tinggi kurus ini memang sebelumnya jerih. Maka ketika tiga temannya melompat bangun dan menampar kepala menghilangkan sisa pening, pengaruh arak akhirnya lenyap maka nenek itu tiba-tiba memekik dan menerjang.
“Bocah sombong, kau lihai tapi jahat, curang. Siapa mengira kau mengeluarkan arakmu melalui keringat!”
“Heh-heh, kau nenek tak tahu diri. Justeru itu harus membuat matamu terbuka, Siau-hun Mo-li, bahwa kepandaianku masih jauh di atas kalian. Robohlah, dan bangun serta serang aku lagi...plak-plak!” lengan si nenek ditangkis dan nenek itu terjengkang. Ia merasa linu dan kesakitan tapi marah meloncat bangun, Siang-buang Thai-swe diteriakinya agar maju membantu.
Dan ketika dua kakek kembar itu juga sadar dan mengangguk, sudah waktunya untuk mengadu ilmu silat maka Ji-thai, Datuk Nomor Dua membentak dan menerjang pula, maju berkelebat. “Toa-ko (kakak), bocah ini benar-benar sombong. Mari kita bekuk dan robohkan dia...wherrr!”
sepasang lengan kakek pendek itu menyambar, mengeluarkan deru angin dahsyat Hek-thau-ciang alias Pukulan Gajah Hitam. Ini adalah kepandaian khas mereka, gajahpun bisa terpelanting kalau dipukul. Tapi ketika si banci mengelak dan luput, pukulan itu menghantam tanah hingga berlubang maka It-thai alias sang kakak maju menggempur pula.
“Anak muda, kau hebat, tapi terimalah pukulan kami...dess!” pukulan ini juga luput karena lawan tiba-tiba berkelebat menghilang.
Si banci itu memiliki kecepatan seperti setan, lenyap dan menghilang begitu cepatnya. Dan ketika dua kakek itu terkejut tak tahu lawan di mana mendadak telinga mereka dijewer dan si pemuda terkekeh di belakang mereka. “Aku di sini, jangan melihat ke mana-mana!”
Bukan main panasnya dua datuk ini. Mereka bukan orang-orang sembarangan namun berhadapan dengan pemuda baju biru ini mereka seakan anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Ji-thai membentak dan meraung gusar. Dan ketika ia melepas pukulan lagi dan kali ini ditangkis, girang dan berseru keras ternyata diri sendiri yang terpelanting dan terjengkang.
“Heh-heh, jangan berkaok-kaok. Pukulan gajahmu itu tak ada artinya bagiku, Siang-buang Thai-swe. Lihat aku menangkismu... dess!”
Ji-thai terjengkang dan bergulingan. Ia benar-benar kaget tapi sang kakak menolong, Siau-hun Mo-li juga membentak dan Eng-seng-thiong yang ragu-ragu akhirnya menyerang pula. Kutu Peniru Suara ini pucat. Dan ketika mereka semua berkelebatan tapi lawan lagi-lagi menghilang, mereka sebagai tokoh-tokoh berkepandaian tinggi tak mampu menangkap bayangannya maka bahu atau pundak mereka ditepuk lawan.
“Aku di sini, heii.... jangan meleng! Plak-plak...!”
Tiga orang itu terpelanting dan kaget serta gusar. Siang-buang Thai-swe akhirnya menggeram dan mengeluarkan sepasang gada mereka, bulat dan kokoh dan lucu melihat kakek-kakek pendek macam mereka mengeluarkan gada seseram itu, panjangnya hampir sama dengan tubuh mereka! Dan ketika dua orang itu bergerak dan gada menderu menyambar kepala, disusul pukulan Gajah Hitam di tangan kiri maka nenek Siau-hun Mo-li tak mau kalah dan mengibaskan rambutnya yang panjang hitam seperti ular memagut.
“Plak-plak!”
Nenek itu terhuyung dan berseru kecewa. Untuk kesekian kalinya lagi ia dibuat mundur dan terkejut, tenaga lawan membuat rambutnya mental dan kulit kepala pun pedas, rasanya seakan ditarik! Dan ketika Eng-seng-thiong akhirnya mengeluarkan senjatanya pula, sebuah jepitan pencari kutu maka rambutnya dikibas-kibaskan dan ribuan binatang kecil-kecil berhamburan menyambar si banci itu, kelap-kelip ditimpa cahaya lampu.
“Ha-ha, komplit, bagus sekali. Ah, maju dan keluarkan semua kepandaian kalian, Siau-hun Mo-li, dan hamburkan Siau-hun-sanmu (Bubuk Pembuyar Sukma) bersama kutu-kutu Eng-seng-thiong ini, ha-ha!”
Nenek itu terkejut. Ia sudah menyerang tapi dikelit dan lawan berseru menyebut bubuk rahasianya itu, Siau-hun-san yang tak akan dikeluarkan kalau tidak betul-betul terpaksa. Maka ketika lawan mengenal segalanya dan jelas tak memandang mata, semua dianggap enteng maka Hek-thau-ciang sepasang Datuk Kembar juga berdentum dan saling pukul sendiri. Dua kakek itu terhuyung mundur.
“Ha-ha, dan kalian eh! Gunakan gada secara baik dan benar, Siang-buang Thai-swe. Sekali dapat menyentuh ujung bajuku saja biarlah kunyatakan kalah!”
Dua kakek itu terbakar. It-thai yang biasanya tenang dan tidak sepemarah adiknya akhirnya meledak juga. Empat kali senjatanya luput sementara dua kali pukulannya dibuat mental. Ia terdorong dan marah serta kaget. Dan ketika ia menyerang lagi dan adiknya disuruh bergerak dari kiri, ia dari kanan maka kakek itu berseru agar dua temannya yang lain menyerang dari muka dan belakang.
“Mo-li biar dari depan, Eng-seng-thiong dari belakang. Keparat, bocah ini benar-benar sombong, Ji-te, tapi ia lihai. Hati-hati dan jangan sampai terpukul!”
Sang adik mengangguk dan berseru menuruti omongan sang kakak. Mereka menyerang dari kiri kanan tapi si banci berkelebat ke atas, lawan menghilang dan saat itu rambut serta jepitan si Kutu Peniru Suara beradu, tentu saja ramai dan nenek itu memaki-maki. Lalu ketika mereka terhuyung saling pukul sendiri, si banci turun maka kedua lengannya mengibas empat orang itu yang kontan terpelanting lagi, tertawa-tawa.
“Hi-hik, tak becus. Terlalu rendah. Orang macam kalian tak pantas bekerja di istana, Siau-hun Mo-li, hanya menggerogoti uang negara saja. Ayo kalian tunduk dan berada di bawah pimpinanku!”
“Keparat, sombong jahanam. Kau belum membalas dan mengeluarkan kepandaianmu, bocah busuk. Robohkan kami dan buktikan omongan. Hayo berapa jurus pertandingan ini!”
“Ha, ingat aku sekarang. Delapan jurus! Ha-ha, delapan jurus, nenek bau, dan dua belas jurus lagi kalian berempat roboh. Awas....!” si banci berkelit dan membiarkan sepasang gada lewat, menderu dan menghantam tanah lalu disusul pukulan Hek-thau-ciang.
Tangan kiri dua datuk itu menyambar namun dengan telapaknya si banci ini menyambut. Lalu ketika terdengar suara mendesis dan dua orang berteriak, mereka bertemu hawa panas yang membakar tulang maka keduanya menarik serangan dan melempar tubuh bergulingan. Siau-hun Mo-li meledakkan rambutnya sementara Eng-seng-thiong menggerakkan jepitan kutunya menusuk ujung hidung lawan.
Tapi itupun tak banyak artinya. Si banci meniup dan jepitan itu melenceng, tepat menangkis rambut si nenek hingga Siau-hun Mo-li memaki-maki. Dan ketika ribuan kutu kembali menyambar namun dihalau kebutan ujung baju maka binatang kecil-kecil itu justeru terdorong dan berhamburan di tubuh Siang-buang Thai-swe dan nenek Siau-hun Mo-li.
“Keparat, kenapa kau arahkan ke sini. He, buka matamu baik-baik, Eng-seng-thiong. Masa teman sendiri kau serang!”
“Terkutuk, bukan aku. Bocah ini yang menghembusnya, Mo-li, jangan bercuap-cuap karena rambutmu pun mengeluarkan bau tak sedap. Hayo bangun dan serang lagi!”
Dua orang itu bertikai sendiri. Mereka saling maki dan menyumpah namun Siang-buang Thai-swe membentak. Lawan yang mereka hadapi benar-benar luar biasa. Dan ketika semuanya bangun kembali dan mengeroyok maju, si nenek mulai merogoh Siau-hun-sannya maka menyambarlah bubuk-bubuk halus ke wajah lawan...