TAPAK TANGAN HANTU
JILID 22
KARYA BATARA
JILID 22
KARYA BATARA
KETUA Hoa-san ini terbelalak. Pihaknya sudah diserbu dan Eng-seng-thiong serta kawan-kawan mendapat bantuan. Empat temannya berkelebat ke kiri kanan sementara yang di luar membentak dan menghadapi Pasukan Rompi Merah itu. Dan ketika terdengar jerit dan senjata beradu, disusul mencelat atau terlemparnya tubuh maka Wang-busu dan pasukannya terkejut karena pihak mereka terpental.
“Awas, mundur dan serang dengan panah, jangan dekat-dekat!”
Para pendekar menjadi sibuk. Mereka membentak diserang senjata jarak jauh dan Mo Mo Cinjin serta Beng Cit Ho-siang menggeram marah, mereka diserang dari segala penjuru. Akan tetapi karena Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan juga mendapat bagian, mereka menangkis dan memaki-maki maka nenek itu meloncat mundur, mau melarikan diri. Namun Kong Tek Hwesio tak mau melepaskan. Hwesio ini merangsek terus dan putaran toyanya menghalau semua panah, dialah lawan si nenek bengis. Maka melihat si nenek bergerak dan siap memutar tubuh, toya di tangan itupun mengejar, menghantam dari belakang.
“Siau-hun, jangan licik. Pertempuran belum usai!”
Nenek ini marah. Ia meledakkan rambutnya tak jadi pergi, lawan bagai bayangan menempelnya saja. Dan ketika mereka sama-sama terpental dan bertempur lagi maka Eng-seng-thiong juga siap menyembunyikan diri namun Beng Cit Ho-siang tak membiarkannya, mendesak dan toya maupun kebutan ujung baju menghalau semua anak-anak panah.
Bingunglah Kutu Peniru Suara ini. Tak disangkanya ketua Bu-tong dan orang-orangnya itu begitu nekat, ini merupakan tanda betapa Beng Cit Ho-siang dan lain-lain memang tak akan sudah kalau Te-gak Mo-ki belum keluar. Dan mendongkol serta marah si banci itu membiarkan mereka menjadi ujung tombak akhirnya apa boleh buat kakek tinggi kurus ini melayani lawannya.
“Baik, sampai matipun aku tak akan mundur, keledai gundul. Kau atau aku mampus!”
Ketua Bu-tong tertawa mengejek. Memang ia tak pernah jauh dari lawannya ini, menempel dan membayangi sementara hujan anak panah dihalau kebutan ujung jubahnya. Eng-seng-thiong juga mendapat serangan panah yang nyasar, memaki dan membentak dan serulah pertandingan ini. Dan ketika di sana Siang-buang Thai-swe juga bertempur sengit dengan tokoh-tokoh Hoa-san maka It-thai maupun Ji-thai menggeram tak dapat mundur.
Seperti rekannya ketua Hoa-san Mo Mo Cinjin berkelebatan dan merangsek lawan. Dia berhadapan dengan It-thai sementara sutenya menghadapi Ji-thai. Ce Han Tojin atau sute dari Mo Mo Cinjin ini juga tak mau melepas kesempatan. Dengan kecepatan dan permainan pedangnya yang cepat ia mendesak lawan. Dan karena lawan sudah terpengarnh oleh bayangan-bayangan di luar mereka, murid atau pengikut dari Bu-tong dan Hoa-san ini maka secara mental mereka sudah tertekan.
Ji-thai yang berangasan akhirnya memukul dan mendorong tak banyak bergerak. Ce Han Tojin itulah yang aktif bergerak, mengelilingi dan menyerang lawan dengan cepat, mengandalkan ilmunya meringankan tubuh. Dan ketika, perlahan tetapi pasti lawan mulai kewalahan, mundur dan mandi keringat maka bantuan Wang-busu sejenak melegakan empat orang ini akan tetapi perlawanan para murid di luar menggoyahkan lagi harapan mereka.
Tak kurang dari lima puluh orang menghadapi Pasukan Rompi Merah itu. Wang-busu sendiri terkejut melihat banyaknya pengikut Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang itu. Dan ketika iapun menyadari betapa seriusnya orang-orang kang-ouw ini mencari Te-gak Mo-ki, diapun sudah mendengar berita tentang perbuatan si banci itu akhirnya komandan pasukan yang bergerak dari jauh ini kehabisan akal, hujan panah hampir tak berarti bagi orang-orang kang-ouw itu.
Akan tetapi semuanya tiba-tiba cepat berubah. Bayangan biru menyambar dari istana dan terdengar tawa aneh. Tawa ini tak begitu keras namun gemanya menggetarkan jantung, menusuk dan membuat orang menjerit dan tiba-tiba semua terpelanting. Telinga mereka seakan ditusuk-tusuk jarum. Dan ketika pengawal roboh menutupi telinga sementara yang lain terhuyung dan mendekap dada, bagian kiri mereka itu seakan dihantam benda berat maka Te-gak Mo-ki muncul di situ, berseru,
“Tahan, semua berhenti. Aku di sini dan yang lain menyingkir!”
Hebat pengaruh kata-kata ini. Wang-busu yang bertemu pandang tiba-tiba menunduk, tergetar dan surut dan ia sendiri melepaskan tangannya dari telinga. Orang yang berkepentingan ternyata muncul, tentu saja ia lega. Dan ketika ia menyuruh orang-orangnya mundur, Pasukan Rompi Merah bergerak menghilang maka tinggallah di situ Mo Mo Cinjin dan para pengikutnya, yang cepat bergerak dan mengepung.
“Hm, aku ada di sini, mau apa sekarang. Kau dan Beng Cit Ho-siang benar-benar mencari penyakit, Mo Mo Cinjin. Jawablah, kematian macam apa yang kalian inginkan!”
Mo Mo Cinjin bergerak, maju ke depan. Sekarang ia berhadapan dengan lawannya ini dan tampak gemetar. Namun sebelum ia bicara tiba-tiba Beng Cit Ho-siang menggamit lengannya.
“Omitohud, urusan kami adalah urusan pribadi, Te-gak Mo-ki, menuntut tanggung jawabmu yang membunuh-bunuhi murid-murid kami. Kalau kau tak berlindung di balik nama istana dan melepaskan baju kekuasaanmu marilah keluar dan kita selesaikan di sana. Kami datang untuk menuntut tanggung jawab!”
“Benar,” Mo Mo Cinjin sadar. “Urusan kami adalah urusan pribadi, Te-gak Mo-ki, tak ada sangkut-pautnya dengan istana. Kita selesaikan di luar kalau kau berani menerima tantangan kami!”
Te-gak Mo-ki tertawa. Ia memandang dua ketua Hoa-san dan Bu-tong ini dengan sinar mata dingin, sama sekali tak acuh dengan lima puluh yang lain yang dianggapnya batang-batang pohon belaka. Dan ketika ia mengangguk dan berkelebat pergi mendadak ia sudah melewati kepala semua orang dan berseru, “Hoa-san-paicu, jangan kira aku takut. Marilah, aku melayani permintaan kalian secara pribadi!”
Giranglah Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang. Kalau Te-gak Mo-ki berani seperti itu dan meninggalkan istana berarti urusan benar-benar sebagai pribadi, istana dan lain-lain tak ada sangkut-pautnya. Maka ketika mereka berkelebat tapi terkejut bahwa lawan tiba-tiba menghilang, khawatir dibohongi maka Mo Mo Cinjin berseru, “Te-gak Mo-ki, di mana kau. Jangan bersembunyi!”
“Heh-heh, aku di depan. Jangan berkaok-kaok seperti ayam takut disembelih, Mo Mo Cinjin. Lihat aku di sini dan semua ikuti aku!”
Ketua Hoa-san terkejut dan memandang. Lawan ternyata merupakan titik hitam di sebelah kiri namun suara dan kata-katanya begitu dekat. Secepat iblis menyambar Te-gak Mo-ki itu sudah di luar tembok istana, hampir tujuh atau delapan ratus meter. Dan ketika ia terbelalak sementara Beng Cit juga terkejut dan melesat ke depan ia pun mengerahkan ginkangnya dan mengejar. Lawan tampak sebagai titik hitam yang bergerak di antara lampu-lampu buram.
“Lihai, hebat sekali. Hati-hati dan awas jangan gegabah, anak-anak. Mari kejar dan ikut di belakang kami!”
Beng Cit mengerahkan ilmunya dan coba mengejar. Ia sudah melesat sepenuh tenaganya namun lawan semakin jauh, tentu saja ia pucat. Namun karena terlanjur menantang dan kedatangan mereka memang hendak menuntut tanggung jawab, betapapun lihainya lawan tak perlu ia mundur maka hwesio ini berlumba dengan rekannya dari Hoa-san menyusul dan mengikuti Te-gak Mo-ki itu, pengikut atau anak buah mereka di belakang jatuh bangun mengejar sang ketua.
“Tunggu, jangan cepat-cepat, suheng, anak-anak kewalahan!”
“Kau pimpin mereka. Susul dan kejar kami di luar hutan, sute. Lawan menuju arah utara!”
Kong Tek Hwesio bingung. Ia di belakang suhengnya ini ketika melihat murid-murid tertinggal, mau memperlambat tapi khawatir kepada ketuanya ini. Dan ketika ia menyuruh sutenya yang lain menjaga dan menjadi petunjuk jalan akhirnya hwesio Bu-tong ini bergerak di samping ketuanya lebih mengutamakan yang penting.
“Kenapa di sini, kau menjaga anak-anak.”
“Tidak, mereka sudah kuserahkan kepada Ong Ciu-sute, suheng. Aku menjagamu karena lebih penting!”
“Hm!” Beng Cit tak bicara lagi dan hampir kehilangan jejak. Di luar pintu gerbang Te-gak Mo-ki itu melayang bagai garuda menyambar, lenyap dan sudah di luar dan cepat ia menyusul bersama ketua Hoa-san. Serentak mereka ini menjejakkan kaki dan Beng Cit mempergunakan toyanya menotol, bantu mengangkat tubuhnya dan terlihatlah lawan melesat di depan, terkekeh. Lalu ketika semua juga mengejar dan susul- menyusul melayang di atas gerbang yang tinggi itu, bagai burung atau kelelawar-kelelawar hitam maka penjaga atau yang bertugas di pintu melongo.
“Iblis! Apa yang kulihat ini, hantu atau bukan!”
Para pendekar itu lenyap. Mereka sudah tak ada di situ dan penjaga membelalakkan mata. Tapi ketika satu di antaranya berlari dan mengintai dari lubang kunci, melihat bayangan berkelebatan di padang ilalang maka yang ini berseru mengundang rekannya.
“Manusia! Mereka manusia! Ah, itu para hwesio dan tosu-tosu!”
Tertegunlah yang lain. Mereka berebut ingin tahu dan mengintai dengan mendorong yang lain. Dan ketika di bawah cahaya bulan tampak kepala-kepala gundul dan rambut yang digelung di atas kepala, itulah tosu dan para hwesio maka mereka mengangguk dan terheran-heran.
“Benar, siapa mereka. Seperti setan terburu-buru!”
Jawaban ini tak didapat. Tosu dan hwesio Bu-tong lenyap sekejap kemudian di balik kegelapan malam, penjaga pucat. Namun karena bayangan itu tak mengganggu mereka dan pintu gerbang tetap aman maka Beng Cit dan Mo Mo Cinjin telah tiba di luar hutan di mana lawan menunggu. Dengan tenang dan senyum dingin si banci lebih dulu di situ, tidak tampak berkeringat dan berdiri sombong, lain dengan Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang yang wajahnya merah, keringat membasahi tubuh. Dan ketika dua orang ini di situ dan Beng Cit melompat di sebelah kanan, Mo Mo di sebelah kiri maka kakek ini menyimpan pedangnya mengganti dengan sebatang tongkat panjang di tangan, tangan yang lain menuding dan menunjuk,
“Te-gak Mo-ki, kau telah bersikap jantan dan menunggu kami di sini. Bagus, sekarang berlutut dan menyerahlah atau kami memaksamu!”
“Hm, hi-hikk !” tawa itu seperti wanita, namun bercampur pria dan serak-serak mengejek. “Tak usah macam-macam menakut-nakuti aku, Mo Mo Cinjin. Kalau kita sudah di sini dan ingin bertempur majulah. Aku akan membunuh kalian dan membasmi Hoa-san maupun Bu-tong!”
“Keparat!” Ce Han tak tahan dan maju di depan suhengnya itu, langsung menusukkan pedang. “Daripada bicara yang membuang-buang waktu sebaiknya kau dibunuh, banci jahanam. Pinto menagih hutang jiwa para saudara dan menghancurkan kesombonganmu!”
Akan tetapi lawan mengelak. Tenang dan tidak memandang sebelah mata si banci ini tetap memandang Mo Mo Cinjin, ketua itu terbelalak kepadanya. Dan ketika Ce Han membalik dan menyerangnya lagi tiba-tiba ia mengibas dan tosu itu mencelat terbanting.
“Bresss!”
Ce Han terkejut dan bergulingan mengeluh. Ia tak menyangka sekali kibas saja dirinya roboh. Tapi ketika ia meloncat bangun dan hendak menerjang lagi mendadak ketuanya mencegah.
“Sute, jangan sembrono. Lawan menunggu pinto!”
“Benar, aku menunggu jawabanmu untuk mati macam apa, Mo Mo Cinjin, perlahan-lahan atau cepat. Disiksa atau langsung ke akherat. Nah, jangan buang waktu lagi karena akupun mulai tak sabar!”
Ketua Hoa-san ini mendelik. Ia bertukar isyarat dengan Beng Cit Ho-siang dan tiba-tiba bergerak, tongkat menyodok dengan cepat dan tahu-tahu mendekati ulu hati lawan. Dan ketika lawan mengelak akan tetapi dari kanan ketua Bu-tong itu menggerakkan toyanya maka gerakan lelaki ini dipotong dan tak mungkin lagi mengelak.
“Crang-crangg!”
Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan. Seperti siluman atau iblis saja tahu-tahu si banci itu lenyap, entah kemana. Dan ketika dua orang ini beradu senjata mendadak yang lain berteriak, kaget karena tahu-tahu dari atas si banci itu menampar Hoa-san-paicu dan Bu-tong-paicu.
“Awas, suheng!”
Dua orang ini menggerakkan lengan kiri. Mereka kaget oleh serangan itu dan baru tahu bahwa lawan kiranya mencelat ke atas. Begitu cepatnya gerakan itu hingga mereka sebagai ketua-ketua Bu-tong dan Hoa-san tak mampu mengikuti, betapa hebatnya. Tapi ketika mereka menangkis dan mencelat terbanting maka Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang mengeluh.
“Serbu!”
Yang lain tak menunggu waktu lagi perintah ketuanya. Ce Han Tojin yang, lebih dulu memberi aba-aba dan melindungi ketuanya sudah memutar pedang dan menusuk, ia tak mau ketuanya dikejar si banci itu dan kaget bahwa segebrakan saja suhengnya terbanting. Begitu lihainya lawan. Dan karena Kong Tek Hwesio juga harus menjaga ketuanya yang mengeluh tertahan, membentak dan menyambar lawan dengan toyanya maka berturut-turut dengan gerakan cepat lima puluh orang ini maju bergelombang dengan serangan marah menerjang si banci itu.
Akan tetapi si banci tertawa dingin. Hujan senjata yang begitu banyak disampok, lawan terpekik dan terbanting. Dan ketika semua bergulingan dan senjata patah-patah maka Ce Han Tojin melengkung pedangnya dikibas angin pukulan lawan.
“Plak!” tosu ini terhuyung dan terbelalak. Ia pucat memandang senjatanya namun membentak lagi. Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang sudah maju berseru dengan suara marah, ketua Hoa-san mencabut pedangnya. Lalu ketika dengan dua senjata di tangan kiri dan kanan menerjang laki-laki itu, si banci mengelak dan mundur maka toya di tangan Beng Cit mengenai punggungnya.
Bukk!” Toya meleset menghantam punggung yang licin. Ketua Bu-tong itu berseru keras dan heran serta kaget. Itulah Hek-be-kang yang dipunyai si banci, Belut Hitam yang hebat. Dan ketika senjata yang lain menyambar lagi namun meleset atau terpental, seruan kaget terdengar di sana-sini maka si banci tertawa menggerakkan tubuh mencabut kipasnya.
“Sekarang kalian roboh!”
Hebat pembalasan si banci ini. Pertama kali yang terdengar adalah pekik murid Bu-tong, seorang hwesio muda yang tadi menusuk pinggang si banci dari samping. roboh dan menggelepar dengan kepala retak. Lalu ketika disusul oleh jerit atau pekik murid Hoa-san yang dikepret jeruji kipas maka tak lama kemudian berturut-turut delapan yang lain roboh dengan kepala pecah!
“Prak-prakk!”
Cepat sekali gerakan itu. Bayangan biru menyambar ke sana-sini dan tubuh-tubuh segera bergelimpangan. Ce Han Tojin sendiri terbanting dan bergulingan, nyaris diketuk ujung kipas yang menyambar dahinya. Dan ketika Kong Tek Hwesio juga tertolak senjatanya menghantam kepala sendiri, benjut maka hwesio itu bergulingan melempar tubuh.
“Awas, jangan terlampau dekat!” Beng Cit Ho-siang berteriak dan mundur dengan muka pucat. Tiga kali toyanya menghantam namun tiga kali pula mental, bahkan semakin keras ia menggebuk semakin keras pula daya tolaknya. Hampir saja ia sendiri seperti Kong Tek, dihajar dahinya. Dan ketika ia berhati-hati mengelak sambaran kipas, bayangan biru itu bagai walet beterbangan maka Mo Mo Cinjin sendiri juga menjauhkan diri karena tongkat di tangan kirinya patah, tinggal separoh.
“Ha-ha, ayo maju, jangan takut. Dewa Kematian menyongsong kalian!”
Semua terbelalak pucat. Kepungan yang ketat tiba-tiba melebar, mayat di dalam pertempuran sudah berjumlah empat belas. Namun ketika Mo Mo Cinjin membentak dan maju lagi, berkelebat disusul Beng Cit Ho-siang maka yang lain maju pula mengikuti. Akan tetapi yang repot adalah ilmu belut yang dimiliki lawan itu. Pedang pun tak mampu membacok, toya atau senjata lain terpental semua. Dan karena si banci juga memiliki gerakan cepat bagai kilat menyambar, hampir tak ada yang dapat mengikuti maka semua menjadi jerih dan gentar.
Mo Mo Cinjin sendiri akhirnya mengakui bahwa Te-gak Mo-ki benar-benar orang luar biasa. Pukulan atau hantaman mereka tak ada yang kuat, tubuh itu dilindungi sinkang aneh dan licin pula seperti belut. Dan ketika ia bingung harus melakukan apa, Beng Cit Ho-siang juga terbelalak dan toyanya melengkung tiba-tiba lawan mengeluarkan tawa aneh dan menyimpan kipasnya.
“Nah, cukup. Sekarang rasakan kelihaianku yang lain!”
Orang menjadi girang. Tadinya kipas membuat takut bagai momok saja, setiap bergerak tentu seorang di antara mereka roboh. Maka ketika mereka berseru keras dan maju lagi, berani maka Mo Mo Cinjin sendiri menjadi heran dan Beng Cit Ho-siang memandang curiga. Betul saja, kejadian mengerikan malah terjadi lebih hebat. Ta Peh Hwesio yang berada di belakang lawan dan membentak mengemplangkan toyanya tiba-tiba ditangkap, lawan membalik dan secepat kilat menerima hantaman itu.
Dan ketika sang hwesio berkutat menarik senjatanya tahu-tahu lawan bergeser maju dan kuku kirinya menggurat pelipis hwesio itu. Sang hwesio tak mampu berkelit tapi tiba-tiba berteriak. Ang-su-giat (Racun Semut Api) membakarnya. Dan ketika pedih dan panas serta gatal menyerang hwesio ini, sute Beng Cit Ho-siang itu melempar tubuh bergulingan maka ia mencakar pipinya sendiri yang robek dan pecah!
Kejadian ini tak berhenti di situ saja karena Te-gak Mo-ki membalik dan menghadapi yang lain. Musuh yang girang melihat ia tak bersenjata sudah merangsek lagi, tak tahu bahwa bahaya mengancam mereka. Dan ketika Ce Han ditangkap pedangnya lalu ditarik mendekati si banci maka laki-laki ini telah mengguratkan kukunya lagi ke pundak si tosu.
“Rrt-rrt!”
Dua luka kecil mendarat di pundak, tidak merobohkan tosu itu namun akibatnya mengerikan. Sama seperti Ta Peh Hwesio tosu ini merasa disengat api yang tajam, bukan sekedar tajam namun panas membakar. Dan ketika ia berteriak dan melempar tubuh bergulingan maka tosu ini merobek pundaknya mencakari seperti gila.
“Aduh..... augh, aduh...!”
Mo Mo Cinjin terbelalak. Ia melihat sutenya bergulingan dan berteriak menjerit-jerit. Pundak itu robek disusul daging dan darah. Dan ketika sekujur tubuh lalu digaruk dan dicakar seperti gila maka sadarlah kakek ini bahwa racun yang jahat mengamuk di tubuh sutenya itu.
“Te-gak Mo-ki, kau benar-benar iblis keji!”
Beng Cit Ho-siang juga terbelalak. Ia melihat sutenya nomor dua, Ta Peh, bergulingan dan sama seperti sute Mo Mo Cinjin itu. Maklumlah dia bahwa racun yang amat ganas menyerang sutenya itu. Maka ketika ia membentak dan marah menerjang maju tiba-tiba hwesio ini mengeretakkan gerahamnya membuang toya mengganti dengan sepasang golok.
Akan tetapi si banci tertawa terkekeh. Ia mengibaskan tubuhnya, dua kali. Lalu ketika golok menusuk jantungnya iapun menerima tenang dan bles, golok lewat begitu saja seakan menusuk roh halus! Pucatlah Beng Cit Ho-siang melihat ini. Ia menarik senjatanya lagi dan mengamuk, lawan berkelebat dan terkekeh-kekeh. Lalu ketika di sana pedang Mo Mo Cinjin juga seakan menusuk badan hantu, lewat dan mundur berteriak maka semua kaget dan berteriak ngeri.
Sekarang Te-gak Mo-ki ini mengeluarkan ilmu hitamnya yang dahsyat. Ia bergerak dan maju mundur menerima tikaman dan bacokan. Hek-be-kang tak dipakainya lagi karena ilmu belut itu sudah ganti. Ia memperlihatkan kesaktiannya. Dan ketika lawan menjadi pucat dan gentar maka bergeraklah kukunya menusuk sana-sini. Murid-murid Bu-tong dan Hoa-san menjerit. Mereka bergulingan mengaduh-aduh. Dan ketika Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang membelalakkan mata maka bergeraklah iblis itu mengguratkan kukunya.
“Kau, sekarang giliranmu, Mo Mo Cinjin, dan kau juga si hwesio bau!”
Mo Mo dan Beng Cit mengelak namun gagal. Telinga dan lengan mereka tergurat. Dan ketika senjata di tangan jatuh terlepas maka dua tokoh Bu-tong dan Hoa-san ini mengeluh roboh. Beng Cit terbakar telinganya sementara Mo Mo Cinjin terserang lengannya. Mereka sudah mengerahkan sinkang namun racun itu menerobos juga, pucatlah dua ketua partai ini. Dan karena pembantu yang lain sudah roboh bergulingan tersiksa racun, beberapa di antaranya melarikan diri bersembunyi menjauhi si banci maka Te-gak Mo-ki berkelebat pergi terkekeh-kekeh.
“Heh-heh, selamat menikmati kematian. Itulah hukumannya bagi yang berani melawan aku!”
Bu-tong-paicu dan Hoa-san-paicu merintih ngeri. Lawan lenyap meninggalkan mereka namun Mo Mo Cinjin tiba-tiba menyambar sebatang pedang. Ketua Hoa-san ini sudah coba mendorong racun namun gagal. Dan ketika ia menggerakkan pedang membacok lengannya, putuslah lengan itu maka tosu ini roboh terguling pingsan.
Beng Cit melihat perbuatan rekannya dan tiba-tiba menggigit bibir. Iapun harus menyelamatkan diri. Dan ketika ia mengambil pedang itu dan membacok telinganya maka hwesio inipun roboh dengan telinga buntung!
Habislah pertempuran itu. Bu-tong dan Hoa-san sama-sama sial, yang tersiksa akhirnya roboh dan tewas. Dan ketika darah membasahi tempat itu sementara bulan menyembunyikan diri di balik awan hitam maka perlahan-lahan angin bertiup dingin mengusir sisa-sisa panas dari marahan dan kebencian.
Te-gak Mo-ki telah membantai sebagian besar dari dua perkumpulan ini. Kalaupun ada yang hidup maka mereka cacat, seperti halnya Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang itu. Dan ketika srigala melolong dari jauh, beberapa hewan malam juga bergerak mencium bau darah akhirnya muncullah moncong-moncong liar menjilat tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu. Anjing dan tikus liar berpesta, beruntung bahwa tak lama kemudian Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit sadar, tak jadi sasaran hewan-hewan menjijikkan ini. Dan ketika mereka menangis melihat kekejaman itu, mengusir dan melindungi para sute yang sudah menjadi mayat maka malam itu dua ketua ini bekerja keras mengubur yang tewas.
Mo Mo Cinjin hampir gila. Beng Cit juga gemetar dan beberapa kali muntah. Tapi ketika pekerjaan mereka selesai dan dua ketua ini meninggalkan hutan maka Beng maupun Mo Mo tak kembali lagi ke tempat mereka.
“Pinceng bersumpah akan mencari sahabat yang dapat menandingi iblis itu, tak kembali ke Bu-tong kalau Te-gak Mo-ki masih hidup. Selamat berpisah, Hoa-san-paicu, kita mencari jalan sendiri-sendiri saja mengobati kedukaan ini.”
“Pinto juga tak kembali ke Hoa-san. Pinto akan mencari orang sakti yang dapat mengatasi kekejaman iblis itu, Beng Cit lo-suhu. Pinto tak mau pulang kalau sakit hati ini belum terbalas!”
“Selamat berpisah!”
Dua orang itu berangkulan lalu terhuyung pergi. Masing-masing membalik dan mencari jalan lain dan sunyilah hutan yang menjadi kenangan buruk bagi dua tokoh ini. Mereka terpukul hebat. Dan ketika pagi menjelang tiba sementara tempat itu menjadi bersih maka tampak dua gundukan tanah besar di kiri kanan jalan. Kuburan para tosu dan hwesio yang telah dimakamkan Mo Mo Cinjin dan rekannya!
“Di istana ada seorang iblis. Kuat dugaan kami bahwa dialah biang keladinya, lo-enghiong. Kami tak tahu asal mulanya tapi terdapat perselisihan antara Cia-taijin dengan manusia iblis itu. Mohon pertolonganmu karena tabib tak dapat menyembuhkannya!”
Swi-goanswe bicara dan jenderal tinggi besar ini mengepal tinju. Akhirnya dia dan keluarga Cia-taijin ini tiba di tapal batas, selamat dan cepat menemui kakek itu untuk minta pertolongan. Kakek ini berada di sebuah lembah di tengah padang rumput, tinggal di sebuah gubuk kecil di mana di depan gubuknya itu berdiri kokoh sebuah pohon pek besar. Pohon itulah yang menjadi tanda dari kejauhan. Maka ketika ia datang ke sini dan bertemu, girang maka kakek itu menerima kedatangannya dan membawa Cia-taijin masuk kedalam.
Swi-goanswe sendiri tak tahu siapa sebenarnya kakek muka merah ini. Tapi karena kakek itu selalu berpakaian putih seperti orang berkabung, juga di dadanya terdapat gambar sepasang naga melingkar maka ia menyebutnya Song-lo-enghiong (orang tua gagah Song), karena si kakek juga pernah menyebut-nyebut dirinya sebagai “orang she Song” selain Liong-eng-hiong (orang tua Naga).
“Hm, kalian datang pada waktu yang tepat. Baiklah, dua jam lagi terlambat maka Cia-taijin tak dapat kutolong lagi, goanswe. Carikan katak hijau dan ambil kencingnya, bawa enam ekor!”
Swi-goanswe terkejut. “Kencing katak hijau, lo-enghiong?”
“Benar, enam ekor. Dan kau, anak muda, bawa ke sini enam batang jarum dinding itu. Cepat!”
Cia Sun bergerak dan mengambil yang diminta. Ia sendiri terkejut dan heran oleh permintaan pertama namun Swi-goanswe tak mau buang-buang waktu. Cepat jenderal ini keluar dan memerintahkan anak buahnya mencari katak hijau. Beruntung waktu itu musim hujan, katak dapat dicari dengan cepat. Dan ketika ia menjepit katak itu di bagian perutnya maka si kakek berseru bahwa perutnya harus di pencet, kencingnya diminumkan ke mulut Cia-taijin.
“Jangan buang-buang waktu lagi, minumkan kencingnya sebanyak tiga gelas. Kau bantu ayahmu membuka mulutnya, anak muda. Aku akan menggetarkan enam batang jarum ini di tubuhnya!”
Swi-goanswe terbelalak. Ia sudah menduga bahwa kencing katak pasti menjadi obat Cia-taijin, hanya yang tak diduga adalah kencing itu harus diminum! Tapi karena perintah harus dijalankan sementara enam batang jarum ditancap-tancapkan cepat, Cia Sun kagum betapa si kakek melempar-lemparkan begitu saja enam jarum itu di tubuh ayahnya maka enam ekor katak rmulai dipenceti dan keluarlah cairan kuning menuju mulut Cia-taijin.
“Crut-crut!” Kencing katak meluncur masuk. Bau pesing menusuk hidung, Cia Sun berbangkis. Tapi ketika Swi-goanswe menginjak kakinya agar menahan diri, kakek itu berkerut kening maka Cia Sun merah mukanya mendengar dengus pendek.
“Huh, bocah lemah hati!”
Pemuda ini menahan diri. Lima katak dibuang Swi-goanswe dan katak keenam dipencet perutnya. Tapi ketika kencing muncrat ke wajah pemuda ini maka Cia Sun muntah dan terbatuk kaget.
“Ah,” Swi-goanswe terkejut. “Sembrono kau, Cia Sun. Jangan tutup mulut ayahmu!”
“Aku jijik,” pemuda itu gemetar. “Baunya memuakkan, paman, keras sekali. Aku aku tak tahan!”
“Suruh bocah itu mencari lagi,” si kakek berseru, melotot. “Kau harus mencarinya dua ekor, anak muda. Cepat atau pengobatan sia-sia!”
Cia Sun bingung. Ia hanya bertugas memegangi mulut ayahnya dan bukan mencari katak, yang mencari adalah anak buah Swi-goanswe. Tapi ketika kakek itu menendangnya dan ia mencelat terlempar maka pemuda ini mengaduh di luar pondok mendengar bentakan marah.
“Cari atau ayahmu mampus. Aku tak mau orang lain dan harus kau sendiri!”
Terpaksa pemuda ini terhuyung bangun. Ia merah padam dan muncullah bayangan Swi Pang, sang kekasih. Dan ketika gadis itu terkejut menolongnya ia buru-buru melepaskan diri.
“Tak apa-apa, aku tak apa-apa. Sudahlah kau tunggu di sini aku menjalankan tugasku.”
Cia Sun meloncat pergi. Alangkah malu dan mendongkolnya hati ini, baru pertama itu si kakek menendangnya. Tapi karena keselamatan ayahnya benar-benar terancam dan ia menaruh harapan pada kakek itu maka ia mencari katak hijau namun dua kali terjungkal masuk lumpur!
Hampir Swi-goanswe tertawa melihat ini. Wajah pemuda itu berlepotan, dua ekor katak berada di tangan. Dan ketika kakek itu geli dan tersenyum mengangguk-angguk maka kencing katak harus cepat diminumkan.
“Kau bantu pamanmu seperti tadi, atau kau harus minum kencing itu sendiri!”
Cia Sun kecut. Ia membuka mulut ayahnya lagi dan Swi-goanswe memencet perut katak, cairan kuning kembali muncrat. Dan ketika tepat sekali mulut Cia-taijin akhirnya pengobatan ini selesai. Si kakek menyuruh semuanya keluar.
“Cukup, sekarang aku tak mau diganggu. Keluarlah dan biarkan aku sendiri!”
Cia Sun memandang ayahnya dengan hati berdebar. Ia belum melihat perobahan apa-apa dan diam-diam gelisah. Berhasilkah kakek itu menolong ayahnya? Mampukah menyembuhkan?
Tapi Swi-goanswe sudah menarik tangannya. Kalau dia khawatir adalah jenderal itu bersikap tenang, gembira. Mata Swi-goanswe melihat perobahan kecil pada diri Cia-taijin itu, wajah yang mulai memerah. Dan ketika ia menarik tangan pemuda itu diajak keluar maka di sana puterinya dan Cia-hujin menyambut.
“Bagaimana? Selesai?”
“Sabar, hujin tak usah khawatir. Aku percaya kepada kakek itu, Cia-taijin pasti sembuh!”
Nyonya ini bersinar. Ia menaruh harapan dan sudah mendengar tentang kepandaian Song-lo-enghiong ini. Konon orang sekaratpun bisa sembuh! Maka ketika ia terisak dan mengangguk menaruh kepercayaan maka Cia Sun menarik napas dalam dipandang kekasihnya dengan geli.
“Kau berlepotan, sebaiknya cuci muka dulu.”
Pemuda ini sadar. Ia bergerak dan menuju belakang sementara ibunya dan Swi-goanswe tersenyum. Lumpur yang melekat di wajahnya masih menempel, itulah gara-gara mencari katak hijau. Dan ketika semua menunggu di ruang depan maka setengah jam kemudian terdengar keluhan Cia-taijin.
“Suamiku sadar!” Cia-hujin bangkit dan berlari masuk. “Ah, mari kita lihat, goanswe. Kakek itu rupanya berhasil!”
Swi-goanswe meloncat dan mengejar pula. Pintu yang tak dikunci mudah saja dibuka, dua orang ini sudah di dalam. Dan ketika Cia-taijin tampak duduk di pembaringan dengan muka kemerah-merahan, kakek itu di belakang menahan punggungnya maka berteriaklah Cia-hujin menubruk suaminya itu. Cia-taijin tampak sembuh dan sehat, meskipun kurus dan lelah.
“Suamiku...!”
Sang menteri tampak bingung. Ia memang telah sadar dan sembuh dari pengaruh racun tapi pikirannya masih melayang-layang. Ia heran berada di gubuk sederhana, bersama seorang kakek tak dikenal. Dan ketika ia terbatuk dan dapat bertanya, itulah suara pertama kali sejak ia menderita maka kehadiran isteri dan Swi-goanswe membuat ia heran, terkejut.
“Kau. kau di sini? Di mana kita?”
“Ah, hu-hukk ! Kau sembuh, suamiku, syukur dan puji kepada Thian Yang Agung. Goanswe yang membawamu ke sini, kita di utara tapal batas tembok besar!”
Cia-taijin terbelalak dan terguncang-guncang ditubruk isterinya ini. Sang isteri menangis dan menciuminya berulang-ulang tapi tiba-tiba lelaki ini roboh. Ia lapar, lemas. Dan ketika Cia-hujin menjerit tapi lega melihat suaminya tak apa-apa maka kakek itu tertawa berkata pada Swi-goanswe.
“Buatkan bubur untuknya, berikan daging katak hijau!”
Swi-goanswe mengangguk dan kebetulan dua anak muda masuk. Cia Sun mendengar suara ayahnya ini dan Swi Pang menyusul ayahnya. Bukan main girangnya mereka melihat betapa si sakit sudah sehat. Tapi ketika Swi-goanswe berseru pada puterinya untuk membuat bubur bagi Cia-taijin, juga mengolah tujuh katak yang terengah-engah di lantai tiba-tiba gadis ini tertegun merasa jijik, geli.
“Song-lo-enghiong menyuruh itu, dagingnya harus dimasak pula. Siapkan bubur dan ambil katak-katak itu.”
“Aku geli, ih, jijik! Sebaiknya kau bunuh dulu mereka, ayah. Aku geli melihat perutnya yang besar bulat itu!”
Swi-goanswe tertawa. Ia mencabut pedang dan tiba-tiba sinar putih berkelebat, tujuh katak terpotong dua. Lalu ketika ia tertawa dan pedang telah lenyap lagi di sarungnya maka ia berseru pada puterinya untuk tidak berayal lagi. “Cepat, taijin lapar. Ia lemah dan lemas. Siapkan bubur paling enak dan kita rayakan kegembiraan ini!”
“Tapi mana kakek itu?” gadis ini bertanya dan mengejutkan ayahnya. “Ia tak ada, ayah. Heran, tadi masih di sini!”
“Hm, mungkin di luar. Sudahlah siapkan makanan itu dan kucari kakek ini!”
Swi-goanswe bergerak dan mencari kakek itu. Aneh, ia tak menemukan. Dan ketika mengira kakek itu bepergian sebentar, mungkin satu dua jam lagi kembali ternyata hingga sore kakek ini tak muncul juga. Cia-taijin sudah semakin sehat dan kuat, banyaklah cerita anak isterinya didengar. Dan ketika ia juga ingin mengucap terima kasih kepada kakek itu ternyata Swi-goanswe tercenung di luar, mata bersinar kosong memandang ke depan.
“Ia tak ada, tak mau menemui kita. Hm, inilah sepak terjang kakek itu, taijin, aneh dan tak suka banyak peradatan. Kita agaknya tak mungkin bertemu lagi!”
“Bagaimana kau tahu?”
“Kamar pribadinya kosong, ia telah mengambil buntalannya pula!”
Lalu ketika Cia-taijin tertegun dan duduk bengong iapun termangu-mangu merasa menyesal juga. Ia kelewat gembira bersama anak isterinya tadi, bubur telah memasuki perutnya pula dan perlahan-lahan kekuatanpun timbul. Ia telah dapat berdiri dan berjalan sendiri, mula-mula gemetar dan hampir jatuh tapi selanjutnya sang isteri tak usah menolong. Ia benar-benar merasa sehat, sembuh. Maka ketika tiba-tiba ia tak melihat tuan penolongnya dan Swi-goanswe juga tampak kecewa maka tiga hari kemudian jenderal ini menerima laporan bahwa di kota raja terjadi sesuatu yang mengguncangkan rakyat, suara bak halilintar menyambar-nyambar disertai guruh dan badai.
“Dewa Kegelapan mengamuk. Istana dan seluruh rumah penduduk gelap gulita. Celaka, dunia seolah hendak kiamat, goanswe. Lampu dan semua penerangan padam diserang angin ribut ini. Jendela dan pintu-pintu penduduk beterbangan. Gerbang di kota raja juga ambruk!”
Swi-goanswe terbelalak. “Apa yang terjadi?”
“Kami tak tahu, tapi goanswe diminta datang ke sana. Separuh dari pasukan di sini mohon dibawa, sri baginda ketakutan!”
Terkejutlah semua orang. Cia-taijin yang mendengar itu mengerutkan kening, Swi-goanswe sudah berkelebat dan menyiapkan pasukan untuk dibawa ke kota raja. Tiga hari ini ia sudah tinggal di tempat jenderal itu meninggalkan gubuk kosong, berdebarlah ia teringat kakek itu. Dan ketika Swi-goanswe muncul dan buru-buru berpamit pergi maka ia yang selama ini tak diperbolehkan ke kota raja tiba-tiba menahan lengan jenderal itu.
“Goanswe, aku ingin ikut. Rasanya sudah waktunya aku pulang!”
“Jangan!” sang jenderal kaget. “Musuhmu masih ada di sana, taijin. Te-gak Mo-ki dapat mengancammu lagi. Biar aku ke sana dulu melihat keadaan, kau tinggal bersama anak isteriku!”
“Tidak, kita sama-sama mengabdi pada sri baginda. Kalau kau tak mau mengajakku aku dapat pergi sendiri, goanswe. Betapapun aku ingin pulang!”
Terpaksa jenderal ini mengalah. Ia mengangguk dan menyiapkan kereta dengan pengawal, menyuruh orang menjaga pembesar itu. Lalu ketika ia berangkat dan pamit bersama anak isterinya, Cia Sun dan ibunya tinggal di situ maka benar saja suasana kota raja menggemparkan, gelap gulita!
Yang pertama ditemui jenderal itu adalah keanehan yang membuat ia dan seluruh rombongannya tertegun. Awan gelap gulita di atas rumah-rumah penduduk, sementara di luar kota raja, di luar pintu gerbang yang roboh matahari masih bersinar dengan cahayanya yang redup. Tapi ketika terdengar suara menggelegar dan petir menyambar mereka, mencuat dari awan hitam maka rombongan terpelanting dan kuda meringkik kaget. Kereta yang ditunggangi Cia-taijin kabur!
“Heii, jaga! Tangkap kereta itu!”
Swi-goanswe terkejut. Ia masih merasa aneh dan terheran-heran oleh kejadian yang tidak masuk akal ini. Kota raja benar-benar gelap gulita sementara di luar, di empat penjuru hari masih cukup terang. Meskipun redup namun matahari dapat menyinari tempat itu, sinarnya menembus lemah kekuning-kuningan. Saat itu paling tidak masih sekitar jam empat sore. Dan ketika kilat kembali menyambar dan kali ini membuat kuda sang jenderal tersentak kaget maka kuda itu meringkik dan memutar tubuhnya lari menggila, ketakutan!
“Keparat!” Swi-goanswe menahan tali kekang kuat-kuat. “Berhenti, kuda jahanam. Berhenti!”
Akan tetapi yang terjadi sebaliknya. Kilat kembali menyambar dan para perajuritnya berteriak, kuda tunggangan lari ke delapan penjuru dan kacaulah keadaan. Tak ada lagi yang mampu menguasai hewan tunggangannya. Dan ketika kuda menggigit putus tali yang ditarik kuat-kuat akhirnya Swi-goanswe terpelanting dan jatuh dari kudanya. Guntur dan kilat yang menyambar-nyambar itu membuat semua ketakutan.
Namun jenderal ini mampu menguasai diri. Ia berseru melempar tubuh tiga kali dan selamat ke tanah, terhuyung. Dan ketika pengawalnya juga melakukan hal yang sama dan melempar tubuh dari atas kuda yang gila akhirnya masing-masing mengeluarkan keringat dingin dan saat itulah Swi-goanswe mendengar suara sayup-sayup sampai.
“Swi-goanswe, jangan masuk ke dalam, berbahaya. Tetap saja di situ dan sebaiknya kalian berlindung di dalam hutan!”
“Song-lo-enghiong!” sang jenderal berseru dengan suara kaget. “Ah, kau di mana, lo-enghiong. Apa yang terjadi dan bagaimana tiba-tiba begini, bagaimana nasib sri baginda!”
“Beliau selamat, bersembunyi. Jangan bertanya dan bawa pasukanmu ke dalam hutan, goanswe. Aku sedang bertanding dengan saudara-saudaraku dan hari ini penyelesaian...blaarr!” bunga api membuncah diangkasa, sedetik menciptakan sinar terang-benderang.
Dan Swi-goanswe melihat lima orang bertempur hebat di sana, beterbangan dan menyambar bagai naga mengamuk dan satu di antaranya seorang wanita baju hitam, melengking dan memekik-mekik dan suara itulah yang mirip halilintar atau petir yang marah, disusul atau ditumpuk oleh geram dan bentakan gusar empat orang yang lain. Tapi ketika sinar di angkasa itu menghilang terganti suasana gelap kembali maka jenderal ini tak tahu apa lagi yang terjadi namun pasukannya dan semua orang terbelalak menyangka sedang terjadi pertarungan antara iblis dan para pendekar.
Kiranya kakek muka merah itu telah berada di kota raja. Ia meninggalkan gubuknya di utara dan juga Cia-taijin dan Swi-goanswe. Orang tak tahu ia ke mana tapi yang paling kaget adalah Te-gak Mo-ki. Inilah Song-bun-liong kakak seperguruannya. Kakek itu langsung mendatangi istana setelah melihat penyakit Cia-taijin, marah dan hendak menegur, tapi Te-gak Mo-ki malah menantangnya. Dan ketika ribut-ribut di antara mereka tak dapat dihindarkan akhirnya Te-gak Mo-ki menyerang suhengnya itu dan terjadilah pertempuran hebat.
Mula-mula kakek ini menemui sutenya secara baik-baik. Keterangan Swi-goanswe bahwa di istana terdapat iblis jahat telah membuat kakek ini maklum. Sekali lihat tahulah ia perbuatan siapa itu. Maka ketika ia datang dan sutenya terkejut, waktu itu si banci ini sedang bermain cinta dengan seorang pemuda. maka Song bun-liong, si Naga Berkabung itu memerah mukanya. Di sudut kamar itu menggeletak dua pemuda lain yang rupanya juga baru bermain cinta, menjijikkan.
“Hm!” kakek ini datang mengerahkan ilmunya. “Selamat malam, sute, tak kunyana seperti ini sepak terjangmu. Kau mempengaruhi mereka dengan Toat-seng-hoat-sut. Keji, tak berperasaan!”
Te-gak Mo-ki terkejut. Ia baru saja mempermainkan korbannya seorang pemuda petani, berkulit hitam namun tegap dan berotot. Sekarang si banci ini telah bosan dengan pemuda-pemuda istana, terlalu halus mereka itu. Maka ketika siang tadi ia menemukan pemuda berkulit hitam ini, langsung menusukkan pandang matanya dan kagum oleh tubuh berotot itu segera ia membawa korbannya ini ke tempatnya dan malam itu ia membuat lawan terengah-engah kehabisan tenaga. Pemuda itu telah diperas dan dipaksa pula melayani dua pemuda di sudut kamar itu, yang kini tertidur setengah pingsan dengan tubuh telanjang bulat.
“Suheng!” Te-gak Mo-ki menyambar pakaiannya dan terkejut. “Ah, mau apa kau di sini, suheng. Kenapa mengganggu aku!” lalu berkelebat dan menghilang meninggalkan kamar si banci ini telah berada di wuwungan bersama suhengnya itu. Kakek muka merah itu memperlihatkan diri dari jauh dan tak dilihat pemuda-pemuda di dalam itu, kini berdiri saling berhadapan.
“Hm!” kakek itu menegur. “Kau melanggar larangan, sute. Kau membuat dosa. Kita Ngo-cia Thian-it (Lima Nabi Langit Tunggal) tercemar oleh perbuatanmu. Kau harus menghentikan itu!”
“Ha-ha hi-hik!Kau lucu, suheng, kenapa mengguruiaku. Semua sepakterjangku adalah tanggung jawabku juga, kenapa ikut campur. Justeru kau melanggar larangan dengan berani mengganggu dan menegur aku. Ingat bahwa kita tak boleh menyinggung yang lain. Aku tak pernah mengganggumu!”
“Benar, tapi.... hmm, perbuatanmu keji, sute. Tak kusangka sedemikian jauh langkahmu. Kau menyiksa Cia-taijin, kau mempermainkan puteranya pula. Dan karena kulihat pemuda-pemuda lain di sini maka kupercaya keterangan di luar bahwa kau berobah. Kau tak patut bergelar Cia-jin (Nabi)!”
“Hi-hik, heh-heh, kau lucu. Ah, kau termakan omongan orang, suheng, sejak kapan mulai terpengaruh. Gelar itu bukan kita yang minta, apa perdulinya. Nabi atau bukan hanya sebutan saja. Aku ingin bebas!”
“Dan kau membunuh-bunuhi orang-orang Bu-tong dan Hoa-san, kau semakin melenceng dari kebenaran. Sute, aku tak dapat menerima perbuatanmu ini dan sadarlah, buang sikap itu dan pertahankan gelar kita. Atau aku membawamu ke saudara-saudara yang lain dan menghukummu di sana!”
“Heh, sombong. Dua kali kau menyinggung aku. Eh, ingat janji dan sumpah kita, suheng. Kita Ngo-cia Thian-it tak akan bercekcok satu sama lain, tak saling mengganggu. Jaga mulutmu dan jangan membuat aku marah!”
“Tindakanmu melenceng,” kakek itu membentak. “Apa kata orang kalau sepak terjangmu teramat buruk, sute. Sebagai saudara tua aku berhak menegur. Kembali dan buang watakmu yang jahat ini ke dalam kebenaran. Sejak kapan kau menjadi sesat!”
“Heh-heh, hi-hik! Kau yang sesat dan melanggar kebenaran, suheng. Kau yang buruk dan bertindak tak semestinya. Sejak kapan seorang di antara kita diperbolehkan menegur yang lain, sejak kapan kau dianggap hakim meskipun saudara tua. Hm, kepandaian kita tak berbeda jauh, suheng, yang tua dan yang muda hanya karena usia. Aku tak pernah mengganggu dan menegurmu dan tak layak kalau tiba-tiba sekarang kau mengganggu dan menegurku. Urusanku adalah tanggung jawabku sendiri, bukan urusanmu. Pergilah dan jangan ribut di sini atau aku menghadapimu sebagai lawan!”
Marahlah kakek ini. Memang di antara mereka bersaudara terdapat semacam perjanjian atau sumpah bahwa satu sama lain tak boleh mengganggu atau menegur. Sumpah itu ditaati bersama dan harus di laksanakan. Tapi karena sutenya ini melenceng dari kebenaran dan ia tak dapat membiarkan itu, korban-korban berjatuhan maka ia semakin marah oleh tantangan ini.
“Kau!” bentaknya. “Tak patut kurang ajar kepada yang tua, sute. Aku datang bukan untuk mencari pertikaian tapi sekedar mengingatkanmu. Hentikan itu atau aku menyeretmu ke saudara-saudara yang lain!”
“Heh-heh, tiga kali. Keparat, tiga kali kau melukai perasaanku. Jangan sombong dan semena-mena, suheng, jangan mengagulkan diri sebagai saudara tua. Aku tak takut kepadamu dan justeru aku yang akan melapor bahwa kau melanggar ketertiban!” si banci merogoh sakunya dan secepat kilat paku-paku beracun menyambar suhengnya itu.
Song-bun-liong si kakek merah berseru marah, ia waspada dan mengebut semua paku-paku ini. Tapi ketika sutenya berkelebat dan mendorong dadanya maka ia berkelit dan menggerakkan lengan ke atas menangkis pukulan sutenya itu.
“Dukk!”
Dua-duanya terpental dan terpelanting ke bawah. Te-gak Mo-ki yang gagal mendorong suhengnya menjadi marah, berjungkir balik dan membentak serta menyerang lagi ketika masing-masing sudah di atas tanah. Dan ketika di belakang gedung itu terjadi pertandingan cepat maka angin berkesiur menderu-deru dan pohon-pohon bergoyang seakan diterpa angin ribut.
“Sute, sadarlah. Hentikan perbuatanmu dan pergi dari sini dan akupun akan pergi!”
“Heh-heh, terlambat. Kaulah yang pergi dan jangan mengganggu aku, suheng. Enyahlah atau aku membunuhmu...dess!"
Sang kakek berseru marah dan menangkis menambah tenaganya. Tak disangka sang sute secara licik mencabut kipas dan menotok dengan cepat. Te-gak Mo-ki menyembunyikan gerakan itu di balik lengan baju yang lebar, totokan ujung kipas langsung ke urat leher. Dan ketika Si Naga Berkabung terhuyung dan mengeluh tertahan, serangan itu benar-benar menghendaki kematiannya maka kakek ini roboh dan terguling, uratnya putus!
Te-gak Mo-ki terkekeh dan berkelebat maju. Ia girang melihat lawannya roboh dan bermaksud menusuk sekali lagi, ujung kipas meruncing dan kali ini menuju jantung. Sekali coblos tentu pecah. Tapi ketika terdengar geraman dan kakek itu bangkit lagi, tubuhnya menggelembung tiba-tiba ia mengibas dan kipas serta pemiliknya terbanting.
“Sute, kau keji. Kau benar-benar hendak membunuhku. Heh, terimalah dan jangan sombong!”
Si banci menjerit dan bergulingan. Ia kaget lawan tak apa-apa, bangkit dan sudah biasa lagi dengan tubuh menggelembung. Itulah Kim-kong-ciok (Ilmu Arca Emas). Dan ketika ia meloncat bangun dan menyerang namun tubuh suhengnya sudah seperti arca batu, kipas tak ada gunanya menotok atau menampar akhirnya ia terdesak dan marahlah pemuda ini mengeluarkan Hek-be-kangnya.
“Duk-plak!”
Pukulan si kakek melenceng membentur tubuh yang licin. Bagai belut atau ular menggeliat akhirnya pukulan atau balasan si kakek tak menghasilkan apa-apa. Kim-kong-ciok bertemu Hek-be-kang! Dan ketika si banci terkekeh dan kakek itu marah akhirnya masing-masing bergerak lebih cepat dan tak ampun lagi dinding rumah tergetar dan pohon-pohon di sekeliling tumbang!
Nyata bahwa Ilmu Belut benar-benar efektif melindungi diri. Te-gak Mo-ki berkelebatan menyambar-nyambar dan pukulan lawan meleset mengenai tubuhnya. Tapi karena iapun tak mampu merobohkan suhengnya yang sudah sekeras arca emas, mata dan telingapun tak dapat ditusuk kipas maka dua orang ini benar-benar berimbang dan masing-masing menaruh kekaguman.
“Bagus, kau semakin hebat, tapi juga sombong. Hm, jangan tertawa senang dulu, sute. Lihat seberapa lama kau dapat bertahan!”
“Heh-heh, kaupun mengagumkan. Jangan ngimpi untuk mengalahkan aku, suheng. Boleh jadi tenagaku habis untuk bermain cinta namun kaupun sudah tua. Hi-hik, kita berimbang!”
Kakek ini menggeram. Memang harus diakui bahwa ia mengharap kejadian itu, lelahnya sang sute dalam pertandingan yang lama. Tapi karena ia pun sudah tua dan tenaga juga berkurang, hasil mereka tentu berimbang, maka kakek ini meledakkan tangannya dan tiba-tiba segulung asap putih menyambar sutenya itu. Kakek ini menghilang dan tiba-tiba berubah bentuk, ujudnya menjadi naga! “Sute, aku akan menangkapmu. Menyerahlah, dan kita pergi dari sini!”
Te-gak Mo-ki berteriak. Ia kehilangan lawan dan sebagai gantinya disambar asap putih tebal itu, tentu saja terkejut. Dan ketika ia melempar tubuh namun naga di balik asap itu menyambar, kedua kaki depannya mencengkeram dadanya tiba-tiba si banci ini melengking dan keluarlah jeritannya yang panjang menggetarkan. Istana bagai roboh oleh suaranya yang dahsyat ini. “Aarrgggghhhhhh!”
Lenyaplah si banci menjadi harimau raksasa. Harimau ini menangkis cengkeraman naga dan balas menggigit. Tapi ketika naga mengelak dan membelit tubuhnya maka harimau melonjak dan terbanting lagi ke tanah.
“Bummm!”
Dua mahluk dahsyat itu bergulingan. Naga membelit harimau, namun harimau menggigit dan mencakar. Dan ketika masing-masing sama terluka dan kesakitan akhirnya naga lenyap berubah menjadi rajawali, didahului ledakan.
“Blarr!”
Harimau kebingungan namun tiba-tiba terangkat naik. Rajawali datang menerkamnya dan meronta-rontalah dia, dijatuhkan dan ditangkap lagi empat lima kali. Tapi ketika harimau meraung berubah ujud, lenyap ketika terbanting ke tanah maka muncullah seekor garuda raksasa yang menerkam dan menyerang rajawali itu.
Terjadilah pertarungan sengit di udara. Rajawali kalah besar lalu mencipta diri lebih besar lagi, sebukit tingginya. Dan ketika garuda menjadi kecil dan kalah perkasa, akhirnya garuda memperbesar diri hingga sama seperti lawannya, menyambar dan beterbangan dan hiruk-pikuklah suasana di angkass. Udara menjadi gelap oleh sayap sepasang burung raksasa ini, istana gempar.
Dan ketika penduduk juga ketakutan dan matahari tertutup oleh tubuh dua ekor burung ini maka gelap gulitalah seluruh kota raja sementara angin kibasan atau deru sepasang burung itu memadamkan semua lampu-lampu dan penerangan yang ada. Pertandingan ternyata berjalan lama sehari semalam. Penduduk benar-benar panik dan pintu serta jendela roboh. Dan ketika pertandingan berjalan pada hari ke dua mendadak muncullah seorang wanita baju hitam yang terbang ke angkasa.
“Heii, suheng berdua. Apa yang kalian lakukan ini hingga tempat pertapaanku tergetar. Berhenti, bagaimana bertanding mati hidup. Apa yang terjadi!”
“Heh-heh, sumoi kiranya. Bagus, twa-suheng mengganggu dan memaki-maki aku, sumoi. Pantaskah itu dilakukannya kepada sesama saudara.”
“Tutup mulutmu! Aku datang hanya untuk menasihati dan menyuruhmiu berjalan di atas kebenaran, sute, bukan mengajakmu bertikai. Siapa menyerang dulu!”
“Bagus, tapi siapa menyakiti perasaan terlebih dahulu. Heh, seranganku karena perbuatanmu, suheng. Kau melanggar pantangan di antara kita!”
“Tapi perbuatanku karena perbuatanmu juga. Kalau kau tidak bercinta dengan sesama lelaki dan membunuh-bunuhi orang Bu-tong atau Hoa-san tak mungkin aku datang. Sute, kau melenceng dari gelar Nabi, kau Iblis!”
Lalu ketika keduanya bertempur hebat dan wanita baju hitam tampak tertegun, bingung maka rajawali dan garuda itu sama-sama mengelepakkan sayapnya, saling hantam.
Bresss!”
Dua-duanya terpental dan terbanting. Udara semakin gelap oleh debu yang tertimpa tubuh mereka, wanita baju hitam masih terbelalak. Tapi ketika menyambar sesosok bayangan lain bertubuh tinggi besar, bertaring dan menyeringai maka terdengarlah suara menggelegar,
“Sute, suheng, apa yang kalian lakukan ini. Kenapa membuat samadhiku batal!”
Dua orang itu terkejut. Mereka telah melompat bangun dan serang-menyerang lagi tak perduli yang lain, masing-masing masih tetap sebagai rajawali dan garuda raksasa. Tapi ketika raksasa tinggi besar itu melompat dan menghantam rajawali, pukulannya mengenai punggung maka rajawali terhempas dan menjadi kaget.
“Heii!” wanita baju hitam melompat. “Kau curang, suheng. Kenapa menyerang!"
“Aku tidak menyerang,” raksasa itu berseru, “aku melerai, sumoi, mencegah mereka. Guha pertapaanku roboh dan samadhiku gagal. Tak sepatutnya yang tua menyerang yang muda, yang tua harus mengalah!” dan mendorong serta melepas pukulan lagi raksasa ini menghantam rajawali hingga memekik-mekik, terbang dan dikejar garuda dan marahlah wanita baju hitam itu. Ia bukan lain Hek-i Hong-li adanya, sementara raksasa itu adalah Mo-bin-jin. Dan ketika wanita ini berkelebat dan menangkis pukulan si raksasa, Mo-bin-jin marah maka raksasa itu membalik dan akhirnya menghantam sumoinya ini.
“Desss!”
Sang sumoi terhuyung dan melotot. Ia memaki suhengnya itu dan membalas. Lalu ketika mereka bertempur dan udara semakin pekat maka terjadilah pertandingan seru di antara empat orang itu, ganti-berganti melawan yang lain sampai akhirnya Hek-i Hong-li terang-terangan membela Song-bun-liong. Setiap pukulan Te-gak Mo-ki atau Mo-bin-jin yang diarahkan ke kakek muka merah itu selalu ditangkis. Dan karena kakek ini juga selalu menangkis pukulan-pukulan yang diarahkan ke sumoinya maka tiba-tiba mereka sudah saling membentuk kelompok sendiri menyerang yang lain.
“Bagus, twa-suheng memang licik. Ia tua bangka tak tahu malu, ji-suheng (kakak kedua). Arif di luar tapi kotor didalam. Lihat, ia masih mencintai sumoi!”
“Heh, memang begitu. Twa-heng Song-bun-liong memang tak tahu malu, sute. Setua ini masih juga mencinta wanita muda. Ah, untung tak diterima sumoi!”
“Tutup mulutmu!” Hek-i Hong-li melengking-lengking. “Jangan menggosok atau membakar hatiku, ji-heng. Twa-heng orang baik-baik dan kalau bukan karena suheng (kakak keempat) tentu kuterima cintanya. Kalian tak usah membakar, dari dulu sampai sekarang kalian memang jahat!” dan marah memaki-maki Hek-i Hong-li yang memang cantik ini menyerang dan menangkis lawannya membela twa-suheng (kakak pertama).
Kiranya memang terjadi kasih asmara di antara orang-orang ini. Song-bun-liong, si Naga Berkabung diam-diam ternyata mencinta sumoinya ini. Hek-i Hong-li adalah saudara termuda tapi masih ada saudara mereka yang lain, yakni orang nomor empat dari Ngo-cia Thian-it. Orang ini bukan lain adalah Sian-eng-jin yang belum datang, mungkin belum tahu. Dan karena saudara nomor empat itu juga mencinta wanita ini, timbullah semacam persaingan di antara dua lelaki itu maka Naga Berkabung yang merasa sebagai yang tertua mengalah, pergi menyingkir.
Tapi Sian-eng-jin merasa malu. Sesungguhnya ia tahu bahwa sumoinya itu lebih condong kepada kakak seperguruannya itu daripada dia. Aneh bahwa Hek-i Hong-li mencinta kakek yang tua itu, bukan lelaki lain yang lebih muda. Dan ketika wanita atau gadis itu menangis ditinggal twa-hengnya, diam-diam Sian-eng-jin melihat itu dari jauh maka lelaki ini terpukul dan akhirnya pergi juga. Hek-i Hong-li sendiri.
Namun akhirnya Hek-i Hong-li dapat menemukan twa-hengnya itu. Ada sesuatu yang menarik dari diri kakak seperguruannya tertua ini, yakni kepribadiannya yang matang dan tindak-tanduknya yang bijak. Maka ketika ia dinasihati agar pulang dan mencari kakaknya nomor empat, Sian-eng-jin maka twa-suhengnya itu berkata bahwa yang lebih tepat mendampingi gadis itu adalah saudaranya itu.
“Aku sudah tua, tak pantas untukmu. Aku pergi sengaja memberi kesempatan kepada kalian, sumoi, agar sute (adik ke empat) dapat bersama denganmu. Pulanglah, aku lebih tepat bertapa dan merantau. Binalah hubungan rumah tangga yang harmonis dan aku turut bahagia kalau kalian bahagia.”
“Tapi suheng sombong!” Hek-i Hong-li tersedu. “Ia selalu tak mau kalah denganku, twa-heng. Watak itulah yang kubenci biarpun untuk yang lain-lain suheng memang baik!”
“Hm, kesombongan tak akan lama. Ia tak mau dikalahkan karena sute merasa sebagai lelaki, sumoi, tak mau kalah dengan wanita. Ia tak bermaksud menyakiti hatimu selain terbatas karena itu saja.”
“Namun kepandaian kami setingkat!”
“Benar, kaupun tak jauh dariku. Tapi itu bukan masalah, sumoi. Asal kau dapat mengalah dan biarkan saja begitu lama-lama watak sutepun dapat berubah. Sudahlah, aku sudah tua dan cukup mencintaimu begini saja. Kau akan hidup lebih berbahagia dengan yang sebaya denganmu.”
Hek-i Hong-li tersedu-sedu. Justeru kelembutan seperti inilah yang tak ada pada diri kakaknya nomor empat. Suhengnya itu selalu mau di atas dan ia anggap setingkat di bawah, padahal twa-suhengnya ini tak pernah merendahkan dan menganggap dia sederajat. Sikap dan perbuatan twa-hengnya ini memang selalu menyentuh, banyak mengalah. Dan ketika ia bangkit berdiri dan berlari pulang, bingung dan gregeten maka sejak itu ia masih mengenang twa-hengnya ini dengan penuh kemesraan, kagum. Apalagi ketika ia tahu betapa twa-hengnya itu mendekati dan menasihati suhengnya itu, kakak nomor empat.
“Kau tak boleh merasa lebih tinggi, kalian setingkat. Lembut dan bersikaplah lunak kepada sumoi, sute. Binalah rumah tangga dan kuserahkan ia kepadamu. Jagalah baik-baik, buang kesombonganmu.”
“Suheng,... suheng menyerahkan ia kepadaku?”
“Benar, kau lebih tepat. Aku sudah tua, sute, harus tahu diri. Orang setua aku tak pantas untuk yang muda. Ambillah dan bujuk sumoi tapi buang sikapmu yang sombong itu. Ia tak berada di bawahmu.”
“Tapi sumoi wanita, harus tunduk kepada laki-laki!”
“Hm, kalau begini caramu kau tak dapat merengkuh sumoi, sute. Kau tak akan berhasil. Sekali lagi buang pendapat itu karena kau dan sumoi setingkat.”
“Namun aku laki-laki!”
“Baiklah, aku sudah memberi nasihat,” lalu ketika kakek itu pergi dan Hek-i Hong-li kembali tersedu, kebetulan waktu ia mengintai di balik batu besar maka wanita ini tiba-tiba menerjang kakaknya nomor empat itu, penuh kemarahan.
“Suheng, kau tak tahu malu kepada twa-heng. Sedemikian rupa ia membujuk dirimu. Cih, kau benar-benar sombong dan tak tahu diri. Lihatlah, dapatkah kau merobohkan aku dan siapa yang seharusnya di atas!” dan ketika sang suheng terkejut tapi menangkis, bertanding namun tak ada yang kalah atau menang akhirnya Sian-eng-jin merasa malu dan melompat pergi.
Hek-i Hong-li dibuat bimbang oleh dua laki-laki ini namun akhirnya bersumpah tak mau menikah. Ia benci kepada kakaknya nomor empat itu, juga kadang-kadang kepada twa-hengnya yang lembut namun mengalah untuk menyingkir, hal yang justeru membuat ia merana! Maka ketika bertahun-tahun mereka tak bertemu lagi dan hari itu terjadi pertandingan seru maka wanita ini tentu saja membela kakek itu karena si Naga Berkabung dikeroyok...!
“Awas, mundur dan serang dengan panah, jangan dekat-dekat!”
Para pendekar menjadi sibuk. Mereka membentak diserang senjata jarak jauh dan Mo Mo Cinjin serta Beng Cit Ho-siang menggeram marah, mereka diserang dari segala penjuru. Akan tetapi karena Siau-hun Mo-li dan kawan-kawan juga mendapat bagian, mereka menangkis dan memaki-maki maka nenek itu meloncat mundur, mau melarikan diri. Namun Kong Tek Hwesio tak mau melepaskan. Hwesio ini merangsek terus dan putaran toyanya menghalau semua panah, dialah lawan si nenek bengis. Maka melihat si nenek bergerak dan siap memutar tubuh, toya di tangan itupun mengejar, menghantam dari belakang.
“Siau-hun, jangan licik. Pertempuran belum usai!”
Nenek ini marah. Ia meledakkan rambutnya tak jadi pergi, lawan bagai bayangan menempelnya saja. Dan ketika mereka sama-sama terpental dan bertempur lagi maka Eng-seng-thiong juga siap menyembunyikan diri namun Beng Cit Ho-siang tak membiarkannya, mendesak dan toya maupun kebutan ujung baju menghalau semua anak-anak panah.
Bingunglah Kutu Peniru Suara ini. Tak disangkanya ketua Bu-tong dan orang-orangnya itu begitu nekat, ini merupakan tanda betapa Beng Cit Ho-siang dan lain-lain memang tak akan sudah kalau Te-gak Mo-ki belum keluar. Dan mendongkol serta marah si banci itu membiarkan mereka menjadi ujung tombak akhirnya apa boleh buat kakek tinggi kurus ini melayani lawannya.
“Baik, sampai matipun aku tak akan mundur, keledai gundul. Kau atau aku mampus!”
Ketua Bu-tong tertawa mengejek. Memang ia tak pernah jauh dari lawannya ini, menempel dan membayangi sementara hujan anak panah dihalau kebutan ujung jubahnya. Eng-seng-thiong juga mendapat serangan panah yang nyasar, memaki dan membentak dan serulah pertandingan ini. Dan ketika di sana Siang-buang Thai-swe juga bertempur sengit dengan tokoh-tokoh Hoa-san maka It-thai maupun Ji-thai menggeram tak dapat mundur.
Seperti rekannya ketua Hoa-san Mo Mo Cinjin berkelebatan dan merangsek lawan. Dia berhadapan dengan It-thai sementara sutenya menghadapi Ji-thai. Ce Han Tojin atau sute dari Mo Mo Cinjin ini juga tak mau melepas kesempatan. Dengan kecepatan dan permainan pedangnya yang cepat ia mendesak lawan. Dan karena lawan sudah terpengarnh oleh bayangan-bayangan di luar mereka, murid atau pengikut dari Bu-tong dan Hoa-san ini maka secara mental mereka sudah tertekan.
Ji-thai yang berangasan akhirnya memukul dan mendorong tak banyak bergerak. Ce Han Tojin itulah yang aktif bergerak, mengelilingi dan menyerang lawan dengan cepat, mengandalkan ilmunya meringankan tubuh. Dan ketika, perlahan tetapi pasti lawan mulai kewalahan, mundur dan mandi keringat maka bantuan Wang-busu sejenak melegakan empat orang ini akan tetapi perlawanan para murid di luar menggoyahkan lagi harapan mereka.
Tak kurang dari lima puluh orang menghadapi Pasukan Rompi Merah itu. Wang-busu sendiri terkejut melihat banyaknya pengikut Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang itu. Dan ketika iapun menyadari betapa seriusnya orang-orang kang-ouw ini mencari Te-gak Mo-ki, diapun sudah mendengar berita tentang perbuatan si banci itu akhirnya komandan pasukan yang bergerak dari jauh ini kehabisan akal, hujan panah hampir tak berarti bagi orang-orang kang-ouw itu.
Akan tetapi semuanya tiba-tiba cepat berubah. Bayangan biru menyambar dari istana dan terdengar tawa aneh. Tawa ini tak begitu keras namun gemanya menggetarkan jantung, menusuk dan membuat orang menjerit dan tiba-tiba semua terpelanting. Telinga mereka seakan ditusuk-tusuk jarum. Dan ketika pengawal roboh menutupi telinga sementara yang lain terhuyung dan mendekap dada, bagian kiri mereka itu seakan dihantam benda berat maka Te-gak Mo-ki muncul di situ, berseru,
“Tahan, semua berhenti. Aku di sini dan yang lain menyingkir!”
Hebat pengaruh kata-kata ini. Wang-busu yang bertemu pandang tiba-tiba menunduk, tergetar dan surut dan ia sendiri melepaskan tangannya dari telinga. Orang yang berkepentingan ternyata muncul, tentu saja ia lega. Dan ketika ia menyuruh orang-orangnya mundur, Pasukan Rompi Merah bergerak menghilang maka tinggallah di situ Mo Mo Cinjin dan para pengikutnya, yang cepat bergerak dan mengepung.
“Hm, aku ada di sini, mau apa sekarang. Kau dan Beng Cit Ho-siang benar-benar mencari penyakit, Mo Mo Cinjin. Jawablah, kematian macam apa yang kalian inginkan!”
Mo Mo Cinjin bergerak, maju ke depan. Sekarang ia berhadapan dengan lawannya ini dan tampak gemetar. Namun sebelum ia bicara tiba-tiba Beng Cit Ho-siang menggamit lengannya.
“Omitohud, urusan kami adalah urusan pribadi, Te-gak Mo-ki, menuntut tanggung jawabmu yang membunuh-bunuhi murid-murid kami. Kalau kau tak berlindung di balik nama istana dan melepaskan baju kekuasaanmu marilah keluar dan kita selesaikan di sana. Kami datang untuk menuntut tanggung jawab!”
“Benar,” Mo Mo Cinjin sadar. “Urusan kami adalah urusan pribadi, Te-gak Mo-ki, tak ada sangkut-pautnya dengan istana. Kita selesaikan di luar kalau kau berani menerima tantangan kami!”
Te-gak Mo-ki tertawa. Ia memandang dua ketua Hoa-san dan Bu-tong ini dengan sinar mata dingin, sama sekali tak acuh dengan lima puluh yang lain yang dianggapnya batang-batang pohon belaka. Dan ketika ia mengangguk dan berkelebat pergi mendadak ia sudah melewati kepala semua orang dan berseru, “Hoa-san-paicu, jangan kira aku takut. Marilah, aku melayani permintaan kalian secara pribadi!”
Giranglah Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang. Kalau Te-gak Mo-ki berani seperti itu dan meninggalkan istana berarti urusan benar-benar sebagai pribadi, istana dan lain-lain tak ada sangkut-pautnya. Maka ketika mereka berkelebat tapi terkejut bahwa lawan tiba-tiba menghilang, khawatir dibohongi maka Mo Mo Cinjin berseru, “Te-gak Mo-ki, di mana kau. Jangan bersembunyi!”
“Heh-heh, aku di depan. Jangan berkaok-kaok seperti ayam takut disembelih, Mo Mo Cinjin. Lihat aku di sini dan semua ikuti aku!”
Ketua Hoa-san terkejut dan memandang. Lawan ternyata merupakan titik hitam di sebelah kiri namun suara dan kata-katanya begitu dekat. Secepat iblis menyambar Te-gak Mo-ki itu sudah di luar tembok istana, hampir tujuh atau delapan ratus meter. Dan ketika ia terbelalak sementara Beng Cit juga terkejut dan melesat ke depan ia pun mengerahkan ginkangnya dan mengejar. Lawan tampak sebagai titik hitam yang bergerak di antara lampu-lampu buram.
“Lihai, hebat sekali. Hati-hati dan awas jangan gegabah, anak-anak. Mari kejar dan ikut di belakang kami!”
Beng Cit mengerahkan ilmunya dan coba mengejar. Ia sudah melesat sepenuh tenaganya namun lawan semakin jauh, tentu saja ia pucat. Namun karena terlanjur menantang dan kedatangan mereka memang hendak menuntut tanggung jawab, betapapun lihainya lawan tak perlu ia mundur maka hwesio ini berlumba dengan rekannya dari Hoa-san menyusul dan mengikuti Te-gak Mo-ki itu, pengikut atau anak buah mereka di belakang jatuh bangun mengejar sang ketua.
“Tunggu, jangan cepat-cepat, suheng, anak-anak kewalahan!”
“Kau pimpin mereka. Susul dan kejar kami di luar hutan, sute. Lawan menuju arah utara!”
Kong Tek Hwesio bingung. Ia di belakang suhengnya ini ketika melihat murid-murid tertinggal, mau memperlambat tapi khawatir kepada ketuanya ini. Dan ketika ia menyuruh sutenya yang lain menjaga dan menjadi petunjuk jalan akhirnya hwesio Bu-tong ini bergerak di samping ketuanya lebih mengutamakan yang penting.
“Kenapa di sini, kau menjaga anak-anak.”
“Tidak, mereka sudah kuserahkan kepada Ong Ciu-sute, suheng. Aku menjagamu karena lebih penting!”
“Hm!” Beng Cit tak bicara lagi dan hampir kehilangan jejak. Di luar pintu gerbang Te-gak Mo-ki itu melayang bagai garuda menyambar, lenyap dan sudah di luar dan cepat ia menyusul bersama ketua Hoa-san. Serentak mereka ini menjejakkan kaki dan Beng Cit mempergunakan toyanya menotol, bantu mengangkat tubuhnya dan terlihatlah lawan melesat di depan, terkekeh. Lalu ketika semua juga mengejar dan susul- menyusul melayang di atas gerbang yang tinggi itu, bagai burung atau kelelawar-kelelawar hitam maka penjaga atau yang bertugas di pintu melongo.
“Iblis! Apa yang kulihat ini, hantu atau bukan!”
Para pendekar itu lenyap. Mereka sudah tak ada di situ dan penjaga membelalakkan mata. Tapi ketika satu di antaranya berlari dan mengintai dari lubang kunci, melihat bayangan berkelebatan di padang ilalang maka yang ini berseru mengundang rekannya.
“Manusia! Mereka manusia! Ah, itu para hwesio dan tosu-tosu!”
Tertegunlah yang lain. Mereka berebut ingin tahu dan mengintai dengan mendorong yang lain. Dan ketika di bawah cahaya bulan tampak kepala-kepala gundul dan rambut yang digelung di atas kepala, itulah tosu dan para hwesio maka mereka mengangguk dan terheran-heran.
“Benar, siapa mereka. Seperti setan terburu-buru!”
Jawaban ini tak didapat. Tosu dan hwesio Bu-tong lenyap sekejap kemudian di balik kegelapan malam, penjaga pucat. Namun karena bayangan itu tak mengganggu mereka dan pintu gerbang tetap aman maka Beng Cit dan Mo Mo Cinjin telah tiba di luar hutan di mana lawan menunggu. Dengan tenang dan senyum dingin si banci lebih dulu di situ, tidak tampak berkeringat dan berdiri sombong, lain dengan Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang yang wajahnya merah, keringat membasahi tubuh. Dan ketika dua orang ini di situ dan Beng Cit melompat di sebelah kanan, Mo Mo di sebelah kiri maka kakek ini menyimpan pedangnya mengganti dengan sebatang tongkat panjang di tangan, tangan yang lain menuding dan menunjuk,
“Te-gak Mo-ki, kau telah bersikap jantan dan menunggu kami di sini. Bagus, sekarang berlutut dan menyerahlah atau kami memaksamu!”
“Hm, hi-hikk !” tawa itu seperti wanita, namun bercampur pria dan serak-serak mengejek. “Tak usah macam-macam menakut-nakuti aku, Mo Mo Cinjin. Kalau kita sudah di sini dan ingin bertempur majulah. Aku akan membunuh kalian dan membasmi Hoa-san maupun Bu-tong!”
“Keparat!” Ce Han tak tahan dan maju di depan suhengnya itu, langsung menusukkan pedang. “Daripada bicara yang membuang-buang waktu sebaiknya kau dibunuh, banci jahanam. Pinto menagih hutang jiwa para saudara dan menghancurkan kesombonganmu!”
Akan tetapi lawan mengelak. Tenang dan tidak memandang sebelah mata si banci ini tetap memandang Mo Mo Cinjin, ketua itu terbelalak kepadanya. Dan ketika Ce Han membalik dan menyerangnya lagi tiba-tiba ia mengibas dan tosu itu mencelat terbanting.
“Bresss!”
Ce Han terkejut dan bergulingan mengeluh. Ia tak menyangka sekali kibas saja dirinya roboh. Tapi ketika ia meloncat bangun dan hendak menerjang lagi mendadak ketuanya mencegah.
“Sute, jangan sembrono. Lawan menunggu pinto!”
“Benar, aku menunggu jawabanmu untuk mati macam apa, Mo Mo Cinjin, perlahan-lahan atau cepat. Disiksa atau langsung ke akherat. Nah, jangan buang waktu lagi karena akupun mulai tak sabar!”
Ketua Hoa-san ini mendelik. Ia bertukar isyarat dengan Beng Cit Ho-siang dan tiba-tiba bergerak, tongkat menyodok dengan cepat dan tahu-tahu mendekati ulu hati lawan. Dan ketika lawan mengelak akan tetapi dari kanan ketua Bu-tong itu menggerakkan toyanya maka gerakan lelaki ini dipotong dan tak mungkin lagi mengelak.
“Crang-crangg!”
Tapi yang terjadi sungguh mengejutkan. Seperti siluman atau iblis saja tahu-tahu si banci itu lenyap, entah kemana. Dan ketika dua orang ini beradu senjata mendadak yang lain berteriak, kaget karena tahu-tahu dari atas si banci itu menampar Hoa-san-paicu dan Bu-tong-paicu.
“Awas, suheng!”
Dua orang ini menggerakkan lengan kiri. Mereka kaget oleh serangan itu dan baru tahu bahwa lawan kiranya mencelat ke atas. Begitu cepatnya gerakan itu hingga mereka sebagai ketua-ketua Bu-tong dan Hoa-san tak mampu mengikuti, betapa hebatnya. Tapi ketika mereka menangkis dan mencelat terbanting maka Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang mengeluh.
“Serbu!”
Yang lain tak menunggu waktu lagi perintah ketuanya. Ce Han Tojin yang, lebih dulu memberi aba-aba dan melindungi ketuanya sudah memutar pedang dan menusuk, ia tak mau ketuanya dikejar si banci itu dan kaget bahwa segebrakan saja suhengnya terbanting. Begitu lihainya lawan. Dan karena Kong Tek Hwesio juga harus menjaga ketuanya yang mengeluh tertahan, membentak dan menyambar lawan dengan toyanya maka berturut-turut dengan gerakan cepat lima puluh orang ini maju bergelombang dengan serangan marah menerjang si banci itu.
Akan tetapi si banci tertawa dingin. Hujan senjata yang begitu banyak disampok, lawan terpekik dan terbanting. Dan ketika semua bergulingan dan senjata patah-patah maka Ce Han Tojin melengkung pedangnya dikibas angin pukulan lawan.
“Plak!” tosu ini terhuyung dan terbelalak. Ia pucat memandang senjatanya namun membentak lagi. Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang sudah maju berseru dengan suara marah, ketua Hoa-san mencabut pedangnya. Lalu ketika dengan dua senjata di tangan kiri dan kanan menerjang laki-laki itu, si banci mengelak dan mundur maka toya di tangan Beng Cit mengenai punggungnya.
Bukk!” Toya meleset menghantam punggung yang licin. Ketua Bu-tong itu berseru keras dan heran serta kaget. Itulah Hek-be-kang yang dipunyai si banci, Belut Hitam yang hebat. Dan ketika senjata yang lain menyambar lagi namun meleset atau terpental, seruan kaget terdengar di sana-sini maka si banci tertawa menggerakkan tubuh mencabut kipasnya.
“Sekarang kalian roboh!”
Hebat pembalasan si banci ini. Pertama kali yang terdengar adalah pekik murid Bu-tong, seorang hwesio muda yang tadi menusuk pinggang si banci dari samping. roboh dan menggelepar dengan kepala retak. Lalu ketika disusul oleh jerit atau pekik murid Hoa-san yang dikepret jeruji kipas maka tak lama kemudian berturut-turut delapan yang lain roboh dengan kepala pecah!
“Prak-prakk!”
Cepat sekali gerakan itu. Bayangan biru menyambar ke sana-sini dan tubuh-tubuh segera bergelimpangan. Ce Han Tojin sendiri terbanting dan bergulingan, nyaris diketuk ujung kipas yang menyambar dahinya. Dan ketika Kong Tek Hwesio juga tertolak senjatanya menghantam kepala sendiri, benjut maka hwesio itu bergulingan melempar tubuh.
“Awas, jangan terlampau dekat!” Beng Cit Ho-siang berteriak dan mundur dengan muka pucat. Tiga kali toyanya menghantam namun tiga kali pula mental, bahkan semakin keras ia menggebuk semakin keras pula daya tolaknya. Hampir saja ia sendiri seperti Kong Tek, dihajar dahinya. Dan ketika ia berhati-hati mengelak sambaran kipas, bayangan biru itu bagai walet beterbangan maka Mo Mo Cinjin sendiri juga menjauhkan diri karena tongkat di tangan kirinya patah, tinggal separoh.
“Ha-ha, ayo maju, jangan takut. Dewa Kematian menyongsong kalian!”
Semua terbelalak pucat. Kepungan yang ketat tiba-tiba melebar, mayat di dalam pertempuran sudah berjumlah empat belas. Namun ketika Mo Mo Cinjin membentak dan maju lagi, berkelebat disusul Beng Cit Ho-siang maka yang lain maju pula mengikuti. Akan tetapi yang repot adalah ilmu belut yang dimiliki lawan itu. Pedang pun tak mampu membacok, toya atau senjata lain terpental semua. Dan karena si banci juga memiliki gerakan cepat bagai kilat menyambar, hampir tak ada yang dapat mengikuti maka semua menjadi jerih dan gentar.
Mo Mo Cinjin sendiri akhirnya mengakui bahwa Te-gak Mo-ki benar-benar orang luar biasa. Pukulan atau hantaman mereka tak ada yang kuat, tubuh itu dilindungi sinkang aneh dan licin pula seperti belut. Dan ketika ia bingung harus melakukan apa, Beng Cit Ho-siang juga terbelalak dan toyanya melengkung tiba-tiba lawan mengeluarkan tawa aneh dan menyimpan kipasnya.
“Nah, cukup. Sekarang rasakan kelihaianku yang lain!”
Orang menjadi girang. Tadinya kipas membuat takut bagai momok saja, setiap bergerak tentu seorang di antara mereka roboh. Maka ketika mereka berseru keras dan maju lagi, berani maka Mo Mo Cinjin sendiri menjadi heran dan Beng Cit Ho-siang memandang curiga. Betul saja, kejadian mengerikan malah terjadi lebih hebat. Ta Peh Hwesio yang berada di belakang lawan dan membentak mengemplangkan toyanya tiba-tiba ditangkap, lawan membalik dan secepat kilat menerima hantaman itu.
Dan ketika sang hwesio berkutat menarik senjatanya tahu-tahu lawan bergeser maju dan kuku kirinya menggurat pelipis hwesio itu. Sang hwesio tak mampu berkelit tapi tiba-tiba berteriak. Ang-su-giat (Racun Semut Api) membakarnya. Dan ketika pedih dan panas serta gatal menyerang hwesio ini, sute Beng Cit Ho-siang itu melempar tubuh bergulingan maka ia mencakar pipinya sendiri yang robek dan pecah!
Kejadian ini tak berhenti di situ saja karena Te-gak Mo-ki membalik dan menghadapi yang lain. Musuh yang girang melihat ia tak bersenjata sudah merangsek lagi, tak tahu bahwa bahaya mengancam mereka. Dan ketika Ce Han ditangkap pedangnya lalu ditarik mendekati si banci maka laki-laki ini telah mengguratkan kukunya lagi ke pundak si tosu.
“Rrt-rrt!”
Dua luka kecil mendarat di pundak, tidak merobohkan tosu itu namun akibatnya mengerikan. Sama seperti Ta Peh Hwesio tosu ini merasa disengat api yang tajam, bukan sekedar tajam namun panas membakar. Dan ketika ia berteriak dan melempar tubuh bergulingan maka tosu ini merobek pundaknya mencakari seperti gila.
“Aduh..... augh, aduh...!”
Mo Mo Cinjin terbelalak. Ia melihat sutenya bergulingan dan berteriak menjerit-jerit. Pundak itu robek disusul daging dan darah. Dan ketika sekujur tubuh lalu digaruk dan dicakar seperti gila maka sadarlah kakek ini bahwa racun yang jahat mengamuk di tubuh sutenya itu.
“Te-gak Mo-ki, kau benar-benar iblis keji!”
Beng Cit Ho-siang juga terbelalak. Ia melihat sutenya nomor dua, Ta Peh, bergulingan dan sama seperti sute Mo Mo Cinjin itu. Maklumlah dia bahwa racun yang amat ganas menyerang sutenya itu. Maka ketika ia membentak dan marah menerjang maju tiba-tiba hwesio ini mengeretakkan gerahamnya membuang toya mengganti dengan sepasang golok.
Akan tetapi si banci tertawa terkekeh. Ia mengibaskan tubuhnya, dua kali. Lalu ketika golok menusuk jantungnya iapun menerima tenang dan bles, golok lewat begitu saja seakan menusuk roh halus! Pucatlah Beng Cit Ho-siang melihat ini. Ia menarik senjatanya lagi dan mengamuk, lawan berkelebat dan terkekeh-kekeh. Lalu ketika di sana pedang Mo Mo Cinjin juga seakan menusuk badan hantu, lewat dan mundur berteriak maka semua kaget dan berteriak ngeri.
Sekarang Te-gak Mo-ki ini mengeluarkan ilmu hitamnya yang dahsyat. Ia bergerak dan maju mundur menerima tikaman dan bacokan. Hek-be-kang tak dipakainya lagi karena ilmu belut itu sudah ganti. Ia memperlihatkan kesaktiannya. Dan ketika lawan menjadi pucat dan gentar maka bergeraklah kukunya menusuk sana-sini. Murid-murid Bu-tong dan Hoa-san menjerit. Mereka bergulingan mengaduh-aduh. Dan ketika Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit Ho-siang membelalakkan mata maka bergeraklah iblis itu mengguratkan kukunya.
“Kau, sekarang giliranmu, Mo Mo Cinjin, dan kau juga si hwesio bau!”
Mo Mo dan Beng Cit mengelak namun gagal. Telinga dan lengan mereka tergurat. Dan ketika senjata di tangan jatuh terlepas maka dua tokoh Bu-tong dan Hoa-san ini mengeluh roboh. Beng Cit terbakar telinganya sementara Mo Mo Cinjin terserang lengannya. Mereka sudah mengerahkan sinkang namun racun itu menerobos juga, pucatlah dua ketua partai ini. Dan karena pembantu yang lain sudah roboh bergulingan tersiksa racun, beberapa di antaranya melarikan diri bersembunyi menjauhi si banci maka Te-gak Mo-ki berkelebat pergi terkekeh-kekeh.
“Heh-heh, selamat menikmati kematian. Itulah hukumannya bagi yang berani melawan aku!”
Bu-tong-paicu dan Hoa-san-paicu merintih ngeri. Lawan lenyap meninggalkan mereka namun Mo Mo Cinjin tiba-tiba menyambar sebatang pedang. Ketua Hoa-san ini sudah coba mendorong racun namun gagal. Dan ketika ia menggerakkan pedang membacok lengannya, putuslah lengan itu maka tosu ini roboh terguling pingsan.
Beng Cit melihat perbuatan rekannya dan tiba-tiba menggigit bibir. Iapun harus menyelamatkan diri. Dan ketika ia mengambil pedang itu dan membacok telinganya maka hwesio inipun roboh dengan telinga buntung!
Habislah pertempuran itu. Bu-tong dan Hoa-san sama-sama sial, yang tersiksa akhirnya roboh dan tewas. Dan ketika darah membasahi tempat itu sementara bulan menyembunyikan diri di balik awan hitam maka perlahan-lahan angin bertiup dingin mengusir sisa-sisa panas dari marahan dan kebencian.
Te-gak Mo-ki telah membantai sebagian besar dari dua perkumpulan ini. Kalaupun ada yang hidup maka mereka cacat, seperti halnya Mo Mo Cinjin dan Beng Cit Ho-siang itu. Dan ketika srigala melolong dari jauh, beberapa hewan malam juga bergerak mencium bau darah akhirnya muncullah moncong-moncong liar menjilat tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu. Anjing dan tikus liar berpesta, beruntung bahwa tak lama kemudian Mo Mo Cinjin maupun Beng Cit sadar, tak jadi sasaran hewan-hewan menjijikkan ini. Dan ketika mereka menangis melihat kekejaman itu, mengusir dan melindungi para sute yang sudah menjadi mayat maka malam itu dua ketua ini bekerja keras mengubur yang tewas.
Mo Mo Cinjin hampir gila. Beng Cit juga gemetar dan beberapa kali muntah. Tapi ketika pekerjaan mereka selesai dan dua ketua ini meninggalkan hutan maka Beng maupun Mo Mo tak kembali lagi ke tempat mereka.
“Pinceng bersumpah akan mencari sahabat yang dapat menandingi iblis itu, tak kembali ke Bu-tong kalau Te-gak Mo-ki masih hidup. Selamat berpisah, Hoa-san-paicu, kita mencari jalan sendiri-sendiri saja mengobati kedukaan ini.”
“Pinto juga tak kembali ke Hoa-san. Pinto akan mencari orang sakti yang dapat mengatasi kekejaman iblis itu, Beng Cit lo-suhu. Pinto tak mau pulang kalau sakit hati ini belum terbalas!”
“Selamat berpisah!”
Dua orang itu berangkulan lalu terhuyung pergi. Masing-masing membalik dan mencari jalan lain dan sunyilah hutan yang menjadi kenangan buruk bagi dua tokoh ini. Mereka terpukul hebat. Dan ketika pagi menjelang tiba sementara tempat itu menjadi bersih maka tampak dua gundukan tanah besar di kiri kanan jalan. Kuburan para tosu dan hwesio yang telah dimakamkan Mo Mo Cinjin dan rekannya!
* * * * * * * *
Kakek muka merah itu berkerut kening. Tubuh Cia-taijin di pembaringan dipandangnya terkejut, sementara Swi-goanswe dan Cia Sun serta ibunya menangis terisak-isak. Tapi ketika ia menarik napas dalam-dalam dan mengangguk perlahan maka ia menyuruh yang lain keluar, kecuali Cia Sun dan Swi- goanswe. “Ini racun yang memasuki minuman, bagaimana Cia-taijin sampai bisa begini!”“Di istana ada seorang iblis. Kuat dugaan kami bahwa dialah biang keladinya, lo-enghiong. Kami tak tahu asal mulanya tapi terdapat perselisihan antara Cia-taijin dengan manusia iblis itu. Mohon pertolonganmu karena tabib tak dapat menyembuhkannya!”
Swi-goanswe bicara dan jenderal tinggi besar ini mengepal tinju. Akhirnya dia dan keluarga Cia-taijin ini tiba di tapal batas, selamat dan cepat menemui kakek itu untuk minta pertolongan. Kakek ini berada di sebuah lembah di tengah padang rumput, tinggal di sebuah gubuk kecil di mana di depan gubuknya itu berdiri kokoh sebuah pohon pek besar. Pohon itulah yang menjadi tanda dari kejauhan. Maka ketika ia datang ke sini dan bertemu, girang maka kakek itu menerima kedatangannya dan membawa Cia-taijin masuk kedalam.
Swi-goanswe sendiri tak tahu siapa sebenarnya kakek muka merah ini. Tapi karena kakek itu selalu berpakaian putih seperti orang berkabung, juga di dadanya terdapat gambar sepasang naga melingkar maka ia menyebutnya Song-lo-enghiong (orang tua gagah Song), karena si kakek juga pernah menyebut-nyebut dirinya sebagai “orang she Song” selain Liong-eng-hiong (orang tua Naga).
“Hm, kalian datang pada waktu yang tepat. Baiklah, dua jam lagi terlambat maka Cia-taijin tak dapat kutolong lagi, goanswe. Carikan katak hijau dan ambil kencingnya, bawa enam ekor!”
Swi-goanswe terkejut. “Kencing katak hijau, lo-enghiong?”
“Benar, enam ekor. Dan kau, anak muda, bawa ke sini enam batang jarum dinding itu. Cepat!”
Cia Sun bergerak dan mengambil yang diminta. Ia sendiri terkejut dan heran oleh permintaan pertama namun Swi-goanswe tak mau buang-buang waktu. Cepat jenderal ini keluar dan memerintahkan anak buahnya mencari katak hijau. Beruntung waktu itu musim hujan, katak dapat dicari dengan cepat. Dan ketika ia menjepit katak itu di bagian perutnya maka si kakek berseru bahwa perutnya harus di pencet, kencingnya diminumkan ke mulut Cia-taijin.
“Jangan buang-buang waktu lagi, minumkan kencingnya sebanyak tiga gelas. Kau bantu ayahmu membuka mulutnya, anak muda. Aku akan menggetarkan enam batang jarum ini di tubuhnya!”
Swi-goanswe terbelalak. Ia sudah menduga bahwa kencing katak pasti menjadi obat Cia-taijin, hanya yang tak diduga adalah kencing itu harus diminum! Tapi karena perintah harus dijalankan sementara enam batang jarum ditancap-tancapkan cepat, Cia Sun kagum betapa si kakek melempar-lemparkan begitu saja enam jarum itu di tubuh ayahnya maka enam ekor katak rmulai dipenceti dan keluarlah cairan kuning menuju mulut Cia-taijin.
“Crut-crut!” Kencing katak meluncur masuk. Bau pesing menusuk hidung, Cia Sun berbangkis. Tapi ketika Swi-goanswe menginjak kakinya agar menahan diri, kakek itu berkerut kening maka Cia Sun merah mukanya mendengar dengus pendek.
“Huh, bocah lemah hati!”
Pemuda ini menahan diri. Lima katak dibuang Swi-goanswe dan katak keenam dipencet perutnya. Tapi ketika kencing muncrat ke wajah pemuda ini maka Cia Sun muntah dan terbatuk kaget.
“Ah,” Swi-goanswe terkejut. “Sembrono kau, Cia Sun. Jangan tutup mulut ayahmu!”
“Aku jijik,” pemuda itu gemetar. “Baunya memuakkan, paman, keras sekali. Aku aku tak tahan!”
“Suruh bocah itu mencari lagi,” si kakek berseru, melotot. “Kau harus mencarinya dua ekor, anak muda. Cepat atau pengobatan sia-sia!”
Cia Sun bingung. Ia hanya bertugas memegangi mulut ayahnya dan bukan mencari katak, yang mencari adalah anak buah Swi-goanswe. Tapi ketika kakek itu menendangnya dan ia mencelat terlempar maka pemuda ini mengaduh di luar pondok mendengar bentakan marah.
“Cari atau ayahmu mampus. Aku tak mau orang lain dan harus kau sendiri!”
Terpaksa pemuda ini terhuyung bangun. Ia merah padam dan muncullah bayangan Swi Pang, sang kekasih. Dan ketika gadis itu terkejut menolongnya ia buru-buru melepaskan diri.
“Tak apa-apa, aku tak apa-apa. Sudahlah kau tunggu di sini aku menjalankan tugasku.”
Cia Sun meloncat pergi. Alangkah malu dan mendongkolnya hati ini, baru pertama itu si kakek menendangnya. Tapi karena keselamatan ayahnya benar-benar terancam dan ia menaruh harapan pada kakek itu maka ia mencari katak hijau namun dua kali terjungkal masuk lumpur!
Hampir Swi-goanswe tertawa melihat ini. Wajah pemuda itu berlepotan, dua ekor katak berada di tangan. Dan ketika kakek itu geli dan tersenyum mengangguk-angguk maka kencing katak harus cepat diminumkan.
“Kau bantu pamanmu seperti tadi, atau kau harus minum kencing itu sendiri!”
Cia Sun kecut. Ia membuka mulut ayahnya lagi dan Swi-goanswe memencet perut katak, cairan kuning kembali muncrat. Dan ketika tepat sekali mulut Cia-taijin akhirnya pengobatan ini selesai. Si kakek menyuruh semuanya keluar.
“Cukup, sekarang aku tak mau diganggu. Keluarlah dan biarkan aku sendiri!”
Cia Sun memandang ayahnya dengan hati berdebar. Ia belum melihat perobahan apa-apa dan diam-diam gelisah. Berhasilkah kakek itu menolong ayahnya? Mampukah menyembuhkan?
Tapi Swi-goanswe sudah menarik tangannya. Kalau dia khawatir adalah jenderal itu bersikap tenang, gembira. Mata Swi-goanswe melihat perobahan kecil pada diri Cia-taijin itu, wajah yang mulai memerah. Dan ketika ia menarik tangan pemuda itu diajak keluar maka di sana puterinya dan Cia-hujin menyambut.
“Bagaimana? Selesai?”
“Sabar, hujin tak usah khawatir. Aku percaya kepada kakek itu, Cia-taijin pasti sembuh!”
Nyonya ini bersinar. Ia menaruh harapan dan sudah mendengar tentang kepandaian Song-lo-enghiong ini. Konon orang sekaratpun bisa sembuh! Maka ketika ia terisak dan mengangguk menaruh kepercayaan maka Cia Sun menarik napas dalam dipandang kekasihnya dengan geli.
“Kau berlepotan, sebaiknya cuci muka dulu.”
Pemuda ini sadar. Ia bergerak dan menuju belakang sementara ibunya dan Swi-goanswe tersenyum. Lumpur yang melekat di wajahnya masih menempel, itulah gara-gara mencari katak hijau. Dan ketika semua menunggu di ruang depan maka setengah jam kemudian terdengar keluhan Cia-taijin.
“Suamiku sadar!” Cia-hujin bangkit dan berlari masuk. “Ah, mari kita lihat, goanswe. Kakek itu rupanya berhasil!”
Swi-goanswe meloncat dan mengejar pula. Pintu yang tak dikunci mudah saja dibuka, dua orang ini sudah di dalam. Dan ketika Cia-taijin tampak duduk di pembaringan dengan muka kemerah-merahan, kakek itu di belakang menahan punggungnya maka berteriaklah Cia-hujin menubruk suaminya itu. Cia-taijin tampak sembuh dan sehat, meskipun kurus dan lelah.
“Suamiku...!”
Sang menteri tampak bingung. Ia memang telah sadar dan sembuh dari pengaruh racun tapi pikirannya masih melayang-layang. Ia heran berada di gubuk sederhana, bersama seorang kakek tak dikenal. Dan ketika ia terbatuk dan dapat bertanya, itulah suara pertama kali sejak ia menderita maka kehadiran isteri dan Swi-goanswe membuat ia heran, terkejut.
“Kau. kau di sini? Di mana kita?”
“Ah, hu-hukk ! Kau sembuh, suamiku, syukur dan puji kepada Thian Yang Agung. Goanswe yang membawamu ke sini, kita di utara tapal batas tembok besar!”
Cia-taijin terbelalak dan terguncang-guncang ditubruk isterinya ini. Sang isteri menangis dan menciuminya berulang-ulang tapi tiba-tiba lelaki ini roboh. Ia lapar, lemas. Dan ketika Cia-hujin menjerit tapi lega melihat suaminya tak apa-apa maka kakek itu tertawa berkata pada Swi-goanswe.
“Buatkan bubur untuknya, berikan daging katak hijau!”
Swi-goanswe mengangguk dan kebetulan dua anak muda masuk. Cia Sun mendengar suara ayahnya ini dan Swi Pang menyusul ayahnya. Bukan main girangnya mereka melihat betapa si sakit sudah sehat. Tapi ketika Swi-goanswe berseru pada puterinya untuk membuat bubur bagi Cia-taijin, juga mengolah tujuh katak yang terengah-engah di lantai tiba-tiba gadis ini tertegun merasa jijik, geli.
“Song-lo-enghiong menyuruh itu, dagingnya harus dimasak pula. Siapkan bubur dan ambil katak-katak itu.”
“Aku geli, ih, jijik! Sebaiknya kau bunuh dulu mereka, ayah. Aku geli melihat perutnya yang besar bulat itu!”
Swi-goanswe tertawa. Ia mencabut pedang dan tiba-tiba sinar putih berkelebat, tujuh katak terpotong dua. Lalu ketika ia tertawa dan pedang telah lenyap lagi di sarungnya maka ia berseru pada puterinya untuk tidak berayal lagi. “Cepat, taijin lapar. Ia lemah dan lemas. Siapkan bubur paling enak dan kita rayakan kegembiraan ini!”
“Tapi mana kakek itu?” gadis ini bertanya dan mengejutkan ayahnya. “Ia tak ada, ayah. Heran, tadi masih di sini!”
“Hm, mungkin di luar. Sudahlah siapkan makanan itu dan kucari kakek ini!”
Swi-goanswe bergerak dan mencari kakek itu. Aneh, ia tak menemukan. Dan ketika mengira kakek itu bepergian sebentar, mungkin satu dua jam lagi kembali ternyata hingga sore kakek ini tak muncul juga. Cia-taijin sudah semakin sehat dan kuat, banyaklah cerita anak isterinya didengar. Dan ketika ia juga ingin mengucap terima kasih kepada kakek itu ternyata Swi-goanswe tercenung di luar, mata bersinar kosong memandang ke depan.
“Ia tak ada, tak mau menemui kita. Hm, inilah sepak terjang kakek itu, taijin, aneh dan tak suka banyak peradatan. Kita agaknya tak mungkin bertemu lagi!”
“Bagaimana kau tahu?”
“Kamar pribadinya kosong, ia telah mengambil buntalannya pula!”
Lalu ketika Cia-taijin tertegun dan duduk bengong iapun termangu-mangu merasa menyesal juga. Ia kelewat gembira bersama anak isterinya tadi, bubur telah memasuki perutnya pula dan perlahan-lahan kekuatanpun timbul. Ia telah dapat berdiri dan berjalan sendiri, mula-mula gemetar dan hampir jatuh tapi selanjutnya sang isteri tak usah menolong. Ia benar-benar merasa sehat, sembuh. Maka ketika tiba-tiba ia tak melihat tuan penolongnya dan Swi-goanswe juga tampak kecewa maka tiga hari kemudian jenderal ini menerima laporan bahwa di kota raja terjadi sesuatu yang mengguncangkan rakyat, suara bak halilintar menyambar-nyambar disertai guruh dan badai.
“Dewa Kegelapan mengamuk. Istana dan seluruh rumah penduduk gelap gulita. Celaka, dunia seolah hendak kiamat, goanswe. Lampu dan semua penerangan padam diserang angin ribut ini. Jendela dan pintu-pintu penduduk beterbangan. Gerbang di kota raja juga ambruk!”
Swi-goanswe terbelalak. “Apa yang terjadi?”
“Kami tak tahu, tapi goanswe diminta datang ke sana. Separuh dari pasukan di sini mohon dibawa, sri baginda ketakutan!”
Terkejutlah semua orang. Cia-taijin yang mendengar itu mengerutkan kening, Swi-goanswe sudah berkelebat dan menyiapkan pasukan untuk dibawa ke kota raja. Tiga hari ini ia sudah tinggal di tempat jenderal itu meninggalkan gubuk kosong, berdebarlah ia teringat kakek itu. Dan ketika Swi-goanswe muncul dan buru-buru berpamit pergi maka ia yang selama ini tak diperbolehkan ke kota raja tiba-tiba menahan lengan jenderal itu.
“Goanswe, aku ingin ikut. Rasanya sudah waktunya aku pulang!”
“Jangan!” sang jenderal kaget. “Musuhmu masih ada di sana, taijin. Te-gak Mo-ki dapat mengancammu lagi. Biar aku ke sana dulu melihat keadaan, kau tinggal bersama anak isteriku!”
“Tidak, kita sama-sama mengabdi pada sri baginda. Kalau kau tak mau mengajakku aku dapat pergi sendiri, goanswe. Betapapun aku ingin pulang!”
Terpaksa jenderal ini mengalah. Ia mengangguk dan menyiapkan kereta dengan pengawal, menyuruh orang menjaga pembesar itu. Lalu ketika ia berangkat dan pamit bersama anak isterinya, Cia Sun dan ibunya tinggal di situ maka benar saja suasana kota raja menggemparkan, gelap gulita!
Yang pertama ditemui jenderal itu adalah keanehan yang membuat ia dan seluruh rombongannya tertegun. Awan gelap gulita di atas rumah-rumah penduduk, sementara di luar kota raja, di luar pintu gerbang yang roboh matahari masih bersinar dengan cahayanya yang redup. Tapi ketika terdengar suara menggelegar dan petir menyambar mereka, mencuat dari awan hitam maka rombongan terpelanting dan kuda meringkik kaget. Kereta yang ditunggangi Cia-taijin kabur!
“Heii, jaga! Tangkap kereta itu!”
Swi-goanswe terkejut. Ia masih merasa aneh dan terheran-heran oleh kejadian yang tidak masuk akal ini. Kota raja benar-benar gelap gulita sementara di luar, di empat penjuru hari masih cukup terang. Meskipun redup namun matahari dapat menyinari tempat itu, sinarnya menembus lemah kekuning-kuningan. Saat itu paling tidak masih sekitar jam empat sore. Dan ketika kilat kembali menyambar dan kali ini membuat kuda sang jenderal tersentak kaget maka kuda itu meringkik dan memutar tubuhnya lari menggila, ketakutan!
“Keparat!” Swi-goanswe menahan tali kekang kuat-kuat. “Berhenti, kuda jahanam. Berhenti!”
Akan tetapi yang terjadi sebaliknya. Kilat kembali menyambar dan para perajuritnya berteriak, kuda tunggangan lari ke delapan penjuru dan kacaulah keadaan. Tak ada lagi yang mampu menguasai hewan tunggangannya. Dan ketika kuda menggigit putus tali yang ditarik kuat-kuat akhirnya Swi-goanswe terpelanting dan jatuh dari kudanya. Guntur dan kilat yang menyambar-nyambar itu membuat semua ketakutan.
Namun jenderal ini mampu menguasai diri. Ia berseru melempar tubuh tiga kali dan selamat ke tanah, terhuyung. Dan ketika pengawalnya juga melakukan hal yang sama dan melempar tubuh dari atas kuda yang gila akhirnya masing-masing mengeluarkan keringat dingin dan saat itulah Swi-goanswe mendengar suara sayup-sayup sampai.
“Swi-goanswe, jangan masuk ke dalam, berbahaya. Tetap saja di situ dan sebaiknya kalian berlindung di dalam hutan!”
“Song-lo-enghiong!” sang jenderal berseru dengan suara kaget. “Ah, kau di mana, lo-enghiong. Apa yang terjadi dan bagaimana tiba-tiba begini, bagaimana nasib sri baginda!”
“Beliau selamat, bersembunyi. Jangan bertanya dan bawa pasukanmu ke dalam hutan, goanswe. Aku sedang bertanding dengan saudara-saudaraku dan hari ini penyelesaian...blaarr!” bunga api membuncah diangkasa, sedetik menciptakan sinar terang-benderang.
Dan Swi-goanswe melihat lima orang bertempur hebat di sana, beterbangan dan menyambar bagai naga mengamuk dan satu di antaranya seorang wanita baju hitam, melengking dan memekik-mekik dan suara itulah yang mirip halilintar atau petir yang marah, disusul atau ditumpuk oleh geram dan bentakan gusar empat orang yang lain. Tapi ketika sinar di angkasa itu menghilang terganti suasana gelap kembali maka jenderal ini tak tahu apa lagi yang terjadi namun pasukannya dan semua orang terbelalak menyangka sedang terjadi pertarungan antara iblis dan para pendekar.
Kiranya kakek muka merah itu telah berada di kota raja. Ia meninggalkan gubuknya di utara dan juga Cia-taijin dan Swi-goanswe. Orang tak tahu ia ke mana tapi yang paling kaget adalah Te-gak Mo-ki. Inilah Song-bun-liong kakak seperguruannya. Kakek itu langsung mendatangi istana setelah melihat penyakit Cia-taijin, marah dan hendak menegur, tapi Te-gak Mo-ki malah menantangnya. Dan ketika ribut-ribut di antara mereka tak dapat dihindarkan akhirnya Te-gak Mo-ki menyerang suhengnya itu dan terjadilah pertempuran hebat.
Mula-mula kakek ini menemui sutenya secara baik-baik. Keterangan Swi-goanswe bahwa di istana terdapat iblis jahat telah membuat kakek ini maklum. Sekali lihat tahulah ia perbuatan siapa itu. Maka ketika ia datang dan sutenya terkejut, waktu itu si banci ini sedang bermain cinta dengan seorang pemuda. maka Song bun-liong, si Naga Berkabung itu memerah mukanya. Di sudut kamar itu menggeletak dua pemuda lain yang rupanya juga baru bermain cinta, menjijikkan.
“Hm!” kakek ini datang mengerahkan ilmunya. “Selamat malam, sute, tak kunyana seperti ini sepak terjangmu. Kau mempengaruhi mereka dengan Toat-seng-hoat-sut. Keji, tak berperasaan!”
Te-gak Mo-ki terkejut. Ia baru saja mempermainkan korbannya seorang pemuda petani, berkulit hitam namun tegap dan berotot. Sekarang si banci ini telah bosan dengan pemuda-pemuda istana, terlalu halus mereka itu. Maka ketika siang tadi ia menemukan pemuda berkulit hitam ini, langsung menusukkan pandang matanya dan kagum oleh tubuh berotot itu segera ia membawa korbannya ini ke tempatnya dan malam itu ia membuat lawan terengah-engah kehabisan tenaga. Pemuda itu telah diperas dan dipaksa pula melayani dua pemuda di sudut kamar itu, yang kini tertidur setengah pingsan dengan tubuh telanjang bulat.
“Suheng!” Te-gak Mo-ki menyambar pakaiannya dan terkejut. “Ah, mau apa kau di sini, suheng. Kenapa mengganggu aku!” lalu berkelebat dan menghilang meninggalkan kamar si banci ini telah berada di wuwungan bersama suhengnya itu. Kakek muka merah itu memperlihatkan diri dari jauh dan tak dilihat pemuda-pemuda di dalam itu, kini berdiri saling berhadapan.
“Hm!” kakek itu menegur. “Kau melanggar larangan, sute. Kau membuat dosa. Kita Ngo-cia Thian-it (Lima Nabi Langit Tunggal) tercemar oleh perbuatanmu. Kau harus menghentikan itu!”
“Ha-ha hi-hik!Kau lucu, suheng, kenapa mengguruiaku. Semua sepakterjangku adalah tanggung jawabku juga, kenapa ikut campur. Justeru kau melanggar larangan dengan berani mengganggu dan menegur aku. Ingat bahwa kita tak boleh menyinggung yang lain. Aku tak pernah mengganggumu!”
“Benar, tapi.... hmm, perbuatanmu keji, sute. Tak kusangka sedemikian jauh langkahmu. Kau menyiksa Cia-taijin, kau mempermainkan puteranya pula. Dan karena kulihat pemuda-pemuda lain di sini maka kupercaya keterangan di luar bahwa kau berobah. Kau tak patut bergelar Cia-jin (Nabi)!”
“Hi-hik, heh-heh, kau lucu. Ah, kau termakan omongan orang, suheng, sejak kapan mulai terpengaruh. Gelar itu bukan kita yang minta, apa perdulinya. Nabi atau bukan hanya sebutan saja. Aku ingin bebas!”
“Dan kau membunuh-bunuhi orang-orang Bu-tong dan Hoa-san, kau semakin melenceng dari kebenaran. Sute, aku tak dapat menerima perbuatanmu ini dan sadarlah, buang sikap itu dan pertahankan gelar kita. Atau aku membawamu ke saudara-saudara yang lain dan menghukummu di sana!”
“Heh, sombong. Dua kali kau menyinggung aku. Eh, ingat janji dan sumpah kita, suheng. Kita Ngo-cia Thian-it tak akan bercekcok satu sama lain, tak saling mengganggu. Jaga mulutmu dan jangan membuat aku marah!”
“Tindakanmu melenceng,” kakek itu membentak. “Apa kata orang kalau sepak terjangmu teramat buruk, sute. Sebagai saudara tua aku berhak menegur. Kembali dan buang watakmu yang jahat ini ke dalam kebenaran. Sejak kapan kau menjadi sesat!”
“Heh-heh, hi-hik! Kau yang sesat dan melanggar kebenaran, suheng. Kau yang buruk dan bertindak tak semestinya. Sejak kapan seorang di antara kita diperbolehkan menegur yang lain, sejak kapan kau dianggap hakim meskipun saudara tua. Hm, kepandaian kita tak berbeda jauh, suheng, yang tua dan yang muda hanya karena usia. Aku tak pernah mengganggu dan menegurmu dan tak layak kalau tiba-tiba sekarang kau mengganggu dan menegurku. Urusanku adalah tanggung jawabku sendiri, bukan urusanmu. Pergilah dan jangan ribut di sini atau aku menghadapimu sebagai lawan!”
Marahlah kakek ini. Memang di antara mereka bersaudara terdapat semacam perjanjian atau sumpah bahwa satu sama lain tak boleh mengganggu atau menegur. Sumpah itu ditaati bersama dan harus di laksanakan. Tapi karena sutenya ini melenceng dari kebenaran dan ia tak dapat membiarkan itu, korban-korban berjatuhan maka ia semakin marah oleh tantangan ini.
“Kau!” bentaknya. “Tak patut kurang ajar kepada yang tua, sute. Aku datang bukan untuk mencari pertikaian tapi sekedar mengingatkanmu. Hentikan itu atau aku menyeretmu ke saudara-saudara yang lain!”
“Heh-heh, tiga kali. Keparat, tiga kali kau melukai perasaanku. Jangan sombong dan semena-mena, suheng, jangan mengagulkan diri sebagai saudara tua. Aku tak takut kepadamu dan justeru aku yang akan melapor bahwa kau melanggar ketertiban!” si banci merogoh sakunya dan secepat kilat paku-paku beracun menyambar suhengnya itu.
Song-bun-liong si kakek merah berseru marah, ia waspada dan mengebut semua paku-paku ini. Tapi ketika sutenya berkelebat dan mendorong dadanya maka ia berkelit dan menggerakkan lengan ke atas menangkis pukulan sutenya itu.
“Dukk!”
Dua-duanya terpental dan terpelanting ke bawah. Te-gak Mo-ki yang gagal mendorong suhengnya menjadi marah, berjungkir balik dan membentak serta menyerang lagi ketika masing-masing sudah di atas tanah. Dan ketika di belakang gedung itu terjadi pertandingan cepat maka angin berkesiur menderu-deru dan pohon-pohon bergoyang seakan diterpa angin ribut.
“Sute, sadarlah. Hentikan perbuatanmu dan pergi dari sini dan akupun akan pergi!”
“Heh-heh, terlambat. Kaulah yang pergi dan jangan mengganggu aku, suheng. Enyahlah atau aku membunuhmu...dess!"
Sang kakek berseru marah dan menangkis menambah tenaganya. Tak disangka sang sute secara licik mencabut kipas dan menotok dengan cepat. Te-gak Mo-ki menyembunyikan gerakan itu di balik lengan baju yang lebar, totokan ujung kipas langsung ke urat leher. Dan ketika Si Naga Berkabung terhuyung dan mengeluh tertahan, serangan itu benar-benar menghendaki kematiannya maka kakek ini roboh dan terguling, uratnya putus!
Te-gak Mo-ki terkekeh dan berkelebat maju. Ia girang melihat lawannya roboh dan bermaksud menusuk sekali lagi, ujung kipas meruncing dan kali ini menuju jantung. Sekali coblos tentu pecah. Tapi ketika terdengar geraman dan kakek itu bangkit lagi, tubuhnya menggelembung tiba-tiba ia mengibas dan kipas serta pemiliknya terbanting.
“Sute, kau keji. Kau benar-benar hendak membunuhku. Heh, terimalah dan jangan sombong!”
Si banci menjerit dan bergulingan. Ia kaget lawan tak apa-apa, bangkit dan sudah biasa lagi dengan tubuh menggelembung. Itulah Kim-kong-ciok (Ilmu Arca Emas). Dan ketika ia meloncat bangun dan menyerang namun tubuh suhengnya sudah seperti arca batu, kipas tak ada gunanya menotok atau menampar akhirnya ia terdesak dan marahlah pemuda ini mengeluarkan Hek-be-kangnya.
“Duk-plak!”
Pukulan si kakek melenceng membentur tubuh yang licin. Bagai belut atau ular menggeliat akhirnya pukulan atau balasan si kakek tak menghasilkan apa-apa. Kim-kong-ciok bertemu Hek-be-kang! Dan ketika si banci terkekeh dan kakek itu marah akhirnya masing-masing bergerak lebih cepat dan tak ampun lagi dinding rumah tergetar dan pohon-pohon di sekeliling tumbang!
Nyata bahwa Ilmu Belut benar-benar efektif melindungi diri. Te-gak Mo-ki berkelebatan menyambar-nyambar dan pukulan lawan meleset mengenai tubuhnya. Tapi karena iapun tak mampu merobohkan suhengnya yang sudah sekeras arca emas, mata dan telingapun tak dapat ditusuk kipas maka dua orang ini benar-benar berimbang dan masing-masing menaruh kekaguman.
“Bagus, kau semakin hebat, tapi juga sombong. Hm, jangan tertawa senang dulu, sute. Lihat seberapa lama kau dapat bertahan!”
“Heh-heh, kaupun mengagumkan. Jangan ngimpi untuk mengalahkan aku, suheng. Boleh jadi tenagaku habis untuk bermain cinta namun kaupun sudah tua. Hi-hik, kita berimbang!”
Kakek ini menggeram. Memang harus diakui bahwa ia mengharap kejadian itu, lelahnya sang sute dalam pertandingan yang lama. Tapi karena ia pun sudah tua dan tenaga juga berkurang, hasil mereka tentu berimbang, maka kakek ini meledakkan tangannya dan tiba-tiba segulung asap putih menyambar sutenya itu. Kakek ini menghilang dan tiba-tiba berubah bentuk, ujudnya menjadi naga! “Sute, aku akan menangkapmu. Menyerahlah, dan kita pergi dari sini!”
Te-gak Mo-ki berteriak. Ia kehilangan lawan dan sebagai gantinya disambar asap putih tebal itu, tentu saja terkejut. Dan ketika ia melempar tubuh namun naga di balik asap itu menyambar, kedua kaki depannya mencengkeram dadanya tiba-tiba si banci ini melengking dan keluarlah jeritannya yang panjang menggetarkan. Istana bagai roboh oleh suaranya yang dahsyat ini. “Aarrgggghhhhhh!”
Lenyaplah si banci menjadi harimau raksasa. Harimau ini menangkis cengkeraman naga dan balas menggigit. Tapi ketika naga mengelak dan membelit tubuhnya maka harimau melonjak dan terbanting lagi ke tanah.
“Bummm!”
Dua mahluk dahsyat itu bergulingan. Naga membelit harimau, namun harimau menggigit dan mencakar. Dan ketika masing-masing sama terluka dan kesakitan akhirnya naga lenyap berubah menjadi rajawali, didahului ledakan.
“Blarr!”
Harimau kebingungan namun tiba-tiba terangkat naik. Rajawali datang menerkamnya dan meronta-rontalah dia, dijatuhkan dan ditangkap lagi empat lima kali. Tapi ketika harimau meraung berubah ujud, lenyap ketika terbanting ke tanah maka muncullah seekor garuda raksasa yang menerkam dan menyerang rajawali itu.
Terjadilah pertarungan sengit di udara. Rajawali kalah besar lalu mencipta diri lebih besar lagi, sebukit tingginya. Dan ketika garuda menjadi kecil dan kalah perkasa, akhirnya garuda memperbesar diri hingga sama seperti lawannya, menyambar dan beterbangan dan hiruk-pikuklah suasana di angkass. Udara menjadi gelap oleh sayap sepasang burung raksasa ini, istana gempar.
Dan ketika penduduk juga ketakutan dan matahari tertutup oleh tubuh dua ekor burung ini maka gelap gulitalah seluruh kota raja sementara angin kibasan atau deru sepasang burung itu memadamkan semua lampu-lampu dan penerangan yang ada. Pertandingan ternyata berjalan lama sehari semalam. Penduduk benar-benar panik dan pintu serta jendela roboh. Dan ketika pertandingan berjalan pada hari ke dua mendadak muncullah seorang wanita baju hitam yang terbang ke angkasa.
“Heii, suheng berdua. Apa yang kalian lakukan ini hingga tempat pertapaanku tergetar. Berhenti, bagaimana bertanding mati hidup. Apa yang terjadi!”
“Heh-heh, sumoi kiranya. Bagus, twa-suheng mengganggu dan memaki-maki aku, sumoi. Pantaskah itu dilakukannya kepada sesama saudara.”
“Tutup mulutmu! Aku datang hanya untuk menasihati dan menyuruhmiu berjalan di atas kebenaran, sute, bukan mengajakmu bertikai. Siapa menyerang dulu!”
“Bagus, tapi siapa menyakiti perasaan terlebih dahulu. Heh, seranganku karena perbuatanmu, suheng. Kau melanggar pantangan di antara kita!”
“Tapi perbuatanku karena perbuatanmu juga. Kalau kau tidak bercinta dengan sesama lelaki dan membunuh-bunuhi orang Bu-tong atau Hoa-san tak mungkin aku datang. Sute, kau melenceng dari gelar Nabi, kau Iblis!”
Lalu ketika keduanya bertempur hebat dan wanita baju hitam tampak tertegun, bingung maka rajawali dan garuda itu sama-sama mengelepakkan sayapnya, saling hantam.
Bresss!”
Dua-duanya terpental dan terbanting. Udara semakin gelap oleh debu yang tertimpa tubuh mereka, wanita baju hitam masih terbelalak. Tapi ketika menyambar sesosok bayangan lain bertubuh tinggi besar, bertaring dan menyeringai maka terdengarlah suara menggelegar,
“Sute, suheng, apa yang kalian lakukan ini. Kenapa membuat samadhiku batal!”
Dua orang itu terkejut. Mereka telah melompat bangun dan serang-menyerang lagi tak perduli yang lain, masing-masing masih tetap sebagai rajawali dan garuda raksasa. Tapi ketika raksasa tinggi besar itu melompat dan menghantam rajawali, pukulannya mengenai punggung maka rajawali terhempas dan menjadi kaget.
“Heii!” wanita baju hitam melompat. “Kau curang, suheng. Kenapa menyerang!"
“Aku tidak menyerang,” raksasa itu berseru, “aku melerai, sumoi, mencegah mereka. Guha pertapaanku roboh dan samadhiku gagal. Tak sepatutnya yang tua menyerang yang muda, yang tua harus mengalah!” dan mendorong serta melepas pukulan lagi raksasa ini menghantam rajawali hingga memekik-mekik, terbang dan dikejar garuda dan marahlah wanita baju hitam itu. Ia bukan lain Hek-i Hong-li adanya, sementara raksasa itu adalah Mo-bin-jin. Dan ketika wanita ini berkelebat dan menangkis pukulan si raksasa, Mo-bin-jin marah maka raksasa itu membalik dan akhirnya menghantam sumoinya ini.
“Desss!”
Sang sumoi terhuyung dan melotot. Ia memaki suhengnya itu dan membalas. Lalu ketika mereka bertempur dan udara semakin pekat maka terjadilah pertandingan seru di antara empat orang itu, ganti-berganti melawan yang lain sampai akhirnya Hek-i Hong-li terang-terangan membela Song-bun-liong. Setiap pukulan Te-gak Mo-ki atau Mo-bin-jin yang diarahkan ke kakek muka merah itu selalu ditangkis. Dan karena kakek ini juga selalu menangkis pukulan-pukulan yang diarahkan ke sumoinya maka tiba-tiba mereka sudah saling membentuk kelompok sendiri menyerang yang lain.
“Bagus, twa-suheng memang licik. Ia tua bangka tak tahu malu, ji-suheng (kakak kedua). Arif di luar tapi kotor didalam. Lihat, ia masih mencintai sumoi!”
“Heh, memang begitu. Twa-heng Song-bun-liong memang tak tahu malu, sute. Setua ini masih juga mencinta wanita muda. Ah, untung tak diterima sumoi!”
“Tutup mulutmu!” Hek-i Hong-li melengking-lengking. “Jangan menggosok atau membakar hatiku, ji-heng. Twa-heng orang baik-baik dan kalau bukan karena suheng (kakak keempat) tentu kuterima cintanya. Kalian tak usah membakar, dari dulu sampai sekarang kalian memang jahat!” dan marah memaki-maki Hek-i Hong-li yang memang cantik ini menyerang dan menangkis lawannya membela twa-suheng (kakak pertama).
Kiranya memang terjadi kasih asmara di antara orang-orang ini. Song-bun-liong, si Naga Berkabung diam-diam ternyata mencinta sumoinya ini. Hek-i Hong-li adalah saudara termuda tapi masih ada saudara mereka yang lain, yakni orang nomor empat dari Ngo-cia Thian-it. Orang ini bukan lain adalah Sian-eng-jin yang belum datang, mungkin belum tahu. Dan karena saudara nomor empat itu juga mencinta wanita ini, timbullah semacam persaingan di antara dua lelaki itu maka Naga Berkabung yang merasa sebagai yang tertua mengalah, pergi menyingkir.
Tapi Sian-eng-jin merasa malu. Sesungguhnya ia tahu bahwa sumoinya itu lebih condong kepada kakak seperguruannya itu daripada dia. Aneh bahwa Hek-i Hong-li mencinta kakek yang tua itu, bukan lelaki lain yang lebih muda. Dan ketika wanita atau gadis itu menangis ditinggal twa-hengnya, diam-diam Sian-eng-jin melihat itu dari jauh maka lelaki ini terpukul dan akhirnya pergi juga. Hek-i Hong-li sendiri.
Namun akhirnya Hek-i Hong-li dapat menemukan twa-hengnya itu. Ada sesuatu yang menarik dari diri kakak seperguruannya tertua ini, yakni kepribadiannya yang matang dan tindak-tanduknya yang bijak. Maka ketika ia dinasihati agar pulang dan mencari kakaknya nomor empat, Sian-eng-jin maka twa-suhengnya itu berkata bahwa yang lebih tepat mendampingi gadis itu adalah saudaranya itu.
“Aku sudah tua, tak pantas untukmu. Aku pergi sengaja memberi kesempatan kepada kalian, sumoi, agar sute (adik ke empat) dapat bersama denganmu. Pulanglah, aku lebih tepat bertapa dan merantau. Binalah hubungan rumah tangga yang harmonis dan aku turut bahagia kalau kalian bahagia.”
“Tapi suheng sombong!” Hek-i Hong-li tersedu. “Ia selalu tak mau kalah denganku, twa-heng. Watak itulah yang kubenci biarpun untuk yang lain-lain suheng memang baik!”
“Hm, kesombongan tak akan lama. Ia tak mau dikalahkan karena sute merasa sebagai lelaki, sumoi, tak mau kalah dengan wanita. Ia tak bermaksud menyakiti hatimu selain terbatas karena itu saja.”
“Namun kepandaian kami setingkat!”
“Benar, kaupun tak jauh dariku. Tapi itu bukan masalah, sumoi. Asal kau dapat mengalah dan biarkan saja begitu lama-lama watak sutepun dapat berubah. Sudahlah, aku sudah tua dan cukup mencintaimu begini saja. Kau akan hidup lebih berbahagia dengan yang sebaya denganmu.”
Hek-i Hong-li tersedu-sedu. Justeru kelembutan seperti inilah yang tak ada pada diri kakaknya nomor empat. Suhengnya itu selalu mau di atas dan ia anggap setingkat di bawah, padahal twa-suhengnya ini tak pernah merendahkan dan menganggap dia sederajat. Sikap dan perbuatan twa-hengnya ini memang selalu menyentuh, banyak mengalah. Dan ketika ia bangkit berdiri dan berlari pulang, bingung dan gregeten maka sejak itu ia masih mengenang twa-hengnya ini dengan penuh kemesraan, kagum. Apalagi ketika ia tahu betapa twa-hengnya itu mendekati dan menasihati suhengnya itu, kakak nomor empat.
“Kau tak boleh merasa lebih tinggi, kalian setingkat. Lembut dan bersikaplah lunak kepada sumoi, sute. Binalah rumah tangga dan kuserahkan ia kepadamu. Jagalah baik-baik, buang kesombonganmu.”
“Suheng,... suheng menyerahkan ia kepadaku?”
“Benar, kau lebih tepat. Aku sudah tua, sute, harus tahu diri. Orang setua aku tak pantas untuk yang muda. Ambillah dan bujuk sumoi tapi buang sikapmu yang sombong itu. Ia tak berada di bawahmu.”
“Tapi sumoi wanita, harus tunduk kepada laki-laki!”
“Hm, kalau begini caramu kau tak dapat merengkuh sumoi, sute. Kau tak akan berhasil. Sekali lagi buang pendapat itu karena kau dan sumoi setingkat.”
“Namun aku laki-laki!”
“Baiklah, aku sudah memberi nasihat,” lalu ketika kakek itu pergi dan Hek-i Hong-li kembali tersedu, kebetulan waktu ia mengintai di balik batu besar maka wanita ini tiba-tiba menerjang kakaknya nomor empat itu, penuh kemarahan.
“Suheng, kau tak tahu malu kepada twa-heng. Sedemikian rupa ia membujuk dirimu. Cih, kau benar-benar sombong dan tak tahu diri. Lihatlah, dapatkah kau merobohkan aku dan siapa yang seharusnya di atas!” dan ketika sang suheng terkejut tapi menangkis, bertanding namun tak ada yang kalah atau menang akhirnya Sian-eng-jin merasa malu dan melompat pergi.
Hek-i Hong-li dibuat bimbang oleh dua laki-laki ini namun akhirnya bersumpah tak mau menikah. Ia benci kepada kakaknya nomor empat itu, juga kadang-kadang kepada twa-hengnya yang lembut namun mengalah untuk menyingkir, hal yang justeru membuat ia merana! Maka ketika bertahun-tahun mereka tak bertemu lagi dan hari itu terjadi pertandingan seru maka wanita ini tentu saja membela kakek itu karena si Naga Berkabung dikeroyok...!