Tapak Tangan Hantu Jilid 23

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut episode Tapak Tangan Hantu Jilid 23 karya Batara
Sonny Ogawa
TAPAK TANGAN HANTU
JILID 23
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Serial Golok Maut Karya Batara
“AKU akan membela twa-heng mati-matian. Kalian atau aku yang mampus!” wanita ini menerjang dengan pukulan-pukulan maut namun lawan berkelit dan menangkis. Kalau Mo-bin-jin yang menangkis maka Hek-i Hong-li selalu terhuyung. Hanya terhadap Te-gak Mo-ki ia tergetar sedikit. Dan ketika lawan membalas dan pukulan-pukulan juga semakin berat akhirnya pada hari ketiga dua pasangan ini sudah menghabiskan ribuan jurus. Kota raja gelap gulita dan rakyat semakin panik.

“Sute, kalian tak tahu diri. Lihat sepak terjang kita membuat orang-orang di bawah ketakutan!”

“Ha-ha, perduli orang lain, suheng. Kau mundur atau menyerah kalah!” Te-gak Mo-ki bertanding mulai lamban namun deru pukulannya kian berat. Mereka sudah berganti rupa ratusan kali, terakhir menghentikan semua sihir karena percuma ditolak lawan.

Sekarang masing-masing menjadi manusia biasa akan tetapi dapat terbang. Ini karena kesaktian mereka yang sudah demikian luar biasa, mampu membuat tubuh tak berbobot dan melayang-layang di udara. Raksasa Mo-bin-jin juga berkelebatan tak menginjak tanah dan tubuhnya yang tinggi besar itu seakan kapas ringan saja. Raksasa itupun seakan tanpa bobot. Tapi ketika pertandingan berjalan terus dan gunung-gunung berguguran, dalam jarak seribu tombak semua tanaman roboh maka muncullah orang ke empat yang berjuluk Sian-eng-jin (Bayangan Dewa) itu.

“Hm, suheng dan sumoi berempat. Apa yang kalian lakukan ini dan gilakah bertempur mati hidup. Kenapa kalian mengguncangkan Sian-thian-san (Gunung Para Dewa) yang menjadi tempat tinggalku. Tidak tahukah kalian samadhiku menjadi berantakan!”

“Bagus, kenapa baru datang. Heii, sam-suheng ini menyerang twa-heng, suheng (kakak nomor empat). Hayo bantu dan bunuh mereka ini!”

“Bagus, tiga lawan dua. Ha-ha, majulah sute. Ayo keroyok kami dan rebut kegagahan itu sebagai milik kalian!”

Te-gak Mo-ki, yang terkejut dan diam-diam berubah wajahnya buru-buru berseru dan memerahkan telinga. Kalau saudara nomor empat itu maju dan mengeroyok mereka tentulah celakalah dia. Sekuat-kuatnya berdua tentu lebih kuat tiga orang. Dan ketika Sian-eng-jin tertegun dan diam terbelalak, tak maju menyerang adalah ji-suhengnya tertawa bergelak dengan suaranya yang gemuruh.

“Sian-eng-jin, tak perlu ragu-ragu. Maju dan mari sekalian ramai-ramai. Ayo keroyoklah kami dan lihat apakah kegagahanmu masih seperti dulu!”

“Hm, ji-heng menantang. Aku datang bukan untuk berkelahi, ji-heng, melainkan bertanya dan mencegah kalian. Masa kita berlima harus saling pukul dan bunuh!”

“Cerewet, seperti nenek-nenek. Kalau kau tak mau membantu mereka hayo kau bantu kami, sute. Mereka melanggar janji dengan menghina sam-te (saudara nomor tiga)!”

“Bohong, ji-heng dusta. Adalah sam-heng (kakak nomor tiga) yang menyerang twa-heng, suheng. Sam-heng keparat itu membunuh orang-orang Hoa-san dan Bu-tong dan mempermainkan pemuda-pemuda gagah sebagai teman bercintanya. Apakah pantas itu dilakukan oleh orang seperti kita!”

Hek-i Hong-li melengking, mendahului kakaknya dan Sian-eng-jin saudara nomor empat tentu saja terkejut. Ia tak tahu sepak terjang Te-gak Mo-ki tapi berkerut mendengar laporan ini. Sumoinya bukanlah orang yang suka dusta. Maka ketika ia menjadi merah karena itu memalukan Ngo-cia Thian-it (Lima Nabi Langit Tunggal) maka tiba-tiba ia disambar sebatang paku beracun yang menyambar lehernya.

“Sute, kekasihmu sudah bercuap-cuap. Daripada twa-heng merampas sumoi lebih baik cepat saja bantu kami. Atau kau kalah cepat dan seumur hidup gigit jari!”

Pria ini semburat. Ia paling tak senang kalau orang menyebut-nyebut kegagalannya dengan Hek-i Hong-li, cepat naik darah. Maka ketika ia berkelit tapi ji-suhengnya tertawa bergelak, tiba-tiba menyerangnya dengan pukulan dahsyat maka Sian-eng-jin berkelebat dan menangkis amat gusar.

“Ji-suheng, kau dan sam-heng selamanya curang. Jangan kira aku takut dan tak tahu siapa salah siapa benar... dess!” bunga api meledak, dentum pukulan mengguncangkan bumi dan terpentallah keduanya oleh adu pukulan itu.

Mo-bin-jin tampak terbelalak tapi marah kepada sutenya itu. Sian-eng-jin berani melawan! Maka ketika ia memekik dan mencabut sebuah gada besar, taringnya mencuat enam inci maka dengan gada itu ia menghantam dan memukul sutenya.

“Bress!” Sian-eng-jin menghilang dan lenyap menyelamatkan diri. Dari taring suhengnya menyambar pula dua cahaya berkilat karena Mo-bin-jin mengeluarkan Sengatan Taring Sakti (Sin-ci-beng). Sekali cahaya ini mengenai sasarannya maka bajapun bakal berlubang hangus. Maka ketika pria itu melesat dengan kecepatannya yang luar biasa dan ia menyelamatkan diri, cahaya dari ujung taring itu, menghajar tanah maka terdapat lubang sedalam belasan meter selebar telunjuk orang dewasa. Bumi pun tak kuat menahan.

“Bagus, ha-ha. Ke mana kau, sute. Ayo tampakkan dirimu dan lihat kesaktianku!” Mo-bin-jin berseru akan tetapi lawan sudah berada di belakang punggungnya.

Sian-eng-jin atau Bayangan Dewa ini melompat dan membalik dengan cepat. Ia marah oleh serangan tadi dan membalas. Dan ketika telapaknya menjadi benda keras berhawa dingin, menghantam tengkuk suhengnya itu maka raksasa ini terdorong namun tidak apa-apa.

“Nguk!” Hanya suara itu yang keluar dari tenggorokannya. Pukulan amat keras dan batupun hancur. Sian-eng- jin mengerahkan Pek-mo-in-kangnya pada pukulannya tadi, tidak main-main. Akan tetapi ketika suhengnya hanya terangguk sedikit dan tidak apa-apa, tubuh raksasa itu seakan gunung saja maka raksasa itu tertawa bergelak mengejek sutenya.

“Ha-ha, terlalu empuk. Hayo, lebih keras lagi, sute. Pukulanmu terlalu empuk!”

Pria ini marah. Ia ditantang dan menyambar lagi dan ternyata kecepatannya bergerak sungguh luar biasa, lawan lagi-lagi tak mampu mengikuti. Dan ketika kali ini pukulannya membuat si raksasa bergoyang, terhuyung maka Mo-bin-jin membalik dan tepat satu saat ia menghantam sutenya itu. Telapaknya yang lebar bercuit mengeluarkan angin dahsyat.

“Plak!” Sian-eng-jin terhuyung tapi tidak apa-apa. Laki-laki ini balas mengejek dan marahlah raksasa itu. Lalu ketika ia menerjang dan menggigit dengan taringnya, Sin-ci-beng menyengat dahsyat segera kakak beradik itu bertanding dengan amat hebatnya dan beberapa kali pula Sian-eng-jin atau si Bayangan Dewa ini mampu menahan pukulan ji-suhengnya.

“Kurang kuat, terlalu lunak. Hayo kau pukul lebih keras lagi, suheng. Aku masih dapat menahan pukulanmu!”

Raksasa itu memekik dua melengking-lengking. Akhirnya tampak bahwa lawanpun mampu menahan pukulannya. Dengan Pek-mo-sin-kang yang dimiliki ternyata saudara nomor empat itu mampu menandingi Mo-bin-jin. Tapi karena Mo-bin-jin juga mampu menahan pukulan Pek-mo-in-kang maka pertempuran di sini berjalan seru dan imbang tapi di pihak Te-gak Mo-ki justeru kedodoran!

Hek-i Hong-li akhirnya membantu twa-hengnya menghadapi si banci ini. Kebencian dan kemarahannya ditumpahkan semua. Dan ketika si banci terdesak dan akhirnya berteriak maka tak ada jalan lain bagi Te-gak Mo-ki kecuali berlindung dan lari kepada ji-suhengnya, menghantam dan menyerang Sian- eng-jin.

“Ji-heng, tolong. Mereka mengeroyokku!”

Mo-bin-jin terbelalak. Tak dapat disangkal bahwa sutenya ini adalah orang yang paling dekat dengannya, mereka sama-sama suka kejahatan dan robohnya sang sute bakal melemahkan kedudukannya. Maka ketika membentak dan menyerang sumoinya, sayang ditangkis suhengnya maka raksasa itu berteriak karena Song-bun-liong selalu menghalang.

“Keparat!” akibatnya ia pun terdesak. “Kalian curang, suheng. Tak tahu malu. Mana kejantanan dan kegagahan kalian mengeroyok kami berdua!”

“Tutup mulutmu!” Sian-eng-jin membentak dan menangkis pukulan Te-gak Mo-ki, si banci ini curang menyerangnya tadi. “Kau sendiri yang minta dikeroyok, ji-heng, kenapa sekarang memaki-maki kami. Mana kegagahanmu sendiri dengan menjilat ludah kembali!”

“Ha-ha, kalau begitu baiklah. Para dewa akan kuprotes kalau tidak mencaci kalian!” dan kembali menghadapi tiga lawan berganti-ganti pasangan akhirnya Mo-bin-jin dan Te-gak Mo-ki beradu punggung, menyatukan tenaga dan kepandaian namun betapapun beratlah menghadapi keroyokan itu. Song-bun-liong sebagai saudara tertua mendiamkan ini untuk memberi pelajaran kepada sutenya itu. Biarlah sutenya dihajar dan babak-belur. Dan ketika benar saja dua orang itu terdesak dan menjadi pucat, pukulan mendarat dan membuat tubuh terhuyung akhirnya si banci menjadi khawatir dan gelisah.

“Ji-heng, kita agaknya harus mengadu jiwa. Kita akan roboh. Tapi sebaiknya merekapun mengiringi kita!”

“Benar, kita tak mau roboh begitu saja, sute. Kita roboh merekapun harus roboh!” raksasa itu menggerakkan gadanya dan Naga Berkabung kali ini menerima. Senjata di tangan raksasa itu menyambar dahsyat namun saudara tertua ini menggerakkan tangan kanannya. Tenaga Arca Emas menyambut gada itu. Dan ketika gada akhirnya hancur sementara kakek ini terhuyung, menahan sakit maka raksasa itu menerkam dengan kedua lengannya melancarkan pukulan maut.

“Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat (Pukulan Darah Iblis Pembusuk Tulang)!” Si Naga Berkabung berseru keras dan tentu saja terbelalak. Ini adalah ilmu simpanan sutenya dan sekali dikeluarkan tak dapat dielak. Ini adalah pukulan adu jiwa yang benar-benar menghendaki kematian. Bau amis disertai cahaya merah menyambar dari sepasang lengan raksasa itu, dahsyat menderu. Dan ketika Song-bun-liong cepat menangkis dan menggerakkan kedua lengannya pula, melepas Kian-kun-siu atau Lengan Baju Sapu Jagad akhirnya terdengarlah suara dahsyat dari pukulan dua orang sakti ini.

“Dessss!”

Kim-kong-ciok atau Ilmu Arca Emas tak dapat bertahan menghadapi pukulan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat itu. Naga Berkabung telah menjaga dirinya dengan Ilmu andalannya itu akan tetapi dia tetap terlempar, jatuh terduduk. Tanpa dapat dicegah lagi mulutnya melontakkan darah segar, jago ini terluka! Tapi ketika di sana raksasa itu juga serasa dihempas tenaga amat dahsyat, pukulan Kian-kun-siu andalan lawan membuat ia tertahan dan sesak napasnya maka raksasa inipun mencelat dan terbanting dan melontakkan darah segar.

“Huaakk!”

Dua jago itu sama-sama roboh. Entah siapa yang lebih hebat karena buktinya masing-masing sama terluka. Hek-i Hong-li menjerit melihat suhengnya roboh di sana, melengking dan menghantam Te-gak Mo-ki dengan pukulan Siau-hun-bi-kiong-hoat (Pukulan Penggetar Sukma). Dan karena pukulan ini dilancarkan sekuat tenaga dengan penuh kemarahan, Te-gak Mo-ki terkejut dan mengelak tapi kalah cepat akhirnya ia menggerakkan kipasnya tapi senjata itu hancur berantakan.

“Bresss!”

Kipas di tangan banci tak dapat di pergunakan. Siau-hun-bi-kiong-hoat masih terus menyambar dan Te-gak Mo-ki pucat. Kalau saja tak ada Sian-eng-jin di situ tentu ia tak perlu gugup, tapi celakanya sutenya itu menghadang dan mencegat, terpaksa ia membentak dan menyambut. Lalu ketika tangan kanannya di buka telapaknya dan telapak itu tiba-tiba sudah menghitam pekat, inilah Mo-seng-ciang atau Pukulan Tangan Hantu, maka Sian-eng-jin berteriak memperingatkan sumoinya dan secepat kilat melepas Pek-mo-in-kang menghantam punggung lawannya itu.

“Bresss!”

Sesosok bayangan melesat bagai kilat menyambar. Dari luar pertandingan, tak disangka-sangka mendadak muncul orang ketiga yang membantu Te-gak Mo-ki. Sesosok bayangan hitam melesat diiringi cahaya berkeredep yang putih menyilaukan, panjang membabat kepala Bayangan Dewa ini hingga laki-laki itu terkejut bukan main. Ia mengelak namun pundaknya kena, terpapas dan darah memuncrat disertai keluhan tertahan. Pendekar itu terkejut bahwa kekebalannya tak mampu menahan senjata maut itu, golok menyilaukan penghisap darah. Dan ketika ia terhuyung dan terbelalak marah, sumoi dan suhengnya terlempar bergulingan maka di situ berdiri sesosok tubuh angker dengan wajah hitam mata membelalak tak berkedip, tinggi besar persis Mo-bin-jin, bertaring!

“Mo-bin-lo!”

Terdengar tawa pendek menggetarkan perasaan. Raksasa ini, yang bukan lain saudara Mo-bin-jin memandang tak berkedip si Bayangan Dewa itu. Di tangannya memancar golok maut yang baru saja mencium pundak lawan, segar dan berkilau-kilauan seakan anak gadis bermandi air bunga. Lalu ketika tiba-tiba itu tertawa bergelak dan suaranya menggetarkan jantung, persis Mo-bin-jin sang adik yang masih terkapar maka Sian-eng-jin mendengar kata-katanya yang dahsyat memekakkan.

“Sian-eng-jin, kalian berempat manusia-manusia tak tahu malu. Kalian mengeroyok saudaraku. Bagus, sekarang aku datang dan aku tak dapat membiarkan ini. Ayo, maju dan kita bertempur mati hidup. Ha-ha- ha!”

Bayangan Dewa mendesis. Ia merasa pundaknya perih dan marah memandang lawannya itu. Lalu ketika ia membabat luka dan maju penuh marah iapun tak gentar dan berkata, “Mo-bin-lo, bukan tempatmu di sini untuk bertanding. Kau telah diasingkan para dewa tak boleh bergaul dengan sesama. Majulah, atau kau mundur biarkan kami berlima menyelesaikan urusan kami sendiri yang merupakan urusan Ngo-cia Thian-it!”

“Ha-ha, persetan. Kalian mengeroyok adikku, Sian-eng-jin membuatnya luka. Kebetulan aku baru keluar pertapaan dan mencipta golokku ini. Ha-ha, ampuh. Kau tak mampu menahannya!”

“Jangan sombong!” pendekar itu membentak. “Kau menyerangku secara curang, Mo-bin-lo, dari belakang. Kau tak malu membokong lawan!”

“Ha-ha, jangan banyak omong. Kalianpun curang dan tak malu mengeroyok saudaraku. Majulah, aku ingin mencoba sekali lagi golok mautku ini, Golok Penghisap Darah!”

Sian-eng-jin berkelebet dan membentak marah. Ia tak sabar lagi melihat kesombongan lawan dan lawanpun menyambut, langsung menggerakkan goloknya itu hingga Sian-eng-jin merobah serangan. Angin dingin mendesir dari badan golok itu, belum mengenai saja hawanya sudah mengiris kulit. Dan, ketika ia mengerahkan sinkang namun terasa perih, terkejutlah ia oleh kehebatan golok maka Bayangan Dewa ini tak mau menangkis dan akhirnya berkelebatan mengadu cepat. Ia unggul dalam ilmu meringankan tubuh dan Mo-bin-lo harus berputar-putar. Raksasa tinggi besar itu bergerak lamban. Dan ketika satu dua pukulan membuatnya terhuyung, raksasa ini marah maka ia memekik dan meloncat serta memutar goloknya dengan buas!

“Sian-eng-jin, kau licik seperti siluman. Beranimu hanya beterbangan saja. Hayo sambut golokku dan lihat di mana kegagahanmu!”

Dua orang ini segera bertanding. Mo-bin-lo hebat dalam pukulan tapi bukan dalam kecepatan. Menghadapi Sian-eng-jin yang memiliki ginkang luar biasa ternyata raksasa itu berteriak-teriak, ia selalu kehilangan lawan. Namun ketika semua pukulan hanya membuat tubuhnya sedikit tergetar, maju dan menggerakkan goloknya itu maka senjata di tangan inilah yang membuat Sian-eng-jin harus berhati-hati karena desing dari angin golok itu membuat pohon-pohon tumbang. Gunung di bawah merekapun terpenggal bagai agar-agar, bukan main ampuhnya!

“Cras-crass!”

Sian-eng-jin berhati-hati dan tak mau disentuh golok. Ia sudah terluka dan harus waspada, ke manapun senjata menyambar secepat itu juga ia menjauh. Dan karena sikapnya ini membuat lawan berkaok-kaok akhirnya pertandingan berjalan, alot dan lama.

“Heh-heh, sekarang kau dan, aku,” Te-gak Mo-ki bangkit memandang sumoinya. “Sekarang kita berdua, sumoi. Ayo lanjutkan dan kau atau aku roboh!”

Hek-i Hong-li membalas berapi. Gadis cantik ini meloncat bangun dan memandang suhengnya itu. Biarpun ia sumoi namun kepandaian mereka tak berbeda jauh, kesaktian mereka hampir sama. Maka ketika ia mengangguk dan menerjang lawan merekapun sudah bertanding dan kembali pertempuran pecah dua.

Akan tetapi kali ini ada perobahan. Dari bawah bukit, tak diketahui yang sedang bertempur muncullah seorang kakek meniup seruling. Kakek itu tak dapat dilihat wajahnya karena tertutup halimun. Suling di tangannya ditiup lembut dan mula-mula tak terdengar, suaranya halus-halus saja. Tapi ketika nada suling mulai meninggi dan melengking-lengking, tajam membelah semua suara pertandingan maka barulah yang bertempur itu kaget.

Mereka sekarang merasa betapa telinga seakan digosok-gosok rumput nakal, rumput itu membuat telinga gatal dan konsentrasi pukulanpun menjadi terganggu. Dan ketika mereka melotot dan memandang ke bawah maka barulah tampak si peniup suling itu, kakek yang duduk tenang di atas batu hitam.

“Heii, bedebah. Hentikan sulingmu, tua bangka. Jangan ganggu kami yang sedang bertempur. Berhenti!”

Akan tetapi kakek itu tetap meniup sulingnya. Jarak di antara mereka ada empat ribu kaki namun suara suling masih melengking-lengking, kakek itu tak menghiraukan bentakan Mo-bin-lo, atau mungkin tak mendengar. Dan ketika raksasa itu menjadi marah dan melontar daun hitam yang berobah seperti meteor ke arah kakek ini, yang terus meniupkan seruling dan seolah tak tahu serangan itu mendadak aneh bin ajaib daun itu tertahan di tengah jalan dan terdorong lalu membalik ke arah Mo-bin-lo sendiri, tak kuat atau ditolak oleh getar suara suling yang memenuhi udara!

“Plak!”

Mo-bin-lo berteriak kaget dan terjengkang bergulingan. Ia tak menyangka daun keringnya itu memukul dan menghantam dirinya sendiri, mengenai pangkal lengan hingga golok di tangan hampir terlepas. Kaget sekali raksasa ini. Namun karena lawan mengejar dan ia meloncat bangun, membentak dan menyerang lagi akhirnya ia meninggalkan kakek di sana itu tak memperdulikan suara suling yang melengking-lengking. Namun suara suling kini berubah.

Kalau tadi tajam dan menusuk-nusuk kini tiba-tiba lembut dan manis mengalun, begitu menina-bobok hingga raksasa ini dan Sian-eng-jin tersenyum. Suling itu menyajikan lagu gembira. Dan ketika di sana Hek-i Hong-li dan Te-gak Mo-ki juga tersenyum-senyum, kaki berjingkrak-jingkrak dan tiba-tiba mengikuti alunan lagu gembira itu mendadak mereka tertawa-tawa dan seranganpun menjadi seadanya saja. Mereka terhanyut dan masuk ke suasana hangat yang manis menyejukkan.

“Heii!”

Empat orang ini tiba-tiba sadar. Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi dan mampu menguasai diri lagi tentu saja mereka terkejut setelah kaki berjingkrak-jingkrak sendiri. Untuk sedetik dua mereka terbawa. Tapi begitu sadar dan kaget serta marah, Mo-bin-lo memekik maka raksasa ini tiba-tiba mencabut sebatang pohon dan melontarkannya ke kakek peniup suling itu, tenaganya dahsyat dan sungguh luar biasa.

“Keparat, diam kau, kakek jahanam. Kenapa kau mempengaruhi kami!”

Pohon sebesar tubuh anak dewasa itu melayang dengan cepat. Si raksasa mencabutnya begitu saja hingga akar-akarnyapun terbawa, tanah dan kerikil ikut menyambar. Tapi ketika di tengah jalan lalu tiba-tiba terhenti, tertahan suara suling yang meliuk gembira mendadak pohon itu terputar dan menari-nari mengikuti suara suling itu.

“Arrgghhhhh!” Mo-bin-lo terpecah perhatiannya dan terbelalak lebar. Ia melihat pohonnya tak mau maju malah sekarang melenggak-lenggok, ranting dan cabangnya meliuk naik turun bagai tangan gadis-gadis remaja. Dan ketika ia membentak dan menambah tenaganya mendadak ia mendorong namun pohon itu melesat dan menyambar dirinya sendiri.

“Wheeerrrrrr... siuttt-blarrr!” pohon itu akhirnya dikelit dan dipukul hancur. Mo-bin-lo kaget bukan main dan ikut terdorong. Bukan hanya dia, Sian-eng-jin juga terbawa dan miring tubuhnya, berteriak. Dan ketika mereka akhirnya bergulingan melempar tubuh, marahlah raksasa ini maka Song-bun-liong di sana tiba-tiba membuka mata dan berdiri perlahan-lahan. Mo-bin-jin juga bergerak dan telah sama-sama mengobati luka dalamnya.

“Thian Yang Agung, bukankah itu sahabat dari Guha Malaikat!”

Semua terbelalak. Mo-bin-lo merah padam sementara Sian-eng-jin tergetar. Suara suling berobah lagi meremas-remas, kini seakan sedih merana-rana, berbisik dan saling tegur kenapa masing-masing harus berhantam. Dan ketika suara itu kian menyedihkan hingga membuat orang menangis, Hek-i Hong-li lebih dulu mengguguk maka tiba-tiba semua mencucurkan air mata dan pertandinganpun, otomatis berhenti.

Akan tetapi hal ini tidak lama. Mo-bin-lo, yang memegang golok maut tiba-tiba meraung. Suaranya dahsyat menggetarkan gunung hingga suara suling lenyap tertindih. Begitu dahsyat suara ini hingga yang lain sadar. Lalu ketika yang lain mendongak dan raksasa itu menggerakkan kakinya, meloncat panjang tahu-tahu menyambar dan telah menyerang kakek di kejauhan itu.

“Bu-beng Sian-su, kau kiranya. Bagus, mampuslah!”

Kakek itu tiba-tiba berhenti. Suling di lepaskan dari bibirnya dan mendadak kakek ini menoleh. Desing golok yang mengancam dirinya dipandang tenang, lembut. Ia seakan tak tahu akan adanya bahaya atau mungkin tak memperdulikan bahaya itu, buktinya kakek ini tetap lembut dan tenang memandang ke depan. Namun ketika dari sepasang matanya tiba-tiba timbul dua cahaya terang melebihi terangnya golok, menyilaukan dan membuat Mo-bin-lo terkejut maka raksasa itu tiba-tiba berteriak karena sekejap matanya buta, silau.

“Heiii...!”

Golok mendesing dan tetap menyambar. Raksasa itu terkejut karena sedetik kehilangan lawannya, semuanya putih menyilaukan mata namun sebagai orang berkepandaian tinggi ia yakin arah goloknya tetap sama, dan golok memang tetap menuju ke depan. Namun ketika terdengar suara keras dan golok memasuki sesuatu, terhisap maka terdengar helaan napas panjang dan bersamaan dengan itu lenyaplah cahaya dari sorot sepasang mata itu terganti sebuah benda yang menangkap atau menerima golok maut.

“Cepp!”

Raksasa tinggi besar ini terbelalak. Sebuah guci, lembut warnanya menangkap, goloknya itu. Guci ini aneh karena bentuknya seperti sarung pedang, melengkung dan melebar bagian bawah sementara badannya ramping tipis. Golok maut melekat dan menancap di situ. Mo-bin-lo terkejut bukan oleh ini melainkan oleh daya sedot yang menangkap gucinya. Ia tak dapat menarik senjatanya lagi dan melotot. Guci itu hanya dipegang lawan dengan dua jari telunjuk dan tengah, tidak lebih! Dan ketika ia membentak dan menarik kuat-kuat, gagal maka mendadak kakek itu tersenyum dan berkata,

“Mo-bin-lo, guci ini adalah Guci Penghisap Roh, siapapun tak dapat keluar lagi kalau sudah tertangkap. Baiklah kita buang dua benda ini dan biarkan mereka bersatu atau berpisah!” kakek itu menghentak, Mo-bin-lo terbawa ke depan dan raksasa ini kaget sekali. Ia telah menahan dengan tenaganya namun gagal. Kakek itu lebih hebat lagi darinya. Dan ketika ia terangkat dan terbawa naik, tak mau melepaskan goloknya maka mencelatlah raksasa itu tinggi ke angkasa, menembus langit lapis demi lapis.

“Heiiiiiii...!”

Teriakan kaget raksasa tinggi besar ini menggetarkan bumi. Kesaktiannya membuat laut bergolak, bumi rekah-rekah tapi kakek berwajah halimun itu mengayun sulingnya. Dari ayunan ini timbul angin lembut yang menerpa semua buih, tanah rekahpun tertutup dan rapat kembali. Dan ketika sejak itu raksasa itu lenyap di luar jagad raya, Mo-bin-jin terbeliak dan kaget serta marah tiba-tiba raksasa itu juga menerjang dan menghantam kakek itu membela kakaknya yang dibuang ke alam maha luas.

“Bu-beng Sian-su. kau jahanam terkutuk. Terimalah gadaku!”

Raksasa ini sudah mengambil gadanya yang baru. Ia menyimpan itu di balik bajunya yang lain setelah gadanya pertama hancur. Tangan kirinya bergerak pula melepas Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat. Biarpun lukanya belum sembuh namun serangan raksasa ini amat dahsyat, angin serangannya saja sudah membuat pohon-pohon roboh, gunung Mahameru berderak dan konon miring. Tapi ketika Bu-beng Sian-su diam saja menerima serangan itu, hanya sepasang matanya kembali menyorot dan mengeluarkan cahaya menyilaukan mendadak raksasa ini kehilangan sasaran karena sedetik pandangannya buta.

“Desss!” Tapi seperti kakaknya, raksasa inipun tepat menghantam sasaran. Gada tetap menuju arah yang sama dan menimpa kepala. Kesaktian raksasa itu menembus lingkaran sakti di wajah Bu-beng Sian-su, wajah yang tertutup halimun itu, Tapi ketika Bu-beng Sian-su hanya terdorong dan tidak apa-apa, marahlah raksasa itu maka mulutnya dibuka lebar-lebar dan taringnya yang panjang runcing menusuk dan menghunjam ke depan. Sin-ci-beng!

“Arrgghhhhh!”

Cahaya berkilat menyambar dari ujung taring itu. Sin-ci-beng yang dikeluarkan raksasa ini menyerang kakek itu, bajapun bakal hangus dan berlubang. Tapi ketika taring itu mengenai bahu lawan, menancap dan bertemu kulit dingin maka raksasa itu berteriak karena seakan bertemu bongkahan kutub, luar biasa dingin! Mo-bin-jin mendorong dan menampar kakek itu namun celakanya gadanya tak dapat dicabut. Gada itu menempel dan melekat di kepala, atau lebih tepat “terbenam” di balik sinar gaib yang melindungi wajah lawan.

Dan karena pukulan Mo-hiat-hu-kut-tai-hoatnya juga tak membawa hasil, tangan kirinya bertemu daging lunak seperti karet, membal dan menolak tenaganya maka dengan luar biasa kaget raksasa ini menjejakkan kaki kuat-kuat untuk menarik dan membuang tubuhnya. Dan celakanya saat itu Bu-beng Sian-su membuang semua kesaktiannya membiarkan lawannya terlepas.

Bagai dilontar martil raksasa Mo-bin-jin mencelat terlempar ke atas. Jejakan yang amat kuat membuat raksasa ini terbang begitu hebatnya, kaki di bawah dengan tubuh di atas menembus awan-awan hitam. Raksasa itu melesat melewati batas langit dan bumi. Dan ketika ia juga lenyap dan hilang di jagad luas, berteriak dengan amat hebatnya maka selama tujuh hari tujuh malam gaung teriakan raksasa ini masih berputaran di bumi. Alangkah hebatnya!

Semua terbelalak. Mo-bin-jin dan Mo-bin-lo sama-sama menghilang di alam jagad luas. Mereka jatuh atau terbanting di mana tak ada yang tahu. Dan karena di situ tinggal si banci yang menjadi pucat, dialah satu-satunya orang yang tinggal sebagai musuh maka Te-gak Mo-ki tiba-tiba memutar tubuhnya dan lari.

Namun Hek-i Hong-li melihat itu. Gadis ini melihat gerakan suhengnya, membentak dan mengejar dan ikat pinggangnya tiba-tiba dilolos. Dengan meledakkannya bagai petir menyambar senjata itu menuju punggung. Tapi karena Te-gak Mo-ki juga bukan laki-laki sembarangan dan selama ini selalu imbang, ia menggerakkan kukunya ke belakang maka ikat pinggang itu putus namun kukunya juga patah.

“Ke mana kau lari...plak-bret!”

Bukan main marahnya wanita ini. Ikat pinggangnya putus ditangkis kuku panjang, menyerang dan membentak lagi namun si Naga Berkabung Song-bun-liong tiba-tiba berseru mencegah. Ia menyuruh sumoinya mundur dan membiarkan lawannya pergi. Namun ketika Bayangan Dewa berkelebat dan menghadang di depan maka Hek-i Hong-li tak jadi melepaskan musuhnya mendengar kata-kata suhengnya nomor empat ini.

“Percuma diberi ampun. Sekali dia lolos seumur hidup bakal menyusahkan lagi, sumoi. Bunuh dan robohkan saja.”

Wanita itu mengangguk. Akhirnya ia menerjang dan Te-gak Mo-ki dikeroyok. Sebagai orang nomor tiga sesungguhnya kedudukan si banci ini lebih tinggi, namun karena kepandaian mereka hampir berimbang dan dikeroyok dua tentu saja dia berat maka, Siau-hun-bi-kiong-hoat atau Ilmu Penggetar Sukma yang dimiliki sumoinya menghantam membuat ia terhuyung dan saat itu pukulan Pek-mo-in-kang milik Sian-eng-jin mengenainya juga. Si banci berteriak dan terbanting. Dan ketika ia bergulingan dan terdesak hebat, berkerutlah kening si Naga Berkabung maka pria ini berkelebat dan tiba-tiba membantu si banci.

“Sute, sumoi, berhenti atau aku terpaksa membela lawan kita. Biarkan ia pergi karena tak mungkin ia berbuat onar lagi..... des-desss!”

Hek-i Hong-li dan Sian-eng-jin ditangkis dan terkejutlah dua orang itu. Bukan hanya mereka ini yang terbelalak melainkan Te-gak Mo-ki sendiri. Ia tak menyangka bahwa dirinya dibela! Tapi ketika semua orang tertegun dan menghentikan gerakan, mendadak banci ini melepaskan Mo-seng-ciangnya, menghantam punggung sang suheng.

“Plak!”

Si Naga Berkabung terkejut. Ia tak mengerahkan Arca Emasnya karena tak menduga, roboh dan terbanting dan Te-gak Mo-ki ternyata belum puas. Ang-su-giatnya, Racun Semut Api di kuku jarinya digerakkan. Lawan benar-benar sedang kosong oleh kaget dan heran. Maka ketika ia menggurat twa-suhengnya dan Song-bun-liong mengeluh, tersentak maka si banci ini tertawa bergelak merobohkan satu di antara tiga lawan.

“Ha-ha, sekarang siapa mengejar aku. Mari, kulayani!”

Menjeritlah Hek-i Hong-li. Kakak seperguruannya roboh sementara mukanya pucat kehijauan. Itulah racun dan akibat pukulan Tapak Hantu. Dan ketika ia tiba-tiba melompat dan menubruk suhengnya ini, Sian- eng-jin tertegun dengan muka merah maka si banci sudah kabur dan pemandangan yang menusuk mata menyayat-nyayat perasaan Bayangan Dewa ini. Ia melihat sumoinya mengguguk menubruk tubuh itu, menciumi dan menotok sana-sini. Tapi ketika ia sadar dan membuang muka, kepedihannya dibuang kepada lawan maka Bayangan Dewa berkelebat dan mengejar saudaranya nomor tiga itu.

“Sam-suheng, kau curang dan licik. Berhenti!”

Akan tetapi Te-gak Mo-ki lenyap. Akal curangnya berjalan bagus dan ia sudah melarikan diri. Takut dilihat bayangannya si banci ini sudah merobah ujud, dia mempergunakan Jin-seng-sut dan menjadi semut kecil, masuk dan menelusup bumi. Maka ketika sutenya itu mengejar dan lewat di atas, si banci tertawa maka ia semakin jauh ke dalam bumi dan benar-benar hilang.

Sian-eng-jin tak menemukan lawannya itu namun tiba-tiba ia teringat sesuatu. Jin-seng-sut adalah ilmu yang dimiliki mereka berlima dan bukan satu-satunya milik Te-gak Mo-ki. Maka ketika ia merapalkan mantra dan berseru keras hilanglah pendekar ini terganti seekor rajawali, yang mengelepakkan sayap ke angkasa. Dengan begitu laki-laki ini hendak menemukan suhengnya. Dia terbang dan berputar-putar mengelilingi tempat itu, bukan sekali melainkan belasan kali. Akan tetapi karena si banci menjadi semut kecil, lenyap dan memasuki bumi maka ia tak menemukan lawannya dan bebaslah Te-gak Mo-ki seumur hidupnya.

Kata-kata si Naga Berkabung memang benar. Setelah Mo-bin-jin dan Mo-bin-lo terlempar tak pernah kembali maka banci ini tak mungkin berani berkutik. tinggal sendiri, dua rekannya tak ada lagi. Dan ketika pertandingan itu usai sementara Hek-i Hong-li masih menangisi suhengnya, menolong dan merawat luka, maka wanita itu tak ingat lagi kepada Bu-beng Sian-su yang secara tidak langsung telah menolong mereka. Kakek itu tak ada lagi di situ entah ke mana, datang dan perginya benar-benar tak diketahui.

Dan ketika perlahan-lahan udara di atas kota raja merekah, awan hitam terusir secara halus maka tinggallah puing-puing dan bekas kerusakan yang ditimbulkan oleh pertandingan amat hebat ini. Gerbang kota raja copot semua dan pintu-pintu rumah penduduk berantakan. Ada di antara mereka yang bahkan tersangkut di kawat jemuran, tak berani berkutik dan tetap di situ karena menganggap iblis bekasakan sedang mengamuk di kota raja.

Lampu-lampu dapat dinyalakan kembali tapi bersamaan dengan itu mayat-mayat terdapat di gedung istana, khususnya di tempat tinggal Hui-ongya. Dan ketika semua itu disambut dengan muka muram, Hui-ongya sendiri tewas dengan belati di dada kirinya maka rencana persekongkolan lenyap sudah dan bahaya yang tak banyak diketahui orang ini padam dengansendirinya. Orang tak banyak tahu tentang apa yang terjadi itu. Swi-goanswe sendiripun tidak. Dan ketika semua orang berdebar-debar masih membicarakan kedahsyatan itu maka di sana, di guha pertapaan sunyi duduklah Hek-i Hong-li menjaga suhengnya.

Si Naga Berkabung sudah sembuh dan ini berkat sumoinya yang mati-matian. Untunglah karena Kim-kong-ciok sudah mendarah daging maka luka pukulan atau racun tak menembus jauh ke dalam. Semua itu hanya sebatas kulit. Namun karena Te-gak Mo-ki adalah iblis amat berbahaya dan sedikit serangannya sudah cukup membunuh lawan, biarpun jago kelas atas maka pertolongan Hek-i Hong-li membuat Naga Berkabung berhutang budi.

Pagi itu pria berusia lima puluhan tahun ini menghela napas. Dia bertanya tentang saudaranya nomor empat dan juga Te-gak Mo-ki. Tapi ketika semua dijawab tak tahu dan pendekar ini mengerutkan kening maka dia teringat Bu-beng Sian-su dan bertanya tentang kakek dewa itu.

“Aku tak tahu, semuanya tak tahu. Aku hanya mengurus dirimu, suheng, menjagamu. Aku tak menghiraukan yang lain-lain dan tak tahu mereka!”

“Jadi kau juga tak tahu akan kakek ini?”

“Aku tak mernperdulikannya, aku tak menghiraukan. Bagiku kau adalah segala-galanya dan aku tak perduli yang lain!”

Pendekar itu berdetak. Sumoinya itu memandangnya tak malu-malu dan sepasang mata itu bersinar- lsinar. Ada bahagia dan rindu di situ. ada harap dan cemas. Dan ketika ia tergetar dan menenangkan guncangan perasaan dengan menggerakkan kepala menengok keluar guha, maka pendekar ini berdebar-debar dan takut tinggal disitu, bangkit dan tiba-tiba menggigil.

“Sumoi, aku tak dapat melupakan budimu. Hidupku adalah karena kau. Terima kasih dan selamat tinggal, sumoi, agaknya aku harus mencari dua saudaraku yang lain dan menemukan mereka!”

Hek-i Hong-li meloncat. Gerakan ini mengejutkan pendekar itu karena gadis ini tahu-tahu telah berkacak pinggang di depannya. Mata yang semula bersinar-sinar penuh rindu dan bahagia mendadak lenyap, terganti dengan pandangan beringas dan dingin. Lalu ketika gadis itu mencabut pedang pendek dan menyerahkan itu kepada sang suheng maka bibir yang mungil setengah terkatup itu mendesis.

“Suheng, untuk kesekian kalinya lagi kau mempermainkan aku. Setelah susah payah aku menyelamatkanmu maka sekarang dengan enak dan enteng kau meninggalkan aku. Baiklah, aku tak mengharap lagi setelah begini, suheng, tapi bunuh aku dulu dan tanamkan mayatku di guha ini!”

Si Naga Berkabung tersentak. Ia mundur dan melihat jari-jari menggigil itu dan tubuh tiba-tiba gemetar. Sumoinya menangis. Lalu ketika ia menolak dan bertanya apa artinya itu tiba-tiba sumoinya membanting kaki setengah berteriak.

“Suheng, berapa kali kunyatakan aku ingin selalu bersamamu? Berapa kali kunyatakan aku ingin hidup di sampingmu? Bertahun-tahun aku tak mau mencari yang lain, suheng, bertahun-tahun aku merana. pupus harapanku dan hatimu rupanya benar-benar batu. Bunuhlah aku dan setelah itu pergilah!”

“Sumoi “

“Tidak! Atau aku membunuh diri di depanmu, suheng. Lalu tanamkan mayatku di guha ini!”

“Sumoi!”

Akan tetapi gadis itu sudah bergerak. Merasa bahwa suhengnya tak mau menerima pedang pendek itu mendadak Hek-i Hong-li menikam dadanya sendiri. Ia kalap dan nekat. Tapi ketika pendekar itu membentak dan menampar maka pedang terlepas dan jatuh di luar guha. Pria ini menyambar dan memeluk sumoinya.

“Kau...kau masih nekat? Kau tak mau tahu kenapa aku tak bisa menerimamu? Ah, kau gadis kepala batu, sumoi. Kau melebihi aku. Aku tak mau menikah karena janji dengan seseorang, almarhum isteriku!”

Hek-i Hong-li terkejut, lupa kepada kemarahannya. “Kau... kau sudah pernah beristeri? Kau tak pernah menceritakannya?”

“Ah, kau terlampau nekat, sumoi. Kau terlalu mendesak. Baiklah bagaimana kalau kau mendengar ceritaku dan jangan membuatku bingung!”

Hek-i Hong-li tersenyum. Aneh dan luar biasa tiba-tiba gadis ini tertawa, ia mengangguk dan sang suhengpun melepasnya. Gadis itu telah merasakan pelukan hangat orang yang dicinta. Ia puas! Lalu ketika suhengnya duduk dan sepasang mata itupun berkaca-kaca, basah kemudian menangis maka duduklah gadis ini memegang lengan suhengnya.

“Suheng, kau tak pernah bercerita apa-apa tentang masa silammu kepada kami. Kau selalu tertutup. Baiklah ceritakan padaku bagaimana kisahmu itu dan aku turut berduka akan kematian isterimu. Tak kusangka kau pernah beristeri!”

Pria ini menutupi muka. Sejenak dia berguncang-guncang, tapi akhirnya reda, sumoinya menunggu. Maka ketika ia membuka tangannya dan menarik napas dalam-dalam maka dilihatnya sumoinya itu begitu penuh perhatian kepadanya. Jari gadis itu meremas-remas punggungnya.

“Aku sudah lama kehilangan isteriku, duapuluh tujuh tahun yang lalu. Kami semasa kecil sudah dijodohkan tapi ia meninggal karena wabah. Sekujur tubuhnya penuh bisul dan gatal-gatal. Ia tersiksa dan mati di depanku secara mengenaskan!”

Hek-i Hong-li mengerutkan kening, masih meremas-remas punggung suhengnya, diam.

“Lalu tahukah kau apa yang dikatakan isteriku sebelum meninggal, sumoi? Sesuatu yang membuatku seperti gila!” pria itu menyambung, suaranya serak.

“Aku tak tahu karena itu kisah silammu yang penuh duka. Apa yang dikatakannya, suheng? Kenapa membuatmu seperti gila?” Hek-i Hong-li menjawab, balik bertanya.

“Ia.... ia menyuruhku kawin lagi. Ia merestui aku untuk mencari pendamping baru, waktu itu diusulkannya seorang saudaranya sendiri!”

“Ah!” Hek-i Hong-li terkejut. “Begitu, permintaannya, suheng? Penyakit apa gerangan yang membuatnya celaka seperti itu?”

“Aku mula-mula tak tahu. Tapi ketika satu demi satu anggota tubuhnya berlepasan maka kutahu ia ternyata mengidap kusta. Ia meninggal di depanku setelah jari-jari kaki dan tangannya habis, hidungnyapun growong!”

“Astaga!” kali ini gadis itu bergerak mundur, melepas suhengnya dan menjauh seolah jijik. Ia seakan berhadapan dengan isteri suhengnya itu yang penuh kusta. “Dia... dia kena penyakit kutukan itu, suheng? Kau tak ketularan pula?”

Naga Berkabung ini menghela napas, matanya membasah. “Waktu itu aku ingin ketularan, sumoi, tapi entahlah kenapa tidak. Kau tampaknya begitu jijik akan kusta, sebaliknya tiap hari aku memegang dan memeluk tubuhnya.”

Gadis ini terkejut. Tiba-tiba ia sadar bahwa sikapnya tadi dapat menyinggung suhengnya, ia seakan berhadapan dengan si penyakit kusta saja. Maka ketika ia duduk lagi dan memegang lengan suhengnya itu, semburat maka ia minta maaf dan sedikit terpukul bahwa suhengnya saja tak jijik dengan penyakit itu, memegang dan bahkan memeluk-meluk.

“Maaf, suheng, aku tak sengaja. Lanjutkanlah ceritamu dan aku turut sedih.”

“Tak ada apa-apa lagi setelah itu, ia meninggal. Dan untuk membalas semua kebodohanku yang tak dapat menyembuhkannya maka aku bersumpah untuk tidak kawin lagi. Aku berkabung!”

Gadis ini memucat. Hek-i Hong-li tiba-tiba melepaskan genggamannya dan sekali lagi ia terpukul. Begitu hebatnya cerita itu, begitu setianya sang suheng! Tapi kagum dan malah semakin hormat ia pun merasakan betapa cintanya justeru semakin dalam. Suhengnya ini seorang hebat dan setia!

“Suheng, kau..... kau masih teringatnya juga sampai sekarang?” bisikan ini lirih, meluncur tanpa terasa.

“Ya, aku masih teringatnya, sumoi, terutama di saat-saat terakhirnya itu. Ia sedih memandangku, matanya menusuk tak dapat kulupakan!”

Hek-i Hong-li tiba-tiba menutupi mukanya. Isak dan tangispun tak dapat ditahan lagi. Ia merasa kecewa tapi juga kagum. Duapuluh tujuh tahun mengenang isteri dan tetap setia bukanlah gampang dilakukan lelaki. Suhengnya ini benar-benar hebat luar dalam, barang langka! Maka ketika ia mengguguk dan akhirnya berdiri tiba-tiba gadis ini meloncat dan keluar guha.

“Suheng, tak kusangka ceritamu begitu sedih. Aku prihatin. Tapi justeru aku semakin mencintaimu dan kagum akan rasa setiamu yang hebat itu. Selamat tinggal, pergilah dan kita berpisah saja!”

Pria ini terkejut. Ia telah selesai bercerita tapi sang sumoi justeru kagum dan semakin dalam. Tadinya ia mengharap benci dan marahnya gadis itu, siapa tahu dengan begitu sang sumoi tak suka lagi kepadanya karena ia begitu mati-matian setia kepada almarhum isterinya. Maka ketika sumoinya malah menyatakan kagum dan cinta yang semakin hebat, ceritanya malah membuat sang sumoi haru dan simpati tentu saja pendekar ini terbelalak dan tidak menyangka.

“Sumoi!” ia bergerak dan melompat bangun. “Mau kemana kau!”

“Aku mau pergi jauh, mungkin menyusul isterimu. Aku ingin memberinya ucapan selamat mendapatkan suami seperti kau, suheng. Mudah-mudahan ia tak berkhianat di sana. Kalau ia tak mengimbangimu dan kawin di sana lehernya akan kucekik dan kubunuh!”

“Sumoi !”

Namun gadis itu berkelebat cepat. Ia telah meluncur jauh sementara teriakan suhengnya tak digubris. Diam-diam pedang pendek telah diambil lagi dan gadis ini menuju ke sebuah jurang. Ia akan bunuh diri dan terjun di sana. Air mata bercucuran tiada henti. Hek-i Hong-li patah hati sekaligus “jatuh cinta” untuk ke dua kali, cinta yang berat!

Tapi ketika si Naga Berkabung berkelebat dan menghadang di depan maka pria ini terkejut melihat pedang pendek itu. Ia berjungkir balik dan turun di bibir jurang yang amat dalam, hampir saja terpeleset! “Sumoi, kau... kau mau apa?”

Gadis itu tersedu, mengguguk. “Aku mau apa tak perlu kau tahu, tahu. Minggir, kau tak berhak menghalangiku!”

“Tidak, kalau kau mau bunuh diri aku harus mencegahmu. Berikan pedang itu!” sang suheng yang berkelebat dan cepat merampas pedang tiba-tiba dikelit dan di tendang. Hek-i Hong-li menjadi marah namun suhengnya juga. Dan sebelum gadis itu bergerak lebih jauh maka batu hitam di tangan pendekar ini telah menghantam dan membuat pedang itu terlempar, masuk jurang.

Akan tetapi gadis ini tertawa aneh. Marah bahwa pedangnya terlepas dari tangan mendadak ia berseru keras, tubuh meluncur dan berjungkir balik melewati kepala. Lalu ketika sang suheng terkejut dan berteriak keras maka Hek-i Hong-li meluncur dan terjun ke dalam jurang. “Selamat tinggal, suheng. Aku mencintaimu!”

Tapi yang dilakukan pendekar ini juga tak kalah mengejutkan. Naga Berkabung membentak dan menggerakkan kedua kakinya, meloncat dan terjun pula ke jurang. Dan ketika Hek-i Hong-li terkejut melihat suhengnya meluncur masuk maka dua orang itu tiba-tiba sudah sama-sama beriringan dan saling tangkap, pendekar itu menyambar sumoinya dan hampir terlambat. “Kau gila, sumoi!”

“Hi-hik, kau yang membuatku gila. Aku gila karena kau, suheng. Tapi kau juga gila terjun ke jurang ini!”

“Aku tak dapat membiarkanmu mati, aku menyayangimu!”

“Apa?”

“Kerahkan Bu-bian-kang (Ilmu Tanpa Bobot). Kita bicara lagi dan jangan bunuh diri!”

Aneh, dua orang itu berhenti di tengah udara. Begitu Song-bun-liong menyentakan meminta sumoinya mengerahkan Ilmu Tanpa Bobot maka gadis itu berseri-seri dan mengangguk. Mereka sudah meluncur cepat ke dalam jurang namun begitu mengerahkan itu mendadak keduanya kehilangan berat tubuh. Ilmu itu membuat mereka seakan kapas, hampir berhenti dan perlahan-lahan saja turun. Luar biasa! Lalu ketika lega sumoinya menuruti perintahnya maka pendekar ini bingung mendapat pertanyaan pertama.

“Suheng, kau benar-benar menyayangiku? Apa bedanya itu dengan cinta?”

Sang suheng semburat.

“Kalau kau tak menerimaku biarkan aku mati, suheng. Kita akan terus ke dasar jurang dan ini penentuan terakhir. Aku kagum kepadamu, kau benar-benar pria luar biasa. Aku menghormati sumpahmu. Tapi apa artinya ini kalau kau mencegahku bunuh diri!”

“Aku aku tak dapat menjawab. Kita secepatnya menuju pohon didinding jurang itu, sumoi, lalu naik dan kembali keatas!”

“Aku tak mau melakukan itu kalau kau mempermainkan aku!”

“Mempermainkan?”

“Jelas, kau mencintaiku, suheng, sesungguhnya menerima aku. Tapi sumpahmu menjadi batu penghalang. Kau tak menyebutkan apakah mendiang isterimu menyetujui sumpahmu!”

Pendekar ini bingung. Tiba-tiba ia menjadi ragu dan mereka terus turun perlahan-lahan. Dasar jurang sudah menanti di bawah dan sekali sumoinya itu melepaskan Ilmu Tanpa Bobot tentu sumoinya akan binasa. Kini sumoinya memojokkannya sedemikian rupa. Dan karena tak dapat disangkal bahwa sesungguhnya ia mencintai sumoinya ini, menyayang maka pendekar itu menarik napas dalam namun sumpah yang terlanjur keluar membuatnya bimbang lagi.

“Cepat, aku tak mau kau permainkan, suheng. Kau menerimaku atau tidak. Jawab apakah mendiang isterimu juga menerima sumpahmu atau tidak!”

Pendekar ini gugup, masih tak menjawab.

“Kalau begitu aku akan melepaskan Bu-bian-kang, suheng. Aku tak mau kau permainkan dan siap mati dibawah!”

“Jangan!” pendekar itu berseru. “Aku menerimamu, sumoi. Baiklah kuterima dirimu dan kita mendarat di pohon itu!”

Bukan main girangnya Hek-i Hong-li. Gadis ini melonjak girang dan mencium suhengnya. Gerakan itu membuat goyang dan lupalah Ilmu Tanpa Bobot. Tapi karena pohon sudah dekat dan untung Song-bun-liong menarik sumoinya kesini, maka dua orang itu terlempar dan terbanting dipuncak dedaunan.

“Bresss!”

Tanpa ampun keduanya saling tindih. Kebetulan Hek-i Hong-li di bawah dan hidung pendekar ini menempel di pipi sumoinya. Ciuman tanpa sengajapun terjadi. Dan ketika Hek-i Hong-li terisak dan menangis penuh bahagia maka pendekar itu memeluk sumoinya dan haru serta cintapun muncul.

Hari itu hari penuh kebahagiaan bagi gadis baju hitam ini. Hek-i Hong-li telah memperoleh apa yang diidamkan. Bertahun-tahun ia menunggu dan harus menderita. Dan ketika hari itu si Naga Berkabung menerima gadis ini sebagai isterinya, hubungan suheng dan sumoi semakin dekat maka mereka pun tinggal dan menetap di pertapaan Hek-i Hong-li.

Namun akibat sumpah, rupa-rupanya membayangi pria ini. Hidup bertahun-tahun tak membuahkan keturunan. Dan ketika hal itu membuat Hek-i Hong-li kecewa akhirnya hubungan mereka mulai renggang. Si Naga Berkabung mulai lagi muram dan sedih.

“Aku rupanya tak dapat membahagiakanmu. Aku tak dapat memberimu keturunan. Ah, rupanya aku berdosa kepada sute, sumoi. Agaknya dialah yang tepat untukmu bukan aku. Aku tua bangka tak dapat memberi apa-apa!”

“Tutup mulutmu. Jangan sebut-sebut lagi nama Sian-eng-jin di depanku, suheng. Aku hanya mencintaimu!” Hek-i Hong-li membentak, marah karena akhir-akhir ini sang suheng atau suaminya itu menyebut-nyebut lagi kakaknya nomor empat. Kalau sudah begini ia benci sekali kepada suaminya ini, kemarahan cepat timbul. Maka ketika lagi-lagi suami atau suhengnya itu menyebut itu tiba-tiba kemarahan pun meledak. Tapi suaminya ini tetap bersiteguh, merasa rendah diri.

“Aku bicara apa adanya, sumoi. Sudah sekian tahun kita menikah tapi tak ada keturunan juga. Aku khawatir dosa.”

“Dosamu adalah kau selalu menyakiti aku. Kau mulai menyebut-nyebut orang lain, suheng. Kau seakan tak menunjukkan cinta lagi kepadaku. Daripada kau menyerahkan aku kepada orang lain lebih baik aku tetap sendiri!”

“Tapi sutevlebih muda.”

“Tutup mulutmu, atau nanti kutampar!”

“Aku sudah tua, sumoi, terlalu tua. Aku teringat sute dan menyesal kepadamu."

"Plak-plak!” Hek-i Hong-li berkelebat dan menampar suhengnya itu. Bibir sang suheng langsung pecah dan robek, darah mengalir. Tapi ketika Hek-i Hong-li berapi-api dan berdiri membentak suhengnya maka wanita itu menuding dan marah sekali.

“Suheng, tingkahmu benar-benar memuakkan. Kalau kau sudah tidak mencintai aku pergilah dari sini. Pergi! Aku tak tak dapat menerima semua kata-katamu yang mulai menyakiti aku!”

Pendekar itu meraba mulutnya yang sobek. Ia terhuyung dan bangkit berdiri mengusap darah yang masih mengalir itu, wajah sang isteri atau sang sumoi dipandangnya sedih. Lalu ketika ia mengangguk dan maklum kebahagiaan tak didapat lagi, tiba-tiba ia teringat sumpahnya dulu maka pria ini menggigit bibir menahan runtuhnya air mata.

“Sumoi, aku tetap menyayangimu, mencintaimu. Tapi apalah artinya berumah tangga kalau tak ada keturunan di antara kita. Aku memberimu kesempatan untuk bertemu sute, aku akan menyuruhnya menghibur di sini. Selamat tinggal dan maafkan aku.”

Wanita itu menjerit. Suhengnya hendak memeluk dan mencium terakhir kali namun ia mengelak. Kaki bergerak dan terlemparlah suhengnya oleh suatu tendangan amat dahsyat. Tubuh pendekar ini mencelat dan keluar guha, berdebuk dan terbanting di dekat jurang di mana dulu ia terjun. Dan ketika Hek-i Hong-li mengguguk dan berkelebat keluar guha, lari ke tempat lain maka sejak hari itu pasangan ini tak bertemu lagi sampai mereka tua. Pendekar itu ternyata mencari sutenya. Di suatu tempat akhirnya mereka bertemu.

Tapi ketika Bayangan Dewa ini menggeleng dan sendu, maka sang sute menolak dan berkata. “Kau pria aneh. Kau laki-laki yang tak dapat diikuti wanita, suheng. Kau lain dari yang lain. Mana berani aku menemui sumoi dan menggantikan kedudukanmu sebagai suami. Tidak, kau seperti orang gila saja, isteri sendiri diserahkan. Aku tak dapat menerima dan tak berani menerima. Mungkin bukan salahmu untuk mandul, mungkin sumoi yang memang tak dapat memberikan anak!”

“Aku tidak berpikir begitu. Aku teringat sumpahku dulu, sute. Tentu ini gara-gara dosa yang tidak kutepati itu. Aku lebih menyalahkan diriku sendiri!”

“Kau memang selalu memikirkan orang lain, gampang sekali menyalahkan diri sendiri. Baiklah betapapun kau mendesakku tetap saja aku tak berani menggantikan kedudukanmu, suheng. Sumoi bukan semacam mainan yang dapat dipindahtangankan. Ia manusia pula seperti kita!”

“Jadi kau tak menerimanya?”

“Tidak, sekali lagi tidak!”

Lalu ketika si Naga Berkabung tampak sedih dan susah akhirnya dua bersaudara itu memisahkan diri. Pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir pula bagi suheng dan sute itu dan Sian-eng-jin menggeleng- geleng kepala. Belum pernah ditemuinya pria seperti suhengnya itu, pengalah dan penyabar. Sebagai sesama pria pun dia merasa sulit mengikuti sepak terjang suhengnya itu. Satu yang harus diakui, suhengnya memang benar-benar luar biasa, baik sebagai saudara maupun suami!

Dan ketika sejak itu Ngo-cia Thian-it pecah berantakan, maka kabar terakhir memberitahukan bahwa mereka sudah mencapai tingkat amat tinggi dalam bentuk samadhi di mana mereka tak dapat lagi turun dan bergerak bebas di bumi. Mereka sudah merupakan manusia-manusia setengah dewa yang hidup di alam lain!

* * * * * * * *

“Demikianlah,” kakek itu mengakhiri ceritanya, Sin Gak masih kelihatan termenung dan melayang-layang di alam cerita gurunya. “Kami berlima pecah berantakan, Sin Gak, dan kami masing-masing sudah hampir tak berhubungan lagi. Sejak itu aku berpisah dengan suhengku dan Ngo-cia Thian-it tak pernah muncul.”

Anak ini terharu. Kisah panjang dari gurunya membuat ia begitu bengong dan duduk bagai arca. Tiga hari tiga malam gurunya menceritakan peristiwa hebat itu, ia benar-benar bagai tersihir dan tidak bergeming. Tapi ketika gurunya menepuk pundaknya dan ia sadar, wajah anak ini kembali seperti semula maka kakek itu tersenyum kepadanya.

“Perpisahan memang menyakitkan, tapi selalu akan terjadi. Nah, bersiap-siaplah untuk menguasai daerah ini, muridku, dan turun gununglah cari ayahmu itu. Aku harus pergi karena tugasku selesai.”

Sin Gak adalah keturunan Si Golok Maut Sin Hauw. Seperti ayahnya yang pendiam dan keras hati iapun sudah dapat menguasai dirinya lagi. Tadi ia tenggelam dalam duka dan kesedihan, sedih karena akan ditinggal gurunya. Tapi begitu ia menggigit bibir dan menganggukkan kepala, ia pun sudah berlutut dan mencium lutut gurunya itu.

“Baiklah, teecu sudah mengerti. Teecu sudah mendengar semua ceritamu, suhu, teecu akan mengingat-ingat itu. Kalau suhu hendak meninggalkan teecu silahkan, teecu akan mencari ayah teecu pula.”

Kakek ini kagum. Bocah ini sudah berusia delapan belas tahun dan tubuhnya tegap, tidak begitu tinggi dan bahkan agak pendek seperti ayahnya. Tapi mata yang mencorong bagai mata seekor harimau itu cukup memberitahukan bahwa anak yang kini sudah menjadi pemuda itu bukan sembarang orang. Dia adalah gemblengan satu di antara Ngo-cia Thian-it!

Sian-eng-jin tiba-tiba bangkit dan tertawa. “Anak baik, tahukah kau apa saja yang harus kau lakukan? Cukupkah hanya dengan mencari ayahmu itu?”

“Mohon petunjuk kalau ada yang kurang, suhu. Tapi agaknya prinsip kebenaran harus selalu teecu pegang teguh. Suhu."

“Benar, kau cerdik. Hampir dua puluh tahun aku menggemblengmu dan semua ilmu-ilmu Ngo-cia Thian-it kau kuasai. Hati-hatilah mempergunakan itu karena aku masih akan mengamat-amatimu dari jauh. Sekarang kau telah menguasai Pek-mo-sin-kang sebagai ilmu andalanku, ini ciri-ciri khusus murid Sian-eng-jin. Tapi karena kau memiliki pula ilmu-ilmu lain seperti Jin-seng-sut dan Hiat-sun-tai-hoat maka ingatlah bahwa dua ilmu itu hanya boleh kau pergunakan bila menghadapi musuh setanding!”

Pemuda ini mengangguk. Jin-seng-sut (Ilmu Merobah Ujud) adalah semacam ilmu sihir berkekuatan batin. Ilmu ini tak boleh dipergunakan apalagi untuk pamer, kalau benar-benar tidak perlu. Dan karena Hiat-sun-tai-hoat (Ilmu Menghilang Di Balik Kabut Darah) juga bukan ilmu sembarangan karena suhunya mempersiapkan itu untuk menghadapi Mo-hiat-hu-kut-tai-hoat yang dimiliki supeknya Mo-bin-jin maka pemuda inipun mengangguk-angguk namun merasa heran kenapa ilmu itu seakan disiapkan apabila dia menghadapi supeknya.

“Teecu hendak bertanya sesuatu kalau boleh,” katanya. “Apakah suhu tidak keberatan dan suka menjawab.”

“Kau hendak bertanya apa,” kakek itu tersenyum. “Tanyalah, anak baik. Aku akan menjawab kalau bisa kujawab.”

“Tentang Hiat-sun-tai-hoat ini, kenapa suhu memberikan itu padahal bukankah supek Mo-bin-jin sudah tak pernah muncul lagi!”

“Hm, itu?” kakek ini tertawa. “Hiat-sun-tai-hoat kuberikan semata untuk berjaga-jaga, muridku. Supekmu Mo-bin-jin tak mungkin muncul karena kami sudah dilarang turun secara langsung. Ilmu itu kuberikan hanya sebagai pelindung di kala diperlukan, seperti sediakan payung sebelum hujan.”

“Itu saja?”

“Ya, itu saja.”

Pemuda ini mengangguk. Sebenarnya Sin Gak hendak bertanya sesuatu yang mengganjal lagi, jawaban gurunya terasa tidak memuaskan. Tapi karena bukan kebiasaannya untuk berpanjang lebar, anak ini pendiam dan lebih banyak menahan diri akhirnya iapun tak bertanya lagi dan bersiap-siap. Gurunya hendak pergi dan dia mengantar, tapi ketika gurunya tertawa dan menuding keluar ternyata ia disuruh menyiapkan sebuah gubuk dari kumpulan awan putih.

“Aku akan pergi, tapi tak perlu diantar. Siapkan saja sebuah tempat tinggal dengan satu pintu. Tutup pintunya kalau aku sudah masuk, tunggu tiga hari tiga malam.”

“Suhu maksudkan Hu-pek-in-kiong (Istana Awan Putih)?”

“Ya, benar, Sin Gak. Siapkan itu tapi kali ini aku benar-benar akan pergi. Buat berdaun tunggal dan tutup setelah masuk!"

Sin Gak menarik napas dalam. Hu-pek-in-kiong adalah istilah saja bagi mereka karena maksud dari itu adalah sebuah gubuk aneh dari bongkahan awan. Di puncak gunung mereka mendapatkan itu dan bahan-bahannya banyak terdapat. Sin Gak sering membuatkan gurunya kalau gurunya ingin bersamadhi. Maka ketika ia keluar dan di sebuah batu besar ia meraup dan mencomot awan-awan yang berseliweran, menggenggamnya dan mereka menjadi semacam bongkahan salju maka dengan ini pemuda itu membuat gubuk.

Aneh dan bakal membuat orang terheran-heran melihat perbuatan murid Sian-eng-jin ini. Sin Gak begitu gampang meraup dan memoles dinding gubuk. Uap dingin di tangannya berobah seperti es, ditempel dan disusun hingga terbentuklah sebuah dinding sederhana. Lalu ketika pemuda itu meneruskan pekerjaannya keempat penjuru dan tiada hentinya tangannya menyambar dan melempar-lempar uap putih setengah jam kemudian jadilah gubuk aneh dengan satu lubang didepan.

Pemuda itu menemui gurunya. “Sudah teecu siapkan,” katanya. “Silakan suhu masuk dan katakan apa yang kurang.”

Kakek itu tertawa lebar, tak menyembunyikan kekaguman. “Tahukah kau bahwa pekerjaanmu ini sulit bagi orang lain? Heh, merobah awan menjadi bongkahan salju tak dapat sembarang dilakukan orang lain, Sin Gak. Kalau kau tak memiliki Pek-mo-in-kang jangan harap mampu. Barangkali sekarang kau mengerti kenapa aku menyuruhmu begini. Kau sedang melatih dirimu sendiri agar ilmu itu kau kuasai. Dan setelah kau menghirup tenaga mujijat Awan Iblis maka sinkangmu menjadi luar biasa dan apapun dapat kau bekukan sesuka hatimu. Baiklah, aku masuk dan tutup pintunya!”

Sin Gak tiba-tiba menahan. “Tunggu dulu, apakah suhu tak memberi pesan lainnya lagi!”

“Cukup semua itu, Sin Gak. Kau ingat-ingat saja pesanku tadi. Hati-hati mempergunakan ilmumu dan waspadalah terhadap murid Te-gak Mo-ki itu!”

Pemuda ini tertegun.

“Dan aku sudah pergi kalau bangunan ini pecah. Kau boleh turun gunung dan cari orang tuamu!”

Sin Gak berlutut. Tak dapat ditahan lagi mendadak tenggorokannya serasa tercekik, mata tiba-tiba basah dan iapun cepat-cepat menyembunyikan muka dengan berlutut. Dengan begitu ia dapat menahan tangisnya. Dan ketika kakek itu masuk dan ia harus menutup bangunan aneh ini maka pemuda itu bergerak dan sudah menutup Hu-pek-in-kiong ini. Jari-jarinya gemetar dan menggigil melakukan itu. Kali ini gurunya tertutup rapat dan tak mampu bernapas, ia seakan “membunuh” gurunya sendiri. Tapi karena ia maklum kesaktian gurunya dan sudah kehendak gurunya juga untuk bermoksa diri, lenyap bersama raga maka pemuda itu menahan kuat-kuat semua tangis dan perasaan.

Pintu bangunan aneh itu akhirnya selesai. Tak ada lubang yang tersisa dan Sin Gak duduk di depannya. Pemuda ini menggigil. Ini adalah peristiwa pertama kalinya yang membuat ia harus betul-betul kuat. Biasanya gurunya hanya bersamadhi dan duduk di dalam dengan lubang pintu. Dengan begitu udara dapat keluar masuk. Akan tetapi karena kali ini Hu-pek-in-kiong ditutup rapat dan tak ada udara masuk, bangunan aneh itu benar-benar hampa udara dan dingin luar biasa maka hanya tokoh seperti Bayangan Dewa ini yang mampu bertahan.

Sin Gak membuang segala pikiran dengan samadhi. Ia memusatkan semua perhatian pada titik hidung. Pemuda ini tak menghiraukan lagi segala sesuatu. Dan ketika ia tenggelam dan lenyap ke alam lain maka pemuda ini tak tahu berapa lama ia duduk mematung. Sin Gak sadar ketika sebuah suara dahsyat menggelegar dibelakangnya. Bangunan aneh itu runtuh. Dan ketika pemuda ini mencelat dan bangun berdiri maka tiba-tiba tampak sesosok asap putih membubung ke langit. Bayangan gurunya...!

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.