TAPAK TANGAN HANTU
JILID 31
KARYA BATARA
JILID 31
KARYA BATARA
“KAU gadis luar biasa, sungguh belum kutemukan wanita semacammu ini. Baiklah kita lihat perkembangannya nanti, Hong-moi, tapi betapapun aku ingin memberimu sesuatu.... cup!”
Sin Gak mencium bibir gadis ini dan sejenak gadis itu terperanjat. Ciuman Sin Gak begitu cepatnya dari punggung tangan ke bibir, sedetik warna merah memenuhi wajah cantik ini, Bi Hong melepaskan diri dan mundur. Namun ketika Sin Gak menyambarnya lagi dan menggenggamnya lembut maka pemuda itu berkelebat mengajaknya meneruskan perjalanan. Ke Hutan Iblis!
Tak banyak perubahan mengamati hutan ini. Masih seperti dulu gelap dan lebat Hutan Iblis dipenuhi kerimbunan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Satu yang terbesar dan menjulang paling tinggi tampak di tengah dan terlihat menyeramkan. Atap daunnya melebar belasan meter dan dari kejauhan pohon ini seolah merajai pohon-pohon yang lain. Dari bentuknya dapat diketahui bahwa pohon ini merupakan pohon raksasa, daunnya hijau gelap sementara ranting atau anak cabangnya berwarna kehitam-hitaman, membelit dan bagai ular melingkar dan siapapun seram mendekati pohon ini.
Kalau orang mau mendekat maka pohon inipun berbau amis. Sesekali di kulit batangnya mengalir getah merah seperti darah. Inilah pohon siluman yang disebut Ang-kwi, pertumbuhannya amat cepat dan dalam puncak kedahsyatannya pohon ini dapat mencapai ketinggian enampuluh meter. Tak ada pohon di dunia ini yang dapat “menandingi pohon siluman itu dalam ketinggiannya. Hanya satu di Hutan Iblis! Maka ketika Bi Hong dan Sin Gak berhenti di mulut hutan maka keduanya tertegun dan hawa menyeramkan dari hutan itu terasa keluar, menyebar sampai ratusan meter.
“Aneh, betulkah ini yang disebut Hutan Iblis. Kudengar tempat ini pernah dibakar habis, Sin Gak. Bagaimana masih seperti dulu dan seolah tak pernah terjadi kebakaran.”
“Aku juga heran, tapi tujuan kita pasti tidak salah, Hong-moi, ayah mengatakan bahwa tempat ini sejauh tigapuluh li dari dusun Lam-chung, dan kita telah melewati itu.”
“Hm, ayahmu...“ gadis ini tiba-tiba berkerut. “Di mana ayahmu sekarang, Sin Gak, kenapa kita belum melihatnya!”
Pemuda ini teringat. Segera ia mengangguk dan melihat sekeliling namun tempat itu sepi-sepi saja. Bi Hong menyadarkannya bahwa sang ayah seharusnya sudah berada di situ pula. Maka ketika ia berdebar dan tak melihat siapa-siapa akhirnya Sin Gak berkata bahwa sebaiknya mereka berpencar.
“Kupikir ayah tak mungkin terlambat. Mari kita berpencar dan memutari hutan ini, Hong-moi, kau ke kanan aku ke kiri. Siapa tahu ayah bersembunyi.”
“Baik, dan kita bertemu di depan. Hati-hati, kalau ada bahaya sebaiknya melengkinglah, Sin Gak, begitu juga aku. Kita harus waspada karena tempat ini hawanya menyeramkan!”
“Benar, dan kaupun hati-hatilah. Kalau iblis itu muncul berteriaklah kepadaku.”
Bi Hong mengangguk dan berkelebat. Setelah ia berada di tempat ini dan seram karena Hutan Iblis gelap dan dingin maka ia tak mau sembrono dan hilang kewaspadaan. Sebenarnya berat juga harus berpisah, perjalanan bersama ini telah membenamkan mereka dalam asyik-masyuk yang membuai. Namun karena orang tua itu harus dicari dan sebaiknya saling membagi tugas maka iapun lenyap dan Sin Gak juga menghilang di sebelah kiri hutan.
Sin Gak tak menemukan apa-apa namun Bi Hong sebaliknya. Baru seperempat lingkaran mendadak gadis ini berbalik, bunyi berkeresek membuat ia melesat dan menyambar tempat ini. Dan ketika kelima jarinya sudah mencengkeram kepala seseorang yang muncul dari balik gerumbul, menyangka penghuni Hutan Iblis maka orang itupun terkejut melihat kepalanya disambar begitu cepatnya bagai cakar elang menyambar korban.
“Dukk!”
Seruan tertahan disusul terpelantingnya orang itu. Bi Hong mempergunakan Kian-kun-siunya hingga jari-jarinya mengibas amat kuat, angin sambarannya saja cukup merobohkan seekor gajah. Maka ketika orang itu terpelanting dan ia berkelebat mengejar, membentak namun orang itu bergulingan meloncat bangun maka Bi Hong tertegun karena yang dihadapinya ternyata adalah si Naga Pembunuh Giam Liong, pendekar yang lengannya buntung itu.
“Paman...!”
Giam Liong tertegun. Tak disangkanya bahwa ia bertemu gadis ini. Tadi ia melihat bayangan amat cepat menyambar di pinggir hutan, melongok dan kaget karena ia tak tahu apakah bayangan itu laki-laki atau perempuan. Jangan-jangan itu adalah Majikan Hutan Iblis. Maka ketika ia melongok namun sedikit gerakan ini telah ditangkap lawan, Bi Hong membalik dan menyambar begitu cepatnya maka ia menangkis dan tentu saja kaget ketika terpelanting. Namun pendekar ini segera menjadi girang ketika mengenal gadis gagah perkasa itu, murid si Naga Berkabung yang amat sakti,
“Bi Hong!”
Gadis ini tersenyum. Ia melompat dan mengangguk sementara Giam Liong tak jadi mengeluarkan Golok Mautnya. Senjata ini sudah disentuh dan siap berkelebat keluar, sekali membacok tak akan undur sebelum mencium bau darah. Maka ketika pendekar itu menjadi girang sementara Bi Hong juga berseri-seri maka Giam Liong sudah menyambar lengannya teringat puteranya. Gadis ini sendiri.
“Mana Sin Gak, apakah kau tak bersamanya. Atau kebetulan saja kau kesini!”
“Kami berdua,” gadis ini agak tersipu. “Aku di sini sementara Sin Gak di sana, paman, sengaja mencarimu karena katanya kau pasti di sini.”
“Benar, sudah dua hari aku di sini. Lama amat kalian!”
“Kami harus bertanya-tanya,” gadis itu membuang jengah. “Kami tak ingin keliru menemukan tempat ini, paman, betapapun baru kali ini kami ke sini.”
“Ya-ya, tak apa, dan syukur kau bertemu Sin Gak. Majikan Hutan Iblis itu telah mendapatkan teman!”
“Sin Gak telah menceritakannya kepadaku. Thai Bang Kok Hu memang pemuda berbahaya, tapi harap paman jangan khawatir karena aku pasti membantu Sin Gak.”
Giam Liong tersenyum. Sebentar saja ia telah tahu hubungan gadis ini dengan puteranya. Secara sambil lalu ia telah menangkap kesan itu. Tapi ketika ia mengangguk dan Bi Hong semburat oleh kata-katanya sendiri, kalimat terakhir itu dapat ditangkap lain mendadak terdengar lengking tinggi suara Sin Gak.
“Ia dalam bahaya!” Bi Hong melompat dan menghilang. Gerakannya begitu cepat hingga Naga Pembunuh ini terkejut. Anak muda sekarang hebat-hebat. Tapi ketika Giam Liong juga berkelebat dan mengejar gadis itu maka Bi Hong sudah melesat jauh di depan.
Ternyata Sin Gak sudah bertanding dengan seorang gadis baju merah. Di luar hutan di bawah naungan pohon besar bayangan putih sambar-menyambar dengan bayangan merah. Tadinya Bi Hong menyangka kekasihnya itu bertemu Majikan Hutan Iblis, atau mungkin Thai Bang Kok Hu. Tapi ketika ia melihat bahwa itu adalah Su Giok, murid Hek-i Hong-li maka gadis ini tertegun.
Apa yang terjadi hingga tahu-tahu gadis itu ada di sini? Bagaimana Su Giok muncul di Hutan Iblis? Ini memang bukan hal kebetulan. Su Giok, yang meninggalkan Hek-yan-pang setelah sumoinya menetap di sana diam-diam menjadi panas terhadap Sin Gak. Melihat pemuda ini seakan melihat sang ayah saja. Tanpa diketahui siapapun diam-diam ia menguntit pemuda ini, apalagi setelah pemuda itu bertemu Bi Hong. Dan ketika dilihatnya betapa sepasang muda-mudi itu jatuh dalam asmara, betapa dari jauh ia melihat kejadian demi kejadian maka ketika di luar dusun Lam-chung pemuda ini mencium Bi Hong tiba-tiba saja darah gadis itu terasa mendidih!
Tak ada yang tahu bahwa diam-diam cucu Pek-lui-kong ini jatuh cinta kepada Giam Liong. Sejak Naga Pembunuh itu menolongnya dari bahaya Majikan Hutan Iblis sampai kemudian nenek Hek-i Hong-li membawanya sebagai murid sebenarnya telah tertanam kuat perasaan kagum dan cinta yang sangat kepada pendekar buntung itu. Giam Liong sekarang berusia empat puluh dua tahun sementara ia sendiri duapuluh tujuh. Perbedaan usia tak jadi soal bagi gadis ini. Ia telah jatuh hati dan kagum kepada Giam Liong, perasaan yang telah dimilikinya sejak ia masih remaja lima belas tahun.
Tapi ketika si Naga Pembunuh begitu dingin dan acuh kepadanya, ia terpukul dan merasa luka maka selama dua belas tahun menjadi murid Hek-i Hong-li gadis ini menyimpan kemarahan dan sakit hatinya. Hanya karena Naga Pembunuh itu pernah menolong keluarganya ia memendam semua perasaannya yang bergolak. Su Giok terserang apa yang disebut cinta kuning, yakni perasaan cinta seseorang yang bercampur kebencian, antara luka dan gairah asmara.
Maka ketika secara tiba-tiba ia bertemu Sin Gak di markas Hek-yan-pang, yakni ketika pemuda itu menolong murid-murid Hek-yan-pang dari serangan Majikan Hutan Iblis maka kenangan dan ingatan masa lalu merobek lagi luka di hati gadis ini. Wajah dan bentuk tubuh Sin Gak yang mirip sang ayah menyentak bawah-sadar, kebetulan saat itu yang bergerak adalah emosi kemarahan. Maka ketika gadis itu menyerang dan mengira ini adalah Giam Liong, tak tahunya hanya puteranya saja maka munculnya Bi Hong membantu pemuda itu membuat gadis ini sakit dan kemarahan serta kebenciannya semakin bertambah-tambah.
Kepandaian Sin Gak yang begitu hebat membuat ia tertegun. Maksud untuk “unjuk gigi” menjadi buyar, ia bahkan dikalahkan. Dan ketika ia pergi namun diam-diam kembali lagi, mengikuti dan membayangi pemuda itu dari jauh tiba-tiba segala gerak-gerik pemuda itu seakan berobah menjadi gerak-gerik Naga Pembunuh GiamLiong. Ada keanehan menimpa cucu mendiang Pek-lui-kong ini. Ia merasa nikmat dan cukup puas bila memandang punggung pemuda itu.
Maka ketika di tengah jalan tiba-tiba muncullah Bi Hong dan pemuda itu segera menjalin asmara, terbakarlah gadis ini maka yang dilihat dan di dengar seolah Giam Liong sendiri bukan Sin Gak. Su Giok menjadi berapi dan ganas matanya. Waktu Sin Gak mencium Bi Hong dianggapnya Giam Liong yang melakukan itu. Darahnya mendidih. Maka ketika Sin Gak memisahkan diri dan memutari Hutan Iblis tiba-tiba iapun muncul dan langsung menudingkan telunjuknya.
“Giam Liong, kau laki-laki keparat, manusia terkutuk. Terimalah kematianmu dan di sini kau mampus!”
Sin Gak terkejut. Ketika bayangan merah menyambar dan Su Giok berkelebat di depannya ia sudah merasa was-was. Pandang mata gadis itu membuatnya seram. Pandang mata itu seperti iblis betina haus darah, atau orang yang menaruh kebencian hebat. Maka ketika ia diserang dan melengak dirinya dipanggil sang ayah, Su Giok menyebutnya Giam Liong maka ia berkelit dan menangkis ketika dikejar.
“Heii, apa artinya ini. Aku Sin Gak, enci Su Giok, bukan ayah. Kenapa kau menyerangku dan marah-marah tanpa sebab. Berhenti, tunggu dulu!”
Akan tetapi gadis itu bahkan membentak dan menyusul dengan pukulan bertubi-tubi. Kelitan dan tangkisan Sin Gak menyadarkan gadis ini bahwa yang di depannya bukanlah Naga Pembunuh. Ia malu. Tapi karena justeru karena itu ia menjadi marah dan semakin beringas maka iapun berkelebatan dan pukulan-pukulannya yang mental membuat gadis ini semakin naik pitam.
“Sama saja ayahmu atau bukan. Kau dan ayahmu sama-sama tak dapat menghargai wanita, Sin Gak. Rupanya kau sudah galang-gulung dengan Bi Hong dan melupakan kekasihmu Giok Cheng. Aku akan membunuhmu dan menghajarmu habis-habisan!”
Sin Gak terkejut mengelak ke kiri kanan. Ia terkejut mendengar kata-kata itu dan seketika menjadi merah. Maklumlah dia bahwa perjalanannya selama ini kiranya diikuti. Maka ketika ia membentak dan menangkis pukulan itu, menghardik bahwa urusan Giok Cheng tak usah disebut-sebut maka gadis ini semakin marah dan naik temperamennya.
“Bagus, kau seperti ayahmu, enak begitu saja membuang wanita yang betul-betul mencintaimu. Haiittt..... aku akan mengadu jiwa denganmu, Sin Gak, dan kau atau aku yang roboh... plak-plak!”
Seleret sinar hitam menyambar dan itulah ikat pinggang yang sudah ditangkis pemuda ini. Sin Gak terkejut ketika bunyi menjeletar tiba-tiba menggetarkan udara, disusul oleh cengkeraman dan tusukan kuku tajam. Dan ketika kelima jari gadis itu sudah mencoret dan menggurat mainkan Toat-beng-liong-jiauw-kang (Kuku Naga Pencabut Nyawa) maka Sin Gak dibuat sibuk dan marah serta heran. Ia heran karena gadis baju merah ini membuang kebenciannya terhadap sang ayah, kata-katanya juga lebih banyak ditujukan kepada ayahnya itu daripada dirinya.
“Hm!” Sin Gak berkelebat mengerahkan ginkangnya. “Kata-katamu bercampur aduk, enci Su Giok, tapi aku tak berniat memusuhimu. Pergilah dan lain kali saja kita bicara, tempat ini rumah musuh!”
“Aku tak perduli rumah musuh. Tempat setan atau bukan aku ingin membunuhmu, Sin Gak, sikapmu terhadap Bi Hong membuat aku tak dapat mengampunimu lagi. Kau mengkhianati Giok Cheng!”
Sin Gak menjadi marah. Toat-beng-liong-jiauw-kun ditangkis mempergunakan Pek-mo-in-kangnya, terpental dan membalik namun ikat pinggang di tangan yang lain menyambar. Dan ketika gadis itu juga berkelebat dan mengerahkan Coan-po-ginkangnya (Ginkang Menerjang Ombak) maka Sin Gak menjadi kewalahan karena gadis itu mendesaknya bagai ombak bergulung-gulung, menerjang sementara yang lain belum habis.
“Berhenti atau aku membalasmu!” pemuda ini membentak. “Pergi dan jangan main-main di sini, enci Su Giok, atau aku tak ingat di antara kita ada ikatan perguruan!”
Namun bentakan ini dibalas ledakan cambuk. Sin Gak mengelak cepat ketika ujung ikat pinggang menyambar matanya, dikelit namun menukik bagai ular hidup, langsung menotok ulu hati. Dan ketika ia menampar namun Toat-beng-liong-jiauw-kang mencengkeram cepat maka habislah kesabarannya apalagi ketika dari dalam hutan berkelebat bayangan tinggi besar yang tertawa bergelak.
“Ha-ha, bagus sekali. Kubantu kau kalau pemuda ini membalasmu, sumoi, jangan takut dan biarkan ia main gertak!”
Sin Gak terkejut karena Thai Bang Kok Hu muncul. Raksasa tinggi besar itu tidak hanya sekedar bicara melainkan menyambar pula ke depan. Dua lengannya terulur dan satu mencengkeram perut. Tangan yang lain mencekik leher dan bunyi tulang-tulang berkerotok jelas menandakan serangan maut. Bukan hanya pemuda ini yang terkejut melainkan Su Giok juga tak menyangka. Gadis ini sama sekali belum tahu bahwa murid supeknya Mo-bin-jin telah muncul. Maka ketika pemuda raksasa itu menyerang Sin Gak sementara ia dipanggil sumoi (adik seperguruan perempuan) maka gadis baju merah ini tertegun dan sejenak ia menghentikan serangannya.
“Duk-plak!”
Tangkisan Sin Gak menggetarkan raksasa muda itu. Thai Bang Kok Hu melotot kenapa Su Giok tak meneruskan serangannya, ia membentak. Dan ketika gadis itu memaki agar ia tak turut campur, pemuda ini tertawa bergelak maka raksasa itu mundur dan benar-benar tak turut campur.
“Ha-ha, kalau begitu aku menonton. Ayolah, kalian bertanding!”
Su Giok menyerang Sin Gak lagi. Ia melepas Touw-beng-tok-ciam (Jarum Beracun Penembus Roh) akan tetapi pemuda tinggi besar itu mengibas runtuh. Thai Bang Kok Hu tertawa tak membalas. Dan ketika ia benar-benar menonton sementara dari dalam berkelebat lagi bayangan tinggi kecil maka Siauw Hong, si banci itu terkekeh.
“Hi-hi, bagus, ada pemandangan menarik. Biarkan aku menonton di punggungmu, Kok Hu, lindungi aku kalau diserang! Si banci sudah melompat dan nongkrong di pundak raksasa muda ini. Mereka ternyata sudah di Hutan Iblis dan Sin Gak diam-diam gelisah. Hadirnya Su Giok dan serangan gadis itu di luar perkiraannya, ini tak menguntungkan. Maka ketika tiba-tiba ia melengking dan Kok Hu membelalakkan mata, berdesah dan menggoyang tubuhnya melompat menghilang saat itulah Bi Hong berkelebat namun tidak melihat lagi raksasa tinggi besar itu.
“Bagus, pacarmu datang, ayo keroyok aku. He, ini Su Giok yang tak takut keroyokan kalian, Bi Hong, bantu kekasihmu ini atau kuberi tahu Giok Cheng bahwa kalian berdua telah main gelap-gelapan di belakang punggung!”
Bi Hong semburat. Tentu saja ia juga tak menyangka bahwa di tempat itu muncul Su Giok. Mereka sesungguhnya sama-sama saudara seperguruan. Tapi mendengar kata-kata itu dan betapa ia dicap main gelap-gelapan, marahlah gadis ini maka Bi Hong menyambar dan memukul mulut gadis baju merah itu.
“Su Giok, kau tak dapat membawa diri sebagai yang lebih tua, mulutmu lancang. Siapa main gelap-gelapan dan apa hakmu memaki aku!” gadis ini mengelak dan menangkis namun ia terpelanting. Sin Gak menahan serangannya dan bergulinganlah gadis itu melompat bangun. Lalu ketika ia terkekeh dan menerjang lagi maka Bi Hong menjadi sasaran.
“Tak tahu malu, pura-pura bersikap alim. Ketahuilah bahwa aku mengikuti kalian, Bi Hong, dan aku tahu Sin Gak mencium dirimu di luar dusun Lam-chung. Kau merebut kekasih orang, kau wanita jalanan. Hayo keroyok aku dan kau atau aku yang roboh...des-dess!”
Kali ini Bi Hong terhuyung saking kaget dan malunya. Berondongan kata-kata itu di luar dugaannya dan tentu saja ia merah padam. Tapi membentak dan naik darah iapun memaki dan berkelebat menampar. “Cih, semakin jelek watakmu. Kaulah yang tak tahu malu dan hina membuntuti orang, Su Giok. Kami saling mencinta dan apa urusanmu dengan kami pribadi.... plak!”
Bi Hong melakukan jurus melenggok, tangan bergerak ke bawah namun tiba-tiba melayang ke atas. Gerakan tadi adalah gerakan tipu dan tepat sekali kelima jarinya menampar pipi Su Giok, gadis baju merah itu terbanting. Dan ketika Su Giok menjerit dan bergulingan meloncat bangun maka gadis ini mengeluarkan tujuh jarum beracunnya berhamburan menyambar lawan.
“Bagus, maling berteriak maling. Kalau Giok Cheng ada di sini biar ia lihat siapa yang hina dan tak tahu malu.Mampuslah!”
Bi Hong menepis dan menyampok runtuh jarum-jarum itu. Gerak majunya tertahan dan lawan menerjang lagi, kali ini ikat pinggang menjeletar mendahului Toat-beng-liong-jiauw-kun. Dan ketika Bi Hong mengelak dan menangkis lawan maka pertandingan berganti karena Sin Gak mundur termangu dengan muka kemerah-merahan.
“Ha-ha, sekarang kita lanjutkan lagi!” Thai Bang Kok Hu menyambar dengan deru pukulannya yang dahsyat, keluar dari dalam hutan. “Kau atau aku boleh lihat siapa yang unggul, Sin Gak, dan gadis-gadis ini menjadi milikku.... wut-blarr!”
Sin Gak mengelak dan menangkis dan pemuda itu terdorong. Ia masih termangu, ketika serangan gelap tiba-tiba datang. raksasa itu licik. Lalu ketika pemuda tinggi besar ini menyerang dan mendorongkan kedua lengannya maka bau amis menyambar disusul tawa bergelak menggetarkan hutan.
“Ayo, kau atau aku roboh. Kita bertempur seribu jurus!”
Sin Gak berkilat matanya. Setelah ia sadar dan melihat bahwa pertandingan antara Bi Hong dengan Su Giok berjalan imbang, bahkan Su Giok mulai terdesak dan kalah tenaga maka ia menghadapi murid supeknya yang seperti orang liar Thai Bang Kok Hu memang dahsyat dan buas sepak terjangnya, pukulan-pukulannyapun berkesan kasar dan rendah. Namun karena di balik semua kekasaran ini tersembunyi tenaga yang amat hebatnya, bahaya yang tidak main-main maka pemuda itu membentak dan cepat ia mengerahkan Sian-eng-sutnya berkelebat menghilang.
“Kau sudah di sini, bagus. Mana Majikan Hutan Iblis, Kok Hu, suruh ia keluar!”
“Ha-ha, ia menunggumu di dalam. Kalau kau selamat dialah yang akan memberesimu nanti. Hayo, jangan tanya macam-macam agar aku dapat menolong sumoiku yang cantik... desss!”
Hutan tergetar dan pohon di tempat itu bergoyang-goyang. Tumbukan Pek-mo-in-kang melawan deru pukulan si raksasa tertahan dan menggetarkan bumi yang mereka injak, Su Giok bahkan terpekik dan melempar tubuh berjungkir balik. Dan ketika Sin Gak terhuyung sementara lawan menyeringai maka tampaklah sekilas sepasang taring tipis di rahang atas murid Mo-bin-jin ini.
Sin Gak menjadi marah. Ia telah beradu tenaga dan maklum bahwa selisih di antara mereka sedikit. Dan waspada akan taring di atas mulut itu, ia teringat Sin-ci-beng (Sengatan Taring Sakti) yang dimiliki supeknya maka benar saja ketika menerjang dan melompat kembali tiba-tiba melesatlah seberkas cahaya merah dari ujung taring itu.
“Ayo, jangan mundur dan hadapi aku... clap-clap!” dua berkas cahaya itu menyambar dan ketika dielak ternyata membuat rumput hangus terbakar.
Sin Gak terkejut dan berlompatan akan tetapi Sin-ci-beng mengejar. Setiap kali raksasa itu tertawa menyambarlah cahaya merah itu. Tanah akhirnya gosong dan hangus. Dan ketika Sin Gak naik darah dan membentak mengembangkan lengan di kiri kanan tubuh akhirnya pemuda ini mengeluarkan Pat-gen-sin-hoat-sutnya (Pagar Delapan Penjuru) agar pukulan-pukulan lawan tak dapat masuk.
Dan si raksasa tertegun. “Heh, apa ini. Curang! Ilmu busuk!”
Sin Gak tak menggubris segala cari maki itu. Ia berkesempatan membalas namun ketika pukulannya mengenai pundak atau leher lawan ternyata pukulannya meleset. Bagai belut licin saja raksasa itu tak dapat dipukul. Dan ketika lawan tertawa bergelak menerjang dirinya, masuklah sebuah pukulan menghantam pangkal lengan Sin Gak maka pemuda ini terhuyung karena Pat-gen-sin-hoat- sut terbuka sedetik.
“Dess!” pemuda ini tergetar dan terhuyung selangkah. Sin Gak membentak dan menyerang lagi, namun ketika pukulannya meleset bertemu tubuh yang licin maka sadarlah dia bahwa ia berhadapan dengan Hek-be-kang alias Ilmu Belut Hitam, ilmu yang sesungguhnya dimiliki Te-gak Mo-ki!
“Hm!” pemuda ini bersinar dan menjadi marah. “Kau memiliki Hek-be-kang, Kok Hu, kau rupanya minta kepada Majikan Hutan Iblis itu. Kau memiliki ilmu yang bukan milik supek Mo-bin-jin.”
“Ha-ha, benar, aku dan suteku Yu Bin tukar-menukar ilmu. Jangan banyak cakap kalau kau takut, Sin Gak, robohlah dan biarkan dua gadis ini sendirian di sini!”
Sin Gak mengelak dan menangkis menambah tenaganya. Ia marah mendengar itu dan kali ini lawan terhuyung. Namun ketika raksasa itu menerjang lagi dan tertawa-tawa maka Sin Gak berkelebat dan keluarlah Pat-gen-sin-hoat-sut melindungi diri. Lawan terbelalak menumbuk semacam kekuatan gaib di delapan penjuru. Ke manapun ia menyerang ke situ pula pukulannya mental. Sin Gak berkelebatan cepat membalas dari dalam. Namun ketika iapun sia-sia merobohkan lawan, pukulan selalu meleset bertemu tubuh yang licin maka raksasa itu tergelak antara gembira dan penasaran.
“Kau tak dapat merobohkan aku, tubuhku licin. Ha-ha, berikan tubuhmu kalau kau berani, Sin Gak, jangan berlindung di balik ilmu curang begini. Rupanya ini Pat-gen-sin-hoat-sut!”
“Tak usah banyak mulut kalau merasa diri pandai. Kaupun tak jantan mempergunakan ilmumu sendiri, Kok Hu, kau mencampur dengan milik orang lain mencari kelebihan.”
“Ha-ha, tak usah pentang bacot. Robohkan aku kalau kaupun mampu!” dua orang ini bertanding sama hebat dan masing-masing ternyata sukar merobohkan yang lain.
Sin Gak berlindung di balik Pagar Delapan Penjurunya, sementara lawan hebat sekali dengan Belut Hitamnya. Tubuh itu menjadi licin seperti berlendir. Dan ketika masing-masing sama-sama penasaran tak mampu mengalahkan yang lain maka di pihak Bi Hong gadis ini justeru menekan lawan. Su Giok terdesak mundur memaki-maki. Bi Hong berkelebatan begitu cepatnya mempergunakan Bu-bian-kang (Ilmu Tanpa Bobot). Ilmu ini luar biasa sekali membuat pemiliknya menyambar-nyambar bagai kilat cepatnya, dua kali membuat lawan terpelanting terkena pukulan.
Dan karena Bi Hong melepas Kian-kun-siunya untuk mengibas dan menampar maka lawan benar-benar tak mampu menandingi karena nenek sakti Hek-i Hong-li tak menurunkan Bu-bian-kang pada muridnya itu. Akibatnya gadis baju merah ini terdesak dan jatuh bangun. Jarum beracun bukan halangan dan Coan-po-ginkang masih setingkat di bawah Bu-bian-kang. Maka ketika tubuh itu berkelebatan amat cepatnya sementara Kian-kun-siu menyambar dan mengibas mengeluarkan angin pukulan kuat akhirnya Su Giok terhuyung-huyung dan gadis baju merah ini mulai menangis.
Kebencian dan kemarahan Su Giok memang dapat dimaklumi. Ia amat benci kepada Bi Hong yang bermesraan dengan Sin Gak ini, padahal melihat Sin Gak tiada ubahnya melihat Giam Liong, pria yang membuatnya jatuh cinta itu. Maka ketika ia mengeluh dan menggigit bibir, air matapun bercucuran akhirnya Su Giok membentak menggetarkan kedua lengannya, menyimpan senjatanya.
“Bi Hong, kau atau aku yang mampus!"
Bi Hong mengerutkan kening. Lawan tiba-tiba menubruk dengan dua lengan terkembang, tak perduli pertahanan diri sendiri dan menyambarlah getaran angin pukulan kuat ke arah dadanya. Dari lengan gadis itu melesat cahaya biru seperti api, panas dan berpijar dan terkejutlah Bi Hong karena ia tiba-tiba terpaku. Jiwa atau sukmanya tergetar. Dan ketika ia kaget tubuh seakan tak bergerak lagi, terkesima oleh cahaya kebiruan itu maka iapun terpekik karena kesadarannya datang lagi setelah pukulan itu dekat sekali dengan dadanya.
“Siau-hun-bi-kiong-hoat (Pukulan Penggetar Sukma)!” seruan ini disusul sentakan napas dalam menerima pukulan. Gadis ini tak mungkin lagi mengelak karena pukulan terlanjur dekat. Itulah pukulan ampuh milik Hek-i Hong-li yang menjadi andalan. Dengan pukulan ini nenek itu mampu menggetarkan sukma hingga yang diserang terkesima, baru sadar setelah dekat. Tapi karena Bi Hong adalah murid Si Naga Berkabung dan gurunya adalah orang pertama Ngo-cia Thian-it (Lima Rasul Langit Tunggal) maka sentakan napas dalam yang dilakukan itu telah menghimpun tenaga Kim-kong-ciok (Arca Emas) dan tepat ketika pukulan tiba maka Siau-hun-bi-kiong-hoat bertemu tubuh sekuat arca yang tak bergetar ketika dipukul.
“Dess!”
Jerit kecewa dialami gadis baju merah ini. Siau-hun-bi-kiong-hoat yang biasanya akan membunuh lawan ternyata bertemu Kim-kong-ciok yang amat kuat. Ilmu Arca Emas menyelamatkan Bi Hong dan terpelantinglah gadis baju merah itu. Su Giok merasa sesak dan ampeg napasnya, pukulannya membalik. Dan ketika ia membuang sisa pukulan bergulingan meloncat bangun, jatuh dan bangun lagi maka gadis itu pucat terhuyung-huyung, menuding lawan.
“Kau...kau boleh senang. Hari ini aku mengakui keunggulanmu, Bi Hong, tapi lain hari aku datang lagi!”
Bi Hong terbelalak marah dengan mata bersinar-sinar. Kalau saja ia tak memiliki Kim-kong-ciok dan menerima Siau-hun-bi-kiong-hoat yang dahsyat itu tentu ia roboh binasa tak berumur panjang lagi. Masih terasa hebatnya pukulan itu, betapapun napasnya juga sesak. Namun ketika lawan membalik dan meloncat pergi menangis dengan hati sakit maka ia menarik napas dalam dan membuang kemarahannya dengan memandang pertempuran antara Sin Gak dengan raksasa tinggi besar itu.
“Sin Gak, berikan ia kepadaku. Atau kita bunuh jahanam ini sebagai pengacau!”
“Heii...!” Thai Bang Kok Hu terkejut. “Apa-apaan ini, Bi Hong, kalian mengeroyok, curang!” namun ketika ia menangkis dan harus menerima kemarahan gadis itu maka Kian-kun-siu mengibas dan tepat sekali mengenai pelipis raksasa muda ini.
“Plak!” namun seperti yang dialami Sin Gak maka pukulan itupun melesat mengenai kulit tubuh yang licin. Bi Hong tertegun membelalakan mata dan raksasa itu membalas, ia mengelak dan deru pukulan lawan menghantam pohon dibelakangnya. Dan ketika pohon itu roboh sementara Bi Hong berkelebat kembali, Bu-bian-kang bekerja maka raksasa ini kalah cepat dan kembali menerima dua tamparan di kiri kanan.
“Plak-plak!”
Thai Bang Kok Hu tergoyang ke kiri kanan. Raksasa ini terhuyung dan meskipun tidak roboh iapun merasa pening juga. Hek-be-kang boleh hebat akan tetapi Kian-kun-siu juga bukan pukulan main-main. Di tangan halus dan jari-jari lentik itu terdapat juga sinkang amat kuat yang sanggup menghancurkan kepala seekor gajah. Maka ketika raksasa itu memaki-maki sementara Sin Gak juga berkelebat dan melepas pukulan-pukulannya maka lawan terhuyung jatuh bangun dan melotot gusar.
“Biarkan aku mencobanya!” Bi Hong berseru. “Kulihat seberapa kepandaiannya, Sin Gak. Kalau aku dapat merobohkannya tak usah kau bantu!”
“Ia memiliki Hek-be-kang!”
“Aku tak perduli, mundurlah dan biar kucoba!”
“Baik, tapi hati-hati, Hong-moi, betapapun ia kuat dan kasar serta buas!” Sin Gak melompat mundur dan melihat bahwa Su Giok tak berada lagi di situ. Ia lega dan memberikan lawan kepada kekasihnya, betapapun Bi Hong bukanlah gadis sembarangan. Dan ketika lawan tertawa bergelak merasa girang, tak lagi dikeroyok maka raksasa itu mendorong dan memukul dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat.
“Bagus, sekarang baru adil. Ini kiranya suciku (kakak perguruan perempuan) yang cantik jelita itu. Ha-ha, tubuhmu harum dan membangkitkan semangatku, Bi Hong, cocok kalau supek Song-bun-liong mengambilmu murid. Aih, aku bisa jatuh cinta, ha-ha!”
Bi Hong membentak dan memaki raksasa muda itu. Setelah ia berhadapan dan bertanding dengan lawannya ini maka ia melihat jelas bentuk tubuh atau wajah lawan. Mata sebesar jengkol dengan hidung pesek dan wajah hitam itu benar-benar buruk sekali, belum lagi bau mulutnya kalau tertawa bergelak-gelak. Ia harus menutupi hidung kalau tak ingin mencium bau busuk. Dan ketika ia berkelebatan dengan Bu-bian-kang dan lawan berkelit serta mengelak sana-sini maka bibir tebal seperti bibir kuda itu juga menyemprot-nyemprot ketika bicara, liurnya menjijikkan.
“Bagus, ayo. pukul lagi. Ha-ha, tubuhku serasa dipijit-pijit!”
Gadis ini penasaran. Setelah ia mengerahkan Bu-bian-kangnya berkelebatan dengan cepat maka pukulan-pukulan Kian-kun-siunya mendarat dengan tepat. Tapi karena tubuh itu kebal dan licin, juga keringat bermuncratan ke sana-sini maka Bi Hong menjadi jijik dan mual. Dua kali wajahnya terciprat keringat, dan dua kali itu pula ia hampir muntah. Maka ketika ia menjadi marah namun lawan tak mampu dirobohkan, si raksasa tergelak-gelak maka Bi Hong menutup mulutnya mencegah bau busuk dari tawa yang berhamburan itu.
“Jangan sombong, kaupun boleh pukul aku. Siapa takut pukulanmu kalau aku tak dapat merobohkanmu!”
“Ha-ha, bagus, kalau begitu mari sini. Awas, bocah denok, aku memukulmu perlahan dan hati-hati!”
Bi Hong memutar tubuh dan satu saat membiarkan dirinya dipukul. Telapak lebar yang melayang itu menyambar cepat ke pundaknya, tentu saja mengerahkan Kim-kong-ciok dan terpentallah si raksasa berseru tertahan. Ia melotot dan Bi Hong tertawa mengejek. Dan ketika gadis ini balas meremehkan lawan, marahlah raksasa itu maka Thai Bang Kok Hu menyerang lagi namun semua tertolak. Kim-kong-ciok atau Ilmu Arca Emas tak membuat gadis itu terdorong. Jangankan terdorong, bergeming saja tidak.
Dan ketika pemuda itu melotot dan menjadi gusar akhirnya pukulan-pukulannya ditujukan ke dada dan perut gadis ini, melayang dan menyambar serta tiga kali berusaha mengusap. Tentu saja gadis itu marah. Maka ketika Bi Hong mengelak dan memaki lawan, perbuatan itu sudah menjurus kepada kekurangajaran maka Sin Gak yang melihat itu menjadi merah dan terbakar pula.
“Manusia seperti ini rasanya tak perlu dihargai lagi. Biar kubantu kau agar cepat ia roboh, Hong-moi. Percuma bersantun-santun karena ia bukan manusia yang cocok untuk itu!”
Bi Hong tak mencegah ketika Sin Gak berkelebat dan menyambar lagi. Pemuda ini marah karena kekasihnya hendak diusap-usap. Dua kali buah dada Bi Hong akan diremas. Dan begitu Sin Gak maju dan si raksasa berteriak maka tak ayal lagi murid Mo-bin-jin ini terdesak, dua kali terpelanting oleh pukulan Sin Gak dan biarpun ia memiliki Hek-be-kang namun pukulan itu membuatnya kesakitan juga. Tubuhnya boleh kebal dan licin akan tetapi setiap tamparan atau kibasan membuat ia terhuyung. Dan karena Bi Hong juga melepaskan marahnya berkelebatan kian cepat akhirnya raksasa ini memaki-maki. Sin-ci-beng mencuat dari sepasang taringnya menyambar Bi Hong dan Sin Gak.
“Curang, licik. Begini kiranya supek dan susiok Sian-eng-jin mengajari murid-muridnya. He, kalian tak tahu malu mengeroyok aku, Bi Hong. Berani benar dan gagah sekali!”
“Tak usah cerewet. Perbuatan kami karena ulahmu, Thai Bang Kok Hu. Kau menyerah atau roboh ditangan kami!”
“Haehh, siapa menyerah. Daripada begini lebih baik mati. Bareng..... dukk!” sepasang lengan si raksasa yang menangkis Sin Gak dan Bi Hong secara bersamaan disusul kilatan Sin-ci-beng yang ganas menyambar.
Bi Hong tak mengelak dan membiarkan kilatan cahaya itu, muncrat mengeluarkan lelatu api ketika bertemu Arca Emas. Dan ketika Sin Gak juga berlindung di balik Pat-gen-sin-hoat-sutnya hingga serangan Sin-ci-beng terpental balik, si raksasa terkejut maka hampir berbareng keduanya melakukan serangan dari kanan kiri menghantam pelipis dan tengkuk raksasa ini.
“Des-dess!”
Raksasa itu terpekik dan terbanting bergulingan. Ia boleh merasa kuat namun hantaman dari telapak Bi Hong maupun Sin Gak penuh terisi tenaga sinkang. Hek-be-kang tertembus dan si raksasa menjerit. Dan ketika ia bergulingan namun dikejar cepat, Sin Gak juga mengeluarkan Bu-bian-kangnya hingga saling susul dengan sang kekasih maka bak-bik-buk suara pukulan kembali mengenai tubuh raksasa ini, terlempar dan bergulingan lagi hingga Thai Bang Kok Hu tak sempat bangun. Begitu cepatnya serangan dua orang muda itu hingga si raksasa tak dapat mengelak. Namun ketika ia terus didesak dan berteriak marah sekonyong-konyong raksasa ini mencabut senjatanya dan menderulah gada hitam berulir naga siluman itu.
“Bres-bresss!”
Sin Gak dan Bi Hong melompat mundur dan gada menghantam tanah hingga hancur. Percikan api menandakan kuatnya pukulan gada itu dan kesempatan ini dipergunakan si raksasa melompat bangun. Ia memaki-maki, mulutnya berhamburan sumpah serapah yang menyebarkan bau busuk. Bi Hong menutupi hidung. Lalu membalik tak mampu menghadapi dua muda-mudi itu raksasa ini meloncat memasuki hutan, menghilang.
“Kejar, jangan sampai lolos!”
“Tidak, tunggu dulu. Apakah kau tak bertemu ayahku, Hong-moi. Berhenti dan jangan sendirian kesana!”
Bi Hong terkejut. Ia sudah meloncat ketika seruan itu menghentikan langkahnya. Sin Gak berkelebat dan memegang lengannya. Dan ketika ia teringat bahwa ia sudah bertemu dengan ayah kekasihnya ini maka gadis itu melesat dan melepaskan cekalan Sin Gak. “Benar, aku sudah bertemu ayahmu. Ia dibelakang!”
“He, tunggu, Hong-moi. Kita sama-sama!”
Gadis itu tak perlu menunggu ketika Sin Gak mengejar dan menangkap lengannya. Berdua begini Bi Hong mengajak kekasihnya ke tempat tadi, yakni ketika ia bertemu Naga Pembunuh. Namun ketika di sini tak ada siapa-siapa dan Bi Hong tertegun maka gadis ini agak berubah. “Ayahmu tak ada, ia tadi di sini!”
Sin Gak cemas. Kalau ayahnya tak ada dan mereka tak tahu jangan-jangan ada apa-apa dengan ayahnya itu. Sin Gak berkelebat dan mencari di gerumbul di mana Bi Hong menunjuk. Tapi ketika tak ada siapa-siapa dan Bi Hong juga gagal mencari di tempat lain maka gadis ini gelisah dan tampak menyesal, berkelebat lagi di dekat Sin Gak.
“Aneh, ia tak tampak. Apakah ada bahaya, Sin Gak? Menyesal aku tadi meninggalkannya.”
“Kenapa kau tinggal”
“Lengkinganmu tadi. Aku khawatir dan mendahuluinya!”
“Hm, kita cari lagi siapa tahu di dekat-dekat sini. Mari kita putari hutan ini, Hong-moi, kalau tidak ada kita terjang ke dalam!”
Bi Hong mengangguk. Ia baru merasa aneh setelah Naga Pembunuh Giam Liong tak ada di situ, padahal seharusnya pendekar itu menyusulnya dan telah berada di mulut hutan di mana Sin Gak bertanding dengan raksasa itu dan Su Giok. Maka ketika ia berkelebat dan masing-masing menjadi cemas ternyata mengelilingi hutan ini mereka tak menemukan sama sekali orang tua itu. Sin Gak menjadi marah dan panas. Dan ketika ia memekik memanggil-manggil ayahnya akhirnya pemuda itu menerjang memasuki Hutan Iblis. Sang ayah tetap tak muncul dan tak kelihatan lagi batang hidungnya.
“Baik, kita masuk ke dalam. Cari dan hajar penghuni hutan ini, Bi Hong. Siapa lagi yang mencelakai ayahku kalau bukan mereka!”
Bi Hong juga mengangguk. Gadis ini sependapat bahwa siapa lagi yang mengganggu orang tua itu kalau bukan penghuni Hutan Iblis. Maka begitu ia berkelebat dan menyusul kekasihnya segeralah terdengar lolong atau raung srigala liar.
“Awas, bahaya di kiri kanan!”
Bi Hong tak perlu diperingati dua kali. Bersamaan dengan itu menyeranglah puluhan atau ratusan srigala buas. Mereka disambut taring-taring tajam dalam mulut yang menyeringai lebar-lebar. Tiga srigala hitam menggigitnya dari kiri kanan, liur mereka menetes-netes dan tampak seperti kelaparan saja, yang lain menyusul dan menggonggong riuh. Agak mengagetkan juga bagaimana binatang-binatang ini tiba-tiba muncul, tadi isi hutan terasa hening dan diam.
Tapi begitu gadis ini menggerakkan lengannya ke kiri kanan maka tak ampun lagi srigala-srigala itu terpelanting, meraung namun meloncat bangun lagi dan gadis ini tertegun. Tamparannya masih membuat binatang-binatang itu melompat bangun, agaknya tak apa-apa, hanya kesakitan sedikit. Dan ketika ia menjadi gemas dan menambah tenaganya barulah binatang itu menguik namun tak lama kemudian bergerak dan meloncat bangun lagi, menyerang!
“Mereka kebal, cari pusat kelemahannya!”
Bi Hong mengangguk. Segera ia terkejut melihat binatang-binatang itu menyerang lagi, akan tetapi karena ia bukan gadis sembarangan dan seruan Sin Gak di jawab dengan bentakan maka gadis itu segera melihat adanya sinar kebiru-biruan di rongga dalam bagian atas mulut. Sinar ini tampak ketika mereka menggonggong membuka mulut, semacam benda kecil menempel di situ.
Maka ketika ia menyambar sebatang ranting dan menusuk tempat itu dengan coblosan kuat maka benda itu tiba-tiba pecah dan robohlah binatang ini dengan ledakan di dalam mulutnya, disusul yang lain ketika ia berkelebatan dan menusuk-nusuk. Tentu saja ia jijik mempergunakan jari tangannya, liur binatang itu membuat perut terasa mual. Dan ketika ia berhasil sementara Sin Gak juga menemukan hal yang sama, menyambar sebatang ranting untuk menusuk pusat kekebalan itu maka pecahlah kepala binatang-binatang ini dan bau anyir darah memenuhi tempat itu.
Sin Gak tak perlu membunuh semuanya karena tiba-tiba terdengar lolong atau raung panjang menggetar-getar, suaranya tinggi rendah berganti-ganti. Dan ketika binatang itu membalik dan berloncatan menghilang akhirnya sisanya melarikan diri dan empatpuluh srigala tewas di situ.
Bi Hong mengusap keringat. Sin Gak berkelebat didekatnya melihat gadis itu menutupi hidung, bukan apa-apa melainkan semata amis darah yang membuat perutnya mual. Dan ketika pemuda itu mengajaknya mengejar maka mereka berkelebat lagi dan suasana hutan yang gelap di susul bau busuk yang membuat mereka berhenti.
“Isap ini dan hati-hati, kebetulan aku membawa dupa harum.”
“Tidak, aku membawa kayu cendana, Sin Gak, marilah masuk dan kau cium ini,” Bi Hong ternyata mengeluarkan sebatang kayu cendana dari balik baju. Ia mematahkan itu menjadi dua dan memberikannya sepotong, Sin Gak menerima lalu melanjutkan perjalanan.
Dan ketika dengan hati-hati mereka menerobos masuk dan melihat ke dalam ternyata banyak tengkorak dan tulang-tulang berserakan. Pohon-pohon cukup lebat dan dua kali Bi Hong menjerit tertahan. Ada dua mayat manusia tergantung di pohon, tubuhnya penuh belatung. Dan ketika gadis itu memejamkan mata mengepal tinju, maka Sin Gak berdebar marah tak menemukan ayahnya. Hutan akhirnya diobrak-abrik dan pohon besar dirobohkan. Apa saja yang menghalang pandangan disingkirkan. Dan ketika akhirnya mereka semakin ke dalam dan tepat di tengah hutan maka mereka berhadapan dengan pohon raksasa yang tingginya puluhan meter itu, berhenti dan Sin Gak melihat sebuah guha.
“Jangan masuk, biar kutiup dulu!” Sin Gak mencegah kekasihnya ketika Bi Hong hendak melompat ke dalam. Tanpa takut sedikitpun gadis ini hendak menerjang. Akan tetapi ketika ia dipegang dan Sin Gak melembungkan pipinya maka tiba-tiba pemuda itu meniup mengerahkan kesaktiannya.
“Wusshhhh!” Tiupan atau serangan hawa mulut ini tak kalah dengan dorongan sinkang. Tiupan ini penuh tenaga sakti dan bukan sembarang tiupan. Udara yang keluar dari mulut pemuda ini menggelembung dan memenuhi isi guha, masuk dan menghantam apa saja memasuki celah-celah sekecil apapun. Dan ketika terdengar desis dan suara-suara kaget, disusul ledakan keras maka terlemparlah dua ekor ular besar dihantam gelembung hawa sakti ini.
“Bluk!” Bi Hong menyingkir dan terbelalak melihat sepasang ular hitam menggeliat-geliat. Mereka terpental oleh tiupan itu dan tak kuat menahan, tulang dan kepala mereka remuk. Dan ketika dua binatang itu mati disusul oleh beterbangannya segala jenis serangga seperti kecoak dan tawon kepala merah maka di depan kaki mereka telah berserpihan bulu dan sayap-sayap kotor.
“Sekarang bersih!” Sin Gak melompat menyambar kekasihnya. Lubang itu besar setinggi orang dewasa dan gelap serta dingin. Orang biasa tentu harus menyalakan lilin. Tapi karena dua orang muda ini memiliki kelebihan yang tak dipunyai orang lain, pandang mata mereka justeru bersinar di dalam kegelapan maka Bi Hong maupun Sin Gak tertegun melihat tengkorak-tengkorak berjajar di tepi atau dinding guha. Semuanya laki-laki.
“Hm, Majikan Hutan Iblis benar-benar keji. Ia membunuh orang-orang ini, Hong-moi, semuanya seperti bekas pemuda-pemuda dua puluhan tahun.”
“Ya, dan itu malah seperti pemuda tanggung limabelasan tahun. Ia paling kecil di sini. Untuk apa keparat itu membunuh korbannya!”
“Untuk apalagi kalau bukan untuk melampiaskan nafsu jahatnya. Ingat Te-gak Mo-ki, Hong-moi, iblis itu seorang homo!”
“Homo?”
“Ya, laki-laki yang bercinta sesama laki-laki, apakah gurumu tak pernah menceritakannya.”
“Suhu tak menceritakan ini, kecuali bahwa Te-gak Mo-ki keji. Tapi mana mungkin laki-laki bercinta sesama laki-laki!”
“Aku juga tak mengerti, tapi jelas menjijikkan. Sudahlah tempat ini ternyata kosong, Hong-moi, ayah dan Majikan Hutan Iblis itu tak ada. Pantas ia tak muncul membantu Thai Bang Kok Hu!”
“Ya, baru sekarang aku ingat. Agaknya Majikan Hutan Iblis memang tak ada di sini, ia keluar.”
“Dan ayah harus kita temukan. Ah, keparat Thai Bang Kok Hu itu!”
“Benar, tentu ia yang membawa ayahmu. Mari keluar!”
Sin Gak berkelebat menggandeng kekasihnya lagi. Ia khawatir dan marah ayahnya tak ditemukan di situ. Di luar dan di dalam hutan ternyata sama saja. Tapi ketika ia berkelebat hendak mencari raksasa itu mendadak terdengar keluhan dan panggilan lirih.
“....Sin Gak!”
Dua orang ini mendongak ke atas. Di luar hutan, di pucuk ranting paling tinggi bergerak-geraklah seseorang dengan lemah. Panggilannya nyaris tak terdengar kalau saja dua muda-mudi ini tak memiliki telinga yang tajam. Dan begitu Sin Gak mengenal siapa itu tiba-tiba pemuda ini melayang ke atas berseru girang.
“Ayah!”
Ternyata Naga Pembunuh Giam Liong nyangsang (tersangkut) di situ. Pantas ke manapun mereka cari tak juga mereka temukan orang tua itu. Dan ketika Giam Liong menyambar dan menurunkan ayahnya maka Bi Hong terheran-heran bagaimana orang tua ini tersangkut di atas.
“Apa yang terjadi, kenapa ayah tersangkut di sana!”
“Su Giok “ pendekar itu terbatuk dan merah mukanya. “Ia... ia memukulku pingsan, Sin Gak. Kebetulan kami bertemu dan ia langsung menghantamku membuat aku terlempar dan nyangsang di atas.”
“Su Giok?”
“Ya, gadis itu. Ia benci sekali kepadaku. Ia..... ah, tak kusangka sejauh ini jadinya.” Dan ketika pendekar itu menutupi muka menitikkan air mata akhirnya Bi Hong maupun Sin Gak tertegun.
“Apa yang ayah ketahui tentang gadis itu. Apa yang ia katakan!”
“Hm, ia... ah, orang setua aku ternyata dilibatkan masalah asmara, Gak-ji, betul-betul memalukan. Ia... ia mencintaiku.”
“Apa?”
“Benar, kebenciannya semata karena cintanya itu. Aku baru sadar setelah tadi ia tak jadi membunuhku!”
Sin Gak dan Bi Hong terhenyak. Tiba-tiba mereka saling pandang dan tak terasa wajah merekapun memerah. Su Giok mencinta sang ayah membuat Sin Gak bengong, ini benar-benar tak disangka. Tapi karena sang ayah masih merupakan laki-laki gagah dan siapapun tak perlu menyangkal tiba-tiba pemuda itu tersenyum dan mengangguk.
“Hm, pantas, tidak aneh!”
“Apanya yang tidak aneh, apanya yang pantas.” Sang ayah mengerutkan kening dan Naga Pembunuh tampak semburat, malu di hadapan anak-anak muda ini.
“Tidak aneh karena kau masih gagah dan jantan, ayah. Kalau enci Su Giok mencintaimu rasanya pantas pula. Ia menaruh kagum dan merasa hutang budi ketika dulu kau menolongnya dari Majikan Hutan Iblis!”
“Benar, akupun merasa itu. Tapi aku sekarang sudah berusia empatpuluh dua tahun, puteraku sudah sebesar kau!”
“Hm, cinta tak mempersoalkan usia, ayah. Cinta bisa muncul di mana saja.”
“Tapi aku seorang buntung, cacat!”
“Hal itu malah membuat enci Su Giok semakin haru, cintanya bisa semakin besar!”
“Eh, kau setuju gadis itu mencintai ayahmu? Kau tak malu ayahmu si tua bangka ini harus seperti anak-anak muda saja? Jangan main-main, aku tak pantas seperti itu, Sin Gak. Lain kalau kau dengan Bi Hong, kalian anak-anak muda!”
Bi Hong seketika semburat. Ia melengos dan menunduk dan Sin Gak sejenak terkejut. Todongan ayahnya itu terang-terangan sekali, tidak tedeng aling-aling. Namun ketika ia menguasai hatinya lagi dan memegang lengan ayahnya ini maka ia bartanya bagaimana kisah ayahnya tadi, mengalihkan pembicaraan antara dirinya dengan Bi Hong.
“Cobalah ayah ceritakan bagaimana mula-mula kejadian itu. Aku sekarang teringat betapa enci Su Giok menyebutku dirimu. Kiranya itu.”
“Itu bagaimana, apa yang ia katakan!”
“Tadi aku bertempur dengannya, ayah, dihadang. Ia langsung menganggapku dirimu dan memanggilku sebagai dirimu pula.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Hm, sungguh memalukan. Maksudku bagaimana orang setua aku harus kembali muda seperti remaja-remaja saja!”
“Coba ayah ceritakan asal mula kejadian itu,” Sin Gak menahan senyum. “Biarlah kami tahu agar tidak terjadi kesalahpahaman.”
“Ia marah-marah ketika bertemu aku, katanya dikalahkan Bi Hong. Dan karena kebetulan kami bertemu tiba-tiba saja ia berhenti dan menuding!”
“Hm, lalu?”
“Ia memaki-maki aku, menyerang, dan ketika aku berkelit maka iapun menjadi marah dan...dan tangisnya mengingatkan aku akan tangis ibumu!”
Sin Gak tergetar. Ia sendiri belum merasa dekat dengan mendiang ibunya, lebih dekat dengan ayahnya ini. Tapi ketika ayahnya bicara tentang sang ibu maka ia melihat betapa sepasang mata ayahnya ini begitu lembut dan mesra membayangkan masa lalu, tentu masa-masa indah bersama ibunya itu. Dan karena iapun telah mengenal artinya cinta dan dapat memahami betapa beratnya cinta maka iapun diam dan mulailah ayahnya itu bercerita, tentu saja yang sangat pribadi tak dijelaskan atau diceritakan pendekar ini.
Waktu itu, ketika ia ditinggalkan Bi Hong yang mendengar lengking bahaya Sin Gak pendekar ini mengejar dan menyusul pula. Namun karena ia kalah cepat dan harus berhati-hati pula, siapa tahu dari dalam hutan menyerang bahaya lain maka Naga Pembunuh ini bergerak semakin lambat. Giam Liong tahu benar bahaya hutan ini dan waspada. Dan ketika benda-benda bersinar lenyap dan muncul lagi dari balik pohon- ponon besar, para srigala yang siap menyerang namun anehnya diam saja maka pendekar ini semakin hati-hati dan golok sewaktu-waktu siap menyambar.
Lengking dan suara puteranya masih terus terdengar, ia memutar dan berindap-indap. Namun ketika lengking itu lenyap dan ia tertegun maka ia tak mendengar lagi kecuali bentakan dan makian, juga tawa bergelak yang dikenalnya sebagai suara Thai Bang Kok Hu itu. Ia menjadi khawatir dan cemas sampai tiba-tiba sesosok bayangan merah menyambar. Su Giok tahu-tahu telah berdiri di depannya. Dan ketika gadis itu nampak tertegun sementara ia sendiri juga terkejut, tak disangkanya di tempat ini gadis itu muncul maka Su Giok memandangnya berapi-api dan sejenak gadis itu tak menegur atau menyapanya.
“Su Giok.....” pendekar ini akhirnya berseru dan panggilannya bernada heran dan girang.
Sepasang mata gadis itu meredup dan bayangan kemarahan lenyap. Sesungguhnya gadis ini begitu girang mendengar panggilan itu. Suara si Naga Pembunuh penuh harap dan cemas, begitu bisik hati gadis ini. Maka ketika Giam Liong bergerak dan memegang lengannya segera pendekar ini bertanya ada apa di depan dan apakah dia bertemu Sin Gak.
“Apa yang terjadi, dengan siapa puteraku bertanding. Kau rupanya lelah dan membawa penasaran, Su Giok, apakah bertemu pula dengan Bi Hong!”
Kata-kata terakhir inilah yang membuat gadis itu mendidih. Su Giok tiba-tiba mengibaskan lengannya dan Naga Pembunuh terpelanting. Harap diketahui saja bahwa gadis baju merah ini adalah murid Hek-i Hong-li, satu di antara Ngo-cia Thian-it! Maka ketika ia menjadi dingin dan marah kembali maka gadis itu menuding membentak pendekar ini.
“Naga Pembunuh, kau dan puteramu benar-benar setali tiga uang, sama-sama tak tahu perasaan wanita. Perduli apa dengan Bi Hong dan buat apa pula memperhatikan puteramu!”
Giam Liong terkejut, melompat bangun. Pendekar ini masih tak mengerti bahwa menyebut Bi Hong justeru membuat gadis baju merah itu merasa terbakar. Mengingat Bi Hong mengingatkan pula ketika Sin Gak mencium gadis itu. Bayangan ini seolah Naga Pembunuh sendiri yang melakukan. Maka ketika Giam Liong mengebut-ngebut ujung bajunya yang kotor dan terbelalak kaget maka pendekar itupun menjadi marah dan menegur.
“Su Giok, baik-baik aku bertanya kepadamu, kenapa kau begini kasar. Kalau kau tak mau menerangkan tentang mereka juga tak apa, aku hendak ke sana!”
“Boleh ke sana tapi lewati aku dulu. Kau laki-laki tak berperasaan!”
Pendekar ini tertegun. Gadis itu berkilat sepasang matanya dan tiba-tiba menerjang, sekali berkelebat menampar kepalanya. Tapi karena ia bukan laki-laki biasa dan berkelit serta menangkis maka Giam Liong membentak dan tentu saja melawan.
“Plak!” ia terpelanting dan terguling-guling. Su Giok terkekeh dan mengejar, kembali melancarkan pukulan dan tamparan. Dan ketika pendekar itu kembali menangkis namun terpelanting dan malah terlempar maka Giam Liong menjadi marah dan mengancam akan mencabut Golok Mautnya.
“Berhenti, jangan kurang ajar. Aku tak merasa bermusuhan denganmu, Su Giok, kenapa menyerang aku. Atau aku mencabut Golok Mautku!”
“Hi-hik, cabutlah, boleh kau pakai. Kau dan puteramu sama saja, Naga Pembunuh, kalau tak ingat budimu dua belas tahun yang lalu tentu kubunuh kau. Ah, kubunuh kau... des-dess!”
Giam Liong terlempar dan bergulingan dan pendekar ini menjadi pucat. Ia mencabut goloknya namun senjata itu lenyap, sarungnya tak ada. Dan ketika ia melompat bangun dan menggigil di sana ternyata tanpa diketahui golok itu telah dirampas Su Giok, dimain-mainkan di kedua tangan.
“Kembalikan!” tentu saja pendekar ini marah dan gusar. Ia membentak dan melompat akan tetapi gadis itu mengelak, kaki menendang dan ia terhuyung. Lalu ketika ia gemeratak dipermainkan gadis ini tiba-tiba Su Giok melontarkan golok itu menyambar sisi kepalanya.
“Cep!” golok menancap amblas di sebatang pohon. Gagangnya bergetar sementara pohon itu bergoyang-goyang. Tadi dengan amat cepat golok mendesing lewat, serambut saja di sisi kepala pendekar ini. Dan ketika Giam Liong tertegun tak mampu bicara, pucat maka gadis itu terisak menuding.
“Aku dapat membunuhmu kalau mau. Kau laki-laki tak tahu perasaan wanita. Ambil dan pakailah golokmu bunuh aku, Giam Liong. Biar aku mampus daripada hidup menderita!”
Naga Pembunuh ini terkejut. Dari sepasang mata gadis itu mengalir air mata deras membasahi pipi. Gadis itu memejamkan mata dan sejenak berguncang-guncang. Tangis dan kata-katanya membuat pendekar ini tergetar. Lalu ketika ia tahu ada sesuatu yang tidak biasa, gadis itu mengguguk dan tiba-tiba memutar tubuhnya mendadak sadarlah pendekar ini bahwa sebenarnya ia dicinta orang!
“Su Giok!”
Gadis itu berhenti. Tiba-tiba saja Naga Pembunuh berjungkir balik di depannya, menggigil dan menuding namun tak ada kata-kata keluar. Dari mata gadis itu memancar kekecewaan sekaligus duka. Sebagai pria cukup usia tentu saja Naga Pembunuh ini tahu apa yang terjadi. Gadis itu luka asmara. Dan ketika ia tercekik tak mampu mengeluarkan kata-kata, sepasang tangannya tiba-tiba terangkat mengembang mendadak gadis ini menubruk dan tahu-tahu Giam Liong sendiri telah mendekap dan memeluk tubuh itu.
“Kau... kau mencintai aku si tua bangka ini? Kau mengajakku seperti anak muda lagi? Ah, kau cantik dan gagah, Su Giok, kau terlampau muda menjadi pendampingku. Ada banyak pemuda yang lebih pantas untukmu. Jangan bodoh!”
Namun gadis ini tersedu-sedu. Begitu Giam Liong memeluk dan mendekapnya terasalah jari-jari penuh kasih sayang itu. Tak dapat disangkal bahwa tiba-tiba getar kejantanan pria bangkit, Naga Pembunuh ini terlena. Namun ketika ia sadar sementara gadis itu sudah berbunga-bunga menyangka pria ini membalas cintanya, Giam Liong begitu lembut membelai dan mengusap rambut kepala itu maka kata-kata pendekar ini selanjutnya membuat gadis itu tersentak dan kaget.
“Maaf, aku tak dapat menerimamu. Aku masih mencintai mendiang isteriku, Su Giok, carilah pemuda lain yang sebaya denganmu. Aku tak cocok, aku sudah terlalu tua. Sadarlah dan buang perasaanmu itu karena aku sudah berputera!”
Wajah yang semula lembut dah bahagia itu mendadak berubah. Gadis yang semula merasakan belaian kasih ini tiba-tiba seakan disentakkan. Kata demi kata yang didengar membuat ia terkejut, begitu kaget dan marah hingga tiba-tiba gadis ini menarik lepas tubuhnya. Gerakan itu dilakukan kasar dan Giam Liong tertegun. Lalu ketika gadis ini menggigil dan terbelalak dengan muka pucat berkatalah bibir yang gemetaran itu dengan kata-kata terputus,
“Kau...kau mempermainkanaku?Kau bilang tak menerima tapi jari-jarimu mengusap dan mengelus begitu mesra? Keparat, apa artinya itu, orang she Sin. Kau boleh membunuh aku namun jangan menghina!”
“Maaf, aku tak bermaksud main-main. Tak kusangkal jariku mengusap lembut, Su Giok, karena keharuan dan kasih sayangku. Namun bukan kasih sayang pria terhadap kekasihnya, melainkan sebagai kakak terhadap adiknya. Atau, hmm, ayah kepada anaknya. Aku sudah tua, usiaku empatpuluh dua.Dan kau... kau... dess!”
Bayangan merah menyambar dan tahu-tahu Giam Liong terbanting. Su Giok menampar dan mengeluhlah pendekar ini, keadaan jadi runyam. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun maka gadis itu memekik dan menyambarnya dan bak-bik-buk suara pukulan disusul keluh dan kesakitan pendekar ini. Giam Liong tak membalas dan membiarkan saja semua pukulan-pukulan itu. Sekarang ia bersikap lain, pasrah dan sama sekali tidak membalas. Dan ketika pipi serta tubuhnya babak-belur, Su Giok tertegun maka gadis itu menghentikan kemarahannya dan berdiri dengan dada berombak sementara wajahnya kemerah-merahan, air matapun mengalir lagi.
“Kau... laki-laki keparat. Hayo balas dan lawan aku. Cabut golokmu. Mana kegagahan dan kejantananmu, Naga Pembunuh. Mengapa kau diam saja kuhajar. Hayo cabut golokmu dan lawanlah aku!”
“Aku tak akan membalas, aku tak akan menambah sakit hatimu lagi setelah kutahu persoalan ini. Bunuh dan lepaskan pukulan mautmu, Su Giok. Biarlah kau tak menderita lagi.” Giam Liong terhuyung dan kasihan sekali memandang gadis baju merah ini. Tentu saja ia tahu betapa sakitnya kegagalan asmara. Ia tak mau menerima karena kesetiaannya kepada mendiang Yu Yin. Biarpun isterinya tiada namun tak ada niat untuk mencari pengganti, ia ingin sendiri.
Maka ketika ia terhuyung dan gemetar memandang gadis itu Su Giok pun mengepal tinju mengeluarkan Touw-beng-tok-ciam alias jarum beracun itu, menjepit di antara telunjuk dan jari tengahnya dengan ancaman membunuh yang terpancar jelas di sepasang matanya yang berapi-api.
“Kau!” bentaknya. “Menyakitkan sekali sikapmu ini, Naga Pembunuh. Kau membuat lukaku semakin merobek lebar. Katakan sebelum aku membunuhmu apa yang menjadi sebab utama kau menghinaku seperti ini!”
“Aku tak bermaksud menghinamu.”
“Tutup mulutmu. Jawab pertanyaanku apa sebab utama kau bersikap seperti ini!”
“Baiklah,” Giam Liong tersenyum pahit, tak gentar melihat jarum yang siap menamatkan jiwanya itu. “Aku tak dapat menerimamu karena semata masih mencintai isteriku, Su Giok. Ia ibu anakku Sin Gak yang semasa hidupnya penuh derita dan sengsara. Aku tak dapat melupakannya, itulah jawabku.”
Jari itu menggigil. Su Giok terbelalak memandang si buntung ini dan tiba-tiba ia mengeluh. Dari dulu sudah ia lihat sikap si Naga Pembunuh ini, kesetiaan dan cinta kasih yang besar terhadap isteri, hal yang sesungguhnya membuat ia kagum dan kekaguman itulah yang membuat ia jatuh cinta. Jarang ada pria seperti ini yang teguh mempertahankan kesetiaan. Itulah yang diam-diam membuat ia iri dan ingin memiliki Naga Pembunuh ini. Maka ketika ia terbelalak dan jarum di tangan tiba-tiba bergerak. Giam Liong berdesir karena benda berbahaya itu meluncur dengan amat cepatnya menyambar lehernya.
Akan tetapi pendekar ini tak mengelak. Ia sudah pasrah dan tak berniat menyelamatkan diri. Jarum dipandang dengan tenang dan ketenangannya ini mengagumkan Su Giok. Gadis itu berkelebat dan membentak, lengan mendorong pula ke depan. Dan ketika jarum melenceng lewat di sisi kepala pendekar ini, angin dorongan Su Giok disertai gerakan kaki yang kuat maka Giam Liong mencelat ke atas dan mengeluh untuk selanjutnya pingsan karena gadis itu sudah menendangnya hingga temangsang (tersangkut) di atas pohon.
“Kau laki-laki keparat. Jawabanmu menyakitkan namun justeru karena ini aku mengagumimu...dess!”
Naga Pembunuh itu tak tahu lagi apa yang terjadi karena ia ditendang amat kerasnya oleh murid Hek-i Hong-li ini. Su Giok melengking kecewa dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Gadis ini tak dapat membunuh pria yang dicintanya karena jawaban itu semakin mengukuhkan kekagumannya terhadap Naga Pembunuh. Dan ketika pendekar itu pingsan sampai akhirnya ditemukan Bi Hong dan puteranya maka Sin Gak termangu-mangu mendengar cerita ayahnya ini...
Sin Gak mencium bibir gadis ini dan sejenak gadis itu terperanjat. Ciuman Sin Gak begitu cepatnya dari punggung tangan ke bibir, sedetik warna merah memenuhi wajah cantik ini, Bi Hong melepaskan diri dan mundur. Namun ketika Sin Gak menyambarnya lagi dan menggenggamnya lembut maka pemuda itu berkelebat mengajaknya meneruskan perjalanan. Ke Hutan Iblis!
* * * * * * * *
Tak banyak perubahan mengamati hutan ini. Masih seperti dulu gelap dan lebat Hutan Iblis dipenuhi kerimbunan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Satu yang terbesar dan menjulang paling tinggi tampak di tengah dan terlihat menyeramkan. Atap daunnya melebar belasan meter dan dari kejauhan pohon ini seolah merajai pohon-pohon yang lain. Dari bentuknya dapat diketahui bahwa pohon ini merupakan pohon raksasa, daunnya hijau gelap sementara ranting atau anak cabangnya berwarna kehitam-hitaman, membelit dan bagai ular melingkar dan siapapun seram mendekati pohon ini.
Kalau orang mau mendekat maka pohon inipun berbau amis. Sesekali di kulit batangnya mengalir getah merah seperti darah. Inilah pohon siluman yang disebut Ang-kwi, pertumbuhannya amat cepat dan dalam puncak kedahsyatannya pohon ini dapat mencapai ketinggian enampuluh meter. Tak ada pohon di dunia ini yang dapat “menandingi pohon siluman itu dalam ketinggiannya. Hanya satu di Hutan Iblis! Maka ketika Bi Hong dan Sin Gak berhenti di mulut hutan maka keduanya tertegun dan hawa menyeramkan dari hutan itu terasa keluar, menyebar sampai ratusan meter.
“Aneh, betulkah ini yang disebut Hutan Iblis. Kudengar tempat ini pernah dibakar habis, Sin Gak. Bagaimana masih seperti dulu dan seolah tak pernah terjadi kebakaran.”
“Aku juga heran, tapi tujuan kita pasti tidak salah, Hong-moi, ayah mengatakan bahwa tempat ini sejauh tigapuluh li dari dusun Lam-chung, dan kita telah melewati itu.”
“Hm, ayahmu...“ gadis ini tiba-tiba berkerut. “Di mana ayahmu sekarang, Sin Gak, kenapa kita belum melihatnya!”
Pemuda ini teringat. Segera ia mengangguk dan melihat sekeliling namun tempat itu sepi-sepi saja. Bi Hong menyadarkannya bahwa sang ayah seharusnya sudah berada di situ pula. Maka ketika ia berdebar dan tak melihat siapa-siapa akhirnya Sin Gak berkata bahwa sebaiknya mereka berpencar.
“Kupikir ayah tak mungkin terlambat. Mari kita berpencar dan memutari hutan ini, Hong-moi, kau ke kanan aku ke kiri. Siapa tahu ayah bersembunyi.”
“Baik, dan kita bertemu di depan. Hati-hati, kalau ada bahaya sebaiknya melengkinglah, Sin Gak, begitu juga aku. Kita harus waspada karena tempat ini hawanya menyeramkan!”
“Benar, dan kaupun hati-hatilah. Kalau iblis itu muncul berteriaklah kepadaku.”
Bi Hong mengangguk dan berkelebat. Setelah ia berada di tempat ini dan seram karena Hutan Iblis gelap dan dingin maka ia tak mau sembrono dan hilang kewaspadaan. Sebenarnya berat juga harus berpisah, perjalanan bersama ini telah membenamkan mereka dalam asyik-masyuk yang membuai. Namun karena orang tua itu harus dicari dan sebaiknya saling membagi tugas maka iapun lenyap dan Sin Gak juga menghilang di sebelah kiri hutan.
Sin Gak tak menemukan apa-apa namun Bi Hong sebaliknya. Baru seperempat lingkaran mendadak gadis ini berbalik, bunyi berkeresek membuat ia melesat dan menyambar tempat ini. Dan ketika kelima jarinya sudah mencengkeram kepala seseorang yang muncul dari balik gerumbul, menyangka penghuni Hutan Iblis maka orang itupun terkejut melihat kepalanya disambar begitu cepatnya bagai cakar elang menyambar korban.
“Dukk!”
Seruan tertahan disusul terpelantingnya orang itu. Bi Hong mempergunakan Kian-kun-siunya hingga jari-jarinya mengibas amat kuat, angin sambarannya saja cukup merobohkan seekor gajah. Maka ketika orang itu terpelanting dan ia berkelebat mengejar, membentak namun orang itu bergulingan meloncat bangun maka Bi Hong tertegun karena yang dihadapinya ternyata adalah si Naga Pembunuh Giam Liong, pendekar yang lengannya buntung itu.
“Paman...!”
Giam Liong tertegun. Tak disangkanya bahwa ia bertemu gadis ini. Tadi ia melihat bayangan amat cepat menyambar di pinggir hutan, melongok dan kaget karena ia tak tahu apakah bayangan itu laki-laki atau perempuan. Jangan-jangan itu adalah Majikan Hutan Iblis. Maka ketika ia melongok namun sedikit gerakan ini telah ditangkap lawan, Bi Hong membalik dan menyambar begitu cepatnya maka ia menangkis dan tentu saja kaget ketika terpelanting. Namun pendekar ini segera menjadi girang ketika mengenal gadis gagah perkasa itu, murid si Naga Berkabung yang amat sakti,
“Bi Hong!”
Gadis ini tersenyum. Ia melompat dan mengangguk sementara Giam Liong tak jadi mengeluarkan Golok Mautnya. Senjata ini sudah disentuh dan siap berkelebat keluar, sekali membacok tak akan undur sebelum mencium bau darah. Maka ketika pendekar itu menjadi girang sementara Bi Hong juga berseri-seri maka Giam Liong sudah menyambar lengannya teringat puteranya. Gadis ini sendiri.
“Mana Sin Gak, apakah kau tak bersamanya. Atau kebetulan saja kau kesini!”
“Kami berdua,” gadis ini agak tersipu. “Aku di sini sementara Sin Gak di sana, paman, sengaja mencarimu karena katanya kau pasti di sini.”
“Benar, sudah dua hari aku di sini. Lama amat kalian!”
“Kami harus bertanya-tanya,” gadis itu membuang jengah. “Kami tak ingin keliru menemukan tempat ini, paman, betapapun baru kali ini kami ke sini.”
“Ya-ya, tak apa, dan syukur kau bertemu Sin Gak. Majikan Hutan Iblis itu telah mendapatkan teman!”
“Sin Gak telah menceritakannya kepadaku. Thai Bang Kok Hu memang pemuda berbahaya, tapi harap paman jangan khawatir karena aku pasti membantu Sin Gak.”
Giam Liong tersenyum. Sebentar saja ia telah tahu hubungan gadis ini dengan puteranya. Secara sambil lalu ia telah menangkap kesan itu. Tapi ketika ia mengangguk dan Bi Hong semburat oleh kata-katanya sendiri, kalimat terakhir itu dapat ditangkap lain mendadak terdengar lengking tinggi suara Sin Gak.
“Ia dalam bahaya!” Bi Hong melompat dan menghilang. Gerakannya begitu cepat hingga Naga Pembunuh ini terkejut. Anak muda sekarang hebat-hebat. Tapi ketika Giam Liong juga berkelebat dan mengejar gadis itu maka Bi Hong sudah melesat jauh di depan.
Ternyata Sin Gak sudah bertanding dengan seorang gadis baju merah. Di luar hutan di bawah naungan pohon besar bayangan putih sambar-menyambar dengan bayangan merah. Tadinya Bi Hong menyangka kekasihnya itu bertemu Majikan Hutan Iblis, atau mungkin Thai Bang Kok Hu. Tapi ketika ia melihat bahwa itu adalah Su Giok, murid Hek-i Hong-li maka gadis ini tertegun.
Apa yang terjadi hingga tahu-tahu gadis itu ada di sini? Bagaimana Su Giok muncul di Hutan Iblis? Ini memang bukan hal kebetulan. Su Giok, yang meninggalkan Hek-yan-pang setelah sumoinya menetap di sana diam-diam menjadi panas terhadap Sin Gak. Melihat pemuda ini seakan melihat sang ayah saja. Tanpa diketahui siapapun diam-diam ia menguntit pemuda ini, apalagi setelah pemuda itu bertemu Bi Hong. Dan ketika dilihatnya betapa sepasang muda-mudi itu jatuh dalam asmara, betapa dari jauh ia melihat kejadian demi kejadian maka ketika di luar dusun Lam-chung pemuda ini mencium Bi Hong tiba-tiba saja darah gadis itu terasa mendidih!
Tak ada yang tahu bahwa diam-diam cucu Pek-lui-kong ini jatuh cinta kepada Giam Liong. Sejak Naga Pembunuh itu menolongnya dari bahaya Majikan Hutan Iblis sampai kemudian nenek Hek-i Hong-li membawanya sebagai murid sebenarnya telah tertanam kuat perasaan kagum dan cinta yang sangat kepada pendekar buntung itu. Giam Liong sekarang berusia empat puluh dua tahun sementara ia sendiri duapuluh tujuh. Perbedaan usia tak jadi soal bagi gadis ini. Ia telah jatuh hati dan kagum kepada Giam Liong, perasaan yang telah dimilikinya sejak ia masih remaja lima belas tahun.
Tapi ketika si Naga Pembunuh begitu dingin dan acuh kepadanya, ia terpukul dan merasa luka maka selama dua belas tahun menjadi murid Hek-i Hong-li gadis ini menyimpan kemarahan dan sakit hatinya. Hanya karena Naga Pembunuh itu pernah menolong keluarganya ia memendam semua perasaannya yang bergolak. Su Giok terserang apa yang disebut cinta kuning, yakni perasaan cinta seseorang yang bercampur kebencian, antara luka dan gairah asmara.
Maka ketika secara tiba-tiba ia bertemu Sin Gak di markas Hek-yan-pang, yakni ketika pemuda itu menolong murid-murid Hek-yan-pang dari serangan Majikan Hutan Iblis maka kenangan dan ingatan masa lalu merobek lagi luka di hati gadis ini. Wajah dan bentuk tubuh Sin Gak yang mirip sang ayah menyentak bawah-sadar, kebetulan saat itu yang bergerak adalah emosi kemarahan. Maka ketika gadis itu menyerang dan mengira ini adalah Giam Liong, tak tahunya hanya puteranya saja maka munculnya Bi Hong membantu pemuda itu membuat gadis ini sakit dan kemarahan serta kebenciannya semakin bertambah-tambah.
Kepandaian Sin Gak yang begitu hebat membuat ia tertegun. Maksud untuk “unjuk gigi” menjadi buyar, ia bahkan dikalahkan. Dan ketika ia pergi namun diam-diam kembali lagi, mengikuti dan membayangi pemuda itu dari jauh tiba-tiba segala gerak-gerik pemuda itu seakan berobah menjadi gerak-gerik Naga Pembunuh GiamLiong. Ada keanehan menimpa cucu mendiang Pek-lui-kong ini. Ia merasa nikmat dan cukup puas bila memandang punggung pemuda itu.
Maka ketika di tengah jalan tiba-tiba muncullah Bi Hong dan pemuda itu segera menjalin asmara, terbakarlah gadis ini maka yang dilihat dan di dengar seolah Giam Liong sendiri bukan Sin Gak. Su Giok menjadi berapi dan ganas matanya. Waktu Sin Gak mencium Bi Hong dianggapnya Giam Liong yang melakukan itu. Darahnya mendidih. Maka ketika Sin Gak memisahkan diri dan memutari Hutan Iblis tiba-tiba iapun muncul dan langsung menudingkan telunjuknya.
“Giam Liong, kau laki-laki keparat, manusia terkutuk. Terimalah kematianmu dan di sini kau mampus!”
Sin Gak terkejut. Ketika bayangan merah menyambar dan Su Giok berkelebat di depannya ia sudah merasa was-was. Pandang mata gadis itu membuatnya seram. Pandang mata itu seperti iblis betina haus darah, atau orang yang menaruh kebencian hebat. Maka ketika ia diserang dan melengak dirinya dipanggil sang ayah, Su Giok menyebutnya Giam Liong maka ia berkelit dan menangkis ketika dikejar.
“Heii, apa artinya ini. Aku Sin Gak, enci Su Giok, bukan ayah. Kenapa kau menyerangku dan marah-marah tanpa sebab. Berhenti, tunggu dulu!”
Akan tetapi gadis itu bahkan membentak dan menyusul dengan pukulan bertubi-tubi. Kelitan dan tangkisan Sin Gak menyadarkan gadis ini bahwa yang di depannya bukanlah Naga Pembunuh. Ia malu. Tapi karena justeru karena itu ia menjadi marah dan semakin beringas maka iapun berkelebatan dan pukulan-pukulannya yang mental membuat gadis ini semakin naik pitam.
“Sama saja ayahmu atau bukan. Kau dan ayahmu sama-sama tak dapat menghargai wanita, Sin Gak. Rupanya kau sudah galang-gulung dengan Bi Hong dan melupakan kekasihmu Giok Cheng. Aku akan membunuhmu dan menghajarmu habis-habisan!”
Sin Gak terkejut mengelak ke kiri kanan. Ia terkejut mendengar kata-kata itu dan seketika menjadi merah. Maklumlah dia bahwa perjalanannya selama ini kiranya diikuti. Maka ketika ia membentak dan menangkis pukulan itu, menghardik bahwa urusan Giok Cheng tak usah disebut-sebut maka gadis ini semakin marah dan naik temperamennya.
“Bagus, kau seperti ayahmu, enak begitu saja membuang wanita yang betul-betul mencintaimu. Haiittt..... aku akan mengadu jiwa denganmu, Sin Gak, dan kau atau aku yang roboh... plak-plak!”
Seleret sinar hitam menyambar dan itulah ikat pinggang yang sudah ditangkis pemuda ini. Sin Gak terkejut ketika bunyi menjeletar tiba-tiba menggetarkan udara, disusul oleh cengkeraman dan tusukan kuku tajam. Dan ketika kelima jari gadis itu sudah mencoret dan menggurat mainkan Toat-beng-liong-jiauw-kang (Kuku Naga Pencabut Nyawa) maka Sin Gak dibuat sibuk dan marah serta heran. Ia heran karena gadis baju merah ini membuang kebenciannya terhadap sang ayah, kata-katanya juga lebih banyak ditujukan kepada ayahnya itu daripada dirinya.
“Hm!” Sin Gak berkelebat mengerahkan ginkangnya. “Kata-katamu bercampur aduk, enci Su Giok, tapi aku tak berniat memusuhimu. Pergilah dan lain kali saja kita bicara, tempat ini rumah musuh!”
“Aku tak perduli rumah musuh. Tempat setan atau bukan aku ingin membunuhmu, Sin Gak, sikapmu terhadap Bi Hong membuat aku tak dapat mengampunimu lagi. Kau mengkhianati Giok Cheng!”
Sin Gak menjadi marah. Toat-beng-liong-jiauw-kun ditangkis mempergunakan Pek-mo-in-kangnya, terpental dan membalik namun ikat pinggang di tangan yang lain menyambar. Dan ketika gadis itu juga berkelebat dan mengerahkan Coan-po-ginkangnya (Ginkang Menerjang Ombak) maka Sin Gak menjadi kewalahan karena gadis itu mendesaknya bagai ombak bergulung-gulung, menerjang sementara yang lain belum habis.
“Berhenti atau aku membalasmu!” pemuda ini membentak. “Pergi dan jangan main-main di sini, enci Su Giok, atau aku tak ingat di antara kita ada ikatan perguruan!”
Namun bentakan ini dibalas ledakan cambuk. Sin Gak mengelak cepat ketika ujung ikat pinggang menyambar matanya, dikelit namun menukik bagai ular hidup, langsung menotok ulu hati. Dan ketika ia menampar namun Toat-beng-liong-jiauw-kang mencengkeram cepat maka habislah kesabarannya apalagi ketika dari dalam hutan berkelebat bayangan tinggi besar yang tertawa bergelak.
“Ha-ha, bagus sekali. Kubantu kau kalau pemuda ini membalasmu, sumoi, jangan takut dan biarkan ia main gertak!”
Sin Gak terkejut karena Thai Bang Kok Hu muncul. Raksasa tinggi besar itu tidak hanya sekedar bicara melainkan menyambar pula ke depan. Dua lengannya terulur dan satu mencengkeram perut. Tangan yang lain mencekik leher dan bunyi tulang-tulang berkerotok jelas menandakan serangan maut. Bukan hanya pemuda ini yang terkejut melainkan Su Giok juga tak menyangka. Gadis ini sama sekali belum tahu bahwa murid supeknya Mo-bin-jin telah muncul. Maka ketika pemuda raksasa itu menyerang Sin Gak sementara ia dipanggil sumoi (adik seperguruan perempuan) maka gadis baju merah ini tertegun dan sejenak ia menghentikan serangannya.
“Duk-plak!”
Tangkisan Sin Gak menggetarkan raksasa muda itu. Thai Bang Kok Hu melotot kenapa Su Giok tak meneruskan serangannya, ia membentak. Dan ketika gadis itu memaki agar ia tak turut campur, pemuda ini tertawa bergelak maka raksasa itu mundur dan benar-benar tak turut campur.
“Ha-ha, kalau begitu aku menonton. Ayolah, kalian bertanding!”
Su Giok menyerang Sin Gak lagi. Ia melepas Touw-beng-tok-ciam (Jarum Beracun Penembus Roh) akan tetapi pemuda tinggi besar itu mengibas runtuh. Thai Bang Kok Hu tertawa tak membalas. Dan ketika ia benar-benar menonton sementara dari dalam berkelebat lagi bayangan tinggi kecil maka Siauw Hong, si banci itu terkekeh.
“Hi-hi, bagus, ada pemandangan menarik. Biarkan aku menonton di punggungmu, Kok Hu, lindungi aku kalau diserang! Si banci sudah melompat dan nongkrong di pundak raksasa muda ini. Mereka ternyata sudah di Hutan Iblis dan Sin Gak diam-diam gelisah. Hadirnya Su Giok dan serangan gadis itu di luar perkiraannya, ini tak menguntungkan. Maka ketika tiba-tiba ia melengking dan Kok Hu membelalakkan mata, berdesah dan menggoyang tubuhnya melompat menghilang saat itulah Bi Hong berkelebat namun tidak melihat lagi raksasa tinggi besar itu.
“Bagus, pacarmu datang, ayo keroyok aku. He, ini Su Giok yang tak takut keroyokan kalian, Bi Hong, bantu kekasihmu ini atau kuberi tahu Giok Cheng bahwa kalian berdua telah main gelap-gelapan di belakang punggung!”
Bi Hong semburat. Tentu saja ia juga tak menyangka bahwa di tempat itu muncul Su Giok. Mereka sesungguhnya sama-sama saudara seperguruan. Tapi mendengar kata-kata itu dan betapa ia dicap main gelap-gelapan, marahlah gadis ini maka Bi Hong menyambar dan memukul mulut gadis baju merah itu.
“Su Giok, kau tak dapat membawa diri sebagai yang lebih tua, mulutmu lancang. Siapa main gelap-gelapan dan apa hakmu memaki aku!” gadis ini mengelak dan menangkis namun ia terpelanting. Sin Gak menahan serangannya dan bergulinganlah gadis itu melompat bangun. Lalu ketika ia terkekeh dan menerjang lagi maka Bi Hong menjadi sasaran.
“Tak tahu malu, pura-pura bersikap alim. Ketahuilah bahwa aku mengikuti kalian, Bi Hong, dan aku tahu Sin Gak mencium dirimu di luar dusun Lam-chung. Kau merebut kekasih orang, kau wanita jalanan. Hayo keroyok aku dan kau atau aku yang roboh...des-dess!”
Kali ini Bi Hong terhuyung saking kaget dan malunya. Berondongan kata-kata itu di luar dugaannya dan tentu saja ia merah padam. Tapi membentak dan naik darah iapun memaki dan berkelebat menampar. “Cih, semakin jelek watakmu. Kaulah yang tak tahu malu dan hina membuntuti orang, Su Giok. Kami saling mencinta dan apa urusanmu dengan kami pribadi.... plak!”
Bi Hong melakukan jurus melenggok, tangan bergerak ke bawah namun tiba-tiba melayang ke atas. Gerakan tadi adalah gerakan tipu dan tepat sekali kelima jarinya menampar pipi Su Giok, gadis baju merah itu terbanting. Dan ketika Su Giok menjerit dan bergulingan meloncat bangun maka gadis ini mengeluarkan tujuh jarum beracunnya berhamburan menyambar lawan.
“Bagus, maling berteriak maling. Kalau Giok Cheng ada di sini biar ia lihat siapa yang hina dan tak tahu malu.Mampuslah!”
Bi Hong menepis dan menyampok runtuh jarum-jarum itu. Gerak majunya tertahan dan lawan menerjang lagi, kali ini ikat pinggang menjeletar mendahului Toat-beng-liong-jiauw-kun. Dan ketika Bi Hong mengelak dan menangkis lawan maka pertandingan berganti karena Sin Gak mundur termangu dengan muka kemerah-merahan.
“Ha-ha, sekarang kita lanjutkan lagi!” Thai Bang Kok Hu menyambar dengan deru pukulannya yang dahsyat, keluar dari dalam hutan. “Kau atau aku boleh lihat siapa yang unggul, Sin Gak, dan gadis-gadis ini menjadi milikku.... wut-blarr!”
Sin Gak mengelak dan menangkis dan pemuda itu terdorong. Ia masih termangu, ketika serangan gelap tiba-tiba datang. raksasa itu licik. Lalu ketika pemuda tinggi besar ini menyerang dan mendorongkan kedua lengannya maka bau amis menyambar disusul tawa bergelak menggetarkan hutan.
“Ayo, kau atau aku roboh. Kita bertempur seribu jurus!”
Sin Gak berkilat matanya. Setelah ia sadar dan melihat bahwa pertandingan antara Bi Hong dengan Su Giok berjalan imbang, bahkan Su Giok mulai terdesak dan kalah tenaga maka ia menghadapi murid supeknya yang seperti orang liar Thai Bang Kok Hu memang dahsyat dan buas sepak terjangnya, pukulan-pukulannyapun berkesan kasar dan rendah. Namun karena di balik semua kekasaran ini tersembunyi tenaga yang amat hebatnya, bahaya yang tidak main-main maka pemuda itu membentak dan cepat ia mengerahkan Sian-eng-sutnya berkelebat menghilang.
“Kau sudah di sini, bagus. Mana Majikan Hutan Iblis, Kok Hu, suruh ia keluar!”
“Ha-ha, ia menunggumu di dalam. Kalau kau selamat dialah yang akan memberesimu nanti. Hayo, jangan tanya macam-macam agar aku dapat menolong sumoiku yang cantik... desss!”
Hutan tergetar dan pohon di tempat itu bergoyang-goyang. Tumbukan Pek-mo-in-kang melawan deru pukulan si raksasa tertahan dan menggetarkan bumi yang mereka injak, Su Giok bahkan terpekik dan melempar tubuh berjungkir balik. Dan ketika Sin Gak terhuyung sementara lawan menyeringai maka tampaklah sekilas sepasang taring tipis di rahang atas murid Mo-bin-jin ini.
Sin Gak menjadi marah. Ia telah beradu tenaga dan maklum bahwa selisih di antara mereka sedikit. Dan waspada akan taring di atas mulut itu, ia teringat Sin-ci-beng (Sengatan Taring Sakti) yang dimiliki supeknya maka benar saja ketika menerjang dan melompat kembali tiba-tiba melesatlah seberkas cahaya merah dari ujung taring itu.
“Ayo, jangan mundur dan hadapi aku... clap-clap!” dua berkas cahaya itu menyambar dan ketika dielak ternyata membuat rumput hangus terbakar.
Sin Gak terkejut dan berlompatan akan tetapi Sin-ci-beng mengejar. Setiap kali raksasa itu tertawa menyambarlah cahaya merah itu. Tanah akhirnya gosong dan hangus. Dan ketika Sin Gak naik darah dan membentak mengembangkan lengan di kiri kanan tubuh akhirnya pemuda ini mengeluarkan Pat-gen-sin-hoat-sutnya (Pagar Delapan Penjuru) agar pukulan-pukulan lawan tak dapat masuk.
Dan si raksasa tertegun. “Heh, apa ini. Curang! Ilmu busuk!”
Sin Gak tak menggubris segala cari maki itu. Ia berkesempatan membalas namun ketika pukulannya mengenai pundak atau leher lawan ternyata pukulannya meleset. Bagai belut licin saja raksasa itu tak dapat dipukul. Dan ketika lawan tertawa bergelak menerjang dirinya, masuklah sebuah pukulan menghantam pangkal lengan Sin Gak maka pemuda ini terhuyung karena Pat-gen-sin-hoat- sut terbuka sedetik.
“Dess!” pemuda ini tergetar dan terhuyung selangkah. Sin Gak membentak dan menyerang lagi, namun ketika pukulannya meleset bertemu tubuh yang licin maka sadarlah dia bahwa ia berhadapan dengan Hek-be-kang alias Ilmu Belut Hitam, ilmu yang sesungguhnya dimiliki Te-gak Mo-ki!
“Hm!” pemuda ini bersinar dan menjadi marah. “Kau memiliki Hek-be-kang, Kok Hu, kau rupanya minta kepada Majikan Hutan Iblis itu. Kau memiliki ilmu yang bukan milik supek Mo-bin-jin.”
“Ha-ha, benar, aku dan suteku Yu Bin tukar-menukar ilmu. Jangan banyak cakap kalau kau takut, Sin Gak, robohlah dan biarkan dua gadis ini sendirian di sini!”
Sin Gak mengelak dan menangkis menambah tenaganya. Ia marah mendengar itu dan kali ini lawan terhuyung. Namun ketika raksasa itu menerjang lagi dan tertawa-tawa maka Sin Gak berkelebat dan keluarlah Pat-gen-sin-hoat-sut melindungi diri. Lawan terbelalak menumbuk semacam kekuatan gaib di delapan penjuru. Ke manapun ia menyerang ke situ pula pukulannya mental. Sin Gak berkelebatan cepat membalas dari dalam. Namun ketika iapun sia-sia merobohkan lawan, pukulan selalu meleset bertemu tubuh yang licin maka raksasa itu tergelak antara gembira dan penasaran.
“Kau tak dapat merobohkan aku, tubuhku licin. Ha-ha, berikan tubuhmu kalau kau berani, Sin Gak, jangan berlindung di balik ilmu curang begini. Rupanya ini Pat-gen-sin-hoat-sut!”
“Tak usah banyak mulut kalau merasa diri pandai. Kaupun tak jantan mempergunakan ilmumu sendiri, Kok Hu, kau mencampur dengan milik orang lain mencari kelebihan.”
“Ha-ha, tak usah pentang bacot. Robohkan aku kalau kaupun mampu!” dua orang ini bertanding sama hebat dan masing-masing ternyata sukar merobohkan yang lain.
Sin Gak berlindung di balik Pagar Delapan Penjurunya, sementara lawan hebat sekali dengan Belut Hitamnya. Tubuh itu menjadi licin seperti berlendir. Dan ketika masing-masing sama-sama penasaran tak mampu mengalahkan yang lain maka di pihak Bi Hong gadis ini justeru menekan lawan. Su Giok terdesak mundur memaki-maki. Bi Hong berkelebatan begitu cepatnya mempergunakan Bu-bian-kang (Ilmu Tanpa Bobot). Ilmu ini luar biasa sekali membuat pemiliknya menyambar-nyambar bagai kilat cepatnya, dua kali membuat lawan terpelanting terkena pukulan.
Dan karena Bi Hong melepas Kian-kun-siunya untuk mengibas dan menampar maka lawan benar-benar tak mampu menandingi karena nenek sakti Hek-i Hong-li tak menurunkan Bu-bian-kang pada muridnya itu. Akibatnya gadis baju merah ini terdesak dan jatuh bangun. Jarum beracun bukan halangan dan Coan-po-ginkang masih setingkat di bawah Bu-bian-kang. Maka ketika tubuh itu berkelebatan amat cepatnya sementara Kian-kun-siu menyambar dan mengibas mengeluarkan angin pukulan kuat akhirnya Su Giok terhuyung-huyung dan gadis baju merah ini mulai menangis.
Kebencian dan kemarahan Su Giok memang dapat dimaklumi. Ia amat benci kepada Bi Hong yang bermesraan dengan Sin Gak ini, padahal melihat Sin Gak tiada ubahnya melihat Giam Liong, pria yang membuatnya jatuh cinta itu. Maka ketika ia mengeluh dan menggigit bibir, air matapun bercucuran akhirnya Su Giok membentak menggetarkan kedua lengannya, menyimpan senjatanya.
“Bi Hong, kau atau aku yang mampus!"
Bi Hong mengerutkan kening. Lawan tiba-tiba menubruk dengan dua lengan terkembang, tak perduli pertahanan diri sendiri dan menyambarlah getaran angin pukulan kuat ke arah dadanya. Dari lengan gadis itu melesat cahaya biru seperti api, panas dan berpijar dan terkejutlah Bi Hong karena ia tiba-tiba terpaku. Jiwa atau sukmanya tergetar. Dan ketika ia kaget tubuh seakan tak bergerak lagi, terkesima oleh cahaya kebiruan itu maka iapun terpekik karena kesadarannya datang lagi setelah pukulan itu dekat sekali dengan dadanya.
“Siau-hun-bi-kiong-hoat (Pukulan Penggetar Sukma)!” seruan ini disusul sentakan napas dalam menerima pukulan. Gadis ini tak mungkin lagi mengelak karena pukulan terlanjur dekat. Itulah pukulan ampuh milik Hek-i Hong-li yang menjadi andalan. Dengan pukulan ini nenek itu mampu menggetarkan sukma hingga yang diserang terkesima, baru sadar setelah dekat. Tapi karena Bi Hong adalah murid Si Naga Berkabung dan gurunya adalah orang pertama Ngo-cia Thian-it (Lima Rasul Langit Tunggal) maka sentakan napas dalam yang dilakukan itu telah menghimpun tenaga Kim-kong-ciok (Arca Emas) dan tepat ketika pukulan tiba maka Siau-hun-bi-kiong-hoat bertemu tubuh sekuat arca yang tak bergetar ketika dipukul.
“Dess!”
Jerit kecewa dialami gadis baju merah ini. Siau-hun-bi-kiong-hoat yang biasanya akan membunuh lawan ternyata bertemu Kim-kong-ciok yang amat kuat. Ilmu Arca Emas menyelamatkan Bi Hong dan terpelantinglah gadis baju merah itu. Su Giok merasa sesak dan ampeg napasnya, pukulannya membalik. Dan ketika ia membuang sisa pukulan bergulingan meloncat bangun, jatuh dan bangun lagi maka gadis itu pucat terhuyung-huyung, menuding lawan.
“Kau...kau boleh senang. Hari ini aku mengakui keunggulanmu, Bi Hong, tapi lain hari aku datang lagi!”
Bi Hong terbelalak marah dengan mata bersinar-sinar. Kalau saja ia tak memiliki Kim-kong-ciok dan menerima Siau-hun-bi-kiong-hoat yang dahsyat itu tentu ia roboh binasa tak berumur panjang lagi. Masih terasa hebatnya pukulan itu, betapapun napasnya juga sesak. Namun ketika lawan membalik dan meloncat pergi menangis dengan hati sakit maka ia menarik napas dalam dan membuang kemarahannya dengan memandang pertempuran antara Sin Gak dengan raksasa tinggi besar itu.
“Sin Gak, berikan ia kepadaku. Atau kita bunuh jahanam ini sebagai pengacau!”
“Heii...!” Thai Bang Kok Hu terkejut. “Apa-apaan ini, Bi Hong, kalian mengeroyok, curang!” namun ketika ia menangkis dan harus menerima kemarahan gadis itu maka Kian-kun-siu mengibas dan tepat sekali mengenai pelipis raksasa muda ini.
“Plak!” namun seperti yang dialami Sin Gak maka pukulan itupun melesat mengenai kulit tubuh yang licin. Bi Hong tertegun membelalakan mata dan raksasa itu membalas, ia mengelak dan deru pukulan lawan menghantam pohon dibelakangnya. Dan ketika pohon itu roboh sementara Bi Hong berkelebat kembali, Bu-bian-kang bekerja maka raksasa ini kalah cepat dan kembali menerima dua tamparan di kiri kanan.
“Plak-plak!”
Thai Bang Kok Hu tergoyang ke kiri kanan. Raksasa ini terhuyung dan meskipun tidak roboh iapun merasa pening juga. Hek-be-kang boleh hebat akan tetapi Kian-kun-siu juga bukan pukulan main-main. Di tangan halus dan jari-jari lentik itu terdapat juga sinkang amat kuat yang sanggup menghancurkan kepala seekor gajah. Maka ketika raksasa itu memaki-maki sementara Sin Gak juga berkelebat dan melepas pukulan-pukulannya maka lawan terhuyung jatuh bangun dan melotot gusar.
“Biarkan aku mencobanya!” Bi Hong berseru. “Kulihat seberapa kepandaiannya, Sin Gak. Kalau aku dapat merobohkannya tak usah kau bantu!”
“Ia memiliki Hek-be-kang!”
“Aku tak perduli, mundurlah dan biar kucoba!”
“Baik, tapi hati-hati, Hong-moi, betapapun ia kuat dan kasar serta buas!” Sin Gak melompat mundur dan melihat bahwa Su Giok tak berada lagi di situ. Ia lega dan memberikan lawan kepada kekasihnya, betapapun Bi Hong bukanlah gadis sembarangan. Dan ketika lawan tertawa bergelak merasa girang, tak lagi dikeroyok maka raksasa itu mendorong dan memukul dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat.
“Bagus, sekarang baru adil. Ini kiranya suciku (kakak perguruan perempuan) yang cantik jelita itu. Ha-ha, tubuhmu harum dan membangkitkan semangatku, Bi Hong, cocok kalau supek Song-bun-liong mengambilmu murid. Aih, aku bisa jatuh cinta, ha-ha!”
Bi Hong membentak dan memaki raksasa muda itu. Setelah ia berhadapan dan bertanding dengan lawannya ini maka ia melihat jelas bentuk tubuh atau wajah lawan. Mata sebesar jengkol dengan hidung pesek dan wajah hitam itu benar-benar buruk sekali, belum lagi bau mulutnya kalau tertawa bergelak-gelak. Ia harus menutupi hidung kalau tak ingin mencium bau busuk. Dan ketika ia berkelebatan dengan Bu-bian-kang dan lawan berkelit serta mengelak sana-sini maka bibir tebal seperti bibir kuda itu juga menyemprot-nyemprot ketika bicara, liurnya menjijikkan.
“Bagus, ayo. pukul lagi. Ha-ha, tubuhku serasa dipijit-pijit!”
Gadis ini penasaran. Setelah ia mengerahkan Bu-bian-kangnya berkelebatan dengan cepat maka pukulan-pukulan Kian-kun-siunya mendarat dengan tepat. Tapi karena tubuh itu kebal dan licin, juga keringat bermuncratan ke sana-sini maka Bi Hong menjadi jijik dan mual. Dua kali wajahnya terciprat keringat, dan dua kali itu pula ia hampir muntah. Maka ketika ia menjadi marah namun lawan tak mampu dirobohkan, si raksasa tergelak-gelak maka Bi Hong menutup mulutnya mencegah bau busuk dari tawa yang berhamburan itu.
“Jangan sombong, kaupun boleh pukul aku. Siapa takut pukulanmu kalau aku tak dapat merobohkanmu!”
“Ha-ha, bagus, kalau begitu mari sini. Awas, bocah denok, aku memukulmu perlahan dan hati-hati!”
Bi Hong memutar tubuh dan satu saat membiarkan dirinya dipukul. Telapak lebar yang melayang itu menyambar cepat ke pundaknya, tentu saja mengerahkan Kim-kong-ciok dan terpentallah si raksasa berseru tertahan. Ia melotot dan Bi Hong tertawa mengejek. Dan ketika gadis ini balas meremehkan lawan, marahlah raksasa itu maka Thai Bang Kok Hu menyerang lagi namun semua tertolak. Kim-kong-ciok atau Ilmu Arca Emas tak membuat gadis itu terdorong. Jangankan terdorong, bergeming saja tidak.
Dan ketika pemuda itu melotot dan menjadi gusar akhirnya pukulan-pukulannya ditujukan ke dada dan perut gadis ini, melayang dan menyambar serta tiga kali berusaha mengusap. Tentu saja gadis itu marah. Maka ketika Bi Hong mengelak dan memaki lawan, perbuatan itu sudah menjurus kepada kekurangajaran maka Sin Gak yang melihat itu menjadi merah dan terbakar pula.
“Manusia seperti ini rasanya tak perlu dihargai lagi. Biar kubantu kau agar cepat ia roboh, Hong-moi. Percuma bersantun-santun karena ia bukan manusia yang cocok untuk itu!”
Bi Hong tak mencegah ketika Sin Gak berkelebat dan menyambar lagi. Pemuda ini marah karena kekasihnya hendak diusap-usap. Dua kali buah dada Bi Hong akan diremas. Dan begitu Sin Gak maju dan si raksasa berteriak maka tak ayal lagi murid Mo-bin-jin ini terdesak, dua kali terpelanting oleh pukulan Sin Gak dan biarpun ia memiliki Hek-be-kang namun pukulan itu membuatnya kesakitan juga. Tubuhnya boleh kebal dan licin akan tetapi setiap tamparan atau kibasan membuat ia terhuyung. Dan karena Bi Hong juga melepaskan marahnya berkelebatan kian cepat akhirnya raksasa ini memaki-maki. Sin-ci-beng mencuat dari sepasang taringnya menyambar Bi Hong dan Sin Gak.
“Curang, licik. Begini kiranya supek dan susiok Sian-eng-jin mengajari murid-muridnya. He, kalian tak tahu malu mengeroyok aku, Bi Hong. Berani benar dan gagah sekali!”
“Tak usah cerewet. Perbuatan kami karena ulahmu, Thai Bang Kok Hu. Kau menyerah atau roboh ditangan kami!”
“Haehh, siapa menyerah. Daripada begini lebih baik mati. Bareng..... dukk!” sepasang lengan si raksasa yang menangkis Sin Gak dan Bi Hong secara bersamaan disusul kilatan Sin-ci-beng yang ganas menyambar.
Bi Hong tak mengelak dan membiarkan kilatan cahaya itu, muncrat mengeluarkan lelatu api ketika bertemu Arca Emas. Dan ketika Sin Gak juga berlindung di balik Pat-gen-sin-hoat-sutnya hingga serangan Sin-ci-beng terpental balik, si raksasa terkejut maka hampir berbareng keduanya melakukan serangan dari kanan kiri menghantam pelipis dan tengkuk raksasa ini.
“Des-dess!”
Raksasa itu terpekik dan terbanting bergulingan. Ia boleh merasa kuat namun hantaman dari telapak Bi Hong maupun Sin Gak penuh terisi tenaga sinkang. Hek-be-kang tertembus dan si raksasa menjerit. Dan ketika ia bergulingan namun dikejar cepat, Sin Gak juga mengeluarkan Bu-bian-kangnya hingga saling susul dengan sang kekasih maka bak-bik-buk suara pukulan kembali mengenai tubuh raksasa ini, terlempar dan bergulingan lagi hingga Thai Bang Kok Hu tak sempat bangun. Begitu cepatnya serangan dua orang muda itu hingga si raksasa tak dapat mengelak. Namun ketika ia terus didesak dan berteriak marah sekonyong-konyong raksasa ini mencabut senjatanya dan menderulah gada hitam berulir naga siluman itu.
“Bres-bresss!”
Sin Gak dan Bi Hong melompat mundur dan gada menghantam tanah hingga hancur. Percikan api menandakan kuatnya pukulan gada itu dan kesempatan ini dipergunakan si raksasa melompat bangun. Ia memaki-maki, mulutnya berhamburan sumpah serapah yang menyebarkan bau busuk. Bi Hong menutupi hidung. Lalu membalik tak mampu menghadapi dua muda-mudi itu raksasa ini meloncat memasuki hutan, menghilang.
“Kejar, jangan sampai lolos!”
“Tidak, tunggu dulu. Apakah kau tak bertemu ayahku, Hong-moi. Berhenti dan jangan sendirian kesana!”
Bi Hong terkejut. Ia sudah meloncat ketika seruan itu menghentikan langkahnya. Sin Gak berkelebat dan memegang lengannya. Dan ketika ia teringat bahwa ia sudah bertemu dengan ayah kekasihnya ini maka gadis itu melesat dan melepaskan cekalan Sin Gak. “Benar, aku sudah bertemu ayahmu. Ia dibelakang!”
“He, tunggu, Hong-moi. Kita sama-sama!”
Gadis itu tak perlu menunggu ketika Sin Gak mengejar dan menangkap lengannya. Berdua begini Bi Hong mengajak kekasihnya ke tempat tadi, yakni ketika ia bertemu Naga Pembunuh. Namun ketika di sini tak ada siapa-siapa dan Bi Hong tertegun maka gadis ini agak berubah. “Ayahmu tak ada, ia tadi di sini!”
Sin Gak cemas. Kalau ayahnya tak ada dan mereka tak tahu jangan-jangan ada apa-apa dengan ayahnya itu. Sin Gak berkelebat dan mencari di gerumbul di mana Bi Hong menunjuk. Tapi ketika tak ada siapa-siapa dan Bi Hong juga gagal mencari di tempat lain maka gadis ini gelisah dan tampak menyesal, berkelebat lagi di dekat Sin Gak.
“Aneh, ia tak tampak. Apakah ada bahaya, Sin Gak? Menyesal aku tadi meninggalkannya.”
“Kenapa kau tinggal”
“Lengkinganmu tadi. Aku khawatir dan mendahuluinya!”
“Hm, kita cari lagi siapa tahu di dekat-dekat sini. Mari kita putari hutan ini, Hong-moi, kalau tidak ada kita terjang ke dalam!”
Bi Hong mengangguk. Ia baru merasa aneh setelah Naga Pembunuh Giam Liong tak ada di situ, padahal seharusnya pendekar itu menyusulnya dan telah berada di mulut hutan di mana Sin Gak bertanding dengan raksasa itu dan Su Giok. Maka ketika ia berkelebat dan masing-masing menjadi cemas ternyata mengelilingi hutan ini mereka tak menemukan sama sekali orang tua itu. Sin Gak menjadi marah dan panas. Dan ketika ia memekik memanggil-manggil ayahnya akhirnya pemuda itu menerjang memasuki Hutan Iblis. Sang ayah tetap tak muncul dan tak kelihatan lagi batang hidungnya.
“Baik, kita masuk ke dalam. Cari dan hajar penghuni hutan ini, Bi Hong. Siapa lagi yang mencelakai ayahku kalau bukan mereka!”
Bi Hong juga mengangguk. Gadis ini sependapat bahwa siapa lagi yang mengganggu orang tua itu kalau bukan penghuni Hutan Iblis. Maka begitu ia berkelebat dan menyusul kekasihnya segeralah terdengar lolong atau raung srigala liar.
“Awas, bahaya di kiri kanan!”
Bi Hong tak perlu diperingati dua kali. Bersamaan dengan itu menyeranglah puluhan atau ratusan srigala buas. Mereka disambut taring-taring tajam dalam mulut yang menyeringai lebar-lebar. Tiga srigala hitam menggigitnya dari kiri kanan, liur mereka menetes-netes dan tampak seperti kelaparan saja, yang lain menyusul dan menggonggong riuh. Agak mengagetkan juga bagaimana binatang-binatang ini tiba-tiba muncul, tadi isi hutan terasa hening dan diam.
Tapi begitu gadis ini menggerakkan lengannya ke kiri kanan maka tak ampun lagi srigala-srigala itu terpelanting, meraung namun meloncat bangun lagi dan gadis ini tertegun. Tamparannya masih membuat binatang-binatang itu melompat bangun, agaknya tak apa-apa, hanya kesakitan sedikit. Dan ketika ia menjadi gemas dan menambah tenaganya barulah binatang itu menguik namun tak lama kemudian bergerak dan meloncat bangun lagi, menyerang!
“Mereka kebal, cari pusat kelemahannya!”
Bi Hong mengangguk. Segera ia terkejut melihat binatang-binatang itu menyerang lagi, akan tetapi karena ia bukan gadis sembarangan dan seruan Sin Gak di jawab dengan bentakan maka gadis itu segera melihat adanya sinar kebiru-biruan di rongga dalam bagian atas mulut. Sinar ini tampak ketika mereka menggonggong membuka mulut, semacam benda kecil menempel di situ.
Maka ketika ia menyambar sebatang ranting dan menusuk tempat itu dengan coblosan kuat maka benda itu tiba-tiba pecah dan robohlah binatang ini dengan ledakan di dalam mulutnya, disusul yang lain ketika ia berkelebatan dan menusuk-nusuk. Tentu saja ia jijik mempergunakan jari tangannya, liur binatang itu membuat perut terasa mual. Dan ketika ia berhasil sementara Sin Gak juga menemukan hal yang sama, menyambar sebatang ranting untuk menusuk pusat kekebalan itu maka pecahlah kepala binatang-binatang ini dan bau anyir darah memenuhi tempat itu.
Sin Gak tak perlu membunuh semuanya karena tiba-tiba terdengar lolong atau raung panjang menggetar-getar, suaranya tinggi rendah berganti-ganti. Dan ketika binatang itu membalik dan berloncatan menghilang akhirnya sisanya melarikan diri dan empatpuluh srigala tewas di situ.
Bi Hong mengusap keringat. Sin Gak berkelebat didekatnya melihat gadis itu menutupi hidung, bukan apa-apa melainkan semata amis darah yang membuat perutnya mual. Dan ketika pemuda itu mengajaknya mengejar maka mereka berkelebat lagi dan suasana hutan yang gelap di susul bau busuk yang membuat mereka berhenti.
“Isap ini dan hati-hati, kebetulan aku membawa dupa harum.”
“Tidak, aku membawa kayu cendana, Sin Gak, marilah masuk dan kau cium ini,” Bi Hong ternyata mengeluarkan sebatang kayu cendana dari balik baju. Ia mematahkan itu menjadi dua dan memberikannya sepotong, Sin Gak menerima lalu melanjutkan perjalanan.
Dan ketika dengan hati-hati mereka menerobos masuk dan melihat ke dalam ternyata banyak tengkorak dan tulang-tulang berserakan. Pohon-pohon cukup lebat dan dua kali Bi Hong menjerit tertahan. Ada dua mayat manusia tergantung di pohon, tubuhnya penuh belatung. Dan ketika gadis itu memejamkan mata mengepal tinju, maka Sin Gak berdebar marah tak menemukan ayahnya. Hutan akhirnya diobrak-abrik dan pohon besar dirobohkan. Apa saja yang menghalang pandangan disingkirkan. Dan ketika akhirnya mereka semakin ke dalam dan tepat di tengah hutan maka mereka berhadapan dengan pohon raksasa yang tingginya puluhan meter itu, berhenti dan Sin Gak melihat sebuah guha.
“Jangan masuk, biar kutiup dulu!” Sin Gak mencegah kekasihnya ketika Bi Hong hendak melompat ke dalam. Tanpa takut sedikitpun gadis ini hendak menerjang. Akan tetapi ketika ia dipegang dan Sin Gak melembungkan pipinya maka tiba-tiba pemuda itu meniup mengerahkan kesaktiannya.
“Wusshhhh!” Tiupan atau serangan hawa mulut ini tak kalah dengan dorongan sinkang. Tiupan ini penuh tenaga sakti dan bukan sembarang tiupan. Udara yang keluar dari mulut pemuda ini menggelembung dan memenuhi isi guha, masuk dan menghantam apa saja memasuki celah-celah sekecil apapun. Dan ketika terdengar desis dan suara-suara kaget, disusul ledakan keras maka terlemparlah dua ekor ular besar dihantam gelembung hawa sakti ini.
“Bluk!” Bi Hong menyingkir dan terbelalak melihat sepasang ular hitam menggeliat-geliat. Mereka terpental oleh tiupan itu dan tak kuat menahan, tulang dan kepala mereka remuk. Dan ketika dua binatang itu mati disusul oleh beterbangannya segala jenis serangga seperti kecoak dan tawon kepala merah maka di depan kaki mereka telah berserpihan bulu dan sayap-sayap kotor.
“Sekarang bersih!” Sin Gak melompat menyambar kekasihnya. Lubang itu besar setinggi orang dewasa dan gelap serta dingin. Orang biasa tentu harus menyalakan lilin. Tapi karena dua orang muda ini memiliki kelebihan yang tak dipunyai orang lain, pandang mata mereka justeru bersinar di dalam kegelapan maka Bi Hong maupun Sin Gak tertegun melihat tengkorak-tengkorak berjajar di tepi atau dinding guha. Semuanya laki-laki.
“Hm, Majikan Hutan Iblis benar-benar keji. Ia membunuh orang-orang ini, Hong-moi, semuanya seperti bekas pemuda-pemuda dua puluhan tahun.”
“Ya, dan itu malah seperti pemuda tanggung limabelasan tahun. Ia paling kecil di sini. Untuk apa keparat itu membunuh korbannya!”
“Untuk apalagi kalau bukan untuk melampiaskan nafsu jahatnya. Ingat Te-gak Mo-ki, Hong-moi, iblis itu seorang homo!”
“Homo?”
“Ya, laki-laki yang bercinta sesama laki-laki, apakah gurumu tak pernah menceritakannya.”
“Suhu tak menceritakan ini, kecuali bahwa Te-gak Mo-ki keji. Tapi mana mungkin laki-laki bercinta sesama laki-laki!”
“Aku juga tak mengerti, tapi jelas menjijikkan. Sudahlah tempat ini ternyata kosong, Hong-moi, ayah dan Majikan Hutan Iblis itu tak ada. Pantas ia tak muncul membantu Thai Bang Kok Hu!”
“Ya, baru sekarang aku ingat. Agaknya Majikan Hutan Iblis memang tak ada di sini, ia keluar.”
“Dan ayah harus kita temukan. Ah, keparat Thai Bang Kok Hu itu!”
“Benar, tentu ia yang membawa ayahmu. Mari keluar!”
Sin Gak berkelebat menggandeng kekasihnya lagi. Ia khawatir dan marah ayahnya tak ditemukan di situ. Di luar dan di dalam hutan ternyata sama saja. Tapi ketika ia berkelebat hendak mencari raksasa itu mendadak terdengar keluhan dan panggilan lirih.
“....Sin Gak!”
Dua orang ini mendongak ke atas. Di luar hutan, di pucuk ranting paling tinggi bergerak-geraklah seseorang dengan lemah. Panggilannya nyaris tak terdengar kalau saja dua muda-mudi ini tak memiliki telinga yang tajam. Dan begitu Sin Gak mengenal siapa itu tiba-tiba pemuda ini melayang ke atas berseru girang.
“Ayah!”
Ternyata Naga Pembunuh Giam Liong nyangsang (tersangkut) di situ. Pantas ke manapun mereka cari tak juga mereka temukan orang tua itu. Dan ketika Giam Liong menyambar dan menurunkan ayahnya maka Bi Hong terheran-heran bagaimana orang tua ini tersangkut di atas.
“Apa yang terjadi, kenapa ayah tersangkut di sana!”
“Su Giok “ pendekar itu terbatuk dan merah mukanya. “Ia... ia memukulku pingsan, Sin Gak. Kebetulan kami bertemu dan ia langsung menghantamku membuat aku terlempar dan nyangsang di atas.”
“Su Giok?”
“Ya, gadis itu. Ia benci sekali kepadaku. Ia..... ah, tak kusangka sejauh ini jadinya.” Dan ketika pendekar itu menutupi muka menitikkan air mata akhirnya Bi Hong maupun Sin Gak tertegun.
“Apa yang ayah ketahui tentang gadis itu. Apa yang ia katakan!”
“Hm, ia... ah, orang setua aku ternyata dilibatkan masalah asmara, Gak-ji, betul-betul memalukan. Ia... ia mencintaiku.”
“Apa?”
“Benar, kebenciannya semata karena cintanya itu. Aku baru sadar setelah tadi ia tak jadi membunuhku!”
Sin Gak dan Bi Hong terhenyak. Tiba-tiba mereka saling pandang dan tak terasa wajah merekapun memerah. Su Giok mencinta sang ayah membuat Sin Gak bengong, ini benar-benar tak disangka. Tapi karena sang ayah masih merupakan laki-laki gagah dan siapapun tak perlu menyangkal tiba-tiba pemuda itu tersenyum dan mengangguk.
“Hm, pantas, tidak aneh!”
“Apanya yang tidak aneh, apanya yang pantas.” Sang ayah mengerutkan kening dan Naga Pembunuh tampak semburat, malu di hadapan anak-anak muda ini.
“Tidak aneh karena kau masih gagah dan jantan, ayah. Kalau enci Su Giok mencintaimu rasanya pantas pula. Ia menaruh kagum dan merasa hutang budi ketika dulu kau menolongnya dari Majikan Hutan Iblis!”
“Benar, akupun merasa itu. Tapi aku sekarang sudah berusia empatpuluh dua tahun, puteraku sudah sebesar kau!”
“Hm, cinta tak mempersoalkan usia, ayah. Cinta bisa muncul di mana saja.”
“Tapi aku seorang buntung, cacat!”
“Hal itu malah membuat enci Su Giok semakin haru, cintanya bisa semakin besar!”
“Eh, kau setuju gadis itu mencintai ayahmu? Kau tak malu ayahmu si tua bangka ini harus seperti anak-anak muda saja? Jangan main-main, aku tak pantas seperti itu, Sin Gak. Lain kalau kau dengan Bi Hong, kalian anak-anak muda!”
Bi Hong seketika semburat. Ia melengos dan menunduk dan Sin Gak sejenak terkejut. Todongan ayahnya itu terang-terangan sekali, tidak tedeng aling-aling. Namun ketika ia menguasai hatinya lagi dan memegang lengan ayahnya ini maka ia bartanya bagaimana kisah ayahnya tadi, mengalihkan pembicaraan antara dirinya dengan Bi Hong.
“Cobalah ayah ceritakan bagaimana mula-mula kejadian itu. Aku sekarang teringat betapa enci Su Giok menyebutku dirimu. Kiranya itu.”
“Itu bagaimana, apa yang ia katakan!”
“Tadi aku bertempur dengannya, ayah, dihadang. Ia langsung menganggapku dirimu dan memanggilku sebagai dirimu pula.”
“Begitu?”
“Ya.”
“Hm, sungguh memalukan. Maksudku bagaimana orang setua aku harus kembali muda seperti remaja-remaja saja!”
“Coba ayah ceritakan asal mula kejadian itu,” Sin Gak menahan senyum. “Biarlah kami tahu agar tidak terjadi kesalahpahaman.”
“Ia marah-marah ketika bertemu aku, katanya dikalahkan Bi Hong. Dan karena kebetulan kami bertemu tiba-tiba saja ia berhenti dan menuding!”
“Hm, lalu?”
“Ia memaki-maki aku, menyerang, dan ketika aku berkelit maka iapun menjadi marah dan...dan tangisnya mengingatkan aku akan tangis ibumu!”
Sin Gak tergetar. Ia sendiri belum merasa dekat dengan mendiang ibunya, lebih dekat dengan ayahnya ini. Tapi ketika ayahnya bicara tentang sang ibu maka ia melihat betapa sepasang mata ayahnya ini begitu lembut dan mesra membayangkan masa lalu, tentu masa-masa indah bersama ibunya itu. Dan karena iapun telah mengenal artinya cinta dan dapat memahami betapa beratnya cinta maka iapun diam dan mulailah ayahnya itu bercerita, tentu saja yang sangat pribadi tak dijelaskan atau diceritakan pendekar ini.
Waktu itu, ketika ia ditinggalkan Bi Hong yang mendengar lengking bahaya Sin Gak pendekar ini mengejar dan menyusul pula. Namun karena ia kalah cepat dan harus berhati-hati pula, siapa tahu dari dalam hutan menyerang bahaya lain maka Naga Pembunuh ini bergerak semakin lambat. Giam Liong tahu benar bahaya hutan ini dan waspada. Dan ketika benda-benda bersinar lenyap dan muncul lagi dari balik pohon- ponon besar, para srigala yang siap menyerang namun anehnya diam saja maka pendekar ini semakin hati-hati dan golok sewaktu-waktu siap menyambar.
Lengking dan suara puteranya masih terus terdengar, ia memutar dan berindap-indap. Namun ketika lengking itu lenyap dan ia tertegun maka ia tak mendengar lagi kecuali bentakan dan makian, juga tawa bergelak yang dikenalnya sebagai suara Thai Bang Kok Hu itu. Ia menjadi khawatir dan cemas sampai tiba-tiba sesosok bayangan merah menyambar. Su Giok tahu-tahu telah berdiri di depannya. Dan ketika gadis itu nampak tertegun sementara ia sendiri juga terkejut, tak disangkanya di tempat ini gadis itu muncul maka Su Giok memandangnya berapi-api dan sejenak gadis itu tak menegur atau menyapanya.
“Su Giok.....” pendekar ini akhirnya berseru dan panggilannya bernada heran dan girang.
Sepasang mata gadis itu meredup dan bayangan kemarahan lenyap. Sesungguhnya gadis ini begitu girang mendengar panggilan itu. Suara si Naga Pembunuh penuh harap dan cemas, begitu bisik hati gadis ini. Maka ketika Giam Liong bergerak dan memegang lengannya segera pendekar ini bertanya ada apa di depan dan apakah dia bertemu Sin Gak.
“Apa yang terjadi, dengan siapa puteraku bertanding. Kau rupanya lelah dan membawa penasaran, Su Giok, apakah bertemu pula dengan Bi Hong!”
Kata-kata terakhir inilah yang membuat gadis itu mendidih. Su Giok tiba-tiba mengibaskan lengannya dan Naga Pembunuh terpelanting. Harap diketahui saja bahwa gadis baju merah ini adalah murid Hek-i Hong-li, satu di antara Ngo-cia Thian-it! Maka ketika ia menjadi dingin dan marah kembali maka gadis itu menuding membentak pendekar ini.
“Naga Pembunuh, kau dan puteramu benar-benar setali tiga uang, sama-sama tak tahu perasaan wanita. Perduli apa dengan Bi Hong dan buat apa pula memperhatikan puteramu!”
Giam Liong terkejut, melompat bangun. Pendekar ini masih tak mengerti bahwa menyebut Bi Hong justeru membuat gadis baju merah itu merasa terbakar. Mengingat Bi Hong mengingatkan pula ketika Sin Gak mencium gadis itu. Bayangan ini seolah Naga Pembunuh sendiri yang melakukan. Maka ketika Giam Liong mengebut-ngebut ujung bajunya yang kotor dan terbelalak kaget maka pendekar itupun menjadi marah dan menegur.
“Su Giok, baik-baik aku bertanya kepadamu, kenapa kau begini kasar. Kalau kau tak mau menerangkan tentang mereka juga tak apa, aku hendak ke sana!”
“Boleh ke sana tapi lewati aku dulu. Kau laki-laki tak berperasaan!”
Pendekar ini tertegun. Gadis itu berkilat sepasang matanya dan tiba-tiba menerjang, sekali berkelebat menampar kepalanya. Tapi karena ia bukan laki-laki biasa dan berkelit serta menangkis maka Giam Liong membentak dan tentu saja melawan.
“Plak!” ia terpelanting dan terguling-guling. Su Giok terkekeh dan mengejar, kembali melancarkan pukulan dan tamparan. Dan ketika pendekar itu kembali menangkis namun terpelanting dan malah terlempar maka Giam Liong menjadi marah dan mengancam akan mencabut Golok Mautnya.
“Berhenti, jangan kurang ajar. Aku tak merasa bermusuhan denganmu, Su Giok, kenapa menyerang aku. Atau aku mencabut Golok Mautku!”
“Hi-hik, cabutlah, boleh kau pakai. Kau dan puteramu sama saja, Naga Pembunuh, kalau tak ingat budimu dua belas tahun yang lalu tentu kubunuh kau. Ah, kubunuh kau... des-dess!”
Giam Liong terlempar dan bergulingan dan pendekar ini menjadi pucat. Ia mencabut goloknya namun senjata itu lenyap, sarungnya tak ada. Dan ketika ia melompat bangun dan menggigil di sana ternyata tanpa diketahui golok itu telah dirampas Su Giok, dimain-mainkan di kedua tangan.
“Kembalikan!” tentu saja pendekar ini marah dan gusar. Ia membentak dan melompat akan tetapi gadis itu mengelak, kaki menendang dan ia terhuyung. Lalu ketika ia gemeratak dipermainkan gadis ini tiba-tiba Su Giok melontarkan golok itu menyambar sisi kepalanya.
“Cep!” golok menancap amblas di sebatang pohon. Gagangnya bergetar sementara pohon itu bergoyang-goyang. Tadi dengan amat cepat golok mendesing lewat, serambut saja di sisi kepala pendekar ini. Dan ketika Giam Liong tertegun tak mampu bicara, pucat maka gadis itu terisak menuding.
“Aku dapat membunuhmu kalau mau. Kau laki-laki tak tahu perasaan wanita. Ambil dan pakailah golokmu bunuh aku, Giam Liong. Biar aku mampus daripada hidup menderita!”
Naga Pembunuh ini terkejut. Dari sepasang mata gadis itu mengalir air mata deras membasahi pipi. Gadis itu memejamkan mata dan sejenak berguncang-guncang. Tangis dan kata-katanya membuat pendekar ini tergetar. Lalu ketika ia tahu ada sesuatu yang tidak biasa, gadis itu mengguguk dan tiba-tiba memutar tubuhnya mendadak sadarlah pendekar ini bahwa sebenarnya ia dicinta orang!
“Su Giok!”
Gadis itu berhenti. Tiba-tiba saja Naga Pembunuh berjungkir balik di depannya, menggigil dan menuding namun tak ada kata-kata keluar. Dari mata gadis itu memancar kekecewaan sekaligus duka. Sebagai pria cukup usia tentu saja Naga Pembunuh ini tahu apa yang terjadi. Gadis itu luka asmara. Dan ketika ia tercekik tak mampu mengeluarkan kata-kata, sepasang tangannya tiba-tiba terangkat mengembang mendadak gadis ini menubruk dan tahu-tahu Giam Liong sendiri telah mendekap dan memeluk tubuh itu.
“Kau... kau mencintai aku si tua bangka ini? Kau mengajakku seperti anak muda lagi? Ah, kau cantik dan gagah, Su Giok, kau terlampau muda menjadi pendampingku. Ada banyak pemuda yang lebih pantas untukmu. Jangan bodoh!”
Namun gadis ini tersedu-sedu. Begitu Giam Liong memeluk dan mendekapnya terasalah jari-jari penuh kasih sayang itu. Tak dapat disangkal bahwa tiba-tiba getar kejantanan pria bangkit, Naga Pembunuh ini terlena. Namun ketika ia sadar sementara gadis itu sudah berbunga-bunga menyangka pria ini membalas cintanya, Giam Liong begitu lembut membelai dan mengusap rambut kepala itu maka kata-kata pendekar ini selanjutnya membuat gadis itu tersentak dan kaget.
“Maaf, aku tak dapat menerimamu. Aku masih mencintai mendiang isteriku, Su Giok, carilah pemuda lain yang sebaya denganmu. Aku tak cocok, aku sudah terlalu tua. Sadarlah dan buang perasaanmu itu karena aku sudah berputera!”
Wajah yang semula lembut dah bahagia itu mendadak berubah. Gadis yang semula merasakan belaian kasih ini tiba-tiba seakan disentakkan. Kata demi kata yang didengar membuat ia terkejut, begitu kaget dan marah hingga tiba-tiba gadis ini menarik lepas tubuhnya. Gerakan itu dilakukan kasar dan Giam Liong tertegun. Lalu ketika gadis ini menggigil dan terbelalak dengan muka pucat berkatalah bibir yang gemetaran itu dengan kata-kata terputus,
“Kau...kau mempermainkanaku?Kau bilang tak menerima tapi jari-jarimu mengusap dan mengelus begitu mesra? Keparat, apa artinya itu, orang she Sin. Kau boleh membunuh aku namun jangan menghina!”
“Maaf, aku tak bermaksud main-main. Tak kusangkal jariku mengusap lembut, Su Giok, karena keharuan dan kasih sayangku. Namun bukan kasih sayang pria terhadap kekasihnya, melainkan sebagai kakak terhadap adiknya. Atau, hmm, ayah kepada anaknya. Aku sudah tua, usiaku empatpuluh dua.Dan kau... kau... dess!”
Bayangan merah menyambar dan tahu-tahu Giam Liong terbanting. Su Giok menampar dan mengeluhlah pendekar ini, keadaan jadi runyam. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun maka gadis itu memekik dan menyambarnya dan bak-bik-buk suara pukulan disusul keluh dan kesakitan pendekar ini. Giam Liong tak membalas dan membiarkan saja semua pukulan-pukulan itu. Sekarang ia bersikap lain, pasrah dan sama sekali tidak membalas. Dan ketika pipi serta tubuhnya babak-belur, Su Giok tertegun maka gadis itu menghentikan kemarahannya dan berdiri dengan dada berombak sementara wajahnya kemerah-merahan, air matapun mengalir lagi.
“Kau... laki-laki keparat. Hayo balas dan lawan aku. Cabut golokmu. Mana kegagahan dan kejantananmu, Naga Pembunuh. Mengapa kau diam saja kuhajar. Hayo cabut golokmu dan lawanlah aku!”
“Aku tak akan membalas, aku tak akan menambah sakit hatimu lagi setelah kutahu persoalan ini. Bunuh dan lepaskan pukulan mautmu, Su Giok. Biarlah kau tak menderita lagi.” Giam Liong terhuyung dan kasihan sekali memandang gadis baju merah ini. Tentu saja ia tahu betapa sakitnya kegagalan asmara. Ia tak mau menerima karena kesetiaannya kepada mendiang Yu Yin. Biarpun isterinya tiada namun tak ada niat untuk mencari pengganti, ia ingin sendiri.
Maka ketika ia terhuyung dan gemetar memandang gadis itu Su Giok pun mengepal tinju mengeluarkan Touw-beng-tok-ciam alias jarum beracun itu, menjepit di antara telunjuk dan jari tengahnya dengan ancaman membunuh yang terpancar jelas di sepasang matanya yang berapi-api.
“Kau!” bentaknya. “Menyakitkan sekali sikapmu ini, Naga Pembunuh. Kau membuat lukaku semakin merobek lebar. Katakan sebelum aku membunuhmu apa yang menjadi sebab utama kau menghinaku seperti ini!”
“Aku tak bermaksud menghinamu.”
“Tutup mulutmu. Jawab pertanyaanku apa sebab utama kau bersikap seperti ini!”
“Baiklah,” Giam Liong tersenyum pahit, tak gentar melihat jarum yang siap menamatkan jiwanya itu. “Aku tak dapat menerimamu karena semata masih mencintai isteriku, Su Giok. Ia ibu anakku Sin Gak yang semasa hidupnya penuh derita dan sengsara. Aku tak dapat melupakannya, itulah jawabku.”
Jari itu menggigil. Su Giok terbelalak memandang si buntung ini dan tiba-tiba ia mengeluh. Dari dulu sudah ia lihat sikap si Naga Pembunuh ini, kesetiaan dan cinta kasih yang besar terhadap isteri, hal yang sesungguhnya membuat ia kagum dan kekaguman itulah yang membuat ia jatuh cinta. Jarang ada pria seperti ini yang teguh mempertahankan kesetiaan. Itulah yang diam-diam membuat ia iri dan ingin memiliki Naga Pembunuh ini. Maka ketika ia terbelalak dan jarum di tangan tiba-tiba bergerak. Giam Liong berdesir karena benda berbahaya itu meluncur dengan amat cepatnya menyambar lehernya.
Akan tetapi pendekar ini tak mengelak. Ia sudah pasrah dan tak berniat menyelamatkan diri. Jarum dipandang dengan tenang dan ketenangannya ini mengagumkan Su Giok. Gadis itu berkelebat dan membentak, lengan mendorong pula ke depan. Dan ketika jarum melenceng lewat di sisi kepala pendekar ini, angin dorongan Su Giok disertai gerakan kaki yang kuat maka Giam Liong mencelat ke atas dan mengeluh untuk selanjutnya pingsan karena gadis itu sudah menendangnya hingga temangsang (tersangkut) di atas pohon.
“Kau laki-laki keparat. Jawabanmu menyakitkan namun justeru karena ini aku mengagumimu...dess!”
Naga Pembunuh itu tak tahu lagi apa yang terjadi karena ia ditendang amat kerasnya oleh murid Hek-i Hong-li ini. Su Giok melengking kecewa dan berkelebat meninggalkan tempat itu. Gadis ini tak dapat membunuh pria yang dicintanya karena jawaban itu semakin mengukuhkan kekagumannya terhadap Naga Pembunuh. Dan ketika pendekar itu pingsan sampai akhirnya ditemukan Bi Hong dan puteranya maka Sin Gak termangu-mangu mendengar cerita ayahnya ini...